Pencarian

Eragon 1

Eragon Karya Christhoper Paolini Bagian 1


PROLOG BAYANG-BAYANG KETAKUTAN Angin melolong menerobos malam, membawa bau yang akan mengubah dunia. Shade yang jangkung itu mengangkat kepala dan mengendus-endus udara. Ia tampak mirip manusia kecuali rambut dan matanya yang merah. Ia mengerjapkan mata dengan terkejut. Pesannya benar: mereka ada di sini. Atau ini jebakan" Ia mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan, lalu berkata dengan nada sedingin es, "Menyebar; sembunyi di balik pepohonan dan sesemakan. Hentikan siapa pun yang datang... atau mati." Di sekelilingnya berhamburan dua belas Urgal bersenjatakan pedang pendek dan perisai besi bulat yang dicat simbol hitam. Mereka mirip manusia dengan tungkai kaki yang berbentuk O dan lengan yang besar dan kekar untuk menghancurkan. Sepasang tanduk meliuk di atas telinga mereka yang kecil. Monster-monster itu bergegas masuk ke sesemakan, menggeram-geram sambil bersembunyi. Tidak lama kemudian bunyi gemeresik itu menenang dan hutan kembali sunyi. Shade tersebut mengintip dari balik sebatang pohon besar, memandang ke jalan setapak. Cuaca terlalu gelap bagi manusia mana pun untuk bisa melihat, tapi baginya cahaya bulan yang suram bagaikan cahaya matahari yang menerobos sela-sela pepohonan; setiap rincian terlihat jelas dan tajam dalam tatapannya yang mencari-cari. Ia tetap diam di luar kewajaran, sebilah pedang panjang dan pucat ada dalam genggamanya dengan erat. Guratan setipis kawat meliuk-liuk di sepanjang mata pedang. Senjata itu cukup tipis untuk ditusukkan di antara sepasang tulang rusuk, tapi cukup kokoh untuk membacok hingga menembus perisai yang paling keras. Urgal-Urgal tidak bisa melihat sebaik Shade; mereka meraba-raba apapun yang ada didepannya seperti pengemis buta, kerepotan dengan senjata masing-masing. Burung hantu menjerit, membelah kesunyian. Tidak ada yang merasa rileks hingga burung itu terbang pergi. Lalu monster-monster tersebut menggigil dalam malam yang dingin; salah satunya mematahkan sebatang ranting dengan sepatu botnya yang berat. Shade itu mendesis marah, dan Urgal-Urgal tersebut menyurut mundur, tidak bergerak. Shade itu menahan kejijikannya terhadap boneka-boneka suruhannya.mereka bau seperti daging busuk dan berbalik. Mereka hanya alat, tidak lebih. Shade itu menekan ketidaksabarannya saat menit-menit berubah menjadi jam-jam. Bau itu pasti telah melayang jauh mendului pemiliknya. Ia tidak mengizinkan Urgal-Urgal itu bangkit atau menghangatkan diri. Ia juga menolak kemewahan itu bagi dirinya sendiri, dan bertahan di balik pohon, mengawasi jalan setapak. Angin malam kembali berembus menerobos hutan. Baunya kali ini lebih kuat. Dengan penuh semangat, bibir tipisnya terangkat membentuk seringai. "Bersiaplah," bisiknya, iya bergetar. Ujung pedangnya bergerak-gerak membentuk lingkaran-lingkaran kecil. Ia telah menyusun terlalu banyak rencana dan mencurahkan terlalu banyak tenaga untuk menunggu dan tiba di saat ini. Tidak ada gunanya kalau kehilangan kendali sekarang. Mata para Urgal di bawah alis yang lebat bersinar makin terang, dan makhluk-makhluk itu mencengkeram senjata mereka masing-masing dengan lebih erat. Di depan mereka, Shade mendengar dentingan saat benda keras menghantam batu yang lepas. Sosok-sosok samar mulai muncul dalam kegelapan malam dan bergerak menyusuri jalan setapak. Tiga ekor kuda putih beserta dengan penunggangnya berjalan perlahan-lahan menuju penyergapan, kepala mereka terangkat tinggi dan bangga, mantel mereka bergelombang dalam cahaya bulan seperti perak cair. Di kuda pertama duduk elf dengan telinga lancip dan alis yang melengkung anggun. Sosoknya ramping tapi kuat, seperti pedang rapier. Sebatang busur yang kuat tersandang di punggungnya. Sebatang pedang menempel di sisi tubuhnya sementara di sisi lain terdapat setabung anak panah dengan bulu-bulu angsa. Penunggang terakhir memiliki wajah yang sama bersih dan serba lancip seperti rekannya. Ia membawa tombak panjang di tangan kanan dan belati putih disabuk. Ia mengenakan helm yang sangat bagus, dipenuhi batu amber dan emas. Penunggang yang berada di antara keduanya adalah elf wanita, yang mengamati sekelilingnya dengan
waspada. Ia berambut panjang dan hitam, matanya yang dalam tampak memancarkan semangat yang kuat. Pakaiannya kusut, tapi kecantikannya tidak berkurang karenanya. Di sisi tubuhnya terdapat sebilah pedang, dan di punggungnya terdapat busur panjang dan tabung anak panah. Di pangkuannya terdapat kantong yang SERING dipandanginya, seakan untuk meyakinkan diri kantong itu masih tetap berada disana. Salah satu elf itu berbicara dengan suara pelan, Shade tidak bisa mendengar apa yang dikatakannya. Elf wanita menjawab dengan nada berwibawa yang jelas, dan para pengawalnya bertukar tempat. Elf berhelm memimpin jalan, menggeser tombak agar cengkeramannya lebih mantap. Mereka melewati tempat persembunyian Shade dan beberapa Urgal pertama tanpa curiga. Shade menikmati kemenangannya sewaktu angin berubah arah dan menyapu ke arah elf-elf itu, membawa bau Urgal yang sangat menusuk. Kuda-kuda mendengus terkejut dan menyentakkan kepala. Tubuh para penunggangnya jadi kaku, mata memandang ke sana kemari, lalu mereka memutar balik tunggangan mereka dan berderap pergi. Kuda elf wanita itu melesat maju, meninggalkan para pengawalnya jauh di belakang. Melupakan persembunyian mereka, para Urgal berdiri dan menghamburkan hujan anak panah hitam. Shade melompat keluar dari balik pohon, mengangkat tangan kanannya, dan berteriak, "Garjzla!" Kilat merah menyambar dari telapak tangannya ke elf wanita itu, menerangi pepohonan dengan cahaya semerah darah. Kilat itu menghantam tunggangan elf wanita, dan kudanya jatuh diiringi ringkikan melengking, menerjang tanah dengan posisi dada terlebih dulu. Elf wanita itu melompat turun dari hewan tunggangannya dengan kecepatan yang luar biasa, mendarat dengan ringan, lalu melirik ke belakang ke arah para pengawalnya. Anak-anak panah Urgal yang mematikan dengan cepat merobohkan kedua elf itu. Mereka jatuh dari kuda-kuda mereka yang anggun, darah menggenang di tanah. Saat para Urgal menghambur untuk membantai elf-elf itu, Shade menjerit, "Kejar yang wanita! Ia yang kuinginkan!" Monster-monster tersebut menggeram dan bergegas menyusuri jalan setapak. Jeritan terdengar dari mulut si elf wanita saat melihat kematian rekan-rekannya. Ia maju selangkah ke arah mereka, lalu memaki musuh-musuhnya dan melesat ke dalam hutan. Sementara para Urgal menerjang menerobos pepohonan, Shade memanjat sebongkah granit yang mencuat di atas mereka. Dari tempat bertenggernya ia bisa melihat seluruh hutan disekitarnya. Ia mengangkat tangan dan menggumam, "Boetq istalri!" dan kawasan hutan seluas seperempat mil dilalap api. Dengan muram ia membakar hutan sebagian demi sebagian hingga timbul lingkaran api, berdiameter 1,5 mil, di sekeliling lokasi penyergapan. Kobaran apinya tampak seperti mahkota cair yang bertengger di hutan. Setelah puas, ia mengamati lingkaran itu dengan cermat, seandainya ada yang mulai padam. Cincin api itu menebal, memperluas kawasan yang harus digeledah para Urgal. Tiba-tiba, Shade mendengar teriakan-teriakan dan jeritan serak. Dari sela-sela pepohonan ia melihat tiga anak buahnya jatuh bertumpukan, terluka parah. Sekilas ia melihat sosok elf berlari menjauhi Urgal-Urgal yang tersisa. Elf wanita itu melesat ke sebongkah granit bergerigi dengan kecepatan luar biasa. Shade mempelajari tanah dua puluh kaki di bawahnya, lalu melompat dan mendarat dengan sigap di depan si elf wanita. Elf wanita tersebut berhenti sambil berputar balik dan melesat kembali ke jalan setapak. Darah hitam Urgal menetes-netes dari pedangnya, menodai kantong di tangannya. Monster-monster bertanduk itu keluar dari dalam hutan dan mengepungnya, menutup satu-satunya jalan untuk meloloskan diri. Kepala elf wanita itu menoleh cepat ke sana kemari saat ia mencoba menemukan jalan keluar. Karena tidak menemukan satu pun, ia menegakkan diri dengan kekesalan yang anggun. Shade mendekatinya dengan tangan terangkat, membiarkan dirinya menikmati ketidakberdayaan elf wanita itu. "Tangkap ia." Saat para Urgal menerjang maju, elf itu membuka kantongnya, memasukkan tangan ke sana, lalu membiarkan kantong itu jatuh ke tanah. Di tangannya terdapat sebongkah batu saf
ir besar yang memantulkan cahaya api yang berkobar-kobar. Ia mengangkat batu itu ke atas kepalanya, bibirnya bergerak-gerak panik. Putus asa, Shade berteriak, "Garjzla!" Bola api merah muncul dari tangannya dan melesat ke arah elf itu, secepat anak panah. Tapi ia terlambat. Kilasan cahaya kehijauan sejenak menerangi hutan, dan batu tadi pun menghilang. Lalu api merah melahap elf wanita itu dan ia jatuh. Shade melolong murka dan melangkah maju, melemparkan pedangnya ke sebatang pohon. Pedangnya melesak hingga ke tengah batang pohon, tempat pedang itu tertancap, bergetar. Shade menghamburkan sembilan kilatan energi dari telapak tangannya yang seketika itu juga membunuh para Urgal lalu mencabut pedangnya kembali dan berderap mendekati si elf Mantra-mantra pembalasan, diucapkan dalam bahasa mengerikan dan hanya dipahami dirinya, bergulir dari lidahnya. Ia mengepalkan tangannya yang kurus dan melotot ke langit. Bintang-bintang yang dingin balas menatapnya, tanpa berkedip, para pengawas dari dunia lain. Dengan kesal ia mengerutkan bibir sebelum berbalik ke elf yang tak sadarkan diri itu. Kecantikan elf tersebut, yang akan memesona manusia biasa mana pun, tidak berarti apa-apa baginya. Ia mengkonfirmasi bahwa batu itu telah lenyap, lalu mengambil kudanya dari tempat persembunyian di sela-sela pepohonan. Sesudah mengikat elf wanita itu di pelana, ia menunggang kudanya dan meninggalkan hutan. Ia memadamkan api yang menghalangi jalannya tapi membiarkan sisanya tetap berkobar-kobar.
PENEMUAN Eragon berlutut di sepetak rerumputan yang terinjak-injak dan mengamati jejak-jejak itu dengan mata terlatih. Jejak-jejak itu memberitahu dirinya bahwa rusanya berada di padang rumput hanya setengah jam yang lalu. Tidak lama lagi mereka akan tidur. Sasarannya, rusa betina kecil dengan ketimpangan mencolok pada kaki kiri depannya, masih berada di tengah-tengah kawanan itu. Ia terpesona mengetahui rusa betina itu berhasil menempuh jarak sejauh ini tanpa tertangkap serigala atau beruang. Langit bersih namun gelap, angin sepoi-sepoi berembus di udara. Awan keperakan melayang di atas pegunungan yang mengelilingi dirinya, tepi-tepinya kemilau akibat cahaya bulan yang bertengger di sela dua puncak. Air mengalir menuruni pegunungan dari gletser-gletser yang kaku dan tumpukan-tumpukan salju yang kemilau. Kabut suram merayap di sepanjang dasar lembah, nyaris cukup tebal untuk menyembunyikan kaki-kakinya. Eragon berusia lima belas tahun, kurang setahun lagi sebelum mencapai kedewasaan. Alis mata yang hitam di atas mata cokelatnya yang tajam. Pakaiannya lusuh dan kusam akibat bekerja keras yang ia jalani. Sebilah pisau berburu dengan gagang tulang tergantung di sabuknya, dan tabung kulit rusa melindungi busur kayu dari kabut. Ia membawa ransel berbingkai kayu. Rusa itu telah membawanya masuk jauh ke dalam Spine, kawasan pegunungan yang masih liar dan membentang di sepanjang tanah Alagaesia. Kisah-kisah dan orang-orang aneh sering datang dari pegunungan itu, biasanya menjanjikan kesialan. Meskipun begitu, Eragon tidak takut terhadap Spine ia satu-satunya pemburu di dekat Carvahall yang berani mengikuti hewan buruan hingga jauh ke ceruk-ceruknya yang tidak rata. Saat ini malam ketiga perburuannya, dan makanannya tinggal separo. Kalau ia tidak berhasil menjatuhkan rusa betina itu, ia akan terpaksa pulang dengan tangan hampa. Keluarganya membutuhkan daging itu untuk musim dingin yang mendekat dengan cepat, karena mereka tidak mampu membelinya di Carvahall. Eragon berdiri dengan yakin dan tenang dalam cahaya bulan yang samar, lalu melangkah ke dalam hutan menuju lembah kecil tempat ia yakin rusa itu akan beristirahat. Pepohonan menghalangi langit dan menebarkan bayang-bayang halus di tanah. Ia hanya sesekali melihat jejaknya; ia mengenal jalan ini. Di lembah kecil, ia memasang tali busur dengan mantap, lalu mencabut tiga anak panah dan memasang salah satunya, memegang yang lain dengan tangan kiri.
Cahaya bulan menampilkan sekitar dua puluh gundukan yang tidak bergerak, rusa-rusa membaringkan diri di rerumputan. Rusa betina yang dicarinya berada di tepi kawana
n, kaki kiri depannya terjulur ke depan dengan kaku. Perlahan-lahan Eragon merayap mendekat, dengan busur siap ditembakkan. Seluruh usahanya selama tiga hari terakhir membawanya ke saat ini. Ia menghelanapas demi memantapkan diri untuk terakhir kalinya dan ledakan mengobrak-abrik malam. Kawanan itu berhamburan. Eragon menerjang maju, berlari menerobos rerumputan sementara angin panas mengelus pipinya. Ia berhenti dan melepaskan sebatang anak panah ke arah rusa betina yang melompat-lompat pergi. Tembakannya sangat nyaris mengenai sasaran dan mendesis ke dalam kegelapan. Ia memaki dan berputar balik, secara naluriah memasang anak panah lagi. Di belakangnya, tempat rusa itu tadi berada, terdapat lingkaran besar pepohonan dan rerumputan yang mengepulkan asap. Banyak pohon pinus yang berdiri telanjang tanpa sehelai pun dedaunan jarum. Rerumputan di luar lingkaran hangus itu rata. Asap mengepul ke udara, menebarkan bau hangus. Di tengah-tengah lingkaran ledakan tergeletak sebutir batu biru mengilap. Kabut merayap di atas kawasan yang hangus itu dan menebarkan sulur-sulur tipis melewati batu tersebut. Eragon mewaspadai bahaya selama beberapa menit, tapi satu-satunya benda yang bergerak hanyalah kabut. Dengan hati-hati, ia mengendurkan busur dan melangkah maju. Cahaya bulan yang menerpanya menciptakan bayang-bayang pucat saat ia berhenti di depan batu itu. Ia menyodoknya dengan sebatang anak panah, lalu melompat mundur. Tidak terjadi apa-apa, jadi dengan waspada ia mengambilnya. Alam tidak pernah memoles batu sehalus batu ini. Permukaannya yang tanpa cacat berwarna biru tua, tampak urat-urat tipis putih yang menyebar bagai jarring labah-labah menutupinya. Batu itu terasa dingin dan sangat halus saat tersentuh jemarinya, seperti sutra yang mengeras. Oval dan panjangnya sekitar tiga puluh sentimeter, beratnya beberapa pon, sekalipun rasanya lebih ringan daripada seharusnya. Eragon mendapati batu itu indah sekaligus menakutkan. Dari mana asalnya" Apakah ada gunanya" Lalu pemikiran yang lebih mengganggu melintas dalam benaknya: Apakah batu ini tanpa sengaja terjatuh atau memang berada disini, atau aku memang ditakdirkan memilikinya" Kalau ada yang dipelajarinya dari kisah-kisah tua, itu adalah nasihat untuk memperlakukan sihir, dan mereka yang menggunakannya, dengan sangat hati-hati. Tapi apa yang harus kulakukan dengan batu ini" Pasti melelahkan membawanya, dan ada kemungkinan batu itu berbahaya. Mungkin lebih baik meninggalkannya begitu saja. Keragu-raguan sekilas menyapu dirinya, dan ia nyaris menjatuhkan batu tersebut, tapi ada sesuatu yang menahannya. Setidaknya, batu ini mungkin bisa digunakan untuk membeli makanan, pikirnya mengambil keputusan, sambil mengangkat bahu, dan menjejalkan batu itu ke dalam ranselnya. Lembah kecil itu terlalu terbuka sebagai lokasi perkemahan yang aman, jadi ia menyelinap kembali ke dalam hutan dan menghamparkan tempat tidurnya di bawah akar pohon tumbang. Sesudah makan malam yang dingin berupa roti dan keju, ia menyelimuti dirinya dan tidur, sambil merenungkan apa yang baru saja terjadi.
LEMBAH PALANCAR Matahari terbit keesokan paginya diiringi semburan merah muda kekuningan yang megah di kaki langit timur. Udara terasa segar, manis, dan sangat dingin. Es tampak di pinggir-pinggir sungai, dan genangan-genangan kecil membeku total. Sesudah sarapan bubur, Eragon kembali ke lembah kecil itu dan memeriksa kawasan yang hangus. Cahaya pagi tidak menunjukkan informasi baru dan berarti, jadi ia memulai perjalanan pulang. Jalan setapak hewan yang kasar itu telah aus dan di beberapa tempat tidak ada. Karena jalan itu dibuka hewan-hewan liar, sering rutenya berputar balik dan melenceng jauh. Sekalipun begitu, terlepas dari semua kekurangannya, jalan setapak tersebut masih tetap merupakan jalur tercepat untuk keluar dari pegunungan. Spine merupakan salah satu dari tempat-tempat yang tidak bisa diakui Raja Galbatorix sebagai wilayah kekuasaannya. Kisah-kisah masih diceritakan mengenai bagaimana separo pasukan raja itu menghilang sesudah berbaris memasuki hutan kunonya. Awan kesialan seakan-akan mengambang di
atasnya. Walaupun pepohonannya tumbuh tinggi dan langit bersinar terang, hanya sedikit orang yang mampu bertahan cukup lama di Spine tanpa mengalami kecelakaan macam apa pun. Eragon merupakan salah satu dari sedikit orang itu-bukan karena karunia khusus, menurut pandangannya sendiri, tapi karena ketekunan dan refleks yangtinggi. Ia telah mendaki pegunungan itu selama bertahun-tahun, meski begitu ia masih mewaspadai tempat tersebut. Setiap kali ia menganggap pegunungan itu telah membuka
rahasianya, ada kejadian yang mengacaukan pemahamannya atas tempat itu-seperti munculnya batu tadi. Ia terus berjalan dengan sigap, dan mil demi mil pun terlampaui. Menjelang malam ia tiba di tepi jurang yang curam. Sungai Anora mengalir deras di bawahnya, menuju Lembah Palancar. Dialiri ratusan kali kecil, sungai itu memiliki kekuatan yang sangat besar, bertempur melawan bebatuan dan bongkahan yang menghalangi jalannya. Gemuruh pelan memenuhi udara. Ia berkemah di sesemakan dekat jurang dan mengawasi bulan terbit sebelum tidur. Selama satu setengah hari berikutnya cuaca bertambah dingin. Eragon menempuh perjalanan dengan cepat dan hanya melihat sedikit kehidupan liar yang waspada. Sesaat selepas tengah hari, ia mendengar Air Terjun Igualda menyelimuti segala sesuatu dengan suara teredam ribuan cipratan airnya. Jalan setapak membawanya ke tonjolan rata yang lembap, tempat sungai melintas dengan kecepatan tinggi, melontarkan diri ke udara kosong dan menuruni tebing berlumut. Di hadapannya membentang Lembah Palancar, terbuka bagai sehelai peta yang dibentangkan. Kaki Air Terjun Igualda, lebih dari setengah mil di bawahnya, merupakan titik paling utara lembah. Agak jauh dari air terjun terdapat Carvahall, sekelompok bangunan cokelat. Asap putih membubung dari cerobong-cerobong, menantang keliaran di sekitarnya. Dari ketinggian ini, tanah-tanah pertanian merupakan petak-petak persegi kecil yang tidak lebih besar daripada ujung jarinya. Tanah di sekitarnya cokelat atau cokelat pasir, tempat rerumputan mati berayun-ayun ditiup angin. Sungai Anora meliuk-liuk dari air terjun ke ujung selatan Palancar, membentuk bentangan besar pantulan cahaya matahari. Di kejauhan sungai itu mengalir melewati desa Therinsford dan pegunungan tunggal Utgard. Di baliknya, Eragon hanya mengetahui bahwa sungai berbelok ke utara dan mengalir ke laut. Sesudah diam sejenak, Eragon meninggalkan tonjolan batu itu dan mulai turun menyusuri jalan setapak, meringis melihat turunannya. Sewaktu ia tiba di dasar, senja yang lembut telah merayap menutupi segala sesuatu, mengaburkan warna-warna dan bentuk-bentuk menjadi sekumpulan besar benda keabu-abuan. Cahaya dari Carvahall berpendar di dekatnya dalam senja; rumah-rumah menebarkan bayang-bayang panjang. Selain Therinsford, Carvahall adalah satu-satunya desa di Lembah Palancar. Pemukiman itu terpencil dan dikelilingi wilayah yang keras dan indah. Hanya sedikit orang yang pernah bepergian kemari, selain para pedagang dan penjebak hewan. Desa itu terdiri atas bangunan-bangunan yang kokoh dari balok dengan atap rendah beberapa dari jerami, lainnya dari genteng. Asap mengepul dari cerobong-cerobongnya, menyebabkan udara berbau kayu. Bangunan-bangunan itu memiliki serambi yang lebar tempat orang-orang berkumpul untuk bercakap-cakap dan berbisnis. Sesekali ada jendela yang berubah terang saat lilin atau lampu dinyalakan. Eragon mendengar orang-orang bicara dengan suara keras di udara malam sementara para istri bergegas menjemput suami masing-masing, memarahi mereka karena terlambat pulang. Eragon menyusuri jalan di sela-sela rumah-rumah ke kios tukang jagal, bangunan luas dari balok tebal. Di atas kepala, cerobongnya mengepulkan asap hitam. Ia mendorong pintu hingga terbuka. Ruangan yang luas itu terasa hangat dan terang benderang karena api yang menjilat-jilat di perapian batu. Meja tanpa taplak membentang di sisi seberang ruangan. Lantainya dipenuhi jerami yang terurai. Segala sesuatunya sangat bersih, seakan pemiliknya menghabiskan waktu senggangnya dengan menggali retakan-retakan yang tidak terlihat jelas untuk menyingkirkan koto
ran-kotoran kecil. Di belakang meja itu berdiri Sloan si tukang daging. Ia pria kecil, mengenakan kemeja katun dan celemek panjang bernoda darah. Serangkaian pisau yang mengesankan menjuntai di sabuknya. Wajahnya pucat, bopeng, dan mata hitamnya memancarkan kecurigaan. Ia mengelap mejanya dengan kain compang-camping. Mulut Sloan cemberut saat Eragon melangkah masuk. "Well, si pemburu yang perkasa akhirnya sudi bergabung dengan kami orang-orang biasa. Berapa banyak yang kau bunuh kali ini"" "Tidak satu pun," jawab Eragon singkat. Sejak dulu ia tidak pernah menyukai Sloan. Penjagal itu selalu memperlakukannya dengan jijik, seakan dirinya tidak bersih. Sebagai duda, Sloan tampaknya hanya peduli pada satu orang yaitu putrinya yang bernama Katrina, yang sangat disayanginya."Aku terpanah," kata Sloan pura-pura heran. Ia berbalik memunggungi Eragon untuk mengambil sesuatu dari dinding. "Dan itu alasan kedatanganmu kemari"", "Ya," kata Eragon, mengakui dengan perasaan tidak nyaman. "Kalau begitu, coba lihat uangmu." Sloan mengetuk-ngetukkan jemarinya sewaktu Eragon bergerak-gerak gelisah dan tetap membisu. "Ayolah kau memilikinya atau tidak. Yang mana"" "Aku tidak benar-benar memiliki uang, tapi aku", "Apa, tidak ada uang"" ulang si tukang daging, menyela dengan tajam. "Dan kau berharap bisa membeli daging! Apakah para pedagang lain membagikan dagangan mereka gratis" Apakah sebaiknya kuberi kau daging tanpa meminta apa pun" Lagi pula," katanya tiba-tiba, "sekarang sudah larut. Kembalilah besok dengan membawa uangnya. Aku sudah tutup hari ini." Eragon melotot padanya. "Aku tidak bisa menunggu hingga besok, Sloan. Tapi kau tidak akan membuang-buang waktumu; ada yang kutemukan, yang bisa kupakai untuk membayarmu." Ia mengeluarkan batunya dengan penuh gaya dan meletakkannya dengan lembut di meja yang tergurat-gurat, tempat batu itu memantulkan cahaya api yang menari-nari. "Lebih tepatnya, kau mencurinya," gumam Sloan, sambil mencondongkan tubuh ke depan dengan ekspresi tertarik. Sambil mengabaikan komentar itu, Eragon bertanya, "Apakah ini cukup"" Sloan mengambil batu itu dan mengira-ngira beratnya. Ia mengelus kehalusannya dan memeriksa urat-urat putih di batu tersebut. Dengan pandangan penuh perhitungan, ia meletakkan batu itu kembali. "Cantik, tapi berapa nilainya"" "Entahlah," kata Eragon mengakui, "tapi tidak akan ada yang bersedia bersusah payah membentuknya kalau batu ini tidak bernilai." "Jelas sekali," kata Sloan dengan kesabaran dibuat-buat. "Tapi berapa nilainya" Karena kau tidak mengetahuinya, kusarankan kau cari pedagang yang mengetahuinya, atau terima tawaranku sebesar tiga crown." "Itu terlalu murah! Sedikitnya batu ini bernilai sepuluh kali lipat itu," Eragon memprotes. Tiga crown tidak akan mencukupi biaya pembelian daging untuk kebutuhan selama seminggu. Sloan mengangkat bahu. "Kalau kau tidak menyukai tawaranku, tunggu hingga para pedagang tiba. Yang mana pun, aku sudah bosan dengan percakapan ini." Para pedagang adalah sekelompok penjual dan penghibur nomaden yang mengunjungi Carvahall setiap musim semi dan musim dingin. Mereka membeli kelebihan hasil panen apa pun atau barang-barang buatan para penduduk desa dan petani setempat, dan menjual apa yang mereka butuhkan untuk melewati satu tahun lagi: bibit, hewan, kain, dan persediaan seperti garam dan gula. Tapi Eragon tidak ingin menunggu hingga mereka datang; bisa cukup lama sebelum mereka tiba di sini dan keluarganya membutuhkan daging sekarang. "Baik, kuterima," sergahnya. "Bagus, akan kuambilkan dagingnya. Bukan masalah penting, tapi di mana kau menemukan batu ini"" "Dua malam yang lalu di Spine", "Pergi!" kata Sloan, mendorong batu itu menjauh. Ia berderap marah ke salah satu ujung meja dan mulai menggosok sebilah pisau untuk membersihkan noda darah lama yang tertinggal di sana. "Kenapa"" tanya Eragon. Ia menarik batu itu lebih dekat, seakan melindunginya dari kemarahan Sloan. "Aku tidak bersedia berurusan dengan apa pun yang kaubawa kembali dari pegunungan terkutuk itu! Bawa batu penyihirmu ke tempat lain." Tangan Sloan tiba-tiba meleset dan jarinya terluka
pisau tadi, tapi ia tampak tidak menyadarinya. Ia terus menggosok, mengotori pisau itu dengan darah segar. "Kau menolak menjual padaku!" "Ya! Kecuali kau membayarnya dengan uang," geram Sloan, dan mengangkat pisau, menggerak-gerakkannya. "Pergi, sebelum kupaksa dirimu!" Pintu di belakang mereka terempas membuka. Eragon berputar balik, siap menghadapi lebih banyak masalah. Horst melangkah masuk, ia pria bertubuh tinggi besar. Putri Sloan, Katrina gadis yang jangkung di usia enam belas tahun mengikuti di belakang Horst dengan ekspresi tekad bulat. Eragon merasa terkejut melihat Katrina, Katrina biasanya menghindari pertengkaran apa pun yang melibatkan ayahnya. Sloan melirik mereka dengan waspada, lalu mulai menuduh Eragon. "Ia tidak" "Diam," kata Horst dengan suara menggemuruh, sambil membunyikan buku-buku jemarinya pada saat yang sama. Ia tukang besi Carvahall, sebagaimana yang ditunjukkan lehernya yang tebal dan celemek kulitnya yang hangus. Lengan-lengannya yang kuat telanjang hingga siku, dada yang sangat bidang, kekar dan berbulu, terlihat di atas kemejanya. Janggut hitam yang tidak rapi bergulung-gulung dan bergumpal-gumpal seperti otot-otot rahangnya. "Sloan, apa lagi yang kau lakukan sekarang"" "Tidak ada." Sloan melontarkan pandangan buas ke arah Eragon, lalu meludah. "Si... bocah ini datang kemari dan mulai menggangguku. Kuminta ia pergi, tapi ia tidak mau. Aku bahkan mengancamnya dan ia masih mengabaikan diriku!" Sloan tampak ciut saat memandang Horst. "Apa itu benar"" tanya tukang besi itu. "Tidak!" jawab Eragon. "Kutawarkan batu ini sebagai pembayaran untuk dagingnya, dan ia menerimanya. Sewaktu kuberitahu bahwa aku menemukannya di Spine, ia menolak bahkan untuk menyentuhnya. Apa bedanya dari mana batu ini berasal"" Horst memandang batu itu dengan penasaran, lalu kembali memperhatikan tukang daging tersebut. "Kenapa kau tidak mau berbarter dengannya, Sloan" Aku sendiri tidak menyukai Spine, tapi kalau masalahnya mengenai nilai batu itu, aku berani menukarnya dengan uangku sendiri." Pertanyaan itu mengambang di udara selama beberapa saat. Lalu Sloan menjilat bibir dan berkata, "Ini tokoku sendiri. Aku boleh berbuat sesukaku." Katrina melangkah maju dari belakang Horst dan mengibaskan rambutnya yang merah bagai tembaga cair. "Ayah, Eragon bersedia membayar. Berikan dagingnya, lalu kita bisa makan malam." Mata Sloan menyipit berbahaya. "Pulanglah; ini bukan urusanmu.... Pergi kataku!" Wajah Katrina mengeras, lalu ia bergegas meninggalkan ruangan dengan punggung kaku. Eragon mengawasi dengan pandangan tidak setuju tapi tidak berani mencampuri. Horst menarik-narik janggutnya sebelum berbicara dengan nada menegur, "Baik, kau bisa berurusan denganku. Apa yang kau butuhkan, Eragon"" Suaranya bergetar ke seluruh ruangan. "Sebanyak yang bisa kubawa." Horst mengeluarkan dompet dan menghitung setumpuk koin. "Berikan daging panggang dan steak terbaikmu. Pastikan jumlahnya cukup banyak untuk memenuhi ransel Eragon." Tukang daging itu ragu-ragu, tatapannya berpindah-pindah dari Horst ke Eragon. "Tidak menjual padaku merupakan gagasan yang sangat buruk," kata Horst. Sambil menggeram mengancam, Sloan menyelinap ke ruang belakang. Terdengar keributan orang memotong, membungkus, dan memaki pelan. Setelah beberapa menit yang terasa tidak nyaman, ia kembali membawa setumpuk daging yang dibungkus. Wajahnya tanpa ekspresi sewaktu menerima uang Horst, lalu ia membersihkan pisau, berpura-pura mereka tidak ada di sana. Horst meraup daging itu dan berjalan keluar. Eragon bergegas mengikutinya, membawa ransel dan batunya. Udara malam yang segar mengelus wajah mereka, terasa menyegarkan sesudah berada di dalam toko yang pengap. "Terima kasih, Horst. Paman Garrow akan gembira." Horst tertawa pelan. "Jangan berterima kasih padaku. Aku sudah lama sekali ingin melakukannya. Sloan itu pencari masalah yang kejam; ada baiknya ia ditekan. Katrina mendengar apa yang terjadi dan lari menjemputku. Untung aku datang kalian berdua nyaris berkelahi. Sialnya, aku ragu ia bersedia melayani dirimu atau keluargaku kalau kalian kemari lagi, bahkan kalau kal
ian memiliki uang." "Kenapa ia mengamuk seperti itu" Kami memang tidak pernah berteman, tapi selama ini ia selalu menerima uang kami. Dan aku belum pernah melihat dirinya memperlakukan Katrina seperti itu," kata Eragon, sambil membuka tutup ransel. Horst mengangkat bahu. "Tanyakan pada pamanmu. Ia lebih mengetahui masalah ini daripada diriku." Eragon menjejalkan daging itu ke ranselnya. "Well, sekarang aku memiliki satu alasan lagi untuk pulang secepatnya ... memecahkan misteri itu. Ini, ini milikmu." Ia mengulurkan batunya. Horst tergelak. "Tidak, simpan saja batu anehmu. Sedangkan mengenai pembayaran, Albriech berencana pergi ke Feinster musim semi yang akan datang. Ia ingin menjadi pakar tukang besi, dan aku akan membutuhkan asisten. Kau bisa datang dan bekerja untuk melunasi utangmu di waktu senggang." Eragon membungkuk sedikit, gembira. Horst memiliki dua putra, Albriech dan Baldor, keduanya bekerja di bengkelnya. Menggantikan salah satunya merupakan tawaran yang dermawan. "Sekali lagi, terima kasih! Kutunggu kesempatan untuk bekerja padamu." Ia merasa gembira karena ada jalan untuk membayar Horst. Pamannya tidak akan pernah bersedia menerima sumbangan. Lalu Eragon teringat apa yang dikatakan sepupunya pada dirinya sebelum ia berangkat berburu. "Roran memintaku menyampaikan pesan pada Katrina, tapi karena aku tidak bisa melakukannya, bisa kau sampaikan pesan Roran padanya"" "Tentu saja." "Roran ingin Katrina mengetahui ia akan ke kota begitu para pedagang tiba dan Roran akan menemuinya pada waktu itu." "Hanya itu"" Eragon agak malu. "Tidak, Roran juga ingin Katrina mengetahui ia gadis tercantik yang pernah ditemuinya dan ia tidak pernah memikirkan yang lain lagi." Horst tersenyum lebar, dan mengedipkan sebelah mata pada Eragon. "Mulai serius, bukan"", "Ya, Sir," jawab Eragon sambil tersenyum sekilas. "Bisa kau sampaikan juga terima kasihku padanya" Ia baik sekali mau menantang ayahnya untukku seperti tadi. Kuharap ia tidak dihukum karenanya. Roran akan murka kalau aku menyebabkan Katrina mendapat masalah.", "Aku tidak akan mengkhawatirkan hal itu. Sloan tidak mengetahui Katrina memanggilku, jadi aku ragu ia akan bersikap terlalu keras pada putrinya. Sebelum kau pergi, bisakah kau makan bersama kami dulu"" "Maaf, tapi tidak bisa. Garrow menunggu kepulanganku," kata Eragon, sambil mengikat tutup ransel. Ia mengangkat ranselnya ke punggung dan mulai menyusuri jalan, sambil mengangkat tangan sebagai salam perpisahan. Dagingnya memperlambat langkahnya, tapi ia bersemangat untuk pulang, dan semangat baru memenuhi langkahnya. Desa tiba-tiba berakhir, dan ia meninggalkan cahaya desa yang hangat di belakangnya. Bulan yang bagai mutiara mengintip dari balik pegunungan, memandikan alam dengan bayangan cahaya siang yang bagai hantu. Segala sesuatu tampak pucat dan datar. Menjelang akhir perjalanan, ia berbelok meninggalkan jalan, yang terus membentang ke selatan. Jalan setapak sederhana membentang menerobos rerumputan setinggi pinggang dan mendaki gundukan tanah, nyaris tersembunyi dalam bayang-bayang pepohonan ada yang melindungi. Ia mendaki bukit dan melihat cahaya lembut memancar dari rumahnya. Rumahnya beratap genteng dan bercerobong bata. Tepi atap menjuntai di atas dinding-dinding yang dicat putih, menimbulkan bayangan di tanah di bawahnya. Di satu sisi, serambi tertutupnya dipenuhi kayu bakar yang telah dibelah, siap dibakar. Setumpuk peralatan bertani memenuhi sisi lainnya. Rumah itu telah ditinggalkan selama setengah abad sewaktu mereka pindah ke sana, sesudah istri Garrow, Marian, meninggal. Rumah itu terletak sepuluh mil dari Carvahall, lebih jauh daripada rumah-rumah lain. Orang-orang menganggap jarak itu berbahaya karena keluarga tersebut jadi tidak bisa mengandalkan bantuan dari desa saat menghadapi masalah, tapi paman Eragon tidak bersedia mendengarkan. Seratus kaki dari rumah, dalam lumbung berwarna pudar, hidup dua kuda Birka dan Brugh bersama ayam-ayam dan seekor sapi. Terkadang juga ada babi di sana, tapi mereka tidak mampu membelinya tahun ini. Kereta diparkir di sela-sela kandang. Di tepi ladang mereka, jaj
aran pepohonan yang rimbun membentang di sepanjang tepi Sungai Anora. Ia melihat cahaya bergerak di balik jendela saat ia dengan kelelahan tiba di serambi. "Paman, ini Eragon. Biarkan aku masuk." Pintu lubang pengintip dibuka sejenak, lalu pintunya terayun ke dalam. Garrow berdiri sambil memegangi pintu. Pakaiannya yang lusuh menjuntai pada dirinya seperti kain lap pada tangkai kayu. Wajah yang kurus, kelaparan, dengan tatapan mata tajam, memandang dari bawah rambut yang mulai beruban. Ia tampak seperti orang yang telah separo dimumikan sebelum ketahuan bahwa dirinya masih hidup. "Roran sudah tidur," jawabnya untuk pertanyaan yang terpancar di mata Eragon. Lentera dengan api bergoyang-goyang berdiri di meja kayu yang begitu tua hingga serat-seratnya menonjol bagai sidik jari raksasa. Di dekat tungku kayu terdapat
deretan peralatan memasak yang digantungkan di dinding pada paku buatan sendiri. pintu kedua terbuka ke bagian rumah yang lain. Lantainya terbuat dari papan yang halus akibat diinjak-injak selama bertahun-tahun. Eragon menurunkan ransel dan mengeluarkan daging. "Apa ini" Kau membeli daging" Dari mana kau mendapat uangnya"" tanya pamannya dengan kasar sewaktu melihat bungkusan itu. Eragon menghela napas sebelum menjawab. "Tidak, Horst yang membelikannya untuk kita." "Kau membiarkan ia membayarnya" Sudah kukatakan padamu, aku tidak bersedia mengemis untuk mendapatkan makanan. Kalau kita tidak bisa memberi makan diri kita sendiri, kita sebaiknya pindah ke kota. Sebelum kau bisa berbalik dua kali, mereka akan mengirimi kita pakaian bekas dan menanyakan apakah kita mampu melewati musim dingin." Wajah Garrow memucat karena marah. "Aku tidak menerima sumbangan," sergah Eragon. "Horst setuju untuk mempekerjakan diriku di musim semi untuk membayar utang ini. Ia membutuhkan bantuan karena Albriech akan pergi." "Dan dari mana kau mendapat waktu untuk bekerja padanya" Apakah kau akan mengabaikan segala sesuatu yang harus dilakukan di sini"" tanya Garrow, memaksa diri merendahkan suaranya. Eragon menggantung busur dan tabung anak panahnya di kaitan di samping pintu depan. "Aku tidak mengetahui bagaimana caraku akan melakukannya," katanya jengkel. "Lagi pula, ada yang kutemukan yang mungkin berharga." Ia meletakkan batunya di meja. Garrow membungkuk di atasnya; ekspresi lapar yang memancar di wajahnya menghebat, dan jemarinya tersentak-sentak aneh. "Kau menemukan ini di Spine"", "Ya," kata Eragon. Ia menjelaskan apa yang terjadi. "Dan untuk memperburuk masalah, aku kehilangan anak panah terbaikku. Tidak lama lagi aku terpaksa harus membuat anak-anak panah yang baru." Mereka menatap batu tersebut dalam keremangan. "Bagaimana cuacanya"" tanya pamannya, sambil mengangkat batu itu. Kedua tangannya mencengkeram batu tersebut erat-erat seakan takut batu itu akan menghilang tiba-tiba. "Dingin," jawab Eragon. "Tidak turun salju, tapi setiap malam air membeku." Garrow tampak khawatir mendengar kabar itu. "Besok kau terpaksa membantu Roran memanen gandum. Kalau kita sempat memanen jeruknya juga, hawa dingin tidak akan mengganggu kita." Ia mengembalikan batu itu kepada Eragon. "Ini, simpanlah. Saat para pedagang datang nanti, kita cari tahu berapa nilainya. Menjualnya mungkin tindakan yang terbaik. Semakin sedikit kita berhubungan dengan sihir semakin baik .... Kenapa Horst membelikan dagingnya"" Eragon hanya membutuhkan waktu sejenak untuk menjelaskan pertengkarannya dengan Sloan. "Aku hanya tidak mengerti apa yang menyebabkan ia semarah itu." Garrow mengangkat bahu. "Istri Sloan, Ismira, pergi ke Air Terjun Igualda setahun sebelum kau dibawa kemari. Sejak itu Sloan tidak pernah mendekati Spine, dan tidak bersedia berurusan dengan tempat itu. Tapi itu bukan alasan untuk menolak pembayaran. Kupikir ia sengaja mencari masalah denganmu." Eragon terhuyung kelelahan dan berkata, "Senang rasanya pulang." Pandangan Garrow melunak, dan ia mengangguk. Eragon berjalan terseret-seret ke kamarnya, mendorong batu itu ke bawah ranjang, lalu menjatuhkan diri di kasur. Pulang. Untuk pertama kalinya sejak berangkat berburu, ia merasa santai sepenuhnya
ketika kantuk menguasai dirinya.
KISAH-KISAH NAGA Saat subuh, berkas cahaya matahari menerobos masuk melalui jendela, menghangatkan wajah Eragon. Sambil menggosok-gosok mata, ia duduk di tepi ranjang. Lantai kayu pinus terasa dingin dikakinya. Ia meregangkan kakinya yang sakit dan menggosok-gosok punggungnya, menguap. Di samping ranjang terdapat sederet rak yang dipenuhi benda-benda yang dikumpulkannya selama ini. Ada potongan-potongan kayu yang terpuntir, kulit-kulit kerang yang aneh, bebatuan yang pecah dan menampilkan bagian dalamnya yang mengilap, dan bilah-bilah rumput kering yang disimpul. Benda kesukaannya adalah akar yang begitu rumit hingga ia tidak pernah merasa bosan memandanginya. Tidak ada apa-apa lagi di bagian lain kamarnya, kecuali lemari dan meja kecil. Ia mengenakan sepatu bot dan menatap lantai, berpikir. Ini hari istimewa. Hampir tiba waktunya, enam belas tahun yang lalu, sewaktu ibunya, Selena, pulang ke Carvahall seorang diri dan dalam keadaan hamil. Ibunya pergi selama enam tahun, tinggal di kota-kota besar. Sewaktu ibunya kembali, ia mengenakan pakaian yang mahal dan rambutnya diikat jaring-jaringmutiara. Ia mencari kakaknya, Garrow, dan meminta izin tinggal bersamanya hingga bayinya lahir. Dalam waktu lima bulan putranya pun lahir. Semua orang merasa kaget sewaktu Selena sambil berurai air mata memohon pada Garrow dan Marian agar bersedia membesarkan putranya. Sewaktu mereka menanyakan alasannya, Selena hanya menangis dan berkata, "Aku harus melakukannya." Permohonannya semakin lama semakin lirih memelas hingga mereka akhirnya setuju. Selena pun menamai putranya Eragon, lalu berangkat pagi-pagi sekali meninggalkan semuanya tanpa pesan keesokan harinya dan tidak pernah kembali. Eragon masih ingat bagaimana perasaannya sewaktu Marian memberitahukan kisah itu padanya sebelum meninggal. Kesadaran bahwa Garrow dan Marian bukanlah orangtua kandungnya sangat mengganggu dirinya. Hal-hal yang tadinya permanen dan tidak perlu dipertanyakan tiba-tiba berubah menjadi meragukan. Akhirnya ia belajar menerima kenyataan tersebut, tapi sejak itu ia selalu merasa curiga dirinya tidaklah cukup baik bagi ibunya. Aku yakin ada alasan bagus untuk tindakannya; kalau saja aku mengetahuinya. Satu hal lagi yang mengusiknya: Siapa ayahnya" Selena tidak pernah memberitahu siapa pun tentang itu, dan siapa pun ayahnya mungkin tidak akan pernah datang mencari Eragon. Ia berharap bisa mengetahui siapa ayahnya, sekadar tahu namanya pun tidak apa-apa. Pasti menyenangkan kalau bisa mengetahui garis keturunannya. Ia mendesah dan melangkah ke meja kecil, tempat ia membasahi wajahnya, menggigil saat air mengalir menuruni lehernya. Dengan perasaan lebih segar, ia mengambil batu itu dari bawah ranjang dan meletakkannya di rak. Cahaya pagi mengelusnya, menebarkan bayang-bayang hangat di dinding. Ia menyentuhnya sekali lagi, lalu bergegas ke dapur, sangat ingin menemui keluarganya. Garrow dan Roran telah berada di sana, menyantap ayam. Saat Eragon menyapa mereka, Roran berdiri sambil tersenyum. Roran dua tahun lebih tua dari pada Eragon, berotot, kekar, dan hati-hati dalam bergerak. Mereka dekat sekali, bahkan melebihi saudara kandung. Roran menyapa. "Aku senang kau pulang. Bagaimana perjalanannya"", "Sulit," jawab Eragon. "Paman sudah menceritakan apa yang terjadi"" Ia mengambil sepotong ayam , lalu disantapnya dengan lapar. "Tidak," kata Roran, dan kisah itu pun disampaikan dengan cepat. Atas desakan Roran, Eragon meninggalkan makanannya untuk menunjukkan batu itu padanya. Benda itu menimbulkan ketertegunan yang memuaskan, tapi tidak lama kemudian Roran bertanya dengan gugup, "Kau sempat berbicara dengan Katrina"", "Tidak, tidak ada kesempatan sesudah pertengkaran dengan Sloan. Tapi ia akan menunggumu ketika para pedagang datang. Kutitipkan pesanmu pada Horst; ia akan menyampaikannya." "Kau memberitahu Horst"" ulang Roran tertegun. "Itu pesan pribadi. Kalau aku ingin semua orang mengetahuinya, aku bisa membuat api unggun dan menggunakan isyarat asap untuk berkomunikasi. Kalau Sloan mengetahuinya, ia tidak akan mengizinkan aku menemui
Katrina lagi." "Horst akan merahasiakannya," Eragon meyakinkan sepupunya. "Ia tidak akan membiarkan siapa pun menjadi korban Sloan, apalagi dirimu." Roran tampak tak yakin, tapi tidak mendebatnya lagi. Mereka kembali makan bersama Garrow yang berdiam diri. Sewaktu gigitan terakhir telah ditelan, ketiganya pergi ke ladang untuk bekerja. Matahari dingin dan pucat, hanya memberi sedikit kenyamanan. Di bawah tatapan mentari yang tajam, gandum terakhir disimpan di lumbung. Lalu, mereka mengumpulkan buah-buahan, lalu rutabaga, bit, kacang polong, lobak, dan kacang, yang mereka simpan di ruang bawah tanah. Sesudah bekerja berjam-jam, mereka meregangkan otot-otot mereka yang kram, merasa senang panen telah dituai seluruhnya.
Hari-hari berikutnya mereka habiskan dengan membuat acar, menggarami, menguliti, dan menyiapkan makanan untuk musim dingin.
Sembilan hari setelah kepulangan Eragon, badai salju yang hebat mengamuk dari pegunungan dan mengaduk-aduk lembah. Salju turun dengan lebat, menyelimuti pedalaman dengan warna putih. Mereka hanya berani meninggalkan rumah untuk mengambil kayu bakar dan memberi makan hewan-hewan ternak, karena mereka takut tersesat dalam angin yang melolong dan alam yang tampak sama. Mereka menghabiskan waktu dengan meringkuk di dekat tungku sementara angin mengguncang daun jendela
yang tebal. Berhari-hari kemudian badai akhirnya mereda, menampilkan dunia yang asing berwarna putih dan lembut.
"Aku khawatir para pedagang tidak datang tahun ini, dengan kondisi seburuk ini," kata Garrow. "Mereka sekarang sudah terlambat. Kita beri mereka kesempatan dan menunggu sebelum pergi ke Carvahall. Tapi kalau mereka tidak muncul sebentar lagi, kita terpaksa membeli pasokan cadangan dari penduduk kota." Ekspresinya pasrah.
Mereka menjadi semakin gelisah saat hari demi hari berlalu tanpa tanda-tanda kehadiran para pedagang. Mereka jarang bercakap-cakap, dan depresi menyelimuti rumah.
Di pagi hari kedelapan, Roran pergi ke jalan dan mengkonfirmasi bahwa para pedagang masih belum melintas. Hari itu dilewati dengan mempersiapkan diri pergi ke Carvahall, memilah-milah barang-barang yang bisa dijual dengan ekspresi muram. Malamnya, karena putus asa, Eragon memeriksa jalan sekalilagi. Ia menemukan ceruk-ceruk yang dalam di salju, dengan puluhan jejak ladam kuda di sela-selanya. Dengan gembira ia berlari pulang sambil berteriak-teriak, membawa semangat baru ke dalam persiapan mereka. Mereka mengemasi kelebihan panen mereka ke kereta sebelum matahari terbit. Garrow meletakkan uang hasil tahun ini di kantong kulit yang dengan hati-hati
diikatkannya ke sabuknya. Eragon meletakkan batu yang telah dibungkus di sela kantong-kantong berisi biji-bijian agar tidak terguling jatuh sewaktu kereta menghantam tonjolan di jalan. Sesudah sarapan tergesa-gesa, mereka memasang kekang kuda dan membersihkan jalur ke jalan. Kereta-kereta pedagang telah menyingkirkan sebagian saljunya, yang mempercepat perjalanan mereka. Pada tengah hari mereka bisa melihat Carvahall. Di siang hari, Carvahall hanyalah desa kecil biasa, penuh teriakan dan tawa. Para pedagang membuka kemah di ladang kosong di tepi kota. Kelompok-kelompok kereta, tenda, dan api unggun menyebar secara acak di sana, bintik-bintik warna di salju. Tenda para penghibur jalanan didekorasi meriah. Barisan orang terus-menerus menghubungkan perkemahan itu dengan desa.
Orang-orang mengerumuni sederetan tenda dan bilik berwarna cerah yang menyesaki jalan utama. Kuda-kuda meringkik mendengar keributannya. Salju terinjak-injak hingga rata, menyebabkan permukaannya mengilap bagai kaca; di tempat lain, api-api unggun melelehkannya. Kacang hazelnut panggang menambahkan aroma yang kaya ke bau yang menyebar di sekeliling mereka. Garrow memarkir kereta dan mengikat kuda-kuda ke tiang, lalu mengambil koin-koin dari kantong. "Bersenang-senanglah. Roran, lakukan apa yang kauinginkan, hanya saja kau harus berada di rumah Horst pada saat makan malam. Eragon, bawa batu itu dan ikut aku."
Eragon nyengir ke arah Roran dan mengantongi uangnya, ia telah memiliki rencana untuk menghabiskan uang itu.
Roran berge gas pergi dengan ekspresi tekad bulat di wajahnya. Garrow mengajak Eragon memasuki kerumunan, menerobos jalan melewati orang-orang. Para wanita membeli kain, sementara di dekat mereka para suami memeriksa selot, kaitan, atau alat baru. Anak-anak berlari mondar-mandir di jalan, menjerit-jerit gembira. Pisau-pisau dipamerkan di sini, bumbu-bumbu di sana, dan panci-panci berjajar membentuk barisan mengilap di samping kekang kulit. Eragon menatap para pedagang itu dengan penasaran. Mereka tampaknya tidak semakmur tahun lalu. Anak-anak mereka memancarkan pandangan ketakutan, waspada, dan pakaian mereka penuh tambalan. Para pria kurus menyandang pedang dan pisau dengan kikuk karena masih baru, bahkan para wanitanya menyandang belati di sabuk mereka. Apa yang terjadi hingga mereka menjadi seperti ini" Dan kenapa mereka begitu terlambat" pikir Eragon penasaran. Ia ingat para pedagang dulu selalu riang gembira, tapi sekarang hal itu tidak terlihat lagi. Garrow terus berjalan menyusuri jalan, mencari Merlock, pedagang yang mengkhususkan diri pada jimat tua dan perhiasan. Mereka menemukannya di balik bilik, memamerkan bros-bros kepada sekelompok wanita. Saat setiap bros baru ditunjukkan, terdengar seruan-seruan dan decac kekaguman dari para pengunjung yang akan membeli ataupun hanya melihat saja.
Eragon menebak lebih dari beberapa dompet akan segera kosong. Merlock tampak membesar setiap kali dagangannya dipuji. Ia berjanggut kambing, sikapnya santai, dan tampaknya memandang dunia dengan agak benci.
Kelompok yang penuh semangat itu menghalangi Garrow dan Eragon mendekati si pedagang, jadi mereka duduk di tangga dan menunggu. Begitu Merlock tidak sibuk, mereka bergegas mendekat. "Dan apa yang kalian, tuan-tuan, ingin lihat"" tanya Merlock. "Jimat atau kalung untuk wanita"" Dengan gaya ia mengeluarkan mawar perak yang diukir rumit, hasil karya yang luar biasa. Logam yang dipoles itu menarik perhatian Eragon, dan ia menatapnya dengan pandangan kagum. Pedagang itu melanjutkan, "Bahkan kurang dari tiga crown, meskipun asalnya dari jauh, dari keahlian para tukang di Belatona." Garrow berbicara dengan suara pelan. "Kami tidak berniat membeli, tapi menjual." Merlock seketika menyimpan mawar itu dan memandang mereka dengan minat baru. "Aku mengerti. Mungkin, kalau benda itu ada harganya, kau ingin menukarnya dengan satu atau dua benda luar biasa di sini." Ia diam sejenak sementara Eragon dan pamannya berdiri dengan tidak nyaman, lalu melanjutkan, "Kalian membawa benda yang dimaksudkan"" "Memang, tapi kami lebih suka menunjukkannya padamu di tempat lain," kata Garrow dengan suara tegas. Merlock mengangkat satu alis matanya, tapi berbicara dengan tenang. "Kalau begitu, izinkan aku mengundang kalian ke tendaku." Ia mengumpulkan dagangannya dan dengan lembut meletakkannya di dalam peti bertepi besi, yang dikuncinya. Lalu ia mengajak mereka menyusuri jalan dan memasuki perkemahan sementara. Mereka berjalan berbelok-belok di sela kereta-kereta ke tenda yang terpisah dari tenda-tenda para pedagang lainnya. Tenda itu merah pada puncaknya dan hitam di bagian bawahnya, dengan segitiga-segitiga berwarna sama yang saling menusuk. Merlock membuka ikatan pintu dan mengibaskan tutupnya ke satu sisi.
Berbagai perhiasan kecil dan perabotan aneh, seperti ranjang bulat dan tiga kursi yang diukir dari tunggul pohon, mengisi tenda itu. Sebilah pisau dengan sebutir batu mirah pada tangkainya terletak di atas bantal putih.
Merlock menutup pintu tenda dan berpaling pada mereka. "Silakan, duduklah." Sesudah mereka duduk, ia berkata, "Sekarang tunjukkan padaku kenapa kita bertemu secara pribadi seperti ini." Eragon membuka bungkusan batunya dan meletakkannya di antara kedua pria itu. Merlock mengulurkan tangan dengan mata berbinar, lalu berhenti.
Ia bertanya, "Boleh"" Sewaktu Garrow memberi isyarat mengizinkan, Merlock mengambil batu itu. Ia meletakkan benda tersebut di pangkuannya dan meraih ke satu sisi untuk mengambil kotak tipis. Saat dibuka, ternyata isinya serangkaian timbangan tembaga besar, kemudian ia meletakkannya di tanah. Sesudah menimbang berat batu itu
, ia memeriksa permukaannya menggunakan kaca ahli perhiasan, mengetuknya dengan lembut menggunakan martil kayu, dan memeriksa permukaan batu yang halus. Ia mengukur panjang dan diameternya, lalu mencatat angka-angkanya pada sekeping papan. Ia mempertimbangkan hasilnya sejenak. "Kalian tahu berapa nilai batu ini""
"Tidak," kata Garrow mengakui. Pipinya berdenyut-denyut, dan ia bergeser dengan tidak nyaman di kursinya. Merlock meringis. "Sialnya, aku juga tidak mengetahuinya. Tapi ini yang bisa kuberitahukan pada kalian: urat-urat putihnya terbuat dari materi yang sama dengan batu biru yang mengelilinginya, hanya berbeda warna. Tapi materi apa ini, aku sama sekali tidak mengetahuinya. Benda ini lebih keras daripada batu mana pun yang pernah kulihat, bahkan lebih keras daripada berlian. Siapa pun yang membentuknya menggunakan peralatan yang belum pernah kulihat-atau sihir. Selain itu, batu ini berlubang dalamnya. "Apa"" seru Garrow. Kejengkelan mulai terdengar dalam suara Merlock. "Apakah kau pernah mendengar batu yang kedengaran seperti ini"" Ia meraih pisau di atas bantal dan memukul batu dengan bagian mata pisau yang pipih. Nada murni memenuhi udara, lalu menghilang dengan halus. Eragon waspada, khawatir batu itu rusak. Merlock memiringkan batu ke arah mereka.
"Kalian tidak akan menemukan goresan atau noda apa pun di tempat pisau tadi menyentuhnya. Aku ragu bisa menimbulkan kerusakan apa pun pada batu ini, bahkan kalau aku menggunakan palu." Garrow bersedekap dengan ekspresi tertutup. Dinding kesunyian mengepung dirinya. Eragon kebingungan. Aku tahu batu itu muncul di Spine melalui sihir, tapi dibuat dengan sihir. Untuk apa dan kenapa" Ia bertanya tanpa berpikir, "Tapi berapa nilainya"" "Aku tidak bisa mengatakannya," kata Merlock dengan suara tertahan. "Aku yakin ada orang-orang yang akan bersedia membayar sangat mahal untuk memilikinya, tapi tidak satu pun dari mereka ada di Carvahall. Kalian terpaksa pergi ke kota-kota besar di selatan untuk menemukan pembeli. Ini benda antik bagi sebagian besar orang-orang takkan rela menghabiskan uang untuk membelinya karena yang dibutuhkan adalah benda-benda yang bisa digunakan."
Garrow menatap langit-langit tenda seperti penjudi yang menghitung peluang. "Kau mau membelinya"" Pedagang itu seketika menjawab, "Tidak sebanding dengan risikonya. Aku mungkin bisa menemukan pembeli yang kaya dalam perjalanan musim semiku, tapi aku tidak bisa memastikannya. Bahkan kalau kutemukan, kalian tidak akan mendapat bayaran sebelum aku kembali tahun depan. Tidak, kalian terpaksa mencari orang lain untuk menjualnya. Tapi aku penasaran .... Kenapa kalian berkeras untuk berbicara secara pribadi denganku"" Eragon menyimpan batunya sebelum menjawab. "Karena," katanya sambil melirik pria itu, penasaran apakah ia akan mengamuk seperti Sloan, "aku menemukan batu ini di Spine, dan orang-orang di sekitar sini tidak menyukai tempat itu."
Merlock memandangnya dengan terkejut. "Kau tahu kenapa rekan-rekan pedagangku dan aku sendiri terlambat tahun ini""
Eragon menggeleng. "Perjalanan kami dibebani kesialan. Kekacauan tampaknya menguasai Alagaesia. Kami tidak bisa menghindari penyakit, serangan, dan kesialan yang paling terkutuk. Karena serangan-serangan Varden meningkat, Galbatorix memaksa kota-kota besar mengirim lebih banyak prajurit ke perbatasan, orang-orang yang dibutuhkan untuk melawan kaum urgal. Makhluk-makhluk kasar itu bermigrasi ke tenggara, ke arah Padang Pasir Hadarac. Tidak ada seorang pun yang mengetahui alasannya dan hal itu tidak mengkhawatirkan bagi kami, kecuali bahwa mereka melewati wilayah-wilayah yang dihuni. Mereka terlihat di jalan-jalan dan di dekat kota-kota
besar. Yang paling buruk adalah laporan adanya seorang Shade, walaupun kisah-kisah ini tidak terkonfirmasi. Tidak banyak orang yang mampu selamat dari pertemuan semacam itu." "Kenapa kami tidak mendengar satu pun dari kabar-kabar ini"" seru Eragon.
"Karena," kata Merlock muram, "kejadian ini baru dimulai beberapa bulan yang lalu. Banyak desa yang terpaksa pindah seluruhnya karena kaum Urgal menghancurkan ladang-ladang mereka dan
kelaparan mengancam." "Omong kosong," kata Garrow. "Kami tidak melihat satu Urgal pun; satu-satunya Urgal yang ada di sini tanduknya telah terpampang di kedai Morn." Merlock melengkungkan sebelah alis matanya. "Mungkin begitu, tapi tempat ini hanyalah desa kecil yang tersembunyi di pegunungan. Tidak mengejutkan kalau kalian tidak menarik perhatian. Tapi, aku tidak akan berharap hal itu berlangsung lama. Aku menyinggung hal ini hanya karena kejadian-kejadian aneh yang terjadi di sini, seperti kau menemukan batu seperti itu di Spine." Setelah mengatakan pernyataan yang mengejutkan tersebut, ia mengucapkan selamat berpisah pada mereka dengan membungkuk dan tersenyum sekilas.
Garrow menuju Carvahall lagi, diikuti Eragon di belakangnya.
"Bagaimana pendapatmu"" tanya Eragon.
"Aku akan mencari informasi lebih banyak sebelum mengambil keputusan. Kembalikan batu itu ke kereta, lalu lakukan apa pun yang kau inginkan. Akan kutemui kau untuk makan malam di rumah Horst." Eragon menerobos kerumunan dan dengan gembira melesat kembali ke kereta. Transaksi jual-beli akan memakan waktu pamannya, waktu yang direncanakan Eragon akan ia nikmati sepenuhnya. Ia menyembunyikan batu itu di bawah kantong-kantong, lalu pergi ke kota dengan langkah-langkah mantap.
Ia berjalan dari satu kios ke kios yang lain, memeriksa barang-barangnya dengan mata pembeli, sekalipun persediaan koinnya hanya sedikit. Sewaktu ia bercakap-cakap dengan para pedagang, mereka mengkonfirmasi apa yang dikatakan Merlock tentang ketidak stabilan di Alagaesia. Berkali-kali pesannya diulang: situasi aman tahun lalu meninggalkan kita; bahaya-bahaya baru muncul, dan tidak ada yang aman.
Sore harinya ia membeli tiga batang gula-gula dan sepotong kue ceri yang panas. Makanan panas itu terasa lezat sesudah berdiri berjam-jam di salju. Ia menjilati sirup yang lengket dari jemarinya dengan menyesal, berharap masih ada lagi, lalu duduk di tepi serambi dan bermain-main dengan sepotong permen. Dua bocah dari Carvahall bergulat di dekatnya, tapi Eragon tidak ingin bergabung dengan mereka.
Saat hari bergulir ke senja, para pedagang mengalihkan transaksi mereka ke rumah-rumah penduduk. Eragon merasa tidak sabar menunggu turunnya malam, saat para penghibur jalanan keluar untuk menyampaikan kisah-kisah dan menampilkan berbagai atraksi. Ia senang mendengar cerita tentang sihir, dewa-dewa, dan,
kalau mereka sangat beruntung, tentang para Penunggang Naga. Carvahall memiliki tukang ceritanya sendiri, Brom teman Eragon tapi ceritanya tidak pernah berubah selama bertahun-tahun, sementara para penghibur jalanan selalu memiliki cerita-cerita baru yang didengarnya dengan penuh semangat.
Eragon baru saja mematahkan sebatang es dari sisi bawah serambi sewaktu melihat Sloan di dekatnya. Tukang jagal itu tidak melihat dirinya, jadi Eragon menunduk dan melesat ke balik tikungan menuju kedai Morn.
Bagian dalam kedai itu terasa panas dan dipenuhi asap berminyak dari lilin-lilin lemak hewan. Tanduk-tanduk Urgal yang hitam mengilap, bentuknya yang terpuntir-puntir dan sepanjang lengannya kalau dibentangkan, terpasang di atas pintu. Barnya panjang dan rendah, dengan setumpuk tongkat di salah satu ujungnya untuk diukir para pelanggan. Morn mengurusi bar, lengan kemejanya digulung hingga siku. Bagian bawah wajahnya pendek dan hancur, seakan ia telah menempelkan dagunya ke roda-roda penggilas. Orang-orang mengerumuni meja-meja kayu ek yang kokoh dan mendengarkan dua pedagang yang menyelesaikan bisnisnya lebih awal dan mengunjungi kedai untuk minum bir. Morn menengadah dari gelas besar yang tengah dibersihkannya. "Eragon! Senang bertemu denganmu. Mana pamanmu"" "Berbelanja," kata Eragon sambil mengangkat bahu. "Ia akan cukup lama."' "Dan Roran, apakah ia datang"" tanya Morn sambil mengusapkan kain lap ke gelas besar yang lain.
"Ya, tidak ada hewan sakit yang menghalanginya tahun ini." "Bagus, bagus."
Eragon memberi isyarat ke arah kedua pedagang. "Siapa mereka""
"Pembeli biji-bijian. Mereka membeli biji-biji dari semua orang dengan harga yang luar biasa rendah, dan sekarang mereka memberitahukan kisah-kisah yang
liar, berharap kita memercayai mereka." Eragon mengerti kenapa Morn begitu jengkel. Semua orang membutuhkan uang. Kami tidak akan bisa bertahan tanpa uang "Kisah-kisah macam apa"" Morn mendengus. "Kata mereka Varden sudah bersekutu dengan kaum Urgal dan mengumpulkan tentara untuk menyerang kita. Katanya, hanya berkat kebaikan raja kitalah kita terlindungi sejauh ini-seakan Galbatorix peduli kalau kita terbakar hingga rata dengan tanah. ... Dengarkan saja sendiri bualan mereka. Aku sudah cukup sibuk tanpa harus menjelaskan kebohongan-kebohongan mereka." Pedagang pertama memenuhi kursi dengan pantatnya yang besar; setiap gerakannya menyebabkan kursi memprotes keras. Tidak ada sedikit pun rambut di wajahnya, tangannya yang gemuk sehalus tangan bayi, dan bibirnya yang selalu cemberut tampak semakin menonjol saat ia menghirup isi gucinya. Orang kedua berwajah bopeng. Kulit di sekitar rahangnya kering dan pecah-pecah, penuh gundukan lemak keras, seperti mentega dingin yang membusuk. Kontras dengan leher dan rahangnya, anggota tubuhnya yang lain sangat kurus di luar kewajaran. Pedagang pertama dengan sia-sia berusaha mengecilkan pantatnya agar bisa masuk ke kursi sepenuhnya. Ia berkata, "Tidak, tidak, kalian tidak mengerti. Hanya berkat usaha tanpa henti Raja untuk kalianlah makanya kalian bisa mendebat kami dengan aman. Kalau ia, dengan segala kebijakannya, terpaksa menarik dukungan, kalian akan hancur!"
Ada yang memprotes, "Ya... ya..., bagaimana kalau kau sekalian memberitahu kami bahwa para Penunggang sudah kembali dan kalian masing-masing telah membunuh ratusan elf" Kau pikir kami ini anak-anak hingga memercayai ceritamu" Kami bisa menjaga diri." Kelompok itu tertawa.
Pedagang tersebut hendak menjawab sewaktu rekannya yang kurus menyela dengan lambaian tangan. Perhiasan yang mewah memenuhi jemarinya. "Kalian salah mengerti. Kita tahu Kekaisaran tidak bisa memperhatikan kita satu demi satu, sebagaimana yang mungkin kalian inginkan, tapi Kekaisaran bisa mencegah kaum Urgal dan para penjahat lainnya meluluh lantakkan," ia dengan susah payah berusaha mencari kata yang tepat, "tempat ini." Pedagang itu melanjutkan, "Kalian marah karena Kekaisaran memperlakukan orang-orang secara tidak adil, keprihatinan yang sah-sah saja, tapi pemerintah tidak bisa memuaskan semua orang. Pada akhirnya akan ada argumentasi dan konflik. Tapi, mayoritas dari kita tidak memiliki apa pun untuk dikeluhkan. Setiap negara pasti memiliki kelompok-kelompok kecil yang merasa tidak puas dengan keseimbangan kekuasaan." "Yeah," kata seorang wanita, "kalau kau mau menyebut kaum Varden kecil!"
Pria gendut itu mendesah. "Kami sudah menjelaskan bahwa kaum Varden tidak berniat membantu kalian sama sekali. Itu hanya kepalsuan yang disebarkan para pengkhianat dalam usaha mereka mengacaukan Kekaisaran dan meyakinkan kita bahwa ancaman yang sebenarnya ada di dalam-bukan di luar-perbatasan kita. Mereka hanya ingin menjatuhkan Raja dan mengambil alih tanah kita. Mereka memiliki mata-mata di mana-mana sambil bersiap-siap menginvasi. Kalian tidak akan pernah mengetahui siapa yang mungkin bekerja bagi mereka."
Eragon tidak setuju, tapi para pedagang itu pandai bicara, dan orang-orang mengangguk-angguk. Ia melangkah maju dan berkata, "Dari mana kalian mengetahuinya" Aku bisa mengatakan awan berwarna hijau, tapi tidak berarti kata-kataku benar. Buktikan bahwa kalian tidak berbohong." Kedua orang itu memelototi dirinya sementara para penduduk desa menunggu jawaban sambil membisu.
Pedagang yang kurus berbicara terlebihdulu. Ia menghindari tatapan Eragon. "Apakah kalian anak-anak tidak pernah diajari sopan santun" Atau kalian membiarkan bocah-bocah menantang orang tua kapan pun mereka menginginkannya""
Para pendengar bergerak-gerak gelisah dan menatap Eragon. Lalu seorang pria berkata, "Jawab pertanyaannya." "Hanya masalah logika biasa," kata si pedagang gemuk, keringat mulai menitik di bibir atasnya.
Jawabannya memicu kemarahan penduduk desa, dan perselisihan berlanjut.
Eragon kembali ke bar dengan mulut terasam-asam. Ia belum pernah bertemu orang yang menyukai Kekaisaran dan
menjelek-jelekkan musuh-musuhnya. Ada kebencian yang berurat akar terhadap Kekaisaran di Carvahall, kebencian yang nyaris turun-temurun. Kekaisaran tidak pernah membantu mereka selama tahun-tahun sulit
ketika mereka nyaris kelaparan, dan para penarik pajaknya sama sekali tidak berperasaan. Eragon merasa tindakannya benar untuk tidak menyetujui para pedagang tentang kebaikan Raja, tapi ia memang berspekulasi mengenai kaum Varden.
Kaum Varden adalah sekelompok pemberontak yang terus menjarah dan menyerang Kekaisaran. Siapa pemimpin mereka atau siapa yang membentuk mereka di tahun-tahun sesudah Galbatorix naik tahta lebih dari seabad yang lalu masih merupakan misteri. Kelompok itu mendapat banyak simpati karena berhasil menghindari usaha-usaha Galbatorix menghancurkan mereka. Hanya sedikit yang diketahui mengenai kaum Varden, cuma bahwa kalau kau pelarian dan terpaksa bersembunyi, atau kalau kau membenci Kekaisaran, mereka akan menerima dirimu. Satu-satunya masalah hanyalah menemukan mereka. Morn mencondongkan tubuh mendekat dan berkata, "Luar biasa, bukan" Mereka lebih buruk daripada burung-burung pemakan bangkai yang terbang berputar-putar di atas hewan sekarat. Akan ada masalah kalau mereka tetap di sini lebih lama lagi." "Bagi kita atau bagi mereka"" "Mereka," kata Morn sementara suara-suara kemarahan memenuhi kedai. Eragon meninggalkan tempat itu sewaktu perdebatan tampaknya akan menjadi brutal. Pintu berdebum menutup di belakangnya, memutus suara-suara itu. Saat itu senja baru turun, dan matahari terbenam dengan cepat; rumah-rumah menyebarkan bayang-bayang panjang di tanah. Saat Eragon melangkah ke jalan, ia melihat Roran dan Katrina berdiri di lorong.
Roran mengatakan sesuatu yang tidak bisa didengar Eragon. Katrina menunduk memandang tangannya dan menjawab dengan suara pelan, lalu berjinjit dan mencium Roran sebelum menghambur pergi. Eragon berlari-lari kecil mendekati Roran.
"Bersenang-senang"" katanya menggoda. Roran menggerutu tidak jelas sambil melangkah pergi. "Kau sudah mendengar kabar dari para pedagang"" tanya Eragon, mengikutinya. Sebagian besar penduduk desa telah berada di dalam rumah, bercakap-cakap dengan para pedagang atau menunggu hingga cuaca cukup gelap ketika para penghibur jalanan akan tampil.
"Ya." Perhatian Roran tampaknya terpecah. "Apa pendapatmu mengenai Sloan""
"Kupikir sudah jelas." "Akan ada pertumpahan darah di antara kami kalau ia mengetahui tentang Katrina dan aku," kata Roran.
Bunga salju mendarat di hidung Eragon, dan ia menengadah. Langit berubah kelabu. Ia tidak bisa memikirkan kata-kata yang tepat untuk diucapkan; Roran benar. Ia menepuk bahu sepupunya sementara mereka terus berjalan.
Makan malam di Horst berlangsung gembira. Ruangan penuh percakapan dan tawa. Camilan manis dan ale kental melimpah-limpah, menambah cerah suasana. Sewaktu piring-piring telah kosong, para tamu Horst meninggalkan rumah dan berjalan ke padang tempat para pedagang berkemah. Tonggak dengan lilin di ujungnya ditancapkan di tanah membentuk lingkaran yang luas. Api unggun berkobar-kobar di latar belakang, mewarnai tanah dengan bayang-bayang yang menari-nari. Para penduduk desa perlahan-lahan berkumpul di sekeliling lingkaran dan menunggu dengan penuh harap dalam dinginnya udara. Para penghibur jalanan berhamburan keluar dari tenda mereka, mengenakan pakaian warna-warni, diikuti para musisi jalanan yang lebih tua dan lebih anggun. Para musisi jalanan menyediakan musik dan narasi sementara rekan-rekan mereka yang lebih muda menampilkan ceritanya. Drama-drama pertama merupakan hiburan murni: kasar dan penuh lelucon, dengan karakter-karakter yang konyol. Tapi kemudian, sewaktu lilin-lilin mulai berkedip-kedip nyaris padam di tempatnya dan semua orang telah berkerumun rapat, si tukang cerita tua Brom melangkah maju. Janggut putih bergumpal bergoyang-goyang di dadanya, dan sehelai mantel hitam panjang membungkus behunya yang bungkuk, menyembunyikan tubuhnya. Ia membentangkan lengan dengan tangan-tangan yang terjulur keluar bagai cakar dan bercerita:
"Butir-butir waktu tidak bisa dihentikan. Tahun-tahun berlalu en
tah kita menginginkannya atau tidak... tapi kita bisa mengingat. Apa yang telah hilang mungkin masih hidup dalam kenangan. Apa yang akan kalian dengar tidak sempurna dan sepotong-sepotong, tapi hargailah, karena tanpa kalian, kisah ini tidak akan ada. Sekarang kuberi kalian kenangan yang telah dilupakan, tersembunyi dalam kabut mimpi yang berada di belakang kita."
Matanya yang tajam mengamati wajah-wajah mereka yang tegang. Tatapannya bertahan pada Eragon di saat terakhir. "Sebelum ayah dari kakek kalian dilahirkan, dan yea, bahkan sebelum ayah mereka, para Penunggang Naga dibentuk. Melindungi dan menjaga merupakan misi mereka, dan selama ribuan tahun mereka berhasil. Kesigapan mereka dalam bertempur tidak tertandingi, karena masing-masing memiliki kekuatan sepuluh orang. Mereka tidak bisa mati kecuali karena pedang atau racun. Kekuatan mereka hanya digunakan untuk kebaikan, dan di bawah bimbingan mereka, kota-kota dan menara-menara yang tinggi dibangun dari batu hidup. Saat mereka menjaga perdamaian, tanah ini makmur. Itu masa-masa keemasan. Para elf menjadi sekutu kita, kurcaci teman kita. Kesejahteraan mengalir ke dalam kota-kota kita, dan orang-orang hidup makmur. Tapi menangislah... karena hal itu tidak abadi."
Brom menunduk sambil membisu. Kesedihan hebat menyusup ke dalam suaranya.
"Sekalipun tidak ada musuh yang dapat menghancurkan mereka, mereka tidak bisa menjaga diri dari diri sendiri. Dan pada puncak kekuasaan mereka ada seorang bocah laki-laki, Galbatorix namanya, dilahirkan di provinsi Inzilbeth, yang sekarang tidak ada lagi. Pada usia sepuluh tahun ia diuji, sesuai kebiasaan, dan didapati ada kekuatan besar dalam dirinya. Para Penunggang menerima dirinya sebagai salah satu dari mereka.
"Ia lulus pelatihan mereka, mengalahkan semua Penunggang lain dalam hal keahlian. Diberkati otak yang cerdas dan tubuh yang kuat, ia segera menempati posisinya di antara jajaran Penunggang. Beberapa melihat peningkatannya yang cepat sebagai sesuatu yang berbahaya dan memperingatkan yang lain, tapi para Penunggang telah menjadi sombong dalam kekuasaan mereka dan mengabaikan peringatan tersebut. Sayang, penderitaan dilahirkan hari itu.
"Tidak lama sesudah latihannya selesai, Galbatorix melakukan perjalanan secara ceroboh bersama dua teman. Mereka terbang jauh ke utara, siang dan malam, dan memasuki wilayah terakhir kaum Urgal, dengan bodoh mengira kekuatan baru mereka akan melindungi mereka. Di sebongkah es tebal, yang tidak cair bahkan di musim panas, mereka disergap sewaktu tidur. Sekalipun teman-temannya dan naga mereka dibunuh dan ia menderita luka parah, Galbatorix berhasil membantai para penyerangnya. Tragisnya, dalam perkelahian, sebatang anak panah nyasar menusuk jantung naganya. Tanpa keahlian untuk menyelamatkan makhluk itu, naganya tewas dalam pelukan Galbatorix. Saat itulah biji-biji kesintingan tertanam."
Tukang cerita itu menggenggam tangannya sendiri dan memandang sekitarnya perlahan-lahan, bayangan menari-nari di wajahnya yang tua. Kata-kata selanjutnya terlontar bagai lantunan penuh kedukaan dalam upacara kematian.
"Seorang diri, kehilangan sebagian besar kekuatannya dan setengah sinting karena kehilangan naga, Galbatorix berkeliaran tanpa harapan di tanah yang gersang itu, mencari kematian. Kematian tidak datang menjemputnya, walau ia menerjunkan diri tanpa takut menghadapi makhluk hidup apa pun. Kaum Urgal dan monster-monster lain dalam waktu singkat melarikan diri dari sosoknya yang bagai hantu. Selama waktu itu ia menyadari para Penunggang mungkin akan memberinya naga lain. Terdorong pemikiran tersebut, ia memulai perjalanan yang sangat menguras tenaga, berjalan kaki, kembali melintasi Spine. Wilayah yang dilewatinya dengan mudah di punggung naga sekarang memakan waktu berbulan-bulan untuk dilintasi. Ia bisa berburu dengan sihir, tapi sering ia berjalan di tempat-tempat yang tidak pernah dikunjungi hewan. Dengan begitu pada saat kakinya akhirnya meninggalkan pegunungan, ia sudah nyaris tewas. Seorang petani menemukan dirinya tersungkur di lumpur dan memanggil para Penunggang.
"Dalam keadaan pingsan, ia dib
awa ke tempat mereka, dan tubuhnya disembuhkan. Ia tidur selama empat hari. Saat terjaga ia tidak menunjukkan tanda-tanda kesintingan. Sewaktu ia dihadapkan ke dewan yang berkumpul untuk menghakimi dirinya, Galbatorix meminta naga lain. Keputus asaan dalam tuntutannya mengungkapkan kesintingannya, dan dewan melihat siapa dirinya yang sebenarnya. Karena tidak terpenuhi harapannya, Galbatorix, karena kesintingannya, menjadi percaya para Penungganglah yang telah menyebabkan kematian naganya. Malam demi malam ia memikirkan hal itu dan akhirnya menyusun rencana untuk membalas dendam."
Kata-kata Brom merendah menjadi bisikan yang mempesona.
"Ia menemukan seorang Penunggang yang bersimpati padanya, dan di sana kata-katanya yang berbahaya berakar. Dengan mengajukan alasan terus-menerus dan menggunakan rahasia-rahasia kegelapan yang dipelajarinya dari seorang Shade, ia mengobarkan semangat Penunggang itu untuk menentang para tetua mereka. Bersama-sama mereka membujuk dan membunuh seorang tetua. Sewaktu kejahatan itu telah dilakukan, Galbatorix berbalik menentang sekutunya dan membantainya tanpa peringatan. Para Penunggang lalu mendapati Galbatorix, dengan darah menetes-netes dari kedua tangannya. Jeritan terlontar dari bibirnya, dan ia melarikan diri ke dalam malam. Karena ia menjadi semakin licin dalam kesintingannya, mereka tidak bisa menemukan dirinya.
"Selama bertahun-tahun ia bersembunyi di tanah buangan seperti hewan buruan, selalu mengawasi para pemburunya. Kejahatannya tidak dilupakan, tapi seiring dengan waktu pencarian pun dihentikan. Lalu tanpa sengaja ia bertemu dengan Penunggang muda, Morzan-bertubuh kuat, tapi lemah pikirannya. Galbatorix berhasil meyakinkan Morzan untuk membiarkan sebuah gerbang tidak terkunci di puri Ilirea, yang sekarang disebut Uru'baen. Melalui gerbang ini Galbatorix masuk dan mencuri naga yang baru menetas.
"Ia dan murid barunya menyembunyikan diri di tempat jahat yang tidak berani dimasuki para Penunggang. Di sana Morzan belajar ilmu kegelapan, mempelajari rahasia-rahasia dan sihir terlarang yang seharusnya tidak pernah diungkapkan. Sewaktu pendidikannya selesai dan naga hitam Galbatorix, Shruikan, telah dewasa sepenuhnya, Galbatorix tampil ke dunia, bersama Morzan di sisinya. Bersama-sama mereka menghadapi setiap Penunggang yang mereka temui. Seiring setiap pembunuhan yang mereka lakukan, kekuatan mereka semakin besar. Dua belas Penunggang menggabungkan diri dengan Galbatorix karena keinginan akan kekuasaan dan pembalasan dendam terhadap apa yang mereka anggap tidak pantas mereka terima. Kedua belas Penunggang itu, bersama Morzan, menjadi Tiga Belas Terkutuk. Para Penunggang tidak siap dan dibantai habis-habisan. Juga para elf, yang bertempur mati-matian melawan Galbatorix. Mereka dikalahkan dan terpaksa melarikan diri ke tempat-tempat rahasia, dan tidak pernah lagi keluar. "Hanya Vrael, pemimpin para Penunggang, yang mampu bertahan menghadapi Galbatorix dan para Terkutuk. Sangat tua dan bijak, ia berjuang sekuat tenaga menyelamatkan dan mempertahankan naga-naga yang tersisa agar tidak jatuh ke tangan para musuhnya. Dalam pertempuran terakhir, di depan gerbang-gerbang Doru Areaba, Vrael mengalahkan Galbatorix, tapi ragu-ragu untuk melontarkan pukulan terakhir. Galbatorix memanfaatkan kesempatan itu dan membakar sisi tubuhnya. Dalam keadaan terluka parah, Vrael melarikan diri ke Pegunungan Utgard, tempat ia berharap bisa mengumpulkan kekuatan. Tapi ternyata tidak bisa, karena Galbatorix menemukan dirinya. Saat mereka bertempur, Galbatorix menendang selangkangan Vrael. Dengan pukulan yang licik itu, ia berhasil mengalahkan Vrael dan memenggal kepalanya dengan pedang membara. "Lalu saat kekuatan menerobos memasuki pembuluh darahnya, Galbatorix mengangkat dirinya sendiri sebagai raja seluruh Alagaesia.
"Dan sejak saat itu, ia memerintah kita."
Setelah selesai bercerita, Brom terhuyung-huyung menjauh bersama para penghibur jalanan. Eragon mengira melihat air mata berkilau di pipi Brom. Orang-orang bergumam pelan pada satu sama lain sambil berlalu. Garrow berkata pada Eragon dan Roran, "Anggaplah
kalian beruntung. Hanya dua kali seumur hidupku aku mendengar kisah ini. Kalau Kekaisaran mengetahui Brom menyampaikannya, ia tidak akan hidup untuk melihat bulan baru.
BERKAH TAKDIR Pada malam sepulangnya mereka dari Carvahall, Eragon memutuskan untuk menguji batu itu seperti yang dilakukan Merlock. Seorang diri di kamar, ia menaruh batu itu di ranjang dan meletakkan tiga alat di sampingnya. Ia memulai dengan sebatang palu kayu dan mengetuk pelan batunya. Ketukan itu menimbulkan dentingan samar. Merasa puas, ia mengambil alat berikutnya, palu kulit yang berat. Dentingan sendu terdengar saat ia memukul batu. Akhirnya, ia menghantamkan pahat kecil ke batu itu. Logamnya tidak mencungkil atau menggores batu, tapi menghasilkan suara yang sejauh ini paling bersih. Saat nada terakhir memudar, ia mengira mendengar jeritan samar.
Kata Merlock batu ini berlubang tengahnya; mungkin ada benda berharga di dalamnya. Tapi aku tidak mengetahui cara membukanya. Pasti ada alasan yang bagus hingga ada orang yang membentuk batunya seperti ini, tapi siapa pun yang mengirim batu ini ke Spine, ia tidak mengambilnya atau tidak mengetahui di mana batu ini berada. Tapi aku tidak percaya penyihir yang memiliki cukup kekuatan untuk mengirimkan batu ini tidak mampu menemukannya lagi. jadi apakah berarti batu ini memang ditakdirkan menjadi milikku" Ia tidak bisa menjawab pertanyaan itu. Putus asa karena tidak bisa memecahkan misteri tersebut, ia mengambil peralatannya dan mengembalikan batu ke rak.
Malamnya ia tiba-tiba terjaga dari tidur. Ia mendengarkan dengan hati-hati. Semua tenang. Dengan perasaan tidak nyaman, ia menyelipkan tangan ke bawah kasur dan meraih pisau. Ia menunggu selama beberapa menit, lalu perlahan-lahan kembali tidur.
Decitan terdengar memecah kesunyian, menyentakkan Eragon kembali ke kesadaran. Ia berguling turun dari ranjang dan mencabut pisau dari sarungnya. Setelah bersusah payah menggunakan pemantik, ia menyalakan sebatang lilin. Pintu kamar tidurnya tertutup. Walaupun jeritan tadi terlalu keras untuk jadi suara tikus, tetap saja ia memeriksa kolong ranjang. Tidak ada apa-apa. Ia duduk di tepi kasur dan menggosok-gosok kantuk dari matanya. Decitan lain kembali memenuhi udara, dan ia tersentak kuat.
Dari mana asalnya suara itu" Tidak mungkin ada apa pun di dalam lantai atau dinding; lantai dan dindingnya terbuat dari kayu padat. Hal yang sama juga berlaku untuk ranjangnya, dan ia pasti menyadari kalau ada yang merayap masuk kasur jeraminya di malam hari. Pandangannya jatuh ke batu itu. Ia mengambilnya dari rak dan tanpa sadar memangkunya sambil mengawasi sekitarnya. Decitan berdenging di telinganya dan bergetar melewati jemarinya; suara itu berasal dari batu.
Batu itu hanya menimbulkan perasaan frustrasi dan marah, dan sekarang batu tersebut tidak membiarkan dirinya tidur! Batu itu mengabaikan tatapannya yang tajam dan duduk dengan mantap, sesekali berbunyi. Lalu batu itu memperdengarkan decitan yang sangat keras sebelum terdiam. Eragon dengan waspada menyimpannya dan kembali ke balik selimut. Apa pun rahasia yang ada pada batu itu, rahasia itu harus menunggu hingga pagi.
Bulan bersinar menerobos jendelanya sewaktu ia kembali terjaga. Batunya bergoyang-goyang cepat di rak, menghantam dinding. Batu itu bermandikan cahaya bulan yang menyebabkan permukaannya tampak pucat. Eragon melompat turun dari ranjang, sambil mencengkeram pisau. Batunya tidak lagi bergerak, tapi ia tetap tegang. Lalu batu tersebut mulai berdecit dan bergoyang-goyang lebih cepat dari pada kapan pun. Sambil memaki, Eragon mulai berpakaian. Ia tidak peduli seberapa berharga batu itu; ia akan membawanya ke tempat yang jauh dan menguburnya. Goyangan batu itu berhenti; batunya tidak lagi bersuara. Batu itu bergetar, lalu bergulir maju dan jatuh ke lantai diiringi debuman keras. Eragon perlahan-lahan bergeser ke pintu dengan waspada karena batu itu bergoyang goyang mendekatinya. Tiba-tiba timbul retakan pada batu. Lalu retakan yang lain dan yang lainnya lagi. Dengan tertegun, Eragon mencondongkan tubuh ke depan, sambil tetap memegang pisau. Di puncak batu itu,
tempat semua retakan bertemu, terdapat sekeping kecil yang bergoyang-goyang, seakan bertumpu pada sesuatu, lalu terangkat dan jatuh ke lantai. Sesudah memperdengarkan serangkaian decitan lagi, kepala kecil dan gelap terjulur keluar dari lubang itu, diikuti tubuh yang bentuknya aneh. Eragon mencengkeram pisau lebih erat lagi dan tidak bergerak sedikit pun. Tidak lama kemudian makhluk itu telah keluar- dari batu seluruhnya. Makhluk tersebut berdiri diam sejenak, lalu merayap mendekati arah cahaya bulan yang masuk menerobos melalui jendela. Eragon tersentak mundur, kaget. Di hadapannya, menjilati untuk membersihkan tubuhnya dari membran yang membungkus dirinya, tampak seekor naga.
KEBANGKITAN Naga itu tidak lebih panjang dari pada lengan bawah Eragon, tapi tampak anggun dan berwibawa. Sisik-sisiknya berwarna biru safir tua, warna yang sama seperti batunya. Tapi itu bukan batu, pikirnya menyadari, itu telur. Naga tersebut mengembangkan sayap-sayapnya; sayap-sayap itulah yang menyebabkan tubuhnya tampak begitu aneh. Sayap-sayapnya beberapa kali lipat lebih panjang dari pada tubuhnya dan dipenuhi tulang-tulang tipis yang menjulur dari tepi depan sayap, membentuk jajaran cakar yang berjarak lebar dari satu sama lain. Kepala naga itu kurang lebih segi tiga bentuknya. Dua taring putih mungil melengkung ke bawah dari rahang atasnya. Taring-taring itu tampak sangat tajam. Cakar-cakar naga itu juga putih, seperti gading yang digosok, dan agak bergerigi pada lengkung dalamnya. Sederet tanduk kecil berjajar di sepanjang tulang punggung makhluk itu dari dasar kepalanya hingga ujung ekor. Di pertemuan leher dan bahunya terdapat ceruk yang menyebabkan celah di antara kedua tanduk di sana lebih lebar dari pada yang lainnya. Eragon bergeser sedikit, dan kepala naga itu tersentak berpaling. Mata yang keras, biru sedingin es, terpaku pada dirinya. Eragon tidak bergerak sedikitpun. Naga itu mungkin musuh yang tidak enteng kalau memutuskan untuk menyerang.
Naga itu kehilangan minat terhadap Eragon dan dengan, kikuk menjelajahi ruangan, menguik-nguik saat menabrak dinding atau perabotan. Dengan mengepak-ngepakkan sayap, ia melompat ke ranjang dan merangkak ke bantal Eragon, menguik. Mulutnya terbuka dengan sedih, seperti mulut anak burung, memamerkan sederetan gigi yang runcing. Eragon duduk dengan hati-hati di ujung ranjang. Naga itu mencium tangannya, menarik-narik lengan bajunya. Eragon menarik tangannya.
Senyum melintas di bibir Eragon saat ia memandang makhluk mungil itu. Dengan hati-hati ia mengulurkan tangan kanan dan menyentuh sisi tubuh naga tersebut. Semburan energi sedingin es merasuki tangannya dan melesat di sepanjang lengannya, membakar pembuluh-pembuluh darahnya seperti api cair. Ia jatuh ke belakang sambil menjerit liar. Dentangan besi bagai memenuhi telinganya, dan ia mendengar jeritan kemurkaan tanpa suara. Setiap bagian tubuhnya kesakitan setengah mati.
Ia berjuang keras untuk bergerak, tapi tidak mampu. Sesudah rasanya seperti berjam-jam, kehangatan kembali meresap ke organ-organ tubuhnya, menyebabkan organ-organnya terasa tergelitik. Sambil menggigil tak terkendali, ia mendorong dirinya berdiri. Tangannya mati rasa, jemarinya lumpuh. Dengan terkejut, ia melihat bagian tengah telapak tangannya berpendar dan membentuk tanda oval berwarna putih. Kulitnya gatal dan panas seperti digigit labah-labah. Jantungnya berdetak tidak keruan.
Eragon mengerjapkan mata, berusaha memahami apa yang terjadi. Sesuatu mengusap kesadarannya, seperti jari yang menyusuri kulitnya. Ia kembali merasakannya, tapi kali ini perasaan itu menguat menjadi sulur-sulur pemikiran yang membuatnya bisa merasakan penasaran yang semakin besar. Rasanya dinding tidak kasatmata di sekitar pemikirannya runtuh, dan ia sekarang bebas untuk menjangkau dengan pikirannya. Ia takut kalau tak ada apa pun yang menahannya, ia akan melayang
keluar dari tubuhnya dan tidak mampu kembali, menjadi semacam roh di udara. Dengan ketakutan, ia menjauhkan diri dari kontak itu. Perasaan baru itu menghilang seakan ia memejamkan mata. Ia melotot curiga ke naga yang tidak bergerak terse
but. Kaki bersisik menggesek sisi tubuhnya, dan Eragon tersentak mundur. Tapi energi itu tidak lagi mengejutkan dirinya. Dengan kebingungan, ia menggosok-gosok kepala naga dengan tangan kanannya. Perasaan menggelitik yang samar merayapi lengannya. Naga itu menyodok-nyodok dirinya, melengkungkan punggung bagai kucing. Eragon menyelipkan jari ke membran sayap naga yang tipis. Rasanya seperti perkamen tua, lembut dan hangat, tapi masih agak basah. Ratusan pembuluh darah tipis berdenyut-denyut di sana.
Sekali lagi sulur-sulur menyentuh pemikirannya, tapi kali ini, bukannya penasaran, ia merasakan kelaparan hebat. Ia bangkit berdiri sambil mendesah. Hewan ini berbahaya, ia yakin akan hal itu. Tapi hewan itu juga tampak begitu tidak berdaya saat merangkak di ranjangnya, sehingga Eragon hanya bisa merasa penasaran apakah ada bahayanya memelihara naga itu. Naga tersebut melolong melengking sambil mencari-cari makanan. Eragon bergegas menggaruk kepalanya untuk menenangkannya. Akan kupikirkan nanti; pikirnya mengambil keputusan dan meninggalkan kamar, dengan hati-hati menutup pintunya.
Sewaktu kembali dengan membawa dua potong daging kering, ia mendapati naga itu duduk di kusen jendela, mengawasi bulan. Eragon memotong daging itu menjadi kotak-kotak kecil dan menawarkan sepotong kepada si naga. Hewan itu mencium potongan daging tersebut dengan hati-hati, lalu mematukkan kepalanya ke depan seperti ular dan menyambar daging dari jemari Eragon, menelannya sekaligus dengan sentakan yang aneh. Naga itu menyodok-nyodok tangan Eragon, meminta makanan lagi.
Eragon memberinya makan, berhati-hati agar jemarinya tidak menghalangi. Saat hanya tersisa sepotong lagi, perut naga itu menggembung. Eragon menawarkan potongan terakhir, naga itu mempertimbangkannya sejenak, lalu dengan malas menyambarnya. Setelah selesai makan, ia merangkak ke lengan Eragon dan meringkuk di dadanya. Lalu ia mendengus, kepulan asap hitam membubung dari cuping hidungnya. Eragon memandanginya dengan keheranan.
Tepat pada saat ia mengira naga itu telah tidur, gumaman pelan terdengar dari tenggorokannya yang bergetar. Dengan lembut ia membawa makhluk itu ke ranjang dan meletakkannya di dekat bantal. Naga itu, dengan mata terpejam, melilitkan ekornya ke tiang ranjang dengan puas. Eragon membaringkan diri di sampingnya, meregangkan tangan dalam keremangan.
Ia menghadapi dilema yang menyakitkan. Dengan memelihara naga itu, ia bisa menjadi Penunggang. Berbagai mitos dan kisah mengenai para Penunggang sangat dipuja, dan menjadi salah satunya secara otomatis akan menempatkan dirinya di antara legenda itu. Tapi, kalau Kekaisaran mengetahui tentang naga itu, ia dan keluarganya akan dihabisi, kecuali kalau ia menggabungkan diri dengan Raja. Tidak bakal ada seorang pun yang bisa-atau bersedia-membantu mereka. Solusi yang paling sederhana adalah membunuh naga itu, tapi gagasan tersebut terasa menjijikkan, dan ia menolaknya.
Baginya naga terlalu hebat sehingga rasanya keterlaluan untuk mempertimbangkan kemungkinan itu. Lagi pula, apa yang bisa mengkhianati kami" pikirnya. Kami tinggal di kawasan terpencil dan tidak pernah melakukan apa pun yang menarik perhatian. Masalahnya adalah meyakinkan Garrow dan Roran untuk mengizinkan dirinya memelihara naga itu. Tidak satu pun dari mereka bakal senang dengan kehadiran naga di dekat mereka. Aku bisa memeliharanya secara diam-diam. Dalam waktu satu atau dua bulan naga itu akan terlalu besar untuk bisa disingkirkan Garrow, tapi apakah ia akan menerimanya" Bahkan kalau Garrow menerimanya, bisakah aku mendapatkan cukup makanan untuk naga itu sementara dalam persembunyian. Makhluk itu tidak lebih besar daripada kucing kecil, tapi mampu menyantap sepotong besar daging. Kurasa ia bisa berburu sendiri pada akhirnya, tapi berapa lama waktunya sebelum itu" Apakah si naga bisa bertahan hidup menghadapi udara dingin di luar" Tetap saja, ia menginginkan naga itu. Semakin ia memikirkannya, semakin yakin dirinya. Bagaimana pun urusannya kelak dengan Garrow, Eragon akan melakukan apa saja untuk melindungi naga itu. Setelah membulatkan tekad, ia tidur sementa
ra naga tersebut meringkuk pada dirinya.
Sewaktu subuh merekah, naga itu duduk di puncak tiang ranjang, seperti prajurit penjaga kuno yang menyambut datangnya hari baru. Eragon tertegun melihat warnanya. Ia belum pernah melihat warna biru sejelas dan sepekat itu. Sisik-sisiknya seperti ratusan batu permata mungil. Ia menyadari bahwa tanda putih oval di telapaknya, tempat ia menyentuh naga itu, seperti berlapis sesuatu yang mengilap. Ia berharap bisa menyembunyikannya dengan mengusahakan tangannya tetap kotor.
Naga itu melompat dari tiang dan melayang ke lantai. Eragon dengan hati-hati mengambilnya dan meninggalkan rumah yang sepi, berhenti sejenak untuk mengambil daging, sejumlah tali kulit, dan kain sebanyak yang bisa dibawanya. Pagi yang cerah tampak indah; lapisan salju baru menutupi tanah pertanian. Ia tersenyum saat makhluk kecil itu memandang sekitarnya dengan penuh minat dari pelukannya yang aman. Sambil bergegas menyeberangi padang-padang, Eragon berjalan tanpa suara memasuki hutan yang gelap, mencari tempat yang aman untuk tempat tinggal naga itu. Akhirnya ia menemukan sebatang pohon rowan yang berdiri sendirian di bukit rendah yang gersang. Cabang-cabangnya yang ujungnya tertutup salju bagai jemari kelabu yang meraih kelangit. Ia meletakkan naga itu di dekat dasar pohon dan menjatuhkan tali-tali kulitnya ke tanah.
Dengan beberapa gerakan yang sigap, ia membuat simpul dan menyelipkannya melewati kepala si naga sementara makhluk itu mengamati gundukan-gundukan salju di sekeliling pohon. Tali kulit itu telah aus, tapi masih bisa bertahan. Ia mengawasi naga itu merangkak ke sana kemari, lalu membuka simpul dari lehernya dan membuat kekang darurat untuk kaki naga agar makhluk itu tidak mencekik dirinya sendiri. Lalu ia mengumpulkan sepelukan ranting dan membangun pondok kasar tinggi di sela-sela cabang pohon, melapisi bagian dalamnya dengan kain, dan meletakkan dagingnya di sana. Salju menjatuhi wajahnya saat pohon itu bergoyang-goyang. Ia menggantungkan kain-kain lagi di bagian depan pondok agar di dalam tetap hangat. Dengan puas, ia mengamati hasil kerjanya. "Waktu untuk menunjukkan rumah barumu," katanya, dan mengangkat naga itu ke cabang-cabang. Makhluk itu menggeliat, berusaha membebaskan diri, lalu merangkak masuk ke pondok, tempat ia menyantap sepotong daging, meringkuk, dan mengerjapkan mata ke arah Eragon. "Kau akan baik-baik saja selama tetap tinggal di dalam sini," kata Eragon. Naga tersebut kembali mengerjapkan mata. Merasa yakin makhluk itu tidak memahami kata-katanya, Eragon memutar otak hingga merasakan kesadaran naga itu. Sekali lagi ia mendapat perasaan keterbukaan yang aneh merasakan ruang yang begitu luas dan menekan dirinya bagai selimut yang tebal. Dengan mengerahkan kekuatan, ia memfokuskan pikiran pada naga itu dan menekankan sebuah gagasan-gagasan: Tetap di sini. Naga itu berhenti bergerak dan memiringkan kepala ke arah Eragon. Eragon mendesak lebih keras.
Tetap di sini. Penerimaan yang samar dengan hati-hati menerobos penghubung di antara mereka, tapi Eragon bertanya-tanya apakah makhluk itu benar-benar mengerti. Bagaimanapun juga, ia hanya hewan. Eragon memutuskan hubungan dengan lega dan merasakan keamanan pikirannya sendiri melingkupi dirinya.
Eragon meninggalkan pohon itu, sambil sesekali melirik ke belakang. Naga itu menjulurkan kepala keluar dari pondok dan mengawasi kepergiannya dengan matanya yang besar.
Sesudah bergegas pulang, Eragon menyelinap kembali ke dalam kamarnya untuk membuang kepingan-kepingan telur. Ia merasa yakin Garrow dan Roran tidak akan menyadari hilangnya telur itu-benda itu telah memudar dari pemikiran mereka sesudah mengetahui mereka tidak bisa menjualnya. Sewaktu keluarganya terjaga, Roran mengatakan ia mendengar keributan semalam tapi, yang melegakan Eragon, ia tidak membahas masalah itu lebih jauh.
Antusiasme Eragon menyebabkan hari itu terasa berjalan dengan cepat. Tanda di tangannya terbukti mudah disembunyikan, jadi dalam waktu singkat ia tidak lagi mengkhawatirkannya. Tidak lama kemudian ia menuju pohon rowan itu, membawa sosis-sosis yang diambilnya dengan
diam-diam dari ruang bawah tanah. Dengan ketakutan, ia mendekati pohon itu. Apakah naga itu bisa bertahan hidup di luar saat musim dingin"
Ketakutannya ternyata tidak berdasar. Naga itu bertengger di cabang, mengunyah sesuatu di antara kaki-kaki depannya. Makhluk itu mulai menguik-nguik penuh semangat sewaktu melihat dirinya. Eragon merasa senang melihat naga tersebut tetap berada di pohon, di luar jangkauan para pemangsa besar. Begitu ia menjatuhkan sosis-sosis di dasar batang pohon, naga itu melayang turun. Sementara makhluk itu melahap makanannya, Eragon memeriksa pondok daruratnya. Semua daging yang ditinggalkannya telah habis, tapi pondok itu masih utuh, dan beberapa helai bulu bertebaran di lantai. Bagus. Makhluk itu bisa mendapatkan makanannya sendiri.
Ia terpukul oleh pemikiran bahwa ia tidak mengetahui apakah naga itu jantan atau betina. Ia mengangkatnya dan memutar balikkannya, mengabaikan uikan tidak senang si naga, tapi ia tidak mampu menemukan tanda-tanda perbedaan apa pun.
Tampaknya makhluk ini tidak bersedia membuka rahasia tanpa perlawanan.
Ia menghabiskan waktu yang lama bersama naga itu. Ia membuka ikatannya, meletakkannya di bahu, dan pergi menjelajahi hutan. Pepohonan yang diselimuti salju mengawasi mereka seperti pilar-pilar khidmat katedral besar. Dalam keterpencilan itu, Eragon menunjukkan kepada naganya apa yang diketahuinya tentang hutan, tidak peduli makhluk itu memahami maksudnya atau tidak. Yang penting adalah berbagi. Ia berbicara pada makhluk itu terus-menerus. Si naga balas menatapnya dengan mata yang cerah, menelan bulat-bulat perkataannya. Untuk beberapa saat, Eragon hanya duduk sementara makhluk itu beristirahat dalam pelukannya. Eragon mengawasinya dengan keheranan, masih tertegun karena kejadian-kejadian yang baru saja berlangsung. Eragon pulang saat matahari terbenam, menyadari ada dua mata biru pekat yang menatap tajam punggungnya, marah karena ditinggalkan.
Malam itu Eragon memikirkan segala sesuatu yang bisa terjadi pada seekor hewan kecil yang tidak terlindung. Pemikiran-pemikiran mengenai badai salju dan hewan buas menyiksa dirinya. Ia membutuhkan waktu berjam-jam untuk bisa tidur. Mimpi-mimpinya dipenuhi rubah dan serigala hitam yang mencabik-cabik naganya dengan gigi berlumuran darah.
Saat matahari terbit di ufuk Timur, Eragon berlari dari rumah, membawa makanan dan potongan-potongan kain-penghangat tambahan untuk pondok itu. Ia menemukan naganya telah terjaga dan selamat, mengawasi matahari terbit dari tempat yang tinggi di atas pohon. Ia bersyukur sepenuh hati kepada para dewa yang dikenalinya maupun yang tidak. Naga itu turun ke tanah begitu Eragon mendekat dan melompat ke dalam pelukannya, meringkuk dekat dada Eragon. Udara dingin tidak menyakitinya,
tapi makhluk itu tampak ketakutan. Kepulan asap hitam membubung dari cuping hidungnya. Eragon mengelus-elusnya untuk menenangkannya dan duduk memunggungi pohon rowan, sambil menggumam pelan. Ia tidak bergerak sementara naga itu membenamkan kepala ke dalam mantelnya. Sesudah beberapa waktu makhluk itu merangkak keluar dari pelukannya dan naik ke bahu. Eragon memberinya makan, lalu melilitkan kain baru mengelilingi pondok. Mereka bermain bersama-sama selama beberapa waktu, tapi tak lama kemudian Eragon harus pulang.
Rutinitas yang lancar segera berlangsung. Setiap pagi Eragon berlari ke pohon dan memberi naga itu sarapan sebelum bergegas pulang. Siang hari ia melakukan tugas-tugasnya hingga selesai dan bisa mengunjungi naga itu lagi. Baik Garrow maupun Roran menyadari tingkah lakunya dan bertanya kenapa ia menghabiskan begitu banyak waktu di luar. Eragon hanya mengangkat bahu dan mulai berhati-hati untuk memastikan dirinya tidak diikuti ke pohon.
Sesudah beberapa hari pertama ia tidak lagi mengkhawatirkan bencana yang bisa menimpa si naga. Pertumbuhan makhluk itu luar biasa, dalam waktu singkat makhluk itu akan aman dari sebagian besar bahaya. Besarnya tubuh naga itu berlipat ganda dalam minggu pertama. Empat hari kemudian tingginya telah mencapai lutut Eragon. Ia tidak lagi muat di dalam pondok rowan, jadi Eragon terpaksa memba
ngun tempat perlindungan tersembunyi di tanah. Tugas itu membutuhkan waktu tiga hari. Sewaktu naga itu telah berusia beberapa minggu, Eragon terpaksa membiarkannya berkeliaran dengan bebas karena ia membutuhkan begitu banyak makanan. Pertama kalinya ia melepaskan ikatan naga itu, setelah mengerahkan segenap kekuatan hatinya, barulah ia bisa mencegah makhluk itu mengikuti dirinya pulang ke tanah pertanian. Setiap kali makhluk itu mencoba, Eragon mendorongnya menjauh dengan pikirannya hingga makhluk itu belajar untuk menghindari rumah dan para penghuni lainnya.
Dan ia memberi kesan pada naga itu akan pentingnya berburu hanya di Spine, tempat di mana lebih kecil kemungkinan ia terlihat. Para petani akan menyadari hewan-hewan buruan mulai menghilang dari Lembah Palancar. Hal itu menyebabkan Eragon merasa lebih aman sekaligus tidak nyaman karena naga itu berada begitu jauh dari dirinya.
Kontak mental yang dialaminya dengan naga itu semakin kuat setiap hari. Ia mendapati bahwa sekalipun makhluk itu tidak memahami kata-kata, Eragon bisa berkomunikasi dengannya melalui bayangan-bayangan atau emosi. Tapi metode itu kurang tepat, dan ia sering salah dipahami. Jarak di mana pikiran mereka bisa bersentuhan berkembang dengan cepat. Dalam waktu singkat Eragon bisa menghubungi naga itu di mana pun dalam radius sembilan mil lebih. Ia sering melakukannya, dan naga itu, pada gilirannya, akan menyapu pemikirannya. Percakapan bisu ini mengisi jam-jam kerjanya. Selalu ada sebagian kecil dari dirinya yang berhubungan dengan si naga, terkadang diabaikannya, tapi tidak pernah dilupakannya. Sewaktu ia berbicara dengan orang-orang, kontak itu membuyarkan perhatiannya, seperti lalat yang mendengung di telinga.
Seiring bertambah dewasanya naga itu, uikannya semakin berat, berubah menjadi raungan, dan gumamannya menjadi gemuruh pelan, walaupun begitu naga itu tidak mengembuskan napas api, yang menimbulkan keprihatinan Eragon. Ia melihat makhluk itu mengembuskan asap sewaktu merasa jengkel, tapi tidak pernah terlihat adanya api sedikit pun.
Sewaktu bulan itu berakhir, bahu naga tersebut telah sama tinggi dengan siku Eragon. Dalam waktu sesingkat itu, makhluk itu telah berubah dari hewan kecil dan lemah menjadi makhluk buas yang kuat. Sisik-sisiknya yang keras sama tangguhnya seperti baju jala-baja, gigi-giginya seperti pisau.
Eragon berjalan-jalan jauh di malam hari dengan didampingi naga itu. Sewaktu mereka menemukan lapangan, Eragon akan duduk menyandar ke sebatang pohon dan mengawasi naganya membubung keudara. Ia senang melihatnya terbang dan menyesal makhluk itu belum cukup besar untuk bisa ditunggangi. Ia sering duduk di samping si naga dan menggosok-gosok lehernya, merasakan otot-otot dan urat-uratnya bergerak-gerak saat tersentuh tangannya.
Sekalipun Eragon telah berusaha, hutan di sekeliling tanah pertanian dipenuhi tanda-tanda kehadiran si naga. Mustahil menghapus semua jejak empat cakar raksasa yang melesak dalam di salju, dan ia tidak bersedia mencoba menyembunyikan gunungan kotoran yang sekarang ada di mana-mana. Naga itu telah menggosok-gosokkan tubuhnya di pohon, mengulitinya, dan mengasah cakar-cakarnya pada sebatang kayu mati, meninggalkan ceruk-ceruk sedalam beberapa inci. Kalau Garrow atau Roran berkeliaran terlalu jauh dari batas tanah pertanian, mereka akan menemukan naganya. Eragon tidak bisa membayangkan cara yang lebih buruk lagi kalau kebenaran terungkap, jadi ia memutuskan untuk menduluinya dengan menjelaskan segala sesuatunya pada mereka. Tapi ia ingin melakukan dua hal terlebih dulu memberi nama yang cocok pada naga itu dan belajar lebih banyak mengenai naga pada umumnya. Untuk itu ia perlu berbicara dengan Brom, pakar epos dan legenda-satu-satunya tempat legenda mengenai naga bertahan hidup. Jadi sewaktu Roran pergi untuk memperbaiki pahat di Carvahall, Eragon secara sukarela mengajukan diri untuk menemaninya.
Malam sebelum kepergian mereka, Eragon pergi ke lapangan kecil di hutan dan memanggil si naga dengan pikirannya. Sesaat kemudian ia melihat bintik yang bergerak dengan cepat di langit senja. Naga menukik ke arahnya,
membubung tiba-tiba, lalu terbang sejajar di atas pepohonan. Eragon mendengar siulan pelan saat udara melaju melintasi sayap-sayapnya. Makhluk itu berbelok perlahan-lahan ke sebelah kiri Eragon dan berputar-putar turun dengan lembut ke tanah. Naga itu mengepakkan sayap untuk keseimbangan diiringi suara buk yang berat dan teredam sewaktu mendarat.
Eragon membuka pikirannya, masih merasa tidak nyaman dengan sensasi aneh yang dirasakannya, dan memberitahu si naga bahwa dirinya akan pergi. Makhluk itu mendengus tidak suka. Eragon mencoba menenangkannya dengan bayangan-bayangan mental yang menghibur, tapi naga itu melecutkan ekornya, tidak puas. Eragon meletakkan tangan di bahu hewan itu dan mencoba memancarkan kedamaian dan ketenangan. Sisik-sisik naga beradu pelan di bawah jemarinya sewaktu ia menepuk-nepuknya
pelan. Satu kata mendengung dalam kepalanya, dalam dan jelas. Eragon.
Kata itu khidmat dan sedih, seakan ada janji tidak terpisahkan yang tengah ditetapkan. Eragon menatap naga itu dan hawa dingin menggelitik turun di lengannya Eragon. Perut Eragon terasa melilit saat mata biru safir yang tidak bisa ditebak itu balas menatap dirinya. Untuk pertama kalinya Eragon tidak menganggap si naga sebagai hewan. Naga itu merupakan sesuatu yang lain, sesuatu yang... berbeda. Ia berlari pulang, mencoba menghindari naga itu. Nagaku.
TEH UNTUK BERDUA Roran dan Eragon berpisah di tepi kota Carvahall. Eragon berjalan perlahan-lahan ke rumah Brom, tenggelam dalam pemikirannya. Ia berhenti di depan pintu dan mengangkat tangan untuk mengetuk.
Seseorang dengan suara serak berkata, "Apa yang kau inginkan, Nak""
Eragon berputar balik. Di belakangnya Brom berdiri bertumpu ke tongkat berpuntir yang dihiasi ukiran-ukiran aneh. Brom mengenakan mantel berkerudung cokelat seperti biarawan. Kantong menjuntai dari sabuk kulit yang melingkari pinggangnya. Di atas janggut beruban, hidung elang yang mencuat melengkung di atas bibirnya dan mendominasiwajahnya. Ia memandang Eragon dengan sepasang mata yang dalam, yang dinaungi alis mata yang lebat, dan menunggu jawaban Eragon.
"Untuk mendapatkan informasi," kata Eragon. "Roran sedang memperbaiki pahat dan aku memiliki waktu senggang, jadi aku datang kemari untuk mencari tahu apakah kau bisa menjawab beberapa pertanyaan."
Pria tua itu mendengus dan meraih pintu. Eragon menyadari adanya cincin emas di tangan kanan pria tua itu. Cahaya memantul pada sebutir batu safir, memperjelas simbol aneh yang terukir di permukaan cincin itu. "Sebaiknya kau masuk; kita akan bercakap-cakap cukup lama. Pertanyaan-pertanyaanmu seperti tak pernah berakhir." Di dalam, rumah itu lebih gelap daripada arang, bau asam yang tajam memenuhi udara. "Sekarang, cahaya." Eragon mendengar pria tua itu berkeliaran ke sana kemari lalu memaki pelan saat ada sesuatu yang jatuh dengan ribut ke lantai. "Ah, ini dia." Bunga api putih; menyambar; api pun menari-nari hidup.
Brom berdiri membawa lilin di depan perapian batu. Tumpukan-tumpukan buku mengelilingi kursi kayu bersandaran tinggi dan berukiran dalam yang menghadap kerak perapian; empat kakinya dibentuk seperti cakar elang, dan alas serta sandarannya diberi bantalan kulit yang dihiasi gambar mawar yang bergulung-gulung kelompok kursi yang lebih sederhana menampung bertumpuk-tumpuk gulungan kertas. Tempat tinta dan pena bertebaran eja tulis.
"Cari tempat untukmu, tapi demi raja-raja yang hilang, berhati-hatilah. Benda-benda ini berharga."
Eragon melangkahi bertumpuk-tumpuk perkamen yang penuh huruf-huruf melingkar. Dengan hati-hati ia mengangkat berbagai gulungan yang retak-retak dari kursi dan meletakkannya di lantai. Awan debu terbang ke udara saat iaduduk. Ia menahan keinginan untuk bersin. Brom membungkuk dan menyalakan api dengan lilinnya. "Bagus! Tidak ada yang mengalahkan duduk di dekat api untuk bercakap-cakap." Ia menyingkap kerudungnya untuk menampilkan rambut yang bukan putih, tapi keperakan, lalu menggantung ketel di atas api dan duduk di kursi bersandaran tinggi.
"Nah, apa yang kau inginkan"" Ia berbicara dengan kasar kepada Eragon, tapi bukannya tidak ramah.
"Well," kata Eragon, merasa penasaran bagaimana cara terbaik membicarakan masalah itu, "selama ini aku terus mendengar tentang para Penunggang Naga dan apa yang katanya merupakan prestasi mereka. Sebagian besar orang tampaknya ingin mereka kembali, tapi aku tidak pernah mendengar kisah bagaimana mereka berawal, dari mana asalnya para naga, atau apa yang menjadikan para Penunggang istimewa-terlepas dari naganya."
"Subjek yang luas untuk dibicarakan," kata Brom, menggerutu. Ia memandang Eragon dengan waspada. "Kalau kuceritakan seluruh kisah mengenai mereka, kita masih akan duduk di sini sewaktu musim dingin datang lagi. Ceritanya harus dipotong secukupnya. Tapi sebelum kita memulai dengan selayaknya, aku membutuhkan pipaku."
Pendekar Wanita Baju Merah 10 Kumbang Datang Di Fajar Pagi Karya Rugyinsun Hantu Karang Bolong 1
^