Will You Marry Me 1
Will You Marry Me Karya Fatma Sudiastuty Octaviani Bagian 1
Will You Marry Me" Karya: Fatma Sudiastuty Octaviani
Bab 1 SUASANA SMA 114 sudah sangat sepi sore itu. Maklum, hari Sabtu, hari nge-date sedunia.
Anehnya, selain Pak Bon penjaga sekolah, masih aja ada yang betah tinggal sampai sesore itu.
Selma Amalia namanya. Gadis mungil berambut sebahu itu tampak asyik di depan komputer sekretariat OSIS. Dia sedang
menyelesaikan proposal bakti sosial yang menjadi tanggung jawabnya sebagai sekretaris OSIS.
Sebenernya sih, tuh tugas nggak harus selesai hari ini. Masih banyak waktu untuk
mengerjakannya. Tapi Selma yang memegang teguh prinsip "Jangan Tunda Apa yang Bisa Kamu Lakukan Hari
Ini", kekeuh menyelesaikan tugasnya hari itu juga.
Namun selain itu ternyata ada alasan lain yang membuatnya berusaha bertahan di sekolah sampai
sesore itu. Selma ingin memberi waktu untuk Bagas dan Iren, dua sohib kentalnya yang udah
jadian untuk berduaan saja di malam nge-date ini.
Selma tahu dirilah. Karena dia jomblo, bukan berarti waktu pacaran sohibnya harus terganggu
untuk nemenin dia, kan" So, dengan alasan menyelesaikan tugas OSIS-nya, Selma berhasil
menggiring kedua sohibnya untuk pulang duluan tanpa dirinya.
"Selesai juga akhirnya." Selma meregangkan kedua tangannya.
"Capek juga ngendon di sini sesorean." Dibuangnya napas panjang penuh kelegaan, lalu
diliriknya jam dinding di atas komputer.
"Hah"! Setengah enam!" teriaknya kaget. Dengan gerak cepat Selma mematikan komputer dan
meninggalkan ruang OSIS setelah menguncinya lebih dulu.
Selma berjalan menyusuri koridor sekolah. Bang Amir dan Pak Bon yang biasanya selalu di situ,
entah pergi ke mana. Sepi. Selma jadi bergidik sendiri. Apalagi saat terngiang cerita Sherly siang
tadi. "Lo tau nggak, cerita sepasang kekasih yang meninggal bunuh diri di ruang laboratorium sekolah
kita?" Sherly si ratu gosip mulai mengobral story.
"Katanya nih, Sel, mereka suka menampakkan diri menjelang magrib." Sebenernya Selma paling
nggak percaya cerita-cerita hantu begituan.
Tapi suasana sore ini sangat mendukung terjadinya hal-hal mistik. Selma jadi kepikiran cerita
Shely. Ia berjalan setengah berlari.
Bahkan saat melewati ruang laboratorium, Selma lari betulan. Dalam hati ia berharap bisa segera
mencapai pintu gerbang. Di pintu gerbang Selma merasa lega luar biasa.
"Woi! Coba aja kejar gue kalo bisa!" teriaknya congkak ke arah halaman sekolah yang kosong.
Entah kepada siapa teriakan itu ditujukan.
Tapi yang pasti, dengan senyum penuh kemenangan Selma berbalik dan bersiap pulang ke rumah
yang jaraknya nggak jauh dari sekolah.
Ya, Selma memang tinggal di kompleks perumahan yang jaraknya cuma lima belas menit dari
sekolah. Dan ia baru saja akan melangkahkan kakinya, ketika...
"Selma." Siapa itu" pikir Selma. Jantungnya berdebar tak beraturan. Jangan-jangan tuh setan
bener-bener ngikutin gue.
Wah, bisa nggak pulang selamanya nih gue... Selma berdiri terpaku. Ia tak berani menengok ke
arah asal suara. "Selma." Ah, suara itu lagi. Apa mungkin itu Bagas, ya" Dia pasti nggak tega liat gue sendirian,
terus ngajak Iren jemput gue ke sini. Ya, ya... kenapa mesti takut kalo begitu" Perlahan Selma
menengok. Tak ada Bagas ataupun Iren.
Satu-satunya manusia yang berdiri bersandar di gerbang sekolah adalah seorang cowok asing
yang tengah asyik merokok. Dan nggak mungkin banget tuh cowok yang manggil Selma.
Seumur-umur Selma belum pernah melihat cowok itu.
Aduuh... nggak ada siapa-siapa, lagi. Masa sih hantu-hantu itu bener-bener ada" Kalo memang
ada, terus kenapa mesti gue yang diganggu" Sebodo ah. Gue kan nggak berbuat jahat sama
mereka. Jadi, sekali lagi ada yang manggil gue, gue tantangin aja sekalian. Dikiranya takut, apa"
Dari rasa takut yang sangat, Selma kini jadi marah karna merasa dipermainkan.
"Selma." Suara itu lagi... Kali ini habis sudah kesabaran Selma. Dengan garang ia menoleh ke
belakang. Bukan ke halaman sekolah, kali ini ia menantang langit sore yang mulai gelap.
"Heh! Keluar lo kalo berani!" ucapnya lantang.
"Hi... hi... hi..."
"Eh, malah ketawa! Ayo keluar! Kalo lo pikir gue takut, lo salah besar. Keluar lo!"
"Ha... ha... ha... Gue juga udah keluar kok dari tadi, lagi. Itu kalo lo menganggap gue
penampakan. Ha... ha... ha..." Selma tertegun.
Pandangannya beralih ke cowok asing yang kini memandang dan tersenyum ke arahnya.
"Lo..." "Ya, gue..." "Siapa lo?" "Nathan." Nathan" Siapa Nathan" Memangnya gue pernah punya temen Nathan" Perasaan nggak ada tuh.
Jadi, siapa nih cowok" Kok kenal gue" Bermacam pertanyaan singgah di kepala Selma. Tapi tak
satu pun keluar dari mulutnya. Yang ada malah nasihat Mbok Sum yang tahu-tahu terngiang di
telinganya. "Zaman sekarang ini Mbak Selma kudu ati-ati. Apalagi Mbak Selma kan ayu." Mbok Sum,
pembantu kesayangan keluarga Selma bernasihat ria seperti biasa.
"Apa hubungannya zaman ama cantik, Mbok?" tanya Selma. Ia bingung dengan perkataan Mbok
Sum yang sudah seperti neneknya sendiri itu.
"Lho ya hubungannya erat sekali toh, Cah Ayu. Zaman sekarang ini banyak orang pada nekat.
Penculikan, pemerkosaan, pembunuhan sudah jadi hal biasa. Dan biasanya korbannya cewek
ABG ayu kayak Mbak Selma gini. Makanya Mbak Selma mesti ati-ati. Jangan mudah percaya
sama orang yang baru dikenali. Apalagi yang keren dan kelihatan kaya. Biasanya, Mbak, itu
cuma kedok." Wuaaa... jangan-jangan orang kayak begini nih yang dimaksud Mbok Sum. Aduh... gimana
dong" Sementara Selma sibuk dengan pikirannya, cowok yang mengaku bernama Nathan akan
dengan mudah menggapai Selma. Ayolah, Sel, berpikirlah! perintah Selma pada dirinya.
Tiga langkah... Dasar bodoh! Mikir! Dua langkah... LARI...!!! Dan perintah itulah yang menyelamatkan Selma. Setidaknya, untuh sementara. Karna toh
sepertinya Nathan bukan tipe yang bakal melepas mangsanya begitu saja.
"Hei... jangan lari!" Tuh, kan"
"Selma, berhenti...!" teriak Nathan.
"Sialan, kecil-kecil cepat juga larinya," gumam Nathan sambil terus mengejar.
"Selma, berhenti!" panggilnya lagi.
"Lo yang berhenti! Ortu gue tuh miskin. Gue ini cuma anak yatim. Lo nggak bakal dapat apaapa!" Gila, ngapain juga gue sahutin" Dasar bodoh. Udah, lari aja, Sel...
"Gue nggak peduli walaupun lo cuma gelandangan! Gue nggak butuh harta lo!" Nah lho, dia
nggak minta tebusan. Berarti dia pemerkosa dong" Atau pembunuh...! Wuaa... Mbok Sum...,
tolong...! Selma mempercepat larinya.
Dia terus membayangkan home sweet home-nya yang berada tepat di balik taman perumahan itu.
Rencananya sesampai di rumah dia akan minta tolong kakaknya yang jago karate untuk menciat-ciat orang yang kemungkinan besar pemerkosa sekaligus pembunuh itu.
Atau, kalau sang kakak belum pulang kuliah, dia bisa ngumpet di belakang Mbok Sum yang
pasti dengan senang hati akan mempersenjatai dirinya dengan sapu dan kemoceng, melindungi
nona mudanya dari cowok yang kini mengejarnya.
Sayangnya, itu semua cuma angan-angan. Gadis berhidung lancip ini terlalu lelah dan lapar.
Pandangannya jadi samar dan tanpa sengaja kakinya tersandung batu.
"Aduh...," Selma jatuh tersungkur tepat di taman kompleks perumahan. Dia cepat-cepat berdiri,
tapi dadanya sesak. Perlahan dia berbalik, lantas duduk dengan lutut setengah ditekuk. Darah
mengucur deras dari lututnya.
"Tuh, kan. Jatuh deh. Lo sih, pake lari-lari segala. Nyusahin orang aja." Selma tersentak. Nathan
sudah berdiri di dekatnya. Ketakutan mulai merayapi hati dan pikiran Selma.
Ya Tuhan..., tolonglah hamba. Kalaupun hamba harus mati hari ini, jangan biarkan hamba mati
dalam keadaan ternoda. Nathan semakin mendekat. Dia berjongkok di samping Selma. Diperhatikannya gadis mungil
yang sedang memejamkan mata di depannya itu.
Tuhan..., tolonglah hamba. Selma terus berdoa sebisanya. Sekonyong-konyong Selma merasa
tubuhnya diangkat. Hah..., kok tubuh gue tiba-tiba melayang" Masa sih gue udah mati" Secepat
ini" Kok nggak kerasa apa-apa" Tapi... bau harum apa ini" Wangi banget! Bau taman surgakah"
Perlahan Selma membuka mata. Dia tidak segera menyadari apa yang terjadi.
Tapi begitu sadar dirinya tengah berada dalam gendongan orang yang sama sekali nggak dia
kenal, Selma langsung menjerit dan memberontak.
"Apa-apaan sih lo"! Lepasing! Gue masih kecil. Lepasin!" Selma terus menjerit dan meronta
dalam bopongan Nathan. "Heh! Bisa diam, nggak" Lo emang kecil, tapi kalo lo bergerak terus, gue bisa ikut jatuh, tau!"
Selma tak menggubris kata-kata cowok itu, dia malah memukul-mukul Nathan dengan kedua
tangan mungilnya. "Turunin gue! Turunin!" Sial. Nathan sama bandelnya dengan Selma. Dia tetap membopong
cewek mungil itu tanpa menggubris teriakannya.
"Nah, di sini kan enak." Nathan menurunkan Selma di kursi taman, di bawah lampu hias yang
mulai menyala di sekeliling taman. Selma benar-benar pasrah sekarang.
Dia nggak mungkin lari dengan lutut terluka. Gadis itu terus saja diam tanpa berhenti
memikirkan masa depannya yang kini terancam.
"Kok diam" Udah capek marah, ya?" Cowok yang mengaku Nathan itu mulai ngajak ngobrol.
"Lo... lo nggak bakal me... merkosa a... anak kecil, kan?" tanya Selma terbata sambil menelan
ludah. Nathan memandangnya. Ia heran mendengar ucapan cewek itu.
Tapi sesaat kemudian... "Ha... ha... ha..." Selma mengerutkan dahi.
"Kok ketawa"!" tanyanya bingung.
Tapi entah kenapa tawa Nathan membuat rasa takut Selma perlahan memudar. Masa sih
pemerkosa menertawakan dirinya sendiri" Nggak mungkin, kan"! Pikiran itu membuat Selma
sedikit tenang. "Ha... ha... ha... Jadi lo kira gue pemerkosa, gitu" Picik juga pikiran lo tentang gue. Ha... ha...
ha... pake lari segala. Jatuh, lagi. Ha... ha... ha..."
"Habis, apa dong namanya" Gue kan nggak kenal siapa lo. Tau-tau lo ada di belakang gue,
manggil gue, tersenyum ke gue. Kalo lo jadi gue, emang apa yang ada di pikiran lo tentang
cowok asing sok aksi gitu"!" protes Selma.
Dia nggak terima diketawain cowok asing yang menjengkelkan.
Nathan berusaha menghentikan tawanya, meski tidak cukup berhasil.
"Oke, oke. Gue maklum. Tapi masa sih gue pemerkosa" Dapet pikiran konyol dari mana sih lo?"
"Dari Mbok Sum." Tadinya Selma mengira, Nathan akan bertanya, Siapa Mbok Sum" Nggak
disangka cowok keren berperawakan tinggi itu malah ketawa lagi.
"Ha... ha... ha... Mbok Sum, bener juga. Mbok Sum memang selalu aneh-aneh pikirannya. Tapi
lebih aneh lagi, lo percaya gitu aja omongannya Mbok Sum." Selma melongo tak percaya.
"Lo... lo kenal Mbok Sum?" Nathan menghentikan tawanya. Ia nggak langsung menjawab. Kini
matanya tertuju pada luka di kaki Selma.
"Punya tisu?" tanyanya kemudian.
"Tapi... Mbok Sum?"
"Punya nggak?" suara Nathan meninggi.
"Eh, pu... punya." Selma tampak ketakutan.
"Ya udah sini, kasih gue." Selma merogoh tasnya dan menyerahkan tisu yang diminta Nathan.
Cowok misterius itu berdiri, pergi ke air keran di sudut taman, dan kembali lagi dengan tisu
basah di tangan. "Tahan bentar, perih sedikit." Dengan lembut Nathan membersihkan luka Selma.
Sebentar-sebentar Selma meringis, tapi ditahannya sakitnya. Nggak seru dong, kalo mesti ngeluh
di depan cowok nyebelin dan sok ngatur yang sedang berjongkok membersihkan lukanya ini.
Harga diri bisa jatuh bo!
Setelah lukanya bersih, Nathan mengambil saputangan dari saku celananya. Ditiup-tiupnya luka
Selma hingga kering, lalu diikatnya saputangan itu hingga luka Selma terlindung.
"Hei, tunggu dulu!" pekik Selma tiba-tiba.
"Kenapa" Sakit ya" Tahan bentar," jawab Nathan tanpa menghentikan aktivitasnya.
"Bukan begitu. Saputangan lo bisa kotor kena darah gue." Nathan menghentikan kesibukannya.
Ditatapnya Selma tajam. "Lo kira gue cuma punya satu saputangan, gitu?"
"Bu... bukan begitu. Tapi..."
"Kalaupun gue cuma punya satu, gue masih bisa beli yang baru. Tapi kalo kaki lo yang sakit itu
infeksi dan akhirnya diamputasi, lo nggak bakal bisa nemuin kaki yang sama di toko mana pun.
Ngerti"!" "I... iya ngerti," Selma menjawab gugup.
"Kalo ngerti, diem dan jangan banyak protes." Nathan kembali melanjutkan membebat luka
Selma. "I... iya," Selama mengangguk cepat. Sial, siapa sih nih cowok" Kenal aja nggak, main ngatur
orang seenaknya aja. Selma dongkol banget, meski sialnya, ia harus membenarkan semua ucapan
Nathan. Sebel! "Nah, finis. Nanti sampai rumah, minta tolong Mbok Sum bersihin lukanya pake antiseptik."
"Lo siapa sih?" tanya Selma. Tatapannya penuh selidik. Nathan balas menatap, kemudian
tersenyum. "Gue Nathan," jawabnya singkat.
"Gue nggak nanya nama lo. Gue tanya, lo siapa?" Nathan tak langsung menyahut. Pandangannya
menerawang. "Gue nggak bisa nyebut diri gue pangeran tampan berkuda putih yang datang mempersembahkan
mawar putih ke elo, kan"! Karna gue bukan pangeran. Gue juga nggak naik kuda putih.
Ditambah lagi, gue nggak bawa mawar putih buat lo. Yang gue bawa hanya cinta. Cinta tulus
gue buat lo. Itulah makanya gue cuma bisa bilang... nama gue Nathan." Sumpah, Selma terkejut
mendengar ucapan Nathan barusan.
Bahkan Iren dan Bagas yang sohib kentalnya aja nggak tahu tentang cinta dalam khayalannya.
Tentang pangeran tampan, kuda, dan mawar putih. Pokoknya semuanya.
Tapi cowok asing ini... Selma bahkan baru melihatnya hari ini. Tapi cowok ini..., dia tahu
segalanya. Tak mungkin ini hanya kebetulan, kan" Tidak ada kebetulan kayak begini.
Dan nggak mungkin Nathan punya indra keenam yang bisa membaca pikiran orang. Karna toh
saat ini Selma nggak lagi mikirin cinta khayalannya itu. Jadi, dari mana cowok ini bisa tahu
segalanya" Belum lagi Selma mengungkapkan rasa penasarannya, kejutan lain kembali
menyusul. Nathan tiba-tiba menggenggam tangannya. Dibawanya jemari Selma ke bibir dan lantas
dikecupnya mesra. Debar jantung Selma langsung berantakan. Sial, apa sih maunya cowok
kurang ajar ini" geramnya. Tapi toh ia tidak melakukan apa-apa untuk menghentikan sikap
kurang ajar cowok yang kini tengah menatapnya tersebut.
"Will you marry me?" Dueer...!!! Mulut Selma menganga, matanya membelalak tak percaya.
Serta-merta ia menarik tangannya. Beberapa kejap kemudian, dicubitnya sendiri lengannya.
Dan... "Aow...!" Selma menjerit. Sakit. Ya Tuhan..., ini bukan mimpi! Dan cowok itu... Nathan
mengamatinya lembut. "Gue tau, lo pasti bingung dengan semua ini, Sel," katanya tenang.
"Ya terang aja gue bingung. Gue dilamar sama orang yang nggak gue kenal, yang wajahnya aja
baru gue liat hari ini, dan bahkan yang gue kira penculik, pemerkosa, sekaligus pembunuh.
Menurut lo, gue mesti gimana" Tersenyum lalu bilang, Ya, gue mau merit sama lo. Gitu"! Ini
gila, tau! Atau jangan-jangan lo orang sinting, lagi." Selma mengamati wajah Nathan penuh
selidik. "Nggak perlu panik kayak begitu, Sel. Yang jelas gue kenal siapa lo. Dan lo juga bakal kenal
gue, sebaik gue kenal elo."
"Oh ya" Caranya?" Selma tersenyum sinis.
"Izinkan gue masuk ke hati lo. Setelah itu, lo bakal mengenal gue, bahkan lebih dari gue
mengenal diri gue sendiri."
"Oh ya"! Lalu, dari mana gue bisa tau kalo lo nggak lagi menipu gue?"
"Terserah, lo mau percaya gue apa nggak. Yang jelas, gue nggak bakal nyakitin orang yang udah
nyelametin nyawa gue." Tuh, kan, main teka-teki lagi.
Gimana gue bisa tau siapa lo kalo begini terus kejadiannya. Dasar sableng.
"Udah deh, gue pusing, laper, capek. Gue mau pulang. Ngademin pikiran. Bisa ikut-ikutan gila
gue, kalo kelamaan sama lo." Selma berusaha berdiri. Tapi sia-sia. Sepertinya pergelangan kaki
kirinya terkilir saat jatuh tadi.
Sial, lagi begini kaki malah nggak bisa diajak kompromi, lagi! batin Selma kesal.
"Udah, naik sini!" Nathan berjongkok membelakangi Selma. Selma ngerti banget maksudnya.
Nathan mau menggendong dan mengantarnya pulang! Emang dikiranya dia siapa"
"Makasih! Gue bisa pulang sendiri kok," jawab Selma keras kepala.
"Udah deh, nggak usah bawel. Emangnya lo mau terbang, apa"! Kaki terkilir begitu! Lagian
rumah lo cuma di belakang taman ini, kan"!" Selma udah nggak sanggup terkejut lagi saat
Nathan menggambarkan letak rumahnya dengan sangat tepat.
"Ayo naik! Tunggu apa lagi"!" tawar Nathan. Nada memerintah. Lagi-lagi Selma mengumpat
dalam hati. Memangnya dia kira dia siapa" Beraninya sama anak kecil.
Coba aja kalo nanti ketemu Bunda, didamprat habis baru tau rasa lo! Tapi melihat gelagat
Nathan yang sepertinya nggak mau ngalah dan langit sore yang mulai gelap serta kakinya yang
memang sakit, Selma akhirnya menerima tawaran cowok misterius itu.
Ia menyeret kakinya selangkah ke arah Nathan, mendekatkan tubuhnya ke punggung cowok itu,
dan merangkulkan kedua tangannya di leher cowok yang baru dikenalnya sore itu. Nathan
bangkit berdiri, lalu berjalan menuju rumah Selma.
"Hei, lo belum jawab lamaran gue." Menggendong Selma ternyata bukan apa-apa bagi Nathan.
Buktinya, dia tetap aja nyerocos tanpa menghentikan langkah.
"Memangnya meritnya besok?" jawab Selma sekenanya.
"Ya, nggaklah. Gue mesti nyelesain sekolah gue. Lo juga mesti lulus dulu. Baru setelah itu kita
merit. Tapi untuk sementara kita kan bisa pacaran dulu. Biar lebih saling mengenal. Gue juga
pengennya lo nikah sama gue karna cinta. Bukan terpaksa. Dan itu perlu waktu. Ya, dua
Will You Marry Me Karya Fatma Sudiastuty Octaviani di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tahunanlah." "Kalo begitu gue nggak harus jawab sekarang, kan"! Lagian lo belum ketemu Bunda. Coba aja
kalo lo bisa naklukin Bunda. Asal lo tau aja, Bunda itu paling anti liat anaknya pacaran. Jadi, sori
ya kalo gue nggak bisa terima tawaran lo," Selma berkata penuh kemenangan.
Dia nggak bohong. Bunda memang AMAT SANGAT KERAS soal pacaran.
Dan Bunda bakal langsung ngomong ketus sama Nathan kalo beliau tahu tujuan Nathan. Apalagi
Nathan nganter putrinya pulang dalam keadaan terluka.
Hei, kamu apakan putriku"! Pergi dari sini dan jangan pernah kembali! Selma tersenyum sendiri
membayangkan Bunda marah-marah didampingi Mbok Sum yang lengkap dengan senjata
bersih-bersihnya. "Kalo gue bisa ngadepin bunda lo, apa hadiahnya?" tanya Nathan tiba-tiba.
E..., dia nantang nih! Oke, siapa takut"
"Mm... apa ya?"
"Kalo hadiahnya lo jadi pacar gue"!" Hm... belum tau rasanya kalah, rupanya.
"Oke. Tapi kalo Bunda tetap kekeuh ngusir lo, elo mesti pergi dari kehidupan gue, selamanya."
"Deal. Berapa hari waktu gue?"
"Mm... tiga hari."
"Oke!" He... he... bersiaplah untuk pulang dengan wajah tertunduk, cowok sok! Dan gue bakal
ngejalanin hidup gue dengan normal kembali.
Hi... hi... Di atas punggung Nathan, Selma senyum-senyum sendirian.
Bab 2 "LHO, bukannya itu Selma?" Iren menunjuk cewek yang baru turun dari Kawasaki Ninja hitam
metalik. "Hah"! Masa sih" Motor Kak Randy kan warnanya merah, kok jadi hitam" Apa dituker baru
ya?" Bagas yang berangkat bareng Iren pagi itu ikut menyipitkan mata, menajamkan
penglihatannya. Sementara kedua sohibnya merhatiin dari jauh dengan pandangan nggak yakin, Selma buru-buru
turun dari boncengan cowok yang nggak lain nggak bukan adalah Nathan.
Ia tidak mengucapkan salam perpisahan atau terima kasih pada sang pengantar. Ia malah
bergegas lari menghampiri dua sohibnya yang masih bengong memandangnya dari jauh.
"Hi, guys..." sapa Selma seraya memaksakan senyum. Bagas dan Iren tak segera menjawab.
Mereka masih melongo dan malah berpandang-pandangan. Belum secuil pun pertanyaan terucap
dari mulut mereka, Nathan yang melihat ketiga sahabat itu berkumpul, menghampiri mereka
dengan motornya. "Hai, kalian pasti Bagas an Iren, kan?" sapanya sok akrab. Diulurkannya tangannya tanpa turun
dari motor. "Gue Nathan. Cowoknya Selma." Mulut Bagas dan Iren menganga mendengar ucapannya.
Antara sadar dan nggak, mereka menyambut uluran tangan Nathan.
"Udah dulu ya, gue bisa terlambat nih. Nanti kita ketemu lagi. Oke?" Pandangan Nathan beralih
dari dua sohib Selma ke arah cewek itu.
"Berangkat dulu ya, Sayang. Ingat, jangan selingkuh." Nathan tersenyum. Dicubitnya hidung
lancip Selma dengan sayang. Selma diam saja sambil memanyunkan mulut, kesal.
Nathan pun melaju dengan motornya.
"Sel, kayaknya ada yang mesti kita omongin deh," kata Iren tanpa lepas memandang kepergian
Nathan. "Dan harus dibahas terperinci," tambah Bagas yang juga masih memandang motor Nathan.
Lalu tanpa dikomando keduanya memandang Selma dan berkata bersamaan,
"Sekarang!" Selma cuma bisa pasrah. Dia tahu kedua sohibnya bakal bereaksi seperti itu. Dan
dia sudah siap merespons reaksi mereka.
"Gue tau. Kita bolos jam olahraga, gimana?" tawar Selma yang langsung disetujui kedua
sohibnya. @@@ "Hah"!" lagi-lagi mulut Bagas dan Iren menganga lebar.
Dan untuk kesekian kali Selma harus menempelkan telunjuknya ke mulut supaya mereka nggak
berisik. Sayang usahanya sia-sia. Petugas UKS menghampiri mereka.
"Kalian sudah baikan?" tanyanya.
"Belum, Pak," jawab Iren cepat.
"Kok teriak-teriak?"
"Perut saya sakit lagi, Pak."
"Kamu biasa minum obat apa" Biar Bapak ambilkan."
"Terima kasih, Pak. Saya sudah bawa obat sendiri."
"Lho"! Kalau begitu cepat diminum. Atau Bapak akan mengirim kalian kembali ke lapangan.
Ngerti"!" "Ya, Pak," ketiganya menjawab serempak.
Untungnya Pak UKS percaya bualan Iren. Dia langsung ngeloyor pergi begitu melihat anggukan
kepala ketiga murid itu. Ada-ada aja! Hanya untuk mendengar cerita Selma, mereka rela nggak
ikut jam olahraga. Yang bilang sakit perut karna lagi datang bulanlah. Jatuh saat basketlah. Dan untungnya, luka
Selma pas jatuh Sabtu kemarin masih membekas hingga tak sulit untuk minta izin nggak ikut
olahraga. Dan sekarang mereka asyik ber-story ria di ruang UKS.
"Lo lagi ngarang novel ya, Sel" Bagus. Bisa jadi best seller tuh cerita lo," komentar Iren.
"Jangan lupa traktir kita-kita kalo dapet royalti, ya," Bagas ikut nyambung.
"Kalian kok nggak percaya sih sama gue" Gue serius. Kalo kalian kira gue bohong, terus siapa
dong cowok yang nganter gue tadi" Dan ingat, dia langsung tau nama kalian. Padahal gue belum
pernah cerita apa pun soal kalian ke dia." Selma tampak kesal karna dua sohibnya nggak
percaya. Bagas dan Iren berpandang-pandangan.
"Iya sih," kata Bagas.
"Tapi cerita lo tuh fiksi banget, gitu loh. Coba aja lo cerita ke semua orang di sekolah kalo lo
baru dilamar orang yang sama sekali nggak lo kenal dan tu cowok keren, lagi. Lo bakal dicap
pembohong besar deh!" tambah Iren panjang-lebar.
Selma hanya bisa membenarkan kata-kata Iren. Jangankan dua sohibnya atau orang-orang di
sekolah, dia sendiri yang ngalamin belum bisa memercayai apa yang terjadi.
"Udah, udah. Anggep aja kita sekarang percaya cerita lo, Sel. Masalahnya, apa lo terima gitu aja
jadi istri cowok yang nggak jelas asal-usulnya begitu" Lo gila, ya"!" Bagas geleng-geleng
kepala. "Sori, Gas, tapi gue bukan istrinya. Baru pacarnya. Itu pun terpaksa!" protes Selma cepat.
"Mau istri kek, pacar kek, terserah. Tapi kenapa lo mau?"
"Denger dulu dong! Lo masih inget perjanjian gue sama Nathan, kan" Itu lho, tentang bisa nggak
dia naklukin Bunda. Nah, ternyata..."
@@@ Selma sudah sangat senang ketika akhirnya ia melihat pagar rumahnya terbuka lebar. Bersiaplah
untuk pergi secara tidak terhormat, cowok lancang, batinnya penuh semangat.
"Bunda..." Selma memanggil Bunda yang duduk-duduk di teras depan rumahnya.
"Lho, Sel" Kamu kenapa sampai gendongan begitu?" tanya Bunda seraya menghampiri Selma
dan Nathan. "Ini nih, Bunda, orang ini yang..."
"Selma, nggak baik menyebut pacar sendiri dengan sebutan orang ini. Kasihan kan Nak Nathan.
Dia sudah nunggu kamu dari tadi, e... kamunya nggak pulang-pulang. Giliran dijemput, kamu
malah marah-marah. Apa karna Nak Nathan jemputnya jalan kaki terus kamu marah" Tuh,
motornya ditinggal di sini kok." Selma melongo mendengar ucapan Bunda.
Bukan cuma nggak surprise atas kehadiran Nathan, Bunda juga menyebut cowok itu dengan
panggilan Nak Nathan. Dan, dengan gamblang Bunda bilang nggak baik menyebut pacar sendiri
"orang ini". Bunda bahkan mengumumkan motor Nathan ditinggal di rumah. Sial! Jadi begitu" Sebelum
jemput gue, dia udah mampir di rumah" Pantesan dia hafal banget rumah gue.
Tapi, kenapa Bunda bisa menerima kehadiran Nathan begitu aja, ya" Padahal biasanya Bunda
paling anti liat gue pacaran.
Apalagi sama orang yang sama sekali nggak dikenal. Berbagai pikiran bercampur aduk,
membuat Selma terdiam seribu bahasa. Dia bahkan cuma bisa menurut saat Nathan
menurunkannya di ruang tamu, dan meminta Mbok Sum membersihkan lagi lukanya.
Selma juga sudah nggak kaget lagi saat Randy yang baru muncul dari dalam langsung ngobrol
akrab dengan Nathan, seolah-olah mereka udah lama berteman karib.
"Bunda kok nggak marah Selma pulang digendong cowok" Biasanya kan...?" tanya Selma ragu
saat Bunda mengoleskan parem kocok ke pergelangan kakinya yang terkilir.
Nathan tampak asyik bercanda dengan Randy di ruang tamu. Bunda tersenyum.
"Untuk itu Bunda harus minta maaf sama kamu, Sayang." Selma mengerutkan kening.
"Maksud Bunda?"
"Maksud Bunda, Bunda salah menilai putri Bunda. Bunda selalu menganggap kamu masih kecil.
Ternyata... kamu sudah gadis, Selma. Dan gadis yang baik seperti kamu, pasti nggak bakal salah
memilih kekasih. Dan kamu benar, Sayang. Kamu nggak salah milih pacar, Bunda suka kamu
jadian sama Nathan. Dia oke untukmu." Sambil berkata demikian, Bunda mengacungkan kedua
ibu jarinya. "Bunda juga yakin, ayahmu di surga juga akan setuju dengan pilihanmu. Nathan itu gampang
akrab dengan siapa saja. Seandainya Ayah masih hidup..." Bunda menerawang sesaat, namun
kemudian memandang putrinya sambil tersenyum lembut.
Ya Tuhan... ada apa sih sebenarnya" Selma tertunduk lesu. Bawa-bawa Ayah segala, lagi.
Nggak! Kalo Ayah di sini, dia pasti belain Selma. Iya kan, Yah" Tapi percuma, bagaimanapun
Ayah nggak ada. Dan gue bener-bener terpojok sekarang.
"Tapi, Bunda, bagaimana mungkin..."
"Sudah. Mbak Selma ndak usah bingung begitu. Mbok akan beritahu satu rahasia, tapi Mbak
Selma jangan marah sama Mas Nathan, ya?" Mbok Sum ikut nimbrung dan duduk di sebelan
Bunda. "Kita sebenarnya sudah tau Mbak Selma jadian sama Mas Nathan sejak setengah bulan lalu."
"Haaah"! Setengah bulan" Tapi..." bukannya jadi jelas, Selma malah makin bingung.
"Iya, kami tau Mbak Selma sengaja, apa itu namanya..."
"Backstreet, Mbok," sambung Bunda.
"Iya, backstreet. Mbak Selma sengaja backstreet soalnya takut dimarahi Nyonya. Terus..., Mas
Nathan yang jantan itu datang ke sini, Mbak."
"Jadi... Nathan datang ke sini sejak setengah bulan lalu?"
"Iya, Mbak. Mas Nathan minta izin sama Nyonya untuk jadi pacarnya Mbak Selma. Mas Nathan
waktu itu janji akan buktiin serius. Mulanya sih kita biasa saja, tapi lama-lama kita seneng
banget dengan kunjungan Mas Nathan. Apalagi Mas Nathan nggak cuma sekali-dua kali aja
mesen katering ke kita. Mana pesanan Mas Nathan selalu dalam partai besar, lagi. Kita sampai
kewalahan lho, Mbak, tapi seneng." Mbok Sum tersenyum bahagia.
"Makanya, Mbak Selma ndak perlu sembunyi-sembunyi lagi pacarannya, Nyonya udah oke kok.
Mbok juga oke." Selma melongo nggak percaya. Nathan curang. Dia ngelangkahin gue
seenaknya. Dia bikin keluarga gue mengkhianati gue. Bagaimana bisa dia mencuri hati orang di
rumah ini tanpa gue sadari"
"Nggak usah bingung, Sel. Nathan memang sengaja merahasiakan semua ini dari kamu. Katanya
sebagai hadiah untuk kamu. Makanya dia selalu ke sini pas kamu nggak ada. Jangan marah sama
dia, ya. Tujuan Nathan kan baik, ini untuk kalian juga, kan?" ucap Bunda sambil mengelus
kepala anak gadisnya. Sebel nggak seeeeh"!!!
@@@ "Begitulah, akhirnya gue kalah taruhan. Dan gue nggak mungkin dong menjilat ludah gue
sendiri. Kalian tau, kan, gue bukan tipe cewek yang suka obral janji," Selma mengakhiri
penjelasannya. Kedua sohibnya lagi-lagi melongo.
"Gila! Bener-bener gila! Kayaknya lawan lo udah profesional nih, Sel. Dia udah ngerencanain
semua ini jauh-jauh hari," kata Bagas.
"Dan sialnya, dia tau semua kelemahan lo. Jadi bisa dibilang lo kalah telak. Atau dalam tinju
disebut KO," tambah Iren yang emang getol nonton olahraga fisik.
"Kok kalian malah nakut-nakutin gue sih" Bantuin bebasin gue dari dia dong. Please..." Selma
hampir menangis mendengar pernyataan dua sohibnya. Nggak satu pun ucapan mereka
memberinya harapan untuk terlepas dari Nathan.
Bagas dan Iren berpandang-pandangan. Mereka mengangkat bahu bersamaan, lalu memandang
Selma yang tampak putus asa.
"Sel, ada satu jalan yang bisa nyelametin lo," ucap Iren tiba-tiba.
"Oh ya" Gimana?" Selma kembali bersemangat.
"Lo mesti tau kelemahan Nathan. Dan lo bisa bongkar kelemahan itu di depan Bunda. Dengan
begitu, lo bisa lepas dari dia." Iren memang jenius!
Kalo soal menyelesaikan masalah, dia jagonya. Jadi, nggak salah dong Selma cerita semua ini ke
dia. "Hm... bener juga..." Selma mengangguk-angguk.
"Nah, sekarang tinggal nyelidikin siapa Nathan sebenernya. Lo punya informasi apa aja tentang
dia?" tanya Iren. Mendengar pertanyaan itu, semangat Selma redup kembali.
"Gue... gue cuma tau namanya Nathan."
"Lainnya?" Selma menggeleng tak berdaya.
"Yah... percuma deh." Iren mengembuskan napas. Kayaknya dia kecewa idenya sia-sia.
Tapi tiba-tiba Iren menjentikkan jari.
"Sel, lo inget seragam yang dia pakai, nggak" Seinget gue, dia nggak pakai seragam sekolah
negeri deh. Itu berarti dia sekolah di SMA swasta. Tapi gue lupa motifnya seragamnya. Lo ingat
nggak, Sel?" "Hm..." Selma mencoba mengingat-ingat, wajahnya yang mungil jadi keliatan lucu.
"Kalo nggak salah, celana panjang kotak-kotak campuran antara biru tua dan merah. Atasannya
putih dengan dasi sewarna celana panjang, dilengkapi rompi warna senada."
"Hah" Sesulit itu" Jangan-jangan sekolahan elite tuh!" Sambil berkata begitu, Iren kembali
memutar otak. Pandangannya tertuju ke cowoknya yang sejak tadi terdiam.
"Gas, kok lo malah melamun sih" Selma kan minta tolong ke elo juga."
"Justru itu! Rasanya gue pernah liat tampang Nathan deh. Tapi di mana ya" Gue lupa." Bagas
menggaruk kepalanya yang nggak gatal. Kebiasaannya kalo mengingat-ingat sesuatu.
"Terserah deh. Lo cnba aja inget-inget lagi, siapa tau berguna. Terus, sementara nyari tau siapa
Nathan, kita juga mesti menyusun strategi supaya Nathan kapok deket-deket lo."
"Oke juga tuh. Tapi gimana caranya?"
"Gampang... serahkan aja sama gue. Lo tinggal menjalankan perintah." Iren tersenyum penuh
teka-teki. Mendengar itu Selma kembali tersenyum.
"Tapi serius nih, lo mau ngelepas Nathan" Kayaknya orangnya tajir lho, bo. Keren, lagi." Garagara ucapannya itu, Iren mendapat dua pasang tatapan tajam dari dua manusia di hadapannya.
Dan seperti biasa, dia cuma cengengesan.
"Anak-anak, jam olahraga sudah selesai. Apa kalian sudah kuat kembali ke kelas?" suara pak
UKS membuat tiga sahabat itu tersentak.
"Eh, iya, Pak. Terima kasih," ucap ketiganya bersamaan. Mereka berdiri dan meninggalkan
ruang UKS. Sambil memandangi ketiga murid itu, Pak UKS geleng-geleng kepala.
Entah jin apa yang bersarang di ruang UKS. Sampai-sampai yang sakit langsung sembuh begitu
jam olahraga berakhir, begitu pikirnya.
Bab 3 "SELMAAA...!!!" Itu suara Iren.
Dari nadanya, sepertinya Iren baru saja menemukan sesuatu.
Dan benar saja. Iren telah menemukan strategi yang dinamakan Strategi Menggilas Nathan.
"Nah, strategi pertama akan kita lancarkan hari ini. Yaitu... shopping!" Tadinya Selma nggak
ngerti maksud Iren, tapi begitu Iren menjelaskan, Selma manggut-manggut.
"Siap ya... kita akan melancarkan strategi ini sepulang sekolah nanti." Iren tampak bersemangat.
Melihat itu Selma makin mantap. Sementara Bagas asal he-eh saja.
@@@ Selasa. Jam pulang sekolah. "Than, temen-temen gue, Bagas dan Iren, lo tau, kan..." Selma memandang Iren dan Bagas yang
melambai dari kejauhan. Siang itu Nathan menjemputnya.
"Ya, terus" Ada apa dengan dua sobat lo?"
"Hm... mereka minta ditraktir macem-macem sama lo. Sebagai ganti..., mmm..., lo sama gue
jadian tanpa seizin mereka." Selma tampak takut-takut mengatakan permintaannya.
"Begitu, ya?" "Iya. Mereka maksa. Katanya kalo lo nggak mau, berarti lo cuma main-main sama gue."
"Hmm... kalo gitu tunggu apa lagi" Ayo berangkat, mereka boleh minta apa aja yang mereka
mau," jawab Nathan santai. Selma langsung memberi kode pada dua sohibnya agar mendekat.
Karna memang sudah direncanakan, Bagas bawa mobil bokapnya. Jadi motor Nathan dititip dulu
di rumah Selma sebelum mereka ngacir ke mal.
"Than, kita makan di McDonald, ya," pinta Iren blakblakan. Nathan yang duduk di depan sama
Bagas cuma manggut-manggut.
"Apa aja deh, asal setelah itu kalian izinin gue jalan sama bidadari cantik teman kalian." Bagas
melirik ke belakang. Iren dan Selma berpandang-pandangan.
"Dia cuma sok, liat aja, ntar kita kerjain!" bisik Iren.
Selma hanya bisa mengangguk. Dalam hati diam-diam Selma tersanjung mendengar perkataan
Nathan barusan. Tapi tentu saja perasaan itu tidak dia ungkapkan. Mobil berhenti di sebuah mal. Tujuan pertama
mereka: makan di McDonald. Iren yg memesan. Dia benar-benar sudah gila. Mesennya kayak
orang kesurupan, sampai-sampai semua kekenyangan.
"Habis ini kita ke dalam. Katanya Selma mau beli baju dan sebagainya. Ya kan, Sel?" Iren
menginjak kaki Selma. "Eh, i... iya," jawab Selma kaget.
"Up to you, ladies. Everything... Lo setuju, kan, Gas, kita manjain nona-nona ini?" kata Nathan
tak gentar, sambil melirik Bagas. Bagas mengangguk.
"Yoi banget, man," jawabnya. Keduanya tertawa. Iren menginjak kaki Bagas dan menatapnya
galak. Sebenernya lo di pihak siapa sih" batinnya kesal. Bagas cuma senyam-senyum ditatap
galak banget sama pacarnya. Itu sih udah biasa buat Bagas. Mereka menuju konter pakaian. Iren
udah gila beneran. Dia borong baju banyak banget, sampai Selma kewalahan membawanya.
"Nah, ini pas banget buat lo, Sel. Satu buat lo, satu buat gue, kita kembaran, ya" Terus ini untuk
acara ultah Meira, lusa. Terus ini pitanya..., kosmetiknya..., sepatunya..., underwear-nya..."
"Ren, lo gila, ya" Gimana kalo Nathan nggak bawa uang" Kan kasihan," bisik Selma. Iren
kelihatan nggak peduli. Sohibnya itu terus aja memilih dan memilah barang belanjaan.
Will You Marry Me Karya Fatma Sudiastuty Octaviani di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tenang dong, Sel. Kan tujuannya memang mempermalukan dia! Biar dia kapok deketin lo.
Begitu, kan?" "Iya sih. Tapi, Ren..."
"Udah, nggak ada tapi-tapian. Eh, ini tasnya lucu nih. Lo satu, gue satu. Bagus, kan?" Selma
cuma bisa geleng-geleng kepala.
Akhirnya dia nurut aja apa kata Iren. Toh ini semua demi kebebasannya. Sementara itu Nathan
dan Bagas berjalan di belakang mereka sambil nggak lepas mengawasi kekasih mereka yang
lincah-lincah. "Lo tau nggak, Gas" Gue akan melakukan apa pun untuk membuat bidadari gue tetep tersenyum.
Berapa pun uang yang harus gue keluarkan, sebesar apa pun pengorbanan yang diminta untuk
mewujudkannya, akan gue lakukan!" kata Nathan saat pandangannya tak sengaja bersirobok
dengan Selma yang cepat-cepat membuang muka. Bagas tertegun.
"Kok lo bisa begitu yakin sama Selma sih" Lo sama sekali belum kenal dia, kan?"
"Lo salah, Gas, gue kenal Selma, lebih dari dia mengenal dirinya sendiri." Nathan tak lepas-lepas
menatap Selma yang masih aja ditarik ke sana kemari oleh Iren.
Bagas mengawasi Nathan dengan pandangan tak percaya. Benarkah sebesar itu cinta lo ke
Selma, Than" Atau lo hanya bersandiwara supaya gue menyampaikannya ke Selma" Ah... kalo
aja gue inget, di mana gue pernah liat lo, batin Bagas.
"Hei, cowok... kita selesai!" seru Iren. Setumpuk belanjaan sudah antre di kasir. "Oke, Tuan
Muda, sekarang giliran Anda untuk... membayar," Iren menekankan kata membayar dengan
sangat jelas. Lalu meninggalkan Nathan di kasir, sementara ia bergabung dengan Bagas dan Selma yang
menunggu tak jauh dari situ.
"Ren, kayaknya kita keterlaluan deh. Gue minta maaf aja kali, ya" Kan kasihan kalo uangnya
kurang." Selma tampak sangat kawatir.
"Silakan aja minta maaf kalo lo pengen rencana ini gagal!" Iren mengeluarkan jurus galaknya.
Belum sempat Selma membela diri, Bagas bergumam pada mereka, "Guys, tenang, dia ke sini."
Benar saja, Nathan datang dengan plastik-plastik belanjaan di kedua tangannya.
"Siapa yang bisa bantu gue?" Bagas yang tadinya bengong langsung menghampiri dan membawa
separo. "Nah, girls, kalian pasti udah laper lagi, kan" Kali ini kita makan di Pizza Hut," kata Nathan.
"Hore..." sorak Iren senang.
"Jangan!" sahut Selma cepat.
"Kenapa, Sayang" Gue tau lo paling suka pizza."
"Hah"!" "Iya, kan"!"
"Ee.., iya sih. Tapi uang lo bisa abis." Selma mengurungkan pertanyaan Dari mana lo tau
makanan kesukaan gue" ketika ingat Nathan tahu segala hal tentang dirinya.
"Nggak usah mikir itu. Lagian ini sebagai rasa terima kasih gue ke Bagas dan Iren yang udah
jagain lo sebelum gue ketemu lo. Ini untuk mereka." Diam-diam Iren, Bagas, juga Selma merasa
sangat bersalah. Sebaik itukah Nathan" Strategi pertama dinyatakan gagal...
@@@ Strategi Kedua. Sabtu, jam 19.15 "Udah deh, Ren. Gue masih nggak enak nih sama peristiwa Selasa kemarin. Masa sih kita mau
ngerjain dia lagi?" Selma terus aja protes saat Iren mendandaninya dengan dandanan yang amat
sangat urakan dan norak. "Lo tenang aja deh, Sel, ini strategi kedua sekaligus ketika dan terakhir. Kalo dia berhasil
melewati strategi ini, berarti dia benar-benar cinta mati sama lo. Setelah itu, gue nggak ikut
campur lagi." "Iya, tapi dengan dandanan kayak gini ke bioskop" Bareng temen-temen Nathan pula. Yang
bener aja dong, Ren."
"Iya, Ren, kayaknya lo kali ini keterlaluan deh. Tanpa hal seperti ini pun gue yakin kok, Nathan
tuh serius sama Selma," Bagas ikut berkomentar. Iren mengerutkan dahi.
"Oh ya" Dari mana lo tau" Tatapannya" Naif banget sih lo, Gas."
"Bukan, tapi dari kata-katanya. Asal lo tau, waktu kita di mal Selasa kemarin, Nathan bilang ke
gue... "'Lo tau nggak, Gas, gue akan lakukan apa pun untuk membuat bidadari gue tetep tersenyum.
Berapa pun uang yang harus gue keluarkan, sebesar apa pun pengorbanan yang diminta untuk
mewujudkannya akan gue lakukan...'
"Kalo lo jadi gue, apa lo nggak bakal percaya, Ren?" Iren sempat melongo mendengar
penjelasan Bagas. Sebenarnya, tanpa Bagas menceritakan itu pun, Iren sudah percaya Nathan serius.
"Gue tau, tapi please, sekali ini aja... setelah itu akan gue serahkan sobat gue ke dia kalo emang
terbukti dia cinta mati sama Selma." Bagas tersenyum mendengarnya. Dia tahu banget, Iren yang
anak tunggal sangat menyayangi Selma seperti adiknya sendiri, dan dia nggak bakal
menyerahkan adiknya ke sembarang orang. Selma seperti berperang dengan hatinya sendiri.
Sejak peristiwa di mal itu... Sejak Nathan menyanjungnya dengan kata bidadari... Sejak itu
perasaannya pada Nathan mulai berubah. Selma mulai membuka hatinya dan membiarkan
Nathan membelai-belai hati itu dengan kasih sayangnya yang tak pernah pupus. Terus Bagas
mengatakan hal yang baik tentang Nathan, lagi. Rasanya semua kebencian dan keraguan sirna
begitu saja. Tapi ada satu yang masih mengganjal hati Selama, Apakah semua ini akan abadi
selamanya" Apakah Nathan bisa menerima dirinya bagaimanapun rupanya" Apakah Nathan
nggak malu memperkenalkannya kepada teman-temannya" Untuk itulah Selma harus rela
didandani supernorak oleh Iren. Kalo lo lulus malam ini, Tuan Kurang Ajar, gue akan serahkan
hati gue ke elo sepenuhnya.
@@@ 19.20 Nathan menjemput Selma di rumah Iren.
"Eh... hai, Than. Mau berangkat" Oke, gue panggilin pasangan lo ya. Selma...!" teriak Iren.
Selma muncul. Rok mini yang dikenakannya membuatnya nggak nyaman. Ditambah tank top
dan jaket jins belel plus sisiran awut-awutan. Pokoknya dandanan Gotik yang seru punya.
Nathan memerhatikannya sejenak.
"Hmm... lo cocok juga dandan begini," komentarnya. Selma memandang Iren dan Bagas
bergantian. "Ya udah. Yuk, berangkat. Ren, Gas, kali ini pakai mobil gue aja ya. Bukannya sok, cuma
kasihan Selma kalo pulangnya mesti kedinginan." Iren dan Bagas mengangguk bersamaan.
Mereka pun berangkat ke Twenty One.
Di sana teman-teman Nathan sudah menunggu. Mereka benar-benar surprise melihat dandanan
Selma. Tapi toh tak satu pun yang berani berkomentar.
Herannya Nathan dengan santai memperkenalkan Selma pada teman-temannya tanpa
memedulikan pendapat mereka.
"Ini calon istri gue, man," katanya pada setiap temannya.
"Dia lulus ujian Strategi Dua," bisik Iren.
"Tapi liat, Strategi Tiga ada di sana." Iren menunjuk seorang gadis bertubuh indah dan seksi.
"Dia temen gue. Habis ini Nathan pasti beli snack dan cewek itu akan menggodanya. Dan lo bisa
denger dari sini percakapan mereka," Iren masih berbisik.
Ditunjukkannya HP-nya yang tersambung dengan HP cewek seksi itu.
"Hei, gue beli snack dulu ya," pamit Nathan pada teman-temannya.
"Sel, lo pengen apa?" tawarnya pada Selma.
"Apa aja deh," jawab Selma singkat. Dan Nathan pun pergi meninggalkannya di lobi bioskop.
"Oke, lo jangan liat ke arah Nathan, ya. Bisa curiga dia," kata Iren memperingatkan. Selma
hanya mengangguk. "Lebih amannya kita ke toilet aja yuk..." Lagi-lagi Selma hanya mengangguk. Mereka pun pergi
ke toilet. "Halo, cowok..." HP Iren mulai beraksi.
"Ya..." "Mm... mau nonton film apa nih?"
"Kenapa memangnya?"
"Nggak, kok sendirian?"
"Lo salah. Gue sama pacar gue kok."
"Mmm..., cewek norak yang di sebelah kamu tadi ya" Kamu serius mau pacaran dengannya?"
"Sori, lo udah keterlaluan. Seperti apa pun dandanannya, dia pacar gue. Perlu lo tau, gue nggak
hanya cinta fisiknya, tapi lebih karna hatinya. Gue bahkan sudah mencintainya sebelum gue
ketemu dia. Lo nggak berhak ngomentarin dandanannya. Ngerti"!" Ada jeda sebentar.
"Bagus." Adegan itu pun berakhir. Selma menangis sekarang. Menangis saking terharunya.
Nathan nggak perlu membuktikan apa-apa lagi padanya. Tak ada lagi yang mengganjal hatinya.
"Ren, dandanin gue kayak biasanya, ya" Lo bawain baju ganti buat gue, kan?" Iren tersenyum,
lalu mengangguk. Gue rela ngelepas lo buat orang seperti Nathan, Sel. Semoga kebahagiaan selalu bersama lo, doa
Iren dalam hati. Dan bisa dibayangkan dong, apa yang terjadi saat Selma keluar dari toilet dengan dandanan
kebanggaannya: kaus dan jins 7/8 ditambah make-up sangat minimalis yang justru menampilkan
aura kecantikan Selma yang sesungguhnya. Pokoknya imut abis.
Sampai-sampai Nathan bilang, "Lo tuh memang punya seribu wajah cantik yang gue kagumi,
tapi wajah lo kali inilah yang paling gue kagumi."
Selma jadi malu karnanya. Pipinya memerah. Ditambah lagi waktu teman Nathan ikut
berkomentar, "Pinter juga lo cari istri." Aduh... serasa melayang deh pokoknya.
Akhirnya malam itu jadi malam terindah bagi Selma. Dia sampai lupa masih ada satu lagi misi
yang harus dijalankan. Tidak, tidak. Bukan strategi lagi, tapi penyelidikan SMU-nya Nathan.
Sebenarnya Selma sudah malas dengan hal-hal begituan. Ia bahkan nggak peduli kalau Nathan
ternyata sekolah di SMA swasta paling jelek sekalipun.
Tapi kata-kata Iren ada benarnya juga. Selma harus mulai mengenal siapa calon suaminya.
Ketika Selma sudah hendak menyerahkan tugas penyelidikan itu kepada Iren, malah dialah yang
mengetahui rahasia sekolah Nathan itu secara tidak sengaja.
Semuanya berawal dari sebuah penggaris...
Bab 4 SELMA sedang mengerjakan PR Matematika-nya ketika sadar penggarisnya lenyap dari tas
sekolahnya. Dan Selma tahu banget di mana ia bisa menemukan barang-barangnya yang tiba-tiba
lenyap begitu. "Kakak..." Selma mendorong pintu kamar kakanya tanpa permisi.
"Kakak yang ambil penggaris Selma, kan?" ia menuduh Randy yang tengah asyik mengguntingtempel kliping bangunan.
"Kalo iya, kenapa?" jawab Randy santai tanpa menghentikan aktivitasnya.
"Kakak nih ya, kalo salah tuh minta maaf, bukannya malah tanya kalo iya kenapa?" Selma
menirukan gaya bicara Randy dengan memonyongkan bibir.
"Selma tuh lagi pusing mikirin PR Matematika. Udah susah, ditambah nggak ada penggaris, lagi.
Sebel." "Hei, cerewet! Kalo nggak bisa ngerjain PR, marahnya jangan sama gue dong. Gue juga lagi
pusing nih ngerjain kliping. Cerewet lo." Randy menoyor kepala Selma.
"Aduh, Kak Randy, Selma bilangin Bunda ya, main-main kepala. Nggak sopan, tau." Selma
tambah marah oleh perlakuan Randy. Mereka memang nggak pernah akur.
"Sebodo! Dasar tukang ngadu. Nyadar dong, lo kan udah mau merit, masa masih mau ngadu ke
Bunda terus" Gue laporin Nathan, tau rasa lo."
"Laporin aja kalo bisa. Dua hari ini kan Nathan nggak bisa ke sini. Jadi, giliran dia ke sini,
ceritanya udah basi. Weeek..."
"Ya gue ke sekolahnya dong. Nggak jauh kok dari kampus gue." Mendengar ini Selma kayak
dapet durian runtuh. Sekolah Nathan" Kakak tau di mana sekolah Nathan"
"Emangnya di mana sekolah Nathan?" tanya Selma penuh semangat.
"Ya di SMA Teitan lah. Memang di mana lagi" Lo mau ngetes gue ya" Lo kira gue nggak tau,
apa?" Selma sudah tidak menggubris lagi reaksi kakaknya selanjutnya, apalagi waktu tiba-tiba
Selma memeluknya. "Makasih ya, Kak. Kak Randy baik deh." Setelah berkata begitu Selma berlalu dari kamar
Randy. Dia bahkan sudah lupa tujuan awalnya mengambil penggaris. Randy sendiri terbengong-bengong
melihat sikap adiknya itu.
Jangan-jangan jin ifrit mampir ke sini nih. Terus ngerasukin si Selma. Hiiy... begitu pikirnya.
@@@ "SMA Teitan?" Iren mengerutkan kening. Dia dan Bagas tengah berkumpul di kamar Selma
waktu cewek itu mengabarkan penemuan berharganya. Rupanya teka-teki soal Nathan sudah jadi
misteri yang penuh tantangan bagi mereka.
Untung saja rumah Iren satu kompleks dengan rumah Selma, jadi begitu telepon berdering minta
berkumpul, Iren bisa langsung muncul di depan pintu rumah Selma. Sedang Bagas, walaupun
rumahnya agak jauh, tapi sori aja ya, kalo harus melewatkan saat-saat bersama dengan kekasih
dan sohibnya. Apalagi hari belum malam, baru jam 18.30. Perjalanan dari rumahnya ke rumah Selma cuma
lima belas menit. So, kenapa nggak ikut nimbrung"
"Memangnya SMA Teitan itu ada?" tanya Iren bingung.
"Itu dia, Ren, gue sendiri bingung. Ada SMA Piri, SMA De Britto, dan sebagainya dan
sebagainya, yang jelas bukan SMA Teitan. Denger juga baru hari ini. Dari mulut Kak Randy,
lagi." Selma garuk-garuk kepala.
"Tunggu-tunggu, gue tau." Pernyataan Bagas membuat dua cewek di depannya mengalihkan
pandang kepadanya. "
Kalo nggak salah nih, SMA Teitan tuh sekolah swasta internasional. Bahkan mulai kelas dua,
bahasa pengantarnya bahasa Inggris."
"Serius lo, Gas?" Selma dan Iren berkata serempak.
"More than serious," jawab Bagas sok ke-Inggris-inggrisan.
Padahal pelajaran bahasa Inggris-nya nggak ada yang dapet emam, hampir selalu lima.
"Jangan sok deh, Gas. Ntar ternyata itu cuma khyalan lo aja, lagi," komentar Iren.
"E... dengerin dulu!" Cowok berpotongan rambut bros itu mencoba tetap tenang.
"Gue tuh ngomong gini karna ada temen SMP gue yang juga sekolah di sana." Selma dan Iren
bertukar pandang, tapi keduanya sepakat untuk mendengarkan penjelasan Bagas.
"Namanya Risna. Dia murid teladan di SMP gue dulu. Terus, pas penjaringan beasiswa, dia lolos
dan berhak masuk SMA Teitan," Bagas mulai cerita.
"Waktu itu gue sempet penasaran, kayak gimana sih yang namanya SMA Teitan. Gue juga baru
denger. Dari situ gue akhirnya tanya-tanya ke Risna, dan dia jelasin dengan gamalang."
"SMA Teitan tuh bertaraf internasional. Mulai kelas dua, bahasa pengantarnya bahasa Inggris.
SMA ini impian gue sejak lama. Soalnya kalo gue bisa mempertahankan beasiswa gue sampai
kelas tiga, gue punya peluang dapat beasiswa ke luar negeri. Begitu lulus gue langsung bisa kerja
di tempat yang udah ditunjuk sekolah."
"Sehebat itu" Pasti sekolahnya bonafide abis, ya?" tanya Bagas waktu itu.
"Gue pernah ke sana sekali, pas ujian beasiswa. Dan gue nggak pernah bayangin ada sekolah
sebesar itu di kota kita. Fasilitasnya lebih dari komplet. Kelasnya luas dan ber-AC, dengan layar
proyektor sebagai pengganti papan tulis. Perpustakaan dengan sistem komputer, dan berjuta
buku berderet rapi di rak-rak yang besar dan panjang. Ada loker-loker pribadi untuk siswa,
sampai kolam renang dan lapangan tenis juga ada. Pokoknya superlengkap deh."
"Yang bener, Gas" Kok gue bisa sampai nggak tau ada sekolah sebonafide itu di kota ini"!"
Selma tampak nggak percaya.
"Itu saking bonafidenya tuh sekolah. Dan juga karna penghuninya tertutup terhadap dunia luar,"
terang Bagas. "Maksudnya?" Iren lagi-lagi mengerutkan dahi.
"Mayoritas yang sekolah di sana kaum borjuis, makanya cuma masyarakat kelas atas yang tau
tentang sekolah itu."
"Wah, itu berarti Nathan borjuis dong?" Iren berkata sambil menyenggol lengan Selma jail.
Sementara yang disenggol cuma balas memandang tanpa ekspresi.
"Belum tentu juga sih. Soalnya setahu gue, Risna tuh bukan dari keluarga borju. Ayahnya aja
satpam swalayan. Cuma... otaknya encer," Bagas kembali menjelaskan.
Dia merasa istimewa hari itu, soalnya semua keterangan berasal darinya.
"Kalo begitu bisa disimpulkan, manusia yang sekolah di SMA Teitan ada dua golongan, kaum
borjuis dan kaum intelektual, alias manusia supercerdas."
"Seratus untuk my dear," katanya sambil mengerling kekasihnya.
"Dan percayalah, manusia supercerdas kayak Risna, misalnya, harus terus mempertahankan
prestasinya. Soalnya, tanpa beasiswa, bahkan kita sekalipun nggak bakal sanggup membayar
uang sekolahnya," tambah Bagas.
"Wah, terus gimana caranya kita nyelidikin Nathan" Masa sih kita mesti ke sekolahnya yang kata
lo tertutup itu" Atau, kita tanya temen lo aja" Siapa tadi namanya" Risna?"
"Iya Risna. Sayangnya... gue udah kehilangan jejak dia." Mendengar itu semangat Iren dan
Selma langsung surut. "Sama juga boong dong!" gumam Selma.
"Eh, tunggu, tunggu. Kenapa kita nggak ke sana aja?" usul Iren tiba-tiba.
"Ke sana" Ke mana?" tanya Bagas linglung.
"Ya ke SMA Teitan lah. Ke mana lagi" Pasar"!" Wajah Iren kembali bersemangat.
"Ha... lo gila ya?" Bagas berteriak spontan.
"Emangnya kenapa" Kita bisa tanya siapa kek kalo kita lagi cari Risna."
"Lo kira SMA Teitan itu kecil, sampai lo bisa tanya ke sembarang orang kalo lo lagi nyari
Risna" Emang Risna selebriti sampai semua orang kenal" Belum lagi kalo si Risna udah pulang,
bisa jadi topeng monyet kita. Lagian, emang lo tau di mana SMA Teitan?" protes Bagas abisabisan.
"Kirain lo tau di mana letaknya SMA Teitan!" Iren kembali terdiam, berpikir.
"Teman-teman," suara Selma tiba-tiba terdengar ragu.
"Apa sebaiknya rencana ini kita urungkan aja" Perasaan gue nggak enak nih. Lagian lusa kan
ultah gue. Walaupun nggak ada perayaan spesial, gue nggak mau denger berita buruk di sweet
seventeen gue. Gue udah puas kok dengan Nathan yang sekarang," tambahnya lirih.
"Ah, kenapa kita nggak tanya Kak Randy aja?" Iren menjentikkan kedua jarinya dan bangkit
menuju kamar Randy tanpa memedulikan keluh-kesah Selma.
"Sel..." Bagas kelihatan bingung harus bagaimana karna ia tahu kegalauan jelas tergambar di
mata Selma. Namun Selma hanya tersenyum sambil berkata lirih, "Nggak papa, Gas. Kita ikutin Iren aja
yuk." Tanpa dikomando lagi mereka pun beranjak mengikuti Iren.
"Apaan sih lo, senyum-senyum sendiri" Lupa minum obat, ya?" suara Randy terdengar cukup
jelas dari balik pintu tempat Selma dan Bagas berdiri.
Will You Marry Me Karya Fatma Sudiastuty Octaviani di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Yah... Kakak. Iren kan senyum khusus buat Kakak, kok malah dikira lupa minum obat sih?"
Iren merayu Randy yang sedang sibuk dengan tugas kuliahnya.
"Heh... nggak usah basa-basi deh, bilang aja lo mau apa, gue lagi sibuk nih."
"Kakak tau aja!" Iren tersenyum senang.
"Gini, Kak, sebenernya yang mau tanya tuh Selma. Tapi dia malu, Kak." Untung Iren tidak
melihat pelototan Selma di balik pintu, jadi dia bisa meneruskan sandiwaranya.
"Selma mau ketemu Nathan, Kak, ada hal penting yang mesti diomongin. Tapi HP-nya nggak
aktif, padahal Nathan udah bilang nggak bisa ke sini dua hari ini. Kak Randy punya nggak
nomor telepon rumahnya?" pancing Iren cerdik.
"Nggak, gue nggak tau nomor telepon rumahnya," jawab Randy masih sibuk.
"Yah... terus gimana dong" Padahal penting banget nih, Kak." Iren pura-pura kebingungan.
"Cari aja di sekolahnya," sahut Randy singkat.
"Wah, bener juga ya, Kak." Iren melonjak senang seakan baru saja mendapat masukan yang
brilian. Padahal semua sudah direncanakan.
"Kakak memang jenius. Tapi... kita kan nggak tau di mana SMA Teitan, Kak." Iren tertunduk
lesu, walau diam-diam melirik, penasaran dengan reaksi Randy selanjutnya.
Randy memutar kursi belajarnya menghadap ke Iren.
"Kalo kampus gue, lo tau nggak?"
"He-eh." Iren mengangguk penuh semangat.
"Emang deket ya, sama kampus Kak Randy?" Iren balik bertanya.
Yah... paling..." Randy mengira-ngira sebentar.
"Seratus meteranlah dari kampus gue," jelasnya.
"Terus gimana caranya nyari Nathan, Kak" Masa mesti tanya sama semua orang" Kan nggak
lucu." "Heh, di SMA lo aja ada pos satpamnya, apalagi di SMA Teitan. Di sana pos satpamnya
dilengkapi komputer yang memuat data seluruh warganya. Jadi kalo ada tamu mereka tinggal
mencari data orang yang dicari dan mengumumkan lewat interkom, di ruangan mana orang itu
berada. Kalo nggak ada tanggapan, baru mereka mengumumkan ke ruang umum, seperti kantin,
perpustakaan, taman sekolah, atau ruang ekstrakurikuler," jelas Randy panjang-lebar.
"Dari mana kita tau orang yang kita cari ada di tempat apa nggak?" Iren masih belum puas
dengan info yang didengarnya.
"Jelas tau dong!" Beruntung Randy sabar menghadapi teman adiknya yang cerewet ini.
"Siapa aja yang merasa namanya dipanggil, wajib menjawab panggilan lewat interkom yang
tersedia di seluruh ruangan di SMA Teitan. Dan mereka boleh menentukan mau bertemu di mana
dengan tamu mereka. Nah, kalo dalam sepuluh menit nggak ada respons, berarti orang yang
dicari nggak ada, atau bisa jadi nggak mau ketemu. Tapi kelas tiga kayaknya ada kelas sore, jadi
Nathan paling pulangnya magrib."
"Wah, Kak Randy serbatau, ya. Jangan-jangan Kak Randy sering kencan ama Nathan di
sekolahnya, lagi," goda Iren puas.
"Enak aja, gue masih normal, tau. Ngapain cari-cari Nathan" Mending gue nyamperin Lis... eh...
udah deh, sana, sana, gue masih banyak tugas nih!" potong Randy tersipu, cepat-cepat dia
memutar kursinya ke posisi semula untuk menutupi wajahnya yang merah.
"Lis... Lis siapa, Kak?" goda Iren usil. Serta-merta Randy meliriknya supertajam, membuat Iren
mundur perlahan-lahan dari hadapan cowok sok cuek yang baik hati itu.
"Makasih, Kak," ucapnya seraya tersenyum dipaksakan.
Dan menambahi, "Besok kita sampein salam Kakak buat Lis deh..." godanya, begitu merasa
aman di balik pintu. Randy hanya bisa teriak sebal dari tempatnya duduk.
"Iren... awas lo ya..."
"He... he... dapat!" ujar Iren kepada dua manusia yang memandangnya terperangah, tak percaya
dengan apa yang telah dilakukannya.
"Apaan sih" Besok kita tinggal berangkat. Kalian denger sendiri kan penjelasan Kak Randy."
"Tapi, Ren... Selma..." Bagas melirik sekilas sahabatnya yang diikuti tatapan penasaran Iren.
Selma memandang kedua sahabatnya bergantian, lalu tersenyum.
"Gue mau kedudukan gue dan Nathan seimbang. Dia tau soal gue, gue juga harus tau siapa dia."
"Artinya..." "Kita berangkat," kata Selma yakin.
"Yes!" Iren bersorak kegirangan.
"Itu baru sohib gue," tambahnya seraya merangkul Selma.
"Oke, selanjutnya kita susun rencana ke SMA Teitan." Dasar Iren, dia memang paling getol
urusan beginian. Bab 5 "TARAAA...! Tibalah saat penyelidikan...!!!" teriak Iren yang tampak begitu bersemangat siang
itu. Sepanjang jam pelajaran ia udah nggak konsen, sampai-sampai ia ditegur beberapa guru karna
cengengesan sendiri. Iren memang begitu, paling suka sama yang namanya teka-teki.
Makanya jangan heran kalo Iren-lah yang paling bersemangat dengan rencana penyelidikan hari
ini. Bagas cuma geleng-geleng melihat tingkah pujaan hatinya, sementara seharian itu Selma
tiba-tiba jadi gadis pendiam.
"Sel, kalo lo emang nggak yakin, mending lo nggak usah ikut aja. Biar gue sama Iren yang maju.
Lo terima beres aja. Gimana?" Bagas jadi khawatir melihat kondisi teman mungilnya.
Tapi ia juga nggak tega kalau rencana ini harus batal. Siapa coba yang tega melihat kekasih hati
kecewa lantaran rencananya batal dilaksanakan"
"Makasih, Gas. Tapi gue lebih suka tau sendiri daripada denger dari orang lain. Jadi, maaf aja
kalo gue harus ganggu acara kalian berdua." Bagas tersenyum mendengarnya.
Semoga ini bisa jadi awal yang indah buat lo, Sel, batinnya. Mereka berangkat dengan mobil
bokap Bagas. Dan berkat petunjuk Randy, akhirnya mereka sampai juga di depan gedung megah dengan plakat
besar bertuliskan SMA TEITAN INTERNASIONAL.
"Gila, ini sekolah apa hotel?" ucap Iren kagum.
"Lo nggak salah berhenti, kan, Gas?" akhirnya suara Selma terdengar juga setelah sekian lama
hilang ditelan keraguannya sendiri.
"Kata Kak Randy, jam segini harusnya mereka sudah pulang. Kecuali yang ikut kelas sore dan
ekstrakurikuler," kata Iren.
"Jadi Nathan belum pulang, ya?" tanya Selma setengah melamun. Iren angkat bahu.
"Kenapa lo nggak tanya langsung aja ke dia" Kan elo pacarnya, bukan gue."
"Sial!" Selma mencubit Iren. Paling tidak, candaan Iren membuatnya lebih santai.
"Hei, jadi nggak nih?" tanya Bagas.
"Tuh, pos satpamnya di sana."
"Oke, kita beraksi sekarang. Kita coba tanyakan apa temen lo yang namanya Risna itu ada dan
mau ketemuan ama kita apa nggak. Baru setelah itu kita korek keterangan dari dia," Iren
memberi komando. "Kenapa kita nggak tanya langsung aja ke Pak Satpam tentang Nathan?" tanya Selma, masih
belum yakin juga dengan keputusannya datang ke sekolah elite yang baginya lebih terlihat
menakutkan daripada kesan mewah yang ditampilkan bangunan itu.
"Bisa aja sih, tapi paling-paling kita cuma dikasih tau di mana kelasnya dan akan dihubungkan
sama dia. Mau ketauan sebelum dapat info apa-apa?" timpal Iren santai.
Selma dan Bagas menggeleng bersamaan.
"Ya udah, tunggu apa lagi" Ayo, masuk." Tanpa menunggu Iren berkata dua kali, mereka
langsung bergerak. Baru sampai di pos satpam, mereka sudah melongo nggak percaya. Ruangan itu tampak sangat
besar dan luas. Ada beberapa satpam perempuan di depan komputer, dan satpam laki-laki di layanan tamu.
Persis yang digambarkan Randy. Bagas yang kejatuhan tugas bertanya tentang Risna.
Satpam di depan komputer langsung sibuk dengan data-datanya, sebelum akhiranya menjawab,
"Nona Risna Astantina, kelas II BAHASA B. Anda mau menemuinya di mana?"
"Kalo di sini bisa?" tanya Bagas.
"Tunggu sebentar." Pak Satpam mengangkat pesawat telepon. Sesaat dia berbicara dengan
seseorang. "Maaf, nama Anda?" tanyanya pada Bagas tanpa menutup telepon.
"Bagas, Bagas Zuas Saputra." Satpam itu kembali berkutat dengan teleponnya.
Beberapa menit kemudian ia menutup gagang telepon dan kembali berjalan ke arah Bagas yang
berdiri di depan posnya. "Anda diminta ke kantin," katanya. Kemudian ditunjukkannya arah menuju kantin.
"Terima kasih ya, Pak. Selamat siang." Bagas segera memgajak Iren dan Selma masuk ke pintu
gerbang superbesar. "Gas, temen lo itu nunggu di mana?" Selma berjalan menjejeri Bagas di sebelah kirinya.
"Kantin." "Lo yakin tau tempatnya?" Iren yang juga menjejeri langkah Bagas di sebelah kanan, tampak
menengok ke kanan-kiri. Koridor sekolah penuh loker. Dia bahkan menyempatkan diri melongok ke salah satu ruang kelas
yang kosong dan terpukau beberapa saat. Kalau Bagas tidak berinisiatif menariknya, Iren pasti
tetap nyangkut di kelas itu.
"Gila, sama persis dengan yang digambarkan temen lo itu, Gas. Tapi dia lupa bilang kalo
kursinya sistem individu. Kayak ruang kuliahan aja. Kerenan ini, malah. Kelasnya dingin ya."
Iren tak henti-hentinya berdecak kagum.
Bagas dan Selma nggak bisa lagi menahan keingintahuan dan kekaguman Iren. Terus terang,
mereka pun sama kagumnya.
Makanya pas Iren lagi-lagi melongok ke ruangan bertuliskan LIBRARY, baik Selma maupun
Bagas ikut-ikutan takjub.
"Temen lo pinter banget mendeskripsikan yang dilihatnya," kata Iren saat melihat perpustakaan
dengan mata kepalanya sendiri.
"Hei, bukannya kantin di sebelah sana?" Selma menunjuk kerumunan anak yang mengenakan
seragam sama seperti yang dipakai Nathan.
Bagas dan Iren memandang ke arah yang ditunjuk Selma.
"Bukan, Sel, tapi di belakangnya. Yang lo tunjuk itu taman sekolah," ujar Bagas. Tempat itu
sangat luas dan dipenuhi pepohonan rindang dan teduh yang dilengkapi bangku-bangku panjang
yang kelihatannya memang disediakan untuk beristirahat.
Tak jauh dari taman itu tampak gubuk-gubuk berpayung besar yang ternyata konter-konter yang
menawarkan berbagai hidangan mulai dari makanan asli Indonesia sampai yang berasal dari
negeri Paman Sam. Iiihh, jadi berasa di mal deh, pikir Iren.
Mereka baru tersadar telah menjadi pusat perhatian saat Bagas menyenggol tangan mereka.
Tatapan meremehkan membuat mereka tertunduk.
"Ada alien kesasar nih!" celetuk seseorang.
"Jangan-jangan mereka lagi nyari sumbangan. Harus ada yang ngasih tau tuh, di sini sekolahan,
bukan perusahaan," sambung yang lain.
Tiga sahabat itu hanya bisa terdiam. Selma, yang paling kelihatan minder, berbisik pelan ke
Bagas, "Gas, temen lo mana sih?"
"Iya, mana sih temen lo" Dan sebaiknya dia ramah ya, atau gue bakal ngamuk di sini!" tambah
Iren sambil ikutan berbisik.
Bagas tak berani menjawab. Dia sendiri ragu apakah Risna yang sekarang sama dengan Risna
yang dulu dikenalnya. Bahkan seorang yang ramah pun bisa berubah total menjadi sombong dan
nggak pedulian kalau berada di lingkungan kayak begini.
"Gas, Bagas!" suara lembut itu berasal dari belakang mereka. Bagas, Iren, dan Selma menengok
ke asal suara. Seorang gadis manis melambai ke arah mereka.
"Sebelah sini. Sini!" panggilnya seraya tersenyum senang.
Ah, selamet gue... bisa bayangin nggak sih, Iren ngamuk di sini" Bisa mati malu gue. Bagas
mengelus dadanya, lalu dengan langkah pasti dihampirinya gadis yang tak lain adalah Risna itu.
Selma dan Iren mengekor di belakangnya.
"Gue tadinya masih kepikiran, Bagas siapa ya yang nyari gue sampai ke sini. Eh... nggak taunya
Bagas elo. Lo tambah tinggi, ya." Cewek berperawakan tinggi langsing dengan kacamata minus
itu tidak kelihatan seperti gadis sombong lainnya yang berkeliaran di sekitar situ.
"Gue udah deg-degan nih, Ris. Gue kira lo udah berubah kayak mereka." Bagas memberi kode
dengan matanya ke arah pengunjung kantin SMA Teitan. Risna tertawa pelan.
"Lagian lo cepet banget ngenalin gue, gue aja ketakutan setengah mati bakal nggak ngenalin lo.
Nggak taunya..." Bagas memerhatikan Risna sesaat.
"Lo nggak banyak berubah, ya."
"Nggaklah. Gue masih punya akal sehat kok. Gue juga nyadar, gue beda dengan mereka. Cuma
sayang aja kalo beasiswa disia-siain. Dan seragam kalian itu nyolok banget, lain dari yang di
sini. Makanya, gue langsung bisa nebak itu elo!" ucap Risna dibarengi senyum ramahnya.
"Oh iya, lo belum ngenalin temen-temen lo..."
"Ah, gue sampai lupa. Ini Selma..." Ditunjuknya Selma yang tersenyum ayu. Risna mengulurkan
tangannya pada Selma sembari menyebut nama.
"Dan ini Iren." Kembali Risna mengulurkan tangan dan menyebut namanya.
"Oke, terus ada apa nih, sampai rame-rame ke sini" Pasti penting banget deh," sambung Risna
setelah memesankan minum untuk para tamunya. Mereka duduk di tenda payung tempat Risna
menunggu kedatangan mereka.
"Ya mungkin buat lo nggak penting. Tapi buat temen gue ini," Bagas melirik Selma, "sangat
penting." Sesaat Risna memandang Selma, tapi kemudian tersenyum.
"Hmm..., oke, gue dengerin," katanya singkat.
"Temen gue nih lagi deket sama seseorang yang misterius. Satu-satunya informasi tentang orang
ini adalah dia sekolah di SMA Teitan kelas tiga. Terus gue inget lo, dan mau tanya tentang orang
ini. Yah, siapa tau aja lo kenal dia."
"Hmm... siapa namanya?" ucap Risna sambil menyeruput es jeruknya.
"Nathan." "Uhuk, uhuk!" Risna tiba-tiba tersedak minumannya sendiri. Tapi sesaat kemudian dia
menyeruput es jeruknya sekali lagi.
"Uhuk..., sori. Uhuk..." dan akhirnya batuknya berhenti juga.
"Ris, lo nggak pa-pa, kan?" tanya Selma khawatir.
Risna tersenyum dan menggeleng. "Nggak pa-pa kok. Cuma surprise aja denger nama orang
yang lagi deket ama elo itu, Sel," jawab Risna kemudian. Sisa batuknya sudah hilang.
"Memangnya kenapa, Ris?" Selma mengerutkan kening, seperti kebiasaan Iren kalo lagi
penasaran. "Karna cowok yang lo maksud itu public figure di sekolah ini."
"Hah" Maksudnya?" Jantung Selma berdebar cepat. Dia bersiap-siap mendengar jawaban apa
pun yang bakal terlontar dari bibir mungil Risna.
"Dia itu ketuanya ketua murid sekolah ini. Dia disegani semua siswa di sini karna wibawanya.
Guru-guru juga sayang sama dia karna kepandaiannya, cewek-cewek mengaguminya karna
ketampanannya. Bahkan petugas di sini menghormatinya karna keramahannya."
Demi Tuhan yang menciptakan dunia dan seisinya, Selma sampai nggak bisa ngomong apa-apa
mendengar penjelasan Risna.
"Padahal dulu dia sama sekali tidak menyenangkan. Sifatnya kasar dan suka menindas yang
lemah. Lebih mirip preman daripada pelajar. Tapi, suatu ketika dia melakukan kesalahan fatal
sehingga dia tinggal kelas. Sejak itulah dia berubah. Bahkan orang-orang yang dulu
membencinya kini mendirikan fan club untuknya. Dan kebanyakan para fans berat itu malah
menyalahkan orangtua... Nathan..." Risna memelankan suaranya saat menyebut nama Nathan.
"Menurut mereka, Nathan terjerumus karna kurang kasih sayang." Cewek berambut ikal yang
dikuncir kuda ini menghela napas panjang. Dia tersenyum sebelum kembali bercerita,
"Bagaimanapun dia sekarang berubah. Dan semua berbalik memujanya. Dia dianugerahi jabatan
sebagai ketua inti. Gue sendiri heran, kekuatan apa sih yang mampu mengubahnya sampai
seperti ini" Menjadi pribadi yang bertolak belakang dengan pribadinya semula" Apa pun bentuk
kekuatan itu, pasti sangat kuat dan indah." Risna kembali tersenyum. Selma memandang Risna
tanpa sanggup berkata-kata. Dia menelan ludah.
"Lo yakin nggak salah orang, Ris?" tanyanya ragu. Risna menggeleng pelan.
"Hanya ada satu Nathan di sekolah ini. Dan gue yakin banget Nathan yang gue ceritakan inilah
yang lo maksud." "Kok lo bisa seyakin itu?" Selma kembali mengerutkan dahi. Risna tersenyum. Sesaat ditatapnya
Selma lekat-lekat. "Nathan perna bilang ke gue, ada seorang bidadari yang telah mengubahnya, bidadari mungil
yang akan disayanginya seumur hidup. Dan beruntung sekali gue, karna hari ini gue bertemu
bidadari yang diceritakan Nathan."
"Maksud lo Selma?" tanya Iren yang sedari tadi terdiam. Risna menjawabnya dengan anggukan
kepala. "Jadi, lo ini sebenernya sohibnya Nathan, ya?" tanya Bagas.
"Bukan," sahut Risna singkat.
Ia kemudian menjelaskan, "Buat mereka, gue ini cuma orang yang numpang lewat."
Mata Risna beredar ke sekeliling kantin sekolah.
"Apalagi gue pernah bermasalah dengan Natasya, cewek sombong sok berkuasa di sekolah. Yah,
itu lain cerita." Risna kembali ke inti cerita.
"Sedangkan Nathan itu milik mereka yang berharga, terutama bagi para senior kelas tiga. Gue
cuma seseorang yang penasaran dengan perubahan Nathan. Dan lo tau banget, kan, Gas, gue
paling nggak bisa tersiksa sama rasa penasaran." Bagas mengangguk.
Seingatnya, Risna memang cewek yang nggak pernah puas dengan jawaban. Dan dia bisa sangat
pemberani dalam memuaskan rasa ingin tahunya itu. Mengingatkannya pada Iren.
"Itulah, akhirnya gue nekat tanya Nathan. Tadinya gue kira dia bakal marah dan ngusir gue,
nggak taunya, dia malah cerita tentang bidadarinya. Beruntung banget gue." Risna tersenyum.
Bukan hanya perasaan bangga yang memenuhi hati Selma demi mendengar semua itu, tapi
perasaan minder juga tiba-tiba menyiksanya dengan sangat.
Gue" Bidadarinya" Kenapa" Padahal dia nggak kenal gue. Atau gue yang nggak kenal dia... Tapi
mana mungkin gue sih"! Berbagai pertanyaan berputar di kepala Selma.
"Sel, lo beruntung bisa jadi bidadari Nathan. Tapi inget, lo mesti ati-ati sama yang namanya
Natasya. Dia sudah seperti penguasa Nathan aja. Apalagi dia... dia... Ah, nggak usahlah gue
kasih tau. Biar Nathan sendiri yang nanti menjelaskan ke elo."
"Apa sih, Ris" Gue jadi penasaran nih..." Iren merengek meminta penjelasan. Tapi sepertinya
Risna kekeuh dengan pendiriannya. Dia bangkit dari duduknya.
"Maaf ya, gue nggak berhak bicara apa pun tentang hal itu. Yang jelas, ati-ati. Jangan sampai
kayak gue, hanya karna gue negur dia gara-gara menindas adik kelas, dia langsung ngomong
macam-macam tentang gue, jadi... lo bisa liat sendiri, kan, gue terkucil di sini. Makanya gue
seneng banget dengan kunjungan kalian." Risna melihat jam tangannya.
Will You Marry Me Karya Fatma Sudiastuty Octaviani di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aduh, kayaknya gue nggak bisa lama-lama nih. Gue ada ekstra wajib," katanya seraya bangkit
berdiri. "Kalian bisa nunggu Nathan di sini kalo mau. Tapi sori, gue nggak bisa nemenin." Selma, Iren,
dan Bagas ikut berdiri. "Nggak deh, kita pulang aja. Risi, tau, dipelototin temen-temen borju lo!" jawab Iran cepat. "
Ha... ha... bisa aja lo!" Risna ketawa lepas.
"Thanks banget infonya, ya, Ris," kata Selma.
"Sori udah ganggu waktu break lo," sambung Bagas.
Risna tersenyum. "Nggak usah sungkan, gue seneng kok. Kapan-kapan main ke sini lagi, ya."
Diulurkannya tangannya ke Bagas dan dua teman barunya.
"Sori gue bener-bener harus pergi sekarang. Hati-hati ya pulangnya." Risna tersenyum sekali
lagi. "Kita pulang yuk," ajak Selma tak lama kemudian.
"Iya nih, gue jadi kasihan ama Risna. Apa enaknya sekolah bagus tapi hati merana?" Iren
mengedarkan pandangan ke gerombolan siswa di kantin itu.
"Risna sih orangnya tegar, jadi bukan masalah besar baginya kalopun dikucilkan seluruh
sekolah. Udah, ayo pergi," kata Bagas. Namun baru saja mereka akan melangkah, sebuah suara
tak mengenakkan terdengar.
"Hei, tikus-tikus got!"
Selma, Bagas, dan Iren mengurungkan langkah dan menengok ke asal suara.
"Iya! Kalian bertiga!" seorang gadis tinggi langsing berkulit putih bersih dan berambut panjang
yang dibiarkan tergerai di bahu melangkah mendekati mereka diikuti segerombolan cewek
cantik. "Sial, siapa lo" Ngomong pake aturan dong!" Dasar Iren, ia langsung emosi begitu tahu
merekalah yang dimaksud dengan tikus got.
"Wah, wah... ternyata ada satu yang bisa mencicit," ucap cewek itu dengan suara tinggi yang
jahat. "Habisi aja, Natasya!" ujar salah seorang teman cewek angkuh yang ternyata bernama Natasya.
"Hm... jelas banget bakal gue habisi. Tapi sebelum itu rasanya kita perlu melaporkan tukang
kebun kita ke Kepala Sekolah. Dia kebobolan dengan masuknya tikus-tikus ini ke sekolah kita."
Natasya melipat tangannya di dada. Tawa melengkin para pengikutnya menyakitkan telinga.
"O... jadi lo yang namanya Natasya"!" ucap Iren manggut-manggut sambil memerhatikan cewek
angkuh itu dari ujung rambut sampai ujung kaki.
"Lumayan," lanjutnya. Pipi Natasya yang putih kontan memerah.
"Tapi untuk ukuran Nathan, lo nggak ada apa-apanya dibanding Selma. Setidaknya, Selma lebih
beradab." Demi mendengar nama Nathan disebut, kemarahan Natasya makin meluap. Matanya yang indah
membelalak menakutkan. "Jadi lo ke sini sama kelompok kumel lo itu, dan berkomplot dengan si sok pinter Risna, untuk
mencari tau soal Nathan" Dasar tikus-tikus nggak tau diuntung."
Dihampirinya Iren yang berdiri tegak tanpa rasa takut sedikit pun. Iren sama sekali nggak
memedulikan desakan Bagas dan Selma untuk segera pergi dari tempat itu.
"Tadinya gue cuma kepingin ngerjain temennya si sok pinter yang sama kumuhnya dengan dia.
Nggak taunya gue malah dapet mangsa yang tepat," tambah Natasya.
Di berdiri tepat di depan Iren yang dua senti lebih pendek darinya.
"Memangnya kenapa" Lo takut ya" Terlambat, lo udah kecolongan sejak lama, Nona Besar."
Iren jelas nggak mau kalah dengan gadis paling menyebalkan yang pernah ditemuinya itu.
"Heh, lo ngaca dulu dong sebelum masuk sini. Untuk satpam sini aja tampang kalian nggak
layak, ee... masih nekat mau mencuri keju terbaik kami yang bermerek Nathan, lagi. Asal lo tau
ya, Nathan itu punya gue! Nggak ada yang boleh ngambil dia dari gue! Apalagi tikus kotor
kayak lo. Ngerti"!"
Iren sudah kehabisan kesabaran,
mencengkeramnya erat-erat.
dikibaskannya tangan Bagas dan Selma yang "Ren... sabar, Ren..." seru Selma. Dia berusaha memegangi terus tangan Iren, begitu juga Bagas.
Tapi usaha mereka sia-sia.
"Nggak usah cemas, gue nggak bakal ngotorin tangan gue buat mukul cewek bermulut besar
ini!" ucap Iren berusah tetap tenang.
"Apa lo bilang"!" Natasya terpancing, ia semakin emosi.
"Nona Besar... akui aja deh, lo bukan cewek pilihan Nathan. Cewek inilah yang dipilih Nathan
sebagai calon istrinya." Iren menarik Selma ke depannya. Natasya memerhatikan Selma dari atas
ke bawah, bawah ke atas, berulang-ulang. Lalu ditengoknya gerombolan cewek di belakangnya.
Dan tawa mereka pun menggelegar.
"Ha, ha, ha, masih jauh lebih cantik pembantu gue!" celetuk salah seorang teman Natasya.
"Pendek begitu mau jadi istrinya Nathan"! Kasihan Nathan dong, harus nyiapin kursi kalo mau
nyium. Ha, ha, ha..." sambung yang lain.
"Coba liat dandanannya, kampungan abis. Memangnya dia kira Nathan bakal pede ngenalin dia
ke temen dan keluarga?"
"Heran. Banyak banget ya gadis pemimpi sekarang ini. Orang
miskin mau jadi putri raja. Yang
bener aja"! Ini bukan zaman Cinderella. Ha, ha, ha..." suara-suara itu terus sahut-menyahut di
telinga Selma. Kepalanya sampai panas dan siap meledak saking marahnya. Tapi Selma tetap
mengatupkan mulut. Walau keningnya berkedut-kedut, meski tangannya terkepal erat.
"Nah, Upik Abu, lo denger sendiri, kan, pendapat mereka" Jadi, apa lagi yang lo tunggu" Pergi
dari sini dan jangan pernah berharap mendapatkan Nathan. Karna itu sia-sia, tikus..." Natasya
tampak puas mendengar cercaan teman-temannya barusan. Dia jadi nggak perlu repot-repot
menyampaikan ejekannya. "Sel, ngomong dong. Jangan diem aja," desak Iren dari belakan.
"Apa lo" Masih mau mengajukan orang lain bakal jadi istri Nathan, heh" Atau lo sendiri yang
bakal maju" Silakan aja, toh lo punya nyali, nggak kayak temen lo yang pengecut ini!" sambil
berkata begitu, Natasya menatap Selma setengah hati, lalu mencibir.
Sohib gue bukannya nggak punya nyali, dia cuma... cuma..." Suara tawa bala kurawa Natasya
kembali menggema menanggapi pernyataan Iren yang menggantung, gagal meminta dukungan
Selma. "Biarin aja anjing menggonggong, Ren. Gue nggak peduli. Gue tau, mereka ketawa untuk
menutupi kekalahan mereka. Kalo sekarang gue tanggapi, sama artinya gue jadi bagian dari
mereka. Toh gue nggak butuh pengakuan mereka tentang hubungan gue dan Nathan.
Bagi gue, pengakuan Nathan atas gue udah lebih dari cukup. Kalopun gue marah, nggak ada
gunanya, dan itu seperti mengumumkan gue kalah dari mereka." Selma bicara sangat tenang.
Dia nggak mau terbawa emosi, walau sesungguhnya dia sangat marah atas semua yang terjadi.
Dia berusaha tetap tenang.
Sebaliknya Natasya semakin marah mendengar ucapan Selma. Wajahnya kian memerah,
campuran antara marah dan malu.
"Beraninya lo ngomong kayak begitu di daerah kekuasaan gue!" Dengan penuh nafsu cewek itu
menghampiri Selma. Ia mengangkat tangan ingin menamparnya, namun tiba-tiba sebuah suara
yang sudah sangat dikenalnya memanggil namanya.
"Hentikan, Tasya!" Nathan datang bersama Randy, yang sama terkejutnya dengan Selma.
Keduanya sama sekali tidak menyangka akan bertemu di sana.
"Kakak...?" Selma tertegun.
"Gue... gue cuma memastikan apa kalian jadi ke sini apa nggak"!" jawab Randy singkat. Tapi
pandangannya bukan kepada Selma ataupun Nathan, melainkan gerombolan gadis pembela
Natasya. "Oow... Liat, Lis, ternyata cowok gatel yang ngejar-ngejar lo itu kakaknya si tikus. Rupanya
keluarga tikus sedang bermimpi memperbaiki keturunan!" ejek Natasya. Pandangannya
berpindah-pindah dari Randy, lalu ke temannya yang paling pendiam yang saat itu berdiri
tertunduk di belakangnya.
"Nathan, bilan sama mereka tentang hubungan lo sama Selma. Masa mereka nggak percaya
kalian udah jadian?" Iren yang lebih dulu mendekati Nathan.
"Tenang, Ren, lebih baik kalian pulang," jawab Nathan tak memuaskan.
"Gas, lo bawa mobil, kan?" Bagas mengangguk.
"Tolong antar Selma dan Iren pulang, ya." Lagi-lagi Bagas mengangguk.
"Sel, lo pulang sama Bagas, ya, besok gue ke rumah lo." Selma tidak menjawab.
Ia hanya memandang Nathan sekilas sebelum akhirnya melangkah meninggalkan semuanya. Air
mata mengalir di pipi tanpa meminta persetujuannya. Hatinya sakit menerima perlakuan Nathan.
Lo nggak malu ngakuin gue sebagai istri lo di depan teman-teman lo meski dandanan gue
amburadul. Lo bahkan mengusir cewek cantik di bioskop itu demi menjaga kesetiaan lo ke gue.
Tapi kenapa giliran dengan Natasya, lo bahkan nggak menatap gue" Kenapa" Apakah rahasia
yang disimpan Risna itu adalah, lo ternyata pacaran sama Natasya di sekolah ini" Kenapa lo
siksa gue dengan perasaan ini, Than" Semua pasti ada penjelasannya kan, Than"
Dengan perasaan seperti itu Selma menutup mulutnya rapat-rapat. Dia berhenti bicara dengan
siapa pun. Gadis itu hanya terdiam. Iren-lah yang merasa paling terpukul melihat diamnya
Selma. "Sel, maafin gue, gue nggak bermaksud..."
"Sudahlah, Ren... bukan salah lo. Gue yakin semua ini pasti ada penjelasannya. Gue akan tunggu
Nathan, dia berutang penjelasan atas semua ini," potong Selma pelan.
Dia nggak mau Iren lebih kecewa lagi. Dan dia juga akan pegang janji Nathan untuk
menjelaskan semua ini nanti.
"Yang penting, kalian jangan lupa ngucapin selamat ultah ke gue lusa. Meskipun nggak
dirayakan, gue tetep pengen tersenyum di hari ultah gue." Iren dan Bagas berpandangpandangan.
"Tentu, Sel. Dan gue bakal labrak Nathan di mana pun dia berada kalo sampai nggak datang
lusa. Liat aja, dia belum tau dengan siapa sebenernya dia berurusan!" Selma ketawa samar
melihat tingkah Iren. Terima kasih, kawan-kawan. Paling nggak, gue punya kalian.
Bab 6 SELMA masih saja berwajah muram.
Seharusnya tadi pagi Nathan menjemputnya di sekolah. Tapi sampai Selma akhirnya terlambat
pun, Nathan belum kelihatan batang hidungnya.
Dia bahkan tidak menelepon Selma seperti biasa kalau mereka seharian nggak ketemu. Tadinya
Bagas dan Iren bersikeras mengajak Selma pulang bareng.
Tapi Selma menolak halus. "Sori, Kawan, hari ini gue bener-bener lagi pengen sendiri,"
jawabnya tersenyum pahit. Bagas dan Iren berpandang-pandangan, kemudian mengangkat bahu
bersamaan. "Sel, lo jangan terlalu sedih. Pokoknya kalo sampai besok Nathan nggak kasih kabar, gue nggak
peduli lo larang juga, gue tetep mau labrak dia." Iren menyingsingkan lengan bajunya geram.
Alih-alih seram, dia malah bikin Selma tersenyum geli. Iren mengeluarkan sebatang cokelat dari
tasnya. "Nih, kata nyokap gue, cokelat bisa merangsang perasaan bahagia. Lo boleh abisin sendiri deh."
"Makasih, Ren." Dan mereka meninggalkan Selma yang melenggang pulang seorang diri.
Namun Selma bahkan baru ingat kalo punya cokelat setelah dia menemukan dirinya ternyata
sendirian di rumah. Hanya ada Mbok Sum yang sedang asyik dengan pekerjaan rumahnya.
Selma baru menemukan cokelat itu waktu dia iseng membuka tas sekolahnya. Dia tersenyum
sambil menimbang cokelat pemberian Iren itu.
"Liat, Ayah, bukankah Selma tidak pernah kesepian" Mereka selalu ada buat Selma. Kapan pun,
di mana pun. Hingga akhirnya Selma bisa melepas kepergian Ayah untuk kebahagiaan Ayah.
Semua itu karna mereka juga," kata Selma lembut pada bingkai foto yang memuat wajah gagah
ayahnya yang mengenakan seragam kebesaran pilot.
"Tapi... Selma rindu Ayah..." Diraihnya foto ayahnya dan didekapnya erat-erat. "Selma tau
Bunda nggak punya banyak uang untuk merayakan ultah Selma. Tapi paling nggak, Selma ingin
semuanya berkumpul hari ini. Juga Nathan..." Selma melepas pelukannya, lalu kembali berkata
jenaka kepada foto ayahnya, seakan-akan Ayah ada di sana, mendengarkan putrinya berkeluhkesah.
"Dia itu memang nyebelin, kan, Yah" Janji sendiri mau ngasih penjelasan, nggak taunya hilang
entah ke mana. Mana nggak nelepon, lagi. Masa Selma yang mesti nelepon" Gengsi dong!"
katanya bersemangat. "Tapi dia baik, Ayah." Nada suaranya melemah.
"Dia bikin Selma nyaman bila berada di sisinya. Selma nggak mau kehilangan dia. Ayah, tolong
minta sama Tuhan supaya Nathan jangan pernah ninggalin Selma. Terlebih besok, waktu Selma
ulang tahun." Selma menarik napas panjang.
"Hhh... Selma bahkan nggak yakin dia tau ultah Selma." Selma kembali putus asa.
"Sudahlah, Yah, mending Selma di sini sama Ayah ngabisin cokelat. Mumpung Kak Randy
nggak ada, jadi Selma bisa abisin sendiri."
Dia baru akan mencomot sepotong cokelat saat Mbok Sum muncul di pintu kamarnya.
"Mbak, Mbak Selma. Tuh Mas Nathan-nya sudah datang. Mbak Selma jangan cemberut terus
dong," kata Mbok Sum senang.
Ia berharap dapat memandang senyum juragan mudanya lagi setelah lenyap bersama hari-hari
Selma tanpa Nathan. "Suruh pulang aja deh, Mbok. Selma lagi males. Bilang aja Selma nggak ada," jawab Selma
seraya memasukkan cokelat ke mulutnya.
"Lho, kok nggak mau nemuin sih" Kan Mas Nathan udah jauh-jauh ke sini" Apalagi udah dua
hari Mbak Selma nggak ketemu Mas Nathan, memangnya nggak kangen?" Mbok Sum
mendekati Selma yang meringkuk di tempat tidurnya.
"Bunda ke mana sih, Mbok?" Selma malah balik tanya.
"Bunda lagi arisan, Mbak."
"Kak Randy?" "Mas Randy belum pulang kuliah."
"Kalo gitu Mbok Sum aja yang nemenin Nathan. Selma lagi males."
"Lho, kok malah Mbok sih, Mbak?"
"Udah, pokoknya bilang aja yang Selma bilang." Sambil berkata begitu, Selma membalikkan
tubuh. Pembantu setengah baya itu menghela napas panjang. Tanpa suara ia meninggalkan kamar
Selma. "Rasain, emang enak dikerjain?" gumam Selma seorang diri.
Tapi pada foto ayahnya dia menambahkan, "Selma kok deg-degan ya, Yah" Aduh... mesti
ngomong apa nih kalo dia ke sini?" Rasa marah yang kemarin mendera hatinya perlahan terkikis
oleh kerinduan yang amat sangat.
Selma masih sibuk dengan pikirannya saat Nathan berdiri di ambang pintu kamarnya.
"Males apa marah nih?" tanyanya singkat. Selma menatap cowok yang sangat dirindukannya itu.
"Nggak sopan banget sih, masuk kamar cewek seenaknya!" ucapnya sewot.
"O ya" Lebih nggak sopan lagi nggak mau nemuin tamu yang jauh-jauh datang hanya karna
alasan malas." Nathan mendekati kekasihnya yang sedang merajuk. Dia seperti sedang
menyembunyikan sesuatu di belakang tangannya.
Selma melirik cowok yang sekarang berjongkok di sampingnya dan memandangnya lembut.
"Awas ya, jangan kurang ajar. Atau gue teriak sekarang"!" ancamnya sembari menyiapkan
bantal sebagai tameng perlindungan.
"Tuan Putri cantik yang galak, saya kemari mau meminta maaf. Maukah Tuan Putri memaafkan
saya?" Nathan berlagak seperti pangeran yang melamar putri raja.
Dia menyerahkan sekuntum mawar putih kepada Selma.
Selma tak bisa berbohong, hatinya berbunga-bunga seindah bunga yang dipersembahkan Nathan.
Diterimanya mawar putih kesukaannya itu. Tapi rupanya dia tetap jaga gengsi dengan
bersikukuh pada sikap galaknya.
"Jangan lo pikir gue udah maafin lo, ya. Enak aja!" katanya manyun.
"Gue udah tau kok lo bakal begini. Makanya gue sengaja siapin surprise buat lo," Nathan berkata
tenang. "Surprise" Buat gue?" Selma mulai tertarik. Jangan-jangan Nathan tau ultah gue, batinnya
penasaran. "Udah dulu marahnya, jelek tau manyun begitu. Ganti baju, dandan yang cantik, baru gue kasih
tau kejutannya." "Serius?" "He-eh." "Nggak bercanda, kan?"
"Nggak. Udah, cepetan ganti baju. Gue tunggu di bawah, oke?"
Selma hanya mengangguk. Dia nggak tahu apa yang dimaksud kejutan oleh Nathan. Karna itulah
dia bergegas mengikuti perintah Nathan, supaya bisa segera tahu surprise yang disiapkan
kekasihnya itu. Semoga saja bukan kenyataan bahwa Nathan ternyata memang pacar Natasya,
batin Selma harap-harap cemas.
Lima belas menit kemudian Selma sudah siap dengan jins dan kaus fancy kesayangannya.
Rambutnya juga sudah tersisir rapi. Dia bahkan sudah pamit pada foto ayahnya sebelum
akhirnya menemui Nathan di ruang tengah.
"Nah, gitu kan cantik," ucap Nathan seraya bangkit dari duduknya.
"Yuk berangkat!" Ia melihat jam tangan besar di tangan kanannya.
"Kami keluar dulu, Mbok. Tadi Nathan udah izin Bunda kok."
"Iya, hati-hati, ya, Mas, macannya lagi ngamuk," bisik Mbok Sum sambil melirik Selma.
"Apaan sih?" tanya Selma sewot.
"Nggak, nggak pa-pa," balas Nathan.
"Tenang, Mbok, udah ada pawangnya," bisiknya lagi kepada Mbok Sum yang mengantar mereka
sampai pintu depan. Pembantu paruh baya itu hanya tersenyum dan geleng-geleng kepala mengantar kepergian
majikan mudanya. @@@ Motor melaju selama sekita 45 menit. Selma memeluk erat pinggang Nathan, jantungnya terus
berpacu kencang. Kerinduannya sedikit terobati.
Nathan baru menghentikan motornya ketika tiba di jalan menanjak yang tepiannya diberi
pengaman besi. Selma melepas helmnya, terdengar jelas olehnya debur ombak dari kejauhan.
"Wah... laut..." Selma berlari sampai ke pengaman besi. Dibiarkannya rambutnya berantakan
dibelai angin. Nathan menyusul dan berdiri tenang di samping Selma.
Will You Marry Me Karya Fatma Sudiastuty Octaviani di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Wah... bagus bangeeet... Liat, Than, mataharinya ditelan laut!" jerit Selma kegirangan saat
dilihatnya pemandangan sore itu.
Matahari terbenam di ufuk barat. Sinarnya yang terang berpendar seperti kuning telur yang pecah
dan menyebar menjadi siluet senja yang indah. Tak hanya itu, lautan yang terlihat jelas dari
tempat Selma berdiri seperti menelan dan menenggelamkan matahari ke perutnya yang luas.
Sungguh indah melihat kembalinya matahari ke peraduan di atas laut.
"Lo suka?" "Iya, gue suka banget," jawab Selma spontan, lupa pada gensi dan kemarahannya.
"Lo tau, Than, dulu Ayah yang ngajakin gue liat matahari ditelan laut pas ultah gue. Dan itu jadi
hari terindah buat gue sama Ayah, mengingat waktu Ayah yang terbatas untuk gue."
Dipandangnya Nathan dengan ragu. Mungkin nggak ya, Nathan tau besok gue ultah" tanyanya
dalam hati. "Tapi gue lebih suka jadi pacar lo," jawab Nathan membuat Selma tertunduk malu.
"Jadi... jadi ini ya kejutan yang lo maksud?" tanyanya salah tingkah.
"Bisa ya, bisa nggak," sahut Nathan.
"Karna gue punya sesuatu yang bakal bikin lo lebih terpesona lagi," lanjutnya.
"O ya, apa?" tanya Selma berdebar.
Nathan tak langsung menjawab. Sekali lagi diliriknya jam tangannya.
"Kita harus nunggu sebentar lagi, soalnya kejutan gue yang satu ini agak pemalu." tambahnya
seraya bersandar membelakangi laut pada palang pembatas.
Selma ikut duduk bersandar di samping Nathan.
Sesaat suasana hening. Selma jadi salah tingkah. Apalagi Nathan tak lepas-lepas memandangnya.
Akhirnya Selma hanya tertunduk sambil berharap Nathan mengatakan sesuatu.
"Sel..." "Ya?" Nathan tersenyum.
"Jangan salting gitu dong," katanya.
"Habis... lo diem aja sih!" protes Selma pelan.
"Wajar dong, gue kan lagi terpesona sama wajah pacar gue," jawab Nathan jujur. Jantung Selma
berpacu nggak keruan. "Udah deh... jangan mulai lagi. Tadi lo mau ngomong apa?" Selma berusaha menutupi rasa
malunya. "Nggg... gue... gue boleh tau nggak tentang bokap lo?" Gadis itu terkejut mendengar pertanyaan
yang tak pernah terbayangkan olehnya akan dilontarkan Nathan.
"Sori, Sel... lo boleh nggak jawab kok," ralat Nathan cepat.
"Gue mau jawab kok," kata Selma yakin.
"Lagian cerita tentang Ayah selalu membanggakan buat gue. Gue malah heran, kok lo baru tanya
sekarang?" tambah mulut mungil itu seraya tersenyum.
Tanpa menunggu jawaban Nathan, Selma langsung bercerita, "Ayah pilot yang disegani. Baik,
ramah, dan sayang sama gue." Selma menerawang jauh.
"Waktu itu gue masih kelas 1 SMA. Mbok Sum menjemput gue di sekolah, mengabarkan Ayah
pingsan usai mendaratkan pesawatnya dengan selamat. Kami segera menuju rumah sakit tempat
Ayah dirawat. Tapi sayang..." gadis mungil itu menunduk sedih.
"Bukan senyum Ayah yang gue terima seperti biasa, melainkan isak tangis Bunda dan Kak
Randy yang langsung menghampiri dan memeluk gue sambil mengabarkan Ayah udah
meninggal." Selma kembali menerawang jauh. Ia mengembuskan napas panjang.
"Kata Dokter, Ayah kena serangan jantung. Padahal Ayah nggak mengidap penyakit jantung.
Lagi pula, sebagai pilot Ayah selalu menjalani cek kesehatan setiap enam bulan sekali. Begitu
tercatat punya kelainan jantung, Ayah nggak bakal boleh menerbangkan pesawat lagi. Tapi
nyatanya Ayah meninggal. Tapi gue bangga banget Ayah bisa menunaikan tugas terakhirnya
dengan baik. Beliau meninggal di kursi kebanggaannya."
Perlahan Nathan menghampiri Selma. Direngkuhnya bahu mungil kekasihnya dan dikecupnya
mesra kening Selma yang setinggi bahunya. Selma hanya terdiam. Pelukan Nathan terasa
nyaman. "Izinka gue jagain lo, Sel," kata Nathan lirih.
Dan meskipun Selma terdiam, itu sudah lebih dari "Iya" bagi Nathan.
"Hei, sepertinya kejutan gue udah siap. Mau liat, nggak?" Nathan memecah kesunyian setelah
lagi-lagi melihat ke arah jam tangannya.
Selma mengangguk cepat sambil tersenyum.
"Oke, ayo berbalik," perintah Nathan seraya ikut menggerakkan tubuh Selma ke arah yang ia
maksud. "Wooow... Than... Ini... bagus banget. Bulan itu, dari mana lo tau..." Selma berdecak kagum tak
percaya. Ia benar-benar menikmati pemandangan di hadapannya.
Bulan purnama menyembul dari balik batu karang di selatan lautan. Permukaannya yang bulat
dan penuh menyajikan cahaya putih yang indah. Satu-dua bintang mengikuti kemunculannya,
bagaikan dayang mengantar tuan putrinya ke luar peraduan.
"Menurut perhitungan Jawa, ini tanggal lima belas, dan itu berarti saatnya bulan purnama,"
Nathan menjelaskan penemuannya itu.
"Iya, tapi dari mana lo tau sekarang ini tanggal lima belas" Dan pemandangan di atas laut ini... lo
udah merencanakan ini sebelumnya, kan?"
Nathan tak langsung menjawab. Dia tersenyum dan menghampiri Selma.
"Begitu gue tau lo menyukai keajaiban langit, gue langsung tanya ini-itu sama ahlinya. Gue juga
tanya pembokat gue tentang perhitungan Jawa. Dan beginilah hasilnya. Bagus, kan" Gue pikir
liat matahari terbenam di laut itu indah banget, tapi lebih indah lagi melihat terbitnya bulan
purnama di atas karang."
Nathan kian memandang lembut kekasihnya. Perlahan dipeluknya pinggang Selma, membuat
jantung Selma berdesir aneh. Namun Selma tak berniat menolaknya.
Than, kenapa lo selalu bikin gue merasa nggak keruan begini" Sampai nggak bisa berkata-kata
lagi... "Gue masih punya kejutan lain, Sel. Lo mau tau?" tawar Nathan yang langsung dijawab
anggukan kepala Selma. "Pejamkan mata lo, jangan dibuka sampai gue suruh." Selma menuruti semua perintah Nathan
seperti yang sudah-sudah.
Tapi kali ini jantungnya semakin berdebar lagi. Apalagi waktu dirasakannya bibir Nathan
menyentuh bibirnya. Selma sempat tersentak, tapi dia tak kuasa menolak. Bibir itu hangat dan
lembut. Sesaat kemudian Nathan melepas kecupannya.
"Buka mata lo, Sel," pintanya. Pandangan mereka bertemu. Desiran aneh di dada Selma
membuatnya salah tingkah. Dia hanya bisa tertunduk malu.
"Lo nggak marah, kan, Sel?" tanya Nathan, tatapannya tetap lembut. Selma tersenyum dan
menggeleng pelan. "Ini yang pertama buat lo, kan?" Kali ini Selma mengangguk.
"Dan gue harap, cuma lo aja yang berhak atas diri gue," tambahnya.
Mendengar itu Nathan memeluknya. "Gue janji, cuma lo yang ada di hati gue," gumam Nathan
pelan. "Dan masalah Natasya, gue minta lo sabar. Untuk sementara gue belum bisa cerita ke lo. Tapi
yang jelas, antara gue dan Natasya nggak ada apa-apa. Lo percaya gue, kan, Sel?"
Perlahan-lahan Selma melepaskan pelukan Nathan, lalu tersenyum pada laki-laki yang telah
membuatnya jatuh cinta itu.
"Sejak pertama kita jadian, gue emang sempat nggak percaya sama lo. Tapi sekarang gue jaga
kepercayaan gue ke elo, Than. Apa pun gue cuma percaya sama lo."
Mereka tersenyum. Senyum kebahagiaan yang mereka rasakan bersama-sama untuk pertama
kalinya. "Sel, coba liat ke atas." Nathan menunjuk langit malam yang kini penuh bintang. Dipeluknya
pinggang Selma dari belakang, mendekat ke palang besi pengaman sepanjang jalan tanjakan itu.
"Wah, bintangnya banyak banget. Tau, nggak" Kata Nenek, orang yang sudah meninggal akan
berubah menjadi bintang dan menempati langit tertinggi. Makanya gue seneng banget liat
bintang. Rasanya kayak liat Ayah di atas sana." Pandangan Selma menerawang jauh menembus
langit malam. Senyumnya mengembang manis seakan menemukan ayahnya di sana.
"Sel, apa itu nggak bikin lo sedih?" tanya Nathan ragu. Selma memandangnya tanpa
memudarkan senyum. "Kenapa harus sedih" Ayah kan juga bahagia di sana, dan bagi gue itu cukup. Bukankah kita
nggak boleh egois" Kita menangisi kematian seseorang itu wajar-wajar aja, tapi kalo bertahuntahun tidak merelakan kepergiannya, itu namanya kita egois."
"Kenapa begitu?"
"Karna, ketidakrelaan kita atas kematian orang yang kita cintai akan menyiksa mereka di alam
sana. Makanya, gue merelakan kepergian Ayah untuk kebahagiaan Ayah di sana. Kan gue masih
bisa memandang bintang Ayah dari sini." Selma menunjuk satu bintang yang cahayanya paling
terang. Nathan diam-diam mengagumi ketegaran Selma. Siapa yang menyangka, di balik tubuh
mungilnya, tersimpan kekuatan hati yang dulu tak dimilikinya.
"Hei, gimana kalo sekarang lo liat ke bawah?" Tanpa menunggu dua kali, Selma memandang ke
arah yang ditunjuk Nathan.
"Waah! Ha ha ha..., Than, sebenernya lo punya berapa kejutan buat gue sih?" kata Selma takjub.
Di bawah sana rumah-rumah penduduk terhampar dengan lampu-lampu terang yang dari atas
tampak seperti taburan bintang di atas bumi. Ditambah lagi laut yang membiaskan cahaya bulan
purnama, semua menjadi paduan sempurna pemandangan malam itu.
"Sebenernya masih banyak kejutan buat lo sih," kata Nathan.
"O ya, berapa banyak?"
"Banyak banget."
"Mana?" Nathan memandang kekasihnya seraya tersenyum.
"Yuk, ikut gue." Ditariknya tangan Selma pelan.
Mereka beranjak ke palang besi di depan mereka.
"Naiklah," katanya kepada Selma.
"Hah" Ke situ" Kalo jatuh gimana?" Kali ini Selma tampak ragu.
"Udah! Gue pegangin." Mau nggak mau Selma menaiki palang pembatas itu.
"Nah, rentangkan tangan lo." Selma mengikuti instruksi Nathan.
"Nah, tahan ya." Nathan kemudian menyusul menaiki palang di sebelah kanan Selma, ikut
merentangkan tangan. "Sel, pernah nonton Titanic nggak?" seru Nathan di antara gemuruh angin yang makin kencang.
"Pernah." "Nah, sekarang kita kayak Jack sama Rose. Inget, kan, adegan di geladak kapal?" Selma hanya
menangguk dan tersenyum. Nathan tiba-tiba berteriak keras dengan kedua tangan terentang
lebar. "Sel... I'm flying..." Selma tertawa kecil, sebelum akhirnya mengikuti perbuatan Nathan.
"Than... I'm flying..." Rambut sebahunya berantakan tertiup angin yang semakin kencang.
Keduanya bertatapan dan tertawa.
"Lega ya?" Nathan menguncupkan tangan dan berteriak sekali lagi, "I love you, Sel...!"
Selma kembali meniru dan berseru, "Love you too, Than...!"
"Lega ya?" "Iya." "Jadi laper nih, cari makan yuk!"
"Yuk." Keduanya turun dari palang besi dan menuju motor yang sejak tadi jadi saksi bisu ikrar cinta
mereka. @@@ Mereka makan di salah satu warung kaki lima yang berjejer sepanjang pinggir jalan di tengah
kota. Suasana malam itu ramai sekali. Maklum, walaupun besok libur nasional, tapi jatuhnya
tepat pada hari Sabtu. Selma dan Nathan tak henti-hentinya bergurau. Makan sambil nongkrong, putar-putar dengan
motor kesayangan Nathan, nonton di 21. Nathan sudah menyiapkan tiket bioskop untuk film jam
sembilan malam. Tadinya Selma mencak-mencak karna itu berarti dia akan pulang lebih dari jam
sebelas. Dan bukan hal aneh kalau Bunda bakal ngamuk besar sama mereka. Tapi dasar Nathan,
dia memang telah merencanakan segalanya, termasuk minta izin kepada Bunda.
Membuat Selma berpikir, Jangan-jangan Nathan sengaja mengulur-ulur waktu, karna dia mau
jadi orang pertama yang ngucapin selmat ultah buat gue. Aduuhh romantisnya...
"Kenapa senyum-senyum sendiri?" tanya Nathan tiba-tiba.
"Nggak, nggak papa," jawab Selma nggak kalah cepat, meskipun dia menyimpan sejuta perasaan
berbunga di hatinya. Seperti yang diperkirakan Selma, mereka sampai di rumah hamir jam dua belas malam. Motor
berhenti di pintu gerbang rumah Selma.
Nathan ikut turun dari motor untuk membuka pagar. "Gelap amat. Apa lampu depan mati, ya?"
kata Selma seraya memandang sekelilingnya. Lampu ruang tamu memang selalu dimatikan
sebelum pergi tidur. Tapi hari ini, lampu depan pun mati. Atau sengaja dimatikan" "Aduh...
jangan-jangan Bunda marah, lagi," gumam Selma ketakutan. "Than, lo serius kan udah pamit
ama Bunda" Gue nggak ikutan ya kalo Bunda sampe ngamuk."
"Udah, gue bilang ama Bunda mau pulang jam dua belas malam, karna gue mau jadi orang
pertama yang ngucapin met ultah buat lo."
Selma kembali tertunduk malu mendengar pengakuan Nathan.
Tuh, kan, bener... romantis banget... batinnya berbunga.
"Kemarilah." Nathan mengedikkan kepala meminta Selma mendekat kepadanya. Satu tangannya
memeluk pinggang Selma, tangan yang lain diangkat tinggi-tinggi di depan dada agar terlihat
jelas jam tangannya yang menyala dalam gelap.
"Kita hitung mundur bareng-bareng, ya," katanya.
Selma langsung mengangguk pelan.
"Lima... empat..." mereka menghitung bersama.
"Tiga... dua... satu..."
"Selamat ulang tahun..." Selma membelalak tak percaya.
Lampu taman di belakan Nathan tiba-tiba menyala. Semua ada di sana, bahkan Iren dan Bagas
juga. "Kalian..." Belum hilang kekagetan Selma, kembang api warna-warni sudah menghias langit
malam di atas mereka, membentuk tulisan HAPPY B'DAY SELMA.
"Ah... ha... ha... ha... ha... ha..." Selma tak bisa menahan kebahagiaannya. Tak lepas
dipandangnya langit malam berhias ucapan selamat dan namanya. Ayah... Ayah liat, kan... Selma
bahagia, Ayah... sangat bahagia...
"Happy b'day to you... happy b'day to you..." Randy, Nathan, Iren, Bagas, bahkan Mbok Sum
menghampiri Selma sambil mengiringi Bunda yang membawa kue ultah yang diyakini Selma
dibuat khusus oleh Bunda selama dia pergi bersama Nathan.
"Happy b'day... happy b'day... happy b'day Selma..." Selma tak kuasa lagi menahan air mata.
"Make a wish, Sel," usul Iren. Selma langsung memejamkan mata.
Ya Tuhan... semoga kebahagiaan ini tak pernah berlalu diriku dan keluargaku. Juga untuk Ayah
di sisi-Mu. Begitu matanya terbuka, ditiupnya lilin berbentuk angka tujuh belas itu. Semua
bersorak, semua bertepuk tangan. Bunda yang pertama memeluk Selma setelah menyerahkan
kue pada Mbok Sum. "Selamat ulang tahun, Sayang. Maaf ya, Bunda tidak bisa bikin perayaan yang meriah seperti
yang biasa dilakukan Ayah. Bunda juga hanya bisa mendoakan, semoga kamu selalu menjadi
putri kecil Bunda yang bahagia," kata Bunda diiringi belaian lembut rambut Selma.
"Bunda... ini ulang tahun Selma yang paling meriah yang pernah Selma alami. Dengan
berkumpulnya kalian di sini, itu sudah lebih dari cukup buat Selma." Gadis mungil itu tersenyum
manis saat Bunda melepas pelukannya. Diusapnya air bening yang menetes di pipi Bunda.
"Bunda, gantian dong, Randy juga mau ngucek-ngucek rambut Selma nih!" potong Randy.
Bunda hanya geleng-geleng kepala seraya memberi tempat agar Randy bisa memeluk adiknya.
"Met ultah, ya. Awas aja kalo tambah bawel!" kata Randy seraya melepas pelukannya dan
mengacak lembut rambut Selma.
Bukannya marah-marah seperti biasa, Selma malah tersenyum sambil berkata, "Terima kasih,
Kak." Setelah itu bergantian Selma memeluk Iren, Bagas, juga Mbok Sum.
Sedangkan Nathan dapat giliran terakhir. Dipeluknya Selma sesaat, lalu dikecupnya kening
Selma dengan sayang. Setelah itu diserahkannya seikat mawar putih yang dirangkai dengan indah.
"Sori, mawarnya ilang satu, soalnya macan gue bisa nyakar kalo nggak dikasih mawar," kata
cowok itu jail. "Anak-anak, sebaiknya kita masuk. Anginnya makin kencang, nanti pada masuk angin, lagi."
Usul Bunda disambut hangat semuanya.
"Lagian makanan yang Bunda siapkan nanti keburu dingin," tambahnya.
"Tenang, Bunda, walaupun sudah dingin, kalo Bunda yang masak, pasti Randy abisin," timpal
Randy. "Huu.. ngerayu tuh, Bunda. Memang Kak Randy aja yang tukang makan," sambut Iren dibarengi
tawa yang lain. "Eh, Sel, lo ke mana aja tadi?" tanya Iren lagi seraya menjejeri langkah Selma menuju ruang
tengah. "Ada deh," jawab Selma seraya melirik Nathan yang membalasnya dengan senyuman.
"Ngomong-ngomong, ide siapa nih semua ini?" Selma balik bertanya.
"Nathan. Dia merancang semuanya," sahut Iren.
"Tadinya sih gue nelepon dia mau marah-marah minta penjelasan yang tempo hari. Habis gue
nggak tega liat lo diem aja. Tapi dia malah kasih tau gue rencananya. Ya gue nggak jadi marah."
Selma tersenyum. Diam-diam ia mencuri pandang menatap Nathan yang ternyata juga sedang
melakukan yang sama. Mereka tersenyum dan kembali bercanda dengan yang lain.
Bab 7 PYAR... Natasya membanting pecah jam mejanya. Lisa, temannya yang pendiam, diam-diam berjengit
ngeri. "Nathan... Nathan... Nathan... ke mana sih tuh anak?" kata Natasya geram sambil berjalan
mondar-mandir. "Telepon nggak diangkat, disamperin ke rumah nggak pernah ada. Ketemu di sekolah berlagak
sok sibuk. Bisa gila nih lama-lama gue mikirin tingkahnya!" Natasya ganti menendang boneka
yang menghalangi langkahnya.
"Apa lagi nih?" ucapnya semakin berang.
"Tenang, Sya..." Lisa sang teman berusaha menenangkan.
"Tenang... tenang... lo kira gue bisa tenang, Nathan gue mau dicuri orang"! Bego banget sih lo!"
Natasya memelototi Lisa galak. Ditudingnya kepala Lisa dengan telunjuknya.
Tapi... ia teringat sesuatu yang membuatnya tersenyum pada temannya yang tertunduk lesu di
Will You Marry Me Karya Fatma Sudiastuty Octaviani di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pinggir tempat tidurnya. "Tunggu... bukankah si tikus itu punya kakak" Dan si kakak itu kan cowok nekat yang tergilagila sama lo!" wajahnya berseri-seri senang.
Lisa teringat sosok Randy yang selalu setia menunggunya sepulang sekolah hanya untuk
memandang wajahnxa. Sebab Natasya tak pernah mengizinkannya berdekatan dengan Lisa. Pernah Randy nekat masuk
SMA Teitan untuk bertemu dengannya.
Tapi belum sempat mengatakan sepatah kata pun dia sudah jadi kambing congek Natasya dan
gengnya. Dan Lisa yang lemah hanya bisa tertunduk dan menangis pilu di toilet sekolah.
Terus terang dia kagum pada keberanian Randy yang tak kenal putus asa untuk bisa
menemuinya. Kadang Lisa berpikir ingin berlari ke pelukan Randy agar terbebas dari
kediktatoran sahabatnya. Tapi saat ia ingat Randy bukan anak SMA Teitan, yang berarti hanya bisa melindungi Lisa di
luar gerbang sekolah, angan-angannya pun lenyap seketika. Lisa tak mau jadi seperti Risna,
gadis pintar yang kini dikucilkan karna Natasya menyebar berita tak sedap ke seantero sekolah
tentangnya. Ia tak setegar Risna. Dan ia menyebut dirinya sendiri "pengecut".
"Heh, lo denger nggak sih?" Lisa tersentak oleh gertakan Natasya. Lamunannya buyar karna
wajah Natasya muncul begitu dekat dengan wajahnya. Lisa cepat-cepat mengangguk, walau tak
satu pun kalimat Natasya yang didengarnya.
"Bagus," Natasya menarik wajahnya, ia kembali mondar-mandir di depan Lisa.
"Jadi, besok gue akan usir lo dari mobil gue. Lo gue turunin di tempat biasanya cowok kere itu
nongkrong nungguin lo. Nah... setelah itu, terserah lo!" katanya bersemangat.
"Terserah gue" Emang gue mesti ngapain?" tanya Lisa tak mengerti.
"Oh God..." Natasya menepuk keningnya sendiri. Dibantingnya tubuhnya ke samping Lisa.
"Lisa, lo tuh kurang jelas di mananya" Gue kan udah jelasin rencana gue sejelas-jelasnya. Belum
ngerti juga lo?" ia berusaha sabar. Lisa hanya bisa menggeleng pasrah.
"Oke, gue ulangin. Soalnya gue nggak mau rencana ini gagal hanya karna kebodohan lo!"
Natasya berusaha mengendalikan kejengkelannya.
"Denger ya, gue mau lo jadi mata-mata gue," lanjutnya.
"Lo pura-pura terima cinta cowok kurang ajar itu. Lo masuk ke keluarganya. Gue kepingin lo liat
dengan mata kepala sendiri apa yang sebenernya terjadi pada Nathan dan gadis kampungan itu.
Kalo memang ada ikatan di antara mereka berdua... gue akan susun rencana lain untuk
menghancurkannya." Mata Natasya berkilat-kilat jahat.
Lisa nggak percaya mendengar tugasnya yang dirasanya begitu berat. "Sya... gue... gue nggak
bisa..." "Gue nggak suka ditolak," potong Natasya cepat.
"Lo harusnya bangga, karna ini untuk pertama kalinya lo berguna buat gue!" tambahnya tegas.
"Tapi... gimana kalo gue ketauan" Gimana kalo gue ketemu Nathan" Gue harus ngomong apa?"
Lisa jujur melontarkan semua kekhawatirannya.
Satu-satunya kekhawatiran yang tak ingin diungkapkannya adalah, dia nggak sanggup
berbohong pada Randy yang masih saja setia menunggunya pulang sekolah, siap dengan segala
cacian dan makian Natasya.
"Gue sendiri yang bakal bilang ke Nathan kalo lo udah gue depak dari geng elite gue. Jadi,
kalopun lo ketemu dia, dia nggak bakal tanya macam-macam. Selanjutnya terserah lo. Gue mau
lo laporin semua tentang mereka ke gue. Awas, kalo lo lari dari semua ini, lo bakal tau rasanya
dikucilkan!" ancam Natasya, membuat Lisa bergidik.
"Nah, sekarang lo pulang. Siap-siap buat besok." Natasya merebahkan tubuhnya di tempat tidur
kesayangannya. Lisa pergi setelah berpamitan pada Natasya. Berkali-kali dia mengutuki
kebodohannya yang mau saja datang ke rumah Natasya, padahal dia bisa saja berbohong untuk
menolaknya. Tapi Lisa memang bukan gadis yang pandai berbohong. Dia takut Natasya bakal lebih meledak
kemarahannya kalau sampai tahu dia berbohong kepadanya.
Ya Tuhan... apa yang harus kulakukan" tanyanya. Sesampai di rumah pun pikirannya masih
belum tenang. Bahkan sampai larut malam pun batinnya masih mempertengkarkan tugas berat
yang dipikulnya itu. Ayolah, Lis, bukankah ini berarti kesempatan lo deket ama Randy" kata pikiran yang satu. Iya,
tapi apa lo tega ngebohongin orang yang masih terus bertahan mengharapkan lo" ungkap pikiran
yang lain. Masalah seperti itu jangan jadi beban dulu, Lis. Pasrahkan semua kepada Tuhan. Dia pasti kasih
Jejak Di Balik Kabut 42 Natasha Karya Viktor Malarek Tirai 4
Will You Marry Me" Karya: Fatma Sudiastuty Octaviani
Bab 1 SUASANA SMA 114 sudah sangat sepi sore itu. Maklum, hari Sabtu, hari nge-date sedunia.
Anehnya, selain Pak Bon penjaga sekolah, masih aja ada yang betah tinggal sampai sesore itu.
Selma Amalia namanya. Gadis mungil berambut sebahu itu tampak asyik di depan komputer sekretariat OSIS. Dia sedang
menyelesaikan proposal bakti sosial yang menjadi tanggung jawabnya sebagai sekretaris OSIS.
Sebenernya sih, tuh tugas nggak harus selesai hari ini. Masih banyak waktu untuk
mengerjakannya. Tapi Selma yang memegang teguh prinsip "Jangan Tunda Apa yang Bisa Kamu Lakukan Hari
Ini", kekeuh menyelesaikan tugasnya hari itu juga.
Namun selain itu ternyata ada alasan lain yang membuatnya berusaha bertahan di sekolah sampai
sesore itu. Selma ingin memberi waktu untuk Bagas dan Iren, dua sohib kentalnya yang udah
jadian untuk berduaan saja di malam nge-date ini.
Selma tahu dirilah. Karena dia jomblo, bukan berarti waktu pacaran sohibnya harus terganggu
untuk nemenin dia, kan" So, dengan alasan menyelesaikan tugas OSIS-nya, Selma berhasil
menggiring kedua sohibnya untuk pulang duluan tanpa dirinya.
"Selesai juga akhirnya." Selma meregangkan kedua tangannya.
"Capek juga ngendon di sini sesorean." Dibuangnya napas panjang penuh kelegaan, lalu
diliriknya jam dinding di atas komputer.
"Hah"! Setengah enam!" teriaknya kaget. Dengan gerak cepat Selma mematikan komputer dan
meninggalkan ruang OSIS setelah menguncinya lebih dulu.
Selma berjalan menyusuri koridor sekolah. Bang Amir dan Pak Bon yang biasanya selalu di situ,
entah pergi ke mana. Sepi. Selma jadi bergidik sendiri. Apalagi saat terngiang cerita Sherly siang
tadi. "Lo tau nggak, cerita sepasang kekasih yang meninggal bunuh diri di ruang laboratorium sekolah
kita?" Sherly si ratu gosip mulai mengobral story.
"Katanya nih, Sel, mereka suka menampakkan diri menjelang magrib." Sebenernya Selma paling
nggak percaya cerita-cerita hantu begituan.
Tapi suasana sore ini sangat mendukung terjadinya hal-hal mistik. Selma jadi kepikiran cerita
Shely. Ia berjalan setengah berlari.
Bahkan saat melewati ruang laboratorium, Selma lari betulan. Dalam hati ia berharap bisa segera
mencapai pintu gerbang. Di pintu gerbang Selma merasa lega luar biasa.
"Woi! Coba aja kejar gue kalo bisa!" teriaknya congkak ke arah halaman sekolah yang kosong.
Entah kepada siapa teriakan itu ditujukan.
Tapi yang pasti, dengan senyum penuh kemenangan Selma berbalik dan bersiap pulang ke rumah
yang jaraknya nggak jauh dari sekolah.
Ya, Selma memang tinggal di kompleks perumahan yang jaraknya cuma lima belas menit dari
sekolah. Dan ia baru saja akan melangkahkan kakinya, ketika...
"Selma." Siapa itu" pikir Selma. Jantungnya berdebar tak beraturan. Jangan-jangan tuh setan
bener-bener ngikutin gue.
Wah, bisa nggak pulang selamanya nih gue... Selma berdiri terpaku. Ia tak berani menengok ke
arah asal suara. "Selma." Ah, suara itu lagi. Apa mungkin itu Bagas, ya" Dia pasti nggak tega liat gue sendirian,
terus ngajak Iren jemput gue ke sini. Ya, ya... kenapa mesti takut kalo begitu" Perlahan Selma
menengok. Tak ada Bagas ataupun Iren.
Satu-satunya manusia yang berdiri bersandar di gerbang sekolah adalah seorang cowok asing
yang tengah asyik merokok. Dan nggak mungkin banget tuh cowok yang manggil Selma.
Seumur-umur Selma belum pernah melihat cowok itu.
Aduuh... nggak ada siapa-siapa, lagi. Masa sih hantu-hantu itu bener-bener ada" Kalo memang
ada, terus kenapa mesti gue yang diganggu" Sebodo ah. Gue kan nggak berbuat jahat sama
mereka. Jadi, sekali lagi ada yang manggil gue, gue tantangin aja sekalian. Dikiranya takut, apa"
Dari rasa takut yang sangat, Selma kini jadi marah karna merasa dipermainkan.
"Selma." Suara itu lagi... Kali ini habis sudah kesabaran Selma. Dengan garang ia menoleh ke
belakang. Bukan ke halaman sekolah, kali ini ia menantang langit sore yang mulai gelap.
"Heh! Keluar lo kalo berani!" ucapnya lantang.
"Hi... hi... hi..."
"Eh, malah ketawa! Ayo keluar! Kalo lo pikir gue takut, lo salah besar. Keluar lo!"
"Ha... ha... ha... Gue juga udah keluar kok dari tadi, lagi. Itu kalo lo menganggap gue
penampakan. Ha... ha... ha..." Selma tertegun.
Pandangannya beralih ke cowok asing yang kini memandang dan tersenyum ke arahnya.
"Lo..." "Ya, gue..." "Siapa lo?" "Nathan." Nathan" Siapa Nathan" Memangnya gue pernah punya temen Nathan" Perasaan nggak ada tuh.
Jadi, siapa nih cowok" Kok kenal gue" Bermacam pertanyaan singgah di kepala Selma. Tapi tak
satu pun keluar dari mulutnya. Yang ada malah nasihat Mbok Sum yang tahu-tahu terngiang di
telinganya. "Zaman sekarang ini Mbak Selma kudu ati-ati. Apalagi Mbak Selma kan ayu." Mbok Sum,
pembantu kesayangan keluarga Selma bernasihat ria seperti biasa.
"Apa hubungannya zaman ama cantik, Mbok?" tanya Selma. Ia bingung dengan perkataan Mbok
Sum yang sudah seperti neneknya sendiri itu.
"Lho ya hubungannya erat sekali toh, Cah Ayu. Zaman sekarang ini banyak orang pada nekat.
Penculikan, pemerkosaan, pembunuhan sudah jadi hal biasa. Dan biasanya korbannya cewek
ABG ayu kayak Mbak Selma gini. Makanya Mbak Selma mesti ati-ati. Jangan mudah percaya
sama orang yang baru dikenali. Apalagi yang keren dan kelihatan kaya. Biasanya, Mbak, itu
cuma kedok." Wuaaa... jangan-jangan orang kayak begini nih yang dimaksud Mbok Sum. Aduh... gimana
dong" Sementara Selma sibuk dengan pikirannya, cowok yang mengaku bernama Nathan akan
dengan mudah menggapai Selma. Ayolah, Sel, berpikirlah! perintah Selma pada dirinya.
Tiga langkah... Dasar bodoh! Mikir! Dua langkah... LARI...!!! Dan perintah itulah yang menyelamatkan Selma. Setidaknya, untuh sementara. Karna toh
sepertinya Nathan bukan tipe yang bakal melepas mangsanya begitu saja.
"Hei... jangan lari!" Tuh, kan"
"Selma, berhenti...!" teriak Nathan.
"Sialan, kecil-kecil cepat juga larinya," gumam Nathan sambil terus mengejar.
"Selma, berhenti!" panggilnya lagi.
"Lo yang berhenti! Ortu gue tuh miskin. Gue ini cuma anak yatim. Lo nggak bakal dapat apaapa!" Gila, ngapain juga gue sahutin" Dasar bodoh. Udah, lari aja, Sel...
"Gue nggak peduli walaupun lo cuma gelandangan! Gue nggak butuh harta lo!" Nah lho, dia
nggak minta tebusan. Berarti dia pemerkosa dong" Atau pembunuh...! Wuaa... Mbok Sum...,
tolong...! Selma mempercepat larinya.
Dia terus membayangkan home sweet home-nya yang berada tepat di balik taman perumahan itu.
Rencananya sesampai di rumah dia akan minta tolong kakaknya yang jago karate untuk menciat-ciat orang yang kemungkinan besar pemerkosa sekaligus pembunuh itu.
Atau, kalau sang kakak belum pulang kuliah, dia bisa ngumpet di belakang Mbok Sum yang
pasti dengan senang hati akan mempersenjatai dirinya dengan sapu dan kemoceng, melindungi
nona mudanya dari cowok yang kini mengejarnya.
Sayangnya, itu semua cuma angan-angan. Gadis berhidung lancip ini terlalu lelah dan lapar.
Pandangannya jadi samar dan tanpa sengaja kakinya tersandung batu.
"Aduh...," Selma jatuh tersungkur tepat di taman kompleks perumahan. Dia cepat-cepat berdiri,
tapi dadanya sesak. Perlahan dia berbalik, lantas duduk dengan lutut setengah ditekuk. Darah
mengucur deras dari lututnya.
"Tuh, kan. Jatuh deh. Lo sih, pake lari-lari segala. Nyusahin orang aja." Selma tersentak. Nathan
sudah berdiri di dekatnya. Ketakutan mulai merayapi hati dan pikiran Selma.
Ya Tuhan..., tolonglah hamba. Kalaupun hamba harus mati hari ini, jangan biarkan hamba mati
dalam keadaan ternoda. Nathan semakin mendekat. Dia berjongkok di samping Selma. Diperhatikannya gadis mungil
yang sedang memejamkan mata di depannya itu.
Tuhan..., tolonglah hamba. Selma terus berdoa sebisanya. Sekonyong-konyong Selma merasa
tubuhnya diangkat. Hah..., kok tubuh gue tiba-tiba melayang" Masa sih gue udah mati" Secepat
ini" Kok nggak kerasa apa-apa" Tapi... bau harum apa ini" Wangi banget! Bau taman surgakah"
Perlahan Selma membuka mata. Dia tidak segera menyadari apa yang terjadi.
Tapi begitu sadar dirinya tengah berada dalam gendongan orang yang sama sekali nggak dia
kenal, Selma langsung menjerit dan memberontak.
"Apa-apaan sih lo"! Lepasing! Gue masih kecil. Lepasin!" Selma terus menjerit dan meronta
dalam bopongan Nathan. "Heh! Bisa diam, nggak" Lo emang kecil, tapi kalo lo bergerak terus, gue bisa ikut jatuh, tau!"
Selma tak menggubris kata-kata cowok itu, dia malah memukul-mukul Nathan dengan kedua
tangan mungilnya. "Turunin gue! Turunin!" Sial. Nathan sama bandelnya dengan Selma. Dia tetap membopong
cewek mungil itu tanpa menggubris teriakannya.
"Nah, di sini kan enak." Nathan menurunkan Selma di kursi taman, di bawah lampu hias yang
mulai menyala di sekeliling taman. Selma benar-benar pasrah sekarang.
Dia nggak mungkin lari dengan lutut terluka. Gadis itu terus saja diam tanpa berhenti
memikirkan masa depannya yang kini terancam.
"Kok diam" Udah capek marah, ya?" Cowok yang mengaku Nathan itu mulai ngajak ngobrol.
"Lo... lo nggak bakal me... merkosa a... anak kecil, kan?" tanya Selma terbata sambil menelan
ludah. Nathan memandangnya. Ia heran mendengar ucapan cewek itu.
Tapi sesaat kemudian... "Ha... ha... ha..." Selma mengerutkan dahi.
"Kok ketawa"!" tanyanya bingung.
Tapi entah kenapa tawa Nathan membuat rasa takut Selma perlahan memudar. Masa sih
pemerkosa menertawakan dirinya sendiri" Nggak mungkin, kan"! Pikiran itu membuat Selma
sedikit tenang. "Ha... ha... ha... Jadi lo kira gue pemerkosa, gitu" Picik juga pikiran lo tentang gue. Ha... ha...
ha... pake lari segala. Jatuh, lagi. Ha... ha... ha..."
"Habis, apa dong namanya" Gue kan nggak kenal siapa lo. Tau-tau lo ada di belakang gue,
manggil gue, tersenyum ke gue. Kalo lo jadi gue, emang apa yang ada di pikiran lo tentang
cowok asing sok aksi gitu"!" protes Selma.
Dia nggak terima diketawain cowok asing yang menjengkelkan.
Nathan berusaha menghentikan tawanya, meski tidak cukup berhasil.
"Oke, oke. Gue maklum. Tapi masa sih gue pemerkosa" Dapet pikiran konyol dari mana sih lo?"
"Dari Mbok Sum." Tadinya Selma mengira, Nathan akan bertanya, Siapa Mbok Sum" Nggak
disangka cowok keren berperawakan tinggi itu malah ketawa lagi.
"Ha... ha... ha... Mbok Sum, bener juga. Mbok Sum memang selalu aneh-aneh pikirannya. Tapi
lebih aneh lagi, lo percaya gitu aja omongannya Mbok Sum." Selma melongo tak percaya.
"Lo... lo kenal Mbok Sum?" Nathan menghentikan tawanya. Ia nggak langsung menjawab. Kini
matanya tertuju pada luka di kaki Selma.
"Punya tisu?" tanyanya kemudian.
"Tapi... Mbok Sum?"
"Punya nggak?" suara Nathan meninggi.
"Eh, pu... punya." Selma tampak ketakutan.
"Ya udah sini, kasih gue." Selma merogoh tasnya dan menyerahkan tisu yang diminta Nathan.
Cowok misterius itu berdiri, pergi ke air keran di sudut taman, dan kembali lagi dengan tisu
basah di tangan. "Tahan bentar, perih sedikit." Dengan lembut Nathan membersihkan luka Selma.
Sebentar-sebentar Selma meringis, tapi ditahannya sakitnya. Nggak seru dong, kalo mesti ngeluh
di depan cowok nyebelin dan sok ngatur yang sedang berjongkok membersihkan lukanya ini.
Harga diri bisa jatuh bo!
Setelah lukanya bersih, Nathan mengambil saputangan dari saku celananya. Ditiup-tiupnya luka
Selma hingga kering, lalu diikatnya saputangan itu hingga luka Selma terlindung.
"Hei, tunggu dulu!" pekik Selma tiba-tiba.
"Kenapa" Sakit ya" Tahan bentar," jawab Nathan tanpa menghentikan aktivitasnya.
"Bukan begitu. Saputangan lo bisa kotor kena darah gue." Nathan menghentikan kesibukannya.
Ditatapnya Selma tajam. "Lo kira gue cuma punya satu saputangan, gitu?"
"Bu... bukan begitu. Tapi..."
"Kalaupun gue cuma punya satu, gue masih bisa beli yang baru. Tapi kalo kaki lo yang sakit itu
infeksi dan akhirnya diamputasi, lo nggak bakal bisa nemuin kaki yang sama di toko mana pun.
Ngerti"!" "I... iya ngerti," Selma menjawab gugup.
"Kalo ngerti, diem dan jangan banyak protes." Nathan kembali melanjutkan membebat luka
Selma. "I... iya," Selama mengangguk cepat. Sial, siapa sih nih cowok" Kenal aja nggak, main ngatur
orang seenaknya aja. Selma dongkol banget, meski sialnya, ia harus membenarkan semua ucapan
Nathan. Sebel! "Nah, finis. Nanti sampai rumah, minta tolong Mbok Sum bersihin lukanya pake antiseptik."
"Lo siapa sih?" tanya Selma. Tatapannya penuh selidik. Nathan balas menatap, kemudian
tersenyum. "Gue Nathan," jawabnya singkat.
"Gue nggak nanya nama lo. Gue tanya, lo siapa?" Nathan tak langsung menyahut. Pandangannya
menerawang. "Gue nggak bisa nyebut diri gue pangeran tampan berkuda putih yang datang mempersembahkan
mawar putih ke elo, kan"! Karna gue bukan pangeran. Gue juga nggak naik kuda putih.
Ditambah lagi, gue nggak bawa mawar putih buat lo. Yang gue bawa hanya cinta. Cinta tulus
gue buat lo. Itulah makanya gue cuma bisa bilang... nama gue Nathan." Sumpah, Selma terkejut
mendengar ucapan Nathan barusan.
Bahkan Iren dan Bagas yang sohib kentalnya aja nggak tahu tentang cinta dalam khayalannya.
Tentang pangeran tampan, kuda, dan mawar putih. Pokoknya semuanya.
Tapi cowok asing ini... Selma bahkan baru melihatnya hari ini. Tapi cowok ini..., dia tahu
segalanya. Tak mungkin ini hanya kebetulan, kan" Tidak ada kebetulan kayak begini.
Dan nggak mungkin Nathan punya indra keenam yang bisa membaca pikiran orang. Karna toh
saat ini Selma nggak lagi mikirin cinta khayalannya itu. Jadi, dari mana cowok ini bisa tahu
segalanya" Belum lagi Selma mengungkapkan rasa penasarannya, kejutan lain kembali
menyusul. Nathan tiba-tiba menggenggam tangannya. Dibawanya jemari Selma ke bibir dan lantas
dikecupnya mesra. Debar jantung Selma langsung berantakan. Sial, apa sih maunya cowok
kurang ajar ini" geramnya. Tapi toh ia tidak melakukan apa-apa untuk menghentikan sikap
kurang ajar cowok yang kini tengah menatapnya tersebut.
"Will you marry me?" Dueer...!!! Mulut Selma menganga, matanya membelalak tak percaya.
Serta-merta ia menarik tangannya. Beberapa kejap kemudian, dicubitnya sendiri lengannya.
Dan... "Aow...!" Selma menjerit. Sakit. Ya Tuhan..., ini bukan mimpi! Dan cowok itu... Nathan
mengamatinya lembut. "Gue tau, lo pasti bingung dengan semua ini, Sel," katanya tenang.
"Ya terang aja gue bingung. Gue dilamar sama orang yang nggak gue kenal, yang wajahnya aja
baru gue liat hari ini, dan bahkan yang gue kira penculik, pemerkosa, sekaligus pembunuh.
Menurut lo, gue mesti gimana" Tersenyum lalu bilang, Ya, gue mau merit sama lo. Gitu"! Ini
gila, tau! Atau jangan-jangan lo orang sinting, lagi." Selma mengamati wajah Nathan penuh
selidik. "Nggak perlu panik kayak begitu, Sel. Yang jelas gue kenal siapa lo. Dan lo juga bakal kenal
gue, sebaik gue kenal elo."
"Oh ya" Caranya?" Selma tersenyum sinis.
"Izinkan gue masuk ke hati lo. Setelah itu, lo bakal mengenal gue, bahkan lebih dari gue
mengenal diri gue sendiri."
"Oh ya"! Lalu, dari mana gue bisa tau kalo lo nggak lagi menipu gue?"
"Terserah, lo mau percaya gue apa nggak. Yang jelas, gue nggak bakal nyakitin orang yang udah
nyelametin nyawa gue." Tuh, kan, main teka-teki lagi.
Gimana gue bisa tau siapa lo kalo begini terus kejadiannya. Dasar sableng.
"Udah deh, gue pusing, laper, capek. Gue mau pulang. Ngademin pikiran. Bisa ikut-ikutan gila
gue, kalo kelamaan sama lo." Selma berusaha berdiri. Tapi sia-sia. Sepertinya pergelangan kaki
kirinya terkilir saat jatuh tadi.
Sial, lagi begini kaki malah nggak bisa diajak kompromi, lagi! batin Selma kesal.
"Udah, naik sini!" Nathan berjongkok membelakangi Selma. Selma ngerti banget maksudnya.
Nathan mau menggendong dan mengantarnya pulang! Emang dikiranya dia siapa"
"Makasih! Gue bisa pulang sendiri kok," jawab Selma keras kepala.
"Udah deh, nggak usah bawel. Emangnya lo mau terbang, apa"! Kaki terkilir begitu! Lagian
rumah lo cuma di belakang taman ini, kan"!" Selma udah nggak sanggup terkejut lagi saat
Nathan menggambarkan letak rumahnya dengan sangat tepat.
"Ayo naik! Tunggu apa lagi"!" tawar Nathan. Nada memerintah. Lagi-lagi Selma mengumpat
dalam hati. Memangnya dia kira dia siapa" Beraninya sama anak kecil.
Coba aja kalo nanti ketemu Bunda, didamprat habis baru tau rasa lo! Tapi melihat gelagat
Nathan yang sepertinya nggak mau ngalah dan langit sore yang mulai gelap serta kakinya yang
memang sakit, Selma akhirnya menerima tawaran cowok misterius itu.
Ia menyeret kakinya selangkah ke arah Nathan, mendekatkan tubuhnya ke punggung cowok itu,
dan merangkulkan kedua tangannya di leher cowok yang baru dikenalnya sore itu. Nathan
bangkit berdiri, lalu berjalan menuju rumah Selma.
"Hei, lo belum jawab lamaran gue." Menggendong Selma ternyata bukan apa-apa bagi Nathan.
Buktinya, dia tetap aja nyerocos tanpa menghentikan langkah.
"Memangnya meritnya besok?" jawab Selma sekenanya.
"Ya, nggaklah. Gue mesti nyelesain sekolah gue. Lo juga mesti lulus dulu. Baru setelah itu kita
merit. Tapi untuk sementara kita kan bisa pacaran dulu. Biar lebih saling mengenal. Gue juga
pengennya lo nikah sama gue karna cinta. Bukan terpaksa. Dan itu perlu waktu. Ya, dua
Will You Marry Me Karya Fatma Sudiastuty Octaviani di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tahunanlah." "Kalo begitu gue nggak harus jawab sekarang, kan"! Lagian lo belum ketemu Bunda. Coba aja
kalo lo bisa naklukin Bunda. Asal lo tau aja, Bunda itu paling anti liat anaknya pacaran. Jadi, sori
ya kalo gue nggak bisa terima tawaran lo," Selma berkata penuh kemenangan.
Dia nggak bohong. Bunda memang AMAT SANGAT KERAS soal pacaran.
Dan Bunda bakal langsung ngomong ketus sama Nathan kalo beliau tahu tujuan Nathan. Apalagi
Nathan nganter putrinya pulang dalam keadaan terluka.
Hei, kamu apakan putriku"! Pergi dari sini dan jangan pernah kembali! Selma tersenyum sendiri
membayangkan Bunda marah-marah didampingi Mbok Sum yang lengkap dengan senjata
bersih-bersihnya. "Kalo gue bisa ngadepin bunda lo, apa hadiahnya?" tanya Nathan tiba-tiba.
E..., dia nantang nih! Oke, siapa takut"
"Mm... apa ya?"
"Kalo hadiahnya lo jadi pacar gue"!" Hm... belum tau rasanya kalah, rupanya.
"Oke. Tapi kalo Bunda tetap kekeuh ngusir lo, elo mesti pergi dari kehidupan gue, selamanya."
"Deal. Berapa hari waktu gue?"
"Mm... tiga hari."
"Oke!" He... he... bersiaplah untuk pulang dengan wajah tertunduk, cowok sok! Dan gue bakal
ngejalanin hidup gue dengan normal kembali.
Hi... hi... Di atas punggung Nathan, Selma senyum-senyum sendirian.
Bab 2 "LHO, bukannya itu Selma?" Iren menunjuk cewek yang baru turun dari Kawasaki Ninja hitam
metalik. "Hah"! Masa sih" Motor Kak Randy kan warnanya merah, kok jadi hitam" Apa dituker baru
ya?" Bagas yang berangkat bareng Iren pagi itu ikut menyipitkan mata, menajamkan
penglihatannya. Sementara kedua sohibnya merhatiin dari jauh dengan pandangan nggak yakin, Selma buru-buru
turun dari boncengan cowok yang nggak lain nggak bukan adalah Nathan.
Ia tidak mengucapkan salam perpisahan atau terima kasih pada sang pengantar. Ia malah
bergegas lari menghampiri dua sohibnya yang masih bengong memandangnya dari jauh.
"Hi, guys..." sapa Selma seraya memaksakan senyum. Bagas dan Iren tak segera menjawab.
Mereka masih melongo dan malah berpandang-pandangan. Belum secuil pun pertanyaan terucap
dari mulut mereka, Nathan yang melihat ketiga sahabat itu berkumpul, menghampiri mereka
dengan motornya. "Hai, kalian pasti Bagas an Iren, kan?" sapanya sok akrab. Diulurkannya tangannya tanpa turun
dari motor. "Gue Nathan. Cowoknya Selma." Mulut Bagas dan Iren menganga mendengar ucapannya.
Antara sadar dan nggak, mereka menyambut uluran tangan Nathan.
"Udah dulu ya, gue bisa terlambat nih. Nanti kita ketemu lagi. Oke?" Pandangan Nathan beralih
dari dua sohib Selma ke arah cewek itu.
"Berangkat dulu ya, Sayang. Ingat, jangan selingkuh." Nathan tersenyum. Dicubitnya hidung
lancip Selma dengan sayang. Selma diam saja sambil memanyunkan mulut, kesal.
Nathan pun melaju dengan motornya.
"Sel, kayaknya ada yang mesti kita omongin deh," kata Iren tanpa lepas memandang kepergian
Nathan. "Dan harus dibahas terperinci," tambah Bagas yang juga masih memandang motor Nathan.
Lalu tanpa dikomando keduanya memandang Selma dan berkata bersamaan,
"Sekarang!" Selma cuma bisa pasrah. Dia tahu kedua sohibnya bakal bereaksi seperti itu. Dan
dia sudah siap merespons reaksi mereka.
"Gue tau. Kita bolos jam olahraga, gimana?" tawar Selma yang langsung disetujui kedua
sohibnya. @@@ "Hah"!" lagi-lagi mulut Bagas dan Iren menganga lebar.
Dan untuk kesekian kali Selma harus menempelkan telunjuknya ke mulut supaya mereka nggak
berisik. Sayang usahanya sia-sia. Petugas UKS menghampiri mereka.
"Kalian sudah baikan?" tanyanya.
"Belum, Pak," jawab Iren cepat.
"Kok teriak-teriak?"
"Perut saya sakit lagi, Pak."
"Kamu biasa minum obat apa" Biar Bapak ambilkan."
"Terima kasih, Pak. Saya sudah bawa obat sendiri."
"Lho"! Kalau begitu cepat diminum. Atau Bapak akan mengirim kalian kembali ke lapangan.
Ngerti"!" "Ya, Pak," ketiganya menjawab serempak.
Untungnya Pak UKS percaya bualan Iren. Dia langsung ngeloyor pergi begitu melihat anggukan
kepala ketiga murid itu. Ada-ada aja! Hanya untuk mendengar cerita Selma, mereka rela nggak
ikut jam olahraga. Yang bilang sakit perut karna lagi datang bulanlah. Jatuh saat basketlah. Dan untungnya, luka
Selma pas jatuh Sabtu kemarin masih membekas hingga tak sulit untuk minta izin nggak ikut
olahraga. Dan sekarang mereka asyik ber-story ria di ruang UKS.
"Lo lagi ngarang novel ya, Sel" Bagus. Bisa jadi best seller tuh cerita lo," komentar Iren.
"Jangan lupa traktir kita-kita kalo dapet royalti, ya," Bagas ikut nyambung.
"Kalian kok nggak percaya sih sama gue" Gue serius. Kalo kalian kira gue bohong, terus siapa
dong cowok yang nganter gue tadi" Dan ingat, dia langsung tau nama kalian. Padahal gue belum
pernah cerita apa pun soal kalian ke dia." Selma tampak kesal karna dua sohibnya nggak
percaya. Bagas dan Iren berpandang-pandangan.
"Iya sih," kata Bagas.
"Tapi cerita lo tuh fiksi banget, gitu loh. Coba aja lo cerita ke semua orang di sekolah kalo lo
baru dilamar orang yang sama sekali nggak lo kenal dan tu cowok keren, lagi. Lo bakal dicap
pembohong besar deh!" tambah Iren panjang-lebar.
Selma hanya bisa membenarkan kata-kata Iren. Jangankan dua sohibnya atau orang-orang di
sekolah, dia sendiri yang ngalamin belum bisa memercayai apa yang terjadi.
"Udah, udah. Anggep aja kita sekarang percaya cerita lo, Sel. Masalahnya, apa lo terima gitu aja
jadi istri cowok yang nggak jelas asal-usulnya begitu" Lo gila, ya"!" Bagas geleng-geleng
kepala. "Sori, Gas, tapi gue bukan istrinya. Baru pacarnya. Itu pun terpaksa!" protes Selma cepat.
"Mau istri kek, pacar kek, terserah. Tapi kenapa lo mau?"
"Denger dulu dong! Lo masih inget perjanjian gue sama Nathan, kan" Itu lho, tentang bisa nggak
dia naklukin Bunda. Nah, ternyata..."
@@@ Selma sudah sangat senang ketika akhirnya ia melihat pagar rumahnya terbuka lebar. Bersiaplah
untuk pergi secara tidak terhormat, cowok lancang, batinnya penuh semangat.
"Bunda..." Selma memanggil Bunda yang duduk-duduk di teras depan rumahnya.
"Lho, Sel" Kamu kenapa sampai gendongan begitu?" tanya Bunda seraya menghampiri Selma
dan Nathan. "Ini nih, Bunda, orang ini yang..."
"Selma, nggak baik menyebut pacar sendiri dengan sebutan orang ini. Kasihan kan Nak Nathan.
Dia sudah nunggu kamu dari tadi, e... kamunya nggak pulang-pulang. Giliran dijemput, kamu
malah marah-marah. Apa karna Nak Nathan jemputnya jalan kaki terus kamu marah" Tuh,
motornya ditinggal di sini kok." Selma melongo mendengar ucapan Bunda.
Bukan cuma nggak surprise atas kehadiran Nathan, Bunda juga menyebut cowok itu dengan
panggilan Nak Nathan. Dan, dengan gamblang Bunda bilang nggak baik menyebut pacar sendiri
"orang ini". Bunda bahkan mengumumkan motor Nathan ditinggal di rumah. Sial! Jadi begitu" Sebelum
jemput gue, dia udah mampir di rumah" Pantesan dia hafal banget rumah gue.
Tapi, kenapa Bunda bisa menerima kehadiran Nathan begitu aja, ya" Padahal biasanya Bunda
paling anti liat gue pacaran.
Apalagi sama orang yang sama sekali nggak dikenal. Berbagai pikiran bercampur aduk,
membuat Selma terdiam seribu bahasa. Dia bahkan cuma bisa menurut saat Nathan
menurunkannya di ruang tamu, dan meminta Mbok Sum membersihkan lagi lukanya.
Selma juga sudah nggak kaget lagi saat Randy yang baru muncul dari dalam langsung ngobrol
akrab dengan Nathan, seolah-olah mereka udah lama berteman karib.
"Bunda kok nggak marah Selma pulang digendong cowok" Biasanya kan...?" tanya Selma ragu
saat Bunda mengoleskan parem kocok ke pergelangan kakinya yang terkilir.
Nathan tampak asyik bercanda dengan Randy di ruang tamu. Bunda tersenyum.
"Untuk itu Bunda harus minta maaf sama kamu, Sayang." Selma mengerutkan kening.
"Maksud Bunda?"
"Maksud Bunda, Bunda salah menilai putri Bunda. Bunda selalu menganggap kamu masih kecil.
Ternyata... kamu sudah gadis, Selma. Dan gadis yang baik seperti kamu, pasti nggak bakal salah
memilih kekasih. Dan kamu benar, Sayang. Kamu nggak salah milih pacar, Bunda suka kamu
jadian sama Nathan. Dia oke untukmu." Sambil berkata demikian, Bunda mengacungkan kedua
ibu jarinya. "Bunda juga yakin, ayahmu di surga juga akan setuju dengan pilihanmu. Nathan itu gampang
akrab dengan siapa saja. Seandainya Ayah masih hidup..." Bunda menerawang sesaat, namun
kemudian memandang putrinya sambil tersenyum lembut.
Ya Tuhan... ada apa sih sebenarnya" Selma tertunduk lesu. Bawa-bawa Ayah segala, lagi.
Nggak! Kalo Ayah di sini, dia pasti belain Selma. Iya kan, Yah" Tapi percuma, bagaimanapun
Ayah nggak ada. Dan gue bener-bener terpojok sekarang.
"Tapi, Bunda, bagaimana mungkin..."
"Sudah. Mbak Selma ndak usah bingung begitu. Mbok akan beritahu satu rahasia, tapi Mbak
Selma jangan marah sama Mas Nathan, ya?" Mbok Sum ikut nimbrung dan duduk di sebelan
Bunda. "Kita sebenarnya sudah tau Mbak Selma jadian sama Mas Nathan sejak setengah bulan lalu."
"Haaah"! Setengah bulan" Tapi..." bukannya jadi jelas, Selma malah makin bingung.
"Iya, kami tau Mbak Selma sengaja, apa itu namanya..."
"Backstreet, Mbok," sambung Bunda.
"Iya, backstreet. Mbak Selma sengaja backstreet soalnya takut dimarahi Nyonya. Terus..., Mas
Nathan yang jantan itu datang ke sini, Mbak."
"Jadi... Nathan datang ke sini sejak setengah bulan lalu?"
"Iya, Mbak. Mas Nathan minta izin sama Nyonya untuk jadi pacarnya Mbak Selma. Mas Nathan
waktu itu janji akan buktiin serius. Mulanya sih kita biasa saja, tapi lama-lama kita seneng
banget dengan kunjungan Mas Nathan. Apalagi Mas Nathan nggak cuma sekali-dua kali aja
mesen katering ke kita. Mana pesanan Mas Nathan selalu dalam partai besar, lagi. Kita sampai
kewalahan lho, Mbak, tapi seneng." Mbok Sum tersenyum bahagia.
"Makanya, Mbak Selma ndak perlu sembunyi-sembunyi lagi pacarannya, Nyonya udah oke kok.
Mbok juga oke." Selma melongo nggak percaya. Nathan curang. Dia ngelangkahin gue
seenaknya. Dia bikin keluarga gue mengkhianati gue. Bagaimana bisa dia mencuri hati orang di
rumah ini tanpa gue sadari"
"Nggak usah bingung, Sel. Nathan memang sengaja merahasiakan semua ini dari kamu. Katanya
sebagai hadiah untuk kamu. Makanya dia selalu ke sini pas kamu nggak ada. Jangan marah sama
dia, ya. Tujuan Nathan kan baik, ini untuk kalian juga, kan?" ucap Bunda sambil mengelus
kepala anak gadisnya. Sebel nggak seeeeh"!!!
@@@ "Begitulah, akhirnya gue kalah taruhan. Dan gue nggak mungkin dong menjilat ludah gue
sendiri. Kalian tau, kan, gue bukan tipe cewek yang suka obral janji," Selma mengakhiri
penjelasannya. Kedua sohibnya lagi-lagi melongo.
"Gila! Bener-bener gila! Kayaknya lawan lo udah profesional nih, Sel. Dia udah ngerencanain
semua ini jauh-jauh hari," kata Bagas.
"Dan sialnya, dia tau semua kelemahan lo. Jadi bisa dibilang lo kalah telak. Atau dalam tinju
disebut KO," tambah Iren yang emang getol nonton olahraga fisik.
"Kok kalian malah nakut-nakutin gue sih" Bantuin bebasin gue dari dia dong. Please..." Selma
hampir menangis mendengar pernyataan dua sohibnya. Nggak satu pun ucapan mereka
memberinya harapan untuk terlepas dari Nathan.
Bagas dan Iren berpandang-pandangan. Mereka mengangkat bahu bersamaan, lalu memandang
Selma yang tampak putus asa.
"Sel, ada satu jalan yang bisa nyelametin lo," ucap Iren tiba-tiba.
"Oh ya" Gimana?" Selma kembali bersemangat.
"Lo mesti tau kelemahan Nathan. Dan lo bisa bongkar kelemahan itu di depan Bunda. Dengan
begitu, lo bisa lepas dari dia." Iren memang jenius!
Kalo soal menyelesaikan masalah, dia jagonya. Jadi, nggak salah dong Selma cerita semua ini ke
dia. "Hm... bener juga..." Selma mengangguk-angguk.
"Nah, sekarang tinggal nyelidikin siapa Nathan sebenernya. Lo punya informasi apa aja tentang
dia?" tanya Iren. Mendengar pertanyaan itu, semangat Selma redup kembali.
"Gue... gue cuma tau namanya Nathan."
"Lainnya?" Selma menggeleng tak berdaya.
"Yah... percuma deh." Iren mengembuskan napas. Kayaknya dia kecewa idenya sia-sia.
Tapi tiba-tiba Iren menjentikkan jari.
"Sel, lo inget seragam yang dia pakai, nggak" Seinget gue, dia nggak pakai seragam sekolah
negeri deh. Itu berarti dia sekolah di SMA swasta. Tapi gue lupa motifnya seragamnya. Lo ingat
nggak, Sel?" "Hm..." Selma mencoba mengingat-ingat, wajahnya yang mungil jadi keliatan lucu.
"Kalo nggak salah, celana panjang kotak-kotak campuran antara biru tua dan merah. Atasannya
putih dengan dasi sewarna celana panjang, dilengkapi rompi warna senada."
"Hah" Sesulit itu" Jangan-jangan sekolahan elite tuh!" Sambil berkata begitu, Iren kembali
memutar otak. Pandangannya tertuju ke cowoknya yang sejak tadi terdiam.
"Gas, kok lo malah melamun sih" Selma kan minta tolong ke elo juga."
"Justru itu! Rasanya gue pernah liat tampang Nathan deh. Tapi di mana ya" Gue lupa." Bagas
menggaruk kepalanya yang nggak gatal. Kebiasaannya kalo mengingat-ingat sesuatu.
"Terserah deh. Lo cnba aja inget-inget lagi, siapa tau berguna. Terus, sementara nyari tau siapa
Nathan, kita juga mesti menyusun strategi supaya Nathan kapok deket-deket lo."
"Oke juga tuh. Tapi gimana caranya?"
"Gampang... serahkan aja sama gue. Lo tinggal menjalankan perintah." Iren tersenyum penuh
teka-teki. Mendengar itu Selma kembali tersenyum.
"Tapi serius nih, lo mau ngelepas Nathan" Kayaknya orangnya tajir lho, bo. Keren, lagi." Garagara ucapannya itu, Iren mendapat dua pasang tatapan tajam dari dua manusia di hadapannya.
Dan seperti biasa, dia cuma cengengesan.
"Anak-anak, jam olahraga sudah selesai. Apa kalian sudah kuat kembali ke kelas?" suara pak
UKS membuat tiga sahabat itu tersentak.
"Eh, iya, Pak. Terima kasih," ucap ketiganya bersamaan. Mereka berdiri dan meninggalkan
ruang UKS. Sambil memandangi ketiga murid itu, Pak UKS geleng-geleng kepala.
Entah jin apa yang bersarang di ruang UKS. Sampai-sampai yang sakit langsung sembuh begitu
jam olahraga berakhir, begitu pikirnya.
Bab 3 "SELMAAA...!!!" Itu suara Iren.
Dari nadanya, sepertinya Iren baru saja menemukan sesuatu.
Dan benar saja. Iren telah menemukan strategi yang dinamakan Strategi Menggilas Nathan.
"Nah, strategi pertama akan kita lancarkan hari ini. Yaitu... shopping!" Tadinya Selma nggak
ngerti maksud Iren, tapi begitu Iren menjelaskan, Selma manggut-manggut.
"Siap ya... kita akan melancarkan strategi ini sepulang sekolah nanti." Iren tampak bersemangat.
Melihat itu Selma makin mantap. Sementara Bagas asal he-eh saja.
@@@ Selasa. Jam pulang sekolah. "Than, temen-temen gue, Bagas dan Iren, lo tau, kan..." Selma memandang Iren dan Bagas yang
melambai dari kejauhan. Siang itu Nathan menjemputnya.
"Ya, terus" Ada apa dengan dua sobat lo?"
"Hm... mereka minta ditraktir macem-macem sama lo. Sebagai ganti..., mmm..., lo sama gue
jadian tanpa seizin mereka." Selma tampak takut-takut mengatakan permintaannya.
"Begitu, ya?" "Iya. Mereka maksa. Katanya kalo lo nggak mau, berarti lo cuma main-main sama gue."
"Hmm... kalo gitu tunggu apa lagi" Ayo berangkat, mereka boleh minta apa aja yang mereka
mau," jawab Nathan santai. Selma langsung memberi kode pada dua sohibnya agar mendekat.
Karna memang sudah direncanakan, Bagas bawa mobil bokapnya. Jadi motor Nathan dititip dulu
di rumah Selma sebelum mereka ngacir ke mal.
"Than, kita makan di McDonald, ya," pinta Iren blakblakan. Nathan yang duduk di depan sama
Bagas cuma manggut-manggut.
"Apa aja deh, asal setelah itu kalian izinin gue jalan sama bidadari cantik teman kalian." Bagas
melirik ke belakang. Iren dan Selma berpandang-pandangan.
"Dia cuma sok, liat aja, ntar kita kerjain!" bisik Iren.
Selma hanya bisa mengangguk. Dalam hati diam-diam Selma tersanjung mendengar perkataan
Nathan barusan. Tapi tentu saja perasaan itu tidak dia ungkapkan. Mobil berhenti di sebuah mal. Tujuan pertama
mereka: makan di McDonald. Iren yg memesan. Dia benar-benar sudah gila. Mesennya kayak
orang kesurupan, sampai-sampai semua kekenyangan.
"Habis ini kita ke dalam. Katanya Selma mau beli baju dan sebagainya. Ya kan, Sel?" Iren
menginjak kaki Selma. "Eh, i... iya," jawab Selma kaget.
"Up to you, ladies. Everything... Lo setuju, kan, Gas, kita manjain nona-nona ini?" kata Nathan
tak gentar, sambil melirik Bagas. Bagas mengangguk.
"Yoi banget, man," jawabnya. Keduanya tertawa. Iren menginjak kaki Bagas dan menatapnya
galak. Sebenernya lo di pihak siapa sih" batinnya kesal. Bagas cuma senyam-senyum ditatap
galak banget sama pacarnya. Itu sih udah biasa buat Bagas. Mereka menuju konter pakaian. Iren
udah gila beneran. Dia borong baju banyak banget, sampai Selma kewalahan membawanya.
"Nah, ini pas banget buat lo, Sel. Satu buat lo, satu buat gue, kita kembaran, ya" Terus ini untuk
acara ultah Meira, lusa. Terus ini pitanya..., kosmetiknya..., sepatunya..., underwear-nya..."
"Ren, lo gila, ya" Gimana kalo Nathan nggak bawa uang" Kan kasihan," bisik Selma. Iren
kelihatan nggak peduli. Sohibnya itu terus aja memilih dan memilah barang belanjaan.
Will You Marry Me Karya Fatma Sudiastuty Octaviani di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tenang dong, Sel. Kan tujuannya memang mempermalukan dia! Biar dia kapok deketin lo.
Begitu, kan?" "Iya sih. Tapi, Ren..."
"Udah, nggak ada tapi-tapian. Eh, ini tasnya lucu nih. Lo satu, gue satu. Bagus, kan?" Selma
cuma bisa geleng-geleng kepala.
Akhirnya dia nurut aja apa kata Iren. Toh ini semua demi kebebasannya. Sementara itu Nathan
dan Bagas berjalan di belakang mereka sambil nggak lepas mengawasi kekasih mereka yang
lincah-lincah. "Lo tau nggak, Gas" Gue akan melakukan apa pun untuk membuat bidadari gue tetep tersenyum.
Berapa pun uang yang harus gue keluarkan, sebesar apa pun pengorbanan yang diminta untuk
mewujudkannya, akan gue lakukan!" kata Nathan saat pandangannya tak sengaja bersirobok
dengan Selma yang cepat-cepat membuang muka. Bagas tertegun.
"Kok lo bisa begitu yakin sama Selma sih" Lo sama sekali belum kenal dia, kan?"
"Lo salah, Gas, gue kenal Selma, lebih dari dia mengenal dirinya sendiri." Nathan tak lepas-lepas
menatap Selma yang masih aja ditarik ke sana kemari oleh Iren.
Bagas mengawasi Nathan dengan pandangan tak percaya. Benarkah sebesar itu cinta lo ke
Selma, Than" Atau lo hanya bersandiwara supaya gue menyampaikannya ke Selma" Ah... kalo
aja gue inget, di mana gue pernah liat lo, batin Bagas.
"Hei, cowok... kita selesai!" seru Iren. Setumpuk belanjaan sudah antre di kasir. "Oke, Tuan
Muda, sekarang giliran Anda untuk... membayar," Iren menekankan kata membayar dengan
sangat jelas. Lalu meninggalkan Nathan di kasir, sementara ia bergabung dengan Bagas dan Selma yang
menunggu tak jauh dari situ.
"Ren, kayaknya kita keterlaluan deh. Gue minta maaf aja kali, ya" Kan kasihan kalo uangnya
kurang." Selma tampak sangat kawatir.
"Silakan aja minta maaf kalo lo pengen rencana ini gagal!" Iren mengeluarkan jurus galaknya.
Belum sempat Selma membela diri, Bagas bergumam pada mereka, "Guys, tenang, dia ke sini."
Benar saja, Nathan datang dengan plastik-plastik belanjaan di kedua tangannya.
"Siapa yang bisa bantu gue?" Bagas yang tadinya bengong langsung menghampiri dan membawa
separo. "Nah, girls, kalian pasti udah laper lagi, kan" Kali ini kita makan di Pizza Hut," kata Nathan.
"Hore..." sorak Iren senang.
"Jangan!" sahut Selma cepat.
"Kenapa, Sayang" Gue tau lo paling suka pizza."
"Hah"!" "Iya, kan"!"
"Ee.., iya sih. Tapi uang lo bisa abis." Selma mengurungkan pertanyaan Dari mana lo tau
makanan kesukaan gue" ketika ingat Nathan tahu segala hal tentang dirinya.
"Nggak usah mikir itu. Lagian ini sebagai rasa terima kasih gue ke Bagas dan Iren yang udah
jagain lo sebelum gue ketemu lo. Ini untuk mereka." Diam-diam Iren, Bagas, juga Selma merasa
sangat bersalah. Sebaik itukah Nathan" Strategi pertama dinyatakan gagal...
@@@ Strategi Kedua. Sabtu, jam 19.15 "Udah deh, Ren. Gue masih nggak enak nih sama peristiwa Selasa kemarin. Masa sih kita mau
ngerjain dia lagi?" Selma terus aja protes saat Iren mendandaninya dengan dandanan yang amat
sangat urakan dan norak. "Lo tenang aja deh, Sel, ini strategi kedua sekaligus ketika dan terakhir. Kalo dia berhasil
melewati strategi ini, berarti dia benar-benar cinta mati sama lo. Setelah itu, gue nggak ikut
campur lagi." "Iya, tapi dengan dandanan kayak gini ke bioskop" Bareng temen-temen Nathan pula. Yang
bener aja dong, Ren."
"Iya, Ren, kayaknya lo kali ini keterlaluan deh. Tanpa hal seperti ini pun gue yakin kok, Nathan
tuh serius sama Selma," Bagas ikut berkomentar. Iren mengerutkan dahi.
"Oh ya" Dari mana lo tau" Tatapannya" Naif banget sih lo, Gas."
"Bukan, tapi dari kata-katanya. Asal lo tau, waktu kita di mal Selasa kemarin, Nathan bilang ke
gue... "'Lo tau nggak, Gas, gue akan lakukan apa pun untuk membuat bidadari gue tetep tersenyum.
Berapa pun uang yang harus gue keluarkan, sebesar apa pun pengorbanan yang diminta untuk
mewujudkannya akan gue lakukan...'
"Kalo lo jadi gue, apa lo nggak bakal percaya, Ren?" Iren sempat melongo mendengar
penjelasan Bagas. Sebenarnya, tanpa Bagas menceritakan itu pun, Iren sudah percaya Nathan serius.
"Gue tau, tapi please, sekali ini aja... setelah itu akan gue serahkan sobat gue ke dia kalo emang
terbukti dia cinta mati sama Selma." Bagas tersenyum mendengarnya. Dia tahu banget, Iren yang
anak tunggal sangat menyayangi Selma seperti adiknya sendiri, dan dia nggak bakal
menyerahkan adiknya ke sembarang orang. Selma seperti berperang dengan hatinya sendiri.
Sejak peristiwa di mal itu... Sejak Nathan menyanjungnya dengan kata bidadari... Sejak itu
perasaannya pada Nathan mulai berubah. Selma mulai membuka hatinya dan membiarkan
Nathan membelai-belai hati itu dengan kasih sayangnya yang tak pernah pupus. Terus Bagas
mengatakan hal yang baik tentang Nathan, lagi. Rasanya semua kebencian dan keraguan sirna
begitu saja. Tapi ada satu yang masih mengganjal hati Selama, Apakah semua ini akan abadi
selamanya" Apakah Nathan bisa menerima dirinya bagaimanapun rupanya" Apakah Nathan
nggak malu memperkenalkannya kepada teman-temannya" Untuk itulah Selma harus rela
didandani supernorak oleh Iren. Kalo lo lulus malam ini, Tuan Kurang Ajar, gue akan serahkan
hati gue ke elo sepenuhnya.
@@@ 19.20 Nathan menjemput Selma di rumah Iren.
"Eh... hai, Than. Mau berangkat" Oke, gue panggilin pasangan lo ya. Selma...!" teriak Iren.
Selma muncul. Rok mini yang dikenakannya membuatnya nggak nyaman. Ditambah tank top
dan jaket jins belel plus sisiran awut-awutan. Pokoknya dandanan Gotik yang seru punya.
Nathan memerhatikannya sejenak.
"Hmm... lo cocok juga dandan begini," komentarnya. Selma memandang Iren dan Bagas
bergantian. "Ya udah. Yuk, berangkat. Ren, Gas, kali ini pakai mobil gue aja ya. Bukannya sok, cuma
kasihan Selma kalo pulangnya mesti kedinginan." Iren dan Bagas mengangguk bersamaan.
Mereka pun berangkat ke Twenty One.
Di sana teman-teman Nathan sudah menunggu. Mereka benar-benar surprise melihat dandanan
Selma. Tapi toh tak satu pun yang berani berkomentar.
Herannya Nathan dengan santai memperkenalkan Selma pada teman-temannya tanpa
memedulikan pendapat mereka.
"Ini calon istri gue, man," katanya pada setiap temannya.
"Dia lulus ujian Strategi Dua," bisik Iren.
"Tapi liat, Strategi Tiga ada di sana." Iren menunjuk seorang gadis bertubuh indah dan seksi.
"Dia temen gue. Habis ini Nathan pasti beli snack dan cewek itu akan menggodanya. Dan lo bisa
denger dari sini percakapan mereka," Iren masih berbisik.
Ditunjukkannya HP-nya yang tersambung dengan HP cewek seksi itu.
"Hei, gue beli snack dulu ya," pamit Nathan pada teman-temannya.
"Sel, lo pengen apa?" tawarnya pada Selma.
"Apa aja deh," jawab Selma singkat. Dan Nathan pun pergi meninggalkannya di lobi bioskop.
"Oke, lo jangan liat ke arah Nathan, ya. Bisa curiga dia," kata Iren memperingatkan. Selma
hanya mengangguk. "Lebih amannya kita ke toilet aja yuk..." Lagi-lagi Selma hanya mengangguk. Mereka pun pergi
ke toilet. "Halo, cowok..." HP Iren mulai beraksi.
"Ya..." "Mm... mau nonton film apa nih?"
"Kenapa memangnya?"
"Nggak, kok sendirian?"
"Lo salah. Gue sama pacar gue kok."
"Mmm..., cewek norak yang di sebelah kamu tadi ya" Kamu serius mau pacaran dengannya?"
"Sori, lo udah keterlaluan. Seperti apa pun dandanannya, dia pacar gue. Perlu lo tau, gue nggak
hanya cinta fisiknya, tapi lebih karna hatinya. Gue bahkan sudah mencintainya sebelum gue
ketemu dia. Lo nggak berhak ngomentarin dandanannya. Ngerti"!" Ada jeda sebentar.
"Bagus." Adegan itu pun berakhir. Selma menangis sekarang. Menangis saking terharunya.
Nathan nggak perlu membuktikan apa-apa lagi padanya. Tak ada lagi yang mengganjal hatinya.
"Ren, dandanin gue kayak biasanya, ya" Lo bawain baju ganti buat gue, kan?" Iren tersenyum,
lalu mengangguk. Gue rela ngelepas lo buat orang seperti Nathan, Sel. Semoga kebahagiaan selalu bersama lo, doa
Iren dalam hati. Dan bisa dibayangkan dong, apa yang terjadi saat Selma keluar dari toilet dengan dandanan
kebanggaannya: kaus dan jins 7/8 ditambah make-up sangat minimalis yang justru menampilkan
aura kecantikan Selma yang sesungguhnya. Pokoknya imut abis.
Sampai-sampai Nathan bilang, "Lo tuh memang punya seribu wajah cantik yang gue kagumi,
tapi wajah lo kali inilah yang paling gue kagumi."
Selma jadi malu karnanya. Pipinya memerah. Ditambah lagi waktu teman Nathan ikut
berkomentar, "Pinter juga lo cari istri." Aduh... serasa melayang deh pokoknya.
Akhirnya malam itu jadi malam terindah bagi Selma. Dia sampai lupa masih ada satu lagi misi
yang harus dijalankan. Tidak, tidak. Bukan strategi lagi, tapi penyelidikan SMU-nya Nathan.
Sebenarnya Selma sudah malas dengan hal-hal begituan. Ia bahkan nggak peduli kalau Nathan
ternyata sekolah di SMA swasta paling jelek sekalipun.
Tapi kata-kata Iren ada benarnya juga. Selma harus mulai mengenal siapa calon suaminya.
Ketika Selma sudah hendak menyerahkan tugas penyelidikan itu kepada Iren, malah dialah yang
mengetahui rahasia sekolah Nathan itu secara tidak sengaja.
Semuanya berawal dari sebuah penggaris...
Bab 4 SELMA sedang mengerjakan PR Matematika-nya ketika sadar penggarisnya lenyap dari tas
sekolahnya. Dan Selma tahu banget di mana ia bisa menemukan barang-barangnya yang tiba-tiba
lenyap begitu. "Kakak..." Selma mendorong pintu kamar kakanya tanpa permisi.
"Kakak yang ambil penggaris Selma, kan?" ia menuduh Randy yang tengah asyik mengguntingtempel kliping bangunan.
"Kalo iya, kenapa?" jawab Randy santai tanpa menghentikan aktivitasnya.
"Kakak nih ya, kalo salah tuh minta maaf, bukannya malah tanya kalo iya kenapa?" Selma
menirukan gaya bicara Randy dengan memonyongkan bibir.
"Selma tuh lagi pusing mikirin PR Matematika. Udah susah, ditambah nggak ada penggaris, lagi.
Sebel." "Hei, cerewet! Kalo nggak bisa ngerjain PR, marahnya jangan sama gue dong. Gue juga lagi
pusing nih ngerjain kliping. Cerewet lo." Randy menoyor kepala Selma.
"Aduh, Kak Randy, Selma bilangin Bunda ya, main-main kepala. Nggak sopan, tau." Selma
tambah marah oleh perlakuan Randy. Mereka memang nggak pernah akur.
"Sebodo! Dasar tukang ngadu. Nyadar dong, lo kan udah mau merit, masa masih mau ngadu ke
Bunda terus" Gue laporin Nathan, tau rasa lo."
"Laporin aja kalo bisa. Dua hari ini kan Nathan nggak bisa ke sini. Jadi, giliran dia ke sini,
ceritanya udah basi. Weeek..."
"Ya gue ke sekolahnya dong. Nggak jauh kok dari kampus gue." Mendengar ini Selma kayak
dapet durian runtuh. Sekolah Nathan" Kakak tau di mana sekolah Nathan"
"Emangnya di mana sekolah Nathan?" tanya Selma penuh semangat.
"Ya di SMA Teitan lah. Memang di mana lagi" Lo mau ngetes gue ya" Lo kira gue nggak tau,
apa?" Selma sudah tidak menggubris lagi reaksi kakaknya selanjutnya, apalagi waktu tiba-tiba
Selma memeluknya. "Makasih ya, Kak. Kak Randy baik deh." Setelah berkata begitu Selma berlalu dari kamar
Randy. Dia bahkan sudah lupa tujuan awalnya mengambil penggaris. Randy sendiri terbengong-bengong
melihat sikap adiknya itu.
Jangan-jangan jin ifrit mampir ke sini nih. Terus ngerasukin si Selma. Hiiy... begitu pikirnya.
@@@ "SMA Teitan?" Iren mengerutkan kening. Dia dan Bagas tengah berkumpul di kamar Selma
waktu cewek itu mengabarkan penemuan berharganya. Rupanya teka-teki soal Nathan sudah jadi
misteri yang penuh tantangan bagi mereka.
Untung saja rumah Iren satu kompleks dengan rumah Selma, jadi begitu telepon berdering minta
berkumpul, Iren bisa langsung muncul di depan pintu rumah Selma. Sedang Bagas, walaupun
rumahnya agak jauh, tapi sori aja ya, kalo harus melewatkan saat-saat bersama dengan kekasih
dan sohibnya. Apalagi hari belum malam, baru jam 18.30. Perjalanan dari rumahnya ke rumah Selma cuma
lima belas menit. So, kenapa nggak ikut nimbrung"
"Memangnya SMA Teitan itu ada?" tanya Iren bingung.
"Itu dia, Ren, gue sendiri bingung. Ada SMA Piri, SMA De Britto, dan sebagainya dan
sebagainya, yang jelas bukan SMA Teitan. Denger juga baru hari ini. Dari mulut Kak Randy,
lagi." Selma garuk-garuk kepala.
"Tunggu-tunggu, gue tau." Pernyataan Bagas membuat dua cewek di depannya mengalihkan
pandang kepadanya. "
Kalo nggak salah nih, SMA Teitan tuh sekolah swasta internasional. Bahkan mulai kelas dua,
bahasa pengantarnya bahasa Inggris."
"Serius lo, Gas?" Selma dan Iren berkata serempak.
"More than serious," jawab Bagas sok ke-Inggris-inggrisan.
Padahal pelajaran bahasa Inggris-nya nggak ada yang dapet emam, hampir selalu lima.
"Jangan sok deh, Gas. Ntar ternyata itu cuma khyalan lo aja, lagi," komentar Iren.
"E... dengerin dulu!" Cowok berpotongan rambut bros itu mencoba tetap tenang.
"Gue tuh ngomong gini karna ada temen SMP gue yang juga sekolah di sana." Selma dan Iren
bertukar pandang, tapi keduanya sepakat untuk mendengarkan penjelasan Bagas.
"Namanya Risna. Dia murid teladan di SMP gue dulu. Terus, pas penjaringan beasiswa, dia lolos
dan berhak masuk SMA Teitan," Bagas mulai cerita.
"Waktu itu gue sempet penasaran, kayak gimana sih yang namanya SMA Teitan. Gue juga baru
denger. Dari situ gue akhirnya tanya-tanya ke Risna, dan dia jelasin dengan gamalang."
"SMA Teitan tuh bertaraf internasional. Mulai kelas dua, bahasa pengantarnya bahasa Inggris.
SMA ini impian gue sejak lama. Soalnya kalo gue bisa mempertahankan beasiswa gue sampai
kelas tiga, gue punya peluang dapat beasiswa ke luar negeri. Begitu lulus gue langsung bisa kerja
di tempat yang udah ditunjuk sekolah."
"Sehebat itu" Pasti sekolahnya bonafide abis, ya?" tanya Bagas waktu itu.
"Gue pernah ke sana sekali, pas ujian beasiswa. Dan gue nggak pernah bayangin ada sekolah
sebesar itu di kota kita. Fasilitasnya lebih dari komplet. Kelasnya luas dan ber-AC, dengan layar
proyektor sebagai pengganti papan tulis. Perpustakaan dengan sistem komputer, dan berjuta
buku berderet rapi di rak-rak yang besar dan panjang. Ada loker-loker pribadi untuk siswa,
sampai kolam renang dan lapangan tenis juga ada. Pokoknya superlengkap deh."
"Yang bener, Gas" Kok gue bisa sampai nggak tau ada sekolah sebonafide itu di kota ini"!"
Selma tampak nggak percaya.
"Itu saking bonafidenya tuh sekolah. Dan juga karna penghuninya tertutup terhadap dunia luar,"
terang Bagas. "Maksudnya?" Iren lagi-lagi mengerutkan dahi.
"Mayoritas yang sekolah di sana kaum borjuis, makanya cuma masyarakat kelas atas yang tau
tentang sekolah itu."
"Wah, itu berarti Nathan borjuis dong?" Iren berkata sambil menyenggol lengan Selma jail.
Sementara yang disenggol cuma balas memandang tanpa ekspresi.
"Belum tentu juga sih. Soalnya setahu gue, Risna tuh bukan dari keluarga borju. Ayahnya aja
satpam swalayan. Cuma... otaknya encer," Bagas kembali menjelaskan.
Dia merasa istimewa hari itu, soalnya semua keterangan berasal darinya.
"Kalo begitu bisa disimpulkan, manusia yang sekolah di SMA Teitan ada dua golongan, kaum
borjuis dan kaum intelektual, alias manusia supercerdas."
"Seratus untuk my dear," katanya sambil mengerling kekasihnya.
"Dan percayalah, manusia supercerdas kayak Risna, misalnya, harus terus mempertahankan
prestasinya. Soalnya, tanpa beasiswa, bahkan kita sekalipun nggak bakal sanggup membayar
uang sekolahnya," tambah Bagas.
"Wah, terus gimana caranya kita nyelidikin Nathan" Masa sih kita mesti ke sekolahnya yang kata
lo tertutup itu" Atau, kita tanya temen lo aja" Siapa tadi namanya" Risna?"
"Iya Risna. Sayangnya... gue udah kehilangan jejak dia." Mendengar itu semangat Iren dan
Selma langsung surut. "Sama juga boong dong!" gumam Selma.
"Eh, tunggu, tunggu. Kenapa kita nggak ke sana aja?" usul Iren tiba-tiba.
"Ke sana" Ke mana?" tanya Bagas linglung.
"Ya ke SMA Teitan lah. Ke mana lagi" Pasar"!" Wajah Iren kembali bersemangat.
"Ha... lo gila ya?" Bagas berteriak spontan.
"Emangnya kenapa" Kita bisa tanya siapa kek kalo kita lagi cari Risna."
"Lo kira SMA Teitan itu kecil, sampai lo bisa tanya ke sembarang orang kalo lo lagi nyari
Risna" Emang Risna selebriti sampai semua orang kenal" Belum lagi kalo si Risna udah pulang,
bisa jadi topeng monyet kita. Lagian, emang lo tau di mana SMA Teitan?" protes Bagas abisabisan.
"Kirain lo tau di mana letaknya SMA Teitan!" Iren kembali terdiam, berpikir.
"Teman-teman," suara Selma tiba-tiba terdengar ragu.
"Apa sebaiknya rencana ini kita urungkan aja" Perasaan gue nggak enak nih. Lagian lusa kan
ultah gue. Walaupun nggak ada perayaan spesial, gue nggak mau denger berita buruk di sweet
seventeen gue. Gue udah puas kok dengan Nathan yang sekarang," tambahnya lirih.
"Ah, kenapa kita nggak tanya Kak Randy aja?" Iren menjentikkan kedua jarinya dan bangkit
menuju kamar Randy tanpa memedulikan keluh-kesah Selma.
"Sel..." Bagas kelihatan bingung harus bagaimana karna ia tahu kegalauan jelas tergambar di
mata Selma. Namun Selma hanya tersenyum sambil berkata lirih, "Nggak papa, Gas. Kita ikutin Iren aja
yuk." Tanpa dikomando lagi mereka pun beranjak mengikuti Iren.
"Apaan sih lo, senyum-senyum sendiri" Lupa minum obat, ya?" suara Randy terdengar cukup
jelas dari balik pintu tempat Selma dan Bagas berdiri.
Will You Marry Me Karya Fatma Sudiastuty Octaviani di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Yah... Kakak. Iren kan senyum khusus buat Kakak, kok malah dikira lupa minum obat sih?"
Iren merayu Randy yang sedang sibuk dengan tugas kuliahnya.
"Heh... nggak usah basa-basi deh, bilang aja lo mau apa, gue lagi sibuk nih."
"Kakak tau aja!" Iren tersenyum senang.
"Gini, Kak, sebenernya yang mau tanya tuh Selma. Tapi dia malu, Kak." Untung Iren tidak
melihat pelototan Selma di balik pintu, jadi dia bisa meneruskan sandiwaranya.
"Selma mau ketemu Nathan, Kak, ada hal penting yang mesti diomongin. Tapi HP-nya nggak
aktif, padahal Nathan udah bilang nggak bisa ke sini dua hari ini. Kak Randy punya nggak
nomor telepon rumahnya?" pancing Iren cerdik.
"Nggak, gue nggak tau nomor telepon rumahnya," jawab Randy masih sibuk.
"Yah... terus gimana dong" Padahal penting banget nih, Kak." Iren pura-pura kebingungan.
"Cari aja di sekolahnya," sahut Randy singkat.
"Wah, bener juga ya, Kak." Iren melonjak senang seakan baru saja mendapat masukan yang
brilian. Padahal semua sudah direncanakan.
"Kakak memang jenius. Tapi... kita kan nggak tau di mana SMA Teitan, Kak." Iren tertunduk
lesu, walau diam-diam melirik, penasaran dengan reaksi Randy selanjutnya.
Randy memutar kursi belajarnya menghadap ke Iren.
"Kalo kampus gue, lo tau nggak?"
"He-eh." Iren mengangguk penuh semangat.
"Emang deket ya, sama kampus Kak Randy?" Iren balik bertanya.
Yah... paling..." Randy mengira-ngira sebentar.
"Seratus meteranlah dari kampus gue," jelasnya.
"Terus gimana caranya nyari Nathan, Kak" Masa mesti tanya sama semua orang" Kan nggak
lucu." "Heh, di SMA lo aja ada pos satpamnya, apalagi di SMA Teitan. Di sana pos satpamnya
dilengkapi komputer yang memuat data seluruh warganya. Jadi kalo ada tamu mereka tinggal
mencari data orang yang dicari dan mengumumkan lewat interkom, di ruangan mana orang itu
berada. Kalo nggak ada tanggapan, baru mereka mengumumkan ke ruang umum, seperti kantin,
perpustakaan, taman sekolah, atau ruang ekstrakurikuler," jelas Randy panjang-lebar.
"Dari mana kita tau orang yang kita cari ada di tempat apa nggak?" Iren masih belum puas
dengan info yang didengarnya.
"Jelas tau dong!" Beruntung Randy sabar menghadapi teman adiknya yang cerewet ini.
"Siapa aja yang merasa namanya dipanggil, wajib menjawab panggilan lewat interkom yang
tersedia di seluruh ruangan di SMA Teitan. Dan mereka boleh menentukan mau bertemu di mana
dengan tamu mereka. Nah, kalo dalam sepuluh menit nggak ada respons, berarti orang yang
dicari nggak ada, atau bisa jadi nggak mau ketemu. Tapi kelas tiga kayaknya ada kelas sore, jadi
Nathan paling pulangnya magrib."
"Wah, Kak Randy serbatau, ya. Jangan-jangan Kak Randy sering kencan ama Nathan di
sekolahnya, lagi," goda Iren puas.
"Enak aja, gue masih normal, tau. Ngapain cari-cari Nathan" Mending gue nyamperin Lis... eh...
udah deh, sana, sana, gue masih banyak tugas nih!" potong Randy tersipu, cepat-cepat dia
memutar kursinya ke posisi semula untuk menutupi wajahnya yang merah.
"Lis... Lis siapa, Kak?" goda Iren usil. Serta-merta Randy meliriknya supertajam, membuat Iren
mundur perlahan-lahan dari hadapan cowok sok cuek yang baik hati itu.
"Makasih, Kak," ucapnya seraya tersenyum dipaksakan.
Dan menambahi, "Besok kita sampein salam Kakak buat Lis deh..." godanya, begitu merasa
aman di balik pintu. Randy hanya bisa teriak sebal dari tempatnya duduk.
"Iren... awas lo ya..."
"He... he... dapat!" ujar Iren kepada dua manusia yang memandangnya terperangah, tak percaya
dengan apa yang telah dilakukannya.
"Apaan sih" Besok kita tinggal berangkat. Kalian denger sendiri kan penjelasan Kak Randy."
"Tapi, Ren... Selma..." Bagas melirik sekilas sahabatnya yang diikuti tatapan penasaran Iren.
Selma memandang kedua sahabatnya bergantian, lalu tersenyum.
"Gue mau kedudukan gue dan Nathan seimbang. Dia tau soal gue, gue juga harus tau siapa dia."
"Artinya..." "Kita berangkat," kata Selma yakin.
"Yes!" Iren bersorak kegirangan.
"Itu baru sohib gue," tambahnya seraya merangkul Selma.
"Oke, selanjutnya kita susun rencana ke SMA Teitan." Dasar Iren, dia memang paling getol
urusan beginian. Bab 5 "TARAAA...! Tibalah saat penyelidikan...!!!" teriak Iren yang tampak begitu bersemangat siang
itu. Sepanjang jam pelajaran ia udah nggak konsen, sampai-sampai ia ditegur beberapa guru karna
cengengesan sendiri. Iren memang begitu, paling suka sama yang namanya teka-teki.
Makanya jangan heran kalo Iren-lah yang paling bersemangat dengan rencana penyelidikan hari
ini. Bagas cuma geleng-geleng melihat tingkah pujaan hatinya, sementara seharian itu Selma
tiba-tiba jadi gadis pendiam.
"Sel, kalo lo emang nggak yakin, mending lo nggak usah ikut aja. Biar gue sama Iren yang maju.
Lo terima beres aja. Gimana?" Bagas jadi khawatir melihat kondisi teman mungilnya.
Tapi ia juga nggak tega kalau rencana ini harus batal. Siapa coba yang tega melihat kekasih hati
kecewa lantaran rencananya batal dilaksanakan"
"Makasih, Gas. Tapi gue lebih suka tau sendiri daripada denger dari orang lain. Jadi, maaf aja
kalo gue harus ganggu acara kalian berdua." Bagas tersenyum mendengarnya.
Semoga ini bisa jadi awal yang indah buat lo, Sel, batinnya. Mereka berangkat dengan mobil
bokap Bagas. Dan berkat petunjuk Randy, akhirnya mereka sampai juga di depan gedung megah dengan plakat
besar bertuliskan SMA TEITAN INTERNASIONAL.
"Gila, ini sekolah apa hotel?" ucap Iren kagum.
"Lo nggak salah berhenti, kan, Gas?" akhirnya suara Selma terdengar juga setelah sekian lama
hilang ditelan keraguannya sendiri.
"Kata Kak Randy, jam segini harusnya mereka sudah pulang. Kecuali yang ikut kelas sore dan
ekstrakurikuler," kata Iren.
"Jadi Nathan belum pulang, ya?" tanya Selma setengah melamun. Iren angkat bahu.
"Kenapa lo nggak tanya langsung aja ke dia" Kan elo pacarnya, bukan gue."
"Sial!" Selma mencubit Iren. Paling tidak, candaan Iren membuatnya lebih santai.
"Hei, jadi nggak nih?" tanya Bagas.
"Tuh, pos satpamnya di sana."
"Oke, kita beraksi sekarang. Kita coba tanyakan apa temen lo yang namanya Risna itu ada dan
mau ketemuan ama kita apa nggak. Baru setelah itu kita korek keterangan dari dia," Iren
memberi komando. "Kenapa kita nggak tanya langsung aja ke Pak Satpam tentang Nathan?" tanya Selma, masih
belum yakin juga dengan keputusannya datang ke sekolah elite yang baginya lebih terlihat
menakutkan daripada kesan mewah yang ditampilkan bangunan itu.
"Bisa aja sih, tapi paling-paling kita cuma dikasih tau di mana kelasnya dan akan dihubungkan
sama dia. Mau ketauan sebelum dapat info apa-apa?" timpal Iren santai.
Selma dan Bagas menggeleng bersamaan.
"Ya udah, tunggu apa lagi" Ayo, masuk." Tanpa menunggu Iren berkata dua kali, mereka
langsung bergerak. Baru sampai di pos satpam, mereka sudah melongo nggak percaya. Ruangan itu tampak sangat
besar dan luas. Ada beberapa satpam perempuan di depan komputer, dan satpam laki-laki di layanan tamu.
Persis yang digambarkan Randy. Bagas yang kejatuhan tugas bertanya tentang Risna.
Satpam di depan komputer langsung sibuk dengan data-datanya, sebelum akhiranya menjawab,
"Nona Risna Astantina, kelas II BAHASA B. Anda mau menemuinya di mana?"
"Kalo di sini bisa?" tanya Bagas.
"Tunggu sebentar." Pak Satpam mengangkat pesawat telepon. Sesaat dia berbicara dengan
seseorang. "Maaf, nama Anda?" tanyanya pada Bagas tanpa menutup telepon.
"Bagas, Bagas Zuas Saputra." Satpam itu kembali berkutat dengan teleponnya.
Beberapa menit kemudian ia menutup gagang telepon dan kembali berjalan ke arah Bagas yang
berdiri di depan posnya. "Anda diminta ke kantin," katanya. Kemudian ditunjukkannya arah menuju kantin.
"Terima kasih ya, Pak. Selamat siang." Bagas segera memgajak Iren dan Selma masuk ke pintu
gerbang superbesar. "Gas, temen lo itu nunggu di mana?" Selma berjalan menjejeri Bagas di sebelah kirinya.
"Kantin." "Lo yakin tau tempatnya?" Iren yang juga menjejeri langkah Bagas di sebelah kanan, tampak
menengok ke kanan-kiri. Koridor sekolah penuh loker. Dia bahkan menyempatkan diri melongok ke salah satu ruang kelas
yang kosong dan terpukau beberapa saat. Kalau Bagas tidak berinisiatif menariknya, Iren pasti
tetap nyangkut di kelas itu.
"Gila, sama persis dengan yang digambarkan temen lo itu, Gas. Tapi dia lupa bilang kalo
kursinya sistem individu. Kayak ruang kuliahan aja. Kerenan ini, malah. Kelasnya dingin ya."
Iren tak henti-hentinya berdecak kagum.
Bagas dan Selma nggak bisa lagi menahan keingintahuan dan kekaguman Iren. Terus terang,
mereka pun sama kagumnya.
Makanya pas Iren lagi-lagi melongok ke ruangan bertuliskan LIBRARY, baik Selma maupun
Bagas ikut-ikutan takjub.
"Temen lo pinter banget mendeskripsikan yang dilihatnya," kata Iren saat melihat perpustakaan
dengan mata kepalanya sendiri.
"Hei, bukannya kantin di sebelah sana?" Selma menunjuk kerumunan anak yang mengenakan
seragam sama seperti yang dipakai Nathan.
Bagas dan Iren memandang ke arah yang ditunjuk Selma.
"Bukan, Sel, tapi di belakangnya. Yang lo tunjuk itu taman sekolah," ujar Bagas. Tempat itu
sangat luas dan dipenuhi pepohonan rindang dan teduh yang dilengkapi bangku-bangku panjang
yang kelihatannya memang disediakan untuk beristirahat.
Tak jauh dari taman itu tampak gubuk-gubuk berpayung besar yang ternyata konter-konter yang
menawarkan berbagai hidangan mulai dari makanan asli Indonesia sampai yang berasal dari
negeri Paman Sam. Iiihh, jadi berasa di mal deh, pikir Iren.
Mereka baru tersadar telah menjadi pusat perhatian saat Bagas menyenggol tangan mereka.
Tatapan meremehkan membuat mereka tertunduk.
"Ada alien kesasar nih!" celetuk seseorang.
"Jangan-jangan mereka lagi nyari sumbangan. Harus ada yang ngasih tau tuh, di sini sekolahan,
bukan perusahaan," sambung yang lain.
Tiga sahabat itu hanya bisa terdiam. Selma, yang paling kelihatan minder, berbisik pelan ke
Bagas, "Gas, temen lo mana sih?"
"Iya, mana sih temen lo" Dan sebaiknya dia ramah ya, atau gue bakal ngamuk di sini!" tambah
Iren sambil ikutan berbisik.
Bagas tak berani menjawab. Dia sendiri ragu apakah Risna yang sekarang sama dengan Risna
yang dulu dikenalnya. Bahkan seorang yang ramah pun bisa berubah total menjadi sombong dan
nggak pedulian kalau berada di lingkungan kayak begini.
"Gas, Bagas!" suara lembut itu berasal dari belakang mereka. Bagas, Iren, dan Selma menengok
ke asal suara. Seorang gadis manis melambai ke arah mereka.
"Sebelah sini. Sini!" panggilnya seraya tersenyum senang.
Ah, selamet gue... bisa bayangin nggak sih, Iren ngamuk di sini" Bisa mati malu gue. Bagas
mengelus dadanya, lalu dengan langkah pasti dihampirinya gadis yang tak lain adalah Risna itu.
Selma dan Iren mengekor di belakangnya.
"Gue tadinya masih kepikiran, Bagas siapa ya yang nyari gue sampai ke sini. Eh... nggak taunya
Bagas elo. Lo tambah tinggi, ya." Cewek berperawakan tinggi langsing dengan kacamata minus
itu tidak kelihatan seperti gadis sombong lainnya yang berkeliaran di sekitar situ.
"Gue udah deg-degan nih, Ris. Gue kira lo udah berubah kayak mereka." Bagas memberi kode
dengan matanya ke arah pengunjung kantin SMA Teitan. Risna tertawa pelan.
"Lagian lo cepet banget ngenalin gue, gue aja ketakutan setengah mati bakal nggak ngenalin lo.
Nggak taunya..." Bagas memerhatikan Risna sesaat.
"Lo nggak banyak berubah, ya."
"Nggaklah. Gue masih punya akal sehat kok. Gue juga nyadar, gue beda dengan mereka. Cuma
sayang aja kalo beasiswa disia-siain. Dan seragam kalian itu nyolok banget, lain dari yang di
sini. Makanya, gue langsung bisa nebak itu elo!" ucap Risna dibarengi senyum ramahnya.
"Oh iya, lo belum ngenalin temen-temen lo..."
"Ah, gue sampai lupa. Ini Selma..." Ditunjuknya Selma yang tersenyum ayu. Risna mengulurkan
tangannya pada Selma sembari menyebut nama.
"Dan ini Iren." Kembali Risna mengulurkan tangan dan menyebut namanya.
"Oke, terus ada apa nih, sampai rame-rame ke sini" Pasti penting banget deh," sambung Risna
setelah memesankan minum untuk para tamunya. Mereka duduk di tenda payung tempat Risna
menunggu kedatangan mereka.
"Ya mungkin buat lo nggak penting. Tapi buat temen gue ini," Bagas melirik Selma, "sangat
penting." Sesaat Risna memandang Selma, tapi kemudian tersenyum.
"Hmm..., oke, gue dengerin," katanya singkat.
"Temen gue nih lagi deket sama seseorang yang misterius. Satu-satunya informasi tentang orang
ini adalah dia sekolah di SMA Teitan kelas tiga. Terus gue inget lo, dan mau tanya tentang orang
ini. Yah, siapa tau aja lo kenal dia."
"Hmm... siapa namanya?" ucap Risna sambil menyeruput es jeruknya.
"Nathan." "Uhuk, uhuk!" Risna tiba-tiba tersedak minumannya sendiri. Tapi sesaat kemudian dia
menyeruput es jeruknya sekali lagi.
"Uhuk..., sori. Uhuk..." dan akhirnya batuknya berhenti juga.
"Ris, lo nggak pa-pa, kan?" tanya Selma khawatir.
Risna tersenyum dan menggeleng. "Nggak pa-pa kok. Cuma surprise aja denger nama orang
yang lagi deket ama elo itu, Sel," jawab Risna kemudian. Sisa batuknya sudah hilang.
"Memangnya kenapa, Ris?" Selma mengerutkan kening, seperti kebiasaan Iren kalo lagi
penasaran. "Karna cowok yang lo maksud itu public figure di sekolah ini."
"Hah" Maksudnya?" Jantung Selma berdebar cepat. Dia bersiap-siap mendengar jawaban apa
pun yang bakal terlontar dari bibir mungil Risna.
"Dia itu ketuanya ketua murid sekolah ini. Dia disegani semua siswa di sini karna wibawanya.
Guru-guru juga sayang sama dia karna kepandaiannya, cewek-cewek mengaguminya karna
ketampanannya. Bahkan petugas di sini menghormatinya karna keramahannya."
Demi Tuhan yang menciptakan dunia dan seisinya, Selma sampai nggak bisa ngomong apa-apa
mendengar penjelasan Risna.
"Padahal dulu dia sama sekali tidak menyenangkan. Sifatnya kasar dan suka menindas yang
lemah. Lebih mirip preman daripada pelajar. Tapi, suatu ketika dia melakukan kesalahan fatal
sehingga dia tinggal kelas. Sejak itulah dia berubah. Bahkan orang-orang yang dulu
membencinya kini mendirikan fan club untuknya. Dan kebanyakan para fans berat itu malah
menyalahkan orangtua... Nathan..." Risna memelankan suaranya saat menyebut nama Nathan.
"Menurut mereka, Nathan terjerumus karna kurang kasih sayang." Cewek berambut ikal yang
dikuncir kuda ini menghela napas panjang. Dia tersenyum sebelum kembali bercerita,
"Bagaimanapun dia sekarang berubah. Dan semua berbalik memujanya. Dia dianugerahi jabatan
sebagai ketua inti. Gue sendiri heran, kekuatan apa sih yang mampu mengubahnya sampai
seperti ini" Menjadi pribadi yang bertolak belakang dengan pribadinya semula" Apa pun bentuk
kekuatan itu, pasti sangat kuat dan indah." Risna kembali tersenyum. Selma memandang Risna
tanpa sanggup berkata-kata. Dia menelan ludah.
"Lo yakin nggak salah orang, Ris?" tanyanya ragu. Risna menggeleng pelan.
"Hanya ada satu Nathan di sekolah ini. Dan gue yakin banget Nathan yang gue ceritakan inilah
yang lo maksud." "Kok lo bisa seyakin itu?" Selma kembali mengerutkan dahi. Risna tersenyum. Sesaat ditatapnya
Selma lekat-lekat. "Nathan perna bilang ke gue, ada seorang bidadari yang telah mengubahnya, bidadari mungil
yang akan disayanginya seumur hidup. Dan beruntung sekali gue, karna hari ini gue bertemu
bidadari yang diceritakan Nathan."
"Maksud lo Selma?" tanya Iren yang sedari tadi terdiam. Risna menjawabnya dengan anggukan
kepala. "Jadi, lo ini sebenernya sohibnya Nathan, ya?" tanya Bagas.
"Bukan," sahut Risna singkat.
Ia kemudian menjelaskan, "Buat mereka, gue ini cuma orang yang numpang lewat."
Mata Risna beredar ke sekeliling kantin sekolah.
"Apalagi gue pernah bermasalah dengan Natasya, cewek sombong sok berkuasa di sekolah. Yah,
itu lain cerita." Risna kembali ke inti cerita.
"Sedangkan Nathan itu milik mereka yang berharga, terutama bagi para senior kelas tiga. Gue
cuma seseorang yang penasaran dengan perubahan Nathan. Dan lo tau banget, kan, Gas, gue
paling nggak bisa tersiksa sama rasa penasaran." Bagas mengangguk.
Seingatnya, Risna memang cewek yang nggak pernah puas dengan jawaban. Dan dia bisa sangat
pemberani dalam memuaskan rasa ingin tahunya itu. Mengingatkannya pada Iren.
"Itulah, akhirnya gue nekat tanya Nathan. Tadinya gue kira dia bakal marah dan ngusir gue,
nggak taunya, dia malah cerita tentang bidadarinya. Beruntung banget gue." Risna tersenyum.
Bukan hanya perasaan bangga yang memenuhi hati Selma demi mendengar semua itu, tapi
perasaan minder juga tiba-tiba menyiksanya dengan sangat.
Gue" Bidadarinya" Kenapa" Padahal dia nggak kenal gue. Atau gue yang nggak kenal dia... Tapi
mana mungkin gue sih"! Berbagai pertanyaan berputar di kepala Selma.
"Sel, lo beruntung bisa jadi bidadari Nathan. Tapi inget, lo mesti ati-ati sama yang namanya
Natasya. Dia sudah seperti penguasa Nathan aja. Apalagi dia... dia... Ah, nggak usahlah gue
kasih tau. Biar Nathan sendiri yang nanti menjelaskan ke elo."
"Apa sih, Ris" Gue jadi penasaran nih..." Iren merengek meminta penjelasan. Tapi sepertinya
Risna kekeuh dengan pendiriannya. Dia bangkit dari duduknya.
"Maaf ya, gue nggak berhak bicara apa pun tentang hal itu. Yang jelas, ati-ati. Jangan sampai
kayak gue, hanya karna gue negur dia gara-gara menindas adik kelas, dia langsung ngomong
macam-macam tentang gue, jadi... lo bisa liat sendiri, kan, gue terkucil di sini. Makanya gue
seneng banget dengan kunjungan kalian." Risna melihat jam tangannya.
Will You Marry Me Karya Fatma Sudiastuty Octaviani di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aduh, kayaknya gue nggak bisa lama-lama nih. Gue ada ekstra wajib," katanya seraya bangkit
berdiri. "Kalian bisa nunggu Nathan di sini kalo mau. Tapi sori, gue nggak bisa nemenin." Selma, Iren,
dan Bagas ikut berdiri. "Nggak deh, kita pulang aja. Risi, tau, dipelototin temen-temen borju lo!" jawab Iran cepat. "
Ha... ha... bisa aja lo!" Risna ketawa lepas.
"Thanks banget infonya, ya, Ris," kata Selma.
"Sori udah ganggu waktu break lo," sambung Bagas.
Risna tersenyum. "Nggak usah sungkan, gue seneng kok. Kapan-kapan main ke sini lagi, ya."
Diulurkannya tangannya ke Bagas dan dua teman barunya.
"Sori gue bener-bener harus pergi sekarang. Hati-hati ya pulangnya." Risna tersenyum sekali
lagi. "Kita pulang yuk," ajak Selma tak lama kemudian.
"Iya nih, gue jadi kasihan ama Risna. Apa enaknya sekolah bagus tapi hati merana?" Iren
mengedarkan pandangan ke gerombolan siswa di kantin itu.
"Risna sih orangnya tegar, jadi bukan masalah besar baginya kalopun dikucilkan seluruh
sekolah. Udah, ayo pergi," kata Bagas. Namun baru saja mereka akan melangkah, sebuah suara
tak mengenakkan terdengar.
"Hei, tikus-tikus got!"
Selma, Bagas, dan Iren mengurungkan langkah dan menengok ke asal suara.
"Iya! Kalian bertiga!" seorang gadis tinggi langsing berkulit putih bersih dan berambut panjang
yang dibiarkan tergerai di bahu melangkah mendekati mereka diikuti segerombolan cewek
cantik. "Sial, siapa lo" Ngomong pake aturan dong!" Dasar Iren, ia langsung emosi begitu tahu
merekalah yang dimaksud dengan tikus got.
"Wah, wah... ternyata ada satu yang bisa mencicit," ucap cewek itu dengan suara tinggi yang
jahat. "Habisi aja, Natasya!" ujar salah seorang teman cewek angkuh yang ternyata bernama Natasya.
"Hm... jelas banget bakal gue habisi. Tapi sebelum itu rasanya kita perlu melaporkan tukang
kebun kita ke Kepala Sekolah. Dia kebobolan dengan masuknya tikus-tikus ini ke sekolah kita."
Natasya melipat tangannya di dada. Tawa melengkin para pengikutnya menyakitkan telinga.
"O... jadi lo yang namanya Natasya"!" ucap Iren manggut-manggut sambil memerhatikan cewek
angkuh itu dari ujung rambut sampai ujung kaki.
"Lumayan," lanjutnya. Pipi Natasya yang putih kontan memerah.
"Tapi untuk ukuran Nathan, lo nggak ada apa-apanya dibanding Selma. Setidaknya, Selma lebih
beradab." Demi mendengar nama Nathan disebut, kemarahan Natasya makin meluap. Matanya yang indah
membelalak menakutkan. "Jadi lo ke sini sama kelompok kumel lo itu, dan berkomplot dengan si sok pinter Risna, untuk
mencari tau soal Nathan" Dasar tikus-tikus nggak tau diuntung."
Dihampirinya Iren yang berdiri tegak tanpa rasa takut sedikit pun. Iren sama sekali nggak
memedulikan desakan Bagas dan Selma untuk segera pergi dari tempat itu.
"Tadinya gue cuma kepingin ngerjain temennya si sok pinter yang sama kumuhnya dengan dia.
Nggak taunya gue malah dapet mangsa yang tepat," tambah Natasya.
Di berdiri tepat di depan Iren yang dua senti lebih pendek darinya.
"Memangnya kenapa" Lo takut ya" Terlambat, lo udah kecolongan sejak lama, Nona Besar."
Iren jelas nggak mau kalah dengan gadis paling menyebalkan yang pernah ditemuinya itu.
"Heh, lo ngaca dulu dong sebelum masuk sini. Untuk satpam sini aja tampang kalian nggak
layak, ee... masih nekat mau mencuri keju terbaik kami yang bermerek Nathan, lagi. Asal lo tau
ya, Nathan itu punya gue! Nggak ada yang boleh ngambil dia dari gue! Apalagi tikus kotor
kayak lo. Ngerti"!"
Iren sudah kehabisan kesabaran,
mencengkeramnya erat-erat.
dikibaskannya tangan Bagas dan Selma yang "Ren... sabar, Ren..." seru Selma. Dia berusaha memegangi terus tangan Iren, begitu juga Bagas.
Tapi usaha mereka sia-sia.
"Nggak usah cemas, gue nggak bakal ngotorin tangan gue buat mukul cewek bermulut besar
ini!" ucap Iren berusah tetap tenang.
"Apa lo bilang"!" Natasya terpancing, ia semakin emosi.
"Nona Besar... akui aja deh, lo bukan cewek pilihan Nathan. Cewek inilah yang dipilih Nathan
sebagai calon istrinya." Iren menarik Selma ke depannya. Natasya memerhatikan Selma dari atas
ke bawah, bawah ke atas, berulang-ulang. Lalu ditengoknya gerombolan cewek di belakangnya.
Dan tawa mereka pun menggelegar.
"Ha, ha, ha, masih jauh lebih cantik pembantu gue!" celetuk salah seorang teman Natasya.
"Pendek begitu mau jadi istrinya Nathan"! Kasihan Nathan dong, harus nyiapin kursi kalo mau
nyium. Ha, ha, ha..." sambung yang lain.
"Coba liat dandanannya, kampungan abis. Memangnya dia kira Nathan bakal pede ngenalin dia
ke temen dan keluarga?"
"Heran. Banyak banget ya gadis pemimpi sekarang ini. Orang
miskin mau jadi putri raja. Yang
bener aja"! Ini bukan zaman Cinderella. Ha, ha, ha..." suara-suara itu terus sahut-menyahut di
telinga Selma. Kepalanya sampai panas dan siap meledak saking marahnya. Tapi Selma tetap
mengatupkan mulut. Walau keningnya berkedut-kedut, meski tangannya terkepal erat.
"Nah, Upik Abu, lo denger sendiri, kan, pendapat mereka" Jadi, apa lagi yang lo tunggu" Pergi
dari sini dan jangan pernah berharap mendapatkan Nathan. Karna itu sia-sia, tikus..." Natasya
tampak puas mendengar cercaan teman-temannya barusan. Dia jadi nggak perlu repot-repot
menyampaikan ejekannya. "Sel, ngomong dong. Jangan diem aja," desak Iren dari belakan.
"Apa lo" Masih mau mengajukan orang lain bakal jadi istri Nathan, heh" Atau lo sendiri yang
bakal maju" Silakan aja, toh lo punya nyali, nggak kayak temen lo yang pengecut ini!" sambil
berkata begitu, Natasya menatap Selma setengah hati, lalu mencibir.
Sohib gue bukannya nggak punya nyali, dia cuma... cuma..." Suara tawa bala kurawa Natasya
kembali menggema menanggapi pernyataan Iren yang menggantung, gagal meminta dukungan
Selma. "Biarin aja anjing menggonggong, Ren. Gue nggak peduli. Gue tau, mereka ketawa untuk
menutupi kekalahan mereka. Kalo sekarang gue tanggapi, sama artinya gue jadi bagian dari
mereka. Toh gue nggak butuh pengakuan mereka tentang hubungan gue dan Nathan.
Bagi gue, pengakuan Nathan atas gue udah lebih dari cukup. Kalopun gue marah, nggak ada
gunanya, dan itu seperti mengumumkan gue kalah dari mereka." Selma bicara sangat tenang.
Dia nggak mau terbawa emosi, walau sesungguhnya dia sangat marah atas semua yang terjadi.
Dia berusaha tetap tenang.
Sebaliknya Natasya semakin marah mendengar ucapan Selma. Wajahnya kian memerah,
campuran antara marah dan malu.
"Beraninya lo ngomong kayak begitu di daerah kekuasaan gue!" Dengan penuh nafsu cewek itu
menghampiri Selma. Ia mengangkat tangan ingin menamparnya, namun tiba-tiba sebuah suara
yang sudah sangat dikenalnya memanggil namanya.
"Hentikan, Tasya!" Nathan datang bersama Randy, yang sama terkejutnya dengan Selma.
Keduanya sama sekali tidak menyangka akan bertemu di sana.
"Kakak...?" Selma tertegun.
"Gue... gue cuma memastikan apa kalian jadi ke sini apa nggak"!" jawab Randy singkat. Tapi
pandangannya bukan kepada Selma ataupun Nathan, melainkan gerombolan gadis pembela
Natasya. "Oow... Liat, Lis, ternyata cowok gatel yang ngejar-ngejar lo itu kakaknya si tikus. Rupanya
keluarga tikus sedang bermimpi memperbaiki keturunan!" ejek Natasya. Pandangannya
berpindah-pindah dari Randy, lalu ke temannya yang paling pendiam yang saat itu berdiri
tertunduk di belakangnya.
"Nathan, bilan sama mereka tentang hubungan lo sama Selma. Masa mereka nggak percaya
kalian udah jadian?" Iren yang lebih dulu mendekati Nathan.
"Tenang, Ren, lebih baik kalian pulang," jawab Nathan tak memuaskan.
"Gas, lo bawa mobil, kan?" Bagas mengangguk.
"Tolong antar Selma dan Iren pulang, ya." Lagi-lagi Bagas mengangguk.
"Sel, lo pulang sama Bagas, ya, besok gue ke rumah lo." Selma tidak menjawab.
Ia hanya memandang Nathan sekilas sebelum akhirnya melangkah meninggalkan semuanya. Air
mata mengalir di pipi tanpa meminta persetujuannya. Hatinya sakit menerima perlakuan Nathan.
Lo nggak malu ngakuin gue sebagai istri lo di depan teman-teman lo meski dandanan gue
amburadul. Lo bahkan mengusir cewek cantik di bioskop itu demi menjaga kesetiaan lo ke gue.
Tapi kenapa giliran dengan Natasya, lo bahkan nggak menatap gue" Kenapa" Apakah rahasia
yang disimpan Risna itu adalah, lo ternyata pacaran sama Natasya di sekolah ini" Kenapa lo
siksa gue dengan perasaan ini, Than" Semua pasti ada penjelasannya kan, Than"
Dengan perasaan seperti itu Selma menutup mulutnya rapat-rapat. Dia berhenti bicara dengan
siapa pun. Gadis itu hanya terdiam. Iren-lah yang merasa paling terpukul melihat diamnya
Selma. "Sel, maafin gue, gue nggak bermaksud..."
"Sudahlah, Ren... bukan salah lo. Gue yakin semua ini pasti ada penjelasannya. Gue akan tunggu
Nathan, dia berutang penjelasan atas semua ini," potong Selma pelan.
Dia nggak mau Iren lebih kecewa lagi. Dan dia juga akan pegang janji Nathan untuk
menjelaskan semua ini nanti.
"Yang penting, kalian jangan lupa ngucapin selamat ultah ke gue lusa. Meskipun nggak
dirayakan, gue tetep pengen tersenyum di hari ultah gue." Iren dan Bagas berpandangpandangan.
"Tentu, Sel. Dan gue bakal labrak Nathan di mana pun dia berada kalo sampai nggak datang
lusa. Liat aja, dia belum tau dengan siapa sebenernya dia berurusan!" Selma ketawa samar
melihat tingkah Iren. Terima kasih, kawan-kawan. Paling nggak, gue punya kalian.
Bab 6 SELMA masih saja berwajah muram.
Seharusnya tadi pagi Nathan menjemputnya di sekolah. Tapi sampai Selma akhirnya terlambat
pun, Nathan belum kelihatan batang hidungnya.
Dia bahkan tidak menelepon Selma seperti biasa kalau mereka seharian nggak ketemu. Tadinya
Bagas dan Iren bersikeras mengajak Selma pulang bareng.
Tapi Selma menolak halus. "Sori, Kawan, hari ini gue bener-bener lagi pengen sendiri,"
jawabnya tersenyum pahit. Bagas dan Iren berpandang-pandangan, kemudian mengangkat bahu
bersamaan. "Sel, lo jangan terlalu sedih. Pokoknya kalo sampai besok Nathan nggak kasih kabar, gue nggak
peduli lo larang juga, gue tetep mau labrak dia." Iren menyingsingkan lengan bajunya geram.
Alih-alih seram, dia malah bikin Selma tersenyum geli. Iren mengeluarkan sebatang cokelat dari
tasnya. "Nih, kata nyokap gue, cokelat bisa merangsang perasaan bahagia. Lo boleh abisin sendiri deh."
"Makasih, Ren." Dan mereka meninggalkan Selma yang melenggang pulang seorang diri.
Namun Selma bahkan baru ingat kalo punya cokelat setelah dia menemukan dirinya ternyata
sendirian di rumah. Hanya ada Mbok Sum yang sedang asyik dengan pekerjaan rumahnya.
Selma baru menemukan cokelat itu waktu dia iseng membuka tas sekolahnya. Dia tersenyum
sambil menimbang cokelat pemberian Iren itu.
"Liat, Ayah, bukankah Selma tidak pernah kesepian" Mereka selalu ada buat Selma. Kapan pun,
di mana pun. Hingga akhirnya Selma bisa melepas kepergian Ayah untuk kebahagiaan Ayah.
Semua itu karna mereka juga," kata Selma lembut pada bingkai foto yang memuat wajah gagah
ayahnya yang mengenakan seragam kebesaran pilot.
"Tapi... Selma rindu Ayah..." Diraihnya foto ayahnya dan didekapnya erat-erat. "Selma tau
Bunda nggak punya banyak uang untuk merayakan ultah Selma. Tapi paling nggak, Selma ingin
semuanya berkumpul hari ini. Juga Nathan..." Selma melepas pelukannya, lalu kembali berkata
jenaka kepada foto ayahnya, seakan-akan Ayah ada di sana, mendengarkan putrinya berkeluhkesah.
"Dia itu memang nyebelin, kan, Yah" Janji sendiri mau ngasih penjelasan, nggak taunya hilang
entah ke mana. Mana nggak nelepon, lagi. Masa Selma yang mesti nelepon" Gengsi dong!"
katanya bersemangat. "Tapi dia baik, Ayah." Nada suaranya melemah.
"Dia bikin Selma nyaman bila berada di sisinya. Selma nggak mau kehilangan dia. Ayah, tolong
minta sama Tuhan supaya Nathan jangan pernah ninggalin Selma. Terlebih besok, waktu Selma
ulang tahun." Selma menarik napas panjang.
"Hhh... Selma bahkan nggak yakin dia tau ultah Selma." Selma kembali putus asa.
"Sudahlah, Yah, mending Selma di sini sama Ayah ngabisin cokelat. Mumpung Kak Randy
nggak ada, jadi Selma bisa abisin sendiri."
Dia baru akan mencomot sepotong cokelat saat Mbok Sum muncul di pintu kamarnya.
"Mbak, Mbak Selma. Tuh Mas Nathan-nya sudah datang. Mbak Selma jangan cemberut terus
dong," kata Mbok Sum senang.
Ia berharap dapat memandang senyum juragan mudanya lagi setelah lenyap bersama hari-hari
Selma tanpa Nathan. "Suruh pulang aja deh, Mbok. Selma lagi males. Bilang aja Selma nggak ada," jawab Selma
seraya memasukkan cokelat ke mulutnya.
"Lho, kok nggak mau nemuin sih" Kan Mas Nathan udah jauh-jauh ke sini" Apalagi udah dua
hari Mbak Selma nggak ketemu Mas Nathan, memangnya nggak kangen?" Mbok Sum
mendekati Selma yang meringkuk di tempat tidurnya.
"Bunda ke mana sih, Mbok?" Selma malah balik tanya.
"Bunda lagi arisan, Mbak."
"Kak Randy?" "Mas Randy belum pulang kuliah."
"Kalo gitu Mbok Sum aja yang nemenin Nathan. Selma lagi males."
"Lho, kok malah Mbok sih, Mbak?"
"Udah, pokoknya bilang aja yang Selma bilang." Sambil berkata begitu, Selma membalikkan
tubuh. Pembantu setengah baya itu menghela napas panjang. Tanpa suara ia meninggalkan kamar
Selma. "Rasain, emang enak dikerjain?" gumam Selma seorang diri.
Tapi pada foto ayahnya dia menambahkan, "Selma kok deg-degan ya, Yah" Aduh... mesti
ngomong apa nih kalo dia ke sini?" Rasa marah yang kemarin mendera hatinya perlahan terkikis
oleh kerinduan yang amat sangat.
Selma masih sibuk dengan pikirannya saat Nathan berdiri di ambang pintu kamarnya.
"Males apa marah nih?" tanyanya singkat. Selma menatap cowok yang sangat dirindukannya itu.
"Nggak sopan banget sih, masuk kamar cewek seenaknya!" ucapnya sewot.
"O ya" Lebih nggak sopan lagi nggak mau nemuin tamu yang jauh-jauh datang hanya karna
alasan malas." Nathan mendekati kekasihnya yang sedang merajuk. Dia seperti sedang
menyembunyikan sesuatu di belakang tangannya.
Selma melirik cowok yang sekarang berjongkok di sampingnya dan memandangnya lembut.
"Awas ya, jangan kurang ajar. Atau gue teriak sekarang"!" ancamnya sembari menyiapkan
bantal sebagai tameng perlindungan.
"Tuan Putri cantik yang galak, saya kemari mau meminta maaf. Maukah Tuan Putri memaafkan
saya?" Nathan berlagak seperti pangeran yang melamar putri raja.
Dia menyerahkan sekuntum mawar putih kepada Selma.
Selma tak bisa berbohong, hatinya berbunga-bunga seindah bunga yang dipersembahkan Nathan.
Diterimanya mawar putih kesukaannya itu. Tapi rupanya dia tetap jaga gengsi dengan
bersikukuh pada sikap galaknya.
"Jangan lo pikir gue udah maafin lo, ya. Enak aja!" katanya manyun.
"Gue udah tau kok lo bakal begini. Makanya gue sengaja siapin surprise buat lo," Nathan berkata
tenang. "Surprise" Buat gue?" Selma mulai tertarik. Jangan-jangan Nathan tau ultah gue, batinnya
penasaran. "Udah dulu marahnya, jelek tau manyun begitu. Ganti baju, dandan yang cantik, baru gue kasih
tau kejutannya." "Serius?" "He-eh." "Nggak bercanda, kan?"
"Nggak. Udah, cepetan ganti baju. Gue tunggu di bawah, oke?"
Selma hanya mengangguk. Dia nggak tahu apa yang dimaksud kejutan oleh Nathan. Karna itulah
dia bergegas mengikuti perintah Nathan, supaya bisa segera tahu surprise yang disiapkan
kekasihnya itu. Semoga saja bukan kenyataan bahwa Nathan ternyata memang pacar Natasya,
batin Selma harap-harap cemas.
Lima belas menit kemudian Selma sudah siap dengan jins dan kaus fancy kesayangannya.
Rambutnya juga sudah tersisir rapi. Dia bahkan sudah pamit pada foto ayahnya sebelum
akhirnya menemui Nathan di ruang tengah.
"Nah, gitu kan cantik," ucap Nathan seraya bangkit dari duduknya.
"Yuk berangkat!" Ia melihat jam tangan besar di tangan kanannya.
"Kami keluar dulu, Mbok. Tadi Nathan udah izin Bunda kok."
"Iya, hati-hati, ya, Mas, macannya lagi ngamuk," bisik Mbok Sum sambil melirik Selma.
"Apaan sih?" tanya Selma sewot.
"Nggak, nggak pa-pa," balas Nathan.
"Tenang, Mbok, udah ada pawangnya," bisiknya lagi kepada Mbok Sum yang mengantar mereka
sampai pintu depan. Pembantu paruh baya itu hanya tersenyum dan geleng-geleng kepala mengantar kepergian
majikan mudanya. @@@ Motor melaju selama sekita 45 menit. Selma memeluk erat pinggang Nathan, jantungnya terus
berpacu kencang. Kerinduannya sedikit terobati.
Nathan baru menghentikan motornya ketika tiba di jalan menanjak yang tepiannya diberi
pengaman besi. Selma melepas helmnya, terdengar jelas olehnya debur ombak dari kejauhan.
"Wah... laut..." Selma berlari sampai ke pengaman besi. Dibiarkannya rambutnya berantakan
dibelai angin. Nathan menyusul dan berdiri tenang di samping Selma.
Will You Marry Me Karya Fatma Sudiastuty Octaviani di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Wah... bagus bangeeet... Liat, Than, mataharinya ditelan laut!" jerit Selma kegirangan saat
dilihatnya pemandangan sore itu.
Matahari terbenam di ufuk barat. Sinarnya yang terang berpendar seperti kuning telur yang pecah
dan menyebar menjadi siluet senja yang indah. Tak hanya itu, lautan yang terlihat jelas dari
tempat Selma berdiri seperti menelan dan menenggelamkan matahari ke perutnya yang luas.
Sungguh indah melihat kembalinya matahari ke peraduan di atas laut.
"Lo suka?" "Iya, gue suka banget," jawab Selma spontan, lupa pada gensi dan kemarahannya.
"Lo tau, Than, dulu Ayah yang ngajakin gue liat matahari ditelan laut pas ultah gue. Dan itu jadi
hari terindah buat gue sama Ayah, mengingat waktu Ayah yang terbatas untuk gue."
Dipandangnya Nathan dengan ragu. Mungkin nggak ya, Nathan tau besok gue ultah" tanyanya
dalam hati. "Tapi gue lebih suka jadi pacar lo," jawab Nathan membuat Selma tertunduk malu.
"Jadi... jadi ini ya kejutan yang lo maksud?" tanyanya salah tingkah.
"Bisa ya, bisa nggak," sahut Nathan.
"Karna gue punya sesuatu yang bakal bikin lo lebih terpesona lagi," lanjutnya.
"O ya, apa?" tanya Selma berdebar.
Nathan tak langsung menjawab. Sekali lagi diliriknya jam tangannya.
"Kita harus nunggu sebentar lagi, soalnya kejutan gue yang satu ini agak pemalu." tambahnya
seraya bersandar membelakangi laut pada palang pembatas.
Selma ikut duduk bersandar di samping Nathan.
Sesaat suasana hening. Selma jadi salah tingkah. Apalagi Nathan tak lepas-lepas memandangnya.
Akhirnya Selma hanya tertunduk sambil berharap Nathan mengatakan sesuatu.
"Sel..." "Ya?" Nathan tersenyum.
"Jangan salting gitu dong," katanya.
"Habis... lo diem aja sih!" protes Selma pelan.
"Wajar dong, gue kan lagi terpesona sama wajah pacar gue," jawab Nathan jujur. Jantung Selma
berpacu nggak keruan. "Udah deh... jangan mulai lagi. Tadi lo mau ngomong apa?" Selma berusaha menutupi rasa
malunya. "Nggg... gue... gue boleh tau nggak tentang bokap lo?" Gadis itu terkejut mendengar pertanyaan
yang tak pernah terbayangkan olehnya akan dilontarkan Nathan.
"Sori, Sel... lo boleh nggak jawab kok," ralat Nathan cepat.
"Gue mau jawab kok," kata Selma yakin.
"Lagian cerita tentang Ayah selalu membanggakan buat gue. Gue malah heran, kok lo baru tanya
sekarang?" tambah mulut mungil itu seraya tersenyum.
Tanpa menunggu jawaban Nathan, Selma langsung bercerita, "Ayah pilot yang disegani. Baik,
ramah, dan sayang sama gue." Selma menerawang jauh.
"Waktu itu gue masih kelas 1 SMA. Mbok Sum menjemput gue di sekolah, mengabarkan Ayah
pingsan usai mendaratkan pesawatnya dengan selamat. Kami segera menuju rumah sakit tempat
Ayah dirawat. Tapi sayang..." gadis mungil itu menunduk sedih.
"Bukan senyum Ayah yang gue terima seperti biasa, melainkan isak tangis Bunda dan Kak
Randy yang langsung menghampiri dan memeluk gue sambil mengabarkan Ayah udah
meninggal." Selma kembali menerawang jauh. Ia mengembuskan napas panjang.
"Kata Dokter, Ayah kena serangan jantung. Padahal Ayah nggak mengidap penyakit jantung.
Lagi pula, sebagai pilot Ayah selalu menjalani cek kesehatan setiap enam bulan sekali. Begitu
tercatat punya kelainan jantung, Ayah nggak bakal boleh menerbangkan pesawat lagi. Tapi
nyatanya Ayah meninggal. Tapi gue bangga banget Ayah bisa menunaikan tugas terakhirnya
dengan baik. Beliau meninggal di kursi kebanggaannya."
Perlahan Nathan menghampiri Selma. Direngkuhnya bahu mungil kekasihnya dan dikecupnya
mesra kening Selma yang setinggi bahunya. Selma hanya terdiam. Pelukan Nathan terasa
nyaman. "Izinka gue jagain lo, Sel," kata Nathan lirih.
Dan meskipun Selma terdiam, itu sudah lebih dari "Iya" bagi Nathan.
"Hei, sepertinya kejutan gue udah siap. Mau liat, nggak?" Nathan memecah kesunyian setelah
lagi-lagi melihat ke arah jam tangannya.
Selma mengangguk cepat sambil tersenyum.
"Oke, ayo berbalik," perintah Nathan seraya ikut menggerakkan tubuh Selma ke arah yang ia
maksud. "Wooow... Than... Ini... bagus banget. Bulan itu, dari mana lo tau..." Selma berdecak kagum tak
percaya. Ia benar-benar menikmati pemandangan di hadapannya.
Bulan purnama menyembul dari balik batu karang di selatan lautan. Permukaannya yang bulat
dan penuh menyajikan cahaya putih yang indah. Satu-dua bintang mengikuti kemunculannya,
bagaikan dayang mengantar tuan putrinya ke luar peraduan.
"Menurut perhitungan Jawa, ini tanggal lima belas, dan itu berarti saatnya bulan purnama,"
Nathan menjelaskan penemuannya itu.
"Iya, tapi dari mana lo tau sekarang ini tanggal lima belas" Dan pemandangan di atas laut ini... lo
udah merencanakan ini sebelumnya, kan?"
Nathan tak langsung menjawab. Dia tersenyum dan menghampiri Selma.
"Begitu gue tau lo menyukai keajaiban langit, gue langsung tanya ini-itu sama ahlinya. Gue juga
tanya pembokat gue tentang perhitungan Jawa. Dan beginilah hasilnya. Bagus, kan" Gue pikir
liat matahari terbenam di laut itu indah banget, tapi lebih indah lagi melihat terbitnya bulan
purnama di atas karang."
Nathan kian memandang lembut kekasihnya. Perlahan dipeluknya pinggang Selma, membuat
jantung Selma berdesir aneh. Namun Selma tak berniat menolaknya.
Than, kenapa lo selalu bikin gue merasa nggak keruan begini" Sampai nggak bisa berkata-kata
lagi... "Gue masih punya kejutan lain, Sel. Lo mau tau?" tawar Nathan yang langsung dijawab
anggukan kepala Selma. "Pejamkan mata lo, jangan dibuka sampai gue suruh." Selma menuruti semua perintah Nathan
seperti yang sudah-sudah.
Tapi kali ini jantungnya semakin berdebar lagi. Apalagi waktu dirasakannya bibir Nathan
menyentuh bibirnya. Selma sempat tersentak, tapi dia tak kuasa menolak. Bibir itu hangat dan
lembut. Sesaat kemudian Nathan melepas kecupannya.
"Buka mata lo, Sel," pintanya. Pandangan mereka bertemu. Desiran aneh di dada Selma
membuatnya salah tingkah. Dia hanya bisa tertunduk malu.
"Lo nggak marah, kan, Sel?" tanya Nathan, tatapannya tetap lembut. Selma tersenyum dan
menggeleng pelan. "Ini yang pertama buat lo, kan?" Kali ini Selma mengangguk.
"Dan gue harap, cuma lo aja yang berhak atas diri gue," tambahnya.
Mendengar itu Nathan memeluknya. "Gue janji, cuma lo yang ada di hati gue," gumam Nathan
pelan. "Dan masalah Natasya, gue minta lo sabar. Untuk sementara gue belum bisa cerita ke lo. Tapi
yang jelas, antara gue dan Natasya nggak ada apa-apa. Lo percaya gue, kan, Sel?"
Perlahan-lahan Selma melepaskan pelukan Nathan, lalu tersenyum pada laki-laki yang telah
membuatnya jatuh cinta itu.
"Sejak pertama kita jadian, gue emang sempat nggak percaya sama lo. Tapi sekarang gue jaga
kepercayaan gue ke elo, Than. Apa pun gue cuma percaya sama lo."
Mereka tersenyum. Senyum kebahagiaan yang mereka rasakan bersama-sama untuk pertama
kalinya. "Sel, coba liat ke atas." Nathan menunjuk langit malam yang kini penuh bintang. Dipeluknya
pinggang Selma dari belakang, mendekat ke palang besi pengaman sepanjang jalan tanjakan itu.
"Wah, bintangnya banyak banget. Tau, nggak" Kata Nenek, orang yang sudah meninggal akan
berubah menjadi bintang dan menempati langit tertinggi. Makanya gue seneng banget liat
bintang. Rasanya kayak liat Ayah di atas sana." Pandangan Selma menerawang jauh menembus
langit malam. Senyumnya mengembang manis seakan menemukan ayahnya di sana.
"Sel, apa itu nggak bikin lo sedih?" tanya Nathan ragu. Selma memandangnya tanpa
memudarkan senyum. "Kenapa harus sedih" Ayah kan juga bahagia di sana, dan bagi gue itu cukup. Bukankah kita
nggak boleh egois" Kita menangisi kematian seseorang itu wajar-wajar aja, tapi kalo bertahuntahun tidak merelakan kepergiannya, itu namanya kita egois."
"Kenapa begitu?"
"Karna, ketidakrelaan kita atas kematian orang yang kita cintai akan menyiksa mereka di alam
sana. Makanya, gue merelakan kepergian Ayah untuk kebahagiaan Ayah di sana. Kan gue masih
bisa memandang bintang Ayah dari sini." Selma menunjuk satu bintang yang cahayanya paling
terang. Nathan diam-diam mengagumi ketegaran Selma. Siapa yang menyangka, di balik tubuh
mungilnya, tersimpan kekuatan hati yang dulu tak dimilikinya.
"Hei, gimana kalo sekarang lo liat ke bawah?" Tanpa menunggu dua kali, Selma memandang ke
arah yang ditunjuk Nathan.
"Waah! Ha ha ha..., Than, sebenernya lo punya berapa kejutan buat gue sih?" kata Selma takjub.
Di bawah sana rumah-rumah penduduk terhampar dengan lampu-lampu terang yang dari atas
tampak seperti taburan bintang di atas bumi. Ditambah lagi laut yang membiaskan cahaya bulan
purnama, semua menjadi paduan sempurna pemandangan malam itu.
"Sebenernya masih banyak kejutan buat lo sih," kata Nathan.
"O ya, berapa banyak?"
"Banyak banget."
"Mana?" Nathan memandang kekasihnya seraya tersenyum.
"Yuk, ikut gue." Ditariknya tangan Selma pelan.
Mereka beranjak ke palang besi di depan mereka.
"Naiklah," katanya kepada Selma.
"Hah" Ke situ" Kalo jatuh gimana?" Kali ini Selma tampak ragu.
"Udah! Gue pegangin." Mau nggak mau Selma menaiki palang pembatas itu.
"Nah, rentangkan tangan lo." Selma mengikuti instruksi Nathan.
"Nah, tahan ya." Nathan kemudian menyusul menaiki palang di sebelah kanan Selma, ikut
merentangkan tangan. "Sel, pernah nonton Titanic nggak?" seru Nathan di antara gemuruh angin yang makin kencang.
"Pernah." "Nah, sekarang kita kayak Jack sama Rose. Inget, kan, adegan di geladak kapal?" Selma hanya
menangguk dan tersenyum. Nathan tiba-tiba berteriak keras dengan kedua tangan terentang
lebar. "Sel... I'm flying..." Selma tertawa kecil, sebelum akhirnya mengikuti perbuatan Nathan.
"Than... I'm flying..." Rambut sebahunya berantakan tertiup angin yang semakin kencang.
Keduanya bertatapan dan tertawa.
"Lega ya?" Nathan menguncupkan tangan dan berteriak sekali lagi, "I love you, Sel...!"
Selma kembali meniru dan berseru, "Love you too, Than...!"
"Lega ya?" "Iya." "Jadi laper nih, cari makan yuk!"
"Yuk." Keduanya turun dari palang besi dan menuju motor yang sejak tadi jadi saksi bisu ikrar cinta
mereka. @@@ Mereka makan di salah satu warung kaki lima yang berjejer sepanjang pinggir jalan di tengah
kota. Suasana malam itu ramai sekali. Maklum, walaupun besok libur nasional, tapi jatuhnya
tepat pada hari Sabtu. Selma dan Nathan tak henti-hentinya bergurau. Makan sambil nongkrong, putar-putar dengan
motor kesayangan Nathan, nonton di 21. Nathan sudah menyiapkan tiket bioskop untuk film jam
sembilan malam. Tadinya Selma mencak-mencak karna itu berarti dia akan pulang lebih dari jam
sebelas. Dan bukan hal aneh kalau Bunda bakal ngamuk besar sama mereka. Tapi dasar Nathan,
dia memang telah merencanakan segalanya, termasuk minta izin kepada Bunda.
Membuat Selma berpikir, Jangan-jangan Nathan sengaja mengulur-ulur waktu, karna dia mau
jadi orang pertama yang ngucapin selmat ultah buat gue. Aduuhh romantisnya...
"Kenapa senyum-senyum sendiri?" tanya Nathan tiba-tiba.
"Nggak, nggak papa," jawab Selma nggak kalah cepat, meskipun dia menyimpan sejuta perasaan
berbunga di hatinya. Seperti yang diperkirakan Selma, mereka sampai di rumah hamir jam dua belas malam. Motor
berhenti di pintu gerbang rumah Selma.
Nathan ikut turun dari motor untuk membuka pagar. "Gelap amat. Apa lampu depan mati, ya?"
kata Selma seraya memandang sekelilingnya. Lampu ruang tamu memang selalu dimatikan
sebelum pergi tidur. Tapi hari ini, lampu depan pun mati. Atau sengaja dimatikan" "Aduh...
jangan-jangan Bunda marah, lagi," gumam Selma ketakutan. "Than, lo serius kan udah pamit
ama Bunda" Gue nggak ikutan ya kalo Bunda sampe ngamuk."
"Udah, gue bilang ama Bunda mau pulang jam dua belas malam, karna gue mau jadi orang
pertama yang ngucapin met ultah buat lo."
Selma kembali tertunduk malu mendengar pengakuan Nathan.
Tuh, kan, bener... romantis banget... batinnya berbunga.
"Kemarilah." Nathan mengedikkan kepala meminta Selma mendekat kepadanya. Satu tangannya
memeluk pinggang Selma, tangan yang lain diangkat tinggi-tinggi di depan dada agar terlihat
jelas jam tangannya yang menyala dalam gelap.
"Kita hitung mundur bareng-bareng, ya," katanya.
Selma langsung mengangguk pelan.
"Lima... empat..." mereka menghitung bersama.
"Tiga... dua... satu..."
"Selamat ulang tahun..." Selma membelalak tak percaya.
Lampu taman di belakan Nathan tiba-tiba menyala. Semua ada di sana, bahkan Iren dan Bagas
juga. "Kalian..." Belum hilang kekagetan Selma, kembang api warna-warni sudah menghias langit
malam di atas mereka, membentuk tulisan HAPPY B'DAY SELMA.
"Ah... ha... ha... ha... ha... ha..." Selma tak bisa menahan kebahagiaannya. Tak lepas
dipandangnya langit malam berhias ucapan selamat dan namanya. Ayah... Ayah liat, kan... Selma
bahagia, Ayah... sangat bahagia...
"Happy b'day to you... happy b'day to you..." Randy, Nathan, Iren, Bagas, bahkan Mbok Sum
menghampiri Selma sambil mengiringi Bunda yang membawa kue ultah yang diyakini Selma
dibuat khusus oleh Bunda selama dia pergi bersama Nathan.
"Happy b'day... happy b'day... happy b'day Selma..." Selma tak kuasa lagi menahan air mata.
"Make a wish, Sel," usul Iren. Selma langsung memejamkan mata.
Ya Tuhan... semoga kebahagiaan ini tak pernah berlalu diriku dan keluargaku. Juga untuk Ayah
di sisi-Mu. Begitu matanya terbuka, ditiupnya lilin berbentuk angka tujuh belas itu. Semua
bersorak, semua bertepuk tangan. Bunda yang pertama memeluk Selma setelah menyerahkan
kue pada Mbok Sum. "Selamat ulang tahun, Sayang. Maaf ya, Bunda tidak bisa bikin perayaan yang meriah seperti
yang biasa dilakukan Ayah. Bunda juga hanya bisa mendoakan, semoga kamu selalu menjadi
putri kecil Bunda yang bahagia," kata Bunda diiringi belaian lembut rambut Selma.
"Bunda... ini ulang tahun Selma yang paling meriah yang pernah Selma alami. Dengan
berkumpulnya kalian di sini, itu sudah lebih dari cukup buat Selma." Gadis mungil itu tersenyum
manis saat Bunda melepas pelukannya. Diusapnya air bening yang menetes di pipi Bunda.
"Bunda, gantian dong, Randy juga mau ngucek-ngucek rambut Selma nih!" potong Randy.
Bunda hanya geleng-geleng kepala seraya memberi tempat agar Randy bisa memeluk adiknya.
"Met ultah, ya. Awas aja kalo tambah bawel!" kata Randy seraya melepas pelukannya dan
mengacak lembut rambut Selma.
Bukannya marah-marah seperti biasa, Selma malah tersenyum sambil berkata, "Terima kasih,
Kak." Setelah itu bergantian Selma memeluk Iren, Bagas, juga Mbok Sum.
Sedangkan Nathan dapat giliran terakhir. Dipeluknya Selma sesaat, lalu dikecupnya kening
Selma dengan sayang. Setelah itu diserahkannya seikat mawar putih yang dirangkai dengan indah.
"Sori, mawarnya ilang satu, soalnya macan gue bisa nyakar kalo nggak dikasih mawar," kata
cowok itu jail. "Anak-anak, sebaiknya kita masuk. Anginnya makin kencang, nanti pada masuk angin, lagi."
Usul Bunda disambut hangat semuanya.
"Lagian makanan yang Bunda siapkan nanti keburu dingin," tambahnya.
"Tenang, Bunda, walaupun sudah dingin, kalo Bunda yang masak, pasti Randy abisin," timpal
Randy. "Huu.. ngerayu tuh, Bunda. Memang Kak Randy aja yang tukang makan," sambut Iren dibarengi
tawa yang lain. "Eh, Sel, lo ke mana aja tadi?" tanya Iren lagi seraya menjejeri langkah Selma menuju ruang
tengah. "Ada deh," jawab Selma seraya melirik Nathan yang membalasnya dengan senyuman.
"Ngomong-ngomong, ide siapa nih semua ini?" Selma balik bertanya.
"Nathan. Dia merancang semuanya," sahut Iren.
"Tadinya sih gue nelepon dia mau marah-marah minta penjelasan yang tempo hari. Habis gue
nggak tega liat lo diem aja. Tapi dia malah kasih tau gue rencananya. Ya gue nggak jadi marah."
Selma tersenyum. Diam-diam ia mencuri pandang menatap Nathan yang ternyata juga sedang
melakukan yang sama. Mereka tersenyum dan kembali bercanda dengan yang lain.
Bab 7 PYAR... Natasya membanting pecah jam mejanya. Lisa, temannya yang pendiam, diam-diam berjengit
ngeri. "Nathan... Nathan... Nathan... ke mana sih tuh anak?" kata Natasya geram sambil berjalan
mondar-mandir. "Telepon nggak diangkat, disamperin ke rumah nggak pernah ada. Ketemu di sekolah berlagak
sok sibuk. Bisa gila nih lama-lama gue mikirin tingkahnya!" Natasya ganti menendang boneka
yang menghalangi langkahnya.
"Apa lagi nih?" ucapnya semakin berang.
"Tenang, Sya..." Lisa sang teman berusaha menenangkan.
"Tenang... tenang... lo kira gue bisa tenang, Nathan gue mau dicuri orang"! Bego banget sih lo!"
Natasya memelototi Lisa galak. Ditudingnya kepala Lisa dengan telunjuknya.
Tapi... ia teringat sesuatu yang membuatnya tersenyum pada temannya yang tertunduk lesu di
Will You Marry Me Karya Fatma Sudiastuty Octaviani di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pinggir tempat tidurnya. "Tunggu... bukankah si tikus itu punya kakak" Dan si kakak itu kan cowok nekat yang tergilagila sama lo!" wajahnya berseri-seri senang.
Lisa teringat sosok Randy yang selalu setia menunggunya sepulang sekolah hanya untuk
memandang wajahnxa. Sebab Natasya tak pernah mengizinkannya berdekatan dengan Lisa. Pernah Randy nekat masuk
SMA Teitan untuk bertemu dengannya.
Tapi belum sempat mengatakan sepatah kata pun dia sudah jadi kambing congek Natasya dan
gengnya. Dan Lisa yang lemah hanya bisa tertunduk dan menangis pilu di toilet sekolah.
Terus terang dia kagum pada keberanian Randy yang tak kenal putus asa untuk bisa
menemuinya. Kadang Lisa berpikir ingin berlari ke pelukan Randy agar terbebas dari
kediktatoran sahabatnya. Tapi saat ia ingat Randy bukan anak SMA Teitan, yang berarti hanya bisa melindungi Lisa di
luar gerbang sekolah, angan-angannya pun lenyap seketika. Lisa tak mau jadi seperti Risna,
gadis pintar yang kini dikucilkan karna Natasya menyebar berita tak sedap ke seantero sekolah
tentangnya. Ia tak setegar Risna. Dan ia menyebut dirinya sendiri "pengecut".
"Heh, lo denger nggak sih?" Lisa tersentak oleh gertakan Natasya. Lamunannya buyar karna
wajah Natasya muncul begitu dekat dengan wajahnya. Lisa cepat-cepat mengangguk, walau tak
satu pun kalimat Natasya yang didengarnya.
"Bagus," Natasya menarik wajahnya, ia kembali mondar-mandir di depan Lisa.
"Jadi, besok gue akan usir lo dari mobil gue. Lo gue turunin di tempat biasanya cowok kere itu
nongkrong nungguin lo. Nah... setelah itu, terserah lo!" katanya bersemangat.
"Terserah gue" Emang gue mesti ngapain?" tanya Lisa tak mengerti.
"Oh God..." Natasya menepuk keningnya sendiri. Dibantingnya tubuhnya ke samping Lisa.
"Lisa, lo tuh kurang jelas di mananya" Gue kan udah jelasin rencana gue sejelas-jelasnya. Belum
ngerti juga lo?" ia berusaha sabar. Lisa hanya bisa menggeleng pasrah.
"Oke, gue ulangin. Soalnya gue nggak mau rencana ini gagal hanya karna kebodohan lo!"
Natasya berusaha mengendalikan kejengkelannya.
"Denger ya, gue mau lo jadi mata-mata gue," lanjutnya.
"Lo pura-pura terima cinta cowok kurang ajar itu. Lo masuk ke keluarganya. Gue kepingin lo liat
dengan mata kepala sendiri apa yang sebenernya terjadi pada Nathan dan gadis kampungan itu.
Kalo memang ada ikatan di antara mereka berdua... gue akan susun rencana lain untuk
menghancurkannya." Mata Natasya berkilat-kilat jahat.
Lisa nggak percaya mendengar tugasnya yang dirasanya begitu berat. "Sya... gue... gue nggak
bisa..." "Gue nggak suka ditolak," potong Natasya cepat.
"Lo harusnya bangga, karna ini untuk pertama kalinya lo berguna buat gue!" tambahnya tegas.
"Tapi... gimana kalo gue ketauan" Gimana kalo gue ketemu Nathan" Gue harus ngomong apa?"
Lisa jujur melontarkan semua kekhawatirannya.
Satu-satunya kekhawatiran yang tak ingin diungkapkannya adalah, dia nggak sanggup
berbohong pada Randy yang masih saja setia menunggunya pulang sekolah, siap dengan segala
cacian dan makian Natasya.
"Gue sendiri yang bakal bilang ke Nathan kalo lo udah gue depak dari geng elite gue. Jadi,
kalopun lo ketemu dia, dia nggak bakal tanya macam-macam. Selanjutnya terserah lo. Gue mau
lo laporin semua tentang mereka ke gue. Awas, kalo lo lari dari semua ini, lo bakal tau rasanya
dikucilkan!" ancam Natasya, membuat Lisa bergidik.
"Nah, sekarang lo pulang. Siap-siap buat besok." Natasya merebahkan tubuhnya di tempat tidur
kesayangannya. Lisa pergi setelah berpamitan pada Natasya. Berkali-kali dia mengutuki
kebodohannya yang mau saja datang ke rumah Natasya, padahal dia bisa saja berbohong untuk
menolaknya. Tapi Lisa memang bukan gadis yang pandai berbohong. Dia takut Natasya bakal lebih meledak
kemarahannya kalau sampai tahu dia berbohong kepadanya.
Ya Tuhan... apa yang harus kulakukan" tanyanya. Sesampai di rumah pun pikirannya masih
belum tenang. Bahkan sampai larut malam pun batinnya masih mempertengkarkan tugas berat
yang dipikulnya itu. Ayolah, Lis, bukankah ini berarti kesempatan lo deket ama Randy" kata pikiran yang satu. Iya,
tapi apa lo tega ngebohongin orang yang masih terus bertahan mengharapkan lo" ungkap pikiran
yang lain. Masalah seperti itu jangan jadi beban dulu, Lis. Pasrahkan semua kepada Tuhan. Dia pasti kasih
Jejak Di Balik Kabut 42 Natasha Karya Viktor Malarek Tirai 4