Pencarian

Jangan Menilai Cewek Dari 2

Jangan Menilai Cewek Dari Penyamarannya Dont Judge A Girl By Her Cover Gallagher Girls 3 Karya Ally Carter Bagian 2


mengidentifikasi setiap alat makan dalam susunan meja berisi
20 perabot makan (dan sehubungan dengan itu, metodemetode terbaik untuk menggunakan masing-masing alat makan
sebagai senjata). Segalanya tampak betul-betul normal saat kami menuruni
Tangga Utama dan Liz berjalan ke arah laboratorium Dr. Fibs
di lantai bawah tanah. "Sampai nanti!" seru Liz, dan itu oke-oke saja. Aku sudah
terbiasa dengan kenyataan bahwa Liz ditakdirkan untuk jalur
riset-dan-operasi sementara Bex dan aku berlatih untuk kehidupan di lapangan.
Sampai kudengar Macey berkata, "Sampai ketemu waktu
makan siang," barulah aku teringat ia masih tertinggal dari
kami semua, secara akademis.
Saat Macey berjalan menuju kelas sandi untuk kelas sembilan yang diajar Mr. Mosckowitz, Bex dan aku masuk ke jalan
kecil di bawah Tangga Utama dan melangkah ke depan cermin
berbingkai mengilap. Sinar laser tipis memindai wajah kami,
membaca citra retina kami. Mata lukisan di belakang kami
bersinar hijau, dan cermin bergeser ke samping, menampakkan
lift ke ruang-ruang kelas paling rahasia di sekolah paling
rahasia di negara ini. Tapi aku nggak bersemangat. Aku nggak memikirkan tes
mendadak atau bagaimana penampilan Mr. Solomon waktu itu,
saat kami melaksanakan latihan pengintaian di alam liar dan
dia menggulung lengan bajunya.
Aku cuma bilang, "Bex," dan menunggu jawaban "Yeah"
dari sahabatku. "Aku khawatir tentang Macey."
"Kenapa?" tanya Bex, menekankan telapak tangannya ke
kaca di bagian dalam lift. "Dia kelihatan baik-baik saja buatku."
Kuletakkan telapak tanganku di sebelah tangan sahabatku.
"Itulah yang membuatku khawatir."
Bex berkulit hitam dan aku berkulit putih. Dia cantik dan
aku biasa-biasa saja. Dia tumbuh di London dan aku menghabiskan musim panasku di peternakan yang jauh dari manamana. Dia dilahirkan untuk bertarung dan aku dilahirkan
untuk lari. Tapi caranya menatapku mengingatkanku bahwa
Bex dan aku sama dalam semua hal yang penting.
"Aku tahu sesuatu yang bakal membuatmu merasa lebih
baik," katanya. "Apa?" tanyaku saat lift berderum menyala. Telapak tanganku terasa panas seakan terbakar dan kusentakkan tanganku
dari kaca. Cahaya aneh"tidak seperti apa pun yang pernah
kulihat"memenuhi ruang di sekitar kami, dan dari balik
pendar warna ungu menakutkan itu, sahabatku tersenyum.
"Kita bakal melihat Sublevel Dua."
Bab S e m b i l a n ika kau Gallagher Girl pertama sejak Gilly sendiri yang
berhasil menemukan dan menggunakan jalan di balik koridor
lantai tiga tempat menyimpan koin-koin konfederasi senilai
satu juta dolar, kau mungkin mulai mengira mansion Gallagher
nggak bisa mengejutkanmu lagi.
Tapi kau salah. Lift berhenti. Aku tahu pintu lift akan membuka dan menunjukkan tempat paling rahasia yang pernah kami lihat. Aku
menahan napas, menunggu. Lalu tiba-tiba lift tersentak ke
belakang, membuat kami terempas ke pintu.
"Cam," kata Bex saat lift turun lagi setidaknya 30 meter
lebih jauh ke bawah tanah. "Apakah seharusnya?" ia memulai, tapi tiba-tiba lift menurun lebih jauh lagi.
Lift berhenti. "BERIKAN SAMPEL DNA," sebuah suara
mekanis terdengar di dalam lift. Celah kecil muncul dari balik
dinding stainless steel-nya. Ukurannya tepat sebesar jari, jadi
aku mengulurkan tangan untuk menyentuhnya.
"Aww!" seruku. Pin kecil menusukku. Lalu pin itu langsung
menghilang, dan jarum baru menggantikannya. Setetes kecil
darah muncul di ujung jariku.
"Nggak mungkin," kata Bex, menggeleng-geleng cepat.
(Dan dengan cara itulah aku tahu cewek yang pernah menyombongkan diri bahwa dia pernah berduel pedang melawan
pedagang senjata ilegal di Kairo pada suatu libur musim semi
sebetulnya takut pada jarum.)
"BERIKAN SAMPEL DNA," tuntut suara itu lagi, kali ini
terdengar sedikit nggak sabar, jadi Bex memasukkan jarinya
tepat ketika lift berhenti.
Pintu lift membuka" dan aku tahu tak sesuatu pun dari
Sublevel Satu berhasil mempersiapkanku untuk melihat
Sublevel Dua. Hampir setahun berlalu sejak Bex dan aku pertama kali melihat Sublevel Satu. Di sana dinding-dindingnya terbuat dari
stainless steel dan kaca beku. Di sana langkah-langkah kami
bergema. Dan waktu itu aku selalu membawa sweter. Segala
hal tentang lantai itu keren dan modern, seakan kami melangkah ke masa depan"masa depan kami. Tapi saat melangkah
ke Sublevel Dua rasanya" nggak seperti itu.
Di sekitarku, pintu lift-lift lain membuka; cewek-cewek lain
dengan jari yang juga berdarah melangkah ke lantai berlapis
kayu ek lebar yang berkeriut.
Langit-langitnya seperti puzzle yang terdiri atas banyak batu
tebal dan papan besar, dan waktu aku mengulurkan tangan
untuk menyentuh dinding-dinding batunya, kusadari bahwa
dindingnya tidak memiliki sambungan. Tanpa semen. Hanya
sekumpulan batu kapur yang jumlahnya tak terhitung dan
tanah yang memisahkan kami dari dunia luar.
Teman-teman sekelasku berjalan dan menoleh, terlalu sibuk
bicara di dalam ruang remang-remang itu untuk melihat lakilaki yang melangkah keluar dari bayang-bayang dan berkata,
"Selamat datang di Sublevel Dua." Ia berbalik dan menyusuri
lantai yang menurun landai, memimpin kami dalam jalur spiral
stabil. "Aku sangat menyarankan kalian memperhatikan, nonanona," Mr. Solomon memberi instruksi. "Hari pertama adalah
hari terakhir kalian mendapatkan penunjuk jalan."
Koridor-koridor bercabang menjauh dari jalur spiral itu
seperti labirin batu. Kami melewati pintu melengkung, dan
turunannya jadi semakin curam. Satu koridor lebar berpapan
nama sederhana, GUDANG, tapi papan nama di pintu-pintu
yang berbaris di sepanjang koridor sangat beragam, mulai dari
O, OPERASI BENDERA PALSU; H, HITLER, USAHA
PEMBUNUHAN. Sejak dulu aku memang sering dengar
ungkapan tentang rahasia yang terkunci di dalam batu, tapi
aku belum pernah melihatnya dengan mataku sendiri sampai
saat itu. Kami berjalan selama waktu yang terasa seperti lima menit.
Udara di sekitar kami lembap dan dingin, namun sesuatu memberitahuku bahwa pada puncak musim dingin atau musim
panas pun variasi temperatur tempat ini nggak akan lebih dari
tiga derajat. Akhirnya Joe Solomon berhenti. Saat kami melangkah ke
lantai batu solid, aku memandang kembali ke arah jalur spiral
itu"pada koridor-koridor yang bercabang seperti labirin"dan
tiba-tiba aku kasihan pada agen musuh yang cukup bodoh
untuk mencoba menembus tempat penyimpanan pengetahuan
rahasia ini. Dan akhirnya aku tersenyum, bertanya-tanya kirakira apa yang mungkin menungguku di Sublevel Tiga.
"Operasi rahasia." Mr. Solomon berjalan melewati pintu
ganda besar menuju ruangan yang dua kali lebih besar daripada
perpustakaan di mansion di atas kami. Seperti di perpustakaan,
jalan di lantai dua mengelilingi ruangan itu, dan meja-meja
kayu kuno diatur dalam bentuk U di lantai.
"Organisasi rahasia?" guru kami terus bicara saat seluruh
siswa kelas sebelas Operasi Rahasia cepat-cepat duduk. "Adalah
tentang hidup di tempat kau tidak seharusnya berada"tentang
melakukan apa yang tidak seharusnya kaulakukan." Ada kursi
kayu di bagian depan ruangan, tapi bukannya duduk, Mr.
Solomon hanya mencengkeram punggung kursi dengan kedua
tangan. Itu adalah hal pertama yang terasa familier dalam kelas
Operasi Rahasia. "Itu artinya menyusup masuk, nona-nona." Ia
memandang berkeliling ruangan. "Dan yang terpenting, itu
artinya keluar." Aku berpikir tentang hotel dan lubang cuci di sana, dan
selama sedetik kepalaku sakit. Aku merasa sedikit pusing saat
guru kami berkata, "Eksfiltrasi ditentukan dua faktor, Ms.
Baxter. Sebutkan." "Terjadinya di daerah berbahaya," kata Bex.
"Betul," jawab Mr. Solomon, maju selangkah. Ia menulis
jawaban Bex pada papan tulis beroda kuno di bagian depan
ruangan. "Itu faktor pertama dari eksfiltrasi. Ms. Fetterman,
apa yang kedua?" Waktu kami menunggu jawaban Anna, aku mendengar
kapur menggores papan tulis. Semua suara terdengar lebih
keras di sini, terutama suara jernih riang yang berkata, "Tak
seorang pun pernah mengetahuinya."
Semua kepala menoleh. Aku belum pernah melihat siapa
pun menarik perhatian seisi ruangan lebih mudah daripada
Aunt Abby waktu ia berkata, "Kau menelepon, Joe?"
Oh. Astaga. Mungkin yang menyadarinya adalah sisi mata-mata dalam
diriku" atau sisi cewek dalam diriku" atau bahkan sisi
keponakan dalam diriku" tapi waktu Aunt Abby meletakkan
tangan di pinggulnya, aku berani bersumpah dia melakukan
sesuatu yang tadinya kupikir nggak akan pernah berani dilakukan Gallagher Girl mana pun: menggoda Joe Solomon!
"Agen Cameron," kata Mr. Solomon. "Senang sekali kau
bisa bergabung dengan kami. Para siswi kelas sebelas?" Ia menunjuk ke arah kami. Aunt Abby melambaikan dua jari.
"Hai, girls." ?"dan aku baru bersiap-siap mendiskusikan operasi eksfiltrasi." Joe Solomon menjatuhkan kapurnya ke kotak dan bertepuk tangan dua kali. "Kupikir kau mungkin bisa memberikan
perspektif unik pada topik itu."
"Oh, Mr. Solomon," kata Abby sambil tersenyum, "kau memang tahu cara membuat seorang gadis bersenang-senang."
Aunt Abby berjalan mengelilingi bentuk U meja-meja
kami, memandang dinding, rak buku, segala hal di Sublevel
Dua; dan aku sadar bahwa ini memang kali pertamaku melihat
Sublevel Dua, tapi saat ini bibiku sedang melihatnya lagi setelah sekian lama tidak melihatnya. Aku bertanya-tanya apakah tempat itu terlihat berbeda baginya, terutama setelah dia
mempelajari begitu banyak hal lain setelah pergi dari sini.
"Seperti yang kukatakan tadi," Mr. Solomon melanjutkan,
"eksfiltrasi itu penting. Dan sangat sulit?"
"Terutama di Istanbul," tambah Aunt Abby pelan, dan guru
kami tertawa. Kedengarannya seperti lelucon pribadi, hanya
saja mata-mata nggak pernah membuat lelucon pribadi! Kami
menyimpan terlalu banyak informasi "pribadi," dan karena itu
di sanalah kami menyimpannya. Tapi hal tersinting bukanlah
karena Aunt Abby membuat lelucon" Bahkan bukan karena
sikapnya yang menggoda. Hal tersinting adalah karena aku
cukup yakin bahwa senyum dan tawa merupakan cara Mr.
Solomon balas menggoda bibiku!
Di sanalah kami, di dalam gua penuh batu dan rahasia,
namun rasanya bibiku berhasil membawa masuk matahari bersamanya, menerangi sisi lain dari guruku yang belum pernah
kulihat. Untuk pertama kalinya dalam berminggu-minggu, kepalaku
nggak sakit. Saat itu, bagiku Boston hanyalah sebuah kota di
Massachusetts. Aku mungkin bakal puas jika bisa duduk seperti itu sepanjang hari"sepanjang minggu. Sepanjang tahun. Tapi kemudian lampu-lampu dimatikan. Di bagian belakang ruangan
sebuah proyektor kuno menyala, dan satu gambar mulai
mengiris kegelapan. "Aku yakin kalian semua pernah melihat ini," kata Mr.
Solomon. Tapi aku belum pernah melihatnya. Rasa dingin mengaliriku
saat kusadari" bahwa aku sudah mengalaminya.
Seluruh kelas tampaknya menahan napas mereka sementara
film itu ditampilkan dalam berbagai sudut berbeda, kamera
berbeda, juga kru televisi berbeda. Bagian-bagian dari rekaman
itu sudah diperlihatkan dalam siaran yang hampir terusmenerus pada setiap stasiun TV di negara ini selama berharihari, tapi sama seperti sebagian besar hal yang kami"
Gallagher Girls"lakukan, ada banyak hal lain di balik cerita
itu, dan hari itu kami melihat versi yang tidak disensor.
"Yang akan kuperlihatkan pada kalian adalah contoh yang
hampir sama persis seperti contoh klasik operasi eksfiltrasi pada
siang hari di area berpenghuni." Kupikir Mr. Solomon akan
menatapku. Aku berharap bibiku bertanya apakah aku baikbaik saja. Aku ingin seseorang mengatakan bahwa yang terlihat
di film bukan sekadar pelajaran"itu adalah hari tersulit dalam
hidupku. Tapi satu-satunya perubahan dalam suara guru kami
adalah jeda tiba-tiba sebelum ia menambahkan, "Untungnya
bagi kita, usaha tersebut tidak berhasil."
Lalu aku tahu bahwa kami bukan berada di sana untuk
mempelajari apa yang dilakukan Macey dan aku dengan benar.
Di atap itu, hari itu, kami bukanlah mata-mata profesional
yang berpengalaman. Kami cuma dua cewek beruntung, dan
keberuntungan bukanlah keahlian yang bisa dipelajari siapa
pun. Debu terus menari-nari dalam cahaya proyektor. Tak seorang pun berkata, "Kalau ini terlalu berat untukmu, Cammie,
kau boleh pergi" atau "Ms. Morgan, apa yang kaupikirkan
waktu itu?" Rasanya aku cuma salah satu cewek di ruangan kelas itu,
bukan cewek yang ada di atap. Suara-suaranya terdengar berbeda di kelas ini"yang terdengar hanya dengungan suara guruku. Jawaban pertanyaan-pertanyaan. Seruan-seruan teredam
para operator kamera saat mereka mencoba mencari posisi
bagus. Tapi dalam benakku, aku melihat baling-baling yang berputar. Aku mendengar erangan-erangan dan tendangan-tendangan, raungan angin di kejauhan yang datang dari pelabuhan.
Dalam benakku, film itu lebih jelas dan berjalan lebih pelan
waktu Preston jatuh ke tempat aman. Lalu aku melihat figur
bertopeng mengabaikan putra calon presiden, menunjuk kepada
sahabatku, dan mengucapkan dua kata yang sebelumnya nggak
betul-betul kudengar jelas.
Ruangan itu gelap. Dinding-dinding di sekitar kami tebal.
Dan aku cukup yakin bibiku adalah satu-satunya orang yang
mendengarku berbisik, "Tangkap cewek itu."
Bab S e p u l u h da benda-benda yang sering dibawa mata-mata: sampah
saku, identitas palsu, dan kadang aksesori-rambut-garis-miringkamera-garis-miring-senjata. Tapi yang terberat, kurasa, adalah
rahasia. Rahasia-rahasia itu bisa menenggelamkanmu kalau kau
membiarkannya. Selagi aku duduk di Sublevel Dua hari itu,
aku tahu rahasia yang kupikul begitu berat sampai-sampai aku
mungkin nggak akan bisa naik lagi ke permukaan.
Waktu kelas berakhir, lampu-lampu menyala dan aku mendengarkan setengah teman-teman sekelasku menyebar untuk
menjelajahi lingkungan baru mereka. Kuamati Mick Morrison
menyudutkan Mr. Solomon dengan selusin pertanyaan tentang
Teori Marciano dan penggunaannya yang tepat di lingkungan
perkotaan, tapi yang lainnya berdiri berkerumun di sekitar
Aunt Abby"yang sedang melakukan pertunjukan ulang
dramatis waktu dia harus menyelundupkan insinyur nuklir
keluar dari Taiwan di tengah musim hujan.
"Jadi lalu kubilang padanya "aku tahu itu rickshaw, tapi
bukan berarti benda itu tak bisa mengambang!?" kata Abby.
Tina dan Eva meledak tertawa, tapi aku tahu dari sudut
matanya Aunt Abby sedang mengamati ketika aku meninggalkan ruang kelas dan menyusuri jalur spiral panjang yang mengarah ke mansion di atas kami. Aku tahu dia sedang mendengarkan waktu Bex berjalan di sampingku dan berkata, "Cam,
pelan-pelan," seakan aku mungkin mendahuluinya. (Dan itu
jelas nggak mungkin.) Tapi aku terus berputar naik, mengingat kata-kata yang
kudengar tapi nggak kuperhatikan; mengenang ketidakpedulian
para penyerang itu waktu Preston jatuh ke tempat aman di sisi
atap"hal-hal yang kuamati, tapi tidak benar-benar kulihat.
"Aku idiot!" bentakku pada diri sendiri.
"Kau brilian," kata Bex. Kalau diucapkan cewek lain mana
pun di sekolah lain mana pun, kata-kata itu mungkin terdengar seperti basa-basi. Tapi tidak jika diucapkan cewek ini.
Tidak di sekolah ini. Karena diucapkan Bex, itu adalah fakta
yang nggak bisa diperdebatkan, dan dia bersedia melawan siapa


Jangan Menilai Cewek Dari Penyamarannya Dont Judge A Girl By Her Cover Gallagher Girls 3 Karya Ally Carter di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pun yang mengatakan sebaliknya.
"Ada dua cewek di sekolah ini yang bisa melakukan apa
yang kaulakukan." Bex mengangkat sebelah alis. "Dan kau salah satunya."
Waktu kami mencapai deretan lift dan melangkah masuk,
aku berpikir bahwa ada dua jenis rahasia: jenis yang ingin kausimpan, dan jenis yang nggak berani kauungkapkan.
Aku bisa saja menatap Bex. Aku bisa saja memelankan
suaraku, dan di sana, di dalam lift mungil itu 30 meter di bawah tanah, aku cukup yakin tak seorang pun bisa menguping.
Tapi Mom dan Mr. Solomon adalah dua mata-mata terbaik
yang kukenal, dan mereka nggak memberitahu Macey. Mereka
nggak memberitahuku. Saat pintu liftnya membuka, aku mendengar suara cewekcewek yang menuruni tangga di atas kami. Aroma makan siang
melayang dari Aula Besar. Kadang banyak hal menyebar di
dalam mansion kami secepat api. Dan saat itulah aku tahu aku
memiliki jenis rahasia kedua.
Aku nggak berani mengungkapkan rahasia itu.
Sebaliknya aku membawanya ke Aula Besar dan duduk di
meja kelas sebelas untuk makan siang, hampir nggak mendongak sampai kudengar Eva Alvarez mengumumkan, "Suratsurat datang."
Eva menjatuhkan satu kartu pos di meja di hadapanku, dan
aku langsung mengenali sepatu rubi dari National Museum of
American History dan The Wizard of Oz dan, yang terpenting,
dari tempat Zach dan aku pertama kali bertemu sebagai diri
kami yang sesungguhnya. Ini bukan halusinasi, kataku pada diri sendiri. Ini sungguhan, pikirku saat aku membalik kartu pos itu dan mengamati
tulisan tangan yang, musim semi lalu, kulihat meluntur di tengah hujan.
Dan aku membaca kata-kata "Hati-hati."
Aku menghabiskan sisa minggu itu dengan mencoba bicara
kepada Aunt Abby sendirian, tapi masalahnya adalah, sejak
saat itu, bibiku nggak pernah sendirian.
"Mmm, Aunt Abby, bisa nggak kita" bicara?" tanyaku hari
Senin malam setelah makan malam, tapi Abby cuma ter89
senyum dan mulai berjalan ke pintu. Sayangnya, setengah
murid kelas sepuluh ikut berjalan bersamanya.
"Tentu, squirt. Aku baru mau mengajari anak-anak ini gerakan keren menggunakan slang penyiram tanaman. Mau ikut?"
Waktu aku melihatnya di selasar hari Selasa sore, aku bertanya, "Hei, Aunt Abby, apa kau mungkin punya waktu untuk" ngobrol" malam ini?"
"Ooh, sori, Camster," katanya padaku sambil mengantar
Macey ke kelas P&P. "Fibs sudah memintaku membantunya
membuat krim pembuat-koma superkuat yang kupelajari cara
pembuatannya di Amazon. Itu bisa makan waktu sepanjang
malam." Ke mana pun aku menoleh, kudengar pertanyaanpertanyaan seperti, "Hei, Cammie, apakah Abby pernah
menunjukkan padamu hal yang dilakukannya di Portugal
dengan jepit rambut?"
Atau, "Well, kudengar lima agen senior lain memohon agar
ditugaskan mengurus pengamanan Macey, tapi wakil direktur
CIA sendiri yang menelepon dan meminta Abby menerima
pekerjaan itu." Hari Sabtu, aku mulai merasa seolah satu-satunya cerita
yang nggak mau diceritakan Aunt Abby adalah cerita yang
sangat ingin kudengar. Dan hari Minggu sudah mulai hujan.
Aula tampak lebih redup daripada biasa pada awal semester
itu selagi aku berjalan menyusuri koridor-koridor kosong dalam
perjalanan ke kantor Mom. Waktu aku melewati tempat duduk
jendela di lantai dua, aku nggak bisa menahan diri untuk
nggak menarik tirai beledu merahnya dan mengintip dari kaca
yang bergelombang. Awan-awan kelabu tebal tergantung rendah di langit, tapi
pohon-pohon di hutan tampak lebat dan hijau. Dindingdinding kami masih tinggi dan kuat, dan di luarnya, nggak
satu van berita pun tampak. Sesaat kupikir mungkin masa terburuk kami sudah berakhir, tapi tak lama kilasan petir membelah langit, dan aku tahu badai baru dimulai.
"Cammie!" suara Mom memanggilku dari Koridor Sejarah,
dan aku menoleh dari kaca.
Waktu berjalan ke kantor Mom, mau nggak mau aku memperhatikan bahwa ibuku tersenyum seakan memang seperti
inilah seharusnya Minggu malam pertama setelah liburan musim panas"padahal kali ini situasinya jelas berbeda. Karena
pertama-tama, terdengar musik. Musik yang keras. Musik berirama cepat. Musik yang jelas bukan jenis yang biasa kami
dengar di kelas Budaya dan Asimilasi!
Dan yang kedua, aroma makanannya enak. Tentu, aromanya
nggak seenak aroma yang melayang dari Aula Besar, tapi kelihatannya detektor asap (dan/atau materi berbahaya) belum
menyala, dan itu merupakan pertanda yang sangat bagus.
Tapi begitu aku mencapai pintu kantor Mom, aku bisa melihat bahwa yang betul-betul membuat Minggu malam ini
berbeda adalah, kali ini, Mom nggak sendirian.
"Hei, squirt. Aku datang tanpa diundang." Bibiku mengerling sambil mengambil anggur dari semangkuk buah-buahan di
sudut meja Mom. "Ibumu memasak," kata Abby, menarik tanganku dan memutarku mengikuti irama musik, "ini, harus
kulihat." "Tidak ada yang memaksamu makan apa pun," protes Mom,
tapi Abby terus menari, menarikku mendekat dan menjauh
sampai ia berbisik di telingaku, "Aku punya penawar untuk
99% penyakit yang disebabkan makanan yang diketahui manusia di dalam tasku, hanya untuk jaga-jaga."
Lalu aku nggak bisa menahan diri. Aku tertawa. Sesaat,
semuanya terlihat benar. Sesaat, semua terlihat aman. Semuanya berbeda" tapi familier. Tariannya. Musiknya. Suara-suara
dan aroma Mom yang sedang membuat goulash-nya yang terkenal (terkenal dalam artian buruk). Rasanya aku sedang melihat kilasan hidup orang lain. Lalu pikiran itu menghantamku:
itu memang hidupku. Bersama Dad.
Dulu Dad suka mendengarkan musik ini. Dulu Dad dan aku
sering berdansa di dapur kami di D.C.
Dan tiba-tiba aku nggak ingin berdansa lagi.
Mom mengamati saat aku berjalan ke radio dan mengecilkan volumenya.
"Oh, Cam," kata bibiku sambil mendesah. "Lihat dirimu.
Sudah dewasa dan mematahkan hati?" Ia mengangkat alis.
"Dan melanggar peraturan. Sejujurnya, sebagai bibi, aku tidak
tahu mana yang membuatku lebih bangga."
"Abigail," Mom memperingatkan pelan.
"Rachel," bibiku menirukan nada keibuan dalam suara
kakaknya. "Mungkin Dinas Rahasia AS tidak seharusnya mendukung
pelanggaran peraturan"terutama di sekolah ini pada tahun
ini." "Mungkin Kepala Sekolah Akademi Gallagher seharusnya
mencoba untuk ingat bahwa hidup mata-mata adalah, secara
definisi, tidak harus selalu mengikuti peraturan," bibiku balas
menguliahi. "Dan selagi kita membahas itu," kata Mom, suaranya me92
ninggi, "mungkin Dinas Rahasia AS seharusnya mempertimbangkan bahwa mungkin tidak bijaksana memberitahu
siswi-siswi kelas delapan Madame Dabney cara membuat
kloroform sendiri dari Kleenex dan potongan lemon?"
"Yeah, aku nggak percaya mereka belum tahu cara melakukannya," kata Abby, seolah standar persaudaraannya menurun
drastis. "Teknik itu dilarang pada tahun 1982!"
"Hei, kata Joe?"
"Aku tidak peduli apa yang dikatakan Joe!" sergah Mom,
dan kali ini suaranya berapi-api. "Abigail, peraturan dibuat
untuk suatu alasan. Peraturan dibuat karena saat orang-orang
tidak mematuhinya, akan ada yang terluka." Kata-kata itu seakan tergantung di udara. Mom tampak gemetar waktu menyelesaikan kalimatnya. "Atau mungkin kau sudah lupa."
Aku sudah mengenal Aunt Abby seumur hidupku, tapi aku
belum pernah melihatnya seperti saat itu. Dia tampak bimbang
antara ingin menangis atau marah sementara di luar badai bergulung dan masakan goulash Mom mengental, dan aku bertanya-tanya apakah salah seorang di antara kami bakal ingin
menari lagi. "Rachel, aku?" "Tangkap cewek itu."
Aku nggak tahu kenapa aku mengatakannya. Satu menit
aku berdiri di sana menonton mereka berdebat, dan menit berikutnya, rahasia yang sudah kubawa bersamaku sepanjang
jalan dari Sublevel Dua membebaskan diri.
Mom beringsut mendekat. Abby melangkah menjauh. Dan
di luar, hujan turun deras membasahi dinding-dinding mansion
seperti ombak. "Kau bilang apa, Cammie?" tanya Mom dengan sikap seseorang yang sudah mengetahui jawaban dari pertanyaannya.
"Aku ingat?" Aku terduduk ke sofa kulit. Mom beringsut
makin dekat, tapi di belakangnya, Abby menggeleng samar
sekali"sebuah peringatan. Hati-hati dengan permohonanmu.
"Aku ingat sesuatu" tentang Boston. Aku memasukkan Preston
ke semacam kereta untuk mencuci jendela itu, dan para
penyerang kami nggak" peduli." Mom duduk di meja pendek
di depanku, bergerak perlahan-lahan seolah takut membangunkanku dari mimpi buruk itu. "Mereka bilang tangkap cewek
itu." "Cam?" Mom memulai, tapi kilasan-kilasan memenuhi
mataku lagi"pintu abu-abu, helikopter hitam, dan akhirnya
selembar kertas putih yang melayang ke lantai.
"Agenda Preston," bisikku, tapi kali ini aku nggak menatap
Mom"aku menatap Aunt Abby. "Dia seharusnya nggak berada
di sana, kan?" Mom mulai mengatakan sesuatu, tapi Aunt Abby berjalan
melewatinya dan menjatuhkan diri ke sofa kulit di sebelahku.
"Tidak." Beberapa orang mungkin bertanya-tanya kenapa itu penting"selama berminggu-minggu terakhir kami sudah tahu
bahwa Macey dalam bahaya. Tapi saat aku duduk di sana, mendengarkan badai yang tanda-tandanya sudah lama muncul, mau
nggak mau aku merasa seakan itu membuat perbedaan yang
sangat besar. Para penculik itu bukan datang untuk menculik
putra dan putri dua keluarga paling berkuasa di negara ini"
mereka hanya datang untuk menculik salah satunya.
Dan cewek itu adalah salah satu sahabatku.
"Itu betul, kiddo," kata Mom. "Preston Winters tidak se94
harusnya berada di sana, jadi kita hanya bisa berasumsi bahwa
dia bukan target." Aku mengangguk. Mom mengelus rambutku. Tapi nggak
ada yang bisa mencegah jantungku berdebar keras waktu aku
bertanya, "Siapa mereka?"
"Lebih dari tiga ratus kelompok telah mengklaim diri mereka sebagai pelaku penyerangan itu," kata bibiku, lalu menambahkan sambil mengangkat bahu, "dan itu berarti paling tidak
299 dari mereka berbohong."
"Cincin itu," kataku, memejamkan mata dan melihat gambar yang seakan terbakar dalam ingatanku. "Aku menggambarkan cincin itu untuk kalian. Apakah kalian sudah?"
"Kami sedang memeriksanya, kiddo," kata Mom pelan. Kugigit bibirku, ingin tahu sumber dari setidaknya sebagian rasa
sakit yang kurasakan. "Kenapa Macey?" semburku, menoleh pada Mom.
"Dia putri orang yang sangat berkuasa, Cam. Mereka punya
musuh-musuh yang sangat berkuasa."
Lalu aku mengajukan pertanyaan yang lebih menakutkan
daripada apa pun yang telah kulihat di atap itu. "Apakah dia
akan baik-baik saja?"
Ibu dan bibiku bertatapan, dua veteran Operasi Rahasia
yang sudah melihat cukup banyak untuk tahu bahwa nggak
ada jawaban mudah untuk pertanyaanku. "Dinas Rahasia itu
hebat, Cam," kata Mom. "Bibimu, Abby, juga sangat hebat."
Ia menatap bibiku seakan persaingan saudara sebesar apa pun
nggak akan pernah bisa memisahkan mereka. Jadi, lama sekali
aku duduk di sana, berpikir tentang banyak saudari. Tentang
persaudaraan kami. Lalu tiba-tiba hal itu terlihat lucu. Hal itu terlihat sinting.
Kami berada di tengah-tengah Akademi Gallagher, tempat
orang-orangnya jelas sinting dan amat sangat hebat dalam hal
keamanan. Tentu saja Macey akan baik-baik saja.
"Well, paling nggak kami bersekolah di sekolah paling aman
di dunia. Dan Macey nggak bakal pergi ke mana-mana, kan?"
kataku sambil tersenyum"betul-betul nggak mengharapkan
bibiku balas tersenyum dan berkata, "Yeah" well" Cam, kau
sudah pernah ke Cleveland?"
Bab S e b e l a s hio punya dua puluh electoral vote dan sejarah perpindahan
suara yang tinggi. Negara bagian itu punya gubernur dari satu
partai dan dua senator dari partai lainnya. Pada bulan
September itu, di Ohio juga ada banyak wanita yang nggak
yakin harus memberi suara pada siapa tapi yakin tentang satu
hal: Macey McHenry adalah cewek yang sangat berani karena
berhasil bertahan melewati apa yang terjadi padanya di
Boston. Macey McHenry bisa menghasilkan banyak suara.
Dan karena itulah dia pergi ke sana. Sendirian.
Well" itu kalau "sendirian" yang kaumaksud adalah bersama
salah satu Gallagher Girl paling terhormat selama bertahuntahun (yang, menurut laporan, terlihat sedikit mirip denganku
saat rambutku dikucir ke belakang), satu karavan berisi empat
belas agen Dinas Rahasia sebagai tim keamanan pribadinya, dan
setidaknya tiga puluh anggota tim pendahulu yang melacak
setiap gerakan ayahnya. Tapi dalam pengertian yang paling
penting, Macey sendirian. Karena dia pergi tanpa kami.
Senin pagi, Macey bangun jam lima pagi dan kami semua
mengantarnya turun, tempat aroma roti kayu manis melayang
masuk dari dapur. Di luar, matahari mulai terbit di kejauhan.
Cahaya samar-samar jatuh di garis cakrawala, dan dari
jendela-jendela bisa kulihat para penjaga melakukan patroli
di hutan. Liz mengenakan piama E=Mc2-nya, dan rambut Bex terlihat
sangat nggak keruan, tapi kami tetap mengikuti Macey menyusuri mansion sampai kami melihat Aunt Abby.
Dia memakai setelan celana abu-abu gelap dengan blus putih
polos. Earphone plastik kecil sudah ditempelkan di kerahnya,
kabel-kabelnya menghilang ke dalam jas. Dia tampak seperti
perannya saat itu"dialah peran itu. Lalu kami menyerahkan
Macey padanya tanpa kata, pergantian para penjaga.
Lalu aku mandi. Lalu aku makan roti kayu manis.
Dan aku nggak mendengarkan sepatah kata pun yang dikatakan Mr. Smith tentang Roma kuno dan catacomb-nya (kuburan
rahasia), yang kalau kau tahu di mana harus mencarinya,
masih menyediakan akses yang sangat hebat ke kota itu.
Sepanjang hari, kelihatannya orang-orang terus mengatakan
isi pikiranku dengan sangat tepat.
"Well, kurasa dia mungkin sudah sampai sekarang," kata
Tina setelah sarapan. "Macey bakal bisa melihat banyak sekali taktik perlindungan keren," kata Eva dalam perjalanan kami ke kelas NND.
"Dia bersama Abby," kata Liz saat kami menuruni Tangga
Utama. "Dan Abby hebat," Bex mengingatkanku tepat ketika kami
berpisah jalan dengan Liz dan menuju lift ke Sublevel Dua.
Dari sudut pandang yang sepenuhnya intelektual, aku tahu
Macey terlindungi dengan sangat baik, tapi setahun terakhir
ini Mr. Solomon sudah mengajari kami bahwa menjadi matamata bukan hanya melibatkan kepintaran"tapi juga naluri.
Dan saat itu naluriku memberitahu bahwa ini akan jadi hari
yang sangat panjang. Dan itu sebelum Mr. Solomon menemui kami di pintu
masuk Sublevel Dua dengan setumpuk kaus Winters-McHenry
dan berkata, "Ayo kita pergi."
Sudah dua kali aku berada dalam helikopter bersama Mr.
Solomon. Pertama kalinya, mataku ditutup. Kedua kalinya, aku
baru saja mengetahui bahwa ada sekolah mata-mata top secret
lain" untuk cowok! Tapi hari itu, cowok dan penutup mata
tampak lebih mudah dibandingkan kali ini.
"Ancaman keamanan datang dalam berapa bentuk, Ms.
Alvarez?" tanya Mr. Solomon.
"Lima," kata Eva, walaupun secara teknis kami belum mempelajari bab itu.
"Dan siapa yang bisa memberitahuku apa saja itu?" guru kami
meneruskan. "Jarak jauh, jarak dekat, bunuh diri, statis?" Bex menyebutkan, bukan untuk pamer, tapi lebih karena ia harus mengucapkannya"seakan kata-kata itu sudah tersimpan di benaknya
untuk waktu yang terlalu lama dan harus segera dilepaskan.
"Itu empat," kata Mr. Solomon pada kami.
Baling-baling helikopter berputar; tanah di bawah kami
melesat lewat"pepohonan dan bukit-bukit, sungai-sungai dan


Jangan Menilai Cewek Dari Penyamarannya Dont Judge A Girl By Her Cover Gallagher Girls 3 Karya Ally Carter di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jalan tol, kota-kota penuh sekolah normal dan anak-anak
normal dan orang-orang yang nggak akan pernah tahu jawaban
dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan guru kami.
"Internal," kataku begitu pelan sampai aku bertanya-tanya
sesaat apakah ada yang mendengar jawabanku, terutama dengan baling-baling yang berputar dan angin yang menderu
keras. Tapi kami Gallagher Girl. Kami mendengar segalanya.
"Betul," kata Mr. Solomon pada kami. "Dan itu yang terpenting."
Aku berkata pada diri sendiri bahwa Mr. Solomon bukan
sedang membicarakan Macey"bahwa dia tidak bermaksud mengatakan kejadian Boston diatur orang dalam, orang dekat.
Bahwa dia hanya bicara secara umum, mengingatkan kami
semua mengenai satu hal yang kami tahu dengan sangat baik,
bahwa pengkhianat adalah orang paling berbahaya.
"Kalian akan melihat banyak hal hari ini, nona-nona.
Agen-agen berpengalaman yang bekerja di lapangan dengan
satu tujuan utama. Hari ini bukan tentang intel, dan bukan
tentang operasi. Hari ini kalian akan belajar tentang perlindungan, murni dan sederhana."
Dalam pikiranku aku sudah membayangkan skenarioskenario yang hanya bisa diciptakan seseorang seperti Joe
Solomon. Aku membayangkan ujian-ujian yang mungkin menunggu kami di darat.
Bex pasti memikirkan hal yang sama, karena ia bertanya,
"Apa misi kami?"
"Ini misi sulit," Mr. Solomon memperingatkan, lalu tersenyum. "Hanya mengamati. Hanya mendengarkan. Hanya
mempelajari." 100 *** Gallagher Girl diminta melakukan hal-hal sulit. Sepanjang
waktu. Tapi sampai hari itu aku nggak pernah betul-betul tahu
bahwa misi tersulit dari semuanya adalah tidak melakukan apaapa.
Bagaimanapun, membawa sekelompok remaja calon matamata yang terlatih dengan baik dan mendaratkan mereka di
kerumunan berisi ribuan orang lalu memberitahu mereka untuk
mencari ancaman keamanan potensial sudah cukup sulit.
Tetapi membawa cewek-cewek yang sama, memperlengkapi
mereka dengan unit komunikasi yang diatur ke frekuensi sama
dengan Dinas Rahasia (bukannya Dinas Rahasia mengetahui
hal ini), dan memberitahu mereka untuk hanya duduk dan
menikmati pertunjukan jelas sangat sulit.
Aku bahkan nggak suka membiarkan orang lain menuangkan sirup ke wafelku (aku punya sistem sendiri), jadi membiarkan orang lain bertanggung jawab atas keamanan Macey"
well" kita katakan saja itu sedikit di luar zona nyamanku.
Dan jika itu belum cukup buruk, jins yang dibawakan seseorang untuk kupakai sedikit sempit. Dan aku memang nggak
tahu keadaan yang lain, tapi Bex Baxter adalah satu-satunya
cewek yang kukenal yang bisa masuk dan keluar helikopter
tanpa membuat rambutnya betul-betul berantakan.
Di atas semuanya, aku ingin berpura-pura bahwa aku masih
percaya aku tinggal di dunia tempat rambut dan jins betulbetul penting. Tapi aku nggak memercayai hal itu. Jadi aku
hanya memikirkan misiku dan menatap kerumunan orang.
Lalu aku menghilang. 101 HAL-HAL TERPENTING UNTUK MENJADI BUNGLON
Oleh Cameron Ann Morgan 1. Sangatlah penting, setiap saat, untuk membuat dirimu
tampak cocok berada di sana.
2. Kalau #1 sulit dilakukan, cobalah menunjuk ke
orang-orang khayalan dan berjalan dengan sepenuh
hati ke arah seseorang yang sebenarnya tak ada itu.
3. Diam tak bergerak. Tidak bergerak adalah kunci
(kecuali waktu kau melakukan #2) karena manusia
lebih mudah melihat gerakan daripada hal-hal lain.
Jadi kalau kau ragu, mematunglah.
4. Akan sangat membantu jika penampilanmu sama
sekali nggak spesial (entah dalam artian yang betulbetul bagus atau betul-betul jelek).
5. Kenali lingkungan sekitarmu secepatnya.
6. Berpakaianlah dengan cara yang nggak mencolok, nggak
mengikuti mode, jelek, atau tidak nggak pantas.
7. Bersembunyi itu hanya untuk amatir.
"Ini" wow," kata Bex, sepuluh menit setelah kami sampai di
taman" atau apa yang kurasa seharusnya adalah taman.
Jalan berumput yang panjangnya terbentang paling tidak
sepanjang dua blok. Bangunan-bangunan bersejarah yang indah
berjajar di sana, tapi di ujung terjauh seseorang mendirikan
panggung. Bangku-bangku membentuk lingkaran di belakangnya, menghadap rumput. Dari tempat Bex dan aku berdiri,
kelihatannya setengah penduduk Ohio keluar untuk melihat
kembalinya Macey dengan penuh kemenangan.
102 Dari pengeras suara kudengar politisi lokal mencoba membuat pengunjung di bangku-bangku itu meneriakkan "Winters"
sementara orang-orang di rumput di depan panggung diminta
menyerukan "McHenry."
"Apakah sejak dulu politik Amerika" segila ini?" bisik
sahabatku. Aku ingin memberitahunya bahwa ini bukan apa-apa dibandingkan kegilaan konvensi (karena, sebagai contoh, di sini aku
nggak melihat seorang pun memakai topi berbentuk sayur atau
mungkin" belum), tapi entah bagaimana menyinggung Boston
sepertinya bukan ide bagus, jadi aku cuma mengangguk dan
mencoba menyelinap melewati kerumunan.
Spanduk raksasa (yang aku cukup yakin juga antipeluru)
mengelilingi panggung, dengan tulisan MENEPATI JANJI.
Aku menoleh dan mengamati barisan panjang barikade yang
menjalar melewati bagian tengah kerumunan. Bus tur besar
berbelok ke jalan dan berhenti di ujung gang yang memotong
di tengah penonton. Pintu-pintunya membuka, dan di suatu
tempat di kejauhan, Tri-County High School Marching Band
mulai bermain saat Gubernur Winters dan Senator McHenry
melangkah keluar lalu menyusuri jalur panjang yang dipenuhi
tangan untuk disalami dan bayi untuk dicium"dua ribu orang
berseru-seru, dan salah satunya bisa saja orang yang memberiku
memar di kepala. Di telingaku kudengar aliran stabil suara-suara tidak familier.
"Sir, bisakah Anda mengeluarkan tangan Anda dari saku?"
seorang agen Dinas Rahasia bertubuh tinggi bertanya pada
laki-laki di belakangku. "Tim Delta, aku tidak menyukai penampilan laki-laki di
tangga perpustakaan. Kuulangi, tangga perpustakaan."
103 Dalam sekejap, kurasakan seluruh murid kelas sebelas
Operasi Rahasia dari Akademi Gallagher untuk Wanita Muda
Berbakat berbalik untuk melihat cowok berjas panjang mendekati pria yang memakai kemeja kotak-kotak dan menutupi
pandangannya ke arah para kandidat, yang sedang lewat di
jalan di bawah mereka. Sekelompok wanita melambaikan poster yang berbunyi
TUHAN MEMBERKATIMU, MACEY DAN PRESTON, dan
seakan diberi petunjuk khusus, Preston berlari ke arah para wanita itu lalu memeluk mereka sementara, enam meter jauhnya,
CNN menyiarkan seluruh adegan tersebut secara langsung.
Tapi Macey nggak berlari ke mana pun. Atau memeluk siapa pun (dan itu memang betul-betul sesuai karakternya"ada
usaha penculikan atau tidak). Dia hanya menggandeng tangan
ayahnya. Dia melambai. Dia tersenyum.
"Kita harus sempurna, setiap detik dan setiap hari, nonanona." Aku sudah mendengar Joe Solomon mengucapkan
kalimat-kalimat penyemangat dalam dua tahun terakhir, tapi
kurasa aku belum pernah mendengarnya terdengar lebih serius
daripada waktu ia berkata, "Orang-orang jahat itu hanya perlu
beruntung" satu kali."
Lalu aku nggak bisa menahan diri. Aku berpikir tentang
Boston. Aku berpikir tentang keberuntungan. Aku berpikir
tentang seberapa nyaris liburan musim panas kami berakhir
dengan sangat buruk. "Aku tidak tahu apakah salah satu dari kalian akan bekerja
di jasa perlindungan suatu hari nanti, nona-nona, tapi kalau
kalian melakukannya?" Suara Mr. Solomon terdengar pelan
di telingaku, stabil mengatasi suara-suara berupa perintah dari
Dinas Rahasia. "Inilah mimpi terburuk kalian."
104 Saat itu, aku cukup yakin Bex ingin menyeret teman sekamar kami masuk ke kendaraan antipeluru terdekat dan mengemudi kembali ke Roseville secepat yang bisa dilakukan
manusia. Tapi itu nggak bakal terjadi karena 1) Dinas Rahasia
mungkin bakal menembak kami kalau kami mencobanya, 2)
koresponden CNN mungkin akan mengajukan beberapa pertanyaan menarik kalau Bex menjatuhkan bodyguard Senator
McHenry dengan dua tendangan yang diarahkan dengan sangat
baik, dan 3) bagus tidaknya nilai tengah semester kami mungkin bergantung pada apakah kami tidak melakukan hal itu,
dan seakan kami perlu diingatkan, suara guru kami terdengar
konstan di telinga. "Dengan kecepatan dan arah angin saat ini, ancaman terbesar
serangan penembak jitu adalah di arah mana, Ms. Morrison?"
Bex dan aku saling menatap dan berkata tanpa suara, "Menara gereja," persis waktu Mick mengucapkan kata-kata itu.
"Empat anggota Dinas Rahasia menyusup ke barisan pemrotes di seberang jalan, Ms. Fetterman," Mr. Solomon bertanya
lagi. "Identifikasi agen-agen itu."
"Uh?" Anna memulai sementara, di jalanan di depan kami,
Aunt Abby dan Macey berjalan lewat. "Ransel merah," jawab
Anna. "Wanita yang memakai bandana biru. Laki-laki yang memakai kaus kuning, dan?" Kalimatnya terhenti.
"Ada yang tahu?" tanya Mr. Solomon.
"Laki-laki berjanggut merah panjang," kudengar diriku berkata. Aku bahkan nggak yakin kapan aku melihatnya, tapi
begitu kuucapkan, aku tahu kata-kataku benar.
"Kenapa?" tanya Mr. Solomon.
"Suara statisnya," kataku. "Dua setengah menit lalu ada
suara statis di frekuensi Dinas Rahasia. Dia mengernyit."
105 Di suatu tempat dalam kerumunan penuh tubuh manusia,
aku berani bersumpah aku merasakan Joe Solomon tersenyum.
Dulu aku sering bertanya-tanya apakah para agen Dinas Rahasia
bosan mendengarkan pidato yang sama dari orang yang sama
selusin kali sehari, setiap hari sampai seseorang harus menyampaikan pidato yang menyatakan kemenangan atau kekalahan
mereka. Tapi setelah hari itu aku mulai bertanya-tanya apakah
tim keamanan bahkan mendengarkan pidato-pidato itu.
"Tim Beta, para pemrotes tetap tinggal di Level Dua. Kuulangi, para pemrotes tetap tinggal di Level Dua," kata salah
satu suara tak bernama itu.
"Tim Charlie, ada gerakan tidak biasa di jendela di bangunan City National Bank," kata suara lain, dan dalam sekejap,
semua tirai di lantai empat bangunan di seberang jalan ditarik
menutup. Lalu" suara yang kukenal. "Merak siap naik panggung dan
sedang bergerak." "Aunt Abby," bisikku pada Bex.
"Merak?" Bex balas berbisik.
Di panggung, sang senator sedang melambaikan tangannya
dan berkata, "Keluarga. Aku tidak perlu memberitahu negara
bagian Buckeye seberapa besar arti keluarga bagiku."
Para penonton bersorak riuh beberapa menit, tapi waktu
Macey menggantikan ayahnya di mikrofon, keheningan penuh
melingkupi para pemberi suara Ohio sampai aku berani bersumpah seseorang atau sesuatu mungkin mengecilkan volume
seluruh suara. "Senang sekali bisa berada di sini hari ini." Macey menatap
106 kerumunan. Sesaat ia tampak tersesat"bingung. Tapi lalu aku
berani bersumpah pandangannya terarah pada Bex dan aku.
Sinar baru tampak memenuhi matanya saat ia menatap kami
dan menambahkan, "Bersama keluargaku." Pada titik ini
Senator McHenry merangkul istrinya, dan mau nggak mau aku
berpikir tentang petunjuk Wanita Clipboard mengenai "pelukan
spontan." "Dan ada sesuatu yang ingin kukatakan," Macey meneruskan, lebih keras sekarang. "Tidak ada yang tidak bisa kita lakukan kalau kita tetap bersama-sama. Tidak ada yang tidak bisa
kita atasi kalau kita mencoba. Aku belajar ini dari orang-orang
yang menyayangiku. Orang-orang yang mengenal" aku yang
sebenarnya." Kali ini aku tahu Macey menatap tepat pada
kami. Di sebelahku, kudengar Bex berbisik, "Itu baru sahabat
kita." "Ms. Baxter." Suara Mr. Solomon membawa kami kembali
ke saat itu, kepada misi. "Laki-laki sembilan meter di belakangmu, memakai jaket denim. Ambil sidik jarinya tanpa sepengetahuannya." Sambil mengerling, Bex menghilang.
Ada lebih banyak pidato, lebih banyak sorakan, tapi akhirnya Macey berjalan menuruni tangga di sisi kiri panggung dan
melewati ruang kosong di bangku-bangku yang mengarah ke
daerah aman di balik barisan stand. Begitu dia menghilang,
kudengar suara bibiku berkata, "Merak sudah aman dan berada
di tenda kuning," dan aku menarik napas dalam-dalam untuk
pertama kalinya sejak Minggu malam.
Kerumunan orang menatap panggung saat Gubernur
Winters berkata, "Lawan-lawan kami sudah punya empat tahun
untuk mengucapkan janji-janji mereka, tapi sekarang waktunya
107 untuk menepati janji!" Orang-orang bertepuk tangan. Orangorang tertawa. Gubernur Winters seakan jadi ahli boneka dan
dua ribu orang langsung melompat setiap kali dia menarik talitali boneka itu.
Tapi aku nggak bertepuk tangan. Aku nggak tertawa. Aku
hanya terus mendengarkan suara Mr. Solomon"bukan di telingaku"di kepalaku. Aku ingat sesuatu yang dikatakannya di
helikopter. "Perlindungan adalah sepuluh persen protokol dan
sembilan puluh persen naluri."
Dan tepat saat itu naluri menyuruhku berbalik. Mungkin
karena cara bangunan-bangunan berjajar di lapangan berumput,
mungkin karena kerumunan orang yang berjalan melewatiku,
tapi sesuatu membuatku berpikir tentang semester lalu dan
Washington, D.C. Jadi saat Senator McHenry dan Gubernur
Winters berdiri dengan tangan bergenggaman di atas kepala
mereka, dan band mulai bermain, aku berbalik dan mengamati
penonton bertepuk tangan dan menari. Para kandidat berjalan
ke arah pembatas, dan penonton bergerak mendekat, tapi satu
cowok menyelinap pergi. Menjauh dari spanduk antipeluru.
Menjauh dari segalanya. Kecuali dari bangku-bangku dan tenda kuning yang berdiri
di belakang. Spanduk lain tergantung dari sisi bangku-bangku, mengiklankan www.winters-mchenry.com, dan aku mengamatinya tertiup
angin, satu sudut melayang lepas, menampar-nampar tiang aluminium, tapi nggak seorang pun mendengar suaranya. Nggak
seorang pun melihat ruang kosong itu. Warga sipil jelas takkan
menghargai akses kecil itu, juga apa artinya. Tapi cowok bertopi itu berjalan ke arah spanduk. Dia menyelinap lewat
108 lubang mungil itu, dan saat itulah aku tahu dia seniman jalanan.
Aku tahu dia seperti aku.
"Tidak," kurasakan diriku berteriak; tapi dengan suara band,
kerumunan orang, dan pembicaraan para agen yang mengamankan garis-garis tali, kata itu menghilang. Dan cowok itu
sudah menghilang. Aku mengikuti jejak cowok itu, menyelinap melewati lubang yang sama, tapi satu-satunya yang bisa kulihat adalah
sampah, kabel-kabel, dan tiang-tiang berbagai stand yang ruwet.
Untuk hari yang secerah ini, suasana di bawah bangku-bangku itu sangat gelap; dengan penonton yang begitu riuh, suarasuara kedengaran sangat jauh. Angin hangat meniupkan confetti
merah, putih, dan biru ke kakiku, sementara band bermain dan
orang-orang bersorak. Dan kurasakan seseorang ada di belakangku.
Dan untuk kedua kalinya bulan itu, tangan asing mencengkeram bahuku.
Aku melupakan semua hal tentang tugas Mr. Solomon saat
meraih ke belakang untuk menyambar tangan yang menyerang
itu, memulai gerakan, dan mengayunkan cowok itu dengan
mulus ke udara, mengamatinya jatuh ke salah satu balon
merah dengan suara buk. Tapi tiba-tiba akulah yang kehabisan napas ketika menunduk menatap cowok yang tergeletak di bawahku, dan aku
mendengar satu-satunya hal yang betul-betul nggak siap kudengar.
"Halo, Gallagher Girl."
109 Bab Du a B e l a s

Jangan Menilai Cewek Dari Penyamarannya Dont Judge A Girl By Her Cover Gallagher Girls 3 Karya Ally Carter di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ach ada di sini. Zach mendongak menatapku di antara
bayang-bayang bangku, terbaring telentang, bahunya terjepit
di bawah lututku. Kali ini dia benar-benar ada. Bukan gen mata-mata dan
hormon remaja yang membuatku melihat hal yang nggak
nyata. Aku nggak berhalusinasi atau berkhayal atau korban
dari semacam pengalih perhatian antipengintaian berbasis hologram yang aneh.
Aku hanya sedang menatap"
Zach. "Hei, Gallagher Girl," katanya setelah" aku nggak tahu"
sejam atau apa, "kau mau membiarkanku berdiri sekarang?"
Tapi aku betul-betul nggak mau membiarkannya berdiri
karena A) posisiku sekarang jelas superior, dan dengan cowok
mana pun"apalagi Blackthorne Boy"posisi superior harus
kaupertahankan kalau punya kesempatan, B) kalau aku nggak
110 membiarkannya berdiri, kemungkinan dia membalas dengan
melemparkanku ke udara seperti boneka kain jelas lebih kecil
(dan menurutku nggak mustahil dia melakukan itu), dan C)
aku lumayan suka saat aku mengetahui di mana posisiku
dengan Zach. Sesekali. Jadi bukannya minggir dan menariknya berdiri seperti
cewek yang baik, aku cuma mencondongkan diri di atasnya"
khas Gallagher Girl yang baik"dan berkata, "Sedang apa kau
di sini?" Tapi Zach nggak langsung menjawab. Sebaliknya, dia
melakukan kebiasaan Zach yang selalu dilakukannya itu. Dia
memberiku tatapan yang sangat tajam"sangat intens"sampaisampai rasanya dia mencoba mengirimkan jawabannya padaku
lewat benang paranormal kosmik atau semacamnya.
Lalu Zach menyeringai dan berkata, "Aku sangat tertarik
pada politik Ohio." Aku beringsut mundur, kakiku tersandung sewaktu berkata,
"Kau kan nggak bisa memberi suara."
"Yeah, tapi aku bisa berkampanye." Zach menunjuk bros
WINTERS-MCHENRY di jaketnya seakan membuktikan
maksudnya. Lalu hal itu menghantamku"perasaan panik yang
mungkin sudah dimunculkan dalam diri Gallagher Girls oleh
cowok imut dan usaha penculikan selama ratusan tahun.
Aku berpikir tentang bertemu dengannya sekitar miliaran
kali. Aku sudah membayangkan apa yang akan kukenakan dan
hal keren apa yang bakal kukatakan, tapi aku bisa meyakinkanmu bahwa dalam fantasi-fantasi itu nggak sekali pun aku
mengenakan jins paling nggak nyaman dan T-shirt kebesaran.
Aku berpikir tentang jenis cewek macam apa yang bakal kutampilkan"tertarik tapi cuek, cantik tapi tampak geli. Namun
111 aku sama sekali nggak tampil seperti semua yang kubayangkan
waktu aku menunduk menatapnya dan berkata, "Kau jauh
sekali dari Blackthorne."
"Yeah." Ia tersenyum. "Well, kudengar Macey McHenry
akan tampil di depan publik untuk pertama kalinya
pascakonvensi di sini hari ini" ia berdiri dan membersihkan
beberapa confetti yang menempel di rambutku, "dan di mana
ada satu Gallagher Girl, biasanya ada yang lain."
Senyum Zach melebar, dan saat itu aku betul-betul mengira
bakal berteriak (tapi untuk alasan yang betul-betul berbeda.)
"Dalam hal itu kami memang mirip asap dan api," aku
tergagap, mencoba sebaik mungkin untuk bersikap lebih tenang
daripada yang kurasakan. Zach menampilkan senyuman lambatnya yang penuh arti.
"Sesuatu seperti itu."
Lalu jenis kepanikan yang betul-betul baru menghantamku"
ZACH ADA DI SINI! Karena dia tahu Macey bakal ada di
sini" Dan karena dia pikir aku mungkin ada bersama Macey"
(Catatan untuk diri sendiri: Ubah penerjemah bahasacowok-ke-bahasa-Inggris buatan Liz untuk mempertimbangkan
banyak interpretasi sekaligus!)
Nggak mungkin itu alasannya"ya, kan" Apakah mungkin
Zachary Goode kabur dari sekolah mata-mata top secret-nya
karena ini adalah kesempatan pertamanya untuk bertemu
denganku di luar sekolah mata-mata top secret-ku"
Oh. Astaga. Bisa nggak aku kembali berkelahi dengan para penyerang
di atas atap sekarang" Karena paling tidak, dengan para
penyerang di atap itu aku tahu benar di mana posisiku! Tapi
112 cowok"terutama cowok di hadapanku ini"tampaknya selalu
penuh misteri. Kudengar penonton meledak dalam tepuk tangan lagi saat
Gubernur Winters melanjutkan pidatonya, tapi rasanya semua
itu terjadi di sisi lain bumi.
"Kukira kau sudah bersumpah untuk menjauhi jalan-jalan
rahasia dan lubang cuci, tapi kurasa?" Zach memulai tapi
nggak menyelesaikan kalimatnya. Sebaliknya ia mengulurkan
tangan dan meraba memar yang nyaris menghilang dari garis
rambutku, dan aku merasakan sesuatu yang sama sekali nggak
ada hubungannya dengan trauma pukulan akibat benda
tumpul. Lalu sesuatu terpikir olehku. "Bagaimana kau bisa tahu soal
lubang cuci itu?" Zach menarik napas dalam lalu tersenyum dan menunjuk
diri sendiri seperti yang dulu sering dilakukannya dan berkata,
"Mata-mata." Aku mendengar suara di earphone-ku berkata, "Bunglon, aku
tahu kau memang sedang bersikap seperti bunglon, tapi kalau
kau bisa melambai atau semacamnya, atau memberitahuku di
mana kau berada, itu bagus sekali."
"Bangku-bangku," jawabku.
"Bex?" tebak Zach.
"Yeah," jawabku.
"Jadi kau punya backup?" Itu pertanyaan yang sangat aneh
pada hari yang mulai menjadi sangat aneh, jadi selama sedetik
aku cuma berdiri di sana, bertanya-tanya apakah Zach sedang
bertanya dalam perannya sebagai cowok atau dalam perannya
sebagai mata-mata. "Cewek-cewek itu di sini" Solomon
juga?" 113 "Tentu saja." Tapi lalu salah satu dari ratusan suara di telingaku berkata
"Tim Alpha, ada gerakan di bawah bangku-bangku," dan dalam
sekejap aku bergerak. "Zach, ada seseorang di bawah?"
Aku terdiam. Kusadari kamilah orang-orang di bawah
bangku yang dimaksud. "Kau!" salah satu agen berseru. Tapi sewaktu aku berbalik
untuk menghadapnya, tangan kanannya, yang sudah bergerak
ke arah tempat senjatanya disimpan, berubah rileks. Si agen
nyaris tersenyum. Dan mungkin untuk pertama kalinya kusadari betapa bergunanya menjadi cewek enam belas tahun.
"Nona," si agen itu, "area ini terlarang. Saya harus meminta
Anda kembali ke balik pembatas."
"Oh astaga," kataku, terdengar sedikit lebih polos daripada
yang mungkin diindikasikan IQ-ku. "Saya betul-betul harus
pergi ke kamar mandi, jadi kami?"
"Kami?" si agen bertanya, berubah waspada lagi. Ia
memandang sekeliling area itu. Pria-pria yang memakai
setelan-setelan gelap muncul entah dari mana. Earphone-nya
penuh dengan pembicaraan dan perintah-perintah.
"Saya sedang?" aku memulai, kata-kata lebih sulit muncul
sekarang. Dan tetap saja aku terus menoleh dan mencaricari.
Tapi Zach sudah menghilang.
114 Bab T i g a B e l a s "Y eah, tadi kami sedang mencari kamar mandi." Sebuah
suara muncul melewati barikade para agen bersetelan gelap
yang mengelilingiku. Walaupun agen-agen Dinas Rahasia terkenal pintar dan terlatih, semuanya tampak takut begitu
melihat Macey McHenry. Aku mengamati teman sekamarku menoleh pada agen-agen
itu dan mengeluarkan sisi Gallagher Girl (jenis yang sombong)
dalam dirinya. "Kalian punya masalah dengan itu?"
Dan begitulah ceritanya bagaimana bunglon diselamatkan
oleh merak. "Terima kasih, teman-teman," kata Aunt Abby, muncul di
sisi Macey. "Kurasa kami bisa menanganinya dari sini."
Saat setelan-setelan gelap menyebar, bibiku menarik lenganku dan membimbingku keluar dari bawah bangku-bangku menuju sinar matahari di area panggung utama sambil berdendang
pelan, "Aku akan memberitahu ibumu."
115 "Maafkan aku, Aunt Abby," kataku padanya. "Aku cuma?"
aku memikirkan Zach" Zach yang misterius" Zach yang
tiba-tiba menghilang, "kupikir aku melihat sesuatu," kataku.
Sesuatu"bukan seseorang.
Tapi bibiku menggeleng. "Aku bahkan tidak mau tahu bagaimana kau sampai di belakang sini." Ia terdiam. "Tunggu,
kau sebaiknya memberitahuku bagaimana kau bisa sampai di
belakang sini." Setelah kujelaskan, Aunt Abby berjalan enam meter ke tempat petugas keamanan berdiri di sekitar sebaris Suburban
gelap. "Kendaraan ekstraksi darurat," kataku, menoleh pada Macey
yang terlalu sibuk menatap kakiku hingga tidak terkagum-kagum
pada berbagai hal menyangkut pengintaian superkeren mana
pun yang terjadi di sekitar kami.
"Aku akan memberimu lima ratus dolar kalau kau bertukar
sepatu denganku," kata Macey. Aku menunduk melihat sepatu
pump yang pasti dipaksakan ibunya, dan aku betul-betul tahu
Macey nggak bercanda. Tapi kau nggak bisa memberi harga
pada kenyamanan (seperti yang diketahui semua seniman
jalanan), jadi aku pura-pura nggak mendengarnya, dan itu
tidak terlalu sulit mengingat hal-hal lain di pikiranku!
Zach datang ke rally politik ini! Untuk menemuiku"
"Macey, kau nggak bakal percaya siapa yang baru ku?"
"Hei," sebuah suara memotongku. "Aku kenal kau!"
Aku mengenali suaranya, tapi lebih dari itu aku mengenali
ekspresi di wajah Macey saat Preston muncul.
"Bukannya ada bayi-bayi yang harus kaucium?" kata Macey
sambil mendesah. 116 "Cammie, kan?" tanya Preston. "Macey nggak bilang kau
bakal datang." "Yeah. Ini kesempatan hebat, untuk melihat proses politik
dari dekat dan?" "Serius nih," sergah Macey. "Pergilah. Cium. Bayi."
"Kau percaya sikapnya, tidak?" tanya Preston, lalu memiringkan kepala ke arah Macey. "Setiap kali melihatku, yang dia
lakukan hanyalah memanggilku baby dan bicara soal berciuman."
Macey tampak seakan ingin membunuh Preston. Tapi aku
malah ingin tertawa. Mungkin itu karena aku sedang memikirkan cowok. Mungkin itu karena rasa lega saat mengetahui, untuk saat ini, Macey
baik-baik saja. Tapi saat itu Preston terlihat agak"
Keren" Nggak. Nggak mungkin, kataku pada diri sendiri. Lalu aku
menatap Macey, yang benci memakai sepatu nggak nyaman
dan berada di bawah kekuasaan orangtuanya, dan aku berpikir
mungkin Preston Winters satu-satunya orang yang membenci
semua hal itu sebesar Macey. Dan seperti yang diketahui setiap
mata-mata, persekutuan selalu dimulai dari adanya musuh
bersama. "Jadi hei," kata Preston pelan.
Paduan suara gereja bernyanyi di kejauhan. Dinas Rahasia
bersiap-siap untuk perjalanan panjang kembali ke bus. Tapi
Preston tampaknya nggak memperhatikan; ia tampak nggak
peduli. Ia kelihatan betul-betul kebal terhadap ratusan pasang
mata yang menatap dan telinga-telinga yang mendengarkan
sewaktu mencondongkan diri mendekat dan berkata, "Aku
betul-betul senang bertemu denganmu."
117 Oh astaga, pikirku. Apakah mungkin dua cowok menggodaku hanya dalam jeda waktu sepuluh menit"
Tapi itu bukan godaan. Ini lebih buruk. Betul-betul, sangat, sungguh-sungguh lebih buruk, karena
waktu band gereja berhenti bernyanyi dan beberapa pesawat
militer terbang di atas kami, Preston menatapku seakan dia
betul-betul melihatku dan berkata, "Aku ingin berterima kasih"
untuk Boston." Sisi cewek dalam diriku mulai mengembuskan napas persis
waktu sisi mata-mata dalam diriku mengamati perubahan
dalam pola bernapas dan pembesaran bola mata Preston. Aku
betul-betul mulai panik waktu ia berkata, "kau betul-betul"
hebat." "Oh, itu bukan apa-apa!" semburku.
"Cammie selalu melakukan hal-hal seperti itu," kata Macey,
mendengar kegelisahanku. "Dia betul-betul Pramuka sejati."
"Well, apa pun dia," kata Preston, menoleh pada Macey,
"kelihatannya kau juga salah satunya."
Saat Macey melirikku, aku tahu kami sama-sama nggak
ingin membayangkan apa yang mungkin terjadi kalau putra
calom presiden berpikir terlalu keras atau terlalu lama tentang
apa yang dilihatnya di atap itu.
"Aku sangat ketakutan," kata Preston. "Tapi kalian berdua,
kalian" rasional."
"Jadi, Macey," kataku keras-keras, "Aku betul-betul menikmati pidatomu."
"Maksudku?" Preston meneruskan seolah aku bahkan
nggak berdiri di sana" seakan ia nggak berdiri di sana. Ia hanya menatap kosong seakan film dari kejadian Boston sedang
118 dimainkan dalam benaknya ?"waktu itu ada, berapa, ya" Sepuluh orang yang mengejar kita?"
"Dua laki-laki. Satu wanita," Macey dan aku mengoreksinya
pada saat bersamaan. "Padahal kalian?" Preston menatap kami seakan itulah
pertama kalinya ia bertemu kami. "Kalian cewek!" semburnya
seakan fakta itu sudah terlewatkan olehnya sampai saat itu.
"Terima kasih sudah memperhatikan," kata Macey, menyambar lenganku dan menarikku pergi.
Preston mengikuti. "Tapi kalian mempertahankan diri menghadapi sekitar selusin?"
"Tiga!" Macey dan aku mengoreksinya lagi.
"Orang." Preston berhenti di depan kami, menghalangi
jalan kami. Kecuali kami ingin membuatnya terkesan dengan
kemampuan fisik kami yang nggak biasa sekali lagi, kami mungkin harus menunggunya menyingkir sendiri.
Tepat ketika kupikir keadaan nggak bisa lebih buruk lagi,
Preston menatap tajam kepada Macey. "Berapa beratmu?"
"Hei!" semburku, melangkah ke antara mereka. "Bukan
masalah kok. Sungguh! Kejadiannya seperti wanita-wanita yang
berhasil mengangkat truk dari atas bayi mereka itu"seperti
itulah yang kurasakan waktu itu." Aku mencoba bicara seakan
saat itu begitu menegangkan, memompa adrenalin, dan asing"
sama seperti yang dirasakan olehnya.
"Yeah," tambah Macey.


Jangan Menilai Cewek Dari Penyamarannya Dont Judge A Girl By Her Cover Gallagher Girls 3 Karya Ally Carter di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tapi gerakan-gerakan itu?" ia memulai.
"Ibuku menyuruhku ikut kelas bela diri," semburku. (Sama
sekali nggak bohong.) "Wow." Preston mengangguk. "Kuharap kau dapat nilai ekstra."
119 "Memang," kataku. (Juga nggak bohong.)
"Well?" Preston menyisir rambutnya dengan jemari dan
meluruskan dasinya. "Mereka pasti mengajarimu hal-hal khusus
di sekolahmu itu." Macey dan aku berpandangan seakan kami tahu kami bisa
membunuhnya, tapi berusaha kabur sesudahnya mungkin akan
jauh lebih sulit daripada biasa.
Lalu Preston tertawa. Dan kami mengembuskan napas lega.
Dan Preston menatap kami berdua dengan (kalau dia bukan
putra politisi) ekspresi penuh terima kasih yang tulus waktu
berkata, "Aku hanya senang bisa melakukan ini bersama
cewek-cewek seperti kalian."
"Mr. Winters!" salah satu agen memanggil. "Kita akan
pergi." Sekelompok agen mengelilinginya, membimbing Preston
pergi, tapi Macey tetap tinggal sesaat lebih lama.
"Well, dia kelihatannya" baik?" Akhirnya aku menemukan
kekuatan untuk bergumam. Tapi Macey cuma menatapku. "Kau mata-mata, Cam. Apa
kau nggak tahu bahwa nggak sesuatu pun sama seperti yang
terlihat?" Aku nggak sempat menyinggung Zach. Aku nggak sempat
memberitahu Macey bagaimana pendapatku mengenai pidatonya. Aku bahkan nggak sempat bertanya pada Aunt Abby
apakah ia betul-betul serius tentang memberitahu Mom bahwa
aku tertangkap di daerah terlarang.
Aku hanya mengamati Dinas Rahasia berkerumun di sekitar
teman sekamarku lagi. Sebuah gerbang membuka dan Macey
melangkah ke arah orangtuanya. Ayahnya mengulurkan tangan
120 ke arahnya, tapi Macey sudah melambai, mengumpulkan suara
dan senyuman dan jabatan tangan.
Dan terdengar suara dalam earphone-ku yang memberitahuku
sudah waktunya pulang. 121 Bab Em pa t B e l a s au tahu butuh berapa lama untuk kembali ke sekolah"
Seratus tujuh puluh dua menit. Kau tahu butuh berapa lama
bagi semua hal untuk kembali normal" Well" kurasa bisa
dibilang aku masih menunggu.
Begitu kami kembali, Mr. Solomon menyeret kami semua
di sepanjang jalan ke Sublevel Dua untuk memeriksa rekaman
pengintaian dan mengerjakan tes mendadak. (Aku dapat nilai
98%.) Waktu kami akhirnya naik ke selasar, aku mendengar
gesekan garpu dan dentingan es dalam gelas kristal terbaik
kedua kami, tapi aku betul-betul nggak lapar, terutama waktu
kulihat Macey berjalan memasuki pintu depan.
"Macey!" seruku.
"Cam." Bex dan Liz berlari di belakangku. "Ada apa?"
Malam itu merupakan malam normal di sekolah yang sangat
abnormal. Tapi bahkan dengan standar Akademi Gallagher, hari
itu sangat luar biasa, jadi aku berlari menyusuri koridor depan
dan menaiki tangga, masih memanggil, "Macey!"
122 Waktu aku berhasil menyusulnya, Macey sudah melepas jaket
dan berdiri di sana memakai blus sutra. Dia memegang
serangkaian mutiara dan sudah memasukkan syal yang dipakainya
di rally tadi ke tas. Dengan setiap langkah, Macey melepaskan
penampilan palsunya"penyamarannya"satu per satu.
"Kau sudah kembali," kataku.
"Yeah," jawabnya dengan nada sangat lelah, "kau perhatian
sekali. Hei, ada apa denganmu hari ini?" Ia maju selangkah
lagi, lalu melepaskan potongan pakaian lain yang hanya bisa
disukai seorang ibu. "Waktu aku pertama kali melihatmu, kau
kelihatan agak... takut?"
"Tunggu," kata Bex, "kau melihat Cammie?"
"Yeah, tadinya aku mau memberitahumu, tapi well" kita
belum punya waktu" Dan itu bukan sesuatu yang kau" Dan
aku cuma nggak tahu bagaimana" Dan?"
"Cammie." Bex menyadarkanku. Ia bersedekap, memelototiku, dan memberiku tatapan "kau harus menjelaskan sesuatu"
yang mulai kusukai. Dan kutakuti. (Well, terutama kutakuti.)
Dan aku tahu aku nggak bisa menjaga rahasiaku lebih lama
lagi. "Aku melihat sesuatu!" semburku. Lalu aku harus mengoreksi ucapanku ketika aku berkata, "Seseorang."
Koridor-koridor di sekitar kami hening. Gelap. Hari-hari
jadi lebih pendek. Musim panas akhirnya berlalu. Dan mungkin itulah sebabnya aku menggigil ketika berkata, "Zach."
Waktu yang kubutuhkan untuk menceritakan semuanya: 22
menit dan 47 detik. Waktu yang seharusnya kubutuhkan untuk menceritakannya
kalau aku nggak terus dipotong: 2 menit dan 46 detik.
123 Total jumlah Liz mengatakan, "Nggak mungkin!": 33.
Total jumlah Bex memberiku tatapan "Kau bisa saja mengajakku": 9
"Tapi apa yang dia lakukan di sana?" Liz bertanya lagi (untuk
ketujuh kalinya, tepatnya).
"Aku nggak tahu," aku berhasil menjawab. "Maksudku, selama semenit kupikir dia menerobos pengamanan"well, secara
teknis, dia memang menerobos pengamanan?" Suaraku menghilang. "Dan menit berikutnya aku melemparnya ke tanah
dan?" "Menatap matanya dalam-dalam?" tebak Liz, karena walaupun pelanggaran keamanan mungkin serius, menatap-mata
adalah hal yang nggak pernah boleh diabaikan.
"Mungkin Blackthorne ada di sana untuk menjalankan tugas juga?" tanya Bex.
"Mungkin," kataku, tapi hatiku nggak memercayai itu. Aku
memikirkan kartu pos misterius dari Zach"peringatannya"dan
caranya menatapku hari itu. "Hanya saja dia tampak" berbeda."
"Apa?" kata Bex. Aku bisa merasakan Bex mendekat. Seperti macan. Ia berbahaya dan cantik dan amat sangat ingin
tahu. "Apa yang kaupikirkan?"
Aku nggak tahu mana yang lebih mengkhawatirkan"bahwa
ada lubang, sekecil apa pun, dalam pengaturan keamanan Macey,
atau bahwa Zach berhasil menyelinap melewati lubang itu.
Aku memikirkan cowok yang menciumku musim semi lalu
dan cowok yang menatapku di bawah bangku-bangku. "Dia
terlihat?" aku memulai perlahan, masih mencoba menyambungkan potongan-potongan puzzle, ?"khawatir."
124 "Ooh!" pekik Liz. "Dia ingin melindungimu!"
"Aku nggak perlu dilindungi," kataku, tapi Liz cuma mengangkat bahu.
"Yang penting kan niatnya."
"Well, ada kemungkinan lain," kata Bex, dengan senyum
yang sangat jail. "Mungkin dia masuk ke bawah bangku-bangku
karena tahu kau nggak bakal bisa menahan diri mengikutinya
ke bawah bangku-bangku?"
Bex membiarkan suaranya menghilang selagi menatapku,
kemungkinan-kemungkinannya bertahan sampai Liz merasa
perlu berkata: "Supaya kalian bisa sendirian!"
Oke, aku nggak mau terdengar sombong. Atau nggak profesional. Atau naif. Tapi apa salahnya mengakui bahwa sepanjang sisa hari ini aku juga berharap bahwa itulah alasannya"
(Sebagian karena, sebagai cewek, itu alasan yang bagus, dan
sebagai mata-mata, itu artinya dia nggak berencana melakukan
pengkhianatan besar.) "Nggak," semburku. "Nggak. Nggak mungkin. Dia nggak
bakal meninggalkan sekolah dan pergi jauh-jauh ke Cleveland,
menyelinap ke area terlarang dan segalanya cuma untuk bertemu" denganku." Aku menoleh pada Macey, ahli lokal kami
mengenai segala hal tentang cowok. "Ya, kan?"
"Jangan menatapku seperti itu," kata Macey, melambaikan
tangannya (yang, saat itu, masih memegang sepatu hak, jaket,
dan bros kampanye "menepati janji"). "Aku punya jenis masalah cowok yang sangat berbeda."
Tunggu. MACEY McHENRY PUNYA MASALAH
COWOK" Aku nggak yakin aku mendengar dengan betul, dan
jelas bukan hanya aku yang merasa begitu.
"Masalah?" Liz tergagap, ?"cowok. KAU?"
125 Macey memutar bola matanya. "Bukan jenis masalah seperti
itu. Preston." "Oh," kata Liz, nadanya terdengar terlalu ingin menjodohkan, sebenarnya. "Dia memang agak imut. Dan betul-betul
perhatian pada masalah sosial. Kau tahu, aku membaca artikel
ini di?" "Dia culun," kata Macey, memotong kata-kata Liz.
"Tapi kalian punya banyak sekali persamaan," protes Liz.
Macey melotot. "Maksudku, di samping masalah culun itu."
?"Persamaan" terlalu dibesar-besarkan," kata Macey sambil
mendesah lagi. "Well, kalau begitu," kata Liz, "apa masalahnya?"
"Masalahnya adalah kami diserang tiga agen yang terlatih
baik, dan kami masih hidup untuk menceritakannya," kataku
bahkan tanpa menyadari bahwa aku sudah mengetahui jawabannya selama ini.
"Bingo," kata Macey. "Dan Preston terkesan. Sangat terkesan."
"Jadi cowok memang betul-betul menyukai cewek yang
bisa?" "Bex!" aku memotong sahabatku.
Boleh nggak kukatakan bahwa sulit sekali menghadapi
cowok-cowok yang mungkin ingin"
A. Berkencan denganmu, atau
B. Membunuhmu, atau C. Mempelajari asal-usul kemampuan bela dirimu yang luar
biasa! Dan hari itu besar sekali kemungkinannya kami telah berurusan dengan KETIGANYA!
126 Apakah drama yang melibatkan cowok dalam hidupku akan
pernah menghilang"! Serius nih. Aku ingin tahu.
"Bahkan setelah kau pergi, dia nggak mau tutup mulut soal
itu," Macey memberitahuku.
"Kau kan bisa menutup mulutnya," usul Bex.
"Jangan kira aku nggak tergoda."
Sekelompok anak kelas delapan berjalan lewat, bernyanyi
sekeras-kerasnya, tapi kami berempat tetap diam dan nggak
bergerak di dalam ceruk gelap itu.
"Kau tersenyum," sembur Macey, sudah pasti menuduh Bex
melakukan sesuatu yang khas Bex. "Kenapa kau tersenyum?"
"Bukan apa-apa," kata Bex sambil menggeleng. "Aku cuma
terus berpikir?" Bex bukan orang yang suka membiarkan kalimatnya tergantung. Dia selalu tahu apa kata-kata berikutnya dan nggak
pernah memulai apa yang nggak bisa ia selesaikan. Jadi mungkin karena fakta itu, atau karena cara senyum itu menghilang
dari wajahnya, tapi sesuatu membuatku menahan napas selagi
Bex menemukan kata-kata untuk bicara, "Aku cuma terus berpikir betapa shock-nya mereka. Tahu kan" mereka. Mereka
kira mereka mencoba menangkap cewek biasa. Sebaliknya mereka mendapatkan?"
"Gallagher Girl," Liz menyelesaikan kalimat Bex.
Mereka berdua tersenyum. Tapi Macey dan aku"kami
hanya menatap melewati bayang-bayang, kesadaran baru menghantam kami berdua sewaktu aku berkata, "Tapi waktu itu
mereka nggak terkejut."
127 Bab L i ma B e l a s ku sudah menceritakannya di sini; aku nggak mau menceritakannya lagi. Ini adalah catatan resmiku"kuharap ini terakhir
kalinya aku harus menjawab pertanyaan, "Jadi apa yang terjadi
musim panas lalu di Boston?"
Aku sudah menceritakannya begitu sering sampai cerita itu
seakan mengalir otomatis, seperti buku teks yang sudah
kuhafalkan, seperti lagu yang tersangkut dalam benakku.
Tapi setelah itu" Setelah itu ceritanya berubah.
Fakta-faktanya masih sama"aku mengingatnya dengan
benar selama ini. Tapi aku mengerti hal yang berbeda saat itu.
Waktu film itu berputar di benakku, aku nggak terfokus pada
pukulan-pukulan atau tendangan-tendangannya. Malam itu aku
melihat mata mereka, bagaimana lengan mereka siap menangkis pukulan-pukulan kami. Bagaimana nggak seorang pun
tampak shock waktu Macey melakukan Manuver Malinowski
128 persis seperti yang tertera di buku teks pada laki-laki yang dua
kali lebih besar darinya.
Kehebatan mata-mata ditentukan penyamarannya"legendanya. Orang-orang jahat itu seharusnya nggak tahu kenyataan
sebenarnya tentang kami. Tapi mereka tahu. "Kau yakin?" tanya Bex padaku. Lagi. Kami berkerumun di
tempat terdekat, paling sepi dan aman yang bisa kutemukan,
dikelilingi oleh sisa-sisa program pembiakan merpati pembawa
pesan rahasia pertama yang pernah ada. Liz duduk di atas
kandang merpati terbalik. Angin lembut bertiup lewat lubanglubang di dinding, menghadap ke kegelapan malam.
Hanya dua kilometer jarak ke Roseville. Dan Josh. Dan
kenormalan. Tapi entah bagaimana pacar pertamaku dan kenormalan hidupnya tampak seperti dunia yang sangat berbeda
sewaktu aku menatap Bex lalu Liz dan, akhirnya, Macey.
"Mereka sama sekali nggak terkejut," kata Macey lagi, hampir tertawa sekarang. Ia menatapku. "Kenapa kita nggak menyadari itu sebelumnya?"
Rasanya seakan kami berdua melewatkan pertanyaan yang
sangat mudah dalam kuis mendadak dan Macey nggak bisa
menahan diri untuk nggak menertawakan kebodohan kami.
"Jadi?" kata Bex perlahan, hati-hati. "Mereka tahu."
Bex memandang ke luar jendela-jendela tanpa kaca seakan
mereka mungkin berada di luar sana selagi kami bicara, karena
kalau mereka tahu siapa kami" mereka pasti tahu di mana
kami tinggal. "Tapi itu nggak mungkin," protes Liz. "Nggak seorang pun
tahu yang sebenarnya tentang Akademi Gallagher."
Tapi aku hanya mengikuti arah pandangan Bex ke kegelap129
an dan berpikir tentang malam lain di ruangan lain, waktu
Zach menanyaiku tentang misteri yang mengelilingi kematian
ayahku. Aku sadar kata-katanya seakan kembali padaku saat
aku memeluk diri sendiri dan berbisik, "Seseorang tahu."
"Jadi mereka tahu Macey sudah mendapat pelatihan, tapi
mereka tetap saja mengincarnya dan Preston?" tanya Liz.
Aku melihat sahabat-sahabatku menatapku"dan bahkan
dalam kegelapan aku nggak bisa menyembunyikan kenyataannya lebih lama lagi.
"Well?" aku memulai perlahan, "di atap itu, Preston memang bersama kami."
"Yeah," kata Bex. Aku bisa merasakan rasa nggak sabarnya
menumpuk, jadi aku bicara lebih cepat.
"Aku mengeluarkannya dari sana"mengeluarkan Preston
dari atap itu"dan para penyerang itu sama sekali nggak" peduli."
"Apa maksudmu, Cam?" tanya Liz.
"Maksudnya mereka nggak mengincar Preston," kata Macey.
"Mereka nggak mengincar kami," tambah Macey, suaranya makin keras. Lalu ia berhenti. Ia mengangkat bahu. "Mereka
mengicarku." Sudah berhari-hari aku takut menghadapi momen itu, memikirkan tentang cewek di danau hari itu. Aku mengkhawatirkan apa yang mungkin diakibatkan pengetahuan itu terhadapnya"terhadap kami. Tapi semenjak melangkahkan kaki keluar
dari limusin orangtuanya, Macey betul-betul mengejutkan semua orang, dan kali ini juga bukan pengecualian.
Dia menyipitkan mata ke arahku. Dia menggeleng. Itu ekspresi yang tepat sama dengan yang ditunjukkannya waktu dia
130 berhasil menguasai formula khusus dalam kelas Mr.
Mosckowitz, seakan berbagai hal akhirnya mulai masuk akal.
"Aku mau menemui ibuku dan Aunt Abby." Aku melangkah ke pintu, tapi kemudian Macey bicara.
"Memangnya menurutmu mereka belum tahu soal ini?"
Dan kenyataan itu menghantamku"kebenaran itu. Tentu


Jangan Menilai Cewek Dari Penyamarannya Dont Judge A Girl By Her Cover Gallagher Girls 3 Karya Ally Carter di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

saja mereka tahu. Sejak awal mereka sudah tahu.
"Jadi entah mereka mengincar Macey meskipun dia sudah
terlatih?" Liz memulai.
"Atau karena pelatihannya," jawab Bex.
Tapi hal yang sangat aneh sedang terjadi. Bulan mulai
muncul, penuh dan jernih. Lampu-lampu Roseville bersinar di
kejauhan. Segalanya terasa hidup lagi, dan aku juga bisa melihat hal yang sama pada diri Macey. Seakan dia tahu kejadian
itu bukan kebetulan"bahwa kejadian Boston punya tujuan.
Dan hal itu membuat perbedaan yang sangat besar.
"Jadi kurasa pertanyaannya adalah," kata Bex, bersedekap,
"apa yang akan kita lakukan soal ini?"
Laporan Operasi Rahasia Oleh Cameron Morgan, Macey McHenry, Elizabeth Sutton, dan
Rebecca Baxter (seterusnya disebut sebagai "Para Pelaksana")
Pada acara rutin untuk warga sipil, Pelaksana McHenry dan
Morgan diserang oleh orang-orang yang mewakili organisasi yang
tak diketahui, dengan a"liasi tak diketahui dan tujuan tak diketahui.
Setelah dua minggu melakukan riset mendalam (dan beberapa
hacking komputer yang sangat baik oleh agen Sutton), Para
Pelaksana mengetahui hal-hal berikut:
131 Kurang-lebih ada dua lusin tuntutan hukum internasional yang
ditujukan kepada McHenry Cosmetics (walaupun krim Antipenuaan
Mata jelas-jelas menyatakan di labelnya bahwa kebutaan sementara bisa menjadi efek samping).
Yang membuat Macey terkejut, Senator McHenry tampaknya
tidak memiliki anak di luar nikah (setidaknya sepengetahuan Para
Pelaksana). Tidak seorang pun pemegang saham berjumlah besar di perusahaan ibu Macey melakukan pertaruhan besar sehingga memungkinkan harga saham perusahaan tersebut akan turun setelah
usaha penculikan. Keluarga McHenry memiliki kira-kira 76 mantan pelayan yang
kesal (dan dari jumlah itu, Macey bersumpah, hanya 75 yang
punya alasan untuk jadi betul-betul, amat sangat marah).
Mudah sekali membayangkan bahwa keluarga mata-mata akan
punya banyak musuh. Well, ternyata kami nggak ada artinya
dibandingkan para politisi dan para produsen kosmetik semiberbahaya. Setelah kami selesai memeriksa semua perjanjian
bisnis mencurigakan dan skandal politik, daftar tersangkanya
panjang sekali"sepanjang sepanjang jumlah digit pi yang
dihafal Liz di luar kepala"dan tidurku sama sekali nggak bertambah nyenyak.
"Ini mustahil," kataku pada Bex suatu hari di kelas P&P,
tapi Bex, sayangnya, salah mengerti, karena bukannya bersimpati, dia malah menyambar lenganku dan melakukan
Manuver Axley paling sempurna yang pernah kulihat.
"Aww," kataku, mendongak menatapnya. Tapi Bex cuma
tertawa. "Payah," katanya, lalu melangkah mundur untuk mendemons132
trasikan. "Itu nggak mustahil. Yang harus kaulakukan hanyalah
memindahkan berat badanmu untuk gerakan membalas?"
"Bukan gerakannya," tukasku sambil bangkit, memindahkan
berat badanku, dan menunjukkan padanya. "Macey," bisikku
waktu Bex mendarat di matras.
"Oh," kata Bex, mendongak menatapku.
Di luar, semburat-semburat warna pertama mulai muncul di
pepohonan, dan angin jadi makin dingin. Musim gugur akan
segera datang, meskipun begitu misteri musim panas masih
tetap hidup dan berlangsung.
"Aku menyentuh mereka, Bex," kataku, suaraku pelan di
balik suara-suara stabil erangan dan tendangan yang memenuhi
ruangan. Napasku jadi lebih berat. "Aku mendengar suara mereka dan mencium napas mereka, tapi aku nggak bisa memberitahumu apa pun tentang mereka kecuali?" kalimatku terputus.
Tapi Bex, cewek hebat baik dalam masalah mata-mata maupun
sahabat, membaca pikiranku. "Cincinnya, bukan?"
Titik-titik keringat mengalir dari dahi ke daguku, tapi aku
nggak mengelapnya. "Aku pernah melihat emblem itu di suatu
tempat." "Aku percaya padamu, Cam," Bex memulai perlahan-lahan.
"Tapi bukannya kau sudah menggambarkan emblem itu untuk
Liz dan memintanya memeriksa memakai database CIA?"
"Ya." "Dan kalau mereka sehebat yang kaukatakan, apakah kau
betul-betul mengira wanita itu bakal memakai cincin yang bisa
menuntun kita padanya" Itu kesalahan besar," Bex menyelesaikan, dan aku hanya berdiri di sana, kenyataan yang nggak
terucapkan melingkupi kami: mereka jelas nggak akan membuat kesalahan.
133 "Morgan!" guru kami memanggil. "Baxter! Kembali berlatih,
please." Aku menarik Bex berdiri. "Kau tahu," kata Bex, "ada satu sumber yang belum kita
pergunakan." Lewat jendela, aku melihat Mom menyeberangi lapangan.
"Nggak!" sergahku saat Bex melesat ke arahku, kakinya melayang jauh terlalu dekat ke telingaku. "Aku nggak mau memata-matai ibuku lagi," kataku, mungkin terlalu keras mengingat Tina Walters dan Eva Alvarez berdiri hanya tiga meter
jauhnya dari kami. "Siapa yang bilang tentang ibumu?" bisik Bex padaku, memberi isyarat ke belakang kami pada dinding batu dan Mr.
Solomon. "Nggak mungkin," bisikku. "Mom sudah cukup buruk, tapi
Mr. Solomon akan?" "Lihat sekali lagi," bisiknya.
Lalu aku melihat Mr. Solomon nggak sendirian. Bahwa dia
bersama seseorang. Bahwa dia tersenyum. Bahwa mereka tertawa.
Dan bahwa sahabat terbaikku di dunia berpikir sebaiknya
aku memata-matai Aunt Abby.
Aku mau bilang bahwa, meskipun bukti-bukti mengarah ke
indikasi sebaliknya, aku nggak suka melanggar peraturan. Aku
nggak menikmati melanggar privasi orang lain"terutama
orang-orang yang kusayangi. Dan aku mencoba untuk nggak
mencampuri urusan orang lain. Tetap saja, aku nggak bisa
menghilangkan perasaan bahwa apa yang menimpa Macey sudah menjadi urusanku waktu aku jatuh 12 meter lewat
134 terowongan logam dan mendarat di kereta penuh cucian kotor.
Jadi itulah sebabnya kami berkerumun di suite kami Kamis
malam itu. Dan itulah sebabnya aku nggak protes waktu Bex bertanya,
"Jadi, semuanya sudah jelas?"
Macey mengikat tali sepatu larinya dan Liz mencengkeram
senter, sementara aku cuma duduk di sana dan memberitahu
diri sendiri bahwa ada perbedaan besar antara memata-matai
dan ikut campur, bahwa spionase lebih bertujuan, kau tahu
kan, menyelamatkan nyawa (dan hal-hal penting lainnya),
bukannya bertujuan mengungkap hal-hal memalukan.
Macey aman. Dinas Rahasia dan Aunt Abby menangani
kasus itu. Tapi jika seseorang memang benar sedang memburu
Gallagher Girl, maka nggak seorang pun dari kami akan berhenti sampai kami tahu siapa orangnya. Dan alasannya.
Laporan Operasi Rahasia FASE SATU Jam 18:30 Pada malam tanggal 1 Oktober, Pelaksana McHenry mengumumkan
ke seluruh kerumunan pascamakan malam di Aula Besar bahwa
dia akan berolah raga lari di hutan.
Agen Abigail Cameron mengumumkan bahwa subjek perlindungan tidak diperbolehkan berada di hutan sendirian, dan bahwa
Agen Cameron sedang sakit kepala, jadi karena itu, subjek perlindungan tidak boleh pergi ke mana-mana.
Pelaksana McHenry (alias subjek perlindungan) mengumumkan
bahwa dia akan tetap berolah raga lari dan kalau Agen Cameron
135 tidak menyukainya sang agen bisa" (Well, kita katakan saja
bagian itu diucapkan dalam bahasa Arab. Dan tidak begitu sopan.)
Agen Cameron mengumumkan (lebih keras, dan dalam bahasa
Farsi) bahwa subjek perlindungan tidak boleh meninggalkan
mansion. Pelaksana McHenry membalas (bahkan dengan lebih keras lagi)
bahwa dia AKAN pergi. Lalu dia lari dari Aula Besar. Dengan cepat.
Agen Cameron tidak punya pilihan kecuali mengikuti.
Saat berjalan menyusuri mansion bersama Bex malam itu, aku
merasa sedikit mual"bukan karena apa yang bakal kami lakukan, tapi karena aku takut usaha kami mungkin betul-betul
berhasil. Aku mungkin bakal mengetahui sesuatu yang nggak
akan bisa kulupakan. Dan setiap mata-mata tahu bahwa kami
menjalani hidup dengan dasar informasi-hanya-yang-perlukauketahui untuk alasan bagus.
Aku melirik ke luar jendela dan melihat gambaran kabur
sewaktu Macey berlari menyusuri hutan, Abby mengikuti di
belakangnya. Dari balik salah satu pohon, senter berkedip menyala dan mati dua kali, cara Liz memberitahu kami bahwa
situasi aman. Segalanya berjalan sesuai rencana, namun perasaan gugup tetap mengendap sewaktu aku berjalan ke arah kamar bibiku dan mengetuk, tahu dengan sangat pasti bahwa tak
seorang pun akan menjawab ketukan itu.
Butuh waktu sepuluh menit penuh untuk membobol kamar
Aunt Abby. Ya, sepuluh menit. Bukan karena bibiku menggunakan setiap deteksi pengintaian yang diketahui manusia, tapi
136 karena kami nggak yakin apakah dia menggunakannya, jadi
Bex dan aku nggak mau mengambil risiko. (Kami kan memang
baru kelas sebelas!) Waktu kami akhirnya melangkah memasuki kamar Abby,
entah kenapa aku menahan napas. Senter kami menyinari lemari berisi pakaian-pakaian yang nggak pernah kulihat dipakai
bibiku. Ada meja yang dipenuhi barang kecil, suvenir dari
dunia dan waktu lain, dan sama sekali nggak ada keraguan
dalam benakku bahwa masing-masing benda memiliki cerita
yang belum pernah kudengar. Berminggu-minggu terakhir ini
aku sudah mendengarkan kisah-kisah serunya, tapi dengan
cepat setiap mata-mata belajar bahwa cerita-cerita terpenting
adalah cerita yang nggak bakal kauceritakan.
Abby memang kembali pada kami"tapi sekali pandang ke
sekeliling kamarnya memberitahuku bahwa sebagian dirinya
masih hilang. Cahaya senterku nyaris membutakanku saat sinarnya mengenai cermin. Foto hitam putih mungil ditempelkan di sudut
bawah kaca. Lama aku berdiri di sana menatap foto bibiku,
guru favoritku, dan ayahku"ketiganya menertawakan lelucon
yang sudah lama berakhir.
Selama sedetik aku nyaris lupa apa yang kami cari. Seseorang sedang mengincar Macey, tapi saat itu bibiku adalah
misteri yang paling ingin kupecahkan.
"Cam." Suara Bex mengiris kegelapan saat sinar senternya jatuh
pada"gambar yang kuharap nggak pernah kulihat lagi.
"Itu dia," gumamku, melangkah mendekat untuk menatap
foto hitam putih berbintik-bintik"close-up sebuah tangan.
Foto itu cukup bagus, mengingat foto itu diambil dengan
137 satelit NSA"National Security Agency"beberapa ratus kilometer di atas bumi. Foto itu nggak menunjukkan wajah-wajah
penyerang. Kalau aku nggak mengalaminya sendiri, aku bahkan
nggak bakal mengenali bahu dan leherku sendiri. Tapi fokus
gambar itu tertuju pada tangan itu, cincinnya tampak jelas.
"Kau mengenalinya?" tanyaku, merasakan jantungku berdebar lebih cepat, akhirnya melihat bukti bahwa gambar itu
memang ada, bukan hanya ada dalam pikiranku.
Bex menatap lebih dalam. "Mungkin," katanya, lalu menggeleng. "Aku nggak tahu."
Jam 18:30 Agen Cameron dengan sukses menyeret Pelaksana McHenry
kembali ke mansion utama.
Sayangnya, Pelaksana Morgan dan Baxter tidak mengetahuinya.
"Oh, Joe!" suara Abby bergema di koridor. "Kau akan membuatku kena masalah besar."
Aku membeku, betul-betul nggak yakin apa yang lebih menakutkan: ekspresi di wajah Bex atau nada menggoda dalam
tawa bibiku atau suara kunci yang dimasukkan ke lubangnya
di pintu Abby. Aku nggak tahu harus melakukan apa. Maksudku, menurut
aturan, bersembunyi bukanlah ide bagus. Saat kau ragu, keluarlah, Mr. Solomon selalu berkata. Tapi aku nggak yakin apa yang
bakal dia katakan kalau dialah yang bakal menangkapmu.
"Tempat tidur!" sergahku, menyambar bagian belakang leher
Bex. "Sekarang!"
138 Sambil merangkak ke bawah tempat tidur Aunt Abby, mau
nggak mau aku berpikir tentang ribuan kali dalam empat setengah tahun terakhir sewaktu aku bertanya-tanya di mana
bibiku berada dan apa yang dilakukannya. (Catatan untuk diri
sendiri: sangatlah berhati-hatilah dengan permohonanmu.)
"Oh, Joe, hentikan!" seru bibiku saat pintunya berderit
membuka. "Bagaimana kalau Rachel tahu" Dia tidak akan memaafkanku."
Di kegelapan di bawah tempat tidur, Bex menatapku, matanya selebar dan secerah bulan, sewaktu dia mengucapkan kata
itu tanpa suara, "Solomon!"
Aku ingin menempelkan tangan di telingaku dan bernyanyi.
Aku ingin memohon supaya diriku berada di ruangan lain"
galaksi lain malah"tapi aku cuma memejamkan mata.
Dan mungkin itu sebabnya aku nggak melihat saat bed cover
tersingkap dan dua tangan menyambar pergelangan kakiku.
Punggungku meluncur di lantai kayu keras saat kekuatan
yang besar menarikku dari tempat persembunyianku.
Bibiku menatap ke bawah dan berkata, "Hei, squirt."
Berita baiknya adalah Mr. Solomon nggak terlihat di mana
pun. Berita buruknya adalah bibiku sama sekali nggak kesulitan
menemukan kami. "Bex, Sayang, bisakah kau meninggalkan kami sebentar?"
Bex menatapku. Salah satu peraturan terpenting Gallagher
Girl sangatlah sederhana: jangan pernah meninggalkan saudarimu. Tapi ini berbeda, dan kami berdua mengetahuinya.
"Sampai ketemu di atas," kataku saat Bex melangkah pergi.
Pintu menutup di belakangnya, dan Abby menoleh padaku.
"Kau betul-betul sudah dewasa."
139 "Aunt Abby," kataku cepat-cepat, "Aku?"
Aku bermaksud bilang "minta maaf" tapi Aunt Abby yang
menyelesaikan kalimatku. "Tertangkap basah."
Dia menjatuhkan diri ke tempat tidur dan melepaskan sepatu loafer (standar keluaran Dinas Rahasia) hitam yang berlapis lumpur.
Aku memandang berkeliling ruangan. "Hmmm" di mana
Mr. Solomon?" "Mana aku tahu." Abby mengangkat bahu. Dia pasti membaca ekspresi bingungku karena lalu menambahkan, "Oh, Joe,"
dengan nada tadi. Ia tertawa. "Squirt, kau seharusnya melihat
ekspresi wajahmu." "Apakah aku sejelas itu?" tanyaku.
"Oh, sama sekali tidak," kata Abby, dan walaupun itu mungkin terdengar sinting, aku merasa sedikit bangga. "Tapi masalah
tempat tidur itu bisa dibilang tradisi keluarga Morgan."
"Kenapa" Apakah Mom?"
"Oh, bukan ibumu." Abby menghentikanku. Dia mengangkat alis. "Ayahmu."
Ayahmu, katanya. Dia hanya" mengucapkannya begitu
saja. Dad selalu bersama Mom dan aku, tapi kami berdua
nggak pernah mengucapkan namanya. Saat itu aku sadar
bahwa Dad seperti hantu, dan yang tidak takut padanya cuma
Aunt Abby. Dia berjalan ke meja dan mengeluarkan sekantong
M&M"s. "Mau satu?" tanyanya, menawariku kantongnya. Selama sedetik aku teringat kali pertamaku bertemu Zach, tapi ingatan
itu menghilang dengan cepat.
"Wah, ayahmu suka sekali permen!" serunya selagi tenggelam ke tempat tidur. "Kau mewarisi itu darinya, kau tahu. Aku
140 ingat suatu kali kami mengikuti agen ganda menyusuri sebuah
pasar di Athena, dan ada wanita yang menjual cokelat di sana.
Cokelatnya kelihatan sangat enak. Dan aku bisa melihat
ayahmu, dengan susah payah dia menjaga pandangannya tetap
pada subjek. Tapi ayahmu adalah seniman jalanan"kau tahu
itu, kan" Jadi dia mengikuti laki-laki itu, sementara aku berada
di balkon lantai dua, merekam seluruh kejadian itu dan mengirimkannya kembali ke Langley. Dan ayahmu memang
profesional, tapi aku bisa melihat betapa dia sangat menginginkan sesuatu yang manis sampai hampir tak bisa menahannya. Satu-satunya masalah adalah?"
Aku mengamati bibiku meneruskan ceritanya. Ada cahaya


Jangan Menilai Cewek Dari Penyamarannya Dont Judge A Girl By Her Cover Gallagher Girls 3 Karya Ally Carter di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

di matanya, kemudahan dalam kata-katanya yang kurasa belum
pernah kudengar. Itu cuma cerita lucu biasa, kisah yang menghibur. Maksudku, tentu saja itu cerita rahasia dan berbahaya,
dan Aunt Abby mungkin melanggar sekitar selusin peraturan
CIA dengan memberitahuku, tapi dia tetap bicara dan aku
mendengarkan. "Inilah yang harus kauketahui," katanya sambil mencondongkan diri mendekat. "Semuanya begitu ramai sehingga kalau
kau berkedip di waktu yang salah, kau bakal kehilangan seseorang, jadi sulit membuntutinya, tahu kan" Dan aku berada di
atas di balkon itu, tapi petugas kebersihan ingin masuk dan
membersihkan kamar. Pelayan berseru keras, dan aku balas
berteriak, lalu aku menoleh selama"aku tidak tahu"dua
detik. Serius. Tidak mungkin lebih lama daripada itu. Dan waktu aku menoleh kembali, sudah ada noda cokelat di satu sisi
wajah ayahmu dan dia tersenyum padaku."
Abby mendongak, dan sebagian diriku ingin tertawa bersamanya. Aku mencoba membayangkan Dad masih hidup,
141 berada setengah dunia jauhnya dariku. Tapi sebagian lain diriku ingin menangis.
"Sampai hari ini aku tidak tahu bagaimana dia melakukannya. Aku bahkan melihat rekamannya juga." Aunt Abby mengusapkan kedua tangan seakan untuk menghilangkan debu dari
misteri lama, misteri yang dia sudah menyerah untuk memecahkan. "Tidak terlihat sedikit pun." Lalu ia menatapku lagi. "Dia
sehebat itu." Aunt Abby mendorong dirinya kembali ke tempat tidur
dan berkata padaku, "Kau sehebat itu." Caranya menatapku
berkata bahwa ia nggak bicara sebagai bibi, tapi sebagai matamata.
Tapi aku nggak ingin dibandingkan dengan Dad di segi itu.
Dengan cara itu. Aku nggak pantas mendapatkannya, jadi aku
berkata, "Aku nggak sehebat itu."
"Yeah, mungkin sekarang tidak," kata Abby, dan terlepas
dari protesku, gelombang rasa terluka menyelimutiku. Tapi lalu
ia mengangkat satu alis. "Tapi nanti kau akan jadi sehebat
itu." Perasaan baru mengaliri diriku"kelegaan. Aku merasa"
seperti cewek normal. Seakan aku nggak mengetahui semua
jawaban, tapi itu nggak apa-apa karena aku masih punya waktu
untuk mencarinya. "Jadi kau nggak akan memberitahu Mom?"
"Kenapa?" Abby menatapku. "Supaya dia bisa marah pada
kita berdua?" Sepertinya itu poin yang bagus sampai aku sadar"
"Tapi kenapa dia bakal marah padamu?"
"Karena menunjukkan ini padamu." Suara buku catatan
berat yang dijatuhkan ke meja kayunya membuatku terkejut.
142 Lembaran-lembaran kertas seakan bersiul selagi Abby membalik-balik halamannya.
"Buku ancaman," bibiku memberitahuku sewaktu aku menatap buku itu. Sampulnya hampir nggak bisa menahan isinya.
"Ini hanya bulan ini. Ini hanya Macey"bahkan tidak menghitung anggota keluarga McHenry lain." Aunt Abby membalikbalik halaman buku itu, tapi aku nggak berani membaca katakatanya. "Kami menyimpan salinan setiap surat, setiap e-mail,
setiap telepon ke 911, dan kartu kiriman bunga yang sinting.
Kami mencatat semuanya, Cam, menganalisis dan mempelajarinya dan melakukan apa yang biasa kami lakukan."
Ia membalik-balik buku tebal itu untuk terakhir kalinya
sambil berkata lagi, "Hanya bulan ini."
Setiap mata-mata tahu bahwa apa yang nggak kaukatakan
juga sama pentingnya"mungkin bahkan lebih penting"daripada apa yang kaukatakan. Aunt Abby nggak memberitahuku
bahwa yang sedang terjadi sekarang ini lebih besar daripada
empat Gallagher Girl dan ruangan-ruangan rahasia. Dia nggak
memberitahuku bahwa banyak sekali orang sinting di dunia
ini, dan banyak sekali dari mereka tertarik pada salah satu
sahabatku. Tapi mungkin hanya itu yang kuyakini saat aku
melangkah ke pintu. Tetap saja, ada satu hal yang harus kutanyakan.
"Ini simbol apa?" tanyaku, menunjuk foto satelit tangan itu,
yang telah terjatuh ke lantai. Bibiku melirik ke arahku dengan
tenang. "Aku tidak yakin. Itu salah satu petunjuk yang kami telusuri. Tapi mungkin juga bukan apa-apa. Mereka terlalu hebat
untuk membuat kesalahan yang bisa membimbing kita pada
mereka." 143 "Bex juga bilang begitu."
"Bex hebat." "Yeah," kataku, berbalik untuk pergi. Lalu aku berhenti.
"Aku pernah melihatnya" sebelum Boston."
"Di mana" Kau ingat?" tanya Abby. Sinar baru memenuhi
matanya, dan aku merasa kami sedang memainkan permainan
rahasia, kami sama-sama menunggu untuk melihat siapa yang
akan berkedip lebih dulu.
"Nanti aku pasti ingat," kataku, dan itu sama sekali nggak
menjawab pertanyaannya, tapi nggak apa-apa. Aku mendapat
kesan bahwa jawabanku nggak terlalu penting.
"Kalau kau ingat, beritahu aku," katanya, dan aku berani
mempertaruhkan seluruh pertaniannya (atau" well" pertanian
milik Grandma dan Grandpa sebenarnya) bahwa Aunt Abby
sudah tahu. Aku sudah setengah jalan ke pintu waktu ia memanggil, "Cam." Ia mengulurkan selembar kertas. "Karena kau
sudah di sini, kau keberatan memberikan ini pada Macey?"
Aku berdiri di koridor untuk waktu lama, membaca baris
pertama di kertas itu berkali-kali, berharap pesan itu ditulis
pada Evapopaper, mencoba mencari cara untuk membuat katakatanya menghilang.
Jadwal acara: Sabtu, jam 5:00. Merak meninggalkan Akademi
Gallagher untuk pergi ke Philadelphia, PA.
Hal-Hal Yang Bisa Kaulakukan Saat Nyawa Salah Satu Sahabatmu Mungkin Terancam, Tapi Dia Tetap Harus Membantu
Ayahnya Berkampanye Wakil Presiden, dan Kau SungguhSungguh, Betul-Betul Nggak Mau Dia Pergi:
144 1. Merayu Mr. Mosckowitz agar memajukan latihan
ketika anak-anak kelas sembilan (kelas Macey sekarang) dikurung di dalam ruangan dan nggak bisa
keluar sampai mereka memecahkan Persamaan
Epstein. 2. Meng-hack database Dinas Rahasia, meninggalkan
indikasi bahwa si teman sekamar yang disebut tadi
telah memberikan beberapa ancaman yang sangat
berbahaya terhadap subjek perlindungan yang lain,
Preston Winters (karena itu memang betul).
3. Kalau si teman sekamar mendapat reaksi alergi akibat krim malam eksperimental ibunya, yang hasilnya
berupa jerawat di mana-mana sehingga dia sama
sekali nggak fotogenik dan penampilannya nggak
akan berpengaruh baik pada wanita-wanita antara
usia 21 dan 42 tahun yang belum menentukan pilihan suara, mungkin teman sekamarmu nggak diharuskan mengikuti kampanye!
4. Dua kata: keracunan makanan (tapi hanya sebagai
pilihan terakhir). Itu betul-betul susunan rencana bagus. Bagaimanapun, nilai
bagus yang didapatkan Bex dan aku dalam ujian tengah semester Berpikir dan Merencanakan Secara Logistik Untuk
Kesuksesan dari Mr. Solomon jelas bukannya tanpa alasan.
Bicara secara logistik, kami sudah bersikap serahasia mungkin
tanpa langsung bertindak dan mengikat Macey ke kursi mejanya (rencana yang sering diusulkan Bex).
Tapi Mr. Mosckowitz nggak melakukan tugas ruangan
145 terkunci tahun ini, karena dia menjadi klaustrofobia setelah
menjalankan sebuah misi musim panas top-secret yang melibatkan Porta Potti dan dua penata rambut Lebanon.
Dan ternyata Dinas Rahasia nggak menganggap ancaman
nyawa dari subjek perlindungan seserius itu. Terutama jika
subjek itu cewek. Meskipun dia Gallagher Girl.
Dan kami seharusnya sudah tahu Macey nggak bakal berjerawat. Selamanya. Itu berlawanan dengan hukum alam atau
semacamnya. Dan yang terburuk dari semuanya, bagian terakhir rencana
besar kami nggak berhasil karena seseorang nggak mungkin
keracunan makanan kalau dia nggak makan lagi.
Aku nggak tahu apakah ini disebabkan gugup, takut, ataukah
dia memang sudah kembali jadi Macey yang lama"yang datang
pada kami setahun sebelumnya, tapi malam demi malam kami
duduk di meja siswi kelas sebelas di Aula Besar, sementara
teman sekamar kami hanya mendorong-dorong makanan di
piringnya"nggak makan, nggak tertawa. Hanya menunggu apa
pun yang akan terjadi berikutnya.
"Ini gawat," kata Liz pada Jumat pagi saat kami meninggalkan
kelas Budaya dan Asimilasi. Koridor-koridor mulai penuh. Dan
waktu mulai habis. "Kita selalu bisa?"
"Nggak!" Liz dan aku sama-sama menukas tajam, merasa
bahwa itu bukan waktu atau tempat yang tepat untuk diingatkan kepada argumen "tak seorang pun bisa membebaskan diri
dari simpul hidupku" Bex, tapi Macey-lah yang membuat kami
terdiam. "Santai saja, teman-teman," kata Macey. Ia menoleh ke
146 arah laboratorium bawah tanah Dr. Fibs. "Terima kasih sudah
berusaha dan segalanya, tapi aku harus pergi." Dari caranya
mengucapkan itu, aku tahu bahwa kami tak perlu berdebat lagi
soal membuatnya nggak ikut pergi berkampanye. Macey
mengangkat bahu dan menambahkan, "Ini tugasku."
Aku mungkin bisa mendebatnya; aku mungkin bisa memohon, tapi saat itu kusadari bahwa Bex dan aku bukanlah
satu-satunya orang yang terlahir ke dalam bisnis keluarga
kami"ini nasib genetis. Bisa dibilang kalimat lengkap pertama
Macey adalah "Pilih Daddy". Bahkan usaha penculikan, ujian
tengah semester, dan kami bertiga nggak akan bisa membuatnya nggak mengikuti kampanye.
Saat Bex menarikku ke arah lift dan Sublevel Dua, keramaian koridor perlahan-lahan menghilang, digantikan desiran
halus lift, laser-laser, dan suara-suara kumpulan kekhawatiran
baru di kepalaku. "Apa?" tanya Bex.
"Zach," kataku, mati rasa.
"Cam, dia memang keren sekali"aku nggak bakal menyangkal itu"tapi kurasa cowok bukan hal terpenting sekarang."
"Zach bisa menerobos pengamanan."
Aku memikirkan Zach yang berdiri di balik bangku-bangku.
Aku memikirkan diriku berdiri di balik bangku-bangku. Di
daerah terlarang. "Zach bisa melewati pengamanan. Kalau dia
bisa?" Kalimatku terputus, nggak mau mengatakan hal terburuk yang terlintas di benakku. Bex mengangguk, nggak mau
mendengarnya. Sesaat kemudian kami melangkah keluar dari lift. Langkahlangkah kami bergema saat kami berlari, berputar dan berputar
147 dan berputar di jalur spiral, makin rendah ke kedalaman sekolah.
"Jangan khawatir, Cam," kata Bex, bahkan nggak kehabisan
napas sedikit pun. "Kita akan memikirkan sesuatu. Kalau Mr.
Solomon nggak membunuh kita karena terlambat."
Tapi kemudian Bex berhenti. Sebagian, kurasa, karena kami
akhirnya sudah mencapai ruang kelas; sebagian karena guru
kami"mungkin guru terbaik kami, guru kami yang paling
disiplin"nggak terlihat di mana pun.
Aku nggak tahu bagaimana sikap cewek-cewek normal saat
guru mereka berada di luar ruangan, tapi Gallagher Girl menjadi diam. Sangat diam. Karena agen-agen yang sedang dilatih
belajar dengan sangat cepat bahwa kau tak pernah bisa betulbetul percaya bahwa kau sendirian dan tidak diawasi.
Domba Domba Telah Membisu 1 Wiro Sableng 188 Bintang Langit Saptuning Jagat The Return 2
^