Pencarian

Separuh Bintang 4

Separuh Bintang Karya Evline Kartika Bagian 4


Mengamati pernak-pernik di sana.
"Ciya yang suka." Rico mengempaskan tubuhnya di ranjang, menatap Sha-Sha dengan sudut
matanya. "Dia cuma suka musik nina bobo."
Sha-Sha tersenyum tipis. "Ini siapa, Ric?" tanya Sha-Sha sambil mengangkat foto Billy. "pacar
Ciya?" Rico bangkit dari tidurnya, mengambil foto dari tangan Sha-Sha. "Iya...." angguk Rico sambil
menaruh kembali foto itu ke tempat semula. "Tadinya...."
"Tadinya?" "Cowok itu sudah meninggal."
Sha-Sha membelalakkan mata. "Meninggal?"
Rico mengangguk. "Dunia yang menyebalkan," ujarnya sambil kembali berbaring. "Waktu umur
Ciya 14 tahun, bokapnya pergi dari rumah. Setahun kemudian, Billy...," Rico menunjuk tadi, "....
bunuh diri. Dan nggak sampai setahun, nyokapnya meninggal. Hebat, kan?"
Sha-Sha menautkan alisnya. "Kamu.... serius?"
Rico menyeringai. "Bagusnya sih nggak. Tapi kalo semua itu bohongan, Ciya nggak mungkin
tinggal di sini." Sha-Sha mengambil kalender yang tergeletak di meja Ciya. Membaca tulisan yang tertera di
sana. Hampir di setiap tanggal.
Jangan lupa beli buku tentang serangga buat PR biologi saja Kyo!
Ajarin Kyo math! Beli kue buat Kyo! Bikin chicken steak buat Kyo!
Kyo kasih boneka.... Kyo beliin cokelat....
"Kyo...," tanpa sadar Sha-Sha bergumam.
"Hmm?" Tapi sedetik kemudian, seperti tersadar akan sesuatu, Rico bangkit, memandang Sha-Sha.
"Kamu tadi bilang apa?"
"Kyo...." Sha-Sha mengacungkan kalender tadi. "Dia memanggilmu begitu, kan?"
Rico mendengus. "Ciya itu emang suka ganti-ganti nama orang seenaknya."
Sha-Sha tersenyum tipis. "Eh....," panggil Rico. "Gimana persiapan konser" Udah beres semua?"
"Udah...." Sha-Sha mengangguk. "Kamu nggak mau main bareng sama aku, Ric" Atau sekadar
nyumbang lagu, gitu" Itu kan sekalian pesta pertunangan kamu juga...."
Apa"! Rico bangkit mendadak dari posisi tidurnya dengan mata terbelalak! Apa lagi ini" Pesta
pertunangan" Jadi konsernya Sha-Sha sekaligus pesta pertunangan mereka" Gila! Rico
mengumpat dalam hati. Hebat sekali rencana dua direktur perusahaan ternama itu! Yang
ditunangin aja malah nggak tau apa-apa soal pesta pertunangannya sendiri!
"Kamu belum tahu?" Sha-Sha melihat keterkejutan di mata Rico.
"Sama sekali belum." Rico menggeleng kesal.
"Lalu.... apa nggak mau tunangan?" tanya Sha-Sha.
Rico mengerutkan dahinya. "Kok nanyanya gitu?"
"Kalo emang mau, mestinya kamu senang , kan?" desah Sha-Sha sambil membuka laci meja
Ciya. "Tapi kamu malah keliatan nggak suka."
"Sori....," gumam Rico, menyadari bahwa dia lagi-lagi menyakiti gadis itu. "Sha, soal pertunangan
ini, apa lo yang bilang ke Ciya?"
Sha-Sha mengangguk sambil mengeluarkan sebuah kamera dari laci. "Iya. Emang kenapa?"
Rico menggeleng sambil memencet tombol on pada kamera itu saat dia melihat Sha-Sha
mencari-cari tombol untuk menyalakan kamera yang dipegangnya. Ternyata memang bukan
Chris yang ngasih tau Ciya, pikir Rico. Sesaat Rico jadi mengerti apa arti bentakan Natya tempo
hari. Dia memang pengecut!
"Ini kamera Ciya?" tanya Sha-Sha memandang kagum kamera keluaran terbaru tujuh megapixel.
"Dari papa kamu?"
"Dari gue...." "Apa?" Sha-Sha terkejut. "Ini?"
"Kenapa?" seringai Rico. "Gue kan punya tabungan, Non. Lo pikir gue semiskin itu?"
Sha-Sha terdiam. Masalahnya, bukannya bisa nabung apa nggak. Semua orang juga tahu, Rico
nggak nabung pun, duitnya udah banyak. Tapi cuma orang gila yang nggak jealous kalau
tunangannya ngasih barang semahal ini buat cewek lain."
"Ciya itu suka sekali bintang," ujar Rico menunjuk bintang-bintang palsu di langit-langit kamar.
"Buat dia.... bintang itu sebagai pengganti kenangan. Bagus kan, kalau kenangan bisa
dibekukan?" Sha-Sha menatap Rico. "Membekukan kenangan?"
Lampu kamar masih menyala ketika Rico mendapati Ciya sedang memeluk lututnya di samping
tempat tidur. Rico melepas ranselnya lalu menghambur mendekati Ciya. "Katanya sakit?"
Tangannya terulur memegang dahi Ciya. "Udah turun panasnya?" tanyanya lagi. Hari itu adalah
hari Ciya mengunjungi makam mamanya dan Billy.
Ciya menggeleng, menatap menembus dinding di hadapannya.
"Seandainya....," Ciya berucap lirih. "Seandainya kenangan itu bisa dibekukan. Pasti akan jauh
lebih baik. Kalau setiap saat ingin melihatnya, tinggal buka lemari pendingin aja. Kenangan itu
masih akan tersimpan rapi di sana."
Membekukan kenangan"
"Nih! Simpan semua kenangan lo mulai hari ini." Rico menyerahkan sebuah kamera ke
genggaman Ciya. Ciya menatapnya penuh arti. "Kamera" Buat gue?" Dia mngerjapkan mata tak percaya.
"Iya.... Bagus kan kalau kenangan bisa dibekukan?" Rico tersenyum. "Tapi kenangan yang bisa
dibekukan saat ini cuma kenangan antara lo dan gue aja ya...."
Sha-Sha menatap keseluruhan foto di sana. Bisa ditebak.... Semuanya cuma ada foto Ciya atau
Rico atau foto keduanya. Tiba-tiba saja Sha-Sha sangat merasa lelah dengan keadaan yang
terpancar dari sana. Melihat bagaimana cerianya Ciya, bagaimana Rico merangkul Ciya,
mengacak-acak rambut Ciya, bergandengan tangan, menyuapi makanan....
"Kenapa?" tanya Rico mengambil kamera itu dari tangan Sha-Sha. "Fotonya lucu, kan?" dia
tersenyum. Satu lagi! Senyum itu....
Sha-Sha masih ingat dengan jelas. Lima tahun yang laly, hanya dia....semua orang pun bilang
bahwa hanya seorang....hanya satu orang Sha-Sha yang bisa membuat Rico tersenyum seperti
itu. Tapi sekarang, lima tahun kemudian, senyum itu bukan lagi miliknya sendiri. Ada orang lain
yang dapat membuat cowok itu mengeluarkan senyum yang sama.
"Rico...," panggil Sha-Sha pelan.
"Hmm?" Rico menekan tombol off, mengembalikna kamera itu ke tempat semula. "Ciya itu punya
kebiasaan jelek." Rico mengerutkan dahinya. "Dia meletakkan barang di kamar ini selalu dengan
posisi yang sama. Dia paling nggak suka kalo kamarnya diacak-acak tanpa izin. Makanya gur
mesti hafal letak tiap barang biar nggak ketauan," jelas Rico nyengir.
Sha-Sha menarik napas panjang. Meletakkan kedua telapak tangannya di wajah Rico agar
cowok itu fokus memandangnya. "Sejak kapan kamu lupa sama aku?"
Rico terdiam. "Gue nggak pernah lupa sama lo...."
Lagu Lullaby sudah berganti dengan lagu Only Tinne.
Who can say where the road goes.... Where the day flows..... Only time....
Lirik demi lirik sekan membungkus Rico dan Sha-Sha dalam jawaban yang tidak perlu
dipertanyakan. Tidak pernah melupakan. Yah...memang tidak akan pernah lupa.
Hanya saja, seluruh waktu, lima tahun, telah menjadi jarak yang begitu kuat untuk membuat
segala peristiwa menjadi sebuah kenangan indah. Kenangan.....hanya kenangan. Kenangan
manis yang tidak mungkin terlupakan.
Kenangan yang perlahan mulai memudar karena berjalannya roda kehidupan. Karena terlalu
banyaknya mimpi. Karena terlalu banyaknya harapan. Dan karena terlalu banyaknya cerita.
Mimpi mungkin terlalu indah. Harapan yang mungkin terlalu tinggi. Dan cerita yang mungkin
terlalu happy ending. Namun, bukankah mimpi yang membuat harapan itu selalu ada" Dan bukankah harapan yang
membuat segala cerita menjadi lebih memiliki makna" Dan mungkinkan....mimpi itu pula yang
menjadikan segala sesuatunya berjalan pada belokan yang salah"
Rasanya naif kalau harus menyesal sekarang. Sha-Sha mengakui, mimpi menjadi pianisnya
yang menghalangi kepulangannya ke sini. Lalu.... Akankah keberhasilan satu mimpi indah akan
menjadi mimpi buruk lagi yang lain" Apakah mimpi itu hanya bisa dipilih satu saja"
Rico memandang Sha-Sha. Tapi tiba-tiba saja dia seakan melihat seluruh dunia di sekelilingnya
berputar. Sosok Ciya dan Sha-Sha muncul bergantian.
Mulai dari awal pertemuannya dengan Sha-Sha kecil, kepergian gadis itu dan depresinya.
Kemunculan seorang Ciya dengan segala masalahnya, perasaan hangat yang menjalar ketika
melihat Ciya tersenyum, dan rasa sakit yang menusuk saat cewek itu mengejar sosok lain....
Semua peristiwa itu seakan berkecamuk di otaknya, membuat Rico tiba-tiba merasa pusing. Apa
memang setipis itu perbedaan antara iya dan tidak"
part* 23 "Kenapa"!" tanya Sha-Sha lebih keras setelah sekian lama tidak menerima jawaban. Sha-Sha
tidak peduli dengan tatapan Rico yang tidak mengerti atau pura-pura tidak mengerti. Yang ada,
dia jutru benci tatapan itu. Tatapan yang membuat dirinya terasa dikasihani. "Kenapa"!" Sha-Sha
mengguncang-guncang kaus Rico dengan suara serak. Tangisya pecah.
Sudah cukup semua kesabaran yang selama ini terus-terusan dihamburkannya keluar. Sudah
cukup selama ini dia hanya diam. Dia sudah tidak sanggup lagi terus-menerus berpura-pura tidak
tahu apa-apa dan tidak mengerti apa-apa. Sudah cukup waktu yang diberikan untuk menjadi
cewek baik-baik yang selalu percaya pada calon tunangannya. Yang selalu tersenyum padahal
setiap hari luka demi luka terus tertoreh di hatinya. Sabar" Percaya" Pergi saja ke neraka!
Entah berapa lama Sha-Sha menangis. Entah berapa lama Rico harus mematung dan
membiarkan kepala gadis itu bersandar di dadanya sampai Sha-Sha kembali tenang. Yang jelas,
Rico merasa....saat itu adalah saat terlama dalam hidupnya. Merasa seluruh perasaannya tidak
berdaya dipompa keluar. Membuat semua perasaan bergejolak di perutnya.
Rico melepaskan pelukannya, memandang Sha-Sha dalam diam. Memunculkan keberanian
untuk mengungkapkan sebuah akhir.....atau mungkin awal mula.....dan sebuah waktu. Rico
menyayangi gadis ini. Hanya saja, tidak bisa dipungkiri, telah muncul sosok lain yang
memberikan kisah baru bagi dirinya.
Dan orang itu....bukan lagi gadis kecilnya dulu. Bukan orang yang sama.... Bukan Sha-Sha.
"Dulu gue sayang banget sama lo...," ujar Rico pelan, memandang wajah Sha-Sha yang masih
terisak. "Tapi....saat ini terlalu banyak yang berubah."
Sha-Sha terkesiap mendengarnya. Merasa inilah klimaks yang mau tak mau harus didengarnya.
Klimaks yang mungkin akan semakin menggerogoti sakit hatinya. Dia terluka. Dan masih harus
kembali terluka. Sha-Sha mendongak memandang jauh ke dalam mata Rico. Berusaha menemukan hari kemarin
yang masih tersisa. Berusaha mengais apa pun yang mungkin masih dapat dia raih. Tapi
ternyata hampa.....tidak ada apa pun di sana. Selain perasaan bersalah yang menyeruak seiring
kata demi kata yang mengalir perlahan dalam penyesalan.
"Gue punya seribu alasan kenapa gue suka sama lo," ujar Rico. "Sampe sekarang pun alasan itu
masih ada.....dan tetap akan selalu ada."
"Lalu kenapa kamu nggak pakai semua alasan itu untuk tetap suka sama aku!" teriak Sha-Sha.
"Kamu tahu nggak, berapa lama aku menunggumu" Kamu tahu nggak, aku sekali pun nggak
pernah kepikir untuk suka sama orang lain selain kamu" Kamu tahu nggak, berapa banyak waktu
yang aku habiskan buat itu semua?" Sha-Sha mengacungkan tangan kanannya ke dada Rico.
"Five years, Ric! Lima tahun aku nungguin kamu! Lima tahun!! Dan kamu pikir apa pernah aku
ngelupain kamu" Aku pernah sedetik pun aku nggak mikirin kamu?" Sha-Sha menggeleng
kecewa. "Nggak pernah, Ric! Sama sekali!"
"Apa lo pikir gue juga pernah ngelupain lo?" Rico mengguncang bahu Sha-Sha. "Apa lo pikir gue
hidup senang di sini sementara lo di sana"! Karier gue hancur juga karena lo! Lo pikir kenapa
gue nggak pernah konser lagi" Lo pikir kenapa gue nggak pernah main piano lagi" Lo pikir
kenapa gue bisa pacaran dengan segitu banyak cewek tanpa ada satu orang pun yang gue
suka?" Rico memandang lurus ke bola mata Sha-Sha, mencoba menemukan pengertian di sana.
"Semua karena lo, Sha! Karena gue sangat kehilangan lo! Lo bisa nungguin gue karena lo tahu
soal pertunangan kita! Tapi gue"! Gue sama sekali nggak tahu apa-apa! Yang gue tahu cuma lo
pergi niggapin gue tanpa pernah ada kabarnta lagi dan gue pikir kita udah selesai! Finish!!"
Sha-Sha terpekur mendengar semua ucapan Rico. Air matanya mengalir begitu saja an tubuhnya
merosot ke lantai. Sha-Sha menekuk lututnya dan menyembunyikan wajahnya di sana
sementara bahunya berguncang pelan.
"Sha...." Rico mengelus rambut Sha-Sha.
"Tapi kamu tunanganku, Ric...."
Hanya empat kata yang mampu keluar dari mulut Sha-Sha saat ini. Selebihnya hanya terdengar
isakan pelan. Sha-Sha bahkan tidak peduli kalau Rico baru saja memeluknya, membiarkannya
menyusup di sela bahunya. Dia juga tidak mendengar ketika Rico mengatakan maaf tepat di
telinganya. Berkali-kali..... *** Aldy memarkir mobilnya di tepi pantai.
"Ngapain lo ngajak gue ke sini?" tanya Ciya, melepas sabuk pengamannya dan berjalan
mengikuti Aldy, lalu duduk di sebatang pohon yang tumbang. Ciya memandang Aldy tak mengerti
sambil memainkan pasir dengan ranting pohon yang tergeletak di sebelah kakinya. Ciya tahu,
mungkin saja Aldy masih marah soal tempo hari, tapi hari ini Aldy jadi terlalu diam. "Masih marah
ya, Yo?" tanya Ciya pelan. "Kan gue udah minta maa...."
"Gue ngajak lo ke sini bukan buat ngomongin itu kok," potong Aldy, memandang ke laut lepas.
Dia mengembuskan napas panjang. "Masih inget nggak kapan terakhir kali kita ke sini?"
Lewat pertanyaan Aldy yang terakhir, Ciya tahu Aldy bukan memandang laut yang sekarang.
Tapi laut tiga tahun yang lalu. Laut yang masih menggemakan suara Billy. Laut yang masih
menjadi saksi kebahagiaan tiga sahabat yang sedang berlibur. Laut yang mendengar pertanyaan
"Gue sayang sama lo!" yang pertama kalinya dari mulut Billy. Laut yang menemani kemunafikan
Aldy untuk menerima hubungan kedua orang itu.
Ciya menarik napas panjang, memandang lurus ke arah kapal yang mulai terlihat seperti titik
kecil. "Kalo yang lo maksud soal Billy," Ciya berujar pelan, "gue udah bisa nerima semuanya kok,
Yo." Aldy menatap Ciya, seakan Ciya baru saja mengeluarkan pertanyaan aneh.
Ciya tersenyum memandang awan. "Dia memang pernah hidup.... Dan dia akan terus hidup di
sini." Ciya meletakkan telapan tangannya ke dada. "Selamanya dia akan menjadi kenangan yang
terindah buat gue. Walaupun mungkin nggak bisa disentuh, tapi kenangan itu masih bisa dibuka
sewaktu-waktu. Ingatan mungkin bisa hilang seiring berjalannya waktu. Tapi waktu nggak bakal
sanggup buat menghilangkan perasaan gue ke dia. Waktu cuma sekadar membuat kata tamat
tentang kisah gue dan Billy." Ciya memandang Aldy. "Bener, kan?"
Aldy tidak menjawab. Dia masih memandang ke arah batas cakrawala. Berharap dia dapat
melihat sekilas..... Sekilas saja bayangin Billy di sana dan menceritakan semua hal. Billy, sejak
kapan gadis kecil kita menjadi dewasa ini" Apa dia masih sanggup menerima kenyataan pahit
sekali lagi" Mestinya elo yang ada di sampingnya saat ini! Mestinya elo yang bertugas
menceritakan ini! Gue nggak tahu apa gue masih sanggup buat mencegah Ciya bertindak konyol
lagi...... "Yo....," panggil Ciya lagi. "Sebenernya ada apa sih?"
"Sebenernya.....," Aldy terdiam sejenak, "....beberapa hari yang lalu gue pergi ke tempat bokap
lo...." "Apa"!" Ciya bangkit. Emosi mulai menghantui pikirannya.
"Ngapain lo cari bokap gue" Masih belum cukup apa dia ngancurin hidup gue" Dia itu bokap
kandung gue, Yo! Dia nggak pernah nganggep gue anaknya! Dia itu...."
"Dia udah meninggal!"
Apa"! Ciya terbelalak. Tadi Aldy bilang apa"!
Aldy menundukkan kepalanya dalam-dalam, seakan seluruh keberaniannya tersedot jauh ke
dalam hatinya. Seakan dia tidak sanggup lagi menghadapi semua hal yang akan terjadi di depan
matanya. "Dia udah meninggal, Ci....," ujar Aldy lirih.
Kata-kata yang diucapkan Aldy barusan seperti petir di kepala Ciya. Membuat dirinya serasa lupa
ingatan selama beberapa detik. Semua kata yang ingin dia ungkapkan sebelumnya terasa
tercekat di tenggorokan. "Tadi...." Ciya mencengkeram kaus Aldy. Memaksa cowok itu mendongakkan kepalanya lagi. "Lo
bilang apa?" "Mungkin bokap lo ada di salah satu sisi di laut ini." Aldy mengalihkan pandangannya ke laut.
"Abunya dibuang di sini...."
"Lo ngomong apa sih, Yo?" tanya Ciya terbata lalu beranjak pergi. "Gue mau pulang....."
"Ciya!" Aldy menarik tangan Ciya. "Denger gue!"
"Nggak mau!" bentak Ciya, menutup kedua telinganya dengan telapak tangan. "Ayo, Yo! Pulang
aja! Gue nggak mau di sini."
"Ciya...." Aldy menatap Ciya dengan pandangan memohon. "Gue juga syok waktu denger soal
ini, tapi bokap lo udah meni...."
"NGGAAKK!!!" teriak Ciya. Air mata mulai mengalir dari pelupuk matanya. "Lo juga denger sendiri
kan waktu itu bokap gue bilang dia cuma mau pergi dari rumah" Dia nggak mau ketemu gue lagi!
Dan sekarang dia udah nggak pernah ketemu gue lagi. Jadi dia pasti bisa hidup bahagia lagi
bersama keluarga barunya."
"Ciya....," gumam Aldy lirih.
"Sekarang baru jam tiga sore. Dia pasti sekarang lagi kerja di kantornya."
"Ciya....." "Lo pasti salah...."
"Ciya...." "BOHOOOONNGG!!!" Tangis Ciya meledak. "BOHONG!" Ciya memukul Aldy. "LO PASTI
BOHONG!" ujar Ciya serak, mengguncang-guncang bahu Aldy. "LO BOHONG, KAN" IYA,
KAN"!" BILANG SAMA GUE KALO LO BOHONG!!"
"Ciya...." Aldy memeluknya. "Oom Frans udah meninggal.
Bokap lo dah nggak ada," bisik Aldy pelan....sangat pelan. Tapi bisikan itu lebih tepat dikatakan
sebagai pengganti ribuan batu yang menggencet kepala Ciya saat ini. Semakin pelan Aldy
bicara, semakin dalam batu-batu itu menggencet kepalanya.
Mungkin seandainya masih ada hal lain yang dapat diharapkan Ciya, dia pasti akan berharap
tiba-tiba ada kamera dan reporter yang keluar dari balik pohon kelapa, lalu memberitahu ini cuma
sekadar reality show aneh yang nggak penting. Dia pasti berharap Aldy akan tertawa sambil
teriak "Gotcha!!!!" seperti yang sering dilakukannya dulu. Berharap Aldy akan memukul
kepalanya dan mengatainya bodoh karena percaya begitu saja dengan sandiwara yang dia buat.


Separuh Bintang Karya Evline Kartika di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ayolah! Apa saja! "Maaf, Ci....," ujar Aldy di telinga Ciya. "Maaf kalo gue ngasih lo kabar yang menyakitkan lagi...."
Ciya mengempaskan tubuh Aldy, lalu berlari ke arah laut.
"Ciya!!" teriak Aldy mengejarkan di belakang. Takut gadis itu melakukan sesuatu yang aneh-aneh
lagi. Tapi Ciya berhenti ketika air laut mencapai lututnya. "PAPAAA!!!"
Tangannyamengambil segenggam pasir lalu melemparkannya kasar ke tengah laut.
"PENGECUT!!" teriak Ciya sekencang-kencangnya.
"JANGAN CUMA SEMBUNYI DI BALIK AWAN, PA! KE SINI!! KALO PAPA EMANG MARAH
SAMA CHIARA, CEPET KE SINI! PAPA BOLEH MAKI-MAKI CHIARA! PAPA BOLEH PUKUL
CHIARA! CEPET KE SINI, PA! JANGAN SEMBUNYI LAGI! CEPET KE SINI!!!"
Tapi hanya suara ombak yang menjawab semua tantangannya. Ciya jatuh terduduk. Menangis
sejadi-jadinya. Aldy menatap Ciya nanar. Dia memandang ke arah langit, memastikan seluruh awan
memandang gadis kecilnya yang berduka. Apa belum cukup takdir mempermainkan kebahagiaan
cewek ini" part* 24 Missing Memories RICO terenyak menatap sesosok tubuh mungil yang berjalan di hadapannya dengan wajah
seputih kapas dan tubuh basah kuyup.
"Ci...." Rico menghampiri Ciya, menggenggam tangannya. Dia bergidik ketika kulitnya menyentuh
sesuatu yang begitu dingin.
Ciya menepis tangan Rico perlahan, lalu berjalan tanpa ekspresi ke dalam rumah. Rico
tercenung. Tidak lagi.... Wajah itu.... Wajah sama yang selalu dia lihat di awal pertemuannya
dengan Ciya. Rico memandang Aldy yang berdiri mematung di belakangnya, meminta jwaban akan keadaan
Ciya. Tapi, cowok itu hanya mengisyaratkan agar Rico ikut keluar dengannya dan bicara.
Rico berjalan ke luar pagar, menuju lapangan kosong yang berjarak beberapa blok dari rumah.
Aldy berdiri di tengah lapangan. "Sebenarnya tadi....."
BRUK!! Sebelum Aldy menyelesaikan ucapannya, tinju Rico sudah lebih dulu melayang. "LO GILA YA"!"
bentak Rico emosi. "LO AJAK DIA KEMANA SAMPE KAYAK GITU"!"
Aldy sempat terhuyung. Ujung bibirnya berdarah. Tapi dia tidak membalas. Aldy hanya
mengeluarkan secarik kertas kecil dari balik sakunya.
"Ini alamat yang lo kasih...." Aldy menyerahkan kertas itu ke tangan Rico. "Gue udah ke sana."
"Apa?" Rico mengambil kertas itu dari tangan Aldy.
Jln. Telaga Biru IV no.52, Griya Hijau, Bandung.
Rico tersentak. Sejujurnya, dia sendiri sudah lupa dengan alamat ini. "Ketemu?" tanyanya.
Aldy menggeleng pelan. "Gue cuma ketemu dokter yang pernah ngerawatnya."
"Tapi lo tahu dia tinggal di mana sekarang?"
Aldy mengangguk. Ujung jarinya mengarah ke langit malam. "Di surga...."
Rico tercekat. "Bohong!"
"Lo pikir masalah kayak gini pantes buat dijadiin bohong-bohongan!" bentak Aldy. "Lo pikir gue
tega ngebiarin Ciya sedih lagi?"
Aldy memandang pria berjas putih di hadapannya. Kalau saja tidak ingat pria itu jauh lebih tua
darinya, mungkin Aldy akan menggebrak meja mempertanyakan pertanyaannya barusan.
"Tadi Dokter bilang apa?" tanya Aldy lagi.
Pria itu mendesah. "Saya sudah berusaha sekuat tenaga. Sebagai dokter, tidak ada peristiwa
pasien. Tapi waktunya memang sudah tiba. Saya minta maaf. Saya tidak dapat menyelamatkan
Pak Frans. Dia sudah meninggal."
Aldy menyandarkan tubuhnya di sofa. Tubuhnya tiba-tiba menjadi berat untuk bisa duduk tegak.
Dia menarik napas sebanyak-banyaknya karena jantungnya pun tiba-tiba terasa menyusut.
"Setahun yang lalu....," pria itu mulai bercerita, "saya dikagetkan dengan kedatangan pasien
gawat darurat. Kabarnya mobilnya tabrakan dengan truk yang melintas di depannya. Saya
sempat syok melihat kondisinya yang sudah sangat parah."
Pria itu terdiam sejenak. Aldy juga terdiam. Pikirannya berkecamuk sekarang.
"Memang sempat dilakukan operasi," lanjut pria itu, "dan berhasil menyelamatkan nyawanya.
Hanya saja dia sempat koma. Dan di saat dia sadar, separuh tubuhnya yang sebelah kiri tidak
berfungsi." Aldy memejamkan mata, berusaha memercayai peristiwa yang baru saja ditangkap telinganya.
"Sebenarnya Pak Frans sempat menjalani perawatan intensif selama sebulan. Namun,
kondisinya semakin hari malah semakin buruk. Obat-obatan sudah tidak dapat diterima
tubuhnya. Sampai akhirnya....."
"Cukup!" ujar Rico menyudahi cerita Aldy. "Gue nggak mau denger lagi!" Rico berjalan menuju
pinggir lapangan, duduk di deretan bangku kayu yang berjajar di sana. "Gue pikir kita bakal bisa
dapet informasi yang jauh lebih berharga. Seenggaknya gue pikir kita bisa tahu siapa ayah
kandung Ciya yang sebenarnya, atau gue pikir kita bisa tahu kenapa Billy bunuh diri. Lagu pula,
kan dia juga yang nyuruh kita nyari bokapnya Ciya." Rico meremas jari-jari tangannya.
"Gue pikir nggak sesia-sia itu kok." Aldy berjalan menghampiri Rico. "Seenggaknya dari dokter itu
gue bisa tahu siapa pria lain dalam hidup mama Ciya."
"Apa?" Rico terbelalak mendengar kalimat Aldy yang terakhir. "Pria lain?" Rico mengernyitkan
dahinya. "Siapa dia?"
Aldy tersenyum sinis tak bersahabat. "Lo mau tahu?"
Rico menatap Aldy, tak mengerti akan perubahan sikap cowok yang berdiri di depannya dengan
tiba-tiba. "Dua kata, Ric," ujar Aldy. "Penyebab penderitaan Ciya adalah satu orang." Aldy menatap Rico
tajam. "Biang keladi semua masalah ini adalah BOKAP LO!!" Aldy menerjang Rico dan memukul
dadanya. Rico terjerermbab ke semen dingin. Tulang rusuknya serasa terlepas dari tempatnya semula.
Seluruh sudut di otaknya berpikir keras. Apa-apaan ini"
"Apa maksud lo?" Rico terbata sambil berusaha memperbaiki posisi tubuhnya yang
sempoyongan. Ada apa lagi ini" Apa maksud Aldy dengan menyebutkan bahwa penyebab
semua ini adalah papanya"
Aldy merenggut baju Rico, memaksa cowok itu menatapnya. "Denger baik-baik! Dokter yang gue
temui malam itu, yang ngerawat Oom Frans sewaktu kecelakaan, adalah SAHABAT BOKAP
LO!" Aldy kembali memukul rahang Rico, membuat ujung bibir Rico berdarah. "BOKAP LO UDAH
TAHU DARI DULU DI MANA BOKAPNYA CIYA!" teriak Aldy. "DAN YANG MENANGGUNG
SEMUA BIAYA PERAWATAN OOM FRANS JUGA BOKAP LO!"
Rico terenyak. Rasa sakit di otaknya kini bertambah dengan rasa sakit di sekujur tubuhnya.
"Satu hal lagi," desis Aldy di telinga Rico, "pria yang menyebabkan kekacauan di keluarga
Ciya...." Aldy menatap Rico garang. "ITU JUGA BOKAP LO!"
"Apa maksud lo"!" Rico setengah berteriak sambil menepis tangan Aldy yang
mencengkeramnya. Dia balik menatap Aldy tajam. "Jelasin semuanya!! Apa maksud lo"!" Apaapaan ini" Seorang Aldy yang biasanya begitu ramah, hari ini menjelma menjadi orang lain
dengan kemarahan membabi buta.
"Pria yang selama ini menyimpan tanda tanya, pria yang selama ini kita cari-cari, yang membuat
semuanya menjadi kacau...." Aldy menatap Rico yang beringsut menghampirinya. Bibirnya masih
berdarah. "Ternyata bokap lo."
Rico memandang Aldy tak percaya. "Lo gila?" desis Rico. "APA MAKSUD LO NGOMONG
KAYAK GITU"! LO PIKIR GUE PERCAYA SAMA OMONGAN LO BARUSAN?" Rico berteriak,
merenggut kerah Aldy dan memukulnya tepat dibagian rahang.
Aldy terhuyung. "Rico...." ujar Aldy lirih, "pria lain itu bokap lo." Dia mencoba sekeras mungkin
untuk tetap sadar. Rico kembali ternyak. Dia terduduk di samping Aldy. Pandangannya menatap dalam-dalam mata
cowok di hadapannya itu. Berusaha mencari celah. Tapi dia hanya melihat keseriusan di sana.
Aldy mengusap dagunya. "Dokter itu juga nggak tahu dan nggak cerita banyak ke gue. Tapi dia
tahu Tante Merina dan bokap lo udah kenal jauh sebelum Tante Merina menikah dengan Oom
Frans." "Apa?" Rico terkejut. "Bokap gue sama Tante Merina sudah kenal selama itu?"
Aldy mengangguk. "Kenapa?" tanyanya tanpa meminta jawaban. "Karena mereka pacaran. Dan
kenapa dokter itu tahu mereka pacaran?" Aldy menatap Rico. "Karena ketika Tante Merina
mengandung anak di luar nikah, dokter itulah yang pertama kali mengetahuinya."
Rico terbelalak. Jantungnya berdebar kencang. "Jadi Ciya...."
"Bukan....," potong Aldy sambil menggelengkan kepalanya. "Harusnya bukan Ciya. Kalau dokter
itu tidak bohong, harusnya anak itu bukan Ciya."
Rico menatap Aldy tak mengerti.
"Dokter itu mengatakan Tante Merina mengandung anak itu sekitat sembilan belas tahun yang
lalu." Aldy menggigit bibir. "Kalau memang tepat sembilan belas tahun yang lalu, sudah pasti
bukan Ciya." "Lalu?" tanya Rico.
Aldy kembali menggeleng. "Justru itu yang gue juga masih nggak ngerti. Tapi ada dua
kemungkinan." Aldy menatap Rico. "Pertama, Tante Merima menggugurkan bayinya. Kedua...."
"Billy....," desis Rico lirih saat teringat satu nama. "Kalau Billy masih hidup, dia berumur sembilan
belas, kan?" Aldy terdiam, mengatupkan kedua tangannya rapat-rapat. Semua orang tahu Billy itu anak
angkat paman dan bibi Ciya yang akhirnya dirawat Tante Merina setelah paman dan bibinya itu
meninggal. Tapi siapa orangtua Billy sebenarnya memang tidak ada yang tahu. Aldy memandang
ke langit malam sebelum melanjutkan perkataaannya. "Jika benar anak itu adalah Billy.... maka
dia dan Ciya adalah...."
"Saudara kandung." Rico mengernyitkan dahinya tak percaya lalu mendesah pelan saat kembali
teringat sesuatu. "Karena itu Billy menyebut 'cinta terlarang' di suratnya."
"Lo juga baca surat itu?" tanya Aldy.
"Nggak sengaja," ujar Rico pelan, "dan kalau memang anak di luar nikah itu bukan Ciya, kenapa
bokapnya Ciya itu bersikeras kalau anak itu adalah Ciya?"
Aldy terdiam sebentar lalu menggeleng. "Gue juga nggak ngerti, tapi itu menjadi mungkin
kalau....itu cuma spekuladi Oom Frans sendiri."
"Maksudnya?" tanya Rico. "Itu cuma pikiran Oom Frans sendiri?"
"Mungkin, Ric," ujar Aldy, "itu baru kemungkinan yang gue pikirin."
*** "Oom....," sapa Ciya saat Henry muncul di depan pintu. Dari tampangnya, Ciya tahu ayah
angkatnya ini sangat lelah.
"Ada apa, Ci?" Henry tersenyum, duduk di sofa sambil melepaskan dasinya.
"Oom...." Ciya ikut duduk di samping Henry. Menyerahkan segelas air putih yang diambilnya saat
mendengar suara mobil. Dia sudah berpikir seribu kali untuk mengatakan kalimat selanjutnya.
Dia tahu, apa pun itu, mungkin hanya akan membuatnya semakin sakit hati. Tapi bukankah
mengetahui yang sebenarnya jauh lebih baik dibanding hidup dalam kebohongan"
"Oom..." Ciya menarik napas panjang. "Saya rasa sudah waktunya Oom memberitahukan alasan
kenapa Oom mengadopsi saya."
Henry pasti tersedak kalau saja terlambat menelan air itu lebih dari satu detik.
"Papa saya sudah meninggal, Oom," kata Ciya sebelum Henry bicara. "Saya baru terima kabar
itu hari ini. Saya nggak menerima berita buruk lagi, Oom. Saya udah capek. Dan saya harap
semua berita buruk bisa selesai hari ini. Saya nggak mau menerima berita-berita serupa lagi di
kemudian hari. Bisa kan, Oom?"
Henry terbelalak. "Kamu barusan bilang apa?"
Air mata mulai menggantung lagi di sudut mata Ciya. Tapo dia buru-buru menghapusnya. Dia
tidak mau menangis lagi. "Kamu sudah tahu papamu meninggal?"
Ciya terkejut. "Oom tahu keberadaan papa saya?"
Henry tidak menjawab. Ciya bangkit, menatap Henry tak percaya. "Oom tahu keberadaan papa saya. Oom tahu kondisi
papa saya. Tapi kenapa Oom sama sekali nggak pernah ngasih tahu saya" Kenapa, Oom?"
Henry terdiam. Wajahnya penuh penyesalan.
Ciya tercenung. "Sebenarnya Oom itu siapa" Kenapa Oom tiba-tiba masuk ke dalam keluarga
saya?" Henry tetap tidak menjawab. Dia menutup wajahnya dengan telapak tangan. Sebenarnya Ciya
takut membuat ayah angkatnya ini lebih lelah lagi setelah bekerja di kantor. Tapi rasa
penasarannya jauh lebih kuat.
"Ciya....," ujar Henry akhirnya. "Duduklah.... Oom ingin menceritakan sesuatu."
Ciya kembali duduk. Masih dengan penuh tanda tanya.
"Ciya....," ujar Henry. "Oom bukan tiba-tiba masuk dalam keluargamu. Oom bahkan mengenal
mamamu jauh sebelum mamamu menikah dengan papamu."
Maksud Oom?" "Ciya, Oom dan mamamu saling mencintai."
Ciya terbelalak. Permainan apa lagi ini" "Oom ngomong apa sih?"
"Ciya....," Henry menarik napas panjang. "Om bukan hanya sekadar kenalan mamamu. Oom
adalah kekasih lama mamamu."
Ciya memandang Henry tak percaya. Kekasik lama?"
"Dua puluh tahun yang lalu....," Henry mulai bercerita, "adalah saat pertama Oom mengenal
mamamu. Dan Oom tahu Oom mencintai dia sejak pertama kali melihatnya." Henry menyungging
senyum tipis. "Semua berjalan begitu lancar pada awalnya. Sampai akhirnya...."
"Henry, aku hamil...." Merina menatap Henry gelisah. Air mata menggenang dipelupuk matanya.
"Bagaimana ini?"
Henry memeluk Merina. "Kita menikah...."
"HENRY!! KAMU GILA!! KAMU PIKIR IBU MENGIZINKAN KAMU MENIKAHI PEREMPUAN
YANG TIDAK SEBANDING DENGAN KELUARGA KITA?" seorang wanita separuh baya
berteriak di hadapan pasangan yang memohon restu. "KELUAR KAMU!" perintahnya pada si
wanita. "KAMU TIDAK AKAN PERNAH DITERIMA DI SINI!"
"Merina...." Henry memeluk Merina di tengah hujan. "Aku akan pergi bersamamu."
"Akhirnya Oom kabur dari rumah." Mata Henry terlihat berkaca-kaca. "Kami mengontrak sebuah
rumah." Ciya terduduk lemas. "Oom pernah menikah dengan Mama?" tanya parau.
Henry mengangguk pelan. "Menikah sederhana di gereja.
Hanya dihadiri paman dan bibimy. Tapi kami sangat bahagia."
Ciya melihat Henry menerawang. Dari mata ayah angkatnya itu Ciya mengerti. Pria ini tidak
bohong. Mata itu......mata yang sama dengan mata Mama ketika Papa pergi. Mata yang penuh
kehilangan. "Namun, empat bulang kemudian semuanya hancur," Henry terdiam. "Merina tiba-tiba pergi dari
rumah. Menghilang begitu saja. Tanpa meninggalkan kabar apa pun. Oom sangat
mengkhawatirkan kandungannya. Oom sangat ingin mendampinginya sampai dia melahirkan."
Ciya menggigit bibir. Anak di kandungan mamanya kala itu.....dirinyakah"
"Oom berusaha mencari mamau ke mana pun. Tapi hasilnya nihil. Tidak ada tanda-tanda sama
sekali," lanjutnya. "Akhirnya setelah kira-kira satu bulan berjalan tak tentu arah, keluarga Oom
menemukan keberadaan Oom. Mereka membawa Oom pulang dengan paksa. Di saat itulah
Oom tahu keluarga Oom yang memaksa Merina pergi meninggalkan Oom.
"Saat mendengar semua itu, Oom mengamuk habis-habisan. Tapi apa daya. Merina telah
menghilang. Berbulan-bulan Oom mencarinya, tapi tetap tidak ada kabar sama sekali. Bahkan
paman dan bibimu ikut menghilang." Henry meremas rambutnya. "Sampai frustasi rasanya."
Ciya tercenung. Dia sama sekali tidak apa-apa tentang kisah ini. Apakah Billy" Tahu tentang ini"
Apa Papa tahu juga tentang ini"
"Akhirnya dua tahun kemudian, Oom menikah dengan Tante Fatma. Itu pun karena ditunangkan
orangtua. Segala macam penolakan yang Oom lakukan sia-sia saja. Semua berjalan seperti
yang digariskan oleh orangtua Oom," ujar Henry sedih. "Namun, di saat yang hampir bersamaan,
Oom menemukan keberadaan Merina. Rasanya senang sekali. Tapi ketika berhasil menemuinya,
ternyata dia sudah menikah...."
Henry memandang Ciya. "Dengan papamu."
Ciya merasa tubuhnya mulai menggigil. Tidak ada angin yang berembus. Tadi dia merasa
seluruh kaki dan tangannya seperti direndam dalam air es.
"Sejak saat itu kami berhubungan diam-diam," ujar Henry. Ciya Terkejut.
"Bukan seperti yang kamu pikirkan, Ciya," ujar Henry melihat reaksi Ciya. "Kami hanya sekadar
menanyakan kabar. Itu pun sangat jarang. Kami sendiri pun sudah mengerti posisi masingmasing yang tidak mungkin kembali seperti dulu." Henry tersenyum.
Ciya mulai tidak sabar. "Lalu anak itu, Oom?" tanyanya. "Apa Oom sama sekali tidak berniat
menengok anak itu?" jantung Ciya mulai berdetak tak keruan. Bersiap menerima kabar buruk
yang akan dan harus didengarnya. Untuk memastikan segalanya.
"Anak itu...." Henry terdiam sejenak. Matanya mengesankan penyesalan yang teramat dalam.
"Oom bakhan tidak sempat berbuat apa pun untuknya. Tapi dia sudah pergi meninggalkan Oom."
Ciya mengerutkan dahinya. "Pergi?" Bukankah anak itu adalah dirinya" Dan dirinya tidak pergi ke
mana-mana. Bahkan ada di hadapan Henry saat ini.
Henry tertunduk. "Harusnya saat itu akan jauh lebih baik jika Oom tidak menceritakannya kepada
kakakmu." "Kakak" Ciya bertanya dalam hati. Kakakku" Billy" Ngomong apa sih Oom ini"
Henry memandang Ciya. Memegang tangan gadis yang memucat itu lalu menggenggamnya.
"Maafkan Oom, Ciya," ujarnya dengan mata berkaca-kaca, "maafin, Oom. Harusnya Oom
menghilang dari kehidupan kalian."
"Oom....," ujar Ciya masih penuh tanya. "maksud Oom?"
"Billy itu....anak Oom." Henry menangis.
Seketika Cita mendengar ada suara teriakan.
Ciya pikir suara teriakan itu berasal dari mulutnya sendiri, tapi ternyata bukan. Tante Fatma
berdiri di ujung ruangan dan berteriak sambil menutup telingannya. Sha-Sha yang berada di
sampingnya mencoba menenangkan wanita itu.
"Fatma!" Henry berlari menghampiri istrinya lalu memeluknya. "Maafkan aku."
Tapi wanita itu hanya menangis. Ciya seperti melihat adegan ulang yang terjadi di rumahnya
beberapa tahun yang lalu. Bedanya, beberapa tahun yang lalu itu tidak ada pria yang
menghampiri wanita yang menangis itu untuk memeluknya. Pria itu justru berjalan keluar rumah
dan tidak pernah kembali.
"Mama!" Ciya melihat Rico yang baru memasuki rumah langsung berlari begitu melihat mamanya
menangis. Aldy memandang Ciya seakan bertanya ada apa. Tapi Ciya sendiri tidak mengerti apa
sebenarnya yang terjadi. Sampai akhirnya Henry kembali berjalan ke arahnya setelah mengantarkan Fatma kembali ke
kamar. "Saya mau bicara berdua sama Oom," ujar Ciya sebelum Henry duduk. "Boleh bicara di taman


Separuh Bintang Karya Evline Kartika di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

saja, Oom?" Henry mengangguk lalu berjalan mengikuti Ciya.
Aldy memandangi punggung gadis kecilnya itu dengan tatapan tak rela. Dia takut sesuatu akan
terjadi. "Oom lagi ngomong apa sih?" tanya Ciya tak sabar setelah mereka berada di kursi panjang di
pinggir kolam renang. "Oom lagi bercanda apa sih sebenarnya?"
Henry mengelus rambut Ciya pelan. "Ciya, Oom nggak bercanda."
"Anak Oom itu saya, kan?" ujar Ciya serak. "Papa bilang anak di luar nikah itu saya...." tangis
Ciya pecah. "Anak itu nggak mungkin Billy....."
Inikah maksudnya surat Billy yang ditinggalkan untuknya" Cinta terlarang.....cinta yang
melanggar semua norma dan aturan..... Inkah pernyataan konyol yang tak pernah dimengerti
Ciya" Cinta yang mengatasnamakan kakak-adik....dia dan Billy memang kakak-adik. Tapi Ciya
tak pernah menyangka mereka adalah kakak dan adik sesungguhnya. Kakak dan adik sedarah.
Dan bukan hanya saudara tiri....
"Lalu kenapa Papa bilang aku anak haram?"" ujar Ciya setengah berteriak. "Kenapa Papa pergi
dari rumah?" Ciya mencengkeram tangan Henry dan mengguncangnya. "Kenapaa?""
"Ciya....." Henry memeluk anak angkatnya itu. "Karena papamu berpikir Oom dan mamamu
berselingkuh." Henry menghela napas.
Henry memandang Merina penuh harap. "Apa kali ini aku bisa bertemu anakku?" tanya Henry
untuk yang kesekian kali. "Dia sudah cukup dewasa untuk mengerti semuanya, Merina. Dia
sudah hampir tujuh belas tahun."
Merina menggeleng pelan. "Tidak bisa, Hen. Kau datang ke sini pun sudah merupakan
kesalahan yang sangat besar. Bagaimana kalau ada yang melihat" Pergilah! Tidak ada oang di
rumah." "Tapi aku hanya ingin melihatnya. Dan aku janji. Aku tidak akan pernaj menampakkan wajahku
lagi dihadapannya. Aku hanya ingin melihatnya."
"Henry....," ujar Merina. "Aku tidak mau Billy mengetahuinya. Aku juga tidak mau Frans
mengetahui keberadaanmu." Merina menatap Henry seakan memohon. "Berkali-kali aku bilang
padamu Frans hanya mengertu bahwa aku pernah diperkosa. Aku tidak mau dia mengetahui
keadaan yang sebenarnya. Apalagi sampai aku memiliki...."
Sebelum perkataan itu selesai, berdiri sosok lain di sana....
"Katakan ada apa ini, Merina?" Frans berjalan menghampiri Merina. "Kau memiliki apa" Dan
siapa pria ini?" "Saat itu papamu marah besar....," ujar Henry menerawang.
"Jadi selama ini kau membohongiku?" ujar Frans geram. Dia memandang Henry dengan tajam
lalu merenggut kasar kerah bajunya. "Jadi Billy itu anakmu?" lalu pandangannya beralih pada
Merina. "Jadi pria inikah yang kaubilang memerkosamu delapan belas tahun yang lalu?"
"Frans, aku tidak bermaksud membohongimu."
"Tidak bermaksud?"" teriak Frans. "Kau tidak bermaksud membohongiku tapi kau menutupi
semua ini selama delapan belas tahun, Meriean. Dan ini yang kaubilang dengan tidak bermaksud
membohongiku" Dan kau....!" serunya pada Henry. "Kau itu pria atau bukan sih" Meninggalakn
wanita yang mengandung anakmu dan memiliki keberanian mengakui semuanya sekarang"
Begitukah?" "Frans...." Merina menangis. "Bukan begitu...."
"Oh ya?" kata Frans sinis. "Bukan begitu" Lalu apa?"
"Frans, tenang dulu...." Henry berusaha meraih bahu Frans, tetapi Frans menepisnya bahkan
sebelum tangan Henry menyentuh tubuhnya.
"Apa cuma ini saja kebohongan kalian" Atau mungkin....," Ujar Frans berapi-api, "Chiara juga
ternyata anak kalian?"
Ciya gemetar. "Sejak saat itu, papamu seakan menutup mata terhadap semuanya," ujar Henry. "Dia tidak mau
mendengar apa pun yang dikatakan mamamu maupun Oom. Dia sudah terlalu marah karna
mamamu menyembunyikan semuanya terlalu lama." Henry menengadahkan kepalanya.
"Mungkin jauh lebih baik kalau Merina mengatakannya sendiri. Bukan melalui peristiwa itu....."
Ciya terdiam. Bulir-bulir air mata mulai berurai melewati pipinya. Jadi karena itukah" Ciya
menutup wajahnya dengan tangan. Sesaat Ciya merasakan hangat di bahu kirinya. Cukup untuk
membuatnya melepaskan tangannya dan melihat Aldy berdiri di sana seakan bilang ''aku ada di
sini". "Apa Billy tahu tentang hal ini, Oom?" tanya Aldy.
Henry mengangguk. "Setelah papamu pergi, Oom harus pergi ke Autralia selama satu tahun
mengurus bisnis di sana. Jadi Oom hanya bisa membantu mamamu dengan mengirimkan uang.
Tetapi semua uang yang Oom kirim selalu di kembalikan. Mamamu menutup diri dari Oom
setelah kejadian itu. Mamamu bahkan tidak mau menerima telepon dari Oom.
"Oom hanya bisa pasrah. Oom tidak tahu bagaimana keadaan kalian saat itu.
"Setahun kemudian, saat Oom kembali, Oom sangat Shock melihat mamamu begitu pucat dan
keadaan jantungnya begitu lemah. Saat itu mamamu berkata, 'Aku mungkin tidak bisa bertahan
lebih lama lagi, Henry. Aku mohom, aku titip anak-anakku padamu.'
"Dan akhirnya mamamu memperkenalkan Oom pada Billy...."
"Billy..." ujar Billy saat berjabat tangan dengan seorang pria yang tak dikenalnya. Tapi wajah pria
itu tampat begitu hangat.
"Billy....," panggil Merina. "Duduklah. Mama mau membicarakan sesuatu denganmu. "Dia itu
ayah kandungmu..." Billy terbelalak. Pria ini....ayah kandungnya" Sesaat dua bingung, apakah harus senang atau
sedih dengan berita yang baru saja didengarnya.
Seharusnya sebagai anak angkat yang tidak mengerti asal-usunya, bukankah ini berita yang
membahagiakan" Menemukan orangtua kandung yang diidamkan semua anak. Tapi kenyataan
memang tidak seindah dongeng....
"Mama adalah mama kandungmu...."
Apa?" Billy tersentak. Mama.... Tidak mungkin...."Mama bohong, kan?"
Tak ada jawaban. "Mana mungkin!!" teriak Billy histeris. "Maa....aku dan Ciya...." Billy menatap Merina penuh harap.
Meminta mamanya menarik kembali kata-katanya tadi.
Aldy terduduk di samping Ciya. Inikah penyebabnya" Aldy memandang Ciya. Dia tahu gadi ini
memiliki pemikiran yang sama.
"Apa Oom tahu?" ujar Aldy lirih.
Ciya mulai terisak. "Billy...." Aldy merangkul Ciya. "Billy itu mencintai Ciya, Oom...."
Tangis Ciya meledak. "Billy mencintai Cita. Sangat mencintai Ciya. Dan itulah yang membuatnya tidak dapat bertahan,"
ujar Aldy parau. Henry terkesiap. "Apa?" ujarnya memandang Ciya dan Aldy bergantian. "Ciya dan Billy...."
Rico memandang semua itu dari kejauhan. Walau begitu, dia cukup mengerti apa yang mereka
bicarakan. Dan detik itu juga Rico menyadari satu hal.
Selama ini papa dan mamanya tidak pernah saling mencintai. Papanya masih mencintai kekasih
lamanya sampai sekarang. Dan mamanya tidak pernah mau membuka hati untuk siapa pun
karena dia tahu suaminya menikahinya hanya untuk sebuah status dan tanggung jawab.
Selama ini Fatma bukannya tidak mencintai keluarganya. Sikap acuh tak acuh yang selama ini
dia tunjukkan lebih tepat sebagai pembalasan dendam akibat cinta yang juga tidak pernah dia
terima. Ternyata keluarganya terkenal dingin bukan karena mereka hanya sibuk mengejar uang
dan materialistis, tapi karena memang tidak ada cinat di sana....
Rico berjalan menghampiri mereka. Inikah alasan Papa mengangkat anak Ciya" Untuk
membalas perlakuannya di masa lalu terhadap anak dan istri yang tidak sempat dia bahagiakan"
Mencoba memperbaiki sesuatunya, walau sesuatu yang telah pecah itu tidak dapat menjadi
rangkaian yang utuh kembali"
"Lalu kenapa Papa bisa mengetahui keberadaan Oom Frans?" tanya Rico ketika sampai di sana.
"Apa kamu pikir Papa bisa tinggal diam sementara Merina kehilangan suaminya?" tanya Henry
pada Rico. "Tidak, Ric. Walau Papa saat itu masih di luar negeri, Papa berusaha mencarinya.
Tapi hasilnya susah sekali menemui keberadaan papanya Ciya. Hingga suatu hari kecelakaan itu
terjadi dan kebetulan sahabat Papa yang merawatnya. Dari situ Papa tahu dan Papa sangat
mengusahakan yang terbaik untuk kesembuhan Frans," ujar Henry sendu. "Tapi sayangnya...."
"Apa Mama tahu tentang keberadaan Papa?" tanya Ciya tersendat.
Henry mengangguk. "Tapi semua sudah takdir, Ciya."
Air mata Ciya kembali merebak. Penyesalah tumbuh di hatinya. Mestinya dia tidak berprasangka
sejelek itu pada papanya. Mestinya dia tetap percaya dia memang benar-benar anak Papa.
Mestinya dia tidak boleh berpikir senaif itu. Mestinya dia tidak boleh menyalahkan Papa sola
kematian Billy. Dan nyatanya, seuma pemikiran itu...salah TOTAL.
Tiba-tiba saja Ciya merasa mual. Seperti ada ratusan tangan yang tidak kelihatan sedang
mengaduk-aduk isi perutnya. Tapi sebelum perasaan mual itu selesai, Ciya kembali___untuk
yang kesekian kalinya___tersedot dalam dunia putih. Yang hanya brisi dia, dan pikirannya.... Dan
warna yang dibencinya waran rumah sakit!
Kalau Rico tidak buru-buru memapahnya, kepala Ciya mungkin sudah terbentur tanah. Dan detik
itu juga, Sha-Sha, yang melihat dari tempat awal Rico melihat, merasa jantungnya berhenti.
"Pa," ujar Rico sambil menggendong Ciya, "aku nggak mau mengulangi kesalahan tolol Papa
untuk kedua kalinya! Aku nggak mau lagi jadi boneka papa! Aku nggak mau bertunangan untuk
menyatukam dua perusahaan besar! Cukup satu orang yang membuat dua keluarga jadi
berantakan!" Rico menyandarkan kepala Ciya di bahunya. "Pertunanganku batal!!"
Sha-Sha berteriak histeris. "Nggak boleh!!" jerit cewek itu. "Kamu tunanganku!" tangannya
menggapai mencoba merampas Ciya, seakan-akan ingin membanting gadis itu ke tanah.
Aldy mendekap Sha-Sha, menyuruh Rico berjalab lebih cepat, dan baru melepaskan Sha-Sha
ketika Rico sudah menghilang di balik tangga."
Plakk!! Tangan Sha-Sha meluncur begitu saja ke pipi Aldy.
"Jahat!" Sha-Sha berlari keluar kamar.
Aldy mengejarnya. "Sha!"
Tapi Sha-Sha tidak mau mendengar. Dia hanya ingin berlari. Tidak peduli hanya kulit yang
membungkus kakinya saat ini. Tidak peduli aspal dan krikil dapat membuat kakinya terluka. Dia
bahkan berharap ada hujan lebat dan petir yang menemani dirinya saat ini. Senggaknya, bukan
hanya desir angin yang berlalu di telinganya. Dia tidak mau menangis sendirian. Tapi kenapa
awan pun enggan menangis" Apa harus dia sendiri yang sedih"
"Sha-Sha!" Aldy menarik tangan Sha-Sha, mencegah gadis itu berlari lagi.
"Mau ngapain lagi"!" bentak Sha-Sha menepis tangan Aldy. "Kamu puas, kan" Ini kan maunya
kamu" Kenapa sih" Kenapa kamu mesti bilang semuanya" Kenapa kamu mesti cerita yang
sebenarnya" Kenapa kamu mesti bilang begitu?" jerit Sha-Sha histeris.
"Sha....." "Kamu mungkin ingin yang terbaik buat Ciya! Tapi gimana dengan aku?" bentak Sha-Sha di sela
tangisnya. "Aku sayang banget sama Rico. Aku berusaha....aku berusaha menunggu selama
lima tahun, aku berusaha selalu melakukan yang terbai cuma demi pertunangan ini, tapi....."
"Apa lo pikir gue nggak sakit hati"!" segah Aldy kesal. "Lo pikir yang sakit cuma lo sendiri?" Aldy
mengacungkan tangan kanannya. "Lo nunggu Rico cuma selama lima tahun, Sha..... Dan lima
tahun itu masih bisa dihitung dengan dengan satu tangan. Tapi gue"! Gue nunggu Ciya dari
kecil. Dari pertama kali gue kenal dia. Dari pertama kali gue tetanggaan sama dia. Lo tahu itu
berapa lama" Enam belas tahun, Sha! Enam belas tahun!! Dan selama enam belas tahun itu,
cewek yang gue suka selalu ada di samping gue. Gue selalu berusaha yang terbaik buat dia.
Tapi selama enam belas tahun itu pula gue mesti ngeliat dia jalan sama orang lain!! Kalau mau
tanya siapa yang paling sakit, itu mustinya gue!"
Air mata Sha-Sha menetes. Bahunya berguncang pelan.
"Dari awal nggak mungkin kan kalo lo nggak tahu hubungan mereka?" tanya Aldy dengan lebih
pelan, mencoba menghampiri sha-Sha.
Sha-Sha tidak menjawab. Tubuhnya lunglai ke tanah.
"Tadinya gue juga berpikir senaif elo," Aldy jongkok di samping Sha-Sha, mengelus rambutnya.
"Tadinya gue juga dengan sabarnya menunggu sampe Ciya mau kembali ke gue. Tapi
sepertinya, sesabar apa pun gue, selama apa pun gue nunggu, rasanya cuma buang-buang
waktu." Aldy memandang bintang-bintang. "Karena ternyata Billy lebih memilih mengirim adiknya sendiri
buat ngegantiin dia."
*** Aldy duduk di samping Rico. "Ciya udah tenang?"
Rico mengangguk. "Kata dokter nggak apa-apa. Sha-Sha gimana" Udah tidur?"
Aldy mengangguk. "Sori, ngerepotin lo, Dy." Rico menepuk bahu Aldy. "Semua jadi berantakan hari ini."
"Nyokap lo gimana?"
"Baik-baik aja. Papa udah mencoba menenangkan Mama." Rico menghela napas. "Mungkin
udah waktunya juga bagi mereka untuk memulai dari awal. Mencoba saling menyayangi dan
melupakan semua masa lalu."
Aldy mendesah. Masih tidak percaya dengan semuanya. "Billy terlalu sayang sama Ciya." Dia
menatap Rico. "Gue masih susah buat perca
ya. Dia lebih memilih pergi ke tempat yang sangat
jauh dibandingkan harus terpisah dengan Ciya di dunia yang sama.
"Dasar bego!" teriak Aldy memandang bintang-bintang. "Seumur-umur gue nggak pernah nemuin
cowok bego kayak Billy! Bego!"
Rico terdiam. "Ternyata terlalu banyak cinta bisa membunuh," ujar Aldy.
"Too much love will kill you. Bener, kan?"
Rico tersenyum. "Begitulah."
Aldy menelan ludah, menatap dalam-dalam. Begitu banyak perasaan yang berkecamuk saat ini.
Setelah semua ini, ternyata masih ada babal kedua yang menyisakan kejadian pahit. Haruskah
penantiannya terhadap Ciya berakhir dengan kisah yang sama sekali tidak menyenangkan
penantiannya yang entah sudah berapa tahun. Apakah semua cintanya ini harus berakhir dengan
pertanyaan tak terbalas"
Lalu kenapa harus ada Rico" Kenapa harus cowok itu yang justru merebut Ciya-nya"
Tiba-tiba Aldy merasakan sesuatu yang menggelitik di hatinya. Apakah ini cemburu" Ataukah
perasaan tidak ingin dikalahkan"
"Sori, Al...."ujar Rico lirih. "Gue nggak tahu kalau semua ini karena keluarga gue."
aldy tercenung. Dia mengempaskan tubuhnya di sebelah Rico, sehingga mereka bisa bertataptatapan sekarang. Dan Aldy melihat.... Dengan sangat jelas, sebuah sorot mata penyesalan dari
pandangan di hadapannya. "Gue tahu lo sayang sama Ciya," Rico berucap pelan. Sangat pelan. Hampir-hampir Aldy tidak
mendengarnya kalau saja dia tidak membaca gerak bibir Rico. "Tapi gue juga sayang sama
Ciya." "Mungkin rasa sayang gue ke dia nggak sedalem rasa sayang elo ke dia. Tapi...." Rico menatap
Aldy. "Tapi gue yakin rasa sayang gue nggak bakal lebih sedikit daripada rasa sayang elo ke
dia." part* 25 Too Much Love Will Kill You
"KYO!!!" Ciya memukul perut Rico keras-keras tatkala dia terbangun dan mendapati cowok itu tidur di
sebelahnya, di ranjang yang sama, dengan wajah Rico berada tepat dua senti di depan
wajahnya, dan mereka berpegangan tangan erat-erat!
Rico refleks bangun memegangi perutnya. Tapi bukannya menjelaskan semua kemungkinan
yang terjadi, cowok itu malah memeluk Ciya erat-erat.
"Ciya! Akhirnya lo sadar juga!" Rico menyodorkan sebutir tablet dan segelas air ke tangan Ciya.
Ciya melotot. "Lo pasti mikir macem-macem lagi," gerutu Rico, memaksa tablet itu masuk ke mulut Ciya
dengan tangannya. "Lo bisa apa sih selain bikin orang panik"! Gue sampe nggak tidur seharian,
itu semua gara-gara lo!"
"Panik apanya?" Ciya cemberut sambil merenggut gelas air dari tangan Rico. "Bukannya lo
malah tidur dengan nyenyak di ranjan gue?"
Rico mendelik. "Terserahlah.... Tahu gitu, gue biarin lo pingsan seharian," gerutu Rico sambil
berjalan keluar kamar. "Eh! Tunggu!" Ciya menarik tangan Rico sebelum cowok itu sempat melangkah. "Kyo, ke pantai
yuk!" "Hah"!" Ciya menunjuk jarum jam yang menunjukkan pukul setengah empat pagi. "Kita liat sunrise yuk!"
"Haahh?"" "Ayo!" Ciya menarik tangan Rico berjalan mengendap-endap keluar rumah.
Tapi begitu mereka menuruni tangga, Ciya hampir berteriak membangunkan seisi rumah kalau
saja Rico tidak menutup mulutnya, begitu melihat Aldy dan Sha-Sha tidur di sofa dengan posisi
duduk dan kepala yang bersandaran.
"Ini apa-apaan sih?" bisik Ciya melotot. Dia sudah mau berjalan marah untuk membangunkan
kedua orang itu kalau Rico tidak mencegahnya.
"Lho" Aldy nggak boleh kayak gitu! Sha-Sha kan tunangan lo!" Ciya setengah berbisik, setengah
berteriak. "Udah, biarin aja!" Rico menarik tangan Ciya.
"Lho, Kyo" Itu tuna...."
"Cerewet!" Rico menutup mulut Ciya dan menyeret cewek itu masuk ke mobil.
*** "Batas cakrawala!" teriak Ciya menunjuk garis khayal antara langit dan laut, yang kini seakan
memiliki permata yang bertakhta di atasnya.
Cita menatap Rico, tersenyum. Angin meniup anak-anak rambutnya yang menutupi mata.
Sejenak Rico terkesima, untuk kesekian kalinya. Jika sedang memasang wajah seperti ini, Ciya
menjadi sangat cantik. "Abu bokap gue disebar di sini....." Ciya menyibak poninya. Sepoian ombak menyapu lembut
kakinya. Sementara suara desir angin yang menggerakan pohon kelapa seakan menjadi latar
keheningan mereka. "Sori....," gumam Rico pelan. "Sementara karena bokap gue. Mungkin kalo....."
"Ada yang bilang....," potong Ciya sambil menatap awan, "Tuhan itu suka nggak adil. Ada juga
yang bilang.....takdir suka mempermainkan orang...."
Rico mengerutkan dahinya, memandang Ciya tak mengerti.
"Tapi....." Ciya tersenyum memandang matahari terbit. "Kalau memang Tuhan itu nggak adil....,"
dia menyatukan telunjuk dan ibu jari kedua tangannya, membentuk segi empat dan


Separuh Bintang Karya Evline Kartika di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengarahkannya tepat pada perbatasan langit dan bumi, "toh sekarang gue punya pengganti
keluarga gue yang hancur."
Ciya memejamkan sebelah matanya, membiarkan hanya mata kanannya yang memandang
menembus segi empat tadi. "Gue kehilangan keluarga, tapi Tuhan masih berbaik hati memberi
gue keluarga yang baru. Gue kehilangan bokap, toh Tuhan ngasih bokap lo buat gue. Gue
kehilangan nyokap, tapi Tuhan juga masih ngasih nyokap lo buat gue. Gue juga kehilangan
kakak.....tapi ternyata....," Ciya menurunkan tangannya untuk memandang Rico, "Tuhan ngasih lo
buat gue." Ciya tersenyum. "Jadi, kalau mau dibilang Tuhan nggak adil, di mana sisi nggak adilnya" Kalau
dibilang takdir suka mempermainkan orang.....toh takdir berusaha memperbaiki semuanya." Ciya
memandang Rico. "Bener, kan?"
Rico mendesah kecil. "Kenapa sih lo harus selalu begitu?" tanya Rico. "Kenapa sih lo harus
selalu sok tegar" Nggak ada yang nyuruh lo buat jadi setegar itu. Gue rasa nggak ada salahnya
kalo lo mau nangis. Kenapa" Lo takut bokap-nyokap lo ngeliat lo nangis terus khawati" Atau....lo
takut Billy juga ngeliat dan dia jadi marah sama lo" Tuhan memang menciptakan air mata buat
nangis. Kalo emang marah, lo punya tangan buat mukul." Rico mengguncang-guncangkan
tangan Ciya. Ciya tertawa kecil. "Segitu khawatirnya sama gue ya?" katanya. "Semua masalah udah selesai,
kan" Lalu apa yang mesti ditangisin" Gue udah tahu gimana keadaan bokap gue. Gue udah tahu
kalo gue bukan anak haram. Gue udah tahu alasan Billy bunuh diri. Gue udah tahu dari mana
Billy ngerti soal siapa bokap dia yang sebenarnya. Gue udah tahu kenapa bokap lo mau
mengadopsi gue. Gue udah tahu siapa orang yang sering nelepon nyokap gue. Bahkan gue juga
udah tahu siapa Pianis Termuda....."
"Apa?" "Dulu, waktu masih kecil, gue pernah denger nyokap gue lagi teleon terus ngobrolin soal pianis
termuda. Dan ternyata nyokap gue lagi nelepon bokap lo dan pianis termuda itu elo."
Rico memandang Ciya tak percaya. "Masa sih" Dunia sesempit itu ya?"
"Mungkin bukan sempit," ujar Ciya. "Tapi Billy emang mengirim keluarganya buat gue. Jadi....
Kenapa gue mesti marah sama bokap lo" Keluarganya Billy kan keluarga gue juga. Nggak
mungkin kan gue marah sama keluarga sendiri?"
Rico tercenung sebentar. "Tapi keluarga gue penyebabnya. Lo masih ngerasa kalo keluarga gue
nggak salah?" tanya Rico datar.
Ciya menarik tangan Rico ketika melihat tampang cowok itu masih cemberut. "Papa!!!" teriak
Ciya ketika kaki mereka menyentuh air laut. "Kenalin, Pa! Ini keluarga Chiara yang baru!! Papa
nggak usah kuatir, bilang sama Mama dan Billy, Chiara pasti bahagia!!"
Rico menatap Ciya tak percaya. Untuk pertama kalinya dia mendengar nama Chiara keluar dari
mulut cewek yang benci dengan namanya sendiri itu.
Rico menghadap laut, menggunakan kedua tangannya sebagai pengganti corong di depan
mulutnya. "Tenang aja, Oom! Chiara aman sama saya! Dia emang suka sok tegar, tapi saat dia
sedih, dia masih punya saya!"
Ciya terpana mendengar ucapan Rico, sedetik kemudian dia tertawa lepas.
Dan, jujur aja, Rico tidak tahu harus bilang apa melihat Ciya tertawa seperti itu, jadi Rico hanya
memeluk Ciya erat-erat. Rico tahu tawa itu bukan sekadar melebarkan bibir semata. Tapi jauh
dari semua itu, Ciya sudah bisa menerima dirinya kembali. Tidak ada lagi Chiara yang
dibencinya. Tidak ada lagi trauma masa lalu. Tidak ada lagi kebencian. Selebihnya, Ciya merasa
kotak yang ada di hatinya benar-benar sudah terbuka lebar, menerbangkan semua beban hingga
tak bersisa. "Gue ngebatalin pertunangan gue," kata Rico, akhirnya.
"Apa?" tanya Ciya terkejut.
"Gue nggak mau mengulang kesalahan bokap gue, Ci. Gue nggak mau salah langkah lagi
dengan menerima pertunangan yang udah direncanakan. Entah emang demi kebahagiaan gue,
atau demi perusahaan mereka."
"Jadi itu alasan kenapa lo diem aja pas ngeliat Sha-Sha sama Aldy barusan?" Ciya memandang
Rico tak percaya. "Tapi bukannya lo sayang sama Sha-Sha" Dan sekarang, lo rela ngebatalin
pertunangan demi semua rasa ego lo?"
"Bukan cuma demi rasa ego gue...."
"Lalu?" "Karena gue takut ngambil keputusan yang salah."
"Gimana lo tahu kalo keputusan itu salah, kalo lo sama sekali nggak nyoba?"
"Karena waktu, Ciya.....karena semuanya udah berubah."
"Apanya yang berubah?"
"Karena orang yang bener-bener gue sayang itu sekarang ada di depan gue!"
Ciya terbelalak..... Kemudian hening.... "Mau sampe kapan sih lo mempertahankan sifat jelek lo itu, Kyo?" ujar Ciya. "Berapa kali gue
bilang kalo lo mesti serius."
"Udahlah....." Rico mendesah lalu berjalan menuju mobil. "Anggep aja gue nggak ngomong apaapa."
"Kyo!" panggil Ciya, memandang punggung Rico yang berdiri dua meter di depannya. "Bukannya
elo sendiri yang bilang sama gue kalo cuma Sha-Sha yang ada di hati lo" Lo yang bilang kalo
nggak mungkin ada yang bisa ngegantiin dia. Lo juga yang bilang kalo dia itu nggak sama
dengan mantan-mantan lo yang lain. Seminggu lagi lo tunangan, Kyo! Dan hari ini lo bilang
pertunangan lo batal! Dan dengan semua omongan lo yang kayak gitu, gimana gue bisa percaya
sama lo"!" Rico berbalik, memegangi kedua bahu Ciya erat-erat. Memaksa cewek itu menatap matanya. "Lo
pikir gue nggak serius"! Gue udah sering bilang soal ini sama lo, Ci. Tapi setiap kali gue bilang,
lo selalu nganggep gue main-main. Dan sekarang, gue mau elo tau kalo gue sayang sama lo.
Gue nggak peduli tentang Billy dan gue juga nggak peduli tentang Aldy. Yang gue tau, gue
bener-bener ngerasa sendirian tanpa lo. Lo tahu nggak gimana kangennya gue waktu lo nginep
di rumah Natya" Di rumah aja lo selalu ngeluh susah tidur. Dan gue.....
Hampir setiap malem mikirin apa lo bisa tidur di kamar Natya. Apa lo bisa makan di sana" Dan
kemaren.....waktu gue ngeliat lo pingsan, lo tahu nggak gimana paniknya gue" Lo pikir ngapain
gue capek-capek manggil dokter" Ngapain gue capek-capek beliin obat" Ngapain gue capekcapek nungguin lo semaleman" Tiap kali lo sdih, apa lo pikir gue nggak khawatir" Lo pikir
kenapa gue nggak pernah pacaran lagi sejak lo masuk ke rumah gue" Lo pikir kenapa gue
dengan gampang nyebut nama lo buat jadi pacar bohong-bohongan gue" Sha-Sha memang
selalu ada di samping gue belakangan ini, tapi di otak gue cuma ada elo! Dan li pikir apa gue
bakal sembarangan ngebatalin pertunangan yang udah ada di depan mata gue?"
Ciya menatap ke bola mata Rico. Dan semakin jauh menglihat, Ciya mengerti, di sana cuma ada
kebenaran. Keteduhan yang sama yang selalu diberikan Billy untuknya. Dan Ciya tahu, entah
sejak kapan, baik disadari maupun tidak, sesuatu itu benar-benar luruh dalam hatinya.
Rico memeluk Ciya saat melihat sebulir air menetes dari sudut mata gadis itu. Walaupun tidak
berkata apa-apa, Rico mengerti dengan sangat jelas, Ciya menyerah. Menyerah terhadap semua
ketegarannya, menyerah terhadap semua kesombongannya, menyerah terhadap semua masa
lalunya. Ciya berbisik pelan di telinga Rico. "Gue cuma takut lo bakal pergi dari gue kayak Billy, Kyo....."
*** "Jadi, akhirnya otak lo udah ketuker sama dengkul?" tanya Natya siang itu juga. Si nenek
cerewet ini langsung ke rumah Rico begitu Ciya meng-SMS-nya dengan:
akhirnya semua selesai, nat. Lega bgt rasanya.
"Hah"!" Ciya menatap Natya tak mengerti.
"Bukannya lo dulu bilang, 'Kalo sampe gue suka sama Rico, berarti otak gue udah ketuker sama
dengkul," ujar Natya menirukan gaya Ciya sambil tertawa.
Ciya mendelik. Natya semakin tergelak. "Jadi, udah jadian nih ceritanya?"
"Sebenarnya nggak bisa dibilang jadian juga sih," kata Ciya memeluk guling. "Dia nggak nembak
gue. Dia cuma bilang kalo dia sayang sama gue."
Natya mengembuskan napas lega. "Akhirnya bocah itu bilang juga. Gue pikir dia bakal jadi
pengecut selamanya."
"Eh!" Ciya menimpukkan bantal ke muka Natya. "Lagian elo juga ngapain pake acara bilang gue
udah jadian sama Aldy segala?"
"Kok lo malah marah sama gue sih" Mestinya kan lo bilang makasih sama gue. Kalo bukan garagara gue bilang kayak gitu, Rico mana berani bilang sayang sama lo?" Natya mengedipkan
sebelah matanya. Ciya bergidik geli melihat tingkah Natya. "Dia nggak sepengecut itu, tahu. Lagian dia juga tahu
kalo elo tuh bohong. Sebenarnya dia udah pernah bilang suka sama gue. Tapi gu pikir dia
bercanda." "Wuuhh.... Sekarang ngebalin deh."
"Bukan ngebelain. Tapi dia itu nggak berani bilang karena dia pikir gue masih belum bisa
ngelepasin Billy. Jadi, dia takut ditolak...."
Natya melongo. "Rico" Takut ditolak" Huhahahah.... Puih! Cowok buaya kok takut. Ditolak!"
Ciya tertawa kecil. "Lo kenapa jadi sentimen begitu sama dia" Bukannya waktu dulu lo ngefans
sama dia?" "Nggak, sejak gue tahu dia cowok plinplan! Dan gue kan lebih sayang sama temen gu.....hah!"
Natya terkesiap melihat Sha-Sha berdiri di tengah pintu. Dia menepuk-nepuk dadanya, kaget.
"Ya ampun, Sha. Nakutin gue aja. Rambut lo tuh panjang, jangan berdiri diem begitu! Gue pikir
kuntilanak." Natya bangkit. "Gue ambil minum deh. Lo mau juga, Ci?"
"Mau," jawab Ciya singkat lalu tersenyum mempersilahkan Sha-Sha duduk. "Hai."
Sha-Sha duduk di samping Ciya sambil menyerahkan selembar kertas. "Tiket konserku. Dateng
ya?" Ciya memandang tiket itu lalu menatap Sha-Sha. "Sha, tentang pertunangan lo....maaf....gue...."
"Memangnya semua bisa selesai dengan kata maaf ya?" ketus Sha-Sha, memandang Ciya sinis.
"Kalo mau jadi aku, kamu pikir kamu bisa memberikan maaf nuat orang yang udah ngerebut
tunangannya?" Ciya mendesah. "Gue tahu kalo....."
"Kenapa sih?" sergah Sha-Sha sedikit membentak. "Kenapa kamu mesti suka sama dia" Kenapa
kamu mesti ngerebut dia dari aku?"
Ciya terdiam sebentar. "Emangnya cinta itu butuh alasan ya" Bukannya cinta itu sesuatu yang
tidak terduga" Bisa daatng pada saat yang tidak terduga, pada orang yang tidak terduga, pada
tempat yang mungkin juga tidak terduga. Tadinya.....gue juga nggak pernah kepikir buat suka
sama dia." Terkadang, mau berpikir berapa ratus kali pun, Ciya tidak pernah dapat mengetahui kenapa dia
bisa menyukai cowok belagu itu. Bukan karena Rico itu tampan (Ciya selalu menganggap cowok
putih itu penyakitan), bukan karena Rico baik hati (Ciya lebuh merasa Rico lebih suka menyiksa
orang dibandingkan baik hati), apalagi karena Rico lucu (iya, saking lucunya sampe minta
ditampar). Sering kali keterbatasan bahasa membuat sesuatu yang simpel pun menjadi sulit
dideskripsikan. Bahkan saat Ciya bertanya alasan Natya menyukai Viktor pun, Natya hanya akan
menjawab, "Soalnya Viktor itu.....gimanaaaa, gitu."
"Lagi pula....," lanjut Ciya, "lo juga salah kok."
Sha-Sha melotot mendengar ucapan Ciya.
"Mungkin kalo lo nggak seegois itu, kalo lo nggak pergi selama itu, kalo lo nggak ninggalin Rico
sendirian di sini, kalo lo ngggak terlalu berambisi untuk menjadi pianis terkenal, dan kalo lo
sekaliii aja ngasih kabar ke dia, mungkin sampai sekarang Rico masih tetap jadi pianis berbakat.
Mungkin Rico masih tetep mencintai lo sampe sekarang. Mungkin lo tetep jadi satu-satunya
cewek yang ada di hati dia. Mungkin pertunangan lo masih tetep berjalan mulus. Dia mungkin
nggak ada nama Vanessa Chiara. "Aku nggak butuh argumen kamu."
"Sha...." "Tenang aja," potong Sha-Sha. "Aku udah ngelepasin Rico kok. Jadi, aku minta jangan pernah
mengulangi apa yang udah aku lakukan. Don't ever him alone!"
Tanpa berkata apa-apa lagi, dan tanpa menunggu Ciya berkata-kata lagi, Sha-Sha beranjak
keluar. Natya hanya bengong ketika gadis itu melewatinya.
"Kok dia ngomong begitu sih?" ujar Natya tidak suka. Dia menuang air dingin ke gelas lalu
meletakkan itu ke meja. "Udah jadi orang ketika, masih berani bentak-bentak, lagi....."
"Jangan gitu, Nat." Ciya mengambil gelas dari tangan Natya. "Mungkin kalau diliat dari keadaan
sekarang, Sha-sha memang orang ketiga. Tapi kalo diliat dari lima tahun yang lalu, orang ketiga
itu mestinya gue." *** "Ciya udah tahu soal batalnya pertunangan lo?" tanya Aldy, menyandarkan tubuhnya pada
bangku taman. Matahari bersinar tertutup awan. Menyiratkan bias-bias sinar redup di pepohonan
dan rerumputan. Rico mengangguk. Aldy hanya tersenyum kecil.
"Al....," ujar Rico pelan. "Soal Ciya..... Mungkin selama enam belas tahun ini, lo yang selalu ada
buat dia. Kadang-kadang gue sering ngerasa kalah sama lo karena lo lebih mengerti dia
dibanding gue. Tapi, satu hal yang gue mau lo tau. Suatu saat nanti, gue pasti bakal lebih bisa
mengerti dia dibanding lo mengerti dia."
Aldy menatap Rico. "Maksud lo?"
"Gue nggak akan ngelepasin Ciya!"
Aldy tertawa kecil. "Ternyata lo emang bener-bener sedarah sama Billy! Ucapan lo sama persis
dengan apa yang dia bilang ke gue sebelum dia ketemu bokap lo. Tapi nyatanya, malah dia yang
ngelepasin Ciya duluan, kan"!" Aldy tersenyum sinis.
"Billy itu kakak gue. Bukan gue! Dan gue nggak akan sebego dia!"
Aldy mengangkat bahu sambil memandang Sha-Sha yang berjalan mendekati mereka. "Gue
pegang omongan lo! Dan kalo sampai lo nyakitin Ciya kayak Billy yakitin dia, dengan alasan apa
pun...." Aldy berdiri dari duduknya, mempersilahkan Sha-Sha duduk di sana. "Gue pasti bikin lo
babak belur...." Aldy tersenyum sambil mengacungkan telunjuknya tepat ke muka Rico, lalu
beranjak ke kamar Ciya. *** Ciya memeluk boneka Tweety-nya sementara Aldy megotak-atik CD player-nya. Natya akhirnya
pulang karena sedari tadi sepertinya banyak sekali orang yang mau berbicara dengan Ciya.
Berdua saja! Menyebalkan! Natya juga kan mau ngobrol sama Ciya. Kalo nggak, ngapain dia
jauh-jauh datang ke sini. Tapi berhubung dia mengerti masih banyak yang harus diselesaikan,
akhirnya dia mengalah. Lagian, kalo ngobrolnya setelah semuanya selesai, pasti akan bisa tahu
ceritanya lebih lengkap, kilahnya sambil tertawa saat Ciya mengantarkannya ke pintu depan.
Ciya hanya bisa mendelik melihat tingkah temannya itu.
"Yo...." Ciya menepuk-nepuk sofa di sampingnya agar Aldy duduk di sana. "Makasih ya."
"Makasih buat apa?" Aldy memencet tombol on. Lagu Pachelbel's Camon terdengar. "Kenapa sih
selera musik lo makin nggak keruan?" gerutunya lalu duduk di samping Ciya. "Ini musik buat
kawinan, tahu." Ciya tersenyum, tidak memedulikan gerutuan Aldy. "Makasih buat semuanya. Buat udah rela-rela
nyari bokap gue demi ngungkapin semuanya."
Aldy menepuk kepala Ciya pelan.
Ciya mengangguk. "Sebenarnya gue sempet ngerasa kalo selamanya gue bakal terperangkap di
antara Billy dan masa lalu gue. Tadinya gue pikir gue nggak bakal lebih dari sekadar Chiara yang
menghindar menjadi seorang Ciya."
Aldy hanya diam menanggapi omongan Ciya.
"Yo, maafin gue ya...."
Aldy menatap Ciya. "Buat apa?"
"Buat penantian lo selama ini," kata Ciya. "Mestinya gue bilang ini dari awal. Tapi gue emang
egois. Gue nggak berani. Gue takut lo bakal pergi dari gue." Ciya tersenyum tipis. "Yo, gue
bersyukur banget punya seseorang kayak lo. Gue beruntung banget punya seseorang yang
selalu ada tiap kali gue butuh pertolongan. Seseorang yang bersedia nungguin gue tanpa
kemplain. Terutama buat usaha lo nyari bokap gue dan menguka semua misteri tentang masa
lalu gue. Elo bener-bener malaikat dalam hidup gue."
Aldy menyandarkan tubuhnya bibirnya membuat garis tipis. "Gue mesti bilang kalo gue mungkin
nggak bisa ngebiarin lo buat nunggu gue lagi."
Aldy memandang Ciya, menanti alasan selanjutnya.
Ciya menarik napas panjang. Dari gurat wajahnya, Ciya tahu cowok itu bertanya kenapa dalam
diam. "Karena.....ada seseorang yang tanpa dia sadari, dengan caranya sendiri, telah nyadarin
gue kalo semua ini hanya bagian dari hidup. Dia orang yang pertama kali membuat mikir kalo
gue masih.....gue sangat beruntung karena gue masih punya kesempatan hidup yang kedua kali.
Dan gue yakin, ada sesuatu yang membuat semua masa lalu gue menjadi seperti itu," ujar Ciya.
"Segala sesuatu memang terjadi dan itu pasti ada sebabnya. Hanya saja, bukan itu yang paling
penting. Yang penting adalah bagaimana cara gue menghadapi semua itu. Dan orang itu.....
Untuk pertama kalinya membuat gue sadar tentang arti kenyataan." Ciya menatap ke luar
jendela. "Mungkin ada hal-hal yang memang seharusnya tidak terjawab..... Tapi hidup itu kan
tergantung matahari terbit dari mana. Kalo emang udah mestinya pagi, kenapa gue mesti menuju
malam?" Aldy menatap gadis kecilnya. "Jadi, akhirnya lo sadar?"
"Sadar apaan?" Aldy tertawa kecil, merangkul Ciya. "Inget ya! Lo mesti laporan sama Billy kalo sekarang lo udah
nemuin pengganti dia. Sekalian bilang sama nyokap-bokap lo kalo ternyata gadis kecilnya udah
menjadi sedewasa ini."
"Eh, nggak usah ngatur! Tadi siapa yang tidur di sofa berduaan" Pake acara dempet-dempetan
kepala, lagi...." *** "Kenapa dia?" tanya Sha-Sha, memandang Rico dalam temaram lampu taman. "Kenapa harus
Ciya?" "Apa semuanya jadi berubah kalo bukan Ciya?" tanya Rico, memberikan lolipop pada Sha-Sha.
"Nggak suka permen." Sha-Sha menepis tangan Rico.
Rico menggeser duduknya. "Kenapa" Lo merasa dia nggak lebih baik dari lo?" tanya Rico.
Sha-Sha tidak menjawab. "Sha...." Rico mengelus rambut gadis itu. "Mau tahu apa alasan gue dulu suka sama lo?" Rico
menatap Sha-Sha. "Elo cantik....dan sampai sekarang pun elo masih tetep cantik. Elo selalu
memberi gue semangat di saat gue membutuhkannya. Elo selalu mendukung apa pun yang gue
lakukan dan gue suka semua itu...."
"Lalu kenapa alasan itu nggak cukup buat memperbaiki semuanya, Ric?"
"Karena gue nggak punya alasan apa pun buat suka sama Ciya, Sha. Bue bener-bener nggak
tahu apa yang bikin gue suka sama dia. Gue juga sama sekali nggak pernah terpikir bakal suka
sama cewek kayak dia. Waktu pertama kali gue kenal dia, nggak ada satu pun dari dirinya yang
gue suka. Semua sifat dia kebalikan semua sifat lo. Dan kalo lo tanya di mana bagusnya Ciya,
sampe sekarang pun gue nggak ngerti. Dia nggak pernah mau tahu kondisi hati orang lain. Apa
pun yang ada di otaknya pasti dikeluarin saat itu juga, nggak peduli kata-kata itu bakal nyakitin


Separuh Bintang Karya Evline Kartika di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

atau nggak. Tiap hari pasti berantem. Nggak pernha bisa ngalah. Selalu bikin orang panik.
Bisanya cuma nyalahin orang.
"Seandainya gue punya alasan buat suka sama dia, mungkin akan lebih mudah buat gue
mencari alasan lain yang membuat gue bisa berhenti mencintai dia. Nyatanya, alasan-alasan itu
nggak ada! Yang jelas, Ciya selalu membuat gue jadi diri gue sendiri saat ada di sampingnya.
Nggak perlu jaim, nggak perlu sok baik, nggak perlu muluk-muluk. Dia nggak pernah ngasih gue
nasihat, tapi dia selalu berhasil membuat gue berpikir ulang sebelum membuat keputusan.
"Gue juga nggak tahu sejak kapan semua itu bikin gue nggak bisa kehilangan dia. Setiap kali dia
sedih, entah kenapa gue jadi ikut sedih. Setiap kali liat dia nangis, gue juga jadi ikut kuatir. Setiap
kali dia sakit, mungkin gue jadi jauh lebih sakit dari dia.
"Elo selalu berusaha melakukan yang terbaik buat siapa pun. Tapi Ciya lebih suka membuat
orang itu melakukan yang terbaik buat dirinya sendiri. Dan tanpa sadar, gue bener-bener jadi apa
adanya di depan dia. Tapi....."
"Udahlah....." Sha-Sha berjalan menuju kolam renang, lalu duduk kursi malas yang ada di sana.
Rico mengikutinya. "Aku udah denger hal yang sama dari Ciya. Dan aku nggak butuh omong
kosong lagi. Intinya, apa pun itu, nggak bakal bisa ngubah feeling kamu sama dia, kan?"
Rico mengangguk pelan. "Aku nggak mau maafin kamu," ucap Sha-Sha. "Aku nggak mau maafin kalian berdua."
Rico mendesah pendek. Dia sudah tidak tahu harus bicara apa lagi.
"Tapi aku sadar aku juga salah," kata Sha-Sha. "Ciya benar. Seharusnya aku nggak menghilang
terlalu lama. Aku nggak pernah menyangka kalo lima tahun itu memberikan jarak yang sangat
panjang." Sha-Sha memercikkan air kolam renang dengan tangannya. "Soal pertunangan....,"
Sha-Sha berbalik menatap Rico, "aku setuju. Kita batalin aja."
Rico terbelalak. Entah dia mesti takut atau senang mendengar pernyataan itu.
"Tenang aja," ujar Sha-Sha sekan membaca pikiran Rico. "Soal mama-papaku, aku pasti bisa
ngebujuk mereka. Aku juga nggak mau tunangan sama orang yang nggak sayang sama aku.
Lagian.....kayak yang kamu bilang, aku baik, aku cantik. Dan rasanya terlalu sia-sia kalo aku
ngasih semua itu ke orang yang nggak bisa menghargai kebaikanku. Setidaknya, aku juga
berhak bahagia, kan?"
Rico tersenyum. Semuanya terasa begitu melegakan sekarang. "Dan sekarang....," kata Rico,
"kayaknya gue butuh penjelasan kenapa mantan tunangan gue tidur sama orang lain tadi pagi!"
part* 26 (ending) Infinite Dream KEESOKAN harinya, Rico bangun mendapati seluruh rumahnya penuh rangkaian mawar merah.
Ciya yang juga baru bangun langsung berhenti menguap dan melongo melihat seluruh ruangan.
"Mau jualan bunga?" tanya Ciya, menarik setangkai mawar merah.
Rico mengangkat bahu sambil melongokkan wajahnya ke ruang tengah. Henry dan Fatma
sedang berbicara di sana. Dan ternyata.....semua rangkaian bunga itu dikirim oleh Oom Henry
buat Tante Fatma sebagai ungkapan maaf atas kejadian kemarin malam. Dan kalau dilihat dari
keadaan sekarang, rasanya Oom Henry sayang kok sama Tante Fatma. Mungkin kurangnya
komunikasi saja yang menjadi kendala. Dan mungkin, Tante Fatma juga bersalah karena telah
menanamkan selekat-lekatnya pertanyaan bahwa suaminya itu memang mencintai wanita lain.
"Nyokap-bokap lo udah baikan ya?" tanya Ciya lagi saat melihat Henry dan Fatma berpelukan.
Sepertinya suasana hati orangtua angkatnya itu jadi lebih baik.
"Mudah-Mudahan....," ujar Rico sambil menarik Ciya kembali ke kamar.
"Eh....." Ciya menyenggol tangan Rico. "Kayaknya gue ngerti siapa yang nurunin bakat bermulut
manis dan pintar merayu lo. Hehehe...."
Rico mendelik. Dan sebelum cowok itu mengepalkan tangannya, Ciya langsung ngacir ke kamar
sambil cengengesan. *** Oke.... Ternyata semua masalah memang selalu ada pemecahannya. Hanya saja, tergantung
apakah kita memang ingin mencari jalan keluarnya atau tidak. Dan saat jalan keluar itu sudah
ada, tinggal tergantung kita apakah berani mengambil konsekuensinya atau tidak. Setiap
keputusan pasti ada risikonya, kan" Lebih baik menghadapi kenyataan pahit daripada tidak
berani menghadapinya sama sekali.
Dan akhirnya semuanya selesai!
Mama dan papa Sha-Sha sempat mengamuk-ngamuk begitu tahu pertunangan anak mereka
batal. Tapi akhirnya bisa diredam karena semua orang (Henry, Rico, Sha-Sha, bahkan Fatma)
berusaha menjelaskan dengan kalimat sesopan dan sehalus mungkin. Ternyata pikiran bahwa
mereka mau menyatukan kedua perusahaan bertaraf internasional itu salah besar. Karena yang
pertama kali diucapkan kedua orangtua Sha-Sha waktu tahu tentang batalnya pertunangan dan
akhirnya menyerah dengan bujukan semua orang itu adalah: Oh,
whatever.....whatever.....mereka nggak tahu aja apa yang mereka perbuat. Tenang aja, my
daughter, masih banyak kok laki-laki yang mau sama kamu. Si Rico aja yang buta. Masa dia
lebih milih cewek jelek itu dibanding kamu."
Untung aja Ciya nggak denger, kalo Ciya denger, mungkin rumah mereka akan berubah dari toko
bunga menjadi tempat pemotongan sapi.
Satu lagi! Rico akhirnya memutuskan menyumbangkan lahu di konsernya Sha-Sha. Tapi
berhubung waktu konsernya tinggal seminggu lagi, Rico cuma nyumbang satu lagu dan itu pun
lagu yang memang sudah dihafalnya.
"Alah, Pagode lagi...." cibir Ciya saat menemani Rico latihan. "Bilang aja nggak bisa lagu lain."
"Waktunya udah mepet, tahu. Tinggal seminggu mau latihan apa?"
"Ya kalo gitu bikin konser solo aja tahun depan. Kan jadi bisa lebih bagus."
"Itu udah pasti. Tapi gue mau cari sponsor dulu. Siapa tahu ada sponsor yang denger waktu
konsernya Sha-Sha trus dia mau ngebiayain konser gue tahun depan. Sha-Sha kan udah punya
nama, jadi siapa tahu banyak sponsor yang dateng."
"Idih, bilang aja nggak punya duit. Belagu mau bikin konser segala. Bisanya juga cuma satu lagu
doang, ntar juga...."
"CIYA!!!!!" *** jadi, begitukah.....semua orang sibuk dalam satu minggu ini.
Sha-Sha hampir tiap hari bolak-balik ngurusin dekorasi gedung sekaligus tetek-bengeknya. Rico
sibuk latihan. Henry dan Fatma" Nggak ada konser aja udah sibuk, apalagi ada konser. Lalu apa
kabar Ciya, Natya, Jesse, dkk?"
Sehari sebelum konsernya Sha-Sha.....
"Mau apa sih"!" teriak Ciya ketika pagi tadi, tanpa ba-bi-bu lagi, Jesse dan Natya langsung
menarik Ciya ke mal. Dan sekarang mereka berada di sebuah salon yang.....mmm.....lumayan
terkenal. Seenggaknya Ciya sering membaca majalah-majalah merekomendasikan salon ini.
"Gue mau pulang!" Ciya langsung ngibrit.
"Eiitsss.....stop!!!!" Natya lebih dulu menarik tangan Ciya.
"Dua hari lagi kan konsernya Sha-Sha."
"Besok, Nat," ralat Ciya.
"Nah, apalagi besok! Masa iya elo mau tampil dekil kayak gini?"
Ciya mendelik. "Eh! Apa maksud lo gue dekil"!"
"Nggak usah banyak cincong!" seru Jesse. "Nih jadwal lo hari ini. Dan elo nggak bakal bisa
pulang sebelum jadwal ini selesai!"
Ciya mengambil secarik kertas dan langsung melotot detik itu juga.
Daftar kegiatan 1: 1. Spa ke salon 2. Creambath 3. Mandi susu 4. Luluran 5. Facial 6. Medicure 7. Pedicure "Hehh!! Lo pikir gue mau kawin"!"
*** Jesse dan Natya berjalan keluar dari salon dengan langkah lunglai akibat selama empat jam
yang lalu mereka sibuk menyuruh Ciya diam. Tapi keletihan mereka terobati tatkala mereka
melihat "the new Ciya" di sana.
Ciya tersenyum sambil berputar. "Gimana?"
Natya mengerutkan keningnya sebentar, kemudian tersenyum balik pada Ciya dengan jari
telunjuk dan jempol membentuk lingkaran.
Jesse mengerling pada Natya. "The mission is almost complete."
Oke..... Bayangkan saja jika seseorang yang kamu kenal tiba-tiba berubah dari biasa menjadi
luar biasa: 1. Rambut jabrik Ciya berubah menjadi lemas lurus tergerai___setelah ditarik-tarik dan dipenuhi
asap___dengan potongan shaggy sebahu.
2. Semua kukunya dipotong rapi.
3. Kulitnya "cling-cling" karena digosok pasir___Ciya kira scrub itu sebangsa pasir___dan
diamplas selama berjam-jam. Belum lagi mesti berendam di kolam susu yang rasanya___Ciya
sempat menjilatnya sedikit. Yaiks!!___nggak manis itu.
4. Mukanya juga mulus setelah dua jam Ciya menjerit-jerit setiap kali mbak salon memencet
komedonya. Kebetulan kulit wajah Ciya memang nggak ada jerawat. Tapi komedonya segudang.
5. Bulu-bulu di sekujur tubuhnya juga dibabat habis.
Nggak usah ditanya deh gimana hebohnya Ciya saat prosese wax berjalan. Semua orang di
salon itu mengira ada orang melahirkan!
"Siapa bilang lo boleh pulang?" seru Jesse ketika Ciya merengek minta pulang. "Jadwal kegiatan
lo belum habis. Nih masih ada lagi!"
Nggak usah ditanya deh gimana hebohnya Ciya saat prosese wax berjalan. Semua orang di
salon itu mengira ada orang melahirkan!
"Siapa bilang lo boleh pulang?" seru Jesse ketika Ciya merengek minta pulang. "Jadwal kegiatan
lo belom habis. Nih masih ada lagi!"
Daftar kegiatan 2: 1. Beli gaun warna putih (kalo bisa yang agak-agak seksi)
2. Beli sepatu warna putih (yang haknya tingginya minimal 8 cm)
3. Belo kalung putih 4. Beli anting-anting putih (pilih yang agak panjang, minimal 10 cm)
Apaan lagi ini?"" Ciya membelalakkan matanya lebar-lebar. Sebenarnya siapa sih yang mau
konser" Kenapa mesti dia yang jadi ribet begini"
"Jangan protes!" cetus Natya ketika melihat Ciya hendak membuka mulut. "Tenang ajalah. Besok
kita akan mem-buat semua orang di konser Sha-Sha tercengang-cengang."
"Ada juga orang tercengang-cengang ngeliat permainannya Sha-Sha," Cita cemberut. "Ngapain
gue yang mesti dicengang-cengangin?"
"Cerewet!!" Dan begitulah..... Ciya mau tak mau harus memasuki entah berapa puluh toko baju, mencoba entah berapa ratus
gaun, dan memilih entah berapa ribu aksesori. Mulai dari toko baju bermerek yang harganya
berjuta-juta___" Gila lo! Kalo gaun polos kayak gini harganya tiga juta, mending gue beli kali
gelondongan trus gue jahit sendiri!"___sampai ke toko kecil dengan harga cuma puluhan
ribu___" Ini mah sama aja gue beli baju di kaki lima, Jesse."
Mulai dari gaun putih polos dengan desain simpel___"Lo pikir sekarang zaman Yunani yang pake
baju cuma kain dilitin?"___sampai gaun kuning dengan desain berumba-rumbai___"Buset!
Emang gue mau konser dagdut?"
Mulai dari anting-anting yang panjangnya menyentuh bahu___"Sekalian aja lo taro kalung di
kuping gue!"___sampai kalung yang desainnya panjang dan bertumpuk-tumpuk___"Lo mau, gue
dikira alih profesi jadi dukun?"
Mulai dari sepatu yang berhak lima belas senti___"Kenapa nggak sekalian beliin gue egrang
aja?"___sampai sepatu bot selutut___"mau nyuruh gue naik kuda?"
Dan saat semuanya selesai....
Mereka bertiga langsung jatuh terkapar di kasur Natya.
*** Jam tujuh malam keesokan harinya.....
Semua orang sudah hampir memenuhi Gedung Ground Art___tempat konsernya ShaSha___sejak jam lima sore tadi. Ternyata nama Raisha Wellina di kalangan pemusik sudah
cukup terkenal. Sehingga walaupun harga tiket hampir mencapai setengah juta rupiah, tetep aja
ludes habis! Suasana Ground Art tidak berbeda jauh dengan Gedung Nasional. Hanya saja di sini nuansanya
jauh lebih klasik. Pertama kali masuk ke gedung ini, kita seperti diseret ke nuansa tahun 60-an.
Permadani cokelat dengan gambaran lilitan bunga terbentang di seluruh ruangan. Seluruh
dinding dicat dengan warna tembaga. Semua peralatan bernuansa perak dan penuh dengan
ukiran. Sepasang patung Cupid emas putih menyambut pengunjung di hilir tangga. Dan di
sepanjang tangga, berderet lampu tempel dengan ukiran kupu-kupu.
Semua bangku di ruang konser berwarna cokelat tua. Deretannya berbentuk setengah lingkaran
yang semakin ke belakang akan semakin meninggi. Sebuah lampu kristal gantung superbesar
tertampang dengan megah di tengah-tengah. Tebaran kupu-kupu kertas bergelantungan di
seluruh ruangan. Dan panggung yang berhiaskan tirai sutra perak membuat suasana seperti
berada dalam dunia peri. Begini ceritanya....... Konsep konsernya Sha-Sha kali ini bertajuk "Infinite Dream".
Masih inget kan, dongeng-dongeng sewaktu kita kecil" Masih inget juga kan, seberapa besarnya
rasa percaya kita waktu kecil dulu terhadap hal-hal itu" Rasa percaya itulah yang membuat
mimpi selalu ada. Nah....biasanya juga, dongeng itu selalu identik dengan peri. Coba deh diinget-inget lagi! Dalam
kisah Cinderella, ada yang namanya Ibu Peri. Dalam kisah Putri Tidur ada peri jahat dan peri
baik. Dalam kisah Pinokio ada yang namanya Peri Biru. Dalam kisah Peterpan ada peri yang
namanya Tinkerbeel. See?" Hampir semua dongeng identik dengan peri. Karena itu, Sha-Sha
memutuskan mengambil objek peri untuk menerangkan konsep mimpi yang tidak terbatas.
Cumaaa.....karena konser ini bukan buat anak kecil, perinya diganti dengan kupu-kupu. Trus,
biasanya peri itu kan bawa tongkat sihir yang kalau digerak-gerakkan akan keluar cahaya perak.
Makanya ruangan konser didominasi warna perak dan bentuk kupu-kupu.
Hari ini Sha-Sha juga pakai gaun warna perak. Gaun model sabrina dengan taburan kristal dari
bagian bahu sebelah kanan menyebar ke bagian pinggang, tempat bergelantungan kupu-kupu
palsu berwarna violet. Rambutnya digulung ala cewek-cewek di komik Candy-Candy. Tau kan
model rambut para lagy zaman dulu" Mungkin kalau Sha-Sha sekalian pake sayap bohongbohongan, konser kali ini bakal berubah jadi pentas teatrikal.
*** "Wueitss....." Christian menyalami Rico saat tiba di pintu masuk Ground Art. "Keren banget lo,
man! Bener nih nggak mau tunangan"!" ledek Chris, sementara Natya, Jesse, dan Viktor ikut
menyalami Rico. Rico mendesis sambil tertawa kecil. "Pasti tunangan. Tapi nggak sekarang, man!" serunya sambil
membalas uluran tangan teman-temannya. "Eh, mana Ciya?"
"Caelahh.....udah dicariin aja. Takut ilang ya?" Viktor mengedipkan sebelah matanya. "Tenang
aja! Lagi dijemput sama Aldy."
"Apa?" tanya Rico terkejut. "Sama Aldy?"
"Cemburu nih?" tanya Natya nyengir. "Gue kan sama viktor," Natya merangkul Viktor, "Jesse
juga sama Chris," Jesse merangkul Chris. "Ya udah, mau nggak yang jemput Ciya kan Aldy."
Rico memelototi Natya. Kenapa sih cewek ini menyebalkan sekali"!
"Nah, itu Ciya!" teriak Natya sambil menunjuk dua orang yang beranjak ke arah mereka.
Dalam sekejap Viktor dan Chris membelalakkan matanya menatap sosok yang ditunjuk Natya.
Yakin itu Ciya" Kok berubah jadi cantik begitu"
"Oke kan kerjaan gue?" ujar Natya meminta persetujuan Viktor.
"Hai...." Ciya tersenyum sambil merangkul Natya. "Udah lama nyampenya?"
"Gila!" seru Viktor tak percaya. "Ciya nih" Cantik banget!"
"Baru sadar gue cantik?" guraunya lalu memandang Rico. "Cantik, kan?"
Dan jujur aja, sampai detik ini pun Rico masih bengong menatap cewek di hadapannya itu.
Okelah, mungkin Ciya nggak secantik Cinderella dalam dongeng. Hanya saja, percaya nggak
percaya, Rico benar-benar terpesona melihat Ciya malam ini. Dengan balutan gaun baby doll
pink yang lucu, (akhirnya jadi warna pink, karena Ciya merasa warna putih kayak orang
kawinan), rambut digerai setengah dengan hiasan kupu-kupu kecil, dan make up tipis yang
menghiasi wajahnya, Ciya terlihat sangat mengesankan.
"Heh!" Ciya menepuk bahu Rico. "Cantik nggak?"
Rico tersenyum. "Lumayan....."
Ciya melongo. Cowok itu bilang apa" Lumayan" Cuma lumayan" Udah capek-capek ngikutin
aturannya Natya sampe seluruh badan sakit, semua bulu dicabutin, nyari baju berjam-jam, muka
dipoles nggak keruan begini, mesti latihan pake sepatu tinggi sampe keseleo..... Dan ucapan
yang diterima cuma LUMAYAN"! Cowok itu gila ya"
Ciya mendesis. "Lo kalo sama cewek lain bisa muji-muji dengan sangat manis. Kenapa sama
gue pelit banget sih" Udah ah, kita duduk aja di dalem!" gerutu Ciya sambil ngeloyor pergi.
"Eh!" Rico menahan tangan Ciya sebelum cewek itu sempat melangkah. "Bohong kok! Cantik
banget!" *** Lampu mulai diredupkan. Tirai perak sedikit demi sedikit mulai terbuka. Tepuk tangan terdengar
bergemuruh. Rico memperhatikan sekelilingnya. Tiba-tiba saja dia merasa seperti berada di
sebuah adegam deja vu. Rasanya kangen sekali saat-saat seperti ini. Tapi, tunggu sebentar.
Rico melihat ke arah Natya cs Gadis itu melambai-lambaikan tangannya sambil meneriakkan
kata-kata, "Rico, I love you!" dan kalo mau tahu kenapa Viktor nggak marah, karena cowok itu
juga sedang melemparkan ciuman berkali-kali dengan meneriakkan kata-kata yang sama
walaupun tanpa suara. Sedangkan Jesse, dengan tampang jaimnya nggak mungkin berani
bertingkah aneh-aneh kayak gitu. Tapi, justru cowoknyalah yang bermasalah. Chris memang
nggak melakukan hal-hal di luar batas akal sehat. Hanya saja, cowok itu menggelar spanduk
besar-besar dengan tulisan "WE LOVE YOU, RICO!"
YA AMPUUUNNN!!!!!!! Kalau saja Rico tidak ingat bahwa dia sedang berada di tengah-tengah panggung, mungkin dia
tidak akan segan-segan melemparkan grand piano di hadapannya ini ke arah empat orang itu!
Ciya menatap Aldy yang juga tidak tahu harus berkomentar apa melihat tingkah teman-temannya
itu. Dia mendengus kecil. Kenapa sih dia mesti terjebak di antara manusia-manusia abnormal
begini" Iya sih, mereka itu emang temennya. Tapi kalo temennya rada norak kan jadi ikut malu
juga. Denting piano mulai terdengar. Ciya sedikit terpana. Walaupun bukan hanya sekali Ciya melihat
Rico memainkan lagi ini, entah kenapa, saat ini rasanya sedikit berbeda. Entah karena efek
ruangan atau karena Rico terlihat sangat ganteng saat ini. Ciya juga sempat melihat para


Separuh Bintang Karya Evline Kartika di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

penonton di bagian depan berkasak-kusuk tentang Rico. Entah membicarakan tentang hilangnya
Rico pada tahun-tahun belakangan ini, atau tentang permainannya yang masih seperti dulu.
Mudah-mudahan sih, seperti yang Rico bilang, ada sponsor yang tertarik membiayai konsernya
lagi. Ciya merogoh sisi dalam tasnya dan menemukan secarik kertas putih di sana. Sesaat sebelum
mereka masuk, Rico sempat menyelipkan kertas itu ke tangan Ciya diam-diam.
Abis gue main, tunggu di belakang gedung ya. Jangan bilang siapa-siapa!
Ciya tertawa kecil melihat tulisan yang tertera di sana. Sejak kapan SMS jadi nggak berguna"
"Mau kemana, Ci?" tanya Aldy saat Ciya beranjak dari tempat duduknya tepat setelah Rico
membunyikan not terakhir.
"Ke WC sebentar...."
*** "Apa-apaan sih tuh orang berdua"!" Natya membanting pantatnya di ranjang Ciya. Pasalnya,
setelah Ciya pamit ke WC, dia nggak nongol-nongol lagi. Natya pikir ada apa-apa. Nggak lucu
kan kalo tiba-tiba Ciya pingsan di kamar mandi. Akhirnya, Natya dan Jesse rela-relain jongkokjongkok memeriksa setiap WC demi sahabatnya itu. Setelah nyerah mencari ke semua ruangan,
Jesse akhirnya mencoba menelepon Ciya. And guess what?" Tanpa rasa bersalah Ciya cuma
bilang, "Hehehe.....sori, Jess. Gue jalan duluan sama Rico ya. Lo tunggu di kamar gur aja. Jadi
nginep, kan" Kamar gue nggak gue kunci kok. Viktor sama Chris tunggu di kamar Rico aja. Gue
pulang maleman kayaknya. Oke" Bye!" Klik. Langsung ditutup!
Whaattt"!! Kalo tahu gitu, ngapain coba capek-capek kuatir"!
"Udahlah, Nat," ujar Viktor menyodorkan segelas air putih lalu duduk di kursi meja belajar Ciya.
"Bukannya elo yang paling semangat supaya mereka jadian" Sekarang, mereka pergi berdua,
bagus dong." "Iya bagus. Tapi nggak dengan cara ngilang begitu. Tuhan nyiptain mulut juga buat ngomong.
Kan seenggaknya gue nggak perlu kalang kabut nyariin dia. Bikin panik aja," gerutu Natya,
meletakkan gelas kosong ke meja.
"Gua nggak nyangka mereka berdua jadian juga. Gue pikir kita mesti ngejalanin rencana kita
dulu baru mereka bisa jadian," ujar Chris. "Padahal gue udah pikir mateng-mateng tuh. Jadi, pa
konser, kita pura-puea ngumpetin Ciya di gudang kek, di WC kek, trus kita bilang sama Rico kalo
Ciya hilang, nah, pas Rico berhasil nemuin Ciya, dia pasti terpana ngeliat Ciya jadi cantik berkat
ide lo, Nat," kata Chris pada Natya.
"Abis itu mereka jadian deh...."
"Iya, saking bagusnya rencana lo, sekarang malah kita yang kena nyariin Ciya yang ilang!" ujar
Jesse. Chris tertawa. Tapi tiba-tiba tawanya lenyap ketika melihat Sha-Sha dan Aldy berdiri di depan
pintu. "Sejak kapan lo berdua di sana?"
"Sejak lo bilang udah mikir mateng-mateng." Aldy tertawa kecil lalu duduk di sofa. Sha-Sha ikut
duduk di sebelahnya. "Sori, Al," kata Chris merasa bersalah. "Gue nggak bermaksud buat...."
"Nggak papa kok." Aldy menepuk-nepuk punggung Sha-Sha. "Gue sama Sha-Sha udah
ngerelain mereka kok."
Chris sedikit terkejut mendengar itu. "Yakin nggak apa-apa" Gue kan jadi nggak enak. Atau..."
Tiba-tiba saja, seakan tersadar sesuatu, Chris mendelik dengan mulut membulat sambil
mengacungkan jari telunjuk ke arah Aldy dan Sha-Sha. "Ooww....elo sama elo.....?"
"Bukan gitu...." Sha-Sha menggoyang-goyangkan tangannya.
"Eh....," seru Viktor tanpa memedulikan omongan yang terjadi barusan, "iin foto siapa ya?" Dia
mengacungkan foto Billy. "Payah nih Ciya. Mestinya kan dia masang foto Rico. Kok masang foto
cowok lain sih" Foto Rico malah nggak ada."
"Mana?" Natya merebut foto berbingkai itu dari tangan Viktor. "Ini mantannya Ciya. Iya nih,
seharusnya diganti. Gue copot ah....."
"Nih...." Viktor dengan sigap menyodorkan selembar foto Rico. "Gue colong dari kamarnya Rico.
Hehehe....," ujarnya, menjawab ekspresi Natya yang bengong saat dia menyodorkan foto itu.
"Sebenarnya yang punya kamar siapa sih?" ucap Jesse melihat tingkah mereka bertiga. "Udah
sembarangan masuk, nyolong foto, lagi."
"Apaan nih"!" seru Natya tanpa memedulikan Jesse. "Ada surat....." Dia mengambil satu amplop
yang terjatuh saat dia membuka bingkai foto tadi.
Aldy langsung beranjak dari duduknya. "Tulisan Billy..." gumamnya saat melihat tulisan yang
tertera di sana. Serentak, Jesse, Natya, Viktor, Chris, dan Sha-Sha mengerubungi kertas itu.
"Apa isinya?" Chiara..... Di saat udah waktunya melepas foto ini, apa udah mengerti kenapa gue melakukan semua ini"
Apa udah menemukan pengganti gue"
Gue agak nggak rela sih. Tapi siapa pun itu..... Gue harap lo bisa menemukan yang terbaik buat lo. Yang bisa menjadi
sandaran lo di saat lo sedih. Yang bisa menemani lo saat lo bahagia. Yang bisa selalu ada saat
lo butuh seseorang. Yang bisa menutup semua kekurangan yang udah gue kasih buat lo.
Sebenarnya gue tahu dengan sangat jelas perasaan Aldt terhadap lo. Tapi, mungkin ini egoisnya
gue. Gue nggak rela aja menyerahkan lo ke dia. Dia memang teman gue yang terbaik, teman
terbaik yang melebihi apa pun.....apa pun! Apa pun, Chiara..... Kecuali elo!
Mungkin semua hal masih bisa gue relain buat kalah dari dia. Semua hal! Kecuali elo. Elo aja.....
Tapi ternyata keegoisan gue malah menyeret semua orang ke dalam masalah. Jadi, apa
sekarang gue masih pantas nggak merelakan lo untuk orang yang bisa membahagiakan lo"
Nyatanya, gue lebih pengen lo bahagia. Entah dengan Aldy atau lainnya yang mendampingi lo
sekarang. Tapi satu hal! Dalam kehidupan mendatang, gue pasti akan mengambil kembali tempat yang memang
seharusnya menjadi posisi gue. Gue yakin, Tuhan nggak bakal segitu nggak adilnya.
Mulai dari sekarang, gue bakal bilang sama Tuhan kalo di kehidupan nanti gue nggak mau jadi
kakak lo. Gue mau jadi pacar lo!
Love you, Billy..... Epilog Dan cinta itu telah memilih cinta....
"MAU kemana, Kyo?" tanya Ciya saat Rico memarkir mobilnya. Ciya melongokkan wajahnya,
berusaha melihat apa yamg tersembunyi di balik pagar bambu yang ada di hadapannya.
"Masuk yuk!" ajak Rico sambil mendorong salah satu sisi pagar tersebut ke dalam. "Rumah lama
sih, tapi bagus kok."
"Ngapain sih ke sini?" Ciya merinding melihat keadaan di sekitarnya yang gelap gulita. "Takut ah,
Kyo...." Ciya berbalik lagi keluar.
"Heh!" Rico menarik tangan Ciya. "Nggak apa-apa kok. Setan juga takut sama tampang lo!"
Ciya mendelik. "Tambah nggak mau ikut!" gerutunya.
Rico tertawa. " Bercanda..... Kalo udah liat, pasti lo berubah pikiran deh!" Rico menggenggam
tangan Ciya. "Ayo, jalan....."
Mau nggak mau Ciya cuma pasrah.
"Nah, di sini!" Rico berhenti di sebuah tempat.
"Ada apa?" Ciya melihat ke sekelilingnya. Tapi tetep nggak ada yang bisa dilihat. Cuma pohon,
rumput, pohon lagi, rumput lagi. Apanya yang bagus"
Rico tersenyum, lalu dalam hitungan detik tiba-tiba saja semua pohon dan ranting bersinar. Ciya
terbelalak. Rasanya seperti melihat ratusan bintang yang merajut mengelilingi pohon dan
dedaunan, yang merambat dari satu dahan ke dalam lain, membuat lilitan keperakan jembatan
Bimasakti. "Suka?" tanya Rico.
Ciya memandang Rico tak percaya. "Gila! Bagus banget!!
Rico tertawa. "Satu lagi....." Dia menarik Ciya ke tempat yang sedikit lebih tinggi. "Liat...." Rico
menunjuk ke arah tebing di bawah mereka. Dan di sana terpancar ribuan cahaya kelap-kelip
lampu dari seluruh rumah yang berada tepat di kaki bukit ini. Ada juga cahaya lampu mobil yang
melintasi jalan-jalan kecil, terlihat seperti komet yang terus-menerus meluncur ke arah yang
berlawanan. Ciya menatap Rico, masih tak percaya. "Ini?"
Rico tersenyum, merangkul Ciya. "Ini bintang-bintang di bumi yang bisa gue kasih buat lo. Billy
cuma bisa memperlihatkan kepada lo separuh dari bintang-bintang yang ada di langit." Rico
menunjuk ke atas. "Dan sekarang gue yang ngasih lo separuhnya lagi. Mungkin bukan dari sisa
bintang yang berada di belahan bumi yang lain. Tapi bintang-bintang yang bisa gue rangkai untuk
selalu bersinar kapan pun lo mau. Bintang-bintang yang bisa selalu ada di saat lo butuh untuk
cerita. Bintang-bintang yang bisa selalu ada kapan pun lo sedih. Bintang-bintang yang bisa selalu
ada di saat lo ingin ditemani tertawa. Bintang-bintang yang nggak perlu menunggu malam yang
cerah untuk muncul."
Ciya terpana. "Lo rela ninggalin konsernya Sha-Sha cuma demi ini?"
"Demi lo....." Rico memeluk Ciya. "Ci.....apa boleh gue menggantikan bintang-bintang itu" Apa
boleh gue yang menjadi pengganti cahaya-cahaya kecil buat lo" Apa boleh gue yang menjadi
sandaran bahu lo saat lo sedih" Apa boleh gue yang membuat lo tersenyum" Apa boleh bintangbintang itu beristirahat dari tugasnya untuk ngejagain lo?"
Ciya terdiam mendengar perkataan Rico. "Tugas bintang-bintang itu berat lho, Kyo," ujarnya di
pundak Rico. "Harus bisa menghadapi manjanya gue, cengengnya gue, emosinya gue, egoisnya
gue, begonya gue...."
Rico melepaskan pelukannya sebelum Ciya menyelesaikan perkataannya yang tarkhir. Membuat
kalimat itu menggantung begitu saja. "Emang tugas bintang-bintang separah itu?" Rico
membelalak. "Kalo gitu nggak jadi deh....."
Ciya melongo menatap Rico. Apa-apaam sih cowok ini" Baru kali ini ada cowok yang nembak
terus bilang nggak jadi. Ciya mendesis kesal. Bukan kesal sama Rico. Okelah, dia kesal
dipermainkan begitu, tapi dia jadi lebih kesal pada dirinya sendiri karena sesaat tadi dia benarbenar lupa bahwa Rico itu playboy.
"Hei!" Rico tertawa melihat tampang Ciya. "Nggak enak kan, kalo lagi serius-serius diajak
bercanda" Makanya kalo gue lagi serius, jangan dikira bercanda. Dari pertama kali gue bilang
suka sama lo di Dufan, sampe saat ini, gue serius."
Ciya cemberut. Jadi nggak tahu mesti percaya apa nggak.
Rico meletakkan kedua tangannya di pipi Ciya. "I don't know why I'm falling in love with you. But
one thing that I know is.... I need you."
Ini bukan pertama kalinya bagi Rico dalam hal "Nembak-nembakan" atau "kegiatan" lainnya yang
sejenis itu. Ciya juga bukan orang pertama yang ditanyainya dengan kalimat serupa. Kalimat
pertanyaan yang biasanya diucapkan sambil lalu dengan asal yang kemudian selalu
mendapatkan jawaban "ya" atau sebuah anggukan samar malu-malu.
Sementara kali ini, dia harus memompa segala keberanian dari dalam dirinya sebelum
mengucapkan kata-kata tadi. Kata-kata yang biasanya dia ucapkan tanpa peduli apa jawaban
yang akan diterimanya, kini membuat perasaannya berdebar-debar aneh tak keruan. Kebiasaan
menyenangkan untuk selalu mendapat jawaban "ya" malah menjadi bumerang bagi dirinya. Kini,
dia justru takut mendapat jawaban yang sebaliknya. Rico tidak pernah lagi mengalami perasaan
aneh seperti ini sejak.....
Ciya terdiam menatap Rico sampai akhirnya beberapa patah kata meluncur pelan. "Maaf, Kyo,
mungkin gue nggak bisa...."
Rico terbelalak mendengar ucapan Ciya. Tadi Ciya bilang apa" Nggak bisa"
Ciya tersenyum, gantian meletakkan tangannya di pipi Rico, membuat cowok itu menatapnya.
"Maaf, Kyo. Gue nggak bisa nolak lo. Hehehe....."
Rico benar-benar lemas sekarang. Dasar Ciya!
Ciya tertawa. "Kalo gue sampe nolak lo, mungkin yang paling sakit hati itu bukan lo, tapi gue."
Rico memeluk Ciya. "Jangan bercanda lagi! Kalo sampe lo bilang ucapan lo barusan cuma
bohong, mungkin gue nggak bakal nganterin lo pulang." Rico menatap Ciya. "Gue tentang lo ke
bawah sana!" Ciya tergelak lalu memandang bintang-bintang. "Billy, muali hari ini, dia yang bakal ngejagain
gue!" teriak Ciya. "Jadi lo tenang aja di sana! Gue pasti bahagia! Lo juga mesti bahagia!!"
Rico tersenyum lalu mencium pipi Ciya. "Billy itu orang baik. Dan katanya orang baik itu setelah
meninggal akan berubah jadi bintang sampai kehidupan selanjutnya. Tapi sampe kehidupan
selanjutnya pun, gue nggak bakal ngasih dia kesempatan buat ngedeketin lo lagi!"
Ciya mencibir. "Kita liat aja!"
"Liat aja apaan?"
"Liat aja kalo lo sampe berani ngeluarin kebiasaan playboy lo lagi!"
"Eh! Mestinya gue yang bilang begitu! Liat aja kalo lo sampe selingkuh sama Aldy!"
"Liat aja kalo lo sampe cinta lagi sama Sha-Sha!"
"Lia aja kalo lo masih bilang nggak bisa ngerelain Billy!"
"Li...." Rico memeluk Ciya sebelum cewek itu berlanjut dengan kalimatnya. "Nggak usah liat-liatan
lagi....," ujar Rico tersenyum. "Sekarang, ayo bilang sayang sama gue!"
"Hah"!" "Lo belom pernah bilang kalo lo sayang sama gue! Ayo bilang!"
"Belom pernah bilang ya?" Ciya tertawa. "Ehm....oke.... Gue cuma mau bilang sekali, jadi dengar
baik-baik!" Ciya berdeham. "Gue sayang sama.....bintang! Hahaha...."
"CIYAAA!!!!!" Geger Perawan Siluman 3 Pendekar Rajawali Sakti 92 Kucing Siluman Eyes Wide Open 1
^