Pencarian

Bara Di Kedung Ombo 2

Joko Sableng 18 Bara Di Kedung Ombo Bagian 2


lagi bundaran asap putih pecah. Tapi bersamaan
itu sinar biru tersebut mulai ambyar. Ketika bundaran ketiga melesat, sinar biru
terang sudah membubung ke angkasa setelah sebelumnya kelu-
arkan letusan keras.
Sosok Ratu Pemikat tampak tersentak sentak
saat sinar biru yang keluar dari kedua tangan.
berbenturan dengan bundaran-bundaran asap pu-
tih. Dan begitu sinar biru terang perdengarkan letusan lalu ambyar, sosok Ratu
Pemikat terjeng-
kang. Saat itulah bundaran asap putih keempat
dan yang terakhir mencuat dari telapak tangan
Cucu Dewa. Ratu Pemikat memang masih bisa segera bang-
kit duduk dan angkat kedua tangannya siap le-
paskan kembali pukulan sakti 'Hamparan Langit'.
Namun gerakannya sudah sangat terlambat. Hing-
ga jalan satu-satunya selamatkan diri adalah ce-
pat berkelebat menghindar. Wuusss!
Bundaran asap putih keempat yang ternyata
membawa gelombang dahsyat berderak ganas. Ra-
tu Pemikat memang masih bergerak selamatkan
diri. Tapi kecepatan bundaran asap putih masih
menyambar kakinya, hingga sosok perempuan
bertubuh sintal itu terbanting!
Ratu Pemikat segera himpun sisa tenaganya.
Lalu dengan tubuh bergetar keras dan wajah pias
serta dada turun naik, dia bangkit. Tapi Ratu Pemikat terkesiap sendiri. Belum
sampai sosoknya
tegak, dua buah benda hitam yang tidak lain ada-
lah dua batu hitam melesat kencang laksana anak
panah. Ratu Pemikat cepat sentakkan kedua tangan-
nya untuk menangkis dua batu hitam. Namun
mungkin karena terlalu bernafsu, kedua tangan-
nya sudah menyentak sebelum dua batu hitam
sampai. Hingga begitu kedua tangannya telah me-
rentang ke atas, dua batu hitam melanggar bahu
kanan kirinya! Desss! Desss! Ratu Pemikat berseru keras. Sosoknya yang be-
lum sempat tegak terhuyung-huyung lalu roboh di
atas pasir. Dua buah batu hitam mental balik dan masuk kembali ke dalam mulut
Cucu Dewa. Ratu Pemikat rasakan dua bahunya tanggal.
Pada bahu kanan kiri pakaiannya tampak lobang
sebesar batu hitam yang tadi menghantamnya.
Kulit di balik lobang telah berubah menjadi hitam.
Menangkap gelagat bahaya pada kedua bahunya,
Ratu Pemikat cepat totok tempat sekitar kulit yang berwarna hitam. Lalu perlahan
lahan himpun tenaga dalamnya lagi. Tapi Ratu Pemikat sempat
tersentak tatkala mendapati dari mulutnya menge-
luarkan darah! "Tidak! Aku harus bertahan!" desis Ratu Pemikat sambil usap mulutnya. Lalu masih dalam kea-
daan terkapar di atas pasir matanya melirik ke
arah Cucu Dewa. Saat dilihatnya Cucu Dewa hen-
dak teruskan langkah, Ratu Pemikat cepat bangkit duduk.
Namun bersamaan dengan bergeraknya sang
Ratu, satu bayangan telah berkelebat dan tahu-
tahu Cucu Dewa sudah jongkok di samping Ratu
Pemikat Tanpa pikir panjang lagi Ratu Pemikat
hantamkan tangan kanannya ke arah kepala Cucu
Dewa yang jongkok di samping kirinya.
Cucu Dewa luruskan tangan kirinya ke atas.
Bukkk! Tangan kanan Ratu Pemikat mental balik. Ka-
rena begitu kerasnya hantaman Ratu Pemikat,
saat mental balik dia tak dapat menguasai diri,
hingga tubuhnya terputar lalu jatuh telungkup!
Cucu Dewa bergerak cepat. Sosoknya segera
mengangkang di atas tubuh Ratu Pemikat. Celana
hitam milik Raden Mas Antar Bumi yang tadi di-
buang begitu saja oleh Ratu Pemikat ternyata su-
dah berada di tangannya. Cucu Dewa segera ambil
kedua tangan Ratu Pemikat lalu disatukan ke be-
lakang dan diikat dengan celana hitam.
Ratu Pemikat berusaha meronta, namun Cucu
Dewa segera henyakkan pantatnya di punggung
sang Ratu hingga pada akhirnya Ratu Pemikat
hanya bisa berteriak teriak tanpa bisa berbuat
apa-apa. Cucu Dewa bergerak bangkit dari tubuh Ratu
Pemikat yang telungkup dengan tangan terikat.
Lalu perlahan-lahan laki-laki bertubuh pendek ini melangkah ke arah Dewa Orok
yang masih meng-geliat-geliat coba tarik kepalanya dari dalam pasir.
"Guru...!" seru Dewa Orok meski tadi sudah dapat menduga siapa adanya orang yang
menolong- nya. Cucu Dewa lintangkan jari telunjuk pada mu-
lutnya. Lalu tangan kanannya mengangkat kepala
Dewa Orok dari dalam pasir.
"Aku hanya menduga! Tapi kalau tak salah bukankah perempuan cantik itu yang
ambil dotmu"!"
tanya Cucu Dewa setelah Dewa Orok duduk.
"Benar!" sahut Dewa Orok sambil arahkan pandangannya pada Ratu Pemikat.
"Dia sudah kuikat! Karena ini urusanmu, kau tanyakan sendiri padanya!"
Dewa Orok menjura sejurus lalu melangkah ke
arah Ratu Pemikat yang ternyata telah duduk ber-
sandar pada batu.
"Ratu...," kata Dewa Orok sambil tersenyum.
"Jangan salah sangka. Aku tetap melupakan keja-dian beberapa waktu yang
lalu...." Dewa Orok jongkok di samping Ratu Pemikat lalu tatapi perempuan
berwajah cantik ini berlama-lama. Ratu
Pemikat arahkan pandangannya pada Cucu Dewa
yang kini duduk di atas batu sambil memandang
jauh ke hamparan pasir di depan kedung.
"Ratu.... Aku hanya ingin minta dotku kembali!"
Ratu Pemikat berpaling. "Aku tidak memba-
wanya!" suara Ratu Pemikat masih galak.
"Kau yang mengambil dotku, berarti kau tahu di mana tempatnya kalau saat ini
tidak kau bawa!
Kuharap kau mau bersamaku mengambil dot itu
di tempat kau sembunyikan...!"
"Barang itu tidak kusimpan!" sahut Ratu Pemikat. Dan diam-diam perempuan ini
dapat mene- bak kenapa begitu berartinya dot itu bagi Dewa
Orok. "Hem.... Mungkin dia tak dapat kerahkan tenaga dalam tanpa bundaran butut
itu! Tahu begitu, sudah sejak tadi dia kuselesaikan...!"
"Barang itu tidak kau bawa, barang itu tidak kau simpan. Lalu..."!" tanya Dewa
Orok. "Kau terlambat untuk memintanya! Barang itu sudah kuberikan pada seseorang!"
Wajah Dewa Orok seketika berubah. Kalau saja
perturutkan hati, ingin rasanya dia memaki. Na-
mun pemuda bertangan buntung ini masih ingin
menahan diri. "Kalau betul ucapanmu, harap kau katakan
siapa orang yang kau beri"!" Dewa Orok sengaja tidak mau bertindak kasar, karena
sekali dia kehi-langan jejak urusan dotnya, maka dia akan me-
nyesal seumur-umur
Di lain pihak, Ratu Pemikat memang akan
mengatakan terus terang siapa adanya orang yang
diberi. karena dia tahu, Dewa Orok atau Cucu
Dewa tak mungkin sanggup mengambil dot itu.
Seperti diketahui, dot itu telah diberikan pada Malaikat Penggali Kubur.
Ratu Pemikat alihkan pandangannya lalu ber-
kata menjawab. "Dotmu telah kuberikan pada Malaikat Penggali Kubur!"
Dewa Orok rasakan tengkuknya merinding.
Pemuda bertangan buntung ini cepat arahkan
pandangannya pada Malaikat Penggali Kubur yang
kini telah tegak di hamparan pasir di depan ke-
dung. "Celaka kalau ucapan perempuan cantik ini betul! Bagaimana aku bisa mengambil
dari tangan pemuda itu"! Bagaimana kalau pemuda itu telah
melumat lalu membuangnya" Jelek benar nasib-
ku...." Dewa Orok mengeluh dalam hati. Namun pemuda bertangan buntung ini tidak
begitu saja percaya. "Kau tidak berdusta..."!"
"Apa untungnya berdusta kalau hanya urusan
dot butut begitu"!"
"Hem.... Baik. Aku ingin tahu kebenaran ucapanmu!" kata Dewa Orok lalu sambil
tersenyum-senyum pemuda ini pandangi sekujur tubuh Ratu
Pemikat berlama-lama hingga Ratu Pemikat mera-
sa jengah. Apalagi mata Dewa Orok akhirnya ter-
henti pada dadanya!
"Apa yang hendak kau lakukan"!" sentak Ratu Pemikat.
"Kau harus mengambilnya dari tangan Malaikat Penggali Kubur sekarang juga!" kata
Dewa Orok masih dengan menatap dada Ratu Pemikat. "Jika tidak, kau punya dot
bukan"!"
Dahi Ratu Pemikat berkerut. "Apa maksud-
mu..."!"
"Kalau kau tidak berhasil mengambil kembali dotku, atau kau berani mendustaiku,
terpaksa aku minta ganti rugi kedua dotmu!"
"Aku tak punya dot! Dan aku tidak berkata
dusta!" "Kau punya dot! Dan mungkin itu lebih nikmat rasanya! Hik.... Hik.... Hik...!
Karena kau punya dua, aku tidak akan repot-repot lagi kalau satunya diambil
orang!" "Keparat!" maki Ratu Pemikat sambil sedikit lipat tubuh atasnya seakan hendak
tutupi dadanya yang membusung kencang.
"Bagaimana Ratu"! Kau berjanji mau ambilkan dotku, atau kau ganti saja dengan
kedua dotmu"!
Hik.... Hik.... Hik...!"
Tampang Ratu Pemikat merah padam. Pilihan
yang ditawarkan Dewa Orak adalah satu hal yang
tak mungkin bisa dilakukannya. Karena dia mak-
lum kalau Malaikat Penggali Kubur tidak akan
memberikan kembali dot itu. Namun kalau dia ti-
dak berhasil mengambil dot itu. ancaman Dewa
Orok mungkin tidak main-main. Berpikir sampai
ke situ, Ratu Pemikat tampak menggigil.
Rupanya Dewa Orok dapat menangkap apa
yang terpikir dalam benak Ratu Pemikat.
"Ratu.... Kau tahu bagaimana cara memberi-
kan, pasti kau juga tahu bagaimana cara men-
gambil kembali....'
"Itu dua hal yang berbeda!" sahut Ratu Pemikat.
"Ah.... Betul! Tapi itu urusanmu! Atau kau lebih suka memberikan kedua dotmu"!"
Karena merasa tidak berdaya, dan menduga
masih punya kesempatan seandainya dirinya di-
bebaskan, Ratu Pemikat segera angkat bicara.
"Baik! Aku akan ambilkan dotmu! Tapi le-
paskan dahulu ikatan jahanam ini!"
Dewa Orok gelengkan kepala. "Kau dan aku
punya urusan dot! Sedangkan urusan ikat mengi-
kat ini adalah urusanmu dengan orang itu!" Dewa Orok arahkan pandangannya pada
Cucu Dewa. "Silakan kau berurusan dengannya!"
Habis berkata begitu, Dewa Orok bangkit lalu
melangkah ke arah Cucu Dewa yang sedang du-
duk di atas batu paling depan dari kawasan berba-tu sebelah kanan kedung yang
menghadap ham- paran pasir. Dewa Orok hampiri Cucu Dewa lalu duduk ber-
dampingan. Saat itulah Cucu Dewa buka mulut.
"Ratu.... Kau hendak berurusan denganku. Mengapa masih diam di situ"!"
Ratu Pemikat memaki dalam hati lalu perlahan-
lahan bangkit dan melangkah ke tempat Dewa
Orok dan Cucu Dewa duduk berdampingan.
"Kuharap kau duduk di depanku...," ujar Cucu Dewa. 'Duduk bersimpuh dan
menghadap ke depan sana...." Cucu Dewa lanjutkan ucapannya begitu Ratu Pemikat
tegak di belakangnya.
Sejenak Ratu Pemikat pandangi punggung ke-
dua orang di hadapannya dengan mata terpentang
besar. Sekilas terbersit dalam hati untuk menen-
dang Cucu Dewa dari belakang. Namun begitu ka-
ki kanannya terangkat, Cucu Dewa telah buka
mulut. "Jangan terlalu memaksakan diri, Ratu.... Urusan kita hanya urusan sepele. ..
Tidak pantas kalau harus ditebus dengan darah..."
Ratu Pemikat urungkan gerakan kakinya. Lalu
perlahan-lahan melangkah ke hadapan Dewa Orok
dan Cucu Dewa. Dengan tampang merah padam
dan pucat, perempuan bertubuh bahenol itu du-
duk bersimpuh di bawah Dewa Orok dan Cucu
Dewa menghadap hamparan pasir. Saat itulah
kemudian Cucu Dewa berteriak hingga semua
orang yang berada di tengah hamparan pasir ber-
paling, kecuali Iblis Rangkap Jiwa yang pejamkan mata karena berusaha buyarkan
totokan yang bersarang di tubuhnya.
* * * TUJUH "CUCU Pangeran!" teriak Dewa Orok pada Ma-
laikat Penggali Kubur. Karena urusanku sepele,
aku sungkan mengatakannya dengan berteriak.
Jadi biarlah gadisku ini saja yang mengatakannya padamu!" Habis berkata begitu,
Dewa Orok berkata pada Ratu Pemikat. "Ratu.... Katakan padanya apa yang
kuinginkan! Jangan keras-keras kalau
bicara! Jadi mendekatlah ke sana!"
Ratu Pemikat merasa lega, karena dengan
mendekat ke Malaikat Penggali Kubur setidaknya
kesempatan untuk bisa lepas dari cengkeraman
dan ancaman Dewa Orok lebih besar. Namun pe-
rasaan lega Ratu Pemikat jadi pupus tatkala begi-tu dia beranjak bangkit, Cucu


Joko Sableng 18 Bara Di Kedung Ombo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dewa telah berujar.
"Ratu.... Ini adalah kesempatan baik bagimu!
Harap jangan kau balas kebaikan ini dengan tipu
muslihat! Kalaupun kau berbuat curang, kau tak
akan bisa berbuat banyak! Setinggi apa pun ilmu
pemuda di depan sana itu, tapi aku masih sangsi
apakah ia mampu melepas ikatan pada kedua
tanganmu!"
Ratu Pemikat kerutkan dahi. Apa yang baru sa-
ja dikatakan Cucu Dewa memang benar jadi ke-
nyataan. Tapi setidaknya dia sudah bisa meraba-
raba. Karena sebenarnya dia tadi sudah kerahkan
tenaga dalam untuk lepaskan ikatan pada kedua
tangannya. Kalau hanya ikatan biasa, sekali sen-
tak tentu sudah lepas bahkan kain pengikatnya
akan putus. Namun yang dirasakannya tadi adalah aneh.
Semakin dia kerahkan tenaga dalam untuk mele-
pas ikatan, ikatan pada kedua tangannya semakin
kencang! "Ratu... Harap kau segera menghadap pemuda
itu. Kulihat dia menunggu!" ujar Dewa Orok tatkala dilihatnya Ratu Pemikat belum
mulai melang- kah. Ratu Pemikat sentakkan kaki kanannya lalu
melangkah ke arah Malaikat Penggali Kubur. Begi-
tu lima langkah di hadapan si pemuda, Ratu Pe-
mikat hentikan langkah. Tapi belum sampai pe-
rempuan ini buka mulut, tiba-tiba Raden Mas An-
tar Bumi sudah angkat bicara.
"Celanaku.... Celanaku! Aduh, permainan apa yang diperlihatkan temannya Teman
Lama kita itu"!" Tanpa menunggu sahutan, orang ini lantas arahkan pandangannya pada Dewa
Orok. "Hai,
Teman Lama! Apa yang diperbuat temanmu itu"!
Bagaimana kalau celanaku rusak?"
"Teman Lama!" sahut Dewa Orok, "Apa yang diperbuat temanku ini hanyalah satu
permainan ta- li-temali! Kau tak usah khawatir. Celanamu tidak akan rusak!"
Raden Mas Antar Bumi menoleh pada Raden
Mas Antar Langit yang masih sama-sama mem-
buat sikap merangkak. "Kau bisa jamin kalau celanaku tidak rusak"!"
"Jangan kau pikirkan celana butut bau itu! Ingat. nyawa kita berdua di ujung
kepala! Ayo kita
maju!" Kedua orang berwajah hitam akhirnya bergerak
kembali merangkak ke arah Malaikat Penggali Ku-
bur. Namun Malaikat Penggali Kubur segera mem-
bentak. "Diam di tempat kalian dahulu!"
Kedua orang berwajah hitam sama hentikan
rangkakannya. Saling pandang sejenak lalu ham-
pir bersamaan keduanya angkat tubuh atas mas-
ing-masing lalu duduk bersila sejarak dua belas langkah dari Malaikat Penggali
Kubur. Tidak jauh dari kedua orang berwajah hitam,
murid Pendeta Sinting berpaling pada Putri Sab-
leng yang masih tegak sendirian di kawasan ber-
batu sebelah kiri kedung. "Sulit menduga apa maksud sebenarnya gadis sableng
itu! Hem.... Sebenarnya dia gadis cantik. Dan terus terang aku
selalu teringat padanya! Hanya sikapnya terlalu
usil malah terkadang menjengkelkan! Hem...."
Sementara merasa dirinya dipandang murid
Pendeta Sinting, Putri Sableng angkat kedua tan-
gannya lalu diletakkan di pinggang kiri kanan. Sepasang matanya menyorot tajam
balas meman- dang. Namun saat lain tiba-tiba gadis berjubah
merah ini tertawa cekikikan! Membuat Joko segera palingkan kepala. Suara tawa
cekikikan membuat
kedua orang berwajah hitam segera menoleh pada
Putri Sableng. Salah seorang dari keduanya tam-
pak buka mulut, namun suaranya sudah terbe-
nam dalam suara Malaikat Penggali Kubur yang
saat itu tiba-tiba sudah membentak.
"Perempuan binal! Kau bukan saja telah menipuku, tapi juga membuatku malu!"
"Jangan salah sangka. Aku tidak menipu!
Hanya dugaanku salah...."
Malaikat Penggali Kubur tersenyum aneh lalu
melangkah mendekati Ratu Pemikat. Tengkuk pe-
rempuan ini sudah dingin. Kedua lutut kakinya
tampak bergetar.
"Kalau dugaanmu salah, lalu apa, hah"!"
"Hem.... Ternyata perempuan itu memang kaki tangannya Malaikat Penggali Kubur.
Dan mungkin dia yang mengatur pertemuan ini! Tapi apa mak-
sudnya..."!" Murid Pendeta Sinting diam-diam membatin.
"Aku tanya! Setelah dugaanmu salah, lalu apa, hah"!" Malaikat Penggali Kubur
membentak lagi.
Tangan kanannya sudah terangkat mengepal.
Tanda kalau pemuda ini siap lepaskan pukulan
Telaga Surya'. Ratu Pemikat rasakan nyawanya sudah putus.
Dia cepat jatuhkan diri. Lalu berkata. "Aku sudah berusaha, tapi aku gagal! Kini
dia inginkan kembali dotnya yang pernah kuberikan padamu...."
Malaikat Penggali Kubur selinapkan tangan ki-
rinya ke balik jubah putih yang dikenakan. Lalu
ditarik lagi dengan telapak mengepal seolah di dalam kepalan tangannya berisi
sesuatu. Tangan kiri yang mengelap diangsurkan ke de-
pan membuat gerakan seperti orang memberi. Ra-
tu Pemikat angkat kepalanya dengan bibir terse-
nyum. Namun senyum Ratu Pemikat terputus.
Bersamaan dengan bergeraknya tangan kiri ke de-
pan, tangan kanan yang berada di atas udara ber-
gerak memukul! Wuuttt!
Satu cahaya terang berkiblat sekejap. Lalu satu
sapuan gelombang melanda ganas ke arah Ratu
Pemikat. Malaikat Penggali Kubur benar-benar te-
lah lepas pukulan sakti Telaga Surya'.
Dalam keadaan biasa saja mungkin Ratu Pemi-
kat sudah tidak mampu menghadapi sapuan ge-
lombang yang kini melandanya walau dia meng-
hadang pukulan orang dengan pukulan andalan-
nya 'Hamparan Langit'. Apalagi kini pukulan orang itu menyapunya sementara dia
dalam keadaan terikat dan tenaga dalamnya sudah terkuras saat
menghadapi Cucu Dewa. Hingga yang dapat dila-
kukan perempuan cantik bertubuh sintal ini pen-
tangkan mata menjemput ajal!
Semua orang di sekitar kedung tampak sama
kancingkan mulut dengan mata membelalak. Me-
reka sama sekali tidak menduga apa yang akan di-
lakukan Malaikat Penggali Kubur.
Namun tiba-tiba kedua orang berwajah hitam
membuat gerakan. Bersamaan waktunya, murid
Pendeta Sinting juga gerakkan kedua tangannya.
Begitu sejengkal lagi sosok Ratu Pemikat tersa-
pu gelombang yang datang dari kepalan tangan
Malaikat Penggali Kubur, mendadak satu sinar
kuning menyambar. Saat yang sama, dua gelom-
bang dahsyat juga menyambar dari arah depan
Malaikat Penggali Kubur. Sinar kuning bergerak
menyapu ke arah pukulan 'Telaga Surya' yang di-
lepaskan Malaikat Penggali Kubur, sementara dua
gelombang yang datang bersamaan langsung me-
nyapu ke arah sosok Malaikat Penggali Kubur dan
satunya ke arah Ratu Pemikat.
Bummm! Wuusss! Wuuuss!
Terdengar ledakan tatkala pukulan 'Telaga
Surya' Malaikat Penggali Kubur terpangkas sinar
kuning. Saat bersamaan Malaikat Penggali Kubur
cepat melompat ke samping kanan selamatkan diri
dari gelombang yang menggebrak.
Di depan sana, sosok Ratu Pemikat mencelat
mental lalu terkapar di atas pasir karena terhantam bias bentroknya pukulan dan
tersambar ge- lombang yang rupanya sengaja diarahkan tidak
mengenai tubuhnya. Meski Ratu Pemikat selamat,
namun karena dia sudah terluka dalam dan waktu
terjadinya bentrok pukulan dia sama sekali tidak kerahkan tenaga dalam untuk
lindungi diri, maka
menghantamnya bias pukulan membuat Ratu Pe-
mikat muntahkan darah segar.
Kepala Malaikat Penggali Kubur laksana disen-
tak setan berpaling ke depan. Dia tampaknya su-
dah tahu siapa saja yang baru memangkas puku-
lan dan menghantam tubuhnya. Bersamaan den-
gan bergeraknya kepala si pemuda, Raden Mas
Antar Bumi berkelebat. Bukan ke arah Malaikat
Penggali Kubur, melainkan ke arah Ratu Pemikat.
"Maaf...," ujar Raden Mas Antar Bumi pada Malaikat Penggali Kubur meski saat itu
Malaikat Penggali Kubur tidak mengacuhkannya. Si pemu-
da tengah memandang ke arah murid Pendeta
Sinting! Namun Raden Mas Antar Bumi lanjutkan
ucapannya. "Cucu Pangeran!" kata Raden Mas Antar Bumi ikut-ikutan memanggil seperti Cucu
Dewa. "Kau tadi telah melihat aku hendak lakukan apa yang
kau ucapkan. Kalau aku tiba-tiba lancang tangan
tadi, semata-mata karena aku tak mau celanaku
ikut rusak! Aku tahu, pukulanmu hebat...." Lalu enak saja orang ini lepas ikatan
pada kedua tangan Ratu Pemikat yang saat itu terkapar di atas
pasir dengan mulut kucurkan darah.
Namun rupanya Raden Mas Antar Bumi gagal
lepaskan ikatan celananya pada kedua tangan Ra-
tu Pemikat. Hingga dia cepat menoleh pada Dewa
Orok dan Cucu Dewa.
"Hai...! Salah satu kalian yang mengikat. Kuharap salah satu dari kalian mau
lepaskan ikatan
ini!" Cucu Dewa gerakkan kedua tangannya. Lalu
lepas ikatan pada ujung bajunya yang ternyata tidak terikat satu sama lain.
Begitu ikatan pada
ujung bajunya lepas, secara aneh tiba-tiba ikatan celana pada kedua tangan Ratu
Pemikat mengen-dur.
Raden Mas Antar Bumi tak menunggu. Dia ce-
pat buka ikatan celana hitamnya pada kedua tan-
gan Ratu Pemikat. Dia sejenak tampak bimbang.
"Apa harus kukenakan di sini..."!" Tapi orang ini tidak bisa berpikir panjang.
Karena dilihatnya Malaikat Penggali Kubur sudah angkat kedua tan-
gannya. Hingga celana hitamnya segera dikalung-
kan pada lehernya lalu dia melompat dan duduk
di samping Raden Mas Antar Langit.
Saat itulah, Malaikat Penggali Kubur sentakkan
kedua tangannya yang mengepal ke arah Pendekar
131! Wuutt! Wuuutt! Dua cahaya terang berkiblat sekejap. Lalu dua
gelombang dahsyat melabrak. Tidak hanya sampai
di situ. Begitu lepas pukulan 'Telaga Surya' ke
arah murid Pendeta Sinting, Malaikat Penggali
Kubur kembali angkat kedua tangannya lalu serta-
merta melabrak kedua orang berwajah hitam den-
gan pukulan 'Telaga Surya'!
Kedua orang berwajah hitam terkesiap. Kedua-
nya cepat berseru lalu rebahkan tubuh masing-
masing sejajar pasir. Tangan masing-masing orang bergerak mendorong.
Di sebelah samping, murid Pendeta Sinting tak
mau berlaku ayal. Sapuan gelombang yang men-
cuat dari kepalan kedua tangan Malaikat Penggali Kubur bukan lagi seperti sapuan
gelombang yang melesat dari tangan Malaikat Penggali Kubur beberapa waktu yang lalu meski
pukulan yang dilepas
tidak beda. Pendekar 131 segera sentakkan kedua tangan-
nya kirimkan pukulan 'Lembur Kuning'. Sementa-
ra dari tangan masing-masing orang berwajah hi-
tam tampak menderu sapuan angin deras menyu-
sur pasir menyongsong sapuan gelombang dari
kedua tangan Malaikat Penggali Kubur.
Di atas hamparan pasir depan kedung tampak
beberapa gelombang saling melesat. Lalu tampak
semburatan sinar kuning. Saat lain terdengar dentuman tiga kali berturut-turut.
Air kedung bergelombang. Pada salah satu bibir
kedung tanahnya tampak langsung longsor. Ham-
paran pasir di depan kedung pekat tertutup ham-
buran pasir. Sosok murid Pendeta Sinting terseret empat
langkah. Wajahnya langsung berubah pucat. Tu-
buhnya bergetar. Kedua orang berwajah hitam
bergulingan di atas pasir lalu sama telentang dengan napas megap-megap. Di
sebelah depan, sosok
Malaikat Penggali Kubur terhuyung namun pemu-
da ini cepat dapat kuasai diri.
Malaikat Penggali Kubur tegak dengan seringai
dingin. Memandang satu persatu pada murid Pen-
deta Sinting dan dua orang berwajah hitam. Men-
dadak pemuda ini perdengarkan tawa bergelak, la-
lu berucap lantang.
"Pendekar 131! Purnama ini akan jadi saksi
bahwa Malaikat Penggali Kubur layak jadi raja di raja rimba persilatan! Tapi aku
adalah raja rimba persilatan yang masih bisa diajak berdamai! Nyawamu kuampuni!"
Malaikat Penggali Kubur hentikan ucapannya sejenak sebelum akhirnya melan-
jutkan. "Tapi serahkan dahulu kedua kitab dan pedang bututmu!"
Pendekar 131 tertawa pendek. "Purnama Ke-
dung Ombo juga akan jadi saksi, bahwa kau
hanya seorang pemimpi besar! Kusarankan pada-
mu, letakkan Kitab Hitam yang ada di balik pa-
kaianmu! Lalu kau boleh pergi!"
Malaikat Penggali Kubur perkeras gelakan ta-


Joko Sableng 18 Bara Di Kedung Ombo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

wanya. "Ternyata kau manusia serakah! Dua kitab sudah di tangan tapi masih
inginkan kitab di tangan orang lain! Aku telah tawarkan pengampunan
nyawamu. Tapi manusia serakah sepertimu me-
mang tidak pantas dapat ampunan! Pengampunan
kuubah jadi perintah sesuai titah dari liang lahat!"
kembali Malaikat Penggali Kubur hentikan uca-
pannya. Memandang tajam pada murid Pendeta
Sinting lalu lanjutkan ucapan. "Sesuai perintah dari Liang lahat, sebenarnya
tanganku tidak sulit mencabut selembar nyawamu, tapi aku ingin kau
cabut nyawamu dengan tanganmu sendiri! Laku-
kan!!" "Kau telah memaklumkan sebagai raja di raja rimba persilatan. Adalah hal aneh
kalau kau takut cabut nyawaku! Aku khawatir kalau ucapanmu
hanya karena untuk menutupi ketakutanmu!"
"Kitab Hitam adalah kitab di atas segala kitab!
Bagi Malaikat Penggali Kubur, tidak ada yang per-lu ditakutkan! Tanganku punya
kekuatan!"
"Aku ingin tahu sampai di mana kekuatan tanganmu!"
Malaikat Penggali Kubur katupkan rahang. Ka-
ki kanannya bergerak menghentak. Bersamaan itu
dari mulutnya terdengar bentakan keras. Sosok-
nya melesat ke depan. Sejarak lima langkah dari
murid Pendeta Sinting, dia lepaskan pukulan
'Telaga Surya'. Begitu kedua tangannya luruh,
tangan kirinya segera mengusap perutnya di mana
tersimpan Kitab Hitam.
Semua orang yang ada di Kedung Ombo seakan
terkesima dengan apa yang dilakukan Malaikat
Penggali Kubur, hingga tak ada satu pun yang
membuat gerakan. Mereka semua hanya meman-
dang dengan mulut terkancing. Sementara dari
kedua tangan Malaikat Penggali Kubur telah men-
deru gelombang angin dahsyat begitu dua cahaya
terang yang sekejap berkiblat telah lenyap. Belum sampai gelombang menyapu
sasaran, terdengar
suara deruan perlahan. Anehnya gelombang yang
melesat pertama laksana didorong kekuatan luar
biasa dahsyat, hingga daya lesatnya dua kali lipat!
Pendekar 131 yang sedari tadi sudah siapkan
pukulan segera lepaskan 'Lembur Kuning'. Sadar
kalau gelombang yang menyapu ke arahnya bukan
hanya satu tenaga dalam, murid Pendeta Sinting
cepat mundur dua langkah lalu kembali sentak-
kan kedua tangannya lepaskan lagi pukulan sakti
'Lembur Kuning'.
Gelombang yang menyapu dari tangan Malaikat
Penggali Kubur semburat bertaburan ke udara.
Namun mendadak sinar kuning yang tadi mencuat
dari kedua tangan murid Pendeta Sinting laksana
dihantam kekuatan dahsyat, padahal tidak ada ge-
lombang yang menyapu dan tidak ada sinar yang
terlihat! Sinar kuning pukulan 'Lembur Kuning' melesat
balik ke arah Pendekar 131 disertai sapuan dah-
syat yang tidak terlihat.
Sosok murid Pendeta Sinting tampak tergontai-
gontai. Saat lain tubuhnya mental satu tombak
dan jatuh terduduk di hamparan pasir dengan da-
da laksana pecah dan perut seperti dibuncah.
Malaikat Penggali Kubur melompat lalu tegak
sepuluh langkah di hadapan Pendekar 131 dengan
mulut gemborkan tawa terbahak.
"Kau tolol kalau melihat siapa yang kau hadapi saat ini masih sama dengan orang
yang kau hada- pi di Pulau Biru! Ha.... Ha.... Ha...! Pengampunan nyawamu telah habis waktunya!
Saat ini tiba waktunya nyawamu melayang!"
Seakan tidak sabar, saat itu juga tangan kanan
Malaikat Penggali Kubur usap-usap perutnya. Mu-
lutnya masih perdengarkan tawa bergelak.
Terdengar lagi suara deruan pelan tanpa terli-
hatnya gelombang yang menyapu begitu tangan
kanan Malaikat Penggali Kubur usap perutnya.
Karena tak ada waktu untuk bangkit berdiri,
murid Pendeta Sinting cepat dorong tangan ki-
rinya. Sementara tangan kanannya disentakkan.
Dari tangan kiri murid Pendeta Sinting melesat
serat-serat biru terang laksana benang, sedang da-ri tangan kanannya mencuat
sinar kuning mem-
bawa hawa panas.
Melihat dua pukulan sekaligus dilepas murid
Pendeta Sinting, Malaikat Penggali Kubur makin
keraskan gemboran tawanya. Dia memandang
dengan senyum aneh.
Blammm! Blammm!
Serat-serat biru dan sinar kuning pecah ber-
keping-keping muncratkan pijaran api lalu jatuh
dan padam di atas pasir. Murid Pendeta Sinting
merasakan tubuhnya disentak kekuatan dahsyat.
Hingga meski dia kerahkan tenaga dalam, tak
urung tubuhnya tersapu lalu jatuh terkapar den-
gan hidung dan mulut kucurkan darah!
Di seberang, Malaikat Penggali Kubur ter-
huyung-huyung tapi dia cepat melompat lalu tegak dengan kedua kaki terpacak di
atas pasir. Wajahnya berubah mengelam, tapi dia tidak mengalami
cedera. "Pendekar 131! Kitab di tanganmu sudah
usang! Percuma kau perlihatkan di hadapan Ma-
laikat Penggali Kubur!"
Habis berkata begitu, Malaikat Penggali Kubur
melompat ke depan. Sadar bahaya mengancam,
murid Pendeta Sinting cepat kerahkan tenaga da-
lam pada tangan kiri kanan. Lalu bergulingan tiga kali. Pada gulingan keempat,
tubuhnya serentak
bangkit. Serta-merta kedua tangannya disentak-
kan ke depan. Tangan kiri mendorong dengan te-
lapak terbuka, tangan kanan mendorong dengan
tiga jari tegak sementara jari kelingking dan ibu jari menekuk bertemu.
Dari tangan kiri mencuat serat-serat biru te-
rang, sedang dari tangan kanan melesat cahaya
kuning membentuk tiga larikan mirip jari tangan
kanan murid Pendeta Sinting yang tadi mendo-
rong. Saat itu juga terdengar suara gemuruh dah-
syat. Gelombang angin menderu angker. Pendekar
131 telah lepas pukulan 'Serat Biru' serta 'Sundrik Cakra'!
Malaikat Penggali Kubur hadapi pukulan lawan
dengan senyuman aneh. Kejap lain kedua tangan-
nya bergerak mengusap-usap perutnya berulang
kali. Terdengar deruan pelan susul menyusul. Tapi
lagi-lagi hanya terdengar deruan tanpa terlihat gelombang atau cahaya.
Tiba-tiba dari arah sebelah kiri kedung di mana
Putri Sableng tegak terdengar teriakan keras. "Hai tua-tua bangka berwajah
hitam! Mengapa kalian
diam saja"!" Bersamaan terdengarnya teriakan, sa-tu gelombang dahsyat melesat
dari samping kanan
kedung melintasi hamparan pasir.
Dua orang berwajah hitam saling pandang seje-
nak, lalu hampir berbarengan mereka sentakkan
tangan masing-masing.
Dari kedua tangan Raden Mas Antar Bumi yang
kini berkalung celana hitam tampak melesat sinar
kuning perdengarkan suara gemuruh dahsyat
dengan membawa gelombang hawa panas. Semen-
tara dari tangan Raden Mas Antar Langit melesat
dua bola asap sebesar roda kereta keluarkan sua-
ra berderak-derak laksana roda kereta yang mela-
ju di atas pasir.
* * * DELAPAN CAHAYA bulan purnama sejenak tampak tertu-
tup oleh kilatan warna kuning dan biru. Lalu tampak beberapa sapuan gelombang
menuju ke satu titik arah tidak jauh di depan Malaikat Penggali Kubur.
Tiba-tiba satu ledakan laksana hendak merobek
langit mengguncang Kedung Ombo tatkala bebera-
pa sapuan gelombang dan beberapa sinar yang te-
raliri tenaga dalam sangat tinggi itu bentrok dengan kekuatan tidak terlihat
yang menyambar ke-
luar susul menyusul dari usapan tangan Malaikat
Penggali Kubur pada Kitab Hitam di balik pa-
kaiannya. Tubuh Pendekar 131 terpelanting lalu roboh se-
telah menghantam satu batu cadas putih. Darah
makin banyak mengucur dari mulut dan hidung-
nya. Pakaiannya tampak hangus di beberapa tem-
pat. Di sebelah kiri kedung, sosok Putri Sableng terhantar di atas pasir. Mulut
gadis ini tampak
bergerak-gerak dan semburkan darah.
Dua orang berwajah hitam tersapu deras. Ra-
den Mas Antar Bumi jatuh berlutut setelah meng-
hantam julangan batu cadas dua langkah di
samping Ni Luh Padmi yang masih tertotok tidak
bisa bergerak. Sedang Raden Mas Antar Langit
tumbang membentur sosok Iblis Rangkap Jiwa.
Orang ini mengaduh sebentar. Lalu angkat kepa-
lanya. Saat itulah dari mulutnya jatuh dua benda hitam. Raden Mas Antar Langit
mengambil benda
yang baru jatuh dari mulutnya. Mengawasinya se-
bentar dengan meringis kesakitan. Ternyata benda hitam itu adalah dua kayu agak
bengkok yang tengahnya dilobangi memanjang.
"Uh.... Tak bisa dipakai lagi!" gumam Raden Mas Antar Langit lalu campakkan dua
kayu hitam berlobang memanjang. Dia lantas memandang Ib-
lis Rangkap Jiwa dengan kepala didongakkan.
Meski mulutnya tidak perdengarkan suara, aneh-
nya Raden Mas Antar Langit tidak tutup mulutnya
yang terbuka menganga! Dan kini tampak jelas ka-
lau orang ini tidak punya gigi alias ompong!
Sementara di seberang depan, dipangkas dari
tiga jurusan membuat sosok Malaikat Penggali
Kubur langsung terjengkang roboh di atas pasir
dengan mulut keluarkan darah. Untuk beberapa
saat pemuda pemilik Kitab Hitam ini tidak berge-
rak-gerak. Hal ini tampaknya tidak luput dari pandangan
Ratu Pemikat yang sedari tadi coba himpun tenaga dalamnya. Perempuan ini sekilas
lirikkan matanya berkeliling. Lalu tanpa diduga sama sekali, sosoknya bergerak
bangkit lalu menghambur ke arah
terjengkangnya Malaikat Penggali Kubur. Perem-
puan ini tampaknya sudah memperhitungkan se-
gala sesuatunya. Hingga begitu sosoknya tepat dekat dengan sosok Malaikat
Penggali Kubur, kedua
tangannya bergerak ke arah perut si pemuda.
Malaikat Penggali Kubur yang tengah himpun
tenaga dalamnya tersentak kaget. Namun sudah
terlambat baginya selamatkan Kitab Hitam yang
kini hendak disambar tangan Ratu Pemikat. Saat
itulah tiba-tiba satu bayangan hitam melesat. Satu tendangan menyapu ke arah
Ratu Pemikat. Ratu Pemikat menjerit. Tubuhnya mencelat ke
udara dengan darah tampak mengucur deras. Saat
lain laksana direnggut setan, jeritan Ratu Pemikat terputus. Sosok perempuan ini
langsung menukik
dan amblas masuk ke dalam kedung.
Byurrr! Gelombang air kedung yang masih bergolak
tampak berubah warna merah. Kejap lain sosok
Ratu Pemikat telah telentang mengambang di ke-
dung dengan leher patah!
Tendangan orang ke leher Ratu Pemikat mem-
buka kesempatan bagi Malaikat Penggali Kubur
untuk bergerak. Dia dapat menangkap kalau
orang yang baru saja menghantam Ratu Pemikat
bukan untuk menyelamatkannya, melainkan
punya maksud sama dengan si perempuan. Kare-
na bersamaan dengan terlemparnya tubuh Ratu
Pemikat, tangan kiri kanan orang ini berkelebat
cepat ke arah perut Malaikat Penggali Kubur.
Malaikat Penggali Kubur tidak mau berlaku ay-
al. Dia cepat gulingkan tubuhnya. Lalu kedua tangannya serta-merta dipukulkan
guna lepaskan pukulan sakti Telaga Surya'.
Namun orang yang baru saja menendang Ratu
Pemikat seakan tidak peduli dengan pukulan yang
kini mengarah padanya. Dia tidak membuat gera-
kan untuk menangkis atau balik memukul. Seba-
liknya dia mengejar sosok Malaikat Penggali Kubur dengan kedua tangan berkelebat
ke arah perut. Dia sudah tahu kalau Kitab Hitam tersimpan di
balik pakaian Malaikat Penggali Kubur.
Brettt! Pakaian hitam di balik jubah putih Malaikat
Penggali Kubur robek menganga. Namun orang
yang telah berhasil merobek pakaian hitam Malai-
kat Penggali Kubur tidak dapat lanjutkan ambil
Kitab Hitam yang kini sudah terlihat, karena saat itu juga tubuhnya tersapu
pukulan Telaga Surya'
Malaikat Penggali Kubur.
Malaikat Penggali Kubur cepat bangkit. Me-
mandang ke depan, pemuda ini tersentak. Sejarak
delapan langkah dari tempatnya tegak, satu sosok yang baru saja mencelat terkena
pukulannya tiba-tiba bangkit tanpa menderita cedera sama sekali!
Malah orang ini kacak pinggang dan mengumbar
tawa bergelak! "Bangsat jahanam! Seharusnya kau sudah ku-
bunuh waktu di bukit itu!" bentak Malaikat Penggali Kubur dengan suara bergetar
dan rahang mengembang.

Joko Sableng 18 Bara Di Kedung Ombo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau memang terlalu bodoh membiarkan aku
hidup! Tapi kau sudah terlambat! Dan aku tidak
akan berbuat bodoh sepertimu!" sahut orang di hadapan Malaikat Penggali Kubur
yang ternyata adalah Iblis Rangkap
Jiwa. Sebenarnya Iblis Rangkap Jiwa sudah bisa be-
baskan diri dari totokan murid Pendeta Sinting
begitu Malaikat Penggali Kubur lancarkan seran-
gan pada Pendekar 131. Namun laki-laki berkepa-
la gundul ini menunggu saat yang tepat dan pura-
pura masih tertotok. Begitu Malaikat Penggali Kubur terjengkang dan Raden Mas
Antar Langit me-
nubruk tubuhnya yang bersandar di lamping batu
cadas putih, Iblis Rangkap Jiwa buka kelopak ma-
tanya. Dia pikir inilah saat yang ditunggu, karena bagaimanapun juga Malaikat
Penggali Kubur akan
mengalami cedera karena dihantam dari tiga juru-
san. Raden Mas Antar Langit sejurus tampak terke-
siap melihat kelopak mata Iblis Rangkap Jiwa
membelalak. Belum sampai orang ini bergerak, Ib-
lis Rangkap Jiwa telah gerakkan tangan kanan-
nya. Plakkk! Sosok Raden Mas Antar Langit terpelanting dan
kembali jatuh menyusur pasir. Saat lain Iblis
Rangkap Jiwa berkelebat. Tapi gerakannya dida-
hului Ratu Pemikat. Iblis Rangkap Jiwa tak mau
didahului orang. Dia teruskan kelebatannya lalu
begitu tangan kiri kanan Ratu Pemikat bergerak ke arah perut Malaikat Penggali
Kubur, Iblis Rangkap Jiwa sapukan kaki kanannya ke arah Ratu Pemikat.
Malaikat Penggali Kubur tertawa pendek men-
dengar ucapan Iblis Rangkap Jiwa.
"Iblis Rangkap Jiwa! Kau adalah sahabatku....
Aku telah janjikan tempat enak buatmu saat ma-
tahari terbit esok hari! Lagi pula tak ada gunanya kau berkhianat padaku! Kau
telah alami sendiri
bagaimana rasanya menghadapiku!"
Iblis Rangkap Jiwa ganti tertawa pendek. "Aku bukan manusia yang bisa kau
tidurkan dengan
ucapan-ucapan usang itu! Kau telah terluka, Ja-
hanam' Dan tiba saatnya kau serahkan kitab itu
padaku!" "Kitab ini akan kuserahkan padamu...! Tapi serahkan dulu nyawamu!"
Habis berkata begitu, Malaikat Penggali Kubur
berkelebat ke depan. Rupanya Malaikat Penggali
Kubur sadar siapa adanya orang yang dihadapi.
Hingga pemuda ini sengaja tidak lepaskan puku-
lan dari jarak jauh. Tangan kiri kanannya baru
bergerak mengusap perutnya tatkala dia berada
lima langkah dari Iblis Rangkap Jiwa.
Di lain pihak, Iblis Rangkap Jiwa sendiri mak-
lum akan kehebatan kitab di balik pakaian Malai-
kat Penggali Kubur, hingga meski dia tidak mem-
pan terhadap pukulan namun dia tidak mau ber-
tindak ceroboh. Karena walau dia tidak mempan
pukulan tapi kalau terus-terusan dihajar, tak
urung juga tenaga luarnya akan habis. Padahal
kekuatan dalam dirinya tidak akan dapat tersalur tanpa adanya tenaga luar.
Memikir sampai di situ, begitu terdengar suara
deruan, Iblis Rangkap Jiwa segera angkat kedua
tangannya. Lalu disentakkan ke depan menyong-
song gelombang yang tidak terlihat pandangan
mata. Gelombang hitam yang melesat dari kedua tan-
gan Iblis Rangkap Jiwa tiba-tiba semburat ke
samping kanan kiri laksana dihantam kekuatan
luar biasa dahsyat. Saat bersamaan sosok Iblis
Rangkap Jiwa terjajar dan jatuh terjengkang! Na-
mun seperti tidak merasakan apa-apa, laki-laki
berkepala gundul ini cepat bangkit.
Malaikat Penggali Kubur melesat ke samping
kanan Iblis Rangkap Jiwa. Lalu tangan kiri ka-
nannya mengusap perut.
Begitu cepatnya gerakan Malaikat Penggali Ku-
bur, hingga baru saja Iblis Rangkap Jiwa bangkit, sosok laki-laki ini telah
tersapu gelombang tidak terlihat.
Karena Malaikat Penggali Kubur berada di
samping kanan Iblis Rangkap Jiwa maka tak am-
pun lagi sosok Iblis Rangkap Jiwa tersapu me-
layang lurus ke arah kedung.
Byuurr! Tubuh Iblis Rangkap Jiwa amblas masuk ke da-
lam kedung. Malaikat Penggali Kubur cepat me-
lompat dan tegak di bibir kedung dengan kedua
tangan terangkat mengepal. Sepasang matanya
menatap tajam ke arah air kedung yang bergolak.
Namun untuk beberapa saat Malaikat Penggali
Kubur tidak menangkap tanda-tanda munculnya
Iblis Rangkap Jiwa.
"Jahanam! Apa manusia iblis itu sudah mam-
pus"! Tapi... mana bangkai iblisnya?"
Karena masih merasa yakin kalau laki-laki ber-
kepala gundul itu belum tewas, Malaikat Penggali Kubur belum juga beranjak. Dia
tetap pandangi air kedung di mana dua mayat Dewi Siluman dan
Ratu Pemikat tampak masih terombang-ambing
gelombang air yang bergolak karena tekanan ma-
suknya tubuh Iblis Rangkap Jiwa.
Tiba-tiba sosok mayat Ratu Pemikat laksana
disentak setan dan melesat deras ke arah Malaikat Penggali Kubur! Menduga sosok
itu adalah Iblis
Rangkap Jiwa, Malaikat Penggali Kubur cepat pu-
kulkan kedua tangannya lepas pukulan sakti Te-
laga Surya'. Namun pemuda murid Bayu Bajra ini terkesiap
tatkala mengetahui siapa adanya sosok yang kini
tengah melayang ke arahnya. Tapi kesadarannya
telah terlambat karena dia telah lepaskan puku-
lan. Dan saat itulah dari bawah melesatnya sosok Ratu Pemikat, dua tangan Iblis
Rangkap Jiwa berkelebat lepaskan pukulan!
Malaikat Penggali Kubur memang masih sem-
pat usapkan tangannya pada perut. Tapi dia tak
bisa hindarkan diri dari gelombang yang datang
dari sentakan tangan Iblis Rangkap Jiwa. Hingga
bersamaan dengan menderunya suara pelan, so-
sok Malaikat Penggali Kubur tersapu dan jatuh
terduduk dengan mulut tambah kucurkan darah.
Di atas kedung, sosok Ratu Pemikat yang telah
tak bernyawa mental balik lalu menghantam bibir
kedung di seberang hingga longsor sebelum akhir-
nya jatuh kembali ke dalam kedung dengan kulit hangus!
Baru saja sosok mayat Ratu Pemikat ambyar
lagi ke dalam kedung, hantaman yang keluar dari
kitab Malaikat Penggali Kubur telah sampai.
Byuurr! Byuurr! Byuurr!
Air kedung muncrat sampai beberapa tombak
ke udara. Bibir kedung di sebelah kiri kanan tampak ambrol. Sosok mayat Ratu
Pemikat dan Dewi
Siluman tampak terlempar keluar kedung lalu ter-
hampar di pasir di bagian seberang!
Dengan kemarahan menggelora, Malaikat Peng-
gali Kubur melompat lagi ke bibir kedung. Namun
baru saja kakinya menginjak pasir, sosok Iblis
Rangkap Jiwa telah melesat keluar dari dalam air kedung. Kedua tangannya
langsung lakukan pukulan ke arah Malaikat Penggali Kubur.
Wuuttt! Wuuttt!
Karena percuma menghantam lawan dengan
sapuan gelombang tidak terlihat sebab lawan be-
rada terlalu dekat, sementara dia harus sela-
matkan kepalanya dari hantaman tangan Iblis
Rangkap Jiwa, mau tak mau Malaikat Penggali
Kubur harus memangkas pukulan lawan dengan
angkat kedua tangannya.
Bukkk! Bukkk! Malaikat Penggali Kubur terjajar dua langkah
dengan lutut goyah. Iblis Rangkap Jiwa surutkan
langkah tiga tindak. Terhuyung-huyung sejenak
namun cepat dapat tegak kembali. Dari kepala dan pakaian yang dikenakannya
mengucur air deras.
Meski dari mulutnya telah alirkan darah, namun
jelas wajahnya tidak tunjukkan rasa kesakitan
atau ketakutan! Malah seraya angkat tangan ka-
nan kirinya mengusap air serta darah di mulut-
nya, Iblis Rangkap Jiwa tertawa bergelak!
"Setan alas! Manusia ini benar-benar luar biasa! Dia harus segera kuhabisi! Jika
tidak tenaga-ku akan terus terkuras, sementara di sana masih
banyak yang menunggu! Sedapat mungkin aku
harus menjaga jarak. Dengan begitu aku bisa le-
paskan pukulan tanpa keluarkan tenaga!"
Berpikir begitu, Malaikat Penggali Kubur lang-
sung balikkan tubuh lalu berkelebat untuk menja-
ga jarak agar tidak terlalu dekat.
"Kau akan lari ke mana, Bangsat"! Apa kau kira dengan Kitab Hitam di tanganmu
langkahmu akan jadi lebar"!"
Iblis Rangkap Jiwa cepat berkelebat mengejar.
Malaikat Penggali Kubur cepat balikkan tubuh
sambil usapkan tangannya pada perut.
Lagi-lagi sosok Iblis Rangkap Jiwa tersapu dan
terjengkang di atas pasir, namun saat lain dia telah bangkit kembali. Malaikat
Penggali Kubur me-
nyeringai. "Meski dia kebal pukulan, dia tak akan kuat bertahan terus-terusan!" Malaikat
Penggali Kubur kembali usapkan tangannya pada perut.
Untuk kesekian kalinya sosok Iblis Rangkap
Jiwa terkapar di atas pasir dengan mulut makin
banyak kucurkan darah. Malaikat Penggali Kubur
melompat namun tetap dengan menjaga jarak. Dia
menunggu sampai Iblis Rangkap Jiwa bangkit.
Di lain pihak, Iblis Rangkap Jiwa mulai sadar.
"Jahanam! Dia akan terus menghantamku kalau kuberi jarak. Dan aku rasanya tidak
akan tahan terus-terusan dihantam!" Iblis Rangkap Jiwa lirikkan matanya ke bawah. Malaikat
Penggali Kubur terlihat tegak dan tangannya siap di atas perut.
"Hai, pantatmu mengapa kau buka"!" Tiba-tiba dari arah sebelah kiri kedung
terdengar suara te-
riakan seorang perempuan.
Suara teriakan yang ternyata diperdengarkan
Putri Sableng membuat Iblis Rangkap Jiwa tersen-
tak. Dadanya berdebar. Dia lupa kalau Malaikat
Penggali Kubur tengah menunggu dia bangkit.
Hingga tanpa sadar, Iblis Rangkap Jiwa segera
angkat tubuhnya. Belum sampai benar-benar
bangkit, sosok Iblis Rangkap Jiwa telah dilanda
sapuan gelombang tak terlihat.
Sosok Iblis Rangkap Jiwa terpelanting dan
menghantam salah satu batu di kawasan sebelah
kanan kedung tidak jauh dari batu yang menju-
lang. Malaikat Penggali Kubur kali ini berkelebat agak mendekat. Namun dia
bukannya segera
usapkan tangan pada perutnya, namun mengang-
kat sebuah batu besar. Kejap lain sosoknya yang
telah mengangkat batu berkelebat ke arah Iblis
Rangkap Jiwa yang masih terkapar. Dari jarak tiga langkah, batu besar
dilemparkan dengan tenaga
dalam tinggi. Prakkk! Batu besar tepat menghantam muka Iblis
Rangkap Jiwa. Darah muncrat dari mulut dan hi-
dungnya! Karena wajah laki-laki berkepala gundul ini hampir tidak tertutup
daging, maka tampak jelas jika tulang kening dan rahangnya patah mele-
sak! Malaikat Penggali Kubur tidak sia-siakan ke-
sempatan. Dia sekali lagi berkelebat. Lalu menyergap dengan lakukan totokan.
Iblis Rangkap Jiwa
perdengarkan seruan tertahan. Dia sebenarnya
masih menangkap kelebatan orang dan angkat ke-
dua tangannya. Tapi gerakannya kalah cepat den-
gan sergapan Malaikat Penggali Kubur. Hingga to-
tokan si pemuda bersarang telak di kedua ba-
hunya dan menghentikan gerakan tangan Iblis
Rangkap Jiwa. "Jahanam! Apa kau kira dapat membunuhku
dengan cara ini, hah"!" teriak Iblis Rangkap Jiwa gusar.
"Aku tahu bagaimana cara mencabut nyawamu!
Tapi untukmu nanti akan kupilihkan cara yang
lebih enak! Tunggulah! Aku masih punya urusan
lain!" Malaikat Penggali Kubur balikkan tubuh lalu
pandangi murid Pendeta Sinting, Putri Sableng
serta kedua laki-laki berwajah hitam.
* * * SEMBILAN DI lain pihak, murid Pendeta Sinting yang telah
tegak bukannya memandang pada Malaikat Peng-
gali Kubur, tapi memandang lekat-lekat pada ke-
dua orang berwajah hitam. "Hem.... Aku yakin sekarang siapa mereka
sebenarnya...."
Tanpa pedulikan pada tatapan Malaikat Peng-
gali Kubur, Joko melangkah hendak mendekati
kedua orang berwajah hitam.
"Sontoloyo! Mau apa kau"!" mendadak yang bertelanjang dada dan kalungkan celana
hitam pada lehernya yakni Raden Mas Antar Bumi mem-
bentak. "Rupanya si sontoloyo muridmu itu telah ta-


Joko Sableng 18 Bara Di Kedung Ombo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hu.... Hik.... Hik.... Hik...! Ternyata dandan kita kurang mahir! Tapi
menurutmu, apakah nenek
cantik bekas pacarmu itu juga sudah tahu"!" bisik Raden Mas Antar Langit. Meski
ucapan orang ini
telah selesai, tapi orang ini terus buka lebar-lebar mulutnya yang bergigi
ompong. "Sialan! Jangan bicara terlalu keras!" bisik Raden Mas Antar Bumi dengan nada
keras. "Hem.... Aku tahu apa yang ada di balik be-
nakmu! Kau nanti pura-pura menanam budi pada
nenek itu. Biar nanti hatinya luruh dan jatuh cin-ta padamu lagi! Begitu
bukan..."! Laki-laki di ma-na-mana memang suka memuslihati perempuan!
Tololnya si namanya perempuan. Dia akan per-
caya kalau dimuslihati laki-laki dan tidak percaya kalau dikasih keterangan
jujur! Hik.... Hik....
Hik...!" "Sialan! Tutup mulutmu dulu! Di sini bukan
tempatnya berhik.... Hik.... Hik...!"
Melihat orang tertawa-tawa, Malaikat Penggali
Kubur kepalkan kedua tangannya. Tapi kejap Iain
kedua tangannya dibuka kembali dan kini diang-
kat ke depan perutnya.
"Terlalu berisiko kalau aku menghantam hanya pada satu orang! Mereka pasti akan
ramai-ramai membendung! Hem...." Malaikat Penggali Kubur melirik.
Di lain pihak, sebenarnya Joko juga sedang
berpikir. "Kitab di tangannya punya kekuatan luar biasa! Pukulan 'Serat Biru'
dan 'Sundrik Cakra'
belum mampu membuatnya roboh tak berkutik!
Tapi.... Pasti segala sesuatu ada kelemahannya!
Yang jadi pertanyaan, di mana letak kelemahan kitab itu..."! Bisa saja aku
mengajaknya bertarung jarak dekat, tapi sekali dia punya kesempatan,
aku akan celaka sendiri.... Namun apa boleh buat.
Kukira hanya itu satu-satunya jalan. Dia tidak diberi kesempatan untuk mengusap
kitab di balik pakaiannya...." Akhirnya Joko memutuskan. Dia melirik sekilas pada Malaikat
Penggali Kubur. Kejap lain tiba-tiba Joko tepuk keningnya sendiri.
"Bodoh! Dia boleh punya kitab luar biasa sakti!
Tapi kalau dia tidak bisa melihat di mana lawan, kitab sakti tidak akan ada
gunanya! Ah.... Berarti senjata utamanya bukan pada kitab itu! Tapi pada
matanya!" Berpikir sampai ke sana tiba-tiba Joko berkele-
bat ke samping kanan dengan kedua tangan te-
rangkat seolah hendak lepaskan pukulan. Malai-
kat Penggali Kubur segera putar tubuh. Menduga
Joko lepaskan pukulan, tangan kanan Malaikat
Penggali Kubur segera mengusap perutnya.
Namun sebelum deruan terdengar, Joko sudah
berkelebat ke samping kiri. Malaikat Penggali Kubur putar tubuh ke samping kiri
sambil usap pe-
rutnya. Joko kembali telah berkelebat sebelum suara deruan terdengar Dia sengaja
berkelebat ber-
putar. Dengan begitu dia akan terhindar dari de-
ruan dan gelombang tak terlihat yang telah meng-
hajar. Melihat gerakan-gerakan Joko, kedua orang
berwajah hitam saling pandang.
"Sontoloyo! Mengapa dia berputar-putar mirip anak mainan saja"!" bisik Raden Mas
Antar Bumi. "Ah.... Ternyata kita bukan hanya kurang mahir dandan! Tapi juga kurang panjang
akal! Kita ikuti saja gerakannya!" bisik Raden Mas Antar Langit.
"Gila! Apa kita harus ikut-ikutan anak ingusan itu berputar-putar tak karuan"
Kita hantam saja
ramai-ramai!"
"Sontoloyo!" bisik Raden Mas Antar Langit.
"Jangan tanya jawab di sini! Tapi dengar, meski dia ingusan, namun dia lebih
panjang akal daripada kita!"
"Sialan! Bagaimana bisa begitu, hah"!"
"Sudah kubilang, jangan tanya jawab di sini!
Sekarang aku akan ikut mainan putar-putar itu!
Kalau kau tidak, kau akan menyesal sendiri!"
Habis berkata begitu, Raden Mas Antar Langit
segera berkelebat dan tahu-tahu telah berada di
belakang Joko yang terus berkelebat memutar
namun sedikit demi sedikit mempersempit jarak
dengan Malaikat Penggali Kubur.
"Kek...."
"Jangan bicara Kak, Kek! Ayo terus berputar!
Aku tahu apa yang kau rencanakan! Tapi jangan
lengah!" bentak Raden Mas Antar Langit. Orang ini lantas pegangi pinggang Joko
dari belakang dengan kepala merunduk dan ikut berkelebat ke ma-
na Joko bergerak.
"Ah.... Aku tahu sekarang! Sontoloyo itu benar!"
ujar Raden Mas Antar Bumi pada akhirnya setelah
agak lama berpikir. Orang ini lantas berkelebat.
Dan tahu-tahu telah tegak di belakang Malaikat
Penggali Kubur. Saat bersamaan, dari arah sebe-
rang tiba-tiba Putri Sableng berkelebat sambil berteriak.
"Aku ikut mainan!"
Raden Mas Antar Bumi hendak mencegah, na-
mun terlambat. Putri Sableng telah tegak di belakangnya lalu seperti Raden Mas
Antar Langit, ga-
dis cantik berjubah merah ini pegang pinggang
Raden Mas Antar Bumi.
"Kita harus terus berada di belakangnya! Biar mereka berdua yang memancing dari
arah depan!"
bisik Putri Sableng.
"Ah.... Bagaimana ini"!" gumam Raden Mas Antar Bumi dalam hati. Hatinya gelisah.
"Ini alamat urusan dengan nenek itu akan tambah tak karuan!" dia melirik pada Ni
Luh Padmi yang masih duduk bersandar pada lamping batu cadas putih
dengan mata terus memperhatikan apa yang ter-
jadi. "Hai.... Bergerak! Awas serangan!" teriak Putri
Sableng sambil menarik pinggang Raden Mas An-
tar Bumi. Buru-buru Raden Mas Antar Bumi ber-
kelebat karena saat itu tiba-tiba Malaikat Penggali Kubur balikkan tubuh dan
mengusap perutnya.
"Sialan! Apa yang kau pikirkan"!" gerutu Putri Sableng. "Terlambat sedikit, kita
akan mampus!"
"Mampus ya mampus! Tapi jangan kau pegang
terus pinggangku!" Raden Mas Antar Bumi balas membentak.
"Sialan! Kau takut nenek itu cemburu"! Aku ja-di ingin tahu bagaimana kalau
nenek-nenek cem-
buru! Hik.... Hik.... Hik...!" Putri Sableng kini bukan lagi pegang pinggang
Raden Mas Antar Bumi,
sebaliknya gadis berjubah merah ini rangkulkan
kedua tangannya erat-erat pada pinggang Raden
Mas Antar Bumi!
Raden Mas Antar Bumi menyumpah-nyumpah.
Namun dia tak bisa berbuat banyak, karena Ma-
laikat Penggali Kubur kini memutar-mutar tubuh-
nya seraya terus menerus mengusap kitab di balik pakaiannya. Hingga mau tak mau
Raden Mas Antar Bumi harus mengikuti gerakan Malaikat Peng-
gali Kubur, karena sedikit lengah, gelombang tak terlihat akan menghantamnya.
Di bawah siraman cahaya purnama, kini tam-
pak orang terus berputar-putar disertai suara
menderu-deru yang keluar dari balik pakaian Ma-
laikat Penggali Kubur. Sementara itu pasir dan ba-tu-batu tampak bertabur dan
berpelantingan lalu
pecah karena tersapu dan terhantam gelombang
tak terlihat dari balik pakaian Malaikat Penggali Kubur. Kedung Ombo bergetar
terus menerus laksana dihantam gelombang saling susul menyusul.
Air kedung bergolak liar dan muncrat ke sana
kemari. Ni Luh Padmi terdengar memaki-maki karena
sekujur tubuhnya hampir tidak tampak lagi tertu-
tup hamburan pasir. Sementara tubuhnya terus-
menerus disentak-sentak menghantam lamping
batu di belakangnya. Malah di seberang sana, so-
sok Iblis Rangkap Jiwa telah terbang sejauh sepuluh tombak!
Malaikat Penggali Kubur sendiri mulai tampak
jerih. Dia bingung. Di satu pihak dia harus waspada pada murid Pendeta Sinting
dan Raden Mas Antar Langit yang berada di depannya dan terus
mempersempit jarak. Sementara di lain sisi, dia
harus perhatikan Raden Mas Antar Bumi dan Pu-
tri Sableng yang berada menguntit di belakangnya.
Dan pemuda murid Bayu Bajra ini makin gelisah
tatkala Putri Sableng mulai usil taburkan pasir ke arahnya!
"Keparat! Aku harus menghentikan salah satu dari mereka!" putus Malaikat
Penggali Kubur pada akhirnya. Lalu dia melirik sambil terus berputar.
Pada satu saat tiba-tiba dia balik arah putaran-
nya. Joko dan Raden Mas Antar Langit terkesiap.
Namun dia cepat bisa atur kelebatannya kembali.
Namun tidak demikian halnya dengan Raden Mas
Antar Bumi dan Putri Sableng. Kedua orang ini
terlambat atur kelebatannya. Hingga saat Malaikat Penggali Kubur balik arah
putarannya, kedua
orang ini terus. Mau tak mau keduanya tepat be-
rada di hadapan Malaikat Penggali Kubur. Saat
itulah Malaikat Penggali Kubur usap kitab di balik pakaiannya.
Walau Raden Mas Antar Bumi dan Putri Sab-
leng sempat lepaskan pukulan, namun saat yang
sama tubuh keduanya sudah terpelanting lalu ter-
seret menyusur hamparan pasir sampai lima tom-
bak dengan masing-masing orang terkapar. Dari
mulut mereka berdua tampak alirkan darah.
Namun gerakan Malaikat Penggali Kubur yang
sekejap tadi arahkan tubuhnya pada Raden Mas
Antar Bumi dan Putri Sableng tak disia-siakan Jo-ko. Murid Pendeta Sinting cepat
berkelebat ke depan. Tangan kiri kanannya berkelebat ke arah ke-
pala. Raden Mas Antar Langit tak tinggal diam. Dia pun cepat rebahkan diri
sejajar pasir lalu menyusur ke depan. Kedua tangannya bergerak meng-
gaet kaki Malaikat Penggali Kubur.
Sergapan Joko dan Raden Mas Antar Langit
membuat Malaikat Penggali Kubur tidak punya
kesempatan lagi untuk mengusap kitabnya karena
dia harus cepat lindungi kepala serta kakinya.
"Pengecut busuk! Kalian ternyata manusia-
manusia yang hanya berani main keroyok!" bentak Malaikat Penggali Kubur sambil
angkat kedua tangannya menghadang pukulan murid Pendeta Sint-
ing. Saat yang sama, kaki kanannya terangkat lalu menyapu ke arah Raden Mas
Antar Langit. "Bukan maksud hati mengeroyokmu, kami
hanya menghindar untuk tidak jadi korbanmu!"
kata Raden Mas Antar Langit. Tangan kanan orang
ini diangkat lindungi diri dari sapuan kaki Malaikat Penggali Kubur. Sementara
tangan satunya te-
rus menjulur. "Betul! Aku hanya ingin kitab yang ada pada-mu! Tidak inginkan nyawamu!" sahut
Joko seraya teruskan kelebatan kedua tangannya. "Tapi kalau kau keras kepala,
aku juga tak segan bertindak
kasar untuk hentikan perbuatanmu!"
Bukkk! Bukkk! Bukkk!
Terdengar tiga kali benturan keras. Sosok mu-
rid Pendeta Sinting terjajar dua tindak. Sementara tangan kanan Raden Mas Antar
Langit terpental
lalu menghantam pasir dengan tubuh terguling.
Namun tangan kirinya masih sempat menggaet
kaki kiri Malaikat Penggali Kubur hingga mau tak mau pemuda murid Bayu Bajra ini
terhuyung ke depan. "Bangsat!" maki Malaikat Penggali Kubur. Kaki kanannya yang baru saja bentrok
dengan tangan kanan Raden Mas Antar Langit kembali disapukan
ke arah tubuh orang di bawahnya. Namun gera-
kan tangan kiri Raden Mas Antar Langit yang
menggaet kaki kirinya lebih cepat, hingga bukan
saja tendangannya melenceng ke atas, namun tu-
buhnya tertarik deras ke belakang lalu jatuh terduduk!
Dalam puncak kemarahannya, Malaikat Peng-
gali Kubur sentakkan kedua tangannya begitu
pantatnya menghantam pasir.
Karena tangan kanannya masih berada di bela-
kang sementara tangan kiri memegang kaki kiri
Malaikat Penggali Kubur, Raden Mas Antar Langit
tak mampu lagi menghadang pukulan yang meng-
hajarnya. Bukkk! Bukkk! Pegangan tangan kiri Raden Mas Antar Langit
pada kaki kiri Malaikat Penggali Kubur terlepas.
Tubuhnya mencelat sampai dua tombak dan ter-
kapar. Dari mulutnya mengalir darah.
Karena sadar di sampingnya masih ada orang,
begitu sentakkan tangan, Malaikat Penggali Kubur putar tubuh ke samping. Tangan
kanan menyentak ke depan, tangan kiri usap kitab di balik pakaiannya.
Pendekar 131 tersentak. Karena jaraknya terla-
lu dekat maka tidak ada kesempatan baginya un-
tuk menghadang pukulan dahsyat Malaikat Peng-
gali Kubur. Apalagi Malaikat Penggali Kubur sekaligus lepaskan pukulan 'Telaga
Surya' serta usa-
pan pada kitabnya!
Dalam keadaan terjepit begitu rupa, murid
Pendeta Sinting berlaku nekat. Dengan satu sen-
takan, sosoknya melesat ke depan. Kedua tangan-
nya berkelebat ke depan bukan untuk lepaskan
pukulan, namun langsung ke arah sepasang mata
Malaikat Penggali Kubur!
Malaikat Penggali Kubur terlengak. Dia tidak
menduga sama sekali kalau lawan berani merang-
sek maju. Dia sejurus berpikir. Teruskan pukulan dan usapan pada perutnya atau angkat kedua
tangannya memangkas kedua tangan lawan yang
kini berada sejengkal di depan matanya. Entah karena menduga lawan tidak akan
mampu Lindungi diri dari kedua pukulannya yang hendak dilepas,
akhirnya Malaikat Penggali Kubur teruskan puku-
lan serta usapan pada perutnya.
Wuuss! Weeerr! Bless! Blesss!
Dari mulut murid Pendeta Sinting dan Malaikat


Joko Sableng 18 Bara Di Kedung Ombo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Penggali Kubur terdengar seruan keras. Sosok
Pendekar 131 mencelat dan terbanting-banting di
udara sebelum akhirnya jatuh telentang di atas
pasir dengan pakaian hangus dan mulut serta hi-
dung keluarkan darah! Pedang Tumpul 131 jatuh
dari balik pakaiannya dan keluar dari sarungnya.
Sosok tubuhnya bergetar keras. Wajah dan seku-
jur tubuhnya merah membara laksana dipang-
gang. Mulutnya yang berdarah tampak membuka
namun tidak perdengarkan suara. Dadanya berge-
rak turun naik tak karuan. Sepasang matanya
membelalak besar.
Sejenak murid Pendeta Sinting coba bergerak
hendak bangkit. Namun dia urungkan karena be-
gitu dia hendak bangun, darah segar menyembur
dari mulutnya. Jelas kalau dia terluka cukup pa-
rah. Hingga Joko coba himpun tenaga dengan te-
lentang. Di seberang depan, begitu pukulan 'Telaga
Surya' dan gelombang yang keluar tak terlihat dari balik pakaiannya menyambar
murid Pendeta Sinting, kedua tangan Malaikat Penggali Kubur te-
rangkat mendekap sepasang matanya yang tiba-
tiba terasa panas dan kabur. Ketika mendapati
ada aliran hangat dan berbau di kedua tangannya
yang mendekap mata, Malaikat Penggali Kubur
menggembor seakan hendak merobek langit.
Dia serentak bergerak bangkit. Seolah tidak sa-
dar apa yang terjadi pada dirinya, dia buka tan-
gannya dan akan melihat di mana lawan berada.
"Jahanam! Apa yang terjadi dengan diriku"!
Mataku kabur tak bisa melihat!" Masih menduga itu karena tertutup darah,
Malaikat Penggali Kubur usap-usap sepasang matanya lalu meman-
dang ke depan meski dia sudah merasakan bukan
alang kepalang pada sepasang matanya.
Ketika menyadari kalau pandangannya kabur,
Malaikat Penggali Kubur hentakkan kaki kanan
kirinya. "Mataku...! Mataku kabur!"
Malaikat Penggali Kubur tegak dengan tubuh
bergetar keras. Urat-urat pada sekujur tubuhnya
tampak menggurat jelas. Rambutnya yang lebat
tampak seolah berdiri.
"Pendekar 131! Kau telah membuat mataku ka-
bur! Kini matamu harus kucongkel sebagai imba-
lannya sebelum nyawamu kulepas!" teriak Malaikat Penggali Kubur dengan kepala
mendongak dan kedua tangan mengepal di atas udara. "Bulan purnama akan jadi saksi bagaimana
satu persatu mata kalian semua yang ada di sini akan kucong-
kel sebelum darah kalian semua kulebur di air
Kedung Ombo!"
Malaikat Penggali Kubur luruskan wajahnya.
Dengan susah payah dia akhirnya dapat melihat di mana murid Pendeta Sinting
meski hal itu lebih
banyak didasarkan pada firasat dan perhitungan
arah. Begitu merasa hampir yakin, Malaikat Penggali
Kubur melesat dan tahu-tahu sosoknya telah te-
gak dua langkah di samping murid Pendeta Sint-
ing yang telentang. Sejurus Malaikat Penggali Kubur memperhatikan sebab
pandangannya samar-
samar. Saat itulah kakinya mengantuk sesuatu.
Kepalanya bergerak. Pandangannya yang samar-
samar masih dapat menangkap kilatan benda di
bawahnya. Tanpa pikir panjang lagi Malaikat Penggali Ku-
bur bungkukkan tubuh. Tangan kanannya me-
nyahut ke bawah. Lalu benda kuning berkilat itu
didekatkan pada matanya yang masih alirkan da-
rah. Tangan kirinya meraba.
"Pedang Tumpul 131!" desis Malaikat Penggali Kubur dengan seringai angker.
Secepat kilat dia
melompat. Pendekar 131 tersentak. Baru saja dia akan
bangkit, satu kaki telah menghantam dadanya
hingga tubuhnya telentang kembali. Memandang
ke atas, darah murid Pendeta Sinting laksana si-
rap. Malaikat Penggali Kubur sudah tegak di atas-
nya dengan kaki kiri menginjak dadanya serta
tangan kanan angkat Pedang Tumpul 131 tinggi ke
udara! Raden Mas Antar Bumi dan Putri Sableng yang
sudah bangkit terkesima. Keduanya hanya bisa te-
gak mematung tanpa ada yang buka mulut atau
membuat gerakan. Tidak jauh di sampingnya Ra-
den Mas Antar Langit belalakkan mata dengan
mulut terbuka lebar-lebar! Di belakang sana Cucu
Dewa dan Dewa Orok hanya saling pandang.
"Kita bantam bersama-sama!" ujar Raden Mas Antar Bumi berbisik, lalu memberi
isyarat pada Raden Mas Antar Langit untuk mendekat.
Raden Mas Antar Langit segera melangkah
mendekat. Raden Mas Antar Bumi kembali kata-
kan usulnya. "Jarak kita terlalu jauh! Belum sampai pukulan kita sampai, Setan Jelek muridmu
itu pasti sudah mampus!" sahut Putri Sableng.
"Betul!" timpal Raden Mas Antar Langit. "Apalagi kita sudah terluka! Sementara
dia tinggal tu-
sukkan pedang di tangannya!"
"Lalu apa kita cuma berdiri menyaksikan mu-
ridku mampus, hah"!" Raden Mas Antar Bumi
membentak meski masih coba menahan suara.
"Hem.... Rupanya kau masih sayang pada nya-
wa muridmu, Setan Jelek itu!" ujar Putri Sableng.
Meski darah masih tampak pada mulutnya, gadis
berjubah merah ini coba tertawa cekikikan.
"Sialan! Kau kira aku tega padanya meski dia sableng dan aku sinting, hah"!
Kalau kalian tak
setuju, menyingkirlah! Aku akan menghantamnya
sendiri!" Tanpa menunggu sahutan dari Putri Sableng atau Raden Mas Antar Langit,
kedua tangan Raden Mas Antar Bumi sudah terangkat. Tangan-
nya yang bergetar tampak berubah warna menjadi
kekuningan. Malaikat Penggali Kubur gerakkan tangan ka-
nan yang menggenggam Pedang Tumpul 131 ke
bawah. Sejengkal lagi ujung pedang yang tumpul berada di atas wajah murid
Pendeta Sinting, Malaikat Penggali Kubur hentikan gerakan tangan-
nya. Tanpa berpaling mulutnya angkat bicara.
"Senjata ini akan lebih dahulu mencabut nyawa keparat ini! Jadi jangan berani
bertindak bodoh!
Jangan ada yang coba membuat gerakan! Tetap di
tempat kalian masing-masing!"
Raden Mas Antar Bumi gantungkan kedua tan-
gannya di atas kepala mendengar ancaman Malai-
kat Penggali Kubur.
Malaikat Penggali Kubur palingkan kepala
menghadap Putri Sableng, Raden Mas Antar Bumi,
dan Raden Mas Antar Langit. Mulutnya menyerin-
gai angker. "Kalian akan menyusul satu persatu! Sekarang kalian kuperintahkan untuk menunggu
dan melangkah mundur!" teriak Malaikat Penggali Kubur.
Ketiga orang yang diperintah sama saling pan-
dang. Belum ada yang buka mulut, dari arah de-
pan, terdengar lagi teriakan Malaikat Penggali Kubur.
"Lihat!" Malaikat Penggali Kubur gerakkan lagi ujung pedang pada mata murid
Pendeta Sinting
yang hanya diam, karena selain dadanya diinjak,
tangan kirinya juga ditindih kaki kiri Malaikat
Penggali Kubur. Tangan kanannya memang masih
leluasa bergerak. Tapi secepat apa pun gerakan
tangan kanannya, tak bisa lagi menghadang jika
pedang itu menghantam!
Ketika samar-samar dan diyakininya ketiga
orang di depan sana memandang ke arahnya, Ma-
laikat Penggali Kubur teruskan ucapan.
"Kuperintahkan kalian mundur! Mundur! Mun-
dur!" Ujung Pedang Tumpul sudah menempel pada
mata kiri murid Pendeta Sinting, hingga Joko cepat pejamkan matanya. Kuduknya
meremang. Sementara di seberang sana perlahan-lahan ketiga orang yang dibentak gerakkan
kaki mundur. Malaikat Penggali Kubur terus hadapkan wajahnya ke arah tiga orang
yang surutkan kaki mundur.
"Bagus! Sekarang berbalik! Cepat! Jika tidak, mata kiri keparat ini sudah
kukeluarkan!"
Dengan saling pandang dan menggumam tak
jelas akhirnya ketiga orang itu turuti bentakan perintah Malaikat Penggali
Kubur. "Celaka! Celaka! Seharusnya kita tadi langsung saja menghantam ramai-ramai!
Bagaimanapun ju-ga dia akan laksanakan ancamannya!" gumam
Raden Mas Antar Bumi dengan tubuh menggigil.
Malah kini dia ambil celana hitam yang masih
mengalung di lehernya dan dicampakkan saja di
atas pasir. Putri Sableng dan Raden Mas Antar
Langit tidak ada yang buka mulut menyahut. Tu-
buh mereka bergetar bahkan lutut Raden Mas An-
tar Langit tampak goyah dan hampir saja dia lim-
bung kalau tidak segera ditahan tangan Putri Sableng.
"Rupanya kali ini kita tak bakal bisa selamatkan nyawa Anak Sableng itu...,"
gumam Raden Mas Antar Langit lalu buka mulutnya lebar-lebar.
Setelah menghitung jarak dan percaya mereka
tidak bisa berbuat apa-apa, setidaknya dia masih bisa selamatkan diri dan
sekaligus cabut nyawa
Pendekar 131 jika sewaktu-waktu orang menye-
rangnya, Malaikat Penggali Kubur hadapkan wa-
jahnya pada Pendekar 131 yang terinjak di ba-
wahnya. Tampangnya ganas apalagi dari sepasang
matanya terus kucurkan darah.
"Sepasang matamu akan kucabut dahulu, Pen-
dekar Keparat! Biar kau tahu bagaimana rasanya
orang tak bermata!" Malaikat Penggali Kubur berteriak sambil arahkan ujung
pedang pada mata ki-
ri kanan murid Pendeta Sinting. Joko diam-diam
kerahkan tenaga dalam. Namun Malaikat Penggali
Kubur segera keraskan injakannya.
"Kau teruskan salurkan tenaga dalam, anggota
tubuhmu akan kuputus satu persatu!" Malaikat Penggali Kubur rupanya dapat
menangkap apa yang dilakukan Joko begitu merasa kakinya yang
menginjak terasa hangat dan bergetar pertanda
orang di bawahnya tengah himpun tenaga dalam.
Murid Pendeta Sinting mau tak mau tidak lan-
jutkan himpun tenaga dalam. Namun dia masih
berpikir keras.
Tiba-tiba Malaikat Penggali Kubur sabetkan
ujung pedang pada dada, lalu berhenti pada perut murid Pendeta Sinting.
Brettt! Murid Pendeta Sinting berseru. Nyawanya lak-
sana melayang. Ketiga orang di depan sana sama
menggigil dan tak berani berpaling tak tega melihat. Namun Joko bernapas agak
lega merasakan kalau cuma pakaiannya yang robek menganga di
bagian perut. Malaikat Penggali Kubur putar-putar ujung pe-
dang yang tumpul menyusuri perut Joko. "Hem....
Kedua kitab itu tidak dibawa! Tapi apa peduliku"!
Kitab Hitam sudah terbukti tidak ada tandingan-
nya!" Meski membatin begitu, namun Malaikat Peng-
gali Kubur masih juga ajukan tanya.
"Katakan di mana kedua kitab itu!"
"Hem.... Jadi kau masih inginkan kitab itu"!"
Joko balik bertanya meski suaranya terdengar
bergetar dan tersendat.
"Tanganku menggenggam nyawamu! Jangan
berani balik bertanya!" sentak Malaikat Penggali Kubur. Kembali ujung pedang
diarahkan pada ma-ta kiri murid Pendeta Sinting hingga buru-buru
Joko katupkan kembali matanya yang sejenak tadi
hendak membuka. Sementara mendengar ucapan
Joko, ketiga orang di seberang sana sama menghe-
la napas. "Belum.... Sontoloyo itu masih bernapas...," gumam Raden Mas Antar
Bumi. "Aku tak pernah bertanya ketiga kali!" ujar Malaikat Penggali Kubur. Lalu angkat
ujung pedang sejengkal dari mata Joko. Dengan begitu dia lebih mendapat ruang.
"Kitab itu kusimpan di satu tempat! Aku bisa tunjukkan padamu...." Akhirnya Joko
menjawab. "Katakan di mana!"
"Aku tak bisa mengatakan, tapi aku mau men-
gantarmu ke tempat penyimpanan itu!"
Malaikat Penggali Kubur tertawa bergelak. "Dalam urusan muslihat, kau harus
belajar dariku,
Jahanam! Ha.... Ha.... Ha...! Baik. Aku minta kau mengantarku. Tapi aku ingin
lihat dahulu bagaimana bentuk bola matamu! Kukira kau masih in-
gat di mana tempat itu meski rongga kedua mata-
mu tanpa mata!"
Malaikat Penggali Kubur angkat sejengkal lagi
ujung pedang. Joko lamat-lamat buka kelopak ma-
tanya. Saat itulah Malaikat Penggali Kubur hu-
jamkan pedang di tangan kanannya tepat ke arah
mata kiri murid Pendeta Sinting.
Joko hanya bisa pejamkan matanya lagi. Tan-
gan kanannya yang leluasa bergerak masih berke-
lebat. Namun tidak ada artinya karena hujaman
pedang di tangan kanan Malaikat Penggali Kubur
lebih cepat! Setengah jengkal lagi ujung Pedang Tumpul 131
menghujam pada mata kiri pemiliknya, tiba-tiba
dari arah lamping batu cadas putih terlihat satu cahaya putih berkiblat. Saat
bersamaan satu sosok bayangan putih melayang dari batu cadas pu-


Joko Sableng 18 Bara Di Kedung Ombo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tih. Cahaya putih sejenak mampu menahan gera-
kan pedang Malaikat Penggali Kubur meski masih
tepat di atas mata kiri Joko. Belum lagi Malaikat Penggali Kubur gerakkan
pedangnya, satu tendangan telah berkelebat. Malaikat Penggali Kubur
angkat tangan kirinya.
Bukkk! Sosok Malaikat Penggali Kubur hanya ber-
goyang-goyang tanpa bergerak dari tempatnya. Be-
lum sampai Malaikat Penggali Kubur berpaling,
kembali dari 1amping batu cadas putih satu ca-
haya berkiblat. Saat yang sama dari arah sam-
pingnya menderu gelombang dahsyat.
Malaikat Penggali Kubur angkat tangannya
yang memegang Pedang Tumpul 131 untuk me-
nangkis cahaya. Sementara tangan kiri mengusap
perutnya dengan hadapkan tubuh ke arah mana
serangan gelombang datang.
* * * SEPULUH CAHAYA terang bulan purnama tampak berpi-
jar di hamparan pasir Kedung Ombo ketika cahaya
yang berkiblat dari sisi lamping batu cadas putih berbenturan dengan pedang
berwarna kuning di
tangan kanan Malaikat Penggali Kubur. Lain dis-
usul dengan terdengarnya ledakan keras saat sa-
puan gelombang yang tidak terlihat dari balik pakaian Malaikat Penggali Kubur
memporak- porandakan gelombang yang datang menghajarnya
dari sisi samping.
Tangan kanan Malaikat Penggali Kubur tampak
bergetar keras lalu terpental ke belakang. Sepa-
sang kakinya yang menginjak dada dan tangan kiri murid Pendeta Sinting bergerak
terangkat lalu mundur beberapa langkah dengan sosok limbung.
Dan tubuh Malaikat Penggali Kubur tampak ter-
huyung lalu mundur lagi tatkala suara ledakan
terdengar. Sejarak sepuluh tombak dari tempat Malaikat
Penggali Kubur tampak terkapar satu sosok pe-
rempuan mengenakan baju putih panjang. Orang
ini tidak bisa dikenali wajahnya karena mengena-
kan cadar putih.
Melihat kesempatan, murid Pendeta Sinting ce-
pat gulingkan tubuh. Lalu secepat kilat kedua
tangannya didorong dan disentakkan ke arah Ma-
laikat Penggali Kubur yang masih coba kuasai diri.
Dari tangan kiri murid Pendeta Sinting melesat
serat-serat biru terang laksana benang, sedang da-ri tangan kanannya mencuat
sinar kuning mem-
bawa suara gemuruh dahsyat.
Begitu lepaskan pukulan 'Serat Biru' dan
'Sundrik Cakra', Pendekar 131 cepat bergulingan
kembali. Dia maklum bahwa Malaikat Penggali
Kubur akan menghadang pukulannya.
Dugaan Joko tidak meleset. Saat matanya sa-
mar-samar melihat sinar kuning dan serat-serat
biru, Malaikat Penggali Kubur usapkan tangan ki-
rinya meski tubuhnya terhuyung.
Blammm! Blammm!
Guncangan keras kembali melanda Kedung
Ombo tatkala pukulan Pendekar 131 terhadang
oleh deruan perlahan yang mencuat dari balik pa-
kaian Malaikat Penggali Kubur.
Karena Joko sudah gulingkan diri menghindar,
maka dia selamat dari bias bentroknya pukulan.
Dia tak tunggu lama. Begitu suara ledakan ter-
dengar kedua tangannya segera menyentak kem-
bali. Malaikat Penggali Kubur tegak kebingungan.
Pandangannya yang kabur serta hamburan pasir
yang membubung membuatnya tidak tahu di ma-
na lawan berada. Hingga begitu terdengar deruan
dahsyat menuju ke arahnya, dia hanya putar tu-
buh mengikuti firasat. Lalu usap perutnya.
Kali ini firasat dan dugaan Malaikat Penggali
Kubur meleset. Dia menghadap ke kanan semen-
tara Joko berada di samping kirinya, hingga meski dari balik pakaiannya melesat
sapuan dahsyat yang tidak terlihat, namun sapuan itu hanya me-
labrak tempat kosong, sementara serangan puku-
lan murid Pendeta Sinting tak ampun lagi meng-
hantam tubuhnya!
Desss! Deesss! Malaikat Penggali Kubur tersapu sampai bebe-
rapa tombak sebelum akhirnya terkapar dengan
jubah hangus dan mulut serta hidung kucurkan
darah! Pedang Tumpul 131 di tangannya lepas
mencelat. Meski telah terluka da lam cukup parah, tapi
Malaikat Penggali Kubur tidak mau menyerah be-
gitu saja. Dia cepat himpun sisa tenaganya. Di seberang sana, Pendekar 131
memandang sejenak
pada perempuan berbaju dan bercadar putih yang
masih terkapar di atas pasir. Lalu menoleh ke
arah bagian samping lamping batu cadas putih.
"Kakek Gendeng Panuntun...," gumam Joko mengenali siapa adanya orang yang duduk
di samping batu cadas putih dengan tubuh sedikit
bergetar. Dia sebenarnya hendak beranjak ke arah perempuan bercadar putih yang
terkapar, namun
satu suara segera terdengar.
"Urusanmu belum selesai, Anak Muda...."
Tahu suara siapa yang baru terdengar, Joko
cepat arahkan pandangannya pada sosok Malaikat
Penggali Kubur yang masih terkapar diam.
"Kitab Hitam.... Kitab itu harus segera kuambil.
Dia masih bisa lakukan tindakan berbahaya jika
kitab itu masih berada di balik pakaiannya!"
Joko segera berkelebat ke arah Malaikat Peng-
gali Kubur. Namun satu sosok tubuh mendahului
gerakannya. Dan tahu-tahu di samping Malaikat
Penggali Kubur telah tegak laki-laki berkepala
gundul yang wajahnya hampir saja hancur. Di
tangan kanan orang ini menggenggam Pedang
Tumpul 131! "Iblis Rangkap Jiwa!" seru murid Pendeta Sinting lalu hentikan kelebatannya
sejarak sepuluh
langkah dari orang di samping Malaikat Penggali
Kubur yang tidak lain memang Iblis Rangkap Jiwa
adanya. Waktu tersapu pukulan tidak terlihat dari Ma-
laikat Penggali Kubur saat si pemuda berputar-
putar dikurung beberapa lawan, Iblis Rangkap Ji-
wa kerahkan segenap tenaga dalam dan luarnya
untuk buyarkan totokan dahsyat yang disarang-
kan Malaikat Penggali Kubur. Dan akhirnya laki-
laki berkepala gundul yang wajahnya sudah han-
cur karena terhantam batu besar yang dilempar
Malaikat Penggali Kubur ini berhasil. Saat itulah Pedang Tumpul 131 yang
terlepas dari genggaman
Malaikat Penggali Kubur jatuh tidak jauh dari
tempatnya. Iblis Rangkap Jiwa segera menyambar
lalu berkelebat ke arah terkaparnya Malaikat
Penggali Kubur.
Malaikat Penggali Kubur tersentak. Dia hendak
gerakkan tangan usap perutnya. Namun Iblis
Rangkap Jiwa cepat memangkas gerakan tangan
Malaikat Penggali Kubur dengan sapuan kaki ka-
nannya. Dess! Tangan Malaikat Penggali Kubur mental meng-
hajar pasir di sampingnya. Namun tubuhnya yang
ikut terputar segera terhenti tatkala kaki kiri Iblis Rangkap Jiwa menghadang.
Kejap lain Iblis Rangkap Jiwa sudah babatkan pedang pada bagian pe-
rut Malaikat Penggali Kubur.
Brettt! Pakaian Malaikat Penggali Kubur yang sudah
robek, tercabik menganga lebih besar lagi. Namun Kitab Hitam yang sudah terlihat
jelas tidak juga jatuh karena kitab itu diikat begitu rupa.
Iblis Rangkap Jiwa tidak menunggu lama. Tan-
gan kirinya segera menyambar Kitab Hitam di atas perut Malaikat Penggali Kubur.
Di bawahnya, Malaikat Penggali Kubur masih berusaha bertahan
dengan kelebatan tangan kanan, namun gerakan
tangannya segera tertahan tatkala serta-merta Iblis Rangkap Jiwa babatkan Pedang
Tumpul pada tangan Malaikat Penggali Kubur.
Crasss! Malaikat Penggali Kubur melolong tinggi. Tan-
gan kanannya putus sebatas siku! Darah muncrat
membasahi wajah dan pakaiannya yang telah
hangus. Iblis Rangkap Jiwa teruskan gerakan tan-
gan kirinya mengambil kitab.
Satu jengkal lagi Kitab Hitam tersambar tangan
kiri Iblis Rangkap Jiwa, terdengar deruan meng-
gemuruh dahsyat. Untuk kesekian kalinya kawa-
san Kedung Ombo disemburati warna kuning dan
serat-serat biru terang.
Karena begitu bernafsu dan yakin dirinya tidak
akan mengalami apa-apa lagi, Iblis Rangkap Jiwa
tidak pedulikan pukulan yang kini datang meng-
hajarnya. Laki-laki ini teruskan gerakan tangan-
nya. Ketika jari-jari tangan Iblis Rangkap Jiwa me-
nyentuh Kitab Hitam, dia rasakan satu gelombang
luar biasa menggebrak. Lalu sekujur tubuhnya
kaku tak bisa digerakkan!
Iblis Rangkap Jiwa memaki sambil membeliak-
kan mata meneliti. Dia terlengak. Pada sekujur
tubuhnya tampak serat-serat biru laksana mengi-
kat tubuhnya. Sekuat tenaga dia berontak, serat-
serat biru tetap tak bisa dibuyarkan. Malah tak
lama kemudian sosoknya tersapu sampai satu
tombak! Memandang ke depan, tulang rahang Iblis
Rangkap Jiwa yang telah patah melesak bergerak-
gerak. Sepasang matanya yang besar dan hampir-
hampir tertutup kucuran darah mendelik angker.
Di depan sana, hanya tiga langkah dari tempat
terkaparnya Malaikat Penggali Kubur, murid Pen-
deta Sinting tampak tegak dengan kedua tangan
diangkat siap lepaskan pukulan.
"Jangan berani sentuh kitab itu jika tak ingin kepalamu putus dengan pedangmu
sendiri!" Iblis Rangkap Jiwa mengancam sambil diam-diam berusaha buyarkan serat-
serat biru yang seakan
membelenggu hingga sekujur tubuhnya laksana
diikat. "Aku tahu di mana kelemahanmu! Jadi jangan
berani bicara mengancam! Aku tidak inginkan ki-
tab itu untuk kumiliki!" Joko maju dua langkah la-lu melirik pada Malaikat
Penggali Kubur.
Tesss! Tesss! Terdengar beberapa kali suara seperti tali pu-
tus, Kejap lain Iblis Rangkap Jiwa telah maju
sambil angkat pedang tinggi-tinggi ke udara.
Saat itulah tiba-tiba Malaikat Penggali Kubur
bangkit. Berpegang pada suara yang baru terden-
gar kakinya langsung bergerak menendang, tan-
gan kirinya mengusap pada perut.
Joko yang berada di sampingnya cepat putar
tubuh sambil angkat kaki kanannya memangkas
kaki kanan Malaikat Penggali Kubur.
Bukkk! Sosok Malaikat Penggali Kubur yang sudah ter-
luka luar dan dalam terhuyung-huyung dan lim-
bung. Tapi dari perutnya masih terdengar suara
deruan perlahan. Saat yang sama Iblis Rangkap
Jiwa merangsek maju. Pedang di tangan kanannya
dibabatkan. Crasss!
Tangan kiri Malaikat Penggali Kubur terbabat
dan langsung putus! Namun bersamaan dengan
itu sosok Iblis Rangkap Jiwa tersapu gelombang
tidak terlihat hingga tangannya yang terus bergerak hendak babatkan pedang ke
arah murid Pen-
deta Sinting terpental.
Malaikat Penggali Kubur menggembor tinggi.
Sosoknya langsung roboh. Murid Pendeta Sinting
melompat. Tangan kiri kanannya segera berkelebat hendak menyahut Kitab Hitam
yang ada di balik
pakaian Malaikat Penggali Kubur dan kini tampak
jelas. "Harap jangan sentuh kitab itu!" Satu suara te-guran bernada kalem terdengar.
Murid Pendeta Sinting rasakan hembusan angin di sampingnya.
Kejap lain satu tangan telah memegang tangan kiri kanan Joko menahan gerakannya.
Joko angkat kepalanya. Di hadapannya tampak
seorang laki-laki berusia lanjut mengenakan pa-
kaian putih. Rambutnya panjang digeraikan.
Jenggotnya panjang teratur rapi menjuntai sampai dada. Laki-laki ini sunggingkan
senyum lalu anggukkan kepala.
"Siapa kau"! Harap tidak ikut campur urusan ini! Atau kau juga inginkan kitab
itu"!" Joko buka mulut namun tidak coba tarik pulang kedua tangannya yang masih
tertahan oleh pegangan kedua
tangan si kakek.
"Maaf.... Terpaksa aku harus ikut campur. Tapi jangan sangka aku menginginkan
kitab itu!"
Murid Pendeta Sinting kerutkan dahi. Saat itu-
lah beberapa sosok tubuh terlihat berkelebat dan tegak tidak jauh dari tempat
Joko. Joko melirik.
Ternyata mereka adalah Putri Sableng, Raden Mas


Joko Sableng 18 Bara Di Kedung Ombo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Antar Langit, Cucu Dewa, serta Dewa Orok.
"Bayu Bajra!" Putri Sableng angkat bicara. "Malam ini kau tahu siapa sebenarnya
muridmu! Jadi jangan memperpanjang urusan!"
Kakek berpakaian putih yang ternyata adalah
Bayu Bajra dan bukan lain adalah guru Malaikat
Penggali Kubur gerakkan kedua tangannya ke
atas. Tangan Joko ikut terangkat. Masih dengan
memegang tangan Joko, si kakek gelengkan kepa-
la. Lalu berucap.
"Aku tidak memperpanjang urusan, sahabat-
sahabat sekalian! Dan aku kini tahu siapa murid-
ku! Tapi adalah tidak layak bagi diriku membiar-
kan seorang murid harus menanggung sengsa-
ra...." "Hemmm.... Baik! Sekarang apa maumu"! Ka-
lau kau inginkan muridmu, lekas bawa dia pergi.
Tapi tinggalkan dahulu kitabnya!" Putri Sableng yang tidak sabaran kembali buka
suara. Bayu Bajra kembali gelengkan kepala. "Aku inginkan muridku seutuhnya...."
"Maksudmu"!" tanya murid Pendeta Sinting.
"Aku tahu.... Muridku datang ke sini dengan membawa kitab itu. Jadi dia pergi
dari sini juga harus tanpa tinggalkan kitab itu!"
"Hem.... Kau tahu apa yang dilakukan muridmu dengan kitab itu"!" tanya Joko.
Kedua tangannya ditarik pulang.
Bayu Bajra anggukkan kepala. Lalu buru-buru
berkata ketika dilihatnya Joko akan buka mulut
lagi. "Pendekar 131.... Muridku memang berjalan di luar garis yang pernah
kukatakan. Namanya
sudah menjadi sejarah hitam dalam dunia persila-
tan. Sekaligus dia telah mencoreng mukaku di ma-
ta kalangan orang-orang persilatan...."
Bayu Bajra berpaling sejenak pada Raden Mas
Antar Langit dan Putri Sableng, lalu lanjutkan
ucapannya. "Namun, apakah seorang yang sudah tersesat jalan, tertutup baginya
jalan terang"!
Apakah sebuah kesalahan tidak bisa ditebus"!
Muridku memang berbuat kesalahan besar dan
terjerumus dalam kesesatan yang teramat dalam.
Walau itu tidak ku kehendaki, tapi setidaknya aku ikut bertanggung jawab! Untuk
itulah aku menginginkan dia pergi dengan utuh. Aku ingin buktikan pada kalian,
bahwa dengan masih membawa
kitab itu, dia bisa berubah! Sebagai wakil dari muridku, aku minta maaf pada
kalian semua...."
Bayu Bajra bungkukkan tubuh menjura hor-
mat. Lalu perlahan-lahan hendak mengangkat tu-
buh Malaikat Penggali Kubur.
Putri Sableng melompat dan tegak di samping
Joko, "Aku tidak yakin kalau kau dapat merubah muridmu, Bayu Bajra! Kau hanya
boleh pergi dengan muridmu tanpa kitab itu!"
"Hem.... Gadis ini layaknya kenal betul dengan kakek itu. Sialan! Siapa
sebenarnya gadis ini"!
Aku makin jadi bingung dibuatnya!" Diam-diam murid Pendeta Sinting membatin.
"Bukti memerlukan waktu.... Harap kau tidak mengambil keputusan sebelum
berlalunya waktu!
Kelak jika muridku melakukan hal yang di luar
garis, aku akan serahkan diri sebagai tebusan!"
Sesaat hening. Bayu Bajra pandangi satu per-
satu pada semua orang di situ. Sementara yang
dipandang sating pandang satu sama lain. Saat
itulah tiba-tiba satu sosok berkelebat seraya keluarkan gemboran suara keras.
Bersamaan itu menghampar gelombang hitam pekat disertai ber-
kilat-kilatnya cahaya kekuningan.
"Menyingkir!" teriak Putri Sableng. Lalu melompat mundur. Saat yang sama semua
orang juga melompat mundur dengan tangan masing-masing
orang berkelebat.
Terdengar ledakan luar biasa dahsyat. Bebera-
pa orang tampak bermentalan. Karena gelombang
hitam dihadang beberapa pukulan, tak ampun lagi
gelombang hitam langsung semburat. Namun ha!
ini membuat sosok Malaikat Penggali Kubur yang
terkapar tersapu deras ke depan dan jatuh berge-
debukan. Begitu gelombang hitam buyar, tampak Joko ja-
tuh terduduk. Putri Sableng dan Raden Mas Antar
Langit berlutut di atas pasir. Cucu Dewa tergontai-gontai karena pegangi Dewa
Orok yang tersentak-
sentak. Hanya Bayu Bajra yang tetap tegak walau
mundur beberapa langkah. Hal ini terjadi karena Joko, Putri Sableng, dan Raden
Mas Antar Langit
sudah terluka dalam.
Di seberang depan, tampak sosok Iblis Rangkap
Jiwa yang masih pegang erat-erat Pedang Tumpul
131 tergolek di atas pasir. Lima langkah di sebelah Iblis Rangkap Jiwa, Malaikat
Penggali Kubur mengerang terputus-putus.
Namun semua orang tiba-tiba sama beliakkan
mata. Iblis Rangkap Jiwa bergerak-gerak. Menda-
dak salah satu kakinya bergerak menghantam ba-
tu di belakangnya. Batu itu langsung hancur. Tapi bersamaan dengan itu sosoknya
meluncur menyusur pasir dan berhenti tepat di samping sosok Malaikat Penggali
Kubur. Meski sudah terluka teramat parah, namun
Malaikat Penggali Kubur bisa menduga gerakan
orang. Hingga sambil mengerang tinggi, kedua ka-
kinya dilipat ke atas lalu bergulingan ke kanan
menghadap sosok Iblis Rangkap Jiwa yang me-
nyusur datang. Lututnya segera disentakkan pada
kitab di perutnya.
Terdengar deruan pelan. Iblis Rangkap Jiwa
tersentak. Dalam keterkejutannya, dia putar diri di atas pasir hingga kakinya
kini menghadap lurus
ke arah Malaikat Penggali Kubur. Dengan kerah-
kan segenap sisa-sisa tenaga dalamnya, kedua ka-
ki Iblis Rangkap Jiwa menghantam perut Malaikat
Penggali Kubur di mana tersimpan kitab.
Dess! Desss! Malaikat Penggali Kubur tak mampu lagi per-
dengarkan seruan. Sosoknya mencelat jauh ke
udara lalu melayang-layang sebelum akhirnya
menukik deras ke atas air kedung. Bersamaan itu
karena kaki Iblis Rangkap Jiwa juga menghantam
kitab di perut Malaikat Penggali Kubur, tak ampun lagi tiga deruan terdengar
susul menyusul. Saat
lain tubuh Iblis Rangkap Jiwa sudah terlempar.
Karena tadi Iblis Rangkap Jiwa sentakkan kaki ke kitab dengan tenaga dalam, tak
ampun lagi gelombang yang menghajarnya begitu dahsyat. Hingga
Pedang Tumpul di tangannya terlepas. Sosoknya
terlempar menghantam beberapa batu sampai po-
rak-poranda sebelum akhirnya terhenti setelah
tertahan batu besar.
Byuurrr! Air Kedung Ombo bergolak untuk kesekian ka-
linya. Bayu Bajra sudah berkelebat mengejar, begi-tu pula Cucu Dewa dan Dewa
Orok. Murid Pende-
ta Sinting berkelebat mengambil pedangnya. Lalu
melompat ke arah pinggiran kedung. Putri Sableng
dan Raden Mas Antar Langit menyusul di bela-
kang. Begitu semua orang berada di pinggir kedung,
suasana jadi sirap. Joko melirik ke samping kanan kiri. Saat lain dia telah
melesat ceburkan diri ke dalam kedung.
Byuuur! Air kedung kembali muncrat. Raden Mas Antar
Langit terdengar bergumam karena wajahnya yang
hitam bedakan arang jadi coreng moreng tak ka-
ruan terkena muncratan air. Di sebelahnya, Putri Sableng sudah cekikikan.
Sementara di dalam kedung, begitu matanya
menangkap sosok Malaikat Penggali Kubur yang
hendak balik ke atas, Joko cepat menghadang.
Tangan kiri kanannya bergerak ke arah perut Ma-
laikat Penggali Kubur di mana terikat Kitab Hitam.
Dengan sekali sentak, tali pengikat Kitab Hitam
putus. Namun baru saja tangan Joko memegang Kitab
Hitam, dari arah dasar kedung terdengar suara
dengungan dahsyat. Memandang ke bawah, murid
Pendeta Sinting tersentak kaget. Air di bawahnya tampak membentuk jalur
gelombang lurus ke
arahnya disertai cahaya terang!
Menangkap isyarat bahaya, Joko tak mau ber-
tindak ayal. Dia segera kerahkan tenaga dalam
pada tangan kanan. Lalu disentakkan guna le-
paskan pukulan 'Sundrik Cakra'. Blummm!!!
Air Kedung Ombo bergolak liar. Masing-masing
orang yang berada di luar kedung rasakan pija-
kannya bergetar keras. Sosok Malaikat Penggali
Kubur melesat dari dalam air setinggi tiga tombak lalu menukik kembali ke dalam
kedung. Bersamaan itu satu sosok tubuh berkelebat muncul dari dalam kedung dan
tegak tergontai-gontai di pinggir
kedung. Orang ini ternyata seorang laki-laki berusia lanjut. Rambutnya yang dipotong
pendek hingga ter-
lihat jabrik. Raut wajahnya penuh keriputan. Sepasang matanya terpuruk masuk ke
dalam rongga yang dalam. Kumisnya panjang dan putih dibiar-
kan panjang sampai hampir menutupi janggutnya.
Pada sepasang cuping hidungnya melingkar ant-
ing-anting dari benang berwarna merah. Kakek ini mengenakan pakaian warna biru
gelap. Anehnya, meski baru saja muncul dari dasar
kedung, rambut dan pakaian si kakek tetap ker-
ing! Kakek ini memandang pada satu persatu orang
yang tegak di pinggir kedung. Seperti pada saat
pertama kemunculannya di Kedung Ombo, si ka-
kek hanya memandang tanpa buka mulut. Sesat
kemudian si kakek arahkan pandangannya ke air
kedung, lalu masih kancingkan mulut, dia berke-
lebat tinggalkan tempat itu. Dari gerakan si kakek semua orang dapat menebak
kalau dia terluka dalam. Karena begitu berkelebat, terdengar batuk-
batuk beberapa kali. Ketika semua orang menoleh, si kakek yang sudah berada di
depan sana tampak
buka mulut sambil semburkan darah!
Joko sendiri tampak limbung, namun dia kua-
tkan diri dan segera mencari-cari, karena Kitab Hitam yang tadi sudah berada di
tangannya terlepas begitu terjadi bentrok pukulan.
Karena matanya tidak menangkap Kitab Hitam,
sementara napasnya sudah megap-megap karena
berada agak lama di dalam air, murid Pendeta
Sinting segera melesat keluar dan duduk di bibir kedung. Saat itulah matanya
menangkap hamburan kertas hitam yang porak-poranda di atas per-
mukaan air kedung.
"Hm.". Syukur. Kitab Hitam telah hancur!" gu-mamnya. Sementara orang di sekitar
kedung sama kancingkan mulut begitu melihat dari dasar ke-
dung semburat serpihan-serpihan kertas hitam
hancur dari Kitab Hitam.
Beberapa saat berlalu. Putri Sableng tiba-tiba
berpaling pada Raden Mas Antar Langit. "Kitab Hitam sudah hancur. Dan...."
"Kitab Hitam memang sudah hancur, tapi ang-
kara murka manusia-manusia hitam tidak akan
terhenti dengan hancurnya Kitab Hitam," potong Raden Mas Antar Langit.
Habis berkata begitu, Raden Mas Antar Langit
melangkah ke arah Raden Mas Antar Bumi yang
kini terlihat duduk berdampingan dengan Ni Luh
Pad mi di kawasan berbatu di sebelah kanan ke-
dung. Tidak jauh dari kedua orang ini, tampak
berdiri Gendeng Panuntun dan perempuan berca-
dar putih. Begitu baru saja Raden Mas Antar Langit me-
langkah, tiba-tiba satu sosok berkelebat lalu meluncur deras masuk ke air
kedung. Byuurrr! "Apa yang akan dilakukan pemuda itu"!" gumam Bayu Bajra. Yang mencebur ternyata
Dewa Orok. Pemuda bertangan buntung ini tampak ge-
rak-gerakkan kakinya ke sosok Malaikat Penggali
Kubur. Tak lama kemudian sosoknya telah mele-
sat kembali lalu tegak di samping Bayu Bajra.
"Kek.." Aku hanya mengambil barang ini!" Dewa Orok dongakkan kepala. Lalu
mulutnya mengembung dan meniup. Tatkala mulutnya dibuka nam-
pak mencuat bundaran karet mirip dot bayi yang
melayang-layang di udara sebelum akhirnya mele-
sat dan menempel di mulutnya. Terdengar suara
duutt! Duuutt! Duutt! Beberapa kali.
Bayu Bajra memandang sayu tanpa buka mu-
lut. Saat lain orang tua ini melesat ke atas air kedung. Tangan kiri kanannya
bergerak. ketika dia
kembali injakkan kaki di hamparan pasir di bibir kedung, pada kedua tangannya
telah menelentang
sosok Malaikat Penggali Kubur yang sudah tidak
bernyawa lagi. Masih dengan kancingkan mulut dan tidak
memandang pada semua orang yang berada di si-
tu, Bayu Bajra melangkah perlahan-lahan tinggal-
kan Kedung Ombo. Saat itu lintasan langit sebelah timur sudah nampak merah
kekuningan. Murid Pendeta Sinting pandangi kepergian
Bayu Bajra dengan berbagai perasaan. Tiba-tiba
dia teringat pada Iblis Rangkap Jiwa. Dia bergerak bangkit lalu arahkan
pandangan pada tempat di
mana tadi laki-laki berkepala gundul itu berada.
Namun meski telah nyalangkan mata, dia tidak
melihat lagi sosok Iblis Rangkap Jiwa.
"Dia sudah pergi... mungkin takut melihat pantatmu dan pantat temanmu ini!" Yang
buka suara ternyata Cucu Dewa. Laki-laki bertubuh pendek
ini arahkan pandangannya pada Putri Sableng
yang berpaling dengan mata mendelik. Sebelum


Joko Sableng 18 Bara Di Kedung Ombo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Putri Sableng buka mulut, Cucu Dewa lambaikan
tangan pada muridnya Dewa Orok.
"Dotmu telah kau dapatkan kembali! Kita di-
tunggu seseorang!"
"Siapa..."!" tanya Dewa Orok.
"Kau lupa dengan Bidadari Cadar Putih..."! Dia berada di sana bersama kakek buta
itu...." Cucu Dewa arahkan telunjuk jarinya pada kawasan berbatu sebelah kanan
kedung. Tanpa tunggu sahutan Cucu Dewa berkelebat.
Dewa Orok langsung menyusul. Joko arahkan
pandangannya sejurus pada kawasan sebelah ka-
nan kedung. "Bidadari Cadar Putih.... Hem.... Aku harus mengucapkan terima kasih
padanya! Tapi....
Siapa dia sebenarnya" Kedatangannya hampir
bersamaan dengan Kakek Gendeng Panuntun.
Dan kulihat mereka akrab sekali.... Jangan-
jangan...." Joko hendak berkelebat namun diurungkan tatkala tiba-tiba Putri
Sableng yang masih tegak tidak jauh dari tempatnya mengeluh
tinggi lalu limbung.
Murid Pendeta Sinting buru-buru melompat la-
lu menahan tubuh Putri Sableng. "Bagaimana bisa begini"! Baru saja dia
membentak-bentak. Sekarang.... Hem.... Mungkin dia masih terluka da-
lam.... Aku pun sebenarnya merasakan sekujur
tubuh seperti mau tanggal...."
"Jangan bicara dahulu...," gumam Joko ketika dilihatnya Putri Sableng hendak
buka mulut. "Kau mungkin masih terluka dalam.... Aku akan mema-pahmu!" Joko
lingkarkan tangan kanan pada
pinggang Putri Sableng lalu ambil tangan si gadis dan diletakkan pada
tengkuknya. Sebenarnya Jo-ko hendak ajukan tanya selagi mereka berdua me-
langkah ke arah kawasan berbatu sebelah kanan
kedung di mana semua orang berkumpul. Tapi
niatnya diurungkan ketika dilihatnya Putri Sab-
leng pejamkan mata.
"Gadis cantik.... Ilmunya juga sangat tinggi....
Pengetahuannya tentang orang-orang persilatan
juga banyak! Hem...."
Begitu Joko dan Putri Sableng berada di kawa-
san berbatu sebelah kanan kedung. Tiba-tiba Ra-
den Mas Antar Langit perdengarkan tawa bergelak.
Disusul kemudian oleh Raden Mas Antar Bumi.
Gendeng Panuntun tersenyum-senyum. Dewa
Orok dan Cucu Dewa saling pandang tak mengerti.
Ni Luh Padmi mendelik. Hanya perempuan berca-
dar putih yang tampak alihkan pandangan dengan
menarik napas dalam.
"Sitoresmi.... Ada apa hingga orang-orang ini berlaku seperti melihat sesuatu
yang lucu"!" Gendeng Panuntun buka mulut sambil arahkan pan-
dangannya pada perempuan bercadar putih.
"Sitoresmi!" Mendadak Joko berseru. Dia seakan ingin melompat. Namun karena
Putri Sableng berada dalam papahannya, akhirnya dia hanya bi-
sa dorongkan sedikit wajahnya.
Di depannya, perempuan bercadar putih yang
dipanggil Sitoresmi tampak salah tingkah. Dia
memandang pada murid Pendeta Sinting. "Dia tidak lupa namaku.... Tapi apa dia
masih sering mengingatku..."! Tapi.... Ah, di sampingnya ada
gadis cantik. Tentu dia sudah melupakanku kalau
Guru tidak sebut namaku tadi.... Mengapa harus
begini nasibku"! Masih pantaskah aku mengingat
dan selalu merindukannya" Padahal aku yakin di
hatinya tidak ada namaku apalagi sampai mengin-
gatku.... Aku.... Aku tidak bisa berlama-lama di sini! Orang yang tidak bisa
kulupakan ada di depanku dengan seorang gadis cantik.... Aku tak
mau perasaanku berubah! Biarlah dia bersama
gadis siapa saja asal tidak di depan mataku, agar perasaan ini tidak berubah dan
perlahan-lahan lenyap...."
"Guru...," ujar Sitoresmi. "Kalau sudah tidak ada hal lagi yang perlu dilakukan,
sebaiknya kita segera tinggalkan tempat ini...."
"Tunggu!" Joko menahan. Lalu menatap satu persatu pada semua orang di
hadapannya. "Kuu-capkan terima kasih atas jasa kalian semua. Dewa Orok, Cucu
Dewa, Sitoresmi, Kakek Gendeng Panuntun, Kakek iblis Ompong, Eyang Guru, dan
Nenek Ni Luh Padmi!" Joko bungkukkan sedikit
tubuhnya menjura ke arah satu persatu orang di
hadapannya. "Jahanam! Jadi kau...." Tiba-tiba terdengar makian. Ternyata yang bersuara
memaki adalah Ni
Luh Padmi. Nenek ini cepat maju lalu balikkan tubuh tepat menghadap Raden Mas
Antar Bumi. Tangan kiri kanannya terangkat.
"Bertahun-tahun kucari. Ternyata kau di sampingku! Tahu siapa kau sebenarnya,
tidak sudi aku tadi kau tolong! Tapi pertolonganmu tidak
akan dapat mengikis dendamku! Saat ini juga kau
harus mampus!"
Ni Luh Padmi kelebatkan tangan kiri kanannya.
"Tunggu! Sabar.... Sabar, Nini...," kata Raden Mas Antar Bumi yang ternyata
bukan lain adalah
Pendeta Sinting, guru Joko Sableng, sambil angkat kedua tangannya menahan
gerakan kedua tangan
si nenek. "Semua akan kita selesaikan.... Tapi tidak di sini!"
Si nenek sentakkan kedua tangannya dan dita-
rik pulang. "Urusan kita bisa diselesaikan di mana saja! Karena akhir urusan itu
hanya perlu lobang tanah untuk mengubur mayatmu!"
"Betul! Betul! Tapi...."
"Nek.... Jangan terbakar perasaan.... Semua urusan bisa diselesaikan tanpa harus
membuka lobang tanah untuk penguburan. Aku tidak tahu
apa urusanmu dengan sahabatku Pendeta Sinting,
tapi tidak ada salahnya aku ikut bicara.... Selesaikan semua urusan dengan dada
lapang. Hilangkan
dahulu prasangka buruk sebelum buka urusan....
Dengan begitu hasilnya akan baik...." Yang bicara Gendeng Panuntun.
"Betul!" sahut Raden Mas Antar Langit yang ternyata adalah Iblis Ompong. "Malah
kami semua berharap urusanmu berakhir dengan damai. Po-
koknya yang tadinya dendam berubah jadi rindu.
Benci berbalik jadi kangen. Ucapan kasar jadi
rayu-merayu. Makian jadi cekikikan...."
"Baik! Sekali ini aku mengalah! Sekarang kau tunjuk tempat di mana ingin kau
selesaikan urusan kita!" Pada akhirnya Ni Luh Padmi mengalah setelah berpikir
agak panjang. "Nah, Joko...," ujar Iblis Ompong. "Eyang gurumu hendak selesaikan tugas
penting. Kuharap
kau mengerti dan tidak coba-coba pasang telinga
apalagi mengintip! Ini urusan orang-orang tua!
Kau paham..."!"
Semua orang tertawa tertahan. Hanya Ni Luh
Padmi yang pasang tampang cemberut. Di depan-
nya, Pendeta Sinting mengelus dada seraya pasang tampang angker pada muridnya.
"Gara-gara ucapan Sontoloyo itu rencana jadi berantakan tak karuan!"
Melihat tampang gurunya, buru-buru Joko bu-
ka mulut. Namun Pendeta Sinting cepat memo-
tong. "Sontoloyo! Jangan buka mulut lagi di sini!
Kutunggu kau tiga hari mendatang!"
Joko kancingkan mulut lagi. Semua orang
kembali tertawa tertahan-tahan. Lalu Cucu Dewa
angkat bicara. "Matahari mulai muncul. Kita harus tinggalkan tempat ini!" Laki-
laki bertubuh ce-bol ini tarik tangan Dewa Orok lalu melangkah
pergi. Bersamaan dengan itu Sitoresmi menggan-
deng tangan gurunya Gendeng Panuntun dan ber-
lalu dari situ. Namun gadis ini sejurus masih tatap bola mata Joko yang saat itu
tengah memandang-nya. Perempuan bercadar putih ini seperti hendak bicara, namun
diurungkan dan cepat-cepat alihkan pandangan seraya melangkah. Pendeta Sint-
ing ulurkan tangan hendak mengajak Ni Luh
Padmi. Tapi si nenek cepat tepiskan tangan Pende-
ta Sinting. "Jangan berani jamah tubuhku!" sentak si nenek.
"Ah.... Kau harus bisa tabahkan hati, Nek...,"
berucap Iblis Ompong sambil ambil tangan si ne-
nek. Herannya, Ni Luh Padmi tidak menolak. En-
tah karena masih menindih hawa amarah hingga
dia tak sadar kalau perlahan-lahan Iblis Ompong
menggandeng tangannya lalu mengajaknya berlalu
menyusul orang-orang di depan sana.
Iblis Ompong masih sempat leletkan lidah lalu
buka mulut lebar-lebar pada Pendeta Sinting begi-tu tangannya menggandeng tangan
si nenek dan melangkah saling berjajar.
Pendeta Sinting menggumam tak jelas. Dia ta-
tapi tampang muridnya lalu tanpa buka mulut me-
langkah menyusul dan berjalan pelan-pelan di be-
lakang Iblis Ompong dan Ni Luh Padmi yang ma-
sih bergandengan tangan.
"Mengapa kau masih tegak..."!" Joko tersentak mendengar ucapan Putri Sableng
yang masih ada dalam dukungannya. Joko berpaling. Putri Sab-
leng masih pejamkan mata. Pada bibirnya masih
tampak tetesan darah. Pendekar 131 menarik na-
pas. Perlahan-lahan tangan kirinya terangkat
mengusap bibir Putri Sableng. Mulut Putri Sableng terlihat bergerak-gerak. Namun
Joko buru-buru berkata. "Aku membersihkan tetesan darah pada sekitar bibirmu...." Namun diam-
diam Joko membatin. "Ah.... Bibir gadis ini begitu mempesona....
Seandainya kau...."
Joko tak lanjutkan ucapannya, karena bibir Pu-
tri Sableng membuka setengah. Dada murid Pen-
deta Sinting berdebar. Entah karena apa, tiba-tiba Joko dekatkan wajahnya ke
wajah si gadis. Merasakan Putri Sableng tidak menolak, Joko makin
berani. Dia lebih dekatkan lagi wajahnya hingga
hidung keduanya saling bersentuhan.
Bibir Joko lalu bergerak ke bibir Putri Sableng.
Masih tak ada penolakan, Joko makin berani. Dia
mulai mengulum bibir si gadis. Mula-mula hangat, namun kejap lain ada sesuatu
yang mengganjal,
bersamaan itu murid Pendeta Sinting merasakan
lidahnya getir dan pahit.
Pendekar 131 Joko Sableng tarik pulang wa-
jahnya. Saat itu suasana sudah terang benderang
karena matahari sudah muncul. Mendadak sepa-
sang mata Joko terpentang besar. Tangan kanan-
nya yang melingkar pada pinggang si gadis luruh
ke bawah. Kedua lututnya goyah.
Gadis di samping Joko buka sepasang matanya.
Lalu mulutnya bergerak-gerak. Kini di mulutnya
tampak menggumpal tembakau hitam! Rambutnya
yang tadi hitam lebat ternyata telah berubah putih dan cepak hanya sebatas
tengkuk! Wajahnya pun
berubah menjadi seorang nenek-nenek yang ber-
kulit keriput. Sepasang matanya menjorok ke da-
lam dan tampak sipit. Saat yang sama dari mulut-
nya terdengar suara tawa cekikikan!
"Ratu Malam...." Teriak Joko dengan tampang merah padam dan tubuh jatuh
terduduk. Putri Sableng yang ternyata adalah Ratu Malam
perkeras cekikikannya. Lalu disambut dengan su-
ara tawa bergelak-gelak dari depan sana! Suara
tawa cekikikan dan terbahak-bahak menggaung
menyungkup kawasan kedung, seakan mengha-
pus hawa kematian yang baru saja menggantung
di atas langit Kedung Ombo!
SELESAI Segera terbit!!!
Serial Pendekar Pedang Tumpul 131 Joko Sableng
dalam episode: KEMBANG DARAH SETAN
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Rendra
Tusuk Kondai Pusaka 2 Pahlawan Harapan Karya Tang Fei Harpa Iblis Jari Sakti 31
^