Pencarian

Our Story 3

Our Story Karya Orizuka Bagian 3


mendapat kesempatan untuk melihat karena Nino nyaris tak pernah meladeni tantangan sekolah
lain. Ia bahkan sempat berpikir Nino hanyalah seorang pengecut yang sok.
Tapi ternyata ia salah. Ia salah telah berurusan dengan monster itu. Sekarang ia mendapat
kesempatannya, tapi bahkan kesempatan itu adalah kesempatan terakhirnya. Ia akan mati di
tangan Nino hari ini juga, dan ia bahkan tak bisa bergerakuntuk sekedar menghindar.
Tak sampai beberapa menit, gerombolan geng yang tadinya gagah perkasa itu sudah teronggok
berserakan di tanah. Nino berdiri di tengah-tengah mereka dengan napas tersenggal dan wajah
penuh cipratan darah. Darah orang lain.
Sekujur bulu kuduk Rendi meremang saat melihat Nino menoleh padanya. Rendi tak dapat
bergerak saat Nino berjalan perlahan ke arahnya. Rendi hanya bisa menatap ngeri tongkat
baseball yang dipegang Nino, dan ia bersumpah bisa melihat darah menetes dari ujungnya.
"AMPUN, KAK!!" seru Rendi, segera bersujud hingga dahinya menyentuh tanah. "Ampun!!
Saya nggak bermaksud bunuh Anwar!!"
Nino menatapnya datar. Ia lantas mengangkat dagu Rendi menggunakan tongkatnya. Rendi mau
tak mau melihat mata Nino. Rendi bersumpah bisa melihat kobaran api di bola matanya.
"Gue harusnya ngabisin lo dari dulu," desis Nino. "Gue nggak pernah salah menilai orang.
Sekali pengkhianat, lo tetep pengkhianat."
Rendi tahu sekerah apa pun usahanya untuk memohon akan percuma. Anak laki-laki di depannya
ini sudah bukan manusia. Rendi lantas memberanikan diri untuk menatap orang yang
akanmenghabisi hidupnya. Detik berikutnya, ia terpaku.
Rendi seperti bisa melihat air mata di mata ketua gengnya itu. Rendi pasti sedang bermimpi.
"Tapi kalo lo mati, apa untungnya buat gue?" gumam Nio, lebih pada dirinya sendiri. Rendi
menatapnya tanpa berkedip.
Nino lantas mendorong kepala Rendi dengan tongkat hingga ia terjengkang. Di saat Rendi
mengira Nino akan menghabisinya, Nino malah bergerak kea rah seseorang yang terkapar di
sampingnya dan melepas jaket yang di kenalkan orang itu.
"Lo bisa balik kalo lo mau," Nino mengenakan jaket itu, membuat mata Rendi melebar. Nio lalu
menatap Rendi. "Gue nggak bisa ngebiarin lo di tempat kayak begini. Tempat lo disana, sama
temen-temen lo." Rendi tak dapat berkata-kata lagi. Ia tahu, ia akan menangis saat ini juga. Air matanya malah
sudah melelh saat melihat Nino melangkah pergi sambil menyeret tongkat baseball-nya.
Satu hal yang Rendi ketahui. Nino tidak pernah menyeret tongkat baseball itu.
*** "NINO!" Yudhis segera bangkit saat akhirnya melihat Nino muncul di ceruk. Anak-anak lain juga ikut
berdiri sambil menatap Nino cemas. Nino balas menatap mereka dengan senyum lelah, lalu
melangkah mendekat. Yudhis menatap jaket yang dipakai Nino curiga. "No?"
"Kalian semua udah ngumpul?" Nino menatap anak-anak kelas sebelas dan sepuluh yang
berbaris rapi di depannya. Anak-anak itu membalas dengan gumaman.
Nino mengangguk-angguk, lalu menatap teman-temannya. Yudhis masih menatap Nino penuh
selidik. "Bos," kata Haris tiba-tiba, matanya melebar saat melihat tongkat baseball Nino. "Itu" darah?"
Perhatian semua orang sekarang beralih pada tongkat baseball Nino yang memang tertempel
darah yang sudah setengah mongering. Perlahan mata semua orang terangkat pada subjek yang
memegangnya. "No" lo nggak nyerang markas Krida Mandiri sendirian, kan?" tanya Yudhis, membuat semua
orang melongo. Nino tak menjawab. Ia hanya menatap Yudhis dengan seulas senyum tipis. Pikiran anak itu
memang selangkah lebih maju dari siapa pun yang ada di sini.
Yudhis rupanya tak puas dengan aksi diam Nino. Ia segera menyambar jaket yang dipakai Nino,
lalu membukanya paksa. Harusnya ia bisa menebak apa yang akan ia lihat, tapi tetap saja ia
mundur beberapa langkah saat melihat noda darah di kemeja Nino.
Semua orang sekarang menatap Nino tanpa berkedip. Suasana sekolah sore itu mendadak
lengang. "BOS!" seru Bowo memecah keheningan. Ia segera merengsek ke depan. "Kenapa Bos dateng
sendirian ke markas Krida Mandiri" Kenapa Bos nggak ngajak kita?"
"Nggak perlu." Nino kembali menutup risleting jaket itu dengan tenang. Ia lantas berbalik,
menatap adik-adik kelasnya yang langsung mundur beberapa langkah.
Nino menjilat bibir, lalu menghela napas. Mungkin ini sudah saatnya.
"Gue tau, sebagai ketua kalian, gue udah gagal," kata Nino membuat semua orang menatapnya
tak percaya. "Gue gagal melindungi sekolah gue sendiri. Seharusnya gue memang nggak pernah
jadi ketua." Tak ada satu pun yang berniat menyela Nino.
"Kalian semua kecewa sama gue, gue ngerti. Karena gue, kalian kehilangan temen kalian.
Karena gue, kalian semua dapet cap yang lebih buruk dari yang udah-udah."
"Bos, gue yang salah!" seru Bowo, membuat semua orang menoleh padanya, termasuk Nino.
"Gue yang selalu nyuruh Anwar macem-macem. Gue yang selalu ngerjain dia. Salah gue kalo
Anwar frustasi!!" "Gue yang ngebiarin lo ngelakuin itu," tandas Nino membuat Bowo terdiam. Nio kembai
menatap adik-adik kelasnya. "Guen gerbuang Rendi dan bikin dia masuk geng Krida Mandiri.
Gue yang bikin Rendi bales dendam sama Anwar sampe dia meninggal. Gue."
Hening beberapa saat setelah Nino selesai bicara. Semuanya sibuk dengan pikiran masingmasing.
Nino lantas maju, membuat adik-adik kelasnya segera mundur teratur. Ninomelempar tongkat
baseball ke tanah, lalu saat semua orang berpikir ia akan menarik salah satu anak kelas sebelas,
ia malas perlahanberlutut. Semua orang menatapnya tak percaya.
"Kalian boleh melakukan apa pun sama gue, gue nggak akan melawan," kata Nino membuat
semua orang masih menganga parah. "Mulai sekarang, gue Cuma murid sekolah ini. Gue bukan
lagi ketua kalian. Gue bukan bos, gue cuma Nino. Jadi kalian nggak usah takut."
"Nino!" seru Yudhis, tapi Nino malah menengok dan menatap teman-temannya dengan senyum
lemah. "Kalian juga. Siapa pun, yang udah merasa gue kecewain," Nino kembali menatap adik-adik
kelasnya. "Terutama kalian. Ayo."
Anak-anak kelas sebelas dan sepuluh masih terdiam, tak percaya kalau ketua geng yang mereka
segani selama ini bisa berlutut di depan mereka, bahkan meminta mereka untuk memukulnya.
Selama beberapa saat, semua orang yang ada di lapangan itu terdiam. Sampai seorang anak kelas
sebelas bernama Karel, maju selangkah dari tempatnya berdiri. Semua orang sekarang
menatapnya ngeri. Karel, anak kelas sebelas yang diyakini sebagai penerus Nino itu, sekarang memungut tongkat
baseball yang tergeletak di tanah dan mendekati Nino. Ia lantas menatapnya tajam.
"Begini " ketua geng sekolah kita?" tanyanya.
Nino tersenyum, lantas mengangguk. "Begini."
Karel menatap Nino lama, lalu menatap kakak-kakak kelasnya yang berdiri di belakang Nino.
Tak seorang pun mencegahnya. Tak seorang pun meneriakinya untuk mundur. Karel bisa
memukul bosnya itu kapan saja.
"Kalo ketua aja kayak gini, jalan sendiri, nanggung kesalahan sendiri, apa gunanya nak buah?"
seru Karel membuat Nino menatapnya tanpa berkedip, begitu pula semua orang. "Apa gunanya
kami dilatih setiap hari kalo ujung-ujungnya cuma Bos yang maju?"
Nino menatap Karel nanar. "Tapi gue nggak layak jadi ketua kalian. Gue gagal."
"Kalo bukan Bos yang jadi ketua, gue nggak tau harus ikut siapa lagi," tandas Karel. Ia lantas
menyerahkan tongkat baseball itu pada Nino. "Kalo Bos mau bertanggung jawab atas kematian
Anwar, Bos harus tetap jadi ketua dan memastikan keamanan sekolah ini sampe detk terakhir."
Nino menatap Karel lama, lalu menatap tongkat baseball yang sudah penuh bercak darah yang
tertempel rumput kering. Nino lantas mengedarkan pandangan ke sekeliling, di mana semua
adik-adik kelasnya sudah mengangguk setuju.
"No." Sekarang Nino merasakan tepukan di bahunya. Tanpa harus menoleh Nino tahu itu Yudhis.
"Bos, apa pun yang terjadi, kita ada di belakang Bos," timpal Bowo. "Jadi jangan pergi sendiri
lagi." Ninomendengus, merasa kata-kata Bowo sangat sentimental dan tak pantas di ucapkan seorang
preman sepertinya. Nino menghela napas, lalu mengambil tongkat itu dari tangan Karel dan
bangkit. "Jangannyesel ya, tadi kalian udah gue kasih kesempatan emas," kata Nino pada adik-adik
kelasnya yang malah nyengir kuda. Nino lantas tersenyum, tapi lantas menatap adik-adik
kelasnya itu. "Tunggu apa lagi kalian" Pemanasan!"
Anak-anak kelas sebelas dan sepuluh tersentak, lalu ber0beru berbaris. Bowo sebagai komandan
segera turun tangan dan merapikannya.
Nino menghela napas, lalu duduk di bangku kebesarannya. Matanya segera menerawang saat
menatap tongkat baseball-nya. Yudhis dan yang lain saling lirik resah.
Haris buru-buru mengambil tongkat itu. "Sini, Bos, gue bersihin."
Nino membiarkan Haris membersihkan tongkat itu dnegan baju olahraganya. Setelah selesai,
Haris mengembalikan tongkat itu.
"Gue Nino," kata Nino tiba-tiba, membuat semua orang menatapnya bingung. Ninomengangkat
sudut bibirnya. "Jangan panggil gue "bos". Panggil gue "Nino"."
Haris menatap Nino, lalu melirik teman-temannya, yang sama-sama tak tahu harus bagaimana.
"Kita semua teman, kan?" tanya Nino membuat Haris melotot. Nino lantas melirik adik-adik
kelasnya. "Kalian juga, cukup panggil "Nino" aja."
Anak-anak itu tampak sama sekali enggan.
"Oke, "Kak"," Nino mengalah, membuat anak-anak itu terlihat sedikit lega. "Ini syarat absolut
kalo kalian masih maunganggep gue ketua."
Anak-anak itu lantas mengangguk pelan. "Kak" jauh lebih baik daripada memanggil nama
seorang Nino. Itu pun kalau mereka punya cukup alas an untuk memanggilnya.
Bowo segera mengajak mereka untuk berlari keliling lapangan, sementara Nino memperhatikan
mereka. "Yang lemah dipisahin, Dhis," kata Nino membuat Yudhis menoleh. "Kalo ada apa-apa mereka
di barisan belakang, jagain cewek-cewek."
Yudhis mengernyit sebentar, lalu mengangguk. Ia paham Nino sedang memikirkan kemungkinan
terburuk, jika terjadi tawuran atau semacamnya. Yudhis sudah paham dari semenjak Nino mulai
melakukan pelatihan pada mereka dan adik-adik kelas kelasnya dulu.
Nino tahu-tahu teringat sesuatu. "Ngomong-ngomong, si ketua OSIS ada di kelas?"
"Ketua OSIS" Ferris?" Yudhis balas bertanya, bingung. "Tadi sih habis ngelayat Anwar balik
lagi ke sini sama Yasmine dan Mei. Belajar bersma, kayaknya?"
Nino mengangguk-angguk sebentar, lalu bangkit. Ia lantas menatap teman-temannya.
"Terserah kalian mau ikut apa nggak," katanya pendek, lalu melangkah kea rah gedung sekolah.
Teman-temannya saling pandang bingung.
*** "Sumpah, gue nggak bisa konsentrasi. Bukan gue beralasan lho."
Ferris menatap Mei, alalu meghela napas. Sebenarnya, ia juga demikian. Semenjak pulang
melayat Anwar, kepalanya seperti tak bisa dimasuki hal lain selain Nino dan segala
permasalahnnya. Hati Ferris sebenarnya ikut tercabik saat melihat Nino diusir oleh orangtua Anwar tadi, tapi
Ferris tahu, ia tidak bisa berbuat banyak. Nino sudah terlalu jauh diluar jangkauannya, dan Nino
juga tak akan membiarkannya masuk ke dalam hidupnya lagi. Ferris sudah hamper hilang akal
untuk menghadapinya. "Ris." Ferris mengangkat kepala dan mendapati Mei yang mengedikka dagu ke suatu arah. Ferris
mengikuti arah pandangnya, lalu melotot saat melihat Nino di pintu. Anak laki-laki itu melirik
petisi yang maish tertempel di dinding, menyobeknya, lalu berjalan ke sarah mereka.
"Nino," Yasmine bangkit dan menatap Nino khawatir. Nino balas menatapnya sebentar, lalu
menatap Ferris. Sementara itu, teman-temannya muncul dari belakangnya, mengikutinya dnegan
patuh. Ferris menatap mereka bingung, lalu tanpa sengaja melihat sedikit noda darah dari kemeja Nino.
Detik berikutnya Ferris bisa menebak apa yang telah terjadi.
"No, lo nggak-"
"Gue bukan sampah," potong Nino, membuat Ferris terdiam. Nino lantas menatap Ferris tepat di
mata, wajahnya tampak sungguh-sungguh. "Kami, bukan sampah."
Nino mambanting petisi Ferris di meja, lalu merebut pulpen yang sedang dipegang Mei dan
menandatangani petisi itu. Ferris, Yasmine, dan Mei hanya bisa melongo saat astu per satu anakanak melakukan hal yang sama.
"Kalian" udah minum obat?" tanya Mei tak habis pikir, tapi anak-anak itu sudah sibuk berkicau
sendiri. "Aduh, gue nggak janji deh bisa lulus," komentar Bowo begitu mengambil buku yang sudah
berdebu karena terlalu lama ditinggalkan di dalam laci.
Ferris menyengir. "Lulus atau nggak, itu masalah nanti. Yang penting kita punya kemauan dan
berusaha." "Iya deh," Bowo membuka bukunya malas, bingung merasa pening. "Ris! Lo ada cara cepet
belajar madas nggak?"
"Iya bener, madas! Puyeng gue, kalo apalan sih masih cincay lah!" timpal Haris disambut
anggukan setuju yang lain.
Ferris menatap anak-anak itu nyaris terharu, lalu melirik Mei yang sudah nyengir. Ferris ikut
nyengir. Sementara itu, Yasmine sudah berjalan ke arah Nino sambil membawa bukunya.
Ia menatap Nino takut-takut. "No, mau belajar akutansi bareng?"
Nino manatap Yasmine, lalu tersenyum dan mengangguk.
Part 17 Langkah Arso terhenti di depan kelas dua belas. Ia mengucek-ngucek matanya sebentar, lalu
mengangga menatap pemandangan seuper ajaib di depannya. Arso merasa dirinya sedang
bermimpi. Ia tidak mungkin sedang melihat satu kelas penuh yang sedang sibuk belajar. Tidak di
kelas ini. Di sekolah ini.
Haris kebetulan mengangkat kepala dari buku sejarah dan melihat Arso.
"Woy! Kenapa?" sahutnya, membuat semua anak sekarang menatap guru PKN itu.
"Kalian" kesambet?" tanya Arso linglung, membuat anak-anak mulai terkikik. Arso lantas
mengedarkan pandangan ke seluruh kelas, curiga. "Atau masuk acara TV?"
Anak-anak tertawa, lalu kembali pada kesibukan masing-masing. Merasa mulai bisa menerima
kenyataan ini, Arso mendekati meraka.
"Pak, bisa madas nggak?" tanya Bowo, membuat Arso terkejut.
"Ng" sedikit," jawab Arso ragu.
"Asik," Bowo segera menarik tangan Arso untuk duduk di sebelahnya dan meyodorkan buku
latihan matematikanya. Ini kenapa sih "x" harus di sini" Kenapa coba nggak di sini" Menyalahi
takdir, kan?" Selama beberapa saat, tak terdengar jawaban apa pun. Bowo menoleh heran, lalu melongo saat
mendapati Arso yang sudah sibuk menyeka air mata.
"Ah, apaan sih kok malah nangis" Norak, ah!" seru Bowo membuat Arso kembali ditertawai
anak-anak. "Temen-temen, gue bawa latihan soal yang biasa keuar di UN!" seru Ferris yang mendadak
muncul di pintu. Ia kemudian menyadari keberadaan Arso di samping Bowo. "Eh, Pak Arso."
"Ferris?" gumam Arso di sela isaknya.
Ferris menggaruk kepala, merasa bersalah. "Maaf, Pak, pelajaran Bapak malah dipake buat?"
"Nggak apa-apa!" Arso bangkit mendadak, membuat Bowo hamper terjengkang. "Saya dukung!!
Akan saya bantu sebisa mungkin!"
Ferris menatap Arso takjub, sementara yang lain sudah bersorak. Ferris nyengir, lalu mulai
membagikan latihan soal itu.
"Ini udah ada jawaban dan cara-caranya di belakang, jadi bisa diinget-inget," kata Ferris seraya
menyerahkan soal itu pada Haris.
Tangan Ferris tahu-tahu terhenti saat melihat Nino. Anak itu mengulurkan tangan dengan mata
terpaku pada buku cetak ekonomi. Saat tak kunjung menerima soalnya, Nnio mengangkat
kepala. Ferris tersenyum lalu menyerahkan soal itu pada Nino. Nino hanya berdecak dan menerimanya
tanpa banyak bicara. Yasmine yang melihat kejadian itu hanya bisa melirik Ferris geli. Ferris balas nyengis, lalu
duduk di tengah-tengah anak-anak untuk membantu mereka mengerjakan soal latihan.
Yasmine baru akan menghela napas saat melihat Sisca muncul dari pintu. Anak perempuan itu
terpaku di depan kelas, matanya melotot menatap pemandangan di depannya. Ekspresinya persis
Arso tadi. "Sisca!" sahut Ayu sambil melambai-lambai. "Ayo sini ikutan! Kita lagi belajar bersama!"
Sisca balas menatap temannya itu datar. "Bercanda ya?"
Sekarang semua perhatian sudah tertuju padanya. Sisca sendiri tampak masih belum bisa
menerima kenyataan itu. Ia malah melempar pandangan ke sekeliling penuh selidik.
"Kamera tersembunyi?" gumamnya, tak bisa memikirkan kemungkinan lain selain itu.
"Kita beneran lagi belajar, Sis, buat UN nanti," kata Yasmine, membuatnya mendelik. Yasmine
malah balas tersenyum. "Ayo, belajar bareng."
Sisca mendengus. "Sampe mati jug ague nggak mau."
"Nggak mau juga nggak apa-apa," sambar Nino membuat semua kepala menoleh padanya.
"Nggak ada yang maksa. Lo boleh pulang."
Sisca menatap nanar Nino yang matanya masih terpaku pada buku. Sisca mengangguk-angguk
pelan, lantas berderap keluar kelas. Yasmine menatapnya khawatir, lalu mendelik pada Nino.
"Lo kok gitu sih, No!" seru Yasmine, membuat Nino menatapnya.
"Lah" Gue salah apa?" tanya Nino, tapi Yasmine sudah keburu bangkit dan mengikuti Sisca
keluar kelas. Nino melirik anak-anak yang segera pura-pura sibuk, lalu mengangkat bahu.
*** "Sisca!!" Yasmine mengejar Sisca yang sekarang sudah sampai di kolidor depan. Sisca tidak berhenti, jadi
Yasmine lari sekuat tenaga untuk menghadangnya. Sisca menatapnya sinis.
"Sis," kata Yasmine disela engahannya. "Maafin Nino, Sis, dia nggak ada maksud?"
"Udah gue bilang jangan minta maaf atas nama dia," desis Sisca, membuat Yasmine meneguk
ludah. Sisca lantas berdecak. "Minggir."
"Tunggu," Yasmine meraih tangan Sisca. "Sis, ayo kita lulus bareng-bareng dari sini."
Sisca menatap Yasmine seolah anak perempuan itu sudah gila. Anak perempuan itu mungkin
memang sudah gila, karena barusan ia berkata sesuatu hal yang mustahil.
"Denger ya?"

Our Story Karya Orizuka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Nggak ada yang nggak mungkin, Sis. Kita bisa kalo kita mau berusaha," kata Yasmine lagi,
membuat Sisca mendengus. "Ayo kita berusaha, sama-sama."
"Minggir, gue mau pulang," Sisca mendorong tubuh Yasmine, lalu mulai melangkah.
"Sis, gue nggak tau apa alasan lo jadi pelacur" tapi tempat lo bukan di luar sana. Tempat lo di
sini," kata Yasmine, membuat langkah Sisca terhenti. "Sama kita semua."
Sisca memejamkan mata, lalu kembali berderap sambil menekan sebuah tombol di ponselnya.
"Bang" Lo belum jauh, kan" Jemput gue lagi di sekolah."
"Sis!" seru Yasmine lagi ketika Sisca menapaki lapangan gersang. Sisca menoleh, lalu menatap
Yasmine yang sedang tersenyum. "Berat gue naik empat kilo, lho!"
Sisca mengernyit. "Hah?"
"Berat gue naik empat kilo!" sahut Yasmine lagi, sambil tersenyum. "Sekarang gue nggak takut
lagi." Sisca menatap Yasmine nanar, mendadak paham sesuatu. Sisca terdiam sesaat, lalu berbalik dan
meneruskan langkah. Ia teringat akan kejadian beberapa waktu lalu saat ia mempermalukan
Yasmine di depan kelas. Ternyata Yasmine telah berhasil menaklukkan ketakutannya sendiri.
Sisca melangkah keluar ceruk sekolah, otaknya terus berpikir. Apa yang menjadi ketakutannya"
Sisca takut tidak punya uang. Sisca takut jatuh miskin. Itu sudah pasti. Tapi mengapa Sisca
merasa ada yang lebih membuatnya takut"
Sisca menatap kea rah sebuah halte bus beberapa puluh meter di depannya. Di halte itulah, Nino
pernah menyelamatkannya. Membawanya kembali ke sebuah gedung tua berjudul sekolah, di
mana ada bangku-bangku reyot tetapi membuatnya merasa nyaman. Dan teman-teman yang
berisik tapi membuatnya merasa aman.
Sisca terpaku. Sekarang ia tahu apa ketakutan terbesarnya. Ia akan kehilangan tempat. Tempat
yang tidak seberapa, tapi cukup untuk membuatnya merasa tidak sendiri. Tempat yang ayahnya
bayar dengan sehelai demi sehelai lembar uang. Tempat yang pernah ia mengerti artinya, hingga
saat ini. Saat ia sedang menjauhi tempat itu.
"Sis!" Sisca menoleh, lalu menatap Roy, seorang mucikan kelas rendah yang selama ini selalu
bersamanya.mpria itu melambai dari motor bebek usangnya. Bertahun-tahunmenjadi mucikari
belum juga membuatnya kaya. Sisca tidak akan menyerahkan masa depannya pada pria semacam
itu. "Maap, Bang, gue nggak jadi pulang," kata Sisca membuat Roy bengong.
"Nggak jadi" Terus, lo mau ke mana?"
Sisca tersenyum lemah, lalu menatap bangunan tua di belakangnya. "Gue mau sekolah."
Seperti yang sudah ia duga, Roy sekarang tertawa terbahak-bahak. "Lo bercanda kan, Sis" Ayok
udah naek buruan, gue udah punya klien baru buat lo."
"Gue nggak bercanda, Bang," potong Sisca, membuat Roy melotot. "Gue rasa gue mau berhenti.
Gue" harus nyari tau apa yang mau gue lakuin untuk masa depan gue. Dan gue nggak bisa kalo
bareng terus sama Abang."
Roy mengerjapkan mata beberapa kali. Dan pada saat ia mau berteriak, Sisca sudah keburu
kembali melangkah masuk ke dalam ceruk sekolahnya. Sisca bisa mendengar sayup-sayup
umpatan Roy, tapi ia tidak peduli.
Sisca berjalan tanpa suara menuju kelasnya yang masih bising, tapi kebisingan itu berbeda dari
yang sudah-sudah. Dulu kebisingan itu tidak pernah melibatkan kata "kredit" atau "pahlawan".
Kebisingan itu nyaris terdengar magis oleh Sisca.
"Sis!" Sisca menoleh, lalu mendpati Ayu dan Intan muncul dari belakangnya. Sisca segera salah
tingkah, tapi kedua teman akrabnya itu malah nyengir dan mengamit lengannya, membawanya
masuk ke dalam kelas. Kelas yang heboh itu segera terdiam saat melihat Sisca di depan kelas.
"Ayo duduk," kata Arso, memecahkan keheningan. Sisca menatap bangku yang di geras Arso,
lalu menatap sekeliling. Teman-temannya tampak sudah cengar-cengir, menyambutnya kembali.
Sisca balas tersenyum samar, lalu pandangannya bertemu dengan Yasmine yang nyengir
gembira. Sisca tak bereaksi, dan malah melirik Nino yang di luar dugaannya, sedang menatapnya
balik. Nino emnatapnya nyaris penuh kelembutan, membuatnya mau tak mau teringat pada kejadian
setahun lalu. Membuat Sisca tak ingin melepasnya. Membuat Sisca ingin berteriak bahwa ia
ingin seorang Nino di masa depannya.
Tapi Sisca tak bisa menyingkirkan seorang Yasmine yang duduk di sebelah Nino. Anak
eprempuan itu sangat berbeda dengan dirinya. Anak perempuan itu masih polos, baik hati dan
pemaaf. "Sis, ayok gabung," kata Yasmine, menyadarkan Sisca.
Anak perempuan itu adalah malaikat. Sekuat apa pun Sisca berusaha, ia tak akan bisa menang
darinya. Sisca mengangguk. Ia tak pernah menyangka akan kembali ke tempat ini, bersama teman-teman
yang lain. Dan Yasmine, orang yang pernah ia sakiti, adalah orang yang menyadarkannya.
"Sorry ya," Sisca memberanikan diri. "Gue udah?"
Yasmine segera menggeleng, masih dengan senyum. "Nggak apa-apa."
Sisca balas tersenyum lemah, lalu meletakkan tas dan duduk di depan Nino.
"Ayo lulus bareng-bareng," kata Nino tiba-tiba, membuat Sisca mengangkat kepala untuk
menatap anak laki-laki itu. "Kita semua."
Sisca mengangguk. Sekarang ia yakin dnegan apa yang mau dilakukannya. Ia ingin bersama
Nino selama yang ia bisa.
Walaupun itu berarti hanya menatap punggungnya.
*** "Teman-teman, ini ada latihan soal lagi!"
Anak-anak segera mengeluh tepat setelah Ferris selesai bicara. Seketika ruangan kelas ini
dipenuhi dengusan keras. "Yang kemaren aja belom bere, Ris," Bowo mengempaskan punggung ke sandaran bangku.
Anak-anak yang lain sibuk mengiyakan.
Ferris tersenyum, lalu mulai membagikan soal itu. "Nggak apa-apa, ini disimpen aja buat
cadangan kalo yang kemaren selesai."
Setelah membagikan semua latihan soal itu, Ferris kembali duduk di bangkunya. Mei tampak
sedang sibuk melototi jurnalnya.
"Gimana, perusahaan lo?" tanya Ferris. Mei segera menghela napas.
"Bangkrut," jawabnya pendek, membuat Ferris terkekeh. "Gue nggak ngerti di mana miss gue.
Padahal semua udah gue teliti bener-bener. Masih aja bangkrut."
Ferris berhenti tertawa, sadar apa yang terjadi.
"Anu" Mei," kata Ferris, membuat Mei menatapnya. "Lo nggak usah cari-cari alas an kenapa
bangkrut, memang mungkin seharusnya bangkrut."
Mei mengernyit. "Jadi, nggak smeua jawaban harus untung?"
Ferris hanya tertawa datar menanggapi pertanyaan itu. Kadang-kadang anak-anak ini bisa
menjadi sangat polos. Kemarin Bowo malah bersikeras menanyakan alas an mengapa x + y tidak
sama dengan xy. Arso sampai kewalahan menjawabnya.
"Mei, sekarang gue tanya,"kata Ferris tiba-tiba, membuat Mei kembali mengangkat kepala.
"Sungai apa yang bercabang seperti pohon?"
Mei melongo tepat setelah Ferris bertanya. "Ha?"
"Pop quiz," kata Ferris lagi, walaupun geli melihat ekspresi Mei.
"Sungai apa yang pola alirannya tidak teratur, bercabang seperti pohon?"
"Sungai" ciliwung," twbak Mei, mencoba-coba. Ferris segera pasang tampang datar.
"Dendritik," sahut Haris tiba-tiba, membuat semua orang sekarang menatapnya. "Gue baca tadi
malem! Bener nggak, Ris?"
Ferris menatap Haris tanpa berkedip selama beberapa saat, lalu mengangguk kaku. Sekarang
semua orang sudah bertepuk tangan riuh dan menyalami Haris. Ferris sendiri harus menunggu
beberapa saat sampai otaknya berhasil memproses kejadian tadi.
Bagi Ferris, ini seperti mimpi yang menjadi kenyataan. Ia tidak pernah berharap bisa melihat
teman-teman sekelasnya mau belajar bersama, apalagi belajar sendiri di rumah. Walaupun
pertanyaan tadi tidak seberapa sulit, tapi untuk bisa dijawab dengan benar oleh anak badung
seperti Haris, itu jelas-jelas keajaiban.
Atau mungkin bukan keajaiban. Ini adalah hasil usaha. Ini adalah hasil jerih payahnya dan
teman-temannya. Ini hasil kemauan mereka.
"Ris," tegur Mei, membuat Ferris menatapnya. "Jangan nangis."
"Gue nggak nangis," sergah Ferris keki, lalu mencoba kembali sibuk dnegan buku cetak
geografinya. Mei terkikik, lalu menutup buku akutansinya dan ikut belajar geografi bersama Ferris. Tak lama
kemudian, beberapa anak menghampiri anak laki-laki itu dan bertanya soal-soal yang tidak
dimengerti. Mei memperhatikannya.
"Ris, menurut lo" udah saatnya minta bantuan?" tanya Mei setelah Ferris selesai mengajarkan
Yudhis soal matematika dasar.
Ferris menatap Mei, lalu melirik antrian yang menunggu untuk diajari.
Anak perempuan itu benar.
*** "Apa ini?" Ferris menatap Tama yang menerima map darinya. Ia membuka map itu, lalu membetulkan letak
kacamatanya. "Petisi" Petisi apa ini?" tanyanya saat melihat selembar kertas oenuh tanda tangan. Matanya
lantas melebar saat membaca sebuah kata. "Pengayaan?"
Tama mengangkat kepala untuk menatap Ferris yang balas menatapnya berani. Tama lantas
menutup map itu dan meletakkannya di meja.
"Saya tahu sudah beberapa hari ini kamu mengadakan acara belajar bersama baik di jem
pelajaran maupun sesudahnya. Saya mendapat laporan dari para guru," katanya tenang. "Dan
saya tidak melarang."
Ferris menatap Tama lekat-lekat, merasa bisa menebak apa yang kepala sekolahnya itu hendak
katakana. "Tapi untuk pengayaan ini, itu soal lain," lanjut Tama, membuat sudut bibir Ferris sedikit
terangkat. "Pengayaan berarti saya harus memberi gaji tambahan bagi para guru. Saya yakin,
kamu sudah paham tentang kondisi keuangan sekolah kita."
Ferris menarik napas panjang, lalu menghelanya. "Saya tidak yakin. Saya tidak tahu. Dan saya
tidak mau tahu. Yang saya inginkan adalah hak kami untuk mendapatkan pengajaran dipenuhi.
Itu saja." Mata Tama melebar mendengar kata-kata berani yang keluar dari mulut muridnya itu. Selama ini
Ferris dikenalnya sebagai murid yang sopan dan penurut.
"Ferris, mari kita lihat kenyataan. Tidak sedikit dari kalian yang sekolah Cuma-Cuma. Tidak
sedikit yang menunggak bayaran berbulan-bulan. Dengan uang apa saya harus menggaji para
guru?" Tama mencondongkan tubuh pada Ferris. "Saya tidak bisa melarang para guru untuk
mengambil pekerjaan di sekolah lain. Kamu tahu persis hal itu."
Ferris meneguk ludah, paham benar dengan apa yang dikatakan kepala sekolahnya itu.
"Lalu, apa Bapak bermaksud membiarkan kami tidak lulus?" tanya Ferris, rahangnya merapat.
"Kami semua sudah kembali semangat belajar. Tidak ada satu pun dari kami yang bolos sekolah
lagi. Bapak tega membiarkan kami tidak lulus?"
Tema menatap Ferris sesaat, lalu bangkit dan berjalan menuju jendela.
"Ferris, saya sudah berpikir soal ini. Saya melihat perubahan ini," Tama berbalik dan menatap
Ferris serius. "Kamu adalah pertanda yang dikirimkan Tuhan untuk saya. Kamu adalah orang
yang akan menyelamatkan sekolah ini. Saya tahu itu."
Ferris mengernyit, tak mengerti.
"Karena kegigihanmu, anak-anak itu mau kembali sekolah. Karena itu pula, mereka akan hadir
di UN. Dan saya menganggap ini titik balik untuk sekolah kita."
Tama lantas berjalan mondar-mandir, tampak berpikir keras. Sementara itu Ferris masih
berusaha mencerna kata-katanya.
"Kamu akan menyelamatkan kita semua. Anak-anak ini, juga citra sekolah ini," kata Tama lagi,
matanya dipenuhi binary. "Kmu, Ferris. Semuanya ada di tangan kmau."
"Maksud bapak apa?" tanya Ferris masih belum bisa mengerti.
"Anak-anak itu tidak perlu belajar, kamu aja sudah cukup. Mereka cukup dating pada saat UN,"
kata Tama lagi, seperti dirasuki oleh sesuatu. "Kamu akan membuat kunci jawaban, dan kamu
akan mneyebarkan pada mereka. Mereka semua akan lulus, dan nama sekolah kita akan
terangkat!" Ferris menganga parah sementara Tama sudah mengangguk-angguk penuh gairah. Sudah terlalu
lama ia meminpikan ini. Sekolahnya kembali berfungsi seperti sekolah kebanyakan, bukannya
tempat penampungan sampah seperti sekarang ini. Dan anak-anak yang akan mendaftar pasti
dari kalangan berada. "Kamu tidak perlu khawatir soal absensi dan ujian-ujian sekolah, itu mudah," gumam Tama lagi.
"Saya akan mneyuruh para guru untuk merekayasanya. Kalian cuma tinggal dating UN dan
kamu tinggal menyebarkan kunci jawaban, itu saja."
"Apa?" Geram Ferris lambat-lambat. "Apa bapak bilang?"
"Ferris, kamu ingin teman-temanmu lulus, kan" Ini cara yang paling mudah!" seru Tama
bersemangat. "Kalian semua akan lulus dengan cara yang sangat mudah dan tidak gampang
ketahuan! Ini lebih tidak beresiko daripada membayar kunci jawaban dan mneyebarkannya lewat
SMS!" "Bapak menyuruh kami" untuk mencontek?" ulang Ferris, tak percaya pada pendengarannya.
Tama lantas menghampiri Ferris dan menepuk bahunya. "Nasib sekolah ini ada di bahu kamu,
Ris." Ferris terdiam. Tangan itu terasa berton-ton beratnya. Bahunya sampai terasa nyeri.
*** Ferris melangkah gontai kea rah kelas. Pandangannya kosong, map ditangannya sudah kusut
karena digenggam terlalu keras. Langkah Ferris terhenti. Sayup-sayup ia mendengar suara bising
dari kelasnya. Ferris lantas menatap map kusut di tangannya.
Nasib sekolah ini ada di bahunya. Kelulusan semua temannya bergantung pada keputusannya.
Ferris menghela napas, lalu melangkah ke tong sampah dan melempar map itu ke sana. Ferris
menatap nanar map yang tergeletak di atas sampah plastic dan terlihat menyedihkan itu.
Ferris lantas meneruskan perjalanannya ke kelas. Ia masuk dan mendapati teman-temannya yang
sedang sibuk tanya jawab dengan hukuman coret kapur. Wajah semua orang sekarang sudah
persis orang indian. "Ris!" sahut Mei yang pertama kali menyadari kehadirannya. Seketika semua anak menatapnya.
"Gimana" Berhasil!!"
Ferris hanya balas tersenyum, membuat semua orang bingung.
"Gimana, Bro?" tanya Bowo.
"Gue" akan usahain supaya kita semua bisa lulus," kata Ferris akhirnya, membuat semua orang
mengernyit. "Berarti mau si Tamagochi ngadain pengayaan?" tanya Haris, tapi Ferris menggeleng.
"Gue" diminta bikin kunci jawaban pas UN nanti," Ferris nyengir kaku. Semua orang sekarang
melotot. "Gue akan sebarin ke kalian. Jadi" sekarang kalian nggak usah susah-susah belajar
lagi." Hening selama beberapa saat. Semua orang sekarang sibuk dengan pikirannya masing-masing.
Arso, Mei, dan Yasmine menatap Ferris khawatir. Nino pun menatapnya tajam.
"Ris?" "Tentu aja, gue akan belajar lebih keras. Gue mau kita semua lulus," potong Ferris, sebelum
Yasmine sempat berbicara. Ferris nampak seperti orang ling-lung. "Kita semua pasti bisa lulus."
"Cih," decis Bowo tiba-tiba, membuat semua mata menatapnya. "Kita semua harus nyerahin
nasib kelulusan kita sama lo, gitu" Kalo lo mandadak sakit atau hilang ingatan, terus kita semua
harus nggak lulus, gitu?"
Mata Ferris melebar emndengar kata-kata Bowo. "Bukan gitu, gue-"
"Bener juga!" seru Harin=s membuat semua perhatian sekarang terarah padanya. "Buat apa gue
capek-capek belajar kalo pada akhirnya cuma nunggu jawaban dari lo" Mending kalo lo jujur,
kalo lo mau nyesatin gimana" Anak pinter kan suka begitu!"
"Ha"!" seru Ferris, tapi anak-anak lain ma;ah sibuk menyetujui.
"Ogah gue sih, mending belajar sendiri! Kalo ada yang nggak ngerti, baru deh nanya! Ya ga?"
seru Haris lagi, yang segera disambut meriah.
Ferris menatap keramaian di depannya tanpa berkedi[. Anak-anak itu sudah kembali main tanya
jawab, sama sekali tak mengacuhkan Ferris yang masih termangu di depan kelas. Ferris lantas
bertemu pandang dengan Arso yang tersenyum. Ferris balas tersenyum bingung, lalu terasuk
menuju bangkunya. "Lo ngeremehin kita ya?" tanya Nino membuat langkah Ferris terhenti. Ferris lantas menatap
Nino yang matanya masih tertancap pada buku ekonomi. "Lo ngeremehin kita, atau lo ngerasa
dewa?" Nino lantas mendongak dan menatap Ferris tajam. Ferris balas menatapnya nanar. Mulutnya
separuh terbuka, berusaha untuk menje;askan. Tapi taka da satupun kata yang keluar dari
mulutnya. Apa yang dikatakan Nino benar, tadi Ferris merasa dirinya sanggup untuk
menanggung nasib teman-temannya. Frris tidak memikirkan perasaan teman-temannya. Ferris
terlalu egois. "Sori," gumam Ferris. "Gue nggak bermaksud?"
Nino kembali menekuni bukunya tanpa bermaksud mendengar sisa kalimat Ferris. Yasmine
segera bangkit dan menepuk bahu Ferris dan tersenyum padanya, berusaha untuk menghiburnya.
Ferris balas tersenyum, lalu kembali ke bangkunya. Mei menatapnya penuh minat.
"Ris, nanti bikini kunci jawaban buat gue aja," bisik Mei, membuat Ferris mendelik. Mei balas
mencibir. Ferris terkekeh, lalu kembali menatap kelasnya. Arso tampak sedang sibuk menjadi host kuis
dengan semangkuk bubuk kapur di wajahnya.
"Ternyata belajar juga bisa jadi seru ya, kalo bareng-bareng gini," celetuk Intan, membuat semua
orang menatapnya. Intan lantas menekuk kepala, malu. "Gue nggak pernah berpikir belajar bisa
menyenangkan." Arso menatapnya dengan mata berkaca-kaca. "Saya juga nggak pernah menyangka kalau kalian
ada kemauan untuk belajar."
Arso sekarang sudah sibuk menahan tangis, sementara semua anak menggodanya. Ferris
menatap pemandangan itu sambil tersenyum. Alangkah indahnya jika semua orang saling
menghargai satu sama lain seperti ini.
"Kalo dipikir-pikir, sekolah kita beruntung ya, punya dua pahlawan," kata Yasmine tiba-tiba,
membuat semua orang sekarang menoleh padanya. Yasmine lantas balas menatap mereka. "Ada
pahlawan yang melindungin kita dari luar, ada yang dari dalam."
Yasmine lantas mengerling Nino dan Ferris. Yang lain segera mengerti maksud Yasmine, dan
langsung sibuk mengiyakan.
Nino sendiri mengalihkan pandangan karena malu, dan pada saat itulah pandangannya bertemu


Our Story Karya Orizuka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan Ferris. Mereka saling tatap selama beberapa saat sampai Nino membuang muka.
Yasmine memperhatikan mereka berdua, lalu menghela napas. Sekolah ini memang beruntung
memiliki dua pahlawan, tapi sayangnya, kedua pahlawan itu saling bertentangan.
Dan Yasmine ingin membuat keduanya bersatu.
Part 18 Ferris melangkah ringan kea rah ruang OSIS. Selama beberapa minggu terakhir, ia benar-benar
seperti hidup dalam mimpi. Anak-anak di kelasnya mau belajar dan bertekad untuk lulus
bersama-sama. Dan seolah itu belum cukup menggembirakan, para guru telah bersedia
mendukung usaha mereka. Sabagaimana Arso, para guru yang lain benar-benar kaget pada
kemauan anak-anak dan mulai bisa mengajar dengan normal tanpa harus takut dilempari macammacam.
Ferris hamper-hampir tidak memercapainya, tapi ini semua benar-benar terjadi. Semua beban
seperti terangkat dari bahunya.
Langkah Ferris mendadak terhenti saat melihat pemandangan di depannya. Nino tampak sedang
duduk di depan gudang peralatan sambil emmebaca buku dengan hanya memakai singlet. Di
depannya, sehelai kemeja terjemur di atas seutas tali yang terikat di antara dua batang pohon.
Ferris menghela napas. Bebannya belum semua terangkat. Yang paling berat justru masih ada di
sana, tepat di depannya. Ferris lamtas menghampiri Nino dengan hati-hati. Ferris melirik buku yang dipegang Nino. Buku
cetak sejarah. "Hai, No." Nino mendongak, lalu terpaku saat melihat Ferris sudah berdiri di sampingnya. Tanpa banyak
berpikir Nino segera bangkit dan meraih kemeja dari jemuran. Kemeja itu ternyata masih basah.
Nino berdecak kesal, lalu mengibaskan kemeja itu tak sabar.
Ferris menghentikannya. "Lo" nggak pulang kerumah?"
Nino menghela napas, lalu mengenakan kemeja basah itu. Ia mungkin akan masuk angina, tapi
lebih baik begitu daripada berlama-lama dengan Ferris.
Nino lantas meraih ransel, bermaksud pergi. Tapi tahu-tahu Ferris menahan lengannya. Nino
menatap tangan Ferris, lalu menatap matanya tajam.
"Gue rasa kita harus selesein masalah kita, No," kata Ferris membuat mata Nino berkedut. "Kalo
lo mau gue bersujud di depan lo, gue lakuin sekarang juga."
Nino menatap Ferris lama, lalu membuang muka sambil mendengus. Ia lantas menepis tangan
Ferris dari lengannya, tapi menolak menjawab.
"Gue nggak tau lagi apa yang bisa buat lo maafin gue. Lo bilang, dengan cara apa gue bisa
menebus kesalah gue," desak Ferris. "Gue mohon, No, gue pengen kita bisa berteman kayak dulu
lagi." Ferris tak berkedip untuk beberapa saat. "Kenapa" Gue sebejat itu dimata lo" Apa pun yang gue
lakuin nggak akan bisa bikin lo maafin gue?"
"Gue?" Nino tercekat. "Ini bukan masalah lo. Ini masalah gue."
"Maksud lo?" tanay Ferris bingung.
"Lo seharusnya berteman dengan orang baik-baik," jawab Nino akhirnya. "Orangtua lo bener."
Ferris menatap Nino tak percaya. "Orangtua gue" Apa-?"
"Lo Cuma harus lulus dari sini, setelah itu lo bisa memulai hidup baru. Hidup lo yang
semestinya," potong Nino. "Nggak seharusnya lo buang-buang hidup lo demi orang kayak gue."
"No?" Nino sudah keburu berbalik pergi, meninggalkan Ferris yang hanya bisa termangu. Nino
menghela napas, melangkahkan kaki yang terasa berat sambil menatap ujung sepatunya yang
sudah berlubang. Walaupun ingin, Nino tidak bisa kembali berteman dengan Ferris. Nino tidak boleh. Nino tidak
berhak. Setelah apa yang diputuskannya beberapa tahun lalu.
Langkah Nino terhenti. Di depan sepatunya, ia melihat ujung sepatu lain. Sepatu putih dengan
tali pink. Nino mengangkat kepala, lalu mendapati Yasmine sudah ada di depannya, tersenyum
seperti malaikat. Nino tidak pernah berharap hidupnya akan normal setelah semua yang terjadi. Tapi tiba-tiba, dua
orang yang sangat ia sayangi membuat semuanya terasa mungkin. Satu sudah tidak bisa digapai.
Satu lagi berada tepat di hadapannya.
Nino mendekati Yasmine, lalu meletakkan dahinya di atas bahu anak perempuan itu.
"Sebentar saja," gumam Nino sambil memejamkan mata. Ia sangat ingin menangis tapi
ditahannya. Tahu-tahu Nino merasakan belaian lembut di kepalanya. Belaian yang tak pernah ia dapatkan
dari siapa pun seumur hidupnya. Nino terpaku untuk beberapa saat, lalu air matanya menetes
begitu saja tanpa bisa ditahan lagi.
Yasmine membiarkan Nino menangis di bahunya. Yasmine tahu, beban Nino terlalu berat untuk
ditanggungnya sendiri. Dan Yasmine berharap Nino bisa membaginya, walaupun hanya sedikit.
*** "Sudah pulang, Ris" Ayo makan dulu."
Ferris menghentikan langkah lalu menengok untuk melihat kedua orang tuanya yang sedang
makan malam. Begitu banyak yang ada di otaknya dan ingin disampaikannya saat ini, sampai ia
tak tahu harus mulai dari mana.
Ibu Ferris berhenti menyendok, lalu menatap putranya bingung. "Ris?"
Ferris bergeming, kepalanya terasa mau pecah. Ayahnya tahu-tahu meletakkan sendok, seperti
teringat sesuatu. "Oh iya, Ris, mobil kamu jual ya?" tanyanya, membuat kepala Ferris semakin berdenyut. "Kata
Pak Jaya tabungan kamu jadi banyak. Kamu pakai buat apa uangnya?"
Sekarang Ferris mendapat perhatian penuh dari orangtuanya. Ayahnya sudah melotot, sementara
ibunya menghampirinya cemas.
Ferris memejamkan mata untuk beberapa saat. "Papa nggak perlu tahu."
"Ferris, kamu kenapa, Sayang" Ada masalah di sekolah?" tanyanya sambil mengelus rambut
Ferris. "Sudah berapa kali Mama bilang jangan sekolah disana?"
"Anak Bengal itu memeras kamu?" tanya ayahnya, lalu bangkit. "Anak Bengal itu, kan" Bilang
Papa, Ferris!" Ferris menatap ayahnya nanar. "Anak Bengal itu" maksudnya Nino?"
"Papa sudah kira!" seru ayahnyanya emosi. "Papa sudah kira dia akan mengingkari janjianya!
Dasar anak tak tahu diuntung!"
Mata Ferris melebar. "Janji?" Janji apa maksud papa?"
Ayahnya segera menutup mulut, lalu bertukar pandang dengan istrinya, cemas. Ia tahu ia telah
melakukan kesalahan. Tidak seharusnya Ferris tahu.
"Bukan apa-apa," elak ayahnya, membuat Ferris berderap ke arahnya.
"Pa! papa buat janji apa sama Nino" Janji macem apa yang Papa buat?" seru Ferris membuat
ayahnya mengalihkan pandangan. "Pa, kalo Papa masih anggep Ferris anak, tolong kasih tau."
Ayahnya menatap Ferris tak percaya. Ferris tahu, ia pasti tak menyangka anaknya yang selama
ini penurut bisa berubah. Tapi Ferris tak ingin terus-terusan diatur arangtuanya. Ferris sudah
bukan anak kecil lagi. Ayahnya menatapnya lama, melirik ibunya, lalu mendesah. "Anak itu dulu berjanji sama Papa
untuk menjauhi kamu."
Ferris menatap Ayahnya tak percaya. "Apa?""
"Anak itu dulu berjanji untuk tidak mendekati kamu lagi, dengan bayaran uang bulanan," kata
ayahnya lagi, membuat kepala Ferris semakin pening. "Ferris, hidup anak itu selama ini Papa
yang tanggung." Ferris memijat dahinya yang berdenyut menyakitkan. "Papa" ngasih uang ke Nino untuk
ngejauhin Ferris?" "Tadinya ia menolak, tapi dia hidup terlantar. Beberapa bulan setelah ayahnya masuk penjara,
dia dating ke sini. Dan saat itulah dia membuat janji itu," kata ayahnya lagi. "Dia berjanji untuk
masuk sekolah yang jauh dari kamu. Dan saat kamu pindah ke sekolah itu pun, dia menyakinkan
Papa untuk tidak mendekati kamu. Tapi ternyata, dia bohong. Harusnya Papa tahu itu."
Ferris hanya dapat menatap lantai dibawahnya nanar. Ia sama sekali tak emnyangka Nino
melakukan hal itu. Selama ini Ferris menyangka Nino membencinya, sesimpel itu. Tapi ternyata
ada alasan lain dibalik semuanya.
"Harusnya dulu Papa memakai cara yang lebih keras untuk mencegahmu sekolah di sekolah
boborok itu," lanjut ayahnya, membuat tangan Ferris terkepal. "Papa terlalu lenak sama kamu,
makanya ia jadi punya kesempatan untuk mendekati kamu lagi."
Ferris merasakan tangan ibunya di bahunya. "Ferris?"
Ferris tak bisa menjawab panggilan itu. Kepalanya tak bisa menerima informasi macam apa pun
lagi. Tidak bahkan panggilan ibunya sendiri.
Ferris memejamkan mata, menelan bulat-bulat emosinya. Ia lantas berbalik dan berderap keluar.
Sayup-sayup ia mendengar ayah dan ibunya memanggil, tapi ia sudah tak peduli lagi. Ia masuk
kedalam mobil milik ayahnya yang sedang dibersihkan sopir, lalu menginjak gas dan
membawanya meluncur ke jalanan.
Ferris menatap jalanan di depannya yang padat. Tanpa sengaja, ia melihat rombongan anak-anak
SMA yang sedang bercengkerama di depan sebuah bimbingan belajar. Ferris menatap mereka iri.
Ia tak tahu kalau hidupnya yang baru tujuh belas tahun ini bisa jadi sesulit ini.
*** Yasmine menyodorkan sebotol air mineral pada Nino, yang menerimanya tanpa semangat.
Yasmine menatap anak laki-laki itu ragu, lalu duduk di sampingnya. Mereka sekarang sedang
berada di halte bus dekat sekolah.
Tadi Yasminemembiarkan Nino menangis tanpa bertanya apa pun. Sampai sekaranga pun, Nino
belum bicara apa-apa. Yasmine tidak memaksakannya bercerita jika memang ia tidak ingin.
"Lo?" kata Nino membuat Yasmne berjengit kaget. Yasmine menoleh, lalu menatap Nino yang
tampak menerawang. "Lo pasti mikir gue pendendam banget kan, karena gue nggak mau maafin
Ferris?" Yasmine mengerjap mata. Baru kali ini ia mendenger kata "Ferris" terucap dari bibir Nino.
Yasminemengangguk pelan. "Tapi gue bisa paham. Pasti berat banget kehilangan satu-satunya
orang yang lo percaya."
Nino mendesah, lalu mengeleng. "Sebenernya" baru-baru ini gue memutuskan untuk maafin
dia." Yasminemenatap Nino tak percaya.
"Gue maafin dia, yang mana nggak seharusnya nggak boleh gue lakuin," lanjut Nino lagi.
Yasminemenatapnya tak mengerti. Nino lantas tersenyum getir. "Setelah gue maafin dia, yang ad
ague jadi orang jahatnya."
"Maksud lo apa, No?"
nino menatap Yasmine lama. "Gue balas mengkhianati dia, Yas. Sekarang gue nggak pantes jadi
temennya." Yasminemasih mengernyit, berusaha mencerna kata-kata Nino. Nino menghela napas, lalu
kembali menerawang. "Dulu waktu bokap gue masuk penjara, gue setengah mati benci sama Ferris yang ngejauhin gue.
Gue bahkan menolak permintaan bokapnya yang mau ngebiayain hidup gue, dengan syarat gue
harus pergi dari hidup mereka. Nggak usah diminta pun, gue nggak bakal mau berteman lagi
sama dia." Mata Yasmine melebar. "Tapi" gue bener-bener nggak bisa hidup setelah itu. Gue terlunta-lunta di jalan, ngamen,
ngemis, singkatnya apa aja buat nerusin hidup. Jangankan buat sekolah, buat makan aja gue
nggak mampu," lanjut Nino, matanya berkaca-kaca mengingat masa kecilnya yang kelam.
"Akhirnya, berbekal sedikit harga diri, gue dateng ke rumah Ferris. Lo tau kan untuk apa?"
Yasmine menatap Nino tak percaya, tapi tak menjawab pertanyaannya.
"Ya, gue menukar sisa harga diri gue dengan menyanggupi permintaan bokapnya. Gue
bersumpah bakal ngejauhin Ferris seumur hidup gue, dan gue pikir itu bakalan gampang. Sampai
dia dateng ke sekolah ini," kata Nino lagi. "Sampe dia melakukan segala cara supaya gue bisa
maafin dia." "Sebisa mungkin guemenyakinkan diri gue, kalo dia bersalah. Dia nggak termaafkan. Tapi pada
akhirnya gue menyerah, dan memaafkan dia," lanjut Nino. "Sekarang, yang jahat siapa?"
Nino lantas menoleh pada Yasmine yang menatapnya nanar.
"Apa gue salah, bilang sama dia kalo kami memang nggak bisa berteman lagi?" tanyanya,
membuat Yasmine menggigit bibir. "Lebih gampang kalo dia anak yang nggak pedulian. Tapi
anak itu?" Nino tak meneruskan kata-katanya. Ia memijat dahinya yang mendadak nyeri. Yasmine bingung
bagaimana harus menghiburnya. Ia sama sekali tidak menyangka masalah antara Nino dan Ferris
ternyata sepelik ini. "Dia udah ngebuang hidup dia, Yas. Dua tahun hidupnya yang berharga. Demi gue, sampah yang
seharusnya nggak dia lirik," kata Nino lagi, suaranya bergetar. "Seharusnya dia sekarang sekolah
di sekolah bagus, punya segudang prestasi, dikasih beasiswa sama banyak universitas, bukan
disini, di sekolah bobrok ini."
Nino lantas menengadahkan kepala, berharap demikian air matanya tidak jatuh. Tapi percuma.
"Gue seharusnya seneng karena bisa balas dendam, tapi ternyata?"
Yasmine meraih bahu Nino yang mulai berguncang, dan membiarkan kepala anak laki-laki itu
sekali lagi bertumpu di bahunya.
"Balas dendam itu nggak akan menyelesaikan masalah, No. balas dendam itu cuma akan
menimbulkan dendam baru yang nggak aka nada habisnya," Yasminemembelai rambut Nino.
Yasmine bisa merasakan Nino mengangguk tanpa menjawab.
"Kalo menurut gue, Ferris pasti bisa menegerti keadaan lo," kata Yasmine lagi. "Dia pasti bisa
memaafkan lo. Kalian bersahabat, kalian pasti saling tahu luar dalam."
Nino menggeleng. "Gue tahu dia pasti bisa maafin gue, tapi gue nggak bisa terima. Gue nggak
pantes jadi-" "Lo mau perjuangan Ferris selama ini sia-sia?" potong Yasmine, membuat Nino menatapnya.
"Gue rasa kali ini lo yang harus berjuang, No. kalo lo ngerasa nggak pantes jadi temannya, lo
harus berusaha gimana caranya biar jadi pantes."
Nino kembali menerawang, memikirkan kemungkinan itu. Bukannya ia tidak mau, tapi ia tahu
apa yang harus dilakukannya.
"Lo bisa mulai dengan dateng ke rumah Ferris," Yasmine membantu, membuat Nino kembali
menatapnya seolah mendapat pencerahan.
Yasminelantas nyengir jahil, membuat Nino mencubit pipnya.
"Habis ini gue kerumahnya," Nino mengacak rambut Yasmine. Yasmine menatapnya lekat-lekat.
"Makasih ya, Ni," kata Yasmine men=mbuat Nino mengernyit. "Makasih karena udah percaya
sama gue dan berbagi beban lo."
Nino menatap Yasmine lama, lalu menggeleng. "Gue yang harus berterimakasih sama Tuhan,
karena masih baik sama gue dan ngirim gue malaikat kayak lo."
Yasmine melongo selama beberapa saat, lalu segera memukl lengan Nino sambil tertawa grogi.
"Ah! Kok jadi gombal gitu sih!" pekiknya malu sambil memegang kedua pipinya yang
memanas. Nino nyengir melihat kelakuan anak perempuan itu, lalu menghela napas dan menatap bulan
purnama yang bersinar cerah di langit kelam. Hari ini, untuk pertama kali dalam beberapa tahun
hidupnya, ia bisa menikmati pemandangan itu.
Sekarang, ada yang harus ia lakukan, dan tidak bisa ditunda-tunda lagi.
*** "Ferris?" Mei melongo saat melihat siapa yang ada di balik pintu rumahnya. Tadi saat ia sedang membantu
ibunya mengaduk adonan kue, terdengar pintu diketuk. Dan Mei sama sekali tidak menyangka
Ferris yang dating ke rumahnya malam-malam begini.
Ferris tak menjawab. Ia hanya menatap Mei nanar, seluruh kata-katanya berhenti di tenggorokan.
Ferris merasa, jika ia mulai bicara, maka air matanya akan tumpah saat itu juga.
Mei menatap Ferris bingung, lalu menyadari bahwa Ferris masih menggunakan seragam sekolah.
Apa pun masalah Ferris, pasti sangat berat. Ferris tak pernah terlihat sekacau ini sebelumnya.
Mei meraih lengan Ferris, lalu membawanya masuk dan membuatnya duduk di sofa. Mei bisa
melihat kalau Ferris bergetar, dan ia yakin itu bukan karena dinginnya malam. Mei lantas duduk
di sampingnya dan menatapnya yang masih menerawang.
Mei menggigit bibir. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan atau dikatakan dalam situasi seperti
ini. Sebenarnya ia sangat ingin memeluk Ferris, tapi ia tidak tahu ia tidak berhak. Ia sebisa
mungkin ingin menjaga jarak dnegan anak laki-laki itu.
Mei mencoba mengulurkan tangan, tapi segera terhenti di udara. Ia tidak yakin mau melakukan
apa. Setelah berpikir beberapa saat, Mei meletakkan tangannya di bahu Ferris dengan hati-hati.
Ferris menoleh, lalu menatap Mei. Ferris tidak tahu apa yang membuat dirinya ingin bertemu
anak perempuan ini. Ferris tidak tahu apa yang membuat kakinya melangkah ke rumah ini. Ferris
tidak tahu apa pun lagi. Ia hanya ingin seseorang di sampingnya.
"Gue?" Ferris tercekat. Dadanya terasa sesak. Kepalanya terasa sakit. Ia sama sekali tak bisa
bernafas. Pada akhirnya, Ferris terisak tanpa mampu mengatakan apa pun. Air matanya yang ditahan
bertahun-tahun, akhirnya bisa mengalir keluar. Air mata yang sepertinya tidak akan ada
habisnya. Mei menatap Ferris sedih. Ia tidak tahu apa persisnya masalah Ferris, tapi ia bisa ikut merasakan
kepedihan hatinya. Mei sendiri bisa merasakan air mata mulai merebak di matanya.
Bahu Ferris sekarang sudah berguncang. Ia tertunduk, menjambak rambut dengan kedua tangan,
dan membiarkan air matanya jatuh ke lantai. Mei tak dapat melakukan apa pun selain mengusap
punggung anak laki-laki itu pelan.
Mei mendapati ibunya sedang menatap mereka dari balik buffet. Ibunya tampak tersenyum, lalu
mengangguk. Mei tidak tahu apa artinya, tapi ibunya sudah keburu kembali ke dalam.
Selama beberapa menit, Mei membiarkan Ferris menangis. Pada saat ia sudah sedikit tenang,
Mei mengulurkan sekotak tisu. Ferris mengambilnya tanpa semangat, lalu menyeka air matanya.
"Udah sedikit lega?" tanya Mei akhirnya.
Ferris menyedot hidung, lalu mengangguk. Ia tahu, tampangnya sekarang pasti sangat
menyedihkan untuk dilihat.
Mei mengangguk-angguk, lalu kembali terdiam. Ia benar-benar tidak tahu harus bagaimana. Ia
ingin bertanya, tapi takut mencampuri urusannya. Ingin menghibur, tapi tidak tahu harus
bagaimana. "Lo" nggak manis banget ya jadi cewek," kata Ferris dengan suara serak, membuat Mei
menoleh dnegan dahi berkerut. Ferris meliriknya dengan mata sembap. "Lo nggak mau tanya ada
apa?" Mei menatap Ferris untuk beberapa saat. "Ada apa?"
Ferris mendengus. Ia mengambil beberapa tisu lagi, lalu membersit hidung. Ia sudah menduga
Mei akan membuatnya dingin seperti biasa, tapi mengapa hari ini ia ingin agar Mei
memperhatikannya. "Kalo lo maksa, baru gue cerita," kata Ferris lagi, membuat Mei semakin mengernyit.


Our Story Karya Orizuka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Lo" Ferris kan ya?" tanya Mei takut-takut, bermaksud menggeser posisi duduknya. Tapi tanpa
ia duga, Ferris meraih tangannya, mencegahnya untuk beranjak.
"Gue cerita," kata Ferris, lantas mendesah. "Tapi gue nggak tau harus mulai dari mana."
Mei menatapnya. "Pelan-pelan aja."
Ferris mengangguk, lalu mencoba untuk membuka mulut. Semuanya lantas mengalir begitu saja.
Tentang Nino dan janji yang ia buat dengan orangtuanya. Tentang Nino yang selama ini hidup
dari uang yang diberi orangtuanya. Tentang Nino yang menyanggupi permintaan orangtuanya
untuk menjuhinya. Dan itu membuat Ferris kembali hancur.
"Gue jadi nggak tau lagi siapa yang harus gue percaya," desah Ferris, mengakhiri ceritanya. Air
mata sudah kembali merebak. "Semua orang mengkhianati gue. Semuanya."
Mei menatap Ferris miris. Ferris adalah supermen baginya. Supermen membantu. Supermen
tidak butuh bantuan. Setidaknya itu dulu yang dipikirkannya, sampai saat itu. Saat seluruh dunia
mnegkhianatinya setelah ia bantu sekuat tenaga.
Sekarang supermen di depannya seperti kehilangan sayap, jatuh terpuruk dan hancur berkepingkeping. Dan Mei tidak sanggup melihatnya.
"Nak Ferris." Ferris dan Mei mengangkat kepala berbarengan, lalu melongo melihat ibu Mei muncul di
hadapan mereka dnegan segelas teh manis hangat. Ibu Mei tersenyum, lalu meletakkan gelas teh
itu di depan Ferris yang segera menyeka air mata.
"Bu, sudah baikan?" tanya Ferris salah tingkah.
Ibu Ferris mengangguk. "Ibu boleh duduk di sini?"
Ferris bertukar pandang sekilas dengan Mei, lantas buru-buru mengangguk. "Silahkan, Bu."
Ibu Mei tersenyum, lalu duduk di depan mereka. "Diminum dulu tehnya supaya kamu tenang."
Ferris menurut, ia mengangkat gelas teh, lalu menyeruput isinya. Dan ajaib ia memang merasa
sedikit lebih tenang. Ferris lantas meneguknya hingga habis.
"Maaf, tapi Ibu mendengar cerita kamu tadi," kata Ibu Mei, membuat Ferris segera menatapnya.
"Sebagai orangtua, rasa-rasanya ibu bisa sedikit mengerti perasaan orangtuamu."
Ferris hamper saja mendengus. Orang dewasa tentu saja saling membela.
"Orangtua saya menyuruh saya menjauhi sahabat saya karena ayahnya napi. Dan menyuruh
sahabat saya dengan memberinya uang."
"Tentu saja hal itu tidak baik," potong Ibu Mei, membuat Ferris terdiam. "Tapi mereka hanya
ingin melindungi anaknya."
Ferris menghela napas berat. "Melindungi."
"Saya seorang ibu, jadi saya mengerti kalau mereka hanya khawatir, walaupun cara mereka tidak
benar," kata ibu Mei lagi. "Ferris, bagaimanapun mereka orangtuamu. Orang yang melahirkan,
membesarkan, dan menjaga kamu. Mereka berhak khawatir, kan?"
Ferris menatap ibu Mei nanar. "Tapi?"
"Sekarang setelah kamu bisa membedakan mana yang salah mana yang benar, saatnya kamu
memberi pengertian kepada mereka secara baik-baik," potong ibu Mei lagi, membuat mata Ferris
melebar. "Karena kasih saying mereka yang terlampau besar mungkin sudah membutakan
mereka." Ferris terdiam memikirkan kata-kata ibu Mei. Setelah dipikir-pikir, ia memang jarang bicara
dengan kedua orangtuanya. Saat ayah Nino ditangkap, Ferris percaya pada mereka untuk
menjauhi Nino. Saat Ferris menyesal, ia segera menyalahkan mereka dan menolak untuk
mempercayai mereka lagi. Ia mulai membenci orang dewasa dan mulai memutuskan semuanya
sendiri. Mungkin Ferris memang harus bicara dengan kedua orangtuanya dan membuat mereka percaya
pada keputusannya alih-alih membiarkan mereka memutuskan sesuatu untuknya. Mungkin
separah inilah rasanya menjadi dewasa.
Ferris menatap ibu Mei. "Terima kasih, Bu."
Ibu Mei balas tersenyum. "Ibu hanya ingin kamu jadi orang dewasa yang bisa berpikir jernih.
Dari cerita Mei, kamu ini benar-benar anak yang sangat baik. Jarang lho anak yang seumuran
kalian yang seperti kamu."
Ferris melirik Mei yang mengalihkan pandangan. "Mei cerita soal saya, Bu?"
"Hampir setiap hari," jawab ibu Mei membuat Mei melotot.
"Ibu!" serunya membuat Ferris nyengir. Mei lantas meliriknya. "Eh jangan ge-er ya, gue cerita
soal smeuanya kok!" Ferris terkekeh. "Iya iya."
"Ibu seneng Mei punya temen seperti kamu," kata ibu Mei lagi, membuat Ferris dan Mei
menatap nya. "Mei dan sekolah itu beruntung bisa mengenal kamu."
Mei mnegangguk setuju sementara Ferris hanya menggaruk tengkuk.
"Kalo nggak ada kejadian Nino dulu itu, kami nggak mungkin ketemu lo, Ris," kata Mei. Ia
sejenak mengambil jeda, tampak ragu. "Maaf kalo gue egois, tapi gue bersyukur orangtua lo dulu
nyuruh lo ngejauhin Nino."
Ferris menatap Mei tanpa berkedip, lalu akhirnya tersenyum, mengerti maksud anak perempuan
itu. "Everything happens for a areson," gumam Ferris, lebih pada dirinya sendiri. Mei mengangguk,
lalu ikut tersenyum. "Lo masih tetep supermen kan, Ris?"" tanya Mei. "Lo nggak akan berubah?"
Ferris menatap Mei, ibu Mei, lalu menggeleng. Mei balas menatapnya cemas.
"Gue akan jadi orang dewasa, Mei," jawab Ferris. "Kita semua bakal jadi dewasa. Kita harus
berubah. Ke arah yang lebih baik."
Mei tersenyum, lalu mengangguk. "Supermen yang jadi dewasa. Not bad."
"Dasar nggak mau kalah," tukas Ferris, memebuat Mei dan ibunya tertawa, lalu tanpa sengaja
melihat jam dinding. Hari sudah malam. Ferris harus segera pulang dan bicara dengan kedua orangtuanya.
Sebelum mereka kelewat khawatir dan melakukan hal-hal lain.
*** Nino melangkah tanpa semangat dijalanan yang gelap. Matanya menerawang, otaknya sibuk
berpikir. Ia barusaja pulang dari rumah Ferris, masih tak percaya telah menyampaikan apa yang
selama ini ingin disampaikannya.
Nino berhasil menyampaikannya keinginannya untuk berhenti ditanggung oleh kedua orangtua
Ferris. Nino ingin lepas dari cengkeraman mereka. Jika Ferris tidak memaafkannya pun, ia tetap
tidak ingin diatur oleh merreka. Nino harus membayar kesalahan yang pernah ia lakukan
terhadap Ferris. Nino berhenti melangkah. Ia menghela napas, lalu memijat dahinya yang mulai berdenyut. Jika
memikirkan Ferris, ia selalu pening. Nino tidak tahu bagaimana harus menghadapinya esok.
Nino mengangkat kepala, lalu menatap sebuah rumah bobrok yang berada beberapa meter di
depannya. Kepalanya semakin terasa berat. Masalah yang satu belum selesai, sekarang ada lagi
yang harus ia lakukan. Nino memaksakan kakinya untuk melangkah mendekati rumah itu, tapi ia terhenti tepat di depan
pintu. Ia mengernyit saat melihat asap tipis keluar dari sela pintu itu. Music dangdut tersetel
keras sehingga berdentum-dentum di gendang telinga Nino.
Nino mencoba membuka pintu rumahnya, tapi terkunci. Ia lantas berjalan memutar, menuju
jendela yang menghadap ruang tengah. Nino menem[elkan wajahnya ke jendela, memicing,
mencoba untuk menembus vitrage untuk melihat apa yang terjadi di dalam.
Ruang tengah bersinar temaram dan di penuhi kabut putih. Ayahnya tampak duduk di sofa,
sementara beberapa temannya tersebar di lantai. Mata Nino melebar saat melihat mereka
melakukan hal yang sama : menghisap ganja.
Nino undur teratur. Napasnya tercekat. Jantungnya mengalami percepatan gila-gilaan. Nino
segera terasuk keluar pekarangan,berjalan tak tentu arah di kegelapan malam. Keringat dingin
mulai mengucur di sekujur tubuhnya.
Ayahnya sedang pesta narkoba di rumah. Rumahnya. Rumah yang pernah ditempatiinya dan
ibunya. Rumah yang pernah menjadi satu-satunya tempat berlindung.
Ayahnya tak pernah belajar. Penjara tidak membuatnya belajar.
Nino terduduk di sebuah halte bus, oataknya terasa penuh hingga mau pecah. Genggamannya
terkepal keras sehingga seluruh tubuhnya bergetar. Ia bukannya tidak sadar beberapa orang
sudah menatapnya bingung.
Nino memejamkan mata, berusaha berpikir. Tapi sekeras apa un ia berpikir, jalan keluarnya tetap
satu. Nino menggigit bibir, lalu mengeluarkan dompet dari saku celananya. Ia lantas
mengeluarkan secarik kertas lusuh dari sana.
Nino menatap nomor yang tertera di kertas itu, lalu bangkit dan melangkah kea rah telepon
umum. Nino mengangkat gagang telepon, memasukkan koin dan menekan nomor sesuai dengan
yang ada di kertas. Nino benci menatap tangannya yang bergetar saat melakukannya.
Nino menunggu selama beberapa saat. Tak lama kemudian, telepon itu terhubung.
"Halo, Polda Metro Jaya. Ada yang bisa kami bantu?"
Nino memejamkan mata, lalu meneguk ludah. Ia tak tahu apa yang dilakukannya ini benar. Ia tak
tahu. Yang ia tahu, ia tidak bisa melakukannya sendiri. Ia tidak sekuat yang diduganya.
"Saya ingin melaporkan aktivitas mencurigakan" di rumah saya."
Part 19 Ferris menatap segumpal awan yang berarak di langit biru cerah. Pagi ini ia menyempatkan diri
naik ke atas gudang olahraga dan merebahkan tubuh. Ia ingin melepaskan penat sejenak,
sebelum masuk kelas dan kembali belajar.
"Eh, lo di sini ternyata."
Ferris menoleh, lalu mendapati kepala Mei muncul dari ujung lantai.
Anak perempuan itu nyengir. "Gue ganggu" Kalo iya, gue turun lagi."
"Nggak, naik aja," kata Ferris lalu kembali menatap langit.
Mei menatapnya ragu sejenak, tapi naik juga. Ia lantas duduk di sebelah Ferris yang tampak
nyaman berbaring di lantai semen kasar, hanya beralaskan selembar Koran bekas.
"Jadi. Apa yang terjadi tadi malem?" tanya Mei, tidak tahan untuk tidak bertanya. Semalan
setelah Ferris pulang, ia hanya memikirkan bagaimana anak laki-laki itu berhadapan dengan
kedua orangtuanya. Ferris mendengus. "Tumben lo perhatian."
Mei mencibir pada Ferris yang malah terkekeh. Beberapa saat kemudian, wajah anak laki-laki itu
jadi serius. Matanya menerawang menatap langit.
"Tadi malem terntaya Nino dateng ke rumah gue," kata Ferris membuat mata Mei melebar. "Dia
bilang" dia nggak butuh uang bulanan dari ortu gue lagi."
"Serius lo, Ris" Nino bilang gitu?"
Ferris mengangguk pelan. "Nino bilang mulai sekarang dia mau kerja dan bakal ngembaliin uang
dari ortu gue suatu saat nanti."
Mei terdiam selama beberapa saat untuk berpikir. Detik berikutnya, ia menoleh ceria. "Bagus
dong, Ris, artinya dia udah nggak terima perintah bokap lo lagi! Dia nggak akan ngejauhin lo
lagi!" Ferris tersenyum lemah, lalu menggeleng. "Ferris juga bilang ke ortu gue untuk tenang, karena
dia nggak akan ganggu hidup gue lagi."
Mei kambali terpaku, tak mengerti dnegan jalan pikiran Nino. "Dia masih dendam sama lo?"
Ferris menerawang, mengingat kejadian kemarin. Untuk pertama kalinya dalam beberapa tahun
ini, ia kembali mengingat sorot mata hangat yang dulu pernah Nino miliki. Melihat itu, Ferris
jadi ingin menyakinkan dirinya sendiri bahwa Nino sebenarnya sudah memaafkannya, tapi masih
merasabersalah padanya. Tapi Ferris tidak bisa. Nagaimana pun Nino tidak bersalah. Nino boleh balas dendam padanya
dengan cara apa pun. Ferris tidak akan keberatan.
Ferris melirik rambut panjang milik Mei, lantas teringat sesuatu. "Ibu lo udah baikan" Kayaknya
semalem udah agak segar, ya?"
Mei terkekeh. "Udah bisa terima orderan kue, malah."
"Orderan kue?" Ferris terduduk. "Ibu lo bikin kue buat dijual?"
"Dulu juga gitu, sebelum kena tumor," Mei menerawang sesaat, tapi lantas nyengir pada Ferris.
"Sekarang setelah sembuh, dia bisa bikin kue lagi."
Ferris mengangguk-anggik, sama sekali tidak tahu. Mei memperhatikannya ragu, lalu menghela
napas "Gue" akhirnya jujur sama nyokap tentang kerjaan gue," kata Mei, membuat Ferris menoleh
cepat padanya. "Terus?" "Yah, dia kecewa karena ternyata apa yang tetangga bilang sela ini benar," Mei menggigit bibir.
"Dan merasa bersalah."
Ferris memperhatikan Mei yang seperti sudah ingin menangis. Ferris mengerti perasaan ibu Mei.
Bukan pasti merasa beliaulah yang sudah membuat Mei terjun ke dunia pelacuran.
"Dan soal duit lo kemaren?" lanjut Mei. "Suatu saat gue kembaliin."
Ferris mengerjapkan mata. "Jangan bilang-"
"Gue mau bantuin nyokap gue bikin kue," sambar Mei sebelum Ferris selesai bicara. Mei lantas
terkekeh. "Tenang aja. Gue nggak akan kembali jadi pecun lagi, kok. Gue udah cukup
mengecewakan nyokap guue dan menghina diri gue sendiri."
Ferris menatap Mei, tak tahu harus berkata apa. Mei lantas membuang pandangan kearah gedung
sekolah. "Lo inget nggak waktu lo mau nyelametin gue di sini?" tanya Mei tiba-tiba. Ferris mengangguk
dengan tampang geli. Mei menoleh, lalu ikut nyengir. "Waktu itu gue pikir, lo pasti orang paling
bego sedunia. Lo seperti mau menyelamatkan seluruh dunia dengan sayap kecil lo."
Tampang Ferris berubah serius. Mei lantas mendesah.
"Waktu itu, jujur gue pikir, lo pasti nggak akan pernah berhasil. Impian lo setinggi langit.
Menyelamatkan sekolah ini sama dengan menyelamatkan dunia. Sayap kecil lo nggak akan
mampu," kata Mei, matanya menerawang. "Tapi ternyata, lo bener-bener supermen. Sayap lo
lebar. Sayap lo mampu menjangkau semua orang. Termasuk gue."
"Lo berlebihan, ah," tukas Ferris, Mei menggeleng.
"Gue" jadi punya keberanian lagi untuk punya cita-cita," Mei menatap Ferris. "Itu sesuatu yang
nggak pernah gue inpiin sekali pun. Itu semua karena lo."
Ferris balas menatapnya lama, lalu tersenyum. "Penulis scenario?"
"Mungkin nggak bakal kesampean sih, tapi yang penting gue harus nyoba untuk bikin mimpi gue
jadi nyata," Mei alu terkekeh, Ferris mengangguk-angguk.
"The future belong to those who believe in the beauty of their dreams," kata Ferris membuat Mei
mengernyit. "Salah satu kutipan favorit gue dari Eleanor Roosevelt. Artinya, masa depan itu
milik mereka yang percaya akan keindahan mimpi mereka."
Mei tersenyum lalu mengangguk pelan.
"Lo" bener-bener udah nyelametin gue, Ris," kata Mei. "Waktu itu, di sini. Lo bener-bener
nyelametin gue." Ferris menatap Mei sesaat, lalu mengacak rambutnya. "Nggak usah diulang-ulang, ah. Malu
gue." Mei membereskan rambutnya sambil menatap Ferris yang menggaruk tengkuk, tampak benarbenar malu. Mei lantas tersenyum melihat telinga Ferris yang memerah. Ketua OSIS-nya itu
benar-benar mudah ditebak.
"Nggak kerasa minggu depan udah UN, ya," kata Mei membuat Ferris mengangguk.
"Satu langkah lagi untuk lulus SMA," Ferris menatap awan yang berarak.
"Satu langkah lagi," ulang Mei. Ia tidak menyangka akan masih berada di sini saat sekolah ini
saat menghadapi masa terpentingnya : Ujian Nasional.
"Ferris!! Mei!!"
Ferris dan Mei saling tatap, merasa ada yang memanggil nama mereka. Mereka segera emnatap
ke bawah, dan mendapati Yasmine yang berdiri panik ke dalam ruang OSIS.
"Yasmine! Yas," seru Mei membuat Yasmine berhenti dan menoleh kanan kiri, panic. "Di atas,
sini!" Yasmine mendongak, lalu mendongak, bingung melihat Ferris dan Mei yang hinggap di atas
gedung peralatan olahraga. Yasmine lantas menggelengkan kepala, merasa ada yang lebih
penting. "Ferris! Turun!!" sahut Yasmine mmembuat Ferris dan Mei mengernyit. "Ini soal Nino!!
Ayahnya masuk penjara lagi!!"
Ferris terpaku untuk beberapa saat, mencoba untuk mencerna informasi baru itu. Ayah Nino di
penjara lagi " bukankah ayah Nino memang sedang di penjara"
"Ris!" seru Mei menyadarkan Ferris. Anak perempuan itu sudah berdiri dengan wajah cemas.
"Ayok!" Ferris mengangguk ling-lung, lalu mengikuti Mei turun.
*** Ferris mengikuti Mei dan Yasminemenuju kelas yang sudah ramai. Begitu masuk, anak-anak
ternyata sudah berkumpul di tengah ruangan dengan Haris sebagai pusatnya. Nino tidak tampak
di mana pun. "Nino mana?" tanya Ferris segera.
"Dia mau menyendiri," kata Yudhis dari pojok kelas sebelum Haris sempat membuka mulut.
Yudhis tampak segera bergabung dengan keramaian. "Jadi jangan diganggu."
Ferris menatap Yudhis, lalu melirik Haris. "Sebenernya ada apa?"
"Bokapnya Nino di gerebek polisi di rumahnya semalem," Haris segera menjawab dengan mode
bergospi. "Lagi pesta ganja."
Mata Ferris melebar. "Bukannya" bokapnya emang dipenjara?"
"Bokapnya dibebasin sebulanan lalu, kita juga baru tau sekarang," jawab Bowo membuat Ferris
terdiam. Ia jadi teringat saat Nino menjemur bajunya di depan gudang.
"Jadi itu sebabnya Nino tidur di kelas?" gumam Yasmine membuat semua orang menatapnya.
"Dan numpang di kosan gue," tambah Yudhis, membuat semua perhatian sekarang teralih
padanya. Semua anak-anak sekarang terdiam, sibuk berpikir masing-masing. Tahu-tahu Ferris berderap
keluar kelas. Tak ada satu pun yang repot-repot mencegahnya.
*** Ferris menatap Nino yang sedang duduk di kursi kebesarannya di bawah pohon rindang pinggir
lapangan. Ia tampak menerawang, matanya menatap lapangan yang gersang. Ferris menatapnya
ragu. Terakhir kali ia berusaha, Nino tetap tidak mau bicara.
Ferris menghela napas, lalu mengangguk mantap. Ia akan menyelesaikan semuanya. Sekarang,
atau tidak selamanya. Ferris melangkahnya kaki menuju Nino yang segera sadar. Nino bangkit, bermaksud pergi.
"No," tegur Ferris membuat Nino berhenti, tapi menolak untuk menatap balik. "Gue udah denger
soal bokap lo." Nino mengangguk-angguk tak sabar, lalu menatap Ferris bengis. "Terus?"
"Kali ini gue nggak akan menghindar lagi," kata Ferris tegas, membuat mata Nino melebar.
"Gue nggak akan mengulangi kesalahan yang sama. Kali ini gue udah cukup dewasa untuk
menentukan mana yang bener buat gue."
Nino mentap Ferris tanpa berkedip. "Lo dulu nggak salah. Seharusnya lo tetep nurut apa kata


Our Story Karya Orizuka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orangtua lo." "Lo kepengennya begitu?" sambar Ferris, membuat Nino meneguk ludah. "Supaya semuanya
lebih gampang buat lo jalanin?"
Nino hanya bisa membuka dan mengatupkan mulutnya kembali. Apa yang ia ingin
katakanberhenti hanya sampai tenggrokan.
"No, anggep aja kita impas," kata Ferris lagi. "Gue pernah salah, lo pernah salah. Kita berdua
dulu masih kecil. Sekarang, ayo kita mulai dari nol lagi."
Nino menatap Ferris nanar. Ia bisa melihat genangan air di depan matanya.
"Cih," desis Nino, lalu menyeka air matanya sembaranngan. "Sialan."
Ferris nyengir, lalu mendorong bahu Nino. Nino hanya balas menatapnya ragu. Nino tidak tahu
apakah keputusannya ini benar, tapi ia ingin seseorang yang bisa ia percaya. Ia ingin hidupnya
kembali. Nino tahu=tahu menarik kerah bahu Ferris dan mengcengkeramnya. Ferris menatapnya tak
percaya. "Lo belajar taekwondo demi ngalahin gue?" Nino menatap Ferris dari ujung kepala hingga ke
ujung kaki. "Cowok cantik kayak lo?"
Ferris melongo sesaat, tapi detik berikutnya sudut bibirnya terangkat. Ia lantas menepis tangan
Nino dan berhasil membalik keadaan dnegan menguncinya hingga sahabatnya itu mengaduh
kesakitan. "Nggak percaya lo" Gue sabuk hitam, tau!" seru Ferris sementara Nino meronta dnegan liar,
berusaha melepaskan diri. Mereka sama sekali tidak sadar kalau teman-teman sekelasnya sudah
mengintip dari gedung sekolah.
"Ya ampun, ternyata si bos sama ketua OSIS?" gumam Haris sambil memasang muka tak
percaya. Mei segera menatapnya sengit.
"Lo gila ya?" semprot Mei membuat Haris nyengir jahil. Mei mencibir, lalu melirik Yasmine
yang tampak sudah berkaca-kaca.
"Akhirnya?" gumam anak perempuan itu membuat semua oran menatapnya. "Akhirnya kedua
pahlawan kita bersatu juga."
Anak-anak kembali menatap kea rah lapangan, mendadak bisa merasakan yang Yasmine rasakan
saat melihat Nino dan Ferris yang masih sibuk adu kemampuan bela diri.
Baru kali ini mereka melihat Nino dan Ferris tersenyum selebar itu.
Part 20 Hari ini adalah hari pertama Ujian Nasional. Papan "harap tenang sedang ujian" sudah dipasang
di depan sekolah, dan murid-murid kelas sepuluh dan sebelas sudah diliburkan walaupun anak
laki-laki sempat mengajak dating untuk memberi semangat pada para seniornya.
Sekarang, kelas dubelas sibuk bukan main. Lima belas menit lagi ujian akan dimulai, dan
mendadak semuanya kena serangan panik.
"Pensil gue mana!!!"
Suara Sisca yang melengking teredam oleh kehebohan lain. Tidak ada satu pun yang mendengar
apalagi menjawab, karena semuanya sibuk masing-masing. Haris tampak berkomat-kamit,
berusaha menghapal majas-majas. Bowo sibuk mondar-mandir di depan kelas dengan buku di
tangan. Nino bahkan memainkan pensil dengan resah di bangkunya, matanya tertancap pada
buku. Ferris yang baru menyerut pensil di luar, menatap Nino geli.
"Kenapa, No" grogi?" tanyanya membuat Nino menatapnya sengit. Ferris terkekeh seraya
melangkah ke bangkunya. "Kalo ada yang nggak bisa tanya aja, ya."
"Mau lo," tukas Nino keki, membuat tawa Ferris semakin keras.
Ferris lantas duduk di bangkunya. Hari ini ia kelewat senang. Hari ini seperti klimaks dari segala
mimpi-mimpinya, seakan mimpinya tidak akan bisa lebih indah lagi. Dan ia tak mau terbangun.
Ia ma uterus bermimpi bersama teman-temannya yang berharga.
Tanpa sengaja pandangan Ferris bertemu dengan Mei yang sudah menatapnya penuh arti. Ferris
segera memijat pipinya sendiri, berusaha menghilangkan cengiran yang terus muncul sepagian
ini. "Bahagia bener kayaknya," goda Mei membuat Ferris berdeham, berusaha terlihat kalem. Mei
malah terkikik. Tahu-tahu, para pengawas muncul dari belakang Bowo. Anak itu segera berlari menuju mejanya,
dan seketika semua anak duduk rapi. Dua pengawas yang muncul menatap seisi kelas itu takjub.
"Ini" beneran sekolah Budi Bangsa kan, ya?" gumam salah satu pengawas itu, membuat anakanak saling pandang penuh arti.
"Padahal saya udah berharap bisa leyeh-leyeh," pengawas satunya balas berbisik.
"Silahkan aja, Bu, kalo mau leyeh-leyeh," timpal Haris membuat kedua pengawah itu mendelik.
Anak-anak segera tertawa geli.
"Yak, sekarang siapkan alat tulisnya, tasnya ditaro di depan," kata pengawas itu tegas, berusaha
mengembalikkan wobawa. "Udah kaleee?" timpal Bowo, membuat seisi kelas terbahak.
Pengawas itu menatap mereka sebal. "Kalau di antara kalian ada yang ketahuan mencontek,
tidak aka nada ampun."
Bowo mengedikkan bahu, sementara yang lainnya hanya saling lirik geli. Tak berapa lama,
pengawas mulai membagikan soal dan lembar jawaban.
"Yak, bisa dimulai," kata pengawas, membuat semua anak bersemangat membuka soal.
"FERRIS!!" sahut Heris tak lama kemudian, membuat semua anak berjengit kaget. "Masak soal
yang dilatihan lo ada di sini!!"
ferris bengong sesaat, melirik pengawas yang memicing curiga, lalu kembali menatap Haris yang
tampak kegirangan. Ferris lantas segera menempelkan telunjuk di bibir sementara anak-anak lain
terkikik. "Hayo, jangan rebut," tegur pengawas, heran melihat kelakuan anak-anak itu. Ia memang sudah
menduga aka nada keributan, tapi ia lebih mendugakalau ujian ini akan sepi peminat. Setidaknya
begitu menurut pengawas tahun lalu.
Dan ia lebih heran lagi saat seratus dua puluh menit berlalu tanpa kejadian berarti.
*** "Eh, tadi lo dapet sms ga dari si Tamagochi?"
Ferris menatap Mei ragu, lalu mengangguk. Saat ini sedang istirahat di antara ujian, dan anakanak tampak kembali sibuk.
"Kayaknya semua anak dapet, Ris," kata Mei lagi. :Coba lo tanya."
Ferris menghela napas. Ia benar-benar tak habis pikir dengan kepala sekolahnya. Kemarin, Tama
memang menjanjikan jawaban yang disebar lewat SMS setelah Ferris menolak permintannya
untuk menyebarkan jawaban. Sepertinya Tama memang benar-benar mengejar kelulusan supaya
sekolah ini kembali diminati.
"Ris, gue dapet SMS ini nih, tauk dari siapa?" Sisca tiba-tiba sudah ada di sebelah Ferris.
"Katanya buat ujian sosiologi."
"Eh, gue juga," Haris lantas mengeluarkan ponselnya dari saku. "Pengen gue salin sih, tapi kok
gue nggak yakin ya."
Semua anak sekarang menatap Ferris ingin tahu. Ferris meneguk ludah.
"Itu" dari kepala sekolah," jawabnya, membuat semua anak melotot. "Kemarin dia emang
bilang sama gue mau nyebarin jawaban."
Anak-anak bergerak-gerak resah sementara Ferris terdiam. Nino hanya mendengarkan mereka
dari bangkunya. "Kalo kalian mau salin, tinggal salin aja," kata Nino, membuat anak-anak menoleh padanya.
Nino lantas melirik mereka. "Tapia pa yakin lo-lo pada mau jawaban dari dia?"
Anak-anak saling lirik. "Jangan-jangan dia ngerjain sendiri, lagi," cetus Bowo membuat semua anak menatapnya. "Bisabisa kita malah nggak lulus."
Anak-anak mengangguk-angguk membenarkan, lalu kembali pada aktivitasnya masing-masing.
Ferris menoleh pada Nino untuk mengucapkan terima kasih, tapi anak itu sudah kembali sibuk
membaca buku. Tak lama kemudian pengawas muncul, dan semua nak segera duduk dnegan tertib. Reaksi kedua
pengawas itu pun kurang lebih sama dengan yang pertama, membuat anak-anak kembali
terkikik. Sepuluh meit pertama unjian, taka da yang berbicara. Semuanya sibuk membaca dan
menghitamkan lembar jawaban, hingga saat terdengar suara ponsel. Lagu "Baby" milik Justin
Bieber berkumandang di kelas, membuat anak-anak saling pandang ngeri.
"Hape siapa itu?" seru pengawas yang berkumis lebat. "Ayo, keluarkan!"
Sisca mengangkat tangan perlahan. "Hape saya, Pak, lupa dimatiin. Tapi ada di tas."
Pengawas berkumis itu menatapnya galak, lalu segera bergerak kea rah kumpulan tas yang
tergeletak di depan kelas. Ia mendengarkan satu per satu, lalu akhirnya mengangkat sebuah tas
pink dan mengeluarkan ponsel Sisca dari sana.
Ia ingin mematikan ponsel itu saat mendadak merasa penasaran. Ia membuka pesan yang masuk,
lalu meneliti pesan yang lain. Matanya langsung melebar. Ia lantas bergegas menghampiri rekan
pengawasnya, dan berbisik. Anak-anak menatapnya cemas.
Kedua pengawas itu kmeudian duduk di bangku masing-masing, sambil menatap anak-anak
dengan mata setajam elang. Dari apa yang mereka lihat di ponsel ini, mereka beranggapan anakanak itu pasti sudah menyiapkan jawaban, entah di mana. Dan mereka harus berhasilemnangkap
basah satu pun tindakan mencurigakan.
Tapi hingga jam ujian usai dan mata keduanya merah karena jarang berkedip, tak satu anak pun
yang bertindak mencurigakan. Mereka sekarang malah tertawa-tawa bebas, senang karena dua
mata pelajaran sudah dilalui. Kedua pengawas itu membereskan lembar soal dan jawaban sambil
saling lempar pandang bingung sementara anak-anak berjalan riang keluar kelas.
"Gile, Ris, lo mantep banget dah. Soal lo masa banyak yang keluar?" Haris merangkul bahu
Ferris sok akrab. "Padahal gue Cuma baca-baca soal latihan dari lo doing."
Ferris hanya menjawab dengan senyuman. Ia senang bisa membantu.
Yudhis menepuk bahu Ferris. "Thanksya, Ris."
Langkah Ferris mendadak terhenti. Sebelum ia sempat menjawab, teman-teman yang lain sudah
melakukan hal yang sama dengan Yudhis. Ferris hanya menatap mereka, tak tahu harus
bagaimana. Akhirnya, jerih payahnya selama ini terbayar. Dan rasanya sangat menyenangkan.
"Kenapa lo, terharu?"
Mei menyadarkan Ferris. Anak perempuan itu sudah nyengir jahil di sampingnya. Ferris balas
tersenyum simpul. "Jangan bangunin gue," katanya, kembali menatap anak-anak yang melangkah ceria di koridor,
sibuk membalas soal tadi. "Gue lagi bermimpi indah."
"Ini bukan mimpi," Nino tahu-tahu muncul dari belakangnya. "Ini kenyataan yang lo buat
sendiri." Nino menatap Ferris dengan seulas senyum, lalu berlalu sambil melambai.
"Ciieee," goda Yasmine yang sekarang ada di sebelah Mei. Anak perempuan itu menatap Ferris
penuh arti. "Yang udah baikan."
"Berisik, ah," Ferris menggaruk tengkuk, membuat Yasmine dan Mei yerkikik. "Ayo pulang."
Ferris melangkah mantap. Baru kali ini ia merasa langkahnya ringan saat menginjak sekolah. Ia
tak menyangka akan bisa merasakan perasaan seperti ini saat berjalan di sekolah ini. Perasaan
bangga. Ferris mungkin tidak akan bisa lebih bahagia lagi.
"WOY MAU APA LO!!"
Ferris tersentak saat tiba-tiba mendengar teriakan seseorang. Bulu kuduknya langsung
meremang. Sudah begitu lama ia tidak mendengar bentakan seperti itu. Yasmine dan Mei
sekarang sudah menatapnya dengan ekspresi ngeri.
Mereka berlari kea rah lapangan, yang sudah di penuhi kerumunan teman-temannya. Anak-anak
perempuan nampak merapat di belakang. Ferris menyeruak kerumunan itu, lalu terperanjat saat
melihat apa yng ada di hadapannya.
Segerombol anak laki-laki berseragam SMA urakan masuk dari ceruk sekolahnya,bersenjata
potongan besi dan kayu dengan mata berkeliaran buas. Salah satu dari mereka membawa papan
bertuliskan "harap tenang sedang ujian" milik sekolah, lalu mematahkannya jadi dua dan
melemparnya ke depan anak-anak.
"Nino kelluar!" seru seorang anak yang berjalan paling depan, dengan rambut ter cat cokelat dan
telinga penuh tindikan. Ferris serta merta menoleh kea rah Nino yang ada di sampingnya. Nino menatap gerombolan itu
nanar, lalu melangkah maju.
"No," seru anak-anak lain, tapi Nino tak mendengar.
Ia berdiri gagah di antara dua kerumunan itu dengan kedua tangan di dalam saku celana.
"Gue Nino," katanya dingin. "Ada perlu apa?"
Anak tadi tidak menjawab. Mereka tahu-tahu menyingkir, membiarkan seseorang lewat. Dan
Nino terkejut saat melihat Andre yang muncul dengan tampang garang.
Nino lantas tersenyum sinis. "Belom bisa ngomong, lo" Nyuruh orang lain ngomong?"
Andre tidak menjawab. Rahangnya yang bergeser membuatnya tak bisa bicara selama beberapa
waktu. Ia hanya menatap Nino sebengis yang ia bisa. Nino balas menatapnya geli. Kalau mereka
berulah lagi, kali ini Nino akan membuatnya tak sanggup berdiri.
Andre tahu-tahu tersenyum licik. Ia mengedik pada anak buahnya, lalu beberapa saat kemudian
mereka menyeret sesuatu danmenghempaskannya ke tanah di depan Nino. Nino harus
menyipitkan mata untuk menyadari apa, atau siapa, yang tersuruk di depannya.
"Kak?" Hening beberapa saat hingga terdengar suara seorang perempuan menjerit, menyadari apa yang
sedang terjadi. Randi, dalam keadaan tangan dan kaki terikat dan wajah berlumuran darah, meringkuk gemetar
di kaki Nino. Nino menatap adik kelasnya itu tak percaya, lalu perlahan mengangkat kepala
untuk menatap buas Andre. Andre malah tersenyum penuh kemenangan sementara anak-anak
buahnya tertawa. Nino menoleh pada Haris yang segera mengangguk dan melesat ke dalam sekolah. Tak lama
kemudian, Haris muncul dengan membawa tongkat baseball kebesaran Nino. Anak-anak lain
berjengit saat melihat tongkat itu muncul lagi setelah sekian lama tersimpan manis di pojok
kelas. "No!" seru Yasmine dan Ferris bersamaan, tapi Nino tak peduli dan meraih tongkat itu.
Anak-anak laki-laki sudah bersiap maju saat Nino menahan mereka dengan tongkatnya.
"Gue bisa sendiri," kata Nino membuat anak-anak itu melotot. Nino balas menatap mereka.
"Kalian jagain anak-anak lain aja."
Yudhis menatap Nino tak percaya, lalu melangkah pelan kea rah gerombolan di depannya. Tidak
seperti kemarin, sekarang Nino akan benar-benar menghabisi mereka sampai tidak ada yang
tersisa. Tahu-tahu, Andre dan gerombolannya membuat gerakan mencurigakan. Merek anampak
menyingkir dari ceruk. Dan berikutnya, muncul tiga laki-laki lain dari sana. Tampangnya lebih
garang dari Andre, tidak memakai seragam, dan ketiganya tampak penting.
"Wah, waah" pada ikut ujian ternyata," seru seseorang yang todak Nino kenal. Tubuhnya
pendek kekar, rambutnya berwarna cokelat muda, tangannya penuh tato. Ialantas menatap Nino.
"Lo pasti Nino."
Nno tak menjawab. Otaknya sibuk berpikir, di mana sebelumnya ia pernah mencari gara-gara
dengan orang-orang ini. Tapi tidak ada ingatan apapun tentang mereka. Tiga laki-laki di
depannya ini benar-benar asing.
"Berkali-kali gue tantangin, lo nggak pernah dateng," kata laki-laki lain gusar, membuat Nino
terkesiap. "Dan ternyata bukan cuma gue yang digituin. Emangnya lo apa, hah" Dewa?"
Nino meneguk ludah, sadar betul situasi ini. Tiga orang di depannya adalah ketua-ketua geng
yang pernah ditolaknya. Demi membalas dendam, sekarang mereka menggabungkan kekuatan.
"Denger?" Anak-anak di depannya sekarang bersuit sebelum Nino menyelesaikan kata-katanya, dan Nino
tahu itu bukan pertanda baik. Benar saja, detik berikutnya belasan anak-anak lain dengan
bermacam senjata di tangan masuk melalui ceruk sekolahnya. Sekarang jeritan teman-teman
perempuannya semakin keras.
Nino menatap nanar seketika lima puluh anak di depannya. Ia tidak mungkin sanggup mengatasi
lima puluh anak sekaligus. Tapi ia akan berusaha. Ini adalah masalah yang ia buat sendiri. Ia tak
akan melihatkan siapa pun.
Tahu-tahu Nino merasa bahunya ditepuk. Nino menoleh, lalu melongo saat mendapati Ferris
sudah ada di sampingnya. Di belakangnya anak-anak yang lain sudah bersiap-siap. Haris dan
Bowo tampak sibuk melemaskan otot leher dan jari.
"Anak-anak perempuan-"
"Liat ke belakang," potong Ferris membuat Nino menoleh ke belakan. Ia lantas terpaku saat
melihat beberapa anak laki-laki kelas sepuluh dan sebelas membuat semacam pagar di depan
anak-anak perempuan. "Mereka ternyata ada di belakang sekolah dari tadi, belum pulang."
Nino lantas menatap ke arah ank perempuan yang sibuk membantu Rendi melepaskan ikatan di
tangan dan kakinya. "Hei! Ada apa ini!"
Semua mata sekaang terarah pada para guru dan pengawas yang baru keluar dari gedung
sekolah. Tama melongo melihat gerombolan anak-anak asing di lapangan sekolahnya.
"Siapa kalian?" serunya pada para gerombolan itu. "Sana pergi! Atau saya panggil polisi!!"
"Panggil aja!" salah satu pimpinan geng balas menyeru. "Sebelum mereka dateng, kalian semua
udah abis!" Semua orang sekarang sudah menjerit ketakutan. Para guru segera sibuk menelpon dan
menenangkan murid-murid perempuan, sementara Tama malah kembali melesat masuk ke dalam
gedung. Nino tahu, bangunan sekolahnya yang hanya punya satu jalan untuk keluar suatu saat akan
membuat mereka dalam masalah besar. Dan saat inilah tepatnya. Seluruh penghuni sekolahnya,
teman-temannya, adik kelasnya, guru-gurunya, ada dalam masalah besar. Satu-satunya jalan
keluar mereka sudah dikuasai oleh gerombolan marah yang berbahaya.
"Kalian Cuma perlu sama gue, kan?" kata Nino geram. "Jangan sentuh siapa pun selain gue."
Gerombolan itu tertawa mengejek. Beberapa malah meludah secara terang-terangan.
"Gue nggak diperintah sama bocah kayak lo," kata salah satu pemimpin geng itu dingin. Ia lantas
melirik anak buahnya. "Maju."
Sesuai komando, beberapa laki-laki maju menyerang. Nino berdecak lalu tanpa menunggu apa
pun ia mengayunkan tongkat baseball-nya kea rah laki-laki pertama yang sampai. Laki-laki itu
terbanting keras ke tanah, pelipisnya memuncratkan darah segar.
Selama beberapa detik gerombolan itu terpaku menyaksikan laki-laki itu mengerang kesakita.
Detik berikutnya, amarah mereka tersulut. Mereka menatap Nino buas, seakan bisa menelannya
hidup-hidup. "Ini saatnya," gumam Nino. Cengkeraman pada tongkat baseball-nya mengeras. "Kalian siap"
Jangan biarkan mereka menyentuh sekolah kita."
Teman-temannya mengangguk dengan wajah penuh determinasi.
Nino lantas melirik Ferris. "Sori gue ngerusak hari ini, Ris."
Ferris balasmenatap Nino, lalu tersenyum lemah. "Menjaga sekolah kita dari gangguan luar juga
salah satu dari misi gue, No."
Nino menatap Ferris, lalu kembali menatap gerombolan marah di depannya. Laki-laki yang di
pukulnya tadi sudah di tarik kebelakang. Sekarang giliran pimpinan gengnya yang menatap buas.


Our Story Karya Orizuka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Satu detik berlalu. Dua detik. Tiga detik.
"SERAAAAAAAANG!!!!!!!!!" seru pemimpin itu, membuat jantung Nino terasa mencelos.
*** Satu detik berlalu. Dua detik. Tiga detik.
"SERAAAAAAAANG!!!!!!!!!" seru pemimpin itu, membuat jantung Nino terasa mencelos.
Apa yang terjadi selanjutnya persis dengan apa yang ia lihat di film. Gerombolan besar laki-laki
dengan adrenalin mengalir keras berlari sekuat tenaga ke arahnya. Lalu tanpa ampun, mereka
mulai memukul apa pun yang mereka lihat secara membabi buta.
Nino dan teman-temannya dengan segera menyebar, membuat gerombolan itu terbagi-bagi. Nino
bisa mendengar jeritan anak-anak perempuan di kejauhan, tapi ia sudah di kepung lima orang
sekaligus. Nino menghabisinya dalam sekali-dua kali pukulan, lalu membanting seseorang yang
sedang berusaha memukul Haris dengan gelondongan kayu.
Apa yang terjadi di sekitanya berlangsung cepat. Tariakan, jeritan, erangan, semua bercampur
menjadi satu. Hamper semua berseragam putih abu-abu. Nino sampai kesulitan membedakan
mana teman dan mana lawannya. Di kejauhan ia bisa melihat Ferris menghabisi tiga orang
sekaligus. Tahu-tahu, Nino merasakan sesuatu menghantam kepalanya. Nino mengusap kulit kepalanya,
lalu mengernyit saat melihat darah di telapak tangannya. Ia berbalik, lalu metanya melebar saat
melihat beberapa laki-alaki mulai melempar batu seukuran kepalan tangan dari ujung lapangan.
Beberapa batu malah sampai kea rah murid perempuan yang segera berlindung dengan tas
masing-masing. Nino berlari sekuat tenaga kearah para pelempar batu, lalu menghabisi satu per satu. Saat Nino
sedang menginjak tangan salah satu pelempar, ia menyadari kalau sekarang ia suah I kepung.
Nino mengangkat kepala, lalu menatap ke sekelilingnya nanar. Empat ketua geng termasuk
Andre sudah mengelilinginya dengan senyum licik. Nino berdecak. Mereka sengaja melempar
batu agar Nino terpisah jauh dari kelompoknya.
"Oke. Gue akan ladenin kalian semua," Nino mengayun-ayunkan tongkat baseball-nya. "Mulai
dari siapa?" "Pertama, lo liat ini dulu," jawab salah satu dari mereka sambil mengeikkan dagu kea rah ceruk.
Nino mengernyit, tapi mengikuti arah pandangannya juga.
Lutut Nino serasa lemas saat melihat apa yang dilihatnya. Sekitar dua puluh lagi laki-laki
bertampang preman muncul dari sana, dengan persenjataan yang sama. Mereka segera berlari
penuh semangat kearah anak-anak perempuan dan para guru yang segera masuk ke dalam
gedung sekolah untuk berlindung.
Nino melangkah, bermaksud untuk mencegah gerombolan beru itu, tapi dadanya di tahan oleh
balok kayu. Andre menggoyang-goyangkan jari telunjuknya.
"Urusan lo di sini," katanya susah payah, membuat Nino menatap nanar kea rah sekolahnya yang
luar biasa kacau. "FERRIS!" seru Nino sekuat tenaga, membuat Ferris yang sedang menolong Bowo menoleh.
Ferris menatap Nino bingung, lalu segera menyadari apa yang terjadi. Ia segera melessat kea rah
gedung sekolah. "Lo udah hancur, No," gumam Andre susah payah, membuat Nino kembali menatapnya. "Masa
kejayaan lo hancur. Akibat kesombongan lo."
"Jangan banyak omong lo, Ndre. Mau gue bikin nggak bisa ngomong selamanya?" balas Nino
geram. "Gue kasih."
Nino mengayunkan tongkat, tapi sebelum ia sempat mendaratkannya ke kepala Andre, rasa perih
luar biasa menyayat lengan kirinya. Nino lantas melotot saat mendapati salah satu ketua geng itu
sudah memegang belati. Nino manatap lengan kirinya yang sudah berlumur darah danberdenyut menyakitkan. Nino bisa
tahu seberapa dalam luka itu saat merasa tangannya gemetar dan mulai mati rasa. Ninomenatap
tajam ketua geng itu yang sudah meludah.
"Kagak seru banget sih" ternyata lo cuma segini doing," katanya mengejek. "Kalo gini gue
nggak susah-susah ngundang lo. Lo sama sekali bukan ancaman. Lo raja teri."
Empat laki-laki itu mulai terkekeh, dan Nino mengambil waktu itu untuk mencari tahu keadaan
sekolahnya. Gerombolan itu sudah berhasil menguasai sekolahnya. Semua anak, para guru, dan
pengawas sudah terkepung di tengah lapangan, di permainkan dan dipukuli. Ferris dan temantemannya masih berusaha melawan, tapi di mata Nino, mereka sudah kalah telak.
Nino memejamkan mata, tak mempedulikan darah dari lengannya yang sudah mengalir deras
dan menetes ke tanah. "Gue harus ngelakuin apa supaya kalian pergi dari sini?"
Empat laki-laki di sekelilingnya berhenti tertawa. Lalu menatap Nino tak percaya.
"Kalo gue bikin lo harus bersujud dan nyembah gue, lo mau?" tanya Andre, wajahnya nampak
bersemangat. Nino menatapnya nanar, lalu melirik teman-temannya. Ferris dan yang lainnya tampak membuat
lingkaran untuk melindungi anak-anak perempuan dan para guru serta terus berusaha melawan.
Sepintas Nino bisa melihat Yasmine yang masih melawat Rendi dan beberapa anak kelas sebelas
yang terluka. Wajah Anwar lantas terlintas di belak Nino.
Nino mendengus lalu menatap Andre. "Sampe mati puan, gue nggak mau."
Senyum di wajah Andre segera menghilang. Dan sebelum anak laki-laki sempat melakukan apa
pun, Nino sudah mendahuluinya dengan menonjok hidungnya hingga tersuruk ke tanah. Nino
lantas berlari sekuat tenaga menuju teman-temannya.
"NO! Lo nggak apa-apa?" seru Yudhis begitu Nino berhasil bergabung.
Ninomencengkeram lengan kirinya yang sudah bergetar hebat, lalu menggeleng. Ia lantas
menatap teman-teman dan gurunya yang semakin pucat pasi saat melihat luka itu. Nino balas
menatap mereka nanar. "Maaf, Pak, Bu," kata Nino serak, membuat semua orang melongo. "Maaf, semuanya."
"No, saya sudah panggil polisi," kata Arso yang pertama kali sadar. "Kamu tidak usah ladeni
mereka lagi. Sebentar lagi polisi pasti sampai."
Ninomenatap Arso, lalu mengangguk pelan. Pendangannya lantas bertemu dnegan Yasmine yang
sudah berlinang air mata. Nino mendekati anak perempuan itu, lantas menyerahkan tongkat
baseball-nya. Yasmine menerimanya ragu.
"Siapa pun yang ngedeketin lo, jangan ragu, pukul pake itu," kata Nino membuat Yasmine tak
percaya. Nino lantas tersenyum miris. "Sori, Yas."
Yasminebelum sempat beraksi, tapi Nino sudah berbalik. Lingkarang di sekeliling mereka
sekarang semakin merapat dan mendekat. Para ketua geng sudah bergabung dnegan mereka.
"Ckckck. Gue terharu sebenernya," komentar salah satu ketua geng itu. "Gue nggak nyangka lo
segitunya mau melindungi sekolah ini."
"Apalagi yang harus gue lindungin kalo bukan sekolah gue sendiri?" ujar Nino, membuat semua
orang menatapnya. Ketua geng itu tertawa mengejek, diikuti oleh semua gerombolannya. Ninomenggunakan waktu
itu untuk melihat keadaan temanp-temannya. Pelipis Haris tampak terluka dan Bowo tampak
terengah-engah kelelahan, tapi semuanya masih berdiri. Ferris malah terlihat nyaris tak tersentuh.
Ninomenghela napas lega, lalu mencoba untuk menggerakkan jari-jari tangan kirinya. Tapi
lengan itu sudah tak mau di ajak bekerja sama. Nino yakin ada ototnya yang putus.
"Sekolah sampah kayak gini sih, nggak usah lo lindungin!" seru ketua geng itu membuat Nino
kembali mengangkat kepala. "Sampah itu memang buat di buang!"
"Sampah buakannya nggak berguna!!" seru Yasmine tiba-tiba,membuat semua orang sekarang
menatapnya. "Sampah masih bisa di daur ulang, sampah masih bisa jadi baik! Memangnya
kenapa dengan sampah" Kalian yang jauh lebih buruk dengan sampah!"
"Wooow?" komentar ketua geng itu, takjub dengan keberanian Yasmine. Yang lain juga ikut
tertawa. Yasminemasih mencoba berdiri dengan susah payah, seluruh tubuhnya gemetar.
"Kalian anggep kami sampah" Silahkan! Tapi lantas kalian apa" Ngorek-ngorek tempat sampah"
Nginjak-nginjak sampah" Kalian yang kurang kerjaan!" seru Yasmine lagi, membuat
segerombolan itu terdiam, tidak menganggap ini lelucon lagi.
Ketua geng itu baru melangkah untuk menggapai Yasmine, tapi Nino sudah menghadangnya.
Sekarang ia berhadapan dengan Nino, yang seperti mendapat kekuatan baru. Kekuatan dari
ucapan Yasmine. "Langkahin mayat gue dulu," desis Nino.
Ketua geng itu melotot, lalu meyeringai. Detik berikutnya, ia melayangkan tinju kea rah Nino.
Nino dengan sigap menepisnya, lalu balas menyikut wajah laki-laki itu dengan sekuat tenaga.
Ketua geng itu ambruk dalam sekejap.
Menganggap itu komando tak langsung, gerombolan itu kembali menyeebu dengan ganas. Nino
dan teman-temannya kembali tercerai berai, memaksa gerombolan itu untuk tidak mendekati
murid perempuan dan para guru.
Yasmine masih berdiri di tengah kekacauan itu. Lututnya bergetar, tapi ia berusaha untuk
melindungi temna-temannya. Yasmine sama sekali tak tahu kalau tongkat baseball itu seberat ini.
Yasmine sama sekali tak bisa mengangkatnya. Atau mungkin tubuhnya yang begitu lemas
sehingga membuatnya harus bersusah payah henya untuk sekedar berdiri.
Yasmien kembali menatap teman-temannya yang sudah kembali tersebar. Adik-adik kelasnya
sudah banyak yang tergeletak di tanah. Para guru sibuk bersoa, beberapa malah sudah menangis
bersama murid perempuan yang lain.
"YASMINE! AWAS!"
Yasmine tersadar, lalu berbalik. Matanya melotot saat ketua geng yang tadi di pukul Nino
sekarang sedang berderap ke arahnya, dengan belati terhunus. Yasmien tidak sempat mengelak.
Ia memejamkan mata saat mendengar suara tusukan yang membuatnya mual.
Selama beberapa detik, Yasmine tak mendengar apa pun, atau merasakan apa pun. Begitu
mendengar seseorang menjerit histeris, baru Yasmine membuka mata. Dan ia terkejut saat Arso
sudah berdiri di depannya, menerima tusukan yang seharusnya ditujukan padanya.
Yasmine mundur beberapa langkah saat tubuh Arso berdebum ke tanah. Ia melihat sosok itu
tanpa berkedip. Seluruh tubuhnya terasa dingin dari ujung kaki hingga kepala. Detik berikutnya,
jerit mencekam yang bersahut-sahutan terdengar dari segala penjuru. Semua orang sekarang
berlari panik, mencoba untuk menyelamatkan diri.
Yasmie masih terhuyung saat Nino tahu-tahu muncul dan menendang ketua geng tadi hingga
terpelanting. Nino menatap tubuh Arso nanar, lalu segera menarik Yasmine menjauh,
danmenghabisi laki-laki tadi. Ia lantas terkepung oleh beberapa orang sekaligus.
Yasmine menatap Nino yang meronta, berusaha untuk melepaskan diri. Tapi anak laki-laki itu
tampak sudah tidak mampu lagi melawan. Ia sudah kehabisan banyak darah.
"Yasmine," seru seseorang membuat Yasmine menoleh. Ia melihat Ferris yang sedang
menghadapi beberapa orang sekaligus. "Cepat lari!!"
Yasmine mengedarkan pandangan. Ia bisa melihat Mei yang sedang menyingkir sambil
memapah Rendi bersama teman-temannya dan para guru. Yasmine mengangguk lalu mencoba
melangkah, tapi kakinya tak bisa digerakkan. Sekuat apa pun ia berusaha, kakinya seperti
terpaku ke tanah. Yasmien lantas menatap Nino yang sudah tersungkur di tanah.
Anak laki-laki itu sudah tak mampu melawan. Ia sudah lemas dan pasrah saat beberapa orang
menendang dan menginjak tubuhnya. Yasmine mendekap mulut melihat Nino, orang yang paling
kuat yang pernah dikenalnya, tergeletak mengenaskan di tanah, berlumuran darah.
Pandangan Nino bertemu dnegan Yasmine. Nino berusaha tersenyum sambil menahan sakit.
Mendadak kata-kata Yasmine terngiang di kepalanya.
Balas dendam itu nggak akan menyelesaikan masalah, No. balas dendam itu cuma akan
menimbulkan dendam baru yang nggak akan pernah ada habisnya.
Yasmine benar. Dendam tidak akanmenyelesaikan apa pun. Selama tidak ada pihak yang
menyudahi, denda ini seperti penyakit, yang akan terus menerus kambuh.
Nino merasa kepalanya diinjak oleh seseorang. Yasmien dengan segera terisak melihatnya,
genggaman pada tongkat baseball-nya mengendur. Kepalanya terasa berputar, dan lututnya tak
mampu lagi menahan tubunya. Ia jatuh terduduk di tanah.
Yasmine menatap gedung sekolahnya dengan pandangan kabur oleh air mata. Beberapa bulan
lalu saat pertama kali dating, ia tahu ada yang aneh dengan sekolah ini. Tapi ia tak pernah
menyangka, sekolahnya akan berakhir seperti ini. Berakhir dengan sebuah tragedi.
Dada Yasmine terasa sesak. Ia kesulitan bernapas. Segala jeritan dan suara pukulan bercapur
baur menjadi satu dnegungan keras di telinganya. Ia terhuyung, lantas ambruk ke tanah. Matanya
sekarang sejajar dengan mata Nino.
Dengan pandangan kabur, Yasmineb erkeras untuk menatap anak laki-laki di depannya itu.
Mereka mungkin tidak akan bertemu lagi untuk waktu yang lama. Dan Yasmine ingin
melihatnya selama yang ia bisa.
Perlahan kesadaran Yasmine menghilang. Suara dnegungan itu menjadi jauh, dan bayangan Nino
semakin pudar. Selanjutnya, semua menjadi gelap gulita.
Yasmine seperti berjalan di terowongan gelap yang tak berujung. Ia berjalan dan terus berjalan
hingga napasnya tersenggal, tapi terowongan itu taka da habisnya. Tahu-tahu ia seperti bisa
mendengar suara seseorang memanggilnya. Dan mendadak muncul seberkas cahaya dari ujung
terowongan itu. Yasmine membuka mata perlahaan. Yang pertama dilihatnya adalah wajah cemas Mei.
"Yasmine!" Mei menampar pipinya, membuatnya tersadar sepenuhnya. Mei segera membantu
Yasmine untuk duduk. "Mei?" "Tangkap yang itu!!!" seru seseorang, membuat Yasmine tak jadi bertanya, dan segera menoleh
untuk mencari tahu. Yasmine lantas menganga saat melihat kekacauan lain yang sedang terjadi
di lapangan sekolahnya. Puluhan aparat dari kepolisian sekarang sedang sibuk mengejar gerombolan yang sudah kocar
kacir ke segala arah, beberapa yang tertangkap segera dikumpulkan di tembok sekolah. Yasmine
terpekik saat melihat anak-anak sekolahnya ada di dalam kumpulan itu.
"Ferris!" sahut Yasmine tapi Mei segera mencegahnya.
"Biar aja, Yas, polisi harus menyelidikinya dulu," kata Mei membuat Yasmine manatapnya.
Detik berikutnya, ia teringat sesuatu. Ia memicing kea rah anak-anak yang tertangkap, mencaricari seseorang, lalu jantunganya mencelos saat emnyadari sesuatu.
"Nino!" serunya panic. "Mei, Nino di mana?"
Mei terdiam sesaat, lalu menggigit bibir. "Nino sama Arso-Pak Arso-di bawa ke rumah sakit,
Yas." Tubuh Yasminekembali terkulai lemas. Mei segera menahannya.
"Nino masih sadar waktu di bawa, lo jangan berpikiran buruk dulu," kata Mei, tapi tetap tidak
bisa menenangkan Yasmine. Ia sekarang menatap kosong para aparat yang sudah berhasil
mengamankan semua anak. Para wartawan sekarang sedang terlihat sibuk meliput, terutama saat Tama tampak pasrah
digiring keluar gedung sekolah oleh para polisi. Para pengawas dan guru yang tampak syok pun
tampak sedang dimintai keterangan. Suasana sekolahnya sekarang kacau balau dengan segala
orang sibuk di dalamnya. Yasmine lantas menatap Ferris yang ikut berlutut di pinggir tembok sekolahnya. Wajahnya
sudah penuh luka, seragamnya kotor, tapi ekspresinya tidak tampak marah. Tanpa sengaja, Ferris
menangkap tatapannya. Ferris, apa lo menyesal datang ke sekolah ini" Yasmine bertanya dalam hati, berusaha
menyampaikannya melalui tatapan metanya.
Ferris menatapnya untuk beberap alama, lalu tersenyum. Yasmine segera terisak, tahu apa
jawaban Ferris hanya dengan melihat senyumannya.
"Yas, lo kanapa" Ada yang sakit?" tanya Mei panik. Yasmine menggeleng, tubuhnya
berguncang keras. Yasmine tahu, ia datang ke sekolah ini untuk sebuah alasan. Semua anak datang ke sekolah ini
dan bertemu untuk sebuah alas an. Mereka semua masih berada di sini hari ini untuk sebuah alas
an. Masing-masing memiliki cerita. Masing-masing berbagi cerita. Masing-masing mendengarkan
cerita. Dan dari cerita itu, tidak akan berakhir sampai di sini. Cerita itu masih akan terus
berlanjut. Walaupun dengan cara yang sulit, cerita mereka akhirnya akan didengar.
Epilog Yasmine manatap plang sekolahnya yang masih berkarat dan terpasang miring. Bangunan di
depannya belum berubah. Jika ada sesuatu yang berbeda, hal itu adalah garis kuning yang
dipasangi polisi di sekelilingnya.
Enam bulan berlalu semenjak tragedi itu. Bangunan yang pernah menjadi saksi kehidupan masa
remaja mereka kini resmi ditutup. Semua orang masih melanjutkan hidup.
Yasmine menghela napas berat. Mungkin tidak semua.
"Ayo, Yas." Yasmine menoleh mendapati Ferris yang menepuk bahunya. Di sampingnya, Mei tersenyum
sambil membawa karangan bunga. Teman-temannya lantas duluan melangkah masuk ke dalam
gedung sekolah. Yasmine mantap mereka, lalu mengangguk pelan.
Yasmine melangkahkan kainya ke dalam gedung. Ia menapaki lantai berdebu yang dulu ia lewati
setiap hari. Sekolah itu sekarang terasa begitu berbeda. Angker, tidak ada tanda-tanda kehidupan.
Teman-temannya berhenti sebentar di depan kelas sebelah untuk meletakkan sebuah karangan
bunga untuk Anwar. Merek alantas melanjutkan perjalanan ke kelasmereka. Kelas yang penuh
kenangan bagi siapa pun yang hadir di sana.
Air mata Yasmine segera merebak saat memasuki kelas itu. Yasmine tidak menyangka akan
sangat meirndukan kelas ini.
"Kenpa gue jadi sedih, ya," kata Mei, memecahkan keheningan. Yasmine menolah padanya,
yang ternyata sudah duluan meneteskan air mata. "Gue nggak pernah suka sekolah. Tapi aneh,
gue kangen bangku gue."
Mei lantas melangkah pelan ke bangkunya, lalu duduk di sana.
"Ngapain aja ya, gue di bangku ini," Meimengelus permukaan meja yang penuh coretan. "Kalo
di jumlah dalam satu tahu, mungkin seminggu gue make bangku ini dengan semestinya."
Semua orang menatap Mei nanar, mengerti betul perasaannya.
"Gue" kangen seragam buluk gue," celetuk Bowo, membuat semua perhatian kini tertuju
padanya. Ia lantas menggaruk kepala, salah tingkah. "Seragam SMA lebih enak dipake dari pada
seragam bengkel." Anak-anak tersenyum menanggapi gurauannya. Ferris menatap satu lagi karangan bunga yang
dibawanya, lalu mulai melangkah. Anak-anak segera memberinya jalan.
"Untuk pahlawan yang sebenarnya," kata Ferris sambil meletakkan karangan bunga itu di meja
guru. "Pahlawan tanpa tanda jasa."
Semua naka sekarang kembali terdiam, mengenang Arso, guru mereka yang gugur saat tragedi
enam bulan lalu. Yasmine dengan segera terisak. Arso meninggal saat membelanya. Gurunya itu
meninggal karenamenggantikannya. Sampai sekarang pun, Yasmine masih merasa bersalah.
Harusnya ia yang meninggal, bukan Arso. Tapi enam bulan lalu, Ferris berkata padanya, kalau
nyawa yang telah Arso selamatkan, harus dapat dipertanggungjawabkan dengan baik. Dan
Yasmine akan membuktikanya. Yasmine akan hidup dengan baik. Untuk bagian gurunya juga.
"Yas," kata Ferris, membuat Yasminemngangkat kepala. Ferris tersenyum. "Habis ini kita harus
mengunjungi Nino. Lo nggak boleh keliatan habis nangis."
Yasmine terkesiap, lalu segera menyeka air matanya. Ferris benar. Ia tak akan menemui Nino
dengan wajah penuh ir mata. Yasmine akan bertemu Nino dnegan dirinya yang Nino kenal.


Our Story Karya Orizuka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Yasmine yang ceria. "Apa kabar, No?"
Ferris menatap Nino yang balas menatapnya dengan senyuman sumringah. Sudah terlalu lama
Ferris tidak melihatnya. Rambut Nino sekarang gondrong. Pada wajahnya tumbuh kumis dan
jenggot halus. Tapi badannya terlihat budar, di atas kaus berwarna biru tua itu.
"Baik," jawab Nino, membuat mata Ferris beralih dari kausnya . Lo?"
"Hm" Baik?" Ferris balas menjawab. Nino mengangguk-angguk.
"Jadi" Lo lulus?" tanya Nino lagi. Ferris mengangguk, membuat Nino segera menyengir. "Gue
tau lo bisa. Anak-anak yang lain?"
"Yang lulus UN ulang Cuma gue dan Yasmine. Yang lain kurang absensi tapi mau pada iukut
paket C nanti," jawab Ferris, lantas terdiam sesaat. "Lo" masih nggak mau ketemu Yasmine,
No?" "Gue nggak mau dia liat gue di tempat menyedihkan begini, Ris," Nino menyadarkan punggung,
menatap nanar sekelilingnya yang dipenuhi orang-orang berkaus biru tua. "Gue mau dia jalan
terus tanpa mikirin gue."
"Lo tau itu nggak mungkin," kata Ferris membuat Nino mengangkat kepala. "No, kita semua tau
alas an lo di sini. Kita semua tau. Yasmine nggak akan malu."
Nino mentap Ferris lalu menggeleng. "Gue tetep ada di sini. Di antara kumpulan berengsek ini.
Bareng orang-orang kayak bokap gue, Tama. Di bisa kabur kalo liat gue begini."
"Oh ya?" Ferris nyengir jahil, lantas mengedikkan kepala ke suatu arah. Nino memutar kepala,
lalu melongo saat melihat Yasmine ada di beberapa bangku di belakangnya, melambai dengan
senyuman. Nino sama sekali tidak menyadari kehadirannya.
"Ris, lo-" "Lo tau dia nggak akan bisa ngelupain lo," sambar Ferris sebelum Nno sempat menyelesaikan
kata-katanya. "Lo udah cukup berbuat banyak demi kita. Demi dia. Sedikit kebahagiaan aja, No.
lo pantes dapetin itu."
Nino menatap Ferris penuh harap, tapi akhirnya menggeleng. "Nggak, gue-"
"Lo tau" Cerita lo sama Yasmine, nggak bisa Cuma lo yang akhirin. Masih ada Yasmine yang lo
harus denger pendapatnya," kata Ferris lagi, membuat Nino kembali menatapnya. Ferros lantas
bangkit. "Kalo udah gitu, gue nggak bisa ikut campur lagi."
Ferris melambai pada Yasmine yang segera bangkit dan menghampiri mereka. Ferris melirik lagi
Nino yang tampak salah tingkah.
"No," kata Ferris yang membuat Ninomenatapnya. Ferris lantas tersenyum. "Gue harap akhirnya
happy ending." Nino menatap Ferris hingga ia keluar dari ruang kunjungan. Nino tidak pernah berharap akhir
ceritanya akan bahagia. Ia tidak berhak berharap seperti itu.
Yasmine tahu-tahu mncul dihadapannya, dengan senyum malaikatnya seperti biasa. Tanpa
berkata apa-apa, ia duduk di depan Nino, lalu meletakkan kotak makanan Hello Kitty dan
membukanya dengan bersemangat.
"Gue masakin spesial buat lo," katany membuat Nino melirik isinya. Nasi putih dnegan beberap
potong sosis goreng di bentuk gurita dan telur orang arik, persisi seperti yang pernah Yasmine
buat saat masih sekolah dulu.
Nino menatap anak perempuan di depannya nanar. Nino tahu, seharusnya ia tidak berharap. Tapi
delapan belas tahun hidupnya sudah sangat sulit. Bolehkah ia sedikit berharap sekarang"
"Setelah enam bulan nggak ketemu, lo cuma bisa bkin ini buat gue?" tanya Nino membuat
Yasmine melongo. "Udah mending gue bikinin!" sungutnya kesal, membuat Nino terkekeh. Anak perempuan itu
masih imut seperti dulu. Tangan Nino refleks terangkat untuk mengelus kepala Yasmine, tapi berhenti di udara. Nino
sudah akan menarik kembali tangannya saat Yasmine meraihnya dan menggenggamnya.
Nino mentap anak perempuan di depannya lama. Ia ingin memulai kembali semuanya. Ia ingin
menulis ceritanya di lembar baru.
Dimulai dengan kata "Yasmine". Dan diakhiri dengan "bahagia selamanya".
-END- Bara Di Kedung Ombo 2 Pendekar Budiman Hwa I Eng-hiong Karya Kho Ping Hoo Makam Ke Tiga 2
^