Eragon 8
Eragon Karya Christhoper Paolini Bagian 8
"Empati" Empati" Empati macam apa yang bisa kuberikan pada musuhku" Apakah sebaiknya aku ragu membela diri karena dengan begitu akan menyakiti orang lain" Kalau begitu yang terjadi, aku pasti sudah tewas bertahun-tahun yang lalu! Kau harus bersedia melindungi dirimu sendiri dan apa yang kau puja, tidak peduli harganya.
Eragon memasukkan Zar'roc kembali ke dalam sarungnya kuat-kuat, menggeleng buas. "Kau bisa membenarkan kesintingan dengan alasan itu." "Menurutmu aku menikmatinya"" teriak Murtagh. "Hidupku sudah terancam sejak hari aku dilahirkan! Setiap jam aku terjaga, kuhabiskan untuk menghindar dari satu bahaya ke bahaya yang lain. Dan tidur tidak pernah datang dengan mudah karena aku selalu khawatir apakah masih hidup untuk melihat subuh. Kalau pernah ada waktu ketika aku merasa aman, itu pasti dalam kandungan ibuku, walau aku tidak aman di dalam sana sekalipun! Kau tidak mengerti kalau kau hidup dengan ketakutan seperti ini, kau pasti mempelajari hal yang sama seperti yang kupelajari: jangan Pernah mengambil risiko." Ia memberi isyarat ke mayat Torkenbrand. "Ia risiko yang kusingkirkan. Aku menolak mengasihani, dan aku tidak bersedia membebani diriku dengan apa yang telah terjadi dan berlalu."
Eragon mendekatkan wajahnya ke wajah Murtagh. "Tapi tetap saja tindakanmu salah." Ia mengikatkan Arya kepada Saphira, lalu naik ke punggung Snowfire. "Ayo berangkat." Murtagh membimbing Tornac mengitari mayat Torkenbrand yang tergeletak di tengah debu berlumuran darah.
Mereka berderap dengan kecepatan yang pasti dianggap Eragon mustahil dilakukan seminggu yang lalu; bermil-mil berlalu seakan ada sayap yang dilekatkan di kaki mereka. Mereka berbelok ke selatan, di antara kedua lengan Pegunungan Beor yang menjulur. Kedua lengan itu berbentuk capit yang siap menjepit. Ujung-ujungnya terpisah satu hari perjalanan. Tapi jarak itu tampak lebih pendek karena ukuran pegunungannya. Rasanya mereka seperti berada di lembah yang dibuat untuk para raksasa.
Sewaktu mereka berhenti di akhir hari itu, Eragon dan Murtagh menyantap makan malam dalam kebisuan, menolak menengadah dari makanan masing-masing. Sesudahnya, Eragon berkata ketus, "Aku yang pertama berjaga." Murtagh mengangguk dan membaringkan diri di selimutnya, memunggungi Eragon.
Kau ingin bicara" tanya Saphira.
Jangan sekarang, gumam Eragon. Beri aku waktu untuk berpikir aku... bingung.
Saphira mengundurkan diri dari benak Eragon diiringi sentuhan lembut dan berbisik, Aku menyayangimu, makhluk kecil.
Dan aku menyayangimu, kata Eragon: Saphira meringkuk di samping, memberinya kehangatan. Eragon duduk tanpa bergerak dalam kegelapan, bergulat dengan kegelisahannya.
MELARIKAN DIRI MELEWATI LEMBAH
Di pagi harinya Saphira terbang membawa Eragon dan Arya. Eragon ingin menjauhi Murtagh untuk sementara waktu. Ia menggigil, menarik pakaiannya lebih rapat. Tampaknya sa
lju akan turun. Saphira menanjak santai dengan bantuan arus udara panas dan bertanya, Apa yang kaupikirkan"
Eragon memandang Pegunungan Beor, yang menjulang tinggi di atas mereka walau Saphira terbang tinggi di atas permukaan tanah. Kemarin itu pembunuhan. Aku tidak memilih kata lain untuk kejadian itu.
Saphira berbelok ke kiri. Tindakan itu tergesa-gesa dan kurang pertimbangan, tapi Murtagh mencoba melakukan tindakan yang benar. Orang-orang yang membeli dan menjual manusia lain layak menerima kesialan apa pun yang menimpa mereka kalau kita tidak terikat untuk membantu Arya, aku pasti memburu setiap pedagang budak dan mencabik-cabiknya!
Ya, kata Eragon serbasalah, tapi Torkenbrand tidak berdaya.
Ia tidak bisa melindungi diri atau melarikan diri. Sesaat lagi ia mungkin menyerah. Murtagh tidak memberinya kesempatan. Kalau Torkenbrand setidaknya mampu bertempur, kejadiannya tidak akan seburuk itu.
Eragon, bahkan kalau Torkenbrand bertempur, hasilnya akan sama saja. Kau sama tahunya seperti diriku bahwa hanya sedikit yang bisa menyamai dirimu atau Murtagh dalam hal bermain pedang. Torkenbrand akan tetap tewas, meski kau tampaknya menganggap pertarungan yang tidak seimbang Itu lebih adil dan terhormat.
Aku tidak tahu apa yang benar! Eragon mengakui, tertekan.
Tidak ada jawaban yang masuk akal.
Terkadang, kata Saphira lembut, tidak ada jawaban. Pelajarilah apa yang bisa kaupelajari mengenai Murtagh dari kejadian ini. Lalu maafkan dirinya. Dan kalau kau tidak bisa memaafkan, setidaknya lupakan, karena ia tidak bermaksud mencelakai dirimu, tidak peduli setergesa-gesa apa pun tindakannya. Kepalamu masih menempel di tempatnya, bukan"
Sambil mengerutkan kening, Eragon bergeser di pelana. Ia mengguncang dirinya, seperti kuda yang hendak mengusir lalat, dan memeriksa posisi Murtagh dari balik bahu Saphira. Sepetak warna agak jauh di belakang di jalur mereka menarik perhatiannya.
Di dekat tepi sungai yang mereka seberangi kemarin, para Urgal berkemah. Detak jantung Eragon bertambah cepat. Bagaimana mungkin para Urgal itu mampu mengejar mereka padahal mereka berjalan kaki" Saphira juga melihat para monster tersebut dan memiringkan sayap, mendekatkan keduanya ke tubuhnya, lalu menukik tajam, membelah udara.
Kurasa mereka tidak melihat kita, katanya. Eragon berharap begitu. Ia menyipitkan mata menentang semburan udara saat Saphira mempertajam tukikan mereka.
Kepala suku mereka pasti memaksa mereka mati-matian, katanya. Ya mungkin mereka semua akan tewas karena kelelahan.
Sewaktu mereka mendarat, Murtagh bertanya singkat, "Sekarang apa""
"Para Urgal menyusul kita," kata Eragon. Ia menunjuk ke belakang ke perkemahan pasukan.
"Berapa jauh yang masih harus kita tempuh"" tanya Murtagh, sambil mengacungkan tangan menghalangi cahaya matahari, memperkirakan berapa jam lagi sebelum matahari terbenam, biasanya"... Kurasa lima hari lagi. Dengan kecepatan kita berjalan selama ini hanya tiga. Tapi kecuali kita tiba di sana besok. Para Urgal mungkin akan berhasil menyusul kita, dan Arya pasti akan tewas."
"Ia masih memiliki waktu sehari lagi."
"Kita tidak bisa mengandalkan itu," kata Eragon. "Satu-satunya cara agar kita bisa tiba di tempat kaum Varden pada waktunya adalah kalau kita tidak berhenti untuk alasan apa pun, apalagi tidur. Hanya itu satu-satunya kesempatan kita."
Murtagh tertawa pahit. "Bagaimana kau bisa berharap melakukannya" Kita berjalan berhari-hari tanpa tidur yang cukup. Kecuali para Penunggang dibuat dari bahan yang berbeda dari kami para orang biasa, kau sama kelelahannya seperti diriku. Kita menempuh jarak yang luar biasa, dan kuda-kuda, kalau kau belum menyadarinya, sudah nyaris mati. Satu hari lagi perjalanan seperti ini mungkin akan membunuh kita semua."
Eragon mengangkat bahu. "Apa boleh buat. Kita tidak memiliki pilihan lain."
Murtagh menatap pegunungan. "Aku bisa pergi dan kau bisa terbang duluan dengan Saphira.... Dengan begitu para Urgal akan terpaksa membagi pasukannya dan kau mendapat kesempatan yang lebih baik untuk mencapai tempat para Varden."
"Itu sama saja dengan bunuh diri," kata Eragon, sambil bersedekap. "Entah b
agaimana para Urgal itu lebih cepat berjalan kaki daripada kita berkuda. Mereka akan melindasmu seperti rusa. Satu-satunya cara menghindari mereka hanyalah mencari perlindungan di tempat kaum Varden." Terlepas dari kata-katanya, Eragon tidak yakin ingin Murtagh tetap tinggal. Aku menyukai dirinya, Eragon mengakui dalam hati, tapi aku tidak lagi yakin itu tindakan yang bagus.
"Aku akan melarikan diri nanti," kata Murtagh tiba-tiba. "Sesudah kita tiba di tempat kaum Varden, aku bisa menghilang ke lembah samping dan menemukan jalan ke Surda di mana aku bisa bersembunyi tanpa menarik banyak perhatian."
"Jadi kau tetap tinggal""
"Tidur atau tidak tidur, akan kupastikan kau tiba di tempat kaum Varden," Murtagh berjanji.
Dengan kebulatan tekad baru, mereka berjuang menjauhkan diri dari para Urgal tapi para pemburu mereka terus semakin dekat. Saat malam turun para monster itu telah sepertiga lebih dekat daripada pagi harinya. Meski kelelahan menguras kekuatannya dan kekuatan Murtagh, mereka tidur bergiliran di kuda, sementara siapa pun yang terjaga membimbing hewan-hewan itu ke arah yang benar.
Eragon sangat mengandalkan ingatan Arya untuk membimbing mereka. Karena sifat asing benak Arya, Eragon terkadang melakukan kesalahan mengenai rutenya, menyebabkan mereka kehilangan waktu yang berharga. Secara bertahap mereka akhirnya mengarah ke kaki perbukitan di lengan timur pegunungan, mencari-cari lembah yang akan mengantar mereka ke tempat kaum Varden. Tengah malam tiba dan berlalu tanpa terlihat tanda-tandanya.
Sewaktu matahari muncul kembali, mereka senang melihat para Urgal tertinggal jauh. "Ini hari terakhir," kata Eragon, sambil menguap lebar. "Kalau kita tidak cukup dekat dengan tempat kaum Varden tengah hari nanti, aku akan terbang lebih dulu bersama Arya. Kau bebas pergi ke mana pun kau mau pada waktu itu, tapi kau harus membawa Snowfire bersamamu. Aku tidak akan bisa kembali untuk menjemputnya."
"Mungkin tidak perlu begitu, kita masih bisa tiba di sana tepat pada waktunya," kata Murtagh. Ia menggosok-gosok ujung tangkai pedangnya.
Eragon mengangkat bahu. "Bisa saja." Ia mendekati Arya dan menempelkan tangan pada dahinya. Dahi Arya basah dan sangat panas. Matanya bergerak-gerak gelisah di balik kelopaknya, seakan bermimpi buruk. Eragon menekankan kain basah ke alisnya, berharap bisa bertindak lebih jauh.
Menjelang siang, sesudah mereka melintasi pegunungan yang sangat lebar, Eragon melihat lembah kecil yang terselip di sisi seberangnya. Lembah itu begitu tersembunyi hingga bisa terlewatkan dia dengan mudah. Sungai Beartooth, yang pernah disinggung Arya, mengalir keluar dari lembah itu dan meliuk-liuk serampangan melintasi kawasan tersebut. Eragon tersenyum lega, lembah itulah tujuan mereka.
Saat memandang kembali, Eragon merasa terkejut melihat jarak antara mereka dan para Urgal telah menyusul hingga hanya tiga mil lebih sedikit. Ia menunjuk lembah itu kepada Murtagh. "Kalau kita bisa menyelip ke sana tanpa terlihat, mereka mungkin akan kebingungan."
Murtagh tampak skeptis. "Layak dicoba. Tapi mereka bisa mengikuti kita dengan mudah selama ini."
Sewaktu mendekati lembah, mereka berjalan di bawah cabang-cabang pepohonan hutan Pegunungan Beor yang saling menjalin. Pepohonannya tinggi, dengan kulit berceruk-ceruk yang nyaris hitam, dedaunan jarumnya berwarna sama suranya, dan akar-akarnya yang bertonjolan dari tanah tampak seperti lutut yang telanjang. Buahnya yang berbentuk kerucut bertebaran di tanah, masing-masing seukuran kepala kuda. Bajing berceloteh di pucuk pepohonan, dan mata berkilau dalam berbagai lubang di batang pohon. Sulur tanaman rambat yang hijau menjuntai dari cabang-cabang pohon.
Hutan itu menimbulkan perasaan tidak enak dalam diri Eragon, rambut di tengkuknya berdiri. Ada permusuhan di udara, seakan pepohonan membenci penyusupan mereka. Mereka sudah sangat tua, kata Saphira, sambil menyentuh sebatang pohon dengan hidungnya.
Ya, kata Eragon, tapi tidak ramah. Semakin jauh mereka berjalan, hutannya semakin lebat. Kurangnya ruang memaksa Saphira terbang bersama Arya. Tanpa jalan setapak yang jelas untuk diikuti
, sesemakan yang kokoh memperlambat Eragon dan Murtagh. Sungai Beartooth meliuk-liuk di samping mereka, memenuhi udara dengan suara air menggelegak. Puncak di dekat mereka menghalangi cahaya matahari, menyelimuti mereka dengan senja yang terlalu dini.
Di mulut lembah, Eragon menyadari meskipun lembah itu tampak seperti celah sempit di antara puncak-puncak lembab itu, sebenarnya sama lebarnya seperti berpuluh-puluh lembah di Spine. Hanya saja besarnya tebing-tebing dan pegunungan menyebabkan lembah itu tampak begitu terpencil. Banyak air terjun yang menghiasi dinding tebing. Langit berkurang hingga hanya sebaris tipis yang berliku-liku di atas kepala, sebagian besar tersembunyi di balik awan kelabu. Dari tanah yang basah membubung kabut yang mendinginkan udara hingga napas mereka terlihat jelas. Stroberi liar tumbuh di mana-mana, di karpet lumut dan pakis-pakisan, berjuang karena berlomba untuk mendapatkan sinar matahari yang tidak seberapa. Jamur merah dan kuning bermunculan di tumpukan batang pohon yang membusuk.
Suasana sangat sunyi, suara-suara diredam udara yang padat. Saphira mendarat di samping mereka, di lapangan dekat mereka, deru sayapnya teredam secara aneh. Ia mengendap sekitarnya dengan mengayunkan kepala. Aku baru saja berpapasan dengan sekawanan burung berwarna hitam dan hijau, dengan tanda merah di sayap mereka. Aku belum pernah melihat burung seperti itu.
Segala sesuatu di pegunungan ini tampak tidak biasa, jawab Eragon. Kau keberatan kalau aku menunggangi dirimu sebentar" Aku ingin memeriksa para Urgal.
Sama sekali tidak. Eragon berpaling kepada Murtagh. "Tempat kaum Varden tersembunyi di ujung lembah ini. Kalau kita bergegas, kita bisa tiba di sana sebelum malam."
Murtagh mendengus, berkacak pinggang. "Bagaimana caraku keluar dari tempat ini" Aku tidak melihat ada lembah lain yang bersambungan dengan lembah ini, dan para Urgal akan segera mengurung kita. Aku membutuhkan rute untuk melarikan diri."
"Jangan khawatir," kata Eragon tidak sabar. "Lembah ini panjang; pasti ada jalan keluar di depan." Ia melepaskan Arya dari Saphira dan meletakkan elf itu di Snowfire. "Awasi Arya-aku akan terbang dengan Saphira. Kami akan menemuimu di depan." Ia bergegas naik ke punggung Saphira dan mengikat diri di pelana.
"Hati-hati," Murtagh memperingatkan, alisnya berkerut saat ia berpikir, lalu berdecak kepada kuda-kuda dan bergegas masuk kembali ke hutan.
Saat Saphira melompat ke langit, Eragon berkata, Apakah menurutmu kau bisa terbang ke salah satu puncak itu" Kita mungkin dapat menemukan tujuan kita, juga jalan keluar untuk Murtagh. Aku tidak ingin mendengarnya mengomel sepanjang lembah.
Bisa kita coba, Saphira menyetujui, tapi udaranya akan jauh lebih dingin.
Aku mengenakan pakaian hangat.
Berpegangan, kalau begitu! Saphira tiba-tiba berbelok lurus ke atas, menyebabkan Eragon tersentak ke belakang di pelana.
Sayap-sayap Saphira mengepak kuat, mendorong berat mereka ke atas. Lembah menyusut menjadi garis hijau di bawah mereka. Sungai Beartooth berpendar seperti perak di tempat cahaya menyentuhnya.
Mereka membubung ke lapisan awan, dan kelembapan sedingin es memenuhi udara. Selimut kelabu yang tidak berbentuk melingkupi mereka, membatasi pandangan mereka hingga hanya sejauh lengan. Eragon berharap mereka tidak menabrak apa pun dalam keremangan itu. Ia menjulurkan tangan untuk mencoba, mengayun-ayunkannya di udara. Ada yang mengumpul di tangannya dan mengalir menuruni lengan membasahi lengan bajunya.
Sosok kelabu yang samar melesat di atas kepalanya, dan ia sekilas melihat burung dara, sayapnya mengepak mati-matian. Ada seutas pita putih di kakinya. Saphira menyerang burung itu, lidahnya terjulur, rahangnya terbuka. Burung itu menjerit saat gigi-gigi Saphira yang tajam mengatup, nyaris mengenai bulu ekornya. Lalu burung tersebut melesat pergi dan menghilang dalam kabut, kepakan sayapnya yang kuat memudar ke dalam kesunyian.
Sewaktu mereka menembus bagian atas awan, sisik-sisik Saphira tertutup ribuan tetes air yang memantulkan pelangi mini dan berpendar kebiruan seperti warna sisiknya. Eragon mengguncang diri, menghambu
rkan air dari pakaiannya, dan menggigil. Ia tidak lagi bisa melihat tanah, hanya bukit-bukit awan yang meliuk di sela pegunungan.
Pepohonan di pegunungan digantikan gletser tebal, biru dan putih ditimpa cahaya matahari. Pantulan dari salju memaksa Eragon memejamkan mata. Ia mencoba membukanya semenit kemudian, tapi cahayanya membuatnya tertegun. Dengan jengkel, ia menatap lekukan lengannya. Bagaimana kau bisa tahan menghadapi cahaya ini" tanyanya kepada Saphira! Mataku lebih kuat daripada matamu, jawab Saphira.
Udara dingin membekukan. Air di rambut Eragon membeku, memberinya helm yang mengilap. Kemeja dan celananya bagai lapisan kulit yang keras di sekeliling tangan dan kakinya. Sisik Saphira licin karena es; lapisan es menutupi sayap-sayapnya. Mereka belum pernah terbang setinggi ini, tapi puncak-puncak pegunungan masih bermil-mil di atas mereka.
Kepakan sayap Saphira akhirnya melambat dan napasnya terngengah-ngengah. Eragon tersentak dan megap-megap; tampaknya udara di sini tidak cukup banyak. Sambil berjuang mengatasi kepanikan, ia mencengkeram duri di leher Saphira untuk pegangan.
Kita... harus pergi dari sini, katanya. Banyak bintik merah menari-nari di depan matanya. Aku tidak bisa... bernapas. Saphira tampak seperti tidak mendengarnya, jadi ia mengulangi pesannya, kali ini lebih keras lagi. Sekali lagi tidak ada jawaban. Ia tidak bisa mendengarku, Eragon tersadar. Ia goyah, mendapati dirinya sulit berpikir, lalu memukul-mukul sisi tubuh Saphira dan berteriak, "Kita turun!"
Gerakan itu menyebabkan kepalanya pusing. Pandangannya memudar menjadi kegelapan yang berputar-putar.
Ia tersadar kembali sewaktu mereka muncul dari bagian bawah awan. Kepalanya berdenyut-denyut keras. Apa yang terjadi" tanyanya, sambil menegakkan diri dan memandang sekitarnya dengan bingung.
Kau pingsan, jawab Saphira.
Eragon mencoba menyisir rambut dengan jemarinya, tapi terhenti sewaktu merasakan lapisan es di sana. Ya, aku tahu itu, tapi kenapa kau tidak menjawabku"
Otakku kebingungan. Kata katamu terasa tidak masuk di akal. Sewaktu kau jatuh pingsan, aku tahu ada yang tidak beres dan turun. Aku tidak perlu merosot terlalu jauh untuk menyadari apa yang terjadi.
Untung kau tidak pingsan juga, kata Eragon sambil tertawa gugup. Saphira hanya mengayunkan ekor. Eragon memandang Puncak-puncak pegunungan, yang sekarang tertutup awan, sambil berpikir. Sayang sekali kita tidak bisa berdiri di salah satu Puncak itu." Well, sekarang kita mengetahuinya: kita hanya bisa terbang keluar dari lembah itu melalui jalan masuk. Kenapa kita kehabisan udara" Bagaimana bisa ada udara di bawah sini tapi tidak di atas sana"
Entahlah, tapi aku tidak akan pernah berani terbang sedekat itu lagi dengan matahari. Kita harus mengingat pengalaman ini. Pengetahuan ini mungkin berguna kalau nanti kita harus bertempur melawan penunggang lain.
kuharap itu tidak pernah terjadi, kata Eragon. Sebaiknya kita turun sekarang. Aku sudah mendapat cukup petualangan untuk satu hari.
Mereka melayang-layang lembut dengan bantuan arus udara, dari satu gunung ke gunung yang lain, hingga Eragon melihat pasukan Urgal telah tiba di mulut lembah. Apa yang mendorong mereka berjalan secepat itu, dan bagaimana mereka mampu bertahan melakukannya"
Sekarang sesudah kita lebih dekat dengan mereka, kata Saphira aku bisa melihat Urgal-Urgal ini lebih besar daripada yang pernah kita temui. Orang yang jangkung hanya setinggi dada mereka. Aku tidak mengetahui dari tanah mana mereka berasal, tapi pasti tempat yang sangat keras hingga menghasilkan monster sebesar itu.
Eragon memelototi tanah di bawahnya-ia tidak bisa melihat rincian yang dilihat Saphira. Kalau mereka tetap berjalan
dengan kecepatan seperti ini, mereka akan menangkap Murtagh sebelum kita menemukan kaum Varden.
Berharaplah. Hutan mungkin akan menghambat kemajuan mereka.... Apakah mungkin untuk menghentikan mereka dengan sihir"
Eragon menggeleng. Menghentikan mereka... tidak. Jumlah mereka terlalu banyak. Ia teringat kabut tipis di lantai lembah dan tersenyum. Tapi mungkin aku bisa menunda mereka sedikit.
Ia memejamkan mata, memilih kata-kata
yang dibutuhkannya, menatap kabut, lalu memerintah, "Gath un reisa du rakr!"
Timbul kekacauan di bawah. Dari atas, tampak tanah seperti mengalir bagai sungai berlumpur. Seberkas kabut berkumpul di depan para Urgal dan menebal menjadi dinding yang mengerikan, segelap awan mendung. Para Urgal ragu-ragu di depannya, lalu melanjutkan perjalanan seperti penyodok yang tidak terhentikan. Penghalang berputar-putar di sekeliling mereka, menutupi jajaran terdepan dari pandangan.
Kekuatan Eragon terkuras habis secara tiba-tiba, menyebabkan dadanya bergetar seperti burung yang sekarat. Ia tersentak, matanya berputar. Ia berjuang memutuskan kekuatan sihir yang mencengkeram dirinya untuk menambal kebocoran dari mana kehidupannya mengalir keluar. Diiringi raungan keras ia menyentakkan diri dari kekuatan sihir dan memutuskan hubungan. Sulur-sulur sihir putus dalam benaknya seperti ular yang dipenggal, lalu dengan enggan mengundurkan diri dari kesadarannya, bertahan pada batas-batas kekuatannya. Dinding kabut berantakan, dan kabut dengan lambat terurai di tanah seperti menara lumpur yang hancur. Para Urgal sama sekali tidak terpengaruh.
Eragon terkulai lemas di atas Saphira, terengah-engah. Baru sekarang ia teringat kata-kata Brom, "Sihir dipengaruhi jarak, sama seperti anak panah atau tombak. Kalau kau mencoba mengangkat benda dari jarak satu mil jauhnya, energi yang diperlukan akan lebih besar daripada kalau kau mencobanya dari jarak yang lebih dekat." Aku tidak akan pernah melupakannya lagi, pikirnya muram.
Seharusnya kau tidak melupakannya sejak awal, kata Saphira. Pertama tanah di Gil'ead, dan sekarang ini. Apakah kau tidak pernah memperhatikan apa pun yang dikatakan Brom padamu" Kau bisa membunuh dirimu sendiri kalau terus seperti ini.
Aku memperhatikan, kata Eragon berkeras, sambil menggaruk dagu. Hanya saja kejadiannya sudah cukup lama dan aku tidak memiliki kesempatan untuk mengingatnya. Aku tidak pernah menggunakan sihir dari jarak jauh, jadi dari mana aku mengetahui bahwa sulit untuk melakukannya"
Saphira menggeram. Lain kali kau akan mencoba menghidupkan kembali orang yang sudah mati: jangan melupakan apa yang juga dikatakan Brom mengenai hal itu.
Tidak akan, kata Eragon tidak sabar.
Saphira menukik ke tanah, mencari Murtagh dan kuda-kuda. Eragon berniat membantunya, tapi ia nyaris tidak memiliki tenaga bahkan untuk duduk.
Saphira mendarat di lapangan kecil dengan sentakan, dan Eragon kebingungan melihat kuda-kuda berhenti dan Murtagh berlutut, memeriksa tanah. Sewaktu Eragon tidak turun, Murtagh bergegas mendekat dan bertanya, "Ada apa"" Ia kedengaran marah, khawatir, dan kelelahan sekaligus. "Apa aku melakukan kesalahan," kata Eragon sejujurnya.Para Urgal sudah memasuki lembah. Kucoba membingungkan mereka, tapi aku melupakan salah satu peraturan sihir, terpaksa membayar mahal."
Sambil merengut, Murtagh menyentakkan ibu jari ke balik bahunya. "Aku baru saja menemukan jejak serigala, tapi jejaknya sama lebarnya dengan kuda telapak tanganku dan dalam satu inci. Ada hewan-hewan di sekitar sini yang berbahaya bahkan bagi dirimu, Saphira." Ia berpaling kepada Saphira. "Aku tahu kau tidak bisa masuk ke hutan, tapi apakah kau bisa terbang berputar-putar di atasku dan kuda-kuda" Dengan begitu hewan-hewan buas itu seharusnya menjauh. Kalau tidak, mungkin sisi diriku cukup untuk dipanggang dalam pelindung jari."
"Humor, Murtagh"" tanya Eragon, sambil tersenyum sekilas. Otot-ototnya gemetar, menyebabkan ia sulit berkonsentrasi.
"Hanya di tiang gantungan." Murtagh menggosok-gosok mata. "Aku tidak percaya selama ini kita diikuti Urgal-Urgal yang sama. Mereka harus menjadi burung untuk bisa mengejar kita."
"Kata Saphira mereka lebih besar daripada Urgal mana pun yang pernah kami temui," ujar Eragon.
Murtagh memaki, mencengkeram ujung tangkai pedangnya. "Jelas kalau begitu! Saphira, kalau kau benar, maka mereka itu Kull, kaum elite para Urgal. Seharusnya bisa kutebak bahwa kepala sukunya dijadikan pemimpin mereka. Mereka tidak menunggang kuda karena kuda tidak mampu menanggung beban mereka, tidak satu pun dari mereka yang kurang dari delap
an kaki tingginya dan mereka bisa berlari selama berhari-hari tanpa tidur dan tetap siap bertempur. Diperlukan lima orang untuk membunuh satu Kull. Kull tidak pernah meninggalkan gua mereka kecuali untuk berperang, jadi mereka pasti mengharapkan pembantaian besar-besaran kalau keluar dalam jumlah sebanyak itu."
"Apakah kita tetap bisa mendului mereka""
"Siapa yang tahu"" kata Murtagh. "Mereka kuat, bertekad bulat, dan banyak. Ada kemungkinan kita terpaksa menghadapi mereka. Kalau itu yang terjadi, aku hanya berharap kaum Varden menempatkan orang-orang di dekat sini yang akan membantu kita. Meskipun punya ilmu dan Saphira kita tidak bisa menghadapi Kull."
Eragon goyah. "Kau punya roti" Aku perlu makan."
Murtagh bergegas memberinya sepotong. Roti itu lama dan keras, tapi Eragon mengunyahnya dengan bersyukur. Murtagh mengamati dinding lembah dengan pandangan khawatir, Eragon mengetahui ia mencari jalan keluar.
"Ada jalan keluar agak ke depan lagi."
"Tentu saja, kata Murtagh dengan optimisme dipaksakan, lalu menampar pahanya. "Kita harus pergi."
"Bagaimana keadaan Arya" tanya Eragon.
Murtagh mengangkat bahu. "Demamnya memburuk. Ia gelisah terus. Apa yang kauharapkan" Kekuatannya merosot.
Kau seharusnya menerbangkan dirinya ke kaum Varden sebelum racunnya menimbulkan kerusakan yang lebih besar lagi."
"Aku tidak bisa meninggalkan dirimu," kata Eragon, yang kekuatannya semakin pulih seiring setiap gigitan rotinya. "Tidak sementara Urgal-Urgal sedekat itu."
Murtagh kembali mengangkat bahu. "Terserah. Tapi kuperingatkan kau, ia tidak akan tetap hidup kalau kau tetap bersamaku."
"Jangan berkata begitu," kata Eragon, sambil memaksa diri duduk tegak di pelana Saphira. "Bantu aku menyelamatkannya. Kita masih bisa melakukannya. Anggaplah utang nyawa dibalas nyawa-sebagai ganti kematian Torkenbrand."
Wajah Murtagh seketika berubah muram. "Itu bukan utang. Kau-" Ia berhenti saat terdengar suara terompet tanduk di hutan yang gelap. "Banyak yang akan kukatakan padamu nanti," katanya singkat, berjalan kekuda-kuda. Ia menyambar kekang keduanya dan berderap pergi, sambil melotot marah kepada Eragon.
Eragon memejamkan mata sementara Saphira lepaslandas. Ia berharap bisa berbaring di ranjang yang lunak dan melupakan semua masalah mereka. Saphira, katanya akhirnya, sambil menutupi telinga untuk menghangatkannya, bagaimana kalau kita benar-benar menerbangkan Arya ke kaum Varden" Begitu ia sudah aman, kita bisa terbang kembali ke Murtagh dan membawanya keluar dari sana.
Kaum Varden tidak akan mengizinkanmu, kata Saphira. Setahu mereka, kau bisa saja kembali untuk memberitahu para Urgal mengenai tempat persembunyian mereka. Kita tidak tiba dalam kondisi terbaik untuk mendapatkan kepercayaan mereka. Mereka pasti ingin mengetahui kenapa kita membawa sekompi Kull ke gerbang mereka.
Kita harus memberitahukan yang sebenarnya dan berharap mereka memercayai kita, kata Eragon.
Lalu apa yang akan kita lakukan kalau Kull menyerang Murtagh"
Melawan, tentu saja! Aku tidak akan membiarkan Murtagh dan Arya ditangkap atau dibunuh, kata Eragon keras kepala.
Ada sedikit kesinisan dalam kata-kata Saphira. Mulia sekali.
Oh, kita akan membunuh banyak Urgal kau dengan sihir dan pedang, sementara senjataku adalah gigi dan cakar-tapi pada akhirnya akan sia-sia. Jumlah mereka terlalu banyak... Kita tidak bisa mengalahkan mereka, hanya bisa dikalahkan.
Kalau begitu, apa" tanya Eragon. Aku tidak akan membiarkan Arya atau Murtagh dalam cengkeraman mereka.
Saphira melambaikan ekornya, ujung-ujungnya bersuit keras.
Aku tidak memintamu begitu. Tapi, kalau kita menyerang terlebih dulu, kita mendapat keuntungan.
Apakah kau sudah sinting" Mereka akan... Eragon tidak melanjutkan kata-katanya sementara ia memikirkannya. Mereka tidak akan bisa berbuat apa-apa, katanya menyimpulkan, terkejut.
Tepat sekali, kata Saphira. Kita bisa menimbulkan banyak kerusakan dari ketinggian yang aman.
Kita jatuhkan batu-batu ke mereka! Eragon mengusulkan. Dengan begitu mereka akan berhamburan.
Kalau tengkorak mereka tidak cukup keras untuk melindungi mereka. Saphira berbelok ke kanan dan bergegas tu
run ke Sungai Beartooth. Ia menyambar sebongkah batu berukuran sedang dengan cakarnya yang kuat sementara Eragon meraup beberapa batu sebesar kepalan tangan. Dibebani batu-batu, Saphira melayang dengan sayap yang tidak menimbulkan suara hingga mereka berada di atas para Urgal.
Sekarang! serunya, sambil melepaskan bongkah batu. Terdengar derak teredam sementara rudal itu jatuh menerobos pucuk pepohonan, menghantam cabang-cabang. Sedetik kemudian lolongan bergema di seluruh lembah.
Eragon tersenyum tegang saat mendengar para Urgal berhamburan mencari perlindungan. Kita cari amunisi lagi. Eragon, membungkuk rendah di atas Saphira. Saphira menggeram setuju dan kembali ke tepi sungai.
Pekerjaan itu berat, tapi mereka mampu menghambat karena para Urgal-sekalipun mustahil menghentikan mereka sepenuhnya. Para Urgal semakin maju setiap kali Saphira pergi mengambil batu. Terlepas dari itu, usaha mereka memungkinkan Murtagh tetap berada di depan pasukan yang maju tersebut.
Lembah semakin gelap seiring berlalunya waktu. Tanpa matahari yang memberikan kehangatan, gigitan tajam hawa meresap ke udara dan kabut di tanah membeku di pepohonan, melapisinya dengan warna putih. Hewan-hewan malam mulai merayap keluar dari sarang mereka untuk mengintip dari tempat persembunyian, memandang para makhluk asing yang melintasi tanah mereka.
Eragonn terus memeriksa lereng pegunungan, mencari-cari air terjun yang menandai akhir perjalanan mereka. Dengan sangat pahit ia menyadari setiap menit yang berlalu membawanya semakin dekat dengan kematian. "Lebih cepat, lebih cepat, gumamnya sendiri, sambil menunduk memandang Murtagh. Sebelum Saphira meraup batu lagi, ia berkata. Sebaiknya kita beristirahat dan memeriksa keadaan Arya. Hari ini sudah hampir berakhir, dan aku khawatir hidupnya tinggal beberapa jam lagi, kalau bukan beberapa menit.
Hidup Arya ada di tangan Nasib sekarang. Kau memilih. tetap mendampingi Murtagh; sudah terlambat untuk mengubahnya, jadi berhentilah meributkan hal itu.... Kau menyebabkan sisik-sisikku gatal. Tindakan terbaik yang bisa kita lakukan sekarang itu adalah terus mengebom para Urgal. Eragon mengetahui Saphira benar, tapi kata-kata Saphira tidak juga menenangkan kegelisahannya. Ia kembali mencari air terjun, tapi yang terbentang di hadapan mereka tertutup tebing pegunungan yang tebal.
Kegelapan yang sebenarnya mulai memenuhi lembah, menyelimuti pepohonan dan pegunungan seperti awan tinta. Bahkan dengan pendengarannya yang tajam dan indra penciumannya yang luar biasa, Saphira tidak lagi bisa menemukan para Urgal dalam hutan yang lebat itu. Tidak ada bulan yang membantu mereka; baru berjam-jam lagi sebelum bulan terangkat tinggi melewati pegunungan.
Saphira berbelok lembut ke kiri dan melayang mengitari gunung-gunung. Eragon samar-samar merasakan tebing itu melintas di dekatnya, lalu menyipitkan mata saat melihat garis putih samar di kejauhan. Mungkinkah itu air terjunnya" pikirannya penasaran.
Ia memandang langit, yang masih agak terang sesudah matahari terbenam. Siluet gelap pegunungan melengkung menyatu dan membentuk mangkuk kasar yang menutup lembahnya. Ujung lembah tidak jauh lagi! serunya, sambil menunjuk pegunungan. Menurutmu apakah kaum Varden mengetahui kedatangan kita" Mungkin mereka akan mengirim orang-orang untuk membantu kita.
Aku ragu mereka akan membantu kita sebelum mengetahui kita teman atau lawan, kata Saphira sambil tiba-tiba menukik ke tanah. Aku kembali ke Murtagh kita harus tetap bersamanya sekarang. Karena aku tidak bisa menemukan para Urgal itu mereka bisa menyergapnya tanpa sepengetahuan kita.
Eragon mengendurkan Zar'roc dalam sarungnya tanpa benar-benar mencabutnya, penasaran apakah ia cukup kuat untuk bertempur. Saphira mendarat di sebelah kiri Sungai Beartooth, lalu berjongkok menunggu. Air terjunnya terdengar menggemuruh di kejauhan. Ia datang, kata Saphira. Eragon berjuang keras untuk mendengarkan dan menangkap suara detak kuku kuda. Murtagh berlari keluar dari dalam hutan, mengarahkan kuda-kuda didepannya. Ia melihat mereka tapi tidak memperlambat larinya.
Eragon melompat turun dari Saphira, aga
k terhuyung sewaktu menyamai kecepatan lari Murtagh. Di belakangnya Saphira melangkah ke sungai agar bisa mengikuti mereka tanpa terhalang pepohonan. Sebelum Eragon sempat menyampaikan beritanya, Murtagh berkata, "Kulihat kau menjatuhkan bebatuan bersama Saphira dengan ambisius. Apakah Kull berhenti atau berbalik""
"Mereka masih ada di belakang kita, tapi kita sudah hampir tiba di ujung lembah. Bagaimana keadaan Arya""
"Ia belum mati," kata Murtagh kasar. Napasnya pendek-pendek. Kata-kata selanjutnya begitu tenang, seperti suara orang yang menyembunyikan keinginan besar. "Apakah ada lembah atau celah di depan yang bisa kupakai keluar""
Dengan gelisah, Eragon mencoba mengingat apakah ia melihat celah di pegunungan di sekeliling mereka; ia tidak memikirkan dilema Murtagh selama beberapa waktu. Cucanya gelap," katanya, menghindar, sambil merunduk menghindari cabang rendah, "jadi mungkin ada yang terlewat tapi... tidak."
Murtagh memaki-maki dan berhenti tiba-tiba, menarik kekang kuda-kuda hingga keduanya juga berhenti. "Maksudmu satu-satunya tempat yang bisa kutuju adalah tempat kaum Varden""
"Ya, tapi terus berlari. Para Urgal hampir menyusul kita!"
"Tidak!" kata Murtagh marah. Ia menusukkan jarrinya ke Eragon, "Sudah kuperingatkan kau bahwa aku tidak ingin
ke tempat kaum Varden, tapi kau memaksa dan menjebakku di antara palu dan landasannya! Kau yang memiliki ingatan elfnya. Kenapa kau tidak memberitahuku bahwa lembah ini buntu""
Eragon meradang mendengar tuduhan itu dan membalas, yang aku tahu hanyalah ke mana kita harus pergi, bukan apa yang ada di antaranya. Jangan menyalahkan diriku karena kau memilih untuk ikut."
Napas Murtagh mendesis di sela giginya sementara ia berputar balik. Eragon hanya bisa melihat sosoknya yang tidak bergerak, membungkuk. Bahunya sendiri tegang, dan pembuluh darah di sisi lehernya berdenyut-denyut. Ia berkacak pinggang, ketidak sabaran membesar dalam dirinya.
Kenapa kalian berhenti" tanya Saphira, terkejut.
jangan mengalihkan perhatianku. "Ada masalah apa antara dirimu dan kaum Varden" Tidak mungkin seburuk itu hingga kau harus tetap bersembunyi sampai sekarang. Apakah kau lebih suka melawan Kull daripada mengungkapkannya" Berapa kali kita harus mengalami ini sebelum kau memercayai diriku""
Kebisuan yang timbul berlangsung cukup lama.
Para Urgal kata Saphira, mengingatkan dengan nada mendesak.
Aku tahu, kata Eragon, sambil berusaha menekan emosi.
Tapi kita harus memecahkan masalah ini. Cepat, cepat.
"Murtagh," kata Eragon sungguh-sungguh, "kecuali kau ingin mati, kita harus ke tempat kaum Varden. Jangan biarkan aku menemui mereka tanpa mengetahui bagaimana reaksi mereka terhadap dirimu. Sekarang saja keadaannya sudah cukup berbahaya tanpa kejutan-kejutan yang tidak perlu."
Akhirnya Murtagh berpaling memandang Eragon. Napasnya berat dan cepat, seperti napas serigala yang tersudut. Ia diam sejenak, lalu berkata dengan suara tersiksa, "Kau berhak untuk mengetahuinya. Aku... aku putra Morzan, kaum Terkutuk pertama dan terakhir."
TANDUK-TANDUK DILEMA Eragon tidak mampu bicara. Rasa tidak percaya meraung-raung dalam benaknya sementara ia berusaha
menolak kata-kata Murtagh. Kaum Terkutuk tidak pernah memiliki anak, apalagi Morzan. Morzan! Orang yang mengkhianati para Penunggang demi Galbatorix dan tetap menjadi pelayan kesayangan Raja sepanjang sisa hidupnya. Mungkinkah itu benar"
Ia merasakan keterkejutan Saphira sesaat kemudian. Saphira menerobos pepohonan, menerjang dari sungai ke sampingnya, taring-taringnya kelihatan, ekornya terangkat mengancam.
Bersiap-siaplah menghadapi apa pun, katanya memperingatkan. Ia mungkin bisa menggunakan sihir.
"Kau keturunannya"" tanya Eragon, diam-diam meraih
Zar'roc. Apa yang diinginkannya dariku" Apakah ia benar-benar bekerja pada Raja"
"Aku tidak memilih begini!" jerit Murtagh, kesedihan mengerutkan wajahnya. Ia mencabik pakaiannya dengan sikap putus asa, merobek tunik dan kemejanya untuk memperlihatkan dadanya. "Lihat!" pintanya, dan berbalik memunggungi Eragon.
Dengan tidak yakin, Eragon mencondongkan tubuh ke depan, berusaha keras melihat dalam kegelapan.
Di sana, di kulit Murtagh yang kecokelatan dan berotot, terdapat bekas luka putih yang membentang dari bahu kanan ke pinggul kiri, perwujudan kesakitan yang hebat.
"Kau lihat"" kata Murtagh pahit. Ia berbicara dengan cepat sekarang, seakan lega karena rahasianya akhirnya terungkap. "Aku baru berusia tiga tahun sewaktu mendapat ini. Dalam salah satu kemarahan saat mabuk, Morzan melemparkan pedangnya kepadaku sewaktu aku berlari melintasinya punggungku luka menganga oleh pedang yang sekarang kau sandang, satu-satunya benda yang kuharapkan akan kuterima sebagai warisan, hingga Brom mencurinya dari mayat ayahku. Kurasa aku beruntung ada tabib di dekat tempat tinggalku yang berhasil menyelamatkan diriku. Kau harus mengerti, aku tidak menyayangi Kekaisaran atau Raja. Aku tidak bersekutu dengan mereka, dan aku juga tidak bermaksud mencelakai dirimu!" Permohonannya terdengar hampir panik.
Eragon dengan perasaan tidak enak mengangkat tangan dari gagang Zar'roc. "Kalau begitu ayahmu," katanya dengan suara tergagap, "dibunuh oleh..."
"Ya, Brom," kata Murtagh. Ia kembali mengenakan tuniknya dengan sikap dingin.
Terompet tanduk meraung di belakang mereka, menyebabkan Eragon berseru, "Ayo, larilah bersamaku." Murtagh melecutkan kekang kuda-kuda, dan memaksa keduanya berlari meski kelelahan, pandangannya terpaku ke depan, sementara Arya terlonjak-lonjak lemas di pelana Snowfire. Saphira berada di samping Eragon, dengan mudah menjajarinya dengan kaki-kakinya yang panjang. Kau bisa berjalan tanpa hambatan di sungai, kata Eragon sementara Saphira terpaksa menerobos cabang-cabang yang terjalin rapat.
Aku tidak akan meninggalkan kau bersamanya.
Eragon merasa gembira atas perlindungan Saphira. Putra Morzan! Ia berbicara sambil berlari, "Ceritamu sulit dipercaya.
Bagaimana aku tahu kau tidak berbohong""
Untuk apa aku berbohong""
"Kau bisa saja-"
Murtagh bergegas menyela. "Aku tidak bisa membuktikan apa pun padamu sekarang. Simpan saja keraguanmu hingga tiba di tempat kaum Varden. Mereka akan segera mengenaliku."
Aku harus tahu," desak Eragon. "Apakah kau mengabdi pada Kekaisaran""
"Tidak. Dan kalaupun dulu aku mengabdi, apa yang kudapatkan dengan berpergian bersamamu" Kalau aku mencoba menangkap atau membunuhmu, aku pasti meninggalkan dirimu di penjara." Murtagh terhuyung sewaktu melompat batang pohon tumbang.
"Kau bisa membimbing para Urgal ke tempat kaum Varden."
"Kalau begitu," kata Murtagh, "kenapa aku masih bersamamu" Aku tahu di mana tempat kaum Varden sekarang. Alasan apa yang bisa kuberikan untuk menyerahkan diri pada mereka" Kalau aku memang akan menyerang mereka aku sudah berbalik dan bergabung dengan para Urgal."
"Mungkin kau pembunuh bayaran," kata Eragon lugas.
"Mungkin. Kau tidak bisa benar-benar mengetahuinya, bukan"" Saphira" tanya Eragon.
Ekor Saphira melayang di atas kepalanya. Kalau ingin menyakiti dirimu, ia bisa melakukannya sejak dulu.
Sebatang cabang melecut leher Eragon, menimbulkan segaris darah di kulitnya. Air terjun terdengar semakin keras. Kuminta kau awasi Murtagh seketat mungkin sewaktu kita tiba di tempat Varden. Ia mungkin melakukan tindakan bodoh, dan aku tidak ingin ia tewas tidak sengaja.
Akan aku usahakan sebaik-baiknya, kata Saphira sambil menerobos di antara dua batang pohon, menguliti sebagian batangnya. Terompet tanduk terdengar lagi di belakang mereka. Eragon melirik ke belakang, menduga akan melihat para Urgal berhamburan keluar dari kegelapan. Air terjun terdengar menggemuruh di depan mereka, menenggelamkan suara-suara malam.
Hutan berakhir, dan Murtagh menarik kuda-kuda untuk menghentikan mereka. Mereka berada di pantai bulat berkerikil tepat di sebelah kiri mulut Sungai Beartooth. Danau Kostha-merna yang dalam memenuhi lembah, menghalangi jalan mereka. Airnya kemilau ditimpa cahaya bintang yang berkelap-kelip. Dinding pegunungan menghalangi jalan masuk di sekeliling Kostha merna hingga sebaris tipis pantai di kedua danau, keduanya tidak lebih dari beberapa langkah lebarnya. Di ujung seberang danau, tirai air yang lebar menuruni tebing hitam ke gelegak buih di bawahnya.
"Apakah kita pergi ke air
terjun"" tanya Murtagh dengan suara tegang.
"Ya," Eragon memimpin dan memilih jalan di sepanjang sisi kiri danau. Kerikil-kerikil bulat di bawah kakinya basah dan tertutup lapisan yang licin. Nyaris tidak ada ruang bagi Saphira di antara dinding lembah yang tegak lurus dan danau, jadi ia harus berjalan di dalam air.
Mereka tiba di pertengahan jalan ke air terjun sewaktu Murtagh memperingatkan, "Urgal!"
Eragon berputar, bebatuan berhamburan dari tumitnya. Di tepi danau Kostha-merna, di mana mereka tadi berada beberapa menit yang lalu, sosok-sosok tinggi besar mengalir keluar dari dalam hutan. Para Urgal berkumpul di depan danau. Salah satu dari mereka memberi isyarat ke arah Saphira, kata-kata serak melayang di atas air. Seketika kelompok itu terbagi dan mulai menyusuri kedua tepi danau, tidak memberi jalan melarikan diri bagi Eragon dan Murtagh. Pantai yang sempit memaksa Kull yang bertubuh tinggi besar untuk berbaris satu per satu.
"Lari!" teriak Murtagh, sambil mencabut pedang dan menampar pantat kuda-kuda. Saphira terbang tanpa peringatan dan berputar balik ke arah para Urgal.
"Jangan!" jerit Eragon, berteriak dengan pikirannya, Kembali! tapi Saphira terus menyerang, tidak memedulikan seruan Eragon. Dengan susah payah Eragon mengalihkan pandangan dari Saphira dan menerjang maju, sambil mencabut Zar'roc dari sarungnya.
Saphira menukik ke arah para Urgal, sambil meraung mengerikan. Mereka mencoba berhamburan tapi terjebak lereng pegunungan. Saphira menangkap seorang Kull dengan cakarnya dan membawa makhluk yang menjerit-jerit itu terbang, mencabik-cabiknya dengan taring. Mayat yang membisu itu jatuh ke danau sesaat kemudian, kehilangan sebelah lengan dan kakinya.
Kull yang lain terus mengitari Kostha-merna tanpa henti. Dengan asap mengepul melalui cuping hidungnya, Saphira kembali menukik ke arah mereka. Ia berputar dan berguling Saat awan anak panah hitam berhamburan ke arahnya. Sebagian besar anak panah itu ditangkis sisi tubuhnya yang sisiknya cukup tebal dan keras, hanya menyebabkan memar, tapi ia meraung sewaktu anak-anak panah yang lain menembus sayapnya.
Lengan Eragon tersengat sakit simpatik, dan ia harus menahan diri untuk tidak menghambur ke Saphira dan melindungi. Ketakutan membanjiri pembuluh darahnya sewaktu melihat sebarisan Urgal mendekati mereka. Ia mencoba berlari lebih cepat, tapi otot-ototnya terlalu lelah, bebatuannya terlalu licin.
Lalu, diiringi percikan hebat air, Saphira terjun ke dalam Kostha-merna. Ia menyelam sepenuhnya, memicu riak ke seluruh danau. Para Urgal dengan gugup mengawasi air gelap yang menampar-nampar kaki mereka. Salah satunya menggerung tanpa bisa dipahami dan menusukkan tombaknya ke danau.
Air bagai meledak sewaktu kepala Saphira melesat keluar dari kedalaman. Rahangnya menggigit tombak itu, mematahkannya bagai sebatang ranting sewaktu ia mencabutnya dengan puntiran keras dari tangan Kull yang memegangnya. Sebelum ia sempat menangkap Urgal itu sendiri, rekan-rekan Urgal itu menusuknya dengan tombak masing-masing, menyebabkan hidungnya mengucurkan darah.
Saphira tersentak mundur dan mendesis marah, memukuli air dengan ekornya. Dengan tetap mengarahkan tombak ke Saphira, Kull terdepan mencoba bergeser lewat, tapi terhenti sewaktu Saphira menggigit kakinya. Barisan Urgal terpaksa berhenti sementara Saphira menahan Urgal terdepan. Sementara itu, Kull di sisi seberang danau terus bergegas menuju air terjun.
Aku sudah menjebak mereka, kata Saphira kepada Eragon dengan tegang, tapi cepatlah, aku tidak bisa menahan mereka terlalu lama. Para pemanah di pantai membidik dirinya Eragon memusatkan perhatian untuk berlari lebih cepat, tapi batu yang bergeser saat diinjaknya menyebabkan ia jatuh ke depan. Lengan Murtagh yang kuat menahannya tetap berdiri, dan sambil berpegangan tangan, mereka mendorong kuda-kuda terus maju dengan teriakan. Mereka nyaris tiba di air terjun. Suaranya luar biasa seperti longsor. Dinding air putih mengguyur menuruni tebing memukul bebatuan di bawahnya dengan kemarahan yang menghamburkan kabut ke udara dan mengalir turun di wajah mereka. Empat meter dari tirai yan
g menggemuruh itu, pantainya melebar, memberi mereka ruang untuk melekukan manuver.
Saphira meraung saat tombak Urgal menggores perutnya, lalu mengundurkan diri ke bawah air. Dengan kepergiannya Kull bergegas maju dengan langkah-langkah panjang. Mereka hanya beberapa ratus meter jauhnya.
"Apa yang kita lakukan sekarang"" tanya Murtagh dingin.
"Aku tidak tahu. Biar kupikirkan!" seru Eragon, sambil mencari-cari kenangan Arya untuk mendapatkan instruksi terakhir. Ia mengamati tanah hingga menemukan sebutir batu sebesar apel, menyambarnya, lalu memukul-mukulkannya ke dinding di samping air terjun, sambil berteriak, "Ai varden abr du Shur'tugals gata vanta!"
Tidak terjadi apa-apa. Ia mencoba lagi, berteriak lebih keras daripada sebelumnya, tapi hanya berhasil melukai tangannya. Ia berpaling dengan putus asa kepada Murtagh. "Kita terjebak" Kata-katanya terputus oleh Saphira yang melompat keluar dari danau, menyirami mereka dengan air sedingin es. Ia mendarat di pantai dan merunduk, siap bertempur.
Kuda-kuda melonjak panik, mencoba melarikan diri. Eragon menjangkau dengan pikirannya untuk menenangkan mereka. Di belakangmu! jerit Saphira. Eragon berbalik dan sekilas melihat pemimpin Urgal berlari ke arahnya, tombaknya yang berat teracung. Dari jarak dekat Kull tampak seperti raksasa kecil, dengan kaki dan lengan setebal batang pohon.
Murtagh menarik lengannya dan melemparkan pedangnya dengan kecepatan yang luar biasa. Senjata panjang itu berputar sekali, lalu menancap di dada Kull tadi, diiringi derakan teredam. Urgal bertubuh tinggi besar tersebut jatuh ke tanah sambil memperdengarkan suara menggeleguk orang tercekik. Sebelum Kull yang lain sempat menyerang, Murtagh melesat lalu dan mencabut pedangnya dari mayat tersebut.
Eragon mengangkat tangan, sambil berteriak, "Jierda theirra kalfis!" Derakan tajam menggema dari tebing. Dua puluh Urgal yang berderap maju jatuh ke Kostha-merna, melolong sambil mencengkeram kaki di tempat patahan tulang mencuat keluar. Tanpa menghentikan langkah, Urgal-Urgal yang lain melewati rekan-rekan mereka yang jatuh. Eragon berusaha keras mengatasi kelelahannya, menempelkan tangan ke Saphira untuk mendapatkan dukungan.
Hujan anak panah, mustahil dilihat dalam kegelapan, mendesing di sekitar mereka dan berdentangan di tebing. Eragon dan Murtagh merunduk, melindungi kepala mereka. Sambil menggeram pelan, Saphira melompat ke atas mereka hingga sisi-sisi tubuhnya yang berperisai melindungi mereka hingga kuda-kuda. Serangkaian detakan terdengar saat hujan anak panah kedua memantul dari sisik-sisiknya.
"Sekarang apa"" teriak Murtagh. Masih tidak ada celah yang terbuka di tebing. "Kita tidak bisa tetap di sini!"
Eragon mendengar Saphira meraung saat sebatang anak panah mengenai ujung sayapnya, mencabik membran tipis disana. Ia memandang sekitarnya dengan liar, mencoba memahami kenapa instruksi Arya tidak berhasil. "Aku tidak tahu! Kita sudah berada di tempat yang seharusnya!"
"Kenapa tidak kautanyakan pada elf itu untuk memastikan"" tanya Murtagh. Ia menjatuhkan pedangnya, menyambar busur dari tas pelana Tornac, dan dengan gerakan yang sigap menembakkan sebatang anak panah dari sela-sela duri di punggung Saphira. Sesaat kemudian seorang Urgal jatuh ke air.
"Sekarang" Ia sekarat! Bagaimana ia bisa menemukan energi untuk mengatakan apa pun""
"Entahlah," teriak Murtagh, "tapi sebaiknya kaupikirkan cara karena kita tidak bisa menghadang seluruh pasukan!" Eragon, raung Saphira dengan nada mendesak. Apa!
Kita ada di tepi danau yang salah! Aku melihat kenangan Arya melalui dirimu, dan aku baru saja menyadari ini bukan tempat yang tepat. Ia menjejalkan kepala ke dada sewaktu hujan anak panah berhamburan lagi ke arah mereka. Ekornya tersentak kesakitan sewaktu anak-anak panah itu mengenainya. Aku tidak bisa begini terus! Mereka akan mencabik-cabik diriku!
Eragon menyentakkan Zar'roc kembali ke sarungnya dan berseru. "Varden ada di sisi seberang danau. Kita harus menerobos air terjun!" Ia menyadari dengan ketakutan bahwa para Urgal di seberang Kostha-merna nyaris tiba di air terjun.
Pandangan Murtagh terarah ke air t
erjun yang menghalangi jalan mereka. "Kita tidak akan pernah bisa membawa kuda melewatinya, bahkan seandainya kita bisa menemukan pijakan."
"Akan kuyakinkan mereka untuk mengikuti kita, sergah
Eragon. "Dan Saphira bisa membawa Arya." Jeritan dan lolongan para Urgal menyebabkan Snowfire mendengus marah. Si elf terkulai di punggungnya, tidak menyadari bahaya
Murtagh mengangkat bahu. "Lebih baik daripada dicincang hingga tewas." Dengan sigap ia memotong tali yang mengikat Arya dari pelana Snowfire, dan Eragon menangkap elf itu Saat merosot ke tanah.
Aku siap, kata Saphira, sambil beranjak setengah merunduk. para Urgal yang mendekat ragu-ragu tidak tahu pasti niatnya.
"Sekarang!" jerit Eragon. Ia dan Murtagh mengangkat Arya ke atas Saphira, lalu mengikat kakinya dengan tali pelana. Begitu mereka selesai, Saphira mengembangkan sayap dan membubung ke atas danau. Para Urgal di belakangnya melolong saat melihat ia melarikan diri. Anak-anak panah berjatuhan dari perutnya. Kull di pantai seberang melipat gandakan kecepatan agar bisa tiba di air terjun sebelum Saphira mendarat.
Eragon menjangkau dengan pikirannya untuk memaksa memasuki pikiran kuda-kuda yang ketakutan. Dengan menggunakan bahasa kuno, ia memberitahu keduanya bahwa kalau mereka tidak berenang menerobos air terjun, mereka akan dibunuh dan disantap para Urgal. Walaupun mereka tidak memahami segala sesuatu yang dikatakannya, arti kata-katanya tidak mungkin keliru.
Snowfire dan Tornac menyentakkan kepala, lalu melesat ke air yang menggelegar turun, meringkik saat air terjun menghantam punggung mereka. Mereka jatuh, berjuang keras untuk bertahan di atas air. Murtagh menyarungkan pedang dan melompat mengejar mereka; kepalanya menghilang di balik buih sebelum muncul kembali, terbatuk-batuk.
para Urgal tepat di belakang Eragon; ia bisa mendengar Suara kaki mereka menginjak kerikil diiringi teriakan perang yang mengerikan, ia melompat mengikuti Murtagh, memejamkan mata sedetik sebelum air dingin menghantam dirinya.
Air terjun yang luar biasa kuat menghantam bahunya dengan kekuatan yang mampu mematahkan tulang punggung. Raungan air memenuhi telinganya. Ia terdorong ke dasar, di mana lututnya beradu dengan bebatuan di dasar danau. Ia menendang sekuat tenaga dan melesat hingga separo keluar dari air. Sebelum ia sempat menhirup udara, guyuran air kembali menjejelkannya ke bawah permukaan.
Ia hanya bisa melihat warna putih yang samar saat busa menggelegak di sekitarnya. Mati-matian ia berusaha untuk muncul ke permukaan dan melegakan paru-parunya yang bagai terbakar, tapi ia hanya menanjak beberapa kaki sebelum semburan air menghentikannya. Ia panik, melambai-lambaikan tangan dan menendang-nendang, melawan airnya. Dibebani Zar'roc dan pakaiannya yang basah kuyup, ia merosot kembali ke dasar danau, tidak mampu mengucapkan kata kuno yang bisa menyelamatkan dirinya.
Tiba-tiba sebuah tangan yang kuat mencengkeram bagian punggung tuniknya dan menyeretnya menerobos air. Penyelamatnya menerobos danau dengan ayunan-ayunan yang cepat dan pendek; Eragon berharap orang itu Murtagh, bukan Urgal. Mereka muncul ke permukaan dan terhuyung-huyung ke pantai berkerikil. Eragon gemetaran hebat; seluruh tubuhnya menggigil.
Suara pertempuran terdengar di sebelah kanannya, dan ia berputar ke sana, menduga akan melihat serangan Urgal. Para monster di tepi seberang-tempat ia tadi berdiri hanya beberapa saat sebelumnya, berjatuhan akibat hujan anak panah dari celah-celah yang memenuhi tebing. Puluhan Urgal mengambang menelungkup di air, dipenuhi anak panah. Urgal-Urgal di pantai tempat Eragon berada juga diserang dengan cara yang sama. Tidak satu kelompok pun bisa mengundurkan diri dari posisi mereka yang terbuka, karena berderet-deret pejuang entah bagaimana muncul dari belakang mereka, tempat danau bertemu lereng gunung. Yang menghalangi Kull terdekat untuk menyerang Eragon hanyalah hujan anak panah yang terus-menerus. para pemanah yang tidak terlihat tampaknya berbulat tekad untuk menghalangi para Urgal.
Suara serak di samping Eragon berkata, "Akh Gunteraz dorzada! Apa yang mereka pikirkan" Kau bisa
tenggelam. Eragon tersentak terkejut. Orang yang berdiri di sampingnya bukanlah Murtagh, tapi pria kecil yang tidak lebih tinggi daripada sikunya.
Kurcaci itu sibuk memeras air dari janggutnya yang di kepang panjang. Dadanya kekar, dan ia mengenakan jaket jala baja yang dipotong pada bagian bahu untuk menampilkan lengan yang berotot. Kapak perang tergantung dari sabuk kulit lebar yang melilit pinggangnya. Topi kulit bertanduk dan bertepi besi, di mana terdapat simbol palu yang dikelilingi dua belas bintang, bertengger mantap di kepalanya. Bahkan dengan topi itu, tingginya tidak sampai empat kaki. Ia memandang penuh kerinduan ke arah pertempuran dan berkata, "Barzul, seandainya aku bisa bergabung dengan mereka!"
Kurcaci! Eragon mencabut Zar'roc dan mencari Saphira serta Murtagh. Dua pintu batu setebal dua belas kaki terbuka di tebing, menampakkan terowongan lebar yang nyaris tiga puluh kaki tingginya, membentang masuk ke pegunungan. Sederetan lampu telah menyala memenuhi lorong masuk itu dengan warna biru pucat yang tumpah ke danau.
Saphira dan Murtagh berdiri di depan terowongan, dikelilingi orang dan kurcaci berwajah muram. Di samping Murtagh berdiri pria botak tak berjanggut yang mengenakan mantel ungu dan emas. Ia lebih jangkung daripada manusia-manusia lainnya dan ia mengacungkan sebilah pisau ke tenggorokan Murtagh.
Eragon menjangkau kekuatannya, tapi pria berjubah itu berkata dengan suara tajam, berbahaya, "Berhenti! Kalau kau menggunakan sihir, akan kubunuh teman tersayangmu ini, yang begitu baik hingga memberitahuku bahwa kau Penunggang. Jangan menganggap aku tidak akan mengetahui kalau kau mengerahkan kekuatan sihirmu. Kau tidak bisa menyembunyikan apa pun dariku." Eragon mencoba berbicara, tapi pria itu menyeringai dan menekankan pisaunya lebih keras ke tenggorokan Murtagh. "Jangan coba-coba! Kalau kau mengatakan atau melakukan apa pun yang tidak kuperintahkan padamu, ia akan tewas. Sekarang, semuanya masuk." Ia mundur ke terowongan, menyeret Murtagh bersamanya sambil tetap mengawasi Eragon.
Saphira, apa yang harus kulakukan" tanya Eragon dengan tergesa-gesa sementara orang-orang dan kurcaci-kurcaci mengikuti menangkap Murtagh, membimbing kuda-kuda bersama mereka.
Ikuti mereka, saran Saphira, dan berharaplah kita tetap hidup. Saphira sendiri melangkah ke dalam terowongan, memicu lirikan-lirikan gugup dari mereka yang ada di sekitarnya. Dengan enggan Eragon mengikutinya, menyadari pandangan para pejuang itu terarah padanya. Penyelamatnya, si kurcaci, berjalan di sampingnya dengan satu tangan pada ganggang kapak perangnya.
Dengan kelelahan setengah mati, Eragon terhuyung-huyung masuk ke pegunungan. Pintu-pintu batu terayun menutup di belakang mereka diiringi suara yang tidak lebih daripada bisikan. Eragon berpaling dan melihat dinding mulus di tempat pintunya tadi berada. Mereka terjebak di dalam. Tapi apakah mereka lebih aman
MEMBURU JAWABAN Lewat sini," sergah si pria botak. Ia melangkah mundur, pisaunya tetap menekan bagian bawah dagu Murtagh, lalu ia berputar ke kanan, menghilang melalui ambang pintu melengkung. Para prajurit dengan hati-hati mengikuti dirinya, perhatian mereka terpusat pada Eragon dan Saphira. Kuda-kuda dibimbing melalui terowongan lain.
Tertegun karena perubahan yang terjadi, Eragon hendak mengejar Murtagh. Ia melirik sekilas ke arah Saphira untuk memastikan Arya masih terikat di punggung naga itu. Ia harus mendapatkan penawarnya pikir Eragon panik, mengetahui bahwa bahkan pada saat itu pun Skilna Bragh sedang memenuhi tujuan mematikannya di dalam tubuh Arya.
Ia bergegas memasuki ambang pintu melengkung dan menyusuri koridor sempit mengejar si pria botak. Para prajurit mengarahkan senjata masing-masing kepadanya. Mereka melewati ukiran hewan berbulu tebal yang aneh. Koridor berbelok tajam ke kiri, lalu ke kanan. Pintu membuka dan mereka memasuki ruangan kosong yang cukup besar bagi Saphira untuk bergerak ke sana kemari dengan mudah. Terdengar debuman yang menggaung sewaktu pintunya ditutup, diikuti deritan tajam saat selot dipasang di luar.
Eragon perlahan-lahan mengamati sekitarnya, Za
r'roc tergemgam erat di tangannya. Dinding, lantai, dan langit-langit terbuat dari marmer putih yang dipoles dan memantulkan bayangan semua orang sehingga mereka tampak bagai hantu, seperti cermin susu. Salah satu dari lentera yang tidak biasa itu menjuntai di setiap sudut. "Ada yang" katanya memulai tapi isyarat tajam dari pria botak itu menghentikannya.
Eragon Karya Christhoper Paolini di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Jangan bicara! Kau harus menunggu hingga selesai diuji." Ia mendorong Murtagh ke salah seorang prajurit, yang menempelkan sebilah pedang ke leher Murtagh. Pria botak itu bertepuk tangan dengan lembut. "Lepaskan senjatamu dan dorong kepadaku." Seorang kurcaci melepaskan sabuk pedang Murtagh dan menjatuhkannya ke lantai diiringi dentangan.
Walaupun benci berpisah dengan Zar'roc, Eragon menanggalkan sabuk pedangnya dan meletakkannya bersama pedangnya di lantai. Ia menaruh busur dan tabung panah di sampingnya, lalu mendorong tumpukan itu ke arah para prajurit. "Sekarang menjauhlah dari nagamu dan dekati aku perlahan-lahan," perintah pria botak itu.
Dengan kebingungan, Eragon melangkah maju. Sewaktu jarak mereka hanya satu meter, pria itu berkata, "Berhenti di sana! Sekarang singkirkan pertahanan dari benakmu dan bersiaplah membiarkan aku memeriksa pikiran dan ingatanmu. Kalau ada yang kausembunyikan dariku, aku akan mengambil apa yang kuinginkan dengan paksa... dan kau akan jadi gila karenanya. Kalau kau tidak pasrah, temanmu akan dibunuh."
"Untuk apa"" tanya Eragon, tertegun.
"Untuk memastikan kau bukan anak buah Galbatorix dan untuk memahami kenapa ratusan Urgal menggedor pintu depan kami," kata pria botak itu. Matanya yang rapat beralih dari sudut ke sudut dengan kecepatan tinggi. "Tidak seorang pun boleh memasuki Fardhen Dur tanpa diuji."
"Tidak ada waktu. Kami membutuhkan tabib!" Eragon memprotes.
"Diam!" raung pria itu, menekan jubahnya dengan Jemari yang kurus. "Sebelum kau diperiksa, kata-katamu tidak ada artinya!"
"Tapi wanita itu sekarat!" balas Eragon marah, menunjuk Arya. Posisi mereka berbahaya, tapi ia tidak akan membiarkan apa pun terjadi sebelum Arya dirawat.
"Harus menunggu! Tidak seorang pun meninggalkan ruangan ini hingga kami mengetahui kebenaran masalah ini. kecuali kau ingin"
Kurcaci yang menyelamatkan Eragon dari danau melompat maju. "Apakah kau buta, Egraz Carn! Kau tidak bisa melihat yang di naga itu elf" Kita tidak bisa menahannya di sini jika ia terancam bahaya. Ajihad dan Raja akan memenggal kepala kita kalau ia dibiarkan tewas!"
Tatapan mata pria itu menajam karena marah. Sesaat kemudian ia mengendur dan berkata halus, "Tentu saja, Orik, kita tidak ingin itu terjadi." Ia menjentikkan jemari dan menunjuk Arya. "Ambil ia dari naga itu." Dua prajurit manusia menyarungkan pedangnya dan dengan ragu-ragu mendekati Saphira, yang mengawasi mereka dengan tajam. "Cepat, cepat!"
Keduanya melepaskan ikatan Arya dari pelana dan menurunkannya ke lantai. Salah seorang di antaranya mengamati wajah Arya, lalu berkata tajam, "Ini kurir pembawa telur naga, Arya!"
"Apa"" seru pria botak itu. Mata kurcaci Orik membelalak tertegun. Pria botak tersebut mengarahkan tatapan tajamnya pada Eragon dan berkata dengan nada datar, "Banyak yang harus kau jelaskan."
Eragon membalas tatapannya dengan segenap kebulatan tekad yang bisa dikerahkannya. "Ia diracuni dengan Skilna Bragh sewaktu dipenjara. Hanya Serbuk Sari Tunivor yang bisa menyelamatkan dirinya sekarang."
Wajah pria botak itu menjadi sulit ditebak. Ia berdiri tidak bergerak, kecuali bibirnya, yang sesekali berkedut. "Baiklah. Bawa wanita itu ke tabib, dan beritahu mereka apa yang dibutuhkannya. Jaga dia hingga upacara selesai. Saat itu aku akan memberi kalian perintah baru." Para prajurit itu mengangguk singkat dan membawa Arya keluar ruangan. Eragon mengawasi kepergian mereka, berharap bisa menemani Arya. Perhatiannya teralih kembali ke si pria botak, yang tengah berbicara. "Sudah cukup, kita terlalu membuang waktu. Bersiap-siaplah untuk diperiksa."
Eragon tidak ingin pria tak berambut yang selalu mengancam itu memasuki benaknya, mengungkap setiap pikiran dan perasaannya, tapi ia tahu sia-sia saja melawan. Suasan
a terasa tegang. Tatapan Murtagh bagai membakar keningnya.
Akhirnya ia membungkuk. "Aku siap."
Bagus kalau begitu" pria botak itu kembali disela Orik, yang berkata tiba-tiba,
"Sebaiknya kau tidak menyakiti dirinya, Erag Carn, kalau tidak ingin Raja berbicara denganmu."
Si pria botak memandangnya jengkel, lalu menatap Eragon sambil tersenyum kecil. "Hanya kalau ia melawan." Ia membungkuk dan mengucapkan kata-kata tanpa suara.
Eragon tersentak kesakitan dan kaget saat peraba mental mencakar masuk ke dalam benaknya. Bola matanya berputar terbalik, dan ia otomatis mendirikan penghalang di sekeliling kesadarannya. Serangannya luar biasa kuat.
Jangan begitu! seru Saphira. Pikirannya bergabung dengan pikiran Eragon, memberinya kekuatan. Kau membahayakan keselamatan Murtagh! Eragon goyah, mengertakkan gigi, lalu memaksa diri menyingkirkan perisainya, membuka diri pada peraba yang bagai orang kelaparan itu. Kekecewaan terpancar dari wajah si pria botak. Serangannya semakin hebat. Kekuatan yang berasal dari benaknya terasa busuk dan tidak lengkap; ada sesuatu yang sangat keliru pada kekuatannya.
Ia ingin aku melawannya! seru Eragon sementara gelombang kesakitan baru mengguncang dirinya. Sedetik kemudian sakitnya mereda, hanya untuk digantikan yang lain. Saphira berusaha sekuat tenaga menekannya, tapi bahkan ia pun tidak bisa menghalangi kekuatan itu seluruhnya.
Berikan apa yang diinginkannya, kata Saphira tergesa-gesa, tapi lindungi segala yang lainnya. Akan kubantu kau. Kekuatannya tidak sebanding denganku; aku melindungi pembicaraan kita ini dari dirinya.
Kalau begitu kenapa masih terasa sakit" Sakitnya berasal dari dirimu.
Eragon mengernyit sementara peraba pria itu masuk semakin dalam, memburu informasi, seperti paku yang ditusukkan menembus tengkoraknya. Pria botak itu dengan kasar merampas kenangan masa kanak-kanaknya dan mulai memmilahnya. Ia tidak membutuhkan Itu keluarkan ini dari saraung Eragon marah.
Tidak bisa, tidak tanpa membahayakan dirimu, kata Saphira Aku bisa menutupi hal-hal dari pandangannya, tapi harus di lakukan sebelum Ia mencapainya. Pikir cepat, dan katakan apa yang kausembunyikan!
Eragon berusaha memusatkan perhatian di antara sakit. Ia berpacu memilah-milah kenangannya, dimulai dari Sewaktu ia menemukan telur Saphira. Ia menyembunyikan sebagian diskusinya dengan Brom, termasuk semua kata kuno yang pernah dipelajarinya. Perjalanan mereka melintasi Lembah Palancar, Yazuac, Daret, dan Teirm dibiarkan tidak tersentuh. Tapi ia meminta Saphira menutupi apa pun yang diingatnya mengenai ramalan Angela dan Solembum. Ia menutupi pencurian yang mereka lakukan di Teirm, kematian Brom, penawanan dirinya di Gil'ead, dan akhirnya pemberitahuan Murtagh mengenai identitasnya yang sebenarnya.
Eragon ingin menyembunyikannya juga, tapi Saphira menolak. Kaum Varden berhak mengetahui siapa yang mereka lindungi di bawah atap mereka, terutama kalau ia putra seorang Terkutuk!
Lakukan saja, kata Eragon susah payah, melawan gelombang kesakitan yang lain. Aku tidak akan menjadi orang yang membuka rahasianya, terutama pada orang ini.
Rahasia itu akan terungkap begitu pikiran Murtagh diteliti,
Saphira memperingatkan. Lakukan saja. Sesudah informasi-informasi yang paling penting disembunyikan, tidak ada yang bisa dilakukan Eragon kecuali menunggu pria botak itu selesai memeriksa. Rasanya seperti duduk diam sementara kuku-kuku jemarinya dicabuti dengan tang karatan. Seluruh tubuhnya terasa kaku, rahangnya terkatup rapat. Panas memancar dari kulitnya, dan keringat bergulir turun dilehernya. Ia sangat menyadari setiap detik pada setiap menit yang berlalu.
Pria botak itu meneliti pengalamannya dengan lambat, seperti sulur berduri yang berusaha membuka jalan menuju cahaya matahari. Ia menaruh perhatian mendalam terhadap banyak hal yang menurut Eragon tidak relevan, seperti tentang ibunya Selena, dan tampaknya sengaja berlama-lama untuk memperpanjang penderitaannya. Ia menghabiskan waktu yang lama untuk memeriksa ingatan Eragon mengenai Ra'zac, lalu mengenai Shade. Baru sesudah meneliti petualangannya habis-habisan, pria botak itu mulai me
ngundurkan diri dari benak Eragon.
Rabaan itu ditarik seperti serpihan kayu yang dicabut dari daging. Eragon menggigil, goyah, lalu jatuh ke depan ke lantai. Lengan-lengan yang kuat menahannya pada detik terakhir, menurunkannya ke marmer yang dingin. Ia mendengar Orik berseru dari belakang, "Kau keterlaluan! Ia tidak cukup kuat untuk ini,"
"Ia akan hidup. Hanya itu yang dibutuhkan," jawab pria botak itu singkat.
Terdengar dengus marah. "Apa yang kautemukan"" Sunyi.
"Well, apakah ia bisa dipercaya atau tidak""
Kata-katanya terlontar enggan. "Ia... bukan musuhmu,"
Terdengar desah lega di seluruh ruangan.
Mata Eragon mengerjap-ngerjap terbuka. Dengan hati-hati ia mendorong dirinya bangkit. "Pelan-pelan saja," kata Orik, sambil memeluk dan membantunya berdiri. Eragon bergoyang-goyang tidak mantap, memelototi pria botak itu. Geraman pelan terdengar dari tenggorokan Saphira.
Pria botak itu tidak mengacuhkan mereka. Ia berpaling kepada Murtagh, yang masih ditodong pedang. "Sekarang giliranmu."
Murtagh mengejang dan menggeleng. Pedang melukai lehernya. Darah menetes di kulitnya sendiri. "Tidak."
"Kau tidak akan dilindungi kalau menolak."
"Eragon sudah dinyatakan bisa dipercaya, jadi kau tidak bisa mengancam akan membunuhnya untuk mempengaruhi diriku. Karena kau tidak bisa melakukannya, tidak ada yang bisa kau katakan atau lakukan untuk meyakinkan diriku agar membuka pikiran."
Sambil mencibir, pria botak itu mengangkat apa yang seharusnya adalah alis, kalau saja ia memilikinya. Bagaimana dengan nyawamu sendiri" Aku masih bisa mengancam dengan itu."
"Tidak ada gunanya," kata Murtagh dengan dingin dan keyakinan yang begitu kuat hingga mustahil untuk meragukan kata-katanya.
Napas pria botak itu menyembur marah. "Kau tidak memiliki pilihan!" Ia melangkah maju dan menempelkan telapak tangannya di alis Murtagh, mengepalkan tangan untuk menahan Murtagh di sana. Murtagh menegang, wajahnya baru sekeras besi, tinjunya mengepal, otot-otot lehernya mengembung. Ia jelas sekali melawan serangan itu dengan segenap kekuatannya. Pria botak tersebut menyeringai murka dan frustrasi karena penawanan itu, jemarinya menghunjam tanpa kenal ampun ke dalam Murtagh.
Eragon mengernyit bersimpati, mengetahui tengah terjadi pertempuran di antara mereka. Kau tidak bisa membantunya" tanyanya pada Saphira.
Tidak bisa, kata Saphira lembut. Murtagh tidak mengizinkan siapapun memasuki pikirannya.
Orik merengut muram sambil mengawasi keduanya bertempur. Ilf carnz orodum," gumamnya, lalu melompat maju dan berseru, "Cukup!" Ia menyambar lengan si botak dan melepaskannya dari Murtagh dengan kekuatan yang tidak proporsional dengan ukurannya.
Pria botak itu terhuyung mundur, lalu berbalik memandang Orik dengan murka. "Beraninya kau!" teriaknya. "Kau meragukan kepemimpinanku, membuka gerbang tanpa izin, dan sekarang ini! Kau tidak menunjukkan apa pun kecuali pemberontakan dan pengkhianatan. Menurutmu rajamu akan melindungi dirimu sekarang"'
Orik meradang. "Kau berniat membiarkan mereka tewas! Kalau aku menunggu lebih lama lagi, para Urgal itu sudah menghabisi mereka." Ia menunjuk Murtagh, yang terengahengah. "Kita tidak berhak menyiksanya untuk mendapatkan informasi apa pun! Ajihad tidak akan mengizinkannya. Tidak sesudah kau memeriksa Penunggang dan mendapatinya bebas dari kesalahan. Dan mereka membawa Arya kepada kita."
"Apakah kau akan mengizinkannya masuk tanpa diuji" Apakah kau begitu bodoh hingga mempertaruhkan kita semua"" tanya pria botak itu. Matanya tampak liar karena kemurkaan yang ditahan: ia tampaknya siap mencabik-cabik kurcaci itu hingga berkeping-keping.
"Apakah ia bisa menggunakan sihir"" raung Orik, suaranya yang dalam menggema di ruangan. Wajah pria botak itu tiba-tiba berubah tanpa ekspresi. Ia menggenggam tangannya sendiri di belakang punggung.
"Tidak" "Kalau begitu apa yang kautakuti" Mustahil ia melarikan diri, dan ia tidak bisa melakukan kejahatan apa pun terhadap kita semua di sini, terutama kalau kekuatanmu sehebat yang kaukatakan. Tapi jangan dengarkan pendapatku; tanyakan pada Ajihad apa yang diinginkannya."
Pria botak itu menatap Orik seje
nak, wajahnya tidak bisa ditebak, lalu ia memandang langit-langit dan memejamkan mata. Kekakuan yang aneh terbentuk di bahunya sementara bibirnya bergerak-gerak tanpa suara. Kerutan yang dalam timbul pada kulitnya yang pucat di atas mata, dan jemarinya mengepal, seakan mencekik musuh yang tidak terlihat. Selama beberapa menit ia berdiri dalam keadaan seperti itu, berkamunikasi tanpa suara.
Sewaktu matanya terbuka kembali, ia mengabaikan Orik dan memerintah para prajurit, "Pergi, sekarang!" Sementara mereka keluar melalui ambang pintu, ia berkata kepada Eragon dengan dingin, "Karena aku tidak bisa menyelesaikan pemeriksaanku, kau dan... temanmu tetap tinggal di sini malamini. Ia akan dibunuh kalau mencoba pergi." Dengan kata-kata itu ia berbalik dan berderap keluar ruangan, kulitnya yang pucat tampak kemilau terkena cahaya lentera.
"Terima kasih," bisik Eragon kepada Orik.
Kurcaci itu mendengus. "Akan kukirim makanan kemari." Ia menggumam serangkaian kata, lalu pergi, sambil menggeleng. Selot pintu sekali lagi dipasang di balik pintunya.
Eragon duduk, merasa bagai bermimpi akibat kejadian-kejadian dan perjalanan mereka yang dipaksakan hari ini. Kelopak matanya terasa berat. Saphira duduk di sampingnya.
Kita harus berhati-hati. Tampaknya di sini kita memiliki musuh yang sama banyaknya seperti di Kekaisaran. Eragon mengangguk terlalu kelelahan untuk berbicara.
Murtagh, matanya berkaca-kaca dan kosong, menyandarkan tubuhnya ke dinding seberang dan merosot ke lantai yang mengilap. Ia menempelkan lengan bajunya ke luka di lehernya untuk menghentikan perdarahan. "Kau baik-baik saja"" tanya Eragon. Murtagh mengangguk kaku. "Apa ada informasi yang didapat darimu""
"Tidak." "Bagaimana kau bisa menghalanginya" Ia kuat sekali.
"Aku... aku terlatih baik." Ada kepahitan dalam suara Murtagh.
Kesunyian menyelimuti mereka. Tatapan Eragon
terarah ke salah satu lentera di sudut. Pemikirannya melayang-layang hingga ia mendadak berkata, "Aku tidak membiarkan mereka mengetahui siapa dirimu."
Murtagh tampak lega. Ia menundukkan kepala. "Terima kasih tidak mengkhianati diriku."
"Mereka tidak mengenali dirimu."
"Ya." "Dan kau masih mengaku sebagai putra Morzan""
"Ya," kata Murtagh sambil mendesah.
Eragon hendak bicara, tapi berhenti sewaktu merasakan cairan panas menetes ke tangannya. Ia menunduk dan terkejut melihat setetes darah gelap bergulir dari kulitnya. Darah itu dari sayap Saphira. Aku lupa. Kau terluka! serunya, sambil bangkit dengan susah payah. Sebaiknya kusembuhkan dirimu terlebih dahulu.
Hati-hati. Mudah melakukan kesalahan kalau kau selelah ini. Aku tahu.
Saphira membentangkan salah satu sayapnya di lantai. Murtagh mengawasi sementara Eragon mengelus membran biru yang hangat itu, sambil berkata, "Waise heill," setiap kali menemukan lubang akibat anak panah. Untungnya, semua luka Saphira relatif mudah disembuhkan, bahkan luka yang di hidungnya.
Sesudah tugas itu selesai, ia merosot ke Saphira,terengah-engah. Ia bisa merasakan jantungnya berdetak keras. "Kuharap mereka segera mengantarkan makanan," kata Murtagh.
Eragon mengangkat bahu; ia terlalu kelelahan untuk merasalapar. Ia melipat lengan, merindukan berat Zar'roc di sisi tubuhnya. "Kenapa kau di sini""
"Apa"" "Kalau kau benar-benar putra Morzan, Galbatorix tidak akan membiarkan dirimu berkeliaran bebas di Alagaesia. Bagaimana kau bisa menemukan Ra'zac seorang diri" Kenapa aku tidak pernah mendengar ada di antara kaum Terkutuk yang memiliki anak" Dan apa yang kaulakukan di sini""
Suaranya akhirnya nyaris berteriak.
Murtagh mengusap wajah. "Ceritanya panjang."
"Kita tidak akan ke mana-mana," tukas Eragon.
Sudah terlalu larut untuk berbicara."
"Mungkin besok tidak ada waktu untuk bercakap-cakap." Murtagh memeluk kakinya dan menumpukan dagu dilutut, bergoyang-goyang sambil menatap lantai. "Bukan" katanya, tapi lalu menyela sendiri. "Aku tidak ingin disela... jadi buat dirimu merasa nyaman. Ceritaku cukup panjang Eragon bergeser ke sisi Saphira dan mengangguk. Saphira mengawasi mereka berdua dengan cermat.
Kalimat pertama Murtagh tergagap, tapi suaranya semakin kuat dan percaya d
iri seiring ceritanya. "Sepanjang yang kuketahui... aku satu-satunya anak dari Tiga Belas pelayan atau kaum Terkutuk, sebagaimana sebutan mereka. Munkin ada yang lainnya, karena Tiga Belas memiliki keahlian menyembunyikan apa pun yang ingin mereka sembunyikan, tapi kuragukan hal itu, karena alasan-alasan yang akan kujelaskan nanti.
"Orangtuaku bertemu di desa kecil, aku tidak pernah mengetahui di mana aku bepergian menangani urusan Raja. Morzan menunjukkan sedikit kebaikan kepada ibuku, tidak ragu lagi sekadar jebakan, sekadar untuk mendapatkan keyakinan ibuku, dan sewaktu ayahku pergi, ibuku mendampinginya. Mereka bepergian bersama selama beberapa waktu, dan sebagaimana sifat kejadian-kejadian seperti ini, ibuku sangat mencintainya. Morzan merasa gembira mengetahui hal ini, bukan saja karena ini memberinya puluhan kesempatan untuk menyiksa ibuku tapi juga karena ia mengenali keuntungan memiliki pelayan yang tidak akan mengkhianati dirinya.
"Oleh karena itu, sewaktu Morzan kembali ke istana Galbatorix, ibuku menjadi alat yang paling diandalkannya. Ayahku menggunakan ibuku untuk mengantarkan pesan-pesan rahasianya, dan ia mengajari ibuku sihir-sihir dasar, yang membantu ibuku hingga tetap tidak ketahuan dan, sesekali, mendapatkan informasi dari orang-orang. Ayahku berusaha sebaik-baiknya untuk melindungi ibuku dari anggota Tiga Belas yang lain, bukan karena ada perasaan apa pun terhadap ibuku, tapi karena mereka akan menggunakan ibuku melawannya, kalau ada kesempatan.... Selama tiga tahun segala sesuatu berjalan seperti ini, hingga ibuku hamil."
Murtagh diam sejenak, memuntir-muntir segumpal rambutnya. Ia melanjutkan dengan nada kaku, "Ayahku, kalau bukan yang lain, adalah pria yang licik. Ia mengetahui kehamilan menyebabkan ia dan ibuku terancam bahaya belum lagi bayinya yaitu aku. Jadi, di tengah malam, ayahku melarikan ibuku dari istana dan membawanya ke istananya sendiri. Begitu tiba di sana, ia memantrai istananya hingga tidak ada yang bisa memasukinya kecuali beberapa pelayan pilihan. Dengan cara ini kehamilan ibuku dirahasiakan dari semua orang kecuali Galbatorix.
"Galbatorix mengetahui kehidupan anggota Tiga Belas secara terinci: rencana mereka, pertempuran mereka-dan yang paling penting pikiran mereka. Ia menikmati melihat mereka saling bertempur dan sering membantu yang satu atau lainnya untuk kesenangannya sendiri. Tapi entah kenapa ia tidak pernah mengungkap keberadaanku.
"Aku dilahirkan pada waktunya dan diberikan pada bidan agar ibuku bisa kembali ke sisi Morzan. Ibuku tidak memiliki pilihan dalam hal ini. Morzan mengizinkannya mengunjungi diriku beberapa bulan sekali, tapi selebihnya kami dipisahkan. Tiga tahun lagi berlalu dalam keadaan seperti itu, selama itu ayahku memberiku... bekas luka di punggungku." Murtagh terdiam semenit sebelum melanjutkan.
"Aku pasti akan tumbuh dewasa dalam keadaan seperti itu kalau Morzan tidak dipanggil untuk memburu telur Saphira. Begitu ia pergi, ibuku, yang ditinggalkan, menghilang. Tidak ada yang mengetahui ke mana ia pergi, atau kenapa. Raja mencoba memburunya, tapi anak buahnya tidak bisa menemukan jejaknya, tidak ragu lagi karena latihan yang diberikan Morzan padanya.
"Pada saat kelahiranku, hanya lima dari seluruh anggota Tiga Belas yang masih hidup. Saat Morzan pergi, jumlah itu sudah berkurang hingga tiga; sewaktu akhirnya menghadapi Brom di Gil'ead ia satu-satunya yang masih tersisa. Para Terkutuk tewas dengan berbagai cara: bunuh diri, disergap, penggunaan sihir yang berlebihan... tapi sebagian besar akibat perbuatan Varden. Aku diberitahu bahwa Raja sangat marah atas kehilangan itu.
"Tapi, sebelum berita kematian Morzan dan yang lainnya tiba, ibuku kembali. Berbulan-bulan berlalu sejak ia menghilang. Kesehatannya merosot, seakan sakit parah, dan kondisinya terus memburuk. Dalam waktu beberapa hari ia meninggal."
"Apa yang terjadi sesudah itu"" Eragon bertanya.
Murtagh mengangkat bahu. "Aku tumbuh dewasa. Raja membawaku ke istana dan mengatur pemeliharaan diriku Terlepas dari itu, ia tidak pernah mengusikku."
"Kalau begitu kenapa kau pergi""
Tawa keras Murtagh mel edak. "Melarikan diri lebih tepat. Pada hari ulang tahun terakhirku, sewaktu usiaku delapan belas tahun, Raja memanggilku ke istananya untuk makan malam bersama. Pesan itu mengejutkan diriku karena sebelumnya aku selalu menjaga jarak dengan istana dan jarang sekali bertemu Raja. Kami pernah bercakap-cakap sebelumnya tapi selalu dalam jarak pendengaran para bangsawan yang menguping.
"Kuterima tawarannya, tentu saja, menyadari tidak bijaksana menolaknya. Hidangannya istimewa, tapi sepanjang acara pandangannya tidak pernah beralih dari diriku. Tatapannya membuatku gugup; rasanya seperti ia mencari-cari sesuatu yang tersembunyi dalam wajahku. Aku tidak tahu harus berbuat apa dan berusaha sebaik-baiknya memberikan percakapan yang sopan, tapi ia menolak berbicara, dan dalam waktu singkat aku berhenti berusaha.
"Sewaktu hidangan habis, kami akhirnya mulai berbicara. Kau tidak pernah mendengar suaranya, jadi sulit bagiku untuk membuatmu mengerti bagaimana rasanya. Kata-katanya memesona, seperti ular yang membisikkan kebohongan-kebohongan manis ke telingaku. Aku belum pernah mendengar orang yang lebih meyakinkan danmenakutkan. Ia menjalin visi: fantasi mengenai Kekaisaran sebagaimana yang dibayangkannya. Akan ada kota-kota yang indah dibangun di seluruh negeri, dipenuhi para prajurit, penghibur, musisi, dan filsuf terhebat. Para Urgal akhirnya akan dimusnahkan. Dan kekaisaran akan diperluas ke segala jurusan hingga mencapai seluruh Alagaesia. Kedamaian dan kemakmuran akan ada di mana-mana, tapi yang lebih hebat lagi, para Penunggang akan dipulihkan untuk mengatur kerajaan Galbatorix dengan halus.
"Dengan terpesona, kudengarkan ia selama waktu yang pasti berjam-jam. Sewaktu ia berhenti, dengan penuh semangat kutanyakan bagaimana para Penunggang akan dihidupkan kembali, karena semua orang mengetahui tidak ada telur naga yang tersisa. Pada saat itu Galbatorix berubah kaku dan menatapku sambil berpikir. Ia terdiam cukup lama, tapi lalu mengulurkan tangan dan bertanya, 'Apakah kau, oh putra temanku, mau membantuku menjadikan surga ini kenyataan"
"Sekalipun aku mengetahui sejarah di balik naiknya ia dan ayahku ke kekuasaan, mimpi yang digambarkannya padaku terlalu menarik, terlalu membujuk untuk bisa diabaikan. Semangat untuk misi ini memenuhi diriku, dan aku bersumpah akan mengabdi padanya. Jelas sekali merasa senang, Galbatorix memberkatiku, lalu memerintahkan diriku pergi, dengan mengatakan, 'Akan kupanggil dirimu saat kubutuhkan nanti.'
"Beberapa bulan berlalu sebelum ia memanggilku. Sewaktu panggilannya tiba, aku merasakan semua semangatku yang dulu kembali. Kami bertemu secara pribadi seperti sebelumnya, tapi kali ini ia tidak ramah atau memesona. Kaum Varden baru saja menghancurkan tiga brigade di selatan, dan kemurkaannya diobral habis-habisan. Ia memerintahku dengan suara yang mengerikan agar membawa satu detasemen pasukan dan menghancurkan Cantos, tempat para pemberontak diketahui sesekali bersembunyi. Sewaktu kutanyakan apa yang harus kami lakukan dengan orang-orang yang tinggal di sana dan bagaimana kami bisa mengetahui mereka bersalah atau tidak, ia berteriak, 'Mereka semua pengkhianat! Bakar mereka di tiang dan kubur abu mereka bersama kotoran!' Ia terus mengoceh, memaki-maki musuhnya dan menjelaskan bagaimana ia akan memusnahkan tanah setiap orang yang berniat buruk padanya.
"Nadanya begitu berbeda dengan apa yang kutemui sebelumnya; aku menjadi sadar kalau ia tidak memiliki belas kasihan atau pemikiran jangka panjang untuk mendapatkan kesetiaan orang-orang, dan ia memerintah semata-mata dengan kebrutalan yang dipandu nafsunya sendiri. Pada saat Itulah kuputuskan untuk melarikan diri darinya dan dari dirinya dan dari Uru'baen untuk selamanya.
Begitu aku tidak lagi berada di dekatnya, aku dan pelayanku yang setia, Tornac, bersiap-siap melarikan diri. Kami pergi malam itu juga, tapi entah bagaimana Galbatorix mengantisipasi tindakanku, karena ada prajurit yang menunggu
kami di luar gerbang. Ah, pedangku berlumuran darah, berkelebatan dalam siraman cahaya lentera yang suram. Kami mengalahkan orang-orang itu... tapi dalam pr
osesnya Tornac terbunuh. "Sendirian dan penuh duka, aku melarikan diri ke teman lama yang menyembunyikan diriku di rumahnya. Selama bersembunyi, aku mendengarkan dengan hati-hati setiap isu, mencoba memperkirakan tindakan Galbatorix dan merencanakan masa depanku. Selama waktu itu, aku mendapat kabar bahwa Ra'zac dikirim untuk menangkap atau membunuh seseorang. Teringat rencana Raja mengenai para Penunggang, kuputuskan untuk menemukan dan mengikuti Ra'zac, seandainya mereka berhasil menemukan naga. Dan begitulah caraku bertemu denganmu.... Aku tidak memiliki rahasia lagi."
Kita masih belum tahu apakah ia menceritakan yang sebenarnya,
Saphira memperingatkan. Aku tahu, kata Eragon, tapi untuk apa ia membohongi kita" Ia mungkin sinting.
Aku ragu begitu. Eragon mengelus sisik-sisik Saphira yang keras, mengawasi cahaya yang memantul di sana. "Jadi kenapa kau tidak bergabung dengan kaum Varden" Mereka tidak akan memercayai dirimu untuk sementara waktu, tapi begitu kau bisa membuktikan kesetiaanmu, mereka akan memperlakukan dirimu dengan hormat. Dan bukankah mereka bisa dikatakan sebagai sekutumu" Mereka berjuang untuk mengakhiri kekuasaan Raja. Bukankah itu yang kauinginkan"
"Haruskah kujelaskan semuanya kepadamu"" tanya Murtagh. "Aku tidak ingin Galbatorix mengetahui di mana aku berada, yang tidak terelakkan kalau orang-orang ini" mengatakan aku berpihak pada musuh-musuhnya, yang tidak pernah kulakukan." Ia terdiam sejenak, lalu berkata kesal, 'Para pemberontak ini bukan hanya berusaha menurunkan Raja tapi juga menghancurkan Kekaisaran... dan aku tidak menginginkan itu terjadi. Itu akan memicu kekacauan dan anarki. Raja memiliki kelemahan, ya, tapi sistemnya sangatlah bagus. Sedang mengenai dihormati kaum Varden: Ha! Begitu aku ketahuan, mereka akan memperlakukan diriku seperti penjahat atau lebih buruk lagi. Bukan hanya itu, kau dicurigai karena kita bepergian bersama!"
Ia benar, kata Saphira. Eragon mengabaikannya. "Tidak seburuk itu," katanya, berusaha terdengar optimistis. Murtagh mendengus merendahkan dan membuang muka. "Aku yakin mereka tidak akan- Kata-katanya terputus sewaktu pintu terbuka sedikit dari dua mangkok didorong masuk melalui celahnya. Sepotong roti dan sebongkah daging mentah didorong masuk sesudah itu, lalu pintunya kembali ditutup.
"Akhirnya" kata Murtagh, sambil melangkah ke makanan itu. Ia melemparkan dagingnya kepada Saphira, yang menyambarnya di udara dan menelannya sekaligus. Lalu Murtagh membagi rotinya menjadi dua, memberikan separo kepada Eragon, mengambil mangkoknya, dan kembali ke sudut ruangan.
Mereka makan sambil membisu. Murtagh menyantap makanannya dengan cepat. "Aku mau tidur," katanya, meletakkan mangkok tanpa mengatakan apa-apa lagi.
"Selamat malam," kata Eragon. Ia berbaring di samping Saphira, berbantalkan kedua lengan. Saphira melengkungkan lehernya yang panjang mengelilingi Eragon, seperti kucing melilitkan ekor ke tubuhnya sendiri, dan membaringkan kepalanya di samping kepala Eragon. Salah satu sayapnya membentang di atas Eragon bagai tenda biru, menyelimuti Eragon dalam kegelapan.
Selamat malam, makhluk kecil.
Eragon setengah tersenyum, tapi ia telah pulas.
KEMEGAHAN TRONJHEIM Eragon tersentak bangkit sewaktu mendengar geraman di telinganya. Saphira masih tidur, matanya bergerak-gerak tanpa melihat di balik kelopaknya, dan bibir atas Saphira bergetar, seakan hendak menyeringai. Eragon tersenyum, lalu tersentak sewaktu Saphira kembali menggeram. Ia pasti bermimpi, pikirnya tersadar. Ia mengawasi Saphira selama semenit, lalu dengan hati-hati menyelinap keluar dari bawah sayapnya. Ia berdiri dan menggeliat. Ruangan terasa dingin, tapi bukannya tidak menyenangkan. Murtagh berbaring terlentang di sudut seberang ruangan, matanya terpejam.
Saat Eragon melangkah mengitari Saphira, Murtagh bergerak menggeliat terbangun dan. "Pagi," sapanya tenang, sambil beranjak duduk.
"Sudah berapa lama kau terjaga"" tanya Eragon dengan suara pelan.
"Tidak lama. Aku terkejut Saphira tidak membangunkan dirimu lebih cepat."
"Aku sendiri cukup lelah untuk bisa tidur lelap di tengah badai, kata Eragon. Ia d
uduk di samping Murtagh dan menyandarkan kepala ke dinding. "Kau tahu pukul berapa sekarang""
Tidak. Mustahil mengetahuinya di dalam sini."
"Ada yang datang menemui kita""
"Belum." Mereka duduk berdampingan tanpa bergerak atau berbicara. Eragon merasakan keterikatan yang aneh dengan Murtagh. Aku membawa pedang ayahnya, yang seharusnya menjadi pedangnya... warisannya. Kami mirip dalam banyak hal, tapi penampilan dan cara kami dibesarkan berbeda total. Ia teringat bekas luka Murtagh dan menggigil. Orang macam apa yang tega berbuat begitu pada seorang anak"
Saphira mengangkat kepala dan mengerjapkan mata untuk menjernihkan pandangan. Ia mengendus-endus udara, lalu menguap lebar, lidahnya yang kasar menggulung di ujungnya. Ada yang terjadi" Eragon menggeleng. Kuharap mereka memberiku makanan lebih daripada sekadar camilan semalam. Aku cukup lapar untuk menghabiskan sekawanan sapi.
Mereka akan memberimu makan, Eragon menenangkannya.
Sebaiknya begitu. Saphira menempatkan diri di dekat pintu dan duduk menunggu, ekornya melecut-lecut. Eragon memejamkan mata, menikmati istirahatnya. Ia tidur sejenak, lalu bangun dan mondar-mandir. Bosan, ia memeriksa salah satu lentera. Lentera itu terbuat dari sebongkah kaca berbentuk air mata, kurang lebih dua kali besarnya sebutir jeruk, dan dipenuhi cahaya biru lembut yang tidak goyah ataupun berkelap-kelip. Empat rusuk logam yang ramping melilit di sekeliling kacanya, bertemu di bagian puncak membentuk kaitan kecil dan juga di bagian dasarnya tempat keempatnya menyatu menjadi tiga kaki yang anggun. Secara keseluruhan lentera itu sangat menarik.
Pemeriksaan Eragon disela suara-suara di luar ruangan. Pintu terbuka, dan selusin prajurit berbaris masuk. Pria pertama menelan ludah sewaktu melihat Saphira. Mereka diikuti Orik dan pria botak, yang menyatakan, "Kalian dipanggil menghadap Ajihad, pemimpin kaum Varden. Kalau kalian harus makan, lakukan sambil berjalan." Eragon dan Murtagh berdiri berdampingan, mengawasinya dengan waspada.
Di mana kuda-kuda kami" Dan apakah aku bisa mendapatkan pedang dan busurku lagi"" tanya Eragon.
Pria botak itu memandangnya marah. "Senjatamu akan dikembalikan sesudah Ajihad mengizinkan, tidak sebelumnya. Sedang mengenai kuda-kudamu, keduanya menunggu kalian di terowongan. Sekarang ikut!"
Sewaktu ia berbalik hendak pergi, Eragon bergegas bertanya,
"Bagaimana keadaan Arya""
Pria botak itu ragu-ragu. "Aku tidak tahu. Para tabib masih menanganinya." Ia keluar ruangan, ditemani Orik.
Salah seorang prajurit memberi isyarat. "Kau lebih dulu." Eragon melangkah keluar melalui pintu, diikuti Saphira dan Murtagh. Mereka kembali melintasi lorong yang mereka lalui semalam, melewati patung hewan berbulu. Sewaktu mereka tiba di terowongan raksasa tempat mereka memasuki pegunungan pertama kalinya, pria botak itu menunggu bersama Orik, yang memegang kekang Tornac dan Snowfire.
"Kalian berkuda satu per satu di tengah terowongan," kata si pria botak. "Kalau kalian mencoba pergi ke tempat lain, kalian akan dihentikan." Sewaktu Eragon hendak menaiki Saphira, pria botak itu berteriak, "Tidak! Naik kudamu sebelum kuperintahkan sebaliknya."
Eragon mengangkat bahu dan mengambil kekang Snowfire. Ia naik ke pelana, membimbing Snowfire ke depan Saphira, dan memberitahu naga itu, Jangan jauh-jauh seandainya aku membutuhkan bantuanmu.
Tentu saja, kata naga itu.
Murtagh menaiki Tornac di belakang Saphira. Pria botak itu memeriksa barisan kecil mereka, lalu memberi isyarat kepada para prajurit, yang terbagi dua untuk mengepung mereka, menghindari Saphira sejauh mungkin. Orik dan si pria botak berjalan ke bagian depan prosesi.
Sesudah memandang mereka sekali lagi, pria botak itu bertepuk tangan dua kali dan mulai berjalan. Eragon menepuk Saphira pelan di sisi tubuhnya. Seluruh kelompok berjalan ke jantung pegunungan. Gema memenuhi terowongan saat kuku-kuku kuda menghantam lantai yang keras, suara yang diperkuat lorong yang kosong itu. Pintu dan gerbang sesekali menyela kehalusan dinding, tapi semuanya selalu tertutup.
Eragon tertegun melihat ukuran terowongan itu, yang digali dengan keahlian yan
g sangat tinggi dinding, lantai, dan langit-langitnya digali dengan ketepatan tanpa cacat dan sepanjang yang bisa dikatakannya, terowongan itu tidak menyimpang arahnya bahkan satu inci pun.
Sewaktu mereka berjalan, harapan Eragon mengenai pertemuannya dengan Ajihad semakin besar. Pemimpin kaum Varden itu sosok yang misterius bagi orang-orang di Kekaisaran. Ia memegang kekuasaan selama hampir dua puluh tahun dan sejak awal mengadakan perang yang hebat terhadap Raja Galbatorix. Tidak ada yang mengetahui dari mana asalnya atau bahkan bagaimana tampangnya. Diisukan ia pakar strategi, prajurit yang brutal. Dengan reputasi seperti itu, Eragon merasa khawatir tentang bagaimana penerimaan terhadap mereka nantinya. Meskipun begitu, mengetahui Brom cukup memercayai kaum Varden hingga mengabdi pada mereka membantunya meredakan ketakutannya.
Melihat Orik lagi, memicu timbulnya pertanyaan-pertanyaan baru dalam benaknya. Terowongan itu jelas hasil karya kurcaci, tidak ada lagi yang bisa menggali dengan keahlian setinggi itu tapi apakah para kurcaci merupakan bagian dari kaum Varden, atau mereka sekadar memberi tempat perlindungan" Dan siapa raja yang disinggung-singgung Orik" Apakah Ajihad" Eragon sekarang memahami alasan kenapa kaum Varden tidak pernah terungkap adalah karena menyembunyikan diri di bawah tanah, tapi bagaimana dengan para elf" Di mana mereka"
Selama hampir satu jam pria botak itu membimbing mereka menyusuri terowongan, tidak pernah menyimpang atau berbelok. Kita mungkin sudah menempuh jarak sejauh tiga mil, Eragon tersadar. Mungkin mereka membawa kami melintasi pegunungan! Akhirnya cahaya putih lembut terlihat di depanmereka. Ia mengerahkan daya pandangnya, mencoba mengenali sumbernya, tapi cahaya itu masih terlalu jauh untuk bisa melihat rincian apa pun. Cahaya itu semakin kuat saat mereka semakin mendekatinya.
Sekarang ia bisa melihat pilar-pilar marmer tebal yang dihiasi batu rubi dan ametis berjajar di sepanjang dinding. Berpuluh-puluh lentera menggantung di sela-sela pilar, memenuhi sekitarnya dengan cahaya yang terang benderang. Lampu emas berkilau di bagian dasar pilar seperti benang emas yang dicairkan. Pada lengkungan langit-langit terdapat ukiran kepala gagak, paruh mereka terbuka membentuk jeritan. Di ujung lorong terdapat dua pintu hitam raksasa, yang semakin menonjol karena garis-garis perak kemilau yang menggambarkan mahkota berujung tujuh yang membentang hingga kedua pintu.
Pria botak itu berhenti dan mengangkat satu tangan. Ia berpaling kepada Eragon. "Sekarang kau harus menunggang nagamu. Jangan mencoba terbang pergi. Akan ada orang-orang yang mengawasimu, jadi ingat siapa dan apa dirimu."
Eragon turun dari Snowfire, lalu naik ke punggung Saphira. Kupikir mereka ingin memamerkan kita, kata Saphira sementara Eragon duduk di pelana.
Kita lihat saja. Kalau saja Zar'roc ada padaku, jawabanya, sambil mengeratkan tali-tali di sekeliling kakinya.
Mungkin lebih baik kalau kau tidak menyandang pedang Morzan sewaktu kaum Varden pertama kali melihat dirimu.
Benar. "Aku siap," kata Eragon, sambil menegakkan bahu.
"Bagus," kata pria botak itu. Ia dan Orik pindah ke kedua sisi Saphira, berdiri cukup jauh ke belakang hingga jelas bahwa Saphira yang memimpin jalan. 'Sekarang berjalanlah ke pintu itu, dan begitu pintunya terbuka, ikuti jalannya.
Berjalanlah pelan-pelan. Siap" tanya Eragon. Tentu saja. Saphira mendekati pintu dengan langkah yang hati-hati. Sisik-sisiknya tampak kemilau ditimpa cahaya, menghamburkan warna-warna yang menari-nari di pilar-pilar. Eragon menghela napas dalam untuk menenangkan saraf.
Tanpa peringatan, pintu-pintu membuka keluar pada engsel-engsel yang tersembunyi. Saat celah di antaranya melebar, berkas cahaya matahari menghambur masuk ke terowongan, mengenai Saphira dan Eragon. Buta sementara, Eragon mengerjapkan dan menyipitkan mata. Sewaktu matanya telah menyesuaikan diri dengan cahaya, ia tersentak.
Mereka berada di dalam kawah vulkanik raksasa. Dinding-dindingnya menyempit membentuk lubang bergerigi yang begitu tinggi hingga Eragon tidak mampu memperkirakan jaraknya mungkin lebih dari d
ua belas mil. Seberkas cahaya yang lembut menerobos masuk melalui lubang itu, menerangi bagian tengah kawah, walau bagian kawah sisanya tampak temaram.
Sisi seberang kawah, yang berwarna kebiruan dari kejauhan, tampaknya sekitar sepuluh mil jauhnya. Batang-batang raksasa setebal ratusan kaki dan ribuan kaki panjangnya menjuntai bermil-mil di atas mereka seperti pisau mengilap, Eragon mengetahui dari pengalamannya di lembah bahwa tidak seorang pun, bahkan Saphira, mampu mencapai lubang di atas. Lebih jauh di dinding bagian dalam kawah terdapat petak-petak lumut yang menutupi bebatuan.
Ia menurunkan pandangan dan melihat jalan setapak lebar dari batu-batu bulat yang membentang dari ambang pintu. Jalan setapak itu terbentang lurus ke tengah kawah, dan berakhir di dasar gunung seputih salju yang kemilau bagai intan mentah dengan ribuan warna-warni. Gunung itu tingginya kurang dari sepersepuluh tinggi kawah yang menjulang menutupi dan mengelilinginya, tapi penampilannya menipu, karena gunung itu tingginya satu mil lebih sedikit.
Walaupun panjang, terowongan itu hanya membawa mereka ke satu sisi dinding kawah. Sementara Eragon tertegun, ia mendengar Orik berkata dengan suara yang dalam, "Perhatikan baik-baik, manusia, karena tidak ada Penunggang yang pernah melihat pemandangan ini selama lebih dari seratus tahun. Kita berada di bawah puncak berangin bernama Farthen Dur, ditemukan ribuan tahun yang lalu oleh leluhur ras kami, Korgan, sewaktu ia menggali terowongan mencari emas. Dan di tengahnya berdiri prestasi terhebat kami: Tronjheim, gunung kota yang dibangun dari marmer paling murni."
Pintu-pintu berhenti bergerak.
Kota! Lalu Eragon melihat kerumunan. Ia begitu terpesona dengan pemandangan itu hingga tidak menyadari lautan orang yang berkerumun di depan pintu masuk terowongan. Mereka berjajar di sepanjang jalan setapak dari batu-batu bulat. Kurcaci dan manusia berjejalan seperti pepohonan di rumpunnya. Ada ratusan... ribuan jumlahnya. Setiap mata, setiap wajah terfokus pada Eragon. Dan mereka semua membisu.
Eragon mencengkeram pangkal salah satu duri leher Saphira. Ia melihat anak-anak mengenakan jubah kotor, para Pria kekar dengan buku jari kapalan, wanita berpakaian buatan sendiri, dan kurcaci-kurcaci pendek kekar yang mengelus-elus janggut. Mereka semua menampilkan ekspresi tegang yang sama tegangnya dengan ekspresi hewan terluka saat berada di dekat pemangsa tanpa ada jalan melarikan diri untuk menyelamatkan hidupnya.
Keringat bergulir menuruni wajah Eragon, tapi ia tidak berani bergerak untuk mengusapnya. Apa yang harus kulakukan" tanyanya panik.
Senyum, angkat tanganmu atau apa sajalah! jawab Saphira ketus.
Eragon mencoba memaksa diri tersenyum, tapi bibirnya hanya berkedut. Dengan mengumpulkan keberanian, ia mendorong satu tangan Ke udara, menyentakkannya hingga melambai sedikit. Sewaktu tidak terjadi apa-apa, dengan wajahnya memerah karena malu, ia menurunkan lengan, dan menunduk.
Sorakan tunggal terdengar memecah kesunyian. Ada yang bertepuk tangan dengan keras. Sejenak kerumunan orang ragu-ragu, lalu sorakan riuh menyapunya, dan gelombang suara melanda Eragon.
"Bagus sekali," kata si pria botak dari belakangnya. "Sekarang berjalanlah."
Dengan perasaan lega, Eragon duduk lebih tegak dan dengan main-main bertanya kepada Saphira, Apakah sebaiknya kita berangkat" Saphira melengkungkan lehernya dan melangkah maju. Saat mereka melewati deretan pertama orang-orang, naga itu melirik ke setiap sisi dan mengembuskan kepulan asap. Kerumunan orang terdiam dan menyurut mundur, lalu kembali bersorak-sorak, antusiasme mereka semakin besar.
Tukang pamer, tegur Eragon. Saphira mengibaskan ekor dan tidak mengacuhkannya. Eragon memandang penasaran ke arah kerumunan yang berdesakan sementara Saphira berjalan menyusuri jalan setapak. Kurcaci jauh lebih banyak daripada manusia dan banyak di antaranya yang memelototi dirinya dengan penuh kebencian. Beberapa kurcaci malah berbalik memunggunginya dan berlalu dengan ekspresi sekaku batu.
Para manusianya keras dan tangguh. Semua pria menyandang pedang pendek atau pisau di pinggang; banyak y
ang bersenjata siap perang. Para wanita bersikap bangga, tapi mereka tampak menyembunyikan kelelahan yang mendalam. Beberapa anak dan bayi menatap Eragon dengan mata yang besar. Ia yakin orang-orang ini menjalani kehidupan yang keras dan mereka akan melakukan apa saja yang diperlukan untuk mempertahankan diri.
Kaum Varden menemukan tempat persembunyian yang sempurna. Dinding-dinding Farthen Dur terlalu tinggi bahkan untuk diterbangi naga, dan tidak ada pasukan yang mampu untuk menghancurkan atau mendobrak pintu masuknya, seandainya mereka berhasil menemukan pintu rahasianya sekalipun.
Kerumunan mengikuti dirinya dari jarak dekat, tapi tetap memberi Saphira ruang yang cukup luas. Perlahan-lahan orang-orang mulai membisu, meski perhatian mereka tetap terarah pada Eragon. Ia berpaling dan melihat Murtagh berkuda dengan kaku, wajahnya pucat.
Mereka mendekati gunung kota, dan Eragon melihat marmer putih Tronjheim divernis mengilap dan dibentuk dalam kontur, dihiasi puluhan jendela bulat yang dikelilingi ukiran rumit. Lentera berwarna tergantung di setiap jendela, memancarkan cahaya lembut ke batu di sekelilingnya. Tidak ada cerobong atau kepulan asap yang terlihat. Tepat di depan, dua singa bertanduk dari emas, setinggi tiga puluh kaki, menjaga pintu kayu raksasa pada ceruk sedalam dua puluh yard memasuki dasar Tronjheim. Pintu itu dibayangi balok-balok tebal yang mendukung langit-langit melengkung tinggi di atas kepala.
Sewaktu mereka tiba di dasar Tronjheim, Saphira diam sejenak untuk melihat apakah ada perintah lagi dari si pria botak. Karena tidak ada, ia melanjutkan perjalanan ke gerbang. Dinding-dindingnya dibatasi beberapa pilar merah darah. Di antara pilar-pilar itu terdapat beberapa patung makhluk yang aneh, abadi selamanya oleh pahatan si pematung.
Gerbang yang berat itu terbuka dengan suara menggemuruh di depan mereka saat rantai tersembunyi perlahan-lahan mengangkat balok raksasa penahannya. Lorong setinggi empat tingkat membentang langsung ke pusat Tronjheim. Ketiga tingkat teratas dipenuhi berderet-deret ambang pintu melengkung yang menampilkan terowongan-terowongan kelabu yang membentang ke kejauhan. Orang-orang berjejalan di lengkungan-lengkungan itu, dengan penuh semangat mengawasi Eragon dan Saphira. Tapi di tingkat dasar, lengkungan-lengkungan itu ditutup pintu-pintu yang kokoh. Tirai dinding yang meriah menjuntai di antara setiap tingkat, dibordir dengan berbagai sosok pahlawan dan adegan pertempuran Sengit.
Sorakan menggemuruh terdengar di telinga mereka saat Saphira melangkah ke lorong dan menyusurinya. Eragon
mengangkat tangan, memicu sorakan lagi dari kerumunan orang, sekalipun banyak di antara para kurcaci yang tidak ikut berteriak menyambut.
Lorong sepanjang satu mil itu berakhir di ambang pintu melengkung yang diapit pilar dari onyx hitam. Batu zircon
kuning setinggi tiga manusia bertengger di puncak tiang-tiang gelap itu, menebarkan berkas cahaya keemasan hingga sepanjang lorong. Saphira melangkah memasuki ambang pintu, lalu berhenti dan menjulurkan lehernya ke belakang, menggumam Pelana dalam dadanya.
Mereka berada di ruangan bulat, mungkin seribu kaki diameternya, yang menjulang hingga puncak Tronjheim satu mil di atas kepala, semakin tinggi semakin menyempit. Dinding-dindingnya dijajari lengkungan-lengkungan, sebaris untuk setiap tingkat gunung kota itu dan lantainya terbuat dari batu carnelian yang dipoles, di mana diukirkan palu yang dikelilingi dua belas bintang perak bersudut lima, seperti yang ada di helm Orik.
Ruangan itu merupakan titik temu empat lorong termasuk lorong yang baru saja mereka tinggalkan dan membagi Tronjheim menjadi bangsal-bangsal. Lorong-lorongnya identik kecuali lorong yang ada di seberang Eragon. Di sebelah kanan dan kiri aula itu terdapat ambang pintu melengkung yang tinggi dan terbuka ke tangga turun, yang mirip satu sama lain saat semakin turun ke bawah tanah.
Di puncak langit-langitnya terdapat batu safir bintang fajar berukuran raksasa. Perhiasan itu dua puluh meter diameternya dan tebalnya juga begitu. Permukaannya diukir mirip mawar yang mekar penuh, dan penguk
irnya begitu ahli hingga mawar itu terasa nyaris nyata. Jajaran lentera yang lebar mengelilingi tepi safir itu, yang memancarkan cahaya kemerahan ke segala sesuatu di bawahnya. Berkas-berkas cahaya bintang di dalam perhiasan itu menyebabkan batu permata tersebut tampak seperti mata raksasa yang memandang ke bawah, ke arah mereka.
Eragon hanya bisa ternganga keheranan. Tidak ada yang mempersiapkan dirinya untuk ini. Rasanya mustahil Tronjheim dibangun oleh makhluk yang fana. Gunung kota itu mengecilkan segala sesuatu yang telah dilihatnya di Kekaisaran. Ia ragu Uru'baen sekalipun bisa menyamai kekayaan dan kemegahan yang dipamerkan di sini. Tronjheim merupakan monumen yang luar biasa akan kekuatan dan ketekunan para kurcaci.
Pria botak itu berjalan ke depan Saphira dan berkata, "Kau harus berjalan kaki dari sini." Terdengar ejekan di mana-mana dari para penonton ketika ia berbicara. Seorang kurcaci mengambil Tornac dan Snowfire. Eragon turun dari saphira tapi berdiri di sampingnya sementara pria botak itu mengajak mereka menyeberangi lantai carnelian ke lorong di sebelah kanan.
Mereka mengikutinya sejauh beberapa ratus kaki, lalu memasuki lorong yang lebih kecil. Para penjaga mereka tetap ada walaupun ruangannya sekarang sempit. Sesudah empat tikungan yang tajam, mereka tiba di depan pintu besar dari kayu pinus, kehitaman karena tua. Si pria botak menariknya hingga terbuka dan memerintahkan semua orang kecuali para pengawal untuk masuk kedalam ruangan.
AJIHAD Eragon memasuki ruang kerja yang anggun, dua tingkat, yang dindingnya dipenuhi rak-rak buku dari kayu pinus. Tangga besi melingkar ke sebuah balkon kecil di mana terdapat dua kursi dan meja membaca. Lentera-lentera putih menggantung di sepanjang dinding dan langit-langit hingga buku bisa dibaca di mana pun di ruangan itu. Di ujung seberang ruangan, seorang pria berdiri di belakang meja kayu walnut besar.
Kulitnya mengilap bagai kayu eboni yang diminyaki. Puncak kepalanya dicukur gundul, tapi janggut hitam pendek menutupi dagu dan bibir atasnya. Raut yang kokoh menghiasi wajahnya, dan mata yang muram tapi cerdas mengintai dari balik alisnya. Bahunya lebar dan kokoh, diperkuat rompi merah berbordir benang emas yang menutupi kemeja umgu indah. Sikapnya sendiri memancarkan keanggunan, kemampuan memimpin.
Iblis Sungai Telaga 7 Empat Serangkai - Rahasia Lorong Spiggy The Secret Of Spiggy Holes Pedang Hati Suci 12
"Empati" Empati" Empati macam apa yang bisa kuberikan pada musuhku" Apakah sebaiknya aku ragu membela diri karena dengan begitu akan menyakiti orang lain" Kalau begitu yang terjadi, aku pasti sudah tewas bertahun-tahun yang lalu! Kau harus bersedia melindungi dirimu sendiri dan apa yang kau puja, tidak peduli harganya.
Eragon memasukkan Zar'roc kembali ke dalam sarungnya kuat-kuat, menggeleng buas. "Kau bisa membenarkan kesintingan dengan alasan itu." "Menurutmu aku menikmatinya"" teriak Murtagh. "Hidupku sudah terancam sejak hari aku dilahirkan! Setiap jam aku terjaga, kuhabiskan untuk menghindar dari satu bahaya ke bahaya yang lain. Dan tidur tidak pernah datang dengan mudah karena aku selalu khawatir apakah masih hidup untuk melihat subuh. Kalau pernah ada waktu ketika aku merasa aman, itu pasti dalam kandungan ibuku, walau aku tidak aman di dalam sana sekalipun! Kau tidak mengerti kalau kau hidup dengan ketakutan seperti ini, kau pasti mempelajari hal yang sama seperti yang kupelajari: jangan Pernah mengambil risiko." Ia memberi isyarat ke mayat Torkenbrand. "Ia risiko yang kusingkirkan. Aku menolak mengasihani, dan aku tidak bersedia membebani diriku dengan apa yang telah terjadi dan berlalu."
Eragon mendekatkan wajahnya ke wajah Murtagh. "Tapi tetap saja tindakanmu salah." Ia mengikatkan Arya kepada Saphira, lalu naik ke punggung Snowfire. "Ayo berangkat." Murtagh membimbing Tornac mengitari mayat Torkenbrand yang tergeletak di tengah debu berlumuran darah.
Mereka berderap dengan kecepatan yang pasti dianggap Eragon mustahil dilakukan seminggu yang lalu; bermil-mil berlalu seakan ada sayap yang dilekatkan di kaki mereka. Mereka berbelok ke selatan, di antara kedua lengan Pegunungan Beor yang menjulur. Kedua lengan itu berbentuk capit yang siap menjepit. Ujung-ujungnya terpisah satu hari perjalanan. Tapi jarak itu tampak lebih pendek karena ukuran pegunungannya. Rasanya mereka seperti berada di lembah yang dibuat untuk para raksasa.
Sewaktu mereka berhenti di akhir hari itu, Eragon dan Murtagh menyantap makan malam dalam kebisuan, menolak menengadah dari makanan masing-masing. Sesudahnya, Eragon berkata ketus, "Aku yang pertama berjaga." Murtagh mengangguk dan membaringkan diri di selimutnya, memunggungi Eragon.
Kau ingin bicara" tanya Saphira.
Jangan sekarang, gumam Eragon. Beri aku waktu untuk berpikir aku... bingung.
Saphira mengundurkan diri dari benak Eragon diiringi sentuhan lembut dan berbisik, Aku menyayangimu, makhluk kecil.
Dan aku menyayangimu, kata Eragon: Saphira meringkuk di samping, memberinya kehangatan. Eragon duduk tanpa bergerak dalam kegelapan, bergulat dengan kegelisahannya.
MELARIKAN DIRI MELEWATI LEMBAH
Di pagi harinya Saphira terbang membawa Eragon dan Arya. Eragon ingin menjauhi Murtagh untuk sementara waktu. Ia menggigil, menarik pakaiannya lebih rapat. Tampaknya sa
lju akan turun. Saphira menanjak santai dengan bantuan arus udara panas dan bertanya, Apa yang kaupikirkan"
Eragon memandang Pegunungan Beor, yang menjulang tinggi di atas mereka walau Saphira terbang tinggi di atas permukaan tanah. Kemarin itu pembunuhan. Aku tidak memilih kata lain untuk kejadian itu.
Saphira berbelok ke kiri. Tindakan itu tergesa-gesa dan kurang pertimbangan, tapi Murtagh mencoba melakukan tindakan yang benar. Orang-orang yang membeli dan menjual manusia lain layak menerima kesialan apa pun yang menimpa mereka kalau kita tidak terikat untuk membantu Arya, aku pasti memburu setiap pedagang budak dan mencabik-cabiknya!
Ya, kata Eragon serbasalah, tapi Torkenbrand tidak berdaya.
Ia tidak bisa melindungi diri atau melarikan diri. Sesaat lagi ia mungkin menyerah. Murtagh tidak memberinya kesempatan. Kalau Torkenbrand setidaknya mampu bertempur, kejadiannya tidak akan seburuk itu.
Eragon, bahkan kalau Torkenbrand bertempur, hasilnya akan sama saja. Kau sama tahunya seperti diriku bahwa hanya sedikit yang bisa menyamai dirimu atau Murtagh dalam hal bermain pedang. Torkenbrand akan tetap tewas, meski kau tampaknya menganggap pertarungan yang tidak seimbang Itu lebih adil dan terhormat.
Aku tidak tahu apa yang benar! Eragon mengakui, tertekan.
Tidak ada jawaban yang masuk akal.
Terkadang, kata Saphira lembut, tidak ada jawaban. Pelajarilah apa yang bisa kaupelajari mengenai Murtagh dari kejadian ini. Lalu maafkan dirinya. Dan kalau kau tidak bisa memaafkan, setidaknya lupakan, karena ia tidak bermaksud mencelakai dirimu, tidak peduli setergesa-gesa apa pun tindakannya. Kepalamu masih menempel di tempatnya, bukan"
Sambil mengerutkan kening, Eragon bergeser di pelana. Ia mengguncang dirinya, seperti kuda yang hendak mengusir lalat, dan memeriksa posisi Murtagh dari balik bahu Saphira. Sepetak warna agak jauh di belakang di jalur mereka menarik perhatiannya.
Di dekat tepi sungai yang mereka seberangi kemarin, para Urgal berkemah. Detak jantung Eragon bertambah cepat. Bagaimana mungkin para Urgal itu mampu mengejar mereka padahal mereka berjalan kaki" Saphira juga melihat para monster tersebut dan memiringkan sayap, mendekatkan keduanya ke tubuhnya, lalu menukik tajam, membelah udara.
Kurasa mereka tidak melihat kita, katanya. Eragon berharap begitu. Ia menyipitkan mata menentang semburan udara saat Saphira mempertajam tukikan mereka.
Kepala suku mereka pasti memaksa mereka mati-matian, katanya. Ya mungkin mereka semua akan tewas karena kelelahan.
Sewaktu mereka mendarat, Murtagh bertanya singkat, "Sekarang apa""
"Para Urgal menyusul kita," kata Eragon. Ia menunjuk ke belakang ke perkemahan pasukan.
"Berapa jauh yang masih harus kita tempuh"" tanya Murtagh, sambil mengacungkan tangan menghalangi cahaya matahari, memperkirakan berapa jam lagi sebelum matahari terbenam, biasanya"... Kurasa lima hari lagi. Dengan kecepatan kita berjalan selama ini hanya tiga. Tapi kecuali kita tiba di sana besok. Para Urgal mungkin akan berhasil menyusul kita, dan Arya pasti akan tewas."
"Ia masih memiliki waktu sehari lagi."
"Kita tidak bisa mengandalkan itu," kata Eragon. "Satu-satunya cara agar kita bisa tiba di tempat kaum Varden pada waktunya adalah kalau kita tidak berhenti untuk alasan apa pun, apalagi tidur. Hanya itu satu-satunya kesempatan kita."
Murtagh tertawa pahit. "Bagaimana kau bisa berharap melakukannya" Kita berjalan berhari-hari tanpa tidur yang cukup. Kecuali para Penunggang dibuat dari bahan yang berbeda dari kami para orang biasa, kau sama kelelahannya seperti diriku. Kita menempuh jarak yang luar biasa, dan kuda-kuda, kalau kau belum menyadarinya, sudah nyaris mati. Satu hari lagi perjalanan seperti ini mungkin akan membunuh kita semua."
Eragon mengangkat bahu. "Apa boleh buat. Kita tidak memiliki pilihan lain."
Murtagh menatap pegunungan. "Aku bisa pergi dan kau bisa terbang duluan dengan Saphira.... Dengan begitu para Urgal akan terpaksa membagi pasukannya dan kau mendapat kesempatan yang lebih baik untuk mencapai tempat para Varden."
"Itu sama saja dengan bunuh diri," kata Eragon, sambil bersedekap. "Entah b
agaimana para Urgal itu lebih cepat berjalan kaki daripada kita berkuda. Mereka akan melindasmu seperti rusa. Satu-satunya cara menghindari mereka hanyalah mencari perlindungan di tempat kaum Varden." Terlepas dari kata-katanya, Eragon tidak yakin ingin Murtagh tetap tinggal. Aku menyukai dirinya, Eragon mengakui dalam hati, tapi aku tidak lagi yakin itu tindakan yang bagus.
"Aku akan melarikan diri nanti," kata Murtagh tiba-tiba. "Sesudah kita tiba di tempat kaum Varden, aku bisa menghilang ke lembah samping dan menemukan jalan ke Surda di mana aku bisa bersembunyi tanpa menarik banyak perhatian."
"Jadi kau tetap tinggal""
"Tidur atau tidak tidur, akan kupastikan kau tiba di tempat kaum Varden," Murtagh berjanji.
Dengan kebulatan tekad baru, mereka berjuang menjauhkan diri dari para Urgal tapi para pemburu mereka terus semakin dekat. Saat malam turun para monster itu telah sepertiga lebih dekat daripada pagi harinya. Meski kelelahan menguras kekuatannya dan kekuatan Murtagh, mereka tidur bergiliran di kuda, sementara siapa pun yang terjaga membimbing hewan-hewan itu ke arah yang benar.
Eragon sangat mengandalkan ingatan Arya untuk membimbing mereka. Karena sifat asing benak Arya, Eragon terkadang melakukan kesalahan mengenai rutenya, menyebabkan mereka kehilangan waktu yang berharga. Secara bertahap mereka akhirnya mengarah ke kaki perbukitan di lengan timur pegunungan, mencari-cari lembah yang akan mengantar mereka ke tempat kaum Varden. Tengah malam tiba dan berlalu tanpa terlihat tanda-tandanya.
Sewaktu matahari muncul kembali, mereka senang melihat para Urgal tertinggal jauh. "Ini hari terakhir," kata Eragon, sambil menguap lebar. "Kalau kita tidak cukup dekat dengan tempat kaum Varden tengah hari nanti, aku akan terbang lebih dulu bersama Arya. Kau bebas pergi ke mana pun kau mau pada waktu itu, tapi kau harus membawa Snowfire bersamamu. Aku tidak akan bisa kembali untuk menjemputnya."
"Mungkin tidak perlu begitu, kita masih bisa tiba di sana tepat pada waktunya," kata Murtagh. Ia menggosok-gosok ujung tangkai pedangnya.
Eragon mengangkat bahu. "Bisa saja." Ia mendekati Arya dan menempelkan tangan pada dahinya. Dahi Arya basah dan sangat panas. Matanya bergerak-gerak gelisah di balik kelopaknya, seakan bermimpi buruk. Eragon menekankan kain basah ke alisnya, berharap bisa bertindak lebih jauh.
Menjelang siang, sesudah mereka melintasi pegunungan yang sangat lebar, Eragon melihat lembah kecil yang terselip di sisi seberangnya. Lembah itu begitu tersembunyi hingga bisa terlewatkan dia dengan mudah. Sungai Beartooth, yang pernah disinggung Arya, mengalir keluar dari lembah itu dan meliuk-liuk serampangan melintasi kawasan tersebut. Eragon tersenyum lega, lembah itulah tujuan mereka.
Saat memandang kembali, Eragon merasa terkejut melihat jarak antara mereka dan para Urgal telah menyusul hingga hanya tiga mil lebih sedikit. Ia menunjuk lembah itu kepada Murtagh. "Kalau kita bisa menyelip ke sana tanpa terlihat, mereka mungkin akan kebingungan."
Murtagh tampak skeptis. "Layak dicoba. Tapi mereka bisa mengikuti kita dengan mudah selama ini."
Sewaktu mendekati lembah, mereka berjalan di bawah cabang-cabang pepohonan hutan Pegunungan Beor yang saling menjalin. Pepohonannya tinggi, dengan kulit berceruk-ceruk yang nyaris hitam, dedaunan jarumnya berwarna sama suranya, dan akar-akarnya yang bertonjolan dari tanah tampak seperti lutut yang telanjang. Buahnya yang berbentuk kerucut bertebaran di tanah, masing-masing seukuran kepala kuda. Bajing berceloteh di pucuk pepohonan, dan mata berkilau dalam berbagai lubang di batang pohon. Sulur tanaman rambat yang hijau menjuntai dari cabang-cabang pohon.
Hutan itu menimbulkan perasaan tidak enak dalam diri Eragon, rambut di tengkuknya berdiri. Ada permusuhan di udara, seakan pepohonan membenci penyusupan mereka. Mereka sudah sangat tua, kata Saphira, sambil menyentuh sebatang pohon dengan hidungnya.
Ya, kata Eragon, tapi tidak ramah. Semakin jauh mereka berjalan, hutannya semakin lebat. Kurangnya ruang memaksa Saphira terbang bersama Arya. Tanpa jalan setapak yang jelas untuk diikuti
, sesemakan yang kokoh memperlambat Eragon dan Murtagh. Sungai Beartooth meliuk-liuk di samping mereka, memenuhi udara dengan suara air menggelegak. Puncak di dekat mereka menghalangi cahaya matahari, menyelimuti mereka dengan senja yang terlalu dini.
Di mulut lembah, Eragon menyadari meskipun lembah itu tampak seperti celah sempit di antara puncak-puncak lembab itu, sebenarnya sama lebarnya seperti berpuluh-puluh lembah di Spine. Hanya saja besarnya tebing-tebing dan pegunungan menyebabkan lembah itu tampak begitu terpencil. Banyak air terjun yang menghiasi dinding tebing. Langit berkurang hingga hanya sebaris tipis yang berliku-liku di atas kepala, sebagian besar tersembunyi di balik awan kelabu. Dari tanah yang basah membubung kabut yang mendinginkan udara hingga napas mereka terlihat jelas. Stroberi liar tumbuh di mana-mana, di karpet lumut dan pakis-pakisan, berjuang karena berlomba untuk mendapatkan sinar matahari yang tidak seberapa. Jamur merah dan kuning bermunculan di tumpukan batang pohon yang membusuk.
Suasana sangat sunyi, suara-suara diredam udara yang padat. Saphira mendarat di samping mereka, di lapangan dekat mereka, deru sayapnya teredam secara aneh. Ia mengendap sekitarnya dengan mengayunkan kepala. Aku baru saja berpapasan dengan sekawanan burung berwarna hitam dan hijau, dengan tanda merah di sayap mereka. Aku belum pernah melihat burung seperti itu.
Segala sesuatu di pegunungan ini tampak tidak biasa, jawab Eragon. Kau keberatan kalau aku menunggangi dirimu sebentar" Aku ingin memeriksa para Urgal.
Sama sekali tidak. Eragon berpaling kepada Murtagh. "Tempat kaum Varden tersembunyi di ujung lembah ini. Kalau kita bergegas, kita bisa tiba di sana sebelum malam."
Murtagh mendengus, berkacak pinggang. "Bagaimana caraku keluar dari tempat ini" Aku tidak melihat ada lembah lain yang bersambungan dengan lembah ini, dan para Urgal akan segera mengurung kita. Aku membutuhkan rute untuk melarikan diri."
"Jangan khawatir," kata Eragon tidak sabar. "Lembah ini panjang; pasti ada jalan keluar di depan." Ia melepaskan Arya dari Saphira dan meletakkan elf itu di Snowfire. "Awasi Arya-aku akan terbang dengan Saphira. Kami akan menemuimu di depan." Ia bergegas naik ke punggung Saphira dan mengikat diri di pelana.
"Hati-hati," Murtagh memperingatkan, alisnya berkerut saat ia berpikir, lalu berdecak kepada kuda-kuda dan bergegas masuk kembali ke hutan.
Saat Saphira melompat ke langit, Eragon berkata, Apakah menurutmu kau bisa terbang ke salah satu puncak itu" Kita mungkin dapat menemukan tujuan kita, juga jalan keluar untuk Murtagh. Aku tidak ingin mendengarnya mengomel sepanjang lembah.
Bisa kita coba, Saphira menyetujui, tapi udaranya akan jauh lebih dingin.
Aku mengenakan pakaian hangat.
Berpegangan, kalau begitu! Saphira tiba-tiba berbelok lurus ke atas, menyebabkan Eragon tersentak ke belakang di pelana.
Sayap-sayap Saphira mengepak kuat, mendorong berat mereka ke atas. Lembah menyusut menjadi garis hijau di bawah mereka. Sungai Beartooth berpendar seperti perak di tempat cahaya menyentuhnya.
Mereka membubung ke lapisan awan, dan kelembapan sedingin es memenuhi udara. Selimut kelabu yang tidak berbentuk melingkupi mereka, membatasi pandangan mereka hingga hanya sejauh lengan. Eragon berharap mereka tidak menabrak apa pun dalam keremangan itu. Ia menjulurkan tangan untuk mencoba, mengayun-ayunkannya di udara. Ada yang mengumpul di tangannya dan mengalir menuruni lengan membasahi lengan bajunya.
Sosok kelabu yang samar melesat di atas kepalanya, dan ia sekilas melihat burung dara, sayapnya mengepak mati-matian. Ada seutas pita putih di kakinya. Saphira menyerang burung itu, lidahnya terjulur, rahangnya terbuka. Burung itu menjerit saat gigi-gigi Saphira yang tajam mengatup, nyaris mengenai bulu ekornya. Lalu burung tersebut melesat pergi dan menghilang dalam kabut, kepakan sayapnya yang kuat memudar ke dalam kesunyian.
Sewaktu mereka menembus bagian atas awan, sisik-sisik Saphira tertutup ribuan tetes air yang memantulkan pelangi mini dan berpendar kebiruan seperti warna sisiknya. Eragon mengguncang diri, menghambu
rkan air dari pakaiannya, dan menggigil. Ia tidak lagi bisa melihat tanah, hanya bukit-bukit awan yang meliuk di sela pegunungan.
Pepohonan di pegunungan digantikan gletser tebal, biru dan putih ditimpa cahaya matahari. Pantulan dari salju memaksa Eragon memejamkan mata. Ia mencoba membukanya semenit kemudian, tapi cahayanya membuatnya tertegun. Dengan jengkel, ia menatap lekukan lengannya. Bagaimana kau bisa tahan menghadapi cahaya ini" tanyanya kepada Saphira! Mataku lebih kuat daripada matamu, jawab Saphira.
Udara dingin membekukan. Air di rambut Eragon membeku, memberinya helm yang mengilap. Kemeja dan celananya bagai lapisan kulit yang keras di sekeliling tangan dan kakinya. Sisik Saphira licin karena es; lapisan es menutupi sayap-sayapnya. Mereka belum pernah terbang setinggi ini, tapi puncak-puncak pegunungan masih bermil-mil di atas mereka.
Kepakan sayap Saphira akhirnya melambat dan napasnya terngengah-ngengah. Eragon tersentak dan megap-megap; tampaknya udara di sini tidak cukup banyak. Sambil berjuang mengatasi kepanikan, ia mencengkeram duri di leher Saphira untuk pegangan.
Kita... harus pergi dari sini, katanya. Banyak bintik merah menari-nari di depan matanya. Aku tidak bisa... bernapas. Saphira tampak seperti tidak mendengarnya, jadi ia mengulangi pesannya, kali ini lebih keras lagi. Sekali lagi tidak ada jawaban. Ia tidak bisa mendengarku, Eragon tersadar. Ia goyah, mendapati dirinya sulit berpikir, lalu memukul-mukul sisi tubuh Saphira dan berteriak, "Kita turun!"
Gerakan itu menyebabkan kepalanya pusing. Pandangannya memudar menjadi kegelapan yang berputar-putar.
Ia tersadar kembali sewaktu mereka muncul dari bagian bawah awan. Kepalanya berdenyut-denyut keras. Apa yang terjadi" tanyanya, sambil menegakkan diri dan memandang sekitarnya dengan bingung.
Kau pingsan, jawab Saphira.
Eragon mencoba menyisir rambut dengan jemarinya, tapi terhenti sewaktu merasakan lapisan es di sana. Ya, aku tahu itu, tapi kenapa kau tidak menjawabku"
Otakku kebingungan. Kata katamu terasa tidak masuk di akal. Sewaktu kau jatuh pingsan, aku tahu ada yang tidak beres dan turun. Aku tidak perlu merosot terlalu jauh untuk menyadari apa yang terjadi.
Untung kau tidak pingsan juga, kata Eragon sambil tertawa gugup. Saphira hanya mengayunkan ekor. Eragon memandang Puncak-puncak pegunungan, yang sekarang tertutup awan, sambil berpikir. Sayang sekali kita tidak bisa berdiri di salah satu Puncak itu." Well, sekarang kita mengetahuinya: kita hanya bisa terbang keluar dari lembah itu melalui jalan masuk. Kenapa kita kehabisan udara" Bagaimana bisa ada udara di bawah sini tapi tidak di atas sana"
Entahlah, tapi aku tidak akan pernah berani terbang sedekat itu lagi dengan matahari. Kita harus mengingat pengalaman ini. Pengetahuan ini mungkin berguna kalau nanti kita harus bertempur melawan penunggang lain.
kuharap itu tidak pernah terjadi, kata Eragon. Sebaiknya kita turun sekarang. Aku sudah mendapat cukup petualangan untuk satu hari.
Mereka melayang-layang lembut dengan bantuan arus udara, dari satu gunung ke gunung yang lain, hingga Eragon melihat pasukan Urgal telah tiba di mulut lembah. Apa yang mendorong mereka berjalan secepat itu, dan bagaimana mereka mampu bertahan melakukannya"
Sekarang sesudah kita lebih dekat dengan mereka, kata Saphira aku bisa melihat Urgal-Urgal ini lebih besar daripada yang pernah kita temui. Orang yang jangkung hanya setinggi dada mereka. Aku tidak mengetahui dari tanah mana mereka berasal, tapi pasti tempat yang sangat keras hingga menghasilkan monster sebesar itu.
Eragon memelototi tanah di bawahnya-ia tidak bisa melihat rincian yang dilihat Saphira. Kalau mereka tetap berjalan
dengan kecepatan seperti ini, mereka akan menangkap Murtagh sebelum kita menemukan kaum Varden.
Berharaplah. Hutan mungkin akan menghambat kemajuan mereka.... Apakah mungkin untuk menghentikan mereka dengan sihir"
Eragon menggeleng. Menghentikan mereka... tidak. Jumlah mereka terlalu banyak. Ia teringat kabut tipis di lantai lembah dan tersenyum. Tapi mungkin aku bisa menunda mereka sedikit.
Ia memejamkan mata, memilih kata-kata
yang dibutuhkannya, menatap kabut, lalu memerintah, "Gath un reisa du rakr!"
Timbul kekacauan di bawah. Dari atas, tampak tanah seperti mengalir bagai sungai berlumpur. Seberkas kabut berkumpul di depan para Urgal dan menebal menjadi dinding yang mengerikan, segelap awan mendung. Para Urgal ragu-ragu di depannya, lalu melanjutkan perjalanan seperti penyodok yang tidak terhentikan. Penghalang berputar-putar di sekeliling mereka, menutupi jajaran terdepan dari pandangan.
Kekuatan Eragon terkuras habis secara tiba-tiba, menyebabkan dadanya bergetar seperti burung yang sekarat. Ia tersentak, matanya berputar. Ia berjuang memutuskan kekuatan sihir yang mencengkeram dirinya untuk menambal kebocoran dari mana kehidupannya mengalir keluar. Diiringi raungan keras ia menyentakkan diri dari kekuatan sihir dan memutuskan hubungan. Sulur-sulur sihir putus dalam benaknya seperti ular yang dipenggal, lalu dengan enggan mengundurkan diri dari kesadarannya, bertahan pada batas-batas kekuatannya. Dinding kabut berantakan, dan kabut dengan lambat terurai di tanah seperti menara lumpur yang hancur. Para Urgal sama sekali tidak terpengaruh.
Eragon terkulai lemas di atas Saphira, terengah-engah. Baru sekarang ia teringat kata-kata Brom, "Sihir dipengaruhi jarak, sama seperti anak panah atau tombak. Kalau kau mencoba mengangkat benda dari jarak satu mil jauhnya, energi yang diperlukan akan lebih besar daripada kalau kau mencobanya dari jarak yang lebih dekat." Aku tidak akan pernah melupakannya lagi, pikirnya muram.
Seharusnya kau tidak melupakannya sejak awal, kata Saphira. Pertama tanah di Gil'ead, dan sekarang ini. Apakah kau tidak pernah memperhatikan apa pun yang dikatakan Brom padamu" Kau bisa membunuh dirimu sendiri kalau terus seperti ini.
Aku memperhatikan, kata Eragon berkeras, sambil menggaruk dagu. Hanya saja kejadiannya sudah cukup lama dan aku tidak memiliki kesempatan untuk mengingatnya. Aku tidak pernah menggunakan sihir dari jarak jauh, jadi dari mana aku mengetahui bahwa sulit untuk melakukannya"
Saphira menggeram. Lain kali kau akan mencoba menghidupkan kembali orang yang sudah mati: jangan melupakan apa yang juga dikatakan Brom mengenai hal itu.
Tidak akan, kata Eragon tidak sabar.
Saphira menukik ke tanah, mencari Murtagh dan kuda-kuda. Eragon berniat membantunya, tapi ia nyaris tidak memiliki tenaga bahkan untuk duduk.
Saphira mendarat di lapangan kecil dengan sentakan, dan Eragon kebingungan melihat kuda-kuda berhenti dan Murtagh berlutut, memeriksa tanah. Sewaktu Eragon tidak turun, Murtagh bergegas mendekat dan bertanya, "Ada apa"" Ia kedengaran marah, khawatir, dan kelelahan sekaligus. "Apa aku melakukan kesalahan," kata Eragon sejujurnya.Para Urgal sudah memasuki lembah. Kucoba membingungkan mereka, tapi aku melupakan salah satu peraturan sihir, terpaksa membayar mahal."
Sambil merengut, Murtagh menyentakkan ibu jari ke balik bahunya. "Aku baru saja menemukan jejak serigala, tapi jejaknya sama lebarnya dengan kuda telapak tanganku dan dalam satu inci. Ada hewan-hewan di sekitar sini yang berbahaya bahkan bagi dirimu, Saphira." Ia berpaling kepada Saphira. "Aku tahu kau tidak bisa masuk ke hutan, tapi apakah kau bisa terbang berputar-putar di atasku dan kuda-kuda" Dengan begitu hewan-hewan buas itu seharusnya menjauh. Kalau tidak, mungkin sisi diriku cukup untuk dipanggang dalam pelindung jari."
"Humor, Murtagh"" tanya Eragon, sambil tersenyum sekilas. Otot-ototnya gemetar, menyebabkan ia sulit berkonsentrasi.
"Hanya di tiang gantungan." Murtagh menggosok-gosok mata. "Aku tidak percaya selama ini kita diikuti Urgal-Urgal yang sama. Mereka harus menjadi burung untuk bisa mengejar kita."
"Kata Saphira mereka lebih besar daripada Urgal mana pun yang pernah kami temui," ujar Eragon.
Murtagh memaki, mencengkeram ujung tangkai pedangnya. "Jelas kalau begitu! Saphira, kalau kau benar, maka mereka itu Kull, kaum elite para Urgal. Seharusnya bisa kutebak bahwa kepala sukunya dijadikan pemimpin mereka. Mereka tidak menunggang kuda karena kuda tidak mampu menanggung beban mereka, tidak satu pun dari mereka yang kurang dari delap
an kaki tingginya dan mereka bisa berlari selama berhari-hari tanpa tidur dan tetap siap bertempur. Diperlukan lima orang untuk membunuh satu Kull. Kull tidak pernah meninggalkan gua mereka kecuali untuk berperang, jadi mereka pasti mengharapkan pembantaian besar-besaran kalau keluar dalam jumlah sebanyak itu."
"Apakah kita tetap bisa mendului mereka""
"Siapa yang tahu"" kata Murtagh. "Mereka kuat, bertekad bulat, dan banyak. Ada kemungkinan kita terpaksa menghadapi mereka. Kalau itu yang terjadi, aku hanya berharap kaum Varden menempatkan orang-orang di dekat sini yang akan membantu kita. Meskipun punya ilmu dan Saphira kita tidak bisa menghadapi Kull."
Eragon goyah. "Kau punya roti" Aku perlu makan."
Murtagh bergegas memberinya sepotong. Roti itu lama dan keras, tapi Eragon mengunyahnya dengan bersyukur. Murtagh mengamati dinding lembah dengan pandangan khawatir, Eragon mengetahui ia mencari jalan keluar.
"Ada jalan keluar agak ke depan lagi."
"Tentu saja, kata Murtagh dengan optimisme dipaksakan, lalu menampar pahanya. "Kita harus pergi."
"Bagaimana keadaan Arya" tanya Eragon.
Murtagh mengangkat bahu. "Demamnya memburuk. Ia gelisah terus. Apa yang kauharapkan" Kekuatannya merosot.
Kau seharusnya menerbangkan dirinya ke kaum Varden sebelum racunnya menimbulkan kerusakan yang lebih besar lagi."
"Aku tidak bisa meninggalkan dirimu," kata Eragon, yang kekuatannya semakin pulih seiring setiap gigitan rotinya. "Tidak sementara Urgal-Urgal sedekat itu."
Murtagh kembali mengangkat bahu. "Terserah. Tapi kuperingatkan kau, ia tidak akan tetap hidup kalau kau tetap bersamaku."
"Jangan berkata begitu," kata Eragon, sambil memaksa diri duduk tegak di pelana Saphira. "Bantu aku menyelamatkannya. Kita masih bisa melakukannya. Anggaplah utang nyawa dibalas nyawa-sebagai ganti kematian Torkenbrand."
Wajah Murtagh seketika berubah muram. "Itu bukan utang. Kau-" Ia berhenti saat terdengar suara terompet tanduk di hutan yang gelap. "Banyak yang akan kukatakan padamu nanti," katanya singkat, berjalan kekuda-kuda. Ia menyambar kekang keduanya dan berderap pergi, sambil melotot marah kepada Eragon.
Eragon memejamkan mata sementara Saphira lepaslandas. Ia berharap bisa berbaring di ranjang yang lunak dan melupakan semua masalah mereka. Saphira, katanya akhirnya, sambil menutupi telinga untuk menghangatkannya, bagaimana kalau kita benar-benar menerbangkan Arya ke kaum Varden" Begitu ia sudah aman, kita bisa terbang kembali ke Murtagh dan membawanya keluar dari sana.
Kaum Varden tidak akan mengizinkanmu, kata Saphira. Setahu mereka, kau bisa saja kembali untuk memberitahu para Urgal mengenai tempat persembunyian mereka. Kita tidak tiba dalam kondisi terbaik untuk mendapatkan kepercayaan mereka. Mereka pasti ingin mengetahui kenapa kita membawa sekompi Kull ke gerbang mereka.
Kita harus memberitahukan yang sebenarnya dan berharap mereka memercayai kita, kata Eragon.
Lalu apa yang akan kita lakukan kalau Kull menyerang Murtagh"
Melawan, tentu saja! Aku tidak akan membiarkan Murtagh dan Arya ditangkap atau dibunuh, kata Eragon keras kepala.
Ada sedikit kesinisan dalam kata-kata Saphira. Mulia sekali.
Oh, kita akan membunuh banyak Urgal kau dengan sihir dan pedang, sementara senjataku adalah gigi dan cakar-tapi pada akhirnya akan sia-sia. Jumlah mereka terlalu banyak... Kita tidak bisa mengalahkan mereka, hanya bisa dikalahkan.
Kalau begitu, apa" tanya Eragon. Aku tidak akan membiarkan Arya atau Murtagh dalam cengkeraman mereka.
Saphira melambaikan ekornya, ujung-ujungnya bersuit keras.
Aku tidak memintamu begitu. Tapi, kalau kita menyerang terlebih dulu, kita mendapat keuntungan.
Apakah kau sudah sinting" Mereka akan... Eragon tidak melanjutkan kata-katanya sementara ia memikirkannya. Mereka tidak akan bisa berbuat apa-apa, katanya menyimpulkan, terkejut.
Tepat sekali, kata Saphira. Kita bisa menimbulkan banyak kerusakan dari ketinggian yang aman.
Kita jatuhkan batu-batu ke mereka! Eragon mengusulkan. Dengan begitu mereka akan berhamburan.
Kalau tengkorak mereka tidak cukup keras untuk melindungi mereka. Saphira berbelok ke kanan dan bergegas tu
run ke Sungai Beartooth. Ia menyambar sebongkah batu berukuran sedang dengan cakarnya yang kuat sementara Eragon meraup beberapa batu sebesar kepalan tangan. Dibebani batu-batu, Saphira melayang dengan sayap yang tidak menimbulkan suara hingga mereka berada di atas para Urgal.
Sekarang! serunya, sambil melepaskan bongkah batu. Terdengar derak teredam sementara rudal itu jatuh menerobos pucuk pepohonan, menghantam cabang-cabang. Sedetik kemudian lolongan bergema di seluruh lembah.
Eragon tersenyum tegang saat mendengar para Urgal berhamburan mencari perlindungan. Kita cari amunisi lagi. Eragon, membungkuk rendah di atas Saphira. Saphira menggeram setuju dan kembali ke tepi sungai.
Pekerjaan itu berat, tapi mereka mampu menghambat karena para Urgal-sekalipun mustahil menghentikan mereka sepenuhnya. Para Urgal semakin maju setiap kali Saphira pergi mengambil batu. Terlepas dari itu, usaha mereka memungkinkan Murtagh tetap berada di depan pasukan yang maju tersebut.
Lembah semakin gelap seiring berlalunya waktu. Tanpa matahari yang memberikan kehangatan, gigitan tajam hawa meresap ke udara dan kabut di tanah membeku di pepohonan, melapisinya dengan warna putih. Hewan-hewan malam mulai merayap keluar dari sarang mereka untuk mengintip dari tempat persembunyian, memandang para makhluk asing yang melintasi tanah mereka.
Eragonn terus memeriksa lereng pegunungan, mencari-cari air terjun yang menandai akhir perjalanan mereka. Dengan sangat pahit ia menyadari setiap menit yang berlalu membawanya semakin dekat dengan kematian. "Lebih cepat, lebih cepat, gumamnya sendiri, sambil menunduk memandang Murtagh. Sebelum Saphira meraup batu lagi, ia berkata. Sebaiknya kita beristirahat dan memeriksa keadaan Arya. Hari ini sudah hampir berakhir, dan aku khawatir hidupnya tinggal beberapa jam lagi, kalau bukan beberapa menit.
Hidup Arya ada di tangan Nasib sekarang. Kau memilih. tetap mendampingi Murtagh; sudah terlambat untuk mengubahnya, jadi berhentilah meributkan hal itu.... Kau menyebabkan sisik-sisikku gatal. Tindakan terbaik yang bisa kita lakukan sekarang itu adalah terus mengebom para Urgal. Eragon mengetahui Saphira benar, tapi kata-kata Saphira tidak juga menenangkan kegelisahannya. Ia kembali mencari air terjun, tapi yang terbentang di hadapan mereka tertutup tebing pegunungan yang tebal.
Kegelapan yang sebenarnya mulai memenuhi lembah, menyelimuti pepohonan dan pegunungan seperti awan tinta. Bahkan dengan pendengarannya yang tajam dan indra penciumannya yang luar biasa, Saphira tidak lagi bisa menemukan para Urgal dalam hutan yang lebat itu. Tidak ada bulan yang membantu mereka; baru berjam-jam lagi sebelum bulan terangkat tinggi melewati pegunungan.
Saphira berbelok lembut ke kiri dan melayang mengitari gunung-gunung. Eragon samar-samar merasakan tebing itu melintas di dekatnya, lalu menyipitkan mata saat melihat garis putih samar di kejauhan. Mungkinkah itu air terjunnya" pikirannya penasaran.
Ia memandang langit, yang masih agak terang sesudah matahari terbenam. Siluet gelap pegunungan melengkung menyatu dan membentuk mangkuk kasar yang menutup lembahnya. Ujung lembah tidak jauh lagi! serunya, sambil menunjuk pegunungan. Menurutmu apakah kaum Varden mengetahui kedatangan kita" Mungkin mereka akan mengirim orang-orang untuk membantu kita.
Aku ragu mereka akan membantu kita sebelum mengetahui kita teman atau lawan, kata Saphira sambil tiba-tiba menukik ke tanah. Aku kembali ke Murtagh kita harus tetap bersamanya sekarang. Karena aku tidak bisa menemukan para Urgal itu mereka bisa menyergapnya tanpa sepengetahuan kita.
Eragon mengendurkan Zar'roc dalam sarungnya tanpa benar-benar mencabutnya, penasaran apakah ia cukup kuat untuk bertempur. Saphira mendarat di sebelah kiri Sungai Beartooth, lalu berjongkok menunggu. Air terjunnya terdengar menggemuruh di kejauhan. Ia datang, kata Saphira. Eragon berjuang keras untuk mendengarkan dan menangkap suara detak kuku kuda. Murtagh berlari keluar dari dalam hutan, mengarahkan kuda-kuda didepannya. Ia melihat mereka tapi tidak memperlambat larinya.
Eragon melompat turun dari Saphira, aga
k terhuyung sewaktu menyamai kecepatan lari Murtagh. Di belakangnya Saphira melangkah ke sungai agar bisa mengikuti mereka tanpa terhalang pepohonan. Sebelum Eragon sempat menyampaikan beritanya, Murtagh berkata, "Kulihat kau menjatuhkan bebatuan bersama Saphira dengan ambisius. Apakah Kull berhenti atau berbalik""
"Mereka masih ada di belakang kita, tapi kita sudah hampir tiba di ujung lembah. Bagaimana keadaan Arya""
"Ia belum mati," kata Murtagh kasar. Napasnya pendek-pendek. Kata-kata selanjutnya begitu tenang, seperti suara orang yang menyembunyikan keinginan besar. "Apakah ada lembah atau celah di depan yang bisa kupakai keluar""
Dengan gelisah, Eragon mencoba mengingat apakah ia melihat celah di pegunungan di sekeliling mereka; ia tidak memikirkan dilema Murtagh selama beberapa waktu. Cucanya gelap," katanya, menghindar, sambil merunduk menghindari cabang rendah, "jadi mungkin ada yang terlewat tapi... tidak."
Murtagh memaki-maki dan berhenti tiba-tiba, menarik kekang kuda-kuda hingga keduanya juga berhenti. "Maksudmu satu-satunya tempat yang bisa kutuju adalah tempat kaum Varden""
"Ya, tapi terus berlari. Para Urgal hampir menyusul kita!"
"Tidak!" kata Murtagh marah. Ia menusukkan jarrinya ke Eragon, "Sudah kuperingatkan kau bahwa aku tidak ingin
ke tempat kaum Varden, tapi kau memaksa dan menjebakku di antara palu dan landasannya! Kau yang memiliki ingatan elfnya. Kenapa kau tidak memberitahuku bahwa lembah ini buntu""
Eragon meradang mendengar tuduhan itu dan membalas, yang aku tahu hanyalah ke mana kita harus pergi, bukan apa yang ada di antaranya. Jangan menyalahkan diriku karena kau memilih untuk ikut."
Napas Murtagh mendesis di sela giginya sementara ia berputar balik. Eragon hanya bisa melihat sosoknya yang tidak bergerak, membungkuk. Bahunya sendiri tegang, dan pembuluh darah di sisi lehernya berdenyut-denyut. Ia berkacak pinggang, ketidak sabaran membesar dalam dirinya.
Kenapa kalian berhenti" tanya Saphira, terkejut.
jangan mengalihkan perhatianku. "Ada masalah apa antara dirimu dan kaum Varden" Tidak mungkin seburuk itu hingga kau harus tetap bersembunyi sampai sekarang. Apakah kau lebih suka melawan Kull daripada mengungkapkannya" Berapa kali kita harus mengalami ini sebelum kau memercayai diriku""
Kebisuan yang timbul berlangsung cukup lama.
Para Urgal kata Saphira, mengingatkan dengan nada mendesak.
Aku tahu, kata Eragon, sambil berusaha menekan emosi.
Tapi kita harus memecahkan masalah ini. Cepat, cepat.
"Murtagh," kata Eragon sungguh-sungguh, "kecuali kau ingin mati, kita harus ke tempat kaum Varden. Jangan biarkan aku menemui mereka tanpa mengetahui bagaimana reaksi mereka terhadap dirimu. Sekarang saja keadaannya sudah cukup berbahaya tanpa kejutan-kejutan yang tidak perlu."
Akhirnya Murtagh berpaling memandang Eragon. Napasnya berat dan cepat, seperti napas serigala yang tersudut. Ia diam sejenak, lalu berkata dengan suara tersiksa, "Kau berhak untuk mengetahuinya. Aku... aku putra Morzan, kaum Terkutuk pertama dan terakhir."
TANDUK-TANDUK DILEMA Eragon tidak mampu bicara. Rasa tidak percaya meraung-raung dalam benaknya sementara ia berusaha
menolak kata-kata Murtagh. Kaum Terkutuk tidak pernah memiliki anak, apalagi Morzan. Morzan! Orang yang mengkhianati para Penunggang demi Galbatorix dan tetap menjadi pelayan kesayangan Raja sepanjang sisa hidupnya. Mungkinkah itu benar"
Ia merasakan keterkejutan Saphira sesaat kemudian. Saphira menerobos pepohonan, menerjang dari sungai ke sampingnya, taring-taringnya kelihatan, ekornya terangkat mengancam.
Bersiap-siaplah menghadapi apa pun, katanya memperingatkan. Ia mungkin bisa menggunakan sihir.
"Kau keturunannya"" tanya Eragon, diam-diam meraih
Zar'roc. Apa yang diinginkannya dariku" Apakah ia benar-benar bekerja pada Raja"
"Aku tidak memilih begini!" jerit Murtagh, kesedihan mengerutkan wajahnya. Ia mencabik pakaiannya dengan sikap putus asa, merobek tunik dan kemejanya untuk memperlihatkan dadanya. "Lihat!" pintanya, dan berbalik memunggungi Eragon.
Dengan tidak yakin, Eragon mencondongkan tubuh ke depan, berusaha keras melihat dalam kegelapan.
Di sana, di kulit Murtagh yang kecokelatan dan berotot, terdapat bekas luka putih yang membentang dari bahu kanan ke pinggul kiri, perwujudan kesakitan yang hebat.
"Kau lihat"" kata Murtagh pahit. Ia berbicara dengan cepat sekarang, seakan lega karena rahasianya akhirnya terungkap. "Aku baru berusia tiga tahun sewaktu mendapat ini. Dalam salah satu kemarahan saat mabuk, Morzan melemparkan pedangnya kepadaku sewaktu aku berlari melintasinya punggungku luka menganga oleh pedang yang sekarang kau sandang, satu-satunya benda yang kuharapkan akan kuterima sebagai warisan, hingga Brom mencurinya dari mayat ayahku. Kurasa aku beruntung ada tabib di dekat tempat tinggalku yang berhasil menyelamatkan diriku. Kau harus mengerti, aku tidak menyayangi Kekaisaran atau Raja. Aku tidak bersekutu dengan mereka, dan aku juga tidak bermaksud mencelakai dirimu!" Permohonannya terdengar hampir panik.
Eragon dengan perasaan tidak enak mengangkat tangan dari gagang Zar'roc. "Kalau begitu ayahmu," katanya dengan suara tergagap, "dibunuh oleh..."
"Ya, Brom," kata Murtagh. Ia kembali mengenakan tuniknya dengan sikap dingin.
Terompet tanduk meraung di belakang mereka, menyebabkan Eragon berseru, "Ayo, larilah bersamaku." Murtagh melecutkan kekang kuda-kuda, dan memaksa keduanya berlari meski kelelahan, pandangannya terpaku ke depan, sementara Arya terlonjak-lonjak lemas di pelana Snowfire. Saphira berada di samping Eragon, dengan mudah menjajarinya dengan kaki-kakinya yang panjang. Kau bisa berjalan tanpa hambatan di sungai, kata Eragon sementara Saphira terpaksa menerobos cabang-cabang yang terjalin rapat.
Aku tidak akan meninggalkan kau bersamanya.
Eragon merasa gembira atas perlindungan Saphira. Putra Morzan! Ia berbicara sambil berlari, "Ceritamu sulit dipercaya.
Bagaimana aku tahu kau tidak berbohong""
Untuk apa aku berbohong""
"Kau bisa saja-"
Murtagh bergegas menyela. "Aku tidak bisa membuktikan apa pun padamu sekarang. Simpan saja keraguanmu hingga tiba di tempat kaum Varden. Mereka akan segera mengenaliku."
Aku harus tahu," desak Eragon. "Apakah kau mengabdi pada Kekaisaran""
"Tidak. Dan kalaupun dulu aku mengabdi, apa yang kudapatkan dengan berpergian bersamamu" Kalau aku mencoba menangkap atau membunuhmu, aku pasti meninggalkan dirimu di penjara." Murtagh terhuyung sewaktu melompat batang pohon tumbang.
"Kau bisa membimbing para Urgal ke tempat kaum Varden."
"Kalau begitu," kata Murtagh, "kenapa aku masih bersamamu" Aku tahu di mana tempat kaum Varden sekarang. Alasan apa yang bisa kuberikan untuk menyerahkan diri pada mereka" Kalau aku memang akan menyerang mereka aku sudah berbalik dan bergabung dengan para Urgal."
"Mungkin kau pembunuh bayaran," kata Eragon lugas.
"Mungkin. Kau tidak bisa benar-benar mengetahuinya, bukan"" Saphira" tanya Eragon.
Ekor Saphira melayang di atas kepalanya. Kalau ingin menyakiti dirimu, ia bisa melakukannya sejak dulu.
Sebatang cabang melecut leher Eragon, menimbulkan segaris darah di kulitnya. Air terjun terdengar semakin keras. Kuminta kau awasi Murtagh seketat mungkin sewaktu kita tiba di tempat Varden. Ia mungkin melakukan tindakan bodoh, dan aku tidak ingin ia tewas tidak sengaja.
Akan aku usahakan sebaik-baiknya, kata Saphira sambil menerobos di antara dua batang pohon, menguliti sebagian batangnya. Terompet tanduk terdengar lagi di belakang mereka. Eragon melirik ke belakang, menduga akan melihat para Urgal berhamburan keluar dari kegelapan. Air terjun terdengar menggemuruh di depan mereka, menenggelamkan suara-suara malam.
Hutan berakhir, dan Murtagh menarik kuda-kuda untuk menghentikan mereka. Mereka berada di pantai bulat berkerikil tepat di sebelah kiri mulut Sungai Beartooth. Danau Kostha-merna yang dalam memenuhi lembah, menghalangi jalan mereka. Airnya kemilau ditimpa cahaya bintang yang berkelap-kelip. Dinding pegunungan menghalangi jalan masuk di sekeliling Kostha merna hingga sebaris tipis pantai di kedua danau, keduanya tidak lebih dari beberapa langkah lebarnya. Di ujung seberang danau, tirai air yang lebar menuruni tebing hitam ke gelegak buih di bawahnya.
"Apakah kita pergi ke air
terjun"" tanya Murtagh dengan suara tegang.
"Ya," Eragon memimpin dan memilih jalan di sepanjang sisi kiri danau. Kerikil-kerikil bulat di bawah kakinya basah dan tertutup lapisan yang licin. Nyaris tidak ada ruang bagi Saphira di antara dinding lembah yang tegak lurus dan danau, jadi ia harus berjalan di dalam air.
Mereka tiba di pertengahan jalan ke air terjun sewaktu Murtagh memperingatkan, "Urgal!"
Eragon berputar, bebatuan berhamburan dari tumitnya. Di tepi danau Kostha-merna, di mana mereka tadi berada beberapa menit yang lalu, sosok-sosok tinggi besar mengalir keluar dari dalam hutan. Para Urgal berkumpul di depan danau. Salah satu dari mereka memberi isyarat ke arah Saphira, kata-kata serak melayang di atas air. Seketika kelompok itu terbagi dan mulai menyusuri kedua tepi danau, tidak memberi jalan melarikan diri bagi Eragon dan Murtagh. Pantai yang sempit memaksa Kull yang bertubuh tinggi besar untuk berbaris satu per satu.
"Lari!" teriak Murtagh, sambil mencabut pedang dan menampar pantat kuda-kuda. Saphira terbang tanpa peringatan dan berputar balik ke arah para Urgal.
"Jangan!" jerit Eragon, berteriak dengan pikirannya, Kembali! tapi Saphira terus menyerang, tidak memedulikan seruan Eragon. Dengan susah payah Eragon mengalihkan pandangan dari Saphira dan menerjang maju, sambil mencabut Zar'roc dari sarungnya.
Saphira menukik ke arah para Urgal, sambil meraung mengerikan. Mereka mencoba berhamburan tapi terjebak lereng pegunungan. Saphira menangkap seorang Kull dengan cakarnya dan membawa makhluk yang menjerit-jerit itu terbang, mencabik-cabiknya dengan taring. Mayat yang membisu itu jatuh ke danau sesaat kemudian, kehilangan sebelah lengan dan kakinya.
Kull yang lain terus mengitari Kostha-merna tanpa henti. Dengan asap mengepul melalui cuping hidungnya, Saphira kembali menukik ke arah mereka. Ia berputar dan berguling Saat awan anak panah hitam berhamburan ke arahnya. Sebagian besar anak panah itu ditangkis sisi tubuhnya yang sisiknya cukup tebal dan keras, hanya menyebabkan memar, tapi ia meraung sewaktu anak-anak panah yang lain menembus sayapnya.
Lengan Eragon tersengat sakit simpatik, dan ia harus menahan diri untuk tidak menghambur ke Saphira dan melindungi. Ketakutan membanjiri pembuluh darahnya sewaktu melihat sebarisan Urgal mendekati mereka. Ia mencoba berlari lebih cepat, tapi otot-ototnya terlalu lelah, bebatuannya terlalu licin.
Lalu, diiringi percikan hebat air, Saphira terjun ke dalam Kostha-merna. Ia menyelam sepenuhnya, memicu riak ke seluruh danau. Para Urgal dengan gugup mengawasi air gelap yang menampar-nampar kaki mereka. Salah satunya menggerung tanpa bisa dipahami dan menusukkan tombaknya ke danau.
Air bagai meledak sewaktu kepala Saphira melesat keluar dari kedalaman. Rahangnya menggigit tombak itu, mematahkannya bagai sebatang ranting sewaktu ia mencabutnya dengan puntiran keras dari tangan Kull yang memegangnya. Sebelum ia sempat menangkap Urgal itu sendiri, rekan-rekan Urgal itu menusuknya dengan tombak masing-masing, menyebabkan hidungnya mengucurkan darah.
Saphira tersentak mundur dan mendesis marah, memukuli air dengan ekornya. Dengan tetap mengarahkan tombak ke Saphira, Kull terdepan mencoba bergeser lewat, tapi terhenti sewaktu Saphira menggigit kakinya. Barisan Urgal terpaksa berhenti sementara Saphira menahan Urgal terdepan. Sementara itu, Kull di sisi seberang danau terus bergegas menuju air terjun.
Aku sudah menjebak mereka, kata Saphira kepada Eragon dengan tegang, tapi cepatlah, aku tidak bisa menahan mereka terlalu lama. Para pemanah di pantai membidik dirinya Eragon memusatkan perhatian untuk berlari lebih cepat, tapi batu yang bergeser saat diinjaknya menyebabkan ia jatuh ke depan. Lengan Murtagh yang kuat menahannya tetap berdiri, dan sambil berpegangan tangan, mereka mendorong kuda-kuda terus maju dengan teriakan. Mereka nyaris tiba di air terjun. Suaranya luar biasa seperti longsor. Dinding air putih mengguyur menuruni tebing memukul bebatuan di bawahnya dengan kemarahan yang menghamburkan kabut ke udara dan mengalir turun di wajah mereka. Empat meter dari tirai yan
g menggemuruh itu, pantainya melebar, memberi mereka ruang untuk melekukan manuver.
Saphira meraung saat tombak Urgal menggores perutnya, lalu mengundurkan diri ke bawah air. Dengan kepergiannya Kull bergegas maju dengan langkah-langkah panjang. Mereka hanya beberapa ratus meter jauhnya.
"Apa yang kita lakukan sekarang"" tanya Murtagh dingin.
"Aku tidak tahu. Biar kupikirkan!" seru Eragon, sambil mencari-cari kenangan Arya untuk mendapatkan instruksi terakhir. Ia mengamati tanah hingga menemukan sebutir batu sebesar apel, menyambarnya, lalu memukul-mukulkannya ke dinding di samping air terjun, sambil berteriak, "Ai varden abr du Shur'tugals gata vanta!"
Tidak terjadi apa-apa. Ia mencoba lagi, berteriak lebih keras daripada sebelumnya, tapi hanya berhasil melukai tangannya. Ia berpaling dengan putus asa kepada Murtagh. "Kita terjebak" Kata-katanya terputus oleh Saphira yang melompat keluar dari danau, menyirami mereka dengan air sedingin es. Ia mendarat di pantai dan merunduk, siap bertempur.
Kuda-kuda melonjak panik, mencoba melarikan diri. Eragon menjangkau dengan pikirannya untuk menenangkan mereka. Di belakangmu! jerit Saphira. Eragon berbalik dan sekilas melihat pemimpin Urgal berlari ke arahnya, tombaknya yang berat teracung. Dari jarak dekat Kull tampak seperti raksasa kecil, dengan kaki dan lengan setebal batang pohon.
Murtagh menarik lengannya dan melemparkan pedangnya dengan kecepatan yang luar biasa. Senjata panjang itu berputar sekali, lalu menancap di dada Kull tadi, diiringi derakan teredam. Urgal bertubuh tinggi besar tersebut jatuh ke tanah sambil memperdengarkan suara menggeleguk orang tercekik. Sebelum Kull yang lain sempat menyerang, Murtagh melesat lalu dan mencabut pedangnya dari mayat tersebut.
Eragon mengangkat tangan, sambil berteriak, "Jierda theirra kalfis!" Derakan tajam menggema dari tebing. Dua puluh Urgal yang berderap maju jatuh ke Kostha-merna, melolong sambil mencengkeram kaki di tempat patahan tulang mencuat keluar. Tanpa menghentikan langkah, Urgal-Urgal yang lain melewati rekan-rekan mereka yang jatuh. Eragon berusaha keras mengatasi kelelahannya, menempelkan tangan ke Saphira untuk mendapatkan dukungan.
Hujan anak panah, mustahil dilihat dalam kegelapan, mendesing di sekitar mereka dan berdentangan di tebing. Eragon dan Murtagh merunduk, melindungi kepala mereka. Sambil menggeram pelan, Saphira melompat ke atas mereka hingga sisi-sisi tubuhnya yang berperisai melindungi mereka hingga kuda-kuda. Serangkaian detakan terdengar saat hujan anak panah kedua memantul dari sisik-sisiknya.
"Sekarang apa"" teriak Murtagh. Masih tidak ada celah yang terbuka di tebing. "Kita tidak bisa tetap di sini!"
Eragon mendengar Saphira meraung saat sebatang anak panah mengenai ujung sayapnya, mencabik membran tipis disana. Ia memandang sekitarnya dengan liar, mencoba memahami kenapa instruksi Arya tidak berhasil. "Aku tidak tahu! Kita sudah berada di tempat yang seharusnya!"
"Kenapa tidak kautanyakan pada elf itu untuk memastikan"" tanya Murtagh. Ia menjatuhkan pedangnya, menyambar busur dari tas pelana Tornac, dan dengan gerakan yang sigap menembakkan sebatang anak panah dari sela-sela duri di punggung Saphira. Sesaat kemudian seorang Urgal jatuh ke air.
"Sekarang" Ia sekarat! Bagaimana ia bisa menemukan energi untuk mengatakan apa pun""
"Entahlah," teriak Murtagh, "tapi sebaiknya kaupikirkan cara karena kita tidak bisa menghadang seluruh pasukan!" Eragon, raung Saphira dengan nada mendesak. Apa!
Kita ada di tepi danau yang salah! Aku melihat kenangan Arya melalui dirimu, dan aku baru saja menyadari ini bukan tempat yang tepat. Ia menjejalkan kepala ke dada sewaktu hujan anak panah berhamburan lagi ke arah mereka. Ekornya tersentak kesakitan sewaktu anak-anak panah itu mengenainya. Aku tidak bisa begini terus! Mereka akan mencabik-cabik diriku!
Eragon menyentakkan Zar'roc kembali ke sarungnya dan berseru. "Varden ada di sisi seberang danau. Kita harus menerobos air terjun!" Ia menyadari dengan ketakutan bahwa para Urgal di seberang Kostha-merna nyaris tiba di air terjun.
Pandangan Murtagh terarah ke air t
erjun yang menghalangi jalan mereka. "Kita tidak akan pernah bisa membawa kuda melewatinya, bahkan seandainya kita bisa menemukan pijakan."
"Akan kuyakinkan mereka untuk mengikuti kita, sergah
Eragon. "Dan Saphira bisa membawa Arya." Jeritan dan lolongan para Urgal menyebabkan Snowfire mendengus marah. Si elf terkulai di punggungnya, tidak menyadari bahaya
Murtagh mengangkat bahu. "Lebih baik daripada dicincang hingga tewas." Dengan sigap ia memotong tali yang mengikat Arya dari pelana Snowfire, dan Eragon menangkap elf itu Saat merosot ke tanah.
Aku siap, kata Saphira, sambil beranjak setengah merunduk. para Urgal yang mendekat ragu-ragu tidak tahu pasti niatnya.
"Sekarang!" jerit Eragon. Ia dan Murtagh mengangkat Arya ke atas Saphira, lalu mengikat kakinya dengan tali pelana. Begitu mereka selesai, Saphira mengembangkan sayap dan membubung ke atas danau. Para Urgal di belakangnya melolong saat melihat ia melarikan diri. Anak-anak panah berjatuhan dari perutnya. Kull di pantai seberang melipat gandakan kecepatan agar bisa tiba di air terjun sebelum Saphira mendarat.
Eragon menjangkau dengan pikirannya untuk memaksa memasuki pikiran kuda-kuda yang ketakutan. Dengan menggunakan bahasa kuno, ia memberitahu keduanya bahwa kalau mereka tidak berenang menerobos air terjun, mereka akan dibunuh dan disantap para Urgal. Walaupun mereka tidak memahami segala sesuatu yang dikatakannya, arti kata-katanya tidak mungkin keliru.
Snowfire dan Tornac menyentakkan kepala, lalu melesat ke air yang menggelegar turun, meringkik saat air terjun menghantam punggung mereka. Mereka jatuh, berjuang keras untuk bertahan di atas air. Murtagh menyarungkan pedang dan melompat mengejar mereka; kepalanya menghilang di balik buih sebelum muncul kembali, terbatuk-batuk.
para Urgal tepat di belakang Eragon; ia bisa mendengar Suara kaki mereka menginjak kerikil diiringi teriakan perang yang mengerikan, ia melompat mengikuti Murtagh, memejamkan mata sedetik sebelum air dingin menghantam dirinya.
Air terjun yang luar biasa kuat menghantam bahunya dengan kekuatan yang mampu mematahkan tulang punggung. Raungan air memenuhi telinganya. Ia terdorong ke dasar, di mana lututnya beradu dengan bebatuan di dasar danau. Ia menendang sekuat tenaga dan melesat hingga separo keluar dari air. Sebelum ia sempat menhirup udara, guyuran air kembali menjejelkannya ke bawah permukaan.
Ia hanya bisa melihat warna putih yang samar saat busa menggelegak di sekitarnya. Mati-matian ia berusaha untuk muncul ke permukaan dan melegakan paru-parunya yang bagai terbakar, tapi ia hanya menanjak beberapa kaki sebelum semburan air menghentikannya. Ia panik, melambai-lambaikan tangan dan menendang-nendang, melawan airnya. Dibebani Zar'roc dan pakaiannya yang basah kuyup, ia merosot kembali ke dasar danau, tidak mampu mengucapkan kata kuno yang bisa menyelamatkan dirinya.
Tiba-tiba sebuah tangan yang kuat mencengkeram bagian punggung tuniknya dan menyeretnya menerobos air. Penyelamatnya menerobos danau dengan ayunan-ayunan yang cepat dan pendek; Eragon berharap orang itu Murtagh, bukan Urgal. Mereka muncul ke permukaan dan terhuyung-huyung ke pantai berkerikil. Eragon gemetaran hebat; seluruh tubuhnya menggigil.
Suara pertempuran terdengar di sebelah kanannya, dan ia berputar ke sana, menduga akan melihat serangan Urgal. Para monster di tepi seberang-tempat ia tadi berdiri hanya beberapa saat sebelumnya, berjatuhan akibat hujan anak panah dari celah-celah yang memenuhi tebing. Puluhan Urgal mengambang menelungkup di air, dipenuhi anak panah. Urgal-Urgal di pantai tempat Eragon berada juga diserang dengan cara yang sama. Tidak satu kelompok pun bisa mengundurkan diri dari posisi mereka yang terbuka, karena berderet-deret pejuang entah bagaimana muncul dari belakang mereka, tempat danau bertemu lereng gunung. Yang menghalangi Kull terdekat untuk menyerang Eragon hanyalah hujan anak panah yang terus-menerus. para pemanah yang tidak terlihat tampaknya berbulat tekad untuk menghalangi para Urgal.
Suara serak di samping Eragon berkata, "Akh Gunteraz dorzada! Apa yang mereka pikirkan" Kau bisa
tenggelam. Eragon tersentak terkejut. Orang yang berdiri di sampingnya bukanlah Murtagh, tapi pria kecil yang tidak lebih tinggi daripada sikunya.
Kurcaci itu sibuk memeras air dari janggutnya yang di kepang panjang. Dadanya kekar, dan ia mengenakan jaket jala baja yang dipotong pada bagian bahu untuk menampilkan lengan yang berotot. Kapak perang tergantung dari sabuk kulit lebar yang melilit pinggangnya. Topi kulit bertanduk dan bertepi besi, di mana terdapat simbol palu yang dikelilingi dua belas bintang, bertengger mantap di kepalanya. Bahkan dengan topi itu, tingginya tidak sampai empat kaki. Ia memandang penuh kerinduan ke arah pertempuran dan berkata, "Barzul, seandainya aku bisa bergabung dengan mereka!"
Kurcaci! Eragon mencabut Zar'roc dan mencari Saphira serta Murtagh. Dua pintu batu setebal dua belas kaki terbuka di tebing, menampakkan terowongan lebar yang nyaris tiga puluh kaki tingginya, membentang masuk ke pegunungan. Sederetan lampu telah menyala memenuhi lorong masuk itu dengan warna biru pucat yang tumpah ke danau.
Saphira dan Murtagh berdiri di depan terowongan, dikelilingi orang dan kurcaci berwajah muram. Di samping Murtagh berdiri pria botak tak berjanggut yang mengenakan mantel ungu dan emas. Ia lebih jangkung daripada manusia-manusia lainnya dan ia mengacungkan sebilah pisau ke tenggorokan Murtagh.
Eragon menjangkau kekuatannya, tapi pria berjubah itu berkata dengan suara tajam, berbahaya, "Berhenti! Kalau kau menggunakan sihir, akan kubunuh teman tersayangmu ini, yang begitu baik hingga memberitahuku bahwa kau Penunggang. Jangan menganggap aku tidak akan mengetahui kalau kau mengerahkan kekuatan sihirmu. Kau tidak bisa menyembunyikan apa pun dariku." Eragon mencoba berbicara, tapi pria itu menyeringai dan menekankan pisaunya lebih keras ke tenggorokan Murtagh. "Jangan coba-coba! Kalau kau mengatakan atau melakukan apa pun yang tidak kuperintahkan padamu, ia akan tewas. Sekarang, semuanya masuk." Ia mundur ke terowongan, menyeret Murtagh bersamanya sambil tetap mengawasi Eragon.
Saphira, apa yang harus kulakukan" tanya Eragon dengan tergesa-gesa sementara orang-orang dan kurcaci-kurcaci mengikuti menangkap Murtagh, membimbing kuda-kuda bersama mereka.
Ikuti mereka, saran Saphira, dan berharaplah kita tetap hidup. Saphira sendiri melangkah ke dalam terowongan, memicu lirikan-lirikan gugup dari mereka yang ada di sekitarnya. Dengan enggan Eragon mengikutinya, menyadari pandangan para pejuang itu terarah padanya. Penyelamatnya, si kurcaci, berjalan di sampingnya dengan satu tangan pada ganggang kapak perangnya.
Dengan kelelahan setengah mati, Eragon terhuyung-huyung masuk ke pegunungan. Pintu-pintu batu terayun menutup di belakang mereka diiringi suara yang tidak lebih daripada bisikan. Eragon berpaling dan melihat dinding mulus di tempat pintunya tadi berada. Mereka terjebak di dalam. Tapi apakah mereka lebih aman
MEMBURU JAWABAN Lewat sini," sergah si pria botak. Ia melangkah mundur, pisaunya tetap menekan bagian bawah dagu Murtagh, lalu ia berputar ke kanan, menghilang melalui ambang pintu melengkung. Para prajurit dengan hati-hati mengikuti dirinya, perhatian mereka terpusat pada Eragon dan Saphira. Kuda-kuda dibimbing melalui terowongan lain.
Tertegun karena perubahan yang terjadi, Eragon hendak mengejar Murtagh. Ia melirik sekilas ke arah Saphira untuk memastikan Arya masih terikat di punggung naga itu. Ia harus mendapatkan penawarnya pikir Eragon panik, mengetahui bahwa bahkan pada saat itu pun Skilna Bragh sedang memenuhi tujuan mematikannya di dalam tubuh Arya.
Ia bergegas memasuki ambang pintu melengkung dan menyusuri koridor sempit mengejar si pria botak. Para prajurit mengarahkan senjata masing-masing kepadanya. Mereka melewati ukiran hewan berbulu tebal yang aneh. Koridor berbelok tajam ke kiri, lalu ke kanan. Pintu membuka dan mereka memasuki ruangan kosong yang cukup besar bagi Saphira untuk bergerak ke sana kemari dengan mudah. Terdengar debuman yang menggaung sewaktu pintunya ditutup, diikuti deritan tajam saat selot dipasang di luar.
Eragon perlahan-lahan mengamati sekitarnya, Za
r'roc tergemgam erat di tangannya. Dinding, lantai, dan langit-langit terbuat dari marmer putih yang dipoles dan memantulkan bayangan semua orang sehingga mereka tampak bagai hantu, seperti cermin susu. Salah satu dari lentera yang tidak biasa itu menjuntai di setiap sudut. "Ada yang" katanya memulai tapi isyarat tajam dari pria botak itu menghentikannya.
Eragon Karya Christhoper Paolini di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Jangan bicara! Kau harus menunggu hingga selesai diuji." Ia mendorong Murtagh ke salah seorang prajurit, yang menempelkan sebilah pedang ke leher Murtagh. Pria botak itu bertepuk tangan dengan lembut. "Lepaskan senjatamu dan dorong kepadaku." Seorang kurcaci melepaskan sabuk pedang Murtagh dan menjatuhkannya ke lantai diiringi dentangan.
Walaupun benci berpisah dengan Zar'roc, Eragon menanggalkan sabuk pedangnya dan meletakkannya bersama pedangnya di lantai. Ia menaruh busur dan tabung panah di sampingnya, lalu mendorong tumpukan itu ke arah para prajurit. "Sekarang menjauhlah dari nagamu dan dekati aku perlahan-lahan," perintah pria botak itu.
Dengan kebingungan, Eragon melangkah maju. Sewaktu jarak mereka hanya satu meter, pria itu berkata, "Berhenti di sana! Sekarang singkirkan pertahanan dari benakmu dan bersiaplah membiarkan aku memeriksa pikiran dan ingatanmu. Kalau ada yang kausembunyikan dariku, aku akan mengambil apa yang kuinginkan dengan paksa... dan kau akan jadi gila karenanya. Kalau kau tidak pasrah, temanmu akan dibunuh."
"Untuk apa"" tanya Eragon, tertegun.
"Untuk memastikan kau bukan anak buah Galbatorix dan untuk memahami kenapa ratusan Urgal menggedor pintu depan kami," kata pria botak itu. Matanya yang rapat beralih dari sudut ke sudut dengan kecepatan tinggi. "Tidak seorang pun boleh memasuki Fardhen Dur tanpa diuji."
"Tidak ada waktu. Kami membutuhkan tabib!" Eragon memprotes.
"Diam!" raung pria itu, menekan jubahnya dengan Jemari yang kurus. "Sebelum kau diperiksa, kata-katamu tidak ada artinya!"
"Tapi wanita itu sekarat!" balas Eragon marah, menunjuk Arya. Posisi mereka berbahaya, tapi ia tidak akan membiarkan apa pun terjadi sebelum Arya dirawat.
"Harus menunggu! Tidak seorang pun meninggalkan ruangan ini hingga kami mengetahui kebenaran masalah ini. kecuali kau ingin"
Kurcaci yang menyelamatkan Eragon dari danau melompat maju. "Apakah kau buta, Egraz Carn! Kau tidak bisa melihat yang di naga itu elf" Kita tidak bisa menahannya di sini jika ia terancam bahaya. Ajihad dan Raja akan memenggal kepala kita kalau ia dibiarkan tewas!"
Tatapan mata pria itu menajam karena marah. Sesaat kemudian ia mengendur dan berkata halus, "Tentu saja, Orik, kita tidak ingin itu terjadi." Ia menjentikkan jemari dan menunjuk Arya. "Ambil ia dari naga itu." Dua prajurit manusia menyarungkan pedangnya dan dengan ragu-ragu mendekati Saphira, yang mengawasi mereka dengan tajam. "Cepat, cepat!"
Keduanya melepaskan ikatan Arya dari pelana dan menurunkannya ke lantai. Salah seorang di antaranya mengamati wajah Arya, lalu berkata tajam, "Ini kurir pembawa telur naga, Arya!"
"Apa"" seru pria botak itu. Mata kurcaci Orik membelalak tertegun. Pria botak tersebut mengarahkan tatapan tajamnya pada Eragon dan berkata dengan nada datar, "Banyak yang harus kau jelaskan."
Eragon membalas tatapannya dengan segenap kebulatan tekad yang bisa dikerahkannya. "Ia diracuni dengan Skilna Bragh sewaktu dipenjara. Hanya Serbuk Sari Tunivor yang bisa menyelamatkan dirinya sekarang."
Wajah pria botak itu menjadi sulit ditebak. Ia berdiri tidak bergerak, kecuali bibirnya, yang sesekali berkedut. "Baiklah. Bawa wanita itu ke tabib, dan beritahu mereka apa yang dibutuhkannya. Jaga dia hingga upacara selesai. Saat itu aku akan memberi kalian perintah baru." Para prajurit itu mengangguk singkat dan membawa Arya keluar ruangan. Eragon mengawasi kepergian mereka, berharap bisa menemani Arya. Perhatiannya teralih kembali ke si pria botak, yang tengah berbicara. "Sudah cukup, kita terlalu membuang waktu. Bersiap-siaplah untuk diperiksa."
Eragon tidak ingin pria tak berambut yang selalu mengancam itu memasuki benaknya, mengungkap setiap pikiran dan perasaannya, tapi ia tahu sia-sia saja melawan. Suasan
a terasa tegang. Tatapan Murtagh bagai membakar keningnya.
Akhirnya ia membungkuk. "Aku siap."
Bagus kalau begitu" pria botak itu kembali disela Orik, yang berkata tiba-tiba,
"Sebaiknya kau tidak menyakiti dirinya, Erag Carn, kalau tidak ingin Raja berbicara denganmu."
Si pria botak memandangnya jengkel, lalu menatap Eragon sambil tersenyum kecil. "Hanya kalau ia melawan." Ia membungkuk dan mengucapkan kata-kata tanpa suara.
Eragon tersentak kesakitan dan kaget saat peraba mental mencakar masuk ke dalam benaknya. Bola matanya berputar terbalik, dan ia otomatis mendirikan penghalang di sekeliling kesadarannya. Serangannya luar biasa kuat.
Jangan begitu! seru Saphira. Pikirannya bergabung dengan pikiran Eragon, memberinya kekuatan. Kau membahayakan keselamatan Murtagh! Eragon goyah, mengertakkan gigi, lalu memaksa diri menyingkirkan perisainya, membuka diri pada peraba yang bagai orang kelaparan itu. Kekecewaan terpancar dari wajah si pria botak. Serangannya semakin hebat. Kekuatan yang berasal dari benaknya terasa busuk dan tidak lengkap; ada sesuatu yang sangat keliru pada kekuatannya.
Ia ingin aku melawannya! seru Eragon sementara gelombang kesakitan baru mengguncang dirinya. Sedetik kemudian sakitnya mereda, hanya untuk digantikan yang lain. Saphira berusaha sekuat tenaga menekannya, tapi bahkan ia pun tidak bisa menghalangi kekuatan itu seluruhnya.
Berikan apa yang diinginkannya, kata Saphira tergesa-gesa, tapi lindungi segala yang lainnya. Akan kubantu kau. Kekuatannya tidak sebanding denganku; aku melindungi pembicaraan kita ini dari dirinya.
Kalau begitu kenapa masih terasa sakit" Sakitnya berasal dari dirimu.
Eragon mengernyit sementara peraba pria itu masuk semakin dalam, memburu informasi, seperti paku yang ditusukkan menembus tengkoraknya. Pria botak itu dengan kasar merampas kenangan masa kanak-kanaknya dan mulai memmilahnya. Ia tidak membutuhkan Itu keluarkan ini dari saraung Eragon marah.
Tidak bisa, tidak tanpa membahayakan dirimu, kata Saphira Aku bisa menutupi hal-hal dari pandangannya, tapi harus di lakukan sebelum Ia mencapainya. Pikir cepat, dan katakan apa yang kausembunyikan!
Eragon berusaha memusatkan perhatian di antara sakit. Ia berpacu memilah-milah kenangannya, dimulai dari Sewaktu ia menemukan telur Saphira. Ia menyembunyikan sebagian diskusinya dengan Brom, termasuk semua kata kuno yang pernah dipelajarinya. Perjalanan mereka melintasi Lembah Palancar, Yazuac, Daret, dan Teirm dibiarkan tidak tersentuh. Tapi ia meminta Saphira menutupi apa pun yang diingatnya mengenai ramalan Angela dan Solembum. Ia menutupi pencurian yang mereka lakukan di Teirm, kematian Brom, penawanan dirinya di Gil'ead, dan akhirnya pemberitahuan Murtagh mengenai identitasnya yang sebenarnya.
Eragon ingin menyembunyikannya juga, tapi Saphira menolak. Kaum Varden berhak mengetahui siapa yang mereka lindungi di bawah atap mereka, terutama kalau ia putra seorang Terkutuk!
Lakukan saja, kata Eragon susah payah, melawan gelombang kesakitan yang lain. Aku tidak akan menjadi orang yang membuka rahasianya, terutama pada orang ini.
Rahasia itu akan terungkap begitu pikiran Murtagh diteliti,
Saphira memperingatkan. Lakukan saja. Sesudah informasi-informasi yang paling penting disembunyikan, tidak ada yang bisa dilakukan Eragon kecuali menunggu pria botak itu selesai memeriksa. Rasanya seperti duduk diam sementara kuku-kuku jemarinya dicabuti dengan tang karatan. Seluruh tubuhnya terasa kaku, rahangnya terkatup rapat. Panas memancar dari kulitnya, dan keringat bergulir turun dilehernya. Ia sangat menyadari setiap detik pada setiap menit yang berlalu.
Pria botak itu meneliti pengalamannya dengan lambat, seperti sulur berduri yang berusaha membuka jalan menuju cahaya matahari. Ia menaruh perhatian mendalam terhadap banyak hal yang menurut Eragon tidak relevan, seperti tentang ibunya Selena, dan tampaknya sengaja berlama-lama untuk memperpanjang penderitaannya. Ia menghabiskan waktu yang lama untuk memeriksa ingatan Eragon mengenai Ra'zac, lalu mengenai Shade. Baru sesudah meneliti petualangannya habis-habisan, pria botak itu mulai me
ngundurkan diri dari benak Eragon.
Rabaan itu ditarik seperti serpihan kayu yang dicabut dari daging. Eragon menggigil, goyah, lalu jatuh ke depan ke lantai. Lengan-lengan yang kuat menahannya pada detik terakhir, menurunkannya ke marmer yang dingin. Ia mendengar Orik berseru dari belakang, "Kau keterlaluan! Ia tidak cukup kuat untuk ini,"
"Ia akan hidup. Hanya itu yang dibutuhkan," jawab pria botak itu singkat.
Terdengar dengus marah. "Apa yang kautemukan"" Sunyi.
"Well, apakah ia bisa dipercaya atau tidak""
Kata-katanya terlontar enggan. "Ia... bukan musuhmu,"
Terdengar desah lega di seluruh ruangan.
Mata Eragon mengerjap-ngerjap terbuka. Dengan hati-hati ia mendorong dirinya bangkit. "Pelan-pelan saja," kata Orik, sambil memeluk dan membantunya berdiri. Eragon bergoyang-goyang tidak mantap, memelototi pria botak itu. Geraman pelan terdengar dari tenggorokan Saphira.
Pria botak itu tidak mengacuhkan mereka. Ia berpaling kepada Murtagh, yang masih ditodong pedang. "Sekarang giliranmu."
Murtagh mengejang dan menggeleng. Pedang melukai lehernya. Darah menetes di kulitnya sendiri. "Tidak."
"Kau tidak akan dilindungi kalau menolak."
"Eragon sudah dinyatakan bisa dipercaya, jadi kau tidak bisa mengancam akan membunuhnya untuk mempengaruhi diriku. Karena kau tidak bisa melakukannya, tidak ada yang bisa kau katakan atau lakukan untuk meyakinkan diriku agar membuka pikiran."
Sambil mencibir, pria botak itu mengangkat apa yang seharusnya adalah alis, kalau saja ia memilikinya. Bagaimana dengan nyawamu sendiri" Aku masih bisa mengancam dengan itu."
"Tidak ada gunanya," kata Murtagh dengan dingin dan keyakinan yang begitu kuat hingga mustahil untuk meragukan kata-katanya.
Napas pria botak itu menyembur marah. "Kau tidak memiliki pilihan!" Ia melangkah maju dan menempelkan telapak tangannya di alis Murtagh, mengepalkan tangan untuk menahan Murtagh di sana. Murtagh menegang, wajahnya baru sekeras besi, tinjunya mengepal, otot-otot lehernya mengembung. Ia jelas sekali melawan serangan itu dengan segenap kekuatannya. Pria botak tersebut menyeringai murka dan frustrasi karena penawanan itu, jemarinya menghunjam tanpa kenal ampun ke dalam Murtagh.
Eragon mengernyit bersimpati, mengetahui tengah terjadi pertempuran di antara mereka. Kau tidak bisa membantunya" tanyanya pada Saphira.
Tidak bisa, kata Saphira lembut. Murtagh tidak mengizinkan siapapun memasuki pikirannya.
Orik merengut muram sambil mengawasi keduanya bertempur. Ilf carnz orodum," gumamnya, lalu melompat maju dan berseru, "Cukup!" Ia menyambar lengan si botak dan melepaskannya dari Murtagh dengan kekuatan yang tidak proporsional dengan ukurannya.
Pria botak itu terhuyung mundur, lalu berbalik memandang Orik dengan murka. "Beraninya kau!" teriaknya. "Kau meragukan kepemimpinanku, membuka gerbang tanpa izin, dan sekarang ini! Kau tidak menunjukkan apa pun kecuali pemberontakan dan pengkhianatan. Menurutmu rajamu akan melindungi dirimu sekarang"'
Orik meradang. "Kau berniat membiarkan mereka tewas! Kalau aku menunggu lebih lama lagi, para Urgal itu sudah menghabisi mereka." Ia menunjuk Murtagh, yang terengahengah. "Kita tidak berhak menyiksanya untuk mendapatkan informasi apa pun! Ajihad tidak akan mengizinkannya. Tidak sesudah kau memeriksa Penunggang dan mendapatinya bebas dari kesalahan. Dan mereka membawa Arya kepada kita."
"Apakah kau akan mengizinkannya masuk tanpa diuji" Apakah kau begitu bodoh hingga mempertaruhkan kita semua"" tanya pria botak itu. Matanya tampak liar karena kemurkaan yang ditahan: ia tampaknya siap mencabik-cabik kurcaci itu hingga berkeping-keping.
"Apakah ia bisa menggunakan sihir"" raung Orik, suaranya yang dalam menggema di ruangan. Wajah pria botak itu tiba-tiba berubah tanpa ekspresi. Ia menggenggam tangannya sendiri di belakang punggung.
"Tidak" "Kalau begitu apa yang kautakuti" Mustahil ia melarikan diri, dan ia tidak bisa melakukan kejahatan apa pun terhadap kita semua di sini, terutama kalau kekuatanmu sehebat yang kaukatakan. Tapi jangan dengarkan pendapatku; tanyakan pada Ajihad apa yang diinginkannya."
Pria botak itu menatap Orik seje
nak, wajahnya tidak bisa ditebak, lalu ia memandang langit-langit dan memejamkan mata. Kekakuan yang aneh terbentuk di bahunya sementara bibirnya bergerak-gerak tanpa suara. Kerutan yang dalam timbul pada kulitnya yang pucat di atas mata, dan jemarinya mengepal, seakan mencekik musuh yang tidak terlihat. Selama beberapa menit ia berdiri dalam keadaan seperti itu, berkamunikasi tanpa suara.
Sewaktu matanya terbuka kembali, ia mengabaikan Orik dan memerintah para prajurit, "Pergi, sekarang!" Sementara mereka keluar melalui ambang pintu, ia berkata kepada Eragon dengan dingin, "Karena aku tidak bisa menyelesaikan pemeriksaanku, kau dan... temanmu tetap tinggal di sini malamini. Ia akan dibunuh kalau mencoba pergi." Dengan kata-kata itu ia berbalik dan berderap keluar ruangan, kulitnya yang pucat tampak kemilau terkena cahaya lentera.
"Terima kasih," bisik Eragon kepada Orik.
Kurcaci itu mendengus. "Akan kukirim makanan kemari." Ia menggumam serangkaian kata, lalu pergi, sambil menggeleng. Selot pintu sekali lagi dipasang di balik pintunya.
Eragon duduk, merasa bagai bermimpi akibat kejadian-kejadian dan perjalanan mereka yang dipaksakan hari ini. Kelopak matanya terasa berat. Saphira duduk di sampingnya.
Kita harus berhati-hati. Tampaknya di sini kita memiliki musuh yang sama banyaknya seperti di Kekaisaran. Eragon mengangguk terlalu kelelahan untuk berbicara.
Murtagh, matanya berkaca-kaca dan kosong, menyandarkan tubuhnya ke dinding seberang dan merosot ke lantai yang mengilap. Ia menempelkan lengan bajunya ke luka di lehernya untuk menghentikan perdarahan. "Kau baik-baik saja"" tanya Eragon. Murtagh mengangguk kaku. "Apa ada informasi yang didapat darimu""
"Tidak." "Bagaimana kau bisa menghalanginya" Ia kuat sekali.
"Aku... aku terlatih baik." Ada kepahitan dalam suara Murtagh.
Kesunyian menyelimuti mereka. Tatapan Eragon
terarah ke salah satu lentera di sudut. Pemikirannya melayang-layang hingga ia mendadak berkata, "Aku tidak membiarkan mereka mengetahui siapa dirimu."
Murtagh tampak lega. Ia menundukkan kepala. "Terima kasih tidak mengkhianati diriku."
"Mereka tidak mengenali dirimu."
"Ya." "Dan kau masih mengaku sebagai putra Morzan""
"Ya," kata Murtagh sambil mendesah.
Eragon hendak bicara, tapi berhenti sewaktu merasakan cairan panas menetes ke tangannya. Ia menunduk dan terkejut melihat setetes darah gelap bergulir dari kulitnya. Darah itu dari sayap Saphira. Aku lupa. Kau terluka! serunya, sambil bangkit dengan susah payah. Sebaiknya kusembuhkan dirimu terlebih dahulu.
Hati-hati. Mudah melakukan kesalahan kalau kau selelah ini. Aku tahu.
Saphira membentangkan salah satu sayapnya di lantai. Murtagh mengawasi sementara Eragon mengelus membran biru yang hangat itu, sambil berkata, "Waise heill," setiap kali menemukan lubang akibat anak panah. Untungnya, semua luka Saphira relatif mudah disembuhkan, bahkan luka yang di hidungnya.
Sesudah tugas itu selesai, ia merosot ke Saphira,terengah-engah. Ia bisa merasakan jantungnya berdetak keras. "Kuharap mereka segera mengantarkan makanan," kata Murtagh.
Eragon mengangkat bahu; ia terlalu kelelahan untuk merasalapar. Ia melipat lengan, merindukan berat Zar'roc di sisi tubuhnya. "Kenapa kau di sini""
"Apa"" "Kalau kau benar-benar putra Morzan, Galbatorix tidak akan membiarkan dirimu berkeliaran bebas di Alagaesia. Bagaimana kau bisa menemukan Ra'zac seorang diri" Kenapa aku tidak pernah mendengar ada di antara kaum Terkutuk yang memiliki anak" Dan apa yang kaulakukan di sini""
Suaranya akhirnya nyaris berteriak.
Murtagh mengusap wajah. "Ceritanya panjang."
"Kita tidak akan ke mana-mana," tukas Eragon.
Sudah terlalu larut untuk berbicara."
"Mungkin besok tidak ada waktu untuk bercakap-cakap." Murtagh memeluk kakinya dan menumpukan dagu dilutut, bergoyang-goyang sambil menatap lantai. "Bukan" katanya, tapi lalu menyela sendiri. "Aku tidak ingin disela... jadi buat dirimu merasa nyaman. Ceritaku cukup panjang Eragon bergeser ke sisi Saphira dan mengangguk. Saphira mengawasi mereka berdua dengan cermat.
Kalimat pertama Murtagh tergagap, tapi suaranya semakin kuat dan percaya d
iri seiring ceritanya. "Sepanjang yang kuketahui... aku satu-satunya anak dari Tiga Belas pelayan atau kaum Terkutuk, sebagaimana sebutan mereka. Munkin ada yang lainnya, karena Tiga Belas memiliki keahlian menyembunyikan apa pun yang ingin mereka sembunyikan, tapi kuragukan hal itu, karena alasan-alasan yang akan kujelaskan nanti.
"Orangtuaku bertemu di desa kecil, aku tidak pernah mengetahui di mana aku bepergian menangani urusan Raja. Morzan menunjukkan sedikit kebaikan kepada ibuku, tidak ragu lagi sekadar jebakan, sekadar untuk mendapatkan keyakinan ibuku, dan sewaktu ayahku pergi, ibuku mendampinginya. Mereka bepergian bersama selama beberapa waktu, dan sebagaimana sifat kejadian-kejadian seperti ini, ibuku sangat mencintainya. Morzan merasa gembira mengetahui hal ini, bukan saja karena ini memberinya puluhan kesempatan untuk menyiksa ibuku tapi juga karena ia mengenali keuntungan memiliki pelayan yang tidak akan mengkhianati dirinya.
"Oleh karena itu, sewaktu Morzan kembali ke istana Galbatorix, ibuku menjadi alat yang paling diandalkannya. Ayahku menggunakan ibuku untuk mengantarkan pesan-pesan rahasianya, dan ia mengajari ibuku sihir-sihir dasar, yang membantu ibuku hingga tetap tidak ketahuan dan, sesekali, mendapatkan informasi dari orang-orang. Ayahku berusaha sebaik-baiknya untuk melindungi ibuku dari anggota Tiga Belas yang lain, bukan karena ada perasaan apa pun terhadap ibuku, tapi karena mereka akan menggunakan ibuku melawannya, kalau ada kesempatan.... Selama tiga tahun segala sesuatu berjalan seperti ini, hingga ibuku hamil."
Murtagh diam sejenak, memuntir-muntir segumpal rambutnya. Ia melanjutkan dengan nada kaku, "Ayahku, kalau bukan yang lain, adalah pria yang licik. Ia mengetahui kehamilan menyebabkan ia dan ibuku terancam bahaya belum lagi bayinya yaitu aku. Jadi, di tengah malam, ayahku melarikan ibuku dari istana dan membawanya ke istananya sendiri. Begitu tiba di sana, ia memantrai istananya hingga tidak ada yang bisa memasukinya kecuali beberapa pelayan pilihan. Dengan cara ini kehamilan ibuku dirahasiakan dari semua orang kecuali Galbatorix.
"Galbatorix mengetahui kehidupan anggota Tiga Belas secara terinci: rencana mereka, pertempuran mereka-dan yang paling penting pikiran mereka. Ia menikmati melihat mereka saling bertempur dan sering membantu yang satu atau lainnya untuk kesenangannya sendiri. Tapi entah kenapa ia tidak pernah mengungkap keberadaanku.
"Aku dilahirkan pada waktunya dan diberikan pada bidan agar ibuku bisa kembali ke sisi Morzan. Ibuku tidak memiliki pilihan dalam hal ini. Morzan mengizinkannya mengunjungi diriku beberapa bulan sekali, tapi selebihnya kami dipisahkan. Tiga tahun lagi berlalu dalam keadaan seperti itu, selama itu ayahku memberiku... bekas luka di punggungku." Murtagh terdiam semenit sebelum melanjutkan.
"Aku pasti akan tumbuh dewasa dalam keadaan seperti itu kalau Morzan tidak dipanggil untuk memburu telur Saphira. Begitu ia pergi, ibuku, yang ditinggalkan, menghilang. Tidak ada yang mengetahui ke mana ia pergi, atau kenapa. Raja mencoba memburunya, tapi anak buahnya tidak bisa menemukan jejaknya, tidak ragu lagi karena latihan yang diberikan Morzan padanya.
"Pada saat kelahiranku, hanya lima dari seluruh anggota Tiga Belas yang masih hidup. Saat Morzan pergi, jumlah itu sudah berkurang hingga tiga; sewaktu akhirnya menghadapi Brom di Gil'ead ia satu-satunya yang masih tersisa. Para Terkutuk tewas dengan berbagai cara: bunuh diri, disergap, penggunaan sihir yang berlebihan... tapi sebagian besar akibat perbuatan Varden. Aku diberitahu bahwa Raja sangat marah atas kehilangan itu.
"Tapi, sebelum berita kematian Morzan dan yang lainnya tiba, ibuku kembali. Berbulan-bulan berlalu sejak ia menghilang. Kesehatannya merosot, seakan sakit parah, dan kondisinya terus memburuk. Dalam waktu beberapa hari ia meninggal."
"Apa yang terjadi sesudah itu"" Eragon bertanya.
Murtagh mengangkat bahu. "Aku tumbuh dewasa. Raja membawaku ke istana dan mengatur pemeliharaan diriku Terlepas dari itu, ia tidak pernah mengusikku."
"Kalau begitu kenapa kau pergi""
Tawa keras Murtagh mel edak. "Melarikan diri lebih tepat. Pada hari ulang tahun terakhirku, sewaktu usiaku delapan belas tahun, Raja memanggilku ke istananya untuk makan malam bersama. Pesan itu mengejutkan diriku karena sebelumnya aku selalu menjaga jarak dengan istana dan jarang sekali bertemu Raja. Kami pernah bercakap-cakap sebelumnya tapi selalu dalam jarak pendengaran para bangsawan yang menguping.
"Kuterima tawarannya, tentu saja, menyadari tidak bijaksana menolaknya. Hidangannya istimewa, tapi sepanjang acara pandangannya tidak pernah beralih dari diriku. Tatapannya membuatku gugup; rasanya seperti ia mencari-cari sesuatu yang tersembunyi dalam wajahku. Aku tidak tahu harus berbuat apa dan berusaha sebaik-baiknya memberikan percakapan yang sopan, tapi ia menolak berbicara, dan dalam waktu singkat aku berhenti berusaha.
"Sewaktu hidangan habis, kami akhirnya mulai berbicara. Kau tidak pernah mendengar suaranya, jadi sulit bagiku untuk membuatmu mengerti bagaimana rasanya. Kata-katanya memesona, seperti ular yang membisikkan kebohongan-kebohongan manis ke telingaku. Aku belum pernah mendengar orang yang lebih meyakinkan danmenakutkan. Ia menjalin visi: fantasi mengenai Kekaisaran sebagaimana yang dibayangkannya. Akan ada kota-kota yang indah dibangun di seluruh negeri, dipenuhi para prajurit, penghibur, musisi, dan filsuf terhebat. Para Urgal akhirnya akan dimusnahkan. Dan kekaisaran akan diperluas ke segala jurusan hingga mencapai seluruh Alagaesia. Kedamaian dan kemakmuran akan ada di mana-mana, tapi yang lebih hebat lagi, para Penunggang akan dipulihkan untuk mengatur kerajaan Galbatorix dengan halus.
"Dengan terpesona, kudengarkan ia selama waktu yang pasti berjam-jam. Sewaktu ia berhenti, dengan penuh semangat kutanyakan bagaimana para Penunggang akan dihidupkan kembali, karena semua orang mengetahui tidak ada telur naga yang tersisa. Pada saat itu Galbatorix berubah kaku dan menatapku sambil berpikir. Ia terdiam cukup lama, tapi lalu mengulurkan tangan dan bertanya, 'Apakah kau, oh putra temanku, mau membantuku menjadikan surga ini kenyataan"
"Sekalipun aku mengetahui sejarah di balik naiknya ia dan ayahku ke kekuasaan, mimpi yang digambarkannya padaku terlalu menarik, terlalu membujuk untuk bisa diabaikan. Semangat untuk misi ini memenuhi diriku, dan aku bersumpah akan mengabdi padanya. Jelas sekali merasa senang, Galbatorix memberkatiku, lalu memerintahkan diriku pergi, dengan mengatakan, 'Akan kupanggil dirimu saat kubutuhkan nanti.'
"Beberapa bulan berlalu sebelum ia memanggilku. Sewaktu panggilannya tiba, aku merasakan semua semangatku yang dulu kembali. Kami bertemu secara pribadi seperti sebelumnya, tapi kali ini ia tidak ramah atau memesona. Kaum Varden baru saja menghancurkan tiga brigade di selatan, dan kemurkaannya diobral habis-habisan. Ia memerintahku dengan suara yang mengerikan agar membawa satu detasemen pasukan dan menghancurkan Cantos, tempat para pemberontak diketahui sesekali bersembunyi. Sewaktu kutanyakan apa yang harus kami lakukan dengan orang-orang yang tinggal di sana dan bagaimana kami bisa mengetahui mereka bersalah atau tidak, ia berteriak, 'Mereka semua pengkhianat! Bakar mereka di tiang dan kubur abu mereka bersama kotoran!' Ia terus mengoceh, memaki-maki musuhnya dan menjelaskan bagaimana ia akan memusnahkan tanah setiap orang yang berniat buruk padanya.
"Nadanya begitu berbeda dengan apa yang kutemui sebelumnya; aku menjadi sadar kalau ia tidak memiliki belas kasihan atau pemikiran jangka panjang untuk mendapatkan kesetiaan orang-orang, dan ia memerintah semata-mata dengan kebrutalan yang dipandu nafsunya sendiri. Pada saat Itulah kuputuskan untuk melarikan diri darinya dan dari dirinya dan dari Uru'baen untuk selamanya.
Begitu aku tidak lagi berada di dekatnya, aku dan pelayanku yang setia, Tornac, bersiap-siap melarikan diri. Kami pergi malam itu juga, tapi entah bagaimana Galbatorix mengantisipasi tindakanku, karena ada prajurit yang menunggu
kami di luar gerbang. Ah, pedangku berlumuran darah, berkelebatan dalam siraman cahaya lentera yang suram. Kami mengalahkan orang-orang itu... tapi dalam pr
osesnya Tornac terbunuh. "Sendirian dan penuh duka, aku melarikan diri ke teman lama yang menyembunyikan diriku di rumahnya. Selama bersembunyi, aku mendengarkan dengan hati-hati setiap isu, mencoba memperkirakan tindakan Galbatorix dan merencanakan masa depanku. Selama waktu itu, aku mendapat kabar bahwa Ra'zac dikirim untuk menangkap atau membunuh seseorang. Teringat rencana Raja mengenai para Penunggang, kuputuskan untuk menemukan dan mengikuti Ra'zac, seandainya mereka berhasil menemukan naga. Dan begitulah caraku bertemu denganmu.... Aku tidak memiliki rahasia lagi."
Kita masih belum tahu apakah ia menceritakan yang sebenarnya,
Saphira memperingatkan. Aku tahu, kata Eragon, tapi untuk apa ia membohongi kita" Ia mungkin sinting.
Aku ragu begitu. Eragon mengelus sisik-sisik Saphira yang keras, mengawasi cahaya yang memantul di sana. "Jadi kenapa kau tidak bergabung dengan kaum Varden" Mereka tidak akan memercayai dirimu untuk sementara waktu, tapi begitu kau bisa membuktikan kesetiaanmu, mereka akan memperlakukan dirimu dengan hormat. Dan bukankah mereka bisa dikatakan sebagai sekutumu" Mereka berjuang untuk mengakhiri kekuasaan Raja. Bukankah itu yang kauinginkan"
"Haruskah kujelaskan semuanya kepadamu"" tanya Murtagh. "Aku tidak ingin Galbatorix mengetahui di mana aku berada, yang tidak terelakkan kalau orang-orang ini" mengatakan aku berpihak pada musuh-musuhnya, yang tidak pernah kulakukan." Ia terdiam sejenak, lalu berkata kesal, 'Para pemberontak ini bukan hanya berusaha menurunkan Raja tapi juga menghancurkan Kekaisaran... dan aku tidak menginginkan itu terjadi. Itu akan memicu kekacauan dan anarki. Raja memiliki kelemahan, ya, tapi sistemnya sangatlah bagus. Sedang mengenai dihormati kaum Varden: Ha! Begitu aku ketahuan, mereka akan memperlakukan diriku seperti penjahat atau lebih buruk lagi. Bukan hanya itu, kau dicurigai karena kita bepergian bersama!"
Ia benar, kata Saphira. Eragon mengabaikannya. "Tidak seburuk itu," katanya, berusaha terdengar optimistis. Murtagh mendengus merendahkan dan membuang muka. "Aku yakin mereka tidak akan- Kata-katanya terputus sewaktu pintu terbuka sedikit dari dua mangkok didorong masuk melalui celahnya. Sepotong roti dan sebongkah daging mentah didorong masuk sesudah itu, lalu pintunya kembali ditutup.
"Akhirnya" kata Murtagh, sambil melangkah ke makanan itu. Ia melemparkan dagingnya kepada Saphira, yang menyambarnya di udara dan menelannya sekaligus. Lalu Murtagh membagi rotinya menjadi dua, memberikan separo kepada Eragon, mengambil mangkoknya, dan kembali ke sudut ruangan.
Mereka makan sambil membisu. Murtagh menyantap makanannya dengan cepat. "Aku mau tidur," katanya, meletakkan mangkok tanpa mengatakan apa-apa lagi.
"Selamat malam," kata Eragon. Ia berbaring di samping Saphira, berbantalkan kedua lengan. Saphira melengkungkan lehernya yang panjang mengelilingi Eragon, seperti kucing melilitkan ekor ke tubuhnya sendiri, dan membaringkan kepalanya di samping kepala Eragon. Salah satu sayapnya membentang di atas Eragon bagai tenda biru, menyelimuti Eragon dalam kegelapan.
Selamat malam, makhluk kecil.
Eragon setengah tersenyum, tapi ia telah pulas.
KEMEGAHAN TRONJHEIM Eragon tersentak bangkit sewaktu mendengar geraman di telinganya. Saphira masih tidur, matanya bergerak-gerak tanpa melihat di balik kelopaknya, dan bibir atas Saphira bergetar, seakan hendak menyeringai. Eragon tersenyum, lalu tersentak sewaktu Saphira kembali menggeram. Ia pasti bermimpi, pikirnya tersadar. Ia mengawasi Saphira selama semenit, lalu dengan hati-hati menyelinap keluar dari bawah sayapnya. Ia berdiri dan menggeliat. Ruangan terasa dingin, tapi bukannya tidak menyenangkan. Murtagh berbaring terlentang di sudut seberang ruangan, matanya terpejam.
Saat Eragon melangkah mengitari Saphira, Murtagh bergerak menggeliat terbangun dan. "Pagi," sapanya tenang, sambil beranjak duduk.
"Sudah berapa lama kau terjaga"" tanya Eragon dengan suara pelan.
"Tidak lama. Aku terkejut Saphira tidak membangunkan dirimu lebih cepat."
"Aku sendiri cukup lelah untuk bisa tidur lelap di tengah badai, kata Eragon. Ia d
uduk di samping Murtagh dan menyandarkan kepala ke dinding. "Kau tahu pukul berapa sekarang""
Tidak. Mustahil mengetahuinya di dalam sini."
"Ada yang datang menemui kita""
"Belum." Mereka duduk berdampingan tanpa bergerak atau berbicara. Eragon merasakan keterikatan yang aneh dengan Murtagh. Aku membawa pedang ayahnya, yang seharusnya menjadi pedangnya... warisannya. Kami mirip dalam banyak hal, tapi penampilan dan cara kami dibesarkan berbeda total. Ia teringat bekas luka Murtagh dan menggigil. Orang macam apa yang tega berbuat begitu pada seorang anak"
Saphira mengangkat kepala dan mengerjapkan mata untuk menjernihkan pandangan. Ia mengendus-endus udara, lalu menguap lebar, lidahnya yang kasar menggulung di ujungnya. Ada yang terjadi" Eragon menggeleng. Kuharap mereka memberiku makanan lebih daripada sekadar camilan semalam. Aku cukup lapar untuk menghabiskan sekawanan sapi.
Mereka akan memberimu makan, Eragon menenangkannya.
Sebaiknya begitu. Saphira menempatkan diri di dekat pintu dan duduk menunggu, ekornya melecut-lecut. Eragon memejamkan mata, menikmati istirahatnya. Ia tidur sejenak, lalu bangun dan mondar-mandir. Bosan, ia memeriksa salah satu lentera. Lentera itu terbuat dari sebongkah kaca berbentuk air mata, kurang lebih dua kali besarnya sebutir jeruk, dan dipenuhi cahaya biru lembut yang tidak goyah ataupun berkelap-kelip. Empat rusuk logam yang ramping melilit di sekeliling kacanya, bertemu di bagian puncak membentuk kaitan kecil dan juga di bagian dasarnya tempat keempatnya menyatu menjadi tiga kaki yang anggun. Secara keseluruhan lentera itu sangat menarik.
Pemeriksaan Eragon disela suara-suara di luar ruangan. Pintu terbuka, dan selusin prajurit berbaris masuk. Pria pertama menelan ludah sewaktu melihat Saphira. Mereka diikuti Orik dan pria botak, yang menyatakan, "Kalian dipanggil menghadap Ajihad, pemimpin kaum Varden. Kalau kalian harus makan, lakukan sambil berjalan." Eragon dan Murtagh berdiri berdampingan, mengawasinya dengan waspada.
Di mana kuda-kuda kami" Dan apakah aku bisa mendapatkan pedang dan busurku lagi"" tanya Eragon.
Pria botak itu memandangnya marah. "Senjatamu akan dikembalikan sesudah Ajihad mengizinkan, tidak sebelumnya. Sedang mengenai kuda-kudamu, keduanya menunggu kalian di terowongan. Sekarang ikut!"
Sewaktu ia berbalik hendak pergi, Eragon bergegas bertanya,
"Bagaimana keadaan Arya""
Pria botak itu ragu-ragu. "Aku tidak tahu. Para tabib masih menanganinya." Ia keluar ruangan, ditemani Orik.
Salah seorang prajurit memberi isyarat. "Kau lebih dulu." Eragon melangkah keluar melalui pintu, diikuti Saphira dan Murtagh. Mereka kembali melintasi lorong yang mereka lalui semalam, melewati patung hewan berbulu. Sewaktu mereka tiba di terowongan raksasa tempat mereka memasuki pegunungan pertama kalinya, pria botak itu menunggu bersama Orik, yang memegang kekang Tornac dan Snowfire.
"Kalian berkuda satu per satu di tengah terowongan," kata si pria botak. "Kalau kalian mencoba pergi ke tempat lain, kalian akan dihentikan." Sewaktu Eragon hendak menaiki Saphira, pria botak itu berteriak, "Tidak! Naik kudamu sebelum kuperintahkan sebaliknya."
Eragon mengangkat bahu dan mengambil kekang Snowfire. Ia naik ke pelana, membimbing Snowfire ke depan Saphira, dan memberitahu naga itu, Jangan jauh-jauh seandainya aku membutuhkan bantuanmu.
Tentu saja, kata naga itu.
Murtagh menaiki Tornac di belakang Saphira. Pria botak itu memeriksa barisan kecil mereka, lalu memberi isyarat kepada para prajurit, yang terbagi dua untuk mengepung mereka, menghindari Saphira sejauh mungkin. Orik dan si pria botak berjalan ke bagian depan prosesi.
Sesudah memandang mereka sekali lagi, pria botak itu bertepuk tangan dua kali dan mulai berjalan. Eragon menepuk Saphira pelan di sisi tubuhnya. Seluruh kelompok berjalan ke jantung pegunungan. Gema memenuhi terowongan saat kuku-kuku kuda menghantam lantai yang keras, suara yang diperkuat lorong yang kosong itu. Pintu dan gerbang sesekali menyela kehalusan dinding, tapi semuanya selalu tertutup.
Eragon tertegun melihat ukuran terowongan itu, yang digali dengan keahlian yan
g sangat tinggi dinding, lantai, dan langit-langitnya digali dengan ketepatan tanpa cacat dan sepanjang yang bisa dikatakannya, terowongan itu tidak menyimpang arahnya bahkan satu inci pun.
Sewaktu mereka berjalan, harapan Eragon mengenai pertemuannya dengan Ajihad semakin besar. Pemimpin kaum Varden itu sosok yang misterius bagi orang-orang di Kekaisaran. Ia memegang kekuasaan selama hampir dua puluh tahun dan sejak awal mengadakan perang yang hebat terhadap Raja Galbatorix. Tidak ada yang mengetahui dari mana asalnya atau bahkan bagaimana tampangnya. Diisukan ia pakar strategi, prajurit yang brutal. Dengan reputasi seperti itu, Eragon merasa khawatir tentang bagaimana penerimaan terhadap mereka nantinya. Meskipun begitu, mengetahui Brom cukup memercayai kaum Varden hingga mengabdi pada mereka membantunya meredakan ketakutannya.
Melihat Orik lagi, memicu timbulnya pertanyaan-pertanyaan baru dalam benaknya. Terowongan itu jelas hasil karya kurcaci, tidak ada lagi yang bisa menggali dengan keahlian setinggi itu tapi apakah para kurcaci merupakan bagian dari kaum Varden, atau mereka sekadar memberi tempat perlindungan" Dan siapa raja yang disinggung-singgung Orik" Apakah Ajihad" Eragon sekarang memahami alasan kenapa kaum Varden tidak pernah terungkap adalah karena menyembunyikan diri di bawah tanah, tapi bagaimana dengan para elf" Di mana mereka"
Selama hampir satu jam pria botak itu membimbing mereka menyusuri terowongan, tidak pernah menyimpang atau berbelok. Kita mungkin sudah menempuh jarak sejauh tiga mil, Eragon tersadar. Mungkin mereka membawa kami melintasi pegunungan! Akhirnya cahaya putih lembut terlihat di depanmereka. Ia mengerahkan daya pandangnya, mencoba mengenali sumbernya, tapi cahaya itu masih terlalu jauh untuk bisa melihat rincian apa pun. Cahaya itu semakin kuat saat mereka semakin mendekatinya.
Sekarang ia bisa melihat pilar-pilar marmer tebal yang dihiasi batu rubi dan ametis berjajar di sepanjang dinding. Berpuluh-puluh lentera menggantung di sela-sela pilar, memenuhi sekitarnya dengan cahaya yang terang benderang. Lampu emas berkilau di bagian dasar pilar seperti benang emas yang dicairkan. Pada lengkungan langit-langit terdapat ukiran kepala gagak, paruh mereka terbuka membentuk jeritan. Di ujung lorong terdapat dua pintu hitam raksasa, yang semakin menonjol karena garis-garis perak kemilau yang menggambarkan mahkota berujung tujuh yang membentang hingga kedua pintu.
Pria botak itu berhenti dan mengangkat satu tangan. Ia berpaling kepada Eragon. "Sekarang kau harus menunggang nagamu. Jangan mencoba terbang pergi. Akan ada orang-orang yang mengawasimu, jadi ingat siapa dan apa dirimu."
Eragon turun dari Snowfire, lalu naik ke punggung Saphira. Kupikir mereka ingin memamerkan kita, kata Saphira sementara Eragon duduk di pelana.
Kita lihat saja. Kalau saja Zar'roc ada padaku, jawabanya, sambil mengeratkan tali-tali di sekeliling kakinya.
Mungkin lebih baik kalau kau tidak menyandang pedang Morzan sewaktu kaum Varden pertama kali melihat dirimu.
Benar. "Aku siap," kata Eragon, sambil menegakkan bahu.
"Bagus," kata pria botak itu. Ia dan Orik pindah ke kedua sisi Saphira, berdiri cukup jauh ke belakang hingga jelas bahwa Saphira yang memimpin jalan. 'Sekarang berjalanlah ke pintu itu, dan begitu pintunya terbuka, ikuti jalannya.
Berjalanlah pelan-pelan. Siap" tanya Eragon. Tentu saja. Saphira mendekati pintu dengan langkah yang hati-hati. Sisik-sisiknya tampak kemilau ditimpa cahaya, menghamburkan warna-warna yang menari-nari di pilar-pilar. Eragon menghela napas dalam untuk menenangkan saraf.
Tanpa peringatan, pintu-pintu membuka keluar pada engsel-engsel yang tersembunyi. Saat celah di antaranya melebar, berkas cahaya matahari menghambur masuk ke terowongan, mengenai Saphira dan Eragon. Buta sementara, Eragon mengerjapkan dan menyipitkan mata. Sewaktu matanya telah menyesuaikan diri dengan cahaya, ia tersentak.
Mereka berada di dalam kawah vulkanik raksasa. Dinding-dindingnya menyempit membentuk lubang bergerigi yang begitu tinggi hingga Eragon tidak mampu memperkirakan jaraknya mungkin lebih dari d
ua belas mil. Seberkas cahaya yang lembut menerobos masuk melalui lubang itu, menerangi bagian tengah kawah, walau bagian kawah sisanya tampak temaram.
Sisi seberang kawah, yang berwarna kebiruan dari kejauhan, tampaknya sekitar sepuluh mil jauhnya. Batang-batang raksasa setebal ratusan kaki dan ribuan kaki panjangnya menjuntai bermil-mil di atas mereka seperti pisau mengilap, Eragon mengetahui dari pengalamannya di lembah bahwa tidak seorang pun, bahkan Saphira, mampu mencapai lubang di atas. Lebih jauh di dinding bagian dalam kawah terdapat petak-petak lumut yang menutupi bebatuan.
Ia menurunkan pandangan dan melihat jalan setapak lebar dari batu-batu bulat yang membentang dari ambang pintu. Jalan setapak itu terbentang lurus ke tengah kawah, dan berakhir di dasar gunung seputih salju yang kemilau bagai intan mentah dengan ribuan warna-warni. Gunung itu tingginya kurang dari sepersepuluh tinggi kawah yang menjulang menutupi dan mengelilinginya, tapi penampilannya menipu, karena gunung itu tingginya satu mil lebih sedikit.
Walaupun panjang, terowongan itu hanya membawa mereka ke satu sisi dinding kawah. Sementara Eragon tertegun, ia mendengar Orik berkata dengan suara yang dalam, "Perhatikan baik-baik, manusia, karena tidak ada Penunggang yang pernah melihat pemandangan ini selama lebih dari seratus tahun. Kita berada di bawah puncak berangin bernama Farthen Dur, ditemukan ribuan tahun yang lalu oleh leluhur ras kami, Korgan, sewaktu ia menggali terowongan mencari emas. Dan di tengahnya berdiri prestasi terhebat kami: Tronjheim, gunung kota yang dibangun dari marmer paling murni."
Pintu-pintu berhenti bergerak.
Kota! Lalu Eragon melihat kerumunan. Ia begitu terpesona dengan pemandangan itu hingga tidak menyadari lautan orang yang berkerumun di depan pintu masuk terowongan. Mereka berjajar di sepanjang jalan setapak dari batu-batu bulat. Kurcaci dan manusia berjejalan seperti pepohonan di rumpunnya. Ada ratusan... ribuan jumlahnya. Setiap mata, setiap wajah terfokus pada Eragon. Dan mereka semua membisu.
Eragon mencengkeram pangkal salah satu duri leher Saphira. Ia melihat anak-anak mengenakan jubah kotor, para Pria kekar dengan buku jari kapalan, wanita berpakaian buatan sendiri, dan kurcaci-kurcaci pendek kekar yang mengelus-elus janggut. Mereka semua menampilkan ekspresi tegang yang sama tegangnya dengan ekspresi hewan terluka saat berada di dekat pemangsa tanpa ada jalan melarikan diri untuk menyelamatkan hidupnya.
Keringat bergulir menuruni wajah Eragon, tapi ia tidak berani bergerak untuk mengusapnya. Apa yang harus kulakukan" tanyanya panik.
Senyum, angkat tanganmu atau apa sajalah! jawab Saphira ketus.
Eragon mencoba memaksa diri tersenyum, tapi bibirnya hanya berkedut. Dengan mengumpulkan keberanian, ia mendorong satu tangan Ke udara, menyentakkannya hingga melambai sedikit. Sewaktu tidak terjadi apa-apa, dengan wajahnya memerah karena malu, ia menurunkan lengan, dan menunduk.
Sorakan tunggal terdengar memecah kesunyian. Ada yang bertepuk tangan dengan keras. Sejenak kerumunan orang ragu-ragu, lalu sorakan riuh menyapunya, dan gelombang suara melanda Eragon.
"Bagus sekali," kata si pria botak dari belakangnya. "Sekarang berjalanlah."
Dengan perasaan lega, Eragon duduk lebih tegak dan dengan main-main bertanya kepada Saphira, Apakah sebaiknya kita berangkat" Saphira melengkungkan lehernya dan melangkah maju. Saat mereka melewati deretan pertama orang-orang, naga itu melirik ke setiap sisi dan mengembuskan kepulan asap. Kerumunan orang terdiam dan menyurut mundur, lalu kembali bersorak-sorak, antusiasme mereka semakin besar.
Tukang pamer, tegur Eragon. Saphira mengibaskan ekor dan tidak mengacuhkannya. Eragon memandang penasaran ke arah kerumunan yang berdesakan sementara Saphira berjalan menyusuri jalan setapak. Kurcaci jauh lebih banyak daripada manusia dan banyak di antaranya yang memelototi dirinya dengan penuh kebencian. Beberapa kurcaci malah berbalik memunggunginya dan berlalu dengan ekspresi sekaku batu.
Para manusianya keras dan tangguh. Semua pria menyandang pedang pendek atau pisau di pinggang; banyak y
ang bersenjata siap perang. Para wanita bersikap bangga, tapi mereka tampak menyembunyikan kelelahan yang mendalam. Beberapa anak dan bayi menatap Eragon dengan mata yang besar. Ia yakin orang-orang ini menjalani kehidupan yang keras dan mereka akan melakukan apa saja yang diperlukan untuk mempertahankan diri.
Kaum Varden menemukan tempat persembunyian yang sempurna. Dinding-dinding Farthen Dur terlalu tinggi bahkan untuk diterbangi naga, dan tidak ada pasukan yang mampu untuk menghancurkan atau mendobrak pintu masuknya, seandainya mereka berhasil menemukan pintu rahasianya sekalipun.
Kerumunan mengikuti dirinya dari jarak dekat, tapi tetap memberi Saphira ruang yang cukup luas. Perlahan-lahan orang-orang mulai membisu, meski perhatian mereka tetap terarah pada Eragon. Ia berpaling dan melihat Murtagh berkuda dengan kaku, wajahnya pucat.
Mereka mendekati gunung kota, dan Eragon melihat marmer putih Tronjheim divernis mengilap dan dibentuk dalam kontur, dihiasi puluhan jendela bulat yang dikelilingi ukiran rumit. Lentera berwarna tergantung di setiap jendela, memancarkan cahaya lembut ke batu di sekelilingnya. Tidak ada cerobong atau kepulan asap yang terlihat. Tepat di depan, dua singa bertanduk dari emas, setinggi tiga puluh kaki, menjaga pintu kayu raksasa pada ceruk sedalam dua puluh yard memasuki dasar Tronjheim. Pintu itu dibayangi balok-balok tebal yang mendukung langit-langit melengkung tinggi di atas kepala.
Sewaktu mereka tiba di dasar Tronjheim, Saphira diam sejenak untuk melihat apakah ada perintah lagi dari si pria botak. Karena tidak ada, ia melanjutkan perjalanan ke gerbang. Dinding-dindingnya dibatasi beberapa pilar merah darah. Di antara pilar-pilar itu terdapat beberapa patung makhluk yang aneh, abadi selamanya oleh pahatan si pematung.
Gerbang yang berat itu terbuka dengan suara menggemuruh di depan mereka saat rantai tersembunyi perlahan-lahan mengangkat balok raksasa penahannya. Lorong setinggi empat tingkat membentang langsung ke pusat Tronjheim. Ketiga tingkat teratas dipenuhi berderet-deret ambang pintu melengkung yang menampilkan terowongan-terowongan kelabu yang membentang ke kejauhan. Orang-orang berjejalan di lengkungan-lengkungan itu, dengan penuh semangat mengawasi Eragon dan Saphira. Tapi di tingkat dasar, lengkungan-lengkungan itu ditutup pintu-pintu yang kokoh. Tirai dinding yang meriah menjuntai di antara setiap tingkat, dibordir dengan berbagai sosok pahlawan dan adegan pertempuran Sengit.
Sorakan menggemuruh terdengar di telinga mereka saat Saphira melangkah ke lorong dan menyusurinya. Eragon
mengangkat tangan, memicu sorakan lagi dari kerumunan orang, sekalipun banyak di antara para kurcaci yang tidak ikut berteriak menyambut.
Lorong sepanjang satu mil itu berakhir di ambang pintu melengkung yang diapit pilar dari onyx hitam. Batu zircon
kuning setinggi tiga manusia bertengger di puncak tiang-tiang gelap itu, menebarkan berkas cahaya keemasan hingga sepanjang lorong. Saphira melangkah memasuki ambang pintu, lalu berhenti dan menjulurkan lehernya ke belakang, menggumam Pelana dalam dadanya.
Mereka berada di ruangan bulat, mungkin seribu kaki diameternya, yang menjulang hingga puncak Tronjheim satu mil di atas kepala, semakin tinggi semakin menyempit. Dinding-dindingnya dijajari lengkungan-lengkungan, sebaris untuk setiap tingkat gunung kota itu dan lantainya terbuat dari batu carnelian yang dipoles, di mana diukirkan palu yang dikelilingi dua belas bintang perak bersudut lima, seperti yang ada di helm Orik.
Ruangan itu merupakan titik temu empat lorong termasuk lorong yang baru saja mereka tinggalkan dan membagi Tronjheim menjadi bangsal-bangsal. Lorong-lorongnya identik kecuali lorong yang ada di seberang Eragon. Di sebelah kanan dan kiri aula itu terdapat ambang pintu melengkung yang tinggi dan terbuka ke tangga turun, yang mirip satu sama lain saat semakin turun ke bawah tanah.
Di puncak langit-langitnya terdapat batu safir bintang fajar berukuran raksasa. Perhiasan itu dua puluh meter diameternya dan tebalnya juga begitu. Permukaannya diukir mirip mawar yang mekar penuh, dan penguk
irnya begitu ahli hingga mawar itu terasa nyaris nyata. Jajaran lentera yang lebar mengelilingi tepi safir itu, yang memancarkan cahaya kemerahan ke segala sesuatu di bawahnya. Berkas-berkas cahaya bintang di dalam perhiasan itu menyebabkan batu permata tersebut tampak seperti mata raksasa yang memandang ke bawah, ke arah mereka.
Eragon hanya bisa ternganga keheranan. Tidak ada yang mempersiapkan dirinya untuk ini. Rasanya mustahil Tronjheim dibangun oleh makhluk yang fana. Gunung kota itu mengecilkan segala sesuatu yang telah dilihatnya di Kekaisaran. Ia ragu Uru'baen sekalipun bisa menyamai kekayaan dan kemegahan yang dipamerkan di sini. Tronjheim merupakan monumen yang luar biasa akan kekuatan dan ketekunan para kurcaci.
Pria botak itu berjalan ke depan Saphira dan berkata, "Kau harus berjalan kaki dari sini." Terdengar ejekan di mana-mana dari para penonton ketika ia berbicara. Seorang kurcaci mengambil Tornac dan Snowfire. Eragon turun dari saphira tapi berdiri di sampingnya sementara pria botak itu mengajak mereka menyeberangi lantai carnelian ke lorong di sebelah kanan.
Mereka mengikutinya sejauh beberapa ratus kaki, lalu memasuki lorong yang lebih kecil. Para penjaga mereka tetap ada walaupun ruangannya sekarang sempit. Sesudah empat tikungan yang tajam, mereka tiba di depan pintu besar dari kayu pinus, kehitaman karena tua. Si pria botak menariknya hingga terbuka dan memerintahkan semua orang kecuali para pengawal untuk masuk kedalam ruangan.
AJIHAD Eragon memasuki ruang kerja yang anggun, dua tingkat, yang dindingnya dipenuhi rak-rak buku dari kayu pinus. Tangga besi melingkar ke sebuah balkon kecil di mana terdapat dua kursi dan meja membaca. Lentera-lentera putih menggantung di sepanjang dinding dan langit-langit hingga buku bisa dibaca di mana pun di ruangan itu. Di ujung seberang ruangan, seorang pria berdiri di belakang meja kayu walnut besar.
Kulitnya mengilap bagai kayu eboni yang diminyaki. Puncak kepalanya dicukur gundul, tapi janggut hitam pendek menutupi dagu dan bibir atasnya. Raut yang kokoh menghiasi wajahnya, dan mata yang muram tapi cerdas mengintai dari balik alisnya. Bahunya lebar dan kokoh, diperkuat rompi merah berbordir benang emas yang menutupi kemeja umgu indah. Sikapnya sendiri memancarkan keanggunan, kemampuan memimpin.
Iblis Sungai Telaga 7 Empat Serangkai - Rahasia Lorong Spiggy The Secret Of Spiggy Holes Pedang Hati Suci 12