Pencarian

Pertempuran Labirin 4

Percy Jackson And The Olympians 4 The Battle Of The Labyrinth Pertempuran Labirin Karya Rick Riordan Bagian 4


Dia mengangguk. "Begitu saja."
"Tapi ... teman-temanku."
Calypso bangkit dan menggenggam tanganku. Sentuhannya menyetrum tubuhku. "Kau bertanya tentag
kutukanku, Percy. Aku tak ingin memberitahumu. Sebenarnya para dewa mengirimiku pendamping dari
waktu ke waktu. Kira-kira setiap seribu tahun, mereka membiarkan seorang pahlawan terdampar ke
pantaiku, seseorang yang memerlukan pertolonganku. Aku merawatnya dan berteman dengannya, tapi
yang mereka kirim tak pernah acak. Para Moirae yang mengendalikan Takdir memastikan bahwa jenis
pahlawan yang mereka kirimkan ...."
Suaranya gemetar, dan dia harus berhenti.
Aku meremas tangannya lebih erat. "Apa" Apa yang kulakukan sampai-sampai membuatmu sedih?"
"Mereka mengirimiku orang yang takkan pernah bisa tinggal," bisiknya. "Yang takkan pernah bisa
menerima tawaranku untuk menjadi pendamping lebih dari sebentar saja. Mereka mengirimiku
pahlawan yang mau tidak mau ... jenis orang yang mau tidak mau pasti akan kucintai."
Malam terasa hening, hanya ada deguk air mancur dan ombak yang berdebur di pantai. Perlu waktu
lama bagiku untuk menyadari apa yang dikatakannya.
"Aku?" tanyaku.
"Kalau kau bisa melihat wajahmu." Dia menahan senyum meskipun matanya masih basah karena air
mata. "Tentu saja, kau."
"Itu sebabnya kau menarik diri selama ini?"
"Aku mencoba begitu keras. Tapi aku tidak bisa. Para Moirae memang kejam. Mereka mengirimkanmu
padaku, Pemberani, tahu bahwa kau akan membuatku patah hati."
"Tapi ... aku cuma ... maksudku, aku kan cuma aku."
"Itu sudah cukup," Calypso berjanji. "Aku memberi tahu diriku bahwa aku bahkan takkan membicarakan
ini. Aku akan membiarkanmu pergi bahkan tanpa menawarimu tinggal di sini. Tapi aku tidak bisa. Kirasa
para Moirae mengetahui itu juga. Kau tidak bisa tinggal bersamaku, Percy. Aku takut itulah satu-satunya
cara kau bisa membantuku."
Aku menatap cakrawala. Semburat merah fajar yang pertama mencerahkan langit. Aku bisa tinggal di
sini selamanya, menghilang dari bumi. Aku bisa hidup bersama Calypso, dengan para pelayan tak kasat
mata yang mengurus setiap kebutuhanku. Kami bisa menumbuhkan bunga-bunga di taman dan bicara
pada burung-burung penyanyi dan berjalan di pantai di bawah langit biru yang sempurna. Tidak ada
perang. Tidak ada ramalan. Tidak perlu berpihak lagi.
"Aku tak bisa," aku memberitahunya.
Dia menunduk sedih. "Aku tidak akan pernah melakukan apa pun untuk menyakitimu," kataku, "tapi teman-temanku perlu
aku. Aku tahu bagaimaa menolong mereka sekarang. Aku harus kembali."
Dia memetik bunga dari tamannya"sekuntum moonlace perak. Kilaunya memudar seiring dengan
datangnya matahari terbit. Fajar waktu yang bagus untuk memutuskan, kata Hephaestus. Calypso
menyelipka bunga itu ke saku T-shirt-ku.
Dia berjinjit dan mencium keningku, seperti untuk memberkati. "Kalau begitu datanglah ke pantaiku,
Pahlawanku. Dan kami akan mengantarmu kembali."
Rakit itu berupa batang-batang kayu seluas tiga meter persegi yang disatukan dengan tali beserta
sebatang galah untuk tiang layar dan layar dari kain linen sederhana. Rakit itu kelihatannya takkan
sanggup mengarungi laut, atau mengarungi danau.
"Ini akan membawamu ke mana pun yang kau inginkan," janji Calypso. "Rakit ini lumayan aman."
Aku meraih tangannya, tapi dia melepaskannya dari genggamanku.
"Mungkin aku bisa mengunjungimu," kataku.
Dia menggelengkan kepalanya. "Tidak ada laki-laki yang pernah menemukan Ogygia dua kali, Percy. Saat
kau pergi, aku takkan pernah melihatmu lagi."
"Tapi?" "Pergilah, kumohon." Suaranya terbata-bata. "Para Moirae kejam, Percy. Ingat saja aku." Lalu seulas
kecil senyumnya kembali. "Buatlah taman di Manhattan untukku, kau mau, kan?"
"Aku janji." Aku melangkah ke rakit. Seketika rakit itu mulai berlayar menjauhi pantai.
Saat aku melayari danau, aku menyadari bahwa para Moirae memang betul-betul kejam. Mereka
mengirimi Calypso seseorang yang mau tidak mau pasti dicintainya. Tapi kerjanya dua arah. Selama sisa
hidupku aku akan selalu memikirkannya. Dia akan selalu menjadi pertanyaan bagaimana seandainya-ku
yang terbesar. Dalam hitungan menit Pulau Ogygia hilang dan kabut. Aku berlayar sendirian di air ke arah matahari
terbit. Lalu kuberi tahu rakit harus melakukan apa. Kusebutkan satu-satunya tempat yang bisa kupikirkan
karena aku memerlukan penghiburan dan teman-teman.
"Perkemahan Blasteran," kataku. "Antarkan aku pulang."*+
BAB TIGA BELAS Kami Memperkerjakan Pemandu Baru
Berjam-jam kemudian, rakitku terdampar di Perkemahan Blasteran. Bagaimana aku sampai di sana, aku
tak punya gambaran. Di satu titik air danau berubah begitu saja menjadi air asin. Garis pantai Long
Island yang familier muncul di depan, dan sepasang hiu putih besar yang ramah muncul dan
mengarahkanku ke pantai. Saat aku mendarat, perkemahan tampak sepi. Saat itu masih sore, tapi arena panahan kosong. Dinding
panjat menuangkan lava dan meggemuruh sendirian. Paviliun: tak ada siapa-siapa. Pondok: semuanya
kosong. Kemudian kulihat asap membumbung dari amfiteater. Masih terlalu awal untuk api unggun, dan
kupikir mereka tidak mungkin sedang memanggang marshmallow. Aku lari ke arah datangnya asap.
Sebelum aku sampai di sana aku mendengar Chiron membuat pengumuman. Waktu kusadari apa yang
dia katakan, aku berhenti berjalan.
?"asumsikan dia sudah mati," kata Chiron. "Setelah lama hening, sangat tidak mungkin doa kita akan
dijawab. Aku sudah minta yang terbaik di antara temannya yang selamat untuk melaksanakan
penghormatan terakhir."
Aku muncul lewat belakang amfiteater. Tidak ada yang melihatku. Mereka semua memandang ke depan,
menyaksikan saat Annabeth mengambil kain penguburan dari sutra hijau panjang, bersulamkan trisula,
dan menyulutnya hingga terbakar. Mereka sedang membakar kain kafanku.
Annabeth berbalik untuk menghadapi para hadirin. Dia kelihatan parah. Matanya bengkak karna
menangis, tapi dia berhasil mengatakan, "Dia mungkin teman paling berani yang pernah kumiliki. Dia ...."
Kemudian dia melihatku. Wajahnya berubah menjadi merah padam. "Dia ada di sana!"
Kepala-kepala berpaling. Orang-orang terkesiap.
"Percy!" Beckendorf nyengir. Sejumlah anak lain mengeruminiku dan menepuk-nepuk punggungku.
Kudengar beberapa sumpah serapah dari pondok Ares, tapi Clarisse cuma menutar bola matanya,
seakan tak bisa percaya aku bisa-bisanya punya nyali untuk selamat. Chiron berderap menghampiriku
dan semua orang menepi untuk memberinya jalan.
"Yah." Dia mendesah, jelas-jelas lega. "Aku tidak percaya aku pernah sesenag ini melihat seorang
pekemah kembali. Tapi kau harus memberitahuku?"
"KE MANA SAJA KAU?" Annabeth menginterupsi, menyikut para pekemah lain supaya minggir. Kupikir
dia bakal meninjuku, tapi dia justru memelukku erat sekali sampai-sampai dia hampir meretakkan tulang
igaku. Para pekemah lain terdiam. Annabeth tampaknya sadar dia menjadi tontonan dan mendorongku
menjauh. "Aku"kami pikir kau mati, Otak Ganggang!"
"Sori," kataku. "Aku kesasar."
"KESASAR?" teriaknya. "Dua minggu, Percy" Ngapain aja?"
"Annabeth," Chiron menginterupsi. "Mungkin kita sebaiknya mendiskusikan ini di tempat yang lebih
pribadi, ya" Yang lain, kembali ke kegiatan normal kalian!"
Tanpa menunggu kami untuk protes, dia mengangkat Annabeth dan aku dengan mudah seolah-olah
kami ini anak kucing, meletakkan kami berdua di punggungnya, dan mencongklang menjuju Rumah
Besar. *** Aku tidak memberi tahu mereka cerita selengkapnya. Aku semata tak bisa memaksa diri untuk
membicarakan Calypso. Aku menjelaskan bagaimana aku menyebabkan letusan di Gunung St. Helens
dan dilemparkan keluar dari gunung berapi. Kuberi tahu mereka aku terdampar di sebuah pulau.
Kemudian Hephaestus menemukanku dan memberitahuku aku boleh pergi. Sebuah rakit ajaib
membawaku kembali ke perkemahan.
Semua itu benar, tapi saat aku mengatakannya telapak tanganku berkeringat.
"Kau sudah hilang dua minggu." Suara Annabeth lebih mantap sekarang, tapi dia masih kelihatan agak
terguncang. "Waktu aku mendengar letusan, kupikir?"
"Aku tahu," kataku. "Maafkan aku. Tapi sekarang aku tahu bagaimana caranya menjelajahi Labirin. Aku
bicara dengan Hephaestus."
"Dia memberitahumu jawabannya?"
"Yah, dia kurang lebih memberitahuku bahwa aku sudah tahu. Dan aku memang sudah tahu. Aku paham
sekarang." Aku memberi tahu mereka gagasanku.
Mulut Annabeth ternganga. "Percy, itu gila!"
Chiron menyandarkan diri ke kursi rodanya dan mengelus-elus jenggotnya. "Walau begitu, sudah ada
preseden. Theseus mendapatkan bantuan dari Ariadne. Harriet Tubman, putri Hermes, memanfaatkan
banyak manusia fana di Rel Kereta Api Bawah Tanahnya hanya karena alasan ini."
"Tapi ini misiku," kata Annabeth. "Aku harus memimpinnya."
Chiron terlihat tidak nyaman. "Sayangku, ini memang misimu. Tapi kau perlu bantuan."
"Dan ini semestinya membantu" Yang benar saja! Ini salah. Ini pengecut. Ini?"
"Sulit mengakui kita perlu bantuan manusia fana," kataku. "Tapi itu memang benar."
Annabeth memelototiku. "Kau orang paling menyebalkan yang pernah kutemui!" Dan dia keluar
ruangan dengan marah. Aku menatap ambang pintu. Aku merasa ingin memukul seseorang. "Teman paling berani yang pernah
dia kenal apaan." "Dia nantinya akan tenang," janji Chiron. "Dia cemburu, Nak."
"Konyol sekali. Dia toh bukan ... kami kan bukan ...."
Chiron tergelak. "Bukan masalah. Annabeth sangat posesif terhadap teman-temannya, kalau-kalau kau
belum menyadarinya. Dia cukup mengkhawatirkanmu. Dan sekarang setelah kau kembali, kupikir dia
curiga tentang tempatmt terdampar."
Aku bertemu pandang dengannya, dan aku tahu Chiron sudah menebak soal Calypso. Sulit
menyembunyikan apa pun dari laki-laki yang sudah melatih para pahlawan selama tiga ribu tahun. Dia
kurang lebih bisa melihat semuanya.
"Kita takkan merenungkan pilihanmu," kata Chiron. "Kau kembali. Itu yang penting."
"Katakan itu pada Annabeth."
Chiron tersenyum. "Besok pagi aku aka minta Argus mengantar kalian berdua ke Manhattan. Kalia boleh
berhenti di rumah ibumu, Percy. Dia ... cemas, dan itu memang wajar."
Jantungku melecus. Sepanjang waktu di pulau Calypso, aku bahkan tidak pernah memikirkan bagaimana
perasaan ibuku. Dia pasti berpikir aku sudah mati. Dia pasti sedih sekali. Apa yang salah denganku
sampai-sampai aku bahkan tidak mempertimbangkan itu"
"Pak Chiron," kataku, "bagaimana dengan Grover dan Tyson" Apa Bapak pikir?"
"Aku tidak tahu, Nak." Chiron menatap perapian yang kosong. "Juniper cukup sedih. Semua rantingnya
jadi kuning. Dewan Tetua Berkuku Belah sudah mencabut izin pencari Grover secara in absentia.
Seandainya dia kembali hidup-hidup, mereka akan memaksanya untuk menjalani pengasingan
memalukan." Dia mendesah. "Walau begitu, Grover dan Tyson sangat cerdik. Kita masih bisa berharap."
"Aku semestinya tidak membiarkan mereka pergi."
"Grover punya takdirnya sendiri, dan Tyson berani karena mengikutinya. Kau tahu seandainya Grover
dalam bahaya maut, tidakkah kau pikir begitu?"
"Kurasa begitu. Sambungan empati. Tapi?"
"Ada yang harus kuberitahukan padamu, Percy," katanya. "Sebenarnya ini dua hal yang tak
menyenangkan." "Hebat." "Chris Rodriguez, tamu kita ...."
Aku ingat apa yang kulihat di ruang bawah tanah, Clarisse mencoba bicara padanya sementara dia
mengoceh soal Labirin. "Apa dia mati?"
"Belum," kata Chiron muram. "Tapi kondisinya jauh lebih parah. Dia di ruang kesehatan sekarang, terlalu
lemah untuk bergerak. Aku harus memerintahkan Clarisse supaya kembali ke jadwalnya yang biasa,
sebab dia terus-menerus berada di samping tempat tidur Chris. Dia tidak merespons apa pun. Dia tidak
mau makan atau minum. Tak satu pun obatku membantu. Dia semata sudah kehilangan tekad untuk
hidup." Aku gemetar. Terlepas dari semua pertikaian yang kualami dengan Clarisse, aku ikut tidak enak hati
untuknya. Dia mencoba begitu keras untuk menolong Chris. Dan sekarang setelah aku pernah berada
dalam Labirin, aku bisa mengerti kenapa mudah sekali bagi hantu Minos untuk membuat Chris gila.
Kalau aku berkeliaran di bawah sana sendirian, tanpa teman-temanku untuk menolong, aku pasti tak
akan bisa keluar. "Dengan berat hati kukatakan," Chiron melanjutkan, "bahwa kabar lainnya masih tidak menyenangkan.
Quintus menghilang."
"Menghilang" Bagaimana?"
"Tiga malam lalu dia menyelinap masuk ke Labirin, Juniper menyaksikannya pergi. Tampaknya kau
memang benar tentang dia."
"Dia mata-mata Luke." Aku memberi tahu Chiron soal Perkemahan Tripel G"bagaimana Quintus
membeli kalajengkingnya di sana dan Geryon selama ini menyuplai kebutuhan pasukan Kronos. "Itu
tidak mungkin kebetulan."
Chiron mendesah berat. "Begitu banyak penghianatan. Aku berharap Quintus akan terbukti merupakan
seorang teman. Tampaknya penilaianku buruk."
"Bagaimaa dengan Nyonya O"Leary?" tanyaku.
"Sang anjing neraka masih di arena. Ia tidak mau membiarkan siapa pun mendekat. Aku tidak sampai
hati memaksanya masuk kandang ... atau menghancurkannya."
"Quintus tidak mungkin meninggalkannya begitu saja."
"Seperti yang kukatakan, Percy, kita tampaknya salah soal dia. Nah, sekarang kau sebaiknya
mempersiapkan diri untuk besok pagi. Kau dan Annabeth masih punya banyak tugas untuk dilakukan."
Aku meninggalkannya di kursi rodanya, dengan sedih menatap perapian kosong. Aku bertanya-tanya
sudah berapa kali dia duduk di sana, menantikan para pahlawan yang tidak pernah kembali.
Sebelum makan malam aku mampir di arena pedang. Memang benar, Nyonya O"Leary sedang bergelung
membentuk gundukan raksasa berbulu hitam di tengah-tengah stadion, setengah hati mengunyah
kepala boneka prajurit. Waktu dia melihatku, dia menggonggong dan belari menghampiriku. Kupikir aku bakal gepeng. Aku
cuma punya waktu untuk berkata, "Woa!" sebelum dia menerjangku dan mulai menjilati mukaku. Nah,
biasanya sebagai anak Poseidon, aku cuma basah kalau aku mau, tapi kekuatanku rupanya tak sampai ke
liur anjing, soalnya aku lumayan basah kuyup bermandikan ludah.
"Tenang, Non!" teriakku. "Nggak bisa napas. Lepaskan aku!"
Akhirnya aku berhasil membuatnya melepaskanku. Aku menggaruk kupingnya dan memberinya biskuit
anjing ekstraraksasa. "Di mana majikanmu?" tanyaku padanya. "Bagaimana bisa dia meninggalkanmu begitu saja, ya?"
Dia merengek, sepertinya dia ingin tahu soal itu juga. Aku siap untuk memercayai bahwa Quintus
seorang musuh, tapi aku masih tidak mengerti kenapa dia meninggalkan Nyonya O"Leary. Kalau ada satu
hal yang kuyakini, hal itu adalah bahwa dia betul-betul peduli pada anjing raksasanya.
Aku sedang memikirkan itu dan mengelap mukaku untuk menyingkirkan liur anjing ketika suara seorang
gadis berkata, "Kau beruntung dia nggak menggigit kepalamu sampai copot."
Clarisse berdiri di ujung lain arena dengan pedang dan perisainya. "Aku datang ke sini untuk latihan
kemarin," gerutunya. "Anjing itu mencoba mengunyahku."
"Dia anjing pintar," kataku.
"Lucu." Clarisse berjalan ke arah kami. Nyonya O"Leary menggeram, tapi aku menepuk kepalanya dan
menenangkannya. "Anjing neraka bodoh," kata Clarisse. "Nggak bakalan menghalangiku berlatih."
"Aku dengar soal Chris," kataku. "Aku ikut sedih."
Clarisse mondar-madir mengelilingi arena. Ketika dia menghampiri boneka terdekat, dia menyerang
dengan ganas, memenggal kepalanya dengan sekali tebas dan mengarahka pedangnya menembus perut
si boneka. Dia menarik pedangnya ke luar dan terus berjalan.
"Yah, bagaimana lagi. Kadang-kadang keadaan memang memburuk." Suaranya gemetar. "Para
pahlawan terluka. Mereka ... mereka mati, dan monster-monster terus saja kembali."
Dia mengambil lembing dan melemparkannya ke seberang arena. Lembing itu menusuk sebuah boneka
tepat di antara lubang mata pada helmnya.
Dia menyebut Chris seorang pahlawan, seakan dia tak pernah pergi ke pihak para Titan. Hal itu
mengingatkanku pada cara Annabeth terkadang membicarakan Luke. Kuputuskan untuk tidak
mengemukakan soal itu. "Chris pemberani," kataku. "Moga-moga dia baikan."
Dia memelototiku seolah aku ini targetnya yang berikutnya. Nyonya O"Leary menggeram.
"Dengar ya," kata Clarisse padaku.
"Apa?" "Kalau kau menemukan Daedalus, jangan percayai dia. Jangan minta dia membantu. Bunuh saja dia."
"Clarisse?" "Soalnya siapa pun yang bisa membuat sesuatu seperti Labirin adalah orang yang jahat, Percy. Betulbetul jahat."
Selama sesaat dia mengingatkanku pada Eurytion sang gembala sapi, kakak tirinya yang jauh lebih tua.
Ada ekspresi keras yang sama seperti Eurytion di matanya, seolah dia sudah diperalat selama dua ribu
tahun terakhir dan sudah capek akan hal itu. Dia menyarungkan pedangnya. "Waktu latihan sudah
selesai. Mulai sekarang, semuanya sungguhan."
Malam itu aku tidur di tempat tidur susunku sendiri, dan untuk pertama kalinya sejak pulau Calypso,
mimpi menemukanku. Aku berada dalam ruangan di istana raja"sebuah ruangan putih besar dengan pilar-pilar marmer dan
singgasana kayu. Di atasnya duduklah seorang pria montok dengan rambut merah keriting dan mahkota
daun dafnah. Di sisinya berdirilah tiga gadis yang tampaknya adalah anak-anak perempuannya. Mereka
semua punya rambut merah sama sepertinya dan mengenakan jubah biru.
Pintu berderit terbuka dan seorang pembawa pesan mengumumkan, "Minos, Raja Kreta!"
Aku menegang, tapi pria di singgasana hanya tersenyum pada anak-anak perempuannya. "Aku tidak
sabar melihat raut mukanya."
Minos, sang ningrat bajingan, masuk menyapu ruangan. Dia begitu tinggi dan serius sehingga dia
membuat raja yang satu lagi terlihat konyol. Jenggot lancip Minos sudah berubah warna menjadi kelabu.
Dia terlihat lebih kurus daripada kali terakhir aku memimpikannya, dan sandalnya terciprat lumpur, tapi
cahaya kejam yang sama berbinar-binar di matanya.
Dia membungkuk dengan kaku kepada pria di singgasana. "Raja Cocalus. Kudengar kau sudah
memecahkan teka-teki kecilku?"
Cocalus tersenyum. "Sama sekali tidak kecil, Minos. Terutama saat kau mengiklankan ke seluruh dunia
bahwa kau bersedia membayar seribu batang emas untuk orang yang dapat memecahkannya. Apa
tawaran itu asli?" Minos bertepuk tangan. Dua pengawal gempal berjalan masuk, susah payah mengangkut peti kayu


Percy Jackson And The Olympians 4 The Battle Of The Labyrinth Pertempuran Labirin Karya Rick Riordan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

besar. Mereka meletakkan peti itu di dekat kaki Cocalus dan membukanya. Tumpukan batang emas
berkilau. Nilainya pasti bertrilyun-trilyun dolar.
Cocalus bersiul kagum. "Kau pasti membuat kerajaanmu bangkrut demi hadiah sebanyak ini, Kawanku."
"Itu bukan urusanmu."
Cocalus mengangkat bahu. "Teka-teki itu cukup sederhana, sebetulnya. Salah satu pengikutku
memecahkannya." "Ayah," salah seorang gadis memperingatkan. Dia kelihatannya yang tertua"sedikit lebih tinggi
daripada saudari-saudarinya.
Cocalus mengabaikannya. Dia mengambil cangkang kerang spiral dari dalam lipatan jubahnya. Benang
perak telah dilewatkan ke situ sehingga kerang itu tergantung seperti manik-manik di kalung.
Minos melangkah maju dan mengambil cangkang kerang itu. "Salah satu pengikutmu, katamu"
Bagaimana dia melewatkan benang ini tanpa memecahkan kerang?"
"Dia menggunakan semut, kalau kau percaya. Ikatkan benang sutra ke makhluk kecil itu dan bujuk dia
melewati kerang dengan cara mengoleskan madu di ujung yang satu lagi."
"Pria cerdik," kata Minos.
"Oh, memang. Tutor anak-anak perempuanku. Mereka cukup menyukainya."
Ekspresi di mata Minos berubah menjadi dingin. "Aku akan berhati-hati soal itu."
Aku ingin memperingatkan Cocalus: Jangan percayai laki-laki ini! Lemparkan dia ke penjara bawah
tanah dengan singa-singa pemakan manusia atau apalah! Tapi sang raja berambut merah cuma
tergelak. "Jangan khawatir, Minos. Anak-anak perempuanku bijaksana, melampaui usia mereka. Nah,
mengenai emasku?" "Ya," kata Minos. "Tapi begini, emas ini untuk pria yang memecahkan teka-teki. Dan hanya ada satu pria
semacam itu. Kau menampung Daedalus."
Cocalus bergeser tak nyaman di singgasananya. "Bagaimana bisa kautahu namanya?"
"Dia pencuri," kata Minos. "Dia pernah bekerja di istanaku, Cocalus. Dia memengaruhi putriku sendiri
sehingga melawanku. Dia membantu seorang maling mempermalukanku di istanaku sendiri. Dan
kemudian dia melarikan diri dari keadilan. Aku sudah mengejarnya selama sepuluh tahun."
"Aku tidak tahu apa-apa tentang ini. Tapi aku sudah menawari pria itu perlindunganku. Dia sangat
berguna?" "Aku menawarimu pilihan," kata Minos. "Serahkan buronan itu kepadaku, dan emas ini jadi milikmu.
Atau ambil risiko menjadikanku musuhmu. Kau tidak menginginkan Kreta sebagai musuhmu."
Cocalus memucat. Kupikir bodoh, dirinya kelihatan begitu ketakutan di tengah ruang singgasanannya
sendiri. Dia seharusnya memanggil pasukannya atau apalah. Minos Cuma punya dua pengawal. Tapi
Cocalus duduk saja di sana sambil berkeringat di singgasananya.
"Ayah," anak perempuannya yang tertua berkata, "Ayah tidak bisa?"
"Diam, Aelia." Cocalus memuntir jenggotnya. Dilihatnya lagi emas yang berkilauan. "Ini menyakitiku,
Minos. Para dewa tak menyukai pria yang melanggar sumpahnya untuk bersikap ramah tamah."
"Para dewa juga tidak menyukai mereka yang menampung kriminal."
Cocalus mengangguk. "Baiklah. Kau akan mendapatkan pria itu sebagai milikmu dalam keadaan terantai."
"Ayah!" Aelia lagi-lagi berkata. Lalu dia menahan diri, dan mengubah nada suaranya menjadi lebih manis.
"Paling"paling tidak biarkan kami menjamu tamu kita terlebih dahulu. Setelah perjalanan panjangnya,
beliau semestinya diberi mandi air panas, pakaian baru, dan santapan yang layak. Saya akan merasa
terhormat untuk menyiapkan mandi beliau sendiri."
Dia tersenyum manis pada Minos, dan sang raja tua menggeram. "Kurasa mandi tidak ada salahnya." Dia
memandang Cocalus. "Akan kujumpai kau saat makan malam, Tuan. Bersama si tawanan."
"Ke arah sini, Baginda," kata Aelia. Dia dan saudara-saudara perempuannya membimbing Minos ke luar
ruangan. Aku mengikuti mereka ke kamar mandi yang dihiasi ubin mozaik. Uap memenuhi udara. Keran yang
mengucurkan air menuangkan air panas ke dalam bak. Aelia dan saudari-saudarinya memenuhi bak
dengan kelopak mawar dan sesuatu yang pastinya adalah busa madi Mr. Bubble ala Yunani Kuno,
soalnya tidak lama kemudian air diselubingi oleh busa aneka warna. Para gadis menoleh ke samping saat
Minos menjatuhkan jubahnya dan menyelinap masuk ke dalam bak.
"Ahh." Dia tersenyum. "Air mandi yang luar biasa. Terima kasih, Sayangku. Perjalananku memang
panjang sekali." "Anda sudah sepuluh tahun mengejar mangsa Anda, Tuan?" tanya Aelia, mengedikkan bulu matanya.
"Anda pasti bertekad kuat."
"Aku tidak pernah melupakan utang." Minos menyeringai. "Ayah kalian bijaksana, menyetujui
tuntutanku." "Oh, memang, Tuan!" kata Aelia. Kupikir pujiannya terlalu kentara, tapi si laki-laki tua menelannya bulatbulat begitu saja. Saudari-saudari Aelia meneteskan minyak wangi ke kepala sang raja.
"Anda tahu, Tuan," kata Aelia, "Daedalus pikir Anda akan datang. Dia pikir teka-teki itu mungkin
merupakan perangkap, tapi dia tidak bisa menahan diri untuk tidak memecahkannya."
Minos menyerngitkan dahi. "Daedalus bicara tentangku padamu?"
"Ya, Tuan." "Dia pria yang tidak baik, Putri. Anak perempuanku sendiri jatuh ke dalam tipu dayanya. Jangan
dengarkan dia." "Dia genius," kata Aelia. "Dan dia percaya seorang wanita sama pintarnya seperti seorang pria. Dialah
yang pertama kali mengajari kami layaknya kami punya pikiran sendiri. Mungkin anak perempuan Anda
merasakan hal yang sama."
Minos mencoba duduk tegak, tapi saudara-saudara perempuan Aelia mendorongnya kembali ke air.
Aelia mendekat ke belakang Minos. Dia memegangi tiga bulatan kecil di telapaknya. Pada mulanya
kupikir ketiganya adalah butiran sabun mandi, tapi dia melemparkannya ke air dan butiran-butiran itu
mulai menjulurkan benang-benang perunggu yang mulai membungkus tubuh sang raja, mengikat
pergelagan kakinya, mengekang tangannya ke samping tubuhnya, melingkari lehernya. Meskipun aku
benci Minos, pemandangan itu cukup mengerikan untuk ditonton. Dia meronta-ronta dan menjerit, tapi
gadis-gadis itu jauh lebih kuat. Segera saja dia menjadi tak berdaya, tergolek di bak dengan dagunya
tepat di atas permukaan air. Untaian perunggu masih membungkusnya seperti kepompong, makin erat
di permukaan tubuhnya. "Apa mau kalian?" tuntut Minos. "Kenapa kalian melakukan ini?"
Aelia tersenyum. "Daedalus baik pada kami, Baginda. Dan saya tidak suka Anda mengancam ayah kami."
"Bilang pada Daedalus," geram Minos. "Bilang padanya aku akan memburunya bahkan setelah
kematian! Jika ada keadilan di Dunia Bawah, jiwaku akan menghantuinya selamanya!"
"Kata-kata yang berani, Baginda," kata Aelia. "Saya harap Anda beruntung menemukan keadilan Anda di
Dunia Bawah." Dan dengan itu, benang-benang perunggu membungkus wajah Minos, menjadikannya mumi perunggu.
Pintu rumah mandi terbuka. Daedalus melangkah masuk, membawa tas bepergiannya.
Dia sudah memangkas rambutnya pendek-pendek. Jenggotnya putih sepenuhnya. Dia terlihat rapuh dan
sedih, tapi dia mengulurkan tangan ke bawah dan menyentuh kening si mumi. Benang-benang terurai
dan tenggelam ke dasar bak. Tak ada apa-apa di dalamnya. Tampaknya seolah Raja Minos larut begitu
saja. "Kematian yang tak menyakitkan." Daedalus bergumam. "Lebih daripada yang layak diterimaya. Terima
kasih, Putri-putri."
Aelia memeluknya. "Anda tidak bisa tinggal di sini, Guru. Saat ayah kami tahu?"
"Ya," kata Daedalus. "Aku takut aku sudah membawa masalah bagi kalian."
"Oh, jangan cemaskan kami. Ayah akan senang mengambil emas pak tua itu. Dan Kreta sangat jauh dari
sini. Tapi dia akan menyalahkan Anda atas kematian Minos. Anda harus kabur ke tempat yang aman."
"Tempat yang aman," ulang sang pria tua. "Selama bertahun-tahun aku kabur dari kerajaan ke kerajaan,
mencari tempat yang aman. Aku takut Minos mengatakan yang sesungguhnya. Kematian takkan
mencegahnya memburuku. Tidak ada tempat di bawah matahari yang akan menampungku, setelah
kabar tentang kejahatan ini tersebar."
"Kalau begitu ke mana Anda akan pergi?" kata Aelia.
"Tempat yang menurut sumpahku takkan kumasuki lagi," kata Daedalus. "Penjaraku mungkin
merupakan satu-satunya tempatku berlindung."
"Saya tidak mengerti," kata Aelia.
"Lebih baik kau tidak mengerti."
"Tapi bagaimana dengan Dunia Bawah?" Salah satu saudara perempuannya bertanya. "Penghakiman
yang mengerika akan menanti Anda! Semua manusia harus mati."
"Mungkin," kata Daedalus. Lalu dia mengeluarkan gulungan dari tas bepergiannya"gulungan yang sama
yang pernah kulihat dalam mimpiku, yang memuat catatan keponakannya. "Atau mungkin tidak."
Dia menepuk bahu Aelia, lalu memberkati dia dan saudara-saudara perempuannya. Dia menunduk
sekali lagi, memandang benang-benang logam yang berkilat di dasar bak. "Cari aku kalau kau berani, raja
hantu." Dia menoleh ke arah dinding mozaik dan menyentuh sebuah ubin. Tanda yang mengilap muncul"D
Yunani"dan dinding bergeser membuka, Para putri terkesiap.
"Anda tidak pernah memberi tahu kami tentang jalan rahasia!" kata Aelia. "Anda pasti sibuj selama ini."
"Labirin yang sibuk selama ini," Daedalus mengoreksi. "Jangan coba ikuti aku, Sayangku, kalau kalian
menghargai kewarasan kalian."
Mimpiku berpindah. Aku berada di bawah tanah dalam sebuah ruangan batu. Luke dan seorang prajurit
blasteran lain sedang mempelajari sebuah peta diterangi senter.
Luke menyumpah. "Harusnya ini belokan terakhir." Dia meremas-remas peta dan melemparkannya ke
samping. "Pak!" protes rekannya.
"Peta tidak berguna di sini," kata Luke. "Jangan khawatir. Aku aka menemukannya."
"Pak, benarkah semakin besar kelompok?"
"Kau lebih mungkin tersesat" Ya, itu benar. Memangnya kenapa kau pikir kita mengirim penjelajah
tunggal" Tapi jangan khawatir. Segera setelah kita dapatkan benang itu, kita bisa membimbing baris
depan lewat." "Tapi bagaimana cara kita mendapatkan benang itu?"
Luke berdiri, melemaskan jari-jarinya. "Oh, Quintus akan datang. Yang harus kita lakukan hanyalah
mencapai arena, dan letaknya di persimpangan. Mustahil pergi ke mana pun tanpa melaluinya. Itulah
sebabnya kita harus berdamai dengan tuannya. Kita cuma harus tetap hidup sampai?"
"Pak!" suara baru datang dari koridor. Laki-laki lain yang berpakaian zirah Yunani lari ke depan,
membawa obor. "Dracaena menemukan seorang blasteran!"
Luke cemberut. "Sendirian" Berkeliaran di labirin?"
"Ya, Pak! Anda lebih baik cepat-cepat datang ke sana. Mereka ada di ruangan berikutnya. Mereka sudah
menyudutkannya." "Siapa dia?" "Tidak ada yang pernah melihatnya sebelumnya, Pak."
Luke mengangguk. "Karunia dari Kronos. Kita mungkin bisa memanfaatlkan blasteran ini. Ayo!"
Mereka lari menyusuri koridor, dan aku tersentak bangun, menatap ke kegelapan. Seorang blasteran,
berkeliaran di labirin sendirian. Sudah lama sebelum aku berkesempatan tidur lagi.
Keesokan paginya aku memastikan supaya biskuit anjing Nyonya O"Leary cukup. Aku minta Beckendorf
untuk mengawasi anjing itu, sesuatu yang tampaknya membuatnya tidak terlalu gembira. Lalu aku
memanjat Bukit Blasteran dan menemui Annabeth dan Argus di jalan.
Annabeth dan aku tidak banyak mengobrol di dalam van. Argus tidak pernah bicara, mungkin karena dia
punya mata di seluruh tubuhnya, termasuk"begitu yang kudengar"di ujung lidahnya, dan dia tidak
suka menunjukkannya. Annabeth terlihat mual, seakan tidurnya bahkan lebih tidak nyenyak daripada aku.
"Mimpi buruk?" tanyaku akhirnya.
Dia menggelengkan kepalanya. "Pesan-Iris dari Eurytion."
"Eurytion! Apa ada masalah dengan Nico?"
"Dia meninggalkan peternakan kemarin malam, kembali menuju ke labirin."
"Apa" Apa Eurytion nggak mencoba menghentikannya?"
"Nico sudah pergi sebelum dia bangun. Orthus melacak baunya sampai sejauh si sapi penjaga. Eurytion
bilang dia mendengar Nico berbicara sendiri beberapa malam sebelumnya. Hanya saja sekarang dia pikir
Nico bicara dengan si hantu lagi, Minos."
"Dia dalam bahaya," kataku.
"Pastinya. Minos salah satu pengadil orang mati, tapi dia punya bawaan kejam. Aku nggak tahu apa yang
dia mau dari Nico, tapi?"
"Bukan itu maksudku," kataku. "Aku bermimpi semalam ...." Aku memberitahunya tentang Luke,
bagaimana dia menyebut Quintus, dan bagaimana anak buahnya menemukan seorang blasteran
sendirian dalam labirin. Rahang Annabeth mengatup. "Itu gawat, gawat sekali."
"Jadi, apa yang kita lakukan?"
Dia mengangkat alis. "Yah, untung kau punya rencana untuk memandu kita, kan?"
Saat itu hari Sabtu, dan lalu lintas memasuki kota padat. Kami sampai di rumah ibuku sekitar tengah hari.
saat dia membuka pintu, dia memberiku pelukan yang hanya sedikit lebih ringan dibandingkan dengan
ketika si anjing neraka melompat menerjangku.
"Aku bilang pada mereka kau baik-baik saja," kata ibuku, tapi dia terdengar seakan bobot seluruh langit
baru saja diangkat dari pundaknya"dan percaya padaku deh, aku pernah mengalami sendiri bagaimana
rasanya itu. Dia menyuruh kami duduk di balik meja dapur dan berkeras memberi kami makanan berupa kue
chocolatechip spesialnya yang berwarna biru sementara kami menceritakan tentang misi kepadanya.
Seperti biasa, aku mencoba menggampangkan bagian-bagian yang menyeramkan (yang berarti hampir
semuanya), tapi entah bagaimaa itu Cuma membuatnya terdengar lebih berbahaya.
Waktu aku sampai ke bagian Geryon dan istal, ibuku pura-pura bakal mencekikku. "Aku tidak bisa
menyuruhnya membersihka kamarnya, tapi dia mau membersihkan istal monster dari berton-ton kotora
kuda?" Annabeth tertawa. Itulah pertama kalinya kudengar dia tertawa setelah waktu yang lama, dan aku
senang mendengarnya. "Jadi," kata ibuku waktu aku selesai bercerita, "kay memorak-poradakan Pulau Alcatraz, membuat
Gunung St. Helens meletus, dan mengusir setengah juta orang, tapi paling tidak kau selamat." Begitulah
ibuku, selalu melihat sisi postifnya.
"Yep." Aku setuju. "Itu kurang lebih mencakup semuanya."
"Kuharap Paul ada di sini," katanya, setengah pada dirinya sendiri. "Dia ingin bicara padamu."
"Oh, benar. Sekolah."
Begitu banyak hal sudah terjadi sejak saat itu sampai-sampai aku lupa soal orientasi SMA di Goode"
fakta bahwa aku meninggalkan aula band dalam keadaan terbakar, dan pacar ibuku terakhir kali
melihatku melompat keluar jendela seperti buronan.
"Apa yang Ibu katakan padanya?"
Ibuku menggelengkan kepala. "Apa yang bisa Ibu katakan" Dia tahu sesuatu berbeda tentang dirimu,
Percy. Dia laki-laki pintar. Dia percaya kau bukan orang jahat. Dia tidak tahu apa yang terjadi, tapi
sekolah menekannya. Biar bagaimanapun, dia memintamu dimasukkan ke sana. Dia perlu meyakinkan
mereka bahwa kebakaran bukan salahmu. Dan karena kau kabur, kelihatannya jadi buruk."
Annabeth mengamatiku. Dia terlihat lumayan simpatik. Aku tahu dia pernah berada dalam situasi yang
mirip. Tidak pernah mudah bagi blasteran, berada di dunia manusia fana.
"Aku akan bicara padanya." Aku berjanji. "Setelah kami menyelesaikan misi. Aku bahkan akan
memberitahunya soal sebenarnya kalau Ibu mau."
Ibuku meletakkan tangan di bahuku. "Kau mau melakukan itu?"
"Yah, mau. Maksudku, dia bakal mengira kita gila."
"Dia sudah berpikir begitu, kok."
"Kalau begitu nggak ada ruginya, kan."
"Terima kasih, Percy. Akan ibu beri tahu dia kau akan pulang ...." Ibu mengerutkan kening. "Kapan" Apa
yang terjadi sekarang?"
Annabeth mematahkan kuenya jadi dua. "Percy punya rencana ini nih."
Dengan enggan aku memberi tahu ibuku.
Dia mengangguk pelan. "Kedengarannya sangat berbahaya. Tapi mungkin saja berhasil."
"Ibu punya kemampuan yang sama, kan?" tanyaku. "Ibu bisa melihat menembus Kabut."
Ibuku mendesah. "Sekarang tidak terlalu. Waktu ibu masih muda, melakukannya lebih mudah. Tapi, ya,
Ibu selama ini selalu bisa melihat lebih daripada yang bagus untuk Ibu. Itulah salah satu hal yang
menarik perhatian ayahmu, waktu kita pertama bertemu. Pokoknya hati-hatilah. Berjanjilah padaku kau
akan selamat." "Akan kami coba, Bu Jackson," kata Annabeth. "Tapi, menjaga anak laki-laki Ibu supaya tetap aman
adalah pekerjaan besar." Dia bersedekap dan memandang ke luar jendela dapur. Aku memain-mainkan
serbetku dan mencoba untuk tidak mengatakan apa-apa.
Ibuku mengernyitkan dahi. "Ada apa dengan kalian berdua" Apa kalian bertengkar?"
Tak satu pun dari kami berkata apa-apa.
"Begitu," kata Ibuku, dan aku bertanya-tanya apa dia bisa melihat menembus lebih daripada sekadar
Kabut. Kedengarannya dia mengerti apa yang terjadi antara Annabeth dan aku, tapi aku tahu pasti
bahwa aku tak mengerti. "Yah, ingatlah," katanya, "Grover dan Tyson mengandalkan kalian berdua."
"Aku tahu." Annabeth dan aku berkata berbarengan, yang justru lebih membuatku malu.
Ibuku tersenyum. "Percy, lebih baik kau gunakan telepon di lorong. Semoga berhasil."
Aku lega bisa keluar dari dapur meskipun aku gugup soal apa yang akan kulakukan. Aku pergi ke telepon
dan melakukan panggilan. Nomor itu sudah lama terhapus dari tangaku, tapi itu tidak jadi soal. Tanpa
bermaksud melakukannya, aku sudah menghafalnya.
Kami mengatur pertemuan di Times Square. Kami menemukan Rachel Elizabeth Dare di depan Marriott
Marquis, dan dia sepenuhnya bercat emas.
Maksudku wajahnya, rambutnya, pakaiannya"semuanya. Dia terlihat seakan habis disentuh Raja Midas.
Dia berdiri seperti patung bersama lima anak lain yang semuanya bercat metalik"tembaga, perunggu,
perak. Mereka membeku dalam pose-pose yang berbeda sementara para wisatawan bergegas-gegas
melintas atau berhenti untuk menatap. Beberapa pejalan kaki melemparkan uang ke terpal di trotoar.
Plang di kaki Rachel berbunyi, SENI URBAN UNTUK ANAK-ANAK, MENERIMA DONASI.
Annabeth dan aku berdiri di sana selama kira-kira lima menit, menatap Rachel, tapi kalau dia melihat
kami dia tak menunjukkannya. Dia tidak bergerak atau bahkan berkedip, setidaknya tidak
sepengelihatanku. Sebagai penderita GPPH, aku tak mungkin melakukan itu. Berdiri diam selama itu
pasti bakal membuatku gila. Aneh juga melihat Rachel berwarna emas. Dia terlihat seperti patung
seseorang yang terkenal, aktris atau apalah. Hanya matanya yang berwarna hijau normal.
"Mungkin kita harus mendorongnya." Annabeth menyarankan.
Kupikir itu agak kejam, tapi Rachel tidak merespons perkataan itu. Beberapa menit kemudian, seorang
anak berwarna perak berjalan dari pelataran taksi hotel, tempatnta beristirahat sebelumnya. Dia
berpose seolah dia sedang menguliahi khalayak, tepat di sebelah Rachel. Rachel baru berhenti
mematung dan melangkah dari terpal.
"Hei, Percy." Dia nyengir. "Pemilihan waktu yang bagus! Ayo kita ngopi."
Kami berjalan ke sebuah tempat bernama Java Moose di West 43rd. Rachel memesan Espresso Extreme,
jenis minuman yang sepertinya bakal disukai Grover. Annabeth dan aku memesan smoothie buah dan
kami duduk di sebuah meja tepat di bawah seekor moose"semacam rusa"yang disumpal. Tidak
seorang pun melirik Rachel yang berpakaian serba emas dua kali.
"Jadi," katanya, "kau Annabell, benar?"
"Annabeth," koreksi Annabeth. "Apa kau selali berpakaian emas?"
"Biasanya nggak," kata Rachel. "Kami mengumpulkan uang untuk kelompok kami. Kami melakukan
proyek seni sukarela untuk anak-anak SD karena mereka menghilangkan pelajaran kesenian dari sekolah,


Percy Jackson And The Olympians 4 The Battle Of The Labyrinth Pertempuran Labirin Karya Rick Riordan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kau tahu" Kami melakukan ini sekali sebulan, mendapat sekitar lima ratus dolar di akhir pekan yang baik.
Tapi kutebak kau nggak mau membicarakan itu. Kau blasteran juga?"
"Ssst!" kata Annabeth, melihat ke sekeliling. "Jangan umumkan itu ke seluruh dunia, bagaimana?"
"Oke." Rachel berdiri dan berkata keras-keras. "Hei, semuanya! Dua orang ini bukan manusia! Mereka
blasteran dewa Yunani!"
Tidak ada seorang pun yang menoleh. Rachel mengangkat bahu dan duduk lagi. "Mereka sepertinya
nggak peduli." "Itu nggak lucu," kata Annabeth. "Ini bukan lelucon, Cewek Fana."
"Tahan, kalian berdua," kataku. "Tenang, dong."
"Aku tenang," Rachel berkeras. "Setiap kali aku ada di sekitarmu, monster menyerang kita. Buat apa
gugup soal itu?" "Dengar," kataku. "Aku minta maaf soal ruang band. Kuharap mereka nggak mengeluarkanmu atau
apalah." "Nggak. Mereka mengajukan banyak pertanyaan tentangmu padaku. Aku pura-pura bodoh saja."
"Susah nggak?" tanya Annabeth.
"Oke, stop!" Aku menginterupsi. "Rachel, kami punya masalah. Dan kami perlu bantuanmu."
Rachel menyipiykan matanya kepada Annabeth. "Kalian perlu bantuanku?"
Annabeth mengaduk smoothie-nya dengan sedotan. "Iya," katanya murung. "Mungkin."
Kuceritakan soal Labirin kepada Rachel, dan bagaimana kami harus menemukan Daedalus. Kuberi tahu
dia apa yang terjadi kali terakhir kami masuk ke sana.
"Jadi, kalian ingin aku memandu kalian," katanya. "Melewati tempat yang nggak pernah kudatangi."
"Kau bisa melihat menembus Kabut," kataku. "Sama seperti Ariadne. Aku bertaruh kau bisa melihat
jalan yang tepat. Labirin nggak akan menipumu dengan mudah."
"Dan kalau kau salah?"
"Kalau begitu kami bakal tersesat. Bagaimanapun juga, keadaannya bakal berbahaya. Sangat, sangat
berbahaya." "Aku bisa mati."
"Iya." "Kupikir kau bilang monster nggak peduli pada manusia fana. Pedangmu itu?"
"Iya," kataku. "Perunggu langit nggak melukai manusia fana. Sebagian besar monster bakal
mengacuhkanmu. Tapi Luke ... dia nggak akan peduli. Dia akan memperalat manusia manusia fana,
blasteran, monster, apa saja. Dan dia bakal membunuh siapa pun yang menghalanginya."
"Cowok keren," kata Rachel.
"Dia di bawah pengaruh Titan," kata Annabeth defensif. "Dia ditipu."
Rachel melihat kami bolak-balik. "Oke," katanya. "Aku ikut."
Aku berkedip. Aku tidak mengira bakal semudah itu. "Apa kau yakin?"
"Hei, musim panasku memang bakal membosankan. Inilah tawaran terbaik yang kuterima sejauh ini. jadi,
apa lagi yang kucari?"
"Kita harus menemukan pintu masuk ke Labirin," kata Annabeth. "Ada pintu masuk di Perkemahan
Blasteran, tapi kau nggak boleh ke sana. Tempat itu nggak boleh dimasuki manusia fana."
Dia mengatakan manusia fana seakan itu adalah semacam kondisi memprihatinkan, tapi Rachel semata
mengangguk. "Oke. Pintu masuk ke Labirin itu seperti apa?"
"Bisa apa saja," kata Annabeth. "Bagian dari dinding. Batu besar. Ambang pintu. Jalan masuk ke saluran
pembuangan. Tapi pasti ada tanda Daedalus di sana. D Yunani, berkilau biru."
"Kayak gini?" Rachel menggambar simbol Delta di air di atas meja kami.
"Iya, betul," kata Annabeth. "Kau paham bahasa Yunani?"
"Nggak," kata Rachel. Dia mengeluarkan sikat rambut plastik biru besar dari sakunya dan mulai menyikat
warna emas sehingga terlepas dari rambutnya. "Biar aku ganti pakaian. Kalian sebaiknya ikut aku ke
Marriott." "Kenapa?" tanya Annabeth.
"Soalnya ada pintu masuk seperti itu di ruang bawah tanah hotel, tempat kami menyimpan kostum kami.
Di sana ada tanda Daedalus."*+
BAB EMPAT BELAS Saudaraku Berduel Mati-matian Melawanku
Pintu logam itu setengah tersembunyi di balik keranjang cucian yang dipenuhi handuk kotor hotel. Aku
tidak melihat apa pun yang aneh soal itu, tapi Rachel menunjukkan kepadaku ke mana harus melihat,
dan aku mengenali simbol biru pudar yang tertoreh di logam.
"Pintu ini sudah lama nggak digunakan," kata Annabeth.
"Aku pernah mencoba membukanya," kata Rachel, "cuma karena penasaran. Pintu ini tertutup rapat,
sudah karatan." "Bukan." Annabeth melangkah maju. "Pintu itu cuma perlu sentuhan seorang blasteran."
Memang benar, segera setelah Annabeth meletakkan tangannya di tanda itu, pintu itu mulai berkilau
biru. Segel pintu logam terpatahkan dan pintu itu pun mulai berderit terbuka, menampakkan tangga
gelap yang mengarah ke bawah.
"Wow." Rachel terlihat tenang, tapi aku tidak tahu apakah dia berpura-pura atau tidak. Dia sudah
berganti pakaian dengan T-shirt Museum Seni Modern usang dan jins bercorat-coret spidolnya yang
biasa, sikat rambut plastiknya menyembul keluar dari sakunya. Rambut merahnya diikat ke belakang,
tapi masih ada bercak-bercak emas di sana, dan bekas-bekas glitter emas di wajahnya. "Jadi ... silakan?"
"Kau pemandunya," kata Annabeth, pura-pura sopan. "Bimbinglah kami."
Tangga mengarah ke bawah ke terowongan bata besar. Keadaannya begitu gelap sehingga aku tidak bisa
melihat enam puluh sentimeter di hadapan kami, tapi Annabeth dan aku sudah menstok ulang senter.
Segera setelah kami menyalakan senter, Rachel memekik.
Seonggok kerangka sedang menyerigai kepada kami. Ia bukan manusia. Satu hal, ukuranya besar"
paling tidak tingginya tiga meter. Satu hal, ukurannya besar"paling tidak tingginya tiga meter. Ia terikat,
pergelangan tangan dan kakinya teratai sehingga ia membentuk X raksasa merintangi terowongan. Tapi
yang betul-betul membuat bulu romaku merinding adalah satu rongga mata kosong di tengah-tengah
tengkoraknya. "Cyclops," kata Annabeth. "Sudah sangat tua. Ia bukan ... seseorang yang kita kenal."
Ia bukan Tyson, maksudnya. Tapi itu tidak membuatku lebih baik. Aku masih merasa bahwa kerangka itu
diletakkan di sini sebagai peringatan. Apa pun yang bisa membunuh cyclops dewasa, aku tidak mau
menemuinya. Rachel menelan ludah. "Kau punya teman cyclops?"
"Tyson," kataku. "Saudara tiriku."
"Saudara tirimu?"
"Mudah-mudahan kita bakal menemukan dia di bawah sini," kataku. "Dan Grover. Dia satir."
"Oh." Suara Rachel kecil. "Yah, kalau begitu lebih baik kita terus bergerak."
Dia melangkah ke bawah lengan kiri si kerangka dan terus berjalan. Annabeth dan aku bertukar pandang.
Annabeth mengangkat bahu. Kami mengikuti Rachel memasuki labirin kian dalam.
Setelah lima belas meter kami sampai di persimpangan. Di depan, terowongan bata berlanjut. Di kanan,
dinding terbuat dari bilah marmer kuno. Di kiri, terowongan terbuat dari tanah dan akar pohon.
Aku menunjuk ke kiri. "Itu kelihatannya seperti terowongan yang diambil Tyson dan Grover."
Annabeth mengerutkan kening. "Iya, tapi arsiterktur di kanan"batu-batu tua"itu lebih mengarah ke
bagian kuno labirin, ke arah bengkel kerja Daedalus."
"Kita harus lurus," kata Rachel.
Baik Annabeth maupun aku menatapnya.
"Itu pilihan yang paling nggak mungkin," kata Annabeth.
"Kalian nggak lihat?" tanya Rachel. "Lihat di lantai."
Aku tidak melihat apa pun kecuali bata kusam dan lumpur.
"Ada sesuatu yang cerah di sana." Rachel berkeras. "Sangat samar. Tapi maju adalah pilihan yang tepat.
Di kiri lebih jauh menyusuri terowongan, akar-akar pohon itu bergerak-gerak seperti antena. Aku nggak
suka itu. Di kiri, ada jebakan kira-kira enam meter dari ujung sini. Lubang-lubang di dinding, mungkin
untuk pasak-pasak. Kupikir kita sebaiknya nggak mengambil risiko itu."
Aku tidak melihat apa pun seperti yang dia paparkan, tapi aku mengangguk. "Oke. Maju."
"Kau percaya padanya?" tanya Annabeth.
"Iya," kataku. "Memangnya kau nggak?"
Annabeth terlihat seakan dia ingin berdebat, tapi dia melambai kepada Rachel agar terus. Bersamasama kami berjalan menyusuri koridor bata. Koridor tersebut berkelok-kelok dan berbelok-belok, tapi
tidak ada terowongan samping lainnya. Kami tampaknya mengarah ke bawah, menuju ruang bawah
tanah yang lebih dalam. "Nggak ada jebakan?" tanyaku waswas.
"Nggak ada apa-apa." Rachel mengernyitkan dahi, alisnya merapat. "Apa harusnya memang segampang
ini?" "Entahlah," kataku. "Sebelumnya nggak pernah begini."
"Jadi, Rachel," kata Annabeth, "dari mana asalmu tepatnya?"
Dia mengucapkannya seperti, Dari planet mana asalmu" Tapi Rachel tidak terlihat tersinggung.
"Brooklyn," katanya.
"Apa orang tuamu nggak khawatir kalau kau keluar sampai larut?"
Rachel mengembuskan napas. "Sepertinya nggak. Aku bisa pergi seminggu dan mereka nggak bakal
sadar." "Kok bisa?" Kali ini Annabeth tidak terdengar sesarkatis sebelumnya. Bermasalah dengan orangtua
adalah sesuatu yang dipahaminya.
Sebelum Rachel bisa menjawab, ada bunyi berderit di hadapan kami, seperti pintu yang terbuka.
"Apa itu?" tanya Annabeth.
"Aku nggak tahu," kata Rachel. "Engsel logam."
"Oh, membantu sekali, tuh. Maksudku, apa itu?"
Lalu aku mendengar langkah kaki berat mengguncangkan koridor"datang ke arah kami.
"Lari?" tanyaku.
"Lari," Rachel setuju.
Kami berbalik dan melarikan diri ke arah kami datang, tapi kami tidak sampai sejauh enam meter
sebelum kami bertabrakan dengan sejumlah tema lama. Dua dracaena"wanita ular berbaju zirah
Yunani"mendorongkan lembing mereka ke dada kami. Di antara mereka berdirilah Kelli, sang pemandu
sorak empousa. "Wah, wah," kata Kelli.
Aku membuka tutup Reptide, dan Annabeth mengeluarkan pisaunya; tapi bahkan sebelum pedangku
keluar dari bentuk bolpennya, Kelli menerjang Rachel. Tangannya berubah menjadi cakar dan dia
memilin Rachel, memegangi leher Rachel erat-erat dengan cakarnya.
"Membawa teman fana kalian jalan-jalan?" Kelli bertanya padaku. "Mereka makhluk yang rapuh. Begitu
mudah dihancurkan!" Di belakang kami, langakah-langkah kaki semakin dekat. Sosok besar muncul dari keremangan"raksasa
Laistrygonian setinggi dua setengah meter bermata merah dan bertaring.
Si raksasa menjilat bibirnya saat dia melihat kami. "Boleh kumakan mereka?"
"Tidak," kata Kelli. "Majikanmu akan menginginkan mereka. Mereka akan menyediakan hiburan yang
luar biasa." Dia tersenyum padaku. "Sekarang jalan, Blasteran. Atau kalian semua mati di sini, dimulai
dari si gadis fana."
Situasi lebih mirip dengan mimpi terburukku. Dan percayalah padaku, aku sudah banyak bermimpi
buruk. Kami berbaris menyusuri terowongan sambil diapit dua dracarna, dengan Kelli dan si raksasa di
belakang, sekadar berjaga-jaga seandainya kami mencoba melarikan diri. Tampaknya tidak ada yang
khawatir kalau-kalau kami lari ke depan. Itulah arah yang mereka inginkan agar kami tuju.
Di depan aku bisa melihat pintu perunggu. Ukurannya kira-kira setinggi tiga meter, dihiasi sepasang
pedang yang melintang. Dari belakang pintu ada gemuruh yang teredam, seperti dari kerumunan orang.
"Oh, ya," kata si wanita ular di kiriku. "Kalian akan sssssangat digemari oleh tuan rumah kami."
Aku tak pernah berkesempatan melihat dracaena dari dekat sebelumnya, dan aku tak terlalu antusas
mendapatkan kesempatan itu. Dia sebetulnya bermuka cantik, hanya saja lidahnya bercabang dan
matanya kuning dengan celah hitam sebagai pupil. Dia mengenakan baju zirah perunggu yang berakhir
di pinggagnya. Di bawah itu, tempat kakinya seharusnya terletak, ada dua ekor ular raksasa, bertotoltotol perunggu dan hijau. Dia bergerak dengan perpaduan antara melata dan berjalan, seakan-akan dia
sedang naik papan ski hidup.
"Siapa tuan rumahmu?" tanyaku.
Dia mendesis, yang mungkin saja merupakan tawa. "Oh, kau lihat sssssaja nanti. Kalian passsssti akrab.
Biar bagaimanapun juga, dia sssssaudaramu."
"Apaku?" Seketika aku memikirkan Tyson, tapi itu mustahil. Apa yang dia bicarakan"
Si raksasa mendorong kami minggir dan membuka pintu. Dia mengangkat Annabeth denga cara
menjinjing pakaiannya dan berkata, "Kau diam di sini."
"Hei!" protes Annabeth, tapi ukuran makhluk itu dua kali lipat darinya dan dia sudah menyita pisau
Annabeth dan pedangku. Kelli tertawa. Cakarnya masih mencengkeram leher Rachel. "Ayo, Percy. Hiburlah kami. Kami akan
menunggu di sini bersama teman-temanmu untuk memastikan kau bersikap baik."
Aku memandang Rachel. "Maafkan aku. Akan kukeluarkan kau dari masalah ini."
Dia mengangguk sejauh yang dia bisa dilakukannya dengan cengkeraman monster di lehernya. "Yeah,
baguslah." Para dracaena mendorongku ke arah ambang pintu dengan ujung lembing, dan aku berjalan keluar
menuju lantai sebuah arena.
Kurasa itu bukan arena terbesar yang pernah kumasuki, tapi tempat itu cukup lapang mengingat
letaknya di bawah tanah. Lantai tanah berbentuk bundar, cukup leher sehingga kau bisa mengendarai
mobil mengelilingi tepiannya kalau kau berusaha keras. Di tengah-tengah arena, pertarungan sedang
berlangsung antara raksasa dan centaurus. Si centaurus kelihatannta panik. Dia mencongklang
mengelilingi lawannya, menggunakan pedang dan perisai, sementara si raksasa mengayunkan lembing
seukuran tiang telepon dan kerumunan bersorak-sorai.
Jajaran tempat duduk tingkat pertama terletak tiga setengah meter di atas lantai arena. Bangku-bangku
batu sederhana membungkus sekeliling arena, dan semua kursi penuh. Ada raksasa, dracaena, makhluk
setengah dewa, telekhine, dan makhluk-makhluk yang lebih aneh lagi: monster bersayap kelelawar dan
makhluk-makhluk yang tampaknya separuh manusia dan separuh lagi sebut saja"burung, reptil,
serangga, mamalia. Tapi hal paling menyeramka adalah tengkorak-tengkorak. Arena tersebut dipenuhi tengkorak-tengkorak
mengelilingi pinggiran pagar. Tumpukan tengkorak setinggi hampir satu meter menghiasi undakan di
antara bangku-bangku. Tengkorak menyeringai dan pasak di belakang tribun dan bergelantungan di
rantai dari langit-langit bagaikan wadah lilin mengerikan. Beberapa terlihat sangat tua"tidak ada apaapa selain tulang yang putih terkelantang. Yang lain terlihat lebih segar. Aku tak akan menjabarkannya.
Percayalah padaku, kau tak ingin aku melakukannya.
Di tengah-tengah semua ini, tersandang gagah di dinding di sisi penonton, ada sesuatu yang tidak mausk
akal bagiku"spanduk hijau besar bergambar trisula Poseidon di tengah-tengah. Apa-apaan itu di tempat
mengerikan seperti ini"
Di atas spanduk, duduk di kursi kehormatan, ada seorang musuh lama.
"Luke," kataku.
Aku tak yakin dia bisa mendengarku melampaui keributan massa, tapi dia tersenyum dingin. Dia
mengenakan celana loreng, T-shirt putih, dan tameng dada perunggu, sama seperti yang kulihat dalam
mimpiku. Tapi dia tidak menyandang pedangnya, yang menurutku aneh. Di sebelahnya duduklah raksasa
terbesar yang pernah kulihat, jauh lebih besar daripada raksasa di lantai arena yang sedang bertarung
melawan centaurus. Raksasa di samping Luke pasti paling tidak memiliki tinggi empat setengah meter
dan begitu lebar sampai-sampai dia memakan tempat sebanyak tiga kursi. Dia hanya memakai cawat,
seperti pegulat sumo. Kulitnya merah gelap dan ditato dengan desain berupa ombak biru. Kutebak dia
pasti pengawal baru Luke atau apalah.
Ada teriakan dari lantai arena, dan aku melompat mundur saat si centaurus jatuh menghantam tanah di
sebelahku. Dia bertemu pandang denganku, memohon. "Tolong!"
Aku meraih pedangku, tapi pedang itu sudah diambil dariku dan belum muncul kembali di sakuku.
Si centaurus berjuang untuk bangkit saat si raksasa mendekat, lembingnya siap.
Tangan bercakar mencengkeram bahuku. "Kalau kau menghargai nyawa teman-temanmu," dracaena
penjagaku berkata, "kau takkan ikut campur. Ini bukan pertarunganmu. Tunggu giliranmu."
Si centaurus tidak bisa bangun. Salah satu kakinya patah. Raksasa itu meletakkan kakinya yang besar di
dada sang pria kuda dan mengangkat tombak. Dia mendongak ke arah Luke. Kerumunan bersorak,
"MATI! MATI!" Luke tidak melakukan apa pun, tapi cowok sumo bertato yang duduk di sebelahnya bangkit. Dia
tersenyum pada si centaurus, yang mengiba, "Kumohon! Jangan!"
Lalu si cowok sumo mengulurkan tangannya dan memberi isyarat jempol ke bawah.
Aku memejamkan mataku saat si raksasa gladiator menghunjamkan lembingnya. Ketika aku melihat lagi,
si raksasa gladiator menghujamkan lembingnya. Ketika aku melihat lagi, si centaurus sudah lenyap,
hancur menjadi abu. Yang tersisa cuma satu kaki, yang diambil si raksasa sebagai trofi dan
ditunjukkannya kepada massa. Mereka menggemuruhkan persetujuan mereka. Sebuah gerbang terbuka
di ujung lain stadion di sisi raksasa berderap ke luar dalam kejayaan.
Di tribun, si cowok sumo mengangkat tangannya supaya massa diam.
"Hiburan bagus!" teriaknya. "Tapi sama seperti yang pernah kusaksikan sebelumnya. Apa lagi yang kau
punya, Luke, Putra Hermes?"
Rahang Luke mengatup erat. Aku tahu dia tak suka dipanggil putra Hermes. Dia benci ayahnya. Tapi dia
bangkit dengan tenang. Matanya berkilat. Malah, suasana hatinya tampaknya lumayan baik.
"Tuan Antaeus," kata Luke, cukup lantang sehingga didengar khalayak. "Anda tuan rumah yang luar
biasa! Kami akan dengan senang hati menghinur Anda, untuk membayar kebaikan hati Anda yang
mengizinkan kami melewati wilayah Anda."
"Kebaikan hati yang belim dibalas," geram Antaeus. "Aku mau hiburan."
Luke membungkuk. "Saya yakin saya punya sesuatu yang lebih bagus daripada centaurus untuk
bertarung di arena sekarang. Saya punya saudara Anda." Dia menunjukku. "Percy Jackson, putra
Poseidon." Kerumunan mulai mencemoohku dan melemparkan batu, sebagian besar berhasil kuhindari, tapi satu
mengenai pipiku dan menghasilkan sayatan berukuran lumayan.
Mata Antaeus berbinar. "Putra Poseidon" Kalau begitu dia harus bertarung dengan baik! Atau mati
dengan baik!" "Jika kematiannya memuaskan Anda," kata Luke, "akankah Anda membiarkan pasukan kami melintasi
wilayah Anda?" "Mungkin," kata Antaeus.
Luke kelihatannya tidak terlalu senang soal "mungkin". Dia memelototiku, seakan memperingatkaku
bahwa aku sebaiknya mati dengan cara yang betul-betul spektakuler atau aku akan berada dalam
masalah besar. "Luke!" teriak Annabeth. "Hentikan ini. Biarkan kami pergi!"
Luke tampaknya menyadari kehadiran Annabeth untuk pertama kalinya. Dia kelihatan tercengang "
"Cukup waktu untuk para wanita setelahnya," Antaeus menginterupsi. "Pertama-tama, Percy Jackson,
senjata apa yang kau pilih?"
Para dacaena mendorongku ke tengah-tengah arena.
Aku mendongak, menatap Antaeus. "Bagaimana mungkin kau ini putra Poseidon?"
Antaeus tertawa, dan massa mulai tertawa juga.
"Aku putra kesayangannya!" kata Antaeus menggelegar. "Lihatlah, kuilku bagi sang Pengguncang Bumi,
dibangun dari tengkorak semua makhluk yang kubunuh dengan namanya! Tengkorakmu akan
bergabung dengan mereka!"
Aku menatap semua tengkorak itu denga ngeri"ratusan tengkorak"dan spanduk Poseidon. Bagaimana


Percy Jackson And The Olympians 4 The Battle Of The Labyrinth Pertempuran Labirin Karya Rick Riordan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mungkin ini kuil untuk ayahku" Ayahku pria baik. Dia bahkan tak pernah minta kartu Hari Ayah, apalagi
tengkorak seseorang. "Percy!" teriak Annabeth padaku. "Ibunya Gaea! Gae?"
Laistrygonian penawannya membungkam mulut Annabeth dengan tangan. Ibunya Gaea. Dewi bumi.
Annabeth mencoba membaritahuku bahwa ini penting, tapi aku tak tahu kenapa. Mungkin Cuma karena
cowok itu punya dua orangtua dewa. Itu bakalan membuatnya semakin sulit dibunuh.
"Kau gila, Antaeus," kataku. "Kalau kau pikir ini penghormatan yang bagus, kau nggak tahu apa-apa soal
Poseidon." Masa meneriakkan hinaan kepadaku, tapi Antaeus mengangkat tangannya supaya mereka diam.
"Senjata." Dia berkeras. "Dan kemudian akan kita lihat bagaimana kau mati. Apa kau mau kapak"
Tameng" Jaring" Pelempar api?"
"Pedangku saja," kataku.
Tawa pecah dari para monster, tapi seketika Reptide muncul di tanganku, dan beberapa suara di
kerumunan beruah menjadi gugup. Mata pedang perunggu berkilau, memancarka cahaya redup.
"Ronde satu!" Antaeus mengumumkan. Gerbang terbuka, dan seekor dracaena melata masuk. Dia
memegang trisula di satu tangan dan jaring berpemberat di tangan lain"bergaya klasik ala gladiator.
Aku sudah berlatih melawan senjata-senjata itu di perkemahan selama bertahun-tahun.
Dia coba-coba meninjuku. Aku melangkah mundur. Dia melemparkan jaringnya, berharap untuk
menjerat pegangan pedangku, tapi aku menghindar dengan mudah, memotong tombaknya jadi dua,
dan menusukkan Reptide ke sela-sela baju zirahnya. Sambil melolong kesakitan, dia hilang terbuyarkan,
dan sorakan khalayak terhenti.
"Tidak!" teriak Antaeus. "Terlalu cepat! Kau harus menunggu untuk membunuh. Cuma aku yang
memberi perintah itu!"
Aku melirik Annabeth dan Rachel. Aku harus menemukan cara untuk membebaskan mereka, mungkin
mengalihkan perhatian para penjaga mereka.
"Kerja bagus, Percy." Luke tersenyum. "Kau semakin ahli berpedang. Kuberi kau pujian itu."
"Ronde dua!" teriak Antaeus. "Dan lebih lambat kali ini! lebih banyak hiburan! Tunggu perintahku
sebelum membunuh siapa pun, KALAU TIDAK, AWAS!"
Gerbang terbuka lagi, dan kali ini seorang prajurit muda keluar. Dia sedikit lebih tua daripada aku, kirakira enam belas tahun. Dia memiliki rambut hitam mengilap, dan mata kirinya ditutupi penutup mata.
Dia kurus kering sampai-sampai baju zirah Yunaninya tergantung longgar di badannya. Dia menusukkan
pedangnya ke tanah, menyesuaikan tali pengikat baju zirahnya, dan mengenakan helm berjambulnya.
"Siapa kau?" tanyaku.
"Ethan Nakamura," katanya. "Aku harus membunuhmu."
"Kenapa kau lakukan ini?"
"Hei!" Seekor monster mencemooh dari tribun. "Berhenti mengobrol dan bertarunglah!" Yang lain
menyambut seruan itu. "Aku harus membuktikan diriku." Ethan memberitahuku. "Satu-satunya cara bergabung."
Dan dengan itu dia pun menyerbu. Pedang kami bertemu di tengah udara dan kerumuman
menggemuruh. Rasanya tidak benar. Aku tak mau bertarung untuk menghibur sekumpulan monster,
tapi Ethan Nakamura tak memberiku pilihan lain.
Dia menekan ke depan. Dia bagus. Dia tak pernah tinggal di Perkemahan Blasteran, sejauh yang kutahu
tapi dia terlatih. Dia menangkis seranganku dan hampir menghantamku dengan perisainya, tapi aku
melompat mundur. Dia menyabet. Aku berguling ke satu sisi. Kami betukar tikaman dan tangkisan,
merasakan gaya yang lain. Aku mencoba mempertahankan agar Ethan tetap di titik buta, tapi itu tidak
banyak membantu. Dia rupanya sudah lama hanya bertarung dengan satu mata, soalnya dia ahli
menjaga sisi kirinya. "Darah!" teriak para monster.
Lawanku melirik ke tribun. Itulah kelemahannya, kusadar. Dia harus mengesankan mereka. Aku tidak.
Dia meneriakkan seruan perang marah dan menyerangku, tapi aku menangkis bilah pedangnya dan
mundur, membiarkannya datang mengejarku.
"Huuu!" kata Antaeus. "Berdiri dan bertarunglah!"
Ethan menekanku, tapi aku tidak punya masalah mempertahankan diri, bahkan tanpa perisai. Dia
berpakaian untu bertahan"baju zirah berat dan perisai"dan itu membuat serangan ofensif melelahkan.
Aku target yang lebih enteng, tapi aku juga lebih ringan dan lebih cepat. Masa jadi gila, meneriakkan
keluhan dan melemparkan batu. Kami sudah bertarung selama hampir lima menit dan tidak ada darah.
Akhirnya Ethan membuat kesalahan. Dia mencoba menyodok perutku, dan aku mengunci gagang
pedangnya dengan gagang pedangku dan memuntirnya. Pedangnya jatuh ke tanah. Sebelum dia bisa
memulihkan diri, aku menghantamkan pangkal pedangku ke helmnya dan mendorongnya ke bawah.
Baju zirahya yang berat lebih membantuku daripada membantunya. Dia jatuh terjengkang, linglung dan
kelelahan. Aku meletakkan ujung pedangku ke dadanya.
"Selesaikan," erang Ethan.
Aku mendongak, memandang Antaeus. Wajah merahnya kaku karena tidak senang, tapi dia mengangkat
tangannya dan membuat isyarat jempol ke bawah.
"Lupakan." Aku menyarungkan pedangku.
"Jangan bodoh," erang Ethan. "Mereka cuma bakal membunuh kita berdua."
Aku mengulurka tanganku untuknya. Dengan enggan, dia meraihnya. Aku membantunya bangun.
"Tidak ada yang boleh melecehkan permainan ini!" teriak Antaeus. "Kepala kalian berdua akan
dipersembahkan kepada Poseidon."
Aku memandang Ethan. "Waktu kau lihat kesempatanmu, larilah." Lalu aku menoleh kembali ke Antaeus
"Kenapa tidak kau lawan saja aku sendiri/ kalau kau dapat restu dari Ayah, turun sini dan buktikan!"
Para monster kasak-kusuk di tribun. Antaeus melihat ke sekeliling, dan rupanya menyadari dia tidak
punya pilihan. Dia tidak bisa berkata tidak tanpa terlihat seperti pengecut.
"Akulah pegulat terbaik di dunia, Bocah." Dia memperingatkan. "Aku sudah bergulat sejak pankration
pertama!" "Pankration?" tanyaku.
"Maksudnya pertarungan sampai mati," kata Ethan. "Tidak ada peraturan. Tidak ada larangan. Dulunya
olahraga Olimpiade."
"Makasih buat tipsnya," kataku.
"Nggak masalah."
Rachel menontonku dengan mata terbelalak. Annabeth menggelengkan kepalanya dengan prihatin,
yangan di Laistrygonian masih membungkam mulutnya.
Aku menunjukkan pedangku ke arah Antaesus. "Pemenang mengambil semuanya! Aku menang, kami
semua bebas pergi. Kau menang, kami mati. Sumpah demi Sungai Styx."
Antaeus tertawa. "Ini tidak akan butuh waktu lama. Aku bersumpah sesuai syaratmu!"
Dia melompat melewati pagar, memasuki arena.
"Semoga beruntung," kata Ethan padaku. "Kau bakal memerlukannya." Kemudian dia mundur cepatcepat.
Antaeus mengertakkan buku-buku jarinya. Dia menyeringai, dan kulihat bahwa bahkan gigi-giginya
diberi ukiran berpola ombak, yang pastinya membuat gosok gigi setelah makan sangat menyakitkan.
"Senjata?" tanyanya.
"Akan kugunakan pedangku. Kau?"
Dia mengangkat tangannya dan menggoyangkan jemarinya. "Aku tidak perlu yang lain! Tuan Luke, kau
akan mewasiti yang satu ini."
Luke tersenyum padaku. "Dengan senang hati."
Antaeus menyerbu. Aku berguling di bawah kakinya dan menikam bagian belakang pahanya.
"Ahhhhh!" teriaknya. Tapi di tempat darah seharusnya keluar, ada semburan pasir, seakan-akan aku
memecahkan sisi jam pasir. Pasir tertumpah ke lantai tanah, dan tanah terkumpul di sekitar kakinya,
hampir seperti gips. Ketika tanah jatuh berhamburan, lukanya hilang.
Dia menyerbu lagi. Untungnya aku berpengalaman melawan raksasa. Aku menghindar ke samping kali
ini dan menikam ke bawah lengannya. Bilah Reptide terbenam sampai ke gagang di tulang iganya. Itu
kabar baiknya. Kabar buruknya adalah pedangku terenggut dari tanganku waktu si raksasa berbalik, dan
aku terlempar ke seberang arena, tak bersenjata.
Antaeus berteriak kesakitan. Aku menantikannya hancur. Tidak pernah ada monster yang bertahan
setelah menerima serangan langsung dari pedangku seperti itu. Mata pedang perunggu langit
seharusnya menghancurkan intisarinya. Tapi antaesus meraba gagang, mengeluarkan pedang, dan
melemparkannya ke belakangnya. Lebih banyak pasir tertuang dari lukanya, tapi lagi-lagi bumi bangkit
untuk menyelimutinya. Tanah menutupi tubuhnya sampai ke bahu. Segera setelah tanah berhamburan,
Antaeus baik-baik saja. "Sekarang kau lihat kenapa aku tidak bisa kalah, Blasteran!" Antaeus menyombong. "Ayo sini dan biar
kuremukkan kau. Akan kulakukan dengan cepat!"
Antaeus berdiri di antara aku dan pedangku. Dengan putus asa, aku melirik ke kedua sisi, dan aku
menangkap padangan mata Annabeth.
Bumi, pikirku. Apa yang tadi Annabeth coba beri tahukan kepadaku" Ibu Antaeus adalah Gaea sang ibu
bumi, dewi terkuno di antara semuanya. Ayah Antaeus mungkin saja Poseidon, tapi Gaea membuatnya
tetap hidup. Aku tak bisa melukainya selama dia menyentuh tanah.
Aku mencoba mengitarinya, tapi Antaeus mengantisipasi gerakaku. Dia menghalangi jalanku, terkekehkekeh. Dia cuma bermain-main denganku sekarang. Dia sudah membuatku tersudut.
Aku mendongak melihat rantai-rantai yang bergelantungan dari langit-langit, mengayun-ayunkan
terngkorak musuh-musuhnya di pengait. Tiba-tiba aku mendapat ide.
Aku melakukan gerak tipu ke sisi lain. Antaeus merintangiku. Massa mencemooh dan meneriaki Antaeus
supaya mengabisiku, tapi dia sedang terlalu bersenang-senang.
"Bocah payah," katanya. "Tidak pantas menjadi putra sang dewa laut."
Aku merasakan bolpenku kembali ke sakuku, tapi Antaeus tidak akan tahu soal itu. Dia bakal berpikir
Reptide-ku masih ada di tanah belakangnya. Dia bakal berpikir tujuanku adalah memperoleh pedangku.
Bukan keunggulan yang terlalu besar, tapi cuma itu yang kupunya.
Aku langsung menyerang ke depan, menunduk begitu rendah supaya dia bakal berpikir aku akan
berguling di antara kakinya lagi. Sementara dia membungkuk, siap menangkapku layaknya bola yang
menyusur tanah, aku melompat sekuat tenagaku"menendang lengan bawahnya, menaiki bahunya
seperti tangga, meletakkan sepatuku di kepalanya. Dia melakukan refleks alaminya, menegakkan badan
dengan berang dan berteriak "HEI!". Aku mendorong diriku, menggunakan tenaganya untuk
melontarkanku ke arah langit-langit. Aku manangkap bagian puncak seuntai rantai, dan tengkorak serta
pengait bergemerincing di bawahku. Aku membungkuskan kakiku di sekeliling rantai, seperti yang
kulakukan saat panjat tali dalam pelajaran olahraga. Kuhunus Reptide dan kugergaji rantai di sebelahku.
"Turun sini, Pengecut!" teriak Antaeus. Dia mencoba meraihku, tapi aku di luar jangkauannya.
Bergelantungan demi mempertahankan hidup, dan berteriak, "Ayo naik dan tangkap aku! Ataukah kau
terlalu lambat dan gembrot?"
Dia meraung dan berusaha meraihku lagi. Dia mengkap seuntai rantai dan mencoba menarik dirinya ke
atas. Sementara dia sedang berjuang, aku menurunkan rantai hasil gergajianku, pengait lebih dulu. Perlu
dua kali percobaan, tapi aku akhirnya mengenai cawat Antaeus.
"WAAA!" teriaknya. Cepat-cepat kuselipkan rantai yang bebas ke sambungan rantaiku sendiri,
menariknya sampai tegang, dan mengencangkannya sebisaku. Antaeus mencoba kembali ke tanah, tapi
pantatnya tertahan oleh cawatnya. Dia harus berpegangan ke rantai-rantai lain dengan kedua tangan
supaya tidak terjungkirbalikkan. Aku berdoa semoga cawat dan rantai mampy bertahan beberapa menit
lagi. Sementara Antaeus menyumpah-nyumpah dan terayun-ayun, aku bergerak dari rantai ke rantai,
berayun dan memotong seolah-olah aku ini seekor monyet gila. Kuhubungkan pengait-pengait dan
sambungan logam. Aku tak tahu bagaimana aku melakukannya. Ibuku selalu bilang aku punya bakat
mengikat barang-barang sampai kusut. Plus aku juga putus asa ingin menyelamatkan teman-temanku.
Pokoknya, dalam hitungan menit si raksasa tergelantung di atas tanah, terjerat tanpa daya di tengahtengah rantai dan pengait.
Aku jatuh ke lantai, terengah-engah dan berkeringat. Tanganku perih bekas memanjat.
"Turunkan aku!" tuntut Antaeus.
"Bebaskan dia!" perintah Luke. "Dia tuan rumah kami!"
Aku membuka tutup Reptide. "Akan kubebaska dia."
Dan kutusuk perut si raksasa. Dia meraung, dan tanah tertumpah ke luar, tapi dia terlalu jauh untuk
menyentuh bumi, dan tanah tidak bangkit untuk menolongnya. Antaeus menghilang begitu saja, sedikit
demi sedikit, sampai tidak ada yang tersisa selain rantai-rantai kosong yang berayun-ayun, selembar
cawat superbesar pada pengait, dan sekumpulan tengkorak menteringai yang menari-nari di atasku
seakan mereka akhirnya bisa tersenyum soal sesuatu.
"Jackson!" teriak Luke. "Aku semestinya membunuhmu dari dulu!"
"Kau sudah mencoba," aku mengingatkannya. "Biarkan kami pergi, Luke. Kami punya perjanjian yang
sudah diikatkan dengan sumpah Antaeus. Aku pemenangnya."
Yang dilakukannnya persis seperti yang kuduga. Dia bilang, "Antaeus sudah mati. Sumpahnya mati
bersamanya. Tapi karena aku merasa murah hati hari ini, akan kubunuh kau dengan cepat."
Dia menunjuk ke arah Annabeth. "Jangan bunuh gadis itu." Suaranya gemetar sedikit. "Aku akan bicara
kepadanya sebelum"sebelum kemenangan besar kita."
Semua monster hadirin mengeluarkan pedang atau memanjangkan cakarnya. Kami terjebak. Betul-betul
kalah jumlah. Lalu kurasakan sesuatu dalam sakuku"sensasi membekukan, semakin dingin dan semakin dingin. Peluit
anjing. Jemariku bergerak menyelimutinya. Selama berhari-hari aku menghindar, tidak mau
menggunaka hadiah Quintus. Yakin bahwa itu pasti jebakan. Tapi sekarang ... aku tak punya pilihan. Aku
mengambilnya dari sakuku dan meniup. Peluit itu tidak menghasilkan suara yang terdengar saat ia
pecah menjadi kepingan-kepingan es, meleleh di tanganku.
Luke tertawa. "Memangnya apa yang seharusnya bisa dilakukan benda itu?"
Dari belakangku terdengarlah pekikkan kaget. Si raksasa Laistrygonian yang menjaga Annabeth terbang
melewatiku dan terhantam ke dinding.
"GUK!" Kelli si empousa menjerit saat anjing mastiff hitam seberat dua ratus lima puluh kilogram memungutnya
seperti mainan kunyah dan melemparkanya ke udara, tepat ke pangkuan Luke. Nyonya O"Leary
menggeram, dan dua penjaga dracaena mundur menjauh. Selama sesaat para monster hadirin betulbetul dibuat kaget.
"Ayo pergi!" teriakku kepada teman-temanku. "Balik, Nyonya O"Leary!"
"Keluar lewat sana!" seru Rachel. "Itu jalan yang benar."
Ethan Nakamura mengambil kesempatannya. Bersama-sama kami berpacu menyebrangi arena dan
keluar lewat pintu di ujung jauh, Nyonya O"Leary tepat di belakang kami. Saat kami lari, bisa kudengar
suara-suara kacau seisi pasukan yang berusaha melompat keluar dari tribun dan mengikuti kami.[]
BAB LIMA BELAS Kami Mencuri Sejumlah Sayap Agak Bekas
"Ke arah sini!" teriak Rachel.
"Kenapa kami harus mengikutimu?" tuntut Annabeth. "Kau menuntun kami tepat memasuki jebakan
maut itu." "Itulah jalan yang perlu kalian datangi," kata Rachel. "Dan begitu juga ini. Ayolah!"
Annabeth tidak tampak senang soal itu, tapi dia lari bersama kami. Rachel tampaknya tahu persis ke
mana dia pergi. Dia melesat mengitari belokan dan bahkan tidak ragu-ragu di persimpangan. Sekali dia
berkata, "Merunduk!" dan kami semua meringkuk saat sebuah kapak raksasa berayun di atas kepala
kami. Lalu kami terus lanjut seakan-akan tidak ada yang terjadi.
Aku tidak tahu berapa kali kami berbelok. Kami tidak berhenti untuk beristirahat sampai kami sampai ke
sebuah ruangan seukuran gimnasum dengan pilar-pilar marmer tua yang menyangga atap. Aku berdiri di
ambang pintu, mendengarkan bunyi-bunyi pengejaran, namun aku tidak mendengar apa-apa. Rupanya
kami sudah kehilangan Luke dan antek-anteknya di labirin.
Lalu kusadari sesuatu yang lain: Nyonya O"Leary lenyap. Aku tidak tahu kapan dia menghilang. Aku tidak
tahu apa dia tersesat atau terkejar oleh monster atau apa. Hatiku terasa berat. Dia telah
menyelamatkan nyawa kami, dan aku bahkan tak menunggu untuk memastikan bahwa dia mengikuti
kami. Ethan jatuh ke lantai. "Kalian gila." Dia melepaskan helmnya. Wajahnya berkilau karena keringat.
Annabeth terengah-engah. "Aku ingat kau! Kau salah satu anak yang belum ditentukan di pondok
Hermes bertahun-tahun lalu."
Ethan memelototi Annabeth. "Iya, dan kau Annabeth. Aku ingat."
"Apa"apa yang terjadi pada matamu?"
Ethan berpaling, dan aku punya firasat itulah topik yang nggak akan dibahasnya.
"Kau pasti si blasteran dalam mimpiku," kataku. "Yang disudutkan anak buah Luke. Rupanya memang
bukan Nico." "Siapa Nico?" "Lupakan saja," kata Annabeth cepat-cepat. "Kenapa kau mencoba bergabung dengan pihak yang salah?"
Ethan mencibir. "Tidak ada pihak yang benar. Para dewa tidak pernah memedulikan kita. Kenapa aku
tidak boleh?" "Mendaftar ke pasukan yang menyuruhmu bertarung sampai mati demi hiburan?" kata Annabeth. "Wah,
kenapa ya?" Ethan berusaha berdiri. "Aku tidak akan berdebat denganmu. Makasih atas bantuannya, tapi aku mau
keluar dari sini." "Kami sedang mengincar Daedalus," kataku. "Ikutlah bersama kami. Setelah kita berhasil, kau akan
diterima kembali di perkemahan."
"Kalian memang betul-betul gila kalau kalian pikir Daedalus bakal membantu kalian."
"Dia harus melakukannya," kata Annabeth. "Akan kami buat dia mendengarkan."
Ethan mendengus. "Ya sudah. Semoga berhasil deh."
Aku mencengkeram lengannya. "Kau mau berkeliaran sendirian di dalam labirin" Itu bunuh diri."
Dia menatapku dengan kemarahan yang nyaris tak terkendali. Bagian pinggir dari kain penutup mayanya
terburai dan warna hitamnya sudah memudar, sepertinya dia sudah lama sekali mengenakannya. "Kau
seharusnya tidak membiarkanku hidup, Jackson. Belas kasihan tidak punya tempat dalam perang ini."
Lalu dia berlari ke kegelapan, kembali ke arah kami datang.
Annabeth, Rachel, dan aku begitu kelelahan sehingga kami langsung berkemah di ruangan besar itu. Aku
menemukan sejumlah kayu sisa dan kami menyalakan api. Bayangan menari-nari di pilar-pilar yang
menjulang di sekeliling kami bagaikan pepohonan.
"Ada sesuatu yang salah dengan Luke," gumam Annabeth, menusuk-nusuk api dengan pisaunya. "Apa
kau lihat caranya berakting tadi?"
"Dia keliahatannya cukup senang menurutku," kataku. "Semestinya dia menghabiskan hari yang
menyenangkan, menyiksa pahlawan."
"Itu tidak benar! Ada sesuatu yang salah dengannya. Dia kelihatan ... gugup. Dia menyuruh monstermonsternya untuk tidak membunuhku. Dia ingin memberitahukan sesuatu padaku."
"Mungkin, "Hai, Annabeth! Duduklah di sini bersamaku dan lihat sementara kurobek-robek temantemanmu. Pasti bakal asyik!?"
"Kau menyebalkan," gerutu Annabeth. Dia menyarungkan belatinya dan memandang Rachel. "Jadi, ke
arah mana sejarang, Sacagawea*?"
Rachel tidak merespons seketika. Dia menjadi lebih pendiam sejak kejadian di arena. Sekarang, kapan
pun Annabeth membuat komentar sarkastis, Rachel hampir tidak repot-repot menjawab. Dia membakar
ujung sebatang tingkat di api dan menggunakannya untuk menggambar sosok abu di lantai, gambaran
monster-monster yang kami lihat. Dengan beberapa goresan dia menangkap kemiripan seekor dracarna
secara sempurna. ---------------*Wanita Indian yang menjadi pemandu dalam salah satu ekspedisi ke wilayah Barat Amerika Serikat
pada awal abad ke-19. "penerj.
--------------- "Akan kita ikuti jalan ini," katanya. "Sinar terang di lantai."
"Sinar terang yang membimbing kami langsung memasuki perangkap?" tanya Annabeth.
"Jangan ganggu dia, Annabeth," kataku. "Dia melakukan yang terbaik yang dia bisa."
Annabeth berdiri. "Apinya mau mati. Aku akan mencari kayu bakar lagi sementara kalian membicarakan
strategi." Dan dia berderap pergi ke dalam bayang-bayang.
Rachel menggambar sosok lain dengan tongkatnya"Antaeus dari abu yang bergelantungan dari


Percy Jackson And The Olympians 4 The Battle Of The Labyrinth Pertempuran Labirin Karya Rick Riordan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rantainya. "Annabeth biasanya nggak seperti itu." Aku memberitahunya. "Aku nggak tahu apa masalahnya."
Rachel mengangkat alisnya. "Apa kau yakin kau nggak tahu?"
"Apa maksudmu?"
"Cowok," gumamnya. "Betul-betul buta."
"Hei, jangan marahi aku juga dong! Begini, aku minta maaf kau jadi terlibat dalam perkara ini."
"Nggak, kau benar," katanya. "Aku bisa melihat jalannya. Aku tidak bisa menjelaskannya, tapi jalan itu
betul-betul jelas." Dia menunjuk ke arah ujung lain ruangan, kegelapan. "Bengkel kerja Daedalus ke arah
sana. Jantung labirin. Kita sangat dekat sekarang. Aku nggak tahu kenapa jalannya melewarti arena tadi.
Aku"aku minta maaf soal itu. Kupikir kau bakal mati."
Dia kedengarannya hampir menangis.
"Hei, aku biasanya memang bakal mati," janjiku. "Jangan merasa tidak enak."
Dia mengamati wajahku. "Jadi, kau melakukan ini setiap musim panas" Bertarung dengan monster"
Menyelamatkan dunia" Apa kau tak pernah berkesempatan melakukan, tahulah, hal-hal normal?"
Aku tidak pernah benar-benar berpikir seperti itu. Kali terakhir aku memiliki kehidupan yang normal ...
yah, tidak pernah. "Blastera terbiasa dengan yang seperti ini, kurasa. Atau mungkin bukan terbiasa,
tapi ...." Aku bergerak tak nyaman. "Bagaimana denganmu" Apa yang biasanya kau lakukan?"
Rachel mengangkat bahu. "Aku melukis. Aku banyak membaca."
Oke, pikirku. Sejauh ini kami mendapat skor nol pada tabel kemiripan. "Bagaimana dengan keluargamu?"
Aku bisa merasakan tameng mentalnya terangkat, seakan ini bukan topik yang aman. "Oh ... mereka
cuma, tahulah, keluarga."
"Kau bilang mereka nggak bakal sadar kalau kau pergi."
Dia meletakkan tongkat menggambarnya. "Wow, aku betul-betul capek. Aku boleh tidur sebentar, kan?"
"Oh, tentu. Sori kalau..."
Tapi Rachel sudah bergelung, menggunakan tas punggungnya sebagai bantal. Dia memejamkan matanya
dan berbaring sangat diam, tapi aku punya firasat dia tidak benar-benar tidur.
Beberapa menit kemudian, Annabeth kembali. Dia melemparkan beberapa ranting ke api unggun. Dia
memandang Rachel, lalu memandangku.
"Aku akan berjaga pertama," katanya. "Kau sebaiknya tidur juga."
"Kau nggak perlu bersikap seperti itu."
"Seperti apa?" "Seperti ... ah, sudahlah." Aku membaringkan diri, merasa sengsara. Aku begitu lelah sampai-sampai aku
jatuh tertidur segera setelah mataku terpejam.
*** Dalam mimpiku kudengar tawa. Tawa dingin dan kejam, seperti pisau yang sedang diasah.
Aku berdiri di tepi lubang di kedalaman Tartarus. Di bawahku kegelapan meluap bagaikan sup sehitam
tinta. "Begitu dekat dengan kehancuranmu sendiri, Pahlawan Kecil," suara Kronos mencela. "Dan kau masih
saja buta." Suara itu berbeda dari sebelumnya. Suara itu seakan hampir mewujud sekarang, seolah berbicara dari
tubuh sungguhan alih-alih ... apa pun dirinya dalam kondisinya yang terpotong-potong.
"Aku berutang banyak terima kasih kepadamu," kata Kronos. "Kau telah memastikan kebangkitanku."
Banyangan di gua menjadi semakin dalam dan semakin berat. Aku mencoba mundur dari tepi lubang,
tapi rasanya seperti berenang di minyak. Waktu melambat. Napasku hampir berhenti.
"Hadiah," kata Kronos. "Raja Titan selalu membayar utangnya. Mungkin sekilas teman-tema yang kau
tinggalkan ...." Kegelapan beriak di sekitarku, dan aku berada di gua yang berbeda.
"Cepat!" kata Tyson. Dia masuk tergopoh-gopoh ke ruangan. Grover terhuyung-huyung di belakangnya.
Ada gemuruh dari arah koridor kedatangan mereka, dan kepala ular yang sangat besar menyerbu masuk
ke dalam gua. Maksudku, makhluk ini betul-betul besar sampai-sampai badannya nyaris tak cukup lewat
terowongan. Sisiknya mengilap seperti tembaga. Kepalanya berbentuk wajik seperti ular derik, dan mata
kuningnya berbinar-binar benci. Saat ia membuka mulutnya, taringnya setinggi Tyson.
Ia melecut ke arah Grover, tapi Grover buru-buru menghindar. Si ular menyasar ke tanah. Tyson
mengangkat sebuah batu besar dan melemparkannya ke si monster, menghantamnya di antara kedua
matanya, tapi si ular cuma bergelung dan mendesis.
"Ia bakal memakanmu!" Grover berteriak kepada Tyson.
"Bagaimana kau tahu?"
"Ia baru saja memberitahuku! Lari!"
Tyson melesat ke satu sisi, tapi si ular menggunakan kepalanya seperti pentungan dan menjatuhkan
Tyson. "Tidak!" teriak Grover. Tapi sebelum Tyson bisa memperoleh kembali keseimbangannya, si ular melilit
tubuhnya dan mulai meremas.
Tyson bertahan, mendorong dengan seluruh kekuatannya yang luar biasa, tapi si ular meremas semakin
erat. Grover dengan panik memukuli si ular menggunakan seruling alang-alangnya, tapi dia seakan-akan
cuma menggedor dinding batu.
Seluruh ruangan terguncang saat si ular merenggangkan otot-ototnya, bergetar untuk mengatasi
kekuatan Tyson. Grover mulai memainkan seruling, dan stalaktit-stalaktit berjatuhan dari langit-langit. Seisi gua
tampaknya akan runtuh ....
Aku terbangun dengan Annabeth yang mengguncang-guncangkan bahuku. "Percy, bangun!"
"Tyson"Tyson dalam masalah!" kataku. "Kita harus menolongnya!"
"Dahulukan yang utama," katanya. "Gempa bumi."
Memang benar, ruangan sedang bergemuruh. "Rachel!" teriakku.
Matanya terbuka seketika. Dia merenggut tasnya, dan kami bertiga pun lari. Kami hampir sampai di
terowongan di sisi jauh ketika sebuah pilar di samping kami mengerang dan roboh. Kami terus melaju
saat ratusan ton marmer jatuh menghantam lantai di belakang kami.
Kami berhasil mencapai koridor dan berbelok tepat waktu untuk menyaksikan pilar-pilar lain tumbang.
Kepulan asap putih membumbung di atas kami, dan kami terus berlari.
"Kau tahu tidak?" kata Annabeth. "Ternyata aku memang suka jalan yang ini."
Tidak lama sebelum kami melihat cahaya di depan"seperti penerangan listrik yang biasa.
"Di sana," kata Rachel.
Kami mengikutinya ke dalam sebuah lorong dari baja tahan karat, seperti yang kubayangkan ada di
stasiun ruang angkasa atau semacamnya. Lampu-lampu flouresensi berpendari dari langit-langit.
Lantainya berupa jeruji logam.
Aku sudah sangat terbiasa berada di kegelapan sehingga aku harus memicingkan mata. Baik Annabeth
dan Rachel terlihat pucat di tengah cahaya terang itu.
"Ke arah sini," kata Rachel, mulai berlari. "Kita sudah dekat!"
"Ini salah besar!" kata Annabeth. "Bengkel kerja harusnya ada di bagian tertua labirin. Ini nggak
mungkin?" Dia terdiam, sebab kami sampai di depan pintu ganda dari logam. Tergores di baja, setinggi mata, ada
huruf besar D Yunani. "Kita sudah sampai," Rachel mengumumkan. "Bengkel kerja Daedalus."
*** Annabeth menekan simbol di pintu dan pintu ganda itu pun berdesis terbuka.
"Arsitektur kuno apaan," kataku.
Annabeth cemberut. Bersama-sama kami masuk ke dalam.
Hal pertama yang menarik perhatianku adalah cahaya siang hari"sinar matahari terik yang menembus
jendela-jendela raksasa. Bukan sesuatu yang kau duga ada di jantung sebuah penjara bawah tanah.
Bengkel kerja tersebut mirip studio seorang seniman, dengan langit-langit setinggi sembila meter dan
penerangan ala industri, lantai batu mengilap, dan bangku-bangku kerja di sepanjang jendela. Tangga
spiral mengarah ke loteng di lantai dua. Setengah lusin penyangga lukisan memanjang diagram buatan
tangan yang menggambarkan bangunan serta mesin, mirip sketsa Leonardo da Vinci. Beberapa
komputer laptop betebaran di meja-meja. Toples-toples kaca berisi minyak hijau"api Yunani"berbaris
di satu rak. Ada penemuan-penemuan juga"mesin-mesin logam aneh yang tak masuk akal bagiku. Salah
satunya berupa kursi perunggu yang ditempeli berbagai kabel listrik, seperti semacam alat penyiksaan.
Di pojok lain berdirilah telur logam raksasa yang kira-kira seukuran manusia. Ada jam antik yang
tampaknya seluruhnya terbuat dari kaca, jadi kau bisa melihat semua roda giginy berputar. Dan di
dinding tergantung beberapa set sayap perunggu dan perak.
"Di immortales," gumam Annabeth. Dia lari ke penyangga lukisan terdekat dan melihat sketsa di atasnya.
"Dia genius. Lihat kurva-kurva di bangunan ini!"
"Dan seorang seniman," kata Rachel kagum. "Sayap-sayap ini luar biasa!"
Sayap-sayap itu terlihat lebih canggih daripada yang kusaksikan dalam mimpiku. Bulu-bulunya teranyam
lebih rapat. Alih-alih segel dari lilin, semacam selotip perekat terentang di sisi-sisinya.
Aku meletakkan tanganku pada Reptide. Rupanya Daedalus sedang tidak di rumah, tapi bengkel kerja itu
kelihatannya digunakan baru-batu ini. Laptop-laptop menyalakan screen saver-nya. Muffin blueberry
yang baru dimakan separuh dan secangkir kopi bertengger di sebuah meja kerja.
Aku berjalan ke jendela. Pemandangan di luar menakjubkan. Aku mengenali Pegunungan Rocky di
kejauhan. Letak kami tinggi di kaki bukit, paling tidak 150 meter, dan di bawah terhamparlah lembah,
dipenuhi kumpulan tebih curam merah dan karang serta batu runcing bagaikan pilar. Tampilan seperti
kota mainan dengan blok-blok seukuran pencakar langit yang dibangun oleh anak besar, yang kemudian
dia putuskan untuk robohkan.
"Di mana kita?" aku bertanya-tanya.
"Colorado Springs," sebuah suara berkata di belakang kami. "Taman Para Dewa."
Di tangga spiral di atas kami, dengan senjata terhunus, berdirilah ahli pedang kami yang hilang, Quintus.
"Kau," kata Annabeth. "Apa yang kau lakukan pada Daedalus?"
Quintus tersenyum samar. "Percayalah padaku, Sayangku. Kau tidak ingin bertemu dia."
"Dengar, Pak Penghianat," geram Annabeth. "aku tidak bertarung dengan wanita naga dan pria
berbadan tiga dan Sfinks edan untuk menemuimu. Sekarang di mana DAEDALUS?"
Quintus menuruni tangga, memegangi pedangnya di sampingnya. Dia mengenakan jin dan sepatu bot
dan T-shirt konselornya dari Perkemahan Blasteran, yang sekarang tampak seperti penghinaan karena
kami tahu dia seorang mata-mata. Aku tak tahu apa aku bisa mengalahkannya dalam pertarungan
pedang. Dia lumayan bagus. Tapi kurasa aku harus mencoba.
"Kau pikir aku ini agen Kronos," katanya. "Bahwa aku bekerja untuk Luke."
"Tentu saja," kata Annabeth.
"Kau gadis yang pintar," katanya. "Tapi kau salah. Aku hanya bekerja untuk diriku sendiri."
"Luke menyebut-nyebut dirimu," kataku. "Geryon juga tahu tentangmu. Kau pernah ke peternakannya."
"Tentu saja," katanya. "Aku sudah pernah ke hampir semua tempat. Bahkan di sini."
Dia berjalan melewatiku seolah aku bukan ancaman sama sekali dan berdiri dekat jendela.
"Pemandangan berbah dari hari ke hari," gumamnya. "Letaknya selalu di suatu tempat yang tinggi.
Kemarin di pencakar langit yang menghadap ke Manhattan. Sehari sebelum itu, ada pemandangan
Danau Michigan yang indah. Tapi tempat ini selalu kembali ke Taman Para Dewa. Menurutku Labirin
menyukainya. Cocok dengan namanya, kukira."
"Kau pernah ke sini sebelumnya," kataku.
"Oh, ya." "Apa di luar sana itu ilusi?" tanyaku. "Proyeksi dari sesuatu?"
"Bukan," gumam Rachel. "Itu asli. Kita betul-betul di Colorado."
Quintus memandanginya. "Kau punya penglihatan yang jernih, ya" Kau mengingatkaku pada seorang
gadis fana lain yang pernah kukenal. Putri lain yang akhirnya berduka."
"Cukup main-mainnya," kataku. "Apa yang kau lakukan pada Daedalus?"
Quintus menatapku. "Nak, kau perlu belajar melihat dengan jelas dari temanmu. Akulah Daedalus."
Ada banyak jawaban yang mungkin saja kuberikan, dari "Sudah kuduga" sampai "PEMBOHONG!" sampai
"Iya deh, dan aku Zeus."
Satu-satunya yang bisa terpikir olehku untuk kukatakan adalah, "Tapi kau bukan seorang penemu! Kau
ahli pedang!" "Aku penemu dan ahli pedang," kata Quintus. "Dan arsitek. Dan cendikiawan. Aku juga cukup jago
bermain basket untuk laki-laki yang baru mulai waktu umurnya dua ribu tahun. Seniman tulen harus ahli
melakukan banyak hal."
"Itu benar," kata Rachel. "Seperti aku yang bisa melukis dengan tangan dan juga kakiku."
"Kau lihat?" kata Quintus. "Gadis dengan berbagai bakat."
"Tapi kau bahkan tidak mirip Daedalus," protesku. "Aku melihatnya dalam mimpi, dan ...." Tiba-tiba
pikiran mengerikan terlintas dalam benakku.
"Ya," kata Quintus. "Kau akhirnya menebak yang sebenarnya."
"Kau automaton.kau membuatkan dirimu tubuh baru."
"Percy," kata Annabeth gelisah, "itu tidak mungkin. Itu"itu tidak mungkin automaton."
Quintus tergelak. "Apa kau tahu apa arti Quintus, Sayangku?"
"Kelima, dalam bahasa Latin. Tapi?"
"Ini tubuhku yang kelima." Sang ahli pedang mengulurkan lengan bawahnya. Dia menekan sikunya dan
sebagian pergelangan tanganya mencuat terbuka"katup segiempat di kulitnya. Di bawahnya, gigi rodagigi rofda mendesing. Kabel-kabel berkilau.
"Luar biasa!" kata Rachel.
"Aneh," kataku.
"Kau menemukan cara untuk mentransfer animus-mu ke dalam sebuah mesin?" kata Annabeth. "Itu ...
tidak wajar." "Oh, kuyakinkan kau, Sayangku, ini masih diriku. Aku masih Daedalus. Ibu kita, Athena, memastikan agar
aku takkan pernah melupakannya." Dia menarik bagian belakang kerah bajunya. Di dasar lehernya ada
tanda yang kulihat sebelumnya"bentuk gelap berupa burung yang dicangkokkan ke kulitnya.
"Cap pembunuh," kata Annabeth.
"Untuk keponakanmu, Perdix," tebakku. "Bocah yang kau dorong dari menara."
Wajah Quintus berubah muram. "Aku tidak mendorongnya. Aku cuma?"
"Membuatnya kehilangan keseimbangan," kataku. "Membiarkannya mati."
Quintus memandang lewat jendela ke pegunungan berwarna ungu. "Aku menyesali apa yang kulakukan,
Percy. Aku marah dan getir. Tapi aku tak bisa mengembalikannya, dan Athena tidak pernah
membiarkaku lupa. Saat Perdix meninggal, Athena mengubahnya menjadi unggas kecil"ayam hutan.
Dia mengecap bentuk unggas itu di leherku sebagai pengingat. Tidak peduli tubuh apa yang kupakai, cap
ini selalu muncul di kulitku."
Aku menatap matanya, dan kusadari dia adalah pria yang sama yang kulihat dalam mimpiku. Wajahnya
mungkin sepenuhnya berbeda, tapi jiwa yang sama ada di sana"kecerdasan dan segala kesedihan yang
sama. "Kamu memang betul-betul Daedalus," aku memutuskan. "Tapi kenapa kau datang ke perkemahan"
Kenapa memata-matai kami?"
"Untuk melihat apakah perkemahan kalian layak diselamatkan. Luke memberiku satu cerita. Aku lebih
memilih membuat kesimpulan sendiri."
"Jadi, kau memang pernah bicara pada Luke."
"Oh, ya. Beberapa kali. Dia cukup persuasif."
"Tapi sekarang kau sudah melihat perkemahan!" Annabeth berkeras. "Jadi, kau tahu kami perlu bantuan.
Kau tidak bisa membiarkan Luke melewati labirin!"
Daedalus meletakkan pedangnya di bangku kerja. "Labirin tidak dalam kendaliku lagi, Annabeth. Aku
menciptakannya, ya. Malah, Labirin terikat dengan daya hidupku. Tapi aku telah membiarkannya hidup
dan tumbuh sendiri. Itulah harga yang kubayar demi privasi."
"Privasi dari apa?"
"Para dewa," katanya. "Dan kematian. Aku sudah hidup selama dua milenium, Sayangku, bersembunyi
dari kematian." "Tapi bagaimana mungkin kau sembunyi dari Hades?" tanyaku. "Maksudku ... Hades punya Erinyes."
"Mereka tidak tahu segalanya," katanya. "Atau melihat segalanya. Kau sudah pernah bertemu mereka,
Percy. Kau tahu ini benar. Pria yang pintar dapat bersembunyi cukup lama, dan aku telah mengubur
diriku dalam-dalam. Hanya musuh terbesarku yang terus mengejarku, dan bahka dia pun telah
kuhindari." "Maksudmu Minos," kataku.
Daedalus mengangguk. "Dia memburuku tanpa kenal lelah. Sekarang setelah dia menjadi pengadil orang
mati tak ada yang lebih diinginkannya daripada diriku yang datang ke hadapannya supaya dia bisa
menghukumku atas kejahatanku. Setelah anak-anak perempuan Cocalus membunuhnya, hantu Minos
mulai menyiksaku dalam mimpi-mimpiku. Dia berjanji dia akan memburuku sampai ketemu. Kulakukan
satu-satunya hal yang kubisa. Aku menarik diri sepenuhnya dari dunia. Aku turun ke dalam Labirin.
Kuputuskan ini akan jadi pencapaianku yang terbesar: aku akan mencurangi kematian."
"Dan kau berhasil," kata Annabeth takjub, "selama dua ribu tahun." Dia kedengarannya terkesan,
terlepas dari hal-hal yang mengerikan yang telah Daedalus perbuat.
Tepat saat itu gonggongan lantang bergema dari koridor. Kudengar bunyi ba-BUM, ba-BUM, ba-BUM
cakar-cakar besar, dan Nyonya O"Leary melompat masuk ke bengkel kerja. Dia menjilat wajahku sekali,
kemudian hampir menjatuhkan Daedalus dengan lompatannya yang antusias.
"Ini teman lamaku!" kata Daedalus, menggaruk-garuk belakang telinga Nyonya O;Leary. "Satu-satunya
temanku selama tahun-tahun panjang yang sepi ini."
"Kau membiarkannya menyelamatkanku," kataku. "Peluit itu benar-benar bekerja."
Daedalus mengangguk. "Tentu saja peluit itu bekerja, Percy. Kau berhati baik. Dan aku tahu Nyonya
O"Leary menyukaimu. Aku ingin membantumu. Mungkin aku"aku merasa bersaah juga."
"Bersalah soal apa?"
"Karena misimu akan sia-sia."
"Apa?" kata Annabeth. "Tapi kau masih bisa membantu kami. Harus! Berikan benang Ariadne kepada
kami supaya Luke tidak bisa menggunakannya."
"Ya ... benang itu. Kuberi tahu Luke bahwa mata manusia fana berpenglihatan jeli adalah pemandu
terbaik, tapi dia tidak memercayaiku. Dia begitu terfokus akan gagasan mengenai sebuah benda ajaib.
Dan benang itu bermanfaat. Tidak seakurat teman fanamu ini, mungkin. Tapi cukup baik. Cukup baik."
"Di mana benang itu?" kata Annabeth.
"Ada pada Luke," kata Daedalus sedih. "Maafkan aku, Sayangku. Tapi kalian terlambat beberapa jam."
Merinding, kusadari kenapa suasana hati Luke bagus sekali di arena. Dia sudah mendapatkan benang
dari Daedalus. Satu-satunya rintangannya adalah sang pemilik arena, dan aku sudah mengurus soal itu
untuknya dengan cara membunuh Antaeus.
"Kronos menjanjikanku kebebasan," kata Quintus. "Setelah Hades digulingkan, dia akan memberiku
kuasa atas Dunia Bawah. Aku akan mengambil putraku Icarus kembali. Aku akan memperbaiki segalanya
dengan Perdix muda yang malang. Akan kulihat jiwa Minos diasingkan ke Tartarus, tempat ia takkan bisa
mengusikku lagi. Dan aku takkan perlu lagi lari dari kematian."
"Itu ide brilianmu?" teriak Annabeth. "Kau akan membiarkan Luke menghancurkan perkemahan kami,
membunuh ratusan blasteran, dan kemudian menyerang Olympus" Kau akan menghancurkan seluruh
dunia supaya kau bisa mendapatkan apa yang kau inginkan?"
"Tujuanmu takkan tercapai, Sayangku. Aku melihatnya segera setelah aku bekerja di perkemahan. Tidak
mungkin kalian menghalangi kekuatan Kronos."
"Itu tidak benar!" seru Annabeth.
"Aku melakukan apa yang harus kulakukan, Sayangku. Tawaran itu terlalu manis untuk ditolak. Maafka
aku." Annabeth mendorong sebuah penyangga lukisan. Gambar-gambar arsitektur berhamburan ke lantai.
"Aku dulu menghormatimu. Kau pahlawanku! Kau"kau membangun benda-benda mengagumkan. Kau
memecahkan masalah. Sekarang ... aku tidak tahu siapa kau. Anak-anak Athena seharusnya bijaksana,


Percy Jackson And The Olympians 4 The Battle Of The Labyrinth Pertempuran Labirin Karya Rick Riordan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bukan cuma pintar. Mungkin kau memang cuma mesin. Kau seharusnya mati dua ribu tahun lalu."
Bukannya marah, Daedalus malam menundukka kepalaya. "Kau sebaiknya pergi, peringatkan
perkemahanmu. Sekarang setelah Luke mendapatkan benang?"
"Ada yang datang!" Rachel memperingatkan.
Pintu bengkel kerja menjeblak terbuka, dan Nico di dirong ke dalam, tangannya terantai. Lalu Kelli dan
dua Laistrygonian berderap masuk di belakangnya, diikuti oleh hantu Minos. Dia terlihat hampir padat
sekarang"raja pucat berjenggot dengan mata dingin serta sulur-sulur Kabut yang melingkat terburai
dari jubahnya. Dia melekatkan pandangannya pada Daedalus. "Rupanya kau di situ, Kawan lamaku."
Rahang Daedalus merapat. Dia memandang Kelli. "Apa maksudnya ini?"
"Luke kirim salam," kata Kelli. "Dia pikir kau mungkin ingin bertemu bos lamamu Minos."
"Ini bukan bagian dari kesepakatan kita," kata Daedalus.
"Memang bukan," kata Kelli. "Tapi kami sudah mendapat apa yang kami inginkan darimu, dan kami
punya kesepakatan lain yang harus kami hormati. Minos memerlukan sesuatu yang lain dari kami,
sebagai ganti untuk menyerahkan blasteran mudah yang baik ini." Dia menelusurkan jarinya ke bawah
dagu Nico. "Dia bakal cukup bermanfaat. Dan yang diminta Minos sebagai imbalan adalah kepalamu,
Pak Tua." Daedalus memucat. "Penghianatan."
"Biasakan dirimu," kata Kelli.
"Nico," kataku. "Apa kau baik-baik saja?"
Dia mengangguk murung. "Aku"maafkan aku, Percy. Minos bilang padaku kalian dalam bahaya. Dia
meyakinkanku supaya kembali ke dalam labirin."
"Kau mencoba menolong kami?"
"Aku ditipu," katanya. "Dia menipu kita semua."
Aku memelototi Kelli. "Di mana Luke" Kenapa dia tak di sini?"
Si monster wanita tersenyum seakan kami sedang berbagi lelucon pribadi. "Luke sedang ... sibuk. Dia
mempersiapkan serbuan. Tapi jangan khawatir. Kami punya lebih banyak teman lagi dalam perjalanan.
Dan sementara itu, kupikir aku akan menyantap kudapa sedap!" Tanganya berubah menjadi cakar.
Rambutnya tersulut menjadi nyala api dan kakinya berubah ke wujud aslinya"satu kaki keledai, satu
perunggu. "Percy," bisik Rachel, "sayapnya. Apa kau pikir?"
"Ambil," kataku. "Akan kucoba mengulur waktu untukmu."
Dan dengan itu, keadaan jadi kacau seolah seluruh penghuni Hades dibebaskan dari Dunia Bawah.
Annabeth dan aku menyerang Kelli. Para raksasa langsung menyerbu Daedalus, tapi Nyonya O"Leary
melompat untuk melindunginya. Nico terdorong ke tanah dan bergulat dengan rantainya sementara
arwah Minos melolong, "Bunuh si penemu! Bunuh dia!"
Rachel merenggut sayap-sayap dari dinding. Tidak ada yang memperhatikannya. Kelli menyebet ke arah
Annabeth. Aku mencoba meraihnya, tapi si monster cepat dan mematikan. Dia membalikkan meja-meja,
menghantam penemuan-penemuan hingga hancur berantakan, dan tidak membiarkan kami mendekat.
Dari sudut mataku, kulihat Nyonya O"Leary membenamkan taringnya ke tangan salah satu raksasa. Dia
melolong kesakitan dan mengayun-ayunkan Nyonya O"Leary ke sana-ke mari, mencoba
mengguncangkannya supaya terlepas. Daedalus meraih pedangnya, tapi raksasa kedua menghacurkan
bangku kerja dengan tinjunya, dan pedang itu pun terlempar. Kendi tanah liat berisi api Yunani pecah di
lantai dan mulai terbakar, nyala api hijau menyebar dengan cepat.
"Kepadaku!" seru Minos. "Arwah orang-orang mati!" Dia mengangkat tangan hantunya dan udara mulai
berdengung. "Tidak!" teriak Nico. Dia berdiri di atas kedua kakinya sekarang. Dia entah bagaimaa berhasil
melepaskan belenggunya. "Kau tak mengendalikanku, Anak Bodoh," cemooh Minos. "Selama ini, akulah yang mengendalikanmu!
Satu jiwa untuk satu jiwa, ya. Tapi bukan kakakmu yang akan kembali dari kematian. Akulah yang akan
bangkit, segera setelah kuhabisi si penemu!"
Arwah-arwah mulai bermunculan di sekeliling Minos"sosok-sosok berdenyar pelan-pelan berlipat
ganda, memadat menjadi tentara-tentara Kreta.
"Aku putra Hades," Nico berkeras. "Pergilah!"
Minos tertawa. "Kau tidak punya kekuasaan atas diriku. Akulah raja para arwah! Sang raja hantu!"
"Tidak." Nico menghunus pedangnya. "Akulah sang raja hantu."
Dia menusukkan bilah hitam pedangnya ke lantai, dan pedang itu meleleh lewat batu laksana mentega.
"Takkan pernah!" sosok Minos beriak-riak. "Aku tak kan?"
Tanah bergemuruh. Jendela-jendela retak dan pecah berkeping-keping, membiarkan semburan udara
segar masuk. Retakan terbuka di lantai batu bengkel kerja, dan Minos serta semua arwah terisap ke
dalam ruang hampa disertai lolongan mengerikan.
Kabar buruknya: pertarungan masih berlangsung di sekitar kami, dan aku membiarkan perhatianku
teralih. Kelli menerjangku begitu cepat sampai-sampai aku tidak punya waktu untuk mempertahankan
diriku. Pedangku terlempar dan kepalaku terbentur keras-keras di meja kerja saat aku terjatuh.
Penglihatanku jadi kabur. Aku tidak bisa mengangkat lenganku.
Kelli tertawa. "Rasamu pasti lezat!"
Dia memamerkan taring-taringnya lalu tiba-tiba tubuhnya menjadi kaku. Mata merahnya membelalak.
Dia terkesiap, "Tidak ... sekolah ... arwah ...."
Dan Annabeth mencabut pisau dari punggung si empousa. Dengan jeritan mengerikan, Kelli lenyap
menjadi uap kuning. Annabeth membantuku bangun. Aku masih berkunang-kunang, tapi kami tidak boleh menyia-nyiakan
waktu. Nyonya O"Leary dan Daedalus masih sibuk bertarung melawan para raksasa, dan aku bisa
mendengar teriakan di terowongan. Lebih banyak monster berdatangan menuju bengkel kerja.
"Kita harus menolong Daedalus!" kataku.
"Tidak ada waktu," kata Rachel. "Terlalu banyak yang datang!"
Dia sudah memasang sayap ke badannya dan sedang mengepaskan sayap ke Nico, yang terlihat pucat
dan berkeringat karena pertarungannya dengan Minos. Sayap terpasang seketika ke punggung dan
lengannya. "Sekarang kau!" katanya padaku.
Dalam hitungan detik, Nico, Annabeth, Rachel, dan aku sudah memasang sayap yang mengilap bagai
tembaga ke badan kami. Aku sudah bisa merasakan diriku terangkat oleh angin yang datang lewat
jendela. Api Yunani membakar meja-meja dan perabot, menyebar ke tangga lingkar.
"Daedalus!" teriakku. "Ayo!"
Dia tersayat di ratusan tempat"tapi dia mengucurkan minyak keemasan alih-alih darah. Dia sudah
menemukan pedangnya dan sedang menggunakan bagian-bagian meja yang hancur sebagai perisai
melawa para raksasa. "Aku tidak akan meninggalkan Nyonya O"Leary!" katanya. "Pergilah!"
Tidak ada waktu untuk berdebat. Bahkan kalau kami tinggal, aku tidak yakin kami bisa membantu.
"Kita nggak tahu cara terbang!" protes Nico.
"Waktu yang bagus sekali untuk mencari tahu," kataku. Dan bersama-sama, kami berempat melompat
ke luar jendela menuju langit terbuka.[]
BAB ENAM BELAS Aku Membuka Peti Mati Melompat ke luar jendela setinggi 150 meter dari permukaan tanah biasanya bukanlah bayanganku soal
bersenang-senang. Terutama saat aku mengenakan sayap perunggu dan mengepak-ngepak lenganku
seperti bebek. Aku terjun bebas ke arah bukit dan batu-batu merah di bawah. Aku cukup yakin aku bakal menjadi
setitik noda di Taman Para Dewa, saat Annabeth berteriak dari suatu tempat di atasku, "Rentangkan
lenganmu! Lalu luruskan lenganmu!"
Bagian kecil dari otakku yang tak dicekam rasa panik mendengarnya, dan lenganku merespons. Segera
setelah aku merentangkan lenganku, sayap yang kukenakan menjadi kaku, menangkap angin, dan
kecepatan jatuhku melamban. Aku melayang ke bawah, tapi dengan sudut terkendali, seperti layanglayang yang sedang meluncur ke bawah.
Aku coba-coba mengepakkan lenganku sekali. Aku menukik ke angkasa, angin bersiul-siul di telingaku.
"Yeah!" teriakku. Perasaan ini tak dapat dipercaya. Setelah berhasil menguasainya, aku merasa seolah
sayap itu adalah bagian dari tubuhku. Aku bisa melayang dan menukik dan terjun ke mana pun yang
kuinginkan. Aku berbalik dan melihat teman-temanku"Rachel, Annabeth, dan Nico"berputar-putar di atasku,
memincingkan mata menghalau sinar matahari. Di belakang mereka, asap membubung dari jendela
bengkel kerja Daedalus. "Mendarat!" teriak Annabeth. "Sayap ini tidak akan bertahan selamanya."
"Berapa lama?" seru Rachel.
"Aku tak mau mencari tahu!" kata Annabeth.
Kami menukik ke bawah menuju Taman Para Dewa. Aku melakukan putaran sempurna di sekeliling salah
satu batu yang menjulang dan menakuti beberapa orang pendaki. Lalu kami berempat melayang
menyeberangi lembah, di atas jalanan, dan mendarat di teras sebuah pusat pengunjung. Saat itu sudah
sore dan tempat itu kelihatannya lumayan kosong, tapi kami mencopot sayap kami secepat yang kami
bisa. Melihat sayap-sayap itu, bisa kulihat bahwa Annabeth benar. Segel perekat yang melekatkan sayap
ke punggung kami sudah meleleh, dan kami telah merontokkan bulu-bulu perunggunya. Sayang sekali,
tapi kami tidak bisa memperbaikinya, dan tidak bisa meninggalkannya untuk para manusia fana, jadi
kami menjejalkan sayap-sayap itu ke tempat sampah di luar kafetaria.
Aku menggunakan kamera binokular wisatawan untuk melihat bukit tempat bengkel kerja Daedalus
berada, tapi bengkel itu sudah lenyap. Tidak ada asap lagi. Tidak ada jendela yang pecah. Yang tampak
hanyalah sisi sebuah bukit.
"Bengkel kerja sudah pindah," tebak Annabeth. "Entah ke mana."
"Jadi, apa yang kita lakukan sekarang?" tanyaku. "Bagaimana kita kembali ke dalam labirin?"
Annabeth menatap ujung Puncak Pikes di kejauhan. "Mingkin kita nggak bisa. Kalau Daedalus tewas ...
dia bilang daya hidupnya terikat dengan Labirin. Semuanya mungkin hancur. Mungkin itu bakal
menghentikan penyerbuan Luke."
Aku memikirkan Grover dan Tyson, masih ada di suatu tempat di bawah sana. Dan Daedalus ... meskipun
dia pernah melakukan hal-hal buruk dan membahayakan semua orang yang kusayangi, cara mati seperti
itu tampaknya cukup mengerikan.
"Tidak," kata Nico. "Dia belum mati."
"Bagaimana kau bisa yakin?" tanyaku.
"Aku tahu saat orang mati. Aku mendapat firasat seperti ada dengungan di telingaku."
"Bagaimana dengan Tyson dan Grover, kalau begitu?"
Nico menggelengkan kepalanya. "Itu lebih susah. Mereka bukan manusia atau blasteran. Mereka tidak
punya jiwa fana." "Kita harus ke kota," Annabeth memutuskan. "Kesempatan kita untuk menemukan pintu masuk ke
Labirin bakal lebih bagus. Kita harus sampai kembali ke perkemahan sebelum Luke dan pasukannya."
"Kita bisa saja naik pesawat," kata Rachel.
Aku merinding. "Aku tidak mau terbang."
"Tapi kau baru saja terbang."
"Itu terbang rendah," kataku, "dan bahkan itu pun berisiko. Terbang betul-betul tinggi"itu wilayah Zeus.
Aku tak bisa melakukannya. Lagi pula, kita bahkan tidak punya waktu untuk terbang. Labirinlah cara
tercepat untuk kembali."
Aku tidak mau mengatakannya, tapi aku juga berharap mungkin, mungkin saja, kami akal menemukan
Grover dan Tyson dalam perjalanan.
"Jadi, kita perlu mobil untuk membawa kita ke kota," kata Annabeth.
Rachel melihat ke bawah ke arah lapangan parkir. Dia meringis, seolah dia akan melakukan sesuatu yang
disesalinya. "Biar kuurus."
"Bagaimana?" tanya Annabeth.
"Pokoknya percaya saja deh."
Annabeth terlihat tidak senang, tapi dia mengangguk. "Oke, aku akan membeli prisma di toko
cendramata, mencoba membuat pelangi, dan mengirimkan pesan-Iris ke perkemahan."
"Aku ikut denganmu," kata Nico. "Aku lapar."
"Aku akan tinggal dengan Rachel, kalau begitu," kataku. "Kita ketemu di tempat parkir."
Rachel mengerutkan kening seakan dia tidak mengeinginkanku bersamanya. Itu membuatku agak tak
enak hati, tapi aku toh tetap mengikutinya turun ke lapangan parkir.
Dia menuju ke sebuah mobil hitam besar yang terparkir di tepi lapangan. Mobil itu adalah Lexus bersopir,
seperti jenis mobil yang senantiasa kulihay berkendara di sepenjuru Manhattan. Sang pengemudi ada di
depan sedang membaca koran. Dia mengenakan setelah gelap dan dasi.
"Kau mau apa?" tanyaku pada Rachel.
"Tunggu saja di sini," katanya sengsara. "Kumohon."
Rachel langsung berserap ke arah sang pengemudi dan bicara kepadanya. Pria itu mengerutkan dahi.
Rachel mengatakan hal lain. Pria itu jadi pucat dan buru-buru melipat majalahnya. Dia mengangguk dan
meraba-raba untuk mencari ponselnya. Setelah menelepon sebentar, dia membuka pintu belakang
mobil, mempersilakan Rachel masuk. Rachel menunjuk ke arahku, dan sang pengemudi menganggukanggukkan kepalanya lagi, seperti Ya, Nyonya. Apa pun yang Anda inginkan.
Aku tak tahu kenapa laki-laki itu bersikap gugup sekali.
Rachel kembali untuk menjemputku tepat ketika Nico dan Annabeth muncul dari toko cendramata.
"Aku bicara pada Chiron," kata Annabeth. "Mereka melakukan yang terbaik dan bersiap-siap untuk
pertempuran, tapi dia tetap ingin kita kembali. Mereka bakal memerlukan semua pahlawan yang bisa
mereka kumpulkan. Apa kita dapat tumpangan?"
"Si sopir siap saat kita siap," kata Rachel.
Sang sopir sekarang bicara kepada laki-laki lain yang mengenakan celana khaki dan baju polo, mungkin
kliennya yang menyewa mobil itu. Sang klien sedang mengomel, tapi bisa kudengar sang pengemudi
berkata, "Saya minta maaf, Pak. Darurat. Saya sudha memesan mobil lain untuk Bapak."
"Ayo," kata Rachel. Dia membimbing kami ke mobil dan naik bahkan tanpa melirik si laki-laki kesal yang
menyewanya. Semenit kemudian kami sudah mengarungi jalan. Kursi-kursinya terbuat dari kulit. Ada
banyak ruang untuk meluruskan kaki. Di kurs belakang ada TV layar datar terpasang di sandaran
kepalanya da ada kulkas mini yang dipenuhi air botolan, soda, dan makanan ringan. Kami mulai
mengemil. "Ke mana, Nona Dare?" tanya sang pengemudi.
"Aku belum yakin, Robert," katanya. "Kami cuma perlu berkendara melewati kota dan, eh, melihat-lihat."
"Terserah Anda, Nona."
Aku memandang Rachel. "Kau kenal laki-laki ini?"
"Nggak." "Tapi dia melepaskan segalanya untuk membantumu. Kenapa?"
"Pasang saja matamu," katanya. "Bantu aku lihat-lihat."
Yang tentunya bukanlah jawaba pertanyaanku.
Kami berkendara melintasi Colorado Springs selama sekitar setengah jam dan tidak melihat apa pun
yang Rachel anggap mungkin saja merupakan jalan masuk Labirin. Aku sadar sekali bahwa bahu Rachel
menekan bahuku. Aku terus bertanya-tanya siapa dia sebenarnya, dan bagaimana dia bisa menghampiri
seorang sopir yang tidak dikenalnya dan seketika mendapatkan tumpangan.
Setelah kira-kira sejam kami memutuskan untuk menuju utara ke arah Denver, berpikir bahwa mungkin
kota yang lebih besar mungkin memiliki pintu masuk Labirin, tapi kami semua jadi gelisah. Kami
kehabisan waktu. Lalu, tepat saat kami meninggalkan Colorado Springs, Rachel terduduk tegak. "Keluar dari jalan raya!"
Sang pengemudi melirik ke belakang. "Maaf, Nona?"
"Kupikir aku melihat sesuatu. Keluar dari sini."
Sang pengemudi berbelok memotong lalu lintas dan keluar dari jalan raya.
"Apa yang kau lihat?" tanyaku, soalnya kami bisa dibilang sudah ada di luar kota sekarang. Tidak ada
apa-apa kecuali bukit, lahan berumput, dan beberapa bangunan peternakan yang tersebar. Rachel
menyuruh sang pengemudi berputar menyusuri jalan tanah yang tidak menjanjikan ini. kami berkendara
melintasi sebuah plang, terlalu cepat sehingga aku tidak bisa membacanya, tapi Rachel bilang, "Museum
Pertambangan dan Industri Barat."
Untuk sebuah museum, sepertinya kurang banyak yang bisa dilihat"sebuah rumah kecil seperti stasiun
kereta api gaya kuno, beberapa mesin bor dan pompa dan mesin penggali bertenaga uap tua
dipamerkan di luar. "Di sana." Rachel menunjuk sebuah lubang di sisi bukit dekat sana"terowongan yang dipapan dan
dirantai: "Jalan masuk tambang tua."
"Pintu ke Labirin?" tanya Annabeth. "Bagaimana kau bisa yakin?"
"Yah, lihat saja!" kata Rachel. "Maksudku ... aku bisa melihatnya, oke?"
Dia berterima kashi kepada sang sopir dan kami semua keluar. Dia tidak minta uang atau apa pun. "Apa
Anda yakin Anda akan baik-baik saja, Nona Dare" Saya akan denga senang hati menelepon?"
"Nggak!" kata Rachel. "Nggak perlu. Betul. Makasih, Robert. Tapi kami baik-baik saja."
Museum itu tampaknya tertutup, tapi tak ada yang memedulikan kami mendaki bukit ke lubang masuk
tambang. Waktu kami sampai di pintu masuk, kulihat tanda Daedalus terukir di gembok, meskipun aku
sama sekali tak tahu bagaimana Rachel melihat sesuatu sekecil itu dari tempat sejauh jalan raya. Aku
menyentuh gembok dan rantai-rantai berjatuhan. Kami menendangi beberapa papan dan berjalan
masuk. Entah ini baik atau buruk, tapi kami kembali berada dalam Labirin.
Terowongan tanah berubah menjadi batu. Terowongan berkelak-kelok dan bercabang dan pada
dasarnya mencoba membingungkan kami, tapi Rachel tidak kesulitan memandu kami. Kami
memberitahunya bahwa kami harus kembali ke New York, dan dia nyaris tidak berhenti sama sekali
ketika terowongan menawarkan pilihan.
Yang membuatku terkejut, Rachel dan Annabeth memulai percakapan saat kami berjalan. Annabeth
bertanya lebih banyak tentang latar belakangnya, tapi Rachel terus mengelak, jadi mereka mengobrol
soal arsitektur. Rupanya Rachel tahu sesuatu soal arsitektur karena dia mempelajari seni. Mereka
membicarakan berbagai tampilan muka gedung-gedung di sepenjuru New York?"Apa kau sudah lihat
yang ini," bla, bla, bla, jadi aku pindah ke belakang dan berjala di samping Nico dalam keheningan yang
tak nyaman. "Makasih sudah mencari kami." Aku akhirnya berkata padanya.
Mata Nico menyipit. Dia tampaknya tak semarah sebelumnya"cuma curiga, waspada. "Aku berutang
budi padamu soal kejadian di peternakan, Percy. Lagi pula ... aku ingin menemui Daedalus demi diriku
sendiri. Minos ada benarnya. Daedalus seharusnya mati. Tidak ada yang seharusnya bisa menghindari
kematian selama itu. Itu nggak wajar."
"Itulah yang kau kejar selama ini," kataku. "Menukar jiwa Daedalus dengan jiwa kakakmu."
Kelelawar Hantu 2 Bintang Dini Hari Karya Maria A. Sardjono Kisah Para Pendekar Pulau Es 2
^