Still 2
Still Sekuel Cewek Karya Esti Kinasih Bagian 2
untuk berdiri. Tidak apa-apa sambil menangis.
Perlahan dia berdiri. Diraihnya ponsel di dasbor, diaktifkannya kembali, lalu ditekannya nama
Rei di daftar kontak. Satu lagu yang sudah akrab di telinga menyertainya menunggu. Begitu Rei mengangkat telepon,
Bima langsung bicara bahkan sebelum Rei sempat membuka mulut.
"Lepasin dia..."
Rei tercengang. Sesaat dia sampai tidak bisa bicara.
"Bisa... diulang?" ucap Rei kemudian dengan sangat hati-hati.
Bima menggertakan gerahamnya kuat-kuat. Perlahan kedua matanya menutup. Dia sepenuhnya
sadar, dirinya benar-benar sedang menuju kekosongan.
"Lepasin. Biarin dia pergi," ucapnya kemudian. Berat dan susah payah.
Di seberang, Rei tertegun. Beberapa detik kesenyapan mendominasi. Rei masih menunggu, tapi
Bima sudah tidak ingin bicara lagi. Akhirnya Rei menghela napas. Berat dan panjang.
"Oke," ucapnya pelan.
*** "Gitu dong! Rambut gondrong, badan gede, anak gunung. Kalo punya tato kan tambah keren."
"Nggak bayar, kan?"
"Boleeeh. Tapi pake tinta printer. Mau lo?"
Bima tertawa. Dilepasnya kancing-kancing kemejanya lalu dilemparnya kemeja itu begitu saja
ke meja di sudut ruangan. Kemudian dia berjalan menuju kursi di sudut yang lain dan
menjatuhkan diri di sana.
"Di mana?" "Dada kiri." "Objeknya?" "Abstrak aja. Terserah elo."
Teman Bima, yang membuka jasa pembuatan tato, mengerutkan kening mendengar kalimat itu.
"Kalo ditanya orang gambar apa?"
"Biar mereka bikin definisi sendiri. Udahlah, cepet. Gue bikin tato bukan untuk diliat orang.
Tolong bikin gambar yang paling rumit."
Bima memejamkan mata saat jarum mulai menusuk-nusuk dada kirinya. Sakit. Namun
sejujurnya, kalau bisa dia ingin merasakan yang jauh lebih sakit dari ini. Jauh lebih sakit! Agar
bisa mengurangi rasa bersalahnya sedikit saja.
Rei dan Rangga tidak banyak berkomentar saat mereka mengetahui dada kiri Bima bertato. Juga
ketika Bima mulai merokok. Keduanya membiarkan. Setidaknya itu bentuk pelarian yang
risikonya cukup minimalis dan hanya menimpa yang bersangkutan. Tidak orang lain.
Kemudian Bima juga menjelma menjadi gentleman sejati. Sopan. Sekarang bersamanya benarbenar aman dan nyaman. Tangannya tidak lagi aktif, dan matanya berhenti melakukan
pelecehan. Hasilnya... Sekarang cowok itu nyaris tidak pernah sendirian. Banyak nama, banyak wajah, datang dan pergi
bergantian. Jeep kanvasnya kini sepadat bus-bus angkutan.
Hanya Rei yang bisa memahami. Untuk satu ruang kosong yang kini tak lagi terisi, mereka yang
datang dan pergi itu bisa sesaat menutupi. Karenanya Rei membiarkan Bima seperti itu. Untuk
sementara biar dia begitu. Karena begitu sendirian, Bima akan kesepian.
TUGASNYA menjaga Fani akhirnya selesai. Tapi Rei justru menemukan dirinya diserang
kepanikan, karena menjaga Fani adalah satu-satunya alasan baginya untuk menghampiri Langen.
Untuk menatapnya, dan bicara padanya. Dan sekarang, satu-satunya alasan itu direnggut dari
tangannya. "Fan, jaga diri baik-baik, ya. Kalo pulang malem sendirian, telepon gue atau Rangga. Nanti kami
jemput. Jangan pulang sendirian."
"Ini pesen buat gue?" tanya Fani. Dia bisa merasakan kegelisahan yang pekat dalam suara Rei.
"Siapa lagi?" Rei melotot dongkol.
"Ooooh..." Fani mengangguk-angguk. "Makasih ya."
"Good luck. Semoga si Ferry itu emang orang yang lo cari selama ini. Oh ya, tolong sampein ke
dia, gue minta maaf udah bikin kacau kemaren-kemaren itu."
"Makasiiih..." Fani tersenyum manis. "Jadi, lo nggak akan ganggu lagi, kan?"
Rei cuma menatap sesaat tanpa menjawab, lalu pergi. Fani memandangi kepergian cowok itu
dengan senyum semakin lebar. Hampir saja dia menjerit girang. Akhirnya GPK satu itu pergi
juga. Namun, momen saat akhirnya Rei mundur dan Fani dibebaskan, bersamaan dengan momen
topeng Ferry terlepaskan. Sepasang mata Rei yang selama ini tidak berhenti mengawasi akhirnya
membuat Ferry lelah dan memunculkan sisi lain dirinya yang selama ini tertutupi.
Setelah break yang memakan waktu lebih dari seminggu, hanya berkomunikasi lewat SMS dan
telepon, Fani kaget mendapati "Prince Charming"-nya sudah tidak charming lagi. Senyum dan
tatap mata Ferry yang begitu melelehkan, juga kata-kata lembutnya yang melenakan, semuanya
hilang. "Ada apa?" tanya Fani hati-hati.
"Mana bodyguard kamu itu?"
"Mmm..." Fani bingung menjawab. Akhirnya dia hanya mengangkat bahu. "Ada apa sih" Kok
mendadak kamu jadi lain begini?"
Ferry tidak langsung menjawab. Hanya diraihnya tangan Fani dan digandengnya menuju tempat
mobilnya diparkir. "Jalan yuk. Di kampus nggak enak, diganggu melulu."
Sedan Ferry kemudian meninggalkan gerbang kampus, menyusuri jalan raya dan berhenti di
depan sebuah hotel. "Ngapain ke sini?" tanya Fani heran.
"Ngapain?" Ferry menoleh. "Kamu pasti lagi pura-pura bego, kan?" Ferry tertawa. "Kasih ke
aku, apa yang kamu kasih ke Bima!"
Fani ternganga. "Jadi selama ini kamu nggak serius?" tanyanya dengan suara mendesis, saking
tidak percayanya dengan perubahan kondisi yang tiba-tiba itu.
"Serius?" Ferry mengangkat kedua alisnya tinggi-tinggi. "Kamu naif apa bego sih" Bekas cewek
Bima cuma pas untuk iseng doang, tau! Gila apa, serius sama cewek rusak?"
Kembali Fani ternganga. "Apa maksud kamu dengan cewek rusak" Aku nggak pernah ngapa-ngapain sama dia!"
"Nggak usah pura-puralah. Semua orang tau kok, reputasi Bima. Semua cewek yang pernah jalan
sama dia, sebelom dan sesudahnya udah pasti beda. Buktinya, kamu juga jalan sama sohibnya,
kan" Rei itu." "Nggak semua!" bentak Fani dengan nada tinggi. "Aku nggak begitu. Dan aku nggak ada
hubungan apa-apa sama Rei!"
"Oh, ya" Gimana caranya supaya aku bisa tau" Buktiin dong, supaya aku yakin kamu emang
belum pernah ngapa-ngapain atau diapa-apain sama Bima atau Rei itu. Ini hotel mahal. Liat,
kan" Aku nggak bawa kamu ke tempat sembarangan."
Fani benar-benar merasa seperti dipukul dengan gada besar. Dengan mata menyipit saking tidak
percayanya, ditatapnya Ferry. Cowok itu juga sedang menatapnya dengan senyum menantang
dan kedua alis terangkat tinggi.
Setelah beberapa saat terperangah, tidak yakin ini memang kejadian nyata, akhirnya Fani
mengangguk. "Oke. Kamu tunggu di sini sebentar. Ada yang mau aku kerjain."
"Sweet. Pasti aku tunggu lah..." Ferry tersenyum lebar.
Masih dengan sepasang mata yang menatap Ferry lurus-lurus, Fani membuka pintu di
sebelahnya lalu turun. Dengan tangis yang sudah sampai di pangkal tenggorokan, dan setengah
mati ditahannya agar tidak pecah keluar, gadis itu berjalan cepat ke arah pos sekuriti, tidak jauh
dari situ. Disambarnya sepatang tongkat yang tergeletak di meja. Petugas sekuriti pemilik
tongkat itu sontak berteriak dan mengejar Fani yang berlari keluar pos sambil membawa
tongkatnya. Namun larinya terhenti saat dilihatnya gadis itu dengan kalap memecahi kaca sebuah
sedan. Si pemilik sedan hanya bisa terperangah setelah sempat melompat keluar dari mobilnya.
Fani menghentikan aksinya setelah seluruh kaca mobil Ferry retak parah dan aksinya itu jadi
perhatian orang. Ditatapnya cowok itu dengan sepasang mata yang menyorotkan kilat
kemarahan. Dia sudah bersiap akan meninggalkan tempat itu saat mendadak disadarinya ada
begitu banyak orang di sekitar.
"APA LIAT-LIAT!" HAH!?" Dibentaknya kerumunan orang yang terdekat. Kemudian Fani
balik badan dan meninggalkan tempat itu. Ketika melewati petugas sekuriti hotel yang masih
terpana, Fani mengembalikan tongkat itu dan mengucapkan terima kasih dengan suara serak.
Di depan hotel, dihentikannya taksi pertama yang lewat. Tangisnya langsung pecah begitu masuk
ke dalamnya dan menutup pintu.
"Ke mana, Dik?" tanya si sopir dengan suara pelan.
"Pulang!" bentak Fani langsung.
"Iya. Pulangnya ke mana?" tanya bapak sopir taksi itu dengan sabar, sambil mengulurkan
sekotak tisu. Fani menerima kotak tisu itu lalu menyebutkan alamat rumahnya sambil terisak. Sepanjang jalan,
gadis itu terus menangis. Kalau saja Rei ada bersamanya saat ini. Atau Bima.
Atau Bima!" Fani tersentak mendengar suara hatinya yang tercetus tiba-tiba itu. Mendadak sesuatu
disadarinya. Berbulan-bulan bersama Bima, dirinya tidak pernah jatuh sampai ke situasi seperti
ini! *** "Gue nggak nyangka!" Langen geleng-geleng kepala. "Asli! Kayaknya dia sayang banget sama
elo." "Itu dia!" Fani membersit hidung lalu menghela napas panjang-panjang. "Omongannya nyakitin
banget. Gue sampe pingin bayar orang buat mukulin dia!"
Febi mendengarkan pembicaraan di jok belakang mobilnya itu sambil menulis SMS. Dia ingin
tahu apa Rei tahu tentang perkembangan terbaru ini, karena selama ini cowok itulah yang
menguntit Fani ke mana-mana.
Jeep Rei muncul tak lama kemudian dan langsung berhenti di sebelah sedan Febi. Cowok itu
melompat turun dan berjalan menuju sisi mobil tempat Fani duduk. Dibukanya pintu.
"Ada apa?" tanyanya langsung. Fani yang kaget dengan kedatangan Rei menjawab tergagap.
"Ng... nggak... nggak ada apa-apa."
Sejenak Rei menatapnya, lalu mengulurkan tangan.
"Ayo ikut gue."
Ditariknya Fani turun dari mobil. Sesaat Rei menatap Langen"yang juga kaget melihat
kedatangannya"lalu menutup pintu dan membawa Fani ke Jeep-nya.
"Mau ke mana?" tanya Fani.
"Udah, ikut aja," jawab Rei pendek.
Rei membawa Jeep-nya meninggalkan kampus menuju pinggiran Jakarta, dan berhenti di tepi
sebuah danau. Cowok itu membuka pintu dan turun.
"Mau es kelapa?"
Fani mengangguk, lalu ikut turun. Ditatapnya danau di depannya. Tidak terlalu luas, tapi
pemandangannya lumayan. Beberapa orang duduk di tepinya dengan alat pancing di tangan. Tak
lama Rei kembali dengan dua gelas es kelapa. Ditaruhnya kedua gelas itu di kap mesin.
"Ada apa?" tanya Rei.
Fani menghela napas, tidak menjawab. Rei lalu berdiri tepat di depannya.
"Cerita... atau lo gue bunuh!" ancamnya, tapi dengan nada lembut.
Fani menunduk, lalu menghela napas lagi. Dengan berat terpaksa ia menceritakan peristiwa itu.
Rei terperangah. "Bangsat tuh orang!" makinya. "Kita balik ke kampus sekarang!"
"Eh! Eh!" Fani buru-buru mencekal satu lengan Rei, yang sudah melangkah menuju pintu mobil.
"Udah deh, nggak usah diperpanjang..."
"Cowok kayak gitu..."
"Udaaah," potong Fani dengan suara letih.
"Udah, nggak usah! Biarin aja deh. Lagian juga gue nggak kenapa-napa."
Rei kembali menghadapkan tubuhnya ke Fani. Ditatapnya cewek itu lurus-lurus.
"Bener, lo nggak apa-apa?"
"Ya apa-apa lah. Cuma kalo ribut juga percuma. Malah tambah malu gue ntar."
Rei menghela napas. Kedua tangannya terulur tanpa sadar, dan merengkuh Fani ke dalam
pelukannya. Diusap-usapnya punggung gadis itu. Tapi tindakannya yang dimaksud untuk
menenangkan itu justru membuat Fani menangis.
"Kenapa sih elo lepas dari Bima, ketemunya cowok kayak gitu?" ucap Rei pelan. "Balik sama
Bima lagi aja, ya?" Seketika Fani melepaskan diri dari pelukan Rei. Dihapusnya air matanya lalu ditatapnya Rei
dengan muka cemberut. "Tragis amat nasib gue. Kayak cowok di seluruh dunia tinggal mereka berdua aja."
Rei tersenyum. "Cuma usul. Ya ampun, gue jadi lupa udah beli es kelapa!"
Rei meraih kedua gelas yang diletakannya di kap mesin. Diberikannya satu pada Fani, lalu
diajaknya cewek itu duduk di pinggir danau.
"Sekarang gue tanya elo, tapi gue minta elo jawab yang jujur. Siapa yang lebih baik, si Ferry itu
atau Bima?" "Brengsek dua-duanya!" jawab Fani langsung.
Rei menoleh sekilas dan tersenyum. "Gue ngomong ini bukan untuk belain Bima, ya Fan. Ini
supaya elo bisa ngeliat masalahnya lebih jelas. Bima emang brengsek. Siapa yang nggak tau"
Tapi dia nggak pake topeng. Semua kebrengsekannya terbuka. Toh cewek-cewek itu datang
juga. Jadi sebenernya yang nyakitin mereka ya diri mereka sendiri. Bima sama sekali nggak bisa
disalahin. Lebih bahaya cowok model Ferry gitu. Cute, sweet, looks like a real gentleman. Tapi
begitu lo lengah sedikit aja..." Rei menggantung kalimatnya. Diteguknya es kelapanya.
"Ya, mungkin cewek-cewek itu berpikir mereka bisa mengubah Bima," komentar Fani.
"Itu dia. Kayaknya semua cewek waktu kecil pernah baca atau nonton Beauty and the Beast. Itu
film bener-bener racun."
"Kenapa sih lo nggak ngelarang Bima?"
"Ngelarang untuk apa?"
"Ya jangan sampe kayak gitu banget lah. Gue tau story-nya cewek-cewek yang putus dari dia.
Kasian banget, tau."
Rei menyeringai geli. "Tau apa sih lo" Cewek!"
Fani melirik Rei dengan pandang dingin.
"Gue tahu. Makanya gue selamet. Cowok!"
Rei tertawa. "Good!" Diacungkannya satu ibu jarinya. "Tapi lo ketipu sama Ferry, kan" Kalo elo nggak gue
tempel terus-terusan kayak kemaren itu, lo akan berakhir kayak mantan-mantannya Bima itu."
Fani terpaksa harus mengakui kebenaran kata-kata itu.
"Semua tau macan itu liar, buas, dan selamanya nggak akan pernah berubah jadi kucing. Tapi
kenapa banyak orang yang tetap nekat" Foto bareng-bareng, bahkan dipiara. Karena keren.
Karena cakep. Jadi kalo suatu saat mereka digigit atau diterkam, ya jangan berlagak seolah-olah
udah jadi korban dong. Itu risiko yang harus mereka tanggung. Bukan salah macannya."
Rei berhenti sejenak. Meneguk sisa es kelapanya.
"Kemudian Rei melanjutkan, "Anjing juga gigit. Tapi karena mereka binatang piaraan, lucu,
manis, nurut, jadi nggak pernah dianggap berbahaya. Baru setelah digigit...." Ditatapnya Fani
dengan kedua alis terangkat.
Fani menghela napas. "Iya tuh, si Ferry emang dog!"
Rei tertawa keras. "Maki aja. 'Anjing!' gitu. Kenapa mesti sopan?"
"Nggak ah. Sayang mulut gue." Fani meringis. Tapi sesaat kemudian mukanya mengeruh.
"Jangan cerita-cerita sama Bima, ya?" pintanya pelan.
"Malu, ya?" Rei tersenyum menggodanya. Tapi begitu dilihatnya wajah Fani jadi merah, cowok
itu cepat-cepat meneruskan. "Oke. Oke. Nggak. Sori." Ditepuk-tepuknya bahu Fani.
"Bener, ya?" "Iya!" Rei mengangguk. "Gue salut sama elo, Fan. Lo cewek pertama yang minta putus dari
Bima. Cewek pertama, yang begitu dilepas, reaksinya kayak kuda yang baru dilepas dari
kandang. Seneng yang bener-bener seneng. Lo juga cewek pertama yang pergi dari Bima tanpa
sakit hati..." Rei tertawa pelan dan menggeleng-gelengkan kepala. "Balik yuk. Udah sore banget
nih." "Makasih banget ya, Rei," ucap Fani tulus.
"Oke. Tapi tolong pikirin juga omongan gue tadi."
Fani mengangguk. Keduanya berdiri. Rei mengembalikan kedua gelas es kelapa itu lalu
menyusul Fani yang sudah menunggunya di Jeep. Sesaat sebelum memutar kunci, Rei menoleh
dan menatap Fani sungguh-sungguh.
"Maafin Bima, ya Fan."
"Lo juga. Maafin Langen, ya?"
Sesaat tubuh Rei menegang. Tapi kemudian kembali normal. Diputarnya kunci. Jeep itu
kemudian meninggalkan tepian danau yang mulai meremang.
*** Rei mengantar Fani sampai ke rumah. Ternyata, Langen dan Febi ada di sana, menunggu dengan
cemas. Keduanya tidak enak mau mengontak ke ponsel dan terlihat lega saat melihat kondisi
Fani yang jauh lebih baik.
Rei langsung pamit. Sebelum pergi, dihampirinya Langen.
"Sahabat macam apa kamu" Nggak bisa jaga Fani. Untung nggak ada kejadian fatal!" tegurnya
marah. Ditikamnya Langen dengan tatapan tajam, sebelum kemudian melangkah menuju Jeepnya dan pergi.
Langen ternganga. "Kenapa dia marah sama gue sih" Kan dia yang terus ngintilin Fani ke mana-mana. Dia dong
yang harusnya tau. Bukan gue."
Febi mengangguk, menyembunyikan senyumnya.
"Gue balik ya, La. Lo nginep, kan?"
"He-eh." Langen mengangguk.
"Fan, balik!" Febi berseru dan melambaikan tangan pada Fani yang terduduk lesu di teras. Fani
membalas lambaian itu dan menyerukan terima kasih.
Di jalan, tak diduga Febi bertemu Rei. Cowok itu baru saja keluar dari sebuah minimarket sambil
menenteng satu krat Coca-Cola. Febi segera meminta sopirnya menghentikan kendaraan.
Kemudian ia langsung menghampiri Rei. Betapa terkejutnya Rei melihat Febi tiba-tiba ada di
belakangnya. Dan lebih terkejut lagi saat mendengar kata-kata yang diucapkan gadis itu sambil
menahan senyum. Kata-kata yang menusuknya telak.
"Lo kangen, tapi marah. Lo marah, tapi kangen."
Rei terkesima. Febi langsung balik badan dan berjalan ke mobilnya.
Still Sekuel Cewek Karya Esti Kinasih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Feb, sebentar!" seru Rei.
Febi tidak mengacuhkan seruan itu dan meminta sopirnya untuk cepat pergi. Rei menatap sedan
yang menjauh itu. "Sialan!" desisnya.
FIRST cut is the deepest.
Dari mana pun cinta itu datang, dari arah yang salah atau benar, torehan pertamanya selalu jadi
yang paling menyakitkan. Mungkin karena kita membuka seluruh hati. Mungkin juga karena dia
membutakan, hingga tanpa sadar kita melepaskan semua pertahanan diri dan membayangkan
versi terindah semua fairytale yang pernah kita baca dan dengar.
Fani menghela napas. Terduduk lesu di dalam mobil. Sendirian. Akhir-akhir ini, entah kenapa
dia ingin sekali sendirian. Tidak ditemani siapa pun, hanya ingin sendirian. Meskipun dengan
begitu dia jadi kesepian. Sepi yang benar-benar terasa sunyi dan kosong.
Sekali lagi dihelanya napas, lalu diambilnya ponsel dari dalam tas. Ada empat SMS masuk.
Dari Langen: Ntar mlm gw nginep.
Dari Febi: Ntar mlm gw telp.
Dari Rei: Ati2 di jln. Jgn nyetir smbl nglamun.
SMS dari Rangga bunyinya hampir sama dengan Rei.
Fani tersenyum. Empat teman terbaiknya. Yang benar-benar mau mengerti kondisinya saat ini.
Juga mamanya. Yang tanpa banyak bertanya, menyerahkan kunci mobil saat dia katakan butuh
kendaraan pribadi untuk sementara ini.
Tidak ada SMS dari Bima. Tentu saja tidak akan ada. Tidak ada alasan cowok itu untuk
mengiriminya SMS. Fani sudah meminta keempat temannya agar jangan cerita. Jadi Bima tidak
tahu soal hubungannya dengan Ferry, yang bahkan langsung berakhir begitu dimulai.
Fani menghela napas. Akhir-akhir ini dia sering memikirkan semua omongan Rei di tepi danau
waktu itu. Yang kalau mau diakui dengan jujur, sebenarnya iya juga. Tapi sudahlah. Meskipun
dipikirkan bahkan diakui, dia tidak melihat itu ada gunanya saat ini.
Kembali Fani menghela napas. Berat. Lelah. Diletakkannya ponsel di dasbor. Kemudian ia
memutar kunci kontak dan menelusuri jalan raya dengan kecepatan sedang. Tapi keheningan di
dalam mobil kembali membuat rasa sepi itu datang. Dan mendadak kesepian itu berubah menjadi
kesedihan. Kesedihan yang terasa berat dan menekan. Kabar Ferry, yang babak belur dihajar Rei
dan Rangga sampai tidak berani muncul di kampus, ternyata tidak cukup melegakan.
Tiba-tiba air mata Fani turun!
Fani terperangah. Cepat dia hapus air mata itu dan dengan panik meraih kacamata hitam dari laci
dasbor. "Kenapa sih gue?" keluhnya. Suaranya sekarang jadi serak.
Tiba-tiba saja dia sangat ingin menangis. Meskipun sudah ditahannya mati-matian, air mata itu
tetap turun. Tidak bisa dicegah. Yang bisa dilakukannya hanya cepat-cepat menghapusnya begitu
mengalir. Tak lama ponselnya berbunyi. Ada SMS masuk. Dengan satu tangan Fani meraih ponselnya dari
dasbor. Ada satu SMS baru. Dan itu membuatnya tersentak seketika. Dari Bima!
Jgn nyetir smbl nangis. BAHAYA! Ada apa"
Tapi SMS Bima itu malah nyaris menyebabkan tabrakan beruntun. Begitu membacanya, Fani
tanpa sadar menginjak rem kuat-kuat. Mobilnya berhenti mendadak. Mobil di belakangnya sudah
pasti ikut berhenti mendadak setelah nyaris saja menyundulnya. Pengemudinya langsung
menekan klakson kuat-kuat. Beberapa motor yang berada di dekatnya juga ikut berhenti
mendadak, dan segera terlontar makian serta sumpah serapah.
"Bisa bawa mobil nggak sih!" Bego!"
"Baru belajar nyetir, ya?"
Fani buru-buru menurunkan kaca dan meminta maaf. Para pengemudi motor di dekatnya sudah
ingin memaki lagi, tapi batal begitu tahu gadis itu habis menangis. Kacamata hitam Fani hanya
bisa menyembunyikan kedua matanya, tapi tidak hidungnya yang memerah.
"Maaf, Mas, Mbak... Maaf. Maaf."
"Maaf ya, Mas. Maaf, Mbak." Satu suara berat ikut meminta maaf.
Fani menoleh dan terpana. Bima berdiri di depan mobilnya, entah muncul dari mana. Cowok itu
lalu menghampirinya dengan langkah cepat.
"Kamu geser," perintahnya dengan nada halus. Karena masih terpana, Fani menuruti perintah itu.
Sambil membuka pintu mobil, sekali lagi Bima meminta maaf pada orang-orang di sekitarnya.
Terutama pengemudi mobil di belakang mobil Fani.
Baru setelah mereka tinggalkan tempat itu, Bima menoleh dan menatap Fani sesaat.
"Kenapa nangis?"
Fani tidak menjawab. "Si Ferry itu, ya?"
Fani tersentak tapi tetap bungkam. Bima menghela napas diam-diam.
"Nggak apa-apa kalo nggak mau cerita," ucapnya dengan suara yang dipaksa tetap tenang.
"Kamu mau ke mana?"
Baru Fani membuka mulut. "Pulang," jawabnya lirih.
Bima mengangguk. "Aku anter ya. Kamu kayaknya lagi kacau."
Jarah jauh yang terasa pendek. Tempat terdekat yang terasa jauh. Sunyi yang menyimpan
gemuruh. Tenang yang menutup riak.
Drama mengenaskan itu akhirnya menelan habis kebersamaan yang singkat itu. Dua-duanya
menyesali habisnya waktu. Tapi tetap tidak ada yang berani untuk memulai.
Kenyataan bahwa gadis di sebelahnya pernah berulang kali dan berusaha keras untuk bisa pergi
darinya, membuat Bima kehilangan nyaris seluruh keberaniannya.
Kenyataan bahwa begitu banyak orang yang hancur karena tindakannya, membuat Bima jadi
berpikir, mungkin ini hukuman untuknya. Ia cuma bisa berharap. Dan definisi berharap itu
ternyata adalah... pasrah dan tidak berdaya.
Dalam hati cowok itu tertawa. Sumbang. Pahit. Benar-benar tidak menyangka dirinya akan jatuh
sampai ke level ini. Kebersamaan itu berakhir. Mobil sudah berhenti di depan pagar rumah Fani. Ijah yang muncul di
depan garasi tidak jadi membuka pintu garasi begitu dilihatnya non majikannya tidak sendirian
seperti waktu berangkat tadi. Dia berjingkat mundur dan menghilang ke dalam.
Bima menatap gadis di sebelahnya yang sesekali masih mengusap pipi.
"Bisa kan masukin ke garasi?" tanyanya. Fani mengangguk.
Bima turun dan berjalan ke arah pagar. Dibukanya kedua pintu pagar yang menuju garasi lebarlebar. Kemudian dia kembali ke sisi mobil dan membungkukkan badan.
"Lain kali jangan nyetir sambil nangis lagi. Bahaya."
"Kok kamu bisa tau aku lagi nangis" Tadi ada di mana?"
Bima tersenyum tipis. "Feeling!" jawabnya pendek. Lalu berdiri dan berjalan menjauh.
Selama berdiri di tepi jalan, menunggu taksi kosong, sesekali Bima menoleh dan menatap Fani.
Kali ini Fani pasrah pada keinginan hatinya untuk juga balas menatap, sampai akhirnya sebuah
taksi kosong berhenti dan Bima menoleh untuk yang terakhir kali. Cowok itu menatapnya
dengan sorot lurus dan tajam, kemudian menghilang ke dalam taksi.
Begitu taksi itu sudah hilang, Fani menarik napas panjang. Rasa sepi itu kembali datang. Rasa
yang baru belakangan ini dia kenal. Rasa sepi yang sunyi dan benar-benar kosong. Fani
mendesah. Dilepasnya kacamata hitamnya, lalu ditundukkannya kepala di atas dasbor.
Berbantalkan kedua lengan.
"Kenapa sih gue?" keluhnya pelan.
Di dalam taksi, Bima merasa tak tenang. Sebentar-sebentar kepalanya menoleh ke belakang,
meskipun tahu mobil Fani sudah tidak mungkin terlihat. Akhirnya dia putuskan untuk kembali.
Ditepuknya bahu si sopir taksi pelan.
"Tolong balik ke tempat tadi, Pak."
Meskipun heran, sopir taksi itu menurut tanpa bertanya. Diputarnya kendaraannya dan taksi itu
kemudian meluncur kembali ke arah semula. Menjelang sampai di tikungan menuju rumah Fani,
Bima minta berhenti. Dia turun dan berjalan menuju tikungan jalan itu. Ia melihat mobil Fani
masih terparkir di pinggir jalan. Di tempat semula. Bima berdiri sejenak, lalu berjalan
menghampiri taksi. "Maaf, Pak. Nggak jadi. Maaf," ucapnya sambil mengeluarkan selembar uang. Kemudian Bima
bergegas pergi tanpa meminta kembalian. Dengan langkah-langkah cepat dihampirinya mobil
Fani. Dilihatnya kepala gadis itu tertelungkup di atas dasbor.
Fani yang tidak menyadari kemunculan Bima, tetap sibuk memikirkan apa yang sebenarnya
sedang terjadi pada dirinya. Ia membiarkan air matanya turun dan menetes satu-satu. Jatuh di
atas celana jins birunya.
Dengan terkejut diangkatnya kepala saat terdengar pintu pengemudi terbuka. Bima sedang
membungkuk dan menatapnya. Cowok itu kemudian masuk dan duduk di sebelahnya.
"Ada apa?" tanyanya dengan suara berat kekuatiran. Sama seperti kedua mata hitamnya.
Fani menegakkan tubuh. Cepat-cepat dihapusnya air matanya, lalu dia menggeleng.
"Pingin nangis aja."
Seketika kedua alis tebal Bima menyatu rapat. Sejenak ditatapnya Fani dengan kedua mata
menyipit. Kemudian cowok itu keluar dan membiarkan pintu mobil terbuka. Ia berjalan ke arah
pintu pagar yang tadi dibukanya lebar-lebar. Ditutupnya kembali pagar itu. Dia kembali ke mobil
dan langsung memutar kunci.
"Jalan-jalan sebentar yuk" Kayaknya kamu butuh refreshing."
Mobil meninggalkan tempat itu. Sama sekali tidak terjadi pembicaraan selama di perjalanan.
Keduanya sama-sama diam. Jengah dengan rasa aneh yang datang. Rasa yang membingungkan.
Rasa asing, tapi juga tidak. Rasa dekat, tapi juga jauh. Sampai kemudian mobil memasuki jalan
aspal bergelombang. Memasuki hutan pinus di satu kaki gunung, dan berhenti di tepi lereng yang
di bawahnya mengalir sebuah sungai.
Bima turun dan membiarkan pintu terbuka. Hawa gunung yang dingin langsung menusuk kulit.
Cowok itu duduk bersila di atas rumput, di bibir lereng. Menikmati suara air yang mengalir.
Menikmati suara serangga-serangga hutan dan bau pinus. Tak lama Fani mengikutinya.
Keduanya duduk berdampingan. Tetap diam. Sampai kemudian Bima menoleh dan mengulangi
pertanyaannya. "Ada apa?" Fani menggeleng. "Bingung."
Bima mengembalikan tatapannya ke kejauhan dan tidak mencoba bertanya lagi.
Kembali hening untuk waktu yang cukup lama. Bima meraba saku kemejanya dan merutuk
dalam hati karena lupa membawa rokoknya. Tertinggal di dasbor mobil Andreas. Kaget begitu
menyadari siapa yang sedang menyetir sambil menangis di mobil belakang, Bima langsung
mencari kepastian dengan mengirim satu SMS. Ketika kepastian itu diperolehnya, seketika itu
juga Bima meminta Andreas untuk menepikan mobil. Tak lama kemudian Bima mendapati
dirinya langsung turun begitu saja, meninggalkan ransel dan semua diktat kuliahnya di mobil
Andreas. Bima merogoh salah satu kantong celana jinsnya dan mengeluarkan sebutir permen karamel.
"Kembalian fotokopi," katanya, menjelaskan alasan kenapa dia cuma punya satu butir permen.
"Nggak apa-apa kan sharing?"
"Ng... nggak deh." Fani menggeleng. Gelengan ragu. Bima jadi tersenyum tipis.
"Nggak deh apa" Nggak deh nggak apa-apa sharing" Atau nggak deh nggak mau?"
Fani tersenyum jengah dan mengulurkan tangan kanannya.
"Minta." Bima jadi tersenyum geli. Digigitnya permen karamel itu sampai pecah menjadi dua, kemudian
dia buka bungkusnya. Dijatuhkannya separuh permen itu ke telapak tangan Fani, dan separuhnya
lagi ke telapak tangannya sendiri. Keduanya lalu mengulum potongan permen itu dalam diam.
Tiba-tiba Bima mengulurkan tangan kirinya dan meraih Fani ke dalam pelukannya. Erat,
meskipun hanya sesaat. Lalu diciumnya kening gadis itu.
Fani terperangah. Bima menatapnya dengan senyum yang bisa dibilang sedih.
"Sori. Dada gue sakit," bisik Fani.
Bima melepaskan pelukannya lalu bangkit berdiri. "Ayo pulang. Udaranya udah semakin
dingin." Fani tidak bereaksi. Masih terkesima dengan pelukan tadi. Cuma sesaat, tapi bisa dia rasakan
pelukan itu dilakukan Bima dengan seluruh perasaan. Dan pelukan itu terasa berbeda. Bukan
seperti pelukan dulu yang sering dia rasakan saat mereka masih bersama.
Bima mengulurkan tangannya.
"Ayo pulang. Kamu udah kedinginan. Udah mulai pilek tuh. Badan kamu juga udah menggigil.
Kita nggak bawa jaket. Kamu dipeluk pasti nggak mau, kan?"
Muka Fani langsung merah. Diterimanya uluran tangan itu. Bima menariknya sampai berdiri,
dan langsung melepaskan genggamannya. Mereka berjalan menuju mobil dalam diam. Sebelum
memutar kunci, Bima menatap Fani. Ada kesedihan di kedua mata dan suaranya ketika
kemudian dia bicara. "Lupain aja pelukan tadi. Sori, aku nggak bisa nahan diri."
Fani mengangguk, tapi dalam hati dia mengeluh pelan. Jadi ikut sedih.
SEJAK itu segalanya jadi semakin sesak. Semakin rumit dan tidak terjelaskan. Keduanya kacau.
Bima. Fani. Namun keduanya juga bungkam. Tidak tahu harus bagaimana menghadapi hati-hati
masing. Tidak tahu harus ke mana mencari jawaban. Apakah masih ada kesempatan, atau
sudahlah, lupakan. *** Ada satu ruang yang kadang kala kosong. Tempat Bima berlari saat hatinya tidak lagi mau diam.
Satu tempat di mana dia bisa berharap dapat melihat kembali apa yang sekarang telah menjadi
kenangan. Auditorium gedung rektorat, di lantai tiga. Halaman depan gedung itu luas, dan tidak hanya
menjadi area parkir untuk kendaraan rektor, para dekan, maupun dosen, tapi juga mahasiswamahasiswa fakultas ekonomi.
Gedung fakultas ekonomi hanya berjarak kurang dari 300 meter di belakang gedung rektorat, dan
satu-satunya fakultas yang tidak mempunyai tempat parkir sendiri.
*** Ada satu ruang yang kadang kala kosong. Tempat Fani berlari saat hatinya tidak lagi mau diam.
Satu tempat di mana dia bisa berharap dapat melihat kembali apa yang sekarang telah menjadi
kenangan. Auditorium gedung rektorat, di lantai tiga. Jalan utama kampus berada di sisi kiri gedung itu.
Kalau Bima tidak melalui gerbang belakang kampus, dipastikan cowok itu akan lewat jalan itu.
*** Disebut apa keadaan ini" Saat seluruh keberanian benar-benar menguap. Hingga hal-hal paling
kecil dan remeh pun terasa membahagiakan dan disyukuri.
Bisa melihat dia dari jauh pun sudah senang. Melihat mobilnya lewat, meskipun cuma sekian
detik, juga sudah membahagiakan. Mendengar suaranya, meskipun jauh dan samar, sudah sangat
melegakan. Semuanya sanggup memupus sedikit rasa kangen dan melambungkan sedikit harapan, manakala
objek pencarian itu masih sendirian atau bersama banyak orang tapi bisa dipastikan masih
sendirian. *** Takdir kadang lucu. Ruang yang sama. Sudut yang sama. Yang satu menjadi objek pencarian
bagi yang lain. Yang lain adalah objek keinginan bagi yang satu. Saling mencari. Saling berharap
bisa mendapatkan penawar. Untuk rasa sakit, kangen, juga harapan.
Dan takdir mengatur mereka untuk tidak saling bertemu. Agar selalu berselisih waktu. Sampai
suatu ketika, takdir memutuskan untuk mempertemukan mereka.
Suatu sore, di akhir jadwal kuliah Fani, di ruang auditorium rektorat yang saat itu kosong, Bima
berdiri di dekat jendela paling kanan. Di tempatnya biasa mengintai. Tapi sepertinya sore ini
akan jadi kelam. Baik Kijang Langen, sedan Fani, maupun jemputan Febi, sama sekali tidak
kelihatan. Tapi diputuskannya untuk menunggu.
Dengan sabar Bima tetap berdiri di tempatnya. Dengan sabar sepasang matanya terus mencari,
tapi hatinya berharap dalam detak ketidaksabaran. Sampai tiba-tiba didengarnya seseorang
berlari menuju pintu dan tak lama di dengarnya hendel pintu ditarik dari luar.
Secepat kilat cowok itu berlari ke balik mimbar dan menyembunyikan diri di sana. Sedetik
kemudian didengarnya pintu terbuka. Orang itu melangkah masuk, lalu menutup pintu. Bima
mendengar suara kursi diseret menuju dekat barisan jendela. Lalu hening. Tidak lagi terdengar
sedikit pun suara. Bima menarik napas panjang diam-diam. Jengkel dengan kedatangan
pengganggu ini yang telah membuatnya, bukan saja kehilangan kesempatan untuk bisa melihat
Fani, tapi juga terjebak di dalam ruangan ini. Tanpa bisa pergi.
*** Akhirnya kuliah hari ini berakhir. Fani menarik napas lega dan buru-buru membereskan diktatdiktatnya. Langen tersenyum tipis menyaksikan itu.
"Good luck ya. Mudah-mudahan lo hepi."
Fani meringis malu. "Malu-maluin ya, La" Lo jangan bilang siapa-siapa, ya" Makin lama gue
pikirin, omongan Rei bener juga."
"Nggak lah. Nggak malu-maluin maksud gue. Wajar kok. Lagian Bima sekarang jadi beda. Kata
Febi lho. Oke deh. Gue duluan ya. Sekali lagi, good luck." Langen memeluk sahabatnya itu.
"Lo pulangnya gimana" Hari ini Febi nggak masuk," tanya Fani sambil membalas pelukan itu.
"Nebeng Dhila sampe terminal. Daaah!"
"Daaah! Ati-ati ya...!"
Keduanya berpisah. Langen bukannya tidak mau menemani. Bima bukanlah objek untuk
dinikmati bersama-sama. Rasa untuk cowok itu hanya milik Fani sendiri. Jadi biarkan dia
menikmatinya sendiri juga.
Fani langsung berlari ke gedung rektorat. Ke ruang auditoriumnya. Selalu, rasa gelisah yang
mencekam langsung menyambut begitu dia sampai di ruangan itu. Seperti biasa, ditariknya
sebuah kursi ke dinding dekat jendela paling kanan, tempat dia biasa mengintai. Yang dia tidak
tahu, tempat itu baru saja ditinggalkan seseorang. Fani butuh kursi, karena Jeep kanvas itu
muncul di waktu yang tidak tentu. Bisa setengah jam lagi, atau satu jam, bahkan bisa dua jam
kemudian. Kadang malah tidak muncul sama sekali. Tapi Fani tidak peduli. Dia punya banyak
waktu. Salah! Waktunya justru mulai habis. Dia sudah tahu tentang itu. Tentang Jeep Bima yang selalu
penuh penumpang. Tentang cewek-cewek yang mengelilinginya. Tinggal menunggu waktu saja,
salah satu dari cewek-cewek itu akan menjadi penumpang tetap Jeep kanvasnya. Menyingkirkan
yang lainnya, sekaligus menyingkirkan dirinya dari ruangan ini. Memaksanya berhenti
mengintai. Dan berhenti mencari.
Mendadak Fani jadi sedih.
"Kenapa juga gue mesti mikirin kayak tadi?" keluhnya lirih. Tetapi otak, apalagi hatinya,
menolak berhenti. Karena hal itu memang akan terjadi. Jadi anggap saja sebagai latihan untuk
mempersiapkan diri. "Aduh!" keluhnya lagi. Belum-belum sudah mulai patah hati. Ia jadi semakin sedih lagi.
Matanya mulai merebak. Perlahan, air mata itu mengalir turun.
*** Lima belas menit sudah terlewat. Bima mulai tidak sabar. Lebih baik pergi, karena sorenya
sudah berantakan. Syukur-syukur dia bisa nyelinap keluar. Apa pun tujuan orang itu, ruang ini
Still Sekuel Cewek Karya Esti Kinasih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bukan miliknya. Jadi dia tidak berhak marah.
Bima keluar dari persembunyiannya dan tertegun seketika. Fani sedang duduk
membelakanginya, di sisi jendela di ujung kanan. Tempat yang juga jadi tempatnya. Gadis itu
sedang menangis tanpa suara. Perlahan, Bima mengeluarkan ponselnya dari saku celana. Ia
menulis satu SMS singkat dan segera mengirimkannya.
Tak lama terdengar suara ringtone. Fani membersit hidung lalu membuka tas dan mencari
ponselnya. Ada satu SMS masuk. Dari Bima!
Cewek itu sontak ternganga. Tidak percaya. Dengan jantung berdegup keras, dibukanya SMS itu.
Isinya sangat singkat. Knp nangis" Kembali Fani tersentak. Kali ini benar-benar kaget. Seketika dia melompat berdiri. Jeep kanvas
itu sama sekali tidak terlihat, tapi Fani yakin Bima pasti ada di luar sana. Dan cowok itu bisa
melihatnya! Fani bergerak mundur menjauhi jendela. Dadanya berdegup semakin kencang. Bima melihatnya
menangis!Lebih baik cepat-cepat pergi sebelum Bima datang ke sini dan bertanya langsung. Saat
ini dirinya tidak punya jawaban yang tepat untuk pertanyaan itu.
Fani balik badan dan langsung membeku. Bima berdiri menjulang di depannya. Cowok itu
langsung bertanya. Persisi seperti bunyi SMS-nya.
"Kenapa nangis?"
Fani tergeragap. Tidak mungkin menjawab pertanyaan itu apa adanya.
"Mmm... ini..." Dia terdiam.
"Ada apa?" ulang Bima. Sepasang mata hitamnya menatap khawatir.
"Nggak ada apa-apa. Bener!" Fani menggeleng kuat-kuat.
"Nggak ada apa-apa, kenapa nangis?"
Fani sudah akan menghapus air matanya, tapi Bima menahan geraknya.
"Ada apa?" suara Bima melembut.
Fani menghela napas dan menundukkan kepala.
"Itu, Matematika-ku dapet D," jawabnya pelan. Dia tidak sepenuhnya berbohong. Nilai
Matematika-nya jeblok dan keharusan mengulang mata kuliah memuakkan itu memang jadi
beban pikiran. Sesaat kening Bima jadi mengerut, kemudian dia tersenyum geli.
"Banyak yang pernah dapet D, apalagi Matematika. Tapi belom pernah ada yang aku liat sampai
depresi kayak kamu begini. Bener cuma itu?"
"Iya." Fani mengangguk cepat.
"Oke." Bima mengangguk-angguk. Kemudian dia menghampiri jendela. "Lagi liat apa?"
Kembali Fani jadi tergeragap. Tapi kemudian dia memutuskan menyerang balik. "Kamu ngapain
di sini?" Pertanyaan Fani membuat Bima jadi tersenyum lebar, hampir tertawa.
"Oke, sori. Harusnya aku nggak tanya."
Cowok itu lalu berdiri di depan jendela paling kanan itu. Menatap area parkir. Dia tahu apa yang
sedang dicari Fani. Cowok bernama Ferry itu. Yang terkadang memarkir sedannya di bawah
sana. Berarti hubungan mereka masih belum jelas. Namun itu bukan urusannya.
Langkahnya sudah surut sejak lama. Ingin sekali ia mengakui bahwa... ya, dia mencintai gadis
yang saat ini bersamanya. Tapi itu tidak ada gunanya kalau sepasang mata itu tidak lagi menatap
ke arah dirinya. Hanya akan sia-sia. Tidak ada cermin yang bisa memantulkan kata "ya" itu.
Tidak ada gema yang bisa menciptakan perulangan , agar tetap ada harapan meskipun dua, tiga,
atau seratus "ya" sebelumnya tidak terdengar.
Diam-diam Bima menarik napas panjang. Menekan ra
sa sakitnya sampai ke tempat terdalam.
Sementara Fani, setelah sempat ragu-ragu, akhirnya memutuskan untuk menghampiri Bima dan
berdiri di sebelahnya. Mungkin ini terakhir kalinya mereka ada di satu tempat bersama-sama,
hanya berdua. Saat berdiri di sebelah kanan Bima itulah, lewat celah kemeja Bima yang dua kancing teratasnya
terbuka, Fani bisa melihat ada tato disana. Di dada kiri Bima. Seperti apa yang pernah dikatakan
Langen, Febi, juga cewek-cewek histeris itu.
"Kamu punya tato sekarang?" tanya Fani hati-hati.
"Baru tau?" tanya Bima tanpa menoleh.
"Iya. Temporer?"
"Permanen." "Gambar apa?" Bima menoleh dan sesaat ditatapnya Fani. Cowok itu lalu membuka seluruh kancing kemejanya
dan menyingkap dada kirinya. Dihadapkannya tubuhnya ke Fani.
"Gambar apa kira-kira?"
Fani menyipitkan kedua matanya. Ditatapnya tato Bima dengan saksama. Kepalanya sampai
miring ke kiri lalu ke kanan, lalu ke kiri lagi. Tapi tetap dia tidak tahu gambar apa itu. Akhirnya
dia geleng kepala. "Nggak tau. Nggak jelas. Gambar apa sih?"
Bima tersenyum tipis. "Bukan gambar apa-apa. Aku nggak perlu gambarnya. Aku perlu sakitnya!"
Seketika Fani terpana. "Kenapa?" tanyanya hati-hati.
Bima tidak menjawab pertanyaan itu. Dia justru mengajukan pertanyaan balik.
"Boleh aku minta anting kamu yang sebelah kiri?"
Fani terpana lagi. Baru dia sadari, ada lubang bekas tindikan di telinga kiri Bima. Perlahan gadis
itu mengangguk. Dilepasnya anting kirinya lalu diserahkannya pada Bima.
"Thanks," ucap Bima pelan. "Segi tiga?" tanyanya kemudian.
"Piramid." Fani tersenyum. Tidak ingin mengatakan yang sebenarnya bahwa itu simbol gunung.
Tempat yang paling dicintai Bima.
"Oh..." Cowok itu mengangguk. "Thanks," ucapnya sekali lagi. Dimasukkannya anting itu ke
dalam saku celana jinsnya. Kemudian ia mengeluarkan sekotak rokok dari saku kemeja dan
menarik sebatang. Disulutnya rokok itu. Kembali Fani ternganga.
"Kamu ngerokok sekarang?" tanyanya pelan.
"Baru tau lagi?" Bima mengangkat kedua alisnya. "Kamu kayaknya yang paling ketinggalan
berita, ya?" Dia menggeleng-gelengkan kepala.
"Kenapa?" Sejenak Bima menarik napas panjang. Dia menoleh dan menatap Fani tepat di manik mata.
"Kenapa" Karena ini yang paling aman. Karena kalo aku pilih minum, itu bisa bikin aku kalap
dan nongol di rumah kamu. Dan kalo udah begitu, belom tentu kamu bisa selamet. Meskipun di
rumah sendiri dan ada orangtua kamu di sana!"
Seketika Fani memucat. Bima jadi tertawa melihat muka pucat dan tegang itu. Tawa yang tidak
pasti maknanya. Bisa sakit, bisa juga kecewa. Atau sedih.
"Takut, kan" Makanya aku pilih ngerokok. Karena merokok tidak menghilangkan kesadaran!"
Cowok itu menghisap rokoknya dengan tarikan panjang dan menghembuskan asapnya kuat-kuat.
Dengan rokok masih terselip di bibir, dikancingkannya kembali kemejanya.
"Aku duluan ya," katanya kemudian.
Fani tersentak. Seketika jadi nelangsa dan putus asa karena kebersamaan itu akhirnya berakhir
juga. Tapi ia tahu, ia tidak mungkin mencegah. Fani mengangguk. "Daaah...," ucapnya,
tersenyum kikuk. Bima balas tersenyum lalu balik badan dan melangkah menuju pintu. Tapi mendadak dia
berhenti, balik badan dan kembali menghampiri Fani.
"Bener kamu mau tau kenapa aku nyakitin diri?" tanyanya pelan. Ekspresi wajahnya sekarang
begitu serius. Fani tidak langsung menjawab. Dia masih kaget karena Bima tiba-tiba kembali.
"Ke... napa?" tanyanya kemudian dengan gagap.
Ganti Bima yang tidak langsung ingin menjawab. Dia maju selangkah dan menatap Fani luruslurus. Fani bisa menangkap ada kesedihan yang samar di kedua bola mata hitam itu.
"Aku cari segala macam bentuk pelarian... supaya kamu nggak jadi sasaran!"Fani terperangah.
"Ngerti sekarang?" lanjut Bima. Suaranya semakin pelan, namun tetap tegas. "A...," kalimatnya
terpenggal. Raut mukanya terlihat tegang. Kemudian ditariknya napas panjang. Dia benci situasi
ini. "Aku cinta kamu. Sekarang. Mudah-mudahan sampai nanti."
Fani terperangah lagi. Kali ini amat sangat. Bima mengulurkan tangan kirinya. Sesaat dibelainya
pipi kanan Fani. Kemudian dia balik badan dan melangkah keluar. Kali ini dia tidak lagi
kembali. *** Aku cinta kamu. Sekarang. Mudah-mudahan sampai nanti.
Ungkapan yang sederhana. Tapi jujur. Tanpa janji. Tanpa sodoran mimpi. Tapi itulah yang
sesungguhnya. Karena cinta yang tidak berubah sampai mati, timeless dan happily ever after,
cuma milik Cinderella dan sang pangeran. Cuma dipunyai si Sleeping Beauty dan pangerannya
juga. Dan mereka-mereka yang hanya hidup di dalam lembaran buku.
Cinta seperti itu tidak ada dalam kenyataan. Yang ada adalah... cinta yang berubah.
Hari berganti. Waktu berjalan. Cinta itu akan berkurang, atau bisa juga bertambah. Dia masih
orang yang sama. Tapi tidaklah lagi sama.
*** Fani duduk di tepi tempat tidurnya. Masih tenggelam dalam ketidakpercayaan. Bima
mengungkapkan perasaannya!
Sayangnya, cowok itu hanya mengungkapkan dan sepertinya tidak menghendaki jawaban.
"Jadi gimana?" Fani menghela napas. Mengeluh sendiri. Apa nekat aja" "Tanya Langen deh!"
putusnya kemudian. Tapi baru saja dia berdiri dan akan meraih ponselnya dari atas meja, benda itu lebih dulu
berdering. Dari Bima! Fani menatap dengan napas tercekat. Diraihnya ponselnya dengan tangan gemetar.
"Hai," Bima lebih dulu menyapa. Suaranya terdengar berat dan jauh.
"H-ha... hai," Fani membalas susah payah.
"Soal tadi sore. Anggap aja itu nggak pernah terjadi, ya" Anggap aku nggak pernah ngomong
begitu. Oke" Bye!"
Telepon di seberang langsung ditutup. Fani terperangah. Tidak menyangka perkembangannya
justru seperti ini. Seseorang terpuruk di ujung sana. Seseorang berdiri mematung di ujung yang lain. Salah satu
berusaha untuk menggapai, sementara yang lain terlanjur menganggapnya telah berpaling ke
arah lain. Lagi-lagi, takdir. FIRST cut is the deepest.
Dari mana pun cinta itu datang, dari arah yang salah atau benar, torehan pertamanya selalu jadi
yang paling menyakitkan. Mungkin karena kita membuka seluruh hati. Mungkin juga karena dia
membutakan, hingga tanpa sadar kita melepaskan semua pertahanan diri dan membayangkan
versi terindah semua fairytale yang pernah kita baca dan dengar.
Fani menghela napas. Terduduk lesu di dalam mobil. Sendirian. Akhir-akhir ini, entah kenapa
dia ingin sekali sendirian. Tidak ditemani siapa pun, hanya ingin sendirian. Meskipun dengan
begitu dia jadi kesepian. Sepi yang benar-benar terasa sunyi dan kosong.
Sekali lagi dihelanya napas, lalu diambilnya ponsel dari dalam tas. Ada empat SMS masuk.
Dari Langen: Ntar mlm gw nginep.
Dari Febi: Ntar mlm gw telp.
Dari Rei: Ati2 di jln. Jgn nyetir smbl nglamun.
SMS dari Rangga bunyinya hampir sama dengan Rei.
Fani tersenyum. Empat teman terbaiknya. Yang benar-benar mau mengerti kondisinya saat ini.
Juga mamanya. Yang tanpa banyak bertanya, menyerahkan kunci mobil saat dia katakan butuh
kendaraan pribadi untuk sementara ini.
Tidak ada SMS dari Bima. Tentu saja tidak akan ada. Tidak ada alasan cowok itu untuk
mengiriminya SMS. Fani sudah meminta keempat temannya agar jangan cerita. Jadi Bima tidak
tahu soal hubungannya dengan Ferry, yang bahkan langsung berakhir begitu dimulai.
Fani menghela napas. Akhir-akhir ini dia sering memikirkan semua omongan Rei di tepi danau
waktu itu. Yang kalau mau diakui dengan jujur, sebenarnya iya juga. Tapi sudahlah. Meskipun
dipikirkan bahkan diakui, dia tidak melihat itu ada gunanya saat ini.
Kembali Fani menghela napas. Berat. Lelah. Diletakkannya ponsel di dasbor. Kemudian ia
memutar kunci kontak dan menelusuri jalan raya dengan kecepatan sedang. Tapi keheningan di
dalam mobil kembali membuat rasa sepi itu datang. Dan mendadak kesepian itu berubah menjadi
kesedihan. Kesedihan yang terasa berat dan menekan. Kabar Ferry, yang babak belur dihajar Rei
dan Rangga sampai tidak berani muncul di kampus, ternyata tidak cukup melegakan.
Tiba-tiba air mata Fani turun!
Fani terperangah. Cepat dia hapus air mata itu dan dengan panik meraih kacamata hitam dari laci
dasbor. "Kenapa sih gue?" keluhnya. Suaranya sekarang jadi serak.
Tiba-tiba saja dia sangat ingin menangis. Meskipun sudah ditahannya mati-matian, air mata itu
tetap turun. Tidak bisa dicegah. Yang bisa dilakukannya hanya cepat-cepat menghapusnya begitu
mengalir. Tak lama ponselnya berbunyi. Ada SMS masuk. Dengan satu tangan Fani meraih ponselnya dari
dasbor. Ada satu SMS baru. Dan itu membuatnya tersentak seketika. Dari Bima!
Jgn nyetir smbl nangis. BAHAYA! Ada apa"
Tapi SMS Bima itu malah nyaris menyebabkan tabrakan beruntun. Begitu membacanya, Fani
tanpa sadar menginjak rem kuat-kuat. Mobilnya berhenti mendadak. Mobil di belakangnya sudah
pasti ikut berhenti mendadak setelah nyaris saja menyundulnya. Pengemudinya langsung
menekan klakson kuat-kuat. Beberapa motor yang berada di dekatnya juga ikut berhenti
mendadak, dan segera terlontar makian serta sumpah serapah.
"Bisa bawa mobil nggak sih!" Bego!"
"Baru belajar nyetir, ya?"
Fani buru-buru menurunkan kaca dan meminta maaf. Para pengemudi motor di dekatnya sudah
ingin memaki lagi, tapi batal begitu tahu gadis itu habis menangis. Kacamata hitam Fani hanya
bisa menyembunyikan kedua matanya, tapi tidak hidungnya yang memerah.
"Maaf, Mas, Mbak... Maaf. Maaf."
"Maaf ya, Mas. Maaf, Mbak." Satu suara berat ikut meminta maaf.
Fani menoleh dan terpana. Bima berdiri di depan mobilnya, entah muncul dari mana. Cowok itu
lalu menghampirinya dengan langkah cepat.
"Kamu geser," perintahnya dengan nada halus. Karena masih terpana, Fani menuruti perintah itu.
Sambil membuka pintu mobil, sekali lagi Bima meminta maaf pada orang-orang di sekitarnya.
Terutama pengemudi mobil di belakang mobil Fani.
Baru setelah mereka tinggalkan tempat itu, Bima menoleh dan menatap Fani sesaat.
"Kenapa nangis?"
Fani tidak menjawab. "Si Ferry itu, ya?"
Fani tersentak tapi tetap bungkam. Bima menghela napas diam-diam.
"Nggak apa-apa kalo nggak mau cerita," ucapnya dengan suara yang dipaksa tetap tenang.
"Kamu mau ke mana?"
Baru Fani membuka mulut. "Pulang," jawabnya lirih.
Bima mengangguk. "Aku anter ya. Kamu kayaknya lagi kacau."
Jarah jauh yang terasa pendek. Tempat terdekat yang terasa jauh. Sunyi yang menyimpan
gemuruh. Tenang yang menutup riak.
Drama mengenaskan itu akhirnya menelan habis kebersamaan yang singkat itu. Dua-duanya
menyesali habisnya waktu. Tapi tetap tidak ada yang berani untuk memulai.
Kenyataan bahwa gadis di sebelahnya pernah berulang kali dan berusaha keras untuk bisa pergi
darinya, membuat Bima kehilangan nyaris seluruh keberaniannya.
Kenyataan bahwa begitu banyak orang yang hancur karena tindakannya, membuat Bima jadi
berpikir, mungkin ini hukuman untuknya. Ia cuma bisa berharap. Dan definisi berharap itu
ternyata adalah... pasrah dan tidak berdaya.
Dalam hati cowok itu tertawa. Sumbang. Pahit. Benar-benar tidak menyangka dirinya akan jatuh
sampai ke level ini. Kebersamaan itu berakhir. Mobil sudah berhenti di depan pagar rumah Fani. Ijah yang muncul di
depan garasi tidak jadi membuka pintu garasi begitu dilihatnya non majikannya tidak sendirian
seperti waktu berangkat tadi. Dia berjingkat mundur dan menghilang ke dalam.
Bima menatap gadis di sebelahnya yang sesekali masih mengusap pipi.
"Bisa kan masukin ke garasi?" tanyanya. Fani mengangguk.
Bima turun dan berjalan ke arah pagar. Dibukanya kedua pintu pagar yang menuju garasi lebarlebar. Kemudian dia kembali ke sisi mobil dan membungkukkan badan.
"Lain kali jangan nyetir sambil nangis lagi. Bahaya."
"Kok kamu bisa tau aku lagi nangis" Tadi ada di mana?"
Bima tersenyum tipis. "Feeling!" jawabnya pendek. Lalu berdiri dan berjalan menjauh.
Selama berdiri di tepi jalan, menunggu taksi kosong, sesekali Bima menoleh dan menatap Fani.
Kali ini Fani pasrah pada keinginan hatinya untuk juga balas menatap, sampai akhirnya sebuah
taksi kosong berhenti dan Bima menoleh untuk yang terakhir kali. Cowok itu menatapnya
dengan sorot lurus dan tajam, kemudian menghilang ke dalam taksi.
Begitu taksi itu sudah hilang, Fani menarik napas panjang. Rasa sepi itu kembali datang. Rasa
yang baru belakangan ini dia kenal. Rasa sepi yang sunyi dan benar-benar kosong. Fani
mendesah. Dilepasnya kacamata hitamnya, lalu ditundukkannya kepala di atas dasbor.
Berbantalkan kedua lengan.
"Kenapa sih gue?" keluhnya pelan.
Di dalam taksi, Bima merasa tak tenang. Sebentar-sebentar kepalanya menoleh ke belakang,
meskipun tahu mobil Fani sudah tidak mungkin terlihat. Akhirnya dia putuskan untuk kembali.
Ditepuknya bahu si sopir taksi pelan.
"Tolong balik ke tempat tadi, Pak."
Meskipun heran, sopir taksi itu menurut tanpa bertanya. Diputarnya kendaraannya dan taksi itu
kemudian meluncur kembali ke arah semula. Menjelang sampai di tikungan menuju rumah Fani,
Bima minta berhenti. Dia turun dan berjalan menuju tikungan jalan itu. Ia melihat mobil Fani
masih terparkir di pinggir jalan. Di tempat semula. Bima berdiri sejenak, lalu berjalan
menghampiri taksi. "Maaf, Pak. Nggak jadi. Maaf," ucapnya sambil mengeluarkan selembar uang. Kemudian Bima
bergegas pergi tanpa meminta kembalian. Dengan langkah-langkah cepat dihampirinya mobil
Fani. Dilihatnya kepala gadis itu tertelungkup di atas dasbor.
Fani yang tidak menyadari kemunculan Bima, tetap sibuk memikirkan apa yang sebenarnya
sedang terjadi pada dirinya. Ia membiarkan air matanya turun dan menetes satu-satu. Jatuh di
atas celana jins birunya.
Dengan terkejut diangkatnya kepala saat terdengar pintu pengemudi terbuka. Bima sedang
membungkuk dan menatapnya. Cowok itu kemudian masuk dan duduk di sebelahnya.
"Ada apa?" tanyanya dengan suara berat kekuatiran. Sama seperti kedua mata hitamnya.
Still Sekuel Cewek Karya Esti Kinasih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Fani menegakkan tubuh. Cepat-cepat dihapusnya air matanya, lalu dia menggeleng.
"Pingin nangis aja."
Seketika kedua alis tebal Bima menyatu rapat. Sejenak ditatapnya Fani dengan kedua mata
menyipit. Kemudian cowok itu keluar dan membiarkan pintu mobil terbuka. Ia berjalan ke arah
pintu pagar yang tadi dibukanya lebar-lebar. Ditutupnya kembali pagar itu. Dia kembali ke mobil
dan langsung memutar kunci.
"Jalan-jalan sebentar yuk" Kayaknya kamu butuh refreshing."
Mobil meninggalkan tempat itu. Sama sekali tidak terjadi pembicaraan selama di perjalanan.
Keduanya sama-sama diam. Jengah dengan rasa aneh yang datang. Rasa yang membingungkan.
Rasa asing, tapi juga tidak. Rasa dekat, tapi juga jauh. Sampai kemudian mobil memasuki jalan
aspal bergelombang. Memasuki hutan pinus di satu kaki gunung, dan berhenti di tepi lereng yang
di bawahnya mengalir sebuah sungai.
Bima turun dan membiarkan pintu terbuka. Hawa gunung yang dingin langsung menusuk kulit.
Cowok itu duduk bersila di atas rumput, di bibir lereng. Menikmati suara air yang mengalir.
Menikmati suara serangga-serangga hutan dan bau pinus. Tak lama Fani mengikutinya.
Keduanya duduk berdampingan. Tetap diam. Sampai kemudian Bima menoleh dan mengulangi
pertanyaannya. "Ada apa?" Fani menggeleng. "Bingung."
Bima mengembalikan tatapannya ke kejauhan dan tidak mencoba bertanya lagi.
Kembali hening untuk waktu yang cukup lama. Bima meraba saku kemejanya dan merutuk
dalam hati karena lupa membawa rokoknya. Tertinggal di dasbor mobil Andreas. Kaget begitu
menyadari siapa yang sedang menyetir sambil menangis di mobil belakang, Bima langsung
mencari kepastian dengan mengirim satu SMS. Ketika kepastian itu diperolehnya, seketika itu
juga Bima meminta Andreas untuk menepikan mobil. Tak lama kemudian Bima mendapati
dirinya langsung turun begitu saja, meninggalkan ransel dan semua diktat kuliahnya di mobil
Andreas. Bima merogoh salah satu kantong celana jinsnya dan mengeluarkan sebutir permen karamel.
"Kembalian fotokopi," katanya, menjelaskan alasan kenapa dia cuma punya satu butir permen.
"Nggak apa-apa kan sharing?"
"Ng... nggak deh." Fani menggeleng. Gelengan ragu. Bima jadi tersenyum tipis.
"Nggak deh apa" Nggak deh nggak apa-apa sharing" Atau nggak deh nggak mau?"
Fani tersenyum jengah dan mengulurkan tangan kanannya.
"Minta." Bima jadi tersenyum geli. Digigitnya permen karamel itu sampai pecah menjadi dua, kemudian
dia buka bungkusnya. Dijatuhkannya separuh permen itu ke telapak tangan Fani, dan separuhnya
lagi ke telapak tangannya sendiri. Keduanya lalu mengulum potongan permen itu dalam diam.
Tiba-tiba Bima mengulurkan tangan kirinya dan meraih Fani ke dalam pelukannya. Erat,
meskipun hanya sesaat. Lalu diciumnya kening gadis itu.
Fani terperangah. Bima menatapnya dengan senyum yang bisa dibilang sedih.
"Sori. Dada gue sakit," bisik Fani.
Bima melepaskan pelukannya lalu bangkit berdiri. "Ayo pulang. Udaranya udah semakin
dingin." Fani tidak bereaksi. Masih terkesima dengan pelukan tadi. Cuma sesaat, tapi bisa dia rasakan
pelukan itu dilakukan Bima dengan seluruh perasaan. Dan pelukan itu terasa berbeda. Bukan
seperti pelukan dulu yang sering dia rasakan saat mereka masih bersama.
Bima mengulurkan tangannya.
"Ayo pulang. Kamu udah kedinginan. Udah mulai pilek tuh. Badan kamu juga udah menggigil.
Kita nggak bawa jaket. Kamu dipeluk pasti nggak mau, kan?"
Muka Fani langsung merah. Diterimanya uluran tangan itu. Bima menariknya sampai berdiri,
dan langsung melepaskan genggamannya. Mereka berjalan menuju mobil dalam diam. Sebelum
memutar kunci, Bima menatap Fani. Ada kesedihan di kedua mata dan suaranya ketika
kemudian dia bicara. "Lupain aja pelukan tadi. Sori, aku nggak bisa nahan diri."
Fani mengangguk, tapi dalam hati dia mengeluh pelan. Jadi ikut sedih.
SEJAK itu segalanya jadi semakin sesak. Semakin rumit dan tidak terjelaskan. Keduanya kacau.
Bima. Fani. Namun keduanya juga bungkam. Tidak tahu harus bagaimana menghadapi hati-hati
masing. Tidak tahu harus ke mana mencari jawaban. Apakah masih ada kesempatan, atau
sudahlah, lupakan. *** Ada satu ruang yang kadang kala kosong. Tempat Bima berlari saat hatinya tidak lagi mau diam.
Satu tempat di mana dia bisa berharap dapat melihat kembali apa yang sekarang telah menjadi
kenangan. Auditorium gedung rektorat, di lantai tiga. Halaman depan gedung itu luas, dan tidak hanya
menjadi area parkir untuk kendaraan rektor, para dekan, maupun dosen, tapi juga mahasiswamahasiswa fakultas ekonomi.
Gedung fakultas ekonomi hanya berjarak kurang dari 300 meter di belakang gedung rektorat, dan
satu-satunya fakultas yang tidak mempunyai tempat parkir sendiri.
*** Ada satu ruang yang kadang kala kosong. Tempat Fani berlari saat hatinya tidak lagi mau diam.
Satu tempat di mana dia bisa berharap dapat melihat kembali apa yang sekarang telah menjadi
kenangan. Auditorium gedung rektorat, di lantai tiga. Jalan utama kampus berada di sisi kiri gedung itu.
Kalau Bima tidak melalui gerbang belakang kampus, dipastikan cowok itu akan lewat jalan itu.
*** Disebut apa keadaan ini" Saat seluruh keberanian benar-benar menguap. Hingga hal-hal paling
kecil dan remeh pun terasa membahagiakan dan disyukuri.
Bisa melihat dia dari jauh pun sudah senang. Melihat mobilnya lewat, meskipun cuma sekian
detik, juga sudah membahagiakan. Mendengar suaranya, meskipun jauh dan samar, sudah sangat
melegakan. Semuanya sanggup memupus sedikit rasa kangen dan melambungkan sedikit harapan, manakala
objek pencarian itu masih sendirian atau bersama banyak orang tapi bisa dipastikan masih
sendirian. *** Takdir kadang lucu. Ruang yang sama. Sudut yang sama. Yang satu menjadi objek pencarian
bagi yang lain. Yang lain adalah objek keinginan bagi yang satu. Saling mencari. Saling berharap
bisa mendapatkan penawar. Untuk rasa sakit, kangen, juga harapan.
Dan takdir mengatur mereka untuk tidak saling bertemu. Agar selalu berselisih waktu. Sampai
suatu ketika, takdir memutuskan untuk mempertemukan mereka.
Suatu sore, di akhir jadwal kuliah Fani, di ruang auditorium rektorat yang saat itu kosong, Bima
berdiri di dekat jendela paling kanan. Di tempatnya biasa mengintai. Tapi sepertinya sore ini
akan jadi kelam. Baik Kijang Langen, sedan Fani, maupun jemputan Febi, sama sekali tidak
kelihatan. Tapi diputuskannya untuk menunggu.
Dengan sabar Bima tetap berdiri di tempatnya. Dengan sabar sepasang matanya terus mencari,
tapi hatinya berharap dalam detak ketidaksabaran. Sampai tiba-tiba didengarnya seseorang
berlari menuju pintu dan tak lama di dengarnya hendel pintu ditarik dari luar.
Secepat kilat cowok itu berlari ke balik mimbar dan menyembunyikan diri di sana. Sedetik
kemudian didengarnya pintu terbuka. Orang itu melangkah masuk, lalu menutup pintu. Bima
mendengar suara kursi diseret menuju dekat barisan jendela. Lalu hening. Tidak lagi terdengar
sedikit pun suara. Bima menarik napas panjang diam-diam. Jengkel dengan kedatangan
pengganggu ini yang telah membuatnya, bukan saja kehilangan kesempatan untuk bisa melihat
Fani, tapi juga terjebak di dalam ruangan ini. Tanpa bisa pergi.
*** Akhirnya kuliah hari ini berakhir. Fani menarik napas lega dan buru-buru membereskan diktatdiktatnya. Langen tersenyum tipis menyaksikan itu.
"Good luck ya. Mudah-mudahan lo hepi."
Fani meringis malu. "Malu-maluin ya, La" Lo jangan bilang siapa-siapa, ya" Makin lama gue
pikirin, omongan Rei bener juga."
"Nggak lah. Nggak malu-maluin maksud gue. Wajar kok. Lagian Bima sekarang jadi beda. Kata
Febi lho. Oke deh. Gue duluan ya. Sekali lagi, good luck." Langen memeluk sahabatnya itu.
"Lo pulangnya gimana" Hari ini Febi nggak masuk," tanya Fani sambil membalas pelukan itu.
"Nebeng Dhila sampe terminal. Daaah!"
"Daaah! Ati-ati ya...!"
Keduanya berpisah. Langen bukannya tidak mau menemani. Bima bukanlah objek untuk
dinikmati bersama-sama. Rasa untuk cowok itu hanya milik Fani sendiri. Jadi biarkan dia
menikmatinya sendiri juga.
Fani langsung berlari ke gedung rektorat. Ke ruang auditoriumnya. Selalu, rasa gelisah yang
mencekam langsung menyambut begitu dia sampai di ruangan itu. Seperti biasa, ditariknya
sebuah kursi ke dinding dekat jendela paling kanan, tempat dia biasa mengintai. Yang dia tidak
tahu, tempat itu baru saja ditinggalkan seseorang. Fani butuh kursi, karena Jeep kanvas itu
muncul di waktu yang tidak tentu. Bisa setengah jam lagi, atau satu jam, bahkan bisa dua jam
kemudian. Kadang malah tidak muncul sama sekali. Tapi Fani tidak peduli. Dia punya banyak
waktu. Salah! Waktunya justru mulai habis. Dia sudah tahu tentang itu. Tentang Jeep Bima yang selalu
penuh penumpang. Tentang cewek-cewek yang mengelilinginya. Tinggal menunggu waktu saja,
salah satu dari cewek-cewek itu akan menjadi penumpang tetap Jeep kanvasnya. Menyingkirkan
yang lainnya, sekaligus menyingkirkan dirinya dari ruangan ini. Memaksanya berhenti
mengintai. Dan berhenti mencari.
Mendadak Fani jadi sedih.
"Kenapa juga gue mesti mikirin kayak tadi?" keluhnya lirih. Tetapi otak, apalagi hatinya,
menolak berhenti. Karena hal itu memang akan terjadi. Jadi anggap saja sebagai latihan untuk
mempersiapkan diri. "Aduh!" keluhnya lagi. Belum-belum sudah mulai patah hati. Ia jadi semakin sedih lagi.
Matanya mulai merebak. Perlahan, air mata itu mengalir turun.
*** Lima belas menit sudah terlewat. Bima mulai tidak sabar. Lebih baik pergi, karena sorenya
sudah berantakan. Syukur-syukur dia bisa nyelinap keluar. Apa pun tujuan orang itu, ruang ini
bukan miliknya. Jadi dia tidak berhak marah.
Bima keluar dari persembunyiannya dan tertegun seketika. Fani sedang duduk
membelakanginya, di sisi jendela di ujung kanan. Tempat yang juga jadi tempatnya. Gadis itu
sedang menangis tanpa suara. Perlahan, Bima mengeluarkan ponselnya dari saku celana. Ia
menulis satu SMS singkat dan segera mengirimkannya.
Tak lama terdengar suara ringtone. Fani membersit hidung lalu membuka tas dan mencari
ponselnya. Ada satu SMS masuk. Dari Bima!
Cewek itu sontak ternganga. Tidak percaya. Dengan jantung berdegup keras, dibukanya SMS itu.
Isinya sangat singkat. Knp nangis" Kembali Fani tersentak. Kali ini benar-benar kaget. Seketika dia melompat berdiri. Jeep kanvas
itu sama sekali tidak terlihat, tapi Fani yakin Bima pasti ada di luar sana. Dan cowok itu bisa
melihatnya! Fani bergerak mundur menjauhi jendela. Dadanya berdegup semakin kencang. Bima melihatnya
menangis!Lebih baik cepat-cepat pergi sebelum Bima datang ke sini dan bertanya langsung. Saat
ini dirinya tidak punya jawaban yang tepat untuk pertanyaan itu.
Fani balik badan dan langsung membeku. Bima berdiri menjulang di depannya. Cowok itu
langsung bertanya. Persisi seperti bunyi SMS-nya.
"Kenapa nangis?"
Fani tergeragap. Tidak mungkin menjawab pertanyaan itu apa adanya.
"Mmm... ini..." Dia terdiam.
"Ada apa?" ulang Bima. Sepasang mata hitamnya menatap khawatir.
"Nggak ada apa-apa. Bener!" Fani menggeleng kuat-kuat.
"Nggak ada apa-apa, kenapa nangis?"
Fani sudah akan menghapus air matanya, tapi Bima menahan geraknya.
"Ada apa?" suara Bima melembut.
Fani menghela napas dan menundukkan kepala.
"Itu, Matematika-ku dapet D," jawabnya pelan. Dia tidak sepenuhnya berbohong. Nilai
Matematika-nya jeblok dan keharusan mengulang mata kuliah memuakkan itu memang jadi
beban pikiran. Sesaat kening Bima jadi mengerut, kemudian dia tersenyum geli.
"Banyak yang pernah dapet D, apalagi Matematika. Tapi belom pernah ada yang aku liat sampai
depresi kayak kamu begini. Bener cuma itu?"
"Iya." Fani mengangguk cepat.
"Oke." Bima mengangguk-angguk. Kemudian dia menghampiri jendela. "Lagi liat apa?"
Kembali Fani jadi tergeragap. Tapi kemudian dia memutuskan menyerang balik. "Kamu ngapain
di sini?" Pertanyaan Fani membuat Bima jadi tersenyum lebar, hampir tertawa.
"Oke, sori. Harusnya aku nggak tanya."
Cowok itu lalu berdiri di depan jendela paling kanan itu. Menatap area parkir. Dia tahu apa yang
sedang dicari Fani. Cowok bernama Ferry itu. Yang terkadang memarkir sedannya di bawah
sana. Berarti hubungan mereka masih belum jelas. Namun itu bukan urusannya.
Langkahnya sudah surut sejak lama. Ingin sekali ia mengakui bahwa... ya, dia mencintai gadis
yang saat ini bersamanya. Tapi itu tidak ada gunanya kalau sepasang mata itu tidak lagi menatap
ke arah dirinya. Hanya akan sia-sia. Tidak ada cermin yang bisa memantulkan kata "ya" itu.
Tidak ada gema yang bisa menciptakan perulangan , agar tetap ada harapan meskipun dua, tiga,
atau seratus "ya" sebelumnya tidak terdengar.
Diam-diam Bima menarik napas panjang. Menekan rasa sakitnya sampai ke tempat terdalam.
Sementara Fani, setelah sempat ragu-ragu, akhirnya memutuskan untuk menghampiri Bima dan
berdiri di sebelahnya. Mungkin ini terakhir kalinya mereka ada di satu tempat bersama-sama,
hanya berdua. Saat berdiri di sebelah kanan Bima itulah, lewat celah kemeja Bima yang dua kancing teratasnya
terbuka, Fani bisa melihat ada tato disana. Di dada kiri Bima. Seperti apa yang pernah dikatakan
Langen, Febi, juga cewek-cewek histeris itu.
"Kamu punya tato sekarang?" tanya Fani hati-hati.
"Baru tau?" tanya Bima tanpa menoleh.
"Iya. Temporer?"
"Permanen." "Gambar apa?" Bima menoleh dan sesaat ditatapnya Fani. Cowok itu lalu membuka seluruh kancing kemejanya
dan menyingkap dada kirinya. Dihadapkannya tubuhnya ke Fani.
"Gambar apa kira-kira?"
Fani menyipitkan kedua matanya. Ditatapnya tato Bima dengan saksama. Kepalanya sampai
miring ke kiri lalu ke kanan, lalu ke kiri lagi. Tapi tetap dia tidak tahu gambar apa itu. Akhirnya
dia geleng kepala. "Nggak tau. Nggak jelas. Gambar apa sih?"
Bima tersenyum tipis. "Bukan gambar apa-apa. Aku nggak perlu gambarnya. Aku perlu sakitnya!"
Seketika Fani terpana. "Kenapa?" tanyanya hati-hati.
Bima tidak menjawab pertanyaan itu. Dia justru mengajukan pertanyaan balik.
"Boleh aku minta anting kamu yang sebelah kiri?"
Fani terpana lagi. Baru dia sadari, ada lubang bekas tindikan di telinga kiri Bima. Perlahan gadis
itu mengangguk. Dilepasnya anting kirinya lalu diserahkannya pada Bima.
"Thanks," ucap Bima pelan. "Segi tiga?" tanyanya kemudian.
"Piramid." Fani tersenyum. Tidak ingin mengatakan yang sebenarnya bahwa itu simbol gunung.
Tempat yang paling dicintai Bima.
"Oh..." Cowok itu mengangguk. "Thanks," ucapnya sekali lagi. Dimasukkannya anting itu ke
dalam saku celana jinsnya. Kemudian ia mengeluarkan sekotak rokok dari saku kemeja dan
menarik sebatang. Disulutnya rokok itu. Kembali Fani ternganga.
"Kamu ngerokok sekarang?" tanyanya pelan.
"Baru tau lagi?" Bima mengangkat kedua alisnya. "Kamu kayaknya yang paling ketinggalan
berita, ya?" Dia menggeleng-gelengkan kepala.
"Kenapa?" Sejenak Bima menarik napas panjang. Dia menoleh dan menatap Fani tepat di manik mata.
"Kenapa" Karena ini yang paling aman. Karena kalo aku pilih minum, itu bisa bikin aku kalap
dan nongol di rumah kamu. Dan kalo udah begitu, belom tentu kamu bisa selamet. Meskipun di
rumah sendiri dan ada orangtua kamu di sana!"
Seketika Fani memucat. Bima jadi tertawa melihat muka pucat dan tegang itu. Tawa yang tidak
pasti maknanya. Bisa sakit, bisa juga kecewa. Atau sedih.
"Takut, kan" Makanya aku pilih ngerokok. Karena merokok tidak menghilangkan kesadaran!"
Cowok itu menghisap rokoknya dengan tarikan panjang dan menghembuskan asapnya kuat-kuat.
Dengan rokok masih terselip di bibir, dikancingkannya kembali kemejanya.
"Aku duluan ya," katanya kemudian.
Fani tersentak. Seketika jadi nelangsa dan putus asa karena kebersamaan itu akhirnya berakhir
juga. Tapi ia tahu, ia tidak mungkin mencegah. Fani mengangguk. "Daaah...," ucapnya,
tersenyum kikuk. Bima balas tersenyum lalu balik badan dan melangkah menuju pintu. Tapi mendadak dia
berhenti, balik badan dan kembali menghampiri Fani.
"Bener kamu mau tau kenapa aku nyakitin diri?" tanyanya pelan. Ekspresi wajahnya sekarang
begitu serius. Fani tidak langsung menjawab. Dia masih kaget karena Bima tiba-tiba kembali.
"Ke... napa?" tanyanya kemudian dengan gagap.
Ganti Bima yang tidak langsung ingin menjawab. Dia maju selangkah dan menatap Fani luruslurus. Fani bisa menangkap ada kesedihan yang samar di kedua bola mata hitam itu.
"Aku cari segala macam bentuk pelarian... supaya kamu nggak jadi sasaran!"Fani terperangah.
"Ngerti sekarang?" lanjut Bima. Suaranya semakin pelan, namun tetap tegas. "A...," kalimatnya
terpenggal. Raut mukanya terlihat tegang. Kemudian ditariknya napas panjang. Dia benci situasi
ini. "Aku cinta kamu. Sekarang. Mudah-mudahan sampai nanti."
Fani terperangah lagi. Kali ini amat sangat. Bima mengulurkan tangan kirinya. Sesaat dibelainya
pipi kanan Fani. Kemudian dia balik badan dan melangkah keluar. Kali ini dia tidak lagi
kembali. *** Aku cinta kamu. Sekarang. Mudah-mudahan sampai nanti.
Ungkapan yang sederhana. Tapi jujur. Tanpa janji. Tanpa sodoran mimpi. Tapi itulah yang
sesungguhnya. Karena cinta yang tidak berubah sampai mati, timeless dan happily ever after,
cuma milik Cinderella dan sang pangeran. Cuma dipunyai si Sleeping Beauty dan pangerannya
juga. Dan mereka-mereka yang hanya hidup di dalam lembaran buku.
Still Sekuel Cewek Karya Esti Kinasih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Cinta seperti itu tidak ada dalam kenyataan. Yang ada adalah... cinta yang berubah.
Hari berganti. Waktu berjalan. Cinta itu akan berkurang, atau bisa juga bertambah. Dia masih
orang yang sama. Tapi tidaklah lagi sama.
*** Fani duduk di tepi tempat tidurnya. Masih tenggelam dalam ketidakpercayaan. Bima
mengungkapkan perasaannya!
Sayangnya, cowok itu hanya mengungkapkan dan sepertinya tidak menghendaki jawaban.
"Jadi gimana?" Fani menghela napas. Mengeluh sendiri. Apa nekat aja" "Tanya Langen deh!"
putusnya kemudian. Tapi baru saja dia berdiri dan akan meraih ponselnya dari atas meja, benda itu lebih dulu
berdering. Dari Bima! Fani menatap dengan napas tercekat. Diraihnya ponselnya dengan tangan gemetar.
"Hai," Bima lebih dulu menyapa. Suaranya terdengar berat dan jauh.
"H-ha... hai," Fani membalas susah payah.
"Soal tadi sore. Anggap aja itu nggak pernah terjadi, ya" Anggap aku nggak pernah ngomong
begitu. Oke" Bye!"
Telepon di seberang langsung ditutup. Fani terperangah. Tidak menyangka perkembangannya
justru seperti ini. Seseorang terpuruk di ujung sana. Seseorang berdiri mematung di ujung yang lain. Salah satu
berusaha untuk menggapai, sementara yang lain terlanjur menganggapnya telah berpaling ke
arah lain. Lagi-lagi, takdir. ANTING sebelah kiri. Simbolik. Wujud rasa putus asa, pasrah, juga keikhlasan untuk melepaskan, tapi sekaligus
keinginan untuk terus mempertahankan. Agar dia tetap hidup dan tidak benar-benar hilang.
Karena selama ini gadis itu berjalan di sebelah kirinya. Dipeluknya dengan tangan kiri.
Didekapnya di dada kiri. Bima hanya berusaha agar ruang yang kini kosong itu tidak benar-benar
terasa kosong. *** Anting sebelah kanan. Hanya ini cara mendekatkan diri yang bisa dilakukannya. Sebelah anting ini, pasangannya, ada
pada Bima. Fani merasa hatinya menghangat. Jadi terasa seperti dekat, walaupun ini cuma sepihak. Cuma
ada dan terasa di sini. Di dalam dirinya sendiri. Biar. Tidak apa-apa. Begini pun sudah cukup
membahagiakan. Asal tidak berpikir tentang harapan, begini pun sudah sangat membahagiakan.
*** Tapi sampai kapan sebelah anting sanggup menyangga hati yang semakin lama semakin lelah"
Benda itu kecil. Sangat kecil. Bisa jatuh dan hilang kapan saja.
Namun keduanya bertahan dan tetap melakukan penyangkalan. Tetap tegak dengan sisa-sisa
kekuatan. Bima menutup kehancurannya, bahkan dari mata kedua sahabatnya. Fani menutup
kehancurannya, bahkan dari uluran tangan kedua sahabatnya.
Tinggal dua saksi mata yang tersisa. Yang tidak saling mengenal, karenanya juga tidak bisa
berbuat banyak. Si Mbok, pemantu tua yang ikut mengasuh Bima di masa-masa kecil cowok itu. Wanita tua itu
bisa memaklumi sifat jelek anak majikannya. Dengan kedua orangtua yang sibuk mengejar
karier, dengan segala ulah kenakalan yang bertujuan mencari perhatian namun tidak berhasil, si
Mbok tidak tega menolah saat hampir semua anak majikannya jadi berlari padanya, dan terasa
seperti anaknya sendiri. Dan inilah yang biasa dilakukan si Tole, panggilannya untuk Bima, kalau sedang punya masalah,
bingung, kalut, atau sedih. Tole berkeluh kesah dan mengadu sambil membuntutinya kemana
pun ia pergi. Namun si Mbok sebenarnya lebih suka Tole mengeluh saja. Bercerita. Panjang-lebar pun tidak
apa-apa. Tidak perlu sambil membantunya memasak segala, karena hasilnya malah seperti ini.
Wortel yang sudah dengan sangat cermat dipilihnya di pasar tadi, segar dan gemuk-gemuk,
setelah dikupas oleh si Tole ini, sekarang besarnya mungkin cuma tiga kalinya lidi. Lebih banyak
yang dikupas daripada yang akhirnya masuk panci.
Saksi mata yang lain adalah Ijah, yang kini jadi tempat curhat Fani. Apa adanya. Tanpa ada yang
ditutupi. Dan Ijah jadi nelangsa kalau melihat non majikannya seperti ini. Duduk meringkuk di lantai,
bersandar di satu sisi lemari makan. Membantunya memasak. Tapi melihat cara non majikannya
itu memetiki daun-daun bayam, satu-satu dan dengan mata tertunduk yang jauh menerawang,
pekerjaan itu mungkin baru akan selesai besok siang!
Ijah sebenarnya lebih suka kalau non majikannya itu cerita saja. Mengeluh. Mengadu. Panjanglebar tidak apa-apa. Tidak perlu sambil membantunya memasak segala. Karena berulang kali,
diam-diam Ijah harus membuang masakan itu dan menggantinya dengan yang baru. Karena
sering kali rasa masakan-masakan itu tidak terdefinisi.
*** Akhirnya Fani jatuh sakit. Ijah, yang tidak sampai hati menyaksikan kondisi majikannya itu,
kemudian memanfaatkan situasi rumah yang sedang kosong dengan nekat menelepon Bima.
Sebelumnya Ijah meminta Langen untuk jangan datang dengan alasan Fani akan dibawa ke
dokter. "Halo?" "Ya, Ijah. Tumben nelepon. Ada apa?"
Ijah tersentak. "Lho, kok Mas Bima tau kalo ini saya?"
Di seberang Bima tertawa. "Ya tau lah. Ada berapa cewek sih di situ" Ada apa?"
"Hmm... ng... itu, Mas... Non Fani sakit," ucap Ijah susah payah.
"Oh, ya!?" Bima terkejut. "Sakit apa?"
"Kayaknya sih sakit liver."
"APA!?" Bima kaget, seperti tersengat. "Kamu serius, Jah!?"
"Serius, Mas. Soalnya..."
Bima berdiri mematung. Telepon di seberang sudah ditutup. Dia tidak percaya dengan berita
yang baru saja dia terima. Kenapa Fani tidak pernah cerita bahwa dia punya penyakit seserius
ini" Canggih memang si Ijah. Karena ikut bolak-balik waktu adik nyonya majikannya masuk rumah
sakit dulu, dia jadi tahu bahwa hati itu punya nama lain yang keren sekali. Liver.
Tak lama Ijah mendengar suara mobil yang dulu sempat sangat akrab di telinganya. Buru-buru
dia berlari keluar. "Udah lama?" tanya Bima langsung, begitu Ijah sampai di depannya untuk membuka pintu
pagar. Meskipun sinar lampu jalan tidak terlalu terang, Ijah bisa melihat wajah Bima pucat dan
terlihat cemas. "Udah, Mas. Tapi parahnya baru dua hari ini."
"Kenapa nggak dibawa ke dokter?"
"Nggak tau. Nanti mungkin."
"Nanti!?" Bima terbelalak. "Tunggu penyakitnya parah dulu?"
"Ng..." Ijah meringis bingung.
"Papa-mamanya ke mana?"
"Itu, ada undangan makan malem di hotel apa gitu."
"Makan malam!?" Bima makin terpana. "Sementara anak mereka sakit parah begitu"
Unbelievable!" Bima geleng-geleng kepala dengan gusar. "Kalo gitu, biar saya yang bawa Fani
ke dokter!" "Tapi Non Fani lagi tidur, Mas."
Bima mendongak. Menatap ke arah jendela kamar Fani yang remang di lantai atas.
"Bangunin!" ucapnya tegas. Kemudian dia berjalan masuk rumah, langsung menuju kamar Fani.
Ijah tergopoh-gopoh membuntuti Bima. Bingung bagaimana cara menjelaskan situasi yang
sebenarnya. Akhirnya nekat dihadangnya langkah Bima karena cowok itu sudah sampai di depan
pintu kamar Fani. "Eh, Mas! Sebentar! Sebentar!" Ijah berdiri tepat di depan pintu kamar Fani. "Sakitnya Non Fani
nggak parah-parah amat kok. Nggak sampe gimana gitu."
"Liver itu bukan penyakit sembarangan, Jah."
"Maksud saya bukan liver itu..." Ijah meringis, merasa bersalah. "Maksud saya, Non Fani
kayaknya lagi banyak pikiran. Pokoknya sakit yang kayak gitu deh. Tadi sebelom pergi, Nyonya
udah maksa-maksa Non Fani makan, sampe Nyonya marah-marah. Tapi Non Fani cuma mau
makan dikit sih. Terus dipaksa minum obat," jelasnya. Sepasang mata Bima menyipit, bingung.
"Aduh, maaf, Mas. Bukannya saya mau bohongin Mas Bima. Saya cuma mau ngasih tau kalo
Non Fani sakit. Itu aja. Udah dua hari ini badannya panas. Tapi nggak panas-panas amat sih.
Tolong tengokin, Mas. Cuma sebentar juga nggak apa-apa."
Ijah membuka pintu kamar Fani lalu bergeser ke samping, memberi jalan pada Bima. Kamar
Fani tampak remang karena cahaya yang berasal dari lampu jalan, yang masuk melalui pintu
teras atas yang dibuka lebar-lebar.
"Kenapa lampunya nggak dinyalain?" tanya Bima dengan suara pelan.
"Non Fani yang nyuruh, Mas."
"Terus itu, kenapa pintunya dibuka semua begitu" Angin malam itu nggak bagus. Apalagi untuk
orang sakit." "Non Fani maunya begitu. Katanya bulan lagi bagus. Jadi dia mau tidur sambil ngeliat bulan."
Perlahan, Bima melangkah masuk. Ijah balik badan.
"Nggak usah ditutup pintunya," ucap Bima, saat dilihatnya Ijah akan meraih hendel pintu.
Ijah membatalkan niatnya. Tanpa berkata apa-apa lagi, ia segera berjalan menuruni tangga.
Bima berdiri dengan tubuh membeku. Tanpa sadar dia mengambil tempat terjauh di ruangan itu.
Gadis inilah pusat rasa sakitnya. Tapi kenapa dia langsung ke sini begitu mendapatkan telepon
tadi" Malah tanpa berpikir lagi!
Menit-menit lewat. Bima masih membeku diam. Tidak bergerak. Kesepuluh jarinya mengepal
rapat, saling menahan agar tidak bergerak. Agar hatinya juga mau diam. Hanya kedua matanya
dia biarkan lekat menatap seseorang yang sangat ingin dipeluknya. Amat sangat ingin
dipeluknya! Ketika badai di dadanya tidak juga mereda, Bima menyerah pada keinginan hatinya untuk
mendekat. Sesaat ditariknya napas panjang-panjang.
"Oke. Silakan lo sakitin gue lagi," bisiknya. "Karena gue yang dateng ke sini!"
Bima akhirnya bergerak meninggalkan tempatnya mematung. Dinyalakannya lampu kamar.
Kemudian dia melangkah ke pintu teras dan menutupnya. Saat itulah, saat dia membalikkan
badan, dia melihat apa yang dipeluk Fani dalam tidurnya.
Boneka kucing yang pernah dia berikan!
Bima terpana. Benar-benar tidak percaya. Tadinya dia mengira boneka kucing itu akan langsung
lenyap begitu Fani menerimanya. Dibuang, diberikan ke orang, bahkan bisa jadi, dibakar!
Namun detik berikutnya, harapan yang melambung itu terempas. Fani pencinta kucing yang
fanatik. Mungkin boneka itu dipeluk sama sekali bukan karena alasan pemberinya, tapi karena
dia cinta binatang itu dan tidak diizinkan untuk memelihara.
Bima tersenyum pahit. Menyadari alasan kedualah yang paling mungkin. Akhirnya cowok itu
hanya berdiri diam. Lekat, ditatapnya wajah dengan mata tertutup itu. Hanya bisa begini.
Memeluknya dengan tatapan. Di tempat terdekat yang rasanya juga paling jauh.
Hanya memperparah perih! Fani bergerak dalam tidurnya. Bima seketika mundur menjauhi tempat tidur. Saat itulah uraian
rambut Fani tersibak, memperlihatkan sesuatu yang berkilau di telinga kanannya.
Hanya di telinga kanan! Bima terpaku. Sesaat tidak yakin dengan pemandangan itu. Perlahan dia mendekat, lalu
membungkukkan tubuhnya. Hati-hati disibaknya uraian rambut Fani sampai benar-benar
terbuka. Dan dia terpana! Itu anting yang sama seperti yang saat ini ada di telinga kirinya!
Tubuh Bima menegak serta-merta. Membeku tak percaya. Berapa lama sudah Fani memakai
anting yang cuma sebelah kanan itu"
Ruangan yang jadi terasa gerah setelah pintu teras ditutup membuat Fani jadi gelisah dalam
tidurnya. Dia mengigau pelan, lalu mengubah posisi. Bima langsung bergerak mundur menjauhi
tempat tidur. Kembali Fani mengubah posisi, sambil mengeluh panas.
Kemudian gadis itu membuka mata. Terlihat kaget juga kesal, karena lampu kamarnya menyala
dan pintu teras telah ditutup.
"Jaaah...," panggilnya dengan suara serak. "Kok lampunya dinyalain sih" Pintu terasnya juga
kenapa ditutup" Dibilangin bulan lagi bagus-bagusnya, juga..."
Dengan gerakan terhuyung, Fani bangun dari posisi tidur. Sesaat dia berhenti karena kepalanya
terasa sangat sakit. Dengan gerakan lambat dia lalu menggeser tubuh ke segala arah tepi tempat
tidur. "Ijah nih," keluhnya, "bikin gue tambah sakit aja."
Saat itulah Fani menyadari ada seseorang di kamarnya. Berdiri tidak jauh dari tempat tidurnya.
Dia mendongak dan terpana seketika. Sepasang matanya menatap terbelalak. Tidak percaya
bahwa yang sekarang ini sedang berdiri tidak jauh darinya juga tengah menatapnya, memang
Bima. Satu tangannya yang berada di tepi tempat tidur tanpa sadar mencengkeram tepi itu kuat-kuat.
Membuat bagian yang tertekan melesak ke dalam. Tak ayal Fani kemudian jatuh terjungkal
dengan posisi kepala lebih dulu.
Seketika Bima melompat. Dengan tubuh membungkuk, diulurkannya tangan kirinya dan
ditangkapnya tubuh Fani sebelum kepala gadis itu membentur lantai.
"Kalo nggak kuat, nggak usah maksa bangun...," desisnya.
Dengan mata terbelalak, Fani menatap wajah Bima yang tepat berada di atas wajahnya.
"Kok... kamu bisa ada di sini?" tanyanya tergagap.
Bima tidak menjawab. Dengan tangan kanannya yang bebas, diturunkannya kedua kaki Fani
yang masih berada di atas tempat tidur. Tapi posisi tubuhnya yang tidak tepat membuatnya tak
mampu menahan berat tubuh Fani. Akhirnya, dengan Fani dalam pelukannya, Bima menjatuhkan
diri ke lantai. Cowok itu mengerang pelan saat punggungnya membentur lantai yang keras.
Dikaitkannya kaki kanannya ke salah satu kaki besi tempat tidur. Dengan cara itu ditegakkannya
kembali punggungnya. "Kok kamu bisa di sini?" Fani mengulang pertanyaannya. Suaranya melirih. Bukannya
menjawab, Bima justru mengajukan pertanyaannya sendiri.
"Udah berapa lama kamu pake anting cuma sebelah kanan begini?" bisiknya.
Fani terkesiap. Tangannya bergerak cepat untuk menutupi, tapi Bima lebih cepat lagi.
Ditahannya gerakan tangan Fani.
"Udah berapa lama?" ulang Bima. Ada ketegangan dalam suaranya. Fani menelan ludah.
Bibirnya bergerak, tapi tidak ada suara yang keluar. Bima menggeleng pelan. Sepasang matanya
menyipit redup. "Gimana kalo aku nggak pernah tau" Hm" Itu benda kecil. Masih ditambah ketutupan rambut."
"Nggak apa-apa," Fani menjawab pelan. "Nggak apa-apa kalo kamu nggak pernah tau."
Bima menundukkan kepalanya. Ditatapnya gadis yang meringkuk di antara kedua kakinya. Yang
dipeluknya dengan lengan kiri dan disangganya di dada kiri.
"Kalo aku nggak pernah tau...," Bima menggantung kalimatnya. Ditatapnya Fani tepat di manik
mata. "Bener kamu nggak apa-apa?"
Fani tertegun. Sepasang matanya terpaku di dua bola mata Bima. Kalau cowok ini tidak pernah
tahu... Kalau Bima tidak pernah tahu...
Bima menangkap ketakutan di sepasang mata itu. Terbaca jelas. Teramat jelas. Namun setelah
begitu banyak yang terjadi selama ini, dia membutuhkan satu kepastian bahwa dirinya memang
benar-benar diinginkan. "Tolong akui. Sekali saja," pintanya.
Perlahan, Fani melepaskan diri dari pelukan Bima. Dia tegakkan punggungnya. Sorot mata dan
bahasa tubuhnya membuat Bima menunggu dengan ketegangan yang memuncak.
Fani tidak mengatakan apa-apa. Namun, dengan tersipu, rikuh, dan malu, gadis itu mengulurkan
kedua tangannya dan memeluk leher Bima. Tubuh Bima sempat tersentak ke belakang. Sama
sekali tidak menduga. Kemudian cowok itu tersenyum tipis.
Tetap tidak terkatakan juga. Tapi biarlah. Tidak apa-apa.
Dipeluknya Fani. Kali ini dengan kedua lengannya.
"Dasar tolol!" bisiknya. Diusap-usapnya punggung gadis dalam pelukannya. Hening. Sampai
kemudian Fani mengucapkan kata-kata yang mengagetkan Bima.
"Anting kanan ini nggak pernah aku lepas. Berdiri di balik jendela auditorium itu juga udah
lama. Abis aku cuma bisa ngeliat kamu dari sana."
Bima terperangah. Belaiannya di punggung Fani seketika terhenti. Dia urai pelukannya, tapi Fani
menolak memisahkan diri. Kedua tangan Fani yang memeluk leher Bima malah menguat, dan
gadis itu menyembunyikan mukanya di sana. Akhirnya Bima menghentikan usahanya untuk bisa
melihat wajah Fani. Dipeluknya gadis itu kembali. Kali ini dengan dada yang benar-benar terasa
lega. Dengan hati yang benar-benar terasa ringan.
Kemudian disadarinya tubuh Fani demam, meskipun tidak terlalu tinggi.
"Kamu sakit apa sih?"
"Nggak tau." Kening Bima mengerut mendengar jawaban itu. Baru saja dia akan bertanya lagi, saat teringat
ucapan Ijah tadi dan mendadak menyadari maksudnya. Sesaat Bima tertegun, kemudian
tersenyum. Kepalanya lalu menggeleng-geleng pelan.
"Tolol bener sih kamu, hmm" Pilih sakit daripada ngomong," bisiknya.
"Biarin!" Fani menjawab lirih. Mukanya masih tersembunyi di leher Bima. Tapi tetap saja dia
merasa sangat malu, seakan Bima bisa melihat langsung wajahnya.
Bima tertawa pelan. Tiba-tiba dia teringat satu hal yang sangat ingin dia katakan.
"Aku minta maaf, Fan. Yang dulu-dulu itu..."
Fani tertegun. Seketika dia lepaskan pelukannya di leher Bima. Ditatapnya cowok itu dengan
kening mengerut, heran. "Apa" Yang mana?""Semuanya."
Sesaat Fani masih terlihat bingung, namun kemudian dia mengerti.
"Oke!" Dia mengangguk dan tersenyum.
Bima tampak lega. Diraihnya kembali gadis itu ke dalam pelukannya, kemudian diciumnya
kening dan puncak kepalanya.
"Ke teras yuk" Bulan lagi bagus, kan?" ajaknya.
"Aku lapaaar," keluh Fani. Sesaat Bima tertegun. Ini suara manja pertama yang dia dengar.
Kemudian cowok itu tertawa geli.
"Ya udah. Kalo gitu kita liat bulannya di teras bawah, sambil makan."
Digendongnya Fani dan dibawanya menuruni tangga.
BIMA dan Fani ternyata bisa menyelesaikan sendiri masalah mereka. Tinggal satu orang lagi,
Still Sekuel Cewek Karya Esti Kinasih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Rei, yang terus saja melakukan penyangkalan. Tetapi begitu sisi rawan itu tak sengaja tersentuh,
emosinya akan langsung naik, dan cowok itu jadi lebih galak daripada sebelumnya.
Sementara Langen terlihat tenang. Lebih tepatnya: pasrah. Sifat keras kepala dan
pemberontaknya menghilang. Sepertinya Rei telah menghantamnya di tempat yang tepat.
Rangga dan Febi, yang diam-diam terus memantau kondisi Rei tanpa yang bersangkutan sadar,
jadi kesal sendiri. Geli, dongkol, gemas, terkadang malah jadi ingin marah. Hingga suatu saat
keduanya akhirnya memutuskan untuk bertindak.
Rangga berjalan masuk kelas dan langsung duduk di sebelah kanan Rei. Diliriknya Rei tanpa
kentara, lalu berdeham sejenak.
"Maafin dia," ucapnya pelan. "Tapi kalo menurut elo tindakannya waktu itu nggak bisa
dimaafkan, ya lepasin dia. Jangan begini. Maafin nggak mau, ngelepas juga nggak mau.
Menyengsarakan diri sendiri aja."
Rei menoleh dan Rangga menyambutnya dengan senyum tipis.
"Bisa lo lupain apa yang udah lo liat waktu itu?" bisik Rei tajam.
"Nggak..." Rangga menggeleng jujur. "Seksi banget tuh cewek. Hot. Sumpah, dadanya bagus!"
Seketika Rei jadi emosi. Kepalannya sudah akan melayang. Tetapi Bima, yang duduk di sebelah
kiri Rei dan ikut mendengarkan pembicaraan itu, buru-buru menahan.
Rangga menatap Bima sambil mengangkat alis. Kemudian tatapannya kembali ke Rei.
"Ini yang ngomong gue, dan lo langsung naik darah. Padahal gue cuma ngomong, dan nggak
akan lebih dari itu."
Kepalan Rei terurai, tapi dia masih terlihat marah.
"Dia udah pake baju yang bisa dibilang nggak pake baju. Jadi apa yang harusnya cuma gue yang
berhak ngeliat, lo juga ngeliat. Bima juga ngeliat!"
"Tapi Bima biasa-biasa aja tuh." Rangga menunjuk Bima dengan dagu.
"Ya jelas aja, Ga..." Rei membelalakkan matanya, heran ternyata Rangga bisa setolol ini. "Yang
nyaris telanjang waktu itu adalah cewek gue, dan cewek yang diakuin Bima sebagai ceweknya!
Lo bisa liat bedanya, kan" Coba kalo sekarang Fani berani begitu lagi, gue jamin tuh cewek
bakalan langsung abis!"
"Gue jadi kena juga, kan?" sela Bima. "Mereka nggak telanjang, Rei. Cuma transparan."
"Ya, emang!" Rei mengangguk cepat. "Dengan bagian yang terbuka lebih banyak daripada yang
tertutup!" "Kalo gitu, lo lepas aja dia," ucap Rangga halus. "Supaya marah lo bisa hilang. Kebetulan ada
teman sekelas kita yang udah dari dulu naksir Langen." Rei langsung menoleh, tapi Rangga
pura-pura tidak tahu keterkejutan Rei itu. "Belom lama dia dateng ke gue. Dia nanya, apa lo udah
bener-bener putus sama Langen. Gue bilang, gue nggak tau."
"Siapa dia" Siapa dia, Ga!?" geram Rei seketika. Lagi-lagi langsung marah. Tubuhnya sekarang
sudah benar-benar menghadap Rangga.
Rangga tidak menjawab. Dia malah berdiri, lalu berjalan ke arah bangku kosong di deretan
depan. Rei sudah akan mengikutinya, tapi Bima menahan geraknya dengan merangkul bahu Rei.
"Bener apa yang dia bilang," ucap Bima pelan. "Kalo lo nggak bisa maafin, ya lebih baik lo
lepas. Tapi kalo lo nggak bisa ngelepas, ya cobalah untuk memaafkan."
Rei tidak bereaksi. Tatapannya menyapu seisi kelas. Meneliti wajah teman-temannya satu per
satu. "Lo tau, siapa tu bangsat" Sialan!"
"Nggak. Gue juga baru denger tadi." Bima menggelengkan kepala. Rei meliriknya, sehingga
Bima langsung mengangkat tangan kirinya. "Sumpah, gue nggak tau!"
*** Rei termakan umpan Rangga. Sepertinya Rangga sengaja menghindar selama di kampus, jadi
akhirnya Rei langsung pergi ke rumah sobatnya itu begitu kuliah terakhir selesai. Ternyata
Rangga sudah menunggunya. Bersama Febi.
"Dateng juga," sambut Febi dengan senyum manis.
"Siapa tu orang, Ga?" Rei langsung menghampiri Rangga. Tapi Rangga bergerak mundur
menjauhinya. "Febi mau ngomong tuh. Tolong lo denger dulu. Soal siapa tuh cowok, itu masalah gampang."
"Kok elo bisa marah banget gitu sama Langen" Kan elo yang bikin dia buka baju. Harusnya dia
yang marah banget sama elo," ucap Febi tanpa tedeng aling-aling.
Seketika Rei menoleh dan menatapnya.
"Apa maksud lo, Eyang?"
Rangga dan Febi langsung saling pandang. Keduanya tampak agak kesal. Febi melangkah
menghampiri Rei dan berdiri di depannya.
"Lo membangun tembok dengan satu pintu. Tapi kuncinya cuma elo yang pegang. Jadi yang bisa
keluar-masuk seenaknya ya cuma elo sendiri. Kalo Langen pingin tau ada apa di balik tembok
itu, nanti lo ceritain. Langen cuma boleh ngintip dari pintu. Tapi yang namanya cerita belom
tentu sama dengan kenyataan. Dan yang namanya ngintip, jelas nggak bisa ngeliat sejelas kalo
pintu itu terbuka lebar."
"Menurut lo gunung itu bahaya, nggak?" potong Rei.
"Cewek lo bukan gue, kan" Jadi pendapat gue nggak penting di sini," jawab Febi diplomatis.
"Bisa gue ngomong sampai selesai?" Dipelototinya Rei. "Daripada memohon, Langen memilih
manjat tembok. Dan dia berhasil melompat ke seberang. Dengan selamat dan sukses! Tapi
ternyata menurut definisi elo, memanjat yang sukses itu adalah dengan cara jatuh ke seberang
dengan luka-luka. Kalau perlu babak belur. Lebih bagus lagi kalau sampai sekarat. Sehingga
dengan enteng lo akan ngomong, 'Bahaya, kan" Makanya jangan coba-coba nekat manjat ke
seberang..." "Nggak peduli kenyataan Langen udah berhasil, lo tetep ngotot itu area berbahaya dan for guys
only. Jadi lo suruh Langen keluar, terus lo paksa manjat temboknya lagi. Tapi sebelumnya udah
lo siapin ranjau-ranjau. Jadi lo yakin nanti Langen bakal jatuh dengan luka-luka. Sehingga
seperti yang tadi udah gue bilang, lo akan bilang, 'Betul, kan" Ini daerah yang sangat berbahaya!'
Tapi ternyata, lagi-lagi she's the winner and you're the looser! Dan marahlah elo. Kemudian lo
bikin dia luka, justru di luar area yang sangat berbahaya itu. Lucu, kan" Dan sampai hari ini lo
masih marah juga!" "Kalo akhirnya buka baju, dia nggak perlu susah-susah manjat. Dengan sukarela akan gue buka
pintunya lebar-lebar!" tegas Rei dengan nada final.
Febi berdecak. Ditatapnya Rangga.
"Tabokin aja dia, Mas. Capek aku. Dijelasin panjang-panjang masih ngeyel juga."
Rangga geleng-geleng kepala sambil tersenyum tipis. Dihampirinya Rei lalu ditepuknya
bahunya. "Lo ikut gue." "Ke mana?" "Udah, ikut aja. Cepet!"
Rangga membawa Rei ke halaman belakang rumahnya. Sampai di sana, tiba-tiba ditamparnya
pipi kiri Rei. Cowok itu terperangah.
"Kenapa sih lo?" tanyanya sambil memegangi pipinya yang kena tamparan. Rangga tak
menjawab. Dia hanya menatap Rei dengan sorot aneh. Kembali diulurkannya tangan. Kali ini
pipi kanan Rei yang kena.
"Lo kenapa sih!?" bentak Rei, mulai marah.
"Kayaknya lo bener-bener nggak bisa ngelepas Langen deh, Rei, jadi gue bantu ngelepas apa
yang udah lo liat di gunung aja. Meskipun menurut gue itu hak Langen. Selama belom merit sih
tubuh dia ya hak dia sendiri. Harusnya lo bersyukur, karena bukan cuma lo yang tau bahwa
Langen...," Rangga menyeringai, "seksi abis!" Dia bersiul panjang.
Tepat di titik yang paling rawan!
Rei langsung meledak. Rangga yang sebenarnya sudah mempersiapkan diri, jadi kewalahan juga
saat pukulan-pukulan Rei ternyata serius dan fokus.
"Harusnya dia nggak buka baju di depan sohib-sohib gue!" bentak Rei. Diikuti satu pukulan
untuk Rangga. Rangga berkelit sebisanya, karena ilmu bela dirinya jauh di bawah Rei.
"Harusnya cuma gue yang ngeliat badannya!" teriak Rei. Satu pukulan lagi untuk Rangga.
"Dengan enteng dia buka maju di depan banyak orang. Tapi mati-matian bertahan di depan gue!"
Teriakan lagi. Pukulan lagi.
"Harusnya itu jadi beban. Tapi lo liat" Dia tetep santai! Tetep enjoy! Sementara gue nggak bisa
berhenti mikirin! Sialan nggak tuh!?"
"Gue sayang dia! Bener-bener gue sayang dia! Tapi gue nggak bisa ngelupain apa yang udah dia
lakukan di gunung waktu itu!"
Lagi-lagi teriakan dan pukulan, dan baru berakhir setelah Rei benar-benar kelelahan. Terkapar di
atas rumput. Rangga lalu berjongkok di sebelahnya. Sama lelahnya, malah ditambah lebamlebam akibat pukulan-pukulan Rei yang tidak bisa dihindarinya."
"Udah keluar semuanya?" tanya Rangga pelan.
Rei tidak menjawab. Napasnya masih naik turun tidak teratur. Mukanya pucat. Dengan sabar
Rangga menunggu sampai kondisi Rei kembali normal.
"Thanks, Ga," bisik Rei akhirnya.
Rangga mengangguk. "Langen ada di sini. Gue minta, sekarang lo denger alasannya."
Rei terkejut. Sontak dia bangkit dari posisi baring, dan seketika terpana mendapati Langen tidak
jauh di depannya. Mantan pacarnya itu berdiri bersandar di dinding dan tengah menatapnya
dengan sorot mata yang tidak bisa dijelaskan. Dengan ekspresi wajah yang juga tidak bisa
dijelaskan. Rangga bangkit berdiri dan berjalan ke dalam dengan agak terhuyung. Sesaat dia berhenti di
depan Langen yang membeku pucat.
"Denger tadi?" tanyanya pelan. Langen mengangguk. Rangga mengusap rambutnya lalu
menghilang ke dalam. Kini hanya tinggal mereka berdua. Rei. Langen. Pengganjal telah disingkirkan. Tinggal
keikhlasan masing-masing untuk bisa memaafkan.
Perlahan, Rei menghampiri Langen. Gamang. Masih tersisa kemarahan, tapi juga kangen.
Kangen yang menekan kuat dan jadi terasa menyakitkan.
Kini mereka berhadapan. Langen menatap diam. Pada seseorang yang berdiri sangat dekat di
hadapan. Hanya bisa begini, karena dirinya pernah diminta untuk pergi. Jadi keberanian itu
sudah hilang. Perlahan Rei mengulurkan tangan kirinya. Diraihnya tangan kanan Langen dan diletakkannya
kelima jari itu di sana. Telapak dan jari-jari itu dingin, membuat Rei urung melepaskan
genggamannya. "Tutup mata kamu," pinta Rei lirih.
Langen menutup kedua matanya. Dalam kegelapan, dirasakannya jantung Rei mengentak kuat.
Dan cepat. Seakan jantung itu bisa ditariknya keluar dari rongga dada. Seakan jantung itu
berdetak di dalam genggaman tangannya.
"Sakit banget, La," desis Rei lirih.
Perlahan Langen membuka mata. Ditatapnya Rei yang lelah. Dan kelelahan itu menyakitinya.
Langen menggigit bibir dan menundukkan kepala. Ia menarik napas. Panjang dan perlahan.
Ketika diangkat kembali kepalanya, Rei masih menatapnya. Masih menggenggam tangan
kanannya. Merasakan detak jantung itu bersama-sama.
Ketika kemudian Langen bicara, Rei mendengarnya dalam nada yang belum pernah
didengarnya. Kecewa, capek, letih, sedih.
"Kebut gunung itu sama sekali bukan game yang fun. Itu malah game yang bener-bener keras.
Sebenarnya aku sama Fani nggak sanggup, tapi aku sama sekali nggak bisa minta tolong kamu
karena kamu selalu ada di sebelah Bima. Kamu malah jadi lebih keras daripada dia. Dan aku
sadar, waktu itu kayaknya nggak mungkin lagi bisa minta tolong kamu. Tapi aku masih coba
untuk gambling. Terakhir kali. Jadi buka baju waktu itu, gambling sebenarnya. Kalo kamu masih
juga nggak mau nolong, yaaa..." Langen mengangkat bahu. Tersenyum dengan makna yang tidak
bisa dibaca. Kemudian Langen melanjutkan, "Aku nggak akan begitu kalo nggak ada kamu di sana. Aku
nggak akan buka baju kalo tau nggak akan ada yang melindungi. Karena waktu itu ada kamu,
aku yakin pasti aku nggak akan kenapa-napa. Nggak akan diapa-apain. Pasti aman. Pasti save,"
Langen terdiam lagi. Kali ini ditariknya napas panjang-panjang. "Waktu kita cuma berdua di
kontrakan teman kamu itu, aku bertahan mati-matian karena aku sadar aku sendirian. Betul-betul
harus bisa melindungi diri sendiri. Karena kamu yang waktu itu di depanku bukan kamu yang
waktu itu di gunung. Bukan orang yang sama."
Rei tertegun. Genggamannya terlepas. Dia bergerak mundur tanpa sadar. Tangan kanan Langen
meluruh jatuh karena dada itu menjauh.
Rei menatap Langen dengan mata terbelalak. Benar-benar terguncang. Benar-benar tidak
menyangka, itulah pemicu yang sebenarnya. Langen berusaha berlari padanya, meminta
perlindungan. Namun yang dilakukannya justru tetap memaksa gadis itu berdiri sebagai lawan.
Rei sama sekali tidak bersedia mengulurkan tangan, sampai kemudian Langen terpaksa
melakukan pilihan terakhirnya.
Ketika beberapa saat terlewat dan Rei masih juga membeku, Langen mengira akhirnya hubungan
mereka memang sudah sampai di dasar jurang. Saatnya untuk benar-benar mengucapkan selamat
tinggal. Gadis itu tersenyum. Ikhlas sudah. Ditatapnya Rei.
"Terima kasih ya, udah nolong aku di gunung waktu itu. Sebenarnya pingin ngucapin dari dulu,
cuma nggak tau gimana caranya. Habis, tiba-tiba kamu marah. Waktu aku tau kenapa, udah
nggak ada kesempatan untuk ngomong lagi. Kamu nyuruh aku pergi. Aku juga mau minta maaf,
udah nyakitin kamu sampe begini. Maaf, ya."
Langen menangkupkan kedua tangannya di depan bibir. Tersenyum lagi, lalu balik badan dan
pergi. Rei tercekat. Kemudian dia mendapati dirinya melompat begitu saja, menyambar tubuh Langen
dengan kedua tangan dan memeluknya dengan keseluruhan fisik dan jiwanya.
Kemarahannya menguap. Meninggalkan rongga kosong yang segera digantikan rasa bersalah.
Dan rasa baru ini ternyata lebih menyakitkan!
"Tolong lepas. Aku mau pulang. Capek," pinta Langen lirih. Tetapi itu justru membuat pelukan
Rei makin kuat. Hingga tidak lagi menyisakan ruang di antara mereka.
Kini, Langen merasa seakan jantung Rei berdetak di telinganya. Kuat. Cepat. Sekuat tenaga Rei
berusaha meredam, tapi tidak bisa. Ditutupnya mata. Dikatupkannya kedua rahangnya.
Lama, ketika akhirnya cowok itu berhasil mengontrol kembali emosinya, dia urai pelukannya.
Diangkatnya dagu Langen, dimintanya gadis itu untuk menatap matanya.
"Gimana cara nebusnya?" tanya Rei pelan.
"Nggak tau." Langen menggeleng. Sungguh-sungguh tidak tahu. Sama sekali bukan karena ingin
menyiksa Rei. Kedua rahang Rei mengatup lagi. Kedua matanya yang menatap Langen meredup. Dia mengeluh
jauh di dalam hati. Rasa bersalah ini... "Bilang, La, aku harus gimana" Tolong jangan diem aja," Rei memohon.
Langen menggigit bibir. Ada satu hal yang sebenarnya sangat dia butuhkan. Dan hanya Rei yang
bisa memberikan. "Mmm... kalo gitu aku mau minta tolong," ucap Langen kemudian. Dengan nada sangat hatihati. "Habis kebut gunung itu, aku sebenarnya malu banget kalo ketemu Bima sama Rangga.
Makanya selama ini, kalo bisa menghindar, aku pilih menghindar. Kalo nanti ketemu mereka,
boleh nggak aku ngumpet di belakang kamu?"
Ya Tuhan! desis Rei dalam hati. Seperti mata pisau yang belum lama dicabut, dan sedetik
kemudian ditancapkan kembali.
Ditatapnya kedua mata Langen yang menatapnya dengan pandang memohon.
"Ada lagi?" tanya Rei dengan dada semakin sakit.
Langen mengangguk. "Surat pernyataan waktu kebut gunung itu, aku titipin Rangga. Soalnya aku kira kamu udah
nggak mau ngomong lagi. Itu nggak ada salinannya. Aku juga nggak pernah punya niat untuk
nyebarin di kampus. Waktu itu cuma gertakan aja, supaya kita nggak lagi berantem sampe parah
gitu. Juga supaya kamu mau cepat nolong, sebelum lebih banyak lagi orang yang ngeliat aku
dalam kondisi begitu."
Cukup! Rei tak sanggup lagi. Dia menarik Langen menuju gazebo di sudut halaman.
"Ngapain ke sini?" tanya Langen tak mengerti.
"Udah diem," jawab Rei. Pelan dan pendek. Ditariknya Langen sampai jatuh terduduk di lantai
kayu gazebo, di antara rentangan kedua kakinya. Kemudian dipeluknya cewek itu dengan tangan
kirinya. "Ngapain sih di sini?" tanya Langen lagi.
"Dibilang diem."
"Iya, tapi..." Dengan tangan kanannya yang bebas, Rei membungkam mulut Langen. Ditatapnya gadis itu
tepat di manik mata. "Aku peluk sampe pagi, ya?" bisiknya.
Langen terbelalak. Rei melepaskan tangannya lalu mencium bibir Langen sebelum gadis itu
sempat menyuarakan protesnya. Kemudian direbahkannya kepala Langen, yang masih
menatapnya tercengang, di dada kirinya.
"Udah... jangan ngomong lagi."
Langen menurut. Keduanya terdiam. Dada yang masih terasa sesak menyiksa Rei dan membuat
pikirannya berputar. Tangan kirinya mengusap-usap puncak kepala Langen tanpa sadar.
Beban yang terangkat, hati yang lega, matahari sore yang hangat, pelukan Rei yang
menenangkan, akhirnya membuat Langen tertidur.
Rei menunduk saat didengarnya bunyi napas yang teratur. Tersenyum tipis, diciumnya kening
Langen. Hari menjelang gelap. Lampu taman dinyalakan dari dalam. Tak lama Rangga datang dan
langsung menghampiri dua orang yang menghuni gazebonya.
"Tolong jangan sekep anak orang di rumah gue. Ntar gue kudu ikut tanggung jawab juga!"
katanya. Tapi sesaat kemudian Rangga bungkuk dan menatap wajah Langen dengan saksama.
"Tidur!?" tanyanya tercengang.
"He-eh." Rei mengangguk. Tertawa tanpa suara.
"Sinting lo! Anak orang dibekep sampe tidur begitu." Rangga mengambil tempat di sebelah Rei.
"Udah tau, siapa yang harus minta maaf?" tanyanya pelan.
Rei mengangguk lagi. Ia menarik napas panjang-panjang.
"Thanks, Ga," ucapnya sungguh-sungguh.
Rangga mengangguk. "You're welcome. Lain kali kalo ada masalah, cerita aja. Jangan dipendem
sendiri." MAHAMERU... Lompatan yang terlalu jauh untuk mereka yang melakukan pendakian perdana dengan cara
melibatkan begitu banyak pendaki berpengalaman.
Mahameru dipilih Rei bukan karena gunung itu merupakan puncak tertinggi di Pulau Jawa dan
punya track yang sulit, tapi lebih karena gunung itu sangat eksotis. Mistis, tapi juga cantik.
Sepertinya Rei belum pulih dari rasa bersalahnya. Sampai hari ini, dia masih berusaha
Still Sekuel Cewek Karya Esti Kinasih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menebusnya. Karena itu Bima dan Rangga menyetujui usul itu tanpa banyak bertanya.
Tinggal Langen dan Fani yang cemas. Keduanya menatap kertas yang diberikan Rei tadi pagi,
sebelum kuliah mulai. Tentang rencana keberangkatan, urutan kegiatan, jangka waktu, daftar
perlengkapan, sampai perkiraan biaya.
Tidak perlu diskusi sama sekali. Cukup memelototi kertas itu selama 10 menit, keduanya
langsung mencapai kata sepakat. Menolak ikut! Sementara Febi tergantung sama terbanyak saja.
Ketika jam 4 sore Rei cs datang untuk menjemput cewek masing-masing, Langen"berbicara
atas nama diri sendiri juga kedua temannya"mengatakan keputusan mereka. Dengan suara
pelan, sikap tubuh, serta ekspresi wajah meminta maaf.
Di luar dugaan, ketiga cowok di depannya tertawa geli. Soalnya mereka tau persis alasan
sesungguhnya penolakan itu.
"Udah dong. Masalah kemaren itu kan udah selesai. Lo berdua takut apa sih?" tanya Rangga.
Langen dan Fani bingung menjawab. Keduanya hanya mengangkat bahu. Rangga tersenyum
geli. Diraihnya tangan Febi. "Lo berdua jelasin deh. Lagi pula ini kan proyek lo, Rei," ucap
Rangga kepada kedua sahabatnya. Kemudian cowok itu pergi bersama Febi.
Yang masih tertinggal dari Bima yang dulu, salah satunya adalah sifat usilnya. Dan inilah
penjelasan yang diberikannya untuk Langen dan Fani, dengan tampang serius.
"Semeru itu ya, selain track-nya susah, puncaknya juga ngeluarin uap beracun. Suhunya juga
relatif lebih dingin. Makanya banyak makan korban."
Cowok itu langsung tertawa keras begitu kedua wajah di depannya seketika ternganga ketakutan.
Rei melirik Bima dengan jengkel, membuat tawa Bima makin geli dan makin panjang.
"Info tadi bener, kok," kata Bima setelah tawanya reda. "Tapi kami ngajak kalian untuk
nunjukkin tempat-tempat bagus di sana. Jadi pendakiannya nanti akan santai kok. Nggak ada
target waktu." Tiba-tiba Bima mengulurkan kedua tangan dan meraih Fani ke dalam pelukannya. Satu lagi sifat
lamanya yang masih tertinggal. Fani cuma bisa kaget.
"Lo tanya dia aja, planning yang jelas itu gimana, La. Oke?" Bima menatap Langen sesaat,
sebelum kemudian beralih ke Rei. "Lo jelasin yang sejelas-jelasnya, ya. Biar muka paniknya itu
hilang. Kasian..." Ditepuknya bahu Rei. "Kami duluan. Bye!"
Bima pergi, bersama Fani dalam rangkulannya. Rei dan Langen masih bisa mendengar suara
Bima menjelaskan rencana pendakian ke Semeru itu kepada Fani. Rei mengembalikan
tatapannya pada Langen setelah kedua orang itu hilang dari pandangan.
"Semeru nanti pendakian santai, kayak yang tadi udah dibilang Bima," jelasnya dengan nada
suara yang menenangkan. "Kalo kamu nggak sanggup bawa beban pun nggak apa-apa. Ada
banyak tempat bagus di sana. Itu yang mau aku tunjukin ke kamu. Semeru itu eksotis banget.
Gimana" Ikut, ya?"
Nada berharap itu... Langen jadi tidak tega untuk menolak permintaan itu. Dia mengangguk dan tersenyum. "Oke!"
Seketika Rei menarik napas panjang. Terlihat sangat lega. Dia ulurkan tangan kirinya dan
dirangkulnya Langen. "Jalan yuk" Cari perlengkapan. Ada beberapa yang harus dimiliki setiap pendaki, karena amat
vital. Sisanya baru kita pinjam dari inventaris Maranon."
Dari jauh, Rangga dan Febi menyaksikan kepergian kedua orang itu.
"Mudah-mudahan nggak ada ribut-ribut lagi deh," ucap Febi pelan. "Aku males jadi juru damai
lagi. Repot." "Ya, kalo nanti mereka ribut lagi, kita adu domba aja sekalian. Aku juga nggak mau dua kali
ditonjokin Rei kayak kemaren itu. Gimana" Setuju?"
Febi melirik cowok di sebelahnya, tertawa geli lalu mengangguk.
"Setuju banget!"
TAMAT Karma Manusia Sesat 1 Dewa Arak 79 Iblis Buta Penghianatan Di Bukit Kera 1
untuk berdiri. Tidak apa-apa sambil menangis.
Perlahan dia berdiri. Diraihnya ponsel di dasbor, diaktifkannya kembali, lalu ditekannya nama
Rei di daftar kontak. Satu lagu yang sudah akrab di telinga menyertainya menunggu. Begitu Rei mengangkat telepon,
Bima langsung bicara bahkan sebelum Rei sempat membuka mulut.
"Lepasin dia..."
Rei tercengang. Sesaat dia sampai tidak bisa bicara.
"Bisa... diulang?" ucap Rei kemudian dengan sangat hati-hati.
Bima menggertakan gerahamnya kuat-kuat. Perlahan kedua matanya menutup. Dia sepenuhnya
sadar, dirinya benar-benar sedang menuju kekosongan.
"Lepasin. Biarin dia pergi," ucapnya kemudian. Berat dan susah payah.
Di seberang, Rei tertegun. Beberapa detik kesenyapan mendominasi. Rei masih menunggu, tapi
Bima sudah tidak ingin bicara lagi. Akhirnya Rei menghela napas. Berat dan panjang.
"Oke," ucapnya pelan.
*** "Gitu dong! Rambut gondrong, badan gede, anak gunung. Kalo punya tato kan tambah keren."
"Nggak bayar, kan?"
"Boleeeh. Tapi pake tinta printer. Mau lo?"
Bima tertawa. Dilepasnya kancing-kancing kemejanya lalu dilemparnya kemeja itu begitu saja
ke meja di sudut ruangan. Kemudian dia berjalan menuju kursi di sudut yang lain dan
menjatuhkan diri di sana.
"Di mana?" "Dada kiri." "Objeknya?" "Abstrak aja. Terserah elo."
Teman Bima, yang membuka jasa pembuatan tato, mengerutkan kening mendengar kalimat itu.
"Kalo ditanya orang gambar apa?"
"Biar mereka bikin definisi sendiri. Udahlah, cepet. Gue bikin tato bukan untuk diliat orang.
Tolong bikin gambar yang paling rumit."
Bima memejamkan mata saat jarum mulai menusuk-nusuk dada kirinya. Sakit. Namun
sejujurnya, kalau bisa dia ingin merasakan yang jauh lebih sakit dari ini. Jauh lebih sakit! Agar
bisa mengurangi rasa bersalahnya sedikit saja.
Rei dan Rangga tidak banyak berkomentar saat mereka mengetahui dada kiri Bima bertato. Juga
ketika Bima mulai merokok. Keduanya membiarkan. Setidaknya itu bentuk pelarian yang
risikonya cukup minimalis dan hanya menimpa yang bersangkutan. Tidak orang lain.
Kemudian Bima juga menjelma menjadi gentleman sejati. Sopan. Sekarang bersamanya benarbenar aman dan nyaman. Tangannya tidak lagi aktif, dan matanya berhenti melakukan
pelecehan. Hasilnya... Sekarang cowok itu nyaris tidak pernah sendirian. Banyak nama, banyak wajah, datang dan pergi
bergantian. Jeep kanvasnya kini sepadat bus-bus angkutan.
Hanya Rei yang bisa memahami. Untuk satu ruang kosong yang kini tak lagi terisi, mereka yang
datang dan pergi itu bisa sesaat menutupi. Karenanya Rei membiarkan Bima seperti itu. Untuk
sementara biar dia begitu. Karena begitu sendirian, Bima akan kesepian.
TUGASNYA menjaga Fani akhirnya selesai. Tapi Rei justru menemukan dirinya diserang
kepanikan, karena menjaga Fani adalah satu-satunya alasan baginya untuk menghampiri Langen.
Untuk menatapnya, dan bicara padanya. Dan sekarang, satu-satunya alasan itu direnggut dari
tangannya. "Fan, jaga diri baik-baik, ya. Kalo pulang malem sendirian, telepon gue atau Rangga. Nanti kami
jemput. Jangan pulang sendirian."
"Ini pesen buat gue?" tanya Fani. Dia bisa merasakan kegelisahan yang pekat dalam suara Rei.
"Siapa lagi?" Rei melotot dongkol.
"Ooooh..." Fani mengangguk-angguk. "Makasih ya."
"Good luck. Semoga si Ferry itu emang orang yang lo cari selama ini. Oh ya, tolong sampein ke
dia, gue minta maaf udah bikin kacau kemaren-kemaren itu."
"Makasiiih..." Fani tersenyum manis. "Jadi, lo nggak akan ganggu lagi, kan?"
Rei cuma menatap sesaat tanpa menjawab, lalu pergi. Fani memandangi kepergian cowok itu
dengan senyum semakin lebar. Hampir saja dia menjerit girang. Akhirnya GPK satu itu pergi
juga. Namun, momen saat akhirnya Rei mundur dan Fani dibebaskan, bersamaan dengan momen
topeng Ferry terlepaskan. Sepasang mata Rei yang selama ini tidak berhenti mengawasi akhirnya
membuat Ferry lelah dan memunculkan sisi lain dirinya yang selama ini tertutupi.
Setelah break yang memakan waktu lebih dari seminggu, hanya berkomunikasi lewat SMS dan
telepon, Fani kaget mendapati "Prince Charming"-nya sudah tidak charming lagi. Senyum dan
tatap mata Ferry yang begitu melelehkan, juga kata-kata lembutnya yang melenakan, semuanya
hilang. "Ada apa?" tanya Fani hati-hati.
"Mana bodyguard kamu itu?"
"Mmm..." Fani bingung menjawab. Akhirnya dia hanya mengangkat bahu. "Ada apa sih" Kok
mendadak kamu jadi lain begini?"
Ferry tidak langsung menjawab. Hanya diraihnya tangan Fani dan digandengnya menuju tempat
mobilnya diparkir. "Jalan yuk. Di kampus nggak enak, diganggu melulu."
Sedan Ferry kemudian meninggalkan gerbang kampus, menyusuri jalan raya dan berhenti di
depan sebuah hotel. "Ngapain ke sini?" tanya Fani heran.
"Ngapain?" Ferry menoleh. "Kamu pasti lagi pura-pura bego, kan?" Ferry tertawa. "Kasih ke
aku, apa yang kamu kasih ke Bima!"
Fani ternganga. "Jadi selama ini kamu nggak serius?" tanyanya dengan suara mendesis, saking
tidak percayanya dengan perubahan kondisi yang tiba-tiba itu.
"Serius?" Ferry mengangkat kedua alisnya tinggi-tinggi. "Kamu naif apa bego sih" Bekas cewek
Bima cuma pas untuk iseng doang, tau! Gila apa, serius sama cewek rusak?"
Kembali Fani ternganga. "Apa maksud kamu dengan cewek rusak" Aku nggak pernah ngapa-ngapain sama dia!"
"Nggak usah pura-puralah. Semua orang tau kok, reputasi Bima. Semua cewek yang pernah jalan
sama dia, sebelom dan sesudahnya udah pasti beda. Buktinya, kamu juga jalan sama sohibnya,
kan" Rei itu." "Nggak semua!" bentak Fani dengan nada tinggi. "Aku nggak begitu. Dan aku nggak ada
hubungan apa-apa sama Rei!"
"Oh, ya" Gimana caranya supaya aku bisa tau" Buktiin dong, supaya aku yakin kamu emang
belum pernah ngapa-ngapain atau diapa-apain sama Bima atau Rei itu. Ini hotel mahal. Liat,
kan" Aku nggak bawa kamu ke tempat sembarangan."
Fani benar-benar merasa seperti dipukul dengan gada besar. Dengan mata menyipit saking tidak
percayanya, ditatapnya Ferry. Cowok itu juga sedang menatapnya dengan senyum menantang
dan kedua alis terangkat tinggi.
Setelah beberapa saat terperangah, tidak yakin ini memang kejadian nyata, akhirnya Fani
mengangguk. "Oke. Kamu tunggu di sini sebentar. Ada yang mau aku kerjain."
"Sweet. Pasti aku tunggu lah..." Ferry tersenyum lebar.
Masih dengan sepasang mata yang menatap Ferry lurus-lurus, Fani membuka pintu di
sebelahnya lalu turun. Dengan tangis yang sudah sampai di pangkal tenggorokan, dan setengah
mati ditahannya agar tidak pecah keluar, gadis itu berjalan cepat ke arah pos sekuriti, tidak jauh
dari situ. Disambarnya sepatang tongkat yang tergeletak di meja. Petugas sekuriti pemilik
tongkat itu sontak berteriak dan mengejar Fani yang berlari keluar pos sambil membawa
tongkatnya. Namun larinya terhenti saat dilihatnya gadis itu dengan kalap memecahi kaca sebuah
sedan. Si pemilik sedan hanya bisa terperangah setelah sempat melompat keluar dari mobilnya.
Fani menghentikan aksinya setelah seluruh kaca mobil Ferry retak parah dan aksinya itu jadi
perhatian orang. Ditatapnya cowok itu dengan sepasang mata yang menyorotkan kilat
kemarahan. Dia sudah bersiap akan meninggalkan tempat itu saat mendadak disadarinya ada
begitu banyak orang di sekitar.
"APA LIAT-LIAT!" HAH!?" Dibentaknya kerumunan orang yang terdekat. Kemudian Fani
balik badan dan meninggalkan tempat itu. Ketika melewati petugas sekuriti hotel yang masih
terpana, Fani mengembalikan tongkat itu dan mengucapkan terima kasih dengan suara serak.
Di depan hotel, dihentikannya taksi pertama yang lewat. Tangisnya langsung pecah begitu masuk
ke dalamnya dan menutup pintu.
"Ke mana, Dik?" tanya si sopir dengan suara pelan.
"Pulang!" bentak Fani langsung.
"Iya. Pulangnya ke mana?" tanya bapak sopir taksi itu dengan sabar, sambil mengulurkan
sekotak tisu. Fani menerima kotak tisu itu lalu menyebutkan alamat rumahnya sambil terisak. Sepanjang jalan,
gadis itu terus menangis. Kalau saja Rei ada bersamanya saat ini. Atau Bima.
Atau Bima!" Fani tersentak mendengar suara hatinya yang tercetus tiba-tiba itu. Mendadak sesuatu
disadarinya. Berbulan-bulan bersama Bima, dirinya tidak pernah jatuh sampai ke situasi seperti
ini! *** "Gue nggak nyangka!" Langen geleng-geleng kepala. "Asli! Kayaknya dia sayang banget sama
elo." "Itu dia!" Fani membersit hidung lalu menghela napas panjang-panjang. "Omongannya nyakitin
banget. Gue sampe pingin bayar orang buat mukulin dia!"
Febi mendengarkan pembicaraan di jok belakang mobilnya itu sambil menulis SMS. Dia ingin
tahu apa Rei tahu tentang perkembangan terbaru ini, karena selama ini cowok itulah yang
menguntit Fani ke mana-mana.
Jeep Rei muncul tak lama kemudian dan langsung berhenti di sebelah sedan Febi. Cowok itu
melompat turun dan berjalan menuju sisi mobil tempat Fani duduk. Dibukanya pintu.
"Ada apa?" tanyanya langsung. Fani yang kaget dengan kedatangan Rei menjawab tergagap.
"Ng... nggak... nggak ada apa-apa."
Sejenak Rei menatapnya, lalu mengulurkan tangan.
"Ayo ikut gue."
Ditariknya Fani turun dari mobil. Sesaat Rei menatap Langen"yang juga kaget melihat
kedatangannya"lalu menutup pintu dan membawa Fani ke Jeep-nya.
"Mau ke mana?" tanya Fani.
"Udah, ikut aja," jawab Rei pendek.
Rei membawa Jeep-nya meninggalkan kampus menuju pinggiran Jakarta, dan berhenti di tepi
sebuah danau. Cowok itu membuka pintu dan turun.
"Mau es kelapa?"
Fani mengangguk, lalu ikut turun. Ditatapnya danau di depannya. Tidak terlalu luas, tapi
pemandangannya lumayan. Beberapa orang duduk di tepinya dengan alat pancing di tangan. Tak
lama Rei kembali dengan dua gelas es kelapa. Ditaruhnya kedua gelas itu di kap mesin.
"Ada apa?" tanya Rei.
Fani menghela napas, tidak menjawab. Rei lalu berdiri tepat di depannya.
"Cerita... atau lo gue bunuh!" ancamnya, tapi dengan nada lembut.
Fani menunduk, lalu menghela napas lagi. Dengan berat terpaksa ia menceritakan peristiwa itu.
Rei terperangah. "Bangsat tuh orang!" makinya. "Kita balik ke kampus sekarang!"
"Eh! Eh!" Fani buru-buru mencekal satu lengan Rei, yang sudah melangkah menuju pintu mobil.
"Udah deh, nggak usah diperpanjang..."
"Cowok kayak gitu..."
"Udaaah," potong Fani dengan suara letih.
"Udah, nggak usah! Biarin aja deh. Lagian juga gue nggak kenapa-napa."
Rei kembali menghadapkan tubuhnya ke Fani. Ditatapnya cewek itu lurus-lurus.
"Bener, lo nggak apa-apa?"
"Ya apa-apa lah. Cuma kalo ribut juga percuma. Malah tambah malu gue ntar."
Rei menghela napas. Kedua tangannya terulur tanpa sadar, dan merengkuh Fani ke dalam
pelukannya. Diusap-usapnya punggung gadis itu. Tapi tindakannya yang dimaksud untuk
menenangkan itu justru membuat Fani menangis.
"Kenapa sih elo lepas dari Bima, ketemunya cowok kayak gitu?" ucap Rei pelan. "Balik sama
Bima lagi aja, ya?" Seketika Fani melepaskan diri dari pelukan Rei. Dihapusnya air matanya lalu ditatapnya Rei
dengan muka cemberut. "Tragis amat nasib gue. Kayak cowok di seluruh dunia tinggal mereka berdua aja."
Rei tersenyum. "Cuma usul. Ya ampun, gue jadi lupa udah beli es kelapa!"
Rei meraih kedua gelas yang diletakannya di kap mesin. Diberikannya satu pada Fani, lalu
diajaknya cewek itu duduk di pinggir danau.
"Sekarang gue tanya elo, tapi gue minta elo jawab yang jujur. Siapa yang lebih baik, si Ferry itu
atau Bima?" "Brengsek dua-duanya!" jawab Fani langsung.
Rei menoleh sekilas dan tersenyum. "Gue ngomong ini bukan untuk belain Bima, ya Fan. Ini
supaya elo bisa ngeliat masalahnya lebih jelas. Bima emang brengsek. Siapa yang nggak tau"
Tapi dia nggak pake topeng. Semua kebrengsekannya terbuka. Toh cewek-cewek itu datang
juga. Jadi sebenernya yang nyakitin mereka ya diri mereka sendiri. Bima sama sekali nggak bisa
disalahin. Lebih bahaya cowok model Ferry gitu. Cute, sweet, looks like a real gentleman. Tapi
begitu lo lengah sedikit aja..." Rei menggantung kalimatnya. Diteguknya es kelapanya.
"Ya, mungkin cewek-cewek itu berpikir mereka bisa mengubah Bima," komentar Fani.
"Itu dia. Kayaknya semua cewek waktu kecil pernah baca atau nonton Beauty and the Beast. Itu
film bener-bener racun."
"Kenapa sih lo nggak ngelarang Bima?"
"Ngelarang untuk apa?"
"Ya jangan sampe kayak gitu banget lah. Gue tau story-nya cewek-cewek yang putus dari dia.
Kasian banget, tau."
Rei menyeringai geli. "Tau apa sih lo" Cewek!"
Fani melirik Rei dengan pandang dingin.
"Gue tahu. Makanya gue selamet. Cowok!"
Rei tertawa. "Good!" Diacungkannya satu ibu jarinya. "Tapi lo ketipu sama Ferry, kan" Kalo elo nggak gue
tempel terus-terusan kayak kemaren itu, lo akan berakhir kayak mantan-mantannya Bima itu."
Fani terpaksa harus mengakui kebenaran kata-kata itu.
"Semua tau macan itu liar, buas, dan selamanya nggak akan pernah berubah jadi kucing. Tapi
kenapa banyak orang yang tetap nekat" Foto bareng-bareng, bahkan dipiara. Karena keren.
Karena cakep. Jadi kalo suatu saat mereka digigit atau diterkam, ya jangan berlagak seolah-olah
udah jadi korban dong. Itu risiko yang harus mereka tanggung. Bukan salah macannya."
Rei berhenti sejenak. Meneguk sisa es kelapanya.
"Kemudian Rei melanjutkan, "Anjing juga gigit. Tapi karena mereka binatang piaraan, lucu,
manis, nurut, jadi nggak pernah dianggap berbahaya. Baru setelah digigit...." Ditatapnya Fani
dengan kedua alis terangkat.
Fani menghela napas. "Iya tuh, si Ferry emang dog!"
Rei tertawa keras. "Maki aja. 'Anjing!' gitu. Kenapa mesti sopan?"
"Nggak ah. Sayang mulut gue." Fani meringis. Tapi sesaat kemudian mukanya mengeruh.
"Jangan cerita-cerita sama Bima, ya?" pintanya pelan.
"Malu, ya?" Rei tersenyum menggodanya. Tapi begitu dilihatnya wajah Fani jadi merah, cowok
itu cepat-cepat meneruskan. "Oke. Oke. Nggak. Sori." Ditepuk-tepuknya bahu Fani.
"Bener, ya?" "Iya!" Rei mengangguk. "Gue salut sama elo, Fan. Lo cewek pertama yang minta putus dari
Bima. Cewek pertama, yang begitu dilepas, reaksinya kayak kuda yang baru dilepas dari
kandang. Seneng yang bener-bener seneng. Lo juga cewek pertama yang pergi dari Bima tanpa
sakit hati..." Rei tertawa pelan dan menggeleng-gelengkan kepala. "Balik yuk. Udah sore banget
nih." "Makasih banget ya, Rei," ucap Fani tulus.
"Oke. Tapi tolong pikirin juga omongan gue tadi."
Fani mengangguk. Keduanya berdiri. Rei mengembalikan kedua gelas es kelapa itu lalu
menyusul Fani yang sudah menunggunya di Jeep. Sesaat sebelum memutar kunci, Rei menoleh
dan menatap Fani sungguh-sungguh.
"Maafin Bima, ya Fan."
"Lo juga. Maafin Langen, ya?"
Sesaat tubuh Rei menegang. Tapi kemudian kembali normal. Diputarnya kunci. Jeep itu
kemudian meninggalkan tepian danau yang mulai meremang.
*** Rei mengantar Fani sampai ke rumah. Ternyata, Langen dan Febi ada di sana, menunggu dengan
cemas. Keduanya tidak enak mau mengontak ke ponsel dan terlihat lega saat melihat kondisi
Fani yang jauh lebih baik.
Rei langsung pamit. Sebelum pergi, dihampirinya Langen.
"Sahabat macam apa kamu" Nggak bisa jaga Fani. Untung nggak ada kejadian fatal!" tegurnya
marah. Ditikamnya Langen dengan tatapan tajam, sebelum kemudian melangkah menuju Jeepnya dan pergi.
Langen ternganga. "Kenapa dia marah sama gue sih" Kan dia yang terus ngintilin Fani ke mana-mana. Dia dong
yang harusnya tau. Bukan gue."
Febi mengangguk, menyembunyikan senyumnya.
"Gue balik ya, La. Lo nginep, kan?"
"He-eh." Langen mengangguk.
"Fan, balik!" Febi berseru dan melambaikan tangan pada Fani yang terduduk lesu di teras. Fani
membalas lambaian itu dan menyerukan terima kasih.
Di jalan, tak diduga Febi bertemu Rei. Cowok itu baru saja keluar dari sebuah minimarket sambil
menenteng satu krat Coca-Cola. Febi segera meminta sopirnya menghentikan kendaraan.
Kemudian ia langsung menghampiri Rei. Betapa terkejutnya Rei melihat Febi tiba-tiba ada di
belakangnya. Dan lebih terkejut lagi saat mendengar kata-kata yang diucapkan gadis itu sambil
menahan senyum. Kata-kata yang menusuknya telak.
"Lo kangen, tapi marah. Lo marah, tapi kangen."
Rei terkesima. Febi langsung balik badan dan berjalan ke mobilnya.
Still Sekuel Cewek Karya Esti Kinasih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Feb, sebentar!" seru Rei.
Febi tidak mengacuhkan seruan itu dan meminta sopirnya untuk cepat pergi. Rei menatap sedan
yang menjauh itu. "Sialan!" desisnya.
FIRST cut is the deepest.
Dari mana pun cinta itu datang, dari arah yang salah atau benar, torehan pertamanya selalu jadi
yang paling menyakitkan. Mungkin karena kita membuka seluruh hati. Mungkin juga karena dia
membutakan, hingga tanpa sadar kita melepaskan semua pertahanan diri dan membayangkan
versi terindah semua fairytale yang pernah kita baca dan dengar.
Fani menghela napas. Terduduk lesu di dalam mobil. Sendirian. Akhir-akhir ini, entah kenapa
dia ingin sekali sendirian. Tidak ditemani siapa pun, hanya ingin sendirian. Meskipun dengan
begitu dia jadi kesepian. Sepi yang benar-benar terasa sunyi dan kosong.
Sekali lagi dihelanya napas, lalu diambilnya ponsel dari dalam tas. Ada empat SMS masuk.
Dari Langen: Ntar mlm gw nginep.
Dari Febi: Ntar mlm gw telp.
Dari Rei: Ati2 di jln. Jgn nyetir smbl nglamun.
SMS dari Rangga bunyinya hampir sama dengan Rei.
Fani tersenyum. Empat teman terbaiknya. Yang benar-benar mau mengerti kondisinya saat ini.
Juga mamanya. Yang tanpa banyak bertanya, menyerahkan kunci mobil saat dia katakan butuh
kendaraan pribadi untuk sementara ini.
Tidak ada SMS dari Bima. Tentu saja tidak akan ada. Tidak ada alasan cowok itu untuk
mengiriminya SMS. Fani sudah meminta keempat temannya agar jangan cerita. Jadi Bima tidak
tahu soal hubungannya dengan Ferry, yang bahkan langsung berakhir begitu dimulai.
Fani menghela napas. Akhir-akhir ini dia sering memikirkan semua omongan Rei di tepi danau
waktu itu. Yang kalau mau diakui dengan jujur, sebenarnya iya juga. Tapi sudahlah. Meskipun
dipikirkan bahkan diakui, dia tidak melihat itu ada gunanya saat ini.
Kembali Fani menghela napas. Berat. Lelah. Diletakkannya ponsel di dasbor. Kemudian ia
memutar kunci kontak dan menelusuri jalan raya dengan kecepatan sedang. Tapi keheningan di
dalam mobil kembali membuat rasa sepi itu datang. Dan mendadak kesepian itu berubah menjadi
kesedihan. Kesedihan yang terasa berat dan menekan. Kabar Ferry, yang babak belur dihajar Rei
dan Rangga sampai tidak berani muncul di kampus, ternyata tidak cukup melegakan.
Tiba-tiba air mata Fani turun!
Fani terperangah. Cepat dia hapus air mata itu dan dengan panik meraih kacamata hitam dari laci
dasbor. "Kenapa sih gue?" keluhnya. Suaranya sekarang jadi serak.
Tiba-tiba saja dia sangat ingin menangis. Meskipun sudah ditahannya mati-matian, air mata itu
tetap turun. Tidak bisa dicegah. Yang bisa dilakukannya hanya cepat-cepat menghapusnya begitu
mengalir. Tak lama ponselnya berbunyi. Ada SMS masuk. Dengan satu tangan Fani meraih ponselnya dari
dasbor. Ada satu SMS baru. Dan itu membuatnya tersentak seketika. Dari Bima!
Jgn nyetir smbl nangis. BAHAYA! Ada apa"
Tapi SMS Bima itu malah nyaris menyebabkan tabrakan beruntun. Begitu membacanya, Fani
tanpa sadar menginjak rem kuat-kuat. Mobilnya berhenti mendadak. Mobil di belakangnya sudah
pasti ikut berhenti mendadak setelah nyaris saja menyundulnya. Pengemudinya langsung
menekan klakson kuat-kuat. Beberapa motor yang berada di dekatnya juga ikut berhenti
mendadak, dan segera terlontar makian serta sumpah serapah.
"Bisa bawa mobil nggak sih!" Bego!"
"Baru belajar nyetir, ya?"
Fani buru-buru menurunkan kaca dan meminta maaf. Para pengemudi motor di dekatnya sudah
ingin memaki lagi, tapi batal begitu tahu gadis itu habis menangis. Kacamata hitam Fani hanya
bisa menyembunyikan kedua matanya, tapi tidak hidungnya yang memerah.
"Maaf, Mas, Mbak... Maaf. Maaf."
"Maaf ya, Mas. Maaf, Mbak." Satu suara berat ikut meminta maaf.
Fani menoleh dan terpana. Bima berdiri di depan mobilnya, entah muncul dari mana. Cowok itu
lalu menghampirinya dengan langkah cepat.
"Kamu geser," perintahnya dengan nada halus. Karena masih terpana, Fani menuruti perintah itu.
Sambil membuka pintu mobil, sekali lagi Bima meminta maaf pada orang-orang di sekitarnya.
Terutama pengemudi mobil di belakang mobil Fani.
Baru setelah mereka tinggalkan tempat itu, Bima menoleh dan menatap Fani sesaat.
"Kenapa nangis?"
Fani tidak menjawab. "Si Ferry itu, ya?"
Fani tersentak tapi tetap bungkam. Bima menghela napas diam-diam.
"Nggak apa-apa kalo nggak mau cerita," ucapnya dengan suara yang dipaksa tetap tenang.
"Kamu mau ke mana?"
Baru Fani membuka mulut. "Pulang," jawabnya lirih.
Bima mengangguk. "Aku anter ya. Kamu kayaknya lagi kacau."
Jarah jauh yang terasa pendek. Tempat terdekat yang terasa jauh. Sunyi yang menyimpan
gemuruh. Tenang yang menutup riak.
Drama mengenaskan itu akhirnya menelan habis kebersamaan yang singkat itu. Dua-duanya
menyesali habisnya waktu. Tapi tetap tidak ada yang berani untuk memulai.
Kenyataan bahwa gadis di sebelahnya pernah berulang kali dan berusaha keras untuk bisa pergi
darinya, membuat Bima kehilangan nyaris seluruh keberaniannya.
Kenyataan bahwa begitu banyak orang yang hancur karena tindakannya, membuat Bima jadi
berpikir, mungkin ini hukuman untuknya. Ia cuma bisa berharap. Dan definisi berharap itu
ternyata adalah... pasrah dan tidak berdaya.
Dalam hati cowok itu tertawa. Sumbang. Pahit. Benar-benar tidak menyangka dirinya akan jatuh
sampai ke level ini. Kebersamaan itu berakhir. Mobil sudah berhenti di depan pagar rumah Fani. Ijah yang muncul di
depan garasi tidak jadi membuka pintu garasi begitu dilihatnya non majikannya tidak sendirian
seperti waktu berangkat tadi. Dia berjingkat mundur dan menghilang ke dalam.
Bima menatap gadis di sebelahnya yang sesekali masih mengusap pipi.
"Bisa kan masukin ke garasi?" tanyanya. Fani mengangguk.
Bima turun dan berjalan ke arah pagar. Dibukanya kedua pintu pagar yang menuju garasi lebarlebar. Kemudian dia kembali ke sisi mobil dan membungkukkan badan.
"Lain kali jangan nyetir sambil nangis lagi. Bahaya."
"Kok kamu bisa tau aku lagi nangis" Tadi ada di mana?"
Bima tersenyum tipis. "Feeling!" jawabnya pendek. Lalu berdiri dan berjalan menjauh.
Selama berdiri di tepi jalan, menunggu taksi kosong, sesekali Bima menoleh dan menatap Fani.
Kali ini Fani pasrah pada keinginan hatinya untuk juga balas menatap, sampai akhirnya sebuah
taksi kosong berhenti dan Bima menoleh untuk yang terakhir kali. Cowok itu menatapnya
dengan sorot lurus dan tajam, kemudian menghilang ke dalam taksi.
Begitu taksi itu sudah hilang, Fani menarik napas panjang. Rasa sepi itu kembali datang. Rasa
yang baru belakangan ini dia kenal. Rasa sepi yang sunyi dan benar-benar kosong. Fani
mendesah. Dilepasnya kacamata hitamnya, lalu ditundukkannya kepala di atas dasbor.
Berbantalkan kedua lengan.
"Kenapa sih gue?" keluhnya pelan.
Di dalam taksi, Bima merasa tak tenang. Sebentar-sebentar kepalanya menoleh ke belakang,
meskipun tahu mobil Fani sudah tidak mungkin terlihat. Akhirnya dia putuskan untuk kembali.
Ditepuknya bahu si sopir taksi pelan.
"Tolong balik ke tempat tadi, Pak."
Meskipun heran, sopir taksi itu menurut tanpa bertanya. Diputarnya kendaraannya dan taksi itu
kemudian meluncur kembali ke arah semula. Menjelang sampai di tikungan menuju rumah Fani,
Bima minta berhenti. Dia turun dan berjalan menuju tikungan jalan itu. Ia melihat mobil Fani
masih terparkir di pinggir jalan. Di tempat semula. Bima berdiri sejenak, lalu berjalan
menghampiri taksi. "Maaf, Pak. Nggak jadi. Maaf," ucapnya sambil mengeluarkan selembar uang. Kemudian Bima
bergegas pergi tanpa meminta kembalian. Dengan langkah-langkah cepat dihampirinya mobil
Fani. Dilihatnya kepala gadis itu tertelungkup di atas dasbor.
Fani yang tidak menyadari kemunculan Bima, tetap sibuk memikirkan apa yang sebenarnya
sedang terjadi pada dirinya. Ia membiarkan air matanya turun dan menetes satu-satu. Jatuh di
atas celana jins birunya.
Dengan terkejut diangkatnya kepala saat terdengar pintu pengemudi terbuka. Bima sedang
membungkuk dan menatapnya. Cowok itu kemudian masuk dan duduk di sebelahnya.
"Ada apa?" tanyanya dengan suara berat kekuatiran. Sama seperti kedua mata hitamnya.
Fani menegakkan tubuh. Cepat-cepat dihapusnya air matanya, lalu dia menggeleng.
"Pingin nangis aja."
Seketika kedua alis tebal Bima menyatu rapat. Sejenak ditatapnya Fani dengan kedua mata
menyipit. Kemudian cowok itu keluar dan membiarkan pintu mobil terbuka. Ia berjalan ke arah
pintu pagar yang tadi dibukanya lebar-lebar. Ditutupnya kembali pagar itu. Dia kembali ke mobil
dan langsung memutar kunci.
"Jalan-jalan sebentar yuk" Kayaknya kamu butuh refreshing."
Mobil meninggalkan tempat itu. Sama sekali tidak terjadi pembicaraan selama di perjalanan.
Keduanya sama-sama diam. Jengah dengan rasa aneh yang datang. Rasa yang membingungkan.
Rasa asing, tapi juga tidak. Rasa dekat, tapi juga jauh. Sampai kemudian mobil memasuki jalan
aspal bergelombang. Memasuki hutan pinus di satu kaki gunung, dan berhenti di tepi lereng yang
di bawahnya mengalir sebuah sungai.
Bima turun dan membiarkan pintu terbuka. Hawa gunung yang dingin langsung menusuk kulit.
Cowok itu duduk bersila di atas rumput, di bibir lereng. Menikmati suara air yang mengalir.
Menikmati suara serangga-serangga hutan dan bau pinus. Tak lama Fani mengikutinya.
Keduanya duduk berdampingan. Tetap diam. Sampai kemudian Bima menoleh dan mengulangi
pertanyaannya. "Ada apa?" Fani menggeleng. "Bingung."
Bima mengembalikan tatapannya ke kejauhan dan tidak mencoba bertanya lagi.
Kembali hening untuk waktu yang cukup lama. Bima meraba saku kemejanya dan merutuk
dalam hati karena lupa membawa rokoknya. Tertinggal di dasbor mobil Andreas. Kaget begitu
menyadari siapa yang sedang menyetir sambil menangis di mobil belakang, Bima langsung
mencari kepastian dengan mengirim satu SMS. Ketika kepastian itu diperolehnya, seketika itu
juga Bima meminta Andreas untuk menepikan mobil. Tak lama kemudian Bima mendapati
dirinya langsung turun begitu saja, meninggalkan ransel dan semua diktat kuliahnya di mobil
Andreas. Bima merogoh salah satu kantong celana jinsnya dan mengeluarkan sebutir permen karamel.
"Kembalian fotokopi," katanya, menjelaskan alasan kenapa dia cuma punya satu butir permen.
"Nggak apa-apa kan sharing?"
"Ng... nggak deh." Fani menggeleng. Gelengan ragu. Bima jadi tersenyum tipis.
"Nggak deh apa" Nggak deh nggak apa-apa sharing" Atau nggak deh nggak mau?"
Fani tersenyum jengah dan mengulurkan tangan kanannya.
"Minta." Bima jadi tersenyum geli. Digigitnya permen karamel itu sampai pecah menjadi dua, kemudian
dia buka bungkusnya. Dijatuhkannya separuh permen itu ke telapak tangan Fani, dan separuhnya
lagi ke telapak tangannya sendiri. Keduanya lalu mengulum potongan permen itu dalam diam.
Tiba-tiba Bima mengulurkan tangan kirinya dan meraih Fani ke dalam pelukannya. Erat,
meskipun hanya sesaat. Lalu diciumnya kening gadis itu.
Fani terperangah. Bima menatapnya dengan senyum yang bisa dibilang sedih.
"Sori. Dada gue sakit," bisik Fani.
Bima melepaskan pelukannya lalu bangkit berdiri. "Ayo pulang. Udaranya udah semakin
dingin." Fani tidak bereaksi. Masih terkesima dengan pelukan tadi. Cuma sesaat, tapi bisa dia rasakan
pelukan itu dilakukan Bima dengan seluruh perasaan. Dan pelukan itu terasa berbeda. Bukan
seperti pelukan dulu yang sering dia rasakan saat mereka masih bersama.
Bima mengulurkan tangannya.
"Ayo pulang. Kamu udah kedinginan. Udah mulai pilek tuh. Badan kamu juga udah menggigil.
Kita nggak bawa jaket. Kamu dipeluk pasti nggak mau, kan?"
Muka Fani langsung merah. Diterimanya uluran tangan itu. Bima menariknya sampai berdiri,
dan langsung melepaskan genggamannya. Mereka berjalan menuju mobil dalam diam. Sebelum
memutar kunci, Bima menatap Fani. Ada kesedihan di kedua mata dan suaranya ketika
kemudian dia bicara. "Lupain aja pelukan tadi. Sori, aku nggak bisa nahan diri."
Fani mengangguk, tapi dalam hati dia mengeluh pelan. Jadi ikut sedih.
SEJAK itu segalanya jadi semakin sesak. Semakin rumit dan tidak terjelaskan. Keduanya kacau.
Bima. Fani. Namun keduanya juga bungkam. Tidak tahu harus bagaimana menghadapi hati-hati
masing. Tidak tahu harus ke mana mencari jawaban. Apakah masih ada kesempatan, atau
sudahlah, lupakan. *** Ada satu ruang yang kadang kala kosong. Tempat Bima berlari saat hatinya tidak lagi mau diam.
Satu tempat di mana dia bisa berharap dapat melihat kembali apa yang sekarang telah menjadi
kenangan. Auditorium gedung rektorat, di lantai tiga. Halaman depan gedung itu luas, dan tidak hanya
menjadi area parkir untuk kendaraan rektor, para dekan, maupun dosen, tapi juga mahasiswamahasiswa fakultas ekonomi.
Gedung fakultas ekonomi hanya berjarak kurang dari 300 meter di belakang gedung rektorat, dan
satu-satunya fakultas yang tidak mempunyai tempat parkir sendiri.
*** Ada satu ruang yang kadang kala kosong. Tempat Fani berlari saat hatinya tidak lagi mau diam.
Satu tempat di mana dia bisa berharap dapat melihat kembali apa yang sekarang telah menjadi
kenangan. Auditorium gedung rektorat, di lantai tiga. Jalan utama kampus berada di sisi kiri gedung itu.
Kalau Bima tidak melalui gerbang belakang kampus, dipastikan cowok itu akan lewat jalan itu.
*** Disebut apa keadaan ini" Saat seluruh keberanian benar-benar menguap. Hingga hal-hal paling
kecil dan remeh pun terasa membahagiakan dan disyukuri.
Bisa melihat dia dari jauh pun sudah senang. Melihat mobilnya lewat, meskipun cuma sekian
detik, juga sudah membahagiakan. Mendengar suaranya, meskipun jauh dan samar, sudah sangat
melegakan. Semuanya sanggup memupus sedikit rasa kangen dan melambungkan sedikit harapan, manakala
objek pencarian itu masih sendirian atau bersama banyak orang tapi bisa dipastikan masih
sendirian. *** Takdir kadang lucu. Ruang yang sama. Sudut yang sama. Yang satu menjadi objek pencarian
bagi yang lain. Yang lain adalah objek keinginan bagi yang satu. Saling mencari. Saling berharap
bisa mendapatkan penawar. Untuk rasa sakit, kangen, juga harapan.
Dan takdir mengatur mereka untuk tidak saling bertemu. Agar selalu berselisih waktu. Sampai
suatu ketika, takdir memutuskan untuk mempertemukan mereka.
Suatu sore, di akhir jadwal kuliah Fani, di ruang auditorium rektorat yang saat itu kosong, Bima
berdiri di dekat jendela paling kanan. Di tempatnya biasa mengintai. Tapi sepertinya sore ini
akan jadi kelam. Baik Kijang Langen, sedan Fani, maupun jemputan Febi, sama sekali tidak
kelihatan. Tapi diputuskannya untuk menunggu.
Dengan sabar Bima tetap berdiri di tempatnya. Dengan sabar sepasang matanya terus mencari,
tapi hatinya berharap dalam detak ketidaksabaran. Sampai tiba-tiba didengarnya seseorang
berlari menuju pintu dan tak lama di dengarnya hendel pintu ditarik dari luar.
Secepat kilat cowok itu berlari ke balik mimbar dan menyembunyikan diri di sana. Sedetik
kemudian didengarnya pintu terbuka. Orang itu melangkah masuk, lalu menutup pintu. Bima
mendengar suara kursi diseret menuju dekat barisan jendela. Lalu hening. Tidak lagi terdengar
sedikit pun suara. Bima menarik napas panjang diam-diam. Jengkel dengan kedatangan
pengganggu ini yang telah membuatnya, bukan saja kehilangan kesempatan untuk bisa melihat
Fani, tapi juga terjebak di dalam ruangan ini. Tanpa bisa pergi.
*** Akhirnya kuliah hari ini berakhir. Fani menarik napas lega dan buru-buru membereskan diktatdiktatnya. Langen tersenyum tipis menyaksikan itu.
"Good luck ya. Mudah-mudahan lo hepi."
Fani meringis malu. "Malu-maluin ya, La" Lo jangan bilang siapa-siapa, ya" Makin lama gue
pikirin, omongan Rei bener juga."
"Nggak lah. Nggak malu-maluin maksud gue. Wajar kok. Lagian Bima sekarang jadi beda. Kata
Febi lho. Oke deh. Gue duluan ya. Sekali lagi, good luck." Langen memeluk sahabatnya itu.
"Lo pulangnya gimana" Hari ini Febi nggak masuk," tanya Fani sambil membalas pelukan itu.
"Nebeng Dhila sampe terminal. Daaah!"
"Daaah! Ati-ati ya...!"
Keduanya berpisah. Langen bukannya tidak mau menemani. Bima bukanlah objek untuk
dinikmati bersama-sama. Rasa untuk cowok itu hanya milik Fani sendiri. Jadi biarkan dia
menikmatinya sendiri juga.
Fani langsung berlari ke gedung rektorat. Ke ruang auditoriumnya. Selalu, rasa gelisah yang
mencekam langsung menyambut begitu dia sampai di ruangan itu. Seperti biasa, ditariknya
sebuah kursi ke dinding dekat jendela paling kanan, tempat dia biasa mengintai. Yang dia tidak
tahu, tempat itu baru saja ditinggalkan seseorang. Fani butuh kursi, karena Jeep kanvas itu
muncul di waktu yang tidak tentu. Bisa setengah jam lagi, atau satu jam, bahkan bisa dua jam
kemudian. Kadang malah tidak muncul sama sekali. Tapi Fani tidak peduli. Dia punya banyak
waktu. Salah! Waktunya justru mulai habis. Dia sudah tahu tentang itu. Tentang Jeep Bima yang selalu
penuh penumpang. Tentang cewek-cewek yang mengelilinginya. Tinggal menunggu waktu saja,
salah satu dari cewek-cewek itu akan menjadi penumpang tetap Jeep kanvasnya. Menyingkirkan
yang lainnya, sekaligus menyingkirkan dirinya dari ruangan ini. Memaksanya berhenti
mengintai. Dan berhenti mencari.
Mendadak Fani jadi sedih.
"Kenapa juga gue mesti mikirin kayak tadi?" keluhnya lirih. Tetapi otak, apalagi hatinya,
menolak berhenti. Karena hal itu memang akan terjadi. Jadi anggap saja sebagai latihan untuk
mempersiapkan diri. "Aduh!" keluhnya lagi. Belum-belum sudah mulai patah hati. Ia jadi semakin sedih lagi.
Matanya mulai merebak. Perlahan, air mata itu mengalir turun.
*** Lima belas menit sudah terlewat. Bima mulai tidak sabar. Lebih baik pergi, karena sorenya
sudah berantakan. Syukur-syukur dia bisa nyelinap keluar. Apa pun tujuan orang itu, ruang ini
Still Sekuel Cewek Karya Esti Kinasih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bukan miliknya. Jadi dia tidak berhak marah.
Bima keluar dari persembunyiannya dan tertegun seketika. Fani sedang duduk
membelakanginya, di sisi jendela di ujung kanan. Tempat yang juga jadi tempatnya. Gadis itu
sedang menangis tanpa suara. Perlahan, Bima mengeluarkan ponselnya dari saku celana. Ia
menulis satu SMS singkat dan segera mengirimkannya.
Tak lama terdengar suara ringtone. Fani membersit hidung lalu membuka tas dan mencari
ponselnya. Ada satu SMS masuk. Dari Bima!
Cewek itu sontak ternganga. Tidak percaya. Dengan jantung berdegup keras, dibukanya SMS itu.
Isinya sangat singkat. Knp nangis" Kembali Fani tersentak. Kali ini benar-benar kaget. Seketika dia melompat berdiri. Jeep kanvas
itu sama sekali tidak terlihat, tapi Fani yakin Bima pasti ada di luar sana. Dan cowok itu bisa
melihatnya! Fani bergerak mundur menjauhi jendela. Dadanya berdegup semakin kencang. Bima melihatnya
menangis!Lebih baik cepat-cepat pergi sebelum Bima datang ke sini dan bertanya langsung. Saat
ini dirinya tidak punya jawaban yang tepat untuk pertanyaan itu.
Fani balik badan dan langsung membeku. Bima berdiri menjulang di depannya. Cowok itu
langsung bertanya. Persisi seperti bunyi SMS-nya.
"Kenapa nangis?"
Fani tergeragap. Tidak mungkin menjawab pertanyaan itu apa adanya.
"Mmm... ini..." Dia terdiam.
"Ada apa?" ulang Bima. Sepasang mata hitamnya menatap khawatir.
"Nggak ada apa-apa. Bener!" Fani menggeleng kuat-kuat.
"Nggak ada apa-apa, kenapa nangis?"
Fani sudah akan menghapus air matanya, tapi Bima menahan geraknya.
"Ada apa?" suara Bima melembut.
Fani menghela napas dan menundukkan kepala.
"Itu, Matematika-ku dapet D," jawabnya pelan. Dia tidak sepenuhnya berbohong. Nilai
Matematika-nya jeblok dan keharusan mengulang mata kuliah memuakkan itu memang jadi
beban pikiran. Sesaat kening Bima jadi mengerut, kemudian dia tersenyum geli.
"Banyak yang pernah dapet D, apalagi Matematika. Tapi belom pernah ada yang aku liat sampai
depresi kayak kamu begini. Bener cuma itu?"
"Iya." Fani mengangguk cepat.
"Oke." Bima mengangguk-angguk. Kemudian dia menghampiri jendela. "Lagi liat apa?"
Kembali Fani jadi tergeragap. Tapi kemudian dia memutuskan menyerang balik. "Kamu ngapain
di sini?" Pertanyaan Fani membuat Bima jadi tersenyum lebar, hampir tertawa.
"Oke, sori. Harusnya aku nggak tanya."
Cowok itu lalu berdiri di depan jendela paling kanan itu. Menatap area parkir. Dia tahu apa yang
sedang dicari Fani. Cowok bernama Ferry itu. Yang terkadang memarkir sedannya di bawah
sana. Berarti hubungan mereka masih belum jelas. Namun itu bukan urusannya.
Langkahnya sudah surut sejak lama. Ingin sekali ia mengakui bahwa... ya, dia mencintai gadis
yang saat ini bersamanya. Tapi itu tidak ada gunanya kalau sepasang mata itu tidak lagi menatap
ke arah dirinya. Hanya akan sia-sia. Tidak ada cermin yang bisa memantulkan kata "ya" itu.
Tidak ada gema yang bisa menciptakan perulangan , agar tetap ada harapan meskipun dua, tiga,
atau seratus "ya" sebelumnya tidak terdengar.
Diam-diam Bima menarik napas panjang. Menekan ra
sa sakitnya sampai ke tempat terdalam.
Sementara Fani, setelah sempat ragu-ragu, akhirnya memutuskan untuk menghampiri Bima dan
berdiri di sebelahnya. Mungkin ini terakhir kalinya mereka ada di satu tempat bersama-sama,
hanya berdua. Saat berdiri di sebelah kanan Bima itulah, lewat celah kemeja Bima yang dua kancing teratasnya
terbuka, Fani bisa melihat ada tato disana. Di dada kiri Bima. Seperti apa yang pernah dikatakan
Langen, Febi, juga cewek-cewek histeris itu.
"Kamu punya tato sekarang?" tanya Fani hati-hati.
"Baru tau?" tanya Bima tanpa menoleh.
"Iya. Temporer?"
"Permanen." "Gambar apa?" Bima menoleh dan sesaat ditatapnya Fani. Cowok itu lalu membuka seluruh kancing kemejanya
dan menyingkap dada kirinya. Dihadapkannya tubuhnya ke Fani.
"Gambar apa kira-kira?"
Fani menyipitkan kedua matanya. Ditatapnya tato Bima dengan saksama. Kepalanya sampai
miring ke kiri lalu ke kanan, lalu ke kiri lagi. Tapi tetap dia tidak tahu gambar apa itu. Akhirnya
dia geleng kepala. "Nggak tau. Nggak jelas. Gambar apa sih?"
Bima tersenyum tipis. "Bukan gambar apa-apa. Aku nggak perlu gambarnya. Aku perlu sakitnya!"
Seketika Fani terpana. "Kenapa?" tanyanya hati-hati.
Bima tidak menjawab pertanyaan itu. Dia justru mengajukan pertanyaan balik.
"Boleh aku minta anting kamu yang sebelah kiri?"
Fani terpana lagi. Baru dia sadari, ada lubang bekas tindikan di telinga kiri Bima. Perlahan gadis
itu mengangguk. Dilepasnya anting kirinya lalu diserahkannya pada Bima.
"Thanks," ucap Bima pelan. "Segi tiga?" tanyanya kemudian.
"Piramid." Fani tersenyum. Tidak ingin mengatakan yang sebenarnya bahwa itu simbol gunung.
Tempat yang paling dicintai Bima.
"Oh..." Cowok itu mengangguk. "Thanks," ucapnya sekali lagi. Dimasukkannya anting itu ke
dalam saku celana jinsnya. Kemudian ia mengeluarkan sekotak rokok dari saku kemeja dan
menarik sebatang. Disulutnya rokok itu. Kembali Fani ternganga.
"Kamu ngerokok sekarang?" tanyanya pelan.
"Baru tau lagi?" Bima mengangkat kedua alisnya. "Kamu kayaknya yang paling ketinggalan
berita, ya?" Dia menggeleng-gelengkan kepala.
"Kenapa?" Sejenak Bima menarik napas panjang. Dia menoleh dan menatap Fani tepat di manik mata.
"Kenapa" Karena ini yang paling aman. Karena kalo aku pilih minum, itu bisa bikin aku kalap
dan nongol di rumah kamu. Dan kalo udah begitu, belom tentu kamu bisa selamet. Meskipun di
rumah sendiri dan ada orangtua kamu di sana!"
Seketika Fani memucat. Bima jadi tertawa melihat muka pucat dan tegang itu. Tawa yang tidak
pasti maknanya. Bisa sakit, bisa juga kecewa. Atau sedih.
"Takut, kan" Makanya aku pilih ngerokok. Karena merokok tidak menghilangkan kesadaran!"
Cowok itu menghisap rokoknya dengan tarikan panjang dan menghembuskan asapnya kuat-kuat.
Dengan rokok masih terselip di bibir, dikancingkannya kembali kemejanya.
"Aku duluan ya," katanya kemudian.
Fani tersentak. Seketika jadi nelangsa dan putus asa karena kebersamaan itu akhirnya berakhir
juga. Tapi ia tahu, ia tidak mungkin mencegah. Fani mengangguk. "Daaah...," ucapnya,
tersenyum kikuk. Bima balas tersenyum lalu balik badan dan melangkah menuju pintu. Tapi mendadak dia
berhenti, balik badan dan kembali menghampiri Fani.
"Bener kamu mau tau kenapa aku nyakitin diri?" tanyanya pelan. Ekspresi wajahnya sekarang
begitu serius. Fani tidak langsung menjawab. Dia masih kaget karena Bima tiba-tiba kembali.
"Ke... napa?" tanyanya kemudian dengan gagap.
Ganti Bima yang tidak langsung ingin menjawab. Dia maju selangkah dan menatap Fani luruslurus. Fani bisa menangkap ada kesedihan yang samar di kedua bola mata hitam itu.
"Aku cari segala macam bentuk pelarian... supaya kamu nggak jadi sasaran!"Fani terperangah.
"Ngerti sekarang?" lanjut Bima. Suaranya semakin pelan, namun tetap tegas. "A...," kalimatnya
terpenggal. Raut mukanya terlihat tegang. Kemudian ditariknya napas panjang. Dia benci situasi
ini. "Aku cinta kamu. Sekarang. Mudah-mudahan sampai nanti."
Fani terperangah lagi. Kali ini amat sangat. Bima mengulurkan tangan kirinya. Sesaat dibelainya
pipi kanan Fani. Kemudian dia balik badan dan melangkah keluar. Kali ini dia tidak lagi
kembali. *** Aku cinta kamu. Sekarang. Mudah-mudahan sampai nanti.
Ungkapan yang sederhana. Tapi jujur. Tanpa janji. Tanpa sodoran mimpi. Tapi itulah yang
sesungguhnya. Karena cinta yang tidak berubah sampai mati, timeless dan happily ever after,
cuma milik Cinderella dan sang pangeran. Cuma dipunyai si Sleeping Beauty dan pangerannya
juga. Dan mereka-mereka yang hanya hidup di dalam lembaran buku.
Cinta seperti itu tidak ada dalam kenyataan. Yang ada adalah... cinta yang berubah.
Hari berganti. Waktu berjalan. Cinta itu akan berkurang, atau bisa juga bertambah. Dia masih
orang yang sama. Tapi tidaklah lagi sama.
*** Fani duduk di tepi tempat tidurnya. Masih tenggelam dalam ketidakpercayaan. Bima
mengungkapkan perasaannya!
Sayangnya, cowok itu hanya mengungkapkan dan sepertinya tidak menghendaki jawaban.
"Jadi gimana?" Fani menghela napas. Mengeluh sendiri. Apa nekat aja" "Tanya Langen deh!"
putusnya kemudian. Tapi baru saja dia berdiri dan akan meraih ponselnya dari atas meja, benda itu lebih dulu
berdering. Dari Bima! Fani menatap dengan napas tercekat. Diraihnya ponselnya dengan tangan gemetar.
"Hai," Bima lebih dulu menyapa. Suaranya terdengar berat dan jauh.
"H-ha... hai," Fani membalas susah payah.
"Soal tadi sore. Anggap aja itu nggak pernah terjadi, ya" Anggap aku nggak pernah ngomong
begitu. Oke" Bye!"
Telepon di seberang langsung ditutup. Fani terperangah. Tidak menyangka perkembangannya
justru seperti ini. Seseorang terpuruk di ujung sana. Seseorang berdiri mematung di ujung yang lain. Salah satu
berusaha untuk menggapai, sementara yang lain terlanjur menganggapnya telah berpaling ke
arah lain. Lagi-lagi, takdir. FIRST cut is the deepest.
Dari mana pun cinta itu datang, dari arah yang salah atau benar, torehan pertamanya selalu jadi
yang paling menyakitkan. Mungkin karena kita membuka seluruh hati. Mungkin juga karena dia
membutakan, hingga tanpa sadar kita melepaskan semua pertahanan diri dan membayangkan
versi terindah semua fairytale yang pernah kita baca dan dengar.
Fani menghela napas. Terduduk lesu di dalam mobil. Sendirian. Akhir-akhir ini, entah kenapa
dia ingin sekali sendirian. Tidak ditemani siapa pun, hanya ingin sendirian. Meskipun dengan
begitu dia jadi kesepian. Sepi yang benar-benar terasa sunyi dan kosong.
Sekali lagi dihelanya napas, lalu diambilnya ponsel dari dalam tas. Ada empat SMS masuk.
Dari Langen: Ntar mlm gw nginep.
Dari Febi: Ntar mlm gw telp.
Dari Rei: Ati2 di jln. Jgn nyetir smbl nglamun.
SMS dari Rangga bunyinya hampir sama dengan Rei.
Fani tersenyum. Empat teman terbaiknya. Yang benar-benar mau mengerti kondisinya saat ini.
Juga mamanya. Yang tanpa banyak bertanya, menyerahkan kunci mobil saat dia katakan butuh
kendaraan pribadi untuk sementara ini.
Tidak ada SMS dari Bima. Tentu saja tidak akan ada. Tidak ada alasan cowok itu untuk
mengiriminya SMS. Fani sudah meminta keempat temannya agar jangan cerita. Jadi Bima tidak
tahu soal hubungannya dengan Ferry, yang bahkan langsung berakhir begitu dimulai.
Fani menghela napas. Akhir-akhir ini dia sering memikirkan semua omongan Rei di tepi danau
waktu itu. Yang kalau mau diakui dengan jujur, sebenarnya iya juga. Tapi sudahlah. Meskipun
dipikirkan bahkan diakui, dia tidak melihat itu ada gunanya saat ini.
Kembali Fani menghela napas. Berat. Lelah. Diletakkannya ponsel di dasbor. Kemudian ia
memutar kunci kontak dan menelusuri jalan raya dengan kecepatan sedang. Tapi keheningan di
dalam mobil kembali membuat rasa sepi itu datang. Dan mendadak kesepian itu berubah menjadi
kesedihan. Kesedihan yang terasa berat dan menekan. Kabar Ferry, yang babak belur dihajar Rei
dan Rangga sampai tidak berani muncul di kampus, ternyata tidak cukup melegakan.
Tiba-tiba air mata Fani turun!
Fani terperangah. Cepat dia hapus air mata itu dan dengan panik meraih kacamata hitam dari laci
dasbor. "Kenapa sih gue?" keluhnya. Suaranya sekarang jadi serak.
Tiba-tiba saja dia sangat ingin menangis. Meskipun sudah ditahannya mati-matian, air mata itu
tetap turun. Tidak bisa dicegah. Yang bisa dilakukannya hanya cepat-cepat menghapusnya begitu
mengalir. Tak lama ponselnya berbunyi. Ada SMS masuk. Dengan satu tangan Fani meraih ponselnya dari
dasbor. Ada satu SMS baru. Dan itu membuatnya tersentak seketika. Dari Bima!
Jgn nyetir smbl nangis. BAHAYA! Ada apa"
Tapi SMS Bima itu malah nyaris menyebabkan tabrakan beruntun. Begitu membacanya, Fani
tanpa sadar menginjak rem kuat-kuat. Mobilnya berhenti mendadak. Mobil di belakangnya sudah
pasti ikut berhenti mendadak setelah nyaris saja menyundulnya. Pengemudinya langsung
menekan klakson kuat-kuat. Beberapa motor yang berada di dekatnya juga ikut berhenti
mendadak, dan segera terlontar makian serta sumpah serapah.
"Bisa bawa mobil nggak sih!" Bego!"
"Baru belajar nyetir, ya?"
Fani buru-buru menurunkan kaca dan meminta maaf. Para pengemudi motor di dekatnya sudah
ingin memaki lagi, tapi batal begitu tahu gadis itu habis menangis. Kacamata hitam Fani hanya
bisa menyembunyikan kedua matanya, tapi tidak hidungnya yang memerah.
"Maaf, Mas, Mbak... Maaf. Maaf."
"Maaf ya, Mas. Maaf, Mbak." Satu suara berat ikut meminta maaf.
Fani menoleh dan terpana. Bima berdiri di depan mobilnya, entah muncul dari mana. Cowok itu
lalu menghampirinya dengan langkah cepat.
"Kamu geser," perintahnya dengan nada halus. Karena masih terpana, Fani menuruti perintah itu.
Sambil membuka pintu mobil, sekali lagi Bima meminta maaf pada orang-orang di sekitarnya.
Terutama pengemudi mobil di belakang mobil Fani.
Baru setelah mereka tinggalkan tempat itu, Bima menoleh dan menatap Fani sesaat.
"Kenapa nangis?"
Fani tidak menjawab. "Si Ferry itu, ya?"
Fani tersentak tapi tetap bungkam. Bima menghela napas diam-diam.
"Nggak apa-apa kalo nggak mau cerita," ucapnya dengan suara yang dipaksa tetap tenang.
"Kamu mau ke mana?"
Baru Fani membuka mulut. "Pulang," jawabnya lirih.
Bima mengangguk. "Aku anter ya. Kamu kayaknya lagi kacau."
Jarah jauh yang terasa pendek. Tempat terdekat yang terasa jauh. Sunyi yang menyimpan
gemuruh. Tenang yang menutup riak.
Drama mengenaskan itu akhirnya menelan habis kebersamaan yang singkat itu. Dua-duanya
menyesali habisnya waktu. Tapi tetap tidak ada yang berani untuk memulai.
Kenyataan bahwa gadis di sebelahnya pernah berulang kali dan berusaha keras untuk bisa pergi
darinya, membuat Bima kehilangan nyaris seluruh keberaniannya.
Kenyataan bahwa begitu banyak orang yang hancur karena tindakannya, membuat Bima jadi
berpikir, mungkin ini hukuman untuknya. Ia cuma bisa berharap. Dan definisi berharap itu
ternyata adalah... pasrah dan tidak berdaya.
Dalam hati cowok itu tertawa. Sumbang. Pahit. Benar-benar tidak menyangka dirinya akan jatuh
sampai ke level ini. Kebersamaan itu berakhir. Mobil sudah berhenti di depan pagar rumah Fani. Ijah yang muncul di
depan garasi tidak jadi membuka pintu garasi begitu dilihatnya non majikannya tidak sendirian
seperti waktu berangkat tadi. Dia berjingkat mundur dan menghilang ke dalam.
Bima menatap gadis di sebelahnya yang sesekali masih mengusap pipi.
"Bisa kan masukin ke garasi?" tanyanya. Fani mengangguk.
Bima turun dan berjalan ke arah pagar. Dibukanya kedua pintu pagar yang menuju garasi lebarlebar. Kemudian dia kembali ke sisi mobil dan membungkukkan badan.
"Lain kali jangan nyetir sambil nangis lagi. Bahaya."
"Kok kamu bisa tau aku lagi nangis" Tadi ada di mana?"
Bima tersenyum tipis. "Feeling!" jawabnya pendek. Lalu berdiri dan berjalan menjauh.
Selama berdiri di tepi jalan, menunggu taksi kosong, sesekali Bima menoleh dan menatap Fani.
Kali ini Fani pasrah pada keinginan hatinya untuk juga balas menatap, sampai akhirnya sebuah
taksi kosong berhenti dan Bima menoleh untuk yang terakhir kali. Cowok itu menatapnya
dengan sorot lurus dan tajam, kemudian menghilang ke dalam taksi.
Begitu taksi itu sudah hilang, Fani menarik napas panjang. Rasa sepi itu kembali datang. Rasa
yang baru belakangan ini dia kenal. Rasa sepi yang sunyi dan benar-benar kosong. Fani
mendesah. Dilepasnya kacamata hitamnya, lalu ditundukkannya kepala di atas dasbor.
Berbantalkan kedua lengan.
"Kenapa sih gue?" keluhnya pelan.
Di dalam taksi, Bima merasa tak tenang. Sebentar-sebentar kepalanya menoleh ke belakang,
meskipun tahu mobil Fani sudah tidak mungkin terlihat. Akhirnya dia putuskan untuk kembali.
Ditepuknya bahu si sopir taksi pelan.
"Tolong balik ke tempat tadi, Pak."
Meskipun heran, sopir taksi itu menurut tanpa bertanya. Diputarnya kendaraannya dan taksi itu
kemudian meluncur kembali ke arah semula. Menjelang sampai di tikungan menuju rumah Fani,
Bima minta berhenti. Dia turun dan berjalan menuju tikungan jalan itu. Ia melihat mobil Fani
masih terparkir di pinggir jalan. Di tempat semula. Bima berdiri sejenak, lalu berjalan
menghampiri taksi. "Maaf, Pak. Nggak jadi. Maaf," ucapnya sambil mengeluarkan selembar uang. Kemudian Bima
bergegas pergi tanpa meminta kembalian. Dengan langkah-langkah cepat dihampirinya mobil
Fani. Dilihatnya kepala gadis itu tertelungkup di atas dasbor.
Fani yang tidak menyadari kemunculan Bima, tetap sibuk memikirkan apa yang sebenarnya
sedang terjadi pada dirinya. Ia membiarkan air matanya turun dan menetes satu-satu. Jatuh di
atas celana jins birunya.
Dengan terkejut diangkatnya kepala saat terdengar pintu pengemudi terbuka. Bima sedang
membungkuk dan menatapnya. Cowok itu kemudian masuk dan duduk di sebelahnya.
"Ada apa?" tanyanya dengan suara berat kekuatiran. Sama seperti kedua mata hitamnya.
Still Sekuel Cewek Karya Esti Kinasih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Fani menegakkan tubuh. Cepat-cepat dihapusnya air matanya, lalu dia menggeleng.
"Pingin nangis aja."
Seketika kedua alis tebal Bima menyatu rapat. Sejenak ditatapnya Fani dengan kedua mata
menyipit. Kemudian cowok itu keluar dan membiarkan pintu mobil terbuka. Ia berjalan ke arah
pintu pagar yang tadi dibukanya lebar-lebar. Ditutupnya kembali pagar itu. Dia kembali ke mobil
dan langsung memutar kunci.
"Jalan-jalan sebentar yuk" Kayaknya kamu butuh refreshing."
Mobil meninggalkan tempat itu. Sama sekali tidak terjadi pembicaraan selama di perjalanan.
Keduanya sama-sama diam. Jengah dengan rasa aneh yang datang. Rasa yang membingungkan.
Rasa asing, tapi juga tidak. Rasa dekat, tapi juga jauh. Sampai kemudian mobil memasuki jalan
aspal bergelombang. Memasuki hutan pinus di satu kaki gunung, dan berhenti di tepi lereng yang
di bawahnya mengalir sebuah sungai.
Bima turun dan membiarkan pintu terbuka. Hawa gunung yang dingin langsung menusuk kulit.
Cowok itu duduk bersila di atas rumput, di bibir lereng. Menikmati suara air yang mengalir.
Menikmati suara serangga-serangga hutan dan bau pinus. Tak lama Fani mengikutinya.
Keduanya duduk berdampingan. Tetap diam. Sampai kemudian Bima menoleh dan mengulangi
pertanyaannya. "Ada apa?" Fani menggeleng. "Bingung."
Bima mengembalikan tatapannya ke kejauhan dan tidak mencoba bertanya lagi.
Kembali hening untuk waktu yang cukup lama. Bima meraba saku kemejanya dan merutuk
dalam hati karena lupa membawa rokoknya. Tertinggal di dasbor mobil Andreas. Kaget begitu
menyadari siapa yang sedang menyetir sambil menangis di mobil belakang, Bima langsung
mencari kepastian dengan mengirim satu SMS. Ketika kepastian itu diperolehnya, seketika itu
juga Bima meminta Andreas untuk menepikan mobil. Tak lama kemudian Bima mendapati
dirinya langsung turun begitu saja, meninggalkan ransel dan semua diktat kuliahnya di mobil
Andreas. Bima merogoh salah satu kantong celana jinsnya dan mengeluarkan sebutir permen karamel.
"Kembalian fotokopi," katanya, menjelaskan alasan kenapa dia cuma punya satu butir permen.
"Nggak apa-apa kan sharing?"
"Ng... nggak deh." Fani menggeleng. Gelengan ragu. Bima jadi tersenyum tipis.
"Nggak deh apa" Nggak deh nggak apa-apa sharing" Atau nggak deh nggak mau?"
Fani tersenyum jengah dan mengulurkan tangan kanannya.
"Minta." Bima jadi tersenyum geli. Digigitnya permen karamel itu sampai pecah menjadi dua, kemudian
dia buka bungkusnya. Dijatuhkannya separuh permen itu ke telapak tangan Fani, dan separuhnya
lagi ke telapak tangannya sendiri. Keduanya lalu mengulum potongan permen itu dalam diam.
Tiba-tiba Bima mengulurkan tangan kirinya dan meraih Fani ke dalam pelukannya. Erat,
meskipun hanya sesaat. Lalu diciumnya kening gadis itu.
Fani terperangah. Bima menatapnya dengan senyum yang bisa dibilang sedih.
"Sori. Dada gue sakit," bisik Fani.
Bima melepaskan pelukannya lalu bangkit berdiri. "Ayo pulang. Udaranya udah semakin
dingin." Fani tidak bereaksi. Masih terkesima dengan pelukan tadi. Cuma sesaat, tapi bisa dia rasakan
pelukan itu dilakukan Bima dengan seluruh perasaan. Dan pelukan itu terasa berbeda. Bukan
seperti pelukan dulu yang sering dia rasakan saat mereka masih bersama.
Bima mengulurkan tangannya.
"Ayo pulang. Kamu udah kedinginan. Udah mulai pilek tuh. Badan kamu juga udah menggigil.
Kita nggak bawa jaket. Kamu dipeluk pasti nggak mau, kan?"
Muka Fani langsung merah. Diterimanya uluran tangan itu. Bima menariknya sampai berdiri,
dan langsung melepaskan genggamannya. Mereka berjalan menuju mobil dalam diam. Sebelum
memutar kunci, Bima menatap Fani. Ada kesedihan di kedua mata dan suaranya ketika
kemudian dia bicara. "Lupain aja pelukan tadi. Sori, aku nggak bisa nahan diri."
Fani mengangguk, tapi dalam hati dia mengeluh pelan. Jadi ikut sedih.
SEJAK itu segalanya jadi semakin sesak. Semakin rumit dan tidak terjelaskan. Keduanya kacau.
Bima. Fani. Namun keduanya juga bungkam. Tidak tahu harus bagaimana menghadapi hati-hati
masing. Tidak tahu harus ke mana mencari jawaban. Apakah masih ada kesempatan, atau
sudahlah, lupakan. *** Ada satu ruang yang kadang kala kosong. Tempat Bima berlari saat hatinya tidak lagi mau diam.
Satu tempat di mana dia bisa berharap dapat melihat kembali apa yang sekarang telah menjadi
kenangan. Auditorium gedung rektorat, di lantai tiga. Halaman depan gedung itu luas, dan tidak hanya
menjadi area parkir untuk kendaraan rektor, para dekan, maupun dosen, tapi juga mahasiswamahasiswa fakultas ekonomi.
Gedung fakultas ekonomi hanya berjarak kurang dari 300 meter di belakang gedung rektorat, dan
satu-satunya fakultas yang tidak mempunyai tempat parkir sendiri.
*** Ada satu ruang yang kadang kala kosong. Tempat Fani berlari saat hatinya tidak lagi mau diam.
Satu tempat di mana dia bisa berharap dapat melihat kembali apa yang sekarang telah menjadi
kenangan. Auditorium gedung rektorat, di lantai tiga. Jalan utama kampus berada di sisi kiri gedung itu.
Kalau Bima tidak melalui gerbang belakang kampus, dipastikan cowok itu akan lewat jalan itu.
*** Disebut apa keadaan ini" Saat seluruh keberanian benar-benar menguap. Hingga hal-hal paling
kecil dan remeh pun terasa membahagiakan dan disyukuri.
Bisa melihat dia dari jauh pun sudah senang. Melihat mobilnya lewat, meskipun cuma sekian
detik, juga sudah membahagiakan. Mendengar suaranya, meskipun jauh dan samar, sudah sangat
melegakan. Semuanya sanggup memupus sedikit rasa kangen dan melambungkan sedikit harapan, manakala
objek pencarian itu masih sendirian atau bersama banyak orang tapi bisa dipastikan masih
sendirian. *** Takdir kadang lucu. Ruang yang sama. Sudut yang sama. Yang satu menjadi objek pencarian
bagi yang lain. Yang lain adalah objek keinginan bagi yang satu. Saling mencari. Saling berharap
bisa mendapatkan penawar. Untuk rasa sakit, kangen, juga harapan.
Dan takdir mengatur mereka untuk tidak saling bertemu. Agar selalu berselisih waktu. Sampai
suatu ketika, takdir memutuskan untuk mempertemukan mereka.
Suatu sore, di akhir jadwal kuliah Fani, di ruang auditorium rektorat yang saat itu kosong, Bima
berdiri di dekat jendela paling kanan. Di tempatnya biasa mengintai. Tapi sepertinya sore ini
akan jadi kelam. Baik Kijang Langen, sedan Fani, maupun jemputan Febi, sama sekali tidak
kelihatan. Tapi diputuskannya untuk menunggu.
Dengan sabar Bima tetap berdiri di tempatnya. Dengan sabar sepasang matanya terus mencari,
tapi hatinya berharap dalam detak ketidaksabaran. Sampai tiba-tiba didengarnya seseorang
berlari menuju pintu dan tak lama di dengarnya hendel pintu ditarik dari luar.
Secepat kilat cowok itu berlari ke balik mimbar dan menyembunyikan diri di sana. Sedetik
kemudian didengarnya pintu terbuka. Orang itu melangkah masuk, lalu menutup pintu. Bima
mendengar suara kursi diseret menuju dekat barisan jendela. Lalu hening. Tidak lagi terdengar
sedikit pun suara. Bima menarik napas panjang diam-diam. Jengkel dengan kedatangan
pengganggu ini yang telah membuatnya, bukan saja kehilangan kesempatan untuk bisa melihat
Fani, tapi juga terjebak di dalam ruangan ini. Tanpa bisa pergi.
*** Akhirnya kuliah hari ini berakhir. Fani menarik napas lega dan buru-buru membereskan diktatdiktatnya. Langen tersenyum tipis menyaksikan itu.
"Good luck ya. Mudah-mudahan lo hepi."
Fani meringis malu. "Malu-maluin ya, La" Lo jangan bilang siapa-siapa, ya" Makin lama gue
pikirin, omongan Rei bener juga."
"Nggak lah. Nggak malu-maluin maksud gue. Wajar kok. Lagian Bima sekarang jadi beda. Kata
Febi lho. Oke deh. Gue duluan ya. Sekali lagi, good luck." Langen memeluk sahabatnya itu.
"Lo pulangnya gimana" Hari ini Febi nggak masuk," tanya Fani sambil membalas pelukan itu.
"Nebeng Dhila sampe terminal. Daaah!"
"Daaah! Ati-ati ya...!"
Keduanya berpisah. Langen bukannya tidak mau menemani. Bima bukanlah objek untuk
dinikmati bersama-sama. Rasa untuk cowok itu hanya milik Fani sendiri. Jadi biarkan dia
menikmatinya sendiri juga.
Fani langsung berlari ke gedung rektorat. Ke ruang auditoriumnya. Selalu, rasa gelisah yang
mencekam langsung menyambut begitu dia sampai di ruangan itu. Seperti biasa, ditariknya
sebuah kursi ke dinding dekat jendela paling kanan, tempat dia biasa mengintai. Yang dia tidak
tahu, tempat itu baru saja ditinggalkan seseorang. Fani butuh kursi, karena Jeep kanvas itu
muncul di waktu yang tidak tentu. Bisa setengah jam lagi, atau satu jam, bahkan bisa dua jam
kemudian. Kadang malah tidak muncul sama sekali. Tapi Fani tidak peduli. Dia punya banyak
waktu. Salah! Waktunya justru mulai habis. Dia sudah tahu tentang itu. Tentang Jeep Bima yang selalu
penuh penumpang. Tentang cewek-cewek yang mengelilinginya. Tinggal menunggu waktu saja,
salah satu dari cewek-cewek itu akan menjadi penumpang tetap Jeep kanvasnya. Menyingkirkan
yang lainnya, sekaligus menyingkirkan dirinya dari ruangan ini. Memaksanya berhenti
mengintai. Dan berhenti mencari.
Mendadak Fani jadi sedih.
"Kenapa juga gue mesti mikirin kayak tadi?" keluhnya lirih. Tetapi otak, apalagi hatinya,
menolak berhenti. Karena hal itu memang akan terjadi. Jadi anggap saja sebagai latihan untuk
mempersiapkan diri. "Aduh!" keluhnya lagi. Belum-belum sudah mulai patah hati. Ia jadi semakin sedih lagi.
Matanya mulai merebak. Perlahan, air mata itu mengalir turun.
*** Lima belas menit sudah terlewat. Bima mulai tidak sabar. Lebih baik pergi, karena sorenya
sudah berantakan. Syukur-syukur dia bisa nyelinap keluar. Apa pun tujuan orang itu, ruang ini
bukan miliknya. Jadi dia tidak berhak marah.
Bima keluar dari persembunyiannya dan tertegun seketika. Fani sedang duduk
membelakanginya, di sisi jendela di ujung kanan. Tempat yang juga jadi tempatnya. Gadis itu
sedang menangis tanpa suara. Perlahan, Bima mengeluarkan ponselnya dari saku celana. Ia
menulis satu SMS singkat dan segera mengirimkannya.
Tak lama terdengar suara ringtone. Fani membersit hidung lalu membuka tas dan mencari
ponselnya. Ada satu SMS masuk. Dari Bima!
Cewek itu sontak ternganga. Tidak percaya. Dengan jantung berdegup keras, dibukanya SMS itu.
Isinya sangat singkat. Knp nangis" Kembali Fani tersentak. Kali ini benar-benar kaget. Seketika dia melompat berdiri. Jeep kanvas
itu sama sekali tidak terlihat, tapi Fani yakin Bima pasti ada di luar sana. Dan cowok itu bisa
melihatnya! Fani bergerak mundur menjauhi jendela. Dadanya berdegup semakin kencang. Bima melihatnya
menangis!Lebih baik cepat-cepat pergi sebelum Bima datang ke sini dan bertanya langsung. Saat
ini dirinya tidak punya jawaban yang tepat untuk pertanyaan itu.
Fani balik badan dan langsung membeku. Bima berdiri menjulang di depannya. Cowok itu
langsung bertanya. Persisi seperti bunyi SMS-nya.
"Kenapa nangis?"
Fani tergeragap. Tidak mungkin menjawab pertanyaan itu apa adanya.
"Mmm... ini..." Dia terdiam.
"Ada apa?" ulang Bima. Sepasang mata hitamnya menatap khawatir.
"Nggak ada apa-apa. Bener!" Fani menggeleng kuat-kuat.
"Nggak ada apa-apa, kenapa nangis?"
Fani sudah akan menghapus air matanya, tapi Bima menahan geraknya.
"Ada apa?" suara Bima melembut.
Fani menghela napas dan menundukkan kepala.
"Itu, Matematika-ku dapet D," jawabnya pelan. Dia tidak sepenuhnya berbohong. Nilai
Matematika-nya jeblok dan keharusan mengulang mata kuliah memuakkan itu memang jadi
beban pikiran. Sesaat kening Bima jadi mengerut, kemudian dia tersenyum geli.
"Banyak yang pernah dapet D, apalagi Matematika. Tapi belom pernah ada yang aku liat sampai
depresi kayak kamu begini. Bener cuma itu?"
"Iya." Fani mengangguk cepat.
"Oke." Bima mengangguk-angguk. Kemudian dia menghampiri jendela. "Lagi liat apa?"
Kembali Fani jadi tergeragap. Tapi kemudian dia memutuskan menyerang balik. "Kamu ngapain
di sini?" Pertanyaan Fani membuat Bima jadi tersenyum lebar, hampir tertawa.
"Oke, sori. Harusnya aku nggak tanya."
Cowok itu lalu berdiri di depan jendela paling kanan itu. Menatap area parkir. Dia tahu apa yang
sedang dicari Fani. Cowok bernama Ferry itu. Yang terkadang memarkir sedannya di bawah
sana. Berarti hubungan mereka masih belum jelas. Namun itu bukan urusannya.
Langkahnya sudah surut sejak lama. Ingin sekali ia mengakui bahwa... ya, dia mencintai gadis
yang saat ini bersamanya. Tapi itu tidak ada gunanya kalau sepasang mata itu tidak lagi menatap
ke arah dirinya. Hanya akan sia-sia. Tidak ada cermin yang bisa memantulkan kata "ya" itu.
Tidak ada gema yang bisa menciptakan perulangan , agar tetap ada harapan meskipun dua, tiga,
atau seratus "ya" sebelumnya tidak terdengar.
Diam-diam Bima menarik napas panjang. Menekan rasa sakitnya sampai ke tempat terdalam.
Sementara Fani, setelah sempat ragu-ragu, akhirnya memutuskan untuk menghampiri Bima dan
berdiri di sebelahnya. Mungkin ini terakhir kalinya mereka ada di satu tempat bersama-sama,
hanya berdua. Saat berdiri di sebelah kanan Bima itulah, lewat celah kemeja Bima yang dua kancing teratasnya
terbuka, Fani bisa melihat ada tato disana. Di dada kiri Bima. Seperti apa yang pernah dikatakan
Langen, Febi, juga cewek-cewek histeris itu.
"Kamu punya tato sekarang?" tanya Fani hati-hati.
"Baru tau?" tanya Bima tanpa menoleh.
"Iya. Temporer?"
"Permanen." "Gambar apa?" Bima menoleh dan sesaat ditatapnya Fani. Cowok itu lalu membuka seluruh kancing kemejanya
dan menyingkap dada kirinya. Dihadapkannya tubuhnya ke Fani.
"Gambar apa kira-kira?"
Fani menyipitkan kedua matanya. Ditatapnya tato Bima dengan saksama. Kepalanya sampai
miring ke kiri lalu ke kanan, lalu ke kiri lagi. Tapi tetap dia tidak tahu gambar apa itu. Akhirnya
dia geleng kepala. "Nggak tau. Nggak jelas. Gambar apa sih?"
Bima tersenyum tipis. "Bukan gambar apa-apa. Aku nggak perlu gambarnya. Aku perlu sakitnya!"
Seketika Fani terpana. "Kenapa?" tanyanya hati-hati.
Bima tidak menjawab pertanyaan itu. Dia justru mengajukan pertanyaan balik.
"Boleh aku minta anting kamu yang sebelah kiri?"
Fani terpana lagi. Baru dia sadari, ada lubang bekas tindikan di telinga kiri Bima. Perlahan gadis
itu mengangguk. Dilepasnya anting kirinya lalu diserahkannya pada Bima.
"Thanks," ucap Bima pelan. "Segi tiga?" tanyanya kemudian.
"Piramid." Fani tersenyum. Tidak ingin mengatakan yang sebenarnya bahwa itu simbol gunung.
Tempat yang paling dicintai Bima.
"Oh..." Cowok itu mengangguk. "Thanks," ucapnya sekali lagi. Dimasukkannya anting itu ke
dalam saku celana jinsnya. Kemudian ia mengeluarkan sekotak rokok dari saku kemeja dan
menarik sebatang. Disulutnya rokok itu. Kembali Fani ternganga.
"Kamu ngerokok sekarang?" tanyanya pelan.
"Baru tau lagi?" Bima mengangkat kedua alisnya. "Kamu kayaknya yang paling ketinggalan
berita, ya?" Dia menggeleng-gelengkan kepala.
"Kenapa?" Sejenak Bima menarik napas panjang. Dia menoleh dan menatap Fani tepat di manik mata.
"Kenapa" Karena ini yang paling aman. Karena kalo aku pilih minum, itu bisa bikin aku kalap
dan nongol di rumah kamu. Dan kalo udah begitu, belom tentu kamu bisa selamet. Meskipun di
rumah sendiri dan ada orangtua kamu di sana!"
Seketika Fani memucat. Bima jadi tertawa melihat muka pucat dan tegang itu. Tawa yang tidak
pasti maknanya. Bisa sakit, bisa juga kecewa. Atau sedih.
"Takut, kan" Makanya aku pilih ngerokok. Karena merokok tidak menghilangkan kesadaran!"
Cowok itu menghisap rokoknya dengan tarikan panjang dan menghembuskan asapnya kuat-kuat.
Dengan rokok masih terselip di bibir, dikancingkannya kembali kemejanya.
"Aku duluan ya," katanya kemudian.
Fani tersentak. Seketika jadi nelangsa dan putus asa karena kebersamaan itu akhirnya berakhir
juga. Tapi ia tahu, ia tidak mungkin mencegah. Fani mengangguk. "Daaah...," ucapnya,
tersenyum kikuk. Bima balas tersenyum lalu balik badan dan melangkah menuju pintu. Tapi mendadak dia
berhenti, balik badan dan kembali menghampiri Fani.
"Bener kamu mau tau kenapa aku nyakitin diri?" tanyanya pelan. Ekspresi wajahnya sekarang
begitu serius. Fani tidak langsung menjawab. Dia masih kaget karena Bima tiba-tiba kembali.
"Ke... napa?" tanyanya kemudian dengan gagap.
Ganti Bima yang tidak langsung ingin menjawab. Dia maju selangkah dan menatap Fani luruslurus. Fani bisa menangkap ada kesedihan yang samar di kedua bola mata hitam itu.
"Aku cari segala macam bentuk pelarian... supaya kamu nggak jadi sasaran!"Fani terperangah.
"Ngerti sekarang?" lanjut Bima. Suaranya semakin pelan, namun tetap tegas. "A...," kalimatnya
terpenggal. Raut mukanya terlihat tegang. Kemudian ditariknya napas panjang. Dia benci situasi
ini. "Aku cinta kamu. Sekarang. Mudah-mudahan sampai nanti."
Fani terperangah lagi. Kali ini amat sangat. Bima mengulurkan tangan kirinya. Sesaat dibelainya
pipi kanan Fani. Kemudian dia balik badan dan melangkah keluar. Kali ini dia tidak lagi
kembali. *** Aku cinta kamu. Sekarang. Mudah-mudahan sampai nanti.
Ungkapan yang sederhana. Tapi jujur. Tanpa janji. Tanpa sodoran mimpi. Tapi itulah yang
sesungguhnya. Karena cinta yang tidak berubah sampai mati, timeless dan happily ever after,
cuma milik Cinderella dan sang pangeran. Cuma dipunyai si Sleeping Beauty dan pangerannya
juga. Dan mereka-mereka yang hanya hidup di dalam lembaran buku.
Still Sekuel Cewek Karya Esti Kinasih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Cinta seperti itu tidak ada dalam kenyataan. Yang ada adalah... cinta yang berubah.
Hari berganti. Waktu berjalan. Cinta itu akan berkurang, atau bisa juga bertambah. Dia masih
orang yang sama. Tapi tidaklah lagi sama.
*** Fani duduk di tepi tempat tidurnya. Masih tenggelam dalam ketidakpercayaan. Bima
mengungkapkan perasaannya!
Sayangnya, cowok itu hanya mengungkapkan dan sepertinya tidak menghendaki jawaban.
"Jadi gimana?" Fani menghela napas. Mengeluh sendiri. Apa nekat aja" "Tanya Langen deh!"
putusnya kemudian. Tapi baru saja dia berdiri dan akan meraih ponselnya dari atas meja, benda itu lebih dulu
berdering. Dari Bima! Fani menatap dengan napas tercekat. Diraihnya ponselnya dengan tangan gemetar.
"Hai," Bima lebih dulu menyapa. Suaranya terdengar berat dan jauh.
"H-ha... hai," Fani membalas susah payah.
"Soal tadi sore. Anggap aja itu nggak pernah terjadi, ya" Anggap aku nggak pernah ngomong
begitu. Oke" Bye!"
Telepon di seberang langsung ditutup. Fani terperangah. Tidak menyangka perkembangannya
justru seperti ini. Seseorang terpuruk di ujung sana. Seseorang berdiri mematung di ujung yang lain. Salah satu
berusaha untuk menggapai, sementara yang lain terlanjur menganggapnya telah berpaling ke
arah lain. Lagi-lagi, takdir. ANTING sebelah kiri. Simbolik. Wujud rasa putus asa, pasrah, juga keikhlasan untuk melepaskan, tapi sekaligus
keinginan untuk terus mempertahankan. Agar dia tetap hidup dan tidak benar-benar hilang.
Karena selama ini gadis itu berjalan di sebelah kirinya. Dipeluknya dengan tangan kiri.
Didekapnya di dada kiri. Bima hanya berusaha agar ruang yang kini kosong itu tidak benar-benar
terasa kosong. *** Anting sebelah kanan. Hanya ini cara mendekatkan diri yang bisa dilakukannya. Sebelah anting ini, pasangannya, ada
pada Bima. Fani merasa hatinya menghangat. Jadi terasa seperti dekat, walaupun ini cuma sepihak. Cuma
ada dan terasa di sini. Di dalam dirinya sendiri. Biar. Tidak apa-apa. Begini pun sudah cukup
membahagiakan. Asal tidak berpikir tentang harapan, begini pun sudah sangat membahagiakan.
*** Tapi sampai kapan sebelah anting sanggup menyangga hati yang semakin lama semakin lelah"
Benda itu kecil. Sangat kecil. Bisa jatuh dan hilang kapan saja.
Namun keduanya bertahan dan tetap melakukan penyangkalan. Tetap tegak dengan sisa-sisa
kekuatan. Bima menutup kehancurannya, bahkan dari mata kedua sahabatnya. Fani menutup
kehancurannya, bahkan dari uluran tangan kedua sahabatnya.
Tinggal dua saksi mata yang tersisa. Yang tidak saling mengenal, karenanya juga tidak bisa
berbuat banyak. Si Mbok, pemantu tua yang ikut mengasuh Bima di masa-masa kecil cowok itu. Wanita tua itu
bisa memaklumi sifat jelek anak majikannya. Dengan kedua orangtua yang sibuk mengejar
karier, dengan segala ulah kenakalan yang bertujuan mencari perhatian namun tidak berhasil, si
Mbok tidak tega menolah saat hampir semua anak majikannya jadi berlari padanya, dan terasa
seperti anaknya sendiri. Dan inilah yang biasa dilakukan si Tole, panggilannya untuk Bima, kalau sedang punya masalah,
bingung, kalut, atau sedih. Tole berkeluh kesah dan mengadu sambil membuntutinya kemana
pun ia pergi. Namun si Mbok sebenarnya lebih suka Tole mengeluh saja. Bercerita. Panjang-lebar pun tidak
apa-apa. Tidak perlu sambil membantunya memasak segala, karena hasilnya malah seperti ini.
Wortel yang sudah dengan sangat cermat dipilihnya di pasar tadi, segar dan gemuk-gemuk,
setelah dikupas oleh si Tole ini, sekarang besarnya mungkin cuma tiga kalinya lidi. Lebih banyak
yang dikupas daripada yang akhirnya masuk panci.
Saksi mata yang lain adalah Ijah, yang kini jadi tempat curhat Fani. Apa adanya. Tanpa ada yang
ditutupi. Dan Ijah jadi nelangsa kalau melihat non majikannya seperti ini. Duduk meringkuk di lantai,
bersandar di satu sisi lemari makan. Membantunya memasak. Tapi melihat cara non majikannya
itu memetiki daun-daun bayam, satu-satu dan dengan mata tertunduk yang jauh menerawang,
pekerjaan itu mungkin baru akan selesai besok siang!
Ijah sebenarnya lebih suka kalau non majikannya itu cerita saja. Mengeluh. Mengadu. Panjanglebar tidak apa-apa. Tidak perlu sambil membantunya memasak segala. Karena berulang kali,
diam-diam Ijah harus membuang masakan itu dan menggantinya dengan yang baru. Karena
sering kali rasa masakan-masakan itu tidak terdefinisi.
*** Akhirnya Fani jatuh sakit. Ijah, yang tidak sampai hati menyaksikan kondisi majikannya itu,
kemudian memanfaatkan situasi rumah yang sedang kosong dengan nekat menelepon Bima.
Sebelumnya Ijah meminta Langen untuk jangan datang dengan alasan Fani akan dibawa ke
dokter. "Halo?" "Ya, Ijah. Tumben nelepon. Ada apa?"
Ijah tersentak. "Lho, kok Mas Bima tau kalo ini saya?"
Di seberang Bima tertawa. "Ya tau lah. Ada berapa cewek sih di situ" Ada apa?"
"Hmm... ng... itu, Mas... Non Fani sakit," ucap Ijah susah payah.
"Oh, ya!?" Bima terkejut. "Sakit apa?"
"Kayaknya sih sakit liver."
"APA!?" Bima kaget, seperti tersengat. "Kamu serius, Jah!?"
"Serius, Mas. Soalnya..."
Bima berdiri mematung. Telepon di seberang sudah ditutup. Dia tidak percaya dengan berita
yang baru saja dia terima. Kenapa Fani tidak pernah cerita bahwa dia punya penyakit seserius
ini" Canggih memang si Ijah. Karena ikut bolak-balik waktu adik nyonya majikannya masuk rumah
sakit dulu, dia jadi tahu bahwa hati itu punya nama lain yang keren sekali. Liver.
Tak lama Ijah mendengar suara mobil yang dulu sempat sangat akrab di telinganya. Buru-buru
dia berlari keluar. "Udah lama?" tanya Bima langsung, begitu Ijah sampai di depannya untuk membuka pintu
pagar. Meskipun sinar lampu jalan tidak terlalu terang, Ijah bisa melihat wajah Bima pucat dan
terlihat cemas. "Udah, Mas. Tapi parahnya baru dua hari ini."
"Kenapa nggak dibawa ke dokter?"
"Nggak tau. Nanti mungkin."
"Nanti!?" Bima terbelalak. "Tunggu penyakitnya parah dulu?"
"Ng..." Ijah meringis bingung.
"Papa-mamanya ke mana?"
"Itu, ada undangan makan malem di hotel apa gitu."
"Makan malam!?" Bima makin terpana. "Sementara anak mereka sakit parah begitu"
Unbelievable!" Bima geleng-geleng kepala dengan gusar. "Kalo gitu, biar saya yang bawa Fani
ke dokter!" "Tapi Non Fani lagi tidur, Mas."
Bima mendongak. Menatap ke arah jendela kamar Fani yang remang di lantai atas.
"Bangunin!" ucapnya tegas. Kemudian dia berjalan masuk rumah, langsung menuju kamar Fani.
Ijah tergopoh-gopoh membuntuti Bima. Bingung bagaimana cara menjelaskan situasi yang
sebenarnya. Akhirnya nekat dihadangnya langkah Bima karena cowok itu sudah sampai di depan
pintu kamar Fani. "Eh, Mas! Sebentar! Sebentar!" Ijah berdiri tepat di depan pintu kamar Fani. "Sakitnya Non Fani
nggak parah-parah amat kok. Nggak sampe gimana gitu."
"Liver itu bukan penyakit sembarangan, Jah."
"Maksud saya bukan liver itu..." Ijah meringis, merasa bersalah. "Maksud saya, Non Fani
kayaknya lagi banyak pikiran. Pokoknya sakit yang kayak gitu deh. Tadi sebelom pergi, Nyonya
udah maksa-maksa Non Fani makan, sampe Nyonya marah-marah. Tapi Non Fani cuma mau
makan dikit sih. Terus dipaksa minum obat," jelasnya. Sepasang mata Bima menyipit, bingung.
"Aduh, maaf, Mas. Bukannya saya mau bohongin Mas Bima. Saya cuma mau ngasih tau kalo
Non Fani sakit. Itu aja. Udah dua hari ini badannya panas. Tapi nggak panas-panas amat sih.
Tolong tengokin, Mas. Cuma sebentar juga nggak apa-apa."
Ijah membuka pintu kamar Fani lalu bergeser ke samping, memberi jalan pada Bima. Kamar
Fani tampak remang karena cahaya yang berasal dari lampu jalan, yang masuk melalui pintu
teras atas yang dibuka lebar-lebar.
"Kenapa lampunya nggak dinyalain?" tanya Bima dengan suara pelan.
"Non Fani yang nyuruh, Mas."
"Terus itu, kenapa pintunya dibuka semua begitu" Angin malam itu nggak bagus. Apalagi untuk
orang sakit." "Non Fani maunya begitu. Katanya bulan lagi bagus. Jadi dia mau tidur sambil ngeliat bulan."
Perlahan, Bima melangkah masuk. Ijah balik badan.
"Nggak usah ditutup pintunya," ucap Bima, saat dilihatnya Ijah akan meraih hendel pintu.
Ijah membatalkan niatnya. Tanpa berkata apa-apa lagi, ia segera berjalan menuruni tangga.
Bima berdiri dengan tubuh membeku. Tanpa sadar dia mengambil tempat terjauh di ruangan itu.
Gadis inilah pusat rasa sakitnya. Tapi kenapa dia langsung ke sini begitu mendapatkan telepon
tadi" Malah tanpa berpikir lagi!
Menit-menit lewat. Bima masih membeku diam. Tidak bergerak. Kesepuluh jarinya mengepal
rapat, saling menahan agar tidak bergerak. Agar hatinya juga mau diam. Hanya kedua matanya
dia biarkan lekat menatap seseorang yang sangat ingin dipeluknya. Amat sangat ingin
dipeluknya! Ketika badai di dadanya tidak juga mereda, Bima menyerah pada keinginan hatinya untuk
mendekat. Sesaat ditariknya napas panjang-panjang.
"Oke. Silakan lo sakitin gue lagi," bisiknya. "Karena gue yang dateng ke sini!"
Bima akhirnya bergerak meninggalkan tempatnya mematung. Dinyalakannya lampu kamar.
Kemudian dia melangkah ke pintu teras dan menutupnya. Saat itulah, saat dia membalikkan
badan, dia melihat apa yang dipeluk Fani dalam tidurnya.
Boneka kucing yang pernah dia berikan!
Bima terpana. Benar-benar tidak percaya. Tadinya dia mengira boneka kucing itu akan langsung
lenyap begitu Fani menerimanya. Dibuang, diberikan ke orang, bahkan bisa jadi, dibakar!
Namun detik berikutnya, harapan yang melambung itu terempas. Fani pencinta kucing yang
fanatik. Mungkin boneka itu dipeluk sama sekali bukan karena alasan pemberinya, tapi karena
dia cinta binatang itu dan tidak diizinkan untuk memelihara.
Bima tersenyum pahit. Menyadari alasan kedualah yang paling mungkin. Akhirnya cowok itu
hanya berdiri diam. Lekat, ditatapnya wajah dengan mata tertutup itu. Hanya bisa begini.
Memeluknya dengan tatapan. Di tempat terdekat yang rasanya juga paling jauh.
Hanya memperparah perih! Fani bergerak dalam tidurnya. Bima seketika mundur menjauhi tempat tidur. Saat itulah uraian
rambut Fani tersibak, memperlihatkan sesuatu yang berkilau di telinga kanannya.
Hanya di telinga kanan! Bima terpaku. Sesaat tidak yakin dengan pemandangan itu. Perlahan dia mendekat, lalu
membungkukkan tubuhnya. Hati-hati disibaknya uraian rambut Fani sampai benar-benar
terbuka. Dan dia terpana! Itu anting yang sama seperti yang saat ini ada di telinga kirinya!
Tubuh Bima menegak serta-merta. Membeku tak percaya. Berapa lama sudah Fani memakai
anting yang cuma sebelah kanan itu"
Ruangan yang jadi terasa gerah setelah pintu teras ditutup membuat Fani jadi gelisah dalam
tidurnya. Dia mengigau pelan, lalu mengubah posisi. Bima langsung bergerak mundur menjauhi
tempat tidur. Kembali Fani mengubah posisi, sambil mengeluh panas.
Kemudian gadis itu membuka mata. Terlihat kaget juga kesal, karena lampu kamarnya menyala
dan pintu teras telah ditutup.
"Jaaah...," panggilnya dengan suara serak. "Kok lampunya dinyalain sih" Pintu terasnya juga
kenapa ditutup" Dibilangin bulan lagi bagus-bagusnya, juga..."
Dengan gerakan terhuyung, Fani bangun dari posisi tidur. Sesaat dia berhenti karena kepalanya
terasa sangat sakit. Dengan gerakan lambat dia lalu menggeser tubuh ke segala arah tepi tempat
tidur. "Ijah nih," keluhnya, "bikin gue tambah sakit aja."
Saat itulah Fani menyadari ada seseorang di kamarnya. Berdiri tidak jauh dari tempat tidurnya.
Dia mendongak dan terpana seketika. Sepasang matanya menatap terbelalak. Tidak percaya
bahwa yang sekarang ini sedang berdiri tidak jauh darinya juga tengah menatapnya, memang
Bima. Satu tangannya yang berada di tepi tempat tidur tanpa sadar mencengkeram tepi itu kuat-kuat.
Membuat bagian yang tertekan melesak ke dalam. Tak ayal Fani kemudian jatuh terjungkal
dengan posisi kepala lebih dulu.
Seketika Bima melompat. Dengan tubuh membungkuk, diulurkannya tangan kirinya dan
ditangkapnya tubuh Fani sebelum kepala gadis itu membentur lantai.
"Kalo nggak kuat, nggak usah maksa bangun...," desisnya.
Dengan mata terbelalak, Fani menatap wajah Bima yang tepat berada di atas wajahnya.
"Kok... kamu bisa ada di sini?" tanyanya tergagap.
Bima tidak menjawab. Dengan tangan kanannya yang bebas, diturunkannya kedua kaki Fani
yang masih berada di atas tempat tidur. Tapi posisi tubuhnya yang tidak tepat membuatnya tak
mampu menahan berat tubuh Fani. Akhirnya, dengan Fani dalam pelukannya, Bima menjatuhkan
diri ke lantai. Cowok itu mengerang pelan saat punggungnya membentur lantai yang keras.
Dikaitkannya kaki kanannya ke salah satu kaki besi tempat tidur. Dengan cara itu ditegakkannya
kembali punggungnya. "Kok kamu bisa di sini?" Fani mengulang pertanyaannya. Suaranya melirih. Bukannya
menjawab, Bima justru mengajukan pertanyaannya sendiri.
"Udah berapa lama kamu pake anting cuma sebelah kanan begini?" bisiknya.
Fani terkesiap. Tangannya bergerak cepat untuk menutupi, tapi Bima lebih cepat lagi.
Ditahannya gerakan tangan Fani.
"Udah berapa lama?" ulang Bima. Ada ketegangan dalam suaranya. Fani menelan ludah.
Bibirnya bergerak, tapi tidak ada suara yang keluar. Bima menggeleng pelan. Sepasang matanya
menyipit redup. "Gimana kalo aku nggak pernah tau" Hm" Itu benda kecil. Masih ditambah ketutupan rambut."
"Nggak apa-apa," Fani menjawab pelan. "Nggak apa-apa kalo kamu nggak pernah tau."
Bima menundukkan kepalanya. Ditatapnya gadis yang meringkuk di antara kedua kakinya. Yang
dipeluknya dengan lengan kiri dan disangganya di dada kiri.
"Kalo aku nggak pernah tau...," Bima menggantung kalimatnya. Ditatapnya Fani tepat di manik
mata. "Bener kamu nggak apa-apa?"
Fani tertegun. Sepasang matanya terpaku di dua bola mata Bima. Kalau cowok ini tidak pernah
tahu... Kalau Bima tidak pernah tahu...
Bima menangkap ketakutan di sepasang mata itu. Terbaca jelas. Teramat jelas. Namun setelah
begitu banyak yang terjadi selama ini, dia membutuhkan satu kepastian bahwa dirinya memang
benar-benar diinginkan. "Tolong akui. Sekali saja," pintanya.
Perlahan, Fani melepaskan diri dari pelukan Bima. Dia tegakkan punggungnya. Sorot mata dan
bahasa tubuhnya membuat Bima menunggu dengan ketegangan yang memuncak.
Fani tidak mengatakan apa-apa. Namun, dengan tersipu, rikuh, dan malu, gadis itu mengulurkan
kedua tangannya dan memeluk leher Bima. Tubuh Bima sempat tersentak ke belakang. Sama
sekali tidak menduga. Kemudian cowok itu tersenyum tipis.
Tetap tidak terkatakan juga. Tapi biarlah. Tidak apa-apa.
Dipeluknya Fani. Kali ini dengan kedua lengannya.
"Dasar tolol!" bisiknya. Diusap-usapnya punggung gadis dalam pelukannya. Hening. Sampai
kemudian Fani mengucapkan kata-kata yang mengagetkan Bima.
"Anting kanan ini nggak pernah aku lepas. Berdiri di balik jendela auditorium itu juga udah
lama. Abis aku cuma bisa ngeliat kamu dari sana."
Bima terperangah. Belaiannya di punggung Fani seketika terhenti. Dia urai pelukannya, tapi Fani
menolak memisahkan diri. Kedua tangan Fani yang memeluk leher Bima malah menguat, dan
gadis itu menyembunyikan mukanya di sana. Akhirnya Bima menghentikan usahanya untuk bisa
melihat wajah Fani. Dipeluknya gadis itu kembali. Kali ini dengan dada yang benar-benar terasa
lega. Dengan hati yang benar-benar terasa ringan.
Kemudian disadarinya tubuh Fani demam, meskipun tidak terlalu tinggi.
"Kamu sakit apa sih?"
"Nggak tau." Kening Bima mengerut mendengar jawaban itu. Baru saja dia akan bertanya lagi, saat teringat
ucapan Ijah tadi dan mendadak menyadari maksudnya. Sesaat Bima tertegun, kemudian
tersenyum. Kepalanya lalu menggeleng-geleng pelan.
"Tolol bener sih kamu, hmm" Pilih sakit daripada ngomong," bisiknya.
"Biarin!" Fani menjawab lirih. Mukanya masih tersembunyi di leher Bima. Tapi tetap saja dia
merasa sangat malu, seakan Bima bisa melihat langsung wajahnya.
Bima tertawa pelan. Tiba-tiba dia teringat satu hal yang sangat ingin dia katakan.
"Aku minta maaf, Fan. Yang dulu-dulu itu..."
Fani tertegun. Seketika dia lepaskan pelukannya di leher Bima. Ditatapnya cowok itu dengan
kening mengerut, heran. "Apa" Yang mana?""Semuanya."
Sesaat Fani masih terlihat bingung, namun kemudian dia mengerti.
"Oke!" Dia mengangguk dan tersenyum.
Bima tampak lega. Diraihnya kembali gadis itu ke dalam pelukannya, kemudian diciumnya
kening dan puncak kepalanya.
"Ke teras yuk" Bulan lagi bagus, kan?" ajaknya.
"Aku lapaaar," keluh Fani. Sesaat Bima tertegun. Ini suara manja pertama yang dia dengar.
Kemudian cowok itu tertawa geli.
"Ya udah. Kalo gitu kita liat bulannya di teras bawah, sambil makan."
Digendongnya Fani dan dibawanya menuruni tangga.
BIMA dan Fani ternyata bisa menyelesaikan sendiri masalah mereka. Tinggal satu orang lagi,
Still Sekuel Cewek Karya Esti Kinasih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Rei, yang terus saja melakukan penyangkalan. Tetapi begitu sisi rawan itu tak sengaja tersentuh,
emosinya akan langsung naik, dan cowok itu jadi lebih galak daripada sebelumnya.
Sementara Langen terlihat tenang. Lebih tepatnya: pasrah. Sifat keras kepala dan
pemberontaknya menghilang. Sepertinya Rei telah menghantamnya di tempat yang tepat.
Rangga dan Febi, yang diam-diam terus memantau kondisi Rei tanpa yang bersangkutan sadar,
jadi kesal sendiri. Geli, dongkol, gemas, terkadang malah jadi ingin marah. Hingga suatu saat
keduanya akhirnya memutuskan untuk bertindak.
Rangga berjalan masuk kelas dan langsung duduk di sebelah kanan Rei. Diliriknya Rei tanpa
kentara, lalu berdeham sejenak.
"Maafin dia," ucapnya pelan. "Tapi kalo menurut elo tindakannya waktu itu nggak bisa
dimaafkan, ya lepasin dia. Jangan begini. Maafin nggak mau, ngelepas juga nggak mau.
Menyengsarakan diri sendiri aja."
Rei menoleh dan Rangga menyambutnya dengan senyum tipis.
"Bisa lo lupain apa yang udah lo liat waktu itu?" bisik Rei tajam.
"Nggak..." Rangga menggeleng jujur. "Seksi banget tuh cewek. Hot. Sumpah, dadanya bagus!"
Seketika Rei jadi emosi. Kepalannya sudah akan melayang. Tetapi Bima, yang duduk di sebelah
kiri Rei dan ikut mendengarkan pembicaraan itu, buru-buru menahan.
Rangga menatap Bima sambil mengangkat alis. Kemudian tatapannya kembali ke Rei.
"Ini yang ngomong gue, dan lo langsung naik darah. Padahal gue cuma ngomong, dan nggak
akan lebih dari itu."
Kepalan Rei terurai, tapi dia masih terlihat marah.
"Dia udah pake baju yang bisa dibilang nggak pake baju. Jadi apa yang harusnya cuma gue yang
berhak ngeliat, lo juga ngeliat. Bima juga ngeliat!"
"Tapi Bima biasa-biasa aja tuh." Rangga menunjuk Bima dengan dagu.
"Ya jelas aja, Ga..." Rei membelalakkan matanya, heran ternyata Rangga bisa setolol ini. "Yang
nyaris telanjang waktu itu adalah cewek gue, dan cewek yang diakuin Bima sebagai ceweknya!
Lo bisa liat bedanya, kan" Coba kalo sekarang Fani berani begitu lagi, gue jamin tuh cewek
bakalan langsung abis!"
"Gue jadi kena juga, kan?" sela Bima. "Mereka nggak telanjang, Rei. Cuma transparan."
"Ya, emang!" Rei mengangguk cepat. "Dengan bagian yang terbuka lebih banyak daripada yang
tertutup!" "Kalo gitu, lo lepas aja dia," ucap Rangga halus. "Supaya marah lo bisa hilang. Kebetulan ada
teman sekelas kita yang udah dari dulu naksir Langen." Rei langsung menoleh, tapi Rangga
pura-pura tidak tahu keterkejutan Rei itu. "Belom lama dia dateng ke gue. Dia nanya, apa lo udah
bener-bener putus sama Langen. Gue bilang, gue nggak tau."
"Siapa dia" Siapa dia, Ga!?" geram Rei seketika. Lagi-lagi langsung marah. Tubuhnya sekarang
sudah benar-benar menghadap Rangga.
Rangga tidak menjawab. Dia malah berdiri, lalu berjalan ke arah bangku kosong di deretan
depan. Rei sudah akan mengikutinya, tapi Bima menahan geraknya dengan merangkul bahu Rei.
"Bener apa yang dia bilang," ucap Bima pelan. "Kalo lo nggak bisa maafin, ya lebih baik lo
lepas. Tapi kalo lo nggak bisa ngelepas, ya cobalah untuk memaafkan."
Rei tidak bereaksi. Tatapannya menyapu seisi kelas. Meneliti wajah teman-temannya satu per
satu. "Lo tau, siapa tu bangsat" Sialan!"
"Nggak. Gue juga baru denger tadi." Bima menggelengkan kepala. Rei meliriknya, sehingga
Bima langsung mengangkat tangan kirinya. "Sumpah, gue nggak tau!"
*** Rei termakan umpan Rangga. Sepertinya Rangga sengaja menghindar selama di kampus, jadi
akhirnya Rei langsung pergi ke rumah sobatnya itu begitu kuliah terakhir selesai. Ternyata
Rangga sudah menunggunya. Bersama Febi.
"Dateng juga," sambut Febi dengan senyum manis.
"Siapa tu orang, Ga?" Rei langsung menghampiri Rangga. Tapi Rangga bergerak mundur
menjauhinya. "Febi mau ngomong tuh. Tolong lo denger dulu. Soal siapa tuh cowok, itu masalah gampang."
"Kok elo bisa marah banget gitu sama Langen" Kan elo yang bikin dia buka baju. Harusnya dia
yang marah banget sama elo," ucap Febi tanpa tedeng aling-aling.
Seketika Rei menoleh dan menatapnya.
"Apa maksud lo, Eyang?"
Rangga dan Febi langsung saling pandang. Keduanya tampak agak kesal. Febi melangkah
menghampiri Rei dan berdiri di depannya.
"Lo membangun tembok dengan satu pintu. Tapi kuncinya cuma elo yang pegang. Jadi yang bisa
keluar-masuk seenaknya ya cuma elo sendiri. Kalo Langen pingin tau ada apa di balik tembok
itu, nanti lo ceritain. Langen cuma boleh ngintip dari pintu. Tapi yang namanya cerita belom
tentu sama dengan kenyataan. Dan yang namanya ngintip, jelas nggak bisa ngeliat sejelas kalo
pintu itu terbuka lebar."
"Menurut lo gunung itu bahaya, nggak?" potong Rei.
"Cewek lo bukan gue, kan" Jadi pendapat gue nggak penting di sini," jawab Febi diplomatis.
"Bisa gue ngomong sampai selesai?" Dipelototinya Rei. "Daripada memohon, Langen memilih
manjat tembok. Dan dia berhasil melompat ke seberang. Dengan selamat dan sukses! Tapi
ternyata menurut definisi elo, memanjat yang sukses itu adalah dengan cara jatuh ke seberang
dengan luka-luka. Kalau perlu babak belur. Lebih bagus lagi kalau sampai sekarat. Sehingga
dengan enteng lo akan ngomong, 'Bahaya, kan" Makanya jangan coba-coba nekat manjat ke
seberang..." "Nggak peduli kenyataan Langen udah berhasil, lo tetep ngotot itu area berbahaya dan for guys
only. Jadi lo suruh Langen keluar, terus lo paksa manjat temboknya lagi. Tapi sebelumnya udah
lo siapin ranjau-ranjau. Jadi lo yakin nanti Langen bakal jatuh dengan luka-luka. Sehingga
seperti yang tadi udah gue bilang, lo akan bilang, 'Betul, kan" Ini daerah yang sangat berbahaya!'
Tapi ternyata, lagi-lagi she's the winner and you're the looser! Dan marahlah elo. Kemudian lo
bikin dia luka, justru di luar area yang sangat berbahaya itu. Lucu, kan" Dan sampai hari ini lo
masih marah juga!" "Kalo akhirnya buka baju, dia nggak perlu susah-susah manjat. Dengan sukarela akan gue buka
pintunya lebar-lebar!" tegas Rei dengan nada final.
Febi berdecak. Ditatapnya Rangga.
"Tabokin aja dia, Mas. Capek aku. Dijelasin panjang-panjang masih ngeyel juga."
Rangga geleng-geleng kepala sambil tersenyum tipis. Dihampirinya Rei lalu ditepuknya
bahunya. "Lo ikut gue." "Ke mana?" "Udah, ikut aja. Cepet!"
Rangga membawa Rei ke halaman belakang rumahnya. Sampai di sana, tiba-tiba ditamparnya
pipi kiri Rei. Cowok itu terperangah.
"Kenapa sih lo?" tanyanya sambil memegangi pipinya yang kena tamparan. Rangga tak
menjawab. Dia hanya menatap Rei dengan sorot aneh. Kembali diulurkannya tangan. Kali ini
pipi kanan Rei yang kena.
"Lo kenapa sih!?" bentak Rei, mulai marah.
"Kayaknya lo bener-bener nggak bisa ngelepas Langen deh, Rei, jadi gue bantu ngelepas apa
yang udah lo liat di gunung aja. Meskipun menurut gue itu hak Langen. Selama belom merit sih
tubuh dia ya hak dia sendiri. Harusnya lo bersyukur, karena bukan cuma lo yang tau bahwa
Langen...," Rangga menyeringai, "seksi abis!" Dia bersiul panjang.
Tepat di titik yang paling rawan!
Rei langsung meledak. Rangga yang sebenarnya sudah mempersiapkan diri, jadi kewalahan juga
saat pukulan-pukulan Rei ternyata serius dan fokus.
"Harusnya dia nggak buka baju di depan sohib-sohib gue!" bentak Rei. Diikuti satu pukulan
untuk Rangga. Rangga berkelit sebisanya, karena ilmu bela dirinya jauh di bawah Rei.
"Harusnya cuma gue yang ngeliat badannya!" teriak Rei. Satu pukulan lagi untuk Rangga.
"Dengan enteng dia buka maju di depan banyak orang. Tapi mati-matian bertahan di depan gue!"
Teriakan lagi. Pukulan lagi.
"Harusnya itu jadi beban. Tapi lo liat" Dia tetep santai! Tetep enjoy! Sementara gue nggak bisa
berhenti mikirin! Sialan nggak tuh!?"
"Gue sayang dia! Bener-bener gue sayang dia! Tapi gue nggak bisa ngelupain apa yang udah dia
lakukan di gunung waktu itu!"
Lagi-lagi teriakan dan pukulan, dan baru berakhir setelah Rei benar-benar kelelahan. Terkapar di
atas rumput. Rangga lalu berjongkok di sebelahnya. Sama lelahnya, malah ditambah lebamlebam akibat pukulan-pukulan Rei yang tidak bisa dihindarinya."
"Udah keluar semuanya?" tanya Rangga pelan.
Rei tidak menjawab. Napasnya masih naik turun tidak teratur. Mukanya pucat. Dengan sabar
Rangga menunggu sampai kondisi Rei kembali normal.
"Thanks, Ga," bisik Rei akhirnya.
Rangga mengangguk. "Langen ada di sini. Gue minta, sekarang lo denger alasannya."
Rei terkejut. Sontak dia bangkit dari posisi baring, dan seketika terpana mendapati Langen tidak
jauh di depannya. Mantan pacarnya itu berdiri bersandar di dinding dan tengah menatapnya
dengan sorot mata yang tidak bisa dijelaskan. Dengan ekspresi wajah yang juga tidak bisa
dijelaskan. Rangga bangkit berdiri dan berjalan ke dalam dengan agak terhuyung. Sesaat dia berhenti di
depan Langen yang membeku pucat.
"Denger tadi?" tanyanya pelan. Langen mengangguk. Rangga mengusap rambutnya lalu
menghilang ke dalam. Kini hanya tinggal mereka berdua. Rei. Langen. Pengganjal telah disingkirkan. Tinggal
keikhlasan masing-masing untuk bisa memaafkan.
Perlahan, Rei menghampiri Langen. Gamang. Masih tersisa kemarahan, tapi juga kangen.
Kangen yang menekan kuat dan jadi terasa menyakitkan.
Kini mereka berhadapan. Langen menatap diam. Pada seseorang yang berdiri sangat dekat di
hadapan. Hanya bisa begini, karena dirinya pernah diminta untuk pergi. Jadi keberanian itu
sudah hilang. Perlahan Rei mengulurkan tangan kirinya. Diraihnya tangan kanan Langen dan diletakkannya
kelima jari itu di sana. Telapak dan jari-jari itu dingin, membuat Rei urung melepaskan
genggamannya. "Tutup mata kamu," pinta Rei lirih.
Langen menutup kedua matanya. Dalam kegelapan, dirasakannya jantung Rei mengentak kuat.
Dan cepat. Seakan jantung itu bisa ditariknya keluar dari rongga dada. Seakan jantung itu
berdetak di dalam genggaman tangannya.
"Sakit banget, La," desis Rei lirih.
Perlahan Langen membuka mata. Ditatapnya Rei yang lelah. Dan kelelahan itu menyakitinya.
Langen menggigit bibir dan menundukkan kepala. Ia menarik napas. Panjang dan perlahan.
Ketika diangkat kembali kepalanya, Rei masih menatapnya. Masih menggenggam tangan
kanannya. Merasakan detak jantung itu bersama-sama.
Ketika kemudian Langen bicara, Rei mendengarnya dalam nada yang belum pernah
didengarnya. Kecewa, capek, letih, sedih.
"Kebut gunung itu sama sekali bukan game yang fun. Itu malah game yang bener-bener keras.
Sebenarnya aku sama Fani nggak sanggup, tapi aku sama sekali nggak bisa minta tolong kamu
karena kamu selalu ada di sebelah Bima. Kamu malah jadi lebih keras daripada dia. Dan aku
sadar, waktu itu kayaknya nggak mungkin lagi bisa minta tolong kamu. Tapi aku masih coba
untuk gambling. Terakhir kali. Jadi buka baju waktu itu, gambling sebenarnya. Kalo kamu masih
juga nggak mau nolong, yaaa..." Langen mengangkat bahu. Tersenyum dengan makna yang tidak
bisa dibaca. Kemudian Langen melanjutkan, "Aku nggak akan begitu kalo nggak ada kamu di sana. Aku
nggak akan buka baju kalo tau nggak akan ada yang melindungi. Karena waktu itu ada kamu,
aku yakin pasti aku nggak akan kenapa-napa. Nggak akan diapa-apain. Pasti aman. Pasti save,"
Langen terdiam lagi. Kali ini ditariknya napas panjang-panjang. "Waktu kita cuma berdua di
kontrakan teman kamu itu, aku bertahan mati-matian karena aku sadar aku sendirian. Betul-betul
harus bisa melindungi diri sendiri. Karena kamu yang waktu itu di depanku bukan kamu yang
waktu itu di gunung. Bukan orang yang sama."
Rei tertegun. Genggamannya terlepas. Dia bergerak mundur tanpa sadar. Tangan kanan Langen
meluruh jatuh karena dada itu menjauh.
Rei menatap Langen dengan mata terbelalak. Benar-benar terguncang. Benar-benar tidak
menyangka, itulah pemicu yang sebenarnya. Langen berusaha berlari padanya, meminta
perlindungan. Namun yang dilakukannya justru tetap memaksa gadis itu berdiri sebagai lawan.
Rei sama sekali tidak bersedia mengulurkan tangan, sampai kemudian Langen terpaksa
melakukan pilihan terakhirnya.
Ketika beberapa saat terlewat dan Rei masih juga membeku, Langen mengira akhirnya hubungan
mereka memang sudah sampai di dasar jurang. Saatnya untuk benar-benar mengucapkan selamat
tinggal. Gadis itu tersenyum. Ikhlas sudah. Ditatapnya Rei.
"Terima kasih ya, udah nolong aku di gunung waktu itu. Sebenarnya pingin ngucapin dari dulu,
cuma nggak tau gimana caranya. Habis, tiba-tiba kamu marah. Waktu aku tau kenapa, udah
nggak ada kesempatan untuk ngomong lagi. Kamu nyuruh aku pergi. Aku juga mau minta maaf,
udah nyakitin kamu sampe begini. Maaf, ya."
Langen menangkupkan kedua tangannya di depan bibir. Tersenyum lagi, lalu balik badan dan
pergi. Rei tercekat. Kemudian dia mendapati dirinya melompat begitu saja, menyambar tubuh Langen
dengan kedua tangan dan memeluknya dengan keseluruhan fisik dan jiwanya.
Kemarahannya menguap. Meninggalkan rongga kosong yang segera digantikan rasa bersalah.
Dan rasa baru ini ternyata lebih menyakitkan!
"Tolong lepas. Aku mau pulang. Capek," pinta Langen lirih. Tetapi itu justru membuat pelukan
Rei makin kuat. Hingga tidak lagi menyisakan ruang di antara mereka.
Kini, Langen merasa seakan jantung Rei berdetak di telinganya. Kuat. Cepat. Sekuat tenaga Rei
berusaha meredam, tapi tidak bisa. Ditutupnya mata. Dikatupkannya kedua rahangnya.
Lama, ketika akhirnya cowok itu berhasil mengontrol kembali emosinya, dia urai pelukannya.
Diangkatnya dagu Langen, dimintanya gadis itu untuk menatap matanya.
"Gimana cara nebusnya?" tanya Rei pelan.
"Nggak tau." Langen menggeleng. Sungguh-sungguh tidak tahu. Sama sekali bukan karena ingin
menyiksa Rei. Kedua rahang Rei mengatup lagi. Kedua matanya yang menatap Langen meredup. Dia mengeluh
jauh di dalam hati. Rasa bersalah ini... "Bilang, La, aku harus gimana" Tolong jangan diem aja," Rei memohon.
Langen menggigit bibir. Ada satu hal yang sebenarnya sangat dia butuhkan. Dan hanya Rei yang
bisa memberikan. "Mmm... kalo gitu aku mau minta tolong," ucap Langen kemudian. Dengan nada sangat hatihati. "Habis kebut gunung itu, aku sebenarnya malu banget kalo ketemu Bima sama Rangga.
Makanya selama ini, kalo bisa menghindar, aku pilih menghindar. Kalo nanti ketemu mereka,
boleh nggak aku ngumpet di belakang kamu?"
Ya Tuhan! desis Rei dalam hati. Seperti mata pisau yang belum lama dicabut, dan sedetik
kemudian ditancapkan kembali.
Ditatapnya kedua mata Langen yang menatapnya dengan pandang memohon.
"Ada lagi?" tanya Rei dengan dada semakin sakit.
Langen mengangguk. "Surat pernyataan waktu kebut gunung itu, aku titipin Rangga. Soalnya aku kira kamu udah
nggak mau ngomong lagi. Itu nggak ada salinannya. Aku juga nggak pernah punya niat untuk
nyebarin di kampus. Waktu itu cuma gertakan aja, supaya kita nggak lagi berantem sampe parah
gitu. Juga supaya kamu mau cepat nolong, sebelum lebih banyak lagi orang yang ngeliat aku
dalam kondisi begitu."
Cukup! Rei tak sanggup lagi. Dia menarik Langen menuju gazebo di sudut halaman.
"Ngapain ke sini?" tanya Langen tak mengerti.
"Udah diem," jawab Rei. Pelan dan pendek. Ditariknya Langen sampai jatuh terduduk di lantai
kayu gazebo, di antara rentangan kedua kakinya. Kemudian dipeluknya cewek itu dengan tangan
kirinya. "Ngapain sih di sini?" tanya Langen lagi.
"Dibilang diem."
"Iya, tapi..." Dengan tangan kanannya yang bebas, Rei membungkam mulut Langen. Ditatapnya gadis itu
tepat di manik mata. "Aku peluk sampe pagi, ya?" bisiknya.
Langen terbelalak. Rei melepaskan tangannya lalu mencium bibir Langen sebelum gadis itu
sempat menyuarakan protesnya. Kemudian direbahkannya kepala Langen, yang masih
menatapnya tercengang, di dada kirinya.
"Udah... jangan ngomong lagi."
Langen menurut. Keduanya terdiam. Dada yang masih terasa sesak menyiksa Rei dan membuat
pikirannya berputar. Tangan kirinya mengusap-usap puncak kepala Langen tanpa sadar.
Beban yang terangkat, hati yang lega, matahari sore yang hangat, pelukan Rei yang
menenangkan, akhirnya membuat Langen tertidur.
Rei menunduk saat didengarnya bunyi napas yang teratur. Tersenyum tipis, diciumnya kening
Langen. Hari menjelang gelap. Lampu taman dinyalakan dari dalam. Tak lama Rangga datang dan
langsung menghampiri dua orang yang menghuni gazebonya.
"Tolong jangan sekep anak orang di rumah gue. Ntar gue kudu ikut tanggung jawab juga!"
katanya. Tapi sesaat kemudian Rangga bungkuk dan menatap wajah Langen dengan saksama.
"Tidur!?" tanyanya tercengang.
"He-eh." Rei mengangguk. Tertawa tanpa suara.
"Sinting lo! Anak orang dibekep sampe tidur begitu." Rangga mengambil tempat di sebelah Rei.
"Udah tau, siapa yang harus minta maaf?" tanyanya pelan.
Rei mengangguk lagi. Ia menarik napas panjang-panjang.
"Thanks, Ga," ucapnya sungguh-sungguh.
Rangga mengangguk. "You're welcome. Lain kali kalo ada masalah, cerita aja. Jangan dipendem
sendiri." MAHAMERU... Lompatan yang terlalu jauh untuk mereka yang melakukan pendakian perdana dengan cara
melibatkan begitu banyak pendaki berpengalaman.
Mahameru dipilih Rei bukan karena gunung itu merupakan puncak tertinggi di Pulau Jawa dan
punya track yang sulit, tapi lebih karena gunung itu sangat eksotis. Mistis, tapi juga cantik.
Sepertinya Rei belum pulih dari rasa bersalahnya. Sampai hari ini, dia masih berusaha
Still Sekuel Cewek Karya Esti Kinasih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menebusnya. Karena itu Bima dan Rangga menyetujui usul itu tanpa banyak bertanya.
Tinggal Langen dan Fani yang cemas. Keduanya menatap kertas yang diberikan Rei tadi pagi,
sebelum kuliah mulai. Tentang rencana keberangkatan, urutan kegiatan, jangka waktu, daftar
perlengkapan, sampai perkiraan biaya.
Tidak perlu diskusi sama sekali. Cukup memelototi kertas itu selama 10 menit, keduanya
langsung mencapai kata sepakat. Menolak ikut! Sementara Febi tergantung sama terbanyak saja.
Ketika jam 4 sore Rei cs datang untuk menjemput cewek masing-masing, Langen"berbicara
atas nama diri sendiri juga kedua temannya"mengatakan keputusan mereka. Dengan suara
pelan, sikap tubuh, serta ekspresi wajah meminta maaf.
Di luar dugaan, ketiga cowok di depannya tertawa geli. Soalnya mereka tau persis alasan
sesungguhnya penolakan itu.
"Udah dong. Masalah kemaren itu kan udah selesai. Lo berdua takut apa sih?" tanya Rangga.
Langen dan Fani bingung menjawab. Keduanya hanya mengangkat bahu. Rangga tersenyum
geli. Diraihnya tangan Febi. "Lo berdua jelasin deh. Lagi pula ini kan proyek lo, Rei," ucap
Rangga kepada kedua sahabatnya. Kemudian cowok itu pergi bersama Febi.
Yang masih tertinggal dari Bima yang dulu, salah satunya adalah sifat usilnya. Dan inilah
penjelasan yang diberikannya untuk Langen dan Fani, dengan tampang serius.
"Semeru itu ya, selain track-nya susah, puncaknya juga ngeluarin uap beracun. Suhunya juga
relatif lebih dingin. Makanya banyak makan korban."
Cowok itu langsung tertawa keras begitu kedua wajah di depannya seketika ternganga ketakutan.
Rei melirik Bima dengan jengkel, membuat tawa Bima makin geli dan makin panjang.
"Info tadi bener, kok," kata Bima setelah tawanya reda. "Tapi kami ngajak kalian untuk
nunjukkin tempat-tempat bagus di sana. Jadi pendakiannya nanti akan santai kok. Nggak ada
target waktu." Tiba-tiba Bima mengulurkan kedua tangan dan meraih Fani ke dalam pelukannya. Satu lagi sifat
lamanya yang masih tertinggal. Fani cuma bisa kaget.
"Lo tanya dia aja, planning yang jelas itu gimana, La. Oke?" Bima menatap Langen sesaat,
sebelum kemudian beralih ke Rei. "Lo jelasin yang sejelas-jelasnya, ya. Biar muka paniknya itu
hilang. Kasian..." Ditepuknya bahu Rei. "Kami duluan. Bye!"
Bima pergi, bersama Fani dalam rangkulannya. Rei dan Langen masih bisa mendengar suara
Bima menjelaskan rencana pendakian ke Semeru itu kepada Fani. Rei mengembalikan
tatapannya pada Langen setelah kedua orang itu hilang dari pandangan.
"Semeru nanti pendakian santai, kayak yang tadi udah dibilang Bima," jelasnya dengan nada
suara yang menenangkan. "Kalo kamu nggak sanggup bawa beban pun nggak apa-apa. Ada
banyak tempat bagus di sana. Itu yang mau aku tunjukin ke kamu. Semeru itu eksotis banget.
Gimana" Ikut, ya?"
Nada berharap itu... Langen jadi tidak tega untuk menolak permintaan itu. Dia mengangguk dan tersenyum. "Oke!"
Seketika Rei menarik napas panjang. Terlihat sangat lega. Dia ulurkan tangan kirinya dan
dirangkulnya Langen. "Jalan yuk" Cari perlengkapan. Ada beberapa yang harus dimiliki setiap pendaki, karena amat
vital. Sisanya baru kita pinjam dari inventaris Maranon."
Dari jauh, Rangga dan Febi menyaksikan kepergian kedua orang itu.
"Mudah-mudahan nggak ada ribut-ribut lagi deh," ucap Febi pelan. "Aku males jadi juru damai
lagi. Repot." "Ya, kalo nanti mereka ribut lagi, kita adu domba aja sekalian. Aku juga nggak mau dua kali
ditonjokin Rei kayak kemaren itu. Gimana" Setuju?"
Febi melirik cowok di sebelahnya, tertawa geli lalu mengangguk.
"Setuju banget!"
TAMAT Karma Manusia Sesat 1 Dewa Arak 79 Iblis Buta Penghianatan Di Bukit Kera 1