Pencarian

Tempatku Di Sisi Mu 1

Tempatku Di Sisi Mu Karya Gola Gong Bagian 1


TempatKu di Sisi Mu Gola Gong http://ac-zzz.blogspot.com/
Episode 1 Tempatku di Sisi-Mu Bashir Merasa Bersalah Pada Almarhum Kakaknya
Rahasia-Nya kucari selalu
di sela sinar matahari dan rembulan
Menghitung bintang-bintang
Menunggu ufuk timur memerah
hingga barat gelap gulita
(aku tahu, jiwaku kerdil tak sebanding)
Matahari senja di Selat Sunda menggelincir masuk ke cakrawala. Tak ada
seorang pun yang menyaksikan perubahan alam itu karena langit diselimuti
jubah hitam para iblis dari neraka. Angin berembus kencang. Ombak
berdebur keras. Dan angin menebarkan penyakit. Semua hanya berdiam diri
di rumah, di kamar-kamar hotel berbintang, atau bahkan ada yang tidak
peduli sama sekali dengan pergantian waktu itu. Tak ada bedanya. Dari sore
ke malam, dari terang ke gelap. Toh, nasib tidak ditentukan oleh sebuah
senja! Tetapi oleh perjuangan dan doa. Itu pun jika Allah berkehendak.
Kalau tidak, berarti itu takdir namanya!
Keheningan senja pun diusik oleh suara tibut para nelayan. Mereka
menunjuk-nunjuk ke pantai yang berkarang. Beberapa berlari ke sana dan
memeriksa seonggok benda yang baunya sangat menyengat! Benda itu
tersangkut di karang! "Oiii, ada orang matiiii! " teriak seorang nelayan dari karang.
Para nelayan lainnya yang berada di pantai, serentak berlarian ke karang.
Mereka, seperti ada yang mengomando, menutup hidung! Seolah-olah bau
menyengat merebak di udara!
Mereka tersentak! Seonggok mayat manusia yang sudah membusuk tersangkut di karang.
Kaosnya sudah tercabik-cabik! Tubuhnya menggelembung seperti balon, dan
wajahnya rusak! Mereka mulai bertanya-tanya, jangan-jangan mayat yang
mereka temukan masih sanak saudara!
"Ada yang kenal, nggak?"
"Coba, cari dompetnya!"
Seorang nelayan dengan berani membalikkan tubuh mayat itu dengan kayu!
Lalu dia mengorek-ngorek saku belakang celana si mayat, tetapi dompet
yang dicari tidak ditemukan.
"Pasti anak Jakarta!"
"Iya! Minggu kemarin kan, ada yang hilang!"
"Pasti dimakan buaya putih!"
"Nyi Roro Kidul, kali!"
"Kualat!" "Udah tahu dilarang mandi, eh ...nekat juga!"
"Anak sekarang, mana percaya sama yang begituan!"
"Dikiranya takhayul!"
"Lha, kalau udah ada yang mati begini, gimana?"
"Kalau udah ada yang mati, mereka baru percaya!"
"Bulan ini saja ada enam orang yang mati!"
"Butuh bukti apa lagi?"
"Heh, jangan ribut! Udah malam, nih! Mendingan lapor polisi!"
"lya! Jadi merinding, nih!"
"Gotong! Gotong! Ntar pasang, kebawa lagi ke laut."
Para nelayan dengan sukarela menggotong mayat yang sudah busuk itu
sambil menutup hidung mereka. Mayat itu digeletakkan di tempat yang agak
tinggi di bawah pohon kelapa. Beberapa nelayan menutupnya dengan
pelepah daun kering. Mereka masih merubungi mayat itu!
Dalam sekejap, temuan mayat manusia yang tersangkut di karang merobek
keindahan senja! Bau menyengat kini merebak di udara; bau kematian. Para
iblis yang hinggap di daun-daun kelapa di sepanjang pantai, tertawa-tawa!
Mereka sangat puas karena keturunan Adam itu sudah terperangkap pada
sesuatu yang musyrik! Mereka percaya bahwa mayat yang tersangkut di
karang di pinggir pantai itu, disebabkan oleh penunggu Selat Sunda, yang
masih ada hubungannya dengan Nyi Roro Kidul, penguasa laut selatan! Itulah
sebabnya, kenapa ada beberapa lokasi di sepanjang pantai Selat Sunda yang
dianggap keramat dan sangat tabu dipakai untuk berenang! Plang-plang
bertuliskan larangan untuk berenang dipasang: DILARANG BERENANG DI SINI,
BANYAK KARANG! Begitulah yang tertulis. Padahal semestinya ditulis seperti
ini: AWAS, INI DAERAH ANGKER, MlLIK NYI RORO KIDUL! JANGAN NEKAT,
KECUALI MAU MATI! MaIam muIai merembet naik. Hotel-hotel berbintang yang makin memadati
pantai mulai merias diri; lampu-lampunya yang genit berlompatan di antara
batang-batang pohon kelapa, seolah-olah hawa kematian itu tidak menjadi
penghalang buat mereka bersolek menyambut malam! Pantai jadi terang
benderang bagai perawan kampung yang sudah pandai bersolek. Sangat
berlawanan dengan suasana di seberangnya; lampu-lampu teplok minyak
tanah di gubuk-gubuk neIayan, potret miskin masyarakat yang terpinggirkan
sejak dahulu. Padahal kita makan ikan laut dari hasil tangkapannya!
Para iblis di puncak-puncak pohon kelapa makin kesenangan. Kayu bakar
neraka jahanam itu makin yakin bahwa malam ini akan makin banyak lagi
keturunan Adam menjadi pengikut mereka! Para nelayan yang heboh dengan
temuan mayat masih berkerumun. Beberapa orang polisi sudah sampai ke
lokasi kejadian. Sangat terasa sekali angin malam dari Selat Sunda, yang
menyebarkan aroma kematian berembus masuk ke jendela hotel "Semenanjung." Sepasang pengantin baru, yang hendak berbulan madu, sangat terganggu
oleh suara ribut-ribut para nelayan di pantai. Mereka yang baru saja
meletakkan tas pakaian, bergegas ke pintu baIkon. Yang lelaki membuka
pintu balkon. Mereka berjalan ke luar. Angin menampar-nampar tubuh
mereka. Aroma kematian tercium oleh hidung mereka.
"Ada apa, ya?" Anah merapatkan busana muslimahnya yang tergerai oleh
angin. Dia menunjuk ke orang-orang yang menyemut di pantai berkarang.
"Kayaknya ..., ada orang mati," Bashir menduga-duga. "Di pantai karang itu,
memang banyak sekali orang yang hilang. Minggu kemarin, ada dua orang
turis dari Jakarta hilang saat berenang. Tempat itu memang berbahaya
kalau dipakai berenang. Banyak karangnya."
"Nggak dipasang papan larangan?"
"Sudah. Tapi, mereka pasti mengira, penunggu laut yang meminta korban
seorang lelaki tampan dan masih bujangan, untuk dijadikan teman hidup Nyi
Ratu Roro Kidul!" "Astaghfirullah! Di zaman global ini masih ada yang percaya sama ceritacerita takhayul seperti itu?"
"Buat mereka, cerita ini bukan takhayul. Tapi, sesuatu yang harus mereka
percayai karena sudah ada sebelum mereka ada. Dan sudah merupakan
bagian dari tradisi. Turun-temurun."
"Ya, saya tahu. Tapi, harusnya mereka berpikir bahwa mati, rezeki, dan
jodoh itu rahasia Allah!" Anah menggelengkan kepalanya.
"Hey!" Bashir mencubit pipi Anah. "Kita ke sini mau bulan madu, bukan
ngebahas soal takhayul! "
"Iya, iya! " Pipi Anah bersemu merah. Dia merasa seperti boneka cantik yang
sedang dimanjakan pemiliknya. Dia merasa bahagia karena suaminya adalah
orang yang dia cintai dan dia inginkan sejak dahulu. Berbeda dengan Hakim,
yang hanya menjalankan kewajiban sebagai anak terhadap wasiat ayahnya!
"Mau punya anak berapa?" tanya Bashir. "Selusin, ya! " Bashir makin
bersemangat. "Iya!" jerit Anah manja.
Episode 2 Tempatku di Sisi-Mu Mari pengantinku, berjalan di sisiku
Meniti jalan setapak Menuju cahaya surga di ujung sana
Mari pengantinku, ulurkan tangan
Terima mas kawin dariku: Rajutan basmalah dan doa-doa
Angin malam dengan aroma kematian makin keras berembus dan
membentur-bentur kaca jendela sebuah kamar di hotel Semenanjung.
Menyebar hawa dingin menakutkan yang menggigit. Seolah mengiringi
malam keramat bagi sepasang pengantin baru yang sedang menjalankan
perintah Allah. Pengantin berbahagia itu yakin, bahwa perkawinan adalah
ibadah. Saat sebagai seorang suami, memberi nafkah lahir dan batin kepada
istrinya adalah kewajiban. Saat sebagai istri, melayani suami dengan
keikhlasan adalah pahala imbalannya.
Para malaikat turun dari langit membawa berkah dan rahmat-Nya. Jubahjubah mereka dikembangkan dan seolah menyerupai layar raksasa yang
melindungi pengantin baru itu dari aroma kematian. Para iblis tidak akan
mampu menerobos ranjang putih pengantin, untuk meniupkan hal-hal laknat
di hati mereka: pengantin baru di jalan Allah!
Di ranjang suci itu, Allah menebarkan wewangian bagi orang-orang yang
beriman. Para malaikat menaburkan putih melati harum mewangi di seluruh
ruangan. Dan seprai putih pun memberikan kabar bahwa si wanita masih
suci ibarat Siti Maryam, bunda tersayang Nabi Isa. Tak ada yang bisa
memungkirinya bahwa orang yang sabar dan tawakal akan mendapatkan
kebahagiaan jua. Tak akan bisa dibantah bahwa Allah Maha Mendengar. Dia
akan dekat, jika kita terus memanggil nama-Nya.
"Allahu Akbar!" Bashir berseru penuh haru.
Anah tersenyum bahagia memeluk suaminya.
Bashir tidak menyangka, jika hal ini terjadi. "Anah?" tanyanya tidak percaya.
Dia bangkit dan mundur beberapa langkah. Bahkan tubuhnya hampir saja
menabrak meja. "Kamu ...?" keheranan terus menyelimuti jiwanya.
"Kak Bashir," Anah tersenyum menatapnya. "Kenapa" Kok, kayak ngelihat
hantu saja!" "Ini tidak mungkin, Anah"."
"Apanya yang tidak mungkin?"
"Kamu?" "Kak Hakim memang tidak pernah menyentuhku," Anah termenung.
"Apa?" "Kak Hakim tidak mencintai aku. Dia menikahi aku karena ingin Bapak
bahagia sebelum berpulang ke rahmatullah".."
"Jadi?" "Setiap malam aku bertanya-tanya, kenapa Kak Hakim tidak pernah mau
menyentuhku, sebagaimana layaknya seorang suami pada istrinya. Itu, kan
kewajibannya." "Hakim tidak pernah ...?"
"Iya, dia tidak pernah menyentuhku."
"Tapi, kenapa" Pasti ada alasannya!"
"Ketika aku bertanya, Kak Hakim memintaku untuk bersabar."
"Dan jawabannya ada di Bangkok?" Bashir menebak dengan tidak sabar.
"Ya! Jawabannya di Bangkok. Kak Hakim sengaja tidak menyentuhku karena
dia sudah mempunyai istri dan seorang anak di Bangkok. Namlok Sarachipat
dan Siti Aisyah." "Astaghfirullah! Kenapa aku begitu bodoh!"
"Kak Hakim ingin mempertemukan aku dengan mereka, supaya aku bisa
mengambil keputusan sendiri bahwa sebetulnya perkawinan kami harus
diakhiri sesegera mungkin."
"Astaghfirullah! Aku yang bersalah!"
"Kamu nggak salah, Kak Bashir!"
Bashir berjalan mondar-mandir di kamar hotel. Dia berjalan sambil
memukuli kepalanya dan bahkan menjambaki rambutnya sendiri. .Anah
bangkit dari tempat tidur dan berusaha menenangkan suaminya.
"Aku memang tolol! Gegabah! Dari dulu aku memang biang masalah!" begitu
terus dia menyalahkan dirinya sendiri.
"Istighfar, Kak Bashir! Istighfar!" Anah berusaha menenangkannya.
"Nggak ada gunanya! Aku layak disebut sebagai seorang pembunuh!"
"Kak Bashir! Jangan bicara seperti itu!"
"Harusnya aku memberi Kak Hakim kesempatan bicara!"
"Kamu sedang khilaf waktu itu!"
"Ini malah langsung main pukul!"
"Nggak ada gunanya menyesali perbuatan yang sudah terjadi! "
"Ini bukan hanya harus aku sesali, Anah! Tapi, aku tak patut menjadi anak
Bapak! Aku tak patut menyandang nama Muhammad Al Bashir! Aku harusnya
mendekam di penjara seperti halnya Dicky! Aku sudah membunuh kakakku
sendiri!" "Kak Hakim meninggal karena serangan jantung."
"Akulah penyebabnya! "
"Di Bangkok, Kak Hakim juga terkena serangan jantung."
"Aku mempercepat kematiannya!"
"Cepat atau lambat, kita akan meninggal juga, Kak Bashir."
"Tapi, aku membunuh Hakim!"
Anah tidak menanggapi. Bashir duduk dengan lunglai. "Semua yang aku lakukan karena aku mencintai
kamu," matanya berkaca-kaca. "Aku tidak ingin melihat kamu menderita.
Aku ingin kamu bahagia bersama Kak Hakim," dia menangis terisak-isak.
Anah menghampiri suaminya yang rapuh bagai kayu tua termakan rayap. Dia
merengkuh suaminya agar menangis di pelukannya. Sebagai seorang wanita,
dia merasa suaminya seperti bayi yang butuh belaian sayang dari seorang
ibu. Sejak dilahirkan, suaminya memang tidak pernah mendapatkan kasih
sayang ibunya. "Aku malu sama kamu, Anah"."
"Malulah pada Allah".."
"Dosaku tak terampuni," Bashir merasa nyaman dalam pelukan istrinya.
"Allah Maha Pengampun," Anah membelai rambut suaminya.
"Aku nggak layak jadi suami kamu"."
"Aku mencintai kamu, Kak Bashir. Kamu juga. Itu tidak terbantahkan."
"Ya ...," Bashir mengangguk sambil menatap mata istrinya. "Aku mencintai
kamu sejak pertama melihat kamu. Ya, aku sangat menginginkan kamu
menjadi pendamping hidupku selamanya".."
"Apakah itu tidak cukup untuk modal kita dalam mengarungi bahtera rumah
tangga?" Bashir mengusap kedua matanya yang basah. Dia tertegun dengan
pertanyaan istrinya. Cinta menjadi modal" Cukupkah" Astaghfirullah! Dia
langsung memeluk Anah dengan erat. Dia berusaha mengalirkan seluruh
kehangatan jiwanya pada Anah!
"Aku mencintai kamu dengan segenap raga! Aku ingin jadi suami kamu,
pelindung kamu. Insya Allah".."
"Alhamdulillah," Anah tersenyum bahagia. "Sebaiknya kita shalat malam
dulu," Anah membimbing Bashir untuk berdiri.
Bashir bangkit dan mencoba untuk menjadi seorang suami yang tabah.
Rasanya tidak masuk akal, jika Bashir lebih rapuh daripada Anah yang
pernah mendapat cobaan demikian berat. Mulai dari kenyataan hidupnya
sebagai anak yang dibuang orangtuanya, sampai ke pernikahannya dengan
Hakim yang ternyata semu.
Episode 3 Tempatku di Sisi-Mu Luka itu memerih kini Mengiris sebagian hati Meninggalkan penyesalan di sepanjang sejarah waktu
Namun harus kukejar matahari
Menuntaskan segala rasa sakit
agar tak terpuruk kunanti
Sore yang kesekian dalam kehidupan rumah tangga Bashir dan Anah. Bashir
menggandeng Anah menuju pantai. Mereka mencoba untuk menikmati
matahari senja di Selat Sunda untuk yang kesekian kalinya. Tetapi wajah


Tempatku Di Sisi Mu Karya Gola Gong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bashir belum segembira biasanya. Di sana masih tergambar kabut duka
seorang manusia yang ditinggal pergi oleh orang-orang terdekatnya. Anah
memakluminya. "Lihatlah senja itu," Bashir menunjuk ke barat.
"Seperti bola api raksasa," Anah berumpama.
"Dan lihatlah anak-anak nelayan itu," kali ini Bashir menunjuk ke sebelah
selatan.pantai. Tampak anak-anak nelayan sedang bermain bola plastik
dengan gembira. "Mereka sudah terbiasa dengan senja. Tak ada lagi yang
istimewa bagi mereka. Tapi, lihatlah mereka ...," kali ini Bashir menunjuk
ke sebelah utara. Di sana banyak turis lokal dan mancanegara duduk-duduk
menunggu senja tiba. "Bagi mereka, senja ibarat sebuah peristiwa yang
harus mereka rayakan. Sebuah peristiwa besar, yang mungkin tidak akan
bisa mereka nikmati lagi esoknya."
Anah mengangguk. "Subhanallah," dia berdecak kagum melihat bola merah
raksasa itu seperti balon raksasa mainan, yang perlahan-lahan menggelincir
masuk ke batas cakrawala. Bagi Anah, bola api raksasa itu sepertinya mudah
diraih oleh anak-anak nelayan yang terbiasa menangkap ikan atau udang
dengan jaringnya. "Jangan sampai matamu berkedip, Anah," Bashir mengingatkan. "Peristiwa
inilah yang selalu dinanti-nantikan orang," tambahnya sambil menunjuk ke
layar raksasa yang terbentang di timur.
Anah kontan membelalakkan kedua bola matanya. Di depannya muncul
perubahan warna yang sangat indah, warna senja kemerahan, berubah
kuning keemasan, memantul di permukaan laut biru yang tenang,
berpendar-pendar, dan berkilauan.
"Allahu Akbar!" Bashir menyerukan nama Allah. Anah sangat gembira melihat
suaminya yang mengagumi peristiwa alam ini. Sejenak mereka bisa
melupakan persoalan Hakim. Senja di Selat Sunda ini membuatnya merasa
bersyukur. Berbarengan dengan menggelincimya bola api raksasa itu, terdengar suara
ribut anak nelayan. Ternyata mereka juga ikut gembira melepas senja.Anakanak nelayan itu berlompatan! Bahkan mereka melambaikan tangan pada
perahu-perahu ayah mereka, yang seolah-olah sedang berenang di
permukaan cairan emas kolam raksasa. Mereka sadar, tangan Yang
Mahakuasalah yang menorehkan lukisan indah itu.
Tetapi kegembiraan Anah, Bashir, anak-anak nelayan, dan para turis yang
hendak melepas kepergian senja, lagi-lagi dirusak oleh awan-awan hitam
dari asap pabrik kimia di kawasan industri Cilegon. Tampak mereka
berusaha secara ramai-ramai meniup gumpalan awan hitam pekat ibarat
kepalan tangan iblis itu. Alhamdulillah, angin yang perkasa membantu
mereka; meniup awan-awan laknat itu agar menjauh dan pergi! Sang Angin
tidak ingin melihat keturunan Adam ini merasakan sesak napas, tenggorokan
gatal, atau mata perih gara-gara polusi yang disemprotkan cerobong pabrik
itu! "Jangan kau ganggu keindahan bola api raksasa itu dengan asapmu! Jangan
kau sakiti mereka!" begitu kata sang Angin pada awan hitam. "Juga, jangan
kau tambah penderitaan masyarakat tak berdosa di sekeliling pantai ini!"
Awan-awan hitam yang bagai jubah maut itu berangsur-angsur pergi entah
ke mana. Keindahan senja di Selat Sunda itu kembali muncul. Anak-anak
nelayan bersorak menikmatinya walaupun hanya untuk sekejap. Mereka
kembali bermain ombak sambil menyembur-nyemburkan air ke tubuh
temannya, dan tidak memedulikan kehadiran Anah dan Bashir, yang juga
sedang menikmati lukisan dari Sang Mahaagung itu.
"Aku jadi ingat masa kecil kita," Bashir tersenyum melihat kegembiraan
anak.anak nelayan itu. "Kak Hakim selalu menang jika balap lari di pantai," Anah juga tersenyum.
Bashir tertawa. "Kak Hakim curang. Dia suka nyuri start!"
"Kamu juga curang! Suka ngedorong Kak Hakim!"
"Kak Hakim ...," tiba-tiba suara Bashir terdengar sedih.
Anah dalam sekejap merasa menyesal sudah membicarakan Hakim!
Mereka tiba-tiba merasa, tubuh mereka seperti dipaku ke pantai! Kalau
dilihat dari kejauhan, tubuh mereka membayang seperti patung pualam
yang disapu warna keemasan. Para cucu Adam itu kini mengunci mulut.
Mereka hanya berdiri memandangi layar raksasa yang sedang memutar film
tentang matahari terbenam! Lidah ombak yang menjilati jari-jari kaki
mereka tidak mereka pedulikan. Bahkan ketika air laut menenggelamkan
kaki mereka sampai sebatas mata kaki, mereka tetap tidak bergeming dari
pantai. Mereka dalam diam yang hening. Mereka bahkan tidak terusik oleh suara
gaduh anak-anak nelayan, yang berteriak-teriak dan berlarian meninggalkan
pantai. "Oiii, ada mayat!" teriak mereka ketakutan.
Mayat manusia ditemukan lagi. Kali ini terdampar di pantai. Tubuhnya sudah
rusak dan menggelembung. Sukar untuk dikenali. Anak-anak itu terus saja
berlarian ke sana kemari, berteriak-teriak mengabarkan tentang penemuan
mayat! Tetapi, Bashir dan Anah tetap saja asyik menikmati senja di pantai.
Episode 4 Tempatku di Sisi-Mu Lukaku sembuh jua Kau sentuh dengan zat-Mu Keperihan itu sirna, namun
Kau harus mengingatkanku Kenangan pahit itu tak kan hilang
Untuk yang kesekian kalinya masyarakat di sekitar pantai digegerkan oleh
penemuan mayat. Sebetulnya peristiwa ini sudah biasa bagi mereka. Di
setiap weekend atau musim liburan, selalu saja ada peristiwa lara tersisa
dari kegembiraan para turis lokal. Kalau tidak sanak saudaranya jatuh
terpeleset di karang, atau hilang entah ke mana saat berenang di tengah
laut. Tetapi, menemukan mayat tetap saja peristiwa tragis yang menyebarkan aroma kematian; membikin bulu kuduk berdiri dan takut akan
mati. Bahkan juga sensasi. Itu akan tampak keesokan harinya, ketika Korankoran lokal membumbuinya dengan kisah mistik tentang wilayah kekuasaan
Nyi Roro Kidul, yang terbentang mulai dari pantai selatan di ujung timur
Jawa sampai ke Selat Sunda!
"Aku selalu merasa berdosa jika ingat Kak Hakim," suara Bashir lirih.
"Sudahlah, Kak," Anah menatap ke layar raksasa di depannya. Di mata Anah,
langit barat yang mulai gelap itu seperti berubah jadi layar raksasa yang
terang benderang oleh gemerlap bintang! Yang menyuguhkan gambargambar kehidupannya. Di sana muncul wajah dirinya selagi kecil bersama
almarhum Bik Eti, yang dengan ikhlas menyusuri rel kereta api sambil
menjinjing bakul nasi uduk, serta teko berisi air putih hangat. Nasi uduk Bik
Eti yang murah-meriah yang selalu dinanti-nanti oleh Pak Soleh-pengemis
berkaki buntung, dan kuli-kuli di stasiun kereta api Cilegon.
Kemudian muncul wajah almarhum Pak Haji Budiman beserta kedua anaknya
yang masih kecil saat itu; Hakim dan Bashir. Pak Haji yang selalu tersenyum
bijaksana padanya. Masih terasa kehangatan tutur katanya yang selalu
menghibur, jika hatinya sedang bersedih karena diejek sebagai anak haram.
Yang selalu dipermasalahkan oleh orang-orang karena wajahnya yang indo.
"Anah" Kamu ngelamun?" Bashir menegurnya.
"Aku ingat masa laluku," Anah menjawab lirih.
Bashir memahaminya. Terbukti dia kembali menatap langit barat, menikmati senja. Bashir sepertinya ingin membiarkan Anah kembali larut
dengan masa lalunya! Dan terbukti Anah seperti melihat kembali dirinya
yang.tumbuh bersama Hakim dan Bashir. Masa-masa indah ketika belajar
mengaji dan sekolah".. Ketika Anah dan Bashir masuk ke SMA, ketika Hakim
dikirim Pak Haji ke Mesir".. Lalu tinggallah Anah bersama Bashir. Setiap
hari, mereka pergi sekolah bersama-sama".. Setiap hari, pulang sekolah
juga bersama-sama?" Benih cinta sudah tumbuh dan mekar saat itu".
Kini terbentang peristiwa yang sangat menyakitkannya! Saat Dicky, playboy
di masa sekolah dahulu yang menjebaknya! Ketika itu Dicky berhasil
memperdayanya bahwa Bashir menyuruhnya pulang bersama Dicky. Kata
Dicky, Bashir diamankan di Polres Serang karena kepergok mabuk di jalan
raya. Lalu Tedi membiusnya di atas mobil! Di villa ayahnya, Dicky berhasil
melucuti pakaiannya dan hampir saja merenggut kesuciannya! Subhanallah ..., doanya didengar Allah! Tedi yang bersekongkol dengan
Dicky, ternyata menolongnya! Tedi menebus dosanya dengan mengorbankan
nyawanya sendiri! Tedi tewas di ujung belati Dicky! Pada saat yang
bersamaan, Bashir dating dan menghajar Dicky! Setelah itu, Anah pergi
melupakan kisah traumatisnya ke Jakarta. Keluarga Hidayat mengasuh dan
merawat, serta menyekolahkannya hingga jadi dokter. Sedangkan Dicky
dipenjara! Bashir membawa kekecewaannya dengan menjadi seorang wartawan. Dia
mengelilingi Indonesia; meliput daerah-daerah kerusuhan". Sampai berita
duka itu datang! Pak Haji Budiman kecelakaan! Tepatnya korban tabrak lari!
Dicky berada di balik itu semua, tetapi aparat tidak berhasil menemukan
bukti-bukti! Terlebih lagi para pengacara Tuan Marabunta, yang dengan licin
memutarbalikkan fakta! Pak Haji Budiman wafat dan meninggalkan amanah, agar Anah menikah
dengan Hakim. Dia tahu Bashir kecewa. Dia juga tahu, kalau Bashir curiga,
kenapa kakaknya mengajak dirinya bulan madu di Bangkok. Ketika pulang
berbulan madu dengan membawa istri dan anaknya; Namlok Sarachipat dan
Siti Aisyah, Bashir langsung menghadiahi Hakim dengan bogemnya! Hakim
terkapar dan pulang ke rahmatullah di rumah sakit Namlok dan Siti Aisyah
meratapi kepergian Hakim, yang mereka tunggu kedatangannya setelah
bertahun-tahun berpisah. Tetapi, mereka bertemu untuk kemudian berpisah
kembali. Mereka akhirnya memutuskan pulang ke Bangkok dengan membawa
hati yang luka. Kini ...setelah masa idahnya habis, Bashir melamarnya. Cinta mereka yang
terpendam, muncul kembali ke pemukaan. Bashir menyiram lagi cintanya
yang masih bertunas dan terus tumbuh. Pada malam pertama mereka,
Bashir menyatakan keheranan karena Anah masih suci.
"Anah, kamu?" mata Bashir berkaca-kaca.
"Kak Hakim tidak pernah menyentuhku," Anah menunduk saat itu.
Bashir menangisi ketololannya karena menjadi penyebab kematian Hakim.
"Aku memang bodoh! Bodoh!" tangisnya waktu itu.
Anah hanya bisa memeluknya dan mengalirkan hawa ketenangan pada Bashir
yang kini resmi menjadi suaminya. Hal yang sudah lama dia impikan.
Ombak berdebur lagi, berbarengan dengan kilat yang melecut seperti
cemeti di langit. Anah tersadar dari lamunannya.
Bashir menyentuh tangannya. "Anah ..., sebaiknya kita shalat magrib dulu,"
Bashir mengingatkan. Anah tersadar dan mengangguk.
Layar raksasa di depannya langsung menggulung!
Bashir membimbing Anah masuk ke dalam rumah.
Episode 5 Tempatku di Sisi-Mu Cintaku bersemi pada-Mu Pada sebuah nama kulabuhkan
letih dan segala sesal Cinta ini bagaikan debu bagi-Mu
tetapi janjiku: akan kupersembahkan
debu cinta yang berserak "Samiallahulimanhamidah rabbanalakalhamdu ... Allahu Akbar," Bashir
bersujud dengan khidmat. Seluruh hatinya merendah di hadapan Sang
Khalik. Dia merasa, di selembar sajadah inilah tempat yang layak untuk
berserah diri. Dia pun berharap suatu saat kelak, mendapat tempat di sisiNya!
Anah mengikuti gerakan-gerakan shalat suaminya dengan hati yang khusyuk.
Bersujud baginya adalah satu cara untuk memohon ampun pada Allah
dengan segenap ketulusan. Dengan segenap keikhlasan.
Dua manusia yang sedang menapakkan kaki di bahtera rumah tangga itu
sedang bersimpuh di depan Sang Khalik. Sajadah mereka yang panjang basah
oleh air mata dan doa mereka. Para malaikat menjadi saksi, betapa dengan
sepenuh hati mereka berserah diri pada Sang Pencipta! Mereka merasa
dengan cara seperti ini, semakin dekat dengan Sang Khalik. Di sanalah
sebetulnya mereka meminta untuk ditempatkan kelak, di sisi-Nya! Di tempat
dambaan semua orang: surga! Tempat di sana ada sungai susu dan taman
yang indah! "Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh...," Bashir mengucapkan
salam. Anah yang menjadi makmum mengikuti. Dia mengusap wajahnya. Ya, Allah
Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, berkahilah rumah tangga kami ini
sehingga menjadi keluarga yang sakinah, mawadah, dan rahmah. Ridhailah
niat baik kami ini! Setelah itu Bashir menoleh dan mengulurkan tangannya. Anah menyalaminya
sambil mencium punggung tangan suaminya. Itu pertanda rasa hormat
seorang istri pada suaminya sebagai pemimpin rumah tangga. Lalu mereka
berzikir dan mendoakan orangtua mereka yang berada di alam kubur.
Mereka meminta pada Allah, agar kedua orangtua juga saudara-saudara
mereka yang telah berpulang, diberi ampunan dan dibebaskan dari siksa
kubur. Ditempatkan di sisi-Nya! Amien ya rabbal alamien".. Setelah selesai
berdoa, Bashir menggeser tempat duduknya agak mundur. Dia memiringkan
badannya. Dia bersila. Kopiahnya dibuka. Sedangkan Anah membuka
mukenanya. Bashir kini menyaksikan lagi anugerah Allah Yang Mahaagung,
yaitu kecantikan euro-asia yang terpancar dari wajah Anah. Subhanallah ...,
Bashir memuji Sang Khalik atas karunia yang sudah diperolehnya. Karunia
yang awalnya dimiliki kakaknya, Hakim. Tiba-tiba perasaan bersalah kembali
menusuki hatinya. "Aku merasa sangat berdosa pada Hakim," Bashir melontarkan batu yang
menghimpit jiwanya. "Kak Bashir sudah berulangkali mengatakannya," Anah tersenyum, mencoba
menghibur suaminya. Bashir tidak peduli. "Hakim ..., dia kakakku yang berhati mulia," Bashir
menengadah ke langit-langit kamar. Matanya berkaca-kaca. "Ya Allah ...
sekarang mata hatiku mulai terbuka lebar".. Ya Rabbi. ...Betapa sulitnya
posisi Hakim saat itu".."
"Jangankan Kak Hakim. Posisiku juga sulit saat itu," Anah mengingatkan
suaminya. Bashir tertegun. Dia menatap Anah. "Ya ..., kamu juga dalam posisi sulit
saat itu. Bodohnya, aku baru bisa merasakannya sekarang. Andai saja waktu
itu .?" "Kamu tahu, Kak Bashir Aku sangat mencintai kamu. Tapi, sebelum
meninggal ...Pak Haji menyuruhku untuk menikah dengan Kak Hakim," Anah
melipat mukena. "Aku tidak ingin jadi anak durhaka yang tidak tahu
membalas budi." "Ya," Bashir menggenggam tangannya. "Tindakanmu sudah tepat."
"Aku menganggap, pernikahanku dengan Kak Hakim adalah suatu ibadah.
Suatu anugerah. Kak Hakim lelaki yang baik di mataku. Sampai sekarang pun
tetap begitu. Sampai kapan pun."
"Aku justru yang merasa bersalah dengan kepergian Bapak dan Hakim," suara
Bashir terganjal di kerongkongan. "Terlebih-lebih jika aku ingat Hakim.


Tempatku Di Sisi Mu Karya Gola Gong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hakim pergi dikarenakan kebodohanku."
"Itu sudah suratan nasib".."
"Andai saja aku mau bersabar, dengan memberinya kesempatan untuk
bicara. Ya Allah ..., dosaku tidak terampuni," Bashir menitikkan air mata.
"Kak Bashir," giliran Anah menggenggam tangan suaminya. "Kamu jangan
terlalu menyalahkan diri sendiri."
"Bagaimana tidak, Anah?" Bashir menatapnya. "Hakim ternyata sangat
melindungi kamu. Bahkan menyentuh kamu pun tidak. Dibiarkannya kamu
tetap suci. Padahal kamu sudah sah sebagai istrinya," Bashir menarik napas.
"Hakim tidak bersalah merahasiakan pernikahannya dengan Namlok Sarachipat. Dia hanya ingin menjadi anak yang baik. Seperti juga kamu."
"Sudahlah, Kak Bashir ..., jangan tenggelam dengan kesalahan yang sudah
diperbuat. Yang paling baik sekarang, adalah menata hidup kita. Membina
rumah tangga kita supaya sakinah."
"Tapi, aku sangat gegabah menilai Hakim saat itu. Aku terbawa emosi
karena Hakim mengkhianati kamu. Menyakiti kamu."
"Kak Bashir ..., jangan terlalu merasa bersalah".."
"Ya, Allah. .., andai rotasi bumi ini bisa aku putar," Bashir mengusap
wajahnya. "Itu menyalahi takdir, namanya".."
"Aku manusia yang kotor," Bashir menenggelamkan wajahnya di pelukan
Anah. "Jangan berkecil hati, Kak Bashir ...," Anah mengusap-usap rambut Bashir.
"Allah Maha Pengasih. Dia mengetahui apa yang ada di hati hamba-hambaNya," tambahnya menenangkan hati suaminya. Matanya berkaca-kaca.
Bashir mendekap erat wanita yang sejak dahulu dia cintai. Matanya juga
berkaca-kaca. Dadanya bergejolak kencang, sekencang ombak pasang
malam hari yang memukuli karang di luar sana. Setiap ingat perlakuan
kasarnya yang menyebabkan kematian Hakim, bulu kuduknya berdiri.
Hatinya terajam. Ya Allah, ampunilah hamba-Mu ini! Hamba khilaf!
"Kak Bashir ..., sudah ...Kamu lelaki. Kamu pemimpin di rumah ini. Kalau
kamu rapuh, kepada siapa aku meminta perlindungan?"
Bashir menyeka air matanya. Dia menatap istrinya yang sudah sering
mengalami cobaan hidup yang berat. "Aku akan melindungi kamu," katanya
tegas. "Tentu atas pertolongan Allah," tambahnya.
"Alhamdulillah ..., kalimat itulah yang aku tunggu," Anah mengecup kening
suaminya. Bashir bangkit. Dia duduk di tepian ranjang. "Sekarang milikku yang
berharga tinggal kamu, Anah. Orang-orang yang aku cintaii Ibu, Bapak, dan
Hakim, sudah dipanggil Allah," dia berhenti dan menatap Anah yang masih
duduk di sajadah. "Apa pun yang akan terjadi, aku akan mempertaruhkan
nyawaku untuk melindungi kamu"."
Anah juga bangkit sambil menatap suaminya dengan perasaan bahagia. Anah
tahu, suaminya tidak main-main ketika mengatakan kalimat tadi. Ada nyawa
dipertaruhkan di sana. Nyawa suaminya sendiri.
Episode 6 Tempatku di Sisi-Mu Jalan panjang menuju harapan
Semak berduri terkadang penghalang
Bismillah, jadikan hati bersih nan lapang
Alhamdulillah ingatkan pada Sang Penyayang
Alam Banten di ujung tahun sedang bersahabat dengan para petani. Hujan
mengguyur seharian. Tak kenal waktu, terkadang pagi, malam, atau siang.
Sawah-sawah menebarkan wewangian lumpur, kodok-kodok menembang
lagu hujan, itik-itik bercengkerama di sawah yang tergenang menyerupai
danau, kerbau-kerbau bermandi lumpur, dan para petani menebar benih
padi. Mereka membungkuk seperti sedang shalat. Di sana ada keringat yang
ditanam. Insya Allah, tiga atau empat bulan, Allah meridhai rezeki mereka
dengan hasil panen yang bagus. Jika Allah berkehendak lain, didatangkanNya ujian banjir: panen raya gagal! Tetapi dengan rasa ikhlas, para petani
itu terus saja menanam benih padi lagi, tak mengenal lelah dan tak
mengenal putus asa. Mereka ternyata termasuk orang.orang yang memahami
QS Al-Insyirah [94]: 7-8, apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan),
maka kerja keraslah kamu (dengan urusan yang lain). Dan kepada
Tuhanmulah kamu berharap.
Kilat menggelegar! Langit sore yang mendung terang sekejap.
Sebuah mobil berhenti di depan pemakaman umum. Pengemudinya Bashir.
Dia tampak berpikir keras sebelum keluar dari mobil. Tiba-tiba dia
terperanjat karena suara petir menggelegar menampar jiwanya. Hatinya
tergoncang. Dia merasa Tuhan sedang memperingatkannya bahwa pada
akhirnya nanti, tempat ini akan jadi alamatnya terakhir; terbaring kaku di
dalam tanah berukuran kurang lebih dua kali 1 meter! Laa ilaaha illallaah
Muhammadarasulullah". Bashir mengusap wajahnya dengan kedua telapak
tangannya. Bashir melihat ke langit. Hari memang sudah sore. Langit mendung. Angin
berkesiur kencang. Sang Khalik seolah mengingatkannya untuk sesegera
mungkin menyelesaikan urusannya. Kalau tidak, hujan akan menjadi
penghalang tujuannya. Dia mengitari pandang. Dia merasakan angin
menghantam tubuhnya. Dingin di sekujur tubuhnya.
Bismillahirrahmanirrahim ..., Bashir membuka pintu mobil. Dia berjalan
memasuki pintu gerbang pemakaman. Tidak ada orang. Sepi. Dia berjalan
dengan hati-hati di jalan setapak yang terjepit oleh makam-makam.
Jiwanya langsung terhimpit oleh perasaan ketakutan. Kedua kakinya
menginjak dedaunan kering. Angin berkesiur seperti ditiupkan dengan
sengaja oleh para iblis yang berkeliaran di kuburan. Para iblis yang dengan
sengaja mengajak para cucu Adam untuk menjadi musyrik dan kufur di
kuburan. Bashir berhenti. Dia merasakan dadanya sesak. Dia merasakan pemakaman
umum ini menyergapnya!! Dia merasakan para iblis membetotnya agar mau
menjadi temannya! Bashir melangkah lagi. Daun-daun yang warnanya kecokelatan, pertanda
sudah berumur, beterbangan ke segala arah. Bahkan ada yang menampar ke
wajahnya. Dalam sekejap, hawa kematian langsung menyergapnya! Menikam
seperti pisau! Dia mencoba berlindung pada Allah lewat doa-doa, ketika
kakinya melewati jalan setapak di antara makam-makam. Dia mencari-cari
makam kakaknya yang bersanding dengan makam bapak dan ibunya.
Bashir berdiri tepekur! Hening. Matanya mulai digenangi air.
Ketiga makam itu adalah orang-orang yang dicintainya. Yang pertama pergi
adalah ibunya. Beliau wafat setelah melahirkannya. Begitu kata bapaknya.
Sepanjang hidupnya, Bashir tidak pernah mengenal ibunya. Kemudian Allah
memanggil bapaknya lewat suatu pembunuhan yang direncanakan Dicky.
Terakhir, dirinyalah yang menyebabkan kakaknya meninggal. Visum dari
dokter, Hakim meninggal karena serangan jantung! Ya Rabbi, tempatkanlah
mereka di sisi-Mu. Damaikanlah mereka di alam kubur. Jauhkanlah mereka
dari siksa kubur. Pada saatnya nanti Israfil meniup terompet pertanda
kiamat tiba, bangunkanlah mereka seperti terbangun dari mimpi yang indah!
Ya Allah Yang Maha Pengasih, kabulkanlah doaku ini!
Bashir mencabuti rumput yang meranggas di makam ibunya. Dia cabuti
sambil meneteskan air mata. Dia merasa ketika mencabuti rumput itu,
seperti sedang menyentuh jari-jari ibunya. Seperti sedang merasakan kasih
sayang ibunya yang tak pernah dia dapatkan. Dia juga berharap, air matanya
yang jatuh akan terus merembes menembus tanah dan bisa menghangatkan
jasad ibunya. Kemudian dia menyirami pusara ibunya dengan air kendi.
Tampak tanah merah itu kini segar. Usai itu, dia melakukan hal yang sama
pada makam bapaknya. Kemudian pada makam kakaknya.
Bashir terdiam lagi. Dia memandangi ketiga makam orang-orang yang dia
cintai. Dadanya bergolak. Air matanya jebol lagi membasahi pipinya. Dia
betul-betul ingin merengkuh ketiganya. Ingin mendekapnya dalam sebuah
doa. Suara daun kering terdengar gemerisik. Ada kaki yang menginjaknya.
Bashir tertegun. "Kita pulang, Kak Bashir," tiba-tiba Anah sudah berdiri di belakangnya.
Bashir kaget. Dia tidak menyangka Anah ada di sini. Dia bangkit.
"Sedang apa di sini?" selidik Anah.
"Sedang menyesali nasib," Bashir terisak.
"Kak Bashir!" "Sejak malam pengantin, aku merasa dikejar perasaan bersalah. Perasaan
berdosa. Aku jadi tahu, bahwa Hakim ternyata lebih baik dari yang aku kira.
Dia hanya berada pada posisi yang sulit saat itu. Seharusnya, aku
membantunya agar lepas dari masalah itu. Tapi, mana aku tahu" Dia tidak
pernah bercerita padaku tentang Namlok Sarachipat dan Siti Aisyah."
"Itulah sebabnya, kenapa Hakim lebih cepat dipanggil Allah. Bukankah orang
baik selalu cepat pergi?"
"Berarti aku bukan orang baik."
"Bukan begitu maksudku. Setidak-tidaknya, kamu masih diberi kesempatan
oleh Allah untuk memohon ampunan. Untuk memperbaiki segala amal dan
ibadah kamu. Itu artinya, kita harus bersyukur karena Allah memberimu
banyak waktu untuk bertobat. Untuk memperbaiki diri."
Bashir tertegun mendengar kalimat-kalimat yang keluar dari mulut istrinya.
Dia menggenggam kedua tangan istrinya dengan rasa haru. Dadanya
menggelegak dengan perasaan bahagia.
"Anah! Betul katamu! Harusnya aku tidak menyesali nasib! Harusnya aku
memikirkan perjalanan rumah tangga kita selanjutnya!" Usai berkata begitu,
Bashir memeluk Anah. "Ya, Allah! Terima kasih! Kau limpahkan aku dengan
karunia-Mu! Kau beri aku mukjizat-Mu! Seorang istri yang selain cantik, juga
salehah!" Anah menatapnya dengan bahagia.
"Tidak baik kita berlama-lama di sini!" Bashir menarik Anah untuk pergi.
"Siapa suruh!" Anah tersenyum.
Bashir tersenyum. "Sudah lama aku nggak ngelihat kamu tersenyum!"
Kini Bashir tertawa. "Apa lagi tertawa."
"Ya! Sejak Bapak wafat, aku jadi sulit untuk bergembira! Bawaannya tegang!
Apa lagi kalau ketemu Dicky! Pinginnya berantem melulu!"
"Mulai sekarang, Kak Bashir harus selalu tersenyum di depanku! Syukursyukur tertawa!"
"Insya Allah!" Bashir mengajak Anah pergi.
Anah hampir saja tersandung batu nisan sebuah makam.
"Naik apa kamu ke sini?"
"Becak!" Anah merajuk kesal.
"Kasihan!" olok Bashir.
Anah mencubit lengan Bashir.
Kemesraan dan kehangatan itu tumbuh lagi. Mereka menyusuri makammakam. Mereka meninggalkan pemakaman itu untuk menuju masa depan
yang lebih baik Episode 7 Tempatku di Sisi-Mu Anah Melahirkan dan Membangun Klinik Asy Syifa
Mata air berasal dari gunung,
membentuk aliran sungai Memberi penghidupan pada pepohonan dan unggas
berujung di muara lautan, itu mukjizat Sang Khalik
Kita mengotorinya dengan uang dan kekuasaan
Lupa pada asal dan muasal,
tanah dan kisah buah Kuldi
Waktu menggelinding dengan kehendak Allah. Pak tani menanam benih, dan
tumbuh jadi padi. Serangga menyerbuki pepohonan, dan tumbuh bunga, lalu
berbuah. Begitulah Allah menciptakan makhluknya berpasang-pasangan dan
beranak pinak. Itu sudah dimulai sejak Nabi Adam dan Hawa.
Begitu juga dengan Siti Nurkhasanah. Setelah melewati bulan madu yang
diselimuti wangi-wangian surgawi, perutnya makin hari makin membesar.
Allah sudah meniupkan ruh-Nya pada benih yang ditanam Bashir di rahim
Anah. "Oh anakku sayang, kapan kita bisa berkumpul ...," Anah berdendang setiap
waktu sambil mengelus-elus perutnya. Selama dia hamil, ngidamnya selalu
ingin melihat berita sore di televisi. Mungkin, karena ayah si bayi di dalam
perutnya ini pernah jadi wartawan.
Anah memencet tombol power. Bip! Gambar-gambar menyatu menjadi
warna yang bergerak-gerak. Dia terpaku di tempat duduknya! Lalu penyiar
televisi mewartakan berita terkini, konflik suku, ras, dan agama! Anak-anak
yang kepalanya terlepas dari badannya, tubuh yang hangus dibakar,
kemaluan yang ditusuk bambu, bahkan sampai ke tubuh yang dipotong
menjadi belasan bagian! Perutnya yang makin membesar merasa mual dan
ingin muntah! Si bayi di dalam rahimnya mendesak-desak, seolah memprotes
pada ketidakadilan dan kekejaman yang terjadi di bumi Nusantara!
Dia langsung mematikan televisi. Dia berdiri dan berjalan ke ruang tamu. Di
depan jendela ruang tamu, dia menyingkap gorden, melihat ke luar. Magrib
baru saja lewat. Malam mulai menggelayuti. Gerimis masih saja turun. Dia
mengelus perutnya yang sedang hamil tua. Tadi sore Bashir menelepon. Dia
sedang berada di Rangkasbitung. Dia sudah memulai lagi bisnis pertanian.
Menjajaki panen-panen raya di persawahan di selatan Banten.
Bagi Anah, waktu terus bergulir sangat cepat. Terasa seperti baru kemarin
saja pernikahannya dengan Bashir. Dia serasa ikut merasakan denyut Banten
yang terus berbenah. Mulai dari pemilihan gubernur Banten yang sering
diundur, sampai ke penerimaan calon pegawai negeri sipil daerah Banten
yang diisukan berbau KKN; kolusi, korupsi, dan nepotisme. Dari hari ke hari
geliat masyarakatnya makin terasa. Selalu tak pernah lepas dari perebutan
kepentingan, baik itu golongan maupun partai. Katanya, begitulah politik.
Bahkan almarhum John F. Kennedy pernah menulis di memoarnya bahwa
"Jika politik kotor, puisilah yang membersihkannya". Mungkin sebaiknya dia
dan para politikus itu membaca dan memahami dengan teliti isi Al-Quran. Di
sana akan banyak hal ditemui bahwa di mana pun kita berada, tak peduli itu
dunia politik, bisnis, pendidikan, dan apa pun juga ..., sikap jujur dan
mencintai sesama makhluk adalah hal yang paling penting dalam hidup ini.
Dengan itu semua, pasti akan tercipta kehidupan yang kita impi-impikan;
gemah ripah loh jinawi aman tentrem kertaraharja.
Tetapi jangankan di Banten, bahkan hampir di seluruh pelosok Nusantara,
sarapan Anah adalah koran lokal. Di sana tertulis dan terpampang berita
demo-demo mahasiswa dan LSM, yang kritis menyikapi isu politik uang saat
pemilihan gubernur, bupati, atau ketua partai. Hal itu jadi menu makanan
membosankan bagi dirinya yang sedang menanti kelahiran anak pertama
mereka. Semuanya hanya menghamba pada keserakahan duniawi!
Berita-berita seperti itu terkadang terasa hambar tak bergaram baginya
karena hanya berhenti pada retorika saja tanpa ada penyelesaian. Anah
berpikir, entah siapa yang bebal atau keras kepala. Masyarakatkah atau para
elit politik yang sudah jelas-jelas mengejar status, harta, dan gila
kehormatan"! Tak ada itu yang namanya mengatasnamakan rakyat karena
untuk urusan gaji dan tunjangan saja ributnya minta ampun. Kata mereka,
kalau kerja tidak bermobil, dibilang kurang berwibawa. Nyuci tidak
memakai mesin cuci, ketinggalan zaman. Kenapa para wakil rakyat yang
rakus itu tidak mau membeli kedua benda impor itu dengan menyisihkan
gaji mereka" Tetapi malah memaksa membelinya lewat brankas daerah.
Memaksa rakyat yang diwakilinya membayarkan ongkos keserakahan
mereka. Sungguh ..., mereka tidak pernah memikirkan bahwa para petani yang selalu
membungkuk keringatan saat menanam padi, para nelayan yang bertarung
melawan badai saat menjating ikan, para guru taman kanak-kanak yang
mendidik anak mereka dengan gaji ala kadarnya, para tukang sampah yang
membersihkan halaman rumah mentereng mereka, hidupnya kembang
kempis! Hidupnya hanya penuh dengan

Tempatku Di Sisi Mu Karya Gola Gong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

harapan dan impian! Astaghfirullahaladzim".. Ingatlah selalu pada saat kita dipanggil untuk
menghadap-Nya! Sudah cukupkah bekal yang dibawa" Bukan harta, bukan
pula jabatan. Tetapi, amal perbuatan! Audzubillahhimindzalik".
Padahal semua akan dipanggil oleh Allah. Akan mati. Akan dikubur di dalam
tanah. Akan jadi tengkorak. Akan dimakan dengan lahap oleh rayap dan
cacing tanah. Mungkin para birokrat di pemerintahan dan di gedung dewan
yang terhormat itu sudah lupa pada tanah seukuran dua meter persegi!
Tanah tempat kita akan dikubur kelak. Tempat kita akan didatangi Malaikat
Munkar dan Nakir untuk dimintai pertanggungjawabannya, mengenai amal
perbuatan kita selama di dunia. Masya Allah! Apakah kita termasuk
orang.orang yang pantas berada di sisi-Nya"
Anah bergidik jika mengingat itu semua! Dia sendiri selalu belum merasa
pantas untuk mendapat tempat yang layak di sisi-Nya!
Lamunan Anah buyar ketika terdengar suara klakson mobil di pintu gerbang.
Lampu mobil itu menyorot, sehingga gerimis hujan tampak seperti garisgaris yang sengaja diciptakan Sang Pelukis Agung di atas kanvas cahaya! Kini
sebuah mobil mewah berhenti di depan pintu gerbang rumah. Mang Kasman,
tukang kebun, lari tergopoh-gopoh berpayungkan sarungnya membuka pintu
gerbang. Anah bergegas menuju pintu. Membukanya dan berjalan ke teras
sambil menopang perutnya.
Mobil sedan itu berhenti di pelataran depan. Anah menunggu di teras.
Penumpangnya Pak Hari Natadiningrat dan Natalia. Kedua manusia yang
dahulu pernah melakukan dosa besar; melakukan perzinaan dan membuang
bayi dari hasil nafsu birahi mereka, kini tampak makin tenang di hari
tuanya. Kedua orangtuanya sudah menemukan bahwa inti dari kebahagiaan
itu terletak pada semakin dekatnya hati kita dengan Allah. Ada rasa ikhlas
dan pasrah bahwa segala sesuatu itu milik Allah dan akan kembali kepadaNya!
Anah menyambut kedatangan orangtuanya di teras dengan kedua tangan
terbuka. "Assalamu'alaikum ...," Natalia memberi salam dengan penuh sayang sambil
mengelus-elus perut Anah yang sedang hamil tua.
"Wa'alaikum salam," Anah memeluk ibunya. Kemudian ke ayahnya.
"Sudah waktunya, ya?" Pak Hari tampak bahagia sekali.
"Insya Allah, minggu depan, Pak," kata Anah.
Episode 8 Tempatku di Sisi-Mu "Alhamdulillah, Papa masih diberi kesempatan menjadi seorang Kakek," Pak
Hari merasa bersyukur akan mendapat karunia seorang cucu.
"Begitu juga Anah, Pak," Anah ikut bersyukur. "Masih diberi kesempatan
menjadi seorang Ibu," tambahnya bahagia melihat ayahnya bahagia. Siapa
yang tidak bahagia menjadi seorang ibu" Dikarunia anak itu pertanda Allah
mempercayai kita. Anak adalah amanah serta anugerah. Di mana-mana
setiap wanita mendambakannya.
"Mana Bashir?" Natalia mencari-cari ke dalam rumah.
"Kak Bashir ke Rangkasbitung, Bu. Di sana sedang ada panen raya. Yah, Kak
Bashir kayaknya tertarik untuk kembali ke bisnis pertanian."
Mereka berjalan ke ruang keluarga. Mereka duduk. Anah dengan hati-hati
mencari kursi yang nyaman untuk duduk.
"Hati-hati," Natalia mengingatkan.
Anah mengangguk dan tersenyum sambil memegangi pinggangnya, seolaholah menahan beban berat si bayi di dalam perutnya.
"Sudah di-USG?" Natalia penasaran.
"Lelaki atau perempuan?" kali ini Pak Hari yang tidak sabar.
"Kak Bashir nggak mau bayinya di-USG. Nanti nggak surprise. Perempuan
atau laki-laki, kita terima saja sebagai karunia Ilahi."
Pak Hari dan Natalia saling pandang dan tersenyum. Kemudian mereka
berdua seperti sedang menyuruh untuk memulai percakapan dengan topik
yang baru. Anah memperhatikan mereka. Ada apa gerangan"
"Kenapa, Pak?" Anah menyelidik.
"Itu ..." Pak Hari ragu-ragu.
"Itu apa, Pak?" Anah tersenyum lucu.
"Papa ini! Ngomong itu saja susah!" Natalia tertawa. "Itu, rencana kamu
membangun klinik Asy Syifa!" Natalia menegaskan.
"Oh, itu. Insya Allah," Anah menerawang. "Tapi"."
"Tapi, kenapa?" Pak Hari cemas menanti kelanjutan kalimat anaknya yang
pernah disia-siakannya. "Aduh, gimana ya" Mestinya ada Kak Bashir. Biar enak membicarakannya,"
Anah merasakan perutnya mulas. Dia mengelus-elus perutnya.
"Kenapa, Anah" Mulas?" Natalia cemas.
"Iya".." "Katanya minggu depan?" Pak Hari panik.
Anah tersenyum. "Kayaknya belum saatnya. Masih mulas biasa," katanya
menenangkan kedua orangtuanya.
"Bener?" Natalia meminta kepastian.
Anah mengangguk. "Oke. Sekarang kita bicarakan lagi soal klinik Asy Syifa!" Pak Hari serius.
Anah mengangguk-angguk. "Bagaimana?" Pak Hari sudah tidak sabar.
Bola mata Anah menerawang jauh. "Aku ingin sekali mempunyai klinik Asy
Syifa. Ini semua demi almarhumah Bik Eti, orang yang aku anggap seperti
ibu kandung sendiri. Beliau sakit karena tidak mampu pergi ke dokter. Andai
saja saat itu ada klinik yang khusus membantu orang-orang miskin untuk
berobat, Bik Eti pasti tertolong jiwanya," dia mengenang masa lalunya
dengan pedih. Air mata menggenang di kedua bola matanya. "Tapi,
pembangunannya mesti ditunda tahun depan. Tanahnya saja belum dibeli,"
Anah menjelaskan dengan sedih.
"Anah, sudahlah, jangan mengingat-ingat masa lalu lagi," Natalia ikut sedih.
"Sekarang, konsentrasikan saja pada apa yang akan kamu kerjakan sekarang.
Insya Allah, mimpi kamu memiliki klinik itu akan terwujud," Natalia
menggenggam tangannya. "Kami akan membantu mewujudkannya."
"Terlalu mahal biayanya. Kak Bashir dan aku nggak akan sanggup."
"Soal biaya tidak ada masalah. Papa yang akan menanggungnya. Anggap saja
ini hadiah dari Papa buat kamu. Iya, kan Pa?" Natalia menatap suaminya.
"Mamamu betul," Pak Hari tersenyum.
Anah tertegun. "Kenapa" Kamu keberatan?" Pak Hari agak kecewa.
"Harus dibicarakan dulu dengan Kak Bashir, Pak"."
"Apa Bashir akan keberatan?" Pak Hari mendesak terus. "Bukankah kamu
berhak dengan segala yang Papa miliki" Buat siapa lagi semua yang Papa
miliki ini, kecuali kamu" Papa tidak punya siapa-siapa lagi. Kamu yang
berhak mewarisi semuanya."
Anah menatap Natalia dengan wajah bingung.
Natalia mengangguk. Episode 9 Tempatku di Sisi-Mu Berawal dari keringat dan biji-bijian
ditanamlah impian dan harapan
Air hujan dan doa menyuburkan
Gembiralah dengan panen kasih sayang:
atas kuasa-Nya, manusia pun begitu!
Siti Nurkhasanah menyiapkan sarapan dengan teliti. Dia menata letak piring,
sendok, garpu pada tempatnya. Bik Marhamah membantu menyusun tempat
nasi, lauk-pauk, minuman, dan tempat cuci tangan. Anah tampak tersenyum
puas. Bik Marhamah celingak-celinguk. "Pada ke mana, Neng" Kok, Den Bashir,
Bapak, sama Ibu belum muncul?"
"Mereka masih pada di kamar, Bik. Tolong, panggil mereka ..."
Bik Marhamah mengangguk dan pergi. Sedangkan Anah berjalan menuju
televisi yang sejak subuh tadi terus menyala.
"Assalamu'alaikum," tiba-tiba Bashir muncul, masih mengenakan sarung,
baju koko, dan peci. "Wa'alaikum salam," Anah kaget sambil mencium tangan suaminya. "Dari
mana saja, Kak?" tanyanya.
"Tadi ..., abis shalat subuh di masjid Agung, mampir dulu ke pesantren,"
Bashir mengecup keningnya.
Lalu Anah mematikan televisi.
"Kok, dimatiin televisinya" Kan, lagi rame berita Afghanistan?"
"Mau lihat orang-orang mati kena born Amerika" Ntar sarapannya nggak ada
selera lagi," Anah kembali ke meja makan, menyiapkan sarapan buat
suaminya. "Iya, ya. Muak juga melihat kesombongan Amerika!" Bashir menganggukangguk dan duduk. Piringnya sudah diisi nasi goreng dengan lauk telor
dadar. "Bapak sama ibu, mana?" dia mencari-cari.
"Assalamu'alaikum," Pak Hari muncul bersama Natalia.
"Wa' alaikum salam!" Bashir dan Anah serentak menjawab.
Pak Hari dan Natalia menarik kursi dan duduk. Mereka saling senyum dan
tampak bahagia sekali menatap Bashir dan Anah. Dari raut wajah mereka,
tampak sekali sangat mendambakan momongan cucu!
Anah menyinduk nasi goreng untuk mereka. Sarapan yang hangat. Bashir
makan dengan lahap. Anah tersenyum bahagia. Seorang istri akan bahagia
jika masakannya disantap dengan penuh semangat oleh sang suami.
Itu.pertanda bahwa dia tidak sia-sia mengabdikan dirinya menjadi seorang
istri. Kedua orangtuanya juga sangat menikmati sarapan semeja dengan
anak dan menantu. Mereka ikut bahagia. Mereka berharap, semoga memulai
hari baru sebagai suami-istri dengan berkumpul di meja makan sambil
sarapan, itu adalah awal yang baik. Di sana ada basmalah dan hamdalah;
mensyukuri segala rezeki yang diberikan oleh Allah Swt.
"Bagaimana panen rayanya?" Pak Hari menyela.
"Bagus, Pak! " Bashir optimis. Dia pulang dari Rangkasbitung tengah malam
tadi. "Kamu kirim ke mana nanti berasnya?"
"Untuk sementara akan saya salurkan di pasar lokal dulu, Pak."
"Kenapa?" "Kalau mesti ke Jakarta, risikonya besar."
"Bisnis, kan memang penuh risiko."
"Mata rantainya itu yang belum saya pahami betul. Tau sendiri, Pak. Selalu
ada siluman-siluman di sepanjang jalan tol dan di pasar induk. Kasihan para
supirnya nanti. Penghasilan mereka yang nggak seberapa harus berkurang.
Aku memang belum mampu membayar banyak para supir. Insya Allah, kalau
bisnis pertanian ini maju, distribusinya akan diperluas
sampai ke Jabotabek." Pak Hari mengangguk.angguk. "Nanti kamu akan menguasainya. Kalau perlu,
turun langsung. Awalnya, jangan mempercayakan masalahnya pada orang
lain. Pelajari dulu. Setelah kamu kuasai, baru kamu serahkan pada orang
kepercayaan kamu. Saat itu, kamu tinggal mengaturnya di belakang meja,"
Pak Hari membagi pengalamannya.
Bashir menyimak dengan serius. Anah dan Natalia memperhatikan dan
mendengarkan percakapan mereka dalam kapasitas sebagai seorang istri.
Mereka menyelingnya dengan mengangkut piring-piring bekas sarapan ke
dapur. "Tuan Marabunta, bagaimana" Apa dia dan anaknya masuk juga ke sini?"
"Nggak, Pak. Sudah lama mereka nggak ketahuan kabarnya."
"Bagus, bagus!" Pak Hari tersenyum puas.
"Sekarang soal klinik itu," Natalia mengingatkan.
"Ya, soal klinik itu!" Pak Hari menimpali.
"Klinik?" Bashir kaget.
"Semalam, Bapak sama Ibu menanyakan hal itu. Kami membicarakannya,
tapi kami belum memutuskannya karena menunggu Kak Bashir," Anah
menjelaskan. "Coba kamu cek dulu, apakah betul tanah itu mau dijual?" kata Pak Hari.
"Tanah yang mana?" Bashir masih bingung.
"Kak Bashir?" Anah menatap suaminya.
Bashir kaget. "Ya?" tanyanya.
"Soal tanah kosong dekat stasiun itu," Anah mengingatkan.
Episode 10 Tempatku di Sisi-Mu "Oh, tanah itu!" Bashir kini tersenyum. "Maaf, aku belum mengerti tadi.
Pikiranku masih ke bisnis pertanian saja!" tambahnya tertawa.
"Bagaimana?" kini giliran Natalia.
"Bagaimana?" Bashir masih belum mengikuti pembicaraan.
"Kak Bashir," Anah tersenyum. "Rencana pembangunan klinik Asy Syifa itu."
"Oh, klinik Asy Syifa!" Bashir mulai paham. "Ya, ya, ya!" dia mulai serius.
"Kamu sudah bertemu dengan pemiliknya?" Pak Hari bertanya.
"Belum, Pak. Baru tangan kedua. Tapi, pada dasarnya mereka tidak
keberatan kalau di atas tanah itu akan dibangun klinik. Harganya masih bisa
dibicarakan. Insya Allah, minggu depan aku akan bertemu dengan pemilik
tanah itu." "Bagus, bagus. Tapi, lebih cepat, lebih baik," Pak Hari tersenyum. "Lihat itu
istrimu. Dia sudah tidak sabar ingin segera melihat klinik Asy Syifa. Iya kan,
Anah?" tanya Pak Hari. "Nanti kalau perlu, Anah melahirkan di sana!" katanya
bercanda. Anah hanya tersenyum menatap suaminya sambil mengelus perutnya.
"Bagaimana bayinya" Udah pingin keluar?" Bashir menempelkan telinganya di
perut Anah. "Yah, mulas-mulasnya sih, udah kerasa."
"Kamu jangan kerja yang berat-berat dulu, ya".."
Anah mengangguk. Natalia dan Pak Hari saling pandang, penuh rasa haru dan bahagia. Ada
perasaan nyeri di hati mereka, jika teringat dengan perlakuan mereka pada
Anah! "Kak Bashir," kata Anah, "kalau sibuk, urusan tanah kan bisa diserahkan sama
Pak Soleh." "Pak Soleh?" Bashir mengangguk-angguk.
"Betul juga. Mungkin Pak Soleh bisa mengatasi masalah tanah ini. Mungkin
dia bisa menemui langsung pemiliknya. Kenalannya di stasiun kan banyak.
Gimana?" Natalia nimbrung.
Bashir masih mengangguk-angguk.
"Kak Bashir?" Anah meminta kepastian.
Bashir menatap Anah. "Ya, mungkin Pak Soleh bisa lebih cepet ngurusin
masalah tanah ini. Aku bawaannya emosi melulu. Maafkan aku, Anah."
"Ya nggak apa-apa! Ya, kan Pak?" Anah tertawa.
"Sama saja. Yang penting, rencana pembangunan klinik Asy Syifa lancar!"
Pak Hari juga tertawa. "Allahu Akbar!" tiba-tiba Anah menjerit kesakitan. "Laa ilaaha illallaah
Muhammadarasulullah".."
"Anah!" Bashir panik.
"Astaghfirullah!" Anah melihat ke lantai. Ada tumpahan air. Ternyata
ketubannya pecah. "Ya, Allah!" Wajah Anah pucat. Tubuhnya limbung.
"Cepat bawa ke rumah sakit, Bashir!"
Bashir menahan tubuh Anah yang hendak jatuh.
"Papa!" Nataha menyuruh suammya, "Cepet, nyalain mobilnya!"
Pak Hari bergegas pergi. Dada lelaki tua itu membuncah, antara cemas dan
bahagia. Sebentar lagi dia akan memiliki seorang cucu dari anak kandungnya
sendiri! Dari anak yang dahulu pernah dibuangnya ketika bayi di stasiun
Cilegon. Ya Allah, terima kasih! Kau limpahkan padaku karunia-Mu yang
tidak terkira ini! Seorang cucu! Lindungilah mereka! Janganlah Kau beri aku
cobaan lagi, ketika Kau merenggut istri dan kedua anakku. Hatinya gelisah!
Tiba-tiba berkelebatan gambar-gambar masa lalunya, istri dan kedua
anaknya yang tewas pada kecelakaan pesawat terbang di Medan!
Sementara itu Bashir dan Natalia memapah Anah untuk berjalan. Mereka
membawanya keluar. Bik Marhamah yang muncul dari dapur dengan
minuman jadi panik. Dia berteriak-teriak menyebut nama Allah agar Anah
diberi keselamatan. Sebentar lagi akan terjadi proses regenerasi! Seorang bayi lahir ke bumi
dengan tubuh telanjang ibarat kertas putih tak bernoda! Selanjutnya, Allah
menyerahkannya pada kedua orangtua serta dirinya sendiri, dengan apa
nanti kertas putih itu akan ditulisi. Dengan ibadah ataukah dengan


Tempatku Di Sisi Mu Karya Gola Gong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kemaksiatan"! Allah pun menyerahkan tugas pada kedua malaikat-Nya; Rakib
dan Atib untuk selalu mencatat dalam rapor-Nya, apakah kelak imbalan yang
pantas itu surga ataukah neraka"!
Episode 11 Tempatku di Sisi-Mu Kujemput ridha-Mu dalam sakit ini
Setiap menahan napas Tetes keringat yang tersisa
Mantra dan puja-puji Memohon kekuatan ajaib Merasuk nadi dan darah: Kelak di sisi-Mu surga! Pak Hari memarkir mobilnya di klinik Firdaus, sebuah rumah bersalin cukup
ternama di Cilegon. Bashir bergegas turun dan berlari ke lobi. Bashir
mengabarkan pada para suster jaga di front office bahwa istrinya akan
melahirkan. Pada saat itu juga dari ruangan dalam, muncul seorang lelaki
yang menangis histeris. Lelaki itu dipapah oleh ayahnya. Bashir tertegun
memperhatikan mereka! "Ya Allah, kenapa Kau panggil Neng Kokom!" teriaknya dalam tangis.
"Istighfar, Ujang," kata ayahnya menyabarkan. "Kamu sedang diuji,"
tambahnya lagi. "Ujang nggak bisa hidup tanpa Neng Kokom, Pak ...," isaknya lagi.
"Tapi, kamu bisa hidup dengan anakmu, Ujang," ayahnya mengingatkan.
"Kamu inget, apa pesan Kokom sebelum melahirkan" Kalau kamu cinta sama
Kokom, kamu harus merawat anakmu dengan baik. Menyekolahkannya
sampai jadi sarjana."
Ujang, suami malang yang baru kehilangan istrinya itu tertegun. Dia seperti
termakan oleh omongan ayahnya. Lalu dia membalik dan bergegas masuk
lagi ke dalam klinik. Sedangkan Bashir, yang sejak tadi tertegun, merasa ada
aroma kematian menyelusup ke relung kalbunya. Peristiwa Ujang dan
ayahnya tadi sangat membekas di hati Bashir. Astaghfirullah ...! Ya Allah,
lindungilah istri dan anak kami! Lancarkanlah persalinannya nanti!
"Ayo, Pak! Di mana istrinya?" seorang perawat lelaki mendorong brankar,
menegur Bashir. "Istri?" Bashir terkesiap.
"Katanya istri Bapak mau melahirkan?" si Perawat mengingatkannya.
"Astaghfirullah!" Bashir tersadar. Dia segera berlari ke tempat parkir.
Perawat lelaki menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia segera mengikuti
Bashir sambil mendorong brankar.
Sepanjang berlari itu, Bashir merasa seperti dikejar-kejar para setan
jahanam yang menakut-nakutinya, bahwa istrinya tidak akan lama lagi hidup
di dunia! Bahkan bayi yang dikandungnya pun tidak akan selamat!
Astaghfirullah! Bashir membuang jauh-jauh pikiran sesat itu! Para malaikat
meniupkan kabar ke hatinya bahwa mati, rezeki, dan jodoh itu urusan Allah!
Lantas dia berzikir: subhanallah, subhanallah, subhanallah ...! Para iblis
laknat akhirnya lari pontang-panting!
Di tempat parkir, Pak Hari dan Natalia sedang memapah Anah keluar dari
mobil. Bashir dan perawat itu membantu Anah naik ke brankar. Anah rebah
di brankar. Wajah Anah sudah pucat. Perawat itu dengan gesit mendorong
brankar. Bashir dengan setia mendampingi. Dia tidak pernah melepaskan
tangan Anah dari genggamannya.
"La haulaa wala quwwata illa billaah ...," Anah mengerang kesakitan.
"Anah ..., sabar, ya". Kuatkan hati kamu," Bashir merasa sedih.
"Sakit, Kak Bashir Di sini Di perut ...," Anah mencoba untuk membagikan
rasa sakitnya. "Anah Andai saja kita bisa berbagi rasa sakit itu...."
Anah menatap suaminya dan tersenyum bahagia.
Brankar terus didorong masuk ke ruang bersalin. Bashir memaksa untuk ikut
walaupun Anah melarangnya. Sedangkan Pak Hari dan Natalia memilih
duduk di ruang tunggu. Siang merembet naik. Jarum jam berdetak lambat. Ketegangan tergambar
di ruang tunggu Klinik Bersalin "Firdaus". Pak Hari Natadiningrat sejak tadi
mondar-mandir; dari dinding yang satu ke dinding yang lain. Natalia hanya
duduk sambil berzikir. Tasbih kecil bergerak-gerak di genggaman tangan
kanannya. Subhanallah, subhanallah, subhanallah".
"Lama sekali," Pak Hari menatap ke pintu ruang bersalin. Dia tak kuasa
menyembunyikan kegelisahannya. "Jangan-jangan"."
"Sabar, Papa," Natalia menenangkan. "Duduklah. Berdoalah pada Allah, agar
Anah diberikan kemudahan ketika melahirkan," tambahnya mengingatkan.
Pak Hari merasa malu pada istrinya. Dia mengusap wajahnya. "Astaghfirullah," katanya. Bukankah kelahiran juga urusan Allah" Batinnya
berusaha tenang. Lalu dia duduk dan menyenderkan kepalanya ke dinding.
Dia kini pasrah dalam doa.
Di ruang persalinan, tampak Anah terbaring dengan lemas. Sudah sejam dia
mengerang kesakitan. "Ya, Allah ...," suaranya pasrah.
Episode 12 Tempatku di Sisi-Mu Air infus menetes satu-satu, mengaliri slang dan masuk ke tubuhnya.
"Nyebut, Anah, nyebut ...," Bashir menguatkan dengan menyeka keringat di
kening istrinya. "Laa ilaaha illallaah Muhammadarasulullah ...," suara Anah melemah.
"Sebentar lagi kamu akan jadi 'Ibu' ..., Anah," Bashir sangat gembira.
"Dan kamu".. "Bapak?".," Anah juga gembira.
"Anak-anak kita nanti akan memanggil kita 'Bapak' dan 'Ibu', Anah. Betapa
indahnya!" Bashir penuh sukacita.
"Tapi ..., kenapa Bu Bidan lama sekali?"
"Sabar, Anah Sebentar tagi Bu Bidan datang." Bashir menenangkan.
"Ya Allah ...," Anah mengerang untuk yang kesekian kali. "La haulaa wala
quwwata illa billaah"."
"Semuanya akan beres, Anah. Insya Allah.. .." Bashir dengan setia menemani
Anah yang tergeletak di pembaringan.
Sudah beberapa kali Anah mengeden, si bayi belum juga keluar. Hampir
sejam Anah berada dalam penderitaan; menahan rasa sakit di perut karena
si bayi medesak-desak ingin keluar. Tadi Anah diberi induksi lewat cairan
infus. Menurut asisten bidan yang menangani prapersalinan, karena
ketubannya pecah, si bayi harus segera dikeluarkan. Kalau tidak, bisa
berbahaya bagi si bayi. Tetapi, walaupun di dalam penderitaan, cobalah
lihat wajahnya! Betapa ikhlas dan bahagia! Semua Ibu pasti begitu! Selama 9
bulan mengandung dan mempertaruhkan nyawa ketika melahirkan, tetapi
mereka tetap berada dalam kebahagiaan, serta keikhlasan yang sangat luar
biasa! Imbalannya, Allah melimpahkan karunia seorang anak serta sebuah
jabatan yang sangat tinggi: seorang ibu! Jabatan yang diperoleh tanpa unsur
kolusi, korupsi, dan nepotisme! Tetapi langsung hadiah dari Sang Maha
Pencipta, Allah Swt. "Aduh, sakit ...," Anah mengerang memegangi perutnya.
Bashir mulai menyeka keringat yang muncul di kening istrinya.
Tiba-tiba pintu kamar bersalin terbuka.
"Itu ..., Bu Bidan datang," bisik Bashir gembira di telinga Anah.
"Alhamdulillah ...," wajah Anah berseri-seri walaupun menahan sakit.
Bu Bidan langsung menyuruh asistennya untuk mempersiapkan peralatan
yang diperlukan. Wanita setengah baya berjilbab itu menatap Bashir.
"Suaminya?" tanyanya tersenyum.
"Iya, Bu?" "Anak pertama?" tanyanya lagi sambil memeriksa Anah.
"Iya?" "Nggak nunggu di luar saja?"
"Bu Bidan keberatan?"
"Nggak?" "Aku tidak akan membiarkan istriku berjihad sendirian, Bu. Aku harus
menemaninya. Memberi semangat. Aku tidak ingin kehilangan istri dan
anakku," suara Bashir serius sambil menggenggam tangan istrinya.
"Insya Allah, semuanya akan lancar," Bu Bidan tersenyum pada Anah.
Anah juga tersenyum. "Bisa kita mulai?" Bu Bidan sudah memakai sarung tangan.
Anah menatap suaminya, seolah meminta dukungan.
"Ya, kita mulai sekarang," Bashir mengangguk.
"Bismillahirrahmanirrahim ...," Bu Bidan memulai pekerjaannya.
Anah menarik napas, mengeden ...terus berulang-ulang. Bu Bidan membimbingnya dengan sabar dan telaten.
Bashir menunggui proses persalinan ini dengan cemas sambil berdoa.
"Ayo, Anah ...ambit napas ...," Bu Bidan memberi perintah sambil tersenyum
tutus. Anah mengambil napas tagi. Mengumpulkannya. Menghirupunnya. Bismillah". Anah mengeden lagi".. Tak kenal menyerah". "Sudah, Bu
Bidan ...?" Anah mulai kehabisan tenaga. Butiran keringat menghiasi
wajahnya. "Sebentar lagi Ayo ...," Bu Bidan tersenyum. "Itu ..., batok kepalanya sudah
kelihatan..., Alhamdulillah, ayo ..., terus ...dorong lagi ..."
"Sudah ketihatan bayinya," Bashir gernbira.
"Ayo, tarik napas Ya ..., dorong ...," Bu Bidan menekan perut Anah.
Anah menarik napas, mengumpulkannya, dan mengeden lagi dengan sekuat
tenaga. Sekarang keringat membanjiri tubuhnya. Wajahnya pucat. Bu Bidan
terus memompa semangatnya. Kepala bayi itu sudah mutai keluar. Tetapi,
ketika Bu Bidan hendak rnenariknya, kepala bayi itu masuk lagi! Anah
tergolek dengan lemas. Bashir menatap Bu Bidan dengan ketegangan yang
sangat tuar biasa! Episode 13 Tempatku di Sisi-Mu Lautan waktu harus dilewati
Betapapun pedihnya Betapa besar tenaga terkuras
Tak ada kesempatan untuk kembali
dan menghindari amanah-Nya
Harus terus berjalan Atau kehilangan ruang dan waktu
Bu Bidan mendekati asistennya. Dia menyuruh asistennya menyiapkan
peralatan untuk alat bantu persalinan. Sedangkan Anah masih tergolek
tanpa daya sambil menahan rasa sakit di perutnya. Hatinya antara bahagia
dan cemas. Bahagia, karena sebentar lagi dia akan menjadi seorang ibu, hal
yang sangat diidam-idamkan oleh seluruh wanita di muka bumi. Seorang ibu,
berarti komplet sudah hidupnya! Mempunyai seorang suami yang sangat
mencintainya. Juga seorang anak, pertanda sebagai seorang istri sudah
memberikan kebahagiaan pada suami tercinta! Cemas" Sudah pasti! Dia
merasa cemas, takut terjadi hal buruk pada dirinya atau bayinya. Dia tidak
pernah tahu apa yang direncanakan Allah pada hamba-Nya. Bisa saja setelah
melahirkan, adalah saat terakhirnya melihat suaminya! Audzubillahhimindzalik"..
"Anah"..," Bashir menggenggam erat-erat lengan Anah. "Kamu nggak apaapa, kan?" tanyanya cemas.
Anah mencoba tersenyum. Kecemasannya kini hilang begitu melihat
suaminya yang sangat ikhlas menemaninya. Ada semangat baru masuk ke
peredaran darahnya. Dia tahu, suaminya berdoa untuk keselamatannya. Dia
juga yakin, Pak Hari dan Natalia mendoakannya. Bik Marhamah dan Pak
Soleh juga! Seorang pelayan masuk sambil membawa segelas teh manis panas. Bu Bidan
mengambil gelas itu dan menyodorkannya pada Anah. Ada sedotan plastik di
gelas itu. Bashir mengambil alih gelas itu.
"Ayo, Anah ..., minum dulu ...," Bashir mengatur letak sedotannya.
Dengan susah payah, Anah mengangkat kepalanya. Bashir membantu
menopang kepala Anah dengan tangannya. Dengan begini, Anah bisa nyaman
menyedot minuman hangat itu. Bashir menatapnya dengan perasaan campur
aduk; bahagia dan cemas! "Yang banyak minumnya," kata Bu Bidan. "Supaya tenaganya kembali."
Anah mengikuti saran Bu Bidan. Dia menyedot teh manis itu sebanyak.banyaknya. Ada semacam tenaga baru masuk ke tubuhnya: teh
manis dan spirit dari suaminya yang tetap setia mendampinginya. Rasanya
jika maut menjemputnya saat ini, asal buah hatinya selamat lahir ke dunia,
dia akan ikhlas. "Dimulai lagi, ya ...,".Bu Bidan sudah bersiap-siap.
Bashir meletakkan gelas minuman yang tinggal setengahnya lagi.
Anah mengangguk dan merasakan tenaganya sudah pulih lagi.
"Kenapa bayinya sulit keluar, Bu Bidan?" Bashir cemas.
"Panggul Anah sempit, sehingga si bayi yang badannya besar susah keluar,"
Bu Bidan menjelaskan sambil terus memompa semangat pada Anah untuk
terus mengeden. "Ayo, Anah! Ayo! Nah, itu batok kepalanya kelihatan lagi! "
seru Bu Bidan. Anah terus mengedan. "La haulaa wala quwwata illa billaah ...," Anah
menyerukan doa di antara napasnya yang sesak. Dia terus berulang-ulang
melafalkan doa tersebut; tiada daya upaya selain kekuatan Allah. Wajahnya
pucat berkeringat. Tetapi, si bayi hanya muncul batok kepalanya saja dan
setelah itu hilang lagi. Bashir hanya bisa memandangi perjuangan mereka berdua dengan doa.
Istrinya dan Bu Bidan, sama-sama sedang memperjuangkan suatu kehidupan:
kelahiran si bayi ke dunia. Semuanya dia pasrahkan pada yang di atas.
Allahlah yang berkehendak atas semua hamba-Nya!
Bu Bidan memijiti perut Anah dengan halus. "Biasa, anak pertama," katanya
menghibur. "Ingat ya ...mengedennya bukan seperti mau buang air besar.
Tapi, di perut. Rasakan yang di perut ini. Dan keluarkan ..., ya?" katanya
lagi pada Anah. Anah mengangguk pasrah. "Siap?" Anah mengangguk lemah. "Kalau tidak keluar juga, Bu?" Bashir cemas.
"Kalau terpaksa, ada dua cara untuk mengeluarkan si bayi, yaitu dengan
vacum atau cesar! " "Subhanallah!" Anah

Tempatku Di Sisi Mu Karya Gola Gong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menjerit kesakitan. "Laa ilaaha illallaah Muhammadarasulullah?""
Bashir merasa tangan istrinya menggenggam tangannya dengan kuat.
Keringat membanjiri wajah istrinya. Bashir mengelapnya dengan sapu
tangan. Ada rasa ketakutan muncul tiba-tiba pada dirinya. Dia jadi teringat
almarhum ibunya saat melahirkannya dahulu. Kata almarhum ayahnya,
ibunya mengalami pendarahan hebat setelah melahirkannya. Ibunya
meninggal setelah melahirkan dia. Betapa pedih hatinya jika mengingat hal
itu. Episode 14 Tempatku di Sisi-Mu "Lakukan saja, Bu! Jangan tunda lagi!" Bashir pasrah.
Bu Bidan mengangguk. Dia menyuruh asistennya untuk mempersiapkan alat
vacum. Sementara itu, Bashir menyodorkan gelas minuman dan menyuruh
Anah untuk meminumnya agar tenaganya terkumpul lagi.
Anah mengeden lagi. Bashir menggenggam tangannya. Bu Bidan dengan
sigap memasang alat vacum di batok kepala si bayi. Bashir tampak tegang.
Ya Allah, lindungilah istri dan anakku! Semuanya terjadi dengan sangat
cepat. Bu Bidan menarik alat itu dengan sangat hati-hati. Batok kepala itu
pelan-pelan mulai menemukan wujudnya; sebuah wajah perempuan dengan
rambut, mata, telinga, hidung, dan bibir. Betapa cantik! Allahu Akbar!
Setelah itu Bu Bidan tidak memakai alat vacuum lagi. Dia memegangi leher
si bayi dan menariknya pelan-pelan. Si bayi seperti sudah menemukan jalan
kehidupan, dia keluar dengan mudahnya; tangan, tubuh, dan kaki! Betapa
sempurna dan agung Sang Pencipta makhluk bernama manusia ini! Masya
Allah! Bu Bidan memukul pantat si bayi.
Lalu terdengarlah suara tangis bayi memecah dunia!
"Alhamdulillah"..," Anah menarik napas lega. "Allahu Akbar, anak kita
perempuan"." katanya menatap suaminya dengan perasaan bahagia yang
menggunung. Bashir mengecup kening istrinya.
"Alhamdulillah". Kita harus bersyukur menerima amanah dari Allah ini."
Anah mengangguk. "Coba lihat bayinya. Bu Bidan," pintanya.
Bu Bidan menggendong si bayi dan memperlihatkannya pada Anah. "Cantik
kayak ibunya," kata Bu Bidan tertawa.
"Iya, cantik seperti kamu." Bashir tersenyum memuji.
Bu Bidan menimang-nimang si bayi dan menimbangnya.
"Berapa tinggi-beratnya, Bu?" Anah penasaran.
"Tingginya 50 cm dan beratnya 3 kilo 7 ons," Bu Bidan memberi kabar
gembira. "Besar sekali," dia menimang-nimang lagi. Lalu bayi itu diserahkan
pada asistennya untuk dimandikan.
Asisten wanita itu memandikan si bayi.
"Selamat, ya ...," Bu Bidan menyalami Anah dan Bashir. "Kalian sudah jadi
Ibu dan Bapak." "Terima kasih atas pertolongan Ibu," Anah merasa terharu.
"Berterimakasihlah pada Allah," Bu Bidan mengingatkan.
Anah dan Bashir mengangguk.
"Sebaiknya kelahiran kedua jaraknya jangan terlalu dekat," saran Bu Bidan
Anah menatap Bashir, seolah meminta jawaban.
"Insya Allah, Bu ...," Bashir tersenyum penuh arti.
"Saya harus menemui pasien yang lain. Assalamu'alaikum," Bu Bidan
pamitan. "Wa'alaikum salam ...," Anah dan Bashir tersenyum bahagia.
Bu Bidan membuka pintu ruang bersalin dan pergi.
"Kayaknya, kamu mau langsung punya anak lagi, ya?" Anah menyelidik.
Bashir tertawa. "Nggak apa-apa, kan?" dia balik nanya.
"Nggak apa-apa, gimana?" Anah merajuk.
"Paling baik kan, anak pertama dengan yang kedua ...jangan terlalu jauh
jaraknya. Biar mereka ada temen. Gedenya bareng kan enak. Kita juga
ngurusnya sekalian. Capeknya sekaligus gitu."
"Tapi dua saja, ya"!"
"Tigalah!" "Ya, sudah! Kamu saja yang ngelahirin bayi ketiga!"
Bashir tertawa. "Nantilah kita bicarain lagi. Sekarang, aku ...eh ...Bapak ...," katanya masih tertawa, "mau ngazanin dulu," katanya seraya
mendekati asisten Bu Bidan yang sedang membedong si bayi.
Asisten Bu Bidan meletakkan bayi merah itu di tempat yang sudah diberi
lampu penerang, supaya suhu badannya hangat. "Silakan, Pak," kata asisten
Bu Bidan. Lalu dia keluar dari kamar persalinan.
"Terima kasih," Bashir tersenyum bahagia dan penuh haru, ketika melihat
buah hatinya tergeletak di boks bayi. Wajahnya yang bulat cantik, alis
matanya dan rambutnya yang tebal, serta bibirnya yang bergerak-gerak
mencari mata air kehidupan; air susu ibu. Sebentar lagi kamu akan
mendapatkan air paling hebat, anakku! Air ciptaan Allah, yang di dalamnya
tidak ada zat pengawet! Episode 15 Tempatku di Sisi-Mu Takbir ini menyambutmu Tasyahud ini menamaimu Tahlil ini mengingatkanmu
Anugerah terindah dalam hidup:
Kuharap Ia selalu menyentuhmu!
Bayi merah itu bergerak-gerak. Kain yang membedongnya membuat
geraknya terbatas. Bashir tampak bahagia sekali. Ketakutan akan kehilangan
buah hatinya tidak terbukti. Allah ternyata mempercayainya untuk
mengemban amanah ini: menjadi seorang bapak! Betapa besar rahmat dari
Allah ini: seorang bayi perempuan! Oh, betapa akan bahagia hidupku nanti!
Mendengar suara tawa dan tangis seorang anak! Mendengar dia memanggil:
Bapak! Baginya, anak selain untuk meneruskan keturunan, juga buat
penambah semangat hidup. Bashir bersiap-siap hendak mengazani. Dia mengatur napasnya supaya tidak
keras. Dia tidak ingin membangunkan anaknya yang sedang tidur pulas.
Tetapi, belum juga Bashir mengazani, saat itu Pak Hari Natadiningrat dan
Natalia menyeruak masuk. "Assalamu'alaikum!" Pak Hari tampak sangat gembira.
"Wa'alaikum salam," Bashir menundanya.
Natalia menyerbu Anah dan memeluknya dengan sukacita. "Anah ..., aduh
Kamu nggak apa-apa, kan?"
Anah tersenyum. "Mama khawatir sekali"."
"Alhamdulillah, semuanya lancar. Berkat doa Ibu sama Bapak," Anah bahagia
sekali. Sedangkan Pak Hari menyalami Bashir dengan perasaan yang tidak
terlukiskan. "Selamat, Bashir! Kamu jadi bapak sekarang!" katanya. "Jangan
lupa, kamu harus sesegera mungkin memberi kabar pada Pak Hidayat dan
Ibu!" "Iya, Pak!" Bashir mengangguk. Dia berjalan ke sudut dan menghubungi Pak
Hidayat dengan handphone-nya. "Assalamu'alaikum," sapa Bashir. "Ya.
Bashir, Pak ...," katanya tersenyum pada Anah. "Alhamdulillah, sudah lahir,
Pak. Perempuan. Sehat, sehat," dia mengabarkan. "Amin, amin"..," dia
mengangguk-angguk. "Ya, kami tunggu, Pak".. Salam buat Ibu. Assalamu'alaikum," dia mengakhiri percakapan.
"Kapan mereka ke sini?" tanya Pak Hari.
"Insya Allah, besok," Bashir berjalan ke boks bayi.
"Perempuan atau laki-laki?" Natalia mengikuti Bashir menuju boks bayi.
"Perempuan, Bu," jawab Bashir.
"Alhamdulillah, perempuan, Papa!" Natalia memandangi bayi merah itu
dengan mata berkaca-kaca. "Cantik sekali!" pujinya terisak-isak. Sekelebat
peristiwa ketika dia membuang bayi itu muncul. Dan dia menangis saat itu
juga! "Papa jadi kakek!" Pak Hari juga menangis.
"Mama jadi nenek! Kita sudah semakin tua, Pa!" Natalia memeluk suaminya
dan tangisnya makin menjadi-jadi.
"Sudah, Mama, sudah".. Ini kan hari kebahagiaan kita semua," Pak Hari
mencoba tersenyum kepada Bashir dan Anah. "Mamamu terlalu bahagia
menyambut kedatangan cucunya," suara Pak Hari terbata-bata. "Cucu kami
yang pertama"."
Bashir hanya tersenyum dan mengangguk sambil menggenggam tangan Anah.
Mereka juga larut dalam kebahagiaan sekaligus kesedihan. Mereka bisa
merasakan apa yang sedang dirasakan Pak Hari dan Natalia.
Para malaikat pun turun menyelimutkan jubah kebahagiaanya. Mereka
mengubah ruang bersalin ini menjadi seperti di surga. Semua orang di
dalamnya tampak berseri-seri wajahnya, penuh kebahagiaan.
"Kalian sudah memberinya nama?" Natalia mengingatkan.
Bashir meminta pendapat Anah.
"Siapa namanya, Pak?" Anah kini memanggil Bashir dengan sebutan "bapak".
"Ibu saja yang memberi nama," Bashir pun memanggil Anah dengan "ibu".
"Bapak saja," Anah tersenyum.
Bashir mengangguk. Berpikir sebentar. Lalu, "Kunamai dia 'Siti Nurkhalishah'.
Bagaimana" Ibu setuju?"
Anah mengangguk senang. "Siti Nurkhalishah?" Anah manggut-manggut.
"Jelek?" "Alhamdulillah. Itu nama yang baik," Anah bahagia.
"Iya, itu nama yang sangat baik. Semoga Siti Nurkhalishah menjadi anak
yang saleh," Natalia mendoakan.
"Panggilannya 'Nur", ya"!" Pak Hari mengusulkan.
"Iya, panggilannya 'Nur'," Anah tidak keberatan. "Sekarang, ayo, azani anak
kita, Pak!" Anah mengingatkan suaminva.
Bashir mengangguk. Dia mendekati si bayi vang masih tertidur. Andai saja
pancaindranya sudah optimal bekerja, si bayi itu pasti akan makin bahagia
karena dilahirkan di antara keluarga yang bahagia menyambut kelahirannya.
Bashir mendekatkan wajahnya ke telinga buah hatinya. "Allahu Akbar, Allahu
Akbar"." Bayi merah itu tampak tersenyum. Dia seperti sudah paham betul arti dari
azan vang dikumandangkan bapaknya. Bibirnya bergerak-gerak dengan lucu.
Wajahnya berseri-seri. Kelopak matanya yang terpejam berdenyut-denyut
seperti mau membuka. Episode 16 Tempatku di Sisi-Mu Ia memberi karunia sebuah hati
Kuat seperti baja pun rapuh tertiup angin Ia menciptakan rasa Memberi wama pada darah yang melaluinya: menjelmalah di jalan-Nya!
Ekahan tiba. Anak-anak kecil yatim piatu, berbondong-bondong memasuki
halaman rumah Bashir. Mereka tampak lucu-lucu dan riang gembira dengan
sarung, peci, serta baju koko. Mereka antre untuk mendapat jatah
sekantung plastik makan siang dan amplop berisi uang. Mereka tampak
sangat gembira dan antusias menyambut peristiwa syukuran kelahiran bayi
bernama Siti Nurkhalishah!
"Ayo, ayo! Antre yang baik, ya" Jangan berebut!" Pak Soleh memberi abaaba sambil merapikan barisan anak-anak dalam satu lajur.
Namanya anak-anak, selalu saja ada yang nakal. Selalu saja ada yang ingin
menarik perhatian. Dan selalu saja ada tangis serta tawa ria. Begitulah
mereka, anak-anak yang membuat orangtua selalu bahagia.
"Hey, kamu!" Pak Soleh menegur. "Mau hadiah, nggak?"
"Mau, Pak!" jawab si anak nakal yang sedari tadi hobinya merusak antrean.
"Kalau mau, antre yang bener!" Pak Soleh menjewer telinganya dengan
gemas. Jeweran sayang seorang ayah kepada anaknya.
Bashir menggeleng-gelengkan kepalanya sambil tertawa. Bik Marhamah
hanya tersenyum sambil menyiapkan bingkisan yang akan dibagi-bagikan
pada anak-anak yatim piatu itu. Bingkisan berisi makan siang dengan daging
kambing dan amplop berisi uang.
"Namanya siapa?" tanya Bashir sambil mengucek-ucek rambut si anak.
"Iwan, Kak," jawabnya malu-malu.
"Sekolahnya, kelas berapa?"
"Kelas lima di ibtidaiyah, Kak ..."
"Wah, bagus, bagus!" Bashir senang.
Terus begitu, silih berganti, setiap anak mendapatkan sekantong plastik
bingkisan. Bashir dengan telaten melayani anak-anak yatim piatu itu. Pak
Soleh dan Bik Marhamah membantunya. Begitulah mereka mensyukuri
nikmat Allah, saling berbagi kegembiraan, kebahagiaan, dan saling memberi
rezeki. Peristiwa itu tentu saja dicibiri para iblis yang sejak tadi berusaha
mengacaukan acara. Tetapi ternyata, pengaruh para malaikat lebih kuat!
Sementara itu di teras rumah, Anah dirubung Pak Hari, Natalia, Pak Hidayat,
serta istrinya. Si bayi sedang menyusu. Mereka tampak sangat bahagia
menyambut kelahiran Siti Nurkhalishah. Bayi merah yang kepalanya sudah
digunduli itu, tampak merasa nyaman dalam dekapan si ibu serta limpahan
kasih sayang orang-orang terdekatnya.
Tetapi, keindahan siang itu terusik oleh kedatangan sebuah mobil mewah.
Semua orang tertuju ke pintu gerbang. Bashir tampak gelisah. Anah juga.
Pak Hari dan Natalia saling pandang, mencoba untuk memahami apa yang
sedang terjadi. Sedangkan Pak Hidayat dan istrinya berdoa!
Pintu mobil terbuka. Bashir langsung bergerak dan berjalan menuju pintu gerbang. Dia melihat
tatapan Anah yang mengingatkannya untuk tidak berbuat gegabah. Tetapi,
dia seperti tidak menggubris peringatan istrinya. Bahkan Pak Soleh pun tidak
dipedulikannya. "Bashir, jangan emosi," Pak Soleh mengingatkan.
"Terusin pembagiannya, Pak!" itu saja perintah Bashir.
"Istighfar, Bashir," saran Pak Soleh.
Bashir keburu berjalan mendekati pengemudi mobil mewah itu. Wajahnya
langsung memerah diliputi amarah. Dadanya berdebum-debum, menyimpan
magma yang siap diledakkan.
"Assalamu'alaikum, Bashir!" terdengar salam seseorang.
"Mau apa kamu kemari, Dick?" Bashir langsung mencegatnya.
Ternyata yang datang adalah Dicky. Di tangannya ada bunga dan kado yang
besar. "Jawab dulu salamku tadi, Bashir! Sesama Muslim, sebaiknya kita
saling mendoakan!" dia mengingatkan sambil tersenyum pada Anah dan
semua orang yang ada. Bashir menarik napas dengan kesal.
Dicky berjalan menuju teras sambil berbicara, seolah-olah dia sudah
menjadi orang yang paling bijaksana. "Ayolah, Bashir! Lupakan yang sudahsudah. Pengalaman selama di penjara membuatku berpikir lain tentang
hidup. Percayalah. Aku sudah berubah!" katanya tersenyum pada orangorang di teras rumah.
"Berubah" Oh, ya?" Bashir mencibir.
"Ayo, jangan sinis begitu, dong! Kamu jadi 'bapak' sekarang. Kamu juga
harus mulai berubah sikapnya, dong!" Bashir tertawa. "Iya, kan?" tanyanya
pada Anah dan semua orang.


Tempatku Di Sisi Mu Karya Gola Gong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Anah hanya tersenyum mendengar kalimat-kalimat Dicky. Betapa berbeda
sekarang walaupun masih ada kesombongan di dalamnya. Tetapi, melihat
wajah suaminya masih menyimpan dendam, perasaannya tetap saja tidak
nyaman. "Terima kasih. Sekarang, langsung ke persoalan. Ada apa kamu kemari?"
Bashir sudah berdiri di depan Anah. Dia merasa perlu untuk melindungi
istrinya "Saya ingin ikut merasakan kegembiraan kalian. Menjadi seorang ayah dan
ibu. Sebuah keluarga bahagia. Dengan seorang anak. Laki-laki apa
perempuan?" "Perempuan," ketus suara Bashir.
"Selamat, ya! " Dicky mengulurkan lengan kanannya pada Bashir. Sementara
itu, lengan kirinya sibuk memegangi kado dan bunga.
Bashir menyalami dengan kaku. Lalu Dicky menyerahkan kado dan bunga
pada Bashir. Bik Marhamah mengambil alih kado dan bunga dari tangan
Bashir. "Silakan, ya! Kami mau membantu Pak Soleh dulu," Pak Hari tersenyum pada
Dicky. "Oh, silakan, Pak! Silakan!" Dicky mengangguk.
Pak Hari mengajak Natalia, Pak Hidayat, dan istrinya untuk membantu
membagi.bagikan bingkisan kepada anak.anak yatim piatu. Di dalam hati
mereka, sebetulnya ada perasaan tidak nyaman. Mereka tahu sepak terjang
Dicky dan ayahnya, Marabunta. Mereka juga tahu bahwa antara Bashir dan
Dicky sudah seperti anjing dan kucing. Itu terjadi sejak kanak-kanak. Dan
Anah ada di tengah-tengah mereka.
"Apa lagi, Dick?" Bashir tidak basa.basi.
"Silakan duduk, Dick," Anah bersikap ramah sebagai tuan rumah.
"Anah!" Bashir menegur.
"Bashir, Bashir! Ternyata kamu masih cemburu sama saya!" Dicky tertawa
kecil sambil bertolak pinggang. "Lihat istrimu! Walaupun saya pernah
berbuat kurang ajar sama dia, tapi dia tidak menaruh dendam. Dia
menerima saya dengan penuh senyum!"
Bashir merasa darahnya bergejolak.
Anah merasa makin tidak nyaman. Dia harus menuruti apa kata suami.
"Maaf, aku ke dalam dulu, Dick," katanya.
Episode 17 Tempatku di Sisi-Mu "Sebentar, sebentar!" Dicky mencegah. "Jangan pergi dulu, Anah!"
Anah menatap suaminya dengan gusar.
Bashir menatap Dicky dengan sebal. "Sebaiknya kamu pergi dari sini, Dick!
Kamu tamu yang tidak diharapkan! Mengerti"!"
"Please ...," Dicky memohon. "Izinkan saya bicara pada kalian. Ini tentang
saya dan ayah saya. Sungguh, saya menyesal dengan peristiwa yang
menimpa Pak Haji. Saya khilaf. Saya minta maaf dengan tulus," suaranya
serius. Bashir menatap Anah. Seolah meyakinkan istrinya bahwa Dicky pandai
bersilat lidah. "Saya sudah menebus kesalahan saya di penjara. Bahkan ayah saya sekarang
dirawat di rumah sakit, terkena stroke. Bukankah itu cukup sebagai
hukuman yang ditimpakan Allah pada saya dan ayah saya?"
"Innaa lillaahi ...," Anah merasa prihatin.
Tetapi Bashir tetap waspada.
Dicky merasa di atas angin. Dia berjalan mendekati Anah. "Saya mau lihat
bayinya dulu!" tanpa bisa dicegah, dia sudah di sebelah Anah. Dia melihat
bayi yang sedang digendong Anah sambil mencoba melucu. "Cantik! Seperti
ibunya!" Dicky tersenyum, kembali pada sifat asalnya.
"Terima kasih," Anah tersenyum dan berlalu.
"Kamu belum menerima permohonan maaf saya," Dicky mendesak.
"Aku sudah memaafkan kamu," Anah menjawab pendek dan menghilang ke
dalam rumah. "Apa lagi, Dick?" Bashir mengusirnya.
"Wow, wow, wow!" Dicky mengangkat kedua lengannya tinggi-tinggi. "Kamu
nggak pernah belajar dari pengalaman! Pantas saja kalau Hakim mati di
tanganmu!" sindirnya.
"Heh! Jangan ngomong sembarangan, ya!" Bashir mengancam.
Dicky menggeleng. "Bashir, Bashir! Kamu itu masih perlu belajar banyak
untuk menjadi seorang pemimpin!" dia melecehkan. "Saya datang ke sini
untuk silaturahmi. Tapi, kamu malah memperlakukan aku seperti ini!"
"Aku nggak butuh khotbah kamu!"
"Lihat! Kamu sudah mempermalukan saya di depan mereka!" Dicky menunjuk
ke halaman. "Atau aku akan mengusir kamu secara paksa!"
"Oke, oke! Saya akan pergi!" Dicky mengalah.
Dia pergi sambil melemparkan senyum kepada orang-orang.
Bashir menatap kepergiannya dengan perasaan sebal.
"Kenapa kamu bersikap kasar ?" terdengar suara Anah penuh sesal. Dia
muncul dari dalam rumah. Si bayi sudah tidak digendongnya lagi.
"Orang kayak Dicky nggak boleh dikasih hati! Bisa belagu dia!"
"Tapi, dia tamu. Dia datang dengan baik-baik. Kita harus menghormati
tamu." "Kamu sudah menghormati dia sebagai tamu! Tapi, jangan paksa saya untuk
melakukan hal yang sama! Terlalu banyak luka yang belum tersembuhkan
karena dia dan ayahnya!"
Anah terdiam. Luka lama. Dia sendiri pernah punya. Tetapi, semuanya dia
serahkan pada Allah. Toh, Dicky sudah menerima ganjarannya: penjara.
Hanya saja, luka lama Bashir memang sangat berat sekali. Yaitu kehilangan
orang yang dicintainya: bapak. Sebetulnya sampai sekarang, dengan pelanpelan dan kesabaran, Bashir terus berusaha mengumpulkan bukti-bukti baru
bahwa peristiwa tabrak lari yang menimpa ayahnya adalah hasil rekayasa
Dicky dan ayahnya, Marabunta. Tetapi, hasilnya masih tetap nihil. Anah
selalu mengingatkan agar Bashir mengikhlaskan semuanya. Yakinlah, bahwa
hukuman setimpal akan menimpa Dicky dan ayahnya di hari pembalasan
nanti! "Bukankah Allah Maha Pengampun?" Anah mencoba lagi.
Bashir menatapnya. "Kenapa kamu membela dia, orang yang sudah jelas
mengakibatkan Bapak meninggal?" suara Bashir agak meninggi.
"Ssst ..., jangan emosi kayak gitu. Nggak enak sama yang lain."
Bashir tersadar. Dia berusaha bersikap biasa lagi. Dia duduk. Dia melihat ke
halaman, anak-anak yatim piatu itu sedang bergembira bernyanyi-nyanyi
sambil menikmati hidangan ala kadarnya.
"Tuan Marabunta sekarang terkena stroke. Allah ternyata lebih awal
memberinya hukuman di sini," Anah mengingatkan.
Bashir mengangguk walaupun dari tatapan matanya masih belum bisa
menerima kenyataan ini. Dari raut wajahnya juga, masih terlukis kemarahan
terhadap Dicky dan ayahnya.
"Tidak baik hidup diliputi dendam. Yang rugi kita sendiri"."
Bashir menatapnya. "Kak Bashir bisa mengikhlaskannya sekarang?"
Bashir membuang wajahnya. Dia menatap lagi ke halaman. Dia melihat Pak
Hari sedang menari-nari dengan seorang anak.
"Aku nggak mau, sepanjang hidup kita nanti, kamu selalu dibayangi
peristiwa ini." Kini Bashir menatapnya lagi.
"Kak Bashir mau dengar omonganku?"
Bashir mengangguk. "Aku minta jawabannya sekarang."
Bashir masih terdiam. "Bersihkan jiwa Kak Bashir dari dendam. Ingat, Kak Bashir sekarang sudah
jadi bapak. Tanggung jawabnya tidak hanya pada aku semata. Tapi juga
pada anak-anak kita kelak. Mereka akan meniru apa yang diperbuat
bapaknya." Bashir melontarkan napasnya.
"Kak Bashir belum mau menjawab?"
"Insya Allah, Anah ...," akhirnya Bashir bersuara, setelah sang iblis dan
malaikat bertempur di dadanya.
Episode 18 Tempatku di Sisi-Mu Kerikil-kerikil berserakan
Dikumpulkan dengan doa Lalu menjadi monumen kebahagiaan
Kuat dan kokoh dalam firman-Nya:
Jadikan itu rumah-Nya! Truk-truk pengangkut tanah merah dan batu bata hilir mudik di
perkampungan dekat stasiun. Muatan itu ditumpahkan di sebidang tanah
yang kini sedang dilanda kesibukan luar biasa. Pembangunan klinik hampir
selesai. Tampak para tukang sedang memasang genteng di atap.
"Awas, gentengnya! " Pak Soleh berteriak pada para tukang yang sejak tadi
bercanda melulu. "Tenang. Pak Soleh!" seorang tukang tertawa.
"Tenang, tenang gimana! Kalian ngelemparin gentengnya sembarangan!"
"Udah biasa. Pak Soleh! Nih!" tukang itu melemparkan sebuah genteng
sambil menutup matanya ke udara.
Genteng pun melayang ke udara! Seorang tukang yang berdiri di atap
menangkapnya dengan sigap!
"Heh! Itu genteng mahal, tau!" Pak Soleh berteriak kaget. "Kalau sampai
pecah, upah kalian saya potong!"
Para tukang hanya tertawa menimpali ancaman Pak Soleh. Mereka tahu. Pak
Soleh hanya bercanda. Mereka tahu. Pak Soleh itu baik hati. Mereka tahu,
Pak Soleh itu paling ringan tangan. Boro-boro motong upah tukang ...,
uangnya pun terkadang suka diberikan pada tukang yang sedang kesusahan.
"Pak Soleh!" panggil seorang tukang yang sedang memutar-mutarkan
lengannya. Di genggamannya ada sebuah genteng. "Tangkap, ya!!"
"Heh, awas!!" Pak Soleh kaget dan gugup.
Tetapi genteng itu tidak tertuju kepada Pak Soleh. Genteng itu melayang ke
udara! Tukang lainnya yang duduk di atap rumah menangkap genteng itu
dengan tertawa. Pak Soleh bernapas lega sambil geleng-geleng kepala.
Begitu terus pertunjukan itu berlangsung. Ratusan genteng dilemparkan ke
udara dan ditangkap! Kemudian genteng-genteng itu disusun dengan rapi,
menutupi bangunan yang sudah hampir jadi.
Orang-orang kampung merasa bersyukur dengan kehadiran klinik milik Anah
ini. Anah di mata mereka kini menjelma menjadi anak yang sukses. Tabir
yang sejak dahulu mereka simpan erat-erat, kini tidak dipermasalahkan lagi.
Bahkan menjadi berkah buat mereka.
"Itulah hikmahnya kehadiran Anah di sini bagi kita," kata Pak Soleh,
pengemis berkaki buntung mengomentari. "Dulu, kita pernah menolak
kehadirannya sebagai anak jadah. Untung Bik Eti dengan sabar dan tawakal
merawatnya. Lihatlah sekarang... Anah menjadi wanita muslimah. Kedua
orangtua kandungnya kini berkumpul lagi. Dan lihatlah pula, sebuah klinik
berobat bagi orang-orang miskin seperti kita dibangunnya!"
Orang-orang yang tinggal di perkampungan di sekitar stasiun kereta api
mengiyakan. Baginya, Anah memang hikmah. Bukan saja klinik, tetapi
selama Anah tinggal bersama almarhum Pak Haji Budiman, kampung mereka
termasuk paling sering mendapat bantuan sembako. Bahkan, Pak Hari
Natadiningrat pun termasuk paling sering mengirimkan bantuan sembako
jika hari lebaran tiba. Bukan hanya pada saat lebaran saja. Tetapi, pada
saat krismon mengganas, bantuan sembako dari Pak Hari terus mengalir.
Sekarang, kebiasaan baik itu dilanjutkan oleh Anah dan Bashir!
"Pak Soleh inget, kan" Bagaimana Ibu meninggal?" Anah memulai rencana
pembangunan kliniknya dengan mengingat peristiwa tragis yang menimpa
Bik Eti. "Anah nggak sanggup membawa Ibu berobat ke dokter karena nggak
punya uang. Anah saat itu berjanji, kelak kalau Anah jadi dokter, tenaga
dan pikiran Anah akan Anah sumbangkan bagi orang-orang miskin. Termasuk
membangun klinik Asy Syifa ini."
"Namanya klinik Asy Syifa?" Pak Soleh merasa bangga.
"Artinya itu 'kesembuhan', Pak Soleh," Anah menjelaskan. "Insya Allah,
orang-orang yang berobat ke klinik Asy Syifa akan diberi kesembuhan oleh
Allah Swt. Anah kan hanya sebagai perantara-Nya saja."
"Alhamdulillah, " Pak Soleh bersyukur karena Anah tidak menjadi kacang
yang lupa pada kulitnya. "Dan pengalaman Anah waktu kehilangan Ibu dulu karena nggak bisa
membawa Ibu ke dokter, nggak akan terulang lagi, Pak Soleh," kata Anah
mengenang ketika meletakkan batu pertama.
Semua impian Anah kini sedang mendekati kenyataan. Di tanah kosong yang
dahulu hanya ada plang bertuliskan: DI TANAH INI AKAN DIBANGUN "KLINIK
ASY SYIFA" kini sudah mulai menampakkan wujud bangunannya!
Pak Soleh tersenyum bangga melihat kenyataan di depannya ini. Semuanya
berjalan tanpa bisa diduga. Bermula dari bayi yang dibuang di gerbong
kereta, kemudian ke almarhumah Bik Eti yang menemukan bayi malang itu.
Bik Eti yang mengasuh, merawat, membesarkan, dan mendidiknya. Terus
bergulir ke Pak Haji Budiman yang merawatnya hingga lulus SMU, lalu ke
keluarga Hidayat yang berhasil mengantarkannya menjadi seorang dokter,
dan kini Pak Hari Natadiningrat menghadiahinya sebidang tanah, yang di
atasnya akan dibangun sebuah klinik yang diperuntukkan bagi orang-orang
tidak mampu seperti dirinya.
Episode 19 Tempatku di Sisi-Mu "Alhamdulillah," Pak Soleh mengucap syukur. "Atas kuasa-Mu jualah, klinik
ini berdiri," katanya penuh haru.
Pak Soleh kembali terlempar ke peristiwa puluhan tahun yang lalu. Saat itu,
Anah hanya bisa meratapi Bik Eti yang sakit parah. Hanya karena mereka
miskin saja, mereka tidak sanggup membawa Bik Eti ke dokter. Sejak
kepergian Bik Eti karena sakitlah, Anah bercita-cita ingin menjadi dokter.
Alhamdulillah, diiringi dengan doa dan kerja keras, Anah berhasil menjadi
seorang dokter! Ketika Anah mengemukakan keinginannya membangun klinik "Asy Syifa",
yang diperuntukkan bagi orang tidak mampu, Pak Hari Natadiningrat sangat
mendukung. Bahkan, seolah ingin menebus dosa lamanya, Pak Hari
membantu seluruh biaya pembuatan klinik "Asy Syifa". Mulai dari pembelian
sebidang tanah di dekat perkampungan di belakang stasiun, serta pengadaan
material dan tukangnya. Pak Hidayat pun tidak ketinggalan. Dia menjanjikan
akan membelikan peralatan medis untuk persalinan. Komplet sudah
kebahagiaan Anah karena Allah telah mempermudah impiannya.
Sedangkan Pak Soleh dipekerjakan sebagai pengawas bangunan. Bahkan
berkat Pak Soleh pulalah, pembelian tanah untuk klinik jadi lancar. Pak
Soleh yang miskin, ternyata ada artinya juga bagi orang lain. Pak Soleh
merasa hidupnya kini lebih berarti.
"Bagaimana pembangunan kliniknya, Pak Soleh?" tiba-tiba terdengar suara
Anah. Pak Soleh kaget. Dia menengok. "Lho, kamu!" Ternyata Anah sejak tadi
sudah berdiri di belakangnya. Siti Nurkhalishah, yang kini sudah berumur 1
tahun, dituntunnya. Nur rupanya sudah memaksa ingin berjalan sendiri.
"Astaghfirullah ...," Pak Soleh tertawa. "Anah dari tadi di situ, ya?" tanyanya
malu. "Iya," Anah tersenyum. "Anah lihat, Pak Soleh lagi ngelamun. Kenapa, Pak"
Inget sama masa lalu, ya?"
Pak Soleh mengangguk dan berjalan terpincang-pincang sambil tertawa.
Sekarang Pak Soleh tidak lagi memakai kruk. Kakinya yang buntung sudah
disambung memakai kaki palsu. Bashir yang membelikannya.
"Iya, Anah. Bapak inget Bik Eti," katanya sedih. Anah tersenyum lagi. Dia
mencoba untuk tidak larut dalam kesedihan masa lalu. Anah menatapnya
dengan rasa haru. Pak Soleh yang sudah terlalu banyak menolongnya. Pak
Soleh yang tidak sekadar orang lain bagi Anah, tetapi lebih dari seorang
sahabat. Saat ini bagi Anah, Pak Soleh bisa saja sebagai pengganti
almarhumah Bik Eti dan almarhum Pak Haji Budiman. Pak Soleh sebagai
orangtuanya juga, selain Pak Hari Natadiningrat dan Natalia!
"Nur, Sayang ...," kini Pak Soleh mengalihkan perhatian pada Nur kecil.
"Sini, Nur, sini ...," Pak Soleh mengulurkan lengannya. "Ayo, cium tangan
dulu," katanya. Anah mengajari Nur cium tangan. Nur kecil melonjak-lonjak gembira
mengulurkan tangannya. Lalu Nur menyalami dan mencium punggung tangan
Pak Soleh. Subhanallah ..., anak sekecil N ur Isudah bisa menerima


Tempatku Di Sisi Mu Karya Gola Gong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pelajaran budi pekerti; harus menghormati orang yang lebih tua. Itu
termasuk bekal kita dalam menjalani hidup yang serba keras ini kelak. Insya
Allah. "Nur, besarnya mau jadi apa?" Pak Soleh pun mengangkat tubuhnya tinggitinggi!
Nur menjerit-jerit kegirangan.
"Jadi dokter kayak Ibu, ya!"
Nur mengangguk-angguk kesenangan.
Anah menyaksikannya dengan mata berkaca-kaca. Dia seperti melihat
dirinya yang dipangku Pak Soleh!
Episode 20 Tempatku di Sisi-Mu Anah Mendapat Warisan Hari Natadiningrat
Dari tanah muncullah dahan, lalu daun,
bunga, buah, dan angin musim menjadi temannya
Seiring waktu kembali pada Sang Muasal
Daun kering berguguran ke tanah pangkuan
Berserak dan berserah diri di selembar sajadah:
sudahkah ingat bekal pada-Nya"
Magrib baru saja lewat. Menjelang isya.
Malam mulai menurunkan jubah hitamnya. Langit tak berbintang. Hitam
pekat. Para iblis sedang mengepung sebuah rumah besar yang sepi. Dari
rumah besar itu tak ada suara apa-apa, selain suara batuk berkepanjangan
yang terdengar. Para iblis api neraka itu bersembunyi di batang-batang
pepohonan, yang sudah puluhan tahun tumbuh di halaman rumah. Juga
hinggap di daun-daunnya sehingga bergoyang-goyang mengisyaratkan kegelisahan. Mereka menjulurkan lidah apinya, seolah hendak membakar
para penghuni rumah besar itu. Mereka sedang menunggu sesuatu yang akan
terjadi". Batuk dari dalam rumah. itu terdengar lagi.
Para iblis tertawa terbahak-bahak. Apinya menyembur dan menghanguskan
dedaunan. Kemudian mereka mengendap-endap ke jendela kamar. Mereka
mengintip lewat celah-celah gorden. Mereka menanti dengan harap-harap
cemas bahwa pertunjukan akan berakhir dengan kemenangan yang berpihak
pada mereka! Tetapi, di sudut lain, para malaikat pun turun dengan sayap
putihnya. Mereka meniupkan aroma wewangian ke dalam kamar! Pertunjukan di dalam kamar pun mereka tonton. Para malaikat dan para
iblis tampak tegang! "Bagaimana, Pa?" Natalia tergopoh-gopoh muncul, membawa segelas air
putih. Pak Hari terduduk di pinggiran tempat tidur. Lelaki tua beruban itu tidak
hanya batuk. Tetapi juga menggigil. Wajahnya pucat. Bibirnya bergetar
kebiru-biruan. "Mama panggil Dokter Gunawan ke sini, ya?"
"Nggak usah. Papa hanya batuk biasa," Pak Hari menarik selimut.
Natalia menyodorkan air putih.
Pak Hari menggeleng. Natalia meletakkan gelas itu di meja kecil. Lalu dia duduk di tempat tidur.
Menyentuh kening suaminya. "Tapi, suhu badan Papa tinggi sekali!" nadanya
sangat cemas. "Papa justru merasa dingin, Mama ...," Pak Hari berbaring dan menyelimuti
tubuhnya. "Tuh, kan! Ini demam, namanya!" Natalia membantu menyelimuti suaminya.
"Mungin Papa kecapekan," Pak Hari menggigil.
"Kan Mama bilang, Papa udah nggak perlu lagi ngurusin perusahaan.
Sekaranglah saatnya buat Papa pensiun."
Pak Hari tidak menjawab. Dia malah makin menggigil.
"Papa!" Natalia panik. Dia meraba lagi kening suaminya. Panasnya melebihi
batas normal. "Mama panggil Dokter Gunawan, ya"!" Natalia bangkit dan
menuju meja di dekat jendela kamar. Diraihnya telepon.
Pak Hari makin menggigil dan panasnya makin meninggi.
Para iblis terus menyemburkan api nerakanya! Tetapi, para malaikat
Terdampar Di Pulau Asing 1 Dewa Linglung 25 Prahara Pulau Naga Jelita Pendekar Kidal 8
^