Gaung Keheningan 4
Gaung Keheningan Eloquent Silence Karya Sandra Brown Bagian 4
"Lauri-" Drake tidak melanjutkan kalimatnya dan tampak ragu-ragu. Akhirnya dia cuma mengatakan "Selamat malam", hingga membuat Lauri kesal sekali.
Sesuatu membangunkan Lauri. Dia tersadar dari tidur nyenyak karena instingnya memberitahu ada yang tidak beres. Memasang telinga sebentar, dia tidak mendengar sesuatu yang bisa membangunkannya, meskipun begitu dia tetap menyibakkan selimut dan turun dari tempat tidur. Mantelnya tergeletak di kursi, dan dia memakainya sebelum melangkah ke koridor gelap.
Yang pertama dipikirkannya adalah Jennifer. Dia pergi ke pintu kamar gadis kecil itu. Tempat tidurnya kosong. Lauri menahan panik yang melandanya dan melintasi kamar menuju kamar mandi di sebelahnya. Jennifer tidak ada juga di sana.
Lauri menuruni tangga, dengan tersandung-sandung karena menginjak ujung mantel, untuk memeriksa kamar-kamar di lantai dasar. Tidak ada Jennifer. Berpikir-berharap-anak itu bangun karena haus atau ingin makan kue, dia pergi ke dapur dan menyalakan lampu. Jennifer tidak ada di ruangan itu, tapi pintu belakang terbuka lebar, memasukkan udara malam yang dingin. Jantung Lauri bagai berhenti berdetak. Diculik!
Itulah pikiran yang langsung muncul di benaknya. Drake selebriti. Dia dan anaknya merupakan sasaran sempurna bagi orang sinting yang mencari kekayaan atau ketenaran seketika.
Keinginan pertamanya adalah berlari ke luar dan menemukan sendiri anak itu, namun di tengah ruangan dia berhenti. Bagaimana kalau mereka masih ada di luar sana" Mereka bisa mengalahkannya. Di luar gelap dan dingin. Dia tak bersenjata.
Dia berlari ke kamar Drake dan tanpa ragu memegang bahu telanjang pria itu dan mengguncangnya.
"Drake, bangun." Suaranyakah itu yang bergetar ketakutan" Kedengarannya mirip isakan. "Drake, kumohon bangunlah."
Pria itu langsung duduk tegak dan memandangnya dengan tatapan liar, kosong, dan kaget seperti layaknya orang yang mendadak dibangunkan. "Lauri" A-ada apa""
"Jennifer. Dia tidak ada. Aku terbangun-mendengar sesuatu, kurasa-pintu belakang. Kupikir, barangkali penculik-"
Dia tergagap-gagap dan omongannya tak jelas, namun Drake tahu wanita itu ketakutan, dan dia cukup memahami kata-katanya sehingga bisa menebak sisanya.
Drake menendang selimut dan berlari meninggalkan tempat tidur dengan gerakan sigap bak binatang.
Ia menyambar mantel dari cantelan di belakang pintu dan buru-buru mengenakannya sambil bergegas menyusul Lauri, yang sudah kembali ke dapur.
Dia langsung pergi ke pintu dan memandang kegelapan pekat di luar. "Kita telepon polisi"" tanya Lauri gemetar sambil meremas-remas tangan. "Drake, apa-" Dia tidak sanggup melanjutkan. Dia menangis tersedu-sedu.
"Tenanglah, Lauri. Tidak ada gunanya histeris. Ya, telepon polisi. A
ku akan ke gudang di luar dan mengambil senter-"
"Tapi mereka mungkin saja masih di luar sana. Oh, Drake, tidak-"
"Siapa 'mereka'" Kita bahkan tidak tahu apa yang terjadi. Tapi demi Tuhan aku bersumpah kalau terjadi apa-apa pada Jennifer, akan kubunuh-" "Kalian berdua mencari si Pengelana Malam"" kedua orang panik yang berdiri di tengah ruangan itu menoleh dan ternganga memandang Betty, yang menggendong Jennifer.
"Oh, Tuhan," kata Lauri, menutup mulut dengan tangan karena lega, lalu cepat-cepat mengambil anak itu dari pelukan Betty. Didekapnya Jennifer dan dibuainya, masih tidak percaya dia sudah pulang dalam keadaan selamat.
"Apa yang terjadi"" tanya Drake, dan Lauri mendengar suara pria itu bergetar. Drake memegang punggung Jennifer dengan sikap melindungi.
"Aku sedang tidur nyenyak," Betty menjelaskan, "ketika mendengar ada orang di pintu belakang. Tentu saja, aku langsung mengira itu pasti pencuri atau pemerkosa dan nyaris panik. Aku takkan pernah bisa membiasakan diri dengan Jim yang selalu pergi dan aku harus sendirian." Mata cokelat bulatnya lalu kembali ke dada telanjang Drake yang amat menggoda, yang kelihatan karena bagian leher mantelnya rendah.
"Yah, begitulah," Betty melanjutkan, "kuputuskan bahwa pemerkosa itu tidak terlalu pandai karena dia ribut sekali waktu berusaha membuka pintu. Kurasa aku lebih penasaran daripada takut. Aku pergi ke dapur dan mengintip ke luar jendela. Jennifer berdiri di tangga, mencoba membuka pintu. Ketika kusilakan masuk, dia langsung ke kamar Sally. Tadi siang dia meninggalkan Bunny di sana. Setelah memperoleh apa yang diinginkannya, dia berjalan pulang. Kupikir sebaiknya kutemani dia dan memastikan anak itu sampai di sini dengan selamat. Bisa kalian bayangkan bandit kecil ini keluar sendirian tengah malam tanpa seizin kalian""
"Dia lelah sekali ketika tidur, sehingga mungkin tidak merasa kehilangan Bunny. Ketika terbangun tengah malam dan menyadari boneka itu tidak ada, dia pergi untuk mengambilnya." Lauri meneruskan cerita itu. Dia tersenyum pada Jennifer, yang memeluk Bunny dan menguap. Lauri menyibakkan helai-helai rambut ikalnya dari pipi ketika menciumnya.
Drake meraih anaknya dan mengangkatnya ke depannya, sementara dia berjongkok. "Jennifer, kau nakal sekali!" dia mengisyaratkan dengan tegas untuk menekankan maksud omongannya. "Jangan pernah pergi tanpa seizin aku atau Lauri. Kami jadi-" Dia tidak tahu bahasa isyarat takut dan memandang Lauri untuk meminta pertolongannya. Lauri memberitahukannya dan dia melanjutkan, "Kami jadi takut dan sedih. Kami tidak tahu kau ada di mana. Kalau kau pergi tanpa izin lagi, aku terpaksa harus memukulmu."
Bibir bawah Jennifer mulai bergetar, dan dia tahu ayahnya tidak main-main. Lalu tangan Drake merangkulnya dan pria itu memeluknya erat-erat, memejamkan mata karena ngeri memikirkan kejadian-kejadian buruk yang bisa menimpa Jennifer. Tangan Jennifer memeluk lehernya, meskipun dia tetap memegang Bunny kuat-kuat. Drake mengangkatnya dan mereka berjalan keluar dapur. "Ya Tuhan, aku-"
"Terima kasih, Betty. Tidak bisa kukatakan betapa leganya aku melihatmu bersamanya. Aku baru saja membangunkan Drake, dan kami tadi sudah membayangkan yang tidak-tidak." Dia berterima kasih pada tetangganya itu tapi sedang tidak ingin mendengar celotehan Betty.
"Aku harus pulang. Selamat malam. Kembalilah ke keluargamu di atas." Dia menyentuh lengan Lauri untuk menenangkannya dan bergegas keluar lewat pintu belakang. Lauri menguncinya. Ketakutannya masih belum hilang.
Di kamar Jennifer, Drake duduk di tepi tempat tidurnya, mengusap-usap kening anaknya, walaupun gadis kecil itu sudah tidur pulas. Digenggamnya tangan Lauri ketika wanita itu membungkuk dan mencium Jennifer.
Mereka meninggalkan kamar itu bersama-sama. Ketika mereka sampai di koridor, Drake berkomentar, "Kau gemetar."
"Aku tidak tahu apakah karena dingin atau takut."
"Kau mau segelas anggur""
"Tidak, aku akan baik-baik saja," katanya waktu mereka tiba di depan pintu kamar tidur utama. Dia mendongak dan tersenyum, tapi senyumnya memudar waktu melihat ker
induan yang tampak jelas di wajah pria itu, yang terlalu memikat untuk diabaikan. Mereka saling berhadapan dan lama berpandang-pandangan. Drake tidak menyentuhnya, tapi memang tidak perlu. Lauri sangat menyadari keberadaan tubuh pria itu, yang tampak seperti tertarik ke arahnya, walaupun Drake tidak bergerak. Bagai magnet yang kutubnya berlawanan, mereka saling mendekat. Hasrat naluriah yang tak bisa dibantah mereka, merupakan kekuatan dan datang begitu mendadak hingga tak bisa dilawan. Ketika akhirnya bergerak bersama, mereka berpelukan erat, menyatu karena takut dipisahkan.
Lauri tidak melawan waktu Drake menggendong dan membawanya ke kamar, dan membaringkannya dengan lembut di atas bantal. Dengan sigap Drake melepas mantel dan pakaian dalamnya. Telanjang bulat ia berbaring di samping Lauri, dan dengan gerakan sensual bagai dewa purba melaksanakan upacara cinta itu.
"Lauri, jangan bicara. Jangan berpikir. Kumohon, jangan berpikir. Rasakan saja. Rasakan."
Tangannya menyusuri kembali lekuk-lekuk tubuh Lauri. Drake tidak terburu-buru, pelan-pelan ia membuka mantel Lauri. Tapi dia ingin melihat dan mengetahui semuanya. Disibakkannya mantel itu, diangkatnya bahu Lauri ketika melepaskannya dari tubuhnya.
Ditariknya wanita itu dan dipeluknya dengan penuh perasaan. Mulutnya mencium sementara tangannya membelai, menggoda, membangkitkan kenikmatan di tubuh Lauri.
Bahu, dada, dan perut Lauri mengenali sentuhannya dan menikmatinya. Drake menghujani dada Lauri dengan ciuman-ciuman panas. Kemudian dengan sentuhannya, Drake mendapati Lauri telah siap menyambutnya.
Sentuhannya sangat lembut dan begitu intim sehingga Lauri tersentak lalu mencengkeram bahu Drake karena merasakan sensasi yang belum pernah dirasakannya.
"Lauri. Kau wanita... cantik... yang diciptakan untukku." Ucapannya terputus-putus. Tapi kalaupun dia tidak bicara, Lauri bisa mengetahui apa yang dipikirkannya. Bibir Drake yang membelai dan sentuhannya yang luar biasa sudah mengatakan semua yang perlu diketahuinya.
Kata-kata Paul terngiang. Lauri tidak pernah membuatnya senang. Sekarang dia sadar bahwa dulu dia tidak peduli sehingga tidak ingin memberi suaminya itu kenikmatan. Tapi sekarang dia ingin membuat tubuh Drake merasakan kenikmatan seperti yang dirasakan tubuhnya.
Tangannya menjelajahi tubuh tegap itu, memijat otot-otot di bawah tangannya. Disingkirkannya perasaan malu dan segan dan disentuhnya pria itu, dibelainya.
"Lauri... ya, Sayang. Kenalilah aku," kata Drake sambil menahan napas ketika membenamkan kepala di leher Lauri dan mencengkeramnya kuat-kuat.
Reaksinya membangkitkan kepercayaan diri Lauri, dan kata-kata menghina Paul terlupakan waktu dia mendengar erangan-erangan nikmat tertahan Drake. Pria itu membisikkan namanya berkali-kali, napasnya mengembus telinganya.
Drake memegang wajah Lauri dengan dua tangan dan melumat bibirnya dengan ganas. Setelah ragu-ragu sejenak ia berhenti sebelum menyatukan tubuh mereka. Dia mengangkat kepala dan memandang Lauri. Lauri menyentuh wajahnya dan menyusuri bagian-bagian yang dicintainya itu. Jari-jarinya mengelus kumis pria itu dan mengitari bibirnya. Mata mereka terus bertatapan.
"Lauri"" desah Drake.
Lauri merasakan sentuhan awalnya. Sambil memejamkan mata, ia menarik kepala Drake ke bantal. Dia mendesahkan nama pria itu dengan takjub ketika tubuh mereka melebur jadi satu.
Dan hebatnya, kenikmatan ini tidak berhenti sampai di situ, seperti biasanya selama ini. Drake membisikkan rayuan-rayuan, dan menikmatinya. Sensasi di dalam tubuh Lauri menyebar, memacu jantungnya, dan melanda jiwanya. Drake meneriakkan namanya ketika mencapai puncak. Lauri mendengarnya sedetik sebelum tubuhnya serasa meledak.
Dan ledakan itu berlanjut terus....
"Aku belum pernah merasa seperti ini," bisik Lauri lemah dalam kegelapan.
Kepalanya bersandar di dada Drake ketika pria itu memeluknya, kaki mereka saling membelit di balik selimut. Drake mengusap-usap punggungnya.
"Tidak pernah"" tanya Drake lembut, bangga. "Tidak dengan-"
"Paul" Tidak," kata Lauri sambil tersenyum sedih dan mengg
eleng pelan. Bulu-bulu di dada Drake menggelitik hidungnya. "Tak kusangka aku bisa," dia mengaku.
Tawa menggemuruh di dada pria itu dan terdengar keras di telinga Lauri. "Yah, sekarang kita sudah tahu, bukan"" Ditepuknya bokong Lauri, lalu tangannya berhenti di sana dan membelai-belai.
Lauri mestinya merasa bersalah atas apa yang telah terjadi, namun dia tidak bisa membangkitkan perasaan itu. Dia malah sama sekali tidak menyesalinya. Dan dia tahu dia akan terus bercinta dengan Drake. Hal itu sekarang tak bisa dihindari, dan dia tidak lagi memiliki keinginan atau tekad untuk melawannya. Dia bergelung makin rapat pada pria itu.
"Kau kedinginan"" tanya Drake lembut.
"Sedikit," jawabnya.
"Semua selimut tertendang ke kaki tempat tidur," kata Drake pura-pura bingung. "Kok bisa, ya"" Lauri terkikik.
Mereka segera menarik selimut-selimut itu. Drake menciumi telinganya sambil menarik Lauri. "Aku berjanji kali ini tidak akan membuat selimut-selimut tercampak."
"Kali ini"" tanya Lauri terkesiap. "Maksudmu... lagi" Sekarang""
"Kau tidak mau"" Drake bertanya. Dalam kegelapan pun Lauri bisa melihat alisnya naik.
"Yah, aku-" Namun kepala pria itu sudah menunduk dan bibirnya membujuk. Lauri mendengar dirinya me-nyetujui dengan suara pelan tapi mendesak.
Bab Dua Belas Beberapa hari berikutnya berlalu dengan indah. Drake ternyata kekasih yang menggebu-gebu dan jarang merelakan Lauri jauh darinya. Tidur sekamar tidak cukup. Pria itu harus menyentuhnya, kalau tidak dengan tangannya, dengan matanya. Malam-malam mereka diisi dengan gairah yang membuat mereka berdua takjub. Di siang hari, kalau Jennifer sedang bersama mereka, mereka menceritakan kebahagiaan mereka pada anak itu, dan ia ikut gembira.
Mereka sering pergi ke desa, berjalan di antara toko-toko yang mengapit jalan-jalan berbukit yang indah. Suatu siang mereka mengunjungi John Meadows di toko kerajinannya. Pria itu menerima mereka dengan hangat dan tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa dia ingat kekasaran sikap Drake etika mereka terakhir bertemu. Lauri bersyukur ketika Drake betul-betul ber-inat pada karya John dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan sopan tentang berbagai benda yang dipajang di etalase. Kedua pria itu, meskipun berbeda bagai bumi dan langit, ternyata bisa juga asyik mengobrol. Meskipun demikian, Drake selalu memeluk bahu Lauri dengan posesif. Itu merupakan pernyataan kepemilikan yang disadari John.
Mereka menikmati acara jalan-jalan mereka, tapi saat favorit mereka adalah malam-malam tenang di rumah, duduk di dekat perapian, bertukar pikiran sambil minum sebotol anggur.
Lauri biasanya duduk di sudut sofa sementara Drake telentang dengan kepala di pangkuan Lauri seperti yang dilakukannya ketika orangtua Lauri tiba-tiba datang berkunjung. Drake menceritakan ambisi-ambisinya, tangannya bergerak-gerak ekspresif, matanya berbinar-binar penuh semangat.
Tapi tidak peduli seberapa serius topiknya, pembicaraan mereka selalu pelan-pelan berakhir. Tangan Drake yang tadi menegaskan omongannya mulai mengusap dan membelai Lauri sampai api di perapian tidak ada apa-apanya dibandingkan lautan api yang berkobar-kobar di antara mereka.
Ketika orangtuanya menelepon sebelum kembali ke Nebraska, Lauri tidak perlu berpura-pura bahagia. Dia meminta mereka mampir ke Whispers, namun berbagai kewajiban mengharuskan mereka pulang segera setelah konferensi pendeta usai. Lauri menutup telepon, memberitahu mereka bahwa dia sangat bahagia. Karena saat itu memang begitulah perasaannya.
Mereka berjalan-jalan jauh ke tengah hutan setelah Lauri dan Jennifer menyelesaikan pelajaran dan sebelum Betty dan anak-anaknya datang untuk belajar bahasa isyarat. Sering Lauri membawa bekal untuk makan siang, dan mereka duduk di selimut tua dan makan dengan santai di tepi kali dan di bawah pohon-pohon aspen yang sekarang gundul karena sebentar lagi musim dingin.
Suatu siang yang cerah saat berjalan-jalan seperti itu, setelah mereka selesai makan, Jennifer mengantuk dan tidur, bergelung di atas selimut. Drake bersandar di pohon dan menarik Lauri di anta
ra kakinya yang menekuk, menekan punggungnya ke dadanya yang bidang.
"Bisa-bisa aku mengikuti jejak Jennifer kalau aku merasa makin nyaman," gumamnya mengantuk sambil menyandarkan kepala di dada pria itu.
"Silakan saja," kata Drake di rambutnya dan menghamparkan selembar selimut lagi di atas tubuh mereka.
Napas teratur Drake bagai lagu pengantar tidur yang tidak sanggup dilawannya, dan tak lama kemudian Lauri sudah tidur. Dalam keadaan antara pulas dan sadar, pikiran-pikiran meresahkan mengganggu ketenangan yang menyelimutinya. Selama berhari-hari dia berhasil menyingkirkan Susan dari benaknya. Perasaan sayang Drake tidak perlu diragukan, tapi ketika sedang bercinta pun, tidak pernah sekali pun pria itu mengucapkan cintanya.
Pernahkah dia dan Susan duduk seperti ini" Apakah percintaannya dengan Susan lebih panas" Bisakah dia mencintai Lauri seperti ia mencintai Susan" Lauri pasti bergerak-gerak resah karena berbagai pikiran mengganggu itu. Drake memeluk nya lebih erat dan berbisik, "Mimpi buruk""
Lauri menggeleng, namun lamunannya telah membuyarkan kebahagiaan hari ini dan menimbulkan secercah keraguan dalam hatinya.
Tepat ketika akan menegakkan tubuh dan menjauh dari Drake, dia merasakan tangan pria itu menjelajahinya. Drake menghentikan tangannya di pinggangnya dan menyusupkannya di antara sweter dan pinggang jinsnya. Gerakan itu sudah cukup untuk menimbulkan gelenyar gairah yang membuatnya pasrah dan tak berdaya.
Sweternya terangkat sedikit ketika Drake memasukkan tangan ke dalamnya. Lauri merasakan sentuhan pria itu di payudaranya; mengelus, memijat. Belaiannya sama lembut dan penuh gairahnya dengan ketika ia pertama menyentuhnya. Drake sudah sangat mengenal tubuhnya, namun dia membuat Lauri merasa seakan setiap kali Drake menyentuhnya, itu adalah yang pertama.
"Drake"" "Jangan ganggu pria yang sedang sibuk," geram Drake di telinga Lauri.
Tiba-tiba Lauri merasa malu. Jika dia tidak bisa memberitahu pria itu bahwa dia mencintainya, dia ingin mengatakan sesuatu yang membuat pria itu tahu seberapa dalam perasaannya terhadapnya. "Aku cuma ingin kau tahu bahwa setiap kali kau-kita-bersama-aku-rasanya sangat istimewa bagiku."
Tangan Drake berhenti bergerak dan memegang lembut payudaranya. Lauri diam sama sekali. "Lauri," katanya serak. "Pandang aku."
Lauri menyandarkan kepala di bahunya dan me-miringkannya ke belakang supaya bisa melihatnya. "Bagiku juga sangat istimewa," kata pria itu. Dia menciumnya begitu penuh gairah sehingga pembuluh-pembuluh darah Lauri berdenyut akibat aliran darahnya yang seakan mendidih.
Tangan Drake turun ke pinggang melewati rusuknya, kemudian kembali melalui perut untuk menggenggam payudaranya. Pria itu membelai-belainya sambil menciumi telinganya. Lauri menjerit pelan dan menggeliat-geliat sementara tangan Drake telah bergerak ke pahanya.
Ketika suaminya itu sibuk membuka kancing jinsnya, Lauri menyadari apa yang akan terjadi dan kaget dengan kelakuannya sendiri. Dia dilanda perasaan malu dan minder.
"Drake, tidak," Lauri terkesiap dan meronta. "Jangan di luar sini," katanya marah, merapikan pakaian di balik selimut.
"Kenapa"" tanya pria itu, matanya berkilat nakal. "Di hutan asyik, kau tahu. Pikirkan orang-orang Viking, Romawi, Robin Hood dan Lady Marian-" "Yah, aku bukan mereka. Lagi pula, anakmu berbaring di sana." Dengan memiringkan kepala dia menunjuk Jennifer yang tidur nyenyak. Lauri masih menjauhkan tangan Drake darinya dan tidak berani melepaskannya.
"Dia kan tidur," bantah Drake. "Ayolah, Lauri. Kumohon." Dia merengek sekarang dan mencondongkan tubuh untuk menyapu bibir Laun dengan kumis. Itu senjata yang berbahaya, dan dia tahu cara menggunakannya. "Tidak. Bagaimana kalau ada yang datang"" "Mereka akan malu dan membuang muka." "Aku akan malu setengah mati!" teriak Lauri. Lalu dilembutkannya nada suaranya dan dibuatnya terdengar penuh janji. "Bagaimana kalau kau menunggu sampai nanti malam"" dia bertanya dengan gaya menggoda.
"Yah," gerutu Drake. "Kurasa mau tidak mau harus begitu. Kau cium aku sekali, aku membalasnya, lalu kita p
ulang." Lauri tidak melihat kilatan di mata Drake, dan permintaannya terdengar masuk akal.
Dia berpaling untuk menghadapnya dan mencium bibirnya. Ciumannya tanpa nafsu, tapi mengandung semua cinta yang dirasakannya terhadap pria itu. Ketika akhirnya bibir mereka berpisah, Drake berkata, "Sekarang giliranku."
"Apa-apaan kau"" Lauri kaget ketika Drake mengangkat bagian depan sweternya.
"Aku akan menciummu. Aku tadi kan tidak bilang apa yang akan kucium."
Drake mengangkat bahan rajut lembut itu dan mencium payudara Lauri. Ketika memandang wanita itu lagi, dia melihat mata cokelat muda itu berlinang air mata cinta. "Sekali lagi, ya"" katanya dan mulai mencium bibirnya.
Lauri yakin tentang satu hal. Drake tidak memikirkan Susan.
"Ada beberapa urusan di kota yang harus kubereskan," kata Drake, mengulurkan kepala dari luar kelas keesokan paginya. "Bagaimana kalau aku membereskannya, lalu membeli tamale buatan sendiri untuk makan siang" Kemarin aku bertemu seorang wanita yang membuat tamale sendiri. Aku mencicipinya, rasanya fantastis."
Lauri tertawa ketika pria itu berdecap-decap. "Yah, kalau kau suka wanita gemuk, kurasa aku tidak keberatan makan tamale"
"Aku menyukaimu," katanya tegas, dan memandang sekujur tubuh Lauri dengan tatapan nakal. "Sampai ketemu nanti," katanya jail. "Selamat tinggal, Jennifer," dia bicara pada putrinya, yang sibuk menumpuk balok-balok yang tadi digunakan untuk pelajaran berhitung. Anak itu membalas dan Drake pergi.
Kira-kira setengah jam sebelum Drake kembali, Lauri membawa Jennifer ke dapur.
"Kau akan menyukai ini, Jennifer," katanya dan mendudukkan anak itu di meja dapur.
"Kita akan melakukan permainan untuk melihat apakah kau bisa membedakan susu putih dengan cokelat." Seperti biasa, Lauri mengisyaratkan setiap kata. Jennifer mengamati dengan penuh minat. Pelajaran tentang makanan adalah pelajaran favoritnya.
"Oke," lanjut Lauri, "aku akan mengisi dua gelas. Kau lihat" Yang satu berisi susu putih dan yang lain cokelat. Aku ingin melihat kau mengatakannya." Setelah Jennifer dengan benar mengisyaratkan susu putih dan susu cokelat dan mengucapkannya sebisanya, Lauri berkata, "Sekarang aku akan memberimu sedotan. Akan kuletakkan tiap gelas di hadapanmu, dan beritahu aku susu yang mana yang kau minum. Kau mengerti""
Jennifer mengangguk, dan ikal-ikal pirangnya bergerak-gerak.
"Tutup matamu supaya kau tidak bisa melihat," perintah Lauri. Setelah yakin Jennifer tidak curang, Lauri memasukkan sedotan ke gelas berisi susu putih. Jennifer minum seteguk, lalu mengisyaratkan jawaban yang benar. Mereka mengulangi latihan itu sampai Lauri yakin anak itu sudah memahami kata-kata tadi dan dapat mengasosiasikan rasanya dengan namanya.
Mereka baru saja selesai belajar ketika Drake masuk dari pintu belakang sambil membawa sebungkus tamale yang baunya menggiurkan.
"Apa yang kalian lakukan"" tanya Drake, menaruh bungkusan itu di permukaan meja dan membuka jaket.
Coba kita lihat apa Drake bisa melakukannya, Lauri mengisyaratkan pada Jennifer, dan anak itu bertepuk tangan gembira. Lauri menjelaskan aturan permainan, dan untuk membuat Jennifer senang Drake pura-pura tidak yakin bisa melakukannya dengan benar.
Pria itu memejamkan mata dengan gaya berlebihan, tapi akhirnya menyesap susu dan berkata dalam bahasa isyarat, Itu susu putih. Tapi ketika Lauri meraih gelas susu cokelat, dia melihat Jennifer hampir menghabiskan isinya.
"Jennifer!" tegurnya, tapi mereka semua tertawa. Jennifer menunjuk bibir atasnya, di sana tampak kumis susu berwarna cokelat tua. Dia membandingkannya dengan kumis Drake.
Kau juga, Lauri, Jennifer mengisyaratkan. Kau juga.
Lauri protes keras, tapi Jennifer dan Drake tidak mau tahu. Dia mengambil gelas berisi susu cokelat dan meneguknya banyak-banyak, memastikan ada yang menempel di bibir atasnya. Jennifer menjerit girang dan melompat-lompat. Setelah mereka akhirnya bisa menenangkannya, Lauri memerintahnya, "Pergilah ke atas, cuci muka dan tanganmu sementara aku menyiapkan makan siang." Jennifer pergi dengan melompat-lompat riang.
"K au tidak akan mencuci mukamu"" tanya Drake sambil tersenyum geli. "Kumismu tidak cocok dengan rambutmu."
"Oh. Aku lupa," jawab Lauri dan berbalik ke arah wastafel.
"Izinkan aku," kata Drake, memegang bahunya.
Lidahnya yang bagai beludru dengan cepat membersihkan kumis susu Lauri, tapi seperti ciuman-ciuman mereka, pelukannya berlanjut. Lauri memeluknya dan mereka lama berciuman sampai keduanya memisahkan diri dengan napas terengah-engah.
"Kalau kita teruskan ini, bisa-bisa kau tidak jadi makan siang," gumam Lauri sementara bibirnya menciumi dagu pria itu.
"Aku mungkin ingin mengubah menunya," balas Drake parau. Diciumnya leher Lauri.
"Tamale-nya bisa dingin." Lauri mendesah ketika Drake menemukan titik yang sensitif.
"Itu sebabnya orang menciptakan microwave. Masa kau tidak tahu itu"" gumam Drake di telinga Lauri.
Lauri menarik napas pasrah dan dengan lembut melepaskan diri dari pelukan Drake. "Kita harus menjaga sikap. Sebentar lagi Jennifer datang untuk minta makan."
"Di mana bandit kecil itu"" tanya Drake. "Kuharap dia tidak kabur lagi." Sorot matanya menghangat waktu memandang Lauri. Drake ingat, seperti dia juga, bahwa pada malam Jennifer kabur, mereka bercinta untuk pertama kalinya.
"Biar kutengok dia," kata Lauri cepat-cepat. "Kalau kau tidak keberatan menata meja." Drake menggeleng, dan Lauri melesat keluar ruangan supaya tidak dipeluk pria itu lagi.
Dia menaiki tangga dan tengah berjalan ke kamar Jennifer waktu melihat gerakan di kamarnya sendiri. Oh, jangan ada keributan lagi, pikir Lauri ketika mendorong pintu supaya terbuka lebih lebar. Lalu jantungnya bagai berhenti berdetak. Benda pertama yang dilihatnya adalah sepasang sepatu balet dari satin pink. Sepatu itu pasti pas di kaki mungil dan langsing dengan cekung tinggi. Benda itu jelas kelihatan sering dipakai untuk latihan, karena bagian jarinya yang membulat dan datar tampak usang, dan pita satinnya berkerut-kerut karena sering dibuka dan diikat.
Sepatu itu tergeletak di antara foto-foto, pakaian-pakaian, beberapa buku acara teater, dan sebuah buku kliping besar bersampul kulit. Mata kaget Lauri yang terkejut melihat pintu lemari terbuka dari sanalah kotak-kotak barang itu berasal.
Jennifer duduk di lantai memandangi salah satu foto dengan konsentrasi penuh. Pelan-pelan, kakinya seperti diganduli bola besi, Lauri mendekatinya dan menarik perhatiannya.
Lauri, lihat" Wanita cantik, Jennifer mengisyaratkan dan menunjuk foto yang dipegangnya.
Dengan tangan gemetar Lauri mengambil foto itu dan menatap wanita yang diabadikan dalam foto itu. Dia cantik. Dia mengenakan baju latihan. Warmer kaki dari bahan wol yang hampir selalu dipakai para penari membungkus betis indahnya dan menonjolkan kesempurnaan pahanya.
Wanita itu bersandar di palang seakan sedang beristirahat setelah melakukan plie dan tendus. Dia memandang lurus ke kamera, tak acuh dan tidak berpose, menantang lensa fotografer untuk mendeteksi kekurangannya. Rambutnya berwarna gelap, dibelah tengah, dan disanggul di dasar leher angsanya. Mata hitamnya besar dan merupakan bagian yang paling menarik di wajahnya yang berbentuk hati.
"Ya, dia cantik," kata Lauri dengan suara nyaris tidak terdengar. Tanpa sadar dia duduk di lantai di samping Jennifer. Bahunya turun karena kecewa setelah melihat untuk pertama kalinya wanita yang masih memiliki hati Drake.
"Hei, kalian, aku kelaparan nih. Ada apa sih di atas"" Teriakan gembira Drake menyentakkan Lauri dari lamunannya. Tapi sebelum dia sempat menenangkan diri, pria itu sudah berdiri di ambang pintu. Mata dan wajahnya cerah karena senyumnya, tapi waktu dia melihat kamar Lauri yang be-rantakan-kotak-kotak yang isinya berserakan tanpa menghargai pemiliknya dahulu, anak dan wanita yang telah mencemari kenangannya pada istrinya- wajahnya berubah menyeramkan.
Lauri membuang muka supaya tidak melihatnya; dia tak sanggup menyaksikan penderitaan hebat itu. Diambilnya sepatu balet dari tangan Jennifer, yang berusaha dipakainya.
Jennifer, cucilah wajah dan tanganmu, kata Lauri setenang mungkin. Jennifer akan mempro
tes dan mengambil sepatu itu lagi, tapi Lauri memerintahkan, "Ayo!" Sikapnya yang mendesak menghilangkan bantahan apa pun, dan Jennifer berjalan melewati ayahnya, yang berdiri di atas foto dan memandanginya, tidak menyadari keadaan di sekelilingnya.
Setelah anak itu meninggalkan mangan, Lauri berkata, "Maafkan aku, Drake. Dia mengacak-acak. Biar kubereskan-"
"Tidak, jangan," bentak Drake. "Biarkan apa adanya. Aku akan merapikan dan menyimpan semuanya."
Lauri menjatuhkan sepatu satin pink itu seolah tangannya terbakar. "Baik," katanya, dan berlari keluar kamar.
Drake masih berdiri di tengah ruangan, menatap foto-foto yang berserakan.
Lauri membuatkan roti isi selai kacang untuk Jennifer. Anak itu mengobrol dengan Bunny, yang duduk di meja di samping piringnya sementara dia makan. Lauri memberinya semua yang diendusnya dan ditunjuknya. Kebiasaan ini biasanya tidak diperbolehkan, tapi saat ini Lauri kehabisan energi untuk memedulikannya.
Setelah Jennifer selesai makan siang, Sam dan Sally datang lewat pintu belakang untuk mengajaknya bermain di rumah mereka. Lauri memakaikan sweter-yang dibelikan Drake waktu mereka pergi ke Albuquerque-dan minta Sam mengantarkannya pulang setengah jam lagi.
"Tentu. Kami juga harus tidur siang kok," kata Sam sambil membantu Jennifer menuruni tangga sampai halaman.
Lauri mengawasi mereka berlari melintasi halaman, tapi sebetulnya dia tidak melihat mereka. Di benaknya terbayang foto-foto balerina yang menatap kamera dengan begitu percaya diri.
Apa penyebab kematiannya" Drake tidak pernah mengatakannya. Pria itu betul-betul menghindari pembicaraan tentang istrinya. Lauri tidak tahu apa-apa tentang wanita itu, kecuali bahwa dia dulu balerina klasik yang ikut audisi Grease, dan di audisi itu bertemu laki-laki yang kemudian menikahinya.
Apakah dia meninggal karena kecelakaan" Pesawat terbangnya jatuh" Apakah dia mengidap penyakit mengerikan yang men ambil nyawanya" Stroke"" Pasti bukan, dia masih semuda itu. Apa yang terjadi padanya"
Lauri membereskan piring-piring yang tadi dipakai Jennifer. Dibawanya bungkusan tamale itu ke tong sampah besar di luar. Rumah sepi. Dia keluar-masuk kamar-kamar, mencari sesuatu untuk dikerjakan untuk mengisi kekosongan hatinya, tapi tidak ada apa-apa. Dia menghitung menit demi menit sampai Jennifer pulang, dan setelah itu Lauri mengusulkan mereka membaca buku. Jennifer masuk ke kelas dan memilih buku tentang macam-macam alat transportasi.
Mereka duduk di sofa dan berdiskusi tentang berbagai mobil, bus, pesawat, dan boat di dalam buku bergambar itu. Sudah dua jam Jake di atas sampai Lauri mendengar langkahnya di tangga.
Dia bersiap-siap menghadapi apa pun. Seperti apa sikap Drake sekarang" Bagaimana reaksinya terhadap semua yang telah terjadi" Ketika memandang pria itu, dia tahu.
Drake memakai celana panjang, jaket sport, dan dasi: pakaian yang jarang dikenakannya sejak datang ke New Mexico. Di tangan kirinya ada koper kecil. Jas hujan tersampir di bahu kanannya.
Lauri berdiri dan meremas-remas tangan ketika pria itu menghampirinya. Waktunya telah tiba.
"Lauri, aku akan kembali ke New York," katanya singkat.
"Ya." Drake mengalihkan pandangan darinya. "Sudah terlalu lama aku di sini," katanya. Pria itu ingin meyakinkan dia atau dirinya sendiri" "Ada hal-hal yang harus kukerjakan. Aku tidak bisa tinggal di sini selamanya."
"Betul." Jika Drake menginginkan persetujuannya, pria itu harus bersiap-siap kecewa. Lauri tidak mau mempermudah situasi ini baginya. Dia pernah memohon pada Paul supaya mengizinkannya membantunya. Tawarannya ditolak mentah-mentah. Satu penolakan sudah cukup. Dia takkan membiarkan Drake mengorek luka lamanya.
"Kau akan menjelaskan kepergianku pada Jennifer"" tanyanya, tidak terlalu mengharapkan Lauri menjawab. Ketika yang terjadi sebaliknya, jawaban wanita itu mengejutkannya.
"Tidak. Jelaskan saja sendiri padanya." Dia mengenali apa arti dagunya yang terangkat dengan angkuh itu dan tahu percuma saja mendebatnya.
Drake meletakkan kopernya di lantai dan berjongkok di depan putrinya, yang
masih asyik melihat-lihat buku. "Jennifer," kata Drake. Cuma itu yang didengar Lauri. Dia cepat-cepat pergi ke pintu depan dan menekankan keningnya di kayu dingin keras itu. Aku tidak sanggup menghadapi ini, teriaknya dalam hati. Aku akan mati kalau dia pergi, erangnya. Tapi waktu mendengar langkah kaki Drake mendekat, dia menegakkan tubuh dan menghadapi pria itu dengan keberanian yang sama sekali tidak dirasakannya.
"Dia ngambek. Tolong tenangkan dan hibur dia demi aku," kata pria itu. Dan siapa yang akan menghiburku" Lauri ingin bertanya padanya. Dia melihat Drake sendiri pun goyah. Jika tidak mengenalnya, dia pasti mengira kilau aneh di mata pria itu disebabkan oleh air mata. Apakah dia begitu galau karena akan meninggalkan anaknya" Atau apakah ini cuma adegan perpisahan menyedihkan yang dimainkannya dengan andal"
"Aku harus membawa mobilmu, tapi akan kuatur supaya ada yang mengantarkannya kembali kemari besok."
Lauri mengangguk. "Yah, kalau begitu selamat tinggal. Nanti kuhubungi." Drake bersikap seolah masih ada yang ingin dikatakannya. Atau-Tidak, tidak mungkin dia ingin menciumnya, walaupun Lauri merasa kepala pria itu menunduk sedikit untuk mencoba-coba.
"Selamat tinggal, Drake," kata Lauri datar, dan membukakan pintu depan.
Kerut-kerut di sekeliling mulut Drake menegang, dan alis tebalnya berkerut. Pria itu mendesah kesal sebelum melewatinya. Lauri menutup pintu begitu pria itu keluar.
Seolah mengetahui suasana mendung ini, awan-awan kelabu bergulung dari puncak pegunungan dan menggantung di atas Whispers. Awan-awan itu menaburkan salju pertama musim ini. Entah mengapa selimut putih bersih itu tidak mampu menghilangkan kemuraman yang menyelubungi rumah.
Jennifer tidak mau terlibat dalam aktivitas apa pun, dan Lauri membiarkannya menonton televisi sepanjang hari ini.
Ketika waktu tidur akhirnya tiba, gadis kecil itu memeluk Bunny dan dengan suaranya yang manis tapi nyaris tidak jelas berkali-kali mengatakan, "Daud-y." Air mata mengalir di pipinya yang ber-
semu merah. Emosi Lauri yang sedang kacau-balau membuatnya tidak sanggup melihatnya. Dia berbaring di samping Jennifer dan memeluk anak itu erat-erat.
Mereka menangis sampai tertidur.
Bab Tiga Belas Waktulah yang mengobati kesedihan Lauri dan Jennifer karena kepergian Drake, walaupun mereka masih terus mengingat pria itu. Dengan keriangan khas anak-anak, Jennifer sudah kembali gembira ketika bangun keesokan paginya, senang melihat salju, dan bersemangat untuk memulai hari baru. Untuk menenangkan pikiran Jennifer dan pikirannya sendiri, Lauri merencanakan beberapa proyek yang akan menguras energi dan menghabiskan waktu hari ini. Waktu seolah berjalan lebih lambat sejak Drake pergi.
"Aku tak habis pikir dia meninggalkanmu begitu cepat setelah pernikahan kalian," komentar Betty dari tempat duduknya di dapur. Lauri sedang mengawasi pembuatan popcorn. Anak-anak ber-lepotan dari ujung jari sampai siku dan memasukkan makanan lengket itu ke dalam mulut sebelum gula panasnya dingin.
Lauri tidak menanggapi komentar itu, mengangkat bahu tak acuh dan berkata, "Dia kan punya pekerjaan, Betty. Dia harus kembali ke New York."
Aku tahu, tapi kau harus mengakui, perbuatannya tidak lazim untuk pria yang sedang berbulan madu."
tapi Drake tidak betul-betul sedang berbulan madu, kata Lauri dalam hati, sementara Betty membaca lagi The Scoop Sheet untuk ketiga kalinya.
Dia membeli majalah itu tadi pagi waktu berbelanja di toserba dan bergegas menunjukkannya pada Lauri. Foto berwarna di halaman depan yang menampakkan pasangan yang sedang tertawa itu seakan mengolok-olok Lauri. Dia tidak ingin mengetahui apa isi artikelnya, tapi Betty membacakannya keras-keras, tidak melihat air mata yang menetes di wajah Lauri. Apa pendapat Drake tentang berita bohong itu" Apakah dia bahkan melihatnya"
Karena alasan yang tidak bisa dipahaminya, Lauri tidak mau mengungkapkan bahwa dia dan Drake tidak benar-benar menikah. Betty takkan dapat memahami kerumitan masalahnya, ia menghujani Lauri pertanyaan-pertanyaan yang terlalu menyakitkan u
ntuk dijawab. Seperti orangtuanya, Betty belum boleh mengetahui situasi yang sesungguhnya.
Cepat atau lambat mereka semua akan tahu yang sebenarnya. Lauri akan merasa sangat tolol, tapi takkan lebih tolol dari yang dirasakannya sekarang. Selama berhari-hari setelah pernikahan palsu mereka, Lauri hampir berhasil meyakinkan dirinya bahwa cinta Drake padanya sebesar cintanya pada pria itu. Drake begitu mesra, begitu bertekad membuatnya bahagia.
Dia mestinya ingat pekerjaan pria itu. Drake dibayar sangat tinggi untuk menampilkan berbagai emosi setiap hari. Perannya menuntut dia berakting sebagai pengantin baru yang mesra, dan dia memainkan peran itu dengan baik. Dia juga memperoleh imbalan. Tiap malam dia dibayar kontan di atas tempat tidur. Sejak dulu memang cuma itulah yang diinginkan Drake darinya.
Sekarang Lauri merah padam karena marah dan malu. Di awal hubungan mereka Drake telah memberitahukan apa yang bisa diharapkan Lauri darinya. Tapi dia malah menipu diri dengan berpikir bahwa dia bisa mengubah perasaan pria itu padanya, bisa mengubahnya menjadi sesuatu yang lebih dalam daripada sekadar hubungan fisik.
Dia tidak berniat membuat Drake melupakan Susan. Pria itu takkan pernah melupakan istrinya, dan memang tidak perlu berbuat begitu. Lauri cuma ingin Drake bisa mencintai lagi-mencintainya. Dia mengira dirinya hampir berhasil. Lalu dilihatnya wajah pria itu ketika dia memandang foto-foto mendiang istrinya. Pakaian-pakaian yang berserakan di lantai kamar itu pasti sangat mengingatkannya pada .wanita yang pernah memakai semua itu dan menari dengan bersepatu satin. Penderitaannya terlihat jelas. Apakah dia merasa mengkhianati Susan karena telah tidur dengan Lauri" Itukah sebabnya dia pergi"
Meskipun Lauri sudah berusaha keras menyingkirkan pikiran-pikiran meresahkan itu, Lauri tetap tidak berhasil. Kalau tidak ada Jennifer yang begitu manis, dia pasti sudah sinting. Paling tidak Jennifer menerima kasih sayangnya dan membalasnya. Lauri bahkan tidak mau memikirkan apa dampak kepergiannya nanti bagi dirinya sendiri dan Jennifer.
Pergi" Ya, Lauri harus pergi kalau Drake kembali. Dia tidak mampu meneruskan lagi hubungan mereka seperti dulu. Dia juga takkan sanggup jadi wanita simpanannya, dan tidur dengannya kalau Drake sedang ingin saja. Dia dulu seperti itu dengan Paul, dan seperti yang sangat diketahuinya, itu merupakan jalan buntu.
Kelihatannya dia harus menunggu untuk bisa melihat apa yang diharapkan Drake darinya. Jennifer menerima satu atau dua surat pendek tiap minggu, tapi pria itu tidak mengirimi Lauri apa-apa. Sepatah kata pun tidak. Dia tidak pernah menelepon. Apakah dia telah melupakannya sama sekali"
Dua minggu bertambah jadi tiga, lalu empat. Cuaca sering membuat mereka tidak bisa berjalan-jalan seperti biasa, jadi Lauri merancang proyek-proyek di dalam ruangan. Mereka menggambar dengan cat air; mereka merangkai manik-manik; mereka membuat kue sampai kulkas penuh dengan kue dan cake.
Suatu hari, ketika mereka sedang menghias cake cokelat, Lauri bertanya pada Jennifer apakah dia ingin membaginya dengan John Meadows. Dengan penuh semangat anak itu mengiyakan.
Udara cerah tapi sangat dingin. Mereka memakai mantel tebal dan berjalan kaki ke desa. John tengah bekerja di tokonya yang sepi. Akhir-akhir ini dia tidak sibuk. Whispers bukan lokasi main ski, dan turis-turis pergi ke desa-desa lain yang memiliki tempat untuk olahraga tersebut.
John senang bertemu mereka. Merasa takkan ada pembeli, John menutup toko dan mengajak mereka ke tempat tinggalnya di bagian belakang toko.
"Ini, Jennifer," kata Lauri, memberi gadis kecil itu sepotong besar cake. "Sulit untuk merancang kurikulum pelajaran di musim dingin," katanya, menjelaskan soal oleh-oleh mereka. "Jennifer suka membuat kue, tapi berat badan kami bisa naik dua puluh kilo musim ini saja kalau tidak mengurangi acara masak-memasak ini."
John tersenyum lembut ketika berbalik dari depan kompor, tempat dia tadi menuangkan secangkir kopi untuk Lauri dari ceret enamel biru.
"Aku bisa makan kue itu selama berhari-hari. Terima kasih
lagi, walaupun kunjungan kalian saja sebetulnya sudah cukup."
"Kami juga ingin bertemu denganmu. Sejak Drake-" Lauri menghentikan apa yang akan dikatakannya. Sejak Drake pergi, kami jadi tidak bersemangat melakukan apa pun. Dia menyibukkan diri dengan meniup kopi supaya dingin.
"Lauri, bagaimana perasaanmu tentang kepergian-nya"" Pertanyaan tersebut diucapkan dengan suara pelan, tapi Lauri tidak bisa mengabaikannya. Diliriknya John ketika pria itu bergabung dengan mereka di meja, sementara tangan raksasanya memegang segelas kopi.
"Dia -aku-" Lauri tidak sanggup melanjutkan dan berusaha menutupi emosinya dengan meraih Jennifer dan menyibakkan rambutnya yang nyaris kena krim cokelat di sekeliling mulutnya. Anak itu memandang gurunya dengan mata Drake- hijau, berbulu mata hitam. Mata itu sangat mengingatkannya pada Drake, dan Lauri merasa air mata mengalir dari matanya dan bergulir di pipi.
"Kau ingin membicarakannya"" tanya John. Disentuhnya tangan Lauri, yang tergeletak lemas di atas taplak meja kotak-kotak. Matanya kelam, hangat, dan membangkitkan rasa percaya diri. Lauri mulai bicara, dan mengalirlah seluruh cerita.
John tidak menyelanya. Dia tidak berkomentar waktu Lauri harus berhenti dan membersit hidung atau menahan tangis. Jennifer, menunjukkan kelembutan dan pengertian jauh melebihi usianya, mendatangi Lauri dan naik ke pangkuannya. Di-sandarkannya kepalanya di dada wanita itu dan ditepuk-tepuknya bahunya.
"Kami tidak benar-benar menikah," kata Lauri serak. "Upacaranya sih sungguhan, tapi janji perkawinannya palsu. Janji itu tak berarti bagi Drake." "Tapi bagimu sebaliknya"" tanya John mengerti. Lauri berusaha menjawab tapi tidak bisa. Dia cuma memandangnya dan mengangguk nelangsa. "Aku mencintainya, John. Sejak pertama melihatnya aku tahu aku akan mencintainya, dan kulawan perasaan itu. Aku melawan ketika tahu bahwa di matanya aku tidak bisa lebih dari sekadar tubuh hangat di tempat tidur." Dia tidak merasa malu mengungkapkan semua ini. John tidak akan mencela orang karena mencintai seseorang. "Sebetulnya dia sudah memperingatkan aku bahwa dia mencintai istrinya dan tidak mau menjalin hubungan jangka panjang dengan siapa pun."
Dia menghapus air matanya dengan tisu, yang sekarang sudah basah dan robek-robek. Jennifer memandangnya dengan tatapan prihatin sehingga Lauri menggosok punggungnya dan tersenyum menenangkan. Anak itu tidak boleh melihatnya segalau ini; Lauri satu-satunya tempatnya bersandar. Dunia Jennifer pasti sangat terguncang ketika dia melihat guru/ibunya begini menderita.
"Kurasa kau salah menilai Drake, Lauri," John menanggapi. "Jangan terlalu yakin bahwa baginya kau cuma 'tubuh hangat di tempat tidur'. Dia meninggalkanmu dengan tanggung jawab membesarkan anaknya. Dia tidak mungkin selalu bersamanya. Pria mana pun pasti sulit membesarkan anak kecil sendirian."
"Aku dibayar untuk itu, John. Dia bisa saja dengan gampang mempekerjakan orang lain."
"Mungkin jauh lebih gampang. Tapi dia tidak melakukannya. Meskipun ada fakta bahwa seorang wanita cantik yang tinggal di rumah pria pasti akan menimbulkan problem yang tak terhitung banyaknya, dia tetap memilihmu."
"Bukan, aku terpilih untuk dia. Aku sangat direkomendasikan."
"Baik," John menghela napas. "Aku tidak mau seharian mempermasalahkan hal itu denganmu. Ada hal lain." Suaranya berubah, dan nadanya membuat Lauri memandangnya. "Aku telah melihat Drake bersamamu. Aku sudah melihat ekspresi matanya ketika menatapmu."
"Yang kaulihat itu nafsu. Ada gairah menggebu-gebu di antara kami. Aku tahu dia... menginginkan aku."
"Bukan, Lauri. Aku tahu seperti apa pandangan bernafsu," John tertawa pelan. "Bukan, ada perbedaan nyata. Apa kau tidak mengenali cinta ketika melihatnya"" Senyumnya sedih, dan matanya mengungkapkan lebih dari satu makna dalam kata-katanya barusan. Lauri membuka mulut, bermaksud bicara, tapi tidak sanggup. Tidak ada yang perlu dikatakannya. John tahu itu, karena dia cepat-cepat melanjutkan, "Dan aku tidak pernah melihat laki-laki secemburu Drake ketika aku datang ke rumahmu hari itu."
"Dia cemburu karena Jennifer menyayangimu," tukas Lauri. "Menurutnya sangat tidak pantas jika kau dan aku berpacaran." Dia tertawa pahit. "Kalau mengingat apa yang ada dalam pikiran Drake tentang aku, reaksinya terhadap kencan seminggu sekali kita bersama Jennifer juga terasa lucu. Kalau bukan menyedihkan."
"Istrinya ini, dia meninggal tiga tahun yang lalu""
"Ya. Dokter Norwood memberitahu aku bahwa wanita itu meninggal waktu Jennifer baru berumur beberapa bulan. Cuma itu fakta yang kuketahui, dan Drake tidak menjelaskan lebih lanjut. Istrinya merupakan topik yang sama sekali tabu dibicarakan."
"Hmm," kata John. "Aneh bahwa pria yang begitu cerdas dan percaya diri seperti Drake ber-kabung begitu lama."
Lauri menarik napas dalam-dalam. "Aku juga tidak bisa memahaminya, John. Tapi dia memang berkabung. Aku tidak meragukannya sedikit pun."
Lauri dan Jennifer pulang tidak lama kemudian. Air matanya ternyata bisa menyalurkan depresinya sedikit, dan dia merasa lebih baik ketika meninggalkan rumah John.
Di pintu John memegang bahunya. "Lauri, jika ada yang bisa kubantu, tolong jangan ragu meng-hubungiku. Aku tahu bagaimana rasanya memendam sakit, dan kadang-kadang rasanya lebih enak jika berbagi cerita."
John, di suatu masa dalam hidupnya, pernah merasakan penderitaan yang menyakitkan. Insting Lauri mengetahuinya. Itukah sebabnya John tidak pernah mencela orang lain" Itukah sebabnya dia begitu penuh pengertian" Apakah dia sadar perbuatan keji biasanya merupakan akibat hati yang terluka"
Tiga minggu setelah kunjungan mereka ke tempat John, badai salju pertama musim dingin tahun ini menyerang dengan kekuatan penuh. Meskipun hari-hari berlangsung monoton, Lauri merasa lebih bisa menerima dirinya dan situasinya yang menyedihkan. Dia mencoba berbagai metode untuk mengajar Jennifer bicara, dan gembira ketika anak itu mulai menampakkan kemajuan. Di siang hari ketika badai salju datang, angin meraung-raung sementara mereka duduk di depan cermin di kelas, berusaha menyempurnakan pengucapan huruf p. Lauri meletakkan kapas di tangan dan menunjukkan bagaimana benda itu terbang ketika dia mengucapkan huruf itu dengan benar. Jennifer meniru perbuatannya dan berseri-seri bangga ketika bisa menyuarakannya.
Lauri meninggalkannya untuk berlatih dengan kapas dan pergi ke ruang tamu karena ingin menyelidiki suara di luar yang tadi didengarnya. Ketika sampai di jendela-jendela lebar, dia memandangi salju yang berputar-putar dari balik gorden tebal. Jantungnya seakan berhenti berdetak ketika dia melihat Drake keluar dari mobil dan menundukkan kepala untuk melindunginya dari angin sambil bergegas menaiki tangga licin menuju teras.
Pria itu mengangkat tangan untuk mengetuk, tapi Lauri buru-buru lari ke pintu dan membukanya supaya dia bisa masuk. Drake menggeleng-gelengkan kepala, yang diselimuti salju, dan melipat kerah mantel kulitnya sebelum menoleh untuk memandangnya. "Lauri," sapanya.
Lauri berusaha menyebut namanya, tapi cuma sanggup komat-kamit.
"Apa kabar"" tanya pria itu.
"B-baik," Lauri tergagap. Lalu dia menggeleng sedikit, berusaha menjernihkan pikiran, dan berkata lebih tegas, "Aku-kami baik-baik saja. Semua baik." Dia tidak akan menanyakan kenapa pria itu datang kemari. Mereka sudah pernah memainkan adegan itu.
"Mana Jennifer"" tanya Drake.
"Dia di kelas. Kami mengubah sedikit jadwal kami sejak kau..." Suara Lauri menghilang. "Begini lebih enak," katanya tidak jelas.
Drake tidak berkomentar, cuma berbalik menuju kelas dan memasuki pintunya. Sebelum tiba di sana, Lauri sudah mendengar jeritan senang Jennifer.
Drake berdiri di tengah ruangan sambil menggendong Jennifer. Lengan anak itu memeluk leher ayahnya dan kakinya memeluk dadanya. Tangan Drake menahan bokongnya. Bunny, yang jarang dilepaskannya sejak Drake pergi, sekarang tergeletak di samping kursi.
Jennifer mencondongkan tubuh ke belakang dan menatap wajah ayahnya. "Jen-fa, Jen-fa," katanya, menepuk dada. "Dau-dy. Dau-dy," katanya, memeluk Drake lagi.
"Oh, Sayang, hebat sekali," puji Drake, tapi gadis kecil itu tidak bisa mendengar pujiann
ya. Dia cuma melihatnya di mata ayahnya. Drake memandang Lauri, yang masih berdiri di pintu, dan tersenyum lebar pada wanita itu. "Menakjubkan, Lauri. Dia pintar, ya"" Drake yang sekarang sama seperti Drake yang duduk di hadapannya di Russian Tea Room dulu; seorang ayah yang khawatir, dan Lauri mengiyakan, "Ya, Drake. Dia sangat pintar."
Drake membebaskan sebelah tangannya untuk mengeluarkan dua bungkus permen karet dari saku. Jennifer langsung menyambarnya dan ayahnya mengizinkannya membuka sebungkus. Jelaslah pelajaran hari ini telah berakhir.
Ribuan pertanyaan berputar-putar di dalam kepala Lauri, tapi dia menahan keinginan untuk menanyakannya. Tidak lama lagi dia pasti akan tahu mengapa Drake muncul pada hari paling buruk sepanjang tahun ini. Dia cuma bertanya, "Kau mau cokelat atau kopi" Kau pasti kedinginan."
"Ya, terima kasih. Aku ke kamar mandi dulu, setelah itu kutemui kau di dapur."
Tangan Lauri gemetar ketika dia membuat cokelat panas, minuman yang dipilih Drake. Diambilnya dari kulkas beberapa kue bikinannya dan Jennifer, lalu dimasukkannya ke oven microwave. Aroma khas kue dipanggang memenuhi dapur.
"Kalau tidak tahu yang sebenarnya, bisa-bisa aku mengira kau sudah menunggu kedatanganku," kata Drake, masuk ke dapur dan menyisir rambutnya yang berantakan dengan jari. Jins ketatnya melekat di pinggul, dan sweter biru muda yang dikenakannya membuat mata hijaunya bercahaya. Lauri menelan ludah. Pria itu seksi sekali. Berbagai kenangan, eksplisit dan jelas, memenuhi benaknya. Dipaksanya matanya memandang ke arah lain.
"Jennifer dan aku sering membuat kue akhir-akhir ini. Beberapa minggu yang lalu, kami membuatkan cake cokelat untuk John." Pemberitahuan itu dimaksudkan untuk menyakiti hati Drake, dan Lauri tahu itu perbuatan yang tidak pantas.
Jika pria itu tadinya berniat menanggapi, dia tidak jadi melakukannya karena Jennifer datang, minta dipangku sementara si ayah menyesap cokelat. Mereka berkomunikasi dalam bahasa isyarat selama beberapa menit, dan Lauri senang melihat Drake tidak melupakan kemampuan bahasanya Pria itu malah tampak makin mahir.
"Yah," gumamnya, dan bersandar di kursi setelah menghabiskan cokelat dan Jennifer asyik mewarnai gambar, "kami telah mengistirahatkan Dokter Glen Hambrick."
"Apa!" seru Lauri kaget. "Apa maksudmu""
"Maksudku," jawab pria itu sambil tersenyum, "dia tidak pernah siuman setelah kepalanya dipukul di taman, ingat"" Setelah Lauri mengangguk, dia meneruskan, "Dia meninggal dalam tidur tanpa pernah sadar. Laki-laki yang malang," kata Drake dengan gaya kasihan berlebihan.
"Apa yang akan kaulakukan, Drake"" Lauri sudah lupa pada tekadnya tadi untuk tidak mengajukan pertanyaan apa pun.
"Dau-dy." Jennifer menarik perhatiannya supaya dia mengomentari gambarnya. Setelah memuji-mujinya, Drake menoleh kembali pada Lauri yang tidak sabar menunggu penjelasannya.
"Aku ingin ambil bagian dalam film televisi yang sebentar lagi dibuat. Pembuatnya perusahaan produksi yang bagus. Aku mendengarnya melalui selentingan dan menyerbu agenku supaya bergerak dan mendapatkan peran itu untukku. Aku terbang ke Hollywood dan mengikuti tes peran. Mereka menyukaiku. Kelihatannya sih prospeknya bagus." Dia membuang muka dengan malu. "Ceritanya tentang anak autistik yang tuli. Mereka membutuhkan orang yang tahu bahasa isyarat untuk berperan sebagai ayahnya."
"Oh, Drake, bagus sekali," kata Lauri hangat dan bersungguh-sungguh.
"Kau tahu drama Broadway berjudul Children of a Lesser God" Kisahnya tentang kaum tuna rungu dan memperoleh bermacam-macam penghargaan." "Ya, tentu saja. Aku pernah menontonnya." "Yah, orang yang memproduksi drama itu sedang bekerja sama dengan seorang penulis naskah dalam rangka membuat naskah lain yang mirip. Dia mencari sutradara baru dan andal yang tidak takut menerima tantangan seperti itu. Aku makan siang dengannya kemarin." "Drake, aku sangat gembira mendengarnya." "Jangan. Banyak rintangannya. Semua bisa berkembang jadi kacau." Wajahnya serius, lalu tampak senyum berlesung pipi yang terkenal dan mampu meluluhkan hari para wanita itu.
"Tapi sulit sekali untuk tidak gembira, ya""
"Aku berharap semua berjalan sesuai keinginanmu. Kau takkan merindukan Dokter Hambrick""
"Mungkin aku akan merasa kecewa sedikit, tapi kurasa takkan lama. Yang paling menyenangkan adalah aku akan punya waktu lebih banyak bersama Jennifer. Selama beberapa waktu mungkin aku harus sering bepergian, dan jarang ada di rumah, tapi di sela-sela pekerjaan kita bisa berlibur seperti keluarga lain." Dia mengulurkan tangan untuk menepuk kepala anaknya dan tidak melihat ekspresi Lauri.
Gaung Keheningan Eloquent Silence Karya Sandra Brown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Wanita itu tiba-tiba meninggalkan meja dan menyibukkan diri dengan mengeluarkan casserole-salah satu proyek mereka saat hari hujan -dari kulkas dan memasukkannya ke oven untuk makan malam.
Drake terus bercerita. "Untuk sementara kita mungkin harus agak prihatin. Aku harus mengontrol keuangan, hal yang tidak perlu kulakukan beberapa tahun terakhir ini. Tapi aku sudah menabung cukup banyak untuk membiayai hidup kita kalau situasi memburuk." Dia tertawa. "Boleh percaya atau tidak, agenku sangat gembira. Dia bilang klien-klien menginginkan wajahku terpampang di berbagai benda, mulai dari pasta gigi sampai pantyhose. Kau bisa memperoleh banyak uang dalam sehari kalau muncul di iklan berskala nasional. Sebelum ini aku tidak pernah berminat membintangi iklan, tapi sekarang aku akan memanfaatkan ketenaranku."
Lauri mencuci selada di bawah keran. "Aku yakin kau pasti akan sukses, Drake. Apa pun yang kau-kerjakan."
Dia bersyukur ketika pria itu menawarkan untuk membawa pergi Jennifer sementara dia menyiapkan makan malam. Begitu mereka keluar ruangan, dia bersandar lemas di permukaan meja dan menutupi wajah dengan tangan.
Drake telah memecatnya, biarpun tidak terang-terangan mengatakannya. Dia tidak menyinggung-nyinggung tentang pernikahan palsu dan hubungan asmara mereka, malah mengatakan akan punya waktu lebih banyak untuk Jennifer, membuat Lauri merasa tak berguna. Drake menggajinya mahal. Di masa yang akan datang uangnya tidak lagi sebanyak sekarang. Pria itu harus berhemat, dan Lauri yakin dia termasuk salah satu yang digusur.
Dia takkan sulit mencari pekerjaan lain. Guru untuk kaum tuna rungu selalu dibutuhkan, tapi tidak akan ada kegembiraan dalam menerima pekerjaan lain. Dia akan selalu memikirkan murid yang telah dianggapnya sebagai anaknya sendiri itu.
Kau kan sudah mengetahui bahayanya kalau terlalu dekat, terlalu terlibat, Lauri, dia memarahi dirinya. Sekarang rasakanlah akibatnya.
Sebuah pikiran menghiburnya. Jennifer terlalu muda untuk lama mengingatnya. Anak itu mula-mula memang akan kehilangan Lauri, tapi dia akan segera melupakannya. Lauri meyakinkan dirinya bahwa pikiran itu menenangkan. Kalau begitu, mengapa dia merasa sakit sekali ketika memikirkannya"
"Lauri"" Dia terlonjak ketika Drake memanggil namanya dari ambang pintu dapur. Setelah me-nenangkan diri, dia memandang pria itu. "Ya""
"Kotak-kotak berisi barang-barang Susan masih di dalam lemari itu""
Tangan Lauri mengepal di balik punggung, dan dia dapat merasakan kuku-kukunya menusuk telapak tangannya. Tenggorokannya tercekat, tapi dia berhasil menjawab cukup tenang, "Ya. Aku tidak menyentuhnya."
Cuma "Oke" yang dikatakan Drake sebelum memukul kusen pintu dan pergi.
Lauri butuh waktu beberapa detik untuk menenangkan diri. Teganya Drake menanyakan hal seperti itu padanya, tanpa memedulikan perasaannya sedikit pun. Apakah dia mengira Lauri menyerahkan diri padanya dengan gampang" Apakah malam-malam di tempat tidur pria itu harus dilupakan seolah tak pernah terjadi"
Apakah Drake berpikir Lauri bisa melupakan sentuhan tangan dan mulutnya yang lihai" Ia teringat kata-kata cinta yang dibisikkan pria itu ketika mengajarinya berbagai cara untuk menyenangkannya. Drake menggumamkan dorongan semangat dan pujian tiap kali dia membawa Lauri kembali dari tempat di mana semua tampak berkilauan. Berulang kali, dan dengan cara yang selalu berbeda, pria itu membawanya ke sana. Tapi dia selalu menunggu di sisi lain untuk memeluk, membelai, dan merayunya.
Saat makan malam Drake terus bicara, memuji makanan buatan
sendiri yang, katanya, baru kali ini dirasakannya lagi sejak kembali ke New York. Dia menceritakan semua gosip: siapa yang terlihat dengan siapa di diskotek mana. Lauri menanggapi cuma kalau diminta. Ketika Drake menanyakan kabar Betty dan keluarganya dia menceritakan anekdot tentang Sam dan sekaleng cat yang disambut Drake dengan tawa terbahak-bahak. Jennifer bisa memahami bahasa isyarat yang digunakannya dan menambahkan ceritanya tentang kejadian tersebut. Anak itu ikut tertawa bersama Drake.
Setelah makan Drake membantu mengangkat piring-piring, tapi Lauri menyuruhnya pergi. "Lebih baik kautemani Jennifer," katanya.
"Oke. Aku memang ingin menyampaikan suatu masalah penting padanya," kata Drake, mengikuti saran Lauri dan meninggalkan dapur untuk menemukan anaknya.
Piring-piring sudah dicuci, dan Lauri tidak tahu harus melakukan apa lagi untuk menyibukkan diri. Dia sengaja berlama-lama ketika menyiapkan makan malam dan bersih-bersih, tapi sekarang dia tidak punya pilihan selain bertemu Drake.
Tuhan, beri aku kekuatan, dia berdoa ketika masuk ruang tamu. Bagaimana dia bisa bersama Drake tanpa jadi bagian dari pria itu" Bisakah dia dekat dengannya tanpa menyentuhnya" Sejak Drake datang, mengibaskan salju dari mantelnya, dia ingin sekali mendekati dan merasakan pelukannya lagi. Itu sama sekali tak mungkin. Dalam beberapa hari ini dia kemungkinan besar akan menyingkir dari kehidupan pria itu.
Dia sedang memeriksa kunci pintu depan ketika mendengar suara Drake datang dari kelas. Suara itu bisa didengarnya meskipun angin menderu-deru dan butiran es berdetik-detik mengenai jendela.
"Mom-my," kata Drake jelas dan menekan setiap suku kata. "Pegang di sini, Jennifer," Lauri mendengarnya berkata. "Letakkan jari-jarimu di tenggorokanku. Mom-my. Mom-my. Mengerti" Kau bisa melakukannya""
"Mau-my," Lauri mendengar Jennifer mengatakannya dengan susah payah.
"Ya!" Didengarnya Drake berseru sambil menepuk punggung si anak. "Hampir benar," katanya.
"Tulisannya seperti ini. M-O-M M-Y, Mom-my. Coba lagi," dorongnya.
Lauri menutup mulut untuk menahan seruan sedih yang keluar dari tenggorokannya. Foto-foto itu! Drake tadi bertanya apakah barang-barang Susan masih di atas. Dia pasti mengambil beberapa benda untuk membantu menjelaskan pada Jennifer hubungan anak itu dengan wanita di foto-foto tersebut.
"Aku tidak sanggup lagi," desis Lauri, dan lari ke atas. Begitu membuka pintu kamar, dia melihat pintu lemari tempat kotak-kotak itu disimpan, sekarang terbuka. Drake telah memeriksa isi kotak-kotak itu dan mengambil apa yang ingin ditunjukkannya pada anaknya.
Oh, Tuhan, Lauri tersedu. Drake masih mencintai Susan. Sampai kapan pun. Di alam bawah sadarnya Lauri berharap kepulangan pria itu menandakan Drake telah mempertimbangkan kembali hubungan mereka. Mungkin Drake ingin pernikahan pura-pura mereka dijadikan sungguhan. Sekarang dia tahu yang sebenarnya.
Dia juga tahu apa yang harus dilakukannya.
Tanpa pikir panjang, Lauri mengeluarkan koper dari kolong tempat tidur dan mulai berkemas-kemas. Dia membawa yang perlu saja. Dia akan minta Betty mengirimkan barang-barangnya yang lain belakangan. Saat ini dia bahkan tidak punya alamat.
Setelah selesai, dikuncinya koper dan disorong-nya lagi ke kolong tempat tidur. Dia tidak ingin Drake mengetahui rencananya.
Lauri parrish seorang pejuang. Menyerah bukan-lah sifatnya. seumur hidup hanya sekali dia terpaksa mundur-waktu pernikahannya tidak bisa diperbaiki lagi.
Dia pejuang, tapi kalau kekalahan sudah tak terelakkan, kalau kemenangan di luar jangkauannya, dia tahu cara menyerah dengan terhormat meskipun hatinya terluka. Dia bisa menerima kenyataan bahwa Drake takkan pernah membalas cintanya. Dia pergi-sekarang. Mumpung dia masih memiliki harga diri.
Bab Empat Belas Sulit sekali menyuruh Jennifer tidur. Anak itu gembira dengan kehadiran Drake di rumah dan melakukan kenakalan-kenakalan yang di lain waktu pasti tidak akan ditolerir Lauri.
Akhirnya dia bisa dimandikan, dicium, dan dibaringkan di tempat tidur. Ketika dia mengucapkan doa yang d
iajarkan Lauri dalam bahasa isyarat, mata Lauri berkaca-kaca. Dia berlutut dan memeluk anak itu, menikmati wanginya yang bersih dan segar, serta kelembutan kulitnya. Aku menyayangimu, Jennifer, dia mengisyaratkan sebelum keluar kamar, meninggalkan Drake untuk mematikan lampu.
Dia pergi ke kamar tidur utama dan menutup pintu, tapi beberapa detik kemudian, Drake mengetuknya. "Ya""
"Layanan kamar," kata Drake riang sebelum membuka pintu. "Bagaimana kalau kau turun dan minum segelas anggur denganku di depan perapian" Malam ini sempurna untuk melakukannya." Maksud tersembunyi ucapannya adalah malam ini sempurna untuk melakukan hal-hal lain juga.
Kata-katanya membuat Lauri marah, dan dia harus bersusah payah menahan kemarahannya. Drake masih beranggapan bisa memanfaatkannya sesuka hati. Yah, pria itu akan segera tahu bahwa dia bukan wanita gampangan!
"Aku sedang sakit kepala," kata Lauri datar. "Kurasa karena angin yang bertiup seharian. Yah, pokoknya aku sedang tidak enak badan. Kurasa aku mau tidur saja. Aku lebih membutuhkan tidur nyenyak daripada segelas anggur." "Menurut saya, Anda terlalu banyak protes." "Maaf, Drake. Pokoknya aku tidak kepingin turun," kata Lauri ketus.
Pria itu memandangnya beberapa lama, kemudian berkata, "Baiklah. Sampai besok pagi."
Lauri mendengar suara samar pesawat televisi ketika dia mondar-mandir di kamar. Akhirnya televisi dimatikan, dan dia mendengar Drake masuk ke kamar di sebelah dapur. Air berkecipak di kamar mandi waktu pria itu bersiap-siap tidur.
Akhirnya rumah senyap. Lauri berjingkat-jingkat ke puncak tangga dan memasang telinga. Semua lampu sudah padam. Kembali ke kamar, dia menunggu dua puluh menit lagi sebelum memakai mantel, mengambil koper dari kolong tempat tidur, dan mengendap-endap menuruni tangga.
Angin sudah berhenti, tapi salju masih turun dengan deras ketika Lauri melangkah ke teras depan. Setelah tanpa suara meletakkan koper, dia menutup pintu. Dengan hati-hati dia menuruni tangga berlapis es, dan setengah meluncur setengah berjalan ke mobil Mercedes-nya.
Pintu mobil itu beku sehingga sulit dibuka. Setelah berkali-kali mencoba membukanya dengan satu tangan, dia terpaksa meletakkan tas sandang dan kopernya di salju dan menarik dengan dua tangan sampai pintu itu terbuka, nyaris membuatnya terjungkal.
Dimasukkannya tas-tas ke bangku belakang dan duduk di balik kemudi. Dari balik sarung tangan kulitnya, dia dapat merasakan kemudi itu sedingin les, dan dia menggigil meskipun sudah memakai mantel tebal. Bagaimana kalau mobil ini tidak mau menyala"
Dia menginjak pedal gas beberapa kali, kemudian memutar kunci mobil. Mesinnya menggeram, terbatuk-batuk, lalu diam.
"Sialan!" gumamnya sambil mencoba lagi. Ketika dia akan menyerah, mesin hidup dan derumnya terdengar bagai suara paling merdu di telinganya. Selama berusaha menyalakan mobil tadi, dia terus memandang pintu depan dengan gelisah, takut Drake mendengar suaranya. Rupanya desir angin me-nenggelamkan suara-suara lain. Sambil memandang rumah untuk terakhir kali, dia memasukkan persneling, dan roda-roda mobil berjuang untuk bisa berputar di tanah yang licin.
Pikirannya begitu kacau sehingga dia tidak mempersiapkan diri untuk mengemudi dalam badai salju. Di Nebraska dia sudah biasa menyetir mobil di jalanan bersalju. Tapi pegunungan di New Mexico ini berbeda dari tanah datar kampung halamannya.
Panik melandanya ketika roda-roda tidak bisa dikontrol dan meluncur ke tepi jalan. Dia berhasil meluruskan mobil lagi, tapi dengan gugup dia menggigit-gigit bibir bawahnya. Lebih erat mencengkeram kemudi, dia bertekad takkan kembali. Drake mengemudi dari Albuquerque dalam badai ini. Jika pria itu bisa melakukannya, begitu juga dia. Kalau dia menunggu sampai besok pagi, jalanan akan lebih beku.
Dia butuh waktu hampir sepuluh menit untuk keluar dari jalan kecil yang menuju rumah itu. Ketika sampai di kaki bukit tempat jalan kecil itu bertemu dengan jalan ke desa, dia menginjak rem, tapi mobil tidak mau berhenti. Mengira dia bisa masuk ke jalan itu tanpa perlu betul-betul berhenti, dia memutar kemu
di tidak lebih dari sepersekian inci saja. Tapi itu sudah cukup.
Sebelum dia sempat memegang kontrol lagi, mobilnya sudah meluncur tak tentu arah. Mobil itu berputar tak terkendali, roda belakangnya mula-mula bergerak ke satu sisi jalan, kemudian ke sisi yang satu lagi. Lauri refleks menginjak rem. Roda-roda mengunci, dan bagian belakang mobil menghunjam tumpukan empuk salju di dalam selokan. Lauri duduk menghadap ke atas seperti di kursi periksa dokter gigi. Dia tidak terluka. Mobilnya tidak mungkin rusak berat, karena terjunnya ke selokan tadi tidak keras dan dia tidak mendengar bunyi logam berderak. Tapi mobil itu terbenam dalam-dalam di salju. Dimatikannya mesin.
Sebelum dia sempat memikirkan jalan keluar dari masalah ini, pintu di sisi pengemudi disentakkan sampai terbuka, dan dia nyaris menjerit sampai melihat wajah Drake. Wajahnya tidak seramah biasanya, melainkan berkerut marah. "Kau terluka"" bentak Drake.
Lauri menggeleng, tidak tahu apakah harus merasa gembira karena selamat dari kecelakaan ini atau tidak. Saat ini dia lebih takut pada Drake dibandingkan pada kemungkinan kecelakaan mobil.
Pria itu menyambar lengan atasnya dan menyeretnya keluar dari balik kemudi. Ketika Lauri memberontak dan berusaha mengambil tas-tas di bangku belakang, Drake berteriak, "Biarkan saja." Dia memakai mantel kulitnya, tapi tidak mengancing-kannya, dan mantel itu berkibar-kibar ketika dia berusaha menaiki tepi selokan yang tertutup salju setinggi lutut. Salju yang berputar-putar dan kegelapan makin menyulitkan mereka. Drake menarik Lauri, tidak peduli bahwa salju mencapai setengah paha wanita itu.
Lauri memanggilnya sekali waktu merasa mata kakinya akan terkilir, tapi pria itu tidak mendengarnya. Atau dia sengaja tidak memedulikannya.
Ketika akhirnya mereka berhasil keluar dari selokan, Lauri bersyukur punya kesempatan beristirahat, tapi Drake berpendapat lain. Makin kuat mencengkeram lengannya, pria itu mulai menyusuri jalanan, tersandung-sandung, terpeleset, dan memaki-maki sambil berjalan. Seingat Lauri tidak pernah dia melihatnya semarah ini. Drake tidak memakai topi, tapi tampaknya sanggup menahan angin dan salju dingin yang menyelimuti rambutnya yang awut-awutan ditiup angin.
Lauri segera kehabisan tenaga dan ketinggalan. Pria itu menyentakkannya dan mendesis di telinganya, "Kalau kau tidak segera bergerak, jejakku tadi akan tertutup salju. Jika itu sampai terjadi, kita akan tersesat di luar sini. Itu yang kau mau"" Dia mengguncangnya sedikit dan Lauri ketakutan memandangnya. Dia menggeleng, dan mereka melanjutkan mendaki bukit.
Lauri terpeleset di tangga yang menuju teras depan dan tersungkur. Ditahannya tubuhnya dengan tangan. Drake memegang tubuhnya dan menariknya berdiri tanpa basa-basi atau kelembutan. Pria itu membuka pintu depan dengan bahunya dan mendorong Lauri ke dalam.
Kaki Lauri beku dan terasa seperti kayu ketika dia berjalan terseret-seret menuju tangga. Dia bermaksud kabur dari Drake. Pria itu pasti mengetahui niatnya, karena dia membuntutinya, dan mencengkeram pergelangan tangannya kuat-kuat, lalu menariknya ke arah perapian.
"Awas kalau kau bergerak," ancam Drake dengan suara galak. Dia berjongkok dan mengaduk-aduk bara api sebelum menambahkan kayu ke perapian. Setelah api menyala sesuai keinginannya, dia memandang Lauri.
Kalau tadi Lauri belum kedinginan dan menggigil, maka tatapan Drake pasti bisa membuat darahnya beku. Mata hijau itu berkilat-kilat marah. Rahangnya keras dan tak kenal kompromi.
Lauri mengernyit ketika pria itu mengangkat tangan. Bukan menghajarnya seperti dugaannya, Drake malah memegang bahu Lauri dan menariknya tke dekatnya sampai dia harus mendongak supaya bisa melihat pria itu.
"Kalau kauulangi kelakuanmu tadi, akan kupukul pantatmu. Kau dengar"" Dia mengguncangnya lagi, dan kepala Lauri bergoyang-goyang tak berdaya. "Apa sih maumu"" desaknya. "Hah"" dia menambahkan ketika wanita itu tidak menjawab.
Api sedikit demi sedikit menghangatkan Lauri dan bersamaan dengan itu timbul kemarahannya. Apa hak Drake memarahinya" Dia kan manusia merdeka. Dia
bisa pergi kalau mau, tanpa perlu memberikan penjelasan pada pria itu.
Lauri melepaskan diri dari pegangannya dan menjauh, kemarahan mereka kini sebanding. Mereka sekarang saling mengawasi seperti petinju, masing-masing mengira-ngira kekuatan lawan.
"Kalau kau mencemaskan mobilmu, aku meninggalkan surat di atas untuk memberitahumu bahwa mobilmu akan kutinggalkan di lapangan parkir bandara supaya bisa kauambil." Dagunya naik sedikit dengan sikap membangkang.
"Aku tidak mencemaskan mobil sialan itu!" geram Drake. "Apakah kau meninggalkan surat juga untuk Jennifer, menjelaskan kepergianmu yang diam-diam" Aku yakin dia akan bertanya-tanya di mana kau berada," ejeknya.
kata-katanya itu membuat Lauri terdiam sesaat dan dia bergumam tidak jelas.
"Aku tidak mendengar omonganmu barusan," kata Drake, bersidekap dengan gaya arogan yang menjengkelkan Lauri.
"Aku bilang" kata Lauri penuh tekanan, "aku akan membiarkan kau yang menjelaskannya." "Dan apa yang harus kukatakan padanya"" Kilau rambutnya bagai mencerminkan kemarahan yang makin memuncak di dalam hatinya. Cuma itu caranya membela diri terhadap kekurangajaran sikap Drake. "Katakan padanya aku menghargai diriku lebih dari sekadar simpanan aktor yang mengharapkan setiap wanita bertekuk lutut di hadapannya. Katakan padanya bahwa meskipun sangat menyayangi dan peduli pada masa depannya, aku tidak bisa tetap bersamanya dan dihina serta direndahkan gara-gara hubungan asmara hambar yang tanpa makna. Aku dibayar untuk menjadi gurunya, bukan untuk menghangatkan tempat tidur ayahnya."
Payudaranya naik-turun karena kesal, dan tubuhnya setegang senar biola. "Aku akan pergi dari sini walau harus jalan kaki sekalipun! Aku tidak peduli apakah akan bertemu kau lagi atau tidak, Drake Sloan." Lauri berbalik.
"Tidak," kata pria itu serak.
Lauri begitu kaget ketika mendengar emosi dalam suara Drake sehingga langsung berhenti. Penasaran tentang perubahan suasana hatinya yang sangat cepat, dia memandang pria itu lagi. Mata Drake, yang baru beberapa saat yang lalu penuh kemarahan, sekarang tampak muram, putus asa, dan memelas.
"Takkan kubiarkan kau meninggalkan aku, Lauri. Katakan kau tidak akan pergi." Sementara Lauri memandangnya dengan takjub, Drake berlutut dan memeluk pinggangnya. Wajahnya menekan perutnya dan dengan lembut pria itu menciumnya. "Aku pernah bersumpah takkan mencintai wanita lain. Tapi kenyataannya lain. Ya Tuhan, aku mencintaimu. Aku takkan membiarkanmu pergi," ulangnya.
Tangan Lauri bergerak otomatis ke puncak kepala Drake, dan diusapnya titik-titik air dari rambut keperakan itu. Menjauh darinya, dia berlutut untuk menatap pria itu.
"Drake" Apa maksudmu"" Dipandanginya wajah Drake untuk melihat apakah pria itu berbohong. Berpura-purakah dia" Apakah ini adegan mengharukan dan tragis di akhir sandiwara ketika masa depan sepasang kekasih terancam" Bukan. Ekspresi sakit, rindu, dan putus asa yang dilihatnya di wajah Drake amat nyata. Pria itu tidak sedang berakting.
Drake menyibakkan helai-helai rambut merah Lauri yang basah karena salju dari pipinya dan berkata lembut, "Kaupikir aku seenaknya datang kemari hari ini dan mengira bisa melanjutkan hubungan kita, kan"" Lauri mengangguk. "Dan kaukira waktu aku mengajakmu turun dan minum segelas anggur denganku, aku akan merayumu, bukan"" Lauri mengangguk lagi. "Yah, kau benar,"
dia malu-malu mengakui. "Tapi pertama-tama aku akan memintamu menjadikan pernikahan kita pernikahan sungguhan. Atau tepatnya pernikahan yang sah di mata hukum. Sejak dulu aku sudah merasa upacara pernikahan yang dipimpin ayahmu itu sungguhan."
"Drake," bisik Lauri, "kenapa baru sekarang kau memberitahukan hal ini padaku""
"Kenapa"" tanyanya. "Memangnya kau akan mempercayai aku" Kau selalu begitu defensif, mencari motif-motif tersembunyi, tidak pernah mempercayai emosi jujur ketika melihatnya." Dia mencondongkan tubuh ke depan dan mencium kening Lauri.
"Aku lebih memahami dirimu daripada kau sendiri, Lauri Parrish Rivington," kata Drake. "Aku memberitahumu pada pertemuan kedua kita bahwa wajahmu terlalu ekspresif
sehingga kau tidak bisa menyembunyikan perasaanmu." Dia menelusuri wajah Lauri dengan penuh kasih sayang.
"Paul pasti bajingan. Dari ceritamu yang cuma sedikit, kurasa aku bisa menebak seperti apa hidupmu dengannya. Dia pemurung dan emosional, dan kau merasa seperti selalu berjalan di atas kulit telur karena tidak ingin merusak perasaannya yang rapuh. Betul""
"Ya," kata Lauri. Bagaimana Drake bisa mengetahui semua itu"
"Yah, aku juga pemurung dan emosional. Malah, aku bisa jahat sekali. Tapi kau jelas tidak pernah ragu-ragu untuk menunjukkan kegalakanmu kalau aku kelewatan. Kau tahu, entah menyadarinya atau tidak, aku tidak seperti Paul. Aku lebih kuat. Aku tidak serapuh dia. Aku takkan pernah butuh bantuan alkohol untuk menghindari rintangan.
"Hidup bersama orang yang selalu diperhatikan masyarakat memang sulit. Aku menyadarinya. Tapi apa pun yang dikatakan orang atau kaubaca tentang aku, jangan kaupercayai kecuali aku mengatakan itu benar. Kalau situasinya terasa terlalu sulit untuk diatasi, aku akan pergi dan melakukan hal lain. Bagiku, akting merupakan profesi, bukan kegemaran. Kau dan Jennifer akan selalu menjadi prioritasku."
Dia menarik napas dalam-dalam. "Nah, kalau kau sanggup menghadapi temperamen artis ini, aku sanggup menghadapi sifat pemarahmu "
"Sifat pemarah!" teriak Lauri, langsung menunjukkan sifatnya itu. Dia terpancing, dan pria itu tertawa. Dengan perasaan malu Lauri ikut tertawa, kemudian bersandar padanya dan berkata, "Tidak, kau sama sekali tidak seperti Paul. Dan aku sekarang mempercayaimu." Jantungnya berdebar-debar senang, tapi dia harus menghilangkan semua keraguan dan... bayang-bayang masa lalu.
"Drake, bagaimana dengan Susan"" "Susan"" tanya Drake, mengangkat kepala dan memandangnya. "Sudah kukira kau akan bertanya padaku tentang dia." Pria itu menarik napas.
Oh, Tuhan, tidak! jerit Lauri dalam hati. "Kau masih mencintainya, kan"" dia bertanya, terkejut dengan keberaniannya sendiri.
Drake menatapnya kaget. "Itu yang kaukira""
Lauri mengangguk. "Ketika pertama kali menciumku, kau bilang kau mencintai istrimu."
"Dahulu, ya. Aku dahulu mencintainya. Waktu kami pertama bertemu, aku sangat mencintainya. Kami menikmati hidup. Kehidupan seks kami lebih dari memuaskan."
Lauri tercekik perasaan cemburu, dan hal itu pasti kelihatan. Sudut-sudut mulut Drake naik ketika dia nyengir, lalu kembali serius.
"Dia cantik dan berbakat. Tapi dia tidak memiliki hati yang baik; dia tidak punya jiwa. Meskipun aku benci mengakuinya, dia manja, egois, dan dangkal. Ambisinya nyaris membuatku terpengaruh, karena melibatkan aku juga." Sambil bicara dia membuka mantel dan membantu Lauri melepas mantelnya.
"Dia memaksaku menerima peran yang tidak kuinginkan di sinetron itu. Dia tidak mau berkorban dan mengizinkan aku terus belajar. Dia ingin menikah dengan selebriti, seakan itu penting saja," katanya pahit. "Tapi dia menikmati kehidupan selebriti itu-dan menari. Ketika dia hamil, kupikir dia akan membunuhku. Dia tidak mau minum pil KB karena itu membuatnya gemuk, tapi ketika dia hamil, aku yang disalahkannya."
Mereka bersandar di perapian, lengan Drake menyangganya. Pria itu memegang tangannya dan menyusuri setiap pembuluh darah dan tulangnya dengan jemarinya. "Tangan yang indah sekali," gumamnya dan mendekatkan satu tangan ke mulutnya, mencium telapaknya sebelum melanjutkan ceritanya.
Aku sudah takut saja dia akan melakukan aborsi, tapi setelah mengamuk dan mengomel tanpa henti selama sembilan bulan, dia melahirkan Jennifer, dan aku bahagia sekali."
Dia diam lagi dan berdiri, menghadap ke api. Bayangan yang bergerak-gerak menonjolkan setiap sudut wajahnya. "Jennifer baru berumur enam bulan ketika kami mengetahui dia tuna rungu. Bisa kaubayangkan betapa tersiksanya jiwaku, Lauri" Bagaimana aku bertanya-tanya dalam hati" Apakah aku dihukum karena dosa yang kurahasiakan" Mencuri apel waktu aku berumur sepuluh tahun" Sekarang aku menyadari betapa konyol pikiranku itu, tapi itulah reaksi pertamaku. Tapi reaksiku tidak seberapa dibandingkan reaksi Susan. Seolah perasaan bersal
ahku sendiri belum cukup, Susan menyalahkan aku juga. 'Sejak awal aku kan memang tidak menginginkan anak ini,' teriaknya padaku. Kau tahu, Jennifer tidak sesuai dengan standar Susan, yaitu kesempurnaan. Susan harus menari dengan sempurna; dia menginginkan suami yang sempurna. Dia tidak sanggup punya anak yang tidak sempurna."
Lama dia tidak bicara, kakinya menyepak-nyepak kayu-kayu dengan ujung sepatu, mendorongnya ke tengah bara. "Suatu hari aku pulang terlambat dari studio. Aku mendengar Jennifer menangis di kamarnya. Waktu masuk ke sana, aku nyaris muntah. Dia berbaring di tengah kotorannya. Dia kedinginan dan kelaparan. Aku marah sekali pada Susan dan mencarinya di seluruh penjuru apartemen. Dia... dia-"
Drake tidak sanggup melanjutkan, dan hati Lauri dipenuhi perasaan iba waktu pria itu menutupi wajahnya dengan dua tangan. Dia tahu apa yang akan terjadi. Dia tidak mau berbicara atau menghiburnya. Drake harus merasakan penderitaan ini sendirian. Orang lain takkan bisa ikut merasakannya. Dia dulu tidak mendapati mayat Paul, tapi dapat berempati dengan kenangan Drake yang mengerikan.
"Dia di bathtub, kedua nadinya teriris. Jelas dia sudah cukup lama meninggal." Setelah lama berdiam diri, dia kembali ke samping Lauri dan duduk di karpet, memeluknya erat.
"Aku tidak pernah memaafkannya. Kubiarkan orangtuanya mengurus pemakamannya, yang tidak mau kuhadiri. Keluarganya jelas-jelas mengatakan tidak ingin berurusan dengan aku atau Jennifer lagi. Kami telah membunuh kebanggaan mereka, putri mahkota mereka. Lauri-"dia menjauhkannya supaya bisa menatap matanya-"waktu itu aku bersumpah takkan mencintai siapa pun lagi. Aku pernah mencintai Susan, tapi di saat aku sangat membutuhkannya, di saat kami membutuhkan dukungan dan cinta masing-masing, dia meninggalkan aku. Tapi aku jatuh cinta padamu. Itu sebabnya kau tidak boleh meninggalkan aku sekarang. Aku membutuhkanmu, tidakkah kau tahu"" Dia menciumnya dengan putus asa. Bibirnya tidak perlu menuntut respons dari Lauri. Lauri dengan senang hati memberitahunya betapa dia sangat mencintainya.
Ketika akhirnya mereka memisahkan diri, Drake berkata, "Aku pergi ke New York untuk membereskan masalah karier, juga untuk mengusir bayangannya dan menziarahi makamnya. Aku tidak pernah ke sana. Tidak bisa kukatakan padamu betapa aku membencinya. Sekarang kusadari bahwa, seperti kita semua, dia tidak bisa menolak sifatnya. Sampai aku belajar mencintai, aku tidak bisa memaafkan. Sekarang aku tahu: seorang wanita mungil berambut merah telah mengajariku. Aku mulai menyadari apa yang terjadi pada hari Jennifer mengacak-acak makeup-mu. Kau marah dan menghukumnya, tapi kau juga memaafkannya. Dia tidak pernah meragukan perasaan sayangmu. Aku harus kembali dan memaafkan Susan sebelum bisa menawarkan cintaku padamu. Aku tidak ingin ada yang menodai cintaku."
Mereka berciuman lagi, lalu Lauri berkata, "Tadi siang kau bertanya tentang kotak-kotak di dalam lemari itu. Kupikir kau akan menunjukkan foto-foto Susan pada Jennifer. Aku mendengarmu mengajarinya bilang Mommy"
"Jadi itu penyebab kau kabur!" Drake mendongak dan tertawa. "Aku menanyakan kotak-kotak itu karena sekarang aku sanggup melihat isinya. Sebelum ini, aku benci menyentuh apa saja yang me-rupakan miliknya. Aku memilih apa yang ingin kusimpan untuk Jennifer. Suatu hari nanti, kalau dia sudah cukup umur untuk memahami, kita harus memberitahu dia tentang ibunya."
Dia memegang dagu Lauri dan mengangkatnya sehingga wanita itu mau tidak mau memandangnya.
"Dan aku mengajari Jennifer bilang Mommy sebagai kejutan untukmu. Mulai sekarang aku ingin dia memanggilmu Mommy. Begitu kita menikah secara sah, kau akan jadi ibunya."
"Drake-" Lauri mulai bicara tapi bibir Drake membungkamnya.
"Kau sudah merasa lebih hangat"" tanya Lauri. Kemudian, dengan terkesiap, "Drake-" Dengan tangan-tangan lihai pria itu menjelajahi tubuh Lauri di balik busa di bathtub yang dalam itu. Meskipun dia memprotes, Drake tidak berhenti. Pria itu menyentuhnya sedemikian rupa sehingga dia melengkungkan leher dan mendesah panjang. Lauri melirik bayangan
mereka di cermin di depan bath-tub, dan meskipun ruangan cuma diterangi cahaya lilin-lilin, bayangan mereka tampak jelas.
"Kapan kau merencanakan aktivitas tidak senonoh ini"" tanya Drake.
"Waktu aku pertama kali masuk kamar mandi ini," Lauri mengikik. "Aku melihat kita berdua di dalam sini seperti ini. Aku ingin menutup mata Jennifer sebelum sadar bahwa bayangan itu cuma khayalanku. Tentu saja," dia menambahkan dengan serius, "kurasa dia bisa saja mewarisi sifat tidak malu-malumu."
"Aku tidak malu-malu""
"Kau memberitahu aku bahwa sejak ikut tur bersama Hair, kau sama sekali tidak punya perasaan malu."
"Aku bilang begitu"" tanya Drake terkejut. "Aku berbohong. Aku tidak pernah ikut Hair. Aku cuma butuh alasan untuk berbaring telanjang di tempat tidur itu bersamamu."
"Oh, kau!" Lauri memercikkan air ke mukanya, tapi perlahan-lahan menjilatinya. Ketika dia berbuat begitu, jari-jari Drake menggodanya tanpa ampun. Pria itu bertanya serak, "Kau tahu kapan aku pertama kali jatuh cinta padamu""
"Drake," desah Lauri ketika pria itu menemukan titik sensitif. "Tidak, kapan"" tanyanya cepat-cepat, takut sebentar lagi tidak bisa bernapas.
"Waktu kita di Russian Tea Room dan kau jujur padaku tentang Jennifer dan apa yang bisa kuharapkan darinya." Dia nyengir nakal. "Walaupun aku sudah tertarik pada naga kecil yang menyembur Drake Sloan, tidak peduli dia bintang top atau tidak. Kau tampak memesona hari itu. Di benakku aku menelanjangimu. Tapi kenyataannya rupanya jauh melebihi khayalan." Tangannya menegaskan ucapannya.
"Kapan kau tahu kau mencintaiku"" tanyanya setelah mencium Lauri dengan ganas.
"Memangnya aku pernah bilang mencintaimu"" Lauri bertanya usil.
Reaksi Drake mengejutkan. Dia menindihnya, tidak peduli air bak jadi tumpah. "Apakah kau mencintaiku. Lauri""
Dengan jari-jari berlumuran busa, Lauri mengisyaratkan, Aku mencintaimu dengan segenap hatiku. Dia berbicara dengan keheningan tak bergaung yang lebih ekspresif daripada bahasa verbal. Pahanya yang mulus bergerak sensual di atas paha Drake di dalam air yang hangat, menyampaikan pesan tersendiri. Pandangan Drake tertuju ke payudaranya yang timbul-tenggelam di air, menggodanya sampai Lauri tidak tahan lagi.
Diciumnya payudaranya. Tubuh mereka berpadu serasi.
Menciumi kulit basah Lauri, dia berkata, "Jalanan akan tidak bisa dilewati selama beberapa hari yang akan datang. Sampai kita bisa pergi ke Albuquerque atau Santa Fe untuk menikah secara sah, bersediakah kau hidup bersamaku di luar nikah""
Lauri menjilati dada, dagu, dan kumis pria itu sementara tangannya mencengkeram bagian belakang paha Drake dan menekannya sampai ia dapat merasakan hasrat pria itu.
"Apa yang akan kaulakukan kalau aku bilang tidak"" Lauri bertanya jail.
"Akan kusiram kau," geram Drake, menundukkan kepala lagi.
"Ya, siramlah aku, Drake," katanya, melengkung-kan tubuh. "Dengan cintamu."
-end- Si Kumbang Merah 4 Joko Sableng 24 Jubah Tanpa Jasad Misteri Pulau Neraka 16
"Lauri-" Drake tidak melanjutkan kalimatnya dan tampak ragu-ragu. Akhirnya dia cuma mengatakan "Selamat malam", hingga membuat Lauri kesal sekali.
Sesuatu membangunkan Lauri. Dia tersadar dari tidur nyenyak karena instingnya memberitahu ada yang tidak beres. Memasang telinga sebentar, dia tidak mendengar sesuatu yang bisa membangunkannya, meskipun begitu dia tetap menyibakkan selimut dan turun dari tempat tidur. Mantelnya tergeletak di kursi, dan dia memakainya sebelum melangkah ke koridor gelap.
Yang pertama dipikirkannya adalah Jennifer. Dia pergi ke pintu kamar gadis kecil itu. Tempat tidurnya kosong. Lauri menahan panik yang melandanya dan melintasi kamar menuju kamar mandi di sebelahnya. Jennifer tidak ada juga di sana.
Lauri menuruni tangga, dengan tersandung-sandung karena menginjak ujung mantel, untuk memeriksa kamar-kamar di lantai dasar. Tidak ada Jennifer. Berpikir-berharap-anak itu bangun karena haus atau ingin makan kue, dia pergi ke dapur dan menyalakan lampu. Jennifer tidak ada di ruangan itu, tapi pintu belakang terbuka lebar, memasukkan udara malam yang dingin. Jantung Lauri bagai berhenti berdetak. Diculik!
Itulah pikiran yang langsung muncul di benaknya. Drake selebriti. Dia dan anaknya merupakan sasaran sempurna bagi orang sinting yang mencari kekayaan atau ketenaran seketika.
Keinginan pertamanya adalah berlari ke luar dan menemukan sendiri anak itu, namun di tengah ruangan dia berhenti. Bagaimana kalau mereka masih ada di luar sana" Mereka bisa mengalahkannya. Di luar gelap dan dingin. Dia tak bersenjata.
Dia berlari ke kamar Drake dan tanpa ragu memegang bahu telanjang pria itu dan mengguncangnya.
"Drake, bangun." Suaranyakah itu yang bergetar ketakutan" Kedengarannya mirip isakan. "Drake, kumohon bangunlah."
Pria itu langsung duduk tegak dan memandangnya dengan tatapan liar, kosong, dan kaget seperti layaknya orang yang mendadak dibangunkan. "Lauri" A-ada apa""
"Jennifer. Dia tidak ada. Aku terbangun-mendengar sesuatu, kurasa-pintu belakang. Kupikir, barangkali penculik-"
Dia tergagap-gagap dan omongannya tak jelas, namun Drake tahu wanita itu ketakutan, dan dia cukup memahami kata-katanya sehingga bisa menebak sisanya.
Drake menendang selimut dan berlari meninggalkan tempat tidur dengan gerakan sigap bak binatang.
Ia menyambar mantel dari cantelan di belakang pintu dan buru-buru mengenakannya sambil bergegas menyusul Lauri, yang sudah kembali ke dapur.
Dia langsung pergi ke pintu dan memandang kegelapan pekat di luar. "Kita telepon polisi"" tanya Lauri gemetar sambil meremas-remas tangan. "Drake, apa-" Dia tidak sanggup melanjutkan. Dia menangis tersedu-sedu.
"Tenanglah, Lauri. Tidak ada gunanya histeris. Ya, telepon polisi. A
ku akan ke gudang di luar dan mengambil senter-"
"Tapi mereka mungkin saja masih di luar sana. Oh, Drake, tidak-"
"Siapa 'mereka'" Kita bahkan tidak tahu apa yang terjadi. Tapi demi Tuhan aku bersumpah kalau terjadi apa-apa pada Jennifer, akan kubunuh-" "Kalian berdua mencari si Pengelana Malam"" kedua orang panik yang berdiri di tengah ruangan itu menoleh dan ternganga memandang Betty, yang menggendong Jennifer.
"Oh, Tuhan," kata Lauri, menutup mulut dengan tangan karena lega, lalu cepat-cepat mengambil anak itu dari pelukan Betty. Didekapnya Jennifer dan dibuainya, masih tidak percaya dia sudah pulang dalam keadaan selamat.
"Apa yang terjadi"" tanya Drake, dan Lauri mendengar suara pria itu bergetar. Drake memegang punggung Jennifer dengan sikap melindungi.
"Aku sedang tidur nyenyak," Betty menjelaskan, "ketika mendengar ada orang di pintu belakang. Tentu saja, aku langsung mengira itu pasti pencuri atau pemerkosa dan nyaris panik. Aku takkan pernah bisa membiasakan diri dengan Jim yang selalu pergi dan aku harus sendirian." Mata cokelat bulatnya lalu kembali ke dada telanjang Drake yang amat menggoda, yang kelihatan karena bagian leher mantelnya rendah.
"Yah, begitulah," Betty melanjutkan, "kuputuskan bahwa pemerkosa itu tidak terlalu pandai karena dia ribut sekali waktu berusaha membuka pintu. Kurasa aku lebih penasaran daripada takut. Aku pergi ke dapur dan mengintip ke luar jendela. Jennifer berdiri di tangga, mencoba membuka pintu. Ketika kusilakan masuk, dia langsung ke kamar Sally. Tadi siang dia meninggalkan Bunny di sana. Setelah memperoleh apa yang diinginkannya, dia berjalan pulang. Kupikir sebaiknya kutemani dia dan memastikan anak itu sampai di sini dengan selamat. Bisa kalian bayangkan bandit kecil ini keluar sendirian tengah malam tanpa seizin kalian""
"Dia lelah sekali ketika tidur, sehingga mungkin tidak merasa kehilangan Bunny. Ketika terbangun tengah malam dan menyadari boneka itu tidak ada, dia pergi untuk mengambilnya." Lauri meneruskan cerita itu. Dia tersenyum pada Jennifer, yang memeluk Bunny dan menguap. Lauri menyibakkan helai-helai rambut ikalnya dari pipi ketika menciumnya.
Drake meraih anaknya dan mengangkatnya ke depannya, sementara dia berjongkok. "Jennifer, kau nakal sekali!" dia mengisyaratkan dengan tegas untuk menekankan maksud omongannya. "Jangan pernah pergi tanpa seizin aku atau Lauri. Kami jadi-" Dia tidak tahu bahasa isyarat takut dan memandang Lauri untuk meminta pertolongannya. Lauri memberitahukannya dan dia melanjutkan, "Kami jadi takut dan sedih. Kami tidak tahu kau ada di mana. Kalau kau pergi tanpa izin lagi, aku terpaksa harus memukulmu."
Bibir bawah Jennifer mulai bergetar, dan dia tahu ayahnya tidak main-main. Lalu tangan Drake merangkulnya dan pria itu memeluknya erat-erat, memejamkan mata karena ngeri memikirkan kejadian-kejadian buruk yang bisa menimpa Jennifer. Tangan Jennifer memeluk lehernya, meskipun dia tetap memegang Bunny kuat-kuat. Drake mengangkatnya dan mereka berjalan keluar dapur. "Ya Tuhan, aku-"
"Terima kasih, Betty. Tidak bisa kukatakan betapa leganya aku melihatmu bersamanya. Aku baru saja membangunkan Drake, dan kami tadi sudah membayangkan yang tidak-tidak." Dia berterima kasih pada tetangganya itu tapi sedang tidak ingin mendengar celotehan Betty.
"Aku harus pulang. Selamat malam. Kembalilah ke keluargamu di atas." Dia menyentuh lengan Lauri untuk menenangkannya dan bergegas keluar lewat pintu belakang. Lauri menguncinya. Ketakutannya masih belum hilang.
Di kamar Jennifer, Drake duduk di tepi tempat tidurnya, mengusap-usap kening anaknya, walaupun gadis kecil itu sudah tidur pulas. Digenggamnya tangan Lauri ketika wanita itu membungkuk dan mencium Jennifer.
Mereka meninggalkan kamar itu bersama-sama. Ketika mereka sampai di koridor, Drake berkomentar, "Kau gemetar."
"Aku tidak tahu apakah karena dingin atau takut."
"Kau mau segelas anggur""
"Tidak, aku akan baik-baik saja," katanya waktu mereka tiba di depan pintu kamar tidur utama. Dia mendongak dan tersenyum, tapi senyumnya memudar waktu melihat ker
induan yang tampak jelas di wajah pria itu, yang terlalu memikat untuk diabaikan. Mereka saling berhadapan dan lama berpandang-pandangan. Drake tidak menyentuhnya, tapi memang tidak perlu. Lauri sangat menyadari keberadaan tubuh pria itu, yang tampak seperti tertarik ke arahnya, walaupun Drake tidak bergerak. Bagai magnet yang kutubnya berlawanan, mereka saling mendekat. Hasrat naluriah yang tak bisa dibantah mereka, merupakan kekuatan dan datang begitu mendadak hingga tak bisa dilawan. Ketika akhirnya bergerak bersama, mereka berpelukan erat, menyatu karena takut dipisahkan.
Lauri tidak melawan waktu Drake menggendong dan membawanya ke kamar, dan membaringkannya dengan lembut di atas bantal. Dengan sigap Drake melepas mantel dan pakaian dalamnya. Telanjang bulat ia berbaring di samping Lauri, dan dengan gerakan sensual bagai dewa purba melaksanakan upacara cinta itu.
"Lauri, jangan bicara. Jangan berpikir. Kumohon, jangan berpikir. Rasakan saja. Rasakan."
Tangannya menyusuri kembali lekuk-lekuk tubuh Lauri. Drake tidak terburu-buru, pelan-pelan ia membuka mantel Lauri. Tapi dia ingin melihat dan mengetahui semuanya. Disibakkannya mantel itu, diangkatnya bahu Lauri ketika melepaskannya dari tubuhnya.
Ditariknya wanita itu dan dipeluknya dengan penuh perasaan. Mulutnya mencium sementara tangannya membelai, menggoda, membangkitkan kenikmatan di tubuh Lauri.
Bahu, dada, dan perut Lauri mengenali sentuhannya dan menikmatinya. Drake menghujani dada Lauri dengan ciuman-ciuman panas. Kemudian dengan sentuhannya, Drake mendapati Lauri telah siap menyambutnya.
Sentuhannya sangat lembut dan begitu intim sehingga Lauri tersentak lalu mencengkeram bahu Drake karena merasakan sensasi yang belum pernah dirasakannya.
"Lauri. Kau wanita... cantik... yang diciptakan untukku." Ucapannya terputus-putus. Tapi kalaupun dia tidak bicara, Lauri bisa mengetahui apa yang dipikirkannya. Bibir Drake yang membelai dan sentuhannya yang luar biasa sudah mengatakan semua yang perlu diketahuinya.
Kata-kata Paul terngiang. Lauri tidak pernah membuatnya senang. Sekarang dia sadar bahwa dulu dia tidak peduli sehingga tidak ingin memberi suaminya itu kenikmatan. Tapi sekarang dia ingin membuat tubuh Drake merasakan kenikmatan seperti yang dirasakan tubuhnya.
Tangannya menjelajahi tubuh tegap itu, memijat otot-otot di bawah tangannya. Disingkirkannya perasaan malu dan segan dan disentuhnya pria itu, dibelainya.
"Lauri... ya, Sayang. Kenalilah aku," kata Drake sambil menahan napas ketika membenamkan kepala di leher Lauri dan mencengkeramnya kuat-kuat.
Reaksinya membangkitkan kepercayaan diri Lauri, dan kata-kata menghina Paul terlupakan waktu dia mendengar erangan-erangan nikmat tertahan Drake. Pria itu membisikkan namanya berkali-kali, napasnya mengembus telinganya.
Drake memegang wajah Lauri dengan dua tangan dan melumat bibirnya dengan ganas. Setelah ragu-ragu sejenak ia berhenti sebelum menyatukan tubuh mereka. Dia mengangkat kepala dan memandang Lauri. Lauri menyentuh wajahnya dan menyusuri bagian-bagian yang dicintainya itu. Jari-jarinya mengelus kumis pria itu dan mengitari bibirnya. Mata mereka terus bertatapan.
"Lauri"" desah Drake.
Lauri merasakan sentuhan awalnya. Sambil memejamkan mata, ia menarik kepala Drake ke bantal. Dia mendesahkan nama pria itu dengan takjub ketika tubuh mereka melebur jadi satu.
Dan hebatnya, kenikmatan ini tidak berhenti sampai di situ, seperti biasanya selama ini. Drake membisikkan rayuan-rayuan, dan menikmatinya. Sensasi di dalam tubuh Lauri menyebar, memacu jantungnya, dan melanda jiwanya. Drake meneriakkan namanya ketika mencapai puncak. Lauri mendengarnya sedetik sebelum tubuhnya serasa meledak.
Dan ledakan itu berlanjut terus....
"Aku belum pernah merasa seperti ini," bisik Lauri lemah dalam kegelapan.
Kepalanya bersandar di dada Drake ketika pria itu memeluknya, kaki mereka saling membelit di balik selimut. Drake mengusap-usap punggungnya.
"Tidak pernah"" tanya Drake lembut, bangga. "Tidak dengan-"
"Paul" Tidak," kata Lauri sambil tersenyum sedih dan mengg
eleng pelan. Bulu-bulu di dada Drake menggelitik hidungnya. "Tak kusangka aku bisa," dia mengaku.
Tawa menggemuruh di dada pria itu dan terdengar keras di telinga Lauri. "Yah, sekarang kita sudah tahu, bukan"" Ditepuknya bokong Lauri, lalu tangannya berhenti di sana dan membelai-belai.
Lauri mestinya merasa bersalah atas apa yang telah terjadi, namun dia tidak bisa membangkitkan perasaan itu. Dia malah sama sekali tidak menyesalinya. Dan dia tahu dia akan terus bercinta dengan Drake. Hal itu sekarang tak bisa dihindari, dan dia tidak lagi memiliki keinginan atau tekad untuk melawannya. Dia bergelung makin rapat pada pria itu.
"Kau kedinginan"" tanya Drake lembut.
"Sedikit," jawabnya.
"Semua selimut tertendang ke kaki tempat tidur," kata Drake pura-pura bingung. "Kok bisa, ya"" Lauri terkikik.
Mereka segera menarik selimut-selimut itu. Drake menciumi telinganya sambil menarik Lauri. "Aku berjanji kali ini tidak akan membuat selimut-selimut tercampak."
"Kali ini"" tanya Lauri terkesiap. "Maksudmu... lagi" Sekarang""
"Kau tidak mau"" Drake bertanya. Dalam kegelapan pun Lauri bisa melihat alisnya naik.
"Yah, aku-" Namun kepala pria itu sudah menunduk dan bibirnya membujuk. Lauri mendengar dirinya me-nyetujui dengan suara pelan tapi mendesak.
Bab Dua Belas Beberapa hari berikutnya berlalu dengan indah. Drake ternyata kekasih yang menggebu-gebu dan jarang merelakan Lauri jauh darinya. Tidur sekamar tidak cukup. Pria itu harus menyentuhnya, kalau tidak dengan tangannya, dengan matanya. Malam-malam mereka diisi dengan gairah yang membuat mereka berdua takjub. Di siang hari, kalau Jennifer sedang bersama mereka, mereka menceritakan kebahagiaan mereka pada anak itu, dan ia ikut gembira.
Mereka sering pergi ke desa, berjalan di antara toko-toko yang mengapit jalan-jalan berbukit yang indah. Suatu siang mereka mengunjungi John Meadows di toko kerajinannya. Pria itu menerima mereka dengan hangat dan tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa dia ingat kekasaran sikap Drake etika mereka terakhir bertemu. Lauri bersyukur ketika Drake betul-betul ber-inat pada karya John dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan sopan tentang berbagai benda yang dipajang di etalase. Kedua pria itu, meskipun berbeda bagai bumi dan langit, ternyata bisa juga asyik mengobrol. Meskipun demikian, Drake selalu memeluk bahu Lauri dengan posesif. Itu merupakan pernyataan kepemilikan yang disadari John.
Mereka menikmati acara jalan-jalan mereka, tapi saat favorit mereka adalah malam-malam tenang di rumah, duduk di dekat perapian, bertukar pikiran sambil minum sebotol anggur.
Lauri biasanya duduk di sudut sofa sementara Drake telentang dengan kepala di pangkuan Lauri seperti yang dilakukannya ketika orangtua Lauri tiba-tiba datang berkunjung. Drake menceritakan ambisi-ambisinya, tangannya bergerak-gerak ekspresif, matanya berbinar-binar penuh semangat.
Tapi tidak peduli seberapa serius topiknya, pembicaraan mereka selalu pelan-pelan berakhir. Tangan Drake yang tadi menegaskan omongannya mulai mengusap dan membelai Lauri sampai api di perapian tidak ada apa-apanya dibandingkan lautan api yang berkobar-kobar di antara mereka.
Ketika orangtuanya menelepon sebelum kembali ke Nebraska, Lauri tidak perlu berpura-pura bahagia. Dia meminta mereka mampir ke Whispers, namun berbagai kewajiban mengharuskan mereka pulang segera setelah konferensi pendeta usai. Lauri menutup telepon, memberitahu mereka bahwa dia sangat bahagia. Karena saat itu memang begitulah perasaannya.
Mereka berjalan-jalan jauh ke tengah hutan setelah Lauri dan Jennifer menyelesaikan pelajaran dan sebelum Betty dan anak-anaknya datang untuk belajar bahasa isyarat. Sering Lauri membawa bekal untuk makan siang, dan mereka duduk di selimut tua dan makan dengan santai di tepi kali dan di bawah pohon-pohon aspen yang sekarang gundul karena sebentar lagi musim dingin.
Suatu siang yang cerah saat berjalan-jalan seperti itu, setelah mereka selesai makan, Jennifer mengantuk dan tidur, bergelung di atas selimut. Drake bersandar di pohon dan menarik Lauri di anta
ra kakinya yang menekuk, menekan punggungnya ke dadanya yang bidang.
"Bisa-bisa aku mengikuti jejak Jennifer kalau aku merasa makin nyaman," gumamnya mengantuk sambil menyandarkan kepala di dada pria itu.
"Silakan saja," kata Drake di rambutnya dan menghamparkan selembar selimut lagi di atas tubuh mereka.
Napas teratur Drake bagai lagu pengantar tidur yang tidak sanggup dilawannya, dan tak lama kemudian Lauri sudah tidur. Dalam keadaan antara pulas dan sadar, pikiran-pikiran meresahkan mengganggu ketenangan yang menyelimutinya. Selama berhari-hari dia berhasil menyingkirkan Susan dari benaknya. Perasaan sayang Drake tidak perlu diragukan, tapi ketika sedang bercinta pun, tidak pernah sekali pun pria itu mengucapkan cintanya.
Pernahkah dia dan Susan duduk seperti ini" Apakah percintaannya dengan Susan lebih panas" Bisakah dia mencintai Lauri seperti ia mencintai Susan" Lauri pasti bergerak-gerak resah karena berbagai pikiran mengganggu itu. Drake memeluk nya lebih erat dan berbisik, "Mimpi buruk""
Lauri menggeleng, namun lamunannya telah membuyarkan kebahagiaan hari ini dan menimbulkan secercah keraguan dalam hatinya.
Tepat ketika akan menegakkan tubuh dan menjauh dari Drake, dia merasakan tangan pria itu menjelajahinya. Drake menghentikan tangannya di pinggangnya dan menyusupkannya di antara sweter dan pinggang jinsnya. Gerakan itu sudah cukup untuk menimbulkan gelenyar gairah yang membuatnya pasrah dan tak berdaya.
Sweternya terangkat sedikit ketika Drake memasukkan tangan ke dalamnya. Lauri merasakan sentuhan pria itu di payudaranya; mengelus, memijat. Belaiannya sama lembut dan penuh gairahnya dengan ketika ia pertama menyentuhnya. Drake sudah sangat mengenal tubuhnya, namun dia membuat Lauri merasa seakan setiap kali Drake menyentuhnya, itu adalah yang pertama.
"Drake"" "Jangan ganggu pria yang sedang sibuk," geram Drake di telinga Lauri.
Tiba-tiba Lauri merasa malu. Jika dia tidak bisa memberitahu pria itu bahwa dia mencintainya, dia ingin mengatakan sesuatu yang membuat pria itu tahu seberapa dalam perasaannya terhadapnya. "Aku cuma ingin kau tahu bahwa setiap kali kau-kita-bersama-aku-rasanya sangat istimewa bagiku."
Tangan Drake berhenti bergerak dan memegang lembut payudaranya. Lauri diam sama sekali. "Lauri," katanya serak. "Pandang aku."
Lauri menyandarkan kepala di bahunya dan me-miringkannya ke belakang supaya bisa melihatnya. "Bagiku juga sangat istimewa," kata pria itu. Dia menciumnya begitu penuh gairah sehingga pembuluh-pembuluh darah Lauri berdenyut akibat aliran darahnya yang seakan mendidih.
Tangan Drake turun ke pinggang melewati rusuknya, kemudian kembali melalui perut untuk menggenggam payudaranya. Pria itu membelai-belainya sambil menciumi telinganya. Lauri menjerit pelan dan menggeliat-geliat sementara tangan Drake telah bergerak ke pahanya.
Ketika suaminya itu sibuk membuka kancing jinsnya, Lauri menyadari apa yang akan terjadi dan kaget dengan kelakuannya sendiri. Dia dilanda perasaan malu dan minder.
"Drake, tidak," Lauri terkesiap dan meronta. "Jangan di luar sini," katanya marah, merapikan pakaian di balik selimut.
"Kenapa"" tanya pria itu, matanya berkilat nakal. "Di hutan asyik, kau tahu. Pikirkan orang-orang Viking, Romawi, Robin Hood dan Lady Marian-" "Yah, aku bukan mereka. Lagi pula, anakmu berbaring di sana." Dengan memiringkan kepala dia menunjuk Jennifer yang tidur nyenyak. Lauri masih menjauhkan tangan Drake darinya dan tidak berani melepaskannya.
"Dia kan tidur," bantah Drake. "Ayolah, Lauri. Kumohon." Dia merengek sekarang dan mencondongkan tubuh untuk menyapu bibir Laun dengan kumis. Itu senjata yang berbahaya, dan dia tahu cara menggunakannya. "Tidak. Bagaimana kalau ada yang datang"" "Mereka akan malu dan membuang muka." "Aku akan malu setengah mati!" teriak Lauri. Lalu dilembutkannya nada suaranya dan dibuatnya terdengar penuh janji. "Bagaimana kalau kau menunggu sampai nanti malam"" dia bertanya dengan gaya menggoda.
"Yah," gerutu Drake. "Kurasa mau tidak mau harus begitu. Kau cium aku sekali, aku membalasnya, lalu kita p
ulang." Lauri tidak melihat kilatan di mata Drake, dan permintaannya terdengar masuk akal.
Dia berpaling untuk menghadapnya dan mencium bibirnya. Ciumannya tanpa nafsu, tapi mengandung semua cinta yang dirasakannya terhadap pria itu. Ketika akhirnya bibir mereka berpisah, Drake berkata, "Sekarang giliranku."
"Apa-apaan kau"" Lauri kaget ketika Drake mengangkat bagian depan sweternya.
"Aku akan menciummu. Aku tadi kan tidak bilang apa yang akan kucium."
Drake mengangkat bahan rajut lembut itu dan mencium payudara Lauri. Ketika memandang wanita itu lagi, dia melihat mata cokelat muda itu berlinang air mata cinta. "Sekali lagi, ya"" katanya dan mulai mencium bibirnya.
Lauri yakin tentang satu hal. Drake tidak memikirkan Susan.
"Ada beberapa urusan di kota yang harus kubereskan," kata Drake, mengulurkan kepala dari luar kelas keesokan paginya. "Bagaimana kalau aku membereskannya, lalu membeli tamale buatan sendiri untuk makan siang" Kemarin aku bertemu seorang wanita yang membuat tamale sendiri. Aku mencicipinya, rasanya fantastis."
Lauri tertawa ketika pria itu berdecap-decap. "Yah, kalau kau suka wanita gemuk, kurasa aku tidak keberatan makan tamale"
"Aku menyukaimu," katanya tegas, dan memandang sekujur tubuh Lauri dengan tatapan nakal. "Sampai ketemu nanti," katanya jail. "Selamat tinggal, Jennifer," dia bicara pada putrinya, yang sibuk menumpuk balok-balok yang tadi digunakan untuk pelajaran berhitung. Anak itu membalas dan Drake pergi.
Kira-kira setengah jam sebelum Drake kembali, Lauri membawa Jennifer ke dapur.
"Kau akan menyukai ini, Jennifer," katanya dan mendudukkan anak itu di meja dapur.
"Kita akan melakukan permainan untuk melihat apakah kau bisa membedakan susu putih dengan cokelat." Seperti biasa, Lauri mengisyaratkan setiap kata. Jennifer mengamati dengan penuh minat. Pelajaran tentang makanan adalah pelajaran favoritnya.
"Oke," lanjut Lauri, "aku akan mengisi dua gelas. Kau lihat" Yang satu berisi susu putih dan yang lain cokelat. Aku ingin melihat kau mengatakannya." Setelah Jennifer dengan benar mengisyaratkan susu putih dan susu cokelat dan mengucapkannya sebisanya, Lauri berkata, "Sekarang aku akan memberimu sedotan. Akan kuletakkan tiap gelas di hadapanmu, dan beritahu aku susu yang mana yang kau minum. Kau mengerti""
Jennifer mengangguk, dan ikal-ikal pirangnya bergerak-gerak.
"Tutup matamu supaya kau tidak bisa melihat," perintah Lauri. Setelah yakin Jennifer tidak curang, Lauri memasukkan sedotan ke gelas berisi susu putih. Jennifer minum seteguk, lalu mengisyaratkan jawaban yang benar. Mereka mengulangi latihan itu sampai Lauri yakin anak itu sudah memahami kata-kata tadi dan dapat mengasosiasikan rasanya dengan namanya.
Mereka baru saja selesai belajar ketika Drake masuk dari pintu belakang sambil membawa sebungkus tamale yang baunya menggiurkan.
"Apa yang kalian lakukan"" tanya Drake, menaruh bungkusan itu di permukaan meja dan membuka jaket.
Coba kita lihat apa Drake bisa melakukannya, Lauri mengisyaratkan pada Jennifer, dan anak itu bertepuk tangan gembira. Lauri menjelaskan aturan permainan, dan untuk membuat Jennifer senang Drake pura-pura tidak yakin bisa melakukannya dengan benar.
Pria itu memejamkan mata dengan gaya berlebihan, tapi akhirnya menyesap susu dan berkata dalam bahasa isyarat, Itu susu putih. Tapi ketika Lauri meraih gelas susu cokelat, dia melihat Jennifer hampir menghabiskan isinya.
"Jennifer!" tegurnya, tapi mereka semua tertawa. Jennifer menunjuk bibir atasnya, di sana tampak kumis susu berwarna cokelat tua. Dia membandingkannya dengan kumis Drake.
Kau juga, Lauri, Jennifer mengisyaratkan. Kau juga.
Lauri protes keras, tapi Jennifer dan Drake tidak mau tahu. Dia mengambil gelas berisi susu cokelat dan meneguknya banyak-banyak, memastikan ada yang menempel di bibir atasnya. Jennifer menjerit girang dan melompat-lompat. Setelah mereka akhirnya bisa menenangkannya, Lauri memerintahnya, "Pergilah ke atas, cuci muka dan tanganmu sementara aku menyiapkan makan siang." Jennifer pergi dengan melompat-lompat riang.
"K au tidak akan mencuci mukamu"" tanya Drake sambil tersenyum geli. "Kumismu tidak cocok dengan rambutmu."
"Oh. Aku lupa," jawab Lauri dan berbalik ke arah wastafel.
"Izinkan aku," kata Drake, memegang bahunya.
Lidahnya yang bagai beludru dengan cepat membersihkan kumis susu Lauri, tapi seperti ciuman-ciuman mereka, pelukannya berlanjut. Lauri memeluknya dan mereka lama berciuman sampai keduanya memisahkan diri dengan napas terengah-engah.
"Kalau kita teruskan ini, bisa-bisa kau tidak jadi makan siang," gumam Lauri sementara bibirnya menciumi dagu pria itu.
"Aku mungkin ingin mengubah menunya," balas Drake parau. Diciumnya leher Lauri.
"Tamale-nya bisa dingin." Lauri mendesah ketika Drake menemukan titik yang sensitif.
"Itu sebabnya orang menciptakan microwave. Masa kau tidak tahu itu"" gumam Drake di telinga Lauri.
Lauri menarik napas pasrah dan dengan lembut melepaskan diri dari pelukan Drake. "Kita harus menjaga sikap. Sebentar lagi Jennifer datang untuk minta makan."
"Di mana bandit kecil itu"" tanya Drake. "Kuharap dia tidak kabur lagi." Sorot matanya menghangat waktu memandang Lauri. Drake ingat, seperti dia juga, bahwa pada malam Jennifer kabur, mereka bercinta untuk pertama kalinya.
"Biar kutengok dia," kata Lauri cepat-cepat. "Kalau kau tidak keberatan menata meja." Drake menggeleng, dan Lauri melesat keluar ruangan supaya tidak dipeluk pria itu lagi.
Dia menaiki tangga dan tengah berjalan ke kamar Jennifer waktu melihat gerakan di kamarnya sendiri. Oh, jangan ada keributan lagi, pikir Lauri ketika mendorong pintu supaya terbuka lebih lebar. Lalu jantungnya bagai berhenti berdetak. Benda pertama yang dilihatnya adalah sepasang sepatu balet dari satin pink. Sepatu itu pasti pas di kaki mungil dan langsing dengan cekung tinggi. Benda itu jelas kelihatan sering dipakai untuk latihan, karena bagian jarinya yang membulat dan datar tampak usang, dan pita satinnya berkerut-kerut karena sering dibuka dan diikat.
Sepatu itu tergeletak di antara foto-foto, pakaian-pakaian, beberapa buku acara teater, dan sebuah buku kliping besar bersampul kulit. Mata kaget Lauri yang terkejut melihat pintu lemari terbuka dari sanalah kotak-kotak barang itu berasal.
Jennifer duduk di lantai memandangi salah satu foto dengan konsentrasi penuh. Pelan-pelan, kakinya seperti diganduli bola besi, Lauri mendekatinya dan menarik perhatiannya.
Lauri, lihat" Wanita cantik, Jennifer mengisyaratkan dan menunjuk foto yang dipegangnya.
Dengan tangan gemetar Lauri mengambil foto itu dan menatap wanita yang diabadikan dalam foto itu. Dia cantik. Dia mengenakan baju latihan. Warmer kaki dari bahan wol yang hampir selalu dipakai para penari membungkus betis indahnya dan menonjolkan kesempurnaan pahanya.
Wanita itu bersandar di palang seakan sedang beristirahat setelah melakukan plie dan tendus. Dia memandang lurus ke kamera, tak acuh dan tidak berpose, menantang lensa fotografer untuk mendeteksi kekurangannya. Rambutnya berwarna gelap, dibelah tengah, dan disanggul di dasar leher angsanya. Mata hitamnya besar dan merupakan bagian yang paling menarik di wajahnya yang berbentuk hati.
"Ya, dia cantik," kata Lauri dengan suara nyaris tidak terdengar. Tanpa sadar dia duduk di lantai di samping Jennifer. Bahunya turun karena kecewa setelah melihat untuk pertama kalinya wanita yang masih memiliki hati Drake.
"Hei, kalian, aku kelaparan nih. Ada apa sih di atas"" Teriakan gembira Drake menyentakkan Lauri dari lamunannya. Tapi sebelum dia sempat menenangkan diri, pria itu sudah berdiri di ambang pintu. Mata dan wajahnya cerah karena senyumnya, tapi waktu dia melihat kamar Lauri yang be-rantakan-kotak-kotak yang isinya berserakan tanpa menghargai pemiliknya dahulu, anak dan wanita yang telah mencemari kenangannya pada istrinya- wajahnya berubah menyeramkan.
Lauri membuang muka supaya tidak melihatnya; dia tak sanggup menyaksikan penderitaan hebat itu. Diambilnya sepatu balet dari tangan Jennifer, yang berusaha dipakainya.
Jennifer, cucilah wajah dan tanganmu, kata Lauri setenang mungkin. Jennifer akan mempro
tes dan mengambil sepatu itu lagi, tapi Lauri memerintahkan, "Ayo!" Sikapnya yang mendesak menghilangkan bantahan apa pun, dan Jennifer berjalan melewati ayahnya, yang berdiri di atas foto dan memandanginya, tidak menyadari keadaan di sekelilingnya.
Setelah anak itu meninggalkan mangan, Lauri berkata, "Maafkan aku, Drake. Dia mengacak-acak. Biar kubereskan-"
"Tidak, jangan," bentak Drake. "Biarkan apa adanya. Aku akan merapikan dan menyimpan semuanya."
Lauri menjatuhkan sepatu satin pink itu seolah tangannya terbakar. "Baik," katanya, dan berlari keluar kamar.
Drake masih berdiri di tengah ruangan, menatap foto-foto yang berserakan.
Lauri membuatkan roti isi selai kacang untuk Jennifer. Anak itu mengobrol dengan Bunny, yang duduk di meja di samping piringnya sementara dia makan. Lauri memberinya semua yang diendusnya dan ditunjuknya. Kebiasaan ini biasanya tidak diperbolehkan, tapi saat ini Lauri kehabisan energi untuk memedulikannya.
Setelah Jennifer selesai makan siang, Sam dan Sally datang lewat pintu belakang untuk mengajaknya bermain di rumah mereka. Lauri memakaikan sweter-yang dibelikan Drake waktu mereka pergi ke Albuquerque-dan minta Sam mengantarkannya pulang setengah jam lagi.
"Tentu. Kami juga harus tidur siang kok," kata Sam sambil membantu Jennifer menuruni tangga sampai halaman.
Lauri mengawasi mereka berlari melintasi halaman, tapi sebetulnya dia tidak melihat mereka. Di benaknya terbayang foto-foto balerina yang menatap kamera dengan begitu percaya diri.
Apa penyebab kematiannya" Drake tidak pernah mengatakannya. Pria itu betul-betul menghindari pembicaraan tentang istrinya. Lauri tidak tahu apa-apa tentang wanita itu, kecuali bahwa dia dulu balerina klasik yang ikut audisi Grease, dan di audisi itu bertemu laki-laki yang kemudian menikahinya.
Apakah dia meninggal karena kecelakaan" Pesawat terbangnya jatuh" Apakah dia mengidap penyakit mengerikan yang men ambil nyawanya" Stroke"" Pasti bukan, dia masih semuda itu. Apa yang terjadi padanya"
Lauri membereskan piring-piring yang tadi dipakai Jennifer. Dibawanya bungkusan tamale itu ke tong sampah besar di luar. Rumah sepi. Dia keluar-masuk kamar-kamar, mencari sesuatu untuk dikerjakan untuk mengisi kekosongan hatinya, tapi tidak ada apa-apa. Dia menghitung menit demi menit sampai Jennifer pulang, dan setelah itu Lauri mengusulkan mereka membaca buku. Jennifer masuk ke kelas dan memilih buku tentang macam-macam alat transportasi.
Mereka duduk di sofa dan berdiskusi tentang berbagai mobil, bus, pesawat, dan boat di dalam buku bergambar itu. Sudah dua jam Jake di atas sampai Lauri mendengar langkahnya di tangga.
Dia bersiap-siap menghadapi apa pun. Seperti apa sikap Drake sekarang" Bagaimana reaksinya terhadap semua yang telah terjadi" Ketika memandang pria itu, dia tahu.
Drake memakai celana panjang, jaket sport, dan dasi: pakaian yang jarang dikenakannya sejak datang ke New Mexico. Di tangan kirinya ada koper kecil. Jas hujan tersampir di bahu kanannya.
Lauri berdiri dan meremas-remas tangan ketika pria itu menghampirinya. Waktunya telah tiba.
"Lauri, aku akan kembali ke New York," katanya singkat.
"Ya." Drake mengalihkan pandangan darinya. "Sudah terlalu lama aku di sini," katanya. Pria itu ingin meyakinkan dia atau dirinya sendiri" "Ada hal-hal yang harus kukerjakan. Aku tidak bisa tinggal di sini selamanya."
"Betul." Jika Drake menginginkan persetujuannya, pria itu harus bersiap-siap kecewa. Lauri tidak mau mempermudah situasi ini baginya. Dia pernah memohon pada Paul supaya mengizinkannya membantunya. Tawarannya ditolak mentah-mentah. Satu penolakan sudah cukup. Dia takkan membiarkan Drake mengorek luka lamanya.
"Kau akan menjelaskan kepergianku pada Jennifer"" tanyanya, tidak terlalu mengharapkan Lauri menjawab. Ketika yang terjadi sebaliknya, jawaban wanita itu mengejutkannya.
"Tidak. Jelaskan saja sendiri padanya." Dia mengenali apa arti dagunya yang terangkat dengan angkuh itu dan tahu percuma saja mendebatnya.
Drake meletakkan kopernya di lantai dan berjongkok di depan putrinya, yang
masih asyik melihat-lihat buku. "Jennifer," kata Drake. Cuma itu yang didengar Lauri. Dia cepat-cepat pergi ke pintu depan dan menekankan keningnya di kayu dingin keras itu. Aku tidak sanggup menghadapi ini, teriaknya dalam hati. Aku akan mati kalau dia pergi, erangnya. Tapi waktu mendengar langkah kaki Drake mendekat, dia menegakkan tubuh dan menghadapi pria itu dengan keberanian yang sama sekali tidak dirasakannya.
"Dia ngambek. Tolong tenangkan dan hibur dia demi aku," kata pria itu. Dan siapa yang akan menghiburku" Lauri ingin bertanya padanya. Dia melihat Drake sendiri pun goyah. Jika tidak mengenalnya, dia pasti mengira kilau aneh di mata pria itu disebabkan oleh air mata. Apakah dia begitu galau karena akan meninggalkan anaknya" Atau apakah ini cuma adegan perpisahan menyedihkan yang dimainkannya dengan andal"
"Aku harus membawa mobilmu, tapi akan kuatur supaya ada yang mengantarkannya kembali kemari besok."
Lauri mengangguk. "Yah, kalau begitu selamat tinggal. Nanti kuhubungi." Drake bersikap seolah masih ada yang ingin dikatakannya. Atau-Tidak, tidak mungkin dia ingin menciumnya, walaupun Lauri merasa kepala pria itu menunduk sedikit untuk mencoba-coba.
"Selamat tinggal, Drake," kata Lauri datar, dan membukakan pintu depan.
Kerut-kerut di sekeliling mulut Drake menegang, dan alis tebalnya berkerut. Pria itu mendesah kesal sebelum melewatinya. Lauri menutup pintu begitu pria itu keluar.
Seolah mengetahui suasana mendung ini, awan-awan kelabu bergulung dari puncak pegunungan dan menggantung di atas Whispers. Awan-awan itu menaburkan salju pertama musim ini. Entah mengapa selimut putih bersih itu tidak mampu menghilangkan kemuraman yang menyelubungi rumah.
Jennifer tidak mau terlibat dalam aktivitas apa pun, dan Lauri membiarkannya menonton televisi sepanjang hari ini.
Ketika waktu tidur akhirnya tiba, gadis kecil itu memeluk Bunny dan dengan suaranya yang manis tapi nyaris tidak jelas berkali-kali mengatakan, "Daud-y." Air mata mengalir di pipinya yang ber-
semu merah. Emosi Lauri yang sedang kacau-balau membuatnya tidak sanggup melihatnya. Dia berbaring di samping Jennifer dan memeluk anak itu erat-erat.
Mereka menangis sampai tertidur.
Bab Tiga Belas Waktulah yang mengobati kesedihan Lauri dan Jennifer karena kepergian Drake, walaupun mereka masih terus mengingat pria itu. Dengan keriangan khas anak-anak, Jennifer sudah kembali gembira ketika bangun keesokan paginya, senang melihat salju, dan bersemangat untuk memulai hari baru. Untuk menenangkan pikiran Jennifer dan pikirannya sendiri, Lauri merencanakan beberapa proyek yang akan menguras energi dan menghabiskan waktu hari ini. Waktu seolah berjalan lebih lambat sejak Drake pergi.
"Aku tak habis pikir dia meninggalkanmu begitu cepat setelah pernikahan kalian," komentar Betty dari tempat duduknya di dapur. Lauri sedang mengawasi pembuatan popcorn. Anak-anak ber-lepotan dari ujung jari sampai siku dan memasukkan makanan lengket itu ke dalam mulut sebelum gula panasnya dingin.
Lauri tidak menanggapi komentar itu, mengangkat bahu tak acuh dan berkata, "Dia kan punya pekerjaan, Betty. Dia harus kembali ke New York."
Aku tahu, tapi kau harus mengakui, perbuatannya tidak lazim untuk pria yang sedang berbulan madu."
tapi Drake tidak betul-betul sedang berbulan madu, kata Lauri dalam hati, sementara Betty membaca lagi The Scoop Sheet untuk ketiga kalinya.
Dia membeli majalah itu tadi pagi waktu berbelanja di toserba dan bergegas menunjukkannya pada Lauri. Foto berwarna di halaman depan yang menampakkan pasangan yang sedang tertawa itu seakan mengolok-olok Lauri. Dia tidak ingin mengetahui apa isi artikelnya, tapi Betty membacakannya keras-keras, tidak melihat air mata yang menetes di wajah Lauri. Apa pendapat Drake tentang berita bohong itu" Apakah dia bahkan melihatnya"
Karena alasan yang tidak bisa dipahaminya, Lauri tidak mau mengungkapkan bahwa dia dan Drake tidak benar-benar menikah. Betty takkan dapat memahami kerumitan masalahnya, ia menghujani Lauri pertanyaan-pertanyaan yang terlalu menyakitkan u
ntuk dijawab. Seperti orangtuanya, Betty belum boleh mengetahui situasi yang sesungguhnya.
Cepat atau lambat mereka semua akan tahu yang sebenarnya. Lauri akan merasa sangat tolol, tapi takkan lebih tolol dari yang dirasakannya sekarang. Selama berhari-hari setelah pernikahan palsu mereka, Lauri hampir berhasil meyakinkan dirinya bahwa cinta Drake padanya sebesar cintanya pada pria itu. Drake begitu mesra, begitu bertekad membuatnya bahagia.
Dia mestinya ingat pekerjaan pria itu. Drake dibayar sangat tinggi untuk menampilkan berbagai emosi setiap hari. Perannya menuntut dia berakting sebagai pengantin baru yang mesra, dan dia memainkan peran itu dengan baik. Dia juga memperoleh imbalan. Tiap malam dia dibayar kontan di atas tempat tidur. Sejak dulu memang cuma itulah yang diinginkan Drake darinya.
Sekarang Lauri merah padam karena marah dan malu. Di awal hubungan mereka Drake telah memberitahukan apa yang bisa diharapkan Lauri darinya. Tapi dia malah menipu diri dengan berpikir bahwa dia bisa mengubah perasaan pria itu padanya, bisa mengubahnya menjadi sesuatu yang lebih dalam daripada sekadar hubungan fisik.
Dia tidak berniat membuat Drake melupakan Susan. Pria itu takkan pernah melupakan istrinya, dan memang tidak perlu berbuat begitu. Lauri cuma ingin Drake bisa mencintai lagi-mencintainya. Dia mengira dirinya hampir berhasil. Lalu dilihatnya wajah pria itu ketika dia memandang foto-foto mendiang istrinya. Pakaian-pakaian yang berserakan di lantai kamar itu pasti sangat mengingatkannya pada .wanita yang pernah memakai semua itu dan menari dengan bersepatu satin. Penderitaannya terlihat jelas. Apakah dia merasa mengkhianati Susan karena telah tidur dengan Lauri" Itukah sebabnya dia pergi"
Meskipun Lauri sudah berusaha keras menyingkirkan pikiran-pikiran meresahkan itu, Lauri tetap tidak berhasil. Kalau tidak ada Jennifer yang begitu manis, dia pasti sudah sinting. Paling tidak Jennifer menerima kasih sayangnya dan membalasnya. Lauri bahkan tidak mau memikirkan apa dampak kepergiannya nanti bagi dirinya sendiri dan Jennifer.
Pergi" Ya, Lauri harus pergi kalau Drake kembali. Dia tidak mampu meneruskan lagi hubungan mereka seperti dulu. Dia juga takkan sanggup jadi wanita simpanannya, dan tidur dengannya kalau Drake sedang ingin saja. Dia dulu seperti itu dengan Paul, dan seperti yang sangat diketahuinya, itu merupakan jalan buntu.
Kelihatannya dia harus menunggu untuk bisa melihat apa yang diharapkan Drake darinya. Jennifer menerima satu atau dua surat pendek tiap minggu, tapi pria itu tidak mengirimi Lauri apa-apa. Sepatah kata pun tidak. Dia tidak pernah menelepon. Apakah dia telah melupakannya sama sekali"
Dua minggu bertambah jadi tiga, lalu empat. Cuaca sering membuat mereka tidak bisa berjalan-jalan seperti biasa, jadi Lauri merancang proyek-proyek di dalam ruangan. Mereka menggambar dengan cat air; mereka merangkai manik-manik; mereka membuat kue sampai kulkas penuh dengan kue dan cake.
Suatu hari, ketika mereka sedang menghias cake cokelat, Lauri bertanya pada Jennifer apakah dia ingin membaginya dengan John Meadows. Dengan penuh semangat anak itu mengiyakan.
Udara cerah tapi sangat dingin. Mereka memakai mantel tebal dan berjalan kaki ke desa. John tengah bekerja di tokonya yang sepi. Akhir-akhir ini dia tidak sibuk. Whispers bukan lokasi main ski, dan turis-turis pergi ke desa-desa lain yang memiliki tempat untuk olahraga tersebut.
John senang bertemu mereka. Merasa takkan ada pembeli, John menutup toko dan mengajak mereka ke tempat tinggalnya di bagian belakang toko.
"Ini, Jennifer," kata Lauri, memberi gadis kecil itu sepotong besar cake. "Sulit untuk merancang kurikulum pelajaran di musim dingin," katanya, menjelaskan soal oleh-oleh mereka. "Jennifer suka membuat kue, tapi berat badan kami bisa naik dua puluh kilo musim ini saja kalau tidak mengurangi acara masak-memasak ini."
John tersenyum lembut ketika berbalik dari depan kompor, tempat dia tadi menuangkan secangkir kopi untuk Lauri dari ceret enamel biru.
"Aku bisa makan kue itu selama berhari-hari. Terima kasih
lagi, walaupun kunjungan kalian saja sebetulnya sudah cukup."
"Kami juga ingin bertemu denganmu. Sejak Drake-" Lauri menghentikan apa yang akan dikatakannya. Sejak Drake pergi, kami jadi tidak bersemangat melakukan apa pun. Dia menyibukkan diri dengan meniup kopi supaya dingin.
"Lauri, bagaimana perasaanmu tentang kepergian-nya"" Pertanyaan tersebut diucapkan dengan suara pelan, tapi Lauri tidak bisa mengabaikannya. Diliriknya John ketika pria itu bergabung dengan mereka di meja, sementara tangan raksasanya memegang segelas kopi.
"Dia -aku-" Lauri tidak sanggup melanjutkan dan berusaha menutupi emosinya dengan meraih Jennifer dan menyibakkan rambutnya yang nyaris kena krim cokelat di sekeliling mulutnya. Anak itu memandang gurunya dengan mata Drake- hijau, berbulu mata hitam. Mata itu sangat mengingatkannya pada Drake, dan Lauri merasa air mata mengalir dari matanya dan bergulir di pipi.
"Kau ingin membicarakannya"" tanya John. Disentuhnya tangan Lauri, yang tergeletak lemas di atas taplak meja kotak-kotak. Matanya kelam, hangat, dan membangkitkan rasa percaya diri. Lauri mulai bicara, dan mengalirlah seluruh cerita.
John tidak menyelanya. Dia tidak berkomentar waktu Lauri harus berhenti dan membersit hidung atau menahan tangis. Jennifer, menunjukkan kelembutan dan pengertian jauh melebihi usianya, mendatangi Lauri dan naik ke pangkuannya. Di-sandarkannya kepalanya di dada wanita itu dan ditepuk-tepuknya bahunya.
"Kami tidak benar-benar menikah," kata Lauri serak. "Upacaranya sih sungguhan, tapi janji perkawinannya palsu. Janji itu tak berarti bagi Drake." "Tapi bagimu sebaliknya"" tanya John mengerti. Lauri berusaha menjawab tapi tidak bisa. Dia cuma memandangnya dan mengangguk nelangsa. "Aku mencintainya, John. Sejak pertama melihatnya aku tahu aku akan mencintainya, dan kulawan perasaan itu. Aku melawan ketika tahu bahwa di matanya aku tidak bisa lebih dari sekadar tubuh hangat di tempat tidur." Dia tidak merasa malu mengungkapkan semua ini. John tidak akan mencela orang karena mencintai seseorang. "Sebetulnya dia sudah memperingatkan aku bahwa dia mencintai istrinya dan tidak mau menjalin hubungan jangka panjang dengan siapa pun."
Dia menghapus air matanya dengan tisu, yang sekarang sudah basah dan robek-robek. Jennifer memandangnya dengan tatapan prihatin sehingga Lauri menggosok punggungnya dan tersenyum menenangkan. Anak itu tidak boleh melihatnya segalau ini; Lauri satu-satunya tempatnya bersandar. Dunia Jennifer pasti sangat terguncang ketika dia melihat guru/ibunya begini menderita.
"Kurasa kau salah menilai Drake, Lauri," John menanggapi. "Jangan terlalu yakin bahwa baginya kau cuma 'tubuh hangat di tempat tidur'. Dia meninggalkanmu dengan tanggung jawab membesarkan anaknya. Dia tidak mungkin selalu bersamanya. Pria mana pun pasti sulit membesarkan anak kecil sendirian."
"Aku dibayar untuk itu, John. Dia bisa saja dengan gampang mempekerjakan orang lain."
"Mungkin jauh lebih gampang. Tapi dia tidak melakukannya. Meskipun ada fakta bahwa seorang wanita cantik yang tinggal di rumah pria pasti akan menimbulkan problem yang tak terhitung banyaknya, dia tetap memilihmu."
"Bukan, aku terpilih untuk dia. Aku sangat direkomendasikan."
"Baik," John menghela napas. "Aku tidak mau seharian mempermasalahkan hal itu denganmu. Ada hal lain." Suaranya berubah, dan nadanya membuat Lauri memandangnya. "Aku telah melihat Drake bersamamu. Aku sudah melihat ekspresi matanya ketika menatapmu."
"Yang kaulihat itu nafsu. Ada gairah menggebu-gebu di antara kami. Aku tahu dia... menginginkan aku."
"Bukan, Lauri. Aku tahu seperti apa pandangan bernafsu," John tertawa pelan. "Bukan, ada perbedaan nyata. Apa kau tidak mengenali cinta ketika melihatnya"" Senyumnya sedih, dan matanya mengungkapkan lebih dari satu makna dalam kata-katanya barusan. Lauri membuka mulut, bermaksud bicara, tapi tidak sanggup. Tidak ada yang perlu dikatakannya. John tahu itu, karena dia cepat-cepat melanjutkan, "Dan aku tidak pernah melihat laki-laki secemburu Drake ketika aku datang ke rumahmu hari itu."
"Dia cemburu karena Jennifer menyayangimu," tukas Lauri. "Menurutnya sangat tidak pantas jika kau dan aku berpacaran." Dia tertawa pahit. "Kalau mengingat apa yang ada dalam pikiran Drake tentang aku, reaksinya terhadap kencan seminggu sekali kita bersama Jennifer juga terasa lucu. Kalau bukan menyedihkan."
"Istrinya ini, dia meninggal tiga tahun yang lalu""
"Ya. Dokter Norwood memberitahu aku bahwa wanita itu meninggal waktu Jennifer baru berumur beberapa bulan. Cuma itu fakta yang kuketahui, dan Drake tidak menjelaskan lebih lanjut. Istrinya merupakan topik yang sama sekali tabu dibicarakan."
"Hmm," kata John. "Aneh bahwa pria yang begitu cerdas dan percaya diri seperti Drake ber-kabung begitu lama."
Lauri menarik napas dalam-dalam. "Aku juga tidak bisa memahaminya, John. Tapi dia memang berkabung. Aku tidak meragukannya sedikit pun."
Lauri dan Jennifer pulang tidak lama kemudian. Air matanya ternyata bisa menyalurkan depresinya sedikit, dan dia merasa lebih baik ketika meninggalkan rumah John.
Di pintu John memegang bahunya. "Lauri, jika ada yang bisa kubantu, tolong jangan ragu meng-hubungiku. Aku tahu bagaimana rasanya memendam sakit, dan kadang-kadang rasanya lebih enak jika berbagi cerita."
John, di suatu masa dalam hidupnya, pernah merasakan penderitaan yang menyakitkan. Insting Lauri mengetahuinya. Itukah sebabnya John tidak pernah mencela orang lain" Itukah sebabnya dia begitu penuh pengertian" Apakah dia sadar perbuatan keji biasanya merupakan akibat hati yang terluka"
Tiga minggu setelah kunjungan mereka ke tempat John, badai salju pertama musim dingin tahun ini menyerang dengan kekuatan penuh. Meskipun hari-hari berlangsung monoton, Lauri merasa lebih bisa menerima dirinya dan situasinya yang menyedihkan. Dia mencoba berbagai metode untuk mengajar Jennifer bicara, dan gembira ketika anak itu mulai menampakkan kemajuan. Di siang hari ketika badai salju datang, angin meraung-raung sementara mereka duduk di depan cermin di kelas, berusaha menyempurnakan pengucapan huruf p. Lauri meletakkan kapas di tangan dan menunjukkan bagaimana benda itu terbang ketika dia mengucapkan huruf itu dengan benar. Jennifer meniru perbuatannya dan berseri-seri bangga ketika bisa menyuarakannya.
Lauri meninggalkannya untuk berlatih dengan kapas dan pergi ke ruang tamu karena ingin menyelidiki suara di luar yang tadi didengarnya. Ketika sampai di jendela-jendela lebar, dia memandangi salju yang berputar-putar dari balik gorden tebal. Jantungnya seakan berhenti berdetak ketika dia melihat Drake keluar dari mobil dan menundukkan kepala untuk melindunginya dari angin sambil bergegas menaiki tangga licin menuju teras.
Pria itu mengangkat tangan untuk mengetuk, tapi Lauri buru-buru lari ke pintu dan membukanya supaya dia bisa masuk. Drake menggeleng-gelengkan kepala, yang diselimuti salju, dan melipat kerah mantel kulitnya sebelum menoleh untuk memandangnya. "Lauri," sapanya.
Lauri berusaha menyebut namanya, tapi cuma sanggup komat-kamit.
"Apa kabar"" tanya pria itu.
"B-baik," Lauri tergagap. Lalu dia menggeleng sedikit, berusaha menjernihkan pikiran, dan berkata lebih tegas, "Aku-kami baik-baik saja. Semua baik." Dia tidak akan menanyakan kenapa pria itu datang kemari. Mereka sudah pernah memainkan adegan itu.
"Mana Jennifer"" tanya Drake.
"Dia di kelas. Kami mengubah sedikit jadwal kami sejak kau..." Suara Lauri menghilang. "Begini lebih enak," katanya tidak jelas.
Drake tidak berkomentar, cuma berbalik menuju kelas dan memasuki pintunya. Sebelum tiba di sana, Lauri sudah mendengar jeritan senang Jennifer.
Drake berdiri di tengah ruangan sambil menggendong Jennifer. Lengan anak itu memeluk leher ayahnya dan kakinya memeluk dadanya. Tangan Drake menahan bokongnya. Bunny, yang jarang dilepaskannya sejak Drake pergi, sekarang tergeletak di samping kursi.
Jennifer mencondongkan tubuh ke belakang dan menatap wajah ayahnya. "Jen-fa, Jen-fa," katanya, menepuk dada. "Dau-dy. Dau-dy," katanya, memeluk Drake lagi.
"Oh, Sayang, hebat sekali," puji Drake, tapi gadis kecil itu tidak bisa mendengar pujiann
ya. Dia cuma melihatnya di mata ayahnya. Drake memandang Lauri, yang masih berdiri di pintu, dan tersenyum lebar pada wanita itu. "Menakjubkan, Lauri. Dia pintar, ya"" Drake yang sekarang sama seperti Drake yang duduk di hadapannya di Russian Tea Room dulu; seorang ayah yang khawatir, dan Lauri mengiyakan, "Ya, Drake. Dia sangat pintar."
Drake membebaskan sebelah tangannya untuk mengeluarkan dua bungkus permen karet dari saku. Jennifer langsung menyambarnya dan ayahnya mengizinkannya membuka sebungkus. Jelaslah pelajaran hari ini telah berakhir.
Ribuan pertanyaan berputar-putar di dalam kepala Lauri, tapi dia menahan keinginan untuk menanyakannya. Tidak lama lagi dia pasti akan tahu mengapa Drake muncul pada hari paling buruk sepanjang tahun ini. Dia cuma bertanya, "Kau mau cokelat atau kopi" Kau pasti kedinginan."
"Ya, terima kasih. Aku ke kamar mandi dulu, setelah itu kutemui kau di dapur."
Tangan Lauri gemetar ketika dia membuat cokelat panas, minuman yang dipilih Drake. Diambilnya dari kulkas beberapa kue bikinannya dan Jennifer, lalu dimasukkannya ke oven microwave. Aroma khas kue dipanggang memenuhi dapur.
"Kalau tidak tahu yang sebenarnya, bisa-bisa aku mengira kau sudah menunggu kedatanganku," kata Drake, masuk ke dapur dan menyisir rambutnya yang berantakan dengan jari. Jins ketatnya melekat di pinggul, dan sweter biru muda yang dikenakannya membuat mata hijaunya bercahaya. Lauri menelan ludah. Pria itu seksi sekali. Berbagai kenangan, eksplisit dan jelas, memenuhi benaknya. Dipaksanya matanya memandang ke arah lain.
"Jennifer dan aku sering membuat kue akhir-akhir ini. Beberapa minggu yang lalu, kami membuatkan cake cokelat untuk John." Pemberitahuan itu dimaksudkan untuk menyakiti hati Drake, dan Lauri tahu itu perbuatan yang tidak pantas.
Jika pria itu tadinya berniat menanggapi, dia tidak jadi melakukannya karena Jennifer datang, minta dipangku sementara si ayah menyesap cokelat. Mereka berkomunikasi dalam bahasa isyarat selama beberapa menit, dan Lauri senang melihat Drake tidak melupakan kemampuan bahasanya Pria itu malah tampak makin mahir.
"Yah," gumamnya, dan bersandar di kursi setelah menghabiskan cokelat dan Jennifer asyik mewarnai gambar, "kami telah mengistirahatkan Dokter Glen Hambrick."
"Apa!" seru Lauri kaget. "Apa maksudmu""
"Maksudku," jawab pria itu sambil tersenyum, "dia tidak pernah siuman setelah kepalanya dipukul di taman, ingat"" Setelah Lauri mengangguk, dia meneruskan, "Dia meninggal dalam tidur tanpa pernah sadar. Laki-laki yang malang," kata Drake dengan gaya kasihan berlebihan.
"Apa yang akan kaulakukan, Drake"" Lauri sudah lupa pada tekadnya tadi untuk tidak mengajukan pertanyaan apa pun.
"Dau-dy." Jennifer menarik perhatiannya supaya dia mengomentari gambarnya. Setelah memuji-mujinya, Drake menoleh kembali pada Lauri yang tidak sabar menunggu penjelasannya.
"Aku ingin ambil bagian dalam film televisi yang sebentar lagi dibuat. Pembuatnya perusahaan produksi yang bagus. Aku mendengarnya melalui selentingan dan menyerbu agenku supaya bergerak dan mendapatkan peran itu untukku. Aku terbang ke Hollywood dan mengikuti tes peran. Mereka menyukaiku. Kelihatannya sih prospeknya bagus." Dia membuang muka dengan malu. "Ceritanya tentang anak autistik yang tuli. Mereka membutuhkan orang yang tahu bahasa isyarat untuk berperan sebagai ayahnya."
"Oh, Drake, bagus sekali," kata Lauri hangat dan bersungguh-sungguh.
"Kau tahu drama Broadway berjudul Children of a Lesser God" Kisahnya tentang kaum tuna rungu dan memperoleh bermacam-macam penghargaan." "Ya, tentu saja. Aku pernah menontonnya." "Yah, orang yang memproduksi drama itu sedang bekerja sama dengan seorang penulis naskah dalam rangka membuat naskah lain yang mirip. Dia mencari sutradara baru dan andal yang tidak takut menerima tantangan seperti itu. Aku makan siang dengannya kemarin." "Drake, aku sangat gembira mendengarnya." "Jangan. Banyak rintangannya. Semua bisa berkembang jadi kacau." Wajahnya serius, lalu tampak senyum berlesung pipi yang terkenal dan mampu meluluhkan hari para wanita itu.
"Tapi sulit sekali untuk tidak gembira, ya""
"Aku berharap semua berjalan sesuai keinginanmu. Kau takkan merindukan Dokter Hambrick""
"Mungkin aku akan merasa kecewa sedikit, tapi kurasa takkan lama. Yang paling menyenangkan adalah aku akan punya waktu lebih banyak bersama Jennifer. Selama beberapa waktu mungkin aku harus sering bepergian, dan jarang ada di rumah, tapi di sela-sela pekerjaan kita bisa berlibur seperti keluarga lain." Dia mengulurkan tangan untuk menepuk kepala anaknya dan tidak melihat ekspresi Lauri.
Gaung Keheningan Eloquent Silence Karya Sandra Brown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Wanita itu tiba-tiba meninggalkan meja dan menyibukkan diri dengan mengeluarkan casserole-salah satu proyek mereka saat hari hujan -dari kulkas dan memasukkannya ke oven untuk makan malam.
Drake terus bercerita. "Untuk sementara kita mungkin harus agak prihatin. Aku harus mengontrol keuangan, hal yang tidak perlu kulakukan beberapa tahun terakhir ini. Tapi aku sudah menabung cukup banyak untuk membiayai hidup kita kalau situasi memburuk." Dia tertawa. "Boleh percaya atau tidak, agenku sangat gembira. Dia bilang klien-klien menginginkan wajahku terpampang di berbagai benda, mulai dari pasta gigi sampai pantyhose. Kau bisa memperoleh banyak uang dalam sehari kalau muncul di iklan berskala nasional. Sebelum ini aku tidak pernah berminat membintangi iklan, tapi sekarang aku akan memanfaatkan ketenaranku."
Lauri mencuci selada di bawah keran. "Aku yakin kau pasti akan sukses, Drake. Apa pun yang kau-kerjakan."
Dia bersyukur ketika pria itu menawarkan untuk membawa pergi Jennifer sementara dia menyiapkan makan malam. Begitu mereka keluar ruangan, dia bersandar lemas di permukaan meja dan menutupi wajah dengan tangan.
Drake telah memecatnya, biarpun tidak terang-terangan mengatakannya. Dia tidak menyinggung-nyinggung tentang pernikahan palsu dan hubungan asmara mereka, malah mengatakan akan punya waktu lebih banyak untuk Jennifer, membuat Lauri merasa tak berguna. Drake menggajinya mahal. Di masa yang akan datang uangnya tidak lagi sebanyak sekarang. Pria itu harus berhemat, dan Lauri yakin dia termasuk salah satu yang digusur.
Dia takkan sulit mencari pekerjaan lain. Guru untuk kaum tuna rungu selalu dibutuhkan, tapi tidak akan ada kegembiraan dalam menerima pekerjaan lain. Dia akan selalu memikirkan murid yang telah dianggapnya sebagai anaknya sendiri itu.
Kau kan sudah mengetahui bahayanya kalau terlalu dekat, terlalu terlibat, Lauri, dia memarahi dirinya. Sekarang rasakanlah akibatnya.
Sebuah pikiran menghiburnya. Jennifer terlalu muda untuk lama mengingatnya. Anak itu mula-mula memang akan kehilangan Lauri, tapi dia akan segera melupakannya. Lauri meyakinkan dirinya bahwa pikiran itu menenangkan. Kalau begitu, mengapa dia merasa sakit sekali ketika memikirkannya"
"Lauri"" Dia terlonjak ketika Drake memanggil namanya dari ambang pintu dapur. Setelah me-nenangkan diri, dia memandang pria itu. "Ya""
"Kotak-kotak berisi barang-barang Susan masih di dalam lemari itu""
Tangan Lauri mengepal di balik punggung, dan dia dapat merasakan kuku-kukunya menusuk telapak tangannya. Tenggorokannya tercekat, tapi dia berhasil menjawab cukup tenang, "Ya. Aku tidak menyentuhnya."
Cuma "Oke" yang dikatakan Drake sebelum memukul kusen pintu dan pergi.
Lauri butuh waktu beberapa detik untuk menenangkan diri. Teganya Drake menanyakan hal seperti itu padanya, tanpa memedulikan perasaannya sedikit pun. Apakah dia mengira Lauri menyerahkan diri padanya dengan gampang" Apakah malam-malam di tempat tidur pria itu harus dilupakan seolah tak pernah terjadi"
Apakah Drake berpikir Lauri bisa melupakan sentuhan tangan dan mulutnya yang lihai" Ia teringat kata-kata cinta yang dibisikkan pria itu ketika mengajarinya berbagai cara untuk menyenangkannya. Drake menggumamkan dorongan semangat dan pujian tiap kali dia membawa Lauri kembali dari tempat di mana semua tampak berkilauan. Berulang kali, dan dengan cara yang selalu berbeda, pria itu membawanya ke sana. Tapi dia selalu menunggu di sisi lain untuk memeluk, membelai, dan merayunya.
Saat makan malam Drake terus bicara, memuji makanan buatan
sendiri yang, katanya, baru kali ini dirasakannya lagi sejak kembali ke New York. Dia menceritakan semua gosip: siapa yang terlihat dengan siapa di diskotek mana. Lauri menanggapi cuma kalau diminta. Ketika Drake menanyakan kabar Betty dan keluarganya dia menceritakan anekdot tentang Sam dan sekaleng cat yang disambut Drake dengan tawa terbahak-bahak. Jennifer bisa memahami bahasa isyarat yang digunakannya dan menambahkan ceritanya tentang kejadian tersebut. Anak itu ikut tertawa bersama Drake.
Setelah makan Drake membantu mengangkat piring-piring, tapi Lauri menyuruhnya pergi. "Lebih baik kautemani Jennifer," katanya.
"Oke. Aku memang ingin menyampaikan suatu masalah penting padanya," kata Drake, mengikuti saran Lauri dan meninggalkan dapur untuk menemukan anaknya.
Piring-piring sudah dicuci, dan Lauri tidak tahu harus melakukan apa lagi untuk menyibukkan diri. Dia sengaja berlama-lama ketika menyiapkan makan malam dan bersih-bersih, tapi sekarang dia tidak punya pilihan selain bertemu Drake.
Tuhan, beri aku kekuatan, dia berdoa ketika masuk ruang tamu. Bagaimana dia bisa bersama Drake tanpa jadi bagian dari pria itu" Bisakah dia dekat dengannya tanpa menyentuhnya" Sejak Drake datang, mengibaskan salju dari mantelnya, dia ingin sekali mendekati dan merasakan pelukannya lagi. Itu sama sekali tak mungkin. Dalam beberapa hari ini dia kemungkinan besar akan menyingkir dari kehidupan pria itu.
Dia sedang memeriksa kunci pintu depan ketika mendengar suara Drake datang dari kelas. Suara itu bisa didengarnya meskipun angin menderu-deru dan butiran es berdetik-detik mengenai jendela.
"Mom-my," kata Drake jelas dan menekan setiap suku kata. "Pegang di sini, Jennifer," Lauri mendengarnya berkata. "Letakkan jari-jarimu di tenggorokanku. Mom-my. Mom-my. Mengerti" Kau bisa melakukannya""
"Mau-my," Lauri mendengar Jennifer mengatakannya dengan susah payah.
"Ya!" Didengarnya Drake berseru sambil menepuk punggung si anak. "Hampir benar," katanya.
"Tulisannya seperti ini. M-O-M M-Y, Mom-my. Coba lagi," dorongnya.
Lauri menutup mulut untuk menahan seruan sedih yang keluar dari tenggorokannya. Foto-foto itu! Drake tadi bertanya apakah barang-barang Susan masih di atas. Dia pasti mengambil beberapa benda untuk membantu menjelaskan pada Jennifer hubungan anak itu dengan wanita di foto-foto tersebut.
"Aku tidak sanggup lagi," desis Lauri, dan lari ke atas. Begitu membuka pintu kamar, dia melihat pintu lemari tempat kotak-kotak itu disimpan, sekarang terbuka. Drake telah memeriksa isi kotak-kotak itu dan mengambil apa yang ingin ditunjukkannya pada anaknya.
Oh, Tuhan, Lauri tersedu. Drake masih mencintai Susan. Sampai kapan pun. Di alam bawah sadarnya Lauri berharap kepulangan pria itu menandakan Drake telah mempertimbangkan kembali hubungan mereka. Mungkin Drake ingin pernikahan pura-pura mereka dijadikan sungguhan. Sekarang dia tahu yang sebenarnya.
Dia juga tahu apa yang harus dilakukannya.
Tanpa pikir panjang, Lauri mengeluarkan koper dari kolong tempat tidur dan mulai berkemas-kemas. Dia membawa yang perlu saja. Dia akan minta Betty mengirimkan barang-barangnya yang lain belakangan. Saat ini dia bahkan tidak punya alamat.
Setelah selesai, dikuncinya koper dan disorong-nya lagi ke kolong tempat tidur. Dia tidak ingin Drake mengetahui rencananya.
Lauri parrish seorang pejuang. Menyerah bukan-lah sifatnya. seumur hidup hanya sekali dia terpaksa mundur-waktu pernikahannya tidak bisa diperbaiki lagi.
Dia pejuang, tapi kalau kekalahan sudah tak terelakkan, kalau kemenangan di luar jangkauannya, dia tahu cara menyerah dengan terhormat meskipun hatinya terluka. Dia bisa menerima kenyataan bahwa Drake takkan pernah membalas cintanya. Dia pergi-sekarang. Mumpung dia masih memiliki harga diri.
Bab Empat Belas Sulit sekali menyuruh Jennifer tidur. Anak itu gembira dengan kehadiran Drake di rumah dan melakukan kenakalan-kenakalan yang di lain waktu pasti tidak akan ditolerir Lauri.
Akhirnya dia bisa dimandikan, dicium, dan dibaringkan di tempat tidur. Ketika dia mengucapkan doa yang d
iajarkan Lauri dalam bahasa isyarat, mata Lauri berkaca-kaca. Dia berlutut dan memeluk anak itu, menikmati wanginya yang bersih dan segar, serta kelembutan kulitnya. Aku menyayangimu, Jennifer, dia mengisyaratkan sebelum keluar kamar, meninggalkan Drake untuk mematikan lampu.
Dia pergi ke kamar tidur utama dan menutup pintu, tapi beberapa detik kemudian, Drake mengetuknya. "Ya""
"Layanan kamar," kata Drake riang sebelum membuka pintu. "Bagaimana kalau kau turun dan minum segelas anggur denganku di depan perapian" Malam ini sempurna untuk melakukannya." Maksud tersembunyi ucapannya adalah malam ini sempurna untuk melakukan hal-hal lain juga.
Kata-katanya membuat Lauri marah, dan dia harus bersusah payah menahan kemarahannya. Drake masih beranggapan bisa memanfaatkannya sesuka hati. Yah, pria itu akan segera tahu bahwa dia bukan wanita gampangan!
"Aku sedang sakit kepala," kata Lauri datar. "Kurasa karena angin yang bertiup seharian. Yah, pokoknya aku sedang tidak enak badan. Kurasa aku mau tidur saja. Aku lebih membutuhkan tidur nyenyak daripada segelas anggur." "Menurut saya, Anda terlalu banyak protes." "Maaf, Drake. Pokoknya aku tidak kepingin turun," kata Lauri ketus.
Pria itu memandangnya beberapa lama, kemudian berkata, "Baiklah. Sampai besok pagi."
Lauri mendengar suara samar pesawat televisi ketika dia mondar-mandir di kamar. Akhirnya televisi dimatikan, dan dia mendengar Drake masuk ke kamar di sebelah dapur. Air berkecipak di kamar mandi waktu pria itu bersiap-siap tidur.
Akhirnya rumah senyap. Lauri berjingkat-jingkat ke puncak tangga dan memasang telinga. Semua lampu sudah padam. Kembali ke kamar, dia menunggu dua puluh menit lagi sebelum memakai mantel, mengambil koper dari kolong tempat tidur, dan mengendap-endap menuruni tangga.
Angin sudah berhenti, tapi salju masih turun dengan deras ketika Lauri melangkah ke teras depan. Setelah tanpa suara meletakkan koper, dia menutup pintu. Dengan hati-hati dia menuruni tangga berlapis es, dan setengah meluncur setengah berjalan ke mobil Mercedes-nya.
Pintu mobil itu beku sehingga sulit dibuka. Setelah berkali-kali mencoba membukanya dengan satu tangan, dia terpaksa meletakkan tas sandang dan kopernya di salju dan menarik dengan dua tangan sampai pintu itu terbuka, nyaris membuatnya terjungkal.
Dimasukkannya tas-tas ke bangku belakang dan duduk di balik kemudi. Dari balik sarung tangan kulitnya, dia dapat merasakan kemudi itu sedingin les, dan dia menggigil meskipun sudah memakai mantel tebal. Bagaimana kalau mobil ini tidak mau menyala"
Dia menginjak pedal gas beberapa kali, kemudian memutar kunci mobil. Mesinnya menggeram, terbatuk-batuk, lalu diam.
"Sialan!" gumamnya sambil mencoba lagi. Ketika dia akan menyerah, mesin hidup dan derumnya terdengar bagai suara paling merdu di telinganya. Selama berusaha menyalakan mobil tadi, dia terus memandang pintu depan dengan gelisah, takut Drake mendengar suaranya. Rupanya desir angin me-nenggelamkan suara-suara lain. Sambil memandang rumah untuk terakhir kali, dia memasukkan persneling, dan roda-roda mobil berjuang untuk bisa berputar di tanah yang licin.
Pikirannya begitu kacau sehingga dia tidak mempersiapkan diri untuk mengemudi dalam badai salju. Di Nebraska dia sudah biasa menyetir mobil di jalanan bersalju. Tapi pegunungan di New Mexico ini berbeda dari tanah datar kampung halamannya.
Panik melandanya ketika roda-roda tidak bisa dikontrol dan meluncur ke tepi jalan. Dia berhasil meluruskan mobil lagi, tapi dengan gugup dia menggigit-gigit bibir bawahnya. Lebih erat mencengkeram kemudi, dia bertekad takkan kembali. Drake mengemudi dari Albuquerque dalam badai ini. Jika pria itu bisa melakukannya, begitu juga dia. Kalau dia menunggu sampai besok pagi, jalanan akan lebih beku.
Dia butuh waktu hampir sepuluh menit untuk keluar dari jalan kecil yang menuju rumah itu. Ketika sampai di kaki bukit tempat jalan kecil itu bertemu dengan jalan ke desa, dia menginjak rem, tapi mobil tidak mau berhenti. Mengira dia bisa masuk ke jalan itu tanpa perlu betul-betul berhenti, dia memutar kemu
di tidak lebih dari sepersekian inci saja. Tapi itu sudah cukup.
Sebelum dia sempat memegang kontrol lagi, mobilnya sudah meluncur tak tentu arah. Mobil itu berputar tak terkendali, roda belakangnya mula-mula bergerak ke satu sisi jalan, kemudian ke sisi yang satu lagi. Lauri refleks menginjak rem. Roda-roda mengunci, dan bagian belakang mobil menghunjam tumpukan empuk salju di dalam selokan. Lauri duduk menghadap ke atas seperti di kursi periksa dokter gigi. Dia tidak terluka. Mobilnya tidak mungkin rusak berat, karena terjunnya ke selokan tadi tidak keras dan dia tidak mendengar bunyi logam berderak. Tapi mobil itu terbenam dalam-dalam di salju. Dimatikannya mesin.
Sebelum dia sempat memikirkan jalan keluar dari masalah ini, pintu di sisi pengemudi disentakkan sampai terbuka, dan dia nyaris menjerit sampai melihat wajah Drake. Wajahnya tidak seramah biasanya, melainkan berkerut marah. "Kau terluka"" bentak Drake.
Lauri menggeleng, tidak tahu apakah harus merasa gembira karena selamat dari kecelakaan ini atau tidak. Saat ini dia lebih takut pada Drake dibandingkan pada kemungkinan kecelakaan mobil.
Pria itu menyambar lengan atasnya dan menyeretnya keluar dari balik kemudi. Ketika Lauri memberontak dan berusaha mengambil tas-tas di bangku belakang, Drake berteriak, "Biarkan saja." Dia memakai mantel kulitnya, tapi tidak mengancing-kannya, dan mantel itu berkibar-kibar ketika dia berusaha menaiki tepi selokan yang tertutup salju setinggi lutut. Salju yang berputar-putar dan kegelapan makin menyulitkan mereka. Drake menarik Lauri, tidak peduli bahwa salju mencapai setengah paha wanita itu.
Lauri memanggilnya sekali waktu merasa mata kakinya akan terkilir, tapi pria itu tidak mendengarnya. Atau dia sengaja tidak memedulikannya.
Ketika akhirnya mereka berhasil keluar dari selokan, Lauri bersyukur punya kesempatan beristirahat, tapi Drake berpendapat lain. Makin kuat mencengkeram lengannya, pria itu mulai menyusuri jalanan, tersandung-sandung, terpeleset, dan memaki-maki sambil berjalan. Seingat Lauri tidak pernah dia melihatnya semarah ini. Drake tidak memakai topi, tapi tampaknya sanggup menahan angin dan salju dingin yang menyelimuti rambutnya yang awut-awutan ditiup angin.
Lauri segera kehabisan tenaga dan ketinggalan. Pria itu menyentakkannya dan mendesis di telinganya, "Kalau kau tidak segera bergerak, jejakku tadi akan tertutup salju. Jika itu sampai terjadi, kita akan tersesat di luar sini. Itu yang kau mau"" Dia mengguncangnya sedikit dan Lauri ketakutan memandangnya. Dia menggeleng, dan mereka melanjutkan mendaki bukit.
Lauri terpeleset di tangga yang menuju teras depan dan tersungkur. Ditahannya tubuhnya dengan tangan. Drake memegang tubuhnya dan menariknya berdiri tanpa basa-basi atau kelembutan. Pria itu membuka pintu depan dengan bahunya dan mendorong Lauri ke dalam.
Kaki Lauri beku dan terasa seperti kayu ketika dia berjalan terseret-seret menuju tangga. Dia bermaksud kabur dari Drake. Pria itu pasti mengetahui niatnya, karena dia membuntutinya, dan mencengkeram pergelangan tangannya kuat-kuat, lalu menariknya ke arah perapian.
"Awas kalau kau bergerak," ancam Drake dengan suara galak. Dia berjongkok dan mengaduk-aduk bara api sebelum menambahkan kayu ke perapian. Setelah api menyala sesuai keinginannya, dia memandang Lauri.
Kalau tadi Lauri belum kedinginan dan menggigil, maka tatapan Drake pasti bisa membuat darahnya beku. Mata hijau itu berkilat-kilat marah. Rahangnya keras dan tak kenal kompromi.
Lauri mengernyit ketika pria itu mengangkat tangan. Bukan menghajarnya seperti dugaannya, Drake malah memegang bahu Lauri dan menariknya tke dekatnya sampai dia harus mendongak supaya bisa melihat pria itu.
"Kalau kauulangi kelakuanmu tadi, akan kupukul pantatmu. Kau dengar"" Dia mengguncangnya lagi, dan kepala Lauri bergoyang-goyang tak berdaya. "Apa sih maumu"" desaknya. "Hah"" dia menambahkan ketika wanita itu tidak menjawab.
Api sedikit demi sedikit menghangatkan Lauri dan bersamaan dengan itu timbul kemarahannya. Apa hak Drake memarahinya" Dia kan manusia merdeka. Dia
bisa pergi kalau mau, tanpa perlu memberikan penjelasan pada pria itu.
Lauri melepaskan diri dari pegangannya dan menjauh, kemarahan mereka kini sebanding. Mereka sekarang saling mengawasi seperti petinju, masing-masing mengira-ngira kekuatan lawan.
"Kalau kau mencemaskan mobilmu, aku meninggalkan surat di atas untuk memberitahumu bahwa mobilmu akan kutinggalkan di lapangan parkir bandara supaya bisa kauambil." Dagunya naik sedikit dengan sikap membangkang.
"Aku tidak mencemaskan mobil sialan itu!" geram Drake. "Apakah kau meninggalkan surat juga untuk Jennifer, menjelaskan kepergianmu yang diam-diam" Aku yakin dia akan bertanya-tanya di mana kau berada," ejeknya.
kata-katanya itu membuat Lauri terdiam sesaat dan dia bergumam tidak jelas.
"Aku tidak mendengar omonganmu barusan," kata Drake, bersidekap dengan gaya arogan yang menjengkelkan Lauri.
"Aku bilang" kata Lauri penuh tekanan, "aku akan membiarkan kau yang menjelaskannya." "Dan apa yang harus kukatakan padanya"" Kilau rambutnya bagai mencerminkan kemarahan yang makin memuncak di dalam hatinya. Cuma itu caranya membela diri terhadap kekurangajaran sikap Drake. "Katakan padanya aku menghargai diriku lebih dari sekadar simpanan aktor yang mengharapkan setiap wanita bertekuk lutut di hadapannya. Katakan padanya bahwa meskipun sangat menyayangi dan peduli pada masa depannya, aku tidak bisa tetap bersamanya dan dihina serta direndahkan gara-gara hubungan asmara hambar yang tanpa makna. Aku dibayar untuk menjadi gurunya, bukan untuk menghangatkan tempat tidur ayahnya."
Payudaranya naik-turun karena kesal, dan tubuhnya setegang senar biola. "Aku akan pergi dari sini walau harus jalan kaki sekalipun! Aku tidak peduli apakah akan bertemu kau lagi atau tidak, Drake Sloan." Lauri berbalik.
"Tidak," kata pria itu serak.
Lauri begitu kaget ketika mendengar emosi dalam suara Drake sehingga langsung berhenti. Penasaran tentang perubahan suasana hatinya yang sangat cepat, dia memandang pria itu lagi. Mata Drake, yang baru beberapa saat yang lalu penuh kemarahan, sekarang tampak muram, putus asa, dan memelas.
"Takkan kubiarkan kau meninggalkan aku, Lauri. Katakan kau tidak akan pergi." Sementara Lauri memandangnya dengan takjub, Drake berlutut dan memeluk pinggangnya. Wajahnya menekan perutnya dan dengan lembut pria itu menciumnya. "Aku pernah bersumpah takkan mencintai wanita lain. Tapi kenyataannya lain. Ya Tuhan, aku mencintaimu. Aku takkan membiarkanmu pergi," ulangnya.
Tangan Lauri bergerak otomatis ke puncak kepala Drake, dan diusapnya titik-titik air dari rambut keperakan itu. Menjauh darinya, dia berlutut untuk menatap pria itu.
"Drake" Apa maksudmu"" Dipandanginya wajah Drake untuk melihat apakah pria itu berbohong. Berpura-purakah dia" Apakah ini adegan mengharukan dan tragis di akhir sandiwara ketika masa depan sepasang kekasih terancam" Bukan. Ekspresi sakit, rindu, dan putus asa yang dilihatnya di wajah Drake amat nyata. Pria itu tidak sedang berakting.
Drake menyibakkan helai-helai rambut merah Lauri yang basah karena salju dari pipinya dan berkata lembut, "Kaupikir aku seenaknya datang kemari hari ini dan mengira bisa melanjutkan hubungan kita, kan"" Lauri mengangguk. "Dan kaukira waktu aku mengajakmu turun dan minum segelas anggur denganku, aku akan merayumu, bukan"" Lauri mengangguk lagi. "Yah, kau benar,"
dia malu-malu mengakui. "Tapi pertama-tama aku akan memintamu menjadikan pernikahan kita pernikahan sungguhan. Atau tepatnya pernikahan yang sah di mata hukum. Sejak dulu aku sudah merasa upacara pernikahan yang dipimpin ayahmu itu sungguhan."
"Drake," bisik Lauri, "kenapa baru sekarang kau memberitahukan hal ini padaku""
"Kenapa"" tanyanya. "Memangnya kau akan mempercayai aku" Kau selalu begitu defensif, mencari motif-motif tersembunyi, tidak pernah mempercayai emosi jujur ketika melihatnya." Dia mencondongkan tubuh ke depan dan mencium kening Lauri.
"Aku lebih memahami dirimu daripada kau sendiri, Lauri Parrish Rivington," kata Drake. "Aku memberitahumu pada pertemuan kedua kita bahwa wajahmu terlalu ekspresif
sehingga kau tidak bisa menyembunyikan perasaanmu." Dia menelusuri wajah Lauri dengan penuh kasih sayang.
"Paul pasti bajingan. Dari ceritamu yang cuma sedikit, kurasa aku bisa menebak seperti apa hidupmu dengannya. Dia pemurung dan emosional, dan kau merasa seperti selalu berjalan di atas kulit telur karena tidak ingin merusak perasaannya yang rapuh. Betul""
"Ya," kata Lauri. Bagaimana Drake bisa mengetahui semua itu"
"Yah, aku juga pemurung dan emosional. Malah, aku bisa jahat sekali. Tapi kau jelas tidak pernah ragu-ragu untuk menunjukkan kegalakanmu kalau aku kelewatan. Kau tahu, entah menyadarinya atau tidak, aku tidak seperti Paul. Aku lebih kuat. Aku tidak serapuh dia. Aku takkan pernah butuh bantuan alkohol untuk menghindari rintangan.
"Hidup bersama orang yang selalu diperhatikan masyarakat memang sulit. Aku menyadarinya. Tapi apa pun yang dikatakan orang atau kaubaca tentang aku, jangan kaupercayai kecuali aku mengatakan itu benar. Kalau situasinya terasa terlalu sulit untuk diatasi, aku akan pergi dan melakukan hal lain. Bagiku, akting merupakan profesi, bukan kegemaran. Kau dan Jennifer akan selalu menjadi prioritasku."
Dia menarik napas dalam-dalam. "Nah, kalau kau sanggup menghadapi temperamen artis ini, aku sanggup menghadapi sifat pemarahmu "
"Sifat pemarah!" teriak Lauri, langsung menunjukkan sifatnya itu. Dia terpancing, dan pria itu tertawa. Dengan perasaan malu Lauri ikut tertawa, kemudian bersandar padanya dan berkata, "Tidak, kau sama sekali tidak seperti Paul. Dan aku sekarang mempercayaimu." Jantungnya berdebar-debar senang, tapi dia harus menghilangkan semua keraguan dan... bayang-bayang masa lalu.
"Drake, bagaimana dengan Susan"" "Susan"" tanya Drake, mengangkat kepala dan memandangnya. "Sudah kukira kau akan bertanya padaku tentang dia." Pria itu menarik napas.
Oh, Tuhan, tidak! jerit Lauri dalam hati. "Kau masih mencintainya, kan"" dia bertanya, terkejut dengan keberaniannya sendiri.
Drake menatapnya kaget. "Itu yang kaukira""
Lauri mengangguk. "Ketika pertama kali menciumku, kau bilang kau mencintai istrimu."
"Dahulu, ya. Aku dahulu mencintainya. Waktu kami pertama bertemu, aku sangat mencintainya. Kami menikmati hidup. Kehidupan seks kami lebih dari memuaskan."
Lauri tercekik perasaan cemburu, dan hal itu pasti kelihatan. Sudut-sudut mulut Drake naik ketika dia nyengir, lalu kembali serius.
"Dia cantik dan berbakat. Tapi dia tidak memiliki hati yang baik; dia tidak punya jiwa. Meskipun aku benci mengakuinya, dia manja, egois, dan dangkal. Ambisinya nyaris membuatku terpengaruh, karena melibatkan aku juga." Sambil bicara dia membuka mantel dan membantu Lauri melepas mantelnya.
"Dia memaksaku menerima peran yang tidak kuinginkan di sinetron itu. Dia tidak mau berkorban dan mengizinkan aku terus belajar. Dia ingin menikah dengan selebriti, seakan itu penting saja," katanya pahit. "Tapi dia menikmati kehidupan selebriti itu-dan menari. Ketika dia hamil, kupikir dia akan membunuhku. Dia tidak mau minum pil KB karena itu membuatnya gemuk, tapi ketika dia hamil, aku yang disalahkannya."
Mereka bersandar di perapian, lengan Drake menyangganya. Pria itu memegang tangannya dan menyusuri setiap pembuluh darah dan tulangnya dengan jemarinya. "Tangan yang indah sekali," gumamnya dan mendekatkan satu tangan ke mulutnya, mencium telapaknya sebelum melanjutkan ceritanya.
Aku sudah takut saja dia akan melakukan aborsi, tapi setelah mengamuk dan mengomel tanpa henti selama sembilan bulan, dia melahirkan Jennifer, dan aku bahagia sekali."
Dia diam lagi dan berdiri, menghadap ke api. Bayangan yang bergerak-gerak menonjolkan setiap sudut wajahnya. "Jennifer baru berumur enam bulan ketika kami mengetahui dia tuna rungu. Bisa kaubayangkan betapa tersiksanya jiwaku, Lauri" Bagaimana aku bertanya-tanya dalam hati" Apakah aku dihukum karena dosa yang kurahasiakan" Mencuri apel waktu aku berumur sepuluh tahun" Sekarang aku menyadari betapa konyol pikiranku itu, tapi itulah reaksi pertamaku. Tapi reaksiku tidak seberapa dibandingkan reaksi Susan. Seolah perasaan bersal
ahku sendiri belum cukup, Susan menyalahkan aku juga. 'Sejak awal aku kan memang tidak menginginkan anak ini,' teriaknya padaku. Kau tahu, Jennifer tidak sesuai dengan standar Susan, yaitu kesempurnaan. Susan harus menari dengan sempurna; dia menginginkan suami yang sempurna. Dia tidak sanggup punya anak yang tidak sempurna."
Lama dia tidak bicara, kakinya menyepak-nyepak kayu-kayu dengan ujung sepatu, mendorongnya ke tengah bara. "Suatu hari aku pulang terlambat dari studio. Aku mendengar Jennifer menangis di kamarnya. Waktu masuk ke sana, aku nyaris muntah. Dia berbaring di tengah kotorannya. Dia kedinginan dan kelaparan. Aku marah sekali pada Susan dan mencarinya di seluruh penjuru apartemen. Dia... dia-"
Drake tidak sanggup melanjutkan, dan hati Lauri dipenuhi perasaan iba waktu pria itu menutupi wajahnya dengan dua tangan. Dia tahu apa yang akan terjadi. Dia tidak mau berbicara atau menghiburnya. Drake harus merasakan penderitaan ini sendirian. Orang lain takkan bisa ikut merasakannya. Dia dulu tidak mendapati mayat Paul, tapi dapat berempati dengan kenangan Drake yang mengerikan.
"Dia di bathtub, kedua nadinya teriris. Jelas dia sudah cukup lama meninggal." Setelah lama berdiam diri, dia kembali ke samping Lauri dan duduk di karpet, memeluknya erat.
"Aku tidak pernah memaafkannya. Kubiarkan orangtuanya mengurus pemakamannya, yang tidak mau kuhadiri. Keluarganya jelas-jelas mengatakan tidak ingin berurusan dengan aku atau Jennifer lagi. Kami telah membunuh kebanggaan mereka, putri mahkota mereka. Lauri-"dia menjauhkannya supaya bisa menatap matanya-"waktu itu aku bersumpah takkan mencintai siapa pun lagi. Aku pernah mencintai Susan, tapi di saat aku sangat membutuhkannya, di saat kami membutuhkan dukungan dan cinta masing-masing, dia meninggalkan aku. Tapi aku jatuh cinta padamu. Itu sebabnya kau tidak boleh meninggalkan aku sekarang. Aku membutuhkanmu, tidakkah kau tahu"" Dia menciumnya dengan putus asa. Bibirnya tidak perlu menuntut respons dari Lauri. Lauri dengan senang hati memberitahunya betapa dia sangat mencintainya.
Ketika akhirnya mereka memisahkan diri, Drake berkata, "Aku pergi ke New York untuk membereskan masalah karier, juga untuk mengusir bayangannya dan menziarahi makamnya. Aku tidak pernah ke sana. Tidak bisa kukatakan padamu betapa aku membencinya. Sekarang kusadari bahwa, seperti kita semua, dia tidak bisa menolak sifatnya. Sampai aku belajar mencintai, aku tidak bisa memaafkan. Sekarang aku tahu: seorang wanita mungil berambut merah telah mengajariku. Aku mulai menyadari apa yang terjadi pada hari Jennifer mengacak-acak makeup-mu. Kau marah dan menghukumnya, tapi kau juga memaafkannya. Dia tidak pernah meragukan perasaan sayangmu. Aku harus kembali dan memaafkan Susan sebelum bisa menawarkan cintaku padamu. Aku tidak ingin ada yang menodai cintaku."
Mereka berciuman lagi, lalu Lauri berkata, "Tadi siang kau bertanya tentang kotak-kotak di dalam lemari itu. Kupikir kau akan menunjukkan foto-foto Susan pada Jennifer. Aku mendengarmu mengajarinya bilang Mommy"
"Jadi itu penyebab kau kabur!" Drake mendongak dan tertawa. "Aku menanyakan kotak-kotak itu karena sekarang aku sanggup melihat isinya. Sebelum ini, aku benci menyentuh apa saja yang me-rupakan miliknya. Aku memilih apa yang ingin kusimpan untuk Jennifer. Suatu hari nanti, kalau dia sudah cukup umur untuk memahami, kita harus memberitahu dia tentang ibunya."
Dia memegang dagu Lauri dan mengangkatnya sehingga wanita itu mau tidak mau memandangnya.
"Dan aku mengajari Jennifer bilang Mommy sebagai kejutan untukmu. Mulai sekarang aku ingin dia memanggilmu Mommy. Begitu kita menikah secara sah, kau akan jadi ibunya."
"Drake-" Lauri mulai bicara tapi bibir Drake membungkamnya.
"Kau sudah merasa lebih hangat"" tanya Lauri. Kemudian, dengan terkesiap, "Drake-" Dengan tangan-tangan lihai pria itu menjelajahi tubuh Lauri di balik busa di bathtub yang dalam itu. Meskipun dia memprotes, Drake tidak berhenti. Pria itu menyentuhnya sedemikian rupa sehingga dia melengkungkan leher dan mendesah panjang. Lauri melirik bayangan
mereka di cermin di depan bath-tub, dan meskipun ruangan cuma diterangi cahaya lilin-lilin, bayangan mereka tampak jelas.
"Kapan kau merencanakan aktivitas tidak senonoh ini"" tanya Drake.
"Waktu aku pertama kali masuk kamar mandi ini," Lauri mengikik. "Aku melihat kita berdua di dalam sini seperti ini. Aku ingin menutup mata Jennifer sebelum sadar bahwa bayangan itu cuma khayalanku. Tentu saja," dia menambahkan dengan serius, "kurasa dia bisa saja mewarisi sifat tidak malu-malumu."
"Aku tidak malu-malu""
"Kau memberitahu aku bahwa sejak ikut tur bersama Hair, kau sama sekali tidak punya perasaan malu."
"Aku bilang begitu"" tanya Drake terkejut. "Aku berbohong. Aku tidak pernah ikut Hair. Aku cuma butuh alasan untuk berbaring telanjang di tempat tidur itu bersamamu."
"Oh, kau!" Lauri memercikkan air ke mukanya, tapi perlahan-lahan menjilatinya. Ketika dia berbuat begitu, jari-jari Drake menggodanya tanpa ampun. Pria itu bertanya serak, "Kau tahu kapan aku pertama kali jatuh cinta padamu""
"Drake," desah Lauri ketika pria itu menemukan titik sensitif. "Tidak, kapan"" tanyanya cepat-cepat, takut sebentar lagi tidak bisa bernapas.
"Waktu kita di Russian Tea Room dan kau jujur padaku tentang Jennifer dan apa yang bisa kuharapkan darinya." Dia nyengir nakal. "Walaupun aku sudah tertarik pada naga kecil yang menyembur Drake Sloan, tidak peduli dia bintang top atau tidak. Kau tampak memesona hari itu. Di benakku aku menelanjangimu. Tapi kenyataannya rupanya jauh melebihi khayalan." Tangannya menegaskan ucapannya.
"Kapan kau tahu kau mencintaiku"" tanyanya setelah mencium Lauri dengan ganas.
"Memangnya aku pernah bilang mencintaimu"" Lauri bertanya usil.
Reaksi Drake mengejutkan. Dia menindihnya, tidak peduli air bak jadi tumpah. "Apakah kau mencintaiku. Lauri""
Dengan jari-jari berlumuran busa, Lauri mengisyaratkan, Aku mencintaimu dengan segenap hatiku. Dia berbicara dengan keheningan tak bergaung yang lebih ekspresif daripada bahasa verbal. Pahanya yang mulus bergerak sensual di atas paha Drake di dalam air yang hangat, menyampaikan pesan tersendiri. Pandangan Drake tertuju ke payudaranya yang timbul-tenggelam di air, menggodanya sampai Lauri tidak tahan lagi.
Diciumnya payudaranya. Tubuh mereka berpadu serasi.
Menciumi kulit basah Lauri, dia berkata, "Jalanan akan tidak bisa dilewati selama beberapa hari yang akan datang. Sampai kita bisa pergi ke Albuquerque atau Santa Fe untuk menikah secara sah, bersediakah kau hidup bersamaku di luar nikah""
Lauri menjilati dada, dagu, dan kumis pria itu sementara tangannya mencengkeram bagian belakang paha Drake dan menekannya sampai ia dapat merasakan hasrat pria itu.
"Apa yang akan kaulakukan kalau aku bilang tidak"" Lauri bertanya jail.
"Akan kusiram kau," geram Drake, menundukkan kepala lagi.
"Ya, siramlah aku, Drake," katanya, melengkung-kan tubuh. "Dengan cintamu."
-end- Si Kumbang Merah 4 Joko Sableng 24 Jubah Tanpa Jasad Misteri Pulau Neraka 16