Pencarian

Themarriage Roller Coaster 2

The Marriage Roller Coaster Karya Nurilla Iryani Bagian 2


om-om perut buncit. Sungguh tidak elegan! Tapi kebiasaannya ini dulu selalu berhasil
membuatku tertawa geli. Yoga mengangguk, "Ada restoran Jepang lain deket sini. Sushinya
lebih dahsyat. Kamu harus coba kapan-kapan." Aku hanya tersenyum. "Atau mau nanti
malem. Aku jemput ke kantor kamu?" lanjut Yoga. Aduh, orang ini ya, sekali diiyain kok jadi
minta tambah terus. Mungkin aku harus bilang bahwa aku sudah menikah sekarang, toh
kontrak sudah ditandatangani. Kondisi sudah aman. Ya kan" Aku menarik napas, "I can"t"
"Ya udah lain kali aja," katanya ringan. "Mungkin lain kali pun aku nggak bisa." Yoga
menatapku. Aku tahu dia kaget mendengar kata-kataku barusan, "Kenapa?" tanyanya.
Bilang. Enggak. Bilang. Enggak. Bilang. Enggak. Duh! "I"m married, Yog." "What?"
Bab 15: Pembalasan Don"t get mad, get even! Mungkin itu prinsip yang dianut Yoga sekarang. Atau janganjangan dari dulu tapi aku nggak pernah tahu" Sejak aku memberitahukannya bahwa aku
telah menikah, dia memang ngak menunjukkan kalau dia marah. Yes, he was shocked, but
not angry. Mungkin dia sadar dia nggak punya hak apa-apa untuk marah. Lagipula, dia nggak
bisa menyalahkanku juga karena aku jelas nggak pernah mengeluarkan statement kalau aku
single. Bahkan, menurutku, salah dia dong berasumsi aku masing single dan available. Ya,
kan" Tapi sepertinya dia sakit hati. Gawatnya, tampaknya dia punya cara yang cukup pintar
untuk menyalurkan sakit hatinya. Dia menjadi klien yang teramat sangat demanding,
menuntut waktuku 24 jam, kadang juga menuntut waktuku di kala weekend, mengirimku
berbagai kerjaan terus menerus, mempermasalahkan kesalahan kecil, dan mengajakku
meeting sampai larut malam. Pokoknya, dia sekarang menduduki peringkat nomor satu
orang paling menyebalkan dalam hidupku. Yap, Yoga sekarang nggak ada bedanya dengan
kompeni zaman perang dulu. Hobinya menyiksa dan membuatku kerja rodi! Dia pikir Cuma
dia klien yang harus aku urus" Saking kerasnya dia menyiksaku, aku sempat nggak pernah
lagi merasakan mual dan pusing karena kehamilanku. Seluruh konsentrasiku sepenuhnya
kusalurkan kepada kerjaan-kerjaan yang setinggi gunung itu. Well, mungkin ini satu-satunya
hal yang bagus dari siksaan yang diberikan Yoga kepadaku. Unfortunately, manajerku
sedang cuti liburan dan belum sempat memindahkan account Prima Food ke rekan kerjaku
yang lain. Mau nggak mau aku harus menghadapi Yoga yang dari hari ke hari bertingkah
makin menyebalkan. Termasuk malam ini. Sudah pukul sebelas malam dan aku baru sampai
apartemen setelah meeting entag berapa jam dengan Yoga. Melihat wajah Yoga yang
ditekuk dua belas selama meeting membuat penderitaanku terasa semakin berat. Yoga
memainkan permainannya dengan sangat sempurna. Semua pembicaraan dalam meeting
adalah urusan kerjaan. Andai sekali saja dia membicarakan urusan pribadi, sedikit saja, tentu
aku bisa menggunakannya untuk menyerang dan memprotes kelakuannya. Sayangnya,
semua omongannya sangat professional sehingga aku juga harus bersikap professional. Mau
nggak mau. "kok baru pulang?" Jantungku hampir saja copot mendengar suara Rafa saat aku
baru memasuki apartemen. Eh, ada keajaiban apa dia bisa sampai rumah lebih dulu dari
aku" Tumben. "Abis meeting," jawabku sambil melepas sepatuku. "Sampai jam segini?" Aku
hanya mengangguk, "Kamu tumben sudah pulang?" tanyaku sambil menghampirinya, lalu
duduk persis di sebelahnya. "Aku pengin sesekali pulang cepat nemenin istriku yang lagi
hamil, tapi yang mau ditemenin malah belum pulang." Dia pulang cepat untuk
menemaniku" I can"t believe this. Really. This is new. Selama ini dia selalu bersikap seperti
lupa punya istri. But look at him now! Mungkinkah kehamilan ini memang akan mampu
mengubah Rafa menjadi sosok suami baik dan perhatian" Baby is a glue in marriage. Well, at
least, in my marriage. Aku tersenyum lalu mencium pipinya, "Maaf ya, Sayang!" "Kamu
jangan terlalu sibuklah. Inget, kamu lagi hamil. Jaga kesehatan kamu. Demi anak kita." So
you really want this baby now" Oh Rafa, I love you even more! "Iya," jawabku sambil
tersenyum lebar. Rafa diam sejenak. "Kamu sering pulang malem begini?" Kebiasaan deh
suamiku ini. Pasti curigaannya kambuh. "Nggak kok," jawabku. Padahal belakangan ini agak
sering karena Yoga sering sekali mengajakku meeting malam. "Beneran?" "Beneran, Raf.
Kok nggak percaya sih sama istri sendiri?" "Aku kan selalu pulang lebih malem. Aku nggak
pernah tahu kamu pulang jam berapa." "Makanya jangan pulang malem lagi dong." "Tapi,
kan , aku harus kerja, Di." "Ini bisa pulang lebih cepet" Berarti hari-hari lain harusnya bisa
juga dong." "Aku bilang aku sakit kepala ke orang-orang kantor. Masa aku mau sakit kepala
tiap hari?" Sudahlah, nggak ada gunanya juga berdebat dengan Rafa. Yang penting sekarang
dia ada di sini. Bisa aku cium-cium. Bisa aku peluk-peluk. Perfect way to end my bad day.
Ting. Feeling-ku nggak enak mendengar bunyi email masuk malam-malam. Aku mengambil
BB-ku dari dalam tas. Dan tebak siapa yang baru saja kirim email" Tepat sekali! Yoga! Mau
apa lagi manusia satu itu" Belum puas menyiksaku sampai malam begini" Otakku memaksa
mataku membaca baris demi baris isi email itu. Dia memintaku merevisi laporan hasil
analisisku tentang sales Yumm-O yang terbaru. Menurut hasil analisiku, berdasarkan data
yang ada, selain dihajar competitor, distribusi brand Yumm-O ternyata juga mengalami
penurunan sehingga menyebabkan sales menurun. Tapi menurut Yoga, hal ini nggak
mungkin. Dia punya argument sendiri. Jadilah dia memintaku memberi analisis lain.
Parahnya, dia minta hasil revisi dikirim besok pagi. Sinting kali orang ini. Dia kira aku robot
yang nggak butuh istirahat" Lagipula, mataku bisa jereng kalau harus menyelesaikan laporan
seperti ini hanya dalam satu malam. Ah, malasnya! Aku kerjakan besok pagi saja di kantor.
Sudah cukup dia menyiksaku hari ini. Terserah kalau Yoga mau marah-marah. I don"t fucking
care! Aku punya kehidupan lain selain urusan kantor. Dia juga harusnya punya kegiatan lain
selain menyiksaku! "kenapa, Di" Kok muka kamu bete gitu?" Tanya Rafa. "Ada email kerjaan
malem-malem gini." "Kamu mau lanjut kerja sekarang?" Aku menggelengkan kepalaku,
"Jarang-jarang suamiku pulang cepat, masa aku tinggal kerja," kataku sambil tersenyum.
Rafa tersenyum balik lalu mengambil remote dan mengganti-ganti channel TV tanpa
menjawab kata-kataku. Dasar nggak romantic! Aku memasukkan kembali BB-ku ke dalam
tas. Yang aku butuhkan sekarang adalah mandi air hangat agar badan dan pikiranku rileks.
"Aku mandi dulu ya, Raf," kataku. Rafa hanya mengangguk, tampaknya dia sudah larut ke
film yang sedang ada di TV. Dengan mengumpulkan semua energy yang tersisa, aku
menggeret badanku ke pintu kamar mandi, berharap energiku akan kembali setelah keluar
dari pintu ini. Setelah itu, aku bisa menyusul Rafa nonton TV. Just like a normal couple.
Sesuatu yang sudah lama sekali aku rindukan. Gosh! What the hell is this" Bilang aku salah
lihat! Bilang mataku sudah lelah karena meeting sampai jam segini! Bilang aku hanya
berhalusinasi! Kenapa ada darah di celanaku" Kenapaaa" Jangan-jangan" Berbagai pikiran
negative langsung bergelantungan di kepalaku. Tuhan, jangan ambil bayiku. Rasa sayangku
pda janin ini sudah semakin tumbuh. Rafa pun pelan-pelan sudah bersikap semakin baik dan
memberiku perhatian karena kehamilan ini. Anak ini bagai sumber kebahagiaan bagiku. Jaga
dia, Tuhan. Jangan ambil dia! "Nggak jadi mandi?" Tanya Rafa ketika aku keluar kamar
mandi. "Kita ke rumah sakit sekarang ya," kataku pelan sambil menahan air mata yang
sudah di pelupuk mataku. "Kenapa, Di" Everything ok?" wajah Rafa tiba-tiba ikut panik.
"Ada flek." "Flek itu apa?" "Aku jelasin di jalan." Nggak ada waktu untuk menjelaskan ke
Rafa. Lagipula, aku juga nggak sepenuhnya mengerti apa yang sebenarnya terjadi sekarang.
Aku segera menggeret Rafa dan mulai menangis sepanjang jalan.
Bab 16: (Tidak) Sendiri Yoga berdiri di ambang pintu kamar VIP3. Kamar rumah sakit di mana aku harus dirawat
untuk sementara waktu. Mau apa dia ke sini" "Hai," sapanya sambil memaksakan sebuah
senyuman di bibirnya. Aku hanya memandangnya penuh kebencian. He"s the last person I
wanna see now and forever. Bagiku, dialah penyebab utama aku hampir kehilangan bayi
dalam rahimku. Semalam, dengan penuh air mata, aku ke rumah sakit ini karena ada darah
di celanaku. Menurut dokter, aku stress dan kelelahan. Ini memberikan dampak buruk pada
perkembangan janinku. Bahkan sekarang perkembangan janinku harus dipantau terus
menerus dan aku wajib istirahat total. So here I am, di salah satu kamar rumah sakit yang
pucat, dingin, dan bau obat. I hate this. Nggak ada yang bikin aku stress dan kelelahan
belakangan ini selain monster Yoga yang sekarang sudah berdiri di sisi tempat tidurku. Hey,
seingatku aku belum mempersilahkannya masuk. "Tadi aku telepon kamu ke kantor, Sonya
yang angkat. Dia bilang kamu dirawat," Yoga membuka pembicaraan. Aku diam. Mataku
masih menatapnya dengan level kejudesan paling tinggi. Jangan bilang dia ke sini untuk
menagih revisi laporan yang harusnya aku kirim tadi pagi. "Kenapa kamu nggak pernah
cerita kamu lagi hamil?" Why should I tell you" Who do you think you are" Kamu pikir kamu
penting" "Maafin aku ya, Audi. Sonya bilang kamu begini karena kamu kecapean ngerjain
kerjaan dari aku dan sering aku ajak meeting sampai malem. Maaf ya." Aku memutar
mataku. Jadi kalau Sonya nggak bilang, dia nggak akan sadar sudah menyiksaku siang
malam" "Aku nggak akan maafin diriku kalau sampai ada apa-apa dengan kandungan
kamu," Yoga memegang tanganku. Ih, berani-beraninya dia memegang tanganku. Aku
menariknya, "Aku juga nggak akan maafin kamu kalau bayiku kenapa-napa," kataku sinis.
Aku tahu aku seharusnya nggak bicara seketus ini ke seseorang yang statusnya adalah
klienku, tapi aku sudah nggak peduli. Yang aku tahu sekarang hanya aku benci Yoga sampai
ke ubun-ubun. "Aku harus gimana biar kamu maafin aku?" Ya, jangan suruh aku kerja rodi,
Bodoh! "Aku yang tanggung biaya rumah sakit ya," tawar Yoga. "Nggak perlu. Aku punya
asuransi dari kantor. Kalaupun nggak punya, aku masih mampu bayar sendiri. Simpan saja
uang kamu. Aku nggak butuh." Sial! Dia pikir aku gembel" "Aku kirim complimentary email
ke bos kamu atas kerja kamu yang outstanding buat Prima Food, gimana?" Aku menarik
napas panjang. "Yoga, nggak ada yang lebih penting buatku sekarang daripada kesehatan
janin dalam kandunganku." "Terus aku harus gimana, Audi?" Tanya Yoga dengan nada putus
asa. Wajahnya tampak merasa bersalah. Aku tahu dia tulus meminta maaf, tapi rasanya sulit
sekali memaafkannya. "Jangan ganggu hidupku lagi, Yoga," kataku pelan. "I"m married,
please accept that. Sekeras apa pun kamu nyiksa aku, kenyataan itu nggak akan berubah."
Yoga tampak kaget mendengar kata-kataku. Dia menatapku dalam dan lama sampai aku
risih. Dia sedang mikir apa sih" "Kalau gitu aku janji nggak akan ganggu hidup kamu lagi. Aku
janji, Audi. Aku baru dapet tawaran kerja di perusahaan lain. Tadinya masih aku
pertimbangkan, tapi mungkin lebih baik aku ambil saja." Dan sekarang aku yang kaget. Aku
nggak mengira dia akan ambil langkah se-ekstrem itu. But that"s a win-win solution! Aku
mengangguk tanda setuju. "Maaf ya!" kata Yoga dengan wajah iba. Aku memaksa bibirku
tersenyum. Mungkin aku memang harus memaafkannya, toh dia sudah bersedia mengambil
langkah ekstrem untuk memenuhi permintaanku. "Boleh aku jujur?" Tanya Yoga. "Ya." "Aku
sudah berkali-kali cari pengganti kamu setelah kita putus. Berkali-kali juga aku gagal. Sampai
akhirnya aku ketemu kamu lagi. Aku pikir itu pertanda that you"re the one karena sama
orang lain aku nggak pernah ngerasa secocok sama kamu." Aku terpaku. What should I say
now" "Tapi ternyata kamu salah?" kataku akhirnya. Crap! Kenapa aku nggak bisa
menemukan kata-kata yang lebih manis ya" Yoga diam sejenak. "No. bisa jadi memang
benar kamu orang yang tepat buat aku. Tapi sayangnya, aku bukan orang yang tepat bagi
kamu." "Kamu akan ketemu orang lain yang lebih cocok." Lanjutku. Yoga hanya mengangkat
bahunya. Wajahnya tampak lesu. Kasihan. "Anyway, suami kamu mana?" Duh! Kenapa dia
harus menanyakan ini" Tentu saja Rafa menemaniku semalam di rumah sakit ini. Dia bahkan
baru berangkat ke kantor setelah jam makan siang tadi karena aku terlalu takut ditinggal
sendiri. Tapi gara-gara ini semua, tadi dia meneleponku dan bilang dia harus ekstra lembur
hari ini. Dia janji bakal datang, tapi nggak tahu jam berapa. Lembur biasa saja bisa sampai
pukul 12 malam, apalagi pakai embel-embel ekstra" Dalam keadaan normal, pasti aku akan
berusaha untuk mengerti pekerjaan Rafa. Tapi dengan kondisi terbaring di rumah sakit
seperti ini, aku ingin dia selalu ada di sampingku. Menemani dan membantuku menguatkan
mental. Ini adalah momen di mana aku sangat ingin diprioritaskan dibandingkan
pekerjaannya. Bukankah masalah hidup mati anaknya seharusnya jauh lebih penting
daripada pekerjaannya itu" Argh, aku jadi merasa sedih banget sekarang. "Lagi lembur,"
jawabku, berharap Yoga nggak bertanya lebih lanjut. "Kamu lagi begini dan suami kamu
malah lembur?" "Ya, namanya juga kerjaan. Kadang nggak bisa ditinggal." "Ya udah aku
temenin kamu ya sampai suami kamu dateng." Yoga ini belum berubah sama sekali. Aku
sudah pernah cerita kan kalau dia pernah menemaniku saat dulu aku dirawat di rumah sakit
dan baru mau pulang setelah orangtuaku datang" Masalahnya, kali ini orangtuaku nggak
akan datang. Mereka bahkan nggak tahu aku dirawat. Jadi, kalau begitu, kapan Yoga akan
pulang" Saat Rafa datang" Bisa pecah perang dunia ketiga kalau Rafa lihat Yoga di sini.
"Nggak usah! Nanti kamu capek, besok kan kamu harus kerja," kataku. "Nggak apa-apa,
Audi. Kamu lagi begini harusnya ada yang nemenin. Kalau kamu butuh apa-apa gimana?"
"Nggak usah, Yoga! Ada suster kok." "Apa nemenin kamu termasuk ganggu hidup kamu?"
Aku diam sejenak, kemudian menjawab singkat, "Mungkin." "Please, Audi. Kali ini aja. Demi
bayi kamu, harus ada yang stand by di sini. Gimana kalau pencetan panggil susternya jatuh
sedangkan kamu tiba-tiba sakit nggak bisa bangun" Aku merasa bersalah banget, Di. Jadi
aku harus tahu kamu baik-baik saja dan ada yang jagain." Duh, suka berlebihan deh manusia
satu ini, meskipun aku tahu dia ada juga benarnya. Yoga memandangku, seolah sedang
membaca pikiranku. "Kamu nggak mau suami kamu tahu aku yang nemenin" Kamu takut dia
mikir macem-macem ya?" tanyanya penuh selidik. Aku diam. "Ya udah, kasih tahu aku dia
biasa pulang jam berapa. Nanti aku pulang sebelum suami kamu dateng," Aku harus jawab
apa" Bilang kalau suamiku nggak jelas akan datang jam berapa" Duh, kenapa mataku panas"
Ini gara-gara Yoga! Harusnya dia nggak perlu menanyakan Rafa. "Audi, kok diem?" "Aku
nggak tahu, Yog." Aku bisa merasakan suaraku bergetar. "Nggak tahu?" "Iya, aku nggak
tahu." Dan air mata hangat mengalir di pipiku. Sial sial sial! Harusnya Yoga nggak boleh lihat
aku menangis karena kekecewaanku terhadap suamiku. Ini pasti hormone kehamilan yang
membuatku jadi semakin cengeng dari hari ke hari. "Cup cup. Jangan nangis dong, Audi."
Yoga terlihat panic karena aku tiba-tiba menangis. Cup cup" Come on, Yoga! "Nanti bayi
kamu ikut sedih," Yoga tiba-tiba memelukku. Sebuah pelukan hangat yang harusnya aku
dapat dari suamiku. This is not right, tapi aku nggak cukup kuat untuk menolak pelukan ini. I
surely need a hug now. Aku begitu rapuh sekarang. Suamikulah yang aku butuhkan
sekarang. Kenapa dia masih sibuk dengan pekerjaannya" Bukankah keluarga seharusnya
selalu nomor satu" "Jangan sedih lagi ya. Aku di sini kok temenin kamu," kata Yoga masih
sambil memelukku. Bukan kamu yang aku mau, Yoga. Aku mau suamiku!
Bab 17: Understanding Cahaya matahari pagi mulai masuk melalui sela-sela jendela. Aku membuka mataku pelanpelan dan menemukan diriku ada di tempat yang asing. Ini bukan kamarku di apartemen.
Where am I" Ah, ternyata aku masih ada di kamar rumah sakit yang pucat, dingin, dan bau
obat. Bagaimana bisa aku lupa" Jelas-jelas semalam aku mimpi dikejar-kejar suster judes
yang berusaha menyuntikku dengan jarum yang sebesar krayon itu. Sinting. Hey, siapa ini
yang tidur di sisi tempat tidurku" Kepalanya dijatuhkan ke tangannya yang terlipat di tempat
tidurku. Wajahnya menghadap bawah jadi aku nggak bisa lihat mukanya. Yang jelas,
punggungnya pasti sakit saat bangun nanti. Rafa-kah itu" Jam berapa dia datang semalam"
Obat yang diberikan dokter pasti memberi efek mengantuk luar biasa sampai aku nggak
sadar Rafa datang. Pelan-pelan aku meraih BlackBerry di samping tempat tidurku. Kebiasaan
deh, setiap bangun tidur, pasti yang dicari pertama kali adalah handphone. Dan pagi ini,
yang pertama kali aku temukan saat membuka BB-ku adalah pesan dari Rafa yang bilang dia
kelelahan setelah lembur sampai jam dua pagi sehingga dia nggak jadi ke rumah sakit. Jadi
ini siapa yang kepalanya tertidur di tempat tidurku" Gosh, apa lebih baik aku memanggil
suster sekarang" Kepala itu mulai bergerak-gerak. Sepertinya dia sudah bangun. Pelan-pelan
kepalanya terangkat, diikuti dengan tangannya yang ikut terangkat, lalu badannya menegak.
Ngulet. Astaga! Yoga" Jadi Yoga yang semalaman tidur di sini" Yoga celingukan memandangi
sekeliling kamar. Pasti dia sedang mengumpulkan kesadarannya. Pandangan bingungnya
berhenti setelah melihatku. "Pagi," Yoga tersenyum lebar. "Ngapain kamu di sini?" tanyaku.
Ok, aku terlalu kaget untuk berkata-kata manis. "Aku jagain kamu semalem." "Kenapa nggak
pulang setelah aku tidur?" "Semalem kamu tidur gelisah banget jadi aku mau tunggu sampai
tidur kamu tenang. Ternyata aku malah ikut ketiduran." "Astaga, Yoga," aku benar-benar
kehilangan kata-kata. Yoga yang dulu aku kenal seperti kembali. Yoga yang baik hati dan
selalu tulus. Kualitas yang selalu membuat para perempuan dulu begitu iri padaku. Sesaat
sosok Yoga yang menyebalkan beberapa hari ini hilang dari ingatanku. Kenapa ya dulu aku
memutuskan untuk meninggalkan Yoga demi Rafa" Apa jadinya kalau aku nggak pernah
ambil keputusan itu" Mungkinkah aku lebih bahagia kalau aku menikah dengannya" Gila!
Mikir apa aku barusan" "Aku balik deh. Harus ngantor," kata Yoga sambil mengurut
punggungnya. See, dia pasti sakit punggung. "Ok." "Semoga cepat membaik ya, Audi."
Dengan sangat canggung dia menyalamiku. Andaikan ini di film, pasti adegan yang muncul
adalah dia mencium dahiku dengan romantis, bukan menyalamiku seperti bertemu Pak
Lurah di kantor kelurahan seperti ini. "Yoga," panggilku saat dia sudah mendekati pintu.
"Thanks ya udah nemenin semalem." Sebuah senyum tersungging di bibirnya. Senyuman
yang hanya bisa aku nikmati beberapa detik karena Rafa tiba-tiba sudah berdiri di depan
pintu kamar. Gawat. Si Rafa ini ajaib banget deh. Kalau ditunggu, pasti nggak dateng. Kalau
nggak ditunggu, pasti tiba-tiba nongol. "Hai, Raf," sapaku setelah berhasil mengatasi
kekagetanku. Rafa masih diam. Sepertinya otaknya sedang menyusun skenario tentang apa
yang baru terjadi di kamar ini. "Kenalin temenku. Yoga. Yoga, kenalin suamiku. Rafa." Rafa
sudah pernah tahu ada sosok bernama Yoga yang notabene adalah mantan pacarku. Berani
taruhan, setelah ini si pencemburu akut ini pasti marah besar. Yoga mengulurkan tangannya
lebih dulu, "Yoga." "Rafa. Pagi juga ya jenguknya?" wajah Rafa tersenyum. Tapi aku yakin
sekali pertanyaannya adalah sindiran. "Sebetulnya gue jenguk semalem tapi terus
ketiduran," kata Yoga dengan lugunya. "Well, I have to go now. Harus ngantor." "Ok," jawab
Rafa cepat. Aku menatap punggung Yoga ketika melangkah meninggalkan kamarku.
Mungkin ini adalah kali terakhir aku bertemu dengan Yoga. Setelah dia nggak jadi klienku,
setelah dia berjanji nggak akan ganggu hidupku lagi, setelah dia akhirnya betul-betul
bertemu suamiku. Kenapa aku sedih sekarang" "What the hell was that?" Rafa tiba-tiba
membuyarkan lamunanku. Here we go. Rafa berdiri di ujung tempat tidurku sambil melipat
kedua tangannya di depan dadanya. Perang dunia ketiga akan segera pecah! "Apa?"
tanyaku seolah nggak mengerti arah pertanyaan Rafa. "Dia semaleman di sini?" "Dia
ketiduran, Raf." "Alesan. Jadi begini kelakuan kamu kalau aku lagi sibuk?" "Kamu ngomong
apa sih, Raf?" "Kamu itu istriku. Emang pantes ada laki-laki lain nungguin kamu di kamar
semaleman?" Hellooo! Kalau mau membahas pantas nggak pantas, memangnya pantas dia
meninggalkan istrinya yang nyaris keguguran ini sendirian di rumah sakit selama sehari
semalam" Pantas" Aku memang berusaha semandiri mungkin menjalani hidupku. Aku
berusaha untuk nggak pernah merepotkan Rafa dalam segala hal. Tapi aku nggak bisa
selamanya begitu. Ada kalanya aku butuh orang lain. Butuh Rafa. Kalau dia nggak bisa
melakukan tugasnya sebagai suami dengan baik, jangan salahkan orang lain yang
mengambil alih tugasnya itu dong. Ya, kan" "Iya, nggak pantes, Raf. Aku lebih pantes
sendirian aja ya," jawabku sinis. "Dan sekarang kamu mau balik protes?" jawab Rafa nggak
kalah sinis. "Aku nggak bisa temenin kamu karena aku kerja Audi! Dan sekarang, sepagi ini
aku sempet-sempetin nengokin kamu, lihat keadaan kamu, tapi apa yang aku dapat?" Sabar.
Audi, sabar. Suamiku satu ini memang paling pantang disalahkan. Baginya, dia selalu benar.
Aku menarik napas panjang, mengumpulkan kesabaranku. "Ya udah, maaf ya. Lain kali
nggak akan kejadian lagi. No. I"m not admitting that I"m wrong. Aku hanya nggak mau
melanjutkan perdebatan ini. Aku kenal Rafa bukan baru kemarin sore. Kalau sekarang aku
mendebatnya. Hanya akan ada semakin banyak kata-kata menyakitkan keluar dari


The Marriage Roller Coaster Karya Nurilla Iryani di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mulutnya. Rafa mengusap mukanya, "Ya udah aku maafin," katanya kemudian dengan nada
sinis. Ada rasa sakit di dadaku mendengar jawabannya. Ingin rasanya menangis sejadijadinya sekarang. Oh well, semoga ini hanya pengaruh hormone yang kata orang mampu
membuat ibu hamil mengalami mood swing. Sedikit-sedikit pengin nangis. Sebentarsebentar pengin ketawa. Rafa meletakkan buah segar dan air mineral di meja, "Aku ke
kantor dulu ya," kata Rafa kemudian. "Pulang kantor ke sini ya," pintaku. Rafa diam sejenak.
"Iya. Tapi agak malem ya. Aku harus lembur." Again" Aku mengangguk lesu. Kapan sih aku
bisa jadi prioritas utama kamu, Raf" Sebisa mungkin aku mencoba untuk mengerti kamu
sekarang, Raf. Tapi tolong mengerti aku kalau nanti aku berhenti mencintai kamu.
Bab 18: Intersection of Life
Hello, my lovely office. Setelah cuti sakit hampir dua minggu karena harus istirahat di rumah
sakit dan lanjut istirahat di apartemen, it feels good to be back here. I never thought I could
miss you. Tidur terus ternyata jauh lebih membosankan daripada menganalisis kondisi
market dengan menggunakan berjuta-juta data.
Pagiku bertambah bahagia saat menemukan sekotak cheesecake ada di atas mejaku. Ada
tulisan "semoga sehat selalu dan selamat bekerja" di atas cake-nya. Terlalu panjang
memang, tapi tetap saja membuatku tersenyum senang. Ibu mertuaku yang mengirimnya.
Dia panik banget saat akhirnya tahu aku masuk rumah sakit. Bahkan setelah aku keluar
rumah sakit, dia selalu mengirimkan makanan supaya aku nggak perlu repot keluar cari
makan. Kata siapa mertua lebih kejam dari ibu tiri"
Tapi sambutan dari bosku atas kehadiranku kembali ke kantor ini justru berbanding terbalik
dengan ibu mertuaku. Direkturku tanpa basa-basi langsung mengajakku meeting tepat saat
aku datang. Nggak bisa ya Tanya kabarku dulu" Huh.
So here I am, duduk manis di hadapan direkturku sambil berdoa dalam hati semoga di hari
pertama kerja lagi ini aku nggak ketiban tugas mahadahsyat. Tolong biarkan aku menghirup
udara kantor dengan tenang dulu.
Hey, kecurigaanku ini beralasan. Biasanya manajerku yang memberikan tugas kepadaku, ini
kok tumben direkturku langsung. Sudah pasti ini adalah sesuatu yang penting.
"Bisa tebak kenapa saya panggil kamu ke sini?" Tanya direkturku.
"Ada calon klien besar baru yang potensial?" tebakku. Dan yang aku maksud besar adalah
sangat besar sampai-sampai direkturku sendiri yang perlu menyampaikan ini kepadaku.
Direkturku tertawa. "Saya tahu kamu jagonya menggaet klien baru. Tapi kali ini bukan
tentang itu." Bukan" Ok. Now I"m clueless. Jangan-jangan aku mau dipecat karena cuti sakit
terlalu lama! "Ada apa ya, Pak?" "Kamu dipromosikan jadi manajer. Selamat ya!" "Hah?"
Aku" Jadi manajer" Aku nggak salah denger, kan" Aku pikir setelah kejadian aku bilang
nggak sanggup handle Prima Food dan lanjut cuti sakit cukup lama, kesempatanku jadi
manajer semakin jauh. "You heard it right, Audi. Kamu di-promote jadi manajer." "Beneran,
Pak?" tanyaku ketika yakin pendengaranku nggak salah, "Alhamdulillah!" pekikku
kegirangan. What a perfect news to start my day! Oh, My God, aku mau loncat-loncat. Aku
mau loncat-loncat di meja atasanku saking senangnya. Boss, would you mind keluar ruangan
dulu" I"m so happy, I wanna cry! I finally got it! Aku tahu pasti kalau performance kerjaku
memang bagus. Aku yakin aku akan mendapat posisi ini. Aku hanya nggak menyangka akan
secepat ini. Am I really that good" Haha. Ok. You can slap me now sebelum level
kesombonganku bertambah tinggi. Aku mengelus lembut perutku yang sama sekali belum
menunjukkan tanda-tanda membuncit. Ini pasti rezeki anak! "Nama kamu emang sudah
dipertimbangkan untuk jadi manajer, rencananya kamu promosi di next quarter. Tapi waktu
kamu cuti sakit, kita terima complimentary email dari klien yang sulit itu. You know who-lah.
Si Bapak managing Director seneng banget tuh dan minta kamu di-promote lebih cepat."
Klien yang sulit itu" Prima Food" Jadi Yoga bener-bener mengirim email seperti itu" Even
setelah aku memintanya pergi dari hidupku" Kamu baik banget, Yoga. Baik banget. "Jangan
shocked gitu, Audi. I know you really deserve it." "Thank you." "Now just go back to your
desk dan siap-siap bangkrut karena kalau berita ini udah menyebar, temen-temen kamu itu
pasti minta traktir." Aku tertawa sopan lalu kembali ke meja kerjaku. What should I do now"
Menghubungi Yoga dan say thank"s" Uuh, apa kabar dia" Sejak kejadian di rumah sakit itu,
dia benar-benar menghilang dari hidupku. Apalagi saat aku sakit akhirnya account Prima
Food benar-benar dialihkan ke rekan kerjaku yang lain. Aku jadi nggak tahu apa Yoga masih
di Prima Food atau sudah pindah, and I don"t even know dia mau pindah ke mana. Aku yang
memintanya pergi, apa nggak aneh kalau aku tiba-tiba menghubunginya" Tapi aku akan
terlihat seperti orang nggak tahu terima kasih kalau nggak menghubunginya. Bukankah
promosi ini bisa terjadi lebih cepat karena bantuan Yoga" Argh! Bingung. Tiba-tiba BB-ku
yang kuletakkan di atas meja bergetar heboh di tengah kekalutan otakku. It"s Rafa. Tumben
banget dia telepon pagi-pagi ini. "Ya, Raf." "Di, nanti malem dinner bareng, yuk. Aku
jemput." Dinner" Kira-kira ada apa ya" Biasanya Rafa mengajakku dinner di luar kalau ada
momen special atau kalau sedang mau minta maaf. Tapi ini" Nggak ada momen special apa
pun hari ini. Kenapa dia bisa tiba-tiba bersikap manis seperti ini" Aku juga nggak baru ribut
dengan Rafa semalam. Kemungkinan lain, ada hal penting yang ingin dibicarakan. Tapi apa
yang mau dibicarakan ya" Sudahlah, lebih baik aku berpikir positif. Mungkin Rafa Cuma
kangen sama aku. Ah, aku jadi nggak sabar mau cerita ke Rafa tentang berita bahagia ini.
"Kamu nggak lembur?" tanyaku. "Nope. Aku jemput jam tujuh ya ke kantor kamu." Heh"
Nggak lembur aja dia baru bisa jemput jam tujuh. Dua jam lebih lama dari jam pulang
kerjaku. But I love you too much, Raf. Apa sih yang nggak buat kamu" Nunggu lima jam pun
aku rela demi mendapatkan waktu kamu itu. Yeah, beginilah nasib punya suami yang
sibuknya mengalahkan presiden! Baiklah, aku nggak akan menghubungi Yoga. Demi
menghargai perasaan Rafa. "Sayang, aku udah beberapa hari ini mikirin sesuatu," kata Rafa
setelah menikmati sepiring mushroom fettucini. See! Pasti ada sesuatu dia mengajakku
dinner bereng di luar. Apalagi di restoran fine dinding romantic super mahal seperti ini.
"Apa, Raf?" tanyaku. "Gimana kalau kamu resign dari kerjaan kamu?" Hah" Jadi ini yang
mau dibicarakan" Apalagi ini" Ini sudah kali kedua dia memintaku resign. Jangan bilang ini
jadi hobi barunya! Atau dia sekarang memang mendapat kepuasan batin setelah bikin
drama denganku. "Kenapa, Raf" Kalau ini tentang Yoga, aku kan sudah bilang dia bukan
klienku lagi. Aku jamin aku ngak akan ketemu dia lagi." "No. it"s not about him," jawab Rafa
cepat. "Lalu kenapa, Raf?" "Aku nggak tenang kalau kamu kerja. Aku takut kamu kecapean,
Audi. Aku takut kamu stress. Aku nggak mau kejadian tempo hari terulang lagi. Kemarin juga
Ibu telepon biar aku jagain kamu baik-baik." Aku mulai curiga suamiku ini punya kepribadian
ganda. Kalau cueknya sedang kambuh, dia benar-benar seperti lupa kalau punya istri. Tapi
kalau care-nya muncul, dia bisa jadi seorang control freak yang ingin mengatur hidupku
habis-habisan. "Aku janji aku nggak akan kecapean lagi," kataku. "Gimana caranya" Kalau
ada kerjaan dari bos atau klien kamu, emang kamu bisa tolak" Tolong dong, Audi. Kali ini aja
nurut sama suami kamu!" Excuse meee" Kali ini aja" Bukankah aku selalu menuruti semua
keinginannya" Tapi yang satu ini" "Kita kan sudah buat kesepakatan sebelum nikah, aku
akan terus kerja." "Tapi kondisinya sekarang beda. Kamu hamil. Nyaris keguguran. Dulu,
skenario ini kan nggak ada, Audi. Lagipula, penghasilanku lebih dari cukup untuk menghidupi
kamu. Jadi, kamu nggak perlu capek-capek kerja." "It"s not about the money, Raf. Ini
masalah aktualisasi diri. Aku nggak pernah membayangkan diriku jadi ibu rumah tangga."
"Audi, apa salahnya sih jadi ibu rumah tangga" Ibuku seorang ibu rumah tangga dan bagiku
she"s a great woman. Aku jadi seperti ini juga karena didikan ibuku." Ya, I know. Nggak ada
yang salah dengan menjadi ibu rumah tangga. Tapi kalau aku jadi salah satunya" Gimana
nasib stiletto-stiletto yang berjejer rapi di lemariku" Mau dipakai di dapur" Oh well, no, it"s
not about the stilettos. Being a housewife, it"s just not me. "Terus aku mau ngapain di
apartemen seharian" Nungguin kamu pulang kantor setiap hari?" tanyaku sinis. "Banyak kok
yang bisa kamu lakuin di apartemen. Belajar masak misalnya." "becanda kamu, Raf!"
Seriously, aku semakin nggak mengerti pola pikir Rafa. Dia tahu persis aku nggak bisa masak
dan sama sekali nggak tertarik untuk bisa. It"s not my thing. Sama minyak goreng panas saja
aku selalu jaga jarak minimal satu meter. Dan sekarang dia justru memintaku melakukan itu
semua saat memaksaku resign. Yang benar saja! "Kamu hamil, nggak sehat makan di luar
terus. Belum lagi nanti kalau anak kita lahir, masa kamu mau beliin makanan di restoran
yang pasti penuh MSG" harus masak sendiri, kan?" I have to admit that he"s right. And I hate
it. Aku nggak mau melepaskan karierku. Nggak di saat aku baru mendapatkan apa yang aku
mau. "Tapi, Raf. Aku baru dapet promosi jadi manajer. Tadinya bahkan aku nggak sadar buat
nyampein kabar ini ke kamu," kataku akhirnya. Ini senjata terakhirku. Semoga dia bisa
mengerti. Rafa terdiam sejenak. He"s a professional. Dua harusnya tahu bagaimana posisiku
sekarang. Diminta resign saat aku baru saja dipromosi. Ini sama saja menolak rezeki. "Aku
minta kamu resign demi anak kita, Audi." Rafa terdiam sejenak, "Tapi sekarang terserah
kamu. Mau mementingkan anak dalam kandungan kamu atau karier. You should choose
between a good mom or a good worker. Nggak bisa dibagi setengah-setengah!" Jleb!
Really" Bab 19: Hasil Sebuah Keputusan
Aku nggak pernah menyangka hari ini akan tiba secepat ini. Hari di mana aku dan hampir
semua rekan kerjaku berkumpul di sebuah restoran dalam rangka farewell-ku. Iya, bukan
farewell orang lain, tapi farewell-ku. Sudah menjadi tradisi kantorku untuk dinner bareng di
hari terakhir pegawai yang akan resign. Sekarang giliranku. Aku mengajak makan temantemanku di restoran Jepang sebelah kantor Yoga, tempat di mana aku memberitahu Yoga
kalau aku telah menikah. Ada beberapa pertimbangan kenapa aku mengajak temantemanku ke sini. Pertama, makanan di sini super enak, setidaknya aku bisa membuat perut
teman-temanku bahagia di hari terakhirku bekerja. Kedua, tempatnya yang nyaman dan
tidak terlalu ramai membuatku berharap aku bisa mengobrol lebih intim dengan temantemanku ini untuk terakhir kalinya. Selain itu, I, somehow, miss this place. Ini adalah
restoran di mana aku sering meeting dengan Yoga saat dia masih rajin membuatku kerja
rodi. You know, saat sesuatu sudah menjadi kebiasaan, rasanya aneh saat nggak dijalankan
lagi, semenyebalkan apa pun hal itu. Aku bahkan curiga deep down inside aku merindukan
meeting dengan Yoga di tempat ini. Anyway". If you"re wondering, ya, again and again "
aku memutuskan untuk memenuhi permintaan Rafa. Sinting! Kurang cinta apa aku ke
suamiku itu" Well, I hope this is a right decision. Semoga setelah ini kehamilanku lancar dan
bayi dalam kandunganku lahir sehat. Jangan sampai pengorbananku ini sia-sia. To be
honest, I"m not happy. Really. Aku masih nggak kebayang hari-hariku setelah ini. Tapi aku
sudah mengambil keputusan dan sekarang aku nggak punya pilihan lain selain mencoba
menjalaninya. Dulu aku mungkin bukan murid terbaik di sekolah, bukan mahasiswi paling
cemerlang di kampus, but I know I was great. Aku lulus dengan nilai gemilang yang akhirnya
membawaku ke sebuah perusahaan market research paling besar di dunia. Di kantor pun
karierku menanjak lebih cepat dari normal. Tapi sekarang, semua prestasiku itu seolah
nggak ada gunanya karena aku hanya akan ada di rumah, mengurus rumah dan tetekbengeknya. Lalu buat apa dulu aku susah payah belajar" Masih ada rasa nggak rela
menghadapi ini. Sesungguhnya aku belum ikhlas. Yang membuatku semakin nggak senang
adalah orang-orang selalu mengerutkan dahi saat mendengar alasanku resign. Wajah
mereka seolah mengatakan meninggalkan pekerjaan demi menjadi ibu rumah tangga adalah
dosa besar. Aku merasa dipandang rendah and it hurts. Aku merasa nggak mendapatkan
dukungan dari siapa pun, kecuali Rafa tentunya. Bukankah menjadi ibu rumah tangga adalah
pekerjaan mulia" Please say yes atau aku akan sangat menyesal! Ah, mungkin aku yang
terlalu sensitive. Atau mungkin mereka hanya iri karena setelah ini aku bisa leha-leha
sepanjang hari tanpa dikejar deadline apa pun. "Setelah ini kita bakal jarang shopping
bareng dong?" kata Sonya yang sedari tadi duduk di sebelahku. Matanya masih bengkak. Dia
menangis heboh saat aku menyampaikan farewell speech-ku sebelum pulang kantor tadi.
"Gue Cuma resign, bukan hilang dari muka bumi!" "Kalau laki lo sampai ngelarang lo kerja,
artinya dia bakal ngelarang lo keluar rumah juga dong?" "Ya enggaklah. Gue cakar dia kalau
sampai ngelarang gue ke mal," kataku sambil tertawa menutupi hatiku yang sebetulnya
kalut. "Pokoknya anytime you wanna go shopping, just call me yah," lanjutku. Masih dengan
mata bengkaknya, Sonya tersenyum, "Pasti!" Aku sebetulnya nggak yakin dengan katakataku pada Sonya barusan. Rafa is a control freak dan apa yang ada di kepalanya benarbenar nggak bisa ditebak. Mungkin Sonya benar, bisa saja setelah melarangku bekerja, Rafa
akan melarangku jalan-jalan juga dengan alasan yang sama. Argh, membayangkannya saja
sudah membuatku lemas. Kalau benar kejadian, aku bisa mati bosan. Gawd, I need a
distraction now. Pikiranku hanya diisi oleh hal-hal negative padahal aku seharusnya
memanfaatkan waktu untuk ngobrol sepuasnya dengan teman-teman kantorku. I hate this!
Aku membuang pandanganku ke luar, memperhatikan orang yang lalu lalang di depan
restoran, berharap pemandangan di luar bisa sedikit mencuci otakku. Pandanganku berhenti
saat seorang lelaki memasuki restoran ini dengan seorang wanita cantik di sebelahnya. Lakilaki itu mirip sekali dengan Yoga. Hmm. Apa kabar ya Yoga" Dia yang dulu begitu intens
mengganggu hidupku sekarang benar-benar menghilang seperti ditelan bumi. Honestly,
rasanya seperti ada yang hilang dari hidupku. Eh, tunggu, itu memang Yoga. Mungkin benar
secretly aku merindukan meeting dengan Yoga di tempat ini. Bukankah ada yang bilang
kalau alam semesta selalu membantu kita mewujudkan keinginan kita" Well, sebetulnya
nggak ada yang aneh kalau Yoga tiba-tiba muncul di restoran ini, jelas-jelas kantornya di
gedung sebelah dan dia sendiri yang dulu bilang kalau dia suka makan di restoran ini.
Harusnya aku sadar probabilitas bertemu Yoga di tempat ini teramat sangat besar. Tapi yang
mengganggu pikiranku sekarang bukanlah bertemu kembali dengan Yoga, melainkan sebuah
pertanyaan besar: who"s that girl" Melihat Yoga datang ke sini dengan seorang wanita
lainlah yang membuatku kaget. Jangan-jangan dia memang sering membawa wanitawanitanya ke restoran ini dan aku hanya salah satunya. Duh! Aku negatif banget sih!
Mungkin itu hanya rekan kerjanya yang sama-sama pengin makan di sini malam ini.
Lagipula, memang kenapa kalau Yoga sering membawa wanita-wanitanya ke tempat ini"
Nggak ada yang salah kan, Audi"! Tapi tetap saja otakku segera memerintahkan mataku
untuk melakukan pemeriksaan cepat ke sosok wanita itu. Dari atas sampai bawah. Dari
sepatu hingga potongan rambutnya. Dari pakaiannya sampai bahasa tubuhnya. Cantik
sekali. Bahkan lebih cantik saat aku mengamatinya lebih detail. Wajahnya ayu sekali dengan
make up super tipis. Badannya tinggi langsing. Pakaiannya sederhana, hanya sweater Zarapersis seperti punyaku dan jeans. Sungguh effortless beautiful. But there must be something
wrong di balik penampilannya yang sempurna itu. Nobody"s perfect, right" Wait! Apa aku
terdengar seperti orang jealous" No, I"m not! Aku Cuma penasaran, siapa wanita itu.
Pandanganku nggak mau berpaling sedetik pun, bahkan ketika mereka sudah duduk di meja
yang masih dalam jarak pandangku. Aku mau lihat setiap detail yang terjadi. Mereka
tertawa, lalu tertawa lagi. Lagi, lagi, dan lagi. Apa sih yang lucu" Mereka terlihat bahagia.
Bahagia seperti pasangan baru. Atau memang iya" Yoga tampak beranjak dari tempat
duduknya setelah memesan makanan, menuju toilet. Refleks aku beranjak dari tempat
dudukku, menuju toilet. Langkahku pelan berharap saat aku tiba di depan toilet, Yoga
keluar. Dan semua terlihat seperti kebetulan. Yeah, I"m so freak sometimes. "Audi!" wajah
Yoga tampak kaget saat keluar dari toilet. Berhasil! "Eh, Yoga," aku pura-pura memasang
wajah terkejut, "Sama siapa?" He" Kenapa aku langsung tembak gini" Bukankah dia
seharusnya menanyakan kabarnya dulu. "Temen," jawabnya singkat. "Ah, temen apa
temen?" Duh, apa-apaan sih aku! Norak banget deh. Nggak bisa ya mincing dengan lebih
classy" "Temen," kata Yoga. Listen, Audi, listen! Benar, kan, hanya teman sekantor! "Tapi
sekarang lagi deket. Nggak ada salahnya dicoba!" lanjut Yoga sambil tersenyum. Ada kilatan
excited di matanya. Entah kenapa ada rasa nggak enak saat mendengar kata-kata Yoga.
Nope, bukan rasa sakit. Tapi nggak enak. Nggak suka. Maybe it"s just my ego. Nggak rela
sesuatu ya ng sebelumnya milikku diambil orang lain. "Oh!" aku memaksakan bibirku untuk
tersenyum. That information is enough. I don"t wanna know more. I don"t wanna hate
someone I don"t even know. "Anyway, thank"s ya complimentary email-nya," kataku
mengalihkan topik pembicaraan. "Itu Bu Sinta yang kirim. Aku Cuma cerita tentang servis
kamu yang ok." Aku tersenyum sambil mengangguk. "Ngomong-ngomong, kamu bukannya
mau pindah kantor" Nggak jadi?" "Jadi. Lusa aku berangkat ke Jogja." "Jogja?" Yoga
mengangguk mantap seperti nggak ada keraguan meninggalkan Jakarta Raya ini. We all
know, semua orang berbondong-bondong pindah ke ibu kota, tapi Yoga memilih untuk
meninggalkannya. "Jadi kantor baru kamu di Jogja" Kamu yakin?"tanyaku lagi. "Yakin.
Pertama, aku bisa lebih mengeksplorasi diriku karena ini perusahaan baru. Aku yakin aku
bisa dapet ilmu banyak untuk bekal ngembangin perusahaan papaku nanti. Kedua, semakin
aku jauh dari kamu semakin kecil kemungkinan aku ganggu hidup kamu," kata Yoga sambil
terkekeh, membuat kesan kalau kalimat terakhirnya hanya bercanda. It didn"t sound funny
for me. I don"t know why. "Di, kamu lupa ya, living there was our dream. Tapi sepertinya aku
harus jalanin sendiri," kata Yoga dengan nada tenang seolah dia hanya bilang, "I love sushi".
Aku tercekat. Aku ingat, Yoga. Aku ingat mimpi kita itu. Jogja is my hometown. I love that
city sooo much! Aku lahir dan besar di sana. Orangtuaku juga masih tinggal di sana sampai
detik ini. Sejak awal aku meninggalkan Jogja untuk menimba ilmu di Jakarta, aku sudah
bertekad akan kembali lagi ke kota itu. Mengabadikan hidupku untuk kota kelahiranku and
spend the rest of my lofe there. Aku masih ingat betul saat pertama kali aku menyampaikan
hal ini ke Yoga dulu, saat kami masih berpacaran. Dia menyambut dengan gembira. Aku
nggak tahu kenapa dan bagaimana Yoga yang selama ini besar di Jakarta bisa sangat
mencintai Jogja. Bahkan kecintaannya sepertinya lebih besar dariku. Dia hanya pernah
bilang kalau Jakarta itu melelahkan, dia ingin ritme hidup yang lebih tenang dan lebih
sederhana. Tapi setelah pisah dengan Yoga dan menikah dengan Rafa, perlahan aku mulai
melupakan keinginanku itu. Mungkin karena aku yakin Rafa nggak akan mau pindah ke sana.
Aku bahkan nggak pernah punya keberanian untuk menceritakan keinginanku ini pada Rafa.
Entah kenapa. Mungkin karena aku takut mendapat penolakan. Mungin karena aku tahu
persis respon yang akan aku dapat dari Rafa akan berbanding terbalik dengan respon Yoga
dulu. "Aku balik ke meja dulu ya, Di. Wish me luck, moga-moga yang ini cocok," Yoga
tersenyum lebar. And from that smile, I know he likes that girl. Yoga berlalu meninggalkanku
menuju wanita cantik itu yang menyambutnya dengan senyuman. Melihat punggung itu
menjauh, kenapa tiba-tiba aku merasa begitu kehilangan" I know I should not feel this. I
should not. What a day! Kehilangan pekerjaan dan kehilangan seorang Yoga secara
bersamaan. Dua-duanya keputusanku sendiri, but why do I feel so sad right now" I don"t get
it, somebody please explain!
Bab 20: Kecewa Siapa yang bilang jadi ibu rumah tangga itu mudah" Bawa sini, biar aku jitak! Aku kasih tahu
ya, ternyata jadi ibu ruma tangga itu sangat melelahkan. Sampai-sampai rasanya aku butuh
dipijat setiap malam. Sepertinya sudah waktunya aku mencari Mbok Pijat pribadi. Serius.
Selama ini aku hanya menyapu apartemen di pagi hari sebelum berangkat ke kantor dan
sepertinya semua sudah bersih. Paling-paling hanya seminggu sekali beres-beres yang agak
mengeluarkan tenaga. Itu pun kalau aku nggak pergi seharian sama Rafa. Tapi sekarang, saat
aku hampir 24 jam di dalam apartemen, aku jadi menyadari semua kekotoranku yang
selama ini kasat mata bagiku. Debu-debu yang menempel di meja, buku-buku yang sering
pindah ke bawah tempat tidur, kulkas yang sudah harus dibersihkan kotoran-kotoran yang
begitu riangnya bergantungan di belakang pintu, dan lain-lain, dan lain-lain, dan lain-lain.
Setiap hari ada saja yang harus dibereskan. Huh, kalau begini caranya, sepertinya jadi ibu
rumah tangga bisa membuatku lebih lelah dan lebih stress daripada kerja kantoran. Ok.
Enough. Aku mengeluh terlalu banyak ya" Nggak semuanya buruk kok. Aku memaksakan
diriku untuk terus produktif meskipun sudah nggak bekerja. Sesuai permintaan Rafa, aku
belajar masak! Akhirnya! Sebetulnya, aku belajar masak bukan karena aku mau, tapi karena
aku harus. Pertama, karena aku hamil. Ini membuatku nggak boleh makan sembarangan.
Kedua, karena kata orang, hati laki-laki bisa disentuh dengan memberinya makanan enak.
Dengan kata lain, aku berharap Rafa bisa makin cinta. Cheesy, huh" I don"t care. Ketiga,
karena aku sekarang mulai sering Blog Walking ke Blog ibu-ibu dan ternyata bayi-bayi yang
mulai makan itu paling bagus dikasih homemade food. Kalau ditanya sudah bisa masak apa,


The Marriage Roller Coaster Karya Nurilla Iryani di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan bangga aku akan jawab beberapa makanan selain telur ceplok. Kemarin aku praktik
masak sayur asem, kemarinnya lagi tumis tauge " dan, oh, minggu lalu bahkan aku sempat
mencoba membuat semur daging. Canggih banget, kan" Meskipun sebetulnya sebagian
besar hasil eksperimen memasakku gagal total, tapi aku tetep yakin ini adalah proses.
Mungkin satu hari nanti aku akan lebih jago masak daripada Farah Quinn dan punya acara
masak seperti dia. Tinggal sedikit menghitamkan badan supaya terlihat eksotis di layar
televisi. Kalau kebetulan Rafa pulang sebelum aku tidur, biasanya dia kupaksa menghabiskan
semua hasil eksperimen memasakku. Dan dia mau. Nggak Cuma itu, dia bahkan
meyakinkanku kalau selalu ada kemajuan dalam proses belajar masakku. Aku tahu dia hanya
ingin membuatku senang. Tapi, ya, dia berhasil, aku senang dan merasa usahaku tidak siasia. Sebetulnya proses pemaksaan ke Rafa untuk makan masakanku ini jarang sekali terjadi
karena Rafa tetap pulang malam meskipun dia tahu istrinya yang sedang hamil ini sendirian
di apartemen sepanjang hari. Entah apa yang bisa membuatnya mengurangi kebiasaan
lemburnya itu. "Hai, Sayang," sapa Rafa ketika memasuki kamar. Aku melirik jam dinding,
tepat jam 12 malam dan dia baru pulang kantor, "Hai." "Kok belum tidur?" "Nunggu kamu,"
jawabku singkat. "Kan aku udah bilang nggak perlu nunggu aku. Nanti kamu kurang
istirahat," Rafa membelai lembut rambutku. "Kalau aku nggak pernah nunggu kamu, kita
nggak akan pernah bisa ngobrol, Raf." Aku berusaha membuat nada bicaraku sedater
mungkin. Sedikit saja nada bicaraku lebih tinggi, pasti akan memancing kemarahan Rafa.
Rafa menarik napas dalam, "Di, aku nggak ada waktu untuk ribut sekarang. Ada Dimas di
luar, masih ada kerjaan yang harus dilanjutin. Ini dia ikut aku pulang karena aku ngotot mau
lanjut kerja di rumah. Nggak enak sama kamu kalau pulang kemaleman." Dimas adalah
teman sekantor Rafa yang juga teman dekat Rafa sejak kuliah. Seperti aku punya Sonya.
Rafa punya Dimas. Ok, the last sentence sounds weird ya" "Jadi kamu masih mau lanjut
kerja?" tanyaku. Ini sudah jam 12 malam dan suamiku ini sudah bekerja seharian. Dia dapat
energy dari mana sih" "Iya, nggak apa-apa ya. Yang penting aku ada di sini," kata Rafa
sambil tersenyum. Rafa keluar kamar. Aku mengikutinya keluar dan melemparkan sebuah
senyuman ke Dimas yang sudah duduk di meja makan. Laptopnya sudah terbuka. No
wonder mereka bisa sahabatan, sama-sama gila kerja. Aku curiga mereka kalau ngobrol
harus lewat instant messenger biar bisa sambil kerja. "Hai, Dim," sapaku. "Hai, Di. Makin
sehat ya!" kata Dimas sambil tersenyum usil. Masih bisa ya dia jail di tengah kesibukannya"
"Gendut maksud lo?" tanyaku sambil melotot. Dimas tertawa terbahak-bahak. Sialan. Wait,
memangnya aku sudah mulai gendut ya" Padahal terakhir aku cek ke dokter, beratku Cuma
naik setengah kilo. Dokternya sampai marah, dia kira aku diet karena takut gendut. Padahal
memang aku nggak nafsu makan. Rafa sibuk menyiapkan laptopnya seakan nggak
mendengar sedikit pun percakapanku dengan Dimas. Huh, harusnya dia, kan, membela
istrinya ini! "Gue gorengin risol ya. Kebetulan tadi siang nyoba bikin," kataku ke Dimas.
"Nggak usah, Di. Kamu istirahat aja, udah melem," kata Rafa. Oh, dia denger toh. "Cuma
sebentar kok, Raf. Tinggal digoreng aja," aku tersenyum sambil menuju dapur. Akhirnya ada
orang lain selain Rafa yang akan mencicipi masakanku. I am, somehow, so excited. Minggu
lalu aku sempat membuat makanan yang sama untuk Rafa dan dia bilang enak. Kalau
sekarang Dimas bilang enak juga, Rafa pasti ikut bangga. "Gue nggak pernah tahu Audi bisa
masak. Gue pikir cewek kayak gitu Cuma bisa ngabisin duit lo," sayup-sayup terdengar suara
Dimas. Begini nasib tinggal di apartemen kecil, suara dari satu ruangan akan terdengar jelas
ke ruangan lain. Rafa hanya tertawa mendengar kata-kata Dimas. Mau aku pites si Dimas ini.
Sembarangan saja dia mengira aku hanya bisa menghabiskan uang suamiku! And hey,
"Cewek kayak gitu" itu maksudnya apa ya" "Pas banget nih gue lagi laper. Nggak sia-sia deh
gue kerja di sini kalau istri lo jago masak," lanjut Dimas. "Jangan berharap banyak," kata
Rafa. Deg Apa maksudnya" "Dia masih belajar. Kalau depan dia sih gue bilang masakannya
enak dan makin jago masak," Suara Rafa agak pelan, tapi aku masih bisa mendengarnya
dengan jelas. "Padahal?" "Padahal abis itu gue akan minum banyak-banyak atau makan
buah sebakul buat meng-counter rasa masakan istri gue," kata Rafa sambil tertawa pelan.
Mataku tiba-tiba panas. Ya, aku sadar betul aku masih jauh dari jago masak. Aku tahu persis
Rafa makan masakanku hanya untuk membuatku senang. Tapi apa perlu menghina dan
menertawakanku seperti itu di depan temannya" "Kurang ajar lo!" Dimas tertawa kencang.
"Eh, yang penting kan gue bilang enak depan dia biar dia senang dan tetap usaha. Itu Cuma
little funny thingin marriage kok. Makanya lo buruan nikah biar ngerti." Kata Rafa sambil
tertawa. Rafa, kamu sadar nggak sih, yang kamu hina dan tertawakan itu istri kamu" Calon
ibu dari anak kamu" Sedikitpun aku nggak merasa ini lucu, Raf. Di mana lucunya" Yang aku
rasakan sekarang hanyalah kamu yang nggak menghargaiku. Nggak menghargai usahaku
belajar masak dan nggak menghargaiku dengan mengatakan hal buruk tentangku ke orang
lain. Aku melirik risol yang kubuat sore tadi, hanya tinggal goreng. Tiba-tiba kepercayaan
diriku jatuh. Aku nggak siap mendengar lebih banyak celaan. Praaaank!! "Kenapa, Di?"
terdengar langkah kaki Rafa menghampiriku ke dapur. Aku segera jongkok membersihkan
risol dan pecahan piring yang berceceran di lantai. Ya, aku sengaja menyenggilnya hingga
jatuh. Buat apa aku sajikan" Aku nggak mau Rafa dan Dimas semakin menertawakanku.
"Kenapa,Di?" Rafa mengulangi pertanyaannya lagi ketika sampai di pintu dapur. "Kesenggol.
Sorry ya, nggak jadi ada risol," aku masih membungkuk, nggak menatap Rafa sama sekali.
Rafa nggak boleh lihat air mataku yang mulai jatuh. "Ya udah, nggak apa-apa kok. Hati-hati
ya," Rafa kemudian meninggalkanku. I feel like shit! Satu-satunya hal yang membuatku
masih merasa produktif setelah resign dari pekerjaanku dicela oleh suamiku sendiri. Tibatiba saja aku merasa sangat tidak berguna. Huff, being sad when you"re pregnant is
depressing. Hormone di dalam tubuh seolah bekerja sama membuatku merasa ingin mati.
"Gitu ya, masakanku dibilang nggak enak,"kataku ketika Rafa sudah siap tidur. Jam 3 pagi
dan akhirnya pekerjaannya selesai juga. Rafa menatapku, "Apa sih kamu?" "Aku denger loh
tadi," aku memaksa bibirku tersenyum di hadapan Rafa, seolah aku nggak
mempermasalahkan kata-katanya. "Kok kamu bohong selama ini?" "Aduh, Audi. Kamu mau
aku jujur" Ya udah. Iya, masakan kamu nggak enak," Rafa mengganti posisi tidurnya
membelakangiku. "Aku mau tidur." Aku diam. Sakit. Aku sama sekali nggak menyangka dia
akan mengatakan hal ini. I"m done, Raf. Aku nggak akan lagi masak untuk kamu. Buang
waktuku, buang waktu kamu. Sekuat tenaga aku menahan air mataku. Tapi aku gagal. Air
mataku mengalir deras diikuti isakan tangisku. Rafa bangun dari tidurnya, "Kamu tuh ya,
nggak bisa ngertiin banget sih suami capek, masih aja dibebani hal nggak penting kayak
gini." Rafa mengambil bantal lalu meninggalkan kamar. Sabar, Audi. Suami kamu sedang
lelah. It"s 3 am dan dia baru selesai kerja. He didn"t mean it. Aku terus menguatkan diriku
sambil mencoba berpikir positif. Aku nggak boleh sedih demi bayi dalam kandunganku. Aku
mengintip keluar pintu. Rafa sudah tertidur pulas di sofa depan TV. Aku beranjak dari
tempat tidur menuju sofa tempat Rafa tidur. Melihat wajah itu, I really want to slap him.
Tapi apa yang aku lakukan sekarang" Aku justru menyelimutinya supaya dia nggak
kedinginan. Mungkin memang seperti ini yang namanya cinta. Aku jadi begitu bodoh. Rafa,
if I treated you the way you treat me, I promise you wouldn"t stick around the way I do.
Bab 21: Walking Away "Di, I have a good news!" teriak Rafa saat baru saja membuka pintu apartemen. Aku
menatapnya heran. Langit di luar masih jingga dan Rafa tiba-tiba sudah ada di depan pintu
sambil berteriak kegirangan. Biasanya dia selalu pulang dengan muka kecapean dan yang
pasti, sudah tengah malam. Is this just a dream" "I got a promotion, Di!" kini dia
mendekatiku lalu memelukku erat. "You got a promotion, so you can be home this early?"
tanyaku. Fokusku masih pada pertanyaan kenapa dia bisa pulang secepat ini. Rafa
melepaskan pelukannya, "Aku mau jemput kamu. Malem ini aku mau traktir temen-temen
kantorku. Kamu ikut ya" Pasti bosen kan di rumah seharian." Aku tersenyum lalu
mengangguk. Ternyata dia masih inget toh punya istri di apartemen. Setelah selama ini dia
selalu meninggalkanku sendirian hingga larut malam, aku pikir dia lupa kalau dia punya istri
yang menunggunya setiap malam. "Selamat ya, Raf. I"m pround of you." Aku mencium
pipinya. I"m smiling but honestly there"s some part of me yang nggak bisa ikut senang
dengan apa yang baru saja didapat oleh Rafa. Karena permintaan Rafa, aku nggak bisa
merasakan senangnya mendapatkan promosi beberapa waktu lalu. Not that I regret my
decision, tapi melihat Rafa mendapatkan promosi kok rasanya nggak adil ya" Kenapa
sepertinya hanya aku yang harus berkorban demi calon anak kita" Ah, ya tentu saja karena
aku yang hamil. Duh! "Kamu siap-siap ya. Aku mau mandi dulu," kata Rafa masih dengan
wajah semringah. Nggak butuh waktu lama bagiku untuk bersiap-siap, aku bahkan sudah
rapi saat Rafa belum selesai mandi. Baju hamilku masih sedikit sekali, jadi aku nggak perlu
berlama-lama untuk memilih. Yes, you read it right, baju hamilku sedikit karena dari hari ke
hari hasrat belanjaku terjun bebas. Sejak hamil pun aku nggak suka dandan heboh, cukup
bedak dan lipgloss. Mungkin bawaan dari si jabang bayi yang sepertinya sih berjenis kelamin
laki-laki. Eh, sepertinya ada yang kurang hari ini. Apa ya" Oh, ibuku sama sekali belum
menelepon. Biasanya, ibuku memang hanya sesekali meneleponku. Mungkin karena dia juga
sibuk bekerja seharian jadi susah meluangkan waktu. Tapi semenjak aku hamil, ibuku jadi
teramat sangat sering meneleponku dan menanyakan kabarku. Hampir setiap hari malah.
Apalagi semenjak aku diam di rumah. Sepertinya dia tahu anaknya kesepian. Dan yang jelas,
karena jabang bayi yang ada di kandunganku ini calon cucu pertamanya, ibuku jadi super
duper perhatian padaku. Aku curiga kalau dia tinggal di Jakarta, mungkin dia akan datang ke
apartemenku setiap hari. Baiklah, aku saja yang telepon. Daripada bengong menunggu Rafa
selesai mandi. "Hallo," terdengar suara ibuku di seberang sana. "Bu, aku punya kabar
gembira." Ada sunyu sejenak sebelum akhirnya ibuku menjawab, "Ada kabar apa, Nduk?"
"Rafa dapet promosi," kataku excited. "Wah, selamat ya." Jawabnya datar. Sudah" Nggak
ada nada senang dalam ucapan selamat itu. There"s something wrong. Pasti ada yang nggak
beres. Aku mengenal persis ibuku. Dia selalu ikut senang bila aku menyampaikan berita baik,
sekecil apa pun itu. Ada apa ya" "Ibu lagi apa?" tanyaku. Ibu kembali diam sejenak, lalu
berkata, "Ibu di rumah sakit, Di. Ayah dirawat." Hah" Told you! Aku mendadak panic,
"Kenapa, Bu" Kok nggak ngabarin aku" Ken juga nggak bilang." "Kadar gulanya naik. Ibu
nggak mau bikin kamu khawatir. Kamu lagi hamil, kamu harus selalu tenang. Ibu juga larang
Ken buat bilang." Aduh, ibuku ini kebiasaan deh nggak mau cerita kepadaku kalau ada hal
buruk terjadi. Sepertinya aku masih dianggap anak kecil yang nggak bisa diajak bicara dan
menerima berita dengan dewasa. "Bu, aku pulang ke Jogja malam ini." "Nggak usah, Di.
Sudah ditangani dokter kok. Besok mungkin sudah membaik." "Nggak, Bu. Aku ke Jogja
malam ini." Aku harus ke Jogja malam ini juga. Aku akan lebih nggak tenang kalau belum
lihat langsung kondisi ayahku. Dan kenapa kadar gula Ayah sampai naik lagi" Pasti Ayah
mulai nggak jaga makanan lagi. Kalau sudah begini, biasanya akulah satu-satunya orang
yang bisa membuat Ayah nurut dan mengikuti anjuran dokter. Bukan ibu, bukan dokter.
Mungkin karena aku putri tunggalnya, jadi semua omonganku selalu didengar baik-baik oleh
Ayah. Yup, aku harus ke sana dan memastikan Ayah nggak akan bandel lagi. "Raf, Ayah
masuk rumah sakit," kataku ketika Rafa keluar dari kamar mandi. "Hah" Kenapa?" "Gula
darahnya naik lagi." "Kondisinya gimana?" "Sudah ditangani dokter, tapi aku nggak tenang.
Kita ke Jogja malem ini ya." Harusnya nggak masalah untuk Rafa ikut ke Jogja denganku,
besok kan, weekend. "Malam ini" Tapi aku sudah janji sama teman-teman. Mereka semua
sudah nunggu di restoran. Besok pagi-pagi aja ya kita ke Jogja," kata Rafa sambil duduk
disampingku. Aku menatapnya tajam, "Rafa, ayahku sakit dan kamu masih lebih
mementingkan makan sama teman-teman kamu"!" Yang sakit memang Ayahku, bukan
Ayahnya. Tapi bukankah ayahku artinya ayahnya juga" "Kan sudah ditangani dokter, Audi.
Kita nggak harus buru-buru. Besok aja pakai pesawat paling pagi ya, Sayang." "Nggak, Raf.
Aku nggak pernah ada untuk ayahku saat sehat. Jadi saat sakit begini, aku harus
menemaninya." "Di, tolong ngerti dong," Rafa meraih tanganku dan mencoba membujukku.
"kamu yang tolong ngerti, Raf. Kamu harusnya ngerti mana yang harus diprioritaskan!" nada
suaraku mulai tinggi. Suamiku ini sebetulnya punya hati nggak sih" "Di, temenku sibuk
semua dan sekarang mereka meluangkan waktunya untukku. Mereka sudah sampai. Nggak
enak dong kalau aku nggak dateng padahal aku sudah janji mau traktir." I"m shocked, I can"t
speak. Aku terlalu kecewa. Detik ini, untuk pertama kalinya, aku menyesal telah menikahi
pria heartless di hadapanku ini. Perlahan air mata menetes di pipiku. Duh, aku kok jadi
makin cengeng ya" "Nangis lagi. Ya udah deh, kamu berangkat malam ini, aku nyusul
besok," nada suara Rafa mulai terdengar kesal. "Aku hamil dan kamu nyuruh aku pergi
sendiri demi makan sama teman-teman kamu" Di mana tanggung jawab kamu"!" teriakku.
Aku sudah nggak mampu mengontrol emosiku. Habis sudah kesabaranku menghadapi Rafa
yang dari hari ke hari selalu membuatku jengkel. Aku nggak bisa mengalah terus. Nggak di
saat Ayahku sakit. My family is my everything dan aku nggak akan membiarkan keegoisan
Rafa menang kali ini. Seolah nggak mau kalah, Rafa berteriak lebih keras, "Kamu nanya
tanggung jawab aku" Aku udah kasih kamu apartemen senyaman ini. Aku kasih kamu uang
tiap bulan tanpa kamu perlu repot-repot kerja. Sekarang kamu Tanya tanggung jawab aku?"
What the hell! Dia pikir aku hanya butuh tempat tinggal dan uang" Aku butuh dia! Butuh
perhatiannya, butuh kasih sayangnya, butuh cintanya. Kalau tempat tinggal dan uang, sih,
aku juga bisa cari sendiri! Rafa berdiri dengan kesal lalu meninju dinding di sampingnya.
Baru kali ini aku lihat dia semarah ini. Mungkin karena selama ini aku nggak pernah
berteriak kepadanya, nggak pernah menentangnya. "Kamu yang harusnya mikir, di mana
tanggung jawab kamu. Kamu Cuma perlu masak di rumah aja nggak bisa-bisa," lanjut Rafa.
You better kill me now, Raf! Lebih baik aku mati daripada harus mendengar kata-kata
menyakitkan seperti itu keluar dari mulut suami yang aku cintai. "Sana packing. Capek aku
lihat kamu nangis terus," Rafa masih terus berteriak di mukaku. That"s it, Raf. I"m sick of
feeling that I"m not good enough. Enough is enough. I"m leaving. I don"t need this.
Bab 22: Titik Kritis "Jadi lo mau cerai?" pertanyaan Sonya melalui telepon ini membuatku tersentak. "No!"
jawabku cepat, "Gue Cuma mau menenangkan diri. I just wanna go out for a while. I"m too
tired to put up a fight." Sonya diam sejenak. Andaikan dia ada di depanku sekarang, aku
pasti tahu apa yang ada di pikirannya. "Rafa udah hubungin lo?" Tanya Sonya kemudian.
"Jutaan kali. Tapi gue nggak angkat. Gue masih terlalu emosi buat ngomong sama dia."
"Take your time, Dear. Just call me kalau butuh tempat curhat." "Will do." "Eh, gue harus
balik kerja nih. Sejak lo resign, kerjaan gue jadi numpuk gini, sampai-sampai weekend gini
harus kerja. Talk to you later." Aku tertawa, "OK. Thank"s, Nya." As always, Sonya selalu jadi
tempat sampahku setiap kali aku ada masalah dengan Rafa. Bahkan di saat aku sedang di
Jogja seperti sekarang ini, tetap saja dia yang aku telepon. Setelah pertengkaran hebat
dengan Rafa, aku langsung menuju Jogja untuk melihat kondisi ayahku. Untunglah kondisi
Ayah sudah membaik dan sudah bisa pulang ke rumah sore ini. Tapi aku sama sekali nggak
menyesal meninggalkan apartemen dan berada di sini sekarang karena melihat langsung
kondisi ayahku yang sudah membaik membuatku merasa jauh lebih tenang. So here I am
now, di teras rumah orangtuaku, duduk termenung seorang diri sambil menikmati udara
sore Jogja. Pohon-pohon hijau menari-nari tertiup angin. Beberapa anak kecil tampak
sedang bermain di depan pagar. Sesekali ada muda-mudi yang bersepeda bersebelahan
sambil mengobrol. Beberapa motor berlalu lalang dengan santai, sungguh berbeda dengan
di Jakarta. Hidup mereka tampak tanpa beban. Begitu damaikah kota ini" Aku hampir lupa.
Aku iri. Aku ingin damai. Tapi bagaimana caranya" Sekarang saja aku nggak tahu apa yang
harus aku lakukan setelah ini. Aku benar-benar clueless. Yang pasti, aku nggak bisa berlamalama di sini karena orangtuaku pasti curiga. Ya, mereka nggak tahu perihal pertengkaranku
dan Rafa. Bagiku, lebih baik aku menyimpan sakit hatiku sendiri daripada menceritakannya
ke orangtuaku dan membuat mereka merasakan sakit hati yang aku alami. Anyway, apa
kabar ya Rafa di Jakarta" Dia berkali-kali meneleponku sejak semalam. Tapi menjelang siang,
sama sekali nggak ada telepon lagi darinya. Segitu aja usaha kamu, Raf" Mungkin dia sudah
kembali ke kehidupan normalnya: sibuk bekerja dan melupakan masalahnya denganku. Eh,
tapi ini kan weekend" Ah, mungkin dia memang sudah nggak peduli. Jangan-jangan dia
malah sekarang sedang tidur dengan tenang karena nggak ada aku yang suka mengganggu
tidurnya" Oh well, if he does not care, why should I" Lebih baik aku menikmati waktuku di
sini sekarang. Bersenang-senang, melupakan masalahku dan membuat pikiranku tenang.
Demi bayi dalam kandunganku. Demi aku. Sepertinya keliling kota sebentar menikmati
udara sore yang sejuk seperti ini adalah ide yang menarik. Tapi sama siapa" Kondisi Ayah
belum memungkinkan untuk aku ajak jalan-jalan. Ibu juga pasti lebih memilih untuk stay di
rumah menemani Ayah. Sedangkan Ken, entah sudah keluyuran ke mana lagi anak itu. Yoga!
Nama itu tiba-tiba muncul di kepalaku. Bukankah Yoga sudah pindah ke kota ini" But is it ok
to call him" Apalagi di saat aku sedang ada masalah dengan suamiku. Lagipula, aku yang
memintanya pergi dan dia juga yang sudah memenuhi keinginanku. Gengsi dong kalau
sekarang aku menghubunginya. Hmm". Ah, sudahlah. Persetan dengan segala gengsi. Toh
aku butuh distraction sekarang. Jalan-jalan sendirian bisa membuatku depresi dan semakin
merasa nggak punya suami yang selalu ada buat aku. "Hallo," terdengar suara Yoga di
seberang sana setelah beberapa detik aku menghubungi nomor HP Yoga. "Hai. Apa kabar,
Yog?" aku mencoba membuat nada sebiasa mungkin. "Baik. Ada apa, Di?" suara Yoga sedikit
tegang. Mungkin dia pikir aku memang nggak akan menghubunginya lagi. Dan kalau sampai
aku menghubunginya, pasti ada sesuatu yang super duper penting. "Aku di Jogja. Cara to
catch up?" Yoga diam sejenak. "Boleh. Ketemu di mana?" "Starbucks Ambarrukmo
sekarang?" Ya, sekarang. Ini weekend, kalau Yoga nggak pergi, seharusnya dia bisa. Lagipula,
aku penasaran juga, apa dia mampu menolak ajakanku. "Ok. See you there!" jawabnya. Told
you! Nggak butuh waktu lama untukku sampai ke Plaza Ambarrukmo. Hanya 15 menit naik
becak dari rumahku. Lima belas menit penuh dengan angin sepoi-sepoi yang hampir nggak
pernah aku dapatkan di Jakarta. Bonus suara serak tukang becak yang menyanyi sepanjang
jalan. Yoga sudah duduk di sebuah sofa deket kaca saat aku sampai. Di hadapannya sudah
ada segelas caramel frappuccino kesukaannya. Kesukaanku juga. Pesanan wajib kita setiap
kali ke Starbucks saat masih pacaran dulu. Yeah, some memories never fade away. Aku
segera memesan segelas caramel frappuccino juga lalu menghampirinya. "Apa kabar?"
sapaku basa-basi sambil mengulurkan tanganku, hendak menyalaminya. Aku tahu aku sudah
menanyakan kabarnya di telepon tadi, tapi bukankah menanyakan kabar adalah cara basabasi paling mudah. Yoga menyambut uluran tanganku, "Baik. Kamu apa kabar?" "Baik." Aku
duduk di sofa persis di depan Yoga. "Dalam rangka apa ke Jogja?" Tanya Yoga. "Ayah sakit,
Yog." "Ayah sakit apa?" ekspresi muka Yoga menunjukkan kekhawatiran dan aku tahu dia
nggak pura-pura. Jogja ini adalah kota favorit Yoga. Waktu kuliah dulu, dia ketagihan ke kota
ini sejak pertama kali aku ajak ke rumah. Bahkan hampir setiap liburan dia pergi ke kota ini.
Aku yang memang pasti mudik saat libur tentu tentu saja selalu jadi tour guide dadakan
untuknya. Salah satu tempat yang wajib dituju olehnya adalah rumah orangtuaku. Nggak
heran Yoga sudah kenal baik dengan keluargaku. "Gula darahnya naik lagi. Tapi sekarang
udah membaik kok," jawabku. "Syukurlah," Yoga mengangguk lalu meminum kopinya. Aku
memandang ke luar jendela saat Yoga menikmati minumannya, mengamati lalu-lalang
orang di luar kafe. Tiba-tiba aku menyadari betapa aku sangat merindukan kota ini beserta
seluruh isinya. Telat banget aku baru sadar sekarang! "Gimana rasanya tinggal di sini?"
tanyaku mengalihkan topic pembicaraan. "Menyenangkan. Bebas macet," Yoga tersenyum
riang. Aku baru sadar Yoga tampak gemuk. Pipinya sedikit Chubby. Wajahnya tampak jauh
lebih segar dan bersinar dibanding saat aku terakhir bertemu dengannya. Aku percaya dia
benar-benar senang hidup di kota ini. "Tapi jadinya jarak jauh ya sama si perempuan di
restoran itu?" godaku. Yoga tertawa kencang. "It didn"t work. Again." Whaaattt" Rasanya
aku ingin ikut tertawa kencang dengan Yoga. Tahan. Audi. Tahan. "Oh," jawabku dengan
nada datar seolah nggak peduli sedikit pun. "Suami kamu nggak ikut?" Tanya Yoga. That


The Marriage Roller Coaster Karya Nurilla Iryani di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

question! Kenapasih Yoga hobi banget menanyakan tentang suamiku" Benar-benar merusak
kesenangan yang baru saja terjadi. Aku hanya menggelengkan kepalaku. "Sibuk kerja lagi?"
Tanya Yoga penasaran. Aku tersenyum getir berharap Yoga segera menghentikan
pertanyaannya tentang Rafa. "Mau cerita ke aku?" Aku menatapnya tajam. Maksudnya apa"
"Cerita apa?" tanyaku. "Sebetulnya ada apa, Di?" He knew. Dia tahu aku ada masalah
dengan suamiku. Dari mana dia tahu" Apa wajahku terlihat sangat tidak bahagia" Apa di
dahiku ada tulisan "kabur dari suami". Atau simply karena Yoga begitu mengenalku sejak
dulu" Apa pun alasannya, aku nggak suka Yoga atau siapa pun membahas tentang Rafa
sekarang. Aku sedang nggak mau mengingatnya sama sekali. Bolehkan aku merasa tenang
sebentar saja" "Sorry. Aku nggak bisa cerita." Kataku pelan sambil memaksa sebuah
senyuman di wajahku. Oh crap, kenapa mataku panas sekarang. Don"t cry, Audi. Not now!
Nggak di tempat umum seperti ini. Nggak di depan Yoga. Hormon hamil benar-benar bisa
bikin wanita jadi berkali-kali lipat lebih cengeng ya" "Ya udah, nggak usah cerita kalau
memang belum bisa," Yoga meraih tanganku, menggenggamnya erat. "Tapi kamu perlu
tahu, if he doesn"t treat you right, someone else will. I will." This isn"t appropriate. Aku
menarik pelan tanganku. Dan aku berharap Yoga menarik kata-katanya barusan. "You don"t
understand, Yog. Marriage is like roller coaster. Ada ups and downs. Sekarang lagi down
aja," kataku. "Tapi roller coaster kan juga bisa berhenti?" Pardon" Tell me that I heard it
wrong! "Maksud kamu apa?" Roller coaster bisa berhenti" Aku menghentikan pernikahanku
maksudnya" Aku bercerai dengan Rafa" "Don"t be scared, Audi. The future is scary, but you
can"t just run to the past just because you"re scared." "Kamu ngomong apa sih, Yog?"
bentakku. This is not good. This is definitely not good. "Forget it." "Yes, forget it! Aku mau
pulang!" aku beranjak dari tempat dudukku dan secepatnya meninggalkan Starbucks.
Sepertinya keputusanku untuk bertemu Yoga adalah sebuah kesalahan. Bukannya tenang,
aku malah semakin pusing. Somehow aku merasa dia sedang memengaruhiku untuk
meninggalkan Rafa. Aku tahu aku sudah nggak mampu meng-handle perlakuan buruk Rafa.
Tapi di sisi lain, aku nggak bisa bohong. I still love him. Aku memang belum tahu mau aku
bawa ke mana pernikahan ini. Tapi bahkan aku memikirkannya sendiri. Aku nggak mau ada
pihak lain yang memengaruhiku. "Di, Maaf," Yoga menarik tanganku setelah berhasil
mengejarku. Beberapa mata memandang kami dengan antusias seolah bersiap
mendapatkan drama gratisan di depan mata. Aku menarik tanganku. "Udahlah, Yog."
Kataku sambil pergi menjauh. "Di, jangan gitu dong. Malu ini dilihatin orang-orang. Tolong
dengar aku dulu," Yoga terus mengejarku memancing semakin banyak mata memandang
kami. Aku menghentikan langkahku, "Apa lagi, Yog?" Aku menarik napasku, menenangkan
diri. Sedetik, dua detik. Tenang. Audi. Be mature! "Ya udah lupain aja," kataku akhirnya. "I"m
sorry, Di. You broke my heart dan aku nggak tahu bagaimana cara nyembuhinnya selain
dengan balikan lagi sama kamu. Kamu tahu" Aku seneng banget saat terima telepon kamu
tadi." Deg. Aku menatap Yoga tajam dan lama, nggak menyangka Yoga akan mengeluarkan
kata-kata seperti itu. Dia kan tahu aku sudah menikah. "Aku mau pulang, Yog," kataku
akhirnya. Isi kepalaku seperti benang kusut. Belum selesai masalah dengan Rafa, sekarang
tambah lagi tingkah bodoh Yoga barusan. I wanna go home know. Pulang ke rumah
orangtuaku yang nyaman, mandi, lalu tidur melupakan semua masalah ini. I wish I were 15.
Di mana masalah seperti ini pasti justru akan jadi bahan tertawa seru-seruan dengan temanteman ABG-ku, bukan membuatku nyaris gila seperti sekarang. "Aku anter pulang ya. Naik
motor nggak apa-apa?" Yoga menggandeng tanganku tanpa menunggu jawabanku dan
entah kenapa rasanya aku bahkan sudah nggak punya cukup energi untuk menolak. Yeah, I
know I should. I just can"t. aku hanya menurut seperti bocah penakut yang takut hilang di
keramaian. Langit jingga Jogja dan angin yang menggoda wajahku dicampur wangi parfum
Yoga nggak mampu membuang kekalutanku. What should I do now" What should I do"
Pertanyaan ini terus terngiang di kepalaku. Seseorang dengan koper kecil sedang membuka
pagar rumah orangtuaku saat aku sampai di depan rumah. Dia menengok ke arahku ketika
Yoga mematikan mesin motornya. Rafa. He"s here.
Bab23: Explosion It"s funny that most of the time the person you love the most, is also the person you hate
the most. The person you wanna kiss, is also the person you wanna kill. The person you
cannot live without, is also the person you wanna let go. For me, that person is Rafa.
Jantungku berdebar lebih cepat saat melihat Rafa ada di depan pagar rumah orangtuaku
beberapa menit lalu. Aku takut dia membuat keributan saat melihat Yoga mengantarku
pulang. Tapi ternyata aku salah, dia hanya diam. Dia diam saat melihatku datang bersama
Yoga. Dia diam saat Yoga berpamitan kepadanya. Dia diam saat memasuki rumah
orangtuaku. Sampai detik ini, di mana dia sudah duduk di sisi tempat tidurku, dia masih juga
diam. Aku duduk di sampingnya, nggak tahu harus bicara apa. Matanya menatapku dingin
seolah menunggu penjelasan dariku. "Mau apa kamu ke sini, Raf?" aku akhirnya buka suara
duluan. I know, wrong sentence to start a conversation. "Jemput kamu!" jawab Rafa tanpa
mengubah ekspresi wajahnya. "Aku mau di sini dulu." "Supaya bisa ketemuan mantan pacar
kamu lagi?" tatapan Rafa masih dingin. Sial! Aku menggeleng kepalaku, "Aku mau
menenangkan diri, Raf." Rafa memejamkan matanya, diikuti dengan mengembuskan
napasnya sekuat tenaga. Jari-jarinya memijat pelipisnya kencang. Aku hanya
memandanginya, memaksa diriku agar tetap tenang tanpa apa pun reaksi Rafa nanti. "Audi,
kamu pulang sama aku besok. Tolong, nurut sama suami kamu ya," kata Rafa kemudian.
Suaranya tegas dan bossy, as always. Not this time, Raf. "Selama ini aku nurut terus sama
kamu. Apa yang aku dapet?" kataku pelan tapi tajam. Aku nggak mau orangtuaku
mendengar pertengkaranku dan Rafa. "Aku udah kasih semuanya ke kamu. Kamu mau apa
lagi?" kata Rafa dengan nada nggak kalah tajam. "Semuanya?" tanyaku sinis, "Emang Cuma
uang yang kamu punya, Raf. Kamu nggak punya kemampuan untuk menghargaiku. Kamu
nggak punya cinta buat aku. Kamu bahkan nggak punya rasa empati sama keluargaku yang
kena musibah. Aku capek hidup sama orang nggak punya hati kayak kamu. Kamu pikir
setelah kamu kasih uang ke aku, kamu jadi boleh bersikap seenaknya" Boleh nyakitin aku
seenak udel kamu" Aku istri kamu, bukan perempuan bayaran!" kata-kata itu meluncur
begitu saja. Wajahku terasa panas karena emosi. Rafa diam. Lama. Matanya masih
menatapku, tapi aku sama sekali nggak bisa menebak apa yang ada di pikirannya. Mungkin
dia merasa bersalah. Atau mungkin dia tersinggung dengan semua kata-kataku. But I don"t
care. It feels good to tell the truth. Minta maaf sekarang, Raf! Minta maaf sebelum aku
semakin benci sama kamu! "Di," Rafa meraih tanganku, "Aku ngerti kamu lagi hamil. Aku
ngerti hormon kamu lagi nggak stabil. Udah ya, jangan dibesar-besarkan masalah ini."
Whaaaattt"!! Jadi, dia nggak merasa bersalah sama sekali" Jadi dikira aku semarah ini
karena hormon nggak stabil" Sinting! "Rafa! Aku nggak pernah marah kamu pulang tengah
malam setiap hari. Aku nggak pernah marah kita hampir nggak pernah ngobrol. Kamu masih
mau bilang hormon aku nggak stabil" Apa aku bilang, kamu nggak bisa menghargaiku! Lihat
sekarang, kamu nggak bisa menghargai aku yang sabar menghadapi kamu yang nggak
pernah perhatian sama aku!" Rafa melepaskan genggaman tangannya dan mengacak-acak
rambutnya dengan kesal, "Kamu mau aku gimana" Berhenti kerja" Di rumah terus biar bisa
nemenin kamu" Aku kerja banting tulang kan buat kamu juga. Buat calon anak kita juga."
Aku membuang mukaku. Sudah kuduga dia akan menjawab seperti ini. Klise! Cari duit buat
keluarga tapi justru nggak ada waktu buat keluarga. Pointless! "Terserah kamu deh, Raf."
Aku beranjak dari tempat tidurku. Sepertinya membicarakan ini semua dengan Rafa sama
sekali nggak ada gunanya. Dia bahkan nggak merasa bersalah sedikit pun. Hatinya sudah
mati barangkali. Rafa menarik tanganku sebelum aku meninggalkan kamar, "Jadi sekarang
mau kamu gimana?" tanyanya. Aku mengangkat bahuku. "Aku gak tahu," Rafa menarik
napas panjang kemudian menepuk-nepuk bagian kasur yang sebelumnya kududuki,
pertanda dia ingin aku duduk lagi di tempat semula. Aku menurutinya, badanku kubanting
ke kasur dengan kesal. Rafa mengalihkan pandangannya dari wajahku. Matanya kosong.
Tapi aku tahu otaknya sedang bekerja ekstra keras saat ini. Aku duduk diam menunggunya
mengeluarkan kata-kata. Nggak ada sedikit pun usahaku untuk berpikir saat ini. I"m tired.
"Audi, please," kata-kata Rafa menggantung saat dia akhirnya mengeluarkan suara, entah
apa yang ingin diucapkannya. For the first time in my life, aku melihat wajah itu memelas.
Mengiba. Rafa yang powerful seolah hilang ditelan bumi. "You hurt me constantly, Raf.
Lama-lama numpuk juga. Aku juga punya batas kesabaran," kataku masih dengan penuh
kemarahan. "Kenapa kamu tumpuk" Kenapa kamu nggak bilang?" "Buat apa" Kalau aku
bilang, you"ll hurt me even more!" Rafa menundukkan kepalanya. Wajahnya tampak
menyesal. "Do you still love me?" tanyanya dengan suara pelan seperti orang putus asa. "I
love you, Raf. I love you so much. I don"t even know why I"m still in love with you. But, I
don"t wanna live with someone who makes me feel like I"m the most insignificant person in
the world. Aku pengin ngerasa dicintai, aku pengin ngerasa dibutuhkan. I need it. I"m
desperate for it." Saying this out loud hurts me even more. Tapi nggak ada setitik pun air
mata menetes. Hanya ada kemarahan yang menyesakkan dadaku. Rafa menatapku.
Wajahnya tampak terkejut mendengar semua kata-kataku. Aku yakin dia kehabisan katakata sekarang. "Mungkin sekarang aku masih cinta sama kamu, tapi bagaimana cintaku bisa
bertahan kalau kamu bahkan nggak pernah ada buatku" Kata orang, cinta bisa datang
karena terbiasa. Bagiku, cinta bisa hilang karena terbiasa nggak ada," lanjutku. Dadaku
terasa semakin sesak. Rafa tiba-tiba memelukku. Erat. Pelukan yang selama ini aku
rindukan. Kenapa baru sekarang kamu memelukku seperti ini, Raf" Kenapa aku harus
semarah ini dulu" "I"m sorry for making your life fucked up," Rafa berbisik di telingaku.
Pelukannya semakin erat. Aku melepasnya pelan. Mata Rafa merah. He"s about to cry. Gosh.
It breaks my heart seeing him sad. "Forgiving is easy. Forgetting is not. I can"t stand the pain
anymore," kataku lirih. Rafa tampak shocked mendengar kata-kataku. Jangankan dia, aku
sendiri kaget mendengar kata-kataku. Dari mana datangnya kata-kataku barusan" Hatiku"
"Sekarang kamu mau nyerah?" Tanya Rafa. "Buat apa dipertahankan" Do we give each
other happiness?" Tanyaku balik. Rafa nggak menjawab pertanyaanku. "You have your own
life. I have mine. Maybe we"ll be happy separately." Tanpa kuduga, tiba-tiba saja Rafa
berlutut di hadapanku, menggenggam tanganku. Setetes air mata jatuh dari mata kanan
Rafa, lalu dia berkata lirih. "Please don"t leave me."
Bab24: About Rafa You don"t know what you have until it"s gone. Begitu kira-kira kata pepatah. Aku pikir aku
akan mengamini statement ini saat Yoga pindah ke Prancis. Aku pikir aku akan menangis
setiap malam merindukan dia. Aku pikir aku akan menyadari kalau cintaku ke Yoga ternyata
berkali-kali lipat lebih besar dibanding yang aku kira. Aku pikir aku akan berharap dia nggak
pernah pergi. Tapi ternyata aku salah. Masih jelas di ingatanku, Yoga berangkat ke Prancis
saat aku sedang di puncak kejenuhan hubungan kita. Kepergian Yoga yang aku pikir akan
membuatku menyadari seberapa pentingnya kehadiran Yoga dalam keseharianku, ternyata
justru membuatku semakin mudah melupakannya. Saat aku cerita ke Sonya dulu, dia Cuma
jawab, "Lo keseringan sih bareng Yoga, di jidat lo bahkan kayak ada tulisannya "Punya Yoga".
Jadi mungkin begitu dia pergi, lo justru jadi kayak budak yang merdeka. And you enjoy your
new life." Si Sonya emang sialan dari dulu. Masa aku disamain sama budak! Tapi mungkin
Sonya ada benarnya. I was enjoying my life that time karena saat itu aku sedang punya
kesibukan baru: kerja praktik. Kerja praktik selama tiga bulan penuh benar-benar menyita
pikiran dan tenagaku saat itu. Aku harus berangkat pagi-pagi seperti orang kantoran pada
umumnya, lalu sibuk di kantor seharian, dan setelah pulang ke kosan, aku harus mulai
mencicil laporan kerja praktikku untuk aku kirim ke dosen pembimbingku setiap minggunya.
Mungkin karena kesibukan yang sepadat ini aku nggak punya cukup waktu untuk
memikirkan Yoga. Alhasil, aku mulai menunda-nunda membalas email Yoga. Aku seperti
melihat dunia baru saat aku kerja praktik dulu. Seperti kebanyakan anak kuliahan, aku
memandang dunia kerja begitu memukau. Punya uang sendiri, bebas mengatur kehidupan
sendiri, dan yang pasti, bisa tampil gaya setiap hari. Semua orang di kantor selalu tampak
rapid an lebih keren dibanding semua mahasiswa di kampusku yang ke mana-mana pakai
kaus dan jeans. Apalagi Rafa! Ya, aku bertemu Rafa saat aku kerja praktik di kantornya.
Mejanya yang tepat bersebalahan denganku membuatku banyak bertanya kepadanya setiap
kali ada kendala. He was so helpful. Dan yang membuatku kagum, dia mampu menjelaskan
segala sesuatu dengan sangat pintar tanpa terlihat nerd sama sekali. Sebetulnya
hubunganku dan Rafa berjalan sangat wajar layaknya pegawai tetap dan pegawai magang.
Nggak terlalu dekat, tapi juga masih sering ngobrol saat pekerjaan Rafa sedang agak santai.
Nggak ada yang istimewa sampai dia akhirnya menghubungiku dan mengajakku nonton
setelah periode kerja praktikku selesai. Setelah acara nonton itu, Rafa sering mengirimiku
SMS. Kedekatan dengan Rafa inilah yang akhirnya membuatku membulatkan tekad untuk
menyudahi hubunganku dengan Yoga. Bagiku, nggak adil kalau aku jalan sama orang lain
tapi aku masih terikat hubungan dengan Yoga. Rafa nggak pernah menjelaskan apa pun
tentang hubungan kita. Yang aku tahu, kita sering menghabiskan weekend bareng-bareng.
Kadang nonton di mal, kadang kuliner ke Bogor atau Bandung. Kadang Cuma leyeh-leyeh di
kosanku. Bagiku semuanya cukup. Lagipula, entah kenapa rasanya nggak enak langsung
mendeklarasikan hubungan baru saat aku baru putus. Meskipun, harus aku akui, kondisi
seperti itu berhasil membuatku penasaran setengah mati sama Rafa. Tapi, rasa penasaran
ini justru membuatku merasa hubungan tanpa status ini lebih seru dan menantang. Sesuatu
yang nggak pernah aku dapat dari Yoga yang memang selalu ada di sampingku. Tanpa
kepastian apa pun, kebersamaanku dan Rafa tetap berhasil membuatku jatuh hati pada
Rafa. Ada banyak alasan; kepribadiannya yang seru dan menyenangkan, kegilaannya yang
kadang membuatku tertawa sampai nangis, kecerdasannya " semuanya. Semua
membuatku bahagia. Surprisingly, Rafa justru melamarku tepat setelah aku lulus kuliah.
Tentu saja aku kaget luar biasa. Kita nggak pernah resmi pacaran, aku nggak kepikiran sama
sekali dia akan melamarku. Tapi yang lebih kaget tentu saja ayah ibuku. Mereka nggak tahu
aku sudah punya pacar setelah pisah dengan Yoga. Bagaimana mungkin aku cerita tentang
Rafa kalau kejelasan hubunganku dan Rafa saja dipertanyakan. Aku ingat betul, aku
diberondong pertanyaan selama satu jam lebih saat aku bilang aku mau menikah. Sekarang
sudah satu tahun ini Rafa resmi menjadi suamiku. Dan waktu satu tahun ternyata
merupakan waktu yang cukup untuk mengubah seseorang. Nggak ada lagi Rafa yang seru
dan menyenangkan. Yang ada sekarang hanyalah Rafa yang menyebalkan dan menyakitkan.
Dan aku adalah tipe orang yang hidup di masa sekarang. Bukan di masa lalu. Semua
kebaikan Rafa sudah nggak ada artinya kalau hanya dilakukan di masa lalu. Kalau cinta yang
kita punya sudah nggak membawa kebahagiaan, buat apa dipertahankan"
Bab 25: Hope The idea of getting separated is frustrating. It"s really hard when you still in love with your
partner. It"s even harder when your partner still wants you badly. Aku menarik Rafa yang
sedang berlutut di hadapanku ini ke dalam pelukanku. A warm hug is always what I want
whenever I cry. Mungkin itu juga yang diinginkan Rafa saat ini. You"ll get it now, Raf,
meskipun kamu nggak pernah kasih itu ke aku setiap kali aku menangis. "I"m sorry! I"m really
really sorry! Aku nggak pernah bermaksud menyakiti kamu, Sayang," Rafa berbisik di
telingaku. Kedua tangannya masih memelukku erat. I know, Raf. You have no intention to
hurt me, but I cry anyway. Aku membelai lembut punggung Rafa yang kini bergetar pelan
tanpa memberi jawaban apa pun atas semua kata-katanya. Semua hal yang mengganjal
sudah aku luapkan. I"m done. Sekarang waktuku untuk diam dan melihat sejauh apa usaha
Rafa mempertahankan ini semua. Rafa melepaskan pelukanku, "Please Audi, I can"t afford
losing you!" Gosh! Those teary eyes! Seeing him crying really makes me feel like I"m an evil. I
wonder why he didn"t feel the same whenever he saw me crying. "Di, aku nggak akan
membela diri. Iya, aku salah. Aku akan berubah. Tapi jangan tinggalin aku," lanjutnya. Aku
menarik napas panjang, "Man doesn"t change, Raf." Ini pengetahuan umum: women think
their man will change. Wrong! And men thing their woman won"t change, wrong! "But I will.
I"ll show you. Bagaimana aku bisa buktiin ke kamu aku berubah kalau kamu mau pisah sama
aku?" Aku menggenggam tangan Rafa, berharap ini membuatnya sedikit lebih tenang,
"Kalaupun kita lanjutin pernikahan kita, everything will never be the same, everything"s
changed." "Some things don"t. my love. Your love. Semua masih sama, kan?" kata Rafa
mencoba meyakinkanku. Aku benar-benar nggak tahu harus ambil keputusan apa saat ini.
I"m totally clueless. Please help me! Tangan Rafa mengarahkan kepalaku agar tepat
menghadapnya, matanya lurus menatap mataku, "Look! It"s different now. I"m different. I"ll
fix everything," kata Rafa penuh kesungguhan. "Why don"t you just let me go, Raf" Toh
selama ini kamu sibuk sendiri. Kamu nggak butuh aku." Kenyataan Rafa justru
mempertahankanku sebetulnya membuatku semakin bingung dengan kondisi ini. Selama ini
dia terlihat seperti tidak pernah memedulikanku sama sekali. Tapi kenapa dia masih
menginginkan aku dalam hidupnya" Bukankah hidupnya akan lebih mudah kalau nggak ada
aku" At least, dia jadi bisa bekerja sepuasnya sampai jam berapa pun tanpa memikirkan
istrinya yang menunggunya di rumah. "I need you. You just don"t know, kamu pikir aku
dapet kekuatan dari mana untuk kerja keras" You give me strength, Di. Aku nggak bohong
saat aku bilang aku kerja demi kamu. I wanna be a successful man for you. Supaya kamu
bangga. Dan ya, supaya kita bisa punya banyak uang dan kamu bisa beli apa pun yang kamu
mau." Kata Rafa. "Money doesn"t erase loneliness, Raf." Kataku pelan. "Itu yang aku nggak
tahu. Aku pikir punya banyak uang bisa bikin kamu bahagia," Rafa menundukkan kepalanya.
Benarkah" Itukah alasannya bekerja begitu keras selama ini" Sejak menikah, Rafa memang
selalu memenuhi kebutuhanku. Sebagian besar gajinya diserahkan kepadaku dan dia nggak
pernah mempermasalahkan ke mana perginya uang itu. Kadang aku heran kenapa dia bisa
percaya banget. Kalau aku mampu mengatur keuangan rumah tangga padahal dia sering
sekali menemukan tumpukan belanjaanku di kamar. Masih rapi terbungkus plastik. Berharihari. "Maaf aku baru sadar kalau nggak selamanya kebahagiaan bisa diukur dengan materi,"
lanjut Rafa. "Maaf dengan aku kasih kamu uang, aku jadi mikir aku udah kasih kamu
segalanya." Aku nggak bisa menolak, some part of me is melted. Kalau saja aku menikahi
Rafa hanya untuk mengejar uangnya, pasti sekarang aku sudah puas. Tapi sayangnya, bukan
itu alasan aku menikahinya dulu. Rafa mengarahkan tanganku ke dadanya, "Di, my heart
beats for you." Hah" Tiba-tiba saja aku tertawa kencang. Baru kali ini Rafa mengeluarkan
kata-kata gombal super norak seperti barusan. Sungguh merusak suasana kelabu ini. "Udah
deh, Raf, jangan ngegombal. Nggak cocok, tahu!" kataku masih sambil tertawa. "Jangan
ketawa, Di. I know, it sounds cheesy, but that"s the truth." Bagaimana aku nggak tertawa"
It"s just too funny, Raf. Melihat muka Rafa yang masih kencang dan serius, aku berusaha
sekuat tenaga meredakan tawaku. But I guess, sebuah senyuman kecil sekarang tersisa di
wajahku. "Di, kalau nggak demi aku, please pertahankan semuanya demi anak kita. Kamu
mau anak kita lahir dalam keadaan orangtuanya sudah pisah?" Jleb! Rafa benar. Bagaimana
perkembangan jiwa anakku kalau dia lahir tanpa seorang ayah" Aku mungkin bisa jadi single
parent, tapi semua akan beda kalau ada Rafa. Apalagi kalau benar anakku laki-laki, aku sama
sekali nggak tahu bagaimana cara membesarkan anak laki-laki. Semakin banyak yang harus
dipertimbangkan, semakin kusut juga pikiranku. Senyum di wajahku kembali pudar. Mulutku
kembali kelu. "Aku tahu kamu sudah terlanjur sakit hati. Aku minta maaf. I can"t live without
you, tolong ngertiin aku," wajah Rafa memelas seolah memintaku segera mengakhiri siksaan
batin. Hah" Memang aku kurang pengertian apa selama ini" "It"s always about you, Raf. Aku
selalu ngertiin kamu selama ini. Mungkin sekarang giliran kamu ngertiin aku kalau aku tibatiba nggak kuat hidup sama kamu," kataku dengan sedikit emosi. "Maaf," wajah Rafa
terlihat sangat amat menyesal. Entah karena kata-katanya barusan atau karena sikapnya
selama ini kepadaku. Aku menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri, " Rafa, kamu
sudah minta maaf berkali-kali. But honestly, sampai detik ini aku nggak tahu harus gimana.


The Marriage Roller Coaster Karya Nurilla Iryani di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Please give me some time. Nggak ada gunanya kamu push aku sekarang. Cuma bikin aku
makin bingung." Sepertinya memang butuh kata-kata yang straight forward agar Rafa
berhenti merengek-rengek. Di satu sisi ada kebahagiaan yang muncul karena tahu Rafa
masih sangat menginginkanku dalam hidupnya, tapi di sisi lain aku lelah setengah mati
mendengar semua kata-katanya. "Aku balik ke Jakarta sekarang ya," kata Rafa setelah
membisu cukup lama. Hah" Kenapa dia tiba-tiba malah mau pulang" "Kamu kan baru
sampai, Raf. Belum ganti baju. Belum ketemu Ibu dan Bapak. Bahkan cuci kaki aja belum.
Mau lembur lagi?" sindirku. Oke, sepertinya otakku sudah terlalu keruh untuk menyaring
semua omongan sinisku. "Kamu butuh waktu untuk menenangkan diri, Audi. Selama aku di
sini, kamu nggak akan bisa menenangkan diri dan berpikir dengan jernih. Jadi, lebih baik aku
pulang sekarang daripada keberadaanku justru memberi kamu tekanan untuk mengambil
keputusan." "Tapi?" "Ssstt," Rafa meletakkan telunjuknya di bibirku, "Just take your time,
Sayang. Aku tunggu di Jakarta ya." Aku menunduk, kemudian berkata lirih, "Aku nggak bisa
janji, Raf." "I know. Tapi kalau kamu memang masih cinta sama aku, aku mohon
pertahankan pernikahan kita and give me one more chance. Aku janji aku akan bikin kamu
bahagia. I will never fail you again." Sebuah senyuman tipis aku berikan kepadanya just to
make him know I got his words. Rafa mencium keningku dengan lembut, "I love you so
much!" dia beranjak menuju pintu, "Sekarang aku mau ketemu Bapak sama Ibu dulu."
"Tunggu! Kamu mau bilang apa sama mereka, Raf?" "Hmm, apa aku harus jelaskan ke kamu
juga?" Rafa tersenyum. Sebuah air mata akhirnya menetes di pipiku saat melihat Rafa
meninggalkan kamarku. Nggak ada niat sedikit pun untuk mengantarnya pergi. This is like a
test for me, aku ingin tahu apa aku kuat kalau dia benar-benar pergi dari hidupku. And no,
aku nggak kuat. Oksigen di kamarku rasanya seperti hilang bersamaan dengan perginya
Rafa. Dadaku sesak. I can"t breathe. Sometimes, without your permission, someone
becomes your oxygen. Rafa is my oxygen. What should I do" What should I do" Aku
membanting tubuhku ke tempat tidur. Merenung. Mempertimbangkan semuanya.
Mengesampingkan hatiku jauh-jauh dan mencoba berpikir logis terus, terus, sampai aku
nggak mampu lagi memaksakan otakku. Maybe I have to give him a chance to fix everything.
Bukankah manusia mana pun berhak mendapatkan kesempatan kedua" Lagipula, aku nggak
mau suatu hari nanti aku menyesal karena nggak pernah mencoba memperbaiki ini semua.
Baiklah, bulat sudah keputusanku. Aku mengambil BlackBerry-ku, menulis sebuah BBM
untuk Rafa. "Aku pulang ke Jakarta besok pagi." Sent! Nggak sampai satu menit, sebuah BBM
balasan masuk. "Let me know jam berapa. Aku jemput ya." Aku tersenyum membaca balasan
dari Rafa. I know hes"s starting to be nice. Mungkin memang masih ada harapan untuk
pernikahanku ini. Semoga aja!
Bab 26: Selamat Tinggal Aku nggak tahu apakah keputusanku untuk melanjutkan pernikahanku dengan Rafa tepat
atau tidak. Aku nggak tahu apakah Rafa benar-benar serius dengan ucapannya akan
mengubah semua sifatnya. Aku bahkan nggak tahu apa aku mampu melupakan dan
memaafkan semua hal menyakitkan yang dilakukan Rafa kepadaku dulu. Yang aku tahu, aku
nggak mau nantinya menyesal karena nggak pernah mencoba. Prinsipku, lebih baik gagal
setelah mencoba daripada gagal sebelum berusaha. Dan sekarang nggak ada yang lebih baik
daripada berpikir positif dan meninggalkan semua kenangan buruk di masa lalu. Aku nggak
mau terlalu banyak mikir macem-macem. You know, too much thinking will make
everything complicated. So here I am, duduk manis di depan TV supaya nggak sibuk mikir
aneh-aneh, sambil menonton acara nggak jelas. But I enjoy it so much. Sudah lama banget
rasanya nggak nonton TV bareng ibuku dan Ken di rumah ini. Ayah tentu saja masih
istirahat. Padahal kalau ada Ayah, pasti lebih seru. Dia paling hobi mengomentarin apa pun
yang ada di TV. "Apa Rafa kalau kerja emang gitu, Nduk?" ibu menatapku seolah minta
penjelasan, "Mosok malem Minggu katanya ada panggilan mendadak buat ketemu klien?"
Aku mengendikkan bahu, "Dia memang workaholic, Bu. Apalagi sekarang baru dapat
promosi." Sepertinya Ibu tahu kalau aku malas membahas topik ini. Dia pun kembali ke
acara TV. "Gara-gara ada Mbak Audi nih, Mas Yoga jadi nggak ke sini," kata Ken sambil
memainkan HP-nya. Hah, maksudnya apa" "Mas Yoga kan sekarang tiap malam Minggu
main ke sini," lanjut Ken seolah membaca kebingunganku. "Ngapain?" tanyaku. "Ya main PS
sama aku, atau main catur sama Ayah. Dia pindah kerja ke Jogja. Mbak Audi nggak tahu?" Ya
tentu saja aku tahu! Tapi aku nggak tahu sama sekali selama tinggal di Jogja dia justru sering
mampir ke rumah orangtuaku. "Kok Ibu nggak pernah bilang?" tanyaku ke Ibuku yang duduk
disampingku. "Dia ke sini kan sebagai temannya Ken, buat apa ibu bilang kamu, Nduk?" kata
ibu tenang. Ibu benar. Lagipula, aku sudah punya kehidupan baru dengan Rafa. Pasti
menurut ibu memang lebih baik untuknya nggak menyebut-nyebut nama Yoga lagi di
hadapanku. Agak kurang pantas. "Aku senang kalau Mas Yoga ke sini. Dia sering bantu tugas
kuliahku juga, Mbak. Ternyata pintar ya Mas Yoga itu. Terus kalau ngajarin sabar banget,
nggak galak kayak Mbak Audi," kata Ken. Aku hanya diam, nggak menanggapi omongan Ken.
Aku yang semula pengin menenangkan pikiran, justru sekarang jadi memikirkan Yoga. Sial.
Bagaimanapun juga aku salut dengan Yoga yang masih mau berhubungan baik dengan
keluargaku meskipun aku dengan jutek justru meminta Yoga pergi. Sudah sepantasnya dia
mendapatkan perlakuan yang baik dariku. SMS-nya yang sejak tadi masuk bertubi-tubi
mungkin lebih baik aku balas. Tunggu, mungkin lebih baik aku meneleponnya, supaya
ngomongnya juga lebih enak. Ok, I"ll call him now. Pasti dia sedang bengong sendirian
seperti Ken. "Audi, are you ok?" serunya ketika mengangkat telepon. Aku tahu Yoga
mengkhawatirkanku sejak bertemu Rafa. Mungkin dia ingin memastikan tangisanku nggak
bertambah kencang. "I"m ok, Yog. Semuanya baik-baik saja." "Suami kamu ada di situ" Kamu
mau aku ke situ dan jelasin semuanya ke dia?" "No, dia udah pulang ke Jakarta tadi." "Udah
pulang?" tanyanya bingung. "Yog, kamu nggak perlu jelasin apa-apa. Aku dan suamiku baik-
baik saja." "Oh," Nggak perlu melihat wajah Yoga, aku tahu dia kecewa. "Yog, kayaknya lebih
baik kita nggak usah ketemu-ketemu lagi. Aku istri orang, Yog. Nggak pantes ketemuketemu mantan kayak tadi. Aku salah banget tadi." "Berarti, udah bener-bener nggak ada
harapan buat aku ya?" "Yog, kalau sekarang aku ninggalin suamiku demi kamu, suatu saat
aku bisa ninggalin kamu buat pria lain." "Nggak kalau aku bikin kamu bahagia. Dan aku janji,
selama aku masih bernapas, aku akan bikin kamu bahagia. Aku nggak akan pernah bikin
kamu nangis seperti yang dilakukan suami kamu." Bukankah manusia nggak pernah ada
puasnya" Aku harus belajar untuk bahagia dengan apa yang aku punya. Itu kan artinya
bersyukur" "Dia memang bikin aku nangis, tapi dia juga yang bisa bikin aku bahagia, Yog.
Sometimes the one who makes you cry is also the one who can make you smile all over
again." Yoga diam. Lama. Entah apa yang sedang ada di pikirannya. "Fine," jawabnya
akhirnya, "Tapi bukan berarti kita nggak bisa komunikasi sama sekali, kan?" "Nggak bisa,
Yog." "Why?" "I have to admit, aku nyaman ngobrol sama kamu. Dari dulu aku selalu
menganggap kamu lebih dari pacar, kamu itu seperti kakak buatku, seperti sahabat. I was
addicted to you. Dan aku sadar, kondisi ini nggak bagus untuk pernikahanku." Kataku sambil
berharap kata-kataku membuat dia merasa sedikit berarti meskipun nggak ada harapan
untuk relationship kita. "I"m still wishing that one day you will came back and we will have
our second chance." "Stop wishing." Kataku pelan. Yoga diam lagi, tapi semoga saja katakataku barusan cukup untuk membuat dia mau mengerti dan mundur. "I hope you"re happy
with him," kata Yoga lirih, "Take care, Di." "You too." This is the closure that we never had
before. Lega banget rasanya.
Bab 27: Ending The feeling after the fight is always weird. You know, perasaan ada jarak dengan pasangan.
Jarak yang membuat kita menjadi lebih menjaga sikap supaya nggak terjadi pertengkaran
yang sama. Jarak yang membuat semuanya kaku. Oh, how I hate this. Entah kenapa rasanya
aneh banget melihat Rafa asyik menyetir tanpa mengucapkan sepatah kata pun dan sesekali
tersenyum ke arahku. Kita sudah meninggalkan bandara sejak satu jam lalu. Tapi hampir
nggak ada pembicaraan apa pun. Aku sendiri nggak tahu harus membicarakan apa. Starting
a good nice conversation after a disappointment is hard sometimes. Tiba-tiba Rafa
menghentikan mobilnya di sebuah apartemen di kawasan Sudirman. Entah apartemen siapa
ini. "Kita ngapain ke sini, Raf?" tanyaku. "Nanti juga tahu," jawabnya singkat sambil
tersenyum. Aku menatapnya bingun. Well, sebetulnya kondisi di mana Rafa mengajakku
pergi tanpa aku tahu tujuannya ke mana memang sering banget dia lakukan saat kita belum
menikah dulu. Tapi Rafa yang penuh kejutan sudah hilang setelah kita menikah. Dan aku
sama sekali nggak mengira hobinya ini masih tersimpan di dirinya. Aku mengikuti Rafa
bertemu dengan seorang bapak-bapak di lobi apartemen. Nggak lama kemudian, Bapak itu
mengantar kamu ke lantai 15 dan membuka salah satu unit apartemen. "Kamu suka?" Tanya
Rafa ketika aku mengedarkan pandanganku ke seluruh ruangan. "Hah?" aku sama sekali
nggak mengerti maksud pertanyaan Rafa. "Kamu suka tempat ini?" I have to say this place is
amazingly beautiful. Kaca besar yang sekaligus berfungsi sebagai pintu menuju balkon
menyuguhkanku pemandangan gedung-gedung tinggi dengan langit jingga ibu kota.
Matahari sudah hampir terbenam. Sebentar lagi pasti pemandangannya lebih indah lagi
dengan gemerlap lampu kota. Satu pemandangan kota yang selalu menjadi favoritku. "Ini
apartemen siapa, Raf?" tanyaku. "Tadi sebelum jemput kamu, aku cari-cari apartemen deket
kantor. Terus nemu tempat ini. Kalau kamu suka, aku mau ajak kamu pindah ke sini."
"Pindah" Kenapa?" "Pertama, kalau tinggal di sini, aku bisa jalan kaki ke kantor. Jadi, aku
bisa berangkat lebih siang, pulang lebih cepat, kalau perlu makan siang di rumah juga.
Supaya waktu aku buat kamu bisa sedikit bertambah. Supaya aku bisa lebih perhatian ke
kamu." "Raf, you don"t need to do this. Seriously." "Nggak apa-apa. Aku mau tunjukin kalau
aku serius dengan semua kata-kataku kemarin. Dan cara nunjukin itu ya dengan bukti nyata,
bukan Cuma janji. Ya, kan?" Oh My God, aku sama sekali nggak mengira Rafa akan
melakukan hal sejauh ini demi menunjukkan bahwa dia memang akan berubah dan
memberikan lebih banyak waktunya untukku. He"s so sweet. Sometimes. "Tapi, Raf,
apartemen ini besarnya dua kali lipat apartemen lama kita. Apa nggak kegedean?" "Audi,
kamu lupa ya, sebentar lagi kita punya anak. Perlu ada kamar buat anak kita." Aku refleks
memegangi perutku yang belum buncit sama sekali. Mungkin karena semua masalah yang
menimpaku akhir-akhir ini membuatku kehilangan nafsu makan. Padahal aku sudah nggak
pernah mengalami morning sick sama sekali. Kasihan anak dalam kandunganku ini. Masih
dalam perut saja sudah harus ikut ibunya stress. "Sini," Rafa menggandengku memasuki
salah satu kamar, "Kamar ini rencananya mau aku jadikan kamar anak kita. Aku mau kasih
wallpaper biru." Hanya dengan sekilas melihat ke ruangan itu, aku sudah memvisualisasikan
barang apa saja yang akan ada di dalamnya. Box bayi di sisi sini. Tumpukan mainan di sisi
sana. Ah, pasti menyenangkan sekali. "Kalau anak kita cewek dikasih wallpaper pink ya
supaya lebih girly." Kataku. "Kalau anak kita cewek" hmmm" aduh, aku pasti pusing kalau
anak kita cewek. Pusing jagainnya, Di." Aku tertawa mendengar kata-kata Rafa. "Di, ada
alasan lain kenapa aku ajak kamu pindah." "Apa, Raf?" "Aku mau kita mulai semuanya dari
awal." "Sebetulnya nggak harus sampai pindah apartemen segala kok, Raf." "Untuk mulai
sesuatu dari awal, aku nggak mau kita masih berada di tempat di mana kita punya banyak
kenangan buruk." "Tapi kita punya banyak kenangan indah juga di sana." "Iya aku tahu. But
we better have a fresh start. Lebih enak di hati, Sayang." Aku tersenyum mendengar katakata Rafa. Kali ini, aku sama sekali nggak merasa terpaksa untuk menurutinya. Semoga
setelah ini keadaan benar-benar membaik. "Di, I"m really sorry." Aku memeluk Rafa erat di
calon kamar anak kita. Air mata menetes dari mataku. Kali ini bukan air mata kesedihan, tapi
air mata kebahagiaan. No one can describe how happy I am now. "I love you," bisik Rafa di
telingaku. I love you too, Raf.
Peri Bunga Iblis 1 Gento Guyon 5 Hutang Dosa Pendekar Pemanah Rajawali 39
^