Pencarian

Terdampar Di Pulau Asing 1

Pendekar Naga Putih 31 Terdampar Di Pulau Asing Bagian 1


T. Hidayat TERDAMPAR Dl PULAU ASING
ACINTAMEDIA penerbit buku silat bermutu
TERDAMPAR DI PULAU ASING
Oleh T. Hidayat
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Tarech R.
Gambar sampul oleh Soeryadi
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh Isi buku ini
tanpa ijin tertulis dari penerbit
T. Hidayat Serial Pendekar Naga Putih
dalam episode: Terdampar di Pulau Asing
128 hal ; 12 x 18 cm
1 "Uhhh...."
Seorang pemuda tampan berjubah putih meng-
geliat dan mengeluh lirih. Kelopak matanya terbuka perlahan-lahan. Dengan
gerakan lemah, ia mencoba Bangkit dari atas balai-balai bambu, tempat tubuhnya
terbaring. "Jangan banyak bergerak dulu, Tuan. Kesehatan-mu belum begitu pulih," ujar
seorang wanita berwajah manis sambil mencegah pemuda itu bangkit.
Dengan dcrakan lembut dan penuh kasih, ditekan-
nya bahu pemuda itu agar berbaring kembali.
Entah merasa tidak enak atau bagaimana, akhir-
nya pemuda itu kembali merebahkan tubuhnya.
Pada pancaran wajahnya tergambar jelas kelelahan yang amat sangat
"Di manakah aku, Nyai..." Dan, siapakah kau...?"
Tanya pemuda itu sambil merayapi wajah wanita
yang berusia sekitar tiga puluh tahun Itu.
Wanita berwajah manis yang memiliki sifat ke-
ibuan itu kembali tersenyum lembut. Di hatinya
tidak sedikit pun terbersit perasaan risih ketika pemuda tampan itu memandangi
wajahnya. 'Tuan berada di gubuk kami. Menurut cerita ayah-ku yang membawa Tuan kemari,
Tuan ditemukan dalam keadaan tak sadarkan diri di tepi pantai. Tapi, aku tidak tahu pasti di
pantai sebelah mana Tuan ditemukan. Sebaiknya, nanti tanyakan sendiri pada ayah
setelah pulang dari pasar. Sambil menunggu, sebaiknya Tuan istirahat Mmm...
Kalau Tuan suka, aku sudah menyediakan bubur hangat," ujar wanita itu seraya
akan beranjak keluar dari kamar sempit itu.
"Nyai, tunggu...!" cegah pemuda tampan itu sambil bendak bergerak bangkit dari
berbaringnya. Melihat pemuda itu akan bergerak bangkit, ber-
gegas wanita itu menghampiri dan menekan kedua
bahunya perlahan.
'Tuan sangat keras kepala!" omel wanita itu, dengan melepaskan senyum menggoda.
Kembali tubuhnya dihenyakkan di tepi pembaringan. "Apa yang ingin Tuan katakan
kepadaku?"
"Mmm.... Bolehkah kutahu nama Nyai...?" Tanya pemuda tampan yang berusia sekitar
dua puluh satu tahun itu. Tubuhnya yang tegap, telah terbaring kembali.
"Mengapa tidak boleh" Namaku Sumirah. Aku
tinggal di gubuk ini bersama ayahku yang bernama Ki Rungga. Puas" Atau masih ada
pertanyaan lain yang ingin Tuan ajukan" Kalau masih ada, ber-tanyalah. Sebab,
aku masih ada beberapa pekerjaan yang harus diselesaikan," ucap wanita bernama
Sumirah itu sambil tersenyum. Melihat dari wajah dan sikap ramahnya, jelas kalau
wanita ini sangat senang dengan keberadaan pemuda itu di gubuknya.
Sumirah menunggu tanggapan pemuda berjubah
putih itu beberapa saat. Dipandanginya wajah tampan yang tengah termenung itu
dengan penuh selidik. Ingin Ia menanyakan siapa dan dari mana sebenarnya pemuda bertubuh
tegap itu. Tapi,
keinginan itu disimpannya dalam hati. Sebab, ada perasaan malu menyelimuti
hatinya. Apalagi sikap pemuda itu sangat sopan. Sehingga menimbulkan
rasa segan. Lalu, di-putuskannya untuk menunggu, meskipun hati kecil-nya
berharap agar pemuda yang terbaring itu mau bercerita tantang dirinya.
Sumirah mengalihkan pandangannya ketika
pemuda itu tersentak dari lamunannya. Sadar kalau dirinya tengah diperhatikan,
wanita itu mengangkat wajahnya perlahan. Lalu, dibalasnya tatapan pemuda itu
dengan senyum lembut menghiasi wajahnya.
"Nyai, aku sangat berterima kasih sekali atas segala pertolonganmu dan
ayahmu.... Ehm... namaku Panji. Untuk sementara ini, aku belum bisa bercerita
banyak. Tubuhku masih terasa lemah, dan aku
belum mampu mengingat semua peristiwa yang
kualami. Tapi, aku berjanji akan menceritakan tentang diriku sepulang ayahmu
dari pasar nanti. Maaf, kalau kehadiranku di tempat ini telah membuat
kalian repot," ujar pemuda berjubah putih yang ternyata memang Panji atau yang
lebih dikenal berjuluk Pendekar Naga Putih.
"Baiklah, Panji.... Dan kalau kau suka, makanlah bubur hangat itu untuk
mengembalikan tenagamu.
Sudah hampir satu hari penuh kau terbaring tanpa sadarkan diri. Entah apa yang
telah kau alami, sehingga tenagamu sampai terkuras," ucap Sumirah sambil
beranjak bangkit dan melangkah keluar dari kamar.
Wanita berwajah lembut dan sangat penyabar ini
menoleh sejenak, kemudian tubuh ramping itu
lenyap di balik pintu.
Panji sempat terkejut ketika mendengar dirinya
telah terbaring hampir seharian penuh di atas balai-balai bambu itu. Namun, hal
itu tidak ditanyakannya. Karena hal itu akan membuat Sumirah lebih
lama menemaninya. Bukan karena ia tidak me-
nyukai kehadiran wanita itu. Tapi, sebagai seorang pendekar, tentu saja keadaan
tubuhnya yang sangat lemah di hadapan orang lain, tidak begitu disukainya.
Itulah sebabnya mengapa dibiarkannya saja
wanita itu pergi.
Setelah Sumirah berlalu dari kamar, Panji
bergegas melakukan semadi untuk mengembalikan
kesehatan tubuhnya.
*** Derrr! Derrr! Derrr...!
"Hei! Ki Rungga...! Cepat buka pintu...!"
Seorang lelaki bertampang kasar yang mengena-
kan anting-anting bulat di telinga kanannya, meng-gedor-gedor pintu rumah Ki
Rungga. Sikapnya tampak kntar dan galak. Tangan kirinya menggenggam sebilah
giilok yang menyembul di pinggang kanannya.
Setelah menunggu beberapa saat, dan pintu
belum juga terbuka, lelaki kasar itu menjadi tak sabar. Dengan wajah gelap,
diterjangnya pintu yang terbuat dari kayu itu. Dan....
Brakkk..! Pintu rumah itu jebol dan hancur berkeping-
keping. Dan dengan darah mendidih, bergegas lelaki kasar itu melompat masuk.
Kemudian disusul oleh dua orang rekannya, yang sejak tadi hanya diam di
sampingnya. "Ayahku... ayahku tidak ada di rumah...," terdengar suara lirih yang bergetar
menyambut kehadiran ketiga orang lelaki kasar itu.
"Ahhh! Lihatlah, Kakang Karpala! Tanpa setahu kita, rupanya Ki Rungga menyimpan
seorang gadis cantik di dalam rumahnya. Sungguh pandai sekali orang tua itu
menyembunyikannya dari kita," ujar salah seorang dari ketiga orang itu sambil
menatap wajah Sumirah yang pucat pasi.
Lelaki bertampang kasar yang bernama Karpala
itu tertawa terbahak-bahak. Kedua kakinya melangkah perlahan mendekati putri Ki
Rungga. Sepasang matanya menjilati sekujur tubuh Sumirah yang
hanya mengenakan kain sebatas dada.
"Hm.... Mengapa kau tidak membukakan pintu Rupanya kau lebih suka kami bersikap
kasar, ya?"
geram Karpala seraya tangannya menyentuh wajah
Sumirah. Melihat hal itu, Sumirah segera menelengkan
kepalanya, menghindari jamahan tangan Karpala.
"Mau apa kalian sebenarnya" Kalau memang perlu dengan ayahku, kalian dapat
kembali lagi kemari,"
ujar Sumirah semakin ketakutan ketika tangan Karpala semakin kurang ajar hendak
merayapi dadanya.
Wanita itu pun menggeser langkahnya, menjauhi
lelaki kasar yang hendak berbuat tidak senonoh
terhadapnya. "He he he.... Kau jangan berpura-pura alim, Nyai.
Aku tahu Ki Rungga telah menyembunyikan seorang pemuda tampan untukmu, bukan"
Nah, kalau kau ingin selamat, serahkan pemuda asing itu kepada kami Kalau tidak, keluarga ini
akan mendapat kesulitan," ancam Karpala sambil melangkah mende-
kati Sumira yang merapatkan tubuhnya ke dinding.
"Aku tidak tahu apa yang Tuan bicarakan. Lebih baik kalian segera tinggalkan
tempat ini Kalau tidak aku akan berteriak. Dan, orang-orang di desa ini akan
menghukum kalian," ujar Sumirah dengan dada berdebar.
Tapi, wanita berwajah manis itu berusaha me-
nyembunyikan rasa ketakutannya. Diam-diam hati-
nya berharap agar pemuda tampan yang bernama
Panji tidak keluar dari kamarnya. Sebab, bila hal itu terjadi keadaan akan
semakin runyam.
Namun, harapan wanita itu pupus ketika pintu
kamar yang terletak beberapa langkah dari tempatnya berdiri, tiba-tiba berderit.
Dari balik daun pintu yang terbuka, muncul seorang pemuda tampan
berjubah putih.
Sumirah sangat gembira ketika melihat wajah
tampan yang semula terlihat lelah, kini nampak
segar makin bercahaya. Senyum lembut yang meng-
hiasi wajah pemuda itu, dibalasnya dengan tak kalah manis.
Hingga Sumirah lupa akan dirinya yang sedang
dalam keadaan terancam maut.
"Nah, sekarang kau tidak bisa berbohong lagi, Nyi.
Bukankah pemuda itu yang ditemukan Ki Rungga di tepi pantai" He he he....
Rupanya kau merasa senang ditemaninya. Dan, kau takut kalau kami akan
membawanya pergi," ujar Karpala sambil terkekeh serak.
Sekilas pandangan lelaki kasar itu menatap penuh selidik ke arah Panji. Jelas,
kalau kehadiran Panji di dalam rumah ini tidak disukainya.
"Nyai, kau tidak perlu khawatir. Biarkan pemuda itu kami bawa pergi dari sini,
Dan, kau boleh ber-senang-senang dengan Kakang Karpala. Bukankah
begitu, Kakang?" timpal lelaki lain yang berkepala botak dengan kumis dan
jenggot menghias wajahnya. Sehingga, wajah yang hitam itu nampak semakin Garang.
"Ha ha ha.... Bagus, Adi! Bagus... Ayo, cepat kalian bawa pemuda itu, dan tunggu
aku di luar," sahut Karpala yang segera hendak memeluk tubuh
Sumirah. "Jangan ganggu wanita itu!" bentak Panji dengan suara pelan, tapi mengandung
perbawa yang amat
kuat Sehingga, hati Karpala sendiri merasa tergetar.
Lengan lelaki beranting-anting itu tetap menga-
pung di udara, bagaikan sebuah area batu. Sedangkan kepalanya menoleh ke arah
pemuda berjubah
putih yang tengah menatapnya dengan sinar mata
mencorong tajam dan menggiriskan.
"Ahhh...!"
Tanpa sadar, lelaki berwajah kasar itu kaget.
Kakinya melangkah mundur beberapa tindak me-
lihat tatapan mata pemuda itu yang membuatnya
gentar dan ngeri.
"Jangan pandangi aku seperti itu, Bocah Keparat.
Matamu seperti mata iblis! Aku tidak suka melihatnya!" bentak Karpala. Suaranya
sengaja dikeraskan menghalau rasa gentar yang menyelimuti hatinya.
Padahal, pemuda tampan itu tidak melakukan
gerakan apa-apa, hanya matanya yang memandang
lekat-lekat ke wajah Karpala.
Selagi lelaki bertampang kasar itu melangkah
mundur, Sumirah bergegas lari dan sembunyi di
belakang tubuh Panji. Wajah wanita itu terlihat penuh kecemasan. Apalagi
kekejaman Karpala dan
dua orang temannya sudah lama diketahuinya. Tak heran kalau ia mengkhawatirkan
keselamatan Panji.
"Panji, sebaiknya kau pergilah. Tinggalkan tempat ini. Mereka..., mereka sering
bertindak kejam terhadap orang yang tak disukainya. Dan, kepandaian silatnya
tinggi," bisik Sumirah, terdengar bergetar suaranya. Sekilas, putri Ki Rungga
yang berwajah manis itu sangat cemas akan keselamatan Panji.
"Tenanglah, Nyai. Aku yakin mereka tidak akan bertindak kasar di dalam rumah
ini. Bersembunyi-lah di kamar. Biarkan aku yang membereskan
persoalan ini dengan mereka di luar. Percayalah, mereka pasti tidak akan berbuat
jahat terhadapku,"
bujuk Panji, mcnenangkan hati Sumirah. Sambil
berkata demikian, didorongnya tubuh wanita itu ke dalam kamarnya.
"Tapi.... Tapi, Panji...."
"Sudahlah, Nyai. Percayalah, tidak akan terjadi apa-apa terhadapku. Mereka pasti
akan mengerti kalau aku bukan orang jahat, dan tidak akan
merugikan mereka," potong Panji cepat.
Sumirah langsung terdiam mendengar ucapan
Pemuda berjubah putih itu.
"Mari kita bicarakan persoalan ini di luar, Kisanak," ajak Panji yang segera
melangkahkan kakinya menuju pintu keluar. Langkah pemuda itu tenang, dan
sikapnya sama sekali tidak mencerminkan rasa takut. Sehingga Karpala dan kawan-
kawannya bertindak hati-hati, dan tidak berbuat apa-apa.
Kecuali memandangi Panji seperti orang linglung.
Begitu tubuh pemuda berjubah putih itu lenyap
balik pintu, cepat-cepat Karpala dan kedua kawannya bergerak mengejar. Mereka
berloncatan, takut orang yang memang sedang dicari-cari itu melarikan diri.
Rasa heran dan penasaran semakin bertambah
ketika mereka tiba di luar, ternyata pemuda itu tengah menanti mereka dengan
sikap tenang. Bahkan, bibir pemuda berjubah putih itu menyung-
gingkan senyuman. Sehingga Karpala dan kawan-
nya, semakin mengerti.
Keheranan di wajah Karpala berubah menjadi
sinar kebengisan ketika teringat tugas yang diem-bannya. Sikapnya yang tadi
nampak tolol itu berubah ganas.
"Hei, Anak Muda! Perlu kau ketahui, kami
ditugaskan majikan kami untuk membawamu hidup
atau mati. Dan, kau tidak boleh membantah!" tegas Karpala mengandung ancaman
maut. Sambil berkata demikian, tangan lelaki kasar
meraba gagang golok yang tersembul di pinggang.
Jelas, tindakan itu bermaksud untuk menakut-
nakuti Panji. "Maaf, karena aku tidak mengenal majikan kalian, maka permintaanmu terpaksa
kutolak," tegas Panji dengan nada pelan.
Jawaban yang diberikan Panji bukan tanpa
alasan. Sebab, selain ia sadar berada di tempat yang masih sangat asing, juga
tidak ingin terjebak ke-dalam sarang macan. Dan, semua itu dapat dilihatnya dari
sikap ketiga lelaki kasar yang berhadapan dengannya. Karena itu, sikapnya tetap


Pendekar Naga Putih 31 Terdampar Di Pulau Asing di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

waspada. "Hm.... Kalau begitu, aku akan memaksamu
dengan kekerasan!" geram Karpala yang segera men-cabut golok panjangnya.
Kemudian, tangan lelaki kasar itu bergerak mem-
beri isyarat perintah kepada dua orang temannya untuk mengepung Panji. Rupanya
sikap Pendekar Naga Putih yang tenang, telah membuatnya bersikap hati-hati. Apalagi, penampilan
pemuda berjubah putih itu menimbulkan perbawa yang membuat hatinya menjadi
gentar. "Serang...!"
Setelah beberapa saat terdiam, Karpala berseru
memerintahkan kedua orang kawannya untuk me-
nyerang. Sedangkan ia sendiri tetap tidak bergerak.
Namun sepasang matanya, tetap mengawasi Panji.
Jelas, lelaki yang mengenakan anting-anting bulat pada telinga kanannya itu
ingin melihat apa yang dilakukan Panji dalam menghadapi kedua temannya.
"'Heaaat..!"
Sambil berteriak nyaring, kedua lelaki kasar itu segera menerjang Panji dengan
sambaran golok panjangnya.
Pendekar Naga Putih sama sekali tidak beranjak
dari tempatnya. Diamatinya saja gerakan kedua
lawannya. Bibirnya tersenyum setelah mengetahui kalau mereka hanya menggunakan
tenaga kasar untuk menyerang. Tentu saja serangan itu sama
sekali tidak berarti baginya. Karena itu, ia tidak berusaha mengelak.
Melihat lagak ketiga lelaki kasar yang hanya
mengandalkan kekerasan itu, membuat Panji ingin memberikan pelajaran terhadap
mereka, agar tidak tinggi hati dan memandang remeh orang lain. Dan Pendekar Naga
Putih ingin menundukkan mereka
tanpa kekerasan.
Sambaran dua bilah golok panjang meluncur
mengancam tubuh Panji. Menyadari lawan tidak
mengetahui serangannya, mereka menambah tenaga
dalam untuk menggerakkan senjatanya.
Trakkk! Trakkk!
Hantaman dua batang golok yang bertenaga itu,
memang tepat mengenai punggung dan dada Pen-
dekar Naga Putih. Namun, kedua bilah golok langsung patah ketika menghantam
telak tubuh yang
telah diselimuti kabut bersinar putih keperakan itu.
Bahkan, tubuh kedua penyerang itu terpental sejauh satu setengah tombak sambil
menjerit keras memilukan.
Terkejut bukan main hati Karpala melihat kedua
tubuh rekannya terhempas ke tanah sambil me-
rintih kesakitan. Tampak lengan mereka membeng-
kak sebatas pergelangan. Jelas tenaga yang mereka gunakan telah membalik, dan
melukai diri sendiri.
Rasa penasaran Karpala semakin menjadi-jadi.
Maka, tanpa berpikir panjang, ia langsung melompat sammbil membabatkan golok
panjangnya ke arah
tubuh Panji. Walaupun serangan lelaki kasar itu jauh lebih
cepat dan kuat ketimbang kedua kawannya, Pende-
kar Naga Putih tetap tidak bergeming sedikit pun.
Ditunggunya serangan golok lawan tanpa berusaha mengelak. Dan....
Trakkk! "Aaa...!"
Karpala menjerit ngeri ketika tubuhnya terlempar sejauh dua batang tombak. Dan,
itu terjadi karena tenaga yang dipergunakannya lebih hebat dari kedua Iawannya.
"Pemuda iblis...! Lari...!" teriak Karpala yang merasa tidak akan unggul melawan
Panji. Dan mereka pun segera mengambil langkah seribu.
"Kau..., kau tidak apa-apa, Panji...?" Tanya Sumirah. Raut kecemasan tampak di
wajahnya. Wanita berparas cukup cantik itu memang sejak
tadi menyaksikan kejadian yang dianggapnya sangat luar biasa. Terbukti, selain
raut kecemasan, juga terlihat adanya keheranan dan kekaguman di wajahnya.
Panji hanya tersenyum, kemudian melangkah
masuk ke dalam gubuk. Sedangkan Sumirah me-
nyusul dengan berbagai macam perasaan yang
bergayut di benaknya.
* * * 2 "Jadi kau terpisah dari kawan wanitamu, yang bernama Kenanga itu?" Tanya Sumirah
setelah Panji menceritakan pengalamannya sehingga sampai terlempar di pulau itu.
Panji yang berada tepat didepan Sumirah tertun-
duk lesu. Terdengar helaan napas berat yang mencerminkan kegalauan hati pemuda
itu. Perlahan- lahan kepalanya terangkat ke atas. Dan, pandangannya kearah ke luar jendela yang
terbuka lebar. Tampak sepasang mata yang tajam itu berubah sayu.
Dan, keningnya berkerut seperti tengah merenung.
"Yahhh.... Badai yang ganas itu telah menghem-paskan kapal yang kami tumpangi.
Kemudian kapal itu pecah berantakan akibat terhantam batu karang.
Aku tak berdaya sama sekali melawan keganasan
alam laut itu. Untunglah aku sempat meraih se-
keping papan dari pecahan kapal yang berserakan.
Dan, selama tiga hari tiga malam, aku terapung di tengah samudera luas yang
bagaikan tidak bertepi itu," jelas Panji yang kembali teringat akan nasib
kekasihnya. "Lalu, bagaimana kau bisa terdampar di pulau ini"
Aimkah karena sekeping kayu dari pecahan kapal itu yang membawamu kemari?" Tanya
Sumirah sambil menatap wajah Panji dengan perasaan iba.
Putri tunggal Ki Rungga itu sepertinya sangat
tertarik dengan Panji. Hal itu terlihat jelas dari tatapan matanya. Bahkan
sikapnya pun sangat lembut
dan penuh perhatian ketika merawat dan melayani pemuda itu. Tak ubahnya seorang
kakak terhadap adik kandungnya.
Panji bukannya tidak tahu akan perasaan wanita
itu. Bahkan, anggapan Sumirah terhadap dirinya
pun sudah dapat diduga. Dan, karena hal itu pula-lah yang membuat Panji
menceritakan apa yang
dialaminya ketika berada di samudera luas.
"Bukan hanya sekeping kayu itu yang membuat-ku terdampar di pantai pulau ini.
Tapi, aku sen-dirilah yang mendayung sekeping papan itu setelah badai reda!
Karena terlalu banyak mengerahkan
tenaga hingga melampaui batas itulah, membuatku tak sadarkan diri setelah tiba
di tepian pantai ini.
Hm... Apakah nama pulau ini, Nyai...?" Tanya Panji sambil memandangi wajah
wanita itu lekat-lekat.
Sumirah sama sekali tidak berusaha mengelak
dari tatapan pemuda itu. Bahkan, dia balas memandangi sambil tersenyum lembut.
Dirayapinya wajah Panji tanpa rasa jengah sedikit pun.
"Panji, apakah kau mencintai wanita itu..." Dia kekasihmu, bukan...?" Tanya
Sumirah seolah-olah tidak mendengar pertanyaan pemuda berjubah putih itu. Sambil
bertanya demikian, sepasang mata ter-hunjam tepat di bola mata Pendekar Naga
Putih. "Benar, Nyai. Wanita itu memang kekasihku. Dan, aku sangat mencintainya. Hhh...,
sayang aku tidak bisa munyelamatkannya dari keganasan alam. Entah bagaimana
nasibnya..." Mudah-mudahan saja dia
selamat," desah Panji penuh harap.
"Kenanga pasti seorang gadis cantik dan lembut.
Ah..., andai saja dia ada di sini, bersamamu. Ingin aku berkenalan
dengannya...," gumam Sumirah, seolah-olah berkata kepada diri sendiri.
"Ya, dia memang sangat cantik, Nyai. Dia tidak banyak menuntut dan selalu
bersikap mengalah.
Padahal, kalau dia mau, tentu bisa hidup bersama seorang pangeran yang kaya.
Tapi ternyata dia me-milihku, yang hanya seorang petualang miskin ini.
Hal itulah yang membuatku semakin menyayangi
dan mencintainya," desah Panji sambil menghembuskan napas penuh sesal.
"Mengapa kalian naik kapal layar" Apakah kalian sengaja hendak pergi pesiar?"
"Kebetulan waktu itu kami melewati sebuah perkampungan nelayan. Kenanga mungkin
tertarik ketika melihat perahu besar sedang merapat di
dermaga. Lalu ia mengajakku untuk ikut berlayar dengan kapal itu. Selanjutnya,
yah..., seperti yang baru kuceritakan tadi, Nyai."
"Jadi, kalian sama sekali tidak mempunyai tujuan?" Tanya Sumirah tak mengerti.
Wanita berwajah manis itu memang belum me-
ngenal siapa sebenarnya Panji. Andaikan pemuda ini menceritakan tentang dirinya
yang sesungguhnya.
Sumirah pun tak akan mengetahuinya. Karena ia
memang bukan orang persilatan.
"Ya..., seperti perjalanan yang selama ini kami lakukan, selalu tanpa tujuan.
Aneh bukan" Tapi, itu kami lakukan semata-mata ingin mengetahui hal-hal yang
baru. Karena kami berdua memang merupakan
orang-orang yang menyukai petualangan. Dan, ke-
pergian kami mengikuti kapal layar itu pun didorong rasa ingin bertualang,"
sahut Panji tersnyum ketika melihat wajah Sumirah memancarkan rasa heran.
Pembicaraan mereka tiba-tiba terputus ketika
mendengar suara terbatuk-batuk yang cukup keras dari luar rumah. Tidak lama
kemudian, nampak
sesosok tubuh kurus melangkah memasuki ruangan
itu. "Hm.... Kau sudah sehat, Anak Muda...?" tegur lelaki kurus berusia sekitar enam
puluh tahun itu.
Nada suaranya terdengar agak dingin. "Kalau sudah sehat pergilah! Dan tanggalkan
pulau ini. Kau bisa menyewa seorang nelayan untuk menyeberang ke
daratan terdekat."
"Ayah...! Mengapa Ayah berkata demikian" Kesehatan Panji belum begitu pulih.
Ayah, la masih memerlukan istirahat beberapa hari lagi, supaya tenaganya yang terkuras itu
dapat kembali seperti sediakala. Berilah dia kesempatan untuk beristirahat,
Ayah," ujar Sumirah yang segera beranjak bangkit menghampiri ayahnya.
Dengan raut wajah yang diliputi rasa heran dan
tidak percaya, wanita itu memandangi wajah ayahnya penuh selidik. Hati kecilnya
bertanya-tanya ketika melihat sinar kecemasan membayang di wajah lelaki tua itu.
Dan, pikirannya segera menghubung-kan kecemasan orang tua itu dengan peristiwa
yang baru saja dialaminya.
"Kau lihat sendiri, Sumirah. Wajah pemuda itu telah nampak segar dan berseri.
Dan, itu menandakan bahwa ia telah sehat. Bukankah begitu, Anak Muda?" Ujar Ki
Rungga mengalihkan pandangannya kepada Panji.
"Benar, Ki. Kesehatanku memang sudah pulih.
Aku sangat berterima kasih sekali atas kesediaan Aki yang telah bersusah-payah
menolongku. Maaf, andai-kan kehadiranku telah mengganggu ketenteraman
rumah ini," sahut Panji tersenyum sambil membung-kukkan tubuhnya dengan sikap
sopan dan hormat.
"Tidak! Kau tidak boleh pergi, Panji! Kau masih belum tahu keadaan pulau ini.
Selain itu, di mana kau akan bermalam jika hari gelap?" cegah Sumirah yang
segera menghadang langkah Panji di ambang
pintu. Jelas, wanita itu tidak menginginkan keepergian pemuda yang telah
mendatangkan kegembiraan di hatinya.
Kl Rungga terpaku melihat sikap putrinya itu. Dia Kini tahu perasaan yang
terkandung di dalam hati Sumirah. Sebab perasaan orang tua itu sama dengan yang
dikhawatirkan putrinya. Namun, semua
perasaan itu dipendamnya. Karena ada beberapa hal yang membuat Ki Rungga
terpaksa menekan perasaannya.
"Sumirah. Sadarkah kau akan sikapmu itu" Dan tahukah kau kalau kehadiran pemuda
ini bisa membuat hidup kita susah?" ucap Ki Rungga dengan tajam dan kening
berkerut. Jelas, orang tua itu sudah dapat meraba apa yang bakal menimpa
keluarga jika Panji tetap berada di rumah itu.
"Apakah mereka...?" Sumirah menggantung kata-katanya karena ucapannya dipotong
oleh ayahnya. "Ya..., dan tidak lama lagi Karpala dan kawan-kawannya akan datang kemari.
Mereka menghen-
daki Panji!" ungkap Ki Rungga sambil mengalihkan panda-ngannya ke arah Panji.
"Anak muda, katakan dengan jujur. Apakah kau suka kalau aku dan
Sumirah mendapat kesusahan?"
"Sudah tentu tidak, Ki. Apalagi kalian telah menolongku. Kalau saja ada sesuatu
yang dapat aku perbuat untuk membalas budi kalian, meskipun
dengan taruhan nyawa, tetap akan kulakukan,"
sambung Panji yang semakin merasa tidak enak
karena kehadirannya telah mendatangkan rasa tidak tenang di hati Ki Rungga.
"Nah, kalau kau memang ingin menolong kami, tinggalkan rumah ini. Atau, lebih
baik lagi, kau tinggalkan Pulau Mimpi ini. Kau bisa menyewa seorang nelayan yang
dapat mengantarkanmu ke seberang.
Turutilah nasihatku kalau kau ingin selamat," tegas Ki Kungga yang segera
mengalihkan pandangannya
ke luar jendela. Sepertinya lelaki tua itu tidak sanggup lagi menentang sinar
mata Panji yang tajam seperti mata pedang itu.
"Baiklah, kalau itu yang Aki inginkan. Aku permisi, Ki, Sumirah. Maaf jika aku
telah membuat kalian susah," pamit Panji yang segera melangkah ketika wanita
berwajah manis itu memberi jalan
kepada pemuda itu.
"Hati-hatilah, Panji...," ucap Sumirah dengan suara serak. Tentu saja hati
wanita itu merasa berat untuk melepas kepergian Panji.
Tanpa menoleh lagi, Panji mengayunkan langkah-
nya menuju tepian pantai. Meskipun ada rasa penasaran dalam hatinya, namun
perasaan itu berusaha ditekannya. Karena ia tidak menginginkan kehadirannya
membuat kebahagiaan dan ketenangan
hidup orang lain terganggu.
*** Panji yang telah cukup jauh meninggalkan rumah
KI Rungga menolehkan kepalanya ketika mendengar suara bentakan keras. Keningnya
berkerut melihat belasan orang lelaki tengah berkerumun didepan
rumah yang baru saja ditinggalkannya.
Terdorong rasa ingin tahu, pemuda itu melang-
kah mendekati rumah Ki Rungga. Dari balik bilik rumah seorang penduduk, Panji
mengintai belasan orang itu.
"Aaauw...! Lepaskan! Jahanam kalian..., pergi...!"
terdengar suara jeritan seorang wanita dari dalam rumah Ki Rungga.
Sejenak Panji tertegun ketika mendengar jeritan Sumirah. Dengan mengabaikan
permintaan Ki Rungga, tubuh pemuda itu langsung melesat laksana anak panah lepas
dari busur. Dalam sekejap saja, Panji telah berdiri tegak di belakang belasan lelaki
bertampang kasar itu. Langsung saja ia menerobos masuk ketika jeritan Su-
mirah kembali terdengar.
Darah pemuda berjubah putih itu mendidih ketika melihat tubuh Ki Rungga terkapar
di tanah. Darah segar tampak mengucur deras dari bagian tubuh
yang terluka. "Jahanam...!" desis kemarahan terlontar dari bibir pemuda itu. Sepasang matanya
menatap tajam ke
arah empat orang lelaki yang juga tengah meman-
danginya. Tatapan sepasang mata Pendekar Naga Putih yang
laksana kilatan mata pedang itu, membuat keempat lelaki kasar itu tersentak
mundur beberapa langkah.
Ketegangan jelas terbayang di wajah mereka!
"Sssi... siapa kau" Apa..., apa yang kau cari di sini...?" Tanya salah seorang
yang memlliki goresan luka di pipi kirinya. Ucapan yang terbata-bata, menandakan


Pendekar Naga Putih 31 Terdampar Di Pulau Asing di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kalau hatinya tergetar dengan sikap
dan tatapan iwmuda berjubah putih itu.
"Hm...."
Panji yang sudah merasa geram melihat keadaan
Ki Rungga, menggeram gusar. Tanpa menjawab se-
patah kata pun, pemuda itu langsung mengibaskan tangannya ke arah empat orang
lelaki kasar yang telah menyiksa orang tua itu.
Wuuut! "Aaah...!"
Hebat sekali akibat kibasan tangan Pendekar Naga Putih. Meskipun terlihat
bergerak perlahan, tapi keempat orang lelaki kasar itu menjerit ngeri. Tubuh
mereka langsung terjungkal dan menjebol dinding papan yang memang sudah rapuh.
Tanpa mempedulikan korbannya, Panji langsung
melesat ke kamar Sumirah. Kaget bukan kepalang
hatinya ketika menyaksikan putri Ki Rungga itu
merintih dan tak berdaya dibekap lelaki bertampang kasar.
Wanita lembut berwajah manis itu tampak me-
ronta-ronta, berusaha melepaskan bekapan Karpala dan lima orang pengikutnya.
Sementara seorang
lelaki uumuk berkepala botak, dengan napas men-
dengus berusaha menggagahi wanita itu.
"lblisss...!"
Dibarengi suara mendesis yang meluncur dari sela bibirnya, tubuh Panji langsung
melayang ke arah dua orang lelaki yang tengah memegangi kaki Sumirah.
Sekali tangannya dikibaskan, tubuh kedua orang
melambung hingga menjebol atap rumah!
Tindakan Pendekar Naga Putih tidak berhenti
sampai di situ saja. Dua orang lelaki yang tengah memegangi lengan Sumirah
langsung disambarnya.
Salah seorang dari mereka yang ternyata Karpala, mencoba mengelak sambaran
tangan pemuda itu.
Namun, tak urung tangannya terkena cengkeraman
Panji. "Aaa...!"
Kedua orang itu berteriak ngeri ketika Panji
menyentakkan kedua tangannya dengan pengerahan
tenaga dalam. Sesaat kemudian, kedua tubuh lelaki itu meluncur deras. Dan....
Brolll...! Kembali terdengar suara hiruk-pikuk ketika tubuh mereka menjebol atap rumah.
Tubuh keduanya langsung menggelepar ketika terbanting ke tanah. Sama dengan yang
lainnya, kedua orang itu pun langsung pingsan.
"Apa..." Siapa...?"
Lelaki gemuk berkepala botak yang nafsunya ham-
pir terlampiaskan itu, tergagap ketika melihat tubuh kawan-kawannya terjungkal
dan menjebol dinding
dan atap rumah. Rasa kagetnya berubah menjadi
marah ketika dilihatnya sosok pemuda tampan
berjubah putih berdiri di hadapannya.
"Binatang...!" geram Panji sambil mengirimkan pukulan menggeledek ke arah dada
lelaki gemuk berkepala botak itu.
Wuuut...! Lelaki berkepala botak itu rupanya cukup gesit!
Pukulan keras tangan kanan Pendekar Naga Putin
berhasil dielakkan dengan melompat ke atas.
Panji sama sekali tidak merasa heran melihat tam-parannya luput. Sebab, dari
semula sudah dike-
tahuinya kalau lelaki berkepala botak itu memang cukup berisi. Maka, ketika
pukulannya tak mengenai sasaran, pemuda itu bergegas mengirimkan pukulan
berantai. Bent! Bettr! Bettt!
Terkejut bukan main hati lelaki berkepala botak itu melihat serangan yang
dilontarkan lawannya. Sehingga, ia sibuk mengelakkan tiga buah pukulan
yang mengancam tubuhnya.
Bukkk! "Aaakh..!"
Lelaki berkepala botak itu menjerit ketika pukulan keras yang meluncur ke arah
dadanya tidak dapat dielakkan. Tubuhnya terjengkang dan menjebol dinding kamar
hingga terguling ke luar rumah.
"Panji....!" panggil Sumirah segera berlari memeluk tubuh pemuda tampan itu.
"Untunglah kau cepat datang, Panji Mereka..., mereka...."
Sumirah tidak sanggup melanjutkan kata-katanya
karena saat itu juga tangisnya telah meledak.
Panji yang selama hidupnya belum pemah mera-
sakan kasih sayang dari seorang kakak, menggerakkan tangannya dan membelai
rambut Sumirah yang
hitam dan ikal. Ada keharuan yang menyelinap di dalam hati pemuda tampan itu
ketika melihat pakaian Sumirah yang robek.
"Sudahlah, Sumirah. Sebaiknya kita segera
melihat keadaan ayahmu. Kau..., kau tidak apa-apa, bukan...?" Tanya Panji sambil
mengangkat wajah wanita itu dari dadanya. Ditatapnya sepasang mata yang basah
itu dengan hati berdebar.
Sumirah yang mengerti ke mana arah pertanyaan
Panji, menggeleng lemah. Untuk meyakinkan hati
pemuda itu, ia tersenyum, tanpa menyadari kalau saat itu wajahnya masih basah
oleh air mata. Mau tak mau Panji pun tersenyum melihatnya.
Perlahan tangan pemuda itu terulur. Dihapusnya air mata yang masih menempel di
wajah wanita itu
dengan jemari tangannya. Setelah itu, dituntunnya Sumirah untuk melihat keadaan
Ki Rungga. "Ayaaah...!"
Sumirah terpekik ketika melihat tubuh ayahnya
tergeletak pingsan dan berlumuran darah di sudut ruangan depan. Diguncang-
guncangnya tubuh Ki
Rungga tumbil memanggil-manggil nama orang tua
itu. Panji yang menangkap kegalauan hati wanita itu, bergegas mendekatinya.
Disentuhnya bahu Sumirah dan diremasnya dengan perlahan.
"Ayahmu tidak apa-apa, Sumirah. la hanya pingsan," jelas Panji yang segera
mengangkat tubuh orang tua itu, dan membaringkannya di atas balai-balai bambu.
"Ohhh...," Sumirah menghela napas lega setelah mendengar keterangan Panji. Ia
pun bergegas bangkit dan mengikuti langkah pemuda itu.
"Kau tunggulah sebentar. Aku hendak melihat orang-orang kasar itu," ujar Panji
Dan sebelum Sumirah sempat menjawab, tubuh pemuda itu telah lenyap di balik
pintu. Tak lama kemudian, Panji sudah kembali lagi.
Pemuda itu tidak menemukan seorang pun didepan
sana. Rupanya para penjahat itu jera merasakan
kehebatan Pendekar Naga Putih.
"Bagaimana, Panji..?" Tegur wanita itu ketika melihat pemuda itu masuk ke dalam
rumah. "Syukurlah mereka sudah pergi. Mudah-mudahan saja kejadian ini tidak terulang
lagi," ucap Panji berharap.
Sumirah tidak menanggapi ucapan pemuda itu.
Karena pikiran dan hatinya masih diliputi perasaan khawatir melihat keadaan
ayahnya. Lagi pula, ia tengah sibuk membersihkan darah yang melekat di wajah Ki
Rungga. *** 25 "Heya...! Heya...!"
Terdengar teriakan parau yang diselingi lecutan cambuk seperti mencabik-cabik
udara. Seorang lelaki berwajah brewok, memacu kudanya
bagaikan orang dikejar setan. Suara teriakan yang parau dan berat, meningkahi
derap kaki kuda yang bergemuruh.
Puluhan penunggang kuda yang berada di bela-
kangnya, rata-rata bertampang kasar dan bengis.
Menilik wajah mereka yang kecoklatan, jelas kalau orang-orangg itu selalu
terpanggang sinar matahari.
Lelaki brewok yang usianya sekitar empat puluh
tahun itu, terus memacu cepat kudanya memasuki
Desa Pari. Tubuhnya melayang turun ketika tiba
didepan sebuah pondok kayu yang nampak sudah
reyot dan tua. Tindakan lelaki brewok itu diikuti puluhan orang lainnya. Mereka langsung
berlompatan turun dan
bergerak menyebar. Dan dalam waktu singkat, pondok itu telah terkepung rapat dan
ketat. Sehingga tak mungkin orang dapat lolos dari kurungan itu.
Dengan langkah lebar dan sorot mata bengis,
lelaki brewok bertubuh kekar itu menghampiri pintu pondok. Dan, sekali
menggerakkan kaki, pintu
pondok itu langsung hancur berkeping-keping!
"Bangsat tua Ki Rungga! Keluar kau! Cepat serahkan pemuda keparat itu!" bentak
lelaki brewok itu setelah berada di ruang tengah pondok milik Ki
Rungga. Wajah kemerahan itu tampak berubah gelap
ketika tidak seorang pun dijumpainya di dalam
pondok. "Setan! Awas kau, Ki Rungga! Jika aku berhasil menemukanmu, akan kucincang
tubuhmu...," geram lelaki brewok itu sambil mengepalkan kedua telapak tangannya,
sehingga terdengar bunyi berkerotokan nyaring. Jelas, kalau ia tengah dilanda
rasa marah yang hebat.
"Bakar rumah celaka ini...!" perintah lelaki brewok itu kepada para pengikutnya.
Tanpa menunggu perintah dua kali, para pengikut lelaki brewok itu segera
melemparkan obor yang
memang sudah dipersiapkan. Seketika itu juga, api langsung berkobar melahap
pondok milik Ki Rungga yang terbuat dari kayu itu. Terdengar suara berkerotokan
ketika satu persatu kayu penyangga pondok itu patah termakan api yang kian
membesar. "Kumpulkan semua penduduk Desa Pari ini! Aku ingin tahu, apakah mereka telah
bersekongkol dengan tua bangka yang tidak tahu diuntung itu!"
Kembali lelaki brewok itu berteriak lantang.
Tanpa diperintah dua kali, separuh dari para
pengikutnya segera menghambur dan mendatangi
rumah-rumah penduduk Desa Pari.
Tak lama kemudian, sekitar lima puluh orang
penduduk perkampungan nelayan itu telah berkum-
pul di sebuah tanah lapang berpasir yang cukup
luas. Wajah-wajah mereka tampak tertunduk pucat.
"Hm... Kemari kau, Orang Tua...," panggil lelaki brewok itu sambil menunjuk
seorang lelaki berusia sekitar enam puluh tahun.
Walaupun wajah lelaki brewok itu agak pucat, tapi terpancar jelas dari sinar
matanya sikap yang tegas dan berwibawa. Pertanda ia bukanlah orang samba-rangan.
Dengan hati yang galau, lelaki tua berjenggot
putih ini melangkah mendekati lelaki brewok yang memang-gilnya. Sepasang matanya
menarap tajam ke arah wajah lelaki brewok yang hanya berjarak satu tindak di depannya.
"Bangsat! Berani kau berlaku tidak sopan terhadap Algojo Pantai!" Bentak lelaki
brewok itu sambil melecutkan cambuk di tangannya dengan kecepatan Maut.
Ctarrr! Ctarrr...!
"Akh...!"
Lelaki tua itu menjerit kesakitan ketika pecut di tangan lelaki brewok
menghantam tubuhnya berkali-kali. Akibatnya, tubuh orang tua itu jatuh
terguling-guling Tampak guratan-guratan merah di beberapa bagian tubuhnya
meneteskan darah. Sedangkan
pakaian yang dikenakannya terlihat sobek dan
berdarah. Sadar akan Bndakannya, orang rua itu bergerak
bangkit tanpa berniat untuk melawan. Kemudian
merangkak mendekati lelaki brewok yang mengaku
berjuluk Algojo Pantai.
"Hm.... Bagus..., bagus...! Rupanya otakmu masih dapat berpikir jernih," ujar
Algojo Pantai tersenyum dengan nada mengejek dan jumawa.
Sementara itu, para pengikut Algojo Pantai. Tertawa terpingkal-pingkal. Hati
mereka geli menyaksi-kah kelakuan lelaki tua itu yang merangkak seperti anjing.
"Sekarang jawab pertanyaanku! Ingat! Sebab jawaban yang tidak menyenangkan, akan
membuatmu rugi!" ancam Algojo Pantai tersenyum licik.
"Baik.., baik...," sahut lelaki tua itu seraya mengangguk-anggukkan kepala tanpa
berani membantah.
"Tunjukkan di mana Ki Rungga sekarang berada...?" Tanya Algojo Pantai sambil
mempermainkan cambuk di tangannya.
"Maaf, aku..., aku betul-betul tidak tahu...," jawab orang tua itu dengan wajah
menegang. "Bangsat..!" bentak Algojo Pantai sambil mengayunkan cambuknya beberapa kali ke
tubuh orang tua malang itu Ledakan cambuk terdengar berkali-kali, ditingkahi suara jerit kesakitan yang
menyayat. Tubuh orang tua itu berkelojotan, dan darah meleleh dari luka-luka di
beberapa bagian tubuhnya.
Namun, percikan-percikan darah dan jerit orang
tua itu sama sekali tidak dipedulikan Algojo Pantai.
Bahkan, semua itu semakin membuatnya kerasukan
seperti orang gila. Sehingga, lecutan cambuknya semakin sering dan kian keras.
"Cepat katakan! Di mana Ki Rungga dan pemuda itu bersembunyi" Atau cambuk ini
akan terus meren-cah tubuhmu sampai tewas!" Bentak Algojo Pantai dengan suara
menggelegar. "Aku..., aku Bdak tahu, Tuan...," rintih lelaki tua itu di antara ledakan cambuk
yang mendera di
sekujur tubuhnya. Sehingga pakaian yang dikena-
kannya robek di sana-sini. Bahkan, sekujur tubuhnya sudah dilumuri darah yang
terus mengucur setiap cambuk itu melecut lubuhnya.
"Coba kau maju ke depan, Nenek Peot...!" seru Algojo Pantai sambil menudingkan
telunjuknya ke arah Morang wanita berusia sekitar enam puluh
tahun. Jelas, ia berniat menyiksa wanita tua itu untuk memperoleh keterangan
tentang Ki Rungga
dan pemuda berjubah putih.
Gemetar sekujur tubuh wanita tua itu ketika
melihat jari Algojo Pantai menuding ke arahnya.
Merasa ngeri dengan suara ledakan cambuk yang dl nmang-amangkan ke tubuhnya,
nenek itu pun mena-ngis ketakutan.
"Tuan, apa salah kami..." Mengapa perbuatan Ki Rungga, Tuan timpakan kepada
kami" Kalau saja
ada salah seorang penduduk yang mengetahuinya,
tentu akan dilaporkan sekarang juga. Tapi, percayalah Tuan. Kami semua memang
benar-benar tidak
tahu, ujar seorang lelaki gemuk bermuka hitam yang tidak tega melihat wanita tua
itu akan disiksa.
Sehingga, Ia memberanikan diri mengungkapkan
rasa penasaran di hatinya.
"Hm..., begitu" Jadi, kau tidak mengetahui di
mana Ki Rungga dan pemuda asing itu bersembunyi.
Kalau begitu, semua penduduk Desa Pari ini akan kusiksa sampai mati!" geram
Algojo Pantai sambil memutar cambuknya di atas kepala.
Wuuut... Ctarrr...! Ujung cambuk Algojo Pantai meluncur dan lang-


Pendekar Naga Putih 31 Terdampar Di Pulau Asing di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sung melecut tubuh gemuk lelaki bermuka hitam itu berkali-kali. Terdengar jerit
kesakitan yang menyayat hati ketika ujung cambuk itu terus menghantam
korbannya yang terpaksa bergulingan di atas tanah.
Lecutan cambuk yang berpuluh kali mendera
lelaki bermuka hitam itu, membuat pakaiannya
robek di sana-sini. Sedangkan tubuh korban akibat lecutan cambuk itu telah
mengeluarkan darah segar, yang jugn menodai ujung cambuk. Sungguh malang
dan betapa tersiksanya nelayan gemuk berwajah
hitam itu. Algojo Pantai menghenbkan lecutan cambuknya
setelah melihat korbannya tidak bergerak lagi. Rupanya nelayan gemuk berwajah
hitam itu jatuh pingsan karena tak sanggup lagi menahan rasa sakit yang
dideritanya. "Hayo, kalian kuberi waktu untuk berpikir. Jika kuhitung sampai sepuluh masih
belum juga ada yang membuka mulut, jangan katakan aku kejam jika
kalian mengalami nasib yang serupa dengan orang ini!" uncam Algojo Pantai dengan
wajah yang semakin bertambah bengis. Sambil berkata demikian, kaki kanannya
menginjak tubuh nelayan berwajah hitam yang hngeletak pingsan.
"Satu.... Dua.... Tiga...," sambil menghitung dengan pelan, Algojo Pantai
melangkahkan kakinya mengitari para nelayan. Diamatinya satu persatu wajah
nelayan yang pucat dan gemetar itu.
Bukan main geramnya hati Algojo Pantai ketika
hitungan sampai ke delapan, belum tertihat seorang pun yang mengeluarkan suara
untuk menjawab per-tanyaannya.
"Sembilan...," kembali terdengar suara Algojo Pantai melanjutkan hitungannya
dengan wajah yang semakin gelap. Giginya tampak bergemeletuk keras karena para
nelayan itu masih juga belum ada yang mengeluarkan suara.
"Sepu...."
"Tunggu...!" terdengar seruan nyaring yang memotong hitungan lelaki brewok itu.
Suara teriakan yang nyaring dan menimbulkan
pengaruh getaran dalam dada itu, membuat semua
orang yang berada di tempat itu memalingkan wajahnya ke satu arah.
* * * Para penduduk Desa Pari, termasuk Algojo Pantai dan kawan-kawannya, menjadi
terkejut ketika melihat sosok berjubah putih tengah melangkah tegap mendatangi
tempat itu. Hembusan angin laut yang cukup keras, membuat
rambut lelaki berjubah putih yang panjang itu ter-sibak ke belakang. Sehingga
tampaklah wajah se-
orang lelaki muda yang tampan dan penuh ketena-
ngan. Pemuda tampan berjubah putih itu tak lain adalah Panji. Langkahnya dihentikan
dalam jarak satu tombak di hadapan pemimpin orang-orang kasar itu.
Meskipun wajah tampan itu tetap menampilkan
senyum tenang, namun sepasang matanya menatap
tajam ke arah Algojo Pantai. Sehingga membuat lelaki brewok itu melangkah mundur
tanpa sadar. Pendekar Naga Putih mengedarkan pandangan
berkeliling. Wajahnya sama sekali tidak menunjukkan kegentaran. Meskipun dirinya
telah dikepung oleh dua puluh orang berwajah kasar dengan senjata tertuju
kepadanya. "Ha ha ha...! Kau benar-benar berhati macan, Uncnh. Baguslah kalau kau datang
sendiri untuk menyerahkan diri. Jadi, kami tidak perlu menyiksa penduduk desa ini, dan
bersusah-payah mencarimu,"
ujar Algojo Pantai lantang. Sehingga suaranya terdengar oleh semua orang yang
hadir di tanah lapang yang luas itu.
"Hm.... Sayang dugaanmu keliru, Kisanak Kedatanganku kemari, bukanlah untuk
menyerahkan diri kepada manusia kejam seperti kau. Sebaliknya,
malah aku ingin mengusirmu dengan cara halus
maupun kasar. Dan kuharap, kalian tidak usah
datang meng-ganggu Desa Pari ini lagi," sahut Panji sambil tersenyum lebar.
"Kau ingin melawan Banjai si Algojo Pantai..."
Benar-benar mengagumkan sekali!" ucap lelaki brewok itu tertawa pelan.
"Tentu saja. Bukan hanya kau dan pengikutmu, Algojo Pantai. Tapi, siapa pun yang
melakukan tindakan sewenang-wenang di depanku, akan kucegah.
Kalau perlu kuberi sedikit pelajaran agar tidak lagi mengulangi perbuatannya.
Apalagi kedatanganku ke Pulau Mimpi yang terpencil ini tidak kurencanakan.
Ini, dikarenakan aku terdampar. Lalu, ditemukan dan dirawat Ki Rungga. Apakah
keberadaanku di
tempat ini merupakan satu kesalahan besar,
sehingga kalian bersikeras hendak menangkapku"
Coba kau katakan, Algojo Pantai! Kesalahan apa yang telah kuperbuat hingga
kalian mengejar-ngejarku?"
Tanya Panji penasaran atas kejadian-kejadian yang dialami-nya di Pulau Mimpi
ini. "Tentu saja kesalahanmu sangat besar, Ketahuilah, Pulau Mimpi tidak
memperkenankan orang asing menginjakkan kakinya di daerah. Apabila hal itu
terjadi, maka hukuman matilah yang harus diterima.
Karena ada keistimewaan untukmu maka kau hanya
diusir dari pulau ini. Tapi, sayang keputusan itu telah kucabut Karena kau telah
mencelakakan kawan-kawan kami beberapa hari lalu. Jadi keputusan itu sudah
berubah. Jika kau sampai tertangkap, bukan hanya diusir. Tapi, kematianlah jalan
terbaik yang kau miliki. Karena itu lebih baik menyerah. Dengan begitu, kami
tidak perlu repot-repot lagi untuk mem-bekukmu secara paksa, Kisanak," Algojo
Pantai sambil melangkah maju tiga tindak, semakin mendekati tempat Pendekar Naga
putih berada. "Hm.... Tidak perlu berpura-pura, Algojo Pantai.
Semua kejadian di Pulau Mimpi ini sudah kuketahui dari Ki Rungga. Bukankah
Sepasang Manusia Sesat yang telah menyuruhmu untuk menangkap atau
membunuh setiap orang asing yang menginjakkan
kakinya ke pulau ini" Hm.... Sayang kali ini tugasmu tidak mudah untuk kau
laksanakan!" ujar Panji dengan nada menantang.
"Keparat! Kau rupanya benar-benar sudah hidup!
Anak-anak, bunuh pemuda itu! Penggal batang lehernya...!" perintah Algojo Pantai
dengan suara menggelegar karena amarah yang menggelegak dalam
dada. Panji hanya memperdengarkan gumaman tak
jelas. Ditatapnya puluhan lelaki kasar yang mulai bergerak maju dan
mengepungnya. Sedikit pun
Pendekar Naga Putih tidak bergeser dari tempatnya berdiri. Pemuda itu tetap
tegak dengan tatapan mata mencorong tajam.
"Heaaa...!"
Diiringi teriakan membahana, puluhan pengepung
itu langsung menerjang Panji dengan sambaran dan tusukan senjatanya. Kilatan-
kilatan cahaya senjata yang terpantul akibat terpaan sinar matahari, bagaikan
tangan-tangan maut yang siap merenggut nyawa pemuda berjubah putih itu.
Wuuut! Wuuuk! Dua buah tusukan ujung tombak yang mengarah
ke Iambung dan dadanya, dielakkan Panji dengan
memiringkan sedikit tubuhnya. Berbarengan dengan itu, kedua tangannya bergerak
menangkap senjata lawan, dan langsung menariknya kuat-kuat!
Bukkk! Desss! Tubuh kedua lawannya, langsung terpental dan
nmbruk tanpa dapat bangkit lagi. Keduanya tergeletak pingsan akibat hantaman
tangan Panji yang berisi tenaga dalam yang amat kuat.
Kembali terdengar jerit kesakitan ketika sepasang kepalan Pendekar Naga Putih
menyambar-nyambar
cepat. Sebentar saja, enam orang lawannya terjun mencium tanah, tanpa mampu
bangkit lagi. Melihat kejadian yang tidak disangka-sangka para pengepung lainnya langsung
bergerak mundur
dengan wajah pucat. Jelas, gebrakan-gebrakan yang dilontarkan pemuda berjubah
putih itu sangat mengejutkan pengeroyoknya. Sehingga, untuk beberapa saat lama-
nya, gerombolan lelaki kasar itu hanya dapat menatap dalam jarak tiga tombak.
Dan, tak seorang yang berani menyerang pemuda itu.
"Keparat! Mengapa kalian menjadi penakut, Hah!
Hayo, serbu pemuda setan itu! Pancing dia agar
meng-hambur-hamburkan tenaganya. Setelah itu,
baru penggal lehernya untuk persembahan Ketua
Agung...!" perintah si Algojo Pantai kepada para pengikutnya untuk kembali
menyerang pemuda
berjubah putih.
Sedangkan Algojo Pantai sendiri tidak diam.
Dicabutnya sebilah golok besar yang tergantung di pinggangnya. Terdengar suara
mengaung ketika
lelaki brewok itu memutar senjatanya den kecepatan yang mengagumkan.
"Yeaaa...!"
Sambil berseru keras, tubuh gemuk itu dengan
disertai ayunan golok besarnya yang menyeramkan.
Wuuut..! "Hm...," gumam Panji ketika menghindari sambaran golok besar Algojo Pantai yang
bernama asli Bajal itu.
Pendekar Naga Putih terus melangkah mundur
untuk melihat sejauh mana kehebatan ilmu golok
yang memang terlihat aneh dan asing baginya.
Gerakan-gerakan ilmu silat yang dimainkan lelaki brewok itu, terlihat seperti
gerakan orang mabuk.
Dan, Panji sempat dibuatnya kagum. Sebab, meskipun gerakan lawannya agak aneh
dan janggal, ternyata sangat membingungkan dan berbahaya.
Sehingga, beberapa kali ujung golok besar itu nyaris mencium tubuh Pendekar Naga
Putih. Sambil menghindari sambaran golok lawan, Panji
mempelajari ilmu golok yang masih asing itu. Setelah kelemahannya diketahui,
barulah Panji melancarkan serangan balasan. Dalam waktu singkat saja, Algojo
Pantai dibuat tidak berdaya.
"Setan...!" umpat lelaki gemuk berwajah brewok ini jengkel.
Algojo Pantai hampir tidak percaya kalau pemuda asing yang semula dianggapnya
remeh itu, ternyata mampu membuatnya tidak berkutik. Padahal, semua kepandaian
yang dimilikinya telah dikeluarkan untuk meringkus pemuda berjubah putih itu.
"Hahhh...!"
Algojo Pantai membentak keras untuk menghi-
langkan pengaruh hawa dingln yang terasa mem-
bekukan Jalan darahnya. Namun, meskipun ber-
usaha sekuat tenaga untuk melawan hawa dingin
yang menggigit itu, tetap saja tubuhnya menggigil seperti orang diserang demam.
Hanya dalam dua puluh lima jurus, Panji telah
membuat lawannya kalang-kabut. Sebuah hantaman
telapak tangannya yang berisi 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan', meluncur deras ke
arah dada lawannya.
"Hugkh...!"
Bagaikan layang-layang putus, tubuh Algojo Pan-
tai terlempar deras hingga dua tombak jauhnya.
Darah segar mengucur dari mulutnya. Sedangkan
hawa dingin yang merasuk ke dalam tubuhnya,
membuat lelaki gemuk itu menggigil hebat. Tak
berapa lama kemudian, tubuh lelaki kejam itu
mengejang kaku. Mati.
Melihat pemimpinnya tewas, tiga belas lelaki kasar yang sejak tadi hanya
menonton saja, serentak menghambur dan melompat keatas punggung kuda
masing-masing. Kemudian, mereka langsung mema-
cu binatang itu tanpa menoleh lagi.
"Husyaaa.... Husyaaa...!"
Beberapa orang penduduk yang merasa jengkel
dengan gerombolan itu, berteriak-teriak menakut-nakuti. Sehingga para pengikut
Algojo Pantai yang tersisa itu melarikan kudanya semakin kencang.
"Mengapa mereka tidak dibunuh saja, Kisana Aku khawatir mereka akan kembali
dalam jumlah yang
lebih besar, disertai pemimpin-pemimpin mereka
yang sakti...," ujar salah seorang penduduk Desa Pari, sambil menatap Panji
dengan pandangan mata yang tidaak puas atas sikap pemuda itu.
"Tidak perlu, Paman. Dan, aku yakin mereka pasti tidak akan kembali lagi ke
sini. Sebab, aku sendiri yang akan pergi mengunjungi markas mereka," sahut Panji
yang saat itu tengah mengobati beberapa
korban akibat lecutan cambuk Algojo Pantai.
Selesai mengobati orang-orang yang tertimpa ke-
malangan itu, Panji pamit meninggalkan tempat itu.
Sebelum pergi, pemuda itu terlebih dahulu menyadarkan anak buah Algojo Pantai
yang telah dibuatnya pingsan. Sesudah melepaskan orang-orang itu pergi, Panji
melesat meninggalkan para penduduk Desa
Pari itu. Luar biasa! Orang-orang desa itu takjub dan hanya mampu menatap sosok
bayangan putih dengan penuh kekaguman. Setelah sosok pemuda
berjubah putih itu lenyap, mereka bergerak pulang ke rumah dengan suara riuh
menceritakan sepak
terjang Pendekar Naga Putih.
*** 4 Wajah Panji tampak sungguh-sungguh menden-
dengar cerita Ki Rungga. Kemudian pemuda berjubah putih itu tersenyum dengan
mata bersinar cerah setelah mengetahui letak bangunan dan tempat kediaman
majikan Pulau Mimpi itu. Dia pun pamit dengan orang tua yang telah menolongnya.
Kemudian tubuhnya melesat cepat, sehingga hanya tampak seperti bayan-bayang
samar yang hampir tidak tertangkap biasa.
Setelah cukup lama berlari, pemuda itu memper-
lambat gerakannya. Lalu langkahnya berhenti sama sekali ketika tiba di mulut
sebuah hutan lebat.
Ditelusurinya hutan itu dengan langkah perlahan.
"Hm.... Menurut keterangan Ki Rungga, letak bangunan majikan pulau ini berada di
luar Hutan Dandara dan mengarah ke Selatan. Sayang, orang itu tidak begitu jelas mengatakan
jumlah pengikut
Sepasang Manusia Sesat, yang telah merebut pulau ini dari orang yang berhak,"
gumam Panji sambil melangkah memasuki hutan.
Ketika melangkah di dalam hutan, tiba-tiba
telinganya menangkap suara denting senjata dan
teriakan-teriakan orang bertempur. Sehingga, untuk beberapa saat lamanya, pemuda
itu menghentikan
langkah kakinya. Kemudian kepalanya ditelengkan ke asal suara.
"Hm.... Sepertinya suara pertempuran itu berasal dari sebelah Timur hutan
ini...," gumam Panji mengerutkan keningnya, sambil menduga-duga siapa gerangan
yang tengah bertarung di dalam Hutan Dandara itu.
Sekali menjejakkan kakinya ke tanah, tubuh Pen-
dekar Naga Putih melesat cepat hingga beberapa
batang tombak jauhnya. Kemudian terus berlari dengan mengerahkan ilmu
meringankan tubuh, agar
secepat mungkin tiba ke tempat pertempuran yang diduganya itu.
Sesaat kemudian, Pendekar Naga Putih tiba di
sebuah tempat yang beberapa tombak di depannya terdapat lapangan berumput yang
cukup luas. Di situ disaksikannya pertempuran tak seimbang yang tengah berlangsung.
Sambil mengendap-endap, Panji bergerak maju
dan mendekati arena pertempuran itu. Dari balik semak-semak yang cukup
tersembunyi, Panji mengawasi jalannya pertempuran itu dengan jelas.
Sepasang mata Pendekar Naga Putih terus berge-
rak mengikuti pertempuran yang berlangsung tidak adil itu. Keningnya berkerut
ketika mengetahui, pihak yang terdesak itu adalah seorang gadis muda yang sangat
cantik. Sedangkan lawannya yang
berjumlah lima orang lelaki itu, tampak semakin menguasai pertempuran.


Pendekar Naga Putih 31 Terdampar Di Pulau Asing di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Meskipun demikian, Pendekar Naga Putih tidak
segera membantu gadis cantik yang tengah terjepit itu. Lantaran ia ingin
mengetahui secara jelas
masalah yang membuat kedua belah pihak bertikai.
Panji tidak ingin bertindak keliru. Sebab salah-salah bertindak bisa-bisa la
membelah pihjak yang justru seharusnya tidak dibela.
Tapi, Panji tidak tega membiarkan gadis cantik itu menjadi bulan-bulanan
pengeroyoknya. Sehingga,
ketika ia melihat gadis itu kembali terancam oleh pukulan salah seorang
lawannya, pemuda itu segera melesat keluar dari tempat persembunyiannya.
"Tahan...!"
Sambil berseru keras, Pendekar Naga Putih lang-
sung memapaki pukulan yang mengancam dada
gadis cantik itu. Dan....
Plakkk! "Aaah...!"
Orang yang pukulannya terpapak oleh telapak
tangan Panji, berteriak kaget Tubuhnya terlempar ke belakang hingga satu
setengah tombak jauhnya. Dan, terbanting ke atas tanah berumput dengan suara
ber-debuk nyaring.
"Uhhh..., gila! Siapa manusia usil yang berani memapak pukulanku...," rintih
lelaki berkumis lebat itu sambil mencoba bangkit berdlri. Namun, tubuhnya
kembali terjatuh. Karena dadanya terasa sesak dan tangannya seperti lumpuh
akibat tangkisan Pendekar Naga Putih.
Datangnya sosok yang di sekeliling tubuhnya
memancarkan sinar putih keperakan itu, membuat
empat orang lelaki lainnya segera berlompatan mundur. Sehingga, pertempuran itu
terhenti dengan sen-dirinya.
Sedangkan wanita cantik bertubuh langsing dan
padat itu, jelas merasa gembira dengan kehadiran sosok berselimut lapisan kabut
keperakan itu. Tanpa rasa canggung sedikit pun, kakinya dilangkahkan menghampiri
Panji. Seulas senyum manis tersung-ging di bibirnya.
"Kuucapkan beribu terima kasih atas pertolonganmu, Kisanak. Kalau saja kau tidak
keburu datang, mungkin aku tidak dapat menikmati indahnya matahari esok," ucap
gadis cantik itu sambil membung-kukkan badannya dengan penuh hormat.
"Tidak perlu sungkan-sungkan, Nyai. Apa yang kulakukan ini, sudah menjadi
kewajibanku," sahut Panji seraya membalas penghormatan wanita cantik itu.
Wanita itu tersenyum sambil menyeka cairan
merah yang mengalir di sudut bibirnya dengan punggung tangan.
"Kau terluka, Nyai...?" Tanya Panji, cemas.
"Ah, tidak terlalu mengkhawatirkan. Lagi pula lukanya sudah tidak terasa
lagi...," jawab wanita cantik itu tersenyum malu, ketika disadarinya pemuda
tampan itu menatap wajahnya penuh perhatian.
Panji mengerti akan kekeliruannya, segera dangan matanya diarahkan ke arah lima
orang lelaki yang telah berdiri tegak menatap keduanya. Sorot mata mereka yang
beringas, jelas mencerminkan kemarahan yang hebat.
"Siapakah kau, Kisanak" Mengapa mencampuri urusan kami?" tegur salah seorang
dari lima lelaki itu dengan suara mengandung ancaman.
"Maaf. Aku terpaksa, karena tidak tahan melihat ketidakadilan yang berlangsurig
di hadapanku. Sebe-tulnya sebagai laki-laki, kalian harus malu mengeroyok
seorang gadis muda," ujar Panji dengan suara tenang, namun terdengar agak
menyakitkan bagi
kelima orang itu.
"Huhhh! Kau tahu apa"! Wanita cantik ini sangat berbahaya bagi kami. Sehingga,
kalau tidak dibunuh, kamilah yang akan celaka di tangannya. Oleh karena itu,
sebaiknya kau menyingkirlah! Biar gadis ini kami yang mengurusnya!" tjmpal
lelaki berwajah kehitaman. Dari sikapnya, dapat diketahui kalau dirinya adalah
pimpinan dari kelima lelaki itu.
"Hm.... Kalau boleh kutahu, apa yang telah dilakukan gadis ini kepada
kalian...?" Tanya Panji yan ingin mengetahui persoalannya dari kelima orang
bertampang bengis itu.
Kemudian, Panji mengalihkan perhatiannya kepa-
da gadis cantik yang berdiri di sebelah kanannya.
Melihat raut wajahnya yang lembut dan tampak tak berdosa, rasanya tidak mungkin
kalau gadis itu telah melakukan kejahatan. Apalagi sifat dan suaranya yang
lembut. Jelas, tak terkesan sama sekali kalau gadis itu sudah melakukan tindakan
yang keji. Karena itu, Penndekar Naga Putih yakin telah membela pihak yang benar.
"Sudahlah, Kakang. Mengapa kita harus meladeni ocehan pemuda usilan itu. Lebih
baik bereskan saja, sebab kalau diberi hati mereka akan semakin bertindak kurang
ajar kepada kita," geram lelaki berkumis lebat, lanpa sedikit pun melepaskan
tatapannya ke wajah Panji. Jelas, ia masih mendendam
terhadap apa yang telah dilakukan pemuda berjubah putih itu terhadap dirinya.
Sejenak orang tertua dari kelima lelaki itu terdiam.
Sepertinya usul lelaki berkumis lebat itu sedang dipertimbangkannya.
"Hmh...."
Sesaat kemudian, lelaki kekar berwajah kehitaman itu mengeluarkan suara geraman,
sambil menggerakkan kedua tangannya sebagai perintah untuk me-
ngurung Panji dan gadis itu. Sedangkan ia sendiri sudah bergerak maju dengan
senjata di tangan.
Melihat sikap kelima lelaki berwajah bengis itu, Panji sadar kalau pertarungan
tidak mungkin dapat dihindari lagi. Maka, dengan langkah tenang, pemuda berjubah
putih itu maju beberapa tindak. Pendekar Naga Putih telah siap menghadapi
keinginan kelima orang lelaki itu. Sedangkan gadis cantik di sebelahnya
dimintanya untuk menyingkir.
*** "Hm.... Rupanya kau memang hendak membela
putri Ki Raga Baya! Baiklah kalau begitu! Jangan menyesal kalau kau akan tewas
di tangan kami...!"
geram lelaki kekar berwajah kehitaman itu sambil menggerakkan pedang yang berada
di tangan kanannya seca menyilang.
Wuuut! Wuuut..!
Terdengar sambaran angin pedang mengaum
tajam yang diiringi kilatan sinar kehijauan.
"Heaaat..!"
Bersamaan dengan teriakan nyaring lelaki kekar
itu, tubuhnya segera melesat disertai kibasan pe-dangnya. Sehingga menimbulkan
deruan angin yang mendesing nyaring.
Sementara, keempat kawannya ikut pula bergerak
melingkari Pendekar Naga Putih. Dan, Panji kini dikurung dari lima arah.
Menyadari kepandaian kelima orang pengeroyok
itu tidak bisa dipandang ringan, Panji tidak sungkan-sungkan lagi membalas
serangan lawan-lawannya.
Dan dalam sekejap saja, mereka telah terlibat dalam sebuah pertarungan yang
sengit. Bettt! Bettt! Bettt!
Panji menggeser kakinya dengan gerakan yang ce-
pat dan mantap. Sambaran pedang salah seorang
lawannya yang datang bertubi-tubi, dielakkannya tanpa mengalami kesulitan.
Kemudian disusul
dengan lompatan ke kiri, guna menghindari tusukan pedang lawan yang mengancam
lambungnya. "Heaaah...!"
Sambil membentak keras, Pendekar Naga Putih
melesat ke belakang dengan gerakan berputar. Se-kaligus dilepaskannya sebuah
tendangan berputar yang mengancam kepala lawan di belakangnya.
Karuan saja lawan yang menjadi sasaran tendang-
an Pendekar Naga Putih merasa terkejut setengah mati. Karena serangan yang
dilancarkan pemuda
berjubah putih itu benar-benar mendadak dan sama sekali tidak diduganya. Apalagi
saat itu posisi Panji memang tidak memungkinkan untuk melakukan tendangan
berputar. Wajar kalau lawannya menjadi
terkesima sesaat.
Meskipun dengan gerakan yang terlihat gugup,
lelaki berwajah pucat yang menjadi sasaran serangan Pendekar Naga Putih, segera
mengangkat tangan kiri, sambil mengerahkan segenap kekuatan tenaga
dalamnya. Plakkk! "Uhhh...!"
Upaya menghindari diri dari tendangan Panji
memang terlihat berhasil. Tapi, karena kekuatan tenaganya jauh di bawah kekuatan
lawan, maka tubuh orang itu pun terjungkal karena tak sanggup menahan kekuatan tendangan
itu. Panji yang semula berniat melanjutkan serangan-
nya, bergegas menarik tubuhnya dan didoyongkan ke belakang. Sebab, pada saat
itu, serangan lain telah datang mengancamnya. Dan, begitu senjata lawan
dari sebelah kanan lewat sejengkal didepan tubuhnya, langsung Panji melontarkan
hantaman tebpak tangannya dengan menyilangkan kakl kiri. Sehingga, tubuhnya
doyong ke samping mengikuti serangannya. Dan...
"Hugkh...!"
Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh orang itu ter-
jengkang akibat hantaman tebpak tangan Panji yang menghajar telak tulang iganya.
Darah segar langsung keluar dari mulutnya. Karena hantaman telapak
tangan pemuda itu mengandung kekuatan 'Tenaga
Sakti Gerhana Bulan' yang memang sangat dahsyat.
Bagaikan sehelai kain basah, tubuh lelaki itu
ambruk dan tak bergerak lagi.
Tewasnya sabh seorang dari pengeroyok itu mem-
buat yang lainnya berlompatan mundur. Mereka
berkumpul dalam jarak dua tombak dari tempat Pan-ji berdiri. Terlihat keempat
orang itu saling bertukar pandang. Seolah-olah mereka tengah merundingkan
sesuatu. Sesaat kemudian, keempat orang itu saling meng-
angguk perlahan. Kemudian, seperti diberi aba-aba, keempat lelaki berwajah
bengis itu berlompatan ke-semak-semak Dan mereka langsung lenyap dari pandangan
Pendekar Naga Putih.
Sedangkan Panji sendiri yang merasa tidak mem-
punyai urusan dengan keempat orang itu, tetap saja tidak bergerak dari tempatnya
berdiri. Sedikit pun tidak terlintas dalam benaknya untuk melakukan
pengejaran terhadap orang-orang itu. Setelah keempat orang laki-laki kasar itu
lenyap, Panji segera membalikkan langkahnya dan melangkah mendekati
gadis cantik yang saat Itu tengah menatapnya
dengan pandangan mata penuh kagum.
"Wah! Kepandaianmu sangat hebat, Kakang! Kalau saja mereka tidak melarikan diri,
mungkin tidak sampai sepuluh jurus lagi nyawanya melayang ter-sambar pukulanmu
yang hebat itu," ucap gadis cantik itu seraya menatap lekat-lekat ke wajah Panji
dengan rasa kagum. Sepertinya wanita itu memang tidak berusaha menyembunyikan
perasaannya. "Kau keliru, Nyai. Untunglah mereka melarikan diri dan tidak melanjutkan
pertempuran. Kalau
tidak, mungkin aku akan mengalami kesulitan
menghadapi gempuran-gempuran mereka yang tidak
bisa dipandang remeh itu," kilah Panji merendah.
"Ah! Kau terlalu merendahkan kepandaianmu Kakang.... Mmm..., bolehkah kutahu
namamu, Kakang"
Dan, darimanakah kau berasal" Sebab, kalau men-
dengar logat bicaramu, jelas kau bukanlah penduduk pulau ini," ujar gadis cantik
itu, sambil tetap menatap wajah Panji lekat-lekat.
"Namaku Panji. Dan datang dari sebuah daratan yang tidak bisa kupastikah dari
tempat ini. Dan kedatanganku ke pulau ini sama sekali tanpa
sengaja. Jelasnya, aku terdampar dan diselamatkan oleh se-orang penduduk Desa
Pari yang baik hati.
Dan siapakah kau, Nyai" Mengapa pula mereka
sangat memusuhimu?" Tanya Panji sambil melangkah dan duduk di atas sebuah batu
besar yang terletak di bawah sebatang pohon.
"Hhh... Akan memakan waktu lama kalau kuceritakan seluruhnya. Singkatnya, aku
bernama Rara Ningrum, putri Ki Raga Baya yang menjadi majikan Pulau Mimpi ini.
Malam tadi, aku berusaha mencari tempat ayahku ditawan. Sayang, mereka sempat
me-mergoki dan mengejarku hingga ke Hutan Dandara
ini. Ahhh..., aku memang tidak berguna. Kasihan sekali ayah...," desah gadis
cantik yang mengaku bernama Rata Ningrum itu seraya menundukkan wajah-
nya yang berubah gelap. Terdengar isak lirih yang tertahan Tampaknya wanita itu
tak ingin suara
tangisnya terdengar oleh Panji.
"Tabahkan hatimu, Ningrum. Jangan cepat ber-kecil hati. Aku akan berusaha
membantumu, sejauh aku mampu. Mudah-mudahan saja, bantuanku yang
mungkin tidak banyak berguna, dapat menyelamat-
kan ayahmu yang kini ditawan Sepasang Manusia
Sesat. Mm. Dan, tentu saja kalau kau sudi menerima bantuanku," ujar Panji yang
tersentuh hatinya ketika melihat raut kesedihan yang membayang di wajah
gadis cantik itu.
"Dari mana Kakang mengetahui tentang manusia-manusia laknat yang merebut pulau
ini" Dan, apa lagikah yang Kakang ketahui?" Tanya Rara Ningrum membelalakkan
sepasang matanya saat mendengar
ucapan Panji. Tanpa sadar, Rara Ningrum mencekal lengan pe-
muda berjubah putih itu erat-erat. Terkejut bukan kepalang hati wanita itu
ketika mengetahui kalau Panji telah memahami tentang orang-orang yang
menguasai Pulau Mimpi saat ini.
"Tidak banyak yang kuketahui dari Ki Rungga yang telah menyelamatkanku itu,
Ningrum. Dengan kesaktiannya, Sepasang Manusia Sesat itu telah
merebut pulau ini dari tangan ayahmu. Dan, sedikit kuketahui tentang keluargamu
dan letak bangunan bekas kediaman ayahmu dulu," jawab Panji sambil melepas
panndangannya ke arah cakrawala luas.
"Ibu dan kakak laki-lakiku telah dibunuh Sepasang Manusia Sesat itu, hanya untuk
memaksa ayah agar memberitahukan tempat penyimpanan harta
pusaka leluhur kami. Sedangkan aku sendiri berhasil melarikan diri saat Sepasang
Manusia Sesat itu
membasmi pengawal-pengawal ayahku. Ah..., aku
sangat berterima kasih sekali kalau kau sudi membantuku Kakang. Melihat dari
kepandaianmu saat
menghadapi Lima Setan Hitam itu, aku merasa yakin ayah dapat diselamatkan.
Sebab, kelima lelaki bengis itu merupakan pembantu-pembantu utama Sepasang
Manusia Sesat. Dan, kepandaian mereka sangat tinggi. Nah, kalau mereka saja
dapat Kakang pecundangi kurang dari lima puluh jurus. Maka, aku yakin kalau
Kakang mampu menghadapi manusia-manusia laknat, yang telah membunuh ibu dan
kakakku. Aku..., aku sangat berterima kasih sekali kalau Kakang
memang sudi membantuku," luapan rasa gembira Rara Ningrum tidak hanya terucap di
mulut saja. Bahkan, sebagai ungkapan rasa gembiranya itu,
tubuhnya langsung di jatuhkan ke dalam pelukan
Panji. Sehingga, pemuda itu mau tak mau menjadi jengah dibuatnya.
Panji yang semula berniat melepaskan pelukan
gadis itu, tak tega hatanya ketika merasakan semakin eratnya kedua lengan Rara
Ningrum melekat di tubuhnya. Meskipun dengan wajah kemerahan, Pendekar Naga
Putih terpaksa mendiamkan perbuatan
gadis itu untuk beberapa saat lamanya.
"Ningrum..., untuk dapat membebaskan ayahmu, terlebih dahulu kita harus
mengetahui berapa banyak kekuatan yang dimiliki Sepasang Manusia Sesat itu. Dan,
yang penting lagi, kita harus mengetahui secara tepat di mana tempat ayahmu
ditahan. Sebab, dengan begitu akan memudahkan kita membebaskan
ayahmu," ujar Panji, mengemukakan pendapatnya.
Seiring dengan penjelasannya, secara perlahan
Panji melepaskan pelukan Rara Ningrum. Didorongnya tubuh padat yang hangat itu
dengan gerakan halus lekali. Sehingga, Rara Ningrum sendiri tidak begitu memperhatikannya.
Karena pikirannya ter-curah kepada apa yang diucapkan pemuda itu.


Pendekar Naga Putih 31 Terdampar Di Pulau Asing di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau benar, Kakang. Ah, betapa bodohnya aku selama ini. Sebab, aku sama sekali
belum mengetahui tempat ayah ditawan. Hhh, untunglah sampai saat ini aku masih
dilindungi Tuhan. Entah bagaimana nasibku kalau sampai bisa ditawan mereka,"
gumam Rara Ningrum dengan wajah sendu.
Teringat akan nasib ayahnya, gadis cantik itu
kembali terisak sedih. Sepertinya ia merasa putus asa ketika mendengar ucapan
Panji. Dan, memang ia tidak lahu tempat ayahnya ditahan Sepasang Manusia Sesat
ilu. "Sudahlah, Ningrum. Meskipun kau belum mengetahuinya, bukan berarti kita tidak
bisa menyelamatkan ayahmu. Bukankah untuk mendapatkan kete-
rangan itu tidak terlalu sulit" Kita bisa meringkus salah seorang pengikut
Sepasang Manusia Sesat itu, dan memaksanya bicara. Hentikanlah tangismu,
Ningrum. Marilah kita berpikir tenang," bujuk Panji sambil mengusap lembut bahu
Rara Ningrum. Dengan maksud agar dapat memberikan kekuatan
kepada gadis itu.
"Kau..., kau tidak tahu, Kakang. Sepasang Manusia Sesat itu sangat kejam.
Bahkan, para pengikutnya sendiri sangat takut kepada pemimpinnya. Ku-rasa sangat
sulit sekali untuk mengorek keterangan dari mereka...," sahut Rara Ningrum
sambil men-jatuhkan wajahnya di dada Panji. Tangisnya kembali meledak dan
terdengar begitu memilukan.
Pendekar Naga Putih sadar, jiwa gadis yang me-
meluk tubuhnya itu tengah terguncang oleh pukul-an-pukulan batin yang
diterimanya. Karena itu, Panji tidak menolak ketika Rara Ningrum menyandarkan
kepala di dadanya seraya memeluk erat tubuhnya.
Hati pemuda itu semakin iba ketika merasakan dadanya hangat oleh air mata gadis
cantik itu. Sehingga perasaan itu mendorongnya untuk membelai rambut Rara
Ningrum dengan perlahan.
"Biar bagaimanapun, kita tidak boleh berputus asa, Ningrum. Dan, aku akan
berusaha mencari jalan untuk menolong ayahmu...," bisik Panji halus dan
membujuk. Namun, pemuda berjubah putih itu menjadi bi-
ngung ketika usai mengucapkan kata-kata itu. Ternyata tangis Rara Ningrum
bukannya berhenti, tapi malah semakin kuat dan memilukan.
Dengan helaan napas panjang, Panji melepaskan
pardangannya ke arah cakrawala dari menatap
Lputih kapas yang terbawa hembusan angin.
* * * 5 Angin berhembus begitu kencang di tengah malam
yang pekat ini. Hal itu bisa terlihat dari daun-daun yang bergemerisik, bahkan
banyak yang berguguran ke tanah. Dan, samar-samar terlihat tiak-titik air hujan
mulai berjatuhan. Tampak langit pun semakin kelam dengan awan-awan hitam yang
bergumpal membentuk seperti kain hitam yang membentang.
Dalam suasana seperti itu, dua sosok tubuh
terlihat bergerak tanpa merasa terganggu sedikit pun dengan malam yang pekat
itu. Bahkan, sepertinya suasana malam yang menyeramkah dan udara yang
dingin, membuat kedua sosok tubuh itu lebih leluasa bergerak, tanpa merasa
khawatir dengan bunyi berderak ribut yang ditimbulkan pepohonan di sekitarnya.
Meskipun kegelapan menghadang perjalanan me-
reka, namun keduanya tetap dapat bergerak lebih cepat dari manusia-manusla
umumnya. Andaikan ada
orang yang melihat gerakan kedua sosok tubuh itu, tentu akan menduga kalau
mereka adalah makhluk
halus yang sedang bergentayangan.
Tidak lama kemudian, kedua sosok bayangan itu
tiba di sebuah gedung besar yang tampak megah dan kokoh. Sekilas gedung megah
itu terlihat seperti sebuah istana kerajaan yang megah dan indah.
Sosok pertama yang bentuk tubuhnya lebih kecil, menggerakkan tangannya memberi
isyarat agar kawannya segera mengikuti. Kemudian, tanpa berkata sepatah pun,
sosok bayangan kedua yang berjubah putih bergerak mengikuti.
Rupanya sosok pertama yang mengenakan pa-
kaian serba hitam itu menuntun kawannya ke bagian belakang gedung. Lantaran
tempat itu gelap dan sepi, sehingga tidak akan terlihat oleh seorang penjaga
pun. Dan tanpa ragu-ragu lagi, keduanya segera
melayang dan mendarat sejenak di atas dinding
tembok yang mengeliling bangunan megah itu.
Setelah mengawasi keadaan sekelilingnya, kedua
nosok bayangan itu pun melayang turun secara bersamaan. Begitu rhenjejakkan
kakinya di halaman
dalam belakang gedung itu, keduanya tetap tidak bergerak dalam posisi merunduk.
Sebab, saat itu terlihat beberapa orang penjaga melintas melakukan perondaan.
sehingga, mereka harus menunggu sem-bilan peronda itu lewat.
Setelah para peronda itu berlalu, kedua sosok
bayangan itu segera melesat dan merapatkan tubuhnya pada dinding yang agak
gelap, sehingga dapat menyembunyikan tubuh mereka dari penglihatan
para penjaga. "Ningrum..., ingat pesanku! Jangan bertindak du-lu. Kedatangan kita kali ini
hanya untuk menyelidiki keadaan. Turuti saja kata-kataku, kalau kau tidak ingin
tertangkap. Sebab, bukan mustahil di dalam gedung dan sekUar halaman ini, mereka
menempat-kan penjaga demi keamanan gedung. Ingat! Mereka adalah tokoh-tokoh
sesat berpengalaman. Dan, bukan tidak mungkin kalau mereka mempunyai musuh
lain, selain kita berdua," bisik sosok bayangan berjubah putih itu sambil
menyentuh lembut bahu sosok di sampingnya yang bernama Ningrum.
Sedangkan sosok berjubah putih itu tak lain adalah Panji.
Terdengar helaan napas lega Pendekar Naga Putih ketika melihat kepala gadis
cantik itu mengangguk.
Meskipun dalam hati tidak menyetujui sepenuhnya, gadis itu berusaha untuk
menghormati Panji dengan mematuhi ucapannya.
Tanpa mengalami kesulitan sedikit pun, kedua
sosok bayangan itu terus mengitari dan memeriksa seluruh bangunan gedung itu.
Gagal menemukan
apa yang dicarinya, mereka bergegas kembali me-
ninggalkan gedung megah itu, dan terus melompat melewati tembok pembatas.
Kemudian, mereka
meng-hilang di balik kegelapan malam.
"Jangan berputus asa, Ningrum. Biarpun kita belum mengetahui di mana ayahmu
ditahan, tapi aku tetap akan berusaha menemukannya," hibur Panji sebelum mereka
meninggalkan gedung megah itu.
"Terima kasih, Kakang...," ujar Rara Ningrum, perlahan.
Kedua tubuh itu melesat cepat melintasi pepo-
honan yang rimbun. Meskipun udara malam dingin
menusuk tulang, tak menghalangi gerakan mereka.
Panji dan Rara Ningrum bergerak cepat dengan pikiran masing-masing.
* * * Panji meneguk minuman yang berada di atas meja
depannya. Pandangan matanya sesekali melirik ke wajah gadis cantik yang tengah
termenung di hadapannya. Perlahan, diturunkannya gelas bambunya.
Dan dengan hati-hati, diletakkannya gelas itu di atas meja. Seolah-olah pemuda
itu tidak ingin mengganggu lamunan gadis itu.
"Ahhh..., bukan main segarnya tuak yang kau hidangkan ini, Ningrum. Dari mana
kau memperoleh-nya...?" Tanya Panji tersenyum sambil menatap tajam wajah cantik
yang tengah termenung itu.
Seperti orang baru tersadar dari alam lamunan-
nya, Rara Ningrum tersentak. Lalu, menarik wajahnya dengan helaan napas yang
panjang. Dengan
sepasang matanya yang bening itu, dibalasnya
tatapan Pendekar Naga Putih dengan penuh selidik.
"Tuak itu adalah minuman kegemaran ayahku, Kakang. Sedangkan gubuk ini adalah
tempat kami beristirahat setelah berburu. Dan, ayah sengaja menyimpan beberapa guci di
tempat ini. Kalau kau
menyukainya, aku bisa mengambil seguci lagi," sahut Rara Ningrum dengan suaranya
yang terdengai seperti desahan halus.
"Hm.... Sebenarnya aku tidak begitu suka
terhadap minuman ini. Tapi, karena rasa tuak ini benar benar enak, tentu saja
aku ingin meneguknya sampai puas. Itu pun kalau kau tidak keberatan...,"
ujar Panji seraya kembali meneguk sisa tuaknya.
Terdengar suara berdecap yang keluar dari bibir pemuda itu, sambil menurunkan
gelas bambunya perlahan. Ningrum yang tadi masuk ke dalam untuk meng-
ambil tuak, kembali sambil menenteng sebuah guci sambil tersenyum. Namun, senyum
manis yang lembut di bibir gadis cantik itu berubah sinis ketika melihat kepala
Panji bergoyang-goyang dengan kelopak mata mengerjap-ngerjap.
"Hugkh...!"
Mendadak tubuh Panji tersentak ke belakang
bersama kursi yang didudukinya. Terdengar suara napasnya yang berat.
"Kau..., kau.... Tuak ini mengandung racun jahat...!" desis Panji terbatuk-batuk
hebat. Sambil memegangi perut dan leher, Panji mencoba bergerak bangkit. Tampak
wajahnya memerah. Entah pengaruh racun yang dibubuhkan Rara Ningrum,
atau karena pemuda itu terlalu banyak menenggak tuak. Sehingga tubuhnya oleng,
dan Panji terlihat sangat tersiksa sekali dengan keadaan itu.
"Hi hi hi..! Ternyata orang yang sangat tersohor di daratan besar, sangat mudah
dikelabui. Seharusnya, julukanmu bukan Pendekar Naga Putih, Panji. Nama Pendekar
Bodoh rasanya lebih patut untukmu," ejek Rara Ningrum seraya tertawa menunjukkan
sifatnya yang asli. Bahkan, suaranya yang lembut itu terasa menyembunyikan sifat
yang kejam dan mengerikan.
Panji yang berdiri dengan tubuh oleng, menatap
Kara Ningrum setengah tidak percaya. Sulit di-
bayangan, di balik kelembutan wajah dan sikap gadis itu ternyata menyimpan
Iblis Sungai Telaga 11 Pendekar Aneh Dari Kanglam Karya Sin Liong Tangan Berbisa 11
^