Pencarian

If I Stay 3

If I Stay Karya Gayle Forman Bagian 3


Aku tidak marah. Jantungku berdebar, seolah Kim baru saja mengumumkan bahwa keluargaku menang lotere dan dia akan menyebutkan jumlah hadiahnya. Aku menatapnya, pendar gelisah di matanya mengkhianati senyumnya yang berkata "kau mau menghajarku"", dan aku disapu rasa bersyukur karena memiliki teman yang lebih mengerti aku daripada diriku sendiri. Dad bertanya apakah aku mau pergi, dan ketika aku memprotes tentang biayanya, Dad berkata aku tidak perlu khawatir. Apakah aku mau pergi" Dan aku mau. Lebih daripada segalanya.
Tiga bulan kemudian, ketika Dad menurunkanku di pojok sepi Vancouver Island, aku tidak begitu yakin. Tempatnya mirip sekali dengan perkemahan musim panas biasa, kabin-kabin kayu di hutan, kayak yang berbaris di p
antai. Ada sekitar lima puluh anak yang, dilihat dari cara mereka berpelukan dan memekik, sudah mengenal satu sama lain bertahun-tahun. Sementara itu, aku tidak kenal siapa pun. Selama enam jam pertama, tidak ada yang bicara padaku kecuali asisten direktur perkemahan, yang memasukkan aku ke salah satu kabin, menunjukkan ranjang lipatku, dan menunjukkan jalan menuju kafetaria, tempat malam itu aku diberi sepiring hidangan yang tampak seperti steak.
Aku menatap piringku dengan merana, menoleh ke petang yang kelabu di luar. Aku sudah merasa rindu orangtuaku, Kim, dan terutama Teddy. Anak itu sedang lucu-lucunya, ingin mencoba berbagai hal baru dan selalu bertanya, "Itu apa"", juga mengucapkan hal-hal yang paling lucu. Sehari sebelum keberangkatanku, dia memberitahu bahwa dia "sembilan per sepuluh haus" dan aku tertawa sampai nyaris ngompol. Merasa rindu rumah, aku mendesah dan mendorong-dorong gumpalan daging di piringku.
"Jangan khawatir, di sini tidak hujan setiap hari. Hanya dua hari sekali."
Aku menengadah. Ada anak laki-laki berwajah malu-malu yang pasti berusia tidak lebih dari sepuluh tahun. Rambutnya pirang pendek jabrik dan hidungnya penuh bintik.
"Aku tahu," sahutku. "Aku dari Northwest, meski tadi pagi di tempat tinggalku cuaca cerah. Aku mencemaskan steak ini."
Dia tertawa. "Dagingnya tidak akan jadi lebih enak. Tapi sandwich selai-kacang-dan-jeli di sini selalu lezat," katanya, menunjuk meja tempat enam anak membuat sandwich sendiri. "Peter. Trombone. Ontario," katanya. Ini, belakangan aku mengetahui, adalah cara berkenalan ala Franklin.
"Oh, hei. Aku Mia. Cello. Oregon, kurasa."
Peter berkata usianya tiga belas tahun, dan ini musim panas keduanya di sini; hampir semua orang memulai ketika usia mereka dua belas tahun, itulah sebabnya mereka telah saling mengenal. Di antara lima puluh murid, sekitar setengahnya main music jazz, setengah lagi klasik, maka kami berupa kelompok kecil. Hanya ada dua pemain cello lain, salah satunya cowok jangkung kurus bernama Simon yang dipanggil Peter dengan lambaian tangan.
"Apakah kau akan mencoba ikut kompetisi concerto"" Simon bertanya begitu Peter memperkenalkanku sebagai Mia. Cello. Oregon. Simon adalah Simon. Cello. Leicester, yang rupanya nama kota di Inggris. Ini kelompok internasional, ternyata.
"Kurasa tidak. Aku bahkan tidak tahu apa itu," jawabku.
"Well, kau tahu kan kita akan manggung untuk simfoni final nanti"" Peter bertanya kepadaku.
Aku mengangguk, meski sesungguhnya hanya tahu samar-samar. Dad menghabiskan musim semi dengan membaca keras-keras berbagai buku panduan perkemahan ini, tapi satu-satunya yang kupedulikan hanyalah aku akan berkemah dengan musisi-musisi klasik lainnya. Aku tidak terlalu memperhatikan detailnya.
"Itu simfoni akhir musim panas. Orang dari mana-mana datang untuk menontonnya. Itu pertunjukan besar. Kita, para musisi yang masih muda, bermain dalam pertunjukan sampingan yang ringan," Simon menjelaskan. "Meski demikian, satu musisi dari perkemahan akan dipilih untuk bermain bersama orkestra profesional dan menampilkan permainan solo. Tahun lalu aku nyaris terpilih tapi kesempatan itu jatuh ke tangan pemain flute. Aku tinggal punya dua kesempatan lagi sebelum lulus. Sudah lama kesempatan itu tidak jatuh ke tangan pemain instrumen gesek, dan Tracy, orang ketiga dalam trio kecil kita ini, tidak akan mencobanya. Dia bermain hanya untuk hobi. Bagus tapi tidak terlalu serius. Kudengar kau serius."
Apakah aku serius" Tidak begitu serius sehingga nyaris saja berhenti. "Dari mana kau bisa mendengar itu"" tanyaku.
"Guru-guru di sini mendengar semua rekaman aplikasi dan kabar tersiar. Rekaman audisimu rupanya bagus. Tidak biasanya mereka menerima orang pada tahun kedua. Jadi aku berharap akan ada orang yang bisa menjadi kompetitor andal, yang seimbang denganku."
"Wah, jangan buru-buru," kata Peter. "Cewek ini baru saja mencoba steak."
Simon mengerutkan hidung. "Maaf. Tapi kalau kau mau berunding tentang pilihan audisi, mari kita mengobrol," katanya, kemudian menghilang ke arah bar sundae.
"Maafkan Simon. Kami tidak pernah mendapatkan pemain cello berkualitas tinggi selama beberapa tahun, jadi dia sangat bersemangat tentang darah baru. Dalam arti estetik, tentu saja. Tapi dia memang aneh, meski sulit dipastikan karena dia orang Inggris."
"Oh. Begitu. Tapi apa katanya tadi" Maksudku, kedengarannya dia ingin berkompetisi denganku."
"Tentu saja. Itulah asyiknya. Itulah sebabnya kita berkemah di tengah hutan hujan," kata Peter, melambai ke arah luar. "Itu dan hidangan superlezat." Peter menatapku. "Bukankah itu alasan kau ke sini""
Aku mengangkat bahu. "Aku tidak tahu. Aku belum pernah bermain dengan orang banyak, setidaknya dengan banyak orang serius."
Peter menggaruk telinga. "Sungguh" Kau tadi bilang berasal dari Oregon. Pernah bermain bersama Portland Cello Project""
"Apa"" "Kelompok cello avant-garde, eh. Sangat menarik."
"Aku tidak tinggal di Portland," aku bergumam, malu karena bahkan belum pernah mendengar Cello Project mana pun.
"Kalau begitu, kau bermain dengan siapa""
"Orang-orang lain. Sebagian besar mahasiswa."
"Tidak ada orkestra" Tidak ada ensambel musik kamar" Kuartet gesek""
Aku menggeleng, mengingat waktu salah satu guru mahasiswaku pernah mengundangku bermain bersama kuartet. Aku menolak, karena bermain satu lawan satu bersamanya sih bukan masalah, tapi bermain bersama orang-orang asing jelas lain lagi urusannya. Aku selalu percaya bahwa cello instrumen yang soliter, tapi sekarang aku mulai bertanya-tanya apakah aku yang soliter.
"Hmm. Bagaimana kau bisa jadi bagus"" tanya Peter. "Aku tidak bermaksud terdengar seperti orang brengsek, tapi bukankah dengan cara itu kau menjadi bagus" Seperti main tenis. Jika kau berhadapan dengan orang yang permainannya jelek, pukulanmu akan meleset atau serve-mu jadi jelek, tapi jika kau berhadapan dengan pemain jempolan, tiba-tiba kau menguasai situasi, menyerang dengan bagus."
"Aku tidak tahu," aku berkata, merasa seperti orang yang paling membosankan dan kuper. "Aku juga tidak main tenis."
Beberapa hari berikutnya berlalu cepat. Aku sama sekali tidak tahu mengapa mereka menyediakan kayak. Tidak ada waktu untuk main-main. Setidaknya bukan main-main seperti ini. Hari-hari terasa sangat meletihkan. Bangun pukul setengah tujuh, sarapan pukul tujuh, pelajaran privat selama tiga jam pada pagi dan sore hari, lalu latihan orkestra sebelum makan malam.
Aku belum pernah bermain bersama lebih dari segelintir musisi, maka beberapa hari pertama latihan orkestra sangat kacau. Pengarah musik perkemahan, yang juga konduktor, mempersiapkan kami dengan mati-matian dan dia tidak mampu berbuat apa-apa selain menyuruh kami memainkan nomor-nomor paling dasar dengan harmonis. Pada hari ketiga, dia menyuruh kami memainkan beberapa lullaby karya Brahms. Kali pertama kami mencoba, sungguh menyakitkan kedengarannya. Instrumen-instrumen tidak menyatu, malah bertabrakan, seperti batu tersangkut di mesin pemotong rumput. "Buruk sekali!" dia berteriak. "Bagaimana mungkin kalian bisa berharap main di orkestra kalau tidak mampu menyamakan tempo dalam lullaby" Ulangi!"
Setelah sekitar seminggu, harmoni mulai terbentuk dan aku merasakan pertama kalinya menjadi roda penggerak di mesin. Membuatku mendengar cello dengan cara yang sama sekali baru, bagaimana nada-nada rendah menyatu dengan nada-nada viola yang lebih tinggi, bagaimana cello menyediakan fondasi bagi alat tiup di sisi lain relung orkestra. Dan meski kau mungkin berpikir menjadi bagian kelompok akan bisa membuatmu sedikit rileks, tidak begitu peduli seperti apa kau terdengar jika tertelan suara-suara yang lain, kenyataannya justru kebalikannya.
Aku duduk di belakang pemain viola berusia tujuh belas tahun bernama Elizabeth. Dia salah satu musisi paling andal di perkemahan-dia sudah diterima di Royal Conservatory of Music di Toronto-dan dia juga secantik model; jangkung, berwibawa, dengan kulit sewarna kopi, dan memiliki tulang pipi yang seakan mampu mengukir es. Aku akan terdorong untuk membencinya jika bukan karena permainannya. Jika kau tidak berhati-hati, viola bisa membuat suara deritan yang s
angat memekakkan, meski berada di tangan musisi yang terlatih. Tapi di tangan Elizabeth, suara viola mengalun bersih dan murni serta ringan. Mendengarkannya bermain, dan menyaksikan betapa dirinya begitu terhanyut dalam musik, aku ingin bermain seperti itu. Bahkan lebih baik. Bukan saja aku ingin mengalahkannya, tapi aku juga merasa berutang padanya, pada kelompok kami, pada diriku sendiri, untuk bermain setaraf dengannya.
"Kedengaran indah," Simon berkata menjelang akhir perkemahan ketika mendengarku berlatih Cello Concerto no. 2 karya Haydn, nomor yang memberiku masalah tanpa akhir ketika pertama kali mencobanya musim semi lalu. "Kau mau memainkan itu untuk kompetisi konser""
Aku mengangguk. Kemudian aku tidak mampu menahan diri, aku nyengir. Setelah makan malam dan sebelum lampu dimatikan setiap malam, Simon dan aku membawa cello kami ke luar untuk mengadakan konser impromptu dalam cuaca temaram yang panjang. Kami saling menantang dalam duel cello, masing-masing berusaha mengalahkan yang lain dengan bermain lebih gila. Kami selalu berkompetisi, selalu berusaha melihat siapa yang bisa bermain lebih bagus, lebih cepat, hanya dengan mengandalkan memori. Sungguh mengasyikkan, dan mungkin itu salah satu alasan mengapa aku begitu menyukai Haydn.
"Ah, ada yang sangat percaya diri. Kaupikir bisa mengalahkanku"" tanya Simon.
"Kalau main sepak bola. Pasti," aku bercanda. Simon sering bercerita kepada kami bahwa dia kambing hitam di keluarganya bukan karena dia gay, atau musisi, tapi karena dia adalah "pemain bola yang payah".
Simon pura-pura sakit hati. Kemudian dia tertawa. "Hal-hal menakjubkan terjadi jika kau berhenti sembunyi di balik makhluk raksasa itu," katanya, menunjuk cello-ku. Aku mengangguk. Simon tersenyum. "Well, jangan jadi congkak. Kau harus mendengar Mozart-ku. Kedengarannya seperti malaikat bernyanyi."
Kami sama-sama tidak memperoleh posisi solo tahun itu. Elizabeth yang menang. Dan meski butuh empat tahun lagi, akhirnya aku mendapatkan nomor solo tersebut.
02.48 AKU kembali ke tempat aku memulai. Kembali di ICU. Maksudnya, tubuhku yang kembali. Aku duduk di sini sepanjang waktu, terlalu letih untuk bergerak. Aku berharap bisa tidur. Aku berharap ada sejenis obat bius untukku, atau setidaknya sesuatu yang bisa membuat dunia menutup di sekelilingku. Aku ingin menjadi seperti tubuhku, diam dan tak bereaksi, pasrah di tangan seseorang. Aku tidak memiliki kekuatan untuk menentukan pilihan. Aku tidak menginginkan ini lagi. Aku mengucapkannya keras-keras. Aku tidak menginginkan ini. Kutatap sekeliling ICU, merasa agak konyol. Aku yakin semua orang sakit di bangsal ini juga tidak senang berada di sini.
Tubuhku bakal lama di ICU. Beberapa jam operasi. Beberapa lama di ruang pemulihan. Aku tidak tahu pasti apa yang terjadi padaku, dan untuk pertama kalinya hari ini, aku tidak benar-benar peduli. Seharusnya aku tak peduli. Seharusnya aku tidak berusaha sekeras ini. Aku sadar sekarang bahwa meninggal itu mudah sekali. Hiduplah yang sulit.
Aku kembali dibantu ventilator, dan sekali lagi mataku ditutup selotip. Aku masih tidak mengerti fungsi selotip itu. Apakah para dokter takut aku akan bangun di tengah operasi dan ketakutan melihat pisau bedah atau darah" Seakan hal-hal seperti itu mampu menggentarkanku sekarang. Dua perawat, salah satunya yang bertugas merawatku dan Perawat Ramirez, menghampiri tempat tidurku dan memeriksa semua monitorku. Mereka mengucapkan angka-angka yang sekarang kukenal sebaik aku mengenal namaku sendiri: tekanan darah, asupan oksigen, tingkat pernapasan. Perawat Ramirez tampak lain sama sekali dari orang yang tiba di sini petang kemarin. Rias wajahnya sudah terhapus dan rambutnya lepek. Dia tampak bisa tidur sambil berdiri. Jam tugasnya pasti berakhir sebentar lagi. Aku akan merindukannya tapi lega karena dia bisa menjauh dariku, dari tempat ini. Aku juga ingin menjauh. Kurasa aku akan pergi. Kurasa hanya tinggal menunggu waktu-mencari cara untuk melepaskan ini semua.
Belum lagi lima belas menit aku kembali dibaringkan di tempat tidur, Willow datang. Dia berde
rap melintasi pintu dobel dan bicara dengan perawat di balik meja. Aku tidak mendengar apa yang diucapkannya, tapi aku mendengar nada suaranya: sopan, lembut, namun tidak menyisakan tempat untuk pertanyaan. Ketika dia meninggalkan ICU beberapa menit kemudian, suasana berubah. Willow yang berkuasa sekarang. Mula-mula si perawat judes tampak kesal, seakan berkata Siapa sih wanita yang menyuruh-nyuruhku ini" Tapi kemudian dia tampak mundur, mengangkat tangan tanda menyerah. Ini malam yang menghebohkan. Jam kerja hampir selesai. Mengapa repot-repot" Tidak lama lagi, aku dan semua pengunjungku yang berisik dan pemaksa akan menjadi masalah orang lain.
Lima menit kemudian, Willow kembali, membawa Gran dan Gramps. Willow sudah bekerja sepanjang hari dan sekarang dia ada di sini sepanjang malam. Aku tahu dia tidak mendapat cukup tidur pada hari-hari biasa. Aku sering mendengar Mom memberinya tips agar bisa menidurkan bayinya sepanjang malam.
Aku tidak yakin siapa yang tampak lebih buruk, aku atau Gramps. Pipinya cekung, matanya merah. Tapi sebaliknya, Gran tampak sama seperti Gran biasanya. Tidak ada tanda-tanda keletihan dalam dirinya. Seolah keletihan tidak berani berbuat macam-macam terhadapnya. Dia bergegas menghampiri tempat tidurku.
"Kau membuat kami seperti menaiki roller coaster hari ini," kata Gran lembut. "Ibumu selalu berkata dia tidak habis pikir bagaimana kau bisa begitu penurut dan aku ingat pernah berkata kepadanya, 'Tunggu saja sampai dia puber.' Tapi kau membuktikan bahwa aku salah. Bahkan saat puber kau begitu mudah ditangani. Tidak pernah memberi kami kesulitan. Bukan jenis anak perempuan yang membuat jantungku berdebar ketakutan. Hari ini kau melanggar semua itu dalam semalam."
"Nah, nah," kata Gramps, meletakkan tangan di bahu Gran.
"Oh, aku hanya bercanda. Mia akan mengerti. Dia punya selera humor, tidak peduli betapa serius kadang-kadang dia terlihat. Anak ini punya selera humor yang tidak biasa."
Gran menarik kursi sampai ke tepi tempat tidurku dan mulai menyisir rambutku dengan jemari. Ada yang sudah mencucinya, jadi meski tidak bersih sekali, rambutku tidak lengket oleh darah. Gran mulai memisah-misahkan kusut pada poniku, yang sudah sepanjang dagu. Aku selalu menggunting poni, kemudian menumbuhkannya lagi. Itu perubahan penampilan paling radikal yang bisa kuberikan pada diri sendiri. Gran meluruskan rambutku ke bawah, menariknya dari bawah bantal sehingga tergerai di dadaku, menyembunyikan beberapa slang dan tube yang tersambung ke tubuhku. "Nah, begitu lebih baik," katanya. "Kau tahu, aku ke luar untuk berjalan-jalan hari ini dan kau tidak akan bisa menebak apa yang kulihat. Seekor crossbill. Di Portland pada bulan Februari. Nah, itu luar biasa. Kurasa itu Glo. Sejak dulu dia menyayangimu. Katanya kau mengingatkannya pada ayahmu, dan dia sangat menyayangi ayahmu. Ketika ayahmu memotong rambutnya gaya Mohawk gila-gilaan, Glo hampir mengadakan pesta untuknya. Dia suka melihat ayahmu yang pemberontak, begitu berbeda. Dia sama sekali tidak tahu ayahmu tidak tahan padanya. Suatu hari Glo berkunjung ketika ayahmu berusia sekitar lima atau enam tahun, dan dia mengenakan mantel bulu seperti tikus. Ini sebelum dia mulai memperjuangkan hak-hak hewan dan kristal dan sebagainya itu. Mantel itu bau setengah mati, seperti kamper, seperti linen tua yang kami simpan di peti loteng. Dan ayahmu mulai menjulukinya 'Bibi Bau Peti'. Glo tidak pernah tahu. Tapi dia suka ayahmu memberontak dari kami, atau begitulah yang dikiranya, dan dia menyangka kau juga memberontak dengan cara menjadi musisi klasik. Meski aku sering berkata padanya bahwa keadaan sebenarnya tidak seperti itu, dia tidak peduli. Dia punya pikiran sendiri tentang beberapa hal; dan kurasa kita semua juga begitu."
Gran mengoceh selama lima menit lagi, menceritakan kabar-kabar tidak penting padaku: Heather memutuskan menjadi pustakawati. Sepupuku, Matthew, membeli sepeda motor dan bibiku Patricia tidak senang. Aku sering mendengar Gran menyampaikan komentar-komentar seperti ini berjam-jam sambil memasak atau merawat anggrek. Dan mendengarka
n Gran sekarang, aku hampir bisa membayangkan kami berada di rumah kacanya, tempat yang bahkan pada musim dingin udaranya tetap hangat dan lembap, dan apak serta berbau tanah seperti baru saja diberi pupuk kandang. Gran mengumpulkan kotoran sapi sendiri, "pastel sapi" begitu dia menyebutnya, dan mencampurkannya dengan jerami busuk untuk dijadikan pupuk. Gramps menganggap Gran harus mematenkan resep itu dan menjualnya karena Gran menggunakannya untuk anggrek-anggreknya, yang selalu memenangkan penghargaan.
Aku berusaha memfokuskan diri pada suara Gran, untuk terhanyutkan ke dalam ocehannya yang gembira. Kadang-kadang aku hampir bisa tertidur sementara duduk di kursi bar dekat konter dapur sambil mendengarkannya, dan aku bertanya-tanya apakah bisa melakukannya sekarang di sini. Tidur pasti sangat menyenangkan. Selimut hangat berupa kegelapan yang bisa menghapus segalanya. Tidur tanpa mimpi. Aku pernah mendengar orang-orang berkata tentang tidur si mati. Apakah kematian akan terasa seperti itu" Tidur tanpa akhir, menyenangkan, dan paling lelap" Jika seperti itulah rasanya, aku tidak akan keberatan. Jika seperti itulah meninggal, aku sama sekali tidak akan keberatan.
Aku terlonjak, rasa panik menghancurkan kenyamanan mendengarkan suara Gran. Aku masih belum yakin tentang peraturannya, tapi aku yakin jika aku merasa sudah siap untuk pergi, aku akan pergi. Tapi aku belum siap. Belum. Aku tidak tahu mengapa, tapi aku belum siap. Dan aku sedikit ketakutan kalau aku tanpa sengaja berpikir, Aku tidak keberatan tidur selamanya, itu akan terjadi dan tidak bisa dibalikkan lagi, seperti yang biasa diperingatkan kakek-nenekku bahwa jika aku meleletkan lidah persis pukul dua belas siang, wajahku akan menjadi seperti itu selamanya.
Aku bertanya-tanya apakah semua orang yang sekarat harus memilih untuk tinggal atau pergi. Rasanya tidak. Lagi pula, rumah sakit ini diisi banyak manusia yang ke nadinya disuntikkan bahan-bahan kimia beracun dan mengalami operasi-operasi menakutkan supaya mereka bisa tinggal, tapi pada akhirnya akan pergi juga.
Apakah Mom dan Dad memilih" Rasanya tidak ada cukup waktu bagi mereka untuk menentukan pilihan sepenting itu, dan aku tidak bisa membayangkan mereka memilih meninggalkanku. Dan bagaimana dengan Teddy" Apakah dia ingin pergi bersama Mom dan Dad" Apakah dia tahu aku masih di sini" Bahkan jika dia tahu, aku takkan menyalahkannya jika memilih pergi tanpa diriku. Dia masih kecil. Dia mungkin ketakutan. Tiba-tiba aku membayangkannya sendirian dan ketakutan, dan untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku berharap Gran benar tentang para malaikat. Aku berdoa semoga mereka terlalu sibuk menghibur Teddy sehingga tidak sempat mencemaskanku.
Mengapa bukan orang lain saja yang menentukan ini untukku" Mengapa tidak ada yang mewakiliku dalam memilih kematian" Atau melakukan apa yang dilakukan tim bisbol ketika di pengujung pertandingan mereka memerlukan pemukul yang baik untuk membawa seluruh tim ke home base" Tidak bisakah aku memiliki pelempar bola untuk membawaku pulang"
Gran sudah pergi. Willow sudah pergi. ICU hening. Aku memejamkan mata. Ketika aku membuka mata lagi, Gramps ada di sana. Dia menangis. Dia tidak bersuara, tapi air mata mengalir deras di pipinya, membasahi seluruh wajahnya. Aku belum pernah melihat orang menangis seperti ini. Diam tapi pilu sekali, seakan ada keran di balik matanya yang secara misterius dibuka. Air matanya menetes ke selimutku, ke rambutku yang baru disisir. Tes. Tes. Tes.
Gramps tidak mengusap wajah atau melesit hidung. Dia membiarkan air matanya jatuh ke mana-mana. Dan ketika sumur kesedihannya mongering sementara, dia melangkah maju dan mengecup dahiku. Gramps tampak hendak pergi, tapi kemudian kembali ke sisiku, membungkuk sehingga wajahnya sejajar dengan telingaku, dan berbisik.
"Tidak apa-apa," katanya. "Kalau kau mau pergi. Semua orang ingin kau tinggal. Aku ingin kau tinggal lebih daripada apa pun yang kuinginkan di dunia ini." Suaranya tersekat emosi. Dia berhenti, berdeham, menarik napas, dan melanjutkan. "Tapi itu kemauanku dan aku bisa mengerti mun
gkin itu bukan kemauanmu. Maka aku hanya ingin memberitahumu bahwa aku mengerti jika kau pergi. Tidak apa-apa kalau kau harus meninggalkan kami. Tidak apa-apa jika kau ingin berhenti berjuang."
Untuk pertama kali sejak tersadar Teddy juga telah tiada, aku merasakan sesuatu terlepas di dalam diriku. Aku merasakan diriku bernapas. Aku tahu Gramps tidak mungkin menjadi pelempar bola andalan terakhir yang kuharapkan. Dia tidak akan mencabut slang napasku atau menyuntikkan morfin overdosis dan sejenisnya. Tapi inilah kali pertama hari ini ada orang yang mengakui kehilanganku. Aku tahu pekerja sosial tadi memperingatkan Gran dan Gramps agar tidak membuatku gundah, tapi pengakuan Gramps, dan izin yang baru saja diberikannya-rasanya seperti hadiah.
Gramps tidak meninggalkanku. Dia kembali duduk di kursi. Segalanya hening sekarang. Begitu hening sampai kau hampir bisa mendengar mimpi-mimpi orang lain. Begitu hening sampai kau nyaris bisa mendengar aku berkata kepada Gramps, "Terima kasih."
---oOo--- Ketika Mom melahirkan Teddy, Dad masih menjadi penggebuk drum di band yang sama sejak masa kuliahnya. Mereka pernah merilis beberapa CD; mereka melakukan tur setiap musim panas. Band mereka tidak terlalu ngetop, tapi punya penggemar di Northwest dan beberapa kota universitas antara kota ini dan Chicago. Dan, anehnya, mereka punya penggemar di Jepang. Band mereka selalu mendapat surat penggemar dari remaja-remaja Jepang yang memohon mereka datang untuk manggung di sana, dan menawarkan rumah mereka untuk tempat menginap. Dad selalu berkata bahwa jika mereka berangkat, dia akan mengajakku dan Mom. Mom dan aku bahkan belajar beberapa kata Jepang, hanya untuk bersiap-siap. Konnichiwa. Arigato. Tapi kami tidak pernah berangkat.
Begitu Mom mengumumkan dia hamil Teddy, tanda awal bahwa akan terjadi perubahan adalah Dad pergi untuk ikut tes SIM pelajar. Pada usia 33. Dia mencoba meminta Mom mengajarinya mengemudi, tapi Mom terlalu tidak sabaran, katanya. Dan terlalu sensitif sehingga tidak bisa menerima kritik, kata Mom. Maka Gramps membawa Dad ke jalan-jalan desa yang sepi dengan truk pikapnya, persis seperti saat dia mengajari saudara-saudara kandung Dad-hanya saja mereka belajar ketika berusia enam belas tahun.
Perubahan berikutnya adalah jenis pakaian, tapi kami semua tidak segera menyadarinya. Bukannya pada suatu hari dia membuang jins ketat dan kaus band lalu langsung menggantinya dengan setelan jas. Perubahannya lebih halus. Mula-mula kaus-kaus band disingkirkan dan diganti dengan bahan rayon berkancing ala tahun 1950-an, yang dibelinya di Goodwill sampai mode itu menjadi tren dan dia harus membelinya di toko pakaian kuno yang berkelas dan lebih mahal. Kemudian jins-jinsnya dilemparkan ke tong sampah, kecuali satu yang bagus sekali, merk Levi's warna biru tua, yang disetrika Dad dan dikenakannya pada akhir pekan. Pada hari-hari biasa dia mengenakan celana rapi model pipa. Tapi ketika, beberapa minggu setelah kelahiran Teddy, Dad membuang jaket kulitnya-jaket motor bersabuk motif macan tutul yang paling disayanginya-akhirnya kami tersadar bahwa perubahan besar-besaran telah terjadi.
"Dude, kau pasti bercanda," kata Henry ketika Dad menyerahkan jaket itu padanya. "Kau sudah mengenakan ini sejak masih kecil. Baumu bahkan menempel di jaket ini."
Dad mengangkat bahu, mengakhiri percakapan. Kemudian dia mengangkat Teddy, yang meraung-raung di ayunan.
Beberapa bulan kemudian, Dad mengumumkan akan berhenti dari band. Mom bilang jangan melakukan itu demi dirinya. Kata Mom, tidak apa-apa Dad terus bermain band selama dia tidak pergi berbulan-bulan untuk tur, meninggalkannya sendirian dengan dua anak. Dad berkata jangan cemas, dia tidak berhenti main band demi Mom.
Rekan-rekan satu band Dad menanggapi keputusannya ini dengan besar hati, tapi Henry hancur. Dia berusaha membujuk Dad agar tidak berhenti. Berjanji mereka hanya akan manggung di dalam kota. Tidak akan mengadakan tur. Tidak akan menginap di luar. "Kita bahkan bisa manggung menggunakan setelan jas. Kita akan berpenampilan seperti Rat Pack. Bergaya ala Sinatra
. Ayolah, man," Henry membujuk.
Ketika Dad menolak mempertimbangkan ulang, dia dan Henry bertengkar hebat. Henry marah sekali pada Dad karena meninggalkan band begitu saja, terutama karena Mom sudah berkata Dad masih boleh manggung. Dad berkata pada Henry dia menyesal, tapi dia sudah memutuskan. Pada saat itu, Dad telah menulis lamaran untuk melanjutkan kuliah S2. Dia akan menjadi guru sekarang. Tidak ada lagi main-main. "Suatu hari nanti, kau akan mengerti," kata Dad pada Henry.
"Hanya setan yang bisa mengerti," balas Henry.
Henry tidak bicara pada Dad selama beberapa bulan setelah kejadian itu. Willow mampir sesekali, menjadi juru damai. Dia menjelaskan kepada Dad bahwa Henry hanya sedang berpikir. "Beri dia waktu," kata Willow, dan Dad akan pura-pura tidak sakit hati. Kemudian Willow dan Mom minum kopi di dapur dan saling melempar senyum paham, yang seakan berkata: Pria memang berkelakuan seperti bocah.
Berangsur-angsur, Henry muncul kembali, tapi tidak minta maaf pada Dad, tidak segera. Bertahun-tahun kemudian, tidak lama setelah putrinya lahir, Henry datang ke rumah kami pada suatu malam sambil menangis. "Aku mengerti sekarang," dia berkata pada Dad.
Anehnya, di satu sisi Gramps tampak kecewa akan perubahan Dad, seperti Henry. Orang akan mengira Gramps bakal menyukai Dad yang baru. Dia permukaan, dia dan Gran begitu tradisional, seperti terjebak di mesin waktu. Mereka tidak menggunakan computer atau menonton TV kabel, mereka tidak pernah memaki dan ada sesuatu dalam diri mereka yang membuatmu terdorong untuk bersikap sopan. Mom, yang hobi memaki seperti sipir penjara, tidak pernah memaki di depan Gran dan Gramps. Sepertinya tidak ada yang ingin membuat mereka kecewa.
Gran sempat mengomel melihat perubahan gaya Dad. "Kalau saja aku tahu semua itu bakal jadi tren lagi, aku akan menyimpan semua setelan lama Gramps," kata Gran pada Minggu siang ketika kami mampir untuk makan siang dan Dad membuka jas hujannya dan menampakkan celana wol gabardin serta kardigan ala 1950-an.
"Bukannya jadi tren lagi. Sekarang gaya punk yang tren, jadi menurutku inilah cara putramu berkata bahwa dia memberontak lagi," Mom berkata sambil nyengir mengejek. "Daddy siapa yang pemberontak" Apakah daddy-mu pemberontak"" Mom bicara meniru bayi sementara Teddy berdeguk gembira.
"Well, dia memang kelihatan keren," kata Gran. "Ya, kan"" katanya, menoleh pada Gramps.
Gramps mengangkat bahu. "Dia selalu kelihatan keren bagiku. Semua anak dan cucuku begitu." Tapi dia tampak terluka ketika mengucapkannya.
Belakangan petang itu, aku keluar bersama Gramps untuk membantunya mengumpulkan kayu bakar. Dia harus membelah beberapa batang kayu lagi, maka aku memperhatikannya mengayunkan kapak ke beberapa kayu alder yang sudah kering.
"Gramps, kau tidak suka baju baru Dad"" tanyaku.
Kapak Gramps berhenti di udara. Kemudian dia meletakkannya dengan perlahan ke sebelah bangku yang kududuki. "Aku menganggap pakaiannya bagus-bagus saja, Mia."
"Tapi Gramps kelihatan sedih sekali waktu tadi Gran membicarakannya."
Gramps menggeleng-geleng. "Kau memang memperhatikan segalanya, ya" Meski baru berumur sepuluh tahun."
"Tidak sulit melihatnya. Kalau Gramps sedang sedih, Gramps kelihatan sedih."
"Aku tidak sedih. Ayahmu kelihatan bahagia dan kurasa dia akan menjadi guru yang baik. Murid-murid akan beruntung sekali bisa membaca The Great Gatsby bersama ayahmu. Aku hanya merasa kehilangan musiknya."
"Musik" Gramps kan tidak pernah nonton pertunjukan Dad."
"Telingaku sakit. Gara-gara perang. Suara-suara itu membuat telingaku sakit."
"Seharusnya Gramps mengenakan headphone. Mom menyuruhku mengenakannya. Penyumbat telinga suka copot."
"Mungkin aku akan mencobanya. Tapi aku selalu mendengarkan musik ayahmu. Dalam volume rendah. Aku mengakui tidak terlalu suka suara gitar listriknya. Bukan seleraku. Tapi aku tetap mengagumi musiknya. Terutama liriknya. Ketika masih seusiamu, ayahmu sering mengarang cerita-cerita bagus. Dia duduk di meja kecil dan menuliskan cerita-cerita itu, kemudian memberikannya kepada Gran untuk diketik,
lalu ayahmu menggambarinya. Kisah-kisah lucu tentang hewan, tapi nyata dan cerdas. Selalu mengingatkanku pada buku tentang laba-laba dan babi itu-apa judulnya""
"Charlotte's Web""
"Ya, yang itu. Aku selalu mengira ayahmu akan menjadi penulis. Dan dalam cara yang berbeda, aku merasa dia memang penulis. Kata-kata yang ditulisnya untuk musiknya, itu puisi. Kau pernah mendengarkan dengan saksama apa kata-katanya""
Aku menggeleng, tiba-tiba malu. Aku bahkan tidak sadar Dad menulis lirik lagu. Dia tidak menyanyi sehingga aku menduga orang-orang yang di depan mikrofonlah yang menulis kata-katanya. Tapi aku pernah, ratusan kali, melihatnya duduk di meja dapur dengan gitar dan notes. Aku hanya tidak menghubungkan keduanya.
Malam itu ketika kami pulang, aku pergi ke kamarku membawa CD Dad dan Discman. Aku memeriksa catatan pada setiap judul lagu untuk mencari mana yang ditulis Dad kemudian dengan susah payah menyalin semua liriknya. Baru setelah aku menatap tulisan pada buku sainsku, aku sadar apa yang dimaksud Gramps. Lirik-lirik lagu ciptaan Dad bukan hanya berima. Ada arti yang lebih dalam di sana. Ada satu lagu berjudul Menunggu Pembalasan yang kudengarkan berulang-ulang sampai hafal. Lagu itu ada di album kedua, dan satu-satunya lagu bertempo lambat yang mereka tulis; kedengaran hampir seperti lagu country, mungkin karena Henry pernah tergila-gila pada musik punk kampung. Aku mendengarkannya begitu sering sehingga mulai menyanyikannya sendiri tanpa sadar.
Well, apakah ini" Menjadi apa aku kini"
Apa yang harus kulakukan 'tuk mengatasi"
Sekarang hanya ada hampa Di matamu yang pernah bercahaya
Tapi itu dulu Semalam, yang telah lalu Well, apakah itu" Suara apa di telingaku" Hanya masa hidupku
Melesat menembus relungku Ketika kutengok kembali Segalanya tampak tak berarti Tapi itu dulu Semalam, yang telah lalu
Sekarang aku akan pergi Kutinggalkan semua ini Kurasa kau akan sadari Kau akan menggapai 'tuk mengerti
Aku tidak memilih Tapi aku sudah letih Dan keputusan ini kembali sejak dulu
Semalam, yang telah lalu "Apa yang kaunyanyikan, Mia"" Dad bertanya, ketika aku bernyanyi untuk Teddy sambil mendorong kereta bayinya berkeliling dapur dalam usaha sia-sia untuk membuatnya tidur.
"Lagu Dad," kataku malu-malu, tiba-tiba merasa mungkin aku melanggar batas kehidupan pribadi Dad. Salahkah menyanyikan lagu orang lain tanpa permisi"
Tapi Dad tampak senang sekali. "Mia-ku menyanyikan Menunggu Pembalasan untuk Teddy-ku. Wah, hebat sekali." Dia membungkuk untuk mengacak-acak rambutku dan menjawil pipi Teddy yang gembil. "Well, jangan biarkan aku menghentikanmu. Teruskanlah. Aku akan mengambil alih," katanya, dan mengambil kereta bayi dariku.
Sekarang aku mulai menyanyi di depannya, maka aku hanya bergumam, tapi kemudian Dad ikut bernyanyi dan kami berdua melantunkannya dengan lembut sampai Teddy tertidur pulas. Kemudian Dad meletakkan telunjuk di bibir dan memberi isyarat agar aku mengikutinya ke ruang duduk.
"Mau main catur"" tanya Dad. Dia selalu berusaha mengajariku main catur, tapi aku menganggap catur terlalu memeras otak sebagai permainan.
"Bagaimana kalau main checkers"" saranku.
"Baiklah." Kami bermain tanpa bicara. Ketika tiba giliran Dad, aku mencuri pandang padanya, dalam balutan baju berkancingnya, berusaha mengingat bayangan yang cepat sekali memudar tentang pria berjaket kulit dengan rambut dicat pirang putih.
"Dad"" "Hmm."
"Aku boleh tanya"" "Selalu."
"Apa Dad sedih karena tidak main band lagi"" "Tidak," katanya. "Bahkan sedikit saja""
Mata kelabu Dad menatapku. "Kenapa kau sampai bertanya begitu"" "Aku mengobrol dengan Gramps." "Oh, aku mengerti."
"Dad mengerti""
Dad mengangguk. "Gramps berpikir bahwa entah bagaimana dia mungkin memaksaku mengubah hidupku."
"Benarkah""
"Kurasa secara tidak langsung dia memang melakukannya. Dengan menjadi dirinya sendiri, dengan menunjukkan kepadaku bagaimana menjadi ayah yang baik."
"Tapi Dad ayah yang baik ketika main band. Ayah yang terbaik. Aku tidak ingin Dad mengorbankan
itu semua demi aku," kataku, mendadak merasa tersekat. "Dan kurasa Teddy juga tidak."
Dad tersenyum dan mengelus kepalaku. "Mia Oh-My-Uh. Aku tidak mengorbankan apa-apa. Ini bukan pilihan itu-atau-ini. Mengajar atau musik. Jins atau setelan. Musik akan selalu menjadi bagian hidupku."
"Tapi Dad berhenti main band! Tidak lagi berpakaian punk!"
Dad mendesah. "Tidak sulit. Aku telah menjalani bagian kehidupanku yang itu. Sudah waktunya berubah. Aku bahkan tidak perlu berpikir dua kali, meski mungkin Gramps dan Henry menganggap sebaliknya. Kadang-kadang kau membuat pilihan dalam hidupmu dan kadang-kadang pilihanlah yang memilihmu. Apakah kedengaran masuk akal""
Aku memikirkan cello-ku. Bagaimana kadang-kadang aku tidak mengerti mengapa aku tertarik pada instrumen itu, bagaimana pada hari-hari tertentu aku merasa instrumen itulah yang memilihku. Aku mengangguk, tersenyum, dan kembali berkonsentrasi pada permainan kami. "Aku jadi raja," kataku.
04.57 AKU tidak bisa berhenti memikirkan Menunggu Pembalasan. Sudah bertahun-tahun berlalu sejak aku mendengarkan atau memikirkan lagu itu, tapi setelah Gramps pergi, aku menyanyikannya pada diri sendiri lagi dan lagi. Dad menulis lagu itu bertahun-tahun lalu, tapi sekarang seakan dia baru menulisnya kemarin. Seakan dia menulisnya dari tempat dia berada sekarang, entah di mana. Seolah ada pesan rahasia untukku dalam lagu itu. Bagaimana lagi menjelaskan liriknya" Aku tidak memilih. Tapi aku sudah letih.
Apa maksudnya" Apakah itu semacam instruksi" Semacam petunjuk terang apa yang akan orangtuaku pilih untukku kalau saja mereka bisa" Aku berusaha memikirkannya dari sudut pandang mereka. Aku tahu mereka ingin bersamaku, agar kami semua bisa bersama-sama lagi pada akhirnya. Tapi aku bahkan tidak tahu apakah itu akan terjadi setelah kau meninggal, dan jika memang terjadi, apakah akan terjadi entah malam ini atau tujuh puluh tahun lagi. Apa yang mereka inginkan untukku sekarang" Begitu mengutarakan pertanyaan itu, aku bisa melihat wajah Mom yang kesal. Dia akan murka sekali padaku jika aku sempat-sempatnya memikirkan pilihan selain tinggal. Tapi Dad, dia mengerti apa artinya merasa terlalu letih. Mungkin, seperti Gramps, dia mengerti mengapa aku merasa tidak mampu tinggal.
Aku menyanyikan lagu itu, seakan ada instruksi yang terkubur dalam liriknya, peta jalan berupa musik untuk mengarahkanku ke tujuan dan bagaimana aku bisa ke sana.
Aku bernyanyi, berkonsentrasi, bernyanyi, dan berpikir begitu keras sehingga hampir tidak menyadari Willow telah kembali ke ICU, hampir tidak menyadari dia bicara dengan si perawat judes, hampir tidak menyadari suaranya yang dingin dan mendesak.
Kalau saja memperhatikan, aku mungkin sadar bahwa Willow mencari jalan agar Adam bisa mengunjungiku. Kalau saja memperhatikan, aku mungkin bisa melarikan diri sebelum Willow-seperti biasa-berhasil.
Aku tidak ingin bertemu Adam sekarang. Maksudku, tentu saja aku ingin bertemu dia. Sangat ingin. Tapi aku tahu jika bertemu dengannya, aku akan kehilangan embusan kedamaian terakhir yang diberikan. Gramps kepadaku ketika dia berkata tidak apa-apa untuk pergi. Aku berusaha menghimpun keberanian untuk melakukan apa yang harus kulakukan. Dan Adam akan mempersulit semuanya. Aku berusaha berdiri untuk kabur, tapi ada yang terjadi padaku sejak aku kembali dioperasi. Aku tidak lagi punya kekuatan bergerak. Butuh usaha sangat keras untuk duduk tegak di kursi. Aku tidak bisa melarikan diri; aku hanya bisa sembunyi. Aku merapatkan lutut ke dada dan memejamkan mata.
Aku mendengar Perawat Ramirez bicara pada Willow. "Aku akan membawanya ke sini," katanya. Dan sekali ini, si perawat judes tidak menghardiknya untuk mengurusi saja pasiennya sendiri.
"Tindakanmu tadi benar-benar dungu," aku mendengarnya berkata pada Adam.
"Aku tahu," jawab Adam. Suaranya berupa bisikan parau, seperti biasanya sehabis konser. "Aku putus asa."
"Tidak, kau romantis," kata Perawat Ramirez.
"Aku tolol. Mereka berkata dia sudah baikan tadi. Ventilatornya telah dicabut. Dia sudah lebih kuat. Tapi setelah aku masuk ke
sini, kondisinya menjadi parah lagi. Mereka berkata jantungnya sempat berhenti di meja operasi..." suara Adam melemah.
"Dan mereka berhasil memacu jantungnya lagi. Perutnya mengalami kebocoran, perlahan-lahan cairan empedu masuk ke perut, dan itulah yang menyebabkan organ-organnya kacau. Hal seperti ini sering terjadi, dan sama sekali tidak ada hubungannya denganmu. Kami menemukan masalahnya dan sudah menanganinya, itulah yang penting."
"Tapi tadinya dia sudah baikan," Adam berbisik. Dia kedengaran begitu muda dan rapuh, seperti Teddy ketika sakit perut. "Kemudian aku datang dan dia hampir meninggal." Suara Adam tersendat menjadi isakan. Suara itu membuatku bagaikan disiram seember air es sampai membasahi baju. Adam mengira dia yang menyebabkan ini terjadi padaku" Tidak! Itu sama sekali tidak masuk akal. Dia salah sekali.
"Dan aku hampir tinggal di Puerto Rico untuk menikah dengan orang brengsek gendut," ujar si perawat. "Tapi tidak kulakukan. Dan aku punya kehidupan yang berbeda sekarang. Hampir tidak berpengaruh apa-apa. Kau harus menangani situasi yang terjadi sekarang. Dan dia masih ada di sini." Ditutupnya tirai privasi di sekeliling tempat tidurku. "Masuklah," katanya pada Adam.
Aku memaksa kepalaku menengadah dan membuka mata. Adam. Ya Tuhan, bahkan dalam keadaan ini dia sangat tampan. Matanya menyorotkan kelelahan. Dagunya belum bercukur, cukup kasar untuk membuat daguku sendiri merah-merah jika kami berciuman. Dia mengenakan seragam bandnya berupa T-shirt, celana ketat, dan Converse, dengan syal kotak-kotak Gramps disampirkan di bahu.
Ketika pertama kali melihatku, wajahnya memucat, seakan aku Monster Laguna Hitam yang menyeramkan. Aku memang kelihatan jelek, tersambung pada ventilator dan dua belas slang lain, darah merembes di perban akibat operasi terakhirku. Tapi setelah beberapa saat, Adam mendesah keras kemudian menjadi Adam kembali. Dia menoleh ke sana kemari seakan baru saja menjatuhkan sesuatu, kemudian dia menemukan apa yang dicarinya: tanganku.
"Astaga, Mia, tanganmu dingin sekali." Dia berjongkok, menggenggam tangan kananku, dan berhati-hati agar tidak menyenggol slang dan kabel, mendekatkan bibir ke genggamannya, meniupkan udara hangat ke dalam perlindungan tangkupan tangannya. "Kau dan tanganmu yang sinting." Adam selalu heran bagaimana pada pertengahan musim panas pun, bahkan sehabis kegiatan yang menguras keringat, tanganku tetap dingin. Aku memberitahunya bahwa itu akibat sirkulasi yang buruk, tapi dia tidak percaya karena kakiku biasanya hangat. Dia berkata aku memiliki tangan bionik, itulah sebabnya aku bisa menjadi pemain cello yang mahir.
Aku menyaksikannya menghangatkan tanganku seperti yang dilakukannya ribuan kali. Aku memikirkan kali pertama dia melakukannya, di sekolah, duduk di halaman, seakan itu hal paling wajar untuk dilakukan. Aku juga ingat kali pertama dia melakukannya di depan orangtuaku. Kami semua duduk di beranda pada malam Natal, minum jus apel. Di luar udara membeku. Adam menyambar tanganku dan meniupnya. Teddy cekikikan. Mom dan Dad tidak mengucapkan apa-apa, hanya saling melirik dengan cepat, sesuatu yang pribadi berlangsung antara mereka berdua, kemudian Mom tersenyum sendu pada kami.
Aku ingin tahu apakah jika aku mencoba, aku bisa merasakannya menyentuhku. Kalau aku berbaring di atas tubuhku sendiri di tempat tidur, apakah aku akan menyatu lagi dengan tubuhku" Apakah aku akan bisa merasakannya setelah itu" Jika aku mengulurkan tangan hantuku padanya, apakah dia akan merasakanku" Apakah dia akan menghangatkan tangan yang tidak bisa dilihatnya"
Adam melepaskan tanganku dan melangkah maju untuk menatapku. Dia berdiri begitu dekat sehingga aku hampir bisa mengendusnya dan aku tersiksa oleh perasaan ingin menyentuhnya. Perasaan yang mendasar, purba, dan mendesak seperti bayi membutuhkan susu ibu. Meski aku tahu, jika kami bersentuhan, permainan tarik-menarik-yang lebih menyakitkan daripada permainan tarik-menarik diam-diam yang kulakukan bersama Adam beberapa bulan terakhir ini-akan segera terjadi.
Adam menggumamkan sesuatu sekarang. Dengan sua
ra rendah. Berulang-ulang dia berkata: kumohon. Kumohon. Kumohon. Kumohon. Kumohon. Kumohon. Kumohon. Kumohon. Kumohon. Kumohon. Akhirnya, dia berhenti dan menatap wajahku. "Kumohon, Mia," dia memintaku. "Jangan buat aku menulis lagu."
---oOo--- Aku tidak pernah menduga akan jatuh cinta. Aku bukanlah jenis cewek yang naksir bintang rock atau punya fantasi menikah dengan Brad Pitt. Samar-samar aku selalu tahu bahwa aku mungkin akan memiliki pacar (saat kuliah, kalau prediksi Kim bisa dipercaya) dan menikah. Aku tidak benar-benar kebal terhadap ketertarikan pada lawan jenis, tapi aku bukan cewek romantis yang pemimpi, yang menyukai lamunan merah jambu berbulu-bulu tentang jatuh cinta.
Bahkan ketika aku jatuh cinta-dalam kecepatan tinggi, intens, jenis yang tidak-bisa-berhenti-nyengir-aku tidak benar-benar menyadari apa yang terjadi. Ketika bersama Adam, setidaknya setelah beberapa minggu pertama yang canggung itu, aku merasa begitu nyaman sehingga tidak merasa perlu memikirkan apa yang terjadi padaku, pada kami. Rasanya normal dan benar, seperti mencelupkan diri ke bak mandi berisi air hangat berbusa. Tapi bukan berarti kami tidak pernah bertengkar. Kami sering berdebat tentang banyak hal: bagaimana dia tidak bersikap cukup baik terhadap Kim, aku bersikap antisosial di pertunjukan-pertunjukannya, bagaimana dia mengemudi terlalu cepat, bagaimana aku memonopoli selimut. Aku marah karena dia tidak pernah menulis lagu tentang aku. Dia berkata tidak mahir mengarang lagu cinta yang cengeng: "Kalau kau mau lagu, kau harus selingkuh dariku," katanya, tahu benar bahwa itu tidak akan terjadi.
Tapi musim gugur lalu, Adam dan aku mulai mengalami pertengkaran jenis lain. Bahkan bukan sungguh-sungguh bertengkar. Kami tidak berteriak-teriak. Kami hampir tidak berdebat, tapi ular ketegangan perlahan-lahan melata di antara kehidupan kami berdua. Dan rasanya itu dimulai sejak audisiku di Juilliard.
"Jadi, kau membuat mereka terkagum-kagum"" tanya Adam ketika aku kembali. "Mereka akan menerimamu dengan beasiswa penuh""
Setidaknya aku punya firasat mereka akan menerimaku di sana-bahkan sebelum aku memberitahu Profesor Christie tentang salah satu juri yang berkomentar "Sudah lama sekali sekolah ini tidak melihat gadis desa Oregon", bahkan sebelum Profesor Christie sesak napas karena yakin ini kepastian aku bakal masuk ke sana. Sesuatu terjadi pada permainanku saat audisi; aku melampaui sejenis halangan tak kasatmata dan akhirnya bisa memainkan nomor-nomor itu seakan aku mendengarnya di dalam kepalaku, dan hasilnya adalah sesuatu yang penting: sisi mental dan fisik, teknis dan emosi kemampuanku akhirnya menyatu. Kemudian, dalam perjalanan pulang, saat Gramps dan aku mendekati perbatasan California-Oregon, aku mendapatkan terawangan sekilas-bayangan tentang diriku membawa cello di New York. Dan detik itu juga aku seakan tahu, dan kepastian itu mengakar dalam perutku seperti rahasia yang hangat. Aku bukan jenis orang yang rentan terhadap premonisi atau terlalu percaya diri, maka aku menduga ada sesuatu yang lebih berarti pada terawanganku itu daripada sekadar mimpi kosong.
"Permainanku lumayan," kataku pada Adam, dan ketika mengucapkannya, aku sadar baru saja berbohong padanya untuk pertama kali, dan ini berbeda daripada semua ketidakjujuran, dengan tidak memberitahukan seluruh ceritanya, yang kulakukan sebelumnya.
Aku sengaja tidak memberitahu Adam bahwa aku mendaftar ke Juilliard, yang sebenarnya lebih sulit daripada kedengarannya. Sebelum mengirimkan lamaran, aku harus berlatih setiap ada waktu senggang bersama Profesor Christie untuk menghaluskan concerto karya Shostakovich dan dua suite Bach. Ketika Adam bertanya mengapa aku begitu sibuk, aku memberi alasan samar tentang belajar lagu-lagu baru yang sulit. Aku memberi alasan pada diriku sendiri bahwa sebenarnya aku berkata jujur. Kemudian Profesor Christie mengusahakan aku mendapat sesi rekaman di universitas sehingga aku bisa mengirimkan CD berkualitas tinggi ke Juilliard. Aku harus berada di studio pukul tujuh pagi pada hari Minggu dan malam sebelumnya aku pura-pura
merasa tidak enak badan lalu berkata pada Adam mungkin sebaiknya dia tidak menginap. Aku juga mencari pembenaran untuk alasan itu. Aku memang merasa tidak enak badan karena sangat gelisah. Maka, itu bukan benar-benar kebohongan. Lagi pula, pikirku, tidak ada gunanya membesar-besarkan. Aku juga tidak memberitahu Kim, jadi bukan hanya Adam yang kuperlakukan khusus.
Tapi setelah memberitahunya aku bermain lumayan pada saat audisi, aku merasa tersedot pasir isap, dan jika aku mengambil satu langkah lagi saja, aku takkan bisa lagi menyelamatkan diri dan bakal tenggelam sampai tercekik. Maka aku menarik napas dalam-dalam dan menarik diri kembali ke pijakan yang padat. "Sebenarnya bukan begitu," aku memberitahu Adam. "Aku bermain bagus sekali. Aku bermain lebih bagus daripada yang pernah kulakukan dalam hidupku. Seakan-akan aku kerasukan."
Reaksi pertama Adam adalah tersenyum bangga. "Coba aku melihatnya." Tapi kemudian matanya diselimuti awan dan bibirnya mengerut. "Kenapa kau tidak langsung saja berkata begitu"" dia bertanya. "Kenapa kau tidak langsung meneleponku untuk menyombong""
"Aku tidak tahu," jawabku.
"Well, ini kabar gembira," kata Adam, berusaha menyembunyikan rasa kecewa. "Kita harus merayakannya."
"Oke, mari kita rayakan," kataku, dengan keceriaan dipaksakan. "Kita bisa ke Portland hari Sabtu. Pergi ke Japanese Garden dan makan malam di Beau Thai."
Adam mengernyit. "Aku tidak bisa. Kami akan manggung di Olympia dan Seattle akhir pekan ini. Tur mini. Ingat" Aku sangat ingin kau ikut, tapi aku tidak tahu apakah kau akan menikmatinya. Tapi aku akan kembali hari Minggu petang. Aku bisa bertemu denganmu di Portland Minggu malam jika kau mau."
"Tidak bisa. Aku main kuartet gesek di rumah seorang profesor. Bagaimana kalau minggu depan""
Adam mengerang. "Kami harus ke studio dua akhir pekan mendatang, tapi kita bisa pergi tengah minggu ke suatu tempat. Di sekitar sini saja. Ke restoran Meksiko itu""
"Tentu. Ke restoran Meksiko itu."
Dua menit yang lalu, aku bahkan sama sekali tidak memikirkan perayaan, tapi sekarang aku merasa terluka dan terhina karena hanya akan mendapatkan makan malam pertengahan minggu di tempat yang biasa kami kunjungi sehari-hari.
Ketika Adam lulus SMA musim semi lalu dan keluar dari rumah orangtuanya untuk pindah ke House of Rock, aku tidak menduga akan terjadi banyak perubahan. Dia masih tinggal di dekatku. Kami bisa bertemu kapan saja. Aku akan kehilangan saat-saat berduaan di gedung musik, tapi juga lega karena hubungan kami tidak akan berada di bawah sorotan sekolah lagi.
Tapi keadaan berubah ketika Adam tinggal di House of Rock dan mulai kuliah, meski bukan karena alasan yang kuduga akan terjadi. Pada permulaan musim gugur, persis saat awal masa kuliah Adam, Shooting Star mulai meroket. Band itu ditawari kontrak rekaman oleh label bertaraf medium di Seattle dan sekarang sibuk rekaman di studio. Mereka juga lebih banyak manggung, di hadapan penonton yang semakin lama semakin banyak, hampir setiap akhir pekan. Keadaan begitu sibuk sehingga Adam menghentikan setengah jadwal mata kuliahnya dan bersekolah paruh waktu, dan jika keadaan terus meningkat seperti ini, dia berpikir untuk berhenti kuliah saja. "Tidak ada kesempatan kedua," dia berkata padaku.
Aku sangat gembira untuknya. Aku tahu Shooting Star memang istimewa, lebih daripada sekadar band universitas kota kecil. Aku tidak keberatan jika Adam semakin jarang muncul, terutama karena dengan jelas dia berkata dialah yang keberatan. Tapi entah bagaimana, prospekku masuk Juilliard membuat keadaan berbeda-entah bagaimana aku jadi keberatan. Yang sama sekali tidak masuk akal karena seharusnya keadaan kami jadi seimbang. Sekarang aku juga punya sesuatu yang membuatku bersemangat.
"Kita bisa pergi ke Portland beberapa minggu lagi," Adam berjanji. "Ketika musim liburan sudah dimulai."
"Oke," kataku setengah ngambek.
Adam mendesah. "Keadaan jadi rumit, ya""
"Yeah. Jadwal kita terlalu padat," kataku.
"Bukan itu maksudku," kata Adam, tangannya mengarahkan wajahku agar menoleh ke arahnya sehingga aku l
angsung menatap matanya. "Aku tahu bukan itu maksudmu," kataku, tapi kemudian tenggorokanku tersumbat dan aku tidak mampu bicara lagi.
Kami berusaha meringankan ketegangan, mengobrolkannya tanpa benar-benar membicarakannya, berusaha menjadikannya bahan candaan. "Kau tahu, aku membaca di US News and World Report bahwa Universitas Willamette memiliki program music yang bagus," kata Adam. "Di Salem, yang rupanya jadi semakin terkenal."
"Menurut siapa" Gubernur"" sahutku.
"Liz menemukan barang-barang bagus di toko baju kuno di sana. Dan kau tahu, begitu toko-toko seperti itu muncul, para penggemar punk tidak akan jauh tertinggal."
"Kau lupa, aku bukan penggemar punk," aku mengingatkannya. "Tapi omong-omong soal punk, Shooting Star seharusnya pindah ke New York. Maksudku, di sanalah pusatnya punk. The Ramones. Blondie." Nada suaraku penuh semangat dan menggoda, penampilan yang pantas diberi Oscar.
"Itu tiga puluh tahun yang lalu," balas Adam. "Dan bahkan jika aku ingin pindah ke New York, tidak mungkin anggota band yang lain mau." Dia menatap sepatunya dengan murung, dan aku tahu saat bercanda sudah usai. Perutku terasa mulas, seperti santapan pembuka dari menu patah hati berat yang kurasa akan dihidangkan tidak lama lagi.
Adam dan aku bukan pasangan yang gemar membicarakan masa depan, tentang ke mana hubungan kami ini akan berlanjut, tapi dengan keadaan yang mendadak tidak jelas seperti ini, kami menghindari percakapan tentang apa saja yang akan terjadi lebih dari beberapa minggu ke depan, dan ini membuat obrolan kami menjadi sekaku dan secanggung pada minggu-minggu awal hubungan kami sebelum kami menemukan irama yang pas. Suatu petang pada musim gugur, aku melihat gaun sutra indah model 1930-an di toko baju kuno tempat Dad membeli setelan-setelannya dan aku hampir bertanya pada Adam apakah aku sebaiknya mengenakan itu untuk malam prom, tapi prom akan diadakan bulan Juni dan mungkin Adam akan sibuk tur pada bulan Juni atau mungkin aku akan sibuk bersiap-siap masuk Juilliard, maka aku tidak berkata apa-apa. Tidak lama setelah itu, Adam mengeluhkan gitarnya yang sudah usang, berkata dia ingin membeli gitar kuno merek Gibson SG, dan aku menawarkan diri membelikan gitar itu untuknya sebagai hadiah ulang tahun. Tapi kemudian dia berkata gitar seperti itu berharga ribuan dolar, lagi pula ulang tahunnya bulan September, dan cara dirinya mengatakan September kedengaran seperti hakim yang menjatuhkan keputusan hukuman.
Beberapa minggu lalu, kami pergi ke pesta Malam Tahun Baru bersama-sama. Adam mabuk, dan ketika tengah malam tiba, dia menciumku dalam-dalam. "Berjanjilah padaku. Berjanjilah padaku kau akan merayakan Malam Tahun Baru bersamaku tahun depan," dia berbisik di telingaku.
Aku ingin menjelaskan bahwa meski berhasil masuk Juilliard, aku akan pulang saat Natal dan Tahun Baru, tapi kemudian aku tersadar bukan itu masalahnya. Maka aku berjanji padanya karena aku ingin itu menjadi nyata, sebesar yang diinginkannya. Dan aku membalas ciumannya dengan penuh gairah, seakan berusaha menyatukan tubuh kami melalui bibir.
Satu Januari, aku pulang dan mendapati keluargaku berkumpul di dapur bersama Henry, Willow, dan bayi mereka. Dad membuat sarapan: salmon asap kentang cincang, keahliannya.
Henry menggeleng-geleng ketika melihatku. "Lihat anak-anak zaman sekarang. Baru kemarin rasanya terhuyung-huyung pulang pada pukul delapan terasa kepagian. Sekarang aku akan melakukan apa saja agar bisa tidur sampai pukul delapan pagi."
"Kami bahkan tidak mampu terjaga sampai tengah malam," Willow menambahkan, memantul-mantulkan bayinya di pangkuan. "Bagus juga, karena nona kecil ini memutuskan memulai tahun baru pukul setengah enam pagi."
"Aku terjaga sampai tengah malam!" Teddy berteriak. "Aku melihat balon jatuh di TV persis pukul dua belas. Itu di New York, tahu kan" Kalau kau pindah ke sana, maukah kau membawaku melihat langsung balon jatuh"" dia bertanya.
"Tentu saja, Teddy," aku berpura-pura antusias. Gagasan tentang diriku pindah ke New York terasa semakin nyata sekarang, dan meski biasanya hal ini me
mbuatku gugup tapi anehnya juga bersemangat, bayangan tentang diriku dan Teddy bersama-sama pada Malam Tahun Baru membuatku merasa sangat kesepian.
Mom menatapku, alisnya terangkat. "Ini tahun baru, maka aku tidak akan mengomel karena kau baru pulang jam segini. Tapi kalau kau mabuk, kau kena hukum."
"Tidak. Aku cuma minum sekaleng bir. Aku hanya capek."
"Hanya capek, ya" Kau yakin"" Mom mencengkeram pergelangan tanganku dan menarikku agar menghadapnya. Ketika melihat ekspresiku yang menderita, Mom menelengkan kepala seakan berkata, Kau tidak apa-apa" Aku mengangkat bahu dan menggigit bibir agar emosiku tidak tumpah. Mom mengangguk. Dia menyerahkan secangkir kopi padaku dan menggiringku ke meja. Dia meletakkan sepiring kentang cincang dan sepotong tebal roti masam, dan meski aku tidak membayangkan diriku akan merasa lapar, air liurku menitik dan perutku keroncongan, lalu mendadak saja aku kelaparan. Aku makan tanpa bicara, Mom mengamatiku sepanjang waktu. Setelah semua selesai makan, Mom menyuruh mereka ke ruang duduk untuk menonton Parade Mawar di TV.
"Semuanya keluar," perintahnya. "Mia dan aku akan mencuci piring."
Segera setelah semua pergi, Mom berbalik untuk memandangku dan aku segera menjatuhkan diri ke dalam pelukannya, menangis dan menumpahkan seluruh ketegangan serta ketidakpastian beberapa minggu terakhir ini. Mom berdiri di sana tanpa bicara, membiarkanku memuntahkan segalanya ke sweternya. Ketika aku berhenti, Mom menyerahkan spons. "Kau mencuci. Aku mengelap. Kita akan bicara. Sejak dulu aku menganggap kegiatan ini menenangkan. Air hangatnya, sabunnya."
Mom mengambil lap piring dan kami mulai bekerja. Dan aku bercerita tentang Adam dan aku. "Kami mengalami satu setengah tahun yang sempurna," kataku. "Begitu sempurna sehingga aku tidak pernah memikirkan masa depan. Bagaimana masa depan bisa membawa kami ke arah berbeda."
Senyum Mom sedih tapi penuh pengertian. "Aku sudah menduganya."
Aku menoleh menatapnya. Mom melihat ke luar jendela, mengamati sepasang burung gereja mandi di genangan air. "Aku ingat tahun lalu ketika Adam datang pada malam Natal. Aku berkata pada ayahmu bahwa kalian jatuh cinta terlalu cepat."
"Aku tahu, aku tahu. Tahu apa anak bodoh seperti aku tentang cinta""
Mom berhenti mengelap wajan. "Bukan itu maksudku. Justru kebalikannya. Bagiku, hubunganmu dengan Adam tidak pernah tampak seperti 'cinta monyet'," kata Mom, membuat tanda kutip dengan tangan. "Sama sekali tidak seperti bercumbu sambil mabuk di bak belakang mobil Chevy cowok, yang bisa dianggap sebagai pacaran ketika aku masih SMA. Saat itu, dan sekarang pun, kalian tampak saling jatuh cinta, sungguh-sungguh dan dalam." Dia mendesah. "Tapi tujuh belas adalah usia yang tidak tepat untuk jatuh cinta."
Itu membuatku tersenyum dan perutku yang mulas menjadi lebih rileks. "Benar sekali," kataku. "Meski jika kami berdua bukan musisi, kami bisa pergi kuliah bersama-sama dan hubungan kami akan baik-baik saja."
"Omong kosong, Mia," Mom membantah. "Semua hubungan itu sulit. Persis seperti musik, kadang-kadang kau mendapatkan harmoni dan di lain waktu kau mendapatkan suara sumbang. Aku tidak perlu memberitahumu itu."
"Kurasa Mom benar."
"Dan ingat, musiklah yang menyatukan kalian. Begitulah menurut ayahmu dan aku. Kalian berdua mencintai musik, kemudian saling jatuh cinta. Mirip seperti yang terjadi pada ayahmu dan aku. Aku tidak main musik, tapi aku mendengarkan. Untungnya, aku sudah lebih dewasa ketika kami bertemu."
Aku tidak pernah memberitahu Mom apa yang diucapkan Adam malam itu sehabis konser YoYo Ma, ketika aku bertanya Kenapa aku" Bahwa musik memang menjadi bagian penting. "Yeah, tapi sekarang rasanya musik jugalah yang akan memisahkan kami."
Mom menggeleng. "Omong kosong. Musik tidak bisa melakukan itu. Kehidupan mungkin akan membawa kalian ke jalan berbeda. Tapi kalian masing-masing bisa memilih jalan mana yang akan ditempuh." Mom menoleh untuk menatapku. "Adam tidak menghentikanmu berangkat ke Juilliard, bukan""
"Tidak lebih daripada aku berusaha membujuknya pindah ke New York. Lagi
pula, itu konyol. Aku mungkin tidak akan pergi."
"Memang, mungkin tidak. Tapi kau akan pergi ke suatu tempat. Kurasa kita semua sudah tahu. Dan hal yang sama terjadi pada Adam."
"Setidaknya dia bisa menuju suatu tempat tapi tetap tinggal di sini." Mom mengangkat bahu. "Mungkin. Setidaknya untuk saat ini."
Aku menutup wajah dengan kedua tangan dan menggeleng-geleng. "Apa yang akan kulakukan"" aku meratap. "Aku merasa terjebak dalam permainan tarik-menarik."
Mom meringis bersimpati. "Aku tidak tahu. Tapi aku tahu jika kau ingin tinggal untuk bersamanya, aku akan mendukungmu, meski mungkin aku bisa berkata begitu karena kurasa kau takkan menolak jika diterima di Juilliard. Tapi aku mengerti jika kau memilih cinta, cinta terhadap Adam, daripada cinta terhadap musik. Bagaimanapun, kau menang. Dan bagaimanapun, kau kalah. Mau bilang apa lagi" Cinta memang bikin susah."
Adam dan aku membicarakannya sekali lagi setelah itu. Kami berada di House of Rock, duduk di tikar futon. Dia menyetem gitar akustiknya.
"Aku mungkin tidak diterima," kataku. "Aku mungkin akan bersekolah di sini, bersamamu. Aku agak berharap tidak diterima sehingga tak perlu memilih."
"Kalau kau diterima, pilihan sudah ditentukan, bukan"" tanya Adam.
Memang. Aku akan pergi. Aku tidak akan berhenti mencintai Adam atau kami akan putus, tapi Mom dan Adam memang benar. Aku tidak akan menolak Juilliard.
Adam terdiam semenit, memetik gitarnya begitu keras sehingga aku hampir tidak mendengarnya ketika dia berkata, "Aku tidak mau jadi orang yang melarangmu pergi. Jika keadaan berbalik, kau pasti akan melepaskanku pergi."
"Sebenarnya sudah. Di satu sisi, kau memang sudah pergi. Ke Juilliard-mu sendiri," kataku.
"Aku tahu," kata Adam lirih. "Tapi aku masih di sini. Dan aku masih cinta setengah mati padamu."
"Aku juga," kataku. Kemudian kami berhenti bicara sejenak sementara Adam memainkan melodi yang tidak kukenal. Aku bertanya apa yang dimainkannya.
"Aku menyebutnya Cewekku-Berangkat-ke-Juilliard-Meninggalkan-Hati-Punk-ku-Hancur-Berantakan" katanya, menyanyikan judulnya dengan suara yang dibuat-buat sedih. Kemudian dia menyunggingkan senyum konyol malu-malu yang kurasa datang dari lubuk hatinya yang terdalam. "Aku cuma bercanda."
"Bagus," kataku.
"Agak bercanda," tambahnya.
05.42 ADAM sudah pergi. Tiba-tiba dia bergegas keluar, berkata pada Perawat Ramirez dia melupakan sesuatu yang penting dan akan kembali sesegera mungkin. Dia sudah keluar dari pintu ketika Perawat Ramirez berkata jam kerjanya telah berakhir. Bahkan, dia akan pulang, tapi setelah memberitahu pengganti si Perawat Judes bahwa "anak muda bercelana ketat dan rambut berantakan" itu diizinkan menjengukku saat kembali.
Tidak masalah. Willow-lah yang berkuasa sekarang. Dia menggiring pasukan masuk ke sini sepanjang pagi. Setelah Gran dan Gramps serta Adam, Bibi Kate berkunjung. Kemudian giliran Bibi Diane dan Paman Greg. Lalu sepupu-sepupuku masuk. Willow berkeliaran ke sana kemari, ada kilatan dalam matanya. Dia punya rencana, tapi apakah maksudnya menggiring keluargaku masuk demi mendorong kelanjutan keberadaanku di dunia ini, atau hanya membawa mereka ke sini untuk mengucapkan selamat tinggal, aku tidak tahu.
Sekarang giliran Kim. Kim yang malang. Dia kelihatan habis tidur di tong sampah. Rambutnya melakukan pemberontakan besar-besaran, lebih banyak helaian yang melarikan diri dari kepangnya daripada yang masih terjalin. Dia mengenakan sesuatu yang dinamakannya "sweter jijik", gumpalan abu-abu, cokelat, dan hijau suram yang selalu dibelikan ibunya. Mula-mula, Kim menyipitkan mata ke arahku, seakan aku berupa cahaya terang membutakan. Tapi kemudian seakan Kim menyesuaikan diri dengan cahaya tersebut dan memutuskan meski aku tampak seperti zombi, meski banyak slang dimasukkan ke setiap lubang di tubuhku, meski ada darah pada selimutku yang tipis karena merembes dari perban, aku masih Mia dan dia masih Kim. Dan apa yang paling suka dilakukan Mia dan Kim" Mengobrol.
Kim duduk di salah satu kursi di sebelah tempat tidurku. "Bagaimana keadaanmu"" di
a bertanya.

If I Stay Karya Gayle Forman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku tidak yakin. Aku capek, tapi pada saat yang sama, kunjungan Adam membuatku... aku tidak tahu. Bergairah. Bersemangat. Terjaga, benar-benar terjaga. Meski aku tidak bisa merasakan sentuhan Adam, entah bagaimana kehadirannya menggugahku. Aku baru mulai merasa bersyukur karena dia ada di sini ketika mendadak saja dia pergi seperti dikejar setan. Adam menunggu sepuluh jam agar bisa masuk untuk menjengukku, dan sekarang setelah berhasil, dia malah pergi sepuluh menit kemudian. Mungkin aku membuatnya ketakutan. Mungkin dia tidak ingin menanggung ini. Lagi pula, aku seharian ini membayangkan dirinya mendatangiku, dan ketika dia akhirnya tersaruk-saruk memasuki ICU, jika saja punya kekuatan, aku malah mau kabur.
"Well, kau takkan percaya malam sekacau apa yang kualami," kata Kim. Kemudian dia mulai bercerita. Tentang ibunya yang histeris, tentang bagaimana ibunya kehilangan kendali di depan kerabat-kerabatku, yang menanggapinya dengan sangat baik. Pertengkaran mereka di luar Roseland Theater di depan segerombolan pemuda-pemudi punk. Ketika Kim meneriaki ibunya yang menangis untuk "kendalikan dirimu dan mulailah bersikap seperti orang dewasa di sini" kemudian berderap masuk ke kelab meninggalkan Mrs. Schein yang shock di tepi jalan, sekelompok cowok berjaket kulit dan rambut menyala bersorak dan ber-high five dengannya. Kim bercerita tentang Adam, tekadnya bertemu denganku, bagaimana dia ditendang keluar dari ICU, bagaimana dia meminta bantuan teman-teman bandnya, yang ternyata sama sekali bukan orang-orang sok beken seperti yang diduga Kim selama ini. Kemudian dia memberitahuku bahwa bintang rock terkenal datang ke rumah sakit demi diriku.
Tentu saja, aku tahu hampir semua yang diceritakan Kim, tapi tidak mungkin Kim mengetahuinya. Lagi pula, aku suka mendengarnya mengulang kembali hari itu padaku. Aku suka melihat Kim bicara dengan nada biasa-biasa saja, seperti yang dilakukan Gran tadi, mengoceh terus, seperti menenun benang yang bagus, seolah kami duduk di beranda rumahku, minum kopi (atau caramel frappuccino dingin untuk Kim) dan bertukar gosip.
Aku tidak tahu apakah setelah meninggal kau akan mengingat hal-hal yang terjadi padamu ketika masih hidup. Rasanya sangat logis jika kau tidak mengingatnya. Bahwa meninggal akan terasa seperti sebelum kau dilahirkan, yang artinya ketidakberadaan. Namun, setidaknya bagiku, masa-masa sebelum kelahiranku tidak sama sekali kosong. Sering Mom atau Dad bercerita tentang sesuatu, tentang Dad menangkap salmon pertamanya dengan Gramps, atau Mom mengingat konser spektakuler Dead Moon yang disaksikannya bersama Dad pada kencan pertama mereka, dan aku akan mendapatkan deja vu yang mengentakku. Bukan hanya perasaan bahwa aku pernah mendengar kisah itu, tapi aku pun merasa pernah mengalaminya. Aku bisa membayangkan diriku duduk di tepi sungai ketika Dad menarik salmon merah jambu terang dari air, meski saat itu Dad baru berusia dua belas tahun. Atau aku bisa mendengar seruan penonton ketika Dead Moon memainkan D.O.A di X-Ray, meski aku belum pernah mendengar Dead Moon bermain live, meski Kafe X-Ray tutup sebelum aku dilahirkan. Tapi kadang memori-memori itu terasa begitu nyata, begitu mendalam, begitu personal, sehingga aku mencampuradukkannya dengan memoriku sendiri.
Aku tidak pernah bercerita pada siapa pun tentang "memori-memori" ini. Mom mungkin akan berkata aku memang ada di sana-sebagai salah satu telur di dalam ovariumnya. Dad akan bercanda bahwa dia dan Mom terlalu sering menyiksaku dengan kisah-kisah mereka jadi tanpa sengaja mencuci otakku. Dan Gran akan berkata mungkin aku memang ada di sana sebagai malaikat sebelum aku memilih menjadi anak Mom dan Dad.
Tapi sekarang aku bertanya-tanya. Dan sekarang aku berharap. Karena jika aku pergi, aku ingin mengingat Kim. Dan aku ingin mengingatnya seperti ini: menceritakan kisah lucu, bertengkar dengan ibunya yang sinting, disoraki anak-anak punk, menyelamatkan keadaan, mendapatkan kekuatan dalam dirinya yang dia sendiri tidak tahu dimilikinya.
Adam merupakan kisah lain. Mengingat Adam akan terasa seperti kehil
angan dirinya sekali lagi, dan aku tidak yakin sanggup menanggung itu di atas segalanya.
Kisah Kim tiba di bagian Operasi Pengalihan Perhatian, ketika Brooke Vega dan dua belas anak punk dengan berbagai bentuk menyerbu rumah sakit. Kim berkata bahwa sebelum mereka tiba di ICU, dia sangat takut kena masalah, tapi ketika dia merangsek masuk ke bangsal, semangatnya tersulut. Waktu penjaga menyambarnya, dia sama sekali tidak takut. "Aku terus berpikir, hal terburuk apa sih yang akan terjadi" Aku dipenjara. Ibuku kejang-kejang. Aku dihukum setahun." Dia berhenti sejenak. "Tapi setelah apa yang terjadi hari ini, itu tidak berarti apa-apa. Bahkan dipenjara akan terasa mudah dibandingkan kehilanganmu."
Aku tahu Kim menceritakan ini dalam usahanya membuatku bertahan hidup. Dia mungkin tidak sadar bahwa dalam cara yang aneh, pernyataannya membebaskanku, persis seperti izin dari Gramps. Aku tahu bagaimana keadaan akan sangat memilukan bagi Kim jika aku meninggal, tapi aku juga memikirkan apa yang diucapkannya, tentang tidak merasa takut, tentang penjara yang terasa remeh jika dibandingkan dengan kehilangan diriku. Dan begitulah aku tahu bahwa Kim akan baik-baik saja. Kehilangan diriku akan menyakitkan; akan menjadi rasa sakit yang takkan terasa nyata pada mulanya, dan ketika mulai terasa, dia akan terenyak. Dan sisa tahun terakhirnya di SMA mungkin bakal tidak menyenangkan, harus menanggapi sekian banyak ucapan simpati karena sahabat karibnya meninggal, sampai akan membuatnya gila, dan juga karena kami benar-benar tidak berteman dengan siapa-siapa lagi di sekolah. Tapi dia akan mengatasi itu semua. Dia akan melanjutkan hidupnya. Dia akan meninggalkan Oregon. Dia akan kuliah. Dia akan bertemu teman-teman baru. Dia akan jatuh cinta. Dia akan menjadi fotografer, jenis yang tidak perlu naik helikopter. Dan aku berani taruhan dia akan menjadi orang yang lebih kuat akibat apa yang mungkin direnggut darinya hari ini. Aku punya firasat bahwa begitu kau mengatasi hal seperti ini, kau akan menjadi lebih tidak terkalahkan.
Aku tahu aku kedengaran agak munafik. Jika begitu keadaannya, bukankah sebaiknya aku tinggal" Berjuang untuk hidup" Mungkin jika aku sempat latihan, mungkin jika aku pernah mengalami lebih banyak patah hati dalam kehidupanku, aku akan lebih siap berjuang. Bukannya kehidupanku sempurna. Aku pernah mengalami kekecewaan dan aku pernah merasakan kesepian serta semua hal menyebalkan yang pernah dialami manusia mana pun. Tapi dalam urusan patah hati, aku terselamatkan. Aku tidak pernah cukup ditempa untuk menghadapi apa yang harus kuhadapi jika tetap hidup.
Kim sekarang bercerita bahwa dia diselamatkan dari penahanan oleh Willow. Ketika dia menjabarkan bagaimana Willow mengambil alih situasi, ada kekaguman dalam suaranya. Aku membayangkan Kim dan Willow bersahabat, meski usia mereka berjarak dua puluh tahun. Aku gembira membayangkan mereka minum teh berdua atau pergi ke bioskop bersama-sama, masih terekatkan oleh keluarga yang sudah tidak ada lagi di dunia.
Sekarang Kim memberitahukan siapa saja yang ada di rumah sakit atau siapa yang tadi datang, selama sehari penuh, menghitung mereka dengan jari: "Kakek-nenekmu dan bibi-bibimu, paman-pamanmu, dan sepupu-sepupumu. Adam dan Brooke Vega serta segerombolan tukang ribut yang menyertainya. Teman-teman satu band Adam, Mike dan Fitzy serta Liz dan pacarnya, Sarah, semua ada di ruang tunggu di bawah sejak mereka dilempar keluar dari ICU. Profesor Christie, yang bermobil ke sini dan tinggal setengah malaman sebelum pulang agar bisa tidur beberapa jam dan mandi lalu menepati beberapa janji yang dibuatnya. Henry dan bayinya, yang dalam perjalanan ke sini sekarang karena bayinya terbangun pukul lima pagi dan Henry menelepon kami, berkata dia tidak tahan lagi berada di rumah. Dan aku serta Mom," Kim menuntaskan. "Ya ampun. Aku tidak menghitung ada berapa jumlahnya. Tapi banyak. Dan lebih banyak yang menelepon, bertanya apakah boleh menjenguk, tapi bibi Diane-mu berkata mereka lebih baik menunggu. Dia bilang kami saja sudah cukup merepotkan di sini. Dan kurasa yang dimaksudkann
ya dengan 'kami' adalah aku dan Adam." Kim berhenti dan tersenyum sedetik. Kemudian dia membuat suara aneh, gabungan antara batuk dan berdeham. Aku pernah mendengarnya melakukan itu; itulah yang dilakukannya jika menghimpun keberanian, bersiap-siap terjun dari tebing dan menyambut air sungai di bawah.
"Aku punya tujuan mengatakan semua ini," dia melanjutkan. "Ada sekitar dua puluh orang di ruang tunggu sekarang. Beberapa di antara mereka berhubungan darah denganmu. Beberapa lagi tidak. Tapi kami semua keluargamu."
Dia berhenti bicara sekarang. Mencondongkan tubuh ke arahku sehingga ujung-ujung rambutnya menggelitik wajahku. Dia mencium keningku. "Kau masih punya keluarga,'" bisiknya.
-oOo- Musim panas lalu, kami menjadi tuan rumah pesta Hari Buruh dadakan. Musim itu sangat sibuk. Perkemahan untukku. Kemudian kami pergi ke retret keluarga Gran di Massachussets. Aku merasa hampir tidak pernah bertemu Adam dan Kim sepanjang musim panas. Orangtuaku meratap karena mereka tidak bertemu Willow dan Henry serta bayi mereka selama berbulan-bulan. "Henry bilang, dia sudah mulai belajar jalan," kata Dad pagi itu. Kami berada di ruang duduk di depan kipas angin, berusaha tidak meleleh. Oregon mengalami gelombang panas yang memecahkan rekor. Baru pukul sepuluh pagi dan temperatur sudah 32 derajat.
Mom menatap kalender. "Dia sudah sepuluh bulan. Kemana waktu berlalu"" Kemudian dia menatapku dan Teddy. "Bagaimana mungkin aku sudah punya putri yang masuk tahun ketiga di SMA" Bagaimana mungkin bayi laki-lakiku akan duduk di kelas dua""
"Aku bukan bayi," Teddy memprotes, jelas sekali merasa terhina.
"Sori, Nak, kecuali kami punya bayi lagi, kau akan tetap jadi bayi kami."
"Satu lagi"" Dad bertanya sambil pura-pura terperangah.
"Tenang. Aku bercanda-atau agak bercanda," kata Mom. "Lihat saja bagaimana perasaanku kalau Mia kuliah nanti."
"Aku akan delapan tahun Desember nanti. Lalu aku akan jadi dewasa dan kalian harus memanggilku 'Ted'," Teddy memberitahukan.
"Begitu, ya"" Aku terbahak, menyemburkan jus jeruk melalui hidung.
"Itu kata Casey Carson padaku," kata Teddy, mulutnya berupa garis tipis, menandakan sikap keras kepala.
Orangtuaku dan aku mengerang. Casey Carson sahabat akrab Teddy, dan kami semua sangat menyukainya serta menganggap orangtuanya baik sekali, jadi kami tidak mengerti mengapa mereka memberi putra mereka nama yang sangat konyol.
"Well, baiklah jika Casey Carson berkata begitu," kataku, cekikikan, dan tidak lama kemudian Mom dan Dad juga tertawa.
"Apanya yang lucu"" tanya Teddy.
"Bukan apa-apa, Pria Kecil," kata Dad. "Cuma gara-gara kepanasan."
"Masih bisakah kita main air hari ini"" tanya Teddy. Dad berjanji dia boleh berlarian di antara pancuran air penyiram tanaman siang itu meski gubernur meminta semua orang di negara bagian menghemat air musim panas ini. Permintaan itu membuat Dad kebingungan, beranggapan orang-orang Oregon memiliki delapan bulan musim hujan dalam setahun dan seharusnya tidak perlu khawatir tentang kekurangan air.
"Tentu saja bisa," kata Dad. "Bikin tempat ini banjir, kalau perlu."
Teddy tidak tampak jengkel lagi. "Kalau si bayi sudah bisa berjalan, dia bisa main-main di antara semprotan air. Bolehkah dia ikut main bersamaku""
Mom menatap Dad. "Bukan ide buruk," katanya. "Kurasa Willow libur hari ini."
"Kita bisa bikin barbekyu," kata Dad. "Hari ini kan memang Hari Buruh dan memanggang di udara sepanas ini termasuk kerja buruh."
"Plus, kita punya sekulkas penuh steak ketika ayahmu memutuskan memesan satu sisi penuh sapi," kata Mom. "Kenapa tidak""
"Adam boleh ikut"" tanyaku.
"Tentu saja," sahut Mom. "Sudah lama kami tidak bertemu pacarmu."
"Aku tahu," kataku. "Band mereka sekarang sibuk sekali." Saat itu aku gembira untuk Shooting Star. Benar-benar gembira tanpa ada halangan. Gran baru saja menanamkan ide tentang Juilliard di kepalaku, tapi belum benar-benar kupikirkan. Aku belum memutuskan apakah akan mencobanya. Keadaan dengan Adam belum menjadi aneh.
"Kalau si bintang rock tahan berpiknik bersama orang kampung seperti ki
ta," Dad bercanda. "Kalau dia bisa tahan bersama orang kampung sepertiku, dia pasti bisa tahan menghadapi orang kampung seperti kalian," balasku. "Aku juga akan mengundang Kim."
"Lebih banyak, lebih seru," kata Mom. "Kita akan bikin pesta besar seperti pada masa lalu."
"Ketika dinosaurus masih berkeliaran di bumi"" tanya Teddy.
"Persis," jawab Dad. "Ketika dinosaurus masih berkeliaran di bumi dan ibumu serta aku masih muda."
Sekitar dua puluh orang datang. Henry, Willow, bayi mereka, Adam, yang membawa Fitzy, Kim, yang membawa sepupunya yang berkunjung dari New Jersey, plus segerombolan teman orangtuaku yang sudah lama tidak mereka jumpai. Dad mengeluarkan pemanggang tua kami dari gudang bawah tanah dan menghabiskan setengah siang menggosoknya sampai bersih. Kami memanggang steak dan, karena ini Oregon, potongan tofu serta burger sayuran. Ada semangka, yang didinginkan terus di dalam ember berisi es, dan salad dari pertanian organik yang didirikan teman Mom dan Dad. Mom dan aku membuat tiga pai berisi blackberry liar yang dipetik Teddy dan aku. Kami minum Pepsi dari botol-botol model kuno yang ditemukan Dad di toko country kuno, dan aku berani sumpah rasanya jauh lebih enak daripada jenis yang biasa. Mungkin karena udara begitu panas, atau pesta itu diadakan mendadak, atau karena semuanya terasa lebih lezat jika dimasak di panggangan, tapi itu salah satu jamuan makan yang akan kuingat selamanya.
Ketika Dad menyalakan semprotan air untuk Teddy dan si bayi, semua orang memutuskan ikut berlarian di sana. Kami membiarkan semprotan menyala lama sekali sehingga rumput berubah menjadi kubangan licin dan aku bertanya-tanya apakah gubernur sendiri yang akan datang untuk memarahi kami. Adam menubrukku dan kami bergulingan di pekarangan sambil tertawa terpekik-pekik. Cuaca begitu panas, aku tidak mau repot-repot berganti pakaian kering, dan terus saja membasahi diri begitu merasa terlalu berkeringat. Di pengujung hari, rok terusanku terasa kaku. Teddy sudah membuka kaus dan melumuri tubuh dengan lumpur. Dad berkata dia tampak seperti salah satu anak dalam buku Lord of the Flies.
Ketika hari mulai gelap, sebagian besar orang pergi untuk menonton pertunjukan kembang api di universitas atau menonton band bernama Oswald Five-O bermain di kota. Sedikit orang, termasuk Adam, Kim, Willow, dan Henry tinggal di rumah. Ketika udara mulai agak sejuk, Dad menyalakan api unggun di pekarangan, dan kami memanggang marshmallow. Kemudian instrumen-instrumen musik mulai bermunculan. Snare drum Dad dari rumah, gitar Henry dari mobilnya, gitar cadangan Adam dari kamarku. Semua orang ikut serta, menyanyikan lagu-lagu: lagu Dad, lagu Adam, lagu-lagu lawas Clash, lagu-lagu lama Wipers. Teddy menandak-nandak, rambutnya yang pirang memantulkan cahaya api. Aku ingat menyaksikan itu semua dan merasakan sensasi menggelitik di dalam dada, lalu berpikir: Inilah rasanya kebahagiaan.
Pada suatu saat, Dad dan Adam berhenti bermain dan aku memergoki mereka berbisik-bisik. Kemudian mereka masuk ke rumah, dengan alasan mau mengambil bir lagi. Tapi ketika kembali, mereka membawa cello-ku.
"Oh, tidak, aku tidak mau konser di sini," kataku.
"Kami memang tidak ingin kau main sendiri," kata Dad. "Kami ingin kau bermain bersama kami."
"Ogah," kataku. Adam sekali-sekali mengajakku bermain bersamanya dan aku selalu menolak. Belakangan ini dia suka bercanda tentang kami bermain duet gitar-udara-cello-udara, dan hanya sejauh itulah sepertinya yang akan kuladeni.
"Kenapa tidak, Mia"" tanya Kim. "Apa kau pemusik klasik yang sok""
"Bukan begitu," kataku, mendadak panik. "Hanya saja dua jenis musik itu tidak bagus jika disatukan."
"Siapa bilang"" tanya Mom, alisnya dinaikkan.
"Yeah, siapa sangka kau rasis musik," Henry berkelakar.
Willow memutar bola mata pada Henry dan dia menoleh padaku. "Kumohon," katanya sambil menimang-nimang bayinya agar tertidur. "Aku jarang sekali mendengarmu bermain."
"Ayolah, Mee," kata Henry. "Kau berada di antara keluarga."
"Setuju," kata Kim.
Adam menggenggam tanganku dan mengelus-elus bagian da
lam pergelangan tanganku dengan jemari. "Lakukan untukku. Aku sangat ingin bermain bersamamu. Sekali saja."
Aku hampir menggeleng, untuk menegaskan bahwa cello-ku tidak memiliki tempat di antara gitar akustik, tidak memiliki tempat di dunia punk-rock. Tapi kemudian aku menatap Mom, yang nyengir padaku, seakan menantang, dan Dad, yang mengetuk-ngetuk pipa, pura-pura santai supaya tidak kelihatan menekanku, dan Teddy, yang melonjak-lonjak-meski kurasa itu karena dia kebanyakan makan marshmallow, bukan karena ingin mendengarku bermain-dan Kim, Willow, serta Henry yang menatapku seakan keputusanku sangatlah penting, lalu Adam, tampak terperangah dan bangga seperti saat mendengarku bermain. Dan aku agak takut bermain dengan buruk, tidak mampu menyatu, malah menjadikan musik terdengar tidak keruan. Tapi semua orang menatapku dengan pandangan memohon, sangat menginginkan aku bermain, dan aku sadar kedengaran tidak keruan bukanlah hal terburuk yang bisa terjadi.
Maka aku bermain. Dan tidak disangka-sangka, cello tak kedengaran jelek jika digabungkan dengan gitar-gitar itu. Bahkan, kedengaran menakjubkan.
07.16 SUDAH pagi. Dan di dalam rumah sakit, ada jenis pagi yang berbeda, berisi gesekan suara selimut, mata-mata yang terbuka. Dalam banyak hal, rumah sakit tidak pernah tidur. Lampu terus menyala dan para perawat tetap terjaga, tapi meski di luar masih gelap, kau bisa tahu dunia terbangun. Para dokter kembali, membuka kelopak mataku, menyorotkan senter kepadaku, mengerutkan kening sambil menulis catatan di kertas laporan seakan aku mengecewakan mereka.
Aku tidak lagi peduli. Aku sudah letih akan semua ini, dan segalanya akan segera berakhir. Si petugas sosial juga kembali bekerja. Tampaknya tidur semalam hampir tidak berpengaruh padanya. Matanya masih tampak berat, rambutnya berantakan. Dia meraih catatan medisku dan mendengarkan perkembangan dari perawat-perawat dan menanganiku semalam, yang kelihatannya hanya membuat si petugas sosial semakin letih saja. Perawat yang berkulit hitam kebiruan juga kembali. Dia menyapaku dengan berkata betapa senangnya dia melihatku pagi ini, bahwa dia memikirkanku sepanjang malam, berharap aku masih di sini. Kemudian dia menyadari noda darah di selimutku dan berdecak-decak sebelum bergegas mengambilkan selimut baru untukku.
Setelah Kim pergi, tidak ada lagi pengunjung. Kurasa Willow kehabisan orang untuk membujukku. Aku bertanya-tanya apakah masalah memilih ini diketahui semua perawat. Dan kurasa perawat yang bersamaku sekarang juga tahu, kalau mengingat betapa dia gembira sekali melihatku selamat melewati malam. Dan Willow juga tampaknya tahu, dengan caranya menggiring semua orang masuk ke sini. Aku sangat menyukai perawat-perawat ini. Kuharap mereka tidak akan tersinggung dengan pilihanku.
Aku begitu letih sekarang sehingga hampir tidak mampu mengerjapkan mata. Hanya tinggal menunggu waktu, dan sebagian diriku bertanya-tanya mengapa aku masih saja menunda sesuatu yang tidak terhindarkan. Tapi aku tahu alasannya. Aku menunggu Adam kembali. Meski rasanya dia pergi lama sekali, mungkin sebenarnya baru satu jam. Dan dia memintaku menunggu, maka aku akan menunggu. Hanya itu yang bisa kulakukan untuknya.
Mataku terpejam sehingga aku mendengarnya lebih dulu sebelum melihatnya. Aku mendengar suara napasnya yang memburu dan serak. Dia tersengal-sengal seakan habis berlari maraton.
Kemudian aku mengendus bau keringatnya, aroma musk bersih yang akan kumasukkan botol dan kujadikan parfum jika bisa. Aku membuka mata. Adam memejamkan mata. Tapi kelopak matanya bengkak dan merah jambu, jadi aku tahu apa yang tadi dilakukannya. Itukah alasan dia pergi tadi" Untuk menangis tanpa kulihat"
Dia hampir melorot di kursi, seperti segunduk pakaian yang dilemparkan ke lantai di pengujung hari yang panjang. Dia menutupi wajah dengan tangan dan menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri. Setelah semenit berlalu, dia meletakkan kedua tangannya di pangkuan. "Dengarkan saja," katanya dengan suara yang kedengaran seperti pecahan peluru.
Aku membuka mata lebar-lebar sekarang. Aku d
uduk setegak yang bisa kulakukan. Dan aku mendengarkan.
"Tinggallah." Dengan satu kata itu, suara Adam tersekat, tapi dia menelan kembali luapan emosi dan memaksa diri melanjutkan. "Tidak ada kata-kata yang layak mewakili apa yang terjadi padamu. Tidak ada sisi baiknya. Tapi masih ada yang baik dalam hidupmu. Dan yang kumaksud bukan diriku. Tapi... aku tidak tahu. Mungkin aku cuma asal omong. Aku tahu aku shock. Aku tahu aku belum bisa sepenuhnya menerima apa yang terjadi pada orangtuamu, pada Teddy..." Ketika dia mengucapkan nama Teddy, suaranya menjadi parau dan air mata bercucuran di wajahnya. Dan aku berpikir: Aku cinta padamu.
Aku mendengarnya menarik napas untuk menenangkan diri. Kemudian dia melanjutkan, "Yang bisa kupikirkan hanya bagaimana hidupmu akan sangat menyebalkan jika berakhir di sini, sekarang. Maksudku, aku tahu hidupmu sekarang memang sudah kacau, tidak peduli apa yang terjadi, selamanya. Dan aku tidak cukup tolol untuk berpikir aku bisa membetulkan semua itu, berpikir ada yang bisa melakukannya. Tapi aku tidak bisa membayangkan dirimu tidak menjadi tua, punya anak, kuliah di Juilliard, memainkan cello di depan penonton yang banyak, sehingga mereka juga bisa merinding seperti aku setiap kali melihatmu mengambil busur, setiap kali melihatmu tersenyum padaku.
"Jika kau tinggal, aku akan melakukan apa saja yang kauinginkan. Aku akan berhenti main band, pergi bersamamu ke New York. Tapi jika kau ingin aku menghilang, aku juga akan melakukan itu. Aku tadi bicara dengan Liz dan dia berkata mungkin kembali ke kehidupan lamamu akan menyakitkan, bahwa mungkin akan lebih mudah bagimu jika menghapus kami dari kehidupanmu. Dan itu akan sangat menyebalkan, tapi aku akan melakukannya. Aku sanggup kehilangan kau seperti itu asalkan aku tidak perlu kehilangan dirimu hari ini. Aku akan melepaskanmu. Jika kau tetap hidup."
Kemudian Adam-lah yang melepaskan diri. Sedu-sedannya meledak seperti kepalan tinju memukul daging lembut.
Aku memejamkan mata. Aku menutup telinga. Aku tidak mampu menyaksikan ini. Aku tidak bisa mendengar ini.
Tapi kemudian, bukan Adam lagi yang kudengar. Suara itu, erangan rendah yang segera berubah menjadi sesuatu yang indah. Suara cello. Adam memasangkan headphone ke telingaku yang tidak bereaksi dan meletakkan iPod di dadaku. Dia minta maaf, berkata dia tahu ini bukan lagu favoritku tapi ini yang terbaik yang bisa dilakukannya. Dia menaikkan volume sehingga aku bisa mendengarkan musik mengalir dalam udara pagi hari. Kemudian dia menggenggam tanganku.
Yo-Yo Ma. Memainkan Andante con moto e poco rubato. Denting piano yang bernada rendah hampir terdengar seperti peringatan. Kemudian masuklah suara cello, seperti jantung yang berdarah-darah. Dan seolah ada sesuatu dalam diriku yang meletup.
Aku duduk di meja sarapan bersama keluargaku, minum kopi panas, tertawa melihat kumis Teddy yang terbentuk dari cokelat. Salju menderu di luar.
Aku mengunjungi pemakaman. Tiga makam di bawah pohon pada bukit yang menghadap sungai.
Aku mendengar suara-suara orang berkata yatim-piatu dan tersadar mereka membicarakanku.
Aku berjalan-jalan di New York bersama Kim, gedung-gedung pencakar langit menjatuhkan baying-bayang di wajah kami.
Aku memangku Teddy, menggelitiknya sehingga dia cekikikan begitu keras sampai terbungkuk-bungkuk.
Aku duduk bersama cello-ku, yang dihadiahkan Mom dan Dad setelah resital pertamaku. Jemariku mengelus kayu dan pasak-pasaknya, yang menjadi halus dimakan waktu dan sentuhan. Busurku siap di atas senar sekarang, menunggu dimainkan.
Aku menatap tanganku, digenggam tangan Adam.
Yo-Yo Ma terus bermain, dan seakan piano serta cello dituangkan ke dalam diriku, dengan cara yang sama seperti infus dan transfusi darah dimasukkan ke tubuhku. Dan kenangan-kenangan kehidupanku yang dulu, gambaran-gambaran kehidupanku pada masa datang, melesat begitu cepat sehingga membuatku pusing. Aku merasa tidak lagi mampu mengikuti semuanya tapi bayangan-bayangan tersebut terus berdatangan dan segalanya bertabrakan, sampai aku tidak tahan lagi. Sampai aku merasa tidak ma
mpu lagi bertahan dalam kondisi ini.
Kulihat cahaya membutakan, serangan rasa sakit yang merobek tubuhku selama sedetik, jeritan hening dari tubuhku yang rusak. Untuk pertama kalinya, aku bisa merasakan betapa sakitnya jika aku memutuskan tinggal.
Tapi kemudian aku bisa merasakan tangan Adam. Bukan hanya merasakannya, tapi merabanya. Aku tidak lagi duduk meringkuk di kursi. Aku berbaring telentang di tempat tidur rumah sakit, kembali menyatu dengan tubuhku.
Adam menangis dan di dalam diriku aku juga menangis, karena aku akhirnya bisa merasakan segala hal. Aku bukan hanya merasakan sakit pada tubuhku, tapi juga rasa sakit akibat segala hal yang direnggut dariku, dan rasa sakit itu begitu besar serta bagai bencana dan akan meninggalkan lubang menganga dalam diriku, yang takkan bisa diisi apa pun. Tapi aku juga merasakan segalanya yang kumiliki di dunia ini, termasuk juga kehilanganku, begitu pula ketidaktahuan besar mengenai apa yang akan diberikan kehidupan kepadaku. Dan segalanya terasa tidak tertahankan. Perasaan-perasaan itu menumpuk, mengancam akan meledakkan dadaku. Satu-satunya cara untuk bertahan adalah berkonsentrasi pada tangan Adam. Yang menggenggam tanganku.
Dan mendadak saja aku merasa butuh menggenggam tangannya lebih daripada apa pun di dunia ini. Bukan hanya digenggam, tapi juga menggenggamnya. Aku mengarahkan seluruh sisa kekuatan ke tangan kananku. Aku lemah, dan ini begitu sulit. Ini hal tersulit yang akan pernah kulakukan. Aku menghimpun seluruh cinta yang pernah kurasakan, aku menghimpun seluruh kekuatan yang diberikan Gran, Gramps, Kim, para perawat, dan Willow kepadaku. Aku menghimpun seluruh napas yang akan diberikan Mom, Dad, dan Teddy padaku jika mereka bisa. Aku menghimpun seluruh kekuatanku sendiri, memfokuskannya seperti laser ke jemari dan telapak tangan kananku. Aku membayangkan tanganku mengelus-elus rambut Teddy, mencengkeram busur di atas cello-ku, menjalin jemari dengan tangan Adam.
Kemudian aku meremas. Aku lemas kembali, letih, tidak yakin apakah aku memang berhasil melakukannya. Tidak paham apa artinya. Apakah maksudku tersampaikan. Apakah berarti.
Tapi kemudian cengkeraman Adam mengeras, sehingga genggaman tangannya terasa seperti memeluk seluruh tubuhku. Seakan bisa mengangkatku sampai berdiri dari tempat tidur ini. Kemudian aku mendengar napasnya tersentak keras, diikuti suaranya. Inilah pertama kalinya aku bisa benar-benar mendengarnya.
"Mia"" dia bertanya.
Duel 2 Jago Pedang 1 Roro Centil 11 Pembalasan Si Setan Cengkrong Pena Beracun 1
^