Themarriage Roller Coaster 1
The Marriage Roller Coaster Karya Nurilla Iryani Bagian 1
The Marriage Roller Coaster
Karya: Nurilla Iryani. Bab 1 : Shopping is the Best Aspirin.
Aku tersenyum melihat bayangan diriku di kaca fitting room. Cantik. No, maksudku dress
Marc Jacobs ini terlihat cantik di tubuhku, seperti memang dibuat khusus untukku.
"Audi, gimana?" Sonya, sahabatku, mengintip dari balik tirai.
"Bagus nggak" tanyaku sambil bergoyang-goyang centil.
Sonya mengamatiku lekat-lekat, "Bagus sih. But don"t you think it"s too expensive?"
"Ini investasi!" jawabku asal.
"Investasi nenek moyang lo!" wajah Sonya kembali menghilang dari balik tirai.
Aku hanya terkekeh. Fokusku kembali pada bayanganku di kaca. I really love this dress. Tapi
benar kata Sonya, this dress is too expensive, harganya hampir sepertiga gajiku " dan ini
masih awal bulan. Pasti masih akan ada puluhan sesi belanja setelah hari ini.
Argh, kapan sih aku dipromosiin sebagai manajer di kantorku" Aku butuh dana lebih untuk
belanja! Ah sudahlah, buat apa aku kerja kalau aku nggak boleh menikmati hasil jerih
payahku sendiri. Valid" Yes. Toh kalau sampai gajiku bulan ini habis, kan masih ada jatah
belanja dari Rafa, suamiku tercinta. Makin valid" Yes yes yes. Lagipula seperti yang aku
bilang tadi. Ini investasi. Yes, Ladies, say this to yourself, beli pakaian bagus itu investasi.
Mungkin pakaian bagus memang nggak kayak emas yang kemungkinan besar bisa dijual
lebih mahal setelah kamu simpan di lemari selama lima tahun. Tapi percayalah pakaian
bagus bisa membuat kepercayaan diri meningkat berkali-kali lipat. Dan saat percaya diri
sudah meningkat, dampaknya akan besar untuk kehidupan kamu. It will make you feel like
you own the world! Kalau dalam kasusku, kepercayaan diri yang tinggi saat aku mengenakan
pakaian bagus membuatku mampu memberikan presentasi yang memukau ke calon klien.
Kalau kata Syahrini, cetar membahana! Biasanya ini akan berujung dengan keberhasilanku
menjadikan mereka klien baru untuk perusahaan market research tempatku bekerja. Ujungujungnya, aku dapat bonus besar tiap tahun di kantor. Masih mau bilang pakaian bagus
bukan investasi" Jelas nggak ada alasan untuk nggak membeli dress cantik ini. Aku melepas
calon dress baruku dan segera menuju kasir. Hello cute dress, you"ll have a new home!
"Mau belanja apa lagi, Nyoya?" Sonya melirik kantong belanjaan di tanganku ketika aku
meninggalkan toko. "Enough for today. Sisain buat besok-besok," jawabku sambil tersenyum lebar,
memamerkan deretan gigiku yang rapi.
Sonya hanya menggelengkan kepalanya.
Aku kadang heran, Sonya ini sahabatku sejak kuliah, artinya kita sudah hampir tujuh tahun
sahabatan. Tapi kenapa dia masih belum kebal juga ya melihat kebiasaan belanjaku" Saat
masih kuliah dulu, dengan uang bulanan pas-pasan saja aku sudah hobi belanja sepatu, tas,
dan pakaian. Meskipun kadang aku sampai harus puasa dan nabung berbulan-bulan dulu
untuk membeli barang yang aku inginkan. Jadi, ketika sekarang " saat aku sudah punya
penghasilan sendiri " bakat belanjaku lebih terasah, dia sudah lebih maklum. Badak jawa
juga nggak akan bisa menghalangiku berseliweran dari butik ke butik deh!
"Rafa nggak pernah protes ya lihat belanjaan lo yang harganya selangit gini?"
"Pertama, dia nggak tahu harga belanjaan gue. Kedua, kalau gue tambah oke, kan, dia juga
yang bangga. Jadi dia nggak boleh protes dong!" Seriously, aku selalu berpendapat kalau
kekecean istri adalah salah satu lambing kesuksesan pria. Penjelasannya sederhana saja.
Sering kali kesuksesan seorang suami bisa dinilai dari harga tas, sepatu, dan pakaian mahal
istrinya. Dan jangan lupa, hanya pria sukses yang mampu membiayai perawatan tubuh
istrinya agar kinclong selalu di klinik kecantikan yang sekali datang biayanya sama dengan
harga BlackBerry entry level. Shallow, I know. But that"s the truth, my dear. Sayangnya,
kadang pria-pria itu justru nggak punya waktu melihat istri-istri mereka yang tampil semakin
menawan karena terlalu sibuk mengejar uang dan kekuasaan. Mereka nggak bisa lihat hasil
kesuksesan mereka. Ironis.
"Lagipula, ini salah satu car ague nyenengin diri sendiri, Sonya. Lo tahu sendiri, suami gue
sibuknya kayak apa. Kalau gue nggak bisa cari pelarian buat senang-senang, gue bisa stress!"
lanjutku. Sonya melirikku sekilas, "Mulai deh curhat colongan. Cari makan yuk!"
Sudahlah, aku nggak mau bahas kesibukan suamiku yang mengalahkan presiden negeri ini
sekarang. I"m in the middle of shopping, kegiatan paling menyenangkan sedunia!
"Sushi Tei?" ceplosku saat tiba-tiba menemukan lambang restoran favoritku ada tepat di
depan mata. "Yuk!" jawab Sonya cepat. Nggak susah untuk menemukan meja kosong di Sushi Tei pada
hari kerja seperti ini. Mungkin semua orang memilih untuk langsung pulang dan makan
malam bersama keluarga tercinta setelah lelah bekerja seharian. Sedangkan aku" Suamiku
pasti masih lembur di kantor, jadi lebih baik aku menghabiskan waktuku dengan sahabatku
daripada harus makan sendirian di rumah. Tuh kan, curhat lagi deh aku, sebentar lagi
mungkin aku bisa bikin lagu baru buat Kangen Band! Duh!
"Itu cowok kayaknya gue kenal deh," kata Sonya dengan pandangan lurus ke meja
belakangku tepat setelah kita duduk.
"Lo selalu ngomong gitu tiap lihat cowok ganteng," sahutku cuek. "Itu radar cewek single,
Nyet!" kata Sonya sambil terkekeh.
"Tapi kayaknya ini gue beneran kenal. Itu Yoga bukan sih" lanjutnya.
"Yoga siapa?" tanyaku.
"Ada berapa Yoga sih yang kita kenal, Di" Yoga Indrajati! Mantan lo zaman kuliah dulu! Dia
sama cewek!" What" Refleks pandanganku menuju ke meja di belakangku. Benar itu Yoga, mantanku
sebelum menikah dengan Rafa. Ini pertama kalinya aku melihatnya setelah putus sekitar tiga
tahun lalu. Dia ambil S2 di Prancis saat kita putus dan sejak saat itu pula aku memutuskan
komunikasi dengannya. Ternyata dia sudah kembali ke Jakarta, toh"
"It"s his mom, Sonya!" kataku setelah buru-buru kembali menghadap Sonya sebelum Yoga
ataupun Ibunya melihatku.
"Oya" Masih muda gitu. Cantik banget," kata Sonya.
Aku hanya mengangguk mengamini kata-kata Sonya. Wajah ibunya Yoga memang seolah
nggak termakan waktu. Mungkin dia salah satu wanita yang menggunakan jasa klinik
kecantikan dengan biaya sama dengan harga BlackBerry untuk sekali kedatangan seperti
yang aku bilang tadi. "He"s coming!" kata Sonya. Matanya melotot kepadaku. "What?" entah kenapa tiba-tiba
jantungku berdebar kencang. "Kayaknya mau pulang. Dia mendekat." Sonya segera
mengalihkan pandangannya.
Oh no! I don"t wanna meet him. Not now! No, I don"t wanna meet him forever! Oke,
sebetulnya aku putus baik-baik dengannya tiga tahun lalu. Putus via e-mail masih lebih baikbaik kan daripada aku menghilang begitu saja" Well, setidaknya aku menganggap putusku
baik-baik karena setelah email itu, aku nggak menerima email ngamuk-ngamuk dari Yoga.
Lebih tepatnya, aku nggak pernah menerima email apa pun darinya lagi. Alasanku saat itu
sangat clich?. Aku bilang setelah tiga bulan mencoba pacaran jarak jauh dengan Yoga " aku
di Jakarta, dia di Prancis " aku nggak sanggup.masalahnya, bukan itu alasan sebenarnya.
Alasan sebenarnya adalah " aku bertemu Rafa dan jatuh cinta. Dan sekarang, melihat wajah
itu, tiba-tiba saja aku merasa bersalah. Bagaimana kalau dia ternyata tahu alasanku yang
sebenarnya" Bagaimana kalau dia marah-marah kepadaku sekarang setelah semua berlalu
tiga tahun" Tenang, Audi. Tenang. Ah, nggak mungkin dia tahu. Aku bahkan langsung menonaktifkan Facebook-ku setelah putus dengannya supaya dia nggak lagi tahu
perkembangan hidupku. Semoga dia nggak lihat aku! Argh, aku ingin ditelan bumi sekarang
jugaaa! Bab 2 : Loneliness "Sonya?" That"s it. Yoga melihat Sonya!
"Audi!" And of course, now he sees me!
Nada suaranya saat menyebut namaku barusan lebih mirip suara orang kaget ketemu hantu
daripada ketemu mantan pacar. Yoga benar-benar nyaris berteriak. Mungkin dia pikir dia
nggak akan pernah bertemu denganku lagi seumur hidupnya. Aku memaksa bibirku untuk
tersenyum. Yoga membalasnya dengan senyuman yang membuat ekspresi mukanya tampak
aneh. You know, ekpresi muka gado-gado antara kaget, senang, bingung, marah, semuanya.
Waktu seperti berhenti sesaat. Canggung.
"Apa kabar?" Tanya Sonya berusaha mencairkan suasana. "Baik." Jawab Yoga. "Kalian apa
kabar?" Tanya balik.
"Great," jawab Sonya.
Aku hanya tersenyum, masih terlalu kaget dengan pertemuan ini. Dan yang pasti, masih
lebih memilih ditelan bumi!
"Ma, ini Audi. Masing ingat" Dan ini temannya. Sonya?" Yoga merangkul mamanya yang
sejak tadi sudah tersenyum ramah.
"Iya, Mama ingat kok," jawab ibunya.
Nggak mungkin dia nggak ingat. Selama jadi pacar Yoga, aku sering banget ke rumahnya.
Rumah Yoga nggak jauh dari kampus, jadi kalau ada jarak break kuliah yang agak lama, dia
suka mengajakku pulang ke rumahnya dulu. Nggak banyak sebetulnya yang bisa di lakukan
di rumah Yoga. Paling-paling Cuma nonton TV atau main board game bareng. Tapi ada satu
hal yang selalu jadi favoritku: acara makan siang. Pertama, karena masakan ibunya Yoga ini
paling enak sedunia. Kedua, karena aku yang saat itu masih berstatus anak kost pasti merasa
dapat rezeki nomplok karena boleh makan gratis.
"Apa kabar, Tante?" aku terpaksa berdiri dan menyalami tangan ibunya Yoga.
"Baik. Kok nggak pernah main ke rumah lagi sih?" tanyanya.
Aku harus jawab apa" Aku sudah putus dengan anak Tante, jadi buat apa main ke rumah
Tante" Numpang makan lagi" Aduh, basa-basinya susah banget dijawab sih!
"Hmm. Sudah kerja, Tante. Sering lembur, jadi jarang main," jawabku akhirnya.
"Kapan-kapan mampir dong. Ngobrol-ngobrol. Nanti Tante bikini taoge goreng kesukaan
kamu." Astaga, dia bahkan masih ingat menu makan siang yang dulu selalu aku habiskan dengan
nggak tahu dirinya. "Iya, Tante." "Ya udah, kita duluan ya," kata sang ibu sambil melambaikan tangannya dengan anggun.
Aku hanya mengangguk sopan, sedangkan Yoga kembali memaksakan sebuah senyuman
aneh sebelum akhirnya mengikuti langkah ibunya meninggalkan aku dan Sonya.
"Awkwaaaard!" kata Sonya sambil tertawa kencang ketika Yoga dan ibunya sudah keluar
dari Sushi Tei. "Sialan lo!" aku melempar tisu ke arah Sonya.
"Lo nggak pernah ketemu dia sejak putus ya?" Tanya Sonya. "Nggak pernah. Ini pertama
kalinya setelah putus."
"Tambah ganteng aja si Yoga," kata Sonya sambil tersenyum nakal. "Badannya lebih berisi.
Nggak kurus kerempeng kayak dulu. Memang dia bahagia sama pacarnya yang sekarang,"
lanjutnya. "Maksud lo, dia tersiksa waktu pacaran sama gue, jadi kurus kerempeng"!"
Sonya tergelak. Apa iya Yoga sudah mendapatkan penggantiku" Siapa kira-kira wanita itu ya" Apa temannya
saat kuliah di Prancis" Apa wanita itu lebih cantik dariku" Ah, sudahlah. Buat apa aku
memikirkan ini" Aku juga sudah mendapatkan penggantinya. Aku bahkan sudah menikah.
Nggak pantas bagiku memikirkan pria lain. Ya, kan" Aku membuka pintu apartemenku.
Gelap. Artinya Rafa pasti masih lembur di kantor padahal jam tanganku sudah menunjukkan
tepat pukul 11 malam. Semakin hari Rafa memang semakin sibuk dengan pekerjaannya.
Kadang aku sampai curiga Rafa bukan hanya bekerja sebagai IT Consultant, tapi juga
merangkap jadi satpam kantor. Seriously, hampir nggak pernah dia pulang sebelum tengah
malam. Pekerjaanku sebagai marketing researcher sangat memungkinkanku untuk pulang
tepat jam lima sore. Bayangkan berapa jam yang aku habiskan dengan duduk sendiri
kesepian di apartemen sambil menunggu Rafa pulang. Aku tetap nggak mengerti kesibukan
Rafa meskipun dia berkali-kali menjelaskan tentang pekerjaannya, tapi aku mencoba untuk
menjadi istri yang mendukung suaminya. I was trying hard to not complain. I won"t say it"s
easy. Sering banget aku pengin protes. Tapi aku tahu. Semua nggak ada gunanya. Yang aku
bisa lakukan hanya bersabar. Dan untuk mewujudkan rencanaku menjadi istri yang nggak
banyak complain itu, aku butuh menyibukkan diriku juga. Apalagi kalau bukan dengan
menggiring Sonya dari mal ke mal setiap pulang kantor. Rafa membayar mahal
kesibukkannya dengan tagihan credit card yang kadang bikin nangis gara-gara ulahku.
Untung dia nggak pernah protes. Sekarang, setelah lebih dari satu tahun menikah, aku mulai
terbiasa dengan semua ini. But it doesn"t mean that I"m not sad. Ingin sekali rasanya
memeluk Rafa setelah lelah bekerja seharian. Ingin sekali menceritakan semua hal yang
terjadi pada diriku setiap harinya. Aku mengambil BlackBerry-ku, menghubungi Rafa.
"Hallo," terdengar suara Rafa di seberang sana.
"Pulang malem lagi?" "Iya, Sayang. Kamu tidur duluan aja."
Percakapan yang sama setiap hari. Entah kenapa aku masih saja meneleponnya setiap
malam. "Oke. Cepat pulang ya, Sayang." "Iya,"
Klik. Aku menarik napas dalam, membanting tubuh lelahku di sofa empuk depan TV.
Sendirian lagi malam ini. Entah untuk yang ke berapa kalinya. Normalkah pernikahanku"
Buat apa kita menikah kalau bertemu saja susah begini" Buat apa kita menikah kalau tetap
merasa sendirian dan kesepian" Ah ternyata, pernikahan jauh sekali dari bayanganku
sebelumnya. Bab 3 : Having a Child Untuk sebagian besar orang Jakarta, weekend boleh jadi adalah hari yang sangat ditunggutunggu. Beberapa orang menganggap Sabtu " Minggu adalah waktu yang sangat berharga
karena Cuma di dua hari itu, seluruh anggota keluarga bisa berkumpul setelah lima hari
sebelumnya sibuk dengan urusan masing-masing. Ada juga yang menanti weekend karena
hanya di akhir pecan mereka punya waktu untuk melakukan hobinya, jadi fotografer
amatiran yang hobi hunting foto misalnya. Bahkan ada yang menunggu weekend hanya
supaya bisa tidur seharian tanpa gangguan apa pun, Tanya jombloers. Buatku, weekend
seharusnya jadi hari di mana aku dan Rafa bisa punya quality time untuk berduaan. Tapi
kenyataannya, sepertinya hampir setiap weekend, ada saja acara-acara yang harus kita
hadiri untuk kepentingan social. Minggu lalu, weekend kita padat dengan kondangan
teman-teman yang menikah. Minggu sebelumnya lagi, kita harus pergi ke ulang tahun
pernikahan tanteku di Bandung. Dan weekend ini, aku dan Rafa justru harus menghadiri
acara arisan keluarga besarnya Rafa.
Huh! Yup, sejak tadi pagi aku sudah ada di rumah mertua dengan senyuman yang nggak
pudar sama sekali. No, aku tersenyum bukan karena senang, tapi karena memang aku wajib
pasang muka manis di depan semua tamu. Lagipula, bagaimana aku bisa senang kalau
semua tantenya Rafa menceramahiku habis-habisan untuk segera punya anak, sama persis
seperti arisan keluarga bulan-bulan sebelumnya. Apa hak mereka menyuruhku untuk segera
punya anak" Memangnya mereka mau kasih makan dan membayar semua biaya pendidikan
anakku nanti" Aku benar-benar bernapas lega saat mereka mulai pulang satu persatu.
Sekarang tinggal aku dan ibu mertuaku di teras belakang rumah. Kami sedang menikmati
teh hangat sambil mengistirahatkan badan setelah lelah beres-beres.
"Bulan depan arisan di rumah Tante Dewi. Kamu dateng lagi ya, Audi," kata Ibu mertuaku
sambil tersenyum. Aku tersenyum kecut. Bulan depan aku harus bertemu dengan para tante itu lagi" Mereka
pasti akan menceramahiku dengan hal yang sama lagi. Kapan ya mereka akan bosan" Aku
yang jawab saja sudah bosan setengah mati. Oh God, please help me!
"Oia, kamu dan Rafa nggak nunda punya momongan, kan?" kata ibu mertuaku.
Hampir saja aku menyemburkan teh dalam mulutku. Apa-apaan ini" Kenapa sekarang ibu
mertuaku ikut-ikutan menanyakan tentang anak" Dia sama sekali nggak pernah
menanyakan hal ini sebelumnya.
"Nggak kok, Bu. Cuma belum dikasih aja," jawabku. Oke, aku terpaksa bohong.
"Ibu sudah nggak sabar pengin gendong cucu!" Matanya menatap lurus ke halaman
belakang. Aku yakin dia sedang membayangkan bermain bersama cucunya di halaman belakangnya
yang luas ini. Rafa adalah anak tunggalnya, hanya dari Rafa dia bisa mengharapkan seorang cucu. Aku
diam, nggak tahu harus berkata apa. Aku nggak mau menjanjikan apa pun kepadanya.
Bagaimanapun juga sekarang ini dia adalah ibuku, aku nggak mau membuatnya kecewa.
Rafa, where the hell are you" I need you now. "Kalian kan sudah satu tahun menikah tapi
belum juga dikasih keturunan. Apa nggak lebih baik periksa ke dokter?" sekarang Ibu
mertuaku memandangku serius. What" Periksa ke dokter"
"Audi!" Rafa tiba-tiba muncul dari balik pintu, "Aku cari ke mana-mana, ternyata ada di
sini!" Here you are, Rafa! Kenapa baru datang sekarang"
"Aku lagi ngobrol sama Ibu," jawabku sambil tersenyum.
"Lagi seru ya, Bu" Aku mau ajak Audi pulang," kata Rafa sambil tersenyum ke ibunya.
Oh my lovely husband, kamu seperti dewa penyelamat bagiku. Yes, this is a perfect time to
go home sebelum kepalaku benar-benar pecah karena topic anak hari ini.
"Kok buru-buru sih, Raf?" kata Ibu. Dia pasti masih merindukan anaknya. Sejak tadi pagi
mereka belum sempat mengobrol.
"Kita udah di sini dari pagi, Bu. Aku agak ngantuk," kata Rafa memberi alasan.
"Kan bisa tidur di kamar tamu," kata Ibu.
"Nggak deh, Bu. Aku pulang aja," Rafa tersenyum sopan ke Ibunya, "Yuk, Di!"
"Ya udah, hati-hati ya!" ada kekecewaan di wajah Ibu, tapi dia tampak berusaha
menutupinya. Dia pasti kesepian tinggal di rumah besar ini hanya dengan seorang
pembantu. Suaminya, ayah Rafa, sudah meninggal beberapa tahun lalu. Seketika aku
merasa bersalah, mungkin memang nggak seharusnya aku dan Rafa buru-buru pulang.
Bahkan mungkin lebih baik kita sesekali menginap di sini, menemani Ibu supaya nggak
kesepian. Aku saja bosan setengah mati setiap menunggu Rafa pulang, padahal aku sudah di
luar rumah seharian. Apalagi Ibu yang setiap hari menghabiskan sebagian besar waktunya di
dalam rumah. Atau mungkin sekarang sebetulnya memang saat yang tepat untuk aku dan
Rafa mulai memikirkan punya anak" Dengan punya anak, aku nggak sendirian saat
menunggu Rafa pulang. Dengan punya anak, aka nada keramaian baru di halaman belakang
rumah Ibu. "Tadi Ibu nanyain tentang anak," kataku setelah Rafa melajukan mobil
meninggalkan rumah Ibu. "Terus kamu bilang apa?" Tanya Rafa. Wajahnya tetap datar
memandang jalan. "Aku bohong. Aku bilang memang belum dikasih aja."
"Oh." Oh" Hanya itu reaksinya" Aku kebingungan setengah mati saat Ibu mengangkat topic ini dan
The Marriage Roller Coaster Karya Nurilla Iryani di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Rafa hanya berkomentar "oh".
"Ibu kayaknya udah pengin punya cucu," kataku mencoba memancing reaksi Rafa lebih jauh
lagi. Rafa menguap, "Iya, tapi aku belum siap, kita kan sudah bahas ini sejak sebelum nikah."
Wajah Rafa jelas sekali menunjukkan ketidaktertarikan terhadap topik ini.
Aku dan Rafa memang sudah sepakat akan menunda memiliki anak sampai entah kapan.
Oke, sebetulnya ini adalah permintaan Rafa, aku nggak keberatan karena toh usiaku baru 25
tahun. Usia produktifku masih berjalan beberapa tahun lagi. Rafa selalu bilang, dia belum
siap. Menurutnya, tanggung jawab menjadi ayah terlalu besar. I don"t get it actually.
Umurnya sudah 30, memangnya dia mau menunggu sampai kapan" Teman-temannya juga
hampir semuanya sudah punya anak. Sebagian bahkan anaknya sudah dua.
"Tapi aku bingung kalau ditanyain tentang anak, Raf. Tadi tante-tante kamu juga nanyain
kapan kita punya anak."
"Ya kamu senyum aja. Lama-lama juga mereka capek sendiri," kata Rafa.
Kapan capeknya" Sudah setahunan dan mereka belum juga lelah menanyakannya.
"Ibu minta kita periksa ke dokter," Rafa memandangku sekilas lalu kembali menatap jalanan
di depannya. Dahinya tiba-tiba berkerut, wajahnya yang sebelumnya tampak tak peduli
sekarang berubah serius, pertanda dia sedang berpikir keras.
Ah, akhirnya dia ikut mikir. Enak saja aku harus pusing sendirian! "Ya udah. Kita juju raja
deh, kita bilang kita nunda," kata Rafa akhirnya.
Hah" Mengumumkan pada dunia kalau kita menunda punya anak jelas bukan solusi yang
akan mengubah keadaan menjadi lebih tenang. Para Tante pasti akan semakin bawel. Ibu
mertuaku juga pasti akan sedih kalau tahu aku dan Rafa menunda untuk punya anak.
"Nggak semudah itu, Raf!" kataku. "Terus maunya gimana, Audi?" nada suara Rafa sedikit
meninggi, "Kalau kita nggak jujur ya kamu akan terus-terusan ditanya tentang anak."
"Kalau kita jujur, ceramah tante-tante kamu itu nggak akan berhenti, justru tambah
panjang!" balasku. "Ya udah, kita nggak usah dateng lagi ke arisan keluarga. Selesai masalah!"
"Kan Ibu yang minta kita dateng. Gimana nolaknya" Nggak enak dong, Raf."
"Terus aku harus selalu denger kamu ngeluh tiap habis ketemu keluargaku?" suara Rafa
semakin meninggi. Oh my gosh! Aku nggak bermaksud buat mengeluh. Aku Cuma mau cerita. Bukankah hal
seperti ini harusnya dihadapi bersama"
"Capek tahu denger kamu ngeluh tapi nggak mau dikasih solusi!" lanjut Rafa dengan nada
tajam. Rafa selalu saja mencari solusi dari semua masalah yang aku utarakan. Padahal,
kadang yang aku butuhkan bukan solusi. Yang aku butuhkan hanya dia duduk di sampingku,
mendengarkanku dengan sabar lalu bilang kalau semua akan baik-baik saja. Sesimpel itu.
Aku diam. Nggak ada gunanya melanjutkan pembicaraan ini. Aku membuang mukaku ke
arah sisi jalan dan menahan diri supaya nggak menangis di depan Rafa.
He hates to see me cry. Sabar, Audi. Sabar. Tarik napas, buang. Tiba-tiba saja BlackBerry-ku
bordering. Sebuah nama yang muncul di layar sukses membuatku kaget. Yoga Indrajati,
sodara-sodara! Argh, apa lagi ini" Aku sedang di mobil, rebut dengan Rafa, dan sekarang
Yoga meneleponku setelah tiga tahun namanya tidak pernah muncul di HP-ku. Kalau Rafa
sampai tahu yang meneleponku sekarang adalah mantan pacarku, dia pasti semakin marah.
Dia pencemburu akut. Bagaimana ini" Angkat. Nggak. Angkat. Nggak. Angkat. Nggak. Astaga,
alam semesta sepertinya berkonspirasi membuatku sebal.
Bab 4: Perdebatan "Kok nggak diangkat?" Tanya Rafa sambil melirik BlackBerry-ku yang masih terus bordering.
Wajahnya masih jutek. Kalau aku terus-terusan membiarkan BlackBerry-ku ini berdering
tanpa kuangkat, Rafa pasti curiga.
Baiklah, lebih baik aku terima saja telepon dari Yoga. Lagipula, aku juga sebetulnya
penasaran setengah mati kenapa dia tiba-tiba saja menghubungiku. Ingat Audi, jangan sebut
nama. Rafa nggak boleh dengar nama Yoga sama sekali.
"Hallo." "Hai, Audi. It"s me, Yoga."
Yes, I know it"s you. I wonder why you still keep my number. And I also wonder why I still
keep yours. Selama bertahun-tahun ini aku pikir aku sudah nggak menyimpan nomornya.
"Oh," jawabku seolah nggak tahu sebelumnya, "Ada apa?"
"Belum ganti nomor ya?" tanyanya basa-basi.
Kalau aku sudah ganti nomor, ya nggak nyambung ke aku teleponnya.
Pintar! Basi banget deh basa-basinya. Yoga ini dari dulu nggak pernah berubah, paling nggak
bakat cari ide basa-basi sama orang. Dasar orang IT!
"Belum. Ada apa?" tanyaku to the point. Seriously, keberadaan suami paling pencemburu di
dunia duduk di sampingku sekarang sama sekali bukan kondisi yang bagus untuk basa-basi
lama-lama dengan mantan di telepon. Bahkan aku yakin, Rafa yang sedang menyetir dengan
gaya sok cool itu pasti sebetulnya sedang memasang telinga tajam-tajam untuk
mendengarkan pembicaraan di telepon.
Yoga hanya bergumam nggak jelas. Astaga, kebiasaannya belum hilang juga, bicaranya pasti
berubah kayak kumur-kumur saat gugup. Satu dari sedikit kebiasaan buruk Yoga yang sering
banget bikin aku geregetan dulu. So not manly!
"Apa" Nggak kedengaran!" Volume suaraku mengencang.
Please Yoga, jangan nggak jelas sekarang. Aku nggak mau Rafa curiga. Lihat tuh wajahnya
sudah mulai penasaran. Berani taruhan, dia pasti langsung menanyakan siapa yang telepon
tepat setelah aku menutup telepon ini.
"Kamu ada acara malem ini?" Tanya Yoga.
"Sorry ya, nggak bisa." Jawabku cepat.
Apa" Apa kataku barusan" Memangnya dia mau mengajakku pergi" Kenapa aku tiba-tiba
bilang nggak bisa"! Bodoh bodoh bodoh! Improvisasi mulutku memang suka dungu kalau
sedang panic begini. Kalau Sonya mendengar percakapan ini, dia pasti langsung meneriakiku
sebagai mantan GR-an. "Ya udah lain kali aja. Tadinya mau ngajak ngopi," kata Yoga dengan suara yang nyaris nggak
bisa didengar oleh telinga normal. Fuuuiiihhh". Untung benar dia mau mengajakku
ketemuan! Kalau ternyata salah, aku pasti sudah malu setengah mati.
Wait" Buat apa dia mengajakku ketemu" Is it a date"
"Iya, lain kali aja ya," kataku menguatkan statementnya. Entah kenapa lain kali itu datang.
"Oke. I"ll see you later."
Aku buru-buru menutup telepon tanpa menjawab kata-kata terakhirnya. I know it"s rude.
"Sonya?" Tanya Rafa saat aku memasukkan kembali BB-ku ke dalam tas.
Benar kan dia pasti langsung bertanya saat aku menutup telepon" Sebesar apa pun
kemarahan Rafa, pasti lebih besar rasa penasarannya. Atau mungkin rasa curiga lebih
tepatnya. "Iya?" aku bohong.
Lebih baik aku bohong, kan, daripada ributnya makin parah" Please, say yes!
"Ngajak jalan?"
"Iya." "Kenapa nggak mau?"
"Emang kamu mau?"
"Aku mau tidur di apartemen, ngantuk banget. Kalau kamu mau pergi sama Sonya ya pergi
aja. Nggak apa-apa kok."
"Rafa?" aku mencoba membuat suaraku selembut mungkin, membuang jauh-jauh rasa
kesal yang masih tersisa,
"Waktu kita bareng-bareng itu sedikit banget, makanya aku pengin manfaatin semaksimal
mungkin tiap weekend begini. Aku pengin punya quality time sama kamu karena setiap
weekdays kamu sibuk banget."
"Loh, kenapa tiba-tiba kamu protes aku sibuk?" Tanya Rafa masih dengan suara datar dan
muka judesnya. Aku bukan protes! Aku hanya mengemukakan alasanku. Ih, Rafa ini kadang
lebih sensi dari cewek PMS deh.
"Aku kan udah jelasin pekerjaan aku sekarang. Loadnya tambah banyak, tanggung jawabku
makin besar. Tolong dong kamu pengertian sedikit aja," lanjut Rafa. Hellooo" Hanya karena
aku bilang aku ingin punya quality time dengannya lantas dia bilang aku nggak pengertian"
"Seriously, Raf?" aku memandangnya tajam. Aku tersinggung. Jadi selama ini dia nggak
sadar betapa aku sudah mengalah dan bersabar menghadapi dia yang sibuk setengah mati.
Mungkin Rafa pikir kewajiban dia sebagai seorang suami memang hanya mencari uang
segunung. Dia sepertinya lupa kalau dia juga punya keharusan untuk menjagaku,
memberiku perhatian, dan membuatku merasa berharga. And I know exactly that he forgets
to love me. Rafa melirikku. "What?" suaranya datar seolah tak ada yang salah dengan kata-katanya.
"Aku kurang pengertian apa, Raf" Kamu selalu pulang malem sampai aku harus tidur
sendirian, makan sendirian, nggak bisa ngobrol sama suamiku sendiri. Apa aku protes" Apa
aku marah" Susah ya untuk menghargai itu semua?" aku meledak. Kata-kataku meluncur
begitu saja. Cepat dan tajam. Dadaku sesak saking kesalnya.
"Ini apa namanya kalau bukan protes" Ini apa namanya kalau bukan marah?" kata Rafa sinis
sambil melirikku tajam dari ujung matanya.
Aku menarik napas dalam, "Aku capek, Raf." Kataku pelan.
Rafa, I wish you could drink your words and realize how bitter they taste! Kali ini aku nggak
sanggup lagi membendung air mataku. Sakit banget rasanya mendengar semua kata-kata
Rafa. "Nangis lagi," kata Rafa, "Kapan dewasanya sih kamu" Dikit-dikit nangis!" Rafa
menggelengkan kepalanya, matanya tetap lurus ke jalan.
Sekeras itukah hati kamu, Raf" Bahkan air mataku pun nggak mampu membuatmu sedikit
melunak. Ah, jangankan melunak, kamu bahkan selalu mengeluarkan kata-kata yang
semakin menyakitkan setiap kali melihatku menangis.
What are you, raf" Monster"
Fine. Kalau Rafa nggak mau menghargaiku, buat apa aku menghargai dia" Aku mengambil
BB-ku dari dalam tas, mengetik SMS.
Hari ini gak bisa. Kalau besok gimana"
SMS Sent To: Yoga. Bab 5: About Yoga It starter seven years ago.
Aku yang masih mahasiswa baru di Ilmu Komputer UI mendapatkan tugas untuk
mengumpulkan tanda tangan senior oleh panitia Orientasi Mahasiswa Baru. Mereka bilang,
tugas ini berguna supaya kita bisa kenalan dengan para senior. Aku bilang, para senior Cuma
pengin jadi artis dadakan yang dimintai tanda tangan sana-sini. Cih. Pagi itu, saat melihat
seorang senior duduk sendirian di depan lab, aku langsung menyapanya basa-basi dan
mengeluarkan buku orientasiku untuk meminta tanda tangan. Kalau bukan karena sehari
sebelumnya aku dimarahi habis-habisan karena belum mengumpulkan tanda tangan sama
sekali, pasti aku nggak akan melakukannya. Mendingan naik ke ruang kuliah dan
melanjutkan tidur sampai dosen datang. Siapa sangka, sapaan basa-basiku ke senior itu
justru membuat kami membicarakan banyak hal.
Mulai dari mata kuliah yang bikin ubanan sampai dosen yang menyebalkan. Dia juga yang
membuatku percaya kalau kegiatan minta tanda tangan senior sebetulnya nggak
semenyebalkan itu. Sebetulnya nggak ada yang terlalu istimewa dari sosok senior saat itu.
Well, dia Cuma baik dan informative. Oh, dan sedikit lebih ganteng dibandingkan seniorku
kebanyakan. Oia, dia juga orang pertama yang membuatku nyaman ada di kampus ini.
Pembawaannya yang positif membuatku yakin kalau aku akan baik-baik saja di kampus
meskipun harus tinggal jauh dari orangtua. Ini berarti sekali untukku, mahasiswi perantau
dari Jogja, yang merasa super kesepian saat itu. Senior itu adalah Yoga. Sejak hari itu, dia
selalu ada di dekatku, menjadi senior yang baik untukku. Terlalu baik malah. Dia
mengajariku mata kuliah yang nggak terlalu kumengerti. Dia membantuku mengerjakan
tugas. Dia mengantarku pulang sampai depan pagar kosan saat aku harus pulang malam
mengejar deadline. Nggak heran, kalau beberapa bulan setelah hari itu, aku langsung bilang
iya saat Yoga memintaku jadi pacarnya. Dan setelah menjadi senior yang baik, dia jadi sosok
pacar yang nyaris sempurna. I was so lucky. Yoga selalu membawaku makanan saat aku
harus mengejar deadline tugas sampai larut malam di lab. Sebetulnya makanannya
sederhana banget, Cuma nasi putih dan telur dadar warteg. Mungkin hanya itu yang dia
mampu beli saat dia masih jadi mahasiswa dulu. Tapi perhatiannya itu yang membuatku
selalu bisa tersenyum meskipun aku sedang stress berat mengerjakan tugas-tugas kuliahku.
Yoga juga pernah langsung pulang mengejar pesawat paling malam setelah mengikuti lomba
programming di Bali demi bisa memberiku surprise dengan datang ke kosanku tepat jam 12
malam saat aku ulang tahun. Padahal semua teman-temannya masih di Bali untuk lanjut
liburan gratis setelah lomba. Aku ingat jelas, aku menangis tersedu-sedu karena sangat
terharu. Pernah juga Yoga menemaniku di rumah sakit saat aku dinyatakan kena tifus oleh
dokter. Dia membawa berbagai macam buah yang aku yakin dia ambil dari kulkas ibunya.
Dia baru mau pulang saat orangtuaku datang dari Jogja dan tahu kalau aku nggak akan
sendirian di rumah sakit. Sejak saat itu, orangtuaku memperlakukan Yoga seperti keluarga
sendiri. Nggak Cuma orangtuaku yang terpesona, adikku, Ken, yang saat itu masih duduk di
bangku SMA juga ng-fans banget sama dia. Setiap kali aku mau mudik, pasti adikku nanya
Yoga ikut atau nggak. Ini gara-gara Yoga sering ikut liburan ke Jogja dan mampir ke rumah.
Sejak pertama bertemu, mereka langsung nyambung banget membahas game-game
terbaru. Benar-benar seperti teman lama yang lagi reunian. Aku ingat, aku sampai dicuekin.
Kadang aku merasa terlalu banyak hal baik yang dilakukan Yoga untukku. After all, dia nggak
Cuma jadi pacar untukku. Dia juga jadi sosok kakak, sahabat, bahkan kadang ayah. Kalau
nggak ada Yoga, mungkin aku sudah minta pulang ke Jogja saja saat baru kuliah dulu. Kalau
diminta menyebutkan satu kata yang berhubungan dengan masa aku kuliah, jawabannya
pasti Yoga. Aku menghabiskan sebagian besar waktuku bersamanya. Bahkan waktu yang aku
habiskan dengan Yoga lebih banyak dibanding dengan Sonya dulu. Sampai kadang aku
jenuh. People are complicated sometimes. Justru dia yang selalu ada, dia yang selalu baik,
dia yang selalu positif, membuatku akhirnya nyaris mati bosan. Relationship kita terlalu
datar tanpa percikan. I was young, I needed more color in my relationship. Saat dia akhirnya
pergi ke Prancis untuk mengambil master, aku kehilangan semua rasa yang pernah aku
rasakan terhadap Yoga dulu. Aku berpaling begitu saja. Dan sekarang, Yoga kembali.
Kehadirannya mengingatkanku kalau suatu relationship bisa tenang tanpa percikan. Sesuatu
yang justru aku inginkan sekarang, saat aku sudah menikah. Andaikan saja aku masih bisa
mencari ketenangan dan kenyamanan dari dirinya. OMG, what the hell am I thinking" Begini
nih kalau keseringan berantem sama suami. Argh!
Bab 6: Say it with Flower
Ada satu tradisi di kantor yang aku suka banget. Namanya happy hour. Jadi, seminggu sekali
di hari yang random, beberapa menit sebelum jam pulang kantor, semua pegawai di
kantorku tiba-tiba dapat cemilan sore gratis yang disiapkan oleh HRD. Sebetulnya
cemilannya sederhana saja sih, kadang Cuma aneka gorengan, paling mewah juga Cuma
pizza. Tapi tetap saja, setelah pusing bekerja seharian, kejutan kecil seperti ini selalu
menyenangkan dan selalu ludes diserbu perut-perut kelaparan. Seperti happy hour di sore
ini. Semua orang sedang rebutan siomay seperti habis puasa seminggu. Semua orang,
kecuali aku. Aku justru masih sibuk mengecek report yang harus segera aku kirim untuk
klienku. Sebetulnya klienku ini kasih deadline ke aku sampai jam Sembilan malam karena dia
juga masih mau lembur di kantor. Tapi sore ini aku ada janji sama Yoga, jadi report ini harus
ada di inbox email dia sebelum aku pergi. Sesuka-sukanya aku bekerja di market research
company yang selalu bisa memberiku data-data fantastis, tetap saja mengejar deadline itu
rasanya nggak jauh beda sama dikejar banteng marah. Menyebalkan.
"Heh, tumben banget lo nggak ikut rebutan makanan?" Sonya tiba-tiba sudah berdiri di
sampingku dan meletakkan sebuah piring penuh siomay di hadapanku.
Aku belum cerita ya, Sonya ini selain sahabatku sejak kuliah, dia juga satu tim denganku di
kantor. Kebetulan kita masuk kantor yang sama sejak lulus kuliah dua tahun lalu. Tentu saja
ini jadi kesenangan tersendiri bagiku. Paling nggak, ada satu orang yang bisa aku percaya di
tengah persaingan kantorku yang sengit ini.
"Lagi deadline," jawabku sambil mencomot siomay di hadapanku. "Santai aja kerjanya. Gue
temenin lemburnya. Gue juga ada deadline nih," kata Sonya.
"Gue nggak lembur."
"Ngapain pulang buru-buru" Rafa juga paling lembur, kan?"
"Bukan. Gue mau ketemu Yoga!" "APA?" Bagus, Sonya! Berteriaklah seperti aku baru saja
mengabarkan besok kiamat. Semua orang yang sebelumnya heboh rebutan siomay sekarang
melihat ke arah kita dengan wajah penasaran. Sonya melihat ke sekeliling, baru menyadari
kalau semua orang di ruangan ini sedang menatapnya. Tanpa muka berdosa, dia langsung
cengengesan ke semua orang. Dasar sableng!
"Heh, lo gila ya!" kata Sonya dengan suara lebih pelan saat perhatian semua orang sudah
kembali ke kesibukannya masing-masing, "Ngapain lo ketemu Yoga" Rafa tahu?" lanjutnya.
Aku menggeleng, "Ya enggaklah. Bisa ngamuk dia kalau sampai tahu!"
"Terus lo ngapain ketemu Yoga?" Iya ya, buat apa aku ketemu Yoga" Aku sendiri bingung.
"Audi, lo udah nikah. Ngapain sih ketemu lagi sama mantan" Cari perkara aja deh. Udah
tahu suami lo cemburuan parah."
Honestly, aku juga sebetulnya nggak tertarik untuk ketemu Yoga. Ya, aku memang sudah
lama nggak mendengar kabarnya. But actually, I don"t really care and I don"t really wanna
know any updates about him. Belum lagi ada risiko dia akan mengungkit masa lalu, saat aku
minta putus dengan alasan yang terlalu clich? dulu. Aduh, bodoh banget sih aku. Kenapa
kemarin nggak kepikiran ya" Sekarang tindakan emosionalku kemarin sudah terlanjur
terjadi. Aku sudah terlanjur menghubunginya dan dia sudah mengiyakan. Bahkan mungkin
sekarang dia sedang siap-siap untuk menjemputku ke kantor.
"Audi, jangan bengong aja. Lo lagi mau main api nih, Nyet. Ati-ati kebakar!" kata Sonya lagi.
Aku menarik napas dalam, menguatkan hati untuk menceritakan hal yang kemarin terjadi,
"Gue berantem sama Rafa. Dia minta gue lebih pengertian. Emang gue kurang perhatian
apa, sih" Gue nggak pernah marah dia pulang malem terus. Istri mana yang nggak marah
kalau suaminya pulang malem tiap hari?"
Aku menarik napas lagi. Menceritakan kejadian kemarin benar-benar menyulutkan kembali
rasa marahku. "Selama ini gue udah sabar dia nggak pernah ada buat gue. Tapi dia bahkan nggak pernah
menghargai itu. Gue kecewa. Jadi gue hubungin Yoga dan ngajak ketemu hari ini," lanjutku.
Sonya menggaruk-garuk kepalanya yang aku yakin nggak gatel, "I don"t get it. Apa
hubungannya lo berantem sama Rafa dan lo janjian sama Yoga?" "Aduh Sonya, lo lemot
banget sih. Dia nggak menghargai gue jadi buat apa gue menghargai dia!" Sonya
mengerutkan dahinya, "Sekarang lo jujur ya, lo beneran pengin ketemu Yoga" Pengin catch
The Marriage Roller Coaster Karya Nurilla Iryani di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
up?" No "Yes!" This is what you call lain " di " mulut " lain " di " hati. "Really" Lo mau bales sakit
hati lo aja, kan" Meskipun Rafa nggak tahu, tapi ini ngasih kepuasan batin buat lo karena lo
juga bisa nggak menghargai Rafa. Ya, kan?" Hah" Well, sometimes your best friend knows
you better than your own self.
"Mungkin," jawabku pelan.
"Lo sinting ya! Sejak kapan lo jadi pendendam gini?"
Aku hanya mengangkat bahuku. I seriously don"t know.
"Audi, Rafa itu suami lo. Kalau ada masalah, ya bicarain baik-baik. Jangan ngelakuin hal
kayak gini. Umur lo udah 25, kenapa kelakuan lo kayak umur 15 tahun sih?"
"Eh, kok lo jadi belain Rafa?" She"s my best friend. Bukankah dia seharusnya ada di pihakku"
"Gue nggak belain Rafa! Tapi kalau gara-gara berantem aja, terus lo ngehubungin mantan "
itu namanya nggak dewasa! Lo harus belajar menghadapi masalah dengan dewasa!"
Apa aku benar-benar punya masalah dengan kedewasaan" Kemarin Rafa bilang gitu,
sekarang Sonya. Huff! "Tapi gue sakit hati!" belaku. "Terus harus begini solusinya" You"re smart, Audi. Tapi kenapa
suka bodoh ya kalau udah urusan cinta-cintaan gini?"
Excuse me" Seorang single bilang aku bodoh untuk urusan cinta" Mau aku sentil mulutnya!
Sonya ini kalau galaknya kumat memang mulutnya bisa lebih pedes dari cabai rawit!
"Sekarang gini deh. Gimana kalau Rafa berantem sama lo terus dia ngehubungin
mantannya?" Aku diam. Aku tahu persis, kalau hal itu sampai terjadi, aku pasti marah besar.
"Nggak mau kan lo" Kalau lo nggak mau digituin, jangan begitu ke Rafa! Pasti zaman SD
nggak pernah dengerin pelajaran PPKn deh lo!"
Jleb. She"s right! "Oke. Gue salah. Kemarin gue emosi," kataku mengakui kesalahanku, "Tapi sekarang gue
udah terlanjur janjian sama dia. Gue nggak bisa apa-apa lagi." "Bukan berarti nggak bisa
dibatalin, kan?" "Gue nggak enak!"
"Nggak enak tuh sama suami lo, Nyet!"
Aku membanting badanku ke sandaran kursi. Clueless. Aku harus bilang apa sama Yoga"
Dan kalau sampai Rafa tahu, bagaimana aku menjelaskan ini semua"
"Mbak Audi, ada kiriman bunga," tiba-tiba seorang office boy sudah berdiri di sampingku
sambil memegang sebuket mawar putih. Aku melirik Sonya. Wajahnya penasaran.
"Makasih ya, Mas." Aku menerima buket itu dan langsung menarik kartunya.
I"m sorry, Love. Dinner tonight" I"ll pick you up at 6.
Rafa. Rafa banget. Singkat jelas dan padat. Dan seperti sebuah keajaiban, rasa kesalku tiba-tiba
menguap begitu saja. Hatiku meleleh melihat bunga-bunga cantik itu. Yang tersisa sekarang
justru rasa bersalah karena berniat membalas rasa sakit hatiku. Oh, why am I so childish"
"Masih mau pergi sama Yoga?" kata Sonya setelah melirik kartu itu.
"Kalau aja suami lo tahu lo udah bikin janji sama mantan"."
"Shut up!" potongku. "Gue harus gimana?"
Sonya memandangku aneh. Sedetik kemudian dia mengambil BB-ku yang tergeletak di atas
meja, "Batalin janji lo sama Yoga!" Kriiing"..
"Panjang umur," kata Sonya sambil menyodorkan BB-ku yang masih juga di tangannya.
Nama Yoga terpampang di layar. Bagaimana ini" Bagaimana ini" Dear brain, I need you to
work faster. Come on! Aku mengambil BB-ku dan menjawab ragu, "Hallo,"
"Hai, nanti jadi, kan" Aku udah di jalan menuju kantor kamu," suara Yoga terdengar begitu
ceria. Sial! Sejuta sial! Apa aku pura-pura nggak denger suaranya saja ya" Atau aku matikan saja
BB-ku dan nanti malem baru aku hubungi dan bilang kalau BB-ku habis baterai" Argh,
someone please just kill me right now!! "Sorry. Aku ngak bisa." Kataku akhirnya.
"Kenapa?" suara itu melemah.
Aku bisa mendengar kekecewaan. Kenapa" Kenapa" Kenapa" Karena aku nggak mau.
Karena aku memang nggak seharusnya ketemu kamu.
"Aku tiba-tiba banyak kerjaan. Kayaknya bakal lembur sampai malam."
"Oh." "Maaf ya." "Ya udah, nggak apa-apa. Lain kali aja ya!"
"Iya." Jawabku singkat.
Nggak, Yoga. Nggak aka nada lain kali. Menghubungi kamu adalah kesalahan dan aku nggak
akan mengulanginya lagi. Yoga menutup telepon duluan. Mungkin dia marah. Ya, dia pantas marah padaku.
"Gampang, kan?" kata Sonya sambil tersenyum.
"Gampang dari Hongkong! Sana balik ke meja lo!" kataku sambil mendorong Sonya.
"You know I"m your best friend," kata Sonya sambil terkekeh kembali ke mejanya.
Aku nggak menjawab kata-kata Sonya. But yes, she"s my best friend. Anywaaaay, kalau Rafa
menjemputku jam enam, berarti hari ini dia nggak lembur demi aku. Lebih baik aku dandan
cantik juga demi dia. Aku mencari-cari tas make up dan segera melesat ke toilet,
menyempurnakan kembali dandananku yang sudah agak luntur. Kira-kira Rafa akan
mengajakku ke mana ya" Bayangan candle light dinner tiba-tiba terlintas di otakku. Entah
kenapa terakhir kali aku romantic dinner dengannya. Padahal zaman pacaran dulu, itu
kegiatan wajib kita tiap bulan. Aku yakin pasti Rafa pasti sudah reserve tempat untuk kita
romantic dinner malam ini. Aku tersenyum sendiri membayangkannya. Jam enam sore
serasa seabad. Ini membuatku sadar betapa aku memang sangat merindukan Rafa. Finally,
quality time yang sangat aku harapkan akan segera datang. Yippie!
"Gelisah banget sih. Kayak baru pdkt aja lo!" Sonya tersenyum jail. "Dandanan gue belum
luntur, kan?" tanyaku.
Sonya tertawa kencang. "Norak lo, ah!"
"Kok lo ketawa sih!"
"Audi, saking sibuknya si Rafa, selama ini dia itu ngeliat lo Cuma saat lo tidur. Saat lo lagi
heboh ngiler. Jadi ngeliat lo nggak ngiler aja udah bagus."
"Sialan lo! Gue nggak ngiler tahu!" Beep. Satu BBM masuk ke BB-ku. Rafa memberi kabar
mobilnya sudah memasuki lobby kantorku. Yeay, I"m so ready to have a romantic dinner
with you, Rafa! "Gue baliiik!" kataku sambil berlari meninggalkan ruangan. Oh God, berlari
dengan stiletto 10 senti dan rok yang super sempit ini ternyata sungguh menyiksa ya"!
Sonya tak menjawab, hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Aku memencet tombol
elevator berkali-kali, berharap pintunya segera terbuka. Aku tak ingin Rafa menunggu terlalu
lama. And I miss him sooo much!! Keluar dari elevator, aku langsung menemukan mobil
Rafa yang terparkir tepat depan lobi. Aku kembali berlari dengan semangat seperti anak
kecil mengejar permen gratisan sekarung. BRUUUKKK".
Oh My God! Apa yang baru saja terjadi" I"m on the floor. What am I doing" Aku jatuh" Aku
jatuh! Aku jatuh tepat di depan lobi. Sebagian orang memandangku aneh. Sebagian lagi
terlihat menahan tawa. Crap! Sakitnya nggak seberapa, tapi malunya itu loh. Aku menutupi
wajahku dengan rambut sebisa mungkin. Lagipula, kenapa sih aku bisa tiba-tiba jatuh" Rafa
terlihat panik, dia keluar dari mobil dengan sedikit berlari. Dia menghampiriku dan
membantuku berdiri. Ouch, pergelangan kakiku sakit sekali. Oh great, ternyata hak stilettoku patah. Stiletto Guess kesayanganku! Oh nooo". Rasanya ingin menangis sekencangkencangnya!
"Sakit ya" Pelan-pelan aja!" kata Rafa membantuku berjalan.
Aku hanya meringis. Seorang satpam membantu membawakan tasku yang ikut terjatuh. Rafa membukakan pintu
mobil. Aku mengambil tasku yang dibawakan satpam yang berdiri tepat di sebelah kananku.
Tanpa sengaja mataku melihat ke mobil yang berhenti tepat di belakang mobil Rafa.
Sepertinya aku kenal. Honda city type Z warna silver keluaran 2003. Aku melihat nomor
polisi mobil itu. Yup, aku yakin aku kenal mobil itu. Mobil yang beberapa tahun lalu sering
mengantarku ke mana-mana. Itu mobilnya Yoga. Aku mengamati orang yang duduk di
kemudi. Agak gelap. Aku memicingkan mataku. Itu Yoga. Ya, aku yakin itu Yoga. Dan dia
sedang melihat ke arahku juga. Sedang apa dia" Bukankah aku sudah membatalkan janjiku
dengannya" This is not good! Yes, I know this is not good.
"Yuk, Sayang! Kita ke dokter terus dinner di rumah aja. Nggak mungkin kita pergi kalau
kakimu sakit begini," kata Rafa. Perhatianku ke Yoga buyar seketika. Apa kata Rafa barusan"
Dinner di rumah" No romantic dinner" Help me! Aku mau pingsan!
Bab 7: Kejutan Terburuk Presentasi untuk menggaet klien baru selalu menjadi hal yang menegangkan buatku (dan
mungkin juga semua executive di kantorku). Keringat dingin dan mulas pasti datang tanpa
diundang. Seperti sekarang. But, hey, I love and enjoy it so much! Yeah, call me freak. Tapi
entah kenapa, sejak dulu, aku selalu suka berhadapan dengan tantangan. Tantanganlah
yang membuat hidup jadi lebih hidup. Jadi, jangan heran, saat semua pegawai kantorku
bilang kalau presentasi di hadapan perusahaan besar (dan berusaha meyakinkan mereka
untuk menggunakan servis kantorku) itu berjuta-juta kali lebih menyeramkan daripada
sidang akhir kuliah, aku justru menunggu-nunggu hari seperti ini. Serius deh, ini jauh lebih
menyenangkan daripada duduk manis di meja sambil bikin report. Aku mengecek
penampilanku di kaca besar toilet kantor sebelum berangkat ke kantor calon klien baruku.
Kukenakan pakaian terbaikku. Rambut lurusku jatuh sempurna. Dandananku juga tanpa
cela. Demi presentasi ini, aku memang sengaja bangun lebih pagi agar punya waktu untuk
dandan lebih lama dari biasanya. Bagiku tampil prima selalu mampu mendongkrak rasa
percaya diri. Tapi ada yang kurang. Aku harus pakai flat shoes, sodara-sodara! Oh My God,
this is disaster! Yap, kejadian jatuh di depan lobi tempo hari ternyata berbuntut panjang.
Rafa memaksaku ke dokter dan dokter melarangku memakai high heels selama satu bulan
penuh supaya kakiku benar-benar sembuh. Bayangkan, satu bulan! Tega banget sih! Padahal
stiletto-stiletto itu adalah penyempurna penampilanku. Look at me now! Kaki jenjangku
tampak nggak seseksi biasanya. Argh! Well, sebetulnya kecelakaan kecil tempo hari nggak
sepenuhnya buruk sih. Karena kejadian itu juga Rafa justru berjanji mengantarku setiap pagi
ke kantor selama satu bulan ini supaya aku nggak perlu berdiri lama-lama nunggu taksi. Aku
nggak menuntutnya untuk menjemputku juga karena aku tahu dengan mengantarku tiap
pagi saja dia sudah cukup repot harus berputar lumayan jauh untuk sampai di kantornya.
Lagipula, aku malas menunggunya sampai malam di kantor untuk menjemputku. Mending
aku ke mal bareng Sonya. I"m quite happy with this condition. Meskipun dia masih selalu
pulang malam, at least selama satu bulan ini aku bisa mengobrol dengannya setiap pagi di
perjalanan ke kantor. Trust me, mengobrol dengan seseorang saat energinya masih penuh
dan pikirannya masih fresh sesungguhnya sangat menyenangkan. Sesuatu yang langka
banget sebelumnya. "Santai aja, Di. Nggak usah terlalu dipikirin!" kata Sonya yang sedari
tadi bersamaku di toilet.
"Apa yang nggak dipikirin" Sepatu gue" Lihat dong gue udah kece gini, tapi bawahnya pakai
flat shoes!" Sonya mengerutkan dahi," Bukan itu!"
"Apa?" "Presentasi ke Prima Food. Santai aja."
"Oh," aku hanya mengangguk.
Aku mengerti betul maksud Sonya. Prima Food, perusahaan biscuit yang cukup besar di
Indonesia ini adalah calon klien yang akan aku datangi. Sebetulnya perusahaan ini telah
menolak servis market research dari kantorku selama 4 kali berturut-turut. Artinya, tiap
tahun ada saja rekan kerjaku yang presentasi di sana untuk mencoba merayu perusahaan
satu ini dengan memaparkan data-data powerful yang kita punya, tapi selalu gagal. Dan
sekarang giliranku. Kalau hari ini aku juga gagal, pasti semua orang maklum. Atau mungkin
mereka akan kaget kalau aku sampai berhasil" Well, I"ll try to do my best. Aku kurang tidur
beberapa hari belakangan ini demi menyiapkan presentasi ini. Bagaimanapun juga, aku ingin
mendapatkan hasil terbaik. I always set my target high. Persetan dengan kepesimisan semua
orang. Aku nggak akan menyerah sebelum perang.
"Gue berangkat ya! Wish me luck!" kataku ke Sonya. "Good luck!" Sonya tersenyum ketika
aku melangkah keluar toilet. Aku menuju lobi, sopir kantor sudah menungguku di sana dan
siap membawaku ke Prima Food. Jantungku berdegup semakin kencang. Jalanan pagi ini
cukup bersahabat. Aku sampai di kantor Prima Food 15 menit lebih cepat dari yang
dijadwalkan dan langsung menemui seorang wanita dari bagian marketing bernama Kristi.
Dengan dialah selama ini aku berkomunikasi. "Sebentar ya, Mbak. Kita masih nunggu brand
manager biscuit Yumm-O dan marketing director kita," kata Kristi setelah mengantarku ke
sebuah ruang meeting yang besar.
Beberapa orang sudah menungguku di sana, mungkin mereka adalah beberapa brand
manager lain, atau mungkin tim marketing lainnya. Entahlah. Mereka semua tampak sibuk
dengan laptop masing-masing. Sepertinya, lebih baik aku tunda dulu berkenalan dengan
mereka. "Ok" jawabku sambil mengeluarkan laptop dan menyiapkan presentasiku. Kristi
sendiri bergabung dengan orang-orang yang sedang serius itu. Seseorang terdengar
membuka pintu yang ada di belakangku. Refleks aku membalikkan badan. Yoga"! Ya, itu
Yoga! Astagaaa. Manusia satu ini benar-benar seperti jin. Suka tiba-tiba nongol. Tapi kali ini
waktunya benar-benar nggak tepat! Sedang apa dia di sini" Aku nggak pernah lagi ketemu
dia setelah kejadian sore itu ketika aku melihat mobilnya di lobi, dia pun nggak pernah
menghubungiku. Kenapa aku harus ketemu dia di sini di saat aku akan presentasi penting"
Rasanya jantungku berdegup dua kali lebih cepat dari sebelumnya. Yoga seakan membeku
di tempat setelah melihatku. Aku salah tingkah. Bagaimana dia" "Hallooo," seorang wanita
tiba-tiba memasuki ruangan, memecah keheningan.
"Eh, hallo," jawabku kikuk.
"Saya Sinta," katanya menyalamiku sambil tersenyum ramah. Aku bisa lihat sisa-sisa
kecantikan masa mudanya. Karena Bu Sinta ini tampak sudah agak tua, asumsiku dia adalah
marketing director di sini. Artinya brand manager Yumm-O yang kita tunggu adalah Yoga"
Aku nggak pernah tahu Yoga kerja di Prima Food. Ah, tentu saja. Memang aku bisa tahu dari
mana" Tapi, background pendidikan Yoga kan IT, sedang apa dia di dunia marketing seperti
ini" Dia geek berat dulu, bukan seperti aku yang memang sudah niat cabut dari dunia IT
setelah lulus kuliah. "Saya Audi, Bu." Aku berusaha tersenyum seramah mungkin,
mengimbanginya. Yoga mendekat, "Saya Yoga," katanya kemudian.
Heh" Jadi dia mau pura-pura nggak kenal denganku"
"Audi," fine, aku ikuti permainannya.
"Langsung dimulai saja Ibu Audi!" kata Bu Sinta sambil menuju tempat duduk.
Yoga mengikutinya. Keberadaan Yoga di sini benar-benar tidak menguntungkan bagiku. Aku jadi tambah
nervous. Tapi aku sudah mati-matian menyiapkan ini semua. Aku nggak boleh merusak
semuanya sekarang. Tarik napas, Audi. Embuskan. Hilangkan Yoga dari pandangan. Atau
anggap dia patung. Atau monyet. Apa saja. Baiklah, break a leg, Audi! Presentasi berjalan
lancar. Ibu Sinta mengajukan sejuta pertanyaan yang bisa aku jawab dengan baik. Yang lain
juga berusaha mencecarku habis-habisan. Untungnya aku jauh lebih cerdas, jadi aku bisa
mementahkan semua cercaan mereka. Nggak sia-sia aku kurang tidur untuk menyiapkan
presentasi ini. Yang membuatku kesal adalah Yoga juga ikut-ikutan mencecarku. Bahkan
lebih parah dari yang lain. I know, maybe he"s just trying to be professional. Tapi dia
memojokkanku seperti seorang musuh. Aku yakin ini bukan hanya perasaanku saja. What"s
your problem, Dude" Huh! Mereka akan mengadakan internal meeting dulu untuk
mengambil keputusan. Perasaanku nggak enak. Dengan adanya Yoga sebagai salah satu
pengambil keputusan, seharusnya ini bisa jadi sesuatu yang menguntungkan bagiku. Tapi
melihat sikap Yoga sejak tadi, aku sama sekali nggak yakin dia akan membantuku. I have to
do something. Kalau aku bisa mendapatkan perusahaan yang satu ini, pasti bisa jadi batu
loncatan buatku untuk segera promosi jadi manajer. Yoga, you have to help me!
"Bapak Yoga, bisa bicara sebentar," kataku saat semua orang sedang membereskan barangbarangnya, bersiap meninggalkan ruang meeting. Yoga diam sesaat, lalu mengangguk.
Let"s play my game now.
Bab 8: To Lie or Not To Lie
Aku menyalami semua peserta meeting satu per satu saat mereka hendak meninggalkan
ruangan. Nggak lupa sebuah senyuman manis terpasang di wajahku sambil berharap
senyumanku kali ini punya pelet mujarab agar mereka tertarik menjadi klienku. Hanya Yoga
yang masih ada di ruang meeting. Dia duduk di bangku paling pojok. Laptopnya tertutup.
Tangannya memainkan pulpen. Matanya lurus menatap dinding di hadapannya. Ekspresinya
dingin. This isn"t a good sign. Putus bertahun-tahun dengan Yoga nggak berarti aku lupa arti
setiap ekspresi mukanya. Dan ekspresi mukanya kali ini menandakan he"s not in a good
mood. Tapi kenapa aku yang harus jadi korban bad moodnya" Kenapa dia harus
memojokkanku seperti musuh tadi" Seingatku, dulu Yoga bukan tipe orang yang suka
meluapkan kekesalannya ke orang lain. Eh, jangan-jangan ini artinya dia memang sedang
marah denganku" Apa ini ada hubungannya dengan aku membatalkan janji tempo hari" Aku
menarik napas dalam, mengumpulkan semua keberanianku untuk menghadapinya. Kakiku
melangkah menuju kursi yang ada persis dihadapan Yoga. Semua demi keberhasilanku
mendapatkan perusahaan satu ini sebagai klien baruku.
"Apa kabar?" tanyaku setelah duduk.
Aku benar-benar nggak tahu harus mulai dari mana.
"Baik," jawabnya singkat.
Sudah" Itu saja" Dia bahkan nggak bertanya balik.
"Aku baru tahu kamu kerja di sini," kataku mencoba memancing percakapan yang lebih
dalam. "Aku kerja di sini sejak pulang dari Prancis," jawabnya.
"Oh, Sudah lama juga ya?" kataku. Padahal aku bahkan nggak tahu kapan dia pulang dari
Prancis. Dan dia diam. Duh, kenapa sih sebetulnya orang ini"
"Maaf ya tempo hari aku batalin janji," aku nggak punya pilihan lain selain segera
mengangkat topik ini. Bisa jadi ini memang alasannya marah.
Yoga hanya mengangguk. Argh" give me 5 toddlers now! Sepertinya lebih gampang komunikasi dengan mereka
daripada dengan Yoga saat ini! "Tapi harusnya kamu nggak perlu bohong!" kata Yoga
kemudian. "Bohong?" tanyaku.
"Iya. Kamu janjian sama orang lain, kan?"
Aku buru-buru menggelengkan kepalaku.
"Audi, aku lihat sendiri," kata Yoga. Nadanya tetap tenang. Tapi dari wajahnya aku tahu dia
tambah kesal. Oh, jadi benar penglihatanku tempo hari. Itu mobilnya Yoga dan dia melihat
semua kejadian di lobi saat itu. Well, actually, aku berusaha untuk tidak ambil pusing karena
tadinya aku pikir aku nggak akan pernah bertemu lagi dengan Yoga. Tapi sekarang, saat aku
tahu kalau Yoga adalah calon klienku, sepertinya aku harus mencari penjelasan yang bagus.
Aku nggak bisa membiarkannya tetap marah padaku. Think, Audi! Find a smart reason!
The Marriage Roller Coaster Karya Nurilla Iryani di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Waktu itu aku tiba-tiba sakit. Jadi aku batal lembur. Aku bahkan sampai jatuh di depan lobi.
Kebetulan waktu itu ada temanku lihat, jadi dia antar aku pulang," kata-kata itu mengalir
begitu saja. Don"t judge me, please! Aku nggak punya pilihan lain selain berbohong
sekarang. Lagipula, aku nggak sepenuhnya bohong. Rafa kan temanku. Teman hidup
maksudku. I just didn"t make it clear to Yoga.
"Jadi waktu itu kamu pingsan" Bukan kesandung?" Tanya Yoga. Wajah Yoga tampak sedikit
melunak. Ada rasa bersalah di situ.
"Nggak pingsan, Cuma ambruk sesaat karena pusing banget." "Aku pikir kamu batalin janji
karena mau ketemu laki-laki itu." Wajah tegang Yoga kini benar-benar mengendur. Aku
tertawa senatural mungkin, mencoba membuat suasana semakin cair. "Jadi, Karena itu
kamu jutek banget sama aku?"
"Aku nggak jutek," kata Yoga sambil tertawa ringan.
Yap, aku berhasil! Eh, wait! Ada yang salah di sini. Dia marah karena aku ada janji dengan
pria lain. Memang kenapa kalau aku ada janji dengan pria lain" Dia kan bukan siapa-siapa
aku" Jangan-jangan dia punya niat untuk mendekatiku lagi" Oh crap, dia pasti belum tahu
aku sudah menikah! Ah, tentu saja. Dari mana dia bisa tahu aku sudah menikah. Pertama,
kita sudah nggak komunikasi cukup lama. Aku saja nggak pernah tahu perkembangan
hidupnya. Wajar saja Yoga juga nggak pernah tahu perkembangan hidupku. Meskipun kita
sempat pacaran, tapi aku dan dia punya lingkungan pergaulan yang berbeda saat kuliah
dulu. Mungkin karena ini, kita sama-sama nggak update dengan berita masing-masing
setelah putus. Kedua, dan yang paling penting, aku nggak pernah mengenakan cincin
kawinku, termasuk detik ini. Jariku memang nggak bersahabat dengan segala jenis cincin.
Untungnya untuk hal satu ini, Rafa cukup pengertian. Dia rela membiarkan aku nggak pakai
cincin kawin daripada jariku harus gatal terus menerus. Jadi aku harus bagaimana sekarang"
Bilang kalau aku sudah menikah" Insting-ku mengatakan this isn"t a good time untuk dia
tahu kalau mantan pacarnya ini sudah menikah. Aku janji, I"ll tell him. One day. Tapi bukan
sekarang. Mungkin nanti, setelah perusahaan ini resmi jadi klienku. Jangan bilang aku jahat.
Aku sudah janji aku akan mengatakannya. Hanya masalah waktu. Lagipula, aku melakukan
ini untuk kepentingan pekerjaan. Untuk kepentingan perusahaan tempatku bekerja. Nggak
ada niat lain. Kalau saja saat ini Yoga nggak ada hubungannya dengan pekerjaanku, aku akan
dengan senang hati mengatakan kalau aku sudah menikah.
"Kamu sendiri sore itu ngapain ada di lobi kantorku?" tanyaku kemudian.
"Aku mau anter makanan buat kamu."
"Anter makanan?" tanyaku bingung.
"Iya. Seingatku dulu, kamu suka lupa makan kalau ngerjain tugas. Aku pikir mungkin kamu
masih begitu sekarang. Jadi aku mau anter makanan biar kamu nggak lupa makan."
Deg. Dia masih ingat kebiasaanku lupa makan. Dan dia benar, kebiasaan itu masih sampai
sekarang. Aku nggak bisa bohong, aku terharu dengan apa yang dilakukannya. Suamiku
sendiri nggak pernah seperhatian itu terhadapku. Yeah sure, dari mana Rafa bisa tahu kalau
aku sampai lupa makan, menanyakannya saja dia nggak ada waktu. Dia, kan, sibuk setengah
mati mengurus pekerjaannya! Ingat"
"Anyway, gimana menurut kamu presentasi barusan?" lebih baik aku segera mengalihkan
pembicaraan. "Great. Agak kaget juga tahu fakta sales perusahaan kami berkurang karena dimakan
competitor yang satu itu. Mungkin sudah saatnya kita pakai servis market research
perusahaan kamu." Aku hanya tersenyum. "Nanti kami akan meeting buat bahas ini. I"ll let you know the result ya!"
"Oke, aku tunggu ya."
Aku tersenyum sambil melirik jam tanganku, sudah hampir jam dua belas. Aku harus segera
kembali ke kantor. "Aku nggak nyangka kita ketemu di sini."
Nggak ada tanda-tanda Yoga mau mengakhiri percakapan ini.
"Iya. Aku pikir kamu akan kerja di perusahaan IT, bukan di perusahaan biscuit begini,"
kataku. "Kamu lupa ya, aku punya tanggung jawab besar untuk nerusin perusahaan papaku nanti,
makanya setelah sekolah bisnis di Prancis, yang paling pas ya kerja diperusahaan seperti ini.
Aku jadi lebih bisa belajar banyak."
Aku menganggukkan kepala. Ingatanku kembali ke saat aku baru pacaran dengan Yoga. Dulu
dia bilang orangtuanya sudah memaksanya sekolah bisnis sejak lulus SMA, tapi dia menolak.
Akhirnya dia dikasih kesempatan kuliah apa pun yang dia mau, tapi harus tetap berjanji
untuk sekolah bisnis setelah lulus, karena bagaimanapun juga, dia harus meneruskan
perusahaan keluarganya. Ternyata dia benar-benar memenuhi janjinya. "Anyway, aku harus
balik ke kantor nih," kataku kemudian.
"Lunch bareng dulu aja yuk, baru balik ke kantor. Ada restoran enak deket sini," kata Yoga.
Lunch bareng" Aduh, rasa malas langsung datang begitu saja. Kalau aku tolak dia
tersinggung nggak ya"
"Lain kali deh, Yog. Aku ada meeting jam satu di kantor, takut telat kalau lunch di sini."
"Oke. Toh kalau aku jadi klien kamu nanti, kita bisa sering-sering lunch meeting atau dinner
meeting." "Iya. Semoga. Aku berharap banget kalian mau pakai servis ini."
"Aku akan bantu bujuk mereka. Kamu tahu kan betapa persuasifnya aku?"
Yes, I know. Aku pernah sekali ikut Yoga meeting dengan timnya saat mau ikut salah satu
dari sekian banyak lomba pemrograman. Ternyata, di balik pembawaannya yang tenang
banget, dia selalu bisa memengaruhi temannya untuk menuruti idenya. Yoga ini salah satu
manusia paling persuasive yang pernah aku temui sepanjang hidupku. Kemampuannya
meyakinkan orang nggak perlu diragukan lagi. Dan aku tahu, ini akan sangat
menguntungkan bagiku. "Thanks, Yog," kataku.
Yoga mengangguk sambil tersenyum manis. Oh, aku lupa dia punya senyuman semanis itu.
Senyuman yang selalu membuatku meleleh. Senyuman yang selalu membuatku merasa
dunia ini sangat damai. Dulu. Oh well, lebih baik aku segera mengambil tas laptopku,
berpamitan, dan kembali ke kantor. I have a good feeling that I"ll get a good news soon!
Yippie! Bab 9: Let The Past Be The Past
Pintu apartemen terbuka saat aku hampir saja tertidur di sofa dengan televisi. Rafa"s home!
Aku melirik jam dinding. Jangan-jangan aku sudah tertidur berjam-jam dengan mata terbuka
tanpa aku sadar. Baru jam setengah sebelas malam, artinya aku memang belum tertidur
sama sekali. Nggak biasanya Rafa pulang saat aku masih terjaga. Ada apa ya" "Hei, Sayang,"
sapanya sambil melepas sepatu Pedronya. Wajahnya tampak letih. Seperti itukah wajahnya
setiap pulang kantor" "Tumben jam segini udah pulang?" "Ya udah, aku balik lagi ke kantor,"
jawabnya sambil pasang muka cemberut. Aku terkekeh. That cute face. Sudah lama aku
nggak lihat muka cemberut sok manja itu. Ekspresi yang dulu sering aku lihat di awal
pernikahan kami, saat kami sedang berebut channel TV, saat aku melarangnya makan
tengah malam, saat aku memaksanya membersihkan kamar mandi. Ya, masa-masa dia
belum sesibuk sekarang, masa-masa di mana waktuku dengannya masih berlimpah. Rafa
menghampiriku, mencium dahiku, "Kangen sama kamu, Sayang." Kangen" Tunggu, aku
ingat-ingat dulu kapan terakhir Rafa bilang kangen. Setahun lalu" Aku memandangnya aneh,
"Kamu sakit ya?" "Ih, kamu tuh ya. Kalau aku nggak romantis protes, kalau aku romantis
malah dikira sakit," katanya sambil duduk di sampingku dan meletakkan tas laptopnya di
meja depan sofa. Aku tertawa keras. Rafa ini adalah manusia paling nggak romantis yang
aku kenal. Jelas saja aku heran kalau dia tiba-tiba pulang cepat dari kantor hanya dengan
alasan kangen istri. "Aku laper," kata Rafa sambil melonggarkan dasinya. "Nggak ada
makanan, Raf." Stok makanan di apartemen memang sangat terbatas mengingat aku dan
Rafa sama-sama pergi ke kantor dari pagi dan pulang malam. Aku sendiri biasa makan
malam diluar sebelum pulang. Rafa biasanya baru pulang tengah malam entah jam berapa,
dia pasti sudah makan di kantor. "Kok jam segini belum makan sih?" tanyaku. "Tadi diajak
meeting sama bos besar sampai laperku ilang. Sekarang baru terasa lagi." "Delivery aja ya.
Kamu mau apa?" kataku sambil mengambil BlackBerry-ku. "Aku mau dimasakin istriku,"
Rafa tersenyum memamerkan deretan giginya yang rapi. Ini orang lagi kesambet apa sih"
Tiba-tiba pulang cepat dan sekarang minta aku masak! Dia, kan, tahu aku nggak bisa masak.
"Mi instan pakai telur ceplok?" tawarku. Memangnya ada pilihan lain" Hanya itu yang bisa
aku masak. Masakanku yang lain bisa membuatnya terancam keracunan. "Boleh!" Rafa
mengangguk semangat," Aku udah lama nggak makan Mi instan!" Belum sempat aku
beranjak, tiba-tiba BlackBerry-ku berdering. Siapa yang meneleponku malam-malam begini"
Aku melirik layar BlackBerry-ku Yoga! Akhirnya manusia satu ini meneleponku juga. Sudah
beberapa hari ini aku menunggu teleponnya, menunggu kabar hasil meeting tim marketing
Prima Food mengenai presentasiku tentang servis yang kantorku tawarku. Setiap
BlackBerry-ku berdering, jantungku langsung berdegup lebih cepat, berharap nama Yoga
yang muncul di layar. Bahkan menunggu hasil sidang akhir zaman kuliah dulu rasanya nggak
semenegangkan ini. Thank"s God akhirnya dia telepon juga. "Hallo." "Audi, sorry aku telepon
melem-malem," kata suara di seberang sana. "It"s ok. Ada apa?" I know, harusnya aku nggak
nanya: ada apa. Teleponnya kali ini sudah pasti tentang hasil meeting tim marketing-nya.
"Tadi pagi aku sudah meeting sama tim marketing. Sudah ada keputusan. Sebetulnya tadi
aku mau langsung kabari kamu, tapi kerjaanku lagi banyak banget. Ini baru sempet." "Iya,
nggak apa-apa kok. Gimana hasilnya?" aku mengontrol suaraku sesantai mungkin. Padahal
aku sudah penasaran setengah mati. "Mereka tertarik pakai servis market research kantor
kamu." "Really" Yeaaay!" aku bersorak kegirangan. Nggak sia-sia ternyata semua
persiapanku. "Ini aku kabarin kamu as a friend ya, bukan sebagai calon klien. Besok si Kristin
yang akan hubungin kamu." "Ok. I"ll wait. Thank"s ya." "Sama-sama. Ya udah, udah malem.
Aku pasti ganggu istirahat kamu. Sampai ketemu di meeting-meeting yang akan datang."
Aku terkekeh, "Ok. Once again, thank"s ya, Yoga." Ini memang bukan kali pertama aku
berhasil menggaet klien baru. Tapi seperti yang kubilang tadi, perusahaan satu ini sudah
empat tahun berturut-turut menolak servis kantorku. Jelas ini sebuah prestasi! Kursi
manajer sudah terbayang olehku. Well, at least kemungkinan aku dapat award dari kantor
akan lebih besar, lumayan bisa buat beli sepatu baru. "Yoga siapa?" Tanya Rafa tiba-tiba.
Astaga, aku lupa dia masih di sebelahku sejak tadi. "Klien." "Klien?" Rafa mengerutkan dahi
seolah nggak percaya. "Calon klien tepatnya, kasih kabar mereka jadi pakai servis yang aku
tawarkan." "Baru jadi calon klien udah nelepon kamu jam segini. Apalagi kalau jadi klien
nanti, pasti demanding." Kata Rafa sinis. Aku hanya mengangkat bahu. Peduli amat dengan
yang akan terjadi nanti, detik ini aku hanya ingin menikmati keberhasilanku. "Aku bikinin mi
dulu," kataku sambil menuju dapur. Rafa nggak menjawab apa pun. Dia hanya mengambil
remote TV dan mengganti-ganti channel. Aku segera membuatkan mi goreng plus telur
ceplok. Pikiranku masih ke telepon barusan. Tomorrow is gonna be a great day. Pasti semua
orang akan kagum dan bertanya-tanya bagaimana aku bisa mendapatkan klien satu ini. Pasti
bosku akan mulai mempertimbangkan untuk memberiku promosi. Aku tersenyum sendiri
membayangkannya. "Mi gorengnya sudah jadi, Sayang," kataku sambil menyodorkan piring.
Aku duduk di samping Rafa yang kini sudah menghadap laptopnya. "Yang tadi telepon itu
Yoga Indrajati?" Rafa menatapku tanpa menyentuh piring yang aku sodorkan. Aku melirik
BlackBerry-ku. Sudah berubah posisi. Pasti Rafa melihat nama lengkap Yoga barusan.
Suamiku ini sepertinya nggak tahu namanya privacy. "Iya," jawabku. "Dia mantan kamu?"
"Hah" Kenapa tiba-tiba nanya gitu, Raf?" "Jawab aja. Dia mantan kamu?" Aku melirik sekilas
ke layar laptop Rafa. "You google him?" tanyaku ketika menemukan nama Yoga di layar
laptop Rafa. Rafa mengangguk. OMG. Such a geek you are, Raf! "Raf, nggak penting banget
deh sampai kamu googled dia." "Kamu tinggal jawab. Dia mantan kamu atau bukan?" Aku
menghela napas. "Iya, dia mantanku." "Dan dia calon klien kamu?" "Iya." "Aku nggak suka."
Aduh". Apa lagi ini, Rafa" Ini sudah malam, please jangan ajak aku berantem sekarang.
"Come on, Rafa. Itu kan udah bertahun-tahun lalu," "Itu nggak mengubah fakta kalau dia
mantan kamu!" "Rafa, please dong, jangan kayak ABG deh. Cemburu-cemburu nggak jelas."
"Aku bukan cemburu. Aku Cuma mau kamu menghindari masalah." "Menghindari masalah
gimana maksud kamu" Kamu takut aku selingkuh" Kamu nggak percaya sama aku" I"m done
with him, Raf." "Maksudku, jangan kamu bawa-bawa masa lalu kamu ke masa sekarang
karena itu berpotensi menimbulkan masalah. Let the past be the past." "Aku nggak bawabawa ke personal life aku. Ini Cuma urusan kerjaan, Raf!" "Tetep aja!" nada suara Rafa
sedikit meninggi, "Lagipula, kamu itu udah nikah. Pantes ya deket-deket mantan?" Rafa,
kamu lebih baik nggak pulang cepet daripada sekalinya pulang cepet kita malah rebut gini.
Serius deh! Aku menarik napas dalam, "Terus aku harus gimana, Raf?" Aku menatapnya
heran. Bilang Raf aku harus gimana" Membatalkan semuanya" Kamu pikir sesimpel itu" Aku
seorang professional! "Biar temen kamu yang lain handle klien ini. Jangan kamu." "Tapi?"
"Itu pilihan pertama. Pilihan kedua, kamu resign dari kantor!" You must be kidding me, Raf!
Rafa menutup laptopnya, menuju kamar, dan meninggalkanku bengong sendirian sambil
memangku sepiring mi goreng. I can"t believe this.
Bab 10: Gloomy Morning. Yes, you better shut your mouth up now, Rafa. Aku nggak butuh mengawali hari ini dengan
mendengarkanmu. Melanjutkan marah-marah perihal mantan pacar yang akan jadi klien
baruku. Lebih baik seperti sekarang, kamu diam, nggak bicara sepatah kata pun dan
konsentrasi pada jalanan yang macetnya semakin parah dari hari ke hari. Lagipula, melihat
wajahmu yang dilipat tujuh belas saja sudah cukup menyiksa bagiku. Ah, namanya aku tadi
berangkat naik taksi saja. Nggak hanya itu. Alam semesta seolah berkonspirasi menyiksaku
pagi ini. Aku nggak tahu kenapa sejak bangun tidur tadi kepalaku pusing sekali. Apa ini efek
kurang tidur demi menyiapkan presentasi untuk Prima Food tempo hari, ya" Atau simply ini
efek kesal dengan suamiku yang cemburuan ini" Huh, rasanya mau marah. Harusnya pagi ini
aku mengawali hariku dengan bahagia. Aku tahu aku akan mendapatkan berita baik dari
pihak Prima Food dan kemudian menyebarkan berita ini di kantor. Aku yakin ini akan
membuat semua orang memandangku kagum. Tapi, lihat kenyataannya sekarang. I"m in a
bad mood gara-gara suamiku ngambek dan kepalaku pusing tujuh keliling. "Thank"s, Raf,"
kataku sambil keluar dari mobil ketika sampai di depan lobi gedung kantorku. Biasanya aku
mencium pipinya sebelum turun, tapi pagi ini, aku bahkan menghindari melihat wajahnya.
Aku segera naik ke kantorku dan menuju meja kerja. Sonya sudah ada di mejanya, membaca
majalah dengan santai ditemani secangkir kopi hangat. Begitulah kebiasaannya sebelum
mulai bekerja. Katanya, pagi hari harus diawali dengan membaca hal-hal menyenangkan
sebelum suntuk baca email kantor. Untung saja nggak pernah ada atasanku yang protes
melihat kebiasaan paginya itu. "Hey, pagi-pagi kok udah jutek?" Tanya Sonya ketika aku
membanting tasku di atas meja. "Kepala gue pusing," kataku sambil memijat keningku.
"Kenapa nggak cuti sakit aja?" Aku menunggu berita penting hari ini, mana mungkin aku cuti
sakit" Tapi sebelum ada kabar resmi dari Prima Food, aku nggak akan menceritakan ini
kepada siapa pun, termasuk Sonya. "Cuma pusing dikit kok," kataku menyalakan komputer.
Aku mencoba memaksakan sebuah senyuman ke sahabatku itu. One fake smile. Oh well, I
need a coffee. Mungkin kafein bisa sedikit membuatku merasa damai. Aku segera menuju
coffee maker, meninggalkan Sonya yang masih bengong melihatku. Aku tahu, dia pasti
mencium sesuatu yang nggak beres. She"s my best friend. She knows me very well. Tapi aku
terlalu malas untuk cerita ke dia sekarang, apalagi dengan kondisi kepala seperti ini.
Komputerku belum juga selesai loading saat aku kembali ke meja. Ah, bahkan komputerku
ini ikut-ikutan membuatku kesal. Aku menyeruput kopiku sambil memejamkan kedua
mataku, berharap bisa menikmati lebih maksimal kopi hangat ini. Dan yang past
i, berharap mood-ku bisa segera membaik saat aku membuka mata. Hari masih panjang, aku nggak bisa
kesal terus-terusan begini. "Nyet, beneran pusing doang?" Tanya Sonya di tengah protes
meditasiku. Kursinya tiba-tiba sudah ada persis di sampingku. "Iya, beneran kok," kataku
masih dengan senyuman terpaksa. Sonya menganggukkan kepalanya dan kembali ke
mejanya. "Just let me know ya kalau butuh ngobrol. Gue lagi santai kok. Mau kabur
sebentar jajan kue lopis juga ayo!" lanjutnya sambil cengengesan. "Kalau tiap pagi gue
nurutin lo buat jajan lopis favorit lo itu, bisa melar badan gue!" jawabku sambil terkekeh.
Sonya hanya tertawa sambil kembali membolak-balik majalahnya. Hey, here you are! Sudah
ada email dari Kristin. Aku nggak mengira dia akan kirim email sepagi ini. Aku membuka
email itu buru-buru. Benar kata Yoga, mereka setuju untuk membeli servis yang aku
tawarkan. Aku segera membalas email Kristin dan mengabarkan hal ini ke para atasan via
email. Aku melirik ke dalam ruang kaca Pak Guntur, direkturku. Dia sudah datang, sudah
duduk manis di depan laptopnya. Sebentar lagi dia pasti membaca email yang aku kirim.
Mari kita tunggu reaksinya. Jreng! Wajahnya tiba-tiba berubah. Sebuah senyuman lebar
mengembang di sana. Dia langsung beranjak dari tempat duduk menuju pintu ruangannya
dan berteriak ke arahku , "Audi, kamu berhasil dapetin si Prima Food?" Semua orang
memandangku sekarang, aku tersenyum. "Ke ruangan saya sebentar sini," lanjutnya. Aku
menuju ke ruangannya diiringi dengan tatapan mata semua orang di ruangan. Yup, tatapan
kagum seperti yang sudah aku perkirakan. "Selamat ya," Pak Guntur menyalamiku. "So,
bagaimana ceritanya?" Aku menceritakan proses presentasiku beberapa hari lalu serta
semua pertanyaan yang diajukan kepadaku. Aku juga menceritakan kondisi sales Prima Food
yang memburuk belakangan ini. Semuanya aku ceritakan, kecuali bagian Yoga. Aku nggak
mau direkturku ini mengira aku berhasil mendapatkan perusahaan satu ini karena campur
tangan orang dalam. "Good job, Audi. Saya pikir perusahaan sombong itu nggak akan
pernah mau pakai servis kita." Aku tersenyum puas. "Tapi ada yang perlu saya bicarakan,
Pak," kataku "Ada apa?" "Sepertinya saya nggak bisa handle Prima Food." Pak Guntur
tampak kaget, raut mukanya berubah seketika. "Why" Jangan bilang kamu mau resign!"
"No," jawabku cepat, "This company is too big, saya sudah handle Grand Asia. That huge
company sudah menyita hampir seluruh konsentrasi saya, jadi lebih baik Prima Food dihandle orang lain." I said that. I said that, Rafa!! Akhirnya kata-kata yang sudah aku siapkan
semalaman keluar juga pagi ini. Ya, setelah berpikir semalaman, aku memutuskan untuk
menuruti suamiku. Pak Guntur diam sambil memandangku lekat-lekat. Entah apa yang ada
di pikiran atasanku itu sekarang. Mungkin aku terlihat seperti anak manja yang nggak bisa
handle pekerjaan agak banyak. Mungkin aku terlihat seperti seseorang yang mudah
menyerah sebelum perang. Yang aku tahu, pandangannya itu sama sekali nggak memiliki
arti yang bagus. Yeah, selamat tinggal kursi manajer. Thanks to you, my dear husband!
"baiklah. Nanti saya bicarakan dengan manajer kamu. Dia yang tahu kondisi tim kamu, jadi
dia yang bisa mutusin mau dilempar ke siapa. Tapi sementara, tolong kamu handle dulu ya,
at least sampai semua kontraknya beres." Aku mengangguk dan segera berpamitan untuk
kembali ke meja. Pusing di kepalaku terasa semakin hebat setelah pembicaraan barusan.
Aku baru saja mempertaruhkan karierku demi mengikuti keinginan Rafa. Keinginan Rafa
agar aku menghindari potensi masalah. So this is it, aku menghindari potensi masalah versi
Rafa. But why do I feel like shit now" And by doing this, apa aku bisa disebut sebagai istri
yang baik sekarang" Atau justru perempuan kuno bodoh yang menelan mentah-mentah
perintah suami" "Gila! Hebat banget looo!" Sonya memelukku setelah kembali ke meja.
The Marriage Roller Coaster Karya Nurilla Iryani di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Satu per satu rekan kerjaku datang ke mejaku dan memberikan selamat. Mereka
memaksaku menceritakan apa yang aku lakukan saat presentasi sampai aku berhasil
padahal sudah empat tahun berturut-turut semua teman-temanku selalu gagal. Aku mau,
tapi nggak sekarang. Nggak di saat kepalaku terasa semakin berat dan semakin berat.
Bruuuuukk! "Are you ok?" Tanya Sonya ketika aku membuka mataku. Aku memegang
kepalaku yang masih pusing teramat sangat. Aku mencoba melihat sekeliling. Sepertinya aku
ada di salah satu ruang meeting kantor. Tubuhku terbaring di salah satu sofa yang nyaman.
"Tadi lo tiba-tiba pingsan," kata Sonya. Tangannya tampak memegang minyak kayu putih.
"Udah berapa lama gue pingsan?" "Hampir sepuluh menit. Lo pingsan atau tidur sih" Gue
hampir aja mau panggil ambulance, untung belum jadi. Tapi lumayan deh, gue bisa kabur
dari kerjaan karena suruh nemenin lo," kata Sonya sambil tertawa. Aku diam saja. Kalau
boleh jujur, aku juga mau sahabatku satu ini diam. Mendengarkan repetannya yang panjang
membuat pusingku semakin menjadi-jadi. "Sakit dari kapan?" Tanya Sonya. "Baru tadi pagi."
"Hamil kali," kata Sonya sambil cengengesan. Bisa-bisanya dia meledekku saat aku sedang
lemas tak berdaya. "Sembarangan lo!" jawabku jutek. "Hamil juga nggak apa-apa. Lo kan
udah nikah, udah punya suami." Sahabatku satu ini kadang memang nggak bisa menentukan
waktu buat bercanda ya" Pengin aku jitak rasanya. "Lo mending nanti beli test pack deh.
Jangan-jangan lo hamil beneran." OMG! She"s not done yet! Jelas-jelas dia tahu kalau aku
menunda kehamilanku. Aku mengangkat badanku ke posisi duduk, "Apaan sih lo! Gue Cuma
kecapean kok. Kemarin nyiapin presentasi Prima Food sampai begadang berhari-hari. Gue
Cuma butuh istirahat." Sonya mengembuskan napas kencang. "Ya udah, lo izin pulang aja
deh ya," kata Sonya mengakhiri pembicaraan. Thank God. Aku mengangguk. Aku memang
lebih baik pulang daripada terus mendengarkan ocehan Sonya. Bisa makin parah sakitku.
Sonya menuntunku kembali ke dalam kantor, mungkin dia takut aku pingsan lagi. Nggak
susah untuk izin sakit setelah kabar besar yang aku berikan ke kantor ini pagi tadi. Aku
bergegas mematikan komputerku, mengambil tas, dan turun menuju lobi. I really need my
bed now. Oia, sepertinya stok obat pusing di apartemen sudah habis. Lebih baik aku mampir
dulu ke Guardian yang ada di pojokan lobi itu. Oh crap! Tebak produk apa yang
menyambutku saat aku memasuki Guardian" Deretan test pack dengan berbagai merek.
Kenapaaa" Omongan ngaco Sonya tiba-tiba terngiang kembali di telingaku. Mungkinkah aku
hamil" Ah, sial si Sonya, aku jadi was-was begini. Baiklah, nggak ada salahnya aku coba beli
test pack. Aku nggak mungkin hamil. Aku dan Rafa hati-hati sekali kok. Iya, pernah sih nakalnakal sedikit, tapi buktinya selama satu tahun ini aku nggak hamil. Ya kan" Aku segera
membayar sebuah test pack dan obat pusing. Test pack ini harus kucoba kapan ya" Uhm,
lebih baik sekarang saja biar bisa langsung kubuang. Aku nggak mau Rafa tahu aku
menggunakan barang satu ini. Aku segera menuju toilet lobi, membaca sekilas aturan
pakainya dan segera mencobanya. Satu detik. Dua detik. Aku masih menunggu hasilnya.
Sial" kok aku deg-degan ya?"
Bab 11: Telling Him Dua hari sudah aku terbaring lemas di tempat tidur ditemani pusing yang nggak juga pergi.
Dua hari sudah aku nggak ke kantor dan membiarkan pekerjaanku menumpuk begitu saja.
Dua hari sudah aku nyaris nggak berkomunikasi dengan Rafa karena dia tetap pulang malam
meskipun kondisiku seperti ini. Dan dua hari sudah sejak aku menggunakan test pack itu.
You wanna know the result" It"s positive. Yes. I"m pregnant. Dan sekarang aku bingung. Aku
bahkan nggak tahu ini berita baik atau berita buruk. Aku belum menyampaikan berita
kehamilan ini ke siapa pun. Belum ke ibuku, mertuaku, juga Sonya. Bagiku, Rafa berhak jadi
orang yang paling pertama tahu hal ini. Masalahnya, sampai detik ini aku masih belum
berani menyampaikan berita ini ke Rafa karena aku tahu dia nggak menginginkan kehamilan
ini. Dia selalu bilang kalau dia belum siap jadi ayah. Ya, dia belum siap untuk punya anak.
Aku sama sekali nggak bisa menebak bagaimana reaksinya saat dia tahu tentang hal ini.
Kemungkinan dia akan senang mendengar berita ini sepertinya sangat kecil. Tapi kalaupun
dia tidak senang, memang dia mau apa. Aku sudah terlanjur hamil. Berbagai skenario
berputar di kepalaku tentang apa yang kira-kira akan dilakukan Rafa. Mungkin saja dia
ternyata gembira luar biasa setelah menerima kabar ini, lalu dia akan memanjakanku habishabisan karena aku sedang mengandung anaknya, buah hati kami. Lebih baik lagi kalau
setelah ini dia nggak pulang malam lagi karena ingin menjagaku. Tapi, bagaimana kalau dia
memintaku menggugurkan kandunganku ini" Rafa adalah orang yang well organized. Dia
bisa melakukan apa saja agar semua kembali sesuai rencananya. But no, kalau dia
memintaku melakukan hal itu, aku nggak akan menurutinya. Janin ini sudah ada di rahimku.
Aku tahu dia sedang tumbuh sekarang. Aku nggak akan menjadi pembunuh anakku sendiri!
Dan kalau dia sampai nggak bisa menghargai keputusanku untuk mempertahankan
kandunganku, aku lebih baik pisah dengannya. Ya, keputusanku sudah bulat. Titik. Ah, mikir
apa aku ini! Rafa nggak mungkin sejahat itu. Terdengar suara kunci pintu depan apartemen
dibuka. Akhirnya Rafa pulang juga. Aku melirik jam dinding, sudah pukul satu malam. Jadi,
dia selalu pulang jam segini sedangkan setiap pagi dia berangkat sama paginya denganku"
Dari mana dia bisa mendapatkan energy sebanyak itu" "Kamu belum tidur?" Tanya Rafa
ketika masuk kamar dan menemukanku masih memegang majalah di tempat tidur. "Belum,"
jawabku singkat. Aku menatapnya. Dari raut mukanya, aku tahu dia masih malas bicara
denganku. Atau mungkin dengan semua orang. Wajahnya begitu lelah. Kasihan. Ini bukan
waktu yang tepat untuk menyampaikan berita kehamilanku. Ya, I know. Tapi kapan lagi"
Pagi-pagi di tengah kemacetan ibu kota bukan ide yang bagus juga, kan" Cepat atau lambat
Rafa harus tahu. Dan aku nggak mungkin menundanya sampai perutku membesar, kan"
Baiklah, aku harus mengatakannya sekarang. Detik ini juga. "Ada yang perlu aku bicarakan,"
kataku sambil mengumpulkan semua keberanianku. "Harus sekarang" Aku capek banget,"
kata Rafa sambil membuka kancing kemejanya. Aku mengangguk. Rafa duduk di pinggir
tempat tidur, "Ada apa" Mau ngebahas tentang calon klien kamu yang notabene mantan
pacar kamu itu?" katanya sinis. Astaga, Rafa. Bahkan di saat kelelahan pun kamu masih bisa
sinis ya sama aku" Aku menggelengkan kepalaku, "Ini jauh lebih penting daripada cemburu
nggak jelasmu itu!" "Aku nggak cemburu!" "Ok, Cuma posesif!" "Audi, aku capek banget.
Kalau kamu Cuma mau ngajak ribut, ditunda besok-besok aja ya," Rafa bangkit dari tempat
tidur. "Sorry," aku segera menarik tangan Rafa, "Tentang mantan aku itu, aku udah minta ke
atasanku supaya proyek baruku di-handle orang lain. Jadi masalah itu udah selesai ya."
Ternyata sudah separah ini ya komunikasiku dengan Rafa" Bahkan satu hal yang sudah
kuselesaikan tiga hari lalu baru bisa aku sampaikan sekarang. "Oh," jawab Rafa singkat. Oh"
Cuma itu" Aku mempertaruhkan karierku dan dia Cuma bilang oh" Apa dia nggak bisa
menemukan kata-kata lain untuk menghargaiku yang sudah menuruti keinginan egoisnya
itu" "Jadi apa yang mau dibicarakan?" Tanya Rafa. Aku menarik napas dalam lalu
membuangnya sekuat tenaga, berharap kekesalanku akan kelakuan Rafa barusan ikut
terbuang. Ada hal yang lebih penting yang harus kusampaikan sekarang, aku nggak boleh
mempermasalahkan hal remeh-temeh itu. "Aku hamil," kataku. "What?" mata Rafa yang
sebelumnya sayu seketika terbuka lebar. "Kok bisa?" Pertanyaan macam apa itu, Raf" Rafa
mematung. Sedetik, dua detik. Semenit, dua menit. Entah apa yang sedang dipikirkannya
but it"s killing me. Say something, Raf. Please. "Anakku?" tanyanya pelan. "What?" aku
refleks menampar wajahnya. I was wondering Rafa akan bereaksi seperti apa saat aku
menyampaikan hal ini, tapi aku sama sekali nggak pernah menyangka mendapatkan reaksi
seperti ini. "Iyalah anak kamu! Kamu pikir aku perempuan macam apa?" teriakku. Aku selalu
setia meskipun dia selalu sibuk dengan pekerjaannya. Aku selalu setia meskipun dia jarang
sekali memberikan perhatian kepadaku. Aku selalu setia meskipun dia sering bersikap
menyebalkan kepadaku. Aku selalu setia karena aku cinta dia. Kalau memang aku mau
selingkuh, gampang banget kok melakukannya. Dengan Rafa yang nggak pernah peduli aku
sedang apa dan dimana, dia nggak akan pernah tahu kalau aku sampai selingkuh. Tapi
nggak, aku nggak melakukannya. Dan sekarang, saat aku hamil, dia menanyakan apa ini
anaknya. Brengsek kamu, Rafa! Brengsek! "Kita nunda, Audi. Kita selalu hati-hati," kata Rafa
dengan nada tinggi. "Hampir selalu, bukan selalu." Kataku mengoreksi kata-kata Rafa, "Tapi
yang pasti ini anak kamu!" kataku masih dengan penuh emosi. Air mata mulai mengalir di
pipiku. Kata-kata Rafa terasa begitu menyakitkan. Bagaimana mungkin dia bisa berpikir aku
mengandung anak orang lain" Keterlaluan. "Aku perlu menenangkan diri," Rafa berdiri.
"Kamu mau ke mana, Raf" Kita belum selesai." Aku menggapai tangannya, menahannya
agar tidak pergi. "Aku udah bilang, aku perlu menenangkan diri, Audi. Kamu ngerti nggak
sih?" Rafa membentakku sambil menepis tanganku dengan kasar. Dia keluar, membanting
pintu depan, meninggalkanku menangis sendirian.
Bab 12: Kembali Pagi ini aku dibangunkan oleh rasa pusing seperti baru saja naik roller coaster sepuluh kali.
Nggak Cuma itu, rasa mual juga datang begitu hebat. Inikah yang disebut orang-orang
dengan morning sick"
Aku mengumpulkan seluruh energiku untuk beranjak dari tempat tidur, tanganku
menjangkau apa pun yang bisa aku pegang agar aku nggak terjatuh. Seingatku, aku belum
pernah sepusing ini seumur hidupku. Oh God, jangan sampai aku harus mengalami hal ini
setiap pagi selama aku hamil, bisa-bisa aku minta cuti selama Sembilan bulan penuh. Itu pun
kalau aku nggak keburu dipecat.
Seperti kurang sempurna penderitaanku pagi ini, Rafa nggak ada di sampingku saat aku
terbangun. Saat membuka pintu kamar, aku berharap menemukan Rafa tertidur di sofa
depan televisi. Tapi nihil. Rafa nggak ada. Rafa nggak pulang setelah pergi meninggalkanku
semalam. Where are you, Raf" Aku benci banget kebiasaan Rafa yang satu ini. Dia selalu pergi meninggalkan apartemen
setiap kali ribut denganku.
Alasannya selalu sama: ingin menenangkan pikirannya. Yeah right, pikirannya tenang,
pikiranku makin kalut. Memangnya dia pikir aku nggak khawatir memikirkan dia ada di
mana" Heartless! Aku segera menuju kamar mandi. Nggak ada waktu untuk
mengkhawatirkan Rafa sekarang. Badanku sendiri sudah hampir tumbang ketika memasuki
kamar mandi dan sukses muntah-muntah. Aku berpegangan erat pada dinding kamar
mandi. Aku nggak boleh pingsan sekarang nggak ada orang satu pun yang menolongku. Aku
harus kuat demi anak dalam kandunganku ini. Entah dari mana datangnya, Rafa tiba-tiba
sudah berdiri di ambang pintu ketika aku merasa sudah nggak ada lagi yang bisa
dimuntahkan. Hanya tinggal cairan pahit yang keluar dari perutku. Rafa memandangiku. Dia
memandangku iba. Pandangannya teduh, beda sekali dengan semalam. Tapi aku justru
semakin mual melihat wajahnya. Rasanya pengin aku tending ke kolam buaya. Aku
membersihkan mulutku dan berlalu begitu saja saat keluar dari kamar mandi. Aku nggak
bisa melihat mukanya sekarang. Hatiku masih terlalu sakit dengan kata-katanya semalam.
Lebih baik sekarang aku tidur lagi, berharap pusing ini bisa hilang setelah dibawa tidur.
Lagipula, aku baru tidur subuh tadi karena menangis semalaman. "Sakit ya?" Rafa
mengikutiku ke kamar dan duduk di pinggir tempat tidur. "Iya," jawabku sambil mengganti
posisi tidur. Membelakanginya. "Mau ke dokter?" Tanya Rafa sambil membelai lembut
rambutku. "Nggak usah!" aku menepis tangannya dengan kasar. "Tapi kamu hamil. Apa
nggak lebih baik cek ke dokter" Aku antar, yu." What do you want, Raf" Semalam kamu
meninggalkan aku begitu saja! Menuduhku hamil dengan pria lain! Sekarang kamu sok baik
mau antar aku ke dokter! Dasar aneh! "Kenapa baru sekarang kamu ada niat anter aku ke
dokter?" kataku pelan tapi tajam. Mati-matian aku menahan diri supaya nggak menangis
sekarang. "Maafin aku," Rafa mencium rambutku. "Buat apa kamu minta maaf kalau besokbesok kamu ulangin lagi" Kamu selalu begitu, Raf! Kamu selalu pergi setiap kali kita
menghadapi masalah. Mau sampai kapan kamu begitu?" Tiba-tiba aku menyadari satu hal.
Rafa benar, dia memang belum siap jadi ayah, belum siap punya anak. Dia bahkan belum
bisa menghadapi masalahnya sendiri. Umurnya memang sudah 30 tahun, tapi dia sama
sekali belum dewasa. Dengan kondisi seperti ini, bagaimana mungkin dia bisa membesarkan
dan mendidik anaknya nanti" "Aku semalem terlalu kaget. I can"t think clearly." Basi, Raf!
Basi! Aku bahkan terlalu malas untuk merespon statement egoisnya itu. "Audi, maaf ya. Aku
janji nggak akan pergi lagi kalau kita ribut, aku janji akan selalu jaga kamu selama kamu
hamil. Trust me, Audi!" "Kenapa" Kamu bahkan nggak yakin ini anak kamu, kan?" air mata
mulai menetes di pipiku, I hate this! I hate crying in the morning! "Maaf, Sayang. Aku benerbener minta maaf. Aku percaya kok itu anakku. Semalem aku kalut, Sayang. Maafin aku."
Dadaku sesak. Sangat sesak sampai aku nggak sanggup menjawab kata-katanya. "Please say
something," Rafa kembali membelai rambutku, "Jangan nangis terus dong!" Aku
membalikkan badanku dan duduk menghadapnya dengan mata menatap tajam ke arahnya.
"I hate you, Raf. I hate you! I do everything for you dan bisa-bisanya kamu kira aku hamil
bukan sama kamu!" kata-kataku kuatur setegas mungkin meskipun masih terbata-bata di
sela tangisanku. "Iya, aku salah, Sayang. Maafin aku," Rafa memelukku. Lama. Aku
memukulnya sekuat tenaga, menyalurkan semua kebencianku terhadapnya. Tapi dia tetap
memelukku erat tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Dia tahu persis, pelukannya adalah
kelemahanku. It"s always warming and calming. It"s like a magical thing, perlahan tapi pasti"
pelukannya selalu berhasil membuatku berpikir setelah ini semua akan baik-baik saja. "Kita
ke dokter ya, Sayang," kata Rafa setelah tangisku benar-benar berhenti. Dia menghapus
sisa-sisa air mata yang masih membasahi pipiku. Aku diam. Ingin sekali aku menolaknya, tapi
hati kecilku nggak mampu. "Kamu mandi dulu ya. Aku mau telepon kantor, mau bilang aku
cuti hari ini. Aku temenin kamu aja, kamu juga nggak usah ngantor dulu ya. Istirahat aja
dulu." Seperti biasa, seperti kuda yang dicambuk, aku kembali menuruti semua katakatanya. Well, at least this one is for a good thing.
Bab 13: Sejuta Pantangan "Jadi apa yang mau lo ceritain?" Tanya Sonya sambil menikmati latte-nya. Sore ini Starbucks
Pacific Place tampak lengang. Hampir ada beberapa orang yang tampak sedang sibuk
dengan laptopnya masing-masing. Juga aku dan Sonya yang seperti biasa, memilih
kelayapan ke mal setelah pulang kantor. "Mahu tahu aja atau mau tahu banget?" godaku.
"Nyet, nggak usah norak gitu deh," kata Sonya jutek. Aku terkekeh, "Gue hamil!" kataku
akhirnya. "WHAT?" teriak Sonya. Astaga. Anak satu ini sepertinya perlu belajar menghadapi
rasa kagetnya deh. Setiap dapet berita heboh dikit, pasti langsung teriak dan memancing
perhatian semua orang. Harusnya dengan bakat seperti ini, dia jadi artis sinetron saja. Bukan
jadi market researcher yang justru harus kalem dan tenang menganalisis data-data yang
kadang bikin kaget jungkir balik. "Serius?" tanyanya. "Ya masa gue bohong masalah ginian?"
"Udah berapa bulan?" "Kata dokter baru enam minggu," jawabku sambil tersenyum. "Eh,
bukannya lo nunda ya" Rafa gimana?" "Long story. Males bahasnya. Intinya dia senang kok."
"Oh, My God, selamat Audi! You"re gonna be a mom." Kata Sonya sambil memelukku erat.
"Makasih, Nya." Sonya perlahan melepaskan pelukannya, menatapku lekat-lekat, dan
secepat kilat mengambil mocca frapuccino di hadapanku. "Lo nggak boleh minum kopi.
Bumil nggak boleh ngopi." What" Kenapa tiba-tiba dia jadi posesif begini" "Boleh. Sedikit."
Kataku sambil berusaha mengambil kembali frapuccino-ku. "Sedikit itu sesendok, bukan
segelas gede bagini." "Tega!" "Demi bayi dalam kandungan lo!" Aku menyandarkan badanku
ke sofa sambil cemberut. Bisa stress aku kalau nggak boleh ngopi sama sekali. Masalahnya
aku yakin, Sonya pasti akan bersikap seperti ini di kantor, tempat di mana hidupku
bergantung banget sama kopi supaya nggak ketiduran. Argh, tahu begini, mendingan aku
nggak kasih tahu dia tadi. "Shopping aja yuk. Gue mau belanja kebutuhan bayi," kataku
sambil mengambil tasku dan berlalu. Sonya buru-buru mengambil tasnya dan mengejarku
sambil membawa dua gelas Starbucks yang aku yakin akan bikin dia kembung kalau dia
benar-benar menghabiskan semuanya sendiri. Aku terus melangkah menuju Mothercare
yang selama ini hanya sering aku lihat dari depan jendelanya, tapi belum pernah sekalipun
aku masuk. Sebetulnya selama ini aku penasaran, dari jendela kaca toko itu, aku tahu bajubaju kecil kayak baju boneka iyu benar-benar menggemaskan. Anak kecil mana pun kalau
memakai baju-baju itu pasti akan terlihat sangat adorable. Sebuah stroller warna pink yang
selalu terpajang di situ juga selalu menarik perhatianku. Dalam stroller itu, anakku pasti
akan terlihat seperti putri kecil yang sedang duduk di kereta kuda kencana. Tunggu dulu, aku
kan belum tahu jenis kelamin anakku ya" Nggak mungkin aku beli stroller pink sekarang.
"Nyet, bukannya nggak boleh belanja kebutuhan bayi sebelum tujuh bulan, ya?" kata Sonya.
"Aduh, kalau tujuh bulan pasti perut gue udah berat. Udah susah belanja. Mending sekarang
aja." "Tapi kata orang tua pamali." Aku memandang Sonya nggak percaya. Manusia paling
ngasal ini percaya pamali" What it she" Manusia purba" Gosh, aku mau ngakak. "Manusia
udah sampai bulan lo masih aja percaya gituan, Nyet." "Tapi"." "Ya udah, gue nggak belanja
peralatan bayi. Gue belanja kebutuhan hamil aja. Kayaknya gue butuh baju baru." Yes, dear,
there"s always many reasons to shop. You just have to find a good one. "Alesan! Badan lo
belum gendut kok!" kata Sonya. Aku menghentikan langkahku dan melotot menatap Sonya
setelah mendengar kata-katanya barusan. Ini anak mulutnya minta dicabein ya! "Belum
gendut?" Sonya tampak gelagapan, "Sorry, I mean, bumil kan pasti menggemuk perutnya.
Dan lo belum kelihatan." "Jadi gue pasti gendut?" "Lo pernah lihat bumil nggak gendut
perutnya" Hamil anak semut kali kalau perutnya nggak gendut!" Aku menatap Sonya sebal.
Dia benar. Tapi aku benar-benar malas memikirkan kondisi badanku yang akan melar seperti
balon beberapa bulan lagi. Pipiku juga pasti ikut menggelembung, menghilangkan wajah
tirus yang selama ini selalu aku banggakan. "OMG, gue pasti nanti jelek banget!" kataku
lirih. "Nggak, Audi. Meskipun tambah gemuk, tapi bumil itu selalu glowing. Ada kecantikan
terpancar natural dari dirinya," Sonya mencoba menenangkanku. "Emang iya?" "Iya,
perhatiin deh kalau kita papasan sama bumil nanti." Aku mengangguk. Baiklah, mulai
sekarang aku harus memperhatikan semua wanita hamil. Bukan supaya aku bisa lihat
betapa glowing-nya mereka, tapi supaya aku bisa mengira-ngira akan segemuk apa aku
nanti. "Satu lagi," kata Sonya, "Gue tahu bumil itu sensian. Tapi please, lo jangan. Bisa-bisa
gue nggak ngomong apa pun kalau lagi sama lo." "Mood gue selalu bagus kalo dikasih
makanan enak kok. Sediain aja di meja gue." "Punya temen satu aja kok nyusahin banget
sih." Aku hanya tersenyum simpul dan mengubah arah langkahku ke M. mudah-mudahan di
sana ada baju-baju hamil bagus yang bisa aku borong. "Wait, wait," kataku saat melewati
sebuah toko sepatu. Aku mengambil sebuah sepatu merah darah dengan heels sekitar
Sembilan senti. This thing is so damn sexy. I have to buy this. Wajib! "Put it down!" kata
Sonya yang masih tampak repot dengan tas dan gelas-gelas Starbucks-nya. "Kenapa" It"s
cute, isn"t it?" tanyaku. "Bumil nggak boleh pakai high heels. Bahaya!" "Tapi?" "Put it down,
Audi! Demi bayi dalam kandungan lo." Oh God, whyyy"!
Bab 14: The Confession I"ll tell you one of my secrets. Aku harus selalu menahan diri sekuat jiwa raga untuk nggak
loncat-loncat di tempat setiap kali sedang dalam proses penandatanganan kontrak dengan
klien baru. Bagiku, senangnya nggak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Pertama, karena
baying-bayang bonus tambahan di akhir tahun. Kedua, pedeku di depan atasan dan juga
teman-teman akan naik berkali-kali lipat. Ketiga dan ini yang paling penting, aku
mendapatkan kepuasan batin setiap kali berhasil mendapatkan klien baru. And this is it,
akhirnya penandatanganan kontrak dengan Prima Food selesai juga. Sekarang tinggal
menunggu manajerku mengalihkan klien satu ini ke rekan kerjaku yang lain. Jadi, aku nggak
perlu lagi ketemu Yoga sesuai permintaan suamiku, si pencemburu akut itu. "Lunch dulu yuk
sebelum balik ke kantor." Yoga tiba-tiba menghampiriku ketika aku hendak meninggalkan
kantor Prima Food. Aduh, bagaimana ini" Sudah terlalu sering aku menolak ajakannya. Kalau
sekarang aku tolak lagi, Yoga pasti akan merasa aku menghindarinya. Baiklah, kali ini aku
terima saja ajakannya. Anggap saja ini sebagai ungkapan terima kasihku karena dia telah
membantu mendapatkan perusahaan satu ini. Lagipula, setelah ini aku mungkin nggak akan
pernah bertemu dengannya lagi. Aku mengangguk. "Di mana?" tanyaku. "Di gedung sebelah
The Marriage Roller Coaster Karya Nurilla Iryani di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ada restoran enak, tinggal jalan kaki. Nggak apa-apa kan panas-panasan dikit?" "No
problem!" padahal panas sinar matahari yang masuk dari sela-sela jendela saja sudah
membuatku malas melangkah keluar. Sebentar lagi pasti parfumku menguap dan badanku
ganti jadi bau matahari. "Yuk," Yoga memegang punggungku dan member dorongan pelan
agar aku mulai berjalan. It"s casual. Very casual. Tapi entah kenapa aku risih sekali. Aku
menggerakkan bahuku agar Yoga melepaskan tangannya dari blazerku. You don"t need to
touch me, Yoga! Angin dingin menyambutku dan Yoga ketika memasuki sebuah restoran
jepang yang terletak di lobi gedung. Tempat yang nyaman dan teduh. Benar-benar bertolak
belakang dengan keadaan di luar gedung yang sedang panas terik. Pilihan tempat makan
Yoga memang nggak pernah salah dari dulu. "Di sini sushi-nya jempolan dan bisa all you can
eat. Kamu masih suka sushi, kan?" Tanya Yoga ketika aku duduk. Dia masih ingat makanan
kesukaanku rupanya. Aku jadi ingat saat aku pacaran dengannya dulu. Aku sering sekali
mengajaknya wisata kuliner ke semua restoran sushi yang baru buka. Yoga yang awalnya
entipati makan ikan mentah, akhirnya malah ikut ketagihan. Dan nggak seperti kebanyakan
warga Jakarta yang menyembah-nyembah Sushi Tei, restoran sushi favorit kita justru Poke
Sushi. Selain sushinya enak, tempatnya juga cenderung lebih sepi. Males banget deh mau
makan aja harus nunggu berjam-jam. Dulu, buat aku dan Yoga makan sushi itu sesuatu yang
special banget karena kita hanya bisa lakuin sebulan sekali. Setelah sama-sama dapat jatah
bulanan dari orangtua. Maklum, mahasiswa. But sometimes something is more valuable
when it"s limited. Eh, tapi bukankah wanita hamil nggak boleh makan ikan mentah" Duh!
Kalau ada Sonya, pasti dia langsung menarikku keluar dari restoran ini. "Aku pesen ramen
aja deh," kataku setelah melihat sekilas menu dihadapanku. Yoga tampak heran, "Udah
nggak suka sushi?" "Lagi pengen yang laen aja," jawabku. "Dulu kalau ada sushi, kamu pasti
nggak mau yang lain. Sekarang udah nggak segitu fanatiknya ya sama sushi?" Aku hanya
tersenyum simpul. Bisa jantungan dia kalau aku bilang aku nggak makan sushi karena
sedang hamil, lah wong dia tahunya aku belum nikah. "Tapi ramen di sini juga juara kok, Di,"
kata Yoga. "Apa lagi yang berubah dari kamu setelah kita nggak ketemu tiga tahun?" I love
someone else now! Eh, bukan itu ya maksud pertanyaannya" "Pesen yuk!" kataku tanpa
menjawab pertanyaan Yoga. Yoga memanggil seorang pramusaji kemudian menyebutkan
sederetan pesanannya. Masih seperti dulu, dia selalu kalap kalau makan sushi, seperti seisi
makhluk di lautan bisa dimakannya semua. Aku menelan ludah mendengar semua pesanan
Yoga. Aku mau semuanya juga! Kali ini bahkan sepertinya aku bisa sanggup menghabiskan
dua kali lipat lebih banyak dari pesenan Yoga. Hey, inikah yang namanya ngidam" Hmm "
atau aku pesen sushi juga ya" Kata orang zaman dulu, kalau ngidam nggak dipenuhi, nanti
bayinya ileran. "Kamu mau pesen ramen apa?" Tanya Yoga. Aku berpikir sejenak. Ramen
atau sushi ya" "Ramen andalan kita " dori tempura ramen, Bu?" kata Pramusaji di
hadapanku. "Boleh deh," kataku akhirnya. Beginikah rasanya menjadi seorang wanita hamil"
Rela menahan keinginan yang teramat sangat demi janin kecil di dalam rahim. Aku jadi ingat
tempo hari saat periksa ke dokter dan di-USG untuk pertama kalinya. Janin di perutku
ternyata masih sangat kecil. Bentuknya mirip kacang mede. Tapi, janin kecil seperti kacang
mede itu mampu membuat mata Rafa berkaca-kaca. Untuk pertama kalinya aku melihat
ekpresi itu di wajah Rafa. Ekpresi yang membuatku yakin dia menginginkan kehadiran
seorang anak sekarang. "So, how"s your life, Di?" Yoga membuyarkan lamunanku. "Good!"
kataku sambil mengangguk. Seperti dugaanku, pembicaraan di lunch ini pasti hanya
menyangkut hal-hal personal. "Kamu apa kabar?" tanyaku balik. Just for the sake of being
polite. "Baik," jawab Yoga sambil tersenyum lebar. I don"t wanna talk about personal things
here. Aku mau hubunganku dan Yoga hanya sebatas hubungan professional. Tapi sepertinya
bukan itu yang diinginkan Yoga. Aku harus cari akal. Aku harus mencari topic pembicaraan
yang umum. "Pemilihan presiden nanti pilih siapa, Yog?" tanyaku setelah melihat sebuah
baliho besar di pinggir jalan bergambar lambang partai tertentu dan seorang berjenggot
sedang tersenyum lebar. You"re stupid, Audi!!! Topik macam apa iniii" Dear brain, kenapa
kamu nggak mau kerja sama sih" "Hah?" wajah Yoga tampak kaget mendengar
pertanyaanku. "Iya, kan nama calon-calonnya udah bermunculan. Kamu pilih siapa?" sudah
kepalang basah, lebih baik aku lanjutkan. Yoga mengangkat bahu dan memberi ekspresi Idon"t- fucking-care, "Belum tahu, masih lama juga." "Iya sih," jawabku mati gaya. See, Audi!
Kok nggak kreatif banget sih cari topik. Baru sebentar sudah garing kayak emping deh
pembicaraannya. "Sejak kapan kamu suka politik?" Tanya Yoga. "Baru-baru ini aja kok,"
jawabku. Nope!! Aku nggak pernah tertarik dengan dunia politik. Siapa saja calon presiden
mendatang pun aku sebetulnya nggak tahu. Aku Cuma pernah dengar sekali saat temanteman priaku di kantor membahas tentang sebuah media yang mengeluarkan prediksi
calon-calon presiden 2014. "Kamu berubah banyak ya" Nggak Cuma makanan, interest
kamu pun berubah," kata Yoga. Aku hanya tersenyum. Nggak ada yang berubah dari diri
aku, Yoga. Kecuali status aku yang sekarang sudah jadi istri orang. "Well, dari dulu kamu
memang selalu menarik. Unpredictable!" lanjut Yoga. Wait! Dia flirting ya" Seorang
pramusaji tiba-tiba datang mengantarkan pesanan kami. Thank God. Aku bisa menghindari
pembicaraan ini sesaat. At least, Yoga bisa menunda gombalannya sesaat karena seingatku
dia nggak pernah mau membuat makanan menunggu, pasti langsung disikat habis. Yoga
melahap sushinya seperti belum makan seminggu. Cara makannya itu masih juga belum
berubah. Dia masih juga belum bisa menggunakan sumpit dengan baik dan benar, tapi
ekspresinya tetap cuek. Lucu sekali. Aku nggak bisa menahan senyumku melihat cara
makannya itu. Dia seperti punya dunia sendiri saat makan. Sama sekali nggak
memperhatikan sekitar. Aku rasa kalau tiba-tiba ada bom pun dia nggak akan sadar.
"Kenapa?" Tanya Yoga ketika sadar aku sedang memperhatikannya. "Cara makan kamu
belum berubah ya!" Yoga hanya tersenyum lalu melanjutkan makannya dengan lahap. Heh,
dia lupa ya kalau dia baru saja flirting norak" "Sudah kenyang?" kataku setelah makanan
kami habis. Yoga menyandarkan badannya di sandaran kursi sambil mengelus-elus
perutnya. Bahkan kebiasaannya kalau sudah kekenyangan pun nggak berubah. Persis seperti
Mayat Misterius 1 Dewa Linglung 27 Raja Penyihir Sinting Hong Lui Bun 12
The Marriage Roller Coaster
Karya: Nurilla Iryani. Bab 1 : Shopping is the Best Aspirin.
Aku tersenyum melihat bayangan diriku di kaca fitting room. Cantik. No, maksudku dress
Marc Jacobs ini terlihat cantik di tubuhku, seperti memang dibuat khusus untukku.
"Audi, gimana?" Sonya, sahabatku, mengintip dari balik tirai.
"Bagus nggak" tanyaku sambil bergoyang-goyang centil.
Sonya mengamatiku lekat-lekat, "Bagus sih. But don"t you think it"s too expensive?"
"Ini investasi!" jawabku asal.
"Investasi nenek moyang lo!" wajah Sonya kembali menghilang dari balik tirai.
Aku hanya terkekeh. Fokusku kembali pada bayanganku di kaca. I really love this dress. Tapi
benar kata Sonya, this dress is too expensive, harganya hampir sepertiga gajiku " dan ini
masih awal bulan. Pasti masih akan ada puluhan sesi belanja setelah hari ini.
Argh, kapan sih aku dipromosiin sebagai manajer di kantorku" Aku butuh dana lebih untuk
belanja! Ah sudahlah, buat apa aku kerja kalau aku nggak boleh menikmati hasil jerih
payahku sendiri. Valid" Yes. Toh kalau sampai gajiku bulan ini habis, kan masih ada jatah
belanja dari Rafa, suamiku tercinta. Makin valid" Yes yes yes. Lagipula seperti yang aku
bilang tadi. Ini investasi. Yes, Ladies, say this to yourself, beli pakaian bagus itu investasi.
Mungkin pakaian bagus memang nggak kayak emas yang kemungkinan besar bisa dijual
lebih mahal setelah kamu simpan di lemari selama lima tahun. Tapi percayalah pakaian
bagus bisa membuat kepercayaan diri meningkat berkali-kali lipat. Dan saat percaya diri
sudah meningkat, dampaknya akan besar untuk kehidupan kamu. It will make you feel like
you own the world! Kalau dalam kasusku, kepercayaan diri yang tinggi saat aku mengenakan
pakaian bagus membuatku mampu memberikan presentasi yang memukau ke calon klien.
Kalau kata Syahrini, cetar membahana! Biasanya ini akan berujung dengan keberhasilanku
menjadikan mereka klien baru untuk perusahaan market research tempatku bekerja. Ujungujungnya, aku dapat bonus besar tiap tahun di kantor. Masih mau bilang pakaian bagus
bukan investasi" Jelas nggak ada alasan untuk nggak membeli dress cantik ini. Aku melepas
calon dress baruku dan segera menuju kasir. Hello cute dress, you"ll have a new home!
"Mau belanja apa lagi, Nyoya?" Sonya melirik kantong belanjaan di tanganku ketika aku
meninggalkan toko. "Enough for today. Sisain buat besok-besok," jawabku sambil tersenyum lebar,
memamerkan deretan gigiku yang rapi.
Sonya hanya menggelengkan kepalanya.
Aku kadang heran, Sonya ini sahabatku sejak kuliah, artinya kita sudah hampir tujuh tahun
sahabatan. Tapi kenapa dia masih belum kebal juga ya melihat kebiasaan belanjaku" Saat
masih kuliah dulu, dengan uang bulanan pas-pasan saja aku sudah hobi belanja sepatu, tas,
dan pakaian. Meskipun kadang aku sampai harus puasa dan nabung berbulan-bulan dulu
untuk membeli barang yang aku inginkan. Jadi, ketika sekarang " saat aku sudah punya
penghasilan sendiri " bakat belanjaku lebih terasah, dia sudah lebih maklum. Badak jawa
juga nggak akan bisa menghalangiku berseliweran dari butik ke butik deh!
"Rafa nggak pernah protes ya lihat belanjaan lo yang harganya selangit gini?"
"Pertama, dia nggak tahu harga belanjaan gue. Kedua, kalau gue tambah oke, kan, dia juga
yang bangga. Jadi dia nggak boleh protes dong!" Seriously, aku selalu berpendapat kalau
kekecean istri adalah salah satu lambing kesuksesan pria. Penjelasannya sederhana saja.
Sering kali kesuksesan seorang suami bisa dinilai dari harga tas, sepatu, dan pakaian mahal
istrinya. Dan jangan lupa, hanya pria sukses yang mampu membiayai perawatan tubuh
istrinya agar kinclong selalu di klinik kecantikan yang sekali datang biayanya sama dengan
harga BlackBerry entry level. Shallow, I know. But that"s the truth, my dear. Sayangnya,
kadang pria-pria itu justru nggak punya waktu melihat istri-istri mereka yang tampil semakin
menawan karena terlalu sibuk mengejar uang dan kekuasaan. Mereka nggak bisa lihat hasil
kesuksesan mereka. Ironis.
"Lagipula, ini salah satu car ague nyenengin diri sendiri, Sonya. Lo tahu sendiri, suami gue
sibuknya kayak apa. Kalau gue nggak bisa cari pelarian buat senang-senang, gue bisa stress!"
lanjutku. Sonya melirikku sekilas, "Mulai deh curhat colongan. Cari makan yuk!"
Sudahlah, aku nggak mau bahas kesibukan suamiku yang mengalahkan presiden negeri ini
sekarang. I"m in the middle of shopping, kegiatan paling menyenangkan sedunia!
"Sushi Tei?" ceplosku saat tiba-tiba menemukan lambang restoran favoritku ada tepat di
depan mata. "Yuk!" jawab Sonya cepat. Nggak susah untuk menemukan meja kosong di Sushi Tei pada
hari kerja seperti ini. Mungkin semua orang memilih untuk langsung pulang dan makan
malam bersama keluarga tercinta setelah lelah bekerja seharian. Sedangkan aku" Suamiku
pasti masih lembur di kantor, jadi lebih baik aku menghabiskan waktuku dengan sahabatku
daripada harus makan sendirian di rumah. Tuh kan, curhat lagi deh aku, sebentar lagi
mungkin aku bisa bikin lagu baru buat Kangen Band! Duh!
"Itu cowok kayaknya gue kenal deh," kata Sonya dengan pandangan lurus ke meja
belakangku tepat setelah kita duduk.
"Lo selalu ngomong gitu tiap lihat cowok ganteng," sahutku cuek. "Itu radar cewek single,
Nyet!" kata Sonya sambil terkekeh.
"Tapi kayaknya ini gue beneran kenal. Itu Yoga bukan sih" lanjutnya.
"Yoga siapa?" tanyaku.
"Ada berapa Yoga sih yang kita kenal, Di" Yoga Indrajati! Mantan lo zaman kuliah dulu! Dia
sama cewek!" What" Refleks pandanganku menuju ke meja di belakangku. Benar itu Yoga, mantanku
sebelum menikah dengan Rafa. Ini pertama kalinya aku melihatnya setelah putus sekitar tiga
tahun lalu. Dia ambil S2 di Prancis saat kita putus dan sejak saat itu pula aku memutuskan
komunikasi dengannya. Ternyata dia sudah kembali ke Jakarta, toh"
"It"s his mom, Sonya!" kataku setelah buru-buru kembali menghadap Sonya sebelum Yoga
ataupun Ibunya melihatku.
"Oya" Masih muda gitu. Cantik banget," kata Sonya.
Aku hanya mengangguk mengamini kata-kata Sonya. Wajah ibunya Yoga memang seolah
nggak termakan waktu. Mungkin dia salah satu wanita yang menggunakan jasa klinik
kecantikan dengan biaya sama dengan harga BlackBerry untuk sekali kedatangan seperti
yang aku bilang tadi. "He"s coming!" kata Sonya. Matanya melotot kepadaku. "What?" entah kenapa tiba-tiba
jantungku berdebar kencang. "Kayaknya mau pulang. Dia mendekat." Sonya segera
mengalihkan pandangannya.
Oh no! I don"t wanna meet him. Not now! No, I don"t wanna meet him forever! Oke,
sebetulnya aku putus baik-baik dengannya tiga tahun lalu. Putus via e-mail masih lebih baikbaik kan daripada aku menghilang begitu saja" Well, setidaknya aku menganggap putusku
baik-baik karena setelah email itu, aku nggak menerima email ngamuk-ngamuk dari Yoga.
Lebih tepatnya, aku nggak pernah menerima email apa pun darinya lagi. Alasanku saat itu
sangat clich?. Aku bilang setelah tiga bulan mencoba pacaran jarak jauh dengan Yoga " aku
di Jakarta, dia di Prancis " aku nggak sanggup.masalahnya, bukan itu alasan sebenarnya.
Alasan sebenarnya adalah " aku bertemu Rafa dan jatuh cinta. Dan sekarang, melihat wajah
itu, tiba-tiba saja aku merasa bersalah. Bagaimana kalau dia ternyata tahu alasanku yang
sebenarnya" Bagaimana kalau dia marah-marah kepadaku sekarang setelah semua berlalu
tiga tahun" Tenang, Audi. Tenang. Ah, nggak mungkin dia tahu. Aku bahkan langsung menonaktifkan Facebook-ku setelah putus dengannya supaya dia nggak lagi tahu
perkembangan hidupku. Semoga dia nggak lihat aku! Argh, aku ingin ditelan bumi sekarang
jugaaa! Bab 2 : Loneliness "Sonya?" That"s it. Yoga melihat Sonya!
"Audi!" And of course, now he sees me!
Nada suaranya saat menyebut namaku barusan lebih mirip suara orang kaget ketemu hantu
daripada ketemu mantan pacar. Yoga benar-benar nyaris berteriak. Mungkin dia pikir dia
nggak akan pernah bertemu denganku lagi seumur hidupnya. Aku memaksa bibirku untuk
tersenyum. Yoga membalasnya dengan senyuman yang membuat ekspresi mukanya tampak
aneh. You know, ekpresi muka gado-gado antara kaget, senang, bingung, marah, semuanya.
Waktu seperti berhenti sesaat. Canggung.
"Apa kabar?" Tanya Sonya berusaha mencairkan suasana. "Baik." Jawab Yoga. "Kalian apa
kabar?" Tanya balik.
"Great," jawab Sonya.
Aku hanya tersenyum, masih terlalu kaget dengan pertemuan ini. Dan yang pasti, masih
lebih memilih ditelan bumi!
"Ma, ini Audi. Masing ingat" Dan ini temannya. Sonya?" Yoga merangkul mamanya yang
sejak tadi sudah tersenyum ramah.
"Iya, Mama ingat kok," jawab ibunya.
Nggak mungkin dia nggak ingat. Selama jadi pacar Yoga, aku sering banget ke rumahnya.
Rumah Yoga nggak jauh dari kampus, jadi kalau ada jarak break kuliah yang agak lama, dia
suka mengajakku pulang ke rumahnya dulu. Nggak banyak sebetulnya yang bisa di lakukan
di rumah Yoga. Paling-paling Cuma nonton TV atau main board game bareng. Tapi ada satu
hal yang selalu jadi favoritku: acara makan siang. Pertama, karena masakan ibunya Yoga ini
paling enak sedunia. Kedua, karena aku yang saat itu masih berstatus anak kost pasti merasa
dapat rezeki nomplok karena boleh makan gratis.
"Apa kabar, Tante?" aku terpaksa berdiri dan menyalami tangan ibunya Yoga.
"Baik. Kok nggak pernah main ke rumah lagi sih?" tanyanya.
Aku harus jawab apa" Aku sudah putus dengan anak Tante, jadi buat apa main ke rumah
Tante" Numpang makan lagi" Aduh, basa-basinya susah banget dijawab sih!
"Hmm. Sudah kerja, Tante. Sering lembur, jadi jarang main," jawabku akhirnya.
"Kapan-kapan mampir dong. Ngobrol-ngobrol. Nanti Tante bikini taoge goreng kesukaan
kamu." Astaga, dia bahkan masih ingat menu makan siang yang dulu selalu aku habiskan dengan
nggak tahu dirinya. "Iya, Tante." "Ya udah, kita duluan ya," kata sang ibu sambil melambaikan tangannya dengan anggun.
Aku hanya mengangguk sopan, sedangkan Yoga kembali memaksakan sebuah senyuman
aneh sebelum akhirnya mengikuti langkah ibunya meninggalkan aku dan Sonya.
"Awkwaaaard!" kata Sonya sambil tertawa kencang ketika Yoga dan ibunya sudah keluar
dari Sushi Tei. "Sialan lo!" aku melempar tisu ke arah Sonya.
"Lo nggak pernah ketemu dia sejak putus ya?" Tanya Sonya. "Nggak pernah. Ini pertama
kalinya setelah putus."
"Tambah ganteng aja si Yoga," kata Sonya sambil tersenyum nakal. "Badannya lebih berisi.
Nggak kurus kerempeng kayak dulu. Memang dia bahagia sama pacarnya yang sekarang,"
lanjutnya. "Maksud lo, dia tersiksa waktu pacaran sama gue, jadi kurus kerempeng"!"
Sonya tergelak. Apa iya Yoga sudah mendapatkan penggantiku" Siapa kira-kira wanita itu ya" Apa temannya
saat kuliah di Prancis" Apa wanita itu lebih cantik dariku" Ah, sudahlah. Buat apa aku
memikirkan ini" Aku juga sudah mendapatkan penggantinya. Aku bahkan sudah menikah.
Nggak pantas bagiku memikirkan pria lain. Ya, kan" Aku membuka pintu apartemenku.
Gelap. Artinya Rafa pasti masih lembur di kantor padahal jam tanganku sudah menunjukkan
tepat pukul 11 malam. Semakin hari Rafa memang semakin sibuk dengan pekerjaannya.
Kadang aku sampai curiga Rafa bukan hanya bekerja sebagai IT Consultant, tapi juga
merangkap jadi satpam kantor. Seriously, hampir nggak pernah dia pulang sebelum tengah
malam. Pekerjaanku sebagai marketing researcher sangat memungkinkanku untuk pulang
tepat jam lima sore. Bayangkan berapa jam yang aku habiskan dengan duduk sendiri
kesepian di apartemen sambil menunggu Rafa pulang. Aku tetap nggak mengerti kesibukan
Rafa meskipun dia berkali-kali menjelaskan tentang pekerjaannya, tapi aku mencoba untuk
menjadi istri yang mendukung suaminya. I was trying hard to not complain. I won"t say it"s
easy. Sering banget aku pengin protes. Tapi aku tahu. Semua nggak ada gunanya. Yang aku
bisa lakukan hanya bersabar. Dan untuk mewujudkan rencanaku menjadi istri yang nggak
banyak complain itu, aku butuh menyibukkan diriku juga. Apalagi kalau bukan dengan
menggiring Sonya dari mal ke mal setiap pulang kantor. Rafa membayar mahal
kesibukkannya dengan tagihan credit card yang kadang bikin nangis gara-gara ulahku.
Untung dia nggak pernah protes. Sekarang, setelah lebih dari satu tahun menikah, aku mulai
terbiasa dengan semua ini. But it doesn"t mean that I"m not sad. Ingin sekali rasanya
memeluk Rafa setelah lelah bekerja seharian. Ingin sekali menceritakan semua hal yang
terjadi pada diriku setiap harinya. Aku mengambil BlackBerry-ku, menghubungi Rafa.
"Hallo," terdengar suara Rafa di seberang sana.
"Pulang malem lagi?" "Iya, Sayang. Kamu tidur duluan aja."
Percakapan yang sama setiap hari. Entah kenapa aku masih saja meneleponnya setiap
malam. "Oke. Cepat pulang ya, Sayang." "Iya,"
Klik. Aku menarik napas dalam, membanting tubuh lelahku di sofa empuk depan TV.
Sendirian lagi malam ini. Entah untuk yang ke berapa kalinya. Normalkah pernikahanku"
Buat apa kita menikah kalau bertemu saja susah begini" Buat apa kita menikah kalau tetap
merasa sendirian dan kesepian" Ah ternyata, pernikahan jauh sekali dari bayanganku
sebelumnya. Bab 3 : Having a Child Untuk sebagian besar orang Jakarta, weekend boleh jadi adalah hari yang sangat ditunggutunggu. Beberapa orang menganggap Sabtu " Minggu adalah waktu yang sangat berharga
karena Cuma di dua hari itu, seluruh anggota keluarga bisa berkumpul setelah lima hari
sebelumnya sibuk dengan urusan masing-masing. Ada juga yang menanti weekend karena
hanya di akhir pecan mereka punya waktu untuk melakukan hobinya, jadi fotografer
amatiran yang hobi hunting foto misalnya. Bahkan ada yang menunggu weekend hanya
supaya bisa tidur seharian tanpa gangguan apa pun, Tanya jombloers. Buatku, weekend
seharusnya jadi hari di mana aku dan Rafa bisa punya quality time untuk berduaan. Tapi
kenyataannya, sepertinya hampir setiap weekend, ada saja acara-acara yang harus kita
hadiri untuk kepentingan social. Minggu lalu, weekend kita padat dengan kondangan
teman-teman yang menikah. Minggu sebelumnya lagi, kita harus pergi ke ulang tahun
pernikahan tanteku di Bandung. Dan weekend ini, aku dan Rafa justru harus menghadiri
acara arisan keluarga besarnya Rafa.
Huh! Yup, sejak tadi pagi aku sudah ada di rumah mertua dengan senyuman yang nggak
pudar sama sekali. No, aku tersenyum bukan karena senang, tapi karena memang aku wajib
pasang muka manis di depan semua tamu. Lagipula, bagaimana aku bisa senang kalau
semua tantenya Rafa menceramahiku habis-habisan untuk segera punya anak, sama persis
seperti arisan keluarga bulan-bulan sebelumnya. Apa hak mereka menyuruhku untuk segera
punya anak" Memangnya mereka mau kasih makan dan membayar semua biaya pendidikan
anakku nanti" Aku benar-benar bernapas lega saat mereka mulai pulang satu persatu.
Sekarang tinggal aku dan ibu mertuaku di teras belakang rumah. Kami sedang menikmati
teh hangat sambil mengistirahatkan badan setelah lelah beres-beres.
"Bulan depan arisan di rumah Tante Dewi. Kamu dateng lagi ya, Audi," kata Ibu mertuaku
sambil tersenyum. Aku tersenyum kecut. Bulan depan aku harus bertemu dengan para tante itu lagi" Mereka
pasti akan menceramahiku dengan hal yang sama lagi. Kapan ya mereka akan bosan" Aku
yang jawab saja sudah bosan setengah mati. Oh God, please help me!
"Oia, kamu dan Rafa nggak nunda punya momongan, kan?" kata ibu mertuaku.
Hampir saja aku menyemburkan teh dalam mulutku. Apa-apaan ini" Kenapa sekarang ibu
mertuaku ikut-ikutan menanyakan tentang anak" Dia sama sekali nggak pernah
menanyakan hal ini sebelumnya.
"Nggak kok, Bu. Cuma belum dikasih aja," jawabku. Oke, aku terpaksa bohong.
"Ibu sudah nggak sabar pengin gendong cucu!" Matanya menatap lurus ke halaman
belakang. Aku yakin dia sedang membayangkan bermain bersama cucunya di halaman belakangnya
yang luas ini. Rafa adalah anak tunggalnya, hanya dari Rafa dia bisa mengharapkan seorang cucu. Aku
diam, nggak tahu harus berkata apa. Aku nggak mau menjanjikan apa pun kepadanya.
Bagaimanapun juga sekarang ini dia adalah ibuku, aku nggak mau membuatnya kecewa.
Rafa, where the hell are you" I need you now. "Kalian kan sudah satu tahun menikah tapi
belum juga dikasih keturunan. Apa nggak lebih baik periksa ke dokter?" sekarang Ibu
mertuaku memandangku serius. What" Periksa ke dokter"
"Audi!" Rafa tiba-tiba muncul dari balik pintu, "Aku cari ke mana-mana, ternyata ada di
sini!" Here you are, Rafa! Kenapa baru datang sekarang"
"Aku lagi ngobrol sama Ibu," jawabku sambil tersenyum.
"Lagi seru ya, Bu" Aku mau ajak Audi pulang," kata Rafa sambil tersenyum ke ibunya.
Oh my lovely husband, kamu seperti dewa penyelamat bagiku. Yes, this is a perfect time to
go home sebelum kepalaku benar-benar pecah karena topic anak hari ini.
"Kok buru-buru sih, Raf?" kata Ibu. Dia pasti masih merindukan anaknya. Sejak tadi pagi
mereka belum sempat mengobrol.
"Kita udah di sini dari pagi, Bu. Aku agak ngantuk," kata Rafa memberi alasan.
"Kan bisa tidur di kamar tamu," kata Ibu.
"Nggak deh, Bu. Aku pulang aja," Rafa tersenyum sopan ke Ibunya, "Yuk, Di!"
"Ya udah, hati-hati ya!" ada kekecewaan di wajah Ibu, tapi dia tampak berusaha
menutupinya. Dia pasti kesepian tinggal di rumah besar ini hanya dengan seorang
pembantu. Suaminya, ayah Rafa, sudah meninggal beberapa tahun lalu. Seketika aku
merasa bersalah, mungkin memang nggak seharusnya aku dan Rafa buru-buru pulang.
Bahkan mungkin lebih baik kita sesekali menginap di sini, menemani Ibu supaya nggak
kesepian. Aku saja bosan setengah mati setiap menunggu Rafa pulang, padahal aku sudah di
luar rumah seharian. Apalagi Ibu yang setiap hari menghabiskan sebagian besar waktunya di
dalam rumah. Atau mungkin sekarang sebetulnya memang saat yang tepat untuk aku dan
Rafa mulai memikirkan punya anak" Dengan punya anak, aku nggak sendirian saat
menunggu Rafa pulang. Dengan punya anak, aka nada keramaian baru di halaman belakang
rumah Ibu. "Tadi Ibu nanyain tentang anak," kataku setelah Rafa melajukan mobil
meninggalkan rumah Ibu. "Terus kamu bilang apa?" Tanya Rafa. Wajahnya tetap datar
memandang jalan. "Aku bohong. Aku bilang memang belum dikasih aja."
"Oh." Oh" Hanya itu reaksinya" Aku kebingungan setengah mati saat Ibu mengangkat topic ini dan
The Marriage Roller Coaster Karya Nurilla Iryani di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Rafa hanya berkomentar "oh".
"Ibu kayaknya udah pengin punya cucu," kataku mencoba memancing reaksi Rafa lebih jauh
lagi. Rafa menguap, "Iya, tapi aku belum siap, kita kan sudah bahas ini sejak sebelum nikah."
Wajah Rafa jelas sekali menunjukkan ketidaktertarikan terhadap topik ini.
Aku dan Rafa memang sudah sepakat akan menunda memiliki anak sampai entah kapan.
Oke, sebetulnya ini adalah permintaan Rafa, aku nggak keberatan karena toh usiaku baru 25
tahun. Usia produktifku masih berjalan beberapa tahun lagi. Rafa selalu bilang, dia belum
siap. Menurutnya, tanggung jawab menjadi ayah terlalu besar. I don"t get it actually.
Umurnya sudah 30, memangnya dia mau menunggu sampai kapan" Teman-temannya juga
hampir semuanya sudah punya anak. Sebagian bahkan anaknya sudah dua.
"Tapi aku bingung kalau ditanyain tentang anak, Raf. Tadi tante-tante kamu juga nanyain
kapan kita punya anak."
"Ya kamu senyum aja. Lama-lama juga mereka capek sendiri," kata Rafa.
Kapan capeknya" Sudah setahunan dan mereka belum juga lelah menanyakannya.
"Ibu minta kita periksa ke dokter," Rafa memandangku sekilas lalu kembali menatap jalanan
di depannya. Dahinya tiba-tiba berkerut, wajahnya yang sebelumnya tampak tak peduli
sekarang berubah serius, pertanda dia sedang berpikir keras.
Ah, akhirnya dia ikut mikir. Enak saja aku harus pusing sendirian! "Ya udah. Kita juju raja
deh, kita bilang kita nunda," kata Rafa akhirnya.
Hah" Mengumumkan pada dunia kalau kita menunda punya anak jelas bukan solusi yang
akan mengubah keadaan menjadi lebih tenang. Para Tante pasti akan semakin bawel. Ibu
mertuaku juga pasti akan sedih kalau tahu aku dan Rafa menunda untuk punya anak.
"Nggak semudah itu, Raf!" kataku. "Terus maunya gimana, Audi?" nada suara Rafa sedikit
meninggi, "Kalau kita nggak jujur ya kamu akan terus-terusan ditanya tentang anak."
"Kalau kita jujur, ceramah tante-tante kamu itu nggak akan berhenti, justru tambah
panjang!" balasku. "Ya udah, kita nggak usah dateng lagi ke arisan keluarga. Selesai masalah!"
"Kan Ibu yang minta kita dateng. Gimana nolaknya" Nggak enak dong, Raf."
"Terus aku harus selalu denger kamu ngeluh tiap habis ketemu keluargaku?" suara Rafa
semakin meninggi. Oh my gosh! Aku nggak bermaksud buat mengeluh. Aku Cuma mau cerita. Bukankah hal
seperti ini harusnya dihadapi bersama"
"Capek tahu denger kamu ngeluh tapi nggak mau dikasih solusi!" lanjut Rafa dengan nada
tajam. Rafa selalu saja mencari solusi dari semua masalah yang aku utarakan. Padahal,
kadang yang aku butuhkan bukan solusi. Yang aku butuhkan hanya dia duduk di sampingku,
mendengarkanku dengan sabar lalu bilang kalau semua akan baik-baik saja. Sesimpel itu.
Aku diam. Nggak ada gunanya melanjutkan pembicaraan ini. Aku membuang mukaku ke
arah sisi jalan dan menahan diri supaya nggak menangis di depan Rafa.
He hates to see me cry. Sabar, Audi. Sabar. Tarik napas, buang. Tiba-tiba saja BlackBerry-ku
bordering. Sebuah nama yang muncul di layar sukses membuatku kaget. Yoga Indrajati,
sodara-sodara! Argh, apa lagi ini" Aku sedang di mobil, rebut dengan Rafa, dan sekarang
Yoga meneleponku setelah tiga tahun namanya tidak pernah muncul di HP-ku. Kalau Rafa
sampai tahu yang meneleponku sekarang adalah mantan pacarku, dia pasti semakin marah.
Dia pencemburu akut. Bagaimana ini" Angkat. Nggak. Angkat. Nggak. Angkat. Nggak. Astaga,
alam semesta sepertinya berkonspirasi membuatku sebal.
Bab 4: Perdebatan "Kok nggak diangkat?" Tanya Rafa sambil melirik BlackBerry-ku yang masih terus bordering.
Wajahnya masih jutek. Kalau aku terus-terusan membiarkan BlackBerry-ku ini berdering
tanpa kuangkat, Rafa pasti curiga.
Baiklah, lebih baik aku terima saja telepon dari Yoga. Lagipula, aku juga sebetulnya
penasaran setengah mati kenapa dia tiba-tiba saja menghubungiku. Ingat Audi, jangan sebut
nama. Rafa nggak boleh dengar nama Yoga sama sekali.
"Hallo." "Hai, Audi. It"s me, Yoga."
Yes, I know it"s you. I wonder why you still keep my number. And I also wonder why I still
keep yours. Selama bertahun-tahun ini aku pikir aku sudah nggak menyimpan nomornya.
"Oh," jawabku seolah nggak tahu sebelumnya, "Ada apa?"
"Belum ganti nomor ya?" tanyanya basa-basi.
Kalau aku sudah ganti nomor, ya nggak nyambung ke aku teleponnya.
Pintar! Basi banget deh basa-basinya. Yoga ini dari dulu nggak pernah berubah, paling nggak
bakat cari ide basa-basi sama orang. Dasar orang IT!
"Belum. Ada apa?" tanyaku to the point. Seriously, keberadaan suami paling pencemburu di
dunia duduk di sampingku sekarang sama sekali bukan kondisi yang bagus untuk basa-basi
lama-lama dengan mantan di telepon. Bahkan aku yakin, Rafa yang sedang menyetir dengan
gaya sok cool itu pasti sebetulnya sedang memasang telinga tajam-tajam untuk
mendengarkan pembicaraan di telepon.
Yoga hanya bergumam nggak jelas. Astaga, kebiasaannya belum hilang juga, bicaranya pasti
berubah kayak kumur-kumur saat gugup. Satu dari sedikit kebiasaan buruk Yoga yang sering
banget bikin aku geregetan dulu. So not manly!
"Apa" Nggak kedengaran!" Volume suaraku mengencang.
Please Yoga, jangan nggak jelas sekarang. Aku nggak mau Rafa curiga. Lihat tuh wajahnya
sudah mulai penasaran. Berani taruhan, dia pasti langsung menanyakan siapa yang telepon
tepat setelah aku menutup telepon ini.
"Kamu ada acara malem ini?" Tanya Yoga.
"Sorry ya, nggak bisa." Jawabku cepat.
Apa" Apa kataku barusan" Memangnya dia mau mengajakku pergi" Kenapa aku tiba-tiba
bilang nggak bisa"! Bodoh bodoh bodoh! Improvisasi mulutku memang suka dungu kalau
sedang panic begini. Kalau Sonya mendengar percakapan ini, dia pasti langsung meneriakiku
sebagai mantan GR-an. "Ya udah lain kali aja. Tadinya mau ngajak ngopi," kata Yoga dengan suara yang nyaris nggak
bisa didengar oleh telinga normal. Fuuuiiihhh". Untung benar dia mau mengajakku
ketemuan! Kalau ternyata salah, aku pasti sudah malu setengah mati.
Wait" Buat apa dia mengajakku ketemu" Is it a date"
"Iya, lain kali aja ya," kataku menguatkan statementnya. Entah kenapa lain kali itu datang.
"Oke. I"ll see you later."
Aku buru-buru menutup telepon tanpa menjawab kata-kata terakhirnya. I know it"s rude.
"Sonya?" Tanya Rafa saat aku memasukkan kembali BB-ku ke dalam tas.
Benar kan dia pasti langsung bertanya saat aku menutup telepon" Sebesar apa pun
kemarahan Rafa, pasti lebih besar rasa penasarannya. Atau mungkin rasa curiga lebih
tepatnya. "Iya?" aku bohong.
Lebih baik aku bohong, kan, daripada ributnya makin parah" Please, say yes!
"Ngajak jalan?"
"Iya." "Kenapa nggak mau?"
"Emang kamu mau?"
"Aku mau tidur di apartemen, ngantuk banget. Kalau kamu mau pergi sama Sonya ya pergi
aja. Nggak apa-apa kok."
"Rafa?" aku mencoba membuat suaraku selembut mungkin, membuang jauh-jauh rasa
kesal yang masih tersisa,
"Waktu kita bareng-bareng itu sedikit banget, makanya aku pengin manfaatin semaksimal
mungkin tiap weekend begini. Aku pengin punya quality time sama kamu karena setiap
weekdays kamu sibuk banget."
"Loh, kenapa tiba-tiba kamu protes aku sibuk?" Tanya Rafa masih dengan suara datar dan
muka judesnya. Aku bukan protes! Aku hanya mengemukakan alasanku. Ih, Rafa ini kadang
lebih sensi dari cewek PMS deh.
"Aku kan udah jelasin pekerjaan aku sekarang. Loadnya tambah banyak, tanggung jawabku
makin besar. Tolong dong kamu pengertian sedikit aja," lanjut Rafa. Hellooo" Hanya karena
aku bilang aku ingin punya quality time dengannya lantas dia bilang aku nggak pengertian"
"Seriously, Raf?" aku memandangnya tajam. Aku tersinggung. Jadi selama ini dia nggak
sadar betapa aku sudah mengalah dan bersabar menghadapi dia yang sibuk setengah mati.
Mungkin Rafa pikir kewajiban dia sebagai seorang suami memang hanya mencari uang
segunung. Dia sepertinya lupa kalau dia juga punya keharusan untuk menjagaku,
memberiku perhatian, dan membuatku merasa berharga. And I know exactly that he forgets
to love me. Rafa melirikku. "What?" suaranya datar seolah tak ada yang salah dengan kata-katanya.
"Aku kurang pengertian apa, Raf" Kamu selalu pulang malem sampai aku harus tidur
sendirian, makan sendirian, nggak bisa ngobrol sama suamiku sendiri. Apa aku protes" Apa
aku marah" Susah ya untuk menghargai itu semua?" aku meledak. Kata-kataku meluncur
begitu saja. Cepat dan tajam. Dadaku sesak saking kesalnya.
"Ini apa namanya kalau bukan protes" Ini apa namanya kalau bukan marah?" kata Rafa sinis
sambil melirikku tajam dari ujung matanya.
Aku menarik napas dalam, "Aku capek, Raf." Kataku pelan.
Rafa, I wish you could drink your words and realize how bitter they taste! Kali ini aku nggak
sanggup lagi membendung air mataku. Sakit banget rasanya mendengar semua kata-kata
Rafa. "Nangis lagi," kata Rafa, "Kapan dewasanya sih kamu" Dikit-dikit nangis!" Rafa
menggelengkan kepalanya, matanya tetap lurus ke jalan.
Sekeras itukah hati kamu, Raf" Bahkan air mataku pun nggak mampu membuatmu sedikit
melunak. Ah, jangankan melunak, kamu bahkan selalu mengeluarkan kata-kata yang
semakin menyakitkan setiap kali melihatku menangis.
What are you, raf" Monster"
Fine. Kalau Rafa nggak mau menghargaiku, buat apa aku menghargai dia" Aku mengambil
BB-ku dari dalam tas, mengetik SMS.
Hari ini gak bisa. Kalau besok gimana"
SMS Sent To: Yoga. Bab 5: About Yoga It starter seven years ago.
Aku yang masih mahasiswa baru di Ilmu Komputer UI mendapatkan tugas untuk
mengumpulkan tanda tangan senior oleh panitia Orientasi Mahasiswa Baru. Mereka bilang,
tugas ini berguna supaya kita bisa kenalan dengan para senior. Aku bilang, para senior Cuma
pengin jadi artis dadakan yang dimintai tanda tangan sana-sini. Cih. Pagi itu, saat melihat
seorang senior duduk sendirian di depan lab, aku langsung menyapanya basa-basi dan
mengeluarkan buku orientasiku untuk meminta tanda tangan. Kalau bukan karena sehari
sebelumnya aku dimarahi habis-habisan karena belum mengumpulkan tanda tangan sama
sekali, pasti aku nggak akan melakukannya. Mendingan naik ke ruang kuliah dan
melanjutkan tidur sampai dosen datang. Siapa sangka, sapaan basa-basiku ke senior itu
justru membuat kami membicarakan banyak hal.
Mulai dari mata kuliah yang bikin ubanan sampai dosen yang menyebalkan. Dia juga yang
membuatku percaya kalau kegiatan minta tanda tangan senior sebetulnya nggak
semenyebalkan itu. Sebetulnya nggak ada yang terlalu istimewa dari sosok senior saat itu.
Well, dia Cuma baik dan informative. Oh, dan sedikit lebih ganteng dibandingkan seniorku
kebanyakan. Oia, dia juga orang pertama yang membuatku nyaman ada di kampus ini.
Pembawaannya yang positif membuatku yakin kalau aku akan baik-baik saja di kampus
meskipun harus tinggal jauh dari orangtua. Ini berarti sekali untukku, mahasiswi perantau
dari Jogja, yang merasa super kesepian saat itu. Senior itu adalah Yoga. Sejak hari itu, dia
selalu ada di dekatku, menjadi senior yang baik untukku. Terlalu baik malah. Dia
mengajariku mata kuliah yang nggak terlalu kumengerti. Dia membantuku mengerjakan
tugas. Dia mengantarku pulang sampai depan pagar kosan saat aku harus pulang malam
mengejar deadline. Nggak heran, kalau beberapa bulan setelah hari itu, aku langsung bilang
iya saat Yoga memintaku jadi pacarnya. Dan setelah menjadi senior yang baik, dia jadi sosok
pacar yang nyaris sempurna. I was so lucky. Yoga selalu membawaku makanan saat aku
harus mengejar deadline tugas sampai larut malam di lab. Sebetulnya makanannya
sederhana banget, Cuma nasi putih dan telur dadar warteg. Mungkin hanya itu yang dia
mampu beli saat dia masih jadi mahasiswa dulu. Tapi perhatiannya itu yang membuatku
selalu bisa tersenyum meskipun aku sedang stress berat mengerjakan tugas-tugas kuliahku.
Yoga juga pernah langsung pulang mengejar pesawat paling malam setelah mengikuti lomba
programming di Bali demi bisa memberiku surprise dengan datang ke kosanku tepat jam 12
malam saat aku ulang tahun. Padahal semua teman-temannya masih di Bali untuk lanjut
liburan gratis setelah lomba. Aku ingat jelas, aku menangis tersedu-sedu karena sangat
terharu. Pernah juga Yoga menemaniku di rumah sakit saat aku dinyatakan kena tifus oleh
dokter. Dia membawa berbagai macam buah yang aku yakin dia ambil dari kulkas ibunya.
Dia baru mau pulang saat orangtuaku datang dari Jogja dan tahu kalau aku nggak akan
sendirian di rumah sakit. Sejak saat itu, orangtuaku memperlakukan Yoga seperti keluarga
sendiri. Nggak Cuma orangtuaku yang terpesona, adikku, Ken, yang saat itu masih duduk di
bangku SMA juga ng-fans banget sama dia. Setiap kali aku mau mudik, pasti adikku nanya
Yoga ikut atau nggak. Ini gara-gara Yoga sering ikut liburan ke Jogja dan mampir ke rumah.
Sejak pertama bertemu, mereka langsung nyambung banget membahas game-game
terbaru. Benar-benar seperti teman lama yang lagi reunian. Aku ingat, aku sampai dicuekin.
Kadang aku merasa terlalu banyak hal baik yang dilakukan Yoga untukku. After all, dia nggak
Cuma jadi pacar untukku. Dia juga jadi sosok kakak, sahabat, bahkan kadang ayah. Kalau
nggak ada Yoga, mungkin aku sudah minta pulang ke Jogja saja saat baru kuliah dulu. Kalau
diminta menyebutkan satu kata yang berhubungan dengan masa aku kuliah, jawabannya
pasti Yoga. Aku menghabiskan sebagian besar waktuku bersamanya. Bahkan waktu yang aku
habiskan dengan Yoga lebih banyak dibanding dengan Sonya dulu. Sampai kadang aku
jenuh. People are complicated sometimes. Justru dia yang selalu ada, dia yang selalu baik,
dia yang selalu positif, membuatku akhirnya nyaris mati bosan. Relationship kita terlalu
datar tanpa percikan. I was young, I needed more color in my relationship. Saat dia akhirnya
pergi ke Prancis untuk mengambil master, aku kehilangan semua rasa yang pernah aku
rasakan terhadap Yoga dulu. Aku berpaling begitu saja. Dan sekarang, Yoga kembali.
Kehadirannya mengingatkanku kalau suatu relationship bisa tenang tanpa percikan. Sesuatu
yang justru aku inginkan sekarang, saat aku sudah menikah. Andaikan saja aku masih bisa
mencari ketenangan dan kenyamanan dari dirinya. OMG, what the hell am I thinking" Begini
nih kalau keseringan berantem sama suami. Argh!
Bab 6: Say it with Flower
Ada satu tradisi di kantor yang aku suka banget. Namanya happy hour. Jadi, seminggu sekali
di hari yang random, beberapa menit sebelum jam pulang kantor, semua pegawai di
kantorku tiba-tiba dapat cemilan sore gratis yang disiapkan oleh HRD. Sebetulnya
cemilannya sederhana saja sih, kadang Cuma aneka gorengan, paling mewah juga Cuma
pizza. Tapi tetap saja, setelah pusing bekerja seharian, kejutan kecil seperti ini selalu
menyenangkan dan selalu ludes diserbu perut-perut kelaparan. Seperti happy hour di sore
ini. Semua orang sedang rebutan siomay seperti habis puasa seminggu. Semua orang,
kecuali aku. Aku justru masih sibuk mengecek report yang harus segera aku kirim untuk
klienku. Sebetulnya klienku ini kasih deadline ke aku sampai jam Sembilan malam karena dia
juga masih mau lembur di kantor. Tapi sore ini aku ada janji sama Yoga, jadi report ini harus
ada di inbox email dia sebelum aku pergi. Sesuka-sukanya aku bekerja di market research
company yang selalu bisa memberiku data-data fantastis, tetap saja mengejar deadline itu
rasanya nggak jauh beda sama dikejar banteng marah. Menyebalkan.
"Heh, tumben banget lo nggak ikut rebutan makanan?" Sonya tiba-tiba sudah berdiri di
sampingku dan meletakkan sebuah piring penuh siomay di hadapanku.
Aku belum cerita ya, Sonya ini selain sahabatku sejak kuliah, dia juga satu tim denganku di
kantor. Kebetulan kita masuk kantor yang sama sejak lulus kuliah dua tahun lalu. Tentu saja
ini jadi kesenangan tersendiri bagiku. Paling nggak, ada satu orang yang bisa aku percaya di
tengah persaingan kantorku yang sengit ini.
"Lagi deadline," jawabku sambil mencomot siomay di hadapanku. "Santai aja kerjanya. Gue
temenin lemburnya. Gue juga ada deadline nih," kata Sonya.
"Gue nggak lembur."
"Ngapain pulang buru-buru" Rafa juga paling lembur, kan?"
"Bukan. Gue mau ketemu Yoga!" "APA?" Bagus, Sonya! Berteriaklah seperti aku baru saja
mengabarkan besok kiamat. Semua orang yang sebelumnya heboh rebutan siomay sekarang
melihat ke arah kita dengan wajah penasaran. Sonya melihat ke sekeliling, baru menyadari
kalau semua orang di ruangan ini sedang menatapnya. Tanpa muka berdosa, dia langsung
cengengesan ke semua orang. Dasar sableng!
"Heh, lo gila ya!" kata Sonya dengan suara lebih pelan saat perhatian semua orang sudah
kembali ke kesibukannya masing-masing, "Ngapain lo ketemu Yoga" Rafa tahu?" lanjutnya.
Aku menggeleng, "Ya enggaklah. Bisa ngamuk dia kalau sampai tahu!"
"Terus lo ngapain ketemu Yoga?" Iya ya, buat apa aku ketemu Yoga" Aku sendiri bingung.
"Audi, lo udah nikah. Ngapain sih ketemu lagi sama mantan" Cari perkara aja deh. Udah
tahu suami lo cemburuan parah."
Honestly, aku juga sebetulnya nggak tertarik untuk ketemu Yoga. Ya, aku memang sudah
lama nggak mendengar kabarnya. But actually, I don"t really care and I don"t really wanna
know any updates about him. Belum lagi ada risiko dia akan mengungkit masa lalu, saat aku
minta putus dengan alasan yang terlalu clich? dulu. Aduh, bodoh banget sih aku. Kenapa
kemarin nggak kepikiran ya" Sekarang tindakan emosionalku kemarin sudah terlanjur
terjadi. Aku sudah terlanjur menghubunginya dan dia sudah mengiyakan. Bahkan mungkin
sekarang dia sedang siap-siap untuk menjemputku ke kantor.
"Audi, jangan bengong aja. Lo lagi mau main api nih, Nyet. Ati-ati kebakar!" kata Sonya lagi.
Aku menarik napas dalam, menguatkan hati untuk menceritakan hal yang kemarin terjadi,
"Gue berantem sama Rafa. Dia minta gue lebih pengertian. Emang gue kurang perhatian
apa, sih" Gue nggak pernah marah dia pulang malem terus. Istri mana yang nggak marah
kalau suaminya pulang malem tiap hari?"
Aku menarik napas lagi. Menceritakan kejadian kemarin benar-benar menyulutkan kembali
rasa marahku. "Selama ini gue udah sabar dia nggak pernah ada buat gue. Tapi dia bahkan nggak pernah
menghargai itu. Gue kecewa. Jadi gue hubungin Yoga dan ngajak ketemu hari ini," lanjutku.
Sonya menggaruk-garuk kepalanya yang aku yakin nggak gatel, "I don"t get it. Apa
hubungannya lo berantem sama Rafa dan lo janjian sama Yoga?" "Aduh Sonya, lo lemot
banget sih. Dia nggak menghargai gue jadi buat apa gue menghargai dia!" Sonya
mengerutkan dahinya, "Sekarang lo jujur ya, lo beneran pengin ketemu Yoga" Pengin catch
The Marriage Roller Coaster Karya Nurilla Iryani di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
up?" No "Yes!" This is what you call lain " di " mulut " lain " di " hati. "Really" Lo mau bales sakit
hati lo aja, kan" Meskipun Rafa nggak tahu, tapi ini ngasih kepuasan batin buat lo karena lo
juga bisa nggak menghargai Rafa. Ya, kan?" Hah" Well, sometimes your best friend knows
you better than your own self.
"Mungkin," jawabku pelan.
"Lo sinting ya! Sejak kapan lo jadi pendendam gini?"
Aku hanya mengangkat bahuku. I seriously don"t know.
"Audi, Rafa itu suami lo. Kalau ada masalah, ya bicarain baik-baik. Jangan ngelakuin hal
kayak gini. Umur lo udah 25, kenapa kelakuan lo kayak umur 15 tahun sih?"
"Eh, kok lo jadi belain Rafa?" She"s my best friend. Bukankah dia seharusnya ada di pihakku"
"Gue nggak belain Rafa! Tapi kalau gara-gara berantem aja, terus lo ngehubungin mantan "
itu namanya nggak dewasa! Lo harus belajar menghadapi masalah dengan dewasa!"
Apa aku benar-benar punya masalah dengan kedewasaan" Kemarin Rafa bilang gitu,
sekarang Sonya. Huff! "Tapi gue sakit hati!" belaku. "Terus harus begini solusinya" You"re smart, Audi. Tapi kenapa
suka bodoh ya kalau udah urusan cinta-cintaan gini?"
Excuse me" Seorang single bilang aku bodoh untuk urusan cinta" Mau aku sentil mulutnya!
Sonya ini kalau galaknya kumat memang mulutnya bisa lebih pedes dari cabai rawit!
"Sekarang gini deh. Gimana kalau Rafa berantem sama lo terus dia ngehubungin
mantannya?" Aku diam. Aku tahu persis, kalau hal itu sampai terjadi, aku pasti marah besar.
"Nggak mau kan lo" Kalau lo nggak mau digituin, jangan begitu ke Rafa! Pasti zaman SD
nggak pernah dengerin pelajaran PPKn deh lo!"
Jleb. She"s right! "Oke. Gue salah. Kemarin gue emosi," kataku mengakui kesalahanku, "Tapi sekarang gue
udah terlanjur janjian sama dia. Gue nggak bisa apa-apa lagi." "Bukan berarti nggak bisa
dibatalin, kan?" "Gue nggak enak!"
"Nggak enak tuh sama suami lo, Nyet!"
Aku membanting badanku ke sandaran kursi. Clueless. Aku harus bilang apa sama Yoga"
Dan kalau sampai Rafa tahu, bagaimana aku menjelaskan ini semua"
"Mbak Audi, ada kiriman bunga," tiba-tiba seorang office boy sudah berdiri di sampingku
sambil memegang sebuket mawar putih. Aku melirik Sonya. Wajahnya penasaran.
"Makasih ya, Mas." Aku menerima buket itu dan langsung menarik kartunya.
I"m sorry, Love. Dinner tonight" I"ll pick you up at 6.
Rafa. Rafa banget. Singkat jelas dan padat. Dan seperti sebuah keajaiban, rasa kesalku tiba-tiba
menguap begitu saja. Hatiku meleleh melihat bunga-bunga cantik itu. Yang tersisa sekarang
justru rasa bersalah karena berniat membalas rasa sakit hatiku. Oh, why am I so childish"
"Masih mau pergi sama Yoga?" kata Sonya setelah melirik kartu itu.
"Kalau aja suami lo tahu lo udah bikin janji sama mantan"."
"Shut up!" potongku. "Gue harus gimana?"
Sonya memandangku aneh. Sedetik kemudian dia mengambil BB-ku yang tergeletak di atas
meja, "Batalin janji lo sama Yoga!" Kriiing"..
"Panjang umur," kata Sonya sambil menyodorkan BB-ku yang masih juga di tangannya.
Nama Yoga terpampang di layar. Bagaimana ini" Bagaimana ini" Dear brain, I need you to
work faster. Come on! Aku mengambil BB-ku dan menjawab ragu, "Hallo,"
"Hai, nanti jadi, kan" Aku udah di jalan menuju kantor kamu," suara Yoga terdengar begitu
ceria. Sial! Sejuta sial! Apa aku pura-pura nggak denger suaranya saja ya" Atau aku matikan saja
BB-ku dan nanti malem baru aku hubungi dan bilang kalau BB-ku habis baterai" Argh,
someone please just kill me right now!! "Sorry. Aku ngak bisa." Kataku akhirnya.
"Kenapa?" suara itu melemah.
Aku bisa mendengar kekecewaan. Kenapa" Kenapa" Kenapa" Karena aku nggak mau.
Karena aku memang nggak seharusnya ketemu kamu.
"Aku tiba-tiba banyak kerjaan. Kayaknya bakal lembur sampai malam."
"Oh." "Maaf ya." "Ya udah, nggak apa-apa. Lain kali aja ya!"
"Iya." Jawabku singkat.
Nggak, Yoga. Nggak aka nada lain kali. Menghubungi kamu adalah kesalahan dan aku nggak
akan mengulanginya lagi. Yoga menutup telepon duluan. Mungkin dia marah. Ya, dia pantas marah padaku.
"Gampang, kan?" kata Sonya sambil tersenyum.
"Gampang dari Hongkong! Sana balik ke meja lo!" kataku sambil mendorong Sonya.
"You know I"m your best friend," kata Sonya sambil terkekeh kembali ke mejanya.
Aku nggak menjawab kata-kata Sonya. But yes, she"s my best friend. Anywaaaay, kalau Rafa
menjemputku jam enam, berarti hari ini dia nggak lembur demi aku. Lebih baik aku dandan
cantik juga demi dia. Aku mencari-cari tas make up dan segera melesat ke toilet,
menyempurnakan kembali dandananku yang sudah agak luntur. Kira-kira Rafa akan
mengajakku ke mana ya" Bayangan candle light dinner tiba-tiba terlintas di otakku. Entah
kenapa terakhir kali aku romantic dinner dengannya. Padahal zaman pacaran dulu, itu
kegiatan wajib kita tiap bulan. Aku yakin pasti Rafa pasti sudah reserve tempat untuk kita
romantic dinner malam ini. Aku tersenyum sendiri membayangkannya. Jam enam sore
serasa seabad. Ini membuatku sadar betapa aku memang sangat merindukan Rafa. Finally,
quality time yang sangat aku harapkan akan segera datang. Yippie!
"Gelisah banget sih. Kayak baru pdkt aja lo!" Sonya tersenyum jail. "Dandanan gue belum
luntur, kan?" tanyaku.
Sonya tertawa kencang. "Norak lo, ah!"
"Kok lo ketawa sih!"
"Audi, saking sibuknya si Rafa, selama ini dia itu ngeliat lo Cuma saat lo tidur. Saat lo lagi
heboh ngiler. Jadi ngeliat lo nggak ngiler aja udah bagus."
"Sialan lo! Gue nggak ngiler tahu!" Beep. Satu BBM masuk ke BB-ku. Rafa memberi kabar
mobilnya sudah memasuki lobby kantorku. Yeay, I"m so ready to have a romantic dinner
with you, Rafa! "Gue baliiik!" kataku sambil berlari meninggalkan ruangan. Oh God, berlari
dengan stiletto 10 senti dan rok yang super sempit ini ternyata sungguh menyiksa ya"!
Sonya tak menjawab, hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Aku memencet tombol
elevator berkali-kali, berharap pintunya segera terbuka. Aku tak ingin Rafa menunggu terlalu
lama. And I miss him sooo much!! Keluar dari elevator, aku langsung menemukan mobil
Rafa yang terparkir tepat depan lobi. Aku kembali berlari dengan semangat seperti anak
kecil mengejar permen gratisan sekarung. BRUUUKKK".
Oh My God! Apa yang baru saja terjadi" I"m on the floor. What am I doing" Aku jatuh" Aku
jatuh! Aku jatuh tepat di depan lobi. Sebagian orang memandangku aneh. Sebagian lagi
terlihat menahan tawa. Crap! Sakitnya nggak seberapa, tapi malunya itu loh. Aku menutupi
wajahku dengan rambut sebisa mungkin. Lagipula, kenapa sih aku bisa tiba-tiba jatuh" Rafa
terlihat panik, dia keluar dari mobil dengan sedikit berlari. Dia menghampiriku dan
membantuku berdiri. Ouch, pergelangan kakiku sakit sekali. Oh great, ternyata hak stilettoku patah. Stiletto Guess kesayanganku! Oh nooo". Rasanya ingin menangis sekencangkencangnya!
"Sakit ya" Pelan-pelan aja!" kata Rafa membantuku berjalan.
Aku hanya meringis. Seorang satpam membantu membawakan tasku yang ikut terjatuh. Rafa membukakan pintu
mobil. Aku mengambil tasku yang dibawakan satpam yang berdiri tepat di sebelah kananku.
Tanpa sengaja mataku melihat ke mobil yang berhenti tepat di belakang mobil Rafa.
Sepertinya aku kenal. Honda city type Z warna silver keluaran 2003. Aku melihat nomor
polisi mobil itu. Yup, aku yakin aku kenal mobil itu. Mobil yang beberapa tahun lalu sering
mengantarku ke mana-mana. Itu mobilnya Yoga. Aku mengamati orang yang duduk di
kemudi. Agak gelap. Aku memicingkan mataku. Itu Yoga. Ya, aku yakin itu Yoga. Dan dia
sedang melihat ke arahku juga. Sedang apa dia" Bukankah aku sudah membatalkan janjiku
dengannya" This is not good! Yes, I know this is not good.
"Yuk, Sayang! Kita ke dokter terus dinner di rumah aja. Nggak mungkin kita pergi kalau
kakimu sakit begini," kata Rafa. Perhatianku ke Yoga buyar seketika. Apa kata Rafa barusan"
Dinner di rumah" No romantic dinner" Help me! Aku mau pingsan!
Bab 7: Kejutan Terburuk Presentasi untuk menggaet klien baru selalu menjadi hal yang menegangkan buatku (dan
mungkin juga semua executive di kantorku). Keringat dingin dan mulas pasti datang tanpa
diundang. Seperti sekarang. But, hey, I love and enjoy it so much! Yeah, call me freak. Tapi
entah kenapa, sejak dulu, aku selalu suka berhadapan dengan tantangan. Tantanganlah
yang membuat hidup jadi lebih hidup. Jadi, jangan heran, saat semua pegawai kantorku
bilang kalau presentasi di hadapan perusahaan besar (dan berusaha meyakinkan mereka
untuk menggunakan servis kantorku) itu berjuta-juta kali lebih menyeramkan daripada
sidang akhir kuliah, aku justru menunggu-nunggu hari seperti ini. Serius deh, ini jauh lebih
menyenangkan daripada duduk manis di meja sambil bikin report. Aku mengecek
penampilanku di kaca besar toilet kantor sebelum berangkat ke kantor calon klien baruku.
Kukenakan pakaian terbaikku. Rambut lurusku jatuh sempurna. Dandananku juga tanpa
cela. Demi presentasi ini, aku memang sengaja bangun lebih pagi agar punya waktu untuk
dandan lebih lama dari biasanya. Bagiku tampil prima selalu mampu mendongkrak rasa
percaya diri. Tapi ada yang kurang. Aku harus pakai flat shoes, sodara-sodara! Oh My God,
this is disaster! Yap, kejadian jatuh di depan lobi tempo hari ternyata berbuntut panjang.
Rafa memaksaku ke dokter dan dokter melarangku memakai high heels selama satu bulan
penuh supaya kakiku benar-benar sembuh. Bayangkan, satu bulan! Tega banget sih! Padahal
stiletto-stiletto itu adalah penyempurna penampilanku. Look at me now! Kaki jenjangku
tampak nggak seseksi biasanya. Argh! Well, sebetulnya kecelakaan kecil tempo hari nggak
sepenuhnya buruk sih. Karena kejadian itu juga Rafa justru berjanji mengantarku setiap pagi
ke kantor selama satu bulan ini supaya aku nggak perlu berdiri lama-lama nunggu taksi. Aku
nggak menuntutnya untuk menjemputku juga karena aku tahu dengan mengantarku tiap
pagi saja dia sudah cukup repot harus berputar lumayan jauh untuk sampai di kantornya.
Lagipula, aku malas menunggunya sampai malam di kantor untuk menjemputku. Mending
aku ke mal bareng Sonya. I"m quite happy with this condition. Meskipun dia masih selalu
pulang malam, at least selama satu bulan ini aku bisa mengobrol dengannya setiap pagi di
perjalanan ke kantor. Trust me, mengobrol dengan seseorang saat energinya masih penuh
dan pikirannya masih fresh sesungguhnya sangat menyenangkan. Sesuatu yang langka
banget sebelumnya. "Santai aja, Di. Nggak usah terlalu dipikirin!" kata Sonya yang sedari
tadi bersamaku di toilet.
"Apa yang nggak dipikirin" Sepatu gue" Lihat dong gue udah kece gini, tapi bawahnya pakai
flat shoes!" Sonya mengerutkan dahi," Bukan itu!"
"Apa?" "Presentasi ke Prima Food. Santai aja."
"Oh," aku hanya mengangguk.
Aku mengerti betul maksud Sonya. Prima Food, perusahaan biscuit yang cukup besar di
Indonesia ini adalah calon klien yang akan aku datangi. Sebetulnya perusahaan ini telah
menolak servis market research dari kantorku selama 4 kali berturut-turut. Artinya, tiap
tahun ada saja rekan kerjaku yang presentasi di sana untuk mencoba merayu perusahaan
satu ini dengan memaparkan data-data powerful yang kita punya, tapi selalu gagal. Dan
sekarang giliranku. Kalau hari ini aku juga gagal, pasti semua orang maklum. Atau mungkin
mereka akan kaget kalau aku sampai berhasil" Well, I"ll try to do my best. Aku kurang tidur
beberapa hari belakangan ini demi menyiapkan presentasi ini. Bagaimanapun juga, aku ingin
mendapatkan hasil terbaik. I always set my target high. Persetan dengan kepesimisan semua
orang. Aku nggak akan menyerah sebelum perang.
"Gue berangkat ya! Wish me luck!" kataku ke Sonya. "Good luck!" Sonya tersenyum ketika
aku melangkah keluar toilet. Aku menuju lobi, sopir kantor sudah menungguku di sana dan
siap membawaku ke Prima Food. Jantungku berdegup semakin kencang. Jalanan pagi ini
cukup bersahabat. Aku sampai di kantor Prima Food 15 menit lebih cepat dari yang
dijadwalkan dan langsung menemui seorang wanita dari bagian marketing bernama Kristi.
Dengan dialah selama ini aku berkomunikasi. "Sebentar ya, Mbak. Kita masih nunggu brand
manager biscuit Yumm-O dan marketing director kita," kata Kristi setelah mengantarku ke
sebuah ruang meeting yang besar.
Beberapa orang sudah menungguku di sana, mungkin mereka adalah beberapa brand
manager lain, atau mungkin tim marketing lainnya. Entahlah. Mereka semua tampak sibuk
dengan laptop masing-masing. Sepertinya, lebih baik aku tunda dulu berkenalan dengan
mereka. "Ok" jawabku sambil mengeluarkan laptop dan menyiapkan presentasiku. Kristi
sendiri bergabung dengan orang-orang yang sedang serius itu. Seseorang terdengar
membuka pintu yang ada di belakangku. Refleks aku membalikkan badan. Yoga"! Ya, itu
Yoga! Astagaaa. Manusia satu ini benar-benar seperti jin. Suka tiba-tiba nongol. Tapi kali ini
waktunya benar-benar nggak tepat! Sedang apa dia di sini" Aku nggak pernah lagi ketemu
dia setelah kejadian sore itu ketika aku melihat mobilnya di lobi, dia pun nggak pernah
menghubungiku. Kenapa aku harus ketemu dia di sini di saat aku akan presentasi penting"
Rasanya jantungku berdegup dua kali lebih cepat dari sebelumnya. Yoga seakan membeku
di tempat setelah melihatku. Aku salah tingkah. Bagaimana dia" "Hallooo," seorang wanita
tiba-tiba memasuki ruangan, memecah keheningan.
"Eh, hallo," jawabku kikuk.
"Saya Sinta," katanya menyalamiku sambil tersenyum ramah. Aku bisa lihat sisa-sisa
kecantikan masa mudanya. Karena Bu Sinta ini tampak sudah agak tua, asumsiku dia adalah
marketing director di sini. Artinya brand manager Yumm-O yang kita tunggu adalah Yoga"
Aku nggak pernah tahu Yoga kerja di Prima Food. Ah, tentu saja. Memang aku bisa tahu dari
mana" Tapi, background pendidikan Yoga kan IT, sedang apa dia di dunia marketing seperti
ini" Dia geek berat dulu, bukan seperti aku yang memang sudah niat cabut dari dunia IT
setelah lulus kuliah. "Saya Audi, Bu." Aku berusaha tersenyum seramah mungkin,
mengimbanginya. Yoga mendekat, "Saya Yoga," katanya kemudian.
Heh" Jadi dia mau pura-pura nggak kenal denganku"
"Audi," fine, aku ikuti permainannya.
"Langsung dimulai saja Ibu Audi!" kata Bu Sinta sambil menuju tempat duduk.
Yoga mengikutinya. Keberadaan Yoga di sini benar-benar tidak menguntungkan bagiku. Aku jadi tambah
nervous. Tapi aku sudah mati-matian menyiapkan ini semua. Aku nggak boleh merusak
semuanya sekarang. Tarik napas, Audi. Embuskan. Hilangkan Yoga dari pandangan. Atau
anggap dia patung. Atau monyet. Apa saja. Baiklah, break a leg, Audi! Presentasi berjalan
lancar. Ibu Sinta mengajukan sejuta pertanyaan yang bisa aku jawab dengan baik. Yang lain
juga berusaha mencecarku habis-habisan. Untungnya aku jauh lebih cerdas, jadi aku bisa
mementahkan semua cercaan mereka. Nggak sia-sia aku kurang tidur untuk menyiapkan
presentasi ini. Yang membuatku kesal adalah Yoga juga ikut-ikutan mencecarku. Bahkan
lebih parah dari yang lain. I know, maybe he"s just trying to be professional. Tapi dia
memojokkanku seperti seorang musuh. Aku yakin ini bukan hanya perasaanku saja. What"s
your problem, Dude" Huh! Mereka akan mengadakan internal meeting dulu untuk
mengambil keputusan. Perasaanku nggak enak. Dengan adanya Yoga sebagai salah satu
pengambil keputusan, seharusnya ini bisa jadi sesuatu yang menguntungkan bagiku. Tapi
melihat sikap Yoga sejak tadi, aku sama sekali nggak yakin dia akan membantuku. I have to
do something. Kalau aku bisa mendapatkan perusahaan yang satu ini, pasti bisa jadi batu
loncatan buatku untuk segera promosi jadi manajer. Yoga, you have to help me!
"Bapak Yoga, bisa bicara sebentar," kataku saat semua orang sedang membereskan barangbarangnya, bersiap meninggalkan ruang meeting. Yoga diam sesaat, lalu mengangguk.
Let"s play my game now.
Bab 8: To Lie or Not To Lie
Aku menyalami semua peserta meeting satu per satu saat mereka hendak meninggalkan
ruangan. Nggak lupa sebuah senyuman manis terpasang di wajahku sambil berharap
senyumanku kali ini punya pelet mujarab agar mereka tertarik menjadi klienku. Hanya Yoga
yang masih ada di ruang meeting. Dia duduk di bangku paling pojok. Laptopnya tertutup.
Tangannya memainkan pulpen. Matanya lurus menatap dinding di hadapannya. Ekspresinya
dingin. This isn"t a good sign. Putus bertahun-tahun dengan Yoga nggak berarti aku lupa arti
setiap ekspresi mukanya. Dan ekspresi mukanya kali ini menandakan he"s not in a good
mood. Tapi kenapa aku yang harus jadi korban bad moodnya" Kenapa dia harus
memojokkanku seperti musuh tadi" Seingatku, dulu Yoga bukan tipe orang yang suka
meluapkan kekesalannya ke orang lain. Eh, jangan-jangan ini artinya dia memang sedang
marah denganku" Apa ini ada hubungannya dengan aku membatalkan janji tempo hari" Aku
menarik napas dalam, mengumpulkan semua keberanianku untuk menghadapinya. Kakiku
melangkah menuju kursi yang ada persis dihadapan Yoga. Semua demi keberhasilanku
mendapatkan perusahaan satu ini sebagai klien baruku.
"Apa kabar?" tanyaku setelah duduk.
Aku benar-benar nggak tahu harus mulai dari mana.
"Baik," jawabnya singkat.
Sudah" Itu saja" Dia bahkan nggak bertanya balik.
"Aku baru tahu kamu kerja di sini," kataku mencoba memancing percakapan yang lebih
dalam. "Aku kerja di sini sejak pulang dari Prancis," jawabnya.
"Oh, Sudah lama juga ya?" kataku. Padahal aku bahkan nggak tahu kapan dia pulang dari
Prancis. Dan dia diam. Duh, kenapa sih sebetulnya orang ini"
"Maaf ya tempo hari aku batalin janji," aku nggak punya pilihan lain selain segera
mengangkat topik ini. Bisa jadi ini memang alasannya marah.
Yoga hanya mengangguk. Argh" give me 5 toddlers now! Sepertinya lebih gampang komunikasi dengan mereka
daripada dengan Yoga saat ini! "Tapi harusnya kamu nggak perlu bohong!" kata Yoga
kemudian. "Bohong?" tanyaku.
"Iya. Kamu janjian sama orang lain, kan?"
Aku buru-buru menggelengkan kepalaku.
"Audi, aku lihat sendiri," kata Yoga. Nadanya tetap tenang. Tapi dari wajahnya aku tahu dia
tambah kesal. Oh, jadi benar penglihatanku tempo hari. Itu mobilnya Yoga dan dia melihat
semua kejadian di lobi saat itu. Well, actually, aku berusaha untuk tidak ambil pusing karena
tadinya aku pikir aku nggak akan pernah bertemu lagi dengan Yoga. Tapi sekarang, saat aku
tahu kalau Yoga adalah calon klienku, sepertinya aku harus mencari penjelasan yang bagus.
Aku nggak bisa membiarkannya tetap marah padaku. Think, Audi! Find a smart reason!
The Marriage Roller Coaster Karya Nurilla Iryani di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Waktu itu aku tiba-tiba sakit. Jadi aku batal lembur. Aku bahkan sampai jatuh di depan lobi.
Kebetulan waktu itu ada temanku lihat, jadi dia antar aku pulang," kata-kata itu mengalir
begitu saja. Don"t judge me, please! Aku nggak punya pilihan lain selain berbohong
sekarang. Lagipula, aku nggak sepenuhnya bohong. Rafa kan temanku. Teman hidup
maksudku. I just didn"t make it clear to Yoga.
"Jadi waktu itu kamu pingsan" Bukan kesandung?" Tanya Yoga. Wajah Yoga tampak sedikit
melunak. Ada rasa bersalah di situ.
"Nggak pingsan, Cuma ambruk sesaat karena pusing banget." "Aku pikir kamu batalin janji
karena mau ketemu laki-laki itu." Wajah tegang Yoga kini benar-benar mengendur. Aku
tertawa senatural mungkin, mencoba membuat suasana semakin cair. "Jadi, Karena itu
kamu jutek banget sama aku?"
"Aku nggak jutek," kata Yoga sambil tertawa ringan.
Yap, aku berhasil! Eh, wait! Ada yang salah di sini. Dia marah karena aku ada janji dengan
pria lain. Memang kenapa kalau aku ada janji dengan pria lain" Dia kan bukan siapa-siapa
aku" Jangan-jangan dia punya niat untuk mendekatiku lagi" Oh crap, dia pasti belum tahu
aku sudah menikah! Ah, tentu saja. Dari mana dia bisa tahu aku sudah menikah. Pertama,
kita sudah nggak komunikasi cukup lama. Aku saja nggak pernah tahu perkembangan
hidupnya. Wajar saja Yoga juga nggak pernah tahu perkembangan hidupku. Meskipun kita
sempat pacaran, tapi aku dan dia punya lingkungan pergaulan yang berbeda saat kuliah
dulu. Mungkin karena ini, kita sama-sama nggak update dengan berita masing-masing
setelah putus. Kedua, dan yang paling penting, aku nggak pernah mengenakan cincin
kawinku, termasuk detik ini. Jariku memang nggak bersahabat dengan segala jenis cincin.
Untungnya untuk hal satu ini, Rafa cukup pengertian. Dia rela membiarkan aku nggak pakai
cincin kawin daripada jariku harus gatal terus menerus. Jadi aku harus bagaimana sekarang"
Bilang kalau aku sudah menikah" Insting-ku mengatakan this isn"t a good time untuk dia
tahu kalau mantan pacarnya ini sudah menikah. Aku janji, I"ll tell him. One day. Tapi bukan
sekarang. Mungkin nanti, setelah perusahaan ini resmi jadi klienku. Jangan bilang aku jahat.
Aku sudah janji aku akan mengatakannya. Hanya masalah waktu. Lagipula, aku melakukan
ini untuk kepentingan pekerjaan. Untuk kepentingan perusahaan tempatku bekerja. Nggak
ada niat lain. Kalau saja saat ini Yoga nggak ada hubungannya dengan pekerjaanku, aku akan
dengan senang hati mengatakan kalau aku sudah menikah.
"Kamu sendiri sore itu ngapain ada di lobi kantorku?" tanyaku kemudian.
"Aku mau anter makanan buat kamu."
"Anter makanan?" tanyaku bingung.
"Iya. Seingatku dulu, kamu suka lupa makan kalau ngerjain tugas. Aku pikir mungkin kamu
masih begitu sekarang. Jadi aku mau anter makanan biar kamu nggak lupa makan."
Deg. Dia masih ingat kebiasaanku lupa makan. Dan dia benar, kebiasaan itu masih sampai
sekarang. Aku nggak bisa bohong, aku terharu dengan apa yang dilakukannya. Suamiku
sendiri nggak pernah seperhatian itu terhadapku. Yeah sure, dari mana Rafa bisa tahu kalau
aku sampai lupa makan, menanyakannya saja dia nggak ada waktu. Dia, kan, sibuk setengah
mati mengurus pekerjaannya! Ingat"
"Anyway, gimana menurut kamu presentasi barusan?" lebih baik aku segera mengalihkan
pembicaraan. "Great. Agak kaget juga tahu fakta sales perusahaan kami berkurang karena dimakan
competitor yang satu itu. Mungkin sudah saatnya kita pakai servis market research
perusahaan kamu." Aku hanya tersenyum. "Nanti kami akan meeting buat bahas ini. I"ll let you know the result ya!"
"Oke, aku tunggu ya."
Aku tersenyum sambil melirik jam tanganku, sudah hampir jam dua belas. Aku harus segera
kembali ke kantor. "Aku nggak nyangka kita ketemu di sini."
Nggak ada tanda-tanda Yoga mau mengakhiri percakapan ini.
"Iya. Aku pikir kamu akan kerja di perusahaan IT, bukan di perusahaan biscuit begini,"
kataku. "Kamu lupa ya, aku punya tanggung jawab besar untuk nerusin perusahaan papaku nanti,
makanya setelah sekolah bisnis di Prancis, yang paling pas ya kerja diperusahaan seperti ini.
Aku jadi lebih bisa belajar banyak."
Aku menganggukkan kepala. Ingatanku kembali ke saat aku baru pacaran dengan Yoga. Dulu
dia bilang orangtuanya sudah memaksanya sekolah bisnis sejak lulus SMA, tapi dia menolak.
Akhirnya dia dikasih kesempatan kuliah apa pun yang dia mau, tapi harus tetap berjanji
untuk sekolah bisnis setelah lulus, karena bagaimanapun juga, dia harus meneruskan
perusahaan keluarganya. Ternyata dia benar-benar memenuhi janjinya. "Anyway, aku harus
balik ke kantor nih," kataku kemudian.
"Lunch bareng dulu aja yuk, baru balik ke kantor. Ada restoran enak deket sini," kata Yoga.
Lunch bareng" Aduh, rasa malas langsung datang begitu saja. Kalau aku tolak dia
tersinggung nggak ya"
"Lain kali deh, Yog. Aku ada meeting jam satu di kantor, takut telat kalau lunch di sini."
"Oke. Toh kalau aku jadi klien kamu nanti, kita bisa sering-sering lunch meeting atau dinner
meeting." "Iya. Semoga. Aku berharap banget kalian mau pakai servis ini."
"Aku akan bantu bujuk mereka. Kamu tahu kan betapa persuasifnya aku?"
Yes, I know. Aku pernah sekali ikut Yoga meeting dengan timnya saat mau ikut salah satu
dari sekian banyak lomba pemrograman. Ternyata, di balik pembawaannya yang tenang
banget, dia selalu bisa memengaruhi temannya untuk menuruti idenya. Yoga ini salah satu
manusia paling persuasive yang pernah aku temui sepanjang hidupku. Kemampuannya
meyakinkan orang nggak perlu diragukan lagi. Dan aku tahu, ini akan sangat
menguntungkan bagiku. "Thanks, Yog," kataku.
Yoga mengangguk sambil tersenyum manis. Oh, aku lupa dia punya senyuman semanis itu.
Senyuman yang selalu membuatku meleleh. Senyuman yang selalu membuatku merasa
dunia ini sangat damai. Dulu. Oh well, lebih baik aku segera mengambil tas laptopku,
berpamitan, dan kembali ke kantor. I have a good feeling that I"ll get a good news soon!
Yippie! Bab 9: Let The Past Be The Past
Pintu apartemen terbuka saat aku hampir saja tertidur di sofa dengan televisi. Rafa"s home!
Aku melirik jam dinding. Jangan-jangan aku sudah tertidur berjam-jam dengan mata terbuka
tanpa aku sadar. Baru jam setengah sebelas malam, artinya aku memang belum tertidur
sama sekali. Nggak biasanya Rafa pulang saat aku masih terjaga. Ada apa ya" "Hei, Sayang,"
sapanya sambil melepas sepatu Pedronya. Wajahnya tampak letih. Seperti itukah wajahnya
setiap pulang kantor" "Tumben jam segini udah pulang?" "Ya udah, aku balik lagi ke kantor,"
jawabnya sambil pasang muka cemberut. Aku terkekeh. That cute face. Sudah lama aku
nggak lihat muka cemberut sok manja itu. Ekspresi yang dulu sering aku lihat di awal
pernikahan kami, saat kami sedang berebut channel TV, saat aku melarangnya makan
tengah malam, saat aku memaksanya membersihkan kamar mandi. Ya, masa-masa dia
belum sesibuk sekarang, masa-masa di mana waktuku dengannya masih berlimpah. Rafa
menghampiriku, mencium dahiku, "Kangen sama kamu, Sayang." Kangen" Tunggu, aku
ingat-ingat dulu kapan terakhir Rafa bilang kangen. Setahun lalu" Aku memandangnya aneh,
"Kamu sakit ya?" "Ih, kamu tuh ya. Kalau aku nggak romantis protes, kalau aku romantis
malah dikira sakit," katanya sambil duduk di sampingku dan meletakkan tas laptopnya di
meja depan sofa. Aku tertawa keras. Rafa ini adalah manusia paling nggak romantis yang
aku kenal. Jelas saja aku heran kalau dia tiba-tiba pulang cepat dari kantor hanya dengan
alasan kangen istri. "Aku laper," kata Rafa sambil melonggarkan dasinya. "Nggak ada
makanan, Raf." Stok makanan di apartemen memang sangat terbatas mengingat aku dan
Rafa sama-sama pergi ke kantor dari pagi dan pulang malam. Aku sendiri biasa makan
malam diluar sebelum pulang. Rafa biasanya baru pulang tengah malam entah jam berapa,
dia pasti sudah makan di kantor. "Kok jam segini belum makan sih?" tanyaku. "Tadi diajak
meeting sama bos besar sampai laperku ilang. Sekarang baru terasa lagi." "Delivery aja ya.
Kamu mau apa?" kataku sambil mengambil BlackBerry-ku. "Aku mau dimasakin istriku,"
Rafa tersenyum memamerkan deretan giginya yang rapi. Ini orang lagi kesambet apa sih"
Tiba-tiba pulang cepat dan sekarang minta aku masak! Dia, kan, tahu aku nggak bisa masak.
"Mi instan pakai telur ceplok?" tawarku. Memangnya ada pilihan lain" Hanya itu yang bisa
aku masak. Masakanku yang lain bisa membuatnya terancam keracunan. "Boleh!" Rafa
mengangguk semangat," Aku udah lama nggak makan Mi instan!" Belum sempat aku
beranjak, tiba-tiba BlackBerry-ku berdering. Siapa yang meneleponku malam-malam begini"
Aku melirik layar BlackBerry-ku Yoga! Akhirnya manusia satu ini meneleponku juga. Sudah
beberapa hari ini aku menunggu teleponnya, menunggu kabar hasil meeting tim marketing
Prima Food mengenai presentasiku tentang servis yang kantorku tawarku. Setiap
BlackBerry-ku berdering, jantungku langsung berdegup lebih cepat, berharap nama Yoga
yang muncul di layar. Bahkan menunggu hasil sidang akhir zaman kuliah dulu rasanya nggak
semenegangkan ini. Thank"s God akhirnya dia telepon juga. "Hallo." "Audi, sorry aku telepon
melem-malem," kata suara di seberang sana. "It"s ok. Ada apa?" I know, harusnya aku nggak
nanya: ada apa. Teleponnya kali ini sudah pasti tentang hasil meeting tim marketing-nya.
"Tadi pagi aku sudah meeting sama tim marketing. Sudah ada keputusan. Sebetulnya tadi
aku mau langsung kabari kamu, tapi kerjaanku lagi banyak banget. Ini baru sempet." "Iya,
nggak apa-apa kok. Gimana hasilnya?" aku mengontrol suaraku sesantai mungkin. Padahal
aku sudah penasaran setengah mati. "Mereka tertarik pakai servis market research kantor
kamu." "Really" Yeaaay!" aku bersorak kegirangan. Nggak sia-sia ternyata semua
persiapanku. "Ini aku kabarin kamu as a friend ya, bukan sebagai calon klien. Besok si Kristin
yang akan hubungin kamu." "Ok. I"ll wait. Thank"s ya." "Sama-sama. Ya udah, udah malem.
Aku pasti ganggu istirahat kamu. Sampai ketemu di meeting-meeting yang akan datang."
Aku terkekeh, "Ok. Once again, thank"s ya, Yoga." Ini memang bukan kali pertama aku
berhasil menggaet klien baru. Tapi seperti yang kubilang tadi, perusahaan satu ini sudah
empat tahun berturut-turut menolak servis kantorku. Jelas ini sebuah prestasi! Kursi
manajer sudah terbayang olehku. Well, at least kemungkinan aku dapat award dari kantor
akan lebih besar, lumayan bisa buat beli sepatu baru. "Yoga siapa?" Tanya Rafa tiba-tiba.
Astaga, aku lupa dia masih di sebelahku sejak tadi. "Klien." "Klien?" Rafa mengerutkan dahi
seolah nggak percaya. "Calon klien tepatnya, kasih kabar mereka jadi pakai servis yang aku
tawarkan." "Baru jadi calon klien udah nelepon kamu jam segini. Apalagi kalau jadi klien
nanti, pasti demanding." Kata Rafa sinis. Aku hanya mengangkat bahu. Peduli amat dengan
yang akan terjadi nanti, detik ini aku hanya ingin menikmati keberhasilanku. "Aku bikinin mi
dulu," kataku sambil menuju dapur. Rafa nggak menjawab apa pun. Dia hanya mengambil
remote TV dan mengganti-ganti channel. Aku segera membuatkan mi goreng plus telur
ceplok. Pikiranku masih ke telepon barusan. Tomorrow is gonna be a great day. Pasti semua
orang akan kagum dan bertanya-tanya bagaimana aku bisa mendapatkan klien satu ini. Pasti
bosku akan mulai mempertimbangkan untuk memberiku promosi. Aku tersenyum sendiri
membayangkannya. "Mi gorengnya sudah jadi, Sayang," kataku sambil menyodorkan piring.
Aku duduk di samping Rafa yang kini sudah menghadap laptopnya. "Yang tadi telepon itu
Yoga Indrajati?" Rafa menatapku tanpa menyentuh piring yang aku sodorkan. Aku melirik
BlackBerry-ku. Sudah berubah posisi. Pasti Rafa melihat nama lengkap Yoga barusan.
Suamiku ini sepertinya nggak tahu namanya privacy. "Iya," jawabku. "Dia mantan kamu?"
"Hah" Kenapa tiba-tiba nanya gitu, Raf?" "Jawab aja. Dia mantan kamu?" Aku melirik sekilas
ke layar laptop Rafa. "You google him?" tanyaku ketika menemukan nama Yoga di layar
laptop Rafa. Rafa mengangguk. OMG. Such a geek you are, Raf! "Raf, nggak penting banget
deh sampai kamu googled dia." "Kamu tinggal jawab. Dia mantan kamu atau bukan?" Aku
menghela napas. "Iya, dia mantanku." "Dan dia calon klien kamu?" "Iya." "Aku nggak suka."
Aduh". Apa lagi ini, Rafa" Ini sudah malam, please jangan ajak aku berantem sekarang.
"Come on, Rafa. Itu kan udah bertahun-tahun lalu," "Itu nggak mengubah fakta kalau dia
mantan kamu!" "Rafa, please dong, jangan kayak ABG deh. Cemburu-cemburu nggak jelas."
"Aku bukan cemburu. Aku Cuma mau kamu menghindari masalah." "Menghindari masalah
gimana maksud kamu" Kamu takut aku selingkuh" Kamu nggak percaya sama aku" I"m done
with him, Raf." "Maksudku, jangan kamu bawa-bawa masa lalu kamu ke masa sekarang
karena itu berpotensi menimbulkan masalah. Let the past be the past." "Aku nggak bawabawa ke personal life aku. Ini Cuma urusan kerjaan, Raf!" "Tetep aja!" nada suara Rafa
sedikit meninggi, "Lagipula, kamu itu udah nikah. Pantes ya deket-deket mantan?" Rafa,
kamu lebih baik nggak pulang cepet daripada sekalinya pulang cepet kita malah rebut gini.
Serius deh! Aku menarik napas dalam, "Terus aku harus gimana, Raf?" Aku menatapnya
heran. Bilang Raf aku harus gimana" Membatalkan semuanya" Kamu pikir sesimpel itu" Aku
seorang professional! "Biar temen kamu yang lain handle klien ini. Jangan kamu." "Tapi?"
"Itu pilihan pertama. Pilihan kedua, kamu resign dari kantor!" You must be kidding me, Raf!
Rafa menutup laptopnya, menuju kamar, dan meninggalkanku bengong sendirian sambil
memangku sepiring mi goreng. I can"t believe this.
Bab 10: Gloomy Morning. Yes, you better shut your mouth up now, Rafa. Aku nggak butuh mengawali hari ini dengan
mendengarkanmu. Melanjutkan marah-marah perihal mantan pacar yang akan jadi klien
baruku. Lebih baik seperti sekarang, kamu diam, nggak bicara sepatah kata pun dan
konsentrasi pada jalanan yang macetnya semakin parah dari hari ke hari. Lagipula, melihat
wajahmu yang dilipat tujuh belas saja sudah cukup menyiksa bagiku. Ah, namanya aku tadi
berangkat naik taksi saja. Nggak hanya itu. Alam semesta seolah berkonspirasi menyiksaku
pagi ini. Aku nggak tahu kenapa sejak bangun tidur tadi kepalaku pusing sekali. Apa ini efek
kurang tidur demi menyiapkan presentasi untuk Prima Food tempo hari, ya" Atau simply ini
efek kesal dengan suamiku yang cemburuan ini" Huh, rasanya mau marah. Harusnya pagi ini
aku mengawali hariku dengan bahagia. Aku tahu aku akan mendapatkan berita baik dari
pihak Prima Food dan kemudian menyebarkan berita ini di kantor. Aku yakin ini akan
membuat semua orang memandangku kagum. Tapi, lihat kenyataannya sekarang. I"m in a
bad mood gara-gara suamiku ngambek dan kepalaku pusing tujuh keliling. "Thank"s, Raf,"
kataku sambil keluar dari mobil ketika sampai di depan lobi gedung kantorku. Biasanya aku
mencium pipinya sebelum turun, tapi pagi ini, aku bahkan menghindari melihat wajahnya.
Aku segera naik ke kantorku dan menuju meja kerja. Sonya sudah ada di mejanya, membaca
majalah dengan santai ditemani secangkir kopi hangat. Begitulah kebiasaannya sebelum
mulai bekerja. Katanya, pagi hari harus diawali dengan membaca hal-hal menyenangkan
sebelum suntuk baca email kantor. Untung saja nggak pernah ada atasanku yang protes
melihat kebiasaan paginya itu. "Hey, pagi-pagi kok udah jutek?" Tanya Sonya ketika aku
membanting tasku di atas meja. "Kepala gue pusing," kataku sambil memijat keningku.
"Kenapa nggak cuti sakit aja?" Aku menunggu berita penting hari ini, mana mungkin aku cuti
sakit" Tapi sebelum ada kabar resmi dari Prima Food, aku nggak akan menceritakan ini
kepada siapa pun, termasuk Sonya. "Cuma pusing dikit kok," kataku menyalakan komputer.
Aku mencoba memaksakan sebuah senyuman ke sahabatku itu. One fake smile. Oh well, I
need a coffee. Mungkin kafein bisa sedikit membuatku merasa damai. Aku segera menuju
coffee maker, meninggalkan Sonya yang masih bengong melihatku. Aku tahu, dia pasti
mencium sesuatu yang nggak beres. She"s my best friend. She knows me very well. Tapi aku
terlalu malas untuk cerita ke dia sekarang, apalagi dengan kondisi kepala seperti ini.
Komputerku belum juga selesai loading saat aku kembali ke meja. Ah, bahkan komputerku
ini ikut-ikutan membuatku kesal. Aku menyeruput kopiku sambil memejamkan kedua
mataku, berharap bisa menikmati lebih maksimal kopi hangat ini. Dan yang past
i, berharap mood-ku bisa segera membaik saat aku membuka mata. Hari masih panjang, aku nggak bisa
kesal terus-terusan begini. "Nyet, beneran pusing doang?" Tanya Sonya di tengah protes
meditasiku. Kursinya tiba-tiba sudah ada persis di sampingku. "Iya, beneran kok," kataku
masih dengan senyuman terpaksa. Sonya menganggukkan kepalanya dan kembali ke
mejanya. "Just let me know ya kalau butuh ngobrol. Gue lagi santai kok. Mau kabur
sebentar jajan kue lopis juga ayo!" lanjutnya sambil cengengesan. "Kalau tiap pagi gue
nurutin lo buat jajan lopis favorit lo itu, bisa melar badan gue!" jawabku sambil terkekeh.
Sonya hanya tertawa sambil kembali membolak-balik majalahnya. Hey, here you are! Sudah
ada email dari Kristin. Aku nggak mengira dia akan kirim email sepagi ini. Aku membuka
email itu buru-buru. Benar kata Yoga, mereka setuju untuk membeli servis yang aku
tawarkan. Aku segera membalas email Kristin dan mengabarkan hal ini ke para atasan via
email. Aku melirik ke dalam ruang kaca Pak Guntur, direkturku. Dia sudah datang, sudah
duduk manis di depan laptopnya. Sebentar lagi dia pasti membaca email yang aku kirim.
Mari kita tunggu reaksinya. Jreng! Wajahnya tiba-tiba berubah. Sebuah senyuman lebar
mengembang di sana. Dia langsung beranjak dari tempat duduk menuju pintu ruangannya
dan berteriak ke arahku , "Audi, kamu berhasil dapetin si Prima Food?" Semua orang
memandangku sekarang, aku tersenyum. "Ke ruangan saya sebentar sini," lanjutnya. Aku
menuju ke ruangannya diiringi dengan tatapan mata semua orang di ruangan. Yup, tatapan
kagum seperti yang sudah aku perkirakan. "Selamat ya," Pak Guntur menyalamiku. "So,
bagaimana ceritanya?" Aku menceritakan proses presentasiku beberapa hari lalu serta
semua pertanyaan yang diajukan kepadaku. Aku juga menceritakan kondisi sales Prima Food
yang memburuk belakangan ini. Semuanya aku ceritakan, kecuali bagian Yoga. Aku nggak
mau direkturku ini mengira aku berhasil mendapatkan perusahaan satu ini karena campur
tangan orang dalam. "Good job, Audi. Saya pikir perusahaan sombong itu nggak akan
pernah mau pakai servis kita." Aku tersenyum puas. "Tapi ada yang perlu saya bicarakan,
Pak," kataku "Ada apa?" "Sepertinya saya nggak bisa handle Prima Food." Pak Guntur
tampak kaget, raut mukanya berubah seketika. "Why" Jangan bilang kamu mau resign!"
"No," jawabku cepat, "This company is too big, saya sudah handle Grand Asia. That huge
company sudah menyita hampir seluruh konsentrasi saya, jadi lebih baik Prima Food dihandle orang lain." I said that. I said that, Rafa!! Akhirnya kata-kata yang sudah aku siapkan
semalaman keluar juga pagi ini. Ya, setelah berpikir semalaman, aku memutuskan untuk
menuruti suamiku. Pak Guntur diam sambil memandangku lekat-lekat. Entah apa yang ada
di pikiran atasanku itu sekarang. Mungkin aku terlihat seperti anak manja yang nggak bisa
handle pekerjaan agak banyak. Mungkin aku terlihat seperti seseorang yang mudah
menyerah sebelum perang. Yang aku tahu, pandangannya itu sama sekali nggak memiliki
arti yang bagus. Yeah, selamat tinggal kursi manajer. Thanks to you, my dear husband!
"baiklah. Nanti saya bicarakan dengan manajer kamu. Dia yang tahu kondisi tim kamu, jadi
dia yang bisa mutusin mau dilempar ke siapa. Tapi sementara, tolong kamu handle dulu ya,
at least sampai semua kontraknya beres." Aku mengangguk dan segera berpamitan untuk
kembali ke meja. Pusing di kepalaku terasa semakin hebat setelah pembicaraan barusan.
Aku baru saja mempertaruhkan karierku demi mengikuti keinginan Rafa. Keinginan Rafa
agar aku menghindari potensi masalah. So this is it, aku menghindari potensi masalah versi
Rafa. But why do I feel like shit now" And by doing this, apa aku bisa disebut sebagai istri
yang baik sekarang" Atau justru perempuan kuno bodoh yang menelan mentah-mentah
perintah suami" "Gila! Hebat banget looo!" Sonya memelukku setelah kembali ke meja.
The Marriage Roller Coaster Karya Nurilla Iryani di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Satu per satu rekan kerjaku datang ke mejaku dan memberikan selamat. Mereka
memaksaku menceritakan apa yang aku lakukan saat presentasi sampai aku berhasil
padahal sudah empat tahun berturut-turut semua teman-temanku selalu gagal. Aku mau,
tapi nggak sekarang. Nggak di saat kepalaku terasa semakin berat dan semakin berat.
Bruuuuukk! "Are you ok?" Tanya Sonya ketika aku membuka mataku. Aku memegang
kepalaku yang masih pusing teramat sangat. Aku mencoba melihat sekeliling. Sepertinya aku
ada di salah satu ruang meeting kantor. Tubuhku terbaring di salah satu sofa yang nyaman.
"Tadi lo tiba-tiba pingsan," kata Sonya. Tangannya tampak memegang minyak kayu putih.
"Udah berapa lama gue pingsan?" "Hampir sepuluh menit. Lo pingsan atau tidur sih" Gue
hampir aja mau panggil ambulance, untung belum jadi. Tapi lumayan deh, gue bisa kabur
dari kerjaan karena suruh nemenin lo," kata Sonya sambil tertawa. Aku diam saja. Kalau
boleh jujur, aku juga mau sahabatku satu ini diam. Mendengarkan repetannya yang panjang
membuat pusingku semakin menjadi-jadi. "Sakit dari kapan?" Tanya Sonya. "Baru tadi pagi."
"Hamil kali," kata Sonya sambil cengengesan. Bisa-bisanya dia meledekku saat aku sedang
lemas tak berdaya. "Sembarangan lo!" jawabku jutek. "Hamil juga nggak apa-apa. Lo kan
udah nikah, udah punya suami." Sahabatku satu ini kadang memang nggak bisa menentukan
waktu buat bercanda ya" Pengin aku jitak rasanya. "Lo mending nanti beli test pack deh.
Jangan-jangan lo hamil beneran." OMG! She"s not done yet! Jelas-jelas dia tahu kalau aku
menunda kehamilanku. Aku mengangkat badanku ke posisi duduk, "Apaan sih lo! Gue Cuma
kecapean kok. Kemarin nyiapin presentasi Prima Food sampai begadang berhari-hari. Gue
Cuma butuh istirahat." Sonya mengembuskan napas kencang. "Ya udah, lo izin pulang aja
deh ya," kata Sonya mengakhiri pembicaraan. Thank God. Aku mengangguk. Aku memang
lebih baik pulang daripada terus mendengarkan ocehan Sonya. Bisa makin parah sakitku.
Sonya menuntunku kembali ke dalam kantor, mungkin dia takut aku pingsan lagi. Nggak
susah untuk izin sakit setelah kabar besar yang aku berikan ke kantor ini pagi tadi. Aku
bergegas mematikan komputerku, mengambil tas, dan turun menuju lobi. I really need my
bed now. Oia, sepertinya stok obat pusing di apartemen sudah habis. Lebih baik aku mampir
dulu ke Guardian yang ada di pojokan lobi itu. Oh crap! Tebak produk apa yang
menyambutku saat aku memasuki Guardian" Deretan test pack dengan berbagai merek.
Kenapaaa" Omongan ngaco Sonya tiba-tiba terngiang kembali di telingaku. Mungkinkah aku
hamil" Ah, sial si Sonya, aku jadi was-was begini. Baiklah, nggak ada salahnya aku coba beli
test pack. Aku nggak mungkin hamil. Aku dan Rafa hati-hati sekali kok. Iya, pernah sih nakalnakal sedikit, tapi buktinya selama satu tahun ini aku nggak hamil. Ya kan" Aku segera
membayar sebuah test pack dan obat pusing. Test pack ini harus kucoba kapan ya" Uhm,
lebih baik sekarang saja biar bisa langsung kubuang. Aku nggak mau Rafa tahu aku
menggunakan barang satu ini. Aku segera menuju toilet lobi, membaca sekilas aturan
pakainya dan segera mencobanya. Satu detik. Dua detik. Aku masih menunggu hasilnya.
Sial" kok aku deg-degan ya?"
Bab 11: Telling Him Dua hari sudah aku terbaring lemas di tempat tidur ditemani pusing yang nggak juga pergi.
Dua hari sudah aku nggak ke kantor dan membiarkan pekerjaanku menumpuk begitu saja.
Dua hari sudah aku nyaris nggak berkomunikasi dengan Rafa karena dia tetap pulang malam
meskipun kondisiku seperti ini. Dan dua hari sudah sejak aku menggunakan test pack itu.
You wanna know the result" It"s positive. Yes. I"m pregnant. Dan sekarang aku bingung. Aku
bahkan nggak tahu ini berita baik atau berita buruk. Aku belum menyampaikan berita
kehamilan ini ke siapa pun. Belum ke ibuku, mertuaku, juga Sonya. Bagiku, Rafa berhak jadi
orang yang paling pertama tahu hal ini. Masalahnya, sampai detik ini aku masih belum
berani menyampaikan berita ini ke Rafa karena aku tahu dia nggak menginginkan kehamilan
ini. Dia selalu bilang kalau dia belum siap jadi ayah. Ya, dia belum siap untuk punya anak.
Aku sama sekali nggak bisa menebak bagaimana reaksinya saat dia tahu tentang hal ini.
Kemungkinan dia akan senang mendengar berita ini sepertinya sangat kecil. Tapi kalaupun
dia tidak senang, memang dia mau apa. Aku sudah terlanjur hamil. Berbagai skenario
berputar di kepalaku tentang apa yang kira-kira akan dilakukan Rafa. Mungkin saja dia
ternyata gembira luar biasa setelah menerima kabar ini, lalu dia akan memanjakanku habishabisan karena aku sedang mengandung anaknya, buah hati kami. Lebih baik lagi kalau
setelah ini dia nggak pulang malam lagi karena ingin menjagaku. Tapi, bagaimana kalau dia
memintaku menggugurkan kandunganku ini" Rafa adalah orang yang well organized. Dia
bisa melakukan apa saja agar semua kembali sesuai rencananya. But no, kalau dia
memintaku melakukan hal itu, aku nggak akan menurutinya. Janin ini sudah ada di rahimku.
Aku tahu dia sedang tumbuh sekarang. Aku nggak akan menjadi pembunuh anakku sendiri!
Dan kalau dia sampai nggak bisa menghargai keputusanku untuk mempertahankan
kandunganku, aku lebih baik pisah dengannya. Ya, keputusanku sudah bulat. Titik. Ah, mikir
apa aku ini! Rafa nggak mungkin sejahat itu. Terdengar suara kunci pintu depan apartemen
dibuka. Akhirnya Rafa pulang juga. Aku melirik jam dinding, sudah pukul satu malam. Jadi,
dia selalu pulang jam segini sedangkan setiap pagi dia berangkat sama paginya denganku"
Dari mana dia bisa mendapatkan energy sebanyak itu" "Kamu belum tidur?" Tanya Rafa
ketika masuk kamar dan menemukanku masih memegang majalah di tempat tidur. "Belum,"
jawabku singkat. Aku menatapnya. Dari raut mukanya, aku tahu dia masih malas bicara
denganku. Atau mungkin dengan semua orang. Wajahnya begitu lelah. Kasihan. Ini bukan
waktu yang tepat untuk menyampaikan berita kehamilanku. Ya, I know. Tapi kapan lagi"
Pagi-pagi di tengah kemacetan ibu kota bukan ide yang bagus juga, kan" Cepat atau lambat
Rafa harus tahu. Dan aku nggak mungkin menundanya sampai perutku membesar, kan"
Baiklah, aku harus mengatakannya sekarang. Detik ini juga. "Ada yang perlu aku bicarakan,"
kataku sambil mengumpulkan semua keberanianku. "Harus sekarang" Aku capek banget,"
kata Rafa sambil membuka kancing kemejanya. Aku mengangguk. Rafa duduk di pinggir
tempat tidur, "Ada apa" Mau ngebahas tentang calon klien kamu yang notabene mantan
pacar kamu itu?" katanya sinis. Astaga, Rafa. Bahkan di saat kelelahan pun kamu masih bisa
sinis ya sama aku" Aku menggelengkan kepalaku, "Ini jauh lebih penting daripada cemburu
nggak jelasmu itu!" "Aku nggak cemburu!" "Ok, Cuma posesif!" "Audi, aku capek banget.
Kalau kamu Cuma mau ngajak ribut, ditunda besok-besok aja ya," Rafa bangkit dari tempat
tidur. "Sorry," aku segera menarik tangan Rafa, "Tentang mantan aku itu, aku udah minta ke
atasanku supaya proyek baruku di-handle orang lain. Jadi masalah itu udah selesai ya."
Ternyata sudah separah ini ya komunikasiku dengan Rafa" Bahkan satu hal yang sudah
kuselesaikan tiga hari lalu baru bisa aku sampaikan sekarang. "Oh," jawab Rafa singkat. Oh"
Cuma itu" Aku mempertaruhkan karierku dan dia Cuma bilang oh" Apa dia nggak bisa
menemukan kata-kata lain untuk menghargaiku yang sudah menuruti keinginan egoisnya
itu" "Jadi apa yang mau dibicarakan?" Tanya Rafa. Aku menarik napas dalam lalu
membuangnya sekuat tenaga, berharap kekesalanku akan kelakuan Rafa barusan ikut
terbuang. Ada hal yang lebih penting yang harus kusampaikan sekarang, aku nggak boleh
mempermasalahkan hal remeh-temeh itu. "Aku hamil," kataku. "What?" mata Rafa yang
sebelumnya sayu seketika terbuka lebar. "Kok bisa?" Pertanyaan macam apa itu, Raf" Rafa
mematung. Sedetik, dua detik. Semenit, dua menit. Entah apa yang sedang dipikirkannya
but it"s killing me. Say something, Raf. Please. "Anakku?" tanyanya pelan. "What?" aku
refleks menampar wajahnya. I was wondering Rafa akan bereaksi seperti apa saat aku
menyampaikan hal ini, tapi aku sama sekali nggak pernah menyangka mendapatkan reaksi
seperti ini. "Iyalah anak kamu! Kamu pikir aku perempuan macam apa?" teriakku. Aku selalu
setia meskipun dia selalu sibuk dengan pekerjaannya. Aku selalu setia meskipun dia jarang
sekali memberikan perhatian kepadaku. Aku selalu setia meskipun dia sering bersikap
menyebalkan kepadaku. Aku selalu setia karena aku cinta dia. Kalau memang aku mau
selingkuh, gampang banget kok melakukannya. Dengan Rafa yang nggak pernah peduli aku
sedang apa dan dimana, dia nggak akan pernah tahu kalau aku sampai selingkuh. Tapi
nggak, aku nggak melakukannya. Dan sekarang, saat aku hamil, dia menanyakan apa ini
anaknya. Brengsek kamu, Rafa! Brengsek! "Kita nunda, Audi. Kita selalu hati-hati," kata Rafa
dengan nada tinggi. "Hampir selalu, bukan selalu." Kataku mengoreksi kata-kata Rafa, "Tapi
yang pasti ini anak kamu!" kataku masih dengan penuh emosi. Air mata mulai mengalir di
pipiku. Kata-kata Rafa terasa begitu menyakitkan. Bagaimana mungkin dia bisa berpikir aku
mengandung anak orang lain" Keterlaluan. "Aku perlu menenangkan diri," Rafa berdiri.
"Kamu mau ke mana, Raf" Kita belum selesai." Aku menggapai tangannya, menahannya
agar tidak pergi. "Aku udah bilang, aku perlu menenangkan diri, Audi. Kamu ngerti nggak
sih?" Rafa membentakku sambil menepis tanganku dengan kasar. Dia keluar, membanting
pintu depan, meninggalkanku menangis sendirian.
Bab 12: Kembali Pagi ini aku dibangunkan oleh rasa pusing seperti baru saja naik roller coaster sepuluh kali.
Nggak Cuma itu, rasa mual juga datang begitu hebat. Inikah yang disebut orang-orang
dengan morning sick"
Aku mengumpulkan seluruh energiku untuk beranjak dari tempat tidur, tanganku
menjangkau apa pun yang bisa aku pegang agar aku nggak terjatuh. Seingatku, aku belum
pernah sepusing ini seumur hidupku. Oh God, jangan sampai aku harus mengalami hal ini
setiap pagi selama aku hamil, bisa-bisa aku minta cuti selama Sembilan bulan penuh. Itu pun
kalau aku nggak keburu dipecat.
Seperti kurang sempurna penderitaanku pagi ini, Rafa nggak ada di sampingku saat aku
terbangun. Saat membuka pintu kamar, aku berharap menemukan Rafa tertidur di sofa
depan televisi. Tapi nihil. Rafa nggak ada. Rafa nggak pulang setelah pergi meninggalkanku
semalam. Where are you, Raf" Aku benci banget kebiasaan Rafa yang satu ini. Dia selalu pergi meninggalkan apartemen
setiap kali ribut denganku.
Alasannya selalu sama: ingin menenangkan pikirannya. Yeah right, pikirannya tenang,
pikiranku makin kalut. Memangnya dia pikir aku nggak khawatir memikirkan dia ada di
mana" Heartless! Aku segera menuju kamar mandi. Nggak ada waktu untuk
mengkhawatirkan Rafa sekarang. Badanku sendiri sudah hampir tumbang ketika memasuki
kamar mandi dan sukses muntah-muntah. Aku berpegangan erat pada dinding kamar
mandi. Aku nggak boleh pingsan sekarang nggak ada orang satu pun yang menolongku. Aku
harus kuat demi anak dalam kandunganku ini. Entah dari mana datangnya, Rafa tiba-tiba
sudah berdiri di ambang pintu ketika aku merasa sudah nggak ada lagi yang bisa
dimuntahkan. Hanya tinggal cairan pahit yang keluar dari perutku. Rafa memandangiku. Dia
memandangku iba. Pandangannya teduh, beda sekali dengan semalam. Tapi aku justru
semakin mual melihat wajahnya. Rasanya pengin aku tending ke kolam buaya. Aku
membersihkan mulutku dan berlalu begitu saja saat keluar dari kamar mandi. Aku nggak
bisa melihat mukanya sekarang. Hatiku masih terlalu sakit dengan kata-katanya semalam.
Lebih baik sekarang aku tidur lagi, berharap pusing ini bisa hilang setelah dibawa tidur.
Lagipula, aku baru tidur subuh tadi karena menangis semalaman. "Sakit ya?" Rafa
mengikutiku ke kamar dan duduk di pinggir tempat tidur. "Iya," jawabku sambil mengganti
posisi tidur. Membelakanginya. "Mau ke dokter?" Tanya Rafa sambil membelai lembut
rambutku. "Nggak usah!" aku menepis tangannya dengan kasar. "Tapi kamu hamil. Apa
nggak lebih baik cek ke dokter" Aku antar, yu." What do you want, Raf" Semalam kamu
meninggalkan aku begitu saja! Menuduhku hamil dengan pria lain! Sekarang kamu sok baik
mau antar aku ke dokter! Dasar aneh! "Kenapa baru sekarang kamu ada niat anter aku ke
dokter?" kataku pelan tapi tajam. Mati-matian aku menahan diri supaya nggak menangis
sekarang. "Maafin aku," Rafa mencium rambutku. "Buat apa kamu minta maaf kalau besokbesok kamu ulangin lagi" Kamu selalu begitu, Raf! Kamu selalu pergi setiap kali kita
menghadapi masalah. Mau sampai kapan kamu begitu?" Tiba-tiba aku menyadari satu hal.
Rafa benar, dia memang belum siap jadi ayah, belum siap punya anak. Dia bahkan belum
bisa menghadapi masalahnya sendiri. Umurnya memang sudah 30 tahun, tapi dia sama
sekali belum dewasa. Dengan kondisi seperti ini, bagaimana mungkin dia bisa membesarkan
dan mendidik anaknya nanti" "Aku semalem terlalu kaget. I can"t think clearly." Basi, Raf!
Basi! Aku bahkan terlalu malas untuk merespon statement egoisnya itu. "Audi, maaf ya. Aku
janji nggak akan pergi lagi kalau kita ribut, aku janji akan selalu jaga kamu selama kamu
hamil. Trust me, Audi!" "Kenapa" Kamu bahkan nggak yakin ini anak kamu, kan?" air mata
mulai menetes di pipiku, I hate this! I hate crying in the morning! "Maaf, Sayang. Aku benerbener minta maaf. Aku percaya kok itu anakku. Semalem aku kalut, Sayang. Maafin aku."
Dadaku sesak. Sangat sesak sampai aku nggak sanggup menjawab kata-katanya. "Please say
something," Rafa kembali membelai rambutku, "Jangan nangis terus dong!" Aku
membalikkan badanku dan duduk menghadapnya dengan mata menatap tajam ke arahnya.
"I hate you, Raf. I hate you! I do everything for you dan bisa-bisanya kamu kira aku hamil
bukan sama kamu!" kata-kataku kuatur setegas mungkin meskipun masih terbata-bata di
sela tangisanku. "Iya, aku salah, Sayang. Maafin aku," Rafa memelukku. Lama. Aku
memukulnya sekuat tenaga, menyalurkan semua kebencianku terhadapnya. Tapi dia tetap
memelukku erat tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Dia tahu persis, pelukannya adalah
kelemahanku. It"s always warming and calming. It"s like a magical thing, perlahan tapi pasti"
pelukannya selalu berhasil membuatku berpikir setelah ini semua akan baik-baik saja. "Kita
ke dokter ya, Sayang," kata Rafa setelah tangisku benar-benar berhenti. Dia menghapus
sisa-sisa air mata yang masih membasahi pipiku. Aku diam. Ingin sekali aku menolaknya, tapi
hati kecilku nggak mampu. "Kamu mandi dulu ya. Aku mau telepon kantor, mau bilang aku
cuti hari ini. Aku temenin kamu aja, kamu juga nggak usah ngantor dulu ya. Istirahat aja
dulu." Seperti biasa, seperti kuda yang dicambuk, aku kembali menuruti semua katakatanya. Well, at least this one is for a good thing.
Bab 13: Sejuta Pantangan "Jadi apa yang mau lo ceritain?" Tanya Sonya sambil menikmati latte-nya. Sore ini Starbucks
Pacific Place tampak lengang. Hampir ada beberapa orang yang tampak sedang sibuk
dengan laptopnya masing-masing. Juga aku dan Sonya yang seperti biasa, memilih
kelayapan ke mal setelah pulang kantor. "Mahu tahu aja atau mau tahu banget?" godaku.
"Nyet, nggak usah norak gitu deh," kata Sonya jutek. Aku terkekeh, "Gue hamil!" kataku
akhirnya. "WHAT?" teriak Sonya. Astaga. Anak satu ini sepertinya perlu belajar menghadapi
rasa kagetnya deh. Setiap dapet berita heboh dikit, pasti langsung teriak dan memancing
perhatian semua orang. Harusnya dengan bakat seperti ini, dia jadi artis sinetron saja. Bukan
jadi market researcher yang justru harus kalem dan tenang menganalisis data-data yang
kadang bikin kaget jungkir balik. "Serius?" tanyanya. "Ya masa gue bohong masalah ginian?"
"Udah berapa bulan?" "Kata dokter baru enam minggu," jawabku sambil tersenyum. "Eh,
bukannya lo nunda ya" Rafa gimana?" "Long story. Males bahasnya. Intinya dia senang kok."
"Oh, My God, selamat Audi! You"re gonna be a mom." Kata Sonya sambil memelukku erat.
"Makasih, Nya." Sonya perlahan melepaskan pelukannya, menatapku lekat-lekat, dan
secepat kilat mengambil mocca frapuccino di hadapanku. "Lo nggak boleh minum kopi.
Bumil nggak boleh ngopi." What" Kenapa tiba-tiba dia jadi posesif begini" "Boleh. Sedikit."
Kataku sambil berusaha mengambil kembali frapuccino-ku. "Sedikit itu sesendok, bukan
segelas gede bagini." "Tega!" "Demi bayi dalam kandungan lo!" Aku menyandarkan badanku
ke sofa sambil cemberut. Bisa stress aku kalau nggak boleh ngopi sama sekali. Masalahnya
aku yakin, Sonya pasti akan bersikap seperti ini di kantor, tempat di mana hidupku
bergantung banget sama kopi supaya nggak ketiduran. Argh, tahu begini, mendingan aku
nggak kasih tahu dia tadi. "Shopping aja yuk. Gue mau belanja kebutuhan bayi," kataku
sambil mengambil tasku dan berlalu. Sonya buru-buru mengambil tasnya dan mengejarku
sambil membawa dua gelas Starbucks yang aku yakin akan bikin dia kembung kalau dia
benar-benar menghabiskan semuanya sendiri. Aku terus melangkah menuju Mothercare
yang selama ini hanya sering aku lihat dari depan jendelanya, tapi belum pernah sekalipun
aku masuk. Sebetulnya selama ini aku penasaran, dari jendela kaca toko itu, aku tahu bajubaju kecil kayak baju boneka iyu benar-benar menggemaskan. Anak kecil mana pun kalau
memakai baju-baju itu pasti akan terlihat sangat adorable. Sebuah stroller warna pink yang
selalu terpajang di situ juga selalu menarik perhatianku. Dalam stroller itu, anakku pasti
akan terlihat seperti putri kecil yang sedang duduk di kereta kuda kencana. Tunggu dulu, aku
kan belum tahu jenis kelamin anakku ya" Nggak mungkin aku beli stroller pink sekarang.
"Nyet, bukannya nggak boleh belanja kebutuhan bayi sebelum tujuh bulan, ya?" kata Sonya.
"Aduh, kalau tujuh bulan pasti perut gue udah berat. Udah susah belanja. Mending sekarang
aja." "Tapi kata orang tua pamali." Aku memandang Sonya nggak percaya. Manusia paling
ngasal ini percaya pamali" What it she" Manusia purba" Gosh, aku mau ngakak. "Manusia
udah sampai bulan lo masih aja percaya gituan, Nyet." "Tapi"." "Ya udah, gue nggak belanja
peralatan bayi. Gue belanja kebutuhan hamil aja. Kayaknya gue butuh baju baru." Yes, dear,
there"s always many reasons to shop. You just have to find a good one. "Alesan! Badan lo
belum gendut kok!" kata Sonya. Aku menghentikan langkahku dan melotot menatap Sonya
setelah mendengar kata-katanya barusan. Ini anak mulutnya minta dicabein ya! "Belum
gendut?" Sonya tampak gelagapan, "Sorry, I mean, bumil kan pasti menggemuk perutnya.
Dan lo belum kelihatan." "Jadi gue pasti gendut?" "Lo pernah lihat bumil nggak gendut
perutnya" Hamil anak semut kali kalau perutnya nggak gendut!" Aku menatap Sonya sebal.
Dia benar. Tapi aku benar-benar malas memikirkan kondisi badanku yang akan melar seperti
balon beberapa bulan lagi. Pipiku juga pasti ikut menggelembung, menghilangkan wajah
tirus yang selama ini selalu aku banggakan. "OMG, gue pasti nanti jelek banget!" kataku
lirih. "Nggak, Audi. Meskipun tambah gemuk, tapi bumil itu selalu glowing. Ada kecantikan
terpancar natural dari dirinya," Sonya mencoba menenangkanku. "Emang iya?" "Iya,
perhatiin deh kalau kita papasan sama bumil nanti." Aku mengangguk. Baiklah, mulai
sekarang aku harus memperhatikan semua wanita hamil. Bukan supaya aku bisa lihat
betapa glowing-nya mereka, tapi supaya aku bisa mengira-ngira akan segemuk apa aku
nanti. "Satu lagi," kata Sonya, "Gue tahu bumil itu sensian. Tapi please, lo jangan. Bisa-bisa
gue nggak ngomong apa pun kalau lagi sama lo." "Mood gue selalu bagus kalo dikasih
makanan enak kok. Sediain aja di meja gue." "Punya temen satu aja kok nyusahin banget
sih." Aku hanya tersenyum simpul dan mengubah arah langkahku ke M. mudah-mudahan di
sana ada baju-baju hamil bagus yang bisa aku borong. "Wait, wait," kataku saat melewati
sebuah toko sepatu. Aku mengambil sebuah sepatu merah darah dengan heels sekitar
Sembilan senti. This thing is so damn sexy. I have to buy this. Wajib! "Put it down!" kata
Sonya yang masih tampak repot dengan tas dan gelas-gelas Starbucks-nya. "Kenapa" It"s
cute, isn"t it?" tanyaku. "Bumil nggak boleh pakai high heels. Bahaya!" "Tapi?" "Put it down,
Audi! Demi bayi dalam kandungan lo." Oh God, whyyy"!
Bab 14: The Confession I"ll tell you one of my secrets. Aku harus selalu menahan diri sekuat jiwa raga untuk nggak
loncat-loncat di tempat setiap kali sedang dalam proses penandatanganan kontrak dengan
klien baru. Bagiku, senangnya nggak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Pertama, karena
baying-bayang bonus tambahan di akhir tahun. Kedua, pedeku di depan atasan dan juga
teman-teman akan naik berkali-kali lipat. Ketiga dan ini yang paling penting, aku
mendapatkan kepuasan batin setiap kali berhasil mendapatkan klien baru. And this is it,
akhirnya penandatanganan kontrak dengan Prima Food selesai juga. Sekarang tinggal
menunggu manajerku mengalihkan klien satu ini ke rekan kerjaku yang lain. Jadi, aku nggak
perlu lagi ketemu Yoga sesuai permintaan suamiku, si pencemburu akut itu. "Lunch dulu yuk
sebelum balik ke kantor." Yoga tiba-tiba menghampiriku ketika aku hendak meninggalkan
kantor Prima Food. Aduh, bagaimana ini" Sudah terlalu sering aku menolak ajakannya. Kalau
sekarang aku tolak lagi, Yoga pasti akan merasa aku menghindarinya. Baiklah, kali ini aku
terima saja ajakannya. Anggap saja ini sebagai ungkapan terima kasihku karena dia telah
membantu mendapatkan perusahaan satu ini. Lagipula, setelah ini aku mungkin nggak akan
pernah bertemu dengannya lagi. Aku mengangguk. "Di mana?" tanyaku. "Di gedung sebelah
The Marriage Roller Coaster Karya Nurilla Iryani di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ada restoran enak, tinggal jalan kaki. Nggak apa-apa kan panas-panasan dikit?" "No
problem!" padahal panas sinar matahari yang masuk dari sela-sela jendela saja sudah
membuatku malas melangkah keluar. Sebentar lagi pasti parfumku menguap dan badanku
ganti jadi bau matahari. "Yuk," Yoga memegang punggungku dan member dorongan pelan
agar aku mulai berjalan. It"s casual. Very casual. Tapi entah kenapa aku risih sekali. Aku
menggerakkan bahuku agar Yoga melepaskan tangannya dari blazerku. You don"t need to
touch me, Yoga! Angin dingin menyambutku dan Yoga ketika memasuki sebuah restoran
jepang yang terletak di lobi gedung. Tempat yang nyaman dan teduh. Benar-benar bertolak
belakang dengan keadaan di luar gedung yang sedang panas terik. Pilihan tempat makan
Yoga memang nggak pernah salah dari dulu. "Di sini sushi-nya jempolan dan bisa all you can
eat. Kamu masih suka sushi, kan?" Tanya Yoga ketika aku duduk. Dia masih ingat makanan
kesukaanku rupanya. Aku jadi ingat saat aku pacaran dengannya dulu. Aku sering sekali
mengajaknya wisata kuliner ke semua restoran sushi yang baru buka. Yoga yang awalnya
entipati makan ikan mentah, akhirnya malah ikut ketagihan. Dan nggak seperti kebanyakan
warga Jakarta yang menyembah-nyembah Sushi Tei, restoran sushi favorit kita justru Poke
Sushi. Selain sushinya enak, tempatnya juga cenderung lebih sepi. Males banget deh mau
makan aja harus nunggu berjam-jam. Dulu, buat aku dan Yoga makan sushi itu sesuatu yang
special banget karena kita hanya bisa lakuin sebulan sekali. Setelah sama-sama dapat jatah
bulanan dari orangtua. Maklum, mahasiswa. But sometimes something is more valuable
when it"s limited. Eh, tapi bukankah wanita hamil nggak boleh makan ikan mentah" Duh!
Kalau ada Sonya, pasti dia langsung menarikku keluar dari restoran ini. "Aku pesen ramen
aja deh," kataku setelah melihat sekilas menu dihadapanku. Yoga tampak heran, "Udah
nggak suka sushi?" "Lagi pengen yang laen aja," jawabku. "Dulu kalau ada sushi, kamu pasti
nggak mau yang lain. Sekarang udah nggak segitu fanatiknya ya sama sushi?" Aku hanya
tersenyum simpul. Bisa jantungan dia kalau aku bilang aku nggak makan sushi karena
sedang hamil, lah wong dia tahunya aku belum nikah. "Tapi ramen di sini juga juara kok, Di,"
kata Yoga. "Apa lagi yang berubah dari kamu setelah kita nggak ketemu tiga tahun?" I love
someone else now! Eh, bukan itu ya maksud pertanyaannya" "Pesen yuk!" kataku tanpa
menjawab pertanyaan Yoga. Yoga memanggil seorang pramusaji kemudian menyebutkan
sederetan pesanannya. Masih seperti dulu, dia selalu kalap kalau makan sushi, seperti seisi
makhluk di lautan bisa dimakannya semua. Aku menelan ludah mendengar semua pesanan
Yoga. Aku mau semuanya juga! Kali ini bahkan sepertinya aku bisa sanggup menghabiskan
dua kali lipat lebih banyak dari pesenan Yoga. Hey, inikah yang namanya ngidam" Hmm "
atau aku pesen sushi juga ya" Kata orang zaman dulu, kalau ngidam nggak dipenuhi, nanti
bayinya ileran. "Kamu mau pesen ramen apa?" Tanya Yoga. Aku berpikir sejenak. Ramen
atau sushi ya" "Ramen andalan kita " dori tempura ramen, Bu?" kata Pramusaji di
hadapanku. "Boleh deh," kataku akhirnya. Beginikah rasanya menjadi seorang wanita hamil"
Rela menahan keinginan yang teramat sangat demi janin kecil di dalam rahim. Aku jadi ingat
tempo hari saat periksa ke dokter dan di-USG untuk pertama kalinya. Janin di perutku
ternyata masih sangat kecil. Bentuknya mirip kacang mede. Tapi, janin kecil seperti kacang
mede itu mampu membuat mata Rafa berkaca-kaca. Untuk pertama kalinya aku melihat
ekpresi itu di wajah Rafa. Ekpresi yang membuatku yakin dia menginginkan kehadiran
seorang anak sekarang. "So, how"s your life, Di?" Yoga membuyarkan lamunanku. "Good!"
kataku sambil mengangguk. Seperti dugaanku, pembicaraan di lunch ini pasti hanya
menyangkut hal-hal personal. "Kamu apa kabar?" tanyaku balik. Just for the sake of being
polite. "Baik," jawab Yoga sambil tersenyum lebar. I don"t wanna talk about personal things
here. Aku mau hubunganku dan Yoga hanya sebatas hubungan professional. Tapi sepertinya
bukan itu yang diinginkan Yoga. Aku harus cari akal. Aku harus mencari topic pembicaraan
yang umum. "Pemilihan presiden nanti pilih siapa, Yog?" tanyaku setelah melihat sebuah
baliho besar di pinggir jalan bergambar lambang partai tertentu dan seorang berjenggot
sedang tersenyum lebar. You"re stupid, Audi!!! Topik macam apa iniii" Dear brain, kenapa
kamu nggak mau kerja sama sih" "Hah?" wajah Yoga tampak kaget mendengar
pertanyaanku. "Iya, kan nama calon-calonnya udah bermunculan. Kamu pilih siapa?" sudah
kepalang basah, lebih baik aku lanjutkan. Yoga mengangkat bahu dan memberi ekspresi Idon"t- fucking-care, "Belum tahu, masih lama juga." "Iya sih," jawabku mati gaya. See, Audi!
Kok nggak kreatif banget sih cari topik. Baru sebentar sudah garing kayak emping deh
pembicaraannya. "Sejak kapan kamu suka politik?" Tanya Yoga. "Baru-baru ini aja kok,"
jawabku. Nope!! Aku nggak pernah tertarik dengan dunia politik. Siapa saja calon presiden
mendatang pun aku sebetulnya nggak tahu. Aku Cuma pernah dengar sekali saat temanteman priaku di kantor membahas tentang sebuah media yang mengeluarkan prediksi
calon-calon presiden 2014. "Kamu berubah banyak ya" Nggak Cuma makanan, interest
kamu pun berubah," kata Yoga. Aku hanya tersenyum. Nggak ada yang berubah dari diri
aku, Yoga. Kecuali status aku yang sekarang sudah jadi istri orang. "Well, dari dulu kamu
memang selalu menarik. Unpredictable!" lanjut Yoga. Wait! Dia flirting ya" Seorang
pramusaji tiba-tiba datang mengantarkan pesanan kami. Thank God. Aku bisa menghindari
pembicaraan ini sesaat. At least, Yoga bisa menunda gombalannya sesaat karena seingatku
dia nggak pernah mau membuat makanan menunggu, pasti langsung disikat habis. Yoga
melahap sushinya seperti belum makan seminggu. Cara makannya itu masih juga belum
berubah. Dia masih juga belum bisa menggunakan sumpit dengan baik dan benar, tapi
ekspresinya tetap cuek. Lucu sekali. Aku nggak bisa menahan senyumku melihat cara
makannya itu. Dia seperti punya dunia sendiri saat makan. Sama sekali nggak
memperhatikan sekitar. Aku rasa kalau tiba-tiba ada bom pun dia nggak akan sadar.
"Kenapa?" Tanya Yoga ketika sadar aku sedang memperhatikannya. "Cara makan kamu
belum berubah ya!" Yoga hanya tersenyum lalu melanjutkan makannya dengan lahap. Heh,
dia lupa ya kalau dia baru saja flirting norak" "Sudah kenyang?" kataku setelah makanan
kami habis. Yoga menyandarkan badannya di sandaran kursi sambil mengelus-elus
perutnya. Bahkan kebiasaannya kalau sudah kekenyangan pun nggak berubah. Persis seperti
Mayat Misterius 1 Dewa Linglung 27 Raja Penyihir Sinting Hong Lui Bun 12