Pencarian

Rumah Bercat Putih 1

Rumah Bercat Putih A Painted House Karya John Grisham Bagian 1


A Painted House Rumah Bercat Putih by John Grisham Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama Jakarta, 2001
Djvu: K80 Edit & Convert to Jar: inzomnia
http://inzomnia.wapka.mobi
Untuk orangtuaku, Weez dan Big John.
dengan sepenuh cinta dan kekaguman
Satu ORANG-ORANG pegunungan dan orang-orang Meksiko itu tiba pada hari yang sama. Saat itu hari Rabu, awal bulan September 1952 Regu bisbol The Cardinals terceeer lima pertandingan di belakang The Dodgers dengan sisa waktu dua minggu. dan musim kompetisi itu tampak tak ada harapan. Namun tanaman kapas menjulang tinggi sepinggang ayahku, hampir melampaui kepalaku, dan sebelum makan malam, bisa terdengar ia dan kakekku membisikkan kata-kata yang jarang terdengar. Bisa jadi kali ini "panennya bagus".
Mereka adalah petani, pekerja-pekerja keras yang mengambil sikap pesimis hanya saat membicarakan cuaca dan hasil panen. Terlalu banyak matahari, atau terlalu banyak hujan, atau ancaman banjir di dataran rendah, atau kenaikan harga benih dan pupuk, atau ketidakpastian pasar. Pada hari-hari yang paling sempurna, ibuku diam-diam suka berkata padaku, "Jangan khawatir. Para laki-laki itu akan menemukan sesuatu untuk dikhawatirkan."
Pappy. kakekku, mengkhawatirkan upah tenaga kerja ketika kami pergi mencari orang-orang pegunungan. Mereka diupah untuk setiap seratus pon kapas yang mereka petik. Tahun lalu, menurutnya, upahnya adalah $1.50 per seratus pon. ia sudah dengar desas-desus bahwa seorang petani di Lake City menawarkan bayaran $1.60.
Masalah ini menjadi beban pikirannya sewaktu kami bermobil ke kota. ia tidak pernah bicara saat mengemudi, dan menurut ibuku, yang bukan pengemudi terampil, hal ini disebabkan ia takut pada kendaraan bermotor lain. Truknya itu sebuah Ford tahun 1939. dan dengan traktor John Deere usang kami sebagai perkecualian, maka mobil itulah satu-satunya alat transportasi kami. Ini sama sekali tidak jadi masalah, kecuali saat kami pergi ke gereja, dan ibu serta nenekku terpaksa duduk berdesakan di depan, dalam pakaian terbaik mereka untuk hari Minggu, sementara aku dan ayahku duduk di belakang, terbungkus debu. Sedan-sedan modern adalah barang langka di daerah pedesaan Arkansas.
Pappy mengemudi dengan kecepatan tiga puluh tujuh mil per jam. Menurut teorinya, setiap mobil punya kecepatan tertentu yang paling efisien, dan dengan metode yang tidak jelas, ia menentukan bahwa truk tua itu harus melaju dengan kecepatan tiga puluh tujuh mil. Ibuku mengatakan (padaku) bahwa itu menggelikan. Ia juga mengatakan bahwa kakek dan ayahku pernah bertengkar mempersoalkan apakah truk itu seharusnya dijalankan lebih cepat, tapi ayahku jarang mengendarainya, dan kalau aku kebetulan pergi dengannya naik kendaraan itu. ia akan menjalankannya dengan kecepatan tiga puluh tujuh mil, untuk
menghormati Pappy. Ibuku mengatakan bahwa ia curiga ayahku mengemudikannya lebih cepat saat ia sendirian.
Kami belok ke Highway 135, dan, seperti biasanya, aku mengamati Pappy dengan hati-hati menggeser gigi persneling - menekan kopling perlahan-lahan, dengan halus mendorong tuas persneling pada kolom setir sampai kendaraan itu mencapai kecepatan yang sempurna. Kemudian aku mencondongkan badan untuk memeriksa spidometer: tiga puluh tujuh, ia tersenyum padaku, seolah-olah kami berdua sepakat bahwa truk itu memang sudah sepantasnya melaju dengan kecepatan tersebut.
Highway 135 terbentang lurus dan datar di tanah pertanian Delta Arkansas. Sejauh mata memandang pada kedua sisinya, ladang-ladang memutih oleh kapas. Sekarang adalah saat untuk menuai, musim yang hebat bagiku, karena mereka meliburkan sekolah selama dua bulan. Tapi bagi kakekku ini adalah masa penuh kekhawatiran yang tak ada habisnya.
Di sebelah kanan, di lahan keluarga Jordan, kami melihat sekelompok orang Meksiko sedang bekerja di ladang dekat jalan raya. Mereka membungkuk dengan karung kapas terpanggul di punggung, tangan mereka bergerak tangkas di antara batang-batang pohon, mencabut kuntum-kuntum kapas. Pappy mendengus. Ia tidak suka pada keluarga Jordan, sebab mereka orang-orang Methodis - dan fans icgu bi
sbol The Cubs. Sekarang, karena mereka sudah punya pekerja di ladang, maka ada satu alasan lain untuk tidak menyukai mereka.
Tanah pertanian kami tidak sampai delapan mil jauhnya dari kota, tapi dengan kecepatan tiga puluh tujuh mil per jam, perjalanan itu butuh waktu dua puluh menit. Selalu dua puluh menit, bahkan kalau jalanan lengang. Pappy tidak suka mendahului kendaraan yang melaju lebih lamban di depannya. Tapi, tentu saja, biasanya dialah si lamban itu. Di dekat Black Oak. kami menyusul sebuah trailer yang penuh dengan gundukan kapas seputih salju yang baru dipetik. Kain terpal menutupi setengah bagian depannya, dan anak kembar Montgomery, yang sebaya denganku, bermain melompat-lompat di tumpukan kapas itu, sampai mereka melihat kami di jalan di belakang mereka. Mereka berhenti dan melambaikan tangan. Aku balas melambai, tapi kakekku tidak. Saat mengemudikan mobil, ia tidak pernah melambaikan tangan atau menganggukkan kepala pada orang, dan ini, menurut ibuku, karena ia takut melepaskan tangan dari roda kemudi. Ibuku mengatakan bahwa orang-orang suka bicara di belakangnya, mengatakan ia kasar dan sombong. Menurutku pribadi, ia sama sekali tak peduli dengan gosip apa pun yang beredar.
Kami mengikuti trailer Montgomery itu sampai berbelok ke pabrik pemisah biji kapas. Trailer itu ditarik traktor Massey-Harris. Traktor tersebut dikemudikan oleh Frank, anak laki-laki sulung Montgomery yang mogok sekolah di kelas lima, dan oleh setiap orang di gereja dianggap bakal terjerumus ke dalam masalah serius.
Highway 135 beralih jadi Main Street untuk bentangan pendek menuju Black Oak Kami melewati Gereja Baptis Black Oak, tapi kali ini kami tidak berhenti -walau ini jarang terjadi - untuk kebaktian entah apa. Setiap toko. kios, bisnis, gereja, bahkan sekolah, menghadap ke Main Street, dan di hari Sabtu lalu lintasnya lamban beringsut, bemper beradu bemper, sewaktu orang-orang desa berangkat ke kota untuk belanja mingguan Tapi sekarang hari Rabu. dan ketika kami sampai di dalam kota, kami parkir di depan toko bahan pangan milik Pop dan Pearl Watson di Main.
Aku menunggu di tepi jalan, sampai kakekku menganggukkan kepala ke arah toko tersebut. Itu tanda bahwa aku boleh masuk ke sana dan membeli sebuah Tootsie Roll. dengan berutang. Harganya cuma satu penny, tapi itu tidak berarti aku akan mendapatkannya setiap kali pergi ke kota. Kadang-kadang ia tidak menganggukkan kepala, tapi aku toh tetap masuk ke dalam toko itu dan berkeliaran cukup lama di sekitar kasir, sampai Pearl diam-diam memberikan sebuah untukku, yang selalu diikuti dengan peringatan keras agar tidak memberitahu kakekku. Pearl takut kepadanya. Eli Chandler memang miskin, tapi sangat memegang harga diri. Ia lebih suka mati kelaparan daripada menerima makanan cuma-cuma. yang dalam daftarnya termasuk Tootsie Roll. Ia tentu akan menghajarku dengan tongkat seandainya ia tahu aku menerima gula-gula itu, jadi Pearl Watson sama sekali tidak kesulitan menuntutku bersumpah agar menjaga kerahasiaan.
Namun kali ini aku menerima anggukan itu. Seperti biasa. Pearl sedang mengelap lemari pajangan ketika aku masuk. Aku memberinya satu pelukan erat. Kemudian aku mengambil sebuah Tootsie Roll dari stoples di samping mesin hitung. Aku menandatangani kertas bon dengan bangga, dan Pearl memeriksa tulisanku. "Tulisanmu makin baik, Luke," katanya.
"Lumayan untuk anak umur tujuh tahun." kataku. Karena ibuku, selama dua tahun ini aku sudah berlatih menuliskan namaku dalam tulisan kursif. "Mana Pop"" aku bertanya. Mereka satu-satunya orang dewasa yang bersikeras agar aku memanggil mereka dengan nama "pertama", tapi hanya di toko itu, saat tak ada orang lain mendengarkan. Kalau ada pembeli yang masuk, seketika mereka menjadi Mr. dan Mrs. Watson. Kecuali ibuku, tak ada orang lain yang kuberitahu tentang ini, dan kata ibuku ia yakin tidak ada anak lain yang mendapatkan hak istimewa seperti itu.
"Di belakang, menyusun stok," kata Pearl. "Mana kakekmu""
Sudah jadi panggilan hidup bagi Pearl untuk memantau gerakan seluruh penduduk kota, jadi pertanyaan apa pun selalu dijawab dengan p
ertanyaan lain. "Di Tea Shoppe, memeriksa orang-orang Meksiko itu. Boleh aku ke belakang sana"" Aku bertekad untuk berkelit dari pertanyaannya.
"Sebaiknya tidak. Kalian memakai orang-orang pegunungan juga""
"Kalau kami bisa mendapatkan mereka. Eli bilang mereka tidak turun gunung lagi seperti dulu. Dia juga berpendapat mereka semua setengah gila. Di mana Champ"" Champ adalah anjing beagle tua toko itu, yang tidak pernah menyingkir dari sisi Pop.
Pearl tersenyum lebar tiap kali aku memanggil kakekku dengan nama kecilnya. Ia sudah hendak mengajukan satu pertanyaan lagi ketika bel kecil itu berbunyi saat pintu toko membuka dan menutup. Seorang Meksiko tulen melangkah masuk, sendirian dan malu-malu, seperti mereka semua pada kesan pertama. Pearl mengangguk sopan pada pelanggan baru itu.
Aku berseru, "Buenos dias. si nor,"
Laki-laki itu tersenyum dan berkata malu-malu, "Buenos dias" sebelum menghilang ke bagian belakang toko.
"Mereka orang-orang baik," kata Pearl lirih, seakan-akan orang Meksiko itu mengerti bahasa Inggris, dan mungkin akan tersinggung oleh kata-kata pujian yang ia ucapkan. Aku menggigit Tootsie Roll-ku dan mengunyahnya perlahan-lahan, sambil membungkus kembali sisanya dan mengantonginya.
"Eli khawatir membayar mereka terlalu banyak," kataku. Dengan seorang pelanggan di dalam toko, Pearl mendadak jadi sibuk lagi. mengelap dan ber-beres seputar mesin hitung satu-satunya itu.
"Eli mengkhawatirkan semua hal." katanya.
"Dia kan petani."
"Apa kau akan jadi petani""
"Tidak, Ma'am. Pemain bisbol."
"Untuk Cardinals""
"Tentu saja." Pearl bersenandung sedikit, sementara aku menunggu orang Meksiko itu. Aku punya beberapa patah kata bahasa Spanyol yang ingin kucoba.
Rak-rak kayu tua itu penuh dengan barang-barang baru. Aku suka toko ini saat musim panen, sebab Pop mengisinya dari lantai hingga ke langit-langit. Panen tiba. dan uang pun berpindah-pindah tangan.
Pappy membuka pintu sekadar cukup lebar untuk menjulurkan kepala ke dalam. "Ayo pergi," katanya; lalu, "Howdy. Pearl."
"Howdy. Eli," kata Pearl sambil membelai kepalaku dan melepaskan aku pergi.
"Mana orang-orang Meksiko itu"" tanyaku pada Pappy ketika kami sampai di luar.
"Mestinya tiba siang ini.".
Kami naik kembali ke dalam truk dan meninggalkan kota ke arah Jonesboro, tempat kakekku biasanya menemukan orang-orang pegunungan.
Kami parkir di bahu jalan raya, dekat persimpangan sebuah jalan tanah. Menurut pendapat Pappy, itulah tempat terbaik di county itu untuk menemukan orang-orang pegunungan. Aku tidak begitu yakin. Sudah seminggu ini ia mencoba tanpa hasil untuk menemukan dan mempekerjakan mereka. Kami duduk di bak belakang, di bawah matahari yang membakar, bungkam selama setengah jam penuh, sebelum truk pertama berhenti. Truk itu bersih dan bannya dalam keadaan baik. Kalau kami cukup beruntung menemukan orang-orang pegunungan, maka mereka akan tinggal bersama kami sedikitnya selama satu bulan. Kami menginginkan orang-orang yang rapi. dan fakta bahwa truk ini jauh lebih bagus daripada truk Pappy sendiri merupakan suatu tanda yang baik.
"Selamat siang." Pappy berkata ketika mesin dimatikan.
"Howdy." kata si pengemudi.
"Dari mana kalian semua"" tanya Pappy
"Sebelah utara Hardy"
Tanpa ada kendaraan lain yang lewat, kakekku berdiri di pinggir jalan, wajahnya menunjukkan ekspresi menyenangkan saat ia mengamati truk itu beserta isinya. Si pengemudi dan istrinya duduk di dalam kabin, dengan seorang gadis kecil di antara mereka. Tiga anak laki-laki remaja bertubuh besar sedang tidur di belakang. Semua orang itu tampak sehat dan berpakaian baik. Aku bisa melihat bahwa Pappy menginginkan orang-orang ini.
"Kalian mencari pekerjaan"" ia bertanya.
"Yep. Kami mencari Lloyd Crenshaw, di sebelah barat Black Oak." Kakekku menunjuk ke sana dan ke sini, dan mereka pun pergi. Kami mengamati mereka sampai mereka menghilang dari pandangan.
Ia sebenarnya bisa memberi mereka penawaran lebih tinggi daripada yang dijanjikan oleh Mr. Crenshaw. Orang-orang pegunungan itu terkenal suka menegosiasikan tenaga mereka. Tahun lalu, di tengah tengah masa petik
pertama di tempat kami, Fulbright sekeluarga dari Calico Rock mendadak menghilang pada suatu Minggu malam, dan pergi bekerja pada seorang petani sepuluh mil dari sana.
Tapi Pappy bukan orang yang tidak jujur, dan ia juga tak ingin memulai perang tawar-menawar.
Kami saling melempar bola bisbol di pinggir ladang kapas, berhenti bila ada truk yang mendatangi.
Sarung tanganku adalah sarung tangan Rawling pemberian Sinterklas pada Natal yang lalu. Tiap malam aku tidur dengan sarung tangan ini. dan tiap minggu aku meminyakinya. Bagiku tak ada yang lebih berharga daripada sarung tangan ini.
Kakekku, yang dulu mengajarkan bagaimana melempar dan menangkap dan memukul bola, tidak butuh sarung tangan. Tangannya yang besar dan kapalan bisa menangkap lemparan-lemparanku tanpa sedikit pun sengatan kesakitan.
Meskipun ia seorang laki-laki pendiam yang tidak pernah membual, Eli Chandler dulu seorang pemain bisbol legendaris. Pada usia tujuh belas tahun ia menandatangani kontrak dengan klub The Cardinals untuk bermain bisbol profesional. Tapi Perang Dunia Pertama memanggilnya, dan tak lama sesudah ia pulang, ayahnya meninggal dunia. Pappy tak punya pilihan lain kecuali menjadi petani.
Pop Watson suka menceritakan berbagai kisah tentang betapa hebatnya Eli Chandler dulu - betapa jauh ia bisa memukul bola bisbol, betapa keras ia bisa melemparkannya. "Mungkin pemain terhebat yang pernah ada dari Arkansas," demikian menurut penilaian Pop.
"Lebih hebat daripada Dizzy Dean"" aku bertanya.
"Dizzy Dean bukan apa-apanya," Pop berkata sambil menghela napas.
Ketika aku menyampaikan cerita-cerita ini pada ibuku, ia selalu tersenyum dan berkata, "Hati-hati. Pop suka mengada-ada."
Pappy, yang sedang menggosok-gosok bola bisbol dalam tangan raksasanya, menganggukkan kepala ke arah suara kendaraan yang mendatangi. Dari arah barat datang sebuah truk dengan gandengan di belakangnya. Dari jarak seperempat mil, kami bisa tahu bahwa mereka adalah orang pegunungan. Kami melangkah ke bahu jalan dan menunggu si pengemudi mengurangi kecepatan, suara gigi persneling gemeretak dan melengking ketika ia menghentikan kendaraan.
Kuhitung ada tujuh kepala, lima di dalam truk, dua di dalam gandengan.
"Howdy." si pengemudi berkata perlahan-lahan, mengamati kakekku, sementara kami pun balas memeriksa mereka dengan cepat.
"Selamat siang," kata Pappy sambil mengambil satu langkah lebih dekat, tapi tetap menjaga jarak
Ada bekas-bekas air tembakau pada bibir bawah si pengemudi. Suatu pertanda yang tidak menyenangkan. Ibuku berpendapat bahwa kebanyakan orang pegunungan itu punya kebiasaan buruk dan tidak menjaga kebersihan. Tembakau dan alkohol adalah sesuatu yang terlarang di rumah kami. Kami orang Kristen Baptis.
"Namaku Spruill," katanya.
"Eli Chandler. Senang berjumpa dengan kalian. Kalian mencari pekerjaan"" "Yep."
"Dari manakah kalian"" "Eureka Springs."
Truk itu hampir setua milik Pappy, dengan ban gundul, kaca depan retak, dan spatbor berkarat, serta cat biru pudar di bawah lapisan debu. Pada bak truk itu dibangun tempat bersusun, dan tempat itu dijejali kardus dan karung guni yang penuh dengan berbagai keperluan. Di bawahnya, di lantai bak, sebuah kasur dijejalkan di samping kabin. Dua bocah laki-laki besar berdiri di atasnya, keduanya menatap kosong ke arahku. Di ujung belakang bak. bertelanjang kaki dan tanpa kemeja, duduk seorang pemuda berperawakan kekar, dengan pundak kokoh dan leher besar seperti batang pohon. Ia meludahkan air kunyahan tembakau di antara truk dan trailer, dan seperti tak menyadari kehadiran Pappy dan aku. Ia mengayun-ayunkan kaki perlahan-lahan, kemudian meludah lagi. tanpa pernah mengalihkan pandangan dari aspal di bawahnya.
"Aku sedang mencari tenaga kerja untuk membantu di ladang," kata Pappy.
"Berapa kau bersedia membayar"" Mr. Spruill bertanya.
"Satu dolar enam puluh sen tiap seratus pon," kata Pappy.
Mr. Spruill mengernyit dan memandang wanita di sebelahnya. Mereka menggumamkan sesuatu.
Dalam ritual inilah keputusan cepat harus diambil. Kami harus memutuskan, apakah kami menginginkan orang-orang ini tinggal bersam
a kami. Dan mereka harus memutuskan untuk menerima atau menolak harga penawaran kami.
"Kapas jenis apa"" Mr. Spruill bertanya.
"Stoneville," kata kakekku. "Kuntumnya sudah siap. Pasti mudah dipetik." Mr. Spruill bisa melayangkan pandang ke sekelilingnya dan melihat kuntum-kuntum kapas itu sudah merekah. Sejauh ini matahari, tanah, dan hujan telah bekerja sama. Pappy, tentu saja, sudah resah membaca prakiraan akan turun hujan berlebihan dalam Farmers' Almanac.
"Kami menerima satu dolar enam puluh sen tahun lalu," kata Mr. Spruill.
Aku tidak berminat dengan pembicaraan soal uang, maka aku melangkah ke garis tengah jalan, untuk memeriksa trailer itu. Ban-ban pada trailer itu bahkan lebih gundul lagi daripada ban pada truknya. Satu di antaranya setengah kempes karena bebannya. Untung saja perjalanan mereka sudah hampir berakhir.
Pada salah satu sudut trailer, dengan siku bertelekan pada papan dindingnya, berdiri seorang gadis yang sangat cantik. Ia memiliki rambut hitam yang diikat erat ke belakang, dan mata besar berwarna cokelat. Ia lebih muda dari ibuku, tapi pasti jauh lebih tua daripada aku. dan aku tidak tahan untuk tidak menatapnya.
"Siapa namamu"" tanyanya.
"Luke," kataku, sambil menendang sebutir batu Pipiku tiba-tiba terasa hangat. "Siapa namamu""
"Tally. Berapa umurmu""
"Tujuh. Berapa umurmu""
"Tujuh belas." "Sudah berapa lama kau berada di trailer ini"" "Satu setengah hari."
ia bertelanjang kaki. roknya kotor dan sangat ketat-ketat seluruhnya hingga ke lutut. Inilah pertama kali aku benar-benar mengamati seorang gadis. Ia memandangku dengan senyum maklum. Seorang anak duduk di atas krat di sampingnya, memung-gungiku; perlahan-lahan ia berbalik dan memandangku, seakan-akan aku tak ada di sana. Matanya hijau, dan keningnya yang panjang ditutupi rambut hitam lengket. Lengan kirinya tampak tak berguna.
"Ini Trot." kata Tally. "Dia ada kelainan."
"Senang bertemu denganmu. Trot," kataku, tapi mata anak itu tertuju ke arah lain. Ia berbuat seakan-akan tidak mendengarku.
"Berapa umurnya"" aku bertanya. "Dua belas. Dia cacat."
Trot tiba-tiba berpaling menghadap ke sebuah sudut, lengannya yang cacat terayun-ayun tak bernyawa. Temanku Dcwayne mengatakan bahwa orang-orang pegunungan itu saling menikah dengan sepupu mereka; itu sebabnya banyak timbul cacat dalam keluarga mereka.
Namun Tally tampaknya sempurna. Ia memandang ke ladang kapas itu dengan termenung-menung, dan aku sekali lagi mengamati roknya yang kotor.
Aku tahu kakekku dan Mr. Spruill sudah mencapai kesepakatan, karena Mr. Spruill menghidupkan truknya, ia berjalan melewati trailer, melewati laki-laki di ujung bak belakang yang terbangun sebentar, tapi terus menatap ke pinggir jalan, dan berdiri di samping Pappy "Delapan mil ke arah sana, belok ke kiri di bekas lumbung yang terbakar, lalu enam mil lagi ke arah Sungai St. Francis. Lahan pertanian kami adalah yang pertama sesudah melewati sungai, di sebelah kananmu "
"Dataran rendah"" Mr. Spruill bertanya, seolah-olah ia akan dikirim ke rawa.
"Sebagian, tapi itu lahan bagus."
Mr. Spruill melirik lagi pada istrinya, lalu kembali memandang kami. "Di mana kami tinggal""
"Kalian akan melihat tempat teduh di belakang, di sebelah silo. Itulah tempat yang terbaik."
Kami menyaksikan mereka pergi, gigi persneling gemeretak, ban-bannya terseok-seok. kotak kayu dan kardus dan pot berlompatan.
"Pappy tidak menyukai mereka, bukan"" aku bertanya.
"Mereka orang-orang baik. Mereka cuma beda." "Kurasa kita beruntung mendapatkan mereka, bukan"" "Ya."
Makin banyak buruh berarti makin sedikit kapas yang harus kupetik Selama satu bulan mendatang, aku akan berangkat ke ladang sejak matahari terbit, menyandang karung kapas sepanjang enam kaki di pundakku, dan menatap sebentar deretan kapas yang tak berujung pangkal, batang-batang setinggi diriku, lalu terjun ke dalamnya, menghilang sejauh-jauhnya. Dan aku akan memetik kapas, mencabut kuntum-kuntum berbulu halus itu dengan kecepatan tetap, menjejalkannya ke dalam karung yang berat, takut melihat ke ujung deret tanaman dan diingatkan betapa tak berujung deretan ter
sebut, takut mengendurkan pekerjaan, sebab mungkin ada yang akan melihat. Jari-jariku akan berdarah, leherku akan terbakar, punggungku akan kesakitan.
Ya. aku menginginkan banyak-banyak bantuan di ladang kapas itu. Banyak-banyak orang pegunungan, banyak-banyak orang Meksiko.
Dua BERHUBUNG kapas sudah menanti dipetik, kakekku bukan lagi orang yang sabar. Meskipun ia tetap mengemudikan truk dengan kecepatan seperti biasanya, ia resah karena ladang-ladang lain di sepanjang jalan itu sedang dipanen, sementara milik kami belum. Orang-orang Meksiko itu sudah terlambat dua hari. Kami parkir lagi di dekat toko Pop dan Pearl, dan aku mengikutinya menuju Tea Shoppe. Di sana ia beradu mulut dengan orang yang bertanggung jawab atas penyediaan buruh pertanian.
"Tenanglah, Eli," kata laki-laki itu. "Tak lama lagi mereka pasti tiba "
Ia tidak bisa tenang. Kami berjalan ke pabrik pemisah biji kapas Black Oak di pinggir kota. Perjalanan panjang dengan berjalan kaki - namun Pappy punya prinsip tidak suka menyia-nyiakan bensin. Antara pukul enam sampai sebelas pagi itu, ia sudah memetik dua ratus pon kapas, tapi ia masih berjalan begitu cepat, sehingga aku harus berlari-lari kecil untuk mengikuti.
Halaman tanah berkerikil dari pabrik pemisah biji itu dipenuhi dengan trailer-trailer kapas, sebagian kosong, yang lain menunggu giliran hasil panen mereka dipisahkan bijinya. Aku melambaikan tangan lagi pada si kembar Montgomery ketika mereka berlalu, trailer mereka sudah kosong, dan meluncur kembali ke rumah untuk mengambil muatan lagi.
Pabrik itu bergemuruh oleh paduan suara mesin-mesin berat yang sedang bekerja. Mesin-mesin itu bising dan sangat berbahaya. Setiap musim panen, sedikitnya ada satu pekerja yang menjadi korban kecelakaan, dan menderita cedera mengerikan entah apa di dalam pabrik pemisah biji itu. Aku takut pada mesin-mesin itu, dan ketika Pappy menyuruhku menunggu di luar, aku dengan senang hati melakukannya, ia berjalan melewati sekelompok pekerja yang sedang menunggu di trailer mereka, tanpa menyapa atau menganggukkan kepala. Ia sedang banyak pikiran rupanya.
Aku menemukan tempat aman dekat dok tempat mereka mengangkut keluar bal-bal jadi, dan memuatnya ke atas trailer-trailer yang akan berangkat ke Carolina. Di salah satu ujung pabrik itu, kapas yang baru dipetik disedot dari trailer dengan sebuah pipa panjang, bergaris keliling dua belas inci, lalu kapas itu menghilang ke dalam bangunan di mana mesin-mesin mengolahnya. Kapas tersebut muncul di ujung lain dalam bentuk bal-bal persegi terbungkus karung guni, dan diikat erat dengan pita baja selebar satu inci. Pabrik pengolah kapas yang baik menghasilkan bal-bal yang sempurna, yang bisa ditumpuk seperti bata.
Nilai satu bal kapas adalah seratus tujuh puluh lima dolar, kurang-lebih, tergantung pasar. Panen yang baik bisa menghasilkan satu bal setiap satu ekar. Kami menyewa delapan puluh ekar. Hampir semua anak di daerah pertanian bisa melakukan hitungan itu.
Bahkan sebenarnya hitung-menghitung itu begitu gampang, sehingga kau tentu akan bertanya, mengapa orang mau jadi petani. Ibuku memastikan bahwa aku mengerti benar angka-angka itu. Kami berdua sudah membuat perjanjian rahasia bahwa, bagaimanapun keadaannya, aku tidak akan tinggal di pertanian. Aku akan menyelesaikan sekolah sampai kelas dua belas, lalu jadi pemain untuk The Cardinals.
Pada bulan Maret, Pappy dan ayahku meminjam empat belas ribu dolar dari pemilik pabrik kapas. Itu adalah pinjaman usaha, dan uang itu dibelanjakan untuk benih, pupuk, tenaga kerja, dan pengeluaran-pengeluaran lain. Sejauh ini kami beruntung -cuacanya nyaris sempurna, dan hasil panennya kelihatan bagus Kalau keberuntungan kami terus berlanjut sampai selesai petik, dan ladang itu menghasilkan satu bal setiap satu ekar, maka usaha tani keluarga Chandler akan mencapai titik impas. Itulah tujuan kami.
Tapi. seperti kebanyakan petani, Pappy dan ayahku menanggung utang dari tahun sebelumnya. Mereka masih punya utang dua ribu dolar dari tahun 1951, yang menghasilkan panen biasa-biasa saja. Mereka juga berutang suku cadang pada
dealer John Deere di Jonesboro, bahan bakar pada Lance Brothers, benih dan peralatan pada Co-op. dan bahan makanan pada Pop dan Pearl Watson.
Tentu saja aku tidak seharusnya tahu tentang pinjaman usaha tani dan utang mereka. Tapi di musim panas orangtuaku sering duduk di tangga depan hing-ga larut malam, menunggu udara "menjadi sejuk, sehingga mereka bisa tidur tanpa berkeringat, dan mereka pun bercakap-cakap. Ranjangku terletak dekat jendela di samping beranda. Mereka pikir aku sudah tertidur, tapi aku mendengar lebih banyak daripada seharusnya.
Meskipun tidak tahu pasti, aku sangat curiga bahwa Pappy perlu meminjam uang lagi untuk membayar orang-orang Meksiko dan orang-orang pegunungan itu. Aku tidak tahu apakah ia mendapatkan uang itu atau tidak ia mengernyit ketika kami berjalan ke pabrik, dan ia mengernyit juga ketika kami meninggalkannya.
Orang-orang pegunungan itu sudah beberapa dasawarsa pindah dari Ozarks untuk memetik kapas. Banyak di antara mereka memiliki rumah dan lahan sendiri, dan sering kali mereka memiliki kendaraan yang lebih bagus daripada petani-petani yang mempekerjakan mereka untuk memanen. Mereka bekerja sangat keras, menabung uang mereka, dan berpenampilan semiskin kami.
Pada tahun 1950. migrasi itu mengendur. Kemakmuran paska perang akhirnya menetes juga hingga ke Arkansas, atau setidaknya bagi sebagian daerah di negara bagian itu, dan orang-orang pegunungan yang lebih muda tidak terlalu membutuhkan uang ekstra seperti orangtua mereka. Mereka tinggal saja di rumah. Tidak sembarang orang mau memetik kapas dengan suka rela. Para petani menghadapi kekurangan tenaga kerja, dan keadaan itu berangsur-angsur makin parah, lalu seseorang menemukan orang-orang Meksiko sebagai tenaga buruh.
Truk pertama tiba di Black Oak pada tahun 1951. Kami mendapatkan enam orang di antara mereka, termasuk Juan, sahabatku, yang memberikan tortilla pertama untukku. Juan dan empat puluh orang lainnya menempuh tiga hari perjalanan di belakang sebuah trailer panjang, berdesak-desakan padat, hanya dengan sedikit makanan, tanpa naungan untuk melindungi diri dari matahari maupun hujan. Mereka letih dan bingung ketika sampai di Main Street. Kata Pappy, trailer itu baunya lebih parah daripada truk ternak. Orang-orang yang menyaksikannya menceritakan hal itu pada yang lain, dan tak lama kemudian wanita-wanita di gereja-gereja Baptis dan Methodis secara terbuka mengemukakan keluhan mengenai cara primitif yang digunakan untuk mengangkut buruh-buruh Meksiko itu.
Ibuku juga memprotes keras, sedikitnya kepada ayahku. Aku mendengar mereka membicarakannya berkali-kali sesudah panen, dan sesudah orang-orang Meksiko itu dipulangkan. Ibu ingin ayahku bicara dengan petani-petani lain dan mendapatkan janji dari pengurus tenaga kerja, bahwa mereka yang mengumpulkan orang-orang Meksiko tersebut dan mengirimkannya pada kami akan memperlakukan mereka dengan lebih baik. Ia merasa kewajiban kamilah sebagai petani untuk melindungi buruh-buruh itu; ayahku juga berpendapat demikian, meskipun ia sepertinya tidak terlalu antusias untuk memimpin tuntutan tersebut. Pappy sama sekali tak peduli. Demikian pula orang-orang Meksiko itu; mereka cuma ingin bekerja.
Orang-orang Meksiko itu akhirnya tiba tak berapa lama sesudah pukul empat. Sebelumnya ada kabar angin bahwa mereka akan datang naik bus, dan aku tentu saja berharap bahwa ini benar. Aku tidak ingin orangtuaku meributkan soal ini sepanjang musim dingin mendatang. Dan aku pun tak ingin orang-orang Meksiko itu diperlakukan sedemikian buruk.
Tapi mereka datang dengan trailer lagi. sebuah truk bak tua dengan papan-papan di kedua sisinya, dan tanpa apa pun di atasnya untuk melindungi mereka. Memang benar bahwa ternak diperlakukan lebih baik.
Dengan hati-hati mereka melompat turun dari bak truk dan berdiri di jalan, tiga atau empat orang setiap kali, dalam satu gelombang disusul lainnya. Mereka berbondong-bondong turun, mengosongkan truk itu di depan Co-op, dan berkumpul di pinggir jalan dalam kelompok-kelompok kecil yang kebingungan. Mereka meregangkan badan, membungkuk, dan melihat se
keliling, seakan-akan mereka telah mendarat di planet lain. Aku menghitung jumlahnya ada enam puluh dua orang. Dan aku sangat kecewa mendapati Juan ternyata tidak ada di sana.
Mereka beberapa inci lebih pendek dari Pappy. sangat kurus, semua berambut hitam dan berkulit cokelat. Masing-masing membawa tas berisi pakaian dan barang perlengkapan.
Pearl Watson berdiri di trotoar di depan tokonya, bertolak pinggang, matanya menatap berapi-api Mereka adalah pelanggan-pelanggannya, dan sudah pasti ia tidak ingin mereka diperlakukan tidak baik. Aku tahu bahwa sebelum kebaktian hari Minggu nanti, para wanita itu pasti sudah hiruk-pikuk kembali. Dan aku tahu ibuku akan menanyaiku begitu tiba di rumah bersama rombongan kami.
Kata-kata kasar meledak di antara laki-laki yang bertanggung jawab atas buruh-buruh tersebut dengan si pengemudi truk. Sebenarnya seseorang di Texas sudah menjanjikan bahwa orang-orang Meksiko itu akan dikirim dengan bus. Ini adalah rombongan kedua yang tiba dengan trailer kotor. Pappy tidak pernah menyingkir dari perkelahian, dan aku tahu ia ingin terjun dalam pertengkaran tersebut dan menghabisi si sopir truk. Tapi ia juga marah pada laki-laki pengurus buruh itu, dan kurasa ia melihat tak ada gunanya menghajar mereka berdua Kami duduk di belakang bak truk kami, menunggu kekacauan tersebut mereda.
Ketika saling teriak itu berhenti, urusan dokumen pun dimulai. Orang-orang Meksiko itu berkerumun bersama di trotoar di depan Co-op. Sekali-sekali mereka melontarkan pandangan ke arah kami serta petani-petani lain yang berkumpul di sepanjang Main Street, kabar tersebar -kiriman baru sudah tiba
Pappy mendapatkan sepuluh orang pertama. Pemimpinnya adalah Miguel. Tampaknya ia yang paling tua. dan seperti kuperhatikan dari pemeriksaan pertamaku, dialah satu-satunya yang memiliki tas dari kain. Yang lain membawa barang-barang mereka dalam kantong-kantong kertas.
Bahasa Inggris Miguel lumayan bisa dimengerti, tapi sama sekali tidak sebaik kemampuan Juan dulu. Aku mengobrol dengannya, sementara Pappy membereskan urusan dokumen. Miguel memperkenalkan aku pada kelompok tersebut. Ada Rico, Roberto, Jose, Luis. Pablo, dan beberapa yang tidak bisa kumengerti. Aku ingat dari tahun sebelumnya bahwa butuh waktu seminggu untuk bisa membedakan mereka.
Meskipun jelas-jelas letih, mereka sepertinya berusaha tersenyum -kecuali satu orang yang menyeringai padaku ketika aku memandangnya. Ia memakai topi model koboi. Miguel menunjuknya sambil berkata. "Dia merasa dirinya koboi. Jadi. begitulah kami memanggilnya." Si Koboi masih sangat muda, dan berperawakan jangkung untuk seorang Meksiko. Matanya sipit dan garang. Ia punya kumis tipis yang justru menambah kegarangannya. Aku takut sekali padanya, sehingga terlintas dalam benakku untuk memberitahu Pappy. Aku sudah tentu tidak ingin laki-laki itu tinggal di pertanian kami selama beberapa minggu mendatang. Tapi aku cuma mundur.
Kelompok orang-orang Meksiko kami mengikuti Pappy di trotoar, menuju toko Pop dan Pearl. Aku membuntuti di belakang, berhati-hati untuk tidak melangkah terlalu dekat dengan si Koboi. Di dalam toko, aku mengambil posisi biasanya, di dekat mesin hitung, di mana Pearl sedang menunggu seseorang untuk diajak berbisik-bisik.
"Mereka memperlakukan buruh-buruh itu seperti hewan," katanya.
"Eli bilang, mereka senang bisa sampai di sini," balasku berbisik. Kakekku sedang menunggu di samping pintu, lengannya dilipat di depan dada, mengawasi orang-orang Meksiko itu mengumpulkan beberapa barang yang mereka butuhkan. Miguel memberondongkan instruksi pada mereka.
Pearl tidak hendak mengkritik Eli Chandler, tapi melontarkan pandangan gusar ke arahnya, meskipun Pappy tidak melihatnya. Pappy tidak peduli dengan aku maupun Pearl. Ia resah, sebab kapasnya belum dipetik.
"Sungguh menyebalkan." katanya. Aku bisa melihat Pearl sudah tak sabar menunggu kami pergi, sehingga ia bisa menemui teman-teman segereja dan sekali lagi meributkan masalah itu. Pearl adalah penganut Kristen Methodis.
Ketika orang-orang Meksiko itu datang ke cash register sambil membawa barang belanjaan
mereka, Miguel memberikan setiap nama kepada Pearl, yang kemudian membuka rekening utang. Ia menghitung jumlahnya, memasukkannya ke buku besar sesuai dengan nama buruh itu, lalu memperlihatkan catatan tersebut pada Miguel dan si pembeli. Kredit instan, gaya Amerika.
Mereka membeli tepung dan lemak untuk membuat tortilla, kacang polong dalam kaleng dan kantong, dan beras. Tidak ada tambahan apa pun - tidak ada gula atau permen, atau sayur-sayuran. Mereka makan sesedikit mungkin, sebab mesti mengeluarkan uang untuk membeli makanan. Tujuan mereka adalah menabung setiap sen yang bisa mereka simpan dan membawanya pulang.
Tentu saja orang-orang malang ini tidak tahu ke mana mereka akan pergi. Mereka tidak tahu bahwa ibuku amat gemar berkebun, dan menghabiskan lebih banyak waktu mengurusi sayur-sayurannya daripada mengurus kapas Mereka beruntung, sebab ibuku berkeyakinan tidak boleh ada seorang pun kelaparan di sekitar lahan pertanian kami.
Si Koboi adalah yang terakhir dalam barisan, dan ketika Pearl tersenyum kepadanya, kukira ia hendak meludahi Pearl. Miguel tetap berada dekat di sana. Ia baru menghabiskan tiga hari di belakang trailer bersama pemuda itu. dan mungkin tahu segala sesuatu tentang dirinya.
Aku mengucapkan selamat tinggal pada Pearl untuk kedua kalinya hari itu: aneh juga, sebab biasanya aku hanya seminggu sekali bertemu dengannya.
Pappy memimpin orang-orang Meksiko itu ke truk. Mereka naik ke bak dan duduk berdempetan, pundak beradu pundak, kaki saling berkaitan. Mereka diam dan menatap kosong ke depan, seakan-akan tidak tahu di mana perjalanan mereka akan berakhir.
Truk tua itu berkutat dengan muatan tersebut, tapi akhirnya mencapai kecepatan tiga puluh tujuh mil per jam, dan Pappy nyaris tersenyum. Saat itu sudah lewat tengah hari. udara panas dan kering, sempurna untuk memetik kapas. Dengan keluarga Spruill dan orang-orang Meksiko itu, kami akhirnya mendapatkan cukup tenaga kerja untuk memanen tanaman kami. Aku merogoh ke dalam saku, dan mengeluarkan setengah potong Tootsie Roll yang tersisa.
Jauh sebelum tiba di rumah, kami sudah melihat asap, dan kemudian sebuah tenda. Kami tinggal di tepi jalan tanah yang sangat berdebu hampir sepanjang tahun, dan Pappy menjalankan truk itu beringsut-ingsut, agar orang-orang Meksiko itu tidak tercekik oleh debu.
"Apa itu"" aku bertanya.
"Kelihatannya seperti tenda," kata Pappy.
Tenda itu terletak di dekat jalan, di ujung jauh halaman depan kami, di bawah pohon ek yang sudah berumur seratus tahun, sangat dekat dengan home plate untuk permainan bisbol. Kami lebih mengurangi kecepatan lagi saat mendekati kotak surat. Keluarga Spruill telah mengambil alih setengah dari halaman depan kami. Tenda besar itu berwarna putih kotor, dengan atap runcing, didirikan dengan tiang-tiang besi serta tongkat-tongkat kayu rautan tangan. Dua sisi tenda itu terbuka, dan aku bisa melihat kardus dan selimut bertebaran di tanah di bawah atap. Aku juga bisa melihat Tally tidur di dalam.
Truk mereka diparkir di sampingnya, dan ada kain kanvas lain dipasang di atas baknya. Truk itu ditambatkan dengan tambang ke tanah, sehingga tidak bisa bergerak tanpa lebih dulu mencabut tambatannya. Barang-barang di trailer tua mereka sudah dibongkar sebagian, kardus-kardus dan karung-karung guni bertebaran di rumput, seakan-akan baru saja dilanda topan.
Mrs. Spruill sedang menyalakan api, dan dari situlah asal asap itu. Karena suatu alasan, ia memilih tempat yang agak gundul, hampir di ujung halaman. Tepat di situlah Pappy atau ayahku biasa berjongkok hampir setiap sore, menangkap bola kencang atau bola sintir yang kulemparkan. Aku ingin menangis. Aku takkan pernah memaafkan Mrs. Spruill karena ini.
"Kupikir Pappy sudah memberitahu mereka untuk tinggal di belakang silo," aku berkata.
"Begitulah," jawab Pappy. ia memperlambat truk itu sampai hampir berhenti, kemudian belok menuju rumah kami. Sih itu terletak jauh di belakang, dekat gudang, cukup jauh dari rumah kami. Sebelum ini sudah pernah ada orang-orang pegunungan yang berkemah di sana - tapi tak pernah di halaman depan.
ia parkir di bawah s ebatang pohon ek lain yang, menurut nenekku, baru berumur tujuh puluh tahun. Pohon itu adalah yang terkecil di antara tiga pohon yang menaungi rumah serta halaman kami. Kami meluncur hingga berhenti di depan rumah, pada bekas roda kering tempat Pappy biasa memarkir mobil itu selama puluhan tahun. Ibu dan nenekku sedang menunggu di tangga dapur.
Ruth, nenekku, tidak senang melihat orang-orang pegunungan itu menduduki halaman depan kami. Aku dan Pappy langsung mengetahui hal ini sebelum kami turun dari truk. Kami melihat Gran bertolak pinggang.
Ibuku sudah sangat ingin memeriksa orang-orang Meksiko tersebut dan menanyaiku tentang kondisi perjalanan mereka Ia mengawasi mereka turun satu per satu dari truk, sambil berjalan menghampiriku dan meremas pundakku.
"Semuanya ada sepuluh," katanya.
"Ya, Ma'am." Gran menemui Pappy di depan truk, dan berkata lirih tapi tegas. "Mengapa orang-orang itu ada di halaman depan kita""
"Aku sudah suruh mereka tinggal di dekat silo." kata Pappy, pantang menyerah, bahkan terhadap istrinya. "Aku tidak tahu mengapa mereka memilih tempat itu."
"Bisakah kauminta mereka pindah""
"Tidak. Kalau mereka berkemas, mereka akan pergi. Kau tahu bagaimana orang-orang pegunungan itu."
Dan itulah akhir pertanyaan-pertanyaan Gran. Mereka tidak akan beradu pendapat di depanku dan sepuluh orang Meksiko baru. Gran melangkah pergi menuju rumah, sambil menggeleng-gelengkan kepala tak puas. Sejujurnya, Pappy tak peduli di mana orang-orang pegunungan itu berkemah. Mereka tampaknya kuat dan bersedia bekerja, dan itulah yang penting baginya.
Aku curiga Gran sebenarnya tidak terlalu peduli juga. Urusan memetik kapas itu sangatlah penting, hingga rombongan narapidana pun rasanya akan kami terima, seandainya mereka bisa memetik tiga ratus pon sehari.
Orang-orang Meksiko itu mengikuti Pappy menuju gudang, yang terletak 352 kaki dari tangga beranda belakang. Melewati kandang ayam, pompa air. tali-tali jemuran, dan gudang peralatan, serta pohon mapel yang akan berubah merah terang di bulan Oktober. Suatu hari di bulan Januari lalu, ayahku membantuku mengukur setepatnya jarak tesebut. Bagiku rasanya seperti satu mil. Dari home plate ke dinding lapangan kiri Sportsman's Park, tempat The Cardinals bermain, jaraknya 350 kaki, dan setiap kali Stan Musial melakukan home run. keesokan harinya aku akan duduk di tangga dan terkagum-kagum mengamati jarak itu. Di pertengahan bulan Juli, sewaktu bermain melawan The Braves, ia memukul bola sejauh empat ratus kaki Pappy berkata. "Dia memukulnya melewati gudang sana, Luke."
Selama dua hari sesudahnya, aku duduk di tangga dan memimpikan memukul bola-bola itu melewati gudang.
Ketika orang-orang Meksiko itu melewati gudang peralatan, ibuku berkata, "Mereka kelihatannya sangat letih."
"Mereka naik trailer, enam puluh dua orang semuanya." kataku, entah mengapa bersemangat untuk memanaskan persoalan.
"Aku sudah mengkhawatirkan itu."
"Trailer tua. Usang dan jorok. Pearl sudah marah-marah melihatnya."
"itu takkan terjadi lagi," katanya, dan aku tahu bahwa ayahku akan mendapatkan omelan panjang. "Pergi sana, bantu kakekmu."
Aku menghabiskan dua minggu sebelumnya di gudang itu. bersama ibuku, menyapu dan membersihkan lotengnya, mencoba menyiapkan rumah yang layak bagi orang-orang Meksiko itu. Kebanyakan petani menempatkan mereka di rumah-rumah tak berpenghuni atau di gudang. Ada kabar angin bahwa Ned Shackleford. yang tinggal tiga mil di sebelah selatan, menyuruh orang-orangnya tinggal bersama ayam.
Tapi tidak demikian halnya di tanah pertanian keluarga Chandler. Karena kurang tempat bernaung, orang-orang Meksiko itu akan terpaksa tinggal di loteng gudang kami. tapi takkan ada setitik pun kotoran di sana. Dan baunya pun segar. Selama setahun ibuku telah mengumpulkan selimut-selimut tua untuk mereka pakai tidur.
Aku menyelinap masuk ke dalam gudang, tapi tetap tinggal di bawah, di samping kandang Isabel. Isabel adalah sapi perah kami. Pappy mengatakan bahwa dalam Perang Dunia Pertama dulu, nyawanya pernah diselamatkan oleh seorang gadis Prancis bernama Isabel, dan untuk mengenang
nya, ia menamai sapi itu dengan nama gadis tersebut. Nenekku tidak pernah percaya cerita itu.
Aku bisa mendengar mereka di atas, bergerak kian kemari, menata tempat itu. Pappy sedang berbicara dengan Miguel, yang terkesan melihat keadaan loteng yang bersih dan nyaman. Pappy menerima pujian itu seakan-akan dia dan dia sendirilah yang membersihkan tempat tersebut.
Padahal sebelumnya ia dan Gran merasa skeptis terhadap upaya ibuku menyediakan tempat yang layak bagi para pekerja itu. Ibuku dibesarkan di sebuah pertanian kecil di tepi Black Oak, jadi ia sebenarnya hampir seorang gadis kota. ia bahkan besar bersama anak-anak yang terlalu baik untuk memetik kapas. Ia tidak pernah berjalan kaki ke sekolah-ayahnya mengantarnya dengan mobil, ia pernah tiga kali pergi ke Memphis sebelum menikah dengan ayahku. Ia dibesarkan di sebuah rumah bercat.
Tiga Kami, keluarga Chandler, menyewa lahan kami dari Mr. Vogel di Jonesboro. Aku belum pernah melihatnya. Namanya jarang disebut-sebut, tapi bila nama itu menyelinap dalam suatu percakapan, nama itu biasanya diucapkan dengan hormat dan kagum. Kupikir dia orang paling kaya di dunia.
Pappy dan Gran menyewa tanah itu sejak sebelum masa Depresi Besar, yang datang lebih awal dan tinggal lebih lama di daerah pedesaan Arkansas. Sesudah tiga puluh tahun kerja keras membanting tulang, mereka berhasil membeli rumah itu dari Mr. Vogel, beserta tiga ekar lahan yang mengitarinya. Mereka juga memiliki traktor John Deere, dua mesin bajak, sebuah mesin penanam benih, sebuah trailer kapas, sebuah trailer bak terbuka, dua ekor bagal, sebuah kereta, dan truk itu. Ayahku punya perjanjian yang tidak jelas bahwa ia adalah pemilik sebagian aset ini. Akta tanah itu adalah atas nama Eli dan Ruth Chandler.
Satu-satunya petani yang menghasilkan uang adalah mereka yang memiliki tanah sendiri. Para penyewa, seperti kami, sekadar berusaha untuk impas. Para petani bagi hasil lebih parah lagi, dan mereka seperti dikutuk untuk hidup dalam kemiskinan abadi.
Tujuan ayahku adalah memiliki lahan seluas empat puluh ekar. lunas dan bebas dari utang. Ibuku menyimpan sendiri impian-impiannya, dan hanya menceritakannya padaku sesudah aku lebih dewasa. Tapi aku sudah tahu bahwa ia sangat ingin meninggalkan kehidupan di pedesaan, dan bertekad bahwa aku tidak akan bertani. Saat aku berusia tujuh tahun, ia sudah berhasil meyakinkanku bahwa aku memang tidak akan menjadi petani.
Setelah puas bahwa orang-orang Meksiko itu sudah ditempatkan dengan layak, ia menyuruhku pergi mencari ayahku Saat itu sudah senja, matahari sudah turun di balik pepohonan yang berjajar memagari Sungai St. Francis. Sudah waktunya ayahku menimbang karung kapasnya untuk terakhir kali, dan mengakhiri hari ini.
Aku jalan bertelanjang kaki sepanjang jalan tanah di antara dua ladang, mencarinya. Tanah itu hitam dan subur, lahan pertanian Delta yang bagus dan memberi hasil cukup untuk membuat orang terikat padanya. Di depan, aku melihat sebuah trailer kapas, dan aku tahu ia tentu sedang menuju ke sana.
Jesse Chandler adalah anak laki-laki sulung Pappy dan Gran. Adik laki-lakinya. Ricky, berusia sembilan belas tahun dan sedang bertempur di suatu tempat di Korea. Ada dua saudara perempuan yang langsung kabur meninggalkan tanah pertanian itu, begitu mereka menyelesaikan sekolah menengah.
Ayahku tidak kabur. Ia bertekad untuk menjadi petani, seperti ayah dan kakeknya, kecuali bahwa ia akan menjadi Chandler pertama yang memiliki lahan sendiri. Aku tidak tahu apakah ia punya impian-impian tentang kehidupan di luar ladang-ladang tersebut. Seperti kakekku, ia dulu seorang pemain bisbol yang hebat, dan aku yakin dulu ia tentu pernah bermimpi menikmati kejayaan sebagai pemain di liga utama. Namun sebutir peluru Jerman menembus pahanya di Anzio pada awal tahun 1944, dan berakhirlah karier bisbolnya.
Ia berjalan dengan langkah sedikit pincang, tapi begitulah cara jalan kebanyakan orang yang bekerja keras di ladang kapas.
Aku berhenti di trailer yang hampir kosong itu. Trailer itu ada di jalan sempit di ladang kapas, menunggu diisi. Aku menaikinya. Di se
kelilingku, di seluruh penjuru, deretan-deretan batang kapas hijau dan cokelat rapi terbentang hingga ke jajaran pohon yang membatasi lahan kami. Di pucuk batang-batang itu. kuntum-kuntum kapas gemuk merekah. Kapas itu setiap menit makin hidup, maka ketika aku berdiri di belakang trailer dan mengamati ladang-ladang itu, yang kulihat adalah bentangan samudra putih. Ladang itu sunyi- tak ada suara, tak ada bunyi mesin traktor, tak ada mobil di jalan. Selama beberapa saat, ketika bergelantungan di trailer itu, aku hampir bisa memahami mengapa ayahku ingin menjadi petani.
Aku hampir tak bisa melihat topi jerami tuanya di kejauhan, ketika ia bergerak di antara deretan kapas. Aku melompat turun dan bergegas menyongsongnya. Dengan mendekatnya senja, jarak antara deretan-deretan itu jadi makin gelap. Karena matahari dan hujan telah bekerja sama dengan baik. daun-daun itu menjadi penuh dan tebal, saling bertaut dan menggesekku ketika aku berjalan cepat menghampiri ayahku.
"Kaukah itu, Luke"" ia berseru, tahu benar bahwa tidak ada orang lain lagi yang akan datang mencarinya.
"Ya, Sir!" aku menjawab sambil bergerak ke arah suara itu. "Kata Mom, sudah saatnya berhenti!" "Oh, dia bilang begitu""
"Ya, Sir." Aku ternyata selisih satu deret darinya. Aku menerobos di antara batang-batang tersebut dan di sanalah dia, membungkuk hingga ke pinggang dua tangan bergerak di antara dedaunan, dengan cekatan memetik kapas dan memasukkannya ke dalam karung yang sudah hampir penuh tersandang pada pundaknya. Ia sudah berada di ladang sejak matahari terbit, hanya beristirahat untuk makan siang.
"Apa kalian sudah mendapatkan bantuan"" ia bertanya tanpa melihat padaku.
"Ya. Sir." kataku bangga. "Orang-orang Meksiko dan orang-orang pegunungan."
"Berapa banyak orang Meksiko""
"Sepuluh," kataku, seolah-olah aku sendiri yang menghitung mereka.
"Bagus. Siapa orang-orang pegunungan itu""
"Keluarga Spruill. Aku lupa dari mana asal mereka."
"Berapa banyak"" Ia menyelesaikan satu batang dan maju ke depan, karung yang berat itu bergeser di belakangnya.
"Satu truk penuh. Sulit mengetahuinya. Gran marah, sebab mereka berkemah di halaman depan, bahkan membuat perapian di home plate itu. Padahal Pappy menyuruh mereka berkemah di sebelah sih. Aku mendengarnya. Menurutku mereka tidak terlalu pintar."
"Jangan berkata begitu."
"Ya, Sir. Bagaimanapun, Gran tidak terlalu senang."
"Dia akan baik-baik. Kita butuh orang-orang pegunungan itu."
"Ya, Sir. Pappy juga bilang begitu. Tapi aku tidak senang mereka merusak home plate itu."
"Saat ini panen lebih penting daripada bisbol."
"Aku kira begitu." Mungkin begitulah menurut pendapatnya.
"Bagaimana keadaan orang-orang Meksiko itu""
"Tidak terlalu baik. Mereka dijejalkan dalam trailer lagi, dan Mom juga tidak terlalu senang dengan itu."
Tangan ayahku berhenti sesaat ketika ia membayangkan musim dingin penuh percekcokan lagi. "Mereka senang berada di sini," ia berkata, tangannya bergerak lagi.
Aku maju beberapa langkah ke arah trailer di kejauhan, lalu berpaling mengamatinya lagi. "Bilang saja pada Mom."
Ia memandangku sebelum berkata, "Apa Juan ikut datang""
"Tidak " "Sayang." Aku sudah bicara tentang Juan selama satu tahun. Musim gugur lalu ia berjanji padaku bahwa ia akan kembali. "Tidak apa," kataku. "Orang baru ini namanya Miguel. Dia menyenangkan."
Aku bercerita pada ayahku tentang perjalanan ke kota, bagaimana kami menemukan keluarga Spruill, tentang Tally dan Trot serta laki-laki muda bertubuh kekar di bak truk, kemudian kembali ke kota di mana Pappy bertengkar dengan si pengurus buruh itu, perjalanan ke pabrik kapas, kemudian tentang orang-orang Meksiko itu. Seluruhnya aku yang berbicara, sebab pengalamanku hari itu jelas jauh lebih penuh warna daripada pengalaman ayahku.
Sampai di trailer, ayahku mengangkat tali karung kapasnya dan menggantungkannya pada kaitan di bawah timbangan. Jarum timbangan berhenti pada lima puluh delapan pon. Ayahku menuliskannya di sebuah buku besar tua dan usang yang terikat pada trailer.
"Berapa"" Aku bertanya ketika ia menutup buku. "Empat tujuh puluh." "Triple
" kataku ia mengangkat pundak dan berkata. "Lumayan."
Lima ratus pon setara dengan satu kali home run. sesuatu yang ia capai dua hari sekali. Ia berjongkok dan berkata, "Naiklah."
Aku melompat ke punggungnya, dan kami mulai berjalan ke rumah. Kemeja dan overall-nya basah oleh keringat, dan itu sudah sepanjang hari, tapi lengannya masih seperti baja. Pop Watson bercerita padaku bahwa Jesse Chandler pernah memukul bola bisbol sampai mendarat di tengah Main Street. Pop dan Mr. Snake Wilcox, si pemangkas rambut, mengukurnya keesokan hari, dan mulai menceritakan pada orang-orang bahwa bola itu terbang sejauh 440 kaki. Tapi pendapat lain yang menjelekkan mulai muncul dari Tea Shoppe, di mana Mr. Junior mengatakan, dengan sangat keras, bahwa bola itu setidaknya memantul satu kali sebelum jatuh ke Main Street.
Pop dan Junior tidak mau bicara satu sama lain selama berminggu-minggu. Ibuku membenarkan adanya perselisihan itu. tapi tidak mengenai home run tersebut.
Ibu sedang menunggu kami di dekat pompa air. Ayahku duduk di bangku panjang, menanggalkan sepatu bot dan kaus kaki. Kemudian ia membuka overall-nya dan menanggalkan kemeja.
Salah satu tugas rutinku di waktu fajar adalah mengisi ember mandi dengan air dan membiarkannya terjemur matahari sepanjang hari. sehingga ada air hangat untuk ayahku setiap sore. Ibuku mencelupkan handuk kecil ke dalam ember, dan dengan lembut menggosok lehernya.
Ibuku dibesarkan di sebuah rumah yang penuh dengan anak perempuan, dan banyak diasuh oleh dua orang bibi yang sangat ketat. Kurasa mereka mandi lebih sering daripada para petani, dan kegemarannya akan kebersihan menular pula pada ayahku. Setiap Sabtu sore aku digosok bersih-bersih, tak peduli apakah aku membutuhkannya atau tidak.
Sesudah ayahku mandi dan mengeringkan badan, ibuku memberikan sebuah kemeja bersih. Tibalah saat untuk menyambut tamu-tamu kami. Dalam sebuah keranjang besar, ibuku sudah mengumpulkan sayur-sayurannya yang terbaik, tentu saja semuanya dipetik sendiri, dan dicuci dalam dua jam itu. Tomat Indian, bawang Vidalia. kentang berkulit merah, pa prika hijau dan merah, jagung. Kami membawanya ke belakang gudang, tempat orang-orang Meksiko itu beristirahat dan bercakap-cakap serta menunggu perapian kecil mereka menyala kecil, sehingga mereka bisa membuat tortilla. Aku memperkenalkan ayahku pada Miguel, yang kemudian memperkenalkan seluruh anggotanya.
Si Koboi duduk seorang diri, bersandar pada gudang, tidak bergerak untuk menyapa kami. Aku bisa melihatnya mengawasi ibuku dari bawah pinggiran topinya. Sesaat aku merasa takut; lalu kusadari bahwa Jesse Chandler akan mematahkan lehernya yang kurus itu seandainya ia mengambil langkah keliru.
Kami sudah belajar banyak dari orang-orang Meksiko itu tahun sebelumnya. Mereka tidak makan kacang-kacangan, labu, terong, atau lobak, tapi lebih suka tomat, bawang, kentang, lada, dan jagung. Dan mereka tidak akan pernah minta makanan dari kebun kami. Makanan itu harus ditawarkan.
Ibuku menjelaskan pada Miguel dan orang-orang itu bahwa kebun kami penuh, dan ia akan membawakan sayuran untuk mereka dua hari sekali. Mereka tidak perlu membayar makanan tersebut. Itu adalah bagian dari imbalan mereka.
Kami membawa satu keranjang lain ke depan rumah, di mana perkemahan Spruill sepertinya makin meluas setiap jam. Mereka sudah merambah lebih jauh di halaman, dan lebih banyak lagi kardus-kardus dan karung-karung guni berserakan. Mereka menumpangkan tiga helai papan di atas sebuah kotak di satu ujung, dan sebuah tong di ujung lain untuk dijadikan meja, dan mereka sedang berkerumun di sekelilingnya, menyantap makan malam, ketika kami mendatangi mereka. Mr. Spruill berdiri dan menjabat tangan ayahku.
"Leon Spruill," ia berkata dengan makanan di bibir. "Senang bertemu dengan Anda "
"Senang kalian ada di sini." ayahku berkata dengan ramah.
"Terima kasih," kata Mr. Spruill sambil menarik naik celananya. "Ini istriku, Lucy." Wanita itu tersenyum dan terus mengunyah perlahan-lahan.
"Ini anak perempuanku. Tally," ia berkata sambil menunjuk. Ketika Tally melihatku, aku bisa merasakan pipiku p
anas. "Dan ini kemenakan-kemenakanku. Bo dan Dale," katanya sambil mengangguk ke arah dua pemuda yang sedang beristirahat di kasur ketika tadi mereka berhenti di jalan raya. Mereka masih remaja, mungkin umur lima belasan. Dan duduk di samping mereka adalah si raksasa yang pertama kali kulihat sedang setengah tidur di buntut bak truk.
"Ini anak laki-lakiku. Hank," kata Mr. Spruill. Hank sedikitnya sudah berumur dua puluh tahun, dan pasti sudah cukup dewasa untuk berdiri dan berjabat tangan. Namun ia terus makan. Dua rahangnya menggelembung, barangkali terisi roti jagung. "Dia makan banyak," Mr. Spruill berkata, dan kami mencoba tertawa.
"Dan ini Trot," katanya. Trot tak pernah mengangkat muka. Lengan kirinya yang lumpuh menggelantung di sisinya. Ia menggenggam sebuah sendok dengan tangan kanan. Kedudukannya dalam keluarga itu tidak dijelaskan.


Rumah Bercat Putih A Painted House Karya John Grisham di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ibuku menyerahkan keranjang besar berisi sayur-mayur itu, dan untuk sesaat Hank berhenti mengunyah dan mengangkat muka melihat pasokan segar tersebut. Kemudian ia kembali menyantap kacangnya. "Tomat dan jagungnya sangat bagus tahun ini," ibuku berkata. "Dan ada banyak. Beritahu saja apa yang kalian suka."
Tally mengunyah perlahan-lahan dan menatapku. Aku menunduk memandangi kakiku.
"Anda baik sekali, Ma'am," kata Mr. Spruill, dan Mrs. Spruill menambahkan ucapan terima kasih singkat. Keluarga Spruill tidak tampak kekurangan makanan Hank bertubuh besar, dengan dada tebal yang hanya menyempit sedikit di bagian yang bersambung dengan lehernya. Mr. dan Mrs. Spruill memiliki perawakan kekar dan tampak kuat. Bo dan Dale bertubuh ramping, tapi tidak kurus. Tally, tentu saja, memiliki proporsi yang sempurna. Hanya Trot yang kurus kering.
"Kami tidak bermaksud menyela makan malam kalian," ayahku berkata, dan kami bersiap meninggalkan mereka.
"Sekali lagi terima kasih." kata Mr. Spruill.
Aku tahu dari pengalaman bahwa dalam waktu singkat kami akan tahu lebih banyak tentang keluarga Spruill daripada yang kami inginkan. Mereka akan berbagi tanah kami, air kami, kakus kami. Kami akan membawakan sayur-sayuran dari kebun, susu dari Isabel, telur dari kandang ayam. Kami' akan mengundang mereka ke kota pada hari Sabtu, dan ke gereja pada hari Minggu. Kami akan bekerja di samping mereka di ladang sejak matahari terbit sampai menjelang gelap, enam hari seminggu. Dan ketika panen berakhir, mereka akan pergi dan kembali ke pegunungan. Pepohonan akan gugur daunnya, musim dingin akan tiba, dan kami akan menghabiskan malam-malam dingin berkerumun di sekeliling perapian sambil bertukar cerita tentang keluarga Spruill.
Makan malam terdiri atas kentang, diiris tipis dan digoreng, kacang okra rebus, jagung rebus, dan roti jagung panas-tapi tanpa daging, karena saat itu sudah menjelang musim gugur, dan karena kami makan daging panggang sehari sebelumnya. Gran menggoreng ayam dua kali seminggu, tapi tak pernah pada hari Rabu. Kebun ibuku menghasilkan cukup tomat dan bawang untuk memberi makan seluruh Black Oak, maka setiap bersantap ia selalu mengiris satu piring untuk disajikan.
Dapur itu sempit dan panas. Sebuah kipas angin bundar berputar gemeretak di atas lemari es, berusaha agar udara terus bersirkulasi sementara ibu dan nenekku menyiapkan makan malam. Gerakan mereka lambat, tapi tetap. Mereka letih, dan hawa terlalu panas untuk bergegas.
Mereka tidak terlalu saling menyukai, tapi keduanya bertekad untuk hidup berdampingan dengan damai. Aku tidak pernah mendengar mereka bertengkar, tak pernah mendengar ibuku mengatakan apa pun yang buruk tentang mertuanya. Mereka hidup di rumah yang sama, memasak makanan yang sama. membersihkan cucian yang sama. memetik kapas yang sama. Dengan banyaknya pekerjaan yang harus diselesaikan, siapa punya waktu untuk cekcok"
Tapi Gran memang lahir dan dibesarkan di pertanian kapas. Ia tahu bahwa ia akan dikuburkan di tanah tempat ia bekerja. Ibuku merindukan lepas dari sana.
Melalui ritual harian, tanpa bicara mereka telah menegosiasikan suatu cara untuk membagi pekerjaan dapur. Gran bekerja di dekat kompor, memeriksa roti jagung, mengaduk kentang, okra, dan jagung
. Ibuku berada di dekat wastafel, tempat ia mengupas tomat dan menumpuk piring-piring kotor Aku mengamati ini dari meja dapur, tempat aku duduk setiap malam dan mengupas mentimun dengan pisau pengupas. Mereka berdua mencintai musik, dan sekali-sekali salah satunya akan bersenandung, sementara yang lain bernyanyi lembut. Musik membuat ketegangan itu terkubur.
Tapi tidak malam ini. Mereka terlalu sibuk untuk bernyanyi dan bersenandung. Ibuku sedang resah memikirkan kenyataan bahwa orang-orang Meksiko itu diangkut seperti ternak. Nenekku cemberut karena keluarga Spruill menjajah halaman depan kami.
Pukul enam tepat, Gran menanggalkan celemek dan duduk di depanku. Ujung meja itu ditempelkan pada dinding, dan berfungsi sebagai rak besar untuk mengumpulkan segala macam benda. Di tengahnya ada sebuah radio RCA dengan kotak dari kayu kenari. Ia menghidupkannya dan tersenyum padaku.
Siaran berita radio CBS disampaikan oleh Edward R. Murrow, langsung dari New York. Selama satu minggu telah terjadi pertempuran sengit di semenanjung Pyongyang, di dekat Laut Jepang, dan dari peta tua yang disimpan Gran di meja kecil sebelah ranjangnya, kami tahu bahwa divisi infanteri Ricky berada di daerah itu. Surat terakhirnya tiba dua minggu sebelumnya. Surat itu berupa catatan pendek yang ditulis cepat-cepat, tapi menyiratkan kesan bahwa ia sedang berada di tengah berkecamuknya suasana.
Selesai membacakan berita utama tentang ketegangan dengan Rusia, Mr. Murrow mulai tentang Korea, dan Ciran memejamkan mata. Ia menangkupkan tangan, menempelkan kedua telunjuk ke bibir, dan menunggu.
Aku tidak tahu pasti apa yang ia nantikan. Mr. Murrow tidak akan mengumumkan kepada negeri ini bahwa Ricky Chandler telah tewas atau masih hidup.
Ibuku juga mendengarkan. Ia berdiri memunggungi wastafel, menyeka tangan dengan handuk, menatap kosong ke meja. Ini terjadi hampir setiap malam, sepanjang musim panas dan gugur tahun 1952.
Berbagai upaya perdamaian telah dimulai, lalu ditinggalkan. Pihak Cina mundur, kemudian menyerang lagi. Melalui laporan-laporan Mr. Murrow dan surat-surat Ricky, kami membayangkan perang tersebut.
Pappy dan ayahku tidak mau mendengarkan berita. Mereka menyibukkan diri di luar, di gudang perabot atau pompa air, melakukan pekerjaan-pekerjaan kecil yang seharusnya bisa ditunda, bicara tentang panen, mencari-cari sesuatu untuk dikhawatirkan selain Ricky. Mereka berdua pernah bertempur dalam perang. Mereka tidak butuh Mr. Murrow di New York untuk membacakan berita teleks dari koresponden di Korea, dan memberitahu seluruh negeri apa yang terjadi dalam pertempuran satu atau yang berikutnya. Mereka tahu.
Apa pun ukurannya, berita dari Korea malam itu termasuk pendek, dan di rumah pertanian kami yang kecil, ini dipandang baik. Mr. Murrow melanjutkan dengan berita-berita lain, dan Gran akhirnya tersenyum padaku. "Ricky baik-baik saja," katanya sambil menggosok tanganku. "Dia akan segera pulang."
Ia layak meyakini hal ini. ia pernah dua tahun menunggu Pappy dalam Perang Dunia Pertama, dan ia pernah berdoa jarak jauh bagi ayahku dan kesembuhan luka-lukanya dalam Perang Dunia Kedua. Anak-anaknya selalu pulang, dan Ricky tidak akan mengecewakan kami.
Gran mematikan radio. Kentang dan okra itu membutuhkan perhatiannya. Ia dan ibuku kembali memasak, dan kami menunggu Pappy melangkah masuk melalui pintu kasa belakang.
Kurasa Pappy siap menghadapi yang terburuk dari perang. Sejauh ini keluarga Chandler beruntung. Pappy tidak mau mendengarkan berita, tapi ia ingin tahu apakah keadaan tampak baik atau buruk Setelah tahu radio dimatikan, ia biasanya memasuki dapur. Ia berhenti di meja dan mengacak-acak rambutku. Gran memandangnya. Ia tersenyum dan berkata, "Tidak ada berita buruk."
Ibuku menceritakan padaku bahwa Gran dan Pappy sering kali tidur kurang dari satu atau dua jam, sebelum terjaga dan mengkhawatirkan putra bungsu mereka. Gran yakin Ricky akan pulang. Pappy tidak.
Pukul setengah tujuh, kami duduk di sekeliling meja, saling berpegangan tangan dan berdoa mengucapkan syukur atas semua makanan dan rezeki. Pappy yang memimpin doa, pa
ling tidak sewaktu makan malam, ia mengucapkan terima kasih atas kehadiran orang-orang Meksiko itu serta keluarga Spruill, dan untuk panen yang baik. Aku berdoa diam-diam, dan hanya bagi Ricky. Aku bersyukur atas makanan, tapi itu rasanya tidak sepenting Ricky.
Orang-orang dewasa itu makan perlahan-lahan, dan tak ada yang mereka bicarakan selain kapas. Aku tidak diharapkan banyak bicara. Gran terutama berpendapat bahwa anak-anak cuma untuk dilihat, bukan untuk didengar.
Aku ingin pergi ke gudang, memeriksa orang-orang Meksiko itu. Aku juga ingin menyelinap ke depan, dan mungkin melihat Tally sepintas. Ibuku mencurigai sesuatu, dan ketika kami selesai makan, ia menyuruhku membantu mencuci piring. Sebenarnya aku lebih suka kena pukulan, tapi aku tak punya pilihan.
Kami pergi ke teras depan untuk duduk-duduk. Kelihatannya ini ritual yang cukup sederhana, tapi sesungguhnya tidak. Pertama-tama, kami memberi kesempatan bagi perut untuk mencerna makanan, kemudian kami mengalihkan perhatian pada bisbol. Kami menyalakan radio, dan Harry Caray dari KMOX di St. Louis akan melaporkan permainan regu Cardinals kecintaan kami dengan terperinci. Ibu dan nenekku mengupas kacang polong dan kacang kuning. Pembicaraan yang belum terselesaikan dalam gosip makan malam akan disimpulkan di sini. Tentu saja hasil panen menjadi pembicaraan yang tak ada habisnya.
Tapi malam itu hujan turun di St. Louis yang jaraknya dua ratus" mil dari sini, dan pertandingan dibatalkan. Aku duduk di tangga, memegangi sarung tangan Rawlings milikku, meremas-remas bola bisbol di dalamnya, menyaksikan bayang-bayang keluarga Spruill di kejauhan, dan tak hentinya bertanya dalam hati, bagaimana orang bisa begitu tanpa pikir membuat perapian pada home plate.
Radio untuk di luar itu adalah sebuah radio General Electric kecil yang dibeli ayahku di Boston, ketika ia meninggalkan rumah sakit saat perang dulu. Keberadaannya hanyalah untuk membawakan The Cardinals dalam kehidupan kami. Kami jarang melewatkan pertandingan. Radio itu bertengger di atas sebuah kotak kayu, dekat ayunan yang berkeriutan, tempat para pria dewasa duduk. Ibu dan nenekku duduk di kursi kayu berbantalan tak jauh dari sana. di sisi lain teras, sambil memipil kacang polong. Aku ada di tengah, di tangga depan.
Sebelum orang-orang Meksiko itu tiba, kami punya kipas angin portabel yang kami letakkan dekat pintu kasa Setiap malam kipas itu berdengung lirih dan berusaha mendorong udara yang berat agar bergerak, supaya hawa panas tidak terlalu menekan. Tapi, karena ibuku, kipas itu kini ada di loteng gudang kami. Masalah ini telah mengakibatkan perselisihan, meskipun sebagian besar berusaha disingkirkan dariku.
Dan demikianlah, malam itu sangat sepi-tidak ada pertandingan bisbol, tidak ada kipas angin -hanya percakapan lamban petani-petani yang kelelahan, menunggu suhu udara turun beberapa derajat lagi.
Hujan di St. Louis memicu para pria itu untuk mengkhawatirkan cuaca. Sungai-sungai di Delia Arkansas banjir dengan irama teratur yang mengesalkan. Setiap empat atau lima tahun, sungai-sungai itu meninggalkan tepiannya dan menyapu tanaman kami. Aku belum pernah mengalami banjir, tapi aku sudah begitu banyak mendengar tentangnya, sehingga aku merasa seperti seorang veteran. Kami biasa berdoa berminggu-minggu, memohon hujan yang baik. Hujan akhirnya turun, dan segera setelah tanah menjadi basah, Pappy dan ayahku mulai mengamati awan dan menuturkan cerita-cerita tentang banjir.
Keluarga Spruill mulai beristirahat. Suara mereka samar-samar menghilang. Aku dapat melihat bayang-bayang mereka bergerak di seputar tenda Perapian mereka mulai meredup, lalu padam.
Semuanya hening di tanah pertanian Chandler. Kami sudah mendapatkan orang-orang pegunungan. Kami sudah mendapatkan orang-orang Meksiko. Kapas pun sudah menunggu.
Empat PADA suatu titik tertentu dalam kegelapan malam yang pekat, Pappy-yang menjadi weker kami terjaga, memakai sepatu larsnya, dan mulai hilir-mudik di dapur, membuat sepoci kopi pertama. Rumah kami tidak besar tiga kamar tidur, satu dapur, satu mang keluarga -dan sudah begitu
tua, sehingga papan lantainya melesak di beberapa tempat. Kalau satu orang memilih untuk membangunkan yang lain, maka ia pasti bisa melakukannya.
Aku diperkenankan tinggal di ranjang sampai ayahku menjemput. Namun sulit sekali untuk tidur, dengan berbagai macam orang di pertanian dan kapas yang siap dipetik. Aku sudah terjaga ketika ayahku meng-guncang-guncangku dan mengatakan sudah saatnya pergi. Aku berpakaian dengan cepat, dan menemuinya di teras belakang.
Belum ada tanda-tanda matahari terbit ketika kami melintasi halaman belakang, embun membasahi sepatu lars kami. Kami berhenti di kandang ayam, ayahku membungkuk rendah dan menyelinap ke dalamnya. Aku diperintahkan menunggu di depannya, karena bulan lalu, sewaktu mengumpulkan telur dalam kegelapan, aku menginjak seekor ular tikus besar dan menangis selama dua hari. Mulanya ayahku tidak begitu bersimpati; ular tikus tidak berbahaya, dan merupakan bagian kehidupan di pertanian. Namun ibuku campur tangan dengan gusar, dan untuk sementara ini. aku tidak diperkenankan mengumpulkan telur sendirian.
Ayahku mengisi sebuah keranjang anyam dengan selusin telur dan mengangsurkannya padaku. Kami menuju gudang, di mana Isabel sudah menunggu. Sekarang, karena kami sudah membangunkan ayam-ayam itu, jago-jagonya mulai berkokok.
Cahaya satu-satunya berasal dari bola lampu pucat yang tergantung dari loteng penyimpan jerami. Orang-orang Meksiko itu sudah bangun. Perapian sudah dinyalakan di belakang lumbung, dan mereka berkerumun di dekatnya, seakan-akan kedinginan. Aku sudah merasa hangat karena udara yang lengas.
Aku bisa memerah susu, dan kebanyakan itu adalah tugasku di waktu pagi. Tapi ular itu masih membuatku takut, ditambah lagi kami dalam keadaan terburu-buru, sebab kami harus berada di ladang saat matahari muncul. Ayahku dengan cepat memerah dua galon; kalau aku yang mengerjakan, pasti butuh waktu setengah pagi. Kami membawa semua itu ke dapur, di mana para wanita menjadi penanggung jawabnya. Daging asap sudah siap di penggorengan, aromanya yang sedap tercium pekat di udara.
Sarapan pagi terdiri atas telur segar, susu, daging asin asap, dan biskuit panas, dengan sorghum sebagai pilihan. Sementara mereka memasak, aku duduk di kursiku, menelusurkan jemariku di kain taplak kotak kotak yang lembap, dan menunggu secangkir kopi untukku. Itu satu-satunya kebiasaan buruk yang diperkenankan oleh ibuku.
Gran meletakkan cangkir dan tatakannya di hadapanku, kemudian mangkuk gula dan krim segar. Aku meramu kopi itu hingga rasanya jadi semanis malt, kemudian menghirupnya perlahan-lahan.
Saat sarapan, percakapan di dapur itu dipertahankan hingga tingkat minimum. Sungguh menggairahkan ada begitu banyak orang tak dikenal di pertanian kami untuk memanen, tapi perasaan antusias itu tersumbat oleh kenyataan bahwa kami akan menghabiskan dua belas jam mendatang di bawah terik matahari, tanpa naungan, membungkukkan badan, memetik sampai jari-jari kami berdarah.
Kami makan dengan cepat, ayam-ayam jago itu sudah ribut di halaman samping. Biskuit nenekku berat dan bundar sempurna, dan begitu hangat sehingga ketika aku meletakkan seiris mentega di tengahnya, mentega itu meleleh seketika. Aku mengamati cairan kuning itu merembes ke dalam biskuit, lalu menggigitnya. Ibuku mengakui bahwa Ruth Chandler membuat biskuit paling lezat yang pernah ia cicipi. Aku ingin sekali makan dua atau tiga. seperti ayahku, tapi perutku tak bisa menampungnya. Ibuku makan satu, sama seperti Gran. Pappy makan dua, ayahku tiga. Beberapa jam nanti, di pertengahan pagi, kami akan berhenti sebentar di bawah naungan pohon atau di samping trailer kapas untuk makan sisa biskuit itu.
Sarapan berjalan lamban di musim dingin, sebab tak banyak yang harus dikerjakan. Irama itu agak lebih cepat di musim semi ketika mulai menanam, dan di musim panas ketika kami menyiangi tanaman. Tapi, selama panen musim gugur, dengan matahari memburu, kami makan secepat-cepatnya.
Ada sedikit pembicaraan mengenai cuaca. Hujan di St. Louis, yang tadi malam mengakibatkan pertandingan The Cardinals dibatalkan, membebani pikiran Pappy. St.
Louis begitu jauh letaknya, sehingga tak seorang pun di seputar meja itu. kecuali Pappy. pernah ke sana, tapi cuaca kota itu kini menjadi unsur penting dalam memanen tanaman kami. Ibuku mendengarkan dengan sabar. Aku tidak mengucapkan sepatah kata pun.
Ayahku sudah membaca The Almanac, dan mengajukan pendapat bahwa cuaca akan bekerja sama dengan baik sepanjang bulan September Namun bulan Oktober tampaknya tidak menggembirakan. Cuaca buruk sedang mendatangi. Selama enam minggu mendatang, kami mesti bekerja sampai jatuh kepayahan. Semakin keras kami bekerja, semakin keras orang-orang Meksiko dan keluarga Spruill bekerja. Begitulah omongan ayahku untuk memompakan semangat
Masalah pekerja harian muncul. Mereka adalah penduduk setempat yang pergi dari tanah pertanian yang satu ke tanah pertanian yang lain, mencari penawaran terbaik Mereka kebanyakan adalah orang orang kota kecil yang kami kenal Selama musim gugur yang lalu. Miss Sophie Turner, yang mengajar di kelas lima dan enam, menganugerahkan kehormatan besar pada kami ketika ia memilih bekerja di ladang kami.
Kami membutuhkan semua pekerja harian yang bisa kami dapatkan, tapi mereka umumnya memetik di mana saja yang mereka inginkan.
Setelah menghabiskan suapan terakhir, Pappy mengucapkan terima kasih kepada istrinya dan ibuku atas makanan lezat itu, dan meninggalkan mereka untuk membersihkan meja makan Aku berjalan ke teras belakang bersama para pria itu.
Rumah kami menghadap ke selatan, gudang dan ladang berada di utara dan barat, dan di timur aku melihat secercah warna oranye mengintip di atas bentangan pertanian Delta Arkansas yang datar. Matahari mulai muncul, tak gentar oleh awan. Kemejaku sudah lengket menempel di punggung.
Sebuah trailer bak terbuka digandengkan pada traktor John Deere, dan orang-orang Meksiko itu sudah naik di atasnya. Ayahku berjalan menghampiri untuk berbicara dengan Miguel. "Selamat pagi. Bagaimana tidur kalian" Apa kalian sudah siap bekerja"" Pappy pergi untuk memanggil keluarga Spruill.
Aku punya tempat khusus, sebuah sudut di antara spatbor dan tempat duduk traktor John Deere itu, dan aku pernah berjam-jam menghabiskan waktu di sana, mencengkeram erat tiang besi yang menyangga payung untuk menaungi si pengemudi, entah Pappy atau ayahku, sementara traktor itu beringsut lambat dengan mesin meletup-letup di ladang, membajak atau menanam atau menabur pupuk. Aku mengambil tempat dan melihat ke trailer yang berjejalan itu, orang-orang Meksiko di satu sisi. keluarga Spruill di sisi lain. Pada saat itu aku merasa diriku sangat istimewa, sebab aku duduk di traktor, dan traktor itu milik kami. Akan tetapi kepongahanku itu segera lenyap, sebab di antara batang-batang kapas itu segalanya setara.
Sejak tadi aku penasaran, apakah Trot yang malang akan pergi juga ke ladang. Memetik kapas butuh dua tangan yang baik. Dan sejauh yang bisa kulihat. Trot cuma punya satu. Tapi ia ada di sana, duduk di pinggir trailer, memunggungi semua orang, kakinya tergantung-gantung di sisi trailer, asyik dalam dunianya sendiri. Tally juga ada, namun ia tidak menyapaku, matanya menerawang ke kejauhan.
Tanpa sepatah kata, Pappy melepaskan kopling, dan traktor serta trailer itu melesat maju. Aku memeriksa untuk memastikan tidak ada yang terjatuh. Melalui jendela dapur aku bisa melihat wajah ibuku, mengamati kami sambil mencuci peralatan makan. Ia akan menyelesaikan tugasnya, menghabiskan satu jam di kebunnya, lalu bergabung dengan kami untuk bekerja keras seharian di ladang. Begitu pula Gran. Tak seorang pun beristirahat saat kapas siap dipanen.
Kami melaju melewati gudang, mesin disel itu bergemuruh, trailer berkeriutan, dan berbelok ke selatan, menuju ladang lower forty, sebidang tanah di pinggir Sungai Siler. Kami selalu lebih dulu memetik di lower forty, sebab banjir akan mulai dari sana.
Kami punya lower forty dan back forty. Delapan puluh ekar bukanlah usaha pertanian yang kecil.
Dalam beberapa menit tibalah kami di trailer kapas itu, dan Pappy menghentikan traktor. Sebelum melompat turun, aku menoleh ke timur dan melihat cahaya lampu rumah kami, tak sa
mpai satu mil dari sana. Di belakangnya, langit mulai hidup dengan semburat warna Jingga dan kuning. Tak terlihat ada awan sedikit pun. dan ini berarti takkan ada banjir dalam waktu dekat. Itu juga berarti takkan ada keteduhan naungan dari matahari yang membakar.
Tally berkata sambil berjalan lewat. "Selamat pagi, Luke."
Aku berusaha membalas sapaannya. Ia tersenyum padaku, seolah-olah ia tahu suatu rahasia yang tidak akan pernah ia ceritakan.
Pappy tidak memberikan petunjuk apa pun. dan itu sama sekali tidak diperlukan. Pilih satu lajur dari arah mana saja. dan mulailah memetik. Tak ada obrolan basa-basi. tak ada acara meregangkan otot. tak ada obrolan prakiraan cuaca. Tanpa sepatah kata pun orang-orang Meksiko itu menyandang karung kapas mereka yang panjang di pundak, berbaris, dan pergi ke selatan. Orang-orang Arkansas pergi ke utara
Selama sesaat aku berdiri di sana, dalam temaram pagi bulan September yang sudah terasa panas, menatap satu lajur tanaman kapas yang lurus dan sangat panjang, deretan yang diserahkan padaku untuk dipetik. Aku berpikir, "Aku takkan pernah sampai ke ujungnya," dan sekonyong-konyong aku merasa letih.
Aku punya beberapa sepupu di Memphis, putra dan putri dari dua saudara perempuan ayahku, dan mereka tidak pernah memetik kapas. Anak-anak kota, tinggal di daerah pemukiman di tepi kota besar, di rumah-rumah mungil yang nyaman, dengan instalasi air di dalam rumah. Mereka kembali ke Arkansas hanya untuk menghadiri pemakaman-kadang untuk merayakan Thanksgiving. Sewaktu menatap lajur tanaman kapas yang tak berujung itu, aku memikirkan para sepupu tersebut.
Ada dua hal yang membuatku termotivasi. Pertama, dan yang paling penting, ayahku ada di satu sisi dan kakekku di sisi lain. Mereka tidak mentolerir kemalasan. Mereka sudah bekerja di ladang-ladang itu sejak masih kanak-kanak, dan aku sudah pasti mesti melakukan hal yang sama. Kedua, aku mendapatkan bayaran untuk memetik, sama seperti tenaga kerja lain di ladang itu. Satu dolar enam puluh sen tiap seratus pon. Dan aku punya rencana-rencana besar dengan uang itu. "
"Ayo," ayahku berkata tegas ke arahku. Pappy sudah berada di antara batang-batang kapas, sepuluh kaki dalam deretannya. Aku bisa melihat sosok dan topi jeraminya. Aku bisa mendengar keluarga Spruill beberapa lajur dariku. bercakap-cakap di antara mereka sendiri. Orang-orang pegunungan suka bernyanyi, dan bukan tak lazim mendengar mereka bersenandung dengan suara rendah, melantunkan lagu sedih sambil memetik. Tally menertawakan sesuatu, suaranya yang merdu bergema di ladang itu.
Ia hanya sepuluh tahun lebih tua dari aku.
Ayah Pappy dulu bertempur dalam Perang Saudara. Namanya Jeremiah Chandler, dan menurut cerita keluarga, ia nyaris seorang diri memenangkan Pertempuran Shiloh. Ketika istri kedua Jeremiah meninggal dunia, ia mengambil istri ketiga, seorang gadis setempat yang tiga puluh tahun lebih muda darinya. Beberapa tahun kemudian, wanita itu melahirkan Pappy.
Tiga puluh tahun perbedaan usia antara Jeremiah dan istrinya. Sepuluh tahun antara Tally dan aku Tidak masalah.
Dengan tekad sungguh-sungguh, kusandang karung kapas ukuran sembilan kaki milikku di punggung, talinya menyilang di pundak kanan, dan kuserang kuntum kapas pertama. Kapas itu lembap karena embun, dan itulah salah satu alasan mengapa kami mulai begitu pagi. Selama satu atau dua jam pertama, sebelum matahari naik terlalu tinggi dan memanggang segala-galanya, kapas itu empuk dan lembut bagi tangan kami. Nanti, sesudah kapas tersebut ditumpahkan ke dalam trailer, ia akan kering dan bisa dipisahkan bijinya dengan mudah. Kapas yang basah oleh air hujan tidak bisa dipisahkan bijinya dan dikemas. Setiap petani tahu hal ini dari pengalaman pahit.
Aku memetik secepat mungkin, dengan dua belah tangan, dan menjejalkan kapas itu ke dalam karung. Tapi aku harus hati-hati. Pappy atau ayahku, atau mungkin mereka berdua, akan memeriksa deretan yang kupetik pada suatu saat pagi ini. Bila aku meninggalkan terlalu banyak kapas pada tangkainya, aku akan ditegur. Seberapa keras teguran itu ditentukan oleh seberapa dekat ibu
ku denganku pada saat itu.
Secekatan mungkin, aku bekerja dengan tanganku yang kecil menerobos labirin batang-batang itu, memegang kuntum-kuntum itu, sambil sebisa mungkin menghindari durinya, karena duri itu tajam dan mengakibatkan luka berdarah. Aku merunduk dan meliuk dan beringsut maju, makin jauh tertinggal di belakang ayahku dan Pappy.
Kapas kami begitu rimbun, hingga batang dari masing-masing deretan saling lilit bertautan. Batang-batang itu menggores wajahku. Sesudah kejadian dengan ular itu. aku selalu mewaspadai setiap langkah di tanah pertanian kami, terutama di ladang, karena ada ular cottonmouth di dekat sungai. Aku pernah melihat banyak ular seperti itu dari belakang traktor John Deere ketika kami membajak dan menanam.
Tak lama kemudian aku pun sendirian, seorang bocah ditinggalkan oleh mereka yang memiliki tangan lebih cepat dan punggung lebih kuat. Matahari berubah menjadi bola oranye terang, naik dengan cepat ke posisinya untuk memanggang tanah itu sehari lagi. Ketika ayahku dan Pappy sudah tak terlihat, aku memutuskan untuk mengambil istirahat pertama. Tally adalah orang yang terdekat. Ia terpisah lima lajur dariku dan lima puluh kaki di depanku. Aku hanya bisa melihat topi denimnya yang pudar di atas tanaman kapas.
Di bawah naungan batang-batang itu, aku berbaring di atas karung kapasku, yang sesudah satu jam masih tetap kempes mengesalkan. Ada beberapa gumpalan empuk, tapi tidak terlalu berarti. Tahun sebelumnya aku diharapkan memetik lima puluh pon sehari, dan ketakutanku adalah kuota ini akan ditingkatkan
Berbaring telentang, aku mengamati langit yang bersih sempurna di antara batang-batang kapas, sambil berharap munculnya awan, dan memimpikan uang. Setiap bulan Agustus kami menerima kiriman katalog Sears, Roebuck edisi terbaru melalui pos. Saat-saat itu merupakan saat-saat yang sangat penting, setidaknya dalam hidupku. Katalog itu terbungkus kertas cokelat, dikirim langsung dari Chicago, dan Gran minta katalog itu disimpan di ujung meja dapur di samping radio dan Alkitab keluarga. Para wanita meneliti pakaian dan perabot rumah tangga. Para pria meneliti peralatan dan suku cadang mobil Tapi aku memilih bagian-bagian yang paling penting - mainan dan alat-alat olahraga. Aku diam-diam sudah membuat daftar belanja Natal dalam benakku. Aku takut menuliskan segala yang kuimpikan. Takut ada yang menemukan daftar itu dan mengira diriku tamak luar biasa, atau sakit jiwa.
Pada halaman 308 edisi terbaru ada iklan jaket-jaket hangat bisbol yang amat luar biasa. Ada jaket khusus untuk hampir setiap tim profesional Yang membuat iklan itu jadi begitu mengesankan adalah pemuda yang menjadi modelnya ternyata memakai jaket tim Cardinals, dan iklan itu berwarna. Sebuah jaket Cardinals merah terang, terbuat dan kain mengilat, kancing putih di bagian depan. Dari semua tim itu. seseorang di Sears. Roebuck ternyata memiliki kebijaksanaan luar biasa untuk memilih The Cardinals sebagai peraga.
Harga jaket itu $7.50, plus ongkos kirim. Dan jaket itu tersedia dalam ukuran anak-anak. sehingga menimbulkan kesulitan lain, sebab aku tentu akan tumbuh, padahal aku ingin memakai jaket itu sepanjang sisa hidupku.
Sepuluh hari kerja keras, dan aku tentu memiliki cukup uang untuk membeli jaket tersebut. Aku yakin belum pernah ada yang melihat jaket seperti itu di Black Oak, Arkansas, Ibuku mengatakan jaket itu terlalu mencolok, entah apa maksudnya. Ayahku mengatakan aku butuh sepatu bot. Pappy berpendapat bahwa itu cuma menghamburkan uang, tapi aku tahu bahwa ia diam-diam mengaguminya.
Saat pertama kali udara berubah dingin, aku akan memakai jaket itu ke sekolah setiap hari, dan ke gereja pada hari Minggu. Aku akan memakainya ke kota pada hari Sabtu, kilatan merah terang di tengah orang banyak berpakaian muram yang berkeliaran di trotoar. Aku akan memakainya di mana-mana, dan aku akan menjadi sasaran kecemburuan setiap anak di Black Oak (dan banyak orang dewasa pula.)
Mereka tidak akan pernah punya peluang bermain untuk The Cardinals. Aku, sebaliknya, akan jadi termasyhur di St. Louis. Penting sekali untuk mulai tampil s
ebagai sosok terkenal. "Lucas!" Sebuah suara tegas mengoyak keheningan ladang itu. Batang-batang gemeretak tak jauh dariku.
"Ya, Sir," sahutku seraya melompat berdiri, tetap merunduk rendah, menjulurkan tangan ke kuntum-kuntum kapas terdekat.
Ayahku tiba-tiba berdiri tinggi di dekatku. "Apa yang kaukerjakan"" ia bertanya.
"Aku harus buang air kecil." kataku, tanpa menghentikan gerakan tangan.
"Lama sekali," katanya, tidak yakin.
"Ya, Sir. Semua karena kopi itu." Aku mengangkat muka memandangnya. Ia tahu yang sebenarnya.
"Berusahalah untuk menyusul," ia berkata, lalu berbalik dan berjalan pergi.
"Ya, Sir," aku berkata ke punggungnya, tahu bahwa aku takkan pernah bisa menyusulnya.
*** Karung ukuran dua belas kaki seperti yang dipakai orang dewasa kira-kira berisi enam puluh pon kapas, maka pada pukul setengah sembilan atau sembilan para laki-laki dewasa sudah siap untuk menimbang. Pappy dan ayahku bertanggung jawab atas timbangan yang tergantung dari ujung trailer. Karung-karung itu dinaikkan ke salah satu di antaranya. Talinya dikaitkan pada kaitan di bagian bawah timbangan. Jarumnya akan melonjak seperti jarum panjang sebuah jam raksasa Setiap orang bisa melihat, berapa banyak yang berhasil dipetik oleh masing-masing.
Pappy mencatat data itu dalam sebuah buku kecil di dekat timbangan. Kemudian karung kapas itu dinaikkan lebih tinggi lagi dan dikosongkan ke dalam trailer. Tidak ada waktu untuk istirahat. Kau menangkap karung kosong ketika dilemparkan ke bawah. Kau memilih satu lajur lain. dan menghilang selama dua jam berikutnya.
Aku berada di tengah satu lajur tanaman kapas yang tak berujung, berkeringat, terbakar matahari, pundak melengkung, mencoba bekerja lebih cepat dengan tanganku, dan sekali-sekali berhenti untuk memantau gerakan Pappy serta ayahku, supaya bisa mengatur waktu untuk beristirahat lagi. Tapi tak pernah ada kesempatan untuk menjatuhkan kalungku. Malah sebaliknya, aku terus maju, bekerja keras, menunggu karung itu jadi berat, dan untuk pertama kalinya aku bertanya dalam hati, apakah aku benar-benar butuh jaket The Cardinals itu.
Sesudah lama sendirian di tengah ladang, aku mendengar suara traktor John Deere itu dihidupkan, dan tahulah aku bahwa saat makan siang sudah tiba.
Meski belum menyelesaikan lajur pertama, aku tidak begitu memedulikan sedikitnya kemajuan yang kucapai. Kami bertemu di traktor, dan aku melihat Trot meringkuk di lantai trailer. Mrs. Spruill dan Tally sedang memijat-mijatnya. Mulanya aku mengira ia sudah mati, lalu ia bergerak sedikit. "Dia tersengat panas," ayahku berbisik ketika mengambil karungku dan menyandangnya di pundak, seakan-akan karung itu kosong.
Aku mengikutinya ke timbangan, di mana Pappy menimbangnya dengan cepat. Semua kerja yang membungkukkan punggung itu hanya menghasilkan kapas sebanyak tiga puluh satu pon.
Ketika perhitungan dengan orang-orang Meksiko dan keluarga Spruill selesai, kami semua menuju rumah. Makan siang diadakan pukul dua belas tepat. Ibuku dan Gran sudah satu jam sebelumnya meninggalkan ladang untuk menyiapkannya.
Dari tempat dudukku di atas John Deere itu. aku memegangi tiang penyangga payung dengan tangan kiriku yang sakit dan tergores-gores, serta mengamati para pekerja itu terpental-pental di belakang. Mr. dan Mrs. Spruill sedang memegangi Trot, yang masih tak bergerak dan pucat. Tally duduk di dekatnya, kakinya yang panjang dijulurkan di lantai trailer. Bo. Dale, dan Hank seperti tak peduli pada Trot yang malang. Seperti semua lainnya, mereka kepanasan dan letih, dan siap untuk beristirahat.
Di sisi lain, orang-orang Meksiko itu duduk dalam satu deretan, pundak beradu pundak, kaki menggelantung di samping trailer, nyaris terseret menggaruk tanah. Beberapa di antara mereka tidak memakai sepatu atau lars.
Ketika kami hampir sampai di gudang, aku melihat sesuatu yang pada mulanya tak dapat kupereaya. Si Koboi, yang duduk di ujung trailer pendek itu, menoleh cepat dan melirik pada Tally. Tally seperti sudah menunggunya untuk memandang, sebab ia memberi seulas senyum manis, sama seperti yang kudapatkan. Meskipun si Koboi t
idak membalas senyuman itu, tampak jelas bahwa ia merasa senang.
Kejadian itu berlangsung sekejap, dan tak seorang pun melihatnya kecuali aku.
Lima MENURUT Gran dan ibuku, yang bersekongkol bersama, tidur siang adalah bagian penting untuk pertumbuhan yang sempurna bagi seorang anak Aku mempercayai ini hanya bila kami sedang memetik kapas. Sepanjang tahun yang tersisa, aku menentang tidur siang dengan semangat sebesar yang kucurahkan untuk merencanakan karier bisbolku.
Tapi, selama panen, setiap orang beristirahat setelah makan siang. Orang-orang Meksiko itu makan dengan cepat, lalu menggeletak di bawah sebatang pohon mapel di dekat gudang. Keluarga Spruill menyantap daging panggang dan biskuit sisa, kemudian mencari tempat berteduh juga.
Aku tidak diperkenankan memakai ranjangku, sebab badanku kotor dari ladang, jadi aku tidur di lantai kamar tidurku. Badanku lelah dan kaku karena kerja keras. Aku ngeri dengan kerja siang, karena rasanya selalu lebih panjang, dan sudah pasti lebih panas. Aku langsung tertidur, dan merasa lebih kaku lagi ketika bangun setengah jam kemudian.
Trot menimbulkan kekhawatiran di halaman depan.
Gran, yang membayangkan dirinya semacam dukun, pergi memeriksanya, sudah pasti dengan maksud untuk membuat anak itu minum ramuan buatannya yang mengerikan. Mereka membaringkannya di sebuah kasur tua di bawah pohon, dengan kompres kain basah pada keningnya. Jelaslah bahwa ia tidak bisa kembali ke ladang, dan Mr. serta Mrs. Spruill enggan meninggalkannya seorang diri.
Mereka, tentu saja. harus memetik kapas untuk mencari uang. Aku tidak. Ketika aku sedang tidak di sana, mereka sudah mengatur bahwa aku akan duduk menemani Trot, sementara orang-orang lainnya bekerja di bawah panas terik selama sisa siang itu. Kalau Trot menunjukkan tanda-tanda semakin parah, aku diharapkan lari ke lower forty dan menjemput anggota keluarga Spruill yang paling dekat. Aku mencoba kelihatan tidak senang dengan rencana ini ketika ibuku menjelaskannya padaku.
"Bagaimana dengan jaket Cardinals-ku"" aku bertanya kepadanya dengan segenap kesungguhan yang dapat kukerahkan.
"Masih banyak kapas yang tersisa untukmu," kata ibuku. "Duduk saja dengannya siang ini. Dia pasti akan membaik besok."
Tentu saja masih ada delapan puluh ekar kapas, seluruhnya harus dipetik dua kali selama dua bulan berikutnya. Kalau aku sampai kehilangan jaket Cardinals itu, masalahnya pasti bukan gara-gara Trot.
Aku menyaksikan trailer itu pergi lagi. kali ini dengan ibuku dan Gran duduk bersama para pekerja. Trailer itu berkeriut dan gemeretak menjauh dari rumah, melewati gudang, sampai ke jalan ladang, dan akhirnya menghilang di antara deretan tanaman kapas. Aku tidak tahan untuk tidak memikirkan, apakah Tally dan si Koboi akan saling lirik lagi. Seandainya aku punya keberanian, akan kutanyakan soal ini pada ibuku.
Ketika aku berjalan menghampiri kasur. Trot terbaring tak bergerak, matanya terpejam. Ia sepertinya tidak bernapas.
"Trot," aku berkata keras, tiba-tiba merasa ngeri kalau-kalau ia mati dalam pengawasanku.
ia membuka mata, lalu duduk dengan gerakan sangat lamban, serta memandangku. Kemudian ia melihat sekelilingnya, seakan-akan hendak memastikan bahwa kami sendirian. Lengan kirinya yang lumpuh tidak lebih besar daripada tangkai sapu, dan lengan itu tergantung dari pundaknya tanpa banyak bergerak. Rambutnya yang hitam mencuat ke segala penjuru.
"Kau tidak apa-apa"" tanyaku. Aku belum pernah mendengarnya bicara, dan aku ingin tahu apakah ia bisa melakukannya.
"Kurasa begitu," ia menggumam, suaranya parau dan kata-katanya tidak jelas. Aku tidak tahu apakah ia punya cacat bicara atau sekadar letih dan pusing.- Ia terus melihat sekelilingnya, untuk memastikan mereka semua sudah pergi, dan terpikir olehku bahwa mungkin Trot sedikit berpura-pura. Aku mulai mengaguminya.
"Apa Tally suka bisbol"" tanyaku, satu dari seratus pertanyaan yang ingin kuajukan padanya. Kupikir pertanyaanku sederhana, tapi ia tertegun memikirkannya dan langsung memejamkan mata serta berguling ke satu sisi, lalu menekuk lutut ke dada dan mulai tidur lagi.
Angin meniup pucuk pohon ek itu hingga berge-meresik. Aku menemukan tempat yang berumput tebal di keteduhan dekat kasurnya, dan berbaring meregangkan badan. Sambil memandangi dedaunan dan cabang-cabang tinggi di atas, aku merenungkan keberuntunganku. Mereka semua berkeringat terpanggang matahari, sementara waktu merayap lambat. Sejenak aku mencoba merasa bersalah, tapi tidak berhasil. Keberuntunganku hanya sementara, maka kuputuskan untuk menikmatinya.
Demikian pula Trot. Saat ia tidur seperti bayi, aku mengamati langit. Namun, tak lama kemudian, kebosanan pun datang. Aku pergi ke rumah untuk mengambil bola dan sarung tangan bisbol. Aku bermain pop flies sendiri, melempar bola ke atas dan menangkapnya, di dekat teras depan, sesuatu yang bisa kulakukan selama berjam-jam. Suatu ketika aku berhasil menangkap tujuh belas lemparan berturut-turut.
Sepanjang siang itu. Trot tidak pernah meninggalkan kasur. Ia tidur, lalu duduk dan melihat sekitarnya, kemudian mengawasiku sejenak. Kalau aku mencoba membuka percakapan, ia biasanya bergulir dan meneruskan tidurnya. Setidaknya ia bukan sedang sekarat.
Korban berikutnya dari ladang kapas itu adalah Hank. Ia mendatangi dengan langkah gontai menjelang sore, berjalan perlahan-lahan dan mengeluh tentang hawa panas itu. Ia mengatakan ia perlu memeriksa keadaan Trot.
"Aku sudah memetik tiga ratus pon," katanya, seolah-olah ucapan itu akan membuatku terkesan. "Lalu aku tersengat panas." Mukanya merah terbakar matahari. Ia tidak memakai topi, dan tindakan itu menunjukkan sejauh mana kecerdasannya. Di ladang, setiap kepala harus dilindungi.
ia melihat Trot sesaat, lalu pergi ke belakang truk dan mulai membongkar kardus-kardus dan karung mereka, seperti seekor beruang kelaparan. Ia menjejalkan biskuit dingin ke dalam mulutnya yang besar, lalu berbaring di bawah pohon.
"Ambilkan air untukku." geramnya tiba-tiba ke arahku.
Aku terlalu terkejut untuk bergerak. Aku tidak pernah mendengar orang pegunungan memberi perintah pada kami. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Tapi ia sudah dewasa, dan aku cuma seorang bocah.
"Sir"" kataku.
"Ambilkan air untukku!" ia mengulangi, suaranya meninggi.
Aku yakin mereka punya air tersimpan di antara barang-barang mereka. Dengan sangat canggung aku maju selangkah ke arah truk mereka. Ini membuatnya marah.
"Air dingin! Dari rumah. Dan bergegaslah! Aku sudah bekerja sepanjang hari. Kau tidak."
Aku bergegas masuk ke dalam rumah, menuju dapur, tempat Gran menyimpan satu galon air di dalam lemari es. Tanganku gemetar ketika aku menuang air ke dalam gelas. Aku tahu bila aku melaporkan hal ini, akan timbul masalah. Ayahku tentu akan bicara dengan Leon Spruill.
Kuangsurkan gelas itu pada Hank, ia menghabiskan isinya dengan cepat, mendecakkan bibir, lalu berkata, "Beri aku satu gelas lagi."
Trot duduk dan menyaksikan semua ini. Aku lari kembali ke rumah dan mengisi gelas. Selesai menghabiskan gelas kedua. Hank meludah di dekat kakiku. "Kau bocah baik," katanya, dan melemparkan gelas itu padaku.
"Terima kasih," kataku sambil menangkapnya.
"Sekarang tinggalkan kami sendiri," ia berkata sambil membaringkan badan di rumput. Aku mundur ke rumah dan menunggu ibuku.
Para pemetik boleh berhenti pada pukul lima, kalau mau. Pada saat itulah Pappy menarik trailer kembali ke rumah. Atau kau bisa tinggal di ladang sampai hari gelap, seperti orang-orang Meksiko itu. Stamina mereka sungguh mencengangkan. Mereka akan terus memetik sampai tidak bisa lagi melihat kuntum-kuntum itu, lalu berjalan sejauh setengah mil dengan karung mereka yang berat, menuju gudang, di mana mereka menyalakan perapian kecil dan makan beberapa tortilla sebelum tidur nyenyak.
Anggota keluarga Spruill lainnya berkumpul di sekitar Trot, yang berhasil membuat dirinya kelihatan lebih sakit lagi selama sekitar satu menit, ketika mereka memeriksanya. Begitu dipastikan bahwa ia masih hidup dan sadar, mereka buru-buru mengalihkan perhatian pada makan malam. Mrs. Spruill membuat perapian.
Berikutnya, Gran datang memeriksa Trot, ia tampak sangat prihatin, dan kukira keluarga Spruill menghargai hal
ini. Namun aku tahu bahwa Gran hanya ingin melakukan eksperimen terhadap bocah malang itu dengan salah satu obatnya yang mengerikan. Karena aku adalah korban paling kecil yang ada di sini, biasanya akulah yang jadi kelinci percobaan untuk setiap ramuan baru yang ia temukan. Aku tahu dari pengalaman bahwa ia bisa membuat ramuan yang begitu mujarab, sehingga Trot akan langsung melompat dari kasur dan lari seperti anjing diguyur air panas. Sesudah beberapa menit. Trot jadi curiga dan mulai mengamatinya dengan cermat. Kini ia sepertinya lebih sadar akan segala hal, dan Gran melihatnya sebagai tanda bahwa ia tidak membutuhkan obat apa pun, sedikitnya tidak segera. Tapi ia memasukkan Trot dalam pengawasan, dan akan memeriksanya lagi besok.
Pekerjaan rutin paling menyebalkan di sore hari adalah di kebun. Menurutku sungguh kejam memaksaku, atau anak umur tujuh tahun lain, untuk bangun sebelum matahari terbit, bekerja di ladang kapas sepanjang hari, dan kemudian menyuruhnya bekerja lagi di kebun sebelum makan malam. Tapi aku tahu bahwa kami beruntung memiliki kebun sebagus itu.
Pedang Kayu Harum 24 Pendekar Pendekar Negeri Tayli Karya Jin Yong Darah Dan Cinta Di Kota Medang 7
^