Pencarian

Gaung Keheningan 1

Gaung Keheningan Eloquent Silence Karya Sandra Brown Bagian 1


GAUNG KEHENINGAN Eloquent Silence by Sandra Brown Bab Satu "Menurutmu, suamimu tahu tentang hubungan kita, Sayang"" Pria itu mengecup kening kekasihnya sambil memeluknya dengan penuh kerinduan.
"Kalaupun dia tahu, aku tidak peduli," seru wanita itu. "Aku capek sembunyi-sembunyi. Aku ingin memberitahu semua orang tentang cinta kita."
"Oh, cintaku, cintaku." Pria itu menunduk. Hidungnya bertabrakan dengan hidung si wanita dengan cara yang sama sekali tidak romantis.
"Cuti" Lauri Parrish terlonjak mendengar perintah bernada kesal dari pengeras suara.
"Ada apa sih kalian" Mengapa tidak bisa melakukan semua adegan dengan benar" Sudah satu setengah jam kita membuat adegan sialan ini." Suasana hening, para artis dan kru jadi salah tingkah. "Aku akan turun."
Lauri mengamati dengan penuh minat waktu si aktris menoleh ke arah pemeran utama pria dan berkata sengit, "Aku yang seharusnya menghadap ke Kamera Satu, Drake. Bukan kau."
"Kalau begitu sebaiknya kau belajar berhitung dulu. Lois. Itu Kamera Tiga. Lagi pula, apa kau tidak takut Kamera Satu akan menampakkan bekas operasi plastik mukamu""
"Bangsat," desis si aktris sambil menerobos para juru kamera yang tersenyum geli dan melangkah cepat melintasi lantai beton studio televisi ke arah ruang ganti pakaian.
Seluruh kejadian tadi menggelitik rasa tertarik Lauri Parrish, yang takjub ketika mendapati dirinya berada di lokasi syuting The Heart's Answer, sinetron siang yang populer. Dia tidak pernah menonton televisi siang hari, karena dia selalu bekerja, tapi semua orang di Amerika tahu tentang acara ini. Banyak wanita karier sengaja mengatur jam makan siang mereka bertepatan dengan jam tayang drama ini supaya bisa tetap mengikuti petualangan seksual dan krisis pribadi Dr. Glen Hambrick.
Beberapa hari yang lalu, Dr. Martha Norwood, pendiri Norwood Institute for the Deaf-Institut Tuna Rungu Norwood-tempat Lauri jadi guru, memberinya tawaran pekerjaan menjadi tutor pribadi.
"Kita punya siswa di sini, Jennifer Rivington, yang ingin dikeluarkan ayahnya dari sekolah."
"Saya tahu siapa Jennifer," kata Lauri. "Dia hanya menderita tuli parsial, tapi sama sekali tidak mau berkomunikasi."
"Karena alasan itu ayahnya sangat prihatin."
"Ayah" Tidak ada ibu""
Dr. Norwood ragu-ragu sebentar sebelum berkata, "Tidak, ibunya sudah meninggal. Pekerjaan ayahnya
tidak biasa. Pria itu terpaksa menitipkan Jennifer pada kita sejak masih kecil. Anak itu tidak bisa menyesuaikan diri. Sekarang si ayah ingin mempekerjakan tutor pribadi untuk tinggal bersamanya di rumah. Kupikir kau mungkin berminat, Lauri."
Lauri mengerutkan sedikit alisnya yang berwarna merah kecokelatan. "Entahlah. Bisakah Anda lebih spesifik""
Wanita yang sudah beruban dan memiliki mata biru yang cerdas itu mengamati gurunya yang penuh dedikasi. "Saat ini tidak. Aku bisa memberitahumu bahwa Mr. Rivington ingin si tutor membawa Jennifer ke New Mexico dan tinggal di sana. Dia punya rumah di kota kecil di pegunungan." Dr. Norwood tersenyum lembut. "Aku tahu kau ingin meninggalkan New York. Dan kau jelas memenuhi syarat untuk menangani pekerjaan seperti ini."
Lauri tertawa pelan. "Karena besar di Nebraska, saya menganggap New York agak sesak dan ramai. Sudah delapan tahun saya di sini, tapi tetap saja saya merindukan tempat-tempat terbuka yang luas." Dia menyibakkan seuntai rambut merah kecokelatannya yang jatuh di kening. "Menurut pendapat saya, Mr. Rivington seperti mengelak dari kewajibannya mengurus anaknya sendiri. Apakah dia termasuk jenis orangtua yang membenci anaknya karena tuli""
Dr. Norwood menatap tangannya yang terawat rapi, yang saling menggenggam di permukaan meja kerjanya. "Jangan terlalu cepat menghakimi, Lauri." dia menegur halus. Kadang-kadang pegawainya ini membiarkan dirinya termakan emosi. Lauri Parrish hanya punya satu kelemahan, yaitu terlalu cepat menarik kesimpulan. "Seperti kataku tadi, situasinya tidak biasa."
Dia berdiri, menandakan pertemuan telah selesai. "Kau tidak harus memutuskan hari ini, Lauri. Aku ingin kau mengamati Jennifer se
lama beberapa hari. Bertemanlah dengan dia. Setelah itu, kalau ada kesempatan, kurasa sebaiknya kau dan Mr. Rivington bertemu dan bicara."
"Saya- akan berpartisipasi sebanyak mungkin, Dokter Norwood."
Ketika Lauri sampai di pintu kaca buram, Dr. Norwood menghentikannya. "Lauri, seandainya kau ingin tahu, uang bukan masalah."
Lauri menanggapi dengan jujur. "Dokter Norwood, kalau saya menerima tugas mengajar privat, itu karena menurut saya itulah yang dibutuhkan si anak."
"Sudah kuduga," jawab Dr. Norwood, tersenyum.
Tadi pagi Dr. Norwood memberinya sepotong kertas berisi sebuah alamat dan berkata, "Pergilah ke alamat ini pukul tiga nanti. Cari orang bernama Mr. D. L. Rivington. Dia akan menunggu kedatanganmu."
Lauri terkejut waktu sopir taksi berhenti di alamat yang diberikannya dan dia melihat tempat itu berupa gedung berisi studio-studio untuk sebuah jaringan televisi. Dia memasuki gedung itu dengan perasaan penasaran tentang Mr. Rivington yang misterius. Ketika memberitahu resepsionis dia ingin bertemu pria itu, wanita muda yang cantik itu tampak bingung sebentar lalu mengikik ketika berkata, "Lantai tiga."
Lauri berjalan ke lift namun gadis tadi berkata, "Tunggu sebentar. Siapa nama Anda"" Lauri memberitahunya. Resepsionis itu menyusuri daftar yang diketik, lalu berkata, "Ini dia. Miss L. Parrish. Anda bisa langsung naik, tapi jangan berisik. Mereka masih mengambil gambar."
Lauri keluar dari lift dan mendapati dirinya berada di studio televisi luas. Dia terpesona melihat perlengkapan dan aktivitas di sana.
Studio yang seperti lumbung itu dibagi menjadi berbagai setting untuk sinetron itu. Satu setting dilengkapi dengan tempat tidur rumah sakit dan peralatan medis palsu. Setting yang lain berupa ruang tamu. Setting dapur mungil terletak cuma empat kaki dari situ. Dia berjalan ke sana kemari di studio, mengintip semua setting dengan rasa ingin tahu, berusaha tidak tersandung bermil-mil kabel yang terulur di lantai dan bergulung di sekitar kamera-kamera dan monitor-monitor studio.
"Hei, Manis, cari siapa"" tanya seorang juru kamera bercelana jins ketat dengan riang.
Karena kaget Lauri menjawab tergagap, "Saya... uh... ya. Mr. Rivington" Saya ingin bertemu dia."
"Mr. Rivington"" tiru juru kamera itu seolah Lauri mengucapkan sesuatu yang lucu. "Hebat. Kau sudah ditanyai di bawah"" Lauri mengangguk. "Kalau begitu kau boleh menemuinya. Bisa kau menunggu sampai kami menyelesaikan adegan ini"" "Saya... ya," kata Lauri.
"Tunggulah di sana, jangan mengeluarkan bunyi apa pun dan jangan menyentuh apa pun," juru kamera itu memperingatkan.
Lauri berdiri di belakang kamera-kamera yang difokuskan pada setting yang menurutnya tampak seperti ruang duduk rumah sakit.
Sekarang, selama jeda tak direncanakan ini, Lauri mengamati aktor pujaan jutaan wanita Amerika itu. Pria itu duduk santai di salah satu meja setting, sambil makan apel yang diambilnya dari keranjang di meja itu. Lauri ingin tahu apakah para penggemarnya akan tetap terpikat padanya kalau mereka mendengar Drake Sloan bicara begitu kasar pada sesama pemain. Tapi bukankah sikap kasar merupakan bagian dari daya tariknya" Dia adalah dokter macho yang bersikap seenaknya pada semua orang di rumah sakit fiktif itu. Tapi ia membuat setiap wanita bertekuk lutut dengan sikap dominan dan penampilannya yang seksi.
Lauri berpikir objektif, yah, wanita sebanyak itu tak mungkin salah. Pria itu memang memiliki daya tarik karena macho-nya-kalau kau suka tipe seperti itu. Penampilan fisiknya langsung menarik perhatian. Rambutnya berwarna kelabu-cokelat yang ganjil, namun disinari lampu studio warnanya jadi tampak hampir perak. Kontras dengan rambut perak aneh itu, alisnya tebal dan kumisnya berwarna gelap. Kumis itu cocok dengan bibir bawahnya yang tampak kurang ajar tapi seksi, yang menyebabkan para ibu rumah tangga, wanita karier, dan bahkan nenek-nenek bergairah. Bagian wajahnya yang paling memikat adalah matanya. Matanya berwarna hijau mencolok. Dalam gambar-gambar close-up, mata itu tampak bagai memancarkan api yang mampu melumerkan hati wani
ta paling dingin sekalipun.
Dari tempat pengamatannya di luar lingkaran lampu studio yang terang benderang, Lauri memandangi Drake Sloan ketika pria itu berdiri, menggeliat seperti kucing malas, dan melemparkan sisa apel ke keranjang sampah dengan jitu.
Lauri mencemooh kostumnya. Ia ragu dokter yang memakai celana panjang seketat itu bisa sigap mengobati orang sakit. Pakaian bedah berwarna hijaunya dibuat khusus untuk tubuhnya yang jangkung dan langsing. Leher kemejanya berbentuk V rendah yang menampakkan dada berbulu hitam. Mana mungkin pakaian seperti itu diizinkan di ruang operasi! pikir Lauri.
Mendengar suara orang sedang menghibur rekannya di belakangnya, Lauri berbalik. Pria yang diduganya tadi berbicara dari ruang kontrol sedang berjalan menuju setting sambil merangkul si aktris yang sakit hati.
"Dia tidak mau diarahkan," keluhnya. "Dia tahu masalah blocking, tapi begitu kamera dinyalakan, dia berbuat seenak perutnya."
"Aku tahu, aku tahu, Lois. Tidak bisakah kau menahan diri dan mentolerirnya demi aku"" tanya si sutradara dengan nada simpatik. "Mari kita selesaikan jadwal hari ini, lalu kita bicarakan persoalannya sambil minum-minum. Aku akan bicara dengan Drake. Oke" Nah. sekarang coba tunjukkan senyum manismu."
Rayuan gombal, Lauri mengomel dalam hati. Temperamen artis. Ia tahu sekali soal itu. Katakan pada mereka apa yang ingin mereka dengar dan redakan paranoia mereka sampai mereka kumat lagi.
Kedua orang itu bergabung dengan Drake Sloan di setting, dan mereka bertiga berdiskusi singkat. Kru, yang menikmati jeda dengan merokok, membaca majalah, atau mengobrol, kembali ke posisi mereka di balik kamera dengan mulai memasang headphone. Dari alat inilah masing-masing menerima instruksi dari sutradara di ruang kontrol.
Operator boom-microphone mengutak-atik peralatannya yang rumit. Dengan gerakan kaku dan tersendat-sendat, alat itu tampak seperti binatang prasejarah.
Sutradara mencium pipi Lois dan menjauhi setting. "Sebelum aku kembali ke atas, mari kita latih adegannya sekali lagi. Cium dia dengan mesra, Drake. Dia kekasihmu, ingat""
"Pernah kekasihmu makan piza anchovy, Murray""
Lois menjerit kesal. Kru tertawa terbahak-bahak. Murray berhasil menenangkannya lagi. Kemudian dia berkata, "Mulai."
Salah satu kamera pindah ke posisi baru yang menutupi pandangan Lauri. Meskipun semula ia tidak suka, ternyata sekarang dia tertarik pada sesi pengambilan gambar ini. Ia mengambil tempat yang pas agar dapat melihat dan mendengar dengan jelas. Kali ini setelah dialog hambar mereka selesai, Drake Sloan memeluk Lois dan menciumnya dengan ganas.
Jantung Lauri berdebar-debar ketika ia menatap bibir pria itu menutupi bibir si aktris. Orang yang melihat seperti bisa merasakan ciuman itu, seperti bisa membayangkan... Lauri bersandar di meja seting supaya pemandangannya lebih jelas. Suara benda pecah mengalihkan pandangan semua orang dari para aktor di setting. Mereka semua memandanginya!
Lauri melompat kaget, ketakutan karena telah menarik perhatian. Dia tadi tidak melihat vas kaca tinggi di meja. Sekarang benda itu pecah be-rantakan di lantai studio.
"Brengsek!" teriak Drake Sloan. "Apa lagi sekarang"" Dia mendorong Lois dan melintasi lantai studio dalam tiga langkah panjang dan mantap. Murray mengikutinya, kesabarannya habis, tapi ia tetap tenang. Si aktor memelototi Lauri dan wanita itu mengeret melihatnya. "Siapa-"
"Dia kemari untuk menemui Mr. Rivington," potong juru kamera yang tadi bicara dengan Lauri.
Mata hijau Drake Sloan yang gelap kini berkilat-kilat membuat Lauri terpaku. Mata pria itu melebar karena ingin tahu. "Mr. Rivington, heh"" Terdengar kru tertawa pelan. "Murray, aku tidak tahu kau mulai mengizinkan pramuka mengunjungi setting untuk acara jalan-jalan mereka." Kali ini kru tertawa keras.
Lauri tidak terkesan dengan selera humor Drake Sloan dan marah besar karena dia jadi objek leluconnya. Wajahnya sama merahnya dengan highlight rambutnya, dan mata cokelatnya menyipit memandang pria itu sementara dia merasa kemarahannya memuncak.
"Maaf saya telah mengg
anggu-kegiatan Anda," kata Lauri angkuh. Dia tidak tahu istilah untuk sesi pengambilan gambar ini, dan dia tidak peduli. Dia berpaling dari tatapan sinis Drake Sloan dan bicara pada Murray yang tampaknya sopan. "Saya Lauri Parrish dan saya diminta menemui Mr. Rivington di sini pada pukul 15.00. Saya minta maaf atas penundaan yang saya sebabkan."
"Cuma satu dari sekian banyak penundaan hari ini," kata pria itu, menghela napas berat. Lalu sambil sembunyi-sembunyi melirik Drake Sloan, ia berkata, "Mr. Rivington sedang sibuk. Maukah kau menunggunya di kantorku" Tidak lama lagi dia akan menemuimu."
"Ya, terima kasih," jawab Lauri. "Biar vas ini saya ganti dengan uang."
"Lupakan saja. Pergilah ke atas dan lewati ruang kontrol. Kantorku persis di seberang koridor."
"Terima kasih," ulang Lauri sebelum berputar dan, menyadari bahwa semua mata di studio memandangnya, menaiki tangga putar. Ketika dia tiba di atas, Murray sudah mengembalikan setiap orang ke posisi masing-masing.
Lauri sebetulnya ingin berhenti dan melihat-lihat panel kontrol-komputer yang menarik dan rumit. Berbagai monitor yang dipasang di atasnya membuat sutradara dapat melihat bagian mana yang disorot kamera-kamera, dan dia melihat wajah Drake Sloan. Ingin sekali rasanya dia menjulurkan lidah pada pria itu.
Lauri menjatuhkan diri ke satu-satunya kursi yang tersedia di kantor itu selain yang terbuat dari vinil pecah-pecah di balik meja kerja berantakan. Dia memandangi foto-foto berdebu di dinding yang menampakkan Murray bersama berbagai aktris, sutradara, dan orang penting.
Siapa sih sebetulnya si Mr. Rivington ini" Apakah dia eksekutif jaringan televisi" Teknisi" Bukan. Dia pasti orang berduit, karena Norwood Institute mahal. Dan Mr. Rivington mengasramakan Jennifer di sana, berarti melipattigakan biayanya. Bermenit-menit berlalu, dan Lauri sudah mulai tak sabar ketika mendengar pintu dibuka di belakangnya.
Drake Sloan berjalan masuk dan menutup pintu dengan tenang.
Lauri langsung berdiri. "Saya akan menemui-"
"Aku D.L. Rivington, ayah Jennifer."
Lauri merasa bibirnya membentuk huruf O kecil. Dia memandangi Drake Sloan sementara pria itu bersandar di pintu. Drake sudah berganti pakaian. Sekarang dia mengenakan jins dan sweter panjang. Lengannya yang longgar ditarik sampai siku.
"Kau tampak terkejut."
Lauri mengangguk. "Dokter Norwood tidak memberitahukan nama profesionalku padamu." Itu bukan pertanyaan. Pria itu tak sadar menggaruk telinganya. "Tidak, kurasa dia takkan berbuat begitu. Pantas saja dia takut kau punya kesan salah tentang aku. Aktor memiliki reputasi buruk, kau tahu." Sudut-sudut mulutnya naik seolah dia akan tersenyum, tapi gerakan itu lenyap secepat timbulnya. "Terutama kalau semua yang kaubaca di majalah penggemar benar. Tahukah kau bahwa aku memaksa pacarku yang sekarang melakukan aborsi minggu lalu" Setidaknya begitulah yang kubaca," katanya sinis.
Lauri masih terlalu kaget untuk bicara. Dengan masam dia memikirkan guru-guru lain di sekolah dan apa yang akan mereka katakan kalau tahu dia seruangan dengan Dr. Glen Hambrick/Drake Sloan.
Lauri selalu tenang dan kompeten-kecuali kalau emosinya sedang tinggi. Kalau begitu, kenapa dia berdiri di sini dengan tangan berkeringat yang saling menggenggam" Dia belum bergerak sejak pria itu memperkenalkan diri. Lidahnya seakan melekat di langit-langit mulutnya.
"Siapa tahu kau akan merasa senang, Miss Parrish, kuberitahu kau bahwa kau pun tidak sesuai dengan gambaranku." Dia maju dari pintu dan Lauri secara refleks mundur selangkah.
Pria itu melontarkan senyum yang membuat lesung pipi di pipi kanannya yang terkenal itu makin nyata. Dia tahu Lauri merasa canggung berduaan dengannya di kantor kecil ini. Lauri jadi kesal: Memangnya dia siapa" Dia tak mau terpesona bagai seorang penggemar fanatik di hadapan bintang rock idola dan tergagap-gagap seperti idiot. Toh Drake Sloan kalau melihat pakai mata juga. "Nama saya Ms. Parrish."
Pria itu mengangkat sebelah alisnya dengan geli dan bergumam, "Mestinya aku sudah tahu." Sikap soknya membuat Lauri jengkel.
Dia berkata dengan suara paling profesional, "Dokter Norwood mengutus saya kemari untuk membicarakan masalah Jennifer, Mr. Rivington."
"Drake. Kau ingin minum kopi"" Dia menunjuk mesin pembuat kopi tempat seteko kopi sehitam dan sepekat malam sedang dihangatkan. Lauri sebetulnya tidak mau, tapi sadar bahwa kalau memegang cangkir kopi, dia jadi tidak bisa meremas-remas tangannya sendiri.
"Ya, tolong." Pria itu berjalan ke meja kecil dan dengan sangsi memandang cangkir yang kebersihannya diragukan. Dia menuangkan kopi dan mengangkat alis sambil bertanya, "Krim" Gula""
"Krim." Dia menambahkan produk berbentuk bubuk itu ke dalam kopi dan mengaduknya dengan sendok plastik bernoda yang jelas sudah pernah digunakan untuk tujuan itu. Disodorkannya cangkir itu. Lauri menerimanya. Mula-mula dia tidak melepaskannya, melainkan terus memegangi cangkir sampai Lauri mendongak memandangnya. Lauri menelan ludah ketika untuk pertama kalinya menatap mata zamrud yang sekarang memantulkan bayangannya sendiri.
"Belum pernah aku melihat orang yang warna matanya sama dengan rambutnya," kata pria itu.
Lauri tahu rambut cokelatnya bagus. Warnanya sebetulnya cokelat kemerahan yang memudar ketika kena sinar matahari. Yang membuat dia lebih dari sekadar cewek berambut merah bagus adalah warna matanya. Warna cokelat matanya begitu muda sehingga tampak hampir seperti topaz sampai orang membandingkannya dengan rambutnya, ketika matanya menampakkan rona cokelat kemerahan yang tak biasa. Setelan linen kuning yang dipakainya menonjolkan rambut dan matanya dan mencerahkan rona wajahnya yang berwarna madu-apricot.
Terima kasih tidak bisa dibilang respons yang tepat untuk pernyataannya barusan, karena itu bukanlah pujian sungguhan. Lauri cuma tersenyum lemah dan berusaha lebih keras untuk menarik cangkir kopi dari tangannya. Pria itu menyerah dan berbalik untuk menuangkan kopi bagi dirinya sendiri.
"Ceritakan tentang putriku, Ms. Parrish," katanya, menekankan bentuk panggilan itu dengan sarkasme. Dia pergi ke balik meja kerja, duduk di kursi yang berderit-derit, dan menaikkan kaki ke meja.
Lauri duduk kaku dan tegak di kursi di hadapan pria itu. Dia menyesap kopi. Rasanya seburuk yang diduganya. Drake terkekeh melihatnya mengernyit. "Aku minta maaf untuk kualitasnya."
"Tidak apa-apa, Mr. SI-Rivington."
Lauri menatap cangkir kopi dan, waktu pria itu tidak mengatakan apa-apa, mendongak ke arahnya. Dia kaget waktu melihat Drake memakai bahasa isyarat untuk mengeja namanya. D-R-A-K-E. Alis berwarna gelap pria itu berkerut di atas matanya, yang tampak berkeras agar Lauri menggunakan nama depannya.
Lauri menjilat bibir dengan gugup, tersenyum sedikit, lalu menggunakan bahasa isyarat untuk mengucapkan Lauri. Pria itu menurunkan kaki, mencondongkan tubuh ke depan, menumpukan siku di meja, dan bertopang dagu.
Lauri memutuskan sekaranglah saat yang tepat untuk menguji keahlian Drake dalam bahasa isyarat. Dr. Norwood dengan bijaksana tidak mau bercerita banyak tentang Drake Rivington. Lauri sekarang mengerti bahwa penyelianya ingin dia punya pendapat sendiri tentang ayah Jennifer itu. Menggunakan gerakan perlahan dan jelas, Lauri bertanya padanya dalam bahasa isyarat, Apakah kau menggunakan bahasa isyarat dengan Jennifer"
"Aku tahu Jennifer, itu saja," katanya ketika Lauri berhenti.
Lauri mencoba lagi dan bertanya dalam bahasa isyarat, Berapa umur putrimu" Pria itu sama sekali tak bereaksi. Dia cuma duduk memandanginya dengan mata hijau yang tiba-tiba tanpa ekspresi. Lauri memberi isyarat, Apa warna rambutnya" Nihil. Apakah kau menyayangi Jennifer"
"Jennifer lagi. Maaf aku tidak tahu yang selebihnya. Kurasa ini artinya menyayangi" Dia menyilangkan lengan di dada seperti Lauri tadi.
"Ya, benar, Drake. Mulai sekarang, ini akan jadi namamu supaya kau tidak perlu mengejanya terus."
Dia membuat isyarat untuk huruf D dan menyen-tuhkannya ke tengah kening. "Ini daddy," katanya, menyentuh kening dengan ibu jari, jari-jari yang lain mengembang. "Kita kombinasikan keduanya. Mengerti""
Pria itu mengangguk. "Ini Lauri."
Lauri membuat huruf L dan mengelus bagian samping wajahnya dari tulang pipi sampai dagu. "Ini gadis" katanya, mengelus pipinya dengan ibu jari sementara tangannya mengepal longgar. "Kau lihat bagaimana kita mengkombinasi dua isyarat untuk membentuk nama seseorang""
"Yeah," kata Drake dengan nada bersemangat. "Untuk Jennifer kita membuat huruf J dengan kelingking, lalu isyarat ikal untuk menunjukkan rambut ikalnya."
"Persis!" Mereka saling tersenyum, dan sesaat mata mereka bertemu. Lauri merasa jauh di dalam tubuhnya ada perasaan menggelitik yang aneh namun menyenangkan. Sedetik dia tahu bagaimana perasaan wanita-wanita lain ketika menonton wajah tampan ini di layar televisi mereka tiap siang. Drake memang karismatik dan pria itu mengetahuinya, Jika dia tidak berhati-hati, Drake bisa menghalanginya
mengatakan hal-hal yang ingin disampaikannya. "Drake," dia menggunakan bahasa isyarat terus sekarang, bahkan sambil mengucapkannya, kebiasaan para guru yang mengajar para penderita tuna rungu.
"Dokter Norwood minta aku mengevaluasi kemajuan Jennifer. Aku sudah mengamatinya selama beberapa hari. Aku merasa pendapatku bersifat akademis, tapi hanya itu, sekadar pendapat. Biarpun demikian, 'aku akan berterus terang sepenuhnya padamu."
"Aku ingin kau begitu. Aku yakin kau sangat menganggap rendah ayah yang mengasramakan anaknya selama hampir tiga tahun, tapi aku menyayanginya. Dan aku ingin melakukan yang terbaik untuknya." Dia berdiri dan berjalan ke jendela. Memunggungi Lauri, dia memandang ke balik kaca kotor itu.
"Tolong lihat aku menggunakan bahasa isyarat, Drake. Itu akan membantumu mempelajarinya." Pria itu menghadapnya lagi seolah akan membantah, namun ternyata dia hanya mengangkat bahu dan kembali ke kursi.
Lauri melanjutkan dengan tenang. "Kau beruntung Jennifer tidak seratus persen tuli. Aku yakin kau sekarang sudah tahu bahwa ketuliannya adalah tipe saraf sensorik yang, pada saat ini, tidak bisa diobati. Dia dapat mendengar beberapa suara keras. Misalnya dia dapat membedakan suara helikopter dan siulan." Dia berhenti sejenak untuk melihat apakah pria itu akan berkomentar. Ternyata tidak, jadi dia meneruskan, "Sayangnya dia tidak tahu nama untuk siulan atau helikopter. Atau mungkin dia tahu dan cuma tidak memberitahu kita bahwa dia tahu. Dia hampir sama sekali tidak responsif terhadap komunikasi apa pun."
Garis-garis di kedua sisi mulut Drake menegang. "Maksudmu dia terbelakang""
Tidak, sama sekali tidak," Lauri menekankan. "Dia luar biasa pintar. Aku berpendapat bahwa dia kurang dalam hal... Ada anak yang perlu diajar secara privat. Aku pribadi merasa pengasramaan Jennifer merusak kemampuannya. Dia butuh berada di lingkungan rumah di mana dia secara terus-menerus ditemani seseorang yang... yang..." suaranya menghilang, dia tidak ingin mengatakan apa yang menurutnya mungkin akan menyinggung perasaan Drake.
"Yang menyayanginya" Itukah yang sulit kaukatakan" Sudah kubilang aku menyayanginya. Aku memasukkannya ke asrama sekolah bukan karena malu padanya."
"Aku tidak bermaksud-"
"Tentu saja iya!" bentak Drake. "Karena kau begitu pandai, coba beritahu aku apa yang harus dilakukan seorang duda terhadap anaknya yang masih kecil" Terutama kalau si anak tuna rungu, hah" Sekolah mewahmu itu mahal, kau tahu. Aku harus banting tulang untuk membayarnya. Dan tagihan-tagihan medis setelah puluhan tes yang tidak memberitahumu apa-apa selain bahwa gadis kecilmu tuli, fakta yang sudah kauketahui, karena kalau belum kau takkan menyuruhnya menjalani tes-tes mengerikan itu."
Dia berhenti untuk menarik napas, mata hijaunya berkilat menyeramkan. "Paling tidak kita menyepakati satu hal. Jennifer perlu diajar secara privat."
Dia tiba-tiba berdiri, membuat kursi berdecit-decit meluncur ke belakang. "Tapi gurunya bukan kau."
Ia menyerbu dari balik meja dan menumpukan lengannya yang kuat di kedua sisi kursi Lauri, membuatnya terperangkap di situ.
"Aku memberitahu Dokter Norwood kalau aku menginginkan orang yang bertanggung jawab. Aku mencari tipe guru yang keibuan yang memakai sweter longgar berkantong
besar-bukan cewek yang memakai setelan buatan desainer." Matanya menyusuri tubuh Lauri dengan pandangan melecehkan. "Orang yang rambut berubannya disanggul rapi, bukan rambut merah manyala berpotongan canggih yang melambai-lambai. Orang yang agak gemuk dengan tubuh gempal, keibuan, bukan payudara kecil menantang dan pantat kencang." Lauri merah padam karena marah dan malu. Berani-beraninya dia!
"Tutor Jennifer seharusnya memiliki pergelangan kaki besar dan memakai sepatu datar, bukan-" Ia menunjuk betis Lauri yang ramping, terbungkus stocking tipis, dan sandal tali berhak tinggi yang dipakainya. "Kau tidak kelihatan seperti tutor untuk anak tuna rungu. Kau kelihatan seperti gadis yang membagikan contoh parfum di Bergdorf's."
Pria itu makin mencondongkan tubuh sampai kepala mereka nyaris bersentuhan. Sebelum Lauri sempat bereaksi, pria itu membenamkan wajahnya di rambut lembut di belakang telinga Lauri. "Kau juga wangi seperti mereka," ia berbisik serak.
Sesaat Lauri tak bisa bernapas. Tapi ketika dia akhirnya bisa, aroma Drake menyelimutinya. Aroma itu bersih, khas, dan jantan. Kenapa dia ini" Dia menyentakkan kepala dari pria itu.
"Kau-Biarkan aku bangkit sekarang juga," perintahnya, mendorong dada bidang Drake. Pria itu menegakkan tubuh dan menjauh dari kursi yang langsung ditinggalkan Lauri. Ia menarik napas dalam-dalam beberapa kali untuk menenangkan diri sebelum berkata, "Mungkin aku memang tidak sesuai harapanmu, tapi kau jelas sesuai dengan dugaanku, Mr. Sloan." Dia mengucapkan nama pria itu dengan nada mengejek.
"Kau tidak pantas memiliki putrimu. Dia cantik, pintar, dan manis. Tapi dia menderita. Kau dengar aku" Dia menderita secara emosional karena satu-satunya orangtuanya tidak mau berusaha mempelajari bahasa yang dia mengerti, apalagi berusaha mengajarkan bahasa itu padanya. Orangtua seperti kaulah yang membuat pendidikan tuna rungu kembali ke zaman Helen Keller. Aku guru-" "Kau masih muda." "Aku wanita-"
"Ah, sekarang kita sampai ke poin berikut," katanya, menuding Lauri dengan sikap menuduh. "Kau jangan berpura-pura tidak suka aku menyentuhmu. Aku lebih tahu. Bagaimana aku tahu bahwa kalau aku mempekerjakanmu di New Mexico sana, kau takkan kabur dengan bujangan pertama yang mendekatimu" Itu kan yang sebenarnya diinginkan semua gadis karier liberal" Suami""
Lauri bisa merasakan amarahnya menyala sampai ke akar rambutnya. "Aku pernah bersuami. Pernikahanku tidak terlalu bahagia."
"Kau bercerai""
"Dia meninggal." "Kebetulan sekali."
Dia berbalik dari pria itu sebelum melontarkan omongan yang belakangan mungkin akan disesalinya. Lagi pula, Dr. Norwood menyuruhnya melakukan misi ini dan akan mengharapkan laporan darinya. Di pintu dia berputar untuk melihat pria itu bersandar di meja dengan bersilang kaki. Perasaan sok dan puasnya tampak jelas di matanya yang mengejek, cara berdirinya yang kurang ajar, dan bibirnya yang menyeringai di bawah kumis tebalnya.
Perlahan-lahan Lauri berkata, "Kau orang paling sombong, biadab, dan menyebalkan. Dasar-" Ia mengucapkan kata terakhir dalam bahasa isyarat.
"Apa artinya itu"" bentak Drake, sambil dengan marah meninggalkan meja.
"Tebak saja sendiri, Mr. Sloan."
Dia membanting pintu. Bab Dua "Lauri, kau takkan bisa menebak-" "Brigette, aku sedang mengajar. Ada apa sih"" Guru yang menyerbu masuk ke dalam kelas Lauri yang terdiri atas murid-murid berumur tujuh tahun itu tampak betul-betul kacau. Ia terbata-bata waktu berkata, "Kau takkan bisa menebak siapa yang ingin menemuimu. Maksudku, sudah ribuan kali aku melihatnya. Aku pasti mengenalinya di mana pun. Tapi waktu melihatnya berdiri di koridor, bertanya tentang kau-"
"Pelan-pelan, Brigette, kau membuat anak-anak gelisah. Mereka mengira ada yang tidak beres." Lauri mengetahui siapa yang dimaksud temannya, tapi dia tidak mau orang lain tahu jantungnya seolah berhenti berdetak karena memikirkan akan bertemu Drake Rivington lagi. Di mata orang yang paling awas pun dia tampak tenang dan tak peduli.
Sudah seminggu lebih waktu berlalu sejak pertemuan mereka di studio tele
visi. Sekembalinya dia dari interviu menjengkelkan itu, Dr. Norwood menanyakannya.
"Saya rasa saya tidak seperti yang diharapkan Mr. Rivington, walaupun saya pikir kami sependapat bahwa Jennifer membutuhkan perawatan dan pendidikan spesial yang lebih pribadi."
"Oh, aku kecewa sekali, Lauri," ujar kepala sekolah tersebut. "Aku mengira kalian berdua cocok dan kau bisa membawa Jennifer ke New Mexico. Tentu saja, aku tidak suka kehilangan kau."
Lauri tersenyum. "Yah, Anda takkan kehilangan saya dalam waktu dekat. Saya rasa sebaiknya Anda punya rekomendasi lain. Mr. Rivington pasti akan menelepon Anda."
Lauri tidak bilang apa-apa lagi, dan Dr. Norwood tidak mendesak. Wanita itu sangat perseptif. Apakah dia menduga pertemuan mereka tidak berjalan lancar"
Sepanjang minggu Lauri berusaha menyingkirkan Drake Rivington dari benaknya. Akhir-akhir ini dia menghabiskan begitu banyak waktu dengan Jennifer sehingga merasa sulit untuk menghentikan kunjungan hariannya itu. Jennifer tergabung dalam kelompok murid yang lebih muda daripada murid-murid Lauri, dan dia menemui putri Drake itu setelah jam sekolah.
Jennifer anak yang baik. Dia sopan-nyaris terlalu sopan, pikir. Lauri. Rambutnya pirang pucat, dan ikal-ikal yang sulit diatur memenuhi kepalanya yang kecil. Matanya-persis mata ayahnya-berwarna hijau tua, dihiasi bulu mata berwarna gelap. Dia halus dan cantik dan tidak pernah kotor atau melakukan perbuatan yang bisa membangkitkan kemarahan orang.
Lauri bangga pada sikap objektifnya namun gadis kecil bermata besar dan sedih itu merebut hatinya. Dia cuma butuh waktu beberapa hari untuk mengetahui bahwa dia ingin menjadi tutor Jennifer. Dia ingin membawa anak itu keluar dari asrama rapi dan berperabotan bagus ini dan memasukkannya ke ruangan yang semarak dan ramai.
Pikiran-pikiran seperti itu selalu kembali ke ayah Jennifer, dan khayalannya pun langsung buyar. Dia takkan bisa bekerja pada laki-laki seperti itu dan tinggal di rumahnya. Tidak soal bila bahwa ayah Jennifer itu akan dua ribu mil darinya. Dia telah menghinanya sebagai wanita dan sebagai profesional. Lagi pula, pria itu tidak mau Lauri menjadi tutor Jennifer.
Dia takkan mau mengaku pada siapa pun bahwa dia mengikuti The Hearts Answer. Beberapa hari terakhir ini, pada jam tayang drama konyol itu, dia dapat ditemukan di depan pesawat televisi di ruang guru. Setiap dia melihat Drake di layar dua belas inci itu, hal-hal yang mengganggu terjadi padanya. Detak jantungnya meningkat dan telapak tangannya basah; di bagian tengah tubuhnya terasa perasaan berat dan hangat yang menyebar ke tangan dan kakinya; membuatnya lemas. Dia masih ingat jelas bagaimana pria itu membungkuk dan mencium rambutnya. Perbuatan-perbuatan sepele pria itu, yang pasti takkan diperhatikannya jika dilakukan orang lain, terasa sangat familier. Sinting! Dia kan bersama Drake tak lebih dari lima belas menit. Tapi dia merasa akrab dengan setiap nuansa kepribadiannya.
Sekarang Brigette menyerbu kelasnya, berkicau tentang ketampanan dan pesona aktor tersebut Brigette tidak tahu bahwa laki-laki itu sombong setengah mati, kasar, dan kurang ajar.
"Kau percaya bahwa Drake Sloan ternyata ayah Jennifer Rivington" Aku memang bertanya-tanya kenapa kita tidak pernah melihat orangtuanya. Kalau mengunjungi Jennifer, dia datang malam-malam melalui apartemen Dokter Norwood. Kurasa dia takut dikeroyok penggemar seperti aku." Brigette cekikikan. "Dan dia bertanya tentang kau seolah mengenalmu!"
"Memang kenal."
Brigette terdiam mendengar informasi itu dan memelototi Lauri seakan di punggung wanita muda itu tumbuh sayap. "Kau kenal dia dan tidak pernah memberitahu-"
"Brigette, kau mau apa sebenarnya""
"A-aku mau apa"" tirunya. "Kan sudah kubilang bahwa Dokter Glen Hambrick atau Mr. Rivington atau apa pun panggilanmu untuknya ingin menemui-mu."
"Bilang aku sedang sibuk."
"Apa!" jerit Brigette, dan sesaat Lauri berharap ia tuna rungu seperti murid-muridnya. Kadang-kadang ketulian bisa dianggap karunia. "Kau tidak mungkin serius, Lauri. Kau sudah gila" Laki-laki paling seksi sedunia se
dang-" "Kurasa kau berlebihan, Brigette," kata Lauri kering. "Aku sibuk. Kalau Mr. Rivington ingin bertemu aku, dia harus menunggu sampai kelas ini selesai."
"Dengan senang hati."
Suara dalam dan pelan itu menggema di dalam ruangan dengan nada teratur aktor profesional. Dia berdiri di ambang pintu, menatap Lauri lurus-lurus. Jantung Lauri bagai berhenti berdebar sebelum kembali berdetak teratur, tapi lebih cepat.
Brigette kehilangan kemampuan bicaranya yang luar biasa dan berdiri ternganga sambil memandangi Drake. Tidak ingin menimbulkan kehebohan, yang detail-detailnya Lauri yakin akan disebarluaskan Brigette ke seluruh sekolah, dia berkata pelan, "Bisa kautinggalkan kami, Brigette" Karena Mr. Rivington sudah mengganggu kelasku, kurasa sebaiknya aku menemuinya." Pria itu cuma nyengir mendengar sindiran Lauri.
Brigette berjalan ke pintu bagai orang tersihir dan berdiri di hadapan Drake seperti patung sampai pria itu menyingkir dan mendorongnya ke koridor. Senyumnya memikat, dan kumisnya bergerak-gerak geli ketika dia melihat sikap Brigette.
Memuakkan sekaM, pikir Lauri. Apa sih yang dimiliki pria ini sehingga bisa membuat wanita-wanita cerdas jadi tidak waras" Dia kan cuma laki-laki biasa. Yah, barangkali penampilannya sedikit lebih dari biasa, Lauri mengakui ketika Drake ber-balik untuk memandangnya.
"Halo, Ms. Parrish. Kuharap aku tidak mengganggu."
"Kau menganggu, dan kau sama sekali tidak menyesalinya." Cengirannya makin lebar dan lesung pipinya makin dalam. "Kau benar, memang tidak. Tapi aku diizinkan Dokter Norwood berada di sini. Dia berpendapat tidak ada salahnya aku mengobservasi teknik mengajarmu."
Bibir Lauri berkerut tidak suka. Lalu dia menghela napas. Kali ini dia akan mengalah, tapi kan tidak harus melakukannya dengan manis. "Anak-anak," katanya menggunakan bahasa isyarat, "ini Mr. Rivington. Kalian semua kenal Jennifer Rivington" Ini ayahnya."
Anak-anak tersenyum menyambutnya dan ada yang memberi isyarat hai. Beberapa anak yang pendengarannya lebih bagus bahkan mengucapkan kata tersebut.
"Silakan duduk, Mr. Rivington." Lauri menunjuk kursi rendah. Pria itu mengerutkan kening ketika mendudukkan tubuhnya yang panjang di kursi yang sangat kecil itu. Beberapa anak tertawa, dan Lauri sulit menahan tawanya sendiri. Ketika Drake akhirnya bisa duduk, lututnya nyaris menyentuh dagu.
Pria itu berpakaian rapi dengan celana panjang cokelat dan blazer camel. Kemejanya putih, tapi bergaris-garis aneka gradasi warna cokelat. Dasi cokelat tua melingkari lehernya.
"Kami sedang membahas kata depan, Mr. Rivington. Coba kemari, Jeff, dan tunjukkan pada ayah Jennifer apa yang sudah kaupelajari."
Lauri sudah menempelkan beberapa gambar apel di papan buletin. Ulat-ulat kuning cerah bermata besar dan tersenyum lebar diletakkan di atas, di bawah, di belakang, di dalam, atau di depan apel-apel itu. Murid-murid mempelajari konsepnya, dan harus menjawab dengan kata depan yang tepat, tentu saja dengan bahasa isyarat.
"Sekarang kau," kata Lauri, menoleh pada Drake setelah semua murid mendapat giliran.
"Apa"" teriak Drake.
Anak-anak tertawa ketika Lauri memegang siku Drake dan menariknya bangun, menyuruhnya berdiri di depan papan buletin. Dia menunjukkan tongkat ke sebuah apel dan bertanya dalam bahasa isyarat, "Di mana ulatnya""
Mata hijau Drake menatapnya tajam seakan ia ingin mencekik Lauri. Namun Lauri cuma tersenyum manis. "Ini tidak terlalu sulit, kan, untukmu"" dia membujuk.
Pria itu mengisyaratkan kata depan yang tepat.
"Tolong dalam kalimat lengkap."
Jari-jari cokelat panjang itu mengisyaratkan kalimat lengkap tepat ketika bel pulang berbunyi. Sebagian anak dapat mendengar lengkingan suaranya, dan mereka mulai bergerak-gerak resah di kursi.
"Oke, anak-anak, sekarang boleh keluar," kata Lauri sambil menggunakan bahasa isyarat. Mereka langsung berlarian ke pintu, dan Lauri tinggal berduaan dengan Drake.
"Tadi itu tindakan yang pandai. Apa kau memberikan perhatian khusus seperti itu pada setiap orangtua yang datang"" Drake menggeram.
"Sebagian besar orangtua
yang datang tahu aturan sehingga tidak masuk begitu saja ke dalam kelas dan minta perhatian khusus."
"Sialan," kata Drake tanpa nada menyesal sedikit pun. "Karena sudah telanjur masuk daftar hitammu, akan kuamankan posisiku di situ dengan memberitahumu bahwa kau akan makan malam denganku."
Lauri tercengang memandangnya. "Kau bukan cuma kasar, Mr. Rivington, tapi juga tak punya otak. Aku tidak mau pergi ke mana pun denganmu."
"Ya, kau mau. Dokter Norwood bilang begitu."
"Aku tidak tahu Dokter Norwood sekarang mendirikan biro jodoh."
"Aku memberitahu dia bahwa aku ingin bicara denganmu sambil makan malam. Dia bilang menurutnya itu ide yang sangat bagus."
"Itu sama sekali bukan perintah. Dia atasanku, bukan ibuku."
"Kau mau""
"Apa"" "Makan malam denganku." Lauri menanggapi pria itu sambil membereskan alat-alat mengajarnya. Pria itu membuntutinya. Setiap kali Lauri berbalik, Drake berdiri di dekatnya. Dia merogoh laci paling bawah meja kerja untuk mengambil tas dan menutupnya kuat-kuat ketika berdiri.
Drake menjulang di atasnya, dan Lauri mundur setengah langkah untuk memperbesar jarak sempit di antara mereka. "Telingamu tidak terlalu tajam, ya" Kubilang aku tidak mau makan malam denganmu, jadi ya aku tidak mau. Menurut pendapatku, tidak ada lagi yang perlu kita bicarakan. Kau sudah mengatakan semua yang harus kaukatakan pada pertemuan terakhir kita, begitu juga aku."
Drake menyambar pergelangan tangannya waktu dia berusaha melewatinya. Jari-jari pria itu memegangnya dengan cengkeraman hangat dan mantap yang menaikkan tempo denyut nadi di bawahnya.
"Aku minta maaf atas hal-hal tidak enak yang telah kukatakan."
Dia aktor, kata Lauri dalam hati. Dia mampu menampilkan sikap atau emosi apa saja dengan mudah. Lauri meragukan ketulusannya, dan Drake tahu itu dari ekspresi skeptisnya. "Aku bersungguh-sungguh," kata Drake, mempererat cengkeramannya di pergelangan tangan Lauri. "Waktu itu aku tidak mengetahui kualifikasi luar biasamu. Aku tidak tahu kau sangat berpengalaman bekerja dengan tuna rungu. Aku tidak tahu kakakmu tuna rungu."
Lauri menyentakkan tangannya. "Jangan pernah kau mengasihani aku, keluargaku, atau kakakku, Mr. Rivington."
"Aku-" "Kakakku wanita yang cantik. Dia akuntan." "Aku-"
"Dia sudah menikah dan tinggal bersama dua putranya yang manis dan suaminya yang sukses di Lincoln, Nebraska. Percayalah, dia lebih tahu nilai-nilai hidup sesungguhnya daripada kau."
Wajah Lauri merah padam dan dadanya naik-turun karena marah. Mata cokelatnya yang memancarkan kilat cokelat muda tampak begitu berapi-api ketika menatap pria yang berdiri di dekatnya, sehingga Drake dapat merasakan panas kemarahan yang memancar darinya.
"Sudah"" Drake bertanya kering.
Lauri menarik napas dalam-dalam beberapa kali dan menunduk. Mata Drake telah melembut dan jauh lebih mengancam daripada ketika berkilat-kilat marah.
"Aku tidak bermaksud mengasihani," Drake berkata. "Malah mengagumi dan menghormati. Oke"" Napas Lauri tertahan di tenggorokan waktu pria itu meletakkan jarinya di bawah dagunya dan mengangkat kepalanya. "Aku sudah mengubah pen-dapatku yang dulu. Menurutku memang kaulah yang dibutuhkan Jennifer. Yang kubutuhkan."
Kata-katanya diucapkan dalam bisikan lembut. Lorong-lorong sudah sepi dari murid dan guru, dan ada suasana akrab di sekeliling mereka. Perkataan yang kubutuhkan tadi dapat mengandung arti yang sama sekali berbeda dalam konteks lain. Jantung Lauri bereaksi terhadap pilihan kata-kata bersayap itu dan berdentum-dentum seakan menuntut dibebaskan dari dadanya.
Drake terlalu dekat; ruangan terlalu gelap; gedung terlalu sunyi; napas pria itu terlalu harum; dan jari-jari yang masih memegang dagunya itu terlalu mantap dan yakin. Lauri terjebak sensasinya sendiri. Bernapas jadi terasa sulit. Dia berusaha menjauhkan dagunya, namun Drake tidak membiarkannya. Pria itu memaksanya memandangnya sebelum berkata, "Kau mau menerima pekerjaan itu."
Itu bukan pertanyaan. Dia tahu Lauri menginginkan tantangan dan keberhasilan dengan mengeluarkan Jennifer dari dunianya yang seny
ap dan membawanya ke dunia baru.
"Betul, kan"" Drake mendesak.
"Ya." desah Lauri antara sadar dan tidak. Pasti cuma khayalan, karena pria itu melepaskannya sedetik kemudian lalu meraih blazer Lauri yang tersampir di sandaran kursi. "Ayo kita makan."
Sementara Lauri memakai blazer yang dipegangi Drake, pria itu bertanya, "Kau menciut, ya" Waktu itu kau lebih tinggi dari ini."
Lauri tersipu sedikit waktu berpikir bahwa Drake ternyata memperhatikan dan mengingat tinggi badannya. Dia tersenyum manis pada laki-laki itu. "Aku sekarang memakai sepatu berhak rendah." Mata Drake menyusuri, gaun linen putih Lauri yang sekarang tertutup blazer biru laut, sampai ke sepatu sandal sewarna yang berhak jauh lebih rendah daripada sepatu yang dipakainya ke studio televisi.
"Wah, betul." Dengan serius dia mengusap rambut perak-cokelatnya, lalu tertawa terbahak-bahak ketika mereka berjalan di koridor.
Dengan mudah Drake memperoleh taksi, dan menyuruh sopirnya mengantarkan mereka ke Russian Tea Room. "Kau setuju"" dia bertanya setelah mereka duduk di bangku belakang taksi.
"Ya, aku suka sekali restoran itu," jawab Lauri jujur.
Ketika mereka tiba, kepala pelayan membawa mereka ke ruang makan di atas yang lebih tenang, dan dengan sangat sopan menarikkan kursi untuk Lauri. Dia bersama Drake Sloan, dan rupanya itu ada pengaruhnya.
Lauri menyadari bahwa beberapa orang menoleh karena mengenali pria yang bersamanya, dan mendadak Lauri merasa tidak percaya diri karena mengenakan baju yang sudah seharian dipakainya di sekolah. Dia tidak menganggap ini kencan, dan karenanya tidak minta diantarkan pulang untuk berganti pakaian sebelum pergi makan malam.
"Maaf pakaianku kurang sesuai. Aku tidak mengira akan punya acara malam ini."
Drake mengangkat bahu dan berkata, "Kau sudah bagus," dan membenamkan kepala di balik buku menu.
Dasar laki-laki dingin, pikir Lauri sambil membuka buku menu. Beberapa detik kemudian dia mendengar Drake terkekeh. Dia mendongak dan melihat laki-laki itu mengawasinya. Mata hijaunya menyipit geli.
"Apanya yang lucu""
"Kau. Waktu kubilang kau cantik, kau marah. Dan waktu aku tidak bilang kau cantik, kau marah. Sebaiknya kau memperhatikan wajah ekspresifmu itu, Ms. Parrish." Dia memelankan suara dan mencondongkan tubuh mendekati Lauri. "Aku bisa memberitahumu bahwa orang-orang di sekelilingmu melakukannya."
Lauri menganggap itu pujian dan mengangkat gelasnya yang berisi air mineral Perrier yang dipesankan Drake. Mereka menyesap minuman masing-masing-gelas Drake berisi martini - sambil mengomentari suasana ruang makan. Dinding hijau tuanya, hiasan merah gelap, dan perabotannya yang dari kuningan memancarkan keanggunan tanpa berlebihan.
Mereka memutuskan memesan ayam Kiev dan nasi. Beberapa menit kemudian pelayan datang membawa hidangan pembuka berupa salmon asap, kaviar, telur rebus, dan aneka makanan kecil. Drake mulai makan dengan lahap.
"Tunggu," kata Lauri. "Kau harus belajar dulu." Drake kesal ketika Lauri memaksanya mempelajari bahasa isyarat untuk semua makanan di piringnya dan semua peralatan di meja sebelum memperbolehkannya melanjutkan makan. Wanita itu malah sempat tertawa. "Kalau ada bahasa isyarat untuk kaviar, aku tidak mengetahuinya. Untuk saat ini kita eja saja," katanya.
Mereka mengobrol santai sambil makan. Setelah meja dibersihkan dan mereka sedang menikmati kopi, Drake mulai membicarakan Jennifer.
"Kau akan menerima pekerjaan sebagai tutor pribadinya, bukan""
Lauri menunduk memandangi meja dan menggambari taplak linen putihnya dengan gagang sendok. "Aku masih belum yakin, Drake."
"Apa yang bisa kulakukan supaya kau yakin"" Ada nada menggoda dalam suaranya, tapi wajahnya serius.
"Kau bisa berjanji padaku bahwa kau akan ikut kelas bahasa isyarat dan mulai menggunakannya secara konstan. Mulailah berpikir dalam bahasa isyarat, bahkan saat kau bicara dalam bahasa verbal. Kalau kuterima pekerjaan itu, berarti selama beberapa waktu aku akan jadi ibu asuh Jennifer. Dia akan tergantung penuh padaku. Suatu hari nanti, kau harus mengambil alih tanggung jawab
itu. Apakah kau akan siap""
"Akan kuusahakan. Aku berjanji akan mencoba," Drake berkata serius. Pria itu mencondongkan tubuh, perasaan cemasnya menimbulkan kerutan dalam di antara alisnya. "Lauri, apa yang bisa kuharapkan dari Jennifer" Akan seperti apa dia kalau sudah besar"" Itu adalah pertanyaan seorang ayah yang tak berdaya dan prihatin.
Di mata pria itu Lauri melihat rasa sakit yang sudah tak asing baginya, keinginan mengetahui sesuatu yang bahkan tak diketahui pakar paling hebat sekalipun. Semua orangtua anak tuna rungu menanyakan hal itu.
Lauri menjawab dengan hati-hati. "Dia sangat cerdas, Drake. Dia tahu lebih banyak daripada yang diungkapkannya. Menurutku kekurangannya bersifat emosional, bukan mental. Aku akan menggunakan semua metode mengajar yang kuketahui. Dia akan belajar bahasa isyarat untuk komunikasi dasar, tapi di saat yang sama dia akan belajar huruf seperti anak lain. Dan dia akan mempelajari suara yang ditimbulkan huruf tertentu. Alat bantu pendengarannya akan menolongnya membedakan huruf berdasarkan bunyi dan tulisannya. Nantinya dia akan bisa bicara." Ketika melihat mata pria itu berbinar penuh harap, dia menjelaskan perkataan terakhirnya. "Aku ingin kau mengerti, Drake, bahwa dia akan selalu tuli. Dia takkan pernah mendengar seperti kita. Alat bantu pendengarannya bukan alat korektif, melainkan alat pengeras suara."
"Aku pernah diberitahu begitu, tapi aku tidak bisa memahaminya," Drake mengakui.
"Oke," kata Lauri. "Akan kucoba menjelaskannya. Kacamata termasuk alat korektif. Dengan memakai kacamata yang diresepkan dokter, kau akan punya visi dua puluh-dua puluh. Alat bantu pendengaran cuma mengeraskan apa yang memang mampu didengar Jennifer. Umpamanya kau mendengarkan radio, tapi yang ada cuma desis statis. Kalau kau tambah volumenya, kau takkan mendengar apa-apa lebih jelas. Kau cuma akan mendengar desis yang lebih keras. Mengerti""
Pria itu mengetuk gigi putih indah di bawah kumisnya dengan kuku ibu jari. "Ya. Aku mengerti maksudmu."
"Aku ingin Jennifer tahu segalanya. Kalau kubawa dia ke taman dan mendemonstrasikan kata jalan dengan berjalan, dia akan mempelajari dan memahaminya, tapi kata itu cuma akan berarti itu baginya. Aku ingin dia tahu arti mesinnya tidak jalan, sekolahnya beralamat di jalan anu, kami sedang berjalan-jalan naik mobil keliling kota. Paham""
"Dia akan mampu mempelajarinya""
"Hanya kalau kita mengajarinya, Drake. Kita harus bicara padanya-dalam bahasa isyarat-secara konstan, sama seperti anak lain harus diajak bicara secara konstan. Ellen, kakakku, begitu menguasai cara membaca bibir dan berbicara sehingga jarang memakai bahasa isyarat."
"Jennifer akan mampu bicara sebaik itu""
"Tidak akan pernah sebaik kita," Lauri menekankan. "Dia takkan pernah mendengar seperti kita, jadi dia tidak akan bicara seperti kita. Sebagai aktor, kau pasti pernah mengalami saat-saat di mana kau tahu dialogmu tapi tidak bisa mengucapkannya."
"Yeah." "Itulah yang dialami kaum tuna rungu. Setiap kata merupakan kerja keras. Tapi dengan latihan yang tepat dan kesabaran, mereka jadi cukup mampu. Jangan berharap terlalu banyak, supaya kau tidak kecewa."
Drake memandangi tangannya, yang sekarang terlipat di meja. Lauri merasa begitu bersimpati sehingga ingin sekali menggenggam tangan itu dan menghiburnya. Dia harus menenangkan hatinya. "Jennifer sudah bisa menyebut namaku."
Drake mengangkat kepala dan tersenyum bangga. "Dokter Norwood memberitahu aku bahwa hubungan kalian berdua cukup dekat."
Sulit bagi Lauri untuk mengabaikan hatinya yang serasa diremas tiap kali dia memasuki ruangan dan Jennifer mendongak dan melontarkan senyumnya yang jarang kelihatan. Dia merasa seperti itu sekarang ketika menutup mata Drake, yang tampak seperti zamrud cair. Lauri merasa makin susah untuk tetap bersikap objektif. Dan itu, dia tahu berbahaya.


Gaung Keheningan Eloquent Silence Karya Sandra Brown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bab Tiga Sejak mereka meninggalkan meja sampai masuk ke taksi yang dipanggilkan kepala pelayan, tiga wanita yang berbeda menghentikan Drake dan meminta tanda tangannya.
Lauri takjub melihatnya bisa mengubah emosi
secepat dan setotal itu. Sesaat pria itu tampak sebagai orangtua yang kebingungan dan prihatin.
Di saat lain dia bintang televisi yang penuh percaya diri dan arogan, menguasai keadaan, dan dengan luwes menampilkan senyum terkenalnya pada publik pemujanya. Dia berbicara pada setiap wanita itu dengan lembut dan akrab.
Cara berbicaranya yang begitu akrab dengan masing-masing wanita itu pasti membuat si wanita merasa dia betul-betul peduli padanya. Tuluskah Drake, atau apakah dia cuma berakting" Itu dugaan yang meresahkan, dan yang tidak ingin dipikirkan Lauri lama-lama.
"Kau pernah merasa bosan dengan itu"" tanya Lauri, menunjuk wanita yang terpana di trotoar. Si pengagum berat itu masih memeluk erat-erat serbet yang sekarang bertuliskan nama Drake Sloan.
"Ya, sering. Aku berusaha mengecilkan sindrom bintang dan menghadapi para wanita dengan sabar dan sadar diri. Aku bertanya pada diriku sendiri, 'Jadi apa aku tanpa mereka"' Itu biasanya berhasil mencegahku berbesar kepala."
Lauri meminta Drake mengantarkannya kembali ke sekolah, karena ada beberapa surat di sana yang harus diambilnya sebelum pulang ke apartemennya yang beberapa blok dari situ.
"Baik," ujar Drake. "Aku memang ingin bertemu Jennifer sebentar."
Lauri cepat-cepat melihat jam tangan emas di pergelangan tangannya. "Tapi sekarang sudah pukul sembilan lebih. Dia pasti sudah tidur."
"Berarti kita harus membangunkannya," Drake menanggapi dengan enteng.
"Tidak adakah peraturan yang harus kautaati, Mr. Rivington""
Pria itu tertawa. "Beberapa. Dokter Norwood tahu bahwa kadang-kadang aku bekerja di studio sampai pukul delapan atau sembilan malam, tergantung kekacauan yang ditimbulkan Dokter Hambrick pada hidupnya minggu itu. Jadi dia mengizinkan aku menyelundup beberapa malam seminggu untuk menemui Jennifer."
Lauri menggunakan kuncinya untuk membuka pintu pribadi yang diset otomatis mengunci setelah hari gelap. Mereka berjingkat-jingkat menyusuri koridor gelap asrama sampai tiba di kamar yang ditempati Jennifer bersama tiga gadis kecil lain yang seumur dengannya.
Drake membiarkan Lauri mendahuluinya memasuki kamar, namun wanita itu menjauh ketika dia duduk di samping anak yang pulas di tempat tidurnya itu. Drake menyalakan lampu redup di meja sisi dan menepuk bahu Jennifer pelan-pelan. Anak itu bergerak, lalu membuka mata dan melihat Drake membungkuk di atasnya. Dia berbisik senang dan langsung duduk tegak, memeluk leher ayahnya kuat-kuat.
Lauri tidak tahu reaksi apa yang diharapkannya akan dilihatnya, tapi yang jelas bukan reaksi spontan seperti ini dari anak yang biasanya begitu tenang dan kalem.
"Apa kabar anak kesayangan Daddy" Kau senang bertemu aku"" Pertanyaan tersebut tidak membutuhkan jawaban. Jennifer bergelung di dadanya sementara Drake mengacak-acak rambut pirang ikalnya.
Ini satu lagi kepribadian Drake Rivington. Wajahnya melembut dan sedikit pun tidak tersisa kesinisan yang biasanya mengerutkan bibirnya dan menyelimuti matanya. Matanya berbinar penuh kasih ketika memandang putrinya.
Setelah acara cium dan peluk selesai, Jennifer mulai memeriksa saku Drake satu per satu dengan jari-jari mungilnya dan mengikik waktu pria itu pura-pura menepis tangannya. Akhirnya dengan penuh kemenangan dia memperoleh sebungkus permen karet dan mulai membukanya.
"Tunggu sebentar, Nak. Kau tidak boleh memakannya sekarang," tukas Drake. Lalu dia mengangkat bahu dan berkata, "Yah, boleh deh," sementara Jennifer berhasil melepas kertas pembungkus dari salah satu permen.
"Tidak, tidak boleh," kata Lauri tenang tapi tegas. Drake memandangnya, tapi tentu saja Jennifer tidak mendengar larangan Lauri. Anak itu akan memasukkan permen karet ke mulut waktu Lauri menepuk ujung tempat tidur untuk menarik perhatiannya.
Jennifer menengadah padanya dan tersenyum. Lauri balas tersenyum dan dengan menggunakan bahasa isyarat berkata, Halo, Jennifer. Siapa namaku coba"
Jennifer mengisyaratkan nama Lauri dan mengucapkannya dengan suara pelan dan lembut. Drake ternganga kaget.
"Sayangku, hebat sekali," Drake berteriak, makin erat memelu
k gadis kecil itu. Jennifer berseri-seri melihat kegembiraan pria tinggi dan baik hati yang sering datang ke kamarnya dan memberinya perhatian istimewa. Pria itu tidak pernah bicara dengan anak-anak lain. Hanya dengannya.
Lauri memanfaatkan situasi itu. Setelah menarik perhatian Jennifer lagi, dia berkata, "Ini Drake," dan menunjukkan pada Jennifer isyarat untuk namanya yang telah mereka ciptakan. "Aku tidak yakin dia sudah paham soal hubungan keluarga. Tidak lama lagi kami akan belajar tentang ayah dan anak perempuan. Untuk saat ini, kau cuma Drake" Lauri menjelaskan.
Jennifer mengisyaratkan nama Drake dan menunjuk pria itu. "Ya," sambut Lauri, mengangguk. Dengan bangga Jennifer mengulangi gerakannya berkali-kali sehingga tampak lucu dan mereka bertiga tertawa. Ketika dia akan memasukkan permen karet yang terlupakan sesaat ke dalam mulut, Lauri menghentikannya dengan menarik lembut lengannya. Dan dengan bahasa isyarat Lauri memberitahu Jennifer agar membiarkan permen karet itu di atas meja di sisi tempat tidur sampai ia bangun.
Dengan penuh harap Jennifer memandang Drake untuk mencari dukungan, namun pria itu menggeleng, meletakkan bungkusan permen karet di meja, dan mengisyaratkan tidur, yang dilihatnya digunakan Lauri beberapa saat yang lalu.
Jennifer menguap dan berbaring di tempat tidur. Ia tampak seperti bidadari dengan rambut pirang dan baju tidur pink berendanya. Dia memeluk leher Drake waktu pria itu mencoba menjauh. Drake mencium keningnya sekilas dan berdiri. Tepat sebelum dia mematikan lampu, Jennifer memandang ke kaki tempat tidur dan mengulurkan lengannya yang gempal pada Lauri.
Lauri memandang Drake yang tersenyum lembut. "Kurasa maksudnya cukup jelas," kata Drake. Lauri pergi ke samping tempat tidur dan membungkuk untuk menerima ciuman penuh semangat dari Jennifer.
Mereka menyelimutinya, mematikan lampu, dan meninggalkan kamar. Lauri maju beberapa langkah, lalu berhenti. Pikirannya begitu penuh sehingga rasanya dia tidak mampu berpikir dan berjalan pada saat yang sama. Dia berdiri diam di tengah koridor.
"Kurasa kalian berdua baru saja memerasku secara emosional," dia berkata sambil merenung.
"Memang itu niat kami." Suara Drake meniru nada lembut dan serius Lauri.
Lauri memandangnya. Dia mengucapkan apa yang ada dalam pikirannya. "Dia menyayangimu. Kau akan menjauhkan dirimu darinya dengan memindahkannya ke ujung negeri. Dia masih sangat muda. Saat ini kaulah orang paling penting dalam hidupnya. Drake, sadarkah kau bahwa aku akan meng-gantikanmu dalam menerima perasaan sayangnya""
Pria itu memandang koridor yang sunyi senyap, tatapannya kosong ketika dia memasukkan tangan ke saku celana panjang. "Ya," jawabnya, menger-takkan gigi. "Aku tidak menyukai keadaan ini-Kalau ada cara lain-aku tidak mau dia tumbuh di kota besar. Saat ini aku tidak bisa melakukan apa yang bisa kaulakukan padanya." Lalu ia menghadap Lauri. "Aku tahu aku memberimu tanggung jawab sangat besar. Tapi kupikir ini tindakan yang tepat. Aku akan mengunjunginya setiap ada kesempatan." Ia tersenyum masam. "Hidupku sama sekali tidak sekacau yang digambarkan majalah-majalah."
Lauri mengulurkan tangan dengan gaya resmi. "Aku menerima pekerjaan yang kautawarkan." Drake menjabat tangannya.
Pria itu berkeras mengantarnya sampai ke pintu ketika mereka tiba di gedung apartemen yang nyaman-tapi jauh dari luks-itu. Dia membayar taksi, mengatakan akan memanggil taksi lain setelah Lauri masuk.
Waktu mereka naik lift ke lantai tempat tinggalnya, Drake berkata, "Kurasa aku bisa membereskan semua urusannya dalam waktu sekitar dua minggu. Cukup lama untukmu"" Melihatnya mengangguk, dia melanjutkan, "Rumahnya bagus, tidak mewah. Aku akan membeli mobil untuk diantarkan padamu begitu kau tiba di Albuquerque. Aku juga akan mempekerjakan orang untuk membersihkan seluruh bagian rumah. Ketika kau sampai di Whispers, semua harus sudah beres untuk kau dan Jennifer tempati."
"Whispers. Aku suka nama itu." Tangan Drake di bawah sikunya ketika dia mendorongnya keluar lift. Pria itu tidak menarik tangannya.
"Kota kuno tapi me narik. Banyak pensiunan tinggal di sana, beberapa pekerja tambang dan keluarga mereka. Suasananya tenang dan damai. Pemandangannya di setiap musim luar biasa."
Mereka sekarang berdiri di depan pintu Lauri. Drake berkata, "Aku akan menggajimu sebanyak yang diberikan sekolah. Lalu tentu saja, kau akan bisa memakai rumah dan mobil sesukamu. Dan aku akan memberimu uang banyak untuk makanan, pakaian Jennifer, apa pun yang kaubutuhkan."
"Aku tidak khawatir soal uang," kata Lauri sambil memasukkan anak kunci.
Dia berbalik untuk mengucapkan salam perpisahan yang sopan, namun kata-kata itu tak pernah terucapkan. Drake maju sampai Lauri terpaksa mundur, tapi ia tak bisa mundur jauh, hanya sampai pada dinding koridor. Lalu pria itu meletakkan telapak tangannya persis di atas kepala Lauri dan membungkuk ke arahnya. Jarak di antara mereka hanya beberapa inci, tapi Drake tidak menyentuhnya.
"Aku menyukaimu seperti ini," Drake berbisik.
Ke mana suaranya" Lauri tidak bisa mengucapkan kata-kata yang ada di pikirannya. Akhirnya dia berhasil berbisik, "Seperti apa""
"Tenang, menyenangkan, dan kooperatif. Tapi-" dia terkekeh-"aku juga menyukaimu yang waktu itu, ketika kau menyemprotku dan begitu marah sampai rambutmu berkilau seperti api." Ia makin mendekat. "Sebetulnya, Ms. Parrish, aku sedang berusaha keras menemukan sesuatu yang tidak kusukai pada dirimu."
Insting Lauri mengatakan pria itu akan menciumnya. Dia tahu seharusnya tidak membiarkannya namun ia tak sanggup bergerak ketika melihat wajah Drake makin lama makin dekat. Sedetik sebelum bibir mereka bertemu, Lauri memejamkan mata. Walaupun tahu ini akan terjadi, dia tak siap merasakan gelombang emosi yang melanda sekujur tubuhnya akibat sentuhan Drake.
Kumis Drake menggelitik bibir Lauri ketika pria itu menyapukan bibirnya di atasnya. Pria itu terus mendekat sampai tubuh mereka merasakan lekuk pasangannya masing-masing.
Mereka cocok bagai potongan-potongan puzzle. Tinggi badan Lauri tidak sampai dada Drake, namun mereka seperti dua bagian dari satu kesatuan. Payudaranya yang lembut menyatu dengan tubuh pria itu. Kaki Drake mengapitnya, dan waktu pangkal pahanya yang mantap dan keras menyentuh pangkal paha Lauri yang feminin dan lembut, terdengar erangan tertahan dan nikmat jauh di dalam tenggorokan pria itu.
Bibir Drake menyesapnya, berhenti, lalu menjauh sampai Lauri ingin sekali mencengkeram kepalanya dan menekannya. Dia hanya mampu mengumpulkan keberanian untuk mengangkat tangan malu-malu ke rusuk pria itu dan membelai lembut otot-otot yang persis di atasnya. Otot-otot itu bergerak-gerak karena menahan tubuh Drake yang bertumpu di dinding.
Pria itu mendesah panjang dan pelan waktu merasakan tangan halus Lauri menyentuhnya. Bibirnya berhenti menggoda dan mendekati bibir wanita itu, melumatnya dengan ketepatan yang mengejutkan.
Mula-mula Lauri tidak menanggapi. Perasaan takut dan waswas membuatnya tidak mau langsung bereaksi terhadap laki-laki sejak pernikahannya yang berantakan. Tapi Drake tidak memedulikan penolakan setengah hati itu. Bibirnya dengan ganas beraksi sampai Lauri menyerah. Wanita itu berusaha menenangkan diri, mengembalikan segala sesuatunya ke perspektif yang benar, tapi itu tak mungkin dilakukannya karena Drake terus menciuminya.
Bahkan ketika mereka harus berhenti sebentar untuk menarik napas, pria itu masih belum puas.
Dia menciumi telinga Lauri dan menggigitinya lembut. Tangannya menuruni dinding untuk meng-elus bahu. lengan, lalu kembali ke lehernya. Jari-jarinya seolah menghitung denyut nadi Lauri sebelum bergerak naik untuk memegangi wajahnya. Ibu jarinya membelai miang pipinya.
"Apa kau mencium semua pemeran utama wanitamu seperti ini"" tanya Lauri. tersenyum sayu.
Dia mengharapkan Drake tersenyum juga dan membalas dengan jawaban lucu. Yang terjadi ternyata berbeda. Dia bingung melihat wajah pria ini pucat pasi. Mata hijaunya, yang tadi menyala karena api gairah, berubah dingin, tak bisa ditembus, seolah mendadak ada tirai menutupinya.
Pelan-pelan Drake menjauhinya. Mula-mula tangan pria itu turun dari wajah
nya. Lalu dadanya terbebas dari tekanan berat dada aktor itu. Ketika pria itu meninggalkannya, dia merasa kehilangan dan mengulurkan tangan untuk menariknya kembali.
Tapi ekspresi wajah pria itu mengejutkan dan menakutkannya, dan dia cepat-cepat menarik tangannya ke dada. Drake pucat pasi dan menatapnya seolah dia melihat hantu. "Drake, apa-"
Pria itu komat-kamit beberapa lama sebelum mampu mengucapkan kata-katanya. "S-Susan dulu sering bilang begitu" Dia terdiam sebentar dan mengusap muka, menggosok mata. menghapus bayangan. "Dia selalu bilang begitu."
"Susan"" Lauri bertanya dengan suara melengking. Dia tahu siapa Susan, dan tidak ingin mendengarnya.
"Susan istriku. Dia sudah meninggal."
Drake telah mengatakannya, dan dengan kesedihan begitu nyata sehingga hati Lauri terasa hancur. Dia masih mencintai istrinya! Dia tidak bilang istrinya meninggal karena apa: itu tidak relevan. Kematiannyalah. bukan penyebabnya, yang telah membawa pergi cintanya.
"Ya. Aku turut bersedih." bisik Lauri. Komentarnya begitu basi. hambar, karena dia tidak tahu mesti bilang apa lagi, dan dia ingin sekali membuyarkan keheningan menyesakkan yang mendadak menyelubungi mereka.
Drake menegakkan tubuh, sudah kembali dari masa lalunya yang tadi timbul karena kata-kata Lauri. Dia mengusap rambut perak-cokelatnya. lalu berkata singkat. "itu tidak penting."
Tapi dia salah! Baru beberapa detik yang lalu Lauri tenggelam dalam pelukan paling menyenangkan dan paling hangat yang pernah dirasakannya. Sekarang pria yang tadi membuat tubuhnya diliputi sensasi yang dikiranya sudah lama mati itu bersikap seperti orang asing-orang asing yang dingin.
Tangan pria itu masuk dalam-dalam ke saku celana panjangnya waktu dia berbalik dari Lauri. Ketika Drake berputar untuk menatap Lauri lagi. mulutnya menipis, dan alis tebalnya berkerut di atas mata.
"Kurasa akan fair kalau kuberitahu kau, Lauri. bahwa aku tidak mau ada keterlibatan emosional dalam hidupku. Bertentangan dengan apa yang kaubaca di majalah-majalah selebriti, aku tidak pernah tertarik pada wanita mana pun. Aku menikahi dan mencintai almarhumah istriku. Kebutuhanku hanya bersifat fisik. Menurutku kau sebaiknya tahu itu sejak awal."
Kata-katanya bagai batu yang dijatuhkan ke kepala Lauri sehingga meluluhlantakkannya. Kemarahan dan perasaan terhina menggelegak dalam pembuluh darahnya, dan rubuhnya menegang seperti kucing yang siap menerkam. Dia berusaha mengontrol suaranya, menahan kata-kata pedas yang mendidih di dalam hatinya, dan mendesak untuk disemburkan.
"Seingatku aku tidak pernah memintamu 'terlibat', Mr. Rivington." Dia gemetar menahan marah. "Tapi karena kau sudah mengangkat topik itu dan salah menafsirkan motifku, aku akan meluruskan masalahnya. Aku sama sekali tidak berniat 'tertarik' padamu. Selain hal itu akan merusak objektifitasku, aku juga menganggap kau besar kepala. Aku pernah menikah dengan seniman-musisi-dan dia, seperti juga kau, menganggap dirinya hebat dan mengharapkan orang lain juga beranggapan begitu. Kau bisa menenangkan dirimu karena aku menginginkan hubungan yang perlu ada di antara kita ini betul-betul profesional. Terima kasih untuk makan malam tadi."
Setelah berkata begitu Lauri cepat-cepat memasuki pintu dan menutupnya rapat-rapat. Dia bersandar di situ, menarik napas dalam-dalam, dan berusaha menahan tangis kemarahan yang sudah menggenangi matanya.
Dia mendengar Drake melangkah ke lift, denting bel ketika pintu lift membuka, lalu suara pintu itu menutup lagi.
"Tolol!" Lauri memaki dirinya sendiri, mengentakkan kaki seperti waktu kecil dulu. Dilemparkannya tasnya ke kursi terdekat dan disentakkannya blazernya sampai lepas.
"Dasar bangsat tidak tahu-" Lauri tidak tahu harus marah pada siapa-Drake atau dirinya sendiri. Dia berjalan cepat ke kamar, dan setelah menyalakan lampu, menjatuhkan diri ke tempat tidur dan membungkuk untuk mencopot sepatu sandalnya.
"Kau tidak pernah belajar, bukan, Lauri" Kau senang dihukum, ya""
Sambil membuka pakaian dia terus memarahi dirinya karena tadi mau saja dicium Drake. Pria itu ayah muridn
ya. Dia bertanggung jawab atas anak pria itu. Mestinya dia tidak membiarkan keterikatan emosional mengaburkan objektifitasnya. Dan hubungan asmara dengan ayah Jennifer sama artinya dengan kehancuran bagi anak itu. Berhubungan begitu akrab dengan Jennifer saja sudah cukup membahayakan bagi pendidikannya. Memiliki gairah seksual terhadap ayah anak itu benar-benar perbuatan sinting.
Sebetulnya bukan tindakannya mencium Drake yang meresahkan Lauri, melainkan perasaannya ketika dia mencium pria itu. Ketika sedang mabuk kepayang pada Paul pun dia tidak merasa sekacau ketika dicium Drake tadi.
Dia seakan tenggelam, lalu pelampungnya dengan keji dan tak berperasaan ditarik. Dan yang membuatnya sakit hati dan tersinggung, Drake berani-beraninya mengatakan dia yang duluan memeluk!
Dasar seniman! Semuanya sama. Mereka memuaskan keinginan mereka, dan setelah ego mereka yang terluka sembuh, mereka menginjak-injak hati para penolong mereka.
Lauri pergi ke kamar mandi dan mengoleskan krim di wajah sambil mengingat-ingat pernikahannya dengan Paul Jackson. Mereka bertemu di pesta. Dia belum lama tinggal di New York, baru saja memperoleh pekerjaan menjadi pengajar, yang diidamkannya, di Norwood Institute for the Deaf.
Lauri kesepian, dan merindukan keluarganya, yang terasa jauh sekali di Nebraska. Ketika salah seorang guru yang masih muda dan ramah di sekolah itu mengajaknya pergi ke pesta, dia mau karena kesepian.
Para tamu terdiri atas bujangan dan pasangan- sebagian besar pekerja kantoran-dengan beberapa penari, musisi, termasuk juga penulis. Paul Jackson bermain piano sementara seorang gadis pirang berkaki indah bernyanyi dengan suara yang sangat tidak sebanding dengan kemampuan bermain Paul.
Pria itu melihat wanita muda berambut merah yang berdiri jauh dari piano grand dan mendengarkan musiknya dengan penuh minat itu. Ketika sedang istirahat, pria itu memperkenalkan diri, dan mereka lalu asyik mengobrol. Lauri memuji permainannya, terutama waktu Paul memberitahunya itu bahwa lagu-lagu itu ciptaannya sendiri.
Beberapa bulan kemudian barulah Lauri menganalisis hubungan mereka. Dia sadar bahwa, bahkan pada pertemuan pertama itu pun, mereka tidak membicarakan pekerjaan, impian, atau rencananya. Mereka cuma bicara tentang Paul dan ambisinya untuk sukses di industri musik. Percakapan pertama mereka itu seharusnya merupakan pertanda sifat egois dan rasa tidak percaya diri pria itu.
Dia tampan dengan wajahnya yang serius dan tekun. Rambut cokelatnya agak kepanjangan, tapi dia sering lupa memangkasnya kalau tidak diingatkan Lauri dengan lembut. Semua harus dikatakan dengan lembut, karena takut perasaannya akan tersinggung atau harga dirinya terluka.
Barangkali yang dirasakan Lauri terhadap Paul adalah perasaan iba, namun dia meyakinkan dirinya, setelah berbulan-bulan ia menjalin hubungan dengan Paul, bahwa dia mencintai pria itu. Paul membutuhkannya. Paul membutuhkan rasa percaya diri. Dia butuh seseorang untuk mendengarkan musiknya dan mengaguminya. Dorongan semangat. Kata-kata hiburan. Pujian.
"Maukah kau tinggal bersamaku, Lauri" Aku membutuhkanmu selalu bersamaku." Mereka di apartemen Paul, baru pulang menonton film. Mereka berbaring sambil berpelukan erat di sofa.
"Kau meminta aku menikah denganmu, Paul"" tanya Lauri, tersenyum. Dia girang sekali. Paul mencintainya. Dia akan mampu menolongnya, memberinya dorongan, dan menjadi sandaran yang dapat diandalkannya.
"Tidak." Pria itu melepaskannya dan berdiri, melintasi ruangan menuju meja tempat ia menyim-pan persediaan minuman keras. "Aku memintamu tinggal bersamaku." Dengan santai ia menuangkan wiski ke dalam gelas.
Lauri duduk dan merapikan pakaian. Paul sering memintanya tidur dengannya. Dia menolak, dan penolakannya biasanya menimbulkan pertengkaran. Sesudah itu Paul dengan kasar akan minta maaf karena telah memintanya melanggar prinsip.
"Paul, kau tahu aku tidak bisa berbuat begitu. Kan sudah pernah kubilang alasannya."
"Apa karena ayahmu pendeta"" Ia makin ngawur. Matanya kosong dan tanpa ekspresi.
"Bukan cuma itu, tapi-"
"Oh, sudah lah," Paul mengerang.
"Kau tahu aku ingin tidur denganmu!" jerit Lauri. "Lebih dari apa pun. Tapi aku ingin jadi istrimu, bukan cuma pasangan kumpul kebo."
Paul mengumpat pelan dan menenggak habis sisa wiskinya. Dia meletakkan gelas di meja dan lama menatap Lauri sebelum melintasi ruangan dan berlutut di hadapannya.
"Dasar si rambut merah keras kepala," bisiknya, mengulurkan tangan untuk membelai rambut Lauri. "Kau tahu aku tidak sanggup hidup begini lebih lama." Dia meletakkan tangannya di perut Lauri dan memijatnya dengan sensual. Lalu ia membungkuk dan mencium payudara Lauri dari balik blusnya. "Kurasa ini berarti aku harus menikahi-mu."
"Oh, Paul," teriak Lauri, memeluk leher pria itu dengan gembira.
Dengan sangat mengecewakan keluarganya, mereka menikah beberapa hari kemudian di catatan sipil, disaksikan hanya oleh dua teman musisi Paul. Keesokan harinya Lauri memindahkan barang-barangnya ke apartemen Paul.
Selama satu atau dua bulan, semua berjalan lancar, Paul cuma beberapa kali mengamuk atau mengalami depresi. Dia tengah menggarap sekumpulan lagu yang sangat diyakininya akan sukses. Tiap hari sepulang kerja Lauri mendapatinya duduk di depan piano. Dia memasak makanan yang sambil lalu dinikmati Paul sebelum kembali ke kertas-kertas lagunya.
Ketika Lauri naik ke tempat tidur, dia mengikuti hanya untuk memuaskan kebutuhan seksualnya secara cepat, kemudian bekerja lagi sementara Lauri berbaring sendirian dalam gelap sampai akhirnya tertidur. Tiap pagi Lauri pelan-pelan turun dari tempat tidur dan berangkat kerja tanpa membangunkan suaminya.
Ketika lagu-lagunya ditolak produser, Paul mengalami depresi hebat. Berulang kali dia mabuk, memaki-maki, dan menangis.
Waktu Lauri berusaha menghibur dan membangkitkan semangatnya, pria itu berteriak, "Kau tahu apa, hah" Tiap hari kerjamu cuma bergaul dengan segerombolan manusia tolol yang bahkan tidak bisa mendengarkan musik, bagus atau tidak Jadi jangan sok tahu. Demi Tuhan, tutup mulutmu!" Paul akhirnya berhasil mengatasi depresinya, lalu mengalami periode penyesalan mendalam yang bah kan lebih menjengkelkan daripada kelakuannya sebelumnya. Dia menangis tersedu-sedu sementara Lauri memeluk dan menghiburnya seperti anak kecil. Pria itu meminta maaf dengan sangat dan berjanji tidak akan bersikap kasar lagi padanya Lauri menenangkan dan membuatnya jadi manusia rasional kembali. Tapi keadaan itu tidak bertahan lama. Selama delapan bulan berikutnya berkali-kali Paul kumat, makin lama makin sering. Dia mabuk karena tidak bisa menulis musik yang bagus. Dan dia tidak bisa menulis musik yang bagus karena mabuk. Dan Lauri yang menderita karenanya.
Ketika secara fisik pria itu mampu berhubungan seks, Lauri mentolerir perbuatan yang dilakukan tanpa kehangatan atau kasih sayang dan timbul, dari kemarahan Paul terhadap dirinya sendiri. Lauri dimanfaatkan sebagai tempat penyaluran frustrasinya.
Lauri merasa harus meninggalkan suaminya un tuk mempertahankan kewarasannya sendiri dan su paya tidak terjerumus ke dalam kondisi seperti itu Dia tidak sanggup lagi menghadapi emosi suaminya yang cepat sekali berubah, sikapnya yang tem peramental, egonya yang perlu selalu dihibur dan paranoianya yang harus ditenangkan.
Lauri pindah dan menyewa apartemen lain. Dia tidak pernah minta cerai, masih berharap Paul mampu mengatasi kelemahannya dan mereka bisa saling mencintai sebagaimana mestinya.
Tiga bulan kemudian pria itu meninggal. Pacarnya saat itu menelepon Lauri setelah mendapati Paul tertelungkup di atas tuts piano. Autopsi menunjukkan alkohol dan obat penenang dalam kadar mematikan; kematiannya dianggap karena ketidak-sengajaan. Lauri menerimanya.
Dia sekarang menggeleng penuh penyesalan sambil menyikat rambut. Cuma beberapa orang menghadiri pemakaman Paul. Orangtua Lauri belum pernah bertemu Paul. Mereka tidak bisa datang ke New York, dan Paul tidak mau pergi ke "tempat udik seperti Nebraska". Lauri menelepon ibu Paul, yang tinggal di Wisconsin dan belum pernah dijumpainya. Wanita itu mendengarkan sementara Lauri menceritakan kematian anaknya, lalu tanpa b
erkata apa-apa menutup telepon.
Mula-mula Lauri menyalahkan dirinya sendiri atas kematian Paul. Kalau saja dia lebih penuh pengertian, lebih mendukung; kalau saja dia tidak meninggalkannya-mungkin Paul bisa keluar dari lembah penderitaan yang digalinya sendiri itu.
Hanya setelah beberapa kali mengobrol panjang dengan ayahnya dan berlalunya waktu, Lauri berhenti menyiksa diri dan bisa menerima kematian suaminya.
Tapi pernikahan itu tetap mempengaruhinya. Dia jadi berhati-hati dalam memilih pasangan. Eksekutif-eksekutif muda yang lebih ambisius dalam mengejar karier daripada cinta adalah tipe yang tidak mau diterimanya. Setiap hubungan selalu tidak melibatkan emosi, dan jika dia merasa ada pria yang lebih dari sekadar tertarik padanya, dia cepat-cepat menjauh.
Dia mematikan lampu kamar mandi, membuka pakaian dalam, dan menyusup ke balik selimut dalam keadaan telanjang.
"Kau sangat beruntung dalam urusan laki-laki, Lauri Parrish," dia mengomeli dirinya.
Selama lima tahun sejak kematian Paul, dia selalu berhati-hati. Sampai hari ini, dengan menjaga jarak dan bersikap dingin dia tidak membiarkan seorang pria pun mencampuri kehidupannya. Ini bukan kekeliruan kecil; ini kecerobohan besar.
Drake Rivington bukan cuma ayah muridnya, tapi juga aktor! Apa yang lebih buruk daripada komposer selain aktor" Apa dia belum yakin juga tentang temperamen orang-orang seperti itu" Sedetik Drake menciumnya dengan gairah yang meruntuhkan benteng pertahanan dirinya dan mendidihkan darahnya. Detik berikutnya pria itu dingin dan tanpa perasaan, menjauh karena perkataannya mengingatkannya pada mendiang istrinya.
Yang lebih menyebalkan adalah sikapnya yang sombong bukan main. Dia terbiasa dipuja kaum wanita; yang mengharapkan dipandang, diajak bicara, disentuhnya. Persetanlah semua jtu, pikir Lauri kesal sambil meninju bantal.
Dia akan mengerjakan proyek yang mungkin makan waktu bertahun-tahun dan membutuhkan konsentrasi penuh. Dia tidak mau atau membutuhkan apa pun, terutama laki-laki. Abaikan sikap sombongnya. Jangan pedulikan. Lupakan dia.
Lupakan bahwa rambutnya berkilau keperakan di bawah cahaya tertentu. Lupakan bahwa matanya berwarna hijau sangat tua, dibingkai bulu mata berwarna sangat gelap, dan mampu menusuk orang dengan tatapannya. Lupakan bahwa tubuhnya tinggi, tegap, dan kuat, dan bahwa gerakannya mantap tapi anggun.
Lauri bergerak-gerak gelisah di balik selimut dan mengabaikan debar jantungnya ketika teringat bagaimana rasa ciuman Drake. Tak sadar tangannya bergerak ke bibirnya, yang masih terasa seperti digelitik akibat sentuhan manis pria itu. Jari-jarinya merayap ke telinga dan lekuk di baliknya yang pernah merasakan belaian lembut kumis Drake.
Dia mengerang ke bantal dan menelungkup. Bagian-bagian lain tubuhnya ingin disentuh, dibelai, tapi dia tidak mengacuhkannya, sama seperti ia tidak mengacuhkan fakta bahwa ia sangat tertarik pada Drake Rivington.
Bab Empat "Jennifer. Jennifer."
Ikal-ikal pirangnya bergoyang ketika gadis kecil itu menoleh ke arah suara yang tidak begitu jelas didengar telinganya, yang diketahuinya sebagai namanya itu-alat bantu dengarnya tersembunyi di balik rambutnya yang mengilat.
"Pakai serbetmu," Lauri mengisyaratkan sambil bicara, lalu tersenyum. "Enak"" tanyanya. Dia senang waktu Jennifer mengisyaratkan ya dan berusaha mengucapkannya.
Mereka berada di kafe di LaGuardia Airport, menunggu pemberitahuan bahwa pesawat ke Albuquerque yang akan mereka tumpangi siap berangkat. Jennifer sedang menghabiskan sepiring es krim vanila sementara Drake dan Lauri mengawasinya dengan cermat.
"Kemajuannya selama dua minggu ini begitu pesat, rasanya sulit untuk dipercaya, Lauri."
Jantung Lauri seolah berhenti berdetak ketika Drake mengucapkan namanya, namun ia menyembunyikan reaksinya. "Ya, memang," jawabnya tenang menutupi perasaan sebenarnya, ia akan pergi, ia tak akan bisa bertemu pria itu lagi, untuk urusan bisnis sekalipun. Sejak malam Drake menciumnya, dia sengaja bersikap dingin dalam semua pertemuan mereka.
Mereka harus terus bercakap-cakap sampai d
ia dan Jennifer boleh menaiki pesawat. Dia tak sanggup menghadapi suasana diam yang kaku. "Ingat, jangan terlalu berharap," Lauri memperingatkan.
"Baik," Drake berjanji dengan sungguh-sungguh.
"Aku tahu kau akan berbuat sebaliknya," kata Lauri, tertawa, dan pria itu membalas senyum manisnya.
Dua minggu terakhir ini berlalu cepat sekali. Drake membereskan segala sesuatunya dengan sigap. Dia membayar sewa apartemen Lauri, walaupun tanggal jatuh temponya masih tiga bulan lagi. Dia menyelesaikan semua urusan yang berhubungan dengan perjalanan mereka, dan selalu memberitahu Lauri tentang persiapan yang dilakukan di New Mexico.
Lauri sudah mengirim lebih dulu pakaian musim dingin Jennifer dan miliknya. Sementara beberapa perlengkapan rumah tangga yang dimilikinya, diberikan atau dijualnya pada teman-temannya. Drake memberitahunya bahwa rumah di New Mexico itu berperabotan lengkap. Barang-barang pribadinya dipak dalam beberapa kardus dan dimasukkan ke bagasi pesawat bersama koper-kopernya.
Dr. Norwood menyesali kepergian Lauri setelah dia begitu lama mengajar di sekolahnya, namun tahu betapa Lauri sangat sesuai mengajar secara privat dan betapa Jennifer Rivington sangat membutuhkan perhatian seperti itu. Dia mendoakan keberhasilan Lauri.
Lauri sengaja bersikap formal kalau bertemu dan berbicara di telepon dengan Drake. Topik pembicaraan mereka selalu berkisar pada Jennifer atau pengaturan yang dilakukan untuk perjalanan dan kenyamanan mereka di Whispers.
Pada pertemuan pertama mereka setelah malam Drake menciumnya, pria itu menggenggam tangannya dan berkata perlahan, "Lauri, tentang malam itu-"
"Tidak usah dijelaskan, Drake." Lauri menarik tangannya. "Kurasa kita berdua terhanyut suasana emosional di sekolah. Tolong jangan disinggung-singgung lagi."
Mata pria itu mengeras, dan kerut-kerut di kedua sisi mulutnya menegang, tapi dia tidak mengatakan apa-apa. Mulai saat itu, sikapnya sekaku dan sedingin Lauri. Pernah, ketika mereka menyeberangi jalan ramai Manhattan, pria itu memegang sikunya, tapi langsung melepaskannya begitu mereka sampai di seberang. Sampai sekarang dia tidak pernah menyentuhnya lagi.
Dengan putus asa Lauri berusaha menahan gairah liar yang menderu di seluruh pembuluh darahnya tiap kali dia melihat pria itu. Perasaannya baru akan tenang kalau mereka terpisah jauh. Dia yakin dia cuma korban pesona dan ketampanan Drake yang memang telah merebut hati begitu banyak wanita. Dia akan mengatasi mabuk kepayang ini seperti dia berhasil melupakan semua cintanya sejak remaja.
"Kau mau Coke lagi"" tanya Drake padanya dan membuyarkan lamunannya.
"Tidak, sudah cukup, terima kasih."
"Aku ingin memesan sebotol bir lagi," katanya, lalu memberi tanda pada pelayan. Gadis malang itu girang sekali, dan waktu Drake mengalihkan perhatian padanya, dia nyaris tersandung saking terburu-burunya mengambilkan minuman pria itu. Drake menoleh pada Lauri kembali dan berkata, "Kau pernah bilang ayahmu pendeta." Lauri mengangguk. "Itukah sebabnya kau tidak pernah minum alkohol""
Lauri tertegun sesaat mendengar pertanyaan itu.
Lalu ia menjawab tenang, "Bukan. Aku dulu sesekali minum alkohol, untuk pergaulan." Dia mengalihkan pandangan dari pria itu dengan menghapus es krim dari wajah Jennifer. "Aku telah melihat pengaruh buruk alkohol," katanya perlahan.
"Suamimu"" Pertanyaan itu diucapkan dengan suara pelan, namun Lauri merasa seperti disambar petir. Pernikahannya tidak pernah disebut-sebut lagi sejak malam di luar apartemennya dahulu.
"Ya," katanya, membalas tatapan tajam pria itu. Dia mendesah. Bagaimanapun dia memang harus menceritakannya pada Drake. "Akan kuceritakan pernikahanku padamu. Setelah ini aku tidak ingin membicarakannya lagi." Dengan singkat dan tanpa emosi Lauri menceritakan pernikahannya dengan Paul yang singkat tapi kacau-balau. "Aku kembali memakai nama gadisku setelah dia meninggal. Aku tidak pernah merasa jadi miliknya begitu juga sebaliknya, jadi kupikir aku munafik kalau memakai namanya."
Pelan-pelan dia memandang Drake. Pria itu menatapnya lekat-lekat, menyentuh setia
p inci wajahnya dengan matanya. Mata itu berbinar sebentar di bibirnya, dan Lauri merasa seolah dia merasakan ciumannya lagi. Lalu mata pria itu beralih ke putrinya.
"Jennifer." Drake mengetuk pelan meja dan menarik perhatian si anak. Dia mengulurkan tangan dan gadis kecil itu melompat bangun dari kursi dan lari mengelilingi meja untuk naik ke pangkuannya.
Drake tidak memedulikan bir yang diletakkan pelayan yang salah tingkah itu di hadapannya. Dia memeluk Jennifer erat-erat, membenamkan wajah di rambut ikalnya. Lauri membuang muka dan menahan air mata yang menggenangi sudut matanya. Dia akan merasa bersalah ketika berjalan ke pesawat bersama putri pria itu, karena memisahkan mereka.
Sementara Drake memandangi wajah tanpa dosa anaknya, Lauri berkata, "Kau bisa menyuratinya. Itu akan membantunya menyadari kau masih jadi bagian hidupnya. Aku juga dapat menggunakan surat-suratmu sebagai alat bantu mengajar. Kami bisa pergi ke kantor pos, dan sebagainya."
"Oke," Drake bergumam, membetulkan kaus kaki putih selutut di kaki gemuk Jennifer.
"Tentu saja, kami akan jadi penggemar berat The Hearts Answer."
"Oh, Tuhan, jangan biarkan dia menontonnya," Drake mengerang, tapi kembali tersenyum.
Para penumpang dipanggil melalui pengeras suara dengan suara mendayu-dayu yang dibuat-buat. Lama Lauri dan Drake berpandangan sementara Jennifer asyik berceloteh pada ayahnya. Akhirnya Lauri membuang muka dan membungkuk untuk mengambil tas besar yang akan dibawanya ke pesawat.
Mereka berjalan tanpa bicara. Drake menggendong Jennifer, yang masih belum menyadari fakta bahwa sebentar lagi dia akan berpisah dari laki-laki ini, yang disayanginya sepenuh hati.
Drake mengambilkan boarding pass mereka, lalu menatap Lauri. "Kalau ada yang kaubutuhkan, kapan saja, segera telepon aku. Kau lebih dari sekadar pegawai, Lauri. Aku memasrahkan putriku padamu."
"Aku tahu. Aku akan berbuat sebaik mungkin untuknya. Kau boleh percaya itu."
Para penumpang dan pegawai perusahaan penerbangan mengenali Drake, berbisik-bisik dan mengangguk-angguk. Beberapa wanita bersikap sangat konyol, sementara yang lain cuma tersenyum pada pria itu dan berjalan terus. Lauri sangat menyadari tatapan mereka. Drake kelihatannya tidak.
Pria itu berjongkok dan mengeluarkan sebungkus permen karet dari saku. Jennifer meraihnya, namun Drake tetap memegangnya sampai anak itu memintanya dalam bahasa isyarat. Dia memeluknya sebentar, lalu mengisyaratkan Aku sayang padamu. Jennifer membalasnya, tapi sebetulnya lebih tertarik pada permen karet di tangan pria itu.
"Menurutmu dia mengerti"" Drake bertanya penuh harap pada Lauri.
"Dia tidak menyadari bahwa dia akan meninggalkanmu untuk waktu lama. Pemahamannya tentang kasih sayang sama seperti anak-anak lain."
Drake tampak puas dengan jawaban Lauri dan mengangguk tak sadar. Matanya bergerak ke sana-kemari ketika memandangi kerumunan yang menunggu giliran naik ke pesawat. Tapi sebetulnya dia dan Lauri sama-sama hanya berpura-pura memperhatikan orang lain. Akhirnya matanya kembali menatap wanita itu.
"Lauri," kata Drake ragu. Dia menyentuh tangan Lauri yang menggenggam boarding pass. Dipandanginya lagi wajah wanita itu. Mata hijaunya membuat Lauri terpaku. Mata itu memohonnya untuk... apa" Mata yang bagai tak berdasar itu seolah menariknya ke dalam pusaran air. Lauri tenggelam.
Jangan pandang aku seperti itu kalau kau masih cinta pada istrimu, dia ingin menjerit pada pria itu. Ketika Drake bergerak untuk memeluknya, dia cepat-cepat mundur dan menarik tangan Jennifer. "Sebaiknya kita bergegas. Selamat tinggal, Drake." Sebelum pria itu sempat menghentikannya, dia sudah melewati gerbang, menunjukkan pass pada petugas.
Jennifer mengikuti Lauri setelah melambai penuh semangat pada Drake. Anak itu tidak tahu dia takkan bertemu dengan ayahnya lagi selama berbulan-bulan. Lauri tidak menoleh.
Dia berjalan dengan kaki gemetar melalui koridor portabel menuju pintu pesawat dan menemukan kursi mereka di bagian kelas satu. Dengan gerakan lucu dia memakai sabuk pengaman supaya Jennifer tidak takut karena tiba-
tiba harus diikat. Para pramugari segera terpikat pada gadis kecil itu. Salah seorang dari mereka tahu bahasa isyarat dan tak lama kemudian berbicara pada Jennifer sesuai dengan perbendaharaan kata terbatas anak itu.
Ketika pesawat mulai meluncur Lauri memandang terminal bandara dan melihat di balik dinding kaca ada siluet seorang laki-laki yang pasti Drake.
Dia berjuang menahan tangis, yang cuma akan menggelisahkan Jennifer. Tenggorokannya serasa tercekik karena emosi, dan dia tidak tahu apakah sanggup menahan rasa sakit di hatinya yang seperti tertusuk.
Aku harus melawan ini, kata Lauri sengit dalam hati. Aku tidak boleh mencintainya. Aku bekerja padanya, itu saja. Dia mencintai istrinya. Dia aktor. Bintang sinetron. Dia telah mengakui bahwa kalaupun dia tertarik, itu karena kebutuhan fisik, bukan emosional. Aku tidak menginginkannya dalam hidupku.
Tapi, bahkan lama setelah pesawat menembus awan dan berbelok ke barat daya, Lauri masih belum berhasil meyakinkan dirinya.
"Aku tak percaya akhirnya akan punya tetangga.
Waktu Mrs. Truitt - wanita yang membersihkan rumah ini untukmu-memberitahu aku bahwa kau dan gadis kecil ini akan datang, aku gembira sekali. Ada yang bisa kubantu""
Lauri tersenyum pada wanita bertubuh montok yang duduk di bangku dapur itu. Betty Groves tinggal di sebelah rumah pegunungan Drake di Whispers, New Mexico.
"Tidak ada, terima kasih. Kalau tidak kubereskan sendiri barang-barang ini, aku tidak bakal tahu di mana letaknya. Aku sudah hampir selesai kok."
Lauri tengah mengeluarkan buku-buku masak yang dibawanya dari New York. Dia dan Jennifer baru sehari tinggal di rumah baru mereka dan masih berusaha menghafal segala sesuatunya.
Apa yang digambarkan Drake sebagai "tidak mewah", ternyata jauh dari sederhana. Ketika dia dan Jennifer tiba di rumah pondok bergaya Swiss berlantai dua, setelah naik mobil baru yang dibelikan pria itu untuk mereka, Lauri tak habis pikir mengapa ada orang yang memiliki rumah sebagus itu tapi tidak mau tinggal di situ.
Di lantai bawah terdapat ruang tamu luas, di satu sisinya ada jendela besar yang menghadap pegunungan dan di sisi lain ada perapian batu. Ruang tamu itu berhubungan dengan ruang kecil berpanel yang menurut Drake bisa digunakan sebagai ruang kelas untuk Jennifer. Dan ketika Lauri melihatnya, ia sepakat dengan laki-laki itu bahwa ruangan itu memang cocok untuk dijadikan kelas. Ruang makan terletak di ujung ruang tamu, dan bersebelahan dengan dapur modern bersuasana cerah, yang juga memiliki area makan.
Di atas ada kamar tidur sangat luas, berisi tempat tidur besar, kamar mandi mewah, kamar tidur lagi, lengkap dengan kamar mandinya.
"Kita pakai saja semua kamar ini, ya, Jennifer"" kata Lauri tadi malam ketika membongkar tas-tas Jennifer di kamar yang lebih kecil. Dia akan tidur di kamar yang lebih besar. "Tidak ada gunanya kita hidup sederhana, padahal ada begini banyak kamar," dia berkata pada diri sendiri sementara Jennifer memandangi rumah barunya dengan takjub. Sejak dulu dia tinggal di asrama sekolah. Di matanya, pikir Lauri, tempat ini pasti kelihatan seperti istana.
Semua berjalan lancar dan sesuai rencana. Dia dan Jennifer turun dari pesawat dan disambut pria setengah baya ramah yang mengantarkan mobil yang telah dipesankan Drake lewat telepon.
"Jika Anda ingin melihat model-model lain, Mr. Rivington bilang saya harus menemani Anda sampai Anda menemukan pilihan Anda." Lauri menatap Mercedes perak langsing yang masih baru itu- semua aksesori yang tersedia ada di mobil itu-dan tertawa pelan. "Saya rasa ini sudah cukup."
Penjual mobil itu membantunya memasukkan tas-tas mereka ke bagasi dan menerangkan secara mendetail jalan ke Whispers. Kota itu sekitar satu jam perjalanan ke barat laut Albuquerque.
Rumah sudah siap ditempati ketika mereka tiba. Mereka tidur cepat, setelah makan sekaleng sup dan beberapa potong biskuit dan keju dan membongkar hanya barang-barang yang mereka butuhkan malam ini.
Keesokan harinya Lauri terbangun ketika mendengar kicau burung-burung, dan bergegas pergi ke kamar Jennifer, tahu
anak itu pasti akan menyukai suasana pagi rumah barunya. Pemandangan di sini jelas berbeda dari pemandangan Manhattan yang biasa dilihat Jennifer. Seperti dugaan Lauri, gadis kecil itu gembira sekali.
Setelah sarapan daging dan telur, yang ditemukan Lauri di kulkas yang penuh makanan, dia memandikan Jennifer dan memakaikan celana pendek dan T-shirt. Dia juga berpakaian santai, lalu memulai kegiatannya, mengenali rumah dan membongkar barang-barang bawaannya yang cuma sedikit.
Pendekar Harpa Emas 2 Pendekar Rajawali Sakti 164 Istana Tulang Emas Pembunuhan Roger Ackroyd 4
^