Pencarian

Beautiful Disaster 4

Beautiful Disaster Karya Jamie Mcguire Bagian 4


"Aku bilang ini sudah larut."
*** Kami naik mobil ke asrama, dan Parker meremas tanganku setelah menciumku. "Mari kita mencoba lagi. Ke Biasetti besok""
Aku menutup rapat bibirku. "Aku akan pergi bowling dengan Travis besok."
"Rabu kalau begitu""
"Rabu boleh," aku berkata, memberinya senyuman yang di buat-buat.
Parker bergeser di tempat duduknya. Dia mengusahakan sesuatu. "Abby" Ada pesta kencan di The House dua minggu dari sekarang &"
Dalam hati aku meringis, takut akan diskusi yang mau tak mau akan kami lakukan.
"Ada apa"" dia bertanya, tertawa gugup.
"Aku tidak bisa pergi denganmu," aku berkata, sambil keluar dari mobil.
Dia mengikuti hingga pintu masuk asrama. "Kau sudah punya rencana""
Aku meringis. "Aku punya rencana &Travis sudah mengajakku pergi ke sana,"
"Travis mengajakmu ke mana""
"Ke pesta kencan," aku menjelaskan, sedikit frustrasi.
Wajah Parker memerah, dan dia menggeser tubuhnya. "Kau akan pergi ke pesta kencan dengan Travis" Dia tidak pernah datang ke acara seperti itu. Dan kalian hanya berteman. Sangat tidak masuk akal kalau kau pergi bersamanya."
"America tidak mau pergi bersama Shepley, kecuali aku ikut."
Dia sedikit tenang. "Kalau begitu pergilah denganku," dia tersenyum sambil memegang tanganku.
Aku meringis akan keputusannya. "Aku tidak bisa membatalkan pergi dengan Travis lalu pergi bersamamu."
"Aku tidak melihat masalahnya," dia mengangkat bahunya. "kau bisa berada di sana untuk America, Travis bisa lepas dari kewajibannya untuk pergi kesana. Dia sama sekali tidak pernah datang ke acara pesta kencan. Menurutnya itu hanya salah satu cara untuk para wanita memaksa kami agar mengumumkan hubungan kami."
"Aku yang tidak ingin pergi. Dia memaksaku untuk ikut."
"Sekarang kau punya alasan," dia mengangkat bahu. Dia jadi menjengkelkan karena merasa yakin kalau aku akan merubah pikiranku.
"Aku tidak ingin pergi sama sekali."
Kesabaran Parker sudah habis. "Aku hanya ingin menjelaskan; kau tidak ingin pergi ke pesta kencan. Travis ingin pergi, dia mengajakmu, dan kau tidak ingin membatalkan pergi dengannya untuk pergi denganku, meskipun kau pada awalnya tidak ingin pergi""
Aku kesulitan menatap balik matanya. "Aku tidak bisa melakukan itu kepadanya, Parker, maafkan aku."
"Apakah kau tahu pesta kencan itu apa" Seharusnya kau pergi kesana bersama kekasihmu."
Nada suaranya yang merendahkan membuat empati yang aku rasakan padanya telah hilang. "Well, aku tidak punya kekasih, jadi secara teknis aku tidak harus pergi sama sekali."
"Kupikir kita akan mencoba lagi. Aku pikir kita memiliki sesuatu."
"Aku sedang mencoba."
"Apa yang kau harap aku lakukan" Duduk di rumah sendirian sementara kau pergi ke pesta kencan yang diadakan perkumpulan persaudaraanku bersama orang lain" Apa aku harus mengajak wanita lain""
"Aku tidak melarangmu pergi ke pestamu sendiri. Kita akan bertemu di sana."
"kau ingin aku mengajak wanita lain" Dan kau pergi bersama Travis. Apa kau tidak lihat betapa anehnya itu""
Aku menyilangkan tanganku, siap untuk pertengkaran. "Aku bilang padanya aku akan pergi dengannya sebelum kita berkencan, Parker. Aku tidak bisa membatalkannya."
"kau tidak bisa, atau tidak mau""
"Perbedaan yang sama. Aku menyesal kau tidak mengerti." Aku mendorong pintu asrama hingga terbuka, dan Parker menahanku.
"Baiklah," dia menarik nafas menyerah. "Ini jelas adalah satu masalah yang harus aku mengerti. Travis adalah salah satu sahabatmu, aku sangat me
ngerti itu. Aku tidak ingin ini mempengaruhi hubungan kita. OK""
"OK," kataku sambil mengangguk.
Dia membukakan pintu dan menyuruhku masuk, mencium leherku sebelum aku berjalan masuk. "Sampai bertemu hari Rabu jam enam""
"Jam enam." aku tersenyum, melambai ke arahnya saat aku menaiki tangga.
*** America sedang berjalan keluar dari kamar mandi ketika aku berbelok, matanya bersinar ketika dia melihatku. "Hai, chickie! Bagaimana kencanmu""
"Biasa saja," kataku datar.
"Uh oh." "Jangan beritahu Travis, OK""
Dia mendengus. "Tidak akan, apa yang terjadi""
"Parker mengajakku ke pesta kencan."
America mengencangkan handuknya. "Kau tidak akan membatalkan pergi dengan Trav kan""
"Tidak, dan Parker tidak senang karena itu."
"Bisa dipahami," dia berkata, mengangguk. "Itu juga sangat buruk."
America menarik rambutnya yang panjang dan basah ke sisi salah satu bahunya, dan butiran air menetes di kulit telanjangnya. Dia kontradiksiku yang berjalan. Dia melamar masuk Eastern agar kami bisa tinggal bersama. Dia adalah suara hatiku, akan turun tangan saat aku menyerah pada kecenderunganku yang tertanam untuk pergi keluar jalur. Semua berlawanan dengan yang telah kam bicarakan tentang aku berhubungan dengan Travis, dan dia telah menjadi penyemangat Travis yang terlalu antusias.
Aku bersandar ke dinding. "Apa kau akan marah kalau aku tidak jadi pergi""
"Tidak, aku akan sangat kesal hingga tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Di sana akan banyak terjadi perkelahian antar wanita, Abby."
"Kalau begitu aku akan pergi," aku berkata, memasukkan kunciku ke pintu. Teleponku berbunyi, dan terlihat foto Travis yang sedang membuat wajah yang lucu di layar.
"Halo"" "kau sudah di rumah, belum""
"Ya, dia mengantarku pulang lima menit yang lalu."
"Aku akan tiba di sana lima menit lagi.
"Tunggu! Travis"" aku berkata saat dia menutup telepon.
America tertawa. "kau baru pulang dari kencan yang mengecewakan dengan Parker, tapi kau tersenyum saat Travis menelepon. Apakah kau begitu bodoh""
"Aku tidak tersenyum," protesku. "Dia akan kemari. Maukah kau menemuinya di luar dan bilang padanya kalau aku sudah tidur""
"Kau tadi tersenyum, dan tidak mau &bilang saja sendiri."
"Ya, Mare, seperti akan berhasil baik kalau aku bilang sendiri bahwa aku sudah tidur." Dia meninggalkanku, berjalan ke kamarnya. Aku mengangkat tanganku dan memukul pahaku. "Mare! Ku mohon""
"Selamat bersenang-senang, Abby," dia tersenyum, menghilang ke dalam kamarnya.
Aku menuruni tangga dan melihat Travis di atas motornya, sedang parkir di depan tangga masuk. Dia memakai kaos putih dengan gambar berwarna hitam, membuat tatoo di tangannya semakin kelihatan.
"Apakah kau tidak kedinginan"" aku bertanya, menarik jaketku lebih kencang.
"kau kelihatan cantik. Apakah kau bersenang-senang""
"Uh &ya, terima kasih," aku berkata, salah tingkah. "Apa yang kau lakukan di sini""
Dia menstarter motornya, dan mesinnya hidup. "Aku akan berkeliling naik motor untuk menjernihkan pikiranku. Aku ingin kau ikut denganku."
"Tapi dingin, Trav."
"kau mau aku meminjam mobilnya Shepley""
"Kita akan pergi bowling besok. Tidak bisakah kau menunggu hingga besok""
"Aku dari yang bertemu denganmu setiap detik sepanjang hari menjadi hanya bertemu denganmu selama sepuluh menit, itu juga kalau aku beruntung."
Aku tersenyum dan menggelengkan kepala. "Ini baru dua hari, Trav."
"Aku merindukanmu. Ayo cepat naik dan kita pergi."
Aku tidak bisa membantah. Aku juga merindukannya. Lebih dari yang akan aku akui padanya. Aku menyeletingkan jaketku dan naik ke belakangnya, memasukkan jariku ke tempat ikat pinggang celana jinsnya. Dia menarik pergelangan tanganku ke dadanya dan melipatnya satu di atas yang lain. Setelah dia merasa puas karena aku telah memeluknya erat, dia melaju pergi, melaju cepat di jalan.
Aku menyandarkan pipiku di punggungnya dan menutup mataku, menghirup aroma wangi tubuhnya. Itu mengingatkanku pada apartemennya, sprei dan wangi tubuhnya saat dia berjalan dengan hanya memakai handuk di pinggangnya.
Pemandangan kota kelihatan tidak jelas saat kami lewat, dan aku tidak peduli seberapa cepat dia menyetir, atau seberapa dingin angin saat menyentuh kulitku; aku bahkan tidak memperhatikan ke mana kami pergi. Yang aku pikirkan hanya tubuhnya menempel ditubuhku. Kami tidak memiliki tujuan ataupun jangka waktu, dan kami berkeliling hingga tidak ada orang lagi di jalan selain kami.
Travis berhenti di pom bensin lalu parkir. "kau menginginkan sesuatu"" dia bertanya.
Aku menggelengkan kepala, turun dari motor untuk meluruskan kakiku. Dia memperhatikanku yang sedang menyisirkan jari di rambutku, dan tersenyum.
"Hentikan itu. Kau sudah terlihat sangat cantik."
"Tunjukan saja padaku video musik rock tahun delapan puluhan yang terdekat," aku berkata.
Dia tertawa, lalu menguap sambil mengusir ngengat yang berdengung di sekitarnya. Mulut pipa bensin berbunyi, terdengar lebih keras dari seharusnya di malam yang hening. Kami tampaknya menjadi satu-satunya orang di dunia.
Aku mengeluarkan teleponku untuk melihat jam. "Ya Tuhan, Trav. Ini sudah jam tiga pagi."
"kau ingin pulang"" dia bertanya, wajahnya tampak kecewa.
Aku menutup rapat bibirku. "Sebaiknya kita pulang."
"Kita masih akan pergi bowling malam ini""
"Aku sudah bilang aku akan ikut."
"Dan kau tetap akan pergi ke Sig Tau bersamaku kan dua minggu lagi""
"Apa kau menyindirku bahwa aku tidak akan menepati janjiku" Aku merasa sedikit tersinggung."
Dia menarik keluar mulut pipa bensin dari tankinya dan menggantung di tempatnya. "Aku hanya tidak tahu lagi apa yang akan kau lakukan."
Dia duduk di atas motornya dan membantuku naik di belakangnya. Aku mengaitkan jariku di tempat ikat pinggangnya namun aku pikir lebih baik aku melingkarkan tanganku di tubuhnya.
Dia menghela nafas dan menegakkan motornya, dengan berat hati menyalakan mesinnya. Telapak tangannya menjadi putih saat dia memegang stang motor. Dia mengambil nafas, dan mulai berbicara lalu menggelengkan kepalanya.
"Kau sangat berarti untukku, kau tahu," aku berkata, memeluknya lebih erat.
"Aku tidak mengerti dirimu, Pigeon. Ku pikir aku mengenal wanita, tapi dirimu benar-benar sangat membuat bingung hingga aku tak tahu harus bagaimana."
"Aku juga tidak mengerti dirimu. Kau seharusnya menjadi kekasih semua wanita di Eastern. Aku belum mendapat semua pengalaman seorang mahasiswa baru yang mereka tawarkan di brosur," aku menggodanya.
"Well, itu yang pertama. Aku belum pernah bertemu wanita yang mau tidur denganku hanya agar aku tidak mengganggunya lagi," dia berkata, tetap membelakangiku.
"Bukan itu maksudnya, Travis," aku berbohong, merasa malu karena dia dapat menebak maksudku tanpa menyadari seberapa benarnya dia.
Dia menggelengkan kepalanya lalu menyalakan mesin motornya, melaju ke jalan. Dia menjalankan motornya dengan pelan tidak seperti biasa, berhenti di setiap lampu kuning, mengambil jalan yang terjauh menuju kampus.
Kami berhenti di depan pintu masuk asrama, kesedihan yang sama yang aku rasakan di malam aku pergi meninggalkan apartemen menelanku. Mengetahui itu tampak konyol untuk merasa begitu emosional, namun setiap kali aku melakukan sesuatu untuk mendorongnya pergi, aku sangat takut itu akan benar-benar membuatnya pergi.
Dia mengantarku ke pintu, aku mengeluarkan kunciku, menghindari tatapannya. Saat aku merogoh kunci, tangannya tiba-tiba ada di daguku, ibu jarinya menyentuh bibirku dengan lembut.
"Apakah dia menciummu"" dia bertanya.
Aku mundur menjauh, terkejut karena jarinya mengakibatkan rasa terbakar yang membakar semua saraf dari mulut hingga ujung kakiku. "Kau benar-benar tahu bagaimana caranya mengacaukan malam yang sempurna, ya""
"Kau berpikir malam ini sempurna, ya" Apa itu berarti kau merasa senang""
"Aku selalu merasa senang saat bersamamu."
Dia melihat ke bawah dan alisnya mengernyit. "Apakah tadi dia menciummu""
"Ya," aku menghela nafas, merasa terganggu.
Matanya tertutup. "Apakah hanya itu""
"Itu sama sekali bukan urusanmu!" aku berkata sambil menarik pintu hingga terbuka.
Travis mendorongnya hingga tertutup
dan menghalangi jalan masukku, ekspresinya seperti meminta maaf. "Aku harus tahu."
"Tidak, kau tidak harus tahu! Minggir, Travis!"
"Pigeon &,"
"Kau pikir karena aku bukan lagi perawan, aku akan tidur dengan semua orang yang ada" Terima kasih!" aku berkata sambil mendorongnya.
"Aku tidak mengatakan itu, sialan! Apakah itu terlalu berlebihan untuk ditanyakan agar pikiranku tenang""
"Mengapa itu akan membuat pikiranmu tenang jika mengetahui apa aku tidur dengan Parker""
"Bagaimana kau tidak tahu" Itu terlihat sangat jelas untuk semua orang kecuali dirimu!" dia berkata, putus asa.
"Kalau begitu mungkin hanya karena aku adalah orang yang tolol. kau mabuk malam ini, Trav," aku berkata sambil meraih pegangan pintu.
Dia menahan bahuku. "Perasaan aku padamu &sangat membuatku gila."
"Bagian gila itu memang benar," aku membentak, melepaskan diri darinya.
"Aku sudah melatih ini di pikiranku sepanjang waktu kita di motor tadi, jadi dengarkanlah aku," dia berkata.
"Travis-," "Aku tahu kita sangat kacau, kan" Aku impulsif, cepat marah, dan aku selalu memikirkan dirimu. kau bersikap seperti membenciku menit ini, lalu menit berikutnya kau membutuhkanku. Aku tak pernah melakukan hal yang benar, dan aku tidak pantas untukmu &tapi aku benar-benar mencintaimu, Abby. Aku mencintaimu lebih dari aku mencintai seseorang atau sesuatu, sebelumnya. Saat kau ada di sisiku, aku tidak membutuhkan minuman keras, uang, pertarungan, atau hubungan seks satu malam &yang aku butuhkan hanya dirimu. Hanya kau yang aku pikirkan. Hanya kau yang aku mimpikan. Hanya kau yang aku inginkan."
Rencanaku untuk bersikap seolah tidak peduli gagal total. Aku tidak bisa berpura-pura tidak terpengaruh saat dia mengungkapkan semua perasaannya. Saat kami bertemu pertama kali, sesuatu di dalam diri kami berubah, dan apapun itu, membuat kami saling membutuhkan. Untuk alasan yang tidak aku ketahui, aku adalah pengecualiannya, dan sekuat apapun aku mencoba melawan perasaanku, dia adalah pengecualianku.
Dia menggelengkan kepalanya, memegang kedua sisi wajahku, dan menatap langsung ke mataku. "Apakah kau tidur dengannya""
Air mata yang hangat memenuhi mataku saat aku menggelengkan kepalaku. Dia langsung menciumku, dan lidahnya masuk ke dalam mulutku tanpa rasa ragu. Tidak dapat mengontrol diriku sendiri, aku mencengkram kaosnya di dalam kepalan tanganku, dan menariknya ke arahku. Dia mendesah karena rasa takjubnya, suara yang berat, dan mencengkeramku sangat erat hingga membuat sulit untuk bernafas.
Dia mundur, terengah. "Telepon Parker. Katakan padanya kau tidak ingin berkencan dengannya lagi. Katakan padanya kau bersamaku sekarang."
Aku menutup mataku. "Aku tidak bisa bersamamu, Travis."
"Kenapa tidak bisa"" dia berkata, melepaskan tangannya.
Aku menggelengkan kepalaku, takut pada reaksinya saat mengetahui yang sebenarnya.
Dia tertawa sekali. "Tak bisa dipercaya. Satu-satunya gadis yang aku inginkan, tapi dia tidak menginginkan aku."
Aku menelan ludah, mengetahui aku harus lebih banyak mengungkapkan kebenaran daripada yang seharusnya selama bulan-bulan terakhir ini.
"Ketika aku dan America pindah kemari, itu dengan pengertian hidupku akan berjalan sesuai rencanaku. Atau tidak akan berjalan di luar rencanaku. Pertarungan, perjudian, minuman &itu semua yang aku tinggalkan. Ketika aku berada di dekatmu &itu semua terbungkus dalam satu paket tatoo yang tidak bisa aku tolak. Aku tidak pindah ratusan kilometer hanya untuk menjalaninya sekali lagi."
Dia mengangkat daguku sehingga aku bisa melihat wajahnya. "Aku tahu kau berhak mendapatkan yang lebih baik daripada aku. kau pikir aku tak tahu itu" Tapi jika ada satu wanita yang tercipta untukku &wanita itu adalah dirimu. Aku akan melakukan apapun yang harus aku lakukan, Pidge. kau dengar aku" Aku akan melakukan apapun."
Aku berbalik dari cengkramannya, merasa malu karena tidak bisa mengatakan yang sebenarnya. Akulah yang tidak pantas untuknya. Aku akan menjadi orang yang menghancurkan semuanya; menghancurkan dia. Dia akan membenciku suatu hari nanti, dan aku tidak akan bis
a melihat ke dalam matanya saat dia pada akhirnya menyadari itu.
Dia menahan pintu tertutup dengan tangannya . "Aku akan berhenti bertarung setelah aku lulus. Aku tidak akan minum minuman keras satu tetes pun lagi. Aku akan memberimu akhir yang bahagia selamanya, Pigeon. Jika kau mempercayaiku, aku akan dapat melakukannya."
"Aku tidak ingin kau berubah."
"Lalu katakan aku harus melakukan apa. Katakan padaku dan aku akan melakukannya," dia memohon.
Semua pikiran untuk bersama Parker telah lama hilang, dan aku tahu sebabnya karena perasaanku pada Travis. Aku membayangkan tentang jalan berbeda yang aku akan ambil sejak saat itu - mempercayai Travis dengan sebuah lompatan keyakinan dan mengambil resiko untuk yang tidak pasti, atau mendorongnya menjauh dan mengetahui dengan pasti aku akan berakhir di mana, yang termasuk hidup tanpa dirinya - kedua keputusan itu membuatku sangat takut.
"Boleh aku meminjam teleponmu"" aku bertanya.
Travis mengeryit, bingung. "Tentu," dia berkata, mengeluarkan telepon dari dalam sakunya, memberikannya padaku.
Aku menekan nomor, lalu menutup mata saat itu berdering di telingaku.
"Travis" Ada apa" kau tahu jam berapa ini"" Parker menjawab. Suaranya dalam dan serak, dan aku langsung merasa hatiku bergetar di dadaku. Tidak terpikir olehku bahwa dia akan mengetahui aku menelepon dari teleponnya Travis.
Kata berikutnya akhirnya menemukan cara untuk keluar dari bibirku yang gemetar. "Maafkan aku meneleponmu malam-malam, tapi ini tidak bisa menunggu. Aku &.tidak bisa pergi makan malam denganmu hari Rabu nanti."
"Ini sudah hampir jam empat pagi, Abby. Apa yang terjadi""
"Aku tidak bisa pergi lagi denganmu, sebenarnya."
"Abs &" "Aku &sangat yakin aku jatuh cinta pada Travis," aku berkata, bersiap untuk reaksinya.
Setelah beberapa saat hening, dia menutup telepon di telingaku.
Mataku masih fokus melihat trotoar, aku menyerahkan kembali telepon pada Travis, lalu dengan enggan menatap wajahnya. Kombinasi antara bingung, kaget, dan rasa kagum terlihat di wajahnya.
"Dia menutup teleponnya." Aku menyeringai.
Dia menatap wajahku dengan harapan yang hati-hati di matanya. "kau mencintaiku""
"Itu karena tatoonya," aku mengangkat bahuku.
Senyuman lebar terlihat di wajahnya, membuat lesung pipinya menjadi jelas terlihat. "Mari pulang bersamaku," dia berkata, mendekapku di tangannya.
Alisku naik. "Kau mengatakan semua itu untuk membawaku ke tempat tidur" Aku pasti telah membuat kesan yang hebat."
"Satu-satunya yang aku pikirkan sekarang adalah memelukmu sepanjang malam."
"Mari kita pergi." Aku tersenyum.
*** Walaupun sudah melaju dengan kecepatan yang maksimal dan jalan pintas, perjalanan menuju apartemen seperti tak berujung. Ketika akhirnya kami tiba, Travis menggendongku ke atas. Aku cekikikan sambil menciumnya saat dia meraba-raba untuk membuka pintu. Ketika dia menurunkanku dan menutup pintu di belakang kami, dia menghembuskan nafas lega yang panjang.
"Ini tidak seperti rumah lagi setelah kau pergi," dia berkata, mencium bibirku.
Toto berlari menelusuri lorong dan menggoyangkan ekornya, mengais-ngais kakiku. Aku mengelusnya saat mengangkatnya dari lantai.
Tempat tidur Shepley berderit, dan terdengar suara kakinya terhuyung di lantai. Pintunya terbuka saat dia memicingkan matanya karena sinar lampu. "Sialan jangan, Trav, kau tidak boleh melakukan ini! Karena kau jatuh cinta pada Ab...," matanya menjadi fokus dan dia menyadari kesalahannya, " &by. Hai, Abby."
"Hai, Shep," aku tersenyum sambil menurunkan Toto ke lantai.
Travis menarikku melewati sepupunya yang masih terkejut, dan menendang pintu tertutup di belakang kami, menarikku ke pelukannya, dan menciumku tanpa pikir dua kali, seolah kami sudah melakukannya sejuta kali sebelumnya. Aku melepas kaosnya, dan dia mencopot jaket dari bahuku. Aku berhenti menciumnya cukup lama untuk melepas sweater dan tank topku, lalu menciumnya lagi. Kami saling melepas baju satu sama lain, dan dalam hitungan detik dia membaringkanku di tempat tidur. Aku meraih ke atas kepalaku untuk membuka laci dan
memasukan tanganku ke dalam, mencari sesuatu yang bergemericik.
"Sialan," dia berkata, terengah dan frustrasi. "Aku membuangnya semua."
"Apa" Semua"" aku menarik nafas.
"Aku pikir kau tidak &jika aku tidak bersamamu, aku tidak akan membutuhkannya."
"kau bercanda!" aku berkata, menjatuhkan kepalaku di atas kepala tempat tidur.
Dahinya terkulai di dadaku. "Mengingat dirimu adalah kebalikan dari satu kepastian."
Aku tersenyum, dan menciumnya. "kau belum pernah melakukannya dengan seseorang tanpa memakainya""
Dia menggelengkan kepalanya. "Tidak pernah." Aku melihat sekeliling sesaat, hanyut dalam pikiran. Dia tersenyum sekali melihat ekspresiku. "Apa yang sedang kau lakukan""
"Ssstt, aku sedang berhitung." Travis memperhatikanku sebentar, lalu mendekat untuk mencium leherku. "Aku tidak bisa konsentrasi kalau kau melakukan it &," aku mendesah, "hari ke dua puluh lima dan dua hari &," aku menarik nafas.
Travis terkekeh. "Apa yang kau katakan""
"Kita akan baik-baik saja," aku berkata, bergeser turun sehingga aku berada tepat di bawahnya.
Dia menekan dadanya di dadaku, dan menciumku dengan lembut. "Apakah kau yakin""
Aku membiarkan tanganku meluncur dari bahu ke pantatnya dan menekannya ke tubuhku. Dia menutup matanya, dan mengeluarkan erangan panjang yang berat.
"Ya Tuhan, Abby," dia menarik nafas. Dia bergoyang untuk masuk ke dalam diriku lagi, dan satu erangan lagi keluar dari tenggorokannya. "Ya ampun, kau terasa sangat menakjubkan."
"Apakah terasa berbeda""
Dia menatap mataku. "Terasa berbeda bersamamu, bagaimanapun juga, tetapi," dia mengambil nafas panjang dan menegang lagi, menutup matanya untuk sesaat, "Aku tak akan pernah sama lagi setelah ini."
Bibirnya mencium setiap inci leherku, dan ketika dia menemukan jalannya kembali ke dalam mulutku, aku mencengkeram otot bahunya dengan semua ujung jariku, aku terhanyut dalam intensitas ciuman itu.
Travis membawa tanganku ke atas kepalaku dan memegang jariku dengan jarinya, meremas tanganku pada setiap dorongan. Gerakannya menjadi sedikit lebih kasar, dan aku menancapkan kukuku di tangannya, bagian dalam tubuhku menegang bersamaan dengan dorongan yang kuat.
Aku berteriak, menggigit bibirku dan menutup rapat mata.
"Abby," dia berbisik, terdengar ragu, "Aku mau..aku akan &,"
"Jangan berhenti," aku memohon.
Dia bergoyang ke dalam tubuhku lagi, mengerang sangat kencang hingga aku menutup mulutnya. Setelah beberapa nafas yang sesak, dia menatap mataku lalu menciumku lagi dan lagi. Tangannya memegang kedua sisi wajahku lalu menciumku lagi dengan lebih pelan, lebih lembut. Dia menyentuhkan bibirnya ke bibirku, lalu ke leher, kening, hidung lalu terakhir kembali ke bibirku.
Aku tersenyum dan mendesah, rasa lelah mulai terasa. Travis menarik tubuhku ke sampingnya, membetulkan selimut di atas kami. Aku mengistirahatkan pipiku di dadanya, dan dia mencium keningku sekali lagi, mengunci jarinya di belakang punggungku.
"Kali ini jangan pergi, OK" Aku ingin terbangun seperti ini nanti pagi."
Aku mencium dadanya, merasa bersalah karena membuat dia harus meminta. "Aku tidak akan pergi kemana-mana."
*** Bab 11 RASA CEMBURU Aku terbangun dengan posisi telungkup, telanjang, dan terbungkus seprainya Travis. Aku tetap menutup mataku, merasakan jarinya membelai lengan dan punggungku.
Dia menarik nafas panjang, dengan sedikit desahan lalu berbisik. "Aku mencintaimu, Abby. Aku akan membuatmu bahagia, aku bersumpah."
Tempat tidur bergerak saat dia bergeser, lalu bibirnya mencium punggungku dengan perlahan. Aku tetap diam tidak bergerak, dan setelah dia mencium kulit di belakang telingaku, dia pergi keluar kamar. Langkah kakinya santai menelusuri lorong, lalu terdengar suara pipa saat terkena tekanan air pancuran.
Aku membuka mata lalu duduk, menggeliat. Setiap otot tubuhku sakit, otot yang aku tidak pernah tahu ada sebelumnya. Aku menahan seprai di dadaku, melihat keluar jendela, memperhatikan daun yang berwarna merah kekuningan jatuh dari dahannya ke tanah.
Telepon Travis bergetar di suatu tempat, dan setelah m
encari dengan asal di atas baju kusut di lantai, aku menemukannya di dalam saku celana jinsnya. Layarnya menyala hanya menampilkan nomor, tidak ada nama.
"Halo"" "Apa ehm...Apa Travis ada"" seorang wanita bertanya.
"Dia sedang mandi, ada pesan""
"Tentu saja dia sedang mandi. Katakan padanya kalau Megan menelepon, mau kan""
Travis melangkah masuk, mengencangkan handuk di pinggangnya yang basah, tersenyum saat aku menyerahkan telepon padanya.
"Ini untukmu," aku berkata.
Dia menciumku sebelum melihat ke arah layar, lalu menggelengkan kepalanya. "Yeah" Itu tadi adalah kekasihku, apa yang kau butuhkan, Megan"" dia mendengarkan sesaat lalu tersenyum, "Well, Pigeon spesial, apa yang bisa aku katakan"" Setelah diam beberapa saat, dia memutar matanya. Aku hanya bisa membayangkan apa yang sedang Megan katakan. "Jangan jadi menyebalkan, Megan. Dengar, kau tidak boleh meneleponku lagi &Well, cinta akan melakukannya padamu," dia berkata, menatap ke arahku dengan ekspresi lembut. "Ya, dengan Abby. Aku serius, Meg, jangan menelepon lagi &sudah dulu ya."
Dia melempar teleponnya ke atas tempat tidur, lalu duduk di sampingku. "Dia sedikit menyebalkan. Apakah dia mengatakan sesuatu padamu""
"Tidak, dia hanya menanyakan dirimu."
"Aku menghapus beberapa nomor di teleponku, tapi aku kira itu tidak menghentikan mereka meneleponku. Jika mereka tidak menyadarinya sendiri, aku akan memberitahu mereka."
Dia menatapku dengan penuh harap, dan aku tidak bisa menahan senyumku. Aku belum pernah melihat sisi Travis yang ini.
"Aku mempercayaimu, kau tahu."
Dia menutup rapat mulutnya. "Aku tidak akan menyalahkanmu jika kau mengharapkanku untuk berusaha untuk mendapatkan kepercayaan itu."
"Aku harus segera mandi. Aku sudah bolos satu mata kuliah hari ini."
"Lihat" Aku sudah menjadi pengaruh yang baik."
Aku berdiri dan dia menarik seprai. "Megan bilang akan ada pesta Halloween minggu ini di The Red Door. Aku pergi bersamanya tahun lalu, lumayan menyenangkan."
"Aku yakin begitu," aku berkata sambil mengangkat alisku.
"Maksudku banyak orang yang datang. Mereka mengadakan pertandingan billiar dan menyediakan bir murah &mau pergi kesana"
"Tidak terlalu &aku tidak berdandan untuk Halloween. Tidak pernah."
"Aku juga tidak, aku hanya datang," dia mengangkat bahunya.
"Apakah kita tetap akan pergi bowling nanti malam"" tanyaku, ingin tahu apakah ajakan yang hanya untuk mendapat waktu berduaan denganku sudah tidak dia butuhkan lagi.
"Well, tentu saja! Aku juga akan mengalahkanmu!"
Aku memicingkan mataku. "Kali ini aku tidak akan kalah. Aku punya kekuatan super."
Dia tertawa. "Dan apakah itu" Kata-kata kasar""
Aku mendekat ke arahnya untuk mencium lehernya, lalu menjilatkan lidahku ke telinganya, mencium daun telinganya. Dia langsung membeku.
"Pengalih perhatian." aku bernafas di telinganya.
Dia menarik lenganku dan membalik tubuhku hingga telentang. "kau akan bolos satu mata kuliah lagi."
*** Akhirnya setelah membujuk Travis cukup lama untuk pergi keluar dari apartemen untuk menghadiri kelas Sejarah, kami dengan cepat pergi ke kampus, duduk di kursi tepat sebelum Prof. Cheney mulai mengajar. Travis membalik topi baseball merahnya agar dapat mencium bibirku, di depan mata semua orang yang berada di kelas.
Dalam perjalanan kami menuju kafetaria, dia memegang tanganku, menggenggam erat jariku saat kami berjalan. Dia kelihatan sangat bangga karena dapat memegang tanganku, mengumumkan pada seluruh dunia bahwa akhirnya kami bersama. Finch menyadarinya, melihat ke arah tangan kami, lalu menatap ke arahku dengan senyuman bodoh. Bukan hanya dia, pertunjukan sederhana kasih sayang kami membuat semua orang yang kami temui menatap atau berbisik-bisik.
Di pintu kafetaria, Travis menghembuskan asap terakhir rokoknya, menatapku yang sedang merasa ragu. America dan Shepley sudah ada di dalam, dan Finch menyalakan rokok lagi, sehingga aku masuk kafetaria hanya dengan Travis berdua. Aku yakin gosip telah menyebar setelah Travis menciumku di depan semua orang di dalam kelas Sejarah tadi, dan aku me
rasa takut melangkah ke atas panggung di dalam kafetaria.
"Ada apa, Pigeon"" dia berkata, menarik tanganku.
"Semua orang memperhatikan kita."
Dia menarik tanganku lalu menciumnya, "Mereka akan melupakannya. Itu hanya karena mereka terkejut. Ingat saat kita pertama kali hang out" Rasa ingin tahu mereka hilang setelah beberapa saat dan mereka menjadi terbiasa melihat kita bersama. Ayolah," dia berkata sambil menarikku ke pintu.
Salah satu alasan aku memilih Universitas Eastern karena orang-orangnya yang sopan, tapi rasa tertarik yang berlebihan terhadap skandal yang ada sangat melelahkan. Itu adalah lelucon; semua orang tahu betapa bodohnya tukang gosip itu namun mereka tetap saja tanpa rasa malu ikut bergosip.
Kami duduk di tempat biasa kami membawa makanan kami. America tersenyum dengan ekspresi sudah tahu. Dia mengobrol seperti semua biasa saja, namun para pemain football yang berada di ujung meja menatapku seolah aku sedang terbakar.
Travis menepuk apelku dengan garpunya. "Apakah kau akan memakannya, Pidge""
"Tidak, kau boleh memakannya, sayang."
Telingaku memerah saat America tersentak kaget dan menatapku.
"Itu hanya spontan keluar," aku berkata, menggelengkan kepalaku. Aku melirik ke arah Travis, yang ekspresinya campur aduk antara merasa geli dan kagum.
Kami saling memanggil dengan sebutan itu beberapa kali tadi pagi, dan tidak terpikir olehku kalau itu merupakan hal baru untuk semua orang hingga sesaat setelah itu keluar dari mulutku.
"Kalian berdua dalam tahap mengganggu yang lucu." America menyeringai.
Shepley menepuk bahuku. "kau akan menginap malam ini"" dia bertanya, kata-katanya terdengar tidak jelas karena dia sambil mengunyah roti di mulutnya. "Aku janji tidak akan keluar dari kamarku lalu memakimu lagi."
"kau sedang membela kehormatanku, Shep. kau dimaafkan," aku berkata.
Travis menggigit sepotong apel lalu mengunyahnya, terlihat sangat bahagia, aku tidak pernah melihatnya seperti itu. Rasa damai di matanya telah kembali terlihat, bahkan saat semua orang memperhatikan setiap gerakan kami, semua terasa begitu &benar.
Aku memikirkan tentang selama ini aku selalu bersikeras bahwa berhubungan dengan Travis adalah keputusan yang buruk, dan berapa waktu yang terbuang percuma untuk melawan perasaanku terhadapnya. Melihat ke seberang meja ke arah matanya yang lembut berwarna coklat, dan lesung pipi yang bergerak-gerak saat dia mengunyah, aku tidak bisa mengingat apa yang membuat aku sangat khawatir.
"Dia terlihat sangat bahagia. Apa kau akhirnya tidur dengannya, Abby"" Chris berkata sambil menyikut temannya.
"kau tidak terlalu pintar ya, Jenks"" Shepley berkata, mengernyit.
Darah langsung naik ke pipiku, lalu aku melihat Travis yang di matanya ada rasa ingin membunuh.
Rasa marah Travis melebihi rasa maluku, dan aku menggelengkan kepalaku tanda tidak setuju. "Abaikan dia."


Beautiful Disaster Karya Jamie Mcguire di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Setelah beberapa saat yang menegangkan, bahunya menjadi sedikit lebih santai, dan dia mengangguk sekali, lalu mengambil nafas panjang. Setelah beberapa detik, dia mengedipkan sebelah matanya padaku.
Aku meraih ke seberang meja, menyelipkan jariku di jarinya. "kau serius dengan yang kau katakan tadi malam, kan""
Dia mulai bicara, namun suara tawa Chris terdengar ke seluruh kafetaria. "Ya Tuhan, Travis Maddox menjadi penurut""
"Apakah kau serius dengan ucapanmu waktu bilang kau tidak ingin aku berubah"" dia bertanya, meremas tanganku.
Aku melihat ke arah Chris yang sedang tertawa bersama teman satu timnya, lalu kembali melihat ke arah Travis. "Tentu saja. Beri orang brengsek itu pelajaran."
Seringai nakal terlihat di wajahnya, lalu dia berjalan ke meja tempat Chris duduk. Ruangan langsung hening, dan Chris berhenti tertawa.
"Hey, aku hanya bercanda, Travis," dia berkata, melihat ke arah Travis.
"Minta maaflah pada Pidge," Travis berkata, menatap tajam ke arahnya.
Chris melihat ke arahku sambil tersenyum gugup. "Aku &aku hanya bercanda, Abby. Maafkan aku."
Aku melotot ke arahnya saat dia melihat ke arah Travis untuk meminta persetujuan. Ketika Travis melangkah pergi
, Chris mencibir, dan dia membisikkan sesuatu pada Brazil. Hatiku mulai berdegup kencang ketika aku melihat Travis berhenti melangkah dan tangannya mengepal di samping tubuhnya.
Brazil menggelengkan kepalanya dan mendengus dengan jengkel. "Ingat saat kau sadar nanti &kau sendiri yang menyebabkannya."
Travis mengangkat nampan Finch dari meja dan mengayunkannya ke wajah Chris, membuat Chris terjatuh dari kursi. Chris berusaha masuk ke bawah meja namun Travis menarik kakinya lalu mulai memakinya.
Chris meringkuk seperti bola, lalu Travis menendang punggungnya. Chris melengkung dan berbalik, mengangkat tangannya di luar, membuat Travis mampu untuk mendaratkan beberapa pukulan di wajahnya. Darah mulai mengalir, dan Travis pun berdiri, kehabisan nafas.
"Jika kau bahkan hanya melihat ke arah Abby, dasar brengsek, aku akan mematahkan rahangmu."
Wanita yang bekerja di kafetaria berlari keluar, terkejut melihat darah berceceran di lantai.
"Maaf," Travis berkata, mengelap darah Chris dari pipinya.
Beberapa mahasiswa berdiri agar dapat melihat dengan lebih jelas; yang lainnya tetap duduk, melihat dengan biasa saja. Tim football hanya memandangi tubuh Chris yang terkulai lemas di lantai, sambil menggelengkan kepala mereka.
Travis berbalik, dan Shepley berdiri, lalu memegang tanganku dan America, menarik kami keluar pintu dan berjalan di belakang sepupunya. Kami mengambil jalan pintas menuju aula, aku dan America duduk di tangga masuk, memperhatikan Travis yang sedang berjalan mondar-mandir.
"kau baik-baik saja, Trav"" tanya Shepley.
"Beri aku &beberapa menit," dia berkata, meletakkan tangannya di pinggang saat berjalan mondar-mandir.
Shepley memasukan tangannya ke dalam saku. "Aku terkejut kau bisa berhenti memukul."
"Pidge hanya bilang untuk memberinya pelajaran, Shep, bukan membunuhnya. Aku berusaha sekuat tenaga untuk berhenti tadi."
America memakai kacamata kotak besarnya saat melihat pada Travis. "Apa yang telah Chris katakan sehingga membuatmu marah""
"Sesuatu yang tidak akan dia katakan lagi," Travis mendengus marah.
America menatap Shepley yang mengangkat bahunya. "Aku tidak mendengarnya."
Tangan Travis mengepal lagi. "Aku akan kembali ke dalam."
Shepley menyentuh bahu Travis. "Kekasihmu ada di sini. kau tidak perlu kembali ke sana."
Travis menatapku, memaksa dirinya untuk tenang. "Chris berkata &semua orang pikir Pidge memiliki &ya Tuhan, aku tidak bisa mengatakannya."
"Katakan saja," America bergumam, sambil menggigit kukunya.
Finch berjalan dari arah belakang Travis, sangat jelas merasa senang karena kejadian tadi. "Semua lelaki normal di Eastern ingin merasakan tidur dengan Abby karena dia berhasil menaklukan Travis Maddox," dia mengangkat bahu. " Setidaknya itu yang mereka bicarakan di sana sekarang."
Travis menabrak bahu Finch saat melewatinya, berjalan menuju kafetaria. Shepley berlari mengejarnya, memegangi tangannya. Aku menutup mulutku dengan tangan saat Travis mengayunkan tinjunya, namun Shepley menghindar. Aku memandang ke arah America yang tampaknya tidak bereaksi, karena sudah terbiasa dengan kejadian seperti itu.
Aku hanya bisa memikirkan satu cara untuk menghentikan Travis. Aku berlari dari tangga ke arah Travis, mengitarinya. Aku melompat ke arahnya, meletakan kakiku di pinggangnya, dan dia memegang pahaku saat aku memegang kedua sisi wajahnya, lalu menciumnya bibirnya. Aku dapat merasakan kemarahannya mulai hilang saat dia membalas ciumanku, lalu aku melepaskannya, aku tahu aku telah menang.
"Kita tidak peduli dengan apa yang mereka pikirkan, ingat" kau jangan mulai peduli sekarang," aku berkata sambil tersenyum untuk meyakinkan. Ternyata aku dapat mempengaruhi dia lebih dari yang aku sadari.
"Aku tidak bisa membiarkan mereka membicarakanmu seperti itu, Pigeon," dia berkata dengan wajah frustrasi, sambil menurunkanku.
Aku memasukan tanganku di bawah tangannya, mengunci tanganku di punggungnya. "Seperti apa" Mereka pikir aku punya sesuatu yang spesial karena kau belum pernah berpacaran sebelumnya. Apa kau tidak setuju""
"Tentu saja aku setuju, aku hanya tidak tahan memikirkan bahwa semua pria di kampus ingin tidur denganmu karena itu." Dia menekan dahinya di dahiku. "Ini akan membuatku gila. Aku tahu itu."
"Jangan biarkan mereka mengganggumu, Travis," Shepley berkata. "kau tidak bisa melawan semua orang."
Travis menghela nafas. "Semua orang. Bagaimana perasaanmu kalau semua orang memikirkan tentang America seperti itu""
"Siapa bilang mereka tidak memikirkan hal itu"" America berkata, sedikit tersinggung. Kami semua tertawa, dan America cemberut. "Aku tidak bercanda."
Shepley membantunya berdiri lalu mencium pipinya. "Kami tahu, sayang. Aku sudah berhenti merasa cemburu sejak lama. Karena aku tidak akan sempat melakukan apapun kalau aku terus merasa cemburu."
America tersenyum karena senang, lalu memeluknya. Shepley punya bakat yang luar biasa untuk membuat semua orang di sekitarnya merasa nyaman, tidak diragukan mungkin itu karena harus tumbuh bersama Travis dan semua kakaknya. Itu bisa menjadi satu alat untuk membela diri lebih dari apapun.
Travis menciumi telingaku, dan aku cekikikan lalu aku melihat Parker datang mendekat. Perasaan mendesak seperti yang aku rasakan saat Travis ingin kembali ke kafetaria datang lagi, aku langsung melepaskan Travis dan langsung berjalan sejauh sepuluh kaki atau lebih untuk mencegat Parker.
"Aku harus bicara denganmu," dia berkata.
Aku melirik ke belakang, dan menggelengkan kepalaku sebagai peringatan. "Sekarang bukan waktu yang tepat, Parker. Ini adalah waktu yang sangat &sangat tidak tepat sebenarnya. Travis dan Chris baru saja berkelahi tadi saat makan siang, dan dia masih sedikit kesal. kau harus pergi."
Parker menatap Travis, lalu kembali mengalihkan perhatiannya kepadaku, bertekad. "Aku baru saja mendengar apa yang terjadi di kafetaria. Aku pikir kau tidak menyadari kau terlibat dengan apa. Travis itu adalah berita buruk, Abby. Semua orang tahu itu. Tidak ada yang membicarakan betapa hebatnya dirimu yang telah merubahnya &mereka semua hanya menunggunya melakukan apa yang paling bisa dia lakukan dengan baik. Aku tidak tahu apa yang dia katakan padamu, tapi kau tidak tahu orang macam apa dia."
Aku merasakan tangan Travis di bahuku. "Mengapa tidak kau beritahu dia kalau begitu""
Parker bergerak dengan gugup. "kau tahu berapa banyak wanita yang sudah merasa dipermalukan yang harus aku antar pulang dari sebuah pesta setelah mereka menghabiskan beberapa jam berdua di dalam kamar bersama dengan Travis" Dia akan menyakitimu."
Jari Travis semakin menegang mendengarnya, dan aku menyentuh tangannya hingga dia kembali tenang. "kau harus pergi, Parker."
"Kau harus mendengar apa yang akan aku katakan, Abs."
"Jangan panggil dia dengan nama itu," Travis geram.
Parker tidak melepaskan pandangannya dariku. "Aku mengkhawatirkan dirimu."
"Aku hargai itu, tapi itu tidak perlu."
Parker menggelengkan kepalanya. "Dia melihatmu hanya sebagai tantangan jangka panjang, Abby. Dia harus membuatmu berpikir bahwa kau berbeda dari wanita lain agar dia bisa menidurimu. Dia akan bosan padamu. Dia punya rentang perhatian seperti anak kecil."
Travis berjalan mengitariku, berdiri sangat dengan Parker sehingga hidung mereka hampir bersentuhan. "Aku sudah membiarkanmu mengatakan apa yang ingin kau katakan. Kesabaranku sudah habis." Parker berusaha memandangku, namun Travis menghalanginya. "Jangan berani-berani kau memandangnya. Lihat aku, dasar kau orang hina yang manja." Parker menatap ke arah mata Travis lalu menunggu. "Meskipun kau hanya bernafas ke arahnya, aku akan memastikan kau akan pincang selama kuliah kedokteran."
Parker mundur beberapa langkah sehingga aku terlihat olehnya. "Aku pikir kau lebih pintar dari ini," dia berkata sambil menggelengkan kepalanya sebelum berbalik pergi.
Travis memperhatikan dia pergi, lalu berbalik, menatapku. "kau tahu kan kalau itu hanya omong kosong" Itu tidak benar."
"Aku yakin itu yang semua orang pikirkan," aku menggerutu, mengetahui semua itu akan berlalu.
"Aku akan membuktikan mereka salah."
*** Seminggu berlalu, Travis membuktikan janjiny
a dengan serius. Dia tidak lagi bercanda dengan wanita yang menghentikannya saat menuju kelas atau keluar kelas, kadang malah dia kasar pada mereka. Saat kami berjalan masuk ke The Red pada pesta Halloween, aku sedikit gugup tentang bagaimana dia berencana untuk membuat mahasiswi yang mabuk agar tidak mengganggunya.
Aku, America, dan Finch sedang duduk di meja yang terdekat sambil memperhatikan Shepley dan Travis bermain billiar melawan dua orang temannya dari Sig Tau.
"Ayo, sayang!" America berteriak, berdiri di atas tangga bangkunya.
Shepley mengedipkan satu matanya pada America, lalu gilirannya memasukan bola, memasukkannya ke dalam lubang kanan yang cukup jauh.
"Horeeee!" dia menjerit.
Tiga orang wanita berdandan sebagai Charlie's Angels datang mendekati Travis saat dia sedang menunggu gilirannya, dan aku tersenyum ketika dia berusaha sebisa mungkin untuk mengabaikan mereka. Ketika salah satu dari mereka menyentuh salah satu tato di lengannya, Travis menarik lengannya. Travis mengusirnya agar menjauh sehingga dia dapat memasukan bola, wanita itu merajuk pada temannya.
"Bisakah kau percaya bagaimana bodohnya mereka" Wanita di sini pada tidak tahu malu." America berkata.
Finch menggelengkan kepalanya karena kagum. "Penyebabnya adalah Travis. Aku pikir karena image bad-boy nya. Mereka ingin menyelamatkannya atau mereka pikir mereka kebal terhadap kelakuan nakalnya. Aku tidak yakin yang mana."
"Mungkin karena keduanya," aku tertawa, cekikikan melihat pada semua wanita yang menunggu Travis untuk memperhatikan mereka. "Bisa kau bayangkan bagaimana mereka berharap akan menjadi orang yang Travis pilih" Mengetahui bahwa kau akan diperalat hanya untuk seks""
"Karena kurang kasih sayang dari seorang ayah," America berkata sambil meneguk minumannya.
Finch mematikan rokoknya, lalu menarik baju kami. "Ayo, girls! The Finch ingin berdansa!"
"Hanya jika kau berjanji tidak akan memanggil dirimu The Finch lagi selamanya," kata America.
Finch cemberut, dan America tertawa. "Ayo, Abby. kau tidak ingin membuat Finch menangis, kan""
Kami bergabung dengan orang yang berdandan seperti polisi dan vampir di lantai dansa, dan Finch mengeluarkan jurus seperti Justin Timberlake-nya. Aku melihat sekilas ke arah Travis dan menangkap basah dirinya yang sedang memperhatikanku dari sudut matanya, berpura-pura memperhatikan Shepley yang sedang memasukan bola delapannya dan memenangkan permainan. Shepley mengumpulkan uang hasil kemenangan mereka, dan Travis berjalan ke meja yang panjang tapi rendah yang membatasi lantai dansa, sambil membawa minuman. Finch menghentak lantai dansa, akhirnya dia berdansa di tengah di antara aku dan America. Travis memutar matanya, tertawa sambil berjalan kembali menuju meja kami bersama dengan Shepley.
"Aku akan mengambil minum lagi, ada yang mau sesuatu"" America berteriak di antara musik.
"Aku akan pergi denganmu," kataku, melihat ke arah Finch sambil menunjuk ke arah bar.
Finch menggelengkan kepalanya sambil terus berdansa. Aku dan America melewati kerumunan banyak orang saat menuju ke bar. Bartendernya kewalahan, maka kami menunggu agak lama.
"Travis dan Shepley mendapat banyak uang malam ini," America berkata.
Aku mendekat ke telinganya. "Kenapa ada orang yang mau bertaruh melawan Shepley, aku tidak akan pernah mengerti."
"Dengan alasan yang sama mereka bertaruh melawan Travis. Mereka adalah orang-orang yang tolol," dia tersenyum.
Seorang pria yang memakai baju toga bersandar di meja bar di samping America dan tersenyum. "Apa yang kalian minum malam ini""
"Kami membeli minuman kami sendiri, thanks," America berkata sambil tetap menatap ke depan.
"Aku Mike," dia berkata, lalu menunjuk ke arah temannya, "Ini Logan."
Aku tersenyum agar terlihat sopan, melihat ke arah America yang ekspresinya terlihat seolah ingin mengusir mereka untuk pergi. Bartender melayani kami lalu mengangguk, berbalik ke belakang untuk membuat minum pesanan America. Dia kembali sambil membawa gelas kotak berisi penuh cairan berbusa berwarna pink dan tiga botol bir. Mike memberin
ya uang dan dia mengangguk.
"Itu minuman yang tidak biasa," Mike berkata sambil mengamati kerumunan.
"Yah," America berkata, merasa terganggu.
"Aku melihatmu berdansa tadi," Logan bicara padaku, menunjuk dengan kepalanya ke arah lantai dansa. "kau terlihat cantik."
"Hm...terima kasih," aku berkata, berusaha untuk tetap sopan, tetap waspada mengetahui bahwa Travis berada tidak jauh.
"kau mau berdansa"" dia bertanya.
Aku menggelengkan kepala. "Tidak, terima kasih. Aku di sini bersama-,"
"Kekasihnya," Travis berkata, muncul tiba-tiba. Dia menatap tajam ke arah pria yang berdiri di hadapan kami, lalu mereka mundur sedikit, merasa terintimidasi.
America tidak dapat menahan senyumnya saat Shepley memeluknya. Travis menunjuk keluar dengan kepalanya. "Pergilah, sekarang."
Kedua pria itu menatap aku dan America, lalu melangkah mundur sebelum menghilang di kerumunan.
Shepley mencium America. "Aku tidak bisa membawamu ke mana-mana!" America cekikikan, dan aku tersenyum pada Travis, yang melotot ke arahku.
"Apa"" "Kenapa kau membiarkan mereka membelikanmu minuman""
America melepaskan Shepley, mengetahui mood Travis. "Kami tidak mengizinkannya, Travis. Aku sudah bilang jangan pada mereka."
Travis mengambil salah satu botol dari tanganku. "Lalu ini apa""
"Apakah kau serius"" tanyaku.
"Ya, aku benar-benar serius," dia berkata, menuang isi botol bir ke tempat sampah. "Aku sudah memberitahumu ratusan kali &kau tidak boleh menerima minuman dari sembarang orang. Bagaimana kalau dia menaruh sesuatu dalam minuman itu""
America mengangkat gelasnya. "Semua minumannya tidak pernah lepas dari pengawasan kami, Trav. kau terlalu berlebihan."
"Aku tidak bicara denganmu," Travis berkata, matanya menatap tajam ke arahku.
"Heh!" kataku, langsung marah. "Jangan bicara seperti itu padanya."
"Travis," Shepley memperingatkan, "Sudahlah."
"Aku tidak suka kalau kau membiarkan pria lain membelikanmu minuman," Travis berkata.
Aku mengangkat alisku. "Apa kau mencoba untuk memulai pertengkaran""
"Apakah tidak mengganggumu saat kau pergi ke bar dan melihatku sedang berbagi minuman dengan wanita lain""
Aku mengangguk sekali. "Baiklah. kau mengabaikan semua wanita lain. Aku mengerti. Aku juga harus melakukan hal yang sama."
"Itu akan lebih baik." Sangat jelas dia berusaha menahan amarahnya, dan itu sedikit menakutkan untuk berada di sisi lain dan melawan kemarahannya. Matanya masih menyala karena marah, masih ingin mengungkapkan kemarahannya.
"Kau harus meredam rasa cemburumu, Travis. Aku tidak melakukan kesalahan."
Travis menatapku dengan tidak percaya. "Aku berjalan kemari dan ada pria lain sedang membelikanmu minuman!"
"Jangan berteriak padanya!" America berkata.
Shepley memegang bahu Travis. "Kita semua sudah terlalu banyak minum. Mari kita pergi dari sini." Efek menenangkan Shepley tidak berpengaruh pada Travis, dan aku merasa terganggu karena amukannya mengakhiri acara kita malam ini.
"Aku harus memberitahu Finch bahwa kita akan pergi," aku menggerutu, menabrak bahu Travis saat berjalan menuju lantai dansa.
Tangan yang hangat memeluk pinggangku. Aku berbalik, dan melihat jari Travis terkunci di pinggangku tanpa rasa menyesal. "Aku akan pergi bersamamu."
Aku melepaskan tanganku dari genggamannya. "Aku bisa berjalan beberapa kaki sendiri, Travis. Ada apa denganmu""
Aku melihat Finch berada di tengah lantai dansa, dan aku melepaskan diri saat berjalan ke arahnya.
"Kami akan pergi!"
"Mengapa""
"Travis sedang dalam mood kesal! Kami akan pergi!"
Finch memutar matanya dan menggelengkan kepala, dan aku melambai saat meninggalkan lantai dansa. Saat aku melihat America dan Shepley, aku ditarik ke belakang oleh pria yang memakai kostum bajak laut.
"Mau pergi kemana"" dia tersenyum, menabrakku.
Aku tertawa dan menggelangkan kepalaku karena wajahnya yang tampak lucu. Saat aku berbalik pergi, dia memegang tanganku. Tidak butuh waktu yang lama untuk menyadari bahwa dia bukan memegang tanganku tapi memegangi tanganku - agar aku tidak jatuh.
"Awas!" dia bert
eriak, melihat ke belakangku dengan mata terbelalak.
Travis bergegas menuju lantai dansa, dan menjatuhkan tinjunya tepat ke wajah bajak laut, kekuatannya menjatuhkan kami berdua ke lantai. Dengan telapak tanganku mendarat di lantai kayu, aku mengejapkan mataku terpana tidak percaya. Merasakan sesuatu yang hangat dan basah di tanganku, aku membalik tanganku dan merasa takut. Tanganku berlumuran darah dari hidung pria itu. Tangannya menutup wajahnya, namun cairan merah terang mengalir ke tangannya saat dia menggeliat di lantai.
Travis langsung mengangkatku, sama terkejutnya denganku. "Ya Tuhan, kau tidak apa-apa, Pidge""
Ketika aku sudah berdiri, aku menepiskan tanganku dari genggamannya. "Apakah kau sinting""
America memegang pinggangku dan menarik tubuhku melewati kerumunan menuju tempat parkir. Shepley membuka kunci mobil dan setelah aku duduk di kursiku, Travis melihat ke belakang ke arahku.
"Maafkan aku, Pigeon, aku tidak tahu dia sedang memegangimu."
"Tinjumu hanya berjarak dua inchi dari wajahku!" aku berkata sambil menangkap handuk untuk mengelap oli yang dilemparkan oleh Shepley padaku. Aku mengelap darah dari tanganku, merasa jijik.
Seriusnya situasi ini membuat wajahnya lebih gelap dan dia meringis. "Aku tidak akan memukul kalau aku tahu itu akan memukulmu juga. kau tahu itu kan""
"Diamlah, Travis. Diam," aku berkata sambil menatap bagian belakang kepala Shepley.
"Pidge &," Travis mulai bicara lagi.
*** Shepley memukul kemudi mobil dengan ujung telapak tangannya. "Diamlah, Travis! kau sudah bilang kau menyesal, sekarang tutup mulutmu!"
Perjalanan ke rumah sangat hening. Shepley menarik kursinya ke depan untuk membiarkanku keluar dari mobil, dan aku memandang ke arah America yang menggangguk mengerti.
Dia mencium kekasihnya. "Sampai bertemu besok, sayang."
Shepley mengangguk pasrah lalu menciumnya. "Aku mencintaimu."
Aku berjalan melewati Travis menuju mobil America, dan dia berlari mengikutiku. "Ayolah. Jangan pergi saat sedang marah."
"Oh. Aku bukan pergi karena marah. Aku sangat marah."
"Dia membutuhkan waktu untuk menenangkan diri, Travis," America memperingatkan, membuka kunci mobilnya.
Ketika kunci pintu penumpang terbuka, Travis menahan pintu dengan tangannya. "Jangan pergi, Pigeon. Aku sudah keterlaluan. Maafkan aku."
Aku mengangkat tanganku, memperlihatkan sisa darah kering di telapak tanganku padanya. "Hubungi aku saat kau sudah dewasa."
Dia menyandarkan tubuhnya di pintu mobil. "kau tidak boleh pergi."
Aku mengangkat alisku, dan Shepley berlari mengitari mobil dan berdiri di samping kami. "Travis, kau mabuk. kau akan melakukan kesalahan besar. Biarkan dia pulang untuk menenangkan diri &kalian berdua bisa bicara lagi besok saat kau sudah sadar."
Ekspresi Travis menjadi putus asa. "Dia tidak boleh pergi," dia berkata, menatap mataku.
"Itu tidak akan berhasil, Travis," aku berkata, sambil menarik pintu. "Minggir!"
"Apa maksudmu tidak akan berhasil"" Travis bertanya, sambil memegang tanganku.
"Maksudku wajah memelasmu. Aku tidak akan merasa kasihan," aku berkata, menjauh darinya.
Shepley memperhatikan Travis sebentar, lalu berbalik menatapku. "Abby &ini adalah momen yang aku bicarakan. Mungkin kau harus &,"
"Jangan ikut campur, Shep," America membentak, menyalakan mesin mobil.
"Aku akan mengacau. Aku akan sering mengacau, Pidge, tapi kau harus memaafkanku."
"Aku akan memiliki memar yang besar di pantatku nanti pagi! kau memukul pria itu karena kau kesal padaku! Itu memberitahuku apa" Itu memberiku peringatan kalau bahaya akan selalu ada!"
"Aku tidak pernah memukul seorang wanita selama hidupku," dia berkata, terkejut karena kata-kataku.
"Dan aku tidak ingin menjadi yang pertama!" aku berkata, menarik pintu mobil agar terbuka. "Minggir, sialan!"
Travis mengangguk, lalu mundur selangkah. Aku duduk di samping America, membanting pintu. Dia memundurkan mobil, dan Travis membungkuk untuk melihatku dari jendela.
"kau akan meneleponku besok, kan"" dia berkata sambil memegang kaca depan mobil.
"Ayo cepat maju, Mare,"
aku berkata, menghindari tatapan mata Travis.
*** Malam terasa sangat panjang. Aku terus melihat jam, dan meringis setiap aku melihat satu jam lagi telah berlalu. Aku tidak bisa berhenti memikirkan Travis dan apakah aku harus meneleponnya atau tidak, ingin tahu apakah dia masih belum tidur juga. Akhirnya terpaksa aku memasang earphone Ipod di telingaku dan mendengarkan semua lagu berirama kencang yang ada di playlistku.
Terakhir aku melihat jam, jam menunjukan jam empat lewat. Beberapa burung sudah mulai berkicau di luar jendelaku, dan aku tersenyum saat mataku mulai terasa berat. Seperti baru beberapa menit aku tertidur saat aku mendengar ada yang mengetuk pintu, dan America menerobos masuk. Dia menarik earphone dari telingaku lalu duduk di kursi meja belajarku.
"Selamat pagi, sayang. kau tampak berantakan," dia berkata sambil meniup gelembung pink dari mulutnya lalu membiarkannya meletus dengan suara yang keras.
"Diamlah, America!" Kara berkata dari bawah selimutnya.
"kau sadar kan orang sepertimu dan Travis akan bertengkar"" America berkata, mengikir kukunya sambil mengunyah permen karet di mulutnya.
Aku berbalik di tempat tidur. "kau resmi dipecat. kau seharusnya membelaku."
Dia tertawa. "Aku sangat mengenalmu. Jika aku memberimu kunci mobilku sekarang, kau akan langsung pergi menuju rumah Travis."
"Tidak, tidak akan!"
"Terserah saja," dia terlihat senang.
"Ini baru jam delapan pagi, Mare. Mereka mungkin masih tertidur pulas."
Beberapa saat kemudian, aku mendengar ketukan pelan di pintu. Lengan Kara keluar dari selimut dan memutar pegangan pintu. Pintu dengan pelan terbuka, memperlihatkan Travis yang sedang berdiri di depan pintu.
"Bolehkah aku masuk"" dia bertanya dengan suara pelan dan serak. Bulatan ungu di bawah matanya memberitahu kurang tidurnya dia, jika memang dia sempat tidur.
Aku duduk di tempat tidur, terkejut oleh penampilannya yang berantakan. "kau tidak apa-apa""
Dia melangkah masuk dan berlutut di hadapanku. "Aku sangat menyesal, Abby. Maafkan aku." Dia berkata, memeluk pinggangku dan menenggelamkan kepalanya di pangkuanku.
Aku memeluk kepalanya dan melihat ke arah America.
"Aku ehm...aku akan pergi," dia berkata, meraba-raba mencari pegangan pintu dengan canggung.
Kara menggosok matanya lalu menghela nafas, kemudian mengambil tas peralatan mandinya. "Aku selalu sangat bersih kalau kau ada di sini, Abby," dia menggerutu, membanting pintu di belakangnya.
Travis melihat ke atas ke arahku. "Aku tahu aku menjadi gila kalau itu tentangmu, tapi Tuhan tahu aku berusaha, Pidge. Aku tidak mau mengacaukan ini."
"Kalau begitu jangan."
"Ini sangat sulit untukku, kau tahu. Aku merasa setiap saat kau akan menyadari betapa tidak berharganya aku lalu meninggalkanku. Ketika kau berdansa tadi malam, aku melihat banyak pria berbeda yang memperhatikanmu. kau pergi ke bar, dan aku melihat kau berterimakasih pada pria itu untuk minumanmu. Lalu orang brengsek yang di lantai dansa itu memegangmu."
"kau tidak melihatku memukuli setiap wanita yang berbicara denganmu. Aku tidak bisa selalu diam di apartemen sepanjang waktu. kau harus bisa untuk dapat mengontrol emosimu."
"Aku akan bisa mengontrolnya. Aku tidak pernah ingin punya kekasih sebelumnya, Pigeon. Aku tidak terbiasa merasa seperti ini tentang seseorang &tentang siapapun. Jika kau mau bersabar terhadapku, aku bersumpah akan mengatasinya."
"Mari kita luruskan beberapa hal; kau bukan orang yang tidak berguna, kau adalah orang yang sangat mengagumkan. Tidak peduli siapa yang membelikanku minuman, atau yang mengajakku berdansa, atau yang mencoba merayuku. Aku akan pulang bersamamu. kau minta aku untuk mempercayaimu, tapi kau tampak tidak percaya padaku."
Dia cemberut. "Itu tidak benar."
"Jika kau pikir aku akan meninggalkanmu untuk pria yang datang padaku berikutnya, itu berati kau tidak mempercayaiku."
Dia mempererat pegangannya. "Aku tidak cukup baik untukmu, Pidge. Itu bukan berarti aku tidak percaya padamu, aku hanya bersiap untuk hal yang sudah pasti akan terjadi."
"Jangan berkata seperti
itu. Saat kita berdua, kau sangat sempurna. Kita sangat sempurna. Tapi kau membiarkan orang lain menghancurkannya. Aku tidak mengharapkan kau berubah seratus delapan puluh derajat, tapi kau harus memilih mana hal yang lebih penting. kau tidak bisa selalu memukul setiap orang yang melihatku."
Dia mengangguk. "Aku akan melakukan apapun maumu. Tapi &katakan bahwa kau mencintaiku."
"Kau tahu itu."
"Aku ingin mendengar kau mengatakannya," dia berkata, alisnya terangkat.
"Aku mencintaimu," aku berkata sambil menciumnya. "Sekarang berhentilah berkelakuan seperti anak kecil."
Dia tertawa, merangkak naik ke tempat tidurku. Kami menghabiskan waktu selama satu jam di tempat yang sama di bawah selimut, cekikikan dan berciuman, hampir tidak menyadari saat Kara kembali dari kamar mandi.
"Bisakah kau keluar" Aku harus berpakaian," Kara berkata pada Travis, mengencangkan jubah mandinya.
Travis mencium pipiku, lalu melangkah keluar kamar. "Sampai bertemu sebentar lagi."
Aku menjatuhkan kepalaku ke atas bantal saat Kara menggeledah lemarinya. "Kenapa kau kelihatan sangat senang, Abby" Kekasihmu adalah contoh utama, yang menakutkan mengingat dia dari yang tidak pernah menghormati wanita sama sekali menjadi yang berpikir bahwa dia membutuhkanmu untuk bernafas."
"Mungkin dia memang begitu." aku berkata, tidak akan membiarkan dia merusak moodku.
"Apa kau tidak ingin tahu mengapa bisa seperti itu" Maksudku &.dia pernah tidur dengan sebagian dari wanita yang ada di kampus ini. Kenapa kau yang dia pilih""
"Dia bilang aku berbeda."
"Tentu saja saja dia bilang begitu. Tapi kenapa""
"Kenapa kau peduli"" aku membentak.
"Sangat berbahaya untuk membutuhkan seseorang sebegitu besarnya. kau berusaha untuk menolongnya dan dia berharap kau dapat menolongnya. Kalian berdua adalah musibah."
Aku tersenyum sambil melihat langit-langit. "Tidak penting apa atau mengapa begitu. Ketika itu berjalan dengan baik, Kara &itu sangat indah."
Dia memutar matanya. "kau memang tidak ada harapan."
Travis mengetuk pintu, dan Kara membiarkan dia masuk.
"Aku akan ke ruang makan untuk belajar. Semoga beruntung," dia berkata dengan suara paling tulus yang dia bisa kerahkan.
"Semoga beruntung untuk apa"" Travis bertanya.
"Dia bilang kita berdua adalah musibah."
"Beritahu aku sesuatu yang tidak aku ketahui," dia tersenyum. Matanya tiba-tiba menjadi fokus, dan dia mencium bagian belakang telingaku. "Kenapa kau tidak pulang bersamaku""
Aku menaruh tanganku di belakang lehernya dan mendesah karena bibirnya yang lembut di kulitku. "Aku pikir aku akan tinggal di sini. Aku selalu berada di apartemenmu."
Kepalanya terangkat. "Terus kenapa" kau tidak suka berada di sana""
Aku menyentuh pipinya lalu menghela nafas. Dia sangat cepat cemas. "Tentu saja aku senang berada di sana, tapi aku tidak tinggal di sana."
Dia mengusapkan ujung hidungnya di leherku. "Aku ingin kau berada di sana. Aku menginginkanmu di sana setiap malam."
"Aku tidak akan tinggal bersamamu," aku berkata sambil menggelengkan kepala.
"Aku tidak memintamu untuk tinggal bersamaku. Aku hanya bilang aku ingin kau ada di sana."
"Sama saja!" aku tertawa.
Travis cemberut. "Kau serius tidak akan menginap bersamaku malam ini""
Aku menggelengkan kepala, dan matanya bergerak menatap dinding kamarku lalu ke langit-langit. Aku hampir dapat melihat roda yang berputar di dalam kepalanya. "Kau sedang memikirkan apa"" aku bertanya, memicingkan mataku.
"Aku berusaha memikirkan tentang membuat taruhan baru."
*** Bab 12 SERASI Aku memasukan satu pil kecil ke dalam mulutku dan menelannya bersama dengan satu gelas besar air. Aku berdiri di tengah kamar Travis dengan hanya memakai bra dan celana dalam, bersiap untuk memakai piyamaku.
"Apa itu"" Travis bertanya dari atas tempat tidur.
"Ehm &pil ku""
Dia merengut. "Pil apa""
"Pil, Travis. kau belum mengisi kembali laci atasmu dan hal terakhir yang aku butuhkan adalah khawatir tentang apakah aku akan mendapat menstruasiku atau tidak."
"Oh." "Salah satu dari kita harus bertanggung
jawab," aku berkata sambil mengangkat alisku.
"Ya Tuhan, kau sangat seksi," Travis berkata, menahan kepala di atas tangannya. "Wanita tercantik di Eastern adalah kekasihku. Itu gila."
Aku memutar mataku dan memasukkan baju sutra ke kepalaku, merangkak naik ke sampingnya di atas tempat tidur. Aku duduk di atas pangkuannya dan mencium lehernya, cekikikan saat dia menyandarkan kepalanya di kepala tempat tidur. "Lagi" kau akan membunuhku, Pidge."
"kau tidak akan mati," aku berkata sambil menciumi wajahnya. "kau terlalu berharga."
"Bukan, aku tidak bisa mati karena terlalu banyak orang brengsek yang berusaha untuk merebut posisiku! Aku harus hidup selamanya untuk membuat mereka iri."
Aku cekikikan di mulutnya dan dia membalik tubuhku sehingga aku terbaring di atas tempat tidur. Tangannya meluncur ke bawah tali ungu lembut yang terikat di atas bahuku dan melepasnya dari tanganku, lalu menciumi bahuku.
"Mengapa aku, Trav""
Dia terduduk, menatap mataku. "Apa maksudmu""
"Kau telah bersama banyak wanita, tidak mau berpacaran, bahkan menolak saat di beri nomor telepon &jadi mengapa aku yang kau pilih""
"Kenapa tiba-tiba kau menanyakan hal ini"" dia bertanya, ibu jarinya membelai pipiku.
Aku mengangkat bahu. "Aku hanya ingin tahu."
"Mengapa aku" Ada separuh dari pria di Eastern yang sedang menungguku melakukan kesalahan."
Aku mengerutkan hidungku. "Itu tidak benar. Jangan mengalihkan pembicaraan."
"Itu benar. Jika aku tidak mengejarmu dari awal kuliah, kau akan bersama Parker Hayes yang mengikutimu kemana-mana. Dia terlalu mementingkan diri sendiri untuk merasa takut padaku."
"Kau menghindari pertanyaanku!"
"Baiklah. Mengapa dirimu"" Senyuman lebar terukir di wajahnya lalu dia mendekat dan mencium bibirku. "Aku merasakan sesuatu padamu sejak kau menonton pertarungan malam itu."
"Apa"" aku berkata dengan ekspresi meragukan.


Beautiful Disaster Karya Jamie Mcguire di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ya, benar. Kau memakai cardigan dengan noda percikan darah di seluruh tubuhmu" kau terlihat sangat menggelikan." Dia tertawa kecil.
"Terima kasih."
Senyumnya menghilang. "Pada saat kau melihat ke arahku. Pada saat itulah. Mata lebar, wajah yang polos &tidak berpura-pura. kau tidak melihatku sebagai Travis Maddox," dia berkata, memutar matanya pada kata-katanya sendiri, "kau melihatku sebagai &aku tak tahu, sebagai seorang manusia mungkin."
"Sekilas info, Trav. Kau memang seorang manusia."
Dia mengusap poni dari wajahku. "Bukan, sebelum kau ada, Shepley satu-satunya orang yang memperlakukanku tidak seperti orang lain memperlakukanku. kau tidak canggung, menggoda, atau memainkan rambutmu. kau benar-benar melihat aku."
"Aku sudah benar-benar jahat padamu, Travis."
Dia mencium leherku. "Itu yang membuatku menyukaimu."
Tanganku membelai punggungnya lalu masuk ke dalam celana boxernya. "Aku harap ini menjadi masalah lama. Aku tidak akan pernah merasa bosan padamu."
"Janji"" dia bertanya sambil tersenyum.
Telepon Travis bergetar di atas meja lampu tempat tidur dan dia tersenyum, mengangkatnya ke telinga. "Yah"...Oh, tentu saja tidak, aku bersama Pidge di sini. Kami baru akan tidur &Tutup mulutmu, Trent, itu tidak lucu &Serius" Apa yang dia lakukan di sini"" Dia melihat ke arahku lalu menghela nafas. "Baiklah. Kami akan tiba dalam setengah jam &kau dengar aku, sialan. Karena aku tak akan pergi kemana pun tanpa dia, itu alasannya. Kau ingin aku menghantamkan wajahmu saat aku tiba di sana""
Travis menutup telepon dan menggelengkan kepala.
Aku mengangkat alisku. "Itu adalah percakapan yang paling aneh yang pernah aku dengar."
"Itu adalah Trent. Thomas sedang berada di sini dan sekarang adalah malam Poker di rumah ayahku."
"Malam Poker"" aku menelan ludah.
"Ya, mereka biasanya memenangkan semua uangku. Dasar bajingan curang."
"Aku akan bertemu keluargamu dalam tiga puluh menit""
Dia melihat jam tangannya. "Dua puluh tujuh menit lagi tepatnya."
"Ya Tuhan, Travis!" aku meratap, melompat dari tempat tidur.
"Apa yang kau lakukan"" dia menghela nafas.
Aku menggeledah lemari dan mengenakan celana jeans, melompat berkali-kali untuk
menariknya ke atas, lalu melepas baju tidurku, melemparnya ke wajah Travis. "Aku tidak percaya kau memberitahuku hanya dua puluh lima menit sebelum aku bertemu keluargamu! Aku ingin membunuhmu sekarang!"
Dia menyingkirkan baju tidurku dari matanya lalu tertawa karena melihat usaha putus asaku untuk terlihat rapi. Aku mengambil kaos v-neck lalu memakainya, kemudian lari menuju kamar mandi, menggosok gigiku, dan menyisir rambutku. Travis berjalan di belakangku, sudah mengganti pakaiannya dan siap untuk pergi, lalu memeluk pinggangku.
"Aku terlihat berantakan!" kataku, mengernyit di depan cermin.
"Apa kau tidak sadar betapa cantiknya dirimu"" dia bertanya, mencium leherku.
Aku mendengus, berlari ke kamar Travis untuk mencari sepatu hak tinggi lalu memakainya, kemudian memegang tangan Travis saat dia menuntunku ke luar pintu. Aku berhenti berjalan, menarik ritsleting jaket kulitku lalu mengikat rambutku bersiap untuk perjalanan yang akan berangin kencang menuju rumah ayahnya Travis.
"Tenanglah, Pigeon. Di sana hanya akan ada beberapa pria yang duduk mengelilingi meja."
"Ini pertama kalinya aku bertemu Ayah dan seluruh kakakmu &semua dalam waktu yang bersamaan &dan kau memintaku agar tenang"" aku berkata sambil naik ke atas motor.
Dia memiringkan lehernya, menyentuh pipiku saat dia menciumku. "Mereka akan mencintaimu, seperti aku."
*** Ketika kami tiba, aku mengurai rambutku dan menyisirnya menggunakan jariku beberapa kali sebelum Travis menuntunku ke pintu.
"Ya Tuhan! Itu si bodoh!" satu dari mereka berteriak.
Travis mengangguk sekali. Dia berusaha untuk terlihat kesal, namun aku bisa melihat dia senang bertemu dengan semua saudaranya. Rumahnya usang, dengan wallpaper kusam berwarna kuning dan coklat dan karpet berbulu kasar berwarna coklat bergradasi. Kami berjalan menelusuri lorong yang menuju langsung ke sebuah ruangan dengan pintu yang terbuka lebar. Bau rokok tercium di lorong, Ayah dan kakak Travis sedang duduk mengelilingi meja kayu bundar di atas kursi yang tidak serasi.
"Heh, heh &.jaga bahasamu di depan seorang wanita," Ayah Travis berkata, cerutu bergerak naik turun di mulutnya saat dia berbicara.
"Pidge, ini ayahku, Jim Maddox. Ayah, ini Pigeon."
"Pigeon"" Jim bertanya, ekspresi kagum di wajahnya.
"Abby," aku tersenyum, menjabat tangannya.
Travis menunjuk ke arah saudaranya. "Itu Trenton, Taylor, Tyler, dan Thomas."
Semua mengangguk, semua kecuali Thomas yang terlihat seperti Travis namun lebih tua; rambut cepak, mata coklat, kaos mereka kelihatan ketat diatas otot mereka yang menonjol dan penuh tatoo.
Thomas memakai kemeja dan dasi yang di longgarkan, matanya hijau kecoklatan, dan rambutnya yang pirang gelap lebih panjang satu inchi dari Travis dan Thomas.
"Apa Abby mempunyai nama belakang"" Jim bertanya.
"Abernathy," aku mengangguk.
"Senang bertemu denganmu, Abby," Thomas berkata sambil tersenyum.
"Sangat senang," Trent berkata sambil menatap nakal. Lalu Jim memukul belakang kepalanya dan dia berteriak. "Memang aku ngomong apa"" dia berkata sambil mengusap-usap belakang kepalanya.
"Silahkan duduk, Abby. Perhatikan kami mengambil uang Travis." kata salah satu dari si kembar. Aku tidak bisa membedakan; mereka sangat mirip satu sama lain, bahkan tatoo mereka sama.
Di ruangan itu terpajang foto-foto pertandingan poker lama, foto legenda poker yang berpose bersama Jim dengan seseorang yang aku perkirakan adalah kakek Travis, dan kartu antik di sepanjang lemari.
"Anda mengenal Stu Unger"" aku berkata sambil menunjuk ke arah foto yang berdebu.
Mata sipitnya Jim berbinar. "kau tahu siapa Stu Unger"
Aku mengangguk. "Ayahku juga penggemarnya."
Jim berdiri, menunjuk ke arah foto berikutnya. "Dan di sana itu adalah Doyle Brunson."
Aku tersenyum. "Ayahku pernah melihat pertandingannya, sekali. Dia sangat luar biasa."
"Kakeknya Travis adalah pemain poker professional &kami bermain poker dengan serius di sini," Jim tersenyum.
Aku duduk di antara Travis dan salah satu dari si kembar sementara Trenton mengocok setumpuk kartu dengan cukup l
ihai. Mereka menaruh uang mereka dan Jim membagikan chip.
Trenton menarik salah satu alisnya. "kau ingin ikut bermain, Abby""
Aku tersenyum sopan dan menggelengkan kepala. "Kupikir seharusnya tidak."
"kau tak tahu cara mainnya"" Jim bertanya.
Aku tidak bisa menahan senyum. Jim tampak serius, nyaris kebapakan. Aku tahu jawaban apa yang dia harapkan, dan aku tidak mau mengecewakannya.
Travis mencium keningku. "Ikut bermain saja &aku akan mengajarimu."
"Sekarang kau akan mengucapkan selamat tinggal pada uangmu, Abby," Thomas tertawa.
Aku menutup rapat bibirku dan meraih ke dalam tas, mengeluarkan dua lembar uang lima puluh dolar. Aku menyerahkannya pada Jim dan menunggu dengan sabar saat dia menukarnya dengan kepingan chip. Bibir Trenton tersenyum dengan sombong, namun aku mengacuhkannya.
"Aku percaya pada keahlian mengajar Travis." Kataku.
Salah satu dari si kembar bertepuk tangan. "Hore! Aku akan bertambah kaya malam ini!"
"Kali ini mulai dengan taruhan kecil," Jim berkata sambil melempar chip lima dollar.
Trenton membagikan kartu, dan Travis membuka lebar tanganku. "Apakah kau pernah bermain kartu sebelumnya""
"Sudah lama tidak." Aku mengangguk.
"Cangkulan tidak di hitung," Kata Trenton sambil melihat kartunya.
"Tutup mulutmu, Trent," kata Travis, melirik ke arah kakaknya sebelum melihat kembali ke arah tanganku. "Kau mengharapkan kartu dengan angka yang lebih besar, berurutan, dan jika kau benar-benar beruntung, memperoleh daun yang sama."
Putaran pertama, Travis melihat kartuku dan aku melihat kartunya. Aku sebagian besar hanya mengangguk dan tersenyum, bermain saat disuruh. Aku dan Travis kalah, kepingan chipku sudah berkurang saat putaran pertama berakhir.
Setelah Thomas membagikan kartu untuk putaran kedua, aku tidak membiarkan Travis melihat kartuku. "Kurasa aku sudah mengerti sekarang." Kataku.
"kau yakin"" dia bertanya.
"Aku yakin, sayang." Aku tersenyum.
Pada tiga putaran berikutnya, aku telah memenangkan kembali semua chipku dan mengambil tumpukan chip yang lain dengan sepasang As, straight (seri), dan kartu yang angkanya tinggi.
"Sialan!" Trenton merengek. "Keberuntungan pemula menyebalkan."
"kau punya murid yang cepat mengerti, Trav," Jim berkata sambil menggigit cerutu di mulutnya.
Travis meminum birnya. "kau membuatku bangga, Pigeon!" matanya bersinar karena merasa senang, dan senyumnya berbeda dari yang pernah aku lihat sebelumnya.
"Terima kasih," aku tersenyum.
"Orang yang tidak bisa main poker tapi mengajari orang lain." Thomas berkata sambil menyeringai.
"Sangat lucu, brengsek," Travis menggerutu.
Empat putaran berikutnya, aku meminum bir terakhirku dan memicingkan mataku ke arah satu-satunya pria di meja yang belum menyerah. "Kau tinggal memilih, Taylor. kau akan menjadi seperti anak kecil atau akan menambah taruhanmu seperti seorang pria""
"Terserah," dia berkata sambil melempar chip terakhirnya.
Travis menatapku, matanya terlihat bersemangat. Itu mengingatkanku pada ekspresi semua orang saat melihat dia bertarung.
"Apa yang kau punya, Pigeon""
"Taylor"" aku mendorongnya.
Senyuman lebar terukir di wajahnya. "Flush!" dia tersenyum, membuka kartunya di atas meja.
Lima pasang mata menatapku. Aku melihat ke arah meja lalu membanting kartuku. "Lihat dan menangislah, boys! 3 As dan 2 delapan!" kataku sambil tertawa cekikikan.
"Full house" Kok bisa"" Trent berteriak.
"Maafkan. Aku selalu ingin mengatakan itu," aku berkata sambil menarik semua chipku.
Mata Thomas memicing. "Ini bukan keberuntungan pemula. Dia memang bisa main."
Travis menatap Thomas beberapa saat lalu melihat ke arahku. "Apa kau pernah main sebelumnya, Pidge""
Aku mengatupkan mulutku lalu mengangkat bahu, memberikan senyuman tanpa dosa terbaikku. Kepala Travis terkulai ke belakang, tertawa terbahak-bahak. Dia mencoba berbicara tapi dia tidak bisa, lalu memukul meja dengan tangannya.
"Kekasihmu menipu kita!" kata Taylor sambil menunjuk ke arahku.
"TIDAK MUNGKIN!" Trenton mengeluh lalu berdiri.
"Rencana yang bagus, Travis. Memb
awa pemain poker ahli ke malam poker," kata Jim, sambil mengedipkan sebelah matanya padaku.
"Aku tidak tahu!" katanya, menggelengkan kepala.
"Omong kosong," kata Thomas, menatapku.
"Aku benar-benar tidak tahu!" dia bicara di sela tawanya.
"Aku tidak suka mengatakannya, Bro. Tapi aku pikir aku jatuh cinta pada kekasihmu," kata Tyler.
"Heh, enak saja," kata Travis, senyumnya langsung hilang jadi meringis.
"Cukup. Aku tadi bersikap lunak padamu, Abby, tapi aku akan memenangkan semua uangku kembali sekarang," Trentron memperingatkan.
Travis tidak ikut bermain di beberapa putaran terakhir, memperhatikan semua kakaknya melakukan yang terbaik untuk mengambil kembali uang mereka. Putaran ke putaran berikutnya, aku memenangkan chip mereka, putaran ke putaran berikutnya, Thomas memperhatikanku lebih teliti. Setiap kali aku membuka kartuku Jim dan Travis tertawa, Taylor memaki, Tyler mengungkapkan cinta matinya padaku, dan Trent mengamuk.
Aku menukar semua chipku dan memberi mereka tiap orang seratus dollar ketika kami semua duduk di ruang tamu. Jim menolaknya sedangkan yang lain menerimanya dengan senang. Travis menarik lenganku dan kami berjalan ke pintu. Aku dapat melihat dia tidak senang, maka aku meremas jarinya.
"Ada apa, sayang""
"kau baru saja memberikan empat ratus dolar, Pidge!" Travis merengut.
"Kalau ini malam poker di Sig Tau, aku akan menyimpannya. Aku tidak bisa mengambil uang saudaramu di hari pertama aku bertemu mereka."
"Mereka akan mengambil uangmu!" Travis berkata.
"Dan aku juga tidak akan mengalah lagi nanti," Tyler tertawa.
Thomas menatapku dengan diam dari pojok ruangan.
"Mengapa kau terus memandangi kekasihku, Tommy""
"Apa tadi kau bilang nama belakangmu"" Thomas bertanya.
Aku bergerak dengan gugup. Travis menyadari ketidaknyamananku, berpaling ke arah saudaranya lalu memeluk pinggangku. Aku merasa tidak yakin dia melakukannya karena ingin melindungiku atau karena bersiap-siap untuk mendengar apa yang saudaranya akan katakan.
"Abernathy, memang kenapa""
"Aku mengerti mengapa kau tidak mengatakannya sampai sekarang, Trav, tapi sekarang kau tidak bisa mengelak." Thomas berkata, puas pada diri sendiri.
"Apa yang kau bicarakan"" tanya Travis.
"Apa kau ada hubungannya dengan Mick Abernathy"" tanya Thomas.
Semua kepala berpaling padaku dan aku dengan gugup mengaruk kepalaku. "Bagaimana kau mengenal Mick""
Travis memiringkan kepalanya untuk melihat mataku. "Dia satu-satunya pemain poker terbaik yang pernah ada. kau mengenalnya""
Aku meringis, mengetahui akhirnya aku di pojokan untuk memberitahu yang sebenarnya. "Dia adalah ayahku."
Satu ruangan meledak. "TIDAK MUNGKIN!"
"AKU SUDAH MENGIRA!"
"KITA SUDAH DIPERMAINKAN OLEH ANAKNYA MICK ABERNATHY!"
"MICK ABERNATHY" YA TUHAN!"
Hanya Thomas, Jim, dan Travis yang tidak berteriak. "Aku tadi kan sudah bilang aku tidak harus ikut bermain," kataku.
"Jika tadi kau mengatakan kalau kau anaknya Mick Abernathy, kupikir kita akan lebih serius melawanmu." kata Thomas.
Aku melirik Travis, yang menatapku dengan kagum. "kau adalah si Lucky Thirteen"" tanyanya, matanya sedikit kabur.
Trenton berdiri dan menunjuk ke arahku, mulutnya terbuka lebar. "Lucky Thirteen ada di rumah kita! Tidak mungkin! Aku tak bisa mempercayainya!"
"Itu julukan yang Koran berikan padaku. Dan ceritanya tidaklah begitu akurat," kataku, gelisah.
"Aku harus membawa Abby pulang, guys," kata Travis, masih menatapku.
Jim menatapku dari kacamatanya. "Kenapa tidak akurat""
"Aki tidak mengambil keberuntungan ayahku. Maksudku, itu sangat konyol," aku tertawa kecil, memainkan rambut dengan jariku.
Thomas menggelengkan kepalanya. "Tidak, Mick pernah di wawancara. Dia bilang saat tengah malam pada ulang tahunmu yang ke tiga belas keberuntungannya hilang."
"Dan keberuntunganmu bertambah," Travis menambahkan.
"Kau dibesarkan oleh anggota mafia!" kata Trent, tersenyum dengan senang,
"Ehm..tidak," Aku tertawa sekali. "Mereka tidak membesarkanku, mereka hanya & sering ada bersamaku."
"Sangat di sayangkan,
Mick menjelekkan namamu di semua koran seperti itu. kau masih anak-anak waktu itu," kata Jim, menggelengkan kepalanya.
"Mungkin tadi itu hanya keberuntungan pemula," kataku, dengan putus asa berusaha menyembunyikan rasa maluku.
"Kau diajari oleh Mick Abernathy," kata Jim, menggelengkan kepalanya dengan kagum. "Kau bermain secara professional, dan menang, pada umur tiga belas tahun demi Tuhan." Dia melihat ke arah Travis lalu tersenyum. "Jangan bertaruh melawannya, nak. Dia tidak pernah kalah."
Travis menatapku, saat itu, ekspresinya masih terkejut dan bingung. "Ehm &kami harus pergi, ayah. Selamat tinggal, guys."
*** Keriuhan ocehan keluarga Travis menghilang saat dia menarikku keluar pintu menuju motornya. Aku mengikat rambutku dan menaikan ritsleting jaketku, menunggunya bicara. Dia naik ke motornya tanpa sepatah katapun, aku duduk di belakangnya.
Aku yakin dia merasa aku tidak jujur padanya, dan dia mungkin merasa malu karena mengetahui tentang bagian penting dari hidupku di saat yang sama dengan keluarganya. Aku menanti perdebatan yang hebat saat kami tiba di apartemen, dan aku sudah memikirkan beberapa cara yang berbeda untuk meminta maaf di kepalaku sebelum kami tiba di pintu depan.
Dia menuntun tanganku menelusuri lorong, membantuku membuka jaket.
Aku menarik tali rambut coklat dari atas kepalaku, dan rambutku terurai di atas bahuku. "Aku tahu kau marah," kataku, tidak sanggup menatap matanya. "Maafkan aku tidak memberitahumu, tapi itu bukan topik yang ingin aku bicarakan."
"Marah padamu"" Travis berkata. "Aku sangat terangsang hingga aku tidak bisa melihat dengan lurus. kau baru saja merampok semua saudaraku yang brengsek tanpa harus menggodanya, kau mendapatkan status legenda dari ayahku dan aku tahu kebenarannya bahwa kau dengan sengaja kalah dalam taruhan yang kita buat sebelum pertarunganku."
"Aku tidak akan menyebutnya seperti itu &."
Dia mengangkat dagunya. "Apa kau pikir kau akan menang""
"Well &tidak, tidak begitu yakin," kataku, melepas sepatuku.
Travis tersenyum. "Jadi kau memang ingin bersamaku di sini. Kurasa aku baru saja jatuh cinta padamu sekali lagi."
"Kenapa kau tidak marah"" aku bertanya, melempar sepatuku ke dalam lemari.
Dia menghela nafas dan mengangguk. "Itu hal yang penting, Pidge. kau seharusnya memberitahuku. Tapi aku mengerti kenapa kau tidak memberitahuku. Kau datang kemari untuk menghindari semua itu. Ini seperti langit yang terbuka &.semua masuk akal sekarang."
"Well, itu membuatku lega."
"Lucky Thirteen," dia berkata, menggelengkan kepalanya dan melepas kaosku.
"Jangan panggil aku itu, Travis. Itu bukan hal yang bagus."
"kau sangat terkenal, Pigeon!" dia berkata, terkejut pada kata-kataku. Dia melepas kancing celana jeansku dan menariknya ke bawah mata kaki, lalu membantuku melangkah keluarnya.
"Ayahku membenciku karena itu. Dia masih menyalahkanku atas semua masalahnya."
Travis melepas kaosnya lalu memelukku. "Aku masih tidak percaya anaknya Mick Abernathy berdiri di hadapanku, dan aku bersamanya selama ini tanpa menyadarinya."
Aku mendorongnya menjauh. "Aku bukan anaknya Mick Abernathy, Travis! Itu yang aku tinggalkan di belakang. Aku adalah Abby. Hanya Abby!" aku berkata sambil berjalan menuju lemari. Aku menarik kaos dari gantungan baju dan memgenakannya.
Dia menghela nafas. "Maafkan aku. Aku hanya sedikit terpukau oleh seorang bintang."
"Ini cuma aku!" aku meletakan tanganku di dadaku, putus asa membuatnya agar mengerti.
"Ya, tapi &"
"Tidak ada tapi. Caramu melihatku sekarang" Inilah alasan yang membuatku tidak memberitahumu." Aku menutup mataku. "Aku tak mau hidup seperti itu lagi, Trav. Meskipun bersamamu."
"Wow! Tenanglah, Pigeon. Jangan terlalu jauh." Matanya fokus menatapku dan dia berjalan ke arahku lalu memelukku. "Aku tidak peduli siapa kau dulu. Aku hanya menginginkan dirimu."
"Kalau begitu kita menginginkan hal yang sama."
Dia menuntunku ke tempat tidur, tersenyum ke arahku. "Hanya kau dan aku melawan dunia, Pidge."
Aku meringkuk di sampingnya. Aku tidak merencanakan siapapun untuk me
ngetahui tentang Mick selain aku dan America, dan aku tak pernah mengira kekasihku berasal dari keluarga penggemar poker. Aku menghembuskan nafas panjang, menekan pipiku di dadanya.
"Ada apa"" dia bertanya.
"Aku tidak ingin siapapun tahu tentang ini, Trav. Aku bahkan tidak ingin kau mengetahuinya."
"Aku mencintaimu, Abby. Aku tidak akan menyebutkan hal itu lagi, OK" Rahasiamu aman bersamaku," dia berkata sambil mencium keningku.
*** "Mr. Maddox, bisakah kau berhenti sebentar hingga kelas usai"" kata Prof. Chaney, bereaksi karena mendengarku cekikikan saat Travis menciumi leherku.
Aku berdehem, merasa malu.
"Saya rasa tidak akan bisa, Dr. Chaney. Apakah anda sudah melihat dengan baik wajah kekasihku"" kata Travis sambil menunjuk padaku.
Suara tawa bergema di seluruh ruangan dan wajahku merah padam. Prof. Chaney melihat sekilas ke arahku dengan sedikit tersenyum, dengan sedikit canggung dia menggelengkan kepalanya pada Travis.
"Lakukan sebisa mungkin," kata Chaney.
Seluruh kelas tertawa lagi, dan aku merosot di kursiku. Travis meletakkan tangannya di atas sandaran kursiku, dan pelajaran pun di lanjutkan. Setelah kelas selesai, Travis mengantarku ke kelas berikutnya.
"Maaf kalau aku sudah membuatmu malu. Aku tidak bisa menahan diriku."
"Berusahalah." Parker berjalan melewati kami, lalu ketika aku membalas anggukannya dengan senyuman, matanya jadi bersinar.
"Hai, Abby. Sampai bertemu di dalam." Dia masuk ke dalam kelas, Travis menatap tajam ke arahnya untuk beberapa saat yang menegangkan.
"Hey," aku menarik tangan Travis hingga dia melihat ke arahku. "Lupakan dia."
"Dia cerita pada semua orang di The House kalau kau masih menelponnya."
"Itu tidak benar," kataku, tidak terpengaruh.
"Aku tahu itu, tapi mereka tidak. Dia bilang dia hanya menunggu waktunya. Dia mengatakan pada Brad kalau kau menunggu waktu yang tepat untuk mencampakkan aku, dan bagaimana kau meneleponnya untuk bilang betapa kau tidak bahagia. Dia mulai membuatku kesal."
"Dia benar-benar punya imajinasi." Aku menatap Parker dan ketika mata kami bertemu dan dia tersenyum, aku melotot ke arahnya.
"Apakah kau akan marah kalau aku membuatmu malu sekali lagi""
Aku mengangkat bahuku dan tanpa membuang waktu Travis menuntunku ke dalam kelas. Dia berhenti di tempat dudukku, lalu menaruh tasku di lantai. Dia melihat ke arah Parker lalu menarikku ke pelukannya, satu tangannya di leherku, dan tangan satunya di punggungku lalu menciumku, dalam dan bertekad. Dia menciumku seperti saat kami sedang berada di kamarnya, dan aku tidak bisa menahannya selain menarik kaosnya dengan kedua tanganku.
Suara bisikan dan cekikikan semakin terdengar keras saat Travis dengan jelas tidak akan melepaskanku dalam waktu dekat.
"Aku rasa dia baru saja membuatnya hamil!" kata seseorang di belakang kelas, tertawa.
Aku menjauh dari Travis dengan mata tertutup, berusaha untuk tenang kembali. Saat aku melihat Travis, dia sedang menatapku mencoba untuk menahan dirinya juga.
"Aku hanya ingin menekankan maksudku," dia berbisik.
"Bagus," aku mengangguk.
Travis tersenyum, mencium pipiku lalu melihat ke arah Parker yang terlihat sangat marah di kursinya.
"Sampai bertemu nanti saat makan siang," Travis mengedipkan sebelah matanya padaku.
Aku duduk di kursiku lalu menghela nafas, berusaha untuk menghilangkan rasa menggelitik di antara pahaku.
Aku berusaha konsentrasi pada pelajaran Kalkulus, dan ketika kelas usai aku menyadari Parker berdiri di tembok dekat pintu.
"Parker," aku mengangguk, bertekad untuk tidak memberinya reaksi yang dia harapkan.
"Aku tahu kau berpacaran dengannya. Dia tidak harus melecehkanmu seperti itu di depan seluruh kelas hanya untuk memberitahuku."
Aku berhenti berjalan dan siap untuk menyerang. "Mungkin seharusnya kau berhenti untuk mengatakan pada semua temanmu kalau aku meneleponmu. kau akan mendorongnya terlalu jauh dan aku tidak akan mengasihanimu kalau sampai dia menendangmu."
Dia mengerutkan hidungnya. "Dengarkan dirimu. kau terlalu sering bersama Travis."
"Tidak, inilah aku . Ini hanya bagian dari aku yang kau tidak tahu sama sekali."
"kau tidak memberiku kesempatan, kan""
Aku menghela nafas. "Aku tidak ingin bedebat denganmu, Parker. Hanya saja itu tidak akan berjalan dengan baik, OK""
"Tidak, itu tidak baik. kau pikir aku menikmati ditertawakan oleh seluruh Eastern" Travis Maddox adalah seseorang yang kami hargai karena membuat kami terlihat baik. Dia memperalat wanita, lalu mencampakkannya, dan bahkan orang paling brengsek di seluruh Eastern pun tampak seperti Pangeran Tampan di samping Travis."
"Kapan kau akan membuka matamu dan menyadari kalau dia berbeda sekarang""
"Dia tidak mencintaimu, Abby. kau hanya mainan baru baginya. Bahkan setelah kejadian tadi di kelas, aku beranggapan kau bukan lagi mainan barunya."
Aku menampar wajahnya diikuti suara keras sebelum aku menyadari apa yang telah aku lakukan.
"Jika kau menunggu beberapa saat, aku akan melakukannya untukmu, Pidge," kata Travis sambil menarikku ke belakangnya.
Aku menarik lengannya. "Travis, jangan."
Parker terlihat sedikit gugup saat garis merah bekas telapak tanganku muncul di wajahnya.
"Aku sudah memperingatkanmu," kata Travis, mendorong Parker dengan kasar ke tembok.
Rahang Parker menjadi tegang lalu dia melihat ke arahku. "Anggap ini sebagai penutupan, Travis. Aku tahu sekarang kalau kalian berdua memang serasi satu sama lain."
"Terima kasih." kata Travis, meletakkan tangannya memeluk bahuku.
Parker menjauh dari tembok lalu dengan cepat berbelok ke pojok untuk menuruni tangga, memastikan Travis tidak mengikuti dengan melihat sekilas ke belakang.
"kau tidak apa-apa"" tanya Travis.
"Tanganku sakit."
Dia tersenyum. "Itu tadi hebat, Pidge. Aku terkesan."
"Dia mungkin akan menuntutku dan aku akan berakhir membiayai kuliahnya di Harvard. Apa yang kau lalukan di sini" Kupikir kita akan bertemu di kafetaria""
Bibirnya tersenyum nakal. "Aku tidak bisa berkonsentrasi di kelas tadi. Aku masih merasakan ciuman tadi."
Aku melihat ke sekeliling lorong lalu menatapnya. "Ayo, ikut aku."
Alisnya terangkat karena tersenyum. "Apa""
Aku berjalan mundur, menariknya bersamaku hingga aku merasakan pegangan pintu ruangan laboratorium Fisika. Pintunya terbuka, dan aku melihat ke belakang, melihat ruangan yang kosong dan gelap. Aku menarik lengannya, cekikikan karena ekspresi bingungnya, lalu mengunci pintu dan mendorongnya ke pintu.
Aku menciumnya dan dia tertawa pelan. "Apa yang kau lakukan""
"Aku tidak ingin kau sulit berkonsentrasi di kelas," jawabku, sambil menciuminya lagi. Dia mengangkatku dan menaruh kakiku di sekeliling tubuhnya.
"Aku tidak yakin apa yang akan aku lakukan tanpamu," dia berkata sambil memelukku dengan satu tangannya dan membuka ikat pinggangnya dengan tangan satunya lagi, "tapi aku tak pernah ingin mengetahuinya. Kau adalah segalanya yang aku inginkan, Pigeon."
"Ingat itu saat aku mengambil semua uangmu saat malam poker berikutnya," aku berkata sambil membuka kaosku.
*** Bab (13) 14 FULL HOUSE Aku berputar-putar, meneliti bayanganku di cermin dengan pandangan ragu. Warnanya putih dan backless, sangat pendek, dan bagian badannya di tahan oleh untaian pendek berlian imitasi yang membentuk tali di leherku.
"Wow! Travis akan kencing di celana kalau dia melihat kau memakai itu!" kata America.
Aku memutar mataku. "Sangat romantis."
"kau harus membeli itu. Tidak usah mencoba yang lain, itu yang terbaik," dia berkata sambil bertepuk tangan dengan gembira.
"kau tidak berpikir ini terlalu pendek" Mariah Carey saja memakai yang lebih panjang dari ini."
America menggelengkan kepalanya. "Aku memaksa."
Aku gantian duduk di bangku saat America mencoba beberapa gaun, lebih sulit saat harus memilih untuk diri sendiri. Dia memilih gaun yang sangat pendek, ketat, sewarna dengan kulitnya dan salah satu bahunya tidak tertutup.
Kami mengendarai mobil Hondanya America ke apartemen dan mengetahui mobil Shepley tidak ada dan Toto di tinggal sendiri.
America mengeluarkan teleponnya lalu menelepon, tersenyum saat Shepley menjawab teleponnya.
"Kau pergi kemana, sayang"" dia mengangguk lalu melihat ke arahku. "Kenapa aku akan marah" Kejutan apa"" dia bertanya, hati-hati. Dia melihat ke arahku lagi lalu masuk ke kamar Shepley, menutup pintunya.
Aku mengusap telinga Toto yang berwarna hitam saat America bisik-bisik di kamar. Saat dia keluar, dia berusaha menahan senyum di wajahnya.
"Apa yang mereka lakukan sekarang"" tanyaku.
"Mereka dalam perjalanan pulang. Aku akan membiarkan Travis yang memberitahumu," dia berkata sambil tersenyum lebar.
"Ya Tuhan &apa"" tanyaku.
"Aku tidak bisa memberitahumu. Ini kejutan."
Aku memainkan rambutku dengan gelisah dan mengikir kukuku, tidak bisa duduk diam saat menunggu Travis mengungkapkan kejutannya. Pesta ulang tahun, anak anjing-aku tidak bisa membayangkan apa lagi. Suara keras mesin mobil Shepley memberitahu kalau mereka telah tiba, mereka tertawa saat berjalan naik di tangga.
"Mereka sedang dalam mood yang bagus." kataku. "Pertanda baik."
Shepley masuk lebih dulu. "Aku hanya tidak ingin kau berpikir kenapa dia melakukannya sedangkan aku tidak."


Beautiful Disaster Karya Jamie Mcguire di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

America berdiri menyambut kekasihnya, lalu memeluknya. "Jangan konyol, Shep. Aku tidak akan marah karena hal itu." "Jika aku ingin kekasih yang sinting aku akan berpacaran dengan Travis," kata America, tersenyum saat memiringkan kepalanya untuk mencium Shepley.
"Itu tidak ada hubungannya dengan perasaanku padamu," Shepley menambahkan.
Travis melangkah masuk dengan perban kain kasa kotak di pergelangan tangannya. Dia tersenyum padaku lalu berbaring di sofa, meletakkan kepalanya di pangkuanku.
Aku tidak dapat mengalihkan pandanganku dari perban itu. "Ok &apa yang telah kau lakukan""
Travis tersenyum dan menarikku ke bawah untuk menciumnya. Aku dapat merasakan rasa gugup memancar darinya. Di luar dia tersenyum, namun aku dapat merasakan dia merasa tidak yakin dengan bagaimana reaksiku nanti terhadap apa yang telah dia lakukan.
"Aku membeli beberapa barang hari ini."
"Barang apa"" tanyaku, curiga.
Travis tertawa. "Tenanglah, Pidge. Itu bukan sesuatu yang buruk."
"Apa yang terjadi dengan pergelangan tanganmu"" aku berkata, sambil menarik tangannya.
Suara menggelegar mesin diesel terdengar di luar dan Travis melompat dari sofa, untuk membuka pintu. "Sudah waktunya mereka datang! Aku sudah di rumah setidaknya lima menit!" dia berkata sambil tersenyum.
Seorang pria berjalan mundur, menggotong sofa berwarna abu-abu yang di tutupi plastik, diikuti seorang pria lagi yang memegang bagian belakangnya. Shepley dan Travis memindahkan sofa-dengan aku dan Toto masih terduduk di atasnya-ke depan, lalu sofa baru diletakkan di tempat sofa lama sebelumnya berada. Travis menarik plastiknya dan menggendongku di tangannya, lalu mendudukanku di sofa baru yang lembut.
"kau membeli yang baru"" kataku, tersenyum lebar.
"Ya, dan beberapa barang lainnya juga. Terima kasih, guys," dia berkata saat pria yang mengangkut sofa tadi mengangkat sofa lama lalu pergi.
"Hilanglah semua kenangan," aku menyeringai.
"Itu semua bukan kenangan yang ingin aku ingat." Dia duduk di sampingku sambil menghela nafas, memperhatikanku beberapa saat sebelum dia menarik lepas plester yang menahan kain kasa di pergelangan tangannya. "Jangan panik."
Pikiranku terus memikirkan apa yang ada di bawah perban itu. Aku membayangkan luka bakar, luka yang dijahit atau sesuatu yang sama mengerikannya.
Dia menarik perban dan aku terkesiap saat melihat tatoo tulisan sederhana di bagian bawah pergelangan tangannya, kulit di sekitarnya merah dan mengkilap karena antibiotik yang dia oleskan. Aku menggelengkan kepalaku tidak percaya saat membaca tulisannya.
Pigeon "kau menyukainya"" tanyanya.
"kau membuat tatoo namaku di pergelangan tanganmu"" aku mengatakan itu tapi tidak terdengar seperti suaraku. Pikiranku tidak bisa fokus, tapi aku berusaha tetap bicara dengan suara tenang.
"Ya," dia berkata sambil mencium pipiku saat aku menatap tidak percaya pada tinta permanen di kulitnya.
"Aku berusaha melarangnya, Abby. Dia sudah beberapa lama tidak melakukan sesuatu yang
gila. Aku pikir dia akan menjadi gila," kata Shepley, menggelengkan kepalanya.
"Bagaimana menurutmu"" Travis meminta jawaban.
"Aku tidak tahu harus bagaimana," kataku.
"kau seharusnya meminta izin pada Abby sebelumnya, Trav," kata America, menggelengkan kepalanya dan menutup mulut dengan jarinya.
"Minta izin untuk apa" Untuk membuat tatoo"" dia mengernyit, melihat padaku lagi. "Aku mencintaimu. Aku ingin semua orang tahu bahwa aku adalah milikmu."
Aku bergerak dengan gugup,"Tapi itu permanen, Travis,"
"Begitu juga dengan hubungan kita, permanen," dia berkata sambil menyentuh pipiku.
"Perlihatkan padanya yang satu lagi," kata Shepley.
"Satu lagi"" aku berkata sambil melihat pergelangan tangannya yang satu lagi.
Travis berdiri, mengangkat kaosnya. Perut six-pack nya terlihat mengagumkan dan kencang saat dia bergerak. Travis berputar, dan di sisi tubuhnya ada tatoo lain yang membentang sepanjang tulang rusuknya.
"Apa itu"" aku berkata sambil memicingkan mataku pada simbol vertikal di tubuhnya.
"Itu bahasa Ibrani," Travis tersenyum.
"Apa artinya itu""
"Artinya, 'Aku milik kekasihku dan kekasihku adalah miliku'."
Mataku menatap matanya. "kau tidak puas dengan satu tatoo, jadi harus membuat dua tatoo""
"Ini adalah sesuatu yang selalu aku katakan akan aku lakukan saat menemukan orang yang tepat. Aku bertemu denganmu &aku melakukannya dan membuat tatoo ini." Senyumnya hilang saat dia melihat ekspresiku. "kau marah"" dia berkata sambil menurunkan kaosnya.
"Aku tidak marah. Aku hanya &bingung."
Shepley memeluk America dengan satu tangannya dengan erat. "kau harus mulai membiasakan diri dengan ini, Abby. Travis orangnya impulsif dan bersungguh-sungguh terhadap apapun. Ini akan membuatnya tenang hingga dia bisa menyematkan cincin di jarimu."
Alis America terangkat, melihat ke arahku lalu pada Shepley. "Apa" Mereka baru saja mulai berpacaran!"
"Aku &pikir aku perlu minum," kataku sambil melangkah ke dapur.
Travis tertawa geli, memperhatikanku menggeledah lemari. "Dia bercanda, Pidge."
"Apa aku bercanda"" tanya Shepley.
"Dia tidak bilang dalam waktu dekat," Travis membela diri. Dia berpaling pada Shepley sambil menggerutu, "Terima kasih banyak, brengsek."
"Mungkin sekarang kau akan berhenti membicarakan hal itu," Shepley menyeringai.
Aku menuangkan satu sloki tequila ke dalam gelas lalu menenggaknya, dan menelannya sekaligus. Aku menekan wajahku saat tequila membakar tenggorokanku.
Travis memeluk pinggangku dari belakang dengan lembut. "Aku bukan melamar, Pidge. Ini hanya tatoo."
"Aku tahu," kataku, menganggukan kepalaku sambil menuang satu gelas minuman lagi.
Travis mengambil botol dari tanganku lalu menutupnya, memasukannya kembali ke lemari. Ketika aku tidak berbalik, dia memutar badanku hingga berhadapan dengannya.
"Ok. Aku seharusnya membicarakan ini denganmu terlebih dahulu, tapi aku memutuskan membeli sofa, lalu satu hal menuju hal lainnya. Aku jadi bersemangat."
"Ini terlalu cepat untukku, Travis. kau sudah menyebutkan tentang tinggal bersama, kau baru saja menandai dirimu dengan namaku, kau memberitahuku bahwa kau mencintaiku &ini semua terlalu &cepat."
Travis cemberut. "kau panik. Aku sudah bilang jangan panik."
"Sangat sulit untuk tidak panik! kau mengetahui tentang ayahku dan semua yang kau rasakan sebelumnya tiba-tiba menjadi semakin kuat!"
"Siapa ayahmu"" tanya Shepley, sangat jelas merasa tidak senang karena tidak tahu apa-apa tentang itu. Ketika aku tidak menjawab pertanyaannya, dia menghela nafas. "Siapa ayahnya Abby"" dia bertanya pada America. America mengelengkan kepala agar Shepley diam.
Ekspresi Travis terlihat kesal. "Perasaanku padamu tidak ada hubungannya dengan ayahmu."
"Kita akan ke pesta kencan besok. Itu seharusnya menjadi hal yang penting di mana kita mengumumkan hubungan kita, dan sekarang namaku terukir di tanganmu dan semua pembicaraan tentang bagaimana kita saling memiliki satu sama lain! Itu menakutkan, ok" Dan aku panik!"
Travis menarik wajahku lalu mencium bibirku, kemudian mengangkatku dari lantai,
mendudukanku di meja dapur. Lidahnya memohon untuk masuk ke dalam mulutku, dan ketika aku mengizinkannya masuk, dia mengerang.
Jarinya masuk ke pangkal pahaku, menarikku lebih dekat. "kau sangat seksi kalau sedang marah," dia berkata sambil tetap menciumku.
"Ok," aku menarik nafas, "aku sudah tidak marah."
Dia tersenyum, merasa senang karena rencananya untuk mengalihkan telah berhasil. "Semua tetap sama, Pidge. Masih tetap hanya kau dan aku."
"Kalian berdua memang sinting," kata Shepley, menggelengkan kepalanya.
America memukul pelan bahu Shepley. "Abby juga membeli sesuatu untuk Travis hari ini."
"America!" aku menegurnya.
"kau sudah menemukan gaun"" tanya Travis, tersenyum.
"Ya," aku melingkarkan kaki dan tanganku di tubuhnya. "Besok giliran kau yang akan panik."
"Aku tidak sabar ingin melihatnya," dia berkata sambil mengangkatku dari atas meja dapur. Aku melambai pada America saat Travis menggendongku menelusuri lorong.
*** Hari Jumat setelah kelas usai, aku dan America menghabiskan sore di pusat kota, memanjakan diri dan berdandan. Kuku kaki dan tangan di kuteks, menghilangkan bulu yang tidak diinginkan, kulit diberi warna coklat mengkilap, dan rambut di cat warna terang. Saat kami kembali ke apartemen, semua permukaannya sudah tertutupi oleh beberapa karangan bunga mawar. Berwarna merah, pink, kuning, dan putih-tampak seperti toko bunga.
"Ya Tuhan!" jerit America saat dia berjalan masuk melewati pintu.
Shepley melihat ke sekelilingnya, berdiri dengan bangga. "Kami pergi untuk membeli dua bunga, tapi kami berdua berpikir satu karangan bunga tidak akan cukup."
Aku memeluk Travis. "Kalian sangat &mengagumkan. Terima kasih."
Travis memukul pantatku. "Tiga puluh menit sebelum pesta di mulai, Pidge."
Para pria berganti pakaian di kamar Travis sementara aku dan America berdandan di kamar Shepley. Pada saat aku akan mengenakan sepatu hak tinggiku yang berwarna silver, seseorang mengetuk pintu.
"Waktunya pergi, ladies," kata Shepley.
America melangkah keluar, dan Shepley pun bersiul.
"Di mana dia"" tanya Travis.
"Abby mempunyai sedikit kesulitan mengenakan sepatunya. Dia akan keluar sebentar lagi," America menjelaskan.
Pendekar Muka Buruk 19 Jaka Sembung 16 Kemelut Di Pulau Aru Tiga Maha Besar 19
^