Pencarian

The Chronos Sapphire Iii 1

The Chronos Sapphire Iii Karya Angelia Putri Bagian 1


AUTHOR NOTE : Akhirnya" sampai juga di buku terakhir dari trilogy The Chronos Sapphire. Sumpah mati,
nih cerita benar-benar bikin gregetan sendiri. (-_-")a
Awal aku membuat cerita ini" semua sudah pada tahu, kan" Dari mimpi tanggal" nah,
gawat, aku lupa! Tapi, yang jelas, cerita ini adalah cerita yang paling berkesan buatku. Kenapa"
Hohoho" itu karena *** (disensor!), pokoknya, cerita ini yang paling berkesan dari yang lain!
3 tahun lebih aku membuat trilogy ini, akhirnya sudah sampai di episode terakhir. Banyak
yang minta cerita ini dilanjutkan (lihat di dokumen grup LUNAR-Luna Torashyngu Fans Club di
Facebook), ada yang komentar kalau ada adegan panasnya (haha" itu nggak sengaja!), ada sukaduka selama membuat cerita ini. Dimulai dari writer block, nggak mood dan akhirnya ngediamin
cerita ini sampai ketemu ide yang baru, de, el, el"
Pokoknya, dari sekian cerita yang kubuat, The Chronos Sapphire-lah yang paling tahan
denganku! Dan, kemungkinan besar, cerita terakhir ini bakal lebih panjang dari 2 cerita sebelumnya.
Serius, nih! Nggak terasa juga, Rifan ama Aria sudah punya anak (ceilee"). Nama anak-anak mereka
juga aku dapat secara nggak sengaja dari game Final Fantasy XIII dan sumber-sumber yang lain.
Aku sangat berterima kasih pada game itu! Thanks goodness banget karena teman-temanku
memberi dukungan yang sangat besar untuk aku (mengingat aku nyaris nggak pernah bersosialisasi
dengan dunia luar, tapi, siapapun yang menyukai The Chronos Sapphire, itu adalah dukungan
yang sangat besar untukku).
Di cerita terakhir ini" nggak tahu ,deh, kalau aku bakal ngasih hal yang menantang atau
tidak. Yang jelas, ikuti terus The Chronos Sapphire! =D
Di dalam cerita ini juga akan ada tokoh baru, termasuk anak-anak Rifan dan Aria.
Dan, oke, aku kasih bocoran siapa nama anak-anak mereka. Yaitu" Reno dan Lumina!
Nama mereka secara nggak sengaja "nyelip" begitu saja di otakku saat memikirkan nama
untuk anak Rifan dan Aria. Dan juga, awalnya aku mau membuat Rifan dan Aria hanya memiliki
satu anak. Tapi, batal, karena kurasa, kalau punya kakak laki-laki bakal lebih menghebohkan.
Dan" oh ya, nama Lumina sebenarnya juga berasal dari Final Fantasy XIII, lho! Nama anak
perempuan mereka berdua sebenarnya adalah Yuna, tapi, nggak jadi, digantikan dengan nama
Lumina, deh. Lagipula nama Lumina juga memiliki arti yang dalam. Sama seperti nama Aria yang berarti
nyanyian tunggal, nama Lumina itu berasal dari bahasa Latin yang berarti cahaya. Dalam bahasa
Inggris disebut dengan Lumen, yang juga berarti cahaya. Informasi ini juga aku dapat dari
FinalFantasyWikia.com. Apa" Kalian bertanya-tanya apa Lumina bakal menjadi main protagonist di cerita ini"
Oh" itu bakal kalian lihat dari The Chronos Sapphire episode terakhir ini. Jadi, silakan
dilihat sendiri, ya" =D
Akhir kata, selamat membaca cerita terakhir dari trilogy The Chronos Sapphire. Tapi,
jangan khawatir, bakal ada cerita baru yang nggak kalah seru nanti. Memang nggak ada
hubungannya dengan The Chronos Sapphire, tapi, paling tidak, mendekati cerita yang sama.
Terima kasih sudah mendukung cerita ini sampai akhir. (^_^)V
Arigatou Gozaimasu! Arisa Kunisada (a.k.a : Angelina Farron)
THE CAST " Reno Hawkins : Anak sulung Aria dan Rifan. Reno adalah cowok berusia 18 tahun yang punya
segudang aktivitas yang padat. Dia agak pendiam dan kadang sering terlihat protektif pada
Lumina, adiknya satu-satunya. Reno memiliki ciri-ciri yang nyaris sama seperti Rifan, dengan
tinggi badan sedikit di bawah Rifan yang 187 senti (tinggi banget, ya"). Kemampuan khusus
Reno selain kemampuan umum sebagai The Chronos Sapphire adalah mengetahui semua
kemampuan benda atau orang lain bila disentuh, menghentikan waktu, dan menembus benda
seperti Rifan. Senjata Reno adalah Areshia Gunblade, senjata dengan fungsi ganda yang bisa
berubah menjadi pedang maupun pistol.
" Lumina Hawkins : Anak bungsu Aria dan Rifan. Wajah Lumina mirip dengan Aria, dengan
hidung mirip dengan Rifan. Usia Lumina adalah 17 tahun. Kemampuannya sebagai The
Chronos Sapphire di samping kemampuan umum adalah meramal, mengendalikan seseorang,
dan kemampuan menghentikan waktu seperti Reno. Lumina memiliki rambut lurus panjang
berwarna hitam yang dia cat agak kecokelatan. Dia sering memakai aksesoris bertemakan
anime dan segala hal yang berbau Jepang, menurun dari ibunya. Senjata Lumina adalah
Artemisia Bowsword, senjata fungsi ganda yang bisa berubah menjadi busur dan pedang.
" Claire Arthur : Kakak kembar Sarah, anak dari Dylan dan Keiko yang lahir di tahun yang sama
seperti Reno. Memiliki rambut lurus panjang, dan mata biru seperti ayahnya. Claire memiliki
tubuh tinggi langsing layaknya model seperti ibunya. Dia juga mempunyai jiwa seperti seorang
pemimpin. Claire sifatnya lebih kalem daripada Sarah yang enerjik. Kemampuan Claire
sebagai The Chronos Sapphire adalah indera super tajam seperti Dylan dan satu kemampuan
lagi, yaitu merasakan kekuatan alam di sekitarnya hanya dengan memejamkan matanya saja.
Senjata Claire adalah tombak perak yang bisa berubah menjadi nunchaku bernama Silver
Nunchaku " Sarah Arthur : Adik kembar Claire. Memiliki rambut panjang berwarna hitam seperti Claire,
bedanya, rambut Sarah dibuat agak bergelombang. Sarah juga memiliki mata biru seperti
Dylan, dan juga kemampuan yang sama seperti ayah dan kakak kembarnya. Nantinya, Sarahlah yang menjadi penyerang utama ketika The Chronos Sapphire diserang. Senjatanya juga
tombak yang sama dengan milik Claire, tapi, dengan warna dan nama yang berbeda, yaitu
Golden Nunchaku " Snow Mendev : Anak dari Duke. Snow memiliki bola mata berwarna hijau seperti ayahnya.
Ibunya meninggal ketika dia baru lahir, dan Duke membesarkannya sebagai orangtua tunggal.
Usia Snow sama seperti Reno. Snow memiliki kepribadian yang sama seperti Duke, ceria dan
selalu membuat suasana gembira. Snow sering bersama Reno kalau sudah urusan game dan
memiliki hobi yang sama seperti Reno. Snow memiliki kemampuan mengendalikan seseorang
dan penglihatan super seperti memakai kacamata infrared. Snow memiliki dua senjata, yaitu
kapak perak yang bernama Axever dan juga sebuah tombak pendek yang bernama Clash
Spear. " Samuel Bernard : Anak dari Charles dan Rinoa. Walau wajahnya mirip dengan sang ayah, tapi,
sifatnya sangat mirip dengan ibunya. Usia Samuel sama seperti Lumina, yaitu 17 tahun. Samuel
memiliki kemampuan yang sama seperti Charles, yaitu berteleportasi dan berganti raga. Senjata
Samuel adalah Double Sword yang bernama Clash Sword. Nama yang nyaris sama seperti
senjata tombak milik Snow.
" Jonathan Jackson : Anak angkat dari keluarga Jackson. Jonathan adalah salah satu percobaan
Apocalypse yang kabur bersama dua anak lainnya, yaitu Nathan dan Utami. Sifat Jonathan
sangat tenang dan nyaris tidak terlihat kalau dia sedang marah ataupun cemas. Jonathan juga
adalah The Chronos Sapphire. Begitu juga Nathan dan Utami. Kemampuannya sangat
misterius, tapi, dia bisa bertelepati dengan Lumina, yang menandakan bahwa dia adalah
pasangan empati Lumina. Jonathan memiliki senjata yang bernama Rapier Nox, yaitu pedang
tipis dan tajam berwarna hitam.
" Joe Jackson : Joe adalah salah satu anak yang kabur dari Apocalypse. Wajahnya mirip dengan
Jonathan dan bisa dikatakan, dia adalah saudara kembar Jonathan. Sifatnya sedikit bertolak
belakang dengan Jonathan yang kalem dan tenang. Joe adalah satu-satunya The Chronos
Sapphire percobaan Apocalypse yang memiliki DNA Jack Lucios, sementara Jonathan dan
Utami tidak. Akan tetapi, sifatnya tidak sama dengan Jack Lucios. Senjata Joe adalah Double
Hand Gun berwarna merah yang bisa bertransofrmasi menjadi pedang yang dinamakan
Hacksaw Sword. " Utami Jackson : Utami, nama aliasnya adalah Clavis atau juga Clarissa. Dia adalah The
Chronos Sapphire yang memiliki DNA Kazuto Shiroyuki seperti Jonathan. Wajahnya adalah
perpaduan dari ras Kaukasia dan Asia Timur yang menghasilkan wajah yang unik dan tidak
mudah dilupakan. Utami memiliki kemampuan berteleportasi dan mengendalikan pikiran
orang lain. Utami adalah pasangan empati Reno. Senjatanya adalah Fluer Sakura, sebuah
pedang sejenis rapier seperti milik Jonathan, hanya saja warna pedangnya berwarna keperakan.
" Dan para tokoh lainnya dari The Chronos Sapphire dan The Chronos Sapphire II.
CHAPTER 1 Lumina menghembuskan nafas dan menulis karangan setebal 3 halaman itu dengan setengah hati.
Sementara itu, seorang guru berwajah galak sedang mengawasinya di hadapannya.
Seharusnya aku tidak terlambat hari ini. gerutunya dalam hati. Ia melirik jam, dan sudah
setengah jam terlewati. Tapi, lembaran kertas di hadapannya masih kosong. Putih bersih tanpa ada
tulisan sedikitpun. "Lumina Hawkins, apa kamu berusaha mengulur-ulur waktu?"
"Tidak, sensei1." Jawab Lumina sambil menghela nafas lagi. "Boleh saya ke kamar kecil"
Tidak akan lama." "Baiklah. Hanya 5 menit."
5 menit itu cukup bagiku.
Lumina tersenyum dan berjalan keluar ruang guru. Dia berhenti sejenak di depan koridor
dan meneliti sekelilingnya. Sepi. Tidak ada orang, semuanya sedang berada di dalam kelas
sekarang ini. "Kesempatan yang tidak akan datang 2 kali?" gumamnya sambil menjentikkan jari.
Bagi orang lain, mungkin apa yang dilakukan Lumina adalah omong kosong. Tapi, tidak
bagi gadis itu sendiri. Dengan santai, dia kembali ke ruang guru dan melihat semua yang ada di
sana tidak bergerak. Dia tersenyum kecil dan menghampiri mejanya. Dengan santai, dia menyalin
apa yang ada di dalam otaknya dan setelah selesai, Lumina menjentikkan jarinya sekali lagi.
"Lho" Kamu sudah kembali?" tanya gurunya bingung melihat Lumina sudah duduk
kembali di kursinya. "Ini. Karangan sebanyak 3 halaman saya." Lumina mengangsurkan lembaran kertas di
tangannya pada sang guru, "Kalau begitu, saya akan kembali ke kelas. Permisi."
1 Guru, bisa juga orang yang dihormati di sekolah atau universitas
Tanpa menunggu jawaban dari guru itu, Lumina keluar dari ruang guru sementara sang
guru tadi melihat karangan Lumina sambil geleng-geleng kepala.
"Anak itu benar-benar jenius."
*** "Ah, Oniichan2!!"
Lumina menghampiri Reno, kakaknya, yang sedang makan di kantin sekolah.
Reno menoleh dan melihat Lumina. Ia tersenyum dan mengajak adiknya itu duduk di
sebelahnya. "Kamu dihukum guru lagi?" tanya Reno langsung sambil menyeruput mie instan di
hadapannya. "Aku tidak berbuat apa-apa. Justru Tritan dan yang lain yang menjahiliku lebih dulu." Ujar
Lumina sambil meminta makanan Reno, "Mereka menjahiliku dan Rebecca. Jadi, aku balas
menjahili mereka balik,"
"Kamu tahu, seharusnya tidak perlu melakukannya, kan?"
"Aku tahu?" Lumina menghela nafas, "Tapi, aku kesal. Mereka selalu mengerjaiku dan
Rebecca. Apa karena hanya aku lebih popular darinya, ya" Pacarnya juga ikut-ikutan
mengerjaiku." Reno manggut-manggut, "Ya sudah" daripada kamu cemberut begitu, bagaimana kalau
kita pergi ke restoran" Ayah bilang, kita akan makan siang bersama."
"Ibu juga datang?" tanya Lumina dengan mata berbinar.
2 Kakak. Panggilan untuk laki-laki yang lebih tua. Kata "chan yang digunakan pada kata tersebut biasanya
digunakan hanya untuk saudara kandung
"Tentu saja. Ibu yang mengusulkan kita makan siang bersama." Kata Reno, "Jadi, jangan
bersedih lagi. Ya?" "Aku tidak bersedih, tapi, kesal." Lumina tertawa, "Yah" daripada itu" Oniichan, aku
minta mie-nya, ya?" Reno menjauhkan mangkuk mie-nya dari jangkauan tangan Lumina.
"Enak saja! Beli sendiri!"
CHAPTER 2 Menatap bayanganmu, aku hanya bisa melakukan hal itu"
Di balik senyum ini, hanya ada rasa sakit"
Ya" rasa sakit akan kehilanganmu, Dear"
Ku pernah berharap aku yang akan menjagamu, tapi semua itu tidak berguna
Aku hanya bisa menatap bayanganmu, dan membayangkanmu bersamaku"
Di sini" "Yak! Kerja bagus, Aria!"
Julia menyerahkan sebotol air dan handuk kecil pada Aria yang baru saja selesai menyanyi
di panggung. Julia harus mengakui, walau Aria sudah menikah dan memiliki 2 orang anak, Aria
tidak terlihat seperti seorang ibu. Dia masih terlihat berusia 20 tahun dan belum menikah. Julia
tidak tahu apakah Aria menyewa jasa perawatan kecantikan atau tidak. Yang penting, dia dan Aria
masih bisa berkecimpung di dunia hiburan dan masih bertahan sampai sekarang.
"Oh, tadi suamimu menelepon." Kata Julia mengikuti Aria yang duduk di kursi yang
disediakan untuknya. "Katanya, restoran sudah dipesan. Anak-anakmu juga sudah dihubungi."
"Reno dan Lumina?" Aria menghela nafas dan tersenyum, "Mereka sudah besar, tanpa
kusadari, mereka sudah remaja seperti aku dulu."
"Yah" mungkin tidak terlalu sepertiku. Mereka terlalu popular di sekolah."
"Itu karena kamu dan Rifan, bukan" Siapa yang tidak kenal Aria Shiroyuki, sang penyanyi
terkenal, dan Rifan Hawkins, sang direktur Keamanan Internasional?" kata Julia, "Kalian berdua
itu adalah orang besar! Tidak ada yang tidak kenal kalian berdua."
"Tolong, jangan katakan hal itu. Aku tidak merasa kami sekeluarga adalah keluarga yang
hebat." Kata Aria. "Aku harus berganti pakaian sebelum Rifan datang. Kapan dia akan datang?"
"Sebenarnya?" "Aku sudah ada di sini."
Aria menoleh dan melihat pria berambut hitam yang berdiri di belakangnya dengan setelan
jas berwarna biru tua. Wajahnya, juga sama seperti Aria, tidak menunjukkan tanda-tanda penuaan
sama sekali. "Rifan," "Kuharap ini memberikan kejutan untukmu." Kata Rifan sambil memeluk Aria, "Aku
datang terlalu cepat?"
"Tidak. Malahan, kamu datang tepat waktu." ujar Julia, "Aku harus mengurus honor Aria
terlebih dahulu sebelum menemui kantor agensi kami kalau pekerjaan di sini sudah selesai. Nah,
kalian berdua, selamat bersenang-senang."
Julia mengedipkan mata pada Aria dan dibalas dengan tawa gugup oleh Aria.
"Jadi" kamu sudah siap untuk berangkat?" tanya Rifan.
"Aku belum berganti pakaian." Kata Aria.
"Tidak perlu. Kamu sudah cukup cantik tanpa perlu ganti pakaian lagi." ujar Rifan. "Pakai
saja jaket kalau kamu tidak ingin orang-orang menatap kearahmu."
"Sebenarnya yang menatapku hanya satu orang." Kata Aria tersenyum, "Ayo, kita jemput
anak-anak." *** Jam pulang sekolah akhirnya tiba juga. Lumina merapikan buku-bukunya ke dalam tas dan
langsung melesat kearah ruang loker.
"Hei, Lumina," Lumina menghentikan langkahnya dan melihat Rebecca berlari kearahnya.
"Ah, Rebecca!" Rebecca berlari kearah Lumina sambil tersenyum lebar.
"Terima kasih, ya, kamu sudah membelaku tadi." kata Rebecca. "Maaf, gara-gara aku juga,
kamu jadi terkena hukuman dari Lobert-sensei."
"Tidak apa-apa. Lagipula, aku sudah biasa dihukum oleh guru." Ujar Lumina. "Hei, mau
ke ruang loker bersama" Aku tidak mau sampai fans-fans gilaku itu membuntutiku."
"Boleh." Mereka berdua lalu berjalan kearah ruang loker. Di sana, mereka bertemu dengan Reno
yang sudah menunggu. "Ah, Reno Oniichan."
"Ayo, ayah dan ibu sudah menunggu di mobil." ujar Reno.
"Sabar, dong?" Lumina mengambil sepatu di dalam lokernya dan mengganti sepatu
khusus yang selama di sekolah ia pakai.
"Kalian sekeluarga akan makan siang bersama, ya?" tanya Rebecca.
"Ya. Kamu mau ikut?" tanya Lumina.
"Kurasa tidak?" Rebeeca menggeleng, "Kedua orangtuaku sudah menungguku untuk
membantu menjaga toko."
"Oh ya" sayang sekali kalau begitu." Kata Lumina, "Kalau aku ada waktu, akan
kukunjungi toko kuemu. Ya?"
"Boleh, kok." Rebecca tersenyum, "Ah, sampaikan salamku untuk kedua orangtua kalian,
ya?" Lumina mengangguk dan kemudian berjalan keluar ruang loker bersama kakaknya.
Selama mereka berjalan, banyak mata memperhatikan mereka, berbisik-bisik.
"Lihat, itu Hawkins bersaudara!"
"Wah" walau sudah pulang sekolah, gaya mereka masih sangat keren, ya?"
"Hei, lihat adiknya. Cantik sekali, ya?"
"Aku ingin sekali bisa berjabat tangan dengan Reno-senpai3?"
"Lihat gaya rambut Lumina-san. Keren sekali, ya" Apa aku bisa menirunya, ya?"
Dan masih banyak lagi suara bisik-bisik bercampur kagum yang didengar oleh mereka
berdua. Lumina menghela nafas. Dia paling tidak suka diperhatikan seperti ini.
"Tenang saja. Anggap saja mereka patung." Kata Reno sambil tersenyum melihat wajah
adiknya yang ditekuk. "Ayo. Itu mobil ayah."
Lumina mendongak kearah yang ditunjuk. Benar. Mobil ayah mereka sudah terparkir di
depan gerbang. Rifan berdiri di depan pintu mobil sambil melambai kearah mereka. Lumina tersenyum
lebar dan berlari kearah Rifan sebelum sempat dicegah oleh Reno.
"Ayah!!" "Hai, gadis kecilku yang manis." balas Rifan sambil balas memeluk Lumina yang
memeluknya. "Bagaimana sekolahmu?"
"Hmmm" biasa saja." Lumina tersenyum lebar. "Di mana ibu?"
"Kamu sedang mencari siapa?"
Aria berdiri di sebelah Rifan sambil tersenyum.


The Chronos Sapphire Iii Karya Angelia Putri di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ah, Ibu!" "Ya ampun" kelakuanmu masih saja seperti anak kecil," Aria tertawa kecil, "Hai, Reno
sayang?" 3 Panggilan untuk senior di sekolah
"Hai juga, Bu." Balas Reno sambil tersenyum. "Dan" bisakah kita pergi sekarang" Kurasa
tim jurnalistik sekolah sudah akan meliput kita sekeluarga jika kita tidak segera pergi."
Rifan mengangguk, "Ayo, semuanya masuk ke dalam mobil. Kita akan pergi ke restoran
favorit kita." *** "Eh" Ibu ingin aku mengganti penampilanku?" tanya Lumina mengerutkan kening.
"Tidak juga. Ibu hanya ingin melihat anak perempuan Ibu sedikit lebih cantik." kata Aria
sambil memoleskan sedikit bedak di wajah Lumina, "Walau tidak terlalu sering memakai make-
up, setidaknya kamu harus tampil sedikit lebih cantik."
"Aku tidak suka pakai make-up kecuali lipgloss." Ujar Lumina. "Apa aku juga harus
mengubah gaya rambut dan gaya berpakaianku?"
"Tidak perlu." Kata Rifan yang menyetir mobil, "Aria, Lumina itu sudah cantik. Sama
sepertimu dulu." "Rifan, tolong jangan mulai lagi?"
Rifan hanya tertawa sementara kedua anak mereka saling pandang dengan wajah bingung.
"Bu, sebenarnya bagaimana kalian pertama kali bertemu?" tanya Lumina, "Sejak dulu,
kalau aku minta Ibu menceritakannya, Ibu selalu menolak."
"Err" itu?"
"Yah" aku juga penasaran, Bu." Kata Reno.
Aria dan Rifan saling pandang. Mereka tidak mungkin menceritakan yang sebenarnya pada
anak-anak mereka. Terlalu berbahaya dan berisiko. Apalagi sekarang sudah tidak ada lagi yang
mengganggu mereka dan tidak ada yang"
"Ceritakan saja pada mereka." kata Rifan, "Kamu yang mengetahui semuanya."
Aria menatap Rifan, kemudian kedua anaknya, yang menatapnya dengan pandangan ingin
tahu. "Baiklah?" Aria menghela nafas. "Tapi, kalau setelah ini kalian merasa kehidupan kalian
berubah, tolong, jangan pernah merasa kalian berbeda dari yang lain."
"Kenapa ibu mengatakan hal itu?" tanya Lumina mengerutkan kening, "Aku dan Oniichan
hanya ingin tahu bagaimana kalian bisa bertemu."
"Lumina," Aria mengelus rambut Lumina. "Apa yang akan ibu ceritakan ini akan
berpengaruh pada kita semua. Dan" mungkin itu tidak akan lama lagi."
"Apa maksud Ibu?"
"Karena setelah ini, mungkin kalian harus mempelajari kekuatan tersembunyi yang berada
di dalam tubuh kalian." kata Rifan, "Sebagai generasi ke-3 The Chronos Sapphire."
*** Lumina masuk ke kamarnya dan langsung menuju meja belajar. Dia menimang kalung yang ada di
tangannya. Kalung yang sangat berharga bagi ibunya.
"Kalung" Bulan Sabit Biru." Gumamnya. "Kalung yang berisikan ingatan, jiwa, dan
perasaan Ibu." Lumina teringat cerita ibunya saat mereka makan siang tadi. Cerita yang sebenarnya sangat
mengguncang Lumina maupun Reno.
"Kalian adalah generasi ke-3 The Chronos Sapphire. Manusia gen buatan yang memiliki
kemampuan luar biasa." ujar Aria saat itu.
"The Chronos Sapphire?"
"Ya. Itu adalah sebutan ayah dan ibu saat" masih seusia kalian." kata Aria, "Kami adalah
salah satu dari 8 gen yang nyaris dimusnahkan dalam kejadian kapal pengangkut gen yang dikirim
ke Amerika." "The Chronos Sapphire memiliki kemampuan khusus : bisa membaca pikiran, telekinesis,
mengendalikan bayangan, kecerdasan diatas rata-rata, dan" lain-lain." kata Rifan menyambung,
"Singkatnya, The Chronos Sapphire adalah anak-anak yang luar biasa dan tidak bisa dikalahkan
oleh petarung, dan ilmuwan manapun. Dulu, The Chronos Sapphire adalah program bayi tabung
yang digunakan untuk membantu para pasangan suami-istri yang tidak bisa memiliki anak.
"Tapi, ada pihak yang ingin menggunakan program tersebut untuk membuat pasukan
militer. Hingga akhirnya dibuat 200 gen The Chronos Sapphire untuk dijadikan tentara. Dalam
perjalanan menuju pelabuhan di Amerika. Kapal yang mengangkut sekitar 200 gen itu meledak
dan terbakar. 200 gen itu musnah di lautan."
"Tunggu. Ayah bilang, tadi ada 200 gen, sementara Ayah dan Ibu sendiri adalah salah satu
8 gen yang selamat." Kata Reno. "Bagaimana Ayah dan Ibu bisa selamat?"
"Sebelum 200 gen itu dikirim, ada beberapa ilmuwan yang ikut andil dalam membuat The
Chronos Sapphire menyelamatkan 8 gen yang terakhir diangkut ke dalam kapal. Mereka
membawanya kabur dan memberikannya pada beberapa pasangan yang tidak memiliki anak
dengan syarat ketika anak-anak itu lahir, mereka harus dijauhkan dari segala hal yang bisa memicu
kekuatan mereka. "Dan" ceritanya cukup panjang jika diceritakan sekarang." kata Rifan, menunjuk makanan
yang terhidang di atas meja di hadpaan mereka, "Mungkin akan kita lanjutkan nanti. Tapi,
sebelumnya, Ayah ingin menegaskan, kalian adalah The Chronos Sapphire generasi ke-3. Dan"
seperti yang pernah terjadi pada kami, kalian berdua juga akan diincar, begitu juga anak-anak The
Chronos Sapphire yang lain."
"Anak-anak The Chronos Sapphire yang lain?" Lumina mengerutkan kening, "Apa masih
ada anak-anak The Chronos Sapphire lain selain kami?"
"8 gen yang selamat itu" yaitu, kami, dan juga 6 orang lagi," kata Aria, "Ayah, Ibu, Paman
Dylan, Paman Charles, Paman Stevan, Paman Duke, Paman Lord, dan" Jack Lucios. Jack Lucios
sudah lama meninggal, jadi dia tidak perlu dibahas."
"Tunggu. Paman Dylan juga The Chronos Sapphire" Paman Charles" dan Paman Stevan,
Paman Lord, dan Paman Duke juga?"
"Ya." Rifan tertawa, "Tampangnya tidak terlalu kelihatan, ya?"
"Yah" aku tidak tahu kalau beliau juga The Chronos Sapphire." Kata Reno mengedikkan
bahu. "Dan" apa tadi aku hanya mendengar nama pria" Apa hanya ibu wanita satu-satunya dari 8
gen itu?" Rifan melirik penuh arti pada Aria sebelum akhirnya mengangguk, "Dan kami berdua juga
pasangan empati." Katanya, "Pasangan empati adalah pasangan yang bisa bertukar pikiran,
bertelepati, dan mendapat kemampuan yang sama jika salah satu diantara mereka memiliki
kemampuan baru. Pasangan empati adalah laki-laki dan perempuan yang sudah ditakdirkan
sebagai The Chronos Sapphire terkuat.
"Generasi pertama adalah kakek dan nenek dari pihak ibu kalian, sedangkan generasi
kedua" adalah kami."
"Ayah dan Ibu pasangan empati?"
"Pasangan empati yang penuh dengan cobaan." Kata Aria merenung, "Tapi, semuanya
sudah berlalu. Dan sekarang, adalah masa kalian."
"Ayah dan Ibu memberitahu kalian hal ini karena kalian harus bisa melindungi diri kalian
sendiri mulai dari sekarang."
"Memangnya" ada apa, Bu?"
"Tiga hari yang lalu ada kabar kalau sebuah organisasi tanpa nama menginginkan anakanak The Chronos Sapphire." Ujar Rifan, "Yang diincar memang ke-8 gen generasi kedua. Tapi,
tidak menutup kemungkinan kalau generasi ketiga juga akan diincar.
"Karena itu, kalian berdua akan dilatih khusus oleh Ayah dan Ibu. Mengasah kemampuan
kalian, yang Ayah duga, sudah kalian dapatkan saat kalian berusia 5 tahun." Rifan tersenyum,
"Ayah benar, kan?"
Lumina dan Reno saling pandang, kaget.
"Ayah" tahu?" tanya Lumina.
"Bagaimana kami bisa tidak tahu?" ujar Aria tersenyum, "Kami berdua adalah orangtua
kalian." Lumina menghembuskan nafas dan meletakkan kalung itu di atas meja. Kalung itu seakan
berpendar. Bersinar kebiruan, agak ungu. Lumina ingat pesan ibunya mengenai kalung yang
sekarang menjadi miliknya.
"Ini akan menjadi jimat keberuntunganmu." Ujar ibunya saat mereka selesai makan siang.
"Jaga kalung ini baik-baik?"
"Tapi" ini kalung Ibu yang paling berharga." Kata Lumina. Dia ingat, Aria selalu
melarangnya menyentuh kalung tersebut karena alasan yang tidak diketahuinya.
"Aku tidak bisa menerimanya."
"Lumina sayang," Aria menggenggam tangan Lumina. "Kalung ini adalah bagian dari Ibu
yang akan selalu melindungimu. Karena itu, jaga kalung ini baik-baik. Ya?"
Lumina tidak bisa membantah perintah ibunya. Karena itu, ia menerima kalung itu.
"Semoga kalung ini memang menjadi jimat keberuntunganku." Gumamnya. "Yah" kurasa
aku tidak perlu terlalu memikirkannya sekarang."
*** "Kau yakin soal itu, Rifan?" tanya Aria ketika mereka dalam perjalanan menuju Dewan.
"Hmm?" "Tentang memberitahu mereka semua yang seharusnya mereka ketahui sejak lama." kata
Aria. "Aku tidak suka melihat anak-anak kita harus ikut bertarung seperti kita dulu."
Rifan menghela nafas dan membelokkan mobilnya, "Kurasa tidak ada cara lain. Dylan
melihat ada pergerakan asing yang menginginkan The Chronos Sapphire untuk bergerak bersama
mereka." "Pergerakan asing?"
"Lebih tepatnya, organisasi gelap. Aku tidak tahu pasti apa nama organisasi itu?" Rifan
mengerutkan kening, "Tapi, ada kemungkinan, organisasi itu tahu seluk-beluk The Chronos
Sapphire dari zaman Nyonya Haruka?"
"Sudah kubilang, panggil saja dia Ibu." Sela Aria, "Kenapa kamu selalu menyebut ibuku
dengan nama itu?" "Maaf, sudah kebiasaan."
Aria memutar bola matanya dan tersenyum kecil.
"Lalu, apa organisasi ini begitu" berbahaya?"
"Sangat." Rifan mengangguk, "Mereka sangat berbahaya. Tebak, siapa yang melepaskan
Jack dari tempatnya diisolasi" Organisasi gelap itu juga yang melepaskannya."
"Apa?" "Jangan kaget seperti itu. Awalnya aku juga kaget. Tapi, itu memang kenyataannya."
"Dan" alasan kenapa aku juga "dilindungi" itu?"
"Karena mereka juga mengincarmu."
Mobil yang membawa mereka sampai di depan Dewan. Rifan memperlihatkan kartu
pengenalnya pada penjaga yang bertugas. Setelahnya, mereka langsung masuk ke area basement
dan memarkir mobil mereka di sana.
Aria menghembuskan nafasnya dan menoleh kearah Rifan.
"Sudah berapa tahun aku tidak kemari?"
"Mungkin 12 tahun lebih?" Rifan mengedikkan bahu, "Kamu sibuk dengan karirmu, dan
Reno dan Lumina. Jadi, aku yang biasanya mewakilimu kemari, kan?"
"Benar juga." Aria tersenyum, "Ayo, kita masuk."
CHAPTER 3 "Ayah" Ibu" Reno Oniichan?"
Lumina keluar dari kamarnya sambil mengelap rambutnya yang basah. Dia baru saja
mandi, dan sekarang, dia perlu membuat makan malam karena sekarang adalah jadwalnya
membuat makan malam. Biasanya dia membuat makan malam bersama Reno atau ibunya. Tapi,
kali ini, kelihatannya tidak ada orang lain di rumah selain dirinya.
"Kemana mereka semua?" gerutunya sambil menuju kearah dapur.
Di depan pintu kulkas, Lumina melihat banyak sticky notes tertempel. Dia membacanya
satu-persatu. Kebanyakan dari Reno, sementara ayah dan ibunya hanya meninggalkan pesan kalau
mereka akan pulang larut malam.
"Seperti biasa?" Lumina menghela nafas, "Ayah dan Ibu bekerja terlalu keras. Seharusnya
mereka memikirkan semacam liburan?"
Lumina lalu mengeluarkan penggorengan dan mulai memasak makan malam untuknya
dan Reno. Dari sticky notes yang ditinggalkan Reno, kakaknya itu sedang berada di rumah Dylan
dan Keiko, paman dan bibinya, untuk membantu anak mereka, Claire, yang sedang dalam masa
penyembuhan pasca operasi sumsum tulang belakang beberapa bulan lalu.
"Yah" kakakku itu memang selalu baik pada semua orang." Gumamnya sambil tersenyum
kecil. Ia memutuskan untuk membuat roti daging asap dan juga salad ayam. Kesukaan Reno,
Lumina tahu itu. Dia memang sengaja membuat masakan yang tidak memerlukan waktu lama
untuk memasaknya, karena ia sendiri sebenarnya juga ada urusan.
Setelah memasak dan meletakkan bagian milik Reno di lemari makanan, Lumina langsung
pergi menuju basement bawah tanah. Sambil mengunyah roti daging asap, dia menghampiri pintu
baja yang berada di dekat ruang kerja ayahnya dan mengetikkan beberapa kata kunci sebelum
menempelkan telapak tangannya pada salah satu dinding.
Pintu baja itu terbuka dengan suara berderit pelan. Sambil bersenandung pelan, dia
menyalakan lampu dan menuruni tangga yang langsung menuju ke bawah.
Untung saja Ayah sudah memberitahuku kunci sandi dan sudah memasukkan DNA-ku ke
database pemilik basement. Kata Lumina dalam hati.
Rifan memang sudah memberitahu kunci sandi pintu baja yang mengarah ke basement
bawah tanah. Ayahnya itu memang baru memberitahu Lumina dan Reno kunci sandi pintu baja ke
basement itu saat mereka makan siang tadi. Rifan menyarankan agar mereka berdua berlatih
sendiri terlebih dulu. Berlatih menggunakan berbagai senjata, atau melatih kemampuan khusus
mereka. Lumina membuka pintu yang ada di hadapannya dan menyalakan lampu. Dan langsung
bersiul pelan ketika melihat ruangan di basement yang ternyata cukup luas untuk menampung 8
buah mobil sekaligus itu penuh dengan berbagai macam senjata yang tersusun rapi menurut
jenisnya. Ada arena pertarungan pedang kendo yang biasa ia lihat di sekolahnya, arena beladiri,
dan juga gymnastic mini. "Keren sekali?" ia meletakkan nampan berisi makan malamnya di atas meja di dekatnya
dan mendekati salah satu rak senjata yang memuat berbagai jenis pisau dan pedang.
"Katana" pisau militer" semuanya lengkap!" gumam Lumina, "Ayah dan Ibu sepertinya
benar-benar The Chronos Sapphire yang hebat."
Pandangan Lumina tertuju pada sebuah pedang yang berpendar biru di ujung rak.
Ukirannya indah. Ada ornament bunga mawar di gagang pedangnya.
"Pedang apa itu?"
Lumina mengambil pedang itu dan mengeluarkannya dari sarungnya. Mata pedangnya
yang berwarna keperakan lebih berpendar daripada sarung pedangnya sendiri. Lumina mengelus
pedang itu dan merasakan kekuatannya yang begitu kuat.
"Apa" ini pedang Ayah?"
"Itu pedang milik Ibu."
Lumina menoleh dan melihat Reno berdiri di depan pintu sambil tersenyum lebar.
"Oniichan membuatku kaget." Gerutu Lumina, "Kapan Oniichan pulang?"
"Baru saja." Reno mendekat kearah Lumina dan mengelus pedang di tangan adiknya, "Ini
pedang Ibu. Aku bisa merasakannya."
"Oniichan bisa merasakannya"!"
"Tentu saja." kata Reno, "Kemampuan khususku adalah, aku bisa mengetahui semua
kemampuan benda atau orang lain bila kusentuh."
"Hee" keren sekali?"
"Ayah bilang, kita berdua harus memperlihatkan kemampuan khusus kita masing-masing.
Dan kita harus melatihnya satu sama lain." ujar Reno, "Kamu, Lumina, apa kemampuan
khususmu" Kalau Oniichan, sih, mengetahui semua kemampuan benda atau orang lain bila
disentuh, menghentikan waktu, dan" menembus benda. Selebihnya, kemampuan umum The
Chronos Sapphire seperti yang disebutkan Ibu saat makan siang tadi."
"Aku?" Lumina mengerutkan kening dan memiringkan kepalanya, "Aku tidak tahu" aku
hanya tahu kalau aku bisa?"
Lumina tiba-tiba terdiam. Lidahnya terasa kelu ketika dia ingin menyebut kemampuan
khusus"sebenarnya, kemampuan anehnya.
"Hmm" Lumina?"
"Oniichan harus berjanji dulu untuk tidak menanyaiku macam-macam."
"Lho, kok?" "Ayolah" berjanji saja?"
Reno menghela nafas dan mengangguk, "Oniichan janji." Katanya. "Apa kemampuan
khususmu?" Lumina meneguk ludah dan mengatakannya dengan lirih. Suaranya pasti tidak akan
terdengar kalau saja Reno tidak mengantisipasi untuk menajamkan pendengarannya.
"Kupikir" kemampuanku adalah kemampuan meramal, mengendalikan seseorang,
kemampuan menghentikan waktu seperti Oniichan, dan" aku tidak yakin apakah aku bisa
menyebut kemampuanku yang terakhir ini sebagai kemampuanku atau tidak?"
Lumina menghela nafas lagi, "Aku bisa mendengar suara orang lain yang bukan suaraku
sendiri di dalam kepalaku."
"Benarkah?" Reno mengerjapkan matanya, "Kamu bisa meramal, mengendalikan
seseorang, dan?" Lumina mengangguk, "Ya. Ingat ketika aku pergi ku UKS ketika ulangan Kimia" Saat itu
aku sudah meramalkan kalau akan ada kebakaran di kelasku yang disebabkan oleh punting rokok
yang dibuang oleh guruku ternyata masih menyala dan membakar sampah kertas di tong sampah."
Katanya. "Wow" kemampuan yang" luar biasa." ujar Reno, "Kurasa, kamu mewarisi sebagian
kemampuan Ibu, sementara aku, mewarisi kemampuan Ayah."
"Begitukah?" "Ya. Kira-kira seperti itu." Reno tersenyum, "Kenapa" Kamu kelihatan takut."
"Jujur saja, aku memang takut." Lumina mengedikkan bahu, "Tapi, kurasa aku harus
terbiasa dengan semua itu, kan" Oniichan juga sama."
"Ya, itu benar." Reno manggut-manggut, "Bagaimana kalau kita latihan saja sekarang"
Bagaimana dengan mencari jenis senjata yang cocok untuk kita berdua?"
"Kurasa boleh juga." Kata Lumina setuju sambil tersenyum.
*** Aria dan Rifan keluar dari Dewan sambil menghela nafas bersamaan. Mereka lelah. Tentu saja.
Rapat yang membahas tentang anak-anak mereka, anak-anak The Chronos Sapphire generasi
kedua, berjalan cukup lambat. Aria bahkan harus bersabar untuk bertemu anak-anaknya karena


The Chronos Sapphire Iii Karya Angelia Putri di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kepala Dewan yang baru, yang menggantikan ibunya yang sudah lama meninggal, menghendaki
kalau anak-anak mereka dimasukkan dalam program khusus perlindungan.
Yang tentu saja, ditentang oleh Rifan yang tidak suka kalau kedua anak mereka
dimasukkan dalam program yang menurutnya tidak masuk akal.
Program tersebut ditentang seluruh The Chronos Sapphire generasi kedua, dan suasana
rapat menjadi lebih panas ketika kepala Dewan menetapkan secara paksa kalau mereka semua
akan diikutsertakan dalam program perlindungan tersebut.
Aku benci dengan orang itu. kata Aria dalam hati. Kenapa Ibu harus menunjuk orang itu
sebagai kepala Dewan menggantikan beliau"
"Aria?" "Hmm?" "Kita harus membicarakan masalah ini pada Dylan dan yang lain." kata Rifan, "Aku sudah
menyuruh mereka untuk berkumpul ke rumah besok, bersama anak-anak mereka. Kita akan
membicarakan langkah yang akan kita ambil sendiri."
"Seperti dulu, ya?" gumam Aria tersenyum muram, mengingat masa lalu mereka ketika di
Laboratorium Terlarang. "Ya" seperti dulu." Rifan mengangguk, "Sekarang, kita pulang dan?"
Langkah Rifan tiba-tiba terhenti. Matanya menangkap sosok bayangan di kejauhan.
"Ada apa?" "Ada orang yang mengawasi kita." Ujar Rifan lirih, "Kurasa bukan salah satu dari Dewan,
tapi" mungkin saja."
"Organisasi itu" Apocalypse?"
"Kurasa begitu."
Aria menatap kearah yang juga dilihat oleh Rifan. Memang ada bayangan yang berdiri di
sana, tidak jauh dari tiang lampu jalan. Tapi, karena bayangan itu berdiri membelakangi mereka,
Aria tidak bisa menerka siapa bayangan itu.
"Kau berpikir seperti yang kupikirkan?" tanya Aria.
"Apa" Menyerangnya?"
"Tidak. Lebih baik, kita bersikap sewajarnya. Jangan menampakkan kalau kita tahu dia
mengawasi kita." Aria memutar bola matanya, "Kupikir menjadi direktur Keamanan Internasional
bisa mengasah kemampuanmu untuk lebih hebat lagi."
"Hei" aku selama ini hanya mengawasi saja." Rifan mengedikkan bahu, "Tidak terlalu
sering bekerja secara lapangan."
"Pantas saja kemampuanmu sedikit menurun," Aria tersenyum kecil, "Ayo, lebih baik kita
masuk ke dalam mobil dan pulang. Aku ingin tidur karena besok masih ada beberapa konser yang
harus kuhadiri." Rifan mengangkat tangan tanda menyerah berdebat dengan Aria dan membuka pintu
mobil. Bayangan itu masih mengawasi mereka. Setiap gerak-gerik Aria dan Rifan diikutinya dari
kaca jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. Baru ketika mobil mereka berdua
menjauh, bayangan itu berbalik. Ia mengambil ponsel di sakunya dan menelepon sebuah nomor.
"Target sudah ditemukan. Aria Shiroyuki dan Rifan Hawkins dari generasi kedua The
Chronos Sapphire. Langkah selanjutnya?"
"Awasi mereka. Pastikan mereka tidak lepas dari rencana kita."
"Dimengerti." CHAPTER 4 "Ayo, kemarilah?"
Lumina mengerjapkan mata ketika dia mendengar suara seseorang berdiri di dekatnya.
Lumina yang saat itu menangis sesunggukan, mendongak dan melihat seseorang mengulurkan
tangan padanya. Seorang anak kecil yang seusia dirinya. Mungkin hanya berbeda setahun. Tangan yang
terulur pada Lumina kelihatan kotor, baju yang dikenakan anak itu juga lusuh.
"Kamu tersesat" Di mana ayah dan ibumu?" tanya orang itu.
"Aku" aku tidak tahu?" Lumina menangis lagi. "Aku tidak tahu ini di mana" aku tidak
tahu di mana Reno Oniichan?"
"Kakak" Kamu ke sini bersama kakakmu?"
Lumina mengangguk. "Kalau begitu, ayo, kita mencarinya." orang itu menggamit tangan Lumina, "Ayo,"
"Kamu siapa?" Orang itu tersenyum kecil, "Namaku?"
Bunyi jam alarm membangunkan Lumina dari tidurnya. Dengan agak malas, gadis itu
menekan tombol untuk mematikan alarm dan menggeliat pelan. Matanya masih terasa berat. Dia
dan Reno kemarin berlatih sampai larut malam. Hasil yang mereka dapatkan cukup memuaskan.
Dalam beberapa menit saja, mereka bisa menguasai hampir seluruh senjata yang ada di basement
bawah tanah. Lumina memutuskan, ia cocok menggunakan senjata pedang atau busur, sementara
Reno merasa cocok menggunakan pedang seperti Lumina, atau pistol yang cocok di genggaman
tangannya asal tidak terlalu memberatkan.
Dan ketika mereka akan pergi ke kamar tidur, kedua orang tua mereka pulang dan
mengatakan kalau besok semua The Chronos Sapphire generasi kedua akan berkumpul di rumah
untuk membahas sesuatu. Reno dan Lumina diminta untuk berlatih bersama anak-anak The
Chronos Sapphire yang lainnya.
"Mereka semua juga sudah diberitahu kalau ada organisasi gelap yang menginginkan The
Chronos Sapphire," kata Rifan, "Jadi, tunjukkan saja basement bawah tanah dan berlatihlah
bersama mereka. Mengerti?"
"Baiklah?" Lumina mengangguk, "Dan, apa Claire Oneesan juga akan datang?"
"Tentu saja. Ngomong-ngomong, dia baru keluar dari rumah sakit, bukan" Baik-baiklah
berlatih bersamanya." Kata Aria, "Claire masih belum bisa menggerakkan tubuhnya dengan baik.
Kamu bisa membantunya, kan, Lumina?"
"Tentu saja." Lumina tersenyum lebar, "Aku tidak mungkin membiarkan Reno Oniichan
terus-terusan menyentuh Claire Oneesan, kan?"
"Kamu membuatku terdengar seperti cowok kurang ajar, Lumina." Gerutu Reno, "Awas
saja nanti?" Lumina hanya mengacungkan dua jarinya membentuk huruf V dan menggumamkan kata
"damai?" tanpa suara.
Lumina mengangguk-angguk dan mencoba mengumpulkan nyawanya yang masih tertinggal
di alam bawah sadarnya. Setelah dia merasa kepalanya tidak terlalu berat untuk kembali ke atas
bantal, ia berjalan ke kamar mandi dan bersiap-siap untuk pergi ke sekolah.
Lumina baru saja akan mengikat rambutnya ketika dia mendengar ponselnya berbunyi.
Dengan agak cepat mengikat rambutnya, Lumina meraih ponsel yang ia letakkan di dekat tasnya
dan menerima telepon yang masuk.
"Halo?" "Ah, Lumina! Ini aku! Sarah. Masih ingat, kan?"
"Ah" Sarah Oneesan," Lumina tersenyum ketika mendengar suara Sarah, adik kembar
Claire, yang meneleponnya.
"Apa kabar" Sudah kembali dari travelling, ya?"
"Ya, begitulah" aku baru saja selesai melakukan travelling ke Negara Barat. Tidak penting
di mana aku melakukan travelling." Kata Sarah sambil tertawa pelan, "Ngomong-ngomong, hari ini
kami sekeluarga akan ke rumahmu. Kata Dad, mereka harus membahas sesuatu dengan Paman
dan Bibi. Apa benar?"
"Ya, begitulah?" Lumina mengedikkan bahu dan memperhatikan penampilannya di
cermin. "Kurasa ada sesuatu yang ingin mereka diskusikan. Kita sebagai anak-anak mereka Cuma
bisa menerima keputusan jika yang mereka diskusikan adalah kita. Iya, kan?"
"Bicaramu seperti seorang psikolog saja. Saat kuliah, kamu harus mengambil jurusan
psikolog!" "Enak saja?" Sarah tertawa di seberang telepon, "Baiklah. Kita akan bertemu jam 7 malam. Kata Dad
juga, teman-temannya juga akan datang ke rumahnya bersama anak-anak mereka. Sampai nanti,
Lumina." Telepon langsung diputus sebelum Lumina membalas ucapan Sarah.
"Seperti biasa, Sarah Oneesan selalu bersemangat." Katanya tersenyum, "Yah" Claire
Oneesan juga seperti itu."
"Lumina," Seseorang mengetuk pintu kamarnya. Dan Lumina tahu kalau itu adalah Reno.
"Ayo, cepat, kita sudah terlambat ke sekolah."
"Tunggu sebentar! Aku akan segera turun ke bawah!" seru Lumina, "Oniichan duluan
saja!" "Jangan salahkan aku kalau kamu dihukum lagi hari ini, ya?"
"Iya, aku tahu!"
Lumina bisa mendengar kakaknya tertawa geli sebelum melangkah pergi. Dia sendiri hanya
bisa memutar bola matanya, lalu mengambil tasnya, dan berlari secepat kilat keluar kamar.
*** Lumina nyaris terlambat datang ke kelas kalau saja dia tidak berlari kencang. Dia langsung duduk
di sebelah Rebecca sambil mengelap keringat yang mengucur di dahinya.
"Kamu sebenarnya bangun tidur jam berapa, sih?" bisik Rebecca sambil mengerjakan PRnya. "Kamu sering sekali datang terlambat."
"Aku tidak tahu." Lumina mengedikkan bahu, "Kurasa karena aku sering begadang sampai
larut malam. Entahlah" kupikir aku perlu sedikit obat tidur malam ini agar tidak tidur larut
malam." "Kupikir juga begitu?" Rebecca meletakkan pulpennya dan menoleh kearah Lumina,
"Hei, kamu tahu ada murid baru di kelas ini?"
"Hmm" Bukan urusanku juga, kan?" kata Lumina, "Memangnya kenapa aku harus tahu?"
Rebecca memasang wajah gemas pada Lumina dan memutar bola matanya.
"Kamu harusnya tahu!" kata Rebecca, "Karena dia?"
"Henry-sensei datang!!"
Semua siswa di kelas Lumina langsung duduk di bangku mereka masing-masing. Beberapa
detik kemudian, Henry-sensei, guru mereka datang, bersama seseorang yang langsung menarik
perhatian para siswi di kelas tersebut. Itu tidak mengherankan, karena wajah murid baru itu diatas
rata-rata, mulus tanpa noda, dan senyumnya" mungkin sanggup menggetarkan hati setiap cewek
yang ada di dunia. Yah" tidak semua. Lumina tidak memperhatikan di depannya berdiri penyebab temantemannya hysteria di belakangnya. Dia sedang asyik membongkar isi tasnya.
"Di mana aku letakkan kalung itu?" gumamnya sambil meraba-raba tasnya.
"Lumina, Lumina?" panggil Rebecca sambil menyenggol lengannya.
"Apa?" "Itu" di depan kelas?"
"Anak-anak, perkenalkan, ini Nathan Jackson. Dia pindahan dari sekolah internasional
yang cukup terkenal, selain sekolah kita, tentunya." Ujar Henry-sensei memperkenalkan murid
baru itu, "Nah, perkenalkan driimu lebih jelas."
"Baik, sensei,"
Gerakan Lumina terhenti ketika dia mendengar suara si murid baru. Lumina
mendongakkan kepalanya dan mengerjapkan mata melihat Nathan.
"Namaku Nathan Jackson. Kalian semua bisa memanggilku Nathan. Aku tinggal tidak jauh
dari sekolah, dan jika kalian butuh bantuan dalam mengerjakan PR, aku bisa mengajari kalian."
ujar Nathan sambil tersenyum lebar, "Sekalian promosi, kalau aku juga mengajar privat
matematika untuk anak-anak. Kalau kalian punya adik, kalian bisa mendaftarkan les privat
padaku." Ucapan yang langsung disambut dengan gelak tawa oleh teman-teman barunya. Tapi,
Nathan cuek. Pandangannya tiba-tiba tertuju pada Lumina yang menatapnya tidak berkedip.
"Baiklah?" Henry-sensei berdeham, "Nathan, kamu bisa duduk di?"
Nathan tidak mendengarkan Henry-sensei, dia malah menghampiri Lumina dan
menggenggam tangannya. Teriakan histeris kembali melanda telinga Lumina.
"Lama tidak bertemu," kata Nathan sambil tersenyum lebar, "Masih ingat padaku, kan?"
Lumina mengelus-elus telinganya yang sakit dan menatap Nathan. Dia menghela nafas dan
menggeleng, "Aku tidak tahu siapa kamu." katanya.
"Benar kamu tidak tahu?" tanya Nathan lagi. Senyumnya makin lebar, "Kurasa kamu purapura lupa. Kamu tidak mungkin tidak tahu aku, kan?"
Lumina yakin teman-temannya menatap keheranan dengan ucapan Nathan, termasuk
Rebecca. Tapi, Lumina cuek dan menatap Nathan dengan wajah sungguh-sungguh.
"Aku tidak tahu siapa kamu. Dan tolong, lepaskan tanganku."
"Aku tidak mau."
"Kamu?" "Ayolah, coba ingat dulu?" kata Nathan.
"Err" maaf, sensei sedang menatapmu." Ujar Lumina, "Mungkin sebaiknya kamu duduk
di tempat yang ditunjuk oleh Henry-sensei."
Nathan menoleh kearah Henry-sensei dan nyengir lebar.
"Maaf, sensei, aku lupa kalau Anda masih ada di sini." katanya tanpa rasa bersalah.
"Ah" tidak masalah." Ujar Henry-sensei, "Kau mengenal Lumina?"
"Tentu saja." kata Nathan, menatap Lumina yang cuek padanya, "Dia calon istriku."
Kalimat yang benar-benar mengundang kekagetan bagi semua yang ada di dalam kelas,
termasuk Lumina yang langsung melongo mendengar ucapan Nathan.
*** Dia bilang aku calon istrinya" Dia pikir dia siapa"!
Lumina benar-benar kesal dengan Nathan. Seharian itu, dia terus dibuntuti oleh Nathan
dan juga para fans Nathan yang juga terus membuntutinya.
Sampai akhirnya, Lumina tidak bisa menahan kekesalannya lagi. Dia akhirnya mengajak
Nathan bicara berdua di dekat ruang kesehatan yang gedungnya terpisah dengan gedung yang lain
dan letaknya terpencil. "Sebenarnya apa maumu, sih?" tanya Lumina langsung, "Kenapa kamu selalu mengikutiku
sepanjang hari ini?"
"Lho" Bukankah kamu calon istriku?" tanya Nathan balik, "Dan sebagai suami yang baik,
aku akan selalu mengikutimu agar tidak dilirik oleh pria lain."
"Kau membuatku terdengar seperti seorang yang gampang sekali digoda." Ujar Lumina,
"Aku tidak pernah mengenalmu. Dan aku yakin, aku tidak pernah bertemu denganmu
sebelumnya." Nathan tersenyum tipis dan bersandar di dinding. "Kita memang tidak pernah bertemu
sebelumnya. Secara langsung, belum." Katanya.
"Apa maksudmu?"
Nathan menunjuk kepalanya dan tersenyum lebar, "Tapi, kita pernah bertemu dalam
mimpi." "Hah?" "Ingat mimpi di mana kamu menangis sendirian mencari kakakmu?" tanya Nathan lagi.
"Ingat mimpi itu?"
Lumina terdiam. Dia tidak mungkin lupa mimpi yang sering menghantuinya selama ini.
Bahkan tadi malam, mimpi itu kembali mendatanginya.
"Aku ini bisa masuk ke dalam mimpimu." Kata Nathan, "Dan" ingat siapa orang yang
menolongmu ketika kamu memang tersesat mencari kakakmu di taman bermain."
"Darimana kamu tahu hal itu?"
"Aku yang menyelamatkanmu saat itu." ujar Nathan. "Dan kamu masih bilang tidak ingat
aku?" "Tunggu?" Lumina mengerutkan kening, "Kamu" anak kecil itu" Kamu yang waktu
itu?" "Memang benar." sela Nathan, "Sekarang, ingat siapa aku, kan?"
Lumina memijat pelipisnya. Tiba-tiba dia merasa pusing.
"Harus" kuakui, aku ingat." Katanya menelan ludah. "Maaf, aku tidak mengenalimu
sebelumnya" Hero-kun."
"Akhirnya kamu ingat aku juga!" kata Nathan senang.
Lumina hanya tersenyum kaku. Sumpah, dia benar-benar malu mengetahui dia sendiri
yang lupa pada Nathan. "Tapi" kenapa kamu harus menyebutku sebagai calon istri?" tanya Lumina, "Kamu
membuatku menjadi sasaran amuk para cewek di sekolah ini, tahu!"
"Maaf?" Nathan tersenyum lebar, "Aku hanya ingin membuat mereka menjauh. Lagipula,
aku sungguh-sungguh soal kamu adalah calon istriku."
"Apa karena permainan itu?"
"Tepat." "Seharusnya aku tidak mengusulkan permainan itu," Lumina menghela nafas, "Sekarang
aku malah terkena karma."
"Jangan bilang begitu?" Nathan tertawa dan menggamit tangan Lumina. "Aku malah
senang kamu mengusulkan permainan itu."
"Tapi, sekarang malah aku yang terkena masalah."
"Jangan khawatir, aku akan melindungimu." Nathan mencium pipi Lumina dan membuat
gadis itu kaget, "Lagipula, kamu calon istriku, kan?"
*** Kabar kalau Nathan adalah calon suami Lumina sudah menyebar dengan cepat di seluruh penjuru
sekolah. Bahkan kabar itu sampai ke telinga Reno. Dan dia sudah menduga kalau Nathan akan
datang mengejar Lumina. Oh, tentu saja dia tahu itu. Dia masih ingat ucapan Nathan waktu kecil ketika dia
menolong Lumina yang tersesat di taman bermain.
"Aku akan menjaga Lumina dan menjadikannya pengantin paling bahagia bersamaku."
Kata Nathan saat itu, "Aku berjanji padamu, Reno. Lumina akan kubuat bahagia."
Dan janji itu ternyata benar-benar ingin ditepati oleh Nathan, dengan mengejar Lumina
sampai ke sekolah ini. Yah" kurasa anak itu memang sudah jatuh cinta pada Lumina sejak pertama kali bertemu.
Kata Reno tersenyum kecil sambil menyeruput mie ramen di hadapannya.
"Hei, Reno, kamu tidak takut adikmu benar-benar punya calon suami?" tanya temannya
yang duduk di sebelahnya. "Adikmu itu popular karena kecantikan dan kejeniusannya
mengalahkan tim olimpiade Kimia beberapa waktu lalu."
"Lalu" Apa masalahnya denganku?" tanya Reno balik, "Nathan memang calon suami
Lumina dari kecil." "Apa!?" "Dia itu?" Reno menyeruput mie-nya lebih cepat dan minum sebelum melanjutkan, ?"
teman masa kecil Lumina. Dulu mereka pernah bermain pernikahan bohongan. Jadi" ya,
singkatnya, begitulah?"
"Aku tidak mengerti." kata temannya mengerutkan kening, "Ahh" kenapa harus cowok itu
yang mendekati Lumina?"


The Chronos Sapphire Iii Karya Angelia Putri di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kenapa" Kamu juga tertarik pada adikku?" tanya Reno menaikkan sebelah alisnya.
Temannya hanya tersenyum lebar, "Tapi, aku tahu, kamu tidak akan menyerahkan
adikmu begitu saja pada orang lain, kan?"
Reno tertawa mendengar ucapan temannya dan menggeleng-gelengkan kepalanya, "Aku
tidak pernah begitu. Itu tergantung keputusan Lumina ingin berhubungan dengan siapa." Ujarnya,
"Tapi, jika orang yang berhubungan dengan Lumina hanya ingin mempermainkan, atau malah
menyakiti perasaannya, itu baru menjadi urusanku."
Reno menghela nafas dan menatap ke depan, "Yah" setidaknya, Nathan adalah orang
yang memang ditakdirkan untuk Lumina."
*** Di suatu tempat, beribu-ribu kilometer dari sekolah Lumina dan Reno, seorang anak laki-laki
sedang duduk di kursi yang ada di sebuah ruangan yang hanya diterangi lampu seadanya. Anak itu
terlihat memejamkan mata. Pakaiannya sangat resmi, seperti seorang direktur sebuah perusahaan.
Pintu ruangan itu terbuka, seorang pria yang lebih tua masuk ke dalam dan langsung duduk
di hadapan anak itu. "Aku menunggu jawabanmu, nak." Ujar pria itu. "Aku bisa mengeluarkanmu dari sini, tapi,
aku tidak bisa, Kau terlalu berharga untuk dibuang."
Anak itu mendengus dan bersandar pada punggung kursi yang didudukinya. Matanya
menatap tajam pada pria yang ada di hadapannya.
"Jika jawaban yang ingin Anda minta adalah tentang informasi mengenai pasangan empati
Aria-Rifan, sayang sekali, aku tidak bisa memberitahu Anda." Kata anak itu dingin, "Aku sudah
bersumpah untuk tidak pernah membocorkan informasi mengenai The Chronos Sapphire."
"Ucapanmu sangat berani?"
"Anda juga pasti menginginkan informasi mengenai pasangan empati baru yang
diperkirakan adalah anak perempuan mereka, bukan?" ujar anak itu, "Aku tidak akan pernah
membuka mulutku untuk itu."
Pria itu mengangkat tangan tanda menyerah berdebat.
"Aku tidak menginginkan jawaban dalam waktu dekat. Tapi, aku sangat berharap kau bisa
bekerja sama denganku." Ujar si pria.
"Tidak akan. Aku menolak tawaranmu."
Anak itu berdiri dan berjalan menuju pintu. Dia keluar dari ruangan tersebut dan
meninggalkan si pria yang tengah memandanginya dengan tatapan setajam pisau.
"Aku akan mendapatkan apa yang kuinginkan." Ujar pria itu sambil mengambil sebuah
jam rantai yang ada di saku jasnya. Ia membuka tutup jam itu dan melihat foto yang terpampang di
sana. "Benar, kan, Jack?"
CHAPTER 5 "Kenapa wajahmu kelihatan ditekuk begitu?" tanya Reno saat mereka pulang sekolah.
Lumina hanya menggeleng pelan sambil memperbaiki ikatan rambutnya di depan pintu
lokernya. "Hanya ada sedikit" masalah." Katanya, "Tidak terlalu penting."
"Tentang Nathan?"
"Oniichan tahu dari"oh" sudah menyebar, ya?"
Reno tertawa dan menepuk kepala Lumina, "Semua orang tahu kalau dia adalah calon
suamimu, kan?" katanya.
"Oniichan jangan membuatku frustasi lagi. Aku sudah cukup pusing diburu oleh para siswi
yang mengidolakan Nathan di hari pertama dia pindah." Lumina menghela nafas, "Aku tidak suka
menjadi popular." "Tapi, ada sisi positifnya juga, kan" Kamu jadi tidak dilirik oleh orang lain?" goda Reno.
"Oniichan!!!" Reno tertawa terbahak-bahak melihat ekspresi Lumina yang seperti anak kecil.
"Maaf," katanya, "Aku hanya bercanda saja."
"Canda Oniichan keterlaluan." Kata Lumina, "Aku malu, tahu?"
"Iya, iya?" Reno berusaha menahan tawanya lagi, "Tapi, tidak ada salahnya menerima
kenyataan, bukan" Salahkan dirimu sendiri karena memilih permainan pernikahan bohongan saat
itu. Sekarang kamu terkena karmanya, kan?"
"Iya, aku tahu?" kata Lumina, "Ya sudahlah. Aku ingin pulang dan tidur saja sampai
malam. Ayo, Oniichan,"
*** Aria tiba-tiba terjatuh ketika dia baru saja akan naik ke atas panggung.
"Aria!" Julia menghampirinya dan membantu Aria berdiri. Dia mengisyaratkan pada salah satu kru
panggung untuk mengganti giliran tampil Aria.
"Aku" tidak apa-apa"aduh!"
"Kakimu terkilir?" Julia membantunya duduk di kursi plastic di dekat mereka dan
memeriksa kakinya, "Ya Tuhan" heel sepatumu patah. Aku akan mengambil yang baru."
Aria tidak bisa mencegah Julia dan hanya menatap dari belakang panggung, suasana konser
masih berlangsung riuh walau bukan dia yang tampil berikutnya. Aria menghembuskan nafas. Dia
tidak menduga dia akan terjatuh tadi. Sesaat sebelum jatuh, dia merasa ada sesuatu yang
mengganggu pikirannya dan membuat otaknya mati sesaat.
Apa" perasaan tadi itu seperti yang waktu itu. katanya dalam hati. Perasaan yang sama
seperti saat Jack menyerangku saat itu"
"Nah, ini, sepatu yang baru."
Julia datang dan langsung mengganti sepatu Aria.
"Terima kasih, Julia," ujar Aria, "Aku tidak tahu kenapa heel sepatunya bisa patah."
"Itu disebut kejadian tidak terduga," kata Julia sambil tersenyum. "Nah, kamu harus siapsiap, setelah ini adalah giliranmu."
Aria mengangguk dan menghela nafas. Ia mengambil botol air di dekatnya dan
meminumnya sedikit. Perasaan tidak enak itu masih ada, dan itu sangat mengganggunya.
"Apapun itu tidak boleh sampai menghancurkan konser ini." katanya lirih, "Ya" aku harus
bersikap profesional!"
Ketika namanya dipanggil, Aria meletakkan botol minum di dekat kaki kursi dan langsung
naik ke atas panggung. *** Lumina selesai mengerjakan PR-nya dan tersenyum puas. Setidaknya, hari ini dia tidak terlalu
sibuk untuk mengerjakan PR. Lumina menoleh kearah jam dinding, sudah pukul 5 sore.
"Sebaiknya aku mandi," gumamnya sambil berdiri dan berjalan menuju kamar mandi.
Hai, Lumina, apa kabar"
"Suara!" Lumina tersenyum lebar, "Kukira aku tidak akan mendengarmu lagi. Kau tahu,
hari-hariku sepi tanpamu. Kemana saja kamu selama ini?"
Sebuah suara, yang bukan suaranya sendiri, tertawa. Lumina membatalkan niatnya untuk
mandi dan malah berbaring di tempat tidur.
Aku tidak kemana-mana. Hanya" butuh tidur sebentar sebelum menghadapi mulut
cerewetmu. "Aku tidak cerewet! Ah, tapi, kalau kamu masih bisa berbicara denganku saja, itu sudah
cukup." Kata Lumina, "Aku merindukanmu, Suara."
Aku juga. "Dari dulu aku penasaran, namamu yang sebenarnya siapa." Kata Lumina memeluk
boneka beruangnya, "Aku hanya memanggilmu Suara. Rasanya aneh jika aku memanggilmu
seperti itu." Aku" tidak bisa mengatakannya. Itu masih rahasia. Suatu saat, kita akan bertemu. Aku
janji. "Benar" Aku juga penasaran, seperti apa wajahmu." Lumina tertawa, "Yah" kuharap
sesuai dengan tipeku. Kamu laki-laki, kan?"
Apa suaraku terdengar seperti perempuan"
"Tidak. Tapi, yah" sedikit" lembut dan kalem."
Dasar" ia mendengar suara itu tertawa, Aku harus pergi sekarang. Ada sesuatu yang harus
kuurus. Sampai nanti. "Sampai nanti."
Seperti koneksi telepon, suara itu langsung menghilang dan Lumina merasakan
keheningan di sekitarnya. Lumina tidak bisa berhenti tersenyum. Dia suka berbicara dengan
Suara. Dia suka sekali bercerita dengan Suara. Kalau mereka benar-benar bisa bertemu secara
langsung, mungkin hal pertama yang akan dilakukan Lumina adalah memeluk Suara dan
mengatakan kalau dia senang bertemu langsung dengannya.
"Setidaknya sekarang" aku cukup mendengarkan suaranya saja. Itu sudah cukup." Lumina
mengangguk, "Oh, ya, jam berapa"astaga! Sudah pukul setengah 6!?"
Lumina buru-buru mengambil handuknya dan berlari ke kamar mandi. Dia tidak melihat
kalau ponselnya bergetar. Sebuah nomor tanpa nama tertera di layar ponselnya.
*** Rifan menjemput Aria di tempat konsernya. Istrinya itu kelihatan murung dan tidak seperti
biasanya. Dalam perjalanan, mereka lebih banyak diam.
"Ada apa?" tanya Rifan memecah keheningan.
"Perasaanku tidak enak." jawab Aria, "Perasaan ini" sama seperti ketika Jack akan
menyerangku di hari konser pertamaku."
"Apa ada masalah dengan itu?" tanya Rifan lagi, "Bukankah setelah itu aku datang tepat
waktu?" Aria tertawa kecil dan mengangguk pelan, "Ya" sedikit terlambat sebenarnya." Ujarnya,
"Tapi, perasaan ini berbeda walau aku merasakannya seperti sama saja. Hanya saja" aku takut
kalau ini menyangkut anak-anak kita."
"Yah" aku bisa merasakan hal itu." Rifan mengangguk, "Walau aku bukan wanita dan
tidak bisa mengandung, aku bisa merasakan hal itu, sebagai seorang ayah."
Aria mengangguk lagi. Matanya menatap keluar jendela mobil.
"Ada berita baru tentang organisasi itu?" tanya Aria.
"Ada. Pergerakan mereka ternyata lebih luas dari yang kita duga." Rifan menghela nafas,
"Hampir sebagian besar pemasok dana teroris yang ada di dunia berasal dari mereka. Apocalypse
juga diperkirakan sebagai organisasi gelap tertua di dunia. Tahu tentang peledakan 192 gen The
Chronos Sapphire di lautan" Rupanya mereka juga yang meledakkkannya. Mereka yang memesan,
mereka juga yang meledakkannya."
Aria merenungkan ucapan Rifan. Matanya masih tertuju pada lampu-lampu jalanan yang
sudah menyala dan menerangi kota.
"Apa" keberadaan kita sebenarnya tidak direncanakan oleh mereka?"
"Aku tidak tahu pasti apakah itu kesimpulan kita hidup selama ini." ujar Rifan, "Tapi, jika
itu memang benar, lalu kenapa kita dibiarkan hidup?"
"Evolusi manusia." Gumam Aria. "Ibu pernah bilang, kalau The Chronos Sapphire
diharapkan bisa menjadi pemicu utama evolusi manusia. Kita sebagai generasi kedua yang tersisa
juga mendapat kekuatan yang cukup" berguna. Apalagi ketika beberapa dari kita menikah dengan
manusia biasa." "Kurasa kamu benar. Generasi kedua The Chronos Sapphire ada yang menikah dengan
manusia biasa. Kesampingkan Stevan dan Lord yang sampai saat ini belum menikah, yang lain
menikah dengan manusia biasa. Evolusi mereka sebagai The Chronos Sapphire generasi ketiga
pasti jauh lebih kuat dan?"
Seolah menyadari sesuatu Rifan menoleh kearah Aria yang juga menoleh kearahnya.
"Apa jangan-jangan tujuan utama Apocalypse itu?" Aria menelan ludah dengan susah
payah, "Apa menurutmu" apa kamu memikirkan seperti apa yang kupikirkan?"
Rifan mengangguk, "Akan ada Laboratorium Terlarang kedua yang akan memasok
pasukan The Chronos Sapphire yang baru jika mereka mendapatkan anak-anak The Chronos
Sapphire generasi ketiga."
"Dan karena generasi ketiga memiliki evolusi yang lebih kuat dari generasi kedua" maka
kekuatan satu anak The Chronos Sapphire saja bisa untuk menguasai dunia." Sambung Aria.
"Dan masalahnya adalah," Rifan mengetuk kemudi mobilnya ketika lampu merah
menyala, "Siapa kira-kira yang paling kuat diantara anak-anak kita semua, dialah yang paling
berpotensi untuk menjadi si penakluk dunia."
*** Lumina dan Reno berinisiatif memasak makan malam untuk semua orang yang akan hadir. Reno
bertugas menata meja makan, sementara Lumina memasak. Dylan dan keluarganya sudah datang
ketika masakan Lumina sudah setengah jadi. Keiko dan Sarah membantu Lumina memasak
sementara Dylan dan Claire membantu Reno menata meja makan.
"Bagaimana kabar orangtuamu, Lumina?" tanya Keiko sambil memotong sayuran dan
mencampurkannya dengan daging ayam di dalam panci. "Kupikir mereka berdua terlalu sibuk
untuk memperhatikan kalian berdua."
"Ayah dan Ibu baik-baik saja." jawab Lumina sambil tersenyum, "Kami tidak merasa
kurang diperhatikan, kok, Bi. Ayah dan Ibu selalu menyempatkan diri untuk bersantai bersama
kami jika ada waktu senggang. Selebihnya, kami mencoba belajar untuk mandiri."
Keiko tersenyum. Sifat Lumina nyaris mirip seperti Aria dulu.
"Lalu" apa kamu sudah punya pacar?"
"Tidak." jawab Lumina cepat. Dia lalu memasukkan sedikit garam ke dalam panci dan
menutupnya. "Aku tidak punya pacar."
"Hee" benarkah?" tanya Sarah sambil tersenyum lebar, "Lalu, kenapa aku melihat
wajahmu memerah?" "Apa?" Lumina langsung menyentuh pipinya. Memang agak hangat, "I, ini karena hawa
panas dari kompor. Bukan karena aku yang?"
"Aku bisa membaca pikiranmu, lho?" Sarah tertawa, "Aku tidak bisa menyembunyikan
kemampuanku membaca pikiran dari Ayah dan Ibu. Kurasa kamu juga memiliki kemampuan
yang sama, kan" Kemampuan The Chronos Sapphire."
Lumina mengerjapkan mata. Jadi" Sarah sudah tahu"
"Claire Oneesan juga sudah tahu?" tanya Lumina.
"Mereka berdua sudah mengetahuinya sejak kecil, Lumina." Ujar Keiko, "Kami yang
memergoki mereka berdua mengangkat benda-benda di basement bawah tanah."
"Hee" keren sekali?"
"Jadi, tidak perlu disembunyikan kalau kita semua memiliki kemampuan The Chronos
Sapphire." Ujar Sarah sambil tersenyum, "Tapi, ngomong-ngomong, kenapa Ibu tidak punya
kekuatan seperti aku, Claire, dan Ayah?"
"Sarah" kita sudah membicarakan hal itu."
"Euh" maaf." Sarah nyengir dan kemudian mengambil alih tugas Lumina memotong sosis
dan tomat, "Biar aku saja."
"Tidak perlu, aku bisa melakukannya." Kata Lumina tersenyum, "Oneesan bisa membantu
melihat sup di dalam panci" Siapa tahu masih ada bumbu yang kurang."
"Kenapa di setiap tempat, aku selalu menjadi tukang cicip masakan?" Sarah memutar bola
matanya sambil tersenyum geli.
Lumina juga ikut tersenyum dan kembali memotong sosis.
Ketika masakan sudah siap dan tertata rapi di atas meja, semua orang datang bersamaan,
termasuk Rifan dan Aria, yang langsung pergi ke kamar tanpa menyapa terlebih dulu.
"Ada apa dengan Ayah dan Ibu?" tanya Lumina pada kakaknya.
Reno mengedikkan bahu, "Waktu aku menyambut mereka di luar, Ibu kelihatan
kesakitan." Ujarnya, "Mungkin beliau sakit."
"Oh?" "Ya sudahlah, itu menjadi urusan mereka." kata Charles sambil menepuk kepala Reno dan
Lumina, "Yak, bagaimana kalau kita makan dulu" Paman sudah lapar sekali?"
"Dari dulu yang ada di pikiranmu memang selalu makanan, ya?" goda Lord sambil tertawa,
"Coba kamu sedikit menjalankan diet. Mungkin kamu akan kelihatan lebih langsing daripada yang
sekarang." "Sialan kamu?" Lumina hanya tersenyum mendengar gurauan Charles. Dia menatap kearah lantai dua.
Kearah kamar kedua orangtuanya.
Mungkin aku harus memanggil mereka untuk ikut makan malam. Katanya dalam hati.
"Reno Oniichan, aku ke kamar Ayah dan Ibu dulu. Kalian semua makan saja duluan."
Kata Lumina. "Baiklah." Lumina berjalan menaiki tangga dan menghampiri pintu kamar kedua orangtuanya.
"Ayah" Ibu?"
Tidak ada jawaban dari dalam. Dan ini membuat rasa penasaran Lumina terbersit. Dia
paling benci dibuat penasaran.
"Ayah" Ibu" Ayo, keluar. Sudah waktunya makan malam, yang lain juga sudah
menunggu." panggil Lumina lagi.
Kenop pintu bergerak, dan Rifan keluar dari kamar.
"Ada apa, Lumina?" tanya Rifan.
"Ayah, sudah waktunya makan malam. Yang lain juga sudah menunggu untuk makan
bersama." Ujar Lumina. "Ibu di mana?"
Rifan menoleh ke dalam kamar sebentar, kemudian kearah Lumina lagi.
"Lumina, Ayah bisa minta tolong padamu?"
"Minta tolong apa, Yah?"
"Kamu menyimpan kalung Bulan Sabit Biru milik ibumu, kan" Bisa kamu bawa kemari?"
"Boleh. Tunggu sebentar."
Lumina berlari ke kamarnya dan langsung menghampiri meja belajarnya. Tangannya
meraih kotak hitam seukuran novel dan membukanya. Lumina mengeluarkan kalung Bulan Sabit
Biru itu dari sana dan kembali ke kamar orangtuanya.
"Sebaiknya kamu ikut masuk," ujar Rifan, "Ayo,"
Memangnya ada apa, sih" Tanya Lumina dalam hati.
Lumina jarang masuk ke kemar kedua orangtuanya. Dan ini adalah kali kedua dia masuk
ke sana. Pertama kali dia masuk ke kamar orangtuanya adalah ketika dia tidak bisa tidur karena
petir yang menggelegar saat dia kecil dulu. Sekarang, tata letak barang-barang di kamar ini sedikit
berubah. Tapi, semuanya masih perabotan yang sama.
Lumina melihat ibunya sedang duduk di tepi kasur sambil memegang sesuatu yang terlihat
mirip dengan kalung Bulan Sabit Biru di tangannya. Ketika dia dan Rifan masuk, ibunya menoleh
dan tersenyum tipis padanya.
"Berikan kalung itu padanya." Ujar Rifan.
Lumina mengangguk dan mendekati ibunya.
"Bu, ini?" Lumina mengulurkan kalung Bulan Sabit biru di tangannya.
"Terima kasih, sayang." Ibunya tersenyum dan mendekatkan kalung itu pada benda lain di
tangan ibunya yang ternyata adalah kalung yang sama seperti kalung Bulan Sabit Biru, hanya saja
yang ini berwarna hitam.

The Chronos Sapphire Iii Karya Angelia Putri di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aria kelihatan serius meneliti kedua kalung di tangannya dan mendongak, mengangguk
pada Rifan. "Ini, sayang," Aria mengembalikan kalung Bulan Sabit Biru pada Lumina, "Terima kasih."
"Sama-sama, Bu." Lumina menerima kalung itu lagi.
"Sebaiknya, kamu pakai saja mulai dari sekarang." kata Aria lagi, "Itu akan menjadi jimat
pelindungmu." "Err?" Lumina menatap kalung di tangannya, "Baiklah."
Lumina mengenakan kalung itu dan merasa dia seperti" terlindungi. Seperti yang
dikatakan ibunya. "Rifan, ini." Aria menyerahkan kalung yang satu lagi pada Rifan, "Berikan ini pada Reno.
Jika waktunya sudah tepat."
"Berarti, tidak salah lagi?" tanya Rifan, yang disambut anggukan oleh Aria.
"Memangnya ada apa, Bu?" tanya Lumina, yang tidak mengerti apa yang dimaksud Aria
dan Rifan. "Tidak ada apa-apa, kok." Ujar Rifan sambil tersenyum, "Ayo, kita keluar, ibumu harus
berganti pakaian dulu sebelum ikut makan malam."
*** Setelah Rifan dan Lumina keluar dari kamar, Aria menghembuskan nafas dan menatap keluar
jendela. Ia tidak salah tebak. Semua yang ia bicarakan dengan Rifan dalam perjalanan pulang tadi
memang benar. Akan ada Laboratorium Terlarang kedua yang akan muncul untuk anak-anak The
Chronos Sapphire generasi ketiga.
Untunglah Maya memberikan energy jiwanya padaku saat itu. kata Aria dalam hati, Karena
energy itu, aku memiliki kemampuan meramal. Meramal masa depan.
Sekali lagi Aria menghela nafas dan berjalan kearah lemari pakaiannya. Dia menatap
pantulan dirinya di cermin dan menyentuh permukaan cermin yang dingin.
"Aku tidak menyangka akan seperti ini jadinya?" gumam Aria sambil menatap
bayangannya, "Kamu pasti juga tidak akan menyangka, kan, Maya"
"Pasangan empatimu ternyata masih bisa menghantuiku sampai sekarang?"
CHAPTER 6 Setelah makan malam, sesuai yang dikatakan Rifan kemarin, Lumina dan Reno langsung mengajak
yang lain ke basement bawah tanah. Para orangtua sendiri berkumpul di ruang kerja Rifan yang
cukup untuk menampung mereka semua.
"Wah" keren sekali?" gumam Sarah melihat basement bawah tanah keluarga Lumina.
"Banyak sekali senjata yang ada di sini." ujar Claire menyentuh salah satu jenis katana di
dekatnya, "Coba lihat ini, Sarah."
"Mmm! Sangat keren!"
"Kata Ayah dan Ibu, kita harus belajar menggunakan senjata sendiri sebelum mendapat
senjata khusus." Kata Samuel, anak Charles dan Rinoa.
"Begitukah?" tanya Reno.
"Ya. Dad juga bilang begitu tadi saat kami akan menuju kemari." Ujar Claire, "Ngomongngomong, apa dari kalian semua punya pengalaman dengan senjata?"
"Aku tidak pernah memegang senjata sebelumnya." Kata Samuel.
"Aku juga," Snow, anak Duke, ikut menyahut.
Claire menoleh kearah Lumina dan Reno, "Kalau kalian berdua?"
"Mereka berdua jangan ditanya." Ujar Sarah sambil tersenyum lebar, "Aku sering melihat
Reno berlatih menggunakan pistol dan senapan laras panjang di belakang rumah kalau dia
berkunjung. Lumina sendiri" aku yakin, dia juga pernah berurusan dengan senjata."
Lumina mengedikkan bahu, "Aku bahkan bisa memakai senapan dan busur secara
bersamaan." "Keren." Samuel bersiul, "Jadi" hanya aku dan Snow yang belum berpengalaman dengan
senjata" Maksudnya memakainya secara langsung."
"Tapi, kalian bisa beladiri, bukan?" ujar Reno, "Kalian berdua akan cepat belajar.
Lagipula, tidak sulit untuk menguasai berbagai jenis senjata."
"Kurasa kau benar," Snow mengangguk, "Dad bekerja di militer, dan aku selalu melihatnya
berurusan dengan senjata."
"Pengalaman melihat senjata dan mengetahui jenis-jenisnya saja juga sudah bagus." Kata
Claire sambil tersenyum, "Dan" karena di sini ada 3 cowok dan cewek, kita bagi 2 grup. Aku,
Sarah, dan Lumina akan berlatih di sini, sementara kalian berlatih di sana. Jika sudah selesai, kita
bisa saling bertarung untuk mengasah kemampuan. Bagaimana?"
"Kurasa itu ide yang bagus." Sarah mengangguk, "Iya, kan, Lumina?"
Lumina ikut mengangguk. "Baiklah, sudah diputuskan. Kami akan berlatih di sana." kata Reno, "Ayo, Snow,
Samuel." *** "Jadi" apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Keiko sambil duduk di sebelah Dylan.
"Sebenarnya ini hanya masalah pribadi kita sebagai orangtua." Kata Rifan, "Tapi, itu akan
menjadi masalah karena ini juga menyangkut anak-anak kita."
"Dan, masalah apa itu?" tanya Charles sambil bersandar di punggung kursi. "Apa
organisasi itu?" "Ya." Aria mengangguk, "Beberapa hari lalu, salah satu perusahaan keamanan yang
dijalankan Rifan diserang oleh organisasi Apocalypse, selebihnya, kalian sudah tahu."
"Yang menjadi pokok permasalahan di sini adalah" teori yang kami temukan secara tidak
sengaja." "Teori?" tanya Stevan mengerutkan kening, "Jangan katakan padaku kalau teori yang ingin
kalian katakan adalah teori yang kalian pikirkan beberapa saat lalu."
"Err" itu memang teori yang kami pikirkan beberapa saat lalu." Rifan menggaruk-garuk
kepalanya. "Tapi, bukan itu inti masalahnya."
"Apa kalian ingat sejarah kita dibuat?" tanya Aria, "Sejarah sampai kabar 200 gen The
Chronos Sapphire yang habis ditelan api dan tenggelam di lautan?"
"Tidak ada dari kita semua yang melupakan sejarah itu." kata Lord, "Lalu?"
"Bagaimana jika lahirnya kita, sebagai generasi kedua, sudah direncanakan?" kata Aria lagi,
"Bukan berdasarkan rencana ilmuwan yang menyelamatkan kita dari ledakan, tapi, jauh sebelum
itu. Mengingat Apocalypse diperkirakan sebagai organisasi gelap tertua di dunia?"
Aria melihat reaksi teman-temannya berubah. Sepertinya mereka semua juga memikirkan
kemungkinan itu. "Ada satu teori yang kemungkinan adalah rencana organisasi itu sejak awal," ujar Rifan,
"Evolusi manusia."
"Evolusi?" "Kita sebagai The Chronos Sapphire, kita mempunyai kemampuan yang luar biasa.
Termasuk kemampuan dasar seperti telekinesis, IQ di atas rata-rata, dan membaca pikiran. Ketiga
kemampuan itu adalah kemampuan umum, selebihnya, adalah kemampuan yang akan
berkembang seiring dengan bertambahnya usia, dan pikiran kita.
"Generasi pertama adalah dari ayah dan ibu kita. Mereka memiliki kemampuan yang
cukup membantu untuk diwariskan pada generasi kedua, dan generasi kedua memiliki
kemampuan yang juga membantu untuk generasi ketiga, yaitu anak-anak kita."
"Apa kalian pernah berpikir, kalau generasi kita bisa dibilang cukup kuat, tapi, jika ada
generasi lain yang lebih kuat, kekuatan itu akan disalah-gunakan?"
Duke mengangkat tangannya, "Apa maksudmu, evolusi manusia itu berasal dari kita, gen
The Chronos Sapphire yang menikah dengan manusia biasa?"
"Itu teori yang kupikirkan juga." Kata Charles, "Apa benar seperti itu?"
"The Chronos Sapphire yang menikah dengan manusia biasa mungkin saja memiliki
tingkat susunan DNA yang lebih baik lagi daripada kita." Kata Aria mengangguk, "Evolusi yang
terjadi pada anak-anak kita menyebabkan kemampuan baru muncul dan pasti lebih kuat daripada
kekuatan milik kita."
"Itu berarti, anak-anak kita adalah generasi terkuat karena ada yang lahir dari manusia
biasa?" tanya Dylan.
Rifan dan Aria mengangguk bersamaan.
"Kesampingkan aku dan Aria, anak-anak kalian mungkin punya potensi untuk menjadi
penakluk dunia." Kata Rifan.
"Penakluk" dunia?"
"Tapi, apa kalian tidak berpikir anak-anak kalian juga bisa menjadi penakluk dunia?" tanya
Lord. "Reno dan Lumina lahir dari pasangan empati terkuat dari generasi kedua."
"Itu tidak menjadi masalahnya." Aria tersenyum, "Mungkin saja Claire, atau Sarah yang
malah mendapat pasagan empati."
"Tapi, pasangan empati The Chronos Sapphire juga harus seorang The Chronos
Sapphire." Ujar Dylan, "Coba kalian pikirkan ini, jika salah satu dari anak-anak kita ada yang
memiliki pasangan empati bukan berasal dari The Chronos Sapphire."
Mereka semua terdiam mendengar teori dari Dylan. Bahkan Aria juga ikut mengerutkan
kening dan berpikir keras.
"Sebenarnya" ada satu cara." Ujar Keiko, menarik perhatian mereka semua.
"Ada satu?" tanya Rifan.
Keiko mengangguk, "Kalian semua dikembangkan dari gen yang diutak-atik dan dibuat
seperti manusia super, bukan" Ada satu cara lagi yang bisa dilakukan agar gen The Chronos
Sapphire masih ada walau tidak berasal dari rahim orang lain."
Keiko menatap semua orang yang ada di ruangan itu dan menghela nafas, "Ayolah, kurasa
kalian tahu apa yang kumaksud itu."
"Maksud Kakak?" Aria mengerjapkan mata, ?" cloning?"
"Apa lagi kalau bukan itu?" kata Keiko, "Walau sampai sekarang cloning masih dianggap
controversial, bahkan sampai puluhan tahun lamanya, tapi, tidak menutup kemungkinan, kalau itu
adalah satu-satunya cara untuk membuat The Chronos Sapphire yang lainnya, bukan?"
"Itu masih kita anggap kemungkinan," kata Rifan, "Tapi, jika ingin membuat cloning, harus
menggunakan DNA. Dan susunan DNA The Chronos Sapphire lebih kompleks dari manusia
biasa." "Kalian melupakan satu hal," kata Charles, "DNA The Chronos Sapphire tidak bisa
dibuat oleh orang lain sampai sekarang. Bahkan kita sendiri belum bisa membuatnya. Dan jika
darah kita dimasukkan ke dalam tabung kaca, benda itu akan langsung meleleh karena tingkat
asam dalam darah kita lebih tinggi dari manusia biasa. Juga, jika kita terluka, darah yang bisa
digunakan untuk pendonoran juga hanya darah The Chronos Sapphire."
"Dan jika cloning adalah cara satu-satunya, darimana mereka akan mendapatkan sampel
DNA The Chronos Sapphire?" kata Aria, "Kalau organisasi itu sudah bergerak sejak lama,
maka?" "Kalian melupakan satu hal lagi," kata Charles, "Menurut kabar. Organisasi itu yang
mengeluarkan Jack Lucios dari kurungannya, bukan" Menurut kalian, siapa lagi The Chronos
Sapphire yang rela memberikan DNA-nya untuk menghancurkan kita semua dan dunia?"
"Benar juga," Rifan mengangguk, "Siapa lagi kalau bukan dia?"
"Yang menjadi pertanyaannya sekarang, apakah organisasi Apocalypse itu benar-benar
membuat cloning dari DNA Jack atau tidak," kata Rifan, "Dan apakah anak-anak kita ada yang
memiliki pasangan empati atau tidak."
"Dan, siapapun yang memiliki pasangan empati berikutnya adalah pasangan yang
mungkin" akan ditakdirkan untuk menyelamatkan dunia dari kehancuran."
*** Lumina duduk di sofa sambil mengelap keringatnya. Dia, Claire, dan Sarah sudah berlatih cukup
lama dan sekarang sedang beristirahat. Mereka memperhatikan para cowok sedang asyik merakit
senjata. "Hei, Lumina," Sarah meneguk jus jeruk dari kaleng di tangannya, "Apa kamu benar tidak
punya pacar?" "Kenapa Oneesan menanyakan hal itu lagi, sih?" kata Lumina, "Aku benar-benar tidak
punya pacar. Kenapa semua orang harus menanyakan hal itu padaku?"
"Itu karena kamu adik terkecil kami." Kata Claire sambil tertawa, "Hanya kamu saja yang
paling kecil diantara kami berenam. Jadi, wajar, kan, kalau kami menanyakan hal itu padamu?"
"Euh" kenapa harus soal umur yang diungkit di sini?"
Claire dan Sarah tertawa melihat ekspresi wajah Lumina yang kelihatan kusut.
"Kenapa harus aku yang menjadi si anak bawang?" keluh Lumina sambil menimangnimang gelas berisi air putih di tangannya. "Kenapa bukan Samuel atau Snow saja?"
"Syukuri apa yang ada, Lumina," kata Sarah cekikikan, "Mungkin ada sisi positifnya kamu
menjadi anak bawang. Iya, kan, Claire?"
"Mmm. Benar apa yang dikatakan Sarah. Ada sisi positif menjadi anak bawang."
"Contohnya?" Lumina menatap mereka dengan tatapan sangsi.
"Kamu bisa dimanja oleh kami semua. Iya, kan?" kata Claire, "Sudah" jangan cemberut
begitu. Bagaimana kalau besok kita?"
"Anak-anak," Aria masuk ke dalam basement bersama Rifan dan orangtua mereka.
"Ada yang ingin kami bicarakan pada kalian." kata Aria, "Berkumpullah kemari."
Ketika semua anak-anak itu berkumpul, Aria menoleh kearah teman-temannya di belakng
dan kemudian menghela nafas.
"Kalian semua, kecuali Reno dan Lumina, akan dipindah-sekolahkan ke sekolah Reno dan
Lumina. Di Hope Academy."
"Apa!?" "Ini demi keselamatan kalian juga." Ujar Rifan. "Dan" anggap saja, ini sebagai latihan
bekerja sama." "Tapi, rumahku dan rumah Snow cukup jauh dari sekolah mereka, kan?" kata Samuel.
"Apa kami harus memakai pesawat untuk ke sini setiap hari?"
"Mengenai itu?"
"Kita akan tinggal di sini. Di kota ini." kata Duke, "Semuanya akan tinggal di sini lagi."
"Tapi, Dad, sekolahku?"
"Semua itu sudah kami urus." Ujar Lord, "Jangan khawatir, mulai besok, kalian semua
sudah bisa bersekolah di Hope Academy."
Anak-anak itu saling pandang tidak mengerti.
"Kau yakin kalau kita adalah masalah yang dibicarakan oleh mereka?" bisik Sarah pada
Lumina, teringat percakapan mereka di telepon tadi pagi.
"Kurasa" iya." Lumina membalas dengan sama lirihnya, "Dan mungkin, tujuan kita semua
dikumpulkan di satu sekolah yang sama adalah untuk melindungi kita juga."
"Apa" kalian semua keberatan?" tanya Aria, "Kalau kalian keberatan, aku bisa mengatur
sekolah lain untuk kalian. Memang masih di sekitar kota ini, tapi, itu lebih baik" daripada tidak
sama sekali." "Kami tidak keberatan." Ujar Snow mengangkat tangan, "Yah" aku tidak suka jika
berhadapan dengan orang asing yang tidak kukenal. Setidaknya, di sekolah itu ada Reno dan
Lumina, kan" Jadi, tidak masalah."
Aria tersenyum mendengar ucapan Snow.
"Yang lain" ada yang keberatan?"
"Tunggu, apa kegiatan travelling-ku akan terganggu dengan kepindahanku?" tanya Sarah.
"Aku menjadi anak emas di tim travelling ke London beberapa minggu lalu. Mereka tidak akan
menerima kalau aku pindah sekolah dan mengganggu kegiatan travelling-ku."
"Itu akan kami atur, Sarah." Kata Dylan, "Kamu masih tetap bisa ikut kegiatan travellingmu. Kepindahan sekolahmu dan Claire tidak akan mengganggu kegiatanmu, kok."
"Oke" kalau begitu, aku setuju saja." Sarah mengedikkan bahu, "Claire juga, kan?"
"Aku setuju saja dengan apa yang menurut Dad dan Mom bagus untuk kami." Kata Claire.
"Berarti" kalian semua setuju?" tanya Rifan.
Mereka semua mengangguk bersamaan.
"Bagus." Rifan tersenyum, "Aku sudah memberikan seragam Hope Academy pada
orangtua kalian, dan kalian tidak perlu susah payah mengikuti pelajaran karena kalian adalah anakanak kami."
"Apa" maksudnya itu?"
"Kalian semua adalah The Chronos Sapphire generasi ketiga, anak-anak kami." Kata Aria,
"Tidak ada yang tidak mungkin bisa kalian pelajari, kan?"
*** Lumina masuk ke kamarnya sambil menghembuskan nafas. Setelah semua orang pulang, dia
membantu ibunya mencuci piring dan setelah itu langsung masuk ke kamar.
Lumina menghampiri meja belajarnya dan men-setting jam alarmnya sebelum
meletakkannya ke meja di sebelah tempat tidur.
"Besok?" Lumina menghembuskan nafas lagi, ?" kenapa perasaanku tidak enak, ya?"
Ia menatap kearah jendela. Langit gelap. Tidak ada bintang, tidak ada bulan, hanya" gelap.
Segelap perasaannya sekarang ini.
"Kuharap besok tidak terjadi apa-apa." gumamnya, "Aku tidak suka ada kejutan yang
terlalu mengerikan."
Lumina berjalan kearah lemari pakaiannya dan mengganti pakaian yang ia kenakan dengan
piyama. Ketika dia baru akan naik ke tempat tidur, pintu kamarnya diketuk.
"Siapa lagi, sih?" gerutunya sambil berjalan kearah pintu.
Lumina membuka pintu dan melihat Reno berdiri di depannya.
"Oniichan" Ada apa?"
Reno menggaruk-garuk kepalanya dan meraih tangan Lumina.
"Ini," Reno meletakkan sebuah kotak kecil di tangan Lumina.
"Apa ini?" "Hadiah." "Hadiah?" "Kamu lupa besok hari apa?"
Lumina mengerutkan kening, "Memangnya besok hari apa?"
"Kamu lupa?" tanya Reno menaikkan sebelah alisnya, "Besok hari ulang tahunmu, kan?"
"Hah?" Lumina mengerjapkan mata. Memangnya besok tanggal berapa"
Ia menoleh kearah kalender dan melihat tanggal yang dilingkari dengan spidol hitam.
"Uh-oh?" Lumina mengedikkan bahu dan tersenyum salah tingkah, "Rupanya kakakku ini
perhatian sekali padaku. Aku saja tidak ingat besok adalah hari ulang tahunku."
Reno tertawa kecil dan mencium kening Lumina, "Selamat ulang tahun, ya?"
"Terima kasih." Lumina balas tersenyum, "Ngomong-ngomong apa isinya, nih?"
"Rahasia. Buka saja nanti." Kata Reno, "Itu hadiah dariku, Ayah, dan Ibu. Kami bertiga
memilihnya sudah sejak lama."
"Rupanya kalian semua perhatian padaku." Lumina tertawa, "Kukira ulang tahunku akan
terlupakan begitu saja."
"Siapa yang akan melupakan ulang tahun adik kecilku yang manis?" ujar Reno, "Baiklah,
sekarang, cepat tidur. Ayah dan Ibu sudah tidur dari tadi."
"Baiklah, kakakku yang tampan?"
Reno mengacak-acak rambut Lumina sebelum masuk kembali ke kamarnya yang tidak


The Chronos Sapphire Iii Karya Angelia Putri di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jauh dari kamar Lumina. Lumina menatap kotak kecil di tangannya dan tersenyum. Dia lalu menutup pintunya dan
bersiap-siap untuk pergi tidur.
*** Di sebuah ruangan yang diisi dengan furniture khas ruang kerja seorang direktur, berdiri seorang
anak remaja berusia 18 tahun yang sedang menikmati pemandangan kota di malam hari. Matanya
yang tajam menatap kearah bangunan-bangunan yang terang benderang.
Seorang anak buahnya masuk ke dalam sambil meletakkan sebuah map di atas meja.
"Direktur, ini file yang Anda minta beberapa waktu lalu." ujar anak buahnya sambil
menunduk. "Terima kasih, Veronica." Kata remaja itu sambil tersenyum, "Dan, jangan panggil aku
direktur. Panggil dengan namaku saja."
"B, baiklah" Tuan Jonathan. Saya" kembali dulu."
Setelah Veronica keluar, Jonathan menghampiri mejanya dan membaca file di dalam map
yang diberikan oleh Veronica. Hanya dalam waktu singkat, dia sudah membaca semua file itu dan
mengambil ponselnya, menekan sebuah nomor sebelum menempelkannya di telinganya.
"Halo" Aku sudah menerima file darimu." Ujar Jonathan, "Pastikan kau melindungi
mereka dan jangan sampai Apocalypse tahu kalau gerakan mereka kita awasi."
Jonathan menutup telepon dan kembali menatap kota di bawah gedung tempatnya berada
sekarang. "Haruka-sama, Kazuto-sama?" Jonathan menghembuskan nafas, "Aku akan melindungi
mereka semua. Aku janji pada kalian."
Jonathan menatap layar ponselnya yang masih menyala dan menampilkan sebuah foto
sebagai wallpaper-nya. Foto seorang gadis berambut hitam panjang dan memiliki tatapan selembut
embun pagi. Di bawah foto itu tertulis sesuatu :
Lumina Hawkins, 15 Maret 2040.
CHAPTER 7 Lumina bangun dengan perasaan yang lebih baik keesokan harinya. Mungkin karena hari ini hari
ulang tahunnya, atau karena semua sepupu-nya akan bersekolah di sekolah yang sama, atau hal
lainnya. Yang pasti bukan karena Nathan. Dia sendiri bahkan tidak memikirkan cowok itu kemarin
setelah pulang sekolah. Aku tidak perlu pacar untuk saat ini. katanya dalam hati, Dan aku tidak memerlukan
Nathan untuk mengurus masalahku sendiri.
Dengan pikiran itu, Lumina pergi ke kamar mandi dan bersiap-siap. Ketika berdandan, dia
melirik kotak hadiah dari Reno kemarin malam. Penasaran dengan isinya, dia membuka kotak itu.
"Kotak perhiasan," gumamnya melihat kotak beludru yang terbungkus dengan kotak
luarnya. Lumina mengeluarkan kotak itu dan membukanya.
Sepasang anting dengan bandul bulan sabit berwarna biru. Sama seperti kalung Bulan Sabit
Biru yang ia gunakan sekarang.
"Sepertinya Ayah dan Ibu yang memilihkan ini." kata Lumina tersenyum, "Oniichan hanya
memilih kotaknya saja."
Lumina tidak mau membuang-buang waktu hanya dengan memandangi hadiahnya saja. Ia
langsung memakai kedua anting itu dan mematut dirinya di cermin, dan tersenyum lebar.
Setelah memakai bedak tipis dan lipgloss, Lumina mengambil tasnya dan segera pergi ke
ruang makan. "Tumben sekali kamu bangun cepat." kata Reno saat dia masuk ke ruang makan dan
melihat Lumina sudah duduk manis di kursi dan sedang makan roti selai coklat.
"Memangnya kenapa kalau aku bangun cepat?" balas Lumina sambil mengambil pisau
untuk mengoleskan selai tambahan.
"Hanya" jarang saja kamu bangun cepat begini." Kata Reno duduk di sebelah Lumina,
"Apa gara-gara Nathan?"
"Iih! Oniichan!!"
"Kalian ini masih pagi sudah ribut-ribut." Kata Aria sambil meletakkan secangkir kopi
untuk Rifan yang juga sarapan bersama mereka, "Lumina, Reno, habiskan sarapan kalian, kalau
tidak, kalian akan terlambat."
"Baik, Bu." "Lumina, Samuel akan satu kelas bersamamu, sementara Claire, Sarah, dan Snow akan
satu kelas bersama Reno." kata Rifan meminum kopinya.
"Asyik!" kata Reno, "Kalau begitu, aku bisa meminjam game terbaru yang dijanjikan oleh
Snow." Rifan hanya tersenyum mendengar ucapan Reno. "Aku harus segera berangkat," katanya
sambil melirik jam tangannya, "Aria, kamu tidak keberatan kalau kamu saja yang mengantarkan
mereka, bukan?" "Tidak masalah." Aria tersenyum, "Hati-hati di jalan."
Rifan mencium pipi Aria dan kemudian kening Lumina dan Reno.
"Baik-baik di sekolah, ya?"
"Iya, Ayah" kami tahu, kok." Kata Lumina, "Hati-hati di jalan."
Rifan mengambil jas dan tasnya, kemudian berjalan meninggalkan ruang makan.
"Ayah romantic sekali pada Ibu." Kata Lumina, "Aku jadi penasaran, apa dulu Ayah dan
Ibu pernah lebih romantic daripada ini."
"Itu rahasia, sayang," Aria tertawa, "Itu urusan orang dewasa."
Lumina mengedikkan bahu dan melahap habis rotinya.
"Aku sudah selesai." Katanya, "Aku akan pergi duluan ke luar."
Aria mengangguk dan membiarkan Lumina keluar dari ruang makan. Ia langsung menuju
ruang tamu dan duduk di sana. Lumina mengambil MP3 Player-nya dan menempelkan earphone
ke telinganya. Sambil bersenandung pelan mengikuti lagu yang didengarnya, dia mengeluarkan
sebuah novel dan membacanya.
"Ayo, sudah waktunya berangkat." Aria melepas sebelah earphone Lumina sambil
tersenyum, "Jangan terlalu sering mendengarkan lagu dengan earphone."
"Aku mendengarkan lagu-lagu Ibu, kok." Ujar Lumina sambil tersenyum lebar, "Ayo,"
*** "Lumina! Reno!!"
Lumina dan Reno menoleh kearah asal suara yang memanggil mereka dan melihat Samuel
melambai kearah mereka. Di dekatnya, Claire, Sarah, dan Snow, berdiri di belakangnya.
"Hai, sudah lama menunggu?" tanya Reno sambil ber-high five pada Snow dan Samuel.
"Tidak juga. Kami baru datang, kok." Kata Sarah sambil memperhatikan salam para cowok
itu, "Rupanya kalian sudah membuat gerakan kompak, ya?"
Reno hanya mengedikkan bahu.
"Oneesan tidak apa-apa?" tanya Lumina pada Claire yang masih duduk di kursi roda.
"Tidak apa-apa, kok." Claire tersenyum, "Kata Dad, siang ini aku sudah bisa meninggalkan
kursi roda ini di ruang kesehatan."
"Baguslah kalau begitu." ujar Lumina ikut tersenyum.
"Sistem penyembuhan The Chronos Sapphire sangat membantu." Ujar Snow. "Luka-luka
yang kita dapat bisa pulih dengan cepat. Aku pernah merasakannya."
Lumina mengangguk, "Ayo, kita masuk. Samuel, kamu akan sekelas denganku."
"Iya, aku tahu?"
"Lumina!!!!" Lumina mendongak dan harus menggerutu panjang-pendek ketika dia melihat Nathan
berlari kearah mereka dengan senyum lebar yang membuat para cewek melirik kearahnya. Reno
melirik Lumina yang sepertinya merasa neraka bagian kedua akan dimulai, dengan senyum lebar.
"Tuh, calon suamimu datang." goda Reno.
"Oniichan!!" "Calon suami?" Claire mengerutkan kening.
"Ceritanya panjang." Kata Reno. "Ayo, kita tinggalkan dulu dia."
"Eh, tunggu?" Lumina tidak bisa mencegah Reno yang menggiring teman-temannya pergi meninggalkannya. Nathan sendiri sudah berdiri tepat di samping Lumina sambil tetap tersenyum.
"Hai," sapa Nathan.
"Hai" juga." Sapa Lumina balik. "Ada apa, Nathan?"
"Aku ingin memberimu ini," Nathan menyematkan sekuntum bunga mawar berwarna
merah di rambut Lumina, "Kamu suka bunga mawar, kan?"
"Err" ya?" Lumina tidak yakin apakah wajahnya sudah memerah atau sudah benar-benar
memerah seperti tomat rebus.
"Terima kasih." Ujar Lumina, tersenyum.
"Tidak masalah." Nathan menggenggam tangan Lumina, "Ayo, kita masuk ke dalam."
Saat Nathan menggenggam tangannya, Lumina merasakan perasaan tidak enak kembali
menjalari hatinya. Ia menatap Nathan yang menuntunnya menuju ruang loker dengan kening
berkerut. Kenapa" perasaanku tidak enak lagi" tanyanya dalam hati. Apa karena Nathan"
*** Berita kepindahan Claire, Sarah, Snow, dan Samuel menjadi perbincangan paling hangat di Hope
Academy. Istilah kerennya fresh from the oven. Apalagi ketika semua orang tahu kalau Claire dan
Sarah adalah sepupu Reno dan Lumina. Bagi para remaja, siapa yang tidak mengenal Claire dan
Sarah Arthur, traveler muda yang berhasil keliling dunia hanya dalam waktu satu bulan dan
menjadi host acara travelling keliling dunia yang disiarkan di televisi. Banyak yang mengidolakan
Claire dan Sarah sejak mereka pindah ke Hope Academy,
Beda lagi dengan Snow dan Samuel. Mereka berdua dikenal karena pernah ikut militer
dalam usia yang masih muda, dan menjuarai kejuaraan beladiri (Lumina lupa apa nama
kejuaraannya). Apalagi mereka semua mempunyai wajah tampan turunan dari ayah mereka, siapa
yang tidak melirik mereka"
"Kalian terlalu popular." Kata Lumina ketika jam istirahat tiba, "Lebih popular daripada
aku dan Reno Oniichan."
"Sebenarnya, menjadi popular itu menyenangkan." Ujar Sarah sambil mengaduk-aduk
lemon tea-nya. "Hanya saja, kamu terlalu polos dalam menanggapinya."
"Oneesan ini apa-apaan?" Lumina tertawa kecil, "Aku sudah cukup bosan menjadi
popular. Apalagi setiap hari ada saja surat-surat yang berhamburan dari lokerku."
"Itu tandanya, mereka mengidolakanmu." Kata Snow. "Siapa yang tidak kenal dengan
Lumina" Apalagi ibumu, kan, seorang penyanyi terkenal yang sudah lebih dari 10 tahun bertahan
di dunia hiburan." "Tolong, jangan bawa-bawa ibuku."
Sarah dan Snow saling kompak dan tertawa bersama karena berhasil menggoda Lumina.
"Ngomong-ngomong, cowok yang tadi itu siapa?" tanya Claire.
"Siapa?" "Cowok yang tadi menyapamu tadi pagi." kata Samuel, "Siapa dia?"
"Ah, itu?" "Itu calon suami Lumina." Sahut Reno yang baru datang sambil membawa miliktea
pesanan Lumina. "Calon suami!?"
"Oniichan!!" Reno hanya tersenyum lebar dan meminum kopi dari kaleng di tangannya, "Sebenarnya,
bukan calon suami, sih. Hanya saja, anak itu dulu teman masa kecil Lumina."
"Teman masa kecil?" Sarah mendelik pada Lumina dengan tatapan ingin tahu, "Aku tidak
pernah tahu itu." "Memang tidak ada yang tahu, kok." Kata Reno lagi, ketika Lumina ingin membalas
ucapan Sarah. "Nathan itu teman masa kecil yang langsung menghilang dari kehidupan Lumina."
"Kenapa bisa begitu?" tanya Snow.
"Dia pergi jauh mengikuti orangtua angkatnya." Kata Lumina sebelum Reno sempat
menjawab lagi, "Nathan anak yatim-piatu. Kedua orangtuanya meninggal saat dia berumur 5 tahun.
Setelah itu, dia harus bekerja sendirian untuk menghidupi diri sendiri."
"Kasihan sekali?" kata Claire, "Lalu" yang tentang calon suami itu?"
"Itu?" "Dulu, Nathan dan Lumina bermain pernikahan bohongan. Sebelum mereka sempat
bertukar cincin bunga, Nathan dipanggil orangtuanya untuk segera pulang. Dan sejak saat itu,
mereka berdua tidak pernah menikah "bohongan", tapi, masih menjadi "calon"."
"Hee" romantic sekali." Kata Sarah sambil tertawa, "Aku tidak tahu kamu suka permainan
pernikahan bohongan seperti itu."
"Oneesan!" Lumina mencoba menahan rasa malunya dari Sarah, "Itu, kan, saat aku masih
kecil?" "Tapi, sampai sekarang, dia masih menganggapmu calon istrinya, bukan?" kata Sarah
tersenyum lebar, "Itu sangat romantic?"
"Tolong, jangan mulai lagi?"
Mereka semua tertawa melihat raut wajah Lumina yang tambah kusut.
"Oh ya, apa setelah ini kita latihan saja?" tanya Lumina mencoba mengalihkan
pembicaraan, "Kalian semua ada waktu kosong setelah pulang sekolah, kan?"
"Maksudmu latihan seperti kemarin?" tanya Snow, "Kurasa aku tidak bisa. Aku dan Reno
akan pergi ke game center. Di sana ada promosi game terbaru."
"Kalau aku dan Claire ada urusan sebentar." kata Sarah, "Menyangkut urusan travelling."
"Kalau Samuel?" tanya Lumina.
"Aku ada janji dengan salah seorang teman lamaku untuk hang-out bersama."
"Jadi, semuanya ada acara sendiri?" tanya Lumina, "Berarti Cuma aku yang tidak punya
acara." "Bukankah ada Nathan?" kata Sarah, mulai menggoda Lumina lagi, "Dia bisa
menemanimu, kan" Mungkin kalian bisa menonton bioskop atau pergi jalan-jalan bersama."
"Tidak!" kata Lumina cepat, "Aku lebih suka sendirian ketimbang ada orang yang
mengetahui kegiatanku."
"Itu membosankan." Kata Reno, "Seharusnya kamu terima saja dia menjadi pacarmu."
"Sekarang ini, aku tidak memerlukan pacar." balas Lumina, "Tapi" kalau sekadar teman,
sih, boleh saja." "Itu berarti kamu memberinya harapan palsu!" ujar Snow.
"Aku tidak"aduh" kenapa kalian semua bersekongkol untuk menggodaku, sih!!?"
*** Lumina menghembuskan nafas kesal dan duduk di kursinya sambil bertopang dagu di meja.
Panggilan dari Rebecca yang duduk di sebelahnya tidak dihiraukan saking kesalnya dia pada
teman-temannya yang bersekongkol menggodanya saat jam istirahat tadi.
Kenapa semua orang harus menggodaku seperti itu" gerutunya dalam hati. Hari-hari
damaiku berakhir sudah"
"Lumina," Lumina mengerjapkan mata dan tersadar dari lamunannya. Ia mendongak dan melihat
Nathan berdiri di depan mejanya.
"Nathan" Ada apa?" tanyanya.
"Setelah pulang sekolah nanti, kamu ada acara lain?"
"Tidak?" Lumina menggeleng, "Ada apa, ya?"
Nathan tersenyum lebar dan memberikan kertas yang sedari tadi dipegangnya, "Bagaimana
kalau kita ke sini?"
"Apa ini?" Lumina melihat kertas itu. Kertas brosur. "Pembukaan Taman Bermain
Pelangi. Dibuka dari jam 17.00-21.00" ah, ini taman bermain yang baru dibangun itu, ya?"
"Iya." kata Nathan, "Bagaimana" Mau ke sana" Ada diskon untuk pasangan yang datang ke
sana." Pasangan, ya" Lumina tersenyum kecil dan mengetuk-ngetuk dagunya. Baiklah" kali ini ucapan
kakaknya dan sepupunya benar. Sepertinya dia perlu untuk menerima Nathan sebagai pacarnya.
Nah, lho" tunggu dulu. Darimana pikiran itu berasal"
Aku tidak butuh pacar untuk saat ini. katanya dalam hati, Lagipula itu masa lalu. Nathan
hanya kuanggap sebagai teman sekarang. Segalanya memang bisa terjadi, tapi, aku sudah"bukan,
tapi, sedang tidak punya perasaan apa-apa pada Nathan.
"Jadi, bagaimana" Mau ke sana?" tanya Nathan lagi. "Hari ini hari ulang tahunmu, kan?"
"Kamu tahu?" "Tentu saja aku tahu," kata Nathan, tersenyum lebar lagi, "Aku, kan, calon suamimu."
Lumina terdiam sebentar, sebelum akhirnya mengangguk.
"Boleh." Jawabnya sambil tersenyum manis. "Terima kasih atas ucapan selamat ulang
tahunnya." *** Jonathan baru saja akan masuk ke ruang rapat ketika Veronica datang sambil membawa telepon
wireless padanya. "Ada apa?" tanya Jonathan.
"Ini" ada telepon dari" orang itu." kata Veronica.
Orang itu" Apa dia lagi" tanya Jonathan dalam hati.
Jonathan menerima telepon yang disodorkan Veronica dan berjalan ke sisi lain yang agak
sepi. Ketika dia mendengar suara si penelepon, kening Jonathan berkedut, dan tanpa sadar,
sebelah tangannya terkepal erat.
"Tu, Tuan?" Veronica berdiri di depan pintu rapat dengan ekspresi gugup, "Apa" apa
yang?" "Perintahkan 001 untuk terus mengawasi orang itu." kata Jonathan memberi perintah,
"Pastikan orang itu selamat dari bahaya yang sedang menunggunya."
*** "Jadi, benar kamu akan pergi kencan dengan Nathan?" tanya Samuel yang melihat adegan Nathanmengajak-Lumina-kencan.
"Apaan, sih?" kata Lumina sambil tertawa kecil, "Aku tidak kencan. Kami hanya" jalanjalan."
"Sama saja." Samuel tertawa, "Semoga beruntung kalau begitu."
Lumina mengedikkan bahu dan berjalan ke ruang loker. Reno, Claire, Sarah, dan Snow
sudah lebih dulu pulang karena kegiatan mereka masing-masing. Hanya Lumina dan Samuel yang


The Chronos Sapphire Iii Karya Angelia Putri di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

masih ada di sekolah karena harus membersihkan kelas sesuai jadwal piket yang baru.
"Hei, apa kamu tidak merasa Nathan itu sedikit aneh?" tanya Samuel.
"Hah" Apa maksudmu?"
"Sebenarnya" aku baru menyadari ini." kata Samuel, "Tapi, aku yakin aku pernah melihat
Nathan sebelumnya." "Benarkah?" tanya Lumina, mengerjapkan matanya, kaget.
"Aku hanya bilang kalau aku merasa pernah melihat Nathan sebelumnya." Ujar Samuel
sambil membuka lokernya, "Bukan berarti aku memang pernah bertemu dengannya."
"Tapi, kamu merasa pernah, kan?" kata Lumina, "Kamu bertemu dengannya di mana?"
"Aku tidak yakin, tapi?" Samuel melipat kedua tangannya dan memejamkan mata.
Berpikir keras mengingat-ingat memori lama. ?" kurasa ketika aku berada di luar negeri. Aku lupa
di mana." "Begitu?" Lumina manggut-manggut.
"Dan dia memakai pakaian seperti seorang direktur." Kata Samuel lagi, "Dia sedang
bertemu dengan seseorang yang lebih tua darinya. Nathan yang pernah kulihat itu kelihatan lebih
berwibawa dan" mengintimidasi."
"Dia tidak pernah begitu?"
"Aku hanya memberitahumu apa yang kuingat," ujar Samuel, "Bukan berarti aku pernah
bertemu dengannya." "Aku tahu" kamu sudah mengatakan itu tadi." Lumina tersenyum.
"Kalau begitu, aku pergi duluan. Sampai besok, Lumina."
"Ya. Sampai jumpa besok."
Lumina menghampiri mobil jemputan yang sudah menunggunya di depan gerbang dan
menghembuskan nafas lega ketika yang menjemputnya adalah pamannya, Dylan.
"Paman, tumben sekali Paman yang menjemputku." Kata Lumina sambil tersenyum.
"Paman sedang ada waktu luang. Lagipula Bibimu juga ada di rumah." Kata Dylan, "Kamu
ada acara, ya, setelah ini?"
"Paman membaca pikiranku, kan?"
Dylan tertawa dan kemudian melajukan mobilnya.
"Semua The Chronos Sapphire bisa membaca pikiran The Chronos Sapphire yang lain."
ujar Dylan sambil menyetir, "Apa kamu akan pergi kencan?"
"Semua orang mengira aku akan pergi berkencan." Kata Lumina memutar bola matanya.
"Oh ya, Paman, kisah cinta Ayah dan Ibu itu" seperti apa, sih" Aku pernah bertanya pada
mereka, tapi, mereka tidak pernah mau menjawab."
"Wah" kalau itu, rahasia." kata Dylan, tertawa lagi. "Tapi" bagaimana kalau Paman ajak
kamu ke tempat pertama kali mereka berkencan?"
"Memangnya boleh?"
"Kenapa tidak" Tempat itu tidak jauh dari sekolahmu, kok."
"Di sini?" Lumina mengerutkan kening ketika mobil yang dikemudikan Dylan memasuki
area universitas yang cukup terkenal di kota mereka.
"Ya. Kenapa" Tidak menyangka kalau tempat mereka berkencan adalah di sini?"
"Ya" cukup kaget juga." Lumina mengangguk, "Tapi, masa, mereka berkencan di"
universitas?" "Kamu belum melihat tempat yang sebenarnya." Dylan tersenyum.
Ia mematikan mesin mobil dan mengajak Lumina keluar. Tanpa memerdulikan tatapan
bingung dari Lumina, Dylan menggamit tangan keponakannya itu dan mengajaknya ke gazebo
yang pernah dipakai oleh Rifan dan Aria sebagai tempat kencan mereka.
Ketika mereka sampai di sana, keadaan gazebo itu sedikit kotor dan" tidak terawatt.
Banyak tanaman rambat yang menjalar di setiap tiang gazebo dan membuatnya seperti tidak
pernah dipakai selama puluhan tahun. Dylan tersenyum. Sejak kencan pertama Rifan dan Aria,
gazebo itu seolah dikeramatkan oleh teman-temannya sebagai tempat kencan paling romantic.
Yang membuat tempat itu menjadi romantic adalah lilin-lilin dan kelopak bunga yang
disiapkan Rifan saat itu. kata Dylan dalam hati sambil tersenyum geli.
"Apa di sini?"" tanya Lumina.
"Ya. Di sini." Dylan mengangguk, "Dulu, ayahmu menyulap tempat ini menjadi lebih
romantic. Yah" mungkin sekarang tidak, karena tanaman-tanaman rambat itu. Tapi, tempat inilah,
tempat kencan pertama mereka.
"Ayahmu juga dulu melamar ibumu sebagai tunangannya di tempat ini. Dulu, Paman dan
teman-teman Paman sempat ingin merekam adegan mereka berciuman, tapi" karena ibumu
memakai kemampuan menghentikan waktu" kami gagal merekam momen itu."
Lumina tersenyum lebar, membayangkan Dylan, Charles, dan teman-teman kedua
orangtuanya yang lain berhenti bergerak dan nyengir seperti orang bego. Lumina tertawa kecil
membayangkan itu di dalam pikirannya.
"Kenapa" Kamu memikirkan Paman dan teman-teman Paman membeku karena waktu
berhenti, kan?" kata Dylan.
"Maaf?" Lumina tidak bisa mencegah tawanya lagi, "Kalau saja waktu itu aku juga ada, ya"
Pasti lebih seru?" Dylan juga ikut tertawa bersama Lumina. Mereka berdua lalu mendekati gazebo itu.
"Ayahmu itu tipe pendiam," kata Dylan, "Rifan sangat jarang berbicara dengan orang lain
selain kami sebagai The Chronos Sapphire. Ketika ibumu datang, dia jadi lebih banyak bicara dan
mulai terbuka pada kami."
"Apa Ayah dulu sangat pemalu?" tanya Lumina sambil memetik bunga liar di dekatnya.
Dulu" kehidupan kami tidak seperti sekarang." Dylan menghela nafas dan duduk di dekat
Lumina yang mulai sibuk merangkai mahkota bunga. "Kehidupan kami semua cukup sulit."
Lumina melihat wajah pamannya mengkerut. Seperti sedang memikirkan sesuatu yang
serius. Lumina tidak berani membaca pikiran pamannya, jadi, dia hanya memilin-milin sulur-sulur
tanaman yang ia ambil dan membuat mahkota bunga.
"Tapi, itu semua masa lalu." kata Lumina, "Itu yang sering dikatakan Ayah dan Ibu."
"Memang." Dylan tersenyum dan menepuk kepala Lumina, "Semua itu hanya masa lalu,
dan tidak ada sangkut-pautnya dengan kalian. Yang lebih penting sekarang adalah menjaga kalian
semua. Dengan melatih dan mengasah kemampuan kalian sebagai The Chronos Sapphire."
"Kenapa itu harus dilakukan?" tanya Lumina, "Apa ada seseorang yang akan berniat jahat
pada kami?" "Bukan hanya seorang, tapi, sebuah organisasi." Ujar Dylan, "Sejak dulu, program The
Chronos Sapphire sudah dilarang dan dihapus karena pernah disalah-gunakan. Tapi" karena
sesuatu, program itu kembali dilakukan pada kami.
"Dan lahirlah kalian." Dylan tersenyum muram, "Yah" yang terpenting, kalian
memikirkan sisi positifnya saja. Jangan terlalu memikirkan masa lalu kami, orangtua kalian."
Lumina manggut-manggut dan memakai mahkota bunga buatannya.
"Seperti seorang putri saja." Dylan terkekeh melihat mahkota bunga itu di kebala Lumina.
"Putri yang cantik."
"Terima kasih."
"Nah, Paman rasa, ada seseorang yang bakal menjemputmu, kan?" kata Dylan sambil
berdiri, "Ayo, sekarang Paman antar kamu pulang."
*** "Hari ini, jadwal konsermu berikutnya di Taman Bermain Pelangi." Kata Julia sambil memeriksa
jadwal kegiatan Aria di ponselnya, "Setelah itu, akan ada jumpa fans juga di sana."
Aria yang sedang meminum minumannya mengangguk-angguk sambil melihat keluar
jendela mobil. Sekarang mereka sedang dalam perjalanan menuju Taman Bermain Pelangi.
Taman bermain yang akan dibuka hari ini dengan penampilan Aria dan beberapa artis lainnya
sebagai hiburan. "Taman Bermain Pelangi itu" taman bermain yang baru, kan?" tanya Aria.
"Iya. Permainan di sana cukup lengkap. Dan di sana juga ada kafetaria, kedai-kedai
souvenir, dan, yah" masih banyak lagi."
Aria mengangguk, "Kurasa aku harus mengajak keluargaku ke sana juga lain kali." Katanya,
"Sepertinya menyenangkan. Lagipula hari ini adalah ulang tahun Lumina. Aku bahkan belum
mengucapkan selamat ulang tahun untuknya?"
"Sepertinya juga begitu." Julia mengangguk setuju, "Ah, dan nanti saat kamu tampil, kamu
akan menyanyikan 4 lagu, lalu?"
Aria tidak mendengarkan ucapan Julia selanjutnya. Pikirannya melayang pada kedua
anaknya, Reno dan Lumina. Dia teringat perasaan tidak enaknya kemarin. Perasaan yang pernah
membuatnya trauma berat pada seseorang bernama" Jack Lucios.
Ya Tuhan" kenapa aku harus memikirkan hal itu lagi" katanya dalam hati.
Ia memijat pelipisnya. Kepalanya tiba-tiba berdenyut, sakit.
"Aria, kamu tidak apa-apa?"
"Apa?" Aria mengerjapkan mata dan melihat Julia menatapnya khawatir, "Aku tidak apaapa. Hanya sedikit pusing saja."
"Pusing" Apa perlu kita ke dokter?"
"Tidak ada dokter biasa yang bisa menyembuhkanku jika aku benar-benar sakit parah,
Julia," kata Aria tersenyum tipis, "Lagipula aku hanya sedikit pusing. Bukan karena sakit kepala
karena mau meninggal atau apa?"
"Aku khawatir, Aria." kata Julia, "Aku masih ingat ketika kamu divonis akan meninggal
dalam beberapa tahun lagi karena" yah" masa lalumu."
Aria hanya tersenyum muram, "Itu hanya vonis, dan tidak pernah terjadi, kan" Sampai
sekarang aku masih ada di sini dan tidak kenapa-napa." Katanya, "Jangan terlalu
mengkhawatirkanku. Kamu tahu aku tidak suka dikhawatirkan secara berlebihan."
"Y, ya" aku tahu?" Julia menghela nafas, "Kamu benar-benar tidak apa-apa, kan?"
"Iya, manajerku yang disiplin?" Aria tertawa dan mementil kening Julia pelan, "Tidak
perlu khawatir. Setelah konser di taman bermain itu, selanjutnya kemana lagi?"
*** "Aduh!" Lumina memegangi tangannya yang terkena serpihan kaca vas bunga yang tidak sengaja ia
jatuhkan. Ketika dia akan memungut semua serpihan vas kaca itu, jarinya tidak sengaja mengenai
sisi tajam serpihan itu. "Aduh" kenapa aku bisa ceroboh seperti ini, sih?" gerutunya sambil berjalan kearah dapur
dan membersihkan darahnya dengan air.
Setelah agak bersih, gadis itu langsung menuju kotak penyimpanan obat antiseptic dan
plester luka. Sambil membalut lukanya, Lumina menghela nafas dan mencoba mengatur
perasaannya yang mulai tidak enak lagi. Bahkan ketika dia tidak sengaja menabrak vas bunga itu
sampai terjatuh juga, perasaannya sudah tidak enak.
Ada apa lagi ini" Lumina menghela nafas lagi dan meletakkan obat antiseptic kembali ke
dalam kotak penyimpanan obat-obatan.
Ia lalu mengambil sapu dan vacuum cleaner untuk membersihkan sampah yang ia buat.
Lumina melihat kearah jam dinding, sudah pukul setengah 5 sore. Nathan akan menjemputnya
sebentar lagi. Untung saja dia sudah bersiap-siap dan hanya mendapat masalah kecil seperti ini.
"Setidaknya aku bukan tipe cewek yang senang berdandan lama." ujarnya tersenyum kecil.
"Aku pulang," Lumina mendongak dan melihat Reno masuk dari pintu depan sambil membawa kantung
plastic besar, yang ia tebak, berisi penuh dengan game.
"Memborong, nih?" tanya Lumina terkekeh geli.
"Tidak juga." Reno meletakkan bawaannya keatas meja dan beralih ke kulkas, "Kamu rapi
sekali. Mau kemana?"
"Jalan-jalan." jawab Lumina sambil memasukkan sampah yang sudah ia kumpulkan ke
dalam kantung plastic kecil sebelum ia masukkan ke dalam tempat sampah. "Ke taman bermain
yang akan dibuka itu."
"Taman Bermain Pelangi?" tanya Reno lagi sambil meminum sebotol air dingin. Dia
sempat mengernyit ketika air dingin itu mengaliri tenggorokannya, "Dengan siapa?"
"Err" Nathan."
Reno yakin dia menyemburkan air di dalam mulutnya ketika Lumina menyebut nama
Nathan. "Aduh" Oniichan!! Kenapa harus menyemburkan air di dalam mulutmu, sih" Jorok,
tahu!" gerutu adiknya sambil memasang wajah jijik.
"Maaf," Reno mengelap sisi mulutnya dengan punggung tangan. "Kamu bilang tadi" pergi
bareng Nathan" Nathan yang" itu?"
"Memangnya ada Nathan lain yang kukenal?" tanya Lumina balik, mulai kesal.
Reno menggeleng, "Kamu" pacaran dengannya?"
"Tidak." "Lalu, kamu mau jalan-jalan dengannya?"
"Duh" memangnya Oniichan memikirkan apa, sih" Aku dan Nathan Cuma mau jalanjalan saja. Bukan berarti kami ini pacaran." Kata Lumina, "Memangnya aku seperti Oniichan"
Yang suka gonta-ganti pasangan kencan?"
"Sembarangan saja!" Reno menjangkau kepala adiknya dan mengacak-acak rambut
Lumina yang sudah tertata rapi. "Mereka itu duluan yang mengajakku kencan, dan bukan berarti
aku mengambil kesempatan?"
"Iya, aku tahu?" Lumina menjauhkan tangan Reno sambil tertawa geli, "Wajah Oniichan
lucu banget, deh. Coba, tadi kufoto saja, ya?"
"Lumina!!!" Reno berusaha menjangkau Lumina lagi. Tapi, kali ini Lumina lebih gesit, dia berhasil
menghindari tangan kakaknya yang mulai mengarah ke kepalanya lagi.
"Sayang sekali, aku bisa melihat gerakanmu." Kata Lumina meleletkan lidahnya, "Aku
harus pergi dulu. Kalau aku belum pulang sampai jam makan malam, Oniichan makan sendiri
saja. Aku sudah menggoreng ayam dan menumis sayur. Semuanya sudah kutaruh di lemari
makanan." "Aku tahu?" Reno menghembuskan nafas dan tersenyum, "Hati-hati di jalan."
Lumina tersenyum dan mengambil tas kecilnya. Kemudian segera pergi keluar rumah dan
menghampiri Nathan yang ternyata sudah menunggu di depan rumahnya.
CHAPTER 8 Nathan dan Lumin sampai di Taman Bermain Pelangi ketika taman itu sudah dipenuhi oleh
pengunjung. Semua tempat penuh sesak oleh orang-orang yang mendatangi taman bermain yang
baru dibuka tersebut. Nathan dan Lumina sendiri harus rela berdesakan sebelum akhirnya sampai
di salah satu kafetaria yang ada di sana.
"Kukira aku tidak akan bisa bergerak di antara kerumunan orang-orang itu." kata Lumina
sambil meniup poni rambutnya yang menghalangi pandangan matanya.
"Kenapa" Kamu kecapekan?" tanya Nathan.
"Sedikit," Lumina mengedikkan bahunya, "Oh ya, kita pesan minum saja. Aku sedang
tidak lapar." Nathan mengangguk dan memanggil pelayan kafe. Setelah memesan, dia menatap Lumina
yang asyik menatap kerumunan orang-orang yang memadati taman bermain.
Aku tidak ingin menyakiti perasaannya. Kata Nathan dalam hati, melihat wajah Lumina
yang polos. Aku" tidak akan pernah bisa menyakiti perasaannya.
"Lumina," "Hmm?" Nathan mencoba mengatur kata-kata yang sudah dia susun di dalam otaknya. Dia ingin
mengatakan sesuatu pada Lumina. Dia harus mengatakan hal yang sudah ia pendam lama dari
Lumina semenjak dia pergi waktu itu.
"Nathan" Nathan?"
Lumina melambaikan tangannya di hadapan wajah Nathan, yang langsung gelagapan kaget.
"Err" anu, Lumina," Nathan menelan ludah, "Ada" sesuatu yang harus kukatakan
padamu." "Apa?" tanya Lumina mengerutkan kening, "Kuharap bukan pernyataan cinta. Jujur saja,
aku belum siap untuk pacaran."
"Tidak" bukan itu, kok." Nathan tersenyum, "Kalau yang itu aku sudah tahu."
"Kamu tahu?" Lumina mengerutkan kening, "Lalu kenapa kamu menyebutku sebagai
Naga Sasra Dan Sabuk Inten 44 Dewi Ular Lorong Tembus Kubur Naga Beracun 8
^