Pencarian

Separuh Bintang 3

Separuh Bintang Karya Evline Kartika Bagian 3


Ci, elo juga nggak kalah cantik dibanding Sha-s.... aww...."
Ciya mencubit tangan Natya keras-keras sebelum ratu gosip itu berlakar lebih jauh lagi. "Mau ke
kantin nggak" Gue laper nih," sungut Ciya sambil ngeloyor pergi.
*** Suara pantulan bola basket menggantikan suara musik yang menemani Rico siang ini. Dia duduk
di bangku paling atas. Memperhatikan cowok-cowok kelas 3 IPA 1 tanding dengan cowok-cowok
kelas 3 IPS 2. Suara teriak supporter yang kebanyakan cewek terdengar membahana di
lapangan tanpa atap itu. Rico sendiri saat ini berharap suara-suara ingar-bingar di sekelilingnya
bisa menutup suara cewek yang terdengar semalam tadi.
"Aku bilang kalau aku pasti pulang...."
Sha-Sha tersenyum di sisinya. Menikmari malam dengan mengobrol di ayunan kayu di taman.
Mama dan Papa pasti sudah tidur. Saat makan pun mereka hanya berbicara basa-basi.
Kebiasaan yang memuakkan, desis dalam hati. Tidak pernah benar-benar ada komunikasi.
Pulang semaunya, pergi seenaknya. Ciya juga tidak ada di balkon seperti biasanya. Rico tahu
cewek itu pasti belum tidur karena lampu kamarnya masih menyala terang benderang.
Rico menatap Sha-Sha. Rambutnya dicat warna burgundy dengan potongan layer yang dinamis.
Wajahnya mulus dengan sapuan make-up tipis. Pinggangnya ramping dan bodinya seksi.
Kulitnya putih sehalus sutra.
Inikah Sha-Sha yang dikenalnya" Terlalu cantik....
"Ehm... Kamu kenapa bisa pulang bareng Nyokap.... Maksud gue.... Eh, maksudku kenapa bisa
pulang bareng mamaku?" ucap Rico tersendat. Dia khawatir Sha-Sha sudah lupa bahasa
Indonesia karena terlalu lama tinggal di Taiwan, sehingga dia memutuskan memakai bahasa
Indonesia yang formal. Sha-Sha tertawa terenyah. Lesung pipinya terlihat jelas. Cuma orang buta yang bisa menahan
godaan melihat kecantikannya. Rico sendiri merasa jantungnya berdebar-debar. Bagaimanapu,
inilah cinta pertamanya.... Mimpinya.... Penantiannya....
"Memang perjanjiannya kan begitu...."
"Perjanjian?" Rico mengerutkan dahi.
"Kamu nggak tahu?" tanya Sha-Sha heran.
Rico menggeleng. Sha-Sha mengangkat alisnya. "Papaku dan papamu mengadakan perjanjian sebelum aku
berangkat ke Taiwan. Saat aku sudah berumur enam belas tahun, papamu akan kembali
menjemputku ke sini. Aku kan tunanganmu."
Whaattt?"" Apa tadi dia bilang" Tunangan" Sejak kapan mereka bertunangan" Sha-Sha kembali
memamerkan tawanya. "Makanya aku bilang aku pasti akan kembali. Karena...." Sha-Sha
mengerling manja. "aku sayang kamu."
Rico tersentak saat ada bola yang melayang ke arahnya.
Duk! Bola itu sukses mendarat di kepalanya.
"Eh, sori.... sori....," ujar Joni, si pelempar bola yang terlalu bersemangat sehingga melenceng
keluar lapangan. "Nggak papa.... Nggak papa....," ujar Rico saat cewek-cewek berusaha mengerubutinya untuk
melihat luka di kepalanya. Kapan lagi bisa deket-deket sama cowok ganteng" Mungkin begitu
pikir mereka. Dengan susah payah, akhirnya Rico berhasil meloloskan diri, berjalan ke gim. Tidak ada orang di
sana. Rico duduk di anak tangga panggung. Pikirannya benar-benar kacau sekarang. Tunangan"
Dia sama sekali tidak punya pikiran ke arah sana! Bisa-bisanya papanya kembali memutuskan
sesuatu yang vital tanpa memberitahunya dulu.... Untuk kesekian kalinya.
"Emang apa masalahnya?" tanya Henry dengan rambut acak-acakan habis bangun tidut saat
anaknya masuk ke kamar pukul lima pagi dan mencecarnya dengan berbagai pertanyaan.
Bahkan Fatma saja masih tidur.
Hah" Masalahnya apa" Bisa-bisanya Papa cuma bilang masalahnya apa" Halloo!!! Dia itu
ditunangkan dan papanya hanya bertanya apa masalahnya" Itu masalahnya! Emang dipikir
sekarang ini zaman apa" Siti Nurbaya" Apa belum cukup cerita itu menerangkan tentang
penderitaan orang yang dijodohkan sepihak oleh orangtua" Rico menggeram. Bisnis apa lagi ini"
"Dia itu menyukaimu, kan" Dan bukannya kamu juga mati-matian cinta sama dia sampe-sampe
kamu bilang sama Papa bakal nyusul ke Taiwan?"
Rico berdecak. Kamuflase! Umpatnya kesal. Bilang aja iyu perjodohan bisnis! Demi
menggabungkan dua persahaan terkenal skala internasional. Bilang aja demi menguasai
perekonomian dunia sebanyak-banyaknya.
Walaupun begitu, perkataan papanya tadi ada benarnya. Toh Sha-Sha memang cintanya,
bukan" Satu-satunya orang yang pernah mengisi hatinya yang terdalam. Pernah.... Apa iya cuma
sekadar pernah" Rico membaringkan tubuhnya di lantai panggung. Dia benar-benar pusing sekarang.
"Hei...." suara seseorang menyentaknya.
Rico mendongak melihat Henny berdiri di sampingnya. Rico kembali mengambil sikap duduk
bersila. Henny itu teman sekelas sekaligus cewek yag sering diceritakan Christian yang naksir
berat sama Rico sejak kelas 3 SMP.
"Masih sakit?" Henny menunjuk-nunjuk kepalanya.
"Apa" Oh... Nggak kok. Udah nggak papa," ujar Rico sok cool.
Henny mengambil tempat di samping Rico, kemudian menatap mata cowok itu dalam-dalam.
"Kalau kamu ada masalah, bisa kok cerita sama aku."
Rico menyeringai. Dasar cewek! Pendekatannya jelek amat. Pake aku-kamu lag. Ditatapnya balik
cewek itu. Hmm.... Not bad... Tidak secantik Jesse sih, tapi juga tidak jelek. Manis juga.
"Lagi kesel?" tanya Henny lagi setelah nggak mendapatkan jawaban. "Butuh sesuatu?"
Rico mengangguk. "Iya, mending lo beliin gue Pocari gih.
Gue suntuk." Rico menyerahkan selembar sepuluh ribuan dari saku seragamnya.
Henny memandang uang itu. Tapi tangannya malah mendorong balik tangan Rico ke tempatnya
semula. Dia mencodongkan tubuhnya ke tubuh Rico lalu berbisik," Mau aku kasih sesuatu yang
jauh lebih menyenangkan dibanding Pocari?" Cewek itu tersenyum genit. Mendekatkan
wajahnya.... Semakin dekat.... Dan.... Bibir keduanya pun bersentuhan. Cukup lama.... Ric
mematung. Dia tidak mengelak, tapi juga tidak membalas.
"Lebih baik?" tanya Henny setelah melepaskan bibirnya.
"Lebih buruk," ujar Rico menghapus sisa lipgloss di bibirnya dengan punggung tangan.
Henny melotot. Tidak mengira akan jawaban yang diterimanya. Mukaya merah padam menahan
malu. Tersinggung. Rico kembali menyeringai. "Lo kenapa sih?"
"Mestinya gue yang tanya kenapa!" Henny mendadak emosi. Dia sampai bangkit dan mukanya
semakin merah menahan geram. "Gue suka sama lo sejak kelas 3 SMP, bego! Masa sih lo
nggak nyadar" Tiap Valentine gue ngirimin lo cokelat. Tiap hari gue ngirimin lo SMS. Tiap lo
ulang tahun gue selalu telepon. Tapi kenapa lo malah milih si Jessica yang... Yang goblok itu.
Trus.... Kenapa juga lo malah pura-pura pacaran sama si.... Siapa itu namanya.... Chi.... Chiara
itu. Yang udah jelas-jelas nggak ada bagus-bagusnya. Udah jelek, kutu buku, nggal gaul...."
"CUKUP!" geram Rico. Dia berdiri dan mendekatkan wajahnya dengan tatapan mata yang
menyala-nyala. Cukup untuk membuat Henny melangkah mundur. "Ja-ngan per-nah ngejudge
orang da-ri penampilan luar! Lo juga nggak sebagus yang lo kira!" jawabnya sinis. Rico kembali
membanting tubuhnya ke lantai. Kepalnya benar-benar pening sekarang.
"Sebenarnya....," ujar Rico setelah agak tenag. Henny masih mematung di posisinya semula,
tidak berani bergerak. ".... Kenapa lo bisa suma sama gue?"
Henny bengong menatap Rico yang kini juga sedang menatapn
ya. Takut-takut dia melangkahkan
kakinya maju dan kembali duduk. Dia memainkan jari-jarinya, menimbang-nimbang sebentar.
"Karena.... Elo cakep, elo baik, elo.... Jago ngeband."
Rico tertawa mendengar alasan-alasan klise yang selalu di dapatkannya dari semua mantannya.
"Kalo tiba-tiba gue kecelakaan yang bikin muka gue rusak, tangan gue buntung, dan jadi gila,
apa li masih bisa suka sama gue?" tanya Rico.
Henny terdiam. "Nggak, kan?" Rico mengembuskan napas panjang. "Itu bukan suka namanya, apalagi cinta.
Cinta itu nggak butuh alasan. Jika sebuah cinta membutuhkan alasan, ketika alasan itu hilang,
cinta juga akan hilang bersamanya."
*** "Nggak berhasil merayunya?"
Jesse dan Christian tak jauh dari pintu gim yang terbuka. Sudah sejak setengah jam yang lalu
mereka nongkrong di sana.
Henny melongo, merutuki nasibnya yang hari ini sial nggak jelas. Mukanya pucat pasi sekarang.
Walaupun Jesse sudah bukan pacar Rico lagi, ketenaran labrakannya yang bikin orang sakit
jantung tetap menggema. "Lo nggak bakalan mungkin ngedapetin dia," cetus Christian. "Dia itu bukan lagi cowok playboy
yang demen sama cewek murahan kayak lo."
Henny mendelik marah tapi tak berani melawan.
"Dan lo tahu... Siapa yang bisa ngubah dia kayak gitu?" tanya Jesse. "Dia.... Cewek yang lo
bilang nggak gaul, kutu buku, dan jelek itu."
Glek! Henny memucat. Tamatlah riwayatnya.
"Dan gue juga denger kok waktu lo bilang gue goblok."
Matilah.... Benar-benar mati kali ini, rutuk Henny dalam hati.
"Cepat pergi dari sini kalau mau selamat!" perintah Jesse.
Henny melongo. Dirinya selamat! Ya Tuhan, dirinya boleh pergi. Tanpa harus menunggu diusir
lagi, Henny cepat-cepat ngacir dari sana.
Jesse dan Christian saling pandang. Kemudian mereka melangkahkan kaki ke pintu gim,
melongok Rico dari sana. Christian ingin melangkah maju saat Jesse menahannya sambil
menggeleng perlahan. "Dia lagi bingung.... Biarin deh dia berpikir dulu."
Sejak melihat Sha-Sha kemarin, mereka mengerti beban apa yang ada di pundak Rico. Namun,
tak ada yang tahu seberapa berat beban itu. Hanya Rico sendiri yang mengetahuinya.
part* 14 Cinta Itu Dilema" VIKTOR menatap Ciya yang sedang menggandeng Aldy masuk ke mobil seusai sekolah.
Disikutnya Natya yang sedang duduk di gerbang SMA sambil menunggu mobil jemputannya.
"Lo liat deh...." Viktor menyorongkan dagunya ke arah Ciya. "Apa bener si Ciya nggak ada feeling
apa-apa sama Rico?" Natya berhenti memainkan kukunya lalu memandang serius ke arah Vios hitam yang sudah
bergerak maju. "Emangnya lo pikir si Rico itu ada feeling sama Ciya?" Natya mendengus. "Baru
liat cewek cantik dikit udah berani-beraninya dia main mata di depan Ciya. Sama siapa tuh
namanya" Sha.... Siapa" Raisha ya?" tanya Natya, melirik sebentar ke arah Viktor, dan disambut
dengan anggukan Viktor. "Panggilannya Sha-Sha, kan" Nama kok kayak nama vetsin. Bagusan
juga nama gue." "Heh! Kalo ngomong jangan sembarangan! Kalo emang si Rico nggak ada apa-apa sama Ciya,
mana mungkin dia ampe jombli berbulan-bulan kayak gini" Apalagi bisa sampe dapet nilai
sembilan pas ulangan math. Gue aja cuma dapet lima."
"Itu mah emang elonya yang bego," sungut Natya. "Dapet jelek kok malah nyalahin orang lain.
Makanya belajar! Tiap hari kerjaannya cuma main PS."
"Cerewet! Itu kan karena gue belom memperlihatkan kehebatan gue! Kalo gue udah beraksi, lo
malah tercengang-cengang nanti," Viktor cengengesan.
"He-he-he-he.... Dikira lucu ya" Rico itu bisa dapet bagus juga karena dia belajar."
"Nah.... Itu dia!" Viktor mengacungkan telunjuknya.
Natya mengerutkan dahi. Akhir-akhir ini cowoknya emang suka bertindak aneh.
"Coa lo pikir. Sejak kapan Rico pernah serius belajar?" Viktor menjentikkan jarinya. "Sejak ada
Ciya. Sejak kapan Rico mulai berhenti ngejar cewek" Juga pas Ciya dateng. Sejak Rico jadi
sering ketawa tiap hari" Lo inget kan, dia itu rajanya jutek. Tiap hari kalo nggak gue yang kena
sasaran mood-nya dia, pasti Christian yang kena. Dan sekarang.... Apa pernah dia begitu lagi"
Dan itu karena...." "Karena Ciya....," sambung Natya cepat.
"Exactly! Jadi kesimpulannya, nggak mungkin Rico no feeling sama Ciya. See?" Nah,
masalahnya si Ciya itu nggak ngasih tanggapan. Jadi.... Rico-nya capek nunggu, kali. Trus pas
banget deh si Raisha nongol," ujar Viktor dengan nada yang semakin pelan karena dilihatnya
tampang Natya yang melotot.
"Kata siapa Ciya nggak ngasih tanggapan! Kalo sampai si Rico nggak sadar, itu karena volume
otaknya emang nggak normal. Walapun Ciya juga nggak bilang apa-apa sama gue, gue aja
nangkep kok. Lo nggak liat hari ini dia uring-uringan gara-gara kemaren si Sha-Sha dateng"
Lagian, kalo bener Ciya nggak ada apa-apa, mana mungkin dia mau dengan sabarnya ngajarin
yang otaknya rada kurang itu. Apalagi pura-pura pacaran. Padahal gue tahu, dia itu keki
setengah mati, tapi tetep aja dibela-belain. Oh ya, satu lagi. Waktu itu mereka pernah ke Dufan
bareng. Si Rico nggak cerita ke elo ya?" tanya Natya mengakhiri kalimatnya.
Viktor membelalak. "Serius lo?"
Natya mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahnya. "Jadi?""
"Jadi...." *** "Lagi suntuk, kan?" Aldy menyerahkan secangkir cokelat yang masih mengepulkan uap panas.
Ciya tersenyum. Itulah yang paling disukainya dari Aldy. Dapat mengerti dengan jelas
perasaannya tanpa ada kata "kenapa".
Ciya bangkit, memandang interior kamar ini sampai sedetail-detailnya. Di meja belajar masih ada
stoples berisi seribu bintang yang dibuat Ciya saat Aldy berulang tahun ke-12. Di dinding masih
terpasang foto-foto masa kecil mereka bertiga dengan berbagai pose dan gaya. Di cermin masih
terlihat coretan tanda tangan tertempel di poster Spiderman ukuran besar. Tidak ada yang
berubah.... Bahkan setelah sembilan bulan Ciya tidak pernah ke ini lagi.
Disibaknya tirai biru itu. Terpampang sebuah bercat salem yang sangat dikenalnya. Kerinduan
tiba-tiba menyeruak. Ingin rasanya Ciya kembali mengetuk pintu rumah seberang dan berkata,
"Ma, aku pulang...." Namun, pikiran itu seketika berhenti saat seorang anak kecil berlari keluar
diikuti pengasuhnya. Tatapan mata itu pun seketika memudar. Ciya mendesah tertahan. Rumah
itu bukan rumahnya lagi, dan penghuninya pun bukan keluarganya lagi.
Tiba- tiba pintu terbuka. Dilihatnya Tante Ang___mamanya Aldy, namanya Angriana tapi
disingkat jadi Ang saja___masuk sambil tersenyum lebar-lebar dan merangkulnya. "Chiara, apa
kabar" Tante kangen banget sama kamu! Kamu kemana aja" Kenapa nggak pernah mampir lagi
ke rumah" Padahal Tante sering lho masak spageti kesukaan kamu."
Ciya agak risi saat mendengar nama lamanya, tapi hatinya tidak ingin mengusik susana haru
wanita yang sudah dianggap sebagai mamanya sendiri itu.
Tante Ang melepas rangkulannya. Telapak tangannya masih menggenggam bahu Ciya,
sehingga jarak mereka hanya selengan. "Kamu kurusan ya" Makan yang banyak dong! Tante
baru pulang kerja bih. Terus si mbok bilang kamu ke sini." Dia kembali memeluk Ciya. "Aduh,
kangen banget sama kamu."
Ciya jadi tertawa kecil. Ternyata Tante Ang ini memang tidak pernah berubah. Selalu baik hati.
"Sama, Tante. Saya juga kangen sama Tante." Ciya sengaja menggunakan kata ganti "saya"
untuk menyebut dirinya, karena dia masih belum memiliki cukup keberanian untuk memanggil
dirinya dengan kata ganti "Chiara".
"Ayo, makan dulu. Tadi Tante kebetulan beli mie. Yuk, makan!" Tante Ang merangkul Ciya turun
ke bawah. "Ayo, Aldy kamu nggak juga," ujarnya lagi memanggil anaknya.
Tante Ang sibuk membuka bungkusan mie dibantu Mbok Sarni, sementara mulutnya terus
mengoceh. Ciya sendiri kadang jadi berpikir, sepertinya Natya lebih cocok jadi anak Tante Ang
jika dilihat dari kemiripan sifat suka "berbicara yang berlebihan kadarnya". "Iya, tahu nggak sih,
Chi. Si Aldy itu sering banget ngomongin kamu. Dari kamu yang begini, kamu yang begitu, kamu
suka ini, kamu suka itu...."
Ciya menatap Aldy yang mulai memelototi mamanya itu.
"Pokoknya tiap hari topik yan paling sering diomongin itu cuma kamu. Sampe-sampe si Oom aja
pusing. Saking pusingnya, Tante jadi berencana melamar kamu saja supaya si Ald...."
"MAMAAA!!!" *** "Ci....," ujar Aldy seusai mereka makan. "Would you be my girl?"
Ciya terperangah. Walau ini bukan yang pertama kali Aldy berbicara seperti itu, tetap saja muncul
gejolak aneh dalam dirinya. Bingung....
Bukankan dulu Ciya pernah mencintainya" Bukankah cowok ini sempat ada di hatinya"
Bukankah cowok ini selalu menjaganya seperti Billy" Bukankah dia juda sempat mengharapkan
cowok ini berkata demikian" Billy sudah tidak ada, dia juga sudah bisa membuat semuanya
menjadi kenangan. Apa lagi yang harus diperhitungkan" Cepat jawab, Ciya! Ada sebagian dari
suara hatinya yang berteriak. Cepat bilang iya!
Ciya membukamulutnya. Tapi tak ada suara yang keluar dari sana. Ada apa dengan dirinya saat
ini" Apa lagi yang membuatnya bingung"
Aldy menarik napas. Dia sudah menebak apa yang ada dalam pikiran gadis di depannya ini. Ciya
membasahi bibirnya yang tiba-tiba kering, mencoba bicara.
"Yo...." Ciya menunduk, terdengar gumaman lirih dari bibir tipisnya. "Saat ini gue sendiri nggak
yakin dengan perasaan gue."
Aldy tersenyum pahit. Walaupun dia tahu, cepat atau lambat dia akan mendengar ini. Entah
kenapa dadanya terasa sesak. Penyesalan yang bergumul di seluruh tubuhnya terasa begitu
menyesakkan. Hatiya bicara, "Dam di saat kau menyadari perasaanmu yang sesungguhnya, tet
bukan namaku yang akan kausebut."
Sekarang, jembatan itu telah roboh sepenuhya. Bergantu dengan jalan beraspal. Hanya saja
jalan yang beraspal dan mulus itu bukankah cinta. Melainkan persahabatan. Ya, hanya
persahabatan. Masihkah ada kesempatan untuk mendapatkan kembali jembatan tadi"
*** Ciya menatap bintang dengan nanar sambil memeluk lututnya di balkon. Dibiarkannya angin
dingin menyapu tubuhnya hingga mengigil. Kata-kata Aldy masih terngiang dengan jelas di
telinganya. Ya Tuhan.... Ternyata sejak dulu pun dia tidak bertepuk sebelah tangan. Dan sekarang, di saat
dia menemukan kebenaran itu, haruskah kebenaran itu menjadi sesuatu yang yang sia-sia"
Sebenarnya, bagaimana perasaannya sekarng" Kepada siapa perasaan saat ini" Ya Tuhan,
Ciya memukul-mukul kepalanya gemas. Kenapa jadi begini" Sebenarnya ada apa dengan
dirinya" Di tempat lain, Sha-Sha memperhatikan perubahan dalam sosok Rico. Walaupun Rico tepat
berada di sampingnya, Sha-Sha merasa dirinya seperti bersama batu apung. Dingin.... Apalagi di
pinggir kolam renang. Malam-malam, lagi.


Separuh Bintang Karya Evline Kartika di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sering cowok itu menatap ke arah balkon, tempat seorang cewek sedang mendekam di dalam
kekalutan. Tidak hanya sekali, tapi cewek di balkon itu benar-benar telah menyedot perhatian
Rico seutuhnya. Sha-Sha memperetat rangkulannya. Tidak apa-apa. Toh Rico tetap tunangannya.
Raisha atau Chiara" TUNANGAN"!" Christian membelalak, lalu sedetik kemudian menutup mulutnya. Pandangannya
berputar ke sekeliling kantin, mencari-cari apa ada yang mendengar ucapannya tadi. Untung saja
cuma ada mereka berdua. Coba kalo ada Natya, bisa-bisa dalam waktu satu jam guru-guru pun
akan berdatangan memberikan selamat. Chris menurunkan tangannya ketika melihat situasinya
aman. Jari telunjuknya menowel bahu Rico. "Ah, jangan bercanda lo, Ric."
"Siapa yang bercanda?" Rico merengut, memainkan mi kangkung yang baru saja si pesannya
tanpa selera. "Gue aja baru tahu. Lo bayangin! Gue udah ditunangin dari SD. Bayangin! Dari
SD!" "Iya, iya.... Dari SD," ujar Chris cepat-cepat melihat wajah Rico berubah garang.
"Dan gue baru tahu sekarang! Sebenarnya yang tunangan itu siapa sih" Gue apa bokap gue"
Lagian, dia pikir sekarang zaman penjajahan apa" Siti Nurbaya aja nggak mau dijodohin. Dia sih
mending, abis kawin utang keluarganya langsung lunas. Itung-itung ada timbal balik. Lah ini....
Mestinya bokap gue yang jadi tukang nagih utang!"
Mau nggak mau Chris tertawa geli.
"Jangan ketawa! Bantuin gue mikir!"
"Mikir apa lagi?" tanya Chris tak sabar. "Bukannya lo bilang dia itu first love-nya elo. Apa
salahnya" Lo suka kan sama dia?"
"Justru itu. Gue sendiri bingung."
Chris menyeringai. "Kalo gitu cuekin aja. Toh yang tahu elo tunangan juga baru orang dalem. Di
luar itu, elo tetep bisa ngeceng-ngeceng. Kalo di sekolah, lo mau cari cewek juga no problem.
Mau putus, tinggal putusin. Selama Sha-Sha nggak tahu dan selama cewek lo nggak tahu. Apa
masalahnya?" "Justru itu.... Nggak tahu kenapa, bokap gue malah mau bikin acara tunangan secepatnya.
Malahan kalo bisa sebelum dia pergi ke Paris dua bulan lagi," ujar Rico lunglai.
Chris melotot. Saking kagetnya dia sampai tersedak Pepsi yang sedang diminumnya. "Lo serius
nggak sih" April Mop kan udah lewat."
Rico tidak menanggapi. Christian menelan ludah. Jadi, sahabatnya ini sedang benar-benar tidak bercanda. "Lo beneran
serius ya, Ric?" "Ampun deh, Chris. Yang kayak gini tuh nggak buat dijadiin bahan bercandaan!"
Christian terdiam. "Ciya udah tahu?"
Rico menggeleng. "Rencananya sih baru mau bilang ntar malem."
"Apa perlu gue yang bilang?" tawar Chris.
"Jangan!" sergah Rico. "Biar gue aja yang bilang."
Tiba-tiba mata Christian menangkap sosok Jesse dan Natya dari balik punggung Rico di
kejauhan sambil memberikan kode-kode. Melihat itu, Christian langsung memasang tampang
serius. "Kalo gitu, gue minta elo jawab sejujur-jujurnya." Matanya memancarkan kesungguhan.
"Siapa yang bener-bener lo suka" Lo nggak mungkin bingung kalo seandainya nggak ada cewek
lain di hati lo. Bener, kan?"
Rico berhenti memainkan sumpitnya. Matanya memandang Christian. "Maksud lo.... Ciya?"
Chris mengangguk. "Gue minta lo buang gengsi sejauh-jauhnya dan jawab pertanyaan gue tadi
sejujur-jujurnya." Rico terdiam sebentar. Raut mukanya berpikir keras. "Gue juga nggak ngerti. Di satu sisi, oke,
gue juga nggak ngerti sejak kapan Ciya jadi cewek spesial buat gue. Tadi di sisi lain, Sha-Sha itu
penantian gue, cewek pertama gue. Dia nggak kayak gue yang gonta-ganti pacar seenaknya
setelah dia pergi. Tapi dia.... Dia dengan sabarnya nunggu gue sampe hari ini. Hari kembalinya
dia ke sini. Dia benar-benar nungguin gue, Chris! Di saat gue senang-senang dengan cewek lain,
dia justru nolak semua cowok yang nembak dia. Di saat gue bahkan udah nggak peduli bakal
ketemu lagi sama dia, dia malah terus ngebujuk nyokapnya buat balik ke sini. Apa mungkin gue
nyia-nyianin dia gitu aja. Dia nyeberang lautan demi gue, Chris. DEMI GUE!!!"
Christian meletakkan botol Pepsi yang sudah kosong keras-keras. "Gue nggak butuh semua
omong kosong lo! Gue cuma minta satu kata dari dua kata yang gue ajuin. Ciya atau Sha-Sha?"
Rico mendadak beku. Hatinya benar-benar serasa diimpit batu. Pertanyaan Christian tadi sukses
membuatnya kehilangan kata-kata.
Christian menggebrak meja. Dia benar-benar emosi sekarang. Tidak pedulu lagi tentang berapa
pasang mata yang menengok karena ulahnya itu. "Lo nggak boleh kayak gitu, sinting! Gue nggak
pernah komplain lo gonta-ganti pacar seenaknya. Tapi kali ini, lo udah keterlaluan. Mana boleh lo
nginjek dua perahu sekaligus. Apa lo nggak pikirin perasaan Ciya dan Sha-Sha?"
Rico terdiam, dia seperti menangkap celah pada kata-kata Christian tadi. "Apa maksud lo"
Perasaan Ciya" Apa maksud lo?"
"Lo itu bener-bener goblok! Pacar lo segudang, tapi tetep aja keahlihan lo buat nangkep
perasaan cewek masih seuprit. Lo pikir sendiri apa maksud gue." Christian melenggang dari
sana sebelum Rico sempat bertanya lagi.
"Oh ya...." Christian berbalik setelah beberapa langkah. "Soal tunangan itu.... Tenang aja. Nurut
aja sama bokap lo. Dan lo pasti akan tercengang-cengang dengan ide brilian yang bakal gue
pake." Rico masih bengong menatap punggung Chris yang berjalan ke lapangan basket, bergabung
dengan Natya dan Jesse. Mau bikin ulah apa lagi sahabatnya itu"
"Gimana?" tanya Natya antusias.
Chris menempelkan ujung telunjuk dan jempolnya membentuk lingkaran. "Ada sedikit perubahan.
Tapi.... Tenang aja. Kita liat tanggal mainnya."
*** Rico melangkah keluar dari kantor polisi dengan wajah berseri. Tangannya langsung mengambil
HP dari saku kemeja sambil berjalan ke arah motornya di parkiran.
Telepon di seberang diangakt. "Halo, Aldy?"
"Gimana?" tanya Aldy, sepertinya sudah tahu topik apa yang akan dibicarakan Rico.
"Gue udah minta konfirmasi ke polisi temen Bokap. Sepertinya itu memang alamatnya. Tapi
masih belum pasti. Dia minta waktu buat menyelidiki lebih jelas."
"Oke, nggak masalah."
"Oke, dua minggu lagi gue kasih kepastiannya ke elo."
*** Ciya tertidur pulas di atas tumpukan buku kimia yang tengah dipelajarinya. Hal-hal yang terjadi
belakangan ini membuatnya sangat lelah. Bukan saja soal Sha-Sha..... Tapi pengakuan Aldy
tempo hari, belum lagi ulangan-ulangan yang menumpuk serta kebingungannya tentang
perasaannya sendiri membuat otaknya terasa sangat berat.
Rico berjalan tanpa suara dan duduk di pinggir tempat tidur Ciya, memperhatikan wajah gadis itu.
Sampai saat ini pun, Rico masih gamang dengan semuanya. Tentang Ciya, tentang Sha-Sha,
tentang orangtuanya, tentang pertunangan....
Terkadang, dia ingin sekali memaki dirinya sendiri. Apa iya, dia memang ditakdirkan menjadi
playboy beneran" Tidak bisa dipungkiri, kedua cewek itu menempati posisi yang sama di hatinya.
Bisa dibilang, Sha-Sha adalah masa lalu yang kini hadir kembali, tapi lewat dialah untuk pertama
kalinya Rico dapat mengerti apa arti harapan, apa itu cinta, apa yang dinamakan berarti. ShaSha pernah menjadi pelitanya yang bisa membuatnya berjalan dalam gelap. Menjadi sosok yang
selalu mengulurkan tangannya di saat Rico terpuruk. Cewek yang jelas-jelas datang ke
hadapannya dengan menyodorkan segepok cinta yang dirawat mati-matian untuk dirinya selama
lima tahun! Sebuah cinta yang selalu dideklamasikan Rixo sebagai cinta pertamanya yang
setulus hati. Satu-satunya cinta yang singgah dihatinya.
Dengan semua untaian di atas, bukankah tidak sulit memastikan siapa yang ada di hatinya" Tapi
kenapa yang terjadi justru kebalikannya" Kenapa dia malah sama sekali tidak tertawa gembira
saat mendengar berita pertunangan itu" Kenapa dia malah bingung tanpa alasan yang jelas"
Oke, mungkin alasannya cukup jelas. Dia tidak tahu siapa yang sungguh-sungguh ada dalam
hatinya. Rico memandangi wajah Ciya yang masih tidur pulas. Siapa cewek ini sebenarnya" Bukankah
dia hanya anak yang tidak mengerti asal-usulnya" Bukanlah dia hanya cewek aneh yang matimatian mencintai cowok yang jelas-jelas sudah meninggal" Siapa dia" Kenapa kehadirannya
bisa menjadi begitu berpengaruh" Kenapa cewek aneh kurus kering seperti dia bisa membuat
Rico berubah sampai begitu jauh"
Rico menarik napas panjang. Tiba-tiba pandangannya tertuju pada diary biru yang tersembunyi di
balik file-file kimia yang berserakan. Tanpa suara, diambilnya diary tadi.
Dibukanya halaman pertama, di situ terpampang selembar foto keluarga Ciya yang dulu. Rico
membalik-balik halamannya. Banyak puisi tertulis di sana, penuh potongan-potongan kejadian
istimewa, foto-foto masa lalu dengan semua orang yang tidak familiter dalam benak Rico.
Selebihnya, penuh coretan-coretan yang tidak dimengerti.
Hanya saja, semua hali yang ditulis Ciya, semua puisi yang dibuat dan semua foto terpajang....
Semua tentang Billy. Dan Rico merasa tidak nyaman dengan hal itu.
Dia terdiam. Sebersit perasaan aneh muncul di benaknya. Mungkinkah dia cemburu"!
Tapi pertanyaan tadi tertepis saat tangannya membalik halaman terakhir. Mata terbelalal melihat
kalimat yang tertulis di sana.
Billy...... Ternyata akan selalu ada akhir bagi sebuah kisah. Dan mungkinkah waktu kita memang sudah
berhenti..... Sampai di sini..... ___Chiara Rico mengatupkan kedua bibirnya. Otaknya sibuk mencerna semua kemungkinan yang bisa dan
akan terjadi. Apa maksudnya" Mungkinkah?" Rico tidak berani menebak. Dan dia tisak mau
menebak. Dia takut tebakannya akan salah dan malah memperparah perasaannya saat ini.
Ditutup dan dikembalikannya diary itu ke tempat semula.
Rico mengelus rambut Ciya perlahan, kemudian ditepuknya pipi gadis itu. "Hei, bangun! Tidurnya
di kasur," ujarnya di telinga Ciya.
Kalau sejak awal Rico tahu Ciya lebih sering tidur di meja belajar, di balkon, dan di sofa, mungkin
dia akan memberitahu papanya agar tidak usah repot-repot membelikan cewek itu kasur. Double
bed pula. Rico merengut saat Ciya tetap bergeming. "Tuh, kan," ujarnya kesal. "Kenapa sih ada cewek
yang tidurnya kayak babi"!"
Akhirnya dia mengalah, bangkit dan menggendong Ciya ke tempat tidur. Bibirnya mengulum
senyum saat menyelimuti cewek itu. Pikirannya melayang ke saat Ciya merawatnya tempo hari.
Rico merebahkan tubuhnya di sofa. Ia memeluk boneka panda Ciya, kemudian memejamkan
mata di sana. Tanpa ada yang tahu, ada seseorang yang menahan sakit hatinya melihat semua kejadian tadi
dari kejauhan. *** "KYOOOOO!!!!!" Rico melonjak bangun mendengar teriakan tadi. Matanya langsung memicing saat sinat matahari
menusuk matanya lurus-lurus. Tapi dia masih bisa melihat Ciya yang melotot di depannya sambil
menunjuk-nunjuk dan berteriak histeris.
"Lo ngapain" Kenapa lo tidur di sofa gue?" Ciya memperhatikan bajunya dan baju Rico berulangulang. Masih utuh. Pastinya tidak terjadi apa-apa. Trus kenapa cowok itu bisa tidur di sofa
kamarnya" Terdengar langkah-langkah yang menuju ke sana dengan kasak-kusuk yang semakin jelas.
Mendengar itu, tanpa peduli dengan matanya yang masih mengantuk, Rico buru-buru mengunci
pintu, tangannya langsung mendekap mulut Ciya saat seseorang mengetuk pintu.
Ciya melebarkan matanya menatap Rico, membuat mata belonya itu seperti hendak loncat
keluar. Kakinya melonjak-lonjak berusaha melepaskan diri sambil berteriak-teriak dengan suara
teredam telapak tangan. Rico balas melotot, "Jangan berisik! Ntar dikira kita ngap-ngapain!"
Apa dia bilang" Ciya meronta-ronta. Bukannya cowok itu memang sudah ngapa-ngapin" Kalo
nggak, kenapa bisa tidur di sini"
"Nggak apa-apa, Ma. Tadi ada tikus!" teriak Rico cepat saat mendengar suara Fatma yang
khawatir. "Apa?" Mana mungkin ada tikus?" kata Bik Tum merasa bersalah. "Tiap hari Bibik bersihin
kamarnya Non Ciya." "Tikusnya dateng dari jendela, Bik. Semalem Ciya lupa nutup pintu balkon," ujar Rico tak sabar.
"Udah, nggak ada apa-apa kok. Rico lagi cari tikusnya. Kalo pintunya dibuka, takut tikusnya
kabur keluar." Tangannya masih mendekap mulut Ciya kencang-kencang. Takut cewek itu
mengucapkan kata-kata aneh.
"Mau dibantuin nggak?" tanya Henry bersemangat. Mungkin faktor terlalu lelah di kantor
membuatnya merasa menangkap tikus adalah mainan baru penghilang stres.
"Nggak usah, Pa. Udah, tenang aja. Pasti dapet! Papa Mama turun aja dulu!"
Terdengar gerutu-gerutu tidak puas di balik pintu, tapi perlahan-lahan mulai menghilang
beriringan dengan suara langkah yang semakin menjauh. Rico melepaskan tangannya dari mulut
Ciya dan mendapati cewek itu terengah-engah kehabisan napas. Sepertinya dia menekap mulut
Ciya terlalu kuat. Ciya menepuk-nepuk dadanya. "Lo mau gue mati ya" Lo nggak baca buku biologi, kalo nggak
ada oksigen di otak, orang bisa mati, tahu!" Ciya merengut sambil menarik napas panjangpanjang. "Sekarang jelasin! Ngapain lo tidur di kamar gue?"
Rico tidak menjawab. Jarinya menunjuk ke jarum jam yang bergeser ke angka enam lewat tiga
puluh menit. "Lo mau telat ke sekolah?"
Ciya benar-benar keki sekarang, sebelum akhirnya memutuskan untuk menyambar handuk yang
tergantung di dinding depan kamar mandi. "Kalo gitu gue pergi bareng lo! Jelasin di mobil!
Sekalian tolong telepon Yoyo, bilangin dia nggak usah jemput!"
BLAM! pintu kamar mandi dibanting.
*** Seperempat jam kemudian....
Ciya mengigit setangkup roti di mulutnya, sementara tangannya sibuk membawa buku-buku
pelajaran yang belum sempat dia masukkan tadi malam. Rambutnya belum disisir dan bajunya
masih awut-awutan. Dilihatnya Rico tidak kalah berantakan. Rambut yang biasanya berdiri
runcing dengan gel tebal, sekarang kupluk seperti kuda poni. Tangannya menjinjing sepatu dan
kaus kaki yang belum terpasang di tempatnya.
"Bawain gue roti juga sekalian!" perintah Rico sambil berlari menuju pintu mobil.
Ciya yang sudah sibuk dengan benda-benda bawaannya, akhirnya memaksa setangkup roti lagi
masuk ke mulutnya. Henry hanya geleng-geleng melihat tingkah dua anak itu, sedangkan Fatma
hanya melirik dari sudut koran pagi yang tengah dibacanya. Sepertinya nyonya ini memang
benar-benar tidak pedulu pada apa pun kecuali uang.
Sha-Sha berjalan ke arah jendela. Memandang ke arah mobil yang beranjak ke luar pagar.
part* 16 Jealousy..... Oh Jealousy.....
Dan ketika semuanya berubah..... Menyisakan dua hati yang luluh tak berbekas.
"HEH! Kenapa lo bawa roti gue pake mulut" Kena iler lo semua nih!" protes Rico saat Ciya
menyerahkan roti bagiannya.
"Cerewet! Nggak liat tangan gue tadi udah penuh! Salah sendiri!" sungut Ciya sambil memakan
rotinya. "Kalo nggak mau, buat gue sini!"
Rico menarik rotinya dari tangan Ciya yang terulur. Otaknya mengingat-ngingat tentang semua
kemungkinan penyakit yang bisa menular lewa ludah. Tapi perutnya yang keroncongan sudah
membuat otaknya mati kutu. Mau tak mau digigitnya roti tadi dengan setengah hati.
"Sekarang ceritain cepetan!" bentak Ciya tak sabar.
"Cerewet!" Rico menelan gigitan roti pertamannya yang.... Basah. "Gue cuma mau lo tidur di
kasur semalem. Lagian, ngapain coba tidur di meja. Ntar masuk anging, tahu! Makanya kalo tidur
jangan kayak kebo! Dibangunin nggak bangun-bangun! Akhirnya lo gue gendong ke kasur." Rico
mengingat-ingat kejadian tadi malam. Untung Ciya kurus. Kalo nggak, mungkin tangannya yang
bakal patah. "Trus gue ketiduran di sofa lo."
Ciya menelan suapan rotinya yang terakhir. "Lo nggak ngapa-ngapain, kan?" tudingnya curiga.
"Emangnya lo mau diapa-apain?"
Ciya mendesis kesal. Kemudian dia memekik melihat jam yang sudah menunjukkan pukul
setengah delapan. "Ya ampun! Kenapa sih lo nyetirnya kayak kuya" Cepet dikit! Ini udah
telaat!!!" tangannya menarik-narik baju Rico dan kakinya menjulur ke sela-sela kaki Rico. "Sini
deh, gue yang injek gas, elo yang pegang setir."
"Heh! Jangan ngaco! Duduk aja sana!" Rico memukul kepala Ciya. "Gue belom mau mati! Gue
masih belom kawin tahu!"
Ciya merengut sambil mengelus kepalanya.
Rico melihat jam dan tiba-tiba saja ide gila muncul di benaknya. "Hari ini nggak ada ulangan,
kan?" Ciya menggeleng dengan mulut meruncing keluar.
"Kalo gitu.... Bolos aja yuk! Lagian udah telat ini!"
"Apa!" Ciya langsung mendelik. "Heh! Udah gila ya! Lusa tuh ulangan umum tahu! Lagian hari ini
ada matematika, dan mau ngebahas soal-soal tahun lalu. Kalo kita nggak dateng....
bla....bla....bla..."
Tapi Rico hanya tertawa nakal dan membelokkan mobilnya ke arah berlawanan.
"KYOOOO!!!!" *** Ciya menekuk mukanya saat Rico menariknya turun dari mobil dan membawanya ke depan
sebuah gedung yang Ciya sendiri tidak mengerti ada di mana.
"Tunggu di sini!" perintah Rico, kemudian dia berbicara sebentar dengan pria penjaga gedung itu.
Ciya melihat Rico menyerahkan beberapa lembar uang seratus ribu dari dompetnya.
"Ayo masuk!" Rico menarik tangan Ciya lagi setelah melihat Ciya tetap bergeming di tempatnya.
"Jadi cewek kok susah banget diaturnya sih!" sungutnya lagi saat mereka memasuki lorong
gedung. Gedung ini terkesan kuno, masih banyak ukiran bergaya Belanda di sana-sini. Pilar-pilarnya
tinggi dan berwarna putih kusam. Mungkin karena terlalu lama tidak direnovasi. Lantainya
marmer warna kuning gading. Banyak lukisan dan foto tentang pertunjukan orkestra dan balet.
Sesekali terlihat ukiran malaikat dan pemain harpa yang terbentang pada salah satu dinding.
"Mau ke mana sih, Kyo....?" ujar Ciya kesal setelah harus berjalan terus-menerus melewati
lorong yang panjangnya minta ampun, tanpa ada juntrungannya. "Kyo, sebenarnya mau ke
ma...." Ciya menghentikan ucapannya sesaat setelah Rico membuka lampu-lampu sorot
memancar, menerangi tempat mereka berada saat ini.
Ciya terbelalak. "Wuaahh...." Iya tertegun memandang ke sekelilingnya.
Mereka berada di sebuah panggung yang sangat besar. Di depannya terbentang deretan bangku
sejajar dari atas ke bawah. Dua helai tirai besar tergantung di sisi kiri dan kanan panggung. Tidak
ada jendela di sana. Satu-satuya penerangan berasal dari beratus-ratus kristal bening yang
tergantung di langit-langit yang memantulkan cahaya lampu sorot. Seperti bintang-bintang buatan


Separuh Bintang Karya Evline Kartika di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang memberi nuansa malam.
Klik.... Sebuah lampu sorot menyala lagi. Kali ini sinarnya menuju ke tengah-tengah panggung.
And guess what?" Di sana terdapat sebuah grand piano hitam mengilap. Kaki-kakinya dicat
warna emas, dan rangkanya terbuat dari kayu ebony. Dari bagian dalam grand piano yang
terbuka berpendar warna keemasan saat lampu sorot tepat menyinarinya.
"Gila!!" teriak Ciya sambil mengelilingi piano tadi. "Keren banget!"
Dengan hati-hati, seakan takut sedikit gerakan saja akan membuat lecet, Ciya duduk dan
membuka tutup piano. "Boleh dipencet?" tanyanya.
Rico mengangguk dan duduk di sebelahnya.
Terdengar dentingan nada do. Ciya tertawa. Kemudian dia melirik Rico. "Katanya bisa main
piano juga. "Sini...." dia menepuk-nepuk sisi bangku di sampingnya. "Coa main!"
Rico mendesis. "Meremehkan...." Dia menepuk bahu Ciya agar bergeser. "Denger nih!"
Kemudian jarinya memainkan nada-nada asal tidak keruan.
Ciya menyeringai. "Heh! Ngapain ketawa" Itu baru pemanasan tahu!" omel Rico. Lalu, tiba-tiba saja terdengar
alunan nada. Jari-jari Rico menari-nari di atas tuts-tuts hitam dan putih, kadang meloncat-loncat,
kadang meluncur lurus. Dan senar-senar kuning itu terlihat bergerak-gerak naik turun.
Ciya terperangah.... Lagunya memang bukan lagu mellow, lagu yang juga baru didengarnya untuk pertama kali. Tapi
entah kenapa, nada-nada itu bukan hanya sekadar rangkaian not balok yang terpasang
sempurna. Lebih dari itu. Ciya sepertinya merasakan dirinya luruh pada sebuah penghayatan
yang dalam. Berulang-ulang dia memperhatikan Rico dan memasang telinganya lekat-lekat.
Separuh karena tidak percaya Rico bisa memainkan lagu sebagus itu, separuh lagi karena
memang tidak mau percaya kalau yang memainkan lagu sebagus itu adalah Rico.
Rico nyengir saat menyelesaikan permainannya. "Gimana" Keren kan permainan gue?"
Ciya mencibir. "Itu lagu apa?"
"Pagode, ciptaan Debussy."
Ciya melongo. Apaan lagi tuh" Nama orang atau nama tempat" Tapi akhirnya dia tertawa. "Iya,
kali ini gue nyerah deh. Tadi emang keren. Hehehe...."
Rico terkekeh, kemudian berjalan ke tengah panggung. Dia membentangkan tangannya lebarlebar dan menghirup udara panggung seluas ini! Dan ditonton oran sebanyak bangku-bangku di
sana!" Matanya menatap lurus-lurus ke tengah ratusan penonton yang memberinya tepuk
tangan. Dia tersenyum. Pikirannya jauh melayang ke masa silam.
"Dulu, semuanya adalah kehidupan gue," ujar Rico tanpa menatap Ciya. "Piano, musik klasik,
panggung konser, tepuk tangan, dan cahaya lampu. Semua itu membuat gue serasa benarbenar menjadi...." dia menunjuk salah satu patung malaikat zaman Yunani yang sedang terbang
sambil membawa alat musik tiup semacam flute, lalu berseru keras-keras, "Angel!"
Dia tertawa sinis. "Apa yang kurang dari seorang Enrico Leman" Anak seorang pengusaha
sukses, menggelar konser perdana saat berumur delapan tahun, masuk berita di koran dengan
gelar sebagai 'Pianis Termuda' tinggal di rumah mewah dan sangat berkecukupan...."
Ciya terdiam, dia tidak menggubris semua ucapan Rico yang belakangan. Dia hanya mendengar
sampai baris Rico mengatakan perihal dirinya masuk koran. Otaknya berpikir keras. Pianis
Termuda" Pianis termuda" Kayaknya pernah dengar... Apa ya" Dia berusaha mengorek semua
ingatannya. Tunggu dulu.... Sepertinya dia ingat sesuatu.
Ciyam melemparkan tasnya begitu saja ke sofa sepulang sekolah. Matanya berkeliaran mencaricari makanan. Kemudian Billy muncul dengan seragam putih merah yang berlepotan lumpur
bekas main bola di sekolah. "Mama.... Chiara lapar."
Billy dan Chiara berlari begitu mendengar sayup-sayup suara mamanya. Tapi langkah mereka
terhenti begitu mengetahui suara itu bukan ditujukan untuk mereka. Mamanya sedang telepon.
"Oh ya" Jadi pianis termuda itu anakmu" Iya, aku sudah baca beritanya di koran. Eh, anak-anak
sudah pulang. Sebentar ya," Merina menurunkan telepon, "kalian makan dulu sana. Aduh.... Billy!
Kenapa bajumu kotor begitu...."
Ciya terkesiap mengingat hal itu. Apakah pianis muda yang disebut-sebut itu Rico" Dan orang
yang sedang telepon mamanya berarti.... Henry" Kalau orang itu benar-benar Henry, berarti
mereka sudah kenal selama ini" Dan kalau memang sudah kenal selama ini, kenapa Henry tidak
pernah ke rumah" Kenapa dia sama sekali tidak pernah tahu tentang keberadaan Henry"
Bahkan Ciya baru tahu tentang Henry pun saat dia diangkat anak olehnya. Kenapa Mama tidak
pernah bicara perihal Henry" Tentang persoalan pianis termuda itu pun tidak. Padahal Mama
selalu membicarakan dan berdebat tentang berita-berita yang ditulis di koran dengan Papa. Ada
apa ya" Tiba-tiba saja, Ciya merasa ada sesuatu yang janggal.
"Begitulah.... Gur selalu berpikir begitu. Semuanya serba sempurna! Walaupun bokap gue nggak
pernah hadir di tiap konser, walaupun nyokap gue juga nggak pernah tertarik dengan yang
namanya musik, tapi berkat dukungan uang mereka, gue bisa mencapai itu semua." Rico
menekan kalimatnya pada kata "uang". Kemudian mendesah kesal. "Dan, semua itu karena ShaSha. Dia yang support gue tiap kali konser, dia yang selalu ada setiap kali gue butuh seseorang,
dia yang selalu ada tiap kali gue jenuh, semuanya semata-mata karena dia!" Rico mengakhiri
kalimatnya dengan wajah muram. "Dan ironisnya, karena dia yang memulai, dia juga yang
mengakhiri. Semua kegemerlapan itu tiba-tiba kandas di tengah jalan. Setelah Sha-Sha pergi,
semuanya serbakacau. Tidak ada semangat latihan, makan omelan tiap hari, sekolah juga nggak
karuan. Semua pandangan yang tadinya sangat terpesona, berubah menjadi tampang
melecehkan. Sungguh melelahkan." Rico menunduk.
Ciya terdiam. Tidak tahu harus bicara apa. Otaknya masih berslieweran antara kisah pianis
termuda, Henry, dan mamanya. Tapi begitu mendengar Sha-Sha, perhatiannya kembali terpusat
pada Rico. Sebesar itukah pengaruh Sha-Sha terhadap Rico" Hampir sama seperti pengaruh
Billy sepenuhnya, walaupun saat ini dia sudah bisa melepaskan Billy sepenuhnya, tapi dia tahu
bagaimana sulitnya melupakan orang yang memiliki pengaruh sangat besar. Terlebih, orang
yang memiliki pengaruh besar itu telah kembali dan sungguh-sungguh berada tepat di hadapan.
Dan orang itu benar-benar bernapas dalam kehidupan nyata!
Tiba-tiba saja Ciya merasa sesak. Sejak kedatangan Sha-Sha, dia sering merasa seperti ini.
Perasaan pengap yang dia sendiri tidak mengerti karena apa.
"Hei...." Ciya berdiri dari duduknya. Berusaha menepis perasaan itu. Dia berjalan ke pinggir
panggung, menatap deretan bangku merah dan pantulan sinar kristal yang bergerak-gerak. "Apa
perlu senaif itu?" Ciya membalikkan badannya dan memandangi Rico sekarang. "Panggung ini, bangku-bngku di
sana, lampu-lampu kristal, pujian, pandangan terpesona.... Semuanya hanya benda maya. Dan
walaupun elo kehilangan itu semua, ada satu bagian yang tetap akan selalu ada. Di sana." Ciya
menunjuk grand piano tadi.
"Musik...." Ciya tersenyum. "Musik itu kan milik semua orang, bukan cuma milik oran yang
berpakaian formal, bukan cuma milik gedung yang mewah, bukan cuma milik lampu-lampu
kristal, juga bukan cuma milik lo dan Sha-Sha." Ciya memandang Rico dalam-dalam. "Jadi.... Lo
salah besar kalo bilang hidup lo kacau di saat lo kehilangan semua kegemerlapan itu! Buktinya,
lo masih bisa eksis bareng band lo dan.... Yah, elo juga cukup menghibur cewek-cewek waktu lo
manggung tempo hari. Beda-beda. Bener, kan?" tanyanya nyengir.
Rico tergelak kemudian berjalan ke samping Ciya. Itulah yang dia suka dari cewek ini. Sok tahu,
sok pinter, sok benar, tapi___harus diakui___kata-katanya sangat menyejukkan.
"Lagi pula....," Ciya memandang Rico yang ada di hadapannya sekarang, "yang memulai semua
itu bukan Sha-Sha, bukan juga nyokap lo, bukan bokap lo, bukan panggung konser, dan bukan
semua kegemerlapan itu. Tapi ELO!! Elo yang memulai, Kyo. Dan kenapa semua itu berakhir"
Juga karena elo! Karena kemunafikan lo dan karena kemajuan lo!!"
Rico tersentak. Sorot mata Ciya saat mengucapkan itu benar-benar memberikan sinar terang di
hatinya yang sempat buta. Rico tersenyum. Tangannya terjulur untuk mengelus rambut Ciya.
"Jadi....," Ciya menepis tangan Rico, "kita bolos cuma mau begini doang nih?" dia merentangkan
tangannya lalu duduk di bangku piano tadi. "Mendingan ajarin gue main!"
Rico masih tersinggung dengan kelakuan Ciya tadi, tapi mau tidak mau dia duduk di sebelahnya.
"Alah, main begini doang mah gampang!" Ciya memencet satu tuts. "Ini do, kan?"
"Bukan.... Ini fa. Yang ini baru do. Jangan sok tahu makanya!"
"Enak aja bilang gue sok tahu. Jelas-jelas ini do."
"Itu fa. Yang ini baru do. Nih.... Do re mi fa sol...."
"Itu bukan do. Yang ini baru do. Gue pernah main seruling kok waktu SMP."
"Apa hubungannya seruling sama nada do?""
Siang itu tidak ada dentingan piano yang keluar.
Sha-Sha merebahkan tubuhnya di salah satu kursi di pinggir kolam renang. Dia memejamkan
mata. Hatinya terasa sakit.... Sangat sakit.
"Makasih ya, selama ini kamu udah banyak bantuin Rico....," ujar Sha-Sha saat menemukan Ciya
duduk di belakang meja belajarnya.
Ciya terperanjat, bukan hanya karena Sha-Sha tahu-tahu sudah masuk dan sekarang malah
berdiri di belakangnya, tetapi lebih pada kalimat yang diucapkan barusan. "Bantuin" Emang gue
bantuin apa?" Ciya tertawa kemudian merengut. "Rico sendiri aja nggak pernah bilang terima
kasih." Sha-Sha ikut tersenyum, dia mengulurkan tangan kanannya. "Mulai hari ini kita temenan ya?"
Ciya masih menebak-nebak apa yang sebenarnya dipikirkan cewek itu. Tapi kemudian dia ikut
tersenyum sambil menyambat uluran tangan Sha-Sha.
"Lagi belajar?" tanya Sha-Sha sambil memandang ke arah buku-buku yang berserakan di meja.
Belum sempat Ciya berkata apa-apa, Sha-Sha sudah lebih dulu mengambil salah satu foto yang
ada di meja. "Ini pacar kamu ya?" tanya Sha-Sha sambil mengacungkan foto Billy. Ciya yakin
Rico telah mengatakan tentang Aldy, kalo nggak, cewek itu pasti akan mengira Aldy adalah pacar
Ciya. Ciya baru mau berkata bukan ketika Sha-Sha lagi-lagi mendahului.
"Untung deh. Aku pikir kamu ada apa-apa sama Rico." Sha-Sha tersenyum. "Aku bisa patah hati
kalau tunanganku pacaran sama cewek lain."
Apa?"!!! Ciya mematung. Pensil yang ada di tangannya jatuh begitu saja ke lantai. "Tunangan?"
Sha-Sha mengangguk, masih sambil tersenyum. "Iya, tunangan." Sha-Sha berbisik ke telinga
Ciya, "Dia nggak suka sama cewek lain, kan" Di sekolah dia nggak punya pacar, kan?"
Ciya masih tak percaya dengan apa barusan dia dengar. Sebenarnya, si Sha-Sha ini bicara apa
hi" Tunangan" Mana mungkin mereka tunangan" Rico kan jelas-jelas patah hati karena
kepergian Sha-Sha beberapa tahun lalu" Lalu kenapa cewek ini dengan riangnya mengatakan
mereka tunangan" "Ciya, Rico nggak punya pacar lain, kan?"
Ciya tersentak ketika Sha-Sha mengulang pertanyaan yang sama. Ciya menggeleng tanpa
sadar. "Satu-satunya cewek yang ada di hati Rico cuma elo."
Mestinya kata-kata Ciya kemarin sore sudah cukup membuatnya yakin tentang Rico. Tapi
hatinya malah terasa lebih sakit lagi. Entah kenapa, Sha-Sha selalu merasa ada sesuatu yang
perlu dikhawatirkan. Sebenarnya ketakutan Sha-Sha bukan karena Rico mempunyai pacar di
sekolah, tapi justru karena Ciya.
Sering kali dia menemukan sosok Rico yang belum pernah dikenalnya, yang hanya bisa terlihat
bila cowok itu sedang bersama Ciya. Berkali-kali Sha-Sha mendapati Rico yang terlalu khawatir,
padahal Ciya hanya tergores pisau, atau kaki Ciya hanya tersandung meja, atau..... Entahlah.
Setiap kali Sha-Sha menanyakan hubungan mereka berdua, Rico hanya tersenyum tipis. Dan
kalaupun menjawab, paling-paling jawabannya cuma, "Lho, dia kan saudara angkat gue."
Emangnya Rico pikir dia bego apa ampe nggak tahu kalo mereka berdua saudara angkat"
Hanya saja, raut muka memang tidak bisa berbohong, kan"
Raut wajah tegang Ciya semalam apa belum cukup menunjukkan bahwa Sha-Sha memang perlu
khawatir" Tiba-tiba seseorang berlari, lalu berhenti tepat di depannya, masih dengan napas terengahengah dan mengenakan seragam SMA.
"Mana Ciya"!"
*** Rico menunjuk salah satu fotonya di sebuah klipingan koran yang sudah menguning. "Liat nih! Ini
konser perdana gue. Waktu itu masih cupu ya?"
Saat ini mereka berada di ruang perpustakaan. Hebat juga yang Gedung Nasional ini! Ciya baru
mengetahui nama gedung ini akhir-akhir ini. Ciya pikir gedung ini hanya untuk konser. Ternyata
ada ruang penyimpanan alat-alat musik zaman dulu. Semacam museum gitu deh. Tadi Ciya juga
sempat melihat piringan hitam. Keren banget! Terus ada ruangan buat menyimpan kostum-
kostum tari. Katanya sih, kostum-kostum itu memang sudah tidak terpakai dan disimpan buat
pajangan aja. Ada lagi perpustakaan! Ternyata setiap acara seni yang pernah dilangsungkan di gedung ini
dibuatkan makalahnya. Baik yang difoto secara langsung maupun yang dikliping dari koran. Biar
ada nilai historisnya, kata pak tua penjaga perpustakaan tadi. Ciya sempat menganga saat
masuk ke perpustakaan ini. Rasanya seperti masuk ke abad pertengahan. Desain dindingnya
berukir daun-daun merambat. Ruangannya hampir setinggi katedral dengan ornamen kaca di tiap
sudut ruangan. Semua buku tersusun tapi pada rak-rak yang panjangnya bermetermeter. Banyak buku yang sudah menguning saking lamanya, tapi___yang
mengherankan___tidak ada satu titik debu pun di sana. Hmmm.... Sepertinya pak tua itu bisa
diandalkan. Ciya tertawa melihat foto Rico yang mengenakan tuksedo hitam dengan potongan rambut belah
tengah. Bayangkan saja potongan rambut Aldy Lau delapan tahun yang lalu. "Emangnya
sekarang udah nggak cupu?" tanyanya.
Rico mendelik. "Bukannya elo pernah bilang kalo gue cakep?"
Ciya melongo. "Hah" Kapan gue pernah bilang?"
"Pokoknya waktu itu elo pernah bilang!" sengit Rico. Dia malas mengingatkan Ciya tentang
peristiwa waktu itu. Itu lho, waktu Rico menyerahkan kertas Peraturan. Saat itu kan Ciya pernah
bilang bahwa tampang Rico bisa dibanggakan. Walaupun kalimat lanjutannya sangat
menyebalkan. "Paling lo salah denger." Ciya terkekeh. Dia membalik klipingan koran yang sudah menguning
dengan hati-hati. "Kalo nggak, berarti gue ngomongnya pas lagi mabok. Hahaha..... Adaw!"
Rico menjitak kepala Ciya.
Sejenak mereka adu pelotot-pelototan. Kalau saja penjaga perpus tidak berdeham-deham
kencang, mungkin aksi pelototan itu akan sungguh-sunggu melahirkan huru-hara.
Akhirnya mereka tidak berani bertingkah. Ciya tidak lagi memelototi Rico, sebagai gantinya, ia
beringsut mengambil lagi beberapa kliping dari rak bertulisan "Tahun 1980". Sedangkan Rico
kembali bergelut dengan pikirannya. Tentang pertunangannya, perasaannya, dan.... Kariernya.
part* 17 "Gue pengen balik lagi ke dunia ini," gumam Rico pelan, kedua telapak tangannya menopang
dagu. Matanya memandang lurus ke arah buku-buku dan kliping yang berserakan. "Gue pengen
main piano lagi. Gue pengen bikin konser lagi."
Ciya terdiam. Dari raut wajah Rico saat ini, dia sudah mengerti kalau cowok itu bersungguhsungguh. Tanpa mengambil buku apa pun, akhirnya dia memilih duduk kembali di samping Rico.
"Heh!" Rico menyikut Ciya. "Lo dengerin gue nggak?" tanyanya saat Ciya sudah benar-benar
duduk di sampingnya. "Iya, denger." "Kenapa nggak komentar?"
"Mau komentar apa" Mau balik" Balik aja sana. Emangnya gue peduli. Sekarang kan tukang
sopport lo udah pulang. Balik aja sana. Duet sekalian!" Ciya sendiri hampir tidak percaya kalau
nada suaranya bisa jadi sejutek itu.
Rico memasang tampang jelek. "Kok jadi marah-marah sih?"
"Siapa yang marah?" kilah Ciya.
Rico menyeringai. "Tingkah lo mirip orang yang lagi cemburu, tahu nggak?"
Ciya melotot. Tanpa sadar, dia menggebrak meja.
Bapak penjaga perpustakaan ikut terlonjak. Tangannya gelagapan membetulkan kacamata yang
melorot dari hidungnya. Dia bersiap untuk marah. Tapi begitu melihat dua remaja itu, niatnya
surut. Gantinya, dia cuma bergumam-gumam meminta berkat. "Mudah-mudahan jangan
berantem..... jangan berantem...."
Untung saja perpustakaan itu selalu kosong di hari-hari kerja. Kalo nggak, mungkin Rico dan
Ciya udah jadi sasaran lemparan bolpoin pengunjung perpus yang lain.
"Ngapain gue cemburu sama orang yang udah punya tunangan!" Ciya sendiri terkejut dengan
kata-kata yang ia ucapkan barusan. Dia menutup mulutnya ketika sadar tentang apa yang dia
ucapkan, lalu menggumam tidak jelas.
Rico juga terkesiap mendengar kalimat Ciya. Dari mana cewek itu tahu perihal pertunangannya"
Susah payah dia mikir gimana caranya ngasih tahu Ciya, ternyata ada orang lain yang udah
bilang duluan. Brengsek si Christian!
Tiba-tiba HP Ciya berbunyi. Ciya merogoh HP-nya dari kantong. "Halo, Yo...."
Dari raut muka Ciya yang tiba-tiba berubah, Rico sudah bisa menebak bahwa Aldy sudah tahu
tentang bolosnya mereka. "Iya, maaf. Gue lagi di...." belum sempat Ciya mengatakan tempat keberadaannya, Rico berhasil
menggapai HP Ciya dan langsung menutupnya.
"Apa-apaan sih?" bentak Ciya.
"Pembicaraan kita belum selesai. Jangan undang orang ketiga!"
Ciya mendelik sambil merampas HP-nya kembali. "Mau ngomong apa lagi"!" Dia benar-benar
kesal sekarang. "Elo ngajak gue ke sini cuma buat bilang kalo elo bakal tunangan sama ShaSha, ya kan" Dan karena cewek tercinta lo itu udah ada di sisi lo lagi, maka elo juga bisa dengan
tenang kembali ke dunia gemerlap itu lagi, kan" Panggung konser, piano, tepuk tangan, masuk
koran..... Gue udah denger dan gue udah tahu. Oh, apa elo mau gue ngucapin selamat" Kalo
gitu sela....." Belum sempat Ciya menyelesaikan kalimatnya, Rico memeluknya. Sejenak Ciya tercekat. Tidak
menyangka akan mendapatkan perlakuan seperti itu. "Jangan ngambek lagi!" bisik Rico tepat di
telinga Ciya. Bahkan saat ini Ciya bisa merasakan desahn napasnya. Ciya hendak melepaskan
diri dari dekapan cowok itu, tapi tenaganya tidak cukup untuk memberontak di tengah-tengah
rengkuhan tangan yang begitu kuat. Lagi pula dia juga tahu, apa pun yang dipikirkan Rico saat
ini, cowok itu tidak akan mungkin melepaskannya. Jadi, dia hanya bisa pasrah dengan posisinya
yang sekarang. "Gue nggak ngambek," sungut Ciya dengan dagu masih berada di bahu Rico.
Rico melebarkan bibirnya. "Bener lo nggak ngerasain apa-apa waktu tahu gue tunangan sama
Sha-Sha?" tanyanya dari sela-sela rambut Ciya.
Ciya tak menjawab. "Ketemu tiap hari, ke sekolah sama-sama, belajar sama-sama, makan sama-sama, ngobrol
sama-sama. Mestinya justru aneh kalau nggak ada apa-apa antara elo dan gue."
Ciya masih tidak menjawab.
"Apa karena Billy?"
HP Ciya kembali berbunyi. Ciya mengambil kesempatan itu untuk langsung menjauhkan
tubuhnya. Belum sempat tangannya merah HP, Rico kembali merebut kemudian mematikannya.
"Lo kenap...." "Gue belom mau pulang!" ujar Rico santai sambil menaruh HP Ciya di kantong celananya.
Ciya mendelik kesal. Dia benar-benar tidak habis pikir tentang kelakuan Rico hari ini. "Tapi gue
mau pulang!" bentak Ciya.
Rico tidak menanggapi. Dia hanya bangkit dan menggandeng Ciya keluar.
Pak tua penjaga perpus, yang sedari tadi menonton, kembali menggeleng-gelengkan kepalanya.
Sambil terbungkuk-bungkuk memegang tongkat, dia berjalan ke arah meja yang tadi di tempati
Ciya dan Rico, kemudian membereskan buku-buku yang berserakan di sana.
***

Separuh Bintang Karya Evline Kartika di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Brengsek!!" Hampir saja Aldy membanting HP-nya ke kolam renag kalau bukan Sha-Sha yang mencegahnya.
Pikirannya benar-benar kacau. Ciya kenapa sih" Kenapa setiap kali Aldy menghubunginya,
teleponnya selalu di-rejeck"
"Hei...." Teguran Sha-Sha membuat pikiran Aldy yang menerawang ke mana-mana kembali berkumpul
ke tempatnya semula. Dia menatap Sha-Sha tanpa senyuman. "Mereka itu kemana
sebenarnya?" Sha-Sha hanya menggeleng untuk menjawab pertanyaan Aldy. Dia sendiri merasa lehernya
hampir patah karena cowok itu terus-terusan mengajukan pertanyaan yang sama, yang
membuatnya juga harus menggeleng terus-terusan.
Aldy membanting tubuhnya kesal. Sekarang pikiran bersalah mulai merasuki otaknya.
Seharusnya dia nggak bilang "iya" begitu saja waktu Rico meneleponnya agar tidak usah
menjemput. Seharusnya tidak.....
"Jangan sepanik itu bisa nggak?" cetus Sha-Sha akhirnya. Jangan dikira dia tidak gelisah saat
Aldy tiba-tiba nongol di hadapannya dan bilang bahwa Ciya dan Rico bolos sekolah. Jangan
dikira dia tidak memikirkan apa yang Ciya dan Rico lakukan di luar sana. Hanya saja, tingkah
Aldy yang lebih parah darinya malah membuat hatinya tambah kacau.
Aldy mendesah panjang. "Sori....," katanya akhirnya. Dia memandang wajah cewek di
hadapannya lalu menjulurkan tangan kanannya. "Gue Ryonaldy. Panggil aja Aldy."
Aldy sudah pernah melihat cewek ini sebelumnya, waktu menjemput Ciya dua hari yang lalu.
Tapi mereka memang belum berkenalan secara resmi. Dan hari ini dia malah tanpa ba-bi-bu lagi
langsung datang ke hadapan cewek itu dengan tampang jutek plus ngomel-ngomel.
"Raisha," jawab Sha-Sha singkat. Tapi senyum tipis muncul dari bibirnya. Ditatapnya Aldy yang
masih gelisah. Tanpa perlu bertanya lagi pun dia tahu apa yang dirasakan cowok itu. Sama-sama
merasa takut kehilangan. "Mereka itu memang ada hubungan khusus ya?" tanya Sha.
Aldy tidak menjawab. Bibirnya ingin sekali mengatakan "tidak". Tapi sayangnya, sadar tidak
sadar, percaya tidak percaya. Ciya dan Rico pasti ada apa-apa.
Terdengar desahan kecil. Aldy mengangkat kepalanya. Dilihatnya cewek itu. Detik itu Aldy
menyadari bahwa ternyata Sha-Sha memiliki bola mata sebening kaca!
*** "Dasar goblok!" bentak Natya kesal. "Ya ampun, Vik! Ngapain bilang sama Aldy kalo Ciya bolos
bareng Rico?" Viktor masih memandang Natya tidak mengerti. "Emang kenap...." Viktor langsung menunduk
tanpa melanjutkan ucapannya saat melihat Natya menatapnya sambil melotot.
"Viktor...." Natya menggeleng-geleng. Sementara Chris yang duduk di sebelah Natya juga ikut
menggeleng-geleng. Hanya saja, Chris menggeleng-geleng bukan karena menyesali perbuatan
Viktor itu tadi, melainkan karena kasihan temannya lagi dimaki-maki pacarnya sendiri.
Mereka bertiga duduk di depan gerbang SMA. Waktu sudah menunjukkan jam setengah lima.
Murid-murid yang lain sudah pulang, cuma sisa beberapa yang belum dijemput. Dan sisa yang
belum dijemput itu cuma anak-anak kelas satu yang nggak tahu apa-apa. Jadi, Natya nggak
peduli mau teriak-teriak sekeras apa pun. Jesse sedang karya wisata, jadi dia nggak ikut soal
perdebatan ini. "Aldy itu sangat-sangat overprotektif sama Ciya, Vik," kata Natya lemas lalu menjatuhkan
pantatnya ke lantai. "Gue nggak ngerti deh gimana jadinya kalo Aldy tahu soal ini. Lagian...."
Natya memandang kedua cowok di hadapannya itu, meminta dukungan kalau-kalau dia berkata
salah. "Aldy itu kan suka sama Ciya. Masa sih dia nggak cemburu kalo Ciya bolos Rico?"
"Udahlah....," Chris menengahi. "Biar waktu aja yang menyadarkan mereka semua tentang siapa
yang paling berarti."
part* 18 The Beginning of The Plan
JADI.... siapa yang bego sih sebenarnya"
Ciya memandang malas ke arah rumput sekolah yang kini mulai menghijau. Kemarin semuanya
kacau-balau. Saat dia dan Rico pulang, Aldy sudah tidak ada di sana. Dia sempat melihat mobil
Aldy keluar dari garansi rumah, tapi tetap saja tidak terkejar. Dan cowok itu marah besar. Ciya
tahu itu. Karena tidak ada satu pun telepon yang diangkat dan tidak ada satu pun SMS yang
dibalas. Tadi pagi pun, Aldy tidak menjemput Ciya tanpa memberi kabar terlebih dulu.
Kalau Rico jangan ditanya. Dia sudah pasti bertengkar hebat dengan Sha-Sha. Memang sih,
Ciya tidak mendengar secara jelas apa yang mereka perdebatkan. Hanya saja, saat mereka
pulang, Sha-Sha sudah menunggu di depan pintu rumah sambil menangis. Lalu mereka malah
bertengkar di kolam renang.
Kenapa sih dua bocah itu malah memilih berantem di samping kolam renang" Nggak ada tempat
lain apa" Tapi, bagus juga sih. Kalau-kalau tidak terjadi kesepakatan kan lebih gampang
menjadikan salah satunya basah. Walaupun sepertinya tidak akan pernah terjadi, karena ShaSha itu kan cewek kalem yang sama sekali bukan tipe yang suka menceburkan orang. Dan
Rico.... Hah! Berani taruhan, sifat playboy-nya itu pasti akan dijadikan tameng untuk tidak
bersikap kasar pada cewek cantik. Bah!
Pagi harinya, Ciya akhirnya berangkat sekolah naik angkot. Dia malas nebeng Rico. Takut
menimbulkan masalah yang aneh-aneh lagi. Lagian nggak lucu kan kalo tiba-tiba Sha-Sha
nangis di depan Henry dan Fatma cuma gara-gara ngeliat Ciya pergi bareng Rico ke sekolah.
Bukan cuma itu.... Bisa dibilang hari ini adalah hari tersial buat Ciya. Udah pake acara kepentok pintu angkot,
ditambah kena omel sopirnya gara-gara waktu turun lupa bayar. Dan yang paling parah, dia
harus berjalan lima puluh meter untuk mencapai gedung SMA. Mau nangis rasanya.
"Ci...." Natya duduk sambil menyerahkan satu piring kentang goreng yang baru saja dibelinya
dari kantin. Dia memandang HP yang sedari tadi melintir-melintir di tangan Ciya. "Belom ada
SMS?" tanyanya sambil memasukkan potongan kentang ku mulutnya.
Ciya menggeleng tanpa menggubris kentang yang disodorkan Natya. Dia malah ganti bertanya.
"Mana Viktor" Tumben istirahat panjang dia nggak bareng lo?"
"Lagi di ruang band."
Ciya mengernyitkan dahi. "Ngapain" Latihan" Kan udah nggak ada acara apa-apa lagi" Masa
buat penyambutan murid baru latihannya sekarang" Ujian akhir aja belom mulai."
Natya mengangkat bahu. Bukan karena dia tidak tahu kenapa Viktor latihan, tapi justru karena
dia sendiri tahu dengan jelas bahwa Viktor di sana memang bukan buat latihan.
*** Viktor hampir saja menyemburkan Pepsi yang baru saja diminumnya sambil melotot tak percaya.
"Apa"! Tunangan"!"
"Gila lo!!" sembur Christian kesal. "Lo liat! Viktor aja nggak gue kasih tahu. Trus lo nuduh gue
bilang soal pertunangan lo sama Ciya" Lo sinting apa"!"
Rico membanting tubuhnya di lantai ruang band sambil meremas rambutnya dengan kesal. Kalau
mengingatkan kejadian kemarin, jantungnya benar-benar hampir berhenti berdenyut.
"Kyo, udahlah.... Jangan bikin kesalahpahaman lagi," Ciya memandang Rico dari balik asap
spageti yang baru saja diantarkan pelayan. "Jangan membuat semua orang serbasalah! Yoyo
pasti khawatir sama gue sekarang. Dan Sha-Sha juga pasti khawatir sama lo."
Rico meletakkan pizza yang baru digigitnya sepotong. Ditatapnya mata Ciya. Dia bisa melihat
kesungguhan di sana. "Jadi Aldy sumber masalahnya?"
Ciya mengembuskan napas panjang. "Elo! Elo sumber masalahnya, Kyo. Denger! Sekarang
Yoyo pasti lagi nyariin gue, dan dia pasti nyari ke rumah. Dan kalo dia sampe ketemu sama ShaSha, apa lo nggak merasa bersalah sama tunangan lo itu?" bentak Ciya sambil memberi lafal
keras pada "tunangan". "Lagian, gue nggak mau bikin Sha-Sha mengira antara elo sama gue
ada apa-apanya. Sekarang terserah kalo lo masih mau makan. Tapi gue mau pulang. Gue juga
bisa kok naik bus sendiri." Ciya mengambil tasnya yang tergeletak di meja.
Tadinya Rico hanya diam. Tapi begitu Ciya hampir mencapai pintu, Rico sudah lebih dulu
menarik tangan gadis itu ke tempat parkir.
Tiba di rumah, Rico masih sempat melihat Bik Tum sedang membujuk Sha-Sha agar berhenti
menangis sebelum akhirnya wanita itu menyerah dan memilih masuk setelah melihat mobil Rico
sudah parkir di garansi. "Kamu kenapa" Sebenarnya ada apa" Tadi ke mana?" Berbagai pertanyaan terlontar dari mulut
Sha-Sha. Rico masih ingat, saat masih kecil Sha-Sha juga sering sekali merajuk seperti ini. Biasanya Rico
hanya tertawa sambil mencubit pipi Sha-Sha lalu mengumandangkan berbagai bujukan.
Hanya saja kali ini dia merasa sangat lelah. Bukan hanya lelah, dia tahu bahwa jauh di lubuk
hatinya ada luka yang bergulir di sana. Luka yang diperoleh bukan karena air mata, bukan
karena ucapan kasar, juga bukan karena pukulan. Tapi hanya karena kejadian semenit.... satu
menit yang lalu. Ciya turun dari mobil, bahkan sebelum Rico menginjak rem, lalu mengejar mobil Aldy yang baru
saja keluar dari garasi rumahnya. Ciya pulang dengan tampang lusuh dan langsung masuk ke
kamar tanpa melihat Rico dengan sebelah mata sekalipun, padahal Rico jelas-jelas ada di
depannya "Ric...." Panggilan Chris membuat Rico meninggalkan ingatannya.
"Lo denger nggak sih gue bilang apa" Berhentilah main-main! Sejak kapan lo berubah jadi
playboy aneh kayak begini?" Christian medengus kesal. "Asal lo tahu, penyakit 'pangeran' lo kalo
ini udah bener-bener parah!! Ibaratnya kalo...."
BRAKK!! Natya menendang pintu ruang band dengan kasar. "HEH!! COWOK GILA!! Beneran lo
tunangan"!" Christian mendelik melihat kedatangan Natya di saat yang sangat-sangat tidak tepat. Bahkan dia
juga belum sempat menyelesaikan ucapannya. Tapi emosi Natya sudah tidak mampu membuat
cewek itu mengerti apa maksud pelototan Chris mau pun kedipan mata Viktor. Dia malah
memandang Rico dengan tatapan tidak percaya saat cowok itu tidak membantah pernyataannya
tadi. "Gila lo ya! Lo beneran udah tunangan?" Natya menggeleng-geleng.
"Nat...." Viktor menghampiri Natya lalu membujuknya untuk duduk. Dia tahu, kalau ceweknya ini
sudah emosi, pasti tingkahnya bakal tidak terkendali. "Sekarang kita juga lagi ngebahas itu.
Mana Ciya?" "Lagi dipanggil Pak Emon, disuruh bantuin buat persiapan praktikum," jawab Natya ketus dengan
pandangan masih lurus ke arah Rico. "Sekarang jelasin apa maksud lo" Kenapa?" Nggak punya
keberanian buat bilang soal pertunangan lo dari mulut lo sendiri?" Natya mencibir. "Masa mesti
Sha-Sha yang ngasih tahu Ciya soal pertunangan lo" Asal lo tahu ya, buat cewek, kemenangan
yang dilaporkan oleh saingan sendiri jauh lebih menakutkan dibanding dipermainkan!"
Rico terbelalak. "Apa?" Dia beringsut dari duduknya lalu menatap Natya lekat-lekat. "Apa maksud
lo tadi?" "Maksud gue?" Natya menghela napas. "Udahlah. Gue capek ngomong sama orang yang
otaknya di dengkul. Sekarang terserah lo aja deh."
Tepat di saat Natya menyentuh gagang pintu....
BRUK!! Sebuah tangan melayang menonjok tembok tepat di depan muka Natya.
"JELASIN KE GUE APA MAKSUD LO BARUSAN!" bentak rico kasar.
"Ric!" Viktor menarik sahabatnya itu agar menjauh dari Natya. Sedang Natya masih menatap
Rico, tak percaya karena Rico bisa membentaknya seperti itu.
"Lo masih nggak ngerti maksud gue?" Natya membelalakkan matanya. "Ciya itu suka sama lo,
GOBLOK!" Rico tertegun. Separuh hatinya masih merasa semua itu hanya tipuan. Tapi begitu dia melihat
Natya, cewek itu masih tetap menatapnya lurus-lurus. Dan Rico tahu cewek itu memang tidak
pura-pura. Seperti tersadar dari lamunan panjang, Rico hendak berlari mengejar cewek yang selama ini
seperti ada dalam dunia maya. Tapi.....
Bruk... Kaki Natya menjegalnya tepat ketika Rico hendak mencapai pintu.
"Mau apa?" tanya Natya ketus "Mau ngejar Ciya" Baru sekarang mau ngejar Ciya" TELAT! dia
udah jadian sama Aldy!"
"Apa"!" "Kenapa" Nggak percaya" Gue yang nyuruh Ciya buat nerima Aldy. Dan tadi gue juga denger
sendiri waktu mereka ngomong di telepon." Natya menatap Rico seakan-akan bertanya "Mau
bilang apa lagi lo?".
Kalau saja Viktor tidak berusaha menangkap lengan Rico yang sudah hampir melayang, mungkin
tangan itu sudah mendarat di pipi Natya. "Lo jangan gila, Ric!" seru Viktor kaget.
Tapi Natya tidak peduli. "Kenapa" Mau nyalahin gue" Atau mau nyalahin Aldy?" Natya
mendekatkan wajahnya ke wajah Rico dan berbisik di sana, "Seenggaknya, DIA BUKAN
COWOK PENGECUT KAYAK LO!"
part* 19 The Meaning of The Secounds
SHA-SHA memainkan jarinya di meja dapur sambil memandangi Bik Nah yang sedang
mengocok adonan kue. Beberapa loyang terletak di hadapannya dengan permukaan bertabur
terigu. Sekilas tercium aroma manis dan hangat.
Entah kenapa hari ini menjadi begitu lengang. Sha-Sha baru menyadari bahwa ternyata rumah ini
begitu besar. Hanya terdengar suara mesin pemotong rumput dan suara tak tuk dari tangai kain
pel yang digunakan Bik Imah. Selebihnya hanya suara oven dan kocokan mixer.
Non udah lama banget ya nggak ke sini" Dulu masih suka nangis, masih suka lari-larian sama si
Minnie. Sekarang nggak kerasa udah gede ya. Udah cantik," ujar Bik Imah tanpa mengalihkan
pandangannya dari adonan kue.
Sha-Sha tersenyum kecil. "Iya, Bibik kangen nggak?"
"Uuh... Pasti kangen atuh. Kan Non udah Bibik anggep kayak anak Bibik sendiri."
Sha-Sha tertawa kecil. "Mmm.... Kalo Rico, Bik" Suka kangen nggak sama saya?"
Bik Nah mendesah mendengar pertanyaan Sha-Sha. "Non, kalo Rico mah nggak usah ditanya.
Waktu Non pergi, Rico jadi pendiaam banget. Trus jadi males latihan piano. Padahal Bibik suka
banget dengerin suara pianonya Rico. Bapak sama Ibu juga makin jarang di rumah. Padahal kan
kasian waktu itu Rico masih kecil. Dia sering banget nanyain kapan Non bakal pulang. Dia jadi
suka... apa tuh istilahnya, be... te.... Iya, bete, Non. Udah gitu dia malah jadi keluyuran. Bawabawa cewek pula. Ganti-ganti lagi ceweknya. Bibik sebenarnya pengen nasehatin, tapi Rico suka
banget ngambek. Jadi, ya udah, Bibik nggak bisa bilang apa-apa." Bik Nah mematikan mixer-nya
lalu mulai menuang adonan kue ke dalam loyang-loyang kecil.
"Suka gonta-ganti cewek, Bi?"
"Iya, tapi nggak ada yang secantik Non kok," Bik Nah tertawa. "Makanya pas Non Ciya dateng,
Bibik seneng banget. Sejak ada Non Ciya, rumah ini jadi nggak sepi. Tiap hari pasti adaaa aja
obrolannya. Hari pertama ke sini aja, Non Ciya udah bantuin Bibik masak. Udah gitu, Rico jadi
sering ketawa, jadi jarang pergi-pergi keluyuran lagi. Malah jadi rajin belajar. Bibik aja sampe
heran, kok Rico bisa belajar juga?" Bik Nah terkekeh. "Tapi Non Ciya suka berantem sama Rico.
Kadang-kadang suka timpuk-timpukan, suka diem-dieman seharian, suka marah-marahan. Non
Ciya galak lho, Non. Dia suka banget ngomelin Rico. Bibik aja nggak berani ngomelin Rico. Tapi
herannya, Rico nurut sama dia. Baguslah, Non. Soalnya sejak ada Non Ciya, Rico jadi nggak
pernah bete lagi. Waktu Rico ulang tahun aja, Non Ciya yang bikin pesta. Rameee banget,
padahal yang dateng nggak nyampe sepuluh orang." Bik Nah tersenyum simpul. "Tapi Non Ciya
nggak bisa main piano kayak Non."
Sha-Sha berusaha bersikap biasa mendengar ocehan Bik Nah. Berusaha melapisi setiap sudut
perih yang terkuak di hatinya. Begitukan keadaannya" Begitukah yang terjadi selama ini"
Sepanjang itukah makna waktu yang tertinggal"
"Bibik kasian deh sama Non Ciya," ujar Bik Nah lagi dengan mimik wajah bersimpati. "Yang Bibik
tahu, sekarang Non Ciya udah nggak punya siapa-siapa. Kadang-kadang Bibik suka ngeliat Non
Ciya ngelamun sediih banget. Kalo Bibik tanya kenapa, dia cuma senyum aja. Bibik jadi nggak
berani nanya, takut tersinggung."
"Bik....," ujar Sha-Sha saat Bik Nah mengeluarkan kue-kue yang sudah matang dari dalam
loyang, dan memulai memasukkan loyang-loyang yang masih berisi adonan ke dalam oven.
"Rico sama Ciya deket ya, Bik?"
"Yah, namanya juga serumah, Non. Tiap hari serbareng. Mau nggak mau pasti deket. Ini, cobain
kuenya udah mateng." Bik Nah memberikan satu cup muffin yang masih mengepul.
"Sha-Sha...." tiba-tiba seseorang menepuk bahunya.
Sha-Sha terperanjat, sampai-sampai muffin yang ada di tangannya jatuh ke meja. "Lho, Oom kok
udah pulang?" Henry tersenyum di belakangnya sambil melonggarkan dasi garis-garis hitam-putihnya. "Kan hari
ini kita mau survei lokasi konser kamu bulan depan."
"Ya ampun," Sha-Sha menepuk dahinya pelan, "maaf, Oom. Saya lupa. Tunggu ya, Oom, saya
ganti baju dulu." "Oh ya, Sha-Sha, sekalian nanti sore kita jemput mama-papa kamu di airport."
*** Aldy keluar dari ruang ujian dengan langkah gontai. Hari ini hari terakhir UAN. Bukan saja hatinya
yang sakit, otaknya juga tidak dapat berfungsi dengan baik.
Dia meletakkan tasnya di tanah dan menyandarkan tubuh di dinding kelas. Pandangannya
menyapu keseluruhan gedung sekolah.
Masih teringat saat Ciya, Billy, dan dirinya pertama kali memasuki sekolah ini dengan seraga,
putih merah. Di telingapun masih terngiang canda tawa yang mereka lewati bersama. Begitu
banyak kenangan, begitu banyak waktu yang telah terlewati. Dan setiap sudut sekolah ini begitu
banyak menyimpan masa lalu.
Aldy memejamkan matanya. "Billy....," dia berucap lirih. "Gue sayang sama dia. Apa salah kalo
gue sayang sama dia?"
Dia mengambil HP dari dalam tasnya. Tertera sembilan SMS dan lima misscall. Aldy baru saja
mau menghapus semua SMS itu ketika dia melihat salah satunya terdapat nomor tidak dikenal.
Jln. Telaga Biru IV no. 52, Griya Hijau, Bandung.
*** Sha-Sha memandang pohon-pohon yang seakan-akan bergerak mundur. Dia mendekap kedua
lengannya di dada. AC mobil tiba-tiba saja terasa menjadi begitu dingin. Pikirannya melayang
entah ke mana. Berusaha mencerna makna setiap kata yang terucap dan setiap tindakan yang
terlihat. Tanpa sadar dia bergumam, "Apa iya semuanya bisa berjalan selancar itu?"
Henry memandang gadis yang sudah dianggap keponakannya itu dengan heran. Beberapa kali
dia mendapati Sha-Sha bergumam sendiri. "Kenapa, Sha?"
"Ah?" Sha-Sha menatap Henry sambil melebarkan matanya.
"Nggak ada apa-apa, Oom." Sha-Sha menggeleng-geleng ketika dia menyadari gumamannya
tadi ternyata cukup keras untuk didengar.
Sejak tadi Henry sudah menerangkan dengan panjang-lebar seluruh rencana yang dibuat untuk
konser dan pertunangan Sha-Sha. Tapi tidak ada satu kata pun yang menyangkut di otak ShaSha. Selebihnya, hanya gelisah, gelisah, dan gelisah. Mungkin benar sebuah pertanyaan kuno....
Jika semuanya berubah, itu pasti karena waktu. Tapi, apa iya harus berubah sedemikian jauh"


Separuh Bintang Karya Evline Kartika di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tenang saja," Henry mengelus rambut Sha-Sha dengan tangan kiri sementara tangan kanannya
tetap memegang setir. Sha-Sha tersenyum dipaksakan. "Oom kok nggak bilang soal pertunangan ini ke Rico?"
Henry tersenyum. "Nggak ada bedanya kan kalaupun nggak bilang" Toh, Rico pasti setuju. Lagi
pula...." tiba-tiba saja senyum itu lenyap. Berganti dengan ekspresi yang tidak tertebak. "Lagi
pula.... Oom nggak mau melakukan kesalahan untuk yang kedua kali."
Sha-Sha mengerutkan dahinya, menatap Henry meminta penjelasan.
"Sha-Sha...." Henry menepuk bahu Sha-Sha beberapa kali. "Cinta itu bukanlah sesuatu yang
sempurna. Adakalanya cinta itu tidak pernah berubah, tapi tidak jarang cinta bisa berubah
menjadi tidak seperti sediakala. Dan Oom ingin Rico benar-benar mencari cinta yang membuat
sesuatu yang terlepas itu kembali menjadi sempurna."
Hehh?"" Sha-Sha makin mengernyitkan dahinya. Tuh orang lagi ngomong apa" Sempurna"
Tidak sempurna" Berubah" Tidak berubah" Cinta apaan tadi yang dia bilang"
"Oom..." Akhirnya Sha-Sha lebih memilih mengutarakan pertanyaan yang satu ini dibanding
harus memikirkan filosofi Henry yang tergolong aneh itu. Lagian, Sha-Sha kan sekolah musik.
Bukannya sekolah filsafat!
"Kok Oom ngangkat Ciya jadi anak sih, Oom" Emangnya aa hubungan apa?"
Mendengar itu, wajah Henry menegang, walaupun hanya sepersekian detik. Selebihnya dia
kembali memamerkan senyum tipis. "Banyak hal yang sulit dimengerti, Sha. Dan mungkin, di
saat kamu menyadarinya sesuatu itu telah berubah menjadi penyesalan, sehingga akan sulit
membuatnya kembali utuh." Henry menarik napas panjang. "Untungnya, masih ada kesempatan.
Biarpun tidak lagi utuh, asalkan bisa diperbaiki. Sedikit saja, pasti akan memberi arti."
Toeng!! Apaan lagi ini" Sha-Sha jadi tidak habis pikir. Sebenarnya Henry itu pengusaha atau ahli
sastra?" Henry melirik Sha-Sha, yang mengernyitkan dahinya sekilas. Henry tersenyum. "Suatu saat
semuanya pasti akan jelas, Sha. Hanya saja, saat ini bukan waktu yang tepat."
part* 20 Love You.... Hate You....
Penat itu kembali datang.... Kembali membuat hilang keseimbangan dan jatuh tak terarah....
RICO mengempaskan tubuhnya ke sofa. Benaknya kembali mengulang adegan di sekolah siang
tadi. "Kyo.... Ntar gue nginep di rumah Natya ya" Paling sampe ulangan umum selesai."
What?"! Rico melotot mendengar permintaan Ciya. Yang bener aja! Sampe ulangan umum
selesai"! Itu kan dua minggu!
Baru saja Rico mau menolak, Natya sudah menarik tangan Ciya ke mobil Viktor. "Dah Rico....,"
ujar Natya penuh kemenangan sambil mengedipkan sebelah matanya.
Kalau tidak ingat ancaman Viktor saat di ruang band___"Kalo sampe cewek gue kenapa-kenapa,
jangan salahin gue kalo lo bakal gue hajar!"___Rico pasti sudah membanting Natya ke tanah.
"Tenang aja, Ric. "Gue yang bakal ngajarin lo! Gue rela deh nginep di rumah lo cuma buat
ngajarin lo doang. Ciya udah janji kok bakal ngajarin gue di rumah Natya. Jadi pulang sekolah,
gue belajar di rumah Natya, malemnya gue ngajarin elo di rumah elo. Oke!!"
Hah"! Christian yang ngajarin" Nggak salah"! Walaupun Rico juga nggak pinter-pinter amat, tapi
ya ampun.... Christian itu kan ranking ke-20 dari 25 orang.
"Heh! Lo merendahkan gue amat sih"! Udah, si Viktor juga bakal gue suruh nginep di rumah lo.
Tapi jangan pernah berniat ikut belajar di rumah Natya! Bisa abis lo dicincang sama dia. Lagian,
maksud dia itu sebenernya baik kok. Manfaatin waktu dua minggu ini buat mikir!"
Dan bukan alasan itu saja yang membuat Rico membanting tubuhnya tadi.
Sepulang sekolah.... Baru saja menginjakkan kaki di rumah, Rico sudah dikejutkan dengan kedatangan dua orang
yang sangat tidak disangka.
Mama dan papa Sha-Sha. Ya tuhan.... Benar-benar mau mati rasanya. Bukan karena pertunanga. Tapi mama dan papa
Sha-sha tergolong makhluk yang sangat perfeksionis. Dan sok romantis. Dan sangat cerewet.
Begitulah menurut Rico setiap kali harus berhadapan dengan Oom Ryan (papa Sha-Sha) dan
Tante Elise (mama Sha-Sha).
Mereka selalu berkomentar tentang masakan yang agak___agak lho, bukannya terlalu___asin,
juga kalau menemukan sedikit___lebih tepatnya sangat sedikit___noda yang menempel di
bajunya. Dan macem-macem lagi deh. Untung aja kedua orang tua itu memutuskan tinggal di
hotel___hotel bintang lima tepatnya. Kalo nggak, Bik Nah pasti selalu manyun. Pokoknya, Bika
Nah sangat tidak suka dengan mereka.
Mungkin salah satu hal yang patut di syukuri Rico adalah mama dan papanya tidak banyak
cincong seperti mereka. Seengaknya Henry dan Fatma selalu menghargai apa yang telah
dilakukan pembantu-pembantu mereka. Sepertinya faktor itu jugalah yang membuat Bik Nah dan
bibik lain-lainnya betah kerja di sini.
Satu lagi, Ryan dan Elise sangat suka memamerkan kemesraan di seantero jagat. Rico nggak
pernah menemukan mereka melepaskan rangkulan satu sama lain, selalu berpandangan dengan
penuh cinta, dan saling memanggil dengan kata-kata seperti honey, darling, my love.
"Bisa tolong ambilkan itu, honey?"
"Tolong pegang tasku, my love."
Hiah.... merinding. Se-playbot-playboy-nya Rico aja, nggak pernah tuh dia sayang-sayangan sampe sebegitunya.
Dan untungnya lagi, Sha-Sga menuruni bakat terpendam kedua orangtuanya. Kalo nggak,
mungkin Rico bakalan lari tunggang-langgang.
Oh iya, walaupun Ryan dan Elise tinggal di hotel, Sha-Sha tetap tinggal di rumah Rico dengan
alasan yang sangat-sangat standar: di hotel nggak ada piano buat latihan. Terserahlah.... Yang
penting kedua orang itu nggak ada di rumahnya, Rico sudah bersyukur beribu-ribu kali.
Rico beranjak ke balkon dan menghirup udara malan sebanyak-banyaknya di sana. Dia
memandang ke balkon sebelah. Aneh rasanya tidak menemukan Ciya di sana. Biasanya cewek
itu pasti akan tersenyum sambil teriak, "Liat tuh! Bintang aja lebih cakep daripada lo."
Dan hari ini, bintang pun seperti tidak mau mengalah untuk menemaninya.
Rico menarik napas panjang lalu mengacungkan telunjuk dan ibu jarinya ke langit. "Billy!"
teriaknya. "Gue nggak bakal kalah sama lo! Gue nggak bakal ngalah sama lo yang cuma bisa
ngasih setengah dari bintang-bintang yang ada di dunia!!"
Dan di saat yang sama, sebuah SMS masuk.
Apa pun yang tjd.... Gue nggak bakal nyerahin Ciya ke lo.....
*** "Masih nggak ada kabar, Ci?" tanya Natya dari balik buku sejarahnya.
Ciya melemparkan HP-nya ke kasur. "Nggak ada. Sama sekali nggak ada." Ciya melemparkan
bukunya lalu tidur telentang di samping Natya. "Ditelepon nggak dijawab. Ditelepon ke rumah
juga selalu ngggak ada. Di-SMS nggak pernah dibales. Ilang aja lah sekalian," gerutu Ciya kesal.
Baru kali ini dia melihat Aldy sekesal itu. Iya sih, emang kemarin dia juga yang salah. Kalo dia
nggak ngikutin ajakan Rico yang konyol itu dan nggak bolos, Aldy juga nggak bakal semarah itu.
Tapi kalo mau marah kan nggak perlu sampe segitunya.
Natya menutup buku sejarahnya. Keningnya berkerut
tanda dia sedang berpikir. "Mungkin nggak
ya..... Kalo Aldy bunuh diri?"
"Heh!!" Ciya melemparkan bantal tepat ke muka Natya, membuat cewek itu jatuh terlentang.
"Kalo ngomong jangan aneh-aneh!"
"Lho?" Natya balik melemparkan bantal ke muka Ciya sambil membetulkan rambutnya yang
kusut. "Siapa yang ngomong aneh-aneh" Itu kan cuma dugaan gue. Lagian elo juga siih."
"Lho?" Ciya melempar bantal lagi ke muka Natya. "Kenapa jadi gue yang salah?"
Natya mendesis, lalu melempar bantalnya ke lantai. "Semuanya tuh nggak bakal ruwet kayak gini
kalo elo nggak plin-plan! Masalah sepele kok dijadiin susah."
"Ap...." "Apa?" Natya memotong. "Mau bilang 'apa'" Hih.... Gue nggak ngerti deh. Elo itu sebenernya
pinter apa goblok sih" Apa sih, Ci, susahnya buat jujur sama diri lo sendiri" Apa sih susahnya
ngakuin siapa yang yang bener-bener ada di hati lo saat ini" Aldy tuh udah cukup sabar buat
nungguin lo! Lo mau dia nunggu berapa lama lagi" Asal lo tahu.... Nunggu tuh bukan pekerjaan
yang gampang. Menunggu itu melelahkan lho."
Ciya mendesah. "Lo nggak bisa nge-judge gue segampang itu. Semua tuh nggak segampang
yang lo pikir. Nggak segampang yang semua orang pikir."
"Apa lagi" Gue tahu lo masih nggak biasa terima soal Billy, tapi....
"Natya!" ujar Ciya setengah teriak. "Gue udah bisa terima soal Billy. Gue udah ngerelain
semuanya. Tapi justru karena itu gue takut. Lo liat, semua orang yang gue sayangin itu pergi
ninggalin gue. Mulai dari bokap gue, nyokap gue, Billy, dan sekarang Aldy. Gue nggak mau
semua itu berjanjut, Nat. Gue takut ka...."
"Mau sampai kapan lo mikir konyok kayak gitu" Persoalah bokap lo, nyokap lo, dan Billy, semua
itu karena takdir, Ci. Bukan karena mereka sayang sama lol tapi justu karena sikap nggak jelas lo
itu maka Aldy pergi! Liat gue! Apa karena gue sayang sama Viktor terus dia bakal ninggalin gue"
Nggak, kan" Menghadaplah ke depan, Ciya.... Belajarlah untuk lebih berani! Dan elo bakal
tahu.... Segala sesuatunya pasti bisa menjadi jauh lebih baik."
part* 21 Silent Hours Siluet waktu terpekur.... Duduk bersila memandang angin.....
MAU tahu dua kata yang membuat semua masalah menjadi setenang Malam Kudus"
Yaakkk, betul! Ulangan Umum!
Ya.... Kecuali untuk murid-murid yang tidak bisa melaksanakan profesionalnya sebagai pelajar
dan berniat menghabiskan jatah uang lebih demi kembali mendekam di bangku kelas yang sama.
Ibaratnya, semua masalah cinta segi empat yang memusingkan itu sedang diawetkan.
Menunggu lagi saat yang tepat untuk kembali dicairkan.
Dan saat ini benar-benar seperti neraka buat Rico. Udah ulangan umum, diajarin dengan
omongan Chris yang masih suka berlepotan, dan yang paling parah.... Rasanya benar-benar
aneh tanpa Ciya. Memang sih saat ini ada Sha-Sha yang selalu ada di sampingnya. Tapi tetap
saja rasanya tidak sama. Sha-Sha terlalu lembut. Nggak pernah ngomel, nggak pernah protes,
nggak pernah minta macem-macem. Rico sendiri juga bingung.... Kenapa dia malah lebih suka
kalo ada cewek yang suka protes, suka ngomel, sama suka minta macem-macem ya"
Sebenarnya sih Rico nggak perlu sampe sebegitu kehilangannya. Toh mereka masih bisa
ketemu di sekolah. Hanya saja....
Alasan pertama: tempat duduk.
Rico membelalakkan matanya ketika melihat denah kelas yang disusun untuk ujian. Pengen
nyontek, tapi dia benar-benar sudah terbiasa setiap kali membalikkna badannya, akan ada sosok
Ciya di sana. Tapi sekarang, setiap kali membalikkan badannya, dia malah menemukan sosok
Danny yang ukuran tubuhnya segede kingkong.
Alasan kedua: Natya. Rico baru saja mau menghampiri Ciya saat mendapati cewek itu baru datang bersama Natya.
Tapi.... "Ciya.... Kita duduk di sana aja yuk. Di sini panas."
Natya sudah lebih dulu memboyong Ciya jauh-jauh.
Alasan ketiga: Viktor dan Chris.
Ciya masuk ke kelas. Dan Rico hampir saja berteriak gembira karena mendapatkan cewek itu
tanpa Natya. Tapi.... "Rico, ngapain lo di sini" Ayo ke kantin. Ngisi perut dulu sebelum berjuang buat ujian."
Viktor dan Chris sedah lebih sulu menyeretnya secara paksa.
Hiks.... Alasan keempat: Jesse. "Jesse, sebenarnya cowok lo ngapain sih?" tanpa Rico ketika tanpa sengaja melihat Jessica
sedang duduk di lapangan tenis seusai ujian. Tapi....
"Hei!! Chris...."
Jesse malag berlari menghampiri Christian, bahkan tanpa melambaikan tangan ke arah Rico.
Alasan kelima: no SMS , no calling-calling.
Dan kalau Rico mencoba menghubungi Ciya lewat SMS, balasannya pasti:
Rico, ini Natya. Ciya lagi bljr. Jngn ganggu yah! Ntar Vik+Chris dtg kok ke sana.
Kalau telepon: "Hei, Rico. Apa apa" Ini Natya. Ciya lagi mandi tuh. Besok aja ya ketemu di sekolah." Tut.... tut....
tut.... Telepon ditutup. Alasan terakhir: Ya Tuhaaaannnnn!!! Ciya sendiri masih mendekam di rumah Natya. Sebenarnya, dia ingin sekali pulang. Tapi Natya
selalu mendapatkan alasan yang membuat Ciya terpaksa mengangguk kalau Natya melarangnya
kembali ke rumah Rico. Natya terkadang suka tersenyum puas setiap Ciya ngomel-ngomel kalau Natya membalas SMS
atau mengangkat telepon dari Rico tanpa izin. Walau samar, Natya bisa melihat dengan jelas
adannya sisi gelisah di sana.
Sementara Sha-Sha sibuk dengan pementasannya akhir bulan ini. Sebenarnta begini.... Ada satu
sekolah musik yang tertarik dan bersedia menjadi sponsor tunggal konser pianonya. Hanya saja,
parahnya, Sha-Sha harus memainkan lima belas lagu klasik yang harus dihafalkan. Satu lagu
kira-kira berdurasi tiga menit, yang kalau diinterpretasikan dalam bentuk partitur, akan berdurasi
sebanyak tujuh lembar. Dengan kata lain itu berarti dia akan memainkan setiap lagu sebanyak
empat belas halaman! Diulang ya, EMPAT BELAD HALAMAN!! jadi, intinya, Sha-Sha harus
memainkan lagu yang berdurasi empat belas halaman dikali lima belas lagu!! Kalau ditotal,
keseluruhan lagu yang haris dia bawakan berdurasi DUA RATUS SEPULUH halaman!! Perlu
diulang?" DUA RATUS SEPULUH HALAMAN!!!
Tunggu dulu!!! Bukan cuma itu. Kalau siangnya Sha-Sha sibuk latihan, malamnya dia selalu
menyempatkan diri "menemani" Rico. Menemani belajar lah, menemani ngobrol lah, menemani
makan lah, menemani nonton lah, menemani apa aja. Mungkin kalau Ciya melihat semua itu, dia
pasti tidak akan segan untuk berkata, "Kenapa nggak nemenin tidur sekalian?""
Tapi di balik semua itu, justru yang paling parah capeknya dalam minggu ini adalah Viktor dan
Christian. Bayangin aja! Masih dengan muka kuyu habis berjuang buat ulangan umum, merek a
langsung cabut ke rumah Natya.
BRUKK!!! Ciya menumpukkan setumpuk buku ke hadapan Viktor dan Chris.
"Sekarang, buka halaman 22. Besok kemungkinan bab ini bakal keluar. Sekarang lo berdua
dengerin gue.... pokoknya, apa pun yang gue bilang, elo mesti nyampein sama persis ke Rico
berikut titik komanya!" ujar Ciya sambil membetulkan kacamatanya.
Viktoe mengernyit ke arah Natya sambil menggerak-gerakkan bibir tidak jelas. Sedangkan Natya
membalas tingkah Viktor itu hanya dengan cengiran.
Ampun deh!! Dan waktu di rumah Rico, Viktor dan Chris masih harus berjuang keras membuat Rico mengerti
apa yang mereka ucapkan dengan otak yang berkadar pas-pasan. Untung aja Ska-Sha suka
menemani mereka belajar. "Walaupun capek, lumayan ada pemandangan cewek bagus," ujar
Viktor pada Natya yang melahirkan sebuah tamparan.
Plak!! *** Ciya melepas kacamatanya, mencoba menghilangkan penat yang menggantung di kepala. Ujuan
full dua minggu ini benar-benar menguras tenaganya sampai titik akhir. Jangan ditanya deh
capeknya kayak apa. Mending kalo cuma capek badan. Lah ini mah.... udah capek badan, capek
otak.... capek hati pula....
Maih tersisa satu hari lagi menjelang selesainya ulangan umum. Dan selama di rumah Natya,
Ciya semakin menyadari benar-benar ada yang luruh jauh di dalam hatinya. Luruh untuk
meninggalkan semua sisi ego dan angkuhnya. Luruh untuk berpaling dari sisi hatinya yang
selama ini tertidur di antara kenangan.
"Gila...." Viktor merentangkan tangannya lebar-lebar. "Akhirnyaa.... Yes!! Besok ulangan terakhir!!
Tengkyu banget loh, Ci, buat bimbinganya selama ini," ujar Viktor sambil membereskan bukubukunya.
Christian menyisir rambutnya dengan tangan. Dia masih tidak mengerti apa yang Ciya ajarkan
tadi. Tapi kalo diliat dari tampangnya, sepertinya Chris udah nggak sanggup membahas lebih
lanjut. Iyalah.... Kertas lecek aja lebih bagus daripada tampangnya sekarang.
Viktor terkekeh menepuk bahu Christian. "Kenapa lo" Mabok ya" Ya udah, tenang aja. Gue deh
yang ngajarin Rico."
"Viktor!!!" mendengart itu Chris berteriak semangat. "Elo memang teman yang pengertian!! Gue
ke rumah Jesse aja ya?" Ntar maleman deh gue nyusul ke rumah Rico."
Viktor mendelik. "Gue tampar mau lo?"
Ciya tersenyum melihat tiga orang itu beranjak ke luar kamar Natya.
"Balik ya, Ci," kata Viktor dan Chris sambil melambaikan tangan.
Natya melompat dari duduknya. "Gue nganter dia dulu ya.... lo tiduran aja. Ntar gue minta
pembokat gue buat ngambilin es krin cokelat. Okayyy!!"
Tepat saat pintu ditutup, bunyi HP membuat Ciya beranjak.... Dan senyum tipis menghiasi
wajahnya saat melihat nama yang tertera di sana.
"Hei...," ujar Ciya.
"Akhirnyaa.... bisa denger suara lo juga. Ada siapa di sana?" Rico bernapas lega dari seberang.
"Nggak ada." Ciya tertawa kecil. "Baru aja Chris sama Viktor mau jalan ke rumah lo. Natya lagi
nganter mereka ke bawah."
"Ciya...," kata Rico lirih. "Lo ngapain sih betah banget di sana" Ayo, pulang!"
Ciya tertawa. "Kenapa" Kangen sama gue?"
"Iya!" teriak Rico, membuat Ciya harus menjauhkan HP dari telinganya. "Gue kangen sama lo!
Cepet pulang!" "Tadi...." Ciya tercenung. "Lo bilang kangen sama gue ya?"
Kali ini hanya terdengar dengusan pelan. Ciya membayangkan dengusan itu sebagai arti bahwa
Rico tersipu-sipu. Rico" Tersipu-sipu" Iih, amit-amit.....
Ciya tertawa kecil. "Udahlah.... Tadi bilang kangen, kan" Dasar playboy.... belajarlah berbicara
dari lubuk hati, bukan cuma ngomong yang manis-manis doang."
"Heh!" bentak Rico. "Gue beneran kangen sama lo!"
Tawa Ciya lenyap. "Eh!! Mana ada orang kangen ngomongnya kasar begitu?"
Rico mendesis. "Ya udah deh. Gue nggak jadi kangen! Gue tutup ya...."
"Eh!" ujar Ciya buru-buru sebelum Rico menutup telepon. "Mana bisa kangen dibungkus lagi?"
Ciya terkekeh. "Iya deh, gue juga kangen kok sama lo."
*** Sha-Sha tercenung di balkon kamar Rico. Sementara backsound cuap-cuapnya Viktor masih
merajalela. Kalo Chris jangan ditanya. Dari dua jam yang lalu, dia udah teler, ngegabruk di kasur
Rico dan langsung tidur. Desau angin mengalir pelan. Membuat Sha-Sha sedikit terusik sejenak dari semua lamunannya.


Separuh Bintang Karya Evline Kartika di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lamunan yang membuat harapannya jauh menerawang. Seakan ingin menembus batas
cakrawala dan menyeret semua waktu.
"Yap... Ngerti kan, Ric?" tanya Viktor sambil membereskan kertas-kertas coretan.
Tidak ada jawaban. "Ric...." panggil Viktor lagi.
Masih tidak ada jawaban. Viktor akhirnya mengalihkan pandangannya dari kertas-kertas yang berserakan. Dilihatnya Rico
sedang bengong. Sambil mesem-mesem tepatnya.
"Heh!! Bocah!!" teriak Viktor. "Ngapain lo senyum-senyum"!"
Rico yang tersandar ada orang yang mencoba merusak lamunannya, memberengut kesal ke
arah Viktor. Kata-kata Ciya yang terakhir masih terngiang dengan sangat jelas.
"Elo kenapa sih"!" desak Viktor ketika Rico kembali tidak mendapatkan jawaban.
Tapi Rico hanya tertawa kecil.
Viktor mengerutkan dahi. "Daripada lo cengengesan nggak jelas kayak gitu, mendingan lo urusin
tuh!" Viktor menunjuk ke arah Sha-Sha. "Bisa sakit tunagan lo kalo dia terus-terusan di luar kayak
gitu. Lo mau nggak jadi tunangan?" ujar Viktor ngakak.
"Cerewet!" Rico mengumpat pelan. "Tidur aja sana!"
Viktor mendesis. "Nggak usah disuruh juga gue emang udah mau tidur. Nggak liat sekarang
udah jam berapa?" dia menunjuk jam dinding yang menunjukkan pukul satu pagi, lalu beranjak
ke balik selimut sambil masih terkekeh. Dia menatap Rico sambil mengedipkan mata dengan
ancungan jempol yang diputarnya ke bawah. Kalau Viktor tidak cepat-cepat mengganti gerakan
tangannya menjadi telunjuk yang menjelaskan tempat keberadaan Sha-Sha, Rico pasti masih
terpikir untuk menonjoknya.
*** "Lagi ngapain?" Rico duduk di samping Sha-Sha lalu menunjuk langit. "Liat Bintang?"
"Bintang?" mengernyitkan keningnya. "Apa bagusnya bintang" Bintang kan nggak sering
keliatan. Aku lagi liat bulan. "Sha-Sha mendorong tangan Rico yang masih mengarah ke langit
agar bergeser sedikit ke kanan. "Liat! Bagus, kan" Kalo bulan kan lebih keliatan. Lebih besar,
lebih terang, lebih bagus."
Rico terdiam, dia memandang Sha-Sha.
Antara bulan dan bintang....
Bulan.... dengan sinarnya yang lebih terang. Dengan kepastian yang akan selalu terlihat tanpa
melalui alat bantu. Dengan keberadaannya yang jauh lebih dekat. Dengan sisi misterius yang
selalu membuatnya terlihat sangat indah.
Sementara bintang.... Dengan penampilan tidak lebih dari sekadar titik sederhana. Dengan sinar
yang timbul-tenggelam. Dengan keberadaan yang terkadang serasa tidak terjangkau. Dengan
sisi yang polos tanpa pantulan cahaya.
Tapi pernahkah sedikit terpikir.... Hanya kanena bulan lebih tepat berada di hadapan, adakalanya
kita tidak menyadari masih ada bintang di luar sana.....yang mungkin jauh lebih bersinar tanpa
harus memantulkan cahaya. Hanya saja....bintang itu berada pada tempat yang berbeda, dan
pada waktu yang berbeda. "Sha....," panggil Rico.
"Hmmm?" "Lo kok dulu nggak pernah ngubungin gue lagi?" Rico melipat kedua tangannya di depan dada
saat angin malam meluncur menerpa tubuhnya. "Kita udah lama banget nggak kontak-kontakan.
Gue pikir lo udah lupa sama gue. Dan gue pikir lo nggak bakal pulang lagi."
Sha-Sha tersenyum. "Kamu sendiri?" Sha-Sha memandang Rico. "Kamu juga kenapa dulu
nggak pernah hubungin aku lagi" Justru malah aku yang mikir kalo kamu udah lupa sama aku.
Aku pikir kamu udah nggak mengharapkan aku pulang lagi."
"Gue nggak ngelupain lo!" sergah Rico. "Gue tiap hari ngarepin lo pulan. Sampe bosan rasanya."
"Sampe bosan dan akhirnya ngejar cewek-cewek cantik?"
Rico memamerkan wajah jeleknya mendengar perkataan Sha-Sha tadi.
Sha-Sha tertawa. Dia tahu, mendengar perkataan Rico tadi, ada sisi di hatinya yang sedikit
merasa lebih lega dibandingkan hari kemarin. "Aku juga nggak pernah ngelupain kamu." ShaSha menyibakkan rambutnya lalu menatap Rico. "Aku tiap hari mikirin kamu. Kamu lagi ngapain,
kamu makan apa, kamu latihan lagu apa hari ini. Sedetik pun aku nggak pernah berhenti mikirin
kamu. Aku juga selalu ngebujuk Mama dan Papa buat balik lagi ke sini." Sha-Sha
mengembuskan napas panjang, lalu bangkit dan beranjak ke pagar teras, menyandarkan
badannya di sana menatap kolam renag. "Tadinya Mama nggak mau bilang soal pertunangan
kita. Mama maunnya bilang kalo kita udah siap. Tapi karena sikap manjaku, aku yang ngerengek
terus pengen balik, akhirnya Mama nyerah. Mana akhirnya pulang bilang kalo kita udah
ditunangin. Jadi kapan pun aku balik, aku pasti bisa ketemu kamu."
Rico tercenung. Jadi selama ini hanya dia yang bingung sendiri. Apa hanya dia yang merasa
tidak akan pernah bertemu lagi dengan cinta pertamannya" Kenapa semua jadi terlihat tidak
adil" Sha-Sha bisa dengan sabarnya menunggu karena telah tahu tentang pertunangan ini. Tapi
Rico" Rico sama sekali tidak tahu apa apin. Dia hayna tahu Sha-Sha telah menghilang dari
hadapannya dan menyisakan lembar demi lembar kenangan yang Rico sendiri tak mengerti
kapan bisa menjilid lembaran itu menjadi sebuah bukuu dengan cerita yang telah usai. Lalu,
siapa yang salah sebenarnya"
Rico menatap Sha-Sha. "Maksudnya saat yang tepat itu....," tanya Rico. "Saat ini?"
Sha-Sha mengangkat bahi. "Mungkin iya, dan mungkin nggak...."
Rico mengerutkan kedua alisnya, lalu menggeser duduknya ke samping Sha-Sha. "Maksudnya?"
Sha-Sha melipa bandannya, ikut berjongkok di samping Rico. "Kamu tahu apa salah satu alasan
aku nggak nyari kamu?"
Rico menggeleng. "Karena perkataan kamu yang terakhir.... Saat di bandara, tepat sebelum aku pergi, kamu pernah
bilang kalo kamu bakal nungguin aku. Dan aku percaya itu.... Dan saat itu aku juga bilang aku
akan balik lagi. And here I am...." Sha-Sha menusukkan telunjuknya di bahu Rico. "Kamu justru
yang membuat saat yang tepat itu menjadi 'mumgkin- saat yang tepat." Sha-Sha memberikan
penekanan pada kata mungkin. "Kamu tahu kenapa?" Sha-Sha memandang Rico. "Karena kamu
telah merusak kepercayaanku dan kepercayaanmu....."
part* 22 Awal Mula Sebuah Waktu Dan ketika embusan cahaya tergapai.... Mulai terhampar selembar kenyataan....
"NIH...." Ciya menempelkan sekaling Pocari dingin di pipi Rico, membuat cowok itu sedikit
terperanjat. "Makasih....," ujar Rico ngengir sambil mengelap keringat di dahinya dengan handuk biru kecil.
Suara pantulan bola basket dan teriakan semangat murid-murid dari pinggir lapangan samarsamar melingkupi mereka saat ini.
"Meski udah bukan jadi pacar bohongan lo, gue masih mesti beliin minuman ya?" gerutu Ciya
sambil duduk di samping Rico di ujung kantin yang mengarah ke lapangan basket, mengamati
Natya yang sedang memasukkan bila ke dalam ring. Sekarang giliran murid-murid cewek class
meeting. Salah satu kebiasaan di sekolah ini adalah class meeting langsung diadakan seusai ujian akhir.
Jadi, biasanya sih murid-murid lebih menantikan class meetingnya daripada ujiannya. Jadi,
biasanya guru-guru menempatkan cuma satu pelajaran yang diujikan di hari terakhir. Kalo nggak,
nilainya bisa jeblok semua. Itu juga alasannya pelajaran bahasa Insonesia dijadikan ujian akhir.
Karena murid-murid di sini menganggap pelajaran bahasa Indonesia paling gampang. Masa
orang Indonesia nggak bisa bahasa Indonesia" Kesian amat.....
Nah, gara-gara anggapan yang sudah sangat berbudaya ini jugalah banyak guru bahasa
Indonesia minggat lantaran nggak betah. Iyalah.... tiap kali pelajarannya nggak ada yang mau
dengerin. Malas sempet ada satu guru yang yang nangis gara-gara nggak ada yang mau
memperhatikan pas dia ngajar. Padahal gurunya cowok lho.
"Lo kenapa nggak main?" tanya Rico menunjuk murid-murid cewek yang sedang berteriak-teriak
berebut bola lalu membuang kaleng kosong ke tong sampah di pinggirnya. "Takut matahari, ya?"
Rico mencibir. "Kalo lo ngedekem di rumah-berhari-hari, tuh kulit bakal jadi putih!"
"Cerewet!" dengus Ciya. "Males tau! Olahraga tuh cuma buang-buang tenaga aja. Mendingan
tidur di rumah." Rico hanya mendesis melihat kelakuan cewek yang satu ini. "Bilang aja nggak bakat olahraga.
Pake bilang males segala," ujar Rico geli. Ciya itu emang punya trademark nggak becus
olahraga. Tiap kali main basket, kalo nggak keseleo, pasti keserimpet dribelannya sendiri.
Akhirnya malah jatuh di tengah-tengah lapangan. Nggak usah main basket deh, lari aja bisa
kesandung. Dan satu hal paling spektakuler yang pernah dilakukan Ciya adalah mementalkan
sepatunya sendiri ke belakang ketika sedang lomba lari seratus meter!
"Ketawa aja terus!" sungut Ciya sambil memukul kepala Rico dengan handuk.
Rio terkekeh. "Heh," Ciya memyenggo bah Rico. "Lo, beneran kangen sama gue ya?"
Rico melongo. "Emang gue pernah bilang?"
Ciya mendesis. Dasar cowok ini! Ciya jadi menyesal kemaren bilang kangen juga.
"Iya, kangen!" Rico tertawa melihat muka cemberut Ciya. "Rumah sepi banget nggak ada lo."
Ciya mencibir. "Nggak ada gue kan ada Sha-Sha. Lagian ntar gue malah jadi nyamuk lagi di
rumah." Rico tersenyum tipis mendengar ocehan Ciya. "Hari ini pulang, kan?"
Ciay mengatupkan bibirnya lalu mengangguk kecil.
Pulang. Satu kata itu sudah sangat jarang dia perhatikan.
Dulu, dia cinta sekali kata "pulang". Buat Ciya, kata "pulang" bisa berarti banyak hal. Setiap kali
bel sekolah usai, kata "pulang" selalu terbayang di benaknya. Lari ke kelas Billy, beli jajanan di
kantin, lari ke mobil Aldy, ketemu Mama di rumah, tidur di kamar kesayangan, nunggu Papa
pulang, sampe akhirnya nyusup ke kamar Billy buat ngobrol sampe pagi. Tapi sekarang.... apa
iya dia masih bisa pulang" Atau kata "pulang" itu sudah berubah menjadi sebuah formalitas"
"Ci...." Rico menepuk bahu Ciya. "Kenapa?"
Ciya menatap Rico, tersadar dari lamunannya barusan. "Nggak apa-apa kok. Oya, tapi gue
pulang nggak bareng lo. Tadi akhirnya Yoyo SMS gue. Dia bilang hari ini mau ngajak gue pergi."
"Mau kemana?" Ciya mengangkat bahu. "Nggak bilang. Katanya penting. Jadi.... ya udah, sekalian gue mau
minta maaf soal tempo hari."
"Minta maaf?" Rico mengernyitkan dahi. "Bolos aja mesti minta maaf sama dia" Emangnya dia
siapanya lo" Ada juga lo mesti minta maaf sama bokap gue. Yang ngebayarin lo sekolah kan
bokap gue, kenapa mesti minta maaf sama dia?"
Ciya mendecakkan lidahnya. "Perhitungan amat sih! Ntar juga gue minta maaf sama bokap lo!
Lagian soal bolos tempo hari itu, bokap lo juga nggak tau. Dia lagi sibuk ngurusin pertunagan lo
tau!" semprot Ciya lalu bangkit menuju lapangan basket.
"Eh!" tahan Rico sebelum Ciya sempat melangkah. "Jangan pergi!"
Ciya berbalik, memandang Rico heran. "Gue cuma mau ngambil tas di lapangan basket. Bentar
lagi kan Yoyo dateng. Abis ngambil tas gue balik lagi. Tas lo mau gue ambilin nggak?"
Rico mengangguk kecil, melepaskan tangan Ciya perlahan.
"Dasar!" gerutu Ciya sambil berlari ke lapangan basket.
Rico memandang punggung Ciya dari kejauhan sembari mendesah kesal. "Maksud gue jangan
pergi sama Aldy, bodoh. Kalo lo pergi, gue takut lo nggak bakal pulang lagi."
*** Rico membanting tasnya ke kasur. Pikirannya melayang-layang. Entah kenapa, tiba-tiba saja dia
jadi sangat tidak suka dengan Aldy. Rasanya tadi pengen menghajar cowok itu. Sebenarnya sih
Aldy masih tetap Aldy yang biasa. Yang selalu menyapa ramah semua orang. Termasuk Rico
tentunya. Tapi nggak tau kenapa, Rico merasa dia sangat benci dengan senyum Aldy hari ini.
Apalagi saat dia melihat Ciya naik ke mobil cowok itu. Bukan karena ucapan Natya tempo hari
tentang masalah jadiannya Aldy dengan Ciya. Rico juga tahu Natya bilang begitu cuma buat
cuma mancing emosinya aja. Tapi rasanya sesuatu yang buruk akan terjadi.
Rico menggeser pintu kamar Ciya. Menatap kamar kosong itu sekali lagi. Dia mulai tidak sabar
dengan keheningan yang dijumpainya. Rasanya jauh lebih baik jika dia disambut dengan
lemparan berbagai barang yang biasa dilakukan Ciya setiap kali Rico masuk ke kamar itu tanpa
izin dibandingkan jika dia harus disambut oleh angin saja!!
Rico menaruh koper Ciya di samping lemari pakaian lalu mengempaskan diri di sofa. Sebelum
pergi dengan Aldy, Ciya sempat menitipkan koper bekas acara menginap versi Natya ke Rico.
Rico mengambil boneka Tweety sebesar anak kecil yang tergeletak di samping sofa, lalu
menaruhnya di pangkuan. "Heh! Burung jelek!" Rico menepuk-nepuk kepala Tweety. "Kenapa sih
majikan lo sama sekali nggak ngerti kalo gue beneran kangen sama dia!?" Rico merengut sambil
mengempaskan kepalanya ke sela-sela bulu boneka. Dia jadi teringat kejadian waktu
membelikan boneka ini buat Ciya. Tepat sehari sebelum kedatangan Sha-Sha.
Perkaranya, Ciya suka ngeluh susah tidur. Kebetulan ketika Rico sedang mencari-cari pic baru
buat gitarnya, dia menemukan boneka gede ini. Waktu itu bukan cuma boneka Tweety ini aja
yang ukurannya segede orang. Masih ada Bugs Bunny, masih ada Winnie the Pooh, pokoknya
tokoh kartun semacam itulah. Tapi entah kenapa, Rico merasa Tweety itu mirip sama Ciya. Bisa
dibilang nggak jelek-jelek amat, cukup lucu, banyak tingkah, cerewet, sekaligus aneh. Mana ada
sih burung normal yang lebih gede kepalanya dibanding badannya"
Tapi, waktu Rico dengan riang gembira ngasih boneka itu ke Ciya....
"Kok lo ngasih boneka jelek kayak gini sih?"" gerutu Ciya memandang si Tweety sambil
merengut. Rico melongo. "Kalo nggak mau ya udah," omelnya, merenggut boneka itu.
"Siapa yang bilang nggak mau...." Ciya menarik boneka itu lagi dari tangan Rico lalu
mendudukkannya di kasur. "Gue kan cuma bilang bonekanya jelek. Tapi kan gue nggak bilang
nggak mau." "Cih...." Rico mendesis.
Ciya terkekeh. "Kok tumben ngasih boneka?"
"Emang nggak boleh?" kata Rico, duduk di samping Ciya sambil mengelus-ngelus boneka gede
itu. "Katanya susah lo tidur. Jadi pas tadi gue ketemu boneka gede ini, sekalian gue beliin aja
buat nemenin lo tidur. Kalo gue yang nemenin kan sudah pasti digampar!"
Ciya tertawa sambil menatap Tweety itu di pangkuannya. "Halo, burung jelek!"
"Kok burung jelek sih?" protes Rico.
"Emang nggak boleh kalo gue kasih nama burung jelek?" Ciya menimang-nimang. "Yang penting
kan orang yang ngasihnya...."
Ciya nyengir. "Jelek juga."
"Hei...." sapaan Sha-Sha dari balik pintu membuat Rico tersedot kembali ke detik sekarang.
"Hei...." Rico tersenyum. "Sini duduk!" Dia menepuk-nepuk sofa di sampingnya.
Rico akhirnya kembali menggunakan bahasa "gue-elo"
Waktu ngomong sama Sha-Sha dan menyerah bicara dalam bahasa "aku-kamu". Bukannya
nggak bisa, hanya saja rasanya bener-bener seperti berada dalam kisah telenovela. Tapi Rico
menentang keras saat Sha-Sha juga ingin ikut menggunakan bahasa "elo-gue". Sumpah....
logatnya jadi aneh. "Ciya belum pulang?" tanya Sha-Sha, memperhatikan keadaan kamar itu.
Sha-Sha menyadari satu hal. Sejak Ciya nginap di rumah Natya, rasanya Rico lebih sering ada di
kamar Ciya dibanding di kamarnya sendiri. Dan tatapannya seakan berharap semoga tiba-tiba
saja akan ada sosok Ciya yang keluar entah dari mana dan bilang, "Hai, gue datang!"
"Lagi pergi bentar sama Aldy," jawab Rico. "Mungkin sore baru pulang." Rico memencet tombol
on pada CD player. Lagu Lullaby mengalir perlahan.
"Sejak kapan kamu suka lagu mellow begitu?" tanya Sha-Sha, berjalan ke meja belajar Ciya.
Lima Laknat Malam Kliwon 2 Pendekar Bodoh 9 Sengketa Ahli Sihir Kisah Dua Naga Di Pasundan 2
^