Keliling Dunia Dibawah Laut 5
Berkeliling Dunia Di Bawah Laut Karya Jules Verne Bagian 5
272 menuju ke ruang duduk yang diterangi lampu plafon. Meja kursi di dalamnya berjatuhan. Untungnya jendela sisi kokoh. Kapal kami terbari
ng miring ke sisi kanan, tanpa bergerak lagi. Kudengar bunyi langkah-langkah disertai suara ribut. Tapi Kapten Nemo tidak kelihatan. Sewaktu aku hendak meninggalkan ruang duduk lagi, Ned Land dan Conseil masuk ke dalam.
"Ada apa"" tanyaku dengan segera.
"Saya malah ingin menanyakannya pada Tuan," balas Conseil.
"Persetan!" bentak Ned, "aku tahu apa yang terjadi! Kapal ini kandas. Dan melihat letak miringnya, kali ini takkan berhasil membebaskan diri lagi seperti yang dilakukan waktu kita di Selat Torres!"
"Tapi apakah setidak-tidaknya kita muncul ke permukaan air""
"Kami tak tahu," kata Conseil.
"Mudah saja mengetahuinya," jawabku, sambil menghampiri manometer. Aku terkejut, ketika melihat bahwa 'Nautilus' berada di tempat sedalam lebih dari tiga ratus meter di bawah laut. "Apakah artinya ini"" tanyaku keras.
"Kita harus menanyakannya pada Kapten Nemo," usul Conseil.
"Tapi di mana dia dapat kita temukan"" tanya Ned.
"Ikut aku," kataku pada keduanya.
Kami keluar dari ruang duduk. Dalam perpustakaan tak ada orang sama sekali, begitu juga halnya pada waktu kami mendatangi tangga tengah. Kukira mestinya Kapten Nemo berada di kotak kemudi. Jadi sebaiknya kami menunggu saja. Karena itu kami kembali ke ruang duduk. Dua puluh menit kami menunggu di situ, sambil menajamkan telinga untuk menangkap setiap bunyi yang terdengar.
273 Akhirnya Kapten Nemo masuk juga. Ia tak melihat kami. Wajahnya yang biasa tenang, kali ini agak gelisah. Sambil membisu diperhatikannya alat pedoman, sudah itu dipindahkannya perhatian ke manometer. Ia mendekati peta laut, lalu meletakkan jari di atas sebuah titik di lautan selatan. Aku tak mau mengganggunya. Tapi beberapa menit kemudian, dia sendiri yang berpaling dan memandang kami. Dengan segera kutanyakan apa yang telah terjadi.
"Kita mengalami kecelakaan," jawabnya dengan singkat.
"Gawat"" tanyaku sama singkatnya. "Mungkin."
"Kalau begitu, kita terancam bahaya"" "Belum."
"Kandaskah 'Nautilus'"" "Ya."
"Bagaimana bisa sampai terjadi""
"Bukan kesalahan manusia, melainkan karena bencana alam. Dalam pengemudian kapal tak terjadi kesalahan. Tapi kita tak mungkin menghindarkan diri dari pengaruh keseimbangan. Hukum buatan manusia masih mungkin ditantang. Tapi hukum alam tak mungkin dilawan."
Aneh, pada saat segawat ini Kapten merenungkan persoalan falsafah. Jawabannya itu sama sekali tak menjelaskan duduk perkara.
"Kalau saya boleh bertanya, apakah yang menyebabkan kecelakaan ini""
"Ada sebuah bongkah es sebesar gunung terguling," jawabnya. "Jika kaki gunung es meleleh karena aliran air yang lebih hangat di bawahnya, atau karena goncangan-goncangan berulang kali, maka sebagai akibatnya titik berat gunung itu lantas menggeser ke atas. Apabila perpindahannya terlalu meninggi, gunung terbalik. Dan itulah yang
274 terjadi tadi. Sebuah gunung yang terguling, membentur 'Nautilus' yang sedang meluncur di bawahnya. Kapal terdorong ke atas dengan keras, dan mendamparkannya ke sisi gunung es lain yang tak begitu tebal. Kita sekarang kandas, dengan posisi miring."
"Tidak bisakah kita membebaskan 'Nautilus', dengan jalan mengosongkan tangki-tangki air""
"Itulah yang sedang dilakukan saat ini. Anda bisa mendengar pompa-pompa sibuk bekerja. Lihat saja jarum manometer: dapat' kelihatan bahwa 'Nautilus' mengambang naik. Tapi bongkah es juga ikut terangkat dengannya. Selama tak ada penghalang yang menahan gerak naik bongkah es itu, kita tidak bisa mengubah posisi."
Memang, 'Nautilus' masih tetap miring ke kanan. Seperti kata Kapten, pasti kapal akan bisa tegak kembali jika bongkah es ikut bergerak naik. Tapi saat ini, siapa tahu kalau-kalau kami akan membentur bagian atas dari gunung es" Jangan-jangan kami nanti terjepit antara dua bongkah air beku! Aku cemas merenungkan kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi. Kapten Nemo tak melepaskan matanya dari manometer. Sejak saat gunung es terguling, 'Nautilus' telah membubung ke atas setinggi lima puluh meter. Tapi posisinya masih tetap miring ke kanan.
Tiba-tiba terasa suatu gerakan. Rupanya kapal agak melurus. Benda-benda yang tergantung miring dalam ruang duduk menjadi lebih
lurus sedikit. Tak ada seorang pun yang membuka mulut. Dengan hati berdebar-debar, kami memperhatikan dan merasa betapa kapal dengan pelan-pelan menjadi lurus kembali. Lantai terasa mulai datar lagi. Sepuluh menit berlalu dalam keadaan begitu.
"Nah, kita menjadi lurus lagi!" seruku lega.
275 "Ya," jawab Kapten Nemo, sambil berjalan ke luar.
"Tapi mengambangkah kita sekarang""
"Ya, karena tangki-tangki belum kosong," jawabnya lagi. "Jika tangki sudah kosong, 'Nautilus' mesti muncul ke permukaan."
Kami sudah mengambang lagi di perairan terbuka. Tapi di kedua sisi kapal, kira-kira pada jarak sepuluh meter, kelihatan dinding es yang licin. Ke atas, ke bawah - cuma dinding-dinding pula yang nampak. Penghalang yang di atas merupakan dasar gunung es yang membentang luas. Sedang di bawah terdapat gunung terguling yang terjepit di sela dinding samping. 'Nautilus' terkurung dalam rongga, yang lebarnya agak lebih dari dua puluh meter dan berisi air tenang. Mestinya mudah keluar dari rongga itu, yakni dengan jalan maju atau mundur, dan kemudian menyusuri bagian bawah dari dasar gunung es yang letaknya beberapa ratus meter lebih dalam.
Lampu plafon dalam ruang duduk padam, tapi tempat itu masih terang. Penyebabnya adalah pantulan cahaya lampu sorot pada dinding es. Sukar kulukiskan kesan yang diakibatkan oleh pantulan sinar kuat itu di dinding es: setiap celah, setiap tonjolan dan permukaan kena cahaya dari sudut yang berbeda-beda, sehingga kelihatan seperti sebuah tambang batu permata berkilauan. Kekuatan lampu sorot seolah-olah dilipatgandakan, seperti lampu mercu suar.
"Aduh! Alangkah indahnya!" seru Conseil dengan kagum.
"Ya, memang indah sekali pemandangan ini," balasku.
"Betul, bukan main!" sambung Ned Land. "Luar biasa, mau tak mau aku juga harus mengatakannya. Belum pernah kulihat pemandangan serupa
276 ini. Tapi akibatnya mungkin parah untuk kita. Aku punya perasaan, bahwa kita saat ini sedang menyaksikan sesuatu, yang tak ditakdirkan Tuhan untuk dilihat manusia."
Pendapat Ned benar - pemandangan ini terlalu indah. Tiba-tiba aku berpaling dengan terkejut, mendengar Conseil berteriak.
"Ada apa"" tanyaku.
"Jangan lihat! Tutup mata Tuan!" Sambil berkata begitu, dia mendekapkan tangan menutupi matanya.
"Ada apa, Conseil""
"Saya menjadi buta!"
Tak dapat kuhindari gerak mataku ke arah kaca jendela. Tapi aku tak kuat menatap cahaya silau yang nampak di situ. Dengan segera aku tahu apa yang terjadi. 'Nautilus' sudah melaju dengan kecepatan maksimum. Cahaya kemilau yang semula kelihatan terpantul di dinding es, kini berubah menjadi sinar kilat yang menyambar-nyambar. Benar-benar menyilaukan! Tapi lama kelamaan mata terbiasa juga menatapnya. Kami melepaskan tangan yang menutupi.
"Masya Allah! Sukar sekali mempercayai pemandangan serupa ini," gumam Conseil.
Waktu itu pukul lima pagi. Tiba-tiba suatu benturan keras menggoncangkan tubuh kapal lagi. Kuduga taji yang terdapat di ujung depan, menubruk sebongkah es. Pasti karena kesalahan mengemudikan! Memang tak mudah melakukannya dalam rongga yang begini sempit, dan yang bertaburan dengan tonjolan-tonjolan di sana-sini. Kukira Kapten Nemo akan mengubah arah haluan untuk mengitari penghalang, atau mengikuti liku-liku rongga.Tapi tidak! Dugaanku itu keliru, karena terasa bahwa kapal mulai mundur.
"Mundurkah kita sekarang"" tanya Conseil.
277 "Ya," jawabku. "Ternyata ujung rongga ini buntu."
"Jadi bagaimana sekarang""
"Mudah saja," kataku menenangkan. "Kita mundur, lalu keluar lewat ujung yang satu lagi di sebelah selatan."
Aku berbicara dengan tenang, padahal hatiku sangat cemas. Tapi 'Nautilus' terus mundur dengan gerakan yang semakin laju. Kami meluncur ke arah belakang.
"Sukar juga bergerak mundur," ujar Ned.
"Apalah artinya waktu beberapa jam lebih lama. Pokoknya, kita bisa keluar!"
"Kalau kita bisa keluar," gumam Ned dengan murung.
Aku meninggalkan ruang duduk, menuju bagian perpustakaan. Aku duduk di sebuah dipan. Kuambil sebuah buku. Mataku melayang di atas tulisan yang berbaris di dalamnya, tapi menyadari apa yang kubaca. Seperempat jam kemudian Conseil datang mendekat, lalu bertanya
, "Menarikkah bacaan itu, Tuan""
"0 ya, menarik sekali!" jawabku.
"Mestinya begitu, karena buku itu karangan Tuan sendiri!"
"Buku karanganku"" Aku melongo. Betullah, aku memegang buku karanganku sendiri mengenai kehidupan dalam laut. Buku itu kututup dan kukembalikan ke tempatnya. Aku bangkit berdiri, lalu berjalan mondar-mandir. Ned dan Conseil ber-anjak, hendak meninggalkan ruangan.
"Janganlah kalian pergi," ujarku menahan. "Tinggallah di sini, sampai kita berhasil keluar dari kurungan ini."
"Baiklah, jika Tuan menghendakinya," jawab Conseil.
Berjam-jam kami menunggu di situ. Berulang kali
278 aku memperhatikan peralatan yang tergantung di dinding ruangan. Jarum manometer menunjukkan, bahwa 'Nautilus' bergerak pada kedalaman yang tetap melebihi tiga ratus meter. Pedoman masih menunjuk arah selatan. Kami melaju mundur, dengan kecepatan dua puluh mil sejam. Gerak itu laju sekali, mengingat tempat sempit yang dilalui. Tapi Kapten Nemo tahu bahwa dia harus bergesa-gesa. Waktu sangat mahal harganya saat itu. Namun pukul delapan lewat dua puluh lima menit, terjadi benturan berikut, kali ini di bagian buritan. Mukaku menjadi pucat pasi. KedUa temanku berdiri di dekatku. Kupegang tangan Conseil. Tarikan air muka kami saat itu memaparkan perasaan dengan sangat jelas, melebihi kata-kata. Kapten Nemo masuk ke dalam ruangan. Dengan segera aku menyongsongnya.
"Jalan kita ke selatan juga terhalang"" tanyaku.
"Ya, Profesor. Ternyata gunung es menggeser, dan menutup setiap lubang ke luar."
"Kalau begitu kita sekarang terkurung""
"Ya." XVI KEHABISAN UDARA DI KIRI, di kanan, atas dan bawah kami terdapat dinding es yang tebal sekali. 'Nautilus' terkungkung, menjadi tawanan gunung es. Kuperhatikan Kapten: wajahnya sudah kelihatan tenang kembali.
"Tuan-tuan," ujarnya dengan nada tawakal, "dalam keadaan seperti sekarang ini, ada dua cara untuk mati." Ia kelihatannya seperti seorang guru yang sedang mengajar murid-muridnya. "Yang satu adalah apabila gunung es menjepit kita. Sedang cara kematian kedua, adalah sebagai akibat kehabis-
279 an udara untuk bernafas. Aku tak membicarakan kemungkinan mati kelaparan, karena cadangan makanan di sini akan tahan lebih lama daripada kita sendiri. Karena itu marilah kita lakukan penaksiran peluang yang ada."
"Kapten, rasanya kita tak perlu khawatir kehabisan udara," jawabku, "karena bukankah tangki-tangki cadangan diisi penuh."
"Betul, tapi isinya hanya mencukupi untuk dua hari. Kita sudah terbenam selama tiga puluh enam jam. Hawa di sini sudah perlu diganti. Dalam waktu empatpuluh delapan jam, kita akan kehabisan udara."
"Dapatkah kita menyelamatkan diri, sebelum batas waktu empat puluh delapan jam itu berlalu."
"Setidak-tidaknya akan kita coba, dengan jalan menembus dinding yang mengepung."
"Sisi mana yang akan kita tembus""
"Hal itu akan kita ketahui dengan jalan memperhatikan perbedaan bunyi. 'Nautilus' akan kukan-daskan di atas dasar bawah. Kita kemudian mencari bagian dinding yang paling tipis, dan sesudah itu awak kapalku akan berusaha menembusnya."
Kapten Nemo keluar. Tak lama kemudian terdengar bunyi mendesis, menandakan bahwa air mengalir masuk ke dalam tangki-tangki. 'Nautilus' tenggelam dengan pelan-pelan, dan akhirnya men-cecah permukaan es di tempat sedalam tiga ratus sepuluh meter.
"Keadaan kita saat ini gawat," ujarku pada Ned dan Conseil. "Tapi aku percaya pada ketabahan dan semangat kalian berdua."
"Aku siap melakukan segala sesuatu, demi keselamatan kita bersama," kata Ned.
"Bagus Ned!" kataku sambil menjabat tangannya.
280 "Perlu kutambahkan," sambungnya, "aku ini kecuali ahli melemparkan tombak, juga tak canggung kalau memegang beliung. Aku bersedia disuruh oleh Kapten, jika dia memerlukan tenagaku."
"Dia pasti takkan menolak bantuan Anda. Ayolah, kita datangi dia !"
Kuajak juru tombak memasuki ruangan, dalam mana awak kapal 'Nautilus' sedang sibuk mengenakan jaket gabus mereka. Pada Kapten kukabarkan mengenai tawaran jasa Ned Land, dan dengan segera dia menerimanya. Juru tombak mengenakan pakaian selam, dan dengan segera sudah siap untuk menggabungkan diri dengan awak kapal. Sement
ara itu aku masuk kembali ke ruang duduk. Katup jendela-jendela di sisi terbuka. Aku berdiri didampingi oleh Conseil, dan kami berdua memandang dasar es yang menopang kapal.
Beberapa saat kemudian kelihatan kurang lebih selusin awak kapal menginjakkan kaki di atas dasar itu. Di antara mereka nampak Ned Land, yang menyolok karena bangun tubuhnya yang kekar tinggi. Kapten Nemo juga ikut. Sebelum dinding mulai digali, terlebih dulu dia melakukan pengukuran. Rupanya untuk memastikan, bahwa penggalian dilakukan di tempat yang benar. Tali-tali pengukur dibenamkan ke dinding sisi. Tapi sesudah kira-kira lima belas meter, terbentur lagi ke dinding tebal. Tak ada gunanya untuk mencoba penggalian di permukaan atas, karena gunung es tebalnya melebihi empat ratus meter. Sudah itu Kapten menduga lapisan bawah. Ternyata lapisan es di situ tebalnya sepuluh meter. Sepuluh meter yang memisahkan kami dari perairan bebas. Mereka harus menggali lubang pada lapisan es, yang sama luasnya seperti ukuran lambung 'Nautilus'.
Pekerjaan itu dimulai dengan segera. Awak kapal tak menggali sekitar kapal, karena akan terlalu
281 sukar. Kapten Nemo memerintahkan, agar dibuat sebuah parit besar di tempat yang jaraknya sekitar delapan meter dari sisi kiri kapal. Mula-mula awak kapal mempergunakan alat pembor, untuk membuat beberapa buah lubang. Sudah itu barulah dikerahkan beliung untuk mencungkil bongkah-bongkah es. Es lebih ringan dari air, karena itu bongkah-bongkah yang tergali kemudian mengapung ke atas rongga. Sebagai akibatnya, loteng kurungan kami semakin menebal. Tapi itu tak menjadi persoalan, selama dasar menjadi semakin tipis. Sesudah bekerja keras selama dua jam, Ned masuk karena kehabisan tenaga. Dia beserta teman-teman seregu digantikan oleh awak kapal yang masih segar. Aku dan Conseil turut menyingsingkan lengan baju, dengan pimpinan ajudan. Air terasa dingin, tapi badanku menjadi cepat panas karena kesibukan mengayunkan beliung. Gerak-gerikku terasa bebas, meski kami bekerja dengan mengalami tekanan air sebesar tiga puluh atmosfir. Saat aku masuk kembali ke kapal sesudah bekerja dua jam, kurasakan perbedaan nyata antara udara murni yang kuhirup melalui alat pernafasan, dengan udara dalam 'Nautilus'. Sudah empat puluh delapan jam kami tak mengganti udara dalamnya, sehingga rasanya semakin sesak saja. Sedang usaha kami selama dua belas jam, hanya mampu mencungkil sebuah balok es saja dari tempat yang sudah diberi tanda. Aku mulai menghitung-hitung: jika pekerjaan selama dua belas jam cuma sebegitu saja hasilnya, maka kami akan memerlukan waktu empat hari lima malam sebelum berhasil membebaskan diri ! Sedangkan udara dalam tangki-tangki cadangan hanya cukup untuk dua hari saja.
"Harus diingat pula," ujar Ned membumbui, "jika kita berhasil membebaskan diri dari kurungan sialan ini, kapal masih akan tetap terkungkung
282 di bawah gunung es, tanpa kemungkinan berhubungan dengan permukaan laut di atas."
Betul juga katanya itu. Mungkin kami akan sudah mati kehabisan nafas, sebelum 'Nautilus' berhasil kembali ke atas. Mungkinkah sudah nasib, tewas dalam kuburan es ini" Keadaan sudah gawat sekali. Tapi kami semua menatap mara bahaya dengan tabah. Semua bertekat melakukan kewajiban, sampai tarikan nafas terakhir.
Sesuai dengan perhitunganku, malam itu berhasil lagi diapungkan sebuah balok es baru, berukuran satu meter kubik. Tapi keesokan harinya, ketika aku berjalan, di luar untuk menilai keadaan, kulihat bahwa dinding-dinding samping mulai bergerak menjepit kami. Bagian air dalam parit yang jauh letaknya dari tempat awak kapal sedang bekerja, kelihatan mulai membeku kembali. Bagaimana caranya mengelakkan bahaya baru ini" Bagaimana caranya menghindarkan, supaya air jangan membeku" Kalau hal itu terjadi, 'Nautilus' akan pecah terjepit.
Adanya bahaya baru itu tak kukatakan pada yang lain-lain. Apalah gunanya melenyapkan semangat kerja yang begitu menyala-nyala" Tapi ketika aku masuk lagi ke kapal, pengamatanku itu kukabarkan pada Kapten Nemo.
"Hal itu sudah kuketahui," ujarnya dengan suara tetap tenang, yang menghapus setiap kecemasan. "Itu cuma sat
u bahaya tambahan lagi. Aku tak tahu, bagaimana bisa menghindarkan diri dari padanya. Satu-satunya peluang menyelamatkan diri, adalah bekerja lebih cepat dari proses pembekuan. Kita harus mendahului!"
Hari itu aku mengayunkan beliung dengan sekuat tenaga, selama beberapa jam. Kesibukan itu mengurangi rasa cemas. Lagipula sambil bekerja, kami bisa menghirup udara murni yang mengalir
283 dari tangki-tangki cadangan. Menjelang malam, parit sudah tergali satu meter lebih dalam lagi. Ketika aku kembali ke kapal, hampir tercekik rasanya akibat udara pengap di dalamnya. Sayang kami tak mempunyai alat kimia, yang bisa menghilangkan gas racun karbon dioksida. Zat asam banyak dalam air. Jika kita campurkan dengan udara dalam kapal, pasti hawa segar akan kembali. Tapi karbon dioksida sudah terlalu banyak dalam kapal. Untuk menyerapkan, kami harus mengisi beberapa botol dengan kalium peroksida, lalu mengguncang-gun-cangkan tanpa henti. Namun dalam kapal tak ada unsur kimia itu.
Kapten Nemo harus membuka keran tangki-tangki cadangan udara, agar ada sedikit udara murni mengalir ke dalam kapal. Kalau tidak, pasti kami semua akan segera mati kehabisan nafas. Keesokan harinya, aku mulai lagi menggali balok es kelima. Dinding samping dan dasar gunung kelihatan semakin tebal saja. Sudah nyata kami akan sudah terjepit olehnya, sebelum 'Nautilus' berhasil membebaskan diri. Terdorong perasaan putus asa, badanku menjadi lemas. Hampir saja beliung terlepas dari tangan. Apalah gunanya menggali lagi, jika sebentar lagi aku mati kehabisan nafas, dan terjepit air yang berubah menjadi batu" Bahkan suku-suku paling liar sekalipun, pasti tak mungkin bisa membayangkan penyiksaan yang sebegitu dahsyat! Pada saat itu, Kapten Nemo lewat di dekatku. Kusentuh lengannya, lalu kutunjukkan padanya dinding yang semakin merapat. Dinding sebelah kiri paling sedikit sudah maju empat meter. Kapten memahami makna gerak telunjukku, lalu mengisyaratkan agar aku ikut. Kami masuk ke kapal. Jaket gabus kubuka, kemudian aku turut masuk ke ruang duduk.
"Profesor Aronnax. Kita harus melakukan usaha
284 nekat. Kalau tidak, sebentar lagi kita akan terkurung dalam es!"
"Betul, tapi apa yang dapat kita lakukan""
"Kalau saja 'Nautilus' mampu menahan tekanannya, tanpa mengalami kehancuran!"
"Apa maksud Anda"" tanyaku tak mengerti.
"Tidak mengertikah Anda" Proses pembekuan ini sebenarnya menolong kita. Jika air sekeliling menjadi beku, batu terkeras pun akan ditembus olehnya! Tak mengertikah Anda, bahwa dengannya air yang membeku akan menjadi pelindung, dan bukan pemusnah ""
"Mungkin hal itu benar. Tapi betapa tahannya pun 'Nautilus' terhadap tekanan, tapi desakan es masih tetap terlalu besar. Kapal akan terjepit sehingga pipih."
"Aku tahu. Karenanya kita tak boleh menyandarkan diri pada bantuan alam. Kita harus berusaha sendiri. Proses pembekuan harus kita halangi."
"Sampai berapa lamakah udara dalam tangki cadangan masih cukup untuk bernafas""
Kapten Nemo menatap mataku. "Lusa sudah akan kosong!"
Terasa keringat dingin mengalir membasahi muka. Tapi sebenarnya aku tak perlu heran mendengar jawaban itu. Lima hari lamanya kami sudah menghirup udara cadangan yang ada dalam kapal. Sisanya kini diperlukan bagi para pekerja. Sementara itu Kapten merenung. Kelihatan tiba-tiba dia mendapat ilham, tapi dengan segera disingkirkan kembali. Akhirnya ia berkata,
"Air mendidih !" gumamnya.
"Air mendidih"" tanyaku.
"Ya. Kita terkurung dalam rongga yang bisa dikatakan sempit. Bukankah jika kita menyemprotkan air mendidih dengan pompa yang bekerja tanpa
285 henti, suhu di sini akan naik" Dengan begitu proses pembekuan akan terhambat !"
"Kita coba saja," kataku dengan yakin.
"Marilah kita coba."
Saat itu suhu di luar tujuh derajat di bawah titik beku. Kapten Nemo mengajak ke dapur. Di situ terdapat mesin-mesin penyuling air. Dengan jalan penguapan, mesin-mesin itu menghasilkan air minum.
Tangki mesin diisi air, dan panas listrik dialirkan ke dalamnya melalui saluran-saluran yang ada di situ. Dalam beberapa menit saja air sudah mencapai suhu seratus derajat. Air yang sudah mendidih itu dialirkan ke
pompa, sedang tangki mesin diisi lagi dengan air baru. Panas listrik begitu besar, sehingga begitu air laut dingin yang masuk ke dalam mesin, dengan segera sudah mendidih. Pompa-pompa mulai menyemburkan air. Tiga jam kemudian suhu di luar sudah naik satu derajat. Dua jam lagi sesudah itu, suhu air di luar tinggal empat derajat di bawah titik beku.
"Kita akan berhasil," ujarku pada Kapten, sesudah mengamati perkembangan dengan cemas.
"Kurasa kita takkan mati terjepit," jawabnya.
Pompa-pompa bekerja sepanjang malam. Suhu air di luar naik, sampai satu derajat di atas titik beku. Penyeburan air mendidih selanjutnya, tak mampu menaikkan suhu lebih tinggi lagi. Tapi setidak-tidaknya kami takkan terkurung es lagi.
Keesokan harinya, tanggal 27 Maret, telah berhasil digali es satu meter lebih dalam. Sudah enam meter yang disingkirkan. Masih ada empat meter lagi yang menghalangi kami dari perairan bebas. Kami masih harus bekerja empat puluh delapan jam lagi. Tapi udara dalam kapal tak bisa diganti. Nafas menjadi semakin sesak. Berulang kali aku menguap lebar, sehingga hampir lepas rahang ra-
286 sanya. Paru-paruku seakan pecah karena menghirup udara yang sudah beracun. Conseil tak pernah jauh dari sisiku, meski dia pun menunjukkan gejala-gejala sesak nafas. Kudengar dia bergumam, "Coba aku bisa tak bernafas! Akan lebih banyak udara yang ada untuk majikanku !"
Mataku membasah ketika mendengar dia berkata begitu. Ketika keadaan dalam kapal sudah tak tertahan lagi, dengan tergesa-gesa kami mengenakan jaket gabus untuk menunaikan tugas giliran bekerja. Kami mengayunkan beliung, memecah lapisan air beku. Lengan kami sudah pegal. Tangan penuh dengan luka-luka melecet! Tapi apalah arti kelelahan, tak peduli tangan luka-luka! Pokoknya paru-paru kembali dialiri udara segar. Kami bernafas dengan leluasa.
Sejak permulaan, tak seorangpun yang memperpanjang waktu giliran bekerja. Jika sudah sampai saatnya, setiap orang menyerahkan alat pernafasan pada rekannya yang menunggu dengan nafas terengah-engah. Kapten Nemo memberi teladan. Dialah yang pertama-tama mengikuti disiplin keras itu. Jika sudah tiba waktunya, dia menyerahkan alat pernafasan yang dipakai pada orang yang sudah menunggu. Dia kembali ke kapal, memasuki ruangan berisi udara beracun. Tanpa gentar, tanpa berkata apa-apa.
Tugas hari itu dilakukan dengan kegiatan luar biasa. Lapisan es yang menghalangi tinggal dua meter lagi. Tinggal dua meter yang memisahkan kami dari perairan bebas. Tapi tangki-tangki cadangan sudah hampir kosong. Sisa yang sedikit, harus disalurkan bagi orang-orang yang bekerja di luar. Ketika aku masuk lagi ke kapal, hampir tercekik rasanya karena sesak nafas. Malam itu aku merasakan azab yang luar biasa beratnya. Keesokan hari keadaan menjadi semakin parah. Kepalaku pu-
287 sing, seolah-olah orang yang sedang mabuk. Yang lain-lain juga menunjukkan gejala sama. Ada awak kapal yang nafasnya sudah putus-putus.
Sewaktu kami sudah enam hari terkurung es, Kapten Nemo merasa bahwa beliung-beliung kami terlalu lamban kerjanya. Ia mengambil gagasan untuk memecahkan dasar es yang masih tersisa. Ketabahan dan semangatnya benar-benar mengagumkan. Beban jasmani yang menekan, dikalahkannya dengan kekuatan rohani.
Ia memerintahkan agar kapal diperingan. Dengan jalan mengubah berat jenis, "Nautilus' mengambang di atas dasar, lalu diseret sampai di atas parit yang kami gali selama ini. Sudah itu tangki-tangki diisi kembali dengan air.
Semua awak kapal disuruh masuk, dan pintu luar ditutup rapat. 'Nautilus' terbaring dalam parit, di atas lapisan es yang tebalnya tak sampai semeter lagi. Keran-keran tangki cadangan dibuka. Air sebanyak kira-kira seratus meter kubik mengalir ke dalam. Kapal menjadi semakin berat. Kami menunggu sambil menajamkan pendengaran. Harapan yang timbul, menyebabkan kami melupakan kesengsaraan yang diderita saat itu. Keselamatan kami tergantung pada peluang terakhir ini. Walau telingaku berdesing karena paru-paru yang kurang udara, tak lama kemudian tertangkap juga bunyi mendengung di bawah dasar kapal. Es meretak seperti bunyi kertas robek. 'Nautilus' membe
nam ke bawah. "Kita bebas!" bisik Conseil di telingaku.
Aku tak mampu menjawab. Tangannya kupegang, lantas kujabat erat. Dengan cepat kapal terbenam, seperti pelor jatuh dalam air. Kemudian seluruh tenaga listrik yang ada dikerahkan untuk menggerakkan pompa, mengeluarkan air dari dalam tangki. Sesudah beberapa menit bekerja, gerak
288 benaman kapal terhenti. Tak lama sesudah itu, jarum manometer sudah menunjukkan gerak ke atas kembali. Baling-baling berputar sekuat tenaga, mengakibatkan tubuh kapal tergetar keras. Kami meluncur ke arah utara. Tapi bila masih berlalu lagi satu hari sebelum kapal sampai di perairan terbuka, aku pasti akan sudah mati sebelumnya.
Aku terkapar di atas dipan dalam perpustakaan. Nafasku tinggal satu-satu. Mukaku sudah biru. Aku tak mampu mendengar, maupun melihat apa-apa lagi. Aku sudah tak tahu lagi, berapa lama waktu sudah berlalu. Otot-ototku tak bekerja lagi. Yang kuketahui, yang kurasakan melebihi segala-galanya, adalah siksaan yang luar biasa. Aku merasa sudah hampir mati.
Tapi tiba-tiba aku siuman kembali. Terasa udara segar mengalir ke dalam paru-paru. Mungkinkah kapal sudah muncul ke permukaan" Sudah bebaskah kami dari kungkungan gunung es" Ternyata tidak: Ned dan Conseil, kedua temanku yang setia, mengorbankan diri untuk menyelamatkan nyawaku. Dalam sebuah alat bernafas, masih tersisa udara sedikit. Tapi mereka tak mempergunakannya untuk keperluan diri sendiri. Tidak! Sementara mereka kehabisan nafas, alat tersebut dipasangkan ke mukaku - agar aku bisa bernafas. Ingin kutolak-kan alat itu, tapi tak bisa. Tanganku mereka pegang erat-erat. Beberapa saat lamanya aku menghirup udara segar. Mataku tertumbuk pada jam dinding, yang menunjukkan waktu pukul sebelas pagi. Mestinya sekarang sudah tanggal 28 Maret. 'Nautilus' melaju ke arah utara, dengan kecepatan empat puluh mil sejam.
Di manakah Kapten Nemo" Mungkinkah dia sudah tewas" Kehabisan nafas, bersama anak buahnya" Saat itu jarum manometer menunjukkan bahwa kapal tak sampai tujuh meter lagi dari per-
289 mukaan. Tinggal selapis es tipis saja yang memisahkan kami dari alam terbuka. Tak mungkinkah kapal memecahnya" Mungkin. Menurut dugaanku, 'Nautilus' akan mencobanya, karena letak kami condong ke atas. Didorong baling-baling yang berputar sekuat tenaga, kapal membentur lapisan es dari bawah. 'Nautilus' meluncur bagaikan alat penumbuk raksasa. Berulang kali es dibenturnya, berulang kali pula terdengar bunyi es retak berderik-derik. Sekali lagi kapal melesat miring ke atas dan memecah es yang mengungkung selama ini. Dengan buru-buru katup lubang tengah dibuka oleh tangan-tangan yang sudah tak sabar. Udara segar membanjiri seluruh ruangan kapal.
XVII DARI TANJUNG TANDUK KE AMAZONAS
AKU tak tahu, bagaimana aku bisa sampai di geladak. Mungkin Ned Land yang mengangkat. Tapi pokoknya aku bisa bernafas. Kuhirup udara laut yang segar. Kedua temanku seakan-akan mabuk, karena terlalu dalam menarik nafas. Awak kapal yang selama itu bekerja keras, tanpa sempat makan, tidak mampu lagi menikmati udara segar secara leluasa. Badan mereka sudah terlalu lemah. Tapi kami bertiga dapat menghirup udara segar dengan seenak-enaknya. Tiupan angin sepoi-sepoi menambah rasa nikmat.
"Ah!" ujar Conseil, "alangkah nikmatnya menghirup zat asam! Tuan tak perlu khawatir memenuhi paru-paru dengannya. Di sini cukup banyak udara untuk semua orang!"
Ned Land tak berkata apa-apa. Ia hanya mengangakan mulut lebar-lebar. Bahkan ikan hiu yang paling ganas sekali pun, pasti akan mati ke-
290 takutan melihat rupanya saat itu. Tak lama kemudian tenaga kami sudah pulih. Ketika aku memandang sekeliling geladak, kulihat bahwa cuma kami bertiga yang ada di atas. Para pelaut yang menjadi awak kapal 'Nautilus' rupanya sudah puas menghirup udara, yang terdapat di dalam; tak seorang pun dari mereka yang kelihatan makan angin.
Kata-kata pertama yang kuucapkan, berupa pernyataan terima kasih kepada kedua temanku. Berkat pertolongan Ned Land dan Conseil, nyawaku selamat pada saat-saat terakhir. Aku tak mampu menyatakan hutang budiku yang tak terhingga besarnya pada mereka berdua.
"Teman-t emanku,", demikian aku berkata dengan terharu, "kita bertiga saling terikat untuk selama-lamanya, karena hutang budiku yang tak terhingga pada kalian berdua."
"Ikatan itu hendak kumanfaatkan," jawab juru tombak.
"Apa maksud Anda dengannya"" tanya Conseil.
"Maksudku, Profesor akan kuajak jika aku meninggalkan 'Nautilus' jahanam ini."
"Apakah sesudah ini kita selamat"" tanya Conseil padaku.
"Ya," jawabku, "karena kita berlayar mengikuti arah matahari, yaitu ke utara."
"Memang benar," kata Ned, "tapi mesti ditunggu dulu, apakah Kapten membawa kita ke Pasifik atau ke Atlantik. Jadi ke perairan yang banyak atau jarang dilayari."
Hal itu tak kuketahui. Tapi aku khawatir, Kapten Nemo lebih cenderung untuk membawa kami ke samudera luas, yang membentang antara Benua Amerika dan Asia. Dengan begitu ia akan menyelesaikan pelayaran keliling dunia lewat bawah air, dan kembali ke perairan di mana 'Nautilus' dapat bergerak dengan leluasa. Tapi kami tak perlu lama
291 menerka-nerka, karena jawabannya datang tak lama kemudian.
'Nautilus' mengarungi lautan dengan kecepatan tinggi. Perairan kutub kami tinggalkan dengan cepat. Haluan diarahkan menuju Tanjung Tanduk. Menjelang pukul tujuh malam tanggal 31 Maret, kami berada di depan ujung terselatan Benua Amerika. Semua penderitaan yang lalu sudah kami lupakan lagi. Ingatan terhadap siksaan terkungkung dalam es, sudah hapus dari benak kami. Hanya waktu mendatang saja yang dipikirkan. Kapten Nemo tak muncul-muncul, baik dalam ruang duduk maupun di atas geladak. Titik yang setiap hari ditandai oleh ajudan di atas peta, menunjukkan posisi 'Nautilus' yang tepat dalam pelayaran. Sore itu aku merasa lega, karena gerakan titik di peta itu menunjukkan bahwa kapal kembali menuju ke utara, mengarungi samudera Atlantik.
Keesokan harinya, tanggal 1 April, 'Nautilus' muncul ke permukaan menjelang tengah hari. Di sebelah barat nampak garis daratan yang remang-remang. Itulah dia Terra del Fuego, "Tanah Api". Nama itu diberikan oleh pelaut-pelaut Eropa pertama yang sampai ke situ. Sebabnya karena mereka melihat kepulan asap tebal, yang naik dari pondok-pondok penduduk setempat. Garis pesisir nampak rendah, tapi di kejauhan nampak menjulang pegunungan tinggi. Aku bahkan berperasaan seperti melihat Gunung Sarmiento. Gunung itu tingginya sekitar dua ribu meter. Puncaknya lancip, dan merupakan penunjuk untuk mengetahui keadaan cuaca. Saat itu puncak Sarmiento kelihatan sangat jelas.
'Nautilus' menyelam ke bawah air. Kami bergerak mendekati pantai. Dari lubang jendela kaca di ruang duduk, kami memandang dasar laut yang kembali kelihatan subur. Menjelang malam, kami
292 mendekati gugusan pulau-pulau Falkland. Laut di sekitar situ lumayan dalamnya. Di depan pantai, jala pukat kapal menangguk bermacam-macam jenis ganggang laut. Banyak sekali remis dan kepah yang tersangkut dalam akar-akar yang panjang. Bebek dan angsa berjatuhan ke geladak kena tembakan kami, langsung masuk ke kuali di dapur. Bermacam-macam ikan yang berwarna serba indah, berkeliaran dalam air.
Ketika Kepulauan Falkland sudah ditinggalkan, 'Nautilus' menyelam kembali. Kami menyusuri garis pesisir Benua Amerika, di kedalaman dua puluh sampai dua puluh lima meter. Kapten Nemo masih selalu belum kelihatan lagi. Arah haluan masih terus ke utara. Ketika lewat daerah pantai Brasil yang didiami orang, kapal melaju dengan kecepatan tinggi. Rupanya hal itu disengaja, karena Kapten Nemo tak menyenangi daerah yang ada penduduknya. Ned Land jengkel karenanya. Kami meluncur dengan laju. Tak ada ikan maupun burung yang dapat menandingi kecepatan gerak itu, sehingga aku tak bisa mengamati kehidupan samudera daerah itu:
Behari-hari lamanya kami terus melaju. Petang tanggal 9 April, kami melihat titik paling timur di belahan selatan Benua Amerika, yang terletak di Tanjung Sao Rogue. Kemudian kapal mengubah haluan. Kami memasuki lembah laut yang terdapat antara tanjung itu dengan Sierra Leone di pesisir Afrika. Di dasarnya banyak terdapat pegunungan, sehingga sangat mengasyikkan pemandangannya. Dua hari lamanya kami berkeliaran sekitar lembah. Tapi tanggal 11 April
'Nautilus' tiba-tiba muncul ke permukaan. Kami melihat daratan, yang ternyata merupakan tepi muara Sungai Amazonas. Sungai itu luar biasa lebarnya di mua-
293 ra, sehingga lautan tawar rasanya sampai bermil-mil di depan pantai.
Garis khatulistiwa kami lintasi. Dua puluh mil di sebelah barat terletak Guiana, yang waktu itu merupakan daerah Perancis. Di sana kami bisa meminta perlindungan dengan mudah. Tapi saat itu angin bertiup kencang. Ombak yang besar tak memungkinkan perahu mengarunginya. Rupanya Ned Land juga mengetahui kenyataan itu, karena dia sama sekali tidak berbicara mengenai percobaan melarikan diri. Aku pun tak menyinggung rencananya sama sekali. Aku tak berniat mendorongnya, untuk melakukan sesuatu yang pasti akan menemui kegagalan. Kupakai kesempatan baik itu, untuk melanjutkan penyelidikan tentang kehidupan dalam samudera. Selama tanggal 11 April, 'Nautilus' tak meninggalkan permukaan laut. Jaring pukat menangguk bermacam-macam penghuni lautan. Banyak di antaranya sudah kukenal. Tapi aku juga mendapat kesempatan untuk meneliti jenis-jenis yang khas dari perairan situ. Misalnya semacam belut, ukurannya sekitar empat puluh senti. Kepalanya berwarna kehijau-hijauan, bersirip ungu, punggung semu biru kelabu, perut coklat berbintik-bintik perak. Kulit sekeliling matanya berwarna keemasan. Binatang ini aneh, karena sebetulnya merupakan penghuni air tawar. Jala kami juga menangkap ikan-ikan hiu yang tergolong kecil.
Masih ada satu jenis lagi, yang pasti takkan dilupakan oleh Conseil seumur hidupnya. Sekali jala kami menarik sejenis ikan pari ke geladak. Jika ekornya yang panjang dipotong, maka bentuknya mirip sebuah tampah. Bagian perutnya putih, sedang punggungnya berwarna merah berbecak-be-cak biru kehitam-hitaman. Kulitnya sangat licin, sedang siripnya terbelah dua. Ikan itu ditaruh di
294 lantai geladak, tapi karena terus meronta-ronta, akhirnya nyaris jatuh ke air. Conseil tak ingin membiarkan ikan itu lepas lagi. Karenanya ia mengejar. Sebelum aku sempat melarang, ikan sudah dipegang olehnya dengan kedua belah tangan. Tapi detik berikutnya dia terpelanting; kaki menendang-nendang ke atas, sedang separuh tubuhnya lumpuh. Dia berteriak,
"Aduh! Tolong, Tuan!"
Baru sekali itulah Conseil minta tolong padaku. Dengan dibantu oleh Ned Land, orang malang itu kuangkat. Tangannya yang kejang kami urut, sampai syarafnya bekerja kembali. Tanpa mengetahuinya, Conseil menyentuh ikan listrik yang paling berbahaya, yang dikenal dengan nama Kumana. Ikan aneh itu memiliki tenaga listrik dalam tubuhnya. Dalam air, aliran listrik dapat dilancarkan untuk melumpuhkan ikan lain, pada jarak beberapa meter.
Keesokan harinya, tanggal 12 April, 'Nautilus' menghampiri pesisir daerah jajahan Belanda, dekat muara Sungai Maroni. Di situ kami melihat sekawanan ikan duyung yang hidup berkelompok. Binatang-binatang itu tidak buas dan tidak suka menyerang. Panjangnya antara enam sampai tujuh meter. Kuceritakan pada Ned Land dan Conseil, bahwa alam telah memberikan peranan penting pada hewan yang tergolong binatang menyusui itu. Seperti anjing laut pula, ikan duyung hidup dari rumput air. Kebiasaannya merumput di dasar sungai. Dengan begitu sungai-sungai daerah panas dibersihkan dari penghalang-penghalang dalam air.
"Dan tahukah kalian, apa yang terjadi sesudah manusia hampir memusnahkan binatang berguna ini"" tanyaku pada mereka berdua. "Rumput mem-
295 busuk meracuni udara, dan udara beracun membangkitkan penyakit demam kuning. Wabah penyakit itu melanda daerah-daerah tropika. Malapetaka akan menjadi berlipat ganda, apabila lautan dibersihkan dari ikan paus dan anjing laut. Karena binatang-binatang ini juga melakukan tugas membersihkan lautan dari berbagai macam kotoran."
Tapi rupanya awak kapal 'Nautilus' berlainan pendapat dengan aku. Mereka membunuh setengah lusin ikan duyung, untuk memperlengkap cadangan pangan di kapal. Perburuannya sama sekali tak menarik, karena duyung membiarkan diri dibunuh tanpa melawan. Kecuali itu kami juga banyak menangkap ikan, yang rupanya banyak sekali di perairan sekitar sini.
Sesudah selesai menangkap ikan,
'Nautilus' bergerak semakin dekat ke pantai. Kami melihat beberapa ekor kura-kura besar, sedang tidur dipermainkan ombak. Tapi mereka masih tetap sukar ditangkap, karena bunyi sehalus apa pun pasti akan membangunkan. Sedang kulit mereka yang tebal, tak tembus kena seruit. Meski begitu, ada akal juga untuk menangkapnya.
Awak kapal menangkap seekor bulu babi, lalu diikat dengan tali. Begitu dicampakkan kembali ke dalam air, bulu babi itu melekatkan diri ke kulit tameng sebelah bawah dari kura-kura. Lekatannya begitu kuat, sehingga bulu babi harus dirobek terlebih dulu jika hendak melepaskan kembali. Awak kapal menarik bulu babi ke geladak, dan kura-kura ikut terseret.
Persinggahan kami di pantai timur Amerika Selatan diakhiri dengan penangkapan itu. Menjelang malam, 'Nautilus' kembali ke lautan luas.
296 XVIII IKAN GURITA RAKSASA BEBERAPA hari lamanya 'Nautilus' bergerak agak jauh dari pesisir Amerika. Rupanya hendak mengelakkan tarikan arus pasang Teluk Meksiko. Tanggal 16 April nampak pulau-pulau Martinique dan Guadalupe di kejauhan. Jarak yang memisahkan kami sekitar tiga puluh mil. Sesaat kulihat puncak-puncak gunung yang tinggi. Ned Land semula berniat melaksanakan rencana melarikan diri di perairan itu, dengan jalan berperahu ke tepi atau memanggil salah sebuah perahu yang banyak berkeliaran di situ. Tapi karena kapal terus menjauh pesisir, akhirnya juru tombak bangsa Kanada itu menjadi patah semangat. Sebenarnya jika dia berhasil merebut perahu kapal tanpa diketahui Kapten, ia bisa saja melarikan diri. Tapi di perairan terbuka, hal itu mustahil dapat dilakukan.
Lama sekali kami bertiga memperbincangkan hal itu. Enam bulan sudah kami menjadi tawanan di atas kapal 'Nautilus'. Sudah jauh sekali pelayaran yang kami ikuti. Seperti dikatakan oleh Ned, dia tidak melihat adanya, alasan, kenapa pelayaran itu tidak bisa berakhir bagi kami. Tak ada yang dapat diharapkan dari nakhoda kapal 'Nautilus'. Nasib kami terletak di tangan sendiri. Kecuali itu dalam waktu-waktu terakhir ia semakin murung, semakin menyendiri. Kelihatannya ia selalu menjauhi aku. Jarang kami berjumpa. Dulu dia gemar menerangkan hal-hal ajaib yang kulihat dalam laut. Tapi sekarang aku dibiarkan mengadakan penelitian seorang diri. Ia pun tak pernah lagi masuk ke ruang duduk.
Apakah yang telah terjadi dengannya" Apakah yang menyebabkan perubahan sikap itu "
297 Aku sendiri tak berniat mengubur diri hidup-hidup, bersama hasil penelitian yang baru dan pasti' menarik. Sekarang aku sudah mampu menulis buku yang benar, tentang alam kehidupan di bawah laut. Dan aku menginginkan agar buku tulisanku dibaca orang banyak. Di perairan sekitar Kepulauan Antilles, aku kembali menemukan berbagai makhluk yang belum pernah dilihat orang. Kesemuanya ini ingin kupaparkan pada khalayak ramai, dan tak kusimpan untuk diriku sendiri saja.
Tanggal 20 April kami bergerak di tempat sedalam seribu lima ratus meter di bawah permukaan laut. Daratan yang terdekat saat itu adalah Kepulauan Bahama. Dari jendela kaca samping, kami melihat sebuah tebing tinggi yang penuh dengan rumput laut dan ganggang. Kira-kira pukul sebelas, Ned menunjukkan sesuatu di sisi tebing padaku.
"Wah! Besar sekali rongga-rongga di tebing itu," seruku kagum. "Cukup besar untuk menjadi tempat penghunian cumi-cumi. Aku takkan heran, jika tiba-tiba ada yang keluar dari dalamnya!"
"Apa" Cumi-cumi"" jawab Conseil. "Maksud Tuan, yang sebangsa sotong""
"Bukan!" Jawabku. "Yang kumaksudkan cumi-cumi raksasa, ikan gurita."
"Sukar rasanya mempercayai, bahwa ada binatang serupa itu," tukas Ned.
"Aku masih ingat benar," ujar Conseil dengan nada serius, "dulu pernah kulihat, betapa sebuah kapal besar ditarik ke bawah air oleh lengan gurita raksasa."
"Anda melihatnya"" tanya juru tombak dengan mata melotot. "Ya, Ned."
"Dengan mata sendiri""
"Dengan kedua mataku ini." Air muka Conseil tetap serius.
298 "Di mana Anda melihatnya"" "Di Saint Malo," jawab Conseil. "Di pelabuhan rupanya," ujar Ned agak meng-ejek.
"Tidak! Dalam gereja." "Apa! Dalam gereja"" seru Ned heran. "Betul, Sobatku yang budiman. Aku melihatnya
Idalam sebuah lukisan." "Ya ampun," ujar juru tombak. Ia tertawa gelak-
gelak. "Betul," kataku menyela kelakar mereka berdua, "Aku juga pernah mendengar tentang lukisan itu. Yang digambarkan di situ adalah suatu legenda. Dan kalian tahu, berapa banyak kebenaran yang terkandung dalam legenda atau dongeng. Apalagi khayalan kita sering kali melantur, jika pembicaraan sudah berkisar tentang binatang-binatang raksasa. Gurita-gurita bukan saja dikatakan mampu menyeret kapal ke dasar laut, tapi bahkan pernah pula ada seseorang yang memberitakan tentang seekor gurita mahabesar. Panjangnya dikatakan satu mil. Itu kan sudah pulau, bukan binatang lagi. Ada lagi cerita tentang seorang uskup dari Nidros. Dia membuat sebuah altar di atas cadas yang sangat besar. Ketika upacara misa selesai, tahu-tahu batu besar itu mulai merayap dan kembali ke laut. Ternyata seekor ikan gurita. Ada lagi uskup lain, namanya Pontoppidan. Dia bercerita tentang seekor gurita raksasa. Begitu besarnya, sehingga sepasukan tenta-ra berkuda dapat berlatih di atas punggungnya. Se-dang penulis-penulis jaman purba menceritakan tentang gurita-gurita raksasa, yang mulutnya sebesar teluk. Binatang-binatang yang diceritakan itu begitu besar, sehingga tak bisa melewati Selat Gibraltar."
"Tapi betulkah cerita-cerita itu, Tuan"" tanya Conseil.
"Tentu saja tidak! Tapi di pihak lain, tentunya
299 ada dasar kebenaran, yang kemudian mendorong daya khayal para pendongeng itu. Tak bisa diban tah, bahwa ada gurita dan cumi-cumi yang besar sekali. Tapi masih lebih kecil dari ikan paus. Para pelaut sudah sering melihat yang berukuran satu meter dua puluh senti. Dalam museum-museum di kota Triest dan Montpelier disimpan kerangka ikan gurita, yang panjangnya mendekati dua meter Menurut penaksiran ahli-ahli ilmu hayat, jika ba dan ikan gurita berukuran satu meter delapan puluh saja, maka sungutnya akan sudah sembilan meter panjangnya. Itu juga sudah cukup besar, bukan""
"Apakah dewasa ini ikan-ikan itu masih ditang kap orang"" tanya Ned.
"Kalau tidak ditangkap, paling sedikit para pelaut masih melihatnya. Seorang sahabatku Nakhoda Paul Bos dari le Havre, sering menga takan bahwa dia pernah berjumpa dengan salah sa tu binatang raksasa itu, di Samudera Hindia Katanya, ikan gurita itu besar sekali. Tapi kenya taan yang paling mengagumkan terjadi beberapa tahun yang lalu. Tepatnya, pada tahun 1861. Mau tak mau, kita terpaksa mengakui bahwa binatan sebesar itu sungguh-sungguh ada."
"Kenyataan manakah yang Profesor maksud kan"" tanya Ned.
"Pada tahun 1861, awak kapal pengangkut 'Alec tor' melihat seekor ikan gurita raksasa yang sedang berenang di laut. Waktu itu mereka sedang berada di sebelah timur Laut Teneriffa, kira-kira pada garis lintang yang sama seperti kita sekarang ini. Kapten Bouguer, nakhoda kapal itu memberi perintah agar kapal mendekatinya. Gurita diserang dengan seruit dan senapan. Tapi sia-sia, karena baik seruit maupun peluru tak berhasil menembus kulitnya yang seperti karet. Sudah itu awak kapal berusaha menjerat tubuhnya. Jerat mengena. Namun
300 ketika gurita hendak ditarik ke atas geladak, ternyata terlalu berat. Tali penjeratnya makin lama makin erat, sehingga akhirnya ekor gurita putus. Sedang binatangnya sendiri lenyap lagi ke dalam laut."
"Masya Allah! Betulkah cerita itu""
"Ned, yang kuceritakan ini merupakan kenyataan yang tak bisa dibantah. Mereka mengusulkan, agar gurita itu diberi nama 'sotong Bouguer'."
"Berapa panjangnya"" tanya juru tombak.
"Kira-kira enam meter, bukan"" sela Conseil. Dia sedang berdiri di depan jendela, sambil memperhatikan lekuk-lekuk tebing yang kami lewati.
"Tepat," jawabku.
"Dan bukankah sungutnya ada delapan, bergerak-gerak seperti sekawan naga""
"Betul," balasku sekali lagi. "Matanya besar sekali, letaknya agak di sebelah belakang kepala""
"Betul, Conseil."
"Sedang moncongnya seperti paruh beo"" "Tepat sekali, Conseil."
"Jika begitu, kalau ini bukan sotongnya Bouguer, paling tidak salah satu saudaranya," ujar pelayanku itu dengan tenang.
Aku memandang padanya. Ned Land bergegas datang ke jendela.
"Aduh, seramnya!" seru juru tombak itu.
Berkeliling Dunia Di Bawah Laut Karya Jules Verne di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Aku ikut- ikut melihat. Badanku menggigil karena jijik. Mataku menatap seekor binatang seram. Pantasnya menghiasi dongeng-dongeng. Gurita itu besar sekali, panjangnya sekitar delapan meter. Dia berenang cepat, memotong haluan kami. Sementara itu kami terus ditatapnya dengan mata besar berwarna hijau. Sungut, atau lebih tepat dikatakan kakinya ada delapan. Panjangnya dua kali lipat dari tubuh, bergerak-gerak kian ke mari. Di bagian bawah sungut nampak alat-alat penghisapnya. Mon-
301 congnya mirip paruh burung. Tubuhnya berbentuk bulat lonjong, beratnya pasti berton-ton. Warnanya berubah-ubah, mulai dari kelabu sampai coklat kemerah-merahan. Kelihatan ikan gurita itu marah, karena berhadapan dengan 'Nautilus' yang lebih kuat daripadanya. Kulitnya yang terbuat dari pelat-pelat baja, tak mungkin diserang dengan sungut maupun paruhnya. Aku tak mau melewatkan kesempatan baik ini, untuk mempelajarinya. Rasa jijik kuanggap sepi. Kuambil pinsil dan mulai membuat gambarnya.
"Mungkin gurita inilah yang dilihat awak kapal Alecto," ujar Conseil.
"Ah, bukan!" -bantah juru tombak. "Yang ini masih utuh, sedang gurita mereka kan sudah hilang ekornya."
"Itu bukan alasan," kataku menggurui. "Sungut dan ekor gurita bisa tumbuh lagi. Dan waktu tujuh tahun mencukupi untuk memulihkan kembali ekor sotongnya Bouguer."
Sementara itu di sisi kapal bermunculan gurita-gurita lain. Mereka berenang beriringan mengikuti 'Nautilus'. Terdengar geretak paruh-paruh yang hendak menyobek kulit kapal. Aku melanjutkan pekerjaan, menggambar ikan-ikan gurita yang melayang dalam air mengikuti kami. Mereka berenang sama cepat dengan kapal 'Nautilus', sehingga memberikan kesan seolah-olah tak bergerak. Tiba-tiba kapal terhenti dengan mengejut, sehingga dinding-dinding tergetar.
"Apakah kita menubruk sesuatu"" tanyaku.
"Yang pasti bukan kandas, karena kapal masih terapung," jawab Ned.
Memang betul, 'Nautilus' masih terapung; tapi kami tidak bergerak lagi. Semenit berlalu dalam keadaan begitu. Kemudian Kapten Nemo masuk ke ruang duduk, diikuti oleh ajudannya. Sudah lama
302 aku tak melihatnya. Kelihatannya lesu. Tanpa melihat maupun berbicara pada kami, ia menuju ke jendela. Beberapa saat Kapten memandang ikan-ikan gurita yang kelihatan di luar, sudah itu mengatakan sesuatu pada pembantunya. Ajudan pergi ke luar. Tak lama kemudian pelat-pelat menutup jendela. Lampu plafon dinyalakan. Aku menghampiri Kapten.
"Ajaib bukan, ikan-ikan gurita itu"" tanyaku.
"Ya, Tuan ahli ilmu alam," jawabnya, "dan kami akan menantang mereka berkelahi. Manusia lawan binatang."
Aku memandang Kapten. Kukira salah pendengaranku.
"Manusia lawan binatang""
"Ya, Profesor. Baling-baling kapal macet. Menurut perkiraanku, ada paruh tanduk dari salah satu ikan gurita yang tersangkut. Jadi kita tak bisa bergerak lagi."
"Apa yang hendak Anda lakukan sekarang""
"Muncul ke permukaan, sudah itu membantai mereka."
"Wah, repot juga!"
"Memang. Peluru-peluru listrik tak berguna melawannya, karena kulit yang lembut tak memungkinkan kaca pecah. Jadi kami akan menyerang dengan kampak."
"Ditambah dengan seruit, Kapten," sambung juru tombak. "Itu jika bantuanku tidak ditolak."
"Aku menerimanya dengan senang hati, Tuan Land."
"Kami ikut," kataku. Kami berjalan di belakangnya, menuju tangga tengah. Di sana telah menunggu sepuluh awak kapal bersenjatakan kampak. Aku dan Conseil juga mengambil dua senjata tajam itu, sedang Ned memilih seruit. 'Nautilus' sudah muncul ke permukaan air.
303 Salah seorang kelasi berdiri di ujung atas tangga, lalu membuka sekerup-sekerup pengencang katup lubang. Baru saja sekerup-sekerup lepas, katup terenggut ke atas dengan keras, karena ditarik alat penghisap ikan gurita. Seketika itu juga sebuah sungut menjulur ke bawah dari lubang tangga. Dengan sekali ayun, Kapten Nemo mengampak alat peraih raksasa itu sehingga putus.
Kami berdesak-desakan naik ke atas. Tapi tiba-tiba dua sungut menyambar seorang pelaut yang berada di sisi Kapten Nemo, dan mengangkat orang itu ke atas. Kapten Nemo berteriak sambil lari memburu. Kami menyusul di belakangnya.
Alangkah seramnya! Pelaut malang yang terbelit sung
ut, meronta-ronta dengan bingung. Dengan suara putus-putus karena dadanya tertekan, ia berteriak, "Tolong! Tolong!" Aku terkejut, karena orang itu berteriak dalam bahasa Perancis! Ternyata di kapal ada teman senegeriku, bahkan mungkin jumlahnya lebih dari satu!
Teriakan ngeri itu pasti takkan kulupakan seumur hidup. Orang malang itu tak mungkin diselamatkan lagi. Namun Kapten Nemo tak putus asa. Ia maju mendekati gurita, lalu mengayunkan kampak dengan sekuat tenaga. Satu sungut putus! Ajudannya berkelahi mati-matian, melawan ikan-ikan gurita lainnya, yang naik ke sisi geladak. Para kelasi mengamuk dengan kampak mereka, diikuti oleh aku bersama Ned dan Conseil. Senjata-senjata kami hunjamkan ke tubuh ikan-ikan gurita. Bau tak enak menusuk hidung.
Sesaat aku ingat pada manusia malang yang masih tercengkam sungut gurita. Tujuh dari alat peraih binatang itu sudah putus. Sisa yang satu melambai-lambai di udara, tanpa melepaskan cengkeraman terhadap tubuh kelasi. Kapten Nemo ber-
304 sama ajudannya maju untuk membinasakan, tapi gurita menangkis dengan jalan menyemprotkan zat cair berwarna hitam. Sebagai akibatnya, sejenak kami tak bisa melihat lagi. Ketika cairan itu kami usapkan dari mata, ternyata ikan gurita sudah lenyap. Binatang itu sudah masuk ke air, menyeret teman sebangsaku yang malang.
Sementara itu sepuluh sampai dua belas gurita lainnya datang menyerbu geladak. Kami menerjang maju. Terjadilah perkelahian seru, manusia lawan binatang raksasa! Aku mendapat kesan, seolah-olah setiap kali kami berhasil memotong satu sungut, dengan seketika muncul sungut berikutnya. Ned Land menghunjamkan seruitnya berulang-ulang, menembus mata gurita. Tapi tiba-ti-ba juru tembak yang tabah itu terpelanting, kena sambaran sebuah sungut yang tak sempat lagi dielakkan.
Jantungku serasa berhenti karena kaget dan ngeri! Gurita mengangakan moncong yang seperti paruh, siap untuk mematuk. Tubuh Ned pasti akan terpotong dua! Aku lari memburu, tapi Kapten Nemo menang cepat. Diayunkannya kampak, tepat mengenai paruh menganga. Ikan gurita tertegun sebentar. Kesempatan itu dipergunakan oleh Ned untuk bangkit, lalu dihunjamkannya seruit. Tepat mengenai jantung binatang yang hampir mem-binasakannya.
"Itulah balas jasaku," ujar Kapten pada juru tombak, yang membungkukkan badan tanpa berkata. Ikan-ikan gurita mengaku kalah. Semua menghilang, masuk ke dalam ombak. Kapten Nemo masih berdiri di geladak. Tubuhnya dilumuri darah. Ditatapkannya pandangan ke laut, yang telah menelan seorang pengikutnya. Kelihatan air matanya berlinang-linang.
305 XIX ARUS TELUK TAK seorang pun dari kami yang mampu melupakan peristiwa ngeri, yang terjadi tanggal 20 April itu. Aku mencatatnya, ketika perasaan masih haru biru karenanya. Tapi ketika catatan itu kubacakan pada Ned dan Conseil, mereka mengatakan bahwa meski fakta-faktanya tepat, namun semua terasa agak kering. Memang, diperlukan keahlian seorang pujangga, untuk mengisahkan dengan tepat kejadian yang mengakibatkan tewasnya seorang awak kapal.
Kukatakan bahwa Kapten Nemo menangis, ketika ia berdiri menatap gelombang. Sudah dua anak buahnya yang tewas, sejak kami masuk ke kapal. Lagipula kematian kedua sangat memilukan! Tewas tercengkeram sungut gurita, habis terkunyah-kunyah paruh raksasa. Orang malang itu tak bisa dimakamkan di pusara karang, seperti anak buah yang pertama. Masih terngiang di telingaku, teriakan ngerinya. Dalam ketakutan yang maha besar, orang itu berteriak dalam bahasa aslinya, melupakan logat pergaulan yang dipakai dalam kapal. Ternyata di antara awak kapal ini, di antara kelompok manusia yang mengasingkan diri dari masyarakat ramai, terdapat seorang teman sebang-saku. Ia sendirikah yang berasal dari Perancis" Atau masih ada yang lain" Pertanyaan tak henti-henti menghantui benakku.
Sejak Kapten Nemo masuk ke kamarnya, aku tak melihatnya lagi untuk beberapa waktu. Tapi dari keadaan kapal, kuketahui bahwa ia sedang sedih dan bingung. 'Nautilus' tak berlayar mengikuti alur tertentu, melainkan terombang-ambing didorong ombak. Arahnya tak menentu. Rupanya
306 Kapten Nemo tak mampu melepaskan diri dar
i kenangan pada perjuangan yang baru lalu. Ingatannya masih selalu melekat pada lautan yang menelan seorang dari anak buahnya.
Sepuluh hari lamanya kami berada dalam keadaan demikian. Baru pada tanggal 1 Mei, 'Nautilus' melanjutkan pelayaran ke arah utara. Kami mengikuti alur Arus Teluk. Sebenarnya arus itu merupakan sungai dalam laut, karena airnya tak tercampur dengan air samudera. Rasanya pun lebih asin dari perairan sekelilingnya. Dalamnya rata-rata hampir dua ribu meter, sedang lebarnya sekitar sepuluh mil. Di tempat-tempat tertentu, Arus Teluk mengalir dengan kederasan dua setengah mil sejam. Sedang air yang membentuk arus itu jauh lebih banyak dari air sungai di seluruh bumi.
Perairan di situ sangat kaya dengan kehidupan. Berbagai jenis ikan yang kulihat berenang dalamnya. Di malam hari, sinar pendar yang ditimbulkan arus, bersaingan dengan kekuatan cahaya listrik kapal kami; apalagi pada saat-saat cuaca buruk, yang sering terjadi di situ.
Tanggal 8 Mei kami melewati Teluk Hatteras, di depan wilayah Karolina Utara. Lebar Arus Teluk di situ sekitar tujuh puluh lima mil, sedang dalamnya dua ratus meter. 'Nautilus' masih tetap bergerak de-ngan arah tak menentu. Kelihatannya sudah tak ada lagi pengawasan. Aku menyangka kami bisa memanfaatkan kesempatan itu, untuk melarikan diri. Kami akan bisa meminta perlindungan pada kaum penduduk yang,hidup di pesisir daerah itu. Apalagi di perairan itu banyak kapal-kapal yang lalu lalang antara New York atau Boston ke Teluk Meksiko. Siang malam, ada saja perahu-perahu sekunar yang berlayar di depan pantai timur Ame-rika itu. Jadi ada harapan kami, akan tertolong oleh
307 mereka. Kesempatan baik sekali, meski jarak 'Nau tilus' dari pantai masih sekitar tiga puluh mil.
Namun niat kami yang didorong oleh tekat Ned Land, akhirnya digagalkan oleh keadaan alam. Cuaca sangat buruk. Kami telah memasuki darah yang sering kali dilanda angin topan. Mencoba berperahu dalam keadaan seperti itu, berarti bunuh diri. Hal itu juga diakui oleh Ned. Hatinya sangat gelisah, karena tak bisa memanfaatkan kesempatan. Pada suatu hari ia datang padaku.
"Profesor," ujarnya, "keadaan seperti ini harus berakhir. Aku harus terus terang. Kapten Nemo bermaksud menuju ke utara. Tapi aku sudah bosan dengan Kutub Selatan. Jadi aku tak sudi ikut dengannya ke Kutub Utara."
"Tapi apa yang bisa kita lakukan" Tak mungkin bisa melarikan diri dalam keadaan seperti ini!"
"Kita harus bicara dengan Kapten," katanya. "Sewaktu kita berada dalam perairan negara Tuan, Profesor tak membuka mulut. Kini kita sudah dekat dengan perairan negaraku. Aku akan berbicara dengannya. Kalau kupikirkan, sebentar lagi 'Nautilus' akan sudah berlayar di depan Nova Scotia, wah - berdiri bulu romaku karena jengkel. Dekat Newfoundland ada teluk yang besar. Sungai St. Lawrence bermuara di teluk itu. Dan St. Lawrence adalah sungaiku, sungai yang mengalir lewat kota asalku, yaitu Quebec! Aku tak mau tinggal lebih lama lagi di kapal ini! Sesak rasanya nafasku!"
Kelihatan jelas, bahwa juru tombak sudah tak sa-bar lagi. Wataknya yang bersemangat tak mampu menahan beban, terkurung begini lama di suatu tempat saja. Wajahnya makin lama makin masam, sedang kelakuannya pun semakin menjadi pema-rah. Aku tahu bahwa dia menderita, karena aku pun sudah merasa rindu pada kebebasan. Hampir tujuh bulan lamanya kami terputus dari dunia luar.
308 Pengasingan diri oleh Kapten Nemo, semangatnya yang melesu - apalagi sesudah terjadi pertarungan melawan ikan-ikan gurita - menyebabkan aku menilai keadaan dengan pandangan berbeda.
"Bagaimana, Profesor"" tanya Ned, karena melihat tak ada jawaban dariku.
"Anda menginginkan, agar aku berbicara pada Kapten Nemo, untuk menanyakan maksud-mak-sudnya mengenai diri kita"" "Ya, betul."
"Walau hal itu sudah pernah ditandaskan oleh-nya""
"Ya! Aku ingin membereskan persoalan itu, su-paya jelas. Profesor bisa bicara untukku sendiri, jika segan ikut."
"Tapi aku jarang bertemu dengannya. Dia selalu mengelak."
"Karenanya lebih kuat lagi alasan untuk mendatangi."
Aku masuk ke kamarku. Dari situ aku bermaksud menuju ke bilik Kapten. Pintu ku
ketuk. Tak ada jawaban dari dalam. Kuketuk sekali lagi, lalu tombol pintu kuputar. Pintu terbuka, dan aku masuk ke dalam. Kapten ada dalam biliknya. Dia sedang bekerja. Rupanya ketukanku tadi tak didengar olehnya. Aku membulatkan tekat, untuk tidak pergi sebelum berbicara dengan dia. Aku datang mendekat. Ia menengadah sambil mengerutkan dahi. Dengan kasar ia berkata, "Anda di sini! Mau apa""
"Saya ingin bicara sebentar dengan Anda, Kap-ten."
"Aku sedang sibuk bekerja. Anda kuberi hak un-tuk menyendiri. Tak bolehkah aku melakukan hal yang sama""
Penerimaannya tak membesarkan hati. Tapi aku sudah bertekat untuk berbicara dengannya.
309 "Kapten," ujarku dengan suara dingin, "saya datang untuk membicarakan suatu persoalan, yang tak bisa diundurkan lagi."
"Apa persoalan itu"" Ia bertanya dengan nada menyindir. "Barangkali Anda menemukan sesuatu yang terlepas dari perhatianku. Atau mungkin ada penemuan Anda yang baru dalam laut""
Ia mengejek. Tapi sebelum aku sempat menjawab, ditunjukkannya naskah tulisan yang terbuka di atas mejanya. Ia berbicara lagi, kali ini dengan suara yang lebih serius, "Ini, Profesor Aronnax! Naskah ini tertulis dalam berbagai bahasa. Isinya merupakan hasil penelitianku mengenai kehidupan samudera. Kalau Tuhan mengizinkan, aku tak mau naskah ini binasa bersama aku. Diperlengkap dengan sejarah hidupku, tulisan ini akan kumasukkan ke dalam sebuah peta yang tak bisa tenggelam. Orang yang terakhir hidup dalam kapal 'Nautilus' akan mencampakkannya ke laut, biar hanyut di bawa ombak ke mana saja!"
Nama dan sejarah hidupnya, ditulis dengan tangannya sendiri! Jadi rahasia dirinya akan diketahui orang banyak pada suatu hari nanti.
"Kapten! Saya sangat setuju pada gagasan yang mendorong Anda untuk berbuat begitu," ujarku. "Hasil penelitian Anda tak boleh sia-sia. Tapi cara Anda meneruskannya demi masyarakat ramai, saya rasa agak ceroboh. Siapa tahu, ke mana peti itu akan dibawa ombak" Siapa yang bisa tahu, siapa yang akan mengambilnya dari laut" Tidak bisakah Anda memakai cara lain" Tak bisakah Anda, atau salah seorang anak buah -"
"Tidak bisa!" ujarnya memotong dengan cepat. "Tapi saya dan teman-teman bersedia menyimpankan peti bagi Anda. Jika kami Anda bebaskan
310 "Membebaskan kalian bertiga"" tanyanya sambil bangkit.
"Ya, Kapten. Itulah persoalan yang ingin saya bicarakan dengan Anda. Sudah tujuh bulan kami berada di kapal ini. Hari ini, atas nama kedua teman juga, ingin saya tanyakan apakah Anda bermaksud menahan kami untuk selama-lamanya di sini""
"Profesor Aronnax. Jawabanku masih tetap seperti yang sudah kuberikan tujuh bulan yang lalu: barangsiapa masuk ke kapal 'Nautilus', tak boleh keluar lagi."
"Jadi Anda memperbudak kami!"
"Terserah, nama mana yang Anda pakai untuk itu!"
"Tapi di mana-mana, budak memiliki hak untuk membebaskan diri."
"Siapa yang mengatakan, Anda tak memiliki hak itu" Pernahkah aku mengikat Anda dengan sumpah""
Ia menatap diriku dengan lengan tersilang.
"Baik Anda maupun saya sendiri, tak suka mengulangi persoalan sama. Tapi karena kita sudah mulai membicarakannya, lebih diteruskan saja. Saya ulangi sekali lagi, kegiatan ilmiah merupakan suatu kenikmatan yang menyebabkan saya lupa pada hal-hal lainnya. Seperti Anda juga, saya bersedia hidup terasing. Harapan saya adalah, semoga bisa mewariskan hasil jerih payah bagi keturunan manusia di masa mendatang. Tapi soalnya lain dengan Ned Land. Setiap orang layak mendapat perhatian. Tak pernahkah Kapten memikirkan, bahwa rasa cinta kebebasan, rasa benci pada perbudakan, bisa menimbulkan nafsu balas dendam dalam diri seseorang yang berwatak seperti Ned Land" Dia bisa memikirkan, kemudian mencoba -"
311 Aku berhenti bicara, ketika melihat Kapten Nemo berdiri.
"Aku tak peduli, apa yang dipikirkan dan dicoba oleh Ned Land! Bukan aku yang mencarinya! Bukan untuk kesenanganku, dia kutahan di kapal! Anda, Profesor Aronnax, adalah seseorang yang memahami segala-galanya. Juga balasan yang tak diberikan. Kuharap kedatangan Anda untuk membicarakan persoalan ini, merupakan yang terakhir kalinya. Tak ada lagi yang mau kukatakan. Lain kali, aku tak sudi
mendengar lagi!" Aku pergi meninggalkannya. Keadaan kami gawat. Hasil pembicaraan itu kukabarkan pada Ned dan Conseil.
"Sekarang kita tahu, tak ada yang bisa diharapkan dari orang itu. 'Nautilus' bergerak mendekati Pulau Long Island. Apa pun yang terjadi, kita akan berhasil melarikan diri."
Tapi keadaan alam memungkiri ramalannya itu. Langit kelihatan makin lama makin menyeramkan. Makin lama semakin jelas tanda-tanda akan terjadi angin ribut. Langit semakin memutih dan berkabut. Ombak semakin meninggi. Burung-burung hilang dari pemandangan, kecuali burung-burung badai.
Akhirnya badai melanda pada tanggal 18 Mei. Saat itu 'Nautilus' sedang mengambang di atas permukaan laut di depan pantai Long Island. Jarak yang memisahkan kami dari pelabuhan New York, cuma beberapa mil saja. Tapi Kapten Nemo tak memberikan perintah untuk menyelam ke bawah air. Ia seolah-olah hendak menantang pertarungan melawan alam !
Angin mula-mula datang dari arah tenggara. Kapten Nemo berdiri di geladak, dengan badan terikat supaya jangan ditarik ombak masuk ke laut. Aku ikut-ikut mengikatkan tubuh ke geladak. Rasa
312 kagumku terbagi dua: takjub memandang lautan yang menggelora, dan aku pun kagum menyaksikan manusia luar biasa yang berani menantangnya.
'Nautilus' oleng sekali, kadang-kadang hampir tegak lurus letaknya di sela ombak menggunung. Menjelang pukul lima hujan turun dengan deras. Tapi ombak dan angin masih terus mengamuk. Angin ribut bertiup dengan kecepatan mendekati seratus lima puluh mil sejam. Namun kapal kami membuktikan kebenaran ucapan seorang insinyur pandai, yang mengatakan bahwa kapal yang baik pembuatannya pasti mampu menahan amukan laut yang bagimanapun dahsyatnya.
Badai semakin menjadi-jadi pada malam hari. Suhu udara semakin menjadi dingin. Aku melihat sebuah kapal terombang-ambing di ujung penglihatan, nampaknya susah sekali melawan badai. Mungkin kapal itu sedang dalam perjalanan dari New York ke Liverpool, atau barangkali juga hendak menuju ke Le Havre. Tak lama kemudian, aku sudah tak bisa melihatnya lagi, karena hilang ditelan kegelapan badai.
Pukul sepuluh malam, langit merah seolah-olah terbakar karena kilat yang menyambar-nyambar. Tak tahan mataku menatap kesilauan cahaya. Tapi Kapten menyaksikan amukan itu, dengan pandangan seolah-olah iri. Telingaku hampir-hampir pekak karena bunyi ribut, yang ditimbulkan oleh campuran bunyi ombak berdeburan, angin menderu dan letusan petir. Tiba-tiba angin berubah, ber-tiap ke segala penjuru. Angin puting beliung yang semula datang dari timur, kembali lagi ke sana sesudah mengamuk ke utara, barat dan selatan.
Kapten Nemo seakan-akan bersikap menantang kematian yang pantas baginya, yaitu kematian di sambar petir. Kapal 'Nautilus' terlempar ke sana-sini. Taji baja yang terpasang di depan teracung ke
313 atas, dan menjadi penyalur petir. Kulihat percikan api yang memancar di ujungnya.
Aku tak tahan lagi menahan siksaan alam. Sambil merangkak, kudekati lubang tangga yang menuju ke bawah. Katup kubuka cepat-cepat, lalu turun menuju ruang duduk. Saat itu topan sedang mengamuk sehebat-hebatnya. Kami tak mungkin tetap berdiri, karena gerak kapal terlalu liar. Sekitar pukul dua belas, Kapten Nemo turun ke bawah. Kudengar tangki-tangki air mulai diisi pelan-pelan. Dengan lambat, 'Nautilus' menyelam ke bawah air. Lewat jendela kaca kulihat ikan-ikan besar ketakutan, berenang tak menentu seperti hantu dalam air. 'Nautilus' terus menyelam, makin lama semakin dalam. Kusangka jika kita sudah sampai di tempat sedalam lima belas meter, air akan tenang kembali. Tapi ternyata tidak, karena pergolakan yang terjadi pada permukaannya terlalu dahsyat. Baru ketika selaman sudah melebihi empat puluh lima meter, keadaan menjadi tenang. Takkan ada yang bisa menyangka bahwa permukaan air di atas sedang diamuk badai.
XX PENUNTUT BALAS KAPAL kami hanyut ke arah timur laut, sebagai akibat amukan badai. Dengannya lenyaplah segala harapan, untuk bisa melarikan diri ke pesisir New York atau St. Lawrence. Ned putus asa. Dia ikut-ikut mengurung diri, seperti Kapten Nemo.
Berhari-hari kami berlayar di tengah kabut,
yang sangat ditakuti para pelaut. Mula-mula kapal berlayar di atas permukaan, dan kemudian menyelam di bawah air. Dasar laut di situ kelihatan seperti medan pertempuran, di mana bergelimpangan bangkai kapal-kapal yang dikalahkan oleh lautan, ter-
314 bentur pada karang yang tak kelihatan. Tak sedikit pula yang karam di sini, karena menubruk kapal lain, walau telah dibunyikan sirene dan dinyalakan lampu-lampu terang !
Tanggal 15 Mei kami sampai di ujung selatan beting Newfoundland. Perairan di situ tak begitu dalam. Mulai dari posisi tersebut, Arus Teluk melebar dan melambat.
Tanggal 17 Mei kulihat ada kabel terhampar di dasar laut. Conseil mula-mula menyangka dia melihat naga laut yang besar, karena belum kuberi-tahu. Tapi dengan segera kuterangkan padanya, sambil menjelaskan cara memasang kabel itu. Yang pertama dibenamkan ke dasar laut pada tahun-tahun 1857 dan 1858. Namun setelah menyalurkan sekitar empat ratus telegram, kawatnya rusak. Tahun 1863 dilakukan pemasangan kabel kedua. Panjangnya dua ribu mil, sedang berat keseluruhannya empat ribu lima ratus ton. Tapi percobaan kedua ini juga menemui kegagalan.
Tanggal 25 Mei 'Nautilus' sampai ke tempat di mana kabel putus. Posisinya kurang lebih enam ratus lima puluh mil di depan pantai Irlandia. Waktu itu pukul setengah tiga siang, ketika para petugas di kapal yang memasang mengetahui bahwa hubungan dengan Benua Eropa terputus. Tukang-tukang listrik di kapal mengambil gagasan untuk memotong kabel terlebih dulu, sebelum mengangkatnya ke atas. Pukul sebelas malam mereka berhasil mengambil bagian yang rusak. Kabel dibetulkan, lalu dibenamkan kembali ke dasar laut. Tapi beberapa hari kemudian putus lagi; kali ini di bagian yang terlalu dalam, sehingga tak bisa diambil ke atas.
Kami semakin mengarah ke timur. Mungkinkah Kapten Nemo hendak mendarat di Pulau Inggris. Tidak! Aku heran, karena dia memutar haluan ke
315 arah selatan, menuju perairan Eropa kembali. Ned Land tak henti-hentinya bertanya, akan ke mana kita sekarang. Tapi aku tak mampu menjawabnya. Bagaimana mungkin" Kapten Nemo masih tetap tak mau menampakkan diri. Mungkinkah dia hendak menunjukkan garis pesisir Perancis padaku, sesudah memamerkan pantai Amerika pada Ned"
Tapi kapal berlayar terus ke selatan. Tanggal 30 Mei kami melewati ujung terselatan dari Inggris. Keesokan harinya 'Nautilus' melakukan gerakan berputar-putar. Ingin sekali kuketahui penyebabnya. Kelihatan seperti mencari suatu tempat yang sukar ditemukan. Tengah hari Kapten masuk ke ruang duduk. Dia sendiri yang menuliskan catatan mengenai pelayaran kapal. Ia tak berkata apa-apa, hanya wajahnya semakin kelihatan murung. Kenapa dia menjadi begitu sedih" Mungkinkah karena tahu, bahwa pesisir Benua Eropa sudah dekat" Apakah dia terkenang pada negeri yang ditinggalkan" Jika tidak, kenapa dia murung" Mungkinkah dia menyesal, atau merasa bersalah" Lama sekali pertanyaan-pertanyaan itu menyibukkan diriku. Aku mendapat firasat: tak lama lagi, suatu kejadian akan menyibakkan rahasia yang dipendam oleh Kapten Nemo.
Tanggal 1 Juni, kapal masih tetap melakukan gerakan sama. Sekarang aku merasa pasti, 'Nautilus' sedang mencari satu tempat tertentu dalam samudera. Seperti hari sebelumnya, untuk mengetahui posisi kami di laut. Saat itu laut tenang, langit pun cerah. Kira-kira delapan mil di sebelah timur, nampak sebuah kapal uap sedang berlayar. Di tiangnya tak kelihatan bendera berkibar, jadi tak dapat kuketahui kebangsaannya. Beberapa menit sebelum matahari melewati titik lintasannya yang tertinggi, Kapten Nemo meraih sekstan dan
316 melakukan pengamatan dengan saksama. Laut tak berombak sama sekali, sehingga memudahkan pekerjaannya.
Pada waktu aku juga berada di atas geladak. Kudengar Kapten menggumamkan kata-kata,
"Di sinilah tempatnya."
Ia berpaling, lalu turun ke bawah. Apakah dia juga melihat kapal, yang sementara itu mengubah arah dan berlayar menghampiri" Aku tak tahu. Aku kembali ke ruang duduk. Pelat-pelat menutup lubang tangga. Kudengar bunyi mendesis, ketika air dialirkan ke dalam tangki-tangki pemberat. 'Nautilus' mulai menyelam tegak lurus ke bawah
, karena baling-baling tidak bekerja. Beberapa menit kemudian gerakan membenam terhenti pada kedalaman melebihi tujuh ratus meter. 'Nautilus' mengendap di dasar laut. Lampu-lampu plafon dipadamkan. Katup jendela dibuka, dan kulihat air laut yang terang disinari lampu sorot kapal.
Kulayangkan pandangan ke sisi kiri. Tapi tak nampak apa-apa di situ, kecuali air tenang. Tapi di dasar laut sebelah kanan nampak sesuatu benda besar terhampar. Dengan segera rasa ingin tahuku timbul. Sepintas lalu, benda itu seolah-olah reruntuhan yang tertimbun kulit lokan putih, kelihatannya seperti diselimuti salju. Tapi sesudah kuperhatikan lebih saksama, kukenali bentuk sebuah kapal yang tak bertiang lagi. Pasti tenggelamnya sudah lama sekali.
Kapal apakah ini" Kenapa 'Nautilus' datang ke mari" Aku tak bisa menebaknya. Tiba-tiba kudengar suara Kapten Nemo berbicara dengan suara pelan padaku,
"Dulu kapal ini bernama Marseillais. Persenjataannya tujuh puluh empat pucuk meriam. Peluncurannya dilakukan pada tahun 1762. Tanggal 13 Agustur 1778, Marseillais bertempur melawan kapal
317 'Preston'. Tahun 1779, pada tanggal 4 Juli, kapal ini ikut dalam serangan merebut Granada, ikut dalam armada yang dipimpin oleh Laksamana Estaing. Tahun 1794, Republik Perancis mengubah namanya. Tanggal 16 April tahun yang sama, kapal ini ikut dalam mengawal iring-iringan kapal pengangkut jagung yang datang dari Amerika. Pada tanggal 11 dan 12 Prairial tahun kedua sesudah penggantian namanya, armada pengawal diserang kapal-kapal Inggris." Kapten Nemo mempergunakan penanggalan revolusioner Perancis, di mana Prairial merupakan bulan kesembilan, dan masanya dari tanggal 20 Mei sampai 18 Juni. Ia melanjutkan penuturannya. "Profesor, hari ini tanggal 13 Prairial, atau satu Juni 1868. Tepat pada posisi ini, dan tepat tujuh puluh empat tahun yang lampau, kapal ini tenggelam; tenggelam sesudah berjuang dengan gagah berani, sehingga ketiga tiang layarnya patah. Mereka memilih tenggelam bersama ke-356 awak kapal, daripada menyerah. Kapal terbenam ke bawah ombak, dengan bendera terpaku ke buritan, dan teriring seruan lantang, 'Hidup Republik'."
"Ah, 'Penuntut Balas'!" seruku.
"Ya Profesor, 'Penuntut Balas'! Nama yang cocok!" gumam Kapten Nemo. Ia berdiri sambil menyilangkan lengan.
XXI PEMBANTAIAN BESAR-BESARAN
CARA Kapten Nemo mengisahkan riwayat kapal yang pantang menyerah, dan gerak perasaannya ketika mengucapkan kata-kata terakhir, caranya menyebut nama 'Penuntut Balas', sangat
318 mengesan bagiku. Mataku terus menatap Kapten, yang berdiri dengan tangan menunjuk ke laut. Matanya bersinar-sinar, memperhatikan bangkai kapal perkasa yang terhampar di dasar laut. Mungkin aku takkan pernah tahu siapa dia, dan dari mana asalnya. Mungkin aku tak akan mengetahui ke mana tujuannya. Tapi sekarang aku tahu, apa yang menggerakkan dirinya. Bukan ketidaksenangan pada umat manusia yang mendorongnya untuk mengurung diri dalam 'Nautilus' bersama anak buahnya. Bukan! Penyebabnya adalah suatu kebencian menyala-nyala, kebencian tertentu yang takkan mungkin berkurang. Tapi apakah kebencian ini masih menuntut balasan" Masa depan yang akan menentukan jawabannya.
'Nautilus' mengambang lagi pelan-pelan ke permukaan laut. Bentuk kapal 'Penuntut Balas' makin lama semakin hilang dari penglihatan kami. Saat itu terdengar bunyi dentuman samar. Aku memandang Kapten. Ia tak bergerak sama sekali.
"Kapten," sapaku.
Ia tak menjawab, karena itu kutinggalkan sendiri. Aku naik ke atas geladak. Ned dan Conseil sudah berdiri di sana.
"Bunyi apakah itu tadi"" tanyaku.
"Tembakan meriam," jawab Ned singkat.
Aku memandang ke arah kapal yang sudah kulihat sebelumnya. Jaraknya dari kami semakin berkurang, tinggal kira-kira enam mil. Nampak bahwa kapal itu mempercepat jalannya.
"Kapal apakah itu, Ned"" tanyaku.
"Kalau melihat bentuk dan ukurannya, kurasa itu kapal perang," jawab juru tombak. "Mudah mudahan tembakannya sampai ke mari, dan jika perlu biar tenggelam kapal 'Nautilus' keparat ini."
"Ned," jawab Conseil, "apalah yang dapat diperbuat kapal itu terhadap 'Nautilus'" Bisakah dia
319 menyerang di bawah permukaa
n air" Dapatkah menembaki kita di dasar laut""
"Bisakah Anda melihat, dari negara manakah asal kapal itu"" tanyaku pada Ned Land.
Juru tombak menajamkan mata. Beberapa saat diperhatikannya kapal yang semakin mendekat.
"Tidak bisa, Profesor," katanya pada akhirnya. "Aku tak bisa mengatakan dari mana asalnya, karena sama sekali tak mengibarkan bendera. Tapi dari panji-panji yang berkibar di ujung tiang besar, aku berani memastikan bahwa yang datang itu kapal perang."
Seperempat jam lamanya kami bertiga memperhatikan kapal, yang melaju ke tempat 'Nautilus' sedang terapung-apung. Aku tak yakin mereka sudah melihat kami, apalagi mengetahui bahwa 'Nautilus' sebuah kapal selam. Tak lama kemudian Ned Land sudah berhasil mengenali jenisnya, yaitu sebuah kapal pendobrak bergeladak dua tingkat dan berlapis baja. Asap hitam mengepul dari kedua cerobongnya. Kami tak melihat bendera dikibarkan. Jaraknya masih terlampau jauh, untuk mengenali warna panji-panji yang berkibar seperti pita tipis di ujung tiang. Kapal itu semakin mendekat. Jika Kapten Nemo membiarkannya sampai dekat sekali, maka ada harapan bagi kami untuk diselamatkan.
"Jika kapal itu lewat dengan jarak satu mil saja, aku akan terjun ke laut. Kunasihatkan pada Profesor, agar juga melakukannya."
Sarannya itu tak kujawab, karena masih asyik memperhatikan. Tak peduli kapal Inggris, Perancis, Amerika atau Rusia: kami bertiga pasti akan ditolong, asal bisa mencapainya. Tak lama kemudian kelihatan asap mengepul dari bagian depan kapal. Beberapa detik sesudah itu, air laut di buritan 'Nautilus' memercik ke atas, karena ada benda
320 berat yang jatuh ke dalamnya; pada saat bersamaan, terdengar dentuman nyaring.
"Mereka menembak kita!" seruku.
"Rupanya mereka sudah dapat melihat taji yang ada di depan."
"Tapi mestinya mereka juga sudah dapat melihat, bahwa di sini ada orang! ' kataku bingung.
"Mungkin justru karena itu mereka menembak," balas Ned Land.
Dengan seketika persoalannya menjadi jelas bagiku. Mestinya mereka sekarang sudah mengetahui wujud sebenarnya dari 'Nautilus'. Sudah pasti Commander Farragut dari kapal fregat 'Abraham Lincoln' sudah tahu, bahwa yang dikira ikan paus bertanduk sebenarnya sebuah kapal selam.
Ya, begitulah keterangan yang masuk akal, kenapa kami diserang dengan tembakan. Mestinya saat ini seluruh permukaan laut sedang diperiksa oleh kapal-kapal perang, mencari alat pemusnah ini. Memang menyeramkan, jika Kapten Nemo mempergunakan 'Nautilus' sebagai alat pembalas dendam. Dan bukan kemustahilan! Ketika kami dikurung dalam kamar masing-masing, pada malam hari di tengah-tengah Samudera Hindia, bukankah saat itu dia menyerang kapal lain" Barangkali awak kapal yang dikuburkan di dasar laut, merupakan korban benturan yang diakibatkan oleh 'Nautilus'"
Ya, ulangku dalam hati. Mestinya demikian. Sebagian dari tabir rahasia yang menyelimuti diri Kapten Nemo sudah tersibak. Jika belum diketahui siapa dia, namun setidak-tidaknya berbagai negara yang bergabung untuk melawannya sudah bukan mengejar makhluk bayangan lagi, melainkan memburu seseorang yang sangat membenci mereka. Semua peristiwa yang kami alami selama di kapal, melintas lagi dalam ingatanku.
321 Kami bertiga tidak bisa mengharapkan adanya sambutan ramah di atas kapal yang semakin mendekat. Di sana hanya ada lawan yang kenal belas kasihan.
Tembakan-tembakan berdentuman, peluru-peluru berhamburan dalam air sekitar kami. Tapi tak satu yang mengenai kapal. Jarak kapal perang tinggal tiga mil. Walau terjadi penembakan seru, Kapten Nemo tetap tak muncul ke geladak. Kami berpikir, jika ada satu saja peluru yang mengenai 'Nautilus', akibatnya akan parah bagi kami. Juru tombak mengambil keputusan.
"Profesor, kita harus membebaskan diri dari kerumitan ini," ujarnya. "Kita berikan saja isyarat pada mereka. Mudah-mudahan saja mereka akan tahu, bahwa kita orang baik-baik."
Ned Land mengeluarkan sapu tangan. Maksudnya hendak dilambaikan sebagai tanda isyarat. Tapi baru saja potongan kain itu muncul, dia terpukul oleh tangan kuat. Walau juru tombak bertenaga besar, namun dia terpelanting juga ke geladak.
"Tolol!" benta k Kapten. "Kau rupanya ingin ditusuk taji 'Nautilus', sebelum senjata itu kuhu jamkan ke kapal lawanku""
Sangat seram rasanya melihat Kapten Nemo marah. Mukanya pucat pasi, sedang di dahi kelihatan urat nadi berdenyut-denyut. Matanya dipicingkan, sehingga tinggal secelah. Ia menggoncang-goncang bahu Ned. Sudah itu ia memalingkan tubuh, memandang kapal perang yang masih terus menembaki. Kapten Nemo berseru dengan suara nyaring,
"Hai kapal negara keparat, rupanya kau kenal siapa aku! Aku tak memerlukan benderamu, untuk mengetahui siapa kamu! Lihatlah, akan kutunjukkan benderaku!"
Kapten Nemo membentangkan bendera hitam di bagian depan geladak. Bendera itu serupa dengan
322 yang ditaruhkannya di Kutub Selatan. Saat itu suatu tembakan mengenai kulit pelapis 'Nautilus'; kenanya miring, sehingga tak menembus. Sesudah terpantul dekat kaki Kapten, peluru jatuh ke laut. Kapten Nemo mengangkat bahu. Ia memerintahkan dengan singkat, "Turun ke bawah, semuanya turun!"
"Kapten," kataku memberanikan diri, "apakah Anda hendak menyerang kapal itu""
"Aku akan menenggelamkannya!"
"Hal itu tak boleh Anda lakukan!"
"Aku akan melakukannya," balas Kapten dengan nada dingin. "Kunasihatkan pada Anda, janganlah mencoba mengutuk tindakanku. Nasib sudah menghendaki, bahwa Anda melihat sesuatu yang sebenarnya tak boleh Anda saksikan. Serangan sudah dimulai. Turunlah sekarang!"
"Kapal dari mana itu""
"Anda tak tahu" Kalau begitu, bagus! Setidak-tidaknya kebangsaan mereka tetap merupakan rahasia bagi Anda. Turun!"
Kami terpaksa menuruti perintahnya. Kurang lebih lima belas awak kapal berdiri sekeliling komandan mereka. Semua memandang kapal perang dengan sinar mata benci. Terasa bahwa semuanya bernafsu, ingin membalas dendam. Tepat pada saat aku turun, sebuah peluru meriam mengenai 'tubuh 'Nautilus'. Masih sempat terdengar ucapan Kapten Nemo,
"Tembaklah, kapal gila! Hamburkan pelurumu habis-habisan! Semua akan sia-sia. Kau pasti tak bisa mengelakkan diri dari taji 'Nautilus'. Tapi bukan di sini tempatmu binasa nanti. Aku tak mau bangkaimu bercampur dengan sisa kapal 'Penuntut Balas'!"
Aku sampai di kamar. Kapten tinggal di atas geladak, disertai oleh ajudannya. Baling-baling mulai
323 berputar. 'Nautilus' meluncur maju. Tak lama kemudian, peluru lawan sudah tak sampai lagi. Tapi mereka mengejar terus, sedang Kapten Nemo memerintahkan agar kapal dijalankan dengan kecepatan sebanding.
Menjelang pukul empat sore, aku tak bisa menahan sabar lagi. Aku pergi ke tangga tengah. Lubang di atas terbuka. Dengan hati-hati kupanjat tangga sampai ke geladak. Kapten masih ada di atas. Dia berjalan mondar-mandir dengan gelisah. Matanya terus ditatapkan ke arah kapal, yang berlayar lima sampai enam mil di bawah angin. Kapten Nemo menarik lawannya ke arah timur, dibiarkan mengejar terus. Tapi dia tak melakukan serangan balasan. Mungkin dia masih ragu-ragu! Aku membuka mulut, maksudku menenangkan kemarahan Kapten. Tapi baru saja aku mau berkata, Kapten Nemo sudah menyuruh diam.
"Akulah hukum, dan akulah hakim mereka! Aku yang tertindas, dan mereka itulah yang menindas. Karena mereka yang menyebabkan aku kini tak punya negara, dan sanak keluarga. Kulihat betapa semuanya musnah! Di sana itulah semua yang kubenci. Jangan berkata apa-apa lagi!"
Kulayangkan pandangan terakhir ke arah kapal perang, yang berlayar semakin laju. Aku turun ke bawah lagi, mendatangi Ned dan Conseil.
"Kita lari dari sini!" kataku.
"Bagus!" ujar Ned menyetujui. "Kapal dari manakah itu""
"Aku tak tahu. Tapi bagaimana juga, sebelum lama tiba akan sudah tenggelam. Pokoknya lebih baik kita mati bersama mereka, daripada menjadi sekutu dalam tindakan balas dendam, yang tak kita ketahui layak atau tidak."
"Begitu juga pendapatku," sambut Ned Land. "Kita tunggu saja sampai nanti malam."
324 Ketika malam tiba, keadaan dalam kapal sunyi sepi. Dari jarum pedoman kuketahui bahwa 'Nautilus' belum mengubah arah haluan. Kapal berlayar di permukaan, geraknya agak oleng. Kami bertiga mengambil keputusan untuk melarikan diri, apabila kapal yang mengejar sudah cukup dekat untuk melihat atau mendengar kami. Kalau kami
sudah berada di atasnya, kami akan menghindarkan kapal itu dari benturan 'Nautilus'. Atau setidak-tidaknya kami akan berusaha melakukannya. Beberapa kali kukira 'Nautilus' siap hendak menyerang.Tapi ternyata Kapten Nemo hanya main kucing-kucingan saja dengan lawannya. Dibiarkan mendekat, sudah itu ditinggalkan lagi.
Malam semakin larut, tanpa kejadian yang menentukan. Kami terus menanti-nanti kesempatan baik untuk lari. Kami tak banyak bicara. Ned Land sudah tak sabar lagi. Dia berniat menceburkan diri ke laut, tapi kupaksa agar menunggu dulu. Akan lebih gampang melarikan diri, jika 'Nautilus' mulai menyerang nanti.
Pukul tiga pagi aku sudah tak mampu menahan kegelisahan. Aku naik ke atas geladak. Kapten Nemo masih tetap ada di sana. Ia berdiri di depan, dekat bendera yang berkibar di atas kepalanya. Saat itu bulan yang hampir purnama, sudah melampaui titik tertinggi di langit. Suasana malam sangat tenang, berlawanan dengan kekerasan yang sedang menanti saat ledakan. Aku menggigil seram.
Kapal yang mengejar tinggal dua mil lagi di belakang kami. Semakin lama semakin mendekati cahaya pendar, yang menunjukkan posisi 'Nautilus'. Aku dapat melihat lampu-lampu merah dan hijau di kapal itu, serta lampu putih yang tergantung pada tiang haluan yang besar. Tubuhnya bergetar, menandakan bahwa ketel-ketel uap
325 bekerja sekuat tenaga. Api memercik dari cerobong, bersinar bagaikan bintang.
Aku tetap di atas sampai pukul enam pagi. Selama itu Kapten Nemo tak tahu, bahwa aku ada di atas. Kapal lawan berhenti pada jarak satu se-tengah mil dari kami. Begitu fajar menyingsing, tembakan-tembakan dimulai lagi. Sebentar lagi 'Nautilus' pasti akan membalas serangan. Saat itulah yang kami tunggu-tunggu, untuk melarikan diri dari kapal. Sebentar lagi kami akan meninggalkan Kapten Nemo untuk selama-lamanya. Aku melangkahkan kaki menuju lubang tangga, untuk memberitahu kedua temanku. Tapi aku tak jadi turun, karena pada saat itu ajudan muncul ke atas, disertai beberapa anak buah. Kapten tak melihat kedatangan mereka. Mungkin pula dia tak mau melihat mereka. Awak kapal yang datang langsung bekerja, rupanya melakukan persiapan serangan. Pagar besi sekeliling geladak diturunkan. Kotak kemudi dan kotak lampu sorot didorong ke bawah, sehingga letaknya rata dengan lantai geladak. Kapal kini merupakan serutu bulat panjang, sehingga dapat bergerak lincah.
Aku kembali ke ruang duduk. 'Nautilus' masih tetap terapung di permukaan laut. Kecepatannya berkurang. Aku tahu, Kapten sengaja melakukannya, agar musuh mendekat. Bunyi tembakan semakin jelas kedengaran, disusul oleh desisan peluru yang jatuh ke air.
"Sekarang tiba waktunya bagi kita," ujarku pada Ned dan Conseil. "Marilah berjabatan tangan. Semoga Tuhan melindungi kita!"
Ned Land bersikap tegas. Conseil tetap tenang. Tapi aku gelisah bukan kepalang, tak tahu bagaimana caranya menahan perasaan. Kami bertiga masuk ke perpustakaan. Tapi ketika pintu yang menuju ke lubang tangga kubuka, terdengar bunyi
326 katup atas tertutup dengan keras. Juru tombak bergegas menuju tangga, tapi sempat kutahan. Bunyi mendesis yang sudah begitu sering kami dengar, memberitahu bahwa air mengalir ke dalam tangki-tangki. Beberapa saat lagi 'Nautilus' akan sudah berada beberapa meter di bawah air.
Aku tahu apa yang hendak dilakukan oleh Kapten Nemo. Kami sudah terlambat untuk bertindak. 'Nautilus' tidak akan menyerang di atas air, karena lapisan baja kapal lawan di situ tak mungkin ditembus taji. Karena itu Kapten bermaksud untuk menusuk di bagian bawahnya, yang tak terlindung lagi.
Sekali lagi kami terkurung, terpaksa menjadi saksi kejadian seram yang akan berlangsung sebentar lagi. Tak ada waktu lagi untuk merenungkan situasi. Kami masuk ke kamarku, lalu saling berpandangan sambil membisu. Benakku seakan-akan lumpuh, tak mampu berpikir. Aku menunggu sambil mendengar. Seluruh kesadaranku hanya mengenal satu hal saja, yaitu mendengar!
'Nautilus' mempercepat jalannya, siap untuk menggempur. Seluruh badan kapal bergetar. Tiba-tiba aku menjerit. Aku merasakan benturan, yang tak begitu keras. Kurasakan betapa taji baja menembus
lambung kapal lawan. Kudengar bunyi kemertak dan menggeresek. Karena kelajuannya, 'Nautilus' menembus badan kapal, seperti jarum yang menembus kain layar !
Aku tak kuat lagi menahan diri; seperti orang gila, aku berlari ke luar kamar, menuju ruang duduk. Kapten Nemo ada di situ. Kelihatannya suram dan tak kenal ampun. Pandangnya menatap jendela sebelah kiri. Di luar nampak bayangan gelap, rupanya tubuh kapal lawan yang tenggelam. Sepuluh meter dari tempatku berdiri, kelihatan lubang menganga di lambung lawan. Air laut membanjir
327 masuk dengan suara menderu. Anjung kemudi dipenuhi bayangan-bayangan gelap, yang ribut lari kian ke mari.
Air semakin naik. Awak kapal yang malang berdesak-desakan naik tangga tali, memeluk tiang-tiang dengan erat. Aku menjadi saksi, betapa mereka kebingungan dikejar air laut yang membanjir. Aku tak sanggup melepaskan mata dan pemandangan yang mengerikan itu.
Tiba-tiba terjadi ledakan keras. Udara di bawah geladak, yang tertekan oleh air yang semakin meninggi, akhirnya memecah lantai di atasnya. Kapal perang semakin cepat karam. Kemudian bayangan gelap lenyap dari penglihatan. Kapal perang terbenam ke bawah ombak, menyeret sekian banyak manusia yang menjadi korban.
Aku berpaling, memandang Kapten Nemo. Pembalas dendam, dewa kebencian itu masih tetap memandang. Ketika semua sudah berlalu, ia berpaling dan masuk ke biliknya. Pintu tak ditutup olehnya, sehingga aku bisa melihat ke dalam. Di dinding sebelah ujung, di bawah gambar beberapa orang pahlawan, kulihat gambar seorang wanita muda beserta dua orang anak kecil. Kapten Nemo memandang gambar itu beberapa saat lamanya. Kemudian dia berlutut, sambil menangis tersedu-sedu.
XXII KATA-KATA KAPTEN NEMO YANG TERAKHIR
PELAT-PELAT katup ditutup, melenyapkan pemandangan ngeri. Tapi lampu-lampu dalam ruang duduk masih belum dinyalakan. Keadaan dalam kapal sunyi dan gelap. Kami meninggalkan
328 gelanggang pertarungan maut, dengan kecepatan tinggi. Ke mana lagi tujuan kali ini" Ke utara, atau ke selatan"
Aku kembali ke kamarku, di mana Ned dan Conseil menunggu sambil membisu. Dalam diriku timbul perasaan ngeri yang luar biasa terhadap Kapten Nemo. Apa pun yang dideritanya sebagai akibat mereka, tapi ia tak memiliki hak untuk melaksanakan hukuman yang sebegitu kejam. Dan dia membuat aku menjadi saksi pembalasan dendamnya, walau secara paksaan.
Lampu-lampu menyala kembali pada pukul sebelas. Aku pergi ke ruang duduk. Tak ada orang di situ. Kuperhatikan berbagai alat. 'Nautilus' berlayar menuju ke arah utara, dan dengan kecepatan dua puluh lima mil sejam. Kapal kadang-kadang bergerak di permukaan laut, kadang-kadang pula menyelam sampai sepuluh meter di bawahnya. Menjelang malam, kami sudah jauh sekali dari tempat malapetaka.
Aku masuk ke kamar, tapi tak bisa tidur. Pemandangan seram masih terus membayang. Mulai saat itu, siapa yang bisa mengatakan ke mana kami akan di bawa oleh 'Nautilus'" Kami masih tetap berlayar dengan laju. Kami masih tetap berada di tengah-tengah kabut daerah utara. Aku benar-benar tak tahu, ke mana arah haluan. Aku tak bisa lagi melihat waktu, karena semua jam di kapal dihentikan. Menurut dugaanku, sudah lima belas sampai dua puluh hari lamanya kapal membawa kami mengembara tak tentu arah. Entah masih berapa lama lagi kami terkungkung di dalamnya. 'Nautilus' boleh dikatakan terus-menerus bergerak di bawah air, hanya sekali-sekali saja muncul untuk mengambil udara segar. Pada saat-saat itu, katup lubang membuka dan menutup kembali secara mekanis. Tanda-tanda posisi tak dibubuhkan lagi di atas peta.
329 Karenanya aku tak tahu, di mana kami berada.
Ned Land pun sudah tak pernah muncul lagi. Kesabarannya sudah habis, begitu pula dengan tenaganya. Conseil tak berhasil mengajaknya bicara. Pelayanku itu khawatir, kalau-kalau pada suatu hari juru tombak mata gelap, dan membunuh diri.
Pada suatu hari, aku tertidur larut malam. Tiba-tiba aku terbangun, karena mendengar sesuatu dekatku. Ternyata Ned Land yang membungkuk di atas pembaringanku. Dia berbisik,
"Kita akan melarikan diri."
Seketika itu juga aku terduduk.
"Kapan"" tanyaku.
"Besok mal am. Kelihatannya, di kapal ini sudah tak ada lagi pengawasan. Semua kelihatan seperti terpukau. Profesor sudah siap""
"Ya. Tapi di mana kita sekarang""
"Tak jauh dari daratan. Pagi ini aku melakukan pengukuran dalam kabut. Dua puluh mil di sebelah timur, terdapat daratan."
"Negeri apa itu""
"Aku tak tahu. Tapi kita akan mencari perlindungan di sana, biar negeri apa juga yang kita temui."
"Baiklah, Ned. Kita akan mencoba lari, walau mungkin akan binasa ditelan ombak."
"Memang laut sedang mengganas. Tapi aku tak takut mengarungi jarak dua puluh mil, dengan perahu kapal 'Nautilus' yang enteng. Tanpa diketahui awak kapal, aku berhasil mencuri makanan dan air beberapa botol."
"Aku akan ikut dengan Anda."
"Tapi jika sampai ketahuan, aku akan membela diri. Aku akan memaksa mereka untuk membunuh diriku," demikian kata Ned penuh tekat.
"Kita akan mati bersama-sama, Ned."
330 Aku pun sudah membulatkan tekat. Juru tombak meninggalkan aku seorang diri. Aku keluar, naik ke atas geladak. Ombak yang memukul, memaksa aku mencari pegangan. Langit kelihatannya menyeramkan. Tapi jika di balik awan gelap benar ada daratan, maka kami harus mencoba lari.
Aku kembali ke ruang duduk. Rasa khawatir dan pengharapan bercampur aduk dalam diriku. Khawatir dan sekaligus berharap akan berjumpa dengan Kapten Nemo di situ. Apa yang bisa kukatakan padanya" Dapatkah aku menyembunyikan kengerianku padanya" Tidak! Jadi lebih baik jika aku tak bertemu muka lagi dengannya. Lebih baik kulupakan saja dia. Walau begitu -
Lama sekali rasanya hari terakhir di 'Nautilus'. Aku terus menyendiri. Ned dan Conseil juga membisu, karena takut kalau perasaan mereka akan ketahuan. Aku makan malam, tapi sama sekali tak terasa lapar. Kupaksakan diri untuk makan, agar jangan lemah nanti. Selesai makan, Ned Land masuk ke kamarku.
"Kita tak akan bertemu lagi, sampai saat berangkat. Kita akan memanfaatkan kegelapan malam, sebelum bulan muncul di langit. Datanglah ke perahu. Kami berdua menunggu di situ."
Dia pergi lagi, tanpa memberi kesempatan padaku untuk menjawab. Aku masuk ke ruang duduk, untuk mengetahui arah haluan 'Nautilus'. Ternyata kami mengarah ke utara timur laut, dengan kecepatan luar biasa. Kami bergerak di tempat sedalam lima belas meter dari permukaan. Untuk terakhir kalinya kulayangkan pandangan berkeliling. Kuperhatikan segalanya satu per satu. Sejam lamanya aku di situ. Sudah itu aku kembali ke kamar.
Berkeliling Dunia Di Bawah Laut Karya Jules Verne di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kukenakan pakaian tebal. Catatan-catatan kukumpulkan. Jantungku berdebar keras. Tak
331 mampu aku mengendalikannya. Pasti mata Kapten Nemo yang tajam akan segera melihat kegelisahanku saat itu.
Apakah yang sedang dilakukan olehnya saat ini" Kupasang telinga di pintu kamarnya. Terdengar bunyi langkah mondar-mandir. Jadi Kapten ada di dalam. Rupanya dia belum tidur. Setiap saat kusangka dia akan muncul, menanyakan kenapa aku ingin melarikan diri. Aku terus berada dalam keadaan siaga. Kucoba menenangkan diri, berbaring di tempat tidur. Tapi percuma. Semua pengalamanku selama berada di kapal 'Nautilus', seakan berbaris dalam ingatanku. Tanganku menjepit kepala, yang serasa akan meledak. Masih berapa lama lagi aku harus menunggu, dalam keadaan tak menentu ini"
Saat itu tiba-tiba terdengar bunyi organ memainkan lagu sendu, seperti suara ratapan jiwa yang ingin membebaskan diri dari kungkungan duniawi. Seluruh syarafku ikut mendengar. Aku hampir-hampir tak bernafas lagi. Seluruh perasaanku terpikat oleh bunyi organ.
Tiba-tiba terlintas pikiran, yang menyebabkan aku kaget. Kapten Nemo bermain organ. Hal itu berarti dia sudah meninggalkan biliknya, dan berada di ruang duduk. Aku harus lewat di situ nanti. Aku akan masih berjumpa dengan dia, untuk terakhir kalinya. Aku akan kelihatan olehnya. Barangkali dia akan berbicara padaku.
Tapi aku merasa bahwa sudah saatnya untuk berangkat meninggalkan kamar, menggabungkan diri dengan Ned dan Conseil. Aku tak boleh ragu, jika apabila Kapten Nemo menghadang. Dengan hati-hati kubuka pintu kamar.
Aku menyelinap ke luar. Tiap kali aku berhenti sebentar, untuk meredakan debaran jantung. Aku sampai ke depan pintu ruang duduk, lalu kubuka
332 pelan-pelan. Di dalam gelap gulita. Bunyi organ kedengaran pelan. Kapten Nemo ada di dalam. Pasti dia tak melihat aku. Kalau ruangan terang benderang pun, ia takkan melihat aku, karena begitu asyik bermain musik.
Kulangkahkan kaki, berjingkat-jingkat di atas permadani. Hampir lima menit waktu yang kuperlukan untuk mencapai pintu ruang perpustakaan.
Baru saja kubuka pintu itu, tiba-tiba terdengar suara keluhan Kapten Nemo. Aku tertegun. Aku tahu bahwa dia bangkit dari duduknya. Lampu kamar perpustakaan yang menyala agak menerangi ruang duduk, menyebabkan aku dapat melihat Kapten. Dia datang menghampiri tanpa berkata, dengan lengan tersilang di depan dada. Ia meluncur seperti hantu, lewat dekat padaku. Kudengar suaranya menggumamkan kata-kata,
"Ya Tuhan! Sudah, cukup!"
Suara penyesalankah itu, yang keluar dari hati nuraninya"
Aku bergegas melewati perpustakaan, lalu memanjat tangga tengah menuju ke lubang yang menghubungkan kapal dengan perahu di atas. Aku merayap lewat lubang itu, dan masuk ke perahu. Ned dan Conseil sudah menunggu di situ.
"Marilah! Kita lari sekarang!" kataku cemas.
"Sebentar lagi!" jawab juru tombak.
Mula-mula dia menutup lubang pada kulit kapal. Sekerup-sekerup dieratkannya dengan kunci palsu. Sudah itu ditutupnya pula lubang pada lunas perahu. Ned mulai membuka sekerup-sekerup yang masih menghubungkan kami pada kapal selam.
Tiba-tiba terdengar suara-suara orang berbicara dengan nyaring di dalam. Apakah yang terjadi" Barangkali mereka sudah tahu bahwa kami mela-
333 rikan diri. Terasa Ned menyelipkan sebilah pisau ke tanganku.
"Ya," gumamku, "kita tahu bagaimana mati secara jantan!"
Ned Land berhenti bekerja. Kami mendengar satu kata diucapkan berulang-ulang. Satu kata menyeramkan, yang menyebabkan kami mengetahui penyebab kegelisahan yang terjadi di bawah kami. Bukan kami rupanya yang diributkan oleh awak kapal.
"Pusaran air! Pusaran air!" kataku.
Tak ada kata yang lebih seram kedengarannya bagi kami pada saat itu! Rupanya kapal berada di perairan berbahaya, di depan pantai Norwegia. Apakah kapal 'Nautilus' terseret masuk ke dalam pusaran air, pada saat kami hendak melarikan diri dengan perahu. Kami mengetahui bahwa pada saat pasang naik, air yang terbendung antara pulau-pulau Ferroe dan Loffoden mengalir dengan keras, membentuk pusaran air raksasa yang membinasakan setiap kapal yang terjebak dalamnya. Dari segala penjuru datang ombak bergulung-gulung, membentuk kisaran raksasa yang menarik setiap benda yang berada dua belas mil di sekitarnya. Dan 'Nautilus' bergerak ke arah kisaran itu - entah disengaja atau tidak oleh nakhodanya, aku tak tahu.
Air laut berputar deras, lingkarannya makin lama semakin mengecil. 'Nautilus' ikut terseret ke tengah, dengan kecepatan luar biasa. Kepalaku mulai pusing karena putaran yang tak henti-hentinya.
Tubuh kapal berderak-derik. Deru air berputar, melanda batu-batu yang terdapat di dasar laut, pada mana benda-benda yang paling keras pun pasti hancur terbanting!
Keadaan kami amat gawat! Kapal tergoncang-
334 goncang. 'Nautilus' berjuang mati-matian, mempertahankan diri seperti makhluk hidup.
"Kita harus bertahan terus," ujar Ned. "Jaga jangan sampai sekerup-sekerup terlepas. Mungkin kita masih bisa selamat, jika -"
Ia tak sempat menyelesaikan kalimatnya. Terdengar bunyi geretak keras. Sekerup-sekerup terlepas. Perahu terenggut dari tempatnya di geladak, dan terlempar ke tengah-tengah pusaran.
Kepalaku terantuk pada sepotong besi. Aku pingsan.
XXIII PENUTUP DENGANNYA, pelayaran kami di bawah laut sampai pada akhirnya. Aku tak tahu apa yang terjadi selanjutnya pada malam itu. Aku tak tahu, bagaimana perahu sampai bisa membebaskan diri dari cengkeraman pusaran air. Tak kuketahui, betapa kami bertiga bisa keluar dari neraka itu.
Ketika aku siuman kembali, aku sudah terbaring dalam pondok seorang nelayan di Pulau Loffoden. Kedua temanku berada dalam keadaan sentosa. Kami berpelukan dengan penuh rasa haru.
Saat itu kami belum bisa memikirkan hendak kembali ke Perancis, karena hubungan antara wilayah utara Norwegia dengan daerah selatan jarang sekali. Karenanya aku te
rpaksa menunggu kapal, yang berlayar sebulan sekali dari Tanjung Utara.
Selama menunggu, aku sibuk menyusun catatan pelayaran kami. Semuanya kutuliskan, tanpa mengurangi satu patah kata pun, dan tanpa melebih-lebihkan.
Akan percayakah orang pada kisah pengalamanku ini. Aku tak tahu. Dan aku juga tak peduli. Pokoknya aku tahu, bahwa aku sudah mengelilingi
335 bumi lewat bawah air, dalam waktu tak sampai sepuluh bulan!
Apakah yang terjadi dengan 'Nautilus'" Berhasilkah kapal itu menahan tekanan yang diakibatkan oleh putaran air raksasa" Masih hidupkah Kapten Nemo" Mungkinkah pada suatu hari aku akan mengetahui nama sebenarnya" Apakah dari ke-bangsaan kapal yang hilang, aku akan mengetahui bangsa apa dia itu"
Aku sangat mengharapkannya. Aku juga mengharapkan, semoga kapalnya yang perkasa berhasil mengalahkan samudera di tempat yang paling menyeramkan itu. Aku berdoa, semoga 'Nautilus' berhasil unggul, di mana sekian banyak kapal lain sudah mengalami kebinasaan!
Jika doaku terkabul, jika Kapten Nemo masih terus menjadi penghuni samudera luas yang menjadi tanah airnya yang baru, maka kudoakan selanjutnya semoga kebencian berhasil lenyap dari hatinya. Semoga perenungan menghadapi sekian banyak keajaiban di bawah air, akan berhasil memadamkan api nafsu membalas dendam, yang membakar dalam dirinya. Semoga wujudnya selaku algojo menghilang, digantikan oleh tokoh penyelidik samudera yang damai.
TAMAT Djvu: BBSC Edit & Convert: inzomnia
http://inzomnia.wapka.mobi
tamat Ikat Pinggang Kemala 8 Pendekar Perisai Naga 2 Selendang Mayat Medali Wasiat 16
272 menuju ke ruang duduk yang diterangi lampu plafon. Meja kursi di dalamnya berjatuhan. Untungnya jendela sisi kokoh. Kapal kami terbari
ng miring ke sisi kanan, tanpa bergerak lagi. Kudengar bunyi langkah-langkah disertai suara ribut. Tapi Kapten Nemo tidak kelihatan. Sewaktu aku hendak meninggalkan ruang duduk lagi, Ned Land dan Conseil masuk ke dalam.
"Ada apa"" tanyaku dengan segera.
"Saya malah ingin menanyakannya pada Tuan," balas Conseil.
"Persetan!" bentak Ned, "aku tahu apa yang terjadi! Kapal ini kandas. Dan melihat letak miringnya, kali ini takkan berhasil membebaskan diri lagi seperti yang dilakukan waktu kita di Selat Torres!"
"Tapi apakah setidak-tidaknya kita muncul ke permukaan air""
"Kami tak tahu," kata Conseil.
"Mudah saja mengetahuinya," jawabku, sambil menghampiri manometer. Aku terkejut, ketika melihat bahwa 'Nautilus' berada di tempat sedalam lebih dari tiga ratus meter di bawah laut. "Apakah artinya ini"" tanyaku keras.
"Kita harus menanyakannya pada Kapten Nemo," usul Conseil.
"Tapi di mana dia dapat kita temukan"" tanya Ned.
"Ikut aku," kataku pada keduanya.
Kami keluar dari ruang duduk. Dalam perpustakaan tak ada orang sama sekali, begitu juga halnya pada waktu kami mendatangi tangga tengah. Kukira mestinya Kapten Nemo berada di kotak kemudi. Jadi sebaiknya kami menunggu saja. Karena itu kami kembali ke ruang duduk. Dua puluh menit kami menunggu di situ, sambil menajamkan telinga untuk menangkap setiap bunyi yang terdengar.
273 Akhirnya Kapten Nemo masuk juga. Ia tak melihat kami. Wajahnya yang biasa tenang, kali ini agak gelisah. Sambil membisu diperhatikannya alat pedoman, sudah itu dipindahkannya perhatian ke manometer. Ia mendekati peta laut, lalu meletakkan jari di atas sebuah titik di lautan selatan. Aku tak mau mengganggunya. Tapi beberapa menit kemudian, dia sendiri yang berpaling dan memandang kami. Dengan segera kutanyakan apa yang telah terjadi.
"Kita mengalami kecelakaan," jawabnya dengan singkat.
"Gawat"" tanyaku sama singkatnya. "Mungkin."
"Kalau begitu, kita terancam bahaya"" "Belum."
"Kandaskah 'Nautilus'"" "Ya."
"Bagaimana bisa sampai terjadi""
"Bukan kesalahan manusia, melainkan karena bencana alam. Dalam pengemudian kapal tak terjadi kesalahan. Tapi kita tak mungkin menghindarkan diri dari pengaruh keseimbangan. Hukum buatan manusia masih mungkin ditantang. Tapi hukum alam tak mungkin dilawan."
Aneh, pada saat segawat ini Kapten merenungkan persoalan falsafah. Jawabannya itu sama sekali tak menjelaskan duduk perkara.
"Kalau saya boleh bertanya, apakah yang menyebabkan kecelakaan ini""
"Ada sebuah bongkah es sebesar gunung terguling," jawabnya. "Jika kaki gunung es meleleh karena aliran air yang lebih hangat di bawahnya, atau karena goncangan-goncangan berulang kali, maka sebagai akibatnya titik berat gunung itu lantas menggeser ke atas. Apabila perpindahannya terlalu meninggi, gunung terbalik. Dan itulah yang
274 terjadi tadi. Sebuah gunung yang terguling, membentur 'Nautilus' yang sedang meluncur di bawahnya. Kapal terdorong ke atas dengan keras, dan mendamparkannya ke sisi gunung es lain yang tak begitu tebal. Kita sekarang kandas, dengan posisi miring."
"Tidak bisakah kita membebaskan 'Nautilus', dengan jalan mengosongkan tangki-tangki air""
"Itulah yang sedang dilakukan saat ini. Anda bisa mendengar pompa-pompa sibuk bekerja. Lihat saja jarum manometer: dapat' kelihatan bahwa 'Nautilus' mengambang naik. Tapi bongkah es juga ikut terangkat dengannya. Selama tak ada penghalang yang menahan gerak naik bongkah es itu, kita tidak bisa mengubah posisi."
Memang, 'Nautilus' masih tetap miring ke kanan. Seperti kata Kapten, pasti kapal akan bisa tegak kembali jika bongkah es ikut bergerak naik. Tapi saat ini, siapa tahu kalau-kalau kami akan membentur bagian atas dari gunung es" Jangan-jangan kami nanti terjepit antara dua bongkah air beku! Aku cemas merenungkan kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi. Kapten Nemo tak melepaskan matanya dari manometer. Sejak saat gunung es terguling, 'Nautilus' telah membubung ke atas setinggi lima puluh meter. Tapi posisinya masih tetap miring ke kanan.
Tiba-tiba terasa suatu gerakan. Rupanya kapal agak melurus. Benda-benda yang tergantung miring dalam ruang duduk menjadi lebih
lurus sedikit. Tak ada seorang pun yang membuka mulut. Dengan hati berdebar-debar, kami memperhatikan dan merasa betapa kapal dengan pelan-pelan menjadi lurus kembali. Lantai terasa mulai datar lagi. Sepuluh menit berlalu dalam keadaan begitu.
"Nah, kita menjadi lurus lagi!" seruku lega.
275 "Ya," jawab Kapten Nemo, sambil berjalan ke luar.
"Tapi mengambangkah kita sekarang""
"Ya, karena tangki-tangki belum kosong," jawabnya lagi. "Jika tangki sudah kosong, 'Nautilus' mesti muncul ke permukaan."
Kami sudah mengambang lagi di perairan terbuka. Tapi di kedua sisi kapal, kira-kira pada jarak sepuluh meter, kelihatan dinding es yang licin. Ke atas, ke bawah - cuma dinding-dinding pula yang nampak. Penghalang yang di atas merupakan dasar gunung es yang membentang luas. Sedang di bawah terdapat gunung terguling yang terjepit di sela dinding samping. 'Nautilus' terkurung dalam rongga, yang lebarnya agak lebih dari dua puluh meter dan berisi air tenang. Mestinya mudah keluar dari rongga itu, yakni dengan jalan maju atau mundur, dan kemudian menyusuri bagian bawah dari dasar gunung es yang letaknya beberapa ratus meter lebih dalam.
Lampu plafon dalam ruang duduk padam, tapi tempat itu masih terang. Penyebabnya adalah pantulan cahaya lampu sorot pada dinding es. Sukar kulukiskan kesan yang diakibatkan oleh pantulan sinar kuat itu di dinding es: setiap celah, setiap tonjolan dan permukaan kena cahaya dari sudut yang berbeda-beda, sehingga kelihatan seperti sebuah tambang batu permata berkilauan. Kekuatan lampu sorot seolah-olah dilipatgandakan, seperti lampu mercu suar.
"Aduh! Alangkah indahnya!" seru Conseil dengan kagum.
"Ya, memang indah sekali pemandangan ini," balasku.
"Betul, bukan main!" sambung Ned Land. "Luar biasa, mau tak mau aku juga harus mengatakannya. Belum pernah kulihat pemandangan serupa
276 ini. Tapi akibatnya mungkin parah untuk kita. Aku punya perasaan, bahwa kita saat ini sedang menyaksikan sesuatu, yang tak ditakdirkan Tuhan untuk dilihat manusia."
Pendapat Ned benar - pemandangan ini terlalu indah. Tiba-tiba aku berpaling dengan terkejut, mendengar Conseil berteriak.
"Ada apa"" tanyaku.
"Jangan lihat! Tutup mata Tuan!" Sambil berkata begitu, dia mendekapkan tangan menutupi matanya.
"Ada apa, Conseil""
"Saya menjadi buta!"
Tak dapat kuhindari gerak mataku ke arah kaca jendela. Tapi aku tak kuat menatap cahaya silau yang nampak di situ. Dengan segera aku tahu apa yang terjadi. 'Nautilus' sudah melaju dengan kecepatan maksimum. Cahaya kemilau yang semula kelihatan terpantul di dinding es, kini berubah menjadi sinar kilat yang menyambar-nyambar. Benar-benar menyilaukan! Tapi lama kelamaan mata terbiasa juga menatapnya. Kami melepaskan tangan yang menutupi.
"Masya Allah! Sukar sekali mempercayai pemandangan serupa ini," gumam Conseil.
Waktu itu pukul lima pagi. Tiba-tiba suatu benturan keras menggoncangkan tubuh kapal lagi. Kuduga taji yang terdapat di ujung depan, menubruk sebongkah es. Pasti karena kesalahan mengemudikan! Memang tak mudah melakukannya dalam rongga yang begini sempit, dan yang bertaburan dengan tonjolan-tonjolan di sana-sini. Kukira Kapten Nemo akan mengubah arah haluan untuk mengitari penghalang, atau mengikuti liku-liku rongga.Tapi tidak! Dugaanku itu keliru, karena terasa bahwa kapal mulai mundur.
"Mundurkah kita sekarang"" tanya Conseil.
277 "Ya," jawabku. "Ternyata ujung rongga ini buntu."
"Jadi bagaimana sekarang""
"Mudah saja," kataku menenangkan. "Kita mundur, lalu keluar lewat ujung yang satu lagi di sebelah selatan."
Aku berbicara dengan tenang, padahal hatiku sangat cemas. Tapi 'Nautilus' terus mundur dengan gerakan yang semakin laju. Kami meluncur ke arah belakang.
"Sukar juga bergerak mundur," ujar Ned.
"Apalah artinya waktu beberapa jam lebih lama. Pokoknya, kita bisa keluar!"
"Kalau kita bisa keluar," gumam Ned dengan murung.
Aku meninggalkan ruang duduk, menuju bagian perpustakaan. Aku duduk di sebuah dipan. Kuambil sebuah buku. Mataku melayang di atas tulisan yang berbaris di dalamnya, tapi menyadari apa yang kubaca. Seperempat jam kemudian Conseil datang mendekat, lalu bertanya
, "Menarikkah bacaan itu, Tuan""
"0 ya, menarik sekali!" jawabku.
"Mestinya begitu, karena buku itu karangan Tuan sendiri!"
"Buku karanganku"" Aku melongo. Betullah, aku memegang buku karanganku sendiri mengenai kehidupan dalam laut. Buku itu kututup dan kukembalikan ke tempatnya. Aku bangkit berdiri, lalu berjalan mondar-mandir. Ned dan Conseil ber-anjak, hendak meninggalkan ruangan.
"Janganlah kalian pergi," ujarku menahan. "Tinggallah di sini, sampai kita berhasil keluar dari kurungan ini."
"Baiklah, jika Tuan menghendakinya," jawab Conseil.
Berjam-jam kami menunggu di situ. Berulang kali
278 aku memperhatikan peralatan yang tergantung di dinding ruangan. Jarum manometer menunjukkan, bahwa 'Nautilus' bergerak pada kedalaman yang tetap melebihi tiga ratus meter. Pedoman masih menunjuk arah selatan. Kami melaju mundur, dengan kecepatan dua puluh mil sejam. Gerak itu laju sekali, mengingat tempat sempit yang dilalui. Tapi Kapten Nemo tahu bahwa dia harus bergesa-gesa. Waktu sangat mahal harganya saat itu. Namun pukul delapan lewat dua puluh lima menit, terjadi benturan berikut, kali ini di bagian buritan. Mukaku menjadi pucat pasi. KedUa temanku berdiri di dekatku. Kupegang tangan Conseil. Tarikan air muka kami saat itu memaparkan perasaan dengan sangat jelas, melebihi kata-kata. Kapten Nemo masuk ke dalam ruangan. Dengan segera aku menyongsongnya.
"Jalan kita ke selatan juga terhalang"" tanyaku.
"Ya, Profesor. Ternyata gunung es menggeser, dan menutup setiap lubang ke luar."
"Kalau begitu kita sekarang terkurung""
"Ya." XVI KEHABISAN UDARA DI KIRI, di kanan, atas dan bawah kami terdapat dinding es yang tebal sekali. 'Nautilus' terkungkung, menjadi tawanan gunung es. Kuperhatikan Kapten: wajahnya sudah kelihatan tenang kembali.
"Tuan-tuan," ujarnya dengan nada tawakal, "dalam keadaan seperti sekarang ini, ada dua cara untuk mati." Ia kelihatannya seperti seorang guru yang sedang mengajar murid-muridnya. "Yang satu adalah apabila gunung es menjepit kita. Sedang cara kematian kedua, adalah sebagai akibat kehabis-
279 an udara untuk bernafas. Aku tak membicarakan kemungkinan mati kelaparan, karena cadangan makanan di sini akan tahan lebih lama daripada kita sendiri. Karena itu marilah kita lakukan penaksiran peluang yang ada."
"Kapten, rasanya kita tak perlu khawatir kehabisan udara," jawabku, "karena bukankah tangki-tangki cadangan diisi penuh."
"Betul, tapi isinya hanya mencukupi untuk dua hari. Kita sudah terbenam selama tiga puluh enam jam. Hawa di sini sudah perlu diganti. Dalam waktu empatpuluh delapan jam, kita akan kehabisan udara."
"Dapatkah kita menyelamatkan diri, sebelum batas waktu empat puluh delapan jam itu berlalu."
"Setidak-tidaknya akan kita coba, dengan jalan menembus dinding yang mengepung."
"Sisi mana yang akan kita tembus""
"Hal itu akan kita ketahui dengan jalan memperhatikan perbedaan bunyi. 'Nautilus' akan kukan-daskan di atas dasar bawah. Kita kemudian mencari bagian dinding yang paling tipis, dan sesudah itu awak kapalku akan berusaha menembusnya."
Kapten Nemo keluar. Tak lama kemudian terdengar bunyi mendesis, menandakan bahwa air mengalir masuk ke dalam tangki-tangki. 'Nautilus' tenggelam dengan pelan-pelan, dan akhirnya men-cecah permukaan es di tempat sedalam tiga ratus sepuluh meter.
"Keadaan kita saat ini gawat," ujarku pada Ned dan Conseil. "Tapi aku percaya pada ketabahan dan semangat kalian berdua."
"Aku siap melakukan segala sesuatu, demi keselamatan kita bersama," kata Ned.
"Bagus Ned!" kataku sambil menjabat tangannya.
280 "Perlu kutambahkan," sambungnya, "aku ini kecuali ahli melemparkan tombak, juga tak canggung kalau memegang beliung. Aku bersedia disuruh oleh Kapten, jika dia memerlukan tenagaku."
"Dia pasti takkan menolak bantuan Anda. Ayolah, kita datangi dia !"
Kuajak juru tombak memasuki ruangan, dalam mana awak kapal 'Nautilus' sedang sibuk mengenakan jaket gabus mereka. Pada Kapten kukabarkan mengenai tawaran jasa Ned Land, dan dengan segera dia menerimanya. Juru tombak mengenakan pakaian selam, dan dengan segera sudah siap untuk menggabungkan diri dengan awak kapal. Sement
ara itu aku masuk kembali ke ruang duduk. Katup jendela-jendela di sisi terbuka. Aku berdiri didampingi oleh Conseil, dan kami berdua memandang dasar es yang menopang kapal.
Beberapa saat kemudian kelihatan kurang lebih selusin awak kapal menginjakkan kaki di atas dasar itu. Di antara mereka nampak Ned Land, yang menyolok karena bangun tubuhnya yang kekar tinggi. Kapten Nemo juga ikut. Sebelum dinding mulai digali, terlebih dulu dia melakukan pengukuran. Rupanya untuk memastikan, bahwa penggalian dilakukan di tempat yang benar. Tali-tali pengukur dibenamkan ke dinding sisi. Tapi sesudah kira-kira lima belas meter, terbentur lagi ke dinding tebal. Tak ada gunanya untuk mencoba penggalian di permukaan atas, karena gunung es tebalnya melebihi empat ratus meter. Sudah itu Kapten menduga lapisan bawah. Ternyata lapisan es di situ tebalnya sepuluh meter. Sepuluh meter yang memisahkan kami dari perairan bebas. Mereka harus menggali lubang pada lapisan es, yang sama luasnya seperti ukuran lambung 'Nautilus'.
Pekerjaan itu dimulai dengan segera. Awak kapal tak menggali sekitar kapal, karena akan terlalu
281 sukar. Kapten Nemo memerintahkan, agar dibuat sebuah parit besar di tempat yang jaraknya sekitar delapan meter dari sisi kiri kapal. Mula-mula awak kapal mempergunakan alat pembor, untuk membuat beberapa buah lubang. Sudah itu barulah dikerahkan beliung untuk mencungkil bongkah-bongkah es. Es lebih ringan dari air, karena itu bongkah-bongkah yang tergali kemudian mengapung ke atas rongga. Sebagai akibatnya, loteng kurungan kami semakin menebal. Tapi itu tak menjadi persoalan, selama dasar menjadi semakin tipis. Sesudah bekerja keras selama dua jam, Ned masuk karena kehabisan tenaga. Dia beserta teman-teman seregu digantikan oleh awak kapal yang masih segar. Aku dan Conseil turut menyingsingkan lengan baju, dengan pimpinan ajudan. Air terasa dingin, tapi badanku menjadi cepat panas karena kesibukan mengayunkan beliung. Gerak-gerikku terasa bebas, meski kami bekerja dengan mengalami tekanan air sebesar tiga puluh atmosfir. Saat aku masuk kembali ke kapal sesudah bekerja dua jam, kurasakan perbedaan nyata antara udara murni yang kuhirup melalui alat pernafasan, dengan udara dalam 'Nautilus'. Sudah empat puluh delapan jam kami tak mengganti udara dalamnya, sehingga rasanya semakin sesak saja. Sedang usaha kami selama dua belas jam, hanya mampu mencungkil sebuah balok es saja dari tempat yang sudah diberi tanda. Aku mulai menghitung-hitung: jika pekerjaan selama dua belas jam cuma sebegitu saja hasilnya, maka kami akan memerlukan waktu empat hari lima malam sebelum berhasil membebaskan diri ! Sedangkan udara dalam tangki-tangki cadangan hanya cukup untuk dua hari saja.
"Harus diingat pula," ujar Ned membumbui, "jika kita berhasil membebaskan diri dari kurungan sialan ini, kapal masih akan tetap terkungkung
282 di bawah gunung es, tanpa kemungkinan berhubungan dengan permukaan laut di atas."
Betul juga katanya itu. Mungkin kami akan sudah mati kehabisan nafas, sebelum 'Nautilus' berhasil kembali ke atas. Mungkinkah sudah nasib, tewas dalam kuburan es ini" Keadaan sudah gawat sekali. Tapi kami semua menatap mara bahaya dengan tabah. Semua bertekat melakukan kewajiban, sampai tarikan nafas terakhir.
Sesuai dengan perhitunganku, malam itu berhasil lagi diapungkan sebuah balok es baru, berukuran satu meter kubik. Tapi keesokan harinya, ketika aku berjalan, di luar untuk menilai keadaan, kulihat bahwa dinding-dinding samping mulai bergerak menjepit kami. Bagian air dalam parit yang jauh letaknya dari tempat awak kapal sedang bekerja, kelihatan mulai membeku kembali. Bagaimana caranya mengelakkan bahaya baru ini" Bagaimana caranya menghindarkan, supaya air jangan membeku" Kalau hal itu terjadi, 'Nautilus' akan pecah terjepit.
Adanya bahaya baru itu tak kukatakan pada yang lain-lain. Apalah gunanya melenyapkan semangat kerja yang begitu menyala-nyala" Tapi ketika aku masuk lagi ke kapal, pengamatanku itu kukabarkan pada Kapten Nemo.
"Hal itu sudah kuketahui," ujarnya dengan suara tetap tenang, yang menghapus setiap kecemasan. "Itu cuma sat
u bahaya tambahan lagi. Aku tak tahu, bagaimana bisa menghindarkan diri dari padanya. Satu-satunya peluang menyelamatkan diri, adalah bekerja lebih cepat dari proses pembekuan. Kita harus mendahului!"
Hari itu aku mengayunkan beliung dengan sekuat tenaga, selama beberapa jam. Kesibukan itu mengurangi rasa cemas. Lagipula sambil bekerja, kami bisa menghirup udara murni yang mengalir
283 dari tangki-tangki cadangan. Menjelang malam, parit sudah tergali satu meter lebih dalam lagi. Ketika aku kembali ke kapal, hampir tercekik rasanya akibat udara pengap di dalamnya. Sayang kami tak mempunyai alat kimia, yang bisa menghilangkan gas racun karbon dioksida. Zat asam banyak dalam air. Jika kita campurkan dengan udara dalam kapal, pasti hawa segar akan kembali. Tapi karbon dioksida sudah terlalu banyak dalam kapal. Untuk menyerapkan, kami harus mengisi beberapa botol dengan kalium peroksida, lalu mengguncang-gun-cangkan tanpa henti. Namun dalam kapal tak ada unsur kimia itu.
Kapten Nemo harus membuka keran tangki-tangki cadangan udara, agar ada sedikit udara murni mengalir ke dalam kapal. Kalau tidak, pasti kami semua akan segera mati kehabisan nafas. Keesokan harinya, aku mulai lagi menggali balok es kelima. Dinding samping dan dasar gunung kelihatan semakin tebal saja. Sudah nyata kami akan sudah terjepit olehnya, sebelum 'Nautilus' berhasil membebaskan diri. Terdorong perasaan putus asa, badanku menjadi lemas. Hampir saja beliung terlepas dari tangan. Apalah gunanya menggali lagi, jika sebentar lagi aku mati kehabisan nafas, dan terjepit air yang berubah menjadi batu" Bahkan suku-suku paling liar sekalipun, pasti tak mungkin bisa membayangkan penyiksaan yang sebegitu dahsyat! Pada saat itu, Kapten Nemo lewat di dekatku. Kusentuh lengannya, lalu kutunjukkan padanya dinding yang semakin merapat. Dinding sebelah kiri paling sedikit sudah maju empat meter. Kapten memahami makna gerak telunjukku, lalu mengisyaratkan agar aku ikut. Kami masuk ke kapal. Jaket gabus kubuka, kemudian aku turut masuk ke ruang duduk.
"Profesor Aronnax. Kita harus melakukan usaha
284 nekat. Kalau tidak, sebentar lagi kita akan terkurung dalam es!"
"Betul, tapi apa yang dapat kita lakukan""
"Kalau saja 'Nautilus' mampu menahan tekanannya, tanpa mengalami kehancuran!"
"Apa maksud Anda"" tanyaku tak mengerti.
"Tidak mengertikah Anda" Proses pembekuan ini sebenarnya menolong kita. Jika air sekeliling menjadi beku, batu terkeras pun akan ditembus olehnya! Tak mengertikah Anda, bahwa dengannya air yang membeku akan menjadi pelindung, dan bukan pemusnah ""
"Mungkin hal itu benar. Tapi betapa tahannya pun 'Nautilus' terhadap tekanan, tapi desakan es masih tetap terlalu besar. Kapal akan terjepit sehingga pipih."
"Aku tahu. Karenanya kita tak boleh menyandarkan diri pada bantuan alam. Kita harus berusaha sendiri. Proses pembekuan harus kita halangi."
"Sampai berapa lamakah udara dalam tangki cadangan masih cukup untuk bernafas""
Kapten Nemo menatap mataku. "Lusa sudah akan kosong!"
Terasa keringat dingin mengalir membasahi muka. Tapi sebenarnya aku tak perlu heran mendengar jawaban itu. Lima hari lamanya kami sudah menghirup udara cadangan yang ada dalam kapal. Sisanya kini diperlukan bagi para pekerja. Sementara itu Kapten merenung. Kelihatan tiba-tiba dia mendapat ilham, tapi dengan segera disingkirkan kembali. Akhirnya ia berkata,
"Air mendidih !" gumamnya.
"Air mendidih"" tanyaku.
"Ya. Kita terkurung dalam rongga yang bisa dikatakan sempit. Bukankah jika kita menyemprotkan air mendidih dengan pompa yang bekerja tanpa
285 henti, suhu di sini akan naik" Dengan begitu proses pembekuan akan terhambat !"
"Kita coba saja," kataku dengan yakin.
"Marilah kita coba."
Saat itu suhu di luar tujuh derajat di bawah titik beku. Kapten Nemo mengajak ke dapur. Di situ terdapat mesin-mesin penyuling air. Dengan jalan penguapan, mesin-mesin itu menghasilkan air minum.
Tangki mesin diisi air, dan panas listrik dialirkan ke dalamnya melalui saluran-saluran yang ada di situ. Dalam beberapa menit saja air sudah mencapai suhu seratus derajat. Air yang sudah mendidih itu dialirkan ke
pompa, sedang tangki mesin diisi lagi dengan air baru. Panas listrik begitu besar, sehingga begitu air laut dingin yang masuk ke dalam mesin, dengan segera sudah mendidih. Pompa-pompa mulai menyemburkan air. Tiga jam kemudian suhu di luar sudah naik satu derajat. Dua jam lagi sesudah itu, suhu air di luar tinggal empat derajat di bawah titik beku.
"Kita akan berhasil," ujarku pada Kapten, sesudah mengamati perkembangan dengan cemas.
"Kurasa kita takkan mati terjepit," jawabnya.
Pompa-pompa bekerja sepanjang malam. Suhu air di luar naik, sampai satu derajat di atas titik beku. Penyeburan air mendidih selanjutnya, tak mampu menaikkan suhu lebih tinggi lagi. Tapi setidak-tidaknya kami takkan terkurung es lagi.
Keesokan harinya, tanggal 27 Maret, telah berhasil digali es satu meter lebih dalam. Sudah enam meter yang disingkirkan. Masih ada empat meter lagi yang menghalangi kami dari perairan bebas. Kami masih harus bekerja empat puluh delapan jam lagi. Tapi udara dalam kapal tak bisa diganti. Nafas menjadi semakin sesak. Berulang kali aku menguap lebar, sehingga hampir lepas rahang ra-
286 sanya. Paru-paruku seakan pecah karena menghirup udara yang sudah beracun. Conseil tak pernah jauh dari sisiku, meski dia pun menunjukkan gejala-gejala sesak nafas. Kudengar dia bergumam, "Coba aku bisa tak bernafas! Akan lebih banyak udara yang ada untuk majikanku !"
Mataku membasah ketika mendengar dia berkata begitu. Ketika keadaan dalam kapal sudah tak tertahan lagi, dengan tergesa-gesa kami mengenakan jaket gabus untuk menunaikan tugas giliran bekerja. Kami mengayunkan beliung, memecah lapisan air beku. Lengan kami sudah pegal. Tangan penuh dengan luka-luka melecet! Tapi apalah arti kelelahan, tak peduli tangan luka-luka! Pokoknya paru-paru kembali dialiri udara segar. Kami bernafas dengan leluasa.
Sejak permulaan, tak seorangpun yang memperpanjang waktu giliran bekerja. Jika sudah sampai saatnya, setiap orang menyerahkan alat pernafasan pada rekannya yang menunggu dengan nafas terengah-engah. Kapten Nemo memberi teladan. Dialah yang pertama-tama mengikuti disiplin keras itu. Jika sudah tiba waktunya, dia menyerahkan alat pernafasan yang dipakai pada orang yang sudah menunggu. Dia kembali ke kapal, memasuki ruangan berisi udara beracun. Tanpa gentar, tanpa berkata apa-apa.
Tugas hari itu dilakukan dengan kegiatan luar biasa. Lapisan es yang menghalangi tinggal dua meter lagi. Tinggal dua meter yang memisahkan kami dari perairan bebas. Tapi tangki-tangki cadangan sudah hampir kosong. Sisa yang sedikit, harus disalurkan bagi orang-orang yang bekerja di luar. Ketika aku masuk lagi ke kapal, hampir tercekik rasanya karena sesak nafas. Malam itu aku merasakan azab yang luar biasa beratnya. Keesokan hari keadaan menjadi semakin parah. Kepalaku pu-
287 sing, seolah-olah orang yang sedang mabuk. Yang lain-lain juga menunjukkan gejala sama. Ada awak kapal yang nafasnya sudah putus-putus.
Sewaktu kami sudah enam hari terkurung es, Kapten Nemo merasa bahwa beliung-beliung kami terlalu lamban kerjanya. Ia mengambil gagasan untuk memecahkan dasar es yang masih tersisa. Ketabahan dan semangatnya benar-benar mengagumkan. Beban jasmani yang menekan, dikalahkannya dengan kekuatan rohani.
Ia memerintahkan agar kapal diperingan. Dengan jalan mengubah berat jenis, "Nautilus' mengambang di atas dasar, lalu diseret sampai di atas parit yang kami gali selama ini. Sudah itu tangki-tangki diisi kembali dengan air.
Semua awak kapal disuruh masuk, dan pintu luar ditutup rapat. 'Nautilus' terbaring dalam parit, di atas lapisan es yang tebalnya tak sampai semeter lagi. Keran-keran tangki cadangan dibuka. Air sebanyak kira-kira seratus meter kubik mengalir ke dalam. Kapal menjadi semakin berat. Kami menunggu sambil menajamkan pendengaran. Harapan yang timbul, menyebabkan kami melupakan kesengsaraan yang diderita saat itu. Keselamatan kami tergantung pada peluang terakhir ini. Walau telingaku berdesing karena paru-paru yang kurang udara, tak lama kemudian tertangkap juga bunyi mendengung di bawah dasar kapal. Es meretak seperti bunyi kertas robek. 'Nautilus' membe
nam ke bawah. "Kita bebas!" bisik Conseil di telingaku.
Aku tak mampu menjawab. Tangannya kupegang, lantas kujabat erat. Dengan cepat kapal terbenam, seperti pelor jatuh dalam air. Kemudian seluruh tenaga listrik yang ada dikerahkan untuk menggerakkan pompa, mengeluarkan air dari dalam tangki. Sesudah beberapa menit bekerja, gerak
288 benaman kapal terhenti. Tak lama sesudah itu, jarum manometer sudah menunjukkan gerak ke atas kembali. Baling-baling berputar sekuat tenaga, mengakibatkan tubuh kapal tergetar keras. Kami meluncur ke arah utara. Tapi bila masih berlalu lagi satu hari sebelum kapal sampai di perairan terbuka, aku pasti akan sudah mati sebelumnya.
Aku terkapar di atas dipan dalam perpustakaan. Nafasku tinggal satu-satu. Mukaku sudah biru. Aku tak mampu mendengar, maupun melihat apa-apa lagi. Aku sudah tak tahu lagi, berapa lama waktu sudah berlalu. Otot-ototku tak bekerja lagi. Yang kuketahui, yang kurasakan melebihi segala-galanya, adalah siksaan yang luar biasa. Aku merasa sudah hampir mati.
Tapi tiba-tiba aku siuman kembali. Terasa udara segar mengalir ke dalam paru-paru. Mungkinkah kapal sudah muncul ke permukaan" Sudah bebaskah kami dari kungkungan gunung es" Ternyata tidak: Ned dan Conseil, kedua temanku yang setia, mengorbankan diri untuk menyelamatkan nyawaku. Dalam sebuah alat bernafas, masih tersisa udara sedikit. Tapi mereka tak mempergunakannya untuk keperluan diri sendiri. Tidak! Sementara mereka kehabisan nafas, alat tersebut dipasangkan ke mukaku - agar aku bisa bernafas. Ingin kutolak-kan alat itu, tapi tak bisa. Tanganku mereka pegang erat-erat. Beberapa saat lamanya aku menghirup udara segar. Mataku tertumbuk pada jam dinding, yang menunjukkan waktu pukul sebelas pagi. Mestinya sekarang sudah tanggal 28 Maret. 'Nautilus' melaju ke arah utara, dengan kecepatan empat puluh mil sejam.
Di manakah Kapten Nemo" Mungkinkah dia sudah tewas" Kehabisan nafas, bersama anak buahnya" Saat itu jarum manometer menunjukkan bahwa kapal tak sampai tujuh meter lagi dari per-
289 mukaan. Tinggal selapis es tipis saja yang memisahkan kami dari alam terbuka. Tak mungkinkah kapal memecahnya" Mungkin. Menurut dugaanku, 'Nautilus' akan mencobanya, karena letak kami condong ke atas. Didorong baling-baling yang berputar sekuat tenaga, kapal membentur lapisan es dari bawah. 'Nautilus' meluncur bagaikan alat penumbuk raksasa. Berulang kali es dibenturnya, berulang kali pula terdengar bunyi es retak berderik-derik. Sekali lagi kapal melesat miring ke atas dan memecah es yang mengungkung selama ini. Dengan buru-buru katup lubang tengah dibuka oleh tangan-tangan yang sudah tak sabar. Udara segar membanjiri seluruh ruangan kapal.
XVII DARI TANJUNG TANDUK KE AMAZONAS
AKU tak tahu, bagaimana aku bisa sampai di geladak. Mungkin Ned Land yang mengangkat. Tapi pokoknya aku bisa bernafas. Kuhirup udara laut yang segar. Kedua temanku seakan-akan mabuk, karena terlalu dalam menarik nafas. Awak kapal yang selama itu bekerja keras, tanpa sempat makan, tidak mampu lagi menikmati udara segar secara leluasa. Badan mereka sudah terlalu lemah. Tapi kami bertiga dapat menghirup udara segar dengan seenak-enaknya. Tiupan angin sepoi-sepoi menambah rasa nikmat.
"Ah!" ujar Conseil, "alangkah nikmatnya menghirup zat asam! Tuan tak perlu khawatir memenuhi paru-paru dengannya. Di sini cukup banyak udara untuk semua orang!"
Ned Land tak berkata apa-apa. Ia hanya mengangakan mulut lebar-lebar. Bahkan ikan hiu yang paling ganas sekali pun, pasti akan mati ke-
290 takutan melihat rupanya saat itu. Tak lama kemudian tenaga kami sudah pulih. Ketika aku memandang sekeliling geladak, kulihat bahwa cuma kami bertiga yang ada di atas. Para pelaut yang menjadi awak kapal 'Nautilus' rupanya sudah puas menghirup udara, yang terdapat di dalam; tak seorang pun dari mereka yang kelihatan makan angin.
Kata-kata pertama yang kuucapkan, berupa pernyataan terima kasih kepada kedua temanku. Berkat pertolongan Ned Land dan Conseil, nyawaku selamat pada saat-saat terakhir. Aku tak mampu menyatakan hutang budiku yang tak terhingga besarnya pada mereka berdua.
"Teman-t emanku,", demikian aku berkata dengan terharu, "kita bertiga saling terikat untuk selama-lamanya, karena hutang budiku yang tak terhingga pada kalian berdua."
"Ikatan itu hendak kumanfaatkan," jawab juru tombak.
"Apa maksud Anda dengannya"" tanya Conseil.
"Maksudku, Profesor akan kuajak jika aku meninggalkan 'Nautilus' jahanam ini."
"Apakah sesudah ini kita selamat"" tanya Conseil padaku.
"Ya," jawabku, "karena kita berlayar mengikuti arah matahari, yaitu ke utara."
"Memang benar," kata Ned, "tapi mesti ditunggu dulu, apakah Kapten membawa kita ke Pasifik atau ke Atlantik. Jadi ke perairan yang banyak atau jarang dilayari."
Hal itu tak kuketahui. Tapi aku khawatir, Kapten Nemo lebih cenderung untuk membawa kami ke samudera luas, yang membentang antara Benua Amerika dan Asia. Dengan begitu ia akan menyelesaikan pelayaran keliling dunia lewat bawah air, dan kembali ke perairan di mana 'Nautilus' dapat bergerak dengan leluasa. Tapi kami tak perlu lama
291 menerka-nerka, karena jawabannya datang tak lama kemudian.
'Nautilus' mengarungi lautan dengan kecepatan tinggi. Perairan kutub kami tinggalkan dengan cepat. Haluan diarahkan menuju Tanjung Tanduk. Menjelang pukul tujuh malam tanggal 31 Maret, kami berada di depan ujung terselatan Benua Amerika. Semua penderitaan yang lalu sudah kami lupakan lagi. Ingatan terhadap siksaan terkungkung dalam es, sudah hapus dari benak kami. Hanya waktu mendatang saja yang dipikirkan. Kapten Nemo tak muncul-muncul, baik dalam ruang duduk maupun di atas geladak. Titik yang setiap hari ditandai oleh ajudan di atas peta, menunjukkan posisi 'Nautilus' yang tepat dalam pelayaran. Sore itu aku merasa lega, karena gerakan titik di peta itu menunjukkan bahwa kapal kembali menuju ke utara, mengarungi samudera Atlantik.
Keesokan harinya, tanggal 1 April, 'Nautilus' muncul ke permukaan menjelang tengah hari. Di sebelah barat nampak garis daratan yang remang-remang. Itulah dia Terra del Fuego, "Tanah Api". Nama itu diberikan oleh pelaut-pelaut Eropa pertama yang sampai ke situ. Sebabnya karena mereka melihat kepulan asap tebal, yang naik dari pondok-pondok penduduk setempat. Garis pesisir nampak rendah, tapi di kejauhan nampak menjulang pegunungan tinggi. Aku bahkan berperasaan seperti melihat Gunung Sarmiento. Gunung itu tingginya sekitar dua ribu meter. Puncaknya lancip, dan merupakan penunjuk untuk mengetahui keadaan cuaca. Saat itu puncak Sarmiento kelihatan sangat jelas.
'Nautilus' menyelam ke bawah air. Kami bergerak mendekati pantai. Dari lubang jendela kaca di ruang duduk, kami memandang dasar laut yang kembali kelihatan subur. Menjelang malam, kami
292 mendekati gugusan pulau-pulau Falkland. Laut di sekitar situ lumayan dalamnya. Di depan pantai, jala pukat kapal menangguk bermacam-macam jenis ganggang laut. Banyak sekali remis dan kepah yang tersangkut dalam akar-akar yang panjang. Bebek dan angsa berjatuhan ke geladak kena tembakan kami, langsung masuk ke kuali di dapur. Bermacam-macam ikan yang berwarna serba indah, berkeliaran dalam air.
Ketika Kepulauan Falkland sudah ditinggalkan, 'Nautilus' menyelam kembali. Kami menyusuri garis pesisir Benua Amerika, di kedalaman dua puluh sampai dua puluh lima meter. Kapten Nemo masih selalu belum kelihatan lagi. Arah haluan masih terus ke utara. Ketika lewat daerah pantai Brasil yang didiami orang, kapal melaju dengan kecepatan tinggi. Rupanya hal itu disengaja, karena Kapten Nemo tak menyenangi daerah yang ada penduduknya. Ned Land jengkel karenanya. Kami meluncur dengan laju. Tak ada ikan maupun burung yang dapat menandingi kecepatan gerak itu, sehingga aku tak bisa mengamati kehidupan samudera daerah itu:
Behari-hari lamanya kami terus melaju. Petang tanggal 9 April, kami melihat titik paling timur di belahan selatan Benua Amerika, yang terletak di Tanjung Sao Rogue. Kemudian kapal mengubah haluan. Kami memasuki lembah laut yang terdapat antara tanjung itu dengan Sierra Leone di pesisir Afrika. Di dasarnya banyak terdapat pegunungan, sehingga sangat mengasyikkan pemandangannya. Dua hari lamanya kami berkeliaran sekitar lembah. Tapi tanggal 11 April
'Nautilus' tiba-tiba muncul ke permukaan. Kami melihat daratan, yang ternyata merupakan tepi muara Sungai Amazonas. Sungai itu luar biasa lebarnya di mua-
293 ra, sehingga lautan tawar rasanya sampai bermil-mil di depan pantai.
Garis khatulistiwa kami lintasi. Dua puluh mil di sebelah barat terletak Guiana, yang waktu itu merupakan daerah Perancis. Di sana kami bisa meminta perlindungan dengan mudah. Tapi saat itu angin bertiup kencang. Ombak yang besar tak memungkinkan perahu mengarunginya. Rupanya Ned Land juga mengetahui kenyataan itu, karena dia sama sekali tidak berbicara mengenai percobaan melarikan diri. Aku pun tak menyinggung rencananya sama sekali. Aku tak berniat mendorongnya, untuk melakukan sesuatu yang pasti akan menemui kegagalan. Kupakai kesempatan baik itu, untuk melanjutkan penyelidikan tentang kehidupan dalam samudera. Selama tanggal 11 April, 'Nautilus' tak meninggalkan permukaan laut. Jaring pukat menangguk bermacam-macam penghuni lautan. Banyak di antaranya sudah kukenal. Tapi aku juga mendapat kesempatan untuk meneliti jenis-jenis yang khas dari perairan situ. Misalnya semacam belut, ukurannya sekitar empat puluh senti. Kepalanya berwarna kehijau-hijauan, bersirip ungu, punggung semu biru kelabu, perut coklat berbintik-bintik perak. Kulit sekeliling matanya berwarna keemasan. Binatang ini aneh, karena sebetulnya merupakan penghuni air tawar. Jala kami juga menangkap ikan-ikan hiu yang tergolong kecil.
Masih ada satu jenis lagi, yang pasti takkan dilupakan oleh Conseil seumur hidupnya. Sekali jala kami menarik sejenis ikan pari ke geladak. Jika ekornya yang panjang dipotong, maka bentuknya mirip sebuah tampah. Bagian perutnya putih, sedang punggungnya berwarna merah berbecak-be-cak biru kehitam-hitaman. Kulitnya sangat licin, sedang siripnya terbelah dua. Ikan itu ditaruh di
294 lantai geladak, tapi karena terus meronta-ronta, akhirnya nyaris jatuh ke air. Conseil tak ingin membiarkan ikan itu lepas lagi. Karenanya ia mengejar. Sebelum aku sempat melarang, ikan sudah dipegang olehnya dengan kedua belah tangan. Tapi detik berikutnya dia terpelanting; kaki menendang-nendang ke atas, sedang separuh tubuhnya lumpuh. Dia berteriak,
"Aduh! Tolong, Tuan!"
Baru sekali itulah Conseil minta tolong padaku. Dengan dibantu oleh Ned Land, orang malang itu kuangkat. Tangannya yang kejang kami urut, sampai syarafnya bekerja kembali. Tanpa mengetahuinya, Conseil menyentuh ikan listrik yang paling berbahaya, yang dikenal dengan nama Kumana. Ikan aneh itu memiliki tenaga listrik dalam tubuhnya. Dalam air, aliran listrik dapat dilancarkan untuk melumpuhkan ikan lain, pada jarak beberapa meter.
Keesokan harinya, tanggal 12 April, 'Nautilus' menghampiri pesisir daerah jajahan Belanda, dekat muara Sungai Maroni. Di situ kami melihat sekawanan ikan duyung yang hidup berkelompok. Binatang-binatang itu tidak buas dan tidak suka menyerang. Panjangnya antara enam sampai tujuh meter. Kuceritakan pada Ned Land dan Conseil, bahwa alam telah memberikan peranan penting pada hewan yang tergolong binatang menyusui itu. Seperti anjing laut pula, ikan duyung hidup dari rumput air. Kebiasaannya merumput di dasar sungai. Dengan begitu sungai-sungai daerah panas dibersihkan dari penghalang-penghalang dalam air.
"Dan tahukah kalian, apa yang terjadi sesudah manusia hampir memusnahkan binatang berguna ini"" tanyaku pada mereka berdua. "Rumput mem-
295 busuk meracuni udara, dan udara beracun membangkitkan penyakit demam kuning. Wabah penyakit itu melanda daerah-daerah tropika. Malapetaka akan menjadi berlipat ganda, apabila lautan dibersihkan dari ikan paus dan anjing laut. Karena binatang-binatang ini juga melakukan tugas membersihkan lautan dari berbagai macam kotoran."
Tapi rupanya awak kapal 'Nautilus' berlainan pendapat dengan aku. Mereka membunuh setengah lusin ikan duyung, untuk memperlengkap cadangan pangan di kapal. Perburuannya sama sekali tak menarik, karena duyung membiarkan diri dibunuh tanpa melawan. Kecuali itu kami juga banyak menangkap ikan, yang rupanya banyak sekali di perairan sekitar sini.
Sesudah selesai menangkap ikan,
'Nautilus' bergerak semakin dekat ke pantai. Kami melihat beberapa ekor kura-kura besar, sedang tidur dipermainkan ombak. Tapi mereka masih tetap sukar ditangkap, karena bunyi sehalus apa pun pasti akan membangunkan. Sedang kulit mereka yang tebal, tak tembus kena seruit. Meski begitu, ada akal juga untuk menangkapnya.
Awak kapal menangkap seekor bulu babi, lalu diikat dengan tali. Begitu dicampakkan kembali ke dalam air, bulu babi itu melekatkan diri ke kulit tameng sebelah bawah dari kura-kura. Lekatannya begitu kuat, sehingga bulu babi harus dirobek terlebih dulu jika hendak melepaskan kembali. Awak kapal menarik bulu babi ke geladak, dan kura-kura ikut terseret.
Persinggahan kami di pantai timur Amerika Selatan diakhiri dengan penangkapan itu. Menjelang malam, 'Nautilus' kembali ke lautan luas.
296 XVIII IKAN GURITA RAKSASA BEBERAPA hari lamanya 'Nautilus' bergerak agak jauh dari pesisir Amerika. Rupanya hendak mengelakkan tarikan arus pasang Teluk Meksiko. Tanggal 16 April nampak pulau-pulau Martinique dan Guadalupe di kejauhan. Jarak yang memisahkan kami sekitar tiga puluh mil. Sesaat kulihat puncak-puncak gunung yang tinggi. Ned Land semula berniat melaksanakan rencana melarikan diri di perairan itu, dengan jalan berperahu ke tepi atau memanggil salah sebuah perahu yang banyak berkeliaran di situ. Tapi karena kapal terus menjauh pesisir, akhirnya juru tombak bangsa Kanada itu menjadi patah semangat. Sebenarnya jika dia berhasil merebut perahu kapal tanpa diketahui Kapten, ia bisa saja melarikan diri. Tapi di perairan terbuka, hal itu mustahil dapat dilakukan.
Lama sekali kami bertiga memperbincangkan hal itu. Enam bulan sudah kami menjadi tawanan di atas kapal 'Nautilus'. Sudah jauh sekali pelayaran yang kami ikuti. Seperti dikatakan oleh Ned, dia tidak melihat adanya, alasan, kenapa pelayaran itu tidak bisa berakhir bagi kami. Tak ada yang dapat diharapkan dari nakhoda kapal 'Nautilus'. Nasib kami terletak di tangan sendiri. Kecuali itu dalam waktu-waktu terakhir ia semakin murung, semakin menyendiri. Kelihatannya ia selalu menjauhi aku. Jarang kami berjumpa. Dulu dia gemar menerangkan hal-hal ajaib yang kulihat dalam laut. Tapi sekarang aku dibiarkan mengadakan penelitian seorang diri. Ia pun tak pernah lagi masuk ke ruang duduk.
Apakah yang telah terjadi dengannya" Apakah yang menyebabkan perubahan sikap itu "
297 Aku sendiri tak berniat mengubur diri hidup-hidup, bersama hasil penelitian yang baru dan pasti' menarik. Sekarang aku sudah mampu menulis buku yang benar, tentang alam kehidupan di bawah laut. Dan aku menginginkan agar buku tulisanku dibaca orang banyak. Di perairan sekitar Kepulauan Antilles, aku kembali menemukan berbagai makhluk yang belum pernah dilihat orang. Kesemuanya ini ingin kupaparkan pada khalayak ramai, dan tak kusimpan untuk diriku sendiri saja.
Tanggal 20 April kami bergerak di tempat sedalam seribu lima ratus meter di bawah permukaan laut. Daratan yang terdekat saat itu adalah Kepulauan Bahama. Dari jendela kaca samping, kami melihat sebuah tebing tinggi yang penuh dengan rumput laut dan ganggang. Kira-kira pukul sebelas, Ned menunjukkan sesuatu di sisi tebing padaku.
"Wah! Besar sekali rongga-rongga di tebing itu," seruku kagum. "Cukup besar untuk menjadi tempat penghunian cumi-cumi. Aku takkan heran, jika tiba-tiba ada yang keluar dari dalamnya!"
"Apa" Cumi-cumi"" jawab Conseil. "Maksud Tuan, yang sebangsa sotong""
"Bukan!" Jawabku. "Yang kumaksudkan cumi-cumi raksasa, ikan gurita."
"Sukar rasanya mempercayai, bahwa ada binatang serupa itu," tukas Ned.
"Aku masih ingat benar," ujar Conseil dengan nada serius, "dulu pernah kulihat, betapa sebuah kapal besar ditarik ke bawah air oleh lengan gurita raksasa."
"Anda melihatnya"" tanya juru tombak dengan mata melotot. "Ya, Ned."
"Dengan mata sendiri""
"Dengan kedua mataku ini." Air muka Conseil tetap serius.
298 "Di mana Anda melihatnya"" "Di Saint Malo," jawab Conseil. "Di pelabuhan rupanya," ujar Ned agak meng-ejek.
"Tidak! Dalam gereja." "Apa! Dalam gereja"" seru Ned heran. "Betul, Sobatku yang budiman. Aku melihatnya
Idalam sebuah lukisan." "Ya ampun," ujar juru tombak. Ia tertawa gelak-
gelak. "Betul," kataku menyela kelakar mereka berdua, "Aku juga pernah mendengar tentang lukisan itu. Yang digambarkan di situ adalah suatu legenda. Dan kalian tahu, berapa banyak kebenaran yang terkandung dalam legenda atau dongeng. Apalagi khayalan kita sering kali melantur, jika pembicaraan sudah berkisar tentang binatang-binatang raksasa. Gurita-gurita bukan saja dikatakan mampu menyeret kapal ke dasar laut, tapi bahkan pernah pula ada seseorang yang memberitakan tentang seekor gurita mahabesar. Panjangnya dikatakan satu mil. Itu kan sudah pulau, bukan binatang lagi. Ada lagi cerita tentang seorang uskup dari Nidros. Dia membuat sebuah altar di atas cadas yang sangat besar. Ketika upacara misa selesai, tahu-tahu batu besar itu mulai merayap dan kembali ke laut. Ternyata seekor ikan gurita. Ada lagi uskup lain, namanya Pontoppidan. Dia bercerita tentang seekor gurita raksasa. Begitu besarnya, sehingga sepasukan tenta-ra berkuda dapat berlatih di atas punggungnya. Se-dang penulis-penulis jaman purba menceritakan tentang gurita-gurita raksasa, yang mulutnya sebesar teluk. Binatang-binatang yang diceritakan itu begitu besar, sehingga tak bisa melewati Selat Gibraltar."
"Tapi betulkah cerita-cerita itu, Tuan"" tanya Conseil.
"Tentu saja tidak! Tapi di pihak lain, tentunya
299 ada dasar kebenaran, yang kemudian mendorong daya khayal para pendongeng itu. Tak bisa diban tah, bahwa ada gurita dan cumi-cumi yang besar sekali. Tapi masih lebih kecil dari ikan paus. Para pelaut sudah sering melihat yang berukuran satu meter dua puluh senti. Dalam museum-museum di kota Triest dan Montpelier disimpan kerangka ikan gurita, yang panjangnya mendekati dua meter Menurut penaksiran ahli-ahli ilmu hayat, jika ba dan ikan gurita berukuran satu meter delapan puluh saja, maka sungutnya akan sudah sembilan meter panjangnya. Itu juga sudah cukup besar, bukan""
"Apakah dewasa ini ikan-ikan itu masih ditang kap orang"" tanya Ned.
"Kalau tidak ditangkap, paling sedikit para pelaut masih melihatnya. Seorang sahabatku Nakhoda Paul Bos dari le Havre, sering menga takan bahwa dia pernah berjumpa dengan salah sa tu binatang raksasa itu, di Samudera Hindia Katanya, ikan gurita itu besar sekali. Tapi kenya taan yang paling mengagumkan terjadi beberapa tahun yang lalu. Tepatnya, pada tahun 1861. Mau tak mau, kita terpaksa mengakui bahwa binatan sebesar itu sungguh-sungguh ada."
"Kenyataan manakah yang Profesor maksud kan"" tanya Ned.
"Pada tahun 1861, awak kapal pengangkut 'Alec tor' melihat seekor ikan gurita raksasa yang sedang berenang di laut. Waktu itu mereka sedang berada di sebelah timur Laut Teneriffa, kira-kira pada garis lintang yang sama seperti kita sekarang ini. Kapten Bouguer, nakhoda kapal itu memberi perintah agar kapal mendekatinya. Gurita diserang dengan seruit dan senapan. Tapi sia-sia, karena baik seruit maupun peluru tak berhasil menembus kulitnya yang seperti karet. Sudah itu awak kapal berusaha menjerat tubuhnya. Jerat mengena. Namun
300 ketika gurita hendak ditarik ke atas geladak, ternyata terlalu berat. Tali penjeratnya makin lama makin erat, sehingga akhirnya ekor gurita putus. Sedang binatangnya sendiri lenyap lagi ke dalam laut."
"Masya Allah! Betulkah cerita itu""
"Ned, yang kuceritakan ini merupakan kenyataan yang tak bisa dibantah. Mereka mengusulkan, agar gurita itu diberi nama 'sotong Bouguer'."
"Berapa panjangnya"" tanya juru tombak.
"Kira-kira enam meter, bukan"" sela Conseil. Dia sedang berdiri di depan jendela, sambil memperhatikan lekuk-lekuk tebing yang kami lewati.
"Tepat," jawabku.
"Dan bukankah sungutnya ada delapan, bergerak-gerak seperti sekawan naga""
"Betul," balasku sekali lagi. "Matanya besar sekali, letaknya agak di sebelah belakang kepala""
"Betul, Conseil."
"Sedang moncongnya seperti paruh beo"" "Tepat sekali, Conseil."
"Jika begitu, kalau ini bukan sotongnya Bouguer, paling tidak salah satu saudaranya," ujar pelayanku itu dengan tenang.
Aku memandang padanya. Ned Land bergegas datang ke jendela.
"Aduh, seramnya!" seru juru tombak itu.
Berkeliling Dunia Di Bawah Laut Karya Jules Verne di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Aku ikut- ikut melihat. Badanku menggigil karena jijik. Mataku menatap seekor binatang seram. Pantasnya menghiasi dongeng-dongeng. Gurita itu besar sekali, panjangnya sekitar delapan meter. Dia berenang cepat, memotong haluan kami. Sementara itu kami terus ditatapnya dengan mata besar berwarna hijau. Sungut, atau lebih tepat dikatakan kakinya ada delapan. Panjangnya dua kali lipat dari tubuh, bergerak-gerak kian ke mari. Di bagian bawah sungut nampak alat-alat penghisapnya. Mon-
301 congnya mirip paruh burung. Tubuhnya berbentuk bulat lonjong, beratnya pasti berton-ton. Warnanya berubah-ubah, mulai dari kelabu sampai coklat kemerah-merahan. Kelihatan ikan gurita itu marah, karena berhadapan dengan 'Nautilus' yang lebih kuat daripadanya. Kulitnya yang terbuat dari pelat-pelat baja, tak mungkin diserang dengan sungut maupun paruhnya. Aku tak mau melewatkan kesempatan baik ini, untuk mempelajarinya. Rasa jijik kuanggap sepi. Kuambil pinsil dan mulai membuat gambarnya.
"Mungkin gurita inilah yang dilihat awak kapal Alecto," ujar Conseil.
"Ah, bukan!" -bantah juru tombak. "Yang ini masih utuh, sedang gurita mereka kan sudah hilang ekornya."
"Itu bukan alasan," kataku menggurui. "Sungut dan ekor gurita bisa tumbuh lagi. Dan waktu tujuh tahun mencukupi untuk memulihkan kembali ekor sotongnya Bouguer."
Sementara itu di sisi kapal bermunculan gurita-gurita lain. Mereka berenang beriringan mengikuti 'Nautilus'. Terdengar geretak paruh-paruh yang hendak menyobek kulit kapal. Aku melanjutkan pekerjaan, menggambar ikan-ikan gurita yang melayang dalam air mengikuti kami. Mereka berenang sama cepat dengan kapal 'Nautilus', sehingga memberikan kesan seolah-olah tak bergerak. Tiba-tiba kapal terhenti dengan mengejut, sehingga dinding-dinding tergetar.
"Apakah kita menubruk sesuatu"" tanyaku.
"Yang pasti bukan kandas, karena kapal masih terapung," jawab Ned.
Memang betul, 'Nautilus' masih terapung; tapi kami tidak bergerak lagi. Semenit berlalu dalam keadaan begitu. Kemudian Kapten Nemo masuk ke ruang duduk, diikuti oleh ajudannya. Sudah lama
302 aku tak melihatnya. Kelihatannya lesu. Tanpa melihat maupun berbicara pada kami, ia menuju ke jendela. Beberapa saat Kapten memandang ikan-ikan gurita yang kelihatan di luar, sudah itu mengatakan sesuatu pada pembantunya. Ajudan pergi ke luar. Tak lama kemudian pelat-pelat menutup jendela. Lampu plafon dinyalakan. Aku menghampiri Kapten.
"Ajaib bukan, ikan-ikan gurita itu"" tanyaku.
"Ya, Tuan ahli ilmu alam," jawabnya, "dan kami akan menantang mereka berkelahi. Manusia lawan binatang."
Aku memandang Kapten. Kukira salah pendengaranku.
"Manusia lawan binatang""
"Ya, Profesor. Baling-baling kapal macet. Menurut perkiraanku, ada paruh tanduk dari salah satu ikan gurita yang tersangkut. Jadi kita tak bisa bergerak lagi."
"Apa yang hendak Anda lakukan sekarang""
"Muncul ke permukaan, sudah itu membantai mereka."
"Wah, repot juga!"
"Memang. Peluru-peluru listrik tak berguna melawannya, karena kulit yang lembut tak memungkinkan kaca pecah. Jadi kami akan menyerang dengan kampak."
"Ditambah dengan seruit, Kapten," sambung juru tombak. "Itu jika bantuanku tidak ditolak."
"Aku menerimanya dengan senang hati, Tuan Land."
"Kami ikut," kataku. Kami berjalan di belakangnya, menuju tangga tengah. Di sana telah menunggu sepuluh awak kapal bersenjatakan kampak. Aku dan Conseil juga mengambil dua senjata tajam itu, sedang Ned memilih seruit. 'Nautilus' sudah muncul ke permukaan air.
303 Salah seorang kelasi berdiri di ujung atas tangga, lalu membuka sekerup-sekerup pengencang katup lubang. Baru saja sekerup-sekerup lepas, katup terenggut ke atas dengan keras, karena ditarik alat penghisap ikan gurita. Seketika itu juga sebuah sungut menjulur ke bawah dari lubang tangga. Dengan sekali ayun, Kapten Nemo mengampak alat peraih raksasa itu sehingga putus.
Kami berdesak-desakan naik ke atas. Tapi tiba-tiba dua sungut menyambar seorang pelaut yang berada di sisi Kapten Nemo, dan mengangkat orang itu ke atas. Kapten Nemo berteriak sambil lari memburu. Kami menyusul di belakangnya.
Alangkah seramnya! Pelaut malang yang terbelit sung
ut, meronta-ronta dengan bingung. Dengan suara putus-putus karena dadanya tertekan, ia berteriak, "Tolong! Tolong!" Aku terkejut, karena orang itu berteriak dalam bahasa Perancis! Ternyata di kapal ada teman senegeriku, bahkan mungkin jumlahnya lebih dari satu!
Teriakan ngeri itu pasti takkan kulupakan seumur hidup. Orang malang itu tak mungkin diselamatkan lagi. Namun Kapten Nemo tak putus asa. Ia maju mendekati gurita, lalu mengayunkan kampak dengan sekuat tenaga. Satu sungut putus! Ajudannya berkelahi mati-matian, melawan ikan-ikan gurita lainnya, yang naik ke sisi geladak. Para kelasi mengamuk dengan kampak mereka, diikuti oleh aku bersama Ned dan Conseil. Senjata-senjata kami hunjamkan ke tubuh ikan-ikan gurita. Bau tak enak menusuk hidung.
Sesaat aku ingat pada manusia malang yang masih tercengkam sungut gurita. Tujuh dari alat peraih binatang itu sudah putus. Sisa yang satu melambai-lambai di udara, tanpa melepaskan cengkeraman terhadap tubuh kelasi. Kapten Nemo ber-
304 sama ajudannya maju untuk membinasakan, tapi gurita menangkis dengan jalan menyemprotkan zat cair berwarna hitam. Sebagai akibatnya, sejenak kami tak bisa melihat lagi. Ketika cairan itu kami usapkan dari mata, ternyata ikan gurita sudah lenyap. Binatang itu sudah masuk ke air, menyeret teman sebangsaku yang malang.
Sementara itu sepuluh sampai dua belas gurita lainnya datang menyerbu geladak. Kami menerjang maju. Terjadilah perkelahian seru, manusia lawan binatang raksasa! Aku mendapat kesan, seolah-olah setiap kali kami berhasil memotong satu sungut, dengan seketika muncul sungut berikutnya. Ned Land menghunjamkan seruitnya berulang-ulang, menembus mata gurita. Tapi tiba-ti-ba juru tembak yang tabah itu terpelanting, kena sambaran sebuah sungut yang tak sempat lagi dielakkan.
Jantungku serasa berhenti karena kaget dan ngeri! Gurita mengangakan moncong yang seperti paruh, siap untuk mematuk. Tubuh Ned pasti akan terpotong dua! Aku lari memburu, tapi Kapten Nemo menang cepat. Diayunkannya kampak, tepat mengenai paruh menganga. Ikan gurita tertegun sebentar. Kesempatan itu dipergunakan oleh Ned untuk bangkit, lalu dihunjamkannya seruit. Tepat mengenai jantung binatang yang hampir mem-binasakannya.
"Itulah balas jasaku," ujar Kapten pada juru tombak, yang membungkukkan badan tanpa berkata. Ikan-ikan gurita mengaku kalah. Semua menghilang, masuk ke dalam ombak. Kapten Nemo masih berdiri di geladak. Tubuhnya dilumuri darah. Ditatapkannya pandangan ke laut, yang telah menelan seorang pengikutnya. Kelihatan air matanya berlinang-linang.
305 XIX ARUS TELUK TAK seorang pun dari kami yang mampu melupakan peristiwa ngeri, yang terjadi tanggal 20 April itu. Aku mencatatnya, ketika perasaan masih haru biru karenanya. Tapi ketika catatan itu kubacakan pada Ned dan Conseil, mereka mengatakan bahwa meski fakta-faktanya tepat, namun semua terasa agak kering. Memang, diperlukan keahlian seorang pujangga, untuk mengisahkan dengan tepat kejadian yang mengakibatkan tewasnya seorang awak kapal.
Kukatakan bahwa Kapten Nemo menangis, ketika ia berdiri menatap gelombang. Sudah dua anak buahnya yang tewas, sejak kami masuk ke kapal. Lagipula kematian kedua sangat memilukan! Tewas tercengkeram sungut gurita, habis terkunyah-kunyah paruh raksasa. Orang malang itu tak bisa dimakamkan di pusara karang, seperti anak buah yang pertama. Masih terngiang di telingaku, teriakan ngerinya. Dalam ketakutan yang maha besar, orang itu berteriak dalam bahasa aslinya, melupakan logat pergaulan yang dipakai dalam kapal. Ternyata di antara awak kapal ini, di antara kelompok manusia yang mengasingkan diri dari masyarakat ramai, terdapat seorang teman sebang-saku. Ia sendirikah yang berasal dari Perancis" Atau masih ada yang lain" Pertanyaan tak henti-henti menghantui benakku.
Sejak Kapten Nemo masuk ke kamarnya, aku tak melihatnya lagi untuk beberapa waktu. Tapi dari keadaan kapal, kuketahui bahwa ia sedang sedih dan bingung. 'Nautilus' tak berlayar mengikuti alur tertentu, melainkan terombang-ambing didorong ombak. Arahnya tak menentu. Rupanya
306 Kapten Nemo tak mampu melepaskan diri dar
i kenangan pada perjuangan yang baru lalu. Ingatannya masih selalu melekat pada lautan yang menelan seorang dari anak buahnya.
Sepuluh hari lamanya kami berada dalam keadaan demikian. Baru pada tanggal 1 Mei, 'Nautilus' melanjutkan pelayaran ke arah utara. Kami mengikuti alur Arus Teluk. Sebenarnya arus itu merupakan sungai dalam laut, karena airnya tak tercampur dengan air samudera. Rasanya pun lebih asin dari perairan sekelilingnya. Dalamnya rata-rata hampir dua ribu meter, sedang lebarnya sekitar sepuluh mil. Di tempat-tempat tertentu, Arus Teluk mengalir dengan kederasan dua setengah mil sejam. Sedang air yang membentuk arus itu jauh lebih banyak dari air sungai di seluruh bumi.
Perairan di situ sangat kaya dengan kehidupan. Berbagai jenis ikan yang kulihat berenang dalamnya. Di malam hari, sinar pendar yang ditimbulkan arus, bersaingan dengan kekuatan cahaya listrik kapal kami; apalagi pada saat-saat cuaca buruk, yang sering terjadi di situ.
Tanggal 8 Mei kami melewati Teluk Hatteras, di depan wilayah Karolina Utara. Lebar Arus Teluk di situ sekitar tujuh puluh lima mil, sedang dalamnya dua ratus meter. 'Nautilus' masih tetap bergerak de-ngan arah tak menentu. Kelihatannya sudah tak ada lagi pengawasan. Aku menyangka kami bisa memanfaatkan kesempatan itu, untuk melarikan diri. Kami akan bisa meminta perlindungan pada kaum penduduk yang,hidup di pesisir daerah itu. Apalagi di perairan itu banyak kapal-kapal yang lalu lalang antara New York atau Boston ke Teluk Meksiko. Siang malam, ada saja perahu-perahu sekunar yang berlayar di depan pantai timur Ame-rika itu. Jadi ada harapan kami, akan tertolong oleh
307 mereka. Kesempatan baik sekali, meski jarak 'Nau tilus' dari pantai masih sekitar tiga puluh mil.
Namun niat kami yang didorong oleh tekat Ned Land, akhirnya digagalkan oleh keadaan alam. Cuaca sangat buruk. Kami telah memasuki darah yang sering kali dilanda angin topan. Mencoba berperahu dalam keadaan seperti itu, berarti bunuh diri. Hal itu juga diakui oleh Ned. Hatinya sangat gelisah, karena tak bisa memanfaatkan kesempatan. Pada suatu hari ia datang padaku.
"Profesor," ujarnya, "keadaan seperti ini harus berakhir. Aku harus terus terang. Kapten Nemo bermaksud menuju ke utara. Tapi aku sudah bosan dengan Kutub Selatan. Jadi aku tak sudi ikut dengannya ke Kutub Utara."
"Tapi apa yang bisa kita lakukan" Tak mungkin bisa melarikan diri dalam keadaan seperti ini!"
"Kita harus bicara dengan Kapten," katanya. "Sewaktu kita berada dalam perairan negara Tuan, Profesor tak membuka mulut. Kini kita sudah dekat dengan perairan negaraku. Aku akan berbicara dengannya. Kalau kupikirkan, sebentar lagi 'Nautilus' akan sudah berlayar di depan Nova Scotia, wah - berdiri bulu romaku karena jengkel. Dekat Newfoundland ada teluk yang besar. Sungai St. Lawrence bermuara di teluk itu. Dan St. Lawrence adalah sungaiku, sungai yang mengalir lewat kota asalku, yaitu Quebec! Aku tak mau tinggal lebih lama lagi di kapal ini! Sesak rasanya nafasku!"
Kelihatan jelas, bahwa juru tombak sudah tak sa-bar lagi. Wataknya yang bersemangat tak mampu menahan beban, terkurung begini lama di suatu tempat saja. Wajahnya makin lama makin masam, sedang kelakuannya pun semakin menjadi pema-rah. Aku tahu bahwa dia menderita, karena aku pun sudah merasa rindu pada kebebasan. Hampir tujuh bulan lamanya kami terputus dari dunia luar.
308 Pengasingan diri oleh Kapten Nemo, semangatnya yang melesu - apalagi sesudah terjadi pertarungan melawan ikan-ikan gurita - menyebabkan aku menilai keadaan dengan pandangan berbeda.
"Bagaimana, Profesor"" tanya Ned, karena melihat tak ada jawaban dariku.
"Anda menginginkan, agar aku berbicara pada Kapten Nemo, untuk menanyakan maksud-mak-sudnya mengenai diri kita"" "Ya, betul."
"Walau hal itu sudah pernah ditandaskan oleh-nya""
"Ya! Aku ingin membereskan persoalan itu, su-paya jelas. Profesor bisa bicara untukku sendiri, jika segan ikut."
"Tapi aku jarang bertemu dengannya. Dia selalu mengelak."
"Karenanya lebih kuat lagi alasan untuk mendatangi."
Aku masuk ke kamarku. Dari situ aku bermaksud menuju ke bilik Kapten. Pintu ku
ketuk. Tak ada jawaban dari dalam. Kuketuk sekali lagi, lalu tombol pintu kuputar. Pintu terbuka, dan aku masuk ke dalam. Kapten ada dalam biliknya. Dia sedang bekerja. Rupanya ketukanku tadi tak didengar olehnya. Aku membulatkan tekat, untuk tidak pergi sebelum berbicara dengan dia. Aku datang mendekat. Ia menengadah sambil mengerutkan dahi. Dengan kasar ia berkata, "Anda di sini! Mau apa""
"Saya ingin bicara sebentar dengan Anda, Kap-ten."
"Aku sedang sibuk bekerja. Anda kuberi hak un-tuk menyendiri. Tak bolehkah aku melakukan hal yang sama""
Penerimaannya tak membesarkan hati. Tapi aku sudah bertekat untuk berbicara dengannya.
309 "Kapten," ujarku dengan suara dingin, "saya datang untuk membicarakan suatu persoalan, yang tak bisa diundurkan lagi."
"Apa persoalan itu"" Ia bertanya dengan nada menyindir. "Barangkali Anda menemukan sesuatu yang terlepas dari perhatianku. Atau mungkin ada penemuan Anda yang baru dalam laut""
Ia mengejek. Tapi sebelum aku sempat menjawab, ditunjukkannya naskah tulisan yang terbuka di atas mejanya. Ia berbicara lagi, kali ini dengan suara yang lebih serius, "Ini, Profesor Aronnax! Naskah ini tertulis dalam berbagai bahasa. Isinya merupakan hasil penelitianku mengenai kehidupan samudera. Kalau Tuhan mengizinkan, aku tak mau naskah ini binasa bersama aku. Diperlengkap dengan sejarah hidupku, tulisan ini akan kumasukkan ke dalam sebuah peta yang tak bisa tenggelam. Orang yang terakhir hidup dalam kapal 'Nautilus' akan mencampakkannya ke laut, biar hanyut di bawa ombak ke mana saja!"
Nama dan sejarah hidupnya, ditulis dengan tangannya sendiri! Jadi rahasia dirinya akan diketahui orang banyak pada suatu hari nanti.
"Kapten! Saya sangat setuju pada gagasan yang mendorong Anda untuk berbuat begitu," ujarku. "Hasil penelitian Anda tak boleh sia-sia. Tapi cara Anda meneruskannya demi masyarakat ramai, saya rasa agak ceroboh. Siapa tahu, ke mana peti itu akan dibawa ombak" Siapa yang bisa tahu, siapa yang akan mengambilnya dari laut" Tidak bisakah Anda memakai cara lain" Tak bisakah Anda, atau salah seorang anak buah -"
"Tidak bisa!" ujarnya memotong dengan cepat. "Tapi saya dan teman-teman bersedia menyimpankan peti bagi Anda. Jika kami Anda bebaskan
310 "Membebaskan kalian bertiga"" tanyanya sambil bangkit.
"Ya, Kapten. Itulah persoalan yang ingin saya bicarakan dengan Anda. Sudah tujuh bulan kami berada di kapal ini. Hari ini, atas nama kedua teman juga, ingin saya tanyakan apakah Anda bermaksud menahan kami untuk selama-lamanya di sini""
"Profesor Aronnax. Jawabanku masih tetap seperti yang sudah kuberikan tujuh bulan yang lalu: barangsiapa masuk ke kapal 'Nautilus', tak boleh keluar lagi."
"Jadi Anda memperbudak kami!"
"Terserah, nama mana yang Anda pakai untuk itu!"
"Tapi di mana-mana, budak memiliki hak untuk membebaskan diri."
"Siapa yang mengatakan, Anda tak memiliki hak itu" Pernahkah aku mengikat Anda dengan sumpah""
Ia menatap diriku dengan lengan tersilang.
"Baik Anda maupun saya sendiri, tak suka mengulangi persoalan sama. Tapi karena kita sudah mulai membicarakannya, lebih diteruskan saja. Saya ulangi sekali lagi, kegiatan ilmiah merupakan suatu kenikmatan yang menyebabkan saya lupa pada hal-hal lainnya. Seperti Anda juga, saya bersedia hidup terasing. Harapan saya adalah, semoga bisa mewariskan hasil jerih payah bagi keturunan manusia di masa mendatang. Tapi soalnya lain dengan Ned Land. Setiap orang layak mendapat perhatian. Tak pernahkah Kapten memikirkan, bahwa rasa cinta kebebasan, rasa benci pada perbudakan, bisa menimbulkan nafsu balas dendam dalam diri seseorang yang berwatak seperti Ned Land" Dia bisa memikirkan, kemudian mencoba -"
311 Aku berhenti bicara, ketika melihat Kapten Nemo berdiri.
"Aku tak peduli, apa yang dipikirkan dan dicoba oleh Ned Land! Bukan aku yang mencarinya! Bukan untuk kesenanganku, dia kutahan di kapal! Anda, Profesor Aronnax, adalah seseorang yang memahami segala-galanya. Juga balasan yang tak diberikan. Kuharap kedatangan Anda untuk membicarakan persoalan ini, merupakan yang terakhir kalinya. Tak ada lagi yang mau kukatakan. Lain kali, aku tak sudi
mendengar lagi!" Aku pergi meninggalkannya. Keadaan kami gawat. Hasil pembicaraan itu kukabarkan pada Ned dan Conseil.
"Sekarang kita tahu, tak ada yang bisa diharapkan dari orang itu. 'Nautilus' bergerak mendekati Pulau Long Island. Apa pun yang terjadi, kita akan berhasil melarikan diri."
Tapi keadaan alam memungkiri ramalannya itu. Langit kelihatan makin lama makin menyeramkan. Makin lama semakin jelas tanda-tanda akan terjadi angin ribut. Langit semakin memutih dan berkabut. Ombak semakin meninggi. Burung-burung hilang dari pemandangan, kecuali burung-burung badai.
Akhirnya badai melanda pada tanggal 18 Mei. Saat itu 'Nautilus' sedang mengambang di atas permukaan laut di depan pantai Long Island. Jarak yang memisahkan kami dari pelabuhan New York, cuma beberapa mil saja. Tapi Kapten Nemo tak memberikan perintah untuk menyelam ke bawah air. Ia seolah-olah hendak menantang pertarungan melawan alam !
Angin mula-mula datang dari arah tenggara. Kapten Nemo berdiri di geladak, dengan badan terikat supaya jangan ditarik ombak masuk ke laut. Aku ikut-ikut mengikatkan tubuh ke geladak. Rasa
312 kagumku terbagi dua: takjub memandang lautan yang menggelora, dan aku pun kagum menyaksikan manusia luar biasa yang berani menantangnya.
'Nautilus' oleng sekali, kadang-kadang hampir tegak lurus letaknya di sela ombak menggunung. Menjelang pukul lima hujan turun dengan deras. Tapi ombak dan angin masih terus mengamuk. Angin ribut bertiup dengan kecepatan mendekati seratus lima puluh mil sejam. Namun kapal kami membuktikan kebenaran ucapan seorang insinyur pandai, yang mengatakan bahwa kapal yang baik pembuatannya pasti mampu menahan amukan laut yang bagimanapun dahsyatnya.
Badai semakin menjadi-jadi pada malam hari. Suhu udara semakin menjadi dingin. Aku melihat sebuah kapal terombang-ambing di ujung penglihatan, nampaknya susah sekali melawan badai. Mungkin kapal itu sedang dalam perjalanan dari New York ke Liverpool, atau barangkali juga hendak menuju ke Le Havre. Tak lama kemudian, aku sudah tak bisa melihatnya lagi, karena hilang ditelan kegelapan badai.
Pukul sepuluh malam, langit merah seolah-olah terbakar karena kilat yang menyambar-nyambar. Tak tahan mataku menatap kesilauan cahaya. Tapi Kapten menyaksikan amukan itu, dengan pandangan seolah-olah iri. Telingaku hampir-hampir pekak karena bunyi ribut, yang ditimbulkan oleh campuran bunyi ombak berdeburan, angin menderu dan letusan petir. Tiba-tiba angin berubah, ber-tiap ke segala penjuru. Angin puting beliung yang semula datang dari timur, kembali lagi ke sana sesudah mengamuk ke utara, barat dan selatan.
Kapten Nemo seakan-akan bersikap menantang kematian yang pantas baginya, yaitu kematian di sambar petir. Kapal 'Nautilus' terlempar ke sana-sini. Taji baja yang terpasang di depan teracung ke
313 atas, dan menjadi penyalur petir. Kulihat percikan api yang memancar di ujungnya.
Aku tak tahan lagi menahan siksaan alam. Sambil merangkak, kudekati lubang tangga yang menuju ke bawah. Katup kubuka cepat-cepat, lalu turun menuju ruang duduk. Saat itu topan sedang mengamuk sehebat-hebatnya. Kami tak mungkin tetap berdiri, karena gerak kapal terlalu liar. Sekitar pukul dua belas, Kapten Nemo turun ke bawah. Kudengar tangki-tangki air mulai diisi pelan-pelan. Dengan lambat, 'Nautilus' menyelam ke bawah air. Lewat jendela kaca kulihat ikan-ikan besar ketakutan, berenang tak menentu seperti hantu dalam air. 'Nautilus' terus menyelam, makin lama semakin dalam. Kusangka jika kita sudah sampai di tempat sedalam lima belas meter, air akan tenang kembali. Tapi ternyata tidak, karena pergolakan yang terjadi pada permukaannya terlalu dahsyat. Baru ketika selaman sudah melebihi empat puluh lima meter, keadaan menjadi tenang. Takkan ada yang bisa menyangka bahwa permukaan air di atas sedang diamuk badai.
XX PENUNTUT BALAS KAPAL kami hanyut ke arah timur laut, sebagai akibat amukan badai. Dengannya lenyaplah segala harapan, untuk bisa melarikan diri ke pesisir New York atau St. Lawrence. Ned putus asa. Dia ikut-ikut mengurung diri, seperti Kapten Nemo.
Berhari-hari kami berlayar di tengah kabut,
yang sangat ditakuti para pelaut. Mula-mula kapal berlayar di atas permukaan, dan kemudian menyelam di bawah air. Dasar laut di situ kelihatan seperti medan pertempuran, di mana bergelimpangan bangkai kapal-kapal yang dikalahkan oleh lautan, ter-
314 bentur pada karang yang tak kelihatan. Tak sedikit pula yang karam di sini, karena menubruk kapal lain, walau telah dibunyikan sirene dan dinyalakan lampu-lampu terang !
Tanggal 15 Mei kami sampai di ujung selatan beting Newfoundland. Perairan di situ tak begitu dalam. Mulai dari posisi tersebut, Arus Teluk melebar dan melambat.
Tanggal 17 Mei kulihat ada kabel terhampar di dasar laut. Conseil mula-mula menyangka dia melihat naga laut yang besar, karena belum kuberi-tahu. Tapi dengan segera kuterangkan padanya, sambil menjelaskan cara memasang kabel itu. Yang pertama dibenamkan ke dasar laut pada tahun-tahun 1857 dan 1858. Namun setelah menyalurkan sekitar empat ratus telegram, kawatnya rusak. Tahun 1863 dilakukan pemasangan kabel kedua. Panjangnya dua ribu mil, sedang berat keseluruhannya empat ribu lima ratus ton. Tapi percobaan kedua ini juga menemui kegagalan.
Tanggal 25 Mei 'Nautilus' sampai ke tempat di mana kabel putus. Posisinya kurang lebih enam ratus lima puluh mil di depan pantai Irlandia. Waktu itu pukul setengah tiga siang, ketika para petugas di kapal yang memasang mengetahui bahwa hubungan dengan Benua Eropa terputus. Tukang-tukang listrik di kapal mengambil gagasan untuk memotong kabel terlebih dulu, sebelum mengangkatnya ke atas. Pukul sebelas malam mereka berhasil mengambil bagian yang rusak. Kabel dibetulkan, lalu dibenamkan kembali ke dasar laut. Tapi beberapa hari kemudian putus lagi; kali ini di bagian yang terlalu dalam, sehingga tak bisa diambil ke atas.
Kami semakin mengarah ke timur. Mungkinkah Kapten Nemo hendak mendarat di Pulau Inggris. Tidak! Aku heran, karena dia memutar haluan ke
315 arah selatan, menuju perairan Eropa kembali. Ned Land tak henti-hentinya bertanya, akan ke mana kita sekarang. Tapi aku tak mampu menjawabnya. Bagaimana mungkin" Kapten Nemo masih tetap tak mau menampakkan diri. Mungkinkah dia hendak menunjukkan garis pesisir Perancis padaku, sesudah memamerkan pantai Amerika pada Ned"
Tapi kapal berlayar terus ke selatan. Tanggal 30 Mei kami melewati ujung terselatan dari Inggris. Keesokan harinya 'Nautilus' melakukan gerakan berputar-putar. Ingin sekali kuketahui penyebabnya. Kelihatan seperti mencari suatu tempat yang sukar ditemukan. Tengah hari Kapten masuk ke ruang duduk. Dia sendiri yang menuliskan catatan mengenai pelayaran kapal. Ia tak berkata apa-apa, hanya wajahnya semakin kelihatan murung. Kenapa dia menjadi begitu sedih" Mungkinkah karena tahu, bahwa pesisir Benua Eropa sudah dekat" Apakah dia terkenang pada negeri yang ditinggalkan" Jika tidak, kenapa dia murung" Mungkinkah dia menyesal, atau merasa bersalah" Lama sekali pertanyaan-pertanyaan itu menyibukkan diriku. Aku mendapat firasat: tak lama lagi, suatu kejadian akan menyibakkan rahasia yang dipendam oleh Kapten Nemo.
Tanggal 1 Juni, kapal masih tetap melakukan gerakan sama. Sekarang aku merasa pasti, 'Nautilus' sedang mencari satu tempat tertentu dalam samudera. Seperti hari sebelumnya, untuk mengetahui posisi kami di laut. Saat itu laut tenang, langit pun cerah. Kira-kira delapan mil di sebelah timur, nampak sebuah kapal uap sedang berlayar. Di tiangnya tak kelihatan bendera berkibar, jadi tak dapat kuketahui kebangsaannya. Beberapa menit sebelum matahari melewati titik lintasannya yang tertinggi, Kapten Nemo meraih sekstan dan
316 melakukan pengamatan dengan saksama. Laut tak berombak sama sekali, sehingga memudahkan pekerjaannya.
Pada waktu aku juga berada di atas geladak. Kudengar Kapten menggumamkan kata-kata,
"Di sinilah tempatnya."
Ia berpaling, lalu turun ke bawah. Apakah dia juga melihat kapal, yang sementara itu mengubah arah dan berlayar menghampiri" Aku tak tahu. Aku kembali ke ruang duduk. Pelat-pelat menutup lubang tangga. Kudengar bunyi mendesis, ketika air dialirkan ke dalam tangki-tangki pemberat. 'Nautilus' mulai menyelam tegak lurus ke bawah
, karena baling-baling tidak bekerja. Beberapa menit kemudian gerakan membenam terhenti pada kedalaman melebihi tujuh ratus meter. 'Nautilus' mengendap di dasar laut. Lampu-lampu plafon dipadamkan. Katup jendela dibuka, dan kulihat air laut yang terang disinari lampu sorot kapal.
Kulayangkan pandangan ke sisi kiri. Tapi tak nampak apa-apa di situ, kecuali air tenang. Tapi di dasar laut sebelah kanan nampak sesuatu benda besar terhampar. Dengan segera rasa ingin tahuku timbul. Sepintas lalu, benda itu seolah-olah reruntuhan yang tertimbun kulit lokan putih, kelihatannya seperti diselimuti salju. Tapi sesudah kuperhatikan lebih saksama, kukenali bentuk sebuah kapal yang tak bertiang lagi. Pasti tenggelamnya sudah lama sekali.
Kapal apakah ini" Kenapa 'Nautilus' datang ke mari" Aku tak bisa menebaknya. Tiba-tiba kudengar suara Kapten Nemo berbicara dengan suara pelan padaku,
"Dulu kapal ini bernama Marseillais. Persenjataannya tujuh puluh empat pucuk meriam. Peluncurannya dilakukan pada tahun 1762. Tanggal 13 Agustur 1778, Marseillais bertempur melawan kapal
317 'Preston'. Tahun 1779, pada tanggal 4 Juli, kapal ini ikut dalam serangan merebut Granada, ikut dalam armada yang dipimpin oleh Laksamana Estaing. Tahun 1794, Republik Perancis mengubah namanya. Tanggal 16 April tahun yang sama, kapal ini ikut dalam mengawal iring-iringan kapal pengangkut jagung yang datang dari Amerika. Pada tanggal 11 dan 12 Prairial tahun kedua sesudah penggantian namanya, armada pengawal diserang kapal-kapal Inggris." Kapten Nemo mempergunakan penanggalan revolusioner Perancis, di mana Prairial merupakan bulan kesembilan, dan masanya dari tanggal 20 Mei sampai 18 Juni. Ia melanjutkan penuturannya. "Profesor, hari ini tanggal 13 Prairial, atau satu Juni 1868. Tepat pada posisi ini, dan tepat tujuh puluh empat tahun yang lampau, kapal ini tenggelam; tenggelam sesudah berjuang dengan gagah berani, sehingga ketiga tiang layarnya patah. Mereka memilih tenggelam bersama ke-356 awak kapal, daripada menyerah. Kapal terbenam ke bawah ombak, dengan bendera terpaku ke buritan, dan teriring seruan lantang, 'Hidup Republik'."
"Ah, 'Penuntut Balas'!" seruku.
"Ya Profesor, 'Penuntut Balas'! Nama yang cocok!" gumam Kapten Nemo. Ia berdiri sambil menyilangkan lengan.
XXI PEMBANTAIAN BESAR-BESARAN
CARA Kapten Nemo mengisahkan riwayat kapal yang pantang menyerah, dan gerak perasaannya ketika mengucapkan kata-kata terakhir, caranya menyebut nama 'Penuntut Balas', sangat
318 mengesan bagiku. Mataku terus menatap Kapten, yang berdiri dengan tangan menunjuk ke laut. Matanya bersinar-sinar, memperhatikan bangkai kapal perkasa yang terhampar di dasar laut. Mungkin aku takkan pernah tahu siapa dia, dan dari mana asalnya. Mungkin aku tak akan mengetahui ke mana tujuannya. Tapi sekarang aku tahu, apa yang menggerakkan dirinya. Bukan ketidaksenangan pada umat manusia yang mendorongnya untuk mengurung diri dalam 'Nautilus' bersama anak buahnya. Bukan! Penyebabnya adalah suatu kebencian menyala-nyala, kebencian tertentu yang takkan mungkin berkurang. Tapi apakah kebencian ini masih menuntut balasan" Masa depan yang akan menentukan jawabannya.
'Nautilus' mengambang lagi pelan-pelan ke permukaan laut. Bentuk kapal 'Penuntut Balas' makin lama semakin hilang dari penglihatan kami. Saat itu terdengar bunyi dentuman samar. Aku memandang Kapten. Ia tak bergerak sama sekali.
"Kapten," sapaku.
Ia tak menjawab, karena itu kutinggalkan sendiri. Aku naik ke atas geladak. Ned dan Conseil sudah berdiri di sana.
"Bunyi apakah itu tadi"" tanyaku.
"Tembakan meriam," jawab Ned singkat.
Aku memandang ke arah kapal yang sudah kulihat sebelumnya. Jaraknya dari kami semakin berkurang, tinggal kira-kira enam mil. Nampak bahwa kapal itu mempercepat jalannya.
"Kapal apakah itu, Ned"" tanyaku.
"Kalau melihat bentuk dan ukurannya, kurasa itu kapal perang," jawab juru tombak. "Mudah mudahan tembakannya sampai ke mari, dan jika perlu biar tenggelam kapal 'Nautilus' keparat ini."
"Ned," jawab Conseil, "apalah yang dapat diperbuat kapal itu terhadap 'Nautilus'" Bisakah dia
319 menyerang di bawah permukaa
n air" Dapatkah menembaki kita di dasar laut""
"Bisakah Anda melihat, dari negara manakah asal kapal itu"" tanyaku pada Ned Land.
Juru tombak menajamkan mata. Beberapa saat diperhatikannya kapal yang semakin mendekat.
"Tidak bisa, Profesor," katanya pada akhirnya. "Aku tak bisa mengatakan dari mana asalnya, karena sama sekali tak mengibarkan bendera. Tapi dari panji-panji yang berkibar di ujung tiang besar, aku berani memastikan bahwa yang datang itu kapal perang."
Seperempat jam lamanya kami bertiga memperhatikan kapal, yang melaju ke tempat 'Nautilus' sedang terapung-apung. Aku tak yakin mereka sudah melihat kami, apalagi mengetahui bahwa 'Nautilus' sebuah kapal selam. Tak lama kemudian Ned Land sudah berhasil mengenali jenisnya, yaitu sebuah kapal pendobrak bergeladak dua tingkat dan berlapis baja. Asap hitam mengepul dari kedua cerobongnya. Kami tak melihat bendera dikibarkan. Jaraknya masih terlampau jauh, untuk mengenali warna panji-panji yang berkibar seperti pita tipis di ujung tiang. Kapal itu semakin mendekat. Jika Kapten Nemo membiarkannya sampai dekat sekali, maka ada harapan bagi kami untuk diselamatkan.
"Jika kapal itu lewat dengan jarak satu mil saja, aku akan terjun ke laut. Kunasihatkan pada Profesor, agar juga melakukannya."
Sarannya itu tak kujawab, karena masih asyik memperhatikan. Tak peduli kapal Inggris, Perancis, Amerika atau Rusia: kami bertiga pasti akan ditolong, asal bisa mencapainya. Tak lama kemudian kelihatan asap mengepul dari bagian depan kapal. Beberapa detik sesudah itu, air laut di buritan 'Nautilus' memercik ke atas, karena ada benda
320 berat yang jatuh ke dalamnya; pada saat bersamaan, terdengar dentuman nyaring.
"Mereka menembak kita!" seruku.
"Rupanya mereka sudah dapat melihat taji yang ada di depan."
"Tapi mestinya mereka juga sudah dapat melihat, bahwa di sini ada orang! ' kataku bingung.
"Mungkin justru karena itu mereka menembak," balas Ned Land.
Dengan seketika persoalannya menjadi jelas bagiku. Mestinya mereka sekarang sudah mengetahui wujud sebenarnya dari 'Nautilus'. Sudah pasti Commander Farragut dari kapal fregat 'Abraham Lincoln' sudah tahu, bahwa yang dikira ikan paus bertanduk sebenarnya sebuah kapal selam.
Ya, begitulah keterangan yang masuk akal, kenapa kami diserang dengan tembakan. Mestinya saat ini seluruh permukaan laut sedang diperiksa oleh kapal-kapal perang, mencari alat pemusnah ini. Memang menyeramkan, jika Kapten Nemo mempergunakan 'Nautilus' sebagai alat pembalas dendam. Dan bukan kemustahilan! Ketika kami dikurung dalam kamar masing-masing, pada malam hari di tengah-tengah Samudera Hindia, bukankah saat itu dia menyerang kapal lain" Barangkali awak kapal yang dikuburkan di dasar laut, merupakan korban benturan yang diakibatkan oleh 'Nautilus'"
Ya, ulangku dalam hati. Mestinya demikian. Sebagian dari tabir rahasia yang menyelimuti diri Kapten Nemo sudah tersibak. Jika belum diketahui siapa dia, namun setidak-tidaknya berbagai negara yang bergabung untuk melawannya sudah bukan mengejar makhluk bayangan lagi, melainkan memburu seseorang yang sangat membenci mereka. Semua peristiwa yang kami alami selama di kapal, melintas lagi dalam ingatanku.
321 Kami bertiga tidak bisa mengharapkan adanya sambutan ramah di atas kapal yang semakin mendekat. Di sana hanya ada lawan yang kenal belas kasihan.
Tembakan-tembakan berdentuman, peluru-peluru berhamburan dalam air sekitar kami. Tapi tak satu yang mengenai kapal. Jarak kapal perang tinggal tiga mil. Walau terjadi penembakan seru, Kapten Nemo tetap tak muncul ke geladak. Kami berpikir, jika ada satu saja peluru yang mengenai 'Nautilus', akibatnya akan parah bagi kami. Juru tombak mengambil keputusan.
"Profesor, kita harus membebaskan diri dari kerumitan ini," ujarnya. "Kita berikan saja isyarat pada mereka. Mudah-mudahan saja mereka akan tahu, bahwa kita orang baik-baik."
Ned Land mengeluarkan sapu tangan. Maksudnya hendak dilambaikan sebagai tanda isyarat. Tapi baru saja potongan kain itu muncul, dia terpukul oleh tangan kuat. Walau juru tombak bertenaga besar, namun dia terpelanting juga ke geladak.
"Tolol!" benta k Kapten. "Kau rupanya ingin ditusuk taji 'Nautilus', sebelum senjata itu kuhu jamkan ke kapal lawanku""
Sangat seram rasanya melihat Kapten Nemo marah. Mukanya pucat pasi, sedang di dahi kelihatan urat nadi berdenyut-denyut. Matanya dipicingkan, sehingga tinggal secelah. Ia menggoncang-goncang bahu Ned. Sudah itu ia memalingkan tubuh, memandang kapal perang yang masih terus menembaki. Kapten Nemo berseru dengan suara nyaring,
"Hai kapal negara keparat, rupanya kau kenal siapa aku! Aku tak memerlukan benderamu, untuk mengetahui siapa kamu! Lihatlah, akan kutunjukkan benderaku!"
Kapten Nemo membentangkan bendera hitam di bagian depan geladak. Bendera itu serupa dengan
322 yang ditaruhkannya di Kutub Selatan. Saat itu suatu tembakan mengenai kulit pelapis 'Nautilus'; kenanya miring, sehingga tak menembus. Sesudah terpantul dekat kaki Kapten, peluru jatuh ke laut. Kapten Nemo mengangkat bahu. Ia memerintahkan dengan singkat, "Turun ke bawah, semuanya turun!"
"Kapten," kataku memberanikan diri, "apakah Anda hendak menyerang kapal itu""
"Aku akan menenggelamkannya!"
"Hal itu tak boleh Anda lakukan!"
"Aku akan melakukannya," balas Kapten dengan nada dingin. "Kunasihatkan pada Anda, janganlah mencoba mengutuk tindakanku. Nasib sudah menghendaki, bahwa Anda melihat sesuatu yang sebenarnya tak boleh Anda saksikan. Serangan sudah dimulai. Turunlah sekarang!"
"Kapal dari mana itu""
"Anda tak tahu" Kalau begitu, bagus! Setidak-tidaknya kebangsaan mereka tetap merupakan rahasia bagi Anda. Turun!"
Kami terpaksa menuruti perintahnya. Kurang lebih lima belas awak kapal berdiri sekeliling komandan mereka. Semua memandang kapal perang dengan sinar mata benci. Terasa bahwa semuanya bernafsu, ingin membalas dendam. Tepat pada saat aku turun, sebuah peluru meriam mengenai 'tubuh 'Nautilus'. Masih sempat terdengar ucapan Kapten Nemo,
"Tembaklah, kapal gila! Hamburkan pelurumu habis-habisan! Semua akan sia-sia. Kau pasti tak bisa mengelakkan diri dari taji 'Nautilus'. Tapi bukan di sini tempatmu binasa nanti. Aku tak mau bangkaimu bercampur dengan sisa kapal 'Penuntut Balas'!"
Aku sampai di kamar. Kapten tinggal di atas geladak, disertai oleh ajudannya. Baling-baling mulai
323 berputar. 'Nautilus' meluncur maju. Tak lama kemudian, peluru lawan sudah tak sampai lagi. Tapi mereka mengejar terus, sedang Kapten Nemo memerintahkan agar kapal dijalankan dengan kecepatan sebanding.
Menjelang pukul empat sore, aku tak bisa menahan sabar lagi. Aku pergi ke tangga tengah. Lubang di atas terbuka. Dengan hati-hati kupanjat tangga sampai ke geladak. Kapten masih ada di atas. Dia berjalan mondar-mandir dengan gelisah. Matanya terus ditatapkan ke arah kapal, yang berlayar lima sampai enam mil di bawah angin. Kapten Nemo menarik lawannya ke arah timur, dibiarkan mengejar terus. Tapi dia tak melakukan serangan balasan. Mungkin dia masih ragu-ragu! Aku membuka mulut, maksudku menenangkan kemarahan Kapten. Tapi baru saja aku mau berkata, Kapten Nemo sudah menyuruh diam.
"Akulah hukum, dan akulah hakim mereka! Aku yang tertindas, dan mereka itulah yang menindas. Karena mereka yang menyebabkan aku kini tak punya negara, dan sanak keluarga. Kulihat betapa semuanya musnah! Di sana itulah semua yang kubenci. Jangan berkata apa-apa lagi!"
Kulayangkan pandangan terakhir ke arah kapal perang, yang berlayar semakin laju. Aku turun ke bawah lagi, mendatangi Ned dan Conseil.
"Kita lari dari sini!" kataku.
"Bagus!" ujar Ned menyetujui. "Kapal dari manakah itu""
"Aku tak tahu. Tapi bagaimana juga, sebelum lama tiba akan sudah tenggelam. Pokoknya lebih baik kita mati bersama mereka, daripada menjadi sekutu dalam tindakan balas dendam, yang tak kita ketahui layak atau tidak."
"Begitu juga pendapatku," sambut Ned Land. "Kita tunggu saja sampai nanti malam."
324 Ketika malam tiba, keadaan dalam kapal sunyi sepi. Dari jarum pedoman kuketahui bahwa 'Nautilus' belum mengubah arah haluan. Kapal berlayar di permukaan, geraknya agak oleng. Kami bertiga mengambil keputusan untuk melarikan diri, apabila kapal yang mengejar sudah cukup dekat untuk melihat atau mendengar kami. Kalau kami
sudah berada di atasnya, kami akan menghindarkan kapal itu dari benturan 'Nautilus'. Atau setidak-tidaknya kami akan berusaha melakukannya. Beberapa kali kukira 'Nautilus' siap hendak menyerang.Tapi ternyata Kapten Nemo hanya main kucing-kucingan saja dengan lawannya. Dibiarkan mendekat, sudah itu ditinggalkan lagi.
Malam semakin larut, tanpa kejadian yang menentukan. Kami terus menanti-nanti kesempatan baik untuk lari. Kami tak banyak bicara. Ned Land sudah tak sabar lagi. Dia berniat menceburkan diri ke laut, tapi kupaksa agar menunggu dulu. Akan lebih gampang melarikan diri, jika 'Nautilus' mulai menyerang nanti.
Pukul tiga pagi aku sudah tak mampu menahan kegelisahan. Aku naik ke atas geladak. Kapten Nemo masih tetap ada di sana. Ia berdiri di depan, dekat bendera yang berkibar di atas kepalanya. Saat itu bulan yang hampir purnama, sudah melampaui titik tertinggi di langit. Suasana malam sangat tenang, berlawanan dengan kekerasan yang sedang menanti saat ledakan. Aku menggigil seram.
Kapal yang mengejar tinggal dua mil lagi di belakang kami. Semakin lama semakin mendekati cahaya pendar, yang menunjukkan posisi 'Nautilus'. Aku dapat melihat lampu-lampu merah dan hijau di kapal itu, serta lampu putih yang tergantung pada tiang haluan yang besar. Tubuhnya bergetar, menandakan bahwa ketel-ketel uap
325 bekerja sekuat tenaga. Api memercik dari cerobong, bersinar bagaikan bintang.
Aku tetap di atas sampai pukul enam pagi. Selama itu Kapten Nemo tak tahu, bahwa aku ada di atas. Kapal lawan berhenti pada jarak satu se-tengah mil dari kami. Begitu fajar menyingsing, tembakan-tembakan dimulai lagi. Sebentar lagi 'Nautilus' pasti akan membalas serangan. Saat itulah yang kami tunggu-tunggu, untuk melarikan diri dari kapal. Sebentar lagi kami akan meninggalkan Kapten Nemo untuk selama-lamanya. Aku melangkahkan kaki menuju lubang tangga, untuk memberitahu kedua temanku. Tapi aku tak jadi turun, karena pada saat itu ajudan muncul ke atas, disertai beberapa anak buah. Kapten tak melihat kedatangan mereka. Mungkin pula dia tak mau melihat mereka. Awak kapal yang datang langsung bekerja, rupanya melakukan persiapan serangan. Pagar besi sekeliling geladak diturunkan. Kotak kemudi dan kotak lampu sorot didorong ke bawah, sehingga letaknya rata dengan lantai geladak. Kapal kini merupakan serutu bulat panjang, sehingga dapat bergerak lincah.
Aku kembali ke ruang duduk. 'Nautilus' masih tetap terapung di permukaan laut. Kecepatannya berkurang. Aku tahu, Kapten sengaja melakukannya, agar musuh mendekat. Bunyi tembakan semakin jelas kedengaran, disusul oleh desisan peluru yang jatuh ke air.
"Sekarang tiba waktunya bagi kita," ujarku pada Ned dan Conseil. "Marilah berjabatan tangan. Semoga Tuhan melindungi kita!"
Ned Land bersikap tegas. Conseil tetap tenang. Tapi aku gelisah bukan kepalang, tak tahu bagaimana caranya menahan perasaan. Kami bertiga masuk ke perpustakaan. Tapi ketika pintu yang menuju ke lubang tangga kubuka, terdengar bunyi
326 katup atas tertutup dengan keras. Juru tombak bergegas menuju tangga, tapi sempat kutahan. Bunyi mendesis yang sudah begitu sering kami dengar, memberitahu bahwa air mengalir ke dalam tangki-tangki. Beberapa saat lagi 'Nautilus' akan sudah berada beberapa meter di bawah air.
Aku tahu apa yang hendak dilakukan oleh Kapten Nemo. Kami sudah terlambat untuk bertindak. 'Nautilus' tidak akan menyerang di atas air, karena lapisan baja kapal lawan di situ tak mungkin ditembus taji. Karena itu Kapten bermaksud untuk menusuk di bagian bawahnya, yang tak terlindung lagi.
Sekali lagi kami terkurung, terpaksa menjadi saksi kejadian seram yang akan berlangsung sebentar lagi. Tak ada waktu lagi untuk merenungkan situasi. Kami masuk ke kamarku, lalu saling berpandangan sambil membisu. Benakku seakan-akan lumpuh, tak mampu berpikir. Aku menunggu sambil mendengar. Seluruh kesadaranku hanya mengenal satu hal saja, yaitu mendengar!
'Nautilus' mempercepat jalannya, siap untuk menggempur. Seluruh badan kapal bergetar. Tiba-tiba aku menjerit. Aku merasakan benturan, yang tak begitu keras. Kurasakan betapa taji baja menembus
lambung kapal lawan. Kudengar bunyi kemertak dan menggeresek. Karena kelajuannya, 'Nautilus' menembus badan kapal, seperti jarum yang menembus kain layar !
Aku tak kuat lagi menahan diri; seperti orang gila, aku berlari ke luar kamar, menuju ruang duduk. Kapten Nemo ada di situ. Kelihatannya suram dan tak kenal ampun. Pandangnya menatap jendela sebelah kiri. Di luar nampak bayangan gelap, rupanya tubuh kapal lawan yang tenggelam. Sepuluh meter dari tempatku berdiri, kelihatan lubang menganga di lambung lawan. Air laut membanjir
327 masuk dengan suara menderu. Anjung kemudi dipenuhi bayangan-bayangan gelap, yang ribut lari kian ke mari.
Air semakin naik. Awak kapal yang malang berdesak-desakan naik tangga tali, memeluk tiang-tiang dengan erat. Aku menjadi saksi, betapa mereka kebingungan dikejar air laut yang membanjir. Aku tak sanggup melepaskan mata dan pemandangan yang mengerikan itu.
Tiba-tiba terjadi ledakan keras. Udara di bawah geladak, yang tertekan oleh air yang semakin meninggi, akhirnya memecah lantai di atasnya. Kapal perang semakin cepat karam. Kemudian bayangan gelap lenyap dari penglihatan. Kapal perang terbenam ke bawah ombak, menyeret sekian banyak manusia yang menjadi korban.
Aku berpaling, memandang Kapten Nemo. Pembalas dendam, dewa kebencian itu masih tetap memandang. Ketika semua sudah berlalu, ia berpaling dan masuk ke biliknya. Pintu tak ditutup olehnya, sehingga aku bisa melihat ke dalam. Di dinding sebelah ujung, di bawah gambar beberapa orang pahlawan, kulihat gambar seorang wanita muda beserta dua orang anak kecil. Kapten Nemo memandang gambar itu beberapa saat lamanya. Kemudian dia berlutut, sambil menangis tersedu-sedu.
XXII KATA-KATA KAPTEN NEMO YANG TERAKHIR
PELAT-PELAT katup ditutup, melenyapkan pemandangan ngeri. Tapi lampu-lampu dalam ruang duduk masih belum dinyalakan. Keadaan dalam kapal sunyi dan gelap. Kami meninggalkan
328 gelanggang pertarungan maut, dengan kecepatan tinggi. Ke mana lagi tujuan kali ini" Ke utara, atau ke selatan"
Aku kembali ke kamarku, di mana Ned dan Conseil menunggu sambil membisu. Dalam diriku timbul perasaan ngeri yang luar biasa terhadap Kapten Nemo. Apa pun yang dideritanya sebagai akibat mereka, tapi ia tak memiliki hak untuk melaksanakan hukuman yang sebegitu kejam. Dan dia membuat aku menjadi saksi pembalasan dendamnya, walau secara paksaan.
Lampu-lampu menyala kembali pada pukul sebelas. Aku pergi ke ruang duduk. Tak ada orang di situ. Kuperhatikan berbagai alat. 'Nautilus' berlayar menuju ke arah utara, dan dengan kecepatan dua puluh lima mil sejam. Kapal kadang-kadang bergerak di permukaan laut, kadang-kadang pula menyelam sampai sepuluh meter di bawahnya. Menjelang malam, kami sudah jauh sekali dari tempat malapetaka.
Aku masuk ke kamar, tapi tak bisa tidur. Pemandangan seram masih terus membayang. Mulai saat itu, siapa yang bisa mengatakan ke mana kami akan di bawa oleh 'Nautilus'" Kami masih tetap berlayar dengan laju. Kami masih tetap berada di tengah-tengah kabut daerah utara. Aku benar-benar tak tahu, ke mana arah haluan. Aku tak bisa lagi melihat waktu, karena semua jam di kapal dihentikan. Menurut dugaanku, sudah lima belas sampai dua puluh hari lamanya kapal membawa kami mengembara tak tentu arah. Entah masih berapa lama lagi kami terkungkung di dalamnya. 'Nautilus' boleh dikatakan terus-menerus bergerak di bawah air, hanya sekali-sekali saja muncul untuk mengambil udara segar. Pada saat-saat itu, katup lubang membuka dan menutup kembali secara mekanis. Tanda-tanda posisi tak dibubuhkan lagi di atas peta.
329 Karenanya aku tak tahu, di mana kami berada.
Ned Land pun sudah tak pernah muncul lagi. Kesabarannya sudah habis, begitu pula dengan tenaganya. Conseil tak berhasil mengajaknya bicara. Pelayanku itu khawatir, kalau-kalau pada suatu hari juru tombak mata gelap, dan membunuh diri.
Pada suatu hari, aku tertidur larut malam. Tiba-tiba aku terbangun, karena mendengar sesuatu dekatku. Ternyata Ned Land yang membungkuk di atas pembaringanku. Dia berbisik,
"Kita akan melarikan diri."
Seketika itu juga aku terduduk.
"Kapan"" tanyaku.
"Besok mal am. Kelihatannya, di kapal ini sudah tak ada lagi pengawasan. Semua kelihatan seperti terpukau. Profesor sudah siap""
"Ya. Tapi di mana kita sekarang""
"Tak jauh dari daratan. Pagi ini aku melakukan pengukuran dalam kabut. Dua puluh mil di sebelah timur, terdapat daratan."
"Negeri apa itu""
"Aku tak tahu. Tapi kita akan mencari perlindungan di sana, biar negeri apa juga yang kita temui."
"Baiklah, Ned. Kita akan mencoba lari, walau mungkin akan binasa ditelan ombak."
"Memang laut sedang mengganas. Tapi aku tak takut mengarungi jarak dua puluh mil, dengan perahu kapal 'Nautilus' yang enteng. Tanpa diketahui awak kapal, aku berhasil mencuri makanan dan air beberapa botol."
"Aku akan ikut dengan Anda."
"Tapi jika sampai ketahuan, aku akan membela diri. Aku akan memaksa mereka untuk membunuh diriku," demikian kata Ned penuh tekat.
"Kita akan mati bersama-sama, Ned."
330 Aku pun sudah membulatkan tekat. Juru tombak meninggalkan aku seorang diri. Aku keluar, naik ke atas geladak. Ombak yang memukul, memaksa aku mencari pegangan. Langit kelihatannya menyeramkan. Tapi jika di balik awan gelap benar ada daratan, maka kami harus mencoba lari.
Aku kembali ke ruang duduk. Rasa khawatir dan pengharapan bercampur aduk dalam diriku. Khawatir dan sekaligus berharap akan berjumpa dengan Kapten Nemo di situ. Apa yang bisa kukatakan padanya" Dapatkah aku menyembunyikan kengerianku padanya" Tidak! Jadi lebih baik jika aku tak bertemu muka lagi dengannya. Lebih baik kulupakan saja dia. Walau begitu -
Lama sekali rasanya hari terakhir di 'Nautilus'. Aku terus menyendiri. Ned dan Conseil juga membisu, karena takut kalau perasaan mereka akan ketahuan. Aku makan malam, tapi sama sekali tak terasa lapar. Kupaksakan diri untuk makan, agar jangan lemah nanti. Selesai makan, Ned Land masuk ke kamarku.
"Kita tak akan bertemu lagi, sampai saat berangkat. Kita akan memanfaatkan kegelapan malam, sebelum bulan muncul di langit. Datanglah ke perahu. Kami berdua menunggu di situ."
Dia pergi lagi, tanpa memberi kesempatan padaku untuk menjawab. Aku masuk ke ruang duduk, untuk mengetahui arah haluan 'Nautilus'. Ternyata kami mengarah ke utara timur laut, dengan kecepatan luar biasa. Kami bergerak di tempat sedalam lima belas meter dari permukaan. Untuk terakhir kalinya kulayangkan pandangan berkeliling. Kuperhatikan segalanya satu per satu. Sejam lamanya aku di situ. Sudah itu aku kembali ke kamar.
Berkeliling Dunia Di Bawah Laut Karya Jules Verne di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kukenakan pakaian tebal. Catatan-catatan kukumpulkan. Jantungku berdebar keras. Tak
331 mampu aku mengendalikannya. Pasti mata Kapten Nemo yang tajam akan segera melihat kegelisahanku saat itu.
Apakah yang sedang dilakukan olehnya saat ini" Kupasang telinga di pintu kamarnya. Terdengar bunyi langkah mondar-mandir. Jadi Kapten ada di dalam. Rupanya dia belum tidur. Setiap saat kusangka dia akan muncul, menanyakan kenapa aku ingin melarikan diri. Aku terus berada dalam keadaan siaga. Kucoba menenangkan diri, berbaring di tempat tidur. Tapi percuma. Semua pengalamanku selama berada di kapal 'Nautilus', seakan berbaris dalam ingatanku. Tanganku menjepit kepala, yang serasa akan meledak. Masih berapa lama lagi aku harus menunggu, dalam keadaan tak menentu ini"
Saat itu tiba-tiba terdengar bunyi organ memainkan lagu sendu, seperti suara ratapan jiwa yang ingin membebaskan diri dari kungkungan duniawi. Seluruh syarafku ikut mendengar. Aku hampir-hampir tak bernafas lagi. Seluruh perasaanku terpikat oleh bunyi organ.
Tiba-tiba terlintas pikiran, yang menyebabkan aku kaget. Kapten Nemo bermain organ. Hal itu berarti dia sudah meninggalkan biliknya, dan berada di ruang duduk. Aku harus lewat di situ nanti. Aku akan masih berjumpa dengan dia, untuk terakhir kalinya. Aku akan kelihatan olehnya. Barangkali dia akan berbicara padaku.
Tapi aku merasa bahwa sudah saatnya untuk berangkat meninggalkan kamar, menggabungkan diri dengan Ned dan Conseil. Aku tak boleh ragu, jika apabila Kapten Nemo menghadang. Dengan hati-hati kubuka pintu kamar.
Aku menyelinap ke luar. Tiap kali aku berhenti sebentar, untuk meredakan debaran jantung. Aku sampai ke depan pintu ruang duduk, lalu kubuka
332 pelan-pelan. Di dalam gelap gulita. Bunyi organ kedengaran pelan. Kapten Nemo ada di dalam. Pasti dia tak melihat aku. Kalau ruangan terang benderang pun, ia takkan melihat aku, karena begitu asyik bermain musik.
Kulangkahkan kaki, berjingkat-jingkat di atas permadani. Hampir lima menit waktu yang kuperlukan untuk mencapai pintu ruang perpustakaan.
Baru saja kubuka pintu itu, tiba-tiba terdengar suara keluhan Kapten Nemo. Aku tertegun. Aku tahu bahwa dia bangkit dari duduknya. Lampu kamar perpustakaan yang menyala agak menerangi ruang duduk, menyebabkan aku dapat melihat Kapten. Dia datang menghampiri tanpa berkata, dengan lengan tersilang di depan dada. Ia meluncur seperti hantu, lewat dekat padaku. Kudengar suaranya menggumamkan kata-kata,
"Ya Tuhan! Sudah, cukup!"
Suara penyesalankah itu, yang keluar dari hati nuraninya"
Aku bergegas melewati perpustakaan, lalu memanjat tangga tengah menuju ke lubang yang menghubungkan kapal dengan perahu di atas. Aku merayap lewat lubang itu, dan masuk ke perahu. Ned dan Conseil sudah menunggu di situ.
"Marilah! Kita lari sekarang!" kataku cemas.
"Sebentar lagi!" jawab juru tombak.
Mula-mula dia menutup lubang pada kulit kapal. Sekerup-sekerup dieratkannya dengan kunci palsu. Sudah itu ditutupnya pula lubang pada lunas perahu. Ned mulai membuka sekerup-sekerup yang masih menghubungkan kami pada kapal selam.
Tiba-tiba terdengar suara-suara orang berbicara dengan nyaring di dalam. Apakah yang terjadi" Barangkali mereka sudah tahu bahwa kami mela-
333 rikan diri. Terasa Ned menyelipkan sebilah pisau ke tanganku.
"Ya," gumamku, "kita tahu bagaimana mati secara jantan!"
Ned Land berhenti bekerja. Kami mendengar satu kata diucapkan berulang-ulang. Satu kata menyeramkan, yang menyebabkan kami mengetahui penyebab kegelisahan yang terjadi di bawah kami. Bukan kami rupanya yang diributkan oleh awak kapal.
"Pusaran air! Pusaran air!" kataku.
Tak ada kata yang lebih seram kedengarannya bagi kami pada saat itu! Rupanya kapal berada di perairan berbahaya, di depan pantai Norwegia. Apakah kapal 'Nautilus' terseret masuk ke dalam pusaran air, pada saat kami hendak melarikan diri dengan perahu. Kami mengetahui bahwa pada saat pasang naik, air yang terbendung antara pulau-pulau Ferroe dan Loffoden mengalir dengan keras, membentuk pusaran air raksasa yang membinasakan setiap kapal yang terjebak dalamnya. Dari segala penjuru datang ombak bergulung-gulung, membentuk kisaran raksasa yang menarik setiap benda yang berada dua belas mil di sekitarnya. Dan 'Nautilus' bergerak ke arah kisaran itu - entah disengaja atau tidak oleh nakhodanya, aku tak tahu.
Air laut berputar deras, lingkarannya makin lama semakin mengecil. 'Nautilus' ikut terseret ke tengah, dengan kecepatan luar biasa. Kepalaku mulai pusing karena putaran yang tak henti-hentinya.
Tubuh kapal berderak-derik. Deru air berputar, melanda batu-batu yang terdapat di dasar laut, pada mana benda-benda yang paling keras pun pasti hancur terbanting!
Keadaan kami amat gawat! Kapal tergoncang-
334 goncang. 'Nautilus' berjuang mati-matian, mempertahankan diri seperti makhluk hidup.
"Kita harus bertahan terus," ujar Ned. "Jaga jangan sampai sekerup-sekerup terlepas. Mungkin kita masih bisa selamat, jika -"
Ia tak sempat menyelesaikan kalimatnya. Terdengar bunyi geretak keras. Sekerup-sekerup terlepas. Perahu terenggut dari tempatnya di geladak, dan terlempar ke tengah-tengah pusaran.
Kepalaku terantuk pada sepotong besi. Aku pingsan.
XXIII PENUTUP DENGANNYA, pelayaran kami di bawah laut sampai pada akhirnya. Aku tak tahu apa yang terjadi selanjutnya pada malam itu. Aku tak tahu, bagaimana perahu sampai bisa membebaskan diri dari cengkeraman pusaran air. Tak kuketahui, betapa kami bertiga bisa keluar dari neraka itu.
Ketika aku siuman kembali, aku sudah terbaring dalam pondok seorang nelayan di Pulau Loffoden. Kedua temanku berada dalam keadaan sentosa. Kami berpelukan dengan penuh rasa haru.
Saat itu kami belum bisa memikirkan hendak kembali ke Perancis, karena hubungan antara wilayah utara Norwegia dengan daerah selatan jarang sekali. Karenanya aku te
rpaksa menunggu kapal, yang berlayar sebulan sekali dari Tanjung Utara.
Selama menunggu, aku sibuk menyusun catatan pelayaran kami. Semuanya kutuliskan, tanpa mengurangi satu patah kata pun, dan tanpa melebih-lebihkan.
Akan percayakah orang pada kisah pengalamanku ini. Aku tak tahu. Dan aku juga tak peduli. Pokoknya aku tahu, bahwa aku sudah mengelilingi
335 bumi lewat bawah air, dalam waktu tak sampai sepuluh bulan!
Apakah yang terjadi dengan 'Nautilus'" Berhasilkah kapal itu menahan tekanan yang diakibatkan oleh putaran air raksasa" Masih hidupkah Kapten Nemo" Mungkinkah pada suatu hari aku akan mengetahui nama sebenarnya" Apakah dari ke-bangsaan kapal yang hilang, aku akan mengetahui bangsa apa dia itu"
Aku sangat mengharapkannya. Aku juga mengharapkan, semoga kapalnya yang perkasa berhasil mengalahkan samudera di tempat yang paling menyeramkan itu. Aku berdoa, semoga 'Nautilus' berhasil unggul, di mana sekian banyak kapal lain sudah mengalami kebinasaan!
Jika doaku terkabul, jika Kapten Nemo masih terus menjadi penghuni samudera luas yang menjadi tanah airnya yang baru, maka kudoakan selanjutnya semoga kebencian berhasil lenyap dari hatinya. Semoga perenungan menghadapi sekian banyak keajaiban di bawah air, akan berhasil memadamkan api nafsu membalas dendam, yang membakar dalam dirinya. Semoga wujudnya selaku algojo menghilang, digantikan oleh tokoh penyelidik samudera yang damai.
TAMAT Djvu: BBSC Edit & Convert: inzomnia
http://inzomnia.wapka.mobi
tamat Ikat Pinggang Kemala 8 Pendekar Perisai Naga 2 Selendang Mayat Medali Wasiat 16