Pencarian

Pena Beracun 1

Pena Beracun The Moving Finger Karya Agatha Christie Bagian 1


Scanned book (sbook) ini hanya untuk pelestarian buku dari kemusnahan.
DILARANG MENGKOMERSILKAN atau hidup anda mengalami ketidakbahagiaan
dan ketidakberuntungan BBSC Convert to WORD, LIT, PDF, PRC by ben99
Agatha Christie PENA BERACUN Penerbit PT Gramedia Jakarta, 1986
THE MOVING FINGER by Agadia Christie Copyright " 1942 bv Agatha Christie Mallowan All rights reserved Untuk Sahabatku
Sidney dan Mary Smith PENA BERACUN Alihbahasa: Ny Suwarni AS.
Hak cipta terjemahan Indonesia
PT Gramedia, Jakarta Hak cipta dilindungi oleh undang-undang
Gambar sampul oleh Dwi Koendoro
Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit PT Gramedia, anggota IKAPI Jakarta, Juli
1986, Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari Penerbit.
Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia Jakarta
PENA BERACUN AGATHA Christie lahir di Torquay. Ibunya seorang Inggris, sedang ayahnya orang
Amerika. Novelnya yang pertama adalah The Mysterious Affair at Styles, yang ditulisnya
menjelang akhir Perang Dunia Pertama. Dalam peperangan itu dia mengabdi sebagai
seorang anggota Detasemen Bala Bantuan Sukarela di Prancis. Dalam buku itulah
dia hnenciptakan tokoh detektif berkebangsaan Belgia yang cerdas, bertubuh
kecil, dengan kepala berbentuk telur dan berkumis lebat, Hercule Poirot. Toko"
itu kemudian menjadi tokoh detektif yang paling populer dalam cerita-cerita
kriminal, setelah Sherlock Holmes,
Dalam tahun 1926 dia menulis cerita yang dianggap sebagai salah satu karyanya
yang paling hebat, yaitu Pembunuhan Atas Roger Ackroyd. Buku itu adalah buku
pertama yang diterbitkan oleh William Collins, dan sejak itu buku-bukunya selalu
diterbitkan oleh penerbit tersebut. Novel detektifnya yang ketujuh puluh dua,
berjudul Nemesis, terbit dalam bulan Oktober 1972.
Agatha Christie menikah dengan seorang arkeolog terkemuka, Sir Max Mallowan.
Mereka sering mengadakan perjalanan ke Timur Tengah. Kecuali mengarang, Agatha
juga menaruh perhatian besar pada pekefjaan suaminya.
Tokoh Hercule Poirot meninggal dalam Tirai, yang terbit tahun 1975. Setahun
kemudian, tepatnya tanggal 12 Januari 1976, Agatha meninggal di Wallingford,
Inggris. BAB SATU AKHIRNYA semua pembalut dilepaskan, para dokter sudah puas memeriksa seluruh
tubuhku, para juru rawat berulang kali memberi peringatan padaku untuk
menggunakan anggota tubuhku dengan berhati-hati. Aku sudah merasa muak mendengai
omongan mereka, karena mereka berbicara seolaholah dengan anak bayi saja.
Akhirnya Marcus Kent mengatakan supaya aku pergi dan hidup di daerah pedesaan.
"Udara bersih, hidup tenang, tidak mengerjakan apa-apa itulah resep yang terbaik
bagimu. Adik perempuanmu itu pasti bisa merawatmu. Makan, tidur, pokoknya
menirukan cara hidup tumbuhtumbuhan sejauh mungkin."
Aku tidak bertanya apakah aku akan bisa terbang lagi. Memang ada beberapa
pertanyaan yang sebaiknya tidak kita ajukan kalau kita takut mendengar
jawabannya. Itulah sebabnya selama lima bulan terakhir ini aku tak pernah
bertanya apakah aku akan terbaring telentang saja selama hidupku. Aku takut para
juru rawat akan memberiku keyakinan yang berlebihan. "Sudahlah, mengapa bertanya
begitu 1 Kami tak pernah membiarkan pasienpasien kami berbicara begitu!"
Jadi aku tak bertanya dan ternyata sikapku itu memang tepat. Aku tidak akan ?menjadi lumpuh dan tak berdaya. Aku bisa menggerakkan kakiku, bisa berdiri di
atas kakiku sendiri" dan akhirnya bisa berjalan beberapa langkah dan kalaupun
?aku memang merasa seperti anak bayi yang pemberani, yang sedang belajar
melangkah dengan lutut yang gemetaran dan mengenakan sepatu yang solnya berlapis
kapas yah, itu hanya suatu kelemahan dan karena sudah lama kakiku tak
?digunakan. Tak lama lagi perasaan seperti itu akan hilang.
Marcus Kent, seorang dokter yang hebat sekali, menjawab pertanyaan-pertanyaan
yang tidak kuta"nyakan.
"Kau akan pulih sama sekali," katanya. "Baru hari Selasa yang lalu kami mendapat
kepastiannya, yaitu waktu kami mengadakan pemeriksaan menyeluruh yang terakhir
itu. Sekarang aku sudah berhak mengatakannya padamu. Tapi ini membutuhkan
?waktu. Y3, lama, dan boleh kukatakan, akan membosankan. Dalam penyembuhan saraf-
saraf dan otot-otot, tubuh harus mendapat bantuan dari otak. Bila kau tak sabar,
atau merasa kesal, keadaanmu akan memburuk lagi. Kau boleh berbuat apa saja,
kecuali 'memaksa dirimu untuk sembuh*. Usaha yang sekecil-kecilnya ke arah itu
akan membawamu ke sebuah rumah peristirahatan. Kau harus menjalani hidup ini
dengan lambat dan santai, dengan tempo Legato, yang dalam istilah musik berarti
perlahanlahan. Bukan hanya tubuhmu yang harus pulih, tapi saraf-sarafmu pun sudah melemah
karena kau sudah minum obat sekian lamanya.
Sebab itu kukatakan lagi, pergilah ke desa, cari sebuah rumah, arahkan minatmu
pada politik setempat, pada skandal-skandal setempat, pada gunjingan-gunjingan
desa. Berikan perhatian yang besar pada tetangga-tetanggamu. Kalau boleh aku
menyarankan, pergilah ke bagian dunia di mana tak ada sahabat atau kenalanmu di
sana.** Aku mengangguk. "Aku pun sudah mempertimbangkan hal itu," kataku.
Tak ada yang lebih menyebalkan daripada sahabat-sahabat kita sendiri yang
berdatangan untuk memberikan simpati, tetapi juga mengemukakan urusan-urusan
mereka sendiri. Yang berkata um"pamanya,
"Aduh, Jerry, kau kelihatan sehat sekali. Sungguh! Sayang aku harus menceritakan
padamu. Tahukah kau apa yang telah dilakukan si Buster?"
Tidak, aku tak suka itu. Seekor anjing lebih baik. Binatang itu akan meringkuk
ke suatu sudut yang sunyi dan menjilati lukanya diam-diam, tak mau ribut-ribut
sebelum benarbenar pulih.
Maka aku dan Joanna pun memilih rumah yang bernama Little Furze, di Lymstock,
setelah secara sembarangan memilihnya di antara tempat-tempat di seluruh
Kepulauan Inggris, yang ditawarkan dan dipuji oleh makelar-makelar rumah.
Tempatku kami pilih sebagai salah satu yang patut dikunjungi, terutama karena
kami belum pernah pergi ke Lymstock, dan kami tak mengenal seorang pun di situ.
Dan waktu Joanna melihat Little Furze, dia memutuskan bahwa itulah rumah yang
kami cari. Little Furze terletak kira-kira setengah mil di luar Lymstock, di jalan yang
menuju ke padang tandus. Rumah itu sederhana, rendah, dan bercat putih, dengan sebuah teras landai
bergaya Victoria yang dicat hijau pucat. Dari sana terbentang pemandangan indah
ke lereng bukit yang ditumbuhi rumput, sedang ke arah bawah, di sebelah kirinya,
tampak menara gereja Lymstock.
Little Furze adalah milik suatu keluarga yang terdiri dari wanitawanita yang tak
menikah, yaitu Nona-nona Barton. Di antara mereka itu tinggal seorang yang masih
hidup, yaitu yang bungsu, Nona Emily.
Nona Emily Barton adalah seorang wanita tua mungil yang menarik. Penampilannya
serasi sekali dengan keadaan rumahnya. Dengan suara halus yang mengandung rasa
penyesalan dijelaskannya pada Joanna bahwa dia belum pernah menyewakan rumahnya,
dan sebenarnya tidak akan pernah mau. "Tapi sekarang banyak sekali perubahan
kan, Nak pajak, umpamanya.?Lagi pula simpanan dan saham-saham saya, yang saya anggap pasti aman seperti
dikatakan sendiri oleh direktur bank itu, ternyata satria sekali tidak
memberikan hasil akhir-akhir ini
?akibat perdagangan asing tentu! Semuanya nampaknya jadi sulit. Kita sebenarnya
tidak menyukai gagasan untuk menyewakan rumah kita pada orangorang yang tidak
kita kenal (Anda tentu mengerti maksud saya dan tidak merasa tersinggung, Nak.
Anda kelihatannya baik sekali) tapi saya harus berbuat sesuatu. Dan
?sesungguhnya, begitu melihat Anda, saya senang membayangkan Anda akan tinggal di
sini rumah ini memang memerlukan semangat muda.
?Dan harus saya akui, saya memang agak ngeri membayangkan akan ada laki-laki di
sini!" Pada saat itu Joanna harus menceritakan tentang kehadiranku. Tetapi Nona Emily
dapat menerima pemberitahuan itu dengan baik.
"Oh, saya mengerti. Menyedihkan sekali! Kecelakaan
pesawat terbang, ya" Berani benar orangr
orang muda sekarang. Tapi kakak Anda bdleh
dikatakan menjadi orang cacat...." ,
Bayangan keadaanku kelihatannya menenangkan wanita kecil yang lembut itu.
Agaknya aku tak boleh melakukan kegiatan-kegiatan laki-laki pada umum"nya, yang
ditakuti Emily Barton. Dengan agak malu-malu dia bertanya apakah aku merokok.
"Banyak sekali," kata Joanna. "Tapi," tambahnya lagi, "saya sendiri juga
merokok." "Ya, tentu, tentu. Bodoh benar saya. Maklumlah, saya kurang mengikuti zaman.
Semua saudara perempuan saya lebih tua dari saya, dan ibu saya hidup mencapai
usia sembilan puluh tujuh tahun bayangkan! dan beliau sangat hehjit. Ya, ya, ? ?setiap orang memang merokok sekarang ini. Hanya saja, di rumah ini tak ada asbak
barang sebuah pun." Joanna berkata bahwa kami akari membawa banyak asbak, lalu ditambahkannya sambil
terse"nyum, "Kami tidak akan membuang puntung-puntung rokok pada perabot Anda
yang bagus-bagus ini, saya berjanji. Saya sendiri pun akan marah kalau melihat
orang lain berbuat begitu."
Maka putuslah pembicaraan dan kami menyewa Little Fui-ze untuk enam bulan,
dengan kemungkinan penambahan tiga bulan lagi. Nona Emily Barton menceritakan
pada Joanna bahwa dia sendiri sudah mendapat tempat yang nyaman. Dia akan
tinggal di sebuah pondokan milik bekas pelayan mereka, *si Florence yang setia',
"yang menikah setelah bekerja pada kami selama lima betas tahun. Dia wanita yang
menarik, suaminya berusaha dalam bidang jual-beli rumah.
Mereka punya sebuah rumah yang me"nyenangkan di High Street, dengan dua buah
kamar yang bagus di lantai atas, di mana saya pasti akan merasa nyaman sekait.
Dan Florence senang sekari saya mau tinggal bersamanya.'*
jadi semua pihak merasa senang, dan perjanjian pun ditandatangani. Pada waktu
yang sudah ditentukan, aku dan Joanna tiba di sana. Selanjutnya kami hidup
dengan tenang. Apalagi karena pelayan Nona Emily Barton, Partridge, bersedia
tetap bekerja, maka kami pun mendapat pelayanan yang baik. Dia dibantu oleh
seorang pembantu lagi yang datang setiap pagi. Gadis itu kelihatannya kurang
berakal, tetapi baik hati.
Partridge adalah seorang wanita setengah baya yang kurus, ^ersikap tegas, dan
amat pintar memasak. Dia1 tak senang orang makan malam-malam (karena Nona Emily
punya kebiasaan makan malam yang ringan, hanya sebutir telur rebus), namun dia
mau menyesuaikan diri dengan kebiasaan kami dan dia menekankan bahwa kesehatanku
memang perlu ditingkatkan.
Setelah kami hidup dengan tenang selama seminggu di Little Furze, Nona Emily
Barton datang berkunjung secara resmi dan meninggalkan karm nama. Kedatangannya
itu ditiru dan disusul oleh Nyonya Symmington, istri pengacara, Nona Griffith,
adik dokter, Nyonya Dane Calthropj istri pendeta setempat, dan Tuan Pye dari
Prior's End. Joanna sangat terkesan. "Aku tak menyangka," katanya dengan suara kurang percaya, "bahwa orangorang
datang ber"kunjung dan memberikan kartu namanya."
?"Adikku, itu disebabkan karena kau tak tahu apa-apa tentang pedesaan/* kataku.
"Omong kosong. Aku sudah sering menghabiskan akhir pekanku di rumah orangorang
di pedesaan." "Itu sama sekali tak sama/' kataku.
Aku lima tahun lebih tua daripada Joanna. Aku ingat, waktu masih kecil kami
pernah menginap di sebuah rumah besar bercat putih yang agak bobrok dan tak rapi
dikelilingi padang rumput yang berbatasan dengan sebuah sungai. Aku ingat, aku
suka menyelinap di bawah jalinan batang-batang raspberry,'* agar tak kelihatan
oleh tukang kebun. Dan aku ingat bau abu putih di halaman kandang kuda.dan
bagaimana seekor kucing berwarna Jingga menyeberangi abu putih itu, lalu bunyi
tapal sepatu kuda yang menendang-nendang sesuatu di dalam kandang.
Tapi waktu aku berumur tujuh tahun dan Joanna dua tahun* kami pindah ke London
dan tinggal bersama seorang bibi. Sejak itu hari-hari libur Natal dan Paskah
kami habiskan di sana dengan menonton pertunjukan-pertunjukan pantomim,
sandiwara, bioskop, dan berpesiar ke Taman Kensington naik perahu, atau ke
tempat orang main ice-skating.A* Dalam bulan Agustus kami diajak menginap di
sebuah hotel di suatu tempat di tepi taut.
Mengenang semua itu kembali, aku merasa menyesal dan menyadari betapa egoisnya
aku. Aku telah menjadi orang cacat yang memusatkan segala sesuatu hanya pada
diriku sendiri saja. Maka dengan penuh kesadaran aku berkata,
"Kurasa hal ini akan merupakan kejutan bagimu. Kau akan merasa kehilangan
sesuatu." Joanna tertawa dan berkata bahwa dia baikbaik saja.
"Aku bahkan senang bisa pergi meninggalkan itu semua. Aku sudah bosan dengan
mereka, dan meskipun kau tidak menunjukkan pengertianmu, aku benarbenar patah
hati gara-gara Paul. Kurasa lama baru aku akan bisa melupakannya."
Aku kurang percaya akan katakatanya itu. Kisah-kisah cinta Joanna selalu begitu.
Dia selalu tergila-gila pada anak muda yang sama sekali tak punya potongan dan
yang disangkanya seorang jenius. Didengarkannya semua keluhan yang tak
berkesudahan dari laki-laki itu, dan dia berusaha keras supaya anak muda itu
menjadi terpandang. Lalu, bila anak muda itu tak tahu berterima kasih, dia
merasa sangat terpukul dan mengatakan bahwa dia patah hati sampai muncul ?seorang pemcyia lain yang murung. Hal itu biasanya terjadi dalam jangka waktu
tiga minggu! Jadi keadaan patah hati Joanna iui tidak kuanggap serius. Tapi aku melihat bahwa
hidup di pedesaan merupakan suatu permainan baru bagi adikku yang menarik itu.
"Pokoknya," katanya, "aku kelihatan baikbaik saja, kan?"
Kuperhatikan dia dengan cermat dan aku tak bisa membenarkannya.
Joanna mengenakan pakaian bergaya sportif buatan Mirotin, yaitu rok bermotif
kotak-kotak besar yang meriah. Rok itu ketat sekali. Di atasnya dia memakai blus
lengan pendek dengan gaya Tirol dari bahan jersey. Kaus kakinya panjang dari
sutra halus, dan sepatunya terbuat dari kulit kasar yang sama sekali baru dan
belum bercacat. "Tidak," kataku, "kau sama sekali tak cocok di sini. Kau seharusnya mengenakan
rok usang dari wol, lebih baik lagi kalau warnanya hijau kusam atau cokelat
pucat. Sebagai padanannya, seharusnya kaupakai jumper dari kain kashmir yang
manis motifnya dilengkapi dengan jas dari wol. Topinya topi laken, lalu kaus
kaki tebal dan sepatu tua. Kalau sudah begitu, barulah kau serasi dengan suasana
High Street di Lymstock, dan tidak terkucil seperti sekarang ini."
Kutambahkan lagi, "Rias wajahmu pun tak cocok."
"Apanya yang tak cocok" Aku memakai Country Tan Make-up No. 2."
"Justru itu," kataku. "Kalau tinggal di Lymstock, kau cukup memakai bedak
sedikit, supaya hidungmu tidak berkilat. Boleh juga seulas lipstik, tipis-
tipis jangan tebal-tebal dan alis majtamu sebaiknya dibiarkan tumbuh bebas, ? ?jangan hanya seperempat begitu."
Joanna tertawa tertahan, dia kelihatan geli sekali. "Kaupikir orangorang di sini
menganggapku jelek, ya?" katanya.
'Tidak!" kataku. "Hanya aneh,"
Joanna melihat-lihat kartu-kartu yang diberikan oleh orangorang yang telah
mengunjungi kami. Hanya istri pendeta yang beruntung, atau tidak beruntung, karena telah berhasil
bertemu dengan Joanna di rumah.
"Rasanya seperti dalam kisah Keluarga Bahagia saja, ya?" gumam Joanna. "Nyonya
Legal, istri pengacara, Nona Dose, putri dokter, dan sebagainya." Lahi
ditambahkannya dengan bersemangat, "Aku benarbenar merasa bahwa ini adalah
tempat yang menyenangkan, Jerry!
Begitu manis, lucu, dan kuno. Kita tidak akan bisa membayangkan sesuatu yang tak
beres terjadi di sini, ya?"
Dan meskipun aku tak tahu bahwa apa yang dikatakannya itu omong kosong belaka,
aku sependapat dengan dia. Di suatu tempat seperti Lymstock tidak akan ada suatu
kejadian keji. Rasanya aneh sekali kalau diingat bahwa hanya seminggu kemudian kami menerima
surat yang pertama. Aku menyadari bahwa aku telah mulai dengan satu kesalahan. Aku tidak memberikan
gambaran tentang Lymstock, dan tanpa pengertian tentang apa dan bagaimana
Lymstock itu, tidaklah mungkin bisa memahami ceritaku.


Pena Beracun The Moving Finger Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pertama-tama, Lymstock adalah sebuah kota kecil yang berakar di masa lampau.
Kira-kira di Zaman Penaklukan Normandia, Lymstock merupakan tempat yang penting.
Pentingnya terutama dalam bidang kerohanian. Waktu itu Lymstock memiliki sebuah
biara, dan di situ selama bertahun-tahun berkuasa kepala-kepala biara yang
ambisius. Para bangsawan di daerah-daerah sekitarnya yang ingin bertobat
menyerahkan sebagian tanah mereka pada biara itu. Biara Lymstock bertambah kaya
dan penting aru'nya dan merupakan suatu kekuatan besar di negeri ini selama
berabad-abad. Tetapi, pada suatu saat, Henry VIII menghancurkan biara itu.
Nasibnya sama dengan biara-biara lain di zaman itu. Sejak itu sebuah puri
menguasai kehidupan di kota itu. Puri itu masih tetap megah. Penghuninya
memiliki hak-hak istimewa, kebebasan, dan kekayaan.
Kemudian dalam tahun seribu tujuh ratus sekian, arus kemajuan mendesak Lymstock
ke masa kemunduran. Puri tak punya arti lagi. Tak ada jalan kereta api atau
jalan raya yang lewat dekat Lymstock. Kota itu menjadi tak lebih dari sebuah
kota pasar yang tak penting dan dilupakan, dengan sebidang tanah kosong
bersemak-semak merentang luas di belakangnya, dan tanah-tanah pertanian serta
pa-dang-padang rumput yang tenang mengelilinginya.
Seminggu sekali adalah hari pasar. Pada hari itu kita akan berpapasan dengan
binatang-binatang ternak di jalan-jalan desa maupun di jalan raya. Dua kali
setahun ada pesta balapan kuda yang diikuti oleh kuda-kuda paling tak terkenal.
Di kota itu ada sebuah jalan raya yang menarik bernama High Street. Di kanan-
kirinya berderet rumah-rumah yang megah dengan halaman depan yang luas. Rumah
itu kelihatannya tak sepadan dengan jendela-jendela di lantai dasarnya, yang
menjajakan roti-roti manis, sayuran, atau buah-buahan. Di jalan itu terdapat
toko-toko kain, toko besi yang besar dan megah, sebuah kantor pos yang tampak
angkuh, serta sederetan toko kelontong yang tak rapi, dua buah toko daging yang
bersaing, dan sebuah toko serba ada yang bersifat internasional. Kota itu punya
seorang dokter, sebuah kantor pengacara bernama Messrs.
Galbraith, Galbraith dan Symmington, sebuah gereja besar yang cantik yang
dibangun kira-kira pada tabun 1420, dengan peninggalan-peninggalan dari Zaman
Saxon tersimpan di dalamnya, sebuah sekolah baru yang menyeramkan, dan dua buah
pub* Begitulah Lymstock, dan atas anjuran Emily Barton, maka orangorang yang
terkemuka di tempat itu telah berdatangan mengunjungi kami, dan setelah itu
Joanna, yang telah membeli sepasang sarung tangan dan mengenakan sebuah baret
dari beludru yang tak cocok untuk dipakai, mulai membalas kunjungan-kunjungan
itu. Bagi kami, itu semua baru dan menyenangkan. Kami di sana tidak untuk selamanya.
Bagi kami, itu hanya suatu selingan. Aku bersiap-siap untuk mematuhi instruksi-
instruksi dokterku dan mulai menaruh perhatian pada para tetanggaku.
Aku dan Joanna menganggapnya amat me"nyenangkan.
Aku juga ingat instruksi Marcus Kent untuk menikmati skandal-skandal setempat.
Tentu saja aku tidak menduga bagaimana aku bisa terlibat dalam skandal-skandal
itu. Anehnya, waktu surat itu tiba, kami bahkan merasa geli.
Aku ingat, surat itu tiba waktu kami sedang sarapan. Surat itu kubalik dengan
santai, seperti sikap orang yang punya banyak waktu, yang mengamat-amati setiap
hal sampai ke detil-detilnya.
Kulihat alamat pengirimnya dari Lymstock saja dan ditulis dengan mesin tik.
*rumah minum Surat itu kubuka lebih dulu dari kedua pucuk surat yang berstempel pos London,
karena kulihat bahwa yang satu adalah surat tagihan dan yang sebuah lagi dari
seorang saudara sepupu yang membosankan.
Surat itu tersusun dari rangkaian huruf-huruf cetak yang digunting dari sebuah
buku dan ditempelkan pada selembar kertas. Beberapa menit lamanya aku menatap
katakata itu tanpa memahaminya. Lalu napasku tersekat.
Joanna, yang sedang memandangi selembar surat tagihan dengan alis yang bertaut,
mengangkat mukanya. "Hei!" katanya, "apa itu" Kau kelihatan terkejut sekali."
Surat itu menggunakan katakata kasar yang tidak senonoh dan menyatakan bahwa aku
dan Joanna sebenarnya tidak bersaudara.
"Ini surat kaleng yang paling kotor," kataku.
Aku masih shock. Soalnya orang takkan menyangka bahwa hal semacam itu bisa
terjadi di daerah terpencil yang tenang seperti Lymstock ini.
Joanna langsung memperlihatkan perhatian yang besar.
"Apa itu} Apa isinya?"
Dalam novel-novel yang kubaca, biasanya suratsurat kaleng yang bersifat kotor
dan menjijikkan kalau bisa tak usah diperlihatkan pada kaum wanita. Sudah
menjadi kebiasaan bahwa bagaimanapun juga kaum wanita harus dilindungi dari
'shock yang mungkin akan merusak susunan saraf mereka yang halus.
Tetapi sayang tak pernah terkilas di hatiku untuk tidak memperlihatkannya pada
Joanna. Surat itu segera kuserahkan padanya.
Dia menguatkan keyakinanku akan ketegarannya, karena dia sama sekali tidak
menunjukkan emosi apa-apa, kecuali kelihatan geli.
"Bukan main kotornya! Aku sering mendengar tentang surat kaleng, tapi aku belum
pernah melihatnya. Apakah surat kaleng selalu seperti ini?"
"Aku pun tak tahu," kataku. "Ini merupakan pengalamanku yang pertama juga."
Joanna lalu terkikik. "Mungkin kau benar mengenai make-up-ku, Jerry. Kurasa mereka menyangka aku ini
perempuan yang tersia-sia?"Yang tercantum di situ sesuai dengan kenyataan. Ayah kita adalah seorang pria
jangkung berambut hitam dan berahang lebar, sedang ibu kita adalah seorang
wanita mungil berambut pirang dan bermata biru. Lalu aku serupa dengan Ayah,
sedang kau mirip Ibu."
Joanna mengangguk sambil merenung.
"Ya, kita memang sama sekali tak mirip. Tak seorang pun akan menyangka bahwa
kita kakakadik." "Yang jelas, seseorang tidak menyangka begitu," kataku tak senang.
Joanna berkata bahwa dia menganggap hal itu benarbenar lucu.
Dia memegang sudut surat itu lalu diayun-ayunkannya, kemudian ditanyakannya akan
diapa-kan surat itu. "Menurutku, cara yang paling tepat adalah melemparkannya ke dalam api sambil
berteriak dengan jijik," kataku.
Aku melakukannya sesuai dengan kata-kataku, dan Joanna menyoraki perbuatanku
itu. "Kau melakukannya dengan baik sekali," katanya. "Kau seharusnya menjadi seorang
pemain sandiwara. Untung kita punya perapian, ya?"
"Keranjang sampah kurang memberikan kesan dramatis," kataku membenarkan. "Aku
tentu bisa saja membakarnya dengan korek api dan mengamati"nya terbakar habis
perlahanlahan." "Apa yang ingin kita bakar biasanya justru tak mau dibakar," kata Joanna.
"Apinya akan padam. Mungkin kau terpaksa menyalakan korek ^pi berulang kali."
Dia bangkit lalu berjalan ke arah jendela. Dan, sambil berdiri di situ, tiba-
tiba dia memalingkan kepalanya.
"Aku ingin tahu," katanya, "siapa yang menu"lisnya?"
"Kita tidak akan pernah tahu," kataku.
"Memang kurasa tidak." Dia diam sebentar, lalu berkata lagi, "Aku tak tahu ?entah kapan aku mulai beranggapan bahwa ini hanya lelucon saja. Tahukah kau,
kurasa mereka mereka di sini suka pada kita."
? ?"Memang mereka suka," kataku. "Ini hanya salah seorang yang miring otaknya yang
tinggal di batas kota."
"Kurasa juga begitu. Uh menjijikkan!"
?Setelah sarapan dia keluar mencari sinar matahari, dan aku mengisap rokokku
sambil merenung. Kupikir Joanna benar. Surat itu memang menjijik"kan. Ada orang yang tidak
menyukai kedatangan kami kemari ada orang yang sangat membenci kecantikan
?Joanna yang muda, yang cerah dan canggih ada seorang yang ingin menyakiti.
?Me"nanggapinya dengan tertawa mungkin adalah cara yang terbaik tapi jauh di
?balik itu, surat tersebut sebenarnya tak lucu....
Pagi itu Dokter Griffith datang. Aku telah membicarakan dengannya agar dia
memeriksaku sekali seminggu. Aku suka pada Owen Griffith, Rambut dan matanya
berwarna hitam. Dia pria canggung dan agak kaku, namun tangannya halus dan
cekatan. Cara bicaranya terputus-putus dan dia agak pemalu.
Dilaporkannya bahwa kemajuan kesehatanku menggembirakan. Lalu ditambahkannya,
"Anda sendiri juga merasa baikbaik saja, bukan" Apakah cuma khayalan saya, atau
memang Anda kurang senang pagi ini?"
"Tidak juga," kataku. "Sepucuk surat yang luar biasa kejinya tiba bersama-sama
dengan kopi untuk sarapan. Surat itu meninggalkan rasa tak enak di Dokter
Griffith meletakkan tasnya di lantai. Wajahnya yang gelap kelihatan berapi-api.
"Apakah maksud Anda, bahwa Anda juga telah menerima surat semacam itu?"
Aku jadi tertarik. "Kalau begitu suratsurat semacam itu sudah banyak beredar?"
"Ya. Sejak beberapa waktu yang lalu."
"Oh," kataku. "Saya mengerti. Saya tadinya mendapat kesan bahwa kehadiran kami
di sini sebagai orangorang yang tak dikenal tidak disukai."
"Tidak, tidak, sauna sekali tak ada hubungannya dengan itu. Itu hanya..." dia diam
sebentar, lalu bertanya, "apa isinya" Sekurang-kurangnva..." wajahnya tiba-tiba
menjadi merah dan dia kelihatan malu "mungkin saya tak pantas bertanya?"
?"Saya mau saja menceritakannya dengan segaia senang hati," kataku. "Surat itu
hanya menyatakan bahwa perempuan yang saya bawa serta kemari bukan adik
saya saudara tiri pun bukan. Dan boleh saya katakan bahwa itu adalah isapan
?jempol belaka." Wajahnya yang gelap menjadi merah karena marah.
"Terkutuk sekali! Adik Anda itu tidak saya harap dia tidak menjadi kacau?"
?"Joanna tetap kelihatan seperti bidadari yang biasa dipajang di puncak pohon
Natal," kataku, "soalnya dia berpikiran sangat modern dan berwatak tegar. Surat
itu dianggapnya lelucon yang menarik. Hal serupa itu belum pernah dialaminya."
"Saya rasa ini bukan lelucon," kata Griffith panas.
'Tapi bagaimanapun juga," kataku tegas. "Saya rasa itu merupakan cara terbaik
untuk menanggapi"nya. Kita anggap saja sebagai sesuatu yang sama sekali tak
masuk akal." "Ya," kata Gwen Griffith. "Hanya..."
"Benar," kataku. "Kata yang tepat adalah hanya!?"Sulitnya," katanya, "hal-hal seperti ini, kalau sudah mulai, akan berkembang
terus." "Saya rasa begitulah."
"Sama seperti sifat penyakit."
Aku mengangguk. "Apakah Anda punya gagasan, siapa yang ada di balik ini semua?"
tanyaku. 'Tidak, dan saya ingin sekali tahu. Penyakit surat kaleng timbul karena salah
satu dari dua sebab. Mungkin bersifat khusus diarahkan pada satu orang tertentu atau sekumpulan
?orang, itu berarti si pengirim punya motif, dan dia benarbenar punya rasa dendam
(atau diduga demikianlah yang sebenarnya), lalu dia memilih cara yang luar biasa
kotor dan rendahnya untuk melampiaskan dendam"nya. Perbuatan itu memang rendah
dan menjijikkan, tapi bukan suatu perbuatan gila, dan mudah saja melacak siapa
penulisnya mungkin seorang pelayan yang dipecat, atau seorang wanita yang
?cemburu dan sebagainya. Tapi bila itu bersifat umum, dan tidak khusus, maka
?persoalannya lebih serius. Suratsurat itu dikirim tanpa pandang bulu dan
tujuannya untuk menyalurkan frustrasi si penulis. Lalu sebagaimana saya katakan,
sifatnya benarbenar seperti penyakit. Dan kegilaan itu makin menjadi-jadi.
Tentulah akhirnya nanti kita bisa mengetahui siapa penulisnya biasanya
?seseorang yang sama sekali tidak kita duga, yah begitulah. Tahun lalu terjadi
ledakan peristiwa semacam ini di bagian lain daerah ini ternyata penulisnya
?adalah kepala bagian penjualan topi wanita di sebuah toko kain yang besar.
Seorang wanita pendiam, berbudi halus yang sudah bekerja di toko itu selama
?bertahun-tahun. Saya ingat sesuatu yang serupa dengan kejadian ini di tempat
saya praktek sebelumnya di daerah utara tapi yang terakhir itu ternyata semata-
?mata hanya pelampiasan dendam pribadi saja. Namun, seperti saya katakan tadi,
saya sudah biasa melihat kejadian seperti ini, dan terus terang saja, saya
merasa ngeri!" "Apakah hal itu berlangsung lama?" tanyaku.
"Saya rasa tidak. Tapi tentu sulit mengatakannya dengan pasti, karena orangorang
yang menerima suratsurat itu tidak akan mau mengatakannya pada orang banyak.
Palingpalingmereka membakarnya."
Dia diam sebentar. "Saya sendiri juga menerimanya. Symmington, Pak Pengacara, juga menerimanya. Dan
satu dua orang pasien saya yang agak miskin telah mencerita"kan pada saya
tentang suratsurat itu."
"Apakah semuanya sama saja?"
"Oh, ya. Selalu menyinggung soal-soal seks. Itu selalu merupakan soal yang
menarik." Dia tertawa kecil. "Symmington dituduh punya hubungan gelap dengan
pegawai wanitanya Nona Ginch yang malang, yang sudah berumur sekurang-kurangnya
?empat puluh tahun, memakai kaca mata tanpa gagang, dan giginya seperti gigi
kelinci. Symmington langsung membawa surat itu ke polisi. Suratsurat yang saya
terima menuduh saya telah melanggar kode etik jabatan dengan berbuat tidak
senonoh terhadap pasienpasien wanita. Surat itu sangat terperinci. Sebenarnya
kekanak-kanakan dan tak masuk akal, tapi sangat beracun." Wajahnya berubah
menjadi sangat bersungguhsungguh. "Tapi bagaimanapun juga, saya ngeri. Soalnya
hal-hal seperti itu bisa berbahaya."
"Saya rasa memang berbahaya.
"Soalnya," katanya, "meskipun kasar dan bersifat kekanak-kanakan, cepat atau
lambat salah satu surat itu akan mengenai sasarannya. Dan kemudian, hanya Tuhan
yang tahu apa yang akan terjadi! Saya juga takut memikirkan akibatnya terhadap
orang yang otaknya lamban, penuh curiga, dan tidak berpendi"dikan. Bila mereka
melihat sesuatu yang tertulis, mereka percaya bahwa memang itu yang benar. Lalu
timbullah bermacam-macam kerumitan."
"Surat itu seperti surat orang yang berpendidikan rendah," kataku sambil
merenung, "saya rasa surat itu memang ditulis oleh seseorang yang rendah
pendidikannya." "Begitukah pendapat Anda?" kata Owen, lalu dia pulang.
Kemudian bila kuingat kembali hal-hal itu, aku merasa bahwa katakatanya yang
terakhir itu agak mengganggu.
BAB DUA l AKU tak mau berpura-pura bahwa surat kaleng itu tidak meninggalkan bekas yang
tak enak pada diriku, namun hal itu cepat ku lu pakan. Soalnya saat itu aku
tidak terlalu serius menanggapinya.
Aku ingat, aku berkata pada diriku sendiri bahwa hal-hal semacam itu memang
serin g terjadi di desa-desa yang terpencil. Seorang wanita histeris yang punya
kecenderungan untuk mendramatisasi dirinya mungkin merupakan tokoh yang
melatarbelakangi ini semua.
Bagaimana"pun juga, bila suratsurat itu sama kekanak-kanakan dan joroknya dengan
surat yang kami terima, maka suratsurat itu tak mungkin berbahaya.
Peristiwa berikutnya terjadi kira-kira seminggu kemudian. Dengan bibir terkatup
rapat. Partridge memberitahukan padaku bahwa Beatrice, pelayan harian kami,
tidak akan datang hari itu.
"Saya dengar, Tuan," kata Partridge, "bahwa gadis itu sedang dalam keadaan
kacau," Aku tak tahu benar apa yang ingin dikatakan Partridge, tapi aku menduga (secara
salah) bahwa dia menderita semacam sakit perut, yang karena kehalusan
perasaannya, Partridge tak mau mengata"kannya lebih jelas. Kukatakan bahwa aku
merasa kasihan dan berharap agar dia lekas sembuh.
"Gadis itu sama sekali tidak sakit, Tuan," kata Partridge. "Yang kacau adalah
perasaannya." ^Oh," kataku agak ragu.
"Gara-gara sepucuk surat yang diterimanya," sambung Partridge, "yang saya dengar
telah menuduhnya yang bukan-bukan."
Tajamnya pandangan mata Partridge, ditambah dengan tekanan yang jelas-jelas
diberikannya pada kata tuduhan, membuatku sadar bahwa tuduhan itu berhubungan
dengan diriku. Aku sendiri tak pernah memperhatikan gadis itu, hingga bila
bertemu dengannya di kota aku tak akan mengenalinya oleh karenanya wajarlah ?kalau aku merasa jengkel. Orang cacat yang tertatihtatih pada dua tongkat
penopang rasanya tak pantas dibavangkan sebagai seorang pengganggu gadis-gadis
desa. Dengan jengkel aku berkata,
"Omong kosong!"
"Itu pula yang saya katakan pada ibu gadis itu Tuan," kata Partridge. "
'Perbuatan-perbuatan yang tak senonoh dalam rumah ini,' kata saya padanya, 'tak
pernah dan tidak akan pernah terjadi selama saya masih bertugas. Mengenai
Beatrice,1 kata saya lagi, 'gadis-gadis zaman sekarang ini lain, dan mengenai
perbuatan-perbuatannya di tempat lain saya tak bisa berkata apa-apa.' Tapi
sebenarnya, Tuan, teman kencan Beatrice yang bekerja di bengkel itu juga
menerima sepucuk surat, dan tindakannya sama sekali tidak bijaksana."


Pena Beracun The Moving Finger Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Belum pernah aku mendengar hal yang lebih mustahil daripada ini selama
hidupku," kataku marah.
"Menurut saya, Tuan," kata Partridge, seoantnya gadis itu memang berhenti saja
dari sini. Saya rasa dia takkan mempedulikan isi surat itu bila memang tak ada
sesuatu yang ingin disembunyikannya. Saya selalu berkata, tak ada asap tanpa
api." Aku tak menyangka betapa akan seringnya aku mendengar ungkapan itu sampai aku
merasa muak. Pagi itu aku ingin bertualang, aku akan berjalan ke desa. (Aku dan Joanna selalu
menyebutnya desa, meskipun sebenarnya kami salah, dan Lymstock akan marah
mendengar kami menyebutnya begitu.)
Matahari bersinar cerah, udara sejuk, dan menebarkan wangi musim semi yang
manis. Kuambil tongkat penopangku talu berangkat, setelah dengan tegas melarang
Joanna untuk menemaniku. "Tidak," kataku, "aku tak ingin ada bidadari pelindung mendampingiku sambil
mengucapkan katakata untuk membesarkan hati. Ingat laki-laki lebih cepat
berjalan bila dia seorang diri.
Banyak yang harus kuurus. Aku akan pergi ke kantor Galbraith, Galbraith dan
Symmington, untuk menandatangani transfer saham-saham, aku akan pergi ke toko
roti untuk menyampaikan keluhan tentang roti kismis itu, dan aku akan
mengembalikan buku yang kita pinjam. Aku juga harus pergi ke bank. Biarkan aku
pergi, hai perempuan, waktunya terlalu singkat."
Telah kami atur bahwa Joanna akan menjemputku dengan mobil dan akan membawaku
pulang mendaki bukit menjelang waktu makan siang.
"Itu berarti bahwa kau akan punya cukup waktu untuk berhandai-handai dengan
semua orang di Lymstock."
"Aku yakin," kataku, "bahwa aku akan bertemu dengan siapa saja selama aku di
sana." Karena suasana pagi hari di 1 ligh Street merupakan semacam pertemuan bagi
orangorang yang berbe"lanja, tempat mereka saling mempertukarkan berita.
Rupanya aku tidak berjalan ke kota tanpa teman seperjalanan. Baru saja aku
berjalan kira-kira dua ratus delapan puluh meter, aku mendengar bunyi lonceng
sepeda di belakangku, yang disusul oleh bunyi derit rem, dan kemudian Megan
Hunter boleh dikatakan jatuh dari sepedanya menimpa kakiku.
"Halo," katanya terengah sambil menepis-nepis-kan debu dari badannya.
Boleh dikatakan aku suka pada Megan dan selalu ada rasa kasihan yang aneh
terhadapnya. Dia adalah anak tiri Symmington, pengacara itu. Putri Nyonya Symmington dari
pernikahannya vang pertama. Tak seorang pun pernah berbicara tentang Tuan (atau
Kapten) Hunter, dan kudengar orang itu memang sebaiknya dilupakan saja. Menurut
cerita orang, dia telah memperlakukan Nyonya Symming"ton secara kasar. Akibatnya
wanita itu minta cerai setelah menikah setahun atau dua tahun dengannya. Dia
seorang wanita yang cukup kaya, miliknya sendiri. Sejak bercerai dia hidup
tenang bersama putrinya yang masih kecil di Lymstock 'untuk melupakan'. Akhirnya
dia menikah dengan satusatunya bujangan di tempat ini, Richard Symming"ton. Dari
pernikahan yang kedua itu lahir dua orang anak laki-laki yang amat disayangi
kedua orang tuanya. Kubayangkan, mungkin Megan kadang"kadang merasa terkucil di
rumah itu. Dia sama sekali tidak mirip ibunya. Ibunya adalah seorang wanita
mungil yang menderita anemia, yang kecantikannya mulai pudar, dan yang dengan
suara sedih menceritakan tentang pelayan-pelayan yang rewel dan bertingkah atau
kesehatannya yang buruk. Megan adalah seorang gadis jangkung yang canggung, dan meskipun sebenarnya
umurnya sudah dua puluh, dia masih seperti anak sekolah berumur enam belas
tahun. Rambutnya yang lebat dan acak-acakan berwarna cokelat, matanya berwarna
hijau kenari, mukanya kurus dan tulangtulangnya menonjol. Bila tersenyum sudut
mulutnya naik sebelah. Anehnya, justru manis.
Pakaiannya sembara'ngan dan tak menarik. Biasanya dia memakai kaus^ kaki katun
yang berlubang-lubang. Pikirku, pagi ini dia lebih mirip seekor kuda daripada manusia. Sebenarnya dia
bisa menjadi seekor kuda yang bagus bila dipelihara sedikit saja.
Sebagaimana biasa, bicaranya cepat dan terengah-engah.
"Saya baru kembali dari peternakan itu, peter"nakan Lasher untuk melihat ? ?apakah mereka punya telur itik. Mereka punya babi-babi kecil banyak sekali.
Hebat! Anda suka babi" Saya suka.
Saya bahkan suka baunya."
"Babi yang dipelihara baikbaik tidak akan berbau," kataku.
"Begitukah" Di sekitar sini semuanya berbau. Apakah Anda akan ke kota" Saya
melihat Anda seorang diri, maka saya pikir sebaiknya saya berhenti dan berjalan
bersama Anda, tapi says berhenti terlalu mendadak tadi."
"Kaus kakimu sampai robek," kataku.
Megan melihat ke kaki kanannya dengan agak menyesal.
"Oh, ya, benar. Tapi memang sudah ada dua lubangnya, jadi tak apalah."
"Tak pernahkah kau menisik kaus kakimu, Megan?"
"Kadangkadang. Bila ketahuan Ibu robeknya. Tapi dia tidak terlalu memperhatikan
apa yang saya kerjakan jadi ada juga untungnya, bukan ?"
?"Kelihatannya kau tidak sadar bahwa kau sudah dewasa," kataku.
"Maksud Anda, saya harus seperti adik Anda itu" Yang bersolek hebat itu?"
Aku tak suka dia berkata begitu tentang Joanna.
"Dia kelihatan bersih, rapi, dan enak dipandang mata," kataku.
"Dia memang sangat cantik," kata Megan. "Sedikit pun tidak serupa -dengan Anda,
ya" Mengapa tidak?"
"Kakak-beradik tidak selamanya serupa."
"Ya, tentu tidak. Saya sama sekali tak serupa dengan Brian atau Colin. Brian dan
Colin pun tidak serupa pula." Dia berhenti sebentar, lalu berkata, "Aneh, ya?"
"Apanya yang aneh?"
"Statu keluarga," sahut Megan singkat.
"Kurasa memang aneh," kataku sambil merenung.
Ingin aku tahu apa yang terlintas dalam pikiran"nya. Beberapa saat lamanya kami
berjalan terus, masing-masing diam, kemudian Megan berkata malu-malu, "Anda
seorang pilot, ya?" "Ya." "Waktu terbang itukah Anda cedera?"
"Ya, pesawatku jatuh." Megan berkata,
"Di sini tak ada pilot seorang pun
"Ya," kataku. "Kurasa memang tak ada. Inginkah kau terbang, Megan?"
"Saya?" Megan tampak heran. "Waduh, tidak. Saya pasti akan mabuk. Dalam kereta
api saja pun saya sudah mabuk."
Dia diam sebentar, lalu bertanya terus terang seperti anak kecil, "Apakah Anda
masih bisa sembuh dan terbang lagi, atau apakah Anda akan selalu pincang
begitu?" "Dokter yang merawatku berkata bahwa aku bisa sembuh dan pulih seperti semula."
"Ya, tapi apakah dia bukan orang yang suka berbohong?"
"Kurasa tidak," sahutku. "Soalnya aku sendir' pun merasa yakin. Aku percaya
padanya." "Kalau begitu baguslah. Tapi banyak sekali orang yang berbohong."
Kenyataan yang tak dapat dibantah itu kuterima dengan berdiam diri.
Dengan nada menghakimi, tanpa prasangka apa apa, Megan berkata, "Saya merasa
senang. Semula saya merasa takut, Anda kelihatannya pemarah, karena Anda akan
menjadi pincang seumur hidup tapi kalau memang demikian pembawaan Anda, lain ?halnya."
"Aku tidak pemarah," kataku dengan nada dingin.
"Yah, mudah menjadi jengkel, kalau begitu."
"Aku mudah menjadi jengkel karena aku tak sabaran ingin cepat sembuh
kembali padahal penyakit begini tak bisa tergesa-gesa."
?"Jadi mengapa ribut?"
Aku jadi tertawa dibuatnya. "Wah, apakah kau sendiri tak pernah merasa ingin
sesuatu cepatcepat terjadi?"
Megan mempertimbangkan pertanyaanku itu. Lalu katanya, "Tidak. Untuk apa saya
harus terburu-buru" Tak ada yang membuat saya merasa terburu-buru.
Tak pernah ada sesuatu yang terjadi."
Aku terkesan oleh suatu nada putus asa dalam katakatanya itu. Dengan halus aku
berkata, "Apa kerjamu di tempat ini?"
Dia mengangkat bahunya. "Apa gunanya terburu-buru?"
"Apakah kau tak punya hobi, umpamanya" Apakah kau pandai memainkan permainan
tertentu" Apakah kau punya teman di sekitar sini?"
"Saya tak bisa main apa-apa. Dan saya memanglak begitu suka. Di sekitar tempat
ini tak banyak gadis, dan yang ada saya tak suka. Mereka pikir saya ini jahat
sekali." "Omong kosong. Mengapa mereka harus berpikir begitu ?"
Megan menggeleng. "Apakah kau sama sekali tidak bersekolah?" "Tidak, saya baru kembali setahun
yang lalu." "Sukakah kau bersekolah?" "Saya tidak terlalu tolok Tapi mereka mengajar dengan
cara amat bodoh." "Bagaimana maksudmu?"
"Yah, hanya sepotong-sepotong dan sebagian-sebagian. Dipotong-potong dan
berganti-ganti dari satu hal ke hal yang lain. Sekolah itu sekolah murahan,
guru-gurunya pun tak bermutu. Mereka tak pernah bisa menjawab pertanyaan dengan
sempurna." "Sedikit sekali guru yang bisa," kataku.
"Mengapa begitu" Mereka seharusnya bisa."
Aku sependapat. "Saya memang bodoh sekali," kata Megan. "Dan saya pikir banyak sekali hal yang
tak beres. Sejarah, umpamanya. Pelajaran itu jadi berbeda bila dipelajari dari buku yang
lain!" "Itu artinya kau punya perhatian yang sungguhsungguh," kataku.
"Lalu tata bahasa," lanjut Megan, "Dan karangan yang anehaneh itu. Omong kosong
semua yang telah ditulis oleh Shelley, dia ngoceh terus mengenai burung skylark^
sedang Wordsworth tergila-gila benar pada bunga daffodil. Lalu Shakespeare,"
"Apa yang salah dengan Shakespeare?" tanyaku penuh perhatian.
"Dta suka berbelit-belit, mengatakan sesuatu dengan cara yang demikian sulitnya,
hingga sukar kita memahami apa maksudnya. Meskipun demiki"an, ada beberapa karya
Shakespeare yang saya sukai."
"Aku yakin, dia akan merasa berterima kasih jika mendengar hal itu," kataku.
Megan tidak menduga adanya sindiran dalam kau-kataku itu. Dengan wajah berseri
dia berkata, "Saya suka hasil karyanya yang berjudul Goneril dan Regan,
umpamanya." ,TMengapa yang dua itu?"
"Ah, entahlah. Pokoknya yang dua itu memuas"kan. Menurut Anda, mengapa mereka
seperti itu?" ' "sejenis burung yang pandai menyanyi?"Seperti apa?"
"Ya, seperti mereka iiu. Maksud saya, pasti ada sesuatu yang membuat mereka jadi
begitu, bukan?" Untuk pertama kalinya aku bertanya-tanya. Selama ini aku menganggap kedua orang
putri Lear itu sebagai dua makhluk tolol, dan aku tak pernah memikirkannya lebih
jauh lagi. Tapi pertanyaan Megan mengenai apa yang menyebabkan mereka jadi
begitu menimbulkan minatku.
"Akan kupikirkan hal itu," kataku.
"Ah, sebenarnya tak apa-apa. Saya hanva ingin tahu. Bagaimanapun juga, itu hanya
sastra Inggris, bukan?"
"Benar, benar. Tak adakah mata pelajaran tertentu yang kausukai?"
"Hanya matematika." "Matematika?" tanyaku agak terkejut, Wajah Megan berseri.
"Sava suka sekali matematika. Tapi mata pelajaran itu tidak diajarkan dengan
baik. Saya ingin diajar matematika dengan cara yang bermutu. Tentu akan sangat
menyenangkan. Saya rasa memang ada sesuatu yang menyenangkan mengenai angka-
angka, bukan?" "Aku tak pernah merasakannya," sahutku jujur.
Kini kami memasuki High Street. Megan berkata dengan tajam, "Itu Nona Griffith.
Perempuan yang patut dibenci."
"Apakah kau tak suka padanva?"
"Saya benci sekali padanya. Dia selalu mendesak saya untuk menggabungkan diri
pada Perkumpulan Pramukanya yang brengsek itu. Sava benci kepra"mukaan. Untuk
apa mengenakan pakaian seragam dan pergi beramai-ramai ke mana-mana" Lalu
memberi diri sendiri tanda-tanda kecakapan atau penghargaan untuk sesuatu yang
sebenarnya tak pernah benarbenar dipelajari.
Saya rasa mereka semua konyol."
Secara umum, aku sependapat dengan Megan. Tetapi Nona Griffith sudah tiba di
dekat kami sebelum aku sempat mengucapkan kesepakatanku.
Adik dokter, Nona Aimee Griffith nama yang sama sekali tak sesuai dengan
?orangnya ?mempunyai rasa percaya diri yang besar, yang sama sekali tidak dimiliki oleh
kakaknya. Dia seorang wanita yang tegar, tampan, dan berpenampilan seperti laki-
laki. Suaranya besar dan dalam.
"Halo, kalian berdua," katanya dengan suara keras. "Pagi yang cerah, bukan"
Megan, kaulah yang ingin kutemui. Aku memerlukan bantuanmu untuk menuliskan
alamat . pada amplopamplop untuk pertemuan Persatuan Konservatif."
Megan menggumamkan sesuatu untuk mengelak, disandarkannya sepedanya di trotoar
lalu dengan sengaja cepatcepat masuk ke Toko Internasional.
"Agak aneh," kata Nona Griffith sambil meman"danginya dari belakang, "Malas luar
biasa. Dia menghabiskan waktunya dengan berangan-angan saja. Dia pasti merupakan
beban yang berat bagi Nyonya Symmington yang malang itu. Saya tahu ibunya telah
lebih dari sekali menyuruhnya melaku"kan sesuatu belajar mengetik steno, ?umpamanya, atau masak-memasak, atau memelihara kelinci Anggora. Yang dia
butuhkan adalah minat terhadap kehidupan."
Kupikir itu mungkin benar, tapi aku merasa bahwa seandainya aku ini Megan, aku
pun akan menentang dengan keras semua anjuran Airnec Griffith. Sifatnya yang
suka memaksa itu menguatkan hatiku untuk melawannya.
"Saya tak pernah membenarkan pengangguran," lanjut Nona Griffith. "Apalagi kalau
menyangkut anakanak muda. Bukan karena Megan itu cantik atau menarik atau yang
lainnya. Kadangkadang saya pikir anak itu kurang waras. Dia sangat mengecewa"kan ibunya.
Tahukah Anda, ayahnya itu," dia agak merendahkan suaranya, "orang yang
benarbenar tak beres. Kami takut anak itu mewarisi sifat jelek ayahnya. Sungguh,
ini menyakitkan bagi ibunya. Ah, ya, dunia ini memang berisi segala jenis
manusia." "Untungnya begitu," sahutku. Aimee Griffith tertawa geli. "Ya, tentu aneh sekali
bila kita semua dibuat dengan satu pola. Tapi saya tak suka melihat seseorang
tidak mendapat apa yang sebenarnya bisa diperolehnya. Saya sendiri menikmati
hidup ini, dan saya ingin semua orang menikmatinya juga. Orang berkata pada
saya, kau tentu bosan setengah mati tinggal di desa itu sepanjang tahun. Sama
sekali tidak, kata saya. Saya selalu sibuk, dan selalu senang! Selalu ada
kesibukan di desa ini. Waktu saya terisi dengan kegiatan kepramukaan, yayasan-
yayasan, dan bebe"rapa panitia belum lagi mengurus Owen."
?Pada saat itu, Nona Griffith melihat seorang kenalan lain di seberang jalan, dan
sambil memekik"kan nama kenalannva itu dia melompat me"nyeberangi jalan. Dengan
demikian aku bebas untuk melanjutkan perjalananku ke bank.
Aku selalu menganggap Nona Griffith agak membisingkan, meskipun aku mengagumi
energi dan vitalitasnya. Dan kita merasa senang melihat betapa dia merasa puas
dengan hidupnya. Memang hal itu selalu diperlihatkannya. Berlawanan benar dengan bisik-bisik dan
keluh-kesah kaum wanita pada umumnya.
Urusanku di bank berlangsung memuaskan. Dari sana langsung ke kantor Messrs.
Galbraith, Galbraith dan Symmington. Aku tak tahu, apakah masih ada anggota
serikat itu yang bernama Galbraith. Aku belum pernah melihatnya. Aku
dipersilakan masuk, terus ke belakang, ke kantor Richard Symmington. Ruangan di
sini nampak tua, sesuai dengan umur perusahaan yang telah lama berdiri sebagai
suatu perusahaan yang sah.
Banyak sekali kotak-kotak berisi suratsurat berharga, yang ditempeli nama Lady
Hope, Sir Everard Carr. William Yatesby-Hoares, Esq. Ada yang berlabel 'Sudah
meninggal', dan sebagainya. Semua itu memberi kesan bahwa keluargakeluarga
terkemuka di daerah itu sejak lama percaya dan mengakui bonafiditas perusahaan
itu. Sambil memperhatikan Tuan Symmington yang sedang menunduk mempelajari
dokumendokumen yang kubawa, aku berkesimpulan bahwa kalau Nyonya Symmington
telah mengalami bencana dalam pernikahannya yang pertama, maka dia telah
mendapat kedamaian dalam pernikahannya yang kedua ini. Richard Symmington adalah
orang yang berpembawaan tenang dan patut dihormati. Dia adalah tipe pria yang
tidak akan pernah membiarkan istrinya merasa kuatir. Lehernya jenjang dengan
jakun yang besar sekali, wajahnya kurus memanjang dan hidungnya panjang serta
runcing. Dia pasti seorang pria yang baik hati, seorang suami dan ayah yang
baik. Tapi dia bukanlah pria yang bisa membuat hati wanita berdebar bila


Pena Beracun The Moving Finger Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melihatnya. Kemudian Tuan Symmington mulai berbicara. Bicaranya perlahan dan jelas,
menunjukkan bahwa dia adalah orang yang berakal sehat dan bijaksana. Dengan
cepat kami menyelesaikan urusan kami lalu aku beranjak pergi sambil berkata,
"Saya berjalan menuruni bukit bersama putri tiri Anda tadi,"
Sesaat kelihatan seolaholah Tuan Symmington tak tahu siapa putri tirinya, lalu
dia tersenyum. "Oh, ya, Megan tentu. Dia eh sudah beberapa lama kembali dari sekolah. Kami ? ?sedang memikirkan untuk mencarikan sesuatu yang bisa dikerjakannya ya, sesuatu
?untuk dikerjakan. Meskipun dia masih muda sekali. Kata orang dia agak terbelakang dibanding dengan
umurnya. Ya, begitu kata orang."
Aku keluar. Di kantor bagian luar ada seorang laki-laki tua renta duduk di
bangku tinggi sedang menulis dengan lambat dan rajjn, seorang anak laki-laki
yang kurang sopan, serta seorang wanita setengah baya berambut keriting dan
berkaca mata tanpa gagang yang sedang mengetik dengan cepat dan lancar.
Bila wanita itu Nona Ginch, maka aku sependapat dengan Owen Griffith bahwa
hubungan mesra antara dia dan majikannya sama sekali tak masuk akal.
Kemudian aku pergi ke toko roti dan mengeluar"kan isi hatiku mengenai roti
kismis. Katakataku itu disambut dengan pernyataan terkejut dan tak percaya
sesuai dengan suasananya, dan kepadaku lalu diberikan sebuah roti kismis baru
sebagai gantinya 'fresh from the oven this minute'^ hal mana tak bisa *baru
? ?keluar dari oven dibantah, karena waktu roti itu diberikan padaku, aku bisa
merasakan panasnya di dadaku.
Aku keluar dari toko itu lalu melihat ke kiri dan ke kanan dengan harapan dapat
melihat Joanna dengan mobilnya. Perjalanan tadi sangat melelahkan dan rasanya
sulit untuk berjalan dengan tongkat penopang sambil membawa roti kismis.
Tapi Joanna belum kelihatan.
Tiba-tiba mataku tertarik pada sesuatu yang sangat luar biasa dan mengejutkan.
Seorang dewi seolaholah sedang meluncur ke arahku di trotoar itu. Tak ada
katakata lain yang lebih pantas daripada itu.
Raut wajahnya sempurna, rambutnya ikal berwar"na keemasan, tubuhnya langsing dan
menawan! Jalannya benarbenar bagai seorang dewi, tak ada kesan dibuat-buat. Dia
seakanakan sedang mengapung, makin lama makin dekat. Dia seorang gadis yang luar
biasa, tak bercacat, dan mempesona!
Dalam kegugupanku yang luar biasa itu sesuatu telah jatuh. Ternyata roti kismis
yang jatuh. Roti itu terlepas dari genggamanku. Aku membungkuk akan
mengambilnya, dan tongkat penopangku ikut-ikutan jatuh, tergeletak di atas
trotoar. Sedang aku sendiri tergelincir dan hampir jatuh.
Tangan dewi yang kuat itu menangkapku dan aku dipegangnya. Aku pun lalu
tergagap, "T... terima kasih banyak, m... ma... maafkan saya."
Dia memungut roti kismis itu lalu diulurkannya padaku bersama dengan tongkatku.
Kemudian dia tersenyum ramah padaku dan berkata dengan ceria,
'Terima kasih kembali. Sama sekali tak apa-apa, yakinlah." Pada saat itu
lenyaplah sama sekali pesonanya, gara-gara suaranya yang datar dan kaku.
Dia jadi tak lebih dari seorang gadis manis yang sehat, yang kebetulan
berpenampilan menarik. Aku jadi berpikir-pikir, apa jadinya kalau dewa-dewa memberikan nada bicara yang
sedatar itu pada Helen of Troy. Aneh benar! Seorang gadis bisa membuat seseorang
begitu kacau selama dia menutup mulutnya, dan begitu dia mulai bicara daya
pesonanya lenyap, seolaholah tak pernah ada.
Tapi aku pernah melihat kejadian yang sebaliknya. Aku tahu seorang wanita mungil
yang wajahnya seperti monyet dan tidak akan ada seorang pun mau menoleh
kepadanya untuk kedua kalinya, tapi begitu dia membuka mulutnya, tiba-tiba
muncul dan berkembanglah daya tariknya, seolaholah Cleopatra yang hidup kembali
dan melontarkan pesonanya.
Joanna telah berhenti di tepl-ialan, di sampingku, tanpa kuketahui kapan dia
tiba. Dia bertanya kalau-kalau ada yang tak beres.
"Ah, tidak," sahutku, dan aku bersikap biasa lagi. "Aku sedang berpikir tentang
Helen of Troy dan yang lain-lain."
"Aneh sekali tempat yang kaupilih untuk memikirkan hal itu," kata Joanna. "Kau
kelihatan aneh sekali, berdiri sambil mendekap roti kismis dan mulutmu ternganga
begitu lebar." "Aku terkejut sekali," kataku. "Aku seolaholah dibawa ke Ilium lalu dikembalikan
lagi." "Tahukah kau siapa orang itu?" tambahku, sambil menunjuk ke punggung seseorang
yang sedang meluncur menjauh dengan anggunnya.
Sambil memperhatikan gadis itu dari belakang, Joanna mengatakan bahwa itu adalah
guru pengasuh anakanak keluarga Symmington.
"Itukah yang menyebabkan kau sampai seperti disambar petir begitu?" tanyanya.
"Dia memang cantik, tapi dia terlalu percaya diri."
"Aku tahu," kataku. "Dia hanya seorang gadis manis biasa. Padahal semula
kusangka dia itu Dewi Aphrodite."
Joanna membukakan pintu mobil dan aku masuk.
"Aneh, ya?" katanya. "Ada orang yang parasnya cantik sekali, tapi sama sekali
tak punya daya pesona. Gadis itu begitulah. Sayang, ya?"
Kukatakan bahwa bila dia memang seorang guru pengasuh anakanak, mungkin lebih
baik demikian"lah keadaannya.
BAB TIGA i PETANG itu kami pergi minum teh ke rumah Tuan Pye.
Tuan Pye adalah seorang pria kecil yang gemuk dan agak feminin. Dia begitu
menyayangi kursikursinya yang kecil-kecil,.patung-patung mungil dari Dresden
yang berbentuk gembala wanita, dan koleksi barangbarang tetek-bengek lainnya.
Dia tinggal di Prior's Lodge yang dikelilingi oleh reruntuhan bekas biara.
Prior's Lodge benarbenar sebuah rumah molek, dan dengan rawatan Tuan Pye yang
penuh kasih sayang rumah itu nampak semakin cantik. Setiap perabot rumah
dibersihkan dan disikat baikbaik, masing-masing dipajang di tempat yang tepat
dan paling sesuai. Kain-kain tirai dan bantalbantal kursinya berwarna-warni
dalam nada yang manis menawan, serta terbuat dari sutra yang mahal-mahal.
Rasanya ini bukan rumah seorang pria yang tinggal seorang diri. Bagiku serasa
tinggal di sebuah ruangan masa lalu di sebuah museum. Yang paling disukai Tuan
Pye adalah mengajak tamu-tam u n va berkeliling di rumahnya. Bahkan orangorang
yang sama sekali tak punya rasa seni pun tak bisa mengelak. Meskipun hati kita
beku dan cukup puas hidup dengan sebuah radio saja, sebuah bar tempat minum-
minum, sebuah kamar mandi, sebuah tempat tidur, dan sudah puas kalau kamar kita
dikelilingi dinding sekadarnya sekalipun, Tuan Pye tak pernah berputus asa untuk
membantu membangkitkan rasa seni kita.
Tangannya yang gemuk padat gemetar penuh perasaan bila dia menerangkan
koleksinya. Suaranya berubah tinggi melengking bila dia mengisahkan bagaimana sulit dan
berbahayanya membawa pulang tempat tidur Itali dari Verona.
Karena aku dan Joanna memang pecinta barangbarang antik dan perabot-perabot tua,
maka kami senang mendengar kisah-kisahnya.
"Adalah menyenangkan, sangat menyenangkan, bahwa dalam masyarakat kita yang
kecil ini ada orangorang seperti Anda berdua. Soalnya, orang baikbaik di sini
sangat rendah seleranya?kalau tak boleh dikatakan kampungan. Mereka tak tahu apa-apa. Mereka itu
orangorang kasar ?benarbenar kasari Dan rumah mereka aduh, saya bisa menangis melihatnya. Nona
?manis, sungguh Anda pun bisa menangis dibuatnya. Atau mungkinkah hal itu sudah
terjadi?" Joanna berkata bahwa dia belum mengalami sampai sejauh itu.
"Tapi Anda mengerti maksud saya, bukan" Me"reka itu mencampuradukkan
barangbarang seenak"nya saja! Saya pernah melihat dengan mata kepala saya
sendiri sebuah perabot kecil bergaya Sheraton halus, sempurna, benarbenar
?merupakan sesuatu yang dicari-cari seorang kolektor diletakkan berse"belahan
?dengan sebuah meja bergaya Victoria, bahkan ada yang menaruhnya di samping
lemari buku yang bisa berputar dari kayu oak yang diasapi ya, bahkan dengan
?itu kayu oak yang diasapi"
?Dia bergidik dan bergumam mengeluh,
?"Mengapa orangorang begitu buta" Anda tentu sependapat saya yakin Anda tentu
?sependapat dengan saya, bahwa keindahan adalah satusatunya yang pantas
dipelihara dalam hidup ini."
Terpukau oleh kesungguhan pria itu, Joanna hanya bisa menjawab, "Ya, ya, itu
benar." "Lalu mengapa," tanya Tuan Pye ingin tahu, "orangorang mengelilingi dirinya
dengan barangbarang yang jelek?"
Joanna berkata bahwa itu memang aneh.
"Aneh" Itu suatu kejahatan*. Begitulah saya menyebutnya suatu kejahatan! Dan
?alasan-alasan yang mereka berikan! Mereka katakan bahwa itu memberikan
kenyamanan. Atau bahwa itu lain dari yang lain. Lain dari yang laini Katakata
yang menjijikkan." "Rumah yang Anda sewa itu," lanjut Tuan Pye, "rumah Nona Emily Barton itu. Nah,
itu rumah yang molek, dan dia memiliki beberapa perabot yang memang bagus.
Benarbenar bagus. Satu atau dua di antaranya benarbenar barang kelas satu. Dan
dia juga punya selera yang baik?meskipun saya tidak begitu yakin akan hal itu. Kadangkadang saya rasa dia
menyimpannya sekadar untuk kenang-kenangan saja. Dia suka menyimpan barangbarang
tertentu tapi tanpa motif tertentu bukan karena keselarasan-nya melainkan
? ? ?karena ibunya dulu mengaturnya begitu."
Lalu dia mengalihkan perhatiannya kepadaku, dan suaranya berubah. Suara itu
berubah dari kelancaran bicara seorang seniman menjadi seorang penggunjing
sejati. "Apakah Anda tidak mengenal keluarga itu sebelumnya" Tidak" Oh, ya, hanya
melalui makelar^ makelar rumah saja. Tapi, Saudara-saudaraku, kalian seharusnya mengenal keluarga
itu! Waktu saya datang kemari ibu mereka masih hidup. Dia seorang wanita yang
aneh benarbenar aneh! ?Lebih tepat dikatakan monster, kalau Anda tahu maksud saya. Ya, monster! Monster
dari Zaman Victoria, yang melahap anaknya sendiri. Ya, memang begitulah.
Tubuhnya luar biasa, berat badannya mungkin mencapai seratus dua puluh kilogram,
dan kelima orang putrinya selalu mengelilinginya. 'Gadis-gadis itu!* Begitulah
dia selalu menyebut mereka. Gadis-gadis itu!
Padahal yang sulung sudah berumur lebih dari enam puluh tahun waktu itu.
Kadangkadang dia menyebut mereka 'Gadis-gadis tolol itu!' Mereka tak lebih dari
budak-budaknya, yang harus mengambil"kan atau membawakan sesuatu untuknya, dan
yang harus selalu membenarkan pendapatnya. Pukul sepuluh sudah harus tidur dan
tidak diperbolehkan menyalakan perapian di kamar tidur. Mereka sama sekali tak
boleh mengundang teman-teman ke rumah. Ibunya benci sekali pada mereka karena
mereka tak menikah, tapi hidup mereka diaturnya sedemikian hingga sama sekali
tak ada kesempatan untuk bertemu dengan seseorang. Saya rasa Emily, atau mungkin
Agnes, pernah punya hubungan intim dengan seorang pendeta pembantu. Tapi
keluarga pria itu tak cukup baik dan Mama langsung memutuskan hubungan ttuV
"Kedengarannya seperti cerita novel saja."
"Oh, ya, memang! Lalu wanita tua yang. mengerikan itu meninggal. Tapi waktu itu
tentulah sudah terlambat. Mereka tetap saja tinggal di situ dan berbicara
berbisik-bisik tentang apa yang sebenarnya diinginkan mama yang malang itu.
Bahkan menggan"ti kertas lapis dinding kamar tidurnya saja pun mereka anggap
sebagai suatu pelanggaran atas kesucian. Tapi sekarang mereka hidup tenang dalam
lingkungan gereja yang tenang.... Namun, tak seorang pun punya gairah hidup, lalu
mereka meninggal satu per satu. Edith meninggal karena influensa, Minnie
menjalani pembedahan dan tak pernah sembuh kembali, sedang Mabel yang malang
mendapat serangan jantung Emily merawat mereka dengan penuh kasih sayang.
?Wanita malang itu benarbenar kerjanya hanya merawat orang sakit selama sepuluh
tahun terakhir ini. Seorang wanita yang menarik, bukan" Tak ubahnya seperti
patung mungi! bergaya Dresden. Menyedihkan sekali karena dia harus mengalami
kesulitan keuangan gara-gara semua investasi yang menurun nilainya."
?"Kami pun merasa tak enak tinggal di rumahnya,"kata Joanna.
"Tidak, jangan, Nona manis. Anda tak boleh merasa begitu. Florence, bekas
pelayannya itu, sayang sekali padanya, dan dia sendiri mengatakan pada saya
betapa senangnya dia mendapat penyewa-penyewa sebaik Anda." Tuan Pye mengucapkan
katakata itu sambil membungkuk sedikit. "Dikata"kannya pada saya bahwa dia
merasa sangat beruntung."
"Rumah itu suasananya menyenangkan," kataku. Tuan Pye melemparkan pandang
sekilas kepadaku. "Benarkah begitu" Apakah Anda merasakannya"
Menarik sekali. Selama ini saya ingin tahu. Ya, saya bertanya-tanya,"
"Apa maksud Anda, Tuan Pye?" tanya Joanna.
Tuan Pye merentangkan tangannya yang gemuk padat.
"Tidak, tak apa-apa. Saya hanya ingin tahu saja. Soalnya saya benarbenar
mementingkan suasana, pikiran-pikiran dan perasaan-perasaan orang. Hal-hal itu
membekas di dinding dan di perabot rumah."
Aku diam saja beberapa saat. Kupandang sekeli"lingku sambit berpikir-pikir,
bagaimana aku harus melukiskan suasana di Prior's Lodge itu sendiri. Anehnya aku
merasa bahwa rumah itu tidak punya suasana! Benarbenar aneh dan mengesankan.
Demikian lamanya aku merenungkan hal itu hingga aku tidak mendengar apa-apa yang
diper"cakapkan Joanna dengan tuan rumahnya. Aku baru sadar waktu mendengar
Joanna mengucapkan katakata pendahuluan untuk minta diri. Aku terjaga dari
lamunanku lalu ikut minta diri.
Kami semua keluar ke lorong rumah. Waktu kami hampir tiba di pintu depan,
sepucuk surat meluncur melalui kotak pos dan jatuh ke karpet.
"Pos sore," gumam Tuan Pye, sambil memungut"nya. "Nah, Saudara-saudaraku, kalian
tentu akan datang lagi, bukan" Saya senang sekali bertemu dengan orangorang yang
punya pandangan tuas. Seseorang yang bisa menghargai seni. Sungguh, orang
baikbaik di sini, bila kita menyebutkan kata 'balet*, yang mereka bayangkan
hanyalah penari-penari yang berputarputar dengan jari kakinya, dan rok pendek
dari tulle* serta pria-pria tua yang menonton kisah Naughty Nineties dengan
teropong opera. Sungguh! Mereka itu ketinggalan lima puluh tahun begitulah ?pikir saya tentang mereka. Me"mang Inggris sebuah negara yang hebat.
Di sini ada daerah-daerah kantung. Lymstock adalah salah satu di antaranya.
Menarik bila ditinjau dari segi pandangan seorang kolektor saya selalu merasa
?bahwa saya telah menempatkan diri saya di bawah sebuah tudung kaca secara
sukarela waktu saya pertama kali datang kemari. Suatu daerah terpencil yang
tenang di mana tak pernah terjadi apa-apa."
Setelah dua kali bersalaman dengan kami, dibantunya aku dengan hati-hati sekali
masuk ke mobil. Joanna memegang kemudi, diperkirakannya dengan cermat jalan
melingkar yang mengelilingi halaman berumput yang tak bercacat, kemudian setelah
jalannya lurus, diangkatnya tangannya untuk melambai sebagai tanda berpisah
dengan tuan rumah kami yang sedang berdiri di tangga rumahnya. Aku mengulurkan
tubuhku ke luar untuk melakukan hal yang sama.
Tetapi lambaian kami tak berbalas. Tuan Pye sudah membuka suratnya.
Dia sedang berdiri mematung, matanya membela"lak ke arah surat yang dipegangnya.
Joanna pernah melukiskan pria itu sebagai bidadari kecil yang montok dan
berwajah merah jambu. Kini dia masih montok, tapi dia tidak menyerupai bidadari
kecil lagi. Wajahnya merah padam, dan tampak tegang karena marah dan terkejut.
Pada saat yang sama aku menyadari bahwa ada sesuatu yang kukenali pada amplop
yang dipegang"nya itu. Hal itu tidak kusadari sebelumnya itu memang salah satu
?hal yang kita lihat tanpa kita sadari bahwa kita mengenalinya.
"Astaga," kata Joanna. "Mengapa dia?" *?""Aku yakin," kataku, "itu gara-gara si
Tangan Dia berpaling kepadaku dengan terkejut hingga mobil kami terbelok.
"Hati-hati, Neng," kataku.
Joanna mengembalikan perhatiannya ke jalan. Alisnya berkerut.
"Maksudmu, surat seperti yang kauterima itu?"
"Itu dugaanku."
"Tempat apa ini?" kata Joanna. "Kelihatannya seperti wilayah Inggris yang paling
suci, terkantuk-kantuk, dan sama sekali tak berbahaya...."
"Dan seperti kata Tuan Pye tadi, tak pernah terjadi apa-apa," selaku. "Dia
memilih saat yang salah untuk mengucapkan katakata itu. Ternyata sesuatu telah
terjadi." "Tapi siapa yang menulis suratsurat itu, Jerry?" Aku mengangkat bahu.
"Bagaimana mungkin aku tahu, Adikku sayang" Kurasa seseorang yang kurang waras,
yang sekrup otaknya kurang beres."
'Tapi untuk apa" Nampaknya gila-gilaan benar."
"Kau harus membaca buku karangan Freud dan Jung kalau kau ingin mengerti. Atau
tanya pada Dokter Owen."
Joanna mendongakkan kepalanya.
"Dokter Owen tak suka padaku."
"Dia jarang bertemu denganmu."
"Rasanya sudah sering dia sengaja menyeberangi High Street untuk menghindariku."
"Reaksi yang tak wajar," kataku penuh simpati. "Dan kau belum terbiasa
dengannya." Joanna mengerutkan alisnya lagi.
"Memang tidak. Sekarang serius, Jerry. Mengapa orang menulis suratsurat kaleng?"


Pena Beracun The Moving Finger Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Seperti sudah kukatakan, ada sekrup otaknya yang tak beres. Kurasa hal itu
memberi kepuasan atas dorongan-dorongan tertentu. Bila seseorang diben"tak-
bentak terus, tak dipedulikan, frustrasi, atau hidupnya kosong dan membosankan,
maka dia akan merasakan suatu dorongan yang kuat untuk menikam orangorang yang
nampak bahagia dan menikmati hidupnya dengan cara yang licik."?Joanna bergidik. "Mengerikan!"
"Memang. Kurasa orangorang di daerah pedesaan begini cenderung untuk menikah
antarkeluarga akibatnya kita banyak melihat hal yang anehaneh."
?"Kurasa orangnya tak berpendidikan dan rendah pribadinya, ya" Orang yang
berpendidikan lebih baik..."
Joanna tidak menyelesaikan kalimatnya, dan aku pun tidak berkata apa-apa. Aku
tak pernah bisa menerima keyakinan yang begitu mudah, bahwa pendidikan merupakan
obat mujarab untuk segala macam penyakit.
Waktu kami menyeberangi kota sebelum mulai mendaki bukit, dengan penuh rasa
ingin tahu aku memperhatikan orangorang yang sedang berjalan di High Street, tak
banyak memang. Apakah salah seorang wanita desa yang tegap itu, yang lalu-lalang
sambil membawa rasa dendam dan benci di balik wajahnya yang tenang, atau kini
bahkan merencana"kan suatu tindakan pembalasan dendam"
Namun aku belum juga menganggap hal itu serius.
Dua hari kemudian kami pergi main bridge ke rumah keluarga Symmington.
Hari itu adalah hari Sabtu sore keluarga Symmington selalu mengadakan pertemuan?bridge-nya pada hari Sabtu, karena pada hari itu kantor tutup.
Ada dua buah meja. Sedang pemain-pemainnya adalah suami-istri Symmington, kami
berdua, Nona Griffith, Tuan Pye, Nona Barton, dan seorang kolonel yang bernama
Appleton, yang kami belum pernah bertemu dan yang tinggal di Cpmbeacre, sebuah
desa yang kira-kira tujuh mil jauhnya. Dia bertubuh besar, gagah, berumur kira-
kira enam puluh tahun, dan suka pada apa yang disebutnya 'suatu permainan yang
berani' (yang biasanya menyebabkan ia berhasil menang lebih banyak dari batas
yang sudah dikumpulkan oleh lawan-lawan"nya). Dia begitu tertarik pada Joanna
hingga sepanjang" petang itu matanya tak pernah lepas dari adikku.
Aku terpaksa mengakui bahwa adikku mungkin makhluk yang paling menarik yang
pernah muncul di Lymstock selama ini.
Waktu kami tiba, Elsie Holland, guru pengasuh anakanak itu, sedang mencari
beberapa buku tambahan untuk mencatat angka dalam sebuah laci meja tulis yang
penuh hiasan. Dia meluncur menyeberangi kamar sambil membawa buku-buku itu
dengan gaya bidadari seperti yang kulihat pertama kali, namun daya pesonanya
sudah tak ada lagi. Menjengkelkan sekali bahwa harus begitu keadaan"nya sia-sia saja potongan dan
?wajah yang begitu sempurna kecantikannya. Sekarang tampak jelas olehku gigi
putihnya yang luar biasa besarnya seperti batu nisan dan bagaimana gusinya
? ?kelihatan kalau dia tertawa. Sayangnya lagi, dia adalah seorang gadis yang
ceriwis. "Inikah dia, Nyonya Symmington" Bodoh sekali saya tak ingat di mana kita
menaruhnya setelah main terakhir kali dulu. Saya rasa itu kesalahan saya. Saya
sedang memegangnya, lalu Brian memanggil karena mobil-mobilannya macet, dan saya
berlari ke luar, lalu karena kebingungan saya meletakkannya begitu saja di
tempat yang tak masuk akal. Sekarang baru saya sadari, bukan ini yang benar,
yang benar agak kuning di ujung-ujungnya. Bolehkah saya katakan pada Agnes bahwa
teh harus dihidangkan pukul lima" Saya akan membawa anakanak pergi ke Long
Barrow supaya mereka tidak ribut di sini."
Seorang gadis manis yang cerdas. Aku menangkap pandangan Joanna. Dia tertawa.
Aku menatapnya dengan pandangan dingin. Joanna selalu tahu apa yang sedang
berkecamuk dalam otakku, brengsek dia!
Kami mulai main bridge. Aku segera tahu dengan tepat kepandaian main bridge setiap orang di Lymstock.
Nyonya Symming"ton adalah pemain bridge yang sangat pandai dan dia amat menyukai
permainan itu. Sebagaimana keba"nyakan wanita yang sama sekali tak cerdas, dia tak bodoh dalam
bermain dan punya ketajaman otak alami. Suaminya seorang pemain vang lumayan
baiknya, meskipun agak terlalu berhati-hati. Tuan Pye paling tepat kalau disebut
cemerlang. Dia punva kepandaian yang tak perlu diragukan dalam meng"adakan
bidding'- dengan mengganakan pengetahuan"nya akan psikologi. Karena pertemuan
itu adalah untuk menghormati kami, maka aku dan Joanna main dengan Nyonya
Symmington dan Tuan Pye. Merupakan tugas Symmington untuk menjernihkan suasana
dan bertindak bijaksana dalam mendamaikan ketiga pemain di mejanya.
Kolonel Applcton, seperti sudah kukatakan, ingin main dengan 'berani'. Nona
Barton jelas merupakan pemain yang terburuk yang pernah kujumpai dan dia selalu
merasa terlalu senang. Dia memang pandai menyesuaikan diri, tapi sama sekali tak mengerti akan kekuatan
kartu-kartu yang ada di tangannya. Dia tak pernah tahu tentang kedudukan angka,
berulang kali dikeluarkannya kartu yang salah dan ia sama sekali tak mengerti
cara menghitung kartu truf, malahan sering pula lupa apa kartu-kartunya.
Permainan Aimec Griffith bisa disimpulkan dari katakatanya sendiri. "Saya suka
main bridge dengan baik, tanpa omong kosong dan saya tak suka main dengan cara-?cara yang kotor. Saya bersungguhsungguh. Jangan sampai ada perasaan tak enak
sesudahnya! Soalnya, ini kan hanya permainan biasa!" Oleh karenanya jelas bahwa
tugas tuan rumah mereka tidaklah mudah.
Tetapi permainan berjalan cukup harmonis dengan kelalaian sekalisekali di pihak
Kolonel Appleton, karena dia asyik menatap Joanna di seberangnya.
Minuman disiapkan di ruang makan, di sebuah meja yang besar. Waktu kami hampir
selesai, dua orang anak laki-laki yang ribut dan tampak kepanasan masuk berlari-
lari. Mereka lalu diperkenalkan oleh Nyonya Symmington yang berseri-seri,
sebagaimana biasanya seorang ibu yang bangga, demikian pula ayah mereka.
Kemudian, pada saat kami selesai, pada piringku tampak bayang-bayang, dan aku
menoleh. Tampak Megan berdiri di ambang pintu. "Oh," kata ibunya. "Ini Megan." Suaranya
mengandung nada terkejut, seolaholah dia lupa bahwa Megan itu putrinya.
Gadis itu masuk lalu menyalami tamu-tamu. Kaku dan sama sekali tak luwes.
"Kurasa aku lupa menyiapkan teh untukmu, Sayang," kata Nyonya Symmington. "Nona
Hol"land dan adik-adikmu sudah membawa serta teh mereka waktu pergi tadi, jadi
tak ada acara minum teh di kamar bermain hari ini. Aku lupa bahwa kau tidak ikut
dengan mereka." Megan mengangguk,
"Tak apa-apa. Saya bisa minum di dapur."
Dia berjalan melenggang ke luar ruangan. Seperti biasanya, pakaiannya tak rapi
dan ada potongan kentang yang melekat di tumit sepatunya.
Sambil tertawa seolaholah minta maaf, loyonya Symmington berkata, "Kasihan
anakku Megan. Dia sedang dalam usia yang tak menguntungkan. Anak perempuan
memang pemalu dan kaku bila mereka meninggalkan sekolah sebelum mereka
benarbenar dewasa." Kulihat kepala Joanna yang berambut pirang itu terdongak ke belakang. Aku tahu itu adalah suatu isyarat perang.
"Tapi bukankah Megan sudah berumur dua puluh?" katanya.
"Oh, ya, benar. Tapi jalan pikirannya masih sangat muda dibandingkan dengan
umurnya. Dia masih kanak-kanak benar. Saya rasa menyenangkan sekali kalau
anakanak perempuan tidak terlalu cepat jadi dewasa." Dia tertawa lagi. "Saya
rasa semua ibu ingin agar anak-anaknya tetap menjadi bavi."
"Saya tak mengerti mengapa begitu," kata Joanna. "Soalnya akan tidak
menyenangkan bila orang punya anak yang mentalnya masih tetap seperti anak yang
berumur enam tahun padahal tubuhnya tumbuh terus."
"Ah, jangan menanggapinya dengan begitu harfiah, Nona Burton," kata Nyonva
Symmington. Aku menyadari bahwa pada saat itu aku merasa tak begitu suka pada Nyonya
Symmington. Kurasa kecantikan yang telah dipudarkan oleh penvakit anemia itu menyembunyikan
sifat egois yang serakah. Aku merasa lebih tak suka padanya waktu mendengar dia
berkata, "Kasihan anakku Megan. Saya rasa dia anak yang agak sulit. Saya sudah
mencoba untuk mencarikan sesuatu yang bisa dikerjakannya saya rasa ada beberapa?hal yang bisa dipelajari orang lewat kursus tertulis. Merancang pakaian dan
menjahitnya, umpamanya atau mungkin dia bisa mencoba belajar steno dan mengetik
?" Mata Joanna masih mengeluarkan pancaran merah. Setelah kami duduk lagi di meja
bridge, dia berkata, "SayA rasa sebentar lagi dia sudah pantas pergi menghadiri pesta-pesta. Apakah
Anda akan me"nyelenggarakan suatu pesta dansa untuknya?"
"Suatu pesta dansa?" Nyonya Symmington kelihatan terkejut dan geli. "Oh, tidak,
kami tidak melakukan yang begituan di sini."
"Oh, begitu, hanya main tenis atau semacamnya, barangkali, ya?"
"Lapangan tenis kami sudah bertahun-tahun tidak dipakai. Baik Richard maupun
saya tak pernah main tenis. Barangkali kelak, bila anakanak laki-laki kami sudah
besar ah, akan banyak yang .bisa dikerjakan Megan. Dia cukup senang mengerjakan
?pekerjaan-pekerjaan tetek-bengek di sini. Bagaimana, ya, apakah saya harus
mengeluarkan kartu" Dua, tak ada truf."
Di dalam mobil dalam perjalanan pulang, sambil enekan gas dengan geramnya bingga
mobil terlompat ke depan, Joanna berkata, "Aku kasihan sekali pada gadis itu."
"Megan?" "Ya. Ibunya tak suka padanya." "Ah, sudahlah, Joanna, soalnya tidak seburuk *
itu." "Oh, buruk. Banyak ibu yang membenci anak-anaknya. Kurasa memang tak mudah ada
Megan di rumah itu. Dia merusak pola pola hidup keluarga Symmington. Tanpa dia
?mereka sudah merupakan suatu kesatuan yang utuh dan bagi seseorang yang peka,
?itu suatu kenyataan yang tidak menyenangkan padahal gadis itu peka sekali.1"
?"Ya," kataku, "kurasa juga begitu."
Aku diam beberapa lamanya.
Tiba-tiba Joanna tertawa nakal.
"Kau bernasib buruk mengenai guru pengasuh anakanak itu."
Apa maksudmu?" kataku dengan sikap menjaga harga diri.
"Omongkosong. Kekecewaanmu sebagai laki-laki terbayang di wajahmu setiap kali
kau melihat kepadanya. Aku sependapat denganmu. Memang sia-sia saja."
"Aku tak tahu apa yang kaubicarakan ini."
"Meskipun demikian aku senang sekali. Itu tanda-tanda pertama tentang pulihnya
kehidupan"mu. Aku kuatir sekali melihat keadaanmu waktu di wisma perawatan dulu.
Menoleh pun kau tak pernah kepada juru rawat cantik yang merawatmu. Padahal dia
gadis yang menarik benarbenar rahmat Tuhan bagi seorang laki-laki yang sakit."?"Joanna, omonganmu itu kuanggap benarbenar rendah."
Adikku itu terus berbicara tanpa mempedulikan pernyataanku.
"Jadi aku merasa lega sekali melihat kau sudah mulai menaruh perhatian pada
makhluk yang mengenakan rok. Dia memang enak dipandang mata. Sayang daya
pesonanya sama sekali tak ada. Aneh juga ya, Jerry. Apa sebenarnya yang tak ada
pada beberapa wanita, tapi ada pada wanita lain" Mengapa ada wanita yang hanya
dengan mengatakan, 'Buruk benar cuaca hari ini,'
saja jadi begitu menarik hingga setiap laki-laki yang ada di dekatnya ingin
mendekatinya dan bercakapcakap terus tentang cuaca dengannya" Kurasa Tuhan
kadangkadang keliru menyampaikan kiriman. Ada wajah dan potongan yang secantik
Dewi Aphrodite dan punya temperamen yang demikian pula. Lalu ada sesuatu yang
tak beres dan temperamen Aphrodite itu dimiliki oleh seseorang yang berwajah
biasa saja, dan emua wanita pun lalu marah dan berkata, 'Aku tak mengerti apa
yang dilihat laki-laki pada dirinya. Dia tidak menarik sama sekali.' " "Sudah
selesaikah kau, Joanna?" "Sudah. Tapi kau sependapat, kan?" Aku tertawa kecil.
"Aku terpaksa mengakuinya." "Dan aku jadi tak bisa melihat siapa lagi yang cocok
bagimu di sini. Atau kau terpaksa menjatuh"kan pilihanmu pada Aimee Griffith."
"Amit-amit," kataku. "Dia cukup manis, tahu!" "Menurutku dia terlalu giat."
"Kelihatannya dia menikmati hidupnya," kata Joanna. "Dia terlalu bersemangat,
ya" Aku sama sekalitakkan heran kalau dia mandi air dingin setiap
pagi "Lalu kau, apa yang akan kaulakukan untuk dirimu sendiri?" tanyaku. "Aku?"
"Ya. Sepanjang pengenalanku atas dirimu, kau akan membutuhkan pelengah waktu
juga di sini." "Siapa yang murung" Selain daripada itu, kau lupa pada Paul." Joanna mendesah
tanpa keyakinan. "Aku tak lupa padanya selama kau belum melupakannya. Kira-kira sepuluh hari lagi
kau akan berkata, 'Paul" Paul yang mana" Aku tak pernah mengenal orang yang
bernama Paul.' " "Kaupikir aku ini suka berganti pacar, ya?" kata Joanna.
"Kalau orangnya adalah Paul, aku senang sekali dengan sifatmu itu."
"Kau memang tak pernah suka padanya. Padahal dia benarbenar seorang jenius."
'Mungkin, meskipun aku meragukannya. Pokok"nya, dari semua yang telah kudengar,
semua orang jenius biasanya tidak disukai. Yang jelas, kau tidak akan menjumpai
seorang jenius pun di tempat ini."
Joanna memikirkannya sebentar, sambil memi"ringkan kepalanya.
"Kurasa memang tak ada," katanya dengan rasa menyesal.
"Kalau begitu kau terpaksa menjatuhkan pilihan"mu pada Owen Griffith," kataku,
"Dialah satusatunya laki-laki yang tak terikat di tempat ini. Itu pun kalau kau
tidak memasukkan Pak Tua Kolonel Appleton ke dalam hitungan. Sepanjang petang
ini dia menatapmu seperti seekor anjing hutan yang kelaparan."
Joanna tertawa. "Begitukah dia" Memalukan sekali!" "Jangan berpura-pura. Kau tak pernah merasa
malu." Tanpa berkata apa-apa Joanna terus mengemudi"kan mobil melalui pintu pagar lalu
membelok ke garasi. Kemudian dia berkata, "Gagasanmu itu mungkin ada benarnya."
"Gagasan apa?" "Aku tak mengerti mengapa ada laki-laki yang harus menyeberang jalan dengan
sengaja untuk menghindari diriku," sahut Joanna. "Itu jelas kasar, kalau tak ada
alasan lain." "Aku mengerti," kataku. "Kau pasti akan mengejar laki-laki itu dengan darah
dingin." "Yah, aku tak suka dihindari."
Perlahanlahan dan dengan berhati-hati aku keluar dari mobil, lalu mengatur letak
tongkattongkatku. Kemudian aku menasihatinya,
"Dengarkan kata-kataku ini, Neng. Owen Grif"fith bukan salah seorang dan
seniman-seniman muda yang jinak itu. Kalau kau tidak berhati hati, kau akan
susah sendiri. Laki-laki itu bisa berbahaya."
"Oh, begitukah pikirmu?" kata Joanna yang tampak gembira memikirkan hal itu.
"Jangan ganggu laki-laki malang itu," kataku bersungguhsungguh.
"Berani benar dia menyeberangi jalan menghind ari ku kalau melihat aku
mendekat!" "Kalian kaum wanita sama saja semuanya. Suka sekali mengulang-ulangi soal yang
sama. Kalau aku tak salah, kau akan mendapat serangan dari adiknya, si Aimce."
"Dia memang benci padaku," kata Joanna. Dia berbicara sambil merenung, tapi
terbayang pula semacam kepuasan hati.
"Kita datang kemari untuk mencari kedamaian dan ketenangan," kataku
bersungguhsungguh, "danaku akan berusaha agar kita mendapatkannya."
Tapi ternyata kami sama sekali tidak mendapat kedamaian dan ketenangan itu.
BAB EMPAT i KIRA-KIRA seminggu kemudian, Partridge membe"ritahukan padaku bahwa bila aku mau
berbask hati, Bu Baker ingin berbicara denganku sebentar.
Nama Bu Baker tidak berarti apa-apa bagiku.
"Siapa Bu Baker itu?" tanyaku keheranan "Apakah dia tak bisa berbicara dengan ?Nona Joanna?"
Tapi ternyata dengan akulah orang itu ingin berbicara. Kemudian ternyata pula
bahwa Bu Baker adalah ibu Beatrice, bekas pelayan harian di rumah kami.
Aku sudah lupa pada Beatrice. Sudah dua minggu ini aku melihat seorang wanita
setengah baya yang berambut jarang dan sudah beruban. Biasanya aku melihatnya ,
sedang merangkak seperti kepiting, berpindah-pindah dan kamar mandi kc tangga
dan lorong-lorong rumah Dan aku berkesimpulan bahwa dia adalah pelayan harian
kami yang baru. Selanjutnya kesulitan tentang Beatrice telah lenyap dari
pikiranku. Aku tak bisa menolak begitu saja untuk menemui ibu Beatrice, terutama karena aku
tahu bahwa Joanna sedang keluar. Tapi harus kuakui bahwa aku agak gugup
menghadapinya. Aku berharap benar agar aku tidak dituduhnya mempermainkan cinta
Beatrice. Aku mengutuk perbuatan jahat si penulis surat kaleng. Sementara itu
kuperintahkan Partridge untuk membawa ibu Beatrice menghadapku.
Bu Baker adalah seorang wanita yang bertubuh besar dan tampak kuat serta
bicaranya cepat. Aku lega karena tidak kulihat adanya tanda-tanda kemarahan atau tuduhan.
"Saya harap, Tuan," katanya segera setelah pintu ditutup oleh Partridge, "Anda
mau memaafkan kelancangan saya telah datang menemui Anda. Tapi saya rasa, Tuan,
Andalah satusatunya orang yang pantas saya datangi, dan saya akan berterima
kasih sekali bila Anda bisa memberi tahu saya, apa yang harus saya perbuat dalam
keadaan seperti ini. Karena menurut saya, Tuan, harus diambil suatu tindakan,
dan saya orang yang tak suka berlama-lama menunda suatu tindakan.
Saya selalu berkata, tak ada gunanya berkeluh-kesah, sebaiknya 'bergerak dan
bertindak"lah*, seperti yang dikhotbahkan Pak Pendeta dua minggu yang lalu."
Aku merasa agak bingung dan merasa kehilangan inti pembicaraan itu.


Pena Beracun The Moving Finger Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tentu," kataku. "Silakan eh duduk, Bu Ba"ker. Tentu eh dengan senang hati
? ? ? ?saya membantu Anda sebisa saya...."
Aku berhenti dan menunggu.
"Terima kasih, Tuan." Bu Baker duduk di tepi sebuah kursi. "Anda baik sekali.
Dan saya senang telah datang pada Anda. Saya berkata pada Beatrice yang tak
henti-hentinya menangis di tempat tidur, Tuan Burton pasti tahu apa yang harus
kita lakukan, karena beliau seorang pria dari London. Dan sesuatu memang harus
dilakukan, apalagi anakanak muda begitu gampang panas dan tak mau mendengarkan
penjelasan, tak mau mendengarkan apa vang dikatakan seorang gadis. Pokoknya,
saya katakan pada Beatrice, kalau saya yang diperlakukan begitu, saya akan
membalasnya setimpal. Lagi pula bagaima"na dengan gadis yang di penggilingan
gandum itu?" Aku merasa makin bingung.
"Maaf," kataku. "Tapi saya tak mengerti. Apa yang sebenarnya telah terjadi?"
"Suratsurat itu, Tuan. Suratsurat jahat itu tak senonoh pula, menggunakan
?katakata yang tak senonoh. Bahkan lebih jahat daripada yang pernah saya lihat
dalam Injil," Setelah cukup lama melalui jalan simpang, aku berkata dengan putus asa, "Apakah
anak Anda menerima suratsurat lagi"'
"Bukan dia, Tuan. Dia hanya menerima satu. Yang satu itu menyebabkan dia
berhenti dari sini."
"Sama sekali tak ada alasan..." aku mulai berkata, tapi Bu Baker memotong kata-
kataku dengan tegas dan penuh hormat,
"Tak perlu memberi tahu saya, Tuan, bahwa semua yang tertulis itu adalah omongan
busuk. Bu Partridge mengatakannya pada saya dan saya sendiri pun memang sudah ?tahu. Anda bukan pria macam itu, Tuan, saya tahu betul, apalagi Anda cacat.
Benarbenar omong kosong jahat yang tak ada dasarnya sama sekali. Tapi saya
katakan pada Beatrice, sebaiknya dia berhenti saja, karena Anda pun tahu mulut
orang, Tuan. Orang selalu berkata, tak ada asap tanpa api. Dan seorang gadis
memang harus berhati-hati. Lagi pula gadis itu merasa malu setelah membaca apa
vang tertulis di surat itu, maka saya katakan pada Beatrice, 'Baguslah,' waktu
dia mengatakan bahwa dia tak mau kembali lagi kemari, meskipun kami berdua
menyesali keadaan yang tak menguntungkan itu, soalnya..."
Karena tak mampu menemukan katakata untuk menjelaskan maksudnya, Bu Baker
menarik napas panjang, lalu berkata lagi,
"Dan dengan demikian, saya berharap gunjingan akan berhenti. Tapi sekarang,
George, anak muda yang bekerja di bengkel dan yang pacaran dengan Beatrice,
menerima surat kaleng pula.
Surat itu menjelek-jelekkan Beatrice dengan katakata yang kotor. Katanya anak
kami itu ada main dengan si Tom, anak Fred Ledbetter-padahal saya tahu pasti, .
Tuan, Beatrice hanya bersopan-santun saja terhadap anak muda itu dan hanya
bergaul biasa saja,"
Pusing rasanya kepalaku mendengar munculnya nama Tom Ledbetter, rasanya makin
bertambah rumit saja soal ini.
"Coba saya uraikan masalahnya," aku menyela. "Pacar eh Beatrice menerima surat
? ?kaleng yang menuduh gadis itu ada main dengan anak muda lain?"
"Benar, Tuan, dan hal itu tidak dinyatakan dengan baikbaik si penulis
?menggunakan katakata yang mengerikan, dan itu membuat George naik pitam. Dia
lalu mendatangi Beatrice dan berkata bahwa dia takkan mau memaafkan Beatrice
yang telah berbuat tak senonoh, dan dia takkan membiarkan gadis itu ada main
dengan pemuda lain di balik punggung"nya Beatrice berkata bahwa semua itu
?bohong tapi George berkata, tak ada asap tanpa api, lalu pergi begitu saja
?dalam keadaan berang. Kasihan Beatrice, dia begitu sedih, maka saya katakan
sekarang juga saya akan menghadap Anda, Tuan."
Bu Baker berhenti dan melihat kepadaku dengan penuh harapan, seperti seekor
anjing yang menunggu upahnya setelah memainkan suatu nomor ketangkas"an dengan
gemilang, "Tapi mengapa datang pada saya"*' tanyaku.
"Saya dengar Anda juga telah menerima surat kotor seperti itu, Tuan, dan saya
pikir, karena Anda seorang pria dari London, Anda tahu apa yang harus
dilakukan," "Kalau saya jadi Anda," kataku, "sayaakan pergi ke polisi. Perbuatan seperti itu
harus dihentikan." Bu Baker sangat terkejut.
"Oh, tidak, Tuan, saya tak bisa pergi ke polisi," "Mengapa tidak?"
"Saya belum pernah berurusan dengan polisi, Tuan. Tak seorang pun di antara kami
pernah." "Mungkin tidak. Tapi hanya polisilah yang bisa menangani hal-hal seperti itu.
Ini urusan mereka/* "Pergi menghadap Bert Rundle?"
Aku tahu bahwa Bert Rundle adalah agen polisi setempat.
"Di pos polisi itu pasti ada sersan atau inspekturnya."
"Saya" Pergi ke pos polisi?"
Suara Bu Baker menyatakan rasa tak senang dan rasa tak percayanya. Aku mulai
merasa jengkel "Hanya inilah nasihat yang bisa saya berikan."
Bu Baker diam, dia kelihatan tak yakin. Kemudian dia berkata dengan murung dan
bersungguhsungguh, "Suratsurat itu harus dihentikan, Tuan, benarbenar harus
dihentikan. Cepat atau lambat akan terjadi perbuatan ktiminal."
"Menurut saya, sekarang pun perbuatan kriminal itu sudah terjadi," kataku.
"Maksud saya kekerasan, Tuan. Anakanak muda gampang sekali melakukan kekerasan
jika tersing"gung demikian pula yang tua-tua."?"Apakah banyak suratsurat macam itu yang beredar?" tanyaku.
Bu Baker mengangguk. "Makin lama makin buruk keadaannya, Tuan. Pak dan Bu Beadlc di Blue Boar yang
?selama ini hidup bahagia mereka menerima surat kaleng, dan sejak itu Pak Beadle
?jadi berpikir ?memikirkan hal yang bukan-bukan, Tuan."
Aku membungkukkan tubuhku.
"Bu Baker," kataku, "apakah Anda punya gagasan, atau sekadar bayangan, siapa
yang menulis suratsurat yang menjijikkan itu?"
Aku terkejut sekali melihat dia mengangguk.
"Kami sudah punya bayangan, Tuan. Ya, kami sudah punya bayangan yang cukup
jelas." "Siapa dia?" ' Kusangka dia akan enggan menyebutkan suatu nama, tapi dia segera menjawab, "Bu
Cleat menurut kami semua, dialah orang"nya, Tuan. Pasti itu perbuatan Bu
?Cleat." Sudah begitu banyak kudengar nama-nama sepagi ini, sehingga aku bingung jadinya.
Maka aku bertanya, "Siapa Bu Cleat itu?"
Aku mendapat penjelasan bahwa Bu Cleat adalah istri seorang tukang kebun yang
sudah tua. Dia tinggal di sebuah gubuk di jalan yang menuju ke penggilingan
gandum. Pertanyaan-pertanyaan selan"jutnya mendapat jawaban yang tidak
memuaskan. Waktu ditanya mengapa Bu Cleat menulis suratsurat itu, Bu Baker hanya berkata
dengan ragu bahwa, "Yah... dia punya potongan untuk berbuat begitu,"
Akhirnya kubiarkan dia pulang, setelah meng"ulangi lagi nasihatku untuk pergi ke
polisi. Namun bisa kulihat, bahwa Bu Baker takkan mau menuruti nasihat itu. Aku mendapat
kesan bahwa aku telah mengecewakannya.
Kupikirkan lagi apa-apa yang telah dikatakannya. Betapapun samar buktinya, aku
berkesimpulan bahwa bila seluruh penduduk desa sependapat bahwa Bu Cleat-lah
biang keladinya, maka pendapat itu mungkin memang benar. Kuputuskan untuk
menda"tangi Griffith dan membicarakan soal itu. Mungkin dia kenal wanita yang
bernama Cleat itu. Bila dianggapnya memang perlu, maka dia atau aku mungkin bisa
memberikan pendapat pada polisi, bahwa wanita itulah biang keladi kekacauan yang
makin memburuk ini. Aku menunda kedatanganku sampai kira-kira Griffith sudah selesai memeriksa
pasienpasiennya. Setelah pasien yang terakhir pulang, aku masuk ke kamar prakteknya. "Halo, kau
rupanya, Burton." Kuceritakan kembali percakapanku dengan Bu Baker, dan kusampaikan pula padanya
mengenai tuduhan bahwa Bu Cleat yang bertanggung jawab. Aku kecewa karena
Griffith menggeleng, "Tidak sesederhana itu," katanya. "Apakah menurutmu bukan
Cleat itu yang bertanggung jawab?"
"Barangkali memang dia. Tapi kurasa ini tak
"Lalu mengapa orangorang semua berpikir bahwa dialah orangnya?" Dia tersenyum,
"Oh," katanya, "kau tak mengerti. Bu Cleat itu seorang nenek sihir." "Astaga!"
seruku. "Ya, kedengarannya memang agak aneh zaman sekarang. Narnun begitulah keadaannya.
Ada anggapan umum, bahwa orangorang tertentu, atau keluargakeluarga tertentu,
umpamanya, sebaiknya jangan ditentang. Bu Cleat berasal dari keluarga Vanka-
wanita pintar*. Dan kurasa dia sendiri pun berusaha untuk membangkit-bangkitkan
kisah itu. Dia wanita aneh, rasa humornya getir serta menyakitkan hati. Bila ada
seseorang anak yang jarinya luka, atau jatuh sampai cedera, atau sakit gondok,
maka dia akan menganggukkan kepalanya dan dengan gampang berkata, 'Ya, dia
mencuri apelku ininggu yang lalu/ atau 'Dia telah menarik ekor kucingku.' Ibuibu
yang mendengarnya lalu cepatcepat membawa pergi anaknya. Sedang wanitawanita
lain membawa kue buatan sendiri atau madu untuk diberikan pada Bu Cleat, supaya
wanita itu baik padanya dan tidak mengutuknya. Itu tentu takhyul saja dan konyol
sekali, tapi begitulah yang terjadi. Jadi wajarlah kalau sekarang mereka menduga
bahwa dialah yang telah melakukannya."
"Tapi sebenarnya bukan dia, kan?" "Oh, bukan. Dia bukan wanita macam begitu. *
Soalnya?soalnya tidak semudah itu,"
"Apakah kau punya dugaan?" Aku memandsngi-nya dengan rasa ingin tahu. Dia
menggeleng, tapi pandangannya hampa.
"Tidak," katanya. "Aku tak tahu sama sekali. Tapi aku merasa tak senang,
Burton akan terjadi bencana karena suratsurat itu,"
?2 Waktu aku tiba di rumah kudapati Megan sedang duduk di tangga teras. Dagunya
ditopangkannya di atas lututnya.
Dia menyapaku seperti biasanya, tanpa tata krama.
"Halo," katanya, "Apakah saya bisa ikut makan siang di sini?"
"Tentu," kataku.
"Bila lauknya daging iris atau apa pun yang sulit dibagi karena tak cukup,
katakan saja," teriak Megan waktu aku pergi ke belakang untuk memberi tahu
Partridge bahwa kami akan makan siang bertiga.
Kalau tak salah, Partridge mendengus. Dia pandai sekali menyatakan bahwa dia tak
suka pada Nona Megan tanpa berkata sepatah pun juga.
Aku kembali ke teras, "Apakah benarbenar boleh?" tanya Megan
dengan rasa kuatir. "Boleh saja," kataku. "Lauknya Irish stew"* "Oh, itu seperti
makanan anjing, ya" Kentangnya
banyak dan sausnya banyak."
"Ya," kataku. Aku mengeluarkan kotak rokokku, lalu menawar"kannya pada Megan. Wajahnya
memerah. "Anda baik sekali."
"Apakah kau tak ingin mengisap sebatang?"
"Tidak, saya tak mau. Tapi Anda baik sekali mau menawari saya seolaholah saya ?ini manusia biasa."
"Apakah kau bukan manusia biasa?" tanyaku geli.
Megan menggeleng, lalu dia mengalihkan pokok pembicaraan. Diulurkannya kakinya
yang panjang dan berdebu untuk diperlihatkan padaku.
"Kaus kaki saya sudah saya tisik," katanya memberitahuku dengan bangga.
Aku tak ahli dalam tisik-menisik, tapi kurasa bahwa benjolan-benjolan aneh dari
benang wol yang warnanya sangat kontras itu merupakan hasil karya yang gagal.
"Sebetulnya lebih enak dipakai kalau lubangnya dibiarkan," kata Megan.
"Kelihatannya memang begitu," aku membe"narkan.
"Apakah adik Anda pandai menisik?"
Aku mengingat-ingat apakah aku pernah memper hatikan hasil pekerjaan tangan
Joanna. "Entah ya," aku mengaku.
"Apa yang dilakukannya kalau ada lubang di kaus kakinya?"
"Kurasa," sahutku enggan, "dia akan membuang"nya dan membeli yang baru."
"Itu sangat bijaksana," kata Megan. "Tapi saya tak bisa melakukannya. Saya
sekarang mendapat uang saku tetap empat puluh pound setahun. Kita tak bisa ?berbuat banyak dengan uang sebegitu."
Aku membenarkannya. "Kalau saja saya boleh memakai kaus kaki hitam, maka saya bisa menghitamkan kaki
saya dengan tinta," kata Megan sedih. "Saya selalu berbuat begitu waktu masih
sekolah. Bu Batworthy, ibu guru yang harus menilai hasil tisikan kami, orangnya
setengal buta. Jadi kami pakai cara itu, dan sangat menguntungkan." "Tentu,"
kataku. Kami terdiam beberapa lamanya, aku mengisap pipaku. Kami menikmati keadaan yang
tenang dan diam itu. Megan memecahkan kesunyian dengan tiba-tiba berkata keras-keras, "Saya rasa Anda
menganggap saya ini jahat, ya" Seperti semua orang itu?"
Aku demikian terkejut hingga pipaku terjatuh dari mulutku. Pipa itu terbuat dari
bahan kapur yang dicat bagus, dan pipa itu patah. Aku berkata marah pada Megan,
"Nah, lihat apa yang telah kaulakukan." Anakanak memang sulit dipahami. Megan
bukannya merasa bersalah, dia bahkan tertawa lebar. "Saya suka sekali pada
Anda," katanya. Itu suatu pernyataan yang menyenangkan. Suatu pernyataan yang mungkin akan
diucapkan oleh anjing kita bila dia bisa berbicara. Kulihat bahwa Megan punya
penampilan seperti kuda dan punya sifat seperti anjing. Sama sekali tidak
manusiawi. "Apa yang kaukatakan sebelum bencana ini terjadi?" tanyaku, sambil memunguti
pecahanpecahan pipa kesayanganku itu dengan hati-hati.
"Saya katakan bahwa Anda mungkin berpikir saya ini jahat sekali," kata Megan
dengan nada yang jauh berbeda dengan waktu dia mengucapkannya semula.
"Mengapa aku harus berpikir begitu?"
Dengan sungguhsungguh Megan menjawab,
"Karena saya memang begitu."
Dengan tajam aku berkata, "Jangan tolol!" Megan menggeleng.
"Itulah masalahnya. Saya tidak begitu tolol. Tapi orang menyangka bahwa saya
tolol. Mereka tak tahu bahwa sebenarnya saya tahu persis bagaimana mereka itu,
dan bahwa saya membenci mereka." "Membenci mereka?" "Ya," kata Megan.
Matanya, mata sedih yang tidak seperti mata anakanak, menatap tepat ke mataku
tanpa berkedip. Tatapan itu lama dan murung.
"Anda pun akan membenci siapa saja bila Anda jadi saya," katanya. "Bila
kehadiran Anda tidak diinginkan."
"Apakah kau merasa bahwa pikiranmu itu tak sehat" tanyaku.
"Ya," kata Megan. "Ya, itulah kata orang selalu bila kita mengatakan yang
sebenarnya. Dan apa yang saya katakan tadi memang benar. Kehadiran saya tidak
diinginkan, dan saya mengerti sekali apa sebabnya. Ibu tak suka pada saya. Saya
rasa, saya mengingatkan Ibu akan kekejaman ayah saya padanya. Itu yang selalu
saya dengar. Hanya saja tak ada ibu yang bisa mengatakan bahwa dia membenci
anaknya, yang bisa dilakukannya hanyalah me"nyingkirkannya. Kalau kucing tak
suka pada anaknya, anak-anaknya itu akan dimakannya. Saya rasa itu lebih baik.
Tak perlu berpayah-payah membesarkan anak. Tapi ibu-ibu manusia terpaksa
memelihara dan mengurus anaknya. Waktu saya masih sekolah keadaannya belum
separah sekarang tapi tahukah Anda, yang disukai Ibu sebenarnya hanyalah ?dirinya sendiri, ayah tiri saya, dan kedua anak laki-laki mereka itu,"
Lambatlambat aku berkata,
"Aku tetap menduga bahwa pikiranmu tak sehat, Megan. Tapi taruhlah kata-katamu
itu benar, mengapa kau tak pergi saja dan mengurus dirimu sendiri?"
Dia memberikan senyuman yang bukan senyum kanak-kanak.
"Maksud Anda mencari pekerjaan" Mencari nafkah?"
"Ya," "Bekerja apa?" "Kurasa kau bisa mengikuti pendidikan kete"rampilan. Mengetik,
steno pembukuan." ?"Saya rasa, saya tak bisa. Saya terlalu tolol untuk mempelajari sesuatu. Lagi
pula..." "Apa?" Wajahnya yang semula menoleh ke arah lain kini lambatlambat dipalingkannya
kembali ke arahku. Wajah itu merah dan ada air mata tergenang di matanya. Lalu
dia berbicara dengan suara yang kekanak-kanakan lagi,
"Mengapa saya harus pergi" Mengapa saya harus mau jika disuruh pergi" Mereka
memang tak menginginkan kehadiran saya, tapi saya akan bertahan. Saya akan tetap
di sini dan membuat mereka merasa tak enak. Mereka akan saya buat menyesal
seumur hidup. Babi semua! Saya benci setiap orang di Lymstock ini. Mereka semua
menganggap saya tolol dan jelek. Akan saya perlihatkan pada mereka semua.
Sungguh, akan saya perlihatkan. Saya akan..."
Beriar-benar ledakan kemarahan yang kekanak-kanakan, dan anehnya telah
menimbulkan rasa ibaku.

Pena Beracun The Moving Finger Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku mendengar langkah-langkah kaki di batu kerikil dari belakang rumah.
"Berdiri," bentakku. "Masuk ke dalam lewat
ruang tamu utama. Lalu pergi kc kamar mandi yang
ada di lantai atas. Di ujung lorong rumah. Cuci
mukamu. Cepat!" ^ Dia melompat bangkit dengan susah-payah dan menghilang melalui pintu waktu
Joanna muncul dari sudut rumah.
"Aduh, panasnya," seru Joanna. Dia duduk di sampingku lalu mengipasi mukanya
dengan sehelai scarf dari Tyrol yang semula menudungi kepalanya. "Tapi kurasa
aku sudah cukup menghajar sepatu kasar brengsek ini. Aku berjalan bermil-mil
jauhnya. Satu hal dapat kusimpulkan, jangan suka memakai sepatu yang ada lubang-
lubangnya seperti yang kausukai itu.
Duri-duri tanaman bisa menembusi- " nya. Ngomong-ngomong, Jerry, kurasa
sebaiknya kita memelihara anjing."
"Kurasa juga begitu," kataku. "Ngomong-ngomong, Megan akan ikut makan siang di
sini " "Begitukah" Baiklah."
"Sukakah kau padanya?" tanyaku.
"Kurasa dia itu seorang 'anak pengganti'," kata Joanna. "Itu tuh, seperti yang
dikisahkan dalam dongeng, anak yang ditinggalkan di tangga waktu peri-peri
membawa lari anak yang sebenarnya.
Menarik sekati bertemu dengan 'anak pengganti' seperti itu. Uh, aku mau cuci
muka dulu." 'Tidak bisa," kataku. "Megan sedang mencuci mukanya."
"Oh, dia juga baru saja berjalan jauh rupanya?"
Joanna lalu mengeluarkan cerminnya dan meng"amat-amati wajahnya lama dan
bersungguhsung "guh. "Kurasa aku tak suka lipstik ini," katanya kemudian.
Megan keluar melalui pintu. Dia sudah tenang, cukup bersih, dan tanda-tanda
bekas kekacauan tadi sudah hilang. Dia memandang Joanna dengan ragu.
"Halo," kata Joanna, sambil terus sibuk dengan wajahnya. "Aku senang kau ikut
makan siang di sini. Astaga, ada noda hitam di hidungku. Aku harus berbuat
sesuatu. Noda hitam adalah ciri khas orang Skotlandia, dan harus ditangani
dengan sungguhsungguh."
Partridge keluar dan dengan sikap dingin membe"ritahukan bahwa makan siang sudah
Pendekar Pemabuk 6 Pendekar Mabuk 079 Penjara Terkutuk Kisah Si Bangau Putih 15
^