Pencarian

Beautiful Disaster 3

Beautiful Disaster Karya Jamie Mcguire Bagian 3


Mata Travis tidak fokus, memindai ingatannya tentang yang terjadi tadi malam. Aku berusaha menahan amarahku. Jika dia tidak ingat menarikku keluar dari mobil, dia tidak akan ingat aku hampir menyerahkan keperawananku padanya di atas piring perak.
"Seberapa kesalnya dirimu"" dia bertanya sambil meringis.
"Sangat kesal." Aku lebih marah karena perasaanku tidak ada hubungannya dengan Parker. Aku mengikat tali jubahku lebih erat dan berjalan menelusuri lorong. Langkah Travis berada di belakangku.
"Pidge," dia memanggilku, menangkap pintu ketika aku menutupnya di depan wajahnya. Dia perlahan mendorong pintu terbuka dan berdiri di depanku, menunggu untuk menerima kemarahanku.
"Apa kau mengingat semua yang kau katakan padaku tadi malam"" aku bertanya.
"Tidak, kenapa" Apakah aku kasar padamu"" Matanya yang merah terlihat berat karena khawatir, yang hanya memperkuat rasa marahku.
"Tidak, kau tidak kasar padaku! kau...kita..." a
ku mentup mataku dengan tangan, lalu membeku ketika merasakan tangan Travis di pergelangan tanganku.
"Dari mana ini"" dia bertanya, memandang ke arah gelang.
"Ini punyaku," aku menjawab, menarik tanganku darinya.
Dia tidak melepaskan pandangannya dari pergelangan tanganku. "Aku tidak pernah melihatnya sebelumnya. Itu kelihatannya baru."
"Benar." "Dari mana kau mendapatkannya""
"Parker memberikannya padaku sekitar lima belas menit yang lalu," aku berkata, melihat wajahnya berubah dari kebingungan menjadi marah.
"Apa yang dilakukan orang brengsek itu di sini" Apa dia menginap di sini"" dia bertanya, suaranya semakin tinggi pada setiap pertanyaan.
Aku menyilangkan tanganku. "Dia pergi belanja untuk mencari hadiah ulang tahun untukku lalu membeli ini."
"Ini kan belum hari ulang tahunmu." Wajahnya berubah menjadi merah saat dia berusaha mengontrol emosinya.
"Dia tidak tahan menunggu," aku berkata, mengangkat daguku dengan rasa bangga.
"Tidak heran aku harus menyeretmu keluar dari mobilnya, kedengarannya kalian sedang..." dia terhenti, menekan bibirnya.
Aku menyipitkan mataku. "Apa" Kedengarannya aku sedang apa""
Rahangnya menjadi tegang dan dia menarik nafas panjang, menghembuskannya melalui hidung. "Tidak sedang apa-apa. Aku hanya kesal dan tadi aku akan mengatakan hal yang buruk yang akan aku sesali."
"Itu tidak pernah menghentikanmu sebelumnya."
"Aku tahu. Aku sedang berusaha memperbaikinya," dia berkata sambil melangkah menuju pintu. "Aku akan membiarkanmu berpakaian."
Ketika dia meraih pegangan pintu, dia berhenti, menggosok tangannya. Ketika dia menyentuh luka lebam berwarna ungu di kulitnya, dia mengangkat sikunya dan melihat lukanya. Dia memandanginya sesaat, lalu berbalik ke arahku.
"Aku terjatuh di tangga tadi malam. Dan kau membantuku ke tempat tidur &" dia berkata, menyaring semua gambaran yang samar di pikirannya.
Jantungku berdebar, aku sulit untuk menelan saat aku melihat kesadaran menyerangnya. Matanya menyipit. "Kita," dia memulai, mengambil satu langkah ke arahku, melihat ke arah lemari lalu ke tempat tidur.
"Tidak, kita tidak melakukannya. Tidak ada yang terjadi," kataku sambil menggelengkan kepala.
Dia meringis, ingatannya jelas berputar ulang di pikirannya. "kau membuat jendela Parker beruap, aku menarikmu keluar dari mobil, lalu aku mencoba untuk &" dia berkata, menggelengkan kepalanya. Dia berbalik menuju pintu dan menarik pegangan pintu, telapak tangannya menjadi putih. "kau membuatku menjadi seperti orang gila sialan, Pigeon," dia menggerutu. "Aku tidak berpikiran lurus ketika berada di dekatmu."
"Jadi ini salahku""
Dia berbalik. Matanya menatapku lalu jubahku, pahaku kemudian kakiku, kembali ke mataku. "Aku tidak tahu, ingatanku sedikit kabur...namun aku tidak ingat kau berkata tidak."
Aku melangkah maju, siap untuk mendebat fakta kecil yang tidak relevan itu, tapi aku tidak bisa. Dia benar. "Apa yang kau ingin aku katakan, Travis""
Dia melihat ke arah gelang lalu menatapku dengan pandangan menuduh. "kau berharap aku tidak akan mengingatnya""
"Tidak! Aku sangat kesal bahwa kau lupa!"
Mata coklatnya menatap mataku. "Mengapa""
"Karena jika aku telah...kita telah &dan kau tidak...aku tidak tahu mengapa! Aku pokoknya kesal!"
Dia bergegas menyeberangi ruangan, berhenti beberapa inchi dariku. Tangannya menyentuh kedua sisi wajahku, dia bernafas cepat saat dia mengamati wajahku. "Apa yang sedang kita lakukan, Pidge""
Mataku mulai memandang ikat pinggangnya, naik ke atas ke arah otot dan tato di perut dan dadanya, dan berakhir di mata coklatnya yang hangat. "kau yang beritahu aku."
*** Bab 7 SEMBILAN BELAS "Abby," Shepley memanggilku, mengetuk pintu. "Mare akan pergi mengurus sesuatu, dia ingin aku memberitahumu jika kau ingin ikut pergi."
Travis tidak melepaskan pandangannya dariku. "Pidge""
"Ya, aku akan ikut," aku berkata pada Shepley. "Aku punya beberapa urusan yang harus aku selesaikan."
"Baiklah, dia siap pergi kalau kau sudah siap," Shepley berkata, suara langkahnya menghilang di lorong.
"Pidge" " Aku menarik beberapa barang dari dalam lemari dan berjalan melewati Travis. "Bisakah kita membicarakannya nanti" Aku punya banyak pekerjaan yang harus diselesaikan hari ini."
"Tentu," dia berkata sambil tersenyum, senyum yang dibuat-buat.
Aku merasa lega saat masuk kamar mandi, langsung menutup pintu di belakangku. Aku masih punya dua minggu lagi untuk tinggal di apartemen ini, dan tidak mungkin menunda membahas permasalahan ini selama itu. Sisi logis pikiranku bersikeras bahwa Parker adalah tipeku; menarik, pintar dan tertarik padaku. Mengapa aku merasa peduli pada Travis adalah sesuatu yang tidak akan pernah aku mengerti.
Apapun alasannya, itu membuat kita berdua menjadi gila. Aku terbagi menjadi dua manusia yang berbeda; penurut, wanita yang sopan saat bersama Parker, dan menjadi pemarah, bingung dan orang yang frustrasi saat berada di dekat Travis. Seluruh kampus telah melihat Travis yang tidak bisa ditebak menjadi hampir mendekati periang.
Aku berdandan dengan cepat, meninggalkan Travis dan Shepley untuk pergi ke kota dengan America. Dia tertawa cekikikan saat menceritakan tentang seks anehnya dengan Shepley tadi pagi, dan aku mendengarkan sambil mengangguk pada setiap saat yang tepat. Sangat sulit untuk fokus pada topik pembicaraan saat berlian di gelang tanganku menciptakan titik-titik kecil cahaya di atap mobil, mengingatkanku akan pilihan yang harus aku hadapi. Travis menginginkan jawaban, dan aku tidak memiliki jawabannya.
"Ok, Abby. Apa yang sedang kau pikirkan" kau jadi pendiam."
"Masalahku dengan Travis &sangat kacau."
"Mengapa"" dia bertanya, kacamatanya terdorong ke atas saat dia mengerutkan hidungnya.
"Dia bertanya padaku apa yang terjadi diantara kita."
"Ada apa diantara kalian berdua" Bukannya kau dengan Parker""
"Aku menyukainya tapi ini baru seminggu. Kita belum terlalu serius."
"kau menyukai Travis, ya kan""
Aku menggelengkan kepalaku. "Aku tak tahu bagaimana perasaanku padanya. Aku hanya tahu itu tidak akan terjadi, Mare. Dia punya terlalu banyak hal yang buruk."
"Salah satu dari kalian harus ada yang mengutarakannya lebih dulu, itu masalahnya. Kalian berdua sangat takut pada apa yang akan terjadi sehingga kalian melawan perasaan itu mati-matian. Aku yakin kalau kau melihat kedalam mata Travis dan mengatakan padanya kalau kau menginginkannya, dia tidak akan pernah lagi melirik wanita lain."
"Apakah kau yakin""
"Ya. Aku punya sumber orang dalam, ingat""
Aku terdiam sambil berpikir beberapa saat. Travis telah memberitahu Shepley tentang aku tapi Shepley tidak mendukung hubungan ini dengan cara tidak memberitahu America. Dia tahu America akan memberitahuku, menuntunku pada satu kesimpulan: America tidak sengaja telah mendengar pembicaraan mereka. Aku ingin menanyakan apa saja yang mereka katakan, tapi lebih baik tidak.
"Aku pasti akan patah hati," aku berkata, menggelengkan kepalaku. "Kupikir dia tak akan pernah bisa setia."
"Dia juga dulu tidak bisa memelihara suatu hubungan dengan seorang wanita, tapi kalian berdua telah membuat seluruh Eastern terkejut."
Aku menyentuh gelang dengan jariku lalu menghela nafas. "Aku tak yakin. Aku tidak keberatan dengan keadaan seperti sekarang. Kita hanya bisa berteman."
America menggelengkan kepalanya. "Tapi kalian bukan hanya sekedar teman," dia menghela nafas. "kau tahu, aku sudah muak membicarakan ini. Ayo kita menata rambut kita dan berdandan. Aku akan membelikanmu pakaian baru untuk pesta ulang tahun nanti."
"Kupikir itu memang yang aku butuhkan," aku tersenyum.
*** Setelah beberapa jam manikur, pedikur, di sikat, di wax dan dibedaki, aku memakai sepatu hak tinggi kuningku yang mengkilap, dan mengenakan gaun abu-abuku yang baru.
"Nah itu Abby yang aku tahu dan sayangi!" dia tertawa, menggelengkan kepalanya melihat penampilanku.
"kau harus memakai baju itu ke pesta besok."
"Bukankah dari tadi memang itu rencananya"" kataku, menyeringai. Teleponku berbunyi dari dalam tasku, lalu aku mengangkatnya ke telingaku. "Hallo""
"Waktunya makan malam! Kalian berdua pergi kemana"" Travis be
rkata. "Kami sedikit memanjakan diri. Kau dan Shep kan tahu bagaimana caranya untuk makan sebelum bertemu dengan kami. Aku yakin kalian bisa melakukannya."
"Well, yang benar saja. Kami menghawatirkan kalian tahu""
Aku melihat ke arah America lalu tersenyum. "Kami baik-baik saja."
"Katakan padanya aku akan mengantarmu pulang sebentar lagi. Aku akan ke rumah Brazil dulu sebentar untuk mengambil beberapa catatan untuk Shep, lalu kita akan pulang."
"kau dengar itu"" aku bertanya.
"Ya. Sampai bertemu nanti, Pidge."
Kami menuju rumah Brazil dalam keheningan. America mematikan mesin mobil, menatap ke arah gedung apartemen di depan. Aku heran kenapa Shepley meminta America untuk mampir ke rumah Brazil, padahal jaraknya hanya satu blok dari apartemen Shepley dan Travis.
"Kenapa, Mare""
"Brazil membuatku takut. Terakhir kali aku kemari dengan Shep, dia merayuku."
"Well, aku akan masuk bersamamu. Jika dia terus mengedipkan matanya padamu, aku akan menusuk matanya memakai sepatu hak tinggi baruku, Ok""
America tersenyum dan memelukku. "Terima kasih, Abby!"
Kami berjalan ke belakang gedung, dan America menarik nafas panjang sebelum mengetuk pintu. Kami menunggu, namun tidak ada orang yang datang.
"Aku kira dia tidak ada di rumah"" aku bertanya.
"Dia ada di sini," America berkata, sedikit kesal. Dia memukul pintu kayu dengan kepalan tangannya dan pintupun terbuka.
"SELAMAT ULANG TAHUN!" teriak semua orang di dalam.
"Tapi ulang tahunku kan besok," aku berkata. Masih terkejut, aku mencoba tersenyum pada semua orang.
Travis mengangkat bahunya. "Well, karena ada yang membocorkannya padamu, kami harus membuat perubahan di menit-menit terakhir untuk memberimu kejutan, terkejut""
"Sangat!" aku berkata saat Finch memelukku.
"Selamat ulang tahun, sayang!" Finch berkata sambil mencium bibirku.
America menyikutku dengan sikunya. "Untung aku mengajakmu pergi untuk menyelesaikan beberapa urusan hari ini atau kau akan datang kemari dengan penampilan berantakan!"
"kau kelihatan sangat cantik," kata Travis, memperhatikan gaunku.
Brazil memelukku, menekan pipinya ke pipiku. "Dan aku harap kau tahu yang America katakan tentang Brazil membuatku takut adalah hanya agar kau datang kemari."
Aku memandang America dan dia tertawa. "Itu berhasil, ya kan""
Setelah semua orang bergantian memeluk dan mengucapkan selamat ulang tahun padaku, aku mendekati America dan berbisik di telinganya. "Di mana Parker""
"Dia akan datang nanti," dia berbisik. "Shepley tidak dapat menghubunginya melalui telepon untuk memberitahunya hingga sore ini."
Brazil memutar volume di stereo menjadi lebih kencang, dan semua orang berteriak. "Ayo ke sini, Abby!" dia berkata, berjalan menuju dapur. Dia menyusun gelas sepanjang meja dan mengeluarkan satu botol tequila dari lemari. "Ini hadiah ulang tahun dari tim football, sayang," dia tersenyum, mengisi penuh semua sloki dengan tequila merk Petron. "Ini cara kami merayakan ulang tahun: kau berumur sembilan belas tahun, kau meminum sembilan belas sloki. kau dapat meminumnya atau memberikannya pada orang lain, tapi semakin banyak kau minum, semakin banyak kau mendapatkan ini," dia berkata, mengipaskan setumpuk uang duapuluh dolar.
"Ya Tuhan!" aku memekik.
"Minum saja semua, Pidge!" kata Travis.
Aku menatap Brazil, curiga. "Aku mendapat dua puluh dolar setiap sloki yang aku minum""
"Ya benar, enteng. Melihat ukuranmu, kupikir kami hanya akan kehilangan enam puluh dolar sampai tengah malam nanti."
"Pikirkan lagi, Brazil," kataku, mengambil sloki pertama, memutarnya di bibirku, mendongakkan kepalaku ke belakang untuk mengosongkan gelas lalu menelannya sampai habis dan menjatuhkan gelas ke tanganku yang lainnya.
"Ya ampun!" Travis berseru.
"Ini akan sangat mudah, Brazil." Kataku, mengelap sudut mulutku. Kau menuangkan Cuervo bukan Petron."
Senyum sombong Brazil menghilang perlahan, dan dia menggelengkan kepalanya lalu mengangkat bahu. "Maka kau akan mendapatkannya setelah ini. Aku punya semua dompet kedua belas pemain football yang mengatakan kau
tidak akan mencapai sepuluh sloki."
Aku memicingkan mataku. "Gandakan atau tidak sama sekali apabila aku bisa menghabiskan lima belas sloki."
"Nanti dulu!" Shepley berteriak. "kau tidak boleh masuk rumah sakit pada hari ulang tahunmu, Abby!"
"Dia sanggup meminumnya," kata America, menatap ke arah Brazil.
"Empat puluh dolar satu sloki"" kata Brazil, tak yakin.
"kau takut"" aku bertanya.
"Tentu saja tidak! Aku akan memberimu dua belas sloki, dan ketika kau minum lima belas, aku akan menggandakan totalnya."
"Begitulah cara Kansas merayakan ulang tahun." Kataku sambil menenggak sloki berikutnya.
Satu jam dan tiga sloki berikutnya, aku berada di ruang tamu sedang berdansa dengan Travis. Diiringi lagu rock balada dan Travis mengatakan sesuatu tanpa suara padaku saat kita berdansa. Dia memiringkanku ke belakang pada chorus pertama, dan aku membiarkan tanganku jatuh di belakangku. Dia menarikku lagi ke atas dan aku menghela nafas.
"kau tak boleh melakukan itu ketika aku sudah minum dua digit sloki," aku tersenyum cekikikan.
"Apa aku sudah bilang kalau kau terlihat sangat cantik malam ini""
Aku menggelengkan kepalaku dan memeluknya, meletakan kepalaku di bahunya. Dia mengeratkan pegangannya, dan memendamkan wajahnya di leherku, membuatku lupa tentang keputusan atau gelang atau dua kepribadianku yang berbeda; aku berada di tempat yang aku inginkan.
Ketika musik berganti menjadi lebih nge-beat, pintu terbuka.
"Parker!" kataku, berlari untuk memeluknya. "kau datang juga!"
"Maafkan aku terlambat, Abs," dia berkata, mencium bibirku. "Selamat ulang tahun."
"Terima kasih," kataku, melihat Travis yang sedang memandang ke arah kami dari ujung mataku.
Parker mengangkat pergelangan tanganku. "kau memakainya."
"Aku kan sudah bilang akan memakainya. Mau berdansa""
Dia menggelengkan kepalanya. "Ehm...aku tidak berdansa."
"Oh. Well, kau ingin menyaksikanku meminum gelas yang ke enam Pertron"" aku tersenyum, memperlihatkan lima lembar uang dua puluh dolarku. "Aku akan mendapatkan double jika aku meminum lima belas sloki."
"Bukankah itu agak sedikit berbahaya""
Aku mendekat ke telinganya. "Aku benar-benar memperdaya mereka. Aku telah memainkan permainan ini sejak berumur enam belas tahun bersama ayahku."
"Oh," dia berkata, mengkerutkan dahinya karena tidak menyukainya. "kau meminum tequila bersama ayahmu""
Aku mengangkat bahuku . "Itu caranya untuk mempererat ikatan."
Parker tampak tidak terkesan saat matanya mengalihkan perhatiannya dariku ke arah kerumunan orang. "Aku tidak bisa lama. Aku akan pergi berburu dengan ayahku besok pagi."
"Untung pestanya malam ini, kalau besok, kau pasti tidak bisa datang," aku berkata, terkejut mendengar rencananya.
Dia tersenyum dan memegang tanganku. "Aku akan mengusahakan pulang pada waktunya."
Aku menariknya ke meja, mengangkat sloki berikutnya dan meminumnya, membantingnya terbalik di atas meja seperti yang sudah aku lakukan lima sloki sebelumnya. Brazil menyerahkan dua puluh dolar lagi padaku, dan aku menari menuju ruang tamu. Travis menarikku, dan kita berdansa dengan America dan Shepley.
Shepley memukul pantatku. "Satu!"
America menambahkan pukulan keras kedua di pantatku, lalu semua orang bergabung kecuali Parker.
Pada hitungan ke sembilan belas, Travis menggosok-gosok tangannya. "Giliranku!"
Aku mengusap pantatku yang sakit. "Pelan-pelan! Pantatku sakit!"
Dengan seringai jahat, dia mengangkat tangannya jauh ke atas bahunya. Aku menutup rapat mataku. Beberapa saat kemudian, aku membukanya lagi sedikit. Tepat sebelum tangannya menyentuh pantatku, dia berhenti dan memberiku pukulan pelan.
"Sembilan belas!" dia berseru.
Semua tamu bersorak, dan America mulai menyanyikan lagu Happy Birthday sambil mabuk. Aku tertawa saat bagian menyebutkan namaku, semua orang mengatakan "Pigeon".
Lagu slow lainnya mengalun dari stereo, dan Parker menarikku ke lantai dansa yang dibuat seadanya. Tidak membutuhkan waktu yang lama untuk mengetahui alasan mengapa Parker tidak berdansa.
"Maaf," dia berkata setelah menginjak
kakiku untuk ketiga kalinya.
Aku meletakkan kepalaku di bahunya. "Kau berdansa cukup bagus." Aku berbohong.
Dia mencium pelipisku. "Apa kau punya rencana Senin malam nanti""
"Pergi makan malam denganmu""
"Ya. Di apartemen baruku."
"kau sudah menemukannya!"
Dia tertawa dan mengangguk. "Tapi kita akan memesan makanan. Masakanku tidak bisa di makan."
"Aku akan memakannya bagaimanapun juga," aku tersenyum padanya.
Parker memandang sekilas ke sekeliling ruangan lalu menuntunku ke lorong. Dia dengan lembut menekanku ke tembok, menciumku dengan bibir lembutnya. Tangannya ke mana-mana. Awalnya aku mengikuti, namun saat lidahnya menyusup ke dalam bibirku, aku dengan jelas merasakan bahwa aku telah melakukan kesalahan.
"Ok, Parker," kataku menghentikannya.
"Semuanya baik-baik saja""
"Kupikir tidak sopan jika aku bercumbu denganmu di pojokan yang gelap sementara aku ada tamu di sana."
Dia tersenyum lalu menciumku lagi. "kau benar, maafkan aku. Aku hanya ingin memberikanmu ciuman ulang tahun yang tak akan terlupakan sebelum aku pergi."
"kau akan pergi""
Dia menyentuh pipiku. "Aku harus sudah bangun tidur dalam waktu empat jam, Abs."
Aku merapatkan bibirku. "Baiklah. Kita akan bertemu hari Senin""
"kau akan bertemu denganku besok. Aku akan mampir saat pulang nanti."
Dia menuntunku ke pintu lalu mencium pipiku sebelum dia pergi. Aku menyadari Shepley, America dan Travis sedang memandang ke arahku.
"Ayah sudah pergi!" Travis berteriak ketika pintu di tutup. "Waktunya pesta ini di mulai!"
Semua orang bersorak, dan Travis menarikku ke tengah ruangan .
"Tunggu sebentar...aku punya jadwal," kataku, menuntunnya ke meja. Aku menghabiskan satu minuman lagi, dan tertawa ketika Travis juga mengambil satu yang di ujung, menenggaknya hingga habis. Aku mengambil satu lagi lalu meneguknya, dia juga melakukan hal yang sama.
"Tujuh gelas lagi, Abby," kata Brazil, menyerahkan lagi dua lembar duapuluh dolar padaku.
Aku mengelap mulutku saat Travis menarikku kembali ke ruang tamu. Aku berdansa dengan America, lalu Shepley, namun ketika Chris Jenks dari tim football mencoba berdansa denganku, Travis menarik bajunya ke belakang dan menggelengkan kepala. Chris mengangkat bahu dan berbalik, berdansa dengan wanita pertama yang dia lihat.
Minuman yang ke sepuluh memukul dengan keras, dan aku merasa sedikit pusing saat berdiri di atas sofanya Brazil bersama America, berdansa seperti anak sekolahan yang ceroboh. Kita cekikikan tanpa sebab, melambaikan tangan kita mengikuti alunan musik.
Aku terhuyung, hampir terjatuh ke belakang dari sofa, namun tangan Travis selalu di pinggangku untuk memegangiku.
"kau sudah membuktikan maksudmu," dia berkata. "kau mabuk lebih dari semua wanita yang pernah kita lihat. Aku akan menghentikannya."
"Persetan, kalau berani," aku bicara dengan tidak jelas. "Aku punya enam ratus dolar yang menunggu di bawah sloki itu dan kau diantara semua orang yang tidak boleh melarangku melakukan sesuatu yang ekstrim untuk uang."
"Jika kau begitu kesulitan uang, Pidge &"
"Aku tidak akan meminjam uang darimu," aku menyeringai.
"Aku tadinya akan menyarankan untuk menggadaikan gelang itu," dia tersenyum.
Aku memukul tangannya saat America mulai berhitung mundur menuju tengah malam. Ketika jarumnya menunjukan jam dua belas, kita semua berpesta.
Aku sekarang sembilan belas tahun.
America dan Shepley masing-masing mencium satu pipiku, dan Travis mengangkatku ke atas, lalu memutar-mutarku.
"Selamat ulang tahun, Pigeon," dia berkata dengan ekspresi yang lembut.
Aku menatap matanya yang coklat dan hangat untuk beberapa saat, merasa tersesat di dalamnya. Waktu seperti berhenti di ruangan ini saat kita saling menatap satu sama lain, sangat dekat sehingga aku dapat merasakan nafasnya di kulitku.
"Minum!" kataku, terhuyung ke meja.
kau terlihat sangat mabuk, Abby. Aku pikir sudah waktunya untuk menghentikannya," kata Brazil.
"Aku bukan orang yang mudah menyerah," kataku. "Aku ingin melihat uangku."
Brazil meletakan uang dua puluh dolar di bawah dua
sloki terakhir, dia lalu berteriak pada teman satu timnya, "Dia akan meminum semuanya! Aku butuh seratus lima puluh dolar!"
Mereka semua mengerang dan memutar mata mereka, mengeluarkan dompetnya untuk menyusun setumpuk uang dua puluh dolar di belakang sloki terakhir. Travis sudah menghabiskan empat sloki lainnya yang tersisa di luar lima belas sloki minumanku.
"Aku tidak pernah percaya akan kalah lima puluh dolar saat taruhan minum lima belas sloki dengan seorang wanita." Chris mengeluh.
"Percayalah, Jenks." Aku berkata, mengangkat dua gelas dengan kedua tanganku.
Aku menenggak masing-masing gelas dan menunggu agar muntahanku yang naik ke tenggorokan untuk turun kembali.
"Pigeon"" Travis bertanya, mendekat satu langkah ke arahku.
Aku mengangkat jariku dan Brazil tersenyum. "Dia akan memuntahkannya," Brazil berkata.
"Tidak, tidak akan," America menggelengkan kepalanya. "Tarik nafas panjang, Abby."
Aku menutup mataku lalu menarik nafas, menghabiskan gelas terakhirku.
"Sialan, Abby! kau akan mati karena keracunan alkohol!" Shepley berteriak.
"Dia tidak akan apa-apa," America meyakinkannya.
Aku mendongakkan kepalaku ke belakang dan membiarkan tequila mengalir turun di tenggorokanku. Gigi dan mulutku sudah mati rasa sejak sloki ke delapan, dan efek dari kadar alkohol 40 persen menendang jauh sebelum itu kehilangan tepinya. Suasana pesta meledak menjadi suara siulan dan teriakan saat Brazil menyerahkan setumpuk uang padaku.
"Terima kasih," kataku dengan bangga, menyelipkan uang ke dalam braku.
"kau benar-benar sangat cantik sekarang," Travis berkata di telingaku saat kita berjalan ke ruang tamu. Kita berdansa sampai pagi dan tequila yang mengalir di pembuluh darahku berkurang dan terlupakan.
*** Bab 8 GOSIP Ketika mataku akhirnya terbuka, aku melihat bahwa aku tidur beralaskan kaki yang memakai celana jins. Travis duduk bersandar pada tub, dan kepalanya ke tembok, tidur kedinginan. Dia kelihatan sama parahnya denganku. Aku melepas selimutku lalu berdiri, tersentak melihat bayanganku yang menakutkan dalam cermin di atas wastafel.
Aku terlihat seperti mayat.
Maskara luntur, noda air mata hitam sepanjang pipiku, lipstik belepotan dan ada rambutku diikat seperti buntut tikus di kedua sisinya.
Ada sprei, handuk dan selimut di sekeliling Travis. Dia membuat alas empuk untuk tidur sementara aku memuntahkan lima belas sloki tequila yang aku minum tadi malam. Travis memegangi rambutku menjauh dari toilet dan duduk bersamaku sepanjang malam.
Aku menyalakan kran, menahan tanganku di bawah air hingga temperaturnya sesuai dengan yang aku inginkan. Menggosok wajahku yang berantakan, aku mendengar erangan dari lantai. Travis bangun, menggosok matanya, menggeliat lalu melihat ke sampingnya, dia tersentak panik.
"Aku di sini," kataku. "Kenapa kau tidak pergi ke kamar saja" Untuk tidur lagi""
"kau baik-baik saja"" dia berkata, mengusap matanya sekali lagi.
"Ya, aku baik-baik saja. Well, sebaik yang aku bisa. Aku akan merasa lebih baik setelah mandi nanti."
Dia berdiri. "Kau sangat hebat tadi malam, asal kau tahu. Aku tak tahu dari mana asalnya, tapi aku tidak ingin kau melakukannya lagi."
"Aku sudah terbiasa, Trav. Bukan masalah besar bagiku."
Dia memegang pipiku dengan tangannya lalu menghapus sisa maskara luntur yang masih ada di bawah mataku dengan ibu jarinya. "Itu masalah besar bagiku."
"Baiklah, aku tidak akan mengulanginya lagi. Puas""
"Ya. Tapi, aku akan memberitahumu sesuatu, tapi janji kau tidak akan panik."
"Oh, Tuhan, apa yang telah aku lakukan""
"kau tidak melakukan apa-apa, tapi kau harus menelepon America."
"Di mana dia""
"Di asrama. Dia bertengkar dengan Shep tadi malam."
Aku mandi dengan tergesa-gesa dan memakai baju yang telah Travis siapkan untukku di atas wastafel. Ketika aku keluar dari kamar mandi, Shepley dan Travis sedang duduk di ruang tamu.
"Apa yang telah kau lakukan padanya"" aku bertanya.
Wajah Shepley tampak sedih. "Dia sangat marah padaku."
"Apa yang terjadi""
"Aku marah padanya karena mendorongmu untu
k minum sebanyak itu. Kupikir kita akan berakhir dengan membawamu ke rumah sakit. Satu hal mengarah ke hal lainnya, dan selanjutnya yang aku tahu kita sedang saling berteriak. Kita berdua mabuk, Abby. Aku mengatakan sesuatu yang tidak bisa aku tarik kembali," dia menggelengkan kepalanya, menunduk.
"Seperti apa"" tanyaku, marah.
"Aku menyebutnya sesuatu yang tidak aku banggakan lalu menyuruhnya pergi."
"Kau membiarkannya pergi dari sini dalam keadaan mabuk" Apakah kau idiot"" kataku, lalu mengambil tasku.
"Tenang, Pidge. Dia sudah cukup merasa bersalah," kata Travis.
Aku mengeluarkan ponselku dari tas, menghubungi nomor America.
"Hallo"" dia menjawab. Dia terdengar sangat kacau.
"Aku baru saja mendengarnya," aku menghela nafas. "Apa kau baik-baik saja"" aku berjalan ke luar untuk mendapatkan privasi, dan sekali lagi melihat ke arah Shepley dengan tatapan marah.
"Aku baik-baik saja. Dia brengsek." Kata-katanya kasar tapi aku bisa mendengar rasa sakit dalam suaranya. America ahli dalam menyembunyikan emosinya, dan dia dapat menyembunyikannya dari semua orang kecuali aku.
"Maafkan aku tidak pergi bersamamu."
"kau sedang tidak bisa, Abby," dia berkata dengan acuh.
"Kenapa kau tidak menjemputku sekarang" Kita bicarakan masalah ini."
Dia bernafas ke arah telepon. "Aku tidak mau. Aku sedang tidak ingin bertemu dengannya."
"Aku akan menyuruhnya agar tetap di dalam kalau begitu."
Dia terdiam cukup lama, lalu aku mendengar suara kunci di telepon. "Baiklah. Aku akan tiba dalam sepuluh menit."
Aku masuk ke ruang tamu, mengaitkan tas di bahuku. Mereka mengamatiku membuka pintu untuk menunggu America, dan Shepley bergeser ke depan di atas sofa.
"Dia akan datang kemari""
"Dia tidak ingin bertemu denganmu, Shep. Aku bilang padanya kalau kau akan tetap di dalam."
Dia menghela nafas, dan menjatuhkan diri ke kursi. "Dia membenciku."
"Aku akan bicara dengannya. Tapi sebaiknya kau punya cara yang hebat untuk minta maaf."
Sepuluh menit kemudian, klakson berbunyi dua kali di luar, dan aku menutup pintu di belakangku.
Ketika aku tiba di dasar tangga, Shepley melewatiku dengan cepat menuju mobil Honda merah America, dan membungkuk untuk melihat ke dalam jendela mobil. Aku berhenti, melihat America mengumpat pada Shepley sambil melihat lurus ke depan. Dia menurunkan jendelanya, dan Shepley kelihatannya sedang menjelaskan, lalu mereka mulai berdebat. Aku masuk ke dalam untuk memberi mereka privasi.
"Pigeon"" Travis memanggil, berlari kecil menuruni tangga.
"Kelihatannya buruk."
"Biarkan mereka menyelesaikannya. Ayo kita masuk," dia berkata, jarinya meraih jariku dan menuntunku ke atas.


Beautiful Disaster Karya Jamie Mcguire di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apakah seburuk itu"" aku bertanya.
Dia mengangguk. "Lumayan buruk. Mereka baru saja keluar dari masa bulan madu. Mereka akan menyelesaikannya."
"Buat seseorang yang tidak pernah punya kekasih, kau tampak seperti tahu banyak tentang suatu hubungan."
"Aku punya empat saudara laki-laki dan teman yang banyak," dia berkata, menyeringai pada dirinya sendiri.
Shepley masuk ke dalam apartemen lalu membanting pintu di belakangnya. "Dia sangat tidak masuk di akal!"
Aku mencium Travis di pipi. "Itu tandaku."
"Semoga berhasil," Travis tersenyum.
Aku meluncur duduk di samping America, dan dia mendengus. "Dia sangat tidak masuk di akal!"
Aku tertawa, namun dia melotot ke arahku. "Maaf," kataku, memaksa senyumku agar hilang.
Kami bersiap-siap untuk pergi dan America berteriak, menangis dan berteriak lagi. Kadang dia mengeluarkan kata-kata kasar yang ditujukan pada Shepley, seolah dia duduk di tempatku. Aku duduk dengan tenang, membiarkan dia mengatasinya dengan caranya sendiri.
"Dia menyebutku tidak bertanggung jawab! Padaku! Seperti aku tidak mengenalmu! Seperti aku tak pernah melihatmu merampok minuman keras milik ayahmu berharga ratusan dolar yang jumlahnya dua kali lipat. Dia tak tahu apa yang dia bicarakan! Dia tak tahu bagaimana kehidupanmu dulu! Dia tak tahu apa yang aku tahu, dan dia memperlakukanku seperti aku adalah anaknya, bukan kekasihnya!" Aku memegang tangannya n
amun dia menariknya menjauh. "Dia pikir kau yang akan menjadi alasan hubungan kami tidak akan berjalan dengan baik, tapi justru dia yang melakukannya sendiri. Dan berbicara tentang dirimu, apa yang kau pikirkan tadi malam bersama Parker""
Pergantian topik pembicaraan yang tiba-tiba ini membuatku terkejut. "Apa maksudmu""
"Travis mengadakan pesta untukmu, Abby, tapi kau malah pergi dan bercumbu dengan Parker. Dan kau heran kenapa orang lain membicarakan dirimu!"
"Tunggu sebentar! Aku memberitahu Parker bahwa kita tidak seharusnya di belakang sana. Apa masalahnya kalau Travis mengadakan pesta itu untuk aku atau bukan" Aku kan tidak berpacaran dengannya!"
America menatap lurus ke depan, menghembuskan udara dari hidungnya.
"Baiklah, Mare. Ada apa" kau marah padaku, sekarang""
"Aku tidak marah padamu. Aku hanya tidak gaul dengan orang yang benar-benar idiot."
Aku menggelengkan kepalaku, lalu melihat keluar jendela sebelum aku mengatakan sesuatu yang akan aku sesali...America selalu bisa membuatku merasa buruk saat dia menginginkannya.
"Apa kau benar-benar melihat apa yang terjadi"" tanyanya. "Travis berhenti bertarung. Dia tidak membawa wanita pulang sejak perek kembar dulu...belum membunuh Parker, dan kau mengkhawatirkan tentang apa yang dibicarakan orang lain. Kau tahu kenapa itu, Abby" Karena itu adalah kebenaran!"
Aku berpaling, menjulurkan leherku dengan pelan ke arahnya, mencoba untuk memberikan tatapan paling marah yang aku tahu padanya. "Ada apa denganmu""
"kau berkencan dengan Parker, sekarang, dan kau sangat bahagia," dia berkata dengan nada menghina. "Tapi kenapa kau tidak pulang ke asrama""
"Karena aku kalah taruhan, kau tahu itu!"
"Yang benar saja, Abby! kau bicara tentang betapa sempurnanya Parker, kencanmu dengannya selalu sempurna, bicara dengannya berjam-jam di telepon, lalu kau tidur di samping Travis tiap malam. Kau melihat apa yang salah dengan situasi ini" Jika kau benar-benar menyukai Parker, semua barangmu sudah akan berada di asrama sekarang."
Gigiku terkatup dengan rapat. "Kau tahu aku tidak pernah lari saat kalah taruhan, Mare."
"Itu yang pikirkan," dia berkata, memutar tangannya dia atas kemudi. "Travis adalah orang yang kau inginkan, sedangkan Parker hanyalah yang kau pikir kau butuhkan."
"Aku tahu kelihatannya seperti itu, tapi-,"
"Kelihatan seperti itu oleh semua orang. Jadi jika kau tak suka dengan cara orang lain membicarakan dirimu-rubahlah. Ini bukan kesalahan Travis. Dia berubah 180 derajat untukmu. Kau yang dapat hadiah tapi Parker yang mendapatkan keuntungannya."
"Seminggu yang lalu kau ingin membawaku pergi dan tidak akan pernah membiarkan Travis mendekatiku lagi! Sekarang kau membelanya""
"Abigail! Aku tidak membelanya, bodoh! Aku justru menjagamu! Kalian berdua tergila-gila satu sama lain! Lakukan sesuatu tentang itu!"
"Bagaimana bisa kau berpikir aku harus bersamanya"" aku meratap. "Kau seharusnya menjauhkanku dari orang seperti dia!"
Dia menutup bibirnya rapat, jelas kehilangan kesabarannya. "Kau telah bersusah payah untuk menjauh dari ayahmu. Itu adalah satu-satunya alasan kau mempertimbangkan Parker! Dia bertolak belakang dengan Mick. Dan kau pikir Travis akan membawamu kembali ke tempat kau dulu berada. Dia bukan ayahmu, Abby."
"Aku tidak bilang dia seperti ayahku, tapi itu membuatku dalam posisi harus menuruti segala kemauannya."
"Travis tidak akan melakukan itu padamu. Kupikir kau meremehkan betapa berartinya dirimu untuknya. Jika saja kau memberitahunya-,"
"Tidak. Kita meninggalkan semua di belakang agar semua orang di sini tidak melihatku seperti mereka yang di Wichita. Kita fokus pada masalah yang ada saja dulu. Shep menunggumu."
"Aku tidak ingin membicarakan Shep," dia berkata, melaju pelan untuk berhenti di lampu merah.
"Dia menderita, Mare. Dia mencintaimu."
Matanya penuh dengan air mata dan bibir bawahnya bergetar. "Aku tidak peduli."
"Kau peduli." "Aku tahu," dia berbisik, menyenderkan kepalanya ke bahuku.
Dia menangis sampai lampu berubah, lalu aku mencium kepalanya. "Lampu hijau."
Dia duduk, mengelap hidungnya. "Aku sangat jahat padanya tadi. Kupikir dia tidak akan mau bicara padaku sekarang."
"Dia akan bicara padamu. Dia tahu kau sedang kesal tadi."
America mengusap wajahnya, lalu berputar arah pelan-pelan. Aku tadinya khawatir harus terus membujuknya dulu agar dia mau pulang bersamaku, dan Shepley sudah berlari di tangga sebelum America mematikan mesin mobilnya.
Dia menarik untuk membuka pintu mobil America lalu membantunya berdiri. "Maafkan aku, sayang. Aku harusnya mengurus urusanku sendiri, aku...aku mohon jangan pergi. Aku tidak tahu harus bagaimana tanpa dirimu."
America memegang wajah Shepley lalu tersenyum. "Kau adalah seorang bajingan sombong, tapi aku tetap mencintaimu."
Shepley menciumnya berkali-kali seolah sudah tidak bertemu dengannya selama berbulan-bulan, dan aku tersenyum karena berhasil melakukan tugasku. Travis berdiri di pintu masuk, menyeringai saat aku masuk apartemen. "Dan mereka hidup bahagia selamanya," dia berkata, sambil menutup pintu di belakangku. Aku menjatuhkan diri ke sofa, dan dia duduk di sampingku, menarik kakiku ke atas pangkuannya.
"Apa yang ingin kau lakukan hari ini, Pidge""
"Tidur. Atau istirahat...atau tidur."
"Sebelumnya, bolehkah aku memberikan hadiah untukmu sekarang""
Aku mendorong bahunya. "Astaga, kau memberikan aku hadiah""
Mulutnya membentuk satu senyuman gugup. "Ini bukan gelang berlian, tapi kupikir kau akan menyukainya."
"Aku akan sangat menyukainya, meskipun belum melihatnya."
Dia menurunkan kakiku dari pangkuannya, lalu dia menghilang ke kamar Shepley. Aku mengangkat satu alisku saat aku mendengar dia bergumam, lalu dia keluar sambil memegang kotak. Dia menaruhnya di bawah di dekat kakiku, lalu berjongkok di belakangnya.
"Cepatlah, aku ingin melihatmu terkejut," dia tersenyum.
"Cepat"" aku bertanya, membuka tutupnya.
Mulutku menganga, saat sepasang mata hitam besar melihat ke arahku.
"Anak anjing"" aku menjerit, mengeluarkannya dari kotak. Aku mengangkat mahluk kecil berbulu hitam tebal di depan wajahku, lalu dia menciumku dengan hangat dan basah di mulutku.
Travis berseri-seri, gembira. "Kau menyukainya""
"Menyukainya" Aku sangat menyukainya! kau memberiku seekor anak anjing!"
"Itu anjing jenis Cairn Terrier. Aku harus menempuh perjalanan selama tiga jam untuk mengambilnya hari Kamis kemarin sepulang kuliah."
"Jadi waktu kau bilang akan pergi bersama Shepley untuk membawa mobilnya ke bengkel &"
"Kami pergi mengambil hadiahmu," dia mengangguk.
"Dia menggoyangkan ekornya." Aku tertawa.
"Setiap wanita dari Kansas membutuhkan seekor Toto (Jenis anjing dari Kansas)," kata Travis, dia membantukku memegangi bola halus dan menaruhnya di atas pangkuanku.
"Dia memang mirip Toto! Aku akan memanggilnya Toto," aku berkata sambil mengerutkan hidungku pada anak anjing yang sedang menggeliat.
"Kau bisa menyimpannya di sini. Aku akan merawatnya untukmu saat kau kembali ke asrama," bibirnya membentuk senyuman yang dipaksakan, "Dan ini akan menjadi jaminanku agar kau datang berkunjung ketika satu bulan ini berakhir."
Aku menutup rapat bibirku. "Bagaimanapun aku akan tetap berkunjung, Trav."
"Aku akan melakukan apapun untuk melihat senyuman di wajahmu itu saat ini."
"kupikir kau butuh tidur siang, Toto. Ya, kau butuh," aku mengelus Toto.
Travis mengangguk, menarikku ke atas pangkuannya lalu berdiri. "Ayo, kita tidur siang kalau begitu."
Dia menggendongku ke kamar, menarik selimut lalu menurunkanku di tempat tidur. Merangkak di atasku, dia meraih untuk menutup tirai lalu tidur di bantalnya.
"Terima kasih untuk tetap bersamaku tadi malam," kataku, membelai bulu halus Toto. "kau tidak perlu tidur di lantai kamar mandi."
"Tadi malam adalah malam terbaik dalam hidupku."
Aku berpaling untuk melihat ekspresinya. Dan ketika aku melihat bahwa dia serius, aku memandangnya dengan tatapan meragukan.
"Tidur di antara toilet dan tub diatas lantai yang dingin dengan seorang idiot yang terus muntah adalah salah satu malam terbaik dalam hidupmu" Itu menyedihkan, Trav."
"Tidak, tinggal bersamamu saat kau mual lalu kau tertidur di atas pangkuanku adalah malam terbaikku. Memang tidak nyaman, aku tidak bisa tidur nyenyak, tapi aku merayakan ulang tahun kesembilan belasmu bersamamu, dan kau lumayan manis saat mabuk."
"Aku yakin diantara saat aku muntah dan kau membersihkannya aku sangat menawan."
Dia menarikku mendekat, membelai Toto yang berbaring di atas leherku. "kau satu-satunya wanita yang aku tahu yang tetap kelihatan cantik meskipun kepalamu di atas toilet. Itu berarti sesuatu."
"Terima kasih, Trav. Aku tidak akan menyusahkanmu lagi."
Dia berbaring di atas bantalnya. "Terserah. Tidak ada yang bisa memegangi rambutmu ke belakang sebaik aku."
Aku cekikikan lalu menutup mataku, membiarkanku tenggelam dalam kegelapan.
*** "Bangun, Abby!" America berteriak, membangunkanku.
Toto menjilati pipiku. "Aku bangun! Aku bangun!"
"Kita ada kuliah setengah jam lagi!"
Aku melompat dari tempat tidur. "Aku sudah tidur selama...empat belas jam" Ya ampun""
"Cepat mandi! Jika kau belum siap dalam sepuluh menit, aku akan meninggalkanmu!"
"Aku tidak punya waktu untuk mandi!" aku berkata sambil mengganti baju yang telah aku pakai tidur.
Travis menyangga kepalanya dengan tangan lalu tergelak. "Kalian menggelikan, dunia tidak akan kiamat kalau kalian terlambat masuk satu kelas."
"Akan kiamat jika kau adalah America. Dia tidak pernah terlambat dan dia benci kalau harus terlambat." Kataku sambil mengenakan kaos dan celana jinsku.
"Biarkan Mare pergi duluan, aku akan mengantarmu."
Aku memasukan satu kakiku lalu kaki satu lagi, memakai sepatu bootku. "Tasku ada di mobilnya, Trav."
"Terserah," dia mengangkat bahu, "Asal jangan sampai terluka saat kau terburu-buru masuk kelas." Dia mengangkat Toto, menggendongnya dengan satu tangan seperti membawa bola kecil, lalu membawanya keluar.
America mendorongku keluar pintu dan masuk ke mobil. "Aku tidak percaya dia memberimu anak anjing," dia berkata sambil melihat ke belakang saat mundur keluar dari tempat parkir.
Travis berdiri di bawah sinar matahari pagi, hanya memakai celana boxer dan bertelanjang kaki, tangannya memeluk tubuhnya sendiri karena kedinginan. Dia memperhatikan Toto yang sedang mengendus rumput, membujuknya seperti seorang ayah yang bangga.
"Aku belum pernah memiliki anjing sebelumnya," aku berkata. "Ini akan menyenangkan."
America memandang Travis sebelum memasukan persneling mobilnya. "Lihat dia," kata America sambil menggelengkan kepalanya. "Travis Maddox; Bapak rumah tangga."
"Toto sangat lucu. Bahkan kau akan takluk di bawah tangannya."
"kau tidak bisa membawanya ke asrama nanti, kau tahu. Kupikir Travis tidak memikirkan tentang itu."
"Travis bilang dia akan memeliharanya di apartemen."
Dia menarik ke atas satu alisnya. "Tentu saja. Travis selalu berpikir ke depan, aku salut padanya," America berkata, sambil menggelengkan kepalanya lalu menginjak gas.
*** Aku terengah-engah, meluncur ke atas kursiku dengan sisa satu menit sebelum kuliah di mulai. Setelah adrenalin menghilang dari tubuhku, rasa berat dari koma pasca ulang tahun mengambil alih. America menyikutku ketika kelas bubar, dan aku mengikutinya ke kafetaria.
Shepley menunggu kami di pintu, dan aku langsung menyadari ada yang tidak beres.
"Mare," Shepley berkata, memegang tangan America.
Travis berlari ke arah kami, memegang pinggangnya, dia mengambil nafas hingga agak tenang.
"Apa ada segerombolan wanita marah yang mengejarmu"" aku menggodanya.
Dia menggeleng. "Aku mencoba mengejarmu...sebelum kau &masuk," dia menarik nafas.
"Apa yang terjadi"" America bertanya pada Shepley.
"Ada gosip," Shepley mulai bercerita. "Semua orang mengatakan bahwa Travis membawa Abby pulang dan...detilnya berbeda-beda, tapi cukup buruk."
"Apa" Serius"" aku berteriak.
America memutar matanya. "Siapa yang peduli, Abby" Semua orang sudah berspekulasi tentangmu dan Trav selama beberapa minggu ini. Ini bukan pertama kalinya seseorang menuduh kalian berdua telah tidur bersama."
Travis dan Shepley saling pandang.
"Ada apa"" kataku. "Ada sesuatu yang lainnya, kan""
Shepley mengernyit. "Mereka bilang kau tidur dengan Parker di rumah Brazil, lalu kau membiarkan Travis...membawamu pulang, jika kau mengerti maksudku."
Mulutku menganga. "Bagus! Jadi aku ayam kampus sekarang""
Mata Travis menjadi gelap dan mulutnya tegang. "Ini semua salahku. Jika itu orang lain, mereka tidak akan mengatakan hal itu tentangmu." Dia melangkah masuk ke dalam kafetaria, tangannya mengepal.
America dan Shepley mengikutinya di belakang. "Semoga tidak ada orang yang cukup bodoh dan mengatakan sesuatu pada Travis." America berkata.
"Atau pada Abby," Shepley menambahkan.
Travis duduk jauh beberapa kursi di seberang tempat dudukku, melamun sambil menatap roti lapisnya. Aku menunggunya melihat ke arahku, ingin memberikan senyuman yang menenangkannya. Travis memiliki reputasi, dan aku membiarkan Parker membawaku ke lorong.
Shepley menyikutku saat aku memandangi sepupunya. "Dia hanya merasa tidak enak. Mungkin dia mencoba untuk meredakan gosip itu."
"kau tidak harus duduk jauh di sana, Trav. Ayo, duduk di sini," aku berkata, menepuk tempat kosong di depanku.
"Aku dengar pesta ulang tahunmu sangat berkesan, Abby," kata Chris Jenks sambil melemparkan sepotong daun selada ke dalam piring Travis.
"Jangan macam-macam dengannya, Jenks," Travis memperingatkan, menatapnya tajam.
Chris tersenyum, mengangkat tulang pipinya, pipinya yang berwarna pink. "Aku dengar Parker sangat marah. Dia bilang dia mampir ke apartemenmu kemarin, lalu melihatmu dan Travis masih berada di tempat tidur."
"Mereka sedang tidur siang, Chris," America menyeringai.
Mataku langsung menatap Travis. "Parker mampir""
Dia bergerak dengan tidak nyaman di kursinya. "Aku tadi akan memberitahumu."
"Kapan"" aku membentak.
America berbisik di telingaku. "Parker mendengar gosip itu, lalu datang untuk menanyakannya secara langsung padamu. Aku mencoba untuk menghentikannya, tapi dia menerobos masuk lalu...benar-benar salah paham."
Aku meletakan sikuku si atas meja, sambil menutupi wajahku. "Ini semua semakin memburuk."
"Jadi kalian tidak melakukan hal itu"" Chris bertanya. "Sialan, itu menyebalkan. Padahal aku sudah berpikir Abby sangat cocok untukmu setelah semua itu, Trav."
"Sebaiknya kau berhenti, sekarang, Chris," Shepley memperingatkan.
"Jika kau tidar tidur dengannya, keberatan jika aku yang mencobanya"" kata Chris, cekikikan bersama teman satu timnya.
Wajahku memerah karena malu, namun lalu America berteriak di dekat telingaku karena melihat reaksi Travis melompat dari tempat duduknya. Dia meraih dari atas meja, memegang leher Chris dengan satu tangan, dan tangan satu memegang bajunya. Si pemain gelandang di tim football itu terjatuh dari tempat duduknya, terdengar banyak suara kaki kursi yang bergesekan dengan lantai saat semua orang berdiri untuk melihat. Travis menonjok wajahnya berkali-kali, sikunya diangkat tinggi di udara sebelum dia mendaratkan setiap tinjunya. Hanya satu yang bisa Chris dapat lakukan yaitu melindungi wajahnya dengan tangan.
Tidak ada seorangpun yang menyentuh Travis. Dia sudah di luar kendali, dan reputasinya membuat semua orang takut untuk menghalanginya. Para pemain football hanya menunduk dan meringis saat mereka menyaksikan temannya diserang tanpa ampun di lantai.
"Travis!" Aku berteriak, berlari mengitari meja.
Ketika akan memukul lagi, Travis menahan tinjunya lalu melepaskan bajunya Chris, membiarkannya jatuh ke lantai. Travis terengah-engah saat melihat ke arahku; aku belum pernah melihatnya begitu menakutkan. Aku menelan ludah dan mundur selangkah ketika Travis menabrakku di bahu saat dia melewatiku.
Aku melangkah untuk mengikutinya, tapi America mencegahnya dengan memegang tanganku. Shepley mencium America lalu mengikuti sepupunya keluar.
"Ya Tuhan," America berbisik.
Kami berpaling dan melihat semua temannya Chris mengangkatnya dari lantai, dan aku meringis saat melihat wajahnya yang merah dan bengkak. Darah keluar dari hidungnya, dan Brazil memberinya tisu yang ada di atas meja.
"Dasar orang s inting gila!" Chris mengerang, duduk di atas kursi sambil memegang wajahnya. Dia menatapku, lalu. "Maafkan aku, Abby. Aku hanya bercanda."
Aku tidak menjawabnya. Aku tidak dapat menjelaskan apa yang baru saja terjadi.
"Dia tidak tidur dengan salah satu dari mereka," America berkata.
"kau tidak pernah tahu kapan harus menutup mulut, Jenks," kata Brazil dengan kesal.
America menarik tanganku. "Ayo kita pergi."
Dia terburu-buru sambil menarikku ke dalam mobil. Ketika dia memasukan persneling, aku memegang pinggangnya. "Tunggu! Kita akan kemana""
"Kita akan ke apartemen Shepley. Aku tidak ingin meninggalkannya berdua dengan Travis. kau tadi lihat dia, kan" Dia benar-benar lepas kendali!"
"Well, aku tidak ingin berada di dekatnya juga!"
America memandangku tidak percaya. "Sangat terlihat jelas ada sesuatu yang mengganggunya. kau tidak ingin mengetahuinya apa itu""
"Rasa untuk menjaga diriku lebih besar dari rasa penasaranku saat ini, Mare!"
"Satu-satunya yang membuatnya berhenti hanyalah suaramu, Abby. Dia akan mendengarkanmu. kau harus bicara dengannya."
Aku menghela nafas dan melepaskan pinggangnya, duduk di kursiku. "Baiklah, ayo kita pergi."
*** Kita masuk ke tempat parkir, America melaju dengan pelan dan berhenti diantara mobil Shepley dan motor Travis. Dia berjalan menuju tangga, meletakkan tangan di pinggangnya dengan cara yang dramatis.
"Cepat, Abby!" America memanggil, membuatku bergerak mengikutinya.
Dengan ragu, aku mengikutinya, langkahku terhenti saat melihat Shepley menuruni tangga untuk berbicara dengan pelan di telinga America. Dia menatapku, menggelengkan kepalanya lalu berbisik di telinga America lagi.
"Ada apa"" aku bertanya.
"Shep pikir...," America gelisah, "Shep pikir bukan ide yang bagus kalau kita masuk sekarang. Travis masih sangat marah."
"Maksudmu dia pikir aku tidak seharusnya masuk." Aku berkata. America mengangkat bahu dengan malu, lalu memandang Shepley.
Shepley menyentuh bahuku. "Kau tidak melakukan kesalahan, Abby. Dia hanya...dia hanya tidak ingin bertemu denganmu saat ini."
"Jika aku tidak melakukan kesalahan, lalu mengapa dia tidak ingin bertemu denganku""
"Aku tak tahu kenapa; dia tidak memberitahuku. Kupikir dia merasa malu karena lepas kendali di depanmu."
"Dia lepas kendali di depan semua orang di kafetaria! Apa hubungannya denganku""
"Lebih dari yang kau pikir," Shepley berkata, menghindari tatapan mataku.
Aku memandang mereka beberapa saat, lalu mendorong mereka untuk lewat, berlari menaiki tangga. Aku langsung melewati pintu dan melihat ruang tamu yang kosong. Pintu kamar Travis tertutup rapat, maka aku mengetuk pintu.
"Travis" Ini aku, buka pintunya."
"Pergilah, Pidge," dia bicara dari balik pintu.
Aku mengintip ke dalam dan melihat dia sedang duduk di ujung tempat tidur, menghadap ke jendela. Toto menggaruk punggungnya, tidak merasa senang karena di abaikan.
"Apa yang terjadi pada dirimu, Trav"" aku bertanya. Dia tidak menjawab, maka aku berdiri di sampingnya, melipat tangan di dadaku. Wajahnya tegang, tapi ekspresinya sudah tidak semenakutkan seperti tadi di kafetaria. Dia kelihatan sedih. Sangat putus asa.
"kau tidak akan membicarakan ini denganku""
Aku menunggu, namun dia tetap diam. Aku berbalik menuju pintu dan akhirnya dia menghela nafas. "Kau ingat kemarin saat Brazil bicara yang tidak-tidak tentangku dan kau langsung membelaku" Well...ini kejadiannya seperti itu. Namun aku sedikit keterlaluan."
"Kau sudah marah sebelum Chris mengatakan sesuatu," aku berkata, kembali duduk di sampingnya di atas tempat tidur.
Dia kembali menatap jendela. "Aku serius dengan yang aku katakan tadi. kau harus pergi, Pidge. Tuhan tahu aku tidak bisa pergi darimu."
Aku menyentuh lengannya. "Kau tidak serius ingin aku pergi."
Wajah Travis kembali tegang, lalu memelukku. Dia terdiam beberapa saat lalu mencium keningku, menekan pipinya ke pelipisku. "Tidak peduli seberapa kerasnya aku berusaha. kau akan membenciku setelah aku memberitahumu."
Aku memeluknya. "Kita harus bersahabat. Aku tak akan mene
rima kata tidak sebagai jawaban."
Alisnya naik lalu dia memelukku lagi dengan kedua tangannya, sambil tetap melihat ke jendela. "Aku memandangimu saat kau tidur. Kau selalu terlihat sangat damai. Aku tak pernah merasa damai seperti itu. Aku selalu merasa marah dan kesal yang bergejolak di dalam diriku-kecuali saat aku melihatmu yang sedang tertidur. Itu yang sedang aku lakukan saat Parker masuk," dia melanjutkan. "Aku sudah bangun dan dia masuk, namun hanya berdiri di pintu dengan ekspresi terkejut di wajahnya. Aku tahu apa yang dia pikirkan, tapi aku tidak meluruskannya. Aku tidak menjelaskan karena aku ingin dia berpikir telah terjadi sesuatu di antara kita. Sekarang seluruh kampus berpikir kau melakukannya dengan kami berdua dalam satu malam yang sama."
Toto menyeruduk ke pangkuanku, dan aku mengusap telinganya. Travis meraih untuk membelainya sekali, lalu memegang tanganku. "Maafkan aku."
Aku mengangkat bahu. "Jika dia percaya gosip itu, itu salahnya sendiri."
"Sulit untuk berpikir hal lain saat dia melihat kita di atas tempat tidur."
"Dia tahu aku tinggal bersamamu. Lagi pula aku masih berpakaian lengkap."
Travis menghela nafas. "Dia mungkin sudah terlalu kesal untuk menyadarinya. Aku tahu kau sangat menyukainya, Pidge. Aku seharusnya menjelaskan padanya. Aku berhutang begitu banyak padamu."
"Itu bukan masalah."
"kau tidak marah"" dia bertanya, terkejut.
"Itukah yang tadi membuatmu kesal" kau berpikir aku akan marah padamu setelah kau memberitahuku yang sebenarnya""
"Seharusnya kau marah. Jika ada seseorang yang menjatuhkan reputasiku, aku akan sangat marah."
"Kau tidak peduli tentang reputasi. Apa yang terjadi dengan Travis yang tidak peduli dengan apa yang orang lain pikirkan"" aku meledek sambil menyikutnya.
"Itu sebelum aku melihat ekspresi wajahmu saat mendengar apa yang dibicarakan semua orang. Aku tak ingin kau tersakiti karena aku."
"kau tidak akan pernah melakukan sesuatu yang akan menyakitiku."
"Aku lebih baik memotong tanganku daripada melakukannya." Dia menghela nafas.
Dia meletakan pipinya di rambutku. Aku tidak menjawab, dan Travis sepertinya sudah mengatakan semua yang ingin dia katakan, jadi kita hanya duduk dan terdiam. Sesekali Travis memelukku dengan erat di sampingnya. Aku berpegangan pada kaosnya, tak tahu harus bagaimana lagi untuk membuatnya merasa lebih baik selain hanya membiarkannya memelukku.
Ketika matahari tenggelam, aku mendengar ketukan di pintu. "Abby"" suara America terdengar pelan di balik pintu.
"Masuklah, Mare," Travis menjawab.
America masuk bersama dengan Shepley, dan dia tersenyum melihat kami yang berpegangan tangan. "Kita akan pergi makan. Kalian mau makan di Pei Wei""
"Aahh &makanan Asia lagi, Mare" Serius"" Travis bertanya.
Aku tersenyum. Dia sudah terdengar seperti dirinya lagi.
America menyadarinya juga. "Ya, serius. Kalian ikut atau tidak""
"Aku sangat lapar." kataku.
"Tentu saja kau lapar, kau tidak sempat makan siang," Travis berkata sambil merengut. Dia berdiri, mengajakku bersamanya. "Ayo kita pergi cari makan untukmu."
Dia terus memelukku dan tidak melepaskannya hingga kita tiba di Pei Wei.
Sesaat setelah Travis pergi ke kamar mandi, America mendekat. "Jadi" Apa yang dia katakan""
"Tidak mengatakan apa-apa." aku mengangkat bahu.
Dia mengangkat alisnya. "kau berada di kamarnya selama dua jam. Dia tidak mengatakan apapun""
"Dia biasanya begitu kalau sedang marah." Shepley berkata.
"Dia pasti mengatakan sesuatu." America mendesak.
"Dia bilang dia agak kelewat batas dalam membelaku, dan bahwa dia tidak memberitahu Parker yang sebenarnya ketika dia melihat kami. Hanya itu," kataku sambil merapikan botol garam dan merica.
Shepley menggelengkan kepala dan menutup matanya.
"Kenapa, sayang"" America berkata, duduk dengan tegak.
"Travis..," dia menghela nafas, memutar matanya. "Lupakan saja."
Ekspresi America keras kepala. "Oh tidak, kau tidak bisa-,"
Dia berhenti saat Travis duduk dan mengayunkan tangannya di belakangku. "Sialan! Makanannya belum datang juga""
*** Ka mi tertawa dan bercanda hingga restoran tutup, lalu kita masuk ke dalam mobil untuk pulang. Shepley menggendong America ke atas di atas punggungnya, namun Travis tetap diam di belakang, menarikku agar aku tidak mengikuti mereka ke atas. Dia melihat ke atas memperhatikan mereka hingga mereka menghilang di belakang pintu, lalu memberiku senyuman menyesal. "Aku berhutang permintaan maaf hari ini, jadi maafkan aku."
"kau sudah meminta maaf. Itu tidak apa-apa."
"Belum, tadi aku meminta maaf karena Parker. Aku tidak ingin kau berpikir aku adalah orang gila yang suka menyerang orang lain hanya karena masalah kecil," dia berkata, "tapi aku berhutang permintaan maaf karena aku tidak membelamu untuk alasan yang tepat."
"Dan itu adalah &" aku mendesak.
"Aku menyerangnya karena dia bilang dia ingin menjadi yang berikutnya, bukan karena dia mengganggumu."
"Menyindir itu ada batasnya, banyak alasan untukmu untuk membelaku."
"Itu maksudku. Aku kesal karena aku menganggap dia ingin tidur denganmu."
Setelah memproses apa yang Travis maksudkan, aku menarik ujung kaosnya lalu meletakan kepalaku di dadanya. "kau tahu" Aku tak peduli," kataku, menatap wajahnya. "Aku tak peduli apa yang orang lain katakan, atau saat kau kehilangan kendali, atau mengapa kau merusak wajah Chris. Hal yang tak ingin aku miliki adalah reputasi yang buruk, namun aku lelah harus menjelaskan hubungan persahabatan kita pada semua orang. Persetan dengan mereka."
Mata Travis melembut, dan ujung bibirnya terangkat ke atas. "Persahabatan kita" Kadang aku bertanya kapan kau benar-benar mau mendengarkanku."
"Apa maksudmu""
"Ayo kita masuk. Aku lelah."
Aku mengangguk. Dan dia memelukku di sampingnya sampai kita masuk ke apartemen. America dan Shepley sudah masuk ke dalam kamar tidur mereka, lalu aku mandi. Travis dan Toto menunggu di luar saat aku mengenakan piyamaku, dalam waktu setengah jam, kami berdua sudah berada di tempat tidur.
Aku membaringkan kepala di atas tanganku, menghembuskan nafas panjang, mengeluarkan hembusan udara keluar. "Hanya tinggal dua minggu. Apa yang akan kau lakukan untuk drama ketika aku pindah kembali ke asrama""
"Aku tak tahu," dia berkata. Aku bisa melihat garis tersiksa di wajahnya, meskipun di dalam kegelapan.
"Hey," aku menyentuh tangannya. "Aku hanya becanda."
Aku menatapnya lama, bernafas, berkedip dan berusaha untuk tenang. Dia sedikit gelisah lalu melihat ke arahku. "Kau percaya padaku, Pidge""
"Ya, kenapa""
"Kemarilah," dia berkata, menarikku mendekat ke arahnya. Aku menjadi tegang beberapa saat sebelum membaringkan kepalaku di atas dadanya. Apapun yang terjadi padanya, dia membutuhkanku di dekatnya, dan aku merasa tidak keberatan walaupun aku menginginkannya. Terasa sangat tepat berbaring di sampingnya.
*** Bab 9 JANJI Finch menggelengkan kepalanya. "Jadi, kau bersama Parker atau Travis" Aku bingung."
"Parker tidak mau bicara denganku, jadi seperti mengambang di udara saat ini," aku berkata sambil memantulkan tubuhku untuk membetulkan posisi tas ranselku.
Dia menghembuskan asap rokok, lalu mengeluarkan sepotong kecil tembakau dari yang menempel di lidahnya. "Jadi kau bersama Travis""
"Kami hanya teman, Finch."
"kau sadar kan semua orang berpikir bahwa kalian berdua mempunyai semacam hubungan teman-tapi-mesra yang tidak kau akui""
"Aku tidak peduli. Mereka bisa berpikir apa saja yang mereka mau."
"Sejak kapan" Apa yang terjadi dengan Abby yang gugup, misterius, dan selalu berhati-hati yang aku tahu dan sayangi""
"Dia telah mati akibat stress karena semua gosip dan asumsi yang ada."
"Sayang sekali. Aku akan merindukan menertawakan dirinya."
Aku memukul lengan Finch, dan dia pun tertawa. "Bagus. Sudah waktunya kau berhenti berpura-pura." dia berkata.


Beautiful Disaster Karya Jamie Mcguire di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Maksudmu apa""
"Sayang, kau sedang bicara dengan orang yang hampir seumur hidupnya berpura-pura. Aku dapat mengenalimu dari jauh."
"Apa yang kau maksud, Finch" Bahwa aku diam-diam menyukai sesama jenis""
"Bukan, bahwa kau menyembunyikan sesuatu. Wanita yang memakai cardigan, pendiam, dan pergi
ke restoran mewah saat bersama Parker Hayes &itu bukan dirimu. Entah itu kau penari telanjang dari kota kecil atau kau pernah masuk klinik rehab. Tebakanku sih yang terakhir."
Aku tertawa terbahak-bahak. "Kau adalah seorang tukang tebak yang payah."
"Jadi, apa rahasiamu""
"Kalau aku memberitahumu, namanya bukan rahasia, ya kan""
Wajahnya dipertajam oleh seringai nakalnya. "Aku sudah memberitahumu rahasiaku, sekarang beritahu aku rahasiamu."
"Aku tidak suka menjadi orang yang membawa kabar buruk, namun orientasi seksualmu bukanlah merupakan sebuah rahasia, Finch."
"Sial! Padahal kupikir aku memiliki daya tarik seksual pada diriku," dia berkata sambil menghisap rokoknya lagi.
Aku meringis sebelum aku bicara. "Apakah kau mempunyai kehidupan yang bahagia di rumah, Finch""
"Ibuku orang yang hebat &Aku dan ayahku mempunyai banyak masalah untuk di selesaikan, tapi kami baik-baik saja saat ini."
"Aku mempunyai Mick Abernathy sebagai ayah."
"Siapa itu""
Aku cekikikan. "Lihat" Itu bukan masalah besar jika kau tak tahu siapa dia."
"Siapa dia""
"Sebuah masalah. Suka judi, minum, dan pemarah...Itu sudah menjadi keturunan di keluargaku. Aku dan America datang kemari agar aku dapat memulai hidup baru, tanpa membawa stigma anak dari seorang pemabuk seperti dulu."
"Seorang mantan penjudi dari Wichita""
"Aku lahir di Nevada. Pada saat itu, semua yang Mick sentuh selalu berubah menjadi emas. Ketika aku berumur tiga belas tahun, keberuntungannya berubah."
"Dan dia menyalahkanmu."
"America mengorbankan banyak hal untuk datang kemari bersamaku agar aku dapat melarikan diri, namun saat aku tiba di sini aku bertemu dengan Travis."
"Dan saat kau melihat Travis &"
"Semua sangat familiar."
Finch mengangguk, membuang rokoknya ke tanah. "Sial, Abby. Itu menyebalkan."
Aku menyipitkan mataku. "Jika kau memberitahu orang lain apa yang aku katakan padamu, aku akan memanggil mafia. Aku kenal beberapa dari mereka, kau tahu."
"Omong kosong."
Aku mengangkat bahu. "Percayalah semaumu."
Finch memandangku curiga lalu tersenyum. "kau adalah orang yang paling keren yang aku kenal."
"Itu sangat menyedihkan, Finch. kau harus keluar lebih sering," kataku, sambil berhenti di depan pintu masuk kafetaria.
Dia mengangkat daguku ke atas. "Semua akan berjalan dengan baik. Aku adalah orang yang sangat percaya pada pepatah 'semua terjadi karena suatu alasannya'. kau datang kemari, America bertemu dengan Shep, kau tahu tentang The Circle, sesuatu tentangmu membuat dunia Travis jungkir balik. Pikirkanlah,"
Katanya sambil mendaratkan ciuman singkat di bibirku.
"Hey!" kata Travis. Dia memegang pinggangku, mengangkatku ke atas, lalu menurunkanku di belakangnya. "kau adalah orang terakhir yang aku khawatirkan akan melakukan hal itu, Finch! Yang benar saja!" dia menggodanya.
Finch mendekat ke samping Travis lalu berkedip. "Sampai nanti, Cookie."
Ketika Travis melihat ke arahku, senyumnya menghilang. "Kenapa merengut""
Aku menggeleng, membiarkan adrenalin mengalir. "Aku hanya tidak suka dipanggil dengan sebutan itu. Punya kenangan buruk pada nama itu."
"Panggilan sayang dari pendeta muda-mu""
"Bukan," aku menggerutu.
Travis mengepalkan tinjunya. "kau ingin aku memukuli Finch" Memberikan pelajaran padanya" Aku akan mengalahkannya."
Aku tidak bisa menahan senyum. "Jika aku ingin mengalahkan dia, aku hanya tinggal bilang kalau Prada bangkrut, dan dia akan menyelesaikan sendiri sisanya."
Travis tertawa, mendorong pintu agar terbuka. "Ayo! Aku menjadi kurus, di sini!"
*** Kami duduk di meja yang sama, saling mengejek satu sama lain, saling cubit, menyikut tulang rusuk. Mood Travis optimis seperti saat aku kalah taruhan. Semua orang di meja kami menyadarinya, dan saat Travis memulai perang makanan denganku, hal itu menarik perhatian semua orang di sekitar meja kami.
Aku memutar mataku. "Aku merasa seperti hewan di kebun binatang."
Travis memandangku sebentar, menyadari semua tatapan itu, lalu berdiri. "I CAN'T!" dia berteriak. Aku menatapnya terpesona saat seluruh ruanga
n tersentak melihat ke arahnya. Travis mengayunkan kepalanya beberapa kali mengikuti ketukan lagu di kepalanya.
Shepley menutup matanya. "Oh, tidak."
Travis tersenyum. "get no..sa..tis..faction," dia bernyanyi. "I can't get no..sat-is-fac-tion. 'Cuz I've tried...and I've tried &I've tried &I've tried &," dia naik ke atas meja saat semua orang menatap. "I CAN'T GET NO!"
Dia menunjuk ke arah pemain football yang berada di ujung meja dan mereka tersenyum, "I CAN'T GET NO!" mereka berteriak bersamaan. Lalu, semua orang bertepuk tangan mengiringi.
Travis bernyanyi menaruh tangan didepannya, seolah-olah itu itu adalah mikrofon, "When I'm drivin' in my car, and a man comes on the..ra-di-o &he's tellin' me more and more &about some useless in-for-ma-tion! Supposed to fire my im-agin-a-tion! I CAN'T GET NO!
Uh no, no, no!" dia menari melewatiku, bernyanyi ke arah mikrofon khayalannya.
Semua orang bernyanyi dalam harmoni, "HEY, HEY, HEY!"
"That's what I'll say!" Travis bernyanyi.
Travis menghentakkan pinggulnya, lalu suara siulan dan jeritan dari beberapa para cewek di dalam ruangan terdengar. Dia berjalan melewatiku lagi, menyanyikan chorus lagunya di bagian belakang ruangan, para pemain football menjadi pengiringnya.
"Aku akan membantumu!" seorang wanita berteriak dari belakang.
" &'cuz I tried, and I tried, and I tried &" dia bernyanyi.
"I CAN'T GET NO! I CAN'T GET NO!" penyanyi latarnya bernyanyi.
Travis berhenti di hadapanku dan membungkuk ke bawah. "When I'm watchin' my tv &and a &.man comes on and tells me &how white my shirt can be! Well he can't be a man, 'cause he doesn't smoke &the same cigarettes as me! I can't &get no! Uh no, no, no!"
Semua orang bertepuk tangan mengiringi dan para pemain football bernyanyi, "HEY, HEY, HEY!"
"That's what I'll say!" Travis bernyanyi, menunjuk ke arah penontonnya yang bertepuk tangan. Beberapa orang berdiri dan menari bersamanya, tapi kebanyakan hanya melihat dengan terpesona dan merasa terhibur.
Dia melompat ke meja sebelah dan America menjerit dan bertepuk tangan, menyikutku. Aku menggelengkan kepalaku; aku seperti mati dan terbangun di High School Musical.
Para pemain football menyenandungkan nada dasar, "Na, na, nanana! Na, na, na! Na, na, nanana!"
Travis mengangkat tinggi mikrofon khayalannya, "When I'm &ridin' 'round the world &and I'm doin' this &and I'm signin' that!"
Dia melompat turun, lalu mendekati wajahku melewati meja, "And I'm tryin' to make some girl &tell me, uh baby better come back, maybe next week, 'cuz you see I'm. On. A losin' streak! I CAN'T GET NO! Uh no, no, no!"
Seluruh ruangan bertepuk tangan mengikuti ketukan, para pemain football meneriakkan bagiannya, "HEY, HEY, HEY!"
"I can't get no! I can't get no! Satis-faction!" dia bersenandung ke arahku, tersenyum dan terengah.
Satu ruangan bertepuk tangan, dan bahkan ada beberapa orang yang bersiul. Aku menggeleng setelah dia mencium dahiku, lalu dia berdiri dan membungkuk memberi hormat.
Ketika dia kembali ke tempat duduknya di depanku, dia cekikikan.
"Mereka sekarang tidak lagi menatapmu, ya kan"" dia terengah-engah.
"Terima kasih. kau seharusnya tidak perlu melakukan itu," aku tersenyum.
"Abs"" Aku melihat ke atas dan melihat Parker berdiri di ujung meja. Semua mata menatap ke arahku sekali lagi.
"Kita harus bicara," Parker berkata, terlihat gugup. Aku melihat ke arah America, Travis, lalu kembali ke arah Parker. "Aku mohon"" dia berkata, memasukkan tangannya ke dalam sakunya.
Aku mengangguk, mengikutinya ke luar. Dia berjalan melewati jendela untuk mendapat privasi di samping gedung. "Aku tidak bermaksud untuk menarik perhatian kembali padamu. Aku tahu betapa kau membencinya."
"Maka seharusnya kau menelepon saja jika kau ingin bicara," aku berkata.
Dia mengangguk, lalu melihat ke bawah. "Aku tidak sengaja melihatmu di kafetaria. Aku menyaksikan kegaduhan tadi, lalu melihatmu dan aku langsung masuk. Maafkan aku."
Aku menunggu, lalu dia bicara lagi, "Aku tak tahu apa yang terjadi antara kau dan Travis. Itu bukan urusanku &Kita baru berkenca
n beberapa kali. Awalnya aku sempat merasa kesal namun aku kemudian menyadari bahwa itu tidak akan menggangguku jika aku tidak menyukaimu."
"Aku tidak tidur dengannya, Parker. Dia memegangi rambutku saat aku memuntahkan segelas Petron di toiletnya. Hanya seromantis itu."
Dia tertawa sekali. "Aku pikir kita tidak mendapat kesempatan yang adil &tidak saat kau tinggal bersama Travis. Sebenarnya, Abby, aku menyukaimu. Aku tak tahu mengapa tapi aku tidak bisa berhenti memikirkan dirimu." Aku tersenyum dan dia memegang tanganku, menyentuh gelangku dengan jarinya. "Aku mungkin menakutimu dengan hadiah bodoh ini, tapi aku belum pernah berada dalam situasi seperti ini sebelumnya. Aku merasa aku selalu harus bersaing dengan Travis untuk menarik perhatianmu."
"Kau tidak menakutiku dengan gelang ini."
Dia menutup rapat bibirnya. "Aku ingin mengajakmu berkencan lagi dua minggu dari sekarang, setelah taruhanmu dengan Travis berakhir. Pada saat itu kita bisa berkonstrasi untuk saling mengenal satu sama lain tanpa gangguan."
"Cukup adil." Dia mendekat dan menutup matanya, lalu mencium bibirku. "Aku akan meneleponmu secepatnya."
Aku melambaikan tangan saat berpisah dengannya, lalu kembali ke kafetaria, melewati Travis.
Dia memegangku, menarikku ke pangkuannya. "Putus cinta itu sulit ya""
"Dia ingin mencoba lagi kalau aku sudah kembali ke asrama."
"Sialan, aku harus mulai memikirkan taruhan lainnya," dia berkata, menarik piringku ke hadapanku.
*** Dua minggu berikutnya berlalu dengan cepat. Selain untuk kuliah, aku menghabiskan semua waktuku bersama Travis, dan kebanyakan kami habiskan berdua. Dia membawaku pergi makan malam, minum, dan berdansa di The Red, bowling, dan dia dipanggil untuk bertarung dua kali. Saat kami tidak sedang menertawakan kebodohan kami sendiri, Kami bermain gulat, atau meringkuk di sofa bersama Toto, menonton film. Dia membuktikan maksudnya untuk mengacuhkan semua wanita yang menggodanya, dan semua orang membicarakan Travis yang baru.
Malam terakhirku di apartemen, America dan Shepley entah mengapa tidak ada, dan Travis berusaha mengadakan makan malam terakhir yang spesial. Dia membeli wine, menyusun serbet di meja, dan bahkan membeli peralatan makan perak yang baru untuk acara ini. Dia menaruh piring kami di meja tempat kami sarapan dan menarik bangkunya ke sisi lainnya dari meja agar duduk berhadapan denganku. Untuk pertama kalinya, aku mendapat firasat kuat kalau kami sedang berkencan.
"Ini sangat enak, Trav. kau tidak memberitahu sebelumnya kalau kau pandai memasak," aku berkata sambil mengunyah Cajun Chicken Pasta yang dia masak.
Dia memaksakan satu senyuman, dan aku dapat melihat bahwa dia berusaha untuk membuat percakapan tetap santai. "Jika aku memberitahumu sebelumnya, kau akan mengharapkan ini setiap malam." Senyumnya menghilang dan matanya menatap meja.
Aku memutar-mutar makanan dalam piringku. "Aku akan merindukanmu, juga, Trav."
"kau akan tetap datang berkunjung, kan""
"kau tahu aku akan datang berkunjung. Dan kau akan ke asrama untuk membantuku belajar seperti sebelumnya."
"Tapi itu tidak akan sama," dia menghela nafas. "kau akan berkencan dengan Parker, kita akan sibuk &berjalan ke arah yang berbeda."
"Tidak akan berubah sebanyak itu."
Dia berhasil tersenyum. "Siapa yang akan mengira pada saat kita bertemu pertama kali bahwa kita akan duduk di sini" kau seharusnya memberitahuku tiga bulan yang lalu bahwa aku akan menderita seperti ini karena mengucapkan selamat tinggal pada seorang gadis."
Perutku merosot. "Aku tidak ingin kau menderita."
"Maka, jangan pergi," dia berkata. Ekspresinya sangat putus asa mengakibatkan rasa bersalah membentuk gumpalan di tenggorokanku.
"Aku tidak bisa pindah ke sini, Travis. Itu gila."
"Kata siapa" Aku baru saja merasakan dua minggu terindah dalam hidupku."
"Aku juga." "Lalu mengapa aku merasa seperti tidak akan pernah melihatmu lagi""
Aku tidak mempunyai jawaban. Wajahnya tegang, namun dia tidak marah. Dorongan untuk meghampirinya sangat kuat, maka aku berdiri dan berjalan mengitari meja,
duduk di pangkuannya. Dia tidak menatapku, maka aku memeluk lehernya, menempelkan pipiku ke pipinya.
"kau akan menyadari betapa menyebalkannya aku, lalu kau akan melupakan semua tentang merindukan diriku," kataku di telingannya.
Dia menghembuskan nafasnya ke udara saat mengusap punggungku. "Janji""
Aku bersandar dan menatap matanya, menyentuh wajahnya dengan tanganku. Aku membelai rahangnya dengan ibu jariku; ekspresinya sangat menghancurkan hati. Aku menutup mataku dan mendekat untuk mencium ujung bibirnya, namun dia berpaling sehingga aku mencium bibirnya lebih dari yang dimaksud.
Meskipun ciuman ini membuatku terkejut, aku tidak langsung mundur.
Travis membiarkan bibirnya di atas bibirku, namun dia tidak bertindak lebih jauh.
Aku akhirnya menjauh, lalu tersenyum. "Besok hari yang besar untukku. Aku akan membereskan dapur lalu pergi tidur."
"Aku akan membantumu," dia berkata.
*** Kami mencuci piring bersama sambil terdiam membisu, dan Toto tertidur di bawah kaki kami. Dia mengeringkan piring terakhir dan menaruhnya di rak, lalu menuntunku menelusuri lorong, memegang tanganku sedikit terlalu erat. Jarak antara ujung lorong dengan kamarnya tampak dua kali lebih jauh. Kami berdua tahu bahwa perpisahan hanya tinggal beberapa jam lagi.
Dia bahkan tidak berusaha berpura-pura tidak melihat saat aku mengganti pakaianku ke dalam salah satu kaos tidurnya. Dia membuka pakaiannya sehingga tinggal memakai celana boxernya, lalu masuk ke bawah selimut, menungguku bergabung dengannya.
Setelah aku naik, Travis mematikan lampu, dan menarikku mendekat padanya tanpa meminta izin atau permintaan maaf. Dia menegangkan tangannya dan menghela nafas, dan aku meletakkan wajahku di lehernya. Aku menutup mataku rapat, berusaha untuk menikmati saat ini. Aku tahu aku akan mengharapkan momen ini terulang lagi setiap hari selama hidupku, maka aku menjalaninya dengan semua yang aku punya.
Dia menatap keluar jendela. Pepohonan membuat bayangan di wajahnya. Travis menutup rapat matanya, dan perasaan tenggelam menetap di diriku. Sangat menyakitkan melihatnya menderita, mengetahui bukan hanya aku yang mengakibatkannya &aku juga satu-satunya yang dapat menghilangkannya.
"Trav" Apa kau baik-baik saja"" aku bertanya.
Ada jeda yang cukup lama sebelum akhirnya dia berbicara. "Aku tidak pernah merasa kurang baik dari ini selama hidupku."
Aku menekan dahiku pada lehernya, dan dia memelukku lebih erat. "Ini sangat konyol," kataku.
"Kita tetap akan bertemu setiap hari."
"kau tahu itu tidak benar."
Besarnya rasa duka yang kami berdua rasakan telah menghancurkan kami, dan kebutuhan tak tertahankan untuk menyelamatkan kami berdua muncul di dalam diriku.
Aku mengangkat dahuku, namun ragu; apa yang akan aku lakukan akan merubah segalanya. Aku beralasan bahwa Travis menganggap hubungan intim bukan apa-apa selain hanya untuk menghabiskan waktu, lalu aku menutup mataku lagi dan menelan rasa takutku. Aku harus melakukan sesuatu, mengetahui kami berdua masih terbangun, takut pada setiap menit yang berlalu hingga pagi.
Hatiku berdebar kencang saat aku menyentuh lehernya dengan bibirku, lalu merasakan kulitnya dalam ciuman pelan dan lembut. Dia melihat ke bawah dengan rasa terkejut, lalu matanya melembut saat menyadari apa yang aku inginkan.
Dia mendekat, menekan bibirnya di bibirku dengan rasa manis yang lembut. Kehangatan dari bibirnya mengalir sampai kakiku, dan aku menariknya lebih dekat.
Sekarang setelah kami mengambil langkah pertama, aku tidak punya keinginan untuk menghentikannya.
Aku membuka bibirku, membiarkan lidah Travis masuk. "Aku menginginkanmu," aku berkata.
Tiba-tiba, ciumannya menjadi pelan, dan dia berusaha menjauh. Bertekad untuk menyelesaikan apa yang aku mulai, mulutku menciumnya lebih gugup lagi. Akibatnya, Travis mundur hingga dia berlutut. Aku bangkit mengikutinya, menjaga agar mulut kami tetap menyatu.
Dia mencengkeram ke dua bahuku untuk menahanku. "Tunggu sebentar," dia berbisik dengan senyuman senang di wajahnya, terengah-engah. "kau tidak harus melakukan ini, Pidge. Ini buk
an maksud dari malam ini."
Dia menahan, namun aku dapat melihat di matanya bahwa pengendalian dirinya tidak akan bertahan lama.
Aku mendekat lagi, dan kali ini tangannya memberi jalan untuk bibirku menyentuh bibirnya. "Jangan membuatku memohon." Aku berbisik di mulutnya.
Dengan empat kata itu, keberatannya hilang. Dia menciumku, dengan keras dan bersemangat. Jariku menelusuri punggungnya dan berhenti di atas karet celana boxernya, dengan gugup menelusuri celana boxernya. Bibirnya menjadi tidak sabar, lalu, aku terjatuh di tempat tidur saat dia menindihku. Lidahnya menemukan jalannya untuk masuk sekali lagi, dan ketika aku mendapat keberanian untuk memasukan tanganku di antara kulit dan celana boxernya, dia mengerang.
Travis menarik lepas kaos dari atas kepalaku, lalu tangannya dengan tidak sabar bergerak ke bagian bawahku, memegang celana dalamku dan melepasnya dari kakiku dengan satu tangan. Bibirnya kembali ke bibirku saat tangannya meluncur ke dalam pahaku, dan aku mengeluarkan nafas panjang yang terengah saat jarinya mengembara di tempat di mana tidak ada seorang priapun yang pernah menyentuhnya sebelumnya. Lututku terangkat dan mengejang pada setiap gerakan tangannya, dan saat aku mencengkeram kulitnya, dia memposisikan dirinya di atasku.
"Pidgeon." Dia berkata, terengah, "Ini tidak harus malam ini. Aku akan menunggu hingga kau siap."
Aku melihat ke atas kepalaku dan meraih laci teratas di meja lampu tidurnya, menariknya hingga terbuka. Merasakan plastik di antara jariku, aku meletakkan ujungnya di bibirku, merobek bungkusnya terbuka menggunakan gigiku. Tangannya yang bebas meninggalkan punggungku, dan dia menurunkan celana boxernya, menendangnya lepas seolah dia tidak tahan itu berada di antara kami.
Bungkusnya bergemericik di ujung jarinya, dan setelah beberapa saat, aku merasakannya di antara pahaku. Aku menutup mataku.
"Tataplah aku, Pigeon."
Aku menatapnya, matanya tajam dan lembut pada saat yang sama. Dia memiringkan kepalanya, berbaring mendekat untuk menciumku dengan lembut, lalu tubuhnya menjadi tegang, mendorong dirinya ke dalam diriku dengan gerakan kecil dan pelan. Ketika dia menarik kembali, aku menggigit bibirku karena merasa tidak nyaman; saat dia bergoyang ke dalam tubuhku lagi, aku menutup rapat mataku karena kesakitan. Pahaku menjadi tegang di sekeliling pinggangnya, dan dia menciumku lagi.
"Tataplah aku," dia berbisik.
Ketika aku membuka mataku, dia menekan ke dalam lagi, dan aku menjerit karena itu mengakibatkan rasa terbakar yang nikmat. Setelah aku tenang, gerakan tubuhnya dan tubuhku menjadi lebih berirama.
Rasa gugup yang awalnya aku rasakan telah hilang, dan Travis mencengkeram kulitku seolah dia tidak pernah merasa cukup. Aku menariknya masuk kedalam diriku, dan dia mengerang ketika itu terasa semakin nikmat.
"Aku menginginkanmu sudah sangat lama, Abby. Hanya kau yang aku inginkan," dia bernafas di mulutku.
Dia memegang pahaku dengan satu tangan dan menyangga tubuhnya dengan sikunya, hanya beberapa inchi di atasku. Keringat tipis mulai menetes di atas kulit kami, dan aku mengangkat punggungku saat bibirnya menelusuri wajahku lalu ke leherku.
"Travis," aku mendesah.
Saat aku menyebut namanya, dia menekan pipinya di pipiku, dan gerakannya menjadi semakin keras. Suara dari tenggorokannya semakin kencang, dan dia akhirnya menekan di dalam diriku sekali lagi, mengerang, dan bergetar di atas tubuhku.
Setelah beberapa saat, dia menjadi tenang dan membuat nafasnya teratur.
"Tadi itu adalah ciuman pertama yang hebat," aku berkata dengan sedikit lelah, dengan ekspresi rasa puas.
Dia mengamati wajahku dan tersenyum. "Ciuman pertama terakhirmu."
Aku terlalu terkejut untuk menjawab.
Dia ambruk telungkup di sampingku, membentangkan tangannya di atas pinggangku, meletakkan dahinya di dekat pipiku. Jariku bergerak menelusuri kulit punggung telanjangnya hingga aku mendengar nafasnya semakin pelan.
Aku tetap terjaga selama beberapa jam, mendengarkan nafas Travis yang dalam dan angin menggerakkan pepohonan di luar. America dan Shepley masuk lew
at pintu depan dengan pelan, lalu aku mendengar langkah jinjit mereka di sepanjang lorong, bergumam satu sama lain.
Kami sudah mengepak barang-barangku tadi, aku meringis membayangkan akan merasa tidak nyaman nanti pagi. Kupikir setelah Travis tidur denganku, rasa penasarannya akan terpuaskan, namun dia justru membicarakan tentang selamanya. Mataku langsung tertutup karena memikirkan ekspresinya saat mengetahui apa yang telah terjadi di antara kami bukan merupakan suatu permulaan, namun penutupan. Aku tidak bisa menjalani hubungan itu dan dia akan membenciku saat aku memberitahunya.
Aku bergerak keluar dari bawah tangannya lalu berpakaian, membawa sepatuku keluar menuju kamar Shepley. America sedang duduk di tempat tidur dan Shepley sedang membuka kaosnya di depan lemari.
"Semua baik-baik saja, Abby"" Shepley bertanya.
"Mare"" aku berkata, memberinya tanda untuk mengikutiku ke lorong.
Dia mengangguk, melihatku dengan tatapan curiga. "Apa yang terjadi""
"Aku ingin kau mengantarku ke asrama sekarang. Aku tidak bisa menunggu sampai besok."
Satu sudut wajahnya terangkat karena senyuman. "kau tidak pernah bisa menangani perpisahan."
Shepley dan America membantuku membawa tasku, dan aku memandang keluar jendela mobil America dalam perjalananku menuju asrama. Saat kami menurunkan tas terakhir di kamarku, America memegangku.
"Akan terasa sangat berbeda sekarang di apartemen."
"Terima kasih sudah mengantarku pulang. Matahari akan terbit beberapa jam lagi. Sebaiknya kau pergi," aku berkata sambil meremas tangannya sekali lagi sebelum melepaskannya.
America tidak melihat ke belakang lagi saat dia meninggalkan kamar, dan aku menggigit bibirku dengan gugup, menyadari akan sangat marahnya dia saat dia menyadari apa yang telah aku lakukan.
Kaosku mengeluarkan suara seperti sobek saat aku menariknya dari atas kepalaku, listrik statis di udara telah meningkat karena musim dingin yang semakin dekat. Merasa sedikit tersesat, aku meringkuk di bawah selimut tebalku, dan menarik nafas melalui hidungku; aroma wangi tubuh Travis masih terasa di kulitku.
Tempat tidur terasa dingin dan asing, sangat kontras dengan kehangatan tempat tidurnya Travis. Aku telah menghabiskan tiga puluh hari di apartemen sempit dengan lelaki brengsek yang paling terkenal di Eastern, meskipun dengan semua pertengkaran dan 'tamu tengah malam', di sanalah satu-satunya tempat di mana aku ingin berada.
*** Telepon berbunyi mulai dari jam delapan pagi, lalu menjadi setiap lima menit sekali selama satu jam.
"Abby!" Kara mengeluh. "Angkat telepon bodohmu!"
Aku meraih teleponku dan mematikannya. Sesaat setelah aku mematikan teleponku aku mendengar ada yang menggedor pintu dan aku menyadari aku tidak akan bisa menghabiskan hariku di atas tempat tidur seperti yang sudah aku rencanakan.
Kara membuka pintu. "Apa""
America mendorongnya lalu masuk melewatinya, dan berdiri di samping tempat tidurku. "Sialan, apa sih yang terjadi"" dia membentak. Matanya merah dan bengkak, dan dia masih memakai piyamanya.
Aku bangun. "Kenapa, Mare""
"Travis mengamuk! Dia tidak mau memberitahu kami, dia menghancurkan apartemen, melempar stereo ke seberang ruangan...Shep tidak bisa membujuknya!"
Aku menggosok mata dengan telapak tanganku, lalu berkedip. "Aku tidak tahu."
"Omong kosong! kau akan memberitahuku apa yang telah terjadi, dan kau akan memberitahukannya sekarang!"
Kara mengambil peralatan mandinya lalu pergi. Dia membanting pintu di belakangnya, dan aku merengut, khawatir dia akan memberitahu penasehat mahasiswa, atau lebih parah lagi, memberitahu Dekan mahasiswa.
"Pelankan suaramu, America, ya Tuhan," aku berbisik.
Dia menutup rapat bibirnya. "Apa yang telah kau lakukan""
Kupikir dia hanya akan marah padaku; aku tak tahu dia akan mengamuk.
"Aku &tidak tahu," aku menelan ludah.
"Dia melayangkan tinjunya ke arah Shepley ketika dia tahu kami membantumu pergi. Abby! Kumohon beritahu aku!" Matanya berkaca-kaca. "Itu menakutiku."
Rasa ngeri di matanya membuatku memberitahukan hanya sebagian dari yang terjadi seb
enarnya. "Aku hanya tidak dapat mengucapkan selamat tinggal. kau tahu itu berat untukku."
"Bukan itu, pasti ada yang lain, Abby. Dia menjadi gila! Aku mendengarnya memanggil namamu, lalu dia berlari ke seluruh sudut apartemen mencari dirimu. Dia menerobos masuk ke kamar Shepley, memaksa ingin mengetahui keberadaanmu. Lalu dia mencoba meneleponmu. Lagi, dan lagi dan lagi," dia menghela nafas.
"Wajahnya sangat..ya Tuhan, Abby. Aku belum pernah melihatnya seperti itu.
Dia merobek sprei tempat tidurnya, lalu melemparnya, melempar bantalnya, menghancurkan cerminnya dengan tinjunya, menendang pintu &melepasnya dari engsel! Itu adalah kejadian yang paling menakutkan dalam hidupku!"
Aku menutup mataku, sehingga air mata di ujung mataku turun ke pipiku.
America memberikan teleponnya padaku. "kau harus meneleponnya. kau setidaknya harus memberitahunya bahwa kau baik-baik saja."
"Ok, aku akan meneponnya."
Dia menyodorkan teleponnya lagi padaku. "Tidak, kau harus meneleponnya, sekarang."
Aku mengambil teleponnya dan menekan tombolnya, berusaha memikirkan apa yang bisa aku katakan padanya. Dia merebut teleponnya dari tanganku, menekan nomor lalu menyerahkannya padaku. Aku memegang telepon di telingaku, dan mengambil nafas panjang.
"Mare"" Travis menjawab teleponnya, suaranya sangat cemas.
"Ini aku." Teleponnya hening sesaat sebelum akhirnya dia mulai bicara. "Apa yang terjadi padamu tadi malam" Aku terbangun pagi ini, kau tidak ada dan kau &pergi begitu saja tanpa mengucapkan selamat tinggal" Mengapa""
"Maafkan aku. Aku-,"
"kau minta maaf" Aku menjadi gila! kau tidak menjawab teleponmu, menyelinap pergi dan, apa-kenapa" Kupikir kita akhirnya menyadari semuanya!"
"Aku hanya membutuhkan waktu untuk berpikir."
"Berpikir tentang apa"" dia terhenti. "Apa aku telah menyakitimu""
"Tidak! Bukan itu! Aku benar-benar..benar-benar minta maaf. Aku yakin America telah memberitahumu. Aku tidak mampu mengucapkan selamat tinggal."
"Aku harus bertemu denganmu," dia berkata, suaranya terdengar putus asa.
Aku menghela nafas. "Banyak yang harus aku kerjakan hari ini. Aku harus membongkar barangku dan aku punya setumpuk baju yang harus di cuci."
"kau menyesalinya," dia berkata, suaranya terdengar hancur.
"Bukan &bukan karena itu. Kita berteman. Dan itu tidak akan berubah."
"Berteman" Lalu kau pikir tadi malam itu apa"" dia berkata, kemarahan terdengar dalam suaranya.
Aku menutup rapat mataku. "Aku tahu apa yang kau inginkan. Aku hanya tidak bisa &.melakukannya saat ini."
"Jadi kau hanya membutuhkan waktu"" dia bertanya dengan suara yang lebih tenang. "Kau seharusnya memberitahuku. kau tidak perlu lari dariku."
"Itu adalah cara yang paling mudah."
"Paling mudah untuk siapa""
"Aku tidak bisa tidur. Aku terus berpikir tentang bagaimana rasanya nanti pagi, saat memasukkan tasku ke dalam mobil America dan &aku tidak bisa melakukannya, Trav," Kataku.
"Itu sudah cukup buruk bahwa kau tidak akan berada di sini lagi. kau tidak bisa langsung menghilang dari hidupku."
Aku memaksakan diri untuk tersenyum. "Kita akan bertemu besok. Aku tidak ingin semua jadi aneh, OK" Aku hanya ingin memikirkan beberapa masalah dulu. Hanya itu."
"OK," dia berkata."Aku bisa melakukan itu."
Aku menutup telepon, dan America membelalak ke arahku. "kau TIDUR dengannya" Sialan kau! kau bahkan tidak akan memberitahuku""
Aku memutar mataku dan ambruk di atas bantal. "Ini bukan tentang dirimu, Mare. Ini menjadi satu masalah sulit dan rumit."
"Apanya yang sulit tentang itu" Kalian berdua seharusnya sangat bahagia, bukannya merusak pintu atau bersembunyi di kamarmu!"
"Aku tidak boleh bersamanya," aku berbisik, terus memandangi langit-langit.
Tangannya memegang tanganku, dia bicara dengan lembut. "Bersama Travis memang butuh banyak usaha. Percayalah padaku, aku mengerti pada semua rasa ragumu padanya, tapi lihat bagaimana dia telah berubah begitu banyak untukmu. Pikirkan tentang dua minggu yang lalu, Abby. Dia tidak seperti Mick."
"Aku yang seperti Mick! Aku terlibat dengan Travis dan semua yang t
elah kami lakukan &lenyap!" aku menjentikkan jariku. "Begitu saja!"
"Travis tidak akan membiarkan itu terjadi."
"Itu bukan tergantung padanya sekarang, ya kan""
"kau akan menghancurkan hatinya, Abby. kau akan menghancurkan hatinya! Satu-satunya wanita yang dia percaya untuk dicintai, dan kau akan sangat menyakitinya!"
Aku berpaling darinya, tidak mampu melihat ekspresinya yang datang bersamaan dengan nada pembelaan di suaranya.
"Aku ingin akhir yang bahagia. Itu alasan kita datang kemari."
"kau tidak harus melakukan ini. Semua akan berjalan lancar."
"Hingga keberuntunganku habis."
America mengangkat tangannya ke atas, dan menjatuhkannya di pangkuannya. "Ya Tuhan, Abby, jangan bicara tentang omong kosong itu lagi. Kita sudah membahasnya tentang ini."
Teleponku berbunyi, dan aku melihat nama di layarnya. "Itu Parker."
Dia menggelengkan kepalanya. "Kita masih belum selesai bicara."
"Halo"" aku menjawab, menghindari tatapan America.
"Abs! Ini hari pertama dari kebebasanmu! Bagaimana rasanya"" dia berkata.
"Itu terasa &bebas," aku berkata, tidak bisa mengeluarkan sedikit pun nada antusias.
"Makan malam besok malam" Aku merindukanmu."
"Ya," aku mengelap hidungku dengan tangan bajuku. "Besok kedengaran sempurna."
Setelah aku menutup telepon, America merengut. " Travis akan bertanya padaku saat aku pulang," dia berkata. "Dia akan bertanya apa saja yang kita bicarakan. Apa yang harus aku katakan padanya""
"Katakan padanya bahwa aku menepati janjiku. Saat besok tiba, dia tidak akan merindukanku."
*** Bab 10 WAJAH TANPA EKSPRESI Dua meja di depan, satu meja di belakang. America dan Shepley hampir tidak terlihat dari tempat aku duduk, dan aku membungkuk, melihat Travis menatap kursi kosong tempat aku biasa duduk sebelum dia duduk di ujung meja. Aku merasa konyol karena bersembunyi, tapi aku merasa belum siap untuk duduk di hadapannya selama satu jam penuh. Ketika aku telah menghabiskan makananku, aku mengambil nafas panjang dan melangkah keluar ke arah Travis yang sedang menghabiskan rokoknya.
Aku telah menghabiskan sepanjang malam berusaha untuk membuat satu rencana yang akan membawa kami pada keadaan sebelumnya. Jika aku menganggap pertemuan kami seperti dia menganggap seks adalah hal yang biasa, aku akan mempunyai kesempatan yang lebih baik. Semua rencanaku beresiko akan kehilangan dia, tapi aku harap ego lelakinya yang besar akan memaksanya untuk menerima itu seperti hal yang biasa juga.
"Hai," aku tersenyum.
Dia menyeringai. "Hai. Kupikir kau sedang makan siang."
"Aku buru-buru, harus belajar," aku mengangkat bahu, berusaha sebaik mungkin terlihat biasa.
"Butuh bantuan""
"Itu mata kuliah Kalkulus. Kupikir aku bisa mengatasinya."


Beautiful Disaster Karya Jamie Mcguire di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku bisa datang hanya untuk memberikan bantuan moral." dia tersenyum, memasukan tangannya ke dalam saku. Ototnya yang kekar di tangannya menjadi tegang karena melakukan itu, dan memikirkannya meregang ketika dia mendorong dirinya masuk kedalam diriku berputar kembali dengan jelas di dalam kepalaku.
"Ehm..apa"" aku bertanya, bingung karena pikiran erotis yang tiba-tiba terlintas di pikiranku.
"Apakah kita harus berpura-pura yang terjadi kemarin malam tidak pernah terjadi""
"Tidak, kenapa"" aku pura-pura bingung dan dia menghela nafas, frustrasi karena kelakuanku.
"Aku tak tahu &karena aku mengambil keperawananmu"" dia mendekat ke arahku, mengatakan kata itu dengan suara berbisik.
Aku memutar mataku. "Aku yakin itu bukan pertama kalinya kau mengambil keperawanan seorang cewek, Trav."
Seperti yang aku takutkan, sikapku yang seperti tidak terjadi apapun telah membuatnya marah. " Sebenarnya, itu adalah yang pertama."
"Ayolah &aku sudah bilang aku tidak ingin kita jadi canggung."
Travis mengambil satu lagi hisapan terakhir rokoknya lalu membuangnya ke bawah. "Well, jika aku telah belajar sesuatu beberapa hari terakhir ini, itu adalah bahwa kita tidak selalu mendapat apa yang kita inginkan."
"Hai, Abs," Parker berkata sambil mencium pipiku.
Travis melotot ke arah Parker dengan ekspresi kejam.
"Aku akan menjemputmu sekitar jam enam"" kata Parker.
Aku mengangguk. "Jam enam."
"Sampai bertemu sebentar lagi," dia berkata, berjalan menuju kelasnya. Aku memperhatikan dia pergi, takut pada konsekuensi yang akan di dapat karena sepuluh detik terakhir tadi.
"Kau akan pergi kencan bersamanya malam ini"" Travis mendesis marah. Mulutnya tertutup rapat, dan aku dapat melihat dia menggertakkan gigi di bawah kulitnya.
"Aku sudah bilang padamu dia akan mengajakku kencan lagi setelah aku kembali ke asrama. Dia meneleponku kemarin."
"Apakah kau tidak berpikir semua sedikit berubah setelah pembicaraan itu""
"kenapa"" Dia pergi menjauhiku, dan aku menelan ludah, berusaha menahan air mata yang akan menetes. Travis berhenti dan kembali, mendekat pada wajahku. "Itu sebabnya kau berkata aku tidak akan merindukanmu lagi setelah hari ini! Kau tahu bahwa aku akan mengetahui tentang kau dan Parker, dan kau pikir aku akan &apa" Melupakanmu" kau tidak percaya padaku, atau karena aku kurang pantas untukmu" Beritahu aku, sialan! Beritahu apa yang telah aku lakukan padamu yang membuatmu melakukan ini padaku!"
Aku berdiri tegak, menatap langsung ke matanya. "Kau tidak melakukan apapun padaku. Sejak kapan seks menjadi masalah hidup dan mati untukmu""
"Sejak itu bersamamu!"
Aku melihat sekeliling, menyadari kalau kami menarik perhatian orang lain. Orang-orang berjalan pelan, menatap dan berbisik satu sama lain. Aku rasa telingaku menjadi merah, dan menyebar ke wajahku, membuat mataku berair.
Dia menutup matanya, berusaha menenangkan dirinya sendiri sebelum mulai bicara lagi. "Apa memang begitu" Kau pikir itu tidak berarti apapun bagiku""
"Kau adalah Travis Maddox."
Dia menggelengkan kepalanya, merasa jijik. "Kalau aku tidak tahu lebih baik, aku akan berpikir kau sedang mengingatkan aku akan masa laluku."
"Kupikir empat minggu yang lalu bukan merupakan masa lalu." Wajahnya mengernyit dan aku tertawa. "Aku bercanda! Travis, semua baik-baik saja. Aku baik-baik saja, kau baik-baik saja. Tidak perlu terlalu membesar-besarkan masalah ini."
Semua amarah hilang dari wajahnya lalu dia mengambil nafas panjang dari hidungnya. "Aku tahu apa yang sedang kau lakukan." Matanya menerawang sesaat, terhanyut dalam pikirannya sendiri. "Aku harus membuktikannya padamu kalau begitu." Matanya tajam saat melihat ke dalam mataku, bertekad seperti saat sebelum dia bertarung. "Jika kau pikir aku akan langsung kembali berhubungan seks dengan semua orang, kau salah. Aku tidak menginginkan orang lain. Kau ingin kita hanya berteman" Baiklah, kita berteman. Tapi kau dan aku tahu apa yang telah terjadi bukan hanya sekedar seks."
Dia bergegas pergi melewatiku dan aku menutup mataku, menghembuskan nafas yang tanpa aku sadari telah aku tahan. Travis memandang kembali ke arahku, lalu melanjutkan langkahnya menuju kelas selanjutnya. Air mata yang tidak dapat aku tahan turun di pipiku dan aku langsung menghapusnya. Pandangan ingin tahu dari teman sekelasku menusuk tajam di punggungku saat aku bersusah payah masuk kelas.
Parker ada di barisan kedua dan aku langsung duduk di sampingnya.
Senyuman terlihat di wajahnya. "Aku tidak sabar menunggu nanti malam."
Aku menarik nafas lalu tersenyum, berusaha merubah moodku setelah berbicara dengan Travis tadi.
"Apa rencananya""
"Well, aku telah selesai membereskan apartemenku. Aku ingin kita makan malam di sana."
"Aku juga sudah tidak sabar menunggu nanti malam." Aku berkata, berusaha meyakinkan diriku sendiri.
*** Karena America menolak untuk membantu, Kara dengan enggan menjadi asisten yang membantuku memilih gaun untuk kencanku dengan Parker. Setelah aku memakainya, aku langsung melepaskannya lagi dan malah memakai celana jins saja. Setelah merenungi tentang rencanaku yang gagal sepanjang sore, aku tidak bisa menyuruh diriku untuk berdandan. Mengingat udara yang dingin, aku mengenakan sweater kasmir tipis berwarna gading di atas tank top coklatku, lalu menunggu di pintu. Ketika mobil porsche Parker yang mengkilap berhenti di depan asrama, aku langsung keluar sebelum dia sempat
berjalan menghampiriku. "Aku tadi akan menghampirimu," dia berkata, merasa kecewa saat dia membukakan pintu mobil untukku.
"kau kan jadi tidak perlu berjalan," aku berkata sambil memakai sabuk pengamanku.
Dia duduk di sampingku dan mendekat, memegang kedua sisi wajahku, menciumku dengan bibir lembutnya. "Wow," dia menarik nafas, "Aku merindukan bibirmu."
Nafasnya beraroma mint, colognenya sangat wangi, tangannya hangat dan lembut dan dia terlihat tampan memakai celana jins dengan kemeja hijaunya, tapi aku tidak dapat menghilangkan perasaanku yang merasa ada sesuatu yang hilang. Kegembiraan yang aku rasakan dulu telah hilang, dan aku diam-diam mengutuk Travis karena telah menghilangkan perasaan itu.
Aku memaksakan satu senyuman. "Aku anggap itu sebagai pujian."
Apartemennya sama seperti yang telah aku bayangkan: Rapi, bersih, dengan barang-barang elektronik yang mahal di setiap sudut, yang sepertinya di dekorasi oleh ibunya.
"Jadi" Bagaimana menurutmu"" dia berkata, tersenyum seperti anak kecil yang sedang memamerkan mainan barunya.
"Sangat indah," aku mengangguk.
Ekspresinya berubah dari bermain-main menjadi intim, dan dia menarikku ke dalam pelukannya, mencium leherku. Semua otot dalam tubuhku menjadi tegang.
Aku ingin berada di tempat lain selain di apartemen ini.
Teleponku berbunyi, dan aku memberinya senyuman minta maaf sebelum menjawab teleponku.
"Bagaimana kencanmu, Pidge""
Aku membalikkan tubuhku dari Parker dan berbisik ke arah telepon. "Apa yang kau butuhkan, Travis"" aku mencoba agar suaraku terdengar tegas, tapi itu malah menjadi lembut karena lega mendengar suaranya.
"Aku akan pergi bowling besok. Aku membutuhkan partner."
"Bowling" kau tidak bisa meneleponku nanti"" aku merasa seperti orang munafik karena mengatakan hal itu, mengetahui aku mengharapkan alasan untuk membuat bibir Parker jauh dariku.
"Bagaimana aku tahu kalau kau telah selesai" Oh. Itu tidak terdengar tepat &" dia berhenti, terdengar kagum pada dirinya sendiri.
"Aku akan meneleponmu besok lalu kita akan membicarakan ini nanti, OK""
"Tidak, itu tidak OK. kau bilang ingin kita bersahabat, tapi kita tidak bisa hang out"" aku memutar mataku dan Travis menghela nafas. "Jangan memutar matamu padaku. Kau ikut apa tidak""
"Bagaimana kau tahu aku memutar mataku" Apa kau membuntutiku"" aku bertanya, melihat ke arah tirai.
"kau selalu memutar matamu. Ikut" Tidak" kau membuang waktu berkencanmu yang berharga."
Dia sangat mengenalku. Aku melawan keinginan untuk memintanya menjemputku nanti. Aku tidak dapat menahan senyumku karena berpikir seperti itu.
"Ya!" aku berkata dengan suara berbisik, berusaha untuk tidak tertawa. "Aku akan ikut."
"Aku akan menjemput jam tujuh."
Aku berbalik ke arah Parker, tersenyum seperti kucing Cheshire.
"Travis"" dia bertanya dengan ekspresi ingin tahu.
"Ya," aku merengut, tertangkap basah.
"Kalian masih hanya bersahabat""
"Masih hanya bersahabat," aku mengangguk sekali.
Kami duduk di meja, memakan masakan cina yang tadi di beli. Aku menjadi lebih hangat padanya setelah beberapa saat, dan dia mengingatkanku betapa menawannya dia. Aku merasa lebih ringan, hampir cekikikan, berubah dari sebelumnya. Sekuat apapun aku mendorong pikiran itu keluar dari kepalaku, aku tidak bisa menyangkal bahwa rencanaku dengan Travislah yang membuat moodku lebih baik.
Setelah makan malam, kami duduk di sofa menonton film, namun sebelum daftar pemain selesai, Parker membaringkanku di sofa. Aku lega aku memilih memakai celana jins; aku tidak akan mampu menangkisnya kalau memakai gaun. Bibirnya turun menelusuri tulang leherku, dan tangannya berada di atas ikat pinggangku. Dengan kikuk dia berusaha menarik lepas ikat pinggang itu, dan setelah lepas, aku meluncur keluar dari bawahnya lalu berdiri.
"OK! Kurasa base pertama adalah satu-satunya yang kau dapat malam ini," aku berkata sambil memasang kembali ikat pinggangku.
"Apa"" "Base pertama &base kedua" Lupakanlah. Ini sudah malam, aku sebaiknya pergi."
Dia terduduk bangun dan memegang kakiku. "Jangan per
gi, Abs. Aku tak ingin kau berpikir ini alasan aku membawamu kemari."
"Bukankah itu alasannya""
"Tentu bukan," dia berkata, menarikku ke pangkuannya. "Hanya kau yang aku pikirkan selama dua minggu ini. Maaafkan aku karena menjadi tidak sabar."
Dia mencium pipiku, dan aku bersandar di dadanya, tersenyum saat nafasnya menggelitik leherku. Aku berpaling ke arahnya dan menekan bibirku di bibirnya, berusaha sekuat tenaga untuk merasakan sesuatu - tapi aku tidak merasakannya. Aku menjauh darinya dan menghela nafas. Parker mengernyitkan alisnya. "Aku sudah bilang aku menyesal."
Pedang Pelangi 21 Pendekar Naga Putih 74 Misteri Di Bukit Ular Emas Petualang Asmara 14
^