Pencarian

Pertempuran Labirin 3

Percy Jackson And The Olympians 4 The Battle Of The Labyrinth Pertempuran Labirin Karya Rick Riordan Bagian 3


menunggumu di sana."
Eurytion memandangku dengan ekspresi aneh. Mungkin simpati. Dia bersiul, dan si anjing melompat
turun dariku dan naik ke pangkuan Annabeth. Dia memekik. Aku tahu Tyson dan Grover takkan
mencoba melakukan apa pun selama Annabeth menjadi sandera.
Aku keluar dari gerbong dan bertatapan dengan Annabeth.
"Kuharap kau tahu apa yang kau lakukan," katanya pelan.
"Kuharap juga begitu."
Geryon naik ke belakang setir. Eurytion membopong Nico ke kursi belakang.
"Matahari terbenam," Geryon mengingatkanku. "Tidak lebih."
Dia menertawaiku sekali lagi, membunyikan klakson kelintingan sapinya, dan mobil sapi pun
menggemuruh pergi menyusuri jalan setapak.[]
BAB SEMBILAN Aku Menyekop Pup Aku kehilangan harapan waktu kulihat gigi para kuda.
Saat aku makin dekat ke pagar, kututupka bajuku ke hidungku untuk menghalangi bau. Seekor kuda
jantan mengarungi lumpur kotoran dan meringkik marah kepadaku. Dia memamerkan gigi-giginya, yang
tajam seperti gigi beruang.
Aku mencoba bicara padanya dalam pikiranku. Aku bisa melakukan itu dengan sebagian besar kuda.
Hai, kataku padanya. Aku akan membersihkan istalmu. Hebat, kan"
Ya! Kata si kuda. Masuklah! Kumakan kau! Blasteran lezat!
Tapi aku putra Poseidon, protesku. Dia menciptakan kuda.
Biasanya ini memberiku perlakuan VIP di dunia kuda, tapi tidak kali ini.
Ya! Si kuda menyetujui dengan antusias. Poseidon boleh masuk juga! Kami akan makan kalian berdua!
Makanan laut! Makanan laut! Kuda-kuda lain menimpali saat mereka melintas mengarungi padang. Lalat-lalat
berdengung di mana-mana, dan hawa panas siang tidak membuat baunya berkurang. Aku punya
gambaran bahwa aku bisa melakukan tantangan ini, karena aku ingat bagaimana Hercules
melakukannya. Dia menyalurkan sungai ke istal dan membersihkannya dengan cara itu. Kupikir aku
mungkin bisa mengendalikan air. Tapi kalau aku tidak bisa mendekati para kuda tanpa dimakan, itu
bakal jadi masalah. Dan dari istal, sungai terletak dibawah bukit, lebih jauh daripada yang kusadari, lebih
dari setengah kilometer. Pekara pup terlihat jauh lebih besar dari dekat. Aku memungut sekop berkarat
dan coba-coba menyekop tahi dari deret pagar. Hebat. Tinggal empat miliar sekopan lagi.
Matahari sudah mulai terbenam. Aku paling banyak hanya punya beberapa jam. Aku memutuskan
bahwa sungai adalah satu-satunya harapanku. Paling tidak lebih mudah berpikir di tepi sungai daripada
di sini. Aku berangkat menuruni bukit.
Ketika aku sampai di sungai, aku menemuka seorang gadis sedang menungguku. Dia mengenakan jins
dan T-shirt hijau dan rambut cokelat panjangnya dikepang dengan rumput sungai. Ada ekspresi tegas di
wajahnya. Kedua lengannya disilangkan.
"Nggak boleh," katanya.
Aku menatapnya. "Apa kau naiad?"
Dia memutar bola matanya. "Ya iya lah."
"Tapi kau bicara dalam bahasa Inggris. Dan kau ada di luar air."
"Memangnya kau pikir kami tidak bisa bersikap seperti manusia kalau kami mau?"
Aku tidak pernah memikirkannya. Aku merasa tolol, karena aku sudah pernah melihat banyak naiad di
perkemahan, dan mereka tidak pernah melakukan lebir daripada cekikikan dan melambai-lambai
kepadaku dari dasar danau kano.
"Begini," kataku. "Aku cuma datang untuk minta?"
"Aku tahu siapa kau," katanya. "Dan aku tahu apa yang kau mau. Dan jawabannya tidak! Aku tidak bakal
membiarkan sungaiku digunakan lagi untuk membersihkan istal kotor itu."
"Tapi?" "Oh, sudahlah, Bocah Laut. Tipe-tipe dewa laut kayak kau ini selalu berpikir kau jauuuuh lebih penting
daripada sungai kecil, ya kan" Yah, biar kuberi tahu kau, naiad ini tidak mau dipaksa-paksa hanya karena
ayahmu Poseidon. Ini teritori air tawar, Mister. Cowok terakhir yang minta tolong padaku"oh, omongomong, dia jauh lebih cakep daripada kau"dia meyakinkaku, dan itu adalah kesalahan terburuk yang
pernah kubuat! Apa kau punya gambaran apa yang disebabkan semua kotoran kuda itu terhadap
ekosistemku" Apa aku kelihatan seperti tanaman pengolah limbah bagimu" Ikan-ikanku bakal mati. Aku
nggak pernah bisa mengenyahkan lumpur kotor itu dari tanamanku. Aku akan sakit bertahun-tahun. Jadi,
NGGAK DEH, MAKASIH!"
Caranya berbicara mengingatkanku pada teman fanaku, Rachel Elizabeth Dare"rasanya seolah-olah dia
meninjuku dengan kata-kata. Aku tidak bisa menyalahkan si naiad. Sekarang setelah aku memikirkanya,
aku bakalan marah seandainya seseorang membuang empat juta kilo tinja ke rumahku. Tapi tetap saja...
"Teman-temanku dalam bahaya," aku memberitahunya.
"Yah, sayang sekali! Tapi itu bukan urusanku. Dan kau tidak bakal merusak sungaiku."
Dia kelihatannya siap berkelahi. Tangannya mengepal, tapi kupikir aku mendengar sedikit getaran dalam
suaranya. Tiba-tiba kusadari bahwa meskipun dia bersikap marah-marah, dia takut padaku. Dia mungkin
berpikir aku akan bertarung melawannya demi kendari akan sungai dan dia cemas dia bakal kalah.
Pemikiran itu membuatku sedih. Aku merasa seperti tukang gertak, putra Poseidon menggunakan
kekuasaannya untuk menindas.
Aku terduduk di tunggul pohon. "Oke, kau menang."
Si naiad terlihay kaget. "Sungguh?"
"Aku nggak akan melawanmu. Ini kan sungaimu."
Dia melemaskan bahunya. "Oh. Oh, baguslah. Maksudku"bagus buatmu."
"Tapi teman-temanku dan aku bakalan dijual ke para Titan kalau aku nggak membersihkan istal itu
sebelum matahari terbenam. Dan aku nggak tahu bagaimana caranya."
Air berdeguk dengan riang. Seekor ular meluncur di air dan menyembunyikan kepalanya ke bawah air.
Akhirnya si naiad mendesah.
"Aku akan memberitahumu sebuah rahasia, putra dewa laut. Ambil sedikit tanah."
"Apa?" "Kaudengar aku."
Aku berjongkok dan mengambil segenggam tanah Texas. Tanah itu kering dan hitam dan dibercaki
gumpalan-gumpalan kecil batu putih... Bukan, itu sesuatu selain batu.
"Itu kerang," kata Naiad. "Cangkang kerang yang terawetkan. Berjuta-juta tahun lalu, bahkan sebelum
masa para dewa, saat hanya Gaea dan Ouranos yang berkuasa, tanah ini ada di bawah air. Ini bagian dari
laut." Tiba-tiba aku memahami maksudnya. Ada potongan-potongan kecil cangkang kerang kuno di tanganku,
cangkang moluska. Bahkan di batu kapur pun ada bayangan cangkang kerang yang terbenam di
dalamnya. "Oke," kataku. "Apa bagusnya itu buatku?"
"Kau tidak terlalu berbeda dariku, Blasteran. Bahkan saat aku ada di luar air, air ada dalam diriku. Air
adalah sumber kehidupanku." Dia melangkah mundur, meletakkan kakinya di dalam air, dan tersenyum.
"Kuharap kau menemukan cara untuk menyelamatkan teman-temanmu."
Dan dengan itu dia pun berubah menjadi cairan dan meleleh ke dalam sungai.
*** Matahari tengah menyentuh perbukitan ketika aku kembali ke istal. Seseorang pasti baru saja datang
dan memberi makan kuda-kuda, soalnya mereka sedang merobek-robek bangkai besar hewan. Aku tidak
tahu hewan apa, dan aku betul-betul tak ingin tahu. Kalau istal itu masih bisa lebih menjijikkan, lima
puluh kuda yang mengoyak-ngoyak daging mentah membuatnya begitu.
Makanan laut! pikir seekor saat dia melihatku. Masuklah! Kami masih lapar.
Apa yang harus kulakukan" Aku tidak bisa menggunakan sungai. Dan fakta bahwa tempat ini terletak di
bawah air sejuta tahun lalu tidaklah membantuku sekarang. Aku memandangi cangkang kerang yang
mengapur di telapal tangaku, kemudian menoleh ke gunung besar kotoran.
Frustasi, kulemparkan kerang itu ke dalam pup. Aku hendak berbalik memunggungi kuda-kuda saat
kudengar sebuah bunyi. PFFFFFT! Seperti balon bocor.
Aku melihat ke bawah ke tempatku melempar kerang tadi. Semprotan kecil air menyembur dan keluar
dari lumpur kotoran. "Nggak mungkin," gumamku.
Ragu-ragu, aku melangkah maju ke arah pagar. "Membesarlah," aku menyuruh si semprotan air.
WUUUUUUSH! Air menyembur setinggi hampir satu meter ke udara dan terus berdeguk. Memang mustahil, tapi di
situlah ia. Beberapa kuda datang mendekat untuk memeriksanya. Seekor meletakkan mulutnya ke mata
air dan menghindar. Ih! Katanya. Asin! Mata air itu adalah air asin di tengah-tengah peternakan Texas. Aku mengambil segenggam tanah lagi
dan mengeluarkan fosil-fosil kerang. Aku betul-betul tidak tahu apa yang kulakukan, tapi aku berlari-lari
mengelilingi istal, melemparkan kerang ke tumpukan tahi. Di mana pun cangkang menghantam, mata air
asin merekah. Stop! Para kuda berseru. Daging enak! Mandi nggak!
Lalu kusadari bahwa air tidak keluar dari istal atau mengalir menuruni bukit seperti lazimnya air. Air
semata berdeguk di sekitar masing-masing mata air dan terbenam ke dalam tanah, membawa tahi
bersamanya. Tahi kuda terlarut dalam air asin, meninggalkan kotoran basah lama yang biasa.
"Lebih besar lagi!" teriakku.
Aku merasakan sensasi seolah perutku ditarik-tarik, dan semprotan air meledak menjadi tempat cuci
mobil terbesar di dunia. Air asin menyembur setinggi enam meter ke udara. Kuda-kuda jadi gila, berlari
bolak-balik saat geyser menyemprot mereka dari segala arah. Gunung pup mulai meleleh seperti es.
Sensasi ditarik-tarik menjadi kian intens, bahkan menyakitkan, tapi ada sesuatu yang menyenangkan
soal ini, melihat semua air asin itu. Aku membuat ini. Aku telah membawa laut ke sisi bukit ini.
Stop, Tuan! seekor kuda berseru. Stop, kumohon!
Air tersembur ke mana-mana sekarang. Kuda-kuda basah kuyup, dan beberapa ekor panik dan
terpeleset di lumpur. Tahi sudah sepenuhnya lenyap, berton-ton tahi larut begitu saja ke dalam tanah,
dan air sekarang mulai menggenang, menetes-netes ke luar istal, menghasilkan ratusan kali kecil
mengalir turun ke arah sungai.
"Stop," perintahku kepada air.
Tidak ada yang terjadi. Rasa sakit di perutku buncah. Kalau aku tidak segera menutup geyser-geyser itu,
air asin akan mengalir ke sungai dan meracuni ikan serta tumbuhan.
"Stop!" Aku mengonsentrasikan seluruh upaya guna menutup kekuatan lautan.
Tiba-tiba geyser-geyser tertutup. Aku jatuh berlutut kelelahan. Di depanku ada istal yang bersih, padang
lumpur basah asin, dan lima puluh kuda yang sudah digosok habis-habisan sehingga kulit mereka
mengilap. Bahkan koyakan daging di antara gigi mereka pun sudah dicuci.
Kami takkan memakanmu! ratap para kuda. Kami mohon, Tuan! Jangan ada mandi air asin lagi!
"Dengan satu syarat," kataku. "Kalian hanya boleh melahap makanan yang pengurus kalian berikan
mulai saat ini. Bukan orang. Atau aku bakal kembali dengan lebih banyak cangkang kerang!"
Para kuda meringkik dan memberiku janji bahwa mereka akan menjadi kuda pemakan daging yang baik
mulai sekarang, tapi aku tidak berlama-lama mengobrol. Matahari sudah turun. Aku berbalik dan lari
dengan kecepatan penuh menuju rumah peternakan.
Aku mencium daging panggang sebelum aku sampai di rumah, dan itu membuatku marah sekali, soalnya
aku suka sekali daging panggang.
Beranda telah disiapkan untuk pesta. Kertas krep dan balom mendekorasi pagar beranda. Geryon
sedang membalik daging burger di atas pemanggang raksasa yang terbuat dari drum minyak. Eurytion
sedang bersantai di belakang meja piknik, mengorek-ngorek kukunya dengan sebilah pisau. Si anjing
berkepala dua mengendus-endus daging iga dan burger yang sedang dimatangkan di panggangan. Dan
kemudian kulihat teman-temanku: Tyson, Grover, Annabeth, dan Nico, semuanya terenyak di pojokan,
terikan seperti hewan rodeo, dengan perge;angan kaki dan pergelangan tangan saling terikat dan mulut
mereka tersumpal. "Lepaskan mereka!" teriakku, masih kehabisan napas karena berlari-lari menaiki undakan. "Aku sudah
membersihkan istal!"
Geryon menoleh. Dia mengenakan celemek di setiap dada, dengan satu kata pada masing-masing
celemek sehingga bersama-sama kata-kata tersebut dibaca: CIUM"SANG"KOKI. "Sudah" Bagaimana
kau melakukannya?" Aku agak tak sabar, tapi kuberi tahu dia.
Dia mengangguk apresiatif. "Inovatif sekali. Lebih baik kalau kauracuni saja naiad menyebalkan itu, tapi
nggak masalah." "Lepaskan teman-temanku," kataku. "Kita kan sudah sepakat."
"Ah, aku sudah memikirkannya. Masalahnya, kalau aku membiarkan mereka, aku nggak dapat bayaran."
"Kau sudah janji!"
Geryon membuat bunyi cck-cck. "Tapi apa kau membuatku bersumpah demi Sungai Styx" Tidak, kau
tidak melakukannya. Jadi, kesepakatan kita tidak mengikat. Saat kau menjalankan bisnis, Nak, kau harus
selalu mendapatkan sumpah yang mengikat."
Aku mengeluarkan pedangku. Orthus menggeram. Satu kepala mencondongkan badan ke samping
telinga Grover dan memamerkan taringnya.
"Eurytion," kata Geryon, "bocah ini mulai mengusikku. Bunuh dia."
Eurytion mengamatiku. Aku tidak senang akan peluangku melawannya dan pentungan besar itu.
"Bunuh dia sendiri," kata Eurytion.
Geryon mengangkat alisnya. "Apa?"
"Kau dengar aku," gerutu Eurytion. "Kau terus-terusan mengutusku untuk melakukan pekerjaan
kotormu. Kau mengajak berkelahi tanpa alasan bagus, dan aku bosan mati demi kau. Kau ingin
bertarung dengan anak ini, lakukan sendiri."
Itulah hal yang paling nggak-Ares-banget yang pernah kudengar diucapkan oleh seorang putra Ares.
Geryon melemparkan spatulanya. "Kau berani-berani melawanku" Aku harus memecatmu sekarang
juga!" Si anjing segera saja berhenti menggeram kepada Grover dan datang duduk di dekat kaki sang gembala
sapi. "Baik!" gerutu Geryon. "Akan kuurus kau nanti, setelah bocah ini mati!"
Dia mengambil dua pisau ukir dan melemparkannya kepadaku. Aku menangkis salah satu dengan
pedangku. Yang lain menusukkan dirinya ke meja piknik sesenti dari tangan Eurytion.
Aku melacarkan serangan. Geryon menangkis serangan pertamaku dengan tang merah membara dan
mengincar wajahku menggunakan garpu panggangan. Aku berhasil meraih tubuhnya yang tak
terlindungi ketika dia melakukan tikaman berikutnya dan menusuknya tepat di dada tengah.
"Ahhh!" Dia jatuh berlutut. Aku menantikannya hancur, seperti yang biasanya terjadi pada monster.
Tapi dia malah nyengir dan mulai berdiri. Luka di celemek kokinya mulai sembuh.
"Percobaan yang bagus, Nak," katanya. "Hanya saja, aku punya tiga jantung. Sistem penunjang yang
sempurna." Dia membalikkan panggangan, dan arang tumpah ke mana-mana. Satu mendarat di samping wajah
Annabeth, dan dia mengeluarkan teriaka teredam. Tyson menggeliat-geliat dari ikatannya, tapi bahkan
kekuatannya tidak cukup untuk melepaskannya. Aku harus mengakhiri pertarungan ini sebelum temantemanku terluka.
Aku meninju dada kiri Geryon, tapi dia hanya tertawa. Aku menusuk perut kanannya. Tidak bagus. Aku
bisa saja cuma menusuk boneka beruang, melihat reaksi yang ditunjukkannya.
Tiga jantung. Sistem penunjang yang sempurna. Menusuk satu jantung tiap kali tidak ada gunanya ....
Aku berlari masuk ke rumah.
"Pengecut!" teriaknya. "Kembalilah dan mati dengan benar!"
Dinding ruang keluarga dihiasi oleh sekumpulan trofi berburu yang mengerikan"rusa dan kepala naga
isi, wadah senapan, panjang pedang, dan busur beserta sarung anak panah.
Geryon melemparkan garpu besarnya, dan garpu itu berdebum tepat di sebelah kepalaku. Dia mencopot
dua pedang dari pajangan di dinding. "Kepalamu bakalan dipajang di sana, Jackson! Di samping beruang
grizzly!" Aku punya ide gila. Aku menjatuhkan Reptide dan merenggut busur dari dinding.
Aku adalah pemanah terpayah di dunia. Aku tidak bisa mengenai target di perkemahan, apalagi titik
tengahnya. Tapi aku tidak punya pilihan. Aku tidak bisa memenangi pertarungan ini dengan pedang. Aku
berdoa kepada Artemis dan Apollo, para pemanah kembar, berharap mereka mengasihaniku sekali saja.
Kumohon, Dewa-dewi. Satu tembakan saja. Kumohon.
Aku menakik sebuah anak panah.
Geryon tertawa. "Dasar bodoh! Satu anak panah tidak lebih baik daripada satu pedang."
Dia mengangkat pedangnya dan menerjang. Aku membungkuk ke samping. Sebelum dia bisa berbalik,
aku menembakkan anak panahku ke sisi dada kanannya. Aku mendengar PSST, PSST, PSST, saat anak
panah menembus masing-masing dadanya dengan mulus dan melayang keluar dari sisi kiri badannya,
menancapkan diri di kening trofi beruang grizzly.
Geryon menjatuhkan pedangnya. Dia menoleh dan menatapku. "Kau nggak bisa memanah. Mereka
memberitahuku kau nggak bisa ...."
Wajahnya berubah pucat pasi. Dia jatuh berlutut dan mulai remuk menjadi pasir, sampai yang tersisa
hanyalah celemek koki dan sepasang bot koboi yang terlalu besar.
Aku melepaskan ikatan teman-temanku. Eurytion tidak mencoba menghentikanku. Lalu kunyalakan
panggangan dan kulemparkan makanan ke api sebagai sesaji bakar bagi Artemis dan Apollo.
"Makasih," kataku. "Aku berutang pada kalian."
Langit menggemuruh di kejauhan, jadi kupikir aroma burgernya oke.
"Hidup Percy!" kata Tyson.
"Bisakah kita ikat gembala sapi ini sekarang?" tanya Nico.
"Iya!" kata Grover. "Dan anjing itu yang hampir membunuhku!"
Aku memandang Eurytion, yang masih duduk santai di balik meja piknik. Orthus meletakkan kedua
kepalanya ke atas kaki sang gembala sapi.
"Berapa lama sampai Geryon terbentuk kembali?" tanyaku.
Eurytion mengangkat bahu. "Ratusan tahun" Dia bukan salah satu pewujud-kembali yang cepat,
terpujilah dewa-dewi. Kau sudah membantuku."
"Kau bilang kau pernah mati untuknya sebelumnya," aku ingat. "Bagaimana?"
"Aku sudah bekerja untuk si brengsek itu selama ribuan tahun. Mulai sebagai blasteran biasa, tapi aku
memilih keabadian waktu ayahku menawarkannya. Kesalahan terburuk yang pernah kubuat. Sekarang
aku terjebak di peternakan ini. Aku tidak bisa pergi. Aku tidak bisa berhenti. Aku cuma mengurus sapisapi dan bertarung untuk Geryon. Kami terikat, semacam itulah."
"Mungkin kau bisa merubah keadaan," kataku.
Eurytion menyipitkan matanya. "Bagaimana?"
"Baik-baiklah pada para hewan. Rawat mereka. Berhenti menjual mereka untuk dimakan. Dan berhenti
membuat kesepakatan dengan para Titan."
Eurytion memikirkan hal itu. "Itu sepertinya oke."
"Buat hewan-hewan berada di pihakmu, dan mereka akan membantumu. Setelah Geryon kembali,
mungkin dia yang bakal bekerja untukmu kali ini."
Eurytion nyengir. "Nah, yang itu aku bisa tahan."
"Kau nggak bakal mencegah kami pergi?"
"Nggak, kok." Annabeth menggosok-gosok pergelangan tangannya yang memar. Dia masih memandangi Eurytion
dengan curiga. "Bosmu bilang seseorang membayar agar kami bisa lewat dengan selamat. Siapa?"
Sang gembala sapi mengangkat bahu. "Mungkin dia cuma mengatakan itu untuk membodohi kalian."
"Bagaimana dengan para Titan?" tanyaku. "Apa kau sudah mengirim pesan-Iris tentang Nico kepada


Percy Jackson And The Olympians 4 The Battle Of The Labyrinth Pertempuran Labirin Karya Rick Riordan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka?" "Belum. Geryon menunggu sampai setelah makan malam. Mereka tidak tahu apa-apa soal dia."
Nico memelototiku. Aku tidak yakin apa yang harus kulakukan soal dia. Aku ragu dia bakal setuju untuk
ikut bersama kami. Di sisi lain, aku tidak bisa membiarkannya berkeliaran sendirian begitu saja.
"Kau boleh tinggal di sini sampai kami menyelesaikan misi kami," aku memberitahunya. "Pasti aman."
"Aman?" kata Nico. "Apa pedulimu kalau aku aman" Kau membuat kakakku terbunuh!"
"Nico," kata Annabeth, "itu bukan salah Percy. Dan Geryon tidak bohong soal Kronos yang ingin
menangkapmu. Kalau dia tahu siapa kau, dia bakal melakukan apa pun untuk mendapatkanmu di
pihaknya." "Aku nggak di pihak siapa-siapa. Dan aku nggak takut."
"Kau mestinya takut," kata Annabeth. "Kakakmu pasti ingin?"
"Kalau kau peduli pada kakakku, kau akan membantuku menghidupkannya kembali!"
"Satu jiwa untuk satu jiwa?" kataku.
"Ya!" "Tapi kalau kau bukan menginginkan jiwaku?"
"Aku tidak akan menjelaskan apa-apa padamu!" Dia berkedip-kedip untuk mengenyahkan air mata.
"Dan aku akan membangkitkannya kembali."
"Bianca pasti tidak mau dibangkitkan kembali," kataku. "Tidak seperti itu."
"Kau tidak kenal dia!" teriaknya. "Bagaimana kau tahu apa yang dia inginkan?"
Aku menatap nyala api di lubang panggangan. Aku berpikir tentang baris pada ramalan Annabeth. Di
tangan sang raja hantu kebangkitan atau kegagalanmu ditentukan. Itu pasti Minos, dan aku harus
meyakinkan Nico agar tidak mendengarkannya. "Ayo tanya Bianca."
Langit seakan bertambah gelap tiba-tiba.
"Aku sudah mencoba," kata Nico nelangsa. "Dia tidak mau menjawab."
"Coba lagi. Aku punya firasat dia akan menjawab dengan adanya aku di sini."
"Kenapa?" "Karena dia mengirimiku pesan-Iris," kataku, tiba-tiba yakin akan hal itu. "Dia mencoba
memperingatkanku tentang rencanamu supaya aku bisa melindungimu."
Nico menggelengkan kepalanya. "Itu mustahil."
"Hanya ada satu cara untuk mencari tahu. Kau bilang kau nggak takut." Aku menoleh kepada Eurytion.
"Kami bakal memerlukan lubang, seperti kuburan. Dan makanan dan minuman."
"Percy," Annabeth memperingatkan. "Kupikir ini bukan ide?"
"Baiklah," kata Nico. "Akan kucoba."
Eurytion menggaruk-garuk jenggotnya. "Ada lubang yang digali di belakang untuk septic tank. Kita bisa
gunakan itu. Bocah Cyclops, ambil peti esku dari dapur. Moga-moga orang mati suka root beer."[]
BAB SEPULUH Kami Memainkan Kuis Kematian
Kami melaksanakan upacara pemanggilan setelah gelap, di dekat lubang sepanjang enam meter di
hadapan septic tank. Septic tank itu berwarna kuning cerah, dengan wajah tersenyum serta kata-kata
merah yang dicat di sisinya: PT PEMBUANGAN KOTORAN GEMBIRA. Rasanya tidak cocok dengan
suasana pemanggilan orang mati.
Bulan purnama muncul di langit. Awan-awan perak berarak di angkasa.
"Minos seharusnya sudah di sini sekarang," kata Nico, mengerutkan kening. "Sudah gelap gulita."
"Mungkin dia tersesat," kataku penuh harap.
Nico menuangkan root beer dan melemparkan daging panggang ke dalam lubang, lalu mulai berkomatkamit dalam bahasa Yunani Kuno. Segera saja serangga-serangga di hutan berhenti bercericip. Dalam
sakuku, peluit anjing dari es Stygian bertambah dingin, membeku di sisi kakiku.
"Suruh dia berhenti," bisik Tyson kepadaku.
Sebagian dari diriku setuju. Ini tidak alami. Udara malam terasa dingin dan mengancam. Tapi sebelum
aku mengucapkan apa-apa, arwah pertama muncul. Kabut belerang merembes keluar dari tanah.
Bayang-bayang menebal menjadi sosok-sosok manusia. Satu bayangan biru melayang ke tepi lubang dan
berlutut untuk minum. "Hentikan dia!" kata Nico, sementara menghentikan rapalannya. "Cuma Bianca yang boleh minum!"
Aku menghunus Reptide. Hantu-hantu mundur sambil mendesis bersama-sama saat melihat bilah
perunggu langit pedangku. Tapi sudah terlambat untuk menghentikan arwah pertama. Dia sudah
memadat menjadi sosok pria berjenggot yang berjubah putih. Mahkota emas melingkari kepalanya, dan
bahkan dalam kematian matanya menyala-nyala dengan kekejian.
"Minos!" kata Nico. "Apa yang kau lakukan?"
"Mohon maaf, Tuan," si hantu berkata, meskipun dia tidak kedengaran terlalu menyesal. "Bau sesaji ini
sedap sekali, aku tidak tahan." Dia mengamati tangannya sendiri dan tersenyum. "Senang melihat diriku
lagi. Hampir dalam bentuk padat?"
"Kau mengganggu upacara!" protes Nico. "Pergi?"
Arwah-arwah orang mati mulai berdenyar terang, menampakkan bahaya, dan Nico harus berkomatkamit lagi untuk menghalau mereka.
"Ya, memang benar, Tuan," kata Minos dengan girang. "Silakan terus merapal. Aku hanya datang untuk
melindungimu dari para pembohong yang akan menipumu ini."
Dia menoleh kepadaku seolah aku ini semacam kecoa. "Percy Jackson ... wah, wah. Putra-putra
Poseidon belum membaik selama berabad-abad, ya?"
Aku ingin meninjunya, tapi kurasa kepalanku yang pertama akan langsung menembus wajahnya. "Kami
sedang mencar Bianca di Angelo," kataku. "Enyahlah."
Si hantu terkekeh. "Aku tahu kau pernah membunuh Minotaurku dengan tangan kosong. Tapi hal-hal
yang lebih buruk menantimu di dalam Labirin. Apa kau benar-benar percaya Daedalus akan
membantumu?" Arwah-arwah lain bergerak-gerak gelisah. Annabeth mengeluarkan pisaunya dan membantuku
menjauhkan mereka dari lubang. Grover begitu gugup sampai-sampai dia menempel ke bahu Tyson.
"Daedalus tidak peduli pada kalian, Blasteran," Minos memperingatkan. "Kalian tak bisa memercayainya.
Dia teramat tua, dan lihai. Sikapnya getir karena merasa bersalah telah membunuh dan dia dikutuk para
dewa." "Bersalah karena membunuh?" tanyaku. "Siapa yang dibunuhnya?"
"Jangan mengubah topik!" geram si hantu. "Kau menghalang-halangi Nico. Kau mencoba membujuknya
agar meninggalkan tujuannya. Aku akan menjadikannya penguasa!"
"Cukup, Minos," perintah Nico.
Si hantu mencibir. "Tuan, mereka ini musuhmu. Kau tidak boleh mendengarkan mereka! Biarkan aku
melindungimu. Akan kubuat pikiran mereka gila, seperti yang kulakukan pada yang lain."
"Yang lain?" Annabeth terkesiap. "Maksudmu Chriz Rodriguez" Itu perbuatanmu?"
"Labirin ini milikku," kata si hantu, "bukan milik Daedalus! Yang masuk tanpa izin layak memperoleh
kegilaan." "Pergi, Minos!" tuntut Nico. "Aku ingin bertemu kakakku!"
Si hantu menahan amarahnya. "Sesuai kehendakmu, Tuan. Tapi kuperingatkan kau. Kau tidak bisa
mempercayai para pahlawan ini."
Dengan itu, dia pun memudar menjadi kabut.
Arwah-arwah lain bergegas maju, tapi Annabeth dan aku menghalau mereka mundur.
"Bianca, muncullah!" seru Nico. Dia mulai berkomat-kamit lebih cepat, dan arwah-arwah bergerak-gerak
gelisah. "Jangan lama-lama," gumam Grover.
Lalu cahaya keperakan berkelap-kelip di pepohonan"arwah yang tampak lebih terang dan lebih kuat
daripada yang lain. Arwah itu datang mendekat, dan sesuatu memberitahuku agar membiarkannya
lewat. Ia berlutut untuk minum dari lubang. Saat dia bangkit, ia adalah sosok hantu Bianca di Angelo.
Rapalan Nico terhenti. Aku menurunkan pedangku. Arwah-arwah lain berkerumun ke depan, tapi Bianca
mengangkat tangannya dan mereka mundur ke hutan.
"Halo, Percy," katanya.
Dia terlihat sama seperti waktu masih hidup: topi hijau yang dipasang miring di atas rambut tebalnya
yang hitam pekat, mata gelap, dan kulit sewarna zaitun seperti adiknya. Dia mengenakan jin dan jaket
keperakan, pakaian Pemburu Artemis. Busur tersadang di bahunya. Dia tersenyum samar, dan seluruh
sosoknya berdenyar. "Bianca," kataku. Suaraku lemah. Lama aku merasa bersalah karena kematiannya, tapi melihatnya di
hadapanku lima kali lipat lebih buruk, seolah kematiannya baru saja terjadi. Aku ingat mencari-cari di
reruntuhan prajurit perunggu yang untuk mengalahkannya dia mengorbankan nyawanya, dan tidak
menemukan tanda-tanda dirinya.
"Aku betul-betul minta maaf," kataku.
"Kau tidak perlu minta maaf, Percy. Aku membuat pilihanku sendiri. Aku tidak menyesalinya."
"Bianca!" Nico terhuyung-huyung maju seakan dia baru saja bangun tidur.
Dia menoleh kepada adiknya. Ekspresinya sedih, seakan-akan dia sudah lama mencemaskan momen ini.
"Halo, Nico. Kau tambah tinggi."
"Kenapa kau tidak menjawabku lebih awal?" serunya. "Aku sudah mencoba berbulan-bulan."
"Aku berharap kau bakal menyerah."
"Menyerah?" Dia terdengar sakit hati. "Bisa-bisanya kau mengatakan itu" Aku mencoba
menyelamatkanmu!" "Nggak bisa, Nico. Jangan lakukan ini. Percy benar."
"Tidak! Dia membiarkanmu mati! Dia bukan temanmu."
Bianca mengulurkan tangannya seakan untuk menyentuh wajah adiknya, tapi dia terbuat dari kabut.
Tangannya terbuyarkan saat mendekati kulit manusia hidup.
"Kau harus mendengarkanku," katanya. "Menyimpan dendam berbahaya bagi anak Hades. Itu
kekuarangan fatal kita. Kau harus memaafkan. Kau harus berjanji padaku."
"Aku nggak bisa. Nggak akan pernah."
"Percy selama ini mengkhawatirkanmu, Nico. Dia bisa membantu. Aku membiarkanya melihat apa
rencanamu, berharap agar dia menemukanmu."
"Jadi memang kau," kataku. "Kau mengirim pesan-Iris itu."
Bianca mengangguk. "Kenapa kau membantunya dan bukan aku?" jerit Nico. "Nggak adil!"
"Kau sudah dekat dengan kebenaran sekarang," Bianca memberitahunya. "Kau bukan marah pada Percy,
Nico, tapi padaku." "Tidak." "Kau marah karena aku meninggalkanmu untuk menjadi Pemburu Artemis. Kau marah karena aku mati
dan meninggalkanmu sendirian. Aku minta maaf soal itu, Nico. Aku betul-betul minta maaf. Tapi kau
harus mengatasi kemarahanmu. Dan berhenti menyalahkan Percy atas pilihanku. Melakukannya bakal
membuatmu celaka." "Dia benar," Annabeth menimpali. "Kronos sedang bangkit, Nico. Dia akan memutarbalikkan siapa pun
yang dia bisa demi tujuannya."
"Aku tidak peduli soal Kronos," kata Nico. "Aku cuma ingin kakakku kembali."
"Kau tidak bisa mendapatkanku kembali, Nico," Bianca memberitahunya dengan lembut.
"Aku putra Hades! Aku bisa."
"Jangan coba-coba," kata Bianca. "Kalau kau sayang aku, jangan ...."
Suaraya menghilang. Arwah-arwah mulai berkumpul di sekeliling kami lagi, dan mereka tampaknya
gelisah. Bayangan mereka bergerak-gerak. Suara mereka membisikkan, Bahaya!
"Tartarus bergolak," kata Bianca. "Kekuatanmu menarik perhatian Kronos. Yang mati harus kembali ke
Dunia Bawah. Tidak aman bagi kami untuk tetap tinggal.
"Tunggu," kata Nico. "Kumohon?"
"Selamat tinggal, Nico," kata Bianca. "Aku menyayangimu. Ingat apa yang kukatakan."
Sosoknya bergetar dan hantu-hantu menghilang, meninggalkan kami sendirian dengan sebuah lubang,
septic tank Kotoran Gembira, dan bula purnama yang dingin.
Tak satu pun dari kami tak sabar untuk bepergian malam itu, jadi kami putuskan untuk menunggu
sampai pagi. Grover dan aku menumpang tidur di sofa kulit di ruang keluarga Geryon, yang jauh lebih
nyaman daripada matras gulung di dalam Labirin; tapi itu tak membuat mimpi burukku membaik.
Aku bermimpi berada bersama Luke, berjalan melalui istana gelap di puncak Gunung Tam. Istana itu
sekarang berupa bangunan sungguhan"bukan semacam ilusi setengah jadi yang kulihat musim dingin
lalu. Api hijau berkobar-kobar di tungku-tungku di sepanjang dinding. Lantai berupa marmer hitam
mengilap. Angin dingin berembus di lorong, dan di atas kami melalui langit-langit yang terbuka, langit
menampakkan awan badai kelabu yang bergulung-gulung.
Luke berpakaian untuk bertempur. Dia mengenakan celana loreng, T-shirt putih, dan tameng dada
perunggu, tapi pedangnya, Backbiter, tidak ada di sampingnya"hanya ada sarung pedang kosong. Kami
berjalan masuk ke pekarangan besar tempat lusinan prajurit dan dracaena sedang bersiap-siap untuk
perang. Waktu mereka melihatnya, para makhluk setengah dewa menegakkan badan. Mereka
memukulkan pedang mereka ke perisai mereka.
"Sssssudah waktunyakah, Tuanku?" tanya seekor dracaena.
"Sebentar lagi," janji Luke. "Lanjutkan pekerjaan kalian."
"Tuanku," sebuah suara berkata di belakangnya. Kelli si empousa tersenyum padanya. Dia mengenakan
rok biru malam ini, dia kelihatan cantik sekali. Matanya berkelap-kelip"kadang cokelat tua, kadang
merah menyala. Rambutnya terkepang ke belakang punggungnya dan terlihat seakan menangkap
cahaya obor, seolah-olah tidak sabar untuk berubah kembali menjadi nyala api.
Jantungku berdebar-debar. Aku menunggu sampai Kelli melihatku, mengejarku hingga terbangun dari
mimpi seperti yang dilakukannya sebelumnya, tapi kali ini dia tampaknya tidak menyadari kehadiranku.
"Kau kedatangan tamu," dia memberi tahu Luke. Dia melangkah ke samping, dan bahkan Luke pun
tampaknya terperangah pada apa yang dilihatnya.
Kamp? si monster menjulang di atasnya. Ular-ularnya mendesis di sekeliling kakinya. Kepala-kepala
hewan menggeram di pinggangnya. Pedangnya terhunus, dikilaukan oleh racun, dan dengan sayap
kelelawarnya yang terentang, dia memenuhi seluruh koridor.
"Kau." Suara Luke terdengar sedikit gemetar. "Ku suruh kau tinggal di Alcatraz."
Kelopak mata Kamp? berkedip ke samping seperti kelopak reptil. Dia berbicara dalam bahasa aneh
bergemuruh itu, tapi kali ini aku mengerti, di suatu tempat di dalam benakku: Aku datang untuk
melayani. Beri aku pembalasan dendam.
"Kau sipir," kata Luke. "Tugasmu?"
Akan kubunuh mereka. Tak ada yang bisa kabur dariku.
Luke ragu-ragu. Segaris keringat menetes menuruni sisi wajahnya. "Baiklah," katanya. "Kau akan pergi
dengan kami. Kau boleh membawa benang Ariadne. Itu posisi yang sangat terhormat."
Kamp? mendesis ke bintang-bintang. Dia menyarungkan pedangnya dan berbalik, berderap di lorong
dengan kaki naga raksasanya.
"Kita seharusnya meninggalkan yang satu itu di Tartarus," omel Luke. "Dia terlalu kacau. Terlalu kuat."
Kelli tertawa lembut. "Kau seharusnya tak takut akan kekuatan, Luke. Manfaatkanlah!"
"Lebih cepat kita pergi, lebih baik," kata Luke. "Aku ingin cepat-cepat menyelesaikan ini."
"Aww," kata Kelli bersimpati, menelusurkan jarinya ke lengan Luke. "Kau tidak senang kau bisa
menghancurkan perkemahan lamamu?"
"Aku tidak bilang begitu."
"Kau tidak ragu soal, ah, tugas istimewamu?"
Wajah Luke mengeras. "Aku tahu tugasku."
"Itu bagus," kata si monster. "Apa pasukan penyerbu kita cukup, menurutmu" Atau apa aku perlu
panggil Ibu Hecate untuk minta bantuan?"
"Kita punya lebih dari cukup," kata Luke suram. "Kesepakatannya hampir beres. Yang kuperlukan
sekarang adalah berunding agar kita bisa melewati arena dengan selamat."
"Mmm," kata Kelli. "Pasti menarik. Aku tak bakalan tahan melihat cakepmu di pasak seandainya kau
gagal." "Aku tidak akan gagal. Dan kau, Monster, bukankah kau punya urusan lain untuk diurus?"
"Oh, ya." Kelli tersenyum. "Aku membawakan keputusasaan untuk musuh kita yang tukang nguping. Aku
sedang melakukannya sekarang."
Dia memalingkan matanya tepat ke arahku, memamerkan cakarnya, dan merobek mimpiku.
Tiba-tiba aku berada di tempat lain.
Aku berdiri di puncak menara batu, menghadap ke tebing berbatu dan laut di bawah. Daedalus sang
pria tua sedang membungkuk di atas meja kerja, bergulat dengan semacam alat navigasi, seperti
kompas raksasa. Dia kelihatan jauh lebih tua daripada ketika aku terakhir kali melihatnya. Dia bungkuk
dan tangannya berbonggol-bonggol. Dia menympah-nyumpah dalam bahasa Yunani Kuno dan
memincingkan mata seolah dia tidak bisa melihat pekerjaannya, meskipun hari itu cerah.
"Paman!" sebuah suara memanggil.
Seorang anak seusia Nico yang menyunggingkan senyum menaiki tangga, membawa kotak kayu.
"Halo, Perdix," kata sang pria tua, meskipun nada suaranya terdengar dingin. "Sudah menyelesaikan
proyekmu?" "Ya, Paman. Pekerjaan mudah!"
Daedalus merengut. "Mudah" Memindahkan air ke atas bukit tanpa pompa masalah mudah?"
"Oh, ya! Lihat!"
Si anak laki-lai meletakkan kotaknya dan mengaduk-aduk rongsokan di dalamnya. Dia mengeluarkan
lebaran papirus dan menunjukkan beberapa diagram dan catatan kepada sang penemu tua. Aku sama
sekali tak mengerti, tapi Daedalus mengangguk-angguk dengan enggan. "Begitu. Tidak jelek."
"Raja menyukainya!" kata Perdix. "Dia bilang aku bahkan mungkin lebih pintar daripada Paman."
"Dia bilang begitu?"
"Tapi aku tidak memercayainya. Aku senang sekali. Ibu mengirimku untuk belajar dengan Paman! Aku
ingin mengetahui semua yang Paman lakukan."
"Yan," gumam Daedalus. "Jadi saat kau mati, kau bisa mengambil alih tempatku, eh?"
Mata s bocah membelalak. "Oh, tidak, Paman! Tapi aku berpikir-pikir ... kenapa manusia harus mati,
omong-omong?" Sang penemu menggerutu. "Begitulah keadaannya, Nak. Semuanya mati kecuali para dewa."
"Tapi, kenapa?" si bocah berkeras. "Seadainya kita bisa menangkap animus, jiwa dalam bentuk lain ....
Yah, Paman sudah memberitahuku tentang automaton Paman. Kerbau, elang, naga, dan kuda perunggu.
Kenapa tidak sosok perunggu untuk manusia?"
"Tidak, Nak," kata Daedalus tajam. "Kau naif. Hal semacam itu mustahil."
"Menurutku tidak," Perdix berkeras. "Dengan menggunakan sedikit sihir?"
"Sihir" Bah!"
"Ya, Paman! Sihir dan mesin bersama-sama"dengan sedikit berusaha, seseorang bisa membuat tubuh
yang bakal terlihat persis seperti manusia, hanya saja lebih baik. Aku sudah membuat catatan."
Dia menyerahkan gulungan tebal kepada sang pria tua. Daedalus membuka gulungan itu. Matanya
menyipit. Dia melirik si bocah, lalu menutup gulungan dan berdeham. "Ini takkan pernah berhasil, Nak.
Saat kau lebih tua, akan kaulihat."
"Boleh kuperbaiki astrolab itu, Paman" Apa sendi Paman bengkak lagi?"
Rahang sang pria tua mengatup rapat. "Tidak. Terima kasih. Sekarang bagaimana kalau kau pergi?"
Perdix tampaknya tak menyadari kemarahan sang pria tua. Dia meraih seekor kumbang perunggu dari
tumpukan barangnya dan berlari ke tepi menara. Pembatas rendah mengelilingi menara, sampai
setinggi lutut si bocah. Angin masih berembus kencang.
Mundur, aku ingin memberitahunya. Tapi suaraku tidak keluar.
Perdix memutar kunci kumbang dan melemparkannya ke langit. Si kumbang merentangkan sayapnya
dan berdengung menjauh. Perdix tertawa girang.
"Lebih pintar daripada aku," gumam Daedalus, terlalu pelan untuk didengar si bocah.
"Benarkah putra Paman meninggal karena terbang" Kudengar Paman membuatkannya sayap yang besar
sekali, tapi sayap itu gagal."
Tangan Daedalus mengepal. "Mengambil alih tempatku," gumamnya.


Percy Jackson And The Olympians 4 The Battle Of The Labyrinth Pertempuran Labirin Karya Rick Riordan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Angin melecut-lecut di sekitar si bocah, menarik pakaiannya, membuat rambutnya mengombak.
"Aku ingin terbang," kata Perdix. "Aku akan membuat sayapku sendiri yang takkan gagal. Apa Pama pikir
aku bisa?" Mungkin itu cuma mimpi dalam mimpiku, tapi tiba-tiba aku membayangkan Janus si dewa bermuka dua
berdenyar di udara di samping Daedalus, tersenyum saat dia melempar-lemparkan kunci perak dari
tangan ke tangan. Pilih,bisiknya kepada sang penemu tua. Pilih.
Daedalus mengambil satu lagi serangga logam si bocah. Mata sang penemu tua merah karena marah.
"Perdix," katanya. "Tangkap."
Dia melemparkan si kumbang perunggu kepada si bocah. Girang, Perdix mencoba menangkapnya, tapi
lemparan itu terlalu jauh. Kumbang itu terbang ke langit terbuka, dan Perdix menjulurkan tangan terlalu
jauh. Angin menangkapnya.
Entah bagaimana dia berhasil mencengkeram tepian menara dengan jemarinya saat dia terjatuh.
"Paman!" teriaknya. "Tolong aku!"
Wajah sang pria tua bagaikan topeng. Dia tidak bergerak dari tempatnya.
"Lanjutkan, Perdix," kata Daedalus lembut. "Buat sayapmu. Yang cepat ya."
"Paman!" si bocah menjerit saat dia kehilangan pegangannya. Dia terjun ke arah laut.
Sesaat suasana hening sepenuhnya. Janus sang dewa berkelap-kelip dan menghilang. Lalu guntur
mengguncang langit. Suara tegas seorang wanita berbicara dari atas: Kau akan membayar untuk itu,
Daedalus. Aku pernah mendengar suara itu sebelumbya. Itu ibu Annabeth: Athena.
Daedalus cemberut ke arah langit. "Aku selalu menghormatimu, Ibu. Aku telah mengorbankan segalanya
untuk mengikuti jalanmu."
Tapi bocah itu mendapatkan karuniaku juga. Dan kau membunuhnya. Untuk itu, kau harus membayar.
"Aku membayar dan membayar!" geram Daedalus. "Aku telah kehilangan segalanya. Aku akan
menderita di Dunia Bawah, tak diragukan lagi. Tapi sementara ini ...."
Dia mengambil gulungan si bocah, mempelajarinya sesaat, dan mentelipkannya ke dalam lengan
bajunya. Kau tidak mengerti, kata Athena dingin. Kau akan membayar sekarang dan selamaya.
Tiba-tiba Daedalus terjatuh kesakitan. Aku merasakan apa yang dirasakannya. Sakit yang menusuknusuk mencekik leherku seperti kerah yang panas membara"menghalangi napasku, membuat
segalanya gelap gulita. Aku terbangun dalam kegelapan, tanganku memegangi leherku.
"Percy," kata Grover dari sofa lain. "Kau baik-baik saja?"
Aku melambatkan napasku. Aku tidak yakin bagaimana harus menajawab. Aku baru saja menyaksikan
laki-laki yang kami cari, Daedalus, membunuh keponakannya sendiri. Bagaimana mungkin aku baik-baik
saja" Televisi sedang menyala. Cahaya biru berkedip-kedip ke sepenjuru ruangan.
"Jam"jam berapa ini?" kuakku.
"Jam dua pagi," kata Grover. "Aku nggak bisa tidur. Aku sedang menonton Saluran Alam." Dia
mendengus. "Aku kangen Juniper."
Aku menggosok-gosok mataku, mengusir kantuk. "Yah ... kau bakal segera bertemu dia lagi."
Grover menggelengkan kepala dengan sedih. "Apa kau tahu hari apa ini, Percy" Aku baru melihatnya di
TV. Sekarang tanggal tiga belas Juni. Tujuh hari sejak kita meninggalkan perkemahan."
"Apa?" kataku. "Itu nggak mungkin."
"Waktu lebih cepat di Labirin," Grover mengingatkanku. "Kali pertama kau dan Annabeth turun ke
bawah sana, kau pikir kalian baru pergi beberapa menit, betul kan" Tapi kalian pergi sejam."
"Oh," kataku. "Betul." Lalu aku menyadari apa yang dikatakannya dan tenggorokanku terasa panas
membara lagi. "Tenggat waktumu dengan Dewan Tetua Berkuku Belah."
Grover memasukkan remote TV ke mulutnya dan mengunyah ujungnya. "Aku kehabisan waktu," katanya
dengan mulut penuh plastik. "Segera setelah aku kembali, mereka bakal mengambil izin pencariku. Aku
nggak akan pernah diizinkan keluar lagi."
"Kita akan bicara pada mereka," janjiku. "Buat mereka memberimu lebih banyak waktu."
Grover menelan. "Mereka tidak akan mau. Dunia sedang sekarat, Percy. Setiap hari keadaannya tambah
buruk. Alam liar ... aku bisa merasakannya memudar. Aku harus menemukan Pan."
"Kau bakal menemukannya, Bung. Tak diragukan lagi."
Grover menatapku dengan mata kambing yang sedih. "Kau selalu menjadi teman yang baik, Percy. Apa
yang kaulakukan hari ini"menyelamatkan hewan-hewan di perternakan dari Geryon"itu menakjubkan.
Aku"kuharap aku bisa lebih sepertimu."
"Hei," kataku. "Jangan ngomong gitu. Kau sama heroiknya?"
"Nggak, aku nggak heroik. Aku terus mencoba, tapi ...." Dia mendesah. "Percy, aku nggak bisa kembali
ke perkemahan tanpa menemukan Pan. Pokoknya aku nggak bisa. Kau paham, kan" Aku nggak bisa
menghadapi Juniper kalau aku gagal. Aku bahkan nggak bisa menghadapi diriku sendiri."
Suaranya begitu tak bahagia sampai-sampai rasanya sakit mendengarnya. Kami sudah melalui banyak
hal bersama, tapi aku tidak pernah mendengarnya seputus asa ini.
"Akan kita pikirkan sesuatu," kataku. "Kau belum gagal. "Kau bocah kambing juara, oke" Juniper tahu itu.
Aku juga." Grover memejamkan matanya. "Bocah kambing juara," dia bergumam murum.
Lama setelah dia tertidur, aku masih terjaga, menonton cahaya biru Saluran Alam menyinari trofi-trofi
kepala isi di dinding Geryon.
Keesokan paginya kami berjalan turun ke arah sapi penjaga dan mengucapkan selamat tinggal.
"Nico, kau boleh ikut dengan kami," semburku. Kurasa aku memikirkan mimpiku, dan betapa Perdix si
anak laki-laki kecil mengingatkanku akan Nico.
Dia menggelengkan kepalanya. Kupikir tak satu pun dari kami tidur nyenyak di rumah peternakan
monster, tapi Nico kelihatan lebih parah daripada yang lain. Matanya merah dan wajahnya coreng
moreng. Dia terbungkus jubah hitam yang pastinya merupakan milik Geryon, soalnya jubah itu tiga
ukuran kebesaran bahkan untuk pria dewasa.
"Aku perlu waktu untuk berpikir." Matanya tidak mau bertemu pandang denganku, tapi aku tahu dari
nada suaranya bahwa dia masih marah. Fakta bahwa kakaknya keluar dari Dunia Bawah untukku dan
bukan untuknya tampaknya tidak bisa diterimanya.
"Nico," kata Annabeth. "Bianca cuma ingin supaya kau baik-baik saja."
Annabeth meletakkan tangannya di bahu Nico, tapi dia menjauh dan berjala susah payah menaiki jalan
ke arah rumah peternakan. Mungkin cuma khayalanku, tapi kabut pagi tampaknya melekat padanya
saat dia berjalan. "Aku mencemaskannya," Annabeth memberitahuku. "Kalau dia mulai bicara dengan hantu Minos lagi"
" "Dia akan baik-baik saja," Eurytion berjanji. Sang gembala sapi sudah membersihkan diri. Dia
mengenakan jin baru dan baju Western bersih dan dia bahkan memangkas jenggotnya. Dia mengenakan
sepatu bot Geryon. "Bocah itu bisa tinggal di sini dan berpikir selama yang dia mau. Dia bakal aman, aku
janji." "Bagaiana denganmu?" tanyaku.
Eurytion menggaruk bagian belakang salah satu dagu Orthus, lalu yang satu lagi. "Peternakan ini akan
dijalankan sedikit berbeda mulai sekarang. Tidak ada lagi daging sapi keramat. Aku mempertimbangkan
burger kedelai. Dan aku akan berteman dengan kuda-kuda pemakan daging itu. Mungkin juga mendaftar
untuk rodeo berikutnya."
Ide tersebut membuatku bergidik. "Yah, semoga berhasil."
"Yep." Eurytion meludah ke rumput. "Kuduga kalian akan mencari bengkel kerja Daedalus sekarang?"
Mata Annabeth berbinar. "Bisakah kau membantu kami?"
Eurytion mengamat-amati si sapi penjaga, dan aku punya firasat bahwa topik tentang bengkel kerja
Daedalus membuatnya tidak nyaman. "Tidak tahu tempatnya. Tapi Hephaestus mungkin tahu."
"Itulah yang dikatakan Hera," Annabeth setuju. "Tapi bagaimana cara kami menemukan Hephaestus?"
Eurytion menarik sesuatu dari balik kerah bajunya. Rupanya seuntai kalung"piringan perak mulus di
rantai perak. Piringan itu punya cekungan di tengah-tengah, seperti cetakan jempol. Dia
menyerahkannya kepada Annabeth.
"Hephaestus datang ke sini sesekali," kata Eurytion. "Mempelajari binatang dan sebagainya supaya dia
bisa membuat tiruan berupa automaton. Terakhir kalinya, aku"eh"membantunya. Tipuan kecil yang
ingin dia mainkan pada ayahku, Ares, dan Aphrodite. Dia memberiku kalung itu sebagai tanda terima
kasih. Katanya kalau aku harus menemuinya, piringan itu akan membimbingku ke penempaannya. Tapi
cuma sekali." "Dan kau memberikannya padaku?" tanya Annabeth.
Eurytion merona. "Aku tidak perlu melihat penempaan, Non. Cukup banyak yang harus dilakukan di sini.
Tekan saja tomolnya dan aku dalam perjalanan ke sana."
Annabeth menekan tombol dan piring itu menjadi hidup. Ia menumbuhkan delapan kaki logam.
Annabeth memekik dan menjatujkannya, yang membuat Eurytion kebingungan.
"Laba-laba!" jeritnya.
"Dia, eh, sedikit takut pada laba-laba," Grover menjelaskan. "Dendam lama antara Athena dan Arachne."
"Oh." Eurytion kelihatan malu. "Sori, Non."
Si laba-laba tertatih-tatih menghampiri sapi penjaga dan menghilang di antara jeruji.
"Cepat," kataku. "Benda itu tidak akan menunggu kita."
Annabeth tidak antusias mengikutinya, tapi kami tidak punya banyak pilihan. Kami mengucapkan
selamat tinggal kepada Eurytion, Tyson menarik sapi penjaga dari lubang, dan kami menjatuhkan diri
kembali ke dalam labirin.
Kuharap aku bisa memasangi si laba-laba mekanis tali kekang. Ia merayap begitu cepat di terowongan
sehingga hampir sepanjang waktu aku bahkan tidak bisa melihatnya. Kalau buka berkat pendengaran
Tyson dan Grover yang luar biasa, kami tak akan pernah tahu ke arah mana ia pergi.
Kami berlari menyusuri terwongan marmer, lalu melesat ke kiri, dan hampir jatuh ke dalam jurang.
Tyson merenggutku dan menggendongku ke belakang sebelum aku terjatuh. Terowongan berlanjut di
hadapan kami, tapi tidak ada lantai sepanjang kira-kira sudah setengah jalan ke seberang, berayun dari
jeruji ke jeruji dengan cara menembakkan benang laba-laba logam.
"Panjat-panjatan," kata Annabeth. "Yang begini aku jago."
Dia melompat ke jeruji pertama dan mulai berayun-ayun ke seberang. Dia takut pada laba-laba kecil,
tapi tidak takut terjun ke kematian dari serangkaian panjat-panjatan. Bingung ngggak, sih"
Annabeth sampai ke sisi seberang dan berlari mengejar laba-laba. Aku mengikuti. Waktu aku sampai ke
seberang, aku menoleh ke belakang dan melihat Tyson memberikan tumpangan di punggungnya untuk
Grover. Si jagoan besar berhasil menyebrang dalam tiga ayunan, yang merupakan hal bagus, soalnya
tepat saat dia mendarat, terali besi terakhir copot gara-gara bobotnya.
Kami terus bergerak dan melewati kerangka yang terenyak di terowongan. Ia mengenakan sisa-sisa
kemeja, celana panjang, dan dasi. Si laba-laba tidak melambat. Aku tersandung setumpuk potongan
kayu, tapi ketika aku menyorotkan cahaya, kusadari bahwa potongan-potongan kayu itu adalah pensil"
ratusan pensil, semuanya patah jadi dua.
Terowongan terbuka ke sebuah ruangan besar. Cahaya menyilaukan menerpa kami. Setelah mataku
terbiasa, hal pertama yang kulihat adalah kerangka. Lusinan kerangka berserakan di lantai di sekitar
kami. Beberapa sudah lama dan putih berkelantang. Yang lain lebih baru dan jauh lebih menjijikkan.
Baunya tak separah istal Geryon, tapi hampir.
Lalu aku melihat si monster. Dia berdiri di podium berkilauan di sisi seberang ruangan. Dia memiliki
tubuh layaknya singa besar dan kepala perempuan. Dia seharusnya cantik, tapi rambutnya diikat
kebelakang membentuk konde kencang dan dia memakai terlalu banyak rias wajah sehingga dia bisa
dibilang mengingatkanku pada guru paduan suaraku di kelas tiga. Ada pin berpita biru terpasang di
dadanya yang perlu waktu beberapa lama bagiku untuk membacanya: MONSTER INI TELAH DIBERI
PERINGKAT PATUT DITELADANI!
Tyson merengek-rengek. "Sfinks."
Aku tahu persis kenapa dia takut. Waktu dia kecil, Tyson pernah diserang seekor Sfinks di New York. Dia
masih punya bekas luka di punggungnya untuk membuktikan hal itu.
Lampu sorot menyinari seluruh sisi tubuh makhluk itu. Satu-satunya jalan keluar adalah terowongan di
belakang podium. Laba-laba mekanis merayap cepat di antara cakat di Sfinks dan menghilang.
Annabeth mulai maju, tapi si Sfinks mengaum menunjukkan taring-taring di wajah manusianya. Jeruji
turun menutupi dua terowongan untuk jalan keluar, di belakang kami dan di depan.
Seketika geraman si monster berubah menjadi senyum cemerlang.
"Selamat datang, para kontestan yang beruntung!" dia mengumumkan. "Bersiaplah untuk memainkan ...
JAWAB TEKA-TEKI ITU!"
Rekaman tepuk tangan bergemuruh dari langit-langit, seakan ada pengeras suara tak kasat mata.
Lampu-lampu sorot menyapu ruangan dan terpantul di podium, melemparkan kelap-kelip lampu disko
ke kerangka-kerangka di lantai.
"Hadiah-hadiah luar biasa!" kata si Sfinks. "Lewati ujian, dan kalian boleh terus! Gagal, dan aku bisa
memakan kalian! Siapa yang akan jadi kontestan kita?"
Annabeth mencengkeram lenganku. "Aku bisa," bisiknya. "Aku tahu apa yang bakal dia tanyakan."
Aku tidak mendebat. Aku tidak mau Annabeth dilahap oleh monster, tapi kupikir kalau Sfinks akan
menanyakan teka-teki, Annabeth adalah yang terbaik di antara kami untuk mencoba.
Dia melagkah maju ke podium kontestan, yang dihiasi kerangka berseragam sekolah yang membungkuk
di atasnya. Annabeth mendorong kerangka itu dari hadapannya, dan kerangka itu jatuh berkelontangan
ke lantai. "Maaf," kata Annabeth padanya.
"Selamat datang, Annabeth Chase!" seru si monster, meskipun Annabeth belum menyebutkan namanya.
"Apa kau siap untuk ujianmu?"
"Ya," kataya. "Tanyakan teka-tekimu."
"Dua puluh teka-teki sebenarnya!" kata si Sfinks girang.
"Apa" Tapi dulu?"
"Oh, kami menaikkan standar! Supaya lulus, kau harus menunjukkan kecakapan pada kedua puluh-dua
puluhnya! Bukankah itu hebat?"
Tepuk tangan dinyalakan dan dimatikan seperti ada seseorang yang memutar keran.
Annabeth melirikku dengan gugup. Aku memberinya anggukan untuk menyemangatinya.
"Oke," katanya pada si Sfinks. "Aku siap."
Bunyi pukulan drum terdengar dari atas. Mata si Sfinks berkilat penuh semangat. "Apakah ... ibu kota
Bulgaria?" Annabeth mengerutkan kening. Selama sesaat yang mengerikan, kupikir dia tak tahu.
"Sofia," katanya, "tapi?"
"Betul! Lebih banyak rekaman tepuk tangan. Si Sfinks tersenyum lebar sekali sampai-sampai taringnya
kelihatan. "Jangan lupa tandai jawabanmu dengan jelas di lebar ujianmu menggunakan pensil nomor 2."
"Apa?" Annabeth terlihat bingung. Lalu buklet ujian muncul di podium di hadapannya, bersama
sebatang pensil yang sudah diruncingkan.
"Pastikan agar kau melingkari semua jawaban dengan jelas dan jangan keluar dari bulatan," kata di
Sfinks. "Kalau kau perlu menghapus, hapus seluruhnya atau mesin tidak akan bisa membaca
jawabanmu." "Mesin apa?" tanya Annabeth.
Si Sfinks menunjuk dengan cakarnya. Diterangi oleh lampu sorot, ada kotak perunggu dengan berbagai
roda gigi dan tuas dan huruf Yunani besar ?ta di sisinya, tanda Hephaestus.
"Nah," kata si Sfinks, "pertayaan selanjutnya?"
"Tunggu sebentar," protes Annabeth. "Bagaimana dengan "Apa yang berjalan dengan empat kaki di pagi
hari?" "Maaf?" kata di Sfinks, sekarang jelas-jelas kesal.
"Teka-teki tentang manusia. Dia berjalan dengan empat kaki di pagi hari, seperti bayi, dua kaki di siang
hari, seperti orang dewasa, dan tiga kaki di malam hari, seperti laki-laki tua bertongkat. Itu teka-teki
yang dulu kau tanyakan."
"Itulah alasannya kenapa kami mengganti ujiannya!" seru si Sfinks. "Kalian sudah tahu jawabannya.
Sekarang pertanyaan kedua, berapa akar enam belas?"
"Empat," kata Annabeth, "tapi?"
"Betul! Presiden AS mana yang menandatangani Proklamasi Emansipasi?"
"Abraham Lincoln, tapi?"
"Betul! Teka-teki nomor empat. Berapa?"
"Tahan sebentar!" teriak Annabeth.
Aku ingin menyuruhnya berhenti mengeluh. Kerjanya bagus! Sebaiknya dia jawab saja pertanyaanpertanyaan itu supaya kami bisa pergi.
"Itu bukan teka-teki," kata Annabeth.
"Apa maksudmu?" bentak si Sfinks. "Tentu saja itu teka-teki. Materi ujia ini khusus dirancang?"
"Itu cuma sekumpulan fakta acak bodoh," Annabeth berkeras. "Teka-teki seharusnya membuatmu
berpikir." "Berpikir?" si Sfinks mengernyitkan dahi. "Buat apa aku menguji apakah kau bisa berpikir" Itu konyol!
Nah, berapa gaya yang dibutuhkan?"
"Stop!" Annabeth berkeras. "Ini cuma ujian bodoh."
"Eh, Annabeth," potong Grover gugup. "Mungkin sebaiknya kau, tahulah, jawab dulu dan protes
belakangan?" "Aku anak Athena," dia berkeras. "Dan ini penghinaan terhadap kecerdasanku. Aku tidak mau menjawab
pertanyaan-pertanyaan ini."
Sebagian dariku terkesan padanya karena melawan seperti itu. Tapi sebagian dariku berpikir bahwa
kebanggaannya akan membuat kami semua terbunuh.
Lampu-lampu sorot bersinar menyilaukan. Mata si Sfinks berkilat hitam kelam.
"Kalau begitu, Sayangku," kata si monster tenang, "kalau kau tak mau lulus, kau gagal. Dan karena kami
tidak membiarkan anak-anak tinggal kelas, kalian akan DIMAKAN!"
Si Sfinks memamerkan taringnya, yang berkilau seperti baja tahan karat. Dia menerjang podium.
"Tidak!" serbu Tyson. Dia benci saat orang-orang mengancam Annabeth, tapi aku tak bisa percaya
bahwa dia seberani itu, terutama karena dia punya pengalaman yang buruk sekali dengan Sfinks
sebelumnya. Dia menghantam si Sfinks di udara dan mereka berdua jatuh menghantam setumpuk tulang. Ini
memberi Annabeth cukup waktu untuk mengumpulkan keberaniannya dan mengunus pisaunya. Tyson
bangkit, bajunya dicakar sampai robek-robek. Si Sfinks menggeram, mencari titik lemah.
Aku menghunus Reptide dan melangkah ke depan Annabeth.
"Jadilah tak kasat mata," aku memberitahunya.
"Aku bisa bertarung!"
"Tidak!" teriakku. "Si Sfinks mengincarmu! Biar kami selesaikan."
Seolah untuk membuktikan maksudku, si Sfinks mendorong Tyson ke samping dan mencoba menerjang
melewatiku. Grover menusuk matanya dengan tulang kaki seseorang. Dia menjerit kesakitan. Annabeth
memakai topinya dan menghilang. Si Sfinks menyerang tepat di tempat Annabeth tadi berdiri, tapi
hanya mendapati bahwa cakarnya kosong.
"Tidak adil!" lolong si Sfinks. "Curang!"
Dengan Annabeth yang tidak lagi terlihat, si Sfinks menoleh kepadaku. Aku mengangkat pedangku, tapi
sebelum aku bisa menyerang, Tyson merenggut mesin menilai si monster dari lantai dan
melemparannya ke kepala si Sfinks, membuat kondenya berantakan. Mesin itu mendarat berkepingkeping di sekelililngnya.
"Mesn penilaiku!" serunya. "Aku tidak bisa menjadi teladan tanpa nilai ujianku!"
Jeruji terangkat dari pintu keluar. Kami semua melesat ke terowongan di sisi jauh. Aku hanya bisa
berharap Annabeth melakukan yang sama.
Si sfinks mulai mengikuti, tapi Grover mengangkat seruling alang-alangnya dan mulai bermain. Seketika
pensil-pensil ingat bahwa mereka dulunya adalah bagian dari pohon. Mereka berkumpul di sekitar cakar
si Sfinks, menumbuhkan akar dan cabang, dan mulai membungkuskan diri di sekeliling kaki si monster. Si
Sfinks merobek-robek mereka, tapi hal itu sudah cukup memberi kami waktu.


Percy Jackson And The Olympians 4 The Battle Of The Labyrinth Pertempuran Labirin Karya Rick Riordan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tyson menarik Grover ke terowongan, dan jeruji jatuh tertutup di belakang kami.
"Annabeth!" teriakku.
"Di sini!" katanya, tepat di sebelahku. "Terus bergerak!"
Kami berlari menyusun terowongan gelap, mendengarkan auman Sfinks di belakang kami saat dia
mengeluh soal semua ujian yang harus dinilainya sendirian secara manual.[]
BAB SEBELAS Aku Membakar Diri Kupikir kami kehilangan si laba-laba sampai Tyson mendengar bunyi mendesing sayup-sayup. Kami
berbelok beberapa kali, mundur ke jalan semula beberapa kali, dan akhirnya menemukan si laba-laba
sedang menabrakkan kepala kecilnya ke pintu logam.
Pintu itu terlihat seperti salah satu pintu kapal selam gaya kuno"lonjong, dengan paku-paku logam
mengelilingi tepianya dan roda sebagai kenop pintu. Tempat portal seharusnya berada, terdapat pelat
kuningan besar, hijau di makan usia, dengan huruf Yunani ?ta tertulis di tengahnya.
Kami semua saling pandang.
"Siap ketemu Hephaestus?" kata Grover gugup.
"Nggak," akuku.
"Ya!" kata Tyson riang, dan memutar roda.
Segera setelah pintu terbuka, si laba-laba bergegas masuk dengan Tyson di belakangnya. Kami bertiga
mengikuti, tidak seantusias mereka.
Ruangan tersebut besar sekali. Kelihatannya seperti bengkel mekanik, dengan beberapa kerekan hidrolik.
Ada mobil di atas beberapa kerekan, tapi ada benda-benda aneh di atas yang lain: hippalektryon
perunggu yang kepala kudanya copot dan sejumlah kabel tergantung keluar dari ekor ayam jagonya,
singa logam yang tampaknya disambungkan dengan alat isi ulang baterai, dan kereta perang Yunani
yang sepenuhnya terbuat dari api.
Proyek-proyek yang lebih kecil berserakan di lusinan meja kerja. Perkakas tergantung di sepanjang
dinding. Ada sketsa masing-masing di papan tempel di dinding, tapi tidak ada yang tampaknya berada di
tempat yang tepat. Palu ada di tempat obeng. Stapler ada di tempat gergaji seharusnya terletak.
Di bawah kerekan hidrolik terdekat, yang memuat Toyota Corolla "98, sepasang kaki terjulur"badan
bawah seorang pria besar bercelana kelabu kotor dan sepatu yang bakan lebih besar daripada sepatu
Tyson. Satu kaki dikelilingi penyangga logam.
Si laba-laba merayap tepat ke bawah mobil, dan bunyi dentangan berhenti.
"Wah, wah." Sebuah suara dalam menggelegar dari bawah Corolla. "Ada apa nih?"
Sang mekaik mendorong diri di atas troli dan duduk tegak. Aku pernah melihat Hephaestus sekali
sebelumnya, singkat saja di Olympus, jadi kupikir aku sudah siap, tapi penampilannya membuatku
menelan ludah. Menurut tebakanku dia pasti sudah bersih-bersih waktu aku melihatnya di Olympus, atau menggunakan
sihir untuk membuat sosoknya tidak terlalu menjijikkan. Di sini di bengkel kerjanya sediri, dia rupanya
tak peduli bagaimana penampilannya. Dia mengenakan pakaian kerja yang bernoda minyak dan kotoran.
Hephaestus, tersulam di atas saku dadanya. Kakinya berkeriut dan berkelontangan dalam penyangga
logamnya saat dia berdiri, dan bahu kirinya lebih rendah daripada bahu kanannya, jadi dia tampak
miring meskipun saat berdiri tegak. Bentuk kepalanya tidak wajar dan menggembung. Ekspresi
cemberut terpasang permanen di wajahnya. Jenggot hitamnya berasap dan berdesis. Sesekali api liar
kecil akan merekah di cambangnya kemudian padam. Tangannya seukuran sarung tangan catcher bisbol,
tapi dia mengangani si laba-laba dengan keahlian menakjubkan. Dia membongkar laba-laba itu dalam
dua detik, kemudian merakitnya lagi.
"Nah," gumamnya kepada dirinya sendiri. "Jauh lebih baik."
Si laba-laba bersalto gembira di telapak tangannya, menembakkan benang logam ke langit-langit, dan
berayun pergi. Hephaestus memelototi kami dari atas. "Aku tidak membuat kalian, kan?"
"Eh," kata Annabeth, "tidak, Pak."
"Bagus," gerutu sang dewa. "Pekerjaan yang jelek."
Dia menelaah Annabeth dan aku. "Blasteran," katanya bersungut-sungut. "Bisa saja automaton, tentu
saja, tapi mungkin bukan."
"Kita sudah pernah bertemu, Pak." Aku memberitahunya.
"Masa sih?" Sang dewa bertanya tak acuh. Aku punya firasat dia sama sekali tidak peduli. Dia Cuma
mencoba memikirkan bagaimana rahangku berekra, apakah ada engsel atau tuasnya atau apa. "Yah,
kalau begitu, seandainya aku tidak menghajarmu sampai jadi bubur waktu pertama kali kita bertemu,
kurasa aku tidak perlu melakukannya sekarang."
Dia memandang Grover dan mengernyitkan dahi. "Satir." Lalu dia memandang Tyson, dan matanya
berbinar. "Wah, Cyclops. Bagus, bagus. Apa yang kau lakukan, bepergian dengan rombongan ini?"
"Eh," kata Tyson, menatap sang dewa dengan kagum.
"Ya, memang benar," Hephaestus setuju. "Jadi, pasti ada alasan bagus sampai-sampai kalian
menggangguku. Suspensi Corolla ini bukan perkara kecil, kalian tahu."
"Pak," kata Annabeth ragu-ragu, "kami sedang mencari Daedalus. Kami pikir?"
"Daedalus?" raung sang dewa. "Kalian menginginkan bajingan tua itu" Kalian berani-beraninya
mencarinya!" Jenggotnya menyala menjadi kobaran api dan mata hitamnya berpijar.
"Eh, ya, Pak, tolong," kata Annabeth.
"Huh. Buang-buang waktuku saja." Dia mengerutkan kening kepada sesuatu di meja kerjanya dan dan
terpincang-pinjang ke sana. Dia memungut gumpalan pegas dan piringan logam dam mengutak-atiknya.
Dalam beberapa detik dia sudah memegang rajawali perunggu-perak. Rajawali itu merentangkan sayap
logamnya, mengedip "ngedipkan mata obsidiannya, dan terbang mengitari ruangan.
Tyson tertawa dan bertepuk tangan. Si burung mendarat di bahu Tyson dan menotol-notol kupingnya
dengan sayang. Hephaestus menatap Tyson. Ekspresi cemberut sang dewa tidak berubah, tapi kupikir ada kerlip lebih
ramah di matanya. "Aku punya perasaan kau punya sesuatu untuk diberitahukan kepadaku, Cyclops."
Senyum Tyson memudar. "Y-ya, Tuan. Kami bertemu Sang Tangan Seratus."
Hephaestus mengangguk, terlihat tidak terkejut. "Briares?"
"Ya. Dia"dia takut. Dia nggak mau membantu kami."
"Dan itu mengganggumu."
"Ya!" Suara Tyson gemetar. "Briares harusnya kuat! Dia lebih tua dan lebih kuat daripada cyclops. Tapi
dia kabur." Hephaestus menggeram. "Ada saatnya aku mengagumi Para Tangan Seratus. Dulu di masa perang yang
pertama. Tapi orang-orang, monster, bahkan para dewa berubah, Cyclops Muda. Kau tidak bosa
memercayai mereka. Lihatlah ibuku tersayang"Hera. Kau bertemu dia, kan" Dia akan tersenyum di
depanmu dan bicara soal betapa pentingnya keluarga, kan" Padahal dia mengusirku dari Gunung
Olympus waktu melihat wajah jelekku."
"Tapi saya pikir Zeus yang melakukan itu pada Bapak," kataku.
Hephaestus berdeham dan meludah ke tempolong perunggu. Dia menjentikkan jarinya, dan si robot
rajawali terbang kembali ke meja kerja.
"Ibu suka menceritakan versi yang itu," gerutunya. "Membuatnya tampak lebih menyenangkan, kan"
Menyalahkan semua pada ayahku. Sebenarnya, ibuku suka keluarga, tapi dia suka jenis keluarga
tertentu. Keluarga yang sempurna. Dia melihatku sekali dan ... yah, aku tidak cocok dengan gambaran
itu, kan?" Dia menarik selembar bulu dari punggung si rajawali, dan automaton itu pun tercerai berai.
"Dengarkan aku, Cyclops Muda," kata Hephaestus, "kau tidak bisa memercayai orang lain. Yang bisa kau
percayai hanyalah karya tanganmu sendiri."
Tampaknya seperti cara hidup yang sepi. Plus, aku sebenarnya tak benar-benar memercayai karya
Hephaestus. Suatu kali di Denver, laba-laba mekanisnya hampir membunuh Annabeth dan aku. Dan
tahun lalu, patung Talos rusaklah yang mengambil nyawa Bianca"satu lagi proyek kecil Hephaestus.
Dia memusatkan perhatian padaku dan menyipitkan matanya, seolah dia sedang membaca pikiranku.
"Oh, yang satu ini tidak suka aku," batinnya. "Santai saja, aku terbiasa dengan yang seperti itu. Apa yang
akan kau minta dariku, Blasteran Kecil?"
"Kami sudah memberi tahu Bapak," kataku. "Kami harus menemukan Daedalus. Ada anak muda
bernama Luke yang bekerja untuk Kronos. Dia mencoba menemukan cara untuk menjelajahi Labirin
supaya dia bisa menyerbu perkemahan kami. Kalau kami nggak menemukan Daedalus lebih dulu?"
"Dan aku sudah memberitahumu, Bocah. Mencari Daedalus buang-buang waktu. Dia takkan
membantumu." "Kenapa tidak?"
Hephaestus mengangkat bahu. "Beberapa dari kami dilemparkan dari sisi gunung. Beberapa dari kami ...
cara kami belajar untuk tidak memercayai orang lain bahkan jauh lebih menyakitkan. Mintai aku emas.
Atau pedang yang berkobar. Atau kuda tunggang ajaib. Ini bisa kukabulka untuk kalian dengan mudah.
Tapi cara untuk menemui Daedalus" Itu permohonan yang mahal."
"Kalau begitu Bapak tahu di mana dia berada," desak Annabeth.
"Mencari terus tidaklah bijak, Nak."
"Ibu saya bilang mencari pada dasarnya adalah sifat alami dari kebijaksanaan."
Hephaestus menyipitkan matanya. "Memangnya siapa ibumu?"
"Athena." "Pantas." Dia mendesah. "Dewi yang baik"Athena. Sayang dia bersumpah takkan pernah menikah.
Baiklah, Blasteran. Aku bisa memberitahumu apa yang ingin kau ketahui. Tapi ada harganya. Aku ingin
kau melakukan sesuatu."
"Sebutkan," kata Annabeth.
Hephaestus tertawa, sungguhan"bunyi menggelegar seperti puputan yang membesar nyala api. "Dasar
pahlawan," katanya, "selalu membuat janji dengan terburu-buru. Betapa menyegarkan!"
Dia menekan sebuah tombol di bangku kerjanya, dan kerai logam terbuka di dinding. Entah itu jendela
besar atau TV layar lebar, aku tak tahu yang mana. Kami melihat gunung kelabu yang dikelilingi hutan.
Itu pasti gunung berapi, soalnya asap mengepul dari kawahnya.
"Salah satu penempaanku," kata Hephaestus. "Aku punya banya, tapi itu dulu favoritku."
"Itu Gunung St. Helens," kata Grover. "Hutan-hutan luar biasa di sekitar sana."
"Kau pernah ke sana?" tanyaku.
"Mencari ... kau tahu, Pan."
"Tunggu," kata Annabeth sambil memandang Hephaestus. "Bapak bilang tempat itu dulu favorit Bapak.
Apa yang terjadi?" Hephaestus menggaruk-garuk jenggotnya yang berasap. "Yah, di situlah Typhon di monster
terperangkap. Dulunya di bawah Gunung Etna, tapi waktu kami pindah ke Amerika, kekuatannya
dikekang di bawah Gunung St. Helens. Sumber api yang luar biasa, tapi agak berbahaya. Selalu ada
peluang kalau-kalau dia melarika diri. Banyak letusan akhir-akhir ini, berasap sepanjang waktu. Dia
gelisah karena pemberontakan Titan."
"Apa yang Bapak ingin supaya kami lakukan?" kataku. "Bertarung melawan dia?"
Hephaestus mendengus. "Itu bunug diri. Para dewa sendiri kabur dari Typhon saat dia bebas. Tidak,
berdoalah supaya kalian tidak perlu melihatnya, apalagi bertarung melawannya. Tapi akhir-akhir ini aku
merasakan penyusup di gunungku. Seseorang atau sesuatu sedang menggunakan penempaanku. Waktu
aku pergi ke sana, tempat itu kosong, tapi aku tahu tempat itu digunakan. Mereka merasakan
kedatanganku, dan mereka menghilang. Aku mengirimkan para automatonku untuk menyelidiki, tapi
mereka tidak kembali. Sesuatu yang ... kuno ada di sana. Jahat. Aku ingin tahu siapa yang beraniberaninya melanggar wilayahku, dan apakah mereka bermaksud membebaskan Typhon."
"Bapak ingin kami mencari tahu siapa itu," kataku.
"Aye," kata Hephaestus. "Pergilah ke sana. Mereka mungkin tidak merasakan kedatangan kalian. Kalian
bukan dewa." "Baguslah kalau Bapak sadar," gumamku.
"Pergi dan cari tahu yang kalian bisa," kata Hephaestus. "Lapor balik padaku, dan akan kuberi tahu
kalian apa yang perlu kalian ketahui tentang Daedalus."
"Baiklah," kata Annabeth. "Bagaimana kami sampai ke sana?"
Hephaestus bertepuk tangan. Si laba-laba berayun turun dari kasau. Annabeth berjengit saat si laba-laba
mendarat di kakinya. "Ciptaanku akan menunjukkan jalannya kepada kalian," kata Hpehaestus. "Lewat Labirin tidak terlalu
jauh. Dan cobalah tetap hidup, ya" Manusia jauh lebih rapuh daripada automaton."
Kami baik-baik saja sampai kami menabrak akar pohon. Si laba-laba terus melaju dan kami mencoba
mengikuti kecepatannya, tapi kemudian kami melihat terowongan di samping yang digali dari tanah, dan
terbungkus akar-akar tebal. Grover langsung berhenti berjalan.
"Apa itu?" tanyaku.
Dia tidak bergerak. Dia menatap terowongan gelap itu sambil ternganga. Rambut keritingnya berdesir di
embus angin. "Ayo!" kata Annabeth. "Kita harus terus bergerak."
"Ini jalannya," gumam Grover terperagah. "Di sini."
"Jalan apa?" tanyaku. "Maksudmu ... menuju Pan?"
Grover memandang Tyson. "Apa kau nggak menciumnya?"
"Tanah," kata Tyson. "Dan tumbuhan."
"Ya! Ini jalannya. Aku yakin itu!"
Di depan, si laba-laba turun makin jauh ke koridor batu. Beberapa detik lagi dan kami bakal
kehilangannya. "Kita akan kembali," janji Annabeth. "Dalam perjalanan kita kembali ke Hephaestus."
"Terowongan ini pasti sudah hilang saat itu," kata Grover. "Aku harus mengikutinya. Pintu seperti ini
nggak terbuka terus!"
"Tapi kita nggak bisa," kata Annabeth. "Penempaan!"
Grover menatap Annabeth sedih. "Aku harus, Annabeth. Tidakkah kau mengerti?"
Annabeth terlihat putus asa, sepertinya dia tidak mengerti sama sekali. Si laba-laba hampir hilang dari
pandangan. Tapi aku memikirkan obrolanku dengan Grover semalam, dan aku tahu apa yang harus kami
lakukan. "Kita berpencar," kataku.
"Nggak!" kata Annabeth. "Itu terlalu berbahaya. Bagaimana kita akan menemukan satu sama lain lagi"
Dan Grover nggak bisa pergi sendirian."
Tyson meletakkan tangannya di bahu Grover. "Aku"aku akan pergi dengannya."
Aku tidak bisa memercayai apa yang kudengar. "Tyson, apa kau yakin?"
Si jagoan besar mengangguk. "Bocah kambing perlu bantuan. Akan kami temukan si dewa itu. Aku nggak
seperti Hephaestus. Aku percaya sama teman-teman."
Grover menarik napas dalam-dalam. "Percy, kita akan menemukan satu sama lain lagi. Kita masih punya
sambungan empati. Aku cuma ... harus melakukannya."
Aku tidak menyalahkannya. Ini tujuan hidupnya. Kalau dia tidak menemukan Pan dalam perjalanan ini,
dewan tidak akan memberinya kesempatan lagi.
"Kuharap kau benar," kataku.
"Aku tahu aku benar." Aku tidak pernah mendengarnya begitu yakin tentang apa pun, kecuali mungkin
soal enchilada keju yang lebih enak daripada enchilada ayam.
"Hati-hati," kataku padanya. Lalu aku memandang Tyson. Dia menelan ludah untuk menahan tangis dan
memberiku pelukan yang hampir saja meremas mataku sehingga keluar dari lubangnya. Lalu dia dan
Grover menghilang menembus terowongan akar pohon dan lenyap di kegelapan.
"Ini nggak bagus," kata Annabeth. "Berpencar betul-betul ide jelek."
"Kita akan bertemu mereka lagi," kataku, mencoba terdengar yakin. "Sekarang, ayolah. Si laba-laba
sudah jauh!" Tidak lama sebelum terowongan mulai jadi panas.
Dinding-dinding batu berpijar. Udara terasa seperti apabila kami berjalan menembus oven. Terowongan
melandai dan aku bisa mendengar gemuruh keras, seperti sungai dari logam. Si laba-laba berjalan cepat,
dengan Annabeth tepat di belakangnya.
"Hei, tunggu." Aku memanggilnya.
Dia menoleh ke belakangku. "Apa?"
"Sesuatu yang Hephaestus bilang tadi ... soal Athena."
"Dia bersumpah takkan pernah menikah," kata Annabeth. "Sepeti Artemis dan Hestia. Dia salah satu
dewi perawan." Aku berkedip. Aku tidak pernah mendengar itu soal Athena sebelumnya. "Tapi kalau begitu?"
"Bagaimana bisa dia punya anak blasteran?"
Aku mengangguk. Aku mungkin saja merona, tapi mudah-mudahan hawanya panas sekali supaya
Annabeth tak menyadarinya.
"Percy, kau tahu bagaimana Athena dilahirkan?"
"Dia mencuat keluar dari kepala Zeus dengan pakaian perang lengkap atau apalah."
"Tepat. Dia tidak dilahirkan dengan cara normal. Dia secara harfiah dilahirkan dari pikiran. Anak-anaknya
dilahirkan dengan cara yang sama. Ketika Athena jatuh cinta pada seorang pria fana, cinta itu murni
intelektual, seperti waktu dia mencintai Odysseus dalam cerita-cerita lama. Anak-anaknya dilahirkan
dari pertemuan dua pikiran. Dia bakal memberitahumu bahwa itulah jenis cinta yang termurni."
"Jadi, ayahmu dan Athena ... jadi kau bukan ...."
"Aku ini anak pikiran," kata Annabeth. "Secara harfiah. Anak-anak Athena mencuat keluar dari pikiran
ilahiah ibu kami dan kecerdasan fana ayah kami. Kami semestinya merupakan hadiah, berkah dari
Athena bagi pria yang disukainya."
"Tapi?" "Percy, si laba-laba sudah jauh. Apa kau betul-betul ingin supaya aku menjelaskan bagaimana detail
persisnya aku dilahirkan?"
"Eh ... nggak. Nggak apa-apa kok."
Dia menyeringai. "Kupikir juga begitu." Dan dia berlari mendahuluiku. Aku mengikuti, tapi aku tidak
yakin apakah aku bakal memandang Annabeth dengan cara yang sama lagi. Kuputuskan bahwa
beberapa hal sebaiknya tetap menjadi misteri.
Gemuruh kian keras. Setelah kira-kira tujuh ratus meter lagi, kami tiba di gua seukuran stadion Super
Bowl. Pengiring kami si laba-laba berhenti dan melingkar menjadi bola. Kami sudah sampai di penempaa
Hephaestus. Tidak ada lantai, cuma lava yang menggelegak ratusan kaki di bawah. Kami berdiri di bubungan batu
yang mengelilingi gua. Jaringan jembatan logam terentang melintasinya. Di tengah-tengah ada podium
besar dengan segala macam mesin, kuali, alat tempa, dan paron terbesar yang pernah kulihat"balok
besi seukuran rumah. Makhluk-makhluk bergerak ke sana-kemari di sepenjuru podium"dan beberapa
sosok gelap aneh, tapi mereka terlalu jauh sehingga detailnya tidak jelas.
"Kita enggak akan pernah bisa menyelinap dekat mereka," kataku.
Annabeth memungut si laba-laba logam dan menyelipkannya ke dalam sakunya. "Aku bisa. Tunggu di
sini." "Tunggu dulu!" kataku, tapi sebelum aku bisa mendebatnya, dia memasang topi Yankee-nya dan
berubah menjadi tak kasat mata.
Aku tidak berani memanggilnya, tapi aku tidak menyukai gagasan soal dirinya yang mendekati
penempaan sendirian. Kalau makhluk-makhluk di sana bisa merasakan datangnya dewa, apakah
Annabeth bakal aman?"
Aku menoleh kebelakang ke terowongan Labirin. Belum-belum aku sudah kangen Grover dan Tyson.
Akhirnya kuputuskan aku tak bisa diam saja. Aku merayap di sepanjang tepian luar danau lava, berharap
supaya aku bisa mendapatkan sudut pandang yang lebih baik untuk melihat apa yang terjadi di tengahtengah.
Panasnya mengerikan. Peternakan Geryon bagaikan negri ajaib di musim dingin dibandingkan dengan ini.
Segera saja aku sudah bersimbah keringat. Mataku perih kena asap. Aku bergerak terus, mencoba tetap
jauh-jauh dari tepi, sampai kutemukan bahwa jalanku terhalang oleh gerobak logam, seperti yang


Percy Jackson And The Olympians 4 The Battle Of The Labyrinth Pertempuran Labirin Karya Rick Riordan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

digunakan di tambang bawah tanah. Kuangkat terpalnya dan kutemukan bahwa gerobak itu separuh
penuh, diisi oleh rongsokan logam. Aku hendak menyelipkan diriku mengitarinya ketika kudengar suarasuara dari depan, mungkin dari terowongan samping.
"Bawa masuk?" tanya seseorang.
"Iya," kata yang lain. "Filmnya hampir selesai."
Aku panik. Aku tak punya waktu untuk mundur. Tidak ada tempat sembunyi kecuali di ... gerobak. Aku
bergegas-gegas masuk dan menarik terpal menutupiku, berharap semoga tidak ada yang melihatku. Aku
melingkarkan jemariku di sekeliling Reptide, kalau-kalau aku harus bertarung.
Gerobak tiba-tiba bergerak maju.
"Oi." Suara serak berkata. "Benda ini beratnya seton."
"itu perunggu langit," yang lain berkata. "Apa yang kau harapkan?"
Aku didorong terus. Kami berbelok di pojokan dan dari bunyi roda yang bergema di dinding, menurut
tebakanku kami baru turun melewati terowongan dan masuk ke ruangan yang lebih kecil. Mudahmudahan aku tak akan ditumpahka ke kuali yang melebur. Kalau mereka mulai menuangkanku, aku
bakal harus memperjuangkan jalan keluarku cepat-cepat. Aku mendengar banyak suara obrolan dan
percakapan yang tidak terdengar manusiawi"seperti suara di antara gonggongan anjing laut dan
geraman anjing. Ada bunyi-bunyi lain juga"seperti proyektor film model lama dan rekaman suara
berupa narasi. "Pasang saja di belakang." Suara baru memerintahkan dari seberang ruangan. "Sekarang, Anak-anak
Muda, silahkan perhatikan filmnya. Akan ada waktu untuk bertanya setelahnya."
Suara-suara memelan, dan aku bisa mendengar film itu.
Saat monster laut muda tumbuh dewasa, kaa si narator, perubahan terjadi pada tubuh monster. Kau
mungkin sadar taringmu makin panjang dan kau mungkin tiba-tiba memiliki hasrat untuk melahap
manusia. Perubahan ini sepenuhnya normal dan terjadi pada semua monster muda.
Cemooh penuh semangat memenuhi ruangan. Sang guru"menurut tebakanku itu pasti sang guru"
menyuruh anak-anak muda supaya diam, dan film berlanjut. Aku tidak memahami sebagian besar
filmnya, dan aku tidak berani melihat. Film itu terus bicara tentang masa petumbuhan dan masalah
jerawat karena bekerja di penempaan, dan perawatan kebersihan sirip yang tepat, dan akhirnya film
pun berakhir. "Nah, Anak-anak Muda," ujar sang instruktur, "apa nama ilmiah spesies kita?"
"Monster laut!" gonggong salah satu dari mereka.
"Bukan. Yang lain?"
"Telekhine!" Moster lain menggeram.
"Bagus sekali," kata sang instruktur. "Dan kenapa kita di sini?"
"Balas dendam!" teriak beberapa monster.
"Ya, ya, tapi kenapa?"
"Zeus jahat!" salah satu berkata. "Dia mengasingkan kita ke Tartarus cuma karena kita menggunakan
sihir!" "Tepat," kata sang instruktur. "Setelah kita membuat begitu banyak senjata terbaik para dewa. Trisula
Poseidon, misalnya. Dan tentu saja"kita membuat senjata para Titan yang terhebat! Namun demikian,
Zeus mengasingkan kita dan mengandalkan para cyclops kikuk itu. Itulah sebabnya kenapa kita
mengambil alih penempaan Hephaestus di pencuri. Dan sebentar lagi kita akan menguasai tungku
bawah laut, rumah nenek moyang kita!"
Aku mencengkeram bolpen-pedangku. Makhluk-makhluk pencemooh ini menciptakan trisula Poseidon"
Apa yang mereka bicarakan" Aku tidak pernah mendengar tentang telekhine.
"Dan oleh karena itu, Anak-anak Muda," sang instruktur melanjutkan, "siapa yang kita layani?"
"Kronos!" teriak mereka.
"Dan saat kalian tumbuh menjadi telekhine besar, akankah kalian membuat senjata untuk pasukannya?"
"Ya!" "Bagus sekali. Nah, kami membawakan kalian rongsokan untuk berlatih. Mari kita lihat seberapa
kreatifnya kalian." Ada bunyi ribut gerakan dan suara-suara bersemagat yang datang ke arah gerobak. Aku siap-siap
membukan tutup Reptide-ku. Terpal dilemparkan ke belakang. Aku melompat, pedang perungguku
mencuat menjadi hidup di tanganku, dan kudapati diriku berhadap-hadapan dengan sekumpulan ...
anjing. Yah, wajah mereka memang mirip anjing, dengan moncong hitam, mata cokelat, dan telinga lancip.
Badam mereka licin dan hitam seperti mamalia laut, dengan tubuh bagian bawah montok yang separuh
berupa sirip, separuh kaki, dan tangan ala mausia bercakar tajam. Kalau kau menggabungkan seorang
anak, seekor anjing Doberman, dan seekor singa laut, akan kau dapatkan sesuatu yang mirip seperi apa
yang kulihat. "Blasteran!" geram seekor.
"Makan dia!" teriak yang lain.
Tapi hanya itulah yang mereka lakukan sebelum aku mengayun Reptide lebar-lebar dan membuyarkan
monster sebaris depan penuh.
"Mundur!" teriakku pada sisanya, mencoba terdengar kejam. Di belakang mereka berdirilah instruktur
mereka"telekhine setinggi 1,8 meter bertaring Doberman yang menyerigai kepadaku. Aku
memelototinya segalak mungkin.
"Pelajaran baru, Murid-murid." Aku mengumumkan. "Sebagian besar monster akan terbuyarkan ketika
disayat menggunakan pedang perunggu langit. Perubahan ini sepenuhnya normal, dan akan terjadi pada
kalian sekarang juga kalau kalian nggak MUNDUR!"
Yang membuatku kaget, peringatanku berhasil. Para monster mundur, tapi jumlah mereka paling tidak
ada dua puluh. Faktor menyeramkaku tidak akan bertahan lama.
Aku melompat dari gerobak, berteriak, "KELAS DIBUBUARKAN!" dan lari ke jalan keluar.
Para monster menyerbu mengejarku, menggonggong dan menggeram. Kuharap mereka tidak bisa
berlari terlalu cepat dengan kaki dan sirip kecil montok mereka itu, tapi mereka tertatih-tatih lumayan
cepat. Terpujulah dewa karena ada pintu di terowongan yang mengarah ke gua utama. Aku
membatingnya tertutup dan memutar roda kenop untuk menguncinya, tapi aku ragu itu akan menahan
mereka lama-lama. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Annabeth ada di suatu tempat di luar sana, tak kasat mata.
Kesempatan kami untuk misi pengintaian diam-diam baru saja hancur. Aku lari ke arah podium di
tengah-tengah danau lava.
"Annabeth!" teriakku.
"Ssst!" Tangan tak kasat mata membungkam mulutku dan bergulat menarikku ke belakang sebuah kuali
perunggu besar. "Kau mau membuat kita terbunuh?"
Aku menemukan kepalanya dan mencopot topi Yankees-nya. Dia berdenyar menjadi nyata di hadapanku,
cemberut, wajahnya coreng moreng terkena abu dan kotoran berminyak. "Percy, apa masalahmu?"
"Kita bakal kedatangan teman!" Aku menjelaskan cepat-cepat tentang kelas orientasi monster. Matanya
membelalak. "Jadi, mereka itu rupanya," katanya. "Telekhine. Aku harusnya tahu. Dan mereka membuat... Yah, lihat
saja." Kami mengintip ke atas kuali. Di tengah-tengah kuali berdirilah empat monster laut, tapi mereka sudah
dewasa, tingginya paling tidak 2,4 meter. Kulit hitam mereka berkilat diterangi cahaya api saat mereka
bekerja, percikan api beterbangan saat mereka bergantian memukuli potongan panjang logam panas
membara. "Bilah ini hampir jadi," kata yang satu. "Perlu didinginkan lagi dalam darah untuk menyatukan logamnya."
"Aye." Yang kedua berkata. "Hasilnya pasti lebih tajam daripada sebelumnya."
"Apa itu?" bisikku.
Annabeth menggelengkan kepalanya. "Mereka terus bicara soal menyatukan logam. Aku ingin tahu?"
"Mereka bicara soal senjata para Titan yang terhebat," kataku. "Dan mereka ... mereka bilag mereka
membuat trisula ayahku."
"Telekhine mengkhianati para dewa," kata Annabeth. "Mereka mempraktikkan sihir hitam. Aku nggak
tahu apa tepatnya, tapi Zeus mengusir mereka ke Tartarus."
"Bersama Kronos."
Dia mengangguk. "Kita harus keluar?"
Segera setelah dia mengatakan itu pintu ruang kelas meledak dan para telekhine muda menghambur ke
luar. Mereka saling tabrak, mencoba menentuka akan menyerang ke arah mana.
"Pakai lagi topimu," kataku. "Keluar!"
"Apa?" pekik Annabeth. "Nggak! Aku nggak akan meninggalkanmu."
"Aku punya rencana. Akan kualihkan perhatian mereka. Kau bisa pakai si laba-laba logam"mungkin ia
akan membimbingmu kembali ke Hephaestus. Kau harus beri tahu dia apa yang terjadi."
"Tapi kau akan dibunuh!"
"Aku akan baik-baik saja. Lagi pulan, kita nggak punya pilihan."
Annabeth memelototiku seakan dia bakal meninjuku. Dan kemudian dia melakukan sesuatu yang
bahkan lebih mengejutkanku. Dia menciumku.
"Hati-hati, Otak Ganggang." Dia memakai topinya dan menghilang.
Aku mungkin saja bakal duduk di sana seharian sambil memandangi lava dan mencoba mengingat-ingat
siapa namaku, tapi para monster laut menyentakkanku kembali ke kenyataan.
"Di sana!" teriak seekor telekhine. Sekelas telekhine menyerbu melintasi jembatan ke arahku. Aku
berlari ke tengah-tengah podium, membuat keempat monster laut yang lebih tua kaget sekali sampaisampai mereka menjatuhkan bilah pedang yang panas membara itu. Panjangnya kira-kira 1,8 meter dan
membentuk melengkung seperti bulan sabit. Aku sudah melihat banyak hal mengerikan, tapi benda
entah-apa yang belum selesai ini menakutiku lebih lagi.
Para monster yang lebih tua mengatasi keterkejutan mereka dengan cepat. Ada empat lereng untuk
turun dari podium, dan sebelum aku bisa melesat ke arah mana pun, masing-masing dari mereka sudah
menutupi jalan keluar. Yang tertinggi mencibir. "Ada apa nih" Putra Poseidon?"
"Ya." Yang lain menggeram. "Aku bisa mencium laut dalam darahnya."
Aku mengangkat Reptide. Jantungku berdebar-debar.
"Serang salah satu dari kami, Blasteran," monster ketiga berkata, "dan yang lain akan mengoyakmu
sampai tercabik-cabik. Ayahmu mengkhianati kami. Dia mengambil hadiah kami dan tak mengatakan
apa pun saat kami diasingkan ke lubang. Kami akan melihat dia disayat sampai teriris-iris. Dia dan
seluruh bangsa Olympia."
Kuharap aku punya rencana. Kuharap aku tidak berbohong pada Annabeth tadi. Aku ingin dia keluar
dengan selamat, dan kuharap dia cukup waras untuk melakukanya. Tapi sekarang aku tersadar bahwa
ini mungkin akan menjadi tempatku mati. Tidak ada ramalan buatku. Aku akan dikalahkan di jantung
gunung berapi oleh sekawanan makhluk singa laut bermuka anjing. Para telekhine muda sekarang sudah
ada di podium juga, menyeringai dan menunggu untuk melihat bagaimana empat tetua mereka akan
menanganiku. Aku merasakan sesuatu membakar sisi kakiku. Peluit es dalam sakuku bertambah dingin. Kalau aku perlu
bantuan, sekaranglah saatnya. Tapi aku ragu-ragu. Aku tak percaya pada Quintus.
Sebelum aku bisa memutuskan, telekhine tertinggi berkata, "Ayo kita lihat sekuat apa dia. Ayo kita lihat
berapa lama sampai dia terbakar!"
Dia menyendok segenggam lava dari tungku terdekat dengan tangannya. Lava membuat tangannya
membara, tapi hal ini tampak tidak mengusiknya sama sekali. Telekhine-telekhine lebih tua yang lain
melakukan hal yang sama. Yang pertama melemparkan segumpal batu meleleh kepadaku dan membuat
celanaku terbakar. Dua gumpalan lagi memerciki dadaku. Kujatuhkan pedangku karena kengerian yang
amat sangat dan menepuk-nepuk pakaianku. Api menelanku. Anehnya, mula-mula rasanya hangat, tapi
seketika langsung bertambah panas.
"Pembawaan ayahmu melindungimu," salah satu berkata. "Membuatmu sulit terbakar. Tapi tidak
mustahil, Anak Muda. Tidak mustahil."
Mereka melemparkan lebih banyak lava lagi kepadaku, dan kuingat diriku menjerit-jerit. Seluruh
tubuhku terbakar. Nyerinya lebih parah daripada apa pun yang pernah kurasakan. Aku dimakan api. Aku
tergolek ke lantai logam dan mendengar anak-anak monster laut melolong gembira.
Lalu kuingat suara naiad sungai di peternakan: Air ada dalam diriku.
Aku perlu laut. Aku merasakan tarikan di perutku, tapi aku tidak punya apa-apa di sekitar untuk
membantuku. Tak ada keran atau sungai. Bahkan cangkang kerang yang diawetkan pun tak ada kali ini.
Dan lagi pula, kali terakhir aku melepaskan kekuatanku di istal, ada momen menakutkan waktu kekuatan
itu hampir lepas dari kendaliku.
Aku tidak punya pilihan. Aku memanggil lautan. Aku meraih bagian dalam diriku dan mengingat ombak
dan arus, kekuatan laut yang tak berujung. Dan aku membiarkannya terbebas dalam satu teriakan
mengerikan. Setelahnya, aku tidak pernah bisa menggambarkan apa yang terjadi. Ledakan, ombak pasang, dan puting
beliung kekuatan secara serempak menangkapku dan menghempaskanku ke bawah, ke dalam lava. Api
dan air bertabrakan, menghasilkan uap superpanas, dan aku terlontar ke atas dari jantung gunung
berapi dalam ledakan besar, cuma sepotong benda yang terapung-apung yang dilemparkan oleh jutaan
kilogram tekanan. Hal terakhir yang kuingat sebelum kehilangan kesadaran adalah terbang, terbang
begitu tinggi sehingga Zeus takkan pernah memaafkanku, dan kemudian mulai jatuh, asap dan api dan
air menyembur dariku. Aku adalah komet yang meluncur ke arah bumi.[]
BAB DUA BELAS Aku Berlibur Permanen Aku terbangun sambil merasa bahwa tubuhku masih terbakar. Kulitku perih. Kerongkonganku terasa
sekering pasir. Aku melihat langit biru dan pepohonan di atasku. Aku mendengar air mancur berdeguk, dan mencium
juniper dan cedar dan berbagai tumbuhan beraroma manis lain. Aku mendengar ombak juga, dengan
lembut berdebur di pantai yang berbatu. Aku bertanya-tanya apa aku sudah mati, tapi aku tahu lebih
baik. Aku sudah pernah pergi ke Negeri Orang Mati, dan di sana tak ada langit biru.
Aku mencoba duduk tegak. Ototku rasaya meleleh.
"Tetaplah diam," kata suara seorang gadis. "Kau terlalu lemah untuk bangun."
Dia menghamparkan kain dingin di keningku. Sendok perunggu melayan di atasku dan cairan diteteskan
ke dalam mulutku. Minuman itu menyamankan kerongkonganku dan meninggalkan rasa hangat cokelat
setelahnya. Nektar para dewa. Lalu wajah si gadis muncul di atasku.
Dia punya mata berbentuk buah badam dan kepangan rambut sewarna karamel di atas salah satu bahu.
Umurnya ... lima belas" Enam belas" Sulit ditebak. Dia punya wajah yang tampaknya tidak lekang
dimakan usia. Dia mulai menyanyi, dan rasa nyeriku menghilang. Dia sedang melakukan sihir. Aku bisa
merasakan musiknya terbenam ke dalam kulitku, mentembuhkan dan memperbaiki luka bakarku.
"Siapa?" kuakku.
"Ssst, Pemberani," katanya. "Beristirahatlah dan pulihkan dirimu. Takkan ada bencana yang menimpamu
di sini. Aku Calypso."
Kali berikutnya aku terbangun aku berada di dalam gua, tapi menurut standar gua, aku sudah pernah
masuk ke gua yang lebih parah. Yang ini langit-langitnya berkilau berkat formasi kristal beraneka
warna"putih dan ungu dan hijau, seakan aku berada dalam salah satu potongan batu vulkanik yang
kaulihat di toko suvenir. Aku berbaring di ranjang yang nyaman dengan bantal isi bulu serta selimut
katun putih. Ada mesin tenun besar dan harpa yang tersandar di salah satu dinding. Di dinding lain
tersandarlah rak-rak yang ditumpuki toples-toples awetan buah yang tertata rapi. Tanaman obat yang
dikeringkan tergantung dari langit-langit: rosemary, thyme, dan lain-lain. Ibuku pasti bisa menyebutkan
nama semuanya. Ada perapian yang dibangun dalam salah satu dinding gua, dan kuali yang berbuih di atas api. Baunya
lezat, mirip semur daging.
Aku duduk tegak, mencoba mengabaikan rasa sakit yang berdenyut-denyut di kepalaku. Aku melihat
tanganku, yakin bahwa akan ada bekas luka mengerikan, tapi lenganku tampak baik-baik saja. Sedikit
lebih merah jambu daripada biasanya, tapi tidak parah. Aku mengenakan T-shirt katun putih dan celana
serut katun putih yang bukan milikku. Kakiku telanjang. Panik sesaat, aku bertanya-tanya apa yang
terjadi pada Reptide, tapi aku meraba-raba sakuku di sanalah bolpenku, tepat di tempatnya selalu
muncul kembali. Bukan cuma itu, tapi peluit anjing es Stygia kembali ke sakuku juga. Entah bagaimana peluit itu telah
mengikutiku. Dan itu tak terlalu membuatku nyaman.
Dengan susah payah, aku berdiri. Lantai batu dingin membekukan di bawah kakiku. Aku menoleh dan
mendapati diriku sedang menatap cermin perunggu mengilap.
"Demi Poseidon," gumamku. Beratku, yang tak bisa turun-turun, kelihatannya sudah berkurang sepuluh
kilogram. Rambutku seperti sarang tikus. Tepi rambutku hangus seperti jenggot Hephaestus. Kalau aku
melihat wajah itu pada seseorang yang berjalan menyusuri persimpangan jalan untuk minta-minta uang,
aku pasti akan mengunci pintu mobil.
Aku berpaling dari cermin. Pintu masuk gua ada di kiriku. Aku menuju ke cahaya matahari siang hari.
Gua terbuka ke padang rumput hijau. Di kiri ada kebun pohon cedar dan di kanan ada taman bunga
besar. Empat air terjun berdeguk di padang rumput, masing-masing meluncurkan air dari pipa batu
berbentuk satir. Tepat di depan, rumput melandai ke pantai berbatu. Ombak di danau menyapu
bebatuan. Aku bisa yahu kalau itu danau karena ... yah, pokoknya bisa. Air tawar. Bukan air garam.
Matahari berkilau di permukaan air, dan langit biru jernih. Tampaknya seperti surga, yang seketika
membuatku gugup. Setelah berurusan dengan mitologi-mitologia selama beberapa tahun, kau akan
belajar bahwa surga biasanya adalah tempat kau terbunuh.
Gadis dengan rambut karamel yang terkepang yang menyebut dirinya Calypso, berdiri di pantai,
berbicara kepada seseorang. Aku tidak bisa melihatnya dengan jelas di tengah gemerlap cahaya
matahari di air, tapi mereka tampaknya sedang bertengkar. Aku menciba mengingat-ingat apa yang
kutahu soal Calypso dari mitos kuno. Aku pernah mendengar nama itu sebelumnya, tapi ... aku tak bisa
mengingatnya. Apa dia monster" Apa dia memerangkap para pahlawan dan membunuh mereka" Tapi
kalau dia jahat, kenapa aku masih hidup"
Aku berjalan pelan ke arahnya karena kakiku masih kaku. Saat rumput berubah menjadi kerikil, aku
menunduk untuk menjaga keseimbanganku, dan ketika aku mendongak lagi, gadis itu sendirian. Dia
mengenakan gaun Yunani tanpa lengan dengan garis leher melingkar yang dihiasi emas di tepiannya. Dia
mengusap matanya seakan dia baru saja menangis.
"Yah," katanya, mencoba tersenyum, "si tukang tidur akhirnya bangun."
"Kau bicara pada siapa?" Suaraku terdengar seperti kodok yang baru saja menghabiskan waktu dalam
microwave. "Oh ... cuma pembawa pesan," katanya. "Bagaimana perasaanmu?"
"Sudah berapa lama aku pingsan?"
"Waktu." Calypso menggumam. "Waktu selalu sulit di sini. Aku benar-benar tidak tahu, Percy."
"Kau tahu namaku?"
"Kau mengigau dalam tidurmu."
Aku merona. "Iya. Aku ... pernah diberitahu soal itu sebelumnya."
"Ya. Siapa Annabeth?"
"Oh, anu. Teman. Kami bersama-sama waktu"tunggu, bagaimana aku sampai di sini" Di mana aku?"
Calypso mengulurkan tangan dan menelusurkan jemarinya di rambutku yang kusut. Aku melangkah
mundur dengan gugup. "Maafkan aku," katanya. "Hanya saja aku jadi terbiasa merawatmu. Soal bagaimana kau sampai di sini,
kau jatuh dari langit. Kau mendarat di air, tepat di sana." Dia menujuk ke seberang pantai. "Aku tidak
tahu bagaimana sampai kau bisa bertahan hidup. Air tampaknya meredam jatuhmu. Soal di mana kau
berada, kau di Ogygia."
Dia mengucapkanya seperti owh-ji-ji-yah.
"Apa itu dekat Gunung St. Helens?" tanyaku, soalnya geografiku lumayan payah.
Calypso tertawa. Tawanya kecil dan teratah, seakan-akan dia menganggapku betul-betul kocak tapi tidak
mau mempermalukanku. Dia imut waktu tertawa.
"Tempat ini tidak dekat mana-mana, Pemberani," katanya. "Ogygia adalah pulau silumanku. Pulau ini
muncul sendiri, di mana saja dan tidak ada di mana-mana. Kau bisa memulihkan diri di sini dengan aman.


Percy Jackson And The Olympians 4 The Battle Of The Labyrinth Pertempuran Labirin Karya Rick Riordan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tidak usah takut." "Tapi teman-temanku?"
"Annabeth," katanya. "Dan Grover dan Tyson?"
"Ya!" kataku. "Aku harus kembali ke mereka. Mereka dalam bahaya."
Dia menyentuh wajahku, dan aku tidak mundur kali ini. "Istirahat dulu. Kau tidak berguna bagi temantemanmu sampai kau sembuh."
Segera setelah dia mengatakan itu, aku menyadari betapa lelahnya aku. "Kau bukan ... kau bukan
penyihir jahat, kan?"
Dia tersenyum malu-malu. "Kenapa kau berpikir begitu?"
"Yah, aku pernah ketemu Circe, dan dia punya pulau yang lumayan bagus juga. Hanya saja dia senang
mengubah laki-laki jadi marmot."
Calypso memberiku tawa itu lagi. "Aku janji aku tidak akan mengubahmu jadi marmot."
"Atau menjadi yang lain?"
"Aku bukan penyihir jahat," kata Calypso. "Dan aku bukan musuhmu, Pemberani. Sekarang istirahatlah.
Matamu sudah terpejam."
Dia benar. Lututku roboh, dan wajahku pasti bakal mendarat lebih dulu di kerikil kalau Calypso tidak
menangkapku. Rambutnya berbau seperti kayu manis. Dia sangat kuat, atau mungkin aku betul-betul
lemas dan kurus. Dia menopangku kembali ke bangku berbantalan di dekat air mancur dan membantuku
berbaring. "Istirahatlah," perintahnya. Dan aku pun jatuh tertidur diiringi bunyi air terjun dan bau kayu manis serta
juniper. Kali berikutnya aku terbangun sudah malam hari, tapi aku tak yakin apa itu malam di hari yang sama
atau bermalam sesudahnya. Aku ada di tempat tidur dalam gua, tapi aku bangkit dan membungkuskan
jubah ke tubuhku dan berjalan ke luar. Bintang-bintang gemerlapan"ribuan bintang, seperti yang cuma
bisa kau lihat di pedesaan. Aku bisa menamai semua rasi bintang yang diajarkan Annabeth padaku:
Capricorn, Pegasus, Sagitarius. Dan di sana, dekat cakrawala selatan, ada rasi bintang baru: sang
Pemburu, penghormatan bagi teman kami yang meninggal musim dingin lalu.
"Percy, apa yang kau lihat?"
Aku membawa mataku kembali ke bumi. Seberapa pun menakjubkannya bintang-bintang, Calypso dua
kali lipat lebih memukau. Maksudku, aku pernah melihat sang dewi cinta sendiri, Aphrodite, dan aku tak
akan mengucapkan ini keras-keras karena dia pasti akan menghancurkanku jadi abu, tapi menurut
pendapatku, Calypso jauh lebih cantik karena dia tampak begitu wajar, karena sepertinya dia tak
berusaha jadi cantik dan bahkan tak peduli soal itu. Sepertinya dia dari dulu sudah cantik. Dengan
rambut dikepang dan gaun putihnya, dia seakan berbinar diterpa sinar bulan. Dia sedang memegang
tumbuhan kecil dengan tangannya. Bunga-bunganya berwarna perak dan rapuh.
"Aku cuma melihat ...." Aku mendapati diriku menatap wajahnya. "Eh ... aku lupa."
Dia tertawa lembut. "Yah, selahi kau bangun, kau bisa membantuku menanam ini."
Dia menyerahkan tumbuhan itu kepadaku, yang ditempeli segumpal tanah dan berakar di dasarnya.
Bunga-bunga itu berkilau saat aku memegangnya. Calypso memungut sekop berkebunnya dan
mengarahkaku ke tepi taman, tempat dia mulai menggali.
"Ini moonlace," Calypso menjelaskan. "Ia cuma bisa ditanam di malam hari."
Aku menyaksikan cahaya keperakan berkelap-kelip di sekitar kelopaknya. "Apa yang dilakukannya?"
"Lakukan?" Calypso bergumam. "Tumbuhan ini sebenarnya tidak melakukan apa-apa, kurasa. Ia hidup,
ia memberi cahaya, ia menyediakan keindahan. Apa ia harus melakukan yang lain?"
"Kurasa tidak," kataku.
Dia mengambil tumbuhan itu, dan tangan kami bertemu. Jemarinya hangat. Dia menanam moonlace itu
dan melangkah mundur, mengamati pekerjaannya."Aku suka sekali tamanku."
"Tamanku keren." Aku setuju. Maksudku, sebenarnya aku bukan tipe pekebun, tapi Calypso punya
tempat berteduh di taman yang diselimuti enam sulur mawar yang berbeda warna, kisi-kisi yang
dipenuhi kamperfuli, deretan tanaman anggur dengan buah berwarna merah dan ungu yang mencuat
darinya, yang bakalan membuat Dionysus duduk tegak dan memohon-mohon diberi.
"Di rumah," kataku, "ibuku selalu menginginkan taman."
"Kenapa dia tidak membuat taman?"
"Yah, kami tinggal di Manhattan. Di apartemen."
"Manhattan" Apartemen?"
Aku menatapnya. "Kau tidak mengerti apa yang kubicarakan, ya?"
"Aku khawatir tidak. Aku tidak pernah meninggalkan Ogygia ... lama sekali."
"Well, Manhattan itu kota besar, tanpa banyak ruang untuk berkebun."
Calypso mengerutkan kening. "Itu menyedihkan. Hermes berkunjung dari waktu ke waktu. Dia
memberitahuku dunia luar sudah banyak berubah. Aku tidak sadar dunia sudah berubah sebanyak itu
sampai-sampai kau tak bisa punya taman."
"Kenapa kau tidak pernah meninggalkan pulaumu?"
Dia terlihat patah semangat. "Ini hukumanku."
"Kenapa" Apa yang kau lakukan?"
"Aku" Tidak ada. Tapi aku khawatir ayahku melakukan kesalahan besar. Namanya Atlas."
Nama itu membuat bulu kudukku berdiri. Aku bertemu Atlas sang Titan musim dingin lalu, dan saat itu
tidaklah menggembirakan. Dia praktis mencoba membunuh semua orang yang kusayangi.
"Tetap saja," kataku ragu-ragu, "tidak adil menghukummu atas apa yang ayahmu lakukan. Aku kenal
putri Atlas yang lain. Namanya Z?e. Dia salah satu orang yang paling berani yang pernah kutemui."
Calypso menelaahku lama-lama. Matanya sedih.
"Ada apa?" tanyaku.
"Apa"apa kau sudah sembuh, Pahlawanku" Apa kau pikir kau akan segera siap untuk pergi?"
"Apa?" tanyaku. "Aku tidak tahu." Aku menggerakkan kakiku. Rasanya masih kaku. Aku sudah pusing
karena berdiri lama sekali. "Kau ingin aku pergi?"
"Aku ...." Suaranya terputus. "Sampai bertemu besok pagi. Tidur yang nyenyak."
Dia lari ke arah pantai. Aku terlalu bingung untuk melakukan apa pun kecuali menontonnya sampai dia
menghilang dalam kegelapan."
Aku tidak tahu persis sudah berapa lama waktu berlalu. Seperti Calypso bilang, sulit menghitung waktu
di pulau itu. Aku tahu aku seharusnya pergi. Sebaik-baiknya, teman-temanku akan mengkhawatirkanku.
Separah-parahnya, mereka bisa saja dalam bahaya serius. Aku bahkan mencoba menggunakan
sambungan empatiku dengan Grover beberapa kali, tapi aku tidak bisa membuat kontak. Aku benci tidak
bisa tahu apakah mereka baik-baik saja atau tidak.
Di sisi lain, aku betul-betul lemah. Aku tidak bisa berdiri lebih dari beberapa jam. Apa pun yang
kulakukan di Gunung St. Helens sudah menguras energiku lebih dari apa pun yang pernah kualami.
Aku tidak merasa seperti tawanan atau apa. Aku ingat Hotel dan Kasino Lotus di Las Vegas, tempatku
terbujuk ke dalam dunia permainan yang menakjubkan sampai aku hampir melupakan segalanya yang
kusayangi. Tapi Pulau Ogygia tidak seperti itu sama sekali. Aku memikirkan Annabeth, Grover, dan Tyson
terus-menerus. Aku ingat dengan persis kenapa aku harus pergi. Aku cuma ... tak bisa. Dan kemudian
ada Calypso. Dia tidak pernah banyak bicara soal dirinya, tapi itu malah membuatku ingin tahu lebih banyak. Aku
akan duduk di padang rumput, menyesap nektar, dan aku mencoba berkonsentras pada bunga-bunga
atau awan atau bayang-bayang di danau, tapi aku sebenarnya menatap Calypso saat dia bekerja, cara
dia menyibakkan rambut ke bahunya, dan helai kecil yang jatuh ke wajahnya kapan pun dia berlutut
untuk menggali di taman. Kadang-kadang dia akan mengulurkan tangannya dan burung-burung akan
terbang keluar dari hutan untuk bertengger di lengannya"perkici, kakaktua, merpati. Dia akan
mengucapkan selamat pagi kepada mereka, menanyakan bagaimana kabar di sarang, dan mereka akan
bercicip sebentar, lalu terbang menjauh dengan riang. Mata Calypso berbinar. Dia akan memandangku
dan kami akan saling tersenyum, tapi hampir seketika dia akan menampakkan ekspresi sedih itu lagi dan
berpaling. Aku tidak mengerti apa yang mengganggunya.
Suatu malam kami sedang menyantap makan malam bersama-sama di pantai. Para pelayan tak kasat
mata telah menyiapkan meja dengan daging rebus dan sari apel, yang mungkin kedengarannya tidak
terlalu menarik, tapi itu karena kamu belum mencicipinya. Aku bahkan tak menyadari keberadaan para
pelayan tak kasat mata waktu aku pertama kali sampai di pulau, tapi setelah beberapa lama aku
menyadari tempat tidur yanag merapikan diri sendiri, makanan yang memasak diri sendiri, pakaian yang
dicuci dan dilipat oleh tangan-tangan tak terlihat.
Pokoknya, Calypso dan aku sedang duduk saat makan malam, dan dia kelihatan cantik di tengah cahaya
lilin. Aku sedang bercerita padanya tentang New York dan Perkemahan Blasteran, dan kemudian aku
mulai bercerita padanya tentang Grover yang suatu ketika makan apel saat kami menggunakannya
untuk main bola. Dia tertawa, menunjukkan senyumnya yang mengagumkan, dan mata kami bertemu.
Lalu dia menundukkan pandangannya.
"Lagi-lagi itu," kataku.
"Apa?" "Kau terus menjauh, seakan kau mencoba untuk tidak bersenang-senang."
Dia melekatkan pandangan mataya ke gelas sari apelnya. "Seperti yang kukatakan kepadamu, Percy, aku
dihukum. Dikutuk, kau bisa bilang begitu."
"Bagaimana" Beri tahu aku. Aku ingin menolong."
"Jangan katakan itu. Tolong jangan katakan itu."
"Beri tahu aku apa hukumanmu."
Dia menutupi makanannya yang baru dihabiskan separuh dengan serbet, dan seketika seorang pelayan
tak kasat mata menyingkirkan mangkok itu. "Percy, pulau ini, Ogygia adalah rumahku, tempat kelahiraku.
Tapi ia juga penjaraku. Aku dalam ... tahanan rumah, kurasa begitulah kau menyebutnya. Aku takkan
pernah bisa mengunjungi Manhattan-mu. Ataupun tempat lain. Aku sendirian di sini."
"Karena ayahmu Atlas."
Dia mengangguk. "Para dewa tidak memercayai musuh mereka. Dan wajar saja. Aku semestinya tidak
mengeluh. Beberapa penjara tidak sebagus penjaraku."
"Tapi itu tidak adil," kataku. "Cuma karena kalian berkerabat bukan berarti kau mendukungnya. Putri
lain yang kukenal, Z?e Nightshade"dia bertarung melawan Atlas. Dia tidak dipenjara."
"Tapi, Percy," kata Calypso lembut, "aku memang mendukungnya pada perang pertama. Dia ayahku."
"Apa" Tapi para Titan, kan, jahat!"
"Benarkah" Mereka semua" Sepanjang waktu?" dia mengerucutkan bibirnya. "Katakan padaku, Percy.
Aku tidak ingin berdebat denganmu. Tapi apa kau mendukung para dewa karena mereka baik, atau
karena mereka keluargamu?"
Aku tidak menjawab. Dia ada benarnya. Musim dingin lalu, setelah Annabeth dan aku menyelamatkan
Olympus, para dewa berdebat soal apakah mereka sebaiknya membunuhku atau tidak. Itu tak bisa
dibilang baik. Tapi tetap saja, aku merasa ingin mendukung mereka karena Poseidon ayahku.
"Mungkin aku salah saat perang," kata Calypso. "Dan kalau mau adil, para dewa telah memperlakukanku
dengan baik. Mereka mengunjungiku sesekali. Mereka membawakanku kabar tentang dunia luar. Tapi
mereka bisa pergi. Dan aku tidak bisa."
"Kat tak punya teman?" tanyaku. "Maksudku ... apakah tidak ada orang yang mau tinggal di sini
bersamamu" Ini tempat yang bagus."
Air mata menetes menuruni pipinya. "Aku ... aku berjanji pada diriku aku takkan membicarakan ini.
Tapi?" Dia diinterupsi oleh bunyi menggemuruh di suatu tempat di danau. Kilau muncul di cakrawala. Kilau itu
kian terang dan kian terang, sampai aku bisa melihat semburan api bergerak menyeberangi permukaan
air, menghampiri kami. Aku berdiri dan meraih pedangku. "Apa itu?"
Calypso mendesah. "Pengunjung."
Saat semburan api mencapai pantai, Calypso berdiri dan membungkuk kepadanya dengan resmi. Nyala
api menghilang, dan di depan kami berdirilah pria tinggi dengan overall abu-abu dan penyangga kaki dari
logam, jenggot dan rambutnya menguarkan asap.
"Tuan Hephaestus," kata Calypso. "Ini kehormatan yang langka."
Sang dewa api menggeram. "Calypso. Cantik seperti biasa. Boleh kami permisi, Sayangku" Aku perlu
bicara dengan Percy Jackson muda kita."
Hephaestus duduk dengan kikuk di balik meja makan dan memesan Pepsi. Pelayan tak kasat mata
membawakannya minuman itu, memukanya terlalu mendadak, dan menyemprotkan soda ke sekujur
pakaian kerja sang dewa. Hephaestus meraung dan memuntahkan sejumlah sumpah serapah dan
menampar kaleng menjauh. "Pelayan goblok," gumamnya. "Automaton-automaton yang baguslah yang dia butuhkan. Mereka tidak
pernah bertingkah!" "Pak Hephaestus," kataku, "apa yang terjadi" Apa Annabeth?"
"Dia baik-baik saja," katanya. "Gadis banyak akal, yang satu itu. Menemukan jalannya kembali,
meberitahuku seluruh kisahnya. Doa cemas sekali, kau tahu."
"Bapak belum memberitahunya saya baik-baik saja?"
"Buka bagianku untuk mengatakan itu," kata Hephaestus. "Semua orang pikir kau sudah mati. Aku harus
yakin kau kembali sebelum aku memberi tahu semua orang di mana kau berada."
"Apa maksud Bapak?" kataku. "Tentu saja saya akan kembali!"
Hephaestus mengamatiku dengan skeptis. Dia merogoh sesuatu dari sakunya"piringan logam seukuran
iPod. Dia memencet sebyat tombol dan benda itu membesar menjadi miniatur TV perunggu. Di layar
ada rekaman berita tentang Gunung St. Helens, kepulan besar api dan abu melayang ke angkasa.
"Masih tidak yakin mengenai letusan susulan," pembawa berita berkata. "Pihak berwenang telah
memerintahkan evakuasi hampir setengah juta orang sebagai tindakan pencegahan. Sementara itu, abu
berjatuhan sampai Danau Tahoe dan Vancouver, dan seluruh area Gunung St. Helens ditutup untuk lalu
lintas dalam radius 160 kilometer. Meskipun tidak ada kematian yang dilaporkan, luka ringan dan
penyakit termasuk?" Hephaestus mematikannya. "Kau menyebabkan letusan yang lumayan."
Aku menatap layar perunggu yang kosong. Setengah juta orang dievakuasi" Luka. Penyakit. Apa yang
sudah kulakukan" "Para telekhine bercerai berai." Sang dewa memberitahuku. "Beberapa terbuyarkan. Beberapa kabur,
tak diragukan lagi. Kupikir mereka takkan menggunakan penempaanku dalam waktu dekat ini. Di sisi lain,
aku juga tidak. Ledakan menyebabkan Typhon gelisah dalam tidurnya. Kita harus tunggu dan lihat?"
"Saya tidak melepaskannya, tak mungkin, kan" Maksud saya, saya tidak sekuat itu!"
Sang dewa menggerutu. "Tidak sekuat itu, eh" Bisa saja membodohiku. Kau putra sang Pengguncang
Bumi, Nak. Kau tak mengetahui kekuatanmu sendiri."
Itulah hal terakhir yang kuingin dia katakan. Aku tidak bisa mengendalikan diriku di gunung waktu itu.
Aku melepaskan begitu banyak energi sampai-sampai aku hampir saja membuyarkan diriku sendiri,
menguras kehidupan dari diriku. Sekarang kudapati bahwa aku hampir saja menghancurkan Amerika
Bagian Barat Laut dan nyaris membangunkan monster paling mengerikan yang pernah ditawan oleh
para dewa. Mungkin aku terlalu berbahaya. Mungkin lebih aman bagi teman-temanku seandainya
mereka berpikir aku sudah mati.
"Bagaimana dengan Grover dan Tyson?" tanyaku.
Hephaestus menggelengkan kepalanya. "Tidak ada kabar, aku khawatir. Kurasa Labirin mengurung
mereka." "Jadi, apa yang harus saya lakukan?"
Hephaestus mengernyit. "Jangan pernah minta saran dari orang tua cacat, Nak. Tapi akan kuberi tahu
kau ini. Kau pernah bertemu istriku?"
"Aphrodite." "Itu dia. Dia tukang tipu, Nak. Hati-hatilah pada cinta. Cinta bakal memusingkan otakmu dan
membuatmu berpikir bahwa atas itu bawah dan bahwa benar itu salah."
Aku memikirkan pertemuanku dengan Aphrodite, di kursi belakang Cadillac putih di gurun musil lalu. Dia
memberitahuku bahwa dia tertarik padaku, dan dia membuatku sengsara dalam urusan asmara, Cuma
karena dia menyukaiku. "Apa ini bagian dari rencananya?" tanyaku. "Apa dia mendaratkan saya di sini?"
"Mungkin. Sulit menebak tindakannya. Tapi seandainya kau memutuskan untuk meninggalkan tempat
ini"dan aku tidak mengatakan mana yang benar atau salah"maka aku menjanjikanmu jawaban atas
misimu. Aku menjanjikanmu jalan ke Daedalus. Yah, sekarang begini caraya. Cara menjelajahi labirin
tidak ada hubungannya dengan benang Ariadne. Sama sekali. Memang, benang juga bisa berhasil. Itulah
yang akan diincar pasukan Titan. Tapi cara terbaik untuk melalui labirin ... Theseus mendapatkan
bantuan dari sang putri. Dan sang putri adalah manusia fana biasa. Tak ada setetes pun darah dewa
dalam dirinya. Tapi dia cerdas, dan dia bisa melihat, Nak. Dia bisa melihat dengan amat jelas. Jadi, yang
kukatakan"kupikir kau tahu bagaimana caranya menjelajahi labirin."
Akhirnya aku tersadar. Kenapa aku tak melihatnya sebelumnya" Hera benar. Jawabannya ada di sana
selama ini. "Iya," kataku. "Iya, saya tahu."
"Kalau begitu kau harus memutuskan apakah kau akan pergi atau tidak."
"Saya ...." Aku ingin berkata ya. Tentu saja aku akan berkata ya. Tapi kata-kata itu tersangkut di
tenggorokan ku. Aku mendapati diriku memandang ke danau, dan tiba-tiba membayangkan akan pergi
tampaknya sangat berat. "Jangan putuskan dulu." Hephaestus menyarankan. "Tunggu sampai fajar. Fajar waktu yang bagus untuk
memutuskan." "Akankah Daedalus membantu kami?" tanyaku. "Maksud saya, kalau dia memberi Luke cara untuk
menjelajahi Labirin, kami akan tamat. Saya melihat mimpi tentang ... Daedalus membunuh
keponakannya. Dia jadi getir dan marah dan?"
"Tidak mudah menjadi penemu brilian," geram Hephaestus. "Selalu sendirian. Selalu salah dipahami.
Mudah jadi getir, membuat kekeliruan yang buruk. Bekerja dengan orang lebih sulit daripada bekerja
dengan mesin. Dan ketika kau menghancurkan orang, dia tak bisa diperbaiki."
Hephaestus mengelap tetes terakhir Pepsi dari pakaian kerjanya. "Daedalus memulai dengan cukup baik.
Dia menolong Putri Ariadne dan Theseus karena dia kasiha pada mereka. Dia mencoba melakukan
tindakan baik. Dan segala hal dalam hidupnya hancur karena itu. Apa itu adil?" Sang dewa mengangkat
bahu. "Aku tidak tahu apakah Daedalus akan membantumu, Nak, tapi jangan menghaimi seseorang
sampai kau berdiri di penempaannya dan bekerja dengan palunya, oke?"
"Saya"akan saya coba."
Hephaestus bangun. "Selamat tinggak, Nak. Kerjamu bagus, menghancurkan para telekhine. Aku akan
selalu mengingatmu untuk itu."
Kedengarannya final sekali, ucapan selamat tinggal itu. Lalu dia meletus menjadi semburan api, dan api
tersebut bergerak di permukaan air, kembali menuju ke dunia di luar.
Aku berjalan menyusuri pantai selama beberapa jam. Saat aku akhirnya kembali ke padang rumput,
sudah sangat larut, mungkin jam empat atau lima pagi, tapi Calypso masih di tamannya, mengurus
bunga diterangi cahaya bintang.Moonlace-nya berkilau perak, dan tumbuhan-tumbuhan lain merespons
sihirnya, berkilau merah dan kuning serta biru.
"Dia memerintahkanmu untuk kembali," tebak Calypso.
"Yah, bukan memerintahkan. Dia memberiku pilihan."
Matanya bertemu padang dengan mataku. "Aku berjanji aku takkan menawarkan."
"Menawarkan apa?"
"Agar kau tinggal."
"Tinggal," kataku. "Seperti ... selamanya?"
"Kau akan kekal di pulau ini," katanya pelan. "Kau takkan pernah menua atau mati. Kau bisa
menyerahkan pertempuran untuk orang-orang lain, Percy Jackson. Kau bisa melarikan diri dari
ramalanmu." Aku menatapnya terperajat. "Begitu saja?"
The Return 2 Pendekar Gila 12 Pembalasan Dewa Pedang Ratu Tanpa Tapak 2
^