Pencarian

Jejak Di Balik Kabut 42

Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja Bagian 42


Jika sekarang kau sedang sibuk, maka aku akan datang nanti
di saat-saat kau beristirahat"
Lebak memandang kedua orang anak muda itu. Ia
mengenal mereka berdua. Tetapi sudah agak lama keduanya
tidak nampak di pasar itu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sejenak Lebak termangu-mangu. Namun kemudian iapun
berkata, "Baiklah. Jika tidak terlalu lama, kita berbicara
sekarang saja" Lebakpun kemudian minta ijin kepada seorang yang sudah
separo baya. Namun tubuhnya masih nampak kokoh.
Lebakpun kemudian mendekati Wijang dan Paksi yang berdiri
tidak jauh dari tempat kerja para pande besi itu. Namun
demikian Lebak menghampirinya, maka merekapun segera
berjongkok di dekat alat-alat yang terbuat dari besi dan baja
yang sudah siap, yang dapat dibeli oleh mereka yang
membutuhkannya. "Lebak" desis Paksi, "bukankah kau baru saja pulang ke
Panjatan?" "Sudah beberapa hari yang lalu" jawab Lebak.
"Maaf, Lebak. Kami ingin tahu, apakah di Panjatan ada
penghuni baru" Maksudku beberapa orang anak muda?"
Lebak mengerutkan dahinya. Sementara Paksipun berkata,
"Lebak, aku mencari seorang sahabatku. Ia bersama dua atau
tiga orang sepupunya berada di rumah bibinya di Panjatan.
Nah, jika benar mereka berada di sana, kau tentu pernah
melihatnya atau mendengar dari kawan-kawanmu, bahwa ada
orang baru di padukuhanmu"
Lebak mengerutkan dahinya. Katanya sambil menggeleng,
"Aku tidak melihat orang lain di padukuhanku. Ketika aku
pulang beberapa hari yang lalu, yang aku temui adalah orang-
orang yang sudah aku kenal dengan baik. Kawan-kawanku
pun tidak ada yang mengatakan bahwa di padukuhan kami
ada orang-orang baru. Sebenarnyalah tidak mudah orang baru
berada di padukuhan kami"
Wijang dan Paksipun mengangguk-angguk. Mereka
memang menjadi semakin yakin, bahwa Repak Rembulung
dan Pupus Rembulung tidak berada di Panjatan, meskipun
mereka mempunyai landasan yang kuat di padukuhan itu.
"Baiklah, Lebak. Kami mengucapkan terima kasih"
"Maaf. Hanya itulah yang dapat aku beritahukan
kepadamu" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Itu sudah cukup"
"Mungkin lebih baik kalian pergi saja ke Panjatan. Tetapi
kalian harus berhati-hati"
"Mungkin pada kesempatan lain, kami akan pergi ke
Panjatan. Jika saja aku tahu kapan kau pulang"
Lebak mengerutkan dahinya. Dengan suara yang dalam
iapun berkata, "Bukan maksudku menolak kunjunganmu.
Tetapi jika kalian pergi ke Panjatan bersama saat-saat aku
pulang, mungkin akibatnya akan panjang. Bukan saja bagi
kalian. Tetapi juga bagi keluargaku"
Wijang dan Paksi mengangguk-angguk.
"Aku mengerti, Lebak. Sekali lagi kami mengucapkan terima
kasih" desis Paksi. Keduanyapun kemudian telah minta diri. Sambil bangkit
berdiri Wijangpun berkata, "Kau ditunggu oleh tugasmu,
Lebak" Lebakpun berdiri pula sambil tersenyum. Katanya, "Sejak
matahari terbit, aku sudah ditunggu oleh pekerjaan itu"
Wijang dan Paksipun kemudian telah meninggalkan Lebak
yang segera kembali ke pekerjaannya. Sementara itu, Wijang
dan Paksi masih menyusuri pasar yang menjadi lebih ramai
dari sehari sebelumnya. Ketika keduanya berhenti sejenak di dekat seorang penjual
kerajinan bambu, seorang perempuan yang lewat tiba-tiba
berhenti. Seorang perempuan yang pernah berharap untuk
mengambil Paksi menjadi menantunya.
"Kau, Ngger" perempuan itu menepuk punggung Paksi.
Paksi terkejut. Ketika ia berpaling, dilihatnya perempuan yang berniat mengambilnya sebagai menantu itu tertawa lebar.
"Bibi. Apakah Bibi tidak berjualan hari ini?"
"Ya. Anak perempuanku yang menungguinya. Aku baru
saja menemui seorang saudaraku di pintu gerbang pasar"
"O" "He, apakah kau sudah menikah?"
Pertanyaan itu membuat jantung Paksi berdebaran. Namun
Paksipun menggeleng sambil menjawab, "Belum, Bibi"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Sayang sekali. Tetapi sekarang kau tidak dapat lagi
melamar anak perempuanku itu. Anakku memang terlalu
cantik, sehingga banyak anak-anak muda yang datang
melamarnya. Seperti bunga yang dikerumuni kumbang"
"O. Apakah anak Bibi itu sekarang sudah menikah?"
"Sudah. Belum lama. Ia dapat melakukan sayembara pilih.
Beberapa orang anak muda yang melamarnya harus
menunggu, siapakah di antara mereka yang tertimpa
rembulan di dalam mimpinya, maka anak muda itulah yang
akan dipilih oleh anakku"
Paksi mengangguk-angguk. Ketika ia berpaling kepada
Wijang, maka dilihatnya Wijang sedang menahan tertawanya.
"Ternyata seorang di antara anak-anak muda itu adalah
seorang anak bebahu padukuhan yang kaya. Seorang yang
pandai dan rajin. Seorang yang cerdas dan lebih-lebih lagi,
berwajah tampan" "O, sukurlah. Anak muda itu tentu akan menggantikan
ayahnya menjadi bebahu padukuhan itu kelak"
"Ia mempunyai beberapa orang saudara laki-laki. Di
antaranya ada yang lebih tua, yang kelak akan mewarisi
kedudukan ayahnya" "O" Paksi mengangguk-angguk. Katanya, "Meskipun
demikian, bebahu itu tentu mempunyai sawah yang luas.
Mungkin juga pategalan dan kebun kelapa"
"Ya" "Anak perempuan Bibi itu seharusnya tidak perlu lagi ikut
berjualan di pasar. Ia dapat membantu suaminya di rumah.
Mungkin menunggu perempuan yang bekerja di sawah.
Mungkin menunggui mereka yang sedang menumbuk padi.
Atau tugas-tugas yang lain"
Perempuan itu menggeleng. Katanya, "Sejak kecil ia sudah
terbiasa berada di pasar. Ikut berjualan. Kebiasaan itu tidak
dapat begitu saja ditinggalkannya"
"Jika saja suaminya tidak berkeberatan"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Perempuan itu termangu-mangu sejenak. Kemudian
katanya, "Ya. Suaminya tidak berkeberatan. Bahkan suaminya
dengan rajin ikut membantunya"
"Maksud Bibi?" "Suaminya ikut berjualan di pasar. Ternyata pekerjaan itu
cocok baginya. Meskipun ia anak orang kaya, tetapi ia tidak
segan-segan bekerja berat bersama isterinya"
"O" "Dengan begitu keduanya nampak sangat berbahagia"
"Sukurlah. Bibi tentu kecewa bila Bibi mengambil aku
sebagai menantu. Aku adalah orang yang tidak betah untuk
tinggal. Aku selalu berkeliaran ke mana-mana"
"Tetapi jika kau mempunyai isteri cantik seperti anakku,
maka kau tentu akan betah tinggal di rumah. Kau tidak akan
beranjak sejenak pun"
"Ah" "Jangan menyesal, anak muda. Mudah-mudahan kelak kau
mendapat seorang isteri yang cantik dan baik hati"
"Mudah-mudahan, Bibi. Doakan saja"
Perempuan itupun kemudian meninggalkan Paksi. Wijang
masih menekan perutnya karena menahan tertawanya.
Demikian perempuan itu pergi, maka iapun bertanya,
"Apakah anaknya cantik sekali?"
"Kau akan pingsan melihatnya"
"He?" Paksi tertawa. Katanya, "Ketika mudanya, penjual nasi
tumpang itu tentu lebih cantik, dari anak perempuan itu"
"Jadi?" "Sudahlah. Kita pergi ke arah pintu gerbang saja"
"Kau tidak membeli kebutuhan sehari-hari?"
"Bukankah masih ada di rumah?"
Wijang mengangguk-angguk. Keduanyapun melangkah
menuju ke pintu gerbang. Setelah sempat singgah di sebuah
kedai, maka keduanyapun meninggalkan pasar itu kembali ke
gubuk mereka yang tersembunyi.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sambil berbaring di atas selembar ketepe di dalam
gubuknya, Wijang itupun berkata, "Kita tidak menemukan
mereka di Panjatan. Menurut pendapatmu, apa yang akan kita
lakukan kemudian, Paksi?"
"Aku masih mempunyai jalur yang lain yang mungkin akan
sampai kepada Repak Rembulung dan Pupus Rembulung"
"Jalur yang mana?"
"Kau ingat Ki Pananggungan?"
"He" Ki Pananggungan?"
"Ya" Wijang mengangguk-angguk.
"Kau ingat Kemuning?"
"Gadis cantik kemenakan Ki Pananggungan itu?"
"Ya" "Aku ingat" "Kemuning adalah anak angkat Repak Rembulung dan
Pupus Rembulung" Wijang menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada dalam
iapun berkata, "Mungkin kita akan dapat menempuh jalur ini"
"Kita akan mencoba. Kita pergi ke Padukuhan Kembang
Arum untuk menemui Ki Pananggungan"
"Tetapi kita tidak boleh terlalu berharap, Paksi. Setelah
sekian lama kita tidak bertemu, mungkin saja telah terjadi
perubahan pada diri Ki Pananggungan"
"Tetapi Ki Pananggungan bukan orang yang mudah
berubah haluan" "Nampaknya memang begitu. Tetapi bahwa Repak
Rembulung dan Pupus Rembulung telah bersedia bekerja
sama dengan Ki Gede Lenglengan untuk mengasuh anak-anak
muda yang disebutnya angkatan masa datang itu juga
merupakan sesuatu yang tidak kita perhitungkan sebelumnya"
"Repak Rembulung dan Pupus Rembulung sangat berbeda
dengan Ki Pananggungan, Wijang"
"Sementara itu, Ki Pananggungan telah mengenal aku
sebagai Pangeran Benawa"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Paksi menarik nafas dalam-dalam. Sejenak ia berdiam diri.
Pengenalan Ki Pananggungan atas Pangeran Benawa itu
memang akan dapat segera mengganggu jika Ki
Pananggungan berubah haluan.
"Tetapi aku yakin bahwa Ki Pananggungan tidak akan
berubah. Apalagi setelah Harya Wisaka tertangkap"
"Justru setelah Harya Wisaka tertangkap"
Paksi terdiam. Memang banyak hal yang tidak terduga akan
dapat terjadi. Namun justru Wijanglah yang berkata, "Baiklah,
Paksi, kita akan menemui Ki Pananggungan. Agaknya
perubahan sikap pada Ki Pananggungan adalah kemungkinan
yang sangat kecil" "Besok kita pergi ke Kembang Arum"
Wijang mengangguk-angguk. Namun iapun justru bangkit
sambil berkata, "Marilah, kita mencari kelapa muda. Aku haus"
Paksi yang duduk di sebelahnya sambil bersandar tiang
bambu itupun segera bangkit berdiri pula.
Sejenak kemudian, keduanya telah pergi ke pinggir sungai.
Dengan tangannya Wijang memanjat naik untuk memetik dua
buah kelapa muda serta keduanya masih sempat mencari ikan
dan udang dengan kelapa yang masih belum terlalu tua.
Demikian langit menjadi gelap, maka Paksipun telah
menyalakan api, sementara Wijang membawa seonggok kayu
bakar yang telah kering ke dalam gubuknya.
Menjelang wayah sepi bocah, keduanyapun makan nasi
hangat dengan pepes ikan dan udang yang gurih. Seperti
biasanya mereka telah menanak nasi sekaligus untuk esok
pagi. Demikian pula lauk dan sayurnya. Namun malam itu
keduanya telah sepakat, esok pagi, mereka akan pergi ke
Padukuhan Kembang Arum untuk menemui Ki Pananggungan.
Malam itu, seperti biasanya, keduanya bergantian tidur di
dalam gubuk mereka. Biasanya Wijang yang tidur lebih
dahulu. Baru kemudian lewat tengah malam, Paksilah yang
tidur sementara Wijanglah yang berjaga-jaga.
Tetapi malam itu ternyata Paksi merasa sulit untuk tidur. Ia
mulai membayangkan pertemuannya dengan Kemuning.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Seorang gadis yang cantik, yang pernah diselamatkannya dari
tangan Bahu Langlang, yang hampir saja menjadikan gadis itu
seorang budak, seorang pelayan, tetapi juga seorang isteri
yang ke sekian. Baru di dini hari, Paksi sempat tidur sekilas.
Namun kemudian iapun harus segera bangun lagi ketika langit
mulai dibayangi oleh cahaya fajar.
Keduanyapun segera berbenah diri. Mereka masih sempat
makan pagi dan mencuci mangkuk-mangkuk yang kotor.
Menempatkannya di sudut gubuk mereka.
Paksi dan Wijang menyadari, bahwa mereka akan
meninggalkan gubuk mereka untuk waktu yang agak lama.
Sehingga karena itu, maka mereka telah menyimpan sisa
bahan-bahan pangan dan kebutuhan dapur dengan baik.
Ketika matahari kemudian terbit, maka merekapun
meninggalkan gubuk mereka. Mereka masih berniat untuk
pada satu hari kembali lagi ke gubuk kecil mereka yang
terlindung itu. Ketika mereka turun ke jalan setapak, maka terasa
hangatnya sinar matahari pagi. Di kejauhan, di pepohonan
hutan masih terdengar kicau burung-burung liar menyambut
hari baru yang segar. Sementara titik-titik embun masih
nampak bergayutan di ujung dedaunan.
"Kita akan singgah di pasar sebentar" berkata Paksi.
"Apakah kita akan membeli bekal di perjalanan?"
"Tidak. Aku ingin berbicara dengan Kinong sebentar. Jika
kita pergi begitu saja, Kinong akan kehilangan"


Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Wijang tersenyum. Katanya, "Baik. Kita menemui Kinong
sebentar" Demikianlah, keduanyapun langsung menuju ke pasar.
Agaknya pasar menjadi semakin ramai. Bahkan hari itu adalah
hari pasaran, sehingga pasar itu nampak penuh berdesakan.
Bahkan beberapa orang yang berjualan tidak tertampung ke
dalam pasar, sehingga mereka menjajakan dagangannya di
luar dinding pasar. Sementara itu, di sudut pasar itu terdapat pula beberapa
ekor kambing, lembu bahkan kerbau yang terikat untuk dijual.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Di pintu gerbang pasar, Wijang dan Paksi telah bertemu
dengan Kinong yang berjalan dengan sebelah tangan
melenggang, sedang tangannya yang lain menjinjing
keranjang kecilnya. "Kinong" Paksipun memanggilnya.
Kinong berpaling. Ketika dilihatnya Paksi dan Wijang, iapun
segera mendekatinya sambil berkata, "Hari ini Kakang berdua
datang lebih pagi" Paksi dan Wijang tertawa.
"Kau yang terlambat datang" berkata Wijang. Tetapi Kinong
menggeleng sambil mencibir, "Kau salah, Kakang. Aku sudah
membantu membawa beras dan sayuran ketika seorang
perempuan dan seorang laki-laki berbelanja"
"Laki-laki itu tidak mau membawa beras dan sayuran itu?"
"Tangannya hanya dua. Laki-laki itu tidak dapat membawa
semuanya. Meskipun tidak terlalu berat, tetapi ada beberapa
kereneng dan bakul. Perempuan itu sudah menggendong
bakul dan kedua tangannya menjinjing kereneng. Sedangkan
laki-laki itu sudah mengusung di atas kepalanya sebuah bakul
yang lain. Tetapi masih ada yang belum terbawa"
"Mereka memanggilmu?"
"Perempuan itu sudah mengenal ibu. Ia mencari ibu. Tetapi
sudah beberapa hari ini ibu tidak pergi ke pasar. Jadi akulah
yang datang membantunya"
"Lalu, di mana mereka sekarang" Apakah mereka dapat
membawa semuanya itu pulang?"
"Ternyata mereka membawa seekor kuda beban"
Wijang dan Paksi mengangguk-angguk. Sementara
Kinongpun berkata, "Nah, aku sudah mendapat rejeki sepagi
ini. Apakah Kakang berdua sudah makan pagi"
Paksi dan Wijang tersenyum. Sambil menepuk bahunya
Paksipun menjawab, "Sudah, Kinong. Kami sudah makan. Jika
kau akan makan pagi, makanlah"
"Kakang berdua mau minum wedang srebat?"
"Terima kasih, Kinong" Paksi termangu-mangu sejenak.
Namun kemudian iapun bertanya, "Kenapa ibumu sudah
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
beberapa hari tidak pergi ke pasar" Bukankah ibumu tidak
sakit?" "Tidak, Kakang. Ibu baru sibuk ikut menuai padi di sawah"
"Kinong" berkata Paksi kemudian, "kami berdua ingin minta
diri. Kami akan pergi untuk beberapa hari"
Kinong mengerutkan dahinya. Dengan nada tinggi iapun
bertanya, "Apakah Kakang berdua akan kembali?"
"Kami belum dapat memastikannya, Kinong" jawab Wijang.
"Tetapi kami merencanakan untuk kembali"
"Kalian akan pergi ke rumah paman kalian?"
"Ya" "Tentu untuk waktu yang lama" desis Kinong.
"Salam buat keluargamu, Kinong"
"Terima kasih, Kakang"
"Tetapi aku ingin bertanya sedikit, Kinong" berkata Paksi
kemudian. "Tentang apa, Kakang?"
"Tentang dua orang yang berbelanja dengan membawa
pedati kemarin?" "Kedua orang perempuan itu?"
"Ya" "Apa yang akan Kakang tanyakan?"
"Apakah kau mendengar serba sedikit, apa yang mereka
bicarakan tentang bahan-bahan makan yang mereka beli"
Apakah mereka akan mengadakan perhelatan atau
mengadakan upacara atau apa?"
Kinong termangu-mangu sejenak. Ia mencoba mengingat-
ingat apa yang pernah didengarnya dari mulut kedua orang
perempuan itu. Namun Kinong itupun menggelengkan
kepalanya sambil berkata, "Aku tidak pernah
memperhatikannya, Kakang"
Paksi menarik nafas panjang. Sementara itu, Kinongpun
berkata, "Yang aku dengar ketika mereka membeli ikan yang
sudah diasinkan itu, seorang di antara mereka mengatakan,
bahwa anak-anak itu tidak begitu suka ikan yang sudah
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
diasinkan. Mereka lebih suka ikan yang masih segar, yang
langsung ditangkap di belumbang"
Paksi mengangguk-angguk. "Atau ikan ayam, daging lembu atau daging kambing"
"Siapakah yang mereka maksud anak-anak" Tentu bukan
anak-anak kecil" "Mungkin. Tetapi kenapa?"
Paksi tersenyum. Katanya, "Tidak apa-apa, Kinong. Aku
hanya ingin tahu" "Apa yang ingin Kakang ketahui?"
Paksi tertawa. Katanya, "Sudahlah, Kinong. Kami minta diri"
Kinong memandang Paksi dengan kerut di dahi. Namun
Wijang telah menepuk bahunya sambil berkata, "Sampai
ketemu lagi, Kinong"
Kinong mengangguk. Tetapi ia tidak berbicara apa-apa lagi.
Paksi dan Wijangpun kemudian telah meninggalkan pasar
itu. Kinong yang masih berdiri di pintu gerbang memandangi
mereka dengan jantung yang berdebaran. Meskipun keduanya
hanyalah orang-orang yang dikenalnya di pasar itu, namun
rasa-rasanya ada ikatan yang tersangkut pada keduanya.
Namun Kinongpun seakan-akan terbangun dari mimpinya
ketika seseorang memanggilnya, "Kinong"
Kinong berpaling. Penjual sayuran itulah yang
memanggilnya. "Kau mau membawa sayuran ini ke rumah Bi
Merta?" bertanya penjual sayur itu.
Kinong sudah terbiasa membantu Bi Merta yang rumahnya
hanya beberapa puluh langkah saja dari pasar.
"Tentu" jawab Kinong.
"Bi Merta akan membuat bancakan. Cucunya genap
berumur selapan esok pagi"
Sejenak kemudian, Kinong dengan keranjang di atas
kepalanya berjalan mengikuti Bi Merta keluar dari pintu
gerbang pasar. Dalam pada itu, Wijang dan Paksipun berjalan semakin
lama semakin jauh dari pasar. Sambil melangkah menyusuri
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
jalan yang digurati oleh jalur-jalur bekas roda pedati, Paksi
itupun berkata, "Apakah mungkin, orang yang berbelanja
sepedati itu bekerja untuk Repak Rembulung dan Pupus
Rembulung?" "Aku juga berpikir demikian" berkata Wijang.
"Mungkin kita dapat mengikuti jejak pedati itu"
"Ada banyak jejak pedati. Bahkan kita pun akan dapat
terjebak ke dalam sarang mereka yang belum kita ketahui"
"Mungkin kita dapat menunggu beberapa hari lagi. Pedati
dengan dua orang perempuan itu tentu akan berada di pasar
itu lagi" "Apakah pasar ini pasar terdekat" Kau pernah berceritera
tentang pasar ketika kau bertemu dengan ibu Kemuning"
"Ya. Tetapi pasar itu lebih kecil dari pasar ini"
"Tentu mencukupi kebutuhan jika yang mereka perlukan
hanyalah bahan pangan saja"
"Itu terjadi jika rumah mereka lebih dekat dengan pasar itu
daripada pasar yang lebih besar ini"
"Ya. Kita belum tahu, di manakah anak-anak muda itu
ditempa. Mungkin di sebuah padepokan. Mungkin di sebuah
rumah di sebuah padukuhan, namun mampu meredam getar
kesibukan di dalam rumah itu. Atau kemungkinan-
kemungkinan yang lain"
Keduanya terdiam sejenak. Namun keduanya justru sedang
mencari jalan terbaik untuk sampai kepada Repak Rembulung
dan Pupus Rembulung. Namun mereka tidak menemukan
jalan yang lebih baik daripada pergi ke Padukuhan Kembang
Arum untuk menemui Ki Pananggungan.
Perjalanan mereka berdua jauh lebih cepat dari perjalanan
Paksi pada saat mengantar Kemuning dan ibunya yang telah
dibebaskannya dari tangan Bahu Lalang.
Sebagai seorang yang berpengalaman dalam
pengembaraan, Paksi dan Wijang tidak lupa jalan menuju ke
Padukuhan Kembang Arum. Mereka menuruni kaki Gunung
Merapi. Melewati jalan-jalan kecil dan bahkan jalan setapak.
Bahkan menuruni tebing-tebing rendah dan sekali-sekali
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
memanjat naik, menyusuri sungai-sungai kecil dan kembali
turun ke jalan. Keduanyapun kemudian sampai ke sebuah pasar yang lebih
kecil, yang hanya ramai di hari-hari pasaran. Karena itu, ketika keduanya sampai di pasar itu, pasar itupun sudah hampir
kosong. Paksi menarik nafas dalam-dalam. Di pasar itu ia bertemu
dengan ibu Kemuning yang sedang menjual sehelai kain lurik
pada saat ia bersama Kemuning disekap oleh Bahu Langlang.
Ketika Paksi termenung sejenak, maka Wijangpun berkata,
"Kau kenang gadis dan ibunya itu?"
Paksi tergagap. Namun kemudian iapun tersenyum.
"Marilah. Kita langsung pergi ke Kembang Arum. Bukankah
Kembang Arum sudah tidak terlalu jauh lagi?"
Keduanyapun kemudian melanjutkan perjalanan mereka.
Paksi sengaja mengajak Wijang untuk berjalan melewati
rumah Bahu Langlang. Namun keduanya terkejut ketika
mereka melihat rumah Bahu Langlang itu sudah rata dengan
tanah. Nampaknya rumah itu telah terbakar sampai lumat.
Yang tersisa hanyalah sepotong-sepotong kayu dan bambu
yang sudah menjadi arang.
"Apakah rumah ini dibakar atau terbakar?" desis Paksi.
"Melihat bekasnya, maka api tidak sempat dipadamkan"
"Kita tidak tahu, siapakah yang terakhir tinggal di rumah ini
sepeninggal Bahu Langlang"
Wijang mengangguk-angguk.
"Marilah" berkata Paksi kemudian, "nampaknya kebakaran
itu terjadi beberapa bulan yang lalu"
"Apakah tetangga-tetangganya tidak ada yang tahu?"
"Pada masa Bahu Langlang masih tinggal di sini, rumah ini
agaknya telah terpisah dari lingkungannya. Mungkin tetangga-
tetangganya merasa ketakutan untuk berhubungan dengan
penghuni rumah ini" Ketika keduanya akan beranjak pergi, mereka melihat
seorang yang membawa cangkul di pundaknya berjalan
melewati jalan itu pula. Demikian orang itu sampai di depan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
bekas rumah Bahu Langlang, maka Paksipun bertanya, "Ki
Sanak, bukankah rumah ini dahulu rumah orang yang
bernama Bahu Langlang?"
Orang yang membawa cangkul itu memandang Paksi
dengan tajamnya. Meskipun agak ragu, orang itupun
menjawab, "Ya. Tetapi Bahu Langlang sendiri sudah lama
pergi" "Lalu, siapakah yang tinggal di rumah ini?"
Orang itu menggeleng. Katanya, "Berangsur-angsur
penghuninya pergi meninggalkan rumah ini"
"Yang terakhir?"
"Rumah ini sudah kosong untuk beberapa lama"
"Kenapa tiba-tiba rumah ini terbakar atau dibakar?"
"Tidak seorang pun tahu. Yang kita tahu, di tengah malam
itu, rumah ini sudah menyala. Semula tidak seorang pun
berani datang untuk memadamkannya. Apalagi semua orang
tahu, bahwa rumah ini memang sudah kosong. Karena itu,
maka penghuni padukuhan ini membiarkan saja rumah yang
memang agak terpisah itu terbakar. Apinya tidak akan
menjalar ke rumah-rumah yang lain. Kami sempat menjadi
berdebar-debar ketika beberapa batang pohon di kebun
belakang rumah itu terbakar.
Karena itu, maka yang kami lakukan adalah menebang
pepohonan di kebun belakang dan samping, dekat dinding
halaman untuk mencegah agar api tidak menjalar ke mana-
mana. Ternyata usaha kami berhasil. Api dapat dikendalikan dan
tidak menjalar ke mana-mana"
Paksi dan Wijang mengangguk-angguk. Sementara itu,
orang itupun berkata selanjutnya, "Kemudian, karena itu
sudah agak lama kosong dan tidak lagi ada yang
menghiraukannya setelah terbakar, maka beberapa orang
telah memberanikan diri mengambil sisa-sisa kayu dan
pepohonan yang terbakar"
"Untuk apa?" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Hanya untuk kayu bakar. Selain untuk kayu bakar, sisa-
sisa kayu itu tidak dapat lagi dipergunakan untuk apa pun"
"Baiklah" berkata Paksi kemudian, "kami minta diri. Terima
kasih atas keterangan Ki Sanak"
"Siapakah kalian berdua dan apakah kalian mencari Ki Bahu
Langlang?" "Tidak. Kami tidak mencari Bahu Langlang. Kami hanya
pernah mendengar bahwa di sini tinggal seorang gegedug
yang namanya Bahu Langlang"
"Tetapi telah datang gegedug lain yang lebih tinggi
kemampuannya, sehingga Bahu Langlang terusir"
"Kami minta diri, Ki Sanak"
Orang yang membawa cangkul itu memandangi saja Paksi
dan Wijang yang berjalan menjauhi sisa-sisa rumah Bahu
Langlang yang terbakar itu.
Orang yang membawa cangkul itu terkejut ketika seorang
kawannya muncul dari tikungan sambil bertanya, "Ada apa,
Kakang?" Orang yang membawa cangkul itupun menyahut, "Kedua
orang itu bertanya apakah rumah yang terbakar ini rumah Ki


Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bahu Langlang" "Siapakah mereka berdua?"
"Ketika aku tanyakan tentang diri mereka, mereka tidak
menjawab. Merekapun mengaku tidak mencari Ki Bahu
Langlang" "Lalu apa yang mereka cari?"
Orang yang membawa cangkul itu menggeleng. Katanya,
"Aku katakan kepada mereka, bahwa Ki Bahu Langlang telah
terusir oleh orang-orang yang memiliki kemampuan lebih
tinggi" "Apa kata mereka?"
"Merekapun segera pergi"
"Mungkin mereka anak buah Ki Bahu Langlang yang sudah
lama meninggalkannya, sekarang mereka kembali. Tetapi
yang mereka temukan hanyalah sisa-sisa rumahnya saja"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Mungkin. Mereka memang bertanya apakah rumah ini
terbakar atau dibakar"
"Jika rumah ini dibakar, maka kedua orang itu tentu akan
mencari, siapakah yang telah berani membakar rumah Ki Bahu
Langlang" "Tetapi nampaknya mereka bukan orang-orang yang
garang seperti Ki Bahu Langlang"
"Jangan menilai sifat dan watak seseorang hanya dari ujud
lahiriahnya saja" "Katanya ujud lahiriah adalah pengejawantahan batin
seseorang" "Tentu tidak. Seseorang yang licik dan penipu, biasanya
apa yang nampak justru bertentangan dengan sikap batinnya"
Orang yang membawa cangkul itu mengangguk-angguk.
Katanya, "Ya. kau benar"
Kedua orang itupun kemudian beranjak pergi menjauhi
halaman bekas rumah Ki Bahu Langlang yang sudah menjadi
abu. Dalam pada itu, Wijang dan Paksipun berjalan semakin
jauh pula. Mereka langsung menuju ke Padukuhan Kembang
Arum. Namun ketika langit menjadi buram, Wijangpun
berkata, "Apakah kita akan berjalan terus?"
"Bukankah kita belum letih?"
"Bukan karena kita letih. Tetapi jika kita sampai di
Kembang Arum setelah jauh malam, kita tentu akan
mengejutkan Ki Pananggungan. Akan lebih baik jika kita
mengetuk pintunya di pagi hari"
Paksi termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun
mengangguk. Katanya, "Baiklah. Kita akan memasuki regol
halaman rumah Ki Pananggungan esok pagi"
Dengan demikian, maka Paksi dan Wijang itu tidak
meneruskan perjalanannya sampai ke Kambang Arum. Mereka
berhenti di sebuah padukuhan yang masih berjarak berapa
bulak lagi. Sementara itu malampun menjadi semakin dalam,
ketika keduanya memasuki regol banjar padukuhan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Beberapa orang yang sedang meronda di banjar
padukuhan itu terkejut melihat dua orang yang tidak mereka
kenal berjalan menyeberang halaman banjar. Serentak mereka
berdiri. Dua orang di antara mereka telah turun dari pendapa
menyongsong Wijang dan Paksi yang kemudian berhenti di
halaman. "Siapakah kalian, Ki Sanak?" bertanya salah seorang dari
dua orang peronda yang menyongsong mereka itu.
"Namaku Wijang, Ki Sanak. Ini adikku, Paksi. Kami sedang
dalam perjalanan ke Kembang Arum. Tetapi kami ternyata
kemalaman di sini" "Kembang Arum?"
"Ya, Ki Sanak. Bukankah Kembang Arum masih berjarak
berapa bulak lagi" Selain kami sudah merasa sangat letih,
kami pun tidak ingin mengejutkan paman kami yang tinggal di
Kembang Arum. Karena itu, kami ingin mohon apabila
diijinkan untuk bermalam di banjar ini"
Kedua orang peronda itu memperhatikan Wijang dan Paksi
dengan seksama. Seorang di antara mereka berpaling kepada
kawan-kawannya yang berdiri di tangga pendapa.
"Kedua orang ini minta ijin untuk bermalam"
"Biarlah mereka naik" berkata seorang yang agaknya paling
tua di antara mereka yang sedang meronda.
Wijang dan Paksipun kemudian telah dipersilahkan naik ke
pendapa Orang yang agaknya tertua di antara para peronda itupun
kemudian bertanya, "Aku sudah mendengar nama kalian.
Tetapi kami belum mendengar, dari manakah asal kalian"
Wijang dan Paksi termangu-mangu sejenak. Namun
Wijangpun kemudian telah menjawab, "Kami tinggal di Turi, Ki
Sanak" "Turi" Jadi kalian sudah menempuh perjalanan yang
panjang" "Ki Sanak pernah pergi ke Turi?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ya. Aku pernah ke Turi. Jaraknya cukup jauh, sedang jalan
ke Turi masih harus melingkar-lingkar sehingga menjadi
semakin jauh" "Kami mengambil jalan pintas, Ki Sanak"
"Jalan yang rumit. Kecuali harus melalui jalan setapak yang
turun naik, juga harus melewati padang perdu di pinggir
hutan" "Ya. Kami memilih jalan yang rumit tetapi lebih dekat
daripada harus menempuh jalan yang melingkar-lingkar
sehingga jaraknya menjadi sangat jauh"
"Siapa yang akan kau temui di Kembang Arum?" bertanya
seorang yang lebih muda. "Ki Pananggungan. Pamanku bernama Ki Pananggungan"
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
iapun berdesis, "Aku belum pernah mendengarnya"
"Ki Sanak sering pergi ke Kembang Arum?" bertanya Paksi
kemudian. "Ya. Aku juga mempunyai paman di Padukuhan Kembang
Arum. Tetapi aku memang tidak banyak mengenal orang-
orang Kembang Arum selain tetangga-tetangga terdekat
pamanku itu" Wijang dan Paksi hanya mengangguk-angguk saja.
Dalam pada itu, orang yang tertua di antara para peronda
itupun berkata, "Jika saja kalian datang beberapa waktu yang
lalu, mungkin kami tidak dapat menerima kalian bermalam di
banjar ini" "Kenapa?" bertanya Wijang.
"Sebelumnya, selagi perburuan cincin kerajaan yang hilang
itu masih terasa hangat, maka padukuhan inipun telah
ditambah pula oleh satu dua orang yang sedang berburu
pusaka keraton yang dikabarkan hilang dan turun ke daerah
ini. Tetapi ternyata ada di antara mereka yang tidak sekedar
memburu pusaka itu. Ada di antara mereka yang sempat
pulang merampas milik orang-orang padukuhan ini. Karena
itu, pada saat itu, kami mencurigai orang-orang yang belum
kami kenal sebelumnya"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Apakah sekarang perampokan seperti itu sudah tidak
terjadi lagi?" "Tidak. Padukuhan kami terasa aman sekarang. Meskipun
demikian, kami masih tetap berhati-hati, sehingga kami masih
tetap meronda secara bergilir. Di tengah malam tiga orang di
antara kami akan berkeliling padukuhan sambil membawa
kentongan-kentongan kecil untuk kotekan, agar mereka yang
tidur terlalu lelap dapat terbangun. Mungkin saja justru dalam keadaan aman ini kami menjadi lengah, sehingga
dimanfaatkan oleh pencuri-pencuri yang licik"
Wijang dan Paksi masih saja mengangguk-angguk. Dengan
nada berat Paksi berkata, "Sukurlah jika keadaan sudah aman
sekarang. Dengan demikian maka kehadiran kami di sini tidak
lagi dicurigai" "Ya. Sudah kami katakan, bahwa kami dapat menerima
kalian untuk bermalam"
"Kami hanya dapat mengucapkan terima kasih, Ki Sanak"
berkata Wijang kemudian. "Nah, kalian dapat tidur di serambi. Pakiwan banjar ini
terletak di sisi kiri agak ke belakang. Di sebelah sumur. Kalian dapat mencuci kaki dan tangan dan barangkali mencuci muka
di pakiwan itu sebelum kalian tidur"
Wijang dan Paksipun kemudian telah pergi ke pakiwan.
Kemudian seorang di antara mereka yang meronda telah
menunjukkan sebuah amben yang agak besar yang terletak di
serambi banjar. Tetapi sebelum keduanya berbaring, mereka telah dipanggil
lagi ke pendapa. "Ada apa?" bisik Paksi.
"Entahlah" sahut Wijang.
Ternyata keduanya hanya diajak makan ketela rebus oleh
para peronda yang agaknya telah merebus ketela di belakang.
Wijang dan Paksi memang sudah merasa agak lapar.
Karena itu, ketela yang direbus dengan santan dan garam itu
terasa enak sekali. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Baru setelah makan ketela rebus yang masih hangat itu,
keduanya kembali ke serambi.
"Biarlah kau tidur dahulu" desis Paksi.
"Bangunkan aku di dini hari. Waktunya pendek. Kaupun
harus tidur meskipun hanya sebentar"
Wijangpun kemudian telah membaringkan dirinya,
sementara Paksi masih duduk bersandar dinding, menghadap
ke pintu bilik di serambi itu. Tetapi pintu itu tidak dapat
diselarak. Daunnya ditutup hanya untuk mencegah angin
malam yang dingin. Beberapa saat kemudian, Wijangpun telah tertidur. Paksi
yang masih duduk itu mendengar suara kotekan yang semakin
lama menjadi semakin jauh. Agaknya tiga orang di antara
peronda itu sedang berkeliling sambil membunyikan
kentongan-kentongan kecil mereka dengan irama kotekan.
Suara kentongan-kentongan kecil itu semakin lama menjadi
semakin jauh, sehingga akhirnya tidak terdengar lagi.
Paksi yang duduk bersandar dinding itu menggeliat.
Sementara Wijang tertidur nyenyak. Nafasnya terdengar
mengalir dengan teratur dari lubang hidungnya.
Beberapa lama Paksi duduk bersandar dinding. Di sebelah-
menyebelah, di kebun rumah para penghuni padukuhan itu,
telah terdengar ayam jantan berkokok bersahut-sahutan untuk
yang kedua kalinya setelah ayam jantan itu berkokok untuk
pertama kalinya di tengah malam.
Paksi memandangi Wijang yang masih tidur. Rasa-rasanya
ia tidak ingin membangunkannya meskipun sisa malam tinggal
sedikit. Tetapi Wijang itupun bangun sendiri tanpa
dibangunkannya. Sambil mengusap matanya iapun berkata,
"Aku sudah terlalu lama tidur. Kenapa kau tidak
membangunkan aku?" "Aku belum mengantuk" desis Paksi.
"Tidurlah. Kau harus beristirahat barang sejenak"
"Apakah aku akan dapat tidur?" Paksi justru bertanya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Singkirkan angan-anganmu tentang Kemuning barang
sejenak. Besok kau akan dapat bertemu dengan gadis itu.
Sekarang tidurlah. Jangan kau manjakan angan-anganmu"
"Ah, kau" desis Paksi.
Wijang menggosok matanya. Tetapi ia tersenyum sambil
bangkit dan duduk di bibir amben bambu itu.
Paksilah yang kemudian telah berbaring menelentang.
Dikatupkannya matanya. Paksi memang mencoba untuk dapat
tidur. Namun telinga mereka yang tajam itu mendengar para
peronda yang berada di pendapa itu berbicara dengan
seseorang yang nampaknya baru datang.
"Para peronda keliling itu melaporkan kepadaku bahwa ada
dua orang menginap di banjar ini"
"Ya, Ki Jagabaya"
"Apakah mereka masih ada di dalam bilik di serambi itu?"
"Nampaknya mereka masih ada di sana"
"Kita sekarang harus berhati-hati lagi. Meskipun padukuhan
kita aman, tetapi aku mendengar di Padukuhan Karang Anyar
telah terjadi lagi perampokan"
"Karang Anyar?"
"Ya. Karang Anyar di Kademangan Jelabar"
"O. Padukuhan itu letaknya jauh dari padukuhan kita, Ki
Jagabaya" "Meskipun jauh, siapa tahu, bahwa perampok-perampok itu
berkeliaran tanpa batas jarak"
"Tetapi kedua orang itu nampaknya orang baik-baik, Ki
Jagabaya. Mereka masih muda. Sama sekali di matanya tidak
membayangkan keliaran watak mereka"
"Kau tidak akan dapat melihat seseorang langsung
menembus sampai ke jantung. Di mana mereka sekarang"
Aku hanya ingin melihat. Jika mereka masih ada, agaknya
mereka memang tidak akan mengganggu"
"Mereka berada di bilik di serambi"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Wijang yang duduk di bibir pembaringan segera
membaringkan dirinya di samping Paksi sambil berbisik,
"Mereka agaknya akan kemari"
Sebenarnyalah, sejenak kemudian, Wijang dan Paksi
mendengar langkah beberapa orang mendekati pintu bilik di
serambi itu. Wijang dan Paksipun segera memejamkan mata
mereka. Mereka mengatur pernafasan mereka, sehingga
mereka benar-benar seperti orang yang sedang tidur.
Ki Jagabaya dan tiga orang peronda yang mengikutinya
berdiri termangu-mangu sejenak di luar pintu. Namun seorang
di antara peronda itu menggamit Ki Jagabaya sambil berbisik
perlahan sekali, "Ki Jagabaya mendengar mereka
mendengkur?" Ki Jagabaya mengangguk-angguk. Namun kemudian iapun
kembali melangkah surut. Perlahan-lahan pula Ki Jagabaya
menutup pintu bilik itu. Iapun berbisik, "Mereka tidur nyenyak sekali"
"Nampaknya mereka letih sekali, Ki Jagabaya. Menurut
pengakuan mereka, mereka berasal dari Turi"
Ki Jagabaya menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada
dalam iapun bertanya, "Mereka akan pergi ke mana?"
"Mereka akan pergi ke Kembang Arum, Ki Jagabaya"


Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ki Jagabaya tidak bertanya lagi. Iapun kemudian
meninggalkan bilik itu diikuti oleh para peronda.
"Keduanya agaknya letih dan lapar. Ketika kami persilahkan
mereka ikut makan ketela rebus yang disediakan bagi para
peronda, mereka makan dengan lahapnya"
Ki Jagabaya mengangguk-angguk pula. Katanya kemudian,
"Menurut ujudnya, mereka bukan orang jahat. Ternyata
merekapun tidak beranjak dari banjar dan bahkan tidur
mendengkur" "Ya, Ki Jagabaya" sahut salah seorang dari mereka.
Sementara itu di dalam bilik di serambi itu Wijang
menggamit Paksi. "Nah, dengar. Kau makan ketela terlalu
banyak. Kau habiskan hampir separo, sehingga para peronda
itu masih merasa lapar"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ketela itu masih tersisa. Mereka tidak akan dapat
menghabiskannya" "Kau dengar apa yang dikatakan peronda itu?"
"Orang itu hanya ingin mengatakan, bahwa kita lapar"
"Sst. Jangan keras-keras. Jika Ki Jagabaya mempunyai Aji
Sapta Pangrungu, maka ia akan mendengarnya"
Paksi terdiam. Namun agaknya Ki Jagabaya itu tidak
mendengarnya. Bahkan Ki Jagabaya itu masih bertanya,
"Apakah anak-anak itu mengatakan, siapakah yang akan
dikunjunginya di Kembang Arum?"
"Kalau tidak salah dengar, nama orang yang akan
dikunjungi di Kembang Arum adalah Ki Pananggungan"
"Ki Pananggungan" ulang Ki Jagabaya. Sambil
mengangguk-angguk Ki Jagabayapun berkata, "Aku memang
pernah mendengar nama itu di Kembang Arum. Ia termasuk
orang yang dituakan di sana. Tetapi secara pribadi aku belum
pernah mengenalnya. Kadangku yang tinggal di Kembang
Arumlah yang pernah menyebut namanya"
"Jika demikian, bukankah keduanya tidak berbahaya,
sehingga kita akan membiarkannya tidur?"
"Ya. Biarkan kedua orang itu tidur. Nanti, setelah dini hari,
jika kalian akan pulang, serahkan saja keduanya kepada
penunggu banjar ini"
"Ya, Ki Jagabaya"
"Sekarang, aku akan pulang"
Ki Jagabaya itu tidak menunggu lagi. Nampaknya ia sudah
mulai mengantuk, sehingga karena itu, maka iapun segera
bangkit dan berkata, "Aku akan pulang"
Ki Jagabaya itupun kemudian minta diri kepada para
peronda yang bertugas di banjar.
Demikian Ki Jagabaya pergi, maka sejenak kemudian telah
terdengar suara kentongan dengan irama kotekan.
Nampaknya para peronda keliling itu telah berjalan kembali ke
banjar. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Suaranya semakin lama menjadi semakin dekat. Sejenak
kemudian, maka tiga orang peronda yang berkeliling itupun
telah kembali bergabung dengan kawan-kawannya.
Setelah meletakkan kentongan kecilnya mereka pun
berbaring di atas tikar yang dibentangkan di pendapa banjar.
"Jangan tidur" berkata seorang kawannya.
"Tidak. Tetapi kami lelah setelah berkeliling padukuhan"
"Kau tadi singgah di rumah Ki Jagabaya?" bertanya
kawannya yang tidak ikut berkeliling.
"Ya" "Ki Jagabaya baru saja dari sini"
"Ki Jagabaya sudah datang kemari?"
"Ya" "Begitu cepat" "Bukankah kalian kenal Ki Jagabaya" Ia seorang yang tidak
pernah menunda persoalan. Begitu ia mendengar laporanmu,
iapun langsung datang kemari"
Para peronda yang berbaring setelah berkeliling itu tidak
bertanya lebih lanjut. Bagi mereka, jika Ki Jagabaya sudah
datang ke banjar, maka tidak ada persoalan lagi bagi mereka
yang menginap di banjar itu.
Dalam pada itu, ketika pendapa banjar itu menjadi sepi,
maka Wijangpun berbisik, "Tidurlah. Masih ada waktu sedikit"
Paksi tidak menjawab. Tetapi iapun segera memejamkan
matanya. Ia memang ingin tidur meskipun hanya sebentar.
Beberapa saat kemudian, maka Paksi itupun terlelap.
Wijanglah yang kemudian duduk bersandar dinding
menghadap ke pintu. Namun tidak lagi terdengar langkah kaki
atau pembicaraan lagi di pendapa.
"Apakah para peronda itu tidur?" bertanya Wijang di dalam
hatinya. Tetapi Wijang tidak beranjak dari tempat duduknya.
Sebenarnyalah para peronda di pendapa itu tertidur. Bahkan
mereka yang tidak berkeliling pun tertidur pula sambil
bersandar tiang. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tetapi agaknya padukuhan itu memang aman. Tidak ada
peristiwa apa-apa yang terjadi malam itu.
Menjelang fajar, Paksipun telah terbangun dengan
sendirinya. Ketika ia duduk di amben bambu itu, maka
Wijangpun berdesis, "Aku ingin melihat, apakah para peronda
itu tertidur" "Kenapa?" "Aku tidak mendengar suara apa-apa"
Wijang tidak menunggu jawaban Paksi. Iapun membuka
pintu biliknya dengan hati-hati. Kemudian melangkah ke
pendapa. Wijang menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat para
peronda itu tidur di atas tikar yang digelar di pendapa.
Seorang tidur bersandar tiang dan seorang lagi tidur sambil
duduk di sudut. "Padukuhan ini adalah padukuhan yang aman, sehingga
para peronda itu merasa tidak perlu berjaga-jaga sampai dini"
berkata Wijang di dalam hatinya.
Rasa-rasanya Wijang ingin membangunkan salah seorang
dari mereka. Tetapi Wijang justru cemas, bahwa hal itu akan
dapat membuat peronda itu salah paham.
Karena itu, maka Wijangpun kembali ke dalam biliknya.
Tetapi tidak lama kemudian, penjaga banjar itulah yang
terbangun. Ketika ia melihat para peronda masih tertidur,
maka sambil bergeramang penunggu banjar itu
membangunkan mereka. "Setiap kali kalian yang mendapat giliran meronda, kalian
selalu tertidur. Tidak hanya satu dua di antara kalian. Tetapi semuanya"
Para peronda yang terkejut itupun segera bangkit berdiri.
Seorang yang tertua di antara mereka mengusap matanya
yang masih kabur. Namun kemudian iapun tersenyum sambil
berkata, "Maaf, Kang. Aku mengantuk sekali"
"Nah, sebentar lagi fajar akan datang. Apakah kalian akan
pulang atau tidak" "Tentu. Kami akan pulang. Kami akan melanjutkan tidur di
rumah" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Para peronda itupun segera membenahi pakaian mereka.
Mumpung masih gelap, mereka akan segera pulang sebelum
orang-orang terbangun. Namun ketika mereka turun ke halaman, seorang di antara
merekapun teringat dua orang yang bermalam di banjar itu.
Karena itu, maka orang itupun berkata, "Kakang, ada dua
orang kemalaman yang tidur di serambi"
"Siapa?" "Orang lewat. Bertanyalah kepada mereka"
"Jadi mereka juga belum bangun?"
"Kami belum melihatnya"
"Kapan mereka datang?"
"Sudah malam. Kau sudah tidur"
"Jadi orang-orang malas itu masih belum bangun juga"
Apakah mereka tidak akan meneruskan perjalanan
mereka?" "Entahlah. Mungkin mereka sudah pergi ketika kami tidur"
Namun Wijang dan Paksi sudah berdiri di sudut pendapa.
Dengan suara yang dalam Wijang berkata, "Kami sudah
bangun, Ki Sanak. Kami juga sudah siap untuk melanjutkan
perjalanan" "O" penunggu banjar itu berpaling. Dengan nada tinggi
penunggu banjar itupun bertanya, "Kenapa kalian tidak minta
ijin kepadaku?" "Kami sudah minta ijin para peronda, Ki Sanak"
"Para peronda hanya berada di banjar setiap malam sesuai
dengan gilirannya. Tetapi akulah yang bertanggung jawab
atas banjar ini" "Kami tidak tahu, Ki Sanak"
"Sudahlah" berkata orang tertua di antara para peronda,
"tadi malam Ki Jagabaya juga sudah datang kemari. Ki
Jagabaya tidak berkeberatan keduanya bermalam di sini"
"Tetapi jika terjadi sesuatu, siapa yang bertanggung jawab
kepada Ki Bekel" Tentu aku"
"Tidak. Kami, para peronda akan bertanggung jawab,
karena kami yang telah mengijinkan mereka bermalam di sini.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ki Jagabaya tentu juga bersedia bertanggung jawab. Tetapi
bukankah tidak terjadi apa-apa?"
Penunggu banjar itu termangu-mangu sejenak. Namun
iapun kemudian mengangguk-angguk.
"Ki Sanak" berkata orang yang tertua di antara para
peronda itu, "kalian tidak perlu tergesa-gesa. Kalian dapat
mandi lebih dahulu. Berbenah diri dan baru kemudian
melanjutkan perjalanan. Berbeda dengan kami. Kami tidak
mau kesiangan dan ditonton oleh tetangga-tetangga kami jika
mereka sudah bangun"
"Terima kasih, Ki Sanak" jawab Wijang.
Para peronda itupun kemudian meninggalkan halaman
banjar. Mereka berjalan agak tergesa-gesa, karena bayangan
fajar telah nampak di langit.
Sementara itu, penunggu banjar itu memandang Wijang
dan Paksi dengan tajamnya. Dengan nada tinggi orang itupun
berkata, "Jika kalian mandi, kalian harus mengisi jambangan
itu lagi. Aku bukan pelayanmu yang mengisi jambangan
setelah kalian pergunakan"
Wijang dan Paksi saling berpandangan. Namun Wijangpun
kemudian menjawab, "Baik, Ki Sanak"
"Kalian juga harus membersihkan bilik tempat kalian tidur
semalam" "Sudah, Ki Sanak" jawab Paksi.
"Seharusnya kalian minta ijin kepadaku. Bukan kepada para
peronda. Mereka tidak tahu tatanan yang seharusnya berlaku
di banjar ini" "Kami minta maaf, Ki Sanak"
"Nah, kalau mau mandi, cepat mandi. Kalau mau pergi,
cepat pergi" Namun agaknya Wijang dan Paksi tidak ingin mandi di
pakiwan banjar itu. Karena itu, maka Wijangpun berkata,
"Kami akan minta diri, Ki Sanak"
"Jadi kalian lebih baik tidak mandi daripada harus mengisi
kembali jambangan di pakiwan itu?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Tidak. Bukan itu alasannya, Ki Sanak. Tetapi kami
memang orang-orang malas yang tidak berani mandi pagi-
pagi seperti ini. Sementara itu, kami sudah harus melanjutkan
perjalanan, agar kami tidak kesiangan sampai di tujuan"
"Tepat. Kalian memang orang-orang malas. Pergilah jika
kalian ingin pergi" "Kami minta diri, Ki Sanak"
Orang itu tidak menjawab. Sementara Wijangpun berkata,
"Kami mengucapkan terima kasih bahwa semalam kami telah
mendapat tempat yang hangat untuk bermalam"
"Jangan berterima kasih kepadaku. Berterimakasihlah
kepada orang-orang yang memberimu tempat bermalam
meskipun mereka telah melanggar hak dan wewenangku"
Wijang dan Paksi saling berpandangan. Namun
keduanyapun kemudian mengangguk hormat sementara itu
Wijang mengulanginya, "Kami minta diri, Ki Sanak"
Orang itu tidak menjawab. Bahkan orang itu telah
melangkah pergi meninggalkan mereka berdua. Wijang dan
Paksipun kemudian meninggalkan banjar itu.
Demikian mereka turun ke jalan, maka Paksipun berkata,
"Kita telah bertemu banyak orang dengan sifat dan wataknya
yang bermacam-macam. Penunggu banjar ini termasuk orang
yang keras dan mempunyai harga diri yang terlalu berlebihan"
Wijang tertawa. Katanya, "Seseorang kadang-kadang
memang ingin menunjukkan bahwa ia berkuasa. Ia
mempunyai wewenang untuk menentukan tatanan di
lingkungan kekuasaannya. Penjaga banjar itupun ingin menunjukkan bahwa ialah yang
berkuasa di banjar itu"
"Sementara itu ada penunggu banjar yang lain yang bukan
saja membuka pintu banjarnya bagi orang-orang yang
kemalaman, tetapi juga membuka hatinya"
Wijang menarik nafas dalam-dalam.
Demikianlah, maka keduanyapun telah meninggalkan
padukuhan tempat mereka bermalam. Ketika mereka
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menjumpai sebuah sungai kecil yang airnya bening, maka
keduanyapun menyempatkan diri untuk mandi.
"Kita masih mempunyai waktu. Hari masih pagi" berkata
Wijang. Keduanyapun kemudian telah menuruni tebing yang tidak
terlalu dalam. Di sebuah lekuk yang agak dalam keduanya
mandi sambil mencuci kain panjang serta baju mereka.
Sementara itu, matahari pagipun telah bertengger di langit.
Sejuknya mandi di pagi hari. Di sungai, mereka tidak perlu
menimba air mengisi jambangan di pakiwan banjar yang
penunggunya berwajah gelap. Namun Wijangpun kemudian
mengangkat wajahnya sambil berdesis, "Kau dengar langkah
orang berlari?" "Ya. Ke arah ini"
Tanpa bersepakat mereka telah menyambar kain dan baju
yang mereka jemur sesudah dicuci. Wijang dan Paksi itupun
segera melekat pada tebing yang tidak terlalu tinggi, di balik rimbunnya dedaunan segerumbul
pohon perdu. Sejenak kemudian, maka merekapun melihat tiga orang


Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

anak muda yang berlari-lari di atas tanggul. Namun
nampaknya mereka tidak saling berkejaran. Tetapi mereka
sekedar berlari untuk memanaskan tubuh mereka, sebelum
memasuki laku yang lebih berat. Mungkin latihan-latihan olah
kanuragan. Tetapi mungkin juga sekedar untuk kesegaran
tubuh mereka. "Siapakah mereka, Paksi?" desis Wijang.
"Apakah anak-anak padukuhan di sekitar tempat ini
mempunyai kebiasaan berlari-lari di pagi hari?"
Wijang menggeleng. Katanya, "Tidak. Anak-anak muda
padukuhan-padukuhan di sekitar tempat ini tentu tidak
terbiasa berlari-lari pagi untuk memanasi membuka pematang
untuk mengalirkan air ke dalam kotak-kotak sawah mereka
atau melakukan kerja yang lain di kebun"
"Jika demikian, siapakah mereka itu?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Wijang menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Padukuhan
Kembang Arum tidak terlalu jauh lagi. Agaknya kau benar,
Paksi. Ki Pananggungan akan dapat menjadi pancatan untuk
sampai kepada Repak Rembulung dan Pupus Rembulung"
"Apakah menurut pendapatmu, mereka adalah bagian dari
anak-anak muda dari angkatan mendatang?"
"Ya" Paksi mengerutkan keningnya. Ada beberapa hal yang tidak
sesuai. Rumah Repak Rembulung dan Pupus Rembulung tentu
tidak terlalu dekat dengan Kembang Arum. Ia pernah
menemukan ibu Kemuning di pasar kecil itu. Ketika itu
Kemuning dan ibunya yang mencari Padukuhan Kembang
Arum telah tersesat dan jatuh ke tangan Bahu Langlang.
Dengan demikian, maka rumah Repak Rembulung dan Pupus
Rembulung agaknya tidak terlalu dekat, sehingga seandainya anak-anak
muda yang oleh Ki Gede Lenglengan diserahkan kepada Repak
Rembulung dan Pupus Rembulung itu berlari-lari sekedar
untuk memanaskan tubuh mereka, mereka tentu tidak akan
sampai di tempat itu. Ketika hal itu dikemukakannya kepada Wijang, maka
Wijangpun berdesis, "Ya. Kau benar, Paksi. Tetapi
bagaimanapun juga, agaknya ada hubungan antara anak-anak
yang berlari-lari itu dengan anak-anak muda yang semula
berada di padepokan Ki Gede Lenglengan"
Paksi menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun bergumam
dengan nada dalam, "Tetapi adikku tidak bersama mereka"
"Baiklah. Rasa-rasanya aku menjadi semakin ingin segera
sampai di rumah Ki Pananggungan. Mungkin kita mendapat
beberapa jawaban dari pertanyaan yang bertimbun di dalam
diri kita" "Kita akan segera berangkat"
"Tetapi kain dan baju kita ini belum kering"
Paksi menarik nafas dalam-dalam. Namun keduanya telah
menggelar lagi pakaian mereka yang basah di atas bebatuan
agar menjadi lebih cepat kering. Ketika matahari menjadi
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
semakin tinggi, maka mereka berdua telah siap untuk
meneruskan perjalanan. Sejenak kemudian, mereka telah memanjat naik ke atas
tebing untuk seterusnya berjalan menyusuri tanggul turun ke
jalan "Bukankah kita tinggal mengikuti jalan ini?" desis Paksi.
"Ya. Jalan ini akan langsung sampai ke Kembang Arum"
sahut Wijang. Demikianlah, keduanya telah berjalan semakin cepat
menuju ke Padukuhan Kembang Arum. Beberapa bulak telah
mereka lampaui. Sementara mataharipun menjadi semakin
tinggi. Ketika mereka melewati
kotak-kotak sawah yang siap ditanami padi, maka nampak
matahari seakan bercermin di wajah air yang tergenang.
"Kita sudah hampir sampai" berkata Paksi.
"Ya. Bukankah Padukuhan Kembang Arum sudah berada di
hadapan kita?" Paksi mengangguk-angguk. Namun sebenarnyalah terasa
debar jantungnya menjadi semakin cepat. Di rumah Ki
Pananggungan itu tinggal seorang gadis yang cantik dan
luruh. Kemuning. Beberapa saat kemudian, maka Wijang dan Paksi itu sudah
berdiri di pintu gerbang padukuhan.
Paksi menarik nafas dalam-dalam ketika mereka memasuki
pintu gerbang padukuhan itu. Sejenak mereka berdiri
termangu-mangu. Namun keduanyapun kemudian telah
melanjutkan langkah mereka menyusuri jalan padukuhan itu.
Mereka akan langsung sampai ke depan regol halaman rumah
Ki Pananggungan. Di jalan padukuhan itu, mereka berpapasan dua orang anak
yang akan menggembalakan kambing mereka. Kedua orang
anak yang agaknya kakak beradik itu menggiring kambing
mereka keluar dari padukuhan menuju ke bulak.
Sejenak kemudian keduanya telah berdiri termangu-mangu
di depan regol rumah Ki Pananggungan. Ketika Paksi
menengadahkan wajahnya ke langit, maka dilihatnya matahari
sudah hampir mencapai puncaknya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Sudah tengah hari" desis Paksi.
Wijang tidak menyahut. Ia tahu bahwa Paksi sekedar ingin
melepaskan ketegangannya. Namun keduanya terkejut ketika
mereka melihat seorang perempuan keluar dari regol halaman
dengan menggendong bakul kecil. Perempuan itu tertegun.
Dipandanginya Wijang dan Paksi yang berdiri termangu-
mangu di depan regol. "Siapakah kalian berdua, Ki Sanak" Apakah kalian mencari
seseorang?" Wijanglah yang menyahut, "Kami ingin bertemu dengan Ki
Pananggungan, Bibi" "O. Silahkan. Agaknya Ki Pananggungan sudah siap pergi
ke sawah" "Bibi juga akan pergi ke sawah?"
"Ya. Ada dua orang yang membantu Ki Pananggungan
mengerjakan sawahnya. Aku akan mengirim mereka makan
dan minum" "Ki Pananggungan sendiri tidak pergi ke sawah?"
"Hampir semalam suntuk Ki Pananggungan menunggui air
di sawah. Baru tadi pagi, sedikit lewat fajar, Ki Pananggungan pulang. Karena itu, Ki Pananggungan agak terlambat pergi ke
sawah. Tetapi dua orang telah membantu menggarap
sawahnya yang besok akan mulai ditanami"
"Terima kasih, Bibi"
"Nah, silahkan, sebentar lagi Ki Pananggungan akan
berangkat" "Apakah Nyi Pananggungan ada?"
"Ada. Baru saja Nyi Pananggungan selesai masak.
Masakannya yang sekarang aku bawa ke sawah"
"Terima kasih, Bibi"
Perempuan itupun kemudian meninggalkan Wijang dan
Paksi yang masih saja termangu-mangu.
Namun sejenak kemudian, keduanyapun telah melangkah
masuk melewati regol halaman. Demikian mereka berada di
halaman, maka merekapun melihat seorang laki-laki yang
masih terhitung muda, berdiri termangu-mangu di pintu
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
longkangan sambil memegangi tangkai cangkulnya. Agaknya
orang itu juga akan pergi ke sawah bersama Ki
Pananggungan. Orang itu memandang Wijang dan Paksi berganti-ganti.
Kemudian diletakannya cangkulnya. Selangkah-selangkah ia
maju mendekati Wijang dan Paksi.
"Bukankah kalian anak-anak muda yang pernah tinggal di
rumah ini?" Wijang dan Paksi mengangguk hormat. Merekapun segera
dapat mengenali laki-laki yang pernah mereka kenal ketika
mereka berada di rumah Ki Pananggungan beberapa waktu
sebelumnya. "Ya, Kang. Kakang masih ingat kepada kami?"
"Tentu" jawab orang itu. Lalu iapun bertanya, "Kalian baru
datang?" "Ya, Kakang" "Baiklah. Silahkan duduk. Aku beritahukan kepada Ki
Pananggungan, bahwa kalian datang kemari"
Tetapi sebelum orang itu melangkah masuk lewat pintu
seketeng, Ki Pananggungan justru telah keluar. Orang itupun
terkejut melihat Wijang dan Paksi. Hampir saja ia menyebut
gelar Wijang yang sebenarnya. Namun ia masih sempat
menyadari keadaan Pangeran Benawa dalam pakaian orang
kebanyakan. Pangeran Benawa tentu tidak senang mendengar
gelarnya disebut di hadapan orang lain.
Karena itu, maka dengan ramah Ki Pananggunganpun
bertanya, "Bukankah aku berhadapan dengan Angger Wijang
dan Angger Paksi?" "Ya, Ki Pananggungan. Sesudah cukup lama kami pergi,
maka rasa-rasanya kami ingin kembali melihat keadaan
keluarga dan padukuhan ini"
"Marilah, Ngger. Silahkan naik"
"Tetapi Ki Pananggungan akan pergi ke sawah"
"Biarlah Mijan pergi sendiri" Lalu katanya kepada laki-laki
yang menunggunya, "Pergilah sendiri, Mijan. Aku akan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menemui tamu-tamuku yang sudah lama tidak berkunjung
kemari" "Baik, Ki Pananggungan"
"Jika Ki Pananggungan akan pergi ke sawah, biarlah kami
ikut ke sawah" sahut Paksi.
"Tidak. Tidak terlalu penting. Sudah ada dua orang di
sawah. Kemudian Mijan akan menyusul mereka"
Mijanpun kemudian berkata, "Aku minta diri, Ki. Silahkan
kalian berdua duduk. Aku akan pergi ke sawah"
"Baik. Silahkan, Kakang" sahut Paksi.
Sepeninggal Mijan, maka Ki Pananggungan telah
mempersilahkan Wijang dan Paksi naik ke pendapa.
"Selamat datang di rumahku, Pangeran dan kau Angger
Paksi" "Maaf, Ki Pananggungan. Seperti ketika aku datang kemari
sebelumnya, panggil aku Wijang"
"Baik, Pangeran. Meskipun rasa-rasanya aku telah
melakukan kesalahan yang besar"
"Ki Pananggungan tidak bersalah. Ki Pananggungan justru
akan aku anggap bersalah, jika Ki Pananggungan
memanggilku pangeran. Jika aku tidak mempunyai maksud
tertentu, aku tentu tidak akan berada di sini dalam keadaan
seperti ini" "Hamba, Pangeran"
"Nah. Panggil aku Wijang"
"Baik, Wijang" "Nah, terima kasih. Aku minta Ki Pananggungan untuk
selanjutnya tidak lupa"
Ki Pananggungan tersenyum sambil menyahut, "Aku akan
berusaha, Ngger" Wijang mengangguk-angguk. Sementara Paksipun
bertanya, "Kelihatannya rumah ini sepi, Ki Pananggungan.
Apakah Nyi Pananggungan ada?"
"Ada, ada Ngger. Nyi Pananggungan ada di belakang.
Tetapi Nyi Pananggungan sekarang sendiri berada di dapur"
"Nyi Permati?" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ki Pananggungan menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"Nyi Permati sudah meninggalkan rumah ini bersama dengan
Kemuning yang dijemput oleh ayah dan ibunya"
"Maksud Ki Pananggungan, Repak Rembulung dan Pupus
Rembulung yang mengangkat Kemuning menjadi anaknya
itu?" "Ya, Ngger" Paksi dan bahkan juga Wijang menjadi tegang. Sementara
itu Ki Pananggunganpun berkata, "Aku tidak dapat menahan
mereka. Apalagi Repak Rembulung dan Pupus Rembulung
memerlukan kawan untuk melayani beberapa orang yang
tinggal di rumahnya"
Jantung Paksi dan Wijang berdesis. Dengan serta-merta
Paksipun bertanya, "Siapa saja yang tinggal di rumah Repak
Rembulung dan Pupus Rembulung?"
"Aku tidak begitu jelas, Ngger. Tetapi yang sepintas aku
dengar, ada beberapa orang yang tinggal bersamanya. Orang-
orang yang berdatangan dari sebuah padukuhan di pinggir
Kali Praga. Mereka adalah sanak kadang Pupus Rembulung"
"Dari padukuhan di pinggir Kali Praga?" ulang Paksi.
"Ya. Mereka sudah sangat lama tidak bertemu dengan
Pupus Rembulung, sehingga mereka menjadi sangat rindu
sehingga mereka memerlukan datang dan untuk beberapa
hari akan berada di rumah Repak Rembulung dan Pupus
Rembulung. Mereka terdiri dari beberapa orang yang di
antaranya adalah anak-anak muda"
Keterangan Ki Pananggungan itu memang sangat menarik.
Namun jika mereka datang dari sebuah padukuhan di pinggir
Kali Praga, maka tentu tidak ada sangkut-pautnya dengan
anak-anak muda yang semula berada di padepokan Ki Gede
Lenglengan. Meskipun demikian Paksi masih belum percaya begitu saja
jika orang-orang yang berada di rumah Repak Rembulung dan
Pupus Rembulung itu berasal dari pinggir Kali Praga. Mungkin
saja Repak Rembulung dan Pupus Rembulung sengaja
mengaburkan keberadaan anak-anak muda itu di rumahnya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ki Pananggungan" bertanya Paksi, "apakah mereka benar-
benar orang dari pinggir Kali Praga atau Kali Opak?"
"Kali Praga, Ngger. Itu jelas sekali bagiku. Pupus
Rembulung sendiri yang mengatakannya kepadaku"
"Sudah berapa lama Nyi Permati dan Kemuning pergi
meninggalkan rumah ini?"
Ki Pananggungan menarik nafas dalam-dalam. Ia tahu
bahwa ada hubungan khusus antara Paksi dan Kemuning.
Meskipun masih sangat terbatas, tetapi Ki Pananggungan
mengerti perasaan anak muda itu terhadap kemenakannya.
"Belum terlalu lama, Ngger. Baru sekitar dua bulan yang
lalu. Jika saja Angger datang lebih cepat, maka Angger akan
dapat bertemu dengan Kemuning, bahkan dengan ayah dan
ibunya itu"

Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Jantung Paksi bergejolak menghentak-hentak di dadanya.
Ada beberapa hal yang membuatnya menjadi sangat gelisah.
Berita tentang kehadiran beberapa orang di rumah Repak
Rembulung dan Pupus Rembulung meskipun disebutnya
datang dari pinggir Kali Praga, tetapi Paksi langsung
menghubungkannya dengan kehadiran beberapa orang anak
muda asuhan Ki Gede Lenglengan. Justru anak-anak muda itu
telah dikirim lebih dahulu. Baru kemudian Ki Gede Lenglengan
dan beberapa orang pergi menyusulnya.
Selebihnya, Paksi seakan-akan telah merasa kehilangan. Ia
tidak lagi dapat menjumpai Kemuning di rumah Ki
Pananggungan itu. "Ki Pananggungan" berkata Paksi kemudian, "apakah Ki
Pananggungan dapat menunjukkan kepada kami, di mana
rumah Ki Repak Rembulung dan Nyi Pupus Rembulung itu?"
"Terus terang, Ngger, aku belum pernah melihat rumahnya
yang baru itu. Bahkan rumahnya yang lama pun aku belum
pernah mengunjunginya. Aku tidak tahu, kenapa Repak
Rembulung dan Pupus Rembulung sering berpindah-pindah
tempat tinggal" "Jadi Kemuning telah dibawa oleh Ki Repak Rembulung dan
Nyi Pupus Rembulung ke tempat tinggalnya yang baru?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ya, Ngger. Tetapi Angger Paksi tidak perlu merasa terlalu
cemas sebagaimana saat Kemuning berada di tangan Bahu
Langlang. Repak Rembulung dan Pupus Rembulung adalah
seorang ayah dan ibu yang baik bagi Kemuning.
Bagaimanapun sifat keduanya di luar rumah, tetapi di rumah
mereka adalah seorang ayah dan ibu"
"Tetapi di rumahnya sekarang tinggal beberapa orang lain.
Jika itu terjadi sejak dua bulan yang lalu, apakah mereka
sekarang masih tetap tinggal di rumah Ki Repak Rembulung
dan Nyi Pupus Rembulung" Sehingga Kemuning masih belum
dapat pulang sampai sekarang?"
Wijang memang ikut merasa gelisah. Tetapi
kesempatannya merenungi persoalan itu masih lebih banyak
dari Paksi. Karena itu, maka Wijangpun berdesis, "Tenanglah,
Paksi" Namun Ki Pananggungan justru tersenyum. Katanya,
"Ngger, Kemuning justru telah pulang ke rumah ayah dan
ibunya. Seandainya tamu-tamu itu sudah pulang, aku tidak
dapat mengharap Kemuning itu pulang ke rumah ini karena ia
sudah berada di rumah kedua orang tuanya"
"Tetapi Kemuning pernah ditinggalkan begitu saja,
sehingga gadis itu harus pergi bersama ibunya mencari rumah
Ki Pananggungan di Kembang Arum ini"
"Sudah aku katakan kepadanya, Ngger. Kepada ayah dan
ibunya. Untunglah bahwa Bahu Langlang sudah lama tidak
ada lagi di rumahnya. Jika orang itu dapat diketemukan, maka
orang itu tentu akan dilumatkan"
"Apakah ayah dan ibu Kemuning yang membakar rumah
Bahu Langlang?" "Apakah rumah Bahu Langlang itu dibakar?"
"Tidak ada yang tahu, Ki Pananggungan. Apakah terbakar
atau dibakar. Tetapi rumah itu sudah menjadi abu"
"Jika rumah itu sengaja dibakar, adalah pekerjaan yang sia-
sia. Tidak ada gunanya, karena Bahu Langlang sudah pergi.
Orang itu sudah mengaku bersalah dan ingin memperbaiki
kesalahannya. Itu pun sudah lama terjadi"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ki Pananggungan" berkata Paksi kemudian, "jika demikian,
maka kami minta diri. Kami akan mencari rumah Ki Repak
Rembulung dan Nyi Pupus Rembulung"
Ki Pananggungan terkejut. Dengan serta-merta iapun
mencegahnya, "Jangan tergesa-gesa pergi, Ngger. Jika Angger
akan mencari rumah mereka itu terserah saja kepada Angger
Paksi. Tetapi tentu tidak sekarang. Angger baru saja datang
dari perjalanan yang jauh"
"Aku sudah banyak kehilangan waktu di perjalanan, Ki
Pananggungan" Namun Wijanglah yang kemudian berkata, "Jangan
tergesa-gesa, Paksi. Tenanglah. Kita harus merencanakan
langkah-langkah yang akan kita ambil"
"Beberapa kali kita berhenti di perjalanan, sehingga aku
datang terlambat" "Tidak, Ngger. Kau tidak terlambat" berkata Ki
Pananggungan yang menduga bahwa Paksi menjadi sangat
kecewa karena tidak dapat bertemu dengan Kemuning.
Tetapi Wijang dapat mengerti sepenuhnya. Paksi bukan
saja gelisah karena Kemuning tidak ada lagi di rumah Ki
Pananggungan. Tetapi Paksipun menjadi gelisah karena ia
menduga bahwa yang berada di rumah Ki Repak Rembulung
dan Nyi Pupus Rembulung di antaranya adalah adik laki-laki
yang dicarinya itu. "Paksi, kita tidak boleh kehilangan nalar sehingga bertindak
dengan tergesa-gesa. Lebih baik kita mohon kepada Ki
Pananggungan agar kita diijinkan untuk bermalam di sini.
Setidak-tidaknya malam nanti"
"Tentu, Ngger. Tentu. Kami tidak akan berkeberatan.
Bahkan aku mohon kalian tidak hanya bermalam semalam.
Tetapi untuk sementara kalian dapat tinggal di sini. Aku
berjanji untuk membantu Angger berdua menemukan
Kemuning" Paksi justru terkejut mendengar pernyataan Ki
Pananggungan. Barulah ia sadar, bahwa Ki Pananggungan
tidak tahu-menahu tentang adiknya yang oleh Ki Gede
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Lenglengan telah diserahkan kepada sepasang suami-istri di
sisi selatan kaki Gunung Merapi.
Karena itu, maka Paksipun menarik nafas dalam-dalam.
Dipandanginya Wijang dengan kerut di dahi. Nampaknya
Wijang dapat mengerti, bahwa Paksi baru menyadari
keadaannya menurut tanggapan Ki Pananggungan.
Sambil tersenyum Wijang itupun berkata, "Nah, bukankah
lebih baik kita sambil mengucapkan terima kasih atas
kesempatan yang diberikan oleh Ki Pananggungan,
beristirahat barang semalam?"
Paksi mengangguk sambil berdesis, "Ya. Kita akan mohon
untuk diperkenankan berada di rumah ini setidak-tidaknya
semalam" "Tidak. Jangan hanya semalam. Aku mohon kalian tinggal
di sini. Bahkan setelah kalian menemukan rumah kedua orang
tua Kemuning itu" Paksi menundukkan kepalanya. Sementara Wijangpun
berkata, "Terima kasih atas kesempatan ini, Ki Pananggungan"
"Nah, sekarang aku persilahkan kalian duduk dahulu. Aku
akan memberitahu Nyi Pananggungan. Nampaknya ia belum
tahu bahwa Angger berdua datang menengok keluarga kami.
Demikian kita bertemu, kita langsung tersuruk ke dalam
pembicaraannya yang agaknya bersungguh-sungguh"
"Silahkan, Ki Pananggungan. Silahkan"
Ki Pananggungan itupun kemudian masuk ke ruang dalam
untuk menemui isterinya. Demikian Nyi Pananggungan mengetahui, bahwa yang ada
di pringgitan adalah Paksi dan Wijang, maka dengan tergesa-
gesa Nyi Pananggungan itupun pergi ke pringgitan untuk
menemuinya. "Selamat datang, Angger berdua. Sudah agak lama kami
mengharap Angger berdua datang mengunjungi keluarga
kami" "Maaf, Nyi" Wijanglah yang menyahut, "ada-ada saja
masalah yang menghambat. Masalah yang sebenarnya kami
buat sendiri" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Terus terang, Ngger, Kemuning juga sangat mengharap
kedatangan Angger Paksi. Tetapi rasa-rasanya seperti
mengharapkan embun menitik di tengah hari"
"Kami mohon maaf, Nyi. Seperti yang dikatakan Kakang
Wijang, kami tidak segera dapat mengunjungi keluarga ini"
"Sekarang Kemuning sudah kembali kepada ayah dan
ibunya" "Ya, Nyi. Tadi Ki Pananggungan juga sudah
mengatakannya" Ki Pananggunganlah yang kemudian menyahut, "Aku sudah
berjanji untuk membantunya mencari rumah orang tua
Kemuning yang baru" "Ya, Ngger. Orang tua Kemuning memang sering
berpindah-pindah. Tetapi sebenarnyalah orang memang
mempunyai beberapa buah rumah. Mungkin rumah yang
dipergunakannya sekarang adalah rumah yang lebih besar dari
rumahnya yang dahulu, yang ditinggalinya bersama Nyi
Permati dan Kemuning, yang menurut Kemuning memang
tidak begitu besar. Pada saat kedua orang tuanya menerima
banyak tamu yang bermalam, maka mereka menerima tamu
mereka di rumahnya yang lebih besar"
"Ya, Nyi" "Nyi" berkata Ki Pananggungan kemudian, "mereka berdua
akan bermalam di rumah ini. Besok atau besok lusa aku akan
membantu mereka mencari rumah orang tua Kemuning itu"
"Ke mana Ki Pananggungan akan mencarinya?"
"Aku harus mengingat-ingat apa yang pernah dikatakan
oleh Rembulung. Mungkin ada petunjuk yang dapat membawa
kedua anak muda itu sampai kepadanya"
"Angger berdua tidak usah tergesa-gesa. Waktunya masih
panjang. Jika Angger berdua akan memburu puncak bukit
kecil di kaki Gunung Merapi itu, maka puncak bukit itu tidak
akan beranjak dari tempatnya"
Paksi menundukkan wajahnya. Sementara Wijang
tersenyum-senyum saja sebagaimana Ki Pananggungan dan
Nyi Pananggungan. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Nah, duduklah. Aku akan menyiapkan minuman"
Dalam pada itu, ketika Nyi Pananggungan berada di dapur,
maka Ki Pananggunganpun bertanya, "Menurut
pendengaranku, Harya Wisaka sudah tertangkap, Ngger.
Apakah memang demikian?"
"Benar, Ki Pananggungan" Wijanglah yang menjawab.
"Bagaimana dengan para pengikutnya?"
Wijang menarik nafas panjang. Namun kemudian iapun
berkata, "Itulah yang masih kami cemaskan"
"Di lingkungan ini, Ngger, sejak semula memang tidak
terlalu terasa benturan antara kekuatan-kekuatan yang semula
ingin menguasai cincin kerajaan itu, meskipun getarnya
sampai di sini pula. Bahkan kemudian seakan-akan larut
dihanyutkan oleh waktu. Sementara itu, berita tentang
pemberontakan Harya Wisaka terdengar semakin keras.
Sedangkan kelompok-kelompok kekuatan yang lain, yang
pernah memusuhi Harya Wisaka itupun tidak banyak lagi
terdengar" Wijang dan Paksi mengangguk-angguk. Namun Paksi
nampak menjadi gelisah. Agaknya ada persoalan yang ingin
dikatakannya. Tetapi Paksi masih saja merasa ragu.
Wijang yang dapat mengerti perasaan Paksi itulah yang
kemudian berkata, "Ki Pananggungan, sebenarnyalah bahwa
ada dua hal yang membuat Paksi menjadi gelisah. Yang
pertama, ia merasa sangat kecewa bahwa ia tidak dapat
bertemu dengan Kemuning. Di sepanjang jalan menuju ke
Kembang Arum, sekali-sekali terucapkan nama Kemuning
meskipun ia berusaha untuk tetap mengendapkannya"
Ki Pananggungan itupun tersenyum. Ia sudah dapat
meraba gejolak perasaan anak muda itu. Sementara
Wijangpun berkata selanjutnya, "Sedangkan persoalan yang
kedua yang membuat Paksi gelisah adalah tamu-tamu di
rumah Ki Repak Rembulung dan Nyi Pupus Rembulung"
"Kenapa dengan tamu-tamu itu?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ki Pananggungan" berkata Wijang yang suaranya menjadi
berat, "ketika Paman Harya Wisaka tertangkap, maka terloncat
dari mulutnya, bahwa beberapa orang anak muda telah
diserahkan kepada seorang yang bernama Ki Gede
Lenglengan untuk ditempa agar menjadi pemimpin di masa
datang, sesuai dengan jalur perjuangan Paman Harya Wisaka.
Mereka adalah anak-anak muda yang disebut angkatan
mendatang. Ketika kami berhasil memasuki Padepokan
Watukambang yang dipimpin oleh Ki Gede Lenglengan itu,
ternyata bahwa anak-anak muda yang disebut angkatan
mendatang itu sudah tidak ada di padepokan. Menurut
seorang di antara mereka yang berhasil kami bujuk untuk
memberikan keterangan, anak-anak muda itu telah dititipkan
kepada sepasang suami-istri yang tinggal di sisi selatan kaki
Gunung Merapi. Orang itu tidak tahu siapakah nama sepasang
suami-istri itu. Tetapi pada waktu itu, arah perkiraan kami
langsung hinggap pada Ki Repak Rembulung dan Nyi Pupus
Rembulung. Sementara itu, Ki Gede Lenglengan yang luput
dari tangan para prajurit Pajang telah pergi ke selatan pula.
Kami berhasil menelusuri jejaknya sehingga sampai ke sisi
selatan kaki Gunung Merapi ini. Yang paling menggelisahkan
Paksi adalah, bahwa salah seorang dari anak-anak muda dari
angkatan mendatang itu adalah adik laki-laki Paksi yang
bernama Lajer Laksita"
Ki Pananggungan mengangguk-angguk. Seakan-akan
ditujukan kepada diri sendiri iapun bergumam, "Jadi itulah
masalahnya. Dua persoalan yang meskipun terpisah, akan
saling berkait. Menurut Rembulung, tamu-tamu itu datang dari
sebuah padukuhan di pinggir Kali Praga. Tetapi memang
mungkin saja Rembulung tidak berterus-terang kepadaku"
"Ki Pananggungan" berkata Wijang kemudian, "sebaiknya
kami berdua dengan berterus-terang minta bantuan Ki
Pananggungan untuk mengetahui, siapakah sebenarnya yang
berada di rumah Ki Repak Rembulung dan Nyi Pupus
Rembulung" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Baiklah. Seperti sudah aku janjikan, aku akan membantu
kalian. Kita akan mencari rumah Repak Rembulung dan Pupus
Rembulung" "Tetapi Ki Pananggungan, Repak Rembulung dan Pupus
Rembulung akan dapat mengenali kami"
"Apakah kalian pernah berhubungan dengan keduanya"
"Pernah, Ki Pananggungan. Kami pernah melibatkan diri


Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pada saat Repak Rembulung dan Pupus Rembulung dikeroyok
oleh beberapa orang sehingga rasa-rasanya pertemuan itu
tidak adil" "Kau membantu mereka?"
Wijang mengangguk. Ki Pananggunganpun menjadi termangu-mangu. Sementara
itu Paksi masih saja menundukkan wajahnya.
"Yang aneh bagi kami, Ki Repak Rembulung dan Nyi Pupus
Rembulung telah menasehati kami agar kami mencari jalan
yang baik dan benar untuk menyongsong masa depan kami
yang panjang. Nasehat yang tidak pernah kami duga akan
keluar dari mulut seorang Repak Rembulung dan seorang
Pupus Rembulung" "Bukankah sudah aku katakan, bahwa keduanya memang
aneh" Di rumah mereka adalah ayah dan ibu yang baik. Yang
dengan penuh kasih sayang mengasuh Kemuning.
Memberinya nasehat agar kelak Kemuning menjadi seorang
yang baik, yang berjalan di jalan lurus sesuai dengan petunjuk dari Yang Maha Agung"
"Nasehat itu pulalah yang diberikan kepada kami" desis
Wijang. "Repak Rembulung dan Pupus Rembulung berdiri dengan
kedua kaki pada alas yang berbeda"
Wijang mengangguk-angguk. Katanya, "Pertentangan yang
tumbuh di dalam diri Repak Rembulung dan Pupus Rembulung
itu akan dapat meledak di hari-hari tua mereka"
"Kau benar, Wijang" sahut Ki Pananggungan.
"Nah, bagaimana menurut pertimbangan Ki
Pananggungan" Apa yang sebaiknya kami lakukan?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Begini, Ngger, jika Angger berdua setuju, biarlah aku saja
yang mencari Rumah Rembulung. Aku akan dapat
memberikan alasan apa saja. Mungkin karena aku rindu
kepada Kemuning" "Lalu, apakah yang harus kami kerjakan?"
"Kalian tinggal di rumah ini"
"Tetapi bukankah sangat berbahaya bagi Ki
Pananggungan?" Ki Pananggungan itu tersenyum. Katanya, "Ingat, aku
adalah kakak ayah Kemuning itu. Aku akan datang sebagai
seorang paman yang ingin menengok kemenakannya. Apalagi
kemenakannya itu pernah tinggal bersamanya"
Wijang mengangguk-angguk sementara Paksi menarik
nafas dalam-dalam. "Tetapi tentu tidak hari ini. Besok aku akan pergi. Mungkin
dalam pembicaraan kami pernah disebut-sebut kata-kata yang
dapat menjadi petunjuk, ke mana aku harus mencarinya.
Nanti aku akan berbicara dengan Nyi Pananggungan"
"Tetapi sebelumnya, kami mohon maaf, Ki Pananggungan,
bahwa kami datang untuk membuat Ki Pananggungan menjadi
sibuk. Bahkan harus melakukan sesuatu yang berbahaya"
sahut Paksi. "Apa yang berbahaya" Menengok seorang adik bukan
pekerjaan yang berbahaya"
"Tetapi seandainya dugaan kami benar, maka di rumah itu
ada seorang yang bernama Ki Gede Lenglengan. Orang itu
baru datang kemudian. Belum terlalu lama"
"Aku akan berhati-hati, Ngger. Mudah-mudahan Ki Gede
Lenglengan bukan orang yang gila, sehingga mengganggu
saudara dari orang yang memberinya tempat berlindung"
"Ki Gede Lenglengan memang gila, Ki Pananggungan" desis
Wijang. "Kangjeng Sultan di Pajang di masa mudanya pernah
mengenal orang yang bernama Lenglengan. Agaknya orang
itu pulalah yang kemudian bernama Ki Gede Lenglengan"
Ki Pananggungan termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian iapun berkata, "Aku akan berhati-hati, Ngger"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sementara itu, maka Nyi Pananggunganpun telah minta
mereka untuk masuk ke ruang dalam. Katanya, "Mumpung
nasi masih hangat, silahkan, Ngger"
"Begitu cepatnya" berkata Wijang di luar sadarnya. Nyi
Pananggunganpun menyahut, "Sudah ada, Ngger. Tetapi
seadanya saja. Yang lain tadi dibawa ke sawah untuk mereka
yang sedang mengerjakan sawah. Marilah, Ngger"
Merekapun kemudian masuk ke ruang dalam. Ternyata
nasi, lauk dan sayurnya memang masih hangat. Agaknya Nyi
Pananggungan telah memanasinya lagi.
Sejenak kemudian mereka telah duduk di amben bambu di
ruang dalam. Nasi, sayur lodeh keluwih, serundeng kelapa dan
sambal terasi. Ikan kakap goreng yang nampaknya baru saja
turun dari perapian. "Ikan itu diambil dari belumbang di belakang, Ngger"
berkata Nyi Pananggungan.
"Siapa yang menangkapnya?" berkata Wijang.
"Anak tetangga sebelah, Ngger. Ia tinggal bersama kami di
sini" Wijang mengangguk-angguk. Namun bau sambal terasi itu
membuat Wijang dan Paksi merasa lapar.
Setelah mereka selesai makan, maka Ki Pananggungan
telah membawa Wijang dan Paksi ke bilik di gandok sebelah
kanan. Katanya, "Kalian dapat beristirahat di bilik ini, Ngger"
"Terima kasih, Ki Pananggungan" Wijang dan Paksi
menjawab hampir bersamaan. Keduanya memang beristirahat
sejenak. Perut mereka terasa kenyang. Sambil duduk di lincak
bambu yang panjang, keduanya kembali berbicara tentang
Repak Rembulung dan Pupus Rembulung.
"Dugaanku kuat, bahwa yang ada di rumah Repak
Rembulung dan Pupus Rembulung itu adalah anak-anak muda
yang disebut angkatan mendatang itu, Wijang"
"Ya. Kemungkinannya memang besar sekali. Agaknya
kepada Ki Pananggungan, Repak Rembulung dan Pupus
Rembulung tidak mau berterus-terang"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Jika benar Ki Gede Lenglengan itu ada di rumah Repak
Rembulung, maka Ki Pananggungan benar-benar harus
berhati-hati sekali. Ki Gede Lenglengan itu memang gila"
Paksi mengangguk-angguk. Meskipun agak ragu iapun
berkata, "Sebaiknya kita minta agar kita diperbolehkan
mengikutinya" "Ki Pananggungan tentu tidak akan menyetujuinya" Paksi
menarik nafas dalam-dalam.
Sejenak keduanya saling berdiam diri tenggelam di dalam
angan-angan mereka masing-masing. Namun Paksilah yang
kemudian bangkit berdiri sambil berkata, "Aku akan mengisi
jambangan di pakiwan"
"He" Wijangpun bangkit pula, "biar aku saja yang mengisi
jambangan" "Lalu, apa yang harus aku lakukan?"
"Kau kerjakan pekerjaan yang lain. Menyapu halaman atau
membelah kayu bakar"
Wijang tidak menunggu jawaban Paksi. Iapun segera pergi
ke sumur untuk mengisi jambangan. Sementara Paksi masih
hilir-mudik mencari sapu lidi. Ketika ia berada di rumah itu,
maka iapun mengerjakan apa saja untuk membantu
meringankan pekerjaan di rumah itu. Waktu itu di rumah itu
masih ada Kemuning dan Nyi Permati.
Ketika Paksi mendapatkan sapu lidi, maka kenangannya
kepada Kemuning terasa menjadi semakin tajam. Namun
ketika Paksi baru mulai menyapu halaman, maka seorang
remaja datang menghampirinya. Dengan agak ragu remaja
itupun berkata, "Biarlah aku saja yang menyapu halaman"
Paksi memandang anak itu sejenak. Ia mencoba
mengingat-ingat, apakah ia pernah mengenal anak itu
sebelumnya. Ternyata bahwa Paksi dapat mengenalinya.
Sambil tersenyum iapun berkata, "Bukankah kau Dukut anak
yang tinggal di rumah sebelah?"
Remaja itu mengangguk. "Kau ingat kepadaku?"
"Ya" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Nah, jika kau ingat kepadaku, siapa namaku?"
"Paksi" "Tepat. Kakakku itu?"
"Wijang" "Bagus. Kaukah yang tadi menangkap kakap di belumbang
di kebun belakang?" Anak itu mengangguk. "Bagus. Kenapa kau tidak menegurku?"
Anak itu diam saja Karena anak itu diam saja, maka Paksipun berkata,
"Sudahlah. Kau lakukan kerja yang lain. Selama aku di sini
beberapa waktu yang lalu, aku juga sering menyapu halaman.
Waktu itu kau tidak berada di rumah ini. Tetapi kau sering
bermain-main di sini"
Anak itu masih berdiri termangu-mangu, sehingga Paksipun
berkata sekali lagi, "Dukut, kau ambil sapu yang lain,
kemudian menyapu halaman samping"
Dukut itu mengangguk. Kemudian iapun pergi
meninggalkan Paksi. Sementara itu, Ki Pananggungan yang melihat Wijang
mengisi jambangan pakiwan, dengan tergesa-gesa
mendapatkannya. Katanya gagap, "Sudahlah, Pangeran.
Biarlah nanti hamba yang mengisi pakiwan atau pembantu-
pembantu hamba, sebentar lagi mereka akan pulang dari
sawah" "Ki Pananggungan agaknya lupa, siapa namaku"
"Baik, baik. Tetapi jangan menimba air untuk mengisi
pakiwan" "Bukankah aku pernah melakukannya?"
"Tetapi sekarang tidak perlu lagi, Pangeran. Eh, Wijang"
Wijang tersenyum. Katanya, "Sudahlah. Aku juga perlu
bergerak agar urat-urat darahku tidak membeku"
"Tetapi tidak dengan menimba air untuk mengisi
jambangan seperti ini"
Wijang bahkan tertawa. Tetapi ia masih saja menarik
senggot timba untuk menaikkan air dari sumur.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ki Pananggunganpun akhirnya harus mengalah. Wijang
tidak mau berhenti menimba air.
"Silahkan Ki Pananggungan meninggalkan aku di sini. Nanti
jika jambangan itu sudah penuh, serta aku sudah mandi, aku
akan kembali ke gandok"
Ki Pananggungan terpaksa meninggalkan Wijang yang
masih sibuk mengisi jambangan di pakiwan. Ketika Ki
Pananggungan masuk ke dapur lewat pintu butulan, Nyi
Pananggungan yang berada di dapur pun bertanya, "Ada apa,
Kakang" Nampaknya kau gelisah"
"Aku tidak sedang gelisah, Nyi. Tetapi rasanya tidak mapan
jika tamu-tamu kita harus menimba air sendiri"
Nyi Pananggungan tersenyum. Katanya, "Biar saja, Kakang.
Bukankah ia selalu melakukannya beberapa waktu yang lalu
ketika mereka berada di sini. Paksi sekarang juga sedang
menyapu halaman. Apa salahnya?"
Ki Pananggungan hanya dapat menarik nafas. Tetapi ia
tidak berkata apa-apa lagi. Ketika Ki Pananggungan membuka
pintu pringgitan, maka ia memang melihat Paksi yang sedang
sibuk menyapu halaman depan.
Demikianlah Wijang dan Paksi berada di rumah itu seperti
mereka berada di rumah mereka sendiri. Sebagaimana
dilakukannya beberapa waktu sebelumnya. Mereka
mengerjakan apa yang dapat mereka kerjakan di rumah itu.
Ketika malam turun, maka keduanyapun dipersilahkan
untuk duduk di ruang dalam. Nyi Pananggungan sudah
menyiapkan makan malam bagi mereka.
"Marilah, Ngger" Ki Pananggungan mempersilahkan,
"makan seadanya"
Yang kemudian terhidang adalah nasi hangat, pepesan
udang dan sayur seperti yang dihidangkan siang tadi. Setelah
mereka selesai makan, maka Wijang dan Paksi tidak segera
pergi ke bilik yang telah disediakan bagi mereka. Tetapi
mereka masih berbincang dengan Ki Pananggungan dan Nyi
Pananggungan. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Besok aku akan pergi ke rumah Rembulung" berkata Ki
Pananggungan. "Sebenarnya kami tidak ingin membuat Ki Pananggungan
menjadi sibuk. Bahkan jika Ki Pananggungan berkenan,
biarlah Ki Pananggungan memberikan sedikit petunjuk ke
mana kami harus pergi"
"Tidak, Ngger. Tidak apa-apa. Aku juga ingin melihat
Kemuning. Rasa-rasanya aku sudah rindu kepadanya"
"Kami hanya dapat mengucapkan terima kasih, Ki
Pananggungan. Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu atas Ki
Pananggungan. Di jalan maupun di rumah orang tua
Kemuning" "Orang tua Kemuning adalah adik Ki Pananggungan" sahut
Nyi Pananggungan. "Tetapi tidak akan terjadi sesuatu di
rumah itu" Namun Paksipun kemudian berdesis, "Bagaimana menurut
pertimbangan Ki Pananggungan jika kami ikut bersama Ki
Pananggungan?" Ki Pananggungan tersenyum sambil menggeleng, "Tidak
usaha, Ngger. Nanti akan dapat timbul salah paham"
Paksi menarik nafas panjang. Namun ia tidak berkata apa-
apa lagi. Ki Pananggunganlah yang kemudian berpesan, "Selama aku
pergi, aku titip rumah ini, Ngger. Jangan pergi ke mana-mana"
"Kalau kami ikut pergi ke sawah?" bertanya Wijang.
"Tentu saja tidak apa-apa. Maksudku jangan pergi jauh
atau bahkan pergi dan tidak kembali lagi" jawab Ki
Pananggungan sambil tertawa.
Demikianlah, beberapa saat mereka masih berbincang.
Namun kemudian Ki Pananggunganpun telah mempersilahkan
tamu-tamunya untuk beristirahat di bilik yang telah disediakan kepada mereka di gandok.
Seperti yang direncanakan, pagi-pagi sekali Ki
Pananggungan sudah siap. Nyi Pananggungan telah
menyediakan makan pagi, sementara pembantunya yang tua
telah menyiapkan kudanya. Wijang dan Paksi juga sudah
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
berada di halaman pula ketika Ki Pananggungan siap untuk
berangkat.

Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Menurut Pupus Rembulung, rumahnya berada di dekat
sebuah belumbang yang tidak jauh dari sebatang pohon yang
besar, seperti pohon beringin tetapi mempunyai beberapa
macam bunga yang berbeda-beda. Ada yang menyebut lima
macam, ada yang mengatakan tujuh macam. Entahlah
siapakah yang benar. Tetapi aku juga belum pernah melihat pohon itu" berkata
Nyi Pananggungan. "Pohon Manca Warna. Mudah-mudahan dengan ancar-
ancar itu aku dapat menemukan rumah Rembulung"
"Rembulung juga sering mandi di belumbang itu"
Ki Pananggungan mengangguk-angguk. Katanya, "Aku
akan berusaha menemukan mereka. Mungkin aku baru
kembali dalam dua atau tiga hari mendatang"
"Hati-hati di jalan, Kakang"
"Aku akan selalu berhati-hati" Lalu katanya kepada Wijang
dan Paksi, "Titip rumahku, Ngger"
Demikianlah, sejenak kemudian, maka Ki
Pananggunganpun telah melarikan kudanya menempuh
perjalanan. "Jika benar rumah Rembulung ada di dekat pohon Manca
Warna itu, maka sedikit lewat wayah pasar temawon, Kakang
Pananggungan sudah akan sampai, Ngger"
Wijang menengadahkan wajahnya. Langit masih nampak
muram. Sementara itu, ayam-ayampun mulai turun dari
kandangnya. Terdengar seekor induk ayam berkotek memanggil anak-
anaknya. Sedang di sisi lain, seekor ayam jantan berkokok
dengan nada menantang. Kemudian mengepakkan sayapnya
beberapa kali. Hari masih pagi. Namun bayangan fajar telah nampak di
langit yang bersih. Ki Pananggunganpun melarikan kudanya
semakin cepat. Jalan-jalan masih nampak sepi. Tetapi di bulak
panjang, Ki Pananggungan telah mendahului sebuah pedati
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
yang merayap dengan malas ke pasar yang terletak tidak jauh
di depan. Meskipun pasar itu kecil saja, tetapi di hari pasaran, pasar itu menjadi ramai sehingga para pedagang tidak
tertampung seluruhnya di dalam pasar. Beberapa penjual
terpaksa berjualan di luar dinding pasar.
Ketika Ki Pananggungan sampai di pasar itu, ia terpaksa
memperlambat jalan kudanya. Namun kemudian, kudanyapun
telah berlari lagi. Ki Pananggungan melarikan kudanya ke arah
timur di sepanjang jalan di kaki Gunung Merapi. Kadang-
kadang jalannya menjadi sulit, sehingga perjalanan kuda itu
terganggu. Bagaikan siput yang merayap di bebatuan. Namun
demikian ruas itu sudah terlewatkan, maka kuda Ki
Pananggungan itupun berlari lagi dengan kencangnya.
Sekali-sekali jalan menanjak naik. Namun kemudian
menukik turun. Jika jalan menjadi datar, maka di sebelahnya
terdapat jurang yang cukup dalam. Sementara itu,
mataharipun memanjat langit semakin tinggi. Panasnya mulai
terasa menyengat kulit. Ki Pananggungan sudah pernah pergi ke Jati Anom di sisi
sebelah timur kaki Gunung Merapi, melewati sendang di dekat
pohon Manca Warna itu. Karena itu, maka tujuan pertama adalah sendang yang pernah
disebut-sebut oleh Nyi Pupus Rembulung.
Seperti yang diperhitungkan, maka sedikit lewat wayah
pasar temawon, Ki Pananggungan telah mendekati sendang di
dekat pohon Manca Warna itu. Ki Pananggungan itupun
menengadahkan wajahnya. Langit masih saja nampak cerah.
Matahari yang sudah menjadi semakin tinggi, terasa sinarnya
menjadi semakin menusuk. Beberapa saat kemudian, Ki Pananggunganpun telah
sampai di sendang yang airnya nampak bening kehijau-
hijauan. Beberapa kelompok ikan wader pari berenang dengan
riangnya. Agaknya wader pari itu jarang sekali merasa
terganggu hidupnya di sendang yang airnya bening itu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Di pinggir sendang terdapat beberapa buah batu besar
yang agaknya sering dipergunakan untuk mencuci pakaian.
Sedangkan luapan air sendang itu mengalir lewat sebuah
genangan yang agak dalam, turun ke dalam parit yang
mengalir ke bulak di sebelah belumbang itu. Genangan air itu
setiap hari dipergunakan untuk memandikan ternak sehabis
bekerja keras di sawah. Ki Pananggungan membiarkan kudanya minum air yang
mengalir di parit yang menuju ke bulak. Airnya nampak jernih,
sehingga kerikil-kerikil kecil di dasar parit itupun nampak jelas.
Ki Pananggungan termangu-mangu sejenak. Sendang itu
nampak sepi. Mungkin orang-orang yang pergi ke sendang itu
sudah pulang. Mereka yang mencuci pakaiannya dan mereka
yang memandikan ternak di genangan air yang melimpah dari
sendang itu. Ki Pananggungan melangkah mondar-mandir di
dekat sendang itu. Setelah kudanya cukup banyak minum,
diikatnya kudanya itu pada sebatang pohon perdu yang
tumbuh di dekat sendang itu.
Di sekitar sendang itu, Ki Pananggungan melihat beberapa
batang pohon raksasa. Sebangsa pohon preh dan beringin.
Tidak terlalu jauh dari sendang itu terdapat sepasang pohon
benda yang sudah tua. Pohonnya yang menunjukkan
ketuaannya itu masih tetap berdiri kokoh menghunjam ke
dalam bumi. Agak jauh dari sendang itu, lamat-lamat dilihat sebatang
pohon yang disebut pohon Manca Warna itu. Ki
Pananggungan menarik nafas panjang.
Namun beberapa saat kemudian, Ki Pananggungan melihat
seseorang berjalan sambil memanggul bajaknya dan
menggiring sepasang lembu yang besar-besar. Dibiarkannya
orang itu meletakkan bajaknya, kemudian melepas lembunya
dan menggiringnya turun ke dalam air di genangan air yang
melimpah dari sendang itu.
Ki Pananggungan memandang orang itu dengan kerut di
keningnya. Sementara itu, orang yang kemudian memandikan
lembunya itu juga memandang Ki Pananggungan sekilas.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Aku belum pernah melihat orang ini" berkata orang yang
memandikan lembunya itu di dalam hatinya.
Sementara itu Ki Pananggungan justru telah mendekati
orang itu sambil bertanya, "Ki Sanak, bukankah pohon yang
lamat-lamat nampak itu pohon Manca Warna?"
Orang itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian orang
itupun mengangguk, "Ya, Ki Sanak. Pohon itu disebut pohon
Manca Warna. Apakah Ki Sanak akan pergi ke pohon itu untuk
melihat nasib?" "Nasib?" "Ya. Siapa yang nasibnya baik di waktu mendatang, akan
dapat melihat bunga melati pada pohon Manca Warna itu.
Tetapi siapa yang melihat kembang bangah, maka nasibnya
akan menjadi buruk" "Tidak, Ki Sanak. Aku tidak akan pergi untuk melihat nasib
pada pohon Manca Warna itu"
"O. Tentu setidak-tidaknya Ki Sanak akan dapat melihat
keajaiban alam" "Keajaiban apa?" bertanya Ki Pananggungan.
"Bukankah sangat ajaib jika sebatang pohon dapat
mempunyai berbagai macam bunga?"
"Bunga apa saja, Ki Sanak?"
"Tidak semua orang dapat melihat jenis-jenis bunga apa
pohon Manca Warna itu. Ada bunga randu, bunga belimbang
lingkir, bunga gayam dan banyak lagi"
"Bunga melati itu?"
"Ya. Bunga melati"
"Tetapi itu bukan satu keajaiban, Ki Sanak"
"Bagaimana kau dapat mengatakan bahwa itu bukan satu
keajaiban?" "Dahulu, Ki Sanak. Ketika pohon beringin itu mulai tumbuh,
maka bersamaan dengan itu tumbuh pula berbagai macam
pohon yang saling berdekatan. Akhirnya pohon-pohon itu
saling menyatu dibalut oleh sulur-sulur dan akar-akar beringin, maka cabangnya pun mencuat dari batang yang nampaknya
menjadi satu itu" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kau akan kualat, Ki Sanak"
Ki Pananggungan menarik nafas dalam-dalam. Ia menyesal
bahwa ia telah menyinggung perasaan orang itu, sementara
itu ia membutuhkan pertolongannya untuk menunjukkan
rumah Repak Rembulung dan Pupus Rembulung. Namun
akhirnya Ki Pananggungan itupun berkata, "Aku minta maaf,
Ki Sanak. Sebenarnyalah bahwa aku belum pernah
memperhatikan dengan sungguh-sungguh pohon Manca
Warna itu. Mungkin Ki Sanak benar, bahwa itu memang satu
keajaiban" Orang itu mengerutkan dahinya. Namun ia tidak menjawab.
Perhatiannya segera beralih kepada lembunya yang akan
dimandikannya. Tetapi sekali lagi orang itu berpaling kepada
Ki Pananggungan ketika Ki Pananggungan kemudian berkata,
"Ki Sanak, sebenarnya aku datang kemari untuk mencari
adikku. Ia tinggal tidak jauh dari sendang yang terletak di
dekat pohon Manca Warna. Kalau yang nampak itu pohon
Manca Warna, maka tentu sendang inilah yang dimaksud.
Atau barangkali ada sendang lain di dekat tempat ini?"
"Tidak, Ki Sanak. Ini adalah satu-satunya sendang di
lingkungan ini. Di belakang pohon benda yang besar itu juga
ada mata air yang terhitung deras. Tetapi di belakang pohon
benda itu tidak ada sendang. Airnya menggenang tidak
seberapa banyak karena airnya itu kemudian mengalir di dua
batang parit yang mengairi sawah di sisi yang lain dari
padukuhan itu" "Kalau begitu, tentu sendang inilah yang dimaksud"
Orang yang sedang memandikan lembunya itu
mengangguk-angguk. Namun kemudian iapun bertanya,
"Siapakah yang Ki Sanak cari?"
"Namanya Rembulung. Repak Rembulung. Sedangkan
istrinya dipanggil Pupus Rembulung"
Orang itu mengerutkan dahinya. Namun kemudian iapun
menggeleng. "Aku belum pernah mendengar namanya, Ki
Sanak. Aku lahir, besar dan tua di padukuhan ini. Aku
mengenal banyak orang. Penghuni padukuhan ini semuanya
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
aku kenal. Penghuni padukuhan tetangga pun banyak pula
yang aku kenal. Tetapi nama itu aku belum pernah
mendengarnya" "Ki Sanak, Repak Rembulung dan Pupus Rembulung belum
terlalu lama tinggal di sini. Ia orang baru. Sementara itu,
akhir-akhir ini di rumahnya telah berdatangan beberapa orang
tamu" Orang itu masih mengingat-ingat. Sementara Ki
Pananggunganpun berkata, "Mungkin Ki Sanak melihat rumah
yang nampak terlalu banyak penghuninya atau kadang-kadang
jika sedang memandikan lembunya melihat satu dua orang
gadis yang mencuci pakaian terlalu banyak"
Orang itu tiba-tiba saja mengangguk-angguk. Katanya, "Ki
Sanak, mungkin yang kau maksud itu adalah sepasang suami-
istri yang tinggal di tempat terpencil itu. Di bekas sebuah
pategalan yang dibelinya dari penghuni padukuhan ini.
Sepasang suami-istri itu membangun sebuah rumah yang
terhitung besar. Karena rumah itu terletak di bekas pategalan, maka rumah itu seakan-akan menjadi terpencil, sehingga
pergaulan penghuninya menjadi tersisih pula. Tetapi bukan
maksud kami untuk menyisihkan penghuni rumah itu. Jika
berpapasan dengan kami, merekapun mengangguk hormat
pula sebagaimana kami lakukan terhadap mereka"
"Mungkin, Ki Sanak. Memang mungkin sekali. Di manakah
letaknya pategalan itu?"
"Di sebelah padukuhan ini, di antara sebuah sungai kecil
yang agak curam" "Apakah aku dapat pergi ke sana dengan naik seekor
kuda?" "Dapat saja, Ki Sanak. Tetapi dengan sedikit melingkar. Ki
Sanak harus melalui ujung padukuhan ini. Di sebelahnya
terdapat sebuah jembatan bambu. Ki Sanak dapat meniti
jembatan itu. Jembatan itu cukup kuat"
"Terima kasih, Ki Sanak. Aku akan melihat penghuni rumah
yang terpencil itu. Mudah-mudahan penghuni rumah itu yang
aku cari. Jika tidak pun tidak mengapa"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Silahkan, Ki Sanak. Mudah-mudahan merekalah yang kau
cari" Ki Pananggunganpun kemudian minta diri. Sekali lagi ia
mengucapkan terima kasih.
Sejenak kemudian, maka Ki Pananggunganpun telah
menyusuri jalan padukuhan. Seperti petunjuk orang yang
sedang memandikan lembunya itu, maka di ujung padukuhan
Ki Pananggungan pun telah menyeberang sungai lewat sebuah
jembatan bambu. Ketika Ki Pananggungan menengadahkan wajahnya, maka
dilihatnya matahari telah sampai ke puncaknya. Dengan
jantung yang berdebaran, Ki Pananggungan membelokkan
kudanya mengikuti jalan yang tidak terlalu lebar menuju ke
sebuah rumah yang terletak di bekas sebuah pategalan.
Namun ketika Ki Pananggungan itu mendekati regol, maka
dilihatnya seseorang berdiri di pinggir jalan sambil
memandanginya dengan tajamnya.
"Ki Sanak" sapa orang itu ketika Ki Pananggungan melintas
di depannya. Ki Pananggunganpun menghentikan kudanya. Bahkan Ki
Pananggungan itu meloncat turun.
"Kau akan pergi ke mana Ki Sanak?" bertanya orang itu.
"Aku akan pergi ke rumah itu, Ki Sanak" jawab Ki
Pananggungan. "Siapakah yang kau cari?"
"Aku mencari Repak Rembulung atau Pupus Rembulung"
"Kau siapa?" "Aku kakak Repak Rembulung"
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun tiba-tiba saja
dari kejauhan terdengar seseorang menyebut nama Ki
Pananggungan. "Kakang Pananggungan?"
Ki Pananggungan berpaling. Dilihatnya Repak Rembulung
berdiri di pintu regol halaman rumah di bekas pategalan itu.


Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau, Repak Rembulung?"
"Marilah, Kakang"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ki Pananggungan itupun kemudian menuntun kudanya
memasuki regol halaman rumah, yang ternyata benar, rumah
Repak Rembulung. Sambil melangkah menyeberangi halaman, Repak
Rembulung itupun bertanya, "Dari mana Kakang tahu, bahwa
aku tinggal di sini?"
"Bukankah kau meskipun tidak langsung pernah
mengatakan kepadaku?"
"Kapan?" bertanya Repak Rembulung sambil mengerutkan
dahinya. Bahkan langkahnya pun terhenti di tengah-tengah
halaman. "Apakah kau sudah lupa" Kau tinggal di sebuah padukuhan
dekat sebuah sendang yang airnya bening dan tidak kering di
segala musim. Sendang itu berada dekat dengan pohon
seperti pohon beringin, tetapi mempunyai berbagai jenis
bunga" "Aku pernah mengatakan begitu?"
"Ya. Dan kau juga mengatakan bahwa kau sering mandi di
sendang itu pula" "Kakang, aku tidak pernah mandi di sendang itu"
"Kau sendiri yang mengatakannya. Apakah kau benar-
benar mandi, atau sekedar membual, aku tidak tahu"
Repak Rembulung masih mengingat-ingat. Iapun kemudian
bergumam, "Aku tidak ingat lagi, bahwa aku pernah
mengatakannya kepada Kakang"
"Jika kau tidak mengatakan kepadaku, dari siapa aku tahu
bahwa kau tinggal di sini?"
Repak Rembulung tidak menjawab.
"Repak Rembulung, umurku lebih tua dari umurmu. Tetapi
kau sudah hampir menjadi pikun. Sementara itu ingatanku
masih tetap jernih" "Mungkin, Kakang. Mungkin aku sudah hampir menjadi
pikun" Repak Rembulung itupun mengangguk-angguk. Namun
kemudian iapun berkata, "Mari. Marilah, Kakang. Aku
persilahkan Kakang naik"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Keduanyapun melangkah lagi ke pendapa rumah Repak
Rembulung yang terhitung besar. Di belakang pendapa yang
berbentuk joglo, terdapat dua wuwung bangunan limasan. Di
belakangnya terdapat sebuah longkangan yang berhubungan
dengan longkangan samping, di belakang seketeng. Kemudian
masih ada lagi bangunan limasan satu wuwung lagi. Di
sebelah menyebelah terdapat gandok yang memanjang sampai ke
belakang. Ketika Ki Pananggungan itu sudah duduk di pendapa, maka
Repak Rembulungpun berkata, "Silahkan duduk, Kakang. Aku
beritahu Pupus Rembulung"
Ki Pananggungan mengangguk. Katanya, "Juga beritahu
anakmu. Sebenarnyalah aku rindu pada Kemuning setelah
beberapa bulan aku tidak melihatnya"
Repak Rembulung tersenyum. Katanya, "Baik, Kakang. Aku
beritahu Kemuning dan Nyi Permati juga"
Sejenak kemudian, Ki Repak Rembulungpun hilang di balik
pintu masuk ke ruang dalam. Ki Pananggunganpun kemudian
duduk sendiri di pendapa. Ia sempat mengamati keadaan di
sekitarnya. Keningnya berkerut ketika ia melihat dua orang
anak muda melintas, kemudian masuk ke sebuah pintu bilik di
gandok sebelah kanan. "Agaknya mereka yang disebut sanak kadang Pupus
Rembulung dari padukuhan di pinggir Kali Praga" berkata Ki
Pananggungan di dalam hati. Kemudian iapun bertanya
kepada diri sendiri, "Tetapi apakah yang dikatakan Pangeran
Benawa dan Angger Paksi itu benar, bahwa anak-anak muda
itu adalah jalur Harya Wisaka bagi masa mendatang" Jika
demikian, maka mereka tentu bukan orang-orang dari
padukuhan di dekat Kali Praga"
Jantung Ki Pananggungan berdesir ketika ia melihat
Kemuning di halaman rumah itu berjalan bersama seorang
anak muda yang berwajah tampan. Nampaknya hubungan
mereka begitu dekat. Ki Pananggungan melihat Kemuning itu
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tertawa sambi mencubit lengan anak muda itu. Namun
kemudian Kemuningpun berlari masuk ke pintu seketeng.
Hampir saja Ki Pananggungan berteriak memanggil. Tetapi
Ki Pananggungan masih menahan diri, sehingga suaranya
kembali tertelan di kerongkongan.
Namun tiba-tiba saja terasa punggungnya menjadi basah
oleh keringat. "Siapakah anak muda itu?" bertanya Ki Pananggungan di
dalam hatinya. Di luar sadarnya, Ki Pananggungan itupun mulai
membayangkan hubungan antara Kemuning dengan anak
muda yang tampan itu. Mereka telah berkenalan dan tinggal
serumah. Setiap hari mereka bertemu, berbincang dan
barangkali juga bergurau.
Ki Pananggungan itupun telah teringat pula kepada Paksi.
Agaknya anak muda itu sifatnya berbeda dengan Paksi yang
lebih banyak mengekang diri. Tetapi agaknya anak muda itu
tidak. Dengan demikian tanggapan Kemuningpun berbeda.
Agaknya Kemuning merasa lebih bebas berhubungan dengan
anak muda itu daripada dengan Paksi yang nampak selalu
bersungguh-sungguh. Ki Pananggungan melihat anak muda itu selangkah
mengejar Kemuning. Namun demikian Kemuning hilang di
balik pintu seketeng, anak muda yang masih tertawa itu
berhenti. Bahkan iapun berbalik melangkah ke gandok.
Ki Pananggungan itupun menarik nafas dalam-dalam.
Namun kemudian iapun berkata di dalam hatinya, "Di rumah
ini ada Repak Rembulung, ada Pupus Rembulung yang
menurut pengamatanku dapat menjadi ayah dan ibu yang baik
di rumah. Mudah-mudahan mereka sempat menilik pergaulan
anak gadisnya yang sudah meningkat dewasa itu. Bahkan di
rumah ini juga ada Nyi Permati. Justru ibu kandung Kemuning.
Nyi Permati yang menjadi pemomong Kemuning itu tentu akan
dapat memberi petunjuk jalan kehidupan bagi seorang yang
meningkat menjadi seorang gadis dewasa"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tetapi angan-angan Ki Pananggungan itu terputus. Dengan
tergopoh-gopoh seorang perempuan keluar dari ruang dalam.
Dengan ramah perempuan itu menyapa, "Kakang, selamat
datang di rumah kami yang sederhana ini, Kakang"
Ki Pananggunganpun bangkit berdiri. Pupus Rembulung
dan Repak Rembulung kemudian diikuti oleh Nyi Permati yang
menyambutnya dengan mata yang basah.
"Silahkan duduk, Kakang" Pupus Rembulung
mempersilahkan. Ki Pananggunganpun kemudian duduk kembali bersama
Repak Rembulung, Pupus Rembulung dan Nyi Permati.
Berganti-ganti mereka bertanya tentang keselamatan
perjalanan Ki Pananggungan serta keluarga yang ditinggalkan.
"Mbokayu tinggal sendiri di rumah, Kakang?"
"Ada beberapa orang yang menemaninya di rumah, Nyi.
Seorang yang meskipun sudah agak tua, tetapi masih kuat
untuk menimba air mengisi pakiwan. Seorang remaja anak
tetangga. Dan seorang perempuan yang sudah lama tinggal
bersama kami" "Kenapa Mbokayu tidak datang kemari bersama Kakang?"
"Bukankah baru kali ini aku menemukan rumahmu" Jika
aku mengajak mbokayumu, tetapi kami tidak menemukan
rumahmu, maka perjalanan mbokayumu akan sia-sia"
Pupus Rembulung tertawa. Sementara Ki Repak Rembulung
bertanya, "Maaf, Kakang, bukankah Kakang tidak membawa
persoalan yang penting yang akan Kakang sampaikan kepada
kami?" "Ah" potong Pupus Rembulung, "kenapa kau tergesa-gesa
bertanya tentang kepentingan kedatangan Kakang
Pananggungan. Kakang tentu letih. Biarlah Kakang
beristirahat. Kakang Pananggungan tentu tidak akan tergesa-
gesa pulang. Kakang tentu akan bermalam, bahkan mungkin
dua atau tiga malam. -ooo00dw00ooo- Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Jilid 39 KI PANANGGUNGAN tersenyum. Sedangkan Repak
Rembulung itupun menjawab, "Terus terang, aku menjadi
berdebar-debar ketika aku melihat Kakang Pananggungan
datang kemari, sehingga aku ingin segera mengetahui jika
Kakang membawa persoalan yang penting"
Namun Ki Pananggungan itu kemudian tertawa sambil
menjawab, "Tidak ada yang penting. Sebenarnyalah
mbokayumu sangat rindu kepada Kemuning. Setelah sekian
bulan berlalu, tidak terdengar kabar beritanya sama sekali"
"Akulah yang minta maaf" sahut Nyi Permati. "Seharusnya
aku datang mengunjungi Kakang bersama Kemuning"
"Kau?" bertanya Ki Pananggungan. "Seharusnya kau
menjadi jera. Kau pernah tersesat dan bahkan jatuh ke tangan
Bahu Langlang" "Sayang, aku terlambat mengetahuinya, Kakang" sahut
Repak Rembulung. "Tetapi sukurlah, bahwa Yang Maha Agung masih
melindungi anakmu" "Jika aku dapat menemukan orang itu" geram Pupus
Rembulung. "Sekarang tidak perlu lagi. Seandainya kalian
menemukannya, segala sesuatunya sudah berubah. Kau tidak
perlu lagi mendendamnya. Sukuri perlindungan Yang Maha
Agung itu" Repak Rembulung menarik nafas dalam-dalam, sementara
Pupus Rembulungpun menyahut, "Ya, Kakang"
"Tetapi di manakah Kemuning sekarang?" bertanya Ki
Pananggungan. "Ada Kakang. Ada di belakang"
Ketika Nyi Permati beringsut, Pupus Rembulungpun
berkata, "Sudah, duduk sajalah, Nyi. Biarlah aku memanggil
Kemuning" Nyi Permati menarik nafas panjang. Namun nampak bahwa
ada sesuatu yang membuat perasaannya menjadi muram.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Mungkin sikap dan tingkah laku Kemuning" berkata Ki
Pananggungan di dalam hatinya.
Ki Pananggungan itupun telah teringat lagi kepada Paksi
yang ada di rumahnya bersama Pangeran Benawa. Namun Ki
Pananggungan tidak ingin mengatakan, bahwa di rumahnya
ada Paksi dan Wijang. Sejenak kemudian, Nyi Pupus Rembulung telah keluar dari
ruang dalam sambil menggandeng tangan Kemuning.
"Inilah anak itu, Kakang"
"Kemuning" desis Ki Pananggungan.
Kemuning itupun kemudian berlari-lari kecil. Duduk
bersimpuh di hadapan Ki Pananggungan. Kemuning itu pun
membungkuk dalam-dalam sambil mencium tangan Ki
Pananggungan. "Paman" desisnya. Terasa tangan Ki Pananggungan
menjadi basah. "Kau baik-baik saja, Kemuning?" bertanya Ki
Pananggungan. "Ya, Paman. Aku baik-baik saja. Bagaimana dengan Paman
dan Bibi?" "Semuanya baik-baik saja, Kemuning. Bibimu sangat rindu
kepadamu" "Aku minta maaf, Paman. Sebenarnya bahwa aku ingin
sekali pergi menemui Paman dan Bibi. Tetapi Ayah dan Ibu
terlalu sibuk, sehingga belum dapat mengantarku. Sementara
itu, aku takut untuk pergi berdua saja dengan Bibi Permati"
"Jangan pergi berdua saja, Kemuning" berkata Ki
Pananggungan. "Kau akan dapat jatuh ke tangan seseorang
yang berniat jahat seperti yang pernah terjadi. Karena itu,
biarlah Paman saja yang datang kemari. Mungkin pada
kesempatan lain, Paman dapat datang bersama Bibi"
"Kecuali jika kau akan pergi menengok bibimu bersama
pamanmu Pananggungan" berkata Nyi Permati.
"Jika kau ingin, biarlah Kemuning pergi bersamaku. Nanti,
dua atau tiga hari, aku akan mengantarnya pulang"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ki Repak Rembulunglah yang menyahut sambil tertawa,
Kemelut Di Cakrabuana 8 Pukulan Si Kuda Binal Karya Gu Long Renjana Pendekar 5
^