Pencarian

Century 3

Century Karya Sarah Singleton Bagian 3


Peti kayu panjang berlempengan besi terletak dekat dinding, di bawah jendela. Peti itu terkunci dengan gembok seukuran kepalan tangan lelaki dewasa. Claudius berlutut dan memasukkan anak kunci ke sana. Dengan hati-hati ia mengangkat tutupnya. Mercy menyeberangi ruangan untuk berdiri di belakangnya, mengintip melalui bahunya. Tutup peti terbuka bersandar pada dinding. Claudius membuka penutup dari sutra putih halus menunjukkan benda paling cantik dan menakjubkan yang pernah dilihat Mercy seumur hidupnya.
Rencananya kini tampak jelas.
Di dalam peti terbaring boneka sutra dengan rambut merah panjang. Tiruan Marietta, tampak sempurna. Kreasi tanpa cela yang memesona dengan tubuh rampingnya yang lentur. Kulit buatannya tampak gemerlap bagaikan embun. Bibirnya, seperti kelopak mawar, agak terbuka. Tangannya terlipat di dada.
Bagaimana Claudius bisa menciptakan benda seperti ini" Kecantikannya jauh melebihi manusia. Ia seperti bidadari. Seorang dewi.
Tak diragukan lagi, di balik kulit sutranya, daging dari serbuk gergaji dan rambut kuda ditempelkan di kerangka kayu dan gading, seperti kucing kain tadi. Sulit membayangkan benda-benda biasa seperti itu berada di dalam boneka bidadari sutra ini, dengan kuku-kuku dari mutiara dan kelopak mata seperti bunga, menutupi matanya yang terbuat dari safir dan kaca.
Claudius menatap dan tersenyum. Ia mengulurkan untuk menyentuh wajah boneka itu, kemudian ingat tangannya kotor, ia menarik kembali jemarinya.
Tak lama lagi, ia berkata. Tak lama lagi, Marietta, kita akan bersama selamanya.
VIII MALAM bulan Oktober yang gelap semakin dekat. Gadis yang membawa keranjang berisi ranting kering dan batu bara masuk ke perpustakaan dan berlutut di depan tungku untuk menyalakan api. Jam diatas perapian berdenting setengah jam.
Mercy duduk di meja ayahnya di perpustakaan. Buku merah, diembos emas, terletak di meja di hadapannya. Itu buku Century milik Trajan, persis seperti yang dilihatnya di perpustakaan musim panas, menceritakan kisah yang menyatukan mantranya. Dan seperti buku satu lagi, yang ini pun memancarkan aura supernatural. Ketika Mercy membolak-balik halamannya, sensasi aneh terasa menggelitik jemarinya, dan kulitnya. Ia menduga ini buku yang sama, satu-satunya bukan duplikat. Seperti jahitan ajaib, buku itu menyatukan kungkungan hari-hari Trajan, merapatkannya.
Sekarang Mercy memahami bab-bab pertama yang ditulis Trajan. Ia membolak-balik halaman, dan membaca tentang kedatangan keluarga Verga ke Inggris. Pada tahun 1700 Trajan dan Thecla mengirim agen dari Italia untuk membeli tanah bagi rumah mereka dan menamainya sesuai dengan peralihan abad. Kemudian rumah dibangun, dan keduanya pindah ke Inggris. Anak-anak lahir. Lalu kisah itu memaparkan pertemuan Claudius dengan Marietta, ketidaksepakatan di antara kedua abang-adik itu, dan rencana rahasia yang disiapkan Claudius untuk mempersembahkan kehidupan abadi bagi Marietta. Berikutnya, tulisan-tulisannya tampak tak berarti. Mungkin mantranya melindungi diri sendiri sehingga Mercy tak bisa membaca kisah itu sebelum ia sendiri mengetahui kejadian sebenarnya.
Mercy mengambil buku merahnya sendiri dan meletakkannya di meja di samping buku yang ditulis ayahnya. Pena dan tinta menunggu dekat tangan kanannya, namun Mercy tak mampu menulis. Ia tak boleh membuang-buang waktu. Ia ingat bahwa saat hari musim panas itu berakhir, ketika ia bicara dengan Claudius di pulau, ia ditarik kembali ke waktunya tanpa berharap dan tanpa membutuhkan pintu. Tak lama lagi hari musim gug
ur ini akan berakhir dan mungkin ia akan mendapati dirinya kembali ke hari musim panas, atau bahkan ke hari musim dinginnya sendiri. Dan jika ia dikembalikan ke waktunya sendiri, di luar kemauannya, Trajan pasti akan mengurungnya rapat-rapat sehingga ia takkan punya kesempatan lagi menyelesaikan perjalanannya ke masa lalu. Ia tak punya banyak waktu. Meski merasa terdesak, Mercy terus menatap bukunya.
Benak dan jantungnya seakan dicengkeram erat kejadian hari ini yang seperti mimpi buruk. Lolongan kucing putih dan kuning itu. Tubuhnya yang lembut terkapar di dalam keranjang ketika ka-nya direnggut keluar. Pemandangan berupa kreasi kain dan serbuk gergaji hidup sempoyongan ke seputar ruangan. Claudius, wajahnya bernoda darah dan lebam, dan ikan pike mati yang menggeliat-geliat di dalam kotaknya. Dan boneka itu juga. Ya, boneka bidadari dengan kecantikannya yang tak alami dan memesona. Kenangan itu seakan membakar.
Segalanya membuat Mercy kewalahan. Ia tak tahu harus berpikir bagaimana. Tak bisa berpikir sama sekali. Jalan menuju benaknya tersumbat. Detak jantungnya bergema di telinganya. Ia sendirian dan tak punya siapa-siapa yang bisa diandalkan. Ia merasa sangat kecil, menghadapi masalah yang terlalu besar dan sulit untuk ditangani.
Jam berdenting seperempat jam. Harus pergi. Harus bergerak ke hari berikutnya. Ia masih menatap bukunya.
Trajan benar. Claudius memang monster. Manusia seperti itu memang pantas dikurung dalam spiral hari-hari masa lalu. Mercy bodoh jika ingin membebaskannya meski jika melakukannya ia akan mendapatkan kembali kehidupannya, dan kehidupan adiknya. Mengapa ia tak memercayai ayahnya selama ini" Mungkin menjadi tawanan di dunia yang gelap adalah hal yang pantas dilakukannya demi mengurung Claudius dari dunia luar. Lelaki itu tak punya hati nurani. Ia mampu melakukan apa saja.
Dua hari masih tersisa, dan Mercy tak tahu apakah harus melanjutkan menelusuri masa lalu keluarga Verga yang kelam. Mungkin sebaiknya ia pulang saja, menyerahkan buku merahnya, dan berharap Trajan bisa menjahit kembali lubang yang telah dirobek Mercy di hari-harinya. Di sisi lain, pertanyaan-pertanyaan masih mengusik Mercy. Ia ingin tahu apa sebetulnya yang terjadi pada ibunya. Bagaimana Thecla terlibat dalam masalah ini" Benarkah ia meninggal, seperti kata Trajan" Bagaimana rencana Claudius yang rapi dan sangat menakutkan itu jadi berantakan" Dan yakinkah Mercy bahwa mengurung Claudius sebanding dengan kehidupan kelam tanpa akhir yang harus ditanggung Charity, Trajan, dan dirinya sendiri" Apakah ia salah menilai Claudius" Lelaki itu bertindak demi cinta. Cinta besarnya untuk Marietta. Mercy ingat wajahnya, ketika ia mengelus gaun itu. Gila karena cinta. Mungkin cinta seperti itu adalah kata lain untuk egois dan obsesi. Claudius seharusnya meninggalkan Marietta, untuk menikmati kehidupan normal. Atau, jika Claudius benar-benar mencintainya, ia akan menghargai pernikahan yang fana, dan tetap mencintai Marietta meski akhirnya ia menua dan meninggal.
Percuma. Tak peduli berapa sering Mercy membolak-balik fakta, tak peduli bagaimana ia menimbang-nimbang dan merenungkan informasi yang dimilikinya, tak ada jawaban mudah yang didapatnya. Ia tak bisa menemukan penyelesaiannya. Hanya satu tindakan yang tersisa. Ia harus mengetahui kejadian-kejadian di dua hari berikutnya. Mungkin setelah itu, dipersenjatai pengetahuan yang lebih luas, ia bisa membuat kesimpulan yang lebih baik.
Mercy berdiri, mengambil buku merahnya, dan menemukan The Precise Geography of the Lermantas Archipelago di antara catatan perjalanan dan peta. Denah yang terlipat di dalam sampulnya menunjukkan pintu yang dimasukinya di ruang duduk dekat rumah kaca dan pintu berikutnya ada di kamar tidur tamu di lantai satu, tak jauh dari kamar Thecla. Sekali lagi, denah itu tak menunjukkan di mana ia bakal muncul nanti. Sekarang ia takut telah berlama-lama membiarkan hari menuju akhir, dan hari ini mungkin akan segera menutup dan melontarkannya kembali. Mercy menyelinapkan buku The Precise Geography kembali ke rak dan berlari di sepanjang koridor lalu mendaki tangga.
Untungla h kamar tidur itu mudah ditemukan. Di dalamnya terdapat tempat tidur besar. Panel kayu berwarna gelap menghiasi dinding. Pintu itu seharusnya ada di sebelah kiri separuh panjang kamar. Mercy mengapit bukunya di ketiak dan meraba permukaan kayu yang halus. Ia berjalan perlahan-lahan. Malam sudah turun. Ia harus cepat-cepat. Ia mengosongkan pikiran, memanggil sensasi terjatuh dan pintu itu pun terbuka. Tangannya terperosok ke dalam dinding, dan Mercy terjungkir ke depan menuju celah di antara hari. Gaunnya yang compang-camping berkibar. Buku terlepas dari kepitannya. Detik-detik berlalu. Dan terus berlalu. Benak Mercy berkelana.
Ia mendarat di koridor, dekat permadani rusa jantan dan unicorn. Suasana gelap dan dingin. Mercy berlutut, masih membungkuk. Ia memungut buku merahnya dari lantai di sebelahnya. Begitu dingin. Angin berembus di sepanjang koridor, membuat lengannya merinding. Kesan musim dingin ini terlalu familier. Ia bisa mencium bau embun beku dengan panik. Ia tak cukup cepat. Apakah hari telah berakhir, tertutup rapat, sebelum ia mencapai bab berikutnya" Pastinya ia ada di rumah lagi, di waktunya sendiri.
Mercy berdiri, putus asa. Hatinya terasa berat. Bagaimana mungkin ini terjadi" Apakah ia tidak cukup cepat"
Trajan dan Galatea takkan membiarkannya lolos lagi dan ia takkan bisa mengetahui apa yang terjadi di akhir kisah. Mercy merasa sangat merana. Setelah ia bertekad melanjutkan, rasanya takkan tertahankan jika perburuannya direnggut begitu saja. Perlahan ia melangkah di koridor menuju kamarnya. Jendela menampakkan langit penuh bintang bertaburan.
Ia menatap keluar, mendengar langkah-langkah kaki di koridor. Menerima nasib, Mercy menunggu Galatea datang menghampiri. Langkah kaki itu mendekat. Mercy menoleh, untuk melihat bukan hanya satu, tapi dua sosok ramping berjalan menghampirinya. Sosok yang lebih tinggi membawa lilin.
Matahari akan terbit sebentar lagi. Pembawa lilin itu wanita, dalam gaun pelayan dan topi putih. Kita akan sibuk. Api harus dinyalakan di tiap ruangan. Banyak sekali yang harus dilakukan.
Kedua wanita itu Melewati Mercy begitu saja, tanpa melihatnya. Dan Mercy tersenyum kecil. Pelayan-pelayan itu bukan dari waktunya. Ternyata sekarang bukan tahun 1890. Ini musim dingin di masa lalu. Perjalanan berlanjut. Hari baru terbentang di hadapannya.
Para anggota keluarga masih tidur. Salah satu pelayan mengetuk kamar Thecla untuk menyalakan api sehingga kamarnya akan hangat ketika ia berganti pakaian. Mercy mengintip ke dalam, melihat kedua orangtuanya berbaring bersama-sama di tempat tidur berukir. Rambut keemasan Thecla tergerai di bantal. Kepalanya berbaring di dada Trajan. Betapa damainya mereka. Wajah Trajan tampak lembut dan mengantuk. Thecla membisikkan sesuatu kepadanya, dan Trajan tertawa, kemudian mencium puncak kepala istrinya, menggenggam tangannya, jemari mereka bertautan.
Mercy menatap. Mereka begitu dekat, namun begitu jauh. Ia bisa berdiri di sebelah mereka dan berteriak tapi tetap saja mereka takkan mendengarnya. Ia sendirian. Ia menarik diri dan meninggalkan kamar.
Mercy mulai mencari Claudius, tapi kedua laboratoriumnya terkunci dan ia tak bisa menemukan bukti lelaki itu tidur di salah satu kamar tamu. Ia juga masuk ke perpustakaan, untuk mencari buku The Precise Geography dan lokasi pintu menuju hari terakir, di tengah, dan mendapati anehnya pintu itu ada di kamarnya sendiri. Di sebelah meja rias. Ia menghafalkan denah itu.
Jam di atas perapian berdentang delapan kali. Di luar, langit memucat, matahari akan terbit di atas pohon-pohon yang gundul dan ladang yang beku. Di kejauhan, seekor rusa mengangkat kepala dari rumput berlapis es dan tampak menatap ke arah jendela tempat Mercy berdiri.
Ia turun ke lantai bawah, ke dapur, yang bahkan sepagi ini sudah sibuk dengan kehidupan dan aktivitas. Aurelia dan enam asisten bekerja keras mempersiapkan pesta besar. Di perapian, daging guling raksasa diputar. Wanita kurus dengan wajah berkeringat menyiapkan puding, menuangkan putih telur yang sudah dikocok ke kantong muslin. Cahaya api memantul terang pada cetakan tembaga yang tergantung
di rak di atas meja panjang. Wanita muda yang memotong-motong tanaman bumbu meletakkan pisaunya untuk mengusir kucing kuning, yang melompat dengan gemulai ke atas lemari dapur. Udara berbau pala dan jahe, anggur dan cokelat pahit. Dua gadis kecil, berusia sekitar sepuluh atau dua belas tahun, mencabuti bulu burung kuau yang tergeletak lemas di pangkuan mereka. Enam burung lagi tertumpuk di lantai, menunggu ditangani. Lelaki pendek kekar mencincang babi besar di bangku kayu di bagian belakang ruangan. Dua anjing terrier berkeliaran dekat kakinya, menunggu sisa-sisa. Hampir tak ada ruang untuk bergerak dan, meski di luar dingin, dapur panas seperti tungku.
Mercy berkeliaran di pinggir kesibukan ini, menguping. Para pelayan, biarpun sibuk, tampak gembira. Akan diadakan acara besar. Tak lama lagi rumah akan dipenuhi tamu. Keluarga Verga akan menyelenggarakan pesta pertengahan musim dingin besar-besaran. Semua keluarga di daerah itu diundang. Sementara tuan dan nyonya rumah bersiap-siap, segerombolan pelayan, penggerak kerajaan Century, akan bersih-bersih, masak, mendekor dan menghias, melayani tamu, dan setelah itu membersihkan sisa-sisa pesta. Beberapa jenis makanan mewah akan mereka dapatkan juga para pelayan akan makan enak hari ini. Mereka bisa melihat gaun-gaun terindah yang dikenakan para tamu. Sekelompok musisi akan hadir, dan mungkin para pelayan bisa mendengar mereka bermain musik. Ya, meski banyak pekerjaan, pesta itu akan menyediakan hiburan dan warna pada hari musim dingin yang panjang dan gelap ini.
Mercy kembali ke lingkungan familier perpustakaan di mana Century milik Trajan tergeletak di meja. Ia mengelus sampul merahnya dengan ujung-ujung jemari. Buku itu tampak agak lusuh kali ini, sisi-sisi halamannya menguning. Mungkin ia menyerap kekuatan buku itu ke dalam bukunya sendiri, mematahkan mantra Trajan, halaman demi halaman yang dikerjakan dengan susah payah.
Mercy meraih pena dan tinta, melipat kedua kakinya di kursi, membuka buku merahnya sendiri, dan mulai menulis tentang kejadian-kejadian di hari-hari sebelumnya. Ia mengulang semua yang diketahuinya, diselingi pikiran-pikiran dan keraguan-keraguannya sendiri. Saat ia selesai, langit biru cerah memenuhi jendela. Embun beku di ranting-ranting pohon mulai mencair dan menetes.
Belakangan di pagi itu Mercy dan Charity kecil masuk untuk sarapan roti dan keju, dengan potongan aprikot dari rumah kaca. Anak-anak perempuan itu mengobrol dan berselisih, gembira menunggu kedatangan teman-teman mereka. Galatea, tetap tegas, masuk ke ruangan dan memarahi mereka karena berisik. Rambut Charity dikeriting menggunakan kain untuk semakin menonjolkan ikalnya. Mercy mendengarkan mereka dengan rasa ingin. Gaun-gaun mereka begitu indah dan bersih. Kedua anak perempuan itu cerah karena bersemangat. Betapa senangnya pergi ke pesta, menyambut tamu, menari dan mendengarkan musik. Meski merasa waswas, Mercy ikut merasakan gairah anak-anak perempuan tersebut.
Tamu-tamu akan diantar dengan kereta kuda ke rumah di awal petang. Pesta akan dilaksanakan sepanjang malam yang gelap sampai fajar keesokan harinya. Century belum pernah menyelenggarakan perayaan sebesar ini. Tak ada yang menyebut-nyebut Claudius, atau Marietta, meski Mercy kecil terus saja membicarakan Chloe.
Anak-anak perempuan itu digiring dari ruang duduk anak menuju kamar mereka untuk bersiap-siap. Mercy menyembunyikan buku merahnya di bawah kursi, kemudian pergi mencari ibunya.
Thecla ada di kamarnya. Di perapian, api menari-nari di kayu bakar beraroma apel. Pelayan pribadi Thecla menata rambutnya sementara Thecla mematut diri di cermin. Mercy duduk di pinggir tempat tidur besar, melihat bayangannya sendiri yang seperti gembel: wajah bernoda jelaga, gaun koyak-koyak, dan rambut berantakan. Pelayan itu menyanggul rambut Thecla yang halus, menjepitnya dengan mutiara, ornamen buah holly berry, dan daun-daun ivy mungil. Thecla memulas wajahnya dengan bedak, memakai pemerah bibir, dan menempelkan beludru kecil berbentuk hati di pipi kanannya. Kemudian ia berdiri dengan pakaian dalamnya lalu mengenakan petticoat rok dalam denga
n lingkaran-lingkaran sehingga jadi menggelembung sementara pelayannya mengambil gaun lebar hijau tua dari dalam lemari. Dengan susah payah ia mengangkat gaun itu ke atas kepala Thecla, menyematkan deretan kancing kecil di bagian belakang gaun yang ketat, dan merapikan rok yang mengembang di luar petticoat.
Thecla mematut diri di cermin, berputar untuk melihat gaunnya dari segala sisi.
Kau cantik sekali. Trajan melangkah masuk ke kamar, mengulurkan tangan untuk memeluk istrinya. Pelayan melangkah minggir, kemudian meninggalkan ruangan.
Lihat, Trajan berkata, membuka kotak kulit. Maukah kau mengenakannya malam ini" Di bantalan beludru perak terdapat segenggam batu permata besar berwarna merah. Mercy pernah melihat batu-batu permata itu di lukisan-lukisan yang masih tergantung di rumah, disematkan pada leher keluarga Verga dari masa lalu, leluhur-leluhur wanitanya. Sekarang Trajan memasangkan kalung itu di leher Thecla yang dibedaki, batu-batu permata itu berpendar.
Bagaimana perasaanmu" Tanya Thecla, menyentuh batu-batu permata itu dengan ujung jemari. Kaupikir acara ini akan sukses"
Aku mengaku aku gugup, kata Trajan. Selama ini kita selalu mengurung diri. Risikonya besar, bukan, mengundang begitu banyak orang" Kau yakin ini ide bagus"
Menjadikan diri kita tontonan, Thecla merenung. Menurutku, kita akan harus pindah lagi, entah kapan, kembali ke negara lama. Ketika orang-orang mulai sadar betapa sedikitnya kita berubah.
Kita punya banyak waktu. Tahun-tahun yang dibutuhkan anak-anak untuk tumbuh dewasa, kata Trajan, menenangkan diri. Tinggal disini lebih baik untuk mereka.
Thecla mengambil kipas sutra, bermotif mawar.
Tamu-tamu akan tiba sebentar lagi, kata Trajan.
Masih belum ada kabar tentang Claudius"
Trajan menggeleng. Mungkin akhirnya dia sadar. Ayah Marietta berkata padaku mereka mengurung gadis itu di kamarnya.
Kau melakukan tindakan keji, Thecla berpendapat. Berkata pada keluarganya bahwa Claudius tak bisa dipercaya. Bahwa dia punya & hubungan dengan yang lain.
Tindakan keji. Tapi perlu.
Mercy memerhatikan saat kedua orangtuanya saling menatap penuh arti.
Kita beruntung sekali, menemukan satu sama lain, kata Thecla. Kau ingat saat orangtua kita memperkenalkan kita, ketika kita masih kanak-kanak, di rumah besar di negara lama"
Tanpamu, aku seperti debu melayang-layang tertiup angin. Kau adalah segalanya. Kau, dan kedua putri kita.
Mereka berdiri, berhadapan, berpegangan tangan. Trajan tampak mencari-cari di wajah istrinya.
Apakah kau akan bosan padaku, suatu hari nanti, di jalan abad-abad yang panjang" Tanya Thecla, tersenyum, sudah tahu jawabannya.
Tidak dalam seribu tahun, maupun sepuluh ribu, jawab Trajan.
Jantung Mercy seakan diremas-remas, melihat cinta dan kemudaan di wajah ayahnya dan mengingat betapa ia kini mejadi orang yang tegang, marah, dan patah hati.
Terdengar suara berisik di bawah. Mercy berlari melewati kedua orangtuanya dan turun ke lantai bawah, ke lorong utama. Kereta kuda hitam berhenti di kaki undakan batu, di muka pintu depan yang mewah. Kereta kuda lagi menunggu di belakangnya, dan yang ketiga muncul, melaju di jalan masuk. Para tamu berdatangan.
Pertengahan musim dingin yang suram, penghujung tahun 1789. Rumah berkilauan penuh cahaya lilin. Seratus tamu, mengenakan pakaian terbaik mereka. Para lelaki membedaki rambut mereka dengan bubuk pala dan emas. Para wanita, seperti bunga-bunga eksotis, bergaun sutra halus dan beludru berbordir. Rumah dihiasi ivy merambat yang mengilat. Buket-buket bunga holly dan pom-pom daun mistletoe diikat pita emas digantung di dinding. Dipermanis mawar putih, daun-daun hijau ditata di sepanjang meja makan, yang sudah dipenuhi makanan enak.
Burung merak panggang, ekornya mekar seperti kipas. Berpiring-piring burung dara isi. Daging sapi muda dengan saus, daging bumbu rempah. Puding trout dan pike, sekotak keju Stilton. Kue-kue tart setinggi menara, meringue dan mille-feuille beku.
Orkestra chamber memainkan karya Mozart di ruangan sebelah, tempat orang-orang bisa berdansa. Para tamu membicarakan kengerian yang ditimbulkan
Revolusi Prancis. Mercy, tampak lusuh dalam pakaian kotor dan compang-camping, berkeliaran tanpa terlihat di antara orang-orang yang bersenang-senang, hantu kumuh di tengah pesta. Mercy kecil, mengenakan gaun terbaiknya yang berhiasan bunga-bunga mawar merah delima, berlarian ke sekeliling rumah mengejar-ngejar Chloe tersayangnya, yang melesat di antara tamu, tertawa-tawa. Ia melompat-lompat menaiki tangga. Anak-anak perempuan itu main petak umpet. Merasa tertarik, Mercy mengikuti dirinya yang lebih kecil. Memerhatikan anak-anak perempuan itu bermain, ia teringat kembali bagaimana rasanya memiliki teman. Kenangan-kenangan terusik, seperti pintu gelap membuka ke taman bermandikan cahaya matahari. Mercy pernah sangat menyayangi Chloe. Mereka bisa mengobrol tanpa henti. Mereka tertawa bersama-sama, berdampingan. Mereka menghabiskan petang-petang musim panas yang panjang menjelajahi taman dan arboretum. Chloe adalah bagian Mercy. Setengah dirinya yang riang dan optimis. Jika ia berhasil, dan rumah terbebas kembali, apakah ia akan pernah memiliki teman lagi"
Sekarang giliran Mercy kecil sembunyi, ia berlari pergi, sementara Chloe berdiri di depan kamar, menghitung sambil tertawa. Chloe menutup wajah dengan jemari, tapi ia mengintip, dan akhirnya pergi mencari sahabatnya. Mercy akan mengikuti, ketika mendengar ketukan di pintu besar depan rumah. Sekarang sudah malam, terlalu larut untuk bepergian. Ia berlari menuju jendela-jendela tinggi. Kereta kuda kecil, ada lentera-lentera di bagian depannya, berlalu pergi dari rumah. Siapa yang baru tiba"
Di lantai bawah keributan pesta mereda. Para musisi terus bermain, sementara para wanita berkumpul di aula depan, berbisik-bisik di balik kipas mereka, ketika pintu depan terbuka. Mercy menyeruak kerumunan ke depan. Claudius berdiri di luar, Marietta di sampingnya. Wanita itu mengenakan gaun putih dan perak dari peti Rusia, seperti putri. Cincin emas indah melingkar di jarinya.
Mercy tersentak dan mencari-cari orangtuanya di antara kerumunan.
Tamu-tamu minggir memberi jalan bagi Trajan dan Thecla. Persis di belakang mereka berdiri ayah Marietta, pria kurus, biasa-biasa saja, pipi penuh bekas cacar. Trajan berusaha menenangkan berbagai emosi yang memancar di wajahnya. Kemarahan, kekhawatiran. Tampaknya ia ingin mencekik Claudius saat itu juga di ambang pintu. Thecla melirik suaminya, meremas lengannya.
Trajan, katanya lirih. Tenanglah. Nanti. Kita akan membereskannya nanti.
Trajan berjuang menahan amarah. Ia menarik napas dalam-dalam.
Jelas sekali Marietta tampak gugup. Claudius tampak lebih baik sekarang, meski garis putih di rambutnya masih tampak, kerusakan akibat sihir mengerikan yang dilakukannya, merenggut ka dari kucing. Claudius melangkah maju dan membungkuk.
Kupersembahkan istriku, katanya. Marietta Emily Verga. Kami menikah sore ini di gereja paroki St Michael and All Angels di Middleton Marsh.
Marietta membungkuk memberi hormat dengan kikuk, sambil berpegangan pada lengan suami barunya. Mercy melirik orangtuanya. Wajah ayah Marietta memerah, dan ia melangkah maju. Trajan menahannya.
Tunggu, Frederick. Katanya, dengan suara rendah. Terlambat untuk bertindak sekarang. Biarkan pesta berlanjut. Kita akan membicarakan situasi ini besok. Apakah kita mau menyebarluaskan urusan keluarga yang paling pribadi di depan orang banyak"
Thecla menatap suaminya dan mengangguk. Ia berpaling pada Frederick. Lelaki itu merapatkan bibir sampai menjadi garis tipis. Wajahnya membara sampai ke akar rambutnya yang merah dan menggosok-gosokkan kedua tangannya yang besar.
Tenanglah, bujuk Trajan, tangannya masih memegangi siku lelaki itu. Mari ikut minum denganku. Kita akan bicarakan masalah ini bersama.
Mercy bisa melihat ayahnya masih menahan marah. Thecla berdiri di sampingnya, sekarang menatap kedua pengantin baru. Frederick mengangguk singkat dan pergi bersama Trajan. Thecla berusaha menghidupkan kembali suasana pesta.
Kedua pengantin baru akan berdansa, katanya, terlalu ceria. Mari. Para musisi harus memainkan mars pernikahan.
Claudius menggandeng tangan Marietta dan kerumunan
membelah di depan mereka. Ia membimbing pengantinnya melalui ruang makan menuju orkestra kamar, dan melingkarkan tangan di pinggangnya. Pasangan itu mulai berdansa, saling menatap, wajah mereka cerah penuh senyum. Para tamu bertepuk tangan. Bahkan Thecla agak melunak. Ia menyerahkan serangkaian kunci kepada Marietta, menyuruhnya memilih hadiah dari koleksi perhiasan keluarga Verga. Mercy mengenali anak-anak kunci itu, anak-anak kunci yang sama dengan yang ditunjukkan Marietta di kolam beku, yang mengantarnya menuju tumpukan surat Thecla, petunjuk pertama tentang kisah keluarga Verga.
Pesta berlanjut hingga malam sekali. Para musisi bermain sampai lewat tengah malam dan makanan diserbu. Mercy kecil dan Chloe berlarian turun untuk menyambut Claudius dan Marietta, gembira mendengar kabar pernikahan mereka. Para pelayan kembali mengisi meja dengan cokelat panas dicampur anggur, seedcake, pudding plum, anggur, dan aprikot, berkendi-kendi krim. Thecla memotong kue yang didekorasi daun-daun emas.
Mercy berada di dekat pasangan yang berbahagia itu. Respons Mercy terhadap kebahagiaan mereka terganggu pengetahuannya tentang boneka bidadari di laboratorium, ritual dengan lingkaran dan kata-kata sihir. Apakah Claudius sudah memberitahu kekasihnya tentang rentang hidupnya yang panjang, dan rencananya untuk memberi Marietta kemudaan abadi"
Tamu-tamu mulai beristirahat sekarang, duduk untuk menyeruput cokelat dan kopi. Pemain musik sudah pergi. Mercy kecil dan Chloe menyingkir untuk berbaring bersama di tempat tidur Mercy, masih berbisik-bisik sambil mengantuk. Claudius dan Marietta menjauh dari pesta, Mercy membuntuti mereka, merana memikirkan apa yang bakal terjadi.
Claudius mengambil kandelabra perak, dengan tiga batang lilin menyala. Pasangan itu tertawa, saling bersandar, sekali-sekali berhenti untuk berciuman. Marietta agak mabuk. Napasnya berbau anggur dan kayu manis. Ia cekikikan tak terkendali. Mereka berjalan berkelak-kelok menelusuri rumah, melalui koridor, lorong, landasan, dan tangga, menuju laboratorium Claudius yang terkunci.
Claudius mengambil kunci dari sakunya. Ia ragu-ragu di depan pintu. Parasnya serius sekarang. Apakah ia melihat Mercy" Ia tak menunjukkannya. Ia terlalu terbenam dalam kisah ini, ingin Mercy melihat sendiri apa yang akan terjadi.
Ada apa" Tanya Marietta. Kau punya kejutan untukku"
Claudius mengangguk gugup. Aku punya hal penting yang ingin kukatakan padamu.
Apa itu" Kabar buruk" Mengapa kau memandangku seperti itu"
Jangan khawatir, kata Claudius. Masuklah.
Ia meletakkan kandelabra di meja.
Mercy mengikuti. Ruangan panjang itu sekarang rapi, mejanya bersih, hanya berisi peralatan kaca yang sudah disiapkan. Lingkaran dari bahan kimia itu sudah diperbaharui di lantai. Seekor kucing mengeong di balik pintu kedua, mencakar kayunya.
Pekerjaanmu, kata Marietta. Kau pernah memberitahuku.
Duduklah, Marietta, kata Claudius, mengambil dua kursi kayu.
Ia menarik napas panjang. Kau mengerti bahwa keluarga ini keluargaku datang dari Italia. Bahwa kami memiliki kebiasaan dan adat kami sendiri.
Ya, memang. Itulah sebabnya abangmu menentang pernikahan kita.
Keluarga Verga keluarga besar, dengan banyak akar dan dahan. Suku yang murni. Kami pernah tinggal di keempat penjuru dunia, meski kami datang dari Italia, dan menganggapnya tanah air kami. Saudara-saudara kandung, sepupu, bibi, paman, orangtua kami memiliki dua karakteristik yang membedakan kami dari orang lain. Pertama, beberapa di antara kami punya bakat langka. Kekuatan benak yang luar biasa.
Marietta mengangguk. Aku mengerti, katanya. Orang-orang bodoh mungkin salah menduga anugrah itu sebagai hal jahat. Ilmu sihir.
Claudius mengangguk. Ada lagi, Marietta. Ia menelan ludah, meraih tangan Marietta, dan menatap matanya.
Keluarga ini kami bisa hidup lama sekali.
Marietta terdiam beberapa saat. kemudian ia tertawa, dengan paras lega. Kami juga, katanya. Nenek buyutku hidup sampai usianya Sembilan puluh tahun, dan nenekku, yang sudah Sembilan puluh tiga, masih hidup.
Marietta, Claudius menyela. Aku sudah hidup selama lima rat
us tahun, dan masih bisa hidup sampai ratusan tahun lagi. Bahkan, aku tak ingat ada anggota keluarga Verga yang meninggal karena usia tua. Meninggal karena kecelakaan, atau dibunuh, ya. Kami tidak bertambah tua seperti manusia lain, Marietta. Kesedihan dan kehilangan bisa membuat kami tampak tua, tapi kebahagiaan membuat kami muda kembali. Kami hidup abadi. Kau akan bertambah tua, dan aku akan tetap seperti ini. Kau akan melemah dan meninggal, sementara aku akan tetap hidup bersama anak-cucu kita, dan anak-cucu mereka. Kita mungkin memiliki lima puluh atau enam puluh tahun bersama-sama. Singkat sekali. Tak berarti. Sepanjang ratusan tahun kehidupanku, aku belum pernah mencintai seseorang, dan aku tak ingin kau direnggut dariku, seperti daun kering melayang jatuh setelah musim panas yang singkat.
Claudius berpaling dari Marietta, matanya berkilat penuh air mata. Marietta hanya menatap. Sepertinya ia tak mengerti apa yang dibicarakan Claudius. Pasti itu kata-kata orang gila"
Kau menggodaku, katanya. Suaranya rendah dan sedih. Untuk hidup selama itu artinya melawan kehendak Tuhan. Mustahil. Katakan padaku kau hanya bercanda. Bagaimana mungkin kau bisa berkata kau hidup abadi sementara aku melihat ini"
Ia mengulurkan tangannya, tempat cincin kawin bersinar, dan menyentuh sebaris rambut putih di kepala Claudius. Claudius melompat bangkit dan mondar-mandir di ruangan dengan sikap gelisah. Marietta mulai menangis. Apakah wanita itu memercayainya" Apakah ia mengira telah menikahi lelaki sinting" Pendirian Claudius sudah bulat.
Claudius mengusap wajah dengan tangannya. Ia membuka kunci pintu kedua dan kucing itu melompat keluar. Berbulu putih belang, kucing itu bergegas menghampiri Claudius dan menggesekkan tubuhnya di kaki lelaki itu, mendengkur. Apakah Claudius telah mengembalikan ka ke darah daging kucing itu" Mercy menatap, saat makhluk itu melengkungkan punggung minta dibelai. Kucing asli. Bukan kucing buatan yang mengerikan itu.
Tidak, tidak. Lihat lebih saksama. Ia kucing gadungan. Ya. Kainnya sekarang menutupi keseluruhan rangka kayu, kawat tembaga, rambut kuda, dan serbuk gergaji. Meski rangka kucing kini tertutup, itu tak menjelaskan betapa ia luar biasa mirip dengan kucing asli. Jika tak tahu kebenarannya, apakah Mercy akan sadar kucing itu palsu" Mungkin ka-nya telah mengendap sekarang. Roh kucing itu yakin ia berada di tubuh kucing asli, sungguh-sungguh memancarkan sifat kucing, memercayai tubuhnya. Jelas sekali Marietta tak melihat sesuatu yang janggal. Ia menatap kucing itu dengan bingung.
Mercy terenyak melihat kucing gadungan itu bisa begitu tampak asli. Apakah Claudius tahu transformasi ini akan sangat efektif" Jika hal yang sama terjadi saat ka Marietta dimasukkan ke boneka, takkan ada yang menyangkanya bukan darah daging biasa.
Kau lihat kucingku" Tanya Claudius. Dia cantik, bukan" Ia membungkuk untuk mengambilnya. Kucing itu menekankan wajahnya ke telapak tangan Claudius.
Marietta mengangguk, tak yakin ke arah mana pembicaraan ini akan menuju.
Eluslah dia, kata Claudius. Rasakan betapa lembut bulunya, betapa hangat. Apakah kau melihat sesuatu yang janggal padanya"
Tidak, kata Marietta. Sebentar lagi kau akan berkata kucing ini keluarga Verga juga, bahwa dia mungkin sudah hidup seribu tahun.
Dia lahir empat bulan yang lalu, kata Claudius. Kau setengah benar dia akan hidup selamanya. Jika aku memperbaiki tubuhnya, dia bisa hidup lebih lama daripada rumah ini, saat saudara-saudaranya telah menjadi abu. Dia akan hidup begitu lama karena hadiah yang kuberikan kepadanya. Dan aku juga bisa memberikan hadiah itu padamu, Marietta.
Marietta tertawa takut. Kedua tangannya gemetar.
Lihat. Claudius menyelipkan jemari ke bawah dagu kucing itu dan merobek sedikit kulit kainnya. Marietta menyurut mundur. Claudius menyorongkan kucing itu ke arah Marietta, melepas kain di kepala kucing, menunjukkan kain, jahitan, secarik perkamen yang mengurung ka di dalam tubuh artifisial itu.
Kau lihat" kata Claudius. Aku membuat tubuh untuk kucing ini, untuk menempatkan rohnya. Ketika daging yang fana menjadi tua,
tubuhnya mati dan rohnya melayang. Jika ada bagian tubuh kucing ini yang rusak atau lapuk, aku hanya perlu memperbaikinya.
Claudius kembali menutup kain di leher si kucing dan meletakkannya di lantai. Kucing itu segera duduk dan menjilati ekor, bersikap dan tampak seperti kucing sungguhan. Marietta menatap, tanpa bicara, terpaku karena shock. Mercy ingin meraihnya, menyeretnya pergi dari Claudius, dari ruangan dingin ini. Claudius terus mendesak.
Kemarilah, katanya, meraih tangan Marietta. Lihatlah apa yang kubuatkan untukmu. Ia mengambil kandelabra dan membimbing Marietta ke kamar sebelah. Ia menyuruh wanita itu berlutut di sebelahnya, di depan peti kayu panjang. Mercy memerhatikan pasangan pengantin baru itu, berdampingan, dalam parodi aneh upacara pernikahan yang baru saja mereka rayakan. Claudius mengangkat tutup peti dan membuka penutup sutranya. Ia mengangkat lilin yang dibawanya, agar cahayanya memancar pada isi peti. Marietta tersentak.
Boneka itu tetap cantik tak terkira. Seperti putri tidur ia terbaring di ranjangnya, bibir setengah terbuka, menunggu ciuman dari sang pangeran agar bisa hidup kembali. Dalam cahaya hangat yang bergoyang-goyang kau hampir bisa melihatnya menarik napas. Kulitnya yang seperti bidadari berpendar. Apakah ada semburat kemerahan di pipinya tadi" Marietta menatap dan terus menatap.
Beginikah kau melihatku" ia bertanya. Apakah aku secantik itu"
Lebih cantik, sahut Claudius. Dan kau akan hidup selamanya.
Kau ingin mengambil roh dari tubuhku dan memasukkannya ke dalam ini" katanya, tercengang.
Ya! jawab Claudius, bersemangat. Ya. Malam ini! Segalanya telah siap.
Dan jika aku tak mau, aku akan tua dan mati sementara kau akan tetap muda dan sehat. Marietta duduk bersimpuh, gaun putih dan peraknya mengembang di sekelilingnya. Matanya terpaku pada wajah boneka itu. Claudius terus bicara, menjelaskan bagaimana mereka akan hidup, tempat-tempat yang ingin ditunjukkannya kepada Marietta, pegunungan Yunani, kota-kota padang pasir Rajasthan, pohon-pohon jeruk yang berbuah di negara lama.
Kata-kata itu bagai angin lalu di telinga Marietta. Ia masih menatap boneka, air mata menetes di pipinya, mengalir tanpa henti. Apakah Claudius tak menyadari kesedihannya" Lelaki itu tak melihatnya, menyibukkan diri mempersiapkan peralatan untuk transformasi roh.
Marietta berdiri dan melangkah tersaruk-saruk keluar ruangan. Menjauh dari kandelabra, ia terhuyung menuju kegelapan, dari laboratorium ke luar, menelusiri koridor gulita Century di malam musim dingin. Claudius berkonsentrasi menyiapkan segalanya sehingga tak sadar Marietta pergi. Kemudian ia menoleh untuk bicara, kebingungan, lalu memanggil nama Marietta. Ia bergegas mengejar.
"Marietta! ia berseru. Marietta, kembalilah. Aku tahu kau takut.
Ia mengejar, mendengarkan suara sepatu wanita itu di lorong yang sepi. Claudius mengangkat kandelabranya, dalam pancaran cahaya kuning, ke timur dan barat. Ia membanting pintu menutup kemudian pergi mencari.
Marietta, jangan tinggalkan aku! ia berteriak. Marietta! Kembalilah! Bicaralah padaku!
Ia berlari. Rumah menjadi senyap.
Karena tahu apa yang akan terjadi, Mercy tahu persis ke mana ia bisa mencari Marietta. Kejadian-kejadian di masa lalu tak bisa diubah. Mercy hanya bisa mengamati. Ia tak tergesa.
Padang Penyulingan, kolam berupa kantong hitam di sudutnya. Di arah timur, matahari memancarkan cahaya pertamanya di cakrawala. Bulan baru terbit. Sementara Claudius dan keluarganya mencari-cari di dalam rumah, Marietta duduk di pinggir kolam. Ia membawa sebotol brendi dan menyesap minuman panas itu sambil menangis. Seekor gagak terbang di atas, sambil berkaok serak. Marietta berpikir dan menangis lalu berpikir lagi.
Mercy duduk di seberang kolam, hatinya nyeri melihat kesedihan wanita itu dan akhir hidupnya yang tak terelakkan. Akhirnya Marietta melemparkan botol brendi kosong ke dalam kolam. Menyebabkan lubang menganga di permukaan esnya dan botol itu tenggelam. Marietta mengumpulkan batu dan memasukkannya ke lipatan jahitan roknya yang mengembang. Ia masih memegang anak-anak kunci pemberian T
hecla, dan melemparkannya juga ke kolam.
Esnya pecah berderak ketika Marietta menceburkan diri ke dalam kolam dan mengarungi air ke tengah. Mungkin ia tak merasa dingin, dihangatkan brendi. Gaunnya tampak menghitam. Ilalang kolam tersangkut di lengannya. Ia berdiri di sana sesaat, air mencapai dadanya. Untuk terakhir kali ia menatap matahari terbit dengan pedih, lalu menjatuhkan diri ke dalam air yang jernih dan dingin. Kolam menelannya.
IX MERCY berdiri dan melangkah perlahan kembali ke rumah. Awan-awan kelabu bergumpal, menelan cahaya pagi, seperti selubung.
Claudius berlari menuju kerumunan pesta, berteriak-teriak bahwa Marietta lenyap. Segera terjadi kehebohan. Tamu-tamu bergegas pergi. Dengan kalut Claudius mencari-cari Marietta; para pelayan dikerahkan untuk mencari di sekeliling rumah. Wajah Claudius seputih kapur, matanya berkaca-kaca dan nyalang. Thecla berusaha menentramkannya, tapi Claudius tak mau tenang. Tak lama kemudan semua tamu telah meninggalkan rumah, kecuali ayah Marietta, Frederick, dan di atas, terlupakan, Chloe yang tidur di sebelah Mercy kecil di kamarnya. Frederick dan Trajan minum sambil berdebat di perpustakaan.
Bekas-bekas pesta bertebaran di sekitar rumah. Sisa-sisa makanan, piring-piring kotor, botol, dan gelas bekas dipakai. Mawar-mawar putih rontok. Daun-daun holly yang cemerlang tak lagi tampak mengilat, ternoda asap dan udara panas.
Tak ada yang bisa menemukan Marietta di dalam rumah. Claudius mengalihkan perhatian ke taman dan halaman istal. Ia memanggil kusir kereta untuk mencari ke arboretum, gudang perahu, dan sekitar danau. Butiran-butiran salju pertama turun, lembut dan empuk seperti bulu. Tak lama kemudian udara dipenuhi salju. Taman-taman menjadi putih.
Mercy berkeliaran, sedih, di sekitar rumah. Hanya tinggal menunggu waktu. Mau tak mau ia harus menjalani ini semua, menunggu dan merana, agar bisa mengerti masa lalu, dan untuk memberi dirinya sendiri masa depan. Ia kembali ke ruang duduk anak sambil membawa buku merah. Ia menulis tentang pesta, dan kematian Marietta. Kemudian ia berdiri dekat jendela dan menatap salju sementara kejadian yang mengerikan itu berlangsung di sekitarnya. Ia ingin membantu, dan meraih Claudius serta kedua orangtuanya. Rasanya tidak benar, berada di sini, hanya bisa mengamati sementara mereka menderita. Tapi ia tak tahu apa lagi yang bisa dilakukannya. Tragedi itu menganga.
Jeritan melengking bergema di seluruh rumah. Mercy mengepit bukunya, dan mengikuti suara itu sampai ke asalnya, di aula depan. Pintu depan dibentangkan lebar-lebar, dan salju menyembur masuk ke dalam rumah. Claudius berdiri di ambang pintu, sosok gelap tak bernyawa tergeletak lemas di lengannya. Salah satu pelayan menjerit pelayan pribadi Thecla, wajahnya tampak letih setelah terjaga sepanjang malam. Pelayan itu berdiri dekat pintu, menatap Claudius dan beban dingin yang dibawanya, keduanya basah kuyup. Rambut Marietta, merah tua, terurai panjang dan basah sampai nyaris menyentuh lantai, ilalang dari kolam menempel di sana. Claudius melangkah masuk.
Thecla berlari ke aula depan.
Oh, Tuhanku, katanya. Oh, Tuhanku. Bawa dia ke dalam, Claudius. Apakah sudah terlambat" Dia sudah meninggal" Tutup pintunya. Cepat.
Pelayan itu tersadar dari keterpakuannya dan menutup pintu, menghentikan embusan kencang angin dan salju.
Mercy takkan melupakan paras Claudius ketika ia melangkah melintasi aula depan dengan Marietta dalam pelukannya. Mungkin Mercy belum cukup dewasa untuk mengerti bagaimana rasanya hidup kesepian selama berabad-abad, melangkah di jalan yang amat panjang sementara di sekeliling orang-orang lain berkembang dan layu. Namun saat itu ia merasakannya. Ia merasakan bayang-bayang kepedihan Claudius. Kesedihan dan kehilangan tergurat di tubuhnya. Matanya dibutakan kemarahan dan kepedihan. Tanpa berkata apa-apa, ia melangkah melewati Thecla dan menggendong Marietta mendaki tangga tinggi menuju lantai pertama.
Anak kecil menjerit. Thecla berseru lirih dan bergegas menyusul Claudius, Mercy dekat di belakangnya. Chloe berdiri di koridor di luar kamar Mercy kecil, menghalangi jalan Cl
audius. Lelaki itu menjulang di hadapannya, pakaiannya basah kutup, sementara air menetes-netes dari rambut dan rok Marietta. Chloe tak mampu bergerak dan Claudius tak bisa melewatinya di koridor. Napas Chloe pendek-pendek dan berat. Ia menekan wajah dengan kedua tangannya.
Ada apa" Ada apa" Mercy kecil berlari keluar dari kamarnya, rambut berantakan habis tidur. Ia melihat Claudius, paman kesayangannya, dengan tubuh dingin istri barunya dalam dekapan. Ia tak menjerit.
Minggirlah, Chloe, katanya lembut. Kemari. Bersamaku.
Mercy kecil meraih tangan sahabatnya. Tapi Chloe lari pergi, ke ujung koridor, dan Mercy kecil mengejarnya. Claudius melangkah lagi tanpa bersuara.
Ia membawa Marietta ke kamar tidur tamu berpanel kayu, tempat Mercy menemukan pintu ke hari ini. Claudius membuka penutup tempat tidur dan membaringkan tubuh Marietta di seprai putih bersih. Ia meluruskan kepala Marietta di bantal, menyibakkan helaian rambut basah dari wajahnya yang putih, kulit nyaris transparan, bibirnya biru dan ungu karena dingin. Claudius membungkuk dan mengecupnya, sekali. Air matanya yang panas menetes, dan mendarat di wajah Marietta. Jika lima puluh tahun pernikahan terasa terlalu sebentar untuk Claudius, bagaimana perasaannya sekarang, kehilangan Marietta hanya setelah satu hari"
Thecla muncul di sampingnya. Claudius, bisiknya, Claudius, aku menyesal sekali. Bagaimana ini bisa terjadi" Apakah dia terjatuh"
Claudius menggenggam tangan istrinya yang pucat. Aku menemukannya di kolam di ujung padang rumput, katanya. Aku bercerita tentang keluarga kita kepadanya. Dia memberati gaunnya dengan batu.
Thecla mengerjap. Tangannya gemetar. Ia tak bicara selama beberapa saat. Claudius menggosok-gosok tangan Marietta, usaha sia-sia untuk memberinya kehangatan.
Tentu saja kau dan Trajan benar, kata Claudius pahit. Bukankah kalian sudah memperingatkanku" Bukankah kalian sudah memohon padaku agar memutuskan hubungan dengannya" Aku belum pernah mencintai seseorang seperti aku mencintai Marietta. Aku akan melakukan segalanya. Sekarang sudah terlambat.
Aku ikut sedih, ulang Thecla.
Pintu kamar terbuka keras, menghantam dinding berpanel. Ayah Marietta, Frederick, berderap masuk, dan Trajan dekat di belakangnya.
Di mana dia" teriaknya, mendorong Claudius menjauh dari tempat tidur. Anak gadisku, mana dia" Suaranya melemah. Frederick jatuh berlutut dan menempelkan tangannya di dahi Marietta yang sedingin es. Tak diragukan lagi. Gadis itu sudah benar-benar meninggal. Lelaki jelek berwajah keras itu mulai terisak-isak seperti anak kecil, tanpa daya dan dilanda kesedihan. Thecla berusaha menenangkannya, namun kata-katanya sama sekali tak mendapat tanggapan. Akhirnya Trajan berhasil membujuk Frederick menjauh dari sisi tempat tidur, membawanya ke tempat ia bisa menyendiri, menawarinya minuman lagi.
Paras Claudius tampak kosong sekarang, tanpa emosi. Ia duduk di sisi tempat tidur. Di luar, salju melayang berputar-putar dan angin melolong di sekitar cerobong asap. Thecla mendesak Claudius agar mengganti pakaiannya yang basah, namun ia menolak bergerak. Thecla masuk ke kamarnya sendiri dan menanggalkan gaun dan permata merahnya, menggantinya dengan rok hitam sederhana. Mercy mengikutinya.
Hancurlah kita. Trajan masuk ke kamar dan duduk di pinggir tempat duduk berukir mereka. Ia mengusap wajah dengan tangan.
Kita akan harus pindah lagi, katanya, kepala tertunduk. Aku minta maaf, Thecla. Gadis yang malang. Ayahnya kebingungan. Aku tak cukup berhati-hati. Aku tak mengira aku tak mengira Claudius akan berbuat sejauh ini. Begitu banyak pertanyaan akan diajukan. Mereka akan ingin tahu mengapa dia meninggal. Bagaimana kita menjawabnya" Aku sudah mengecewakanmu. Aku gagal menjaga Marietta.
Tentu saja kita takkan hancur, kata Thecla murung. Kita hanya harus pindah lagi, itu saja.
Untuk pertama kalinya ia tampak tua dan letih, dengan lingkaran hitam di bawah matanya. Trajan tak bergerak, menatap tangannya sendiri, terkepal di pangkuannya. Tubuhnya seakan menjadi kaku.
Berdiri, kata Thecla. Uruslah Frederick. Dia yang mengalami kehilang
an terbesar. Aku membutuhkanmu, Trajan. Kita belum bisa sembunyi.
Namun Trajan tetap bergeming, mata nyalang tanpa melihat.
Thecla mendesah dan menyuruh pelayan untuk memanggil pastor paroki agar bisa melaksanakan ritual terakhir, dan seorang pelayan lagi untuk menyalakan perapian di kamar tempat Marietta terbaring. Kemudian ia kembali pada Claudius, untuk menemaninya menunggui Marietta. Waktu berjalan, menit demi menit yang menyakitkan. Pastor akan tiba satu jam lagi. Claudius menatap dan terus menatap, seakan ingin mengingat seluruh detail wajah Marietta.
Di lantai bawah, seorang pelayan berseru. Peringatan. Trajan berteriak. Thecla menoleh. Apa yang terjadi"
Langkah kaki berdebam di koridor dan Frederick menyerbu masuk ke kamar, pistol tergenggam di tangannya yang terulur. Trajan mengikutinya, dan kedua lelaki itu berdebat beberapa saat.
Kau setan! Frederick berteriak pada Claudius. Apa yang kaulakukan padanya" Kau setan, terkutuk!
Ia mendorong Trajan, mengangkat tangan, membidikkan pistolnya. Claudius tak bergerak. Tampaknya ia memang sengaja memberikan dadanya. Matanya terpaku pada Frederick.
Tembaklah, katanya. Ya, tembak. Aku akan terbebas dari penderitaan.
Frederick bimbang, gelisah melihat kepasrahan mutlak lelaki di hadapannya. Moncong pistol yang kelabu buram memantulkan cahaya perapian.
Setan, bisiknya. Ia menekan pelatuk.
Jangan! Trajan berteriak. Thecla melompat ke depan, untuk mendorong Claudius dari jarak sasaran. Suara ledakan memekakan telinga. Bau besi panas dan mesiu memenuhi ruangan.
Claudius dan Thecla telungkup di tempat tidur di sebelah Marietta, dan darah merembes di seprai putih. Trajan berteriak tertahan. Ia berlari dan mengangkat Thecla. Darah dengan cepat membasahi gaunnya, mengalir ke rambutnya yang keemasan. Tetesan merah mengalir dari mulutnya.
Claudius duduk dan menggeleng. Frederick, terperangah, sadar apa yang telah terjadi. Ia menatap pistolnya dengan ngeri. Ia menjatuhkannya, masih berasap, ke lantai dan mundur keluar.
Pergi! teriak Claudius. Seharusnya kau membunuhku! Bodoh! Pergi! ia berdiri dan menghampiri Frederick yang tercekam.
Pergi! kata Claudius. Tinggalkan kami. Jangan pernah kembali!
Frederick mengerang. Ia tersaruk-saruk menuruni tangga dan keluar rumah. Mercy mendengarnya meminta kudanya, dan memanggil anaknya yang lebih kecil, Chloe. Mercy berlari ke jendela, dan melihatnya naik ke sadel. Chloe, dalam balutan mantel gelap, diangkat pelayan lelaki dan duduk kikuk di depan Frederick, sementara kudanya mengentakkan kaki dan berputar-putar dalam embusan angin kencang. Kemudian ayah dan anak itu berderap pergi, melintasi jalan masuk rumah menembus salju. Mercy teringat gambar di buku Century milik Trajan lelaki berkuda berderap pergi dari rumah. Ini kali terakhir Mercy melihat sahabatnya. Ia menempelkan pipi ke kaca jendela yang dingin, menajamkan mata untuk melihat kuda itu sampai detik terakhir, saat ditelan warna putih.
Mereka berkuda dengan kecepatan tinggi, tapi sia-sia. Baik Frederick maupun Chloe takkan bisa melarikan diri dari kepedihan yang dibawa keluarga Verga kepada mereka. Mati rasa, Mercy berpaling dari jendela, kembali pada adegan yang berlangsung di kamar tidur.
Trajan duduk di tempat tidur, kepala Thecla terbaring di pangkuannya.
Kau ingat rumah di negara lama" Thecla berbisik. Apakah kau akan mencintaiku selama seribu tahun"
Wajah Trajan seperti tengkorak, pucat karena shock. Selama sepuluh ribu tahun. Suaranya bergetar. Selamanya. Tanpamu, kehidupan tak berarti bagiku. Bagaimana aku bisa terus hidup tanpamu"
Aku tak pernah takut pada kematian, kata Thecla. Betapa tegarnya dia, betapa tenang. Kematian selalu terasa jauh. Sekarang aku merasakan napasnya di wajahku dan aku tidak takut. Apakah kau pernah merenungkan ke mana roh kita pergi, ketika tubuh kita mati"
Aku akan mengikutimu, kata Trajan. Kau tak boleh meninggalkanku di sini, sendirian.
Tidak, kata Thecla. Tidak, kau harus merawat anak-anak. Apakah mereka di sini" Biarkan aku bertemu mereka.
Mercy dan Charity kecil mengendap masuk ke kamar. Sekarang mereka mengh
ampiri Thecla, Charity menangis, paras kecil Mercy kaku karena ngeri.
Aku mencintai kalian, Thecla berkata pada kedua putrinya. Aku sangat mencintai kalian. Kalian harus saling menjaga. Ia menelan ludah, dan berjuang untuk menarik napas.
Aku haus, bisiknya. Dan kedinginan. Suaranya mulai melemah.
Aurelia membawa kedua anak perempuan itu pergi.
Mercy menyaksikan ibunya meninggal, Trajan membungkuk, mengelus wajah Thecla, seperti anak kecil. Betapa lembut Trajan memperlakukannya, menyibakkan helaian-helaian rambut dari pipinya. Trajan menggendong Thecla ke kamar mereka sendiri, dan ketika Thecla sudah dibaringkan di tempat tidur, Trajan meminta sebaskom air dan membersihkan darah dari kulit Thecla. Para pelayan menutup tirai dan kerai di seluruh rumah, menghalangi cahaya, memberi pertanda bahwa rumah itu akan diliputi kegelapan abadi. Pelayan pribadi Thecla duduk di kamar majikannya, terisak-isak. Tapi Trajan tak mengizinkan siapapun menyentuh Thecla. Ia yang menyibukkan diri, membuka sepatu istrinya, menyisirkan rambutnya. Mercy dan Charity kecil berpelukan di ruang duduk anak, belum bisa sungguh-sungguh memahami apa yang terjadi hari ini.
Mercy menunggu dengan sabar di kamar tidur, demi melihat ibunya untuk terakhir kali. Ia ingin meraih Trajan, menghiburnya. Lelaki itu tampak kecil dan kesepian.
Mercy memerhatikannya merapikan gaun Thecla, dan menyalakan lilin di meja sisi tempat tidur. Akhirnya ia menyerukan perintah kepada pelayan Thecla lalu meninggalkan kamar. Pelayan itu melanjutkkan beres-beres. Ia lama menatap majikannya untuk terakhir kali, kemudian ia juga meninggalkan ruangan. Mercy sendirian bersama ibunya.
Sangat sedikit ingatannya tentang Thecla. Jika Mercy kecil berusia sepuluh tahun ketika Thecla meninggal, bukankah seharusnya ia masih memiliki banyak kenangan masa kecil" Dongeng dan pelukan, jalan-jalan dan makanan, tamasya dan tawa" Semua itu pasti pernah dialaminya. Dengan mengunci kejadian-kejadian masa lalu, Trajan juga merenggut warisan ibunya yang paling berharga. Mercy mengamati wajah ibunya, dan hatinya hancur. Ini tidak adil. Ia sangat menginginkan ibunya. Ia mau ibunya hidup.
Sejak awal Claudius berjanji Mercy bakal melihat ibunya, dan janji itu ditepati. Namun Thecla hanya berada dalam kehidupan bayangan yang terus berulang, dalam lingkaran masa lalu ciptaan Trajan. Lelaki itu menenun roh istrinya ke dalam pemadani waktu. Claudius memberi Mercy kesempatan untuk melihat ibunya lagi dan pasti itu juga berada dalam benak Trajan ketika ia merangkai mantra untuk menyembunyikan rumah dari dunia luar. Ia berusaha mempertahankan hubungan Thecla, meski dalam bentuk yang tak berubah dan berulang-ulang. Jika memang begitu, rasanya Trajan tak jauh lebih baik daripada Claudius.
Di mana Trajan sekarang"
Perasaan Mercy tidak enak. Ia mengambil buku merah, lalu meninggalkan kamar ibunya. Ia harus menemukan ayahnya.
Di lantai bawah para pelayan sibuk membersihkan rumah. Suasana muram. Trajan tak bisa ditemukan di perpustakaan atau di rumah kaca, tempat ia biasanya berada. Mungkin saja ia keluar berjalan-jalan atau berkuda, berusaha menjernihkan pikiran. Mercy ragu-ragu, tak tahu apa lagi yang akan dilakukannya, tapi yakin sesuatu yang penting bakal terjadi. Ia merasa bab ini takkan berakhir sampai & sampai apa"
Laboratorium yang terkunci. Boneka bidadari, tumpukan buku kuno. Mercy menyingsingkan rok lusuhnya dan berlari.
Kedua lelaki itu berdiri di ruangan pertama laboratorium, berdebat. Kesedihan Trajan membuatnya bersikap seperti anak kecil, kemudian meledak menjadi kemarahan hebat. Tentu saja ia menyalahkan Claudius atas kematian Thecla. Ia ingin tahu apa yang sesungguhnya terjadi sehingga Marietta tenggelam di kolam. Claudius tak lagi merasa marah, tak sanggup marah. Ia menderita kehancuran emosi. Ia menanggapi pertanyaan-pertanyaan dengan hanya mengucapkan satu kata, tak pernah melawan abangnya, meyetujui bahwa semua ini memang salahnya, bahwa ia tolol dan tak berguna serta patut dihukum berat. Kepasrahannya semakin membuat Trajan meradang, yang lebih ingin menghadapi batu untuk dihantamnya, bukan
kapas yang lunak. Mungkin Claudius mengerti. Ia mengangkat tangan menyuruh abangnya diam dan membawanya ke kamar kedua. Ia membuka peti untuk menunjukkan Marietta nomor dua. Tak bernyawa, seperti Marietta yang asli. Trajan terpaku. Ia membungkuk, mempelajari wajah bagai malaikat itu. Tangannya diulurkan, untuk menyentuh pipi sutra boneka itu.
Kau membuat ini" katanya.
Aku menyuruh orang membuatnya. Aku yang mendesainnya. Claudius tak melihat boneka itu. Matanya terpaku pada Trajan.
Untuk apa" Untuk menjadi rumah bagi roh kehidupan Marietta, sehingga dia bisa hidup abadi. Claudius menunjukkan kucingnya, dan sekilas, lembar-lembar perkamen dan buku-buku tuanya. Ia menjelaskan dengan suara datar tentang bagaimana wadah kaca dari Venesia digunakan selama pemindahan ka dari satu tubuh ke tubuh lainnya. Trajan mendengarkan dengan seksama. Mercy memerhatikan ketika arus emosi shock, jijik, bahkan kekaguman bergantian melintasi wajah ayahnya.
Penjelasan Claudius berakhir. Trajan menatap, pucat pasi.
Frederick benar ketika menyebutmu setan, akhirnya ia berkata. Ini rencana setan. Bagaimana mungkin kau berpikir Marietta akan menyetujuinya" Prosesnya berlawanan dengan hukum alam. Berlawanan dengan hukum Tuhan. Ini sesat.
Claudius bangkit dari sikap apatisnya. Ia mengangkat wajah, sambil tersenyum mengejek.
Memangnya siapa kau, bicara tentang hukum alam" katanya. Memangnya siapa kita, keluarga Verga, bicara tentang hukum Tuhan" Bagaimana mungkin kita berada dalam hukum alam sementara makhluk-makhluk Tuhan bisa mati, sedangkan kita hidup selamanya"
Jika aku bisa menyelamatkan Thecla, saat dia sekarat, dan memberinya kehidupan baru dalam tubuh buatan ini, tidakkah kau ingin dia diselamatkan"
Tubuh Trajan menyentak. Kau bisa menyelamatkannya" Kau tidak bilang padaku! Kau membiarkannya mati, sementara kau bisa saja menyelamatkannya"
Apa" Melawan hukum alam" Menjadi sesat" Kau cepat sekali berubah pikiran, Trajan. Dengarkan dirimu sendiri!
Murka, Trajan melompat ke depan dan mencekik leher adiknya. Serangan mendadak Trajan membuat Claudius terpelanting ke belakang menghantam meja. Telur kaca dan rangkaian pipanya jatuh ke lantai dengan keras, hancur berkeping-keping menjadi ratusan serpihan. Tangan Trajan mempererat cekikan di leher adiknya. Claudius tak melawan.
Aku bisa membunuhmu, kata Trajan. Itu yang kau mau, bukan" Daripada harus menanggung kesendirian, kau lebih baik mati. Aku takkan membiarkanmu terbebas begitu mudah. Aku akan tetap hidup, demi kedua putriku. Dan kau juga. Aku tak bisa membiarkanmu berkeliaran, Dik. Kau berbahaya sekarang. Aku tak tahu apa yang mungkin kaulakukan selanjutnya, melihat kau mampu berbuat sejauh ini. Aku akan mengurungmu di rumah ini, dengan semua kenanganmu, selamanya. Century akan menjadi penjaramu. Juga penjaraku.
Trajan berdiri, melepaskan Claudius. Mereka saling menatap, saling menantang. Trajan yang lebih dulu memalingkan wajah. Dengan kepala menunduk ia meninggalkan ruangan.
Claudius mengusap lehernya, memar akibat cekikan Trajan. Ia melangkah ke jendela, melihat dunia yang putih, salju membentang, awan yang suram, hujan salju tanpa henti. Ia mendesah, berpaling, dan mencabut sebatang lilin dari tempatnya di atas rak buku. Ia menyalakan lilin itu, membawanya ke ruangan sebelah, dan menjatuhkannya ke dalam peti berisi boneka bidadari. Ia menatap selama beberapa menit ketika apinya menjalar. Wajah putih itu terbakar dengan cepat. Bahannya menghitam dan mengelupas, menampakkan kedua mata kaca dan gigi porselennya, di bawah lapisan rangka kayu dan tembaga. Rambutnya yang merah panjang tersulut. Tak lama kemudian peti itu membara, asap berbau tajam bulu kuda terbakar. Claudius menjauh dari udara panas.
Api menyebar ke seluruh ruangan, melalui lantai papan ke ruangan sebelah. Api melalap buku dan perkamen. Si kucing kain kabur, mengeong keras, tubuhnya terbakar. Mercy, dan Claudius, bergegas keluar.
Mercy berusaha lari, dan seperti dalam mimpi buruk, kedua kakinya terlalu berat untuk digerakkan. Claudius melewatinya di lorong, dan Mercy berjuang untuk bergerak. Api menjalar
ke koridor. Cahaya seakan meredup, dinding-dinding menjauh, makin tinggi dan terus makin tinggi. Ia jatuh berlutut. Sebentar lagi api akan mencapainya. Ia tak merasakan panas namun asap membuatnya terbatuk-batuk.
Mercy, biarkan aku membantumu. Ia menengadah. Dengan terkejut didapatinya Trajan berdiri di sampingnya, mengulurkan tangan.
Ayah, katanya, terbatuk. Ayah datang menjemputku. Trajan tampak lebih tua sekarang, Trajan dari zamannya sendiri, rambut kelabu dan letih.
Ikutlah, kata ayahnya. Menjauh dari sini. Tinggalkan saja. Kau sudah melihat cukup banyak. Aku datang untuk membawamu pulang. Semua sudah berakhir.
Suaranya menentramkan. Mercy lega melihatnya. Ia ingin istirahat dan tidur. Ia mengulurkan tangan dan Trajan membantunya berdiri. Mereka melangkah di depan api, di sepanjang koridor gelap yang belum pernah dilihat Mercy, yang terus memanjang dan menjauh.
Perjalanan pulang jauh sekali, kata Mercy. Aku lelah sekarang.
Teruslah berjalan. Tak terlalu jauh.
Tak terlalu jauh" Siang dan malam, bulan-bulan dan tahun-tahun. Perjalanannya jauh sekali.
Di ujung koridor pintu kamar Mercy terbuka. Ia melangkah masuk, ke kamarnya sendiri yang berdebu, dan berbaring di tempat tidurnya yang empuk dan familier.
Mimpi tentang koridor-koridor dan lemari-lemari tersembunyi, aula luas dan ruang bawah tanah yang remang-remang. Tangga menjulang dengan ratusan undakan. Menara-menara terkunci dan loteng penuh tumpukan barang bekas. Mercy berlari menelusuri rumah besar dalam benaknya, mencoba pintu-pintu. Di mana-mana, ruangan kosong. Apa yang dicarinya" Ia tak bisa mengingat, kecuali bahwa ia harus mencari, dan tak boleh berhenti. Ia harus menemukan jalan keluar. Hantu-hantu jahat tanpa nama mengejarnya. Dalam mimpi kaki-kakinya serasa melayang, ia meluncur menuruni tangga panjang terakhir menuju satu-satunya pintu yang tersisa. Pintu itu tampak mundur, menjauh dan makin menjauh. Hantu-hantu itu semakin dekat.
Mercy terbangun sambil menjerit. Jantungnya bergemuruh. Ia mereguk udara, seakan habis tenggelam. Tersengal, kemudian bernapas kembali. Kamar redup; cahaya remang di permulaan, atau akhir, hari. Mercy duduk, melihat lemari pakaian dan meja riasnya, meja tulis di sebelah tempat tidurnya. Ia kembali ke kamarnya yang familier. Ingatan tumpang tindih dalam benaknya, badai citra dan mimpi. Ia berjuang untuk mengerti semuanya, memisahkan khayalan dan kenyataan. Trajan membawanya ke sini, bukan" Dari rumah yang terbakar. Sulit sekali untuk mengingat.
Ia turun dari tempat tidur. Pintu kamar tak bisa dibuka. Dikunci rupanya, dari luar. Mercy menyibakkan tirai yang panjang, terperangah melihat tiga jeruji besi terpasang di bagian luar jendela. Daun jendelanya dipaku rapat. Merasa ngeri, ia sadar kamarnya ini telah menjadi penjara. Apa yang terjadi" Dengan panik ia menggedor pintu.
Keluarkan aku! jeritnya. Ayah! Charity! Keluarkan aku! Rumah hening. Kemudian, setelah beberapa lama, ia mendengar suara langkah kaki dari jauh menghampiri. Dua pasang kaki, dan suara-suara. Mercy menggedor dan berteriak lagi. Suara gemerincing anak kunci pintu dibuka. Galatea, mengenakan gaun kelabu suram, dan Trajan, melangkah masuk ke kamar.
Ada apa rebut-ribut" kata Galatea. Ia membawa baki berisi semangkuk bubur encer dan air dalam gelas kayu. Trajan kembali menua, bahu membungkuk, rambutnya kelabu.
Kau apakan kamarku" kata Mercy. Ayah, kenapa jendela diberi jeruji" Ayah bisa melepaskanku sekarang. Aku sudah mengerti semuanya. Aku takkan menimbulkan masalah lagi.
Trajan tersenyum dan menepuk kepala Mercy. Ia tak mampu menatap mata putrinya. Ia malah bicara pada Galatea.
Anak malang, katanya. Kau tahu dia kehilangan ibunya. Dia menyaksikan kematiannya. Kejadian itu membuat benaknya kacau.
Mercy mendengarkan, terpaku ngeri.
Aku tahu, Sir, kata Galatea. Dia anak yang sulit dan masih delusional. Bagus sekali Anda menyempatkan diri menjenguknya. Dia membayangkan banyak hal melihat orang yang tak ada.
Orang-orang dari masa lalu, kata Trajan. Ya. Masa lalu begitu mengerikan sehingga tak bisa dilenyapkan dari ingatan. Mungkin
suatu saat nanti dia bisa menerima kejadian-kejadian itu, dan terbebas untuk hidup kembali. Sampai saat itu tiba, terlalu berbahaya baginya untuk berkeliaran.


Century Karya Sarah Singleton di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ya, Sir, kata Galatea. Dia kabur dari kamarnya minggu lalu, dan mengakibatkan kebakaran di sayap timur bangunan. Untungnya tak ada barang berharga yang rusak, tapi kami takkan bisa menggunakan ruangan-ruangan di sana lagi.
Aku sudah mengurus ganti rugi, kata Trajan. Mengapa kalian membiarkannya berkeliaran seperti itu" Dia bisa saja terluka.
Kadang-kadang dia melawan, Sir, berontak dan menggigit. Seperti kucing liar.
Mercy menyela. Kenapa kalian melakukan ini" Ayah, ini aku! Apa yang terjadi" Ia menyambar lengan baju ayahnya, menarik-narik lengannya. Jangan tinggalkan aku di sini! Ayah tak boleh melakukan ini!
Trajan melepaskan diri dengan canggung. Maafkan aku, Mercy. Ini untuk kebaikanmu sendiri. Jika kau sudah membaik, aku akan membawamu pulang. Kau harus percaya pada petugas-petugas di sini untuk merawat dan membantumu sembuh. Ia berpaling pada Galatea. Hancur hatiku melihatnya seperti ini.
Sudah berapa lama, sejak kematian ibunya" tanya Galatea.
Sudah dua tahun sekarang. Sudah lama.
Dan adiknya" Syukurlah Charity tak terlalu terguncang. Aku mengirimnya ke sekolah, meski dia pulang selama liburan.
Melegakan sekali, putri anda yang satu lagi baik-baik saja, kata Galatea, menunduk.
Mercy memang anak yang senang berkhayal, dengan bakat luar biasa untuk menciptakan kisah dan memiliki daya imajinasi yang sangat tinggi. Trajan menatap Mercy lagi, meski matanya bagai terselubung, tak menatap dengan benar.
Ya, dia senang menulis. Kami mendukungnya. Dia terus saja mencorat-coret cerita. Aku tak bisa mengerti tulisannya begitu banyak omong kosong. Kuharap itu bisa membantu meluruskan benaknya.
Trajan mengangguk. Usahakan dia diberi gaun baru, katanya. Yang ini sudah terlalu kecil. Lengannya mulai robek. Kalian membawanya ke luar ke udara segar"
Ya, Sir. Setiap kari, kami jalan-jalan di halaman. Aku hanya membawanya keluar setelah gelap karena sepertinya cahaya matahari membuatnya takut.
Trajan berbalik pergi, dan Mercy melompat memeluknya.
Jangan tinggalkan aku di sini! jeritnya. Bawa aku bersama Ayah. Tak bisakah Ayah menemuiku lagi"
Trajan melepaskan cengkeraman Mercy dengan terkejut, mundur keluar kamar sementara Galatea memegangi pintu dengan satu tangan dan menahan Mercy dengan tangan satu lagi. Kedua orang dewasa itu saling melirik. Galatea menutup dan mengunci pintu. Mercy kembali ditinggalkan sendirian. Ia menggedor pintu dan memukulinya dengan tinju sampai kedua tangannya kelabu penuh memar.
Ia mengambil mangkuk berisi bubur dan melemparkannya ke dinding sampai hancur berkeping-keping.
Mercy memiliki waktu berjam-jam untuk merenungkan situasinya. Rumah sepi sekali. Tak ada yang mengganggunya. Apakah orang-orang gila lain dikurung juga, di kamar-kamar sebelah"
Ia ngeri membayangkan dirinya sudah gila. Benarkah ia selama dua tahun dalam keadaan delusional" Bagaimana dengan malam-malam panjang di Century, terungkapnya kisah tentang Thecla, Trajan, dan Marietta" Ia berjuang memisahkan fantasi dengan realita. Mustahil membedakannya. Mimpi tentang kegelapan dan terkurung di dalam rumah, kebenciannya terhadap Galatea, Trajan yang terasa jauh, ramuan kisah untuk menjelaskan kematian ibunya yang tak wajar. Mercy menduga Aurelia juga petugas rumah sakit jiwa, mungkin orang yang lebih menyenangkan. Hal-hal ini sambung-menyambung menjadi fantasi rapi orang gila yang terkurung di kamar. Bagaimana mungkin Mercy bisa memastikan mana yang merupakan kenyataan"
Buku merahnya tergeletak di bawah bantal, lusuh, dan pinggirannya mulai keriting, halaman-halamannya lengket dan menguning. Sampulnya terkelupas dan agak terbakar. Galatea bilang ia tak berhenti mencorat-coret. Mungkin tulisannya bisa membantu.
Kalimat pertama cukup jelas: Wanita di bawah es. Kalimat berikutnya tak bisa dibaca. Dan kalimat berikutnya. Ia membalik semua halamannya ia menulis begitu banyak namun rangkaian-rangkaian kata itu tak terbaca. Begitu banyak coretan tak ber
arti. Dengan putus asa Mercy melemparkan kembali buku itu ke tempat tidur. Tak heran Trajan tak berusaha mengambil buku itu darinya. Memiliki buku merah berharga itu, yang rupannya penuh coretan tanpa arti, menunjukkan Mercy memang sudah gila.
Mercy berkeliaran di dalam kamar. Lemari pakaian kosong. Tak ada apa-apa di meja rias, kecuali sikat rambut. Pena bulu dan sebotol tinta terletak di meja tulisnya.
Jadi dua tahun telah berlalu sejak kematian Thecla, menurut Trajan, bukan seratus tahun. Mungkin dua tahun terkurung di tempat ini terasa bagaikan seratus tahun. Berapa lama ia akan tinggal di sini" Benaknya bekerja keras. Ia bisa saja menyembunyikan perasaannya, berpura-pura sembuh. Maka Trajan akan membawanya pergi.
Waktu terus berjalan. Tak ada yang datang. Sungguh mengherankan Mercy bisa menyesuaikan diri dengan situasi ini lumayan cepat. Seakan mantra menyelubunginya, seperti keadaan terhipnotis setengah tidur di hari-hari berulang Century. Ia mendapati diri sulit memikirkan cara melarikan diri, malah memikirkan gaun baru yang akan didapatkannya. Ia berharap tadi tak membuang-buang buburnya karena sekarang ia kelaparan. Anehnya, cuaca remang di luar tidak berubah tidak semakin terang menuju siang maupun semakin gelap menuju malam. Mudah sekali untuk menyerah. Kehidupan ini sulit dan menyakitkan. Akan lebih mudah dan tak terlalu menyakitkan jika ia tidur saja.
Tidak. Tidak! Mercy menggeleng keras-keras. Ia menolak menyerah. Ia tidak gila. Ia juga bukan lagi gadis kecil yang dimantrai Trajan bertahun-tahun yang lalu. Ia sudah sampai sejauh ini, dan melihat begitu banyak. Ia lebih kuat daripada yang diketahui Trajan, dan ia ingin bebas. Di luar matahari bersinar, dan orang-orang memiliki teman serta pergi ke pesta, dan mendengarkan kicauan burung serta menyaksikan bunga-bunga berkembang. Mereka saling jatuh cinta dan bertengkar, dan tak pernah tahu apa yang akan dibawa hari esok. Mercy mondar-mandir di dalam kamar, menggosok-gosokkan telapak tangannya. Ia menggerutu. Ia tak boleh menyerah sekarang. Tak boleh. Bagaimana jika ini hanya salah satu siasat Trajan untuk menghentikan Mercy merusak mantranya karena mengetahui kebenaran" Ya, ini trik yang cerdik. Tapi ia takkan menyerah dalam perangkap Trajan yang terakhir. Ia akan menemukan jalan keluar dari sini. Pasti ada petunjuk.
Satu tempat lagi untuk dilihatnya. Ia merangkak ke kolong tempat tidur, menyelipkan kelingking ke dalam lubang di papan lantai, dan mengangkat sebilah papan untuk membuka ruang di bawahnya. Ia merogoh ke dalam, mencari-cari, dan menemukan sebundel kertas. Jemarinya gemetar. Mercy merangkak keluar dari kolong tempat tidur. Ia membuka lipatan kertas dan enam lukisan dari pena dan tinta berhamburan ke seprai tempat tidur. Gambar wajah Claudius. Satu lagi gambar Trajan dan Thecla. Marietta, dalam gaun putih. Mercy sendiri, dan Charity. Satu gambar lagi menampakkan rumah mereka, dengan penunggang kuda berderap pergi.
Mercy nyaris menangis karena lega. Ia menengadah, memanjatkan doa syukur demi Charity. Kemudian ia memusatkan perhatian pada suratnya.
Mercy sayang Aku tak tahu kau di mana atau apa yang telah terjadi padamu. Ayah berkeliaran di dalam rumah seperti orang gila, menarik-narik rambutnya. Galatea bersembunyi di kamarnya. tak ada yang memerhatikanku, kecuali Aurelia. Omong-omong, aku menemukan lukisan-lukisan di loteng seperti katamu, dan aku sudah membuat enam gambar. Kuharap, sesuai dengan keinginanmu. Aku tak tahu bagaimana memberikannya kepadamu, maka aku akan menaruhnya di dalam tempat rahasiamu. Kau sudah tahu aku menemukan tempat itu" Untung sekali adikmu ini selalu ingin tahu urusan orang!
Banyak cinta dariku untukmu, anak pemberani. Kuharap kau menemukan apa yang kaucari.
Charity xx Mercy mendekap surat itu di dadanya. Air matanya menggenang. Bagus sekali, Charity. Jadi ia tidak gila! Surat-surat tersembunyi Charity menjadi bukti kebenaran yang diyakininya dalam hati. Petualangan Mercy bukanlah khayalan orang gila yang delusional. Menggunakan pena bulu yang sudah lusuh, ia menulis tentang pesta, tenggelamnya Marietta, pembalasan dendam
Frederick, dan kebakaran di laboratorium. Bahkan pengalamannya di rumah sakit jiwa gadungan.
Sekarang ia harus melarikan diri. Bagian terakhir kelima bab harus ia ketahui. Ambang pintunya, ia ingat, ada di kamarnya sendiri di balik meja rias. Ia menggeser meja itu, mengambil bukunya, dan menekan dinding. Apakah ia akan masuk kembali ke alam khayal atau melangkah semakin dekat pada kebebasan" Ia mengharapkan kebenaran, dan terjatuh ke depan, ke udara kosong, bertanya-tanya apa yang akan ditemuinya dalam cahaya siang hari.
X SALJU telah mencair. Hari di musim dingin itu lembap dan dingin. Mercy melangkah di sebelah adiknya dari depan rumah. Dua kuda, dengan bulu-bulu hitam di kepala, bergerak gelisah di tali kekang. Peti mati terbaring di kereta kuda bersisi kaca.
Hanya butuh perjalanan singkat menuju kapel keluarga Verga. Anggota keluarga Trajan, Claudius, Charity, dan Mercy melangkah di belakang kereta kuda, di sepanjang jalan setapak menuju kapel di pinggir hutan. Aurelia dan Galatea, memimpin rombongan pelayan, mengikuti di belakang. Angin menerbangkan air mata di pipi Mercy. Ia mengenakan rok hitam, dengan sarung tangan bulu dan topi.
Segalanya berubah. Ia tak lagi Mercy si pengamat. Ia telah masuk ke dirinya sendiri di masa lalu, usia sepuluh tahun, mengikuti kereta jenazah.
Tak ada yang bicara. Angin melolong. Ladang membentang luas, putih dan suram. Pepohonan menjulang di balik bagian belakang kapel yang melengkung. Sekali-sekali Mercy melirik Charity, wajahnya pucat dan tertutup, buku doa di tangannya. Mercy tak memegang buku doa buku yang dibawanya berwarna merah, diembos emas. Ia memegangnya erat-erat.
Kereta jenazah berhenti di depan kapel. Anggota keluarga menunggu saat para pelayan lelaki maju untuk mengusung peti jenasah di bahu mereka, dihias karangan bunga mawar putih dan bunga bakung berkelopak besar. Di dalam kapel, Mercy gemetar. Udara dingin sekali. Peti jenazah, sekarang terbuka, diletakkan di depan altar dikelilingi karangan bunga. Lilin-lilin putih seperti es menyala. Udara berbau batu tua, aroma dupa, harum bunga bakung.
Mercy, Charity, dan Trajan duduk di barisan bangku terdepan sebelah kanan. Claudius duduk di barisan bangku sebelah kiri, Aurelia dan Galatea di belakangnya, pelayan-pelayan yang lain duduk agak jauh di belakang, sesuai jabatan mereka. Pastor memulai upacara.
Mercy tak mendengarkan. Ia melihat ke sekeliling kapel, memerhatikan jendela-jendela berkaca patri. Panel besar di belakang altar menggambarkan Kristus disalib, tubuhnya seputih kertas, cawatnya merah terang. Di sisi kanan dan kiri jendela, sayap-sayap malaikat dari marmer tampak melengkung. Di dalam peti Thecla berbaring di atas bantalan sutra berwarna gading. Matanya terpejam, bibir agak terbuka. Aurelia dan pelayan pribadi Thecla memakaikannya gaun berwarna emas paling pucat. Rambut Thecla tergerai di sekitar bahunya.
Pagi itu Mercy tidak makan. Ia tidak bisa menelan. Sekarang perutnya kerocongan. Ia berharap upacara ini segera selesai. Rasanya tak sesuai sekali. Kalimat-kalimat datar sang pastor sama sekali tak berhubungan dengan ibunya, atau perasaan sakit dan kehilangan yang diderita Mercy. Kehidupannya tak lagi berarti. Ia merasa runtuh dan terkuras. Sebelas hari telah berlalu sejak kematian Thecla, namun kehidupan Mercy berhenti. Ia terpaku di satu tempat. Rasanya mustahil melanjutkan hidup tanpa hidupnya. Matahari terbit dan tenggelam, makanan diletakkan di hadapannya, tapi benak Mercy tak mampu bergerak melebihi detik-detik kematian ibunya. Ia tak percaya apa yang telah terjadi. Berkeliaran di dalam rumah, ia berharap mendengar suara Thecla, kemunculan wajah yang dicintainya itu, harum lembut tubuhnya. Ia terus mengingatkan diri sendiri bahwa Thecla sudah meninggal, namun tubuhnya, hatinya, tak percaya. Tak mungkin ini terjadi. Sebentar lagi ia akan terbangun. Karena ini tidak benar. Tidak seharusnya begini. Dunia yang baginya selama ini indah sekarang sama sekali tak memedulikan penderitaannya. Kehidupan bisa direnggut begitu saja. Cinta, meski ia memohon kepada Tuhan, doa-doanya yang putus asa dan permintaan-pe
rmintaannya yang diulang-ulang, tak bisa melindunginya dari kehilangan.
Setelah upacara selesai peti jenazah ditutup kembali dan dibawa keluar ke pekuburan kecil yang ditumbuhi banyak pohon yew. Iringan-iringan terus berjalan dan membawanya ke lubang menganga di tanah. Peti Thecla diturunkan, perlahan-lahan, ke dalam mulut basah dan berlumpur itu. Pastor bicara lagi. Trajan meraup segenggam tanah basah dan menjatuhkannya ke atas peti. Charity melakukan hal yang sama kemudian Mercy. Ia tak mampu memikirkan wajah di bawah tebaran tanah itu. Maka ia berkonsentrasi pada tanah yang menempel di sarung tangannya.
Tiga burung gagak terbang mengitari kapel, berkoak ribut. Seekor mendarat di tanah, sayap terlipat, seperti lelaki sejati berjas hitam. Seekor lagi mendarat di batu nisan dekat pohon-pohon yew. Angin mengibarkan bulu-bulunya.
Pemakaman berakhir. Semua orang pergi.
Mercy membayangkan ayahnya, melangkah lemas kembali ke rumah, memimpin rombongan. Setelah pemakaman, Trajan akan membebaskan para pelayan dan menyuruh mereka pergi, kecuali Galatea dan Aurelia yang datang bersama mereka dari Roma. Kemudian ia akan menyuruh Aurelia menutup tirai dan kerai. Lukisan Thecla dan Claudius diturunkan, siap disimpan di loteng.
Mercy membayangkan Trajan duduk di perpustakaan dengan buku merahnya, menulis kisah tentang rumah mereka kisah yang cukup kuat untuk mengubah realita. Kata-kata magis, seperti Shem di bawah lidah golem. Karena kata-kata menjelaskan hal yang nyata, pikir Mercy, dan cerita adalah sarana terbaik untuk mengerti segala hal yang terjadi dalam kehidupan. Trajan memagari rumah dengan kata-kata. Ia menceritakan lima hari, menghadiahi Claudius hari yang sempurna bersama Marietta, berikut satu hari terakhir di tepi mantra, yang akan dihantui Trajan bersama kedua putrinya. Adegan-adegan tercipta, Trajan membungkuk di atas pekerjaannya, berkonsentrasi pada mantranya, sementara rumah berubah di sekitarnya, garis-garis masa lalu dan masa kini dipelintir dan dibentuk menajadi baru.
Maka Trajan menyembunyikan masa lalu dan menghipnotis mereka agar hidup di satu hari yang gelap berulang-ulang, sehingga rumah bisa disembunyikan. Di luar, dunia terus berjalan, tahun demi tahun.
Mercy membayangkan ayahnya, lelaki dengan kekuatan luar biasa yang tak diinginkannya, membentuk kehidupan mereka dalam buku merahnya. Ia tak ingin jadi berbeda. Ia membawa keluarganya ke Inggris untuk hidup selayaknya manusia biasa. Sangat jarang ia menggunakan bakat sihirnya. Sekarang ia menggunakannya untuk mengunci masa lalu dan merenggut masa depan karena ia takut akan akibat kematian Marietta, dan karena ia tak ingin hidup tanpa istrinya. Betapa tepatnya malam yang gelap dan beku, musim dingin abadi ketika tak ada yang tumbuh, merefleksikan hatinya sendiri, beku karena kesedihan.
Mercy, di pekuburan musim dingin itu, menggeleng. Sekarang makam Thecla memiliki batu nisan dari marmer. Kerumunan bunga snowdrop tumbuh dari tanah tempat ia dikuburkan. Angin menggelitik mahkota bunga yang putih. Claudius memetik salah satunya dan meletakkannya di bantal Mercy.
Mercy sendirian lagi. Ia berdiri tegak.
Ibu, katanya. Aku perlu bicara denganmu. Aku ingin menyelesaikan kisah ini.
Burung gagak di rumput mengibaskan bulu-bulunya dan melompat-lompat pergi. Pekuburan hening.
Kurasa aku mengerti apa yang terjadi, tapi aku punya beberapa pertanyaan dan hanya kau yang bisa menjawabnya. Aku tahu kau sudah meninggal, dan kurasa Trajan mengurung sebagian dirimu di sini, di tengah-tengah mantranya, sehingga dia tak perlu kehilanganmu seluruhnya. Hanya saja, kami juga terjebak, Charity dan aku, dan kami ingin hidup lagi. Aku ingin tahu apa yang harus kulakukan.
Angin menerbangkan kata-katanya. Bunga-bunga snowdrop mengangguk-angguk.
Kumohon, katanya. Mohon tolonglah aku.
Mercy menunggu. Awan-awan berarak pergi dengan cepat. Kemudian udara terasa pengap, sulit untuk bernapas.
Tanah bergerak. Seperti penutup pembaringan, selimut snowdrop menyeruak terbuka. Di bawah jalinan bunga terdapat lapisan daun membusuk, cacing, dan tanah keras. Tangan pucat muncul dari dalam
tanah. Lengan, bahu, wajah. Tanah menggumpal di mulutnya dan menyumbat lubang hidungnya. Diseret serangga, makhluk-makhluk bawah tanah, gerakan akar pohon yang lambat, rambutnya menyebar ke mana-mana, yang ditarik lagi oleh Thecla, hati-hati dan tampak menyakitkan.
Thecla Arcadius Verga. Terkubur selama seabad. Ia duduk, membuka mata dan menatap putrinya.
Mercy, katanya, sambil tersenyum. Lumpur mengotori gaun emas pucatnya. Aku bermimpi tentang pesta ulang tahunmu di taman. Kau ingat"
Ya, aku ingat. Bibir Mercy bergetar. Ia menatap langsung mata Thecla dan dalam kenangannya seratus pintu terbuka bersama-sama. Citra-citra membanjiri benaknya dari sepuluh tahun kehidupannya sebelum kematian ibunya; saat-saat bahagia dan penuh cinta, menyala terang, dalam kekacauan emosi.
Aku ingat, katanya lagi, wajah basah dengan air mata. Akhirnya, aku ingat. Aku sangat merindukan Ibu. Selama ini hatiku begitu sakit, dan aku bahkan tak ingat wajah Ibu.
Thecla merentangkan tangan. Mercy memeluk ibunya erat-erat, wajah menempel di lehernya, lengan melingkari tubuhnya, dan ia menangis. Betapa serasinya mereka, lekuk-lekuk tubuh mereka menyatu saat berpelukan, dan Mercy merengkuh ibunya begitu erat sampai otot-ototnya terasa sakit.
Akhirnya pelukan Mercy mengendur, melepaskan ibunya.
Saat Ibu meninggal, Trajan begitu sedih dan takut, dia memantrai seluruh rumah. Dia membentuk masa lalu menjadi lima bab, seperti boneka Rusia, satu di dalam yang lain. Dan, Ibu adalah yang terkecil dan terpenting dari semua boneka, persis di tengah-tengah mantranya, kata Mercy.
Orang-orang tak lagi melihat Century. Kami terkurung. Kami tak pernah melihat matahari, dan hidup di hari yang sama berulang-ulang. Dia juga mengurung Claudius di masa lalu. Kurasa mula-mula Claudius ingin dikurung, sehingga dia bisa mendapatkan hari terakhir bersama Marietta. Tapi sekarang, bahkan dia ingin bebas. Ibu harus menolongku. Apakah Ibu ingin aku mematahkan mantra itu" Bantu aku pada bab terakhir dan kami akan terbebas, dan Ibu akan & Ibu juga akan terbebas.
Thecla tersenyum lagi. Aku gembira sekali melihatmu, katanya. Saat mantranya patah, rohku juga akan bebas untuk meninggalkan dunia. Aku tak tahu ke mana rohku akan menuju, tapi cahaya yang harus kuikuti berwarna emas, dan aku ingin sekali berada di sana.
Ia menggeliat dalam pembaringan tanahnya dan mengeluarkan buku merah dari dalam tanah. Nama Century tergores dalam tinta emas di sampulnya. Itu buku sihir Trajan.
Trajan lelaki yang memiliki kekuatan besar, bahkan di antara keluarga Verga, katanya. Jarang sekali dia menggunakan kekuatannya. Dia tak menginginkannya. Dia ingin menjadi manusia, seperti orang biasa. Itulah sebabnya kami pindah ke Inggris, untuk memulai hidup baru, menjauh dari keluarga. Sebisa mungkin. Kau tak bisa melarikan diri dari diri sendiri.
Trajan merangkai sihir, menjalin kata-kata untuk untuk memisah-misah masa lalu, seperti yang kaulihat. Dia mengikat kita. Buku itu menceritakan kisah tentang rumah, memberitahukan tempat persembunyiannya, dan ketidakmampuan Trajan melepaskanku. Tulis buku ini lagi. Kau telah menyatukan potongan-potongannya, sekarang tambahkan halaman-halaman terakhir. Tulis akhir yang berbeda akhir yang bahagia. Tulis bagaimana matahari menyinari Century, bagaimana kedua anak perempuan itu mengingat masa lalu dan melangkah ke dunia luar. Tulis bagaimana Trajan bisa belajar hidup kembali.
Mercy mengangguk, memegang buku merahnya sendiri. Ia berdiri. Aku senang sekali bisa melihat Ibu lagi, katanya. Aku takkan kehilangan Ibu lagi, kan" Aku akan ingat"
Thecla mengangguk. Kau akan ingat.
Aku mencintai Ibu, kata Mercy.
Aku juga mencintaimu, Gagak-gagak berkoak dan terbang, tinggi di atas kapel. Selama sedetik Mercy memalingkan wajah, mengikuti arah terbang mereka. Ketika ia kembali menatap ibunya, Thecla juga telah lenyap, bersama buku yang pertama, melebur bersama angin. Selimut snowdrop tampak tak terusik. Bunga-bunga itu bergoyang.
Benak dipenuhi memori, Mercy memeluk bukunya sendiri dan tersenyum. Sensasi hangat mengalir dari hatinya yang sedih dan t
erkunci, menelusuri lengan dan kakinya, menghangatkan bagian dalam perutnya, jemari tangan dan kakinya.
Warna cokelat dan kelabu musim dingin, harum bunga-bunga musim semi, hangatnya musim panas, buah-buahan dan api musim gugur. Ia akan mendapatkan semua itu. Dan masih ada lagi. Masih banyak lagi. Ia meninggalkan pemakaman dan masuk ke gereja. Dalam keremangan kapel, dengan cahaya matahari membentuk berkas-berkas warna pada kaca jendela patri, Mercy menulis akhir kisah yang bahagia. Bagaimana masa lalu dikocok seperti kartu, dan jatuh bertebaran. Bagaimana kegelapan terangkat dari rumah besar dan taman-tamannya, daerah sekelilingnya, padang rumput, dan danau. Bagaimana Trajan, Mercy, dan Charity melangkah keluar ke kehidupan, menatap abad baru dan dunia pria dan wanita yang sibuk. Bagaimana Thecla akhirnya menemukan kedamaian, dan Claudius, merasa kalah, kembali ke keluarganya di Negara lama.
Mercy meletakkan pena dan menatap keluar jendela, Kristus putih dengan cawat merahnya, malaikat-malaikat lembut dengan kibasan sayap mereka yang kuat. Ia menutup buku, melangkah di lorong gereja, dan keluar.
Ia berdiri di serambi, menatap melalui pohon-pohon yew dan batu-batu nisan, ke bawah bukit menuju rumah. Dunia seakan berhenti bergerak, seolah-olah badai akan mengamuk. Mercy bisa merasakan debu dan udara yang tak bergerak.
Langit berkelip, gelap kemudian terang lagi. Malam kembali, bagai mangkuk terbalik yang mengurung rumah dan tanah sekitarnya. Mercy merasa pusing. Darah sekan terkuras dari kepalanya dan perutnya serasa dipelintir. Ia bersandar di dinding batu, takut akan jatuh pingsan. Bangunan kapel sendiri seolah-olah goyah. Ia mencengkeram dinding dan bukunya jatuh dari tangannya, menghantam lantai batu.
Di luar, langit malam mulai terbelah. Seperti kulit telur, kubah kegelapan retak dari cakrawala timur, retakannya berjalan ke atas dan terus, turun lagi di sebelah barat. Di kedua sisinya, malam tersingkir dan Century berdiri, terkupas, dalam cahaya matahari terang-benderang.
Di lantai, buku Mercy tersentak dan terbuka. Halaman pertama terkibas. Kemudian halaman berikutnya, dan berikutnya, secepat kilat. Tulisan dan gambar melintas buram. Mercy menekankan punggung pada dinding, berharap kapel itu tak goyah lagi. Namun mantra pembentukan kembali baru mulai bekerja.
Di luar angin semakin kencang dan awan-awan kelabu berkelebat di langit, semakin cepat dan terus semakin cepat, dalam arus deras. Matahari melesat melintasi langit, seperti kereta kuda, dan tenggelam, untuk kembali terbit di sebelah timur setelah beberapa detik kegelapan saja. Siang hari berkelebat, kemudian malam, dan lagi. Bulan mengelilingi bumi, membengkak dari sabit menjadi purnama, kemudian mengecil kembali. Pohon-pohon berdaun lebat, kemudian rontok menjadi kerangka di musim dingin. Gelombang warna hijau terang menyebar di ladang, tumbuh, dan kembali layu. Pohon-pohon yew di pemakaman tumbuh dan mengerang.
Mercy, kembali berusia dua belas tahun, memakai gaun compang-camping, melangkah terhuyung dari dinding dan menemukan keseimbangan dalam tahun-tahun yang berkelebat dari masa lalu Century yang dipulihkan kembali. Ia membuka ikatan rambutnya yang kotor dan melangkah keluar dari bayang-bayang yang menari-nari di sekitar kapel. Tanah bergetar di bawah kakinya. Ia membuka sepatu, untuk merasakan rumput dan hangatnya udara tahun-tahun yang melintas. Ia berlari menuruni bukit, pohon-pohon memanjangkan dahan-dahan di sekelilingnya, melintir dan berputar ke arah matahari. Musim-musim rumput dan bunga kini tiba, kemudian tumbuh dan layu lagi di sekitarnya.
Semangat hidup melandanya, memabukkan. Ia berhenti di bawah pohon-pohon kastanye, dan merentangkan kedua tangannya. Keinginan untuk tertawa membuncah dan dikeluarkannya keras-keras. Ia tak bisa mengendalikan diri. Ia tak bisa berhenti. Ia tertawa ketika tahun-tahun melesat, musim-musim panas membanjir, dan bumi berputar serta diperbarui. Ketika tawanya mereda ia berlari lagi, terbawa arus generasi dan regenerasi yang mengalir deras.
Tahun-tahun yang bergerak cepat mulai melambat. Century menjulang di hadapanny
a. Mercy mengitari rumah, berlari menaiki tangga menuju taman mawar. Jendela-jendelanya kosong dan gelap. Ia melompat-lompat melintasi jalan masuk, sekarang bergegas, ingin melihat ayah dan adiknya. Di mana mereka" Musim-musim yang berderap sekarang memelankan laju, kemudian akhirnya, langkah demi langkah, menuju pergantian hari seperti biasa. Matahari bertengger di atas atap rumah, sekitar tengah hari di bulan Januari yang cerah, dengan angin dingin. Tunas-tunas mungil bermunculan dari dalam tanah. Mercy, dengan kepala dan kaki telanjang, masih kepanasan, seakan jantungnya tungku, mengalirkan panas ke kedua kakinya.
Ia berlari menuju bagian depan rumah.
Ayah! Charity, ia berteriak. Kalian di sana" Aurelia" Di mana kalian"
Kedua pintu depan tertutup tapi ia mendengar suara kunci diputar. Daun pintu sebelah kiri dibuka. Dari bagian dalam rumah yang gelap, Charity melangkah keluar, mengerjapkan mata dalam cahaya matahari.
Mercy" katanya, melindungi mata dengan tangan. Mercy, kaukah itu" Terlalu terang. Aku tak bisa melihat.
Ini aku, kata Mercy. Suaranya terdengar berbisik. Charity tampak begitu rapuh. Seperti wanita tua dalam pakaian anak-anak antik. Ia bahkan tak bergerak seperti anak kecil. Hati Mercy teriris melihatnya. Charity mengendap keluar, menarik syal di bahunya, menghindarkan wajahnya dari matahari. Mercy mendekat, mengulurkan tangan.
Apa kau menemukan gambar-gambarku" Tanya Charity. Apakah berhasil"
Mercy memeluk adiknya. Tentu saja, jawabnya. Lihat matahari! Tak bisakah kau merasakannya" Kehidupan kita bisa berjalan kembali.
Membutakan mataku, kata Charity. Ia mengintip hati-hati, melalui lengan Mercy. Segalanya hijau sekali. Ia mengerjap, mata berair dalam terpaan cahaya matahari saat ia membiasakan diri dengan cuaca terang-benderang.
Bagaimana kau melakukannya, anak pintar"" tanya Charity. Bagaimana kau mengembalikan matahari"
Bukan hanya matahari. Masa lalu juga. Kau bisa mengingat lagi. Ibu kita.
Charity melangkah mundur, mengerutkan kening. Bisakah"
Ia memalingkan wajah dari Mercy, menatap ke dalam kenangan yang tak bisa dilihat kakaknya. Detik-detik berlalu. Mercy menunggu, masih menggenggam jemari Charity. Burung robin mendarat di ranting gundul dan mulai berkicau. Angin berembus, mengibarkan helai-helai rambut Mercy.
Kemudian Charity tertawa dan berdiri tegak, kesan wanita tuanya lenyap seketika. Ya, katanya. Matanya bersinar. Ya, aku ingat. Kita bahagia sekali waktu itu. Menyenangkan sekali.
Semua akan dimulai lagi. Kita bisa membuatnya menyenangkan, kata Mercy. Kita bebas. Musim semi akan tiba, dan bunga-bunga, kemudian musim panas.
Mercy" Charity" Galatea melangkah keluar. Wajahnya khawatir. Anak-anak, apa yang terjadi" Mercy" Apa yang kaulakukan"
Aurelia ikut keluar, melap tangan di celemek. Ia menghampiri anak-anak perempuan, menatap Mercy dari ujung kepala sampai ujung kaki.
Kau tumbuh, katanya. Charity juga. Kenapa kau memakai gaun lama Charity" Kenapa kau kotor sekali"
Serangan pertanyaan mereda. Wajah Aurelia melembut. Matanya berwarna biru kehijauan indah, sekarang sangat cerah, seakan cadar telah terangkat.
Tapi kau tampak sehat dan cantik, katanya, menyedot hidung cepat-cepat. Bahkan dalam gaun compang-camping itu. Sudah lama rasanya aku tak memerhatikanmu dengan sungguh-sungguh. Hari ini aneh sekali. Ia menepuk bahu Charity, dan meraih ke depan untuk menyibakkan helaian rambut hitam dari wajah Mercy. Masuklah dan bersihkan dirimu, katanya. Aku akan memasak banyak air. Kau bisa mandi.
Ketika melangkah melalui ambang pintu, Charity menoleh ke belakang ke arah matahari di atas taman.
Saat mereka melintasi bagian dalam rumah, kedua anak perempuan itu berlarian memasuki tiap ruangan untuk membuka semua kerai dan menyibakkan tirai-tirai yang berat. Debu tampak beterbangan ketika cahaya matahari memancar melalui jendela menerangi perabotan, lukisan, dan permadani untuk pertama kalinya selama seratus tahun.
Di dapur, Aurelia mulai menyalakan api. Ia menyuruh Charity menimba air untuk mengisi ketel tembaga besar.
Aku harus menemukan Ayah, kata
Mercy, ketika sang pengurus rumah membungkuk di atas perapian. Aurelia berdiri, melap tangan di celemeknya. Ia tampak khawatir lagi.
Aku tak tahu di mana kau bisa menemukannya. Ia ragu sesaat. Hati-hati, Mercy.
Mercy mengangguk. Aku takkan lama-lama, katanya. Aku sangat lapar. Saat aku kembali bisakah kita makan" Kita semua bersama-sama"
Ia meninggalkan Aurelia berdiri di sebelah perapian dapur yang menyala. Di mana Trajan berada" Di kamar Thecla, di sisi tempat tidur tempat ia telah kehilangan istrinya" Di reruntuhan gosong bekas tempat tinggal para pelayan, tempat Trajan berkelahi dengan adiknya"
Mercy takut menemuinya, tapi sangat ingin melihatnya.
Sekarang ia bisa mengingat hari-hari saat ia berjalan bersama ayahnya menuju arboretum yang berkembang, ketika Trajan mengajarinya nama-nama pohon dan semak, dan berkuda di taman pada musim gugur. Tawa Trajan begitu keras ketika Mercy mengarang kisah-kisah lucu tentang bidadari air yang tinggal di danau.
Rumah tampak mengecil. Labirin tangga dan koridor tak lagi tampak terlalu rumit.
Naluri mercy membawanya ke perpustakaan. Ia mendorong pintunya terbuka.
Trajan duduk memuggunginya, di meja di tengah ruangan. Mercy melangkah melewatinya dan membuka kerai kayu di jendela tinggi pada tiap ujung ruangan. Cahaya memancar, membentuk kolam tak bergerak berwarna keemasan di lantai. Butiran-butiran debu berkelip di pancaran cahaya yang menerangi bahu bungkuk Trajan dan kepalanya yang menunduk. Mercy berdiri di depannya, berusaha melihat wajahnya.
Ayah" katanya lembut. Aku minta maaf karena tak mematuhi Ayah. Tapi aku tak menyesali perbuatanku.
Trajan tetap bergeming. Aku akan pergi jika itu keinginan Ayah. Aku akan meninggalkan rumah. Aku tahu Ayah menganggapku membahayakan kalian. Tapi aku hampir tidak hidup. Begitu banyak hal yang bisa kita lihat dan lakukan. Kita sekarat, terkunci di malam hari. Aku ingin tumbuh dewasa. Aku ingin melangkah keluar dan bertemu orang lain. Aku ingin mengetahui segalanya tentang keluarga kita.
Trajan masih tidak bereaksi, dan sesaat Mercy takut sesuatu yang mengerikan telah terjadi bahwa jantungnya berhenti, atau mungkin ia terkena penyakit. Tapi itu pikiran konyol. Keluarga Verga hidup selamanya. Ia mengulurkan tangan dan menyentuh bagian atas kepala ayahnya dengan ujung jemari.
Ayah" panggilnya. Suaranya bergetar. Perlahan Trajan mengangkat wajahnya dan menatap mata Mercy.
Mercy, katanya. Suaranya lirih dan serak. Ia menarik napas dalam-dalam dan terbatuk, seakan kerongkongannya penuh debu.
Aku mengira aku mengira Ayah sudah meninggal! kata Mercy.
Wajah Trajan yang putih dan kaku berubah jadi hangat, ada senyum sedikit. Jangan konyol, katanya. Kita tidak mudah meninggal.
Mercy menunggunya bicara lagi, berusaha membaca suasana hatinya. Trajan meregangkan tangan dan jemarinya, melemaskan otot. Ia menggosok wajahnya, seakan baru saja terjaga dari tidur lelap. Di atas meja di hadapannya terletak sisa-sisa bukunya. Sampul merahnya terbuka. Halaman-halamannya berjamur dan hancur.
Kau tak perlu meninggalkan rumah, katanya, berjuang menemukan kata-kata yang tepat. Kemampuanmu telah melebihi kemampuanku, Mercy. Tak ada halangan yang kubuat yang bisa mencegahmu. Ia mengerjap, mata berair. Kau mirip sekali dengannya, katanya.
Mercy menelan ludah. Tidakkah Ayah mencintaiku juga" ia bertanya, dengan suara kecil.
Trajan menatapnya segera. Mercy, katanya lembut. Tadinya aku tak bisa hidup tanpa ibumu. Aku pengecut. Aku tak mampu menghadapi dunia tanpanya dan aku juga tak tahan melihat kesedihan Frederick serta kehilangan yang dialami adikku. Duniaku runtuh. Rasanya jauh lebih mudah bersembunyi dan mencengkeram masa lalu.
Jadi Ayah tidak marah padaku" Tanya Mercy. Beban rasa bersalahnya mulai terangkat.
Trajan berdiri. Ia tersenyum lagi. Kali ini senyumnya hangat. Pipinya mulai dialiri warna.
Tidak, aku tidak marah, katanya. Aku mengurung rumah dalam malam musim dingin yang panjang. Saat itu rasanya itulah yang sesuai. Hatiku beku. Kehidupan serasa berupa tanah gersang yang tak bisa ditumbuhi apa pun lagi. Tanpa harapan ak
an hari esok. Aku menginginkan tidur tanpa akhir. Tapi aku egois, Mercy. Aku tak memikirkanmu dan Charity. Kebutuhan kalian akan hidup jauh lebih besar daripada keinginanku mengakhirinya.
Jadi kita bisa hidup lagi, di Century"
Ya, katanya. Ya, kita bisa.
Ia menjauh dari Mercy dan berdiri di tengah cahaya matahari dekat jendela lalu menatap ke arah taman. Mercy mengikutinya.
Bagaimana perasaan Ayah sekarang" Mercy bertanya, mengamati wajah ayahnya. Apakah masih sangat menyakitkan, kehilangan Ibu"
Trajan menunduk menatap putrinya. Tentu saja, katanya. Perasaan itu datang bagai gelombang. Tak selalu terasa perih. Dan untuk mengurangi rasa kehilangannya aku memiliki dirimu dan Charity. Aku rindu kalian berdua. Aku takut, karena dunia di luar berubah begitu banyak dalam seratus tahun. Dan aku takut karena tak tahu bagaimana kita akan hidup sebab kita berbeda dengan orang lain. Tapi itu ketakutan lama, dan aku sudah terbiasa. Aku ingin sekali memeriksa tanaman di arboretum serta rumah kaca, dan aku kelaparan maka aku usul kita ke dapur dan berharap Aurelia bisa masak banyak untuk kita. Banyak yang harus kita bicarakan.
Ia mengulurkan tangan, dan Mercy menggenggamnya erat-erat.
Ayolah, kata Trajan. Waktunya pergi.
* * * Aurelia perlu menggosok kuat-kuat untuk menghilangkan jelaga dari kulit dan rambut Mercy. Ia mengisi bak mandi kaleng dengan air panas, dekat perapian. Charity duduk di sisi lain meja dapur, tertawa-tawa dan menggoyang-goyang kaki. Mercy mengeluh ketika sisir menarik-narik rambutnya yang tebal dan basah. Ketika Aurelia memarahinya, Mercy memeluk tubuh kuat dan kurus sang pengurus rumah dan menempelkan wajah keras-keras di tubuh Aurelia, sampai Aurelia berhenti mengomel dan mulai terisak, mengusap mata dengan punggung tangan.
Baik Charity maupun Mercy tak punya gaun yang cukup di tubuh mereka, maka Galatea memilihkan pakaian dari lemari Thecla, dan biarpun baju-baju itu juga lapuk dan pudar, setidaknya kancing-kancingnya bisa dikaitkan di bagian belakang. Mercy mengenakan anting-anting mutiaranya.
Mereka tak melihat Claudius. Mungkin ia sudah dalam perjalanan dari Inggris menuju Negara lama. Diam diam Mercy lega lelaki itu tidak muncul. Ada hal-hal di masa lalu yang tak ingin diingatnya terlalu jelas.
Trajan terperangah melihat kedua gadisnya berdandan rapi. Mereka duduk bersama di meja dapur, beserta Galatea dan Aurelia. Trajan mengeluarkan sebotol besar angur, kelabu tertutup debu, dan sudah minum beberapa gelas. Sekarang gelasnya penuh lagi. Rambut Mercy bercahaya, masih tergerai melewati bahu. Mereka makan besar, ayam panggang dan kentang, tumpukan kubis dan parsnip. Semuanya terasa panas dan enak, renyah dan lezat.
Sesudahnya, ketika matahari yang menyilaukan mulai tenggelam, Trajan membawa kedua putrinya keluar untuk menatap matahari terbenam di balik pepohonan, di antara awan yang seperti bendera panjang berwarna merah jambu dan emas.
Apa yang akan kita lakukan malam ini" ia bertanya. Mendengarkan musik" Membaca bersama atau main kartu" Wajahnya merah jambu dan Mercy menduga ia agak mabuk. Ia tampak sangat ceria.
Main kartu, kata Charity. Aku tak ingat caranya. Ayah harus mengajariku lagi. Tapi Ayah harus menemukan kartunya dulu.
Trajan menengadah dan tertawa. Kita akan beli kartu lagi, katanya. Mengasyikkan, bukan" Seperti apa dunia di luar sana" Setelah seabad"
Matahari menghilang, semburat warna terakhir meredup di balik awan. Trajan menggandeng tangan kedua putrinya dan menuntun mereka kembali ke dalam rumah.
Epilog MERCY dan Charity berada di ruang duduk anak bersama ayah mereka, yang membaca keras-keras buku Putri sang Penyihir. Galatea sibuk membordir. Mercy menatap wajah Trajan, mengenali raut yang mirip dengan dirinya sendiri, dan Charity. Seakan raut wajah tak pernah menjadi milikmu sendiri, hanya dipinjamkan. Disewakan, diwarisi, dibentuk ulang. Warisan keluarga yang dibagikan, orangtua kepada anak, turun-temurun.
Trajan berhenti membaca, menyeruput secangkir teh. Di sampul buku tertoreh nama Mercy bersama nama ibunya. Mercy Galliena Verga. Warisan. Lingkaran
generasi. Ke mana Ayah pikir Claudius pergi" ia bertanya.
Aku tidak tahu, kata Trajan. Mari kita anggap dia berada di jalannya sendiri. Dia akan menemukan keluarga kita di Italia.
Aurelia, tampak lebih muda sekarang, memesan beberapa gaun baru untuk anak-anak perempuan. Mode telah berubah. Wanita itu memenuhi rumah dengan bunga, dan mulai mempekerjakan orang-orang baru sebagai pelayan. Di luar, di halaman, bunga-bunga crocus berwarna ungu muda dan emas mengangkat kepala.
Di malam hari mereka bersantap bersama, dan Trajan mengangkat gelasnya untuk memberkati seluruh keluarga. Charity cekikikan dan Galatea memelototinya.
Mercy mengamati mereka, satu demi satu. Apakah Trajan sungguh-sungguh percaya pada pembaruan kehidupan" Seperti bunga-bunga snowdrop, mengangkat kepala di musim dingin yang tergelap, dalam es dan salju" Tapi Mercy tahu dirinya sendiri berbeda, ia terpisah. Bagaimana ia bisa menghindari polanya sementara pilihan dalam benak dan hati mereka sudah tetap" Lebih baik tak memikirkannya terlalu keras. Lebih baik tidak merenungkan cinta dan kehilangan, kematian dan kesepian. Karena makanannya enak. Pastry-nya luar biasa lembut dan manis. Cahaya lilin menari-nari di wajah mereka.
Di sini, sekarang. Detik-detik berlalu. Mata Mercy kabur.
Kenapa Mercy" kata Charity. Dia menangis.
Traja tersenyum lembut. Jangan menggoda kakakmu. Biarkan dia makan. Sulit untuk terbangun setelah sekian lama. Hati kita terusik.
Mercy mengangguk, mengusap wajah, dan Aurelia membereskan piring-piring.
* * * Gelombang bunga-bunga daffodil bermekaran, kemudian melayu. Pohon-pohon di kebun berbuah sampai penuh. Mercy menatap dari tempat ia biasa berdiri di dekat jendela tinggi di lantai satu. Bunga-bunga kaku berminyak seperti lilin bermekaran di pohon-pohon kastanye kuda, dekat jalan masuk. Mercy biasa berjalan berjam-jam dalam cahaya matahari, kembali mengenal halaman rumah. Namun sampai saat ini ia belum melangkah keluar gerbang, meski kereta-kereta kuda sering melintas di jalan raya. Dunia memanggil-manggil, tapi ia belum siap untuk bergabung.
Suatu pagi dua pejalan kaki melangkah di jalan masuk. Lelaki dan wanita, Mercy melihat mereka. Ia memerhatikan mereka ketika menghampiri rumah. Yang lelaki mengenakan topi tinggi, mode modern yang mengejutkan.
Pasangan itu masih muda dan agak canggung. Mereka bimbang di undakan batu. Akhirnya yang lelaki mengangkat tongkat berkepala peraknya dan mengetuk pintu depan.
Mereka diantar ke ruang tamu di lantai dasar. Galatea memerintahkan teh dihidangkan untuk mereka. Aurelia menyuruh anak-anak perempuan merapikan diri dan membawa mereka menemui kedua tamu.
Kami menempati Rumah Langley, kata si lelaki muda. Agennya tak bilang kami akan memiliki tetangga. Aku tak tahu rumah kalian ada di sini, sampai istriku melihatnya, di antara pepohonan, beberapa minggu yang lalu. Mengherankan rumah sebesar ini bisa lolos dari penglihatan. Kami ingin memperkenalkan diri.
Trajan mengangguk ke arah kedua putrinya. Ini anak-anakku, Mercy dan Charity, katanya. Mereka tersenyum, kaku karena malu.
Mr dan Mrs Mason mengundang kita ke rumah mereka, kata Trajan.
Ya! si wanita berseru. Ia masih muda, pirang dan cantik. Kalian harus datang untuk minum teh. Mr Verga berkata kalian suka sekali membaca. Aku punya banyak novel yang bisa kalian pinjam asal ayah kalian setuju.
Itu akan menyenangkan sekali! kata Charity. Dan aku suka sekali gaun Anda, Mrs Mason. Indah sekali. Lihat, Mercy. Penuh motif kuncup mawar. Dan rambut anda ditata cantik sekali. Maukah anda mengajariku menata rambut seperti itu"
Charity terus mengoceh. Trajan menyela.
Anda berdua harus memaafkan antusiasme putriku, katanya. Aku duda. Anak-anak ini kekurangan perhatian ibu.
Pasangan itu bersimpati. Mrs Mason mengulang undangannya dan tanggal pun ditentukan.
Mercy terkejut sekaligus berdebar-debar senang. Setelah itu, ia menatap cahaya temaram dari jendela depan. Ia telah mengambil buku merahnya dari kapel. Sekarang sudah waktunya menuliskan kata-kata paling akhir.
Yaitu seperti ini. Cahaya meredup. Sekarang pohon-pohon tak bergera
k. Dunia ini tempat yang ajaib dan indah.
The End *** tamat Si Dungu 2 Pendekar Bayangan Sukma 14 Serikat Kupu Kupu Hitam Pembalasan Dimalam Halloween 2
^