The Chronos Sapphire Ii 2
The Chronos Sapphire Ii Karya Angelia Putri Bagian 2
Aku memercayai kata-katanya dan mengangguk pelan. Suaranya lalu menghilang dari
kepalaku. Aku bisa merasakannya.
Aku menoleh kearah jendela kaca. Langit sudah gelap. Matahari terbenam yang
seharusnya terlihat indah di mata orang-orang, sekarang terlihat"
Pintu kamar dibuka secara tiba-tiba dan membuatku terkejut.
Jack masuk ke dalam dengan mengenakan pakaian yang berbeda dari yang biasa ia
kenakan. Di tangannya dia memegang sebilah pisau pendek seperti pedang kecil. Di sebelah
tangannya yang lain, dia memegang sebuah suntikan yang meneteskan cairan yang aku tidak tahu
apa itu. "M, mau apa kamu?" tanyaku, beringsut mundur.
"Jangan banyak tanya, dan biarkan aku memasukkan ini ke dalam tubuhmu."
Jack membuang pedangnya ke lantai dan menarik tanganku dengan kasar.
"Jangan!" Jack mendekatkan jarum suntik itu ke pergelangan tanganku. Aku meringis sakit ketika
jarum itu menembus kulitku dan kurasakan cairan di dalam suntikan itu masuk ke dalam tubuhku.
Kurasa aku tidak punya tenaga untuk memberontak. Aku tidak yakin bisa mendorongnya
menjauh dariku atau sekedar menamparnya. Semua itu tidak bisa kulakukan. Mendadak saja
tubuhku lemas. Jack melepaskan jarum suntik itu dan merebahkanku yang sudah lemah. Mataku setengah
tertutup. Sepertinya yang dia masukkan tadi adalah obat tidur, atau sesuatu yang lain. Karena selain
rasa mengantuk yang sangat, aku juga merasa tubuhku tidak bisa digerakkan.
"Kubiarkan kamu tetap hidup sampai besok pagi." ujar Jack di telingaku, "Akan kubiarkan
kamu di sini, menjadi putri tidur sampai Rifan datang. Aku ingin lihat, apa yang akan dilakukannya
ketika kekasihnya hampir mati besok."
Hampir mati" Apa yang dimasukkannya ke dalam tubuhku"
"Apa" yang?" lidahku kelu dan tenggorokanku juga terasa kering. Aku jadi tidak bisa
berbicara dengan jelas. Jack tersenyum dengan sebelah bibir, dan itu membuatku merinding. Seolah semua yang
jahat pada dirinya terlihat dalam satu senyuman itu.
"Tetap diam. Dan jika Rifan menemuimu, kuberikan kamu saran."
Wajahnya mendekat kearahku dan aku menahan nafas.
"Sebaiknya, kamu mati saat itu juga."
BAB 14 Ruang Kontrol Red Zone Rifan"s Side "Di sini, kita akan beristirahat di sini."
Maya menunjuk sebuah pintu baja di dekatnya dan membukanya. Ruangan itu gelap. Dan
kelihatannya" berdebu.
Maya meraba dinding di sebelah pintu dan menekan sesuatu yang aku rasa adalah saklar
lampu. Ruangan ini langsung diterangi sinar putih. Dan tepat sesuai perkiraanku. Tempat ini
cukup" kotor. Tapi, jauh dari kesan berdebu dan sarang laba-labar. Ruangan ini kelihatan bersih.
Hanya ada beberapa benda yang terlihat menjadi sarang laba-laba.
Dugaanku, seseorang pernah berada di tempat ini, baru-baru ini.
"Ada orang di sini." kata Maya.
"Sepertinya tidak ada orang." Ujar Lord.
"Tidak. Tempat ini agak bersih. Jauh dari kesan kotor." Maya menggelengkan kepalanya,
"Seseorang pernah berada di sini. Aku tidak yakin apakah Jack, atau orang lain."
"Bagaimana kamu bisa menebaknya?" tanya Charles yang berdiri di sebelahku.
"Aku dulu sering berada di sini. Dan aku juga tahu setiap ruangan yang ada di pulau ini
selalu dibersihkan oleh sekelompok petugas kebersihan. Karena itu, aku cukup tahu bahwa
ruangan ini setidaknya pernah dihuni sebelum kita datang ke sini karena tempatnya cukup bersih."
Charles manggut-manggut mengerti.
"Lalu, apa kita akan istirahat di sini?" tanyaku.
Maya mengangguk, "Tenang saja. Aku tidak merasakan ada kehadiran seseorang di sini."
katanya sambil tersenyum, "Kalian beristirahat saja. Sementara aku pergi ke ruang control."
"Ruang control" Di sini ada ruang control?" tanya Stevan sambil duduk dan bersandar di
dinding. "Tentu. Sekitar 4 meter dari ruangan ini. Aku hafal setiap inci pulau ini." dia tersenyum
lebar, "Itulah gunanya berada di pulau ini selama 4 tahun."
Dia lalu keluar. Dan entah kenapa, aku merasa aku perlu mengikutinya.
"Charles, aku akan pergi keluar sebentar." Kataku sambil meletakkan ranselku di dekat
ranselnya. "Kau mau ke mana" Oh ya, apa kau sudah mencoba bertelepati dengan Aria?"
"Sudah. Dia merespon." kataku dengan nada merenung, "Dan dia menunggu kita untuk
segera datang." *** Maya sepertinya tidak tahu aku mengikutinya.
Aku mengikutinya yang sedang berjalan pelan sambil melihat ke sekeliling dinding koridor
sempit yang kami lewati. Aku berusaha menjaga jarak darinya.
Maya masuk ke balik sebuah pintu di ujung koridor yang berbelok ke kanan. Aku
mengikutinya, tapi, tidak ikut masuk ke dalam. Aku berdiri di dekat pintu. Syukurlah pintunya
tidak dikunci dan ada sedikit celah untukku melihat ke dalam.
Maya sedang mengutak-atik panel di depan puluhan monitor yang menyala. Entahlah,
apakah dia sudah menyalakan monitornya terlebih dulu, atau monitor itu memang sudah menyala
sedari tadi. Maya menekan beberapa tombol. Dan dia melihat kearah sebuah monitor yang
memperlihatkan sebuah ruangan" seperti rumah kaca.
"Aneh?" Maya bergumam dan dia mendekatkan focus kamera monitor rumah kaca itu
lebih dekat. Beberapa detik kemudian, dia melihat sesuatu dan terpekik kaget.
"Astaga" Aria!"
Aria" Aku menajamkan pandanganku pada layar monitor yang dilihatnya, dan juga sama
terkejutnya. Di layar monitor itu, aku melihat Aria. Terbaring diatas tempat tidur berenda dan
matanya terpejam. Tapi, mimic wajahnya menunjukkan dia kesakitan.
Dari alat seperti speaker besar di dekat Maya, aku bisa mendengar suara Aria yang
meringis kesakitan. Apa yang terjadi dengan Aria"
Kulihat Maya mengambil headphone di dekatnya dan memasangnya di kepalanya.
"Jebakan X." gumamnya. Dia mengeluarkan benda yang diberikan oleh Nyonya Haruka
sebelum kami pergi dulu. Sebuah kartu seperti kartu gesek ATM. Sejenak, dia menatap kartu itu. Dari belakang, aku
bisa merasakan keragu-raguannya.
"Aku harus melakukannya." Dia mengangguk dan menggesekkan kartu itu di dekat panel
control. "Jebakan X akan segera diaktifkan." Terdengar suara operator yang biasa aku dengar
ketika masih di Laboratorim Terlarang. "Sebutkan identitas Anda untuk mendapat konfirmasi
pengaktifan." "Maya Elizabeth Watson." Kata Maya menyebut namanya, "Nomor identitas AP9835. The
Chronos Sapphire nomor 9. Mohon Izin konfirmasi pengaktifan Jebakan X dengan kode Bunga
Merah." Layar monitor yang lebih besar menampilkan sebuah garis yang bertambah panjang.
Seperti memproses sesuatu.
Lalu" "Maaf, kode yang diberikan tidak cocok. Mohon mencoba dengan kode lain."
"Apa" Kenapa tidak cocok?"
Maya kelihatan mengutak-atik lagi panel control. Dia juga mengatakan kode-kode yang
aneh. Tapi, tetap saja suara mesin mengatakan kalau kode yang dikatakan Maya salah.
"Apanya yang tidak cocok?" gumam Maya.
Aku juga memikirkannya. Sebenarnya kode apa yang dimaksud Maya untuk mengaktifkan
Jebakan X. Tiba-tiba pandangan Maya tertuju kearah pintu, tepat kearahku. Aku cepat-cepat
menyingkir dari pintu dan berusaha menarik nafas. Astaga" apa dia melihatku"
"Rifan?" Nah, lho, dia ternyata melihatku! Gawat.
"Kamu di sana, kan" Masuk saja. Aku sudah tahu dari tadi kamu mengikutiku." Kudengar
suara Maya yang menyiratkan nada geli.
Jadi dia sudah tahu aku mengikutinya dari tadi" Kalau begitu, kenapa dia bersikap tidak
tahu bahwa aku mengikutinya"
Oh, aku lupa. Itu biasanya strategi Aria jika dia diikuti penguntit yang mengikutinya. Cara
itu memang terbilang berhasil karena penguntit itu berhasil ditangkap polisi sebelum dia
melakukan suatu hal yang membuatku membunuh penguntit itu"maaf. Itu seharusnya rahasia
pribadi dan tidak boleh kubicarakan.
Aku berjalan kearah pintu dan membukanya. Kulihat Maya tersenyum tipis padaku
sebelum perhatiannya kembali lagi ke layar monitor.
"Jadi, kamu sudah tahu kalau aku mengikutimu?" tanyaku. "Sejak kapan?"
"Sejak aku meninggalkan ruang peristirahatan tadi." Maya mengedikkan bahu, "Aku bisa
merasakan deru nafas dan bau badan seseorang dari belakang punggungku. Penciumanku cukup
tajam." "Oh?" Aku mendekatinya dan melihatnya mengutak-atik panel layar sentuh itu dengan gerakan
cepat. "Sedang apa?" "Kalau kamu mendengarkan dari tadi, kamu pasti tahu apa yang sedang kulakukan."
"Aku tahu, karena itu aku bertanya." Balasku.
"Aku tidak mengerti." Maya mengembuskan nafas dan menoleh kearahku, "Kode Jebakan
X sepertinya sudah diubah. Haruka-sama mengatakan padaku kalau kode untuk mengaktifkan
Jebakan X adalah Bunga Merah. Tapi, kode itu ditolak?"
"Apa beliau tidak memberitahumu tentang apapun yang mungkin menjadi kata kodenya?"
Maya menggeleng, "Bunga Merah adalah kode utama. Arti Bunga Merah adalah perasaan.
Perasaan adalah suatu hal yang biasa kita temui dalam kehidupan sehari-hari. Perasaan sedih,
marah, maupun senang. Bunga Merah juga melambangkan bunga mawar merah. Haruka-sama
suka bunga mawar merah."
"Oh?" "Aku akan mencoba kata kode yang lain."
Maya kembali mengutak atik panel dan mengucapkan serentetan kata kode yang tidak
kumengerti artinya. Tapi, hasilnya tetap sama. Kode-kode yang diucapkan Maya bukanlah kata
kode yang tepat. "Sial." gerutunya. "Sebaiknya aku memanggil robot medis sulu ke sini."
"Memangnya di sini ada robot medis" Tapi" untuk apa?"
"Kamu tidak lihat layar monitor yang itu?"
Maya menunjuk layar monitor yang menampilkan gambar close-up Aria. Wajah Aria
kelihatan kesakitan dan tangan kanannya berwarna kemerahan.
"Apa yang terjadi padanya?"
"Racun Bunga." Jawab Maya, "Itu racun yang terdiri dari bunga mawar hitam, bunga
Poppy, bunga anggrek hitam beracun, dan juga tumbuhan yang tumbuh di pulau ini. Semua itu
dicampur dengan opium dan obat tidur dosis tinggi."
"Lalu?" "Racun itu melumpuhkan otak. Tapi, bisa saja hanya melumpuhkan sebagian anggota
tubuh, tergantung dosisnya. Dosis sebesar setetes air cukup untuk membuat kedua tangan dan kaki
tidak dapat berfungsi normal."
"Dan" menurutmu Aria terkena racun dalam dosis tinggi?" aku mulai merasa cemas.
Perasaan mual mulai merasukiku.
"Tidak. Jack tidak akan sebodoh itu untuk memberikan dosis tinggi pada Aria." dia
berbicara dengan nada merenung, "Dia menungguku."
"Menunggumu?" "Dan kamu juga." Maya mengembuskan nafas, "Untuk mendapatkan tangkapan yang
besar, umpannya pun juga harus besar, kan?"
"Apa maksudmu?"
"Aku belum menceritakan padamu apa sebenarnya yang kutemukan tentang rencana Jack
yang satu ini." dia tersenyum muram, "Dia ingin membunuhku."
"Ap"membunuhmu?"
"Atas kesalahan yang kulakukan padanya dulu. Meninggalkannya."
"Aku tidak mengerti. Bisakah berbicara lebih jelas?"
Maya menekan sebuah tombol di panel dan aku melihat salah satu layar monitor
menampilkan sebuah ruangan yang sangat bersih. Dan Jack berada di sana.
"Apa yang dilakukannya?"
"Menyiapkan sesuatu untuk membunuhku, tentunya." Maya tertawa lirih. Nyaris seperti
tangisan, "Dulu, aku meninggalkannya di sini karena aku mengatakan aku membencinya. Aku
memang benci padanya karena dia mengikuti jejak ayahnya, menjadi jahat. Aku takut dia
mempengaruhiku." "Jack berusaha menjelaskan bahwa dia melakukan semua"menipu, membunuh, dan segala
macam hal lain yang kubenci"yang dia lakukan, adalah untukku. Kamu pasti mengerti perasaanku
waktu itu. Aku merasa dilemma. Di satu sisi, aku ingin Jack berubah dan aku ingin
menghentikannya dengan caraku sendiri. Tapi, di sisi lain, dia pasangan empatiku. Aku tidak
mungkin membunuhnya tanpa alasan, walau semua yang dilakukannya dulu bisa kujadikan alasan
untuk membunuhnya." "Ada satu cara untuk membunuhnya. Bagi pasangan empati, cara ini akan membuat
pikiran dan tubuh mereka melemah. Dan aku melakukan cara itu untuk menghindar darinya,
membuatnya tidak bisa berhubungan denganku lagi. Yaitu dengan memutuskan hubungan
benakku dengannya." "Memutuskan hubungan benak" Bagaimana caranya?" tanyaku menyelanya.
"Dengan pergi sejauh mungkin darinya, menghindar dari telepati yang dikirimkan olehnya,
dan tidak boleh mengingatnya lagi walau kau ingin."
"Itukah cara memutuskan hubungan benak?"
Maya mengangguk. "Tapi, Jack tidak terima. Dia mulai kehilangan kendali. Kekuatannya berkembang cukup
pesat saat itu, dan dia mencoba mencariku." Maya melanjutkan ceritanya, "Dia memang berhasil
menemukanku di Beijing. Tapi, aku berhasil kabur darinya. Dan dia semakin marah, dia mulai
meracau di kepalaku dan membuatku frustasi. Sampai aku meminta Haruka-sama memasukkanku
ke dalam incubator dan membuat hubungan benakku dan Jack benar-benar putus. Incubator
tempatku tidur itu adalah incubator isolasi.
"Inkubator itu mengisolasi pikiran Jack dariku. Dan aku lega karena pikiran-pikiran Jack
tidak lagi menggangguku. Dan saat itulah, aku menyadari sesuatu, aku bisa berhubungan dengan
benak seseorang. Benak orang lain, dan dia adalah saudara kembarku, Aria."
"Jadi" itu sebabnya kamu berada di dalam pikiran Aria" Sebagai suara hatinya?"
"Bisa dibilang begitu." Maya tertawa kecil, "Aku juga tidak tahu bagaimana aku bisa sampai
di dalam pikirannya. Dalam ruangan tempat ingatannya berada, aku melihatnya, bersamamu, dan
yang lain, dan Jack. Melewati masa-masa sulit. Dan" aku juga melihat ingatan bagaimana Jack
mengancamnya." Maya kelihatan gemetar menceritakan semua itu.
"Aku pikir, dengan membantu Aria, aku bisa mengisyaratkan Jack untuk tidak
menggangguku, dan kalian juga." Katanya, "Tapi, seperti yang kamu lihat sekarang. Jack masih
dendam padaku, pada kalian, dan dia berusaha membunuhku dan Aria. Menurut Jack, aku pantas
mati karena meninggalkannya. Sedangkan Aria" Jack iri padamu karena kalian adalah pasangan
empati lain selain kami berdua."
"Alasannya hanya sesederhana itu?"
"Aku membaca pikirannya sekilas 5 hari yang lalu sebelum kita sampai ke ruang
peristirahatan." Kata Maya.
"Kamu melihat aku menangis ketika kita baru sampai di pulau ini, kan" Saat itu, aku
mencoba menghubungkan kembali benakku dengan Jack, tapi, tidak bisa. Justru pikiran-pikiran
Jack yang berbahaya masuk ke dalam otakku dan membuatku nyeri. Selama 10 tahun aku tidak
bertelepati dengan Jack, membuat kemampuan telepatiku menjadi tumpul. Aku tidak bisa
mengasahnya lagi karena tubuhku melemah setiap harinya."
"Melemah?" aku menatap Maya. Dia kelihatan baik-baik saja. Tidak kelihatan kalau dia
lemah atau semacamnya. "Don"t judge a book by its cover, Rifan." ujar Maya, "Aku memang tidak kelihatan tidak
sehat. Yang tidak sehat itu hatiku. Hatiku melemah setiap harinya karena racun yang sempat
dimasukkan Jack ke tubuhku ketika aku melarikan diri darinya di Beijing,"
"Karena alasan itu jugakah kamu memutuskan untuk tidur dalam incubator isolasi?"
"Salah satunya iya." Maya mengangguk, "Jack memasukkan Racun Bunga ke tubuhku
dalam dosis yang memang sedikit, tapi, racun itu masuk ke dalam hatiku dan membuatnya
melemah." "Tapi, kamu kelihatan gesit ketika memimpin kami."
"Itu hanya sementara saja. Selama aku minum obat ini." Maya mengeluarkan sebuah botol
plastic dari bajunya. "Ini obat yang dibuat Haruka-sama untukku. Obat ini memang tidak
menyembuhkan. Tapi, paling tidak, obat ini memperlambat racun itu menghancurkan hatiku."
Maya termenung sebentar, "Umurku hanya tinggal sampai besok. Kecuali aku mendapat
obat penawarnya." Ujarnya.
Aku menatap Maya. Matanya berkaca-kaca. Aku yakin dia akan menangis. Karena itu, aku
meraih bahunya dan menariknya ke dalam pelukanku.
Maya terkesiap pelan dan mendongak menatapku. Matanya menatapku bingung.
"Aku hanya melakukan apa yang harus kulakukan." Kataku tersenyum, "Kurasa kamu
membutuhkan tempat bersandar."
"Oh?" dia tertawa pelan, "Kurasa kamu benar. Terima kasih."
"Tidak masalah."
Kami berpelukan sebentar, dan dia menghembuskan nafas.
"Mungkin ini rasanya punya pasangan empati yang perhatian." Katanya pelan, "Aku
beruntung Aria punya pasangan sepertimu. Sejak dulu, aku selalu mengawasi perkembangan Aria.
Dia gadis yang baik, dan dia tidak pantas untuk disakiti orang seperti Jack."
The Chronos Sapphire Ii Karya Angelia Putri di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Memang." "Kita akan menyelamatkannya." Maya menatapku, "Dan akan kupastikan, Aria akan baikbaik saja."
"Terima kasih."
Maya tersenyum dan melepas pelukanku. Dia mengambil headphone dan memasangnya
di kepalanya. "Rifan, aku butuh bantuanmu untuk mengaktifkan robot medis. Kamu bisa menggunakan
headphone yang itu, dan tunggu perintah dariku."
"Baiklah." Aku mengambil headphone di dekatku dan memasangnya.
"Oke. Kode perintah untuk mengaktifkan robot medis adalah Health. Katakan saja itu ke
layar monitor dan ia akan merespon. Dan, jangan lupa, sebutkan nama, identitas, dan nomor
identitasmu." "Aku tidak punya nomor identitas." Sahutku.
"Kamu punya. Nomor identitasmu AP9832."
"Aku mengerti?"
"Nah, sekarang, biarkan aku memikirkan apa kode perintah untuk mengaktifkan Jebakan
X." dia menekan panel control. "Dan kuharap, kode yang baru kupikirkan ini benar dan bisa
diterima." BAB 15 Robot Medis Charles"s Side Aku baru saja akan memakan roti dari tasku ketika Maya dan Rifan kembali dengan membawa
sebuah robot yang membawa kotak obat dengan tanda (+) merah. Seperti kotak P3K.
"Kuharap kalian tidak menunggu terlalu lama." Kata Maya sambil duduk di sebelahku.
"Tidak juga. Kami baru saja akan makan malam." Aku nyengir dan menyodorkan roti yang
belum kumakan, "Mau?"
"Tidak. Terima kasih." Dia menggeleng sambil tersenyum, "Aku sedang tidak lapar."
"Baiklah?" aku menoleh kearah Rifan yang sedang membuka kotak yang dibawa oleh
robot yang datang bersama mereka. "Robot apa itu?"
"Robot medis. Kami membawanya dari ruang control." Kata Maya. "Robot itu berfungsi
seperti seorang perawat. Kotak yang dibawanya tadi adalah persediaan obat yang tersedia di lemari
pendingin tempat penyimpanan robot itu berada."
"Oh?" "Jam berapa sekarang?" tanya Rifan.
"Sekarang sudah pukul 7 malam." Sahut Duke yang berdiri di dekatnya. Dia sedang
membuat barang-barang di sini berguna menjadi kasur yang akan kami semua pakai untuk tidur.
Jangan tanya bagaimana dia bisa melakukannya. Tidak ada benda tidak berguna jika di
tangan Duke. "Sebaiknya, setelah makan, kalian langsung istirahat saja." ujar Maya, "Aku akan
memeriksa keadaan di sekitar. Berharap saja, Jack tidak menemukan kita di sini."
Aku mengangguk paham. Begitu juga dengan yang lain.
Maya berdiri dan menghampiri Rifan yang sedang memilah-milah obat. Rifan sempat
berbicara dengan Maya, dan Maya menggeleng dengan ucapan Rifan. Apa yang sedang mereka
bicarakan" Aku tidak bisa mendengar, dan aku juga tidak ingin mendengar karena aku kelaparan
dan kelelahan. Setelah kami semua makan malam, kami beranjak tidur. Kecuali Rifan dan Maya. Mereka
masih berkutat dengan botol-botol obat beraneka ragam.
Aku tidak jadi pergi tidur dan menghampiri mereka.
"Menurutmu ini bisa menghilangkan racunnya?" tanya Rifan pada Maya.
"Mmm" tidak." Maya menggeleng, "Racun itu sangat spesifik, dan"oh, Charles, kamu
tidak tidur?" "Tidak. Aku tidak bisa tidur karena melihat kalian sedang sibuk berkutat dengan obat-obat
di tangan kalian." Kataku nyengir, "Sedang apa?"
"Mencari campuran obat yang cocok." Ujar Rifan. "Tadi, aku dan Maya melihat Aria dari
monitor di ruang control. Menurut Maya, Aria terkena racun yang dimasukkan Jack ke dalam
tubuhnya." "Aria terkena racun?"
"Racun Bunga. Itu namanya." Kata Maya, "Itu racun yang cukup berbahaya. Dan racun itu
sedang melumpuhkan Aria. Dalam waktu kurang dari 24 jam, kemungkinan racun itu sudah
menyebar ke seluruh tubuhnya."
"Karena, itu, kami sedang mencari obat yang cocok untuk racun itu." Rifan meneruskan,
"Tapi, cukup sulit. Aku tidak mengerti sedikitpun fungsi obat yang ada di tempat ini. Semuanya
dalam kode angka yang tidak kumengerti."
"Kode angka" Semacam anagram?"
"Sepertinya begitu?"
"Kalau begitu, serahkan padaku." Kataku, "Aku jago mengurai angka. Perhatikan sang
master beraksi." Rifan mendengus dan menyerahkan botol-botol obat itu padaku. Aku melihatnya sebentar.
Kemudian memisahkan semua obat itu berdasarkan kegunaannya. Dari 20 botol obat yang ada,
yang bisa menetralisir racun, dan menghilangkan racun ada 4 botol. Kusodorkan keempat botol itu
pada mereka. "Kamu yakin ini botol obat yang tepat?" tanya Maya.
"Tentu saja. 4 botol ini berguna untuk menetralisir dan menghilangkan racun. Sedang
sisanya hanya untuk menyembuhkan luka luar dan organ dalam."
"Oke. Terima kasih. Sekarang, biarkan aku mencobanya dulu." Maya tersenyum dan
membuka tutup botol keempat botol itu satu-persatu dan menenggak setiap satu butir.
"Wow, wow" apakah tidak apa-apa?" tanyaku.
"Tenang saja. Aku sudah sering bergelut dengan obat-obatan untuk menunjang hidup."
Maya tersenyum dan menenggak pil berwarna biru.
Dia memejamkan matanya sebentar dan badannya agak menggigil. Kami berdua
menunggu reaksi Maya. Apakah obat yang kupisahkan itu benar atau tidak" Kalau salah, itu gawat.
Aku akan menjadi pembunuh lagi, dan malangnya, aku membunuh Maya.
Tanpa sadar, bibirku berkomat-kamit berharap Maya baik-baik saja.
"Aku tidak apa-apa." Maya membuka matanya dan tersenyum pada kami berdua. "Aku
malah merasa sehat. Obat ini sepertinya obat yang tepat. Sebentar?"
Maya melihat label yang melekat pada botol obat pil biru tadi.
"Pantas saja. Ini obat khusus yang dibuat Kazuto-sama."
"Maaf" Apa katamu tadi?" tanyaku seraya menarik nafas lega karena dia baik-baik saja.
"Ini obat khusus milik Kazuto-sama." Kata Maya. "Aku pernah mendengar obat ini disebut
dengan nama Putih." "Putih" White?"
"Mungkin. Tapi, beliau selalu menyebutnya dengan nama Putih." Maya tersenyum lebar,
"Dan obat ini bisa menetralisir dan menghilangkan Racun Bunga! Aku bisa merasakannya. Racun
di dalam tubuhku lenyap seketika hanya dalam beberapa detik."
"Benarkah" Bagus kalau begitu."
"Apa kau juga terkena racun yang ada dalam tubuh Aria?" tanyaku.
"10 tahun yang lalu Jack menyuntikkan racun itu ke tubuhku. Itu salah satu alasan kenapa
aku berada di dalam incubator."
"Oh?" "Aku harus mengakui, robot medis ini ternyata masih berguna." Maya menoleh kearah
robot medis yang berdiri tegak di dekatnya. "Aku juga baru ingat. Ini robot yang dipakai oleh
Kazuto-sama untuk memberikan obat-obat yang harus kuminum selama aku berada di sini dulu.
Aku benar-beanr bodoh karena melupakan Regina."
"Regina?" "Nama robot ini." Maya tersenyum lebar. "Regina adalah nama kakakku yang meninggal."
"Begitu. Maaf."
"Tidak masalah."
"Nah, obat yang kita cari sudah ditemukan. Apakah sebaiknya kita beristirahat saja?" tanya
Rifan. "Kalian saja yang lebih dulu beristirahat. Aku ingin memeriksa beberapa obat yang lain.
Mungkin ada beberapa yang bisa kita gunakan jika kita terluka." Maya mendorong kami,
"Istirahatlah, aku akan menyusul nanti."
"Baiklah?" Aku hanya menurut saja. Lagipula, aku sudah merasa mataku seperti direkat dengan lem
super kuat. Rifan tidur di sebelahku. Dan aku tidur di dekatnya. Hanya dalam beberapa detik, aku
langsung tidur lelap. BAB 16 Markas Pusat Rifan"s Side Kami melanjutkan perjalanan. Masih dituntun Maya, tentu saja. Kami melewati koridor yang
sudah ditandai oleh Maya kemarin, dibantu olehku.
"Sebentar lagi kita akan sampai di basement Markas Pusat." Kata Maya, "Bersiaplah.
Kemungkinan besar, bayangan Jack akan menyambut kita."
"Aku tahu." kataku. "Aku ingin cepat-cepat menghajarnya."
"Setuju." Cetus Charles di dekatku. "Aku juga ingin menghajarnya. Sisakan waktu untukku
menghajarnya juga." "Tentu." "Kalian terlalu bersemangat, bisakah kalian diam?" kata Stevan. "Aku sedang mencoba
menerka ke mana arah kita selanjutnya setelah dari basement."
Aku nyengir padanya, dan terus berjalan.
Maya membuka pintu baja yang terbentang di depan kami. Dan aku bisa merasakan hawa
lembap menerpa tubuhku. "Kita sudah sampai di basement." Ujar Maya, "Dari sini, kita bisa naik ke lift yang ada di
tempat tersembunyi di sini. Aku sudah mengaktifkan lift itu dan bisa berfungsi sekarang."
"Kalau begitu, ayo."
Maya menunjukkan kami jalan kearah lift yang dia maksud. Dan lift itu ternyata adalah lift
yang terbuat dari kaca, sehingga kita bisa melihat pemandangan di luar.
"Apa kita tidak akan ketahuan jika kita menggunakan lift seperti ini?" tanya Dylan.
"Tidak. Lift ini adalah lift bawah tanah. Kita akan bergerak seolah seperti berlari di
permukaan, dan setelah mendapat titik yang tepat, kita akan naik keatas, dan langsung menuju
lantai 55, tempat Aria berada." Kata Maya, "Lift ini bisa menjangkau semua lantai yang ada di
Markas Pusat dan hanya bisa digunakan olehku dan para ilmuwan yang berwenang saja."
"Apa" apa Jack tahu lift ini?" tanyaku.
"Tidak. Dia tidak tahu tentang lift ini." Maya menggeleng, "Kalaupun dia tahu, dia tidak
akan bisa masuk ke dalam lift ini dan memakainya karena lift ini memiliki kode khusus untuk
mengaktufkannya." "Baguslah kalau begitu."
"Nah, ayo, kita masuk. Jebakan X sudah kuatkifkan saat ke ruang control, dan kita harus
bisa menyelesaikan semuanya sebelum jam 9 malam tepat."
"Kenapa harus jam 9 malam?" tanya Charles.
"Itu waktu yang kita butuhkan untuk menghubungi Haruka-sama untuk meminta
helicopter, atau setidaknya, pesawat untuk membawa kita pergi dari sini secepatnya."
*** Sepertinya sudah setengah jam kami berada di dalam lift. Ketika pintu lift terbuka, sebuah koridor
panjang terbentang di hadapan kami. Koridor ini dilapisi karpet biru tua. Cat di dinding kelihatan
pudar dan beberapa ada yang sudah mengelupas. Kesan pertamaku untuk koridor ini adalah :
Koridor ini tidak kelihatan seperti koridor sebuah gedung yang ditinggalkan lebih dari 20 tahun.
Maya memejamkan matanya sebentar.
"Di sana ada tangga menuju lantai berikutnya. Ada sebuah ruangan yang terbuat
sepenuhnya dari kaca dengan film yang sangat gelap. Itu adalah ruangan perawatanku dulu."
Katanya, "Di sanalah Aria berada."
"Apa kau merasakan keberadaan Jack?" tanya Stevan.
"Tidak." Maya menggeleng, "Ini aneh. Seharusnya dia ada di sini. Kita harus waspada. Dia
bisa saja muncul tiba-tiba."
"Kita bergerak sekarang. Ayo."
Kami mulai berjalan, sebenarnya setengah berlari, kearah jalan yang ditunjukkan Maya.
Jalannya cukup berkelok-kelok. Seperti jalan tikus saja.
"Kita hampir sampai." Kata Maya, "Setelah ini kita"kyaa!!"
Maya tiba-tiba jatuh tersungkur sambil memegangi tangannya. Sekelebat bayangan
menyerangnya dan Maya menjerit.
"Maya!" Kami menghampiri Maya dan melihat wajah dan tangan kanannya terluka. Aku melihat
asap hitam yang kukenal. "Jack?" gumam Maya, "Dia?"
"Ternyata kalian datang juga. Kukira kalian tidak akan datang."
Aku mendongak dan melihat Jack, dengan pedangnya, Deathly Sorrow. Pakaiannya sama
seperti dulu ketika masih dalam Misi.
"Kukira kalian tidak ingin melihat sang putri tidur untuk selamanya." Ujar Jack dengan
senyum sinis. "Dan, kukira tuan pahlawan dan kamu tidak akan datang."
"Aku tetap akan datang walau kamu membenciku." Kata Maya, "Aku sudah berjanji pada
Haruka-sama untuk membawa Aria pulang dengan selamat."
"Kita lihat saja apa kalian bisa."
Tiba-tiba Jack sudah berdiri di depan Maya dan mendorongnya. Ia terpental ke dinding
dengan bunyi yang cukup keras. Kami sendiri langsung menghindar ketika Jack melancarkan
serangan yang lain. "Rifan. sebaiknya kamu dan Maya pergi dari sini dan menyelamatkan Aria." kata Dylan
yang berada di dekatku. "Biar dia, kami yang mengatasi."
"Tapi, kekuatannya berkembang terlalu pesat. Dia bisa membelah diri. Dan itu akan
berbahaya." Ujarku. "Serahkan saja pada kami." Charles berdiri di sebelahku, "Walau kekuatannya
berkembang pesat, dia tidak mungkin menang melawan kami. Bahkan jika dia membelah diri
sekalipun." "Tapi?" Jeritan Maya membuat kami menoleh. Jack menyabet kaki Maya dan meninggalkan luka
garis sepanjang 8 senti di kaki Maya yang terbungkus celana jins.
"Maya!" "Tidak ada waktu. Sekarang sudah puku 8. Tinggal satu jam lagi waktu kita untuk pergi."
Sela Dylan, "Cepat!"
Aku akh irnya mengalah. Saat Jack akan menyerang Maya lagi, aku segera menangkap
Maya dan menggendongnya. "Apa!?" "Maaf, Jack, kita akan bertarung setelah aku menyelamatkan Aria." kataku.
"Tidak akan bisa! Kau akan?"
"Hei, Jack, kami lawanmu."
Dylan menyerang Jack. Serangannya begitu tiba-tiba dan membuat Jack kehilangan
konsentrasi. Dylan menyerangnya tanpa henti. Semua gerakan pedang yang ia tahu, dia kerahkan
untuk menyerang Jack. "Pergilah, Rifan!"
"Baik." aku menoleh kearah Maya yang berada dalam gendonganku, "Aku akan
menggendongmu karena kurasa kakimu tidak kuat untuk dibawa berdiri, apalagi berlari, kan?"
"Ku, kurasa benar?" Maya mengangguk. "Kita harus cepat ke tempat Aria. Kalung ini
sudah bersinar sejak tadi."
Maya memperlihatkan kalung milik Aria. Dan benar. Kalung itu bersinar redup.
"Tunjukkan ke mana arah selanjutnya."
Maya mengangguk lagi. Aku menoleh sebentar kearah teman-teman yang lain. Jack mulai
membelah dirinya. Dan masing-masing belahan dirinya mulai melawan teman-temanku. Kuharap
mereka bisa bertahan sampai aku kembali.
"Lariku cukup kencang. Dan aku rasa, kamu akan terpental jka tidak berpegangan erat
padaku." Kataku mencoba melucu.
Maya tersenyum tipis, "Baiklah. Tapi, sebelum masuk ke rumah kaca, turunkan aku.
Kamu tidak ingin terlihat oleh Aria sedang berpelukan denganku, kan?"
Aku hanya nyengir. Dan sedetik kemudian, aku mulai berlari.
BAB 17 Ingatanku Kembali Aria"s Side Ya Tuhan" aku tidak tahan. Rasa sakitnya benar-benar menyakitkan.
Awalnya, rasa sakit yang disebabkan oleh sesuatu yang disuntikkan Jack ke tubuhku hanya
sesaat. Tapi, lama-kelamaan, sakitnya mulai terasa dan sering terjadi. Kini, kedua tangan dan
kakiku tidak bisa digerakkan. Rasanya seperti ditusuk ribuan jarum, dan ketika aku mencoba
menggerakkannya walau hanya sedikit, sakitnya semakin menjadi.
Pandanganku kabur, dan aku nyaris pingsan ketika aku mendengar suara pedang beradu
dan ada suara makian serta sumpah-serapah. Suara apa itu" Aku bisa mengenali salah satu suara
itu sebagai suara Jack. Tapi, suara yang lain" aku tidak tahu. Lebih tepatnya, tidak ingat. Aku
memang mengenal suara-suara itu, tapi, aku tidak bisa mengingatnya.
Sebentar lagi aku akan sampai"
Rifan" "Ri" fan?" astaga. Suaraku terdengar serak dan nyaris seperti bisikan. Tenggorokanku
terasa kering, "Di" mana?"
Tiba-tiba pintu terbuka. Seorang cewek, yang waktu kulihat bersama 5 orang cowok lain di
hutan, masuk ke dalam ruangan ini dan mendekat kearahku. Wajahnya tidak bisa kulihat karena
penglihatanku mulai menggelap.
"Aria, ini aku, Maya." Ujarnya, "Kami datang menyelamatkanmu."
Aku ingin bersuara, tapi, tidak bisa. Sepertinya cairan yang dimasukkan Jack ke dalam
tubuhku mulai masuk ke dalam otakku dan membuat fungsi syaraf mataku menjadi lemah dan
nyaris tidak berfungsi. Aku merasakan tubuhku didudukkan di kepala kasur dan cewek bernama Maya itu
menyodorkan sesuatu kearahku.
"Aria, minum ini. Ini akan menghilangkan racun yang ada di tubuhmu."
Aku menurut saja. Kubiarkan sesuatu seperti pil masuk ke dalam mulutku dan melalui
The Chronos Sapphire Ii Karya Angelia Putri di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kerongkonganku dibantu dengan segelas air. Aku menghembuskan nafas dan memejamkan mata.
Perlahan, rasa sakit di kedua kakiku mulai berkurang. Kepalaku juga tidak terlalu sakit lagi.
Kubuka mataku dengan perlahan, dan semua yang tertangkap oleh mataku mulai terlihat
jelas. Dan aku juga melihat cewek bernama Maya itu sedang menatapku dengan pandangan harapharap cemas. Dan di belakangnya"
Ya Tuhan. Perasaan berdesir di dadaku timbul lagi.
Aku mengerjapkan mata. Berharap yang kulihat bukan mimpi. Dan kurasa, aku akan
menangis sekarang. "Kamu baik-baik saja?" tanya Rifan sambil mendekat kearahku.
"Aku" baik-baik" saja." kataku. Berusaha menahan tangis.
"Syukurlah?" Rifan tersenyum lega, "Sudah kubilang, kan" Aku akan datang. Begitu juga
dengan yang lain." Aku tersenyum. "Baiklah, biarkan aku memakaikanmu?" Maya mengeluarkan sebuah kalung dengan 3
bandul berlian berbentuk bulan sabit. "Rifan, sebaiknya, kamu yang memakaikannya. Kupikir
akan lebih efektif jika kamu yang memakaikannya pada Aria."
Kalung apa itu" Kenapa rasanya aku mengenal kalung itu"
Rifan menerima kalung itu dari Maya. Rifan mendekatkan tubuhnya kearahku dan
memasangkan kalung itu di leherku. Sekelebat gambar mulai melintas di kelopak mataku ketika
aku mengedipkan mataku, semua gambar itu membuatku terkesiap.
"Jangan kaget. Itu ingatanmu." Maya memegang tanganku, "Biarkan semua gambar itu.
Beberapa saat lagi, kamu akan ingat semuanya."
"Be, benarkah?" aku menyadari nada suaraku terdengar takut.
"Ya. Tunggu saja. Biarkan gambar-gambar itu kamu lihat."
Aku hanya mengangguk. Aku mendengar suara bandul kalung yang kini sudah
dipasangkan oleh Rifan ke leherku, dan gambar-gambar itu dengan cepat melintas di kelopak
mataku. Aku sempat takut, bayangan itu terlalu buram, dan hitam-putih seperti film lama.
Tapi, benar apa yang dikatakan Maya. Gambar-gambar itu kini tidak terlalu menakutkan.
Malah banyak gambar-gambar yang mengingatkanku pada satu nama. Semua gambar itu terus
berganti dan aku bisa merasakan, otakku mulai membuka pintu ingatan yang terkunci.
Aku membuka mata dan menatap Maya dan Rifan lagi. Kali ini, aku tidak peduli kalau aku
menangis meraung-raung atau tidak.
"Bagaimana?" tanya Maya, "Kamu" kamu sudah ingat semuanya?"
Aku mengangguk. "Kamu Maya, kan" Suara" suara hati-ku?"
Maya tersenyum lebar, "Maaf. Aku bukan suara hatimu. Tapi, saudara kembarmu."
Katanya, "Ceritanya panjang. Nanti akan kuceritakan. Kamu ingat siapa dia?"
Aku menoleh kearah Rifan, yang wajahnya berada cukup dekat dengan wajahku dan
membuatku kaget. "Ya Tuhan!" "Apa" Kenapa?"
"Wajahmu terlalu dekat." Kataku sambil menahan senyum geli ketika aku melihat wajah
Rifan yang kaget, "Apa kamu berniat menciumku?"
Rifan yang awalnya kaget hanya mendengus dan kemudian tersenyum lebar.
"Tadinya aku ingin melakukan itu. Tapi, aku takut, Maya mungkin akan mencakarku."
"Kalau kalian ingin melakukannya, silakan." Maya tertawa, "Tapi, kita tidak punya banyak
waktu. Kita harus pergi dari sini sebelum Jebakan X benar-benar aktif."
"Jebakan X" Apa itu?" tanyaku.
"Ceritanya panjang." Jawab Maya, "Oh, kamu belum menjawab pertanyaanku tadi. Kamu
ingat siapa dia, kan?"
Aku menoleh kearah Rifan lagi dan tersenyum lebar, "Aku ingat, kok. Dia pacarku yang
paling baik dan selalu menjadi tuan pahlawan bagiku."
*** Ingatanku kembali. Aku ingat semuanya. Semua memoriku yang awalnya tidak bisa kuingat,
sekarang bisa kuingat. Dan aku juga ingat siapa Jack.
Dan Rifan. Aku tidak akan bisa melupakannya. Mungkin saat itu, aku tidak ingat siapa dia.
Tapi, hatiku tidak bisa melupakan Rifan, dan perasaan berdesir yang selalu kurasakan itu adalah
buktinya. Maya kelihatan tidak percaya ketika kuceritakan Jack tidak melakukan apa-apa padaku
(kecuali menciumku dengan paksa. Tapi, kurasa itu tidak perlu diceritakan. Aku takut Rifan nanti
cemburu) seperti memanipulasi ingatan ataupun hatiku.
"Dia terlalu lembek." Rifan berkomentar.
"Memang." Maya mengangguk muram, "Oke. Kita harus pergi dari sini. Tinggal 20 menit
sebelum jam 9 malam tepat."
"Tapi, kakiku masih lemas?"
"Itu gampang." Rifan tersenyum lebar.
Tahu-tahu saja, aku sudah digendong olehnya.
"Rifan!" Apa?"
"Kamu mengeluh kakimu masih lemas. Jadi, aku menggendongmu. Itu salah?" tanyanya
dengan senyum lebar. "Kurasa tidak." jawabku. "Tapi, Jack bagaimana" Dia pasti sedang melawan Dylan dan
yang lain, kan?" "Tebakan jitu. Dia memang sedang melawan mereka." kata Maya, "Sebaiknya kita cepat.
Kita harus membantu mereka."
"Dan kurasa, aku harus mengeluarkan kekuatanku yang selama ini kusembunyikan."
Lanjutnya. "Apa?" "Tidak penting." Maya tersenyum. "Ayo."
*** Ketika kami sampai di koridor, aku melihat Jack dan bayangan dirinya sedang melawan mereka.
Dylan dan yang lain. "Kalian berdua, tunggu di sini." ujar Maya, "Rifan, hubungi Dewan dan minta satu pesawat
yang akan membawa kita pergi dari sini. Ini."
Maya memberikan sebuah earphone tanpa kabel dan sebuah jam tangan yang tadinya
melingkar di pergelangan tangannya.
"Untuk apa jam tangan ini?" tanya Rifan.
"Itu alat komunikasi. Desain terbaru dari handy talkie." Katanya, "Aku akan melawan Jack.
Aria, kamu bisa menyembuhkan mereka dengan ini."
Maya memberiku sebuah botol obat.
"Itu obat penghilang rasa sakit, sekaligus pengilang racun, kalau-kalau yang lain terken
racun." "Aku mengerti."
"Bisa pinjam pedangmu?"
Rifan menyerahkan pedangnya pada Rifan.
"Kamu yakin bisa bertarung?" tanyaku.
"Tentu. Aku sudah lama tidak menggerakkan tubuhku." Dia tersenyum muram, "Doakan
saja racun Deathly Sorrow tidak menghambat gerakanku."
"Kamu sudha minum obat ini?"
"Sudah. Tenang saja. Aku tidak akan kalah darinya." Jawab Maya, "Aku akan
menyerangnya tanpa perasaan."
Aku mengerutkan kening mendengar ucapannya. Tapi, sebelum aku berbicara, dia sudah
berlari kearah Jack dan menyerang cowok itu.
BAB 18 Ternyata Maya Sangat Kuat
Charles"s Side Aku merasa tenagaku sudah hampir habis.
Beberapa kali aku terkena serangan Jack (bayangannya. Bukan yang asli. Yang asli sedang
melawan Dylan) dan serangannya membuat otot-ototku sakit. Deathlu Sorrow benar-benar kuat.
Aku tersungkur setelah tubuhku menghantam dinding cukup keras. Tapi, syukurlah, aku
berhasil menghadapi bagianku dan kini bayangan Jack yang tadi melawanku sudah lenyap.
Tubuhku sakit. Dan tulang-tulangku sepertinya ada yang patah.
"Jack!" Aku menoleh kearah Dylan dan Jack. Dan melihat Maya menyerang Jack dengan
kecepatan yang luar biasa. Tidak hanya itu, ketika Jack lengah, Maya segera menyerangnya lagi
dengan pukulan dan tendangan bertubi-tubi. Membuat Jack terpental mundur.
Wow. Apa dia memang mempunyai kecepatan seperti itu" Padahal tadi dia menjerit
kesakitan ketika Jack menyerangnya.
"Kau?" Jack bangkit dari dinding yang tadi dihantamnya.
Maya berdiri di depan Dylan dengan pedang teracung kearah Jack.
"Lawanmu sekarang adalah aku." ujarnya. Nada suaranya terdengar seperti pembunuh
berdarah dingin, "Kau tidak lupa dengan dendammu padaku, kan" Kita selesaikan semuanya
sekarang juga." "Memang itu yang kumau!"
Jack berlari kearah Maya. Maya menangkis serangan Jack dengan cepat. Kakinya
menendang Jack dan dia bersalto ke belakang.
"Aku tidak akan lupa rasa benciku padamu, Maya." Geram Jack. "Tidak akan pernah."
"Itu bagus. Itu akan membuatmu kalah dariku."
Jack menyerang Maya lagi. Kali ini, Maya hanya menghindar dan tidak berniat membalas
serangan Jack. Tapi, mesti begitu, harus kuakui, kelincahan tubuh dan gerakan Maya benar-benar
hebat dan memukau. Tidak sedikitpun pedang Jack mengenainya.
Aku mengerti apa yang sedang dilakukan Maya. Dia hanya ingin membuat Jack lelah dan
kehabisan tenaga, sehingga konsentrasi Jack terpecah. Ide yang cerdik, walau itu kuno dan sudah
sering dipakai orang banyak dalam film atau seperti sekarang ini.
"Terlalu lambat!"
Maya kali ini menyerang Jack. Serangannya cepat, luwes, dan terkendali. Mulai dari
tendangan, pukulan, serangan pedangnya. Semuanya sempurna. Kurasa, ilmu pedang dan
beladirinya sangat tinggi. Itu sangat terlihat dari semua aspek serangan Maya.
"Charles," Aku menoleh dari adegan di depanku dan melihat Aria duduk di sebelahku bersama
Rifan. "Hei, tuan putri." Kataku sambil nyengir, walau aku merasakan sakit di dalam tubuhku,
"Kamu sudah kembali rupanya. Ingat padaku?"
"Tentu saja aku ingat padamu." Dia tersenyum lebar dan menyodorkan sebuah pil biru
padaku. "Ini. Kata Maya, obat ini akan menyembuhkanmu."
Aku mengangguk dan menerima pil itu. Ini Pil Putih. Obat yang dikatakan Maya sebagai
obat khusus buatan Kazuto-sama kemarin malam. Aku langsung menenggak pil itu dan merasakan
rasa sakit di tubuhku berkurang dengan sangat cepat.
"Aku akan menyembuhkan yang lain." kata Aria sambil berdiri. Dia lalu berlari kearah
Duku, Lord, dan Stevan yang duduk sambil bersandar di dinding dengan wajah menahan sakit.
Dylan berada di dekatnya dan Aria menyuruh mereka semua meminum pil Putih.
"Sekitar setengah jam lagi, pesawat akan tiba di pantai pulau." Kata Rifan, "Kuharap, kalian
semua sudah sehat dan siap berlari ke pantai nanti."
"Tenang saja." kataku, "Aku dan yang lain pasti sudah pulih sekitar 10 menit lagi."
Dia tersenyum, dan pandangannya kini tertuju pada pertarungan Maya dan Jack. Kulihat
Jack sudah mulai kepayahan. Tubuhnya mengeluarkan darah. Begitu juga mulutnya.
"Kenapa?" "Kamu menyerangku dengan konsentrasi terpecah." Kata Maya, "Serangan yang kamu
arahkan padaku tidak akan ada gunanya. Sekarang, bersiaplah menerima semua yang kamu
lakukan pada mereka, dan juga padaku."
"Kita lihat saja!"
Mereka berdua kembali saling menyerang. Serangan mereka sama persis, dan nyaris tidak
terlihat oleh mata manusia biasa. Tapi, Maya lebih unggul. Aku bisa melihatnya.
"Selamat tinggal, Jack!"
Maya menyerang Jack dan berdiri membelakanginya ala samurai Jepang. Gerakan mereka
berdua berhenti. Aku tidak melihat siapa yang terluka dan yang tidak.
Tiba-tiba Maya jatuh tersungkur sambil memegangi perutnya. Darah mengalir dari luka
yang ada di perut Maya. "Maya!" Aria berlari kearah Maya. Tapi, dia tidak melihat Jack masih berdiri. Dan dia menarik
tangan Aria dan dengan cepat pedangnya menusuk Aria.
"Aaarrgghh?" "Aria! Jack, beraninya kau?"
Maya mengambil pedangnya dan menerjang Jack lagi. Jack tidak kelihatan akan mengelak.
Dia justru membiarkan Maya menyerangnya. Menusuknya dengan satu tusukan mematikan tepat
kearah jantung (mungkin, sih. Aku tidak melihat terlalu jelas). Maya mencabut pedangnya dan
membiarkan tubuh Jack yang benar-benar sudah mati, jatuh ke lantai.
"Aaarrgghh?" Maya meringis dan jatuh berlutut di dekat Aria yang pingsan.
"Kita harus menolong mereka." kataku.
Rifan-lah yang lebih dulu menghampiri mereka.
BAB 19 Semua Berakhir (Tapi, Tidak Semuanya)
Rifan"s Side Ketika Charles mengatakan kami harus membantu Maya dan Aria, aku sudah lebih dulu
menghampiri mereka. Mereka bersimbah darah. Maya yang lebih parah. Aria pingsan dan dari
perutnya keluar darah akibat tusukan pedang Jack.
"Kita" harus segera pergi" dari sini." kata Maya terengah-engah, "Be, berikan obat yang
ada di tangan Aria."
Aku menyerahkan botol obat di tangan Aria. Maya menyambarnya dan mengeluarkan tiga
butir pil sekaligus dan menenggaknya.
"Kau baik-baik saja?"
Dylan berdiri di sebelah Maya. Dia sudah pulih luka-lukanya, begitu juga Duke, Lord,
Stevan, dan Charles. Maya mengangguk. "Aku" aku baik-baik saja. Obat yang tadi kuminum menghentikan
pendarahanku. Ada yang punya perban dan antiseptic" Aku harus membalut lukaku, dan
kemudian luka Aria."
Duke mengeluarkan gulungan perban dan antiseptic. Maya mengambil semua itu dan
menyiramkan antiseptic itu ke lukanya.
"Urrhh?" Maya meringis sambil menggigit bibir bawahnya.
"Perlu kubantu?" tanyaku.
"Tidak perlu. Kalian obati luka Aria. Aku akan membalut lukaku terlebih dulu."
Aku mengambil botol antiseptic dari tangan Maya dan menyiramkannya kearah luka Aria.
Dia meringis kesakitan dan meremas tanganku. Kedua matanya terbuka.
"Jack?" katanya, "Dia" masih hidup."
Aku menoleh kearah Jack, dan benar, dia masih hidup.
"Astaga, tidak bisakah dia mati saja?" keluh Stevan di dekatku.
Jack bangkit duduk dengan susah payah. Matanya menatap tajam kearah kami walau sinar
matanya sudah sayu. "Kalian" kalian tidak akan bisa pergi dari sini." katanya gemetar.
Dia bangkit dan mengacungkan pedangnya.
"Ayo, bertarung denganku, tuan pahlawan. Kau belum bertarung denganku, kan" Aku
yakin, aku yang akan menang."
"Dalam mimpimu, Jack." Kataku, "Charles, obati Aria. Aku yang akan menghadapinya."
Charles menggantikanku mengobati luka Aria.
"Rifan" jangan?" Aria menggenggam tanganku dan menggeleng lemah, "Jangan?"
Aku menatap Aria dan tersenyum. Tiba-tiba aku ingat aku pernah mengalami hal ini,
ketika misi terakhir kami. Waktu itu perlu beberapa bulan untukku pulih setalah aku bertarung
dengan Jack di pulau Sleep Forest. Dulu, kupikir, aku tidak akan bisa bertemu Aria lagi.
Tapi, sekarang, aku tidak akan seperti itu. Kali ini, aku akan berada di sampingnya. Tanpa
berbulan-bulan berada jauh darinya.
"Tenang saja. Tidak akan seperti waktu itu lagi." gumamku. "Aku janji."
"Tapi?" "Tenang saja. Oke?"
Dia menatapku, kemudian mengangguk lemah. Dia melepas tangannya dan meringis
ketika sekali lagi cairan antiseptic membasahi lukanya. Maya yang melakukannya.
"Tahan Aria. Aku akan membalut lukamu." Ujarnya. Maya menoleh kearahku sebentar.
Wajahnya pucat karena kehilangan banyak darah, tapi, dia masih bisa bertahan.
Dia mengangguk kearahku, sebuah isyarat. Dan aku mengerti isyarat itu.
Aku maju ke depan Jack dan mengambil pedangku yang tergeletak di lantai.
"Ayo, kita selesaikan ini. Aku ingin cepat-cepat menghabisimu dan pergi dari sini." ujarku.
"Kau terlalu sombong. Kita lihat itu nanti."
"Kau sudah kepayahan. Terluka. Tidak ada gunanya kau menantangku sekarang." balasku.
"Aku tidak akan kalah darimu!"
Tiba-tiba dia menyerangku. Aku tidak melihat gerakannya tadi. Satu sabetan pedangnya
berhasil melukai bahuku. Sial. Tidak akan kubiarkan aku terluka lagi.
Aku bersalto ke samping dan mencoba menyerangnya dari arah kanan. Berhasil. Pedangku
berhasil melukai perut bagian kanannya. Dia memang sudah kepayahan karena pertarungannya
dengan Maya tadi. "Kau" brengsek!!"
Jack menyerang lagi. Kali ini, aku lebih siap. Kutangkis serangannya dan aku berputar,
menendangnya. Ia terjungkal ke belakang. Tubuhnya menghantam dinding dengan bunyi yang
cukup keras. Jack tidak bergerak. Tapi, aku tidak mengartikan tubuhnya yang tidak bergerak itu
bahwa dia sudah mati. Tidak. Dia belum mati. Aku bisa merasakan dia masih bernafas.
Aku akan melancarkan serangan terakhir. Aku teringat lagi kata-kata Maya bagaimana
mengalahkan Jack sebelum kami kemari.
"Rahasia mengalahkan Jack adalah : Serang dia di saat dia kepayahan. Kekuatannya sebagai
The Chronos Sapphire memang meningkat dengan pesat. Tapi, itu juga membuat konsentrasinya
terpecah. Karena itu, biarkan aku menjadi umpan, dan saat aku sudah membuatnya kepayahan,
kamu bisa menyerangnya dengan mudah, dan bisa membunuhnya." Kata Maya sambil tersenyum.
"Tapi, bagaimana jika ada kejadian tidak terduga?" tanyaku.
"Itu tidak masalah." Kata Maya, "Kalaupun ada kejadian tidak terduga, toh, konsentrasi
The Chronos Sapphire Ii Karya Angelia Putri di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Jack juga akan terpecah. Dan saat itu, kamu bisa menyerangnya."
Maya menatapku. Wajahnya kelihatan serius.
"Dan aku memintamu untuk membunuh Jack. Bukan permintaan sebagai The Chronos
Sapphire, tapi, sebagai orang yang ingin lepas dari bayang-bayang masa lalu yang mengerikan."
"Maksudmu?" "Kamu akan tahu." ujarnya tersenyum, "Kamu akan tahu nanti setelah kita berada di pulau
Red Zone. Tapi, yang pasti, serang dia di saat dia kepayahan, tepat di jantung. Itulah titik
kelemahannya." Aku mengambil nafas dan menghembuskannya. Aku berjalan kearah Jack yang terduduk
tidak bergerak. "Kita akan akhiri semuanya di sini." kataku sambil mengangkat pedangku.
Jack tidak menjawab. Sepertinya dia benar-benar sudah tidak bertenaga lagi. Namun, baru
saja aku akan menyerang jantungnya, dia tertawa. Keras, dan mengerikan. Membuatku dan yang
lain kaget. "Kalian tidak akan tahu bahaya apa yang akan mengincar kalian nantinya." Katanya
menyeringai, "Aku akan pastikan, orang lain yang akan membuat kalian menderita. Kalian semua!
Ingat saja itu!" Ancamannya membuatku merinding.
"Dan kau, tuan pahlawan," dia menoleh kearahku, "Tuan putrimu itu akan menderita
selamanya. Begitu juga Maya. Mereka berdua akan menderita. Dan aku pastikan, kau juga akan
ikut menderita." Aku tidak membiarkan dia berbicara lagi. kutusukkan pedangku kearah jantungnya, dan
sedetik kemudian, dia tidak bergerak. Aku mencabut pedangku dan memeriksa denyut nadinya.
Dia benar-benar sudah mati.
"Dia sudah mati." Kataku, "Dan sebaiknya, kita pergi dari sini secepatnya. 10 menit lagi
kita harus sudah berada di pesawat."
*** Sambil menggendong Aria, aku berlari menembus hutan pulau Red Zone. Dylan, serta yang lain
berada di belakangku. Dylan menggendong Maya karena dia masih terluka. Kami harus
menambah kecepatan lari kami agar bisa sampai di pantai tepat waktu.
Aku bisa melihat garis pantai. Dan aku juga melihat sebuah pesawat terparkir di sana. Pilot
yang kukenal melambaikan tangan kearah kami.
"Semuanya, cepat masuk. Pulau ini akan tenggelam!"
Aku mengerti. Aku juga sudah merasakan adanya getaran dari tanah yang kupijak. Ketika
kami semua sudah berada di dalam pesawat, sang pilot langsung masuk ke dalam ruang kokpit dan
menjalankan pesawat meninggalkan pulau Red Zone.
"Panggil petugas medis. Ada orang terluka!" kataku pada seorang pramugari yang
kelihatannya baru ikut serta dalam misi penyelamatan kami.
Dia mengangguk dan menyuruh kami menunggu.
"Ri" fan?"
Aku menoleh kearah Aria dan melihatnya membuka mata. "Kamu" kamu di" sini?"
"Iya. Aku di sini." kataku menggenggam tangannya. "Tahan sebentar. Aku akan
membaringkanmu." Aku merebahkan Aria di dekat Maya. Wajah mereka berdua pucat. Apakah racun Deathly
Sorrow Jack sudah menyebar di dalam tubuh mereka"
Ya Tuhan" semoga saja tidak.
"Mana petugas medis?" tanyaku.
"Aku akan mencari mereka." Charles berdiri dan berjalan ke dalam bagian dalam pesawat.
"Semuanya, lihat!"
Aku menoleh kearah Stevan yang menunjuk ke luar jendela. Kami semua menghampirinya
dan melihat kearah yang dia tunjuk. Kulihat pulau Red Zone meledak, dan terbagi menjadi
beberapa bagian kecil sebelum akhirnya tenggelam secara perlahan ke dasar laut. Asap yang
ditimbulkan oleh ledakannya membumbung tinggi ke udara.
"Jebakan X." kataku.
"Benar." Dylan mengangguk di sebelahku. "Dan Jack ada di sana. Bersama pulau Red
Zone." "Semoga saja dia tenang. Dan tidak mengganggu kita lagi." ujarku. "Aku lelah dia
mengganggu ketenangan hidup kita."
"Setuju." Sahut Lord.
Charles datang bersama pramugari tadi dan 4 orang petugas medis, yang segera memeriksa
Aria dan Maya. Aku melihat sekali lagi kearah asap yang membumbung tinggi.
"Tuan putrimu itu akan menderita selamanya. Begitu juga Maya. Mereka berdua akan
menderita. Dan aku pastikan, kau juga akan ikut menderita."
Kata-kata Jack terngiang di otakku. Ancamannya saat itu terdengar nyata. Dan aku benarbenar takut hal itu akan terjadi.
Tapi, aku tahu, tidak ada gunanya memikirkannya. Itu hanya gertakan kosong. Dan aku
harap, memang benar-benar gertakan kosong belaka.
Semoga saja" BAB 20 Semua Berakhir (Kali Ini Benar-Benar Berakhir)
Rifan"s Side Semua berakhir. Benar-benar berakhir.
Pesawat yang membawa kami sampai ke Dewan. Segera setelah turun dari pesawat, Aria
dan Maya langsung dibawa ke rumah sakit. Luka yang diakibatkan oleh Jack membuat mereka
kehilangan banyak darah dan mereka harus menerima donor darah. Yang jadi masalah, darah
kami semua tidak sama dengan manusia biasa dan tidak bisa menerima donor darah yang normal.
"Apa golongan darah mereka berdua?" tanya Dylan pada dokter yang menangani mereka.
"Golongan darah mereka unik. Siapa diantara kalian semua yang memiliki golongan darah
O+?" "O+?" "Golongan darah O+ tidak pernah ada sebelumnya." Ujar dokter, "Yang kami punya
hanyalah golongan darah A+ dan AB-. Itupun adalah darah manusia biasa."
"Biar aku yang mendonorkan darah." Ujarku. "Golongan darahku O+."
"Aku juga." Charles menyahut. "Aku juga bisa menjadi donor."
"Baiklah. Silakan ikut saya ke laboratorium untuk memeriksa darah kalian."
Aku dan Charles mengangguk. Kami segera mengikuti dokter menuju laboratorium.
Dokter mengambil darah kami cukup banyak karena kondisi Aria dan Maya benar-benar
drop dan memerlukan banyak donor darah.
Setengah jam kemudian, aku merasa kepalaku pusing dan berat badanku berkurang
setengahnya. Aku berbaring diam di atas dipan rumah sakit dengan satu tangan memegang dahi.
Kepalaku masih terasa pusing. Tapi, tidak apa. asalkan Aria, dan Maya selamat, itu sudah cukup.
Seorang suster datang menghampiriku dan meletakkan sebotol jus apel dan sepotong roti
di dekatku. Dia juga melakukan hal yang sama pada Charles.
"Makanlah. Ini akan mengurangi rasa pusing kalian." Ujarnya tersenyum, "Kedua pasien
sedang dalam operasi. Berdoalah semoga operasinya lancar."
Aku mengangguk dan duduk dengan hati-hati. Takut kepalaku semakin bertambah pusing.
Kuraih botol jus apel di dekatku dan meminum isinya sedikit. Memang rasa pusingku
sedikit menghilang. Tapi, ada satu rasa lain yang membuatku masih merasakan pusing. Perasaan
cemas, tepatnya. "Kurasa aku ingin keluar." kata Charles memakan rotinya sedikit, "Kau mau ikut?"
"Tidak. Kau duluan saja."
Charles berdiri dari dipannya dengan hati-hati, kemudian berjalan keluar, meninggalkanku
sendirian. Aku menghembuskan nafas. Ada sesuatu yang terasa menghimpit dadaku. Apakah
perasaan cemas itu sudah berubah menjadi rasa takut" kehilangan"
Astaga. Semoga tidak. Rifan" "Aria?" aku mendongak dan merasakan empatiku dengan Aria terhubung. "Aria" Kamu
baik-baik saja?" Rifan" Rifan" Suaranya lemah. Dan nyaris tidak bisa kudengar kalau saja aku tidak menajamkan
empatiku. Rifan" kemari" aku ingin kamu di sini"
Apa operasinya sudah selesai" Kenapa suara Aria terdengar lemah dan sakit"
"Rifan!" Pintu mendadak terbuka, dan Dylan serta Keiko masuk ke dalam. Mereka berdua
menghampiriku dengan wajah cemas.
"Apa" Ada apa?"
"Kamu harus ikut kami sekarang." kata Keiko, "Ayo."
"Ada masalah apa?" tanyaku, "Tolong katakan dulu apa masalahnya, dan setelah itu aku
baru bisa mengikuti kalian. Kepalaku masih sakit."
"Ini" Aria." Keiko menelan ludah. "Dari tadi dia memanggil namamu. Kondisinya benarbenar kritis dan dia nyaris tidak bisa bertahan. Dan dia terus memanggil namamu?"
"Aria dalam kondisi kritis?" rasanya ada sesuatu seperti serbuk kayu di tenggorokanku,
"Apa"bagaimana bisa?"
"Dia memanggil namamu, Rifan. Kurasa kamu harus menemaninya. Sekarang juga." Kata
Dylan menarik tanganku. *** Kami bertiga sampai di ruang operasi. Dokter yang tadi mengambil darahku untuk didonorkan
pada Aria berada di depan pintu dan sedang berbicara dengan Nyonya Haruka. Begitu melihat
kami mendekat, beliau menarik nafas lega.
"Syukurlah kau datang, nak." Kata Nyonya Haruka. "Masuklah ke dalam dan temani Aria.
Menurut dokter, kondisinya semakin kritis."
"Apa yang terjadi padanya?" tanyaku.
"Kami tidak tahu. Tiba-tiba saja dia kritis dan kami berusaha mencoba membuatnya tetap
dalam status normal." Kata Dokter, "Dan, dia dari tadi memanggil nama Rifan."
"Itu saya." "Kalau begitu, kamu bisa masuk. Mungkin dengan kamu ada di dekatnya, dia akan
merasakan kehidupan di dekatnya."
Perumpamaan yang bagus. Aku lalu mengikuti dokter itu masuk ke dalam ruang operasi.
Sebenarnya, aku ingin bertanya apakah orang lain selain dokter dan para suster boleh masuk ke
ruangan ini. Tapi, tentu saja. Aku tidak punya kesempatan untuk bertanya.
Dokter memberiku sebuah baju medis berwarna hijau dan aku segera mengenakannya
tanpa banyak bertanya. Beliau menyibakkan tirai yang ada di hadapan kami. Dan aku melihat
Aria. Wajahnya lebih pucat, dan dari dahinya mengalir keringat.
"Aria?" Aku mendekat kearahnya dan menggenggam tangannya. Tangannya begitu dingin. Nyaris
seperti tangan mayat" tunggu. Jangan memikirkan itu.
Rifan" Rifan" "Aku di sini. Aku akan menemanimu." Bisikku. "Jadi, tetaplah hidup. Aku mohon."
Rifan" Rifan" suaranya terdengar dalam otakku. Sangat jelas. Dan kedengaran lega.
Kurasakan tangan Aria yang kugenggam mulai menghangat, dan wajah Aria tidak lagi pucat.
Alat pemantau jantung di dekatku memperdengarkan bunyi detak jantung Aria dengan sebuah
garis hijau tidak beraturan yang tertera di layarnya.
"Kondisi pasien kembali normal. Segera lakukan pendonoran!"
Semua orang di ruangan itu sibuk. Aku terus menggenggam tangan Aria. Seulas senyum
samar tersungging di bibir tipisnya yang tertutup masker oksigen.
Jangan pergi" tetap di sini"
"Aku tidak akan kemana-mana." kataku, "Aku tidak akan meninggalkanmu. Apapun yang
terjadi." *** Operasi berjalan lancar. Aria dan Maya dipindahkan ke ruang rawat"bukan, tapi, ruang rawat
khusus. Aku sempat melihat plang nama ruang rawat ini, ruang Mawar. Kurasa tempat ini adalah
ruangan khusus para The Chronos Sapphire yang terluka seperti Aria dan Maya. Tempat tidur
mereka bersebelahan. Dan, entah kenapa, aku mulai merasa wajah mereka berdua kelihatan
mirip. Hanya saja, Maya adalah versi Barat dari Aria, dan Aria adalah versi Timur dari Maya.
Aku duduk di sebelah tempat tidur Aria. Selang infuse tertancap di pergelangan tangan
kanannya, yang sedang kupegang. Wajahnya tenang, seolah dia tidak dioperasi dan kelihatannya
hanya tidur biasa. Pintu terbuka, dan teman-temanku, serta Keiko, Kazuhi, dan Nyonya Haruka, serta
Ardelia Ainsworth, masuk ke dalam. Sebagian dari mereka mengerubungiku dan Aria. Sejenak
aku mengerutkan kening. Kenapa Kazuhi juga ada di sini" Dan" oh, aku lupa soal Keiko. Dan
Nyonya Haruka. Apakah mereka bertemu sebelum masuk ke sini dan kedua kakak Aria itu syok
mendapati ibu mereka ternyata masih hidup"
Tapi, anehnya, mereka tidak menunjukkan ekspresi terkejut atau" setidaknya, ada bekas
jalur air mata di pipi mereka. Semua itu tidak ada. Wajah Keiko dan Kazuhi bagai dipahat dari
batu. Terlihat datar, dan tidak menampakkan emosi apapun.
"Bagaimana keadaan Aria?" tanya Nyonya Haruka padaku, "Dia baik-baik saja, kan?"
"Seperti yang Anda lihat." Aku tersenyum.
"Syukurlah?" "Aku akan melihat keadaan Maya. Tidak keberatan jika tirai ini kututup?" tanya Ardelia.
"Haruka, kita harus memeriksa keadaannya."
"Tentu." Aku mengangguk.
Nyonya Haruka menghampiri Ardelia yang bergerak menutup tirai. Dan mereka berbicara
lirih dan nyaris tidak bisa kudengar.
"Aria kenapa" Dia baik-baik saja, kan?" tanya Kazuhi.
"Dia baik-baik saja. Sekarang sedang dalam masa pemulihan." Kataku.
"Sebenarnya apa yang terjadi" Aku baru sampai dari Boston ketika Keiko meneleponku
untuk segera pergi ke rumah sakit." kata Kazuhi, "Apa ini ada hubungannya dengan seseorang
bernama Jack?" "Dari mana kakak tahu?" tanya Charles.
"Hanya menebak. Aria pernah menyebut nama itu sambil menjerit ketakutan." Kazuhi
menoleh kearah Keiko, "Kau ingat saat Rifan tidak ada dan dia terbangun di tengah malam karena
mimpi buruk?" "Oh" jadi karena itu?"
"Sebenarnya apa yang kalian bicarakan?" tanyaku. "Tolong, dari kalian berdua, ada yang
bisa menjelaskan semuanya padaku?"
"Aria pernah bermimpi, Rifan." kata Keiko, "Dia pernah bermimpi kamu mati"
meninggal, bahasa sopannya"di tangan seseorang bernama Jack. Dia menyuruhku untuk
menghubungimu karena saat itu" errr" hubungan empati kalian tidak berjalan lancar. Dan dia
takut kamu kenapa-napa."
"Aria sempat tidak nafsu makan selama 3 hari karena mimpi itu. Kondisinya sebelum
konser waktu itu benar-benar drop. Dia hampir pingsan saat check-sound dan terkena tifus, dan
seharusnya, dia beristirahat selama seminggu. Tapi, dia nekat untuk tetap melaksanakan
konsernya. Dan?" "Cukup. Aku tidak mau mendengarnya lagi." kataku sambil tersenyum, "Tidak apa-apa.
Yang penting, sekarang Aria baik-baik saja. Iya, kan?"
Keiko hanya mengangguk. Dia menatap Aria, kemudian aku.
"Kurasa aku tahu kenapa Aria sangat takut kamu mati." Katanya, "Kamu orang yang baik."
Hah" Dia baru menyadarinya sekarang" Busyet"
"Ya" kurasa begitu." Kataku sambil tersenyum lagi.
*** Atas kesepakatan kami semua, kami akan mengadakan giliran jaga untuk menjaga Aria dan Maya.
Dua orang akan dipilih untuk menjaga mereka.
Aku dan Stevan mengajukan diri untuk giliran jaga pertama hari ini. Di samping aku tidak
ingin meninggalkan Aria sendirian, aku juga takut, kalau-kalau Jack, atau siapalah, yang memiliki
niat buruk terhadap kami, datang dan melakukan hal buruk pada kedua gadis itu.
Malam ini, aku duduk di sofa bersama Stevan sambil menyantap makan malam kami. Nasi
kare hangat dan sebotol teh hijau yang cukup untuk mengganjal perut. Aku juga menyiapkan
beberapa sachet kopi untuk jaga-jaga kalau kami ingin minum kopi nanti.
Beruntung sekali ruang rawat ini memiliki mesin dispenser air dan sebuah kompor listrik
ukuran mini. Jadi, kami hanya tinggal membeli makanan untuk dihangatkan jika kami juga lapar
tengah malam. Sekarang, sudah jam 12 malam. Stevan tertidur di sofa karena dia kelelahan. Yah"
semuanya, termasuk aku, juga kelelahan. Setelah bertarung di pulau Red Zone. Kami semua
menderita lelah yang cukup membuat kami tidur selama 3 hari tanpa terbangun.
Tapi, aku tidak berniat tidur, walau mataku sudah sangat mengantuk dan perlu
diistirahatkan selama" kurang-lebih, satu jam.
Aku duduk di kursi di sebelah tempat tidur Aria. Mengamatinya. Dia bahkan kelihatan
lebih cantik jika seperti ini (bukan berarti aku ingin melihatnya tidur untuk selamanya). Rambutnya
cantik, bulu matanya yang lentik, hidungnya yang sedikit mancung, dan semua tentang Aria, di
mataku selalu cantik. Oke. Aku tidak berniat menggombal. Tapi, itu memang kenyataannya.
Kurebahkan kepalaku di sisi tangan Aria. Rasanya aku perlu tidur. Mungkin 5 menit, atau
lebih. Mataku terasa berat, dan kepalaku mulai pusing. Kusarankan pada diri sendiri untuk tidur
sejenak. Lagipula, kalau ada bahaya mendekat, aku dan Stevan bisa terbangun dengan mudah hanya
suara sekecil apapun. Jadi, itu tidak masalah.
BAB 21 Terbangun Aria"s Side Putih. Itu adalah hal pertama yang kulihat. Semuanya serba putih.
Kepalaku sakit seperti dihantam palu puluhan ribu ton. Pandanganku agak kabur, tapi,
rasanya tidak terlalu kabur juga. Beberapa saat kemudian, mataku sudah bisa beradaptasi dengan
keadaan di sekitarku. Dan aku baru sadar, aku tidak lagi berada di koridor tempat Rifan dan yang lainnya
melawan Jack. Ini seperti" tempat ini seperti rumah sakit.
Aku benci rumah sakit. Bau obat-obatan dan segala hal yang berhubungan dengan medis
benar-benar membuatku mual dan ingin muntah.
Sayangnya, aku tidak dalam kondisi ingin muntah sekarang.
The Chronos Sapphire Ii Karya Angelia Putri di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kurasakan ada sesuatu yang menggenggam tanganku. Kulirik di sebelahku dan melihat
Rifan. Tidur dengan wajah menghadapku.
Seulas senyum tersungging di bibirku. Aku ingat, Rifan, dan yang lain, menyelamatkanku.
Lalu aku terluka, kemudian" apa, ya" Rasanya tadi aku merasakan Rifan pergi dariku. Aku
berusaha menggapainya, tapi, tidak bisa. Kupikir saat itu aku akan mati.
Tapi, kemudian Rifan kembali. Dia menggenggam tanganku. Memelukku. Menjagaku.
Rasanya hangat berada di dalam pelukannya walau sepertinya saat itu aku berada di ambang
kematian. Semuanya terasa nyata. Dan, jujur saja, aku benar-benar takut jika seandainya Rifan
benar-benar pergi dari sisiku.
Aku mencoba menggerakkan sebelah tanganku untuk mengelus rambutnya, tapi, tidak
bisa. Tanganku terlalu sakit, dan aku meringis pelan, lirih. Nyaris tidak terdengar.
Tapi, kelihatannya tidak bagi Rifan.
Ketika dia mendengar rintihanku, matanya terbuka, dan dia kaget melihatku sadar.
"Aria" Kamu sudah sadar?"
Aku hanya mengangguk lemah. Masih tidak bisa berbicara secara normal. Rasanya ada
yang menyumbat tenggorokanku dan membuatku tidak dapat bicara. Aku lalu menggunakan
kemampuan empatiku, mengatakan padanya kalau aku baik-baik saja sekarang.
"Syukurlah, kamu sudah sadar." Dia tersenyum dan membelai rambutku. "Aku pikir,
kamu akan tetap tidur seperti bayi sampai besok pagi."
Aku tidak tidur seperti bayi. Kataku padanya melalui empati.
Rifan nyengir mendengar gerutuanku. Dan perasaan berdesir ketika aku hilang ingatan
kembali lagi. Aku benar-benar merindukan segala hal yang berhubungan dengan Rifan selama aku
hilang ingatan dan dikurung oleh Jack.
Tunggu. Jack" apa dia"
Di mana" Jack" Dia tidak ada di sini, kan" tanyaku.
"Tidak. Dia sudah tidak akan mengganggu kita lagi. Dan kali ini, kupastikan, dia benarbenar tidak akan mengganggu kita lagi."
Aku mengangguk, lalu menghembuskan nafas. Rasanya lega, semua ini berakhir. Aku
memejamkan mata, dan merasakan genggaman Rifan di tanganku mengerat.
Apa" tanyaku sambil membuka mata.
"Tidak. Aku hanya tidak sadar, kamu tidak bicara secara langsung. Kenapa"
Tenggorokanmu sakit?"
Aku mengangguk. "Mau kuambilkan minum" Siapa tahu setelah ini kamu bisa berbicara lagi."
Aku mengangguk lagi. Dia berjalan kearah sofa di seberang tempat tidur yang kutempati
dan kembali dengan segelas air lengkap dengan sedotannya. Rifan membantuku duduk dan
menyodorkan sedotan kearah mulutku. Kuteguk beberapa tegukan air dan merasakan
tenggorokanku sedikit lebih baik.
"Terima" kasih?" kataku.
Rifan menaruh gelas itu di atas meja dan menatapku.
"Apa?" "Tidak. Aku hanya baru sadar, wajahmu masih agak pucat." katanya, "Kamu masih merasa
sakit" Pusing?"
"Tidak terlalu. Hanya tubuhku saja yang tidak bisa digerakkan secara leluasa." Jawabku,
"Tenang saja. aku akan segera sembuh, kan" Jadi, tidak masalah. Lagipula salah satu keuntungan
menjadi The Chronos Sapphire adalah kau bisa sembuh hanya dalam hitungan waktu."
Dia tersenyum dan menggenggam tanganku.
"Sudah kembali menjadi cerewet seperti biasa?"
"Tidak, tuh." Aku nyengir. Tapi, kemudian cengiranku lenyap, "Di mana Maya?"
"Di balik tirai hijau di sebelahmu." Kata Rifan menunjuk tirai di sisiku yang lain, "Dia
masih tidak sadarkan diri. Kau tahu tubuhnya lemah."
"Oh ya, aku baru sadar, ternyata Maya punya wujud manusia juga." Kataku, "Tapi,
bagaimana bisa dia masuk ke dalam hatiku dan menjadi" err" suara hati-ku" Kamu tahu?"
"Ceritanya panjang," Rifan tersenyum, "Tidak mengantuk?"
"Tidak. Kenapa" Kamu mengantuk, ya?"
"Sedikit." Dia menguap dan aku merasa ingin mencubit pipinya dengan gemas karena saat
dia seperti ini adalah salah satu bagian dari dirinya yang kusukai.
"Kalau begitu, tidur saja." kataku.
"Tidak perlu. Aku sudah tidak mengantuk lagi."
"Pembohong." Dia tertawa pelan, kemudian mencium pipiku. Rasanya ada sensasi hangat yang menjalar
dari ciumannya dan membuat pipiku memerah. Aku yakin, wajahku sudah kelihatan seperti tomat
rebus. Ya" kalian mungkin akan mengatakan "Kenapa masih seperti itu" Padahal kalian sudah
lama berpacaran, dan bahkan sudah bertunangan!".
Asal kalian tahu saja, ya. Aku masih suka gugup jika berduaan saja dengan Rifan. Bahkan,
ketika dia menciumku seperti ini, aku masih sering salah tingkah dan gugupnya standar tingkat 4.
Menurutku itu adalah suatu sikap yang bagus (aku tidak tahu pendapat kalian mengenai hal itu),
karena itu artinya, aku menjaga diri dari cowok yang bukan siapa-siapaku (walau Rifan sudah
menjadi siapa-siapaku). "Tuh, wajahmu seperti biasa, selalu merah." Rifan mencubit pipiku.
"Aih" apa-apaan, sih?" aku menepis tangannya dan tertawa.
Rasanya sudah lama aku tidak tertawa seperti ini. Ngomong-ngomong, berapa hari aku
sudah dikurung Jack" 4 hari" Seminggu" Atau sebulan"
"Boleh aku duduk di sini?" Rifan duduk di sebelahku di atas tempat tidur. "Aku perlu
bersandar sebentar. Menjagamu semalaman membuatku mengantuk."
"Kamu tadi bilang tidak mengantuk." Protesku. Yah" sebenarnya pura-pura protes.
Sebenarnya, dengan senang hati aku mengizinkannya bersandar di bahuku, atau tidur
bersamaku juga boleh (hei" jangan memikirkan hal yang tidak-tidak). Hihihi"
Rifan merebahkan kepalanya di bahuku dan memejamkan mata. Aku sendiri merebahkan
kepalaku di atas kepalanya. Rasanya damai" tenang" dan seperti tidak ada satupun yang bisa
mengganggu kami. Mendadak aku teringat kekuatan Jack yang kusegel dalam kalungku. Apa kekuatan itu
masih bisa kupakai setelah Jack merebutnya kembali"
Aku melihat kearah jam dinding yang berdetak. Kemudian menjentikkan jari. Tidak
nyaring, dan tidak terlalu pelan juga. Sedetik kemudian, jarum jam yang sedari tadi bergerak
berhenti. "Menggunakan kemampuan itu lagi?" tanya Rifan terkekeh.
"Aku hanya ingin punya waktu berdua denganmu." kataku, "Salah, ya?"
"Tidak. Aku baru saja ingin memintamu menggunakan kemampuan itu untuk kita
berdua." "Benarkah?" "Belah saja dadaku kalau tidak percaya."
"Huuu" gombal." aku menoyor kepala Rifan sambil tertawa dan dia menangkap tanganku.
Rifan lagi-lagi menatapku. Tangannya tidak melepaskan tanganku. Dan aku membalas
tatapannya. Mata hitam Rifan memantulkan bayanganku dan matanya itu terlihat seperti cermin.
"Boleh aku minta satu permintaan?" tanyanya.
"Kau selalu meminta permintaan, Rifan." kataku dengan nada sarkasme, "Sejak kita jadian,
kamu selalu meminta permintaan."
"Tapi, aku tidak meminta permintaan yang melanggar hukum, kan?" dia nyengir.
Aku mengerucutkan bibir, walau sebenarnya yang dikatakannya itu benar. Rifan sangat
menjagaku. Dia tidak pernah melakukan hal yang lebih dari sekadar pelukan ataupun ciuman.
Padahal, kalau cowok-cowok lain, yang pernah mendekatiku, mereka pasti sudah berpikiran
kemana-mana, dan membuatku menolak mereka mentah-mentah.
"Sepertinya aku harus membuat sesuatu agar kamu tidak selalu meminta permintaan
padaku. Mungkin semacam voucher atau semacamnya." Kataku setengah menggerutu. "Baiklah,
kamu ingin meminta apa?"
"Boleh aku menciummu?"
"Itu sudah sering kamu minta, dan seharusnya kamu tidak perlu meminta izin dulu."
Balasku. Dia hanya tersenyum manis. Kemudian bibirnya bergerak ke bibirku. Dan seperti yang
seharusnya kalian duga. Kami berciuman. Rifan merengkuh bahuku dan menarikku
mendekatinya. Kuletakkan tanganku di bahunya. Tanganku agak gemetar karena masih sakit.
Rifan memiringkan kepalanya dan sebelah tangannya memegang tengkukku. Kubiarkan dia
melakukan hal yang dia inginkan (selama tidak melanggar hukum dan tidak melanggar hakku
sebagai perempuan). Rifan melepaskan ciumannya dan menatapku dengan binar-binar jenaka pada bola
matanya. "Apa?" tanyaku.
"Boleh aku meminta satu permintaan lagi?"
"Ciuman saja tidak cukup?" godaku sambil tersenyum.
"Tidak." dia tersenyum lebar. "Tutup matamu sebentar."
"Untuk apa?" "Tutup saja matamu. Aku tidak akan melakukan apapun padamu, kok."
"Baiklah?" Aku menutup mataku. Kurasakan kedua tangan Rifan melingkari leherku dan
memasangkan sesuatu. Entah apa. Aku belum ingin tahu.
"Buka matamu sekarang."
Aku membuka mataku perlahan dan melihat senyuman lebar di wajah Rifan.
"Apa yang membuatmu tersenyum lebar seperti itu?"
"Perlu cermin untuk melihat?" katanya.
"Hah?"" "Sepertinya kamu perlu cermin, untuk melihat apa yang tadi kuberikan padamu."
Sebelum aku sempat menanyakan sesuatu padanya, dia mengambil cermin di dekatnya
dan mengarahkannya padaku. Aku melihat pantulan diriku sendiri di cermin. Dan menahan nafas
ketika kulihat selain kalung bulan sabitku, ada satu lagi kalung yang melingkar di leherku. Sebuah
liontin hati berwarna perak. Dengan inisial namaku dan Rifan di tengah-tengahnya.
"Apakah hadiah gelang saja tidak cukup?" kataku, "Kenapa harus kalung?"
"Karena kalau gelang, mungkin kamu tidak sengaja menjatuhkannya. Dan kalau cincin,
inisial nama kita tidak akan muat untuk ditulis di situ." Kata Rifan, "Jadi, kalung adalah pilihan
yang tepat, kan?" Aku menyentuh liontin itu dan melihatnya bersinar diterpa sinar lampu.
"Suka?" "Semua yang kamu berikan padaku selalu aku sukai." Kataku tersenyum lebar, "Tapi,
tidak dengan ular. Jangan pernah membawakan aku hadiah berupa ular."
Rifan tergelak. "Tidak akan. Aku tidak mau jadi sasaran amukanmu lagi seperti waktu itu." katanya.
Kurasakan waktu kembali berputar, dan jarum jam yang tadi terhenti kini bergerak sebagai
buktinya. Rifan menguap lagi. Sepertinya dia benar-benar sangat mengantuk.
"Perlu tidur" Kalau mau, temani aku tidur." kataku.
"Memangnya boleh" Kalau aku ketahuan kedua kakakmu kita tidur bersama?"
"Kau bisa bangun lebih dulu dan tidak bercerita kalau kita tidur bersama." Selaku,
"Ayolah. Dari tadi kamu menguap, dan matamu merah sekali."
Dia kelihatan ragu-ragu. Sikap ragu-ragu yang sengaja dibuatnya.
"Rifan" ayolah. Ini permintaanku yang pertama." kataku, "Selama ini, kamu yang selalu
meminta permintaan padaku. Sekarang, giliranku."
"Tak bisa dibantah. Mulai cerewet lagi." dia tersenyum lebar.
Tapi, dia akhirnya tidur di sebelahku. Wajahnya menghadapku. Cengiran lebar tidak lepas
dari wajahnya. "Terlalu sering tersenyum, kamu akan dikira orang gila, Rifan." kataku.
"Aku gila karena kamu, kok."
"Jangan menggombal lagi." aku melayangkan tatapan tajam padanya.
Dia mencium keningku dan memelukku. Memang agak sulit berpelukan dalam posisi tidur
seperti ini. Jadi, dia hanya meletakkan tangannya di bahuku dan nafasnya perlahan-lahan mulai
mengendur sebelum akhirnya tertidur pulas sebelum akhirnya aku juga tidur sambil dipeluk
olehnya. BAB 22 Kehidupan Normal (Kembali Lagi)
Charles"s Side Akhirnya, masalah yang ini akhirnya selesai juga!
Aku harus merayakannya dengan sesuatu. Mungkin dengan semacam pesta dan minum
soda dan makan keripik kentang sambil menonton TV.
Tapi, sayangnya, aku sedang tidak mood untuk melakukan itu.
Begitu sampai di apartemen, aku langsung merebahkan diri di atas kasur dan
menghembuskan nafas. Astaga. Lelah sekali. Rasanya tubuhku seperti rontok dan kelihatannya tulang-tulangku
lepas dari tempatnya. Semua selesai. Kami berhasil menyelamatkan Aria. Jack sudah tidak akan mengganggu lagi.
Selamanya. Aku gembira. Adakah yang bisa membuatku lebih gembira dari ini"
Aku mendengar sayup-sayup suara bel apartemenku. Aku mengerang. Siapa yang datang
ke rumahku malam-malam begini"
Dengan agak malas (dan juga mengantuk. Dan aku belum mandi), aku berjalan kearah
pintu dan menekan intercom-ku.
"Siapa?" tanyaku.
"Ini aku, Charles." Itu suara Rinoa.
Ya ampun" apa dia tidak tidur" Ini sudah larut malam!
Tapi, aku membukakan pintu untuknya. Rinoa masuk. Dia kelihatannya memang bersiapsiap ingin tidur, dilihat dari piyama biru muda yang dilapisi jaket tebal yang dikenakannya. Dia juga
hanya mengenakan sandal tidur berbentuk kepala Hello Kitty berwarna biru.
"Kamu tidak tidur?" tanyaku sambil menutup pintu.
"Tidak. Aku tidak bisa tidur sebelum kamu pulang." ujarnya sambil berjalan kearah ruang
tamu. Aku mengikutinya, dan melihat dia duduk di sofa sambil memperhatikan tas ransel serta
pistol dan pedangku yang ada di sebelahnya.
"Apa Aria baik-baik saja?" tanya Rinoa saat aku baru saja mengempaskan pantatku di sofa
di sebelahnya. "Dia baik-baik saja." kataku, "Malahan sekarang, mungkin dia sudah sadar dan sedang
berduaan dengan Rifan."
"Sistem penyembuhan kalian memang sangat cepat, ya?" tanyanya.
"Begitulah." Aku mengedikkan bahu, "Dan, kenapa kamu tidak tidur" Ini sudah larut.
Tidak baik jika tidur jam segini."
"Sudah kubilang aku tidak bisa tidur sebelum kamu dan yang lain pulang." dia tersenyum,
"Dan" aku ingin menagis sesuatu."
"Menagih apa?" tanyaku dengan wajah bego.
Hei. Serius. Aku tidak tahu dia ingin menagih apa. Lagipula, apa aku pernah berjanji
sesuatu pada Rinoa" Kalau iya, matilah aku karena tidak mengingatnya.
Rinoa kelihatannya tidak marah. Dia malah tersenyum semakin lebar.
"Kamu lupa" Atau pura-pura lupa?"
"Aku lupa." Kataku mengaku, "Memangnya aku ada janji sesuatu denganmu?"
Dia memutar bola matanya, tapi, senyuman tidak lepas dari wajahnya.
"Sekarang tanggal berapa?" tanyanya.
"Tanggal?" aku melirik kearah kalender. Kemudian kearah jam, "Ini sudah lewat tengah
malam tanggal 19. Jadi, sekarang tanggal 20."
"Sekarang bulan apa?"
"November." Jawabku. "Memangnya kenapa?"
"Melupakan sesuatu?"
"Apa?" "Kamu melupakannya, ya?" tanyanya. Kali ini wajahnya kelihatan ditekuk.
Aku berusaha mengingat-ingat. Walau sebagai The Chronos Sapphire aku bisa mengingat
segala sesuatu dengan mudah. Tapi, entah kenapa, soal yang satu ini malah membuatku tidak bisa
mengingatnya. Duh" apa yang kulupakan?"
Rinoa menghembuskan nafas dengan dramatis, kemudian berkata, "Hari ini ulang
tahunku." Katanya. "Apa" Oh" ya. Benar. Ulang tahunmu." Kataku dengan nada bersalah, "Maaf. Aku"
lupa." "Sudah kuduga." Katanya, "Kamu mungkin pintar dalam segala bidang. Tapi, urusan
mengingat hari ulang tahun pacarmu saja kamu tidak bisa."
Waduh. Suaranya terdengar marah.
Jangan marah, dong, pacarku sayang" aku, kan, lupa. Lagipula, seminggu ini aku
disibukkan dengan misi menyelamatkan Aria.
"Jangan ngambek begitu, dong" cantiknya nanti hilang, lho." Kataku.
Dia mengerucutkan bibirnya. Tanda dia sedang merasa kesal. Bagus" aku sudah
membuatnya marah. Dan aku benar-benar yakin, kalau aku akan mendengar kata "putus" dari
mulutnya. Oh, tidak" semoga tidak" apa jadinya aku tanpa Rinoa"
Maaf. Itu memang sedikit berlebihan. Tapi, itu memang benar. Aku dan Rinoa bisa
dibilang sama dalam berbagai hal. Semua kesukaan kami sama, apapun yang kami punya,
terkadang sama. Dan semuanya nyaris sama. Itu membuat kami makin lengket.
Duh" semoga bukan kata "putus". Kumohon"
"Aku tidak marah. Sudah kuduga kamu akan lupa hari ulang tahunku." Kata Rinoa,
"Karena itulah, aku menunggumu pulang. Dan aku ingin menagih sesuatu di hari ulang tahunku."
Pheeww" syukurlah. Bukan kata "putus".
"Baiklah" kamu ingin menagih apa" Asal bukan sesuatu yang tidak masuk akal dan
melanggar hukum." "Memangnya kamu pikir aku ingin minta apa?" tanyanya dengan nada sedikit tersinggung.
"Err?" aku tidak berani menjawab. Rasanya aku seperti suami yang sedang berhadapan
dengan istrinya yang sedang marah saja.
Jika pertengkaran antar cewek disebut Perang Dunia Ketiga, maka pertengkaran antar
pacar adalah Perang Dunia Keempat!
"Aku Cuma minta kamu menciumku. Itu salah?"
The Chronos Sapphire Ii Karya Angelia Putri di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Apa" Apa katanya tadi"
"Apa" Maaf. Aku tadi" melamun."
"Aku minta, kamu menciumku." Rinoa memperjelas ucapannya. "Ini permintaan pertama.
Nanti akan ada permintaan kedua. Dan ketiga."
Deuh" memangnya dia ingin meminta permintaan berapa banyak"
"Err" baiklah." kataku, "Kamu" ingin aku menciummu?"
Oke. Sebenarnya, aku sudah sering menciumnya. Tapi, itu karena aku duluan yang mulai.
Belum pernah Rinoa meminta lebih dulu.
Rinoa mengangguk. "Kalau kamu tidak siap. Nanti pagi saja." katanya sambil bergerak gelisah dan pipinya
mulai merona merah. Aku tahu. Dia malu. Walau tadi kata-katanya terdengar datar dan tanpa ekspresi bak
komandan militer yang sedang menyuarakan perintah pada bawahannya. Tapi, tetap saja. Dia
cewek. Dan cewek, kadang terlalu pemalu untuk meminta sesuatu pada pacarnya, semisal hal
ciuman seperti ini. Aku menatap Rinoa. Dia memang terlihat sangat gugup.
"Baiklah?" aku berdiri dan mendekat kearahnya. "Apa perlu kita mulai saja sekarang"
Dimulai dengan ucapan selamat ulang tahun, mungkin?"
"Te, terserah kamu saja." katanya.
"Oke." Aku tersenyum lebar, "Selamat ulang tahun."
"Terima kasih."
"Nah, hadiahnya?"
Aku mendekatkan wajahku padanya. Rinoa mematung, dan dia memang nyaris terlihat
seperti patung porselen dengan kulit putih susu dan rambut hitam yang digelung ke belakang.
Wajahku semakin dekat dengan wajahnya. Dan"
Ya ampun. Kenapa sekarang aku jadi gugup seperti ini" Biasanya tidak begini, deh.
Bibirku menyentuh sudut bibirnya dan dia tersentak kaget. Itu reaksi normal darinya yang
sering kuterima. Jadi, aku tidak kaget lagi.
Bibirku kali ini tepat berada di atas bibirnya. Aku memang tidak melakukan apa-apa.
Hanya menempelkan bibirku saja di atas bibirnya. Tapi, rasanya aneh. Menyenangkan. Dan juga
membuatku merasa beban di pundakku berkurang.
Bukan berarti aku tidak punya beban berat yang sedang kupikirkan.
Kuraih bahu Rinoa dan menariknya mendekat. Rinoa menurut dan membiarkanku
menciumnya lebih dalam. Dia sempat tersentak kaget, tapi, kemudian rileks dan menerima hadiah
pertamanya. "Kurasa sudah cukup." Katanya pelan setelah aku melepaskan bibirku darinya. Wajahnya
memerah dan kurasa aku ingin mencium pipinya. Serius.
"Baiklah. Apa permintaan keduamu?" tanyaku.
"Perminta"oh, ya. Benar." Dia mengangguk, "Biarkan aku tidur di sini malam ini."
"Apa"! Kamu tidak ingin" kamu tahu, kan?"
"Enak saja!" dia mendorongku dengan gaya main-main, "Aku hanya ingin ditemani
olehmu. Aku sedang takut tidur sendirian hari ini."
"Tapi?" "Aku yakin kamu tidak akan macam-macam." Katanya, "Aku percaya padamu."
Oke. Permintaannya yang kedua cukup membuatku kaget sekaget-kagetnya. Kukira dia
ingin apa. Ternyata" yah. Memang bukan hal seperti "itu" juga yang kuinginkan. Gila saja kalau
aku melakukannya! Aku masih punya akal sehat untuk itu.
"Baiklah. Permintaanmu yang ini akan kukabulkan, tuan putri." Kataku, "Lalu, permintaan
ketiga?" "Nanti saja." dia menguap. "Boleh aku tidur sekarang" Di bahumu?"
Aku tersenyum dan mengecup pipinya, "Tentu saja. Silakan. Aku juga sudah mengantuk."
Rinoa bergerak merebahkan kepalanya di bahuku, tapi, kemudian gerakannya terhenti.
Dan dia menatapku. "Apa?" "Sebaiknya kamu membersihkan diri dulu." Katanya sambil menahan senyum" geli"
"Kenapa?" "Baumu mengerikan." Dia tertawa, "Seperti bau naga saja. Kamu belum mandi, kan?"
Oh iya. Aku lupa soal itu.
"Baiklah" aku akan mandi. Apakah itu permintaan ketigamu?"
"Bukan." Dia menggeleng dengna senyum lebar di wajahnya. "Tapi, itu memang
kebutuhanmu. Sudah. Cepat sana mandi dan temani aku tidur!"
Aku hanya menggerutu panjang-pendek selama dia tertawa. Tapi, aku merasa senang.
Kehidupan normalku kembali lagi.
Aku rasa begitu sampai nanti kami akan menghadapi "misi" lagi.
BAB 23 Pulang Ke Rumah Rifan"s Side Nyonya Haruka dan Ardelia datang keesokan paginya. Untung saja aku sudah terbangun dan buruburu duduk di kursi tepat 10 detik sebelum mereka datang.
"Bagaimana keadaan Aria?" tanya Nyonya Haruka, "Dia pasti sudah sadar kemarin
malam, kan?" Aku mengangguk. "Bagus. Kalau begitu, urusan kami hanya dengan Maya."
Beliau lalu berjalan kearah tempat tidur Maya bersama Ardelia. Mereka menggumamkan
sesuatu yang tidak bisa kudengar. Beberapa menit kemudian, aku meliha tempat tidur Maya
didorong oleh Ardelia. "Kalian mau membawanya ke mana?" tanyaku.
"Dia akan tidur dalam incubator lagi." jawab Ardelia, "Kondisi fisiknya memang sudah
pulih. Tapi, Maya tidak bisa bertahan lebih lama di luar inkubatornya lebih dari satu minggu. Dia
harus memulihkan diri dalam inkubatornya."
"Kenapa harus berada di dalam inkubatornya?"
"Dia" system imunnya lemah. Dia tidak tahan dengan udara luar." kata Ardelia lagi.
"Kami harus segera pergi. Sampai bertemu lagi."
"Kapan dia akan bangun" Aku yakin, Aria ingin bertemu Maya dan berbicara dengannya
secara langsung." Nyonya Haruka menatapku, kemudian kearah Aria yang masih tidur.
"Maya akan tidur. Mungkin dia tidak akan membuka mata sampai 5 tahun lagi. Tergantung
dari kemampuan pemulihannya." Kata beliau, "Kemampuannya memang luar biasa, tapi,
kemampuan pemulihannya sangat lambat."
"Begitu?" aku manggut-manggut mengerti.
"Kalau Aria ingin berbicara dengan Maya, bawa saja dia ke Dewan." Kata Nyonya Haruka
lagi. "Kami pergi dulu."
"Baik." Mereka berdua mendorong tempat tidur Maya sambil berbisik pelan dan lirih. Ketika
pintu tertutup, aku melihat Stevan terbangun dari tidurnya sambil mengucek-ucek matanya seperti
anak kecil. "Hei, sudah berapa lama aku tidur?"
"Seperti bayi, adik kecil." Kataku terkekeh pelan.
Dia balas tersenyum lebar, kemudian senyumnya agak lenyap ketika melihat hanya satu
tempat tidur di ruangan itu.
"Di mana Maya?" tanyanya.
"Nyonya Haruka dan Ardelia membawanya kembali ke Dewan." Jawabku, "Dia harus
berada di incubator lagi. Kata beliau, system imun Maya lemah dan kemampuan pemulihannya
sebagai The Chronos Sapphire cukup lambat sehingga di harus berada di dalam inkubatornya
untuk pulih lagi." "Oh?" Stevan manggut-manggut. "Aku lapar. Kurasa aku akan pergi ke kantin rumah
sakit. Ingin titip sesuatu?"
"Belikan saja aku sarapan yang bisa kumakan berdua dengan Aria." kataku tersenyum
lebar. "Oh, seharusnya aku juga mencari pacar." gerutunya dengan nada main-main. "Tunggu
sebentar di sini. Akan kubelikan kau nasi bungkus dengan isi yang banyak. Tapi, ngomongngomong, memangnya Aria diperbolehkan makan makanan yang bukan dari rumah sakit?"
"Kantin rumah sakit, kan, termasuk bagian dari rumah sakit." kataku.
"Oke. Baiklah. Tapi, jika kondisi Aria tiba-tiba berubah buruk, jangan salahkan aku."
"Baiklah" cepat pergi sana dan belikan aku makanan, adik kecil. Aku lapar."
Dia meleletkan lidah sebelum akhirnya dia pergi keluar kamar. Tepat saat itu, Aria
terbangun. Dan matanya langsung bertemu dengan mataku.
"Hei," katanya pelan.
"Hai juga. Bagaimana tidurmu" Nyenyak?"
"Seperti bayi." Dia tertawa pelan, "Tadi, aku merasa mendengar percakapanmu dengan
Stevan. Ngomong-ngomong, di mana yang lain?"
"Stevan ada di sini bersamaku untuk menjagamu dan Maya." Kataku, "Tapi, sekarang,
Maya sedang berada dalam perjalanan ke Dewan. Nyonya Haruka bilang, dia harus berada di
inkubatornya agar bisa pulih dengan cepat."
"Oh?" dia manggut-manggut. "Sistem imunnya lemah, ya?"
"Dari mana kamu tahu?"
"Pertama kali dia muncul di otakku, wajahnya memang terlihat pucat dan tubuhnya seperti
berpendar." "Begitu?" "Aku ingin pulang." kata Aria, "Aku paling benci rumah sakit. Dan aku benci bau obatobatan."
"Bersabarlah. 2-3 hari lagi mungkin kamu akan bisa keluar dari rumah sakit." kataku.
"Aku bosan." "Baru semalam di rumah sakit, kamu sudah bosan."
"Aku memang cepat bosan." Dia menoleh padaku dan tersenyum tipis. "Aku bosan.
Benar-benar bosan." Aku mencubit pipinya pelan dan membuatnya tertawa.
"Tolong, jangan menggombal." Katanya saat aku hendak membuka mulut. "Aku tahu
kamu akan menggombal. Jadi, aku melarangmu untuk menggombal sekarang."
"Dasar?" "Aku lapar. Apa sekarang sudah waktunya sarapan?"
"Sebentar lagi Stevan akan datang dengan membawa makanan untuk kita." Kataku nyengir,
"Mau sikat gigi dulu" Rasanya tidak enak kalau aku mencium mulutmu yang belum sikat gigi."
"Ihh!! Dasar!" dia tergelak, "Baiklah" baiklah" ambilkan sikat dan pasta gigi, serta
baskom untukku." "Sesuai perintahmu."
Stevan datang bersamaan dengan teman-teman yang lain. Mereka semua membawa
makanan. Sepertinya mereka sudah janjian untuk sarapan bersama kami. Charles datang bersama
Rinoa, yang langsung memeluk Aria dengan erat.
"Rinoa" kalau kamu terus memelukku seperti ini, aku akan mati kehabisan nafas, lho."
Kata Aria. "Oh ya. Maaf." Dia tersenyum dan melepas pelukannya. "Kalian sudah makan" Kuharap
belum. Karena aku membuat sup krim jamur dan ayam untuk Aria dan juga kita semua."
"Aku suka sup krim jamur." Kata Duke, "Aku bawa Sandwich mentimun dan kalkun. Ada
yang mau?" Jadilah kami bertukar makanan dan makan sambil bercanda. Aku menyuapi Aria karena
tangannya masih lemah. Kami sempat digoda oleh Duke, Lord, dan Stevan. Memang diantara
kami, hanya mereka bertiga yang belum mempunyai pacar. Awas saja nanti kalau mereka punya
pacar. Saat itu, giliranku yang akan meledek mereka.
"Aku kenyang." Aria menolak suapan terakhir sup krim-nya sambil menggeleng. "Kamu
makan sendiri saja."
"Tinggal satu suapan terakhir." Kataku, "Ayo, buka mulutmu. Kalau tidak, aku akan
menyuruhmu makan lebih banyak lagi."
"Uh" baiklah?" dia membuka mulutnya dan aku memasukkan satu sendok terakhir sup
krim-nya. "Masakan buatan Rinoa sama enaknya dengan Kak Keiko sampai-sampai aku
kekenyangan." Katanya. "Rinoa, harusnya kamu jadi asisten pribadi Kak Keiko saja."
"Tidak. Terima kasih. Mengurus Charles saja sudah repot. Apalagi aku juga harus
mengurusmu." Rinoa tertawa, "Terima kasih atas tawarannya. Tapi, tidak."
Aria mencibir dan tertawa bersama Rinoa.
"Oh ya, ngomong-ngomong, di mana Maya?" tanya Dylan yang duduk di sebelahku.
Aku menjelaskan pada mereka seperti yang kukatakan pada Stevan dan Aria. Mereka
manggut-manggut mengerti.
"Mungkin itu alasan lainnya kenapa dia selalu berada di dalam incubator." Kata Lord
melahap satu sandwich kalkun dalam satu suapan.
"Kupikir juga begitu." Kataku, "Sebaiknya, kita tidak mengganggunya selama masa
pemulihan. Aku tidak mau dimarahi Nyonya Haruka karena kita beramai-ramai datang ke sana
hanya untuk menjenguk Maya."
"Mungkin dia akan menurunkan pangkatmu dari tunangan Aria menjadi teman Aria." kata
Stevan terkekeh. "Sialan kamu." Dia malah tertawa. Yah" aku menatap semua orang yang ada di sini. Kehidupan normal kembali lagi. Aku
merasa semua yang kemarin terjadi itu sudah lama sekali. Mungkin ini yang dimaksud oleh orangorang kalau waktu cepat sekali berlalu ketika kita bersama orang-orang yang kita sayangi.
Aku menatap Aria, dan dia menatapku balik. Seulas senyuma tipis tersungging di bibirnya
sebelum tiba-tiba tubuhnya ambruk ke kasur dan menumpahkan air dari gelas yang dipegangnya.
BAB 24 Sepertinya, Kondisiku Makin Parah
Aria"s Side Insiden aku jatuh pingsan ketika aku merasa benar-benar sehat membuat teman-temanku,
terutama Rifan, kaget dan cemas kuadrat. Tapi, untungnya, setelah itu aku baik-baik saja.
Akan tetapi, menurut dokter (dokter yang kumaksud adalah dokter yang hanya menangani
The Chronos Sapphire saja), kondisiku semakin bertambah buruk karena aku sempat terpisah
dari kalung bulan sabitku.
Dan" berita buruknya, mungkin umurku tidak akan lama lagi. Ingat, kan, soal
memulangkan Dylan dan yang lainnya saat mereka meninggal dan aku menghidupkan mereka
kembali dengan nyawaku sebagai taruhannya" Ya. Efeknya baru kurasakan sekarang.
Kondisi fisikku memang tidak mengalami perubahan. Secara fisik, aku sehat walafiat.
Tidak kelihatan bahwa aku akan meninggal. Tapi, kondisi fisik bagian dalamku-lah, yang benarbenar mengkhawatirkan.
Akibat vonis itu (kuanggap berita buruk itu sebagai vonis yang benar-benar membuatku
ingin mati saja sekarang), aku merasa" kehilangan semangat hidup. Bayangkan saja, aku hanya
akan bertahan hidup beberapa tahun, atau mungkin hanya beberapa bulan. Bagaimana aku tidak
kehilangan semangat hidup"
Kalian mengerti perasaanku seperti apa, kan"
Rasanya sakit. Dan juga menyiksa.
Akibat vonis itu (lagi), semua orang sepertinya menganggapku sebagai seorang penyakitan.
Bahkan Julia. Dia juga memperlakukanku seperti seorang penyakitan. Saat itu juga, aku
mengambek, dan tidak mau bertemu dengan orang lain selama beberapa minggu.
Tapi, karena Rifan, yang membujukku dengan seribu satu macam cara, aku akhirnya luluh
juga dan mau menemui semua orang. Hanya saja, aku menyuruh mereka tidak menganggapku
sebagai seorang penyakitan. Kukatakan pada Julia, kalau aku masih ingin berkarir sebagai
penyanyi, dan dia tidak menolak.
Kehidupan kembali berjalan normal setelah itu. Walau kadang aku pingsan mendadak,
yang untungnya, tidak pernah terjadi di setiap aku perform, show, dan mengisi acara di TV secara
on air ataupun off air. Aku sedikit bersyukur karena sepertinya tubuhku sepakat dengan otakku
kalau aku ingin menghabiskan waktu sebaik dan sebermanfaat mungkin.
Yah" asalkan Rifan juga ada di sisiku. Itu sudah cukup membuatku merasa lebih baik
ketika mengingat umurku tidak akan lama lagi.
*** Hari ini aku pergi ke Dewan untuk menemui Maya. Ibu mengizinkanku untuk menemuinya.
Beliau juga bilang, kalau Maya ingin menyampaikan sesuatu untukku. Aku berangkat ke Dewan
bersama Rifan dengan mobil yang dikendarainya. Hanya dalam waktu 30 menit, kami sampai di
Dewan. Rifan menuntunku ke ruangan tempat incubator isolasi Maya berada.
Ketika sampai di sana, aku melihat ibuku dan Ardelia berdiri di dekat incubator yang
kuduga adalah incubator Maya.
"Aku ingin bicara dengan Maya berdua saja." kataku. "Kalian" bisa memberi kami sedikit
privasi, kan?" "Tentu saja." kata ibu tersenyum. "Ayo, Ardelia, Rifan. Kita ke ruanganku saja. Aku punya
teh beraroma mawar dan kopi hangat."
Mereka lalu keluar, meninggalkanku. Aku menatap Maya yang tertidur di dalam incubator.
"Hei." sapaku. "Hai juga, Aria." ujarnya lewat telepati, "Wajahmu kelihatan pucat. Apakah karena?"
"Yah" kalau kamu tahu aku pingsan di rumah sakit karena usiaku tidak lama lagi.
Tebakanmu benar." Aku tersenyum dengan agak getir, mengingat umurku, aku rasanya ingin
menangis saja. "Menangis saja, Aria. Kalau kamu tidak sanggup menghadapi semuanya." Suara Maya
terdengar lembut. Persis seperti Kak Keiko ketika menemaniku tidur saat aku masih kecil.
"Boleh" kah" Aku rasa, aku tidak bisa menangis." Kataku, "Air mataku kering. Bisa aku
minta persediaan airmatamu?"
"Aku tidak punya persediaan. Tapi, kurasa, kamu tidak akan mati dalam waktu dekat."
"Aku juga merasakan hal itu." aku mengangguk, "Tapi, mengingat umurku yang tidak lama
lagi membuatku merasa seperti diterjunkan ke dalam jurang yang tidak berujung."
"Perumpamaan yang bagus." Suara Maya mengandung senyuman, "Tapi, ingatlah. Bukan
kamu yang akan meninggal lebih dulu. Tapi" aku. Aku yang akan meninggal lebih dulu."
"Jangan berkata begitu. Aku yakin, kamu juga akan tetap hidup." Balasku.
"Aku memang inginnya begitu. Tapi, aku tidak punya alasan lagi untuk hidup setelah"
Jack tidak ada." "Kamu masih menyayanginya?"
"Aku pasangan empatinya, Aria. Aku pernah melewati hari-hari penuh cinta dengannya.
Dan aku pernah bercengkerama dengannya."
"Bercengkerama" Maksudmu?"
"Tidak. Bukan bercengkerama seperti bayanganmu." Nada suara Maya terdengar geli
sekaligus tersinggung, "Aku masih punya akal sehat."
The Chronos Sapphire Ii Karya Angelia Putri di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Aku hanya nyengir. Kudengar Maya menghela nafas dalam kepalaku. "Aria, bisa aku meminta sesuatu
darimu?" "Apa" Kamu ingin aku melakukan apa?"
"Aku boleh memasukkan energy jiwaku padamu?"
"Apa" Apa maksudnya?"
"Aria, aku akan mati, tapi, energy jiwaku belum sepenuhnya mati." Katanya, "Kalau kamu
menerima energy jiwaku, usiamu mungkin akan bertahan lebih lama. Dan aku ingin, kamu
menerimanya, sebagai hadiah dariku. Hadiah terakhir."
"Maya, tolong jangan?"
"Aku serius. Kumohon, kabulkan permintaanku ini. Ya?"
"Apa aku punya alasan untuk menolak?"
"Tidak." Aku menghela nafas. Sepertinya aku tidak akan bisa membantah keinginan saudara
kembar biologisku ini. "Oke. Baiklah. Tapi" kalau kamu?"
"Aku memang berniat meninggal dengan tenang. Tapi, sebelumnya, aku ingin memberikan
energy jiwaku padamu, supaya kamu bisa hidup lebih lama."
"Kenapa aku harus punya saudara kembar yang pemaksa sepertimu?" aku pura-pura
menggerutu. "Permintaanku tidak dapat ditolak." Maya tertawa, "Aku juga sudah bicara dengan Haruka-
sama dan Tante Ardelia. Dan mereka setuju. Walau Tante Ardelia sempat menangis tadi. Tapi,
intinya, mereka setuju."
"Kamu juga setuju, kan?"
"Baiklah. Karena ini permintaanmu, dan aku tidak bisa menolaknya." Kataku, "Bagaimana
caranya kamu menyalurkan energy jiwamu padaku?"
"Letakkan saja tanganmu di atas kaca inkubatorku. Dan aku akan menyalurkan energiku."
Aku melakukan seperti yang dia suruh. Kuletakkan telapak tanganku ke atas kaca
inkubatornya. Kurasakan ada semacam energy menyerap masuk melalui tanganku dengan
perlahan, dan membuatku merasa lebih sehat daripada yang tadi.
"Selamat tinggal, Aria. Hiduplah dengan bahagia. Aku akan selalu bersamamu di dalam
hatimu." Itu kata terakhir yang kudengar dari Maya sebelum aku sendiri ambruk di dekat
inkubatornya. *** Aku terbangun di dalam pelukan Rifan. Dia menatapku dengan cemas.
"Apa" apa yang terjadi?" tanyaku sambil mengerang. Rasanya kepalaku masih sakit seperti
dihantam truk besar. "Kamu pingsan setelah Maya menyalurkan energy jiwanya padamu." Kata Rifan
membantuku duduk dengan posisi yang benar, "Kamu baik-baik saja?"
Aku mengangguk. "Maya?"
"Dia sudah tiada."
Aku menoleh kearah incubator dan melihat Ardelia menahan tangis. Ibu mengusap
punggungnya lembut. Aku rasa, Ardelia sudah menganggap Maya seperti anak sendiri, karena itu,
dia merasa kehilangan. Aku juga merasakan hal yang sama. Rasanya sebagian diriku ada yang pergi, tapi
tergantikan dengan sesuatu yang kuat.
Ibu menatap kearahku dan Rifan. Rifan mengangguk pada beliau. Sepertinya ibu
menyuruh Rifan untuk membawaku pergi sementara waktu.
Rifan membantuku berdiri. Tapi, kakiku terasa lemah. Aku merasa tidak sanggup berdiri.
"Kakimu sakit?"
"Sedikit. Tidak bisa berdiri tegak." Ujarku.
"Baiklah," Sebelah tangan Rifan menyelip diantara kedua kakiku dan tahu-tahu saja, aku sudah
berada dalam gendongannya. Aku terpekik dan menatapnya kaget.
"Rifan" Kenapa?"
"Kakimu sakit, kan" Tidak mungkin kamu bisa berjalan tanpa tersaruk-saruk seperti
karung beras." Katanya.
Aku memberengut dan dia nyengir melihat responku. Dia lalu membawaku keluar
ruangan. Kami ditatap para staff Dewan dengan pandangan penuh arti. Duh" rasanya aku malu
sekali. Tapi, mau bagaimana lagi" Kakiku lemah, dan entah kenapa, lidahku juga tidak mau
menuruti otakku untuk berkata aku bisa berjalan sendiri pada Rifan.
Jadi, aku hanya diam dan membiarkannya membawaku ke dalam sebuah ruangan yang
baru aku ingat, ini adalah ruang tunggu yang biasa kami pakai untuk bicara. Rifan mendudukkanku
di atas sofa dan mengambilkanku minuman.
"Terima kasih." Kataku sambil meminum sirup lemon yang disodorkannya padaku.
"Apa yang terjadi tadi" Aku hanya mendapat penjelasan singkat dari Nyonya Haruka."
Aku menelan ludah. Kemudian kuceritakan semua yang terjadi ketika aku berbicara
dengan Maya. Semuanya. Bahkan detil tentang penyaluran energy jiwa Maya padaku.
"Begitu" dia masih peduli dengan Jack." Gumam Rifan.
"Kamu tahu?" "Dia pernah menangis karena mencoba berempati dengan Jack, tapi, yang didapatnya
adalah rencana untuk membunuhnya." Kata Rifan, "Itu terjadi 6 hari sebelum kami
menyelamatkanmu. Mereka berdua pasangan empati."
"Mereka berdua pasangan empati juga?"
"Ya. Kita, dan juga mereka, adalah pasangan empati. Sama seperti ibu ayahmu."
"Apa?" "Nanti saja kujelaskan. Besok pagi." katanya.
"Baiklah?" Aku meminum minumanku lagi dan merasakan sakit kepalaku berkurang.
"Aria," Rifan menggenggam tanganku dan matanya menatap tepat ke mataku. Duh" lagi-lagi
tatapan ini. Tatapan yang bisa membuatku seakan menjadi patung sekaligus meleleh dalam waktu
bersamaan. "Ya?" "Kalau energy jiwa Maya sudah tersalurkan padamu, itu artinya, kamu masih punya
harapan hidup lebih lama, kan?"
Aku mengangguk mengiyakan pertanyaannya.
Rifan kelihatan gugup. Sangat jelas terlihat dari caranya memegang tanganku. Aku bisa
merasakan kegugupannya. "Kenapa kamu terlihat gugup, Rifan?"
"Aku hanya?" dia berdeham sebentar, "Aku hanya mencoba?"
Tapi, aku tidak mendengar perkataannya. Aku bisa mengetahui dengan mudah apa yang
ingin dikatakannya. Dan aku tersentak. Nyaris melompat dari sofa yang kududuki.
"Err" Rifan?"
"Kamu membaca pikiranku?"
Aku mengangguk. Aku yak in, wajahku sudah memerah seperti kepiting rebus. Aku
membaca pikirannya. Ya. Dan aku tidak sanggup berkata-kata. Ck. Kenapa sepertinya aku mudah
sekali gugup, kaget, dan tersentak seperti tadi"
Rifan tersenyum lebar dan menyuruhku duduk lagi. Aku menurut. Dia menggenggam
tanganku lagi. Dan kali ini, aku benar-benar tidak bisa berpaling dari bola matanya.
"Rifan?" "Aria," dia menyebut namaku dengan nada suara yang membuatku merinding. Tapi,
bukan merinding karena takut.
"I, iya?" "Bagaimana kalau 3 tahun lagi kita menikah?"
Aku yakin, aku bakal pingsan ketika dia mengatakan itu.
BAB 25 Aku Mengatakannya. Akhirnya"
Rifan"s Side "Bagaimana kalau 3 tahun lagi kita menikah?"
Aku melihat mata Aria melebar dan mulutnya membuka. Dia kaget, tentu saja. Tapi,
kalimat itu sudah kukatakan. Dan aku tidak bisa menariknya lagi.
"Me, menikah?" dia bertanya dengan suara kecil, "Tapi" tapi, kita masih?"
"Karena itu, aku bilang 3 tahun lagi. Tepat setelah kita lulus dan mendapat pekerjaan
sendiri," aku terdiam, "Tapi, kamu penyanyi. Itu juga pekerjaan. Oke, kuganti kalimatku, 3 tahun
itu tepat setelah kamu lulus kuliah, dan aku sudah mendapat pekerjaan."
"Tapi" tapi, pernikahan itu, kan?" dia bergerak gelisah.
Aku tahu. Semua orang memang menginginkan pernikahan. Tapi, tidak urung, biasanya
mereka juga merasa takut dengan pertalian pernikahan. Mengucapkan janji sehidup-semati,
bersama-sama selamanya. Kadang itu membuat orang gugup, atau bahkan takut.
Mungkin Aria gugup, tapi aku juga tidak yakin apakah ada rasa takut tentang pernikahan
darinya. "Tapi" kamu belum bilang pada ibu, Kak Keiko, dan Kak Kazuhi." katanya, "Kalau
mereka tidak setuju kita menikah?"
"Kalau begitu, untuk apa kita tunangan."
Aria tersentak kaget. "Bu, bukan itu, maksudku" aku?"
"Kenapa" Kamu takut?"
"Bukan itu juga!"
"Lalu, kenapa?"
Aria menunduk. Tangannya yang berada di dalam genggamanku gemetar.
"Rifan, dokter sudah bilang kalau waktuku tidak akan lama lagi. Walau Maya menyalurkan
energy jiwanya padaku, aku tidak yakin aku akan bertahan hidup lama. Aku" aku takut kalau aku
meninggal, aku" aku tidak" aku tidak sanggup."
"Aria, jangan bilang begitu."
"Kalau aku meninggal lebih cepat, bagaimana" Dan saat itu, kita sudah menikah, dan aku
belum sempat membahagiakanmu. Aku tidak mau itu terjadi, Rifan. Aku tidak ma?"
Aku memegang kedua bahunya dan meremasnya. Aria berjengit, matanya menatapku
dengan berkaca-kaca. "Aria, aku tidak akan menyesal seandainya kamu meninggal lebih cepat sebelu
membahagiakan aku." kataku, "Lagipula, semua yang sudah kita jalani bersama itu sudah
membuatku bahagia. Dan kebahagiaanku akan bertambah jika kamu mau menikah denganku."
"Tapi" tapi" aku tidak?"
"Aria?" Sekali lagi aku meremas bahunya, dan wajah Aria mendongak menatapku.
"Rifan, kalau aku benar-benar meninggal, aku?" isakan melompat dari tenggorokannya.
Aku tidak suka melihatnya menangis. Aku tidak mau melihatnya menangis. Kuhapus
airmata yang mengalir di pipinya.
"Aria, tidak apa-apa." kataku sambil tersenyum. "Aku tidak meminta jawaban sekarang.
Tapi, aku memberimu batas waktu sampai 3 tahun lagi. Kamu boleh berpikir dulu tentang
semuanya. Tapi, ingatlah, aku akan menunggu jawabanmu."
"T, tapi" Rifan?"
"Sst." Aku menekan jari telunjukku di bibirnya, "Tidak perlu bicara. Nanti saja kamu
mengatakannya." "Manusia hanya bisa menerka apa yang akan terjadi nanti di masa depan mereka." kataku
lagi, "Mungkin dokter memvonismu akan meninggal beberapa tahun lagi. Tapi, itu hanyalah
perkiraan. Dan kita hanya bisa percaya, kalau masih ada hari esok. Jika kamu percaya, kamu akan
merasa kuat, merasa sehat. Aku yakin itu."
Aria menatapku. Sekali lagi, airmata bergulir di pipinya.
"Jadi, jangan menangis. Dan aku akan menunggu jawabanmu." Kataku.
Aria menunduk. Aku bisa merasakan pipinya memanas walau tidak menyentuhnya.
"Kamu" kamu akan menunggu?" tanyanya.
"Ya. Sampai 3 tahun lagi." jawabku. "Aku akan menunggunya. Jadi, kamu punya banyak
waktu untuk berpikir."
Dia mengangguk pelan. "Nah, sebagai permulaannya, bagaimana kalau aku meminta permintaan darimu?"
"Permintaan apa?" dia mendongakkan wajahnya.
Aku nyengir dan mencium sudut bibirnya. Dia terkesiap sebentar dan tubuhnya agak
menegang. "Boleh tidak, malam ini, aku berduaan saja denganmu" Candle light dinner?" kataku.
"Itu ajakan kencan, atau ada maksud lain di baliknya?" tanyanya balik sambil tersenyum
kaku. "Kalau kamu menganggap ada sesuatu yang lain dari permintaanku, terserah saja." aku
nyengir, "Asal kamu tidak memikirkan hal-hal yang melanggar batas hukum."
Dia tertawa. Dan seketika, cair sudah suasana aneh yang menyelimuti kami.
"Kurasa aku punya ide yang lebih bagus." Ujarnya, "Mala mini, jam 7 di rumahku. Jangan
sampai telat." "Kamu akan memasak?"
"Lihat saja nanti." Dia tersenyum dan melingkarkan lengannya di leherku, "Katanya kamu
mau bersamaku malam ini, kan?"
Dia menyandarkan kepalanya di bahuku, aku balas memeluknya.
Yah" apapun yang dipikirkannya, asal yang jangan melanggar hukum, aku terima saja.
EPILOG Rifan"s Side 3 tahun kemudian" "Aku menerima Aria Shiroyuki sebagai istriku. Aku akan menjaganya dalam suka maupun duka,
senang maupun sedih, dan aku akan menjaganya apapun yang terjadi."
Suaraku mengakhiri janji sumpah setia sebagai suami-istri. Semua orang yang diundang,
termasuk The Chronos Sapphire, berdiri dan bertepuk tangan. Aku hanya tersenyum lebar pada
mereka (terutama Charles. Berkat dia juga pesta pernikahan ini terlaksana dengan sangat lancar).
Kemudian pandanganku teralih pada Aria yang berdiri di sebelahku dengan mengenakan gaun
pengantin putih yang paling cantik yang pernah kulihat. Model gaunnya memang simple, tapi, gaun
itu terasa sangat pas di tubuh Aria yang tinggi langsing (walau dia masih kalah tinggi dibandingkan
aku). Pendeta yang menjadi pemimpin upacara pernikahan ini tersenyum, "Kalau begitu,
kunyatakan kalian sebagai suami-istri."
Kubuka tudung pengantin Aria dan melihat wajahnya berseri-seri.
"Sekarang, silakan bertukar cincin, maka upacara ini akan sah."
Aku mengambil cincin dari tangan Aria dan memakaikannya di jari manis tangan
kanannya. Dia lalu melakukan hal itu juga dengan cincin yang ada di tanganku.
Rasanya aula gedung yang digunakan untuk pesta ini akan runtuh akibat banyaknya tepuk
tangan dan teriakan riuh dari para undangan.
Aku memegang tangan Aria, dan melihat wajahnya makin berseri.
"Sudah, kan" Tidak sesulit bayanganmu, kan?" tanyaku berbisik padanya.
Dia tersenyum dan merangkulku. Langsung saja aku mendengar jepretan kamera dari para
wartawan dan juga para fans Aria yang ikut upacara ini.
Acara berganti dengan" apa istilahnya" Makan-makan" Mungkin itu istilah yang cukup
tepat. Aku dan Aria berkeliling dan mendapat ucapan selamat dari teman-teman Aria, dan juga
teman-temanku. Aku sempat melirik Dylan yang sedang bersama Keiko dan juga anak pertama
mereka, sedang melambai kearahku. Charles dan yang lainnya sedang asyik berlomba makan
cepat. Rinoa, pacar Charles, menghampiri kami dan memberi selamat. Dia merapkian tudung
pengantin Aria dan tersenyum lebar.
"Semoga kalian bahagia." Ujarnya.
"Terima kasih, Rinoa." Aria memeluknya, "Bagaimana hubunganmu dengan Charles?"
"Seperti biasa." Rinoa tersenyum, "Dia masih saja menggoda cewek-cewek."
"Pastikan dia tidak lepas dari ikatannya." Kata Aria sambil terkikik.
"Itu pasti." Rinoa ikut terkikik bersama Aria, "Rifan, jaga sahabatku ini baik-baik. Kalau
tidak, awas saja. Kamu tidak hanya berurusan dengan keluarganya saja. Tapi, juga denganku."
"Apakah kamu harus mengatakannya?" kataku pura-pura menggerutu.
Dia tertawa lagi dan kemudian pamit untuk melihat keadaan Charles yang kelihatannya
kalam lomba makan cepat. "Rifan," Aku menoleh kearah Aria dan melihat wajahnya agak pucat. Aneh. Tadi wajahnya sama
sekali tidak terlihat pucat.
"Kapan acaranya selesai?" tanyanya.
"Sebentar lagi. Kenapa" Kamu sakit?"
Aria menggeleng. Wajahnya yang pucat agak berseri lagi. Hal ini memang sering terjadi
setahun terakhir. Aku tidak tahu apakah itu karena umurnya yang tidak lama lagi, atau karena hal
lain. "Aku ingin duduk. Kamu tidak keberatan, kan?"
"Boleh saja. Tapi?" aku melirik buket bunga mawar putih di tangannya, "Kurasa
sebaiknya kamu melempar bunga itu dulu."
Dia melihat kearah buket bunga di tangannya dan menghembuskan nafas. "Kurasa kamu
benar." Kami berdua kembali kearah panggung yang tadi dijadikan tempat kami melaksanakan
acara "sumpah janji setia sehidup-semati" (nama yang cukup berlebihan. Tapi, memang itu
kenyataannya). Kutuntun dia sampai kami mendapat perhatian dari para undangan. Dan, seperti
yang sudah kuduga, para wanita berkumpul untuk mendapat lemparan buket bunga dari pengantin
wanita. Yah" itu memang sudah seperti tradisi dan tidak bisa diubah.
"Baiklah" sepertinya sekarang adalah saatnya melempar buket, ya?" MC yang tadi
membawakan acara muncul di panggung. "Nona Aria, Anda siap?"
Aria tersenyum dan mengangguk. Dia lalu berbalik dan menghela nafas sebelum
mengangkat buket bunga keatas kepalanya dan melempar tanpa tahu arah.
Aku melihat buket itu melayang di udara, sebelum akhirnya mendarat di pelukan" Rinoa!
"Yak, nona bergaun hijau tua yang mendapatkannya!" seru si MC riang, "Selamat, Nona?"
Aria menoleh kearah penonton dan tersenyum girang ketika melihat Rinoa yang masih
terbengong-bengong mendapati Rinoa yang berhasil menangkap buket bunganya. Aku mendekati
The Chronos Sapphire Ii Karya Angelia Putri di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Aria, sepertinya aku tahu kenapa senyumnya lebih lebar kali ini.
"Kamu menggunakan telekinesismu, ya?" bisikku.
"Kalau tidak begitu, Rinoa tidak akan punya kesempatan untuk memaksa Charles menikah
dengannya." Aria tersenyum jahil. "Aku ingin melihat, apakah Charles bisa."
Aku ikut tersenyum lebar dan memeluknya. Rinoa menoleh kearah Charles yang bengong
dengan sukses sampai daging panggang yang ada di mulutnya nyaris keluar.
Yup. Kalau kalian ingin tahu, aku sudah menikah dengan Aria. Cerita lengkapnya, aku
tidak akan memberitahu. Tapi, 5 bulan yang lalu, saat kami kencan, dan aku menanyakan lagi apa
jawabannya atas lamaranku, dia mengangguk dan setuju. Bayangkan saja perasaanku waktu itu.
Tentu saja. Aku senang bukan kepalang.
Aku langsung menghubungi Nyonya Haruka, Keiko, dan Kazuhi untuk membicarakan hal
ini. Dan syukurlah, mereka setuju. Apalagi Kazuhi. Dia sudah menerimaku dan mau menerimaku
sebagai adik ipar (bersorak 3 kali untuk diriku. Hip-hip, hore").
Persiapan pesta pernikahan ini, aku dan Aria yang merancang. Jadi, jangan heran kalau di
aula yang dijadikan tempat resepsi pernikahan kami hanya untuk para undangan saja. Soalnya,
penggemar Aria (yang kebanyakan adalah laki-laki), bisa-bisa memaksa merangsek masuk dan
membuat kacau suasana. "Hei," Aku menoleh kearah Aria, "Apa?"
"Setelah ini, kita akan ke mana?" tanyanya sambil tersenyum, "Tidak mungkin kita akan di
sini saja, kan?" Aku tersenyum lebar dan mengecup pipinya, "Itu akan menjadi kejutan. Kamu siap?"
"Rasanya aku pernah mendengar kata-kata itu." senyum Aria makin lebar, "Aku selalu
siap." "Boleh aku minta permintaan?"
"Selalu, deh?" Aku menggelitiki pipinya, "Ini hal yang wajar, kan" Aku boleh menciummu?"
"Bukannya aku sudah resmi menjadi istrimu" Berarti tidak perlu minta permintaan lagi,
kan?" Kami berdua tersenyum. Setelah memastikan tidak ada yang melihat, kami berciuman.
Ciuman pertama kami sebagai suami istri.
"I love you, Aria." bisikku sebelum mencium bibirnya.
Dia tersenyum dan memejamkan mata, menerima ciuman lembutku di bibirnya.
THE END OF STORY Sepasang Pedang Iblis 1 Pendekar Mabuk 039 Pisau Tanduk Hantu Pemanah Sakti Bertangan Seribu 3
Aku memercayai kata-katanya dan mengangguk pelan. Suaranya lalu menghilang dari
kepalaku. Aku bisa merasakannya.
Aku menoleh kearah jendela kaca. Langit sudah gelap. Matahari terbenam yang
seharusnya terlihat indah di mata orang-orang, sekarang terlihat"
Pintu kamar dibuka secara tiba-tiba dan membuatku terkejut.
Jack masuk ke dalam dengan mengenakan pakaian yang berbeda dari yang biasa ia
kenakan. Di tangannya dia memegang sebilah pisau pendek seperti pedang kecil. Di sebelah
tangannya yang lain, dia memegang sebuah suntikan yang meneteskan cairan yang aku tidak tahu
apa itu. "M, mau apa kamu?" tanyaku, beringsut mundur.
"Jangan banyak tanya, dan biarkan aku memasukkan ini ke dalam tubuhmu."
Jack membuang pedangnya ke lantai dan menarik tanganku dengan kasar.
"Jangan!" Jack mendekatkan jarum suntik itu ke pergelangan tanganku. Aku meringis sakit ketika
jarum itu menembus kulitku dan kurasakan cairan di dalam suntikan itu masuk ke dalam tubuhku.
Kurasa aku tidak punya tenaga untuk memberontak. Aku tidak yakin bisa mendorongnya
menjauh dariku atau sekedar menamparnya. Semua itu tidak bisa kulakukan. Mendadak saja
tubuhku lemas. Jack melepaskan jarum suntik itu dan merebahkanku yang sudah lemah. Mataku setengah
tertutup. Sepertinya yang dia masukkan tadi adalah obat tidur, atau sesuatu yang lain. Karena selain
rasa mengantuk yang sangat, aku juga merasa tubuhku tidak bisa digerakkan.
"Kubiarkan kamu tetap hidup sampai besok pagi." ujar Jack di telingaku, "Akan kubiarkan
kamu di sini, menjadi putri tidur sampai Rifan datang. Aku ingin lihat, apa yang akan dilakukannya
ketika kekasihnya hampir mati besok."
Hampir mati" Apa yang dimasukkannya ke dalam tubuhku"
"Apa" yang?" lidahku kelu dan tenggorokanku juga terasa kering. Aku jadi tidak bisa
berbicara dengan jelas. Jack tersenyum dengan sebelah bibir, dan itu membuatku merinding. Seolah semua yang
jahat pada dirinya terlihat dalam satu senyuman itu.
"Tetap diam. Dan jika Rifan menemuimu, kuberikan kamu saran."
Wajahnya mendekat kearahku dan aku menahan nafas.
"Sebaiknya, kamu mati saat itu juga."
BAB 14 Ruang Kontrol Red Zone Rifan"s Side "Di sini, kita akan beristirahat di sini."
Maya menunjuk sebuah pintu baja di dekatnya dan membukanya. Ruangan itu gelap. Dan
kelihatannya" berdebu.
Maya meraba dinding di sebelah pintu dan menekan sesuatu yang aku rasa adalah saklar
lampu. Ruangan ini langsung diterangi sinar putih. Dan tepat sesuai perkiraanku. Tempat ini
cukup" kotor. Tapi, jauh dari kesan berdebu dan sarang laba-labar. Ruangan ini kelihatan bersih.
Hanya ada beberapa benda yang terlihat menjadi sarang laba-laba.
Dugaanku, seseorang pernah berada di tempat ini, baru-baru ini.
"Ada orang di sini." kata Maya.
"Sepertinya tidak ada orang." Ujar Lord.
"Tidak. Tempat ini agak bersih. Jauh dari kesan kotor." Maya menggelengkan kepalanya,
"Seseorang pernah berada di sini. Aku tidak yakin apakah Jack, atau orang lain."
"Bagaimana kamu bisa menebaknya?" tanya Charles yang berdiri di sebelahku.
"Aku dulu sering berada di sini. Dan aku juga tahu setiap ruangan yang ada di pulau ini
selalu dibersihkan oleh sekelompok petugas kebersihan. Karena itu, aku cukup tahu bahwa
ruangan ini setidaknya pernah dihuni sebelum kita datang ke sini karena tempatnya cukup bersih."
Charles manggut-manggut mengerti.
"Lalu, apa kita akan istirahat di sini?" tanyaku.
Maya mengangguk, "Tenang saja. Aku tidak merasakan ada kehadiran seseorang di sini."
katanya sambil tersenyum, "Kalian beristirahat saja. Sementara aku pergi ke ruang control."
"Ruang control" Di sini ada ruang control?" tanya Stevan sambil duduk dan bersandar di
dinding. "Tentu. Sekitar 4 meter dari ruangan ini. Aku hafal setiap inci pulau ini." dia tersenyum
lebar, "Itulah gunanya berada di pulau ini selama 4 tahun."
Dia lalu keluar. Dan entah kenapa, aku merasa aku perlu mengikutinya.
"Charles, aku akan pergi keluar sebentar." Kataku sambil meletakkan ranselku di dekat
ranselnya. "Kau mau ke mana" Oh ya, apa kau sudah mencoba bertelepati dengan Aria?"
"Sudah. Dia merespon." kataku dengan nada merenung, "Dan dia menunggu kita untuk
segera datang." *** Maya sepertinya tidak tahu aku mengikutinya.
Aku mengikutinya yang sedang berjalan pelan sambil melihat ke sekeliling dinding koridor
sempit yang kami lewati. Aku berusaha menjaga jarak darinya.
Maya masuk ke balik sebuah pintu di ujung koridor yang berbelok ke kanan. Aku
mengikutinya, tapi, tidak ikut masuk ke dalam. Aku berdiri di dekat pintu. Syukurlah pintunya
tidak dikunci dan ada sedikit celah untukku melihat ke dalam.
Maya sedang mengutak-atik panel di depan puluhan monitor yang menyala. Entahlah,
apakah dia sudah menyalakan monitornya terlebih dulu, atau monitor itu memang sudah menyala
sedari tadi. Maya menekan beberapa tombol. Dan dia melihat kearah sebuah monitor yang
memperlihatkan sebuah ruangan" seperti rumah kaca.
"Aneh?" Maya bergumam dan dia mendekatkan focus kamera monitor rumah kaca itu
lebih dekat. Beberapa detik kemudian, dia melihat sesuatu dan terpekik kaget.
"Astaga" Aria!"
Aria" Aku menajamkan pandanganku pada layar monitor yang dilihatnya, dan juga sama
terkejutnya. Di layar monitor itu, aku melihat Aria. Terbaring diatas tempat tidur berenda dan
matanya terpejam. Tapi, mimic wajahnya menunjukkan dia kesakitan.
Dari alat seperti speaker besar di dekat Maya, aku bisa mendengar suara Aria yang
meringis kesakitan. Apa yang terjadi dengan Aria"
Kulihat Maya mengambil headphone di dekatnya dan memasangnya di kepalanya.
"Jebakan X." gumamnya. Dia mengeluarkan benda yang diberikan oleh Nyonya Haruka
sebelum kami pergi dulu. Sebuah kartu seperti kartu gesek ATM. Sejenak, dia menatap kartu itu. Dari belakang, aku
bisa merasakan keragu-raguannya.
"Aku harus melakukannya." Dia mengangguk dan menggesekkan kartu itu di dekat panel
control. "Jebakan X akan segera diaktifkan." Terdengar suara operator yang biasa aku dengar
ketika masih di Laboratorim Terlarang. "Sebutkan identitas Anda untuk mendapat konfirmasi
pengaktifan." "Maya Elizabeth Watson." Kata Maya menyebut namanya, "Nomor identitas AP9835. The
Chronos Sapphire nomor 9. Mohon Izin konfirmasi pengaktifan Jebakan X dengan kode Bunga
Merah." Layar monitor yang lebih besar menampilkan sebuah garis yang bertambah panjang.
Seperti memproses sesuatu.
Lalu" "Maaf, kode yang diberikan tidak cocok. Mohon mencoba dengan kode lain."
"Apa" Kenapa tidak cocok?"
Maya kelihatan mengutak-atik lagi panel control. Dia juga mengatakan kode-kode yang
aneh. Tapi, tetap saja suara mesin mengatakan kalau kode yang dikatakan Maya salah.
"Apanya yang tidak cocok?" gumam Maya.
Aku juga memikirkannya. Sebenarnya kode apa yang dimaksud Maya untuk mengaktifkan
Jebakan X. Tiba-tiba pandangan Maya tertuju kearah pintu, tepat kearahku. Aku cepat-cepat
menyingkir dari pintu dan berusaha menarik nafas. Astaga" apa dia melihatku"
"Rifan?" Nah, lho, dia ternyata melihatku! Gawat.
"Kamu di sana, kan" Masuk saja. Aku sudah tahu dari tadi kamu mengikutiku." Kudengar
suara Maya yang menyiratkan nada geli.
Jadi dia sudah tahu aku mengikutinya dari tadi" Kalau begitu, kenapa dia bersikap tidak
tahu bahwa aku mengikutinya"
Oh, aku lupa. Itu biasanya strategi Aria jika dia diikuti penguntit yang mengikutinya. Cara
itu memang terbilang berhasil karena penguntit itu berhasil ditangkap polisi sebelum dia
melakukan suatu hal yang membuatku membunuh penguntit itu"maaf. Itu seharusnya rahasia
pribadi dan tidak boleh kubicarakan.
Aku berjalan kearah pintu dan membukanya. Kulihat Maya tersenyum tipis padaku
sebelum perhatiannya kembali lagi ke layar monitor.
"Jadi, kamu sudah tahu kalau aku mengikutimu?" tanyaku. "Sejak kapan?"
"Sejak aku meninggalkan ruang peristirahatan tadi." Maya mengedikkan bahu, "Aku bisa
merasakan deru nafas dan bau badan seseorang dari belakang punggungku. Penciumanku cukup
tajam." "Oh?" Aku mendekatinya dan melihatnya mengutak-atik panel layar sentuh itu dengan gerakan
cepat. "Sedang apa?" "Kalau kamu mendengarkan dari tadi, kamu pasti tahu apa yang sedang kulakukan."
"Aku tahu, karena itu aku bertanya." Balasku.
"Aku tidak mengerti." Maya mengembuskan nafas dan menoleh kearahku, "Kode Jebakan
X sepertinya sudah diubah. Haruka-sama mengatakan padaku kalau kode untuk mengaktifkan
Jebakan X adalah Bunga Merah. Tapi, kode itu ditolak?"
"Apa beliau tidak memberitahumu tentang apapun yang mungkin menjadi kata kodenya?"
Maya menggeleng, "Bunga Merah adalah kode utama. Arti Bunga Merah adalah perasaan.
Perasaan adalah suatu hal yang biasa kita temui dalam kehidupan sehari-hari. Perasaan sedih,
marah, maupun senang. Bunga Merah juga melambangkan bunga mawar merah. Haruka-sama
suka bunga mawar merah."
"Oh?" "Aku akan mencoba kata kode yang lain."
Maya kembali mengutak atik panel dan mengucapkan serentetan kata kode yang tidak
kumengerti artinya. Tapi, hasilnya tetap sama. Kode-kode yang diucapkan Maya bukanlah kata
kode yang tepat. "Sial." gerutunya. "Sebaiknya aku memanggil robot medis sulu ke sini."
"Memangnya di sini ada robot medis" Tapi" untuk apa?"
"Kamu tidak lihat layar monitor yang itu?"
Maya menunjuk layar monitor yang menampilkan gambar close-up Aria. Wajah Aria
kelihatan kesakitan dan tangan kanannya berwarna kemerahan.
"Apa yang terjadi padanya?"
"Racun Bunga." Jawab Maya, "Itu racun yang terdiri dari bunga mawar hitam, bunga
Poppy, bunga anggrek hitam beracun, dan juga tumbuhan yang tumbuh di pulau ini. Semua itu
dicampur dengan opium dan obat tidur dosis tinggi."
"Lalu?" "Racun itu melumpuhkan otak. Tapi, bisa saja hanya melumpuhkan sebagian anggota
tubuh, tergantung dosisnya. Dosis sebesar setetes air cukup untuk membuat kedua tangan dan kaki
tidak dapat berfungsi normal."
"Dan" menurutmu Aria terkena racun dalam dosis tinggi?" aku mulai merasa cemas.
Perasaan mual mulai merasukiku.
"Tidak. Jack tidak akan sebodoh itu untuk memberikan dosis tinggi pada Aria." dia
berbicara dengan nada merenung, "Dia menungguku."
"Menunggumu?" "Dan kamu juga." Maya mengembuskan nafas, "Untuk mendapatkan tangkapan yang
besar, umpannya pun juga harus besar, kan?"
"Apa maksudmu?"
"Aku belum menceritakan padamu apa sebenarnya yang kutemukan tentang rencana Jack
yang satu ini." dia tersenyum muram, "Dia ingin membunuhku."
"Ap"membunuhmu?"
"Atas kesalahan yang kulakukan padanya dulu. Meninggalkannya."
"Aku tidak mengerti. Bisakah berbicara lebih jelas?"
Maya menekan sebuah tombol di panel dan aku melihat salah satu layar monitor
menampilkan sebuah ruangan yang sangat bersih. Dan Jack berada di sana.
"Apa yang dilakukannya?"
"Menyiapkan sesuatu untuk membunuhku, tentunya." Maya tertawa lirih. Nyaris seperti
tangisan, "Dulu, aku meninggalkannya di sini karena aku mengatakan aku membencinya. Aku
memang benci padanya karena dia mengikuti jejak ayahnya, menjadi jahat. Aku takut dia
mempengaruhiku." "Jack berusaha menjelaskan bahwa dia melakukan semua"menipu, membunuh, dan segala
macam hal lain yang kubenci"yang dia lakukan, adalah untukku. Kamu pasti mengerti perasaanku
waktu itu. Aku merasa dilemma. Di satu sisi, aku ingin Jack berubah dan aku ingin
menghentikannya dengan caraku sendiri. Tapi, di sisi lain, dia pasangan empatiku. Aku tidak
mungkin membunuhnya tanpa alasan, walau semua yang dilakukannya dulu bisa kujadikan alasan
untuk membunuhnya." "Ada satu cara untuk membunuhnya. Bagi pasangan empati, cara ini akan membuat
pikiran dan tubuh mereka melemah. Dan aku melakukan cara itu untuk menghindar darinya,
membuatnya tidak bisa berhubungan denganku lagi. Yaitu dengan memutuskan hubungan
benakku dengannya." "Memutuskan hubungan benak" Bagaimana caranya?" tanyaku menyelanya.
"Dengan pergi sejauh mungkin darinya, menghindar dari telepati yang dikirimkan olehnya,
dan tidak boleh mengingatnya lagi walau kau ingin."
"Itukah cara memutuskan hubungan benak?"
Maya mengangguk. "Tapi, Jack tidak terima. Dia mulai kehilangan kendali. Kekuatannya berkembang cukup
pesat saat itu, dan dia mencoba mencariku." Maya melanjutkan ceritanya, "Dia memang berhasil
menemukanku di Beijing. Tapi, aku berhasil kabur darinya. Dan dia semakin marah, dia mulai
meracau di kepalaku dan membuatku frustasi. Sampai aku meminta Haruka-sama memasukkanku
ke dalam incubator dan membuat hubungan benakku dan Jack benar-benar putus. Incubator
tempatku tidur itu adalah incubator isolasi.
"Inkubator itu mengisolasi pikiran Jack dariku. Dan aku lega karena pikiran-pikiran Jack
tidak lagi menggangguku. Dan saat itulah, aku menyadari sesuatu, aku bisa berhubungan dengan
benak seseorang. Benak orang lain, dan dia adalah saudara kembarku, Aria."
"Jadi" itu sebabnya kamu berada di dalam pikiran Aria" Sebagai suara hatinya?"
"Bisa dibilang begitu." Maya tertawa kecil, "Aku juga tidak tahu bagaimana aku bisa sampai
di dalam pikirannya. Dalam ruangan tempat ingatannya berada, aku melihatnya, bersamamu, dan
yang lain, dan Jack. Melewati masa-masa sulit. Dan" aku juga melihat ingatan bagaimana Jack
mengancamnya." Maya kelihatan gemetar menceritakan semua itu.
"Aku pikir, dengan membantu Aria, aku bisa mengisyaratkan Jack untuk tidak
menggangguku, dan kalian juga." Katanya, "Tapi, seperti yang kamu lihat sekarang. Jack masih
dendam padaku, pada kalian, dan dia berusaha membunuhku dan Aria. Menurut Jack, aku pantas
mati karena meninggalkannya. Sedangkan Aria" Jack iri padamu karena kalian adalah pasangan
empati lain selain kami berdua."
"Alasannya hanya sesederhana itu?"
"Aku membaca pikirannya sekilas 5 hari yang lalu sebelum kita sampai ke ruang
peristirahatan." Kata Maya.
"Kamu melihat aku menangis ketika kita baru sampai di pulau ini, kan" Saat itu, aku
mencoba menghubungkan kembali benakku dengan Jack, tapi, tidak bisa. Justru pikiran-pikiran
Jack yang berbahaya masuk ke dalam otakku dan membuatku nyeri. Selama 10 tahun aku tidak
bertelepati dengan Jack, membuat kemampuan telepatiku menjadi tumpul. Aku tidak bisa
mengasahnya lagi karena tubuhku melemah setiap harinya."
"Melemah?" aku menatap Maya. Dia kelihatan baik-baik saja. Tidak kelihatan kalau dia
lemah atau semacamnya. "Don"t judge a book by its cover, Rifan." ujar Maya, "Aku memang tidak kelihatan tidak
sehat. Yang tidak sehat itu hatiku. Hatiku melemah setiap harinya karena racun yang sempat
dimasukkan Jack ke tubuhku ketika aku melarikan diri darinya di Beijing,"
"Karena alasan itu jugakah kamu memutuskan untuk tidur dalam incubator isolasi?"
"Salah satunya iya." Maya mengangguk, "Jack memasukkan Racun Bunga ke tubuhku
dalam dosis yang memang sedikit, tapi, racun itu masuk ke dalam hatiku dan membuatnya
melemah." "Tapi, kamu kelihatan gesit ketika memimpin kami."
"Itu hanya sementara saja. Selama aku minum obat ini." Maya mengeluarkan sebuah botol
plastic dari bajunya. "Ini obat yang dibuat Haruka-sama untukku. Obat ini memang tidak
menyembuhkan. Tapi, paling tidak, obat ini memperlambat racun itu menghancurkan hatiku."
Maya termenung sebentar, "Umurku hanya tinggal sampai besok. Kecuali aku mendapat
obat penawarnya." Ujarnya.
Aku menatap Maya. Matanya berkaca-kaca. Aku yakin dia akan menangis. Karena itu, aku
meraih bahunya dan menariknya ke dalam pelukanku.
Maya terkesiap pelan dan mendongak menatapku. Matanya menatapku bingung.
"Aku hanya melakukan apa yang harus kulakukan." Kataku tersenyum, "Kurasa kamu
membutuhkan tempat bersandar."
"Oh?" dia tertawa pelan, "Kurasa kamu benar. Terima kasih."
"Tidak masalah."
Kami berpelukan sebentar, dan dia menghembuskan nafas.
"Mungkin ini rasanya punya pasangan empati yang perhatian." Katanya pelan, "Aku
beruntung Aria punya pasangan sepertimu. Sejak dulu, aku selalu mengawasi perkembangan Aria.
Dia gadis yang baik, dan dia tidak pantas untuk disakiti orang seperti Jack."
The Chronos Sapphire Ii Karya Angelia Putri di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Memang." "Kita akan menyelamatkannya." Maya menatapku, "Dan akan kupastikan, Aria akan baikbaik saja."
"Terima kasih."
Maya tersenyum dan melepas pelukanku. Dia mengambil headphone dan memasangnya
di kepalanya. "Rifan, aku butuh bantuanmu untuk mengaktifkan robot medis. Kamu bisa menggunakan
headphone yang itu, dan tunggu perintah dariku."
"Baiklah." Aku mengambil headphone di dekatku dan memasangnya.
"Oke. Kode perintah untuk mengaktifkan robot medis adalah Health. Katakan saja itu ke
layar monitor dan ia akan merespon. Dan, jangan lupa, sebutkan nama, identitas, dan nomor
identitasmu." "Aku tidak punya nomor identitas." Sahutku.
"Kamu punya. Nomor identitasmu AP9832."
"Aku mengerti?"
"Nah, sekarang, biarkan aku memikirkan apa kode perintah untuk mengaktifkan Jebakan
X." dia menekan panel control. "Dan kuharap, kode yang baru kupikirkan ini benar dan bisa
diterima." BAB 15 Robot Medis Charles"s Side Aku baru saja akan memakan roti dari tasku ketika Maya dan Rifan kembali dengan membawa
sebuah robot yang membawa kotak obat dengan tanda (+) merah. Seperti kotak P3K.
"Kuharap kalian tidak menunggu terlalu lama." Kata Maya sambil duduk di sebelahku.
"Tidak juga. Kami baru saja akan makan malam." Aku nyengir dan menyodorkan roti yang
belum kumakan, "Mau?"
"Tidak. Terima kasih." Dia menggeleng sambil tersenyum, "Aku sedang tidak lapar."
"Baiklah?" aku menoleh kearah Rifan yang sedang membuka kotak yang dibawa oleh
robot yang datang bersama mereka. "Robot apa itu?"
"Robot medis. Kami membawanya dari ruang control." Kata Maya. "Robot itu berfungsi
seperti seorang perawat. Kotak yang dibawanya tadi adalah persediaan obat yang tersedia di lemari
pendingin tempat penyimpanan robot itu berada."
"Oh?" "Jam berapa sekarang?" tanya Rifan.
"Sekarang sudah pukul 7 malam." Sahut Duke yang berdiri di dekatnya. Dia sedang
membuat barang-barang di sini berguna menjadi kasur yang akan kami semua pakai untuk tidur.
Jangan tanya bagaimana dia bisa melakukannya. Tidak ada benda tidak berguna jika di
tangan Duke. "Sebaiknya, setelah makan, kalian langsung istirahat saja." ujar Maya, "Aku akan
memeriksa keadaan di sekitar. Berharap saja, Jack tidak menemukan kita di sini."
Aku mengangguk paham. Begitu juga dengan yang lain.
Maya berdiri dan menghampiri Rifan yang sedang memilah-milah obat. Rifan sempat
berbicara dengan Maya, dan Maya menggeleng dengan ucapan Rifan. Apa yang sedang mereka
bicarakan" Aku tidak bisa mendengar, dan aku juga tidak ingin mendengar karena aku kelaparan
dan kelelahan. Setelah kami semua makan malam, kami beranjak tidur. Kecuali Rifan dan Maya. Mereka
masih berkutat dengan botol-botol obat beraneka ragam.
Aku tidak jadi pergi tidur dan menghampiri mereka.
"Menurutmu ini bisa menghilangkan racunnya?" tanya Rifan pada Maya.
"Mmm" tidak." Maya menggeleng, "Racun itu sangat spesifik, dan"oh, Charles, kamu
tidak tidur?" "Tidak. Aku tidak bisa tidur karena melihat kalian sedang sibuk berkutat dengan obat-obat
di tangan kalian." Kataku nyengir, "Sedang apa?"
"Mencari campuran obat yang cocok." Ujar Rifan. "Tadi, aku dan Maya melihat Aria dari
monitor di ruang control. Menurut Maya, Aria terkena racun yang dimasukkan Jack ke dalam
tubuhnya." "Aria terkena racun?"
"Racun Bunga. Itu namanya." Kata Maya, "Itu racun yang cukup berbahaya. Dan racun itu
sedang melumpuhkan Aria. Dalam waktu kurang dari 24 jam, kemungkinan racun itu sudah
menyebar ke seluruh tubuhnya."
"Karena, itu, kami sedang mencari obat yang cocok untuk racun itu." Rifan meneruskan,
"Tapi, cukup sulit. Aku tidak mengerti sedikitpun fungsi obat yang ada di tempat ini. Semuanya
dalam kode angka yang tidak kumengerti."
"Kode angka" Semacam anagram?"
"Sepertinya begitu?"
"Kalau begitu, serahkan padaku." Kataku, "Aku jago mengurai angka. Perhatikan sang
master beraksi." Rifan mendengus dan menyerahkan botol-botol obat itu padaku. Aku melihatnya sebentar.
Kemudian memisahkan semua obat itu berdasarkan kegunaannya. Dari 20 botol obat yang ada,
yang bisa menetralisir racun, dan menghilangkan racun ada 4 botol. Kusodorkan keempat botol itu
pada mereka. "Kamu yakin ini botol obat yang tepat?" tanya Maya.
"Tentu saja. 4 botol ini berguna untuk menetralisir dan menghilangkan racun. Sedang
sisanya hanya untuk menyembuhkan luka luar dan organ dalam."
"Oke. Terima kasih. Sekarang, biarkan aku mencobanya dulu." Maya tersenyum dan
membuka tutup botol keempat botol itu satu-persatu dan menenggak setiap satu butir.
"Wow, wow" apakah tidak apa-apa?" tanyaku.
"Tenang saja. Aku sudah sering bergelut dengan obat-obatan untuk menunjang hidup."
Maya tersenyum dan menenggak pil berwarna biru.
Dia memejamkan matanya sebentar dan badannya agak menggigil. Kami berdua
menunggu reaksi Maya. Apakah obat yang kupisahkan itu benar atau tidak" Kalau salah, itu gawat.
Aku akan menjadi pembunuh lagi, dan malangnya, aku membunuh Maya.
Tanpa sadar, bibirku berkomat-kamit berharap Maya baik-baik saja.
"Aku tidak apa-apa." Maya membuka matanya dan tersenyum pada kami berdua. "Aku
malah merasa sehat. Obat ini sepertinya obat yang tepat. Sebentar?"
Maya melihat label yang melekat pada botol obat pil biru tadi.
"Pantas saja. Ini obat khusus yang dibuat Kazuto-sama."
"Maaf" Apa katamu tadi?" tanyaku seraya menarik nafas lega karena dia baik-baik saja.
"Ini obat khusus milik Kazuto-sama." Kata Maya. "Aku pernah mendengar obat ini disebut
dengan nama Putih." "Putih" White?"
"Mungkin. Tapi, beliau selalu menyebutnya dengan nama Putih." Maya tersenyum lebar,
"Dan obat ini bisa menetralisir dan menghilangkan Racun Bunga! Aku bisa merasakannya. Racun
di dalam tubuhku lenyap seketika hanya dalam beberapa detik."
"Benarkah" Bagus kalau begitu."
"Apa kau juga terkena racun yang ada dalam tubuh Aria?" tanyaku.
"10 tahun yang lalu Jack menyuntikkan racun itu ke tubuhku. Itu salah satu alasan kenapa
aku berada di dalam incubator."
"Oh?" "Aku harus mengakui, robot medis ini ternyata masih berguna." Maya menoleh kearah
robot medis yang berdiri tegak di dekatnya. "Aku juga baru ingat. Ini robot yang dipakai oleh
Kazuto-sama untuk memberikan obat-obat yang harus kuminum selama aku berada di sini dulu.
Aku benar-beanr bodoh karena melupakan Regina."
"Regina?" "Nama robot ini." Maya tersenyum lebar. "Regina adalah nama kakakku yang meninggal."
"Begitu. Maaf."
"Tidak masalah."
"Nah, obat yang kita cari sudah ditemukan. Apakah sebaiknya kita beristirahat saja?" tanya
Rifan. "Kalian saja yang lebih dulu beristirahat. Aku ingin memeriksa beberapa obat yang lain.
Mungkin ada beberapa yang bisa kita gunakan jika kita terluka." Maya mendorong kami,
"Istirahatlah, aku akan menyusul nanti."
"Baiklah?" Aku hanya menurut saja. Lagipula, aku sudah merasa mataku seperti direkat dengan lem
super kuat. Rifan tidur di sebelahku. Dan aku tidur di dekatnya. Hanya dalam beberapa detik, aku
langsung tidur lelap. BAB 16 Markas Pusat Rifan"s Side Kami melanjutkan perjalanan. Masih dituntun Maya, tentu saja. Kami melewati koridor yang
sudah ditandai oleh Maya kemarin, dibantu olehku.
"Sebentar lagi kita akan sampai di basement Markas Pusat." Kata Maya, "Bersiaplah.
Kemungkinan besar, bayangan Jack akan menyambut kita."
"Aku tahu." kataku. "Aku ingin cepat-cepat menghajarnya."
"Setuju." Cetus Charles di dekatku. "Aku juga ingin menghajarnya. Sisakan waktu untukku
menghajarnya juga." "Tentu." "Kalian terlalu bersemangat, bisakah kalian diam?" kata Stevan. "Aku sedang mencoba
menerka ke mana arah kita selanjutnya setelah dari basement."
Aku nyengir padanya, dan terus berjalan.
Maya membuka pintu baja yang terbentang di depan kami. Dan aku bisa merasakan hawa
lembap menerpa tubuhku. "Kita sudah sampai di basement." Ujar Maya, "Dari sini, kita bisa naik ke lift yang ada di
tempat tersembunyi di sini. Aku sudah mengaktifkan lift itu dan bisa berfungsi sekarang."
"Kalau begitu, ayo."
Maya menunjukkan kami jalan kearah lift yang dia maksud. Dan lift itu ternyata adalah lift
yang terbuat dari kaca, sehingga kita bisa melihat pemandangan di luar.
"Apa kita tidak akan ketahuan jika kita menggunakan lift seperti ini?" tanya Dylan.
"Tidak. Lift ini adalah lift bawah tanah. Kita akan bergerak seolah seperti berlari di
permukaan, dan setelah mendapat titik yang tepat, kita akan naik keatas, dan langsung menuju
lantai 55, tempat Aria berada." Kata Maya, "Lift ini bisa menjangkau semua lantai yang ada di
Markas Pusat dan hanya bisa digunakan olehku dan para ilmuwan yang berwenang saja."
"Apa" apa Jack tahu lift ini?" tanyaku.
"Tidak. Dia tidak tahu tentang lift ini." Maya menggeleng, "Kalaupun dia tahu, dia tidak
akan bisa masuk ke dalam lift ini dan memakainya karena lift ini memiliki kode khusus untuk
mengaktufkannya." "Baguslah kalau begitu."
"Nah, ayo, kita masuk. Jebakan X sudah kuatkifkan saat ke ruang control, dan kita harus
bisa menyelesaikan semuanya sebelum jam 9 malam tepat."
"Kenapa harus jam 9 malam?" tanya Charles.
"Itu waktu yang kita butuhkan untuk menghubungi Haruka-sama untuk meminta
helicopter, atau setidaknya, pesawat untuk membawa kita pergi dari sini secepatnya."
*** Sepertinya sudah setengah jam kami berada di dalam lift. Ketika pintu lift terbuka, sebuah koridor
panjang terbentang di hadapan kami. Koridor ini dilapisi karpet biru tua. Cat di dinding kelihatan
pudar dan beberapa ada yang sudah mengelupas. Kesan pertamaku untuk koridor ini adalah :
Koridor ini tidak kelihatan seperti koridor sebuah gedung yang ditinggalkan lebih dari 20 tahun.
Maya memejamkan matanya sebentar.
"Di sana ada tangga menuju lantai berikutnya. Ada sebuah ruangan yang terbuat
sepenuhnya dari kaca dengan film yang sangat gelap. Itu adalah ruangan perawatanku dulu."
Katanya, "Di sanalah Aria berada."
"Apa kau merasakan keberadaan Jack?" tanya Stevan.
"Tidak." Maya menggeleng, "Ini aneh. Seharusnya dia ada di sini. Kita harus waspada. Dia
bisa saja muncul tiba-tiba."
"Kita bergerak sekarang. Ayo."
Kami mulai berjalan, sebenarnya setengah berlari, kearah jalan yang ditunjukkan Maya.
Jalannya cukup berkelok-kelok. Seperti jalan tikus saja.
"Kita hampir sampai." Kata Maya, "Setelah ini kita"kyaa!!"
Maya tiba-tiba jatuh tersungkur sambil memegangi tangannya. Sekelebat bayangan
menyerangnya dan Maya menjerit.
"Maya!" Kami menghampiri Maya dan melihat wajah dan tangan kanannya terluka. Aku melihat
asap hitam yang kukenal. "Jack?" gumam Maya, "Dia?"
"Ternyata kalian datang juga. Kukira kalian tidak akan datang."
Aku mendongak dan melihat Jack, dengan pedangnya, Deathly Sorrow. Pakaiannya sama
seperti dulu ketika masih dalam Misi.
"Kukira kalian tidak ingin melihat sang putri tidur untuk selamanya." Ujar Jack dengan
senyum sinis. "Dan, kukira tuan pahlawan dan kamu tidak akan datang."
"Aku tetap akan datang walau kamu membenciku." Kata Maya, "Aku sudah berjanji pada
Haruka-sama untuk membawa Aria pulang dengan selamat."
"Kita lihat saja apa kalian bisa."
Tiba-tiba Jack sudah berdiri di depan Maya dan mendorongnya. Ia terpental ke dinding
dengan bunyi yang cukup keras. Kami sendiri langsung menghindar ketika Jack melancarkan
serangan yang lain. "Rifan. sebaiknya kamu dan Maya pergi dari sini dan menyelamatkan Aria." kata Dylan
yang berada di dekatku. "Biar dia, kami yang mengatasi."
"Tapi, kekuatannya berkembang terlalu pesat. Dia bisa membelah diri. Dan itu akan
berbahaya." Ujarku. "Serahkan saja pada kami." Charles berdiri di sebelahku, "Walau kekuatannya
berkembang pesat, dia tidak mungkin menang melawan kami. Bahkan jika dia membelah diri
sekalipun." "Tapi?" Jeritan Maya membuat kami menoleh. Jack menyabet kaki Maya dan meninggalkan luka
garis sepanjang 8 senti di kaki Maya yang terbungkus celana jins.
"Maya!" "Tidak ada waktu. Sekarang sudah puku 8. Tinggal satu jam lagi waktu kita untuk pergi."
Sela Dylan, "Cepat!"
Aku akh irnya mengalah. Saat Jack akan menyerang Maya lagi, aku segera menangkap
Maya dan menggendongnya. "Apa!?" "Maaf, Jack, kita akan bertarung setelah aku menyelamatkan Aria." kataku.
"Tidak akan bisa! Kau akan?"
"Hei, Jack, kami lawanmu."
Dylan menyerang Jack. Serangannya begitu tiba-tiba dan membuat Jack kehilangan
konsentrasi. Dylan menyerangnya tanpa henti. Semua gerakan pedang yang ia tahu, dia kerahkan
untuk menyerang Jack. "Pergilah, Rifan!"
"Baik." aku menoleh kearah Maya yang berada dalam gendonganku, "Aku akan
menggendongmu karena kurasa kakimu tidak kuat untuk dibawa berdiri, apalagi berlari, kan?"
"Ku, kurasa benar?" Maya mengangguk. "Kita harus cepat ke tempat Aria. Kalung ini
sudah bersinar sejak tadi."
Maya memperlihatkan kalung milik Aria. Dan benar. Kalung itu bersinar redup.
"Tunjukkan ke mana arah selanjutnya."
Maya mengangguk lagi. Aku menoleh sebentar kearah teman-teman yang lain. Jack mulai
membelah dirinya. Dan masing-masing belahan dirinya mulai melawan teman-temanku. Kuharap
mereka bisa bertahan sampai aku kembali.
"Lariku cukup kencang. Dan aku rasa, kamu akan terpental jka tidak berpegangan erat
padaku." Kataku mencoba melucu.
Maya tersenyum tipis, "Baiklah. Tapi, sebelum masuk ke rumah kaca, turunkan aku.
Kamu tidak ingin terlihat oleh Aria sedang berpelukan denganku, kan?"
Aku hanya nyengir. Dan sedetik kemudian, aku mulai berlari.
BAB 17 Ingatanku Kembali Aria"s Side Ya Tuhan" aku tidak tahan. Rasa sakitnya benar-benar menyakitkan.
Awalnya, rasa sakit yang disebabkan oleh sesuatu yang disuntikkan Jack ke tubuhku hanya
sesaat. Tapi, lama-kelamaan, sakitnya mulai terasa dan sering terjadi. Kini, kedua tangan dan
kakiku tidak bisa digerakkan. Rasanya seperti ditusuk ribuan jarum, dan ketika aku mencoba
menggerakkannya walau hanya sedikit, sakitnya semakin menjadi.
Pandanganku kabur, dan aku nyaris pingsan ketika aku mendengar suara pedang beradu
dan ada suara makian serta sumpah-serapah. Suara apa itu" Aku bisa mengenali salah satu suara
itu sebagai suara Jack. Tapi, suara yang lain" aku tidak tahu. Lebih tepatnya, tidak ingat. Aku
memang mengenal suara-suara itu, tapi, aku tidak bisa mengingatnya.
Sebentar lagi aku akan sampai"
Rifan" "Ri" fan?" astaga. Suaraku terdengar serak dan nyaris seperti bisikan. Tenggorokanku
terasa kering, "Di" mana?"
Tiba-tiba pintu terbuka. Seorang cewek, yang waktu kulihat bersama 5 orang cowok lain di
hutan, masuk ke dalam ruangan ini dan mendekat kearahku. Wajahnya tidak bisa kulihat karena
penglihatanku mulai menggelap.
"Aria, ini aku, Maya." Ujarnya, "Kami datang menyelamatkanmu."
Aku ingin bersuara, tapi, tidak bisa. Sepertinya cairan yang dimasukkan Jack ke dalam
tubuhku mulai masuk ke dalam otakku dan membuat fungsi syaraf mataku menjadi lemah dan
nyaris tidak berfungsi. Aku merasakan tubuhku didudukkan di kepala kasur dan cewek bernama Maya itu
menyodorkan sesuatu kearahku.
"Aria, minum ini. Ini akan menghilangkan racun yang ada di tubuhmu."
Aku menurut saja. Kubiarkan sesuatu seperti pil masuk ke dalam mulutku dan melalui
The Chronos Sapphire Ii Karya Angelia Putri di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kerongkonganku dibantu dengan segelas air. Aku menghembuskan nafas dan memejamkan mata.
Perlahan, rasa sakit di kedua kakiku mulai berkurang. Kepalaku juga tidak terlalu sakit lagi.
Kubuka mataku dengan perlahan, dan semua yang tertangkap oleh mataku mulai terlihat
jelas. Dan aku juga melihat cewek bernama Maya itu sedang menatapku dengan pandangan harapharap cemas. Dan di belakangnya"
Ya Tuhan. Perasaan berdesir di dadaku timbul lagi.
Aku mengerjapkan mata. Berharap yang kulihat bukan mimpi. Dan kurasa, aku akan
menangis sekarang. "Kamu baik-baik saja?" tanya Rifan sambil mendekat kearahku.
"Aku" baik-baik" saja." kataku. Berusaha menahan tangis.
"Syukurlah?" Rifan tersenyum lega, "Sudah kubilang, kan" Aku akan datang. Begitu juga
dengan yang lain." Aku tersenyum. "Baiklah, biarkan aku memakaikanmu?" Maya mengeluarkan sebuah kalung dengan 3
bandul berlian berbentuk bulan sabit. "Rifan, sebaiknya, kamu yang memakaikannya. Kupikir
akan lebih efektif jika kamu yang memakaikannya pada Aria."
Kalung apa itu" Kenapa rasanya aku mengenal kalung itu"
Rifan menerima kalung itu dari Maya. Rifan mendekatkan tubuhnya kearahku dan
memasangkan kalung itu di leherku. Sekelebat gambar mulai melintas di kelopak mataku ketika
aku mengedipkan mataku, semua gambar itu membuatku terkesiap.
"Jangan kaget. Itu ingatanmu." Maya memegang tanganku, "Biarkan semua gambar itu.
Beberapa saat lagi, kamu akan ingat semuanya."
"Be, benarkah?" aku menyadari nada suaraku terdengar takut.
"Ya. Tunggu saja. Biarkan gambar-gambar itu kamu lihat."
Aku hanya mengangguk. Aku mendengar suara bandul kalung yang kini sudah
dipasangkan oleh Rifan ke leherku, dan gambar-gambar itu dengan cepat melintas di kelopak
mataku. Aku sempat takut, bayangan itu terlalu buram, dan hitam-putih seperti film lama.
Tapi, benar apa yang dikatakan Maya. Gambar-gambar itu kini tidak terlalu menakutkan.
Malah banyak gambar-gambar yang mengingatkanku pada satu nama. Semua gambar itu terus
berganti dan aku bisa merasakan, otakku mulai membuka pintu ingatan yang terkunci.
Aku membuka mata dan menatap Maya dan Rifan lagi. Kali ini, aku tidak peduli kalau aku
menangis meraung-raung atau tidak.
"Bagaimana?" tanya Maya, "Kamu" kamu sudah ingat semuanya?"
Aku mengangguk. "Kamu Maya, kan" Suara" suara hati-ku?"
Maya tersenyum lebar, "Maaf. Aku bukan suara hatimu. Tapi, saudara kembarmu."
Katanya, "Ceritanya panjang. Nanti akan kuceritakan. Kamu ingat siapa dia?"
Aku menoleh kearah Rifan, yang wajahnya berada cukup dekat dengan wajahku dan
membuatku kaget. "Ya Tuhan!" "Apa" Kenapa?"
"Wajahmu terlalu dekat." Kataku sambil menahan senyum geli ketika aku melihat wajah
Rifan yang kaget, "Apa kamu berniat menciumku?"
Rifan yang awalnya kaget hanya mendengus dan kemudian tersenyum lebar.
"Tadinya aku ingin melakukan itu. Tapi, aku takut, Maya mungkin akan mencakarku."
"Kalau kalian ingin melakukannya, silakan." Maya tertawa, "Tapi, kita tidak punya banyak
waktu. Kita harus pergi dari sini sebelum Jebakan X benar-benar aktif."
"Jebakan X" Apa itu?" tanyaku.
"Ceritanya panjang." Jawab Maya, "Oh, kamu belum menjawab pertanyaanku tadi. Kamu
ingat siapa dia, kan?"
Aku menoleh kearah Rifan lagi dan tersenyum lebar, "Aku ingat, kok. Dia pacarku yang
paling baik dan selalu menjadi tuan pahlawan bagiku."
*** Ingatanku kembali. Aku ingat semuanya. Semua memoriku yang awalnya tidak bisa kuingat,
sekarang bisa kuingat. Dan aku juga ingat siapa Jack.
Dan Rifan. Aku tidak akan bisa melupakannya. Mungkin saat itu, aku tidak ingat siapa dia.
Tapi, hatiku tidak bisa melupakan Rifan, dan perasaan berdesir yang selalu kurasakan itu adalah
buktinya. Maya kelihatan tidak percaya ketika kuceritakan Jack tidak melakukan apa-apa padaku
(kecuali menciumku dengan paksa. Tapi, kurasa itu tidak perlu diceritakan. Aku takut Rifan nanti
cemburu) seperti memanipulasi ingatan ataupun hatiku.
"Dia terlalu lembek." Rifan berkomentar.
"Memang." Maya mengangguk muram, "Oke. Kita harus pergi dari sini. Tinggal 20 menit
sebelum jam 9 malam tepat."
"Tapi, kakiku masih lemas?"
"Itu gampang." Rifan tersenyum lebar.
Tahu-tahu saja, aku sudah digendong olehnya.
"Rifan!" Apa?"
"Kamu mengeluh kakimu masih lemas. Jadi, aku menggendongmu. Itu salah?" tanyanya
dengan senyum lebar. "Kurasa tidak." jawabku. "Tapi, Jack bagaimana" Dia pasti sedang melawan Dylan dan
yang lain, kan?" "Tebakan jitu. Dia memang sedang melawan mereka." kata Maya, "Sebaiknya kita cepat.
Kita harus membantu mereka."
"Dan kurasa, aku harus mengeluarkan kekuatanku yang selama ini kusembunyikan."
Lanjutnya. "Apa?" "Tidak penting." Maya tersenyum. "Ayo."
*** Ketika kami sampai di koridor, aku melihat Jack dan bayangan dirinya sedang melawan mereka.
Dylan dan yang lain. "Kalian berdua, tunggu di sini." ujar Maya, "Rifan, hubungi Dewan dan minta satu pesawat
yang akan membawa kita pergi dari sini. Ini."
Maya memberikan sebuah earphone tanpa kabel dan sebuah jam tangan yang tadinya
melingkar di pergelangan tangannya.
"Untuk apa jam tangan ini?" tanya Rifan.
"Itu alat komunikasi. Desain terbaru dari handy talkie." Katanya, "Aku akan melawan Jack.
Aria, kamu bisa menyembuhkan mereka dengan ini."
Maya memberiku sebuah botol obat.
"Itu obat penghilang rasa sakit, sekaligus pengilang racun, kalau-kalau yang lain terken
racun." "Aku mengerti."
"Bisa pinjam pedangmu?"
Rifan menyerahkan pedangnya pada Rifan.
"Kamu yakin bisa bertarung?" tanyaku.
"Tentu. Aku sudah lama tidak menggerakkan tubuhku." Dia tersenyum muram, "Doakan
saja racun Deathly Sorrow tidak menghambat gerakanku."
"Kamu sudha minum obat ini?"
"Sudah. Tenang saja. Aku tidak akan kalah darinya." Jawab Maya, "Aku akan
menyerangnya tanpa perasaan."
Aku mengerutkan kening mendengar ucapannya. Tapi, sebelum aku berbicara, dia sudah
berlari kearah Jack dan menyerang cowok itu.
BAB 18 Ternyata Maya Sangat Kuat
Charles"s Side Aku merasa tenagaku sudah hampir habis.
Beberapa kali aku terkena serangan Jack (bayangannya. Bukan yang asli. Yang asli sedang
melawan Dylan) dan serangannya membuat otot-ototku sakit. Deathlu Sorrow benar-benar kuat.
Aku tersungkur setelah tubuhku menghantam dinding cukup keras. Tapi, syukurlah, aku
berhasil menghadapi bagianku dan kini bayangan Jack yang tadi melawanku sudah lenyap.
Tubuhku sakit. Dan tulang-tulangku sepertinya ada yang patah.
"Jack!" Aku menoleh kearah Dylan dan Jack. Dan melihat Maya menyerang Jack dengan
kecepatan yang luar biasa. Tidak hanya itu, ketika Jack lengah, Maya segera menyerangnya lagi
dengan pukulan dan tendangan bertubi-tubi. Membuat Jack terpental mundur.
Wow. Apa dia memang mempunyai kecepatan seperti itu" Padahal tadi dia menjerit
kesakitan ketika Jack menyerangnya.
"Kau?" Jack bangkit dari dinding yang tadi dihantamnya.
Maya berdiri di depan Dylan dengan pedang teracung kearah Jack.
"Lawanmu sekarang adalah aku." ujarnya. Nada suaranya terdengar seperti pembunuh
berdarah dingin, "Kau tidak lupa dengan dendammu padaku, kan" Kita selesaikan semuanya
sekarang juga." "Memang itu yang kumau!"
Jack berlari kearah Maya. Maya menangkis serangan Jack dengan cepat. Kakinya
menendang Jack dan dia bersalto ke belakang.
"Aku tidak akan lupa rasa benciku padamu, Maya." Geram Jack. "Tidak akan pernah."
"Itu bagus. Itu akan membuatmu kalah dariku."
Jack menyerang Maya lagi. Kali ini, Maya hanya menghindar dan tidak berniat membalas
serangan Jack. Tapi, mesti begitu, harus kuakui, kelincahan tubuh dan gerakan Maya benar-benar
hebat dan memukau. Tidak sedikitpun pedang Jack mengenainya.
Aku mengerti apa yang sedang dilakukan Maya. Dia hanya ingin membuat Jack lelah dan
kehabisan tenaga, sehingga konsentrasi Jack terpecah. Ide yang cerdik, walau itu kuno dan sudah
sering dipakai orang banyak dalam film atau seperti sekarang ini.
"Terlalu lambat!"
Maya kali ini menyerang Jack. Serangannya cepat, luwes, dan terkendali. Mulai dari
tendangan, pukulan, serangan pedangnya. Semuanya sempurna. Kurasa, ilmu pedang dan
beladirinya sangat tinggi. Itu sangat terlihat dari semua aspek serangan Maya.
"Charles," Aku menoleh dari adegan di depanku dan melihat Aria duduk di sebelahku bersama
Rifan. "Hei, tuan putri." Kataku sambil nyengir, walau aku merasakan sakit di dalam tubuhku,
"Kamu sudah kembali rupanya. Ingat padaku?"
"Tentu saja aku ingat padamu." Dia tersenyum lebar dan menyodorkan sebuah pil biru
padaku. "Ini. Kata Maya, obat ini akan menyembuhkanmu."
Aku mengangguk dan menerima pil itu. Ini Pil Putih. Obat yang dikatakan Maya sebagai
obat khusus buatan Kazuto-sama kemarin malam. Aku langsung menenggak pil itu dan merasakan
rasa sakit di tubuhku berkurang dengan sangat cepat.
"Aku akan menyembuhkan yang lain." kata Aria sambil berdiri. Dia lalu berlari kearah
Duku, Lord, dan Stevan yang duduk sambil bersandar di dinding dengan wajah menahan sakit.
Dylan berada di dekatnya dan Aria menyuruh mereka semua meminum pil Putih.
"Sekitar setengah jam lagi, pesawat akan tiba di pantai pulau." Kata Rifan, "Kuharap, kalian
semua sudah sehat dan siap berlari ke pantai nanti."
"Tenang saja." kataku, "Aku dan yang lain pasti sudah pulih sekitar 10 menit lagi."
Dia tersenyum, dan pandangannya kini tertuju pada pertarungan Maya dan Jack. Kulihat
Jack sudah mulai kepayahan. Tubuhnya mengeluarkan darah. Begitu juga mulutnya.
"Kenapa?" "Kamu menyerangku dengan konsentrasi terpecah." Kata Maya, "Serangan yang kamu
arahkan padaku tidak akan ada gunanya. Sekarang, bersiaplah menerima semua yang kamu
lakukan pada mereka, dan juga padaku."
"Kita lihat saja!"
Mereka berdua kembali saling menyerang. Serangan mereka sama persis, dan nyaris tidak
terlihat oleh mata manusia biasa. Tapi, Maya lebih unggul. Aku bisa melihatnya.
"Selamat tinggal, Jack!"
Maya menyerang Jack dan berdiri membelakanginya ala samurai Jepang. Gerakan mereka
berdua berhenti. Aku tidak melihat siapa yang terluka dan yang tidak.
Tiba-tiba Maya jatuh tersungkur sambil memegangi perutnya. Darah mengalir dari luka
yang ada di perut Maya. "Maya!" Aria berlari kearah Maya. Tapi, dia tidak melihat Jack masih berdiri. Dan dia menarik
tangan Aria dan dengan cepat pedangnya menusuk Aria.
"Aaarrgghh?" "Aria! Jack, beraninya kau?"
Maya mengambil pedangnya dan menerjang Jack lagi. Jack tidak kelihatan akan mengelak.
Dia justru membiarkan Maya menyerangnya. Menusuknya dengan satu tusukan mematikan tepat
kearah jantung (mungkin, sih. Aku tidak melihat terlalu jelas). Maya mencabut pedangnya dan
membiarkan tubuh Jack yang benar-benar sudah mati, jatuh ke lantai.
"Aaarrgghh?" Maya meringis dan jatuh berlutut di dekat Aria yang pingsan.
"Kita harus menolong mereka." kataku.
Rifan-lah yang lebih dulu menghampiri mereka.
BAB 19 Semua Berakhir (Tapi, Tidak Semuanya)
Rifan"s Side Ketika Charles mengatakan kami harus membantu Maya dan Aria, aku sudah lebih dulu
menghampiri mereka. Mereka bersimbah darah. Maya yang lebih parah. Aria pingsan dan dari
perutnya keluar darah akibat tusukan pedang Jack.
"Kita" harus segera pergi" dari sini." kata Maya terengah-engah, "Be, berikan obat yang
ada di tangan Aria."
Aku menyerahkan botol obat di tangan Aria. Maya menyambarnya dan mengeluarkan tiga
butir pil sekaligus dan menenggaknya.
"Kau baik-baik saja?"
Dylan berdiri di sebelah Maya. Dia sudah pulih luka-lukanya, begitu juga Duke, Lord,
Stevan, dan Charles. Maya mengangguk. "Aku" aku baik-baik saja. Obat yang tadi kuminum menghentikan
pendarahanku. Ada yang punya perban dan antiseptic" Aku harus membalut lukaku, dan
kemudian luka Aria."
Duke mengeluarkan gulungan perban dan antiseptic. Maya mengambil semua itu dan
menyiramkan antiseptic itu ke lukanya.
"Urrhh?" Maya meringis sambil menggigit bibir bawahnya.
"Perlu kubantu?" tanyaku.
"Tidak perlu. Kalian obati luka Aria. Aku akan membalut lukaku terlebih dulu."
Aku mengambil botol antiseptic dari tangan Maya dan menyiramkannya kearah luka Aria.
Dia meringis kesakitan dan meremas tanganku. Kedua matanya terbuka.
"Jack?" katanya, "Dia" masih hidup."
Aku menoleh kearah Jack, dan benar, dia masih hidup.
"Astaga, tidak bisakah dia mati saja?" keluh Stevan di dekatku.
Jack bangkit duduk dengan susah payah. Matanya menatap tajam kearah kami walau sinar
matanya sudah sayu. "Kalian" kalian tidak akan bisa pergi dari sini." katanya gemetar.
Dia bangkit dan mengacungkan pedangnya.
"Ayo, bertarung denganku, tuan pahlawan. Kau belum bertarung denganku, kan" Aku
yakin, aku yang akan menang."
"Dalam mimpimu, Jack." Kataku, "Charles, obati Aria. Aku yang akan menghadapinya."
Charles menggantikanku mengobati luka Aria.
"Rifan" jangan?" Aria menggenggam tanganku dan menggeleng lemah, "Jangan?"
Aku menatap Aria dan tersenyum. Tiba-tiba aku ingat aku pernah mengalami hal ini,
ketika misi terakhir kami. Waktu itu perlu beberapa bulan untukku pulih setalah aku bertarung
dengan Jack di pulau Sleep Forest. Dulu, kupikir, aku tidak akan bisa bertemu Aria lagi.
Tapi, sekarang, aku tidak akan seperti itu. Kali ini, aku akan berada di sampingnya. Tanpa
berbulan-bulan berada jauh darinya.
"Tenang saja. Tidak akan seperti waktu itu lagi." gumamku. "Aku janji."
"Tapi?" "Tenang saja. Oke?"
Dia menatapku, kemudian mengangguk lemah. Dia melepas tangannya dan meringis
ketika sekali lagi cairan antiseptic membasahi lukanya. Maya yang melakukannya.
"Tahan Aria. Aku akan membalut lukamu." Ujarnya. Maya menoleh kearahku sebentar.
Wajahnya pucat karena kehilangan banyak darah, tapi, dia masih bisa bertahan.
Dia mengangguk kearahku, sebuah isyarat. Dan aku mengerti isyarat itu.
Aku maju ke depan Jack dan mengambil pedangku yang tergeletak di lantai.
"Ayo, kita selesaikan ini. Aku ingin cepat-cepat menghabisimu dan pergi dari sini." ujarku.
"Kau terlalu sombong. Kita lihat itu nanti."
"Kau sudah kepayahan. Terluka. Tidak ada gunanya kau menantangku sekarang." balasku.
"Aku tidak akan kalah darimu!"
Tiba-tiba dia menyerangku. Aku tidak melihat gerakannya tadi. Satu sabetan pedangnya
berhasil melukai bahuku. Sial. Tidak akan kubiarkan aku terluka lagi.
Aku bersalto ke samping dan mencoba menyerangnya dari arah kanan. Berhasil. Pedangku
berhasil melukai perut bagian kanannya. Dia memang sudah kepayahan karena pertarungannya
dengan Maya tadi. "Kau" brengsek!!"
Jack menyerang lagi. Kali ini, aku lebih siap. Kutangkis serangannya dan aku berputar,
menendangnya. Ia terjungkal ke belakang. Tubuhnya menghantam dinding dengan bunyi yang
cukup keras. Jack tidak bergerak. Tapi, aku tidak mengartikan tubuhnya yang tidak bergerak itu
bahwa dia sudah mati. Tidak. Dia belum mati. Aku bisa merasakan dia masih bernafas.
Aku akan melancarkan serangan terakhir. Aku teringat lagi kata-kata Maya bagaimana
mengalahkan Jack sebelum kami kemari.
"Rahasia mengalahkan Jack adalah : Serang dia di saat dia kepayahan. Kekuatannya sebagai
The Chronos Sapphire memang meningkat dengan pesat. Tapi, itu juga membuat konsentrasinya
terpecah. Karena itu, biarkan aku menjadi umpan, dan saat aku sudah membuatnya kepayahan,
kamu bisa menyerangnya dengan mudah, dan bisa membunuhnya." Kata Maya sambil tersenyum.
"Tapi, bagaimana jika ada kejadian tidak terduga?" tanyaku.
"Itu tidak masalah." Kata Maya, "Kalaupun ada kejadian tidak terduga, toh, konsentrasi
The Chronos Sapphire Ii Karya Angelia Putri di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Jack juga akan terpecah. Dan saat itu, kamu bisa menyerangnya."
Maya menatapku. Wajahnya kelihatan serius.
"Dan aku memintamu untuk membunuh Jack. Bukan permintaan sebagai The Chronos
Sapphire, tapi, sebagai orang yang ingin lepas dari bayang-bayang masa lalu yang mengerikan."
"Maksudmu?" "Kamu akan tahu." ujarnya tersenyum, "Kamu akan tahu nanti setelah kita berada di pulau
Red Zone. Tapi, yang pasti, serang dia di saat dia kepayahan, tepat di jantung. Itulah titik
kelemahannya." Aku mengambil nafas dan menghembuskannya. Aku berjalan kearah Jack yang terduduk
tidak bergerak. "Kita akan akhiri semuanya di sini." kataku sambil mengangkat pedangku.
Jack tidak menjawab. Sepertinya dia benar-benar sudah tidak bertenaga lagi. Namun, baru
saja aku akan menyerang jantungnya, dia tertawa. Keras, dan mengerikan. Membuatku dan yang
lain kaget. "Kalian tidak akan tahu bahaya apa yang akan mengincar kalian nantinya." Katanya
menyeringai, "Aku akan pastikan, orang lain yang akan membuat kalian menderita. Kalian semua!
Ingat saja itu!" Ancamannya membuatku merinding.
"Dan kau, tuan pahlawan," dia menoleh kearahku, "Tuan putrimu itu akan menderita
selamanya. Begitu juga Maya. Mereka berdua akan menderita. Dan aku pastikan, kau juga akan
ikut menderita." Aku tidak membiarkan dia berbicara lagi. kutusukkan pedangku kearah jantungnya, dan
sedetik kemudian, dia tidak bergerak. Aku mencabut pedangku dan memeriksa denyut nadinya.
Dia benar-benar sudah mati.
"Dia sudah mati." Kataku, "Dan sebaiknya, kita pergi dari sini secepatnya. 10 menit lagi
kita harus sudah berada di pesawat."
*** Sambil menggendong Aria, aku berlari menembus hutan pulau Red Zone. Dylan, serta yang lain
berada di belakangku. Dylan menggendong Maya karena dia masih terluka. Kami harus
menambah kecepatan lari kami agar bisa sampai di pantai tepat waktu.
Aku bisa melihat garis pantai. Dan aku juga melihat sebuah pesawat terparkir di sana. Pilot
yang kukenal melambaikan tangan kearah kami.
"Semuanya, cepat masuk. Pulau ini akan tenggelam!"
Aku mengerti. Aku juga sudah merasakan adanya getaran dari tanah yang kupijak. Ketika
kami semua sudah berada di dalam pesawat, sang pilot langsung masuk ke dalam ruang kokpit dan
menjalankan pesawat meninggalkan pulau Red Zone.
"Panggil petugas medis. Ada orang terluka!" kataku pada seorang pramugari yang
kelihatannya baru ikut serta dalam misi penyelamatan kami.
Dia mengangguk dan menyuruh kami menunggu.
"Ri" fan?"
Aku menoleh kearah Aria dan melihatnya membuka mata. "Kamu" kamu di" sini?"
"Iya. Aku di sini." kataku menggenggam tangannya. "Tahan sebentar. Aku akan
membaringkanmu." Aku merebahkan Aria di dekat Maya. Wajah mereka berdua pucat. Apakah racun Deathly
Sorrow Jack sudah menyebar di dalam tubuh mereka"
Ya Tuhan" semoga saja tidak.
"Mana petugas medis?" tanyaku.
"Aku akan mencari mereka." Charles berdiri dan berjalan ke dalam bagian dalam pesawat.
"Semuanya, lihat!"
Aku menoleh kearah Stevan yang menunjuk ke luar jendela. Kami semua menghampirinya
dan melihat kearah yang dia tunjuk. Kulihat pulau Red Zone meledak, dan terbagi menjadi
beberapa bagian kecil sebelum akhirnya tenggelam secara perlahan ke dasar laut. Asap yang
ditimbulkan oleh ledakannya membumbung tinggi ke udara.
"Jebakan X." kataku.
"Benar." Dylan mengangguk di sebelahku. "Dan Jack ada di sana. Bersama pulau Red
Zone." "Semoga saja dia tenang. Dan tidak mengganggu kita lagi." ujarku. "Aku lelah dia
mengganggu ketenangan hidup kita."
"Setuju." Sahut Lord.
Charles datang bersama pramugari tadi dan 4 orang petugas medis, yang segera memeriksa
Aria dan Maya. Aku melihat sekali lagi kearah asap yang membumbung tinggi.
"Tuan putrimu itu akan menderita selamanya. Begitu juga Maya. Mereka berdua akan
menderita. Dan aku pastikan, kau juga akan ikut menderita."
Kata-kata Jack terngiang di otakku. Ancamannya saat itu terdengar nyata. Dan aku benarbenar takut hal itu akan terjadi.
Tapi, aku tahu, tidak ada gunanya memikirkannya. Itu hanya gertakan kosong. Dan aku
harap, memang benar-benar gertakan kosong belaka.
Semoga saja" BAB 20 Semua Berakhir (Kali Ini Benar-Benar Berakhir)
Rifan"s Side Semua berakhir. Benar-benar berakhir.
Pesawat yang membawa kami sampai ke Dewan. Segera setelah turun dari pesawat, Aria
dan Maya langsung dibawa ke rumah sakit. Luka yang diakibatkan oleh Jack membuat mereka
kehilangan banyak darah dan mereka harus menerima donor darah. Yang jadi masalah, darah
kami semua tidak sama dengan manusia biasa dan tidak bisa menerima donor darah yang normal.
"Apa golongan darah mereka berdua?" tanya Dylan pada dokter yang menangani mereka.
"Golongan darah mereka unik. Siapa diantara kalian semua yang memiliki golongan darah
O+?" "O+?" "Golongan darah O+ tidak pernah ada sebelumnya." Ujar dokter, "Yang kami punya
hanyalah golongan darah A+ dan AB-. Itupun adalah darah manusia biasa."
"Biar aku yang mendonorkan darah." Ujarku. "Golongan darahku O+."
"Aku juga." Charles menyahut. "Aku juga bisa menjadi donor."
"Baiklah. Silakan ikut saya ke laboratorium untuk memeriksa darah kalian."
Aku dan Charles mengangguk. Kami segera mengikuti dokter menuju laboratorium.
Dokter mengambil darah kami cukup banyak karena kondisi Aria dan Maya benar-benar
drop dan memerlukan banyak donor darah.
Setengah jam kemudian, aku merasa kepalaku pusing dan berat badanku berkurang
setengahnya. Aku berbaring diam di atas dipan rumah sakit dengan satu tangan memegang dahi.
Kepalaku masih terasa pusing. Tapi, tidak apa. asalkan Aria, dan Maya selamat, itu sudah cukup.
Seorang suster datang menghampiriku dan meletakkan sebotol jus apel dan sepotong roti
di dekatku. Dia juga melakukan hal yang sama pada Charles.
"Makanlah. Ini akan mengurangi rasa pusing kalian." Ujarnya tersenyum, "Kedua pasien
sedang dalam operasi. Berdoalah semoga operasinya lancar."
Aku mengangguk dan duduk dengan hati-hati. Takut kepalaku semakin bertambah pusing.
Kuraih botol jus apel di dekatku dan meminum isinya sedikit. Memang rasa pusingku
sedikit menghilang. Tapi, ada satu rasa lain yang membuatku masih merasakan pusing. Perasaan
cemas, tepatnya. "Kurasa aku ingin keluar." kata Charles memakan rotinya sedikit, "Kau mau ikut?"
"Tidak. Kau duluan saja."
Charles berdiri dari dipannya dengan hati-hati, kemudian berjalan keluar, meninggalkanku
sendirian. Aku menghembuskan nafas. Ada sesuatu yang terasa menghimpit dadaku. Apakah
perasaan cemas itu sudah berubah menjadi rasa takut" kehilangan"
Astaga. Semoga tidak. Rifan" "Aria?" aku mendongak dan merasakan empatiku dengan Aria terhubung. "Aria" Kamu
baik-baik saja?" Rifan" Rifan" Suaranya lemah. Dan nyaris tidak bisa kudengar kalau saja aku tidak menajamkan
empatiku. Rifan" kemari" aku ingin kamu di sini"
Apa operasinya sudah selesai" Kenapa suara Aria terdengar lemah dan sakit"
"Rifan!" Pintu mendadak terbuka, dan Dylan serta Keiko masuk ke dalam. Mereka berdua
menghampiriku dengan wajah cemas.
"Apa" Ada apa?"
"Kamu harus ikut kami sekarang." kata Keiko, "Ayo."
"Ada masalah apa?" tanyaku, "Tolong katakan dulu apa masalahnya, dan setelah itu aku
baru bisa mengikuti kalian. Kepalaku masih sakit."
"Ini" Aria." Keiko menelan ludah. "Dari tadi dia memanggil namamu. Kondisinya benarbenar kritis dan dia nyaris tidak bisa bertahan. Dan dia terus memanggil namamu?"
"Aria dalam kondisi kritis?" rasanya ada sesuatu seperti serbuk kayu di tenggorokanku,
"Apa"bagaimana bisa?"
"Dia memanggil namamu, Rifan. Kurasa kamu harus menemaninya. Sekarang juga." Kata
Dylan menarik tanganku. *** Kami bertiga sampai di ruang operasi. Dokter yang tadi mengambil darahku untuk didonorkan
pada Aria berada di depan pintu dan sedang berbicara dengan Nyonya Haruka. Begitu melihat
kami mendekat, beliau menarik nafas lega.
"Syukurlah kau datang, nak." Kata Nyonya Haruka. "Masuklah ke dalam dan temani Aria.
Menurut dokter, kondisinya semakin kritis."
"Apa yang terjadi padanya?" tanyaku.
"Kami tidak tahu. Tiba-tiba saja dia kritis dan kami berusaha mencoba membuatnya tetap
dalam status normal." Kata Dokter, "Dan, dia dari tadi memanggil nama Rifan."
"Itu saya." "Kalau begitu, kamu bisa masuk. Mungkin dengan kamu ada di dekatnya, dia akan
merasakan kehidupan di dekatnya."
Perumpamaan yang bagus. Aku lalu mengikuti dokter itu masuk ke dalam ruang operasi.
Sebenarnya, aku ingin bertanya apakah orang lain selain dokter dan para suster boleh masuk ke
ruangan ini. Tapi, tentu saja. Aku tidak punya kesempatan untuk bertanya.
Dokter memberiku sebuah baju medis berwarna hijau dan aku segera mengenakannya
tanpa banyak bertanya. Beliau menyibakkan tirai yang ada di hadapan kami. Dan aku melihat
Aria. Wajahnya lebih pucat, dan dari dahinya mengalir keringat.
"Aria?" Aku mendekat kearahnya dan menggenggam tangannya. Tangannya begitu dingin. Nyaris
seperti tangan mayat" tunggu. Jangan memikirkan itu.
Rifan" Rifan" "Aku di sini. Aku akan menemanimu." Bisikku. "Jadi, tetaplah hidup. Aku mohon."
Rifan" Rifan" suaranya terdengar dalam otakku. Sangat jelas. Dan kedengaran lega.
Kurasakan tangan Aria yang kugenggam mulai menghangat, dan wajah Aria tidak lagi pucat.
Alat pemantau jantung di dekatku memperdengarkan bunyi detak jantung Aria dengan sebuah
garis hijau tidak beraturan yang tertera di layarnya.
"Kondisi pasien kembali normal. Segera lakukan pendonoran!"
Semua orang di ruangan itu sibuk. Aku terus menggenggam tangan Aria. Seulas senyum
samar tersungging di bibir tipisnya yang tertutup masker oksigen.
Jangan pergi" tetap di sini"
"Aku tidak akan kemana-mana." kataku, "Aku tidak akan meninggalkanmu. Apapun yang
terjadi." *** Operasi berjalan lancar. Aria dan Maya dipindahkan ke ruang rawat"bukan, tapi, ruang rawat
khusus. Aku sempat melihat plang nama ruang rawat ini, ruang Mawar. Kurasa tempat ini adalah
ruangan khusus para The Chronos Sapphire yang terluka seperti Aria dan Maya. Tempat tidur
mereka bersebelahan. Dan, entah kenapa, aku mulai merasa wajah mereka berdua kelihatan
mirip. Hanya saja, Maya adalah versi Barat dari Aria, dan Aria adalah versi Timur dari Maya.
Aku duduk di sebelah tempat tidur Aria. Selang infuse tertancap di pergelangan tangan
kanannya, yang sedang kupegang. Wajahnya tenang, seolah dia tidak dioperasi dan kelihatannya
hanya tidur biasa. Pintu terbuka, dan teman-temanku, serta Keiko, Kazuhi, dan Nyonya Haruka, serta
Ardelia Ainsworth, masuk ke dalam. Sebagian dari mereka mengerubungiku dan Aria. Sejenak
aku mengerutkan kening. Kenapa Kazuhi juga ada di sini" Dan" oh, aku lupa soal Keiko. Dan
Nyonya Haruka. Apakah mereka bertemu sebelum masuk ke sini dan kedua kakak Aria itu syok
mendapati ibu mereka ternyata masih hidup"
Tapi, anehnya, mereka tidak menunjukkan ekspresi terkejut atau" setidaknya, ada bekas
jalur air mata di pipi mereka. Semua itu tidak ada. Wajah Keiko dan Kazuhi bagai dipahat dari
batu. Terlihat datar, dan tidak menampakkan emosi apapun.
"Bagaimana keadaan Aria?" tanya Nyonya Haruka padaku, "Dia baik-baik saja, kan?"
"Seperti yang Anda lihat." Aku tersenyum.
"Syukurlah?" "Aku akan melihat keadaan Maya. Tidak keberatan jika tirai ini kututup?" tanya Ardelia.
"Haruka, kita harus memeriksa keadaannya."
"Tentu." Aku mengangguk.
Nyonya Haruka menghampiri Ardelia yang bergerak menutup tirai. Dan mereka berbicara
lirih dan nyaris tidak bisa kudengar.
"Aria kenapa" Dia baik-baik saja, kan?" tanya Kazuhi.
"Dia baik-baik saja. Sekarang sedang dalam masa pemulihan." Kataku.
"Sebenarnya apa yang terjadi" Aku baru sampai dari Boston ketika Keiko meneleponku
untuk segera pergi ke rumah sakit." kata Kazuhi, "Apa ini ada hubungannya dengan seseorang
bernama Jack?" "Dari mana kakak tahu?" tanya Charles.
"Hanya menebak. Aria pernah menyebut nama itu sambil menjerit ketakutan." Kazuhi
menoleh kearah Keiko, "Kau ingat saat Rifan tidak ada dan dia terbangun di tengah malam karena
mimpi buruk?" "Oh" jadi karena itu?"
"Sebenarnya apa yang kalian bicarakan?" tanyaku. "Tolong, dari kalian berdua, ada yang
bisa menjelaskan semuanya padaku?"
"Aria pernah bermimpi, Rifan." kata Keiko, "Dia pernah bermimpi kamu mati"
meninggal, bahasa sopannya"di tangan seseorang bernama Jack. Dia menyuruhku untuk
menghubungimu karena saat itu" errr" hubungan empati kalian tidak berjalan lancar. Dan dia
takut kamu kenapa-napa."
"Aria sempat tidak nafsu makan selama 3 hari karena mimpi itu. Kondisinya sebelum
konser waktu itu benar-benar drop. Dia hampir pingsan saat check-sound dan terkena tifus, dan
seharusnya, dia beristirahat selama seminggu. Tapi, dia nekat untuk tetap melaksanakan
konsernya. Dan?" "Cukup. Aku tidak mau mendengarnya lagi." kataku sambil tersenyum, "Tidak apa-apa.
Yang penting, sekarang Aria baik-baik saja. Iya, kan?"
Keiko hanya mengangguk. Dia menatap Aria, kemudian aku.
"Kurasa aku tahu kenapa Aria sangat takut kamu mati." Katanya, "Kamu orang yang baik."
Hah" Dia baru menyadarinya sekarang" Busyet"
"Ya" kurasa begitu." Kataku sambil tersenyum lagi.
*** Atas kesepakatan kami semua, kami akan mengadakan giliran jaga untuk menjaga Aria dan Maya.
Dua orang akan dipilih untuk menjaga mereka.
Aku dan Stevan mengajukan diri untuk giliran jaga pertama hari ini. Di samping aku tidak
ingin meninggalkan Aria sendirian, aku juga takut, kalau-kalau Jack, atau siapalah, yang memiliki
niat buruk terhadap kami, datang dan melakukan hal buruk pada kedua gadis itu.
Malam ini, aku duduk di sofa bersama Stevan sambil menyantap makan malam kami. Nasi
kare hangat dan sebotol teh hijau yang cukup untuk mengganjal perut. Aku juga menyiapkan
beberapa sachet kopi untuk jaga-jaga kalau kami ingin minum kopi nanti.
Beruntung sekali ruang rawat ini memiliki mesin dispenser air dan sebuah kompor listrik
ukuran mini. Jadi, kami hanya tinggal membeli makanan untuk dihangatkan jika kami juga lapar
tengah malam. Sekarang, sudah jam 12 malam. Stevan tertidur di sofa karena dia kelelahan. Yah"
semuanya, termasuk aku, juga kelelahan. Setelah bertarung di pulau Red Zone. Kami semua
menderita lelah yang cukup membuat kami tidur selama 3 hari tanpa terbangun.
Tapi, aku tidak berniat tidur, walau mataku sudah sangat mengantuk dan perlu
diistirahatkan selama" kurang-lebih, satu jam.
Aku duduk di kursi di sebelah tempat tidur Aria. Mengamatinya. Dia bahkan kelihatan
lebih cantik jika seperti ini (bukan berarti aku ingin melihatnya tidur untuk selamanya). Rambutnya
cantik, bulu matanya yang lentik, hidungnya yang sedikit mancung, dan semua tentang Aria, di
mataku selalu cantik. Oke. Aku tidak berniat menggombal. Tapi, itu memang kenyataannya.
Kurebahkan kepalaku di sisi tangan Aria. Rasanya aku perlu tidur. Mungkin 5 menit, atau
lebih. Mataku terasa berat, dan kepalaku mulai pusing. Kusarankan pada diri sendiri untuk tidur
sejenak. Lagipula, kalau ada bahaya mendekat, aku dan Stevan bisa terbangun dengan mudah hanya
suara sekecil apapun. Jadi, itu tidak masalah.
BAB 21 Terbangun Aria"s Side Putih. Itu adalah hal pertama yang kulihat. Semuanya serba putih.
Kepalaku sakit seperti dihantam palu puluhan ribu ton. Pandanganku agak kabur, tapi,
rasanya tidak terlalu kabur juga. Beberapa saat kemudian, mataku sudah bisa beradaptasi dengan
keadaan di sekitarku. Dan aku baru sadar, aku tidak lagi berada di koridor tempat Rifan dan yang lainnya
melawan Jack. Ini seperti" tempat ini seperti rumah sakit.
Aku benci rumah sakit. Bau obat-obatan dan segala hal yang berhubungan dengan medis
benar-benar membuatku mual dan ingin muntah.
Sayangnya, aku tidak dalam kondisi ingin muntah sekarang.
The Chronos Sapphire Ii Karya Angelia Putri di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kurasakan ada sesuatu yang menggenggam tanganku. Kulirik di sebelahku dan melihat
Rifan. Tidur dengan wajah menghadapku.
Seulas senyum tersungging di bibirku. Aku ingat, Rifan, dan yang lain, menyelamatkanku.
Lalu aku terluka, kemudian" apa, ya" Rasanya tadi aku merasakan Rifan pergi dariku. Aku
berusaha menggapainya, tapi, tidak bisa. Kupikir saat itu aku akan mati.
Tapi, kemudian Rifan kembali. Dia menggenggam tanganku. Memelukku. Menjagaku.
Rasanya hangat berada di dalam pelukannya walau sepertinya saat itu aku berada di ambang
kematian. Semuanya terasa nyata. Dan, jujur saja, aku benar-benar takut jika seandainya Rifan
benar-benar pergi dari sisiku.
Aku mencoba menggerakkan sebelah tanganku untuk mengelus rambutnya, tapi, tidak
bisa. Tanganku terlalu sakit, dan aku meringis pelan, lirih. Nyaris tidak terdengar.
Tapi, kelihatannya tidak bagi Rifan.
Ketika dia mendengar rintihanku, matanya terbuka, dan dia kaget melihatku sadar.
"Aria" Kamu sudah sadar?"
Aku hanya mengangguk lemah. Masih tidak bisa berbicara secara normal. Rasanya ada
yang menyumbat tenggorokanku dan membuatku tidak dapat bicara. Aku lalu menggunakan
kemampuan empatiku, mengatakan padanya kalau aku baik-baik saja sekarang.
"Syukurlah, kamu sudah sadar." Dia tersenyum dan membelai rambutku. "Aku pikir,
kamu akan tetap tidur seperti bayi sampai besok pagi."
Aku tidak tidur seperti bayi. Kataku padanya melalui empati.
Rifan nyengir mendengar gerutuanku. Dan perasaan berdesir ketika aku hilang ingatan
kembali lagi. Aku benar-benar merindukan segala hal yang berhubungan dengan Rifan selama aku
hilang ingatan dan dikurung oleh Jack.
Tunggu. Jack" apa dia"
Di mana" Jack" Dia tidak ada di sini, kan" tanyaku.
"Tidak. Dia sudah tidak akan mengganggu kita lagi. Dan kali ini, kupastikan, dia benarbenar tidak akan mengganggu kita lagi."
Aku mengangguk, lalu menghembuskan nafas. Rasanya lega, semua ini berakhir. Aku
memejamkan mata, dan merasakan genggaman Rifan di tanganku mengerat.
Apa" tanyaku sambil membuka mata.
"Tidak. Aku hanya tidak sadar, kamu tidak bicara secara langsung. Kenapa"
Tenggorokanmu sakit?"
Aku mengangguk. "Mau kuambilkan minum" Siapa tahu setelah ini kamu bisa berbicara lagi."
Aku mengangguk lagi. Dia berjalan kearah sofa di seberang tempat tidur yang kutempati
dan kembali dengan segelas air lengkap dengan sedotannya. Rifan membantuku duduk dan
menyodorkan sedotan kearah mulutku. Kuteguk beberapa tegukan air dan merasakan
tenggorokanku sedikit lebih baik.
"Terima" kasih?" kataku.
Rifan menaruh gelas itu di atas meja dan menatapku.
"Apa?" "Tidak. Aku hanya baru sadar, wajahmu masih agak pucat." katanya, "Kamu masih merasa
sakit" Pusing?"
"Tidak terlalu. Hanya tubuhku saja yang tidak bisa digerakkan secara leluasa." Jawabku,
"Tenang saja. aku akan segera sembuh, kan" Jadi, tidak masalah. Lagipula salah satu keuntungan
menjadi The Chronos Sapphire adalah kau bisa sembuh hanya dalam hitungan waktu."
Dia tersenyum dan menggenggam tanganku.
"Sudah kembali menjadi cerewet seperti biasa?"
"Tidak, tuh." Aku nyengir. Tapi, kemudian cengiranku lenyap, "Di mana Maya?"
"Di balik tirai hijau di sebelahmu." Kata Rifan menunjuk tirai di sisiku yang lain, "Dia
masih tidak sadarkan diri. Kau tahu tubuhnya lemah."
"Oh ya, aku baru sadar, ternyata Maya punya wujud manusia juga." Kataku, "Tapi,
bagaimana bisa dia masuk ke dalam hatiku dan menjadi" err" suara hati-ku" Kamu tahu?"
"Ceritanya panjang," Rifan tersenyum, "Tidak mengantuk?"
"Tidak. Kenapa" Kamu mengantuk, ya?"
"Sedikit." Dia menguap dan aku merasa ingin mencubit pipinya dengan gemas karena saat
dia seperti ini adalah salah satu bagian dari dirinya yang kusukai.
"Kalau begitu, tidur saja." kataku.
"Tidak perlu. Aku sudah tidak mengantuk lagi."
"Pembohong." Dia tertawa pelan, kemudian mencium pipiku. Rasanya ada sensasi hangat yang menjalar
dari ciumannya dan membuat pipiku memerah. Aku yakin, wajahku sudah kelihatan seperti tomat
rebus. Ya" kalian mungkin akan mengatakan "Kenapa masih seperti itu" Padahal kalian sudah
lama berpacaran, dan bahkan sudah bertunangan!".
Asal kalian tahu saja, ya. Aku masih suka gugup jika berduaan saja dengan Rifan. Bahkan,
ketika dia menciumku seperti ini, aku masih sering salah tingkah dan gugupnya standar tingkat 4.
Menurutku itu adalah suatu sikap yang bagus (aku tidak tahu pendapat kalian mengenai hal itu),
karena itu artinya, aku menjaga diri dari cowok yang bukan siapa-siapaku (walau Rifan sudah
menjadi siapa-siapaku). "Tuh, wajahmu seperti biasa, selalu merah." Rifan mencubit pipiku.
"Aih" apa-apaan, sih?" aku menepis tangannya dan tertawa.
Rasanya sudah lama aku tidak tertawa seperti ini. Ngomong-ngomong, berapa hari aku
sudah dikurung Jack" 4 hari" Seminggu" Atau sebulan"
"Boleh aku duduk di sini?" Rifan duduk di sebelahku di atas tempat tidur. "Aku perlu
bersandar sebentar. Menjagamu semalaman membuatku mengantuk."
"Kamu tadi bilang tidak mengantuk." Protesku. Yah" sebenarnya pura-pura protes.
Sebenarnya, dengan senang hati aku mengizinkannya bersandar di bahuku, atau tidur
bersamaku juga boleh (hei" jangan memikirkan hal yang tidak-tidak). Hihihi"
Rifan merebahkan kepalanya di bahuku dan memejamkan mata. Aku sendiri merebahkan
kepalaku di atas kepalanya. Rasanya damai" tenang" dan seperti tidak ada satupun yang bisa
mengganggu kami. Mendadak aku teringat kekuatan Jack yang kusegel dalam kalungku. Apa kekuatan itu
masih bisa kupakai setelah Jack merebutnya kembali"
Aku melihat kearah jam dinding yang berdetak. Kemudian menjentikkan jari. Tidak
nyaring, dan tidak terlalu pelan juga. Sedetik kemudian, jarum jam yang sedari tadi bergerak
berhenti. "Menggunakan kemampuan itu lagi?" tanya Rifan terkekeh.
"Aku hanya ingin punya waktu berdua denganmu." kataku, "Salah, ya?"
"Tidak. Aku baru saja ingin memintamu menggunakan kemampuan itu untuk kita
berdua." "Benarkah?" "Belah saja dadaku kalau tidak percaya."
"Huuu" gombal." aku menoyor kepala Rifan sambil tertawa dan dia menangkap tanganku.
Rifan lagi-lagi menatapku. Tangannya tidak melepaskan tanganku. Dan aku membalas
tatapannya. Mata hitam Rifan memantulkan bayanganku dan matanya itu terlihat seperti cermin.
"Boleh aku minta satu permintaan?" tanyanya.
"Kau selalu meminta permintaan, Rifan." kataku dengan nada sarkasme, "Sejak kita jadian,
kamu selalu meminta permintaan."
"Tapi, aku tidak meminta permintaan yang melanggar hukum, kan?" dia nyengir.
Aku mengerucutkan bibir, walau sebenarnya yang dikatakannya itu benar. Rifan sangat
menjagaku. Dia tidak pernah melakukan hal yang lebih dari sekadar pelukan ataupun ciuman.
Padahal, kalau cowok-cowok lain, yang pernah mendekatiku, mereka pasti sudah berpikiran
kemana-mana, dan membuatku menolak mereka mentah-mentah.
"Sepertinya aku harus membuat sesuatu agar kamu tidak selalu meminta permintaan
padaku. Mungkin semacam voucher atau semacamnya." Kataku setengah menggerutu. "Baiklah,
kamu ingin meminta apa?"
"Boleh aku menciummu?"
"Itu sudah sering kamu minta, dan seharusnya kamu tidak perlu meminta izin dulu."
Balasku. Dia hanya tersenyum manis. Kemudian bibirnya bergerak ke bibirku. Dan seperti yang
seharusnya kalian duga. Kami berciuman. Rifan merengkuh bahuku dan menarikku
mendekatinya. Kuletakkan tanganku di bahunya. Tanganku agak gemetar karena masih sakit.
Rifan memiringkan kepalanya dan sebelah tangannya memegang tengkukku. Kubiarkan dia
melakukan hal yang dia inginkan (selama tidak melanggar hukum dan tidak melanggar hakku
sebagai perempuan). Rifan melepaskan ciumannya dan menatapku dengan binar-binar jenaka pada bola
matanya. "Apa?" tanyaku.
"Boleh aku meminta satu permintaan lagi?"
"Ciuman saja tidak cukup?" godaku sambil tersenyum.
"Tidak." dia tersenyum lebar. "Tutup matamu sebentar."
"Untuk apa?" "Tutup saja matamu. Aku tidak akan melakukan apapun padamu, kok."
"Baiklah?" Aku menutup mataku. Kurasakan kedua tangan Rifan melingkari leherku dan
memasangkan sesuatu. Entah apa. Aku belum ingin tahu.
"Buka matamu sekarang."
Aku membuka mataku perlahan dan melihat senyuman lebar di wajah Rifan.
"Apa yang membuatmu tersenyum lebar seperti itu?"
"Perlu cermin untuk melihat?" katanya.
"Hah?"" "Sepertinya kamu perlu cermin, untuk melihat apa yang tadi kuberikan padamu."
Sebelum aku sempat menanyakan sesuatu padanya, dia mengambil cermin di dekatnya
dan mengarahkannya padaku. Aku melihat pantulan diriku sendiri di cermin. Dan menahan nafas
ketika kulihat selain kalung bulan sabitku, ada satu lagi kalung yang melingkar di leherku. Sebuah
liontin hati berwarna perak. Dengan inisial namaku dan Rifan di tengah-tengahnya.
"Apakah hadiah gelang saja tidak cukup?" kataku, "Kenapa harus kalung?"
"Karena kalau gelang, mungkin kamu tidak sengaja menjatuhkannya. Dan kalau cincin,
inisial nama kita tidak akan muat untuk ditulis di situ." Kata Rifan, "Jadi, kalung adalah pilihan
yang tepat, kan?" Aku menyentuh liontin itu dan melihatnya bersinar diterpa sinar lampu.
"Suka?" "Semua yang kamu berikan padaku selalu aku sukai." Kataku tersenyum lebar, "Tapi,
tidak dengan ular. Jangan pernah membawakan aku hadiah berupa ular."
Rifan tergelak. "Tidak akan. Aku tidak mau jadi sasaran amukanmu lagi seperti waktu itu." katanya.
Kurasakan waktu kembali berputar, dan jarum jam yang tadi terhenti kini bergerak sebagai
buktinya. Rifan menguap lagi. Sepertinya dia benar-benar sangat mengantuk.
"Perlu tidur" Kalau mau, temani aku tidur." kataku.
"Memangnya boleh" Kalau aku ketahuan kedua kakakmu kita tidur bersama?"
"Kau bisa bangun lebih dulu dan tidak bercerita kalau kita tidur bersama." Selaku,
"Ayolah. Dari tadi kamu menguap, dan matamu merah sekali."
Dia kelihatan ragu-ragu. Sikap ragu-ragu yang sengaja dibuatnya.
"Rifan" ayolah. Ini permintaanku yang pertama." kataku, "Selama ini, kamu yang selalu
meminta permintaan padaku. Sekarang, giliranku."
"Tak bisa dibantah. Mulai cerewet lagi." dia tersenyum lebar.
Tapi, dia akhirnya tidur di sebelahku. Wajahnya menghadapku. Cengiran lebar tidak lepas
dari wajahnya. "Terlalu sering tersenyum, kamu akan dikira orang gila, Rifan." kataku.
"Aku gila karena kamu, kok."
"Jangan menggombal lagi." aku melayangkan tatapan tajam padanya.
Dia mencium keningku dan memelukku. Memang agak sulit berpelukan dalam posisi tidur
seperti ini. Jadi, dia hanya meletakkan tangannya di bahuku dan nafasnya perlahan-lahan mulai
mengendur sebelum akhirnya tertidur pulas sebelum akhirnya aku juga tidur sambil dipeluk
olehnya. BAB 22 Kehidupan Normal (Kembali Lagi)
Charles"s Side Akhirnya, masalah yang ini akhirnya selesai juga!
Aku harus merayakannya dengan sesuatu. Mungkin dengan semacam pesta dan minum
soda dan makan keripik kentang sambil menonton TV.
Tapi, sayangnya, aku sedang tidak mood untuk melakukan itu.
Begitu sampai di apartemen, aku langsung merebahkan diri di atas kasur dan
menghembuskan nafas. Astaga. Lelah sekali. Rasanya tubuhku seperti rontok dan kelihatannya tulang-tulangku
lepas dari tempatnya. Semua selesai. Kami berhasil menyelamatkan Aria. Jack sudah tidak akan mengganggu lagi.
Selamanya. Aku gembira. Adakah yang bisa membuatku lebih gembira dari ini"
Aku mendengar sayup-sayup suara bel apartemenku. Aku mengerang. Siapa yang datang
ke rumahku malam-malam begini"
Dengan agak malas (dan juga mengantuk. Dan aku belum mandi), aku berjalan kearah
pintu dan menekan intercom-ku.
"Siapa?" tanyaku.
"Ini aku, Charles." Itu suara Rinoa.
Ya ampun" apa dia tidak tidur" Ini sudah larut malam!
Tapi, aku membukakan pintu untuknya. Rinoa masuk. Dia kelihatannya memang bersiapsiap ingin tidur, dilihat dari piyama biru muda yang dilapisi jaket tebal yang dikenakannya. Dia juga
hanya mengenakan sandal tidur berbentuk kepala Hello Kitty berwarna biru.
"Kamu tidak tidur?" tanyaku sambil menutup pintu.
"Tidak. Aku tidak bisa tidur sebelum kamu pulang." ujarnya sambil berjalan kearah ruang
tamu. Aku mengikutinya, dan melihat dia duduk di sofa sambil memperhatikan tas ransel serta
pistol dan pedangku yang ada di sebelahnya.
"Apa Aria baik-baik saja?" tanya Rinoa saat aku baru saja mengempaskan pantatku di sofa
di sebelahnya. "Dia baik-baik saja." kataku, "Malahan sekarang, mungkin dia sudah sadar dan sedang
berduaan dengan Rifan."
"Sistem penyembuhan kalian memang sangat cepat, ya?" tanyanya.
"Begitulah." Aku mengedikkan bahu, "Dan, kenapa kamu tidak tidur" Ini sudah larut.
Tidak baik jika tidur jam segini."
"Sudah kubilang aku tidak bisa tidur sebelum kamu dan yang lain pulang." dia tersenyum,
"Dan" aku ingin menagis sesuatu."
"Menagih apa?" tanyaku dengan wajah bego.
Hei. Serius. Aku tidak tahu dia ingin menagih apa. Lagipula, apa aku pernah berjanji
sesuatu pada Rinoa" Kalau iya, matilah aku karena tidak mengingatnya.
Rinoa kelihatannya tidak marah. Dia malah tersenyum semakin lebar.
"Kamu lupa" Atau pura-pura lupa?"
"Aku lupa." Kataku mengaku, "Memangnya aku ada janji sesuatu denganmu?"
Dia memutar bola matanya, tapi, senyuman tidak lepas dari wajahnya.
"Sekarang tanggal berapa?" tanyanya.
"Tanggal?" aku melirik kearah kalender. Kemudian kearah jam, "Ini sudah lewat tengah
malam tanggal 19. Jadi, sekarang tanggal 20."
"Sekarang bulan apa?"
"November." Jawabku. "Memangnya kenapa?"
"Melupakan sesuatu?"
"Apa?" "Kamu melupakannya, ya?" tanyanya. Kali ini wajahnya kelihatan ditekuk.
Aku berusaha mengingat-ingat. Walau sebagai The Chronos Sapphire aku bisa mengingat
segala sesuatu dengan mudah. Tapi, entah kenapa, soal yang satu ini malah membuatku tidak bisa
mengingatnya. Duh" apa yang kulupakan?"
Rinoa menghembuskan nafas dengan dramatis, kemudian berkata, "Hari ini ulang
tahunku." Katanya. "Apa" Oh" ya. Benar. Ulang tahunmu." Kataku dengan nada bersalah, "Maaf. Aku"
lupa." "Sudah kuduga." Katanya, "Kamu mungkin pintar dalam segala bidang. Tapi, urusan
mengingat hari ulang tahun pacarmu saja kamu tidak bisa."
Waduh. Suaranya terdengar marah.
Jangan marah, dong, pacarku sayang" aku, kan, lupa. Lagipula, seminggu ini aku
disibukkan dengan misi menyelamatkan Aria.
"Jangan ngambek begitu, dong" cantiknya nanti hilang, lho." Kataku.
Dia mengerucutkan bibirnya. Tanda dia sedang merasa kesal. Bagus" aku sudah
membuatnya marah. Dan aku benar-benar yakin, kalau aku akan mendengar kata "putus" dari
mulutnya. Oh, tidak" semoga tidak" apa jadinya aku tanpa Rinoa"
Maaf. Itu memang sedikit berlebihan. Tapi, itu memang benar. Aku dan Rinoa bisa
dibilang sama dalam berbagai hal. Semua kesukaan kami sama, apapun yang kami punya,
terkadang sama. Dan semuanya nyaris sama. Itu membuat kami makin lengket.
Duh" semoga bukan kata "putus". Kumohon"
"Aku tidak marah. Sudah kuduga kamu akan lupa hari ulang tahunku." Kata Rinoa,
"Karena itulah, aku menunggumu pulang. Dan aku ingin menagih sesuatu di hari ulang tahunku."
Pheeww" syukurlah. Bukan kata "putus".
"Baiklah" kamu ingin menagih apa" Asal bukan sesuatu yang tidak masuk akal dan
melanggar hukum." "Memangnya kamu pikir aku ingin minta apa?" tanyanya dengan nada sedikit tersinggung.
"Err?" aku tidak berani menjawab. Rasanya aku seperti suami yang sedang berhadapan
dengan istrinya yang sedang marah saja.
Jika pertengkaran antar cewek disebut Perang Dunia Ketiga, maka pertengkaran antar
pacar adalah Perang Dunia Keempat!
"Aku Cuma minta kamu menciumku. Itu salah?"
The Chronos Sapphire Ii Karya Angelia Putri di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Apa" Apa katanya tadi"
"Apa" Maaf. Aku tadi" melamun."
"Aku minta, kamu menciumku." Rinoa memperjelas ucapannya. "Ini permintaan pertama.
Nanti akan ada permintaan kedua. Dan ketiga."
Deuh" memangnya dia ingin meminta permintaan berapa banyak"
"Err" baiklah." kataku, "Kamu" ingin aku menciummu?"
Oke. Sebenarnya, aku sudah sering menciumnya. Tapi, itu karena aku duluan yang mulai.
Belum pernah Rinoa meminta lebih dulu.
Rinoa mengangguk. "Kalau kamu tidak siap. Nanti pagi saja." katanya sambil bergerak gelisah dan pipinya
mulai merona merah. Aku tahu. Dia malu. Walau tadi kata-katanya terdengar datar dan tanpa ekspresi bak
komandan militer yang sedang menyuarakan perintah pada bawahannya. Tapi, tetap saja. Dia
cewek. Dan cewek, kadang terlalu pemalu untuk meminta sesuatu pada pacarnya, semisal hal
ciuman seperti ini. Aku menatap Rinoa. Dia memang terlihat sangat gugup.
"Baiklah?" aku berdiri dan mendekat kearahnya. "Apa perlu kita mulai saja sekarang"
Dimulai dengan ucapan selamat ulang tahun, mungkin?"
"Te, terserah kamu saja." katanya.
"Oke." Aku tersenyum lebar, "Selamat ulang tahun."
"Terima kasih."
"Nah, hadiahnya?"
Aku mendekatkan wajahku padanya. Rinoa mematung, dan dia memang nyaris terlihat
seperti patung porselen dengan kulit putih susu dan rambut hitam yang digelung ke belakang.
Wajahku semakin dekat dengan wajahnya. Dan"
Ya ampun. Kenapa sekarang aku jadi gugup seperti ini" Biasanya tidak begini, deh.
Bibirku menyentuh sudut bibirnya dan dia tersentak kaget. Itu reaksi normal darinya yang
sering kuterima. Jadi, aku tidak kaget lagi.
Bibirku kali ini tepat berada di atas bibirnya. Aku memang tidak melakukan apa-apa.
Hanya menempelkan bibirku saja di atas bibirnya. Tapi, rasanya aneh. Menyenangkan. Dan juga
membuatku merasa beban di pundakku berkurang.
Bukan berarti aku tidak punya beban berat yang sedang kupikirkan.
Kuraih bahu Rinoa dan menariknya mendekat. Rinoa menurut dan membiarkanku
menciumnya lebih dalam. Dia sempat tersentak kaget, tapi, kemudian rileks dan menerima hadiah
pertamanya. "Kurasa sudah cukup." Katanya pelan setelah aku melepaskan bibirku darinya. Wajahnya
memerah dan kurasa aku ingin mencium pipinya. Serius.
"Baiklah. Apa permintaan keduamu?" tanyaku.
"Perminta"oh, ya. Benar." Dia mengangguk, "Biarkan aku tidur di sini malam ini."
"Apa"! Kamu tidak ingin" kamu tahu, kan?"
"Enak saja!" dia mendorongku dengan gaya main-main, "Aku hanya ingin ditemani
olehmu. Aku sedang takut tidur sendirian hari ini."
"Tapi?" "Aku yakin kamu tidak akan macam-macam." Katanya, "Aku percaya padamu."
Oke. Permintaannya yang kedua cukup membuatku kaget sekaget-kagetnya. Kukira dia
ingin apa. Ternyata" yah. Memang bukan hal seperti "itu" juga yang kuinginkan. Gila saja kalau
aku melakukannya! Aku masih punya akal sehat untuk itu.
"Baiklah. Permintaanmu yang ini akan kukabulkan, tuan putri." Kataku, "Lalu, permintaan
ketiga?" "Nanti saja." dia menguap. "Boleh aku tidur sekarang" Di bahumu?"
Aku tersenyum dan mengecup pipinya, "Tentu saja. Silakan. Aku juga sudah mengantuk."
Rinoa bergerak merebahkan kepalanya di bahuku, tapi, kemudian gerakannya terhenti.
Dan dia menatapku. "Apa?" "Sebaiknya kamu membersihkan diri dulu." Katanya sambil menahan senyum" geli"
"Kenapa?" "Baumu mengerikan." Dia tertawa, "Seperti bau naga saja. Kamu belum mandi, kan?"
Oh iya. Aku lupa soal itu.
"Baiklah" aku akan mandi. Apakah itu permintaan ketigamu?"
"Bukan." Dia menggeleng dengna senyum lebar di wajahnya. "Tapi, itu memang
kebutuhanmu. Sudah. Cepat sana mandi dan temani aku tidur!"
Aku hanya menggerutu panjang-pendek selama dia tertawa. Tapi, aku merasa senang.
Kehidupan normalku kembali lagi.
Aku rasa begitu sampai nanti kami akan menghadapi "misi" lagi.
BAB 23 Pulang Ke Rumah Rifan"s Side Nyonya Haruka dan Ardelia datang keesokan paginya. Untung saja aku sudah terbangun dan buruburu duduk di kursi tepat 10 detik sebelum mereka datang.
"Bagaimana keadaan Aria?" tanya Nyonya Haruka, "Dia pasti sudah sadar kemarin
malam, kan?" Aku mengangguk. "Bagus. Kalau begitu, urusan kami hanya dengan Maya."
Beliau lalu berjalan kearah tempat tidur Maya bersama Ardelia. Mereka menggumamkan
sesuatu yang tidak bisa kudengar. Beberapa menit kemudian, aku meliha tempat tidur Maya
didorong oleh Ardelia. "Kalian mau membawanya ke mana?" tanyaku.
"Dia akan tidur dalam incubator lagi." jawab Ardelia, "Kondisi fisiknya memang sudah
pulih. Tapi, Maya tidak bisa bertahan lebih lama di luar inkubatornya lebih dari satu minggu. Dia
harus memulihkan diri dalam inkubatornya."
"Kenapa harus berada di dalam inkubatornya?"
"Dia" system imunnya lemah. Dia tidak tahan dengan udara luar." kata Ardelia lagi.
"Kami harus segera pergi. Sampai bertemu lagi."
"Kapan dia akan bangun" Aku yakin, Aria ingin bertemu Maya dan berbicara dengannya
secara langsung." Nyonya Haruka menatapku, kemudian kearah Aria yang masih tidur.
"Maya akan tidur. Mungkin dia tidak akan membuka mata sampai 5 tahun lagi. Tergantung
dari kemampuan pemulihannya." Kata beliau, "Kemampuannya memang luar biasa, tapi,
kemampuan pemulihannya sangat lambat."
"Begitu?" aku manggut-manggut mengerti.
"Kalau Aria ingin berbicara dengan Maya, bawa saja dia ke Dewan." Kata Nyonya Haruka
lagi. "Kami pergi dulu."
"Baik." Mereka berdua mendorong tempat tidur Maya sambil berbisik pelan dan lirih. Ketika
pintu tertutup, aku melihat Stevan terbangun dari tidurnya sambil mengucek-ucek matanya seperti
anak kecil. "Hei, sudah berapa lama aku tidur?"
"Seperti bayi, adik kecil." Kataku terkekeh pelan.
Dia balas tersenyum lebar, kemudian senyumnya agak lenyap ketika melihat hanya satu
tempat tidur di ruangan itu.
"Di mana Maya?" tanyanya.
"Nyonya Haruka dan Ardelia membawanya kembali ke Dewan." Jawabku, "Dia harus
berada di incubator lagi. Kata beliau, system imun Maya lemah dan kemampuan pemulihannya
sebagai The Chronos Sapphire cukup lambat sehingga di harus berada di dalam inkubatornya
untuk pulih lagi." "Oh?" Stevan manggut-manggut. "Aku lapar. Kurasa aku akan pergi ke kantin rumah
sakit. Ingin titip sesuatu?"
"Belikan saja aku sarapan yang bisa kumakan berdua dengan Aria." kataku tersenyum
lebar. "Oh, seharusnya aku juga mencari pacar." gerutunya dengan nada main-main. "Tunggu
sebentar di sini. Akan kubelikan kau nasi bungkus dengan isi yang banyak. Tapi, ngomongngomong, memangnya Aria diperbolehkan makan makanan yang bukan dari rumah sakit?"
"Kantin rumah sakit, kan, termasuk bagian dari rumah sakit." kataku.
"Oke. Baiklah. Tapi, jika kondisi Aria tiba-tiba berubah buruk, jangan salahkan aku."
"Baiklah" cepat pergi sana dan belikan aku makanan, adik kecil. Aku lapar."
Dia meleletkan lidah sebelum akhirnya dia pergi keluar kamar. Tepat saat itu, Aria
terbangun. Dan matanya langsung bertemu dengan mataku.
"Hei," katanya pelan.
"Hai juga. Bagaimana tidurmu" Nyenyak?"
"Seperti bayi." Dia tertawa pelan, "Tadi, aku merasa mendengar percakapanmu dengan
Stevan. Ngomong-ngomong, di mana yang lain?"
"Stevan ada di sini bersamaku untuk menjagamu dan Maya." Kataku, "Tapi, sekarang,
Maya sedang berada dalam perjalanan ke Dewan. Nyonya Haruka bilang, dia harus berada di
inkubatornya agar bisa pulih dengan cepat."
"Oh?" dia manggut-manggut. "Sistem imunnya lemah, ya?"
"Dari mana kamu tahu?"
"Pertama kali dia muncul di otakku, wajahnya memang terlihat pucat dan tubuhnya seperti
berpendar." "Begitu?" "Aku ingin pulang." kata Aria, "Aku paling benci rumah sakit. Dan aku benci bau obatobatan."
"Bersabarlah. 2-3 hari lagi mungkin kamu akan bisa keluar dari rumah sakit." kataku.
"Aku bosan." "Baru semalam di rumah sakit, kamu sudah bosan."
"Aku memang cepat bosan." Dia menoleh padaku dan tersenyum tipis. "Aku bosan.
Benar-benar bosan." Aku mencubit pipinya pelan dan membuatnya tertawa.
"Tolong, jangan menggombal." Katanya saat aku hendak membuka mulut. "Aku tahu
kamu akan menggombal. Jadi, aku melarangmu untuk menggombal sekarang."
"Dasar?" "Aku lapar. Apa sekarang sudah waktunya sarapan?"
"Sebentar lagi Stevan akan datang dengan membawa makanan untuk kita." Kataku nyengir,
"Mau sikat gigi dulu" Rasanya tidak enak kalau aku mencium mulutmu yang belum sikat gigi."
"Ihh!! Dasar!" dia tergelak, "Baiklah" baiklah" ambilkan sikat dan pasta gigi, serta
baskom untukku." "Sesuai perintahmu."
Stevan datang bersamaan dengan teman-teman yang lain. Mereka semua membawa
makanan. Sepertinya mereka sudah janjian untuk sarapan bersama kami. Charles datang bersama
Rinoa, yang langsung memeluk Aria dengan erat.
"Rinoa" kalau kamu terus memelukku seperti ini, aku akan mati kehabisan nafas, lho."
Kata Aria. "Oh ya. Maaf." Dia tersenyum dan melepas pelukannya. "Kalian sudah makan" Kuharap
belum. Karena aku membuat sup krim jamur dan ayam untuk Aria dan juga kita semua."
"Aku suka sup krim jamur." Kata Duke, "Aku bawa Sandwich mentimun dan kalkun. Ada
yang mau?" Jadilah kami bertukar makanan dan makan sambil bercanda. Aku menyuapi Aria karena
tangannya masih lemah. Kami sempat digoda oleh Duke, Lord, dan Stevan. Memang diantara
kami, hanya mereka bertiga yang belum mempunyai pacar. Awas saja nanti kalau mereka punya
pacar. Saat itu, giliranku yang akan meledek mereka.
"Aku kenyang." Aria menolak suapan terakhir sup krim-nya sambil menggeleng. "Kamu
makan sendiri saja."
"Tinggal satu suapan terakhir." Kataku, "Ayo, buka mulutmu. Kalau tidak, aku akan
menyuruhmu makan lebih banyak lagi."
"Uh" baiklah?" dia membuka mulutnya dan aku memasukkan satu sendok terakhir sup
krim-nya. "Masakan buatan Rinoa sama enaknya dengan Kak Keiko sampai-sampai aku
kekenyangan." Katanya. "Rinoa, harusnya kamu jadi asisten pribadi Kak Keiko saja."
"Tidak. Terima kasih. Mengurus Charles saja sudah repot. Apalagi aku juga harus
mengurusmu." Rinoa tertawa, "Terima kasih atas tawarannya. Tapi, tidak."
Aria mencibir dan tertawa bersama Rinoa.
"Oh ya, ngomong-ngomong, di mana Maya?" tanya Dylan yang duduk di sebelahku.
Aku menjelaskan pada mereka seperti yang kukatakan pada Stevan dan Aria. Mereka
manggut-manggut mengerti.
"Mungkin itu alasan lainnya kenapa dia selalu berada di dalam incubator." Kata Lord
melahap satu sandwich kalkun dalam satu suapan.
"Kupikir juga begitu." Kataku, "Sebaiknya, kita tidak mengganggunya selama masa
pemulihan. Aku tidak mau dimarahi Nyonya Haruka karena kita beramai-ramai datang ke sana
hanya untuk menjenguk Maya."
"Mungkin dia akan menurunkan pangkatmu dari tunangan Aria menjadi teman Aria." kata
Stevan terkekeh. "Sialan kamu." Dia malah tertawa. Yah" aku menatap semua orang yang ada di sini. Kehidupan normal kembali lagi. Aku
merasa semua yang kemarin terjadi itu sudah lama sekali. Mungkin ini yang dimaksud oleh orangorang kalau waktu cepat sekali berlalu ketika kita bersama orang-orang yang kita sayangi.
Aku menatap Aria, dan dia menatapku balik. Seulas senyuma tipis tersungging di bibirnya
sebelum tiba-tiba tubuhnya ambruk ke kasur dan menumpahkan air dari gelas yang dipegangnya.
BAB 24 Sepertinya, Kondisiku Makin Parah
Aria"s Side Insiden aku jatuh pingsan ketika aku merasa benar-benar sehat membuat teman-temanku,
terutama Rifan, kaget dan cemas kuadrat. Tapi, untungnya, setelah itu aku baik-baik saja.
Akan tetapi, menurut dokter (dokter yang kumaksud adalah dokter yang hanya menangani
The Chronos Sapphire saja), kondisiku semakin bertambah buruk karena aku sempat terpisah
dari kalung bulan sabitku.
Dan" berita buruknya, mungkin umurku tidak akan lama lagi. Ingat, kan, soal
memulangkan Dylan dan yang lainnya saat mereka meninggal dan aku menghidupkan mereka
kembali dengan nyawaku sebagai taruhannya" Ya. Efeknya baru kurasakan sekarang.
Kondisi fisikku memang tidak mengalami perubahan. Secara fisik, aku sehat walafiat.
Tidak kelihatan bahwa aku akan meninggal. Tapi, kondisi fisik bagian dalamku-lah, yang benarbenar mengkhawatirkan.
Akibat vonis itu (kuanggap berita buruk itu sebagai vonis yang benar-benar membuatku
ingin mati saja sekarang), aku merasa" kehilangan semangat hidup. Bayangkan saja, aku hanya
akan bertahan hidup beberapa tahun, atau mungkin hanya beberapa bulan. Bagaimana aku tidak
kehilangan semangat hidup"
Kalian mengerti perasaanku seperti apa, kan"
Rasanya sakit. Dan juga menyiksa.
Akibat vonis itu (lagi), semua orang sepertinya menganggapku sebagai seorang penyakitan.
Bahkan Julia. Dia juga memperlakukanku seperti seorang penyakitan. Saat itu juga, aku
mengambek, dan tidak mau bertemu dengan orang lain selama beberapa minggu.
Tapi, karena Rifan, yang membujukku dengan seribu satu macam cara, aku akhirnya luluh
juga dan mau menemui semua orang. Hanya saja, aku menyuruh mereka tidak menganggapku
sebagai seorang penyakitan. Kukatakan pada Julia, kalau aku masih ingin berkarir sebagai
penyanyi, dan dia tidak menolak.
Kehidupan kembali berjalan normal setelah itu. Walau kadang aku pingsan mendadak,
yang untungnya, tidak pernah terjadi di setiap aku perform, show, dan mengisi acara di TV secara
on air ataupun off air. Aku sedikit bersyukur karena sepertinya tubuhku sepakat dengan otakku
kalau aku ingin menghabiskan waktu sebaik dan sebermanfaat mungkin.
Yah" asalkan Rifan juga ada di sisiku. Itu sudah cukup membuatku merasa lebih baik
ketika mengingat umurku tidak akan lama lagi.
*** Hari ini aku pergi ke Dewan untuk menemui Maya. Ibu mengizinkanku untuk menemuinya.
Beliau juga bilang, kalau Maya ingin menyampaikan sesuatu untukku. Aku berangkat ke Dewan
bersama Rifan dengan mobil yang dikendarainya. Hanya dalam waktu 30 menit, kami sampai di
Dewan. Rifan menuntunku ke ruangan tempat incubator isolasi Maya berada.
Ketika sampai di sana, aku melihat ibuku dan Ardelia berdiri di dekat incubator yang
kuduga adalah incubator Maya.
"Aku ingin bicara dengan Maya berdua saja." kataku. "Kalian" bisa memberi kami sedikit
privasi, kan?" "Tentu saja." kata ibu tersenyum. "Ayo, Ardelia, Rifan. Kita ke ruanganku saja. Aku punya
teh beraroma mawar dan kopi hangat."
Mereka lalu keluar, meninggalkanku. Aku menatap Maya yang tertidur di dalam incubator.
"Hei." sapaku. "Hai juga, Aria." ujarnya lewat telepati, "Wajahmu kelihatan pucat. Apakah karena?"
"Yah" kalau kamu tahu aku pingsan di rumah sakit karena usiaku tidak lama lagi.
Tebakanmu benar." Aku tersenyum dengan agak getir, mengingat umurku, aku rasanya ingin
menangis saja. "Menangis saja, Aria. Kalau kamu tidak sanggup menghadapi semuanya." Suara Maya
terdengar lembut. Persis seperti Kak Keiko ketika menemaniku tidur saat aku masih kecil.
"Boleh" kah" Aku rasa, aku tidak bisa menangis." Kataku, "Air mataku kering. Bisa aku
minta persediaan airmatamu?"
"Aku tidak punya persediaan. Tapi, kurasa, kamu tidak akan mati dalam waktu dekat."
"Aku juga merasakan hal itu." aku mengangguk, "Tapi, mengingat umurku yang tidak lama
lagi membuatku merasa seperti diterjunkan ke dalam jurang yang tidak berujung."
"Perumpamaan yang bagus." Suara Maya mengandung senyuman, "Tapi, ingatlah. Bukan
kamu yang akan meninggal lebih dulu. Tapi" aku. Aku yang akan meninggal lebih dulu."
"Jangan berkata begitu. Aku yakin, kamu juga akan tetap hidup." Balasku.
"Aku memang inginnya begitu. Tapi, aku tidak punya alasan lagi untuk hidup setelah"
Jack tidak ada." "Kamu masih menyayanginya?"
"Aku pasangan empatinya, Aria. Aku pernah melewati hari-hari penuh cinta dengannya.
Dan aku pernah bercengkerama dengannya."
"Bercengkerama" Maksudmu?"
"Tidak. Bukan bercengkerama seperti bayanganmu." Nada suara Maya terdengar geli
sekaligus tersinggung, "Aku masih punya akal sehat."
The Chronos Sapphire Ii Karya Angelia Putri di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Aku hanya nyengir. Kudengar Maya menghela nafas dalam kepalaku. "Aria, bisa aku meminta sesuatu
darimu?" "Apa" Kamu ingin aku melakukan apa?"
"Aku boleh memasukkan energy jiwaku padamu?"
"Apa" Apa maksudnya?"
"Aria, aku akan mati, tapi, energy jiwaku belum sepenuhnya mati." Katanya, "Kalau kamu
menerima energy jiwaku, usiamu mungkin akan bertahan lebih lama. Dan aku ingin, kamu
menerimanya, sebagai hadiah dariku. Hadiah terakhir."
"Maya, tolong jangan?"
"Aku serius. Kumohon, kabulkan permintaanku ini. Ya?"
"Apa aku punya alasan untuk menolak?"
"Tidak." Aku menghela nafas. Sepertinya aku tidak akan bisa membantah keinginan saudara
kembar biologisku ini. "Oke. Baiklah. Tapi" kalau kamu?"
"Aku memang berniat meninggal dengan tenang. Tapi, sebelumnya, aku ingin memberikan
energy jiwaku padamu, supaya kamu bisa hidup lebih lama."
"Kenapa aku harus punya saudara kembar yang pemaksa sepertimu?" aku pura-pura
menggerutu. "Permintaanku tidak dapat ditolak." Maya tertawa, "Aku juga sudah bicara dengan Haruka-
sama dan Tante Ardelia. Dan mereka setuju. Walau Tante Ardelia sempat menangis tadi. Tapi,
intinya, mereka setuju."
"Kamu juga setuju, kan?"
"Baiklah. Karena ini permintaanmu, dan aku tidak bisa menolaknya." Kataku, "Bagaimana
caranya kamu menyalurkan energy jiwamu padaku?"
"Letakkan saja tanganmu di atas kaca inkubatorku. Dan aku akan menyalurkan energiku."
Aku melakukan seperti yang dia suruh. Kuletakkan telapak tanganku ke atas kaca
inkubatornya. Kurasakan ada semacam energy menyerap masuk melalui tanganku dengan
perlahan, dan membuatku merasa lebih sehat daripada yang tadi.
"Selamat tinggal, Aria. Hiduplah dengan bahagia. Aku akan selalu bersamamu di dalam
hatimu." Itu kata terakhir yang kudengar dari Maya sebelum aku sendiri ambruk di dekat
inkubatornya. *** Aku terbangun di dalam pelukan Rifan. Dia menatapku dengan cemas.
"Apa" apa yang terjadi?" tanyaku sambil mengerang. Rasanya kepalaku masih sakit seperti
dihantam truk besar. "Kamu pingsan setelah Maya menyalurkan energy jiwanya padamu." Kata Rifan
membantuku duduk dengan posisi yang benar, "Kamu baik-baik saja?"
Aku mengangguk. "Maya?"
"Dia sudah tiada."
Aku menoleh kearah incubator dan melihat Ardelia menahan tangis. Ibu mengusap
punggungnya lembut. Aku rasa, Ardelia sudah menganggap Maya seperti anak sendiri, karena itu,
dia merasa kehilangan. Aku juga merasakan hal yang sama. Rasanya sebagian diriku ada yang pergi, tapi
tergantikan dengan sesuatu yang kuat.
Ibu menatap kearahku dan Rifan. Rifan mengangguk pada beliau. Sepertinya ibu
menyuruh Rifan untuk membawaku pergi sementara waktu.
Rifan membantuku berdiri. Tapi, kakiku terasa lemah. Aku merasa tidak sanggup berdiri.
"Kakimu sakit?"
"Sedikit. Tidak bisa berdiri tegak." Ujarku.
"Baiklah," Sebelah tangan Rifan menyelip diantara kedua kakiku dan tahu-tahu saja, aku sudah
berada dalam gendongannya. Aku terpekik dan menatapnya kaget.
"Rifan" Kenapa?"
"Kakimu sakit, kan" Tidak mungkin kamu bisa berjalan tanpa tersaruk-saruk seperti
karung beras." Katanya.
Aku memberengut dan dia nyengir melihat responku. Dia lalu membawaku keluar
ruangan. Kami ditatap para staff Dewan dengan pandangan penuh arti. Duh" rasanya aku malu
sekali. Tapi, mau bagaimana lagi" Kakiku lemah, dan entah kenapa, lidahku juga tidak mau
menuruti otakku untuk berkata aku bisa berjalan sendiri pada Rifan.
Jadi, aku hanya diam dan membiarkannya membawaku ke dalam sebuah ruangan yang
baru aku ingat, ini adalah ruang tunggu yang biasa kami pakai untuk bicara. Rifan mendudukkanku
di atas sofa dan mengambilkanku minuman.
"Terima kasih." Kataku sambil meminum sirup lemon yang disodorkannya padaku.
"Apa yang terjadi tadi" Aku hanya mendapat penjelasan singkat dari Nyonya Haruka."
Aku menelan ludah. Kemudian kuceritakan semua yang terjadi ketika aku berbicara
dengan Maya. Semuanya. Bahkan detil tentang penyaluran energy jiwa Maya padaku.
"Begitu" dia masih peduli dengan Jack." Gumam Rifan.
"Kamu tahu?" "Dia pernah menangis karena mencoba berempati dengan Jack, tapi, yang didapatnya
adalah rencana untuk membunuhnya." Kata Rifan, "Itu terjadi 6 hari sebelum kami
menyelamatkanmu. Mereka berdua pasangan empati."
"Mereka berdua pasangan empati juga?"
"Ya. Kita, dan juga mereka, adalah pasangan empati. Sama seperti ibu ayahmu."
"Apa?" "Nanti saja kujelaskan. Besok pagi." katanya.
"Baiklah?" Aku meminum minumanku lagi dan merasakan sakit kepalaku berkurang.
"Aria," Rifan menggenggam tanganku dan matanya menatap tepat ke mataku. Duh" lagi-lagi
tatapan ini. Tatapan yang bisa membuatku seakan menjadi patung sekaligus meleleh dalam waktu
bersamaan. "Ya?" "Kalau energy jiwa Maya sudah tersalurkan padamu, itu artinya, kamu masih punya
harapan hidup lebih lama, kan?"
Aku mengangguk mengiyakan pertanyaannya.
Rifan kelihatan gugup. Sangat jelas terlihat dari caranya memegang tanganku. Aku bisa
merasakan kegugupannya. "Kenapa kamu terlihat gugup, Rifan?"
"Aku hanya?" dia berdeham sebentar, "Aku hanya mencoba?"
Tapi, aku tidak mendengar perkataannya. Aku bisa mengetahui dengan mudah apa yang
ingin dikatakannya. Dan aku tersentak. Nyaris melompat dari sofa yang kududuki.
"Err" Rifan?"
"Kamu membaca pikiranku?"
Aku mengangguk. Aku yak in, wajahku sudah memerah seperti kepiting rebus. Aku
membaca pikirannya. Ya. Dan aku tidak sanggup berkata-kata. Ck. Kenapa sepertinya aku mudah
sekali gugup, kaget, dan tersentak seperti tadi"
Rifan tersenyum lebar dan menyuruhku duduk lagi. Aku menurut. Dia menggenggam
tanganku lagi. Dan kali ini, aku benar-benar tidak bisa berpaling dari bola matanya.
"Rifan?" "Aria," dia menyebut namaku dengan nada suara yang membuatku merinding. Tapi,
bukan merinding karena takut.
"I, iya?" "Bagaimana kalau 3 tahun lagi kita menikah?"
Aku yakin, aku bakal pingsan ketika dia mengatakan itu.
BAB 25 Aku Mengatakannya. Akhirnya"
Rifan"s Side "Bagaimana kalau 3 tahun lagi kita menikah?"
Aku melihat mata Aria melebar dan mulutnya membuka. Dia kaget, tentu saja. Tapi,
kalimat itu sudah kukatakan. Dan aku tidak bisa menariknya lagi.
"Me, menikah?" dia bertanya dengan suara kecil, "Tapi" tapi, kita masih?"
"Karena itu, aku bilang 3 tahun lagi. Tepat setelah kita lulus dan mendapat pekerjaan
sendiri," aku terdiam, "Tapi, kamu penyanyi. Itu juga pekerjaan. Oke, kuganti kalimatku, 3 tahun
itu tepat setelah kamu lulus kuliah, dan aku sudah mendapat pekerjaan."
"Tapi" tapi, pernikahan itu, kan?" dia bergerak gelisah.
Aku tahu. Semua orang memang menginginkan pernikahan. Tapi, tidak urung, biasanya
mereka juga merasa takut dengan pertalian pernikahan. Mengucapkan janji sehidup-semati,
bersama-sama selamanya. Kadang itu membuat orang gugup, atau bahkan takut.
Mungkin Aria gugup, tapi aku juga tidak yakin apakah ada rasa takut tentang pernikahan
darinya. "Tapi" kamu belum bilang pada ibu, Kak Keiko, dan Kak Kazuhi." katanya, "Kalau
mereka tidak setuju kita menikah?"
"Kalau begitu, untuk apa kita tunangan."
Aria tersentak kaget. "Bu, bukan itu, maksudku" aku?"
"Kenapa" Kamu takut?"
"Bukan itu juga!"
"Lalu, kenapa?"
Aria menunduk. Tangannya yang berada di dalam genggamanku gemetar.
"Rifan, dokter sudah bilang kalau waktuku tidak akan lama lagi. Walau Maya menyalurkan
energy jiwanya padaku, aku tidak yakin aku akan bertahan hidup lama. Aku" aku takut kalau aku
meninggal, aku" aku tidak" aku tidak sanggup."
"Aria, jangan bilang begitu."
"Kalau aku meninggal lebih cepat, bagaimana" Dan saat itu, kita sudah menikah, dan aku
belum sempat membahagiakanmu. Aku tidak mau itu terjadi, Rifan. Aku tidak ma?"
Aku memegang kedua bahunya dan meremasnya. Aria berjengit, matanya menatapku
dengan berkaca-kaca. "Aria, aku tidak akan menyesal seandainya kamu meninggal lebih cepat sebelu
membahagiakan aku." kataku, "Lagipula, semua yang sudah kita jalani bersama itu sudah
membuatku bahagia. Dan kebahagiaanku akan bertambah jika kamu mau menikah denganku."
"Tapi" tapi" aku tidak?"
"Aria?" Sekali lagi aku meremas bahunya, dan wajah Aria mendongak menatapku.
"Rifan, kalau aku benar-benar meninggal, aku?" isakan melompat dari tenggorokannya.
Aku tidak suka melihatnya menangis. Aku tidak mau melihatnya menangis. Kuhapus
airmata yang mengalir di pipinya.
"Aria, tidak apa-apa." kataku sambil tersenyum. "Aku tidak meminta jawaban sekarang.
Tapi, aku memberimu batas waktu sampai 3 tahun lagi. Kamu boleh berpikir dulu tentang
semuanya. Tapi, ingatlah, aku akan menunggu jawabanmu."
"T, tapi" Rifan?"
"Sst." Aku menekan jari telunjukku di bibirnya, "Tidak perlu bicara. Nanti saja kamu
mengatakannya." "Manusia hanya bisa menerka apa yang akan terjadi nanti di masa depan mereka." kataku
lagi, "Mungkin dokter memvonismu akan meninggal beberapa tahun lagi. Tapi, itu hanyalah
perkiraan. Dan kita hanya bisa percaya, kalau masih ada hari esok. Jika kamu percaya, kamu akan
merasa kuat, merasa sehat. Aku yakin itu."
Aria menatapku. Sekali lagi, airmata bergulir di pipinya.
"Jadi, jangan menangis. Dan aku akan menunggu jawabanmu." Kataku.
Aria menunduk. Aku bisa merasakan pipinya memanas walau tidak menyentuhnya.
"Kamu" kamu akan menunggu?" tanyanya.
"Ya. Sampai 3 tahun lagi." jawabku. "Aku akan menunggunya. Jadi, kamu punya banyak
waktu untuk berpikir."
Dia mengangguk pelan. "Nah, sebagai permulaannya, bagaimana kalau aku meminta permintaan darimu?"
"Permintaan apa?" dia mendongakkan wajahnya.
Aku nyengir dan mencium sudut bibirnya. Dia terkesiap sebentar dan tubuhnya agak
menegang. "Boleh tidak, malam ini, aku berduaan saja denganmu" Candle light dinner?" kataku.
"Itu ajakan kencan, atau ada maksud lain di baliknya?" tanyanya balik sambil tersenyum
kaku. "Kalau kamu menganggap ada sesuatu yang lain dari permintaanku, terserah saja." aku
nyengir, "Asal kamu tidak memikirkan hal-hal yang melanggar batas hukum."
Dia tertawa. Dan seketika, cair sudah suasana aneh yang menyelimuti kami.
"Kurasa aku punya ide yang lebih bagus." Ujarnya, "Mala mini, jam 7 di rumahku. Jangan
sampai telat." "Kamu akan memasak?"
"Lihat saja nanti." Dia tersenyum dan melingkarkan lengannya di leherku, "Katanya kamu
mau bersamaku malam ini, kan?"
Dia menyandarkan kepalanya di bahuku, aku balas memeluknya.
Yah" apapun yang dipikirkannya, asal yang jangan melanggar hukum, aku terima saja.
EPILOG Rifan"s Side 3 tahun kemudian" "Aku menerima Aria Shiroyuki sebagai istriku. Aku akan menjaganya dalam suka maupun duka,
senang maupun sedih, dan aku akan menjaganya apapun yang terjadi."
Suaraku mengakhiri janji sumpah setia sebagai suami-istri. Semua orang yang diundang,
termasuk The Chronos Sapphire, berdiri dan bertepuk tangan. Aku hanya tersenyum lebar pada
mereka (terutama Charles. Berkat dia juga pesta pernikahan ini terlaksana dengan sangat lancar).
Kemudian pandanganku teralih pada Aria yang berdiri di sebelahku dengan mengenakan gaun
pengantin putih yang paling cantik yang pernah kulihat. Model gaunnya memang simple, tapi, gaun
itu terasa sangat pas di tubuh Aria yang tinggi langsing (walau dia masih kalah tinggi dibandingkan
aku). Pendeta yang menjadi pemimpin upacara pernikahan ini tersenyum, "Kalau begitu,
kunyatakan kalian sebagai suami-istri."
Kubuka tudung pengantin Aria dan melihat wajahnya berseri-seri.
"Sekarang, silakan bertukar cincin, maka upacara ini akan sah."
Aku mengambil cincin dari tangan Aria dan memakaikannya di jari manis tangan
kanannya. Dia lalu melakukan hal itu juga dengan cincin yang ada di tanganku.
Rasanya aula gedung yang digunakan untuk pesta ini akan runtuh akibat banyaknya tepuk
tangan dan teriakan riuh dari para undangan.
Aku memegang tangan Aria, dan melihat wajahnya makin berseri.
"Sudah, kan" Tidak sesulit bayanganmu, kan?" tanyaku berbisik padanya.
Dia tersenyum dan merangkulku. Langsung saja aku mendengar jepretan kamera dari para
wartawan dan juga para fans Aria yang ikut upacara ini.
Acara berganti dengan" apa istilahnya" Makan-makan" Mungkin itu istilah yang cukup
tepat. Aku dan Aria berkeliling dan mendapat ucapan selamat dari teman-teman Aria, dan juga
teman-temanku. Aku sempat melirik Dylan yang sedang bersama Keiko dan juga anak pertama
mereka, sedang melambai kearahku. Charles dan yang lainnya sedang asyik berlomba makan
cepat. Rinoa, pacar Charles, menghampiri kami dan memberi selamat. Dia merapkian tudung
pengantin Aria dan tersenyum lebar.
"Semoga kalian bahagia." Ujarnya.
"Terima kasih, Rinoa." Aria memeluknya, "Bagaimana hubunganmu dengan Charles?"
"Seperti biasa." Rinoa tersenyum, "Dia masih saja menggoda cewek-cewek."
"Pastikan dia tidak lepas dari ikatannya." Kata Aria sambil terkikik.
"Itu pasti." Rinoa ikut terkikik bersama Aria, "Rifan, jaga sahabatku ini baik-baik. Kalau
tidak, awas saja. Kamu tidak hanya berurusan dengan keluarganya saja. Tapi, juga denganku."
"Apakah kamu harus mengatakannya?" kataku pura-pura menggerutu.
Dia tertawa lagi dan kemudian pamit untuk melihat keadaan Charles yang kelihatannya
kalam lomba makan cepat. "Rifan," Aku menoleh kearah Aria dan melihat wajahnya agak pucat. Aneh. Tadi wajahnya sama
sekali tidak terlihat pucat.
"Kapan acaranya selesai?" tanyanya.
"Sebentar lagi. Kenapa" Kamu sakit?"
Aria menggeleng. Wajahnya yang pucat agak berseri lagi. Hal ini memang sering terjadi
setahun terakhir. Aku tidak tahu apakah itu karena umurnya yang tidak lama lagi, atau karena hal
lain. "Aku ingin duduk. Kamu tidak keberatan, kan?"
"Boleh saja. Tapi?" aku melirik buket bunga mawar putih di tangannya, "Kurasa
sebaiknya kamu melempar bunga itu dulu."
Dia melihat kearah buket bunga di tangannya dan menghembuskan nafas. "Kurasa kamu
benar." Kami berdua kembali kearah panggung yang tadi dijadikan tempat kami melaksanakan
acara "sumpah janji setia sehidup-semati" (nama yang cukup berlebihan. Tapi, memang itu
kenyataannya). Kutuntun dia sampai kami mendapat perhatian dari para undangan. Dan, seperti
yang sudah kuduga, para wanita berkumpul untuk mendapat lemparan buket bunga dari pengantin
wanita. Yah" itu memang sudah seperti tradisi dan tidak bisa diubah.
"Baiklah" sepertinya sekarang adalah saatnya melempar buket, ya?" MC yang tadi
membawakan acara muncul di panggung. "Nona Aria, Anda siap?"
Aria tersenyum dan mengangguk. Dia lalu berbalik dan menghela nafas sebelum
mengangkat buket bunga keatas kepalanya dan melempar tanpa tahu arah.
Aku melihat buket itu melayang di udara, sebelum akhirnya mendarat di pelukan" Rinoa!
"Yak, nona bergaun hijau tua yang mendapatkannya!" seru si MC riang, "Selamat, Nona?"
Aria menoleh kearah penonton dan tersenyum girang ketika melihat Rinoa yang masih
terbengong-bengong mendapati Rinoa yang berhasil menangkap buket bunganya. Aku mendekati
The Chronos Sapphire Ii Karya Angelia Putri di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Aria, sepertinya aku tahu kenapa senyumnya lebih lebar kali ini.
"Kamu menggunakan telekinesismu, ya?" bisikku.
"Kalau tidak begitu, Rinoa tidak akan punya kesempatan untuk memaksa Charles menikah
dengannya." Aria tersenyum jahil. "Aku ingin melihat, apakah Charles bisa."
Aku ikut tersenyum lebar dan memeluknya. Rinoa menoleh kearah Charles yang bengong
dengan sukses sampai daging panggang yang ada di mulutnya nyaris keluar.
Yup. Kalau kalian ingin tahu, aku sudah menikah dengan Aria. Cerita lengkapnya, aku
tidak akan memberitahu. Tapi, 5 bulan yang lalu, saat kami kencan, dan aku menanyakan lagi apa
jawabannya atas lamaranku, dia mengangguk dan setuju. Bayangkan saja perasaanku waktu itu.
Tentu saja. Aku senang bukan kepalang.
Aku langsung menghubungi Nyonya Haruka, Keiko, dan Kazuhi untuk membicarakan hal
ini. Dan syukurlah, mereka setuju. Apalagi Kazuhi. Dia sudah menerimaku dan mau menerimaku
sebagai adik ipar (bersorak 3 kali untuk diriku. Hip-hip, hore").
Persiapan pesta pernikahan ini, aku dan Aria yang merancang. Jadi, jangan heran kalau di
aula yang dijadikan tempat resepsi pernikahan kami hanya untuk para undangan saja. Soalnya,
penggemar Aria (yang kebanyakan adalah laki-laki), bisa-bisa memaksa merangsek masuk dan
membuat kacau suasana. "Hei," Aku menoleh kearah Aria, "Apa?"
"Setelah ini, kita akan ke mana?" tanyanya sambil tersenyum, "Tidak mungkin kita akan di
sini saja, kan?" Aku tersenyum lebar dan mengecup pipinya, "Itu akan menjadi kejutan. Kamu siap?"
"Rasanya aku pernah mendengar kata-kata itu." senyum Aria makin lebar, "Aku selalu
siap." "Boleh aku minta permintaan?"
"Selalu, deh?" Aku menggelitiki pipinya, "Ini hal yang wajar, kan" Aku boleh menciummu?"
"Bukannya aku sudah resmi menjadi istrimu" Berarti tidak perlu minta permintaan lagi,
kan?" Kami berdua tersenyum. Setelah memastikan tidak ada yang melihat, kami berciuman.
Ciuman pertama kami sebagai suami istri.
"I love you, Aria." bisikku sebelum mencium bibirnya.
Dia tersenyum dan memejamkan mata, menerima ciuman lembutku di bibirnya.
THE END OF STORY Sepasang Pedang Iblis 1 Pendekar Mabuk 039 Pisau Tanduk Hantu Pemanah Sakti Bertangan Seribu 3