Jangan Menilai Cewek Dari 3
Jangan Menilai Cewek Dari Penyamarannya Dont Judge A Girl By Her Cover Gallagher Girls 3 Karya Ally Carter Bagian 3
Jadi Bex nggak berkata apa-apa. Aku nggak berkata apaapa. Bahkan Tina Walters kehabisan kata-kata.
"Kalian siswi kelas sebelas?"
Aku tak kenal suara itu. Aku menoleh dan melihat seraut
wajah yang nggak kukenal. Laki-laki. Laki-laki tua yang memakai seragam departemen maintenance Akademi Gallagher. Di
dadanya tersemat tulisan "Art" dan dia menatap kami seakan
dia tahu kamilah yang bertanggung jawab atas tumpahnya asam
hidrokrolik yang mengerikan di laboratorium Dr. Fibs, yang
mungkin makan waktu berminggu-minggu untuk dibersihkan.
"Kata Solomon kalian siswi kelas sebelas," kata Art pada
kami. "Ya, Sir," kata Mick, karena 1) Kami semua sudah mengikuti kelas Budaya dan Asimilasi sejak kelas tujuh dan Madame
Dabney mengajari kami dengan baik, dan 2) di Akademi
Gallagher, semua orang lebih dari penampilan mereka.
148 Kami terlihat seperti cewek-cewek normal, tapi kami bukan
cewek normal. Guru-guru kami bisa berbaur dalam dewan guru
sekolah swasta mana pun di dunia, tapi mereka jauh lebih
besar daripada itu. Setiap cewek di ruangan itu tahu bahwa
untuk menghabiskan masa pensiun di departemen maintenance
Akademi Gallagher kau harus punya izin keamanan tingkat
tinggi dan keterampilan-keterampilan hebat"kau ada di sana
untuk suatu alasan. Jadi Art adalah "Sir" bagi kami. Nggak ada
keraguan soal itu. Tetap saja, Art menatap kami seakan kami persis seperti
yang diharapkannya. Saat Art berbalik dan melangkah keluar pintu, kami menatapnya. Tapi lalu ia berhenti dan memanggil kembali dari
balik bahunya. "Well" Kalian mau ikut atau tidak?"
Kami berdiri dan mengikuti Art persis lewat jalur kedatangan kami tadi. Nggak seorang pun bertanya tentang Mr.
Solomon, tapi satu lirikan pada cewek-cewek yang mengikuti
di belakang si pria maintenance memberitahuku bahwa kami
semua bertanya-tanya hal yang persis sama.
Well, buat itu dua hal: 1.) Di mana Mr. Solomon" dan 2.)
Apa yang terjadi pada Art"
Laki-laki itu berjalan sedikit pincang, tak sekali pun kaki
kanannya mendarat stabil di lantai batu. Tangan kirinya tergantung di sisinya dengan sudut aneh, dan kacamata setebal
botol pasti membuat dunia terlihat sangat berbeda di matanya.
Tapi nggak satu pun dari hal-hal itu menghentikannya menukas, "Walters!" waktu Tina membisikkan sesuatu pada Eva,
jadi aku cukup yakin pendengarannya sangat sempurna.
Kami melewati pintu-pintu kayu kuno dengan kunci-kunci
149 yang kelihatannya harus dibuka dengan anak kunci seberat dua
ton. Kami naik lebih tinggi, melewati ruangan-ruangan yang
terlihat seperti set dari film-film monster lama.
Waktu kami mendekati puncak, kami semua berjalan lebih
cepat, ke arah lift, menyangka bahwa kami cukup pintar, cukup berpengalaman, dan cukup hebat untuk menebak apa yang
akan terjadi berikutnya. Tapi salah satu peraturan terpenting
operasi rahasia adalah Selalu mengantisipasi, jangan pernah berkomitmen, dan itu adalah saat yang bagus untuk mengingatnya.
Karena Art berseru, "Nona-nona!" Dan seluruh anggota
kelas berhenti mendadak. Kami menoleh untuk melihat lakilaki itu berdiri di depan salah satu pintu raksasa yang, sampai
saat itu, belum kulihat terbuka. Ia meraih ke dalam dan menyalakan saklar. Cahaya menggantikan bayang-bayang dan
menari-nari di atas lantai batu saat Art melangkah dengan
kakinya yang bengkok. "Bex," bisikku saat kami mengikutinya ke dalam. "Apakah
dia terlihat?" Tapi aku nggak menyelesaikan kalimatku. Oh, yang benar
saja"aku tak bisa menyelesaikan kalimatku. Karena ruangan
yang kami masuki bukan ruangan biasa. Itu bukan ruangan
untuk kelas biasa. Barisan pakaian berjajar di dua dinding panjang. Di tengahtengah, berdiri sekumpulan rak penuh aksesori. Berbagai cermin
berdiri di barisan panjang di bagian belakang ruangan, rak dan
laci, semuanya dilabeli dengan rapi, duduk menunggu.
"Ini lemari ," kata Eva Alvarez kagum.
"Dan... besar sekali," balas Tina Walters.
Aku tahu cewek-cewek normal mungkin akan senang sekali
150 menemukan diri mereka di dalam lemari yang dua kali lebih
besar daripada ukuran sebagian besar rumah pinggir kota. Tapi
bukan lemari ini. Lemari ini hanya bisa dihargai oleh Gallagher
Girl. Kami semua melangkah masuk, tahu kami akan memulai
pelajaran yang benar-benar baru.
Eva mengulurkan tangan ke saklar lain, dan lampu yang
mengelilingi cermin-cermin di bagian belakang ruangan menyala, menyinari berbagai topi dan wig, kacamata dan gigi
palsu. Mantel luar dan payung.
Aku menatap pria yang membawa kami ke sana. Aku mengalihkan pandanganku dari kaki pincangnya dan lengannya
yang terluka" dan aku tahu.
Art melangkah ke tengah ruangan dan berkata, "Nonanona." Ia melepaskan kacamatanya dengan lengan kiri, yang,
untuk pertama kalinya, tampak normal dan lurus. Ia melepaskan sepatu kanan, memungutnya, dan menjatuhkan kerikil
kecil ke tangannya, lalu berdiri tegak di atas kaki kanannya.
Lalu akhirnya ia melepaskan wig abu-abu itu dan menjatuhkannya ke rak tengah rendah yang berdiri di sepanjang ruangan
itu. Tina Walters tersentak. Anna Fetterman tersandung ke belakang. Hanya Mr. Solomon di ruangan itu yang tersenyum saat
ia mengembangkan lengan ke sekeliling lemari Akademi
Gallagher. "Perubahan kecil. Perbedaan besar."
Mr. Solomon melepaskan kemeja "Art" dan berdiri di
depan kami memakai T-shirt putih (tapi celana hitamnya tetap
dipakai). "Selamat datang ke ilmu penyamaran."
Satu menit penuh kemudian, setengah anggota kelas masih
menatap Joe Solomon, bertanya-tanya bagaimana Art tua yang
151 agak membuat kami kasihan bisa berubah jadi pria keren yang
sudah kami lihat setiap hari sekolah selama lebih dari setahun.
Tapi aku berputar, menatap fantasi utama seekor bunglon"
tempat yang dibuat dengan tujuan tunggal untuk membuat
seseorang menghilang. Lalu aku melihat Bex, dan kegembiraanku langsung digantikan perasaan nggak enak.
Karena Bex tersenyum. Dan mengangguk. Dan berbisik,
"Rencana B?" 152 Bab En a m B e l a s Laporan Operasi Rahasia Setelah mengetahui bahwa Pelaksana McHenry berada dalam bahaya, dengan ancaman yang berasal dari seseorang (atau beberapa orang) yang mengetahui identitas Akademi Gallagher untuk
Wanita Muda Berbakat yang sebenarnya, Pelaksana Morgan,
Baxter, dan Sutton memutuskan untuk melaksanakan operasi
bayang-bayang untuk mengawasi keamanan Pelaksana McHenry.
Operasi itu juga melibatkan banyak eye shadow.
pakah itu sinting" Ya.
Apakah itu perlu" Mungkin.
Apakah ada cara untuk membujuk Bex tidak melakukannya"
Hanya kalau kami setuju untuk melaksanakan pilihan mengikat
Macey, jadi sungguh, sepertinya ini pilihan terbaik kami.
Kami menghabiskan sepanjang Jumat sore untuk meriset,
153 merencanakan, dan memakai banyak sekali aksesori rahasia,
tapi hari Sabtu pagi yang bisa kulakukan hanyalah berjalan
bersama Bex dan Liz menyusuri koridor-koridor, melawan
kombinasi nostalgia dan kegugupan yang tampaknya makin
besar dengan setiap langkah yang kami ambil.
Bagaimanapun, sudah berbulan-bulan aku nggak keluar
daerah sekolah (secara nggak resmi); aku belum membuka
jalan rahasia mana pun; aku belum melanggar peraturan apa
pun. (Oke, aku belum melanggar peraturan besar apa pun.)
Tapi waktu aku meraih patung kakak-beradik Rozell
(Gallagher Girl kembar identik yang pernah menjadi agen
ganda"secara harfiah"pada Perang Dunia pertama), aku
nggak bisa menghilangkan perasaan bahwa aku akan membuka
celah ke sesuatu yang jauh lebih gelap dan dalam daripada
jalan rahasia mana pun yang pernah kutemukan.
Dan itu sebelum aku mendengar Liz berseru, "Ew!" lalu melihatnya melompat mundur, tersandung kaki Bex, dan menabrak dinding, melukai sikunya dalam proses itu.
Para Pelaksana membawa perlengkapan yang diperlukan untuk
operasi penipuan-dan-penyamaran mendetail.
Tapi, mereka tidak membawa perlengkapan yang diperlukan
untuk membunuh laba-laba.
Sarang laba-laba penuh debu tergantung di antara palang-palang rendah, tampak seperti detektor pengintaian kecil alami.
Laba-laba terbesar yang pernah kulihat berlari menjauhi cahaya, dan aku hanya berdiri di sana mengingat bahwa ada banyak, banyak sekali alasan mengapa Gallagher Girl harus terus
berlatih. Satu, kau nggak mau kehilangan kemampuan. Dua,
154 kau nggak pernah tahu kapan kau mungkin harus menggunakan latihanmu. Dan tiga, kalau kau sudah terlalu lama nggak
menggunakan jalan-jalan rahasiamu, hal-hal lain cenderung
mengambil alih saat kau nggak ada.
Bahkan Bex melangkah mundur jauh-jauh. (Karena, walaupun Bex sangat bersedia melawan tiga penyerang bersenjata
sekaligus, lain lagi masalahnya dengan laba-laba.) Tapi Liz-lah
yang kutatap. Bagaimanapun, di sanalah kami, terkunci di tempat teraman di negara ini, namun Liz sudah berdarah.
"Hei, Liz, mungkin sebaiknya kau tetap di sini. Tahu, kan"
untuk memasang dan mengatur pusat komunikasi?"
"Lebih baik kalau aku berada di lokasi," Liz balas mendebat.
"Dan melindungi kami," tambahku, "kalau seseorang mulai
bertanya di mana kami."
"Sekarang Sabtu," Liz mengingatkanku. "Di bangunan yang
sangat besar. Bangunan yang kau terkenal sering menghilang
di dalamnya." "Tapi?" Aku nggak tahu apa yang terjadi padaku, tapi
tiba-tiba aku merasa seseorang seharusnya mengubah nama
panggilanku dari Cammie si Bunglon menjadi Cammie si
Koruptor. Aku bakal menyelinap keluar dari sekolahku (lagi),
untuk melakukan sesuatu yang seharusnya nggak kulakukan
(lagi). Tapi bukan itu yang membuatku cemas saat aku menatap Liz, yang beratnya hampir nggak mencapai 50 kilogram,
lalu melihat terowongan rahasia yang mungkin membawa kami
kepada orang-orang jahat sungguhan dengan senjata sungguhan. "Liz, hanya saja?"
"Kenapa kau nggak menyuruh Bex saja yang tinggal?" balas
Liz, tapi kami semua tahu jawabannya: satu-satunya cara Bex
155 bakal melewatkan ini adalah jika dirinya pingsan. Dan terikat.
Dan dikurung di lubang perlindungan beton. Di Siberia.
Itu hampir membuatku tertawa. Hampir. Tapi waktu kudengar Bex berkata, "Mungkin sebaiknya kau nggak ikut misi
ini, Lizzie," aku tahu sahabatku juga memikirkan hal yang
sama. Bahwa begitu kami melangkah maju, mungkin kami
nggak bakal bisa kembali. Dalam berbagai cara.
Liz itu genius"jenis genius yang membuat kami, selain dia,
nggak ada apa-apanya. Dia tahu risiko misi ini. Dia mungkin
sudah mengalkulasi kemungkinan kami tertangkap, kemungkinan kami terluka, dan (kalau itu nggak terlalu traumatis baginya
untuk dipikirkan) kemungkinan nilai ujian tengah semester
kami diturunkan satu tingkat penuh. Tapi tetap saja dia berpaling dengan sikap menantang dan berjalan melewati sarang
laba-laba itu. Nggak mungkin lagi menyembunyikan jejak kami saat
itu"nggak mungkin kembali"jadi Bex mengayunkan tangan
ke pintu, memberi isyarat "silakan duluan."
Aku melangkah ke dalam kegelapan tanpa apa pun kecuali
latihanku, penyamaranku, dan teman-temanku yang akan mengikutiku sampai ke ujung dunia, nggak peduli apa yang menunggu kami di sisi lain.
Well, ternyata yang menunggu kami adalah minivan Dodge tahun 1987.
Dan Liz yang punya kuncinya.
"Liz," kataku, berjalan ke arahnya, berharap tak seorang
pun bakal berjalan lewat dan melihat kami. (Sebagian karena
kami memang nggak seharusnya berada di sana. Sebagian lagi
karena" well" itu minivan yang amat sangat jelek.)
156 Tapi Liz cuma berkata, "Masuklah." Lalu ia berhenti. "Siapa
yang menyetir?" Bex mencoba meraih kuncinya, tapi mengingat kecenderungannya untuk lupa sisi jalan mana seharusnya kami berada, aku
menyambar kunci itu dari genggamannya.
"Liz," kataku lagi, menatap bumper minivan yang berkarat,
"waktu kau bilang kau bisa mendapatkan mobil untuk kita"
Liz, dari mana kau mendapat mobil ini?"
"Ini proyek," katanya sederhana sambil memakai sabuk
pengaman di kursi belakang.
Aku menarik pintu di sisi pengemudi, dan selama sedetik
kukira pintunya bakal lepas dari engsel. Aku menatap kursinya.
Isinya menyembul keluar dari jahitan yang mulai lepas. Bisa
dibilang setirnya direkatkan dengan selotip.
"Proyek macam apa?" tanyaku, hampir takut mendengar
jawabannya karena sesuatu memberitahuku bahwa mendorong
van itu ke Philadelphia nggak bakal membantu tujuan misi
kami. "Oh, berikan itu padaku," kata Bex, menyambar kuncinya
dari tanganku. Ia memasukkan kunci ke lubang starter dan memutarnya, lalu" tidak terjadi apa-apa.
"Hebat!" seruku. "Mobil ini bahkan nggak jalan." Tapi lalu
aku merasakannya. Mobil itu menyala, tapi mesinnya hampir
tak terdengar, hampir tak bergerak.
"Teknologi baru," kata Liz sambil mengangkat bahu. "Dr. Fibs
membantuku. Kami berhasil membuatnya berjalan sejauh 400
kilometer cuma dengan bahan bakar 3,7 liter sekarang," katanya,
menampilkan sedikit sekali senyum bangga. "Tapi kurasa aku
akan membuatnya sampai 520 kilometer Natal nanti."
157 Siapa bilang Gallagher Girl di jalur riset dan operasi nggak
mendapat kesempatan untuk menyelamatkan dunia"
Kami melewatkan beberapa jam berikutnya dalam keheningan.
Well, itu kalau keheningan yang kaumaksud adalah Liz yang
mengoceh nonstop seperti yang biasa dilakukannya saat gugup,
dan Bex betul-betul nggak mengacuhkannya seperti yang biasa
dilakukannya kalau dia gugup. Dan aku" Aku hanya menyetir,
mendengarkan hujan yang turun saat kami melewati perbatasan
Pennsylvania. Wiper jendelanya nggak secanggih teknologi
mesinnya karena wiper itu macet, meninggalkan garis-garis di
kaca yang menangkap cahaya lampu depan mobil-mobil yang
lewat, dan waktu kami sampai ke Philadelphia, segalanya sudah
tampak kabur. "Belok kanan," kata Liz, mengarahkan kami melewati jalanjalan berbatu yang sempit. Bangunan-bangunan yang lebih tua
daripada Deklarasi Kemerdekaan membubung ke langit berhujan. Mungkin aku mengharapkan keramaian Ohio, penutupan jalan dan kekacauan konvensi, tapi sebaliknya saat kami
mengintip ke luar jendela kotor itu, ke arah jalan-jalan hitam
yang licin, mau nggak mau aku berpikir bahwa sesuatu terasa"
berbeda. "Kau yakin ini tempat yang benar?" tanyaku. Liz mencondongkan diri di antara kedua kursi depan, tapi sebelum ia
bisa bersikap terlalu terhina, kami menoleh dan melihat bangunan batu besar yang memenuhi dua blok kota. Pilar-pilar
raksasa berjajar di pintu depannya, sehingga bangunan itu
lebih terlihat seperti kuil Romawi daripada stasiun kereta api.
Dan di sana, di tengah-tengah gambaran itu, tampak spanduk
sepanjang 15 meter berbunyi WINTERS-MCHENRY:
158 MENGEMBALIKAN AMERIKA KE JALUR YANG
BENAR. Hujan turun makin lebat. Genangan-genangan air berkumpul di trotoar. Dan di sebelahku, Bex berkata, "Kita sudah
sampai." 159 Bab Tu ju h B e l a s etiap misi adalah pelajaran"di sekolah dan dalam hidup.
Dan sebelum kami mencapai pintu stasiun 30th Street, aku
mempelajari dua hal yang sangat penting.
1. Berpakaian bersama dua cewek lain di bagian
Jangan Menilai Cewek Dari Penyamarannya Dont Judge A Girl By Her Cover Gallagher Girls 3 Karya Ally Carter di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
belakang minivan Dodge seharusnya mendapatkan
nilai ekstra di kelas P&P.
2. Meskipun mereka sahabatmu, seharusnya kau jangan
pernah memercayai agen lain untuk menyiapkan
pakaian untukmu. "Aku nggak percaya aku memakai ini," gumamku sambil menarik ujung jahitan gaun hitam kecil yang diselundupkan sendiri
oleh Bex dari Sublevel Dua. Tapi gaun ini nggak terasa seperti
gaun. Rasanya seperti" siksaan. Siksaan berupa gaun bergaris
punggung sangat rendah dan sepatu berhak sangat tinggi.
Limusin-limusin panjang berjajar di luar tangga utama.
160 Agen-agen Dinas Rahasia berdiri berjaga di setiap pintu keluar,
tapi tetap saja Bex berbisik, "Kunci dari penipuan dan penyamaran adalah melanggar kecenderungan dan norma."
Dan saat itu aku tahu bahwa memiliki teman-teman genius
yang sangat hebat dalam menghapalkan buku teks kadang bisa
jadi hal yang sangat buruk, karena Bex betul: gaun itu jelas
sama sekali tidak sesuai norma.
Tetap saja, aku nggak bisa menahan diri berkata, "Kalau
begitu seharusnya kau yang memakainya." Tapi Bex cuma
mengangkat bahu. "Aku akan senang sekali memakainya,"jawab Bex. "Dan
itulah masalahnya." Inilah yang perlu kauketahui tentang penyamaran: intinya
bukan menjadi nggak kelihatan. Bukan jadi tidak diperhatikan.
Intinya adalah tidak dikenali"melepaskan kulitmu. Dan saat
itu aku nggak mengkhawatirkan Dinas Rahasia atau kelima
ratus penyumbang pesta yang berpengaruh itu. Saat itu satusatunya kekhawatiran kami adalah Aunt Abby: mengelabuinya
berarti meninggalkan identitas kami di van.
Aku melirik Liz, yang rambut pirang panjangnya tersembunyi di bawah wig cokelat gelap. Bex juga mengenakan
wig, ditambah kacamata dan bodysuit berisi yang mengubah
bentuk alami figur atletisnya. Kami menggunakan setiap trik
di lemari Akademi Gallagher, dan waktu kami melewati
jendela-jendela gelap stasiun itu, aku menangkap bayangan tiga
orang asing sebelum menyadari bahwa, yang mengagumkan,
mereka adalah kami. Aku bahkan nggak mengenali diriku sendiri di bawah wig, lensa kontak berwarna, dan hidung palsu
yang mengubah wajahku yang mudah dilupakan menjadi wajah
yang" sama sekali nggak mudah dilupakan.
161 "Oke, teman-teman," kataku, "menurut cetak birunya, ada
panel akses lift di sisi timur bangunan. Kita mungkin bakal
sedikit kotor, tapi?"
"Kupikir kita bakal masuk lewat pintu," kata Liz, melambaikan tiga undangan dengan tulisan berukir indah dan
beberapa identitas palsu yang sangat mirip aslinya.
Setiap tiketnya berharga AS $20,000. Dinas Rahasia sudah
memeriksa daftar tamunya selama berminggu-minggu, jadi Bex
dan aku berhenti di bawah lampu jalan dan mengamati Liz.
"Apa aku bahkan ingin tahu di mana kau mendapatkan
itu?" tanyaku. Liz tampak memikirkannya, lalu menjawab, "Nggak."
Dan dengan semudah itu, aku teringat bahwa mungkin Lizlah yang paling berbahaya di antara kami.
Melangkah ke dalam stasiun itu rasanya seperti melangkah ke
dalam dunia lain. Ukiran-ukiran indah menutupi langit-langit
yang tingginya paling tidak 15 meter. Sekelompok pemusik
bermain di balkon lantai dua, musik mereka bergema di lantai
batu, sementara lima ratus pria dan wanita makan, minum,
dan bicara tentang perjalanan ke Gedung Putih.
Aku nggak mau memikirkan jenis bantuan yang harus diminta seseorang untuk menutup seluruh stasiun sepanjang
malam itu (dan setelah kupikir-pikir, mungkin bantuan Kongres dilibatkan dalam hal itu), jadi aku hanya berdiri di puncak
tangga bersama sahabat-sahabatku dan sebuah patung indah
malaikat Mikael, yang menggendong prajurit terluka di lengannya, sayapnya bersiap terbang. Entah bagaimana, rasanya seakan kami berempat sedang mencari Macey.
162 "Ada tanda?" tanyaku dua puluh menit kemudian sambil
berjalan melewati kerumunan.
"Negatif," jawab Bex.
"Wow, kalian tahu nggak sistem kereta api Pennsylvania
sudah ada sejak?" "Liz!" tukasku dan Bex bersamaan.
"Nama sandiku Kutu Buku," Liz mengoreksi, dan aku betulbetul nggak bisa protes.
"Kutu Buku, di jadwal resminya tertulis apa lagi?" tanyaku,
perlu mendengarnya. "Katanya Macey akan tampil di depan publik satu kali hari
ini. Dia akan sampai jam setengah delapan lewat Back on
Track Express"apa pun itu maksudnya."
"Jam berapa sekarang?" kataku.
"Kau tahu jam berapa sekarang," Bex mengingatkanku, tapi
aku berharap aku salah, karena para kandidat dan keluarga
mereka" terlambat. Terlambat berarti kesalahan.
Kesalahan berarti masalah.
Dan masalah" well, aku betul-betul nggak mau memikirkan
apa artinya itu. Peringatan Mr. Solomon terus terngiang di benakku saat
aku mengamati kerumunan, teringat bahwa orang-orang jahat
bisa menyamar jadi siapa saja, bahwa mereka bisa berada di
mana saja"bahwa mereka tahu siapa kami. Dan mereka hanya
perlu beruntung" satu kali.
Mungkin karena latihan mata-mataku; mungkin karena imajinasi sinting yang hiperaktif, tapi rasanya seakan ke mana pun
aku memandang, orang-orang tampak mencurigakan.
Ada laki-laki berdasi kupu-kupu merah yang menabrakku
163 bukan sekali, bukan dua kali, tapi tiga kali dan sedikit" meraba. Naluri pertamaku adalah memanggil Macey di unit komunikasi untuk mengecek apakah laki-laki itu sedang menggodaku, tapi lalu aku ingat bahwa satu-satunya Gallagher Girl yang
punya jawaban terhadap pertanyaan itu adalah satu-satunya
Gallagher Girl yang nggak bisa kutanyai.
"Bunglon," suara Bex terdengar di telingaku. "Cammie, apakah kau?"
"Aku di sini," kataku.
"Ada masalah apa?" tanya Bex, aksennya terdengar jelas
lagi. "Nggak ada apa-apa. Maksudku?" Aku berputar, bersikap
sebaik mungkin agar tidak tampak mencurigakan, tapi sesuatu"
nggak beres. "Pandangan mata," kataku, mengutip sumber utama seorang
agen"nalurinya. "Aku merasakan tatapan banyak mata. Seseorang" sedang mengamati."
"Yeah," kata Bex, suaranya penuh dengan ucapan jelas saja
yang jelas. "Kau tampak cantik sekali."
Well, itu menjelaskan satu hal, karena aku hebat dalam
menjaga rahasia. Aku hebat dalam menjadi nggak terlihat.
Tapi aku betul-betul nggak hebat dalam menjadi cantik.
Aku berjalan melewati kerumunan lagi, tahu bahwa malam
semakin larut, dan mau nggak mau aku makin khawatir.
Kilasan-kilasan Boston muncul di benakku. Aku memejamkan
mata dan merinding, melihat kerumunan yang hampir sama,
merasakan perasaan yang hampir sama dengan Boston.
"Kutu Buku, Duchess," aku memulai, tapi kemudian terdiam
karena aku nggak tahu bagaimana seharusnya kalimat itu berakhir.
164 "Ada tanda-tanda mereka?" tanyaku akhirnya.
"Nggak ada bus," Liz memberitahuku dari sudut pandangnya
di samping jendela. "Nggak ada tanda-tanda di pintu masuk timur. Tunggu,"
kata Bex, mendadak terdiam.
Suasana kerumunan mulai berubah. Energi yang sangat jelas
berjalan melewati stasiun bersejarah tua itu hingga aku menatap ke luar jendela-jendela besarnya pada langit yang berawan, setengah mengharapkan kilat.
"Oh astaga," seru Liz, menirukan kekagetan Bex.
"Apa?" kataku keras-keras, nggak peduli jika ada yang memperhatikan. Aku berbalik, menatap pintu masuk utama stasiun,
tapi lalu kurasakan kerumunan orang bergerak di belakangku.
Aku berbalik perlahan dan menyadari bahwa tidak ada bus.
Tidak ada konvoi. Namun, kereta api panjang yang terlihat tua dengan kain
merah, putih, dan biru bergaya kuno tergantung dari gerbong
belakangnya bergerak perlahan-lahan memasuki stasiun.
Dalam detik berikutnya, nggak penting seberapa hebat unit
komunikasi kami, karena seruan yang muncul dari lima ratus
pemberi suara yang bersemangat sudah cukup untuk menenggelamkan suara sahabat-sahabatku di telingaku.
Gubernur Winters dan ayah Macey melangkah keluar ke
panggung di belakang gerbong terakhir, lalu istri-istri mereka
muncul. Macey dan Preston selangkah di belakang mereka.
Aku menunggu rasa takut di perutku menghilang. Kukatakan pada diri sendiri bahwa aku sedikit sinting. Bagaimanapun,
Macey sedang tersenyum. Dia sedang melambai. Dia agen yang
sempurna dengan penyamaran sempurna. Aunt Abby ada di
sebelahnya. Dia baik-baik saja.
165 Selama sedetik gelombang kelegaan yang begitu besar melandaku. Tapi lalu kerumunan bergerak, dan selama sepersekian
detik pandanganku jatuh pada satu lelaki.
Laki-laki berambut putih berantakan dan alis lebat.
Laki-laki yang pernah kulihat.
Di Boston. 166 Bab D e l a p a n B e l a s
ukan berarti itu penting. Mungkin saja itu bukan apa-apa.
Bagaimanapun, mungkin banyak orang pergi ke konvensi
politik dan rally politik. Dan Dinas Rahasia ada di sana"Dinas
Rahasia itu hebat. Tetap saja, aku nggak tahu mana yang lebih menakutkan,
bahwa aku pernah melihat lelaki di kerumunan yang juga kutemui pada hari yang persis sama dengan hari teman sekamarku diserang, atau bahwa"secepat itu juga"wajah familier
tersebut menghilang. "Duchess!" aku praktis berteriak, tapi kerumunan orang terlalu berisik, persaingannya terlalu ketat, dan orang-orang yang
menginginkan Winters-McHenry untuk menang pada hari
Pemilihan Umum terlalu bersemangat saat aku memanggil
teman-temanku lewat unit komunikasi kami. "Duchess, ada
seorang lelaki" memakai setelan?" Aku memanjat tangga
utama agar bisa melihat panggung dengan lebih baik, dan saat
167 itulah aku sadar bahwa aku baru saja mendeskripsikan setengah
anggota kerumunan yang sedang bertepuk tangan. "Setelan
warna gelap," aku menambahkan. "Rambut putih berantakan.
Alis lebat. Kumis," aku menyebutkan karakteristik lelaki itu
untuk mengidentifikasi secepat aku bisa memikirkannya.
Pelaksana menyadari bahwa hak yang sangat tinggi membuatnya
sangat sulit mengejar orang dengan cepat di lantai yang sangat
licin! Band bermain. Orang-orang minum. Dan di tempat keretanya
berdiri di ujung panggung, aku melihat wajah itu lagi. Aku mengenali sesuatu dalam caranya bergerak, dan pikiranku melayang
kembali ke lobi hotel Boston saat delegasi Texas bernyanyi.
Lalu aku melirik kereta dan melihat Aunt Abby berdiri di
pinggir, 3 meter dari Macey dan persis di tempat ia seharusnya berada. Laki-laki berambut putih itu bergerak makin dekat.
Aku nggak tahu bagaimana mendeskripsikannya, mungkin
itu hal terpenting dari semuanya. Laki-laki itu hanya bergerak
melewati kerumunan seakan dia seharusnya ada di tempat lain.
Sebut aku sinting, tapi aku nggak bisa menghilangkan perasaan
bahwa tak seorang pun membayar 20.000 dolar hanya untuk
pergi saat acara utama tengah berlangsung.
Aku menembus kerumunan secepat yang berani kulakukan
tanpa A) jatuh, dan B) menarik perhatian. Dan aku melakukan keduanya dengan cukup baik, sampai salah satu pelayan
memilih saat itu untuk melepaskan genggamannya pada senampan sampanye. Saat gelas-gelasnya jatuh, aku melangkah
minggir dan berbalik. 168 Dan langsung menabrak Preston Winters.
"Oh, aku benar-benar minta maaf!" seru Preston, mencengkeram bahuku seakan aku bakal jatuh. (Dan itu nggak
benar, tapi dia mungkin nggak perlu tahu bahwa ada bagianbagian khusus dalam kelas Perlindungan dan Penegakan yang
ditujukan untuk membantu agen menjaga keseimbangan.) "Kau
baik-baik saja" Boleh aku mengambilkanmu" punch" atau
apa?" "Aku tidak apa-apa, tapi terima kasih," kataku sambil memikirkan daftar hal yang kacau pada saat itu, melupakan hal
paling bermasalah dari semuanya.
"Apakah kita pernah bertemu?" tanya Preston, menatapku
dengan cara yang mengatakan bahwa, terlepas dari wig hitam
panjang dan gaun hitam ketat yang kupakai, ada sesuatu yang
sangat familier tentang diriku.
"Tidak, kurasa kita belum pernah bertemu," kataku dengan aksen Selatan terbaikku. Aku mencoba menjauh. Lakilaki berambut putih itu bergerak pelan menyusuri panjang
kereta dan ke dalam terowongan batu tempat asal kereta itu,
dan aku cuma bisa berdiri di sana memikirkan pilihan-pilihanku.
Pelaksana menyesal tidak membawa lembaran Napotine gaya BandAid terbaru karya Dr. Fibs. Dia juga menyesal tidak membawa
beberapa Band-Aid biasa, karena sepatunya betul-betul membuat
kakinya sakit. Ayah Preston berdiri di panggung buatan di balik gerbong
belakang kereta bergaya kuno itu"penghormatan kepada masamasa yang lebih baik"dan memberitahu kerumunan orang,
169 "Kita akan membawa Amerika kembali ke jalur yang benar!"
Kerumunan bersorak, tapi aku terlalu sibuk mendengarkan dua
suara. Satu milik cowok di depanku, yang bertanya, "Aku tahu,
kau juga datang di rally Atlanta, kan?" Satunya lagi berdengung
di telingaku selagi Bex berseru, "Kalian nggak bakal percaya siapa
yang ada di sini! Pandangan," katanya lagi. "Aku punya
pandangan ke?" Tapi kemudian nggak terdengar apa pun kecuali nada statis
saat suara teman sekamarku menghilang. Pikiran pertamaku
adalah mengangkat tangan ke telingaku dan berteriak seperti
amatir sungguhan, tapi aku nggak melakukannya.
"Nah, aku betul-betul tahu kita pernah bertemu," Preston
melanjutkan, tidak menyadari kepanikanku. "Ayolah. Bantu
aku." Aku bisa saja berbohong. Aku bisa saja berkelahi. Tapi
saat-saat kritis membutuhkan tindakan-tindakan kritis, jadi aku
mengambil risiko dan mengeluarkan senjata terakhir Gallagher
Girl. Aku menggoda Preston.
"Maafkan aku," kataku sambil mengedip-ngedipkan bulu
mata palsuku. "Aku cuma sedikit gugup setiap kali ada di dekat cowok yang tampan."
"Um?" Preston menelan ludah dengan gugup. "Tampan?"
Langsung saja, kurasakan situasinya berbalik.
"Ya," jawabku, mengulurkan tangan untuk memegang otot
bisepnya. "Sungguh, kau bahkan lebih kuat daripada yang
terlihat di TV." Preston menelan ludah lagi dan entah bagaimana berhasil
berkata, "Kau tahu aku mengangkat" benda-benda."
"Oh, aku bisa melihatnya." Di telingaku, suara Bex tenggelam dalam nada statis, tapi misiku saat itu adalah menjauh dari
Preston Winters tanpa cowok itu menyadari bahwa cewek yang
170 memakai gaun hitam ini adalah cewek sama yang berada di
atap. "Kau tahu, ini favoritku dari semua jasmu. Aku juga menyukai yang warna biru bergaris-garis, tentu saja, tapi kau memakai yang itu di Boston, kan" Jadi sekarang inilah favoritku?"
Aku terus mengoceh tentang dasi Preston mana yang lebih
cocok dengan matanya, tapi sebelum aku bisa mengucapkan
sepatah kata pun, Preston sudah menunjuk ke orangtuanya di
seberang ruangan. "Tunggu. Oh, kau tahu, kurasa mereka memerlukanku untuk melakukan" beberapa hal."
"Oh, tapi?" kataku saat dia mulai berjalan pergi.
"Terima kasih untuk suaramu," serunya sambil menoleh kembali.
Tapi aku sudah nggak ada.
"Duchess," aku mencoba bicara sambil bergerak makin dekat ke terowongan kereta. "Duchess," aku kembali mencoba
sambil menoleh sekali lagi ke pesta, pada Macey dan Aunt
Abby, dan aku tahu aku punya dua pilihan. Satu, aku bisa
melambai memanggil bibiku, yang bakal menghasilkan bala
Jangan Menilai Cewek Dari Penyamarannya Dont Judge A Girl By Her Cover Gallagher Girls 3 Karya Ally Carter di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bantuan dan kemungkinan bibiku memberitahu Mom apa yang
kulakukan. Atau dua, aku bisa mengikuti tersangka pelaku
penculikan ke dalam terowongan gelap, tanpa backup, tanpa
bantuan. Jadi aku melakukan yang kedua karena, saat itu, pilihan
tersebut yang paling nggak menakutkan dari pilihan-pilihanku.
Saat aku melangkah ke dalam ruang remang-remang itu,
suara kerumunan orang perlahan menghilang di belakangku
sementara, di telingaku, unit komunikasi mulai berderak dan
berdengung. 171 Aku berjalan menyusuri terowongan gelap itu, sepatuku
(yang betul-betul nggak nyaman) menggesek beton dingin sepelan bisikan. Tapi itu sebelum ada tangan menutup mulutku,
sebuah lengan melingkari pinggangku erat-erat, dan seseorang
menarikku hingga sepatuku terlepas.
"Hei, Bunglon, bagaimana keadaanmu?" suara Bex terdengar
keras di telingaku. Pikiran pertamaku adalah memberontak melawan lengan
yang memegangiku. Pikiran keduaku adalah, Hei, kok Bex bisa
bicara di telingaku kalau unit komunikasiku mati"
Tapi lalu lengan-lengan itu melepaskanku dan aku berbalik
menghadap sahabatku. "Kau sedang apa di dalam sini?" tanyaku.
Bex tersenyum. "Tebak siapa lagi yang melakukan perjalanan kemari dari Roseville?" tanyanya, matanya bersinar-sinar.
"Bex, sekarang hari Sabtu. Kalau bisa aku lebih suka nggak
ikut kuis mendadak."
Lalu Bex menyambar bahuku dan memutarku. "Lihat."
Pertama kalinya aku melihat Joe Solomon, dia sedang berjalan memasuki Aula Besar saat makan malam selamat datang
waktu aku kelas sepuluh. Tak seorang pun dari kami tahu dari
mana dia datang atau kenapa dia ada di sana. Selagi aku berdiri dalam bayang-bayang, nggak sulit untuk mengingat bagaimana perasaanku saat itu.
"Dia keren sekali memakai tuksedo," kata Bex, dan aku
mulai menukas karena" well" itu nggak perlu dikatakan lagi,
dan kami harus mengkhawatirkan hal-hal lain. Beberapa hal
lain yang betul-betul penting. Karena tepat saat itu Mr.
Solomon nggak sendirian lagi.
172 "Ooh, dia punya teman bertuksedo yang keren," goda Bex.
Tapi aku lebih tahu"aku pernah melihat laki-laki itu, dengan
rambut putih berantakan dan alis lebatnya. Aku pernah melihatnya. Di Boston.
Kedua laki-laki itu bicara sesaat, lalu Mr. Solomon berbalik
dan mulai berjalan pergi, memvariasikan langkahnya supaya
bisa mendengar langkah kaki siapa pun yang mungkin mengikutinya ke dalam terowongan gelap itu, prosedur antipengintaian tepat seperti yang tertulis dalam buku teks, seandainya buku
itu memang ada. Bex mengerling padaku, lebih dari siap menerima tantangan itu, lalu menyelinap memasuki terowongan
pada jarak aman di belakang guru kami. Tapi aku terus menatap pria yang tertinggal di belakang Joe Solomon.
Seseorang yang dikenal Mr. Solomon.
Seseorang yang tampaknya dihormati Mr. Solomon.
Seseorang yang punya kebiasaan berada di tempat Macey"
dan aku"kebetulan berada.
Mungkin karena penampilan keren alami yang dilihat Bex
dan kulewatkan. Mungkin karena cara pria berrambut putih
itu menegakkan diri di terowongan gelap dan bergerak dengan
keanggunan yang nggak cocok dengan bagian lain tubuhnya.
Tapi untuk suatu alasan, aku mengingat kembali cara Mr.
Solomon berdiri memakai seragam "Art" dan memberitahu
kami bagaimana seni penipuan dan penyamaran nggak rumit"
bahkan sebenarnya itu seni yang sederhana: berikan saja sesuatu yang baru pada mata untuk dilihat supaya pikiran tidak
betul-betul melihat. Pikiranku melayang dari Boston dan kembali lagi, perasaan
d?j? vu-nya jadi lebih kuat, potongan-potongan puzzle jatuh ke
tempatnya. Aku memejamkan mata dan melihat mata,
173 bukannya melihat alis, mulut dan bukan melihat kumis. Aku
melepaskan penyamaran itu sepotong demi sepotong dan aku
berdiri dalam kegelapan, sampai akhirnya melihat.
"Zach." Aku harus mengakui bahwa saat itu perasaaanku mengenai
situasi tersebut betul-betul campur aduk. Aku melihat Zach!
Tentu, dia memakai penyamaran. Tentu, semua cowok (apalagi
Blackthorne Boys) mungkin memang ahli dalam seni penyamaran!
Tapi itu nggak mengubah fakta bahwa aku sempat berpikir
bahwa aku telah melihatnya selusin kali sebelum betul-betul
berhadapan dengannya di Ohio. Dan saat ini, aku lebih pintar.
Aku menarik napas, menyadari bahwa di satu sisi, waktu di
Boston aku bukan cuma membayangkan Zach di benakku.
Benakku nggak menipuku. Aku nggak sinting"dalam masalah
cowok atau apa pun. Di sisi lain, aku diikuti olehnya, dan sebagai mata-mata,
aku nggak tahu mana yang lebih buruk.
Dinas Rahasia berdiri berjaga di kedua ujung terowongan,
tapi pintu servis kecil terbuka, kereta yang penuh dengan
nampan makanan dan peti minuman menunggu dibawa naik
ke kereta. Zach berjalan perlahan ke arah pintu itu, lalu dalam
sekejap dia menghilang. Sedetik itu aku harus berkedip, tapi nggak ada keraguan di
benakku ke mana dia pergi. Satu-satunya yang tersisa untuk
dipikirkan" adalah kenapa.
Aku bisa melihat Bex mendekati ujung terowongan, masih
menjaga jarak dari Mr. Solomon. Begitu dia meninggalkan
terowongan dan mendapatkan sinyal di unit komunikasinya
174 lagi, Bex bakal memberitahu Liz bahwa dia memiliki pandangan mata ke guru kami. Di kejauhan, para pemain musik memainkan lagu yang sama dengan yang kami dengar di Ohio,
mengikuti pidato-pidato yang sama. Uap keluar dari kereta di
sampingku. Aku mendengar deritan metal dari mesin yang
nggak akan tertahan untuk waktu lama.
Dan aku melakukan satu-satunya hal yang bisa kulakukan.
Aku naik ke kereta. 175 Bab S e m b i l a n B e l a s
ku belajar banyak hari itu. Misalnya jangan pernah biarkan
Bex memilih kudapan saat kami beristirahat sejenak dalam
perjalanan naik mobil. Selalu bawa sepatu cadangan. Dan
setengah jam kemudian, aku tahu aku harus menambahkan
satu hal lagi ke daftar itu:
Jangan pernah, satu kali pun, menawarkan diri untuk melakukan pengintaian di kereta yang berjalan.
Terutama kalau di dalam kereta itu juga ada bibimu, salah
satu sahabatmu (yang betul-betul nggak tahu kau ada di sana),
dan 37 anggota Dinas Rahasia AS!
Kereta itu terdiri atas 17 gerbong berkoridor sempit dengan
banyak penjaga bersenjata, kompartemen-kompartemen sempit
dan orang-orang yang mabuk karena angka pemilihan suara
dan kafein. Jadi aku merendahkan kepala dan berjalan menyusuri gang, mencoba untuk nggak melupakan bahwa saat
dihadapkan pada situasi ketika kau berada di suatu tempat
176 yang seharusnya kau nggak di sana, peraturan pertamanya
sangat sederhana: jadilah orang lain.
Aku mengambil clipboard terdekat dan bergerak yakin menyusuri gang yang ramai. Mesin-mesin berderit menyala.
Kompartemen berdengung. Dan aku terus bergerak, tersenyum,
bersikap seakan aku senang sekali menjadi bagian dari sejarah
ini. Zach bisa ada di mana saja, dan menilai kemampuan penyamaran-dan-penipuannya sejauh ini, dia bisa jadi siapa saja.
Jadi aku terus berjalan menyusuri koridor, terayun sesuai gerakan kereta, sampai salah satu pekerja magang memanggilku.
"Hei, kau mau ke mana?"
"Pidato baru untuk Merak," kataku, menunjukkan clipboard
dan memutar bola mata. "Oooh," salah satu pria itu berkata, menampilkan ekspresi
simpatik. "Kompartemen empat belas," katanya, menunjuk ke
gerbong berikut. "Bersenang-senanglah," ia meledek, dan aku
tahu penyamaran Macey masih terpasang dengan baik saat aku
membuka pintu ke gerbong berikut.
Aku berjalan menyusuri gang yang ramai, nggak tahu apa
yang akan kutemukan. Tapi saat itu aku tahu aku mungkin
membuat kesalahan terbesar dalam hidupku. Di belakangku,
terdengar suara yang sangat jelas datang dari kerumunan, berkata, "Merak sedang bergerak."
Aku bukan berada di sekolah. Dan sedang menyamar. Memakai gaun hitam yang sangat kecil sementara bibi favoritku
(dan satu-satunya) berjalan mendekat dari belakangku!
Ada pintu di sebelah kiriku, nomor empat belas. Aku menempelkan telingaku ke pintu itu tapi nggak mendengar apaapa. Kucoba hendelnya. Terkunci. Tentu saja.
177 "Ya," suara Abby berkata, makin dekat.
Aku putus asa. Aku mengetuk. "Ms. McHenry, Anda ada
di dalam" Boleh saya bicara?" tanyaku, masih berpegang erat
pada penyamaranku. "Tentu saja," kata Abby di belakangku. "Perimeter 120 meter seharusnya lebih dari cukup."
Aku betul-betul putus asa. Aku melepaskan sebuah jepit
rambut dari rambutku. Dan mencoba membuka kuncinya.
Kurasakan kuncinya terbuka persis ketika Abby melepaskan
diri dari kerumunan orang, dan pada detik berikut aku dikelilingi kegelapan.
Kurasakan seseorang meraihku, tapi aku menghindarinya.
Sebuah tangan menyambar rambutku"atau apa yang dikiranya rambutku"dan menarik wig hingga lepas. Suara Abby
lebih keras sekarang"persis di luar"dan di dalam kompartemen mungil itu suasana menjadi hening.
Tampak sinar kuning samar di celah kecil di bawah pintu,
dan dalam cahaya itu kulihat Zach memandang wig itu, kepadaku, lalu kembali lagi ke wig.
"Seharusnya kau nggak ada di sini, Gallagher Girl." Nadanya tidak menggoda. Nadanya tidak senang. Zach tidak tersenyum atau menggodaku. Dia"
Marah. Semarah yang belum pernah kulihat. Aku bahkan nggak
tahu dia bisa semarah itu. Sejak dulu aku tahu Zach kuat
(nggak mungkin seorang cewek latihan berkelahi dengan seorang cowok di kelas P&P selama satu semester dan nggak
mengetahui hal itu), tapi saat itu Zach tampak sekeras batu.
Hal pertama yang menghantamku adalah keterkejutan. Hal
kedua" kemarahan. 178 "Kau bilang padaku seharusnya aku nggak ada di sini?"
tukasku. Tentu, bibiku dan setengah anggota Dinas Rahasia
AS mungkin ada persis di luar pintu saat itu, namun aku
nggak bisa menghentikan diriku.
"Ini berbahaya," kata Zach.
"Seandainya kau nggak tahu, aku bisa menjaga diri sendiri."
Sayangnya, kereta memilih saat itu untuk tersentak, dan
meskipun aku sudah mendapat pelatihan perlindungan-danpenegakan terbaik di dunia, kurasakan diriku tersandung, jatuh
ke lengan Zach yang terulur.
Aku mulai menjauh, tapi dia memegangiku.
"Ssttt," katanya saat suara-suara di koridor menghilang sedetik.
Lalu hal yang paling menakutkan dari semuanya terjadi:
Zach tampak seperti ingin menciumku"
Tapi dia nggak melakukannya.
Dia cowok sama yang mencondongkan tubuhku seperti di
film-film di depan seluruh siswi sekolahku pada pertengahan
minggu ujian akhir, namun di sanalah kami berada, berdesakdesakan dalam kegelapan kereta yang bergerak, adrenalin dan
hujan menyelimuti kami, tapi dia nggak melakukan apa-apa.
"Penyamaran bagus," katanya padaku, akhirnya tersenyum.
"Kau juga," kataku. Aku memikirkan saat itu"apa artinya,
berapa lama aku menginginkannya berlangsung, dan apa yang
rela kuberikan untuk menemukan kebenarannya. Jadi karena
itulah aku menambahkan, "Kelihatannya bahkan lebih bagus
lagi di Boston." Ada saat-saat dalam hidup mata-mata ketika waktu berjalan
lebih cepat, lalu ada juga detik-detik yang sepertinya ber179
langsung seumur hidup. Dan ini" ini adalah salah satu saat
itu, detik-detik yang sepertinya berlangsung bertahun-tahun.
Di ruang sempit itu, dengan lengan Zach masih melingkariku
dan suara-suara masih bergema di luar, aku mengamati ekspresinya berubah dari kebingungan menjadi shock, lalu berubah
lagi menjadi raut seseorang yang putus asa mencari rencana.
"Yeah, aku?" Seseorang mengetuk. Mataku terbelalak saat menatap
Zach. "Ke sini," katanya, menunjuk ranjang lipat di atas kami
yang, sebelum saat itu, cuma pernah kulihat di film-film lama.
Lebih banyak ketukan. Di luar, seseorang berseru, "Siapa yang punya kunci untuk
kompartemen ini?" Tapi waktu pintunya terbuka, Zach dan aku sudah nggak
terlihat. (Catatan untuk diri sendiri: jangan jadi mata-mata kalau
kau punya klaustrofobia walau sedikit saja.)
"Apa yang terjadi, Zach?" bisikku dalam kegelapan total
dalam ranjang lipat kecil itu. Yang telah kami lipat. Dengan
diri kami terkurung di dalamnya.
Lengannya melingkari pinggangku. Napasnya hangat di
bagian belakang leherku. Tentu, aku bisa mendengar Aunt
Abby di kompartemen mungil itu berkata, "Macey, aku tidak
mau berdebat tentang ini lagi. Tunggu saja di dalam sini," tapi
aku nggak betul-betul peduli.
"Kau ada di Boston, Zach."
"Ssttt," bisiknya, menarikku lebih dekat dengan sentakan
di pinggangku. Di luar ranjang kecil kami, kudengar lebih banyak suara
180 datang dari kompartemen empat belas. Aku bisa mengenali
pola bicara Macey di mana saja. Tapi suara lainnya juga familier, meskipun begitu aku nggak begitu bisa"
"Kau tahu," suara yang lebih dalam berkata, "Aku diberitahu bahwa ini jas terbaikku."
Preston! Aku mendengar lebih banyak pembicaraan dan musik, tapi
semua itu terasa jutaan kilometer jauhnya saat aku berbaring
di sana, pikiranku berputar lebih cepat daripada gerakan roda
kereta. "Karena itulah kau tahu tentang lubang cucian," desisku,
potongan puzzle lain masuk dengan pas ke tempatnya. "Kenapa
kau ada di sana, Zach?" bisikku, mulai putus asa.
"Jangan sekarang." Suaranya pelan tapi kuat.
"Dan jangan bilang itu karena kami dalam bahaya, karena
waktu itu kami nggak dalam bahaya apa pun."
"Kau mau tidur sebentar atau semacamnya?" bisik Zach.
"Yeah, dan sementara kita sedang membicarakan itu,
kenapa kau di sini?"
"Aku bisa menanyakan hal yang sama padamu, Gallagher
Girl, kecuali kita seharusnya diam sekarang."
Dan itu ide yang sangat bagus karena suara-suara di luar
berhenti. Macey dan Preston nggak bicara lagi, tapi mata-mata
(belum lagi cewek) dalam diriku tahu, entah bagaimana,
mereka masih ada di luar sana. Karena ada suara-suara. Suarasuara yang kukenali. Suara-suara yang betul-betul nggak mau
kupikirkan terlalu lama. Karena kurasa itu suara-suara
ciuman. Dan aku sedang berdesakan dengan cowok yang pernah kucium!
181 Dan saat itu berciuman harus jadi hal yang terjauh dari
pikiranku! "Apa yang kau dan Mr. Solomon bicarakan?" tanyaku, karena, sejujurnya, aku betul-betul harus mengatakan sesuatu!
Tapi Zach pasti kebal terhadap suara-suara ciuman itu. Atau
pikiran-pikiran tentang berciuman, karena dia menukas, "Kau
nggak mengerti, ya?" Entah bagaimana caranya ia memutarku
hingga wajah kami hanya berjarak beberapa senti dalam
kegelapan. "Ini berbahaya, Cammie," katanya, bukan Gallagher
Jangan Menilai Cewek Dari Penyamarannya Dont Judge A Girl By Her Cover Gallagher Girls 3 Karya Ally Carter di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Girl. "Ini?" "Yeah. Aku cukup mengerti itu pada hari ketika aku bangun dengan gegar otak."
"Jangan menganggap ini sepele."
"Bagian mana dari "gegar otak" yang sama artinya dengan
"sepele?""
"Kau seharusnya nggak ada di sini," kata Zach lagi, perlahan, seakan aku nggak cukup pintar untuk mengerti.
"Kau ada di sini," balasku.
"Dengar, ini bukan tempat untuk?"
"Cewek?" Kereta ini mungkin dipenuh penjaga bersenjata" Teman
sekamarku dan putra calon presiden potensial dari Amerika
Serikat mungkin sedang berciuman beberapa meter jauhnya"
Duniaku mungkin nyaris berakhir kalau Zach dan aku sampai
tertangkap" Tapi. Aku. Nggak. Peduli.
"Murid sekolah?" aku mencoba lagi. "Apa, Zach" Beritahu
aku, kau ini apa yang aku bukan."
Lalu mataku pasti menyesuaikan diri dengan kegelapan,
karena aku bersumpah bisa melihatnya"betul-betul, sungguh182
sungguh melihatnya"saat cowok tersombong yang pernah
kukenal menatapku dan berbisik, "Aku seseorang yang nggak
punya apa pun sehingga nggak bisa kehilangan apa pun."
Semua hal lain menghilang saat itu"suara-suara dari luar,
guncangan gerbong, tekanannya, dan rasa pusingnya. Aku
nggak tahu apa yang bakal terjadi selanjutnya. Mungkin aku
bakal menangis. Mungkin aku bakal menyerah. Atau mungkin
aku bakal menuntut lebih banyak jawaban untuk pertanyaanpertanyaan yang hampir nggak berani kutanyakan.
Tapi kami nggak akan pernah tahu.
Karena persis waktu Zach menyentuh wajahku, dunia jatuh
keluar dari bawah kami. Gaya gravitasi mengambil alih. Satu
saat aku sedang berbaring dalam pelukan salah satu mata-mata
cowok paling kompleks (dan keren) yang pernah ada, dan saat
berikutnya aku mendarat seperti satu ton batu bata di lantai
yang keras dan dingin dalam kereta yang sedang berjalan sementara salah satu sahabatku menunduk menatapku. Dan
cowok yang berada di atasku. Lalu berkata, "Well, ini jelas
nggak ada di agendaku."
Setidaknya Preston sudah nggak ada"atau setidaknya kukira
Preston sudah nggak ada. Aku nggak terlalu yakin karena
butuh sesaat bagiku untuk mengamati sekeliling.
"Ms. McHenry!" suara laki-laki berseru dari sisi lain pintu.
"Dinas Rahasia! Apakah semuanya baik-baik saja?"
Aku mendongak menatap Macey. Zach tergeletak di atasku,
salah satu kakinya tersangkut ransel Macey. Senampan makanan jatuh bersama kami dan sekarang isinya berceceran ke seluruh lantai.
Macey menatap kami, ekspresi yang paling nggak biasa
183 tampak di wajahnya, seakan ia tahu bahwa, dengan satu kata
ia bisa membuat pintu itu"dan seluruh dunia kami"hancur.
Macey tersenyum, menikmati saat itu sebelum perlahan-lahan
berkata, "Semuanya baik-baik saja. Aku cuma menjatuhkan
nampan." "Apakah sebaiknya kami mengirimkan porter untuk?"
"Tidak!" tukas Macey. "Aku ingin sendirian, atau apakah
itu terlalu sulit untuk dimengerti?"
Aku mendengar langkah-langkah menjauh.
Macey menjatuhkan diri ke bangku di seberang kami
sementara Zach dan aku mencoba berdiri.
"Hai, Zach," kata Macey, kaki kanannya terayun-ayun saat
ia duduk sambil menyilangkannya ke atas kaki kiri.
"Hei, Macey," kata Zach, seakan ia jatuh dari langit-langit
ke dalam kamar pribadi cewek yang paling dilindungi di negara
ini setiap hari. "Maaf aku mampir," katanya dengan tatapan
yang memberitahuku dia betul-betul mengira dirinya terlalu
pintar, "tapi Cammie perlu berduaan bersamaku. Kau tahu kan
bagaimana dia." Aku memukul lengannya. Zach mengernyit. "Kau tahu, suatu hari kau bakal melukaiku, lalu kau bakal betul-betul menyesal karenanya."
"Yeah," aku memulai, "well, mungkin kalau kau mau jujur
padaku sekali?" "Hmm, supaya kalian tahu saja," kata Macey, memotongku
sambil bersandar, menikmati pertunjukan ini, "Abby akan kembali dalam kira-kira dua menit, jadi kalian"pasangan kekasih"mungkin ingin cepat-cepat."
Aku betul-betul berharap cowok di depanku mengernyit
saat mendengar kata "pasangan kekasih." Tapi Zach nggak
184 melakukannya. Ia hanya menyambar tas yang sejak tadi dibawanya dan menoleh pada Macey. "Trims." Zach menekankan
lutut di bangku dan mencondongkan diri ke arah jendela yang
gelap, menatap ke dalam kegelapan sambil berkata, "Toh ini
perhentianku." Well, dari yang bisa kulihat, keretanya nggak berhenti.
Kereta itu bahkan nggak memelankan kecepatan.
"Hei, McHenry, kau keberatan?" Zach menunjuk ke arah
pintu lalu melangkah mundur saat Macey membukanya dan
mengecek koridor. "Oh, Pak," kata Macey pada penjaga yang ditempatkan di
koridor luar. "Boleh aku melihat senjatamu?"
Waktu pria itu memunggungi kami, Zach berlari keluar ke
koridor dan ke pintu di ujung gerbong. Aku mulai mengikuti,
tapi tiba-tiba ia berhenti dan menoleh padaku. "Hei, Gallagher
Girl," katanya, menatapku lebih dalam daripada yang selama
ini pernah dilakukannya, "berjanjilah satu hal padaku."
Keretanya bergerak lebih cepat sekarang. Malam berjalan
lewat di jendela-jendela. Dan Zach melangkah makin dekat.
"Please?" Zach mengulurkan tangan dan dengan lembut
menyentuh tempat memarku tadinya berada, seakan memar itu
masih baru dan bengkak, ?"berhati-hatilah."
Lalu Zach melangkah ke ujung gerbong dan membuka
pintunya. Suara kereta jadi keras sekali dalam sekejap. Kami
sedang melewati jurang dalam, kekosongan lewat di kedua sisi
kami saat Zach merentangkan kedua lengannya lebar-lebar. Dia
menoleh kembali padaku selama satu detik yang singkat.
Lalu dia melompat ke kegelapan malam.
"Jadi?" suara di belakangku terdengar kuat dan tenang.
Aku menoleh dan melihat Macey yang terlihat sangat me185
nyesal, juga Aunt Abby yang terlihat sangat terkesan menatapku dan parasut yang mulai menghilang yang adalah Zach.
"Kusimpulkan itulah laki-laki dalam hidupmu."
186 Bab Du a P u l u h aat seorang agen tertangkap di tengah misi, begitu banyak
hal harus dikatakan. Dan dilakukan. Contohnya, akan sangat
bagus jika kau punya satu atau dua legenda yang bisa kaukeluarkan untuk mengalihkan perhatian si penangkap dari tujuan
sebenarnya pihak yang ditangkap. Selain itu, pemberian arah
informasi yang salah selalu berguna, supaya kau bisa melemparkan kesalahan pada siapa pun kecuali dirimu. Atau kau bisa
mundur pergi. Tapi kami ada di kereta yang sedang berjalan.
Dan aku nggak punya parasut.
Dan Aunt Abby menatap tepat ke arahku.
Aku berharap Aunt Abby akan tersenyum seperti yang
dilakukannya waktu dia menarikku keluar dari bawah tempat
tidurnya, tapi dia malah melotot padaku dengan ekspresi yang
merupakan gabungan kemarahan dan ketakutan, saat Macey
dan aku berlari kembali ke dalam kompartemen empat belas.
187 "Duduk," bibiku memerintahkan, dan kami masing-masing
duduk di ranjang bawah sementara bibiku mulai berjalan
mondar-mandir. "Apakah kalian tahu apa yang kalian lakukan?" tanyanya, tapi itu bukan pertanyaan sungguhan. "Apakah
kalian tahu apa yang mungkin saja terjadi malam ini?"
Suaranya bergetar. Sesaat aku takut Dinas Rahasia mungkin
akan masuk lewat pintu itu lagi, tapi keretanya berisik, hujannya deras, dan kami terus meluncur menembus malam. Aku
memandang berkeliling ruangan sempit itu. Nggak ada gunanya. Aku, Cammie si Bunglon, sama sekali nggak punya tempat untuk bersembunyi.
"Apa kalian tahu seberapa berbahayanya semua ini" Kalau
Dinas Rahasia menangkap kalian" Kalau salah satu media
melihat apa yang bisa kalian lakukan" Kalau ada dua perempuan di sekolah"di dunia"yang seharusnya tahu untuk
tidak mengambil risiko seperti ini, itu seharusnya kalian berdua!"
"Kupikir peraturan dibuat untuk dilanggar," kataku, awalnya
bingung, tapi mulai marah. "Kukira menjadi mata-mata berarti
nggak selalu harus mematuhi peraturan," kataku, melemparkan
kata-kata Aunt Abby kembali padanya.
"Menjadi mata-mata berarti kau tak punya kemewahan
untuk ceroboh!" Kereta berguncang dan malam jadi makin
gelap saat bibiku mencondongkan diri mendekat dan berkata,
"Percayalah padaku, Cameron. Itu satu pelajaran yang tidak
ingin kaupelajari dengan cara sulit."
Mungkin karena suara hujannya, atau ekspresi di matanya,
tapi aku nggak bisa berhenti memikirkan tentang cara Aunt
Abby berubah di kantor Mom waktu itu, berubah dari Abby
yang kukenal menjadi wanita yang belum pernah kulihat. Dan
188 secepat itulah aku sadar wanita yang tersenyum, tertawa, dan
menari yang sudah memasuki kehidupanku setelah empat setengah tahun menghilang hanyalah penyamaran lain"Gallagher
Girl yang pura-pura menjadi sesuatu yang bukan dirinya.
"Di mana kau waktu itu, Aunt Abby?" kudengar diriku sendiri bertanya. "Dad meninggal, dan kau nggak ada di sana,"
kataku, mengingat saat dalam hidupku yang berusaha kulupakan dengan segala usaha. Kudengar suaraku pecah, kurasakan
pandanganku mengabur. Kukatakan pada diri sendiri bahwa
guncangan terus-menerus dari keretalah yang membuatku merasa tak stabil seperti ini, tapi aku tahu yang sebenarnya saat
aku berseru, "Dad meninggal dan kau bahkan nggak datang ke
pemakamannya. Kau nggak menelepon. Kau nggak berkunjung.
Dad meninggal, dan sejak saat itu kau jadi hantu."
Abby memunggungiku. Dia mulai berjalan ke pintu, tapi
kata-kata itu hidup dalam diriku selama bertahun-tahun, keraguan dan pertanyaan-pertanyaan bertumpuk dari ujung ke
ujung, dan aku nggak bisa menghentikannya keluar, meskipun
aku mencoba. "Kami membutuhkanmu!" Aku memikirkan Mom, yang
masih menangis saat mengira nggak seorang pun bisa melihatnya, dan sebelum aku menyadarinya, aku juga menangis.
"Kenapa kau nggak ada waktu kami membutuhkanmu?"
"Apakah kau masih belum belajar juga, Cam?" Suara Abby
lebih lembut sekarang, seakan ia diseret kembali ke dalam
mimpi. "Ada beberapa hal yang tidak ingin kauketahui."
Aku bisa merasakan keretanya"atau mungkin dunia"melambat saat Aunt Abby melangkah ke arah pintu dan berbisik,
"Menjauhlah dari cowok itu, Cammie." Kali ini bukan perintah, lebih mirip permohonan.
189 "Zach?" tanya Macey, seakan mungkin Aunt Abby memaksudkan orang lain. "Dia dari Blackthorne. Kami kenal dia."
Lalu Abby menatapku. Untuk pertama kali, kelihatannya
ia ingin tersenyum, tapi nggak ada kegembiraan di ekspresinya
waktu bibiku bertanya, "Benarkah?"
Aku sangat menyukai Akademi Gallagher pada malam hari.
Ada kecantikan di dalam bayang-bayang"satu-satunya waktu
ketika bagian luar mansion itu betul-betul merefleksikan apa
yang terjadi di dalamnya. Tak satu pun murni hitam atau
putih. Seluruh dunia ada dalam berbagai spektrum abu-abu.
Dan malam itu tak ada bedanya.
"Apa artinya itu?" tanya Liz, dan Bex mondar-mandir, tapi
aku cuma berdiri di jendela kecil berbentuk intan di suite
loteng kami, menatap halaman yang gelap, membiarkan cerita
yang baru saja kuceritakan menyelimutiku.
"Tunggu, maksudmu Zach bisa melompat keluar dari kereta
yang sedang berjalan?" tanya Bex, bahkan nggak mencoba menyembunyikan rasa iri dalam suaranya.
Aku menatap Macey, yang hanya mengangkat bahu.
"Aku masih nggak percaya kau meninggalkan mansion seperti
itu," kata Macey, mengamati rok pendek dan sepatu tinggiku.
Aku mencoba tersenyum. "Aslinya, ada wig juga."
Aku berharap Macey tertawa. Aku ingin dia memutar bola
mata atau mengatakan sesuatu tentang dunia rambut sintetis
dan orang-orang yang cukup ketinggalan mode untuk betulbetul memakainya. Aku ingin kejadian ini dianggap lucu. Tapi
ini memang tidak lucu. "Jadi Abby betul-betul?" Liz memulai, lalu merendahkan
suaranya, ?"marah?"
190 Aku mengangguk. Kata itu nggak cukup untuk melukiskan
yang sebenarnya terjadi, tapi saat itu, itulah satu-satunya kata
yang kupunya. "Kau nggak bakal kena masalah, Cam," Bex mendebat.
"Abby baik." Tapi dia nggak melihat perubahan dalam diri Abby di kereta. Dia nggak mendengar getaran dalam suara bibiku atau
melihat ekspresi di matanya saat berjalan menyusuri Koridor
Sejarah dan memasuki kantor Mom lalu menutup pintu,
membiarkan Macey dan aku naik ke suite kami sendirian.
"Apa?" tanya Bex, membuktikan bahwa ia mengenalku, bahkan mungkin lebih baik daripada aku mengenal diri sendiri.
"Zach?" Aku berjuang mengatakan apa yang ingin kukatakan, apa yang ingin kupercayai. "Dia nggak menciumku."
Ya, aku baru saja ditegur keras oleh anggota Dinas Rahasia
Amerika Serikat. Dan ya, aku tertangkap basah sedang menyelinap keluar dan melanggar sekitar selusin lebih peraturan
sekolah. Dan ya, sikuku betul-betul bengkak di tempat Zach
dan aku mendarat di lantai kompartemen Macey.
Dan dengan semua itu, inilah yang membuatku paling khawatir.
"Zach nggak menggodaku," kataku akhirnya. "Dia nggak
meledekku" Maksudku, begitu aku tahu aku sudah melihatnya
di Boston?" "Tunggu," kata Bex, bergerak mendekat, betul-betul mengabaikan tumpukan besar junk food yang diselundupkan olehnya
dan Liz ke sekolah setelah perjalanan pulang mereka. Ada
sesuatu yang baru di matanya waktu Bex berkata, "Zach ada di
Boston?" 191 "Aku terus berpikir aku melihatnya di sana," kataku lagi,
lebih tenang sekarang. "Tapi kukira aku" tahu, kan?"
Bex dan Liz bertatapan seakan mereka betul-betul nggak
tahu. "Cam mengira ia cuma melihat Zach karena ia ingin melihatnya," jelas Macey.
"Ooooh," Bex dan Liz mendesah bersamaan.
"Itu hasil sampingan dari ciuman yang sangat dramatis,"
Macey melanjutkan, khas dokter yang mengidentifikasi efek
samping umum. "Lanjutkanlah."
"Jadi aku nggak memikirkan soal itu. Tapi hari ini aku melihatnya lagi. Dan dia memakai penyamaran yang sama, dan
aku tahu yang di Boston juga dia." Aku menunduk menatap
tumpukan bungkus permen dan kantong-kantong keripik yang
baru setengah dimakan dan berpikir tentang bagaimana, setahun yang lalu, kami juga berkerumun di ruangan itu, memeriksa sampah Josh. Tapi tetap saja begitu banyak hal tentang
cowok dan rahasia kotor kecil mereka yang masih harus kami
pelajari. "Jadi dia mengikutimu sebelumnya?" tanya Liz. "Lalu kenapa" Mungkin dia cuma melakukan apa yang kita lakukan"
melacak Macey." Lalu Liz terdiam. Dan sadar.
"Di Boston, nggak ada alasan untuk melacak Macey," kataku, hanya karena aku perlu mengatakan kata-kata itu dengan
keras. Aku memandang kembali ke halaman yang tampak
lebih gelap daripada biasanya. Dan lebih dingin. Entah bagaimana ketika semua itu luput dari perhatianku, musim gugur
tiba, dan aku sedikit menggigil, masih kedinginan karena hujan.
192 "Mungkin dia tahu apa yang bakal terjadi," kata Macey.
"Atau mungkin dia salah satu orang yang melakukannya,"
kata Bex, sikap skeptis lamanya muncul kembali dalam suaranya.
"Atau?" hanya mata Liz yang bersinar waktu ia berkata,
?"dia ingin berada dekat Cammie!"
Macey mengangkat bahu seakan untuk berkata mungkin
teman pirang kecil kami ada benarnya.
Jangan Menilai Cewek Dari Penyamarannya Dont Judge A Girl By Her Cover Gallagher Girls 3 Karya Ally Carter di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Apa pun alasannya, itu nggak mengubah fakta bahwa cowok mata-mata yang sangat keren dan misterius entah ingin
menyelamatkan kami, atau menculik kami, atau berkencan
dengan kami. Dan aku nggak yakin mana yang paling siap untuk kami
hadapi. Aku nggak tahu tentang cewek-cewek normal, tapi untuk cewek mata-mata, hanya sedikit hal yang sama menyeramkannya
dengan pintu tertutup, ruangan terkunci, dan pembicaraan berbisik yang nggak bisa kaudengar. Well, keesokan harinya hidupku penuh dengan ketiganya.
Koridor Sejarah tetap gelap. Pintu kantor Mom tetap tertutup (dan, sayangnya, kedap suara). Aku memikirkan jalan
menuju belakang ruangan itu, tapi lalu aku mengenyahkan
pikiran itu dari benakku. Aku nggak tahu apa yang dikatakan
Abby pada Mom. Aku nggak tahu aku berada dalam jenis
masalah seperti apa. Di sekitarku banyak cewek mengkhawatirkan tes dan proyek. Orang-orang membuka surat dari rumah dan melanjutkan
debat tentang apakah wajah baru Mr. Smith membuatnya sama
keren dengan Mr. Solomon. Tapi mau nggak mau aku berpikir
193 tentang bagaimana dunia ini hanyalah seperti jaring-jaring
penuh rahasia. Aku terus bertanya-tanya apakah ada cara
untuk membebaskan diri. Minggu malam itu aku berjalan menuju kantor Mom,
berpikir tentang Abby dan Zach, Philadelphia dan Boston"
semua pertanyaan yang nggak dijawab seorang pun, tapi waktu
aku melangkahkan kaki ke Koridor Sejarah, aku sadar aku
menatap pedang Gilly. Kudengar diriku sendiri berbisik, "Seseorang tahu."
Saat aku mengetuk pintu kantor Mom, aku tahu kali ini
bukan hanya akan jadi makan malam Minggu biasa"
Karena Macey sudah ada di sana.
Aku memandang dari Mom, kepada teman sekamarku, dan
akhirnya kepada bibiku. Aku mengharapkan teriakan. Tapi
waktu Mom berbisik, "Cammie," rasanya lebih buruk. Jauh
lebih buruk. Pintu tertutup di belakangku, dan aku melihat
Mr. Solomon berdiri di sana. Aku nggak tahu lagi harus mengharapkan apa.
"Mom, aku?" "Aku diberitahu bahwa Liz dan Bex keluar mengetes prototipe untuk perlengkapan baru Dr. Fibs pada" misi kecilmu
kemarin malam?" tanya Mom.
Mata Mom tampak memperingatkanku untuk nggak mendebat. "Ya," aku cepat-cepat menjawab.
"Baiklah." Sesaat kukira itu sudah selesai, tapi tentu saja nasihatnya
belum berakhir. "Cameron, aku memercayaimu untuk percaya
padaku waktu aku mengatakan bahwa keamanan Macey bukan
lagi tanggung jawabmu."
194 "Ya, Ma"am."
"Aku memercayaimu untuk tahu bahwa protokol keamanan
bukanlah sesuatu yang harus dicampuri tanpa pikir panjang."
"Ya, Ma"am."
"Dulu aku memercayaimu, Cammie." Suara Mom lebih lembut, jadi itu adalah bagian tersulit untuk kudengar.
"Aku menerima telepon dari ibu Bex kemarin malam,"
Mom melanjutkan, dan aku bersiap-siap menghadapi kemarahan dua ibu mata-mata yang kesal. "Keluarga Baxter ingin kau
menghabiskan libur musim dingin di London?"
"Sungguh?" tanyaku terkejut.
"Dan kalau aku mendengar," Mom bicara lebih keras suaraku. "Kalau aku melihat" Kalau aku bahkan curiga kau keluar
lagi dari daerah ini tanpa izin, itu tidak akan terjadi. Apakah
kata-kataku sudah cukup jelas?"
"Ya," jawabku, merasakan beratnya situasi tersebut menekanku.
"Pemungutan suara terakhir menunjukkan persaingan yang
ketat," kata Mom. Ia terlalu tenang. Terlalu mudah. "Dengan
begitu bisa dimengerti jika orangtua Macey menginginkannya
bersama mereka sesering?"
"Tidak!" ?"mungkin," Mom melanjutkan seakan aku nggak mengatakan apa-apa.
Aku melirik Macey. Dia diam sepanjang hari, tapi saat berdiri di kantor Mom, keheningannya tampak jauh lebih keras.
"Itu akan, tentu saja," kata Mom perlahan, "menjadi sesuatu
yang tidak akan kami perbolehkan."
Aku sudah membuka mulutku untuk protes waktu aku mendengarnya dan terdiam tiba-tiba.
195 "Maksud Anda," kata Macey di sebelahku, "maksud Anda
saya tidak harus" pergi?"
"Tidak," kata Mr. Solomon. "Sejujurnya, Ms. McHenry,
risikonya terlalu tinggi. Kami ingin kau ada di rumah, di
tempat kau seharusnya berada."
Aku sudah tinggal bersama Macey cukup lama, tapi satu
hal yang akhirnya dipelajari setiap mata-mata adalah bahwa
kau tak pernah mengetahui segala hal, dan aku belum pernah
melihat Macey seperti saat itu. Aku memikirkan cewek yang
keluar dari limusin itu, bagaimana dia berubah sebelum pemilihan sinting ini mulai mengubahnya kembali. Seakan kata
"rumah" adalah kode"sebuah sinyal"dan kata itu sendiri
memberitahunya bahwa dia aman dan bisa menurunkan kewaspadaannya.
"Dengan asumsi itu tidak apa-apa untukmu?" tanya Mom,
dan Macey mengangguk. Mr. Solomon menyingkir dari pintu, jadi seperti agen hebat
mana pun (belum lagi remaja-remaja cewek yang berada dalam
masalah), kami berlari ke arahnya.
"Oh, Cammie," Mom memanggilku, dan aku berhenti sementara Macey terus berjalan. Mr. Solomon dan Aunt Abby
mengikuti teman sekamarku keluar dan menutup pintunya
saat Mom melangkah mendekat. "Jangan khawatir tentang
Macey, Cam." Tapi itu bukan kalimat menenangkan. Itu perintah. "Dinas Rahasia sangat hebat dalam pekerjaan mereka.
Terlepas dari semua perbedaan kami, adikku amat sangat hebat dalam pekerjaannya. Aku tidak ingin kau mengkhawatirkan Macey."
"Oke." "Aku bersungguh-sungguh."
196 "Aku juga," kataku. Dan saat itu, aku betul-betul bersungguh-sungguh.
"Sejak awal aku tahu kau ada di kompartemen itu." Suara
Macey seakan mengiris Koridor Sejarah. Di ujungnya, di Aula
Besar, cewek-cewek sedang makan, orang-orang bergosip, tapi
Macey hanya duduk di tangga teratas dan menatap selasar,
nggak punya kekuatan untuk berdiri.
"Aku nggak mendengarmu atau semacamnya," lanjut Macey
waktu aku berjalan mendekat. "Itu cuma" perasaan." Lalu ia
menatapku. "Tahu, kan?"
"Yeah," kataku, dan aku memang tahu.
"Ranjang atasnya bergantung terlalu rendah, dan majalah
di bangku tergeser, dan aku hanya" tahu."
Lalu Macey menatapku. "Aku hebat dalam hal ini, kan?"
"Yeah. Kau hebat."
"Waktu ibumu memanggilku masuk, kupikir" kupikir dia
bakal mengeluarkan aku." Macey mengangkat bahu sedikit.
"Biasanya itulah saat aku dikeluarkan."
Aku pernah melihat Macey tanpa makeup dan memakai jins
gemuknya. Aku mendengar apa yang dikatakannya dalam tidur
dan melihat cara bibirnya bergerak waktu dia membaca dan
kata-katanya tidak bisa terserap. Aku kenal Macey McHenry,
tapi malam itu, saat duduk di tangga itu, aku sadar aku nggak
pernah tahu seperti apa rasanya menjadi dia.
Keluarga McHenry punya lima rumah, tapi inilah satusatunya rumah Macey. Dia putri paling terkenal di Amerika,
tapi hanya Liz dan Bex dan aku yang benar-benar keluarganya.
"Nggak seorang pun bakal mengeluarkanmu, Macey." Aku
197 mencoba tertawa. "Kau tahu terlalu banyak. Sekarang ini, kami
bakal harus membunuhmu."
Butuh waktu 47 detik, tapi akhirnya Macey tersenyum.
Akhirnya dia tertawa. "Jadi, Preston?" kataku, karena, sejujurnya, aku nyaris meledak. Dan" oke" jadi butuh waktu 24 jam bagiku untuk
menyinggungnya, tapi aku kan punya hal-hal lain di pikiranku.
Misalnya kewarasanku, masa depanku, dan apakah ketidaktertarikan Zach yang tiba-tiba dalam masalah berciuman punya
hubungan dengan fakta bahwa rambutku cenderung berantakan
waktu hujan. Tapi itu nggak menghentikanku dari mencondongkan diri dan berbisik, "Apa aku mendengarmu mencium
Preston atau tidak?"
"Ada orang-orang yang bisa kusewa untuk membunuhmu
dan membuatnya terlihat seperti kecelakaan."
Aku mencengkeram pegangan tangga dan mendorong diriku
naik beberapa anak tangga. "Dia nggak terlalu buruk."
"Serius nih. Bahkan nggak bakal ada penyelidikan." Macey
maju selangkah lalu menambahkan, "Lagi pula, apakah aku
harus memberitahumu bahwa pacar rahasia adalah yang paling
keren?" Terlepas dari segalanya, aku tersenyum. "Aku mengerti."
198 Bab Du a P u l u h S a t u
ku masih ingat hari itu"saat itu"waktu aku menemukan
jalan rahasiaku yang pertama. Waktu itu baru tiga hari aku
berada di sekolah. Mom baru saja memulai pekerjaannya. Dad
baru meninggal. Dan aku baru tiba di sekolah yang sudah kudengar ceritanya seumur hidupku (atau, well, bagian-bagian
hidupku yang datang setelah bagian ketika aku tahu Mom dan
Dad punya alasan-alasan yang lebih rahasia sehingga mereka
melewatkan kelulusan taman kanak-kanakku).
Waktu itu aku berjalan-jalan di koridor, bertanya-tanya tentang bangunan yang lebih besar dan lebih tua dan lebih indah
daripada apa pun yang pernah kulihat ini. Bertanya-tanya
butuh waktu berapa lama bagiku untuk menyadari bahwa Mom
nggak akan pernah pergi lagi dan Dad nggak akan pernah
kembali. Bertanya-tanya apakah aku betul-betul pantas berada di
Akademi Gallagher dan apakah aku betul-betul layak menyandang nama Morgan dan Cameron.
199 Tapi lalu aku berhenti di koridor di sebelah perpustakaan.
Satu jendela terbuka. Masih terasa nuansa apak bangunan
yang lama tidak dihuni, dan aku mengamati saat angin bertiup
lewat jendela dan mendorong debu di sepanjang lantai batu,
menggulung kotoran melewati celah-celah seperti air di sungai.
Tapi di satu titik, bukannya terus bergulung kumpulan debu itu
jatuh menghilang dari penglihatan seakan ada air terjun di
celah lantai yang hampir nggak bisa dilihat mata telanjang,
menghilang ke bawah dinding batu solid.
Aku mendorong dan menarik selama lima menit sebelum
dinding itu bergeser membuka, dan aku menemukan cara pertamaku untuk menghilang di tempat yang jelas terlihat.
Tiga hari sebelum aku menemukan jalan itu. Tiga hari
setelah aku berada di tempat yang kucintai ini. Tiga hari"
Dan aku sudah mencari jalan keluar.
Dan itu bahkan sebelum aku dilarang pergi.
PRO DAN KONTRA DIHUKUM DI DALAM
DAERAH PALING KEREN DI DUNIA:
PRO: Jauh lebih mudah untuk melindungi teman sekamarmu dari orang-orang yang ingin menculiknya jika dia menghabiskan sebagian besar waktunya di kamarmu.
KONTRA: Waktu Mr. Mosckowitz memintamu membantunya memeriksa laporan untuk seminar Kesempurnaan Kode
Eropa hari Jumat malam, kau nggak bisa bilang, "Maaf, saya
mau keluar kota." PRO: Menjauhkan diri dari terowongan-terowongan rahasia
tua berarti kau juga terbebas dari noda-noda mencurigakan di
blus putihmu. 200 KONTRA: Waktu teman sekamarmu mengetes penemuan
hebat dalam teknologi bahan bakar bersih (yang kebetulan
berada di dalam minivan Dodge), kau nggak bisa ikut duduk di
depan. PRO: Kau nggak perlu khawatir bakal bertemu cowok yang
mungkin atau tidak mungkin sedang menguntitmu.
KONTRA: Kau nggak bisa bertemu cowok yang mungkin
atau tidak mungkin sedang melindungimu. (Walaupun sebenarnya kau nggak butuh perlindungan, tapi niatnya yang
penting.) PRO: Kau punya banyak waktu untuk berpikir.
KONTRA: Kau nggak selalu menyukai apa yang kaupikirkan.
Waktu itu Zach nggak mencoba menciumku.
Memang, ada misteri-misteri yang lebih besar di dunia,
dan aku yakin CIA bakal mengklasifikasi informasi tersebut
sebagai kekhawatiran tingkat rendah (aku tahu" aku sudah
bertanya pada Liz). Mungkin karena cara dinding-dinding terasa begitu dekat dan ruang-ruang terasa begitu kecil, tapi
untuk suatu alasan, fakta itu terus menekanku, hari demi
hari. Jangan salah sangka, bukannya aku berpikir aku begitu menarik hingga orang lain pasti ingin menciumku (karena, percayalah padaku, aku memang nggak semenarik itu), tapi setiap pagi
aku berjalan melewati tempat Zach mencondongkan tubuhku
di depan seluruh sekolah. Di Aula Besar, setiap malam aku
makan di tempat yang tepat sama dengan tempat kami berdansa.
Dan setiap hari, dengan setiap langkah, pertanyaan-pertanyaan
baru memenuhi pikiranku: 201 " Kenapa Zach berada di Boston (bukan di tempat lain
di dunia") " Apa maksudnya waktu dia bilang bahwa dirinya adalah seseorang yang nggak punya apa pun sehingga
nggak bisa kehilangan apa pun"
" Siapa yang memulai semua ini" Dan kenapa"
Selama tiga minggu aku berjalan di koridor-koridor, bertanya-tanya tentang orang-orang yang melukaiku dan satu
cowok yang nggak mencoba menciumku: dua misteri besar.
Tapi harapanku untuk memecahkan misteri itu hanya tersisa
untuk salah satunya. "Kau sudah mengecek lagi?" aku bertanya pada Liz waktu
kami meninggalkan kelas Budaya dan Asimilasi. "Profesor
Buckingham memberitahuku bahwa MI6 mendaftar selusin
grup teroris baru di database mereka setiap minggunya."
"Aku tahu," kata Liz. "Tapi, Cam, nggak ada apa-apa di
sana. Aku sudah memeriksa gambar cincin wanita itu lewat
MI6, MI5, CIA, NSA, FBI. Percayalah padaku, kalau mereka
punya inisial, aku pasti sudah meng-hack mereka, tapi gambar
itu nggak ada di mana pun."
"Aku nggak mengarang simbol itu! Simbol itu pasti ada?"
tukasku, tapi ekspresi yang ditampilkan ketiga sahabat terbaikku di dunia membuatku terdiam mendadak.
"Cam, Sayang," kata Bex. "Apakah sesuatu" mengganggumu?"
"Well, aku?" aku memulai, tapi Macey-lah yang menjawab.
"Dia masih panik tentang Zach."
Aku mungkin seniman jalanan, tapi Macey McHenry akan
selalu tahu lebih banyak tentang cowok dan semua hal yang
202 berhubungan dengan cowok daripada yang pernah bisa kumengerti.
"Apa?" tanya Macey sambil mengangkat bahu waktu aku
menatapnya. "Aku intuitif." Ia maju selangkah. "Lagi pula, kau
bicara dalam tidur."
Dia benar. Zach dan aku jatuh dari ranjang lipat di kereta
itu bersama-sama, dan dunia jadi terbalik sejak itu.
"Cowok!" seruku, tapi untungnya koridor-koridor sangat
ramai, dan banyak siswi sedang terburu-buru, jadi kata itu
menghilang dalam kerumunan. Akankah kami memahami para
cowok" "Dia nggak mungkin" jahat, kan?" tanya Liz pelan. "Maksudku, bukankah kita memastikan tahun lalu bahwa Zach
nggak jahat?" Ia nggak bertanya sebagai cewek, tapi sebagai
ilmuwan yang sama sekali nggak ingin mengevaluasi ulang
model-modelnya, menduplikasi risetnya, dan mengubah hal
mana pun yang dikiranya sudah pernah dibuktikannya tanpa
sedikit pun keraguan. Tapi Liz nggak ada di kereta itu. Dia nggak melihat dengan
mata kepala sendiri bagaimana Aunt Abby mengetahui sesuatu
tentang Zach. Dan Zach mengetahui sesuatu tentang Boston.
Jangan Menilai Cewek Dari Penyamarannya Dont Judge A Girl By Her Cover Gallagher Girls 3 Karya Ally Carter di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dan seseorang mengetahui sesuatu tentang emblem itu. Saat
Liz mulai berjalan ke laboratorium dan Macey berjalan ke
kelas Pengkodean, Bex dan aku menaiki lift ke Sublevel Dua,
dan mau nggak mau aku bertanya, "Apa gunanya punya kemampuan mata-mata elite kalau orang-orang yang punya
informasi super-rahasia bahkan lebih elite lagi?"
Bex tersenyum padaku. "Karena apa asyiknya kalau tidak
begitu?" Jalur spiral di depanku terasa lebih curam saat jalur itu
membawa kami semakin dan semakin dalam lagi ke Sublevel
203 Dua. Waktu kami mencapai dasarnya, Bex berhenti dan menatapku. "Dan mungkin ada beberapa hal?" ia bicara perlahan,
dan aku tahu kata-katanya hampir menyakitkan waktu terucap,
?"yang seharusnya nggak kita tahu."
"Motivasi," kata Mr. Solomon saat kami duduk di kursi kami
di sekitar susunan meja bergaya kuno di ruang kelas Operasi
Rahasia. Berminggu-minggu aku datang ke ruangan itu, mengamati guru kami, mencoba menemukan suatu petunjuk di
matanya tentang Zach, kereta itu, serta sejuta pertanyaan lain
yang memenuhi benakku. "Itulah alasan seseorang melakukan hal yang mereka
lakukan," kata guru kami, kalimatnya sederhana dan mendasar,
sama dengan pelajaran apa pun yang pernah kami pelajari;
meskipun begitu sesuatu dalam nada Joe Solomon memberitahuku bahwa itulah hal terpenting.
"Pertanyaan apa, nona-nona?" Mr. Solomon maju selangkah, mengamati ruangan redup itu,?"hampir selalu terikat
dengan kenapa. Ada enam alasan seseorang melakukan sesuatu:
Cinta. Keyakinan. Keserakahan. Kebosanan. Rasa takut?" katanya, menghitung mereka dengan jari; tapi ia berhenti sesaat
pada alasan terakhir, menarik napas panjang sebelum berkata,
"Balas dendam."
Aku memikirkan orang-orang di atap itu, bertanya-tanya motivasi mana yang membawa mereka ke sana. Dan kenapa.
"Kita punya peralatan," kata Mr. Solomon. "Kita punya unit
komunikasi, pelacak, dan satelit yang bisa memotret sayap
lalat, tapi jangan salah, sebenarnya kita melatih seni yang
sangat kuno. Enam hal, nona-nona. Dan sama sekali belum
berubah dalam lima ribu tahun terakhir."
204 Mr. Solomon menoleh kembali ke papan tulis. Temanteman sekelasku duduk memperhatikan, tapi pikiranku berputar, mengingat lagi dan lagi apa yang baru saja dikatakan
guruku. Aku mencengkeram tepi meja. Aku melihat ruang
kelas mengabur. Dunia terfokus saat aku mengucapkan katakata itu, yang pasti sudah kuketahui selama berminggu-minggu
tapi baru saja kusadari. "Mereka sudah tua."
"Apa yang kauocehkan?" tanya Bex. Untuk pertama kali dalam
hidupnya, ia hampir nggak bisa menyamai langkahku saat aku
melangkah dari lift dan menaiki Tangga Utama.
"Kita salah. Aku salah," kataku, kata-katanya muncul lebih
cepat sekarang. "Cam, apa?" "Tentu saja Liz nggak menemukannya di file komputer.
Mundur lima puluh tahun pun nggak akan membantu. Mundur
seratus tahun pun nggak akan membantu. Bex, mereka bukan
ancaman baru!" Di selasar di bawah kami, ratusan cewek melangkah untuk
makan siang. Koridor-koridor dipenuhi aroma lasagna dan percakapan tentang ujian tengah semester, tapi hanya ada sahabatku dan aku di Koridor Sejarah saat aku menunjuk harta paling
berharga sekolah kami. "Mereka sudah tua."
205 Bab Du a P u l u h D u a "I tu dia," gumamku, menatap buku di meja di depanku.
"Aku berjalan melewati pedang itu jutaan kali. Seharusnya aku
menyadarinya begitu kami kembali. Seharusnya aku langsung
mengenalinya di atap itu. Seharusnya aku" aku idiot!"
"Nggak apa-apa, Cam," Liz menenangkan. "Waktu itu kau
cuma" gegar otak."
"Trims," kataku, walaupun itu nggak membantu sebanyak
yang seharusnya. Aku menatap ukiran di buku tua itu. Setiap siswi baru
dalam sejarah sekolah kami mendengar cerita tentang Gillian
Gallagher dan menatap gambar itu, tapi hari itu aku bukan
melihat Presiden Lincoln atau lusinan pria yang berdiri di sekitarnya. Aku bahkan bukan melihat si wanita muda berpedang, yang bergerak menyusuri ballroom dengan keanggunan
dan kekuatan yang lebih daripada yang mungkin dilakukan
saat kau memakai rok mengembang.
206 Kali ini aku menatap pria yang berada di lantai, pistol terjatuh dari tangannya yang terkulai, sarung pedang kosong tergeletak di sampingnya. Kali ini aku menatap emblem mungil
yang sudah kulihat jutaan kali di pangkal pedang itu, nyaris
nggak terlihat di sebelah tangan Gilly.
"Itu dia," kataku pelan, menggeser bukunya supaya mendapat pencahayaan lebih baik.
Liz membaca penjelasannya keras-keras: "Gillian Gallagher
membunuh Ioseph Cavan, pendiri Circle of Cavan. Virginia,
Desember, 1864." "Gillian membunuh pria itu dengan pedang pria itu sendiri," kata Bex kagum.
Lalu aku menjatuhkan foto satelit ke buku yang terbuka
itu. "Circle of Cavan mencoba menculik Macey McHenry,
Massachusetts, masa kini."
"Jadi Circle of Cavan?" Liz memulai.
"Masih sangat hidup," Bex menyelesaikan.
Aku menatap teman-teman sekamarku. "Dan mereka menginginkan teman kita."
Aku tahu usaha pertama untuk membunuh Presiden Lincoln
betul-betul terjadi. Aku berjalan melewati pedang itu dan memikirkan Gilly lusinan kali sehari selama bertahun-tahun, tapi
sebelum saat ini, cerita Gilly hanya terasa seperti mimpi hebat.
Jadi, saat aku berdiri di perpustakaan, dengan api berderak di
samping kami, aku nggak bisa menghilangkan perasaan seakan
kami baru saja melihat naga di danau, atau hantu di laboratorium. Kelompok penjahat kuno masih hidup di dunia ini. Aku
tahu Gilly memenangkan pertarungan di ballroom malam itu, dan
hampir tepat setelahnya dia mulai mendirikan sekolah ini, mungkin karena dia mengerti perangnya sama sekali belum berakhir.
207 "Menurutmu mereka mengincar Macey karena dia?" Liz
memulai. "Tahu, kan?" Ia memelankan suaranya menjadi
bisikan. "Keturunan Gilly?"
Aku berpikir tentang hari itu, lebih dari setahun yang lalu,
ketika Mom membagi informasi tadi. Dan waktu aku menatap
Bex, ekspresi di wajah kami mengatakan hal yang sama:
Pasti. Orang-orang di atap itu punya alasan kuat untuk membenci
sekolah ini dan Gilly. Macey adalah Gallagher Girl sejati yang
terakhir"kesempatan terbaik mereka untuk sungguh-sungguh
membalas dendam. Aku menatap foto satelit itu lagi, gambar hitam-putih berbintik-bintik yang berada di benakku berminggu-minggu, dan
aku berpikir tentang apa yang dikatakan Bex dan Aunt
Abby: Wanita di atap itu terlalu hebat untuk memakai cincin
yang membuatnya bisa diidentifikasi. Tapi sekarang aku tahu
itulah alasan wanita tersebut mengenakannya. Aku memikirkan ekspresi di wajah Abby saat aku mengamati gambar itu
di kamarnya, dan aku sadar bibiku sudah mengetahuinya sejak
awal. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, banyak hal
menjadi masuk akal. Tapi bukan berarti aku harus menyukainya.
Sejak saat itu, segalanya"dan maksudku segalanya"tentang
sekolah kami tampak berbeda.
Bagian sejarah di perpustakaan Akademi Gallagher" Penuh
dengan buku yang nggak menceritakan keseluruhan ceritanya.
Lukisan Gilly yang sedang berdiri di jendela, menatap ke seberang dinding-dinding kami" Sekarang aku punya ide yang
208 sangat berbeda tentang apa yang ditakuti pendiri sekolah kami
saat melihat ke kejauhan.
Sampai akhir minggu, aku nggak mendengar sepatah kata
pun yang diucapkan para guru tanpa membaca makna khayalan
yang lebih dalam, menahan beberapa pertanyaan yang aku
tahu mungkin nggak akan mereka jawab: Siapa, tepatnya,
anggota Circle of Cavan" Apa yang mereka inginkan" Di mana
mereka berada selama 150 tahun terakhir" Dan, yang terpenting, saat Liz dan Bex menyamai langkahku dalam perjalanan ke makan malam Jumat malam itu, apa yang seharusnya
kami katakan pada Macey"
Karena, percaya atau nggak, "Oh, omong-omong, kau tahu
pria yang dibunuh Gilly" Well, kurasa dia masih punya temanteman yang betul-betul kesal soal itu, dan mereka mencoba
membalas dendam padamu. Oh, dan apakah kami sudah bilang
bahwa sebenarnya kau cicit Gilly, dan itulah sebabnya kau diterima di sekolah ini?" lebih sulit untuk dimasukkan ke pembicaraan sehari-hari daripada yang mungkin kaukira.
"Is khabar ko kisi kitab ke andar daal dein, ya aisa kuch?" bisik
Liz sewaktu kami melatih bahasa India dan memakan makaroni
keju (jenis mewahnya tentu saja); dan meskipun begitu, seberapa pun aku menghargai kartu catatan Liz, kurasa memasukkan berita itu di buku teks Macey bukan cara terbaik untuk
menceritakan kebenaran padanya.
"Usse apne pariwar ke panch jani dushmano ke naam puchain
aur phir ek naam aur jord dein." Bex menawarkan, tapi aku
menggeleng karena pilihan "Hei, Macey, padahal kaukira nggak
seorang pun bisa membenci keluargamu lebih darimu" sepertinya bukan cara yang tepat juga.
Kenyataannya adalah, kami mungkin fasih dalam empat
209 belas bahasa berbeda, tapi jika menyangkut menyampaikan
berita buruk, bahkan Gallagher Girl tak selalu bisa menemukan
kata-kata yang tepat. "Mungkin," kataku perlahan dalam bahasa ibu kami,
meskipun para guru berlalu-lalang di Aula Besar untuk memastikan bahasa India kami memiliki aksen yang sedang kami
coba kuasai, "mungkin sebaiknya kita nggak?"
"Memberitahunya?" tanya Liz, membaca pikiranku.
Aku nggak suka menyimpan rahasia, dan itu"mengingat
profesi pilihanku"sangat aneh. Tapi aku ingat bagaimana perasaanku pada perjalanan liftku yang pertama dari Sublevel
Dua"bahwa ada beberapa rahasia yang kami simpan karena
kami nggak sanggup membocorkannya, dan beberapa karena
lebih baik dirahasiakan. Aku menatap kedua sahabatku dan
bertanya-tanya rahasia jenis mana yang sedang kami jaga sekarang.
"Kalau aku pasti ingin tahu," kata Bex sederhana, dan aku
mengangguk, nggak terkejut, tapi juga senang mendengarnya.
"Aku?" bisik Liz dan mencondongkan diri mendekat. "Kurasa?" ia tergagap lagi, dan aku tahu bahwa Liz si genius tahu
bahwa lebih banyak informasi yang kaupunya"lebih banyak
data yang bisa kaukumpulkan"maka kesimpulanmu akan jadi
lebih baik. Tapi Liz si cewek tahu bahwa ketidakpedulian
kadang-kadang adalah kebahagiaan.
"Nggak," katanya akhirnya sambil menggeleng. "Kalau aku
nggak ingin tahu. Lagi pula?" ia menatapku, mata birunya
lebar, "kalau lebih baik Macey tahu, bukankah ibumu dan Abby
dan Mr. Solomon dan semua orang akan" memberitahunya?"
Aku benci saat Liz benar. Dan sayangnya, itu sering terjadi.
Kurasakan Bex dan Liz menatapku, dan aku tahu bahwa
210 akulah suara penentunya. Salah satu murid di meja kelas dua
belas memegang selembar koran; kertasnya bergemerisik saat
membalik halamannya. Berita utamanya, "Pemilihan Presiden
Hari Selasa Terlalu Ketat Untuk Diprediksi," si cewek berseru
lebih keras daripada suara-suara seratus cewek lain yang sedang
mengobrol saat Macey berjalan melewati pintu di belakang
ruangan dengan anak-anak kelas sembilan lain yang belajar
lebih larut di kelas P&P. Macey tersenyum; dia tertawa; cewek
yang ada di tepi danau tampak jauh sekali, walaupun begitu
aku tahu dia masih ada di dalam diri Macey di suatu tempat,
dan aku betul-betul nggak mau melihatnya lagi.
"Ada apa?" tanya Macey waktu duduk di sebelahku. Aku
nggak tahu apa yang harus kukatakan atau bagaimana mengatakannya.
Untungnya, Joe Solomon-lah yang menjawab, "Kuis mendadak."
"Nah, aku tahu sebagian dari kalian tidak memilih jalur studi
Operasi Rahasia," kata Mr. Solomon, memandang ke sepanjang
meja pada seluruh murid kelas sebelas, "tapi ada aspek-aspek
dalam hidup ini"dalam dunia ini"ketika kalian tidak bisa
melangkah pergi. Tidak akan bisa. Fakta bahwa hampir segala
hal yang kalian katakan pada hampir semua orang yang kalian
sayangi selama sisa hidup kalian adalah kebohongan merupakan
salah satunya. Jadi, kalau kalian tidak keberatan mendapat
sedikit tugas ekstra?" katanya, menatap Liz, rasanya ia seperti
bertanya padaku apakah aku nggak keberatan mendapat makanan penutup ekstra, "pakaian biasa. Selasar. Dua puluh menit."
Sepuluh menit kemudian aku berlari menuruni Tangga
211 Utama, setengah langkah di belakang Bex dan Liz. Adrenalin
yang hanya bisa muncul akibat rasa antisipasi akan pergi ke
tempat lain, melakukan hal lain, menjadi orang lain sebentar
saja mulai mengaliri diriku. Macey ada di sebelahku. Aku
nggak tahu ke mana kami akan pergi, tapi sejujurnya, aku
nggak peduli. Abby berdiri di sebelah pintu, tersenyum jail penuh arti
pada semua orang yang lewat. Tapi waktu Macey dan aku melangkah ke pintu, kami sama sekali bukan mendapatkan senyum dari bibiku.
Lengan. Itulah yang kulihat pada awalnya. Satu lengan
yang menghalangi ambang pintu, meraih bahu Macey.
"Maaf," kata Aunt Abby. "Bukan lokasi aman."
Aku mengangkat bahu dengan simpatik pada Macey dan
mencoba berjalan lewat. Tapi Abby bergeming. "Oh." Ia menatapku. "Kurasa kau dan ibumu punya" kesepakatan?"
Aku bisa mendengar langkah-langkah kaki menjauh di kegelapan di luar. Aku bisa merasakan kesempatan itu terlepas.
"Tapi?" aku memulai. Aku nggak tahu apakah aku memohon pada bibiku, atau guruku, atau pada pelindung Dinas
Rahasia Macey, tapi aku tahu situasi itu membutuhkan permohonan serius kepada seseorang. "Tapi ini tugas!" semburku.
Abby hanya menggeleng. "Maaf, anak-anak," katanya. "Tentu saja" Abby melirik
Macey, "aku bersedia menahan peluru yang ditujukan padamu,
tapi bukan berarti aku mau memancing kemarahan Rachel."
Bex dan Liz berhenti di luar dan menoleh kembali pada
kami, mata Bex bertanya apa yang membuat kami lama sekali; tapi Aunt Abby berpaling, ke kegelapan, tanpa menoleh
lagi. 212 *** "Hei," kataku, berlari untuk menyusul Macey. "Kau baik-baik
saja?" Ia tersenyum. "Hebat." Tapi Macey nggak terdengar hebat.
Sedikit pun nggak. "Kau sedang bicara padaku," kataku. "Aku belum bisa memberi suara, ingat?"
"Aku?" Kali ini Macey sepertinya betul-betul memikirkan
jawaban yang tepat, dan aku tahu ada kemungkinan aku akan
mendapatkan jawaban sungguhan, bukan sekadar kalimat
partai. "Aku marah," katanya akhirnya, kata-katanya bergema
di sepanjang koridor kosong yang panjang.
"Oke." "Dan aku muak pada ini." Ia mengulurkan perban yang menutupi lengan kirinya. "Benda bodoh, kotor, gatal yang jadi"
pengingat ini. Tapi ternyata aku menghasilkan suara sepuluh
poin lebih tinggi saat memakainya."
"Oke." "Dan aku capek sekali?" Suaranya lebih pelan saat itu,
perjuangannya hampir habis saat ia merosot ke tangga. "Aku
capek sekali menjadi Macey McHenry."
Aku duduk di tangga di sebelahnya.
"Keadaannya bisa lebih buruk," aku mencoba, berharap senyumanku nggak terlihat sama palsunya dengan yang kurasakan. "Kau bisa saja kidal," kataku, menunjuk perban di lengan
kirinya. Macey tertawa. "Aku bisa saja terjebak di bus kampanye"
bersama ibuku." 213 "Kau bisa saja jadi ibumu," aku mencoba lagi.
"Aku bisa saja jadi Preston," katanya sambil tertawa.
Aku memikirkannya sesaat. Kalau Macey mulai sinting,
padahal dia tinggal dalam bangunan paling aman di negara
ini dan dengan Aunt Abby sebagai pengawal keamanannya,
Jangan Menilai Cewek Dari Penyamarannya Dont Judge A Girl By Her Cover Gallagher Girls 3 Karya Ally Carter di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
putra kandidat presiden pasti lebih nggak tahan lagi.
"Aku nggak sabar menunggu semua ini berakhir," kata
Macey, seakan ia baru saja mengakui rahasia terdalam dan tergelapnya. "Aku nggak sabar lagi menunggu Selasa."
Itulah saat yang kami tunggu"pembukaan yang kuperlukan
untuk memberitahu kenyataan tentang apa yang terjadi dan
memperingatkan bahwa semuanya tidak akan berakhir secepat
itu"bahwa nggak mungkin Macey tidak lagi menjadi keturunan Gilly pada hari Rabu.
"Apa?" tanyanya, membaca ekspresiku. Aku datang ke
koridor itu untuk memberitahu kebenaran padanya, untuk
memperingatkannya, tapi Macey masih punya harapan bahwa
Selasa akan menandai akhir semua ini, dan aku"khususnya"nggak mau mengambil harapan itu darinya begitu
cepat. Kusadari diriku berdiri, berpikir, bergerak.
"Apa yang ingin kaulakukan, Macey?" tanyaku.
"Aku ingin" aku ingin nggak diawasi sepanjang waktu,"
katanya. "Aku nggak mau ditatap oleh orang-orang di kota.
Aku nggak mau ditatap oleh orangtuaku. Aku cuma nggak
mau?" ia mengalihkan pandangan ke arahku, ?"ditatap."
Kalau penampilanmu seperti Macey McHenry, dorongan
untuk menghilang mungkin terdengar konyol. Tapi nggak kalau
kau remaja cewek. Nggak kalau kau sudah ditampilkan di sam214
pul setiap majalah di Amerika dalam enam bulan terakhir.
Dan nggak kalau kau bunglon.
Mungkin hanya aku orang di dunia yang bisa mengerti hal
itu, dan mungkin itulah sebabnya Macey memberitahuku.
Dan mungkin juga itulah sebabnya aku berkata, "Ayo."
215 Bab Du a P u l u h T i g a
pakah aku tahu ini melanggar peraturan" Ya.
Apakah menurutku ini bodoh" Pasti.
Apakah menurutku ini sepadan" Sejujurnya" Yeah, kurasa
ini sepadan. Kadang aku bertanya-tanya apa yang membuatku menjadi si
Bunglon"kenapa aku suka bersembunyi dan berbaur, kenapa
aku lebih suka nggak terlihat daripada diperhatikan. Tapi waktu
Macey dan aku berjalan menyusuri koridor bawah tanah, aku
tahu bahwa tidak terlihat jelas punya daya tarik tersendiri.
Meskipun akhirnya butuh waktu 90 menit, Macey McHenry
dengan sukses diberi penampilan baru, dan sekarang kami siap
menghadapi dunia luar. Aku melirik cewek di sebelahku. Mata
biru khasnya tersembunyi di bawah lensa kontak cokelat dan
kacamata tebal. Kami menambahkan jejak bintik-bintik samar
di atas hidung pucatnya. Rambut hitam berkilaunya dimasukkan ke bawah wig merah keriting, dan aku tahu hanya wig itu
216 yang bakal diingat siapa pun yang meliriknya: rambut merah
besar dan kacamata. Aku meraih permadani tua keluarga Gallagher yang tergantung di dinding batu, lalu menatap cewek yang hampir
nggak kukenal itu, dan berkata, "Kau yakin?"
Macey meraih simbol perisai kecil yang terpasang di batu
dan memutar pedangnya, membuka salah satu jalan rahasia
favoritku. "Pasti."
Sejak dulu aku menganggap Roseville sebagai jenis tempat
yang segala sesuatunya nggak pernah sepenuhnya berubah. Tapi
malam itu lampu-lampu menyala di kejauhan, dan kilauan
warna-warni terang muncul dari cakrawala saat Macey dan aku
berjalan memasuki kota. Juga terdengar suatu suara, yang datang dan pergi, deruman rendah, seperti aliran sungai. Di sekeliling kami, orang-orang dari restoran berjalan terburu-buru,
membawa tumpukan-tumpukan besar selimut dan menyeberangi
taman kota, berbaris ke arah lampu-lampu.
"Kau ingin melakukan apa?" Aku menoleh pada Macey. Dia
sedang menatap bayangan dua cewek di salah satu jendela
toko. Bagi penduduk Roseville, mereka mungkin terlihat seperti cewek biasa. Orang-orang melewati mereka tanpa memandang dua kali. Si rambut merah yang bayangannya terpantul
di kaca sama sekali bukan orang penting. Dia nggak diperhatikan dan nggak terlihat.
Dia seperti aku. Dan Macey menikmati setiap detiknya waktu berkata, "Kita
ikuti mereka." Oke, sebagai seniman jalanan, itu bukan usaha menguntit
tersulit yang pernah kualami. Lampu-lampunya jelas dan se217
makin terang. Belasan orang sedang berjalan ke arah yang sama,
menyusuri jalan-jalan samping yang terbentang dari taman
kota. Sepasang pria lewat, sambil berdebat.
"McHenry," salah satu pria itu berkata pada yang lain. "Dia
tidak lebih baik daripada yang lain."
Aku menatap Macey, berharap melihat semacam reaksi di
matanya, tapi ekspresinya tidak peduli, sama seperti yang diharapkan seseorang dari cewek enam belas tahun normal.
"Aku tidak peduli meskipun dia punya hubungan dengan
Roseville!" salah satu pria itu memprotes.
"Maksudmu putrinya yang ada di sekolah itu?" pria satunya
bertanya. Lalu Macey melakukan sesuatu yang nggak akan pernah
kulupakan. Dia menabrak pria itu, betul-betul membuat kontak
fisik, menatapnya tepat di mata. Aku menahan napas sesaat
waktu Macey McHenry"cewek yang sedang dibicarakan pria
itu"menatapnya dengan mata berlapis lensa kontak dan berkata, "Maaf."
"Tidak, maafkan aku, nona," kata pria itu, lalu menoleh kembali ke temannya. Dia terus berjalan ke arah lampu-lampu.
Aku tahu kami melanggar janjiku pada Mom, bahwa kami
mengambil risiko besar. Tapi ekspresi di wajah Macey saat itu
membuat semuanya sepadan.
Lalu kami berbelok di sudut, dan aku melihat barisan lampu
bersinar, bendera Amerika berkibar, dan aku mendengar suara
raungan itu dalam bentuk aslinya. Bukan aliran sungai"
Football. Stadion football Roseville berada di sisi jauh kota, menempel
218 di bukit-bukit tinggi yang mencuat dari lembah yang hanya
berjarak 45 meter di belakangku. Di kejauhan, band mulai bermain. Suaranya bergema ke seluruh bukit. Sorakan semakin
berisik sewaktu kami berjalan ke arah pagar yang berbentuk
mirip rantai, bergabung dengan barisan orang yang berjalan
memasuki gerbang. Pilar-pilar baja membingkai berbagai stand.
Kumpulan debu dan serpihan terkadang jatuh seperti salju
samar saat kami berdiri di bawah bangku-bangku, menatap ke
lapangan. Petugas-petugas berseragam membawa penanda-penanda oranye besar. Seorang pelatih berjalan mondar-mandir,
meneriakkan perintah-perintah yang sepertinya nggak didengar
siapa pun. Para pemandu sorak bergerak bersama dengan sempurna, rok lipit-lipit merah mereka tersibak saat mereka berteriak dan menendang. Dan di belakang mereka, berdiri panggung kecil tempat lima cewek memakai mahkota dan gaun
mewah duduk manis. "Oh astaga," kata Macey, menunjuk cewek di tengah yang
memakai gaun putih dan tiara. Macey terdengar sama kagetnya
seperti yang kurasakan. "Kurasa mungkin dia ratu mereka," tebakku, karena, sejujurnya, sekarang ini kami berada di daerah asing!
Mata-mata harus bisa merasa nyaman dalam semua jenis
situasi sosial, tapi kurasa aku belum pernah berada di suatu
tempat yang ada beberapa orang memakai tiara sedang lainnya
memakai sweatshirt. Maksudku, aku pernah menonton football
di TV bersama Grandpa Morgan, tapi nggak sekali pun aku
melihat ada cewek yang memakai pakaian formal dalam pertandingan itu!
Sebuah jalur melingkar mengelilingi lapangan football itu.
Di sisi lain berdiri kumpulan stand lawan, tim lawan. Macey
219 dan aku mulai berjalan ke arah itu, melewati stand makanan,
dan tepat menabrak Tina Walters.
"Maaf," kata Tina, tersandung sedikit. Lalu ia menatap
Macey. Ia menatapku. Tina membuka mulut untuk bicara, tapi
lalu, secepat itu juga, ia menggeleng seakan mengenyahkan
suatu pikiran sinting. "Hmmm" sori." Aku meraih Macey dan berlari pergi.
Macey menatapku, mata berlapis lensa kontaknya melebar
saat kami mengucapkan tanpa suara, Kuis mendadak!
Di dekat kamar mandi kami melihat Eva Alvarez menyamar
sebagai anggota pembawa bendera tim lawan dan sedang bicara
dengan wanita setengah baya yang mengenakan korsase I "
#32 yang sebesar kepalanya.
Aku mendengar tawa Courtney Bauer dari bawah stand.
Aku tahu, kerumunan penuh Gallagher Girl seharusnya
membuatku merasa aman, tapi saat itu mereka bukan backup"
mereka adalah para agen terlatih yang bisa membuka
penyamaran kami setiap saat.
Macey dan aku tetap tenang dan terus berjalan, mengamati
pemandangan dan suara-suara, sampai tiba-tiba semua hal
terasa" berbeda. Lagi. Aku bisa merasakan kehadiran para
Gallagher Girl di kerumunan, tapi juga" sesuatu yang lain.
Pertandingannya pasti berjalan baik untuk Roseville, karena
kerumunan orang dari tim rumah bersorak; tapi untuk suatu
alasan aku menyadari diriku berpikir tentang hari lain dan
kerumunan lain. Tapi kali ini, saat pikiranku melayang kembali
ke Washington, D.C, aku nggak berpikir diriku mulai sinting.
Kali ini, aku tahu apa yang kucari.
"Dia di sini," gumamku saat pandanganku menyapu kerumunan orang, nggak lagi melihat penggemar football dan pe220
mandu sorak, anggota band dan mantan atlet yang mulai menua.
"Apa?" tanya Macey, meskipun raungan orang-orang keras
sekali. "Zach," aku balas berbisik.
"Aku nggak tahu kenapa dia nggak menciummu!" kata Macey
sambil mendesah nggak sabar, seakan ia betul-betul nggak ingin
mendengarkan ceritaku lagi.
"Bukan." Aku menggeleng. "Dia di sini."
Dan itu menarik perhatian teman sekamarku. "Dari mana
kau bisa tahu?" tanyanya, menoleh untuk memandang kerumunan. "Naluri seniman jalanan?"
"Bukan," kataku. "Naluri cewek."
Macey mengangguk seakan tahu persis apa yang kurasakan.
Dia memandang bangku-bangku. "Mungkin Blackthorne di sini
untuk latihan Operasi Rahasia juga?" tawarnya, tapi aku menggeleng. "Ooh! Ada Solomon!" kata Macey kemudian, suaranya
bahkan jadi semakin hidup.
Guru kami berada di sebelah tiang bendera. Guru kami sedang menatap ke arah kami. Mudah sekali berbalik, mencoba
bersembunyi. Tapi untungnya Macey tetap bersamaku, diam
dan nggak bergerak, saat pandangan Joe Solomon melewati
kami. Mungkin naluri, atau mungkin juga latihan yang membuatku membeku. Atau mungkin karena aku melihat cowok yang
berdiri dua belas meter di belakang guruku, di tengah-tengah
Tongkat Rantai Kumala 1 Wiro Sableng 032 Bajingan Dari Susukan Kisah Sepasang Rajawali 32
Jadi Bex nggak berkata apa-apa. Aku nggak berkata apaapa. Bahkan Tina Walters kehabisan kata-kata.
"Kalian siswi kelas sebelas?"
Aku tak kenal suara itu. Aku menoleh dan melihat seraut
wajah yang nggak kukenal. Laki-laki. Laki-laki tua yang memakai seragam departemen maintenance Akademi Gallagher. Di
dadanya tersemat tulisan "Art" dan dia menatap kami seakan
dia tahu kamilah yang bertanggung jawab atas tumpahnya asam
hidrokrolik yang mengerikan di laboratorium Dr. Fibs, yang
mungkin makan waktu berminggu-minggu untuk dibersihkan.
"Kata Solomon kalian siswi kelas sebelas," kata Art pada
kami. "Ya, Sir," kata Mick, karena 1) Kami semua sudah mengikuti kelas Budaya dan Asimilasi sejak kelas tujuh dan Madame
Dabney mengajari kami dengan baik, dan 2) di Akademi
Gallagher, semua orang lebih dari penampilan mereka.
148 Kami terlihat seperti cewek-cewek normal, tapi kami bukan
cewek normal. Guru-guru kami bisa berbaur dalam dewan guru
sekolah swasta mana pun di dunia, tapi mereka jauh lebih
besar daripada itu. Setiap cewek di ruangan itu tahu bahwa
untuk menghabiskan masa pensiun di departemen maintenance
Akademi Gallagher kau harus punya izin keamanan tingkat
tinggi dan keterampilan-keterampilan hebat"kau ada di sana
untuk suatu alasan. Jadi Art adalah "Sir" bagi kami. Nggak ada
keraguan soal itu. Tetap saja, Art menatap kami seakan kami persis seperti
yang diharapkannya. Saat Art berbalik dan melangkah keluar pintu, kami menatapnya. Tapi lalu ia berhenti dan memanggil kembali dari
balik bahunya. "Well" Kalian mau ikut atau tidak?"
Kami berdiri dan mengikuti Art persis lewat jalur kedatangan kami tadi. Nggak seorang pun bertanya tentang Mr.
Solomon, tapi satu lirikan pada cewek-cewek yang mengikuti
di belakang si pria maintenance memberitahuku bahwa kami
semua bertanya-tanya hal yang persis sama.
Well, buat itu dua hal: 1.) Di mana Mr. Solomon" dan 2.)
Apa yang terjadi pada Art"
Laki-laki itu berjalan sedikit pincang, tak sekali pun kaki
kanannya mendarat stabil di lantai batu. Tangan kirinya tergantung di sisinya dengan sudut aneh, dan kacamata setebal
botol pasti membuat dunia terlihat sangat berbeda di matanya.
Tapi nggak satu pun dari hal-hal itu menghentikannya menukas, "Walters!" waktu Tina membisikkan sesuatu pada Eva,
jadi aku cukup yakin pendengarannya sangat sempurna.
Kami melewati pintu-pintu kayu kuno dengan kunci-kunci
149 yang kelihatannya harus dibuka dengan anak kunci seberat dua
ton. Kami naik lebih tinggi, melewati ruangan-ruangan yang
terlihat seperti set dari film-film monster lama.
Waktu kami mendekati puncak, kami semua berjalan lebih
cepat, ke arah lift, menyangka bahwa kami cukup pintar, cukup berpengalaman, dan cukup hebat untuk menebak apa yang
akan terjadi berikutnya. Tapi salah satu peraturan terpenting
operasi rahasia adalah Selalu mengantisipasi, jangan pernah berkomitmen, dan itu adalah saat yang bagus untuk mengingatnya.
Karena Art berseru, "Nona-nona!" Dan seluruh anggota
kelas berhenti mendadak. Kami menoleh untuk melihat lakilaki itu berdiri di depan salah satu pintu raksasa yang, sampai
saat itu, belum kulihat terbuka. Ia meraih ke dalam dan menyalakan saklar. Cahaya menggantikan bayang-bayang dan
menari-nari di atas lantai batu saat Art melangkah dengan
kakinya yang bengkok. "Bex," bisikku saat kami mengikutinya ke dalam. "Apakah
dia terlihat?" Tapi aku nggak menyelesaikan kalimatku. Oh, yang benar
saja"aku tak bisa menyelesaikan kalimatku. Karena ruangan
yang kami masuki bukan ruangan biasa. Itu bukan ruangan
untuk kelas biasa. Barisan pakaian berjajar di dua dinding panjang. Di tengahtengah, berdiri sekumpulan rak penuh aksesori. Berbagai cermin
berdiri di barisan panjang di bagian belakang ruangan, rak dan
laci, semuanya dilabeli dengan rapi, duduk menunggu.
"Ini lemari ," kata Eva Alvarez kagum.
"Dan... besar sekali," balas Tina Walters.
Aku tahu cewek-cewek normal mungkin akan senang sekali
150 menemukan diri mereka di dalam lemari yang dua kali lebih
besar daripada ukuran sebagian besar rumah pinggir kota. Tapi
bukan lemari ini. Lemari ini hanya bisa dihargai oleh Gallagher
Girl. Kami semua melangkah masuk, tahu kami akan memulai
pelajaran yang benar-benar baru.
Eva mengulurkan tangan ke saklar lain, dan lampu yang
mengelilingi cermin-cermin di bagian belakang ruangan menyala, menyinari berbagai topi dan wig, kacamata dan gigi
palsu. Mantel luar dan payung.
Aku menatap pria yang membawa kami ke sana. Aku mengalihkan pandanganku dari kaki pincangnya dan lengannya
yang terluka" dan aku tahu.
Art melangkah ke tengah ruangan dan berkata, "Nonanona." Ia melepaskan kacamatanya dengan lengan kiri, yang,
untuk pertama kalinya, tampak normal dan lurus. Ia melepaskan sepatu kanan, memungutnya, dan menjatuhkan kerikil
kecil ke tangannya, lalu berdiri tegak di atas kaki kanannya.
Lalu akhirnya ia melepaskan wig abu-abu itu dan menjatuhkannya ke rak tengah rendah yang berdiri di sepanjang ruangan
itu. Tina Walters tersentak. Anna Fetterman tersandung ke belakang. Hanya Mr. Solomon di ruangan itu yang tersenyum saat
ia mengembangkan lengan ke sekeliling lemari Akademi
Gallagher. "Perubahan kecil. Perbedaan besar."
Mr. Solomon melepaskan kemeja "Art" dan berdiri di
depan kami memakai T-shirt putih (tapi celana hitamnya tetap
dipakai). "Selamat datang ke ilmu penyamaran."
Satu menit penuh kemudian, setengah anggota kelas masih
menatap Joe Solomon, bertanya-tanya bagaimana Art tua yang
151 agak membuat kami kasihan bisa berubah jadi pria keren yang
sudah kami lihat setiap hari sekolah selama lebih dari setahun.
Tapi aku berputar, menatap fantasi utama seekor bunglon"
tempat yang dibuat dengan tujuan tunggal untuk membuat
seseorang menghilang. Lalu aku melihat Bex, dan kegembiraanku langsung digantikan perasaan nggak enak.
Karena Bex tersenyum. Dan mengangguk. Dan berbisik,
"Rencana B?" 152 Bab En a m B e l a s Laporan Operasi Rahasia Setelah mengetahui bahwa Pelaksana McHenry berada dalam bahaya, dengan ancaman yang berasal dari seseorang (atau beberapa orang) yang mengetahui identitas Akademi Gallagher untuk
Wanita Muda Berbakat yang sebenarnya, Pelaksana Morgan,
Baxter, dan Sutton memutuskan untuk melaksanakan operasi
bayang-bayang untuk mengawasi keamanan Pelaksana McHenry.
Operasi itu juga melibatkan banyak eye shadow.
pakah itu sinting" Ya.
Apakah itu perlu" Mungkin.
Apakah ada cara untuk membujuk Bex tidak melakukannya"
Hanya kalau kami setuju untuk melaksanakan pilihan mengikat
Macey, jadi sungguh, sepertinya ini pilihan terbaik kami.
Kami menghabiskan sepanjang Jumat sore untuk meriset,
153 merencanakan, dan memakai banyak sekali aksesori rahasia,
tapi hari Sabtu pagi yang bisa kulakukan hanyalah berjalan
bersama Bex dan Liz menyusuri koridor-koridor, melawan
kombinasi nostalgia dan kegugupan yang tampaknya makin
besar dengan setiap langkah yang kami ambil.
Bagaimanapun, sudah berbulan-bulan aku nggak keluar
daerah sekolah (secara nggak resmi); aku belum membuka
jalan rahasia mana pun; aku belum melanggar peraturan apa
pun. (Oke, aku belum melanggar peraturan besar apa pun.)
Tapi waktu aku meraih patung kakak-beradik Rozell
(Gallagher Girl kembar identik yang pernah menjadi agen
ganda"secara harfiah"pada Perang Dunia pertama), aku
nggak bisa menghilangkan perasaan bahwa aku akan membuka
celah ke sesuatu yang jauh lebih gelap dan dalam daripada
jalan rahasia mana pun yang pernah kutemukan.
Dan itu sebelum aku mendengar Liz berseru, "Ew!" lalu melihatnya melompat mundur, tersandung kaki Bex, dan menabrak dinding, melukai sikunya dalam proses itu.
Para Pelaksana membawa perlengkapan yang diperlukan untuk
operasi penipuan-dan-penyamaran mendetail.
Tapi, mereka tidak membawa perlengkapan yang diperlukan
untuk membunuh laba-laba.
Sarang laba-laba penuh debu tergantung di antara palang-palang rendah, tampak seperti detektor pengintaian kecil alami.
Laba-laba terbesar yang pernah kulihat berlari menjauhi cahaya, dan aku hanya berdiri di sana mengingat bahwa ada banyak, banyak sekali alasan mengapa Gallagher Girl harus terus
berlatih. Satu, kau nggak mau kehilangan kemampuan. Dua,
154 kau nggak pernah tahu kapan kau mungkin harus menggunakan latihanmu. Dan tiga, kalau kau sudah terlalu lama nggak
menggunakan jalan-jalan rahasiamu, hal-hal lain cenderung
mengambil alih saat kau nggak ada.
Bahkan Bex melangkah mundur jauh-jauh. (Karena, walaupun Bex sangat bersedia melawan tiga penyerang bersenjata
sekaligus, lain lagi masalahnya dengan laba-laba.) Tapi Liz-lah
yang kutatap. Bagaimanapun, di sanalah kami, terkunci di tempat teraman di negara ini, namun Liz sudah berdarah.
"Hei, Liz, mungkin sebaiknya kau tetap di sini. Tahu, kan"
untuk memasang dan mengatur pusat komunikasi?"
"Lebih baik kalau aku berada di lokasi," Liz balas mendebat.
"Dan melindungi kami," tambahku, "kalau seseorang mulai
bertanya di mana kami."
"Sekarang Sabtu," Liz mengingatkanku. "Di bangunan yang
sangat besar. Bangunan yang kau terkenal sering menghilang
di dalamnya." "Tapi?" Aku nggak tahu apa yang terjadi padaku, tapi
tiba-tiba aku merasa seseorang seharusnya mengubah nama
panggilanku dari Cammie si Bunglon menjadi Cammie si
Koruptor. Aku bakal menyelinap keluar dari sekolahku (lagi),
untuk melakukan sesuatu yang seharusnya nggak kulakukan
(lagi). Tapi bukan itu yang membuatku cemas saat aku menatap Liz, yang beratnya hampir nggak mencapai 50 kilogram,
lalu melihat terowongan rahasia yang mungkin membawa kami
kepada orang-orang jahat sungguhan dengan senjata sungguhan. "Liz, hanya saja?"
"Kenapa kau nggak menyuruh Bex saja yang tinggal?" balas
Liz, tapi kami semua tahu jawabannya: satu-satunya cara Bex
155 bakal melewatkan ini adalah jika dirinya pingsan. Dan terikat.
Dan dikurung di lubang perlindungan beton. Di Siberia.
Itu hampir membuatku tertawa. Hampir. Tapi waktu kudengar Bex berkata, "Mungkin sebaiknya kau nggak ikut misi
ini, Lizzie," aku tahu sahabatku juga memikirkan hal yang
sama. Bahwa begitu kami melangkah maju, mungkin kami
nggak bakal bisa kembali. Dalam berbagai cara.
Liz itu genius"jenis genius yang membuat kami, selain dia,
nggak ada apa-apanya. Dia tahu risiko misi ini. Dia mungkin
sudah mengalkulasi kemungkinan kami tertangkap, kemungkinan kami terluka, dan (kalau itu nggak terlalu traumatis baginya
untuk dipikirkan) kemungkinan nilai ujian tengah semester
kami diturunkan satu tingkat penuh. Tapi tetap saja dia berpaling dengan sikap menantang dan berjalan melewati sarang
laba-laba itu. Nggak mungkin lagi menyembunyikan jejak kami saat
itu"nggak mungkin kembali"jadi Bex mengayunkan tangan
ke pintu, memberi isyarat "silakan duluan."
Aku melangkah ke dalam kegelapan tanpa apa pun kecuali
latihanku, penyamaranku, dan teman-temanku yang akan mengikutiku sampai ke ujung dunia, nggak peduli apa yang menunggu kami di sisi lain.
Well, ternyata yang menunggu kami adalah minivan Dodge tahun 1987.
Dan Liz yang punya kuncinya.
"Liz," kataku, berjalan ke arahnya, berharap tak seorang
pun bakal berjalan lewat dan melihat kami. (Sebagian karena
kami memang nggak seharusnya berada di sana. Sebagian lagi
karena" well" itu minivan yang amat sangat jelek.)
156 Tapi Liz cuma berkata, "Masuklah." Lalu ia berhenti. "Siapa
yang menyetir?" Bex mencoba meraih kuncinya, tapi mengingat kecenderungannya untuk lupa sisi jalan mana seharusnya kami berada, aku
menyambar kunci itu dari genggamannya.
"Liz," kataku lagi, menatap bumper minivan yang berkarat,
"waktu kau bilang kau bisa mendapatkan mobil untuk kita"
Liz, dari mana kau mendapat mobil ini?"
"Ini proyek," katanya sederhana sambil memakai sabuk
pengaman di kursi belakang.
Aku menarik pintu di sisi pengemudi, dan selama sedetik
kukira pintunya bakal lepas dari engsel. Aku menatap kursinya.
Isinya menyembul keluar dari jahitan yang mulai lepas. Bisa
dibilang setirnya direkatkan dengan selotip.
"Proyek macam apa?" tanyaku, hampir takut mendengar
jawabannya karena sesuatu memberitahuku bahwa mendorong
van itu ke Philadelphia nggak bakal membantu tujuan misi
kami. "Oh, berikan itu padaku," kata Bex, menyambar kuncinya
dari tanganku. Ia memasukkan kunci ke lubang starter dan memutarnya, lalu" tidak terjadi apa-apa.
"Hebat!" seruku. "Mobil ini bahkan nggak jalan." Tapi lalu
aku merasakannya. Mobil itu menyala, tapi mesinnya hampir
tak terdengar, hampir tak bergerak.
"Teknologi baru," kata Liz sambil mengangkat bahu. "Dr. Fibs
membantuku. Kami berhasil membuatnya berjalan sejauh 400
kilometer cuma dengan bahan bakar 3,7 liter sekarang," katanya,
menampilkan sedikit sekali senyum bangga. "Tapi kurasa aku
akan membuatnya sampai 520 kilometer Natal nanti."
157 Siapa bilang Gallagher Girl di jalur riset dan operasi nggak
mendapat kesempatan untuk menyelamatkan dunia"
Kami melewatkan beberapa jam berikutnya dalam keheningan.
Well, itu kalau keheningan yang kaumaksud adalah Liz yang
mengoceh nonstop seperti yang biasa dilakukannya saat gugup,
dan Bex betul-betul nggak mengacuhkannya seperti yang biasa
dilakukannya kalau dia gugup. Dan aku" Aku hanya menyetir,
mendengarkan hujan yang turun saat kami melewati perbatasan
Pennsylvania. Wiper jendelanya nggak secanggih teknologi
mesinnya karena wiper itu macet, meninggalkan garis-garis di
kaca yang menangkap cahaya lampu depan mobil-mobil yang
lewat, dan waktu kami sampai ke Philadelphia, segalanya sudah
tampak kabur. "Belok kanan," kata Liz, mengarahkan kami melewati jalanjalan berbatu yang sempit. Bangunan-bangunan yang lebih tua
daripada Deklarasi Kemerdekaan membubung ke langit berhujan. Mungkin aku mengharapkan keramaian Ohio, penutupan jalan dan kekacauan konvensi, tapi sebaliknya saat kami
mengintip ke luar jendela kotor itu, ke arah jalan-jalan hitam
yang licin, mau nggak mau aku berpikir bahwa sesuatu terasa"
berbeda. "Kau yakin ini tempat yang benar?" tanyaku. Liz mencondongkan diri di antara kedua kursi depan, tapi sebelum ia
bisa bersikap terlalu terhina, kami menoleh dan melihat bangunan batu besar yang memenuhi dua blok kota. Pilar-pilar
raksasa berjajar di pintu depannya, sehingga bangunan itu
lebih terlihat seperti kuil Romawi daripada stasiun kereta api.
Dan di sana, di tengah-tengah gambaran itu, tampak spanduk
sepanjang 15 meter berbunyi WINTERS-MCHENRY:
158 MENGEMBALIKAN AMERIKA KE JALUR YANG
BENAR. Hujan turun makin lebat. Genangan-genangan air berkumpul di trotoar. Dan di sebelahku, Bex berkata, "Kita sudah
sampai." 159 Bab Tu ju h B e l a s etiap misi adalah pelajaran"di sekolah dan dalam hidup.
Dan sebelum kami mencapai pintu stasiun 30th Street, aku
mempelajari dua hal yang sangat penting.
1. Berpakaian bersama dua cewek lain di bagian
Jangan Menilai Cewek Dari Penyamarannya Dont Judge A Girl By Her Cover Gallagher Girls 3 Karya Ally Carter di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
belakang minivan Dodge seharusnya mendapatkan
nilai ekstra di kelas P&P.
2. Meskipun mereka sahabatmu, seharusnya kau jangan
pernah memercayai agen lain untuk menyiapkan
pakaian untukmu. "Aku nggak percaya aku memakai ini," gumamku sambil menarik ujung jahitan gaun hitam kecil yang diselundupkan sendiri
oleh Bex dari Sublevel Dua. Tapi gaun ini nggak terasa seperti
gaun. Rasanya seperti" siksaan. Siksaan berupa gaun bergaris
punggung sangat rendah dan sepatu berhak sangat tinggi.
Limusin-limusin panjang berjajar di luar tangga utama.
160 Agen-agen Dinas Rahasia berdiri berjaga di setiap pintu keluar,
tapi tetap saja Bex berbisik, "Kunci dari penipuan dan penyamaran adalah melanggar kecenderungan dan norma."
Dan saat itu aku tahu bahwa memiliki teman-teman genius
yang sangat hebat dalam menghapalkan buku teks kadang bisa
jadi hal yang sangat buruk, karena Bex betul: gaun itu jelas
sama sekali tidak sesuai norma.
Tetap saja, aku nggak bisa menahan diri berkata, "Kalau
begitu seharusnya kau yang memakainya." Tapi Bex cuma
mengangkat bahu. "Aku akan senang sekali memakainya,"jawab Bex. "Dan
itulah masalahnya." Inilah yang perlu kauketahui tentang penyamaran: intinya
bukan menjadi nggak kelihatan. Bukan jadi tidak diperhatikan.
Intinya adalah tidak dikenali"melepaskan kulitmu. Dan saat
itu aku nggak mengkhawatirkan Dinas Rahasia atau kelima
ratus penyumbang pesta yang berpengaruh itu. Saat itu satusatunya kekhawatiran kami adalah Aunt Abby: mengelabuinya
berarti meninggalkan identitas kami di van.
Aku melirik Liz, yang rambut pirang panjangnya tersembunyi di bawah wig cokelat gelap. Bex juga mengenakan
wig, ditambah kacamata dan bodysuit berisi yang mengubah
bentuk alami figur atletisnya. Kami menggunakan setiap trik
di lemari Akademi Gallagher, dan waktu kami melewati
jendela-jendela gelap stasiun itu, aku menangkap bayangan tiga
orang asing sebelum menyadari bahwa, yang mengagumkan,
mereka adalah kami. Aku bahkan nggak mengenali diriku sendiri di bawah wig, lensa kontak berwarna, dan hidung palsu
yang mengubah wajahku yang mudah dilupakan menjadi wajah
yang" sama sekali nggak mudah dilupakan.
161 "Oke, teman-teman," kataku, "menurut cetak birunya, ada
panel akses lift di sisi timur bangunan. Kita mungkin bakal
sedikit kotor, tapi?"
"Kupikir kita bakal masuk lewat pintu," kata Liz, melambaikan tiga undangan dengan tulisan berukir indah dan
beberapa identitas palsu yang sangat mirip aslinya.
Setiap tiketnya berharga AS $20,000. Dinas Rahasia sudah
memeriksa daftar tamunya selama berminggu-minggu, jadi Bex
dan aku berhenti di bawah lampu jalan dan mengamati Liz.
"Apa aku bahkan ingin tahu di mana kau mendapatkan
itu?" tanyaku. Liz tampak memikirkannya, lalu menjawab, "Nggak."
Dan dengan semudah itu, aku teringat bahwa mungkin Lizlah yang paling berbahaya di antara kami.
Melangkah ke dalam stasiun itu rasanya seperti melangkah ke
dalam dunia lain. Ukiran-ukiran indah menutupi langit-langit
yang tingginya paling tidak 15 meter. Sekelompok pemusik
bermain di balkon lantai dua, musik mereka bergema di lantai
batu, sementara lima ratus pria dan wanita makan, minum,
dan bicara tentang perjalanan ke Gedung Putih.
Aku nggak mau memikirkan jenis bantuan yang harus diminta seseorang untuk menutup seluruh stasiun sepanjang
malam itu (dan setelah kupikir-pikir, mungkin bantuan Kongres dilibatkan dalam hal itu), jadi aku hanya berdiri di puncak
tangga bersama sahabat-sahabatku dan sebuah patung indah
malaikat Mikael, yang menggendong prajurit terluka di lengannya, sayapnya bersiap terbang. Entah bagaimana, rasanya seakan kami berempat sedang mencari Macey.
162 "Ada tanda?" tanyaku dua puluh menit kemudian sambil
berjalan melewati kerumunan.
"Negatif," jawab Bex.
"Wow, kalian tahu nggak sistem kereta api Pennsylvania
sudah ada sejak?" "Liz!" tukasku dan Bex bersamaan.
"Nama sandiku Kutu Buku," Liz mengoreksi, dan aku betulbetul nggak bisa protes.
"Kutu Buku, di jadwal resminya tertulis apa lagi?" tanyaku,
perlu mendengarnya. "Katanya Macey akan tampil di depan publik satu kali hari
ini. Dia akan sampai jam setengah delapan lewat Back on
Track Express"apa pun itu maksudnya."
"Jam berapa sekarang?" kataku.
"Kau tahu jam berapa sekarang," Bex mengingatkanku, tapi
aku berharap aku salah, karena para kandidat dan keluarga
mereka" terlambat. Terlambat berarti kesalahan.
Kesalahan berarti masalah.
Dan masalah" well, aku betul-betul nggak mau memikirkan
apa artinya itu. Peringatan Mr. Solomon terus terngiang di benakku saat
aku mengamati kerumunan, teringat bahwa orang-orang jahat
bisa menyamar jadi siapa saja, bahwa mereka bisa berada di
mana saja"bahwa mereka tahu siapa kami. Dan mereka hanya
perlu beruntung" satu kali.
Mungkin karena latihan mata-mataku; mungkin karena imajinasi sinting yang hiperaktif, tapi rasanya seakan ke mana pun
aku memandang, orang-orang tampak mencurigakan.
Ada laki-laki berdasi kupu-kupu merah yang menabrakku
163 bukan sekali, bukan dua kali, tapi tiga kali dan sedikit" meraba. Naluri pertamaku adalah memanggil Macey di unit komunikasi untuk mengecek apakah laki-laki itu sedang menggodaku, tapi lalu aku ingat bahwa satu-satunya Gallagher Girl yang
punya jawaban terhadap pertanyaan itu adalah satu-satunya
Gallagher Girl yang nggak bisa kutanyai.
"Bunglon," suara Bex terdengar di telingaku. "Cammie, apakah kau?"
"Aku di sini," kataku.
"Ada masalah apa?" tanya Bex, aksennya terdengar jelas
lagi. "Nggak ada apa-apa. Maksudku?" Aku berputar, bersikap
sebaik mungkin agar tidak tampak mencurigakan, tapi sesuatu"
nggak beres. "Pandangan mata," kataku, mengutip sumber utama seorang
agen"nalurinya. "Aku merasakan tatapan banyak mata. Seseorang" sedang mengamati."
"Yeah," kata Bex, suaranya penuh dengan ucapan jelas saja
yang jelas. "Kau tampak cantik sekali."
Well, itu menjelaskan satu hal, karena aku hebat dalam
menjaga rahasia. Aku hebat dalam menjadi nggak terlihat.
Tapi aku betul-betul nggak hebat dalam menjadi cantik.
Aku berjalan melewati kerumunan lagi, tahu bahwa malam
semakin larut, dan mau nggak mau aku makin khawatir.
Kilasan-kilasan Boston muncul di benakku. Aku memejamkan
mata dan merinding, melihat kerumunan yang hampir sama,
merasakan perasaan yang hampir sama dengan Boston.
"Kutu Buku, Duchess," aku memulai, tapi kemudian terdiam
karena aku nggak tahu bagaimana seharusnya kalimat itu berakhir.
164 "Ada tanda-tanda mereka?" tanyaku akhirnya.
"Nggak ada bus," Liz memberitahuku dari sudut pandangnya
di samping jendela. "Nggak ada tanda-tanda di pintu masuk timur. Tunggu,"
kata Bex, mendadak terdiam.
Suasana kerumunan mulai berubah. Energi yang sangat jelas
berjalan melewati stasiun bersejarah tua itu hingga aku menatap ke luar jendela-jendela besarnya pada langit yang berawan, setengah mengharapkan kilat.
"Oh astaga," seru Liz, menirukan kekagetan Bex.
"Apa?" kataku keras-keras, nggak peduli jika ada yang memperhatikan. Aku berbalik, menatap pintu masuk utama stasiun,
tapi lalu kurasakan kerumunan orang bergerak di belakangku.
Aku berbalik perlahan dan menyadari bahwa tidak ada bus.
Tidak ada konvoi. Namun, kereta api panjang yang terlihat tua dengan kain
merah, putih, dan biru bergaya kuno tergantung dari gerbong
belakangnya bergerak perlahan-lahan memasuki stasiun.
Dalam detik berikutnya, nggak penting seberapa hebat unit
komunikasi kami, karena seruan yang muncul dari lima ratus
pemberi suara yang bersemangat sudah cukup untuk menenggelamkan suara sahabat-sahabatku di telingaku.
Gubernur Winters dan ayah Macey melangkah keluar ke
panggung di belakang gerbong terakhir, lalu istri-istri mereka
muncul. Macey dan Preston selangkah di belakang mereka.
Aku menunggu rasa takut di perutku menghilang. Kukatakan pada diri sendiri bahwa aku sedikit sinting. Bagaimanapun,
Macey sedang tersenyum. Dia sedang melambai. Dia agen yang
sempurna dengan penyamaran sempurna. Aunt Abby ada di
sebelahnya. Dia baik-baik saja.
165 Selama sedetik gelombang kelegaan yang begitu besar melandaku. Tapi lalu kerumunan bergerak, dan selama sepersekian
detik pandanganku jatuh pada satu lelaki.
Laki-laki berambut putih berantakan dan alis lebat.
Laki-laki yang pernah kulihat.
Di Boston. 166 Bab D e l a p a n B e l a s
ukan berarti itu penting. Mungkin saja itu bukan apa-apa.
Bagaimanapun, mungkin banyak orang pergi ke konvensi
politik dan rally politik. Dan Dinas Rahasia ada di sana"Dinas
Rahasia itu hebat. Tetap saja, aku nggak tahu mana yang lebih menakutkan,
bahwa aku pernah melihat lelaki di kerumunan yang juga kutemui pada hari yang persis sama dengan hari teman sekamarku diserang, atau bahwa"secepat itu juga"wajah familier
tersebut menghilang. "Duchess!" aku praktis berteriak, tapi kerumunan orang terlalu berisik, persaingannya terlalu ketat, dan orang-orang yang
menginginkan Winters-McHenry untuk menang pada hari
Pemilihan Umum terlalu bersemangat saat aku memanggil
teman-temanku lewat unit komunikasi kami. "Duchess, ada
seorang lelaki" memakai setelan?" Aku memanjat tangga
utama agar bisa melihat panggung dengan lebih baik, dan saat
167 itulah aku sadar bahwa aku baru saja mendeskripsikan setengah
anggota kerumunan yang sedang bertepuk tangan. "Setelan
warna gelap," aku menambahkan. "Rambut putih berantakan.
Alis lebat. Kumis," aku menyebutkan karakteristik lelaki itu
untuk mengidentifikasi secepat aku bisa memikirkannya.
Pelaksana menyadari bahwa hak yang sangat tinggi membuatnya
sangat sulit mengejar orang dengan cepat di lantai yang sangat
licin! Band bermain. Orang-orang minum. Dan di tempat keretanya
berdiri di ujung panggung, aku melihat wajah itu lagi. Aku mengenali sesuatu dalam caranya bergerak, dan pikiranku melayang
kembali ke lobi hotel Boston saat delegasi Texas bernyanyi.
Lalu aku melirik kereta dan melihat Aunt Abby berdiri di
pinggir, 3 meter dari Macey dan persis di tempat ia seharusnya berada. Laki-laki berambut putih itu bergerak makin dekat.
Aku nggak tahu bagaimana mendeskripsikannya, mungkin
itu hal terpenting dari semuanya. Laki-laki itu hanya bergerak
melewati kerumunan seakan dia seharusnya ada di tempat lain.
Sebut aku sinting, tapi aku nggak bisa menghilangkan perasaan
bahwa tak seorang pun membayar 20.000 dolar hanya untuk
pergi saat acara utama tengah berlangsung.
Aku menembus kerumunan secepat yang berani kulakukan
tanpa A) jatuh, dan B) menarik perhatian. Dan aku melakukan keduanya dengan cukup baik, sampai salah satu pelayan
memilih saat itu untuk melepaskan genggamannya pada senampan sampanye. Saat gelas-gelasnya jatuh, aku melangkah
minggir dan berbalik. 168 Dan langsung menabrak Preston Winters.
"Oh, aku benar-benar minta maaf!" seru Preston, mencengkeram bahuku seakan aku bakal jatuh. (Dan itu nggak
benar, tapi dia mungkin nggak perlu tahu bahwa ada bagianbagian khusus dalam kelas Perlindungan dan Penegakan yang
ditujukan untuk membantu agen menjaga keseimbangan.) "Kau
baik-baik saja" Boleh aku mengambilkanmu" punch" atau
apa?" "Aku tidak apa-apa, tapi terima kasih," kataku sambil memikirkan daftar hal yang kacau pada saat itu, melupakan hal
paling bermasalah dari semuanya.
"Apakah kita pernah bertemu?" tanya Preston, menatapku
dengan cara yang mengatakan bahwa, terlepas dari wig hitam
panjang dan gaun hitam ketat yang kupakai, ada sesuatu yang
sangat familier tentang diriku.
"Tidak, kurasa kita belum pernah bertemu," kataku dengan aksen Selatan terbaikku. Aku mencoba menjauh. Lakilaki berambut putih itu bergerak pelan menyusuri panjang
kereta dan ke dalam terowongan batu tempat asal kereta itu,
dan aku cuma bisa berdiri di sana memikirkan pilihan-pilihanku.
Pelaksana menyesal tidak membawa lembaran Napotine gaya BandAid terbaru karya Dr. Fibs. Dia juga menyesal tidak membawa
beberapa Band-Aid biasa, karena sepatunya betul-betul membuat
kakinya sakit. Ayah Preston berdiri di panggung buatan di balik gerbong
belakang kereta bergaya kuno itu"penghormatan kepada masamasa yang lebih baik"dan memberitahu kerumunan orang,
169 "Kita akan membawa Amerika kembali ke jalur yang benar!"
Kerumunan bersorak, tapi aku terlalu sibuk mendengarkan dua
suara. Satu milik cowok di depanku, yang bertanya, "Aku tahu,
kau juga datang di rally Atlanta, kan?" Satunya lagi berdengung
di telingaku selagi Bex berseru, "Kalian nggak bakal percaya siapa
yang ada di sini! Pandangan," katanya lagi. "Aku punya
pandangan ke?" Tapi kemudian nggak terdengar apa pun kecuali nada statis
saat suara teman sekamarku menghilang. Pikiran pertamaku
adalah mengangkat tangan ke telingaku dan berteriak seperti
amatir sungguhan, tapi aku nggak melakukannya.
"Nah, aku betul-betul tahu kita pernah bertemu," Preston
melanjutkan, tidak menyadari kepanikanku. "Ayolah. Bantu
aku." Aku bisa saja berbohong. Aku bisa saja berkelahi. Tapi
saat-saat kritis membutuhkan tindakan-tindakan kritis, jadi aku
mengambil risiko dan mengeluarkan senjata terakhir Gallagher
Girl. Aku menggoda Preston.
"Maafkan aku," kataku sambil mengedip-ngedipkan bulu
mata palsuku. "Aku cuma sedikit gugup setiap kali ada di dekat cowok yang tampan."
"Um?" Preston menelan ludah dengan gugup. "Tampan?"
Langsung saja, kurasakan situasinya berbalik.
"Ya," jawabku, mengulurkan tangan untuk memegang otot
bisepnya. "Sungguh, kau bahkan lebih kuat daripada yang
terlihat di TV." Preston menelan ludah lagi dan entah bagaimana berhasil
berkata, "Kau tahu aku mengangkat" benda-benda."
"Oh, aku bisa melihatnya." Di telingaku, suara Bex tenggelam dalam nada statis, tapi misiku saat itu adalah menjauh dari
Preston Winters tanpa cowok itu menyadari bahwa cewek yang
170 memakai gaun hitam ini adalah cewek sama yang berada di
atap. "Kau tahu, ini favoritku dari semua jasmu. Aku juga menyukai yang warna biru bergaris-garis, tentu saja, tapi kau memakai yang itu di Boston, kan" Jadi sekarang inilah favoritku?"
Aku terus mengoceh tentang dasi Preston mana yang lebih
cocok dengan matanya, tapi sebelum aku bisa mengucapkan
sepatah kata pun, Preston sudah menunjuk ke orangtuanya di
seberang ruangan. "Tunggu. Oh, kau tahu, kurasa mereka memerlukanku untuk melakukan" beberapa hal."
"Oh, tapi?" kataku saat dia mulai berjalan pergi.
"Terima kasih untuk suaramu," serunya sambil menoleh kembali.
Tapi aku sudah nggak ada.
"Duchess," aku mencoba bicara sambil bergerak makin dekat ke terowongan kereta. "Duchess," aku kembali mencoba
sambil menoleh sekali lagi ke pesta, pada Macey dan Aunt
Abby, dan aku tahu aku punya dua pilihan. Satu, aku bisa
melambai memanggil bibiku, yang bakal menghasilkan bala
Jangan Menilai Cewek Dari Penyamarannya Dont Judge A Girl By Her Cover Gallagher Girls 3 Karya Ally Carter di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bantuan dan kemungkinan bibiku memberitahu Mom apa yang
kulakukan. Atau dua, aku bisa mengikuti tersangka pelaku
penculikan ke dalam terowongan gelap, tanpa backup, tanpa
bantuan. Jadi aku melakukan yang kedua karena, saat itu, pilihan
tersebut yang paling nggak menakutkan dari pilihan-pilihanku.
Saat aku melangkah ke dalam ruang remang-remang itu,
suara kerumunan orang perlahan menghilang di belakangku
sementara, di telingaku, unit komunikasi mulai berderak dan
berdengung. 171 Aku berjalan menyusuri terowongan gelap itu, sepatuku
(yang betul-betul nggak nyaman) menggesek beton dingin sepelan bisikan. Tapi itu sebelum ada tangan menutup mulutku,
sebuah lengan melingkari pinggangku erat-erat, dan seseorang
menarikku hingga sepatuku terlepas.
"Hei, Bunglon, bagaimana keadaanmu?" suara Bex terdengar
keras di telingaku. Pikiran pertamaku adalah memberontak melawan lengan
yang memegangiku. Pikiran keduaku adalah, Hei, kok Bex bisa
bicara di telingaku kalau unit komunikasiku mati"
Tapi lalu lengan-lengan itu melepaskanku dan aku berbalik
menghadap sahabatku. "Kau sedang apa di dalam sini?" tanyaku.
Bex tersenyum. "Tebak siapa lagi yang melakukan perjalanan kemari dari Roseville?" tanyanya, matanya bersinar-sinar.
"Bex, sekarang hari Sabtu. Kalau bisa aku lebih suka nggak
ikut kuis mendadak."
Lalu Bex menyambar bahuku dan memutarku. "Lihat."
Pertama kalinya aku melihat Joe Solomon, dia sedang berjalan memasuki Aula Besar saat makan malam selamat datang
waktu aku kelas sepuluh. Tak seorang pun dari kami tahu dari
mana dia datang atau kenapa dia ada di sana. Selagi aku berdiri dalam bayang-bayang, nggak sulit untuk mengingat bagaimana perasaanku saat itu.
"Dia keren sekali memakai tuksedo," kata Bex, dan aku
mulai menukas karena" well" itu nggak perlu dikatakan lagi,
dan kami harus mengkhawatirkan hal-hal lain. Beberapa hal
lain yang betul-betul penting. Karena tepat saat itu Mr.
Solomon nggak sendirian lagi.
172 "Ooh, dia punya teman bertuksedo yang keren," goda Bex.
Tapi aku lebih tahu"aku pernah melihat laki-laki itu, dengan
rambut putih berantakan dan alis lebatnya. Aku pernah melihatnya. Di Boston.
Kedua laki-laki itu bicara sesaat, lalu Mr. Solomon berbalik
dan mulai berjalan pergi, memvariasikan langkahnya supaya
bisa mendengar langkah kaki siapa pun yang mungkin mengikutinya ke dalam terowongan gelap itu, prosedur antipengintaian tepat seperti yang tertulis dalam buku teks, seandainya buku
itu memang ada. Bex mengerling padaku, lebih dari siap menerima tantangan itu, lalu menyelinap memasuki terowongan
pada jarak aman di belakang guru kami. Tapi aku terus menatap pria yang tertinggal di belakang Joe Solomon.
Seseorang yang dikenal Mr. Solomon.
Seseorang yang tampaknya dihormati Mr. Solomon.
Seseorang yang punya kebiasaan berada di tempat Macey"
dan aku"kebetulan berada.
Mungkin karena penampilan keren alami yang dilihat Bex
dan kulewatkan. Mungkin karena cara pria berrambut putih
itu menegakkan diri di terowongan gelap dan bergerak dengan
keanggunan yang nggak cocok dengan bagian lain tubuhnya.
Tapi untuk suatu alasan, aku mengingat kembali cara Mr.
Solomon berdiri memakai seragam "Art" dan memberitahu
kami bagaimana seni penipuan dan penyamaran nggak rumit"
bahkan sebenarnya itu seni yang sederhana: berikan saja sesuatu yang baru pada mata untuk dilihat supaya pikiran tidak
betul-betul melihat. Pikiranku melayang dari Boston dan kembali lagi, perasaan
d?j? vu-nya jadi lebih kuat, potongan-potongan puzzle jatuh ke
tempatnya. Aku memejamkan mata dan melihat mata,
173 bukannya melihat alis, mulut dan bukan melihat kumis. Aku
melepaskan penyamaran itu sepotong demi sepotong dan aku
berdiri dalam kegelapan, sampai akhirnya melihat.
"Zach." Aku harus mengakui bahwa saat itu perasaaanku mengenai
situasi tersebut betul-betul campur aduk. Aku melihat Zach!
Tentu, dia memakai penyamaran. Tentu, semua cowok (apalagi
Blackthorne Boys) mungkin memang ahli dalam seni penyamaran!
Tapi itu nggak mengubah fakta bahwa aku sempat berpikir
bahwa aku telah melihatnya selusin kali sebelum betul-betul
berhadapan dengannya di Ohio. Dan saat ini, aku lebih pintar.
Aku menarik napas, menyadari bahwa di satu sisi, waktu di
Boston aku bukan cuma membayangkan Zach di benakku.
Benakku nggak menipuku. Aku nggak sinting"dalam masalah
cowok atau apa pun. Di sisi lain, aku diikuti olehnya, dan sebagai mata-mata,
aku nggak tahu mana yang lebih buruk.
Dinas Rahasia berdiri berjaga di kedua ujung terowongan,
tapi pintu servis kecil terbuka, kereta yang penuh dengan
nampan makanan dan peti minuman menunggu dibawa naik
ke kereta. Zach berjalan perlahan ke arah pintu itu, lalu dalam
sekejap dia menghilang. Sedetik itu aku harus berkedip, tapi nggak ada keraguan di
benakku ke mana dia pergi. Satu-satunya yang tersisa untuk
dipikirkan" adalah kenapa.
Aku bisa melihat Bex mendekati ujung terowongan, masih
menjaga jarak dari Mr. Solomon. Begitu dia meninggalkan
terowongan dan mendapatkan sinyal di unit komunikasinya
174 lagi, Bex bakal memberitahu Liz bahwa dia memiliki pandangan mata ke guru kami. Di kejauhan, para pemain musik memainkan lagu yang sama dengan yang kami dengar di Ohio,
mengikuti pidato-pidato yang sama. Uap keluar dari kereta di
sampingku. Aku mendengar deritan metal dari mesin yang
nggak akan tertahan untuk waktu lama.
Dan aku melakukan satu-satunya hal yang bisa kulakukan.
Aku naik ke kereta. 175 Bab S e m b i l a n B e l a s
ku belajar banyak hari itu. Misalnya jangan pernah biarkan
Bex memilih kudapan saat kami beristirahat sejenak dalam
perjalanan naik mobil. Selalu bawa sepatu cadangan. Dan
setengah jam kemudian, aku tahu aku harus menambahkan
satu hal lagi ke daftar itu:
Jangan pernah, satu kali pun, menawarkan diri untuk melakukan pengintaian di kereta yang berjalan.
Terutama kalau di dalam kereta itu juga ada bibimu, salah
satu sahabatmu (yang betul-betul nggak tahu kau ada di sana),
dan 37 anggota Dinas Rahasia AS!
Kereta itu terdiri atas 17 gerbong berkoridor sempit dengan
banyak penjaga bersenjata, kompartemen-kompartemen sempit
dan orang-orang yang mabuk karena angka pemilihan suara
dan kafein. Jadi aku merendahkan kepala dan berjalan menyusuri gang, mencoba untuk nggak melupakan bahwa saat
dihadapkan pada situasi ketika kau berada di suatu tempat
176 yang seharusnya kau nggak di sana, peraturan pertamanya
sangat sederhana: jadilah orang lain.
Aku mengambil clipboard terdekat dan bergerak yakin menyusuri gang yang ramai. Mesin-mesin berderit menyala.
Kompartemen berdengung. Dan aku terus bergerak, tersenyum,
bersikap seakan aku senang sekali menjadi bagian dari sejarah
ini. Zach bisa ada di mana saja, dan menilai kemampuan penyamaran-dan-penipuannya sejauh ini, dia bisa jadi siapa saja.
Jadi aku terus berjalan menyusuri koridor, terayun sesuai gerakan kereta, sampai salah satu pekerja magang memanggilku.
"Hei, kau mau ke mana?"
"Pidato baru untuk Merak," kataku, menunjukkan clipboard
dan memutar bola mata. "Oooh," salah satu pria itu berkata, menampilkan ekspresi
simpatik. "Kompartemen empat belas," katanya, menunjuk ke
gerbong berikut. "Bersenang-senanglah," ia meledek, dan aku
tahu penyamaran Macey masih terpasang dengan baik saat aku
membuka pintu ke gerbong berikut.
Aku berjalan menyusuri gang yang ramai, nggak tahu apa
yang akan kutemukan. Tapi saat itu aku tahu aku mungkin
membuat kesalahan terbesar dalam hidupku. Di belakangku,
terdengar suara yang sangat jelas datang dari kerumunan, berkata, "Merak sedang bergerak."
Aku bukan berada di sekolah. Dan sedang menyamar. Memakai gaun hitam yang sangat kecil sementara bibi favoritku
(dan satu-satunya) berjalan mendekat dari belakangku!
Ada pintu di sebelah kiriku, nomor empat belas. Aku menempelkan telingaku ke pintu itu tapi nggak mendengar apaapa. Kucoba hendelnya. Terkunci. Tentu saja.
177 "Ya," suara Abby berkata, makin dekat.
Aku putus asa. Aku mengetuk. "Ms. McHenry, Anda ada
di dalam" Boleh saya bicara?" tanyaku, masih berpegang erat
pada penyamaranku. "Tentu saja," kata Abby di belakangku. "Perimeter 120 meter seharusnya lebih dari cukup."
Aku betul-betul putus asa. Aku melepaskan sebuah jepit
rambut dari rambutku. Dan mencoba membuka kuncinya.
Kurasakan kuncinya terbuka persis ketika Abby melepaskan
diri dari kerumunan orang, dan pada detik berikut aku dikelilingi kegelapan.
Kurasakan seseorang meraihku, tapi aku menghindarinya.
Sebuah tangan menyambar rambutku"atau apa yang dikiranya rambutku"dan menarik wig hingga lepas. Suara Abby
lebih keras sekarang"persis di luar"dan di dalam kompartemen mungil itu suasana menjadi hening.
Tampak sinar kuning samar di celah kecil di bawah pintu,
dan dalam cahaya itu kulihat Zach memandang wig itu, kepadaku, lalu kembali lagi ke wig.
"Seharusnya kau nggak ada di sini, Gallagher Girl." Nadanya tidak menggoda. Nadanya tidak senang. Zach tidak tersenyum atau menggodaku. Dia"
Marah. Semarah yang belum pernah kulihat. Aku bahkan nggak
tahu dia bisa semarah itu. Sejak dulu aku tahu Zach kuat
(nggak mungkin seorang cewek latihan berkelahi dengan seorang cowok di kelas P&P selama satu semester dan nggak
mengetahui hal itu), tapi saat itu Zach tampak sekeras batu.
Hal pertama yang menghantamku adalah keterkejutan. Hal
kedua" kemarahan. 178 "Kau bilang padaku seharusnya aku nggak ada di sini?"
tukasku. Tentu, bibiku dan setengah anggota Dinas Rahasia
AS mungkin ada persis di luar pintu saat itu, namun aku
nggak bisa menghentikan diriku.
"Ini berbahaya," kata Zach.
"Seandainya kau nggak tahu, aku bisa menjaga diri sendiri."
Sayangnya, kereta memilih saat itu untuk tersentak, dan
meskipun aku sudah mendapat pelatihan perlindungan-danpenegakan terbaik di dunia, kurasakan diriku tersandung, jatuh
ke lengan Zach yang terulur.
Aku mulai menjauh, tapi dia memegangiku.
"Ssttt," katanya saat suara-suara di koridor menghilang sedetik.
Lalu hal yang paling menakutkan dari semuanya terjadi:
Zach tampak seperti ingin menciumku"
Tapi dia nggak melakukannya.
Dia cowok sama yang mencondongkan tubuhku seperti di
film-film di depan seluruh siswi sekolahku pada pertengahan
minggu ujian akhir, namun di sanalah kami berada, berdesakdesakan dalam kegelapan kereta yang bergerak, adrenalin dan
hujan menyelimuti kami, tapi dia nggak melakukan apa-apa.
"Penyamaran bagus," katanya padaku, akhirnya tersenyum.
"Kau juga," kataku. Aku memikirkan saat itu"apa artinya,
berapa lama aku menginginkannya berlangsung, dan apa yang
rela kuberikan untuk menemukan kebenarannya. Jadi karena
itulah aku menambahkan, "Kelihatannya bahkan lebih bagus
lagi di Boston." Ada saat-saat dalam hidup mata-mata ketika waktu berjalan
lebih cepat, lalu ada juga detik-detik yang sepertinya ber179
langsung seumur hidup. Dan ini" ini adalah salah satu saat
itu, detik-detik yang sepertinya berlangsung bertahun-tahun.
Di ruang sempit itu, dengan lengan Zach masih melingkariku
dan suara-suara masih bergema di luar, aku mengamati ekspresinya berubah dari kebingungan menjadi shock, lalu berubah
lagi menjadi raut seseorang yang putus asa mencari rencana.
"Yeah, aku?" Seseorang mengetuk. Mataku terbelalak saat menatap
Zach. "Ke sini," katanya, menunjuk ranjang lipat di atas kami
yang, sebelum saat itu, cuma pernah kulihat di film-film lama.
Lebih banyak ketukan. Di luar, seseorang berseru, "Siapa yang punya kunci untuk
kompartemen ini?" Tapi waktu pintunya terbuka, Zach dan aku sudah nggak
terlihat. (Catatan untuk diri sendiri: jangan jadi mata-mata kalau
kau punya klaustrofobia walau sedikit saja.)
"Apa yang terjadi, Zach?" bisikku dalam kegelapan total
dalam ranjang lipat kecil itu. Yang telah kami lipat. Dengan
diri kami terkurung di dalamnya.
Lengannya melingkari pinggangku. Napasnya hangat di
bagian belakang leherku. Tentu, aku bisa mendengar Aunt
Abby di kompartemen mungil itu berkata, "Macey, aku tidak
mau berdebat tentang ini lagi. Tunggu saja di dalam sini," tapi
aku nggak betul-betul peduli.
"Kau ada di Boston, Zach."
"Ssttt," bisiknya, menarikku lebih dekat dengan sentakan
di pinggangku. Di luar ranjang kecil kami, kudengar lebih banyak suara
180 datang dari kompartemen empat belas. Aku bisa mengenali
pola bicara Macey di mana saja. Tapi suara lainnya juga familier, meskipun begitu aku nggak begitu bisa"
"Kau tahu," suara yang lebih dalam berkata, "Aku diberitahu bahwa ini jas terbaikku."
Preston! Aku mendengar lebih banyak pembicaraan dan musik, tapi
semua itu terasa jutaan kilometer jauhnya saat aku berbaring
di sana, pikiranku berputar lebih cepat daripada gerakan roda
kereta. "Karena itulah kau tahu tentang lubang cucian," desisku,
potongan puzzle lain masuk dengan pas ke tempatnya. "Kenapa
kau ada di sana, Zach?" bisikku, mulai putus asa.
"Jangan sekarang." Suaranya pelan tapi kuat.
"Dan jangan bilang itu karena kami dalam bahaya, karena
waktu itu kami nggak dalam bahaya apa pun."
"Kau mau tidur sebentar atau semacamnya?" bisik Zach.
"Yeah, dan sementara kita sedang membicarakan itu,
kenapa kau di sini?"
"Aku bisa menanyakan hal yang sama padamu, Gallagher
Girl, kecuali kita seharusnya diam sekarang."
Dan itu ide yang sangat bagus karena suara-suara di luar
berhenti. Macey dan Preston nggak bicara lagi, tapi mata-mata
(belum lagi cewek) dalam diriku tahu, entah bagaimana,
mereka masih ada di luar sana. Karena ada suara-suara. Suarasuara yang kukenali. Suara-suara yang betul-betul nggak mau
kupikirkan terlalu lama. Karena kurasa itu suara-suara
ciuman. Dan aku sedang berdesakan dengan cowok yang pernah kucium!
181 Dan saat itu berciuman harus jadi hal yang terjauh dari
pikiranku! "Apa yang kau dan Mr. Solomon bicarakan?" tanyaku, karena, sejujurnya, aku betul-betul harus mengatakan sesuatu!
Tapi Zach pasti kebal terhadap suara-suara ciuman itu. Atau
pikiran-pikiran tentang berciuman, karena dia menukas, "Kau
nggak mengerti, ya?" Entah bagaimana caranya ia memutarku
hingga wajah kami hanya berjarak beberapa senti dalam
kegelapan. "Ini berbahaya, Cammie," katanya, bukan Gallagher
Jangan Menilai Cewek Dari Penyamarannya Dont Judge A Girl By Her Cover Gallagher Girls 3 Karya Ally Carter di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Girl. "Ini?" "Yeah. Aku cukup mengerti itu pada hari ketika aku bangun dengan gegar otak."
"Jangan menganggap ini sepele."
"Bagian mana dari "gegar otak" yang sama artinya dengan
"sepele?""
"Kau seharusnya nggak ada di sini," kata Zach lagi, perlahan, seakan aku nggak cukup pintar untuk mengerti.
"Kau ada di sini," balasku.
"Dengar, ini bukan tempat untuk?"
"Cewek?" Kereta ini mungkin dipenuh penjaga bersenjata" Teman
sekamarku dan putra calon presiden potensial dari Amerika
Serikat mungkin sedang berciuman beberapa meter jauhnya"
Duniaku mungkin nyaris berakhir kalau Zach dan aku sampai
tertangkap" Tapi. Aku. Nggak. Peduli.
"Murid sekolah?" aku mencoba lagi. "Apa, Zach" Beritahu
aku, kau ini apa yang aku bukan."
Lalu mataku pasti menyesuaikan diri dengan kegelapan,
karena aku bersumpah bisa melihatnya"betul-betul, sungguh182
sungguh melihatnya"saat cowok tersombong yang pernah
kukenal menatapku dan berbisik, "Aku seseorang yang nggak
punya apa pun sehingga nggak bisa kehilangan apa pun."
Semua hal lain menghilang saat itu"suara-suara dari luar,
guncangan gerbong, tekanannya, dan rasa pusingnya. Aku
nggak tahu apa yang bakal terjadi selanjutnya. Mungkin aku
bakal menangis. Mungkin aku bakal menyerah. Atau mungkin
aku bakal menuntut lebih banyak jawaban untuk pertanyaanpertanyaan yang hampir nggak berani kutanyakan.
Tapi kami nggak akan pernah tahu.
Karena persis waktu Zach menyentuh wajahku, dunia jatuh
keluar dari bawah kami. Gaya gravitasi mengambil alih. Satu
saat aku sedang berbaring dalam pelukan salah satu mata-mata
cowok paling kompleks (dan keren) yang pernah ada, dan saat
berikutnya aku mendarat seperti satu ton batu bata di lantai
yang keras dan dingin dalam kereta yang sedang berjalan sementara salah satu sahabatku menunduk menatapku. Dan
cowok yang berada di atasku. Lalu berkata, "Well, ini jelas
nggak ada di agendaku."
Setidaknya Preston sudah nggak ada"atau setidaknya kukira
Preston sudah nggak ada. Aku nggak terlalu yakin karena
butuh sesaat bagiku untuk mengamati sekeliling.
"Ms. McHenry!" suara laki-laki berseru dari sisi lain pintu.
"Dinas Rahasia! Apakah semuanya baik-baik saja?"
Aku mendongak menatap Macey. Zach tergeletak di atasku,
salah satu kakinya tersangkut ransel Macey. Senampan makanan jatuh bersama kami dan sekarang isinya berceceran ke seluruh lantai.
Macey menatap kami, ekspresi yang paling nggak biasa
183 tampak di wajahnya, seakan ia tahu bahwa, dengan satu kata
ia bisa membuat pintu itu"dan seluruh dunia kami"hancur.
Macey tersenyum, menikmati saat itu sebelum perlahan-lahan
berkata, "Semuanya baik-baik saja. Aku cuma menjatuhkan
nampan." "Apakah sebaiknya kami mengirimkan porter untuk?"
"Tidak!" tukas Macey. "Aku ingin sendirian, atau apakah
itu terlalu sulit untuk dimengerti?"
Aku mendengar langkah-langkah menjauh.
Macey menjatuhkan diri ke bangku di seberang kami
sementara Zach dan aku mencoba berdiri.
"Hai, Zach," kata Macey, kaki kanannya terayun-ayun saat
ia duduk sambil menyilangkannya ke atas kaki kiri.
"Hei, Macey," kata Zach, seakan ia jatuh dari langit-langit
ke dalam kamar pribadi cewek yang paling dilindungi di negara
ini setiap hari. "Maaf aku mampir," katanya dengan tatapan
yang memberitahuku dia betul-betul mengira dirinya terlalu
pintar, "tapi Cammie perlu berduaan bersamaku. Kau tahu kan
bagaimana dia." Aku memukul lengannya. Zach mengernyit. "Kau tahu, suatu hari kau bakal melukaiku, lalu kau bakal betul-betul menyesal karenanya."
"Yeah," aku memulai, "well, mungkin kalau kau mau jujur
padaku sekali?" "Hmm, supaya kalian tahu saja," kata Macey, memotongku
sambil bersandar, menikmati pertunjukan ini, "Abby akan kembali dalam kira-kira dua menit, jadi kalian"pasangan kekasih"mungkin ingin cepat-cepat."
Aku betul-betul berharap cowok di depanku mengernyit
saat mendengar kata "pasangan kekasih." Tapi Zach nggak
184 melakukannya. Ia hanya menyambar tas yang sejak tadi dibawanya dan menoleh pada Macey. "Trims." Zach menekankan
lutut di bangku dan mencondongkan diri ke arah jendela yang
gelap, menatap ke dalam kegelapan sambil berkata, "Toh ini
perhentianku." Well, dari yang bisa kulihat, keretanya nggak berhenti.
Kereta itu bahkan nggak memelankan kecepatan.
"Hei, McHenry, kau keberatan?" Zach menunjuk ke arah
pintu lalu melangkah mundur saat Macey membukanya dan
mengecek koridor. "Oh, Pak," kata Macey pada penjaga yang ditempatkan di
koridor luar. "Boleh aku melihat senjatamu?"
Waktu pria itu memunggungi kami, Zach berlari keluar ke
koridor dan ke pintu di ujung gerbong. Aku mulai mengikuti,
tapi tiba-tiba ia berhenti dan menoleh padaku. "Hei, Gallagher
Girl," katanya, menatapku lebih dalam daripada yang selama
ini pernah dilakukannya, "berjanjilah satu hal padaku."
Keretanya bergerak lebih cepat sekarang. Malam berjalan
lewat di jendela-jendela. Dan Zach melangkah makin dekat.
"Please?" Zach mengulurkan tangan dan dengan lembut
menyentuh tempat memarku tadinya berada, seakan memar itu
masih baru dan bengkak, ?"berhati-hatilah."
Lalu Zach melangkah ke ujung gerbong dan membuka
pintunya. Suara kereta jadi keras sekali dalam sekejap. Kami
sedang melewati jurang dalam, kekosongan lewat di kedua sisi
kami saat Zach merentangkan kedua lengannya lebar-lebar. Dia
menoleh kembali padaku selama satu detik yang singkat.
Lalu dia melompat ke kegelapan malam.
"Jadi?" suara di belakangku terdengar kuat dan tenang.
Aku menoleh dan melihat Macey yang terlihat sangat me185
nyesal, juga Aunt Abby yang terlihat sangat terkesan menatapku dan parasut yang mulai menghilang yang adalah Zach.
"Kusimpulkan itulah laki-laki dalam hidupmu."
186 Bab Du a P u l u h aat seorang agen tertangkap di tengah misi, begitu banyak
hal harus dikatakan. Dan dilakukan. Contohnya, akan sangat
bagus jika kau punya satu atau dua legenda yang bisa kaukeluarkan untuk mengalihkan perhatian si penangkap dari tujuan
sebenarnya pihak yang ditangkap. Selain itu, pemberian arah
informasi yang salah selalu berguna, supaya kau bisa melemparkan kesalahan pada siapa pun kecuali dirimu. Atau kau bisa
mundur pergi. Tapi kami ada di kereta yang sedang berjalan.
Dan aku nggak punya parasut.
Dan Aunt Abby menatap tepat ke arahku.
Aku berharap Aunt Abby akan tersenyum seperti yang
dilakukannya waktu dia menarikku keluar dari bawah tempat
tidurnya, tapi dia malah melotot padaku dengan ekspresi yang
merupakan gabungan kemarahan dan ketakutan, saat Macey
dan aku berlari kembali ke dalam kompartemen empat belas.
187 "Duduk," bibiku memerintahkan, dan kami masing-masing
duduk di ranjang bawah sementara bibiku mulai berjalan
mondar-mandir. "Apakah kalian tahu apa yang kalian lakukan?" tanyanya, tapi itu bukan pertanyaan sungguhan. "Apakah
kalian tahu apa yang mungkin saja terjadi malam ini?"
Suaranya bergetar. Sesaat aku takut Dinas Rahasia mungkin
akan masuk lewat pintu itu lagi, tapi keretanya berisik, hujannya deras, dan kami terus meluncur menembus malam. Aku
memandang berkeliling ruangan sempit itu. Nggak ada gunanya. Aku, Cammie si Bunglon, sama sekali nggak punya tempat untuk bersembunyi.
"Apa kalian tahu seberapa berbahayanya semua ini" Kalau
Dinas Rahasia menangkap kalian" Kalau salah satu media
melihat apa yang bisa kalian lakukan" Kalau ada dua perempuan di sekolah"di dunia"yang seharusnya tahu untuk
tidak mengambil risiko seperti ini, itu seharusnya kalian berdua!"
"Kupikir peraturan dibuat untuk dilanggar," kataku, awalnya
bingung, tapi mulai marah. "Kukira menjadi mata-mata berarti
nggak selalu harus mematuhi peraturan," kataku, melemparkan
kata-kata Aunt Abby kembali padanya.
"Menjadi mata-mata berarti kau tak punya kemewahan
untuk ceroboh!" Kereta berguncang dan malam jadi makin
gelap saat bibiku mencondongkan diri mendekat dan berkata,
"Percayalah padaku, Cameron. Itu satu pelajaran yang tidak
ingin kaupelajari dengan cara sulit."
Mungkin karena suara hujannya, atau ekspresi di matanya,
tapi aku nggak bisa berhenti memikirkan tentang cara Aunt
Abby berubah di kantor Mom waktu itu, berubah dari Abby
yang kukenal menjadi wanita yang belum pernah kulihat. Dan
188 secepat itulah aku sadar wanita yang tersenyum, tertawa, dan
menari yang sudah memasuki kehidupanku setelah empat setengah tahun menghilang hanyalah penyamaran lain"Gallagher
Girl yang pura-pura menjadi sesuatu yang bukan dirinya.
"Di mana kau waktu itu, Aunt Abby?" kudengar diriku sendiri bertanya. "Dad meninggal, dan kau nggak ada di sana,"
kataku, mengingat saat dalam hidupku yang berusaha kulupakan dengan segala usaha. Kudengar suaraku pecah, kurasakan
pandanganku mengabur. Kukatakan pada diri sendiri bahwa
guncangan terus-menerus dari keretalah yang membuatku merasa tak stabil seperti ini, tapi aku tahu yang sebenarnya saat
aku berseru, "Dad meninggal dan kau bahkan nggak datang ke
pemakamannya. Kau nggak menelepon. Kau nggak berkunjung.
Dad meninggal, dan sejak saat itu kau jadi hantu."
Abby memunggungiku. Dia mulai berjalan ke pintu, tapi
kata-kata itu hidup dalam diriku selama bertahun-tahun, keraguan dan pertanyaan-pertanyaan bertumpuk dari ujung ke
ujung, dan aku nggak bisa menghentikannya keluar, meskipun
aku mencoba. "Kami membutuhkanmu!" Aku memikirkan Mom, yang
masih menangis saat mengira nggak seorang pun bisa melihatnya, dan sebelum aku menyadarinya, aku juga menangis.
"Kenapa kau nggak ada waktu kami membutuhkanmu?"
"Apakah kau masih belum belajar juga, Cam?" Suara Abby
lebih lembut sekarang, seakan ia diseret kembali ke dalam
mimpi. "Ada beberapa hal yang tidak ingin kauketahui."
Aku bisa merasakan keretanya"atau mungkin dunia"melambat saat Aunt Abby melangkah ke arah pintu dan berbisik,
"Menjauhlah dari cowok itu, Cammie." Kali ini bukan perintah, lebih mirip permohonan.
189 "Zach?" tanya Macey, seakan mungkin Aunt Abby memaksudkan orang lain. "Dia dari Blackthorne. Kami kenal dia."
Lalu Abby menatapku. Untuk pertama kali, kelihatannya
ia ingin tersenyum, tapi nggak ada kegembiraan di ekspresinya
waktu bibiku bertanya, "Benarkah?"
Aku sangat menyukai Akademi Gallagher pada malam hari.
Ada kecantikan di dalam bayang-bayang"satu-satunya waktu
ketika bagian luar mansion itu betul-betul merefleksikan apa
yang terjadi di dalamnya. Tak satu pun murni hitam atau
putih. Seluruh dunia ada dalam berbagai spektrum abu-abu.
Dan malam itu tak ada bedanya.
"Apa artinya itu?" tanya Liz, dan Bex mondar-mandir, tapi
aku cuma berdiri di jendela kecil berbentuk intan di suite
loteng kami, menatap halaman yang gelap, membiarkan cerita
yang baru saja kuceritakan menyelimutiku.
"Tunggu, maksudmu Zach bisa melompat keluar dari kereta
yang sedang berjalan?" tanya Bex, bahkan nggak mencoba menyembunyikan rasa iri dalam suaranya.
Aku menatap Macey, yang hanya mengangkat bahu.
"Aku masih nggak percaya kau meninggalkan mansion seperti
itu," kata Macey, mengamati rok pendek dan sepatu tinggiku.
Aku mencoba tersenyum. "Aslinya, ada wig juga."
Aku berharap Macey tertawa. Aku ingin dia memutar bola
mata atau mengatakan sesuatu tentang dunia rambut sintetis
dan orang-orang yang cukup ketinggalan mode untuk betulbetul memakainya. Aku ingin kejadian ini dianggap lucu. Tapi
ini memang tidak lucu. "Jadi Abby betul-betul?" Liz memulai, lalu merendahkan
suaranya, ?"marah?"
190 Aku mengangguk. Kata itu nggak cukup untuk melukiskan
yang sebenarnya terjadi, tapi saat itu, itulah satu-satunya kata
yang kupunya. "Kau nggak bakal kena masalah, Cam," Bex mendebat.
"Abby baik." Tapi dia nggak melihat perubahan dalam diri Abby di kereta. Dia nggak mendengar getaran dalam suara bibiku atau
melihat ekspresi di matanya saat berjalan menyusuri Koridor
Sejarah dan memasuki kantor Mom lalu menutup pintu,
membiarkan Macey dan aku naik ke suite kami sendirian.
"Apa?" tanya Bex, membuktikan bahwa ia mengenalku, bahkan mungkin lebih baik daripada aku mengenal diri sendiri.
"Zach?" Aku berjuang mengatakan apa yang ingin kukatakan, apa yang ingin kupercayai. "Dia nggak menciumku."
Ya, aku baru saja ditegur keras oleh anggota Dinas Rahasia
Amerika Serikat. Dan ya, aku tertangkap basah sedang menyelinap keluar dan melanggar sekitar selusin lebih peraturan
sekolah. Dan ya, sikuku betul-betul bengkak di tempat Zach
dan aku mendarat di lantai kompartemen Macey.
Dan dengan semua itu, inilah yang membuatku paling khawatir.
"Zach nggak menggodaku," kataku akhirnya. "Dia nggak
meledekku" Maksudku, begitu aku tahu aku sudah melihatnya
di Boston?" "Tunggu," kata Bex, bergerak mendekat, betul-betul mengabaikan tumpukan besar junk food yang diselundupkan olehnya
dan Liz ke sekolah setelah perjalanan pulang mereka. Ada
sesuatu yang baru di matanya waktu Bex berkata, "Zach ada di
Boston?" 191 "Aku terus berpikir aku melihatnya di sana," kataku lagi,
lebih tenang sekarang. "Tapi kukira aku" tahu, kan?"
Bex dan Liz bertatapan seakan mereka betul-betul nggak
tahu. "Cam mengira ia cuma melihat Zach karena ia ingin melihatnya," jelas Macey.
"Ooooh," Bex dan Liz mendesah bersamaan.
"Itu hasil sampingan dari ciuman yang sangat dramatis,"
Macey melanjutkan, khas dokter yang mengidentifikasi efek
samping umum. "Lanjutkanlah."
"Jadi aku nggak memikirkan soal itu. Tapi hari ini aku melihatnya lagi. Dan dia memakai penyamaran yang sama, dan
aku tahu yang di Boston juga dia." Aku menunduk menatap
tumpukan bungkus permen dan kantong-kantong keripik yang
baru setengah dimakan dan berpikir tentang bagaimana, setahun yang lalu, kami juga berkerumun di ruangan itu, memeriksa sampah Josh. Tapi tetap saja begitu banyak hal tentang
cowok dan rahasia kotor kecil mereka yang masih harus kami
pelajari. "Jadi dia mengikutimu sebelumnya?" tanya Liz. "Lalu kenapa" Mungkin dia cuma melakukan apa yang kita lakukan"
melacak Macey." Lalu Liz terdiam. Dan sadar.
"Di Boston, nggak ada alasan untuk melacak Macey," kataku, hanya karena aku perlu mengatakan kata-kata itu dengan
keras. Aku memandang kembali ke halaman yang tampak
lebih gelap daripada biasanya. Dan lebih dingin. Entah bagaimana ketika semua itu luput dari perhatianku, musim gugur
tiba, dan aku sedikit menggigil, masih kedinginan karena hujan.
192 "Mungkin dia tahu apa yang bakal terjadi," kata Macey.
"Atau mungkin dia salah satu orang yang melakukannya,"
kata Bex, sikap skeptis lamanya muncul kembali dalam suaranya.
"Atau?" hanya mata Liz yang bersinar waktu ia berkata,
?"dia ingin berada dekat Cammie!"
Macey mengangkat bahu seakan untuk berkata mungkin
teman pirang kecil kami ada benarnya.
Jangan Menilai Cewek Dari Penyamarannya Dont Judge A Girl By Her Cover Gallagher Girls 3 Karya Ally Carter di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Apa pun alasannya, itu nggak mengubah fakta bahwa cowok mata-mata yang sangat keren dan misterius entah ingin
menyelamatkan kami, atau menculik kami, atau berkencan
dengan kami. Dan aku nggak yakin mana yang paling siap untuk kami
hadapi. Aku nggak tahu tentang cewek-cewek normal, tapi untuk cewek mata-mata, hanya sedikit hal yang sama menyeramkannya
dengan pintu tertutup, ruangan terkunci, dan pembicaraan berbisik yang nggak bisa kaudengar. Well, keesokan harinya hidupku penuh dengan ketiganya.
Koridor Sejarah tetap gelap. Pintu kantor Mom tetap tertutup (dan, sayangnya, kedap suara). Aku memikirkan jalan
menuju belakang ruangan itu, tapi lalu aku mengenyahkan
pikiran itu dari benakku. Aku nggak tahu apa yang dikatakan
Abby pada Mom. Aku nggak tahu aku berada dalam jenis
masalah seperti apa. Di sekitarku banyak cewek mengkhawatirkan tes dan proyek. Orang-orang membuka surat dari rumah dan melanjutkan
debat tentang apakah wajah baru Mr. Smith membuatnya sama
keren dengan Mr. Solomon. Tapi mau nggak mau aku berpikir
193 tentang bagaimana dunia ini hanyalah seperti jaring-jaring
penuh rahasia. Aku terus bertanya-tanya apakah ada cara
untuk membebaskan diri. Minggu malam itu aku berjalan menuju kantor Mom,
berpikir tentang Abby dan Zach, Philadelphia dan Boston"
semua pertanyaan yang nggak dijawab seorang pun, tapi waktu
aku melangkahkan kaki ke Koridor Sejarah, aku sadar aku
menatap pedang Gilly. Kudengar diriku sendiri berbisik, "Seseorang tahu."
Saat aku mengetuk pintu kantor Mom, aku tahu kali ini
bukan hanya akan jadi makan malam Minggu biasa"
Karena Macey sudah ada di sana.
Aku memandang dari Mom, kepada teman sekamarku, dan
akhirnya kepada bibiku. Aku mengharapkan teriakan. Tapi
waktu Mom berbisik, "Cammie," rasanya lebih buruk. Jauh
lebih buruk. Pintu tertutup di belakangku, dan aku melihat
Mr. Solomon berdiri di sana. Aku nggak tahu lagi harus mengharapkan apa.
"Mom, aku?" "Aku diberitahu bahwa Liz dan Bex keluar mengetes prototipe untuk perlengkapan baru Dr. Fibs pada" misi kecilmu
kemarin malam?" tanya Mom.
Mata Mom tampak memperingatkanku untuk nggak mendebat. "Ya," aku cepat-cepat menjawab.
"Baiklah." Sesaat kukira itu sudah selesai, tapi tentu saja nasihatnya
belum berakhir. "Cameron, aku memercayaimu untuk percaya
padaku waktu aku mengatakan bahwa keamanan Macey bukan
lagi tanggung jawabmu."
194 "Ya, Ma"am."
"Aku memercayaimu untuk tahu bahwa protokol keamanan
bukanlah sesuatu yang harus dicampuri tanpa pikir panjang."
"Ya, Ma"am."
"Dulu aku memercayaimu, Cammie." Suara Mom lebih lembut, jadi itu adalah bagian tersulit untuk kudengar.
"Aku menerima telepon dari ibu Bex kemarin malam,"
Mom melanjutkan, dan aku bersiap-siap menghadapi kemarahan dua ibu mata-mata yang kesal. "Keluarga Baxter ingin kau
menghabiskan libur musim dingin di London?"
"Sungguh?" tanyaku terkejut.
"Dan kalau aku mendengar," Mom bicara lebih keras suaraku. "Kalau aku melihat" Kalau aku bahkan curiga kau keluar
lagi dari daerah ini tanpa izin, itu tidak akan terjadi. Apakah
kata-kataku sudah cukup jelas?"
"Ya," jawabku, merasakan beratnya situasi tersebut menekanku.
"Pemungutan suara terakhir menunjukkan persaingan yang
ketat," kata Mom. Ia terlalu tenang. Terlalu mudah. "Dengan
begitu bisa dimengerti jika orangtua Macey menginginkannya
bersama mereka sesering?"
"Tidak!" ?"mungkin," Mom melanjutkan seakan aku nggak mengatakan apa-apa.
Aku melirik Macey. Dia diam sepanjang hari, tapi saat berdiri di kantor Mom, keheningannya tampak jauh lebih keras.
"Itu akan, tentu saja," kata Mom perlahan, "menjadi sesuatu
yang tidak akan kami perbolehkan."
Aku sudah membuka mulutku untuk protes waktu aku mendengarnya dan terdiam tiba-tiba.
195 "Maksud Anda," kata Macey di sebelahku, "maksud Anda
saya tidak harus" pergi?"
"Tidak," kata Mr. Solomon. "Sejujurnya, Ms. McHenry,
risikonya terlalu tinggi. Kami ingin kau ada di rumah, di
tempat kau seharusnya berada."
Aku sudah tinggal bersama Macey cukup lama, tapi satu
hal yang akhirnya dipelajari setiap mata-mata adalah bahwa
kau tak pernah mengetahui segala hal, dan aku belum pernah
melihat Macey seperti saat itu. Aku memikirkan cewek yang
keluar dari limusin itu, bagaimana dia berubah sebelum pemilihan sinting ini mulai mengubahnya kembali. Seakan kata
"rumah" adalah kode"sebuah sinyal"dan kata itu sendiri
memberitahunya bahwa dia aman dan bisa menurunkan kewaspadaannya.
"Dengan asumsi itu tidak apa-apa untukmu?" tanya Mom,
dan Macey mengangguk. Mr. Solomon menyingkir dari pintu, jadi seperti agen hebat
mana pun (belum lagi remaja-remaja cewek yang berada dalam
masalah), kami berlari ke arahnya.
"Oh, Cammie," Mom memanggilku, dan aku berhenti sementara Macey terus berjalan. Mr. Solomon dan Aunt Abby
mengikuti teman sekamarku keluar dan menutup pintunya
saat Mom melangkah mendekat. "Jangan khawatir tentang
Macey, Cam." Tapi itu bukan kalimat menenangkan. Itu perintah. "Dinas Rahasia sangat hebat dalam pekerjaan mereka.
Terlepas dari semua perbedaan kami, adikku amat sangat hebat dalam pekerjaannya. Aku tidak ingin kau mengkhawatirkan Macey."
"Oke." "Aku bersungguh-sungguh."
196 "Aku juga," kataku. Dan saat itu, aku betul-betul bersungguh-sungguh.
"Sejak awal aku tahu kau ada di kompartemen itu." Suara
Macey seakan mengiris Koridor Sejarah. Di ujungnya, di Aula
Besar, cewek-cewek sedang makan, orang-orang bergosip, tapi
Macey hanya duduk di tangga teratas dan menatap selasar,
nggak punya kekuatan untuk berdiri.
"Aku nggak mendengarmu atau semacamnya," lanjut Macey
waktu aku berjalan mendekat. "Itu cuma" perasaan." Lalu ia
menatapku. "Tahu, kan?"
"Yeah," kataku, dan aku memang tahu.
"Ranjang atasnya bergantung terlalu rendah, dan majalah
di bangku tergeser, dan aku hanya" tahu."
Lalu Macey menatapku. "Aku hebat dalam hal ini, kan?"
"Yeah. Kau hebat."
"Waktu ibumu memanggilku masuk, kupikir" kupikir dia
bakal mengeluarkan aku." Macey mengangkat bahu sedikit.
"Biasanya itulah saat aku dikeluarkan."
Aku pernah melihat Macey tanpa makeup dan memakai jins
gemuknya. Aku mendengar apa yang dikatakannya dalam tidur
dan melihat cara bibirnya bergerak waktu dia membaca dan
kata-katanya tidak bisa terserap. Aku kenal Macey McHenry,
tapi malam itu, saat duduk di tangga itu, aku sadar aku nggak
pernah tahu seperti apa rasanya menjadi dia.
Keluarga McHenry punya lima rumah, tapi inilah satusatunya rumah Macey. Dia putri paling terkenal di Amerika,
tapi hanya Liz dan Bex dan aku yang benar-benar keluarganya.
"Nggak seorang pun bakal mengeluarkanmu, Macey." Aku
197 mencoba tertawa. "Kau tahu terlalu banyak. Sekarang ini, kami
bakal harus membunuhmu."
Butuh waktu 47 detik, tapi akhirnya Macey tersenyum.
Akhirnya dia tertawa. "Jadi, Preston?" kataku, karena, sejujurnya, aku nyaris meledak. Dan" oke" jadi butuh waktu 24 jam bagiku untuk
menyinggungnya, tapi aku kan punya hal-hal lain di pikiranku.
Misalnya kewarasanku, masa depanku, dan apakah ketidaktertarikan Zach yang tiba-tiba dalam masalah berciuman punya
hubungan dengan fakta bahwa rambutku cenderung berantakan
waktu hujan. Tapi itu nggak menghentikanku dari mencondongkan diri dan berbisik, "Apa aku mendengarmu mencium
Preston atau tidak?"
"Ada orang-orang yang bisa kusewa untuk membunuhmu
dan membuatnya terlihat seperti kecelakaan."
Aku mencengkeram pegangan tangga dan mendorong diriku
naik beberapa anak tangga. "Dia nggak terlalu buruk."
"Serius nih. Bahkan nggak bakal ada penyelidikan." Macey
maju selangkah lalu menambahkan, "Lagi pula, apakah aku
harus memberitahumu bahwa pacar rahasia adalah yang paling
keren?" Terlepas dari segalanya, aku tersenyum. "Aku mengerti."
198 Bab Du a P u l u h S a t u
ku masih ingat hari itu"saat itu"waktu aku menemukan
jalan rahasiaku yang pertama. Waktu itu baru tiga hari aku
berada di sekolah. Mom baru saja memulai pekerjaannya. Dad
baru meninggal. Dan aku baru tiba di sekolah yang sudah kudengar ceritanya seumur hidupku (atau, well, bagian-bagian
hidupku yang datang setelah bagian ketika aku tahu Mom dan
Dad punya alasan-alasan yang lebih rahasia sehingga mereka
melewatkan kelulusan taman kanak-kanakku).
Waktu itu aku berjalan-jalan di koridor, bertanya-tanya tentang bangunan yang lebih besar dan lebih tua dan lebih indah
daripada apa pun yang pernah kulihat ini. Bertanya-tanya
butuh waktu berapa lama bagiku untuk menyadari bahwa Mom
nggak akan pernah pergi lagi dan Dad nggak akan pernah
kembali. Bertanya-tanya apakah aku betul-betul pantas berada di
Akademi Gallagher dan apakah aku betul-betul layak menyandang nama Morgan dan Cameron.
199 Tapi lalu aku berhenti di koridor di sebelah perpustakaan.
Satu jendela terbuka. Masih terasa nuansa apak bangunan
yang lama tidak dihuni, dan aku mengamati saat angin bertiup
lewat jendela dan mendorong debu di sepanjang lantai batu,
menggulung kotoran melewati celah-celah seperti air di sungai.
Tapi di satu titik, bukannya terus bergulung kumpulan debu itu
jatuh menghilang dari penglihatan seakan ada air terjun di
celah lantai yang hampir nggak bisa dilihat mata telanjang,
menghilang ke bawah dinding batu solid.
Aku mendorong dan menarik selama lima menit sebelum
dinding itu bergeser membuka, dan aku menemukan cara pertamaku untuk menghilang di tempat yang jelas terlihat.
Tiga hari sebelum aku menemukan jalan itu. Tiga hari
setelah aku berada di tempat yang kucintai ini. Tiga hari"
Dan aku sudah mencari jalan keluar.
Dan itu bahkan sebelum aku dilarang pergi.
PRO DAN KONTRA DIHUKUM DI DALAM
DAERAH PALING KEREN DI DUNIA:
PRO: Jauh lebih mudah untuk melindungi teman sekamarmu dari orang-orang yang ingin menculiknya jika dia menghabiskan sebagian besar waktunya di kamarmu.
KONTRA: Waktu Mr. Mosckowitz memintamu membantunya memeriksa laporan untuk seminar Kesempurnaan Kode
Eropa hari Jumat malam, kau nggak bisa bilang, "Maaf, saya
mau keluar kota." PRO: Menjauhkan diri dari terowongan-terowongan rahasia
tua berarti kau juga terbebas dari noda-noda mencurigakan di
blus putihmu. 200 KONTRA: Waktu teman sekamarmu mengetes penemuan
hebat dalam teknologi bahan bakar bersih (yang kebetulan
berada di dalam minivan Dodge), kau nggak bisa ikut duduk di
depan. PRO: Kau nggak perlu khawatir bakal bertemu cowok yang
mungkin atau tidak mungkin sedang menguntitmu.
KONTRA: Kau nggak bisa bertemu cowok yang mungkin
atau tidak mungkin sedang melindungimu. (Walaupun sebenarnya kau nggak butuh perlindungan, tapi niatnya yang
penting.) PRO: Kau punya banyak waktu untuk berpikir.
KONTRA: Kau nggak selalu menyukai apa yang kaupikirkan.
Waktu itu Zach nggak mencoba menciumku.
Memang, ada misteri-misteri yang lebih besar di dunia,
dan aku yakin CIA bakal mengklasifikasi informasi tersebut
sebagai kekhawatiran tingkat rendah (aku tahu" aku sudah
bertanya pada Liz). Mungkin karena cara dinding-dinding terasa begitu dekat dan ruang-ruang terasa begitu kecil, tapi
untuk suatu alasan, fakta itu terus menekanku, hari demi
hari. Jangan salah sangka, bukannya aku berpikir aku begitu menarik hingga orang lain pasti ingin menciumku (karena, percayalah padaku, aku memang nggak semenarik itu), tapi setiap pagi
aku berjalan melewati tempat Zach mencondongkan tubuhku
di depan seluruh sekolah. Di Aula Besar, setiap malam aku
makan di tempat yang tepat sama dengan tempat kami berdansa.
Dan setiap hari, dengan setiap langkah, pertanyaan-pertanyaan
baru memenuhi pikiranku: 201 " Kenapa Zach berada di Boston (bukan di tempat lain
di dunia") " Apa maksudnya waktu dia bilang bahwa dirinya adalah seseorang yang nggak punya apa pun sehingga
nggak bisa kehilangan apa pun"
" Siapa yang memulai semua ini" Dan kenapa"
Selama tiga minggu aku berjalan di koridor-koridor, bertanya-tanya tentang orang-orang yang melukaiku dan satu
cowok yang nggak mencoba menciumku: dua misteri besar.
Tapi harapanku untuk memecahkan misteri itu hanya tersisa
untuk salah satunya. "Kau sudah mengecek lagi?" aku bertanya pada Liz waktu
kami meninggalkan kelas Budaya dan Asimilasi. "Profesor
Buckingham memberitahuku bahwa MI6 mendaftar selusin
grup teroris baru di database mereka setiap minggunya."
"Aku tahu," kata Liz. "Tapi, Cam, nggak ada apa-apa di
sana. Aku sudah memeriksa gambar cincin wanita itu lewat
MI6, MI5, CIA, NSA, FBI. Percayalah padaku, kalau mereka
punya inisial, aku pasti sudah meng-hack mereka, tapi gambar
itu nggak ada di mana pun."
"Aku nggak mengarang simbol itu! Simbol itu pasti ada?"
tukasku, tapi ekspresi yang ditampilkan ketiga sahabat terbaikku di dunia membuatku terdiam mendadak.
"Cam, Sayang," kata Bex. "Apakah sesuatu" mengganggumu?"
"Well, aku?" aku memulai, tapi Macey-lah yang menjawab.
"Dia masih panik tentang Zach."
Aku mungkin seniman jalanan, tapi Macey McHenry akan
selalu tahu lebih banyak tentang cowok dan semua hal yang
202 berhubungan dengan cowok daripada yang pernah bisa kumengerti.
"Apa?" tanya Macey sambil mengangkat bahu waktu aku
menatapnya. "Aku intuitif." Ia maju selangkah. "Lagi pula, kau
bicara dalam tidur."
Dia benar. Zach dan aku jatuh dari ranjang lipat di kereta
itu bersama-sama, dan dunia jadi terbalik sejak itu.
"Cowok!" seruku, tapi untungnya koridor-koridor sangat
ramai, dan banyak siswi sedang terburu-buru, jadi kata itu
menghilang dalam kerumunan. Akankah kami memahami para
cowok" "Dia nggak mungkin" jahat, kan?" tanya Liz pelan. "Maksudku, bukankah kita memastikan tahun lalu bahwa Zach
nggak jahat?" Ia nggak bertanya sebagai cewek, tapi sebagai
ilmuwan yang sama sekali nggak ingin mengevaluasi ulang
model-modelnya, menduplikasi risetnya, dan mengubah hal
mana pun yang dikiranya sudah pernah dibuktikannya tanpa
sedikit pun keraguan. Tapi Liz nggak ada di kereta itu. Dia nggak melihat dengan
mata kepala sendiri bagaimana Aunt Abby mengetahui sesuatu
tentang Zach. Dan Zach mengetahui sesuatu tentang Boston.
Jangan Menilai Cewek Dari Penyamarannya Dont Judge A Girl By Her Cover Gallagher Girls 3 Karya Ally Carter di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dan seseorang mengetahui sesuatu tentang emblem itu. Saat
Liz mulai berjalan ke laboratorium dan Macey berjalan ke
kelas Pengkodean, Bex dan aku menaiki lift ke Sublevel Dua,
dan mau nggak mau aku bertanya, "Apa gunanya punya kemampuan mata-mata elite kalau orang-orang yang punya
informasi super-rahasia bahkan lebih elite lagi?"
Bex tersenyum padaku. "Karena apa asyiknya kalau tidak
begitu?" Jalur spiral di depanku terasa lebih curam saat jalur itu
membawa kami semakin dan semakin dalam lagi ke Sublevel
203 Dua. Waktu kami mencapai dasarnya, Bex berhenti dan menatapku. "Dan mungkin ada beberapa hal?" ia bicara perlahan,
dan aku tahu kata-katanya hampir menyakitkan waktu terucap,
?"yang seharusnya nggak kita tahu."
"Motivasi," kata Mr. Solomon saat kami duduk di kursi kami
di sekitar susunan meja bergaya kuno di ruang kelas Operasi
Rahasia. Berminggu-minggu aku datang ke ruangan itu, mengamati guru kami, mencoba menemukan suatu petunjuk di
matanya tentang Zach, kereta itu, serta sejuta pertanyaan lain
yang memenuhi benakku. "Itulah alasan seseorang melakukan hal yang mereka
lakukan," kata guru kami, kalimatnya sederhana dan mendasar,
sama dengan pelajaran apa pun yang pernah kami pelajari;
meskipun begitu sesuatu dalam nada Joe Solomon memberitahuku bahwa itulah hal terpenting.
"Pertanyaan apa, nona-nona?" Mr. Solomon maju selangkah, mengamati ruangan redup itu,?"hampir selalu terikat
dengan kenapa. Ada enam alasan seseorang melakukan sesuatu:
Cinta. Keyakinan. Keserakahan. Kebosanan. Rasa takut?" katanya, menghitung mereka dengan jari; tapi ia berhenti sesaat
pada alasan terakhir, menarik napas panjang sebelum berkata,
"Balas dendam."
Aku memikirkan orang-orang di atap itu, bertanya-tanya motivasi mana yang membawa mereka ke sana. Dan kenapa.
"Kita punya peralatan," kata Mr. Solomon. "Kita punya unit
komunikasi, pelacak, dan satelit yang bisa memotret sayap
lalat, tapi jangan salah, sebenarnya kita melatih seni yang
sangat kuno. Enam hal, nona-nona. Dan sama sekali belum
berubah dalam lima ribu tahun terakhir."
204 Mr. Solomon menoleh kembali ke papan tulis. Temanteman sekelasku duduk memperhatikan, tapi pikiranku berputar, mengingat lagi dan lagi apa yang baru saja dikatakan
guruku. Aku mencengkeram tepi meja. Aku melihat ruang
kelas mengabur. Dunia terfokus saat aku mengucapkan katakata itu, yang pasti sudah kuketahui selama berminggu-minggu
tapi baru saja kusadari. "Mereka sudah tua."
"Apa yang kauocehkan?" tanya Bex. Untuk pertama kali dalam
hidupnya, ia hampir nggak bisa menyamai langkahku saat aku
melangkah dari lift dan menaiki Tangga Utama.
"Kita salah. Aku salah," kataku, kata-katanya muncul lebih
cepat sekarang. "Cam, apa?" "Tentu saja Liz nggak menemukannya di file komputer.
Mundur lima puluh tahun pun nggak akan membantu. Mundur
seratus tahun pun nggak akan membantu. Bex, mereka bukan
ancaman baru!" Di selasar di bawah kami, ratusan cewek melangkah untuk
makan siang. Koridor-koridor dipenuhi aroma lasagna dan percakapan tentang ujian tengah semester, tapi hanya ada sahabatku dan aku di Koridor Sejarah saat aku menunjuk harta paling
berharga sekolah kami. "Mereka sudah tua."
205 Bab Du a P u l u h D u a "I tu dia," gumamku, menatap buku di meja di depanku.
"Aku berjalan melewati pedang itu jutaan kali. Seharusnya aku
menyadarinya begitu kami kembali. Seharusnya aku langsung
mengenalinya di atap itu. Seharusnya aku" aku idiot!"
"Nggak apa-apa, Cam," Liz menenangkan. "Waktu itu kau
cuma" gegar otak."
"Trims," kataku, walaupun itu nggak membantu sebanyak
yang seharusnya. Aku menatap ukiran di buku tua itu. Setiap siswi baru
dalam sejarah sekolah kami mendengar cerita tentang Gillian
Gallagher dan menatap gambar itu, tapi hari itu aku bukan
melihat Presiden Lincoln atau lusinan pria yang berdiri di sekitarnya. Aku bahkan bukan melihat si wanita muda berpedang, yang bergerak menyusuri ballroom dengan keanggunan
dan kekuatan yang lebih daripada yang mungkin dilakukan
saat kau memakai rok mengembang.
206 Kali ini aku menatap pria yang berada di lantai, pistol terjatuh dari tangannya yang terkulai, sarung pedang kosong tergeletak di sampingnya. Kali ini aku menatap emblem mungil
yang sudah kulihat jutaan kali di pangkal pedang itu, nyaris
nggak terlihat di sebelah tangan Gilly.
"Itu dia," kataku pelan, menggeser bukunya supaya mendapat pencahayaan lebih baik.
Liz membaca penjelasannya keras-keras: "Gillian Gallagher
membunuh Ioseph Cavan, pendiri Circle of Cavan. Virginia,
Desember, 1864." "Gillian membunuh pria itu dengan pedang pria itu sendiri," kata Bex kagum.
Lalu aku menjatuhkan foto satelit ke buku yang terbuka
itu. "Circle of Cavan mencoba menculik Macey McHenry,
Massachusetts, masa kini."
"Jadi Circle of Cavan?" Liz memulai.
"Masih sangat hidup," Bex menyelesaikan.
Aku menatap teman-teman sekamarku. "Dan mereka menginginkan teman kita."
Aku tahu usaha pertama untuk membunuh Presiden Lincoln
betul-betul terjadi. Aku berjalan melewati pedang itu dan memikirkan Gilly lusinan kali sehari selama bertahun-tahun, tapi
sebelum saat ini, cerita Gilly hanya terasa seperti mimpi hebat.
Jadi, saat aku berdiri di perpustakaan, dengan api berderak di
samping kami, aku nggak bisa menghilangkan perasaan seakan
kami baru saja melihat naga di danau, atau hantu di laboratorium. Kelompok penjahat kuno masih hidup di dunia ini. Aku
tahu Gilly memenangkan pertarungan di ballroom malam itu, dan
hampir tepat setelahnya dia mulai mendirikan sekolah ini, mungkin karena dia mengerti perangnya sama sekali belum berakhir.
207 "Menurutmu mereka mengincar Macey karena dia?" Liz
memulai. "Tahu, kan?" Ia memelankan suaranya menjadi
bisikan. "Keturunan Gilly?"
Aku berpikir tentang hari itu, lebih dari setahun yang lalu,
ketika Mom membagi informasi tadi. Dan waktu aku menatap
Bex, ekspresi di wajah kami mengatakan hal yang sama:
Pasti. Orang-orang di atap itu punya alasan kuat untuk membenci
sekolah ini dan Gilly. Macey adalah Gallagher Girl sejati yang
terakhir"kesempatan terbaik mereka untuk sungguh-sungguh
membalas dendam. Aku menatap foto satelit itu lagi, gambar hitam-putih berbintik-bintik yang berada di benakku berminggu-minggu, dan
aku berpikir tentang apa yang dikatakan Bex dan Aunt
Abby: Wanita di atap itu terlalu hebat untuk memakai cincin
yang membuatnya bisa diidentifikasi. Tapi sekarang aku tahu
itulah alasan wanita tersebut mengenakannya. Aku memikirkan ekspresi di wajah Abby saat aku mengamati gambar itu
di kamarnya, dan aku sadar bibiku sudah mengetahuinya sejak
awal. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, banyak hal
menjadi masuk akal. Tapi bukan berarti aku harus menyukainya.
Sejak saat itu, segalanya"dan maksudku segalanya"tentang
sekolah kami tampak berbeda.
Bagian sejarah di perpustakaan Akademi Gallagher" Penuh
dengan buku yang nggak menceritakan keseluruhan ceritanya.
Lukisan Gilly yang sedang berdiri di jendela, menatap ke seberang dinding-dinding kami" Sekarang aku punya ide yang
208 sangat berbeda tentang apa yang ditakuti pendiri sekolah kami
saat melihat ke kejauhan.
Sampai akhir minggu, aku nggak mendengar sepatah kata
pun yang diucapkan para guru tanpa membaca makna khayalan
yang lebih dalam, menahan beberapa pertanyaan yang aku
tahu mungkin nggak akan mereka jawab: Siapa, tepatnya,
anggota Circle of Cavan" Apa yang mereka inginkan" Di mana
mereka berada selama 150 tahun terakhir" Dan, yang terpenting, saat Liz dan Bex menyamai langkahku dalam perjalanan ke makan malam Jumat malam itu, apa yang seharusnya
kami katakan pada Macey"
Karena, percaya atau nggak, "Oh, omong-omong, kau tahu
pria yang dibunuh Gilly" Well, kurasa dia masih punya temanteman yang betul-betul kesal soal itu, dan mereka mencoba
membalas dendam padamu. Oh, dan apakah kami sudah bilang
bahwa sebenarnya kau cicit Gilly, dan itulah sebabnya kau diterima di sekolah ini?" lebih sulit untuk dimasukkan ke pembicaraan sehari-hari daripada yang mungkin kaukira.
"Is khabar ko kisi kitab ke andar daal dein, ya aisa kuch?" bisik
Liz sewaktu kami melatih bahasa India dan memakan makaroni
keju (jenis mewahnya tentu saja); dan meskipun begitu, seberapa pun aku menghargai kartu catatan Liz, kurasa memasukkan berita itu di buku teks Macey bukan cara terbaik untuk
menceritakan kebenaran padanya.
"Usse apne pariwar ke panch jani dushmano ke naam puchain
aur phir ek naam aur jord dein." Bex menawarkan, tapi aku
menggeleng karena pilihan "Hei, Macey, padahal kaukira nggak
seorang pun bisa membenci keluargamu lebih darimu" sepertinya bukan cara yang tepat juga.
Kenyataannya adalah, kami mungkin fasih dalam empat
209 belas bahasa berbeda, tapi jika menyangkut menyampaikan
berita buruk, bahkan Gallagher Girl tak selalu bisa menemukan
kata-kata yang tepat. "Mungkin," kataku perlahan dalam bahasa ibu kami,
meskipun para guru berlalu-lalang di Aula Besar untuk memastikan bahasa India kami memiliki aksen yang sedang kami
coba kuasai, "mungkin sebaiknya kita nggak?"
"Memberitahunya?" tanya Liz, membaca pikiranku.
Aku nggak suka menyimpan rahasia, dan itu"mengingat
profesi pilihanku"sangat aneh. Tapi aku ingat bagaimana perasaanku pada perjalanan liftku yang pertama dari Sublevel
Dua"bahwa ada beberapa rahasia yang kami simpan karena
kami nggak sanggup membocorkannya, dan beberapa karena
lebih baik dirahasiakan. Aku menatap kedua sahabatku dan
bertanya-tanya rahasia jenis mana yang sedang kami jaga sekarang.
"Kalau aku pasti ingin tahu," kata Bex sederhana, dan aku
mengangguk, nggak terkejut, tapi juga senang mendengarnya.
"Aku?" bisik Liz dan mencondongkan diri mendekat. "Kurasa?" ia tergagap lagi, dan aku tahu bahwa Liz si genius tahu
bahwa lebih banyak informasi yang kaupunya"lebih banyak
data yang bisa kaukumpulkan"maka kesimpulanmu akan jadi
lebih baik. Tapi Liz si cewek tahu bahwa ketidakpedulian
kadang-kadang adalah kebahagiaan.
"Nggak," katanya akhirnya sambil menggeleng. "Kalau aku
nggak ingin tahu. Lagi pula?" ia menatapku, mata birunya
lebar, "kalau lebih baik Macey tahu, bukankah ibumu dan Abby
dan Mr. Solomon dan semua orang akan" memberitahunya?"
Aku benci saat Liz benar. Dan sayangnya, itu sering terjadi.
Kurasakan Bex dan Liz menatapku, dan aku tahu bahwa
210 akulah suara penentunya. Salah satu murid di meja kelas dua
belas memegang selembar koran; kertasnya bergemerisik saat
membalik halamannya. Berita utamanya, "Pemilihan Presiden
Hari Selasa Terlalu Ketat Untuk Diprediksi," si cewek berseru
lebih keras daripada suara-suara seratus cewek lain yang sedang
mengobrol saat Macey berjalan melewati pintu di belakang
ruangan dengan anak-anak kelas sembilan lain yang belajar
lebih larut di kelas P&P. Macey tersenyum; dia tertawa; cewek
yang ada di tepi danau tampak jauh sekali, walaupun begitu
aku tahu dia masih ada di dalam diri Macey di suatu tempat,
dan aku betul-betul nggak mau melihatnya lagi.
"Ada apa?" tanya Macey waktu duduk di sebelahku. Aku
nggak tahu apa yang harus kukatakan atau bagaimana mengatakannya.
Untungnya, Joe Solomon-lah yang menjawab, "Kuis mendadak."
"Nah, aku tahu sebagian dari kalian tidak memilih jalur studi
Operasi Rahasia," kata Mr. Solomon, memandang ke sepanjang
meja pada seluruh murid kelas sebelas, "tapi ada aspek-aspek
dalam hidup ini"dalam dunia ini"ketika kalian tidak bisa
melangkah pergi. Tidak akan bisa. Fakta bahwa hampir segala
hal yang kalian katakan pada hampir semua orang yang kalian
sayangi selama sisa hidup kalian adalah kebohongan merupakan
salah satunya. Jadi, kalau kalian tidak keberatan mendapat
sedikit tugas ekstra?" katanya, menatap Liz, rasanya ia seperti
bertanya padaku apakah aku nggak keberatan mendapat makanan penutup ekstra, "pakaian biasa. Selasar. Dua puluh menit."
Sepuluh menit kemudian aku berlari menuruni Tangga
211 Utama, setengah langkah di belakang Bex dan Liz. Adrenalin
yang hanya bisa muncul akibat rasa antisipasi akan pergi ke
tempat lain, melakukan hal lain, menjadi orang lain sebentar
saja mulai mengaliri diriku. Macey ada di sebelahku. Aku
nggak tahu ke mana kami akan pergi, tapi sejujurnya, aku
nggak peduli. Abby berdiri di sebelah pintu, tersenyum jail penuh arti
pada semua orang yang lewat. Tapi waktu Macey dan aku melangkah ke pintu, kami sama sekali bukan mendapatkan senyum dari bibiku.
Lengan. Itulah yang kulihat pada awalnya. Satu lengan
yang menghalangi ambang pintu, meraih bahu Macey.
"Maaf," kata Aunt Abby. "Bukan lokasi aman."
Aku mengangkat bahu dengan simpatik pada Macey dan
mencoba berjalan lewat. Tapi Abby bergeming. "Oh." Ia menatapku. "Kurasa kau dan ibumu punya" kesepakatan?"
Aku bisa mendengar langkah-langkah kaki menjauh di kegelapan di luar. Aku bisa merasakan kesempatan itu terlepas.
"Tapi?" aku memulai. Aku nggak tahu apakah aku memohon pada bibiku, atau guruku, atau pada pelindung Dinas
Rahasia Macey, tapi aku tahu situasi itu membutuhkan permohonan serius kepada seseorang. "Tapi ini tugas!" semburku.
Abby hanya menggeleng. "Maaf, anak-anak," katanya. "Tentu saja" Abby melirik
Macey, "aku bersedia menahan peluru yang ditujukan padamu,
tapi bukan berarti aku mau memancing kemarahan Rachel."
Bex dan Liz berhenti di luar dan menoleh kembali pada
kami, mata Bex bertanya apa yang membuat kami lama sekali; tapi Aunt Abby berpaling, ke kegelapan, tanpa menoleh
lagi. 212 *** "Hei," kataku, berlari untuk menyusul Macey. "Kau baik-baik
saja?" Ia tersenyum. "Hebat." Tapi Macey nggak terdengar hebat.
Sedikit pun nggak. "Kau sedang bicara padaku," kataku. "Aku belum bisa memberi suara, ingat?"
"Aku?" Kali ini Macey sepertinya betul-betul memikirkan
jawaban yang tepat, dan aku tahu ada kemungkinan aku akan
mendapatkan jawaban sungguhan, bukan sekadar kalimat
partai. "Aku marah," katanya akhirnya, kata-katanya bergema
di sepanjang koridor kosong yang panjang.
"Oke." "Dan aku muak pada ini." Ia mengulurkan perban yang menutupi lengan kirinya. "Benda bodoh, kotor, gatal yang jadi"
pengingat ini. Tapi ternyata aku menghasilkan suara sepuluh
poin lebih tinggi saat memakainya."
"Oke." "Dan aku capek sekali?" Suaranya lebih pelan saat itu,
perjuangannya hampir habis saat ia merosot ke tangga. "Aku
capek sekali menjadi Macey McHenry."
Aku duduk di tangga di sebelahnya.
"Keadaannya bisa lebih buruk," aku mencoba, berharap senyumanku nggak terlihat sama palsunya dengan yang kurasakan. "Kau bisa saja kidal," kataku, menunjuk perban di lengan
kirinya. Macey tertawa. "Aku bisa saja terjebak di bus kampanye"
bersama ibuku." 213 "Kau bisa saja jadi ibumu," aku mencoba lagi.
"Aku bisa saja jadi Preston," katanya sambil tertawa.
Aku memikirkannya sesaat. Kalau Macey mulai sinting,
padahal dia tinggal dalam bangunan paling aman di negara
ini dan dengan Aunt Abby sebagai pengawal keamanannya,
Jangan Menilai Cewek Dari Penyamarannya Dont Judge A Girl By Her Cover Gallagher Girls 3 Karya Ally Carter di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
putra kandidat presiden pasti lebih nggak tahan lagi.
"Aku nggak sabar menunggu semua ini berakhir," kata
Macey, seakan ia baru saja mengakui rahasia terdalam dan tergelapnya. "Aku nggak sabar lagi menunggu Selasa."
Itulah saat yang kami tunggu"pembukaan yang kuperlukan
untuk memberitahu kenyataan tentang apa yang terjadi dan
memperingatkan bahwa semuanya tidak akan berakhir secepat
itu"bahwa nggak mungkin Macey tidak lagi menjadi keturunan Gilly pada hari Rabu.
"Apa?" tanyanya, membaca ekspresiku. Aku datang ke
koridor itu untuk memberitahu kebenaran padanya, untuk
memperingatkannya, tapi Macey masih punya harapan bahwa
Selasa akan menandai akhir semua ini, dan aku"khususnya"nggak mau mengambil harapan itu darinya begitu
cepat. Kusadari diriku berdiri, berpikir, bergerak.
"Apa yang ingin kaulakukan, Macey?" tanyaku.
"Aku ingin" aku ingin nggak diawasi sepanjang waktu,"
katanya. "Aku nggak mau ditatap oleh orang-orang di kota.
Aku nggak mau ditatap oleh orangtuaku. Aku cuma nggak
mau?" ia mengalihkan pandangan ke arahku, ?"ditatap."
Kalau penampilanmu seperti Macey McHenry, dorongan
untuk menghilang mungkin terdengar konyol. Tapi nggak kalau
kau remaja cewek. Nggak kalau kau sudah ditampilkan di sam214
pul setiap majalah di Amerika dalam enam bulan terakhir.
Dan nggak kalau kau bunglon.
Mungkin hanya aku orang di dunia yang bisa mengerti hal
itu, dan mungkin itulah sebabnya Macey memberitahuku.
Dan mungkin juga itulah sebabnya aku berkata, "Ayo."
215 Bab Du a P u l u h T i g a
pakah aku tahu ini melanggar peraturan" Ya.
Apakah menurutku ini bodoh" Pasti.
Apakah menurutku ini sepadan" Sejujurnya" Yeah, kurasa
ini sepadan. Kadang aku bertanya-tanya apa yang membuatku menjadi si
Bunglon"kenapa aku suka bersembunyi dan berbaur, kenapa
aku lebih suka nggak terlihat daripada diperhatikan. Tapi waktu
Macey dan aku berjalan menyusuri koridor bawah tanah, aku
tahu bahwa tidak terlihat jelas punya daya tarik tersendiri.
Meskipun akhirnya butuh waktu 90 menit, Macey McHenry
dengan sukses diberi penampilan baru, dan sekarang kami siap
menghadapi dunia luar. Aku melirik cewek di sebelahku. Mata
biru khasnya tersembunyi di bawah lensa kontak cokelat dan
kacamata tebal. Kami menambahkan jejak bintik-bintik samar
di atas hidung pucatnya. Rambut hitam berkilaunya dimasukkan ke bawah wig merah keriting, dan aku tahu hanya wig itu
216 yang bakal diingat siapa pun yang meliriknya: rambut merah
besar dan kacamata. Aku meraih permadani tua keluarga Gallagher yang tergantung di dinding batu, lalu menatap cewek yang hampir
nggak kukenal itu, dan berkata, "Kau yakin?"
Macey meraih simbol perisai kecil yang terpasang di batu
dan memutar pedangnya, membuka salah satu jalan rahasia
favoritku. "Pasti."
Sejak dulu aku menganggap Roseville sebagai jenis tempat
yang segala sesuatunya nggak pernah sepenuhnya berubah. Tapi
malam itu lampu-lampu menyala di kejauhan, dan kilauan
warna-warni terang muncul dari cakrawala saat Macey dan aku
berjalan memasuki kota. Juga terdengar suatu suara, yang datang dan pergi, deruman rendah, seperti aliran sungai. Di sekeliling kami, orang-orang dari restoran berjalan terburu-buru,
membawa tumpukan-tumpukan besar selimut dan menyeberangi
taman kota, berbaris ke arah lampu-lampu.
"Kau ingin melakukan apa?" Aku menoleh pada Macey. Dia
sedang menatap bayangan dua cewek di salah satu jendela
toko. Bagi penduduk Roseville, mereka mungkin terlihat seperti cewek biasa. Orang-orang melewati mereka tanpa memandang dua kali. Si rambut merah yang bayangannya terpantul
di kaca sama sekali bukan orang penting. Dia nggak diperhatikan dan nggak terlihat.
Dia seperti aku. Dan Macey menikmati setiap detiknya waktu berkata, "Kita
ikuti mereka." Oke, sebagai seniman jalanan, itu bukan usaha menguntit
tersulit yang pernah kualami. Lampu-lampunya jelas dan se217
makin terang. Belasan orang sedang berjalan ke arah yang sama,
menyusuri jalan-jalan samping yang terbentang dari taman
kota. Sepasang pria lewat, sambil berdebat.
"McHenry," salah satu pria itu berkata pada yang lain. "Dia
tidak lebih baik daripada yang lain."
Aku menatap Macey, berharap melihat semacam reaksi di
matanya, tapi ekspresinya tidak peduli, sama seperti yang diharapkan seseorang dari cewek enam belas tahun normal.
"Aku tidak peduli meskipun dia punya hubungan dengan
Roseville!" salah satu pria itu memprotes.
"Maksudmu putrinya yang ada di sekolah itu?" pria satunya
bertanya. Lalu Macey melakukan sesuatu yang nggak akan pernah
kulupakan. Dia menabrak pria itu, betul-betul membuat kontak
fisik, menatapnya tepat di mata. Aku menahan napas sesaat
waktu Macey McHenry"cewek yang sedang dibicarakan pria
itu"menatapnya dengan mata berlapis lensa kontak dan berkata, "Maaf."
"Tidak, maafkan aku, nona," kata pria itu, lalu menoleh kembali ke temannya. Dia terus berjalan ke arah lampu-lampu.
Aku tahu kami melanggar janjiku pada Mom, bahwa kami
mengambil risiko besar. Tapi ekspresi di wajah Macey saat itu
membuat semuanya sepadan.
Lalu kami berbelok di sudut, dan aku melihat barisan lampu
bersinar, bendera Amerika berkibar, dan aku mendengar suara
raungan itu dalam bentuk aslinya. Bukan aliran sungai"
Football. Stadion football Roseville berada di sisi jauh kota, menempel
218 di bukit-bukit tinggi yang mencuat dari lembah yang hanya
berjarak 45 meter di belakangku. Di kejauhan, band mulai bermain. Suaranya bergema ke seluruh bukit. Sorakan semakin
berisik sewaktu kami berjalan ke arah pagar yang berbentuk
mirip rantai, bergabung dengan barisan orang yang berjalan
memasuki gerbang. Pilar-pilar baja membingkai berbagai stand.
Kumpulan debu dan serpihan terkadang jatuh seperti salju
samar saat kami berdiri di bawah bangku-bangku, menatap ke
lapangan. Petugas-petugas berseragam membawa penanda-penanda oranye besar. Seorang pelatih berjalan mondar-mandir,
meneriakkan perintah-perintah yang sepertinya nggak didengar
siapa pun. Para pemandu sorak bergerak bersama dengan sempurna, rok lipit-lipit merah mereka tersibak saat mereka berteriak dan menendang. Dan di belakang mereka, berdiri panggung kecil tempat lima cewek memakai mahkota dan gaun
mewah duduk manis. "Oh astaga," kata Macey, menunjuk cewek di tengah yang
memakai gaun putih dan tiara. Macey terdengar sama kagetnya
seperti yang kurasakan. "Kurasa mungkin dia ratu mereka," tebakku, karena, sejujurnya, sekarang ini kami berada di daerah asing!
Mata-mata harus bisa merasa nyaman dalam semua jenis
situasi sosial, tapi kurasa aku belum pernah berada di suatu
tempat yang ada beberapa orang memakai tiara sedang lainnya
memakai sweatshirt. Maksudku, aku pernah menonton football
di TV bersama Grandpa Morgan, tapi nggak sekali pun aku
melihat ada cewek yang memakai pakaian formal dalam pertandingan itu!
Sebuah jalur melingkar mengelilingi lapangan football itu.
Di sisi lain berdiri kumpulan stand lawan, tim lawan. Macey
219 dan aku mulai berjalan ke arah itu, melewati stand makanan,
dan tepat menabrak Tina Walters.
"Maaf," kata Tina, tersandung sedikit. Lalu ia menatap
Macey. Ia menatapku. Tina membuka mulut untuk bicara, tapi
lalu, secepat itu juga, ia menggeleng seakan mengenyahkan
suatu pikiran sinting. "Hmmm" sori." Aku meraih Macey dan berlari pergi.
Macey menatapku, mata berlapis lensa kontaknya melebar
saat kami mengucapkan tanpa suara, Kuis mendadak!
Di dekat kamar mandi kami melihat Eva Alvarez menyamar
sebagai anggota pembawa bendera tim lawan dan sedang bicara
dengan wanita setengah baya yang mengenakan korsase I "
#32 yang sebesar kepalanya.
Aku mendengar tawa Courtney Bauer dari bawah stand.
Aku tahu, kerumunan penuh Gallagher Girl seharusnya
membuatku merasa aman, tapi saat itu mereka bukan backup"
mereka adalah para agen terlatih yang bisa membuka
penyamaran kami setiap saat.
Macey dan aku tetap tenang dan terus berjalan, mengamati
pemandangan dan suara-suara, sampai tiba-tiba semua hal
terasa" berbeda. Lagi. Aku bisa merasakan kehadiran para
Gallagher Girl di kerumunan, tapi juga" sesuatu yang lain.
Pertandingannya pasti berjalan baik untuk Roseville, karena
kerumunan orang dari tim rumah bersorak; tapi untuk suatu
alasan aku menyadari diriku berpikir tentang hari lain dan
kerumunan lain. Tapi kali ini, saat pikiranku melayang kembali
ke Washington, D.C, aku nggak berpikir diriku mulai sinting.
Kali ini, aku tahu apa yang kucari.
"Dia di sini," gumamku saat pandanganku menyapu kerumunan orang, nggak lagi melihat penggemar football dan pe220
mandu sorak, anggota band dan mantan atlet yang mulai menua.
"Apa?" tanya Macey, meskipun raungan orang-orang keras
sekali. "Zach," aku balas berbisik.
"Aku nggak tahu kenapa dia nggak menciummu!" kata Macey
sambil mendesah nggak sabar, seakan ia betul-betul nggak ingin
mendengarkan ceritaku lagi.
"Bukan." Aku menggeleng. "Dia di sini."
Dan itu menarik perhatian teman sekamarku. "Dari mana
kau bisa tahu?" tanyanya, menoleh untuk memandang kerumunan. "Naluri seniman jalanan?"
"Bukan," kataku. "Naluri cewek."
Macey mengangguk seakan tahu persis apa yang kurasakan.
Dia memandang bangku-bangku. "Mungkin Blackthorne di sini
untuk latihan Operasi Rahasia juga?" tawarnya, tapi aku menggeleng. "Ooh! Ada Solomon!" kata Macey kemudian, suaranya
bahkan jadi semakin hidup.
Guru kami berada di sebelah tiang bendera. Guru kami sedang menatap ke arah kami. Mudah sekali berbalik, mencoba
bersembunyi. Tapi untungnya Macey tetap bersamaku, diam
dan nggak bergerak, saat pandangan Joe Solomon melewati
kami. Mungkin naluri, atau mungkin juga latihan yang membuatku membeku. Atau mungkin karena aku melihat cowok yang
berdiri dua belas meter di belakang guruku, di tengah-tengah
Tongkat Rantai Kumala 1 Wiro Sableng 032 Bajingan Dari Susukan Kisah Sepasang Rajawali 32