Pencarian

Keliling Dunia Dibawah Laut 4

Berkeliling Dunia Di Bawah Laut Karya Jules Verne Bagian 4


'Nautilus' harus dikemudikan dengan sangat saksama, agar jangan sampai terbentur penghalang dalam air itu.
Kutunjukkan pada Conseil letak gosong karang itu di peta.
"Wah, rupanya seperti tanah genting, yang menghubungkan Eropa dengan Benua Afrika."
207 "Ya. betul. Gosong itu berbentuk palang sampai ke Selat Libia. Menurut pengukuran yang pernah dilakukan, di jaman dulu kedua benua memang tersambung."
"Hal itu bisa saya bayangkan," sambut Conseil.
"Penghalang serupa, dulu juga ada antara Gibraltar dan Ceuta."
"Bagaimana halnya jika pada suatu waktu terjadi lagi letusan gunung api, dan kemudian kedua penghalang muncul ke atas permukaan laut""
"Wah, rasanya tak mungkin, Conseil."
"Pasti jika itu terjadi, akan sia-sia pekerjaan Tuan Lesseps dengan terusan Suez-nya."
"Betul katamu itu, Conseil. Tapi kuulangi sekali lagi, hal itu tak mungkin terjadi. Kekuatan di bawah kulit bumi semakin berkurang. Gunung-gunung api yang banyak sekali jumlahnya sewaktu bumi ini masih muda, satu persatu padam. Makin tua bumi kita, semakin dingin pula suhunya."
"Tapi kan masih ada panas matahari""
"Panasnya takkan mencukupi. Bisakah mat
ahari memanaskan tubuh yang sudah mati""
"Saya belum pernah mendengarnya."
"Nah, pada satu ketika nanti, bumi akan menjadi benda yang tak berpanas lagi. Tak mungkin lagi ada kehidupan di atasnya, jadi serupa dengan keadaan di bulan."
"Kapankah hal itu akan terjadi""
"Ah, masih beratus ribu tahun lagi, Conseil."
"Kalau begitu kita masih sempat menyelesaikan pelayaran kita."
"Setidak-tidaknya, selama Ned Land tak mengambil keputusan untuk lari."
Conseil merasa lega. Diperhatikannya kembali beting yang kami lewati dengan berhati-hati. 'Nautilus' kembali ke perairan dalam, dan kami dapat melaju dengan kecepatan tinggi. Kami pun
208 tak melihat apa-apa lagi, kecuali bayangan-bayangan kabur.
Tanggal 18 Pebruari, pukul tiga subuh, kami sampai di pintu gerbang Selat Gibraltar. Di situ terdapat dua arus. Yang pertama letaknya di atas, dan dari dulu sudah dikenal orang. Arus itu membawa air dari Samudera Atlantik memasuki Laut Tengah. Sedang arus yang sebelah bawah, yang juga sudah diduga dari dulu, kini terbukti memang ada. Memang kalau diingat air laut yang mengalir masuk, ditambah dengan arus sungai yang bermuara di situ, maka mestinya permukaan Laut Tengah meninggi. Penguapan saja tak mungkin mengimbangi pertambahan air. Namun kenyataannya tidak begitu! Jadi harus diakui adanya arus balik di bawah arus yang nampak, dengan mana air Laut Tengah mengalir kembali ke Atlantik.
Dugaan itu ternyata benar. Dan 'Nautilus' berlayar ke luar, dengan memanfaatkan arus bawah itu. Kami melaju lewat selat sempit. Sekilas nampak olehku puing-puing indah dari kuil Herkules, yang terbenam dalam air bersama pulau tempatnya didirikan di jaman purba. Beberapa menit kemudian kami sudah terapung-apung di perairan Samudera Atlantik.
VIII TELUK VIGO ATLANTIK! Samudera luas, yang merupakan muara sungai yang besar-besar. St. Lawrence, Mississippi, Amazona, Sungai Plata, Orinoko, Niger, Senegal, Elbe, Loire, dan Sungai Rhein, semuanya menumpahkan air yang dibawanya ke Atlantik. Lautan luas ini diarungi kapal-kapal dari semua negara di dunia, namun berujung pada dua tanjung menyeramkan, yang ditakuti para pelaut: Tanjung Tanduk dan Tanjung Harapan!
209 'Nautilus' mengiris air dengan ujungnya yang lancip. Dalam waktu tiga setengah bulan, kami sudah hampir mengitari bumi. Ke mana tujuan sekarang" Apakah yang akan kami alami di masa depan" Sesudah meninggalkan Selat Gibraltar, 'Nautilus' berlayar ke tengah samudera. Kami muncul kembali ke permukaan, sehingga mungkin lagi berjalan-jalan setiap hari di atas geladak.
Dengan segera aku naik, diikuti oleh Ned dan Conseil. Tanjung St. Vincent kelihatan samar-samar, pada jarak sekitar dua belas mil dari tempat kami. Tanjung itu merupakan ujung barat daya dari Jazirah Sepanyol. Angin meniup keras dari arah selatan. Laut bergelombang besar, menyebabkan 'Nautilus' oleng sekali. Hampir tak bisa kami tetap berdiri di geladak. Karena itu, sesudah menghirup udara segar sebagai cadangan, kami turun lagi ke bawah.
Aku kembali ke kamar, sedang Conseil juga masuk ke biliknya. Tapi juru tombak mengikuti di belakangku. Rupanya ada yang hendak ditanyakan olehnya. Pelayaran laju mengarungi Laut Tengah, menyebabkan dia terpaksa mengurungkan niat untuk melarikan diri. Ia tak bisa menyembunyikan rasa kecewa. Ketika pintu kamar sudah kututup, ia duduk dan memandang aku tanpa berkata sepatah pun juga.
"Ned," ujarku menghibur, "aku dapat memahami kekecewaan Anda. Tapi janganlah mempersalahkan diri sendiri. Dalam pelayaran selaju itu, adalah perbuatan nekat jika Anda masih mencoba melarikan diri."
Ned Land tak menjawab. Bibirnya terkatup rapat, sedang alisnya dikerutkan. Kelihatan ia masih tetap jengkel.
"Begini sajalah," kataku menyambung. "Kita belum perlu berputus asa. Kapal ini akan menyu-
210 suri pesisir Portugal. Perancis dan Inggris tak jauh lagi, dan di kedua negeri itu kita pasti mendapat perlindungan. Aku pasti akan gelisah seperti Anda, jika 'Nautilus' bergerak ke selatan sesudah meninggalkan Gibraltar. Tapi sekarang kita tahu bahwa Kapten Nemo tak menjauhi perairan ramai. Pasti akan datang saatnya, di mana Anda akan dapat
melakukan niat, dengan aman."
Ned Land menatap mataku. Akhirnya dia membuka mulut, dan berkata, "Saya akan melarikan diri malam ini."
Aku terkejut, karena ucapan itu datang tak terduga. Aku mau menjawab, tapi tak sepatah kata yang keluar dari mulut.
"Kita sudah sepakat untuk menanti kesempatan baik," ujar Ned selanjutnya. "Dan sekarang tiba saatnya. Malam ini jarak kita dari pesisir Sepanyol cuma beberapa mil saja. Langit mendung, dan angin bertiup cukup keras. Tuan sudah berjanji, Profesor Aronnax; aku menyandarkan diri pada janji itu."
Aku masih tetap membisu. Juru tombak mendekat.
"Malam ini, pukul sembilan," ujarnya. "Aku telah memberitahu pada Conseil. Saat itu Kapten Nemo akan ada dalam kamarnya. Mungkin dia tidur. Tak ada awak kapal yang bisa melihat kita. Aku dan Conseil akan pergi ke tangga tengah. Sedang Tuan menunggu dalam perpustakaan, menunggu isyaratku. Dayung, tiang beserta layar sudah ada dalam perahu. Aku bahkan berhasil mencuri perbekalan makanan. Kunci Inggris untuk melepaskan sekerup juga sudah kupersiapkan. Jadi kita sudah siap untuk lari malam ini."
"Lautan terlalu berombak."
"Benar," jawab Ned, "tapi kita harus mencobanya, karena kalau berhasil, kita akan bebas. Jarak
211 beberapa mil dengan perahu terdorong angin, merupakan soal kecil. Siapa tahu, barangkali besok kita sudah jauh dari daratan! Jika nasib untung, pukul sepuluh atau sebelas kita sudah akan sampai di darat. Jadi begitu sajalah - sampai nanti malam!"
Sambil berkata, Ned pergi meninggalkan aku sendiri. Ned sama sekali tak memberi kesempatan padaku untuk membicarakan lebih lanjut. Dan apalah yang dapat kukatakan padanya! Ned Land benar; inilah kesempatan baik, yang harus kami manfaatkan sebaik-baiknya. Dapatkah aku menarik kembali janji, serta memikul pertanggungan jawab terhadap kedua temanku" Mungkin besok kita akan sudah dibawa jauh dari daratan oleh Kapten Nemo.
Saat itu terdengar desisan nyaring. Tangki-tangki udara diisi, dan sebentar lagi 'Nautilus' akan menyelam ke bawah ombak.
Hari itu aku merasa sedih dan bingung. Perasaanku bercabang dua: antara desakan membebaskan diri, dan meninggalkan penelitianku yang belum lengkap.
Berjam-jam lamanya aku bingung. Kadang-kadang terbayang di benak bahwa sebentar lagi kami akan sampai di darat, dalam keadaan selamat. Tapi kadang-kadang kuharapkan, semoga terjadi sesuatu yang tak terduga sebelumnya, yang akan menghalangi pelaksanaan niat Ned Land.
Dua kali aku masuk ke ruang duduk. Maksudku melihat pedoman. Aku ingin tahu, apakah 'Nautilus' membawa kami mendekat ke pantai, atau menjauhinya. Ternyata kapal tetap berada di perairan Portugal.
Jadi aku harus menepati janji, dan mempersiapkan diri untuk lari. Barang-barang bawaanku tak berat, karena hanya terdiri dari catatan belaka.
Aku bertanya pada diri sendiri, bagaimana reaksi Kapten Nemo tentang pelarian kami. Aku mendu-
212 ga-duga, apakah terjadi sebagai akibatnya, dan apa yang akan dilakukan olehnya jika rencana kami gagal atau ketahuan. Aku sendiri tak bisa mengeluh, karena belum pernah kukenal keramahtamahan yang begitu besar. Namun aku tak dapat dipersalahkan, seolah-olah tak mengenal terima kasih. Kami tak bersumpah setia padanya. Kehadiran kami di kapalnya adalah berkat keadaan, dan bukan karena sumpah.
Aku tak melihatnya lagi, sejak kapal meninggalkan Pulau Santorin. Adakah kemungkinan bagiku untuk berjumpa dengan dia, sebelum kami lari" Di-satu pihak aku sangat mengingininya, tapi aku juga menakuti kemungkinan itu. Kupasang telinga baik-baik, barangkali saja terdengar langkah-langkahnya dalam kamar sebelah. Tapi aku tak mendengar apa-apa. Aku sangat gelisah. Lama sekali rasanya menunggu, seakan-akan waktu tak berjalan.
Makan malam dihidangkan dalam kamar, seperti biasa. Cuma sedikit yang dapat kumakan, karena- disibukkan pikiran macam-macam. Pukul tujuh aku selesai makan. Masih seratus dua puluh menit lagi, sebelum aku harus menggabungkan diri dengan Ned Land. Kegelisahanku semakin menjadi. Jantungku berdebar keras. Aku tak bisa tenang lagi. Berjalan mondar-mandir, untuk menenangkan perasaan tak menentu. Aku tak begitu gelisah, ta
kut usaha pelarian kami gagal. Tapi yang menyebabkan jantungku berdebar-debar, adalah bayangan akan ketahuan sebelum kami berhasil meninggalkan 'Nautilus'. Tak mampu aku rasanya, jika nantinya dibawa ke depan Kapten Nemo yang marah; atau lebih parah lagi, jika aku terpaksa menghadapi sikap sedih.
Aku ingin melihat ruang duduk untuk terakhir kalinya. Kuturuni tangga, dan aku masuk ke dalam ruangan di mana kualami saat-saat mengasyikkan.
213 Kuperhatikan segala harta kekayaan alam yang tersimpan di dalamnya. Aku memandang sekelilingku, dengan pandangan seseorang yang tak akan kembali lagi untuk selama-lamanya. Ingin sekali rasanya melayangkan pandangan untuk kali terakhir, memandang lewat jendela sisi dan menatap keindahan yang ada dalam air. Tapi katup-katup tertutup rapat. Lapisan baja memisahkan mataku dari samudera yang belum selesai kuselidiki.
Sewaktu hendak keluar lagi, aku lewat di deoan pintu kamar Kapten. Pintu itu agak ternganga sedikit. Aku agak kaget. Jika Kapten ada dalam kamarnya, pasti aku akan terlihat olehnya. Tapi karena tak terdengar apa-apa, aku lantas mendekat. Kulihat kamar itu kosong. Pintu kubuka lebih lebar, lantas melangkah ke dalamnya.
Tiba-tiba jam berdenting delapan kali. Pukulan pertama membangunkan diriku dari lamunan. Aku gemetar, seolah-olah ada mata gaib yang menyimak jalan pikiranku. Bergegas aku tinggalkan kamar itu.
Mataku tertumbuk pada pedoman. Arah kami masih tetap ke utara, berlayar dengan kecepatan sedang di tempat sedalam dua puluh meter.
Aku kembali ke kamar, lalu mengenakan pakaian hangat. Aku sudah siap untuk lari. Aku menunggu di tengah kesunyian. Hanya getaran sumbu baling-baling saja yang terdengar. Kupasang telinga. Tak adakah bunyi ribut, yang menandakan bahwa Ned ketahuan" Aku sangat ketakutan. Sia-sia saja kucoba menguasai perasaan.
Pukul sembilan kurang beberapa menit. Kudekapkan telinga ke pintu yang menuju ke bilik Nakhoda. Tak kedengaran apa-apa. Aku keluar dari kamar, dan masuk ke ruang duduk yang tetap kosong. Penerangan di dalamnya redup. Aku bersiap-
214 siap dekat pintu yang menuju ke tangga. Aku menunggu isyarat dari Ned.
Pada saat tegang itu, getaran baling-baling terasa mengurang, dan akhirnya berhenti sama sekali. Kesunyian yang kini berkuasa, hanya diganggu bunyi jantungku yang berdebar-debar. Tiba-tiba terasa goncangan kecil: seketika itu juga aku tahu, bahwa 'Nautilus' berhenti di dasar laut. Kegelisahanku makin bertambah. Kenapa isyarat dari Ned tak datang-datang juga" Kepingin rasanya keluar dan mendatangi temanku itu, untuk melarang niatnya. Aku mempunyai firasat, bahwa keadaan saat itu tidak seperti biasanya.
Pada waktu aku sedang bingung, pintu ruangan duduk yang besar terbuka. Kapten Nemo muncul di ambangnya. Ia melihat aku berdiri. Tanpa kata-kata pembuka, ia langsung berbicara dengan nada ramah,
"Ah, Profesor. Aku mencari-cari Anda. Bagaimana pengetahuan Anda tentang sejarah Sepa-nyol""
Mestinya setiap orang mengenal baik sejarah negerinya sendiri. Tapi dalam keadaan seperti saat itu, di tengah kegelisahan dan kebingungan, tak satu pun yang dapat kuingat mengenainya.
"Anda tidak mendengar pertanyaanku"" tanya Kapten. "Anda mengenal sejarah Sepanyol atau tidak""
"Sedikit," jawabku.
"Kalau begitu silakan duduk," ajak Kapten Nemo. "Akan kuceritakan pada Anda suatu kejadian menarik dalam sejarah negara itu. Harap Anda dengarkan baik-baik, karena akan memberikan penjelasan mengenai persoalan yang pasti sudah memusingkan kepala selama ini." Kapten membetulkan sikap duduk, lalu mulai bercerita.
215 "Kalau Anda tak keberatan, kita kembali ke tahun 1702. Anda tentu juga ingat pada Raja Louis ke-14. Dia itu mengira, satu gerakan isyarat saja akan sudah mencukupi untuk menundukkan Sepa-nyol. Seenaknya saja dia mendudukkan cucunya, Pangeran Anjou ke tahta kerajaan Sepanyol. Sebagai raja bergelar Philip ke-5, ia memerintah dengan tangan lemah. Lagipula ia menghadapi musuh-musuh kuat di luar negeri. Tahun sebelumnya, keraja-an-kerajaan Belanda, Austria dan Inggris mengadakan persekutuan di Den Haag. Maksud persekutuan itu untuk merenggut mahkota kerajaan Sepan
yol dari kepala Philip ke-5, dan mengangkat seorang bangsawan sebagai pengganti. Bangsawan itu bahkan sudah terburu diberi gelar Charles ke-3."
"Dengan sendirinya Sepanyol menentang persekutuan itu. Tapi tenaganya lemah, karena kekurangan perajurit. Walau begitu uangnya banyak, jika kapal-kapal yang membawa emas dan perak dari Benua Amerika sudah masuk di pelabuhan. Menjelang akhir tahun 1702, Sepanyol menunggu kedatangan iring-iringan kapal membawa harta itu. Iring-iringan tersebut dikawal armada Perancis, yang terdiri dari dua puluh tiga kapal perang yang dipimpin oleh Laksamana Chateau-Re-naud. Kawalan itu perlu, karena kapal-kapal perang negara persekutuan sudah mulai berkeliaran di Atlantik. Tujuan iringan kapal adalah pelabuhan Cadiz. Tapi ketika Laksamana mendengar bahwa ada armada Inggris yang sedang berkeliaran di perairan situ, ia memutuskan untuk mengarahkan haluan menuju sebuah pelabuhan di Perancis.
"Para komandan Sepanyol dari iring-iringan yang membawa logam mulia, menentang keputusan itu. Mereka meminta diantarkan ke sebuah pelabuhan Sepanyol; kalau tidak ke Cadiz, boleh juga ke Teluk Vigo, yang letaknya di pesisir barat laut Sepanyol. Pelabuhan di situ tidak diblokir musuh.
216 "Laksamana Chateau-Renaud menuruti kehendak itu. Mereka masuk ke Teluk Vigo.
"Sayangnya, teluk itu terbuka sama sekali, jadi tak mungkin dipertahankan jika ada serangan. Jadi mereka terpaksa cepat-cepat membongkar muatan, sebelum armada lawan tiba. Dan sebetulnya mereka bisa menyelesaikan pekerjaan itu. Namun tiba-tiba terjadi pertikaian paham yang menghambat." Katen Nemo berhenti sebentar, sambil memandang ke arahku. "Bagaimana, Anda masih bisa mengikuti"" tanyanya. Aku mengangguk saja, meski tak tahu apa maksud ceritanya itu.
"Kalau begitu kulanjutkan saja lagi. Pertikaian paham yang terjadi saat itu, adalah karena soal berikut. Kaum pedagang di kota Cadiz memiliki suatu hak khusus. Mereka berhak menampung semua barang dagangan yang datang dari Hindia Barat. Karena itu mereka menganggap pembongkaran bongkah-bongkah emas di pelabuhan Vigo, sebagai pelanggaran atas hak mereka. Langsung diajukan keluhan ke Madrid. Dan Raja Philip yang memang lemah, memberikan persetujuannya pada perintah yang menuntut larangan pembongkaran muatan di Vigo. Kapal-kapal disuruh menunggu di perairan teluk, sampai lawan pergi.
"Tapi pada saat keputusan diambil, tanggal 22 Oktober 1702, armada kapal perang Inggris sampai di Teluk Vigo. Walau kekuatannya lebih lemah, Laksamana Chateau-Renaud melawan dengan gagah berani. Tapi ketika dilihatnya bahwa harta pasti jatuh ke tangan musuh, dengan segera dibakar dan ditenggelamkannya semua kapal pengangkut harta. Kapal-kapal itu terbenam ke dasar laut, dan dengannya ikut lenyap pula emas dan perak yang tak terhingga nilainya."
Kapten Nemo menghentikan ceritanya. Terus terang saja, aku tak tahu kenapa peristiwa itu harus menarik perhatianku.
217 "Lalu"" tanyaku.
"Profesor Aronnax," jawab Kapten, "kita sekarang berada di Teluk Vigo. Terserah pada Anda, apakah ingin menyingkapkan rahasianya atau tidak."
Kapten Nemo bangkit berdiri, sambil mengajak untuk ikut. Kuturuti ajakan itu. Ruangan duduk gelap, tapi melalui kaca jendela nampak air laut di luar berkilauan. Aku memandang ke luar.
Setengah mil di sekitar kapal 'Nautilus', air laut diterangi cahaya listrik. Dasar berpasir kelihatan bersih dan jernih. Beberapa orang awak kapal dengan pakaian selam, sedang sibuk menyingkirkan tong-tong yang sudah setengah rusak, serta peti-peti terbuka dari bagian tengah bangkai-bangkai kapal yang hangus. Dari tong-tong dan peti bertaburan bongkah-bongkah besi dan perak. Mata uang dan batu-batu permata berserakan, tertimbun di atas pasir. Awak kapal mengumpulkan harta itu, lalu membawanya ke kapal. Begitu mereka lakukan berulang-ulang.
Sekarang aku baru mengerti. Inilah dia, tempat terjadinya pertempuran laut tanggal 22 Oktober 1702. Inilah tempat karamnya kapal-kapal Sepanyol yang membawa harta. Dan Kapten Nemo datang ke mari, tergantung dari keperluan yang ada, untuk mengambil harta berjuta-juta. Benua Amerika telah digali harta b
uminya yang berupa logam mulia, hanya untuk keperluannya sendiri saja. Untuk dia seorang diri. Ia pewaris satu-satunya dari harta kerajaan Inka, dan dari bangsa-bangsa yang ditaklukkan oleh Ferdinand Cortez.
"Tahukah Anda bahwa di dasar laut tersimpan harta sebanyak itu"" tanyanya sambil tersenyum.
"Saya tahu bahwa uang yang terbenam di perairan sini bernilai sekitar dua juta," jawabku.
218 "Itu sudah pasti. Diperlukan biaya yang lebih besar lagi dari keuntungan yang didapat, jika harta itu hendak diambil. Tapi aku cukup meraih saja, dan sudah kudapat harta tercecer. Dan bukan di Teluk Vigo saja. Aku mengambil harta di beribu tempat, di mana terjadi kecelakaan kapal karam. Dapatkah Anda sekarang memahami, dari mana hartaku yang berjuta-juta""
"Saya mengerti. Tapi izinkanlah saya mengatakan, bahwa Anda sebenarnya mendului suatu perseroan saingan."
"Siapa itu""
"Suatu perseroan yang telah mendapat izin dari pemerintah Sepanyol, untuk mencari kapal-kapal tenggelam di sini. Para pemegang sahamnya tertarik pada harta terpendam, karena menurut penaksiran mereka, kapal-kapal tenggelam di Teluk Vigo membawa harta senilai lima ratus juta."
"Dulu memang lima ratus juta," jawab Kapten Nemo, "tapi sekarang sudah berkurang."
"Betul," jawabku. "Jika para pemegang saham perseroan diberitahu mengenai kenyataan itu, maka sebetulnya tindakan tersebut akan merupakan kebaikan hati. Tapi siapa tahu, apakah mereka akan menerima dengan senang! Karena biasanya yang dikesalkan oleh orang-orang yang gemar bertaruh, bukannya uang yang hilang, melainkan harapan yang sia-sia. Bagaimanapun juga, saya tak begitu mengasihani mereka, kalau diingat sekian ribu orang malang. Kalau harta sebanyak itu dibagi-bagikan pada mereka, maka manfaatnya akan nyata. Sedang bagi para pemilik saham, harta karun ini hanya merupakan persoalan menambah kekayaan belaka."
Begitu habis berkata, aku sudah menyesal. Pasti ucapanku itu melukai hati Kapten Nemo.
219 "Kalau begitu Anda mengira harta akan lenyap, karena aku mengumpulkannya"" tanyanya dengan suara keras. "Anda sangka, harta kuambil untuk diri sendiri" Siapa mengatakan pada Anda, bahwa aku tak memanfaatkannya untuk tujuan baik" Anda kira aku ini buta tuli terhadap kenyataan, bahwa di bumi banyak manusia sengsara dan bangsa-bangsa tertindas" Anda tak mengerti rupanya!"
Sehabis mengucapkan kalimat terakhir, Kapten Nemo berhenti. Mungkin dia menyesal, karena telah terlalu banyak bicara.
Dalam hatiku timbul dugaan, apa pun juga hal yang memaksanya untuk mencari kebebasan di bawah samudera, tapi ia tetap seorang manusia budiman. Hati nuraninya masih terbuka mendengarkan jerit kesengsaraan umat manusia. Kemurahan hati yang sangat besar ditujukannya demi bangsa-bangsa tertindas, serta bagi orang-orang sengsara. Baru saat itu kuketahui tujuan harta berjuta-juta yang dikirim oleh Kapten Nemo, ketika 'Nautilus' sedang berada di perairan sekitar Pulau Kreta.
IX BENUA YANG HILANG KEESOKAN harinya, tanggal 19 Pebruari, Ned Land masuk ke kamarku. Kedatangannya itu sudah kunantikan. Kelihatan dia kecewa sekali. "Wah, Ned, kita tak bernasib untung kemarin." "Ya! Kenapa Kapten harus berhenti, tepat pada waktu yang kita rencanakan untuk meninggalkan kapal."
"Dia ada urusan dengan bankirnya." "Bankir" Dalam laut""
"Tepatnya, urusan itu dengan bank. Yang kumaksudkan adalah dasar samudera. Di sini hartanya lebih aman, daripada dalam peti besi negara."
220 Kemudian kuceritakan padanya kejadian-kejadian kemarin malam. Maksudku agar ia mengurungkan niat untuk lari. Tapi susah payahku bercerita hanya menghasilkan ucapan menyesal dari Ned. Disayangkannya, bahwa dia tak dapat berjalan sendiri di atas bekas medan pertempuran Vigo.
"Tapi kita belum gagal," katanya. "Lain kali harus berhasil, bahkan kalau perlu malam ini juga-"
"Ke arah manakah pelayaran 'Nautilus' sekarang"" tanyaku memotong.
"Aku tak tahu," jawab Ned.
"Tengah hari nanti kita akan mengetahuinya."
Juru tombak menggabungkan diri kembali dengan Conseil dalam bilik mereka. Aku mengenakan pakaian, sudah itu pergi ke ruang duduk. Arah pedoman tidak menenteramkan hati. Jarumnya menu
njuk ke selatan barat daya. Rupanya kami berlayar membelakangi Benua Eropa.
Tak sabar aku menunggu, sampai jarum ditusukkan ke peta, sebagai tanda posisi kapal saat itu. Sekitar pukul setengah dua belas, tangki-tangki air dikosongkan. 'Nautilus' mengambang dengan cepat ke permukaan. Aku bergegas naik ke geladak atas. Ternyata Ned sudah mendului. Sekeliling kami tak nampak daratan. Yang kelihatan cuma lautan semata-mata. Di kejauhan terlihat beberapa layar terkembang, rupanya kapal-kapal yang sedang berlayar menuju Tanjung Harapan. Langit berawan, rasanya sebentar lagi akan terjadi angin ribut. Ned mengamuk. Matanya ditajamkan, dicobanya menembus awan yang menutupi batas pandangan. Ia masih mengharapkan adanya daratan di balik mega.
Tepat tengah hari, matahari kelihatan sesaat. Ajudan memanfaatkan cahayanya untuk mengadakan pengukuran. Tak lama kemudian ombak
221 semakin membesar. Kami turun, dan katup-katup ditutup.
Sejam kemudian kutelaah peta. Kulihat posisi kami. 'Nautilus' berada pada garis bujur 16"17' dan lintang utara 32"22'. Daratan sudah jauh. Kami tak mungkin lagi melarikan diri. Ned mengamuk, ketika kukabarkan keadaan itu.
Aku sendiri tak begitu menyesal. Rasanya lega, karena sudah hilang beban kebimbangan yang menggelisahkan diriku. Aku dapat mendalami penyelidikanku kembali dengan hati tenang.
Malam itu, sekitar pukul sebelas, tanpa disangka-sangka Kapten Nemo masuk ke kamar. Ia menanyakan, apakah aku letih karena kemarin malam. Aku menjawab dengan tidak.
"Kalau begitu, aku mengusulkan perlawatan luar biasa."
"Luar biasa, Kapten""
"Selama ini Anda hanya mengenal dasar laut sewaktu siang saja, sewaktu matahari bersinar. Maukah Anda melihatnya di tengah kegelapan malam""
"Tentu saja saya mau!"
"Kuperingatkan pada Anda, perjalanannya mungkin melelahkan. Kita harus berjalan jauh, serta mendaki gunung. Jalan-jalannya tak begitu terpelihara."
"Kata-kata Anda itu hanya menambah rasa ingin tahu saya saja. Saya siap untuk ikut."
"Kalau begitu marilah ikut. Kita akan mengenakan pakaian selam."
Sesampai di bilik tempat ganti pakaian, aku tak melihat kedua temanku. Rupanya tak ada yang ikut dalam perjalanan kali ini. Memang Kapten Nemo tak mengusulkan untuk mengajak Ned maupun Conseil.
Kami mengenakan pakaian selam dengan cepat. Cadangan udara dipasangkan ke punggung. Tapi
222 kami tak diberi lampu. Hal itu kutanyakan pada Kapten Nemo.
"Tak ada gunanya kita bawa," jawabnya.
Kukira aku salah dengar. Tapi pertanyaan tak dapat kuulangi, karena Kapten sudah memasukkan kepala ke dalam ketopong. Dengan segera aku pun siap berpakaian. Terasa ada sebuah tongkat berujung logam yang diselipkan ke tanganku. Beberapa menit kemudian, kami menginjakkan kaki di dasar laut, hampir tiga ratus meter di bawah permukaan.
Saat itu sudah hampir tengah malam. Air sekeliling kami gelap. Tapi Kapten Nemo menunjuk ke sebuah titik kemerah-merahan yang nampak di kejauhan. Kelihatannya seperti lampu besar yang menyala terang, kira-kira dua mil dari 'Nautilus'. Aku tak tahu api apa yang bersinar begitu terang. Pokoknya ada penerangan untuk perjalanan kami. Meski sinarnya hanya remang-remang, tapi tak lama kemudian mataku sudah biasa dengan keadaan serupa itu. Baru kupahami, bahwa lampu Ruhmkorff memang takkan ada gunanya untuk menembus kegelapan pekat.
Sementara kami berjalan maju, kudengar bunyi gemerisik di atas kepala. Bunyi itu berubah-ubah, kadang-kadang mengeras. Aku lantas tahu apa yang menimbulkannya. Hujan sedang turun di permukaan laut, dan menderu menimpa ombak. Terkilas dalam benakku, bahwa kami pasti akan basah kuyup! Basah kuyup kena air, padahal kami berada dalam air. Aku tertawa sendiri, ketika menyadari ketololanku itu. Dalam pakaian selam yang tebal, tak terasa lagi kebasahan air; hanya udara di dalamnya terasa agak lebih pekat dari udara biasa.
Sesudah berjalan selama setengah jam, dasar laut berubah menjadi berbatu-batu. Sekilas kulihat batu-batuan yang penuh diselaputi berbagai jenis
223 hewan dan rumput laut. Kakiku terpeleset menginjak permadani ganggang. Kalau bukan karena tongkat yang kupegang, aku pasti sudah terjatuh bebe
rapa kali. Aku berpaling ke belakang. Lampu kapal yang bercahaya keputih-putihan masih kelihatan, walau mulai memudar karena kami semakin menjauh.
Tapi sinar kemerah-merahan yang kami jadikan pedoman, menjadi semakin besar. Dasar laut di depan kami diterangi oleh sinar itu. Aku sangat heran, melihat ada api di bawah laut. Apakah sinar itu merupakan semacam cahaya listrik" Apakah aku sedang berjalan menuju ke suatu kejadian alam, yang belum dikenal para sarjana" Atau mungkinkah sinar itu buatan manusia" Apakah aku sedang diajak menjumpai teman-teman Kapten Nemo, yang juga hidup seperti dia" Apakah aku akan bertemu dengan sekelompok manusia buangan, yang menjauhkan diri dari kesengsaraan di bumi, dan kemudian menemukan kebebasan di bawah air" Semua pertanyaan aneh dan tak masuk akal memenuhi benakku. Dalam keadaan batin serupa itu, karena sudah sebegitu banyak menyaksikan hal-hal ajaib, aku takkan heran apabila tiba-tiba berhadapan dengan salah satu kota bawah air, yang diidam-idamkan oleh Kapten Nemo.
Jalan kami semakin terang. Cahaya putih memancar dari puncak sebuah gunung, yang tingginya kira-kira dua ratus lima puluh meter. Tapi yang kulihat itu cuma bayangan belaka, yang diakibatkan oleh kejernihan air. Sumber sinar rahasia itu adalah api yang terdapat di balik gunung.
Kapten Nemo berjalan terus, dengan langkah-langkah pasti. Kami menyusuri jalan di tengah pa-dang batu di dasar laut. Kelihatannya dia mengenal jalan yang tak enak itu. Rupanya dia sudah sering lewat. Karenanya aku ikut saja, tanpa merasa gentar.
224 Pukul satu malam kami sampai di kaki gunung. Tapi untuk mendaki lerengnya, kami harus merintis jalan belukar.
Betul, jalan belukar, yang terdiri dari pohon-pohon mati. Pohon-pohon tak berdaun lagi, pohon-pohon yang telah membatu. Di sana-sini menjulang pohon pinus besar. Suasana di situ seperti tambang batu bara. Tapi batu baranya masih tegak, dengan akar-akar terhunjam dalam tanah. Jalan kami dipersukar karena harus melalui penghalang berupa rumput laut, ganggang dan lumut. Aku ikut di belakang Kapten, memanjat batu, melangkah lewat batang-batang tumbang dan menerobos jaringan ganggang yang membentang dari pohon ke pohon. Aku sama sekali tak merasakan letih, karena ikut dengan pengantar yang tak mengenal kata itu. Hatiku berdebar karena kagum. Bukan main hebatnya pemandangan tempat itu. Sukar untuk melukiskannya dengan kata-kata. Bagaimana caranya melukiskan kesan, sewaktu memandang hutan dan batu dalam air: bagian bawah nampak gelap dan liar, sedang sebelah atas seakan dicelup warna merah yang disebabkan oleh pancaran cahaya api" Kami mendaki batu-batu cadas, yang sesudah kami lewat lantas jatuh bergulung-gulung. Di kiri kanan terdapat lorong gelap, dalam mana tak kelihatan apa-apa. Aku menatap terowongan-terowongan lebar, yang kelihatannya merupakan buatan manusia. Terlintas dalam pikiranku, jangan-jangan ada penghuni daerah bawah laut ini yang tiba-tiba muncul di depanku.
Tapi Kapten Nemo mendaki terus. Aku tak boleh ketinggalan. Karenanya aku pun maju terus, berkat bantuan tongkat di tangan. Kalau keliru langkah sekali saja, pasti aku terpeleset ke bawah. Walau begitu aku berjalan, tanpa merasa ngeri. Di depan membentang celah dalam; bulu romaku pasti
225 berdiri, sekiranya celah itu terdapat di atas bumi. Tapi di dasar laut, penghalang serupa itu kulewati dengan sekali lompat saja. Aku berjalan meniti batang pohon goyah, yang membentang di atas sebuah jurang. Aku berjalan tanpa memperhatikan langkah, karena mataku hanya melihat keindahan daerah gunung yang liar.
Sesudah dua jam lamanya berjalan, batas pepohonan kami tinggalkan. Puncak gunung menjulang enam puluh meter di atas kepala. Di sana-sini kelihatan semak belukar, yang juga sudah membatu. Ikan-ikan berenang lari karena terganggu langkah kami, seperti burung terbang dari rumput tinggi. Batu gunung tempat kami berjalan kelihatan bercelah-celah dalam.
Kami sampai pada dataran tinggi, di mana kulihat pemandangan yang tak disangka-sangka. Di depan kami terbentang puing-puing batu. Nyata sekali puing-puing itu bekas tangan manusia. Kelihatan tumpukan
batu-batuan, yang dulunya pasti merupakan tembok atau tiang istana dan kuil. Semuanya tertutup oleh tumbuh-tumbuhan laut. Aku bingung. Bagian manakah dari bumi kita yang mengalami bencana, tenggelam ke dalam laut" Di manakah kami saat ini"
Aku kepingin menanyakannya pada Kapten Nemo. Karena ia terus berjalan, tangannya kupegang. Namun Kapten menggelengkan kepala, sambil menunjuk ke puncak; seakan-akan berkata,
"Ayo, ikut saja. Kita terus naik!"
Apa boleh buat, aku terpaksa ikut. Dalam beberapa menit, kami sudah sampai di puncak gunung, yang merupakan lingkaran kira-kira sepuluh meter.
Kulayangkan pandangan ke bawah, ke arah kami datang tadi. Gunung itu tingginya cuma dua ratus
226 lima puluh meter di atas dasar laut sebelah itu. Tapi ketika kulayangkan pandangan ke arah berlawanan, nampak dasar Atlantik dua kali lebih dalam. Mataku melihat ke sana ke mari, memperhatikan dasar luas yang diterangi sinar pijar. Rupanya tempat ini daerah gunung api.
Lima belas meter di atas puncak yang kami daki, sebuah kawah memuntahkan hujan lahar, di tengah hamburan batu dan kerak dingin. Lahar mengalir dan menggenang di kaki gunung. Itulah rupanya sinar benderang yang menerangi sekeliling tempat. Kukatakan bahwa kawah memuntah lahar, tapi tak ada api menyala-nyala. Api memerlukan zat asam untuk bisa menyala. Tapi arus lahar bisa membara putih, yang mengubah air menjadi uap.
Dan di bawah kakiku kelihatan bekas-bekas sebuah kota runtuh. Atap-atap bangunan sudah tak ada lagi, kuil-kuilnya roboh berantakan. Tiang-tiang bergelimpangan di tanah. Agak lebih jauh, kelihatan sisa-sisa dari sebuah bangunan besar, rupanya saluran air jaman kuno. Masih nampak bekas-bekas sebuah bukit benteng, dan sebuah kuil besar; kulihat jejak-jejak sebuah dermaga, seakan-akan dulu kala ada sebuah pelabuhan di situ. Semua tenggelam, hilang ditelan air. Agak lebih jauh lagi, kelihatan sisa-sisa tembok panjang mengapit jalanan sunyi. Untuk itu rupanya aku diajak berjalan ke mari oleh Kapten Nemo !
Di manakah aku ini" Aku harus mengetahuinya dengan segera. Aku mencoba berbicara, tapi Kapten Nemo mendului dengan gerakan tangannya. Ia memungut sepotong batu kapur, mendekati sebongkah batu hitam. Ia menuliskan satu perkataan:
ATLANTIS. 227 Aku terkejut bukan main, ketika membaca tulisannya. Atlantis, kota hilang yang banyak diperbincangkan orang-orang pandai! Para sarjana mempertengkarkan ada tidaknya kota itu, dan aku sekarang berdiri di hadapannya. Aku menjadi saksi bencana yang melanda di jaman dulu. Rupanya Atlantis tenggelam di luar kungkungan pesisir dua benua. Di sinilah pernah hidup manusia-manusia perkasa, melawan siapa Yunani purba melancarkan perang-perangnya yang pertama.
Sementara aku masih berusaha mengatur setiap perincian dari pemandangan menakjubkan itu dalam ingatanku, Kapten Nemo berdiri tanpa bergerak-gerak, Ia berdiri seakan membatu, bersandar pada sebongkah batu besar berlumut. Mungkinkah dia sedang melamunkan keturunan manusia yang sudah lama lenyap" Mungkinkah dia sedang menanyakan nasib manusia pada mereka" Ingin sekali kuketahui apa yang sedang direnungkannya, serta memahami jalan pikirannya! Sejam lamanya kami berdiri di situ, asyik memperhatikan dataran luas yang diterangi sinar lahar. Lereng gunung bergetar, sebagai akibat gejolak yang berlangsung dalam kawah. Saat itu bulan muncul, dan memancarkan sinar menembus air. Cahayanya yang lembut menerangi daratan yang lenyap di bawah ombak. Pemandangan sekeliling kami mempesona. Akhirnya Kapten Nemo bangkit, sesudah melayangkan pandangan terakhir ke daratan luas yang membentang di bawah kami. Ia mengisyaratkan padaku supaya ikut dengannya.
Gunung kami turuni dengan cepat. Sesudah melampaui hutan membatu, kulihat cahaya lampu sorot kapal 'Nautilus' bersinar seperti bintang. Kap-ten berjalan langsung menuju kapal. Kami sampai ketika cahaya matahari mulai memutihkan permukaan samudera.
228 X TAMBANG BATU BARA DI BAWAH LAUT
KEESOKAN harinya, tanggal 20 Pebruari, aku Kesiangan. Rupanya keletihan tubuh menyebabkan tidurku lelap, sampai pukul sebelas pagi. Cepat-cepat aku mengenakan pakaian, lalu berg
egas masuk ke ruang duduk. Aku ingin mengetahui arah pelayaran kapal 'Nautilus'. Jarum pedoman masih menunjukkan arah selatan. Kami berlayar di tempat sedalam sembilan puluh meter, dengan kecepatan dua puluh mil sejam.
Ikan-ikan yang berkeliaran di luar jendela samping, hampir sama dengan yang sudah kulihat selama ini. Tapi ada juga satu dua jenis yang berlainan. Aku sibuk membuat catatan mengenainya, dibantu oleh Conseil.
Sekitar pukul empat, tanah dasar laut yang sebelumnya berupa lumpur tebal bercampur kayu membatu, pelan-pelan berubah wujud. 'Nautilus' melaju di atas dasar batu tercampur lahar dingin dan endapan belerang. Menurut sangkaanku, dataran luas yang kami tinggalkan berbatasan dengan daerah pegunungan. Dan benarlah: sesudah 'Nautilus' berlayar beberapa waktu, kulihat garis pandangan di selatan tertutup dinding tinggi, yang seolah-olah menutup semua jalan ke luar. Puncak dinding itu mestinya menjulang ke atas, sampai keluar dari air. Menurut dugaanku, di atas pasti terdapat benua, atau paling sedikit sebuah pulau. Barangkali Kepulauan Canari, atau Kepulauan Tanjung Verde. Aku tak tahu di mana kami sedang berada, karena belum dilakukan pengukuran di atas geladak. Mungkin hal itu disengaja! Bagaimanapun juga, dinding semacam itu kurasa merupakan
batas negeri Atlantis, yang sebenarnya baru sebagian kecil saja kami lalui.
Sebetulnya aku masih ingin agak lama berdiri di depan jendela, untuk mengagumi keindahan laut dan langit yang nampak samar. Tapi pelat-pelat katup jendela ditutup. Saat itu 'Nautilus' telah sampai di sisi dinding terjal yang sudah kulihat. Aku tak bisa menebak apa yang akan terjadi berikutnya. Aku kembali ke kamar. Kapal tak bergerak lagi. Aku berbaring. Maksudku tidur sebentar. Tapi ketika aku masuk kembali ke ruang duduk, jam di dinding sudah menunjukkan pukul delapan pagi. Rupanya aku terlelap satu malam. Kupandang alat manometer. Ternyata 'Nautilus' sedang mengambang di permukaan laut. Kecuali itu juga terdengar langkah orang di atas geladak. Aku pergi ke jendela samping. Tapi yang kelihatan bukan cahaya terang, melainkan kegelapan pekat. Di manakah kami" Mungkin aku tadi keliru melihat jam. Tapi tidak. Tak kelihatan bintang berkelip. Lagipula kegelapan di luar, bukanlah kegelapan malam.
Aku sedang bingung, ketika terdengar suara orang di sebelahku. "Andakah itu, Profesor""
"Ah, Kapten," jawabku, "di mana kita sekarang""
"Di bawah tanah."
"Di bawah tanah!" seruku. "Tapi 'Nautilus' masih terapung""
"Nautilus selalu terapung."
"Saya tak mengerti."
"Tunggu saja beberapa menit lagi. Lampu sorot akan dinyalakan. Jika Anda menyukai tempat yang terang, Anda pasti akan merasa puas."
Aku menunggu, sambil berdiri di atas geladak. Kegelapan yang menyelimuti begitu pekat, sehing-
230 ga Kapten Nemo yang berada di sebelah pun tak nampak olehku. Tapi ketika pandangan mataku kuarahkan tegak lurus ke atas, seolah-olah kelihatan suatu sinar samar. Nampaknya seperti lubang bundar. Tepat pada saat aku sedang tengadah, lampu sorot dinyalakan. Cahayanya yang terang melenyapkan sinar lemah, yang kusangka ada di atas kepalaku. Sesaat kupejamkan mata karena silau. Sudah itu aku memandang lagi. 'Nautilus' memang tak bergerak. Kami terapung dekat sebuah tebing, yang merupakan semacam dermaga. Kapal kami berada dalam danau yang terkepung dinding melingkar. Danau berukuran garis tengah dua mil, sedang lingkarannya sepanjang enam mil. Permukaan airnya harus sama dengan di luar, karena mesti ada hubungan antara danau dan laut. Dinding yang mengungkung, membentuk kubah yang tingginya sekitar dua ratus meter. Di ujungnya terdapat sebuah lubang bundar. Lubang itulah yang kulihat tadi, dan sinar remang yang nampak adalah cahaya matahari yang bersinar di luar.
"Di mana kita ini"" tanyaku sekali lagi. "Di perut kawah gunung api yang sudah padam. Sebagai akibat goncangan bumi, air laut menembus ke dalamnya. Sewaktu Anda masih tidur, 'Nautilus' masuk ke danau tertutup ini lewat sebuah terusan alam.
"Lubang masuk ke terusan itu terdapat sepuluh meter di bawah permukaan laut. Danau ini merupakan tempat perlindungan aman dan tak di
ketahui orang. Di sini kita terlindung dari badai. Coba Anda tunjukkan suatu tempat di pesisir benua atau pulau mana saja, yang memberikan perlindungan seaman di sini."
"Tentu saja Anda aman di sini, Kapten Nemo. Siapalah yang akan mencari Anda di perut kawah
231 gunung api" Tapi di atas itu, bukankah ada lubang""
"Betul. Dulunya lubang itu merupakan kepundan gunung ini, penuh dengan lahar, asap belerang dan api menyala. Tapi sekarang lubang tersebut merupakan tempat masuk udara yang kita pakai untuk bernafas."
"Tapi gunung apa manakah ini""
"Letaknya pada salah satu di antara sekian banyak pulau yang tersebar di Samudera Atlantik. Kapal-kapal lewat menyangka hanya gosong pasir biasa*. Tapi bagi kita, merupakan gua yang sangat luas. Aku kebetulan saja menemukannya."
"Tapi apakah gunanya tempat perlindungan ini, Kapten" Bukankah 'Nautilus' tak memerlukan pelabuhan."
"Memang betul. Tapi kita memerlukan listrik yang menggerakkannya. Untuk membangkitkan tenaga listrik, kita perlukan natrium. Natrium didapat dari batu bara, dan untuk mengambil batu bara diperlukan tambangnya. Dan di tempat inilah lautan menyelaputi hutan-hutan luas, yang tertimbun di jaman prasejarah. Hutan-hutan itu sudah membatu, membentuk batu bara. Bagiku, tempat ini merupakan tambang yang tak habis-habisnya."
"Kalau begitu, awak kapal Anda di sini menjadi tukang tambang""
"Tepat! Di sini, dengan mengenakan pakaian selam, mereka mengambil batu bara dengan linggis dan sekop. Anda lihat, sedang batu bara pun tak kuambil dari daratan. Pada saat batu bara kubakar untuk menghasilkan natrium, asap yang mengepul keluar dari lubang, akan memberikan kesan bahwa gunung ini masih bekerja."
"Dapatkah kita menyaksikan awak kapal bekerja""
232 "Tidak! Setidak-tidaknya, sekarang tak mungkin. Aku ingin cepat-cepat meneruskan pelayaran keliling dunia di bawah air. Karena itu aku hanya singgah di sini, untuk mengambil cadangan natrium yang sudah ada. Jadi apabila Anda ingin melihat-lihat keadaan gua sambil berkeliling danau, maka Anda mesti memanfaatkan kesempatan yang ada, Profesor."
Kuucapkan terima kasih pada Kapten. Sudah itu kudatangi kedua temanku, yang belum keluar dari bilik mereka. Kuajak mereka ikut, tanpa mengatakan di mana kami berada. Mereka naik ke geladak. Conseil yang tak pernah heran, bersikap seakan-akan sudah wajar untuk bangun di bawah gunung. Padahal ketika ia masuk tidur, kami masih di bawah ombak! Tapi Ned lain lagi. Dengan cepat diperiksanya, apakah ada lubang ke luar dari gua. Pukul sepuluh pagi, sesudah sarapan, kami turun dari kapal dan menginjakkan kaki ke tebing gunung.
"Nah, akhirnya kita menginjak daratan lagi," ujar Conseil.
"Ini bukan daratan," bantah juru tombak. "Lagipula kita bukan di atas, tetapi di bawahnya."
Antara tebing dan danau terdapat sebidang pantai pasir. Di tempat terlebar, jarak dari air sampai tebing kira-kira seratus lima puluh meter. Lewat pantai itu, kami dapat mengelilingi danau dengan mudah. Tapi di kaki tebing, tanahnya berbatu-batu; di sana sini nampak berhamburan cadas yang besar-besar serta batu apung, semuanya terlapis glasir. Penyebabnya adalah kegiatan gunung api, yang membakar permukaan sehingga menjadi licin. Debu mika yang terhampar di pantai, berhamburan bagaikan awan cemerlang. Garis pantai mulai condong sedikit ke atas. Tak lama sesudah itu kami sampai ke lereng melingkar. Sebetulnya lebih tepat jika disebut bidang condong, mengelilingi tebing
233 berbentuk corong yang menyempit ke atas. Kami berjalan dengan hati-hati, karena dasar lereng itu tak kokoh. Kaki kami terpeleset-peleset menginjak kerikil longgar.
Di mana-mana nampak bukti bahwa gua raksasa ini dulunya kawah gunung api. Hal itu kutunjukkan pada kedua temanku.
"Bayangkan saja, betapa dahsyatnya lubang ini dulunya, ketika masih terisi lahar mendidih," kataku. "Makin lama makin meninggi, naik ke lubang kepundan, seakan-akan dicairkan pada sekeping pelat panas."
"Saya bisa membayangkan kedahsyatannya," ujar Conseil. "Tapi dapatkah Tuan menerangkan, mengapa kawah ini kemudian berhenti bekerja" Kenapa lubang ini sekarang penuh dengan air, menjadi dana
u"" "Menurut anggapanku, mungkin hal itu terjadi karena gempa bumi. Gempa menciptakan lubang, yang kita lewati dengan 'Nautilus'. Kemudian air dari Samudera Atlantik membanjir ke dalam gunung. Waktu itu mestinya terjadi pergolakan seru, antara kedua unsur alam. Akhirnya air yang menang. Tapi itu semuanya terjadi dalam masa prasejarah. Dan sekarang gunung api telah menjadi gua yang tenang."
"Baiklah," ujar Ned Land, "kuterima keterangan Tuan itu. Tapi sayang sekali, lubang ini tak terjadi di atas permukaan laut."
"Bagaimana Anda ini, Sobat!" kecam Conseil. "Kalau lubangnya tak berada di bawah air, mana bisa 'Nautilus' melewatinya."
Kami terus menanjak. Jalan semakin curam dan sempit, dan kadang-kadang terpotong oleh celah dalam. Kami terpaksa melompat ke seberangnya. Tapi itu belum apa-apa; di bagian yang ada tanah longsor, kami terpaksa mengitari dengan jalan me-
234 rangkak. Walau begitu, ketangkasan Conseil dan kekuatan tenaga Ned Land berhasil melampaui segala rintangan. Ketika pendakian sudah membawa kami setinggi sepuluh meter dari permukaan air danau, keadaan tanah tempat kami menginjakkan kaki mengalami perubahan. Tapi perjalanan kami tidak menjadi lebih mudah karenanya. Batu trakit bercampur dengan basalt hitam, membentuk bongkah-bongkah penghalang langkah. Di sela-sela batu-batuan itu nampak bekas aliran lahar, yang sudah membeku. Di sana-sini kelihatan terhampar lapisan belerang. Dari atas lubang kepundan memancar cahaya terang. Ketika perjalanan sudah setinggi delapan puluh meter, pendakian kami terhenti karena terbentur penghalang yang tak mungkin dilampaui. Di atas kepala terdapat dinding kubah yang menaungi. Bidang sempit yang mulanya condong ke atas, kini berubah dan melingkar. Kami mulai menjumpai tumbuh-tumbuhan di sela batu-batuan. Dalam celah-celah kelihatan tumbuh semak-semak. Bahkan ada pula beberapa batang pohon. Di sana-sini bunga serunai, tumbuh kerdil di kaki pohon gaharu berdaun layu. Tapi di celah aliran lahar yang sudah membatu, kulihat beberapa bunga violet kecil yang masih menyebarkan bau harum. Kucium kewangiannya dengan nikmat. Selama ini hanya bunga-bunga laut saja yang kulihat, dan bunga laut tak berbau.
Kami sampai di kaki beberapa pohon berbatang teguh, yang akar-akarnya berhasil memecah batu. Tiba-tiba Ned Land berseru;
"Wah! Ada sarang lebah!"
"Lebah!" kataku mengulangi, dengan nada tak percaya.
"Betul, sarang lebah," ujar juru tombak sekali lagi, "bahkan lebah-lebahnya beterbangan sekelilingnya."
235 Aku mendekat, Mau tak mau, harus kupercayai penglihatanku sendiri. Dalam sebuah lubang pada salah satu pohon, beterbangan beribu-ribu binatang penyengat itu. Seperti biasa, Ned langsung bermaksud untuk mengumpulkan madunya. Keinginannya itu tak dapat kutolak. Dikumpulkannya daun-daunan kering, lalu dicampurkannya dengan belerang. Diambilnya batu api dari kantong, lalu dipantikkan.
Daun-daun kering mulai berasap, mengusir lebah dari sarang mereka. Cepat-cepat Ned mengambil beberapa pon madu manis.
"Nanti, kalau madu ini kuaduk dengan adonan," ujar Ned, "kalian akan mendapat hidangan kue."
"Wah, pasti sedap," balas Conseil sambil meneguk liur.
"Sudah, jangan pikir makan saja," tukasku, "kita lanjutkan saja perjalanan yang asyik ini."
Dari setiap sudut dalam perkelanaan kami di sisi tebing, danau kelihatan menghampar di bawah. Lampu sorot menerangi permukaannya yang tenang. 'Nautilus' terapung di situ, tak bergerak-gerak. Awak kapal bekerja di atas geladak dan di sisi gunung, kelihatan seperti bayangan gelap ditimpa cahaya terang.
Sementara itu kami sudah sampai ke lapisan teratas dari batu-batu yang menopang kubah. Saat itu baru kuketahui bahwa bukan lebah saja yang menghuni bagian dalam kawah. Di balik bayangan nampak beberapa ekor burung penangkap mangsa, dan ada yang terbang meninggalkan sarang di celah batu. Dapat kubayangkan, betapa kepingin Ned melihat burung-burung itu, serta betapa menyesal dia karena tak membawa senapan. Tapi ia tak kurang akal. Diambilnya batu, dan dilemparkannya sebagai pengganti peluru logam. Sesudah beberapa kali meleset, akhirnya ia berhasil juga melukai
236 seekor burung. Ia mendaki batu-batu untuk mencapai burung itu. Ia menyabung nyawa, karena kalau langkahnya salah dia pasti akan mati terbanting di kaki gunung. Namun keberanian itu membawa hasil. Tas berisi madu, ditambah dengan hasil buruan berupa burung.
Sekarang kami terpaksa turun kembali, menuju ke pantai. Puncak tak mungkin kami capai. Lubang kepundan menganga di atas kami, seperti lubang sumur. Dari tempat kami berdiri dapat dilihat langit dengan jelas. Nampak awan berarak ditiup angin barat, meninggalkan mega tipis bagaikan kabut. Setengah jam kemudian, kami sudah sampai di pantai danau. Conseil memetik beberapa berkas dari tumbuh-tumbuhan laut untuk diasinkan. Sedang kehidupan hewan di situ diwakili oleh beribu-ribu udang dan kepiting dari berbagai jenis. Tiga perempat jam lagi, danau sudah kami kelilingi seluruhnya. Dengan segera kami naik ke kapal. Para kelasi sudah selesai memuat natrium. Jadi sebenarnya, saat itu juga 'Nautilus' sudah dapat berangkat. Tapi Kapten Nemo tak memberikan perintah untuk itu. Mungkinkah dia ingin menunggu sampai malam, sehingga bisa keluar dari terusan bawah air tanpa diketahui orang" Entahlah. Pokoknya keesokan hari 'Nautilus' sudah meninggalkan danau di bawah gunung. Kami mengarungi Samudera Atlantik, beberapa meter di bawah ombak mengalun.
XI LAUT SARGASSO HARI itu 'Nautilus' melintasi daerah istimewa di Samudera Atlantik. Di Eropa, boleh dikatakan tak ada orang yang tak mengetahui adanya arus air hangat, yang dikenal dengan nama Gulf Stream
237 atau Arus Teluk. Arus itu sesudah meninggalkan perairan Florida, kemudian menuju ke Spitzbergen di utara Benua Eropa. Kira-kira pada lintang utara 45", arus bercabang dua. Arus terbesar mengarah ke Irlandia dan Norwegia, sedang arus kedua membelok lagi ke selatan di depan Kepulauan Azores. Sesudah menyentuh pesisir Benua Afrika, arus itu kembali lagi ke perairan Antilles. Lengan arus kedua ini membentuk gelang arus hangat, yang melingkari bagian samudera yang airnya dingin dan tak bergerak. Bagian itu dikenal dengan nama Laut Sargasso, dan menyerupai danau besar di tengah lautan yang lebih luas lagi. Arus Teluk memerlukan waktu tiga tahun untuk sekali melingkarinya.
Daerah perairan itulah yang kini dikunjungi 'Nautilus'. Kami mengambang di atas dasar laut, yang kelihatannya seperti padang rumput. Lumut, ganggang dan rumput laut tumbuh begitu rapat di situ, sehingga menyukarkan gerak kapal. Kapten Nemo tak menghendaki jika baling-baling kapalnya sampai terjirat. Karena itu kami mengambang beberapa meter di atasnya.
Sepanjang hari tanggal 22 Pebruari kami berlayar di Laut Sargasso itu. Kecuali tumbuh-tumbuhan, di situ pun banyak sekali hewan laut. Keesokan harinya kami telah sampai ke bagian samudera yang biasa lagi. Selama sembilan belas hari sesudah itu, jadi dari tanggal 23 Pebruari sampai 12 Maret, 'Nautilus' tetap bergerak di tengah-tengah Atlantik. Kecepatan kami sekitar lima ratus kilometer dalam waktu sehari semalam. Rupanya Kapten Nemo bertekat melaksanakan niat untuk mengelilingi bumi di bawah air. Dapat kubayangkan rencananya, untuk kembali ke perairan sekitar Benua Australia, melalui Tanjung Tanduk di selatan Benua Amerika. Jadi ada alasan bagi Ned Land untuk khawatir: karena di samudera luas begini, di
238 mana tak nampak pulau satu pun juga, kami takkan mungkin melakukan percobaan untuk melarikan diri. Begitu pula kami tak mempunyai kemampuan untuk melawan kemauan Kapten Nemo. Pilihan yang ada, cuma menurut saja. Tapi kubayangkan, hal yang tak dapat dicapai dengan kekerasan atau kelicikan, barangkali bisa didapat dengan membujuk. Jika pelayaran sudah berakhir, mungkin dia akan bersedia membebaskan kembali, jika kami bersumpah takkan mengatakan pada siapa pun mengenai dirinya. Kami pasti akan memegang teguh sumpah itu. Tapi bisakah aku menuntut kebebasan itu" Bukankah sedari awal sudah ditandaskannya, bahwa rahasia dirinya menyebabkan dia terpaksa menahan kami untuk selama-lamanya di 'Nautilus'" Dan bukankah kebungkaman diriku selama empat bulan, akan dinilai olehnya sebagai persetujuan, meskipun persetujuan itu tak kuucapk
an" Apakah tak mungkin, jika persoalan ini kuajukan padanya, dia lantas curiga kembali" Dan kecurigaan ini akan bisa membahayakan rencana kami, jika pada suatu waktu nanti akan terdapat kesempatan baik untuk melaksanakannya.


Berkeliling Dunia Di Bawah Laut Karya Jules Verne di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tak ada kejadian menyolok dalam pelayaran selama sembilan belas hari itu. Kapten jarang kulihat. Dia sibuk terus. Kalau aku mendatangi perpustakaan, sering kutemukan buku-buku ditinggalkan tetap terbuka olehnya. Kebanyakan dari buku-buku itu mengenai sejarah alam. Tulisan-tulisanku mengenai keadaan di dasar laut, rupanya sering juga dibaca olehnya, karena di tepinya dibubuhi catatan-catatan yang acap kali bertentangan dengan pendapatku. Boleh dikatakan cuma dengan cara begitulah dia menilai buah pikiranku. Jarang sekali kami berdiskusi secara langsung.
Kadang-kadang kedengaran dia bermain pada organ, memainkan lagu-lagu yang bernada sedih. Tapi
239 ia selalu bermain di malam hari saja, apabila seisi kapal sudah tidur nyenyak.
Selama pelayaran sembilan belas hari itu, tak jarang kami berhari-hari melaju di permukaan laut. Samudera luas kelihatan kosong sama sekali, kecuali beberapa buah kapal yang menuju Tanjung Harapan dalam pelayaran ke India. Suatu hari kami dibuntuti perahu-perahu nelayan penangkap ikan paus. Pasti mereka menyangka kami ikan paus besar. Tapi Kapten Nemo tak berniat menyia-nyia-kan waktu para nelayan yang pasti sangat berharga. Karena itu dengan segera ia memerintahkan untuk menyelam saja.
Tanggal 13 Maret, Nakhoda menugaskan ajudan untuk melakukan pengukuran. Sementara itu kami sudah menempuh jarak pelayaran sejauh kira-kira enam puluh ribu mil, sejak meninggalkan perairan Pasifik. Saat itu kami sedang berada pada lintang selatan 45"37' dan 37"53' bujur barat. Di tempat itu pernah dilakukan pengukuran dasar laut. Alat pengukur mencatat kedalaman lebih dari sepuluh ribu meter, padahal dasar belum lagi tersentuh. Pengukuran berikut, yang dilakukan oleh sebuah kapal perang Amerika, kabarnya mencapai kedalaman dua puluh tujuh ribu meter. Waktu itu pun dasar laut masih tetap belum berhasil tersentuh. Sekarang Kapten Nemo berniat mencapai dasar laut, dengan jalan menyelam diagonal. Sirip-sirip kemudi datar dicondongkan, sehingga membentuk sudut 45" terhadap sisi lambung. Sesudah itu. baling-baling mulai berputar dengan kecepatan tertinggi. Tubuh kapal bergetar karena desakan balasan dari air yang didorong ke tepi. Dengan laju 'Nautilus' menghilang ke bawah air.
Pada kedalaman dua belas ribu meter, kulihat puncak-puncak gelap menjulang dari bawah. Ujung-ujung yang kulihat itu merupakan puncak gunung-
240 gunung bawah air, yang mungkin lebih tinggi daripada Himalaya atau Mount Blanc. Kedalaman palung yang merupakan lembah pegunungan itu masih tetap belum dapat, diduga. 'Nautilus' terus menyelam ke bawah, meski terdapat tekanan yang kian membesar. Terasa pelat-pelat baja tergetar pada bagian sambungan-sambungannya. Tiang-tiang penyangga mulai membengkok, dinding-dinding pemisah berderak-derik. Kaca jendela ruang duduk seakan-akan melengkung ke dalam, sebagai akibat tekanan air. Aku cemas, kalau-kalau kapal tak kuat menahan beban seberat itu. Tapi Kapten Nemo mengatakan, bangunan 'Nautilus' dibuat sedemikian rupa, sehingga mampu menahan tekanan yang bagaimanapun besarnya.
Pada saat menyelam, mula-mula masih kulihat beberapa jenis makhluk hidup yang tergolong kerang-kerangan. Tapi tak lama kemudian, sisa kehidupan yang sedikit itu pun tak nampak lagi. Ketika kami melewati batas kedalaman lima belas ribu meter, sisi lambung 'Nautilus' sudah mengalami tekanan air sebesar seribu enam ratus atmosfir.'
"Wah, bukan main!" seruku takjub. "Kita berada di tempat yang belum pernah didatangi manusia!" Aku memandang dengan asyik ke luar. "Lihatlah, Kapten! Betapa hebat batu-batuan besar itu, dengan liang-liang tak berpenghuni. Inilah dia landasan kulit bumi yang paling rendah, di mana tak mungkin lagi ada kehidupan makhluk maupun tumbuh-tumbuhan! Sayang kenang-kenangan ini tak mungkin kita abadikan!"
"Inginkah Anda mempunyai sesuatu, yang lebih dari kenang-kenangan"" "Apa maksud Kapten""
"Maksudku, muda h saja membuat gambar pemandangan daerah bawah laut ini."
241 Aku tak sempat menyatakan keheranan mendengar saran baru ini, karena Kapten Nemo sudah memanggil seorang bawahannya. Dengan segera sebuah alat pemotret dibawa masuk ke dalam ruang duduk. Katup penutup jendela dibuka lebar-lebar. Di luar, sinar lampu sorot menerangi segala-galanya sehingga menjadi terang benderang. 'Nautilus' mengambang tanpa bergerak sama sekali. Dalam waktu beberapa detik saja, sudah selesailah perekaman negatif dari pemandangan di luar. Pemandangannya menunjukkan bongkah-bongkah cadas besar, yang tak pernah disentuh cahaya matahari. Batu-batu besi, yang merupakan dasar bumi. Liang-liang gua yang dalam, berbatu-batu tajam. Di latar belakang nampak garis pegunungan yang naik turun. Sukar sekali menggambar kesan yang ditimbulkan oleh batu-batuan hitam yang serba licin dan gundul. Tak ada lumut yang meliputi, tak secercah ganggang yang memberikan warna lain. Dan di bawah menghampar pasir, yang berkilat kena cahaya lampu sorot.
Sesudah pengambilan foto dari pemandangan itu selesai, Kapten Nemo berkata,
"Sekarang kita naik lagi ke atas. 'Nautilus' tak boleh terlalu lama kita biarkan menahan tekanan sebesar di tempat ini!"
"Kita naik lagi!" ujarku agak kecewa.
"Berpeganglah baik-baik."
Aku belum sempat memahami maksud peringatannya itu, ketika aku sudah terbanting ke permadani. Rupanya begitu Kapten Nemo memberi isyarat, langsung baling-baling berputar kencang dengan posisi tegak lurus ke atas. 'Nautilus' melambung ke atas seperti balon, dengan kecepatan tinggi. Aku tak bisa melihat apa-apa. Dalam waktu empat menit saja kami sudah menembus jarak lima belas ribu meter, sampai ke permukaan
242 kembali. Kami muncul seperti ikan terbang dan jatuh kembali ke permukaan, menyebabkan air memercik tinggi sekali.
XII BERBAGAI JENIS IKAN PAUS DI MALAM hari menjelang tanggal 14 Maret, 'Nautilus' kembali mengarah ke selatan. Kusangka, jika kita sudah berada pada posisi sejajar dengan Tanjung Tanduk, Kapten akan memerintahkan agar kemudi di putar ke arah barat. Kukira 'Nautilus' akan mengarah ke perairan Pasifik, guna menyelesaikan pelayaran berkeliling bumi. Tapi hal itu tak terjadi! Kapal kami terus melaju ke arah selatan. Mau ke manakah Kapten Nemo" Ke kutub" Nekat sekali! Aku mulai memahami kecemasan Ned Land, yang beranggapan bahwa Kapten terlalu pemberani. Sudah agak lama juga juru tombak tak berbicara lagi mengenai rencananya untuk melarikan diri. Ia menjadi jarang bicara, hampir-hampir selalu membisu. Dapat kulihat, bahwa semakin lama dia terkungkung, semakin berat pula beban yang menekan jiwanya. Dapat kurasakan rasa marah yang membakar dalam hatinya. Jika Ned berjumpa dengan Kapten, mata orang Kanada itu .menyala-nyala karena marah. Kukhawatirkan kalau-kalau wataknya yang kasar akan mendorongnya untuk melakukan kekerasan.
Hari ini ia masuk bersama Conseil ke dalam kamarku. Kutanyakan maksud kedatangan mereka.
"Kami ingin menanyakan sesuatu pada Profesor," jawab juru tombak. "Katakanlah, Ned."
"Menurut perkiraan Anda, berapa banyakkah orang yang ada dalam 'Nautilus""
243 "Aku tak dapat mengatakannya."
"Menurut pendapatku, kapal ini tak begitu banyak memerlukan orang."
"Memang, untuk menjalankannya saja, lumrahnya paling banyak diperlukan sepuluh orang saja."
"Kalau begitu, apa yang menyebabkan terdapatnya kemungkinan di sini terdapat jumlah yang lebih banyak dari itu ""
"Kenapa"" Aku menatap Ned, yang jalan pikirannya sudah dapat kutebak. "Karena - ini jika dugaanku tepat, dan jika kehidupan Kapten kupahami - karena kapal 'Nautilus' ini bukan cuma sebuah kapal biasa. 'Nautilus' juga merupakan tempat perlindungan bagi orang-orang, yang sudah memutuskan hubungan dengan masyarakat ramai. Jadi orang-orang seperti komandan kapal ini."
"Mungkin pandangan Tuan benar," sambut Conseil. "Tapi bagaimanapun juga, jumlah mereka masih tetap terbatas. Bisakah Tuan menaksir banyaknya""
"Bagaimana caranya, Conseil""
"Dengan jalan memperhitungkannya. Tuan mengenal ukuran kapal. Dengannya Tuan juga mengetahui banyaknya udara di dalamnya. Setiap kali orang bernafas, dapa
t diketahui takaran udara yang terpakai. Kesemua itu dihubungkan dengan kenyataan, bahwa 'Nautilus' harus muncul ke permukaan laut setiap dua puluh empat jam sekali, guna mengambil udara segar."
Belum lagi Conseil habis berkata, aku sudah mengetahui maksudnya.
"Aku mengerti," kataku. "Tapi perhitungan begitu biarpun mudah, hasilnya tak mungkin tepat."
"Biarlah," desak Ned.
Aku mulai menghitung-hitung, ditunggu dengan perasaan tak sabar oleh juru tombak. Akhirnya ter-
244 capai perkiraan, bahwa udara yang terdapat dalam kapal mencukupi bagi enam ratus dua puluh lima orang.
"Enam ratus dua puluh lima orang!" seru Ned kaget.
"Tapi ingat, kita semua - termasuk penumpang, kelasi dan perwira kapal - dalam kenyataannya tak sampai sepersepuluh dari angka perkiraan itu."
"Itu pun masih terlalu banyak untuk kita bertiga," gumam Conseil.
Juru tombak menggelengkan kepala. Tangannya mengusap kening, lalu dia keluar tanpa memberikan jawaban.
"Tuan izinkan saya mengatakan sesuatu"" tanya pelayanku. Aku mengangguk. "Ned itu merindukan hal-hal yang tak bisa didapatnya. Baginya, kehidupan masa silam masih tetap membayang. Semua yang terlarang bagi kita, disesalinya. Tapi sikapnya itu harus dimengerti. Apalah yang bisa dikerjakannya dalam kapal ini" Ia bukan seorang terpelajar seperti Tuan. Dan ia pun tak senang mengagumi keindahan laut, seperti kita. Ia pasti akan berani menangggung risiko apa saja, asal bisa sekali lagi datang ke kedai minum di negerinya sendiri."
Memang, kehidupan dalam kapal yang selalu sama saja, mestinya dirasakan sangat membosankan bagi Ned. Dia biasa hidup bebas, penuh kegiatan. Jarang sekali terjadi peristiwa, yang bisa membangkitkan semangatnya. Tapi justru pada hari itu terjadi sesuatu, yang menimbulkan kenangan indah bagi Ned.
'Nautilus' pada waktu itu sedang terapung di permukaan laut. Kami bertiga duduk-duduk di geladak. Laut tenang. Tiba-tiba juru tombak menunjuk ke sebuah titik yang nampak di horison. Katanya, ia
245 melihat seekor ikan paus. Kami menajamkan mata. Betul, sekitar lima mil dari kapal, nampak punggung hitam naik turun mengikuti gerak alun.
"Ah," ujar Ned Land, "jika saat ini aku berada di kapal penangkap paus, pandangan ini pasti akan menimbulkan kesenangan pada diriku. Besar sekali ikan itu! Coba lihat saja, betapa deras air yang dipancarkan ke atas! Sialan, kenapa aku mesti terikat pada kurungan besi ini""
"Eh! Rupanya Anda ini masih belum bisa melupakan kebiasaan berburu ikan paus," ujarku.
"Mungkinkah seorang nelayan melupakan bidang pekerjaannya yang sejati, Profesor" Dapatkah dia melupakan kegairahan yang ditimbulkan oleh perburuan ikan paus di samudera luas""
"Sudah pernahkah Anda berburu di perairan sekitar sini, Ned"".
"Belum pernah, Profesor. Kami selalu berburu di perairan utara, di Laut Bering atau Selat Davis."
"Kalau begitu, Anda belum mengenal jenis ikan paus daerah selatan. Kali ini yang Anda lihat adalah jenis ikan paus Groenland. Ikan paus biasa hidup di satu tempat saja, dan masing-masing berkelompok dengan jenisnya sendiri. Mereka tak pernah mengembara jauh-jauh. Dan apabila ada yang mengembara dan Laut Bering ke Selat Davis, maka hal itu berarti bahwa terdapat terusan yang menghubungkan kedua perairan itu."
Belum lagi aku habis berkata, Ned Land sudah bangkit lalu menandak-nandak.
"Lihat! Lihatlah!" serunya dengan jengkel. "Mereka mendekat. Berani mengejek, karena tahu aku tak mungkin memburu!"
Ned menghentakkan kaki ke lantai geladak. Tangannya gemetar, seakan-akan sedang menggenggam seruit yang sudah siap dilontarkan.
246 "Sama besarkah jenis ikan paus di sini, dengan yang hidup di perairan utara"" tanyanya.
"Kurang lebih sama, Ned."
"Aku bertanya, karena pernah kulihat ikan paus yang panjangnya tiga puluh meter. Aku bahkan pernah mendengar kabar, katanya ikan paus di sekitar Kepulauan Aleut bisa sampai lima puluh meter panjangnya."
"Rasanya itu agak melebih-lebihkan. Umumnya jenis ikan paus yang hidup di sini, jauh lebih kecil dari ikan paus Groenland."
"Eh!" seru Ned. Dari tadi matanya masih terus ditatapkan ke laut. "Mereka semakin mendekat!" Lalu ia menyambung pembic
araan yang terputus, "Anda mengatakan, ikan paus jenis ini kecil. Aku pernah mendengar cerita tentang yang ukurannya benar-benar raksasa. Ikan-ikan itu cerdik sekali. Kabarnya, mereka kadang-kadang menutup diri dengan lumut dan ganggang. Orang mengira mereka pulau, lalu mendarat di atas punggungnya. Menghidupkan api -"
"Membangun rumah," ejek Conseil.
"Ya, betul!" seru Ned Land. "Dan pada suatu hari, binatang itu menyelam, membawa serta manusia di atasnya, terbenam masuk ke dasar laut."
"Kedengarannya seperti dongeng Sinbad saja," jawabku sambil tertawa geli.
"Wah!" seru Ned tiba-tiba. "Jumlahnya banyak sekali - sepuluh, ah, tidak! Dua puluh - serombongan besar! Serombongan besar ikan paus! Dan aku tak bisa berbuat apa-apa." Kelihatannya juru tombak gelisah sekali.
"Kenapa tidak Anda tanyakan saja pada Kapten Nemo. Mungkin akan memberi izin pada Anda," usul Conseil.
Seketika itu juga Ned Land menghilang ke bawah, mendatangi Kapten Nemo. Beberapa saat
247 kemudian mereka berdua naik ke geladak. Kapten mengamat-amati ikan-ikan paus yang asyik bermain, satu mil dari kapal kami.
"Itu ikan paus daerah selatan," ujarnya. "Para nelayan pasti puas, jika bisa mengejar dan menangkapnya."
"Kenapa aku tak boleh mengejarnya"" tanya Ned. "Supaya teringat lagi pada pekerjaanku yang lama!"
"Gunanya untuk apa"!" jawab Kapten. "Paling-paling untuk membunuh. Kita di kapal ini tak memerlukan minyak ikan!"
Ned Land tak mau mengalah. Katanya, "Dulu, sewaktu di Laut Merah, Kapten memberi izin untuk berburu duyung!"
"Waktu itu kita perlu daging segar. Tapi sekarang, Anda ingin berburu karena nafsu membunuh belaka. Aku tak menyukai kegemaran yanng mengakibatkan jatuhnya korban. Tuan Land, pembunuhan ikan paus Groenland merupakan pekerjaan tercela. Jumlah mereka sudah sangat susut. Janganlah ikan-ikan malang ini diburu-buru! Tanpa campur tangan Anda, sudah cukup banyak musuh mereka!"
Ucapan Kapten memang benar. Nafsu tamak para nelayan, pada suatu hari akan melenyapkan ikan paus dari perairan bumi. Ned merasa jengkel, lalu membelakangi kami sambil bersiul-siul. Kapten Nemo masih tetap memperhatikan ikan-ikan raksasa yang mengapung. Kemudian ia berkata padaku,
"Kataku tadi benar. Ikan-ikan ini sudah cukup banyak musuhnya, tanpa manusia ikut-ikut. Cobalah Profesor memandang ke arah bawah angin. Anda lihatkan titik-titik gelap sekitar delapan mil dari sini, yang bergerak dengan cepat ke mari""
"Ya, Kapten," jawabku.
248 "Itu juga termasuk ikan paus, tetapi dari golongan buas. Kalau yang itu, mereka binatang yang ganas. Tidak ada salahnya, jika nelayan membasmi ikan-ikan yang begitu."
Ned Land berpaling dengan cepat mendengar kata-kata itu.
"Kita masih ada waktu, untuk menyelamatkan ikan-ikan paus yang lain ini."
"Tak ada gunanya jika kita menantang bahaya. 'Nautilus' akan membereskan mereka. Kapal ini diperlengkapi dengan taji baja. Mutunya rasaku sama baiknya dengan seruit milik Tuan Land."
Juru tombak tak sampai mengangkat bahu, tapi aku tahu apa yang dipikirkan olehnya. Menyerang paus dengan pukulan taji!. Perburuan macam apa itu!
"Tunggulah, Tuan Aronnax," sambung Kapten Nemo. "Anda akan menyaksikan sesuatu yang belum pernah kelihatan selama ini. Kita tak perlu kasihan pada binatang-binatang ganas itu, yang bisanya hanya membunuh saja !"
Kami bergegas turun ke bawah. Beberapa saat kemudian, 'Nautilus' sudah melaju di bawah air, menuju ke rombongan ikan buas yang memburu. Aku bersama kedua temanku duduk di depan jendela ruang duduk, sedang Kapten Nemo memasuki kotak kemudi di geladak. Ialah yang mengemudikan 'Nautilus' sekarang, mengubah kapal selam menjadi alat pembunuh! Sementara itu ikan-ikan ganas sudah sampai ke tempat ikan-ikan paus pertama asyik bermain. Ketika kami sampai, pertarungan sengit sudah berkecamuk antara kedua jenis ikan paus itu. Ikan-ikan ganas sama sekali tak takut, ketika melihat ada binatang aneh yang ikut mencampuri. Tapi sejenak kemudian, mereka sudah berkenalan dengan taji baja. 'Nautilus' sudah bukan kapal biasa lagi: dari haluan sampai ke buritan, dia
249 merupakan senjata maut yang dikendalikan oleh Kapten Nemo. Puku
lan-pukulan lawan tak terasa oleh kami. Tapi sebaliknya, setiap desakan maju yang dilakukan oleh 'Nautilus', selalu meninggalkan bangkai paus ganas yang terpotong dua !
Permukaan air sekitar tempat pertarungan bergolak hebat. Ekor-ekor ikan yang menampar-nam-par, ditambah lagi dengan kebisingan suara binatang-binatang yang mengamuk. Tapi mereka tak berdaya! Setengah jam lamanya Kapten Nemo melampiaskan kemarahannya pada lawan ganas, sementara kami menyaksikan dengan asyik bercampur ngeri dari jendela ruang duduk. Ned Land tak sanggup menahan perasaannya, ia memencak-mencak sambil mengumpat-umpat keras. Kelihatannya ia ingin menceburkan diri ke tengah-tengah kancah pertarungan.
Akhirnya ikan-ikan ganas lari bercerai-berai. Lautan menjadi tenang kembali, dan kami muncul ke permukaan. Begitu katup penutup dibuka, kami bergegas naik ke geladak. Sekeliling kami air laut penuh dengan bangkai ikan paus ganas, nampaknya seperti korban ledakan dahsyat. Di kejauhan nampak kawanan ikan itu berenang dengan cepat, menjauhi kebinasaan. Ombak mengalun merah karena darah.
"Nah, bagaimana pendapat Anda sekarang"" tanya Kapten pada Ned.
"Memang pertarungan yang sengit," jawab juru tombak. Ia sudah berhasil mengekang perasaan yang tadinya menggelora. "Tapi aku bukan tukang bantai, melainkan pemburu. Apa yang Kapten lakukan tadi, merupakan pembantaian besar-besaran."
"Memang, tapi kulakukan terhadap binatang ganas," jawab Kapten. " 'Nautilus' bukan pisau pembantai."
"Aku lebih menyukai seruitku," kata Ned.
250 "Setiap orang mempunyai kegemaran sendiri-sendiri," balas Kapten sambil menatap juru tombak.
Mulai hari itu aku menjadi cemas, karena kejengkelan Ned terhadap Kapten Nemo semakin menjadi. Aku berniat untuk mengamat-amati segala tindak-tanduk juru tombak itu.
XIII GUNUNG ES NAUTILUS' masih terus saja menuju ke selatan, mengikuti garis bujur 50" dengan kecepatan lumayan. Apakah Kapten Nemo berniat berlayar ke Kutub Selatan" Kurasa tidak! Selama ini, semua usaha untuk melakukannya mengalami kegagalan. Lagipula musim panas sudah berlalu di daerah selatan. Tanggal 14 Maret, aku melihat es terapung pada garis lintang 55". Bukit itu tidak besar, cuma enam sampai delapan meter panjangnya. Ombak laut menghempas di atasnya. 'Nautilus' tetap bergerak di permukaan laut. Ned Land, yang biasa berburu paus di perairan kutub, sudah tak heran lagi melihat gunung-gunung es. Tapi aku dan Conseil baru melihatnya untuk pertama kali. Di tepi langit membentang sinar putih kemilau. Betapa tebalnya pun awan di langit, sinar itu selalu kelihatan, sebagai pertanda bahwa di kejauhan ada bongkah es yang besar.
Dan benarlah: tak lama kemudian kami berpapasan dengan bukit-bukit es. Sinar kemilaunya berganti-ganti warna, tergantung dari tebal tipisnya kabut yang menyelimuti. Beberapa dari bukit itu menampakkan alur-alur hijau, dan ada pula yang cemerlang seakan-akan batu permata. Ada lagi yang memantulkan sinar matahari bagaikan batu kristal. Semakin jauh kami ke selatan, semakin banyak dan bertambah besar bukit yang kami lalui.
251 Sesampai kami di garis lintang 60", bukit-bukit es sudah rapat sekali. Sesudah mencari-cari dengan saksama, Kapten Nemo menemukan sebuah celah kecil. Dengan berani dia memerintahkan 'Nautilus' maju melewatinya, padahal dia juga tahu bahwa celah itu kemudian akan tertutup. Dikemudikan tangan-tangan cekatan, kapal kami menyusur lautan es.
Ke mana pun mata memandang, hanya es saja yang nampak: bukit, gunung, dataran - semuanya terdiri dari es semata-mata. Suhu sangat rendah. Termometer yang dibawa ke atas geladak, menunjukkan suhu dua derajat di bawah nol. Tapi kami tak kedinginan, karena membungkus tubuh dengan bulu beruang dan anjing laut. Sedang ruangan dalam kapal tetap hangat, karena dipanaskan dengan listrik. Lagipula kami cukup menyelam beberapa meter saja ke bawah permukaan, jika dikehendaki suhu luar yang lebih hangat.
Jika kami ke mari dua bulan yang lalu, masih akan dijumpai matahari bersinar siang dan malam. Tapi sekarang, tiga sampai empat jam dari waktu sehari semalam sudah gelap. Sebentar lagi matahari takkan menampakkan di
ri selama enam bulan. Memang begitulah keadaannya di daerah kutub.
Tanggal 15 Maret, kami berada pada posisi lintang setinggi Shetlandia Baru dan Orkney Baru. Menurut Kapten Nemo, kedua pulau itu banyak di-huni oleh anjing-anjing laut. Tapi para pelaut Inggris dan Amerika dari kapal-kapal penangkap ikan paus, bagaikan kemasukan setan dan melakukan pembantaian besar-besaran. Tua muda dibunuhi semua. Sebagai akibatnya, tempat yang dulu penuh dengan kehidupan menjadi sunyi sepi.
Tanggal 16 Maret, kira-kira pukul delapan pagi, 'Nautilus' memotong garis lingkaran Kutub Selatan. Ke mana saja kami mengarah, di situ ter-
252 dapat es. Es, es dan hanya es, sampai ke ujung pandangan. Tapi Kapten Nemo masih selalu berhasil menemukan celah yang bisa dilalui. Kami bergerak terus, menuju selatan. Aku tak henti-hentinya kagum, menyaksikan keindahan daerah yang baru kulihat untuk pertama kalinya ini. Berbagai kelompok aneh, menimbulkan khayalan yang bermacam-macam dalam benak. Ada setumpukan es yang menyerupai kota di Timur Tengah, dengan warna yang berubah-ubah karena sinar matahari yang menimpa. Dari segala penjuru terdengar bunyi ledakan dan ceburan, pada saat gunung-gunung es saling membentur dan jatuh ke laut.
Sering kali aku tak melihat jalan ke luar lagi. Menurut perasaanku, kami sudah terkurung. Tapi Kapten Nemo bernaluri tajam. Tiap kali ditemukannya jalan, pada saat aku sudah putus asa. Ia tak pernah keliru, jika melihat aliran air kebiru-biruan yang halus di tengah padang es. Sekarang aku tak ragu-ragu lagi: pasti ia sudah pernah mengarungi daerah Kutub Selatan.
Namun pada tanggal 16 Maret itu, akhirnya kami terkepung sama sekali oleh es. Bukan gunung es yang membendung pelayaran kami, melainkan lapangan luas yang merapat karena suhu dingin. Tapi halangan ini dianggap sepi oleh Kapten Nemo. Kapal 'Nautilus' digerakkannya maju, menerobos dengan kekuatan penuh. 'Nautilus' menubruk es bagaikan baji membelah kayu, mengakibatkan serpih-serpih pecahan beterbangan. Es di depan kami meretak dengan bunyi gegap gempita, pecahannya berhamburan di udara dan kemudian jatuh lagi menghujani kami. 'Nautilus' telah menciptakan terusan dengan tenaganya sendiri. Kadang-kadang, karena lajunya, kapal terbenam dalam es - yang kemudian merekah terdorong ke tepi.
253 Angin kencang bertiup dengan dahsyat, teriring kabut tebal yang menyebabkan penglihatan sangat terbatas. Salju turun lebat sekali, kemudian membeku menjadi tumpukan keras, sehingga kami terpaksa memecahkannya dengan beliung. Suhu di luar selalu lima derajat di bawah nol. Semua bagian luar dari kapal sudah dilapisi es. Kapal layar pasti takkan mungkin sampai ke mari, karena tali temalinya pasti akan tersangkut ke sisi ngarai es yang harus ditembus. Hanya kapal tanpa layar, yang digerakkan tenaga listrik dan tak memerlukan batu bara saja akan mampu mengarungi. Namun akhirnya kami terkurung juga, pada tanggal 18 Maret. Yang dihadapi bukan lapangan atau tumpukan-tumpukan salju lagi, tapi bukit-bukit es yang menjulang.
"Gunung es!" ujar Ned padaku.
Aku tahu, bagi Ned gunung itu merupakan penghalang yang tak mungkin dilewati. Tengah hari, ketika matahari menampakkan diri sesaat di kaki langit, Kapten Nemo melakukan pengukuran posisi. Ternyata kami berada pada garis bujur 51"30' dan lintang selatan 67"39'. Kami sudah berhasil mendesak maju satu derajat lagi, memasuki lingkaran kutub. Permukaan laut yang cair sudah tak nampak lagi. Semuanya membeku; bahkan bunyi pun seakan-akan sudah berubah, menjadi es. Suasana sekeliling kami sunyi senyap.
'Nautilus' terpaksa menghentikan penjelajahannya, di tengah padang es yang luas. Meski dilakukan percobaan sekuat tenaga, diusahakan berbagai cara untuk membebaskan diri, tapi kapal tetap terjepit. Sebelumnya, jika kami tak dapat maju, 'jalan mundur masih tetap terbuka. Tapi sekarang setiap jalan sudah buntu, karena celah-celah di belakang kami sudah menutup kembali. Dan kalau kami berhenti bergerak sesaat saja, pasti es sudah mengepung. Hal itu terjadi sekitar pukul dua siang.
254 Aku terpaksa menuduh Kapten Nemo, bahwa dia bertindak terlalu sembrono.
Pada saat itu aku sedang berdiri di atas geladak. Beberapa saat lamanya kapten sibuk memperhatikan situasi yang kami hadapi. Sudah itu ia berkata padaku,
"Nah, Profesor, bagaimana pendapat Anda""
"Saya rasa kita terkepung es, Kapten."
"Jadi Anda benar-benar mengira, 'Nautilus' tak mampu lagi membebaskan diri""
"Sudah sekali, Kapten. Musim panas sudah terlalu lama lewat. Jadi tak dapat lagi diharapkan, bahwa es ini akan pecah."
"Ah, Profesor," ujar Kapten dengan nada menyindir, "Anda ini takkan mungkin berubah. Yang Anda lihat, selalu hanya kesukaran dan penghalang-penghalang. Kutegaskan di sini: 'Nautilus' bukan saja akan mampu membebaskan diri, tapi juga bergerak maju."
"Terus ke selatan"" Aku bertanya, sambil memandangnya.
"Ya, Profesor. Kita akan ke kutub."
"Ke kutub!" Aku berseru. Tak bisa kutahan nada tak percaya dalam seruanku itu.
"Betul," jawab Kapten dengan dingin, "ke Kutub Selatan. Kita menuju titik tak dikenal, yang merupakan pangkal semua garis bujur bumi ini. Anda tahu, aku dapat berbuat semauku dengan 'Nautilus'!"
Ya, hal itu kuketahui. Aku tahu bahwa Kapten Nemo seorang pemberani, kadang-kadang bahkan terlalu berani. Tapi menaklukkan halangan-halangan yang membendung jalan sekitar Kutub Selatan, yang menyebabkan lebih sukar mendekatinya daripada Kutub Utara" Tidakkah itu merupakan perbuatan gila, yang hanya mungkin dilakukan oleh seorang gila" Kemudian terlintas dalam pikiranku,
255 untuk menanyakan pada Kapten: apakah dia sudah pernah menemukan titik kutub itu, yang belum pernah diinjak kaki manusia"
"Tidak, Profesor," jawabnya, "tapi kita akan menemukannya bersama-sama. Di mana orang lain menemui kegagalan, aku pasti berhasil. Belum pernah 'Nautilus' kukemudikan ke selatan sampai sejauh ini. Tapi kuulangi sekali lagi, kita masih akan terus!"
"Saya bisa mempercayai kata Anda, Kapten," ujarku dengan agak menyindir. "Saya percaya pada kata Anda! Marilah kita maju! Tak ada halangan yang menghambat! Ayo, kita pecahkan gunung es ini. Kita ledakkan saja! Jika tetap tak pecah, kita pasang sayap pada 'Nautilus' untuk terbang di atasnya!"
"Di atasnya, Profesor"" balas Kapten dengan tenang, "tidak, bukan di atas - tapi lewat bawahnya!"
"Di bawahnya!" Aku berseru, karena terlintas dalam ingatanku pelayaran kami sebelum ini. Aku mengerti. Kebajikan-kebajikan istimewa yang dimiliki 'Nautilus' akan dipakai dalam usaha luar biasa kali ini.
"Kulihat bahwa kita sudah mulai saling mengerti," ujar Kapten sambil tersenyum simpul. "Anda mulai melihat kemungkinan, atau lebih tepat kukatakan berhasilnya percobaanku. Hal yang mustahil bagi kapal biasa, merupakan kemudahan bagi 'Nautilus'. Jika kutub terletak di atas benua, maka kapal ini akan berhenti di depan benua. Tapi sebaliknya, jika titik kutub berada di perairan, maka kutub pun akan diarungi olehnya."
"Sudah tentu," kataku. Aku ikut bergairah, mendengar pertimbangan yang diutarakan oleh Kapten Nemo. "Jika permukaan laut menjadi padat karena es, air di bawahnya akan masih tetap
256 cair. Dan jika saya tak keliru, gunung es yang menonjol di atas permukaan, adalah seperempat dari bagian yang terbenam."
"Hampir tepat, Profesor. Untuk tiap meter dari gunung es yang muncul di atas permukaan laut, terdapat tiga meter di bawahnya. Jadi jika gunung-gunung di depan kita ini tingginya tak melebihi seratus meter, hal itu berarti bahwa di bawah terdapat es sedalam tiga ratus meter. Apalah arti kedalaman tiga ratus meter bagi 'Nautilus'!"
"Persoalan remeh!" sambutku.
"Satu-satunya kesukaran adalah persoalan menyelam di bawah air selama berhari-hari, tanpa kemungkinan mengisi udara segar."
"Cuma itu saja"" Aku membalas bertanya. "Bukankah tangki udara 'Nautilus' besar sekali. Kita bisa mengisinya sampai penuh. Dengannya kita memiliki cadangan zat asam yang diperlukan."
"Pertimbangan baik, Profesor," jawab Kapten dengan tersenyum. "Aku tak ingin Anda tuduh sebagai orang sembrono. Karena itu kuajukan semua persoalan yang memberatkan pada Anda."
"Masih adakah kesukaran lainnya""
"Cuma satu. Jika ternyata Kutub Selatan terletak dalam laut, maka ada kemungkinan permukaannya tertutup es. Karenan
ya kita takkan bisa muncul ke atas."
"Anda lupa, bahwa 'Nautilus' diperlengkapi dengan taji baja yang tajam. Kita dapat bergerak condong ke atas, dan membenturkan taji terhadap lapisan es."
"Ah! Banyak sekali gagasan Anda hari ini, Profesor."
"Kecuali itu, Kapten," kataku bergairah, "kenapa tidak mungkin lautan di Kutub Selatan terbuka, seperti di utara" Kutub beku tidak ber-
257 tepatan letaknya dengan kutub bumi. Hal itu sama saja, di utara maupun di selatan. Dan sebelum terbukti kebalikannya, kita boleh beranggapan bahwa kedua titik itu terletak di atas benua, atau dalam laut yang bebas dari es."
"Pendapatku juga begitu, Profesor," jawab Kapten Nemo. "Aku cuma mengatakan, selama ini Anda selalu mempunyai keberatan terhadap niatku itu. Tapi kini Anda mengajukan bermacam-macam pertimbangan untuk mendukungnya."
Kami mulai mempersiapkan diri untuk melakukan percobaan berani itu. Pompa-pompa 'Nautilus' yang kuat mendesakkan udara ke dalam tangki-tangki penyimpan. Sekitar pukul empat, Kapten Nemo memerintahkan agar pelat-pelat geladak ditutup. Kulayangkan pandangan terakhir, menatap gunung es yang akan kami lintasi dari bawah. Udara cerah. Hawanya dingin sekali, kira-kira dua puluh derajat di bawah titik nol. Tapi kedinginan itu masih dapat ditahan, karena angin sudah mereda. Beberapa awak kapal, kira-kira sepuluh orang turun dari kapal dan mulai menyingkirkan es yang mengepung sisi 'Nautilus'. Tak lama kemudian kami sudah bebas, karena es yang menempel belum begitu tebal.
Kami turun ke bawah. Tangki-tangki air diisi, dan 'Nautilus' mulai menyelam. Aku masuk ke ruang duduk, ditemani oleh Conseil. Lewat jendela yang dibuka katupnya, kami bisa melihat dasar laut Selatan. Semakin dalam kami menyelam, semakin tinggi pula suhu. Jarum pedoman berputar-putar. Dan seperti dikatakan oleh Kapten Nemo, pada kedalaman sekitar tiga ratus meter kami sudah mengambang di bawah dasar gunung es. Tapi 'Nautilus' menyelam lebih dalam lagi, sampai tujuh ratus lima puluh meter di bawah permukaan. Kapal bergerak dikemudikan tangan yang cermat.
258 "Kita akan berhasil melaluinya, Tuan," ujar Conseil.
"Aku yakin kita berhasil," balasku dengan nada yakin.
Dalam perairan yang kini sudah bebas, 'Nautilus' mengarahkan haluan tepat menuju ke kutub. Kami masih bergerak di garis bujur 52". Posisi kami yang terakhir adalah 67"30' lintang selatan. Untuk mencapai kutub, masih harus ditempuh jarak lintang sebesar 22"30' lagi; dengan kecepatan rata-rata dua puluh enam mil sejam, kami akan sampai dalam waktu empat puluh jam.
Cukup lama kami berdiri terus di depan jendela, karena pemandangan di luar lain dari biasanya. Laut diterangi lampu sorot kapal. Tapi kecuali air, tak ada lainnya yang nampak. Rupanya ikan-ikan tak hidup dalam air yang tertutup itu, melainkan hanya lewat di situ dalam perjalanan dari Laut Antartika ke laut kutub yang terbuka. Kami berlayar dengan laju. Hal itu dapat terasa dari getaran tubuh kapal.
Sekitar pukul dua pagi, aku masuk ke tempat tidur untuk beristirahat selama beberapa jam. Conseil mengikuti contohku itu. Sewaktu melewati lorong, aku tak berjumpa dengan Kapten Nemo. Mungkin dia sedang berada dalam kotak kemudi di atas.
Keesokan harinya, tanggal 19 Maret, aku kembali ke tempat pengamatan di depan jendela ruang duduk. Alat penunjuk kecepatan memperlihatkan bahwa laju kapal agak berkurang. 'Nautilus' bergerak menuju permukaan, tapi dengan berhati-hati. Hal itu nampak dari cara pengosongan tangki air, yang dilakukan dengan lambat. Jantungku berdebar keras. Apakah kami akan muncul ke permukaan, memasuki kawasan kutub yang terbuka" Tidak! Kapal membentur sesuatu. Ternyata 'Nautilus'
259 menumbuk landasan gunung es. Dari bunyi benturan berat, kuketahui bahwa lapisan es di atas kami masih sangat tebal.
Kami menumbuk dasar di tempat sedalam tiga ratus meter lebih. Di tempat itu lapisan lebih tebal dari bagian tepinya. Kenyataan ini mengecilkan hati. Selama hari itu kami mencoba berulang kali. Tapi tiap kali mencoba, kami selalu menumbuk landasan yang kokoh. Kadang-kadang tumbukan itu terjadi di tempat yang dalamnya agak kurang dari tiga
ratus meter, yang berarti bahwa gunung yang menjulang di atas air, tak sampai seratus meter. Sewaktu 'Nautilus' menyelam, tingginya dua kali lipat. Dengan cermat kedalaman yang berbeda-beda kucatat, untuk mendapat gambaran jelas mengenai bentuk penghalang yang membenam di bawah air.
Malam tiba. Tapi situasi kami belum mengalami perubahan. Di atas kami masih selalu terdapat lapisan es, yang tebalnya sekitar seratus sampai seratus lima puluh meter di bawah air. Walau hal itu berarti ada penyusutan, tapi tebalnya masih tak mungkin ditembus !
Saat itu pukul delapan malam. Menurut kelaziman di kapal, udara sebenarnya sudah harus diganti empat jam yang lalu. Tapi walau tangki cadangan belum dibuka, aku tak begitu merasakan adanya gangguan pernafasan. Malam itu tidurku tak enak, karena terus terombang-ambing antara harapan dan kekhawatiran. Beberapa kali aku terbangun. 'Nautilus' terus bergerak, meraba-raba.
Sekitar pukul tiga pagi, kulihat bahwa benaman gunung es dalam air laut tinggal lima belas meter. Lambat laun gunung es berubah menjadi padang es. Mataku tak henti-hentinya memandang manometer. Kami masih terus bergerak condong ke atas. Di depan kami, dasar gunung menjadi semakin landai,
260 semakin lama semakin menipis. Akhirnya, pada pukul enam pagi, pintu ruang duduk dibuka. Kapten Nemo muncul di ambang.
"Laut sudah terbuka!" Hanya itu saja yang dikatakannya.
XIV KUTUB SELATAN AKU bergegas naik ke geladak. Betul! Di sekeliling kami nampak lautan yang terbuka. Hanya di sana-sini ada bongkah-bongkah es dan gunung es yang bergerak. Lautan sangat luas, diramaikan oleh burung-burung beterbangan. Di dalamnya kelihatan ikan-ikan yang tak terhingga jumlahnya. Warna air mulai dari biru tua sampai hijau cerah, tergantung dari kedalamannya. Menurut termometer, suhu di situ tiga derajat di atas titik nol. Hawanya dapat dipersamakan dengan musim semi, karena tempat kami terlindung oleh barisan gunung es yang nampak memanjang di kejauhan.
"Kita sudah sampai di kutub "" tanyaku pada Kapten, dengan hati berdebar-debar.
"Aku tidak tahu," jawabnya. "Tengah hari nanti, akan kulakukan pengukuran."
"Tapi akan kelihatankah matahari dalam kabut seperti ini"" tanyaku, sambil memandang ke langit kelabu.
"Kalau kelihatan sedikit saja, akan sudah mencukupi bagiku," jawab Kapten.
Sekitar sepuluh mil di depan kami terdapat sebuah pulau, yang tingginya lebih dari tiga puluh meter. Kami bergerak mendekati dengan hati-hati. Kami khawatir, kalau-kalau dalam air terdapat gosong. Sejam kemudian kami sampai dekat pulau, dan dua jam kemudian sudah mengelilinginya.
261 Ukuran kelilingnya sekitar empat sampai lima mil. Sebuah selat sempit memisahkannya dari daratan luas. Mungkin daratan itu merupakan benua, karena tak nampak batas-batasnya. Adanya daratan ini memperkuat dugaan seorang ahli bangsa Amerika yang bernama Maury. Dia mengatakan bahwa lautan antara lintang selatan enam puluh derajat sampai titik kutub diselaputi dengan es terapung yang sangat luas. Lapisan es seluas itu tak pernah ditemukan di perairan Atlantik Utara. Dan dari kenyataan itu Maury menarik kesimpulan bahwa kawasan Kutub Selatan terdiri dari benua luas. Ini disebabkan karena gunung es tak mungkin terjadi di perairan terbuka, melainkan hanya di daerah pesisir saja. Menurut penghitungannya, es yang mengelilingi Kutub Selatan paling sedikit bergaris keliling dua ribu lima ratus mil.
Tapi karena khawatir kandas, 'Nautilus' dihentikan sekitar enam ratus meter di depan pantai. Kami melihat pesisir yang terdiri dari bongkah-bongkah cadas yang besar-besar. Perahu diturunkan ke air. Kami masuk ke dalamnya: Kapten, dua awak kapal membawa peralatan, aku sendiri serta Conseil. Saat itu pukul sepuluh pagi. Aku tak melihat Ned Land. Rupanya juru tombak tak mau mengakui kenyataan, bahwa kami sudah tiba di Kutub Selatan. Perahu didayung laju, dan tak lama sesudah itu kami mencecah pantai. Conseil mau buru-buru turun, tapi sempat kucegah:
"Kapten,' ujarku pada Kapten Nemo, "Andalah yang seharusnya mendapat kehormatan, menginjakkan kami di pantai ini sebagai orang pertama."
"Ya," jawab Kapten. "Aku t
ak ragu-ragu menginjakkan kaki di daratan ini, karena selama ini belum pernah manusia sampai ke mari."
262 Sambil berkata, ia meloncat dengan cekatan ke pantai. Dengan segera ia mendaki cadas yang menjulur ke tengah membentuk tanjung kecil. Dengan pandangan bergairah, ia berdiri di situ dengan lengan disilangkan. Kelihatan ia ingin menguasai kawasan selatan itu. Sesudah berlalu lima menit dalam keadaan serupa itu, ia berpaling memandang kami.
"Silakan, jika Anda mau."
Aku turun ke darat, diikuti oleh Conseil. Kedua awak kapal tinggal dalam perahu. Kami berjalan di pantai, yang sebagian besar terdiri dari batu pasir kemerah-merahan, kelihatannya seperti remukan batu bata; tercampur dengan kerak logam, lahar dingin serta batu apung. Darinya tak pelak lagi bahwa asai usul pulau ini gunung api. Di beberapa tempat kelihatan asap mengepul tipis, menyebarkan bau belerang. Dengannya terbukti bahwa api di dasar bumi di situ masih tetap bekerja, meski aku tak melihat adanya gunung api di daerah sekeliling yang luasnya beberapa mil persegi.
Kami mengetahui bahwa di daerah selatan ini, James Ross sudah menemukan dua lubang kepundan, yang diberi nama 'Erebus' dan 'Teror'. Kedua kepundan itu terdapat di garis bujur 167" dan lintang selatan 77"32, dan masih tetap bekerja. Menurut pendapatku, kehidupan tumbuh-tumbuhan di benua sunyi ini sangat terbatas. Beberapa jenis lumut menyelimuti batu-batu cadas yang menghitam, kemudian ganggang coklat berwarna semu lembayung terapung-apung di permukaan air di depan pantai. Cuma itulah tumbuh-tumbuhan yang terdapat. Tanah pantai ditaburi berbagai jenis kerang. Kecuali itu juga ada semak-semak karang, yang dikatakan hidup di perairan Antartika sampai sedalam seribu meter. Selebihnya berupa binatang berkulit lembut.
263 Tapi di udara beterbangan beribu-ribu burung dari segala jenis. Pekak rasanya telinga karena te-riak-teriakannya. Batu-batu sekeliling dipenuhi oleh burung-burung itu, yang memandang kami tanpa takut. Bahkan banyak yang berdesak-desakan, maju sampai nyaris menyentuh kaki kami. Kulihat pinguin-pinguin, yang berenang cekatan dalam air. Tapi begitu menginjak daratan, gerak-geriknya janggal sekali! Pinguin-pinguin itu berkeliaran sambil mengeluarkan suara-suara ribut. Conseil sibuk menangkapi beberapa ekor burung berkaki panjang, yang besarnya sama dengan burung dara. Katanya, jika dimasak dengan baik, dagingnya enak dimakan. Burung-burung elang laut melayang-layang di udara. Lebar sayapnya paling sedikit tiga sampai empat meter. Masih banyak lagi jenis-jenis burung yang beterbangan di atas kepala kami, tak dapat kusebutkan satu per satu, karena hanya akan membosankan saja bagi yang tak tertarik.
Tapi kabut yang mengaburkan pemandangan tetap tak menipis. Pukul sebelas pagi, matahari masih belum menampakkan diri. Aku agak gelisah. Jika keadaan terus begitu, kami tak bisa mengadakan pengukuran posisi. Bagaimana kami bisa mengetahui, apakah Kutub Selatan telah tercapai" Ketika aku mendatangi Kapten Nemo, kutemukan dia bersandar pada sebongkah batu besar. Ia mengamati langit sambil berdiam diri, kelihatannya tak sabar dan agak kesal. Tapi apalah yang dapat dilakukan olehnya" Ia tak mungkin menguasai matahari, seperti yang dilakukannya dengan lautan. Pada saat tengah hari, kabut masih tetap tebal. Tak lama kemudian, salju turun. Dan matahari masih tetap tak kelihatan !
"Sampai besok," ujar Kapten dengan suara lirih. Kami kembali ke kapal, di tengah hujan salju.
Keadaan seperti itu terus sampai keesokan ha-
264 rinya. Tak mungkin kami tinggal di atas geladak. Dari ruang duduk, di mana aku membuat catatan-catatan tentang segala yang kami alami selama menjelajah kawasan kutub, terdengar suara-suara burung. Rupanya unggas tak gentar menghadapi badai yang membeku.
'Nautilus' tak tinggal diam di satu tempat saja. Kami berlayar menyusuri pantai, maju lebih ke selatan lagi dengan diterangi cahaya remang dari kaki langit. Tanggal 20 Maret, salju berhenti turun. Hawa menjadi agak dingin dari sebelumnya. Menurut termometer, suhu saat itu dua derajat di bawah titik beku. Kabut mulai menipis. Kuharapkan,
hari itu kami bisa mengadakan pengukuran posisi. Kapten Nemo belum muncul lagi. Aku dan Conseil naik perahu, menuju ke pantai. Tanah masih menunjukkan sifat daerah gunung api. Di mana-mana kelihatan bekas lahar, kerak logam dan batu basalt. Tapi tak kulihat lubang kepundan yang dulu memuntahkan kesemua itu. Di daerah yang baru kami injak itu pun banyak sekali terdapat kehidupan burung. Tapi mereka tidak berkuasa sendiri lagi, karena sudah ditemani binatang-binatang menyusui yang hidup di laut. Kami lihat beberapa jenis anjing laut, yang memandang kami dengan mata sayu. Beberapa di antaranya berbaring di tanah, ada pula yang menjulur di atas es terapung. Banyak sekali yang berenang-renang, keluar masuk air. Binatang-binatang itu tidak lari ketika kami mendekat. Rupanya mereka belum pernah berjumpa dengan manusia. Menurut taksiranku, anjing-anjing laut yang ada di situ akan mencukupi untuk beratus-ratus kapal pemburunya.
Saat itu pukul delapan pagi. Masih empat jam lagi, sebelum kami dapat melakukan pengukuran posisi dengan bantuan matahari. Aku melangkahkan kaki ke arah sebuah teluk, yang menjorok ke dalam
265 pantai batu. Di sana kulihat bahwa pantai tanah dan es lenyap tertimbun oleh berbagai jenis binatang laut yang menyusui. Kebanyakan dari padanya adalah anjing laut. Mereka hidup membentuk kelompok-kelompok. Sang bapa mengawasi keluarga, sedang induk menyusui anak-anak. Ada di antaranya yang sudah mulai pandai berjalan. Jika anjing laut hendak berpindah tempat di darat, mereka melakukannya dengan jalan melompat-lompat dengan bantuan kaki yang menyerupai sirip. Tapi kalau bergerak dalam air, anjing-anjing laut itu melaju dengan gerakan gemulai.
Di antara sekian banyak anjing laut, terdapat pula beberapa ekor gajah laut. Yang terbesar di antaranya berukuran sampai sepuluh meter Binatang-binatang itu sama sekali tak bergerak ketika kami mendekati.
"Tak berbahayakah mereka itu"" tanya Conseil.
"Tidak, kecuali jika kita menyerang lebih dulu. Kalau mereka melindungi anak-anak mereka, ganasnya bukan main. Tak jarang perahu nelayan mereka pecahkan dengan taring-taring yang panjang itu."
"Sudah sepantasnya jika itu mereka lakukan," ujar Conseil membela.
"Aku juga tak mengatakan kebalikannya !"
Dua mil kemudian, kami sampai di sisi tanjung yang satu lagi, yang melindungi teluk dari gangguan angin selatan. Di seberangnya terdengar bunyi lenguh ribut, seakan-akan di situ ada sekawan binatang memamah biak.
"Nah, itu dia!" ujar Conseil gembira. "Suara lenguhan lembu-lembu jantan!" "Bukan, itu suara beruang laut." "Mereka sedang berkelahi." "Berkelahi, atau bermain-main."
266 Kami mendaki cadas berwarna hitam, melangkahi batu-batu licin karena es. Beberapa kali aku tergelincir dan jatuh. Conseil lebih berhati-hati. Ia membantu aku berdiri kembali, sambil mengatakan,
"Jika langkah Tuan lebih lebar, keseimbangan dapat dijaga lebih baik."
Sesampai di atas punggung cadas yang membentuk tanjung, di depan kulihat terbentang sebidang tanah luas yang penuh dengan beruang laut. Mereka sedang asyik bermain-main. Suara yang terdengar tadi merupakan seruan gembira, dan bukan kemarahan.
Ketika berjalan di dekat binatang-binatang itu, aku dapat memperhatikan mereka dengan leluasa, karena beruang-beruang laut itu juga tak lari. Sesudah puas memperhatikan, aku mengambil kepu-tusan untuk pulang ke kapal, karena waktu sudah hampir tengah hari. Aku ingin hadir, jika Kapten Nemo menganggap keadaan cukup baik untuk melakukan pengukuran. Kami berjalan pulang, melewati jalan tikus yang terdapat di atas tebing pantai yang mengitari teluk. Pukul setengah sebelas kami tiba kembali di tempat perahu menunggu. Kapten juga sudah ada di situ. Kulihat dia berdiri di atas sebongkah batu basalt yang besar. Alat-alat pengukur berada di dekatnya. Matanya menatap garis pandangan, ke arah di mana seharusnya matahari nampak dalam garis lintasan busur di kaki langit. Aku datang mendekat, lalu menunggu sambil membisu.
Tengah hari tiba, tapi seperti hari sebelumnya juga, matahari tetap tak nampak. Kami masih selalu belum berhasil mengambil pengukuran posisi. Jika besok tet
ap tak bisa, maka kami terpaksa melepaskan harapan untuk dapat melakukannya. Hari itu tanggal 20 Maret. Besok, tanggal 21 Maret,
267 matahari akan terbenam selama enam bulan. Akan turun malam yang panjang di kutub. Matahari berada di belahan bumi selatan sejak bulan September, sampai sekarang. Mulai besok, bola langit itu akan berganti memanasi belahan utara. Besok matahari akan memancarkan sinarnya yang terakhir ke sini, sudah itu terbenam selama enam bulan. Kekhawatiranku itu kukatakan pada Kapten Nemo.
"Anda benar, Profesor Aronnax," jawabnya. "Jika besok aku juga tak bisa mengukur posisi matahari, maka harus kita tunggu enam bulan lagi sebelum tiba kesempatan berikut. Tapi justru karena kita kebetulan memasuki perairan sini menjelang tanggal 21 Maret, akan mudah bagiku untuk melakukan pengukuran. Itu jika kita bisa melihat matahari pada saat tengah hari."
"Kenapa begitu, Kapten""
"Karena besok matahari akan bergerak melalui lintasan garis busur memanjang, maka akan sukar untuk mengukur tingginya yang tepat di atas kaki langit. Kalau kita mempergunakan alat-alat, mungkin akan terjadi kekeliruan yang besar."
"Kalau begitu, apa yang akan Anda kerjakan""
"Aku hanya akan mempergunakan jam saja," jawab Kapten Nemo. "Jika besok cakra matahari akan tepat setengahnya terpotong kaki langit sebelah utara, maka aku akan tahu bahwa kita berada di Kutub Selatan."
"Betul," kataku. "Tapi berdasarkan matematika, pengukuran begitu tidak akan tepat. Saat pembalikan gerak matahari tidak harus terjadi pada tengah hari."
"Memang benar juga. Tapi kekeliruan yang akan terjadi, berarti selisih beberapa ratus meter saja. Jadi sampai besok!"
Kapten Nemo kembali ke kapal. Kami berdua tinggal di pantai. Dengan ditemani oleh pelayanku
268 yang setia, aku melanjutkan penelitian di situ, sampai pukul enam sore. Sudah itu aku kembali ke kapal pula. Sebelum masuk ke kamar untuk tidur, aku sempat memanjatkan doa, agar matahari mau muncul besok.
Keesokan hari, tanggal 21 Maret, aku naik ke atas geladak. Hari masih pagi, menjelang pukul lima subuh.
"Cuaca sudah agak cerah," ujar Kapten Nemo yang sudah naik lebih dulu. "Ada juga harapan karenanya. Sesudah sarapan pagi kita akan ke pantai. Di sana kita cari posisi yang baik untuk melakukan pengamatan."
Dengan segera kucari Ned Land, karena ingin kuajak serta. Tapi dia keras kepala. Dengan tandas, ajakan itu ditampik olehnya. Kuperhatikan, dia makin lama makin membisu dan cemberut. Semakin jelas diperlihatkannya sikap membangkang. Tapi saat itu aku sama sekali tak menyesal bahwa dia keras kepala. Di pantai terlalu banyak berkeliaran anjing laut, dan tak bisa kami biarkan godaan sebesar itu menghantui benaknya nanti.
Selesai sarapan pagi, kami berperahu ke darat. Malam sebelumnya 'Nautilus' telah bergerak beberapa mil lebih jauh lagi. Di depan kami nampak garis pantai, dengan sebuah puncak lancip yang tingginya kurang lebih seratus lima puluh meter. Aku ikut dalam perahu yang telah diisi oleh Kapten Nemo beserta dua orang anak buahnya. Kapten membawa peralatan berupa sebuah jam, teropong dan barometer. Pada saat perahu menuju ke pantai, kulihat beberapa ekor ikan paus, yaitu jenis yang hidup di kawasan selatan. Terdengar jelas bunyi semburan air yang menjulang ke atas, tercampur dengan uap. Binatang-binatang raksasa itu berenang-renang dalam air laut yang tenang. Rupa-
269 nya di sini mereka mencari perlindungan dari kejaran para pemburu.
Kami sampai di pantai pukul sembilan pagi. Langit semakin cerah. Awan-awan bergerak menjauh, sedang kabut kelihatannya mulai terangkat dari permukaan air yang dingin. Kapten Nemo melangkahkan kaki menuju puncak. Rupanya dari situ dia hendak mengadakan pengukuran posisi. Sukar sekali berjalan melintasi tanah yang dilapisi dengan hamparan lahar dan batu apung yang tajam. Apalagi pernafasan sering terganggu bau belerang yang menyebar dari celah-celah berasap. Kapten berjalan mendaki sisi gunung yang curam dengan langkah-langkah cekatan. Mengagumkan sekali, kalau diingat bahwa dia tak biasa berjalan di atas daratan! Dua jam lamanya kami memerlukan waktu untuk sampai ke puncak.
Dari atas, kami melayangkan pandangan pada lautan luas. Di bawah kaki terbentang pada es yang putih kemilau. Langit yang menaungi kelihatan berwarna biru cerah. Tak sedikit pun kelihatan kabut. Di utara, matahari kelihatan seperti sebuah bola api, menari tepat menyentuh garis horison, menyebabkan air memancarkan sinar-sinar menyala. Di kejauhan nampak 'Nautilus' terapung, kelihatannya seolah-olah seekor ikan paus raksasa sedang tidur. Di belakang kami, sebelah selatan dan timur, terbentang dataran luas yang penuh dengan batu-batu cadas dan tumpukan es. Batasnya sama sekali tak nampak.
Begitu sampai di puncak, Kapten Nemo langsung melakukan pengukuran tinggi. Hal itu perlu diketahui dalam mengadakan pengukuran nanti. Pukul dua belas kurang seperempat, matahari kelihatan seperti cakra emas yang memancarkan sinar untuk kali terakhir, di atas benua yang gersang dan lautan yang sebelumnya tak pernah di-
270

Berkeliling Dunia Di Bawah Laut Karya Jules Verne di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

saksikan mata manusia. Kapten mengawasi garis kaki langit dengan teropong yang diperlengkapi dengan cermin, guna membetulkan kesalahan pembiasan. Diperhatikannya gerak matahari yang dengan pelan-pelan terbenam masuk ke balik bumi. Aku memegang jam dengan jantung berdebar keras. Jika lenyapnya setengah bola matahari di balik bumi tepat pada pukul dua belas, maka itu berarti bahwa kami berdiri persis di kutub. Akhirnya saat yang dinantikan tiba juga.
"Dua belas!" seruku.
"Kutub Selatan!" seru Kapten sebagai jawaban. Diserahkannya teropong ke tanganku. Aku memandang matahari, yang terpotong setengah lingkarannya oleh garis horison.
Kupandang sinar terakhir yang menerangi puncak tempat kami berdiri, memperhatikan bayangan yang merayap semakin tinggi ke atas. Saat itu Kapten Nemo meletakkan tangannya ke bahuku, sambil berkata,
"Aku, Kapten Nemo, telah berhasil mencapai titik Kutub Selatan garis lintang sembilan puluh derajat, pada hari ini, tanggal 21 Maret tahun 1868. Kawasan bumi yang luasnya seperenam dari benua-benua dikenal, dengan ini kunyatakan telah kukua-sai."
"Atas nama siapa, Kapten"" "Atas namaku sendiri!"
Sambil berkata begitu, Kapten Nemo membeberkan bendera hitam dengan huruf N berwarna emas di pojok. Sambil mengarahkan pandangan ke matahari yang nyaris lenyap, ia berseru,
"Selamat jalan, matahari! Lenyaplah, bola yang cemerlang! Istirahatlah di balik lautan terbuka ini, dan biarkan malam berlalu selama enam bulan pada daerah kekuasaanku yang baru!"
271 XV KECELAKAAN KEESOKAN harinya, tanggal 22 Maret pukul enam pagi dimulai persiapan untuk berlayar meninggalkan kutub. Cahaya matahari petang yang masih nampak kemarin, sudah hilang digantikan kegelapan malam. Hawa dingin sekali. Bintang-bintang di langit berkelap-kelip dengan cahaya terang: Menurut termometer, suhu udara dua belas derajat di bawah titik beku. Angin yang bertiup menambah keadaan dingin. Di laut semakin banyak kelihatan es terapung, nampak seperti bercak-bercak gelap yang meluas. Rupanya lautan selatan ini beku selama enam bulan musim dingin, dan sama sekali tak bisa dimasuki. Apakah yang terjadi dengan ikan-ikan paus selama waktu itu" Rupanya mereka berenang lewat bawah gunung es, menuju perairan terbuka. Anjing dan beruang laut tetap di tempat mereka, karena sudah biasa menghadapi iklim musim dingin. Sedang burung-burung yang tak kuat menahan dingin, berpindah ke tempat-tempat yang lebih utara letaknya.
Tangki-tangki air mulai terisi, dan 'Nautilus' menyelam dengan lambat, sampai kedalaman tiga ratus meter. Kemudian baling-baling mulai berputar, dan kapal bergerak ke utara dengan kecepatan lima belas mil sejam. Menjelang malam, kami sudah mengambang di bawah dasar gunung es besar.
Pukul tiga pagi, aku terbangun karena goncang-an keras. Aku duduk di tempat tidur sambil menajamkan telinga dalam gelap. Tiba-tiba terasa goncangan sekali lagi, sehingga aku terpelanting jatuh ke lantai, Rupanya sesudah benturan pertama, 'Nautilus' mental ke belakang dengan keras. Aku keluar, berjalan meraba-raba sepanjang dinding,
Wasiat Dewa Geledek 3 Pendekar Rajawali Sakti 111 Teror Si Raja Api Misteri Dewa Seribu Kepalan 3
^