Pencarian

Dating With Dark 1

Dating With The Dark Karya Shanty Agatha Bagian 1


Dating With The Dark Dating With The Dark - Prolog
Ketika malam itu bergayut, Andrea duduk termenung di atas ranjang, entah kenapa malam ini tidak seperti biasanya. Andrea merasa ngeri, rasa ngeri ini hampir sama dengan kengerian yang selalu menyerangnya di malam-malam dulu. Burung di pepohonan depan yang rimbut berbunyi-bunyi dengan suara menakutkan, mencicit seolah memberi pertanda.
Tetapi pertanda apa"
Andrea bolak-balik memeriksa alarm pintunya, dan menghela napas panjang. Alarm sudah terpasang dengan sempurna, pintu sudah tertutup rapat dengan kunci dan gerendel terpasang. Kenapa dia tetap merasa takut"
Andrea masuk lagi ke kamar, mengunci pintu kamarnya dan berbaring, menarik selimutnya sampai ke punggung. Seharusnya dia sudah merasa bebas, seharusnya dia tidak didera ketakutan lagi. Tetapi kenapa perasaan ini sama" Rasanya sama seperti dulu...jauh di masa lalu, dimana kenangan buruk menyeruak, kenangan yang sangat ingin dilupakannya.
Tiba-tiba terdengar suara keras di pintu belakang rumahnya. Andrea begitu terperanjat sampai terlompat dari tempat tidurnya. Jantungnya berdebar dengan keras, dia menatap ke arah pintunya dan meringis....
Apakah dia tadi sudah mengunci pintu kamarnya"...Apakah ada seseorang yang menerobos pintu belakangnya" Bagaimana kalau orang itu masuk ke kamarnya"
Pertanyaan-pertanyaan itu mendorong Andrea melompat panik, dan kemudian memeriksa kunci pintu kamarnya.
Terkunci....tentu saja...
Andrea menghela napas panjang, dan menyandarkan tubuhnya di pintu. Lama dia menunggu, mungkin akan ada suara-suara lagi diluar sambil menahankan debaran jantungnya yang membuatnya makin sesak napas.
Tetapi suasana sungguh hening, tidak ada suara apapun. Andrea bahkan merasa bahwa dia hampir mendengar debaran jantungnya sendiri yang berpacu dengan begitu kuatnya.
Apakah suara di pintu belakangnya tadi hanyalah halusinasinya"
Setelah menghela napas panjang, Andrea membuka kunci pintunya. Dia tahu bahwa dia telah melakukan tindakan bodoh seperti di film-film horor yang sering dilihatnya, mendengar suara aneh... bukannya lari dan bersembunyi tetapi malahan mendatangi bagaikan ngengat yang tertarik mendatangi api yang akan membunuhnya.
Rumah Andrea kecil sehingga kamarnya langsung mengarah ke ruang tamu yang merangkap sebagai ruang keluarga dengan TV besar mendominasi bagian tengahnya, lalu ada lorong kecil ke area dapur.... dapur tempat suara itu berasal.
Andrea menyalakan lampu ruang tengah dan menghela napas panjang ketika menyadari bahwa tidak ada siapapun di sana. Jantungnya makin berdebar ketika menunggu melangkah ke arah dapur.... di sana gelap dan pekat. Dengan hati-hati Andrea menyalakan saklar lampu tetapi langsung mengerutkan kening ketakutan ketika saklar itu putus. Lampu dapur tidak menyala dan Andrea mengernyit menyadari kegelapan di depannya. Tangannya meraba-raba mencari ponsel yang tadi sempat dimasukkannya ke dalam saku piyama.
Dengan pencahayaan ponsel yang seadanya, Andrea melangkah maju memasuki area dapur itu. Cahayanya gelap dan remang-remang, membuat Andrea merasakan bulu kuduknya berdiri.
Tampaknya di dapur tidak ada siapapun. Tetapi kemudian mata Andrea terpaku pada sesuatu di dapur. Sesuatu yang membuat jantungnya berpacu cepat dan wajahnya pucat pasi. Sesuatu yang memancarkan cahaya lembut berwarna kuning redup terselubungi lilin yang berwarna biru.
Masa tenang kehidupannya sudah berakhir...impian untuk menjalani hari-harinya seperti orang biasa musnah sudah.
Andrea berpegangan ke dinding untuk menopang kakinya yang gemetaran, matanya menatap ke arah benda itu. Sebuah tanda...tanda yang samar-samar menyeruak ke dalam alam bawah sadarnya, menarik ingatan Andrea yang telah lama hilang dan mengingatkannya.
Seketika pengetahuan mendalam muncul di benak Andrea, membuatnya merasakan ngeri yang luar biasa. Lilin berwarna biru yang menyala itu adalah tanda, tanda yang ditinggalkan oleh sang pembunuh paling kejam yang dia tahu entah kenapa.
Pembunuh itu sudah menemukannya....
Selesailah sudah. Nyawa Andrea mungkin tinggal beberapa saat lagi. Matanya melirik ketakutan
ke arah tanda di meja dapurnya.
Lilin berwarna biru itu....jumlahnya ada sembilan buah...diletakkan dengan rapi dan diatur indah setengah lingkaran di atas meja dapurnya, cahaya redupnya tampak kontras dengan ruangan dapur yang gelap gulita....
Lalu seperti muncul begitu saja dari bayangan gelap di belakangnya, jemari yang kuat tiba-tiba menyentuh lehernya dari belakang, lembut dan tenang. Andrea tercekat, tetapi tidak bisa memberontak, pada akhirnya yang bisa dilakukannya hanyalah memejamkan matanya.
*** Tanpa perlawanan yang berarti tubuh Andrea lunglai dalam pelukannya, ada rasa sakit dan terkejut luar biasa di sana. Mata Andrea yang membelalak mengatakan demikian. hingga beberapa detik kemudian, mata Andrea kehilangan cahayanya, menutup dengan lemah, meninggalkan bercak gelap yang merintih tak bersuara disana.
Sang Pembunuh alih-alih melarikan diri terburu-buru, malahan dengan tenang mengangkat tubuh Andrea yang pingsan dengan kedua tangannya, ke sudut ruangan, ke bagian ruang tengah rumah berlantai kayu yang dipernis mulus itu. Dia duduk di sana dan memangku tubuh Andrea yang lunglai tanpa daya, dibelainya rambut hitam panjang Andrea, diciuminya aroma leher korbannya. Sungguh diperlakukannya Andrea bagai kekasih tertidur yang akan ditinggal pergi diam-diam. Sorot mata Sang Pembunuh adalah sorot mata kekasih, penuh cinta dan harapan yang meluap-luap.
Bukan sekali dua kali ini ia membereskan seseorang yang lemah seperti Andrea, ia sering menyebutnya order kecil . Cepat, mudah dan tak jarang korbannya cantik luar biasa, seperti apa yang dilihatnya sekarang. Anehnya Sang Pembunuh selalu saja menetapkan harga yang amat sangat tinggi untuk order kecil seperti ini.
Tanpa alasan jelas, ia selalu bilang begitu kepada kliennya, karena tak mungkin mereka mengetahui bahwa Sang Pembunuh adalah pemuja wanita, butuh pengorbanan besar dari nurani untuk membunuh seseorang, tetapi bahkan ia akan mengorbankan lebih besar lagi untuk membunuh Andrea, satu-satunya wanita yang telah menyentuh hatinya.
Bibir sang pembunuh menyentuh bibir Andrea, melumatnya lembut penuh cinta. Sebelum akhirnya gelap dan pekatnya malam yang semakin dalam, menelan mereka berdua.
Dating With The Dark Bab 1
-Enam bulan sebelumnya- Andrea baru saja pulang dari bekerja, dia hempaskan badannya ke sofa coklat di tengah ruangan apartemennya. Sulur-sulur yang merambat di depan jendela menghalangi cahaya matahari jingga yang terpekur sebelum terbenam. Dipejamkannya kedua mata, lalu menghela napas panjang, berusaha untuk santai. Biarpun memejamkan mata, Andrea masih tersenyum, teringat Eric dan obrolan ringan mereka.
Kata Kiara, Eric sebenarnya sudah mengincarnya sejak lama untuk didekati. Andrea termenung dalam senyuman yang tak kunjung hilang di bibirnya. Sejak pertama dia dikenalkan dengan Eric, salah satu karyawan baru di divisinya, dia langsung jatuh cinta pada pandangan pertama. Tetapi tidak disangkanya Eric mungkin menyimpan perasaan yang sama, hingga Kiara mengatakan kepadanya.
Siang tadi, Eric tiba-tiba mendekatinya ketika Andrea sedang menuang air panas dari dispenser ke cangkir yang berisi kopi instan. Aroma kopi langsung menguar, memenuhi ruangan, menciptakan keharuman yang menyenangkan. Eric menyapanya biasa-biasa saja, dan Andrea sudah salah tingkah menghadapinya. Tetapi kemudian lelaki itu bertanya apakah Andrea ada kegiatan di akhir pekan ini yang langsung dijawab Andrea bahwa dia tidak kemana-mana dan kemudian ajakan kencan itu datang. Eric mengajaknya ke sebuah acara pameran komputer di sudut kota. Bukan kencan dalam arti sebenarnya memang, tetapi bukankah ketika lelaki dan perempuan memutuskan untuk keluar bersama di akhir pekan....bisa disebut sebagai kencan"
Kencan...Andrea membuka matanya dan menatap ke sekeliling ruangan rumahnya. Dia bahkan tidak pernah memikirkannya sampai akhir-akhir ini. Sejak kecelakaan yang menyebabkan ayahnya meninggal, Andrea menyibukkan diri untuk mengurus harta peninggalan ayahnya. Andrea menjual semuanya, dengan alasannya sendiri.
Sambil menghela napas panjang, Andrea berdiri. Dia lalu me
langkah ke dapur, menuangkan kopi dari mesin pembuat kopi ke cangkirnya, kopi itu sudah tidak panas lagi karena sisa dari kopi yang dibuatnya di pagi hari sebelum berangkat kerja. Tetapi Andrea masih bisa merasakan rasa asam khas kopi yang nikmat di sana. Dahinya mengernyit dan dia menghela napas, dia hampir-hampir bisa disebut kecanduan kopi. Pagi, siang, dan malam...dia tidak bisa hidup tanpa menuang secangkir kopi untuk mengisi lambungnya yang kadang-kadang menolak dan berunjuk rasa dengan rasa perih yang menggigit di sana.
Tetapi Andrea butuh membuka matanya. Sejak kematian ayahnya, Andrea hampir terlalu takut untuk tidur. Benaknya dipenuhi ketakutan, ketakutan yang dia tidak tahu karena apa...ketakutan itu seperti menyimpan rahasia gelap yang mengerikan. Membuat Andrea dipenuhi kewaspadaan setiap malam, takut kalau-kalau kegelapan itu menyergapnya ketika dia memejamkan mata.
Andrea sudah menghubungi psikiater yang merawatnya sejak kejadian kecelakaan itu. Kata psikiater-nya, rasa takut tanpa alasan yang dirasakan Andrea hanyalah efek manifestasi trauma atas kecelakaan yang menyebabkan dia terluka parah, dan menewaskan ayahnya. Psikiater itu merawatnya dengan baik, session demi session, sampai kemudian Andrea merasa dirinya sudah sembuh, bebas, dan bahagia tanpa ketakutan yang menghantui.
Sekarang semuanya sudah baik-baik saja. Andrea mendesah dalam keheningan. Dia sudah bebas. Sekarang dia bisa memulai hidup yang baru, bisa mencoba membuka hati dan jatuh cinta lagi.
Rasa takut itu sudah ditinggalkannya jauh-jauh. Dia bebas sekarang, tidak akan ada lagi kegelapan yang mengintai dan berusaha menyakitinya. Mungkin memang cahaya terang sudah memasuki kehidupannya. Andrea tersenyum, membayangkan jalan indah yang mungkin akan dilaluinya bersama Eric nanti
*** Andrea duduk siang itu menghadap pot bunga yang tersusun rapi di teras cafe yang cukup ramai dengan pengunjung. Diliriknya jam tangan di pergelangan tangan kirinya, masih 15 menit lagi sebelum orang itu datang. Dia siapkan kembali beberapa surat perjanjian kontrak, mengecek kembali beberapa helai materai yang akan diperlukan nanti.
It's all set, Andrea membatin.
Ini aneh, karena sang klien meminta penandatanganan kontrak di sebuah cafe eksklusif yang sangat privat, biasanya para klien memilih menandatangani kontrak di ruang rapat kantor pusat mereka yang sudah disediakan. Tetapi bagaimanapun juga, bosnya mengatakan bahwa ini adalah klien penting, dan apapun permintaannya sesulit apapun itu, harus dituruti.
Suara berisik di pintu membuatnya menoleh. Beberapa lelaki berpakaian hitam-hitam tampak memasuki ruangan, ekspresi mereka semua sama, datar dan kosong, membuat Andrea merinding. Dia memandang ke sekeliling dan terkejut, cafe itu beberapa saat tadi tampak cukup ramai. Tetapi sekarang, tidak ada satu orangpun di sana, suasana cukup lengang dan tidak ada aktivitas apapun, selain beberapa orang berpakaian hitam-hitam yang terus menerus masuk, dan berdiri dengan kaku. Hampir membentuk barisan, seolah-olah mereka memberi jalan untuk seseorang.
Satu...dua...tiga...Andrea menghitung jumlah orang-orang itu, seluruhnya ada dua puluh orang. Siapakah gerangan yang membawa dua puluh orang pegawai, memberi mereka pakaian yang sama, dan membuat mereka memasang ekspresi sama"
Rupanya Andrea tidak perlu menunggu lama, di pintu, masuklah seorang lelaki tua, berpakaian putih-putih, sangat kontras dengan penampilan para pegawainya, dan langsung melangkah menuju Andrea.
Inikah klien penting mereka" Tiba-tiba Andrea gemetar karena meskipun sudah tua, lelaki itu masih menebarkan aura mendominasi yang sedikit menyesakkan dada.
Lelaki itu berdiri, mengamati Andrea lalu mengangkat alisnya.
"Nona Andrea""
Tiba-tiba Andrea tersadar bahwa dia tidak sopan karena tetap duduk sementara sang klien penting masih berdiri di depannya. Dia langsung berdiri dan mengulurkan tangannya dengan sopan.
"Betul. Saya Andrea. Anda Tuan Demiris""
Seulas senyum yang tak disangka muncul di bibir lelaki tua itu saat membalas uluran tangan Andrea, "Betul, Mari kita langsung bicarakan bisnis di sin
i." Lelaki itu duduk, sementara Andrea melirik orang-orang tadi yang dia duga pengawal yang tetap berdiri tanpa ekspresi di sana, merasa terganggu dengan kehadiran mereka. Tetapi lelaki itu rupanya sudah terbiasa, karena dia langsung membuka percakapan ke arah bisnis.
"Seluruh kontrak sudah disiapkan""
"Sudah." Andrea membuka map itu dan menyerahkannya ke lelaki tua itu. Demiris langsung menerima dan memeriksa isinya. Dahinya berkerut dalam ketika menelaah setiap klausul yang ada. Setelah lama, dia mengangkat matanya dan tersenyum.
"Bagus. Sesuai permintaan. Di mana saya harus tanda tangan""
Jantung Andrea yang sedari tadi menunggu dengan tegang langsung terasa lega, seolah napasnya meluncur dalam dan mengosongkan rongga dadanya. Dengan tangan agak gemetar, dia menunjuk ruang kosong yang sudah diisi dengan materai. Sebentar lagi tender untuk kontrak paling penting di perusahaannya akan di tandatangani.
Lelaki itu meraih pena emas dari saku jas putihnya dan kemudian dengan tenang dia menandatangani di tempat itu, di seluruh bagian yang ditunjukkan Andrea, di berkas asli dan beberapa salinannya. Setelahnya dia tersenyum, menyerahkan map kertas itu kepada Andrea, memasukan pena emas ke sakunya dan kemudian langsung berdiri.
"Senang berbisnis dengan anda, sampaikan salam untuk atasan anda."
Kemudian lelaki tua itu berbalik, melangkah meninggalkan Andrea yang masih termangu melihat langkahnya menjauh. Para pengawalnya yang berpakaian hitam-hitam tadi langsung mengikutinya. Setelah semuanya pergi, cafe menjadi lengang, hanya tersisa Andrea yang duduk di sana. Bahkan para pegawai cafe seolah-olah lenyap ditelan bumi.
Andrea termangu, lalu mengemasi seluruh berkas penting itu, dan memasukkannya dengan teliti ke dalam map. Berkas ini sangat berharga, dia harus menjaganya baik-baik dan memastikan tidak ada yang terlewat di sana. Setelah semuanya rapi, dia melangkah berdiri, menoleh ke kiri dan ke kanan dengan bingung karena tak terlihat seorangpun di dalam sana, seperti telah diatur seperti itu karena kedatangan lelaki tua tadi. Kemudian setelah menghela napas panjang, dia meninggalkan uang di meja dan melangkah pergi.
Hatinya tenang dan lega karena sudah menyelesaikan tugas terpenting dari atasannya. Dia sudah tidak memikirkan lelaki tua itu lagi karena Andrea merasa dia tidak akan bertemu dengannya lagi.
Tidak disadarinya bahwa dia salah. Lelaki tua itu akan memegang peranan penting dalam kehidupannya ke depannya.
*** Eric mendekatinya siang itu dengan senyum lebarnya yang khas.
"Kudengar kau meng gol kan kontrak kerja paling hebat tahun ini."
Andrea tersenyum malu-malu mendengar sapaan Eric itu. Semua orang memujinya, padahal yang dilakukannya hanya datang dan membawa berkas untuk ditandatangani seperti yang diperintahkan oleh atasannya. Andrea sendiri menolak semua pujian itu. Gol atas tender besar itu bukan atas usahanya, melainkan atas usaha dari atasan-atasannya yang melakukan negosiasi dengan penuh upaya. Apa yang dilakukan Andrea hanyalah sentuhan akhirnya, menyiapkan semua kontrak dan surat perjanjian, sesuai keahliannya lalu memastikan bahwa semuanya ditandatangani.
"Itu semua bukan hanya karena aku." Jawab Andrea manis, setengah malu-malu.
Eric tertawa mendengarnya dan mengangkat bahu, "Apapun itu, kau telah berhasil, dan kurasa kita pantas merayakannya."
"Merayakannya""
"Ya. Kau dan aku, makan malam bersama."
"Makan malam bersama""
Kali ini Eric tergelak geli, "Andrea, kau mengulangi setiap kata-kataku."
Pipi Andrea memerah, menyadari kekonyolan sikapnya. Tetapi Eric malahan tampak geli, dia mengedipkan sebelah matanya menggoda,
"Bagaimana" Mau makan malam bersamaku malam ini""
Mata Andrea berbinar, dadanya terasa hangat, dia menganggukkan kepalanya dengan malu-malu, "Ya aku mau."
Rasanya hari itu Andrea seperti lahir kembali. Dia yang semula selalu bersembunyi dalam kegelapan, sekarang ditarik menuju cahaya terang yang menyilaukan bersama Eric
*** Andrea berdiri dengan gugup di depan meja riasnya, kebingungan. Dia sudah mencoba tiga macam pakaian dan entah kenapa tidak ada satupun yang ter
asa cocok untuknya. Sekarang yang dia pakai adalah gaunnya yang terakhir, berwarna ungu muda hingga nyaris putih. Bagian atasnya sederhana, tanpa aksen, hanya sedikit kancing dengan warna ungu gelap yang membuatnya lebih manis, bagian bawahnya melebar, membuatnya tampak sangat feminim.
Sepertinya gaun ini yang paling cocok. Andrea membatin. Dia tidak tahu kemana Eric akan membawanya makan malam, mungkin di tempat santai, tetapi bisa juga di tempat yang formal. Di manapun itu, gaun ini adalah pilihan yang paling aman, mampu nampak formal sekaligus santai.
Setelah menyisir rambutnya, Andrea memakai sepatu berhak rendah warna putih miliknya. Dia menatap dirinya di cermin untuk terakhir kalinya, sebelum meraih tasnya dan melangkah ke luar kamar.
Tepat pada saat itu, bel pintu berbunyi.
Itu pasti Eric. Dengan riang Andrea melangkah bersemangat ke arah pintu, hingga kemudian langkahnya terhenti mendadak, entah kenapa merasa ragu. Andrea mengernyit dan mendesah jengkel, rasa takutnya ternyata masih tersisa, bermanifestasi menjadi rasa waspada dan curiga. Dia mengintip ke lubang pengintai di pintu, dan melihat Eric berdiri di sana. Andrea menghela napas, dia kesal akan ketakutan bodohnya yang tidak beralasan ini. Setelah menghela napas panjang, Andrea membuka pintu dan berusaha tersenyum ceria.
Well sebenarnya Andrea tidak perlu terlalu berusaha untuk ceria. Senyum manis Eric ketika melihatnya, dan binar mata Eric menunjukkan pujiannya akan penampilan Andrea, membuat Andrea merasa tersipu dan bahagia, entah kenapa.
Eric berdeham dan mengangkat alisnya,
"Mungkin aku akan sibuk malam ini."
"Sibuk"" Andrea menatap Eric bingung.
Eric tersenyum penuh arti, "Aku akan sibuk mengusir lelaki-lelaki yang melirikmu dan mencoba mendekatimu karena penampilanmu ini sangat cantik." Eric mengedipkan sebelah matanya dan setengah membungkuk, "Terima kasih sudah mau makan malam bersamaku, Andrea."
Andrea tergelak mendengar rayuan Eric yang dibalut dalam canda itu. Ketika Eric mengulurkan tangannya dan mengajaknya memasuki mobil, Andrea mengikutinya dengan langkah ringan dan tanpa beban.
*** Ruangan itu tampak mewah, dihiasi oleh barang-barang berkelas, menunjukkan kekayaan pemiliknya, Christoper Agnelli yang sekarang sedang duduk di sebuah kursi besar. Wajahnya tampak muram.
"Well"" Demiris yang duduk di depan lelaki berwajah murung itu berkata, "Dia bahkan tidak mengenalimu ketika kau berdiri menyamar dan berpakaian serupa seperti para pengawalku."
Christoper mengangkat alisnya, ekspresi sinis yang tapi menawan muncul di matanya yang gelap pekat. Dia setengah mendengus ketika berkata, "Aku memang tidak mengharapkan dia mengenaliku."
"Jadi bagaimana sekarang"" Demiris menatap Christoper dengan senyuman menggoda. "Gadis itu tidak menyadari betapa beruntungnya dia. Tidak ada yang pernah lolos dari targetmu, Christoper. Kau adalah lelaki yang terkenal sebagai sang pembunuh berdarah dingin. Dia adalah satu-satunya manusia yang bisa membuatmu menghancurkan reputasimu : sebagai yang tak pernah gagal dalam melaksanakan misimu." Demiris melemparkan pandangan memancing, "Akankah kau akan membiarkannya bebas dan tidak pernah tahu bahaya yang sedang mengintainya, ataukah kau akan menuntaskan tugasmu dan melenyapkannya seperti yang seharusnya terjadi""
Christoper tidak terpancing tentu saja. Dia sangat mengenal Demiris, lelaki tua itu adalah mentor sekaligus sahabatnya. Demiris sangat suka memancing orang lain lalu menilai dengan ahli setelah melihat tanggapan orang itu. Karena itulah Demiris sangat sukses dalam bisnisnya, dia punya kemampuan jenius untuk menilai orang lain sampai ke dalam-dalamnya. Christoper hanya memasang ekspersi dingin dan tidak terbaca ketika menanggapi Demiris, dia bersikap sesantai mungkin.
"Waktunya akan tiba nanti." gumamnya seolah tak peduli.
*** "Kau tahu, sudah hampir tiga tahun sejak terakhir kali aku berkencan dengan seorang gadis." Eric tersenyum lembut sambil menatap Andrea. Mereka telah menyelesaikan makan malam di sebuah restoran elegan yang menyajikan menu-menu luar biasa nikmatnya. Lampu restoran ini se
ngaja didominasi oleh warna kuning hangat, dengan lantai dari panel kayu berwarna gelap yang menyatu dengan suasananya. Amat sangat indah. Andrea tidak pernah menyangka, kencannya dengan lelaki sejauh yang dia ingat bisa seindah ini.
Andrea tersenyum, menopangkan jemarinya dengan lembut di dagu, menatap Eric yang tampak sangat tampan di bawah cahaya temaram lampu. "Apakah kau tidak tertarik mengajak seorangpun sebelumnya""
Eric menyesap minumannya, kemudian menatap Andrea penuh arti, "Aku kehilangan orang yang kusayangi, dan kemudian berusaha menyembuhkan jiwaku sendiri. Ketika aku sadar, ternyata aku telah melewatkan banyak hal." Lelaki itu tampak sedih, "Tunanganku meninggal tiga bulan sebelum tanggal pernikahan kami."
Wajah Andrea memucat, "Maafkan aku."
"Jangan minta maaf, aku memang ingin bercerita." Eric menatap Andrea lembut, "Sekarang aku sudah berhasil mengenang sambil tersenyum, dan bisa melepaskan kesedihan jiwaku."
Andrea paham perasaan Eric. Di malam-malam sepi setelah penyembuhannya, ketika Andrea dihadapkan pada kenyataan bahwa ayahnya telah meninggal, Andrea selalu menangis dalam kepedihan di dalam kamarnya. Dia meringkuk sendirian dalam kegelapan, dan yakin bahwa dia akan terus menangis, bahwa sakit ini tidak akan tersembuhkan, dan tidak mungkin waktu bisa menyembuhkan luka.
Tetapi waktu memang bisa menyembuhkan luka. Tuhan yang begitu mencintai manusia, telah menciptakan obat paling mujarab untuk menyembuhkan luka yang tertoreh dalam di hati manusia. Obat itu adalah waktu , menyembuhkan pelan-pelan bahkan tanpa disadari oleh manusia itu sendiri.
Andrea kini bisa mengenang sambil tersenyum, seperti yang dikatakan Eric tadi. Tiba-tiba ingatannya kepada almarhum ayahnya tidak terasa menyakitkan lagi.
"Aku pernah merasakan hal yang sama ketika ayahku meninggal," Andrea mendesah, "Dan aku bersyukur aku bisa mengenangnya sambil tersenyum kini."
Tatapan Eric tampak menusuk ke dalam, seolah berusaha menjangkau kedalaman jiwa Andrea,
"Apakah kau sangat menyayangi ayahmu""
"Tentu saja." Andrea tersenyum, "Dia ayahku...dan kami selalu berdua. Ibuku meninggal ketika melahirkanku, dan ayahku menyerahkan seluruh hidupnya untuk merawatku."
Eric menganggukkan kepalanya, lalu jemarinya meraih tangan Andrea dan menggenggamnya lembut,
"Setiap orang pernah terluka. Tetapi manusia mempunyai kemampuan menyembuhkan diri, seperti kau dan aku."
Tatapan mereka berpadu dan entah kenapa Andrea merasa seperti berlabuh. Dia merasa begitu tepat di sini, berdua bersama Eric, seolah-olah mereka memang diciptakan untuk bersama.
*** "Aku tidak sadar kalau sudah larut malam." Mereka masih bercakap-cakap di restoran yang nyaman dan indah itu, memesan secangkir kopi dan bercerita tentang segala sesuatunya. Ada banyak sekali kemiripan Andrea dengan Eric, kadang membuat mereka saling terperangah, lalu tertawa bersama seolah-olah sedang menyimpan rahasia milik mereka sendiri.
Andrea melirik jam tangannya, sudah hampir jam 10 malam. Suasana di dalam restoran terlihat penuh dan ramai, meski begitu masing-masing tampak menikmati sajian makan malam yang nikmat, tak ada yang merasa terganggu. Beberapa pasangan tampaknya sengaja datang larut untuk menikmati malam. Karena ini malam minggu, restoran buka sampai tengah malam. Semua orang terlihat tidak peduli akan malam yang telah larut, seolah-olah tidak mau mengikuti sang malam yang mulai beranjak. Dengan tatapan menyesal, Andrea berkata kepada Andre, "Aku juga tidak sadar kalau sudah malam, aku terlalu asyik menikmati percakapan kita." gumamnya malu-malu.
Eric terkekeh, "Kapan-kapan kita harus melakukannya lagi, ini benar-benar menyenangkan." Lelaki itu setengah berdiri, diikuti oleh Andrea. Mereka berjalan bersisian, berdekatan, dan ketika Eric menggenggam jemarinya, Andrea tidak menolak.
Sampai kemudian mereka melewati sebuah meja. Meja itu kosong. Tetapi ada sesuatu yang menyala, seolah-olah menanti seseorang. Sesuatu di atas meja itu....
Wajah Andrea pucat pasi ketika perutnya bergolak luar biasa.
Di atas meja itu...ada tepatnya sembilan lilin berwarna biru yang disusu
n dengan sempurna dan cantik yang mengeluarkan cahaya redup yang terlihat romantis. Seolah-olah seorang lelaki sedang menunggu di suatu tempat untuk memberikan kejutan kepada kekasihnya yang berbahagia di sana. Siapapun perempuan itu pasti akan sangat senang melihat pengaturan lilin-lilin temaram yang terasa menghangatkan hati itu.
Tetapi alih-alih senang dengan pemandangan yang tanpa sengaja dilihatnya itu, Andrea malah dihantam oleh perasaan yang tidak dapat dicegahnya. Lilin biru itu, pengaturan yang rapi itu....semuanya seolah memaksa Andrea untuk membuka kenangannya akan sesuatu...sesuatu yang gelap dan menakutkan. Andrea melawan rasa takut itu sehingga menimbulkan gelombang rasa mual yang luar biasa menyiksa. Tubuh Andrea limbung, membuat Eric terperanjat dan menahannya bingung,
"Andrea...Andrea " Kau kenapa""
Andrea hampir kehilangan kesadarannya atas rasa nyeri yang seakan merobek kepalanya. Dia melirik ke arah meja kosong dengan lilin biru itu, dan rasa mual kembali bergolak di dalam dirinya,
"Aku ingin keluar dari sini." Wajahnya pucat pasi, membuat Eric panik, untunglah lelaki itu memilih menuruti apa yang diinginkan oleh Andrea. Dengan lembut tetapi kuat, dia setengah menopang langkah lemah Andrea keluar ruangan.
Ketika berada di luar restoran, berhadapan dengan udara segar yang dingin dan menampar pipinya, Andrea menghirup napas dalam-dalam, menghembuskannya beberapa kali untuk kemudian menarik napas lagi. Dia menahan rasa mual di perutnya, dan mengernyit.
Sementara itu Eric yang menatap kernyitan Andrea tampak makin cemas,
"Kau kenapa Andrea" Apa yang bisa kulakukan" Apakah kau mau segelas air""
Andrea menggelengkan kepalanya, "Tidak." Jemarinya yang lemah mencekal lengan kemeja Eric yang sudah akan berbalik masuk ke restoran, "Tolong.. tunggu sebentar lagi. Aku akan baikan, jangan tinggalkan aku."
Eric menatap Andrea dalam, lalu menghela napas panjang, dipeluknya Andrea dengan sebelah lengannya, membiarkan perempuan itu bersandar di sana,
"Jangan cemas, aku ada di sini." bisik Eric lembut, membuat perasaan hangat mengaliri dada Andrea. Dia bersandar sepenuhnya di tubuh kokoh dan hangat Eric, menikmati kehangatan yang menyebar dari sana.
Setelah menghela napas panjang untuk kesekian kalinya, Andrea memutuskan bahwa dia sudah merasa lebih baik. Dia mendongakkan kepalanya, dan matanya bertemu langsung dengan mata Eric yang bening,
"Terima kasih. Sepertinya aku sudah enakan."
Eric langsung memeluknya erat, "Sama-sama Andrea, apakah kau benar-benar sudah tidak apa-apa""
Andrea menganggukkan kepalanya dengan lembut, melepaskan diri dari topangan tubuh Eric.
"Iya. Kita bisa pulang sekarang, mungkin tekanan darahku turun tadi. Jadi aku sedikit limbung, tetapi sekarang aku sudah tidak apa-apa."
Eric mengamati Andrea dengan teliti, seolah-olah tidak yakin. Tetapi lelaki itu kemudian tersenyum lemah dan menyerah, dia cukup bijaksana untuk tidak mengkonfrontasi Andrea di saat perempuan itu sedang lemah, masih banyak waktu nanti untuk menanyakan kondisi Andrea yang sebenar-benarnya. Sekarang dia harus mengantarkan Andrea pulang supaya bisa beristirahat.
"Ayo, kita pulang," Dengan lembut Eric menghela tubuh Andrea kembali ke dalam pelukannya, dan mereka melangkah menuju mobil mereka.
*** Sementara itu, Christoper yang dari tadi berdiri di salah satu sudut yang tak kentara terkekeh geli melihat kejadian itu.
Tadi dia iseng, memasang lilin biru itu, hanya untuk melihat sejauh mana hal itu akan mempengaruhi Andrea.
Ternyata hasilnya luar biasa.
Christoper tersenyum simpul. Pada saatnya nanti, Andrea akan tahu, apa yang sudah dia lewatkan selama ini, dan sampai hal itu terjadi, Christoper akan menunggu....dengan perasaan tidak sabar.
Dating With the Dark Bab 2
Setelah insiden itu, Eric mengantarkan Andrea pulang, dan pada akhirnya setelah Andrea memaksanya dan meyakinkan bahwa dia baik-baik saja, lelaki itu mau meninggalkannya dan pulang.
Malam itu Andrea berbaring di dalam kegelapan, berusaha tidur tetapi matanya nyalang. Dia lalu duduk dan membuka laci di samping ranjangnya, di sana ada obat
pil kecil di dalam botol kaca, obat penenang dari psikiaternya, dengan dosis kecil, hanya diminum kalau Andrea mengalami serangan panik akibat trauma kecelakaannya.
Dia sudah lama sekali tidak meminum pil itu....
Apakah sekarang dia harus meminumnya lagi" Ingatan akan kejadian di restoran tadi masih membuatnya mual. Rasanya begitu menyiksa ketika merasa ketakutan tetapi tidak tahu kenapa.
Andrea menghela napas panjang, menutup kembali laci itu dan berusaha melupakan niat untuk meminumnya. Dia sudah sembuh, dia tidak akan kembali lagi menjadi Andrea yang depresi dan didera ketakutan. Mungkin lilin itu hanya mengingatkannya pada sesuatu di masa lalunya, sesuatu yang mungkin sudah tenggelam dalam ingatannya sehingga tidak bisa dipikirkannya lagi.
Andrea akan berusaha supaya tidak dikalahkan oleh ketakutannya. Dia pasti bisa. Apalagi dengan hadirnya Eric dalam hidupnya yang membawa secercah cahaya baru bagi kehidupan Andrea.
Eric... Tanpa sadar bibir Andrea mengurai seulas senyuman ketika mengingat makan malam mereka yang indah, yang diselingi dengan percakapan yang mengasyikkan, semuanya sempurna dengan Eric dan Andrea berharap akan selalu sempurna..
*** Pagi hari ketika Andrea memasak sarapannya, telur dan roti panggang, ponselnya berdering dan dia langsung mengangkatnya ketika melihat ada nama Eric di sana,
"Halo"" Andrea bahkan tidak bisa menyembunyikan senyumnya yang terurai yang terpantul dalam suaranya.
"Andrea, bagaimana keadaanmu"" Suara Eric tampak renyah di seberang sana, membuat senyum Andrea melebar.
"Aku baik-baik saja, maafkan aku ya kemarin membuatmu cemas."
"Aku senang kau baik-baik saja." Eric berdehem sejenak, lalu berkata, "Aku mampir ke sana ya, kebetulan sekarang sedang di dekat rumahmu, kita berangkat kantor bersama."
Senyum Andrea melebar tanpa dapat ditahannya, "Iya, aku tunggu ya."
*** Setelah mematikan teleponnya, Eric menyetir mobilnya dengan sedikit lebih kencang, menuju ke arah rumah Andrea, impulsif memang. Tetapi reaksi Andrea kemarin membuatnya cemas, ada sesuatu di sana, Andrea sudah jelas-jelas ketakutan meskipun perempuan itu mungkin tidak menyadari kenapa.
Sudah tugas Eric untuk menjaga Andrea.
Dulu dia melakukannya karena memang pekerjaan, tetapi sekarang dia sadar. Ada perasaan yang terlibat, dan perasaan itu ingin memastikan bahwa Andrea akan selalu baik-baik saja.
Ponselnya berkedip-kedip lagi, membuat Eric meliriknya dia mengangkatnya dan berdehem lagi, mencoba menenangkan suaranya.
"Apakah ada tanda-tandanya"" suara di seberang sana tanpa basa-basi langsung bertanya. Tetapi memang tidak perlu ada basa-basi lagi, mereka harus mengatur percakapan seefektif dan sesingkat mungkin untuk menghindari bocornya informasi.
Eric tanpa sadar menganggukkan kepalanya meskipun menyadari bahwa orang di seberang sana tidak mungkin melihatnya, "Kemarin dia sangat shock, ada sesuatu aku yakin.... aku akan berusaha mencari informasi."
"Bagus." Suara di seberang sana terdengar tegas, "Dan pastikan dia tetap aman. Kita sudah mengusahakan segala cara untuk menyembunyikannya, jangan sampai apa yang sudah kita lakukan ini gagal seluruhnya."
"Baik." Eric menjawab cepat dan teman bicaranya di seberang langsung memutus percakapan.
Lelaki itu lalu melajukan mobilnya ke rumah Andrea.
*** Andrea membuka pintu dengan ceria, dan tersenyum kepada Eric yang tersenyum manis di depan pintunya, lelaki itu mengangkat kantong kertas yang ada di tangannya,
"Donat dengan gula halus yang manis." Gumamnya sambil mengedipkan matanya, "Kuharap kau tidak sedang diet."
Andrea tertawa, "Kurasa aku rela mengorbankan segalanya demi sebuah donat di pagi hari." Dia membuka pintunya dan membiarkan Eric masuk, "Masuklah, aku sedang menyeduh kopi."
Eric mengikuti Andrea dan melangkah ke dapurnya yang mungil, hari masih pagi dan mereka bisa sarapan sejenak sebelum berangkat kantor. Dengan cekatan Andrea menuang kopi ke cangkir putih yang telah disiapkannya, harum aroma kopi menguar di udara dengan segera,
"Pakai gula atau cream"" Andrea bertanya pada Eric yang duduk di kursi makan dan mengamatinya samb
il tersenyum manis. "Jangan gula, satu sendok cream saja." Eric menunjuk ke kantong kertas berisi donatnya, "Aku sudah memberikan jatah gulaku di donat ini." Tawanya.
Andrea meletakkan cangkir kopi itu di depan Eric dan tersenyum manis lalu dia duduk di depan Eric, menghadap kopinya sendiri.
Eric mengeluarkan donat hangat dengan gula halus yang menggiurkan itu, meletakkannya di piring kosong yang ada di tengah meja, lalu mengambil satu dan menggigitnya dengan nikmat, setelah itu tersenyum menggoda kepada Andrea,
"Ayo cicipilah."
Andrea mengambil donat itu dan mencicipinya, agak kesulitan karena gulanya bertaburan di mulut dan dagunya, tetapi dia kemudian berhasil menggigitnya dan memutar bola matanya merasakan kenikmatan yang terasa lumer di mulutnya.
"Enak sekali." Gumamnya dengan mulut setengah penuh, sementara itu Eric mengamatinya dan tertawa geli,
"Ada gula di dagumu." Bisiknya lembut, mengulurkan jemarinya untuk mengusap ceceran gula halus itu di dagu Andrea. Sejenak tatapannya berubah serius, dan usapannya semakin lembut. Mereka saling bertatapan, seakan ada percikan perasaan yang mengalir di antara mereka berdua.
Eric yang sadar duluan, dia berdehem dan menarik jemarinya, lalu tersenyum dan menatap Andrea meminta maaf,
"Bagaimana kondisimu"" tanyanya lembut, mengalihkan suasana aneh yang melingkupi mereka berdua.
Andrea tahu bahwa yang dimaksud Eric adalah kondisinya semalam, dia menggelengkan kepalanya sambil menghela napas panjang,
"Kau pasti merasa aku aneh kemarin..." gumamnya pelan.
"Tidak, aku hanya merasa cemas." Eric menyela cepat, "Semalaman aku mencemaskanmu."
Andrea menatap Eric malu, "Aku...sebenarnya sejak kecelakaan itu...aku...aku mengalami sedikit gangguan psikologis."
"Gangguan psikologis"" Eric mengerutkan keningnya.
"Itu istilah yang dipakai oleh psikiaterku, katanya aku mengalami trauma akibat kecelakaan yang menewaskan ayahku... aku... aku selalu mengalami ketakutan dan kengerian tanpa sebab, seakan aku takut pada bahaya yang bahkan aku tidak tahu bahaya apa. Tetapi aku sudah menjalani terapi dengan psikiaterku dan sudah sembuh.....aku sudah lama tidak mengalami serangan panik dan kecemasan lagi, aku pikir aku sudah benar-benar sembuh...."
Tatapan Eric berubah serius, "Dan kau merasakannya lagi semalam" Kenapa""
Andrea memejamkan mata. Bayangan lilin berwarna biru yang memancarkan cahaya redup itu membuatnya ngeri, dia memegang belakang lehernya, tiba-tiba merasa begidik di bulu kuduknya.
"Ada meja kosong di rumah makan kemarin...aku...aku tanpa sengaja memperhatikannya dan pemandangan di sana membuatku panik..."
"Pemandangan apa""
"Pemandangan lilin-lilin berwarna biru yang dinyalakan dan disusun setengah melingkar.... bahkan sebelum menghitungnya aku tahu berapa jumlahnya.....entah kenapa." Andrea meringis, "Jumlahnya sembilan buah. Ditata dengan spesifik, dan pemandangan itu seakan menohok kesadaranku lalu memunculkan reaksi tak terduga... seperti yang kau lihat sendiri kemarin...."
"Dan kau tetap tidak tahu apa maksud dari sembilan lilin berwarna biru itu""
"Tidak." Andrea menggelengkan kepalanya lemah, "Aku sudah mencoba mengingat apapun yang ada dibenakku yang bisa menghubungkan dengan lilin biru itu.. tetapi tidak ada memoriku yang bisa menghubungkannya. Aku hanya tahu aku merasa takut...merasa ngeri, semua perasaan yang tidak bisa kudefinisikan campur aduk di dalam benakku." Bagaimana menjelaskannya" Andrea tidak tahu, rasanya seperti jantungnya ditarik paksa dari rongga dadanya, menimbulkan rasa ngilu yang menyesakkan.
Eric menghela napas panjang, tampak berpikir, tetapi kemudian tatapannya melembut,
"Mungkin memang tidak ada hubungannya, hanya reaksi spontan yang membuatmu terkenang akan trauma akibat kecelakaanmu, siapa tahu... mungkin kau trauma akan warna biru atau apa." Dia tersenyum menenangkan kepada Andrea, "Yang penting kau sudah tidak apa-apa ya""
Andrea menganggukkan kepalanya, sungguh berharap bahwa dia sudah benar-benar tidak apa-apa. "Iya. Terima kasih Eric."
Eric melirik jam tangannya, "Kurasa kita harus segera berangkat ke kantor." Ditatapn
ya Andrea dengan serius, "Kau tidak keberatan kalau nanti kita pulang kantor bersama-sama""
Andrea tersenyum cerah, "Tidak. Aku tidak keberatan."
Bersama Eric terasa menyenangkan, kehadiran lelaki itu bagaikan obat yang membuatnya lupa akan perasaan takut yang menderanya.
*** "Lilin berwarna biru. Itu penyebabnya, dan jumlahnya spesifik ada sembilan buah." Eric bergumam kepada penelponnya. Dia berada di dalam ruang kerjanya yang tertutup rapat, dan tentu saja dia sudah memastikan tidak ada siapapun yang bisa mendengar percakapannya ini.
Lawan bicaranya di seberang sana terdiam, tampak merenung.
"Kau pikir itu adalah kode"" akhirnya dia bertanya.
Eric termenung sebentar, "Reaksi Andrea semalam luar biasa. Dia ketakutan dan dicekam teror, aku disana melihatnya. Dan lilin itu pasti berarti sesuatu, kalau tidak Andrea tidak akan bereaksi sekuat itu."
"Sang pembunuh sudah kembali." Suara di seberang tampak ngeri. "Itu pasti kode, yang khusus ditujukan kepada Andrea. Kita harus mencari tahu Eric, bagaimanapun caranya, kau harus mengorek informasi sedalam mungkin dari Andrea."
"Dia tampak ketakutan kalau aku membahas masalah ini. Bagaimana mungkin aku tega"" protes Eric.
Lawan bicaranya menghela napas panjang, "Aku tahu kau menyayangi Andrea, tetapi kau harus ingat prioritas kita, dan bukankah apa yang akan kita lakukan ini pada akhirnya untuk melindungi Andrea juga""
Eric menghela napas panjang. "Aku tahu. Kita lihat saja nanti."
*** "Pangeranmu datang menjemput." Sharon mengedipkan mata sambil menyentuh pelan bahu Andrea sambil lewat, menyadarkannya dari berkas-berkas kontrak kerja yang diperiksanya. Andrea mendongakkan kepalanya dan senyumnya melebar ketika melihat Eric bersandar di pintu masuk divisinya, menatapnya dengan senyuman lembut. Hari sudah sore dan para karyawan di bagian Andrea sebagian besar sudah pulang sehingga ruangan itu lengang, hanya ada satu atau dua orang yang masih menyelesaikan pekerjaannya, termasuk Andrea.
"Lembur"" Eric mendekat dan berdiri di sisi meja Andrea.
Andrea menggelengkan kepalanya, "Hanya menyelesaikan pekerjaan yang belum selesai, berkas ini baru datang jam empat sore tadi dan aku harus memeriksannya karena besok kontrak ini harus sudah ditandatangani." Andrea tersenyum meminta maaf, "Maafkan aku, mungkin ini butuh waktu beberapa lama... kalau... kalau kau ada acara yang lebih penting mungkin kau bisa pulang duluan."
Eric tersenyum, "Aku tidak ada acara apa-apa kok. Aku lebih senang duduk di sini dan menungguimu.....sambil menatapmu." Eric menambahkan kalimat terakhirnya dengan nada penuh arti, membuat pipi Andrea memerah.
*** Mereka akhirnya pulang bersama ketika jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam,
"Kita makan malam dulu ya." Eric membelokkan mobilnya ke sebuah tempat makan yang cukup ramai, "Di sini ada nasi goreng seafood dan nasi goreng bistik yang cukup terkenal."
Andrea menatap tempat makan yang cukup sederhana itu, tetapi sepertinya makanan di sini cukup menjanjikan melihat banyaknya kendaraan tumpah di sekitarnya dan banyaknya manusia yang mengantri di sana, entah di meja yang disediakan atau menunggu untuk membawa pulang makanannya.
Andrea turun dari mobil dan Eric menggandeng lengannya, beruntung di tengah keramaian pelanggan itu mereka masih menemukan tempat untuk duduk dua orang, Andrea memesan nasi goreng bistik sesuai dengan rekomendasi Eric.
"Nasi goreng bistik di sini istimewa, idenya adalah dengan membuat nasi goreng dengan citarasa manis yang dibantu dengan kacang polong yang khas di lidah, lalu di atasnya diletakkan sepotong besar daging bistik dengan bumbu khas berwarna kecoklatan dan berkilauan menggugah selera."
Eric memberikan gambaran dengan begitu menggoda sehingga Andrea merasakan air liurnya mulai mengalir di dalam mulutnya.
"Aku...aku tidak terbiasa makan di luar, jadi aku tidak tahu tempat-tempat makan enak di kota ini." Gumam Andrea malu-malu."
Eric tertawa, "Nanti akan kuajak kau berkeliling kota dan menjelajahi nikmatnya kuliner di kota ini."
Jantung Andrea berdebar, apakah itu berarti dia akan menghabiskan banyak waktu b
ersama Eric ke depannya"
Tiba-tiba ponsel Eric berbunyi. Ekspresi lelaki itu tampak serius ketika menatap layar ponselnya, dengan canggung dia berdiri dan menatap Andrea dengan tatapan meminta maaf,
"Aku harus menerima ponsel ini di luar, di sini terlalu ramai. Tunggu ya." Eric menganggukkan kepalanya, lalu berdiri dan melangkah keluar dari tempat makan itu.
Andrea mengikuti kepergian Eric dengan matanya. Telepon itu tampak penting, mengingat perubahan ekspresi Eric tadi. Tetapi Andrea mungkin tidak ada kepentingannya untuk mencampuri urusan Eric, dia bukan siapa-siapa. Dia hanya berharap semoga tidak ada masalah buat Eric.
Beberapa lama kemudian, Eric kembali dengan senyumnya yang biasa. Andrea menghela napas lega, berarti telepon tadi tidak membawa masalah untuknya. Dan bersamaan dengan itu, dua piring nasi goreng bistik yang masih mengepul panas diantarkan ke hadapan mereka. Aromanya sangat menggugah selera, membuat Andrea tidak sabar mencicipinya.
Dan ketika Andrea mencicipinya, dia langsung tersenyum. Ya ampun. Masakan ini enak sekali. Daging bistiknya begitu lembut dan lembab, mungkin karena direndam cukup lama dalam bumbu bistik yang kental dan sangat berbumbu, dan daging bistik itu berpadu sempurna dengan nasi goreng yang dimasak dengan begitu enak.
Eric mengamati Andrea dengan penuh antisipasi, "Bagaimana""
Andrea terkekeh, "Ini adalah nasi goreng paling enak yang pernah kumakan... dan juga bistik terenak yang pernah kumakan."
Eric terkekeh. "Nanti akan kuajak kau mencicipi makanan-makanan enak yang lainnya."
Andrea menganggukkan kepalanya, "Aku tidak sabar menantinya."
Mereka makan bersama dengan nikmat ditengah keramaian itu. Dan Andrea begitu bahagia sehingga dia melupakan ketakutannya pada lilin-lilin biru itu. Dia merasa tenang, merasa lepas tanpa ada beban.
Bersama dengan Eric terasa sangat membahagiakan.


Dating With The Dark Karya Shanty Agatha di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

*** "Dia seharusnya tidak pantas bersenang-senang seperti itu." Demiris melemparkan foto-foto kebersamaan Eric dan Andrea ke meja Christopher.
Christopher hanya meliriknya sekilas, lalu menyandarkan tubuhnya lagi di kursinya dengan tidak peduli, lelaki itu mengangkat alisnya dan menatap Demiris penuh arti,
"Kenapa kau tampak peduli sekali dengan Andrea, Demiris" Aku mulai menduga kaulah yang terobsesi dengannya, bukan aku."
Demiris menatap kaget dengan tuduhan Christopher, "Bukan begitu maksudku. Aku hanya merasa kau terlalu lama bertindak atas apapun yang sedang kau rencanakan itu."
Christopher menggelengkan kepalanya, "Aku tidak mungkin salah dalam penempatan waktu, Demiris." Tatapannya menajam, "Dan aku harap kau menjauhkan tanganmu dari Andrea."
Demiris melihat ancaman membunuh di balik tatapan mata Christopher, dia lalu mengangkat bahunya dan memilih mundur. Tidak ada yang berani menantang Christopher, hanya orang yang tidak sayang nyawa yang melakukannya.
"Oke." Demiris memundurkan kursinya dan berdiri, "Anak buahku akan tetap melakukan tugasnya untuk mengawasi Andrea, hanya itu." Gumamnya sebelum melangkah pergi.
*** Christopher menyuruh supirnya menepikan mobilnya di sisi kiri trotoar, malam sudah menjelang dan udara dingin langsung menamparnya ketika dia membuka pintu mobilnya.
"Aku akan jalan dari sini, kau tunggu di sini saja." Gumamnya kepada supirnya.
Setelah itu Christopher melangkah menyusuri jalan di area yang dekat dengan tempat tinggal Andrea. Dia melangkah dengan tenang menelusup di antara banyaknya orang yang lalu lalang di trotoar jalan besar itu.
Christopher suka berjalan seperti ini begitu ada waktu, bersikap seperti orang biasa, menikmati berperan seperti orang biasa meski jauh di dalam hatinya dia sadar bahwa dia bukan orang biasa. Tangannya penuh darah.... dan apakah sebentar lagi dia perlu menodai tangannya dengan darah Andrea"
Tubuh Christopher yang tinggi dan ketampanannya yang tidak biasa membuat banyak orang menoleh dua kali kepadanya, membuat Christopher setengah mencibir dibalik sikap acuh tak acuhnya. Penampilannya yang berbeda di antara semua orang ini membuatnya susah membaur. Dia tahu itu. Tetapi setidaknya Andrea tidak pernah waspada dengan
kehadirannya, meskipun dia memastikan bahwa dirinya selalu mengawasi Andrea.
Andrea...satu-satunya korban yang tidak berhasil di bunuhnya. Namanya terkenal dalam dunia gelap sebagai pembunuh yang tidak pernah gagal. Semua orang yang pernah memakai jasanya, sangat mengandalkannya, dan kegagalannya membunuh Andrea bagaikan coretan merah didalam reputasi pekerjaannya.
Langkahnya memelan ketika dia berdiri di sisi pohon besar di trotoar yang tidak kentara, dan mengamati,
Andrea nampak baru keluar dari mobil Eric, lelaki itu membantunya keluar dari mobil dan menggandeng tangannya dengan akrab. Dan tatapan memuja yang dilemparkan Andrea kepada Eric tampak begitu jelas.
Perempuan itu sedang jatuh cinta rupanya...
Christopher tersenyum sinis, kehadiran Eric di kehidupan Andrea mungkin terasa sangat manis...tetapi Andrea tidak akan sadar, Christopher akan merenggut itu semua. Andrea mau tak mau harus menghadapi kepahitan, dengan kehadirannya nanti di kehidupan Andrea.
*** "Hadiah untukmu." Eric berdiri lagi di depan pintu masuk rumahnya malam itu. Menunjukkan kantong kertas misterius di tangannya.
Andrea tersenyum lebar, mereka telah begitu sering bertemu beberapa minggu ini, bahkan bisa dibilang hampir dua hari sekali Eric mengantarnya pulang ataupun berkunjung ke rumahnya dan membawakan makan malam untuk dimakan bersama.
"Masakan apa lagi ini""
Eric mengedipkan sebelah matanya, "Ayo ke dapur."
Lelaki itu memasuki tempat tinggal Andrea dengan santai seakan sedang berada di rumahnya sendiri. Mereka langsung melangkah menuju dapur, dan Andrea menyiapkan piring.
Eric mengeluarkan kotak-kotak makanan dari dalam kantong kertas itu, dan menuangkannya dengan hati-hati ke piring.
Mata Andrea membelalak melihat makanan yang dituangkan Eric ke piring. Seekor ikan, ikan yang gemuk dan berdaging dengan saus kemerahan yang menggiurkan melumurinya.
"Ikan apa ini" "Kita menyebutnya ikan ekor kuning, dengan saus khusus dari pembuatnya."
"Wow." Andrea mendekatkan dirinya dan langsung mencium aroma yang menggoda di sana, aroma pedas bercampur dengan bumbu dan rempah yang sangat menggoda. "Ikannya besar sekali."
"Ikan jenis ini memang berdaging tebal dan lembut. Ketika digoreng bagian luarnya akan renyah dan bagian dalamnya akan lumer di mulutmu." Eric mengambil garpu, memotong daging ikan itu, kemudian menusukknya dengan garpu, dioleskannya daging ikan itu ke bumbunya yang berlimpah melumurinya, lalu menyorongkan garpunya kepada Andrea, "Ini icipilah."
Sejenak Andrea terpaku. Dia tidak pernah disuapi sebelumnya seingatnya, dan perilaku Eric ini benar-benar menunjukkan keintiman tersendiri kepadanya. Andrea membuka mulutnya malu-malu dan Eric memasukkan ikan itu ke mulutnya.
Ketika merasakan kenikmatan masakan ini yang seakan meledak di mulutnya, Andrea langsung melupakan perasaan malu dan canggungnya. Dia mengunyah, tak bisa berkata-kata dan menatap Eric dalam senyuman,
"Wow...enak sekali." Gumamnya akhirnya, "Astaga enak sekali."
Eric terkekeh, "Aku akan mengajakmu ke tempat penjualnya langsung nanti, kau punya nasi kan, makan yuk."
Andrea mengambilkan Eric nasi dan kemudian mereka makan dengan akrab di meja makan di dapur Andrea. Ini adalah jenis keintiman baru, keintiman yang baru kali ini berani dilakukan Andrea bersama orang lain. Eric seakan menjadi obat dari seluruh trauma dan ketakutan tidak jelas Andrea, bersama Eric , Andrea merasa menjadi orang normal yang bebas dari rasa takut dan teror yang seolah-olah selalu mengincarnya jauh di kegelapan sana.
"Terima kasih Eric." Andrea bertopang dagu dan tersenyum, menatap Eric yang sedang meneguk air putihnya. Eric meletakkan gelasnya dan tersenyum sambil mengangkat alisnya.
"Untuk apa""
Pipi Andrea memerah malu-malu, "Karena begitu baik kepadaku."
Eric terkekeh, "Aku senang melakukannya." Lalu tatapan lelaki itu berubah serius, "Andrea, aku..."
Tiba-tiba ponsel lelaki itu berbunyi. Memecah keheningan. Ekspresi Eric tiba-tiba saja berubah keras. Dia melihat ponsel itu kemudian menatap Andrea penuh permintaan maaf,
"Maaf aku harus mengangkatnya."
Lelaki itu beranja k dari tempatnya duduk dan kemudian dengan tergesa melangkah pergi, meninggalkan Andrea yang menatap sambil kebingungan.
Kenapa Eric tidak mengangkat telepon di depannya" Apakah itu sebuah telepon rahasia"
Andrea menghela napas panjang...mungkin itu urusan bisnis yang penting.
Sambil beranjak, dia membawa piring-piring kotor ke tempat cuci dan mencucinya. Setelah selesai mencuci dia menunggu, tetapi Eric tak kembali, Andrea melangkah hati-hati ke arah depan pintunya yang sedikit terbuka dan melihat Eric sedang bercakap-cakap serius di telepon sambil mondar-mandir. Ekspresinya tampak muram.
"Aku bisa mengatasi semua, semua di bawah kendaliku." Suara Eric begitu berbeda, dingin dan ketus. Lawan bicaranya tampak menyahut di sana, membuat dahi Eric semakin berkerut.
"Tidak. Aku tidak akan menjauh. Cara ini yang paling bagus untuk semakin mendekatinya. Jadi ketika bahaya itu datang aku berada di tempat yang paling dekat." Eric tampak terdiam. "Berkas tentang apa" Apakah kita melewatkannya" Kenapa kita tidak tahu hal sepenting ini sebelumnya""
Andrea mengerutkan keningnya, berdiri di balik pintu dan kebingungan. Apa maksud perkataan Eric itu" Adalah hubungannya dengannya" Tetapi Andrea sama sekali tidak bisa menemukan benang merah apapun...
Tiba-tiba Eric melangkah ke arah pintu, masih sambil bercakap-cakap dengan lawan bicaranya. Andrea terloncat dan segera terbirit-birit melangkah menuju dapur, takut ketahuan kalau tadi dia sempat menguping pembicaraan Eric.
Ketika Eric melangkah masuk ke dapur lagi, Andrea berpura-pura mengelap lapisan keramik di sekitar bak cuci piringnya. Dia menoleh ke arah Eric dan tersenyum gugup.
"Sudah selesai menelponnya" Apakah ada masalah""
Eric menghela napas panjang, "Hanya masalah keluarga. Ada saudaraku yang sakit."
"Oh ya Ampun, lalu bagaimana"" Andrea mengamati ekspresi Eric yang biasa, sepertinya lelaki itu tidak menyadari bahwa Andrea sempat menguping pembicaraanya.
"Aku harus ke luar kota sementara waktu, Andrea. Dan mengambil cuti pekerjaan."
"Oh..." Andrea menatap Eric dengan prihatin, saudara Eric pasti sakit parah, "Berapa lama""
"Aku tidak tahu Andrea, sampai... sampai semua beres." Tatapan lelaki itu begitu intens menatap Andra yang berdiri di depannya, "Aku akan sangat merindukanmu ketika jauh darimu."
Pipi Andrea merona mendengar perkataan Eric, dia hanya bisa menganggukkan kepalanya. "Aku juga."
Eric tersenyum, lalu tanpa diduga lelaki itu meraih Andrea mendekat dan mengecup pipinya lembut.
*** Christopher sengaja melakukannya. Memamerkan beberapa kali kemunculannya secara mencolok di luar kota untuk memancing Eric supaya menjauhi Andrea. Eric ternyata memakan umpannya dan mengejar ke sana.
Mereka semua memang bodoh. Christopher mencibir. Karena itulah mereka tidak pernah berhasil menangkapnya.
Lelaki itu menatap jauh ke jendela dan merenung, apakah ini saatnya dia mendekati Andrea"
Dating With the Dark Bab 3
Andrea berada di sebuah kamar, nuansa kamar itu berwarna keemasan. Sprei sutera yang lembut berwarna putih terasa begitu nikmat membelai kulitnya, dia mendesah dan menggeliat dalam kepuasan, hadiah dari tidurnya yang nyenyak
Andrea membuka matanya dan merasa bingung, kamar ini bukan kamarnya. Kamar ini begitu indah dengan nuansa putih dan keemasan, dan dia sama sekali tidak mengenalnya....
Dia semakin mengernyit ketika merasakan lengan kekar yang berat, melingkar di pinggangnya,
Lengan seorang lelaki"
Andrea berjingkat hendak duduk, tetapi lengan lelaki itu menahannya. Lembut tetapi dominan.
Sedetik Andrea merasa sangat ketakutan, tetapi lengan itu bergerak naik dan jemarinya membelainya dengan lembut...lembut dan menggoda....salah satu ujung jemari lelaki itu menelusuri permukaan lengan Andrea dengan sentuhan seringan bulu, kemudian kepala lelaki itu menunduk dan menghadiahkan sebuah kecupan di pelipis Andrea.
Andrea mengernyit, berusaha melihat wajah lelaki itu, tetapi suasana kamar yang temaram membuat wajahnya samar-samar. Tiba-tiba saja tubuh lelaki itu sudah menindihnya, dan kemudian dengan gerakan mulus yang menggoda, seolah-olah d
ia sudah melakukan ratusan kali kepadanya, lelaki itu meluncurkan kejantanannya yang menegang keras dan panas, memasuki diri Andrea.
Andrea terkesiap sekaligus merasakan nikmat yang luar biasa, kenikmatan yang sangat lama dirindukannya, kenikmatan ketika tubuhnya menyatu dengan lelaki itu, merasakan sensasi panas yang nikmat menjalari seluruh tubuhnya, kakinya dengan reflek melingkari pinggul lelaki itu sekuatnya, mendorong lelaki itu membenamkan dirinya semakin dalam ke dalam ke dalam dirinya.
Lelaki itu mengerang, erangan yang dalam dan parau, lalu menggerakkan tubuhnya, membuat Andrea terkesiap lagi ketika kenikmatan yang dalam itu menghujam tubuhnya, gerakan lelaki itu semakin cepat dan semakin menggoda, membuat tubuh Andrea semakin panas dan napasnya terengah.
Ada sesuatu yang akan meledak di dalam tubuhnya, seperti ombak bergulung semakin lama semakin cepat, napas Andrea semakin terngah panas, dan gerakan lelaki itu semakin cepat, semakin intens dan dalam, membawa Andrea semakin cepat menuju pelepasannya.
Andrea mengerang, merasakan kenikmatan itu meledak ke dalam tubuhnya, jemarinya mencengkeram punggung telanjang lelaki itu kuat-kuat. Punggung basah lelaki itu melengkung dibarengi dengan erangan dalamnya, ketika dia menenggelamkan dirinya semakin dalam dan menikmati pelepasannya sendiri, yang terasa begitu panas, menyirami tubuh Andrea, jauh di dalam sana.
Napas mereka terengah-engah. Lelaki itu masih menindih tubuhnya, sementara Andrea masih terbuai oleh sensai nikmat yang melingkupinya, sensai nikmat setelah orgasmenya yang luar biasa.
Lelaki itu lalu mengecup pelipisnya lagi, kemudian berbisik pelan di telinganya, bisikan lembut yang seolah-olah dihembuskan dari kegelapan,
"Apakah engkau merindukanku, Andrea""
........ Andrea terkesiap kaget dan langsung terduduk. Dia membuka matanya lebar-lebar dengan napas terengah-engah dan tubuh berkeringat.
Dia berada di kamarnya sendiri, yang gelap dan temaram karena masih dini hari...dan dia sendirian.
Mimpi itu tadi...Andrea menghela napas panjang. Oh Astaga, kenapa dia bermimpi erotis seperti itu" Bercinta dengan lelaki yang tidak dikenalnya...dan sekarang dia merasakan pangkal pahanya lembab dan basah...pipi Andrea terasa panas sehingga dia merasa perlu menekannya dengan jemarinya.
Apakah dia menyimpan pikiran kotor di benaknya" Sehingga tanpa sadar pikiran kotor itu termanifestasi di dalam mimpinya. Oh astaga...Andrea merasa malu sekali.
Tetapi mimpi tadi terasa begitu nyata...dan bahkan masih meninggalkan jejak kenikmatan di dalam dirinya...
Tiba-tiba Andrea merasa haus, dia melangkah berdiri dan berjalan dengan hati-hati ke dapur, mengambil segelas air dari dispenser dan menegukkanya dengan rakus. Tubuhnya masih terasa menggelenyar, tak tahu kenapa.
Suara lelaki itu masih membayang jelas dalam mimpinya, serak dan menggoda dengan logat yang aneh dan khas...
Ya ampun, Andrea harus membuang pikiran-pikiran itu. Mungkin ini hanyalah manifestasi dari alam bawah sadarnya yang merindukan romansa.
Andrea mengisi gelasnya lagi kemudian meneguknya sampai habis, setelah itu dia termenung dalam kegelapan..
*** Ketika sedang jam istirahat di kantor, Andrea membuka-buka beberapa Artikel menyangkut mimpi erotis yang dialami wanita. Ada sebuah artikel yang menarik perhatiannya. Bahwa kadangkala perempuan juga mengalami mimpi erotis akibat dorongan alam bawah sadarnya, hampir sama seperti mimpi basah pada laki-laki, hanya kalau mimpi basah pada laki-laki diakibatkan oleh pembuangan secara otomatis jumlah sperma yang seharusnya memang dikeluarkan secara berkala, mimpi erotis pada perempuan diakibatkan oleh pelepasan ketegangan seksual yang lama tak tersalurkan.
Andrea mengernyit dan membaca artikel itu semakin dalam.
=== Pernahkah anda mengalami mimpi erotis" Para psikoanalisa percaya bahwa mimpi erotis itu sesungguhnya adalah refleksi dari apa yang kita kagumi dan kita rasakah dalam kehidupan sehari-hari. Misalkan ketika kita merasa suka atau rindu kepada seseorang, maka otomatis orang itu akan hadir dalam mimpi kita. Ketika kita mengalami mimpi erotis maka
imajinasi kita sedang terstimulasi, atau menurut Sigmund Freud, otak kita sedang menciptakan skenario untuk memuaskan hasrat dan gairah bawah sadar. Jika mimpi erotis anda melibatkan penetrasi seksual, itu berarti dalam kehidupan nyata anda kurang mengalaminya atau libido anda kurang mendapatkan pelampiasan. Pada kebanyakan kasus, mimpi erotis adalah hal yang alami, bahkan perlu untuk memenuhi kebutuhan psikologis sebagai manusia. ===
Andrea menghela napas panjang dan mengulang membaca baris demi baris. Pipinya memerah ketika memahami bahwa mimpi erotisnya kemungkinan karena libidonya kurang mendapatkan pelampiasan....astaga...apakah dia mempunyai gairah yang tinggi tanpa sadar"
Selama ini seks tidak pernah menjadi hal penting dalam kehidupan Andrea, dia terlalu sibuk untuk memikirkan seks, karena itulah mimpinya yang semalam terasa aneh baginya, begitu jelas, begitu eksplisit. Lagipula kenapa dia bermimpi bercinta dengan pria asing" Di artikel itu dikatakan kalau biasanya mimpi kita menyangkut orang yang kita sukai atau orang yang kita rindukan. Bukankah kalau dia memang akan bermimpi erotis partnernya adalah Eric"
Pipi Andrea langsung memerah dan terasa panas, dia merindukan Eric...lelaki itu sudah keluar kota dari dua hari yang lalu dan jarang memberikan kabar, Andrea menahan diri untuk tidak menghubungi ponsel Eric terus menerus...tetapi memang kadangkala dia bertanya-tanya bagaimana kabar Eric, bagaimana kabar saudaranya yang sedang sakit itu, dan kenapa Eric jarang menghubunginya....
Sebuah tepukan di bahunya membuatnya menoleh dan tersenyum, Sharon berdiri di belakangnya sambil mengangkat alis melihat layar komputer Andrea,
"Mimpi erotis"" suaranya tampak menahan tawa hingga Andrea setengah membalikkan tubuhnya dan memukul lengan sahabatnya itu supaya tidak menarik perhatian. Dengan malu Andrea menutup halaman artikel itu dan menyiapkan diri, Sharon pasti akan banyak bertanya. Sahabatnya itu tak akan puas kalau belum mengejar informasi tentang hal yang sekecil-kecilnya.
"Kau bermimpi erotis"" Sharon menarik kursi beroda dari meja sebelah yang kosong, saat ini jam istirahat dan banyak yang makan di luar sehingga suasana lengang. Syukurlah. Kalau tidak Andrea akan merasa sangat malu ketika Sharon memekikkan kata mimpi erotis tadi.
Andrea menatap Sharon dengan pipi merona, "Aku tidak pernah mengalaminya sebelumnya." Bisiknya pelan.
Sharon terkekeh, "Jangan bersikap seolah-olah itu dosa besar Andrea, wanita normal boleh-boleh saja mengalami mimpi erotis."
"Tetapi aku tidak pernah berpikiran jorok sebelumnya, dan aku bermimpi dengan orang asing..."
"Kadang aku juga bermimpi berpasangan dengan artis-artis bule yang kekar dan tampan." Sharon memutar bola matanya, "Mimpi itu adalah kebebasan imaginasi, kita tidak bisa mengaturnya Andrea."
"Kau mengalaminya juga"" Andrea menatap Sharon penuh ingin tahu, membuat Sharon tertawa.
"Kadang-kadang." Gumamnya sambil mengedipkan mata, membuat Andrea makin penasaran.
Andrea membuka mulutnya untuk bertanya lagi, tetapi ekspresi Sharon berubah serius dan mengalihkan pembicaraan,
"Apakah kau tahu tentang bos besar yang akan datang""
"Bos besar"" kali ini Andrea merasa bingung, dia sama sekali tidak pernah tahu informasi ini.
"Memang tidak disebarkan, aku tahu ketika mendampingi pak Jimmy meeting bersama direksi kemarin, mereka membahas akan kedatangan bos baru dari kantor pusat untuk meninjau selama beberapa waktu."
Perusahan mereka adalah perusahaan multinasional yang berkantor pusat di Jerman. Salah satu pemegang saham terbesar adalah pemegang tertinggi perusahaan dari indonesia dari keluarga Marcuss. Dan perusahaan tempat Andrea bekerja adalah kantor cabang yang berlokasi di luar kota.
Andrea pernah mendengar kalau Damian Marcuss, seorang pengusaha yang sangat disegani karena naluri bisnisnya yang selalu membawanya dalam kesuksesan, adalah orang nomor satu di perusahaan mereka di Indonesia.
"Apakah Damian Marcuss yang terkenal itu yang akan datang"" Hati Andrea berdegup kencang, meskipun lelaki itu adalah bos tempat di perusahaan tempat dia bekerja, tetapi
Andrea tidak pernah melihatnya secara langsung, dia hanya pernah melihatnya di artikel-artikel bisnis, yang menceritakan betapa jeniusnya Damian Marcuss, dan dalam fotonya dia tampak sangat tampan meskipun usianya sudah setengah baya. Andrea mengagumi Damian Marcuss apalagi dari artikel yang dibacanya, dia tahu bahwa lelaki itu adalah seorang family man, yang sangat setia kepada keluarganya.
Tetapi ternyata Sharon menggelengkan kepalanya, "Bukan sang ayah yang akan datang, tetapi sang anak."
"Sang anak"" Andrea mengernyitkan keningnya.
"Ayolah Andrea, masak kau tidak pernah mendengar tentang Romeo Marcuss""
Romeo Marcuss. Sang pangeran dalam dinasti keluarga yang terkenal itu. Andrea tahu, bahwa lelaki itu digambarkan sangat tampan seperti malaikat. Tetapi sepertinya sikapnya tidak setampan wajahnya. Lelaki itu dalam semua artikel digambarkan sangat kejam, keras kepala dan angkuh luar biasa, jauh sekali dari ayahnya yang terkesan bijaksana.
"Aku harus ke salon dan meng highlight rambutku." Sharon menepuk-nepuk rambutnya sambil tertawa, "Bayangkan bos yang setampan itu mengunjungi kantor cabang kita."
Andrea tersenyum miris, "Kudengar dia seorang playboy."
"Tentu saja. Lelaki setampan itu haruslah menjadi playboy." Sharon terkekeh geli, "Meskipun aku kurang yakin dia akan melirik pegawai-pegawai seperti kita mengingat pergaulannya di kalangan jet set. Tetapi setidaknya aku akan berusaha." Sharon bergumam ringan lalu berdiri dari kursi putarnya, "Makan yuk, jam istirahat sudah hampir habis, aku lapar."
Andrea menganggukkan kepalanya, mengikuti langkah Sharon menju kantin kantor.
*** Ternyata malam ini Andrea harus lembur. Dia menghela napas panjang sambil berkali-kali menengok ke arah kiri, tempat dimana bus yang ditunggunya seharusnya muncul. Seharusnya bus itu sudah datang setengah jam yang lalu. Tetapi ini sudah hampir jam sepuluh malam dan bus itu belum tampak juga.
Suasana di halte bus itu gelap dan menakutkan, membuat Andrea merasa tidak nyaman. Dia memeluk tubuhnya sendiri ketika hawa dingin menerpanya, membuat bulu kuduknya merinding. Udara semakin dingin ketika rintik-rintik hujan mulai turun. Membuat Andrea semakin cemas. Dia bisa saja menunggu taxi. Tetapi bahkan di malam yang senyap ini tidak ada taxi lewat, sementara pengendara kendaraan hanya lalu lalang dengan jarang, sepertinya malam yang dingin dan hujan rintik-rintik membuat orang malas keluar rumah.
Lalu dari sudut matanya Andrea menangkap segerombolan orang berjalan ke arahnya, ketika semakin dekat, Andrea cemas karena itu adalah segerombolan pemuda dengan dandanan tidak jelas, tindik di sana sini dan tato yang menghiasi bagian-bagian tubuh. Andrea beringsut mulai merasa tidak nyaman.
Dia hendak melangkah pergi ketika seorang lelaki dari gerombolan itu menyadari apa yang akan dia lakukan dan tiba-tiba memutuskan menghalangi jalannya. Andrea di hadang dari semua sisi, membuatnya bersikap defensif dengan memeluk tasnya di dadanya,
"Mau kemana nona malam-malam begini"" lelaki dengan tindik di hidungnya itu menatapnya dengan tatapan melecehkan, "Kau tidak mau menemani kami dulu""
Andrea memelototkan matanya, berusaha tampak galak dan marah, dia hendak melangkah maju, tetapi lelaki itu menghalangi semua jalannya sambil tersenyum melecehkan. Teman-temannya di belakang Andrea tampak terkekeh menertawakan.
Andrea merasa takut, panik dan takut, gerombolan lelaki itu ada kira-kira tujuh orang. Suasana sangat sepi dan lalu lalang kendaraan sangat jarang, kepada siapa dia bisa meminta tolong" Lagipula semua lelaki ini tampak jahat, bahkan ada beberapa yang menatap bagian-bagian tubuhnya dengan nafsu yang tidak disembunyikan.
"Nah Nona...lagipula kau kan tidak bisa kemana-mana, ayo kau temani kami saja." Lelaki yang sepertinya pemimpin gerombolan itu tiba-tiba mencekal tangannya dengan kasar, membuat Andrea menjerit dan berusaha melepaskan cekalan tangan itu.
Semuanya tertawa melihat tingkah dan jeritan Andrea, seolah-olah menikmati melihat wanita meronta dan ketakutan.
"Lepaskan dia."
Sebuah suara dingin yang begitu tenang tiba-tiba saja
terhembus dari kegelapan. Nadanya begitu intens dan mengancam, sehingga sang pemimpin gerombolan yang sedang mencekal tangan Andrea tidak bisa mengabaikannya begitu saja.
Mereka semua menoleh, begitupun Andrea, dan menemukan seorang lelaki bertubuh tinggi memakai mantel hitam yang membungkus tubuhnya, membuat kesan angkernya makin terasa, wajah lelaki itu tidak jelas karena tertutup bayang-bayang kegelapan dari pohon besar di samping dia berdiri.
"Bung! Carilah mangsa sendiri, jangan ambil gadis kami, kami yang menemukannya duluan." Lelaki pemimpin gerombolan itu rupanya memutuskan untuk menantang. Membuat Lelaki misterius bermantel hitam itu melangkah maju dan ketika mendekat, ekspresi wajahnya yang kejam rupanya berhasil membuat lelaki pemimpin gerombolan itu kecil hati karena pegangannya di lengan Andrea agak mengendor.
"Lepaskan tangan kotormu dari perempuanku." Lelaki misterius bermantel hitam itu bahkan tidak membentak, dia hanya mendesis pelan dan penuh ancaman. Tetapi bahkan Andrea yang bukan menjadi pusat ancaman lelaki itu merasa merinding ketakutan.
Demikian halnya pula dengan lelaki pemimpin gerombolan itu dan teman-temannya. Pada awalnya sepertinya dia memutuskan untuk melawan, tetapi entah kenapa kemudian dia memutuskan untuk menyerah, dilepaskannya cengkeraman tangannya di lengan Andrea dengan kasar,
"Silahkan ambil kalau kau mau!" serunya kasar, lalu terbirit-birit melangkah pergi diikuti oleh gerombolannya.
Andrea menarik napas lega melihat gerombolan itu menjauh, dia memijit pergelangan tangannya yang tadi dicengkeram dengan kasar, rasanya sakit dan sepertinya akan memar.
"Kau tidak apa-apa"" Nada suara lelaki itu tenang, membuat Andrea mendongakkan kepalanya seketika dan langsung bertatapan dengan mata cokelat yang gelap dan dalam. Lelaki di depannya sangat tampan dan jelas-jelas bukan orang sini, tetapi dia sangat fasih mengucapkan kata-kata dalam bahasa sini, hanya menyisakan sedikit logat yang malahan menimbulkan kesan misterius yang seksi.
Seksi" Andrea menggeleng-gelengkan kepalanya, ada apa dengan otaknya. Kenapa satu hari ini dia selalu menghubungkan segalanya dengan hal-hal mesum" Tetapi dia teringat apa yang dikatakan lelaki itu, dia tadi menyebut Andrea sebagai 'perempuanku' sungguh kata-kata yang menyiratkan arti dominan dan kepemilikan seorang lelaki, dan itu terasa sangat seksi ketika diucapkan. Andrea menghela napas panjang, tentu saja Andrea tahu bahwa lelaki itu tidak sungguh-sungguh dengan perkataannya, mungkin lelaki itu hanya ingin menegaskan maksudnya dan menggertak pemimpin gerombolan itu.
"Saya tidak apa-apa, terima kasih." Andrea memutuskan bahwa lelaki ini bukan lelaki jahat, dia tidak berusaha mendekati Andrea dan hanya menatapnya dari sudut yang agak jauh, "Kalau tidak ada anda yang membantu saya, saya tidak tahu apa yang akan terjadi kepada saya tadi."
Lelaki itu menganggukkan kepalanya, "Bukankah cukup berbahaya berdiri sendirian di sini saat sudah larut malam""
Andrea tersenyum menyesal, "Ada pekerjaan lembur di kantor yang memaksa saya pulang paling malam dibandingkan yang lain..bus yang saya naiki biasanya sudah muncul beberapa waktu lalu, tetapi entah kenapa bus itu tidak datang...mungkin saya sekarang akan naik taxi."
Lelaki itu menganggukkan kepalanya, "Pastikan kau menaiki taxi yang aman." Dia lalu berdiri sejajar dengan Andrea, "Aku akan menunggu di sini sampai kau mendapat taxi."
"Oh." Andrea menatap lelaki itu dengan terkejut, meski ada kelegaan yang tidak bisa ditekannya ketika mengetahui lelaki itu akan menungguinya. Setidaknya dia bisa menunggu taxi dengan rasa aman dan tidak was-was kalau lelaki itu berdiri di sebelahnya. "Anda tidak perlu melakukan itu, mungkin ada keperluan lain yang lebih penting yang harus anda lakukan." Gumam Andrea berbasa basi.
Lelaki itu menampakkan senyum tipis di kegelapan, "Tidak ada kegiatan lain yang lebih penting yang perlu kulakukan."
"Oh." Andrea terdiam, kehabisan kata-kata, "Kalau begitu terima kasih."
"Sama-sama." Jawab lelaki itu datar, dan entah kenapa ada senyum tersembunyi di sana.
Mereka berdua berdiri d alam keheningan....entah berapa lama karena tidak ada taxi yang lewat. Rintik-rintik hujan semakin besar menerpa mereka, membuat mereka memundurkan langkahnya ke dalam naungan atap halte, mencoba melindungi kepala mereka, meskipun tubuh mereka tetap saja terkena terpaan air hujan. Andrea memeluk tubuhnya lagi dengan lengannya untuk melindunginya dari udara dingin yang menggigit, dan lelaki itu sepertinya menyadari kedinginan Andrea, karena tiba-tiba dia melepaskan mantel hitamnya yang tebal dan meletakkannya dengan lembut di bahu Andrea,
"Ini akan membuatmu hangat." Gumam lelaki itu lembut.
Andrea mendongakkan kepalanya, menatap mata lelaki itu, "Tapi kau akan kebasahan dan kedinginan."
"Aku seorang laki-laki, aku lebih kuat." Lelaki itu tersenyum lagi, kali ini lebih lebar, menciptakan perpaduan wajah yang sangat mempesona. Andrea baru menyadari betapa tampannya lelaki yang berdiri di sebelahnya ini, tulang rahangnya kokoh dan keras, dengan bibir tipis yang sedikit lancip di ujungnya, dan matanya tampak begitu tajam dan gelap, dilindungi oleh bulu mata panjang yang tak kalah gelap.
"Terima kasih." Bisik Andrea kemudian, tidak tahu lagi harus mengucapkan apa. Dia melihat lelaki itu menganggukkan kepalanya sambil lalu.
Dan kemudian mereka berdiri dalam keheningan lagi, dengan rintik hujan yang semakin deras menerpa mereka, tetapi kali ini ada kehangatan beraroma kayu-kayuan dan musk yang samar-samar...sepertinya berasal dari parfum lelaki itu.
Lalu di ujung jalan sana, seperti kedatangan penyelamat, taxi berwarna biru itu tiba-tiba muncul, Andrea langsung melambaikan tangannya dengan penuh semangat sehingga taxi itu menepi di depannya, dia mendongak dengan penuh syukur kepada penolongnya yang misterius,
"Terima kasih." Bisiknya pelan penuh perasaan.
Lelaki itu mengangguk, membukakan pintu taxi untuk Andrea, dan menunggu Andrea melangkah masuk dan duduk di dalam taxi.
"Hati-hati." Bisik lelaki itu dengan suara dalam, lalu menutup pintu Taxi itu. Andrea masih menoleh kebelakang, melihat lelaki itu masih berdiri di halte itu, dengan latar belakang kegelapan, sampai kemudian lelaki itu hilang dari pandangan
Dan kemudian Andrea menyadari bahwa dia masih mengenakan mantel hitam lelaki itu.
*** Ketika Andrea sampai ke rumah, hujan telah turun dengan derasnya menghujam bumi dengan suara keras dan hempasan air yang bertalian dengan angin. Taxi itu berhenti di depan rumahnya, dan setelah membayar, Andrea berlari-lari kecil menembus hujan menuju teras rumahnya. Seluruh kepalanya basah kuyup, tetapi tubuhnya terlindung oleh mantel tebal penolong misteriusnya tadi sehingga bisa tetap kering... meskipun mantel itu sekarang basah kuyup dan menetes-neteskan air ke lantai terasnya.
Andrea mengibaskan rambutnya yang basah dan berusaha mencari kunci rumahnya, dia ingin cepat masuk dan mengeringkan diri, mungkin sambil membuat secangkir susu cokelat hangat untuk diminum. Sebenarnya Andrea lebih memilih secangkir kopi, tetapi kopi membuatnya tidak bisa tidur, sementara Andrea harus tidur cukup malam ini.
Dia membuka pintu dan melangkah masuk, kemudian mengunci pintu di belakangnya. Dilepaskannya mantel yang sekarang berat dan basah karena hujan itu dan dipeluknya, aroma kayu-kayuan dan musk masih melingkupinya, membuatnya merasa nyaman.
Andrea berjalan ke arah dapur dan meletakkan mantel itu ke cucian. Dan kemudian dia menyadari bahwa dia tidak tahu apapun tentang penolong misteriusnya itu, bahkan namanya saja dia tidak tahu. Lalu bagaimana dia akan mengembalikan mantel ini" Mantel ini kelihatannya sangat mahal dan dijahit khusus. Andrea memang kurang mengerti merek pakaian laki-laki, tetapi dari sentuhan bahannya dan jahitannya, kelihatan sekali kalau mantel ini sangat mahal. Dan sekarang Andrea tidak bisa mengembalikan mantel itu.
Andrea merenung, lalu mulai begidik kedinginan hingga dia memutuskan untuk melupakan dulu masalah mantel itu, akan dia pikirkan nanti. Diambilnya handuk yang tersampir di sana, dan digosokkannya ke rambutnya yang basah. Mandi pancuran air hangat terasa sangat menggoda.
Andrea melepaskan semua p
akaiannya, membiarkan semuanya jatuh ke lantai, dan melangkah telanjang ke arah kamar mandinya dengan pancuran air hangatnya.
Pertama kali air hangat itu terasa menyengat di tubuhnya yang menggigil kedinginan, tetapi kemudian setiap kucurannya seperti memijat tubuhnya, membuat otot-ototnya terasa lemas. Tak lupa Andrea mencuci pergelangan tangannya yang dicengkeram oleh pemimpin gerombolan tadi. Dia mengamati lengannya dan menemukan bekas merah di sana, sedikit perih, tetapi semoga saja tidak menjadi memar. Kalau sampai terjadi memar, Andrea harus menyiapkan baju lengan panjang untuk bekerja besok supaya memar itu tidak terlihat oleh orang lain.
Selesai mandi, Andrea mengenakan gaun tidurnya yang tersampir di lemari baju di luar kamar mandi. Gaun tidur itu bukan gaun tidur yang seksi, terbuat dari bahan katun yang nyaman berwarna hijau muda, dengan gambar bunga-bunga kecil di sakunya yang ada di bagian depan baju. Gaun tidur Andrea tidak ada yang seksi, toh memang tidak ada perlunya berpenampilan seksi sebelum tidur karena Andrea memang selalu tidur sendirian.
Andrea menguap menahan kantuk, tetapi tetap memutuskan untuk membuat secangkir susu cokelat hangat supaya perutnya tenang. Dia tidak sempat makan malam lagi, dan ini sudah terlalu larut untuk makan apapun. Secangkir susu cokelat hangat pastilah cukup.
Ketika cangkir berisi susu hangat itu sudah jadi, Andrea duduk di meja dapur dan meneguknya, dia merasa sangat mengantuk. Sangat mengantuk dan lelah. Andrea menguap lagi, dan merebahkan kepalanya di atas meja dapur. Lalu dia tertidur.
*** Christopher memutuskan untuk menarik kursi dan duduk diam mengawasi. Dia sekarang berada di dapur di dalam rumah Andrea yang bisa dia masuki dengan mudahnya.
Tadi dia mengira Andrea sedang tidur pulas di kamarnya, tak disangkanya perempuan itu malahan tertidur dengan posisi tidak nyaman di meja makan dapurnya dengan kepala tertelungkup di sana.
Chrstoper mengamati sejenak dan cukup yakin kalau Andrea tidak akan terbangun karena tampaknya tidurnya sangat lelap. Dia kemudian duduk dan mengamati Andrea, dalam cahaya lampu dapur yang remang-remang.
Tidak bisa menahan dirinya, jemarinya menyentuh untaian rambut Andrea yang halus, dan kemudian menundukkan kepalanya untuk menghirup aromanya, aroma shampoo strawberry di rambut yang masih setengah basah itu.
Christopher tadi mengikuti taxi Andrea pulang, menyuruh supirnya menunggu di sudut jalan ke rumah mungil Andrea sementara dia duduk diam di jok belakang dan menanti. Ketika dia yakin bahwa Andrea sudah tidur, Christopher menyelinap masuk, sebenarnya ingin meninggalkan pesan yang sama untuk Andrea di meja dapurnya....sembilan buah lilin berwarna biru dengan cahaya remang-remang yang menyiratkan pesan penuh arti, dan dia lalu akan mengambil Andrea, dengan tenang dan cepat seperti biasanya ketika dia melakukannya kepada yang lain.
Tetapi dia kemudian mengurungkan niatnya demi menatap Andrea yang terpejam dalam damai.
Bukan sekarang waktunya. Christopher menyimpulkan dalam hati. Gadis ini mungkin pantas menikmati hidupnya lebih lama...hidup yang diciptakan untuknya dalam drama penuh kebahagiaan dan mimpi bagi seorang perempuan.
Chistoper berdiri, lalu mengangkat tubuh Andrea, yang lunglai karena pulasnya tidurnya, dan membawanya ke kamar. Dibaringkannya tubuh Andrea dengan lembut ke atas ranjang, layaknya seorang pangeran dalam adegan-adegan romantis puteri raja. Setelah itu diselimutinya tubuh Andrea, perempuan itu menggeliat sedikit, lalu setelah menemukan posisi yang nyaman, dia berbaring dengan tenang. Semakin terlelap dalam tidurnya.
Christopher berdiri di sana dan mengamati. Dorongan untuk mengambil Andrea terasa begitu kuat dan menyiksanya. Menyisakan kepahitan kental yang mendera jiwanya. Tetapi dia menahan diri. Demi Andrea, agar perempuan itu bisa menikmati hidupnya sedikit lebih lama lagi, sebelum Christopher memecahkannya menjadi hancur dan berkeping-keping.
*** Sinar matahari menyelinap melalui gorden warna peach di kamarnya, membuat Andrea menggeliat dan mengernyitkan keningnya, dia membuka mata dan setengah b
ingung menyadari bahwa dia berada di atas tempat tidurnya.
Kapan dia pindah kemari" Ingatan terakhirnya adalah meminum secangkir susu hangat di meja dapurnya, sepertinya dia tertidur di sana...ataukah dia salah...apakah saking mengantuknya Andrea tidak menyadari bahwa dia berjalan menuju kamarnya dan merebahkan tubuhnya di tempat tidur"
Andrea lalu melangkah turun dari ranjang dan berjalan hati-hati menuju dapur. Dapurnya sepi, seperti biasanya, cahayanya masih remang-remang karena gordennya tertutup rapat. Andrea membuka gorden, membiarkan sinar matahari masuk, matanya menoleh ke arah gelas susu cokelat di mejanya yang masih setengah lebih, dibuangnya susu cokelatnya ke wastafel dan dicucinya gelasnya. Kemudian mata Andrea mengarah kepada mantel hitam itu, teringat akan kenangan semalam, sosok misterius yang ternyata membekas di benaknya.
*** "Pagi ini dia akan datang!" Sharon menghampiri meja Andrea dan berbisik dengan bersemangat.
"Siapa"" Andrea mengerutkan keningnya, dia barusan memeriksa ponselnya dan tetap saja tidak ada pesan dari Eric, apakah Eric sebegitu sibuknya sampai tidak sempat mengabari dirinya"
"Romeo Marcuss." Sharon benar-benar tidak bisa menyembunyikan antusiasmenya, "Apakah kau tahu dia baru saja putus dengan model filipina itu" Sekarang dia melajang."
Andrea terkekeh, "Sekalipun dia melajang, orang yang akan mengisi posisi pacarnya nanti pastilah bukan dari kalangan kita-kita." Gumamnya pelan.
Sharon menganggukkan kepalanya setuju sambil ikut terkekeh, "Yah tetapi bagaimanapun juga aku bersemangat mengetahui bisa melihatnya secara langsung. Kau tahu, semua pemberitaan itu mengatakan dia sangat tampan....aku ingin melihat aslinya."
"Sepertinya aslinya juga sama tampannya." Andrea menghela napas panjang, lalu melirik ke ponselnya lagi.
Sharon sepertinya menyadari ada yang mengganggu Andrea, "Kenapa Andrea""
"Tidak apa-apa."
"Ah. Ayolah, aku melihat beberapa menit ini kau sudah beberapa kali melirik ponselmu" Aku kan sahabatmu, ada apa""
Andrea mengangkat bahu, bersikap seolah-olah itu bukan masalah pelik, "Eric....dia tidak menghubungiku, ketika dia pertama pergi ke luar kota, dia masih mengirimiku pesan meskipun jarang, tetapi sudah dua hari ini dia tidak menghubungiku sama sekali."
Sharon memutar bola matanya, "Kau tak perlu cemas Andrea, begitulah para lelaki. Lelaki tidak pernah menyadari pentingnya komunikasi. Bagi mereka, selama kau tidak menghubunginya, semua baik-baik saja, dan mereka merasa tidak perlu menghubungi. Berbeda dengan perempuan, komunikasi sangat penting. Mungkin kau bisa menghubunginya duluan""
"Aku tidak mau terlihat terlalu bersemangat." Pipi Andrea memerah, membuat Sharon terkekeh
"Apakah kau akan menahan diri terus-terusan seperti ini" Bagaimana kalau Eric tidak menghubungimu sampai akhir. Kudengar dia mengambil hak cuti besarnya satu bulan penuh. Itu adalah jangka waktu yang lama."
Andrea tercenung, lalu menatap Sharon bingung, "Menurutmu pantaskah aku menghubunginya dan menanyakan keadaannya" Tidakkah aku terlihat terlalu mengejarnya""
Sharon menggelengkan kepalanya, "Dia mungkin akan merasa kau perhatian kepadanya, mungkin saja dia sedang sibuk merawat.. katamu saudaranya sakit bukan" Jadi dia tidak sempat menghubungimu duluan." Sharon mendekatkan dirinya, "Sebenarnya sejauh mana hubungan kalian""
Andrea menelengkan kepalanya, mencoba menelaah kedekatan mereka sebelum Eric pergi ke luar kota,
"Kami dekat, hampir setiap malam kami pulang bersama, makan malam bersama dan menghabiskan waktu bersama di akhir pekan."
"Semua itu hanya dalam beberapa minggu"" Sharon tersenyum kagum, "Chemistry di antara kalian pasti sangat cocok. Dan selama itu dia tidak pernah mengatakan sesuatu yang lebih seperti mengucapkan cinta misalnya""
Andrea menggeleng, "Tidak pernah, Eric selalu baik, lembut dan perhatian tetapi tidak lebih... dia...dia mengecup pipiku ketika berpamitan akan ke luar kota."
"Mungkin dia memang bukan tipe orang yang terburu-buru." Sharon melirik jam tangannya, "Sebentar lagi yang kita tunggu-tunggu akan tiba, barusan pak Jim terbirit-birit menjem
put di bandara." Sharon tersenyum lebar, lalu menepuk pundak Andrea sebelum berlalu, "Hubungilah Eric duluan, beranikan dirimu."
*** Dan Romeo Marcuss pun tiba di kantor mereka, dia akan berada di sini selama enam bulan, untuk mengevaluasi kantor cabang mereka. Sebuah ruangan paling besar sudah disiapkan untuknya, ruangan itu biasanya dipakai untuk pertemuan dan meeting kecil untuk tiga atau empat orang, dan merupakan tempat meeting paling ekslusif. Romeo Marcuss akan menempatinya selama dia berada di kantor cabang ini.
Andrea cukup beruntung karena atasannya merupakan salah satu yang berkedudukan tinggi di kantor cabang ini. Karena itulah, Romeo Marcuss sering mengunjungi ruangan atasan Andrea, membuat lelaki itu sering lalu lalang melewati meja Andrea. Hal itu membuat Sharon sangat iri, sahabatnya itu berkali-kali mengirimkan sms dari ruang kerjanya di seberang lorong, mengatakan betapa beruntungnya Andrea.
Yah, kalau menikmati sebuah mahakarya Tuhan yang luar biasa bisa dianggap suatu keberuntungan, Andrea memang beruntung. Dalam satu hari ini, Romeo telah tiga kali melewatinya, meskipun sama sekali tidak melirik kepadanya.
Dan seperti yang selalu dikatakan oleh semua artikel tentang Romeo, lelaki ini memang sangat tampan, semuanya sempurna, dari pakaian yang membalut tubuhnya sampai warna matanya yang menakjubkan. Biru terang... sangat terang hingga hampir pucat.
Andrea menundukkan kepalanya pura-pura menekuri laptopnya ketika Romeo keluar dari ruang atasannya, lelaki itu pasti akan melewatinya seperti biasa, seperti yang telah dilakukannya sebelumnya.
Andrea menunggu langkah-langkah lelaki itu melewatinya kemudian akan mendongakkan kepalanya dan mencuri pandang diam-diam untuk diceritakan kepada Sharon nanti. Tetapi kali ini lelaki itu tidak melewatinya, lelaki itu berhenti di depan Andrea, kemudian berdiri dalam keheningan mengamati Andrea,
Andrea mendongakkan kepalanya dan langsung bertatapan dengan mata biru yang indah itu. Dia menahan dirinya supaya tidak ternganga kagum akan ketampanan lelaki yang berdiri di depannya.
"Kau staffnya Mr. Hendrick"" suara Romeo mengalun tenang dan dalam, sangat cocok dengan penampilannya.
Andrea menganggukkan kepalanya gugup, "Iya, Saya asisten Mr. Hendrick." Jawabnya cepat, tak tahu harus mengatakan apa lagi.
Romeo tetap berdiri di sana, menatapnya dengan mata birunya yang intens,
"Hmmmm....kau amat sangat....mengingatkanku kepada seseorang."
Dating With the Dark Bab 4
"Kau amat sangat mengingatkanku kepada seseorang." Kalimat Romeo itu menggantung di udara, membuat Andrea mengerutkan keningnya.
Apakah maksud Romeo dia mirip seseorang yang dikenal oleh Romeo"
"Mungkin itu hanya kebetulan." Andrea menjawab, mencoba memberikan senyuman profesional meskipun dia gugup setengah mati.
Romeo mengamati Andrea lagi, lalu mengangkat bahunya, "Mungkin juga." Gumamnya. Lalu menganggukkan kepalanya dengan sopan dan melangkah pergi.
Sementara itu Andrea menatap Romeo sampai menghilang di balik pintu, dan tersenyum senang. Sharon pasti akan histeris kalau tahu bahwa Romeo menyapanya.
*** Dan benar. Sharon berteriak histeris ketika Andrea menceritakan sapaan Romeo yang terakhir tadi.
"Dia menyapamu" Dia benar-benar menyapamu"" Sharon berucap dengan nada tinggi, hingga Andrea harus menyenggolnya karena semua orang di kantin itu menolehkan kepalanya kepada mereka.
"Dia bilang aku amat sangat mengingatkannya kepada seseorang. " Andrea merenung sambil menopang dagu, "Dan dia menekankan kepada kata amat sangat , bukan hanya biasa-biasa saja."
"Mungkin kau mirip dengan mantan pacarnya." Sharon mulai berimajinasi, "Mungkin dia kemudian memutuskan mendekatimu, dan dalam waktu enam bulan Romeo di sini kau bisa mengambil hatinya, bayangkan seorang staff biasa bisa merengkuh hati orang dengan jabatan paling tinggi di perusahaan, itu seperti kisah cinderella."
"Dan kisah cinderella semacam itu kebanyakan sangat jarang terjadi." Sela Andrea cepat.
"Siapa bilang"" Sharon tersenyum penuh arti, "Sangat jarang belum tentu tidak terjadi bukan" Apakah kau tahu siapakah Serena Ma
rcuss, ibu dari Romeo dan isteri dari Damian Marcuss" Dia dulu staff biasa di perusahaan Damian, dan kemudian dia bisa menjadi isteri Damian Marcuss."
"Dari kisah yang aku dengar, Damian Marcuss sangat mencintai isterinya, dia yang dulu seorang playboy langsung bertekuk lutut." Andrea tersenyum, dia selalu senang membahas kisah percintaan bos mereka yang ada di kantor pusat, karena menurutnya kisah cinta itu luar biasa indahnya. Perkawinan mereka terbukti bertahan dengan kokoh dan menghasilkan dua anak yang luar biasa, Romeo salah satunya.
"Nah...mungin saja Romeo akan mengikuti jejak ayahnya, mencintai perempuan biasa-biasa saja, alih-alih menikahi pacar-pacarnya yang model dan dari kalangan jetset itu. Mungkin saja kita bisa menjadi Serena berikutnya."
"Jangan bermimpi." Andrea tersenyum, "Romeo Marcuss luar biasa tampannya, hingga hampir mendekati malaikat, hanya perempuan luar biasa yang bisa menjadi pasangannya." Andrea memutuskan untuk mengalihkan pembicaraan dari pembahasan mereka tentang Romeo, karena kalau dibiarkan, Sharon yang antusias tidak akan berhenti, "Aku akan menelepon Eric."
"Oh ya ampun, jadi belum kau lakukan""
Andrea menghela napas panjang, "Belum. Tadi aku sibuk." Andrea berkelit, membuat Sharon mencibir.
"Lakukan sekarang, sebelum kau berubah pikiran." Perempuan itu lalu berdiri, "Aku akan kembali ke ruangan, pak Jim sedang uring-uringan, bisa-bisa aku disemprot kalau tidak kembali ke kantor tepat waktu."
Andrea mengangguk tetapi setelah Sharon berlalupun, dia masih menekuri ponselnya dan memandanganya ragu.
Andrea merindukan Eric...dan jauh di dasar hatinya ada rasa sakit karena menyadari bahwa Eric tidak merasa perlu untuk menghubunginya. Bukankah kalau dia ada di benak Eric, lelaki itu akan menghubunginya dan memberi kabar"
Haruskah dia menelepon Eric duluan"
Andrea menghela napas panjang, kemudian jemarinya memijit nomor ponsel Eric, nomor yang amat sangat dihapalnya karena beberapa kali dia mencoba menelepon tetapi kemudian menahan dirinya.


Dating With The Dark Karya Shanty Agatha di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

*** "Halo"" Suara Eric diseberang sana menohok kerinduan Andrea, "Andrea"" lanjut Eric ketika melihat nomor peneleponnya.
Andrea tanpa sadar menganggukkan kepalanya meskipun Eric tidak bisa melihatnya, "Ya ini aku. Kau.. kau lama tidak ada kabar, aku mencemaskanmu, bagaimana keadaanmu Eric""
Hening agak lama, seakan Eric kehabisan kata-kata untuk menjawab.
"Aku baik-baik saja." Suara Eric tertelan dalam dan tampak sedih, membuat Andrea cemas.
"Apakah saudaramu baik-baik saja" Bagaimana kondisinya""
"Saudara"" dari nada suaranya, Andrea menduga Eric sedang mengernyitkan kening di sana.
"Saudaramu...yang katanya sakit dan sedang kau tengok itu"" tanya Andrea pelan, mencoba mengingatkan Eric, lelaki itu entah kenapa nada suaranya terdengar enggan dan tidak fokus, apakah telepon Andrea mengganggunya"
"Oh itu..." Eric menghela napas panjang, "Saudaraku baik-baik saja."
"Jadi dia sudah sembuh, syukurlah." Andrea ikut-ikutan menarik napas panjang, lega. "Jadi kapan kamu pulang"" jawaban atas pertanyaan itu amat sangat diinginkan oleh Andrea, dia ingin Eric pulang...dia merindukan lelaki itu. Kebersamaan mereka selama beberapa lama itu telah mengisi kekosongan dalam hidup Andrea dan dia menginginkannya kembali.
Tetapi sepertinya jawaban Eric tidak sesuai dengan keinginannya karena lagi-lagi, Eric memilih tidak menjawab dan menciptakan suasana hening di antara mereka.
"Eric"" Andrea memanggil, memastikan bahwa sambungan telepon mereka baik-baik saja.
Lagi. Terdengar Eric menghela napas panjang, lalu lelaki itu menjawab, sebuah jawaban yang menyambar Andrea dengan menyakitkan, bagaikan sambaran petir yang tiba-tiba menyerangnya,
"Aku tidak akan kembali Andrea, tolong jangan menghubungiku lagi."
Lalu telepon diputuskan. Lama Andrea termenung dengan ponsel di telinganya, menyisakan bunyi tut..tut..tut yang konstan, yang bahkan tidak di sadarinya.
Aku tidak akan kembali, tolong jangan menghubungiku lagi....Aku tidak akan kembali tolong jangan menghubungiku lagi...Aku tidak akan kembali...
Jawaban Eric itu terngiang-ngiang di benaknya, dan k
etika akhirnya Andrea bisa menerima maksudnya, bibir Andrea bergetar dan matanya berkaca-kaca.
Apakah ini maksudnya Eric telah mencampakkannya" Mungkinkah kedekatan mereka selama ini tidak ada artinya bagi Eric" Mungkinkah Andrea yang terlalu memiliki mimpi romantis tentang Eric"
Tak dapat ditahankannya, air mata mengalir di pipi Andrea, dia meletakkan ponsel itu dan menggigit bibirnya.
Mungkin memang kisah cinta romantis bukanlah hal yang akan dialaminya. Mungkin Andrea akan selalu berakhir sendirian...tanpa siapapun yang mencintainya.
Andrea menggelengkkan kepalanya dan mengusap airmatanya. Disingkirkannya seluruh pikiran yang menghancurkan hatinya itu. Tidak! Andrea tidak boleh menangis. Kalau memang bagi Eric dia tidak berarti, Andrea tidak akan membuang-buang air matanya untuk lelaki itu!
*** "Kenapa kau lakukan itu"" atasannya bergumam, mengamati Eric yang menutup pembicaraan dengan kasar. "Kau akan melukai hatinya."
"Itu lebih baik." Eric meringis, "Kurasa strategiku untuk mendekatinya salah, aku lebih baik mengawasinya dari kejauhan." Gumam Eric, menghela napas panjang lalu duduk merosot di kursinya, di depan meja kerja atasannya.
Atasannya, yang selama ini selalu menjadi lawan bicaranya di telepon-telepon misteriusnya mengangkat sebelah alisnya,
"Kau bilang dulu, itu adalah salah satu cara yang efektif....menjadi orang yang paling dekat dengannya akan membuatmu lebih mudah dengannya, tentu saja dengan catatan bahwa kau bersikap profesional dan tidak melibatkan perasaanmu." Tatapan sang atasan berubah spekulatif, "Apakah kau telah melanggar peraturan itu""
Eric meremas rambutnya gusar, "Aku merasa aku mencintainya. Aku merasa akan ada harapan untuk kami, nanti ketika semua permasalahan sudah dibereskan....tetapi berkas-berkas yang kau serahkan ini..." Eric mengernyit kepada berkas-berkas yang dihamparkan atasannya di mejanya. Atasannya memanggilnya kemari karena berkas-berkas ini, hasil penyelidikan mereka yang terakhir dan mengungkap sesuatu yang sama sekali tidak terduga sebelumnya.
"Berkas-berkas ini merubah segalanya"" atasannya melanjutkan, menatap Eric dengan menyesal, "Maafkan aku harus menghamparkan ini dihadapanmu."
Eric menghela napas panjang, tampak kesakitan, "Tak apa...setidaknya aku bisa mundur sebelum melangkah lebih jauh. Dan setidaknya, kita tahu arti dari simbol sembilan lilin berwarna biru itu." Sambil berusaha melupakan rasa sakit hatinya, Eric memajukan tubuhnya dan menatap atasannya dengan serius, "Jadi seluruh rencana kita harus dirubah, sang pembunuh bagaimanapun juga akan muncul."
"Ya. Aku yakin dia akan mengambil Andrea pada akhirnya. Dan Andrea tidak boleh diambil, tidak sampai kita memastikan tentang dugaan kita. Tugasmu adalah selalu siap sampai saat itu terjadi, jangan sampai lengah."
Eric tercenung. Dia tidak akan lengah. Meskipun sekarang hatinya terasa sakit, sakit luar biasa, bahkan hanya dengan membayangkan Andrea dia merasa dadanya diremas-remas menyakitkan. Eric bersumpah akan menyembuhkan hatinya itu dan menjalankan tugasnya tanpa perasaan lagi.
*** "Dia memang mengundurkan diri kemarin." Sharon yang kebetulan bisa mengakses data karyawan membelalakkan mata tak percaya dengan data yang ditemukannya di komputernya. Andrea barusan menemuinya, dengan mata sembab meskipun tidak menangis lagi. Dan dari cerita Andrea, hanya ada satu hal, Eric mencampakkan Andrea setelah memberinya harapan, dan itu adalah satu hal paling tak termaafkan yang pernah dilakukan laki-laki kepada seorang perempuan.
Andrea mengamati layar komputer Sharon, dan melihat nama Eric di sana. Mengundurkan diri dari kantor kemarin, dan efektif per tanggal satu.
Jadi itu maksudnya bahwa Eric tidak akan kembali" Bahwa lelaki itu meninggalkannya begitu saja, tanpa penjelasan"
"Kenapa dia melakukan ini kepadaku, Sharon"" suara Andrea bergetar, membuat Sharon mendengus karena sahabatnya dilukai.
"Karena dia lelaki bodoh dan pengecut." Sharon bergumam ketus, "Jangan habiskan airmata dan hatimu untuk memikirkannya Andrea, hanya akan membuatmu sakit."
Andrea menghela napas panjang. Mudah memang unt
uk dikatakan, tetapi bahkan sampai beberapa jam lalu, Andrea masih tersenyum ketika mengenang kebersamaannya dengan Eric, dan sekarang dia dihadapkan dengan kenyataan yang bisa dibilang amat sangat menghancurkan hatinya. Andrea bahkan tidak henti-hentinya bertanya-tanya kenapa Eric melakukan itu kepadanya...
*** Romeo tampaknya akan menerima kedatangan tamu penting mereka, Demiris Paredesh di ruangannya. Kabar itu berhembus karena sejak pagi tadi di kantor terjadi kesibukan, banyak orang lalu lalang menyiapkan segala sesuatunya.
Yah. Andrea masih teringat lelaki tua itu, yang membawa serentetan pengawal pribadi berpakaian sama dengan wajah datar yang sama seperti robot. Kontrak dengan Demiris adalah kontrak yang paling sukses yang pernah dilakukan oleh cabang mereka, karena itulah kehadiran Demiris di kantor ini untuk menemui Romeo sangatlah penting.
Mr. Hendrick, atasan langsung Andrea sendiri tampak begitu sibuk. Andrea melihat tubuh gempal lelaki bule itu mondar-mandir di dalam ruangannya, kadangkala sibuk menelepon seseorang, kadangkala tampak mencari-cari berkas. Sampai kemudian, lelaki itu keluar dari ruangannya,
"Andrea"" Lelaki itu memanggil, membuat Andrea seketika berdiri,
"Ya Sir"" karena bos-nya orang bule, Andrea selalu memanggilnya dengan Sir sebagai ganti dari kata pak .
"Kemari sebentar."
Sambil merapikan roknya, Andrea melangkah dan memasuki ruangan Mr. Hendrick. Lelaki itu sudah duduk di balik mejanya dan mempersilahkan duduk ketika Andrea berdiri di ambang pintu.
"Duduklah." Mr. Hendrick masih tampak sibuk melihat berkas-berkasnya, lalu ketika Andrea sudah duduk dia menautkan jemarinya dan menopangkannya di dagunya, "Kita kedatangan tamu penting hari ini..."
Andrea menganggukkan kepalanya, menunggu kelanjutan dari kalimat Mr.Hendrick yang menggantung. Meskipun orang bule, Mr. Hendrick sangat fasih berbahasa indonesia karena dia telah tinggal di Indonesia lebih dari sepuluh tahun lamanya.
"Dan kau dulu yang bertugas menemui Mr. Demiris untuk penandatanganan kontrak, jadi aku pikir aku akan membawamu menghadiri meeting penting nanti siang."
Dia" Ikut ke meeting penting direksi"
"Baik Sir." Andrea menganggukkan kepalanya gugup. Sementara itu Mr. Hendrick tampak puas,
"Oke kalau begitu, siapkan berkas-berkas yang berhubungan dengan kontrak kerjasama kita dengan Mr. Demiris, kita ke ruang meeting di lantai atas nanti jam dua siang."
Andrea sekali lagi mengangguk patuh, lalu berdiri dan berpamitan, melangkah kembali keluar ruangan. Beberapa langkah sebelum mencapai pintu, Mr. Hendrick kembali memanggilnya, kali ini suaranya terdengar ragu-ragu,
"Andrea"" Andrea menolehkan kepalanya dan membalikkan tubuhnya, "Ada apa Sir"
Atasannya itu menatapnya ingin tahu, "Apakah kau mengenal Mr. Demiris sebelumnya" Atau kau ada koneksi dengannya""
Andrea mengernyitkan keningnya, pertanyaan apa itu" Dia langsung menggelengkan kepalanya,
"Tidak Sir, saya belum pernah bertemu dan mengenal Mr. Demiris sama sekali sebelum penandatanganan kontrak itu."
Mr. Hendrick mengerutkan keningnya, membuat Andrea bingung, tetapi lalu lelaki itu mengibaskan tangannya, "Oke kalau begitu, pergilah."
Dan Andreapun melangkah pergi, meninggalkan ruangan lelaki itu.
Sepeninggal Andrea, Mr. Hendrick masih merenung bertanya-tanya dalam benaknya. Andrea tidak mengenal Mr. Demiris sebelumnya dan tampaknya memang tidak ada sesuatupun yang bisa membuat mereka terkoneksi....tetapi masih diingatnya dengan jelas waktu itu, Mr. Demiris jelas-jelas meminta secara spesifik bahwa Andrea sendirianlah yang harus dikirimkan untuk penandatanganan kontrak di cafe itu...itu benar-benar permintaan yang sangat aneh, tetapi mereka menurutinya karena perjanjian dengan Mr. Demiris amat sangat penting. Dan sekarang, melalui pesan khususnya, Mr. Demiris mengatakan menginginkan Andrea hadir di dalam meeting mereka nanti...kenapa"
Mr. Hendrick merenung, berusaha memecahkan misteri itu, tetapi tetap saja dia tidak menemukan jawabannya.
*** Mereka berkumpul di sekeliling meja meeting yang sangat besar itu, menunggu kedatangan Mr. Demiris yang
sedang disambut oleh Romeo di lobby. Andrea duduk di sebelah Mr. Hendrick dan bertanya-tanya, apakah Mr. Demiris yang eksentrik itu akan datang membawa sepasukan pengawalnya lagi" Sama seperti ketika di cafe waktu itu"
Pertanyaan Andrea langsung terjawab ketika pintu itu terbuka dan Romeo masuk bersama Mr. Demiris. Dan...seperti yang dibayangkan oleh Andrea, beberapa pengawalnya, kali ini hanya sekitar delapan orang, tidak sebanyak ketika di pertemuan cafe waktu itu, dengan pakaian yang sama persis dan ekspresi datar yang sama, masuk dan mengikuti di belakangnya.
Semua anggota meeting itu saling melempar pandangan kaget karena lelaki itu membawa begitu banyak pengawal, sementara Andrea mengamati roman muka Romeo yang tampak setengah geli.
Romeo dan Demiris akhirnya duduk di kepala meja,
"Senang kita semua bisa berkumpul di sini, jadi mari kita mulai meetingnya." Romeo membuka meeting hari ini dan mulailah pembahasan ke hal-hal yang teknis menyangkut keputusan strategis perusahaan. Andrea semula bisa mengikuti, tapi lama-lama pembahasan berada di luar hal-hal yang dikuasainya dalam pekerjaannya sebagai staff, dia mencuri-curi pandang ke arah Mr.Demiris, tetapi lelaki itu bersikap seolah tidak mengenalinya. Dalam hatinya Andrea merasa cemas kalau-kalau Mr. Hendrick menganggap bahwa kehadirannya di ruang meeting adalah hal yang sia-sia.
Sarang Perjudian 2 Candika Dewi Penyebar Maut V I Lentera Iblis 1
^