Pencarian

Rumah Bercat Putih 2

Rumah Bercat Putih A Painted House Karya John Grisham Bagian 2


Sebelum aku lahir, para wanita sudah membagi wilayah tertentu di dalam dan di luar rumah, serta mendudukinya sebagai daerah kekuasaan mereka. Aku tidak tahu bagaimana ibuku mendapatkan seluruh kebun itu, tapi tak disangsikan bahwa kebun itu miliknya.
Kebun tersebut terletak di sisi timur rumah kami. sisi yang tenang, jauh dari pintu dapur, gudang, dan kandang ayam. Jauh dari pickup Pappy dan jalan tanah tempat para tamu yang langka memarkir kendaraan. Kebun itu dikelilingi pagar kawat setinggi empat kaki. didirikan oleh ayahku berdasarkan petunjuk ibuku, dan dirancang untuk mencegah kijang atau hama lain masuk.
Jagung ditanam di sekitar pagar, sehingga begitu kau menutup pintu berengsel kulit yang berkeriutan. kau melangkah ke dalam suatu dunia rahasia yang tersembunyi oleh batang-batang jagung.
Tugasku adalah membawa sebuah keranjang anyam, dan mengikuti ibuku sementara ia mengumpulkan apa saja yang dianggapnya sudah masak. Ia pun membawa keranjang, dan perlahan-lahan mengisinya dengan tomat, mentimun, labu, paprika, bawang, dan terong. Ia berbicara lirih, bukan kepadaku, tapi kepada kebun itu secara umum.
"Kaulihat jagung itu" Kita akan makan jagung itu minggu depan."
"Ya, Ma'am." "Labu-labu itu tentu siap untuk Halloween nanti." "Ya, Ma'am."
ia selalu mencari-cari gulma, pengganggu-peng-ganggu kecil yang hanya bertahan hidup sebentar di kebun kami. ia berhenti, menunjuk, dan berkata, "Cabut rumput liar di sana itu, Luke, di sebelah semangka sana."
Aku meletakkan keranjang di jalan setapak dan mencabut rumput itu dengan semangat balas dendam.
Pada akhir musim panas, pekerjaan di kebun itu tidak seberat pada musim semi, ketika tanah harus dibajak dan gulma tumbuh lebih cepat daripada sayur-sayuran.
Seekor ular hijau yang panjang membuat kami tertegun diam sesaat, kemudian ia menghilang dalam kerimbunan sulur kacang kuning. Kebun itu penuh ular, semua tidak berbahaya, tapi bagaimanapun tetaplah ular. Ibuku tidak terlalu takut dengan mereka, tapi kami memberi mereka cukup banyak ruangan. Aku selalu takut mengulurkan tangan untuk memetik mentimun dan membayangkan taring ular itu menancap di punggung tanganku.
Ibuku mencintai sekeping lahan sempit tersebut, sebab lahan itu miliknya- tak ada orang lain yang benar-benar menginginkannya, ia memperlakukannya bagaikan tempat perlindungan. Ketika rumah penuh sesak, aku selalu bisa menemukannya di kebun, berbicara dengan sayur-sayurannya. Kata-kata kasar amatlah langka di keluarga kami. Tapi bila itu muncul, aku tahu ibuku akan menghilang di tempat perlindungannya.
Aku hampir tidak kuat membawa keranjangku ketika ia selesai memilih.
Hujan sudah berhenti di St. Louis. Pada pukul delapan tepat, Pappy menyalakan radio, mengotak-atik kenop dan antenanya, dan terdengarlah suara Harry Caray yang penuh nuansa, suara garau The Cardinals. Masih ada sekitar dua puluh pertandingan yang tersisa pada musim ini. The Dodgers memimpin di tempat teratas, dan The Giants di tempat kedua. The Cards di tempat ketig
a. Ini lebih berat daripada yang sanggup kami tanggung. Penggemar The Cardinals tentu saja membenci para Yankee, dan membuntuti dua tim New York di liga kami sendiri rasanya sungguh tak tertahankan.
Pappy berpendapat bahwa Eddie Stanky, sang manajer, seharusnya dipecat beberapa bulan yang lalu. Kalau The Cardinals menang, maka kemenangan itu karena Stan Musial. Kalau mereka kalah, dengan pemain-pemain yang sama turun di lapangan, maka itu selalu karena kesalahan manajernya.
Pappy dan ayahku duduk berdampingan di ayunan, rantainya yang berkarat berkeriutan sewaktu mereka berayun-ayun pelan. Gran dan ibuku mengupas kacang dan polong di sisi lain teras sempit itu. Aku duduk-duduk di anak tangga paling atas, dalam jarak dengar radio itu. menyaksikan kegiatan keluarga Spruill, menunggu bersama para orang dewasa sampai hawa panas mereda. Aku merindukan dengung kipas angin tua kami, tapi aku tahu diri untuk tidak mengemukakan persoalan itu.
Terdengar percakapan pelan para wanita ketika mereka bicara tentang urusan gereja - kebangunan rohani di musim gugur dan acara santap malam mendatang. Seorang gadis Black Oak menikah di Jonesboro, di sebuah gereja besar, tentunya dengan seorang pemuda kaya. dan ini harus dibicarakan setiap malam, dalam berbagai cara. Aku tak bisa membayangkan, mengapa para wanita itu selalu tertarik pada pembicaraan tersebut, malam demi malam.
Para pria pada dasarnya tidak punya apa pun untuk dibicarakan, sedikitnya mengenai topik yang tidak berkaitan dengan bisbol. Pappy bisa bungkam sangat lama. dan ayahku tidak jauh lebih baik. Tak disangsikan, mereka sedang mengkhawatirkan cuaca atau harga kapas, tapi mereka terlalu letih untuk mengomel dengan suara keras.
Aku puas sekadar mendengarkan, memejamkan mata dan mencoba membayangkan Sportsman's Park di St. Louis, stadion megah tempat tiga puluh ribu orang bisa berkumpul untuk menyaksikan Stan Musial dan The Cardinals. Pappy pernah ke sana satu kali, dan selama musim pertandingan, sedikitnya satu kali seminggu aku mendesaknya untuk menggambarkan tempat itu padaku. Ia mengatakan bahwa bila kau melihat lapangannya, maka lapangan itu serasa melebar. Rumputnya begitu hijau dan halus, sehingga kau bisa menggelindingkan kelereng di atasnya. Bagian berpasir pada infield digaru hingga sempurna. Papan skornya di bagian kiri tengah lebih besar daripada rumah kami. Dan semua orang itu, orang-orang St. Louis yang beruntung luar biasa dapat menyaksikan The Cardinals dan tidak perlu memetik kapas.
Dizzy Dean dan Enos "Country" Slaughter dan Ren Schoendienst, semua pemain besar The Cardinals, Gashouse Gang yang jadi legenda, pernah bermain di sana. Dan karena ayah dan kakek dan pamanku bisa bermain bisbol, tak ada sedikit pun keraguan dalam benakku bahwa suatu hari nanti aku akan berjaya di Sportsman's Park. Aku akan meluncur luwes melintasi rumput pada outfield, di depan tiga puluh ribu penggemar, dan menggulung habis The Yankees.
Pemain The Cardinals paling hebat sepanjang masa adalah Stan Musial, dan ketika ia sampai pada plate di inning kedua, dengan seorang pelari pada base pertama, aku melihat Hank Spruill menyelinap dalam kegelapan dan duduk dalam bayang-bayang, sekadar cukup dekat untuk mendengarkan radio.
"Apa Stan ikut main"" ibuku bertanya.
"Ya, Ma'am," kataku. Ia pura-pura menaruh minat pada bisbol, sebab ia tidak tahu apa-apa tentang itu. Dan bila ia pura-pura tertarik pada Stan Musial. maka ia bisa bertahan dengan percakapan apa pun seputar Black Oak.
Bunyi detak dan gemeresik kacang terhenti. Ayunan diam tak bergerak. Aku meremas sarung tangan bisbolku. Ayahku berpendapat bahwa suara Harry Caray terdengar cemas ketika Musial melangkah masuk, tapi Pappy tidak yakin.
Pitch pertama oleh pitcher The Pirates adalah bola cepat yang rendah Tidak banyak pitcher berani menantang Musial dengan bola cepat pada lemparan pertama. Tahun sebelumnya ia memimpin Liga Nasional dengan angka batting rata-rata 0,355, dan pada tahun 1952, ia saling kejar dengan Frankie Baumholtz dari The Cubs untuk menduduki posisi terdepan. Ia memiliki kekuatan dan kecepatan, s
arung tangan yang hebat, dan ia bermain keras setiap hari.
Aku punya sebuah kartu bisbol Stan Musial yang kusembunyikan dalam sebuah kotak cerutu di laciku, dan seandainya rumah ini sampai kebakaran, aku akan meraihnya sebelum meraih apa pun lainnya.
Pitch kedua adalah bola lengkung tinggi, dan dengan dua bola sudah terlempar, hampir bisa terdengar para penggemar berdiri dari tempat duduk mereka. Sebuah bola akan dipukul ke suatu bagian jauh Sportsman's Park. Tak seorang pitcher pun bisa menghadapi Stan Musial dan mampu bertahan dalam keadaan seperti itu. Pitch ketiga adalah bola cepat dan Harry Caray bersangsi cukup lama, hingga kami sempat mendengar suara berderak tongkat pemukul bola. Orang banyak meledak dalam sorak sorai. Aku menahan napas, menunggu sepersekian detik sampai Harry menceritakan pada kami ke mana bola itu meluncur. Bola tersebut terpental membentur dinding di lapangan kanan, dan orang banyak bergemuruh makin keras. Teras depan itu jadi tercekam juga. Aku melompat berdiri, seolah-olah dengan berdiri aku bisa melihat St. Louis. Pappy dan ayahku mencondongkan badan ke depan, bertumpu lutut, sewaktu Harry Caray berseru di radio. Ibuku menyuarakan seruan-seruan kecil.
Musial sedang bersaing dengan Schoendienst, rekan satu timnya, untuk memimpin perolehan double dalam Liga Nasional. Tahun sebelumnya ia mencatat dua belas perolehan triple, paling tinggi di liga utama Sewaktu ia mencapai base kedua, aku nyaris tak bisa mendengar suara Caray di tengah suara penonton. Pelari dari base pertama mencetak angka dengan gampang, dan Stan meluncur sampai ke base ketiga. Aku bisa melihatnya di lingkaran itu, kakinya menyentuh base, penjaga base ketiga tak berdaya menerima bola yang datang terlambat, dan melemparkannya kembali pada pitcher. Aku bisa menyaksikannya berdiri, sementara penonton hiruk-pikuk kegirangan. Kemudian dengan dua tangan ia menepuk-nepuk debu dari. seragamnya yang berwarna putih dengan garis-garis merah terang.
Permainan itu harus dilanjutkan, tapi bagi kami keluarga Chandler, setidaknya bagi para prianya, hari ini sudah berakhir. Musial telah memukul sebuah bom. dan karena kami tidak punya banyak harapan bahwa The Cardinals akan memenangkan musim kompetisi itu, maka dengan senang hati kami menyambut kemenangan apa pun yang bisa kami dapatkan dari mereka. Penonton mereda, suara Harry menurun, dan aku duduk kembali di teras, sambil masih membayangkan Stan di base ketiga.
Kalau saja keluarga Spruill terkutuk itu tidak ada di luar sana, aku tentu sudah menyelinap dalam kegelapan dan mengambil posisi di home plate. Aku akan menunggu lemparan bola cepat, dan memukul seperti pahlawanku itu, lalu berlari melewati beberapa base dan menggelincir anggun ke base ketiga, di dekat bayang-bayang tempat Hank si monster berkeliaran.
"Siapa yang menang"" Mr. Spruill bertanya dari suatu tempat dalam kegelapan.
"Cardinals. Satu kosong. Orang kedua. Musial baru saja melakukan satu pukulan triple" Hank menjawab. Kalau mereka penggemar berat bisbol, mengapa mereka membuat perapian pada home plate itu dan mendirikan tenda mereka yang usang di infield milikku" Orang tolol mana pun bisa melihat halaman depan kami, meskipun ada beberapa pohon, dan tahu bahwa tempat itu dipakai untuk main bisbol.
Seandainya bukan karena Tally, aku tentu takkan memedulikan semua orang itu. Dan Trot. Aku merasa bersimpati pada anak malang itu.
Aku sudah memutuskan untuk tidak mengemukakan persoalan Hank dan air dingin tersebut. Aku tahu bahwa seandainya aku melapor pada ayahku, atau pada Pappy, maka akan ada pembicaraan serius dengan Mr. Spruill. Orang-orang Meksiko itu tahu diri, dan orang-orang pegunungan pun diharapkan tahu kedudukan mereka. Mereka tidak boleh minta apa pun dari rumah kami, dan tidak memberi perintah padaku atau siapa pun lainnya.
Hank punya leher lebih besar daripada yang pernah kulihat. Lengan dan tangannya begitu kokoh, tapi yang menakutkanku adalah matanya. Kupikir mata itu hampir selalu kosong dan tolol, tapi ketika ia menyalak padaku agar mengambilkannya air dingin, mata itu menyipit dan memancarkan so
rot jahat. Aku tidak ingin Hank marah padaku, dan aku tidak ingin ayahku menghadapinya. Bila perlu, ayahku bisa menghajar siapa saja. kecuali mungkin Pappy. yang lebih tua tapi bisa lebih jahat kalau memang diperlukan. Kuputuskan untuk menyisihkan kejadian itu, sementara ini. Kalau sampai terulang lagi, aku tak punya pilihan lain kecuali mengatakannya pada ibuku.
The Pirates mencetak dua angka pada inning keempat, terutama karena, menurut Pappy, Eddie Stanky tidak mengganti pitcher saat ia harus melakukannya. Kemudian mereka mencetak angka ketiga pada inning kelima, dan Pappy jadi begitu gusar, sehingga ia langsung pergi tidur.
Pada inning ketujuh, hawa panas sudah cukup reda untuk meyakinkan kami bahwa kami bisa tidur. Kacang dan polong sudah terkupas. Semua anggota keluarga Spruill sudah berada di pembaringan. Kami amat letih, dan The Cardinals tidak menunjukkan perubahan. Tidak sulit untuk meninggalkan permainan itu.
Sesudah ibuku membaringkan aku di ranjang dan kami memanjatkan doa, aku menendang selimut sampai lepas, agar aku bisa bernapas. Aku mendengarkan jangkrik bernyanyi dalam paduan suara melengking, saling memanggil di ladang. Mereka membuai kami dengan musik mereka setiap malam musim panas, kecuali bila hujan turun. Aku mendengar suara di kejauhan - salah satu anggota keluarga Spruill berkeliaran, mungkin Hank sedang mengacak-acak barang, mencari biskuit terakhir.
Di ruang keluarga, kami punya sebuah kipas angin besar, terpasang pada jendela. Mestinya kipas itu menyedot udara panas dari rumah dan meniupnya keluar, ke arah halaman gudang. Tapi kipas itu tidak selalu jalan. Satu pintu yang ditutup kurang hati-hati atau tertiup angin akan mengganggu aliran udara, dan kau akan berbaring bersimbah peluh sendiri, sampai tertidur. Fntah bagaimana, angin dari luar bisa membingungkan kipas angin itu. dan udara panas akan terkumpul di ruang duduk, lalu merambat ke seluruh penjuru rumah, memanggang kami. Kipas itu sering rusak, tapi benda itu adalah salah satu milik kebanggaan Pappy, dan kami tahu hanya dua keluarga petani lain di gereja yang memiliki kemewahan seperti ini. Malam itu kipas tersebut kebetulan bekerja Sambil berbaring di ranjang Ricky, mendengarkan jangkrik, menikmati sedikit tiupan angin pada tubuhku, sementara udara musim panas yang lengas ditarik menuju ruang duduk, pikiranku melayang ke Korea, suatu tempat yang tak pernah ingin kulihat. Ayahku tak pernah mau menceritakan apa pun tentang perang. Sedikit pun tidak. Ada beberapa kisah petualangan hebat ayah Pappy serta kemenangan-kemenangannya dalam Perang Saudara, tapi bila sampai pada peperangan di abad ini, tidak banyak yang ia ceritakan. Aku ingin tahu berapa banyak orang yang pernah ditembaknya. Berapa pertempuran yang pernah ia menangkan. Aku ingin melihat bekas-bekas lukanya. Ada seribu pertanyaan yang ingin kuajukan padanya.
"Jangan bicara soal perang," ibuku berkali-kali memperingatkan. "Terlalu menyedihkan."
Dan kini Ricky ada di Korea. Salju sedang turun ketika ia meninggalkan kami di bulan Februari, liga hari setelah ulang tahunnya yang kesembilan belas. Di Korea udaranya tentu dingin juga. Aku tahu hal itu dari berita radio. Aku aman dan hangat di ranjangnya, sementara ia bertiarap dalam parit perlindungan, menembak dan ditembaki.
Bagaimana kalau ia tidak pulang"
Dengan pertanyaan inilah aku menyiksa diri setiap malam. Aku membayangkannya tewas, sampai aku menangis. Aku tidak menginginkan ranjangnya. Aku tidak menginginkan kamarnya. Aku ingin Ricky pulang, supaya kami bisa bermain lempar bola dan lari ke base di halaman depan dan memancing di Sungai St. Francis. Ia sebenarnya lebih seperti seorang kakak daripada seorang paman.
Pemuda-pemuda tewas terbunuh di sana, banyak sekali. Kami berdoa bagi mereka di gereja. Kami bicara tentang perang di sekolah. Saat ini Ricky adalah satu-satunya pemuda dari Black Oak yang bertugas di Korea, memberi kami, keluarga Chandler, kehormatan yang sama sekali tidak aku pedulikan.
"Ada kabar dari Ricky"" adalah pertanyaan yang selalu kami dengar tiap kali kami pergi ke kota.
Ya atau tidak, tidak jadi soal. Tetangga-tetangga kami sekadar berusaha ikut menunjukkan perhatian. Pappy tidak menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Ayahku yang akan memberikan balasan sopan. Gran dan ibuku berbincang lirih selama beberapa menit mengenai surat terakhir darinya
Aku selalu mengatakan. "Yeah. Tidak lama lagi dia akan pulang."
Enam SEGERA sesudah sarapan, aku mengikuti Gran ke tangga depan, dan menuju ke tengah halaman depan. Gran mempunyai misi sendiri pagi ini: Dokter Gran sedang melakukan pemeriksaan pagi, penuh semangat melihat ada orang sakit di wilayah kewenangannya.
Matahari belum terbit. Para anggota keluarga Spruill sedang duduk mengitari meja darurat mereka, makan dengan cepat. Mata Trot yang malas berbinar hidup ketika Gran berkata, "Selamat pagi," dan langsung menghampirinya.
"Bagaimana keadaan Trot"" ia bertanya.
"Jauh lebih baik," kata Mrs. Spruill.
"Dia baik-baik saja," kata Mr. Spruill.
Gran menyentuh kening anak itu. "Ada demam"" ia bertanya. Trot menggelengkan kepala kuat-kuat. Tidak ada demam sehari sebelumnya. Mengapa harus ada demam pagi ini"
"Apa kau merasa pusing""
Trot tidak tahu maksud pertanyaan itu. tidak pula semua anggota keluarga Spruill. Kurasa anak itu menjalani seluruh hidupnya dalam keadaan setengah sadar.
Mr. Spruill mengambil alih keadaan, dengan lengannya menyeka sisa sorghum dari sudut mulut. "Kami pikir kami akan membawanya ke ladang. Biar dia duduk di bawah trailer, supaya tidak terkena matahari."
"Kalau nanti ada awan, dia bisa ikut memetik," Mrs. Spruill menambahkan. Jelaslah bahwa keluarga Spruill sudah membuat rencana untuk Trot.
Sialan, pikirku. Ricky pernah mengajariku beberapa kata umpatan. Aku biasa melatihnya di hutan di pinggir sungai, lalu berdoa memohon pengampunan segera sesudah aku selesai.
Tadi aku sudah membayangkan satu hari lagi bermalas-malasan di bawah naungan pohon di halaman depan, menjaga Trot sambil bermain bisbol dan bersantai.
"Baiklah," kata Gran sambil membuka lebar-lebar kelopak mata Trot dengan ibu jari dan telunjuk. Trot melontarkan pandangan takut dengan mata satunya.
"Aku akan mengawasi," kata Gran, jelas kedengaran kecewa. Sewaktu sarapan tadi. aku mendengarnya berbicara dengan ibuku bahwa ia sudah memutuskan obat yang paling tepat adalah satu dosis keras kastroli, jeruk, dan tanaman jamu hitam yang ia tanam dalam sebuah kotak di jendela. Aku langsung berhenti makan ketika mendengarnya. Itu resep lama yang pernah beberapa kali dicobakan Gran padaku. Ramuan itu lebih manjur daripada operasi. Penyakitku langsung sembuh ketika ramuan tersebut membakar lidahku hingga ke ujung jari, dan terus membakar.
Suatu kali Gran pernah meracik ramuan mujarab untuk Pappy yang susah buang air. Pappy menghabiskan dua hari penuh di kakus, tak mampu bekerja, meminta-minta air, yang kuantar hilir-mudik dengan buyung tempat susu. Tadinya kukira Pappy akan mati. Ketika Pappy keluar- pucat pasi, cekung, agak kurus- ia berjalan cepat menuju rumah, lebih marah daripada yang pernah dilihat siapa pun. Orangtuaku segera memasukkanku ke dalam pickup, dan kami pun pergi jauh mencari angin.
Gran sekali lagi berjanji pada Trot bahwa ia akan mengawasi siang ini. Trot tidak mengucapkan apa-apa. ia sudah berhenti makan dan menatap kosong ke seberang meja, kurang-lebih ke arah Tally, yang berpura-pura aku tidak ada.
Kami berlalu dan kembali ke rumah. Aku duduk di tangga depan, menunggu kesempatan untuk bisa melihat Tally sepintas, diam-diam mengutuki Trot karena sudah begitu tolol. Mungkin ia akan pingsan lagi. Bila matahari bersinar di atas kepala, ia pasti akan tersungkur, dan mereka akan butuh aku untuk mengawasinya di kasur.
Ketika kami berkumpul di trailer, aku menyapa Miguel sewaktu kelompoknya keluar dari gudang dan mengambil tempat masing-masing di salah satu sisi trailer. Keluarga Spruill mengambil tempat di sisi lain-. Ayahku duduk di tengah, dikerumuni dua kelompok itu. Pappy yang mengemudikan traktor, dan aku mengamati mereka dari tempat bertenggerku di sebelahnya. Yang paling menarik pagi ini adalah mengawasi apakah ada kegiatan apa pun anta
ra si Koboi yang menyebalkan dan Tally-ku tercinta. Aku tidak melihat ada apa-apa. Semua termangu-mangu, mata setengah terbuka dan tertuju ke bawah, gentar menghadapi satu hari lagi terjemur matahari dan kerja keras.
Trailer itu melompat dan berguncang sewaktu kami perlahan-lahan bergerak ke tengah ladang-ladang putih. Ketika memandang ladang kapas itu, aku tak bisa memikirkan jaket bisbol Cardinals idamanku yang berwarna merah mengilat. Kucoba sekuat tenaga untuk membayangkan Musial yang hebat beserta rekan-rekan satu timnya berlari melintasi rumput hijau terpangkas rapi di Sportsman's Park. Kucoba membayangkan mereka semua memakai seragam merah-putih, dan beberapa di antaranya memakai jaket bisbol seperti yang terpampang pada katalog Sears, Roebuck. Kucoba membayangkan semua adegan tersebut, sebab hal itu selalu memberiku inspirasi, tapi traktor berhenti, dan yang dapat kusaksikan hanyalah kapas di mana-mana, berdiri di sana, deret demi deret, menunggu.
Tahun lalu Juan memperkenalkan padaku lezatnya makanan Meksiko, terutama tortilla. Para pekerja itu makan tortilla tiga kali sehari, jadi kupikir makanan itu pasti lezat. Suatu hari aku makan siang bersama Juan dan kelompoknya, sesudah aku makan di rumah kami sendiri. Ia menghidangkan dua tortilla untukku, dan aku pun melahapnya. Tiga jam kemudian aku me-rangkak-rangkak di bawah trailer kapas, muntah-muntah seperti anjing. Aku dimarahi oleh setiap anggota keluarga Chandler yang ada di sana, dipimpin oleh ibuku.
"Kau tidak boleh makan makanan mereka!" ia berkata dengan nada menghardik yang tak pernah kudengar sebelumnya
"Mengapa tidak"" tanyaku. "Karena tidak bersih."
Aku dengan tegas dilarang makan apa pun yang dimasak oleh orang-orang Meksiko itu. Dan hal ini, tentu saja, membuat tortilla itu terasa makin lezat saja. Aku tertangkap lagi ketika Pappy melakukan kunjungan mendadak ke gudang untuk memeriksa Isabel. Ayahku membawaku ke belakang gudang peralatan dan melecutku dengan sabuknya. Aku menahan diri selama mungkin untuk tidak makan tortilla.
Tapi sekarang ada seorang "koki" baru bersama kami, dan aku sangat ingin membandingkan masakan Miguel dengan Juan. Sesudah makan siang, setelah yakin semua orang sudah tertidur, aku menyelinap keluar dari pintu dapur dan berjalan tak acuh ke arah gudang. Ini adalah petualangan kecil yang berbahaya, sebab Pappy dan Gran biasanya tidak tidur siang dengan nyenyak, walau sehabis kelelahan bekerja di ladang.
Orang-orang Meksiko itu bergeletakan di bawah naungan ujung utara gudang, kebanyakan tidur di rumput. Miguel tahu aku akan datang, sebab sebelumnya kami sudah berbicara sejenak, ketika bertemu untuk menimbang kapas kami. Hasil petikannya tujuh puluh pon, hasilku lima belas.
ia berlutut di depan arang sisa sebuah perapian kecil, dan menghangatkan tortilla di dalam sebuah kuali. Ia membaliknya, dan ketika satu sisinya sudah berubah kecokelatan, ia menambahkan selapis tipis salsa - tomat, bawang, dan paprika yang dipotong kecil-kecil, semuanya dari kebun kami. Adonan itu juga berisi cabe jalapeno dan cabe merah yang belum pernah ditanam di negara bagian Arkansas Orang-orang Meksiko ini mengimpor sendiri bahan makanan itu dalam kantong-kantong kecil mereka.
Satu-dua orang Meksiko itu tertarik bahwa aku ingin tortilla. Yang lainnya sedang berusaha sebisanya untuk tidur siang. Si Koboi tidak terlihat di sana. Aku melahap satu tortilla sambil berdiri di sudut gudang, dengan pemandangan penuh ke arah rumah dan anggota keluarga Chandler yang mungkin datang untuk melihat. Tortilla itu panas, pedas, dan acak-acakan. Aku tak bisa merasakan perbedaan antara tortilla buatan Juan dan Miguel. Keduanya sama-sama lezat. Miguel bertanya apakah aku mau lagi, dan aku sebenarnya bisa dengan mudah makan satu lagi. Tapi aku tidak ingin mengambil makanan mereka. Mereka semua berperawakan kecil kurus dan miskin lusuh, dan tahun lalu. ketika aku tertangkap dan orang-orang dewasa itu bergiliran memarahiku dan menimbulkan perasaan malu tak terkira pada diriku. Gran cukup kreatif untuk mengatakan bahwa kita berdosa kalau mengambil makanan dari ora
ng-orang yang lebih miskin. Sebagai penganut Gereja Baptis, kami tak pernah kekurangan segala macam dosa untuk menghantui perasaan kami.
Aku mengucapkan terima kasih pada Miguel, dan mengendap-endap kembali ke rumah, menuju beranda depan", tanpa membangunkan satu pun anggota keluarga Spruill. Aku meringkuk di ayunan, seakan-akan sedari tadi aku tidur siang. Tak seorang pun terjaga, tapi aku tak bisa tidur. Angin bertiup entah dari mana, dan aku melamun tentang siang yang santai di teras itu, tanpa kapas yang harus dipetik.
tanpa apa pun yang harus dilakukan, kecuali mungkin memancing di Sungai St. Fancis dan menangkap lemparan bola tinggi di halaman depan
Pekerjaan tersebut nyaris membunuhku siang itu. Menjelang sore, aku berjalan terhuyung-huyung menuju trailer, menggendong hasil panen di belakangku, kepanasan dan kehausan, basah kuyup oleh keringat, jemariku bengkak karena luka-luka dangkal dan kecil terkena duri kapas Aku sudah memetik empat puluh satu pon hari ini. Kuotaku lima puluh pon, dan aku yakin sedikitnya ada sepuluh pon lagi di karungku. Aku berharap ibuku ada di dekat-dekat timbangan, karena ia tentu akan mendesak agar aku diizinkan berhenti dan pulang ke rumah. Baik Pappy atau ayahku pasti akan mengirimku kembali untuk memetik lebih banyak, tak peduli kuota sudah tercapai atau tidak Hanya mereka berdua yang diperbolehkan menimbang kapas, dan kalau mereka kebetulan sedang berada jauh di dalam deretan kapas, maka kau bisa beristirahat sementara mereka berjalan kembali ke trailer. Aku tak melihat satu pun di antara mereka, dan dalam benakku terlintas gagasan untuk tidur.
Keluarga Spruill sudah berkumpul di ujung timur trailer, dalam keteduhan. Mereka duduk di atas karung-karung kapas mereka yang penuh, beristirahat dan mengawasi Trot yang, sepengetahuanku, belum bergeser lebih dari sepuluh kaki sepanjang hari ini.
Aku melepaskan tali karung kapas itu dari pundakku dan berjalan ke ujung trailer, "Howdy." salah satu Spruill itu berkata.
"Bagaimana keadaan Trot"" aku bertanya.
"Kelihatannya dia tidak apa-apa," kata Mr. Spruill. Mereka sedang makan biskuit asin dengan sosis Wina, bekal favorit untuk bekerja di ladang. Duduk di sebelah Trot adalah Tally, yang sama sekali mengabaikan aku.
"Kau punya sesuatu untuk dimakan, bov"" Hank tiba-tiba bertanya, matanya yang basah menyala-nyala memandangku. Sedetik itu aku terlalu kaget untuk mengatakan sesuatu. Mrs. Spruill menggelengkan kepala dan memandang ke tanah.
"Punya"" ia mendesak sambil menggeser badan, sehingga ia menghadap lurus ke arahku.
"Uh, tidak," aku berhasil menjawab.
"Maksudmu, 'Tidak, Sir,' bukan begitu"" ia berkata marah.
"Sudahlah, Hank," Tally berkata. Anggota lain keluarga itu seperti tak mau peduli. Semua kepala ditundukkan.
"Tidak, Sir," kataku.
"Tidak, Sir apa"" Suaranya jadi lebih tajam. Jelaslah bahwa Hank suka memancing perkelahian. Mereka mungkin sudah berkali-kali mengalami hal seperti ini.
"Tidak, Sir," kataku lagi.
"Kalian para petani memang suka berlagak tinggi, kau tahu itu" Kalian pikir kalian lebih baik daripada kami, orang-orang pegunungan, karena kalian punya tanah ini, dan karena kalian membayar kami untuk bekerja. Bukan begitu, boy""
"Cukup, Hank," Mr. Spruill berkata, tapi nadanya tidak begitu meyakinkan. Aku tiba-tiba berharap Pappy atau ayahku muncul. Aku sudah siap menghadapi kemungkinan orang-orang ini meninggalkan tanah pertanian kami.
Tenggorokanku menciut, bibir bawahku mulai gemetar. Aku merasa sakit dan malu, dan tidak tahu mesti berkata apa.
Hank tidak berniat untuk diam. Ia menyandarkan diri bertelekan siku, dan dengan senyum keji berkata, "Derajat kami cuma satu garis di atas orang-orang Meksiko itu, bukan, boy" Cuma tenaga upahan. Cuma segerombolan orang udik pemabuk yang suka mengawini saudara sendiri. Bukankah begitu, boy""
Ia berhenti sepersekian detik, seakan-akan ia benar-benar ingin aku menjawab. Aku tergoda untuk lari, tapi aku cuma menatap sepatu botku. Anggota keluarga Spruill yang lain mungkin merasa kasihan padaku, tapi tak seorang pun di antara mereka menolongku.
"Kami punya rumah l ebih bagus daripada rumahmu, boy. Kau percaya itu" Jauh lebih bagus."
"Diam, Hank," Mrs. Spruill berkata.
"Lebih besar, dengan teras depan yang panjang, beratap seng tanpa tambalan aspal, dan kau tahu ada apa lagi" Kau takkan percaya ini. bov, lapi rumah kami dicat. Cat putih. Kau pernah melihat cat. boy""
Mendengar ucapan itu. Bo dan Dale, dua remaja yang jaring mengeluarkan suara itu, mulai terkekeh-kekeh sendiri, seolah-olah mereka ingin menenangkan Hank tanpa menyinggung Mrs. Spruill.
"Suruh dia berhenti. Momma," Tally berkata, dan penghinaan terhadapku tersela, meskipun hanya satu detik.
Aku memandang Trot, dan terkejut melihat ia sedang bertelekan siku, matanya terbelalak selebar-lebarnya, menyerap konfrontasi kecil satu sisi ini. Ia seperti menikmatinya.
Hank menyeringai dungu pada Bo dan dale, dan mereka tertawa lebih keras lagi. Mr. Spruill juga tampak geli sekarang. Mungkin ia sering diolok-olok sebagai hilly billy atau orang udik.
"Mengapa kalian para pengorek tanah tidak mengecat rumah kalian"" Hank menggelegar ke arahku.
Kata "pengorek tanah" tersebut membuat mereka geli. Bo dan Dale terguncang-guncang tertawa. Hank melenguh terbahak oleh kalimatnya sendiri. Gerombolan itu sepertinya hendak tertawa sambil menepuk-nepuk lutut mereka ketika Trot berkata, dengan suara sekeras yang bisa ia kerahkan, "Hentikan, Hank!"
Kata-katanva agak cadel, sehingga "Hank" terucap seperti "Hane", tapi ucapannya jelas dimengerti oleh mereka semua. Mereka terperanjat, lelucon kecil mereka mendadak sontak berakhir. Semua memandang Trot, yang menatap berapi-api pada Hank dengan pandangan semuak-muaknya.
Aku sudah di ambang tangis, maka aku berbalik dan berlari melewati trailer, dan terus sepanjang jalan, sampai aman di luar penglihatan mereka. Kemudian aku menyelinap ke dalam rumpun kapas dan menunggu suara-suara ramah. Aku duduk di tanah yang panas, dikitari batang-batang setinggi empat kaki, dan aku menangis, sesuatu yang sungguh kubenci.
Trailer-trailer dari pertanian yang lebih baik memakai terpal untuk menutupi kapas, dan mencegahnya agar tidak jatuh tertiup angin ke jalan menuju tempat pengolahan. Terpal tua kami diikat erat pada tempatnya, mengamankan hasil kerja keras kami. sembilan puluh pon di antaranya dipetik olehku selama dua hari terakhir. Tak seorang pun warga Chandler pernah membawa muatan ke tempat pengolahan kapas dengan kuntum-kuntum berterbangan seperti salju dan mengotori jalan. Namun demikian, banyak orang lain melakukannya, dan salah satu pemandangan umum pada musim petik adalah menyaksikan rumput liar dan selokan sepanjang Highway 18 perlahan-lahan berubah putih, sementara para petani itu bergegas ke pabrik pengolahan dengan hasil panen mereka.
Dengan trailer penuh muatan kapas yang membuat pickup kami jadi tampak kecil, Pappy mengendarainya kurang dari dua puluh mil per jam, menuju kota. Dan ia tidak berkata apa-apa. Kami berdua mencerna makan malam kami. Aku menimbang-nimbang soal Hank, dan mencoba memutuskan apa yang harus kulakukan. Aku yakin Pappy khawatir dengan cuaca. Kalau kuceritakan padanya soal Hank, aku tahu benar apa yang akan terjadi, ia akan menggiringku ke perkampungan Spruill. dan kami akan menghadapi konfrontasi sengit. Karena Hank lebih muda dan besar, Pappy akan membawa sebatang tongkat atau entah apa, dan dengan senang hati ia akan menggunakannya. Ia akan menuntut Hank agar meminta maaf. dan bila Hank menolak, Pappy akan mulai dengan ancaman dan cercaan. Hank akan keliru menilai lawannya, dan dalam sekejap tongkat itu akan beraksi. Hank tidak akan sempat berdoa. Ayahku akan terpaksa berjaga-jaga melindungi dengan senapan kaliber dua belasnya. Para wanita aman di teras, tapi ibuku sekali lagi akan terhina oleh kegemaran Pappy akan kekerasan.
Keluarga Spruill akan menelan kekalahan itu dan mengemasi barang-barang mereka yang compang-camping. Mereka akan turun ke jalan, menuju pertanian lain di mana mereka dibutuhkan dan dihargai, dan kami akan kewalahan kekurangan tenaga kerja.
Aku bakal diharapkan memetik kapas lebih banyak lagi.
Jadi. aku tidak mengucapkan sepatah kata
pun. Kami meluncur lamban di sepanjang Highway 18, menggoyang tanaman kapas di bahu kanan jalan, memandangi ladang-ladang di mana sekali-sekali terlihat segerombolan orang Meksiko masih bekerja, berpacu dengan senja.
Aku memutuskan akan menghindari Hank dan anggota keluarga Spruill lainnya hingga panen selesai dan mereka kembali ke pegunungan, kembali ke rumah mereka yang bercat indah, ke minuman keras, serta kebiasaan mengawini saudara sendiri. Dan suatu saat nanti, di musim dingin, ketika kami duduk di seputar perapian di ruang keluarga dan bertukar cerita mengenai panen, aku akan mengungkapkan kekurang-ajaran Hank. Aku punya banyak waktu untuk mengarang ceritaku, dan membumbuinya bila kuanggap tepat. Itu sudah tradisi keluarga Chandler.
Namun aku harus hati-hati saat menuturkan centa tentang rumah bercat itu.
Ketika mendekati Black Oak, kami melewati tanah pertanian Clench, rumah Foy dan Laverl Clench serta delapan anak mereka. Aku yakin semuanya masih berada di ladang. Tak seorang pun, bahkan tidak orang-orang Meksiko itu, bekerja lebih keras daripada keluarga Cleneh. Kedua orangtua mereka terkenal suka memperbudak, tapi anak-anak mereka tampak menikmati memetik kapas dan melakukan pekerjaan-pekerjaan kecil lainnya di pertanian. Tanaman pagar di sekeliling halaman depan mereka terpangkas sempurna. Pagar mereka tegak dan tidak membutuhkan perbaikan. Kebun mereka luas, dan hasilnya menjadi buah bibir. Bahkan truk tua mereka amat bersih. Salah satu dari anak-anak itu mencucinya setiap hari Sabtu.
Dan rumah mereka dicat, yang pertama di jalan raya menuju kota. Warnanya putih, dengan garis kelabu pada pinggir-pinggir dan sudut-sudutnya. Teras dan tangga depannya berwarna hijau tua.
Tak lama kemudian, semua rumah-rumah itu juga dicat.
Rumah kami dibangun sebelum Perang Dunia Pertama, pada masa sistem pipa di dalam rumah dan listrik belum dikenal. Bagian luarnya terbuat dari papan kayu ek ukuran satu kali enam inci, mungkin dipotong dari pepohonan di lahan yang kami pakai bertani sekarang. Bersama waktu dan deraan cuaca, papan-papan itu sudah memudar jadi cokelat pucat, sama seperti warna rumah-rumah pertanian lain di berbagai pelosok Black Oak. Cat tidaklah diperlukan. Papan-papannya dijaga tetap bersih dan terpelihara, dan selain itu, untuk membeli cat mesti mengeluarkan uang.
Tapi. tak lama sesudah orangtuaku menikah, ibuku memutuskan bahwa rumah itu butuh perbaikan. Ia membujuk ayahku, yang tentunya ingin sekali menyenangkan istrinya. Akan tetapi, tidak demikian dengan orangtuanya. Pappy dan Gran, dengan sifat kepala batu khas petani, menolak tegas untuk mempertimbangkan mengecat rumah tersebut. Dengan alasan biaya. Hal ini disampaikan kepada ibuku melalui ayahku. Tidak ada perselisihan apa pun - tidak ada kata-kata. Hanya masa tegang selama satu musim dingin, ketika empat orang dewasa tinggal di sebuah rumah sempit tak bercat dan berusaha untuk tetap menjaga hubungan.
Ibuku bersumpah pada diri sendiri bahwa ia tidak akan membesarkan anak-anaknya di tanah pertanian. Suatu hari nanti ia akan punya rumah di kota kecil atau kota besar, sebuah rumah dengan sistem pipa air di dalam dan perdu-perdu di seputar teras, dan dengan cat pada kayunya, bahkan mungkin pada batanya.
Cat merupakan kata yang peka di pertanian Chandler.
Kuhitung ada sebelas trailer di depan kami, ketika kami tiba di tempat pengolahan kapas. Sekitar dua puluh lainnya sudah kosong dan diparkir di satu sisi. Trailer-trailer tersebut milik para petani yang punya cukup uang untuk punya dua buah. Mereka bisa meninggalkan satu trailer menunggu kapas dipisahkan bijinya di waktu malam, sementara satu lainnya tetap di ladang. Ayahku sangat ingin memiliki satu trailer lagi.
Pappy parkir dan berjalan menghampiri sekelompok petani yang berkerumun di samping sebuah trailer.
Dan cara mereka berdiri, bisa kulihat bahwa mereka sedang mengkhawatirkan sesuatu.
Selama sembilan bulan pabrik pemisah biji itu menganggur. Pabrik itu tinggi dan panjang, berbentuk kotak, bangunan terbesar di county ini. Di awal bulan September, ketika panen dimulai, tempat
itu mulai hidup. Di puncak musim petik, pabrik itu bekerja siang-malam. hanya berhenti pada malam Minggu dan Minggu pagi. Mesin press dan pemisah bijinya bergemuruh dengan ketepatan riuh yang bisa terdengar di seluruh penjuru Black Oak.
Aku melihat si kembar Montgomery melempar-lempar batu pada rumput liar di samping pabrik, dan aku bergabung dengan mereka. Kami bertukar cerita tentang orang-orang Meksiko, dan saling berbohong tentang berapa banyak kapas yang kami petik sendiri. Hari sudah gelap, dan antrean trailer itu bergerak lamban.
"Ayahku bilang harga kapas turun," Dan Montgomery berkata sambil melemparkan sebutir kerikil ke dalam kegelapan. "Katanya para pedagang kapas di Memphis menekan harga karena banyaknya kapas."
"Panen ini memang besar," kataku. Si kembar Montgomery ingin menjadi petani saat dewasa nanti. Aku kasihan pada mereka.
Kalau hujan membanjiri lahan dan merusak panen, maka harga melonjak, sebab para pedagang di Memphis tidak bisa mendapatkan cukup kapas. Namun para petani itu, tentu saja, tidak punya apa pun untuk dijual. Dan bila hujan turun cukup banyak dan hasil panen berlimpah, maka harga pun turun, sebab para pedagang di Memphis punya terlalu banyak kapas. Orang-orang malang yang bekerja keras di ladang tidak mendapatkan cukup uang untuk membayar utang bercocok tanam mereka.
Panen bagus atau panen buruk, tidak ada bedanya.
Kami mengobrol soal bisbol beberapa lama. Keluarga Montgomery tidak punya radio, jadi pengetahuan mereka tentang The Cardinals sangat terbatas Sekali lagi, aku merasa kasihan pada mereka.
Ketika kami meninggalkan pabrik itu. Pappy tidak mengucapkan apa-apa. Kerut-merut di keningnya makin rapat, dan dagunya menonjol keluar sedikit, jadi tahulah aku bahwa ia telah mendengar kabar buruk. Kuperkirakan itu ada kaitannya dengan harga kapas.
Aku tidak mengatakan apa-apa sewaktu kami meninggalkan Black Oak. Ketika lampu-lampu itu sudah di belakang kami, aku menyandarkan kepala pada jendela, sehingga angin meniup wajahku. Udara panas dan diam, dan aku ingin Pappy mengemudi lebih cepat, sehingga kami bisa lebih sejuk
Aku akan mendengarkan lebih cermat beberapa hari mendatang. Biarlah orang-orang dewasa itu saling berbisik, lalu akan kutanyakan pada ibuku apa yang terjadi.
Kalau masalahnya berkaitan dengan kabar buruk mengenai pertanian, ia pasti akan menceritakannya padaku.
Tujuh SABTU pagi. Saat matahari terbit, dengan orang-orang Meksiko di satu sisi dan keluarga Spruill di sisi lain, kami semua naik trailer menuju ladang. Aku terus berada dekat-dekat ayahku, takut kalau si monster Hank itu memburuku lagi. Aku benci seluruh keluarga Spruill pagi itu, kecuali mungkin pada Trot, satu-satunya pembclaku. Mereka tidak menghiraukan-ku. Kuharap mereka malu pada diri sendiri.
Aku mencoba untuk tidak memikirkan keluarga Spruill ketika kami bergerak menembus ladang. Hari itu hari Sabtu. Hari istimewa bagi jiwa-jiwa miskin yang bekerja keras mengolah tanah. Di pertanian Chandler, kami bekerja setengah hari, lalu menuju kota untuk bergabung dengan petani-petani lain serta keluarga mereka yang pergi ke sana untuk membeli makanan dan persediaan, untuk bergabung dan berbaur di sepanjang Main Street, untuk bertukar gosip, untuk melepaskan diri selama beberapa jam dari kerja keras membosankan di ladang kapas. Orang-orang Meksiko dan orang-orang pegunungan itu pun ikut pergi. Para pria berkumpul dalam kelompok-kelompok di depan Tea Shoppe dan Co-op. saling membandingkan hasil panen dan bertukar cerita tentang banjir. Para wanita berkumpul di dalam toko Pop dan Pearl, menghabiskan waktu berbelanja beberapa keperluan. Anak-anak diperkenankan berkeliaran di trotoar di pinggir Main Street sampai pukul empat, saat indah ketika The Dixie buka untuk acara matine.
Ketika trailer itu berhenti, kami membongkar muatan dan membawa karung kapas kami. Aku masih setengah tidur, tidak menujukan perhatian pada apa pun secara khusus, ketika suara paling manis itu berkata, "Selamat pagi, Luke." Itu Tally, berdiri di sana, tersenyum padaku. Itulah caranya mengatakan bahwa ia menyesal atas kejad
ian kemarin. Karena aku juga seorang Chandler, aku bisa amat kepala batu. Aku berbalik memunggunginya dan berjalan pergi. Kukatakan pada diri sendiri bahwa aku benci seluruh keluarga Spruill. Aku menyerang deretan kapas pertama, seolah-olah akan menyapu bersih empat puluh ekar itu sebelum makan siang. Namun, sesudah beberapa menit, aku letih. Aku tersesat di antara batang-batang itu, dalam kegelapan, dan aku masih bisa mendengar suara Tally serta melihat senyumnya.
Ia hanya sepuluh tahun lebih tua dariku.
Mandi berendam hari Sabtu adalah ritual yang paling kubenci, melebihi apa pun. Ritual tersebut berlangsung sesudah makan siang, di bawah pengawasan ketat ibuku. Bak mandinya, yang hampir tidak cukup besar untukku, nanti akan dipakai pula oleh setiap anggota keluarga lainnya. Bak itu ditempatkan di pojok terpencil teras belakang, dilindungi dari pandangan orang dengan kain seprai tua.
Pertama, aku harus mengangkut air dari pompa ke teras belakang dan mengisi bak itu sampai sepertiga penuh. Ini butuh delapan kali angkut dengan ember, dan aku sudah kehabisan tenaga sebelum mandi dimulai. Kemudian aku menarik seprai itu serapat mungkin dan menanggalkan pakaian dengan kecepatan luar biasa. Air itu sangat dingin.
Dengan sepotong sabun yang dibeli di toko dan kain lap, aku berusaha keras membersihkan daki dan membuat gelembung-gelembung sabun serta mengeruhkan air, sehingga ibuku tidak bisa melihat bagian pribadi tubuhku saat ia datang untuk memberi pengarahan. Mula-mula ia muncul untuk mengambil pakaian kotorku, lalu membawakanku pakaian bersih. Kemudian ia langsung menggarap telinga dan leherku. Di tangannya, kain lap itu jadi semacam senjata, ia menggosok kulitku yang lembut seolah-olah tanah yang kukumpulkan dari bekerja di ladang itu menyinggung perasaannya. Sepanjang proses tersebut, ia tak hentinya tercengang-cengang mengomentari betapa kotornya diriku.
Ketika leherku sudah lecet-lecet, ia menyerang rambutku seolah-olah bagian itu penuh dengan kutu. ia menuangkan air dingin dari ember ke atas kepalaku untuk membersihkan sabunnya. Perasaan terhinaku menjadi lengkap setelah ia selesai menggosok lengan dan kakiku -dan syukurlah ia membiarkan bagian selangkangan untuk kubersihkan sendiri.
Air itu keruh berlumpur ketika aku keluar- daki yang seminggu penuh terkumpul dari Delta Arkansas. Aku mencabut sumbat bak dan mengamati airnya merembes di antara celah-celah retakan teras, sambil mengeringkan badan dengan handuk dan mengenakan overall bersih. Aku merasa segar dan bersih, dan dua kilo lebih ringan, dan aku siap berangkat ke kota.
Pappy memutuskan bahwa truknya hanya akan pergi sekali jalan ke Black Oak. Itu berarti Gran dan ibuku akan duduk di depan bersamanya, sedangkan aku dan ayahku akan duduk di belakang, bersama sepuluh orang Meksiko itu. Orang-orang Meksiko itu sama sekali tidak keberatan berdesak-desakan dalam satu kotak, tapi aku tentu saja merasa kesal.
Ketika kami berangkat pergi, aku menyaksikan keluarga Spruil membongkar tiang-tiang dan melepaskan ikatan tambang, dan bekerja cepat-cepat untuk membebaskan truk tua mereka, sehingga mereka bisa pergi ke kota. Semua orang sibuk, kecuali Hank, yang sedang makan sesuatu di keteduhan.
Untuk mencegah debu membubung naik dari spatbor dan membuat kami yang di belakang jadi sesak napas, Pappy mengemudi dengan kecepatan kurang dari lima mil per jam. Tindakannya bisa dimaklumi, tapi tidak banyak membantu. Kami kepanasan dan sesak napas. Mandi hari Sabtu sudah menjadi suatu ritual di pedesaan Arkansas Tapi tampaknya tidak demikian halnya di Meksiko.
Pada hari Sabtu, beberapa keluarga petani tiba di kota pada siang hari. Pappy berpendapat bahwa menghabiskan waktu terlalu banyak untuk menikmati hari Sabtu merupakan dosa, jadi kami pun berlambat-lambat sampai ke sana. Selama musim dingin, ia bahkan mengancam menghindari kota, kecuali untuk pergi ke gereja pada hari Minggu. Ibuku mengatakan Pappy pernah melewatkan satu bulan penuh tanpa meninggalkan tanah pertanian, dan ini termasuk memboikot gereja karena pendetanya, entah bagaimana, telah menyinggung
nya. Tidak perlu masalah besar untuk menyinggung Pappy. Tapi kami beruntung. Banyak petani bagi hasil yang tak pernah meninggalkan pertanian. Mereka tidak punya uang untuk berbelanja, dan tidak punya mobil untuk pergi ke kota. Dan ada beberapa petani penyewa seperti kami dan pemilik tanah yang jarang pergi ke kota. Menurut Gran, Mr. Clovis Beckly dan Carraway tidak pernah ke kota selama empat belas tahun. Dan ia tidak pernah pergi ke gereja sejak sebelum Perang Dunia Pertama. Aku pernah mendengar beberapa orang secara terbuka mendoakannya dalam kebaktian-ke-baktian kebangkitan rohani.
Aku suka sekali dengan lalu lintas dan trotoar yang ramai, serta ketidakpastian mengenai siapa-siapa yang mungkin kujumpai berikutnya. Aku suka menyaksikan kelompok-kelompok orang Meksiko berkerumun di bawah naungan pepohonan, makan es krim dan menyapa teman-teman senegara mereka dari pertanian-pertanian lain dengan bahasa Spanyol yang ramai bergairah. Aku suka melihat kerumunan orang-orang tak dikenal, orang-orang pegunungan yang tak berapa lama lagi akan pergi. Pappy pernah bercerita padaku bahwa ketika ia tinggal di St. Louis sebelum Perang Dunia Pertama, di sana ada setengah juta orang lain, dan bahwa ia tersesat saat berjalan kaki di suatu jalan.
Itu tidak akan pernah terjadi padaku. Nanti, kalau aku menyusuri jalanan St. Louis, setiap orang akan mengenalku.
Aku mengikuti ibuku dan Gran menuju toko Pop dan Pearl Watson. Para pria pergi ke Co-op, sebab di sanalah semua petani berkumpul pada hari Sabtu sore. Aku tak pernah bisa memastikan dengan tepat apa yang mereka kerjakan di sana, selain berkeluh kesah tentang harga kapas dan mencemaskan cuaca.
Pearl sibuk di belakang mesin kasir. "Hai, Mrs. Watson," sapaku ketika aku bisa menghampiri cukup dekat. Toko itu penuh sesak dengan para wanita dan orang-orang Meksiko.
"Wah, halo, Luke," ia berkala sambil mengedipkan mata padaku "Bagaimana kapasnya"" ia bertanya. Pertanyaan yang sama, yang kudengar berulang-ulang.
"Panennya lumayan," kataku, seolah-olah aku sudah memetik satu ton.
Gran dan ibuku butuh waktu satu jam untuk membeli lima pon tepung, dua pon gula, dua pon kopi, sebotol cuka, satu pon garam meja. dan dua batang sabun. Lorong di antara rak-rak toko itu dijejali para wanita yang lebih asyik bertukar sapa daripada berbelanja bahan makanan. Mereka bicara tentang kebun mereka, dan cuaca, dan acara gereja esok hari, dan tentang siapa yang pasti akan punya bayi dan siapa yang mungkin akan mengandung. Mereka mengobrol tentang pemakaman di sini, kebaktian kebangkitan rohani di sana. serta pernikahan yang akan datang.
Tak satu patah kata pun tentang The Cardinals.
Satu-satunya tugasku di kota hanyalah mengangkut barang belanjaan kembali ke truk. Begitu tugas ini selesai, aku bebas berkeliaran di Main Street, tanpa diawasi. Aku bergerak lamban bersama pejalan kaki lain menuju ujung timur Black Oak, melewati Co-op, melewati apotek dan toko perabotan dan Tea Shoppe. Sepanjang trotoar, beberapa kumpulan orang berdiri saling bertukar gosip, tanpa niat sedikit pun untuk beranjak. Telepon adalah barang langka, dan hanya ada beberapa pesawat televisi di county ini, jadi hari Sabtu memang dikhususkan untuk saling bertukar berita dan peristiwa-peristiwa terakhir.
Aku menemukan temanku, Dewayne Pinter, sedang berusaha meyakinkan ibunya bahwa ia seharusnya bebas pergi sendiri. Dewayne setahun lebih tua dariku. tapi masih duduk di kelas dua. Ayahnya memperkenankannya mengemudikan traktor mereka di sekitar tanah pertanian mereka, dan ini meningkatkan statusnya di antara semua anak kelas dua di Sekolah Black Oak. Keluarga Pinter adalah penganut Gereja Baptis dan penggemar The Cardinals, tapi karena sejumlah alasan yang tidak jelas, Pappy tetap tidak menyukai mereka.
"Selamat siang, Luke," Mrs. Pinter berkata padaku.
"Halo, Mrs. Pinter."
"Di mana ibumu"" ia bertanya sambil melihat ke belakangku.
"Saya rasa dia masih di apotek. Saya tidak tahu pasti."
Dengan itu, Dewayne bisa melepaskan diri. Kalau aku bisa dipercaya untuk berjalan-jalan sendirian, demikian pula dia. Ketika kami berj
alan pergi, Mrs. Pinter masih menyerukan berbagai instruksi. Kami pergi ke Dixie, tempat anak-anak yang lebih besar bergerombol dan menunggu pukul empat. Aku punya beberapa keping uang logam di sakuku -lima sen untuk menonton matine. lima sen untuk Coca-Cola. tiga sen untuk berondong jagung. Ibuku memberikan uang tersebut sebagai panjar untuk apa yang bakal kudapatkan dari memetik kapas. Aku diharapkan membayarnya kembali suatu saat nanti, tapi ia dan aku tahu bahwa itu tidak akan pernah terjadi. Kalau Pappy mencoba menagihnya, ia tentu harus menghadapi Mom.
Terbukti bahwa Dewayne lebih unggul dalam memetik kapas minggu ini. Ia punya sekantong penuh uang receh, dan tak sabar menunggu untuk memamerkannya. Keluarganya juga menyewa tanah, sekaligus memiliki dua puluh ekar, jauh lebih banyak daripada yang dimiliki keluarga Chandler.
Seorang gadis dengan wajah berbintik-bintik bernama Brenda mulai berdiri di dekat-dekat kami, mencoba membuka percakapan dengan Dewayne. Ia sudah mengatakan pada semua temannya bahwa ia ingin menikah dengan Dewayne. Ia membuat hidup Dewayne tak tertahankan dengan menguntitnya ke mana saja di gereja, membayanginya dari ujung ke ujung Main Street pada hari Sabtu, dan selalu menanyakan apakah Dewayne mau duduk di sampingnya di bioskop.
Dewayne membencinya. Ketika serombongan orang Meksiko berjalan lewat, kami menghilang di tengah mereka.
Ada perkelahian di belakang Co-op, tempat populer bagi anak-anak yang lebih tua untuk berkumpul dan saling baku hantam. Ini terjadi setiap Sabtu, dan merupakan tontonan paling mengasyikkan di Black Oak. Orang banyak mendesak maju di lorong lebar di samping Co-op, dan dalam desak-mendesak itu kudengar seseorang berkata, "Berani bertaruh, ini pasti salah satu Sisco."
Ibuku pernah memperingatkan agar aku tidak menyaksikan perkelahian di belakang Co-op, tapi itu bukan larangan ketat, sebab aku tahu ia tidak akan ke sana. Tak ada wanita baik-baik yang berani sampai ketahuan menyaksikan perkelahian. Aku dan Dewayne menyelinap di antara orang banyak, dengan keinginan bergejolak untuk menyaksikan sedikit kekerasan.
Keluarga Sisco adalah keluarga petani bagi hasil miskin yang tinggal tak sampai satu mil dari kota. Mereka selalu hadir di sana pada hari Sabtu. Tak seorang pun tahu pasti, ada berapa banyak anak dalam keluarga itu. tapi mereka semua bisa berkelahi. Ayah mereka seorang pemabuk yang suka memukuli mereka, dan ibu mereka pernah menghajar seorang deputi bersenjata lengkap yang mencoba menangkap suaminya. Mematahkan lengan dan hidungnya. Sang deputi meninggalkan kota dengan arang tercoreng di muka. Anak sulung keluarga Sisco mendekam di penjara karena membunuh seseorang di Jonesboro.
Anak-anak keluarga Sisco tidak pergi ke sekolah ataupun ke gereja, jadi aku bisa menghindari mereka. Tak pelak lagi, ketika kami mendekat dan mengintip di antara penonton, Jerry Sisco ada di sana. sedang memukuli wajah seorang tak dikenal.
"Siapa itu"" tanyaku pada Dewayne. Orang banyak itu berteriak-teriak mendukung masing-masing petarung untuk bergegas dan menghabisi lawannya.
"Entahlah," kata Dewayne. "Mungkin orang pegunungan."
Itu masuk akal. Dengan banyaknya orang-orang pegunungan yang memasuki county tersebut untuk memetik kapas, masuk akal kiranya bahwa anak-anak Sisco akan memulai perkelahian dengan seseorang yang tidak kenal dengan mereka. Penduduk setempat menghindari mereka. Wajah orang tak dikenal itu bengkak, dan darah mengucur dari hidungnya. Jerry Sisco menghunjamkan pukulan kanan yang keras ke giginya, dan menjatuhkannya hingga terkapar.
Gerombolan keluarga Sisco dan orang-orang sesama mereka berkumpul di satu sudut, tertawa, dan mungkin minum-minum. Mereka kumuh dan jorok, dengan pakaian compang-camping, hanya beberapa yang memakai sepatu. Ketangguhan mereka sudah menjadi legenda. Mereka ramping dan lapar, dan berkelahi dengan segala macam tipu daya kotor. Tahun sebelumnya. Billy Sisco nyaris membunuh seorang Meksiko dalam perkelahian di belakang pabrik pengolahan kapas.
Di sisi lain arena itu ada segerombolan orang pegunungan, semuanya berteriak-teriak
mendukung rekan mereka namanya Doyle untuk bangkit dan membalas. Doyle menggosok-gosok dagu ketika ia melompat berdiri dan menerjang, ia berhasil menye-rudukkan kepalanya ke perut Jerry Sisco, hingga mereka berdua terlempar ke tanah. Ini membuat orang-orang pegunungan itu bersorak. Kami semua juga ingin bersorak, tapi kami tak ingin memancing kemarahan anak-anak Sisco. Ini permainan mereka, dan mereka akan memburu siapa saja.
Dua petarung itu saling cengkeram dan cakar dan berguling-guling di tanah seperti binatang buas, sementara sorak sorai makin keras. Doyle tiba-tiba menarik tangan kanannya dan mendaratkan pukulan telak di tengah wajah Jerry Sisco, membuat darah muncrat ke mana-mana. Jerry diam sepersekian detik, dan diam-diam kami semua berharap bahwa mungkin kali ini seorang Sisco sudah menemukan lawan yang setara. Doyle sudah hendak mendaratkan satu pukulan lain ketika sekonyong-konyong Billy Sisco menerjang dari kerumunan dan menendang punggung Doyle. Doyle melolong seperti anjing yang terluka. dan terguling ke tanah. Dua Sisco bersaudara langsung menerkamnya, menendang dan memukulinya.
Doyle akan dibantai. Meskipun sama sekali tidak adil, inilah risiko yang kauhadapi bila kau berkelahi dengan -seorang anak keluarga Sisco. Orang-orang pegunungan itu terdiam, dan penduduk lokal menyaksikan tanpa maju selangkah pun.
Kemudian dua Sisco bersaudara itu menyeret Doyle agar berdiri, dan dengan kesabaran seorang algojo, Jerry menendang selangkangannya. Doyle menjerit dan jatuh ke tanah. Seluruh keluarga Sisco tertawa riuh.
Sisco bersaudara itu sedang dalam proses mengangkatnya lagi ketika Mr. Hank Spruill, yang berleher seperti batang pohon itu, melangkah keluar dari kerumunan dan memukul Jerry dengan keras, hingga jatuh ke tanah. Cepat bagaikan kucing, Billy Sisco melontarkan jab kiri yang mengenai rahang Hank, tapi terjadi sesuatu yang mencengangkan. Pukulan jab itu tidak menggoyahkan Hank Spruill. Ia memutar badan dan mencengkeram rambut Billy, lalu dengan ringan memutarnya dan melemparkannya ke gerombolan keluarga Sisco di tengah orang banyak. Dan gerombolan itu datang satu lagi anggota keluarga Sisco, Bobby, yang umurnya tak lebih dari enam belas tahun, tapi sama kejam seperti saudara-saudaranya.
Tiga Sisco bersaudara menghadapi Hank Spruill.
Sewaktu Jerry berusaha berdiri, Hank, dengan kecepatan mencengangkan, menendang rusuknya sedemikian keras, sehingga kami mendengar suara berderak. Kemudian Hank berbalik dan menampar Bobby dengan punggung tangan, menjatuhkannya hingga terkapar, dan menendang giginya. Pada saat ini Billy menerjang kembali, dan Hank, bak orang kuat dalam sirkus, mengangkat pemuda yang lebih kurus itu ke udara dan melemparkannya ke sisi Co-op. Billy terbanting keras, menggetarkan papan-papan dan jendela, sebelum jatuh ke tanah dengan kepala lebih dulu. Lemparannya bahkan lebih ringan daripada lemparan bola bisbolku.
Ketika Billy menghantam tanah. Hank mencengkeram tenggorokannya dan menyeretnya kembali ke tengah arena, di mana Bobby sedang merangkak-rangkak, berjuang untuk berdiri. Jerry meringkuk terkulai di satu sisi, sambil memegangi rusuk dan me-rintih-rintih.
Hank menendang Bobby di antara kakinya Ketika bocah itu menjerit. Hank melepaskan tawa mengerikan.
Ia kemudian mencengkeram tenggorokan Billy dan mulai menampari wajahnya dengan punggung tangan kanan. Darah berhamburan ke mana-mana, menutupi wajah Billy dan mengucur ke dadanya.
Akhirnya Hank melepaskan Billy dan berpaling kepada para anggota keluarga Sisco lainnya. "Ada yang mau lagi"" ia berseru. "Ayo! Maju lagi!"
Sisco bersaudara lainnya gemetar, ketakutan di belakang satu sama lain, sementara tiga pahlawan mereka menggelepar-gelepar di tanah.
Pertarungan itu seharusnya sudah berakhir, namun Hank punya rencana lain. Dengan gembira dan sengaja, ia berganti-ganti menendangi wajah dan kepala tiga orang itu. hingga mereka berhenti bergerak dan merintih. Orang banyak mulai bubar.
"Ayo pergi," seorang laki-laki berkata dari belakang. "Kalian anak-anak tidak perlu melihat ini." Tapi aku tak dapat bergerak.
Kemudian Hank men emukan patahan kayu ukuran dua kali empat. Sesaat orang banyak itu berhenti, penuh perasaan ingin tahu yang tidak waras untuk menyaksikan kelanjutannya.
Ketika Hank memukul hidung Jerry, seseorang di dalam kerumunan itu berkata. "Oh Tuhan."
Satu suara lain dalam kerumunan itu mengatakan akan mencari Sheriff.
"Ayo pergi dari sini." seorang petani tua berkata, dan orang banyak itu mulai beranjak kembali, kali ini sedikit lebih cepat.
Hank masih belum selesai. Wajahnya merah padam oleh kemarahan; matanya berkilat-kilat seperti mata iblis. Ia terus memukuli mereka, sampai batang kayu itu mulai hancur menjadi potongan-potongan kecil.
Aku tidak melihat anggota keluarga Spruill lainnya di antara orang banyak. Sewaktu pemukulan itu berubah jadi pembantaian, semua orang kabur. Tak seorang pun di Black Oak ingin terlibat urusan dengan para Sisco. Dan kini tak seorang pun ingin menghadapi orang gila dari perbukitan ini.
Ketika kami kembali ke trotoar, mereka yang tadi menyaksikan perkelahian tersebut terus bungkam. Pembantaian masih berlangsung. Dalam hati aku bertanya-tanya, apakah Hank akan memukuli mereka sampai mati.
Baik Dewayne maupun aku tidak mengucapkan sepatah kata pun sewaktu kami berjalan cepat menerobos orang banyak dan berlari ke gedung bioskop.
Menonton film hari Sabtu siang selalu merupakan acara istimewa bagi kami. anak-anak petani. Kami tidak punya televisi, dan menikmati hiburan dianggap suatu dosa. Selama dua jam kami melupakan kerasnya hidup" di ladang kapas, dan beralih ke dunia fantasi, di mana orang-orang baik selalu menang. Dari menonton film, kami belajar bagaimana para penjahat beroperasi, bagaimana polisi menangkap mereka, bagaimana orang-orang berperang dan menang, dan bagaimana sejarah dibuat pada masa Wild West. Bahkan dari filmlah aku belajar tentang kebenaran menyedihkan itu, bahwa sebenarnya pihak Selatan kalah dalam Perang Saudara, berlawanan dari apa yang diceritakan padaku di rumah dan di sekolah.
Akan tetapi, tayangan film koboi Gene Autry hari Sabtu ini membosankan aku dan Dewayne. Setiap kali muncul adegan adu jotos pada layar, aku kembali memikirkan Hank Spruill dan membayangkan ia masih berada di belakang Co-op di luar sana, memukuli Sisco bersaudara. Perkelahian Autry bukan apa-apa dibandingkan pembantaian berdarah dalam kehidupan nyata yang baru saja kami saksikan. Ketika film itu hampir berakhir, barulah aku mengerahkan keberanian untuk berbicara dengan Dewayne.
"Hillbilly bertubuh besar yang kita lihat memukuli Sisco bersaudara itu"" aku berbisik. "Dia bekerja di pertanian kami."
"Kau kenal dia"" Dewayne balas berbisik, tercengang.
"Yep. Kenal sangat baik "
Dewayne terkesan dan ingin mengajukan pertanyaan lain. tapi tempat itu penuh sesak dan Mr. Starnes, si manajer, suka berpatroli di gang-gang dengan lampu senter, mencari kalau kalau ada masalah. Anak mana pun yang tertangkap berbicara akan dijewer kupingnya dan dikeluarkan. Selain itu, Brenda si wajah bintik berhasil mendapatkan tempat duduk tepat di belakang Dewayne, membuat kami berdua merasa tidak nyaman.
Ada beberapa orang dewasa di sana-sini di antara penonton, tapi mereka kebanyakan orang kota. Mr. Starnes mengatur orang-orang Meksiko itu duduk di balkon, tapi tampaknya mereka tidak keberatan. Cuma sedikit yang mau menghamburkan uang untuk menonton bioskop.
Kami bergegas keluar begitu film selesai, dan dalam beberapa menit kami sudah berada di belakang Co-op lagi, setengah berharap akan menyaksikan mayat-mayat Sisco bersaudara yang berlumuran darah. Tapi tak ada seorang pun di sana. Tidak ada bukti pernah terjadi perkelahian - tak ada darah, tak ada anggota badan yang terkoyak, tak ada kepingan potongan kayu.
Pappy berpendapat bahwa orang-orang yang menghargai diri sendiri seharusnya meninggalkan kota sebelum gelap pada hari Sabtu. Aku pernah mendengar kabar angin tentang hal-hal buruk yang terjadi pada malam Minggu. Tapi. selain perkelahian-per-kelahian itu, aku tidak pernah menyaksikan kejahatan sebenarnya. Aku pernah dengar ada mabuk-mabukan dan perjudian dengan dadu di belakang pabrik kapas, dan lebih ba
nyak lagi perkelahian, tapi semua itu tidak pernah terlihat, dan hanya dilakukan oleh beberapa orang. Namun demikian, Pappy takut bahwa kami, entah bagaimana, akan tercemar oleh hal itu.
Ricky adalah si pembuat keributan dalam keluarga Chandler, dan ibuku bercerita bahwa ia punya reputasi suka tinggal terlalu lama di kota pada hari Sabtu. Pernah terjadi penangkapan dalam sejarah keluarga kami baru-baru ini, tapi aku tidak pernah mendapatkan rinciannya. Ibuku mengatakan bahwa Pappy dan Ricky sudah bertahun-tahun berselisih tentang jam berapa mereka harus pulang. Aku ingat beberapa kali ketika kami pulang tanpa Ricky. Aku menangis, sebab aku yakin tidak akan pernah melihatnya lagi, lalu Minggu pagi ia sudah duduk di dapur sambil minum kopi. seolah-olah tidak pernah terjadi apa pun. Ricky selalu pulang.
Kami berkumpul di truk, yang kini dikepung puluhan kendaraan lain yang diparkir sembarangan di sekeliling Gereja Baptis, karena para petani itu masih berdatangan. Kerumunan orang di Main Street jadi semakin padat dan sepertinya terkonsentrasi di dekat sekolah, di mana pemain biola dan banjo kadang-kadang memainkan lagu-lagu bluegrass. Aku tidak ingin pergi, dan menurutku tidak perlu buru-buru pulang.
Gran dan ibuku sedang menyelesaikan urusan terakhir mereka di dalam gereja, di mana kebanyakan wanita itu menemukan sesuatu untuk dikerjakan sebelum hari Sabat. Dari balik truk, aku-mendengar ayahku dan Pappy sedang bicara tentang perkelahian itu. Kemudian aku mendengar nama Sisco, dan aku diam tak bergerak. Miguel dan beberapa orang Meksiko datang dan tidak berhenti berceloteh dalam bahasa Spanyol, sehingga aku tak bisa mendengarkan gosip lebih jauh.
Beberapa menit kemudian. Stick Powers, satu-satunya deputi di Black Oak, mendatangi dari jalan raya dan menyapa Pappy serta ayahku. Kabarnya Stick pernah jadi tawanan perang dalam Perang Dunia, dan ia berjalan dengan langkah pincang, yang menurutnya diakibatkan oleh penyiksaan dalam kamp Jerman. Pappy mengatakan bahwa ia tidak pernah meninggalkan Craighead County, tidak- pernah mendengar suara tembakan yang dilepaskan dalam kemarahan.
"Salah satu Sisco bersaudara itu nyaris mati," kudengar ia berkata sewaktu aku bergeser lebih dekat. Hari sudah gelap sekarang, dan tak seorang pun melihatku.
"Itu bukan masalah," kata Pappy. "Mereka bilang hillbilly itu bekerja di tempat kalian."
"Aku tidak melihat perkelahian itu. Stick," Pappy berkata, darahnya yang cepat naik itu mulai mendidih. "Kau tahu namanya""
"Hank entah siapa."
"Kami punya banyak entah siapa."
"Tidak keberatan kalau aku besok mampir dan melihat-lihat"" Stiek bertanya.
"Aku tidak bisa melarangmu."
"Memang tidak." Stick melangkah dengan kakinya yang sehat dan melontarkan pandangan ke arah orang-orang Meksiko itu, seakan-akan mereka bersalah.
Aku menyelinap ke sisi lain truk itu dan berkata, "Ada apa sih""
Seperti biasa, kalau ada sesuatu yang tidak seharusnya kuketahui atau kudengar, mereka mengabaikanku.
Kami pulang dalam kegelapan, cahaya lampu Black Oak memudar di belakang kami, udara sejuk dari jalan meniup rambut kami. Semula aku ingin menceritakan perkelahian itu pada ayahku, tapi aku tak bisa melakukannya di depan orang-orang Meksiko itu. Kemudian kuputuskan untuk tidak menjadi saksi. Aku tidak akan bercerita pada siapa pun, karena sama sekali tidak ada peluang untuk menang. Keterlibatan dalam bentuk apa pun dengan keluarga Sisco akan membahayakan hidupku, dan aku tak ingin keluarga Spruill berang dan pergi. Masa petik baru saja mulai, dan aku sudah merasa muak. Dan yang lebih penting, aku tak ingin Hank Spruill marah terhadapku, atau ayahku, atau Pappy.
Truk tua mereka tidak ada di halaman depan ketika kami tiba di rumah.
Mereka masih ada di kota, mungkin berkumpul dengan orang-orang pegunungan lainnya.
Sesudah makan malam, kami mengambil tempat masing-masing di beranda, sementara Pappy mengotak-atik radionya. The Cardinals ada di Philadelphia, bermain di bawah cahaya lampu. Musial akan memukul bola di puncak putaran kedua, dan aku mulai bermimpi.
Delapan KAMI terbangun menjelang fajar ha
ri Minggu, bersama gelegar dan gemuruh halilintar. Badai bertiup dari arah barat daya, menunda terbitnya matahari, dan sewaktu berbaring dalam kegelapan kamar Ricky, aku sekali lagi mengajukan pertanyaan besar itu: mengapa hujan turun tiap hari Minggu" Mengapa tidak pada hari kerja, sehingga aku tidak perlu memetik kapas" Minggu memang sudah merupakan hari istirahat.
Nenek mendatangiku dan menyuruhku duduk di beranda, sehingga kami bisa menyaksikan hujan bersama-sama. ia menyiapkan kopi untukku, menambahkan susu dan gula banyak-banyak, dan kami berayun-ayun pelan di ayunan, sementara angin melolong. Keluarga Spruill sibuk hilir-mudik, melemparkan barang-barang ke dalam kardus-kardus, berusaha menemukan tempat berteduh dari tenda mereka yang bocor di sana-sini.
Hujan turun deras, seakan-akan hendak mengimbangi cuaca kering selama dua minggu. Uap air bergulung-gulung di beranda, bagaikan kabut, dan di atas kami atap seng itu bernyanyi diterpa curahan hujan.
Gran dengan hati-hati memilih waktu untuk berbicara. Ada saat-saat tertentu, biasanya sekali seminggu, ia membawaku berjalan-jalan, atau menemui aku di beranda, hanya kami berdua. Karena sudah tiga puluh lima tahun ia menikah dengan Pappy. ia sudah mempelajari seni berdiam diri. Ia bisa lama berjalan-jalan atau berayun di ayunan tanpa banyak berbicara.
"Bagaimana kopinya"" ia bertanya, nyaris tak terdengar di lengah gemuruh hujan deras itu. "Enak, Gran." kataku. "Kau mau makan apa untuk sarapan"" "Biskuit."


Rumah Bercat Putih A Painted House Karya John Grisham di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kalau begitu, akan kusiapkan biskuit untuk kita."
Kegiatan rutin hari Minggu berlangsung sedikit lebih santai. Kami biasanya bangun lebih siang, meskipun hujan telah membangunkan kami pagi sekali hari ini. Dan untuk sarapan kami tidak menyantap telur dan daging panggang seperti biasanya, melainkan bertahan dengan biskuit dan sirop gula saja. Pekerjaan dapur sedikit lebih ringan. Bagaimanapun, hari Minggu adalah hari istirahat.
Ayunan itu bergerak maju-mundur perlahan-lahan, tanpa tujuan tertentu, rantainya yang karatan berkeriut pelan di atas kami. Kilat berkelebat di seberang jalan, di sekitar lahan Jeter.
"Aku mimpi tentang Ricky tadi malam." kata Gran.
"Mimpi indah""
"Ya, sangat bagus. Aku mimpi bahwa perang ini tiba-tiba berakhir, tapi mereka lupa memberitahu kita. Dan suatu malam kita sedang duduk di teras sini, mendengarkan radio, dan di jalan di luar sana kita melihat seorang laki-laki berlari ke arah kita. Ternyata Ricky. Dia memakai seragam tentara, dan dia berteriak-teriak bahwa perang sudah berakhir."
"Aku ingin mimpi seperti itu," kataku.
"Kukira Tuhan sedang mengatakan sesuatu pada kita."
"Ricky akan pulang""
"Ya. Mungkin tidak segera, tapi perang ini akan segera berakhir. Suatu hari nanti, kita akan mengangkat muka dan melihat Ricky berjalan menyeberangi halaman di sana."
Aku melihat ke halaman. Genangan-genangan air mulai terbentuk dan mengalir ke arah keluarga Spruill. Rumput di sana sudah hampir habis, dan angin meniup dedaunan pertama yang mati dari pohon-pohon ek kami.
"Aku berdoa untuk Ricky setiap malam, Gran," aku berkata dengan agak bangga.
"Aku berdoa untuknya setiap jam," ia berkata, dengan mata sedikit berkaca-kaca.
Kami bergoyang-goyang dan memandangi hujan. Jarang sekali aku membayangkan Ricky dalam pakaian seragam, dengan senapan, di bawah hujan tembakan, melompat dari satu tempat aman ke tempat lain. Sebaliknya, kenanganku tentangnya adalah sebagai sahabat terbaikku, pamanku yang lebih seperti seorang kakak bagiku, seorang sahabat dengan joran pancing atau sarung tangan bisbol. Ia baru berumur sembilan belas tahun, usia yang bagiku terasa tua dan sekaligus muda.
Tak lama kemudian, ibuku datang ke pintu. Mandi hari Sabtu disusul dengan menggosok badan pada hari Minggu, ritual yang berlangsung cepat tapi brutal, di mana leher dan telingaku dikikis oleh seorang wanita kesurupan. "Kita harus segera bersiap," ia berkata. Aku sudah bisa membayangkan sakitnya.
Aku mengikuti Gran ke dapur untuk mengambil kopi lagi. Pappy duduk di belakang meja dapur, sambil membaca Kitab Suci dan mempersiapkan pelajaran sekolah Minggu. Aya
hku ada di teras belakang, mengamati badai dan menerawang jauh ke sungai, tak disangsikan lagi pasti mengkhawatirkan bahwa banjir akan datang.
Hujan berhenti lama sebelum kami berangkat ke gereja. Jalanan berlumpur, dan Pappy mengemudi lebih lamban daripada biasanya. Kami meluncur tertatih-tatih, kadang kala tergelincir ke dalam bekas roda dan lubang genangan di jalan tanah itu. Aku dan ayahku duduk di belakang, berpegangan erat-erat pada pinggir jok. sedangkan ibuku dan Gran duduk di depan, setiap orang memakai pakaian terbaiknya. Langit sudah cerah, dan kini matahari tergantung di atas, memanggang tanah yang basah, sehingga kau bisa melihat uap air mengapung malas di atas batang-batang kapas.
"Hari ini bakal panas," kata ayahku, menyuarakan ramalan cuaca yang sama seperti yang diucapkannya setiap hari, dari bulan Mei hingga September.
Ketika sampai di jalan raya, kami berdiri dan bersandar pada mobil, sehingga angin meniup ke punggung kami. Rasanya jauh lebih sejuk seperti itu. Ladang-ladang itu kosong; bahkan orang-orang Meksiko tidak diperkenankan bekerja pada hari Sabat.
Setiap musim panen selalu membawa desas-desus baru tentang petani-petani kafir yang menyelinap dan terus memetik kapas pada hari Minggu, tapi aku pribadi tidak pernah menyaksikan perbuatan berdosa seperti itu.
Hampir segala sesuatu melupakan dosa di peda laman Arkansas, terutama bila kau penganut Gereja Baptis. Dan sebagian besar ritual kebaktian Minggu kami diisi oleh kotbah Pendeta Akers. seorang pria dengan suara keras dan penuh kegusaran, yang selalu saja mengarang dosa-dosa baru dalam benaknya. Sudah tentu aku sama sekali tak peduli dengan kotbah-kotbah tersebut - kebanyakan anak-anak tidak peduli - tapi ada sesuatu yang lebih dari sekadar kebaktian pada hari Minggu di gereja. Hari Minggu adalah saat untuk saling berkunjung, dan menyebarkan berita serta gosip. Hari Minggu adalah saat-saat berkumpul yang meriah, setiap orang" penuh dengan keceriaan, atau setidaknya berpura-pura demikian. Apa pun kekhawatiran dunia - banjir yang mengancam, perang di Korea, harga kapas yang naik-turun - semuanya disisihkan selama acara gereja.
Tuhan tidak ingin umatNya merasa khawatir, kata Gran selalu, terutama ketika kami berada di rumah-Nya. Ucapan ini selalu kuanggap aneh, sebab Gran sendiri hampir selalu mengkhawatirkan segala sesuatu, seperti Pappy.
Di luar keluarga dan lahan pertanian, tidak ada hal lain yang penting bagi kami selain Gereja Baptis Black Oak. Aku kenal setiap orang di gereja kami. dan mereka tentu saja mengenalku. Kami semua satu keluarga di sini, bagaimanapun keadaannya. Setiap orang saling mengasihi, atau setidaknya mengaku demikian, dan bila salah satu anggota kami sakit sedikit saja, maka dicurahkanlah segala macam doa dan perhatian Kristiani. Upacara pemakaman berlangsung seminggu penuh, hampir seperti peristiwa suci. Kebaktian-kebaktian kebangkitan rohani pada musim gugur dan musim semi direncanakan berbulan-bulan sebelumnya dan sangat ditunggu-tunggu. Sedikitnya sekali sebulan kami mengadakan semacam pesta kebun, dengan para tamu masing-masing membawa makanan -potluck picnic di bawah pepohonan di belakang gereja dan ini kerap kali berlanjut hingga menjelang sore.
Pernikahan adalah peristiwa penting, terutama bagi kaum wanita, tapi tidak sedramatis upacara pemakaman.
Halaman parkir gereja yang berlapis kerikil itu sudah hampir penuh ketika kami tiba. Sebagian besar kendaraan di sana adalah truk-truk petani tua seperti milik kami, semuanya berlumuran lumpur segar. Ada beberapa sedan, dan mobil-mobil ini dikendarai oleh orang-orang kota atau petani-petani pemilik tanah. Di ujung jalan, di Gereja Methodis, ada lebih sedikit truk dan lebih banyak mobil sedan. Secara umum, para pedagang dan guru sekolah beribadat di sana. Kaum Methodis merasa mereka agak lebih hebat daripada kami, namun sebagai kaum Baptis, kami tahu bahwa kami berada di jalan tengah menuju Tuhan.
Aku melompat turun dari truk dan berlari mencari teman-temanku. Tiga anak yang lebih besar sedang saling melempar bola bisbol di belakang gereja, di dekat kuburan, d
an aku menuju ke arah mereka.
"Luke," seseorang berbisik. Ternyata Dewayne, bersembunyi di bawah naungan pohon elm dan kelihat an takut "Ke sini."
Aku berjalan menghampiri pohon itu.
"Apa kau sudah dengar"" ia berkata. "Jerry Sisco tewas pagi ini."
Aku merasa seakan-akan aku telah berbuat sesuatu yang salah, dan aku tak bisa memikirkan apa pun untuk diucapkan. Dewayne cuma menatapku. Akhirnya aku berhasil memberikan tanggapan. "Lalu""
"Lalu "mereka berusaha mencari orang-orang yang menyaksikan kejadian itu."
"Banyak orang yang melihatnya."
"Yeah, tapi tak seorang pun mau buka suara. Setiap orang takut pada keluarga Sisco, dan semua orang takut terhadap orang gunungmu itu."
"Bukan orang gunungku," kataku.
"Pokoknya aku takut padanya. Kau tidak""
"Apa yang akan kita lakukan""
"Tidak ada. Kita tidak akan bilang apa-apa, pokoknya tidak sekarang."
Kami sepakat tidak akan melakukan apa pun. Kalau ditanya, kami akan berbohong. Dan kalau kami berbohong, kami akan memanjatkan doa tambahan.
Doa-doa di pagi hari Minggu itu panjang dan berbelit-belit. Demikian pula desas-desus dan gosip tentang apa yang menimpa diri Jerry Sisco. Kabar tersebar dengan cepat sebelum sekolah Minggu dimulai. Aku dan Dewayne mendengar rincian tentang perkelahian itu. dan kami tak bisa percaya bahwa cerita itu disampaikan Setiap detik Hank menjadi lebih besar. "Tangannya sebesar daging ham." seseorang berkala. "Pundaknya seperti sapi jantan Brahma," kata yang lain. "Pasti beratnya mencapai seratus lima puluh kilo."
Para pria dewasa dan anak laki-laki yang lebih besar berkumpul di dekat pintu depan gereja. Aku dan Dewayne hilir-mudik kian kemari, hanya mendengarkan. Aku mendengar kejadian itu disebut sebagai "pembunuhan" lalu ganti dengan istilah "dibunuh". Aku sama sekali tak mengerti perbedaannya, sampai kudengar Mr. Snake Wilcox berkata. "Itu bukan pembunuhan tak sengaja. Cuma orang-orang baik yang mengalami pembunuhan. Sampah putih seperti keluarga Sisco itu dibunuh"
Pembunuhan itu adalah yang pertama kalinya di Black Oak sejak 1947, ketika beberapa petani bagi hasil di bagian timur kota mabuk-mabukan dan memicu peperangan dalam keluarga. Seorang pemuda belasan tahun tertembak, tapi tak pernah diajukan tuntutan apa pun di pengadilan. Mereka kabur di waktu malam, tak pernah terdengar kabar beritanya lagi. Tak seorang pun bisa mengingat pembunuhan terakhir yang "sebenarnya".
Aku terpesona oleh gosip itu. Kami duduk di tangga depan gereja, memandang trotoar yang menuju Main Street, dan mendengarkan para pria dewasa berdebat dan beradu pendapat tentang apa yang seharusnya dilakukan atau tidak dilakukan.
Di jalan, aku bisa melihat bagian depan Co-op, dan selama sesaat aku merasa bisa melihat Jerry Sisco lagi, wajahnya hancur berantakan, semental a Hank Spruill memukulinya sampai mati.
Aku telah menyaksikan seseorang tewas terbunuh. Sekonyong-konyong aku merasakan dorongan untuk menyelinap ke depan altar dan mulai berdoa. Aku tahu bahwa diriku bersalah atas sesuatu.
Kami masuk perlahan-lahan ke dalam gereja, di mana anak-anak dan wanita dewasa juga berkumpul dan saling berbisik menceritakan versi mereka sendiri tentang tragedi tersebut. Di kalangan mereka, sosok Jerry jadi melambung. Brenda, gadis kecil berwajah bintik-bintik yang jatuh hati setengah mati pada Dewayne, tinggal hanya seperempat mil dari rumah keluarga Sisco, dan karena mereka praktis bertetangga, ia pun mendapatkan banyak perhatian. Para wanita itu jelas lebih bersimpati daripada para pria.
Aku dan Dewayne menemukan kue-kue di aula pertemuan, lalu pergi ke kelas kecil kami, mendengarkan dengan setiap langkah.
Guru sekolah Minggu kami. Miss Beverly Dill Cooley, yang juga mengajar di sekolah menengah di Monette, memulai pelajarannya dengan obituari yang panjang, dan sangat simpatik, untuk Jerry Sisco, pemuda malang dari keluarga miskin, pemuda yang tidak pernah punya kesempatan. Kemudian ia menyuruh kami saling berpegangan tangan dan memejamkan mata, sementara ia menaikkan suara ke surga, dan panjang-lebar memohon pada Tuhan untuk menerima Jerry yang malang dalam pa
ngkuanNya yang abadi. Ia membuat Jerry kedengaran seperti seorang Kristen, dan seorang korban yang tak berdosa.
Aku melirik Dewayne, yang membuka satu matanya ke arahku.
Ada yang aneh mengenai hal ini. Sebagai kaum Baptis, sejak dari buaian kami diajari bahwa satu satunya jalan menuju surga adalah dengan percaya pada Yesus dan berusaha mengikuti contohNya dalam menjalani kehidupan yang bersih dan sesuai moral Kristen. Itu suatu pesan sederhana, pesan yang di-kotbahkan dari mimbar gereja setiap Minggu pagi dan setiap Minggu malam, dan setiap pengkotbah kebaktian kebangkitan rohani yang melewati Black Oak selalu mengulangi pesan tersebut dengan keras dan jelas. Kami mendengarnya di sekolah Minggu, pada layanan doa malam Rabu, dan di Vacation Bible School. Pesan itu ada dalam musik kami, dalam kebaktian. dalam sastra kami. Pesan itu begitu jelas, tegas, dan tanpa ruang untuk berkelit, kompromi, atau menghindar.
Dan siapa saja yang tidak menerima Yesus dan tidak menjalani kehidupan Kristen akan masuk neraka. Di situlah tempat Jerry Sisco, dan kami semua tahu itu, Namun Miss Cooley terus berdoa. Ia memanjatkan doa bagi semua anggota keluarga Sisco yang saat ini sedang berduka cita dan berkabung, dan ia berdoa bagi kota kecil kami untuk mengulurkan tangan menolong keluarga ini.
Kurasa tidak ada seorang pun di Black Oak yang mau mengulurkan tangan untuk keluarga Sisco.
Doa itu aneh, dan ketika akhirnya ia mengatakan "amin", aku jadi benar-benar bingung. Jerry Sisco tidak pernah dekat-dekat dengan gereja, namun Miss Cooley berdoa seakan-akan saat itu Jerry sedang berada bersama Tuhan. Bila orang-orang di luar hukum macam keluarga Sisco dapat masuk surga, berarti tidak ada lagi tekanan bagi kami semua.
Kemudian Miss Cooley mulai dengan kisah Yunus dan ikan paus lagi, dan untuk beberapa lama kami lupa tentang pembunuhan tersebut.
Satu jam kemudian, saat ibadat, aku duduk di tempatku yang biasa, di bangku yang sama dengan yang biasa diduduki oleh keluarga Chandler, di bagian kiri belakang, antara Gran dan ibuku. Bangku-bangku itu tidak ditandai atau dipesan, tapi setiap orang tahu di mana setiap orang seharusnya duduk. Sekitar tiga tahun lagi, saat aku umur sepuluh tahun, orangtuaku mengatakan bahwa aku akan diizinkan duduk bersama teman-temanku, tentu saja dengan syarat aku tidak nakal. Janji ini sudah kuminta dari kedua orangtuaku. Rasanya seperti sudah dua puluh tahun.
Semua jendela terbuka, tapi udara berat itu tidak bergerak. Para wanita mengipasi diri, sementara para pria duduk diam dan berkeringat. Ketika tiba saatnya Pendeta Akers berdiri untuk berkotbah, kemejaku sudah lengket di punggung.
Ia marah, seperti biasanya, dan hampir seketika itu juga ia mulai berteriak. Ia menyerang segala dosa sejak dari awal; dosa telah membawa tragedi ke Black Oak. Dosa telah membawa kematian dan kehancuran, seperti dulu dan seterusnya. Kami, kaum berdosa, minum hingga mabuk, berjudi dan mengumpat, berbohong dan berkelahi, membunuh dan ber-selingkuh. sebab kami membiarkan diri lepas terpisah dari Tuhan, dan itulah sebabnya seorang pemuda dari kota kami kehilangan nyawanya. Tuhan tidak menginginkan kita saling bunuh.
Aku kembali kebingungan. Kupikir Jerry Sisco terbunuh karena ia akhirnya menemukan lawan se-tanding. Hal itu tidak ada kaitannya dengan perjudian, perselingkuhan, dan sebagian besar dosa yang disebutkan oleh Pendeta Akers. Dan mengapa ia berteriak-teriak pada kami" Kami orang-orang baik. Kami ada di dalam gereja!
Aku jarang memahami apa yang dikotbahkan Pendeta Akers. dan sekali-sekali aku mendengar Gran menggumam saat santap malam Minggu, bahwa ia juga sangat kebingungan dengan salah satu kotbahnya. Ricky pernah mengatakan padaku bahwa menurutnya laki-laki tua itu setengah gila.
Dosa-dosa itu makin bertambah, satu dosa bertumpuk di atas yang lain, hingga pundakku mulai melorot. Aku belum terpaksa berbohong telah menyaksikan perkelahian itu, tapi aku sudah mulai merasakan keresahannya.
Kemudian Pendeta Akers menelusuri sejarah pembunuhan, dimulai dengan Kain yang membunuh Abil, dan ia menuntun kami menyusuri jalan
penuh darah pembantaian dalam Alkitab. Gran memejamkan mata, dan aku tahu ia sedang berdoa-ia selalu begitu. Pappy menatap ke dinding, mungkin sedang berpikir bagaimana kematian seorang anggota keluarga Sisco akan mempengaruhi panen kapasnya. Ibuku sepertinya sedang memperhatikan, dan aku mulai terkantuk-kantuk.
Ketika aku terjaga, kepalaku adil di pangkuan Gran, tapi ia tidak peduli. Kalau sedang khawatir mengenai Ricky, ia selalu ingin aku berada di dekatnya. Piano kini dimainkan, dan paduan suara sedang berdiri. Kini tiba saatnya untuk pemberkatan Kami berdiri dan menyanyikan lima bait "Just As I Am " kemudian sang pendeta mempersilakan kami bubar.
Di luar, para pria berkumpul di bawah sebatang pohon rindang, dan mulai terlibat perbincangan panjang tentang berbagai hal. Pappy ada di tengah semua itu, bicara dengan suara rendah, menggerak-gerakkan tangan dengan sikap gawat. Aku tahu sebaiknya tidak mendekat ke sana.
Para wanita berkumpul dalam kelompok-kelompok kecil dan bertukar gosip di halaman rumput depan, tempat anak-anak bermain dan orang-orang tua mengucapkan selamat tinggal. Tidak pernah ada yang tergesa-gesa meninggalkan gereja pada hari Minggu. Tidak banyak yang dapat dikerjakan di rumah kecuali makan siang, tidur siang, dan bersiap menjalani satu minggu lagi memetik kapas.
Perlahan-lahan kami berjalan menuju lapangan parkir. Kami kembali mengucapkan selamat tinggal pada teman-teman kami. kemudian melambaikan tangan saat kami meluncur pergi. Seorang diri di belakang truk bersama ayahku, aku mencoba mengerahkan keberanian untuk menceritakan padanya bahwa aku telah menyaksikan perkelahian tersebut. Tak ada hal lain yang dibicarakan para pria itu di gereja tadi. Aku tidak tahu pasti bagaimana kedudukanku dalam alur cerita tersebut, tapi naluriku menyuruhku agar mengakui semuanya pada ayahku, kemudian bersembunyi di belakangnya. Tapi Dewayne dan aku sudah berjanji untuk tutup mulut sampai ditanya; kemudian kami akan mulai menggeliat-geliat. Aku tidak mengatakan apa pun sewaktu kami meluncur pulang.
Sekitar satu mil dari tanah pertanian kami, di mana kerikil pelapis jalan mulai menipis dan akhirnya berganti dengan tanah, jalan itu bertemu dengan Sungai St. Francis, dengan satu jalur jembatan kayu melintang di atasnya. Jembatan itu dibangun pada tahun tiga puluhan, sebagai salah satu proyek W P\, maka cukup kokoh untuk menopang berat traktor dan trailer-trailer bermuatan kapas. Akan tetapi papan-papannya yang tebal mencuat dan berkeriut tiap kali kami bermobil melewatinya, dan bila melihat air cokelat tepat di bawahnya, kau tentu bersumpah bahwa jembatan itu berayun-ayun. Sejauh yang bisa kuingat, Ricky pernah mengancam akan mengajariku berenang dengan melemparkan aku dari jembatan itu.
Kami merayap ke seberang, dan di seberangnya kami melihat keluarga Spruill bertebaran di beting pasir, bermain-main di dalam air. Bo dan Dale berada di dalam sungai, tanpa kemeja, celana digulung hingga ke lutut, melompat-lompat di bebatuan. Trot sedang duduk pada sebatang dahan pohon, kakinya terkatung-katung di dalam air. Mr. dan Mrs. Spruill bersembunyi di bawah sebatang pohon rindang, di mana makanan digelar di atas sehelai kain.
Tally juga ada di dalam air, kakinya telanjang hingga ke paha, rambutnya yang panjang digerai lepas dan jatuh ke pundaknya. Jantungku berdebar ketika melihatnya menendang-nendang air, seorang diri di dalam dunianya.
Ke arah hilir, di tempat yang sedikit ikannya, tampak Hank dengan sebatang joran. ia tak berkemeja, dan kulitnya sudah kemerahan terbakar matahari. Dalam hati aku bertanya-tanya, apakah ia tahu bahwa Jerry Sisco tewas. Mungkin tidak. Tapi tak lama lagi ia tentu akan tahu.
Kami melambai ke arah mereka. Mereka tertegun diam, seakan-akan baru saja tertangkap basah melakukan pelanggaran, kemudian mereka tersenyum dan mengangguk. Namun Tally tidak sekali pun mengangkat muka. Tidak pula Hank.
Sembilan SANTAPAN siang hari Minggu selalu terdiri atas ayam goreng, biskuit, dan kuah daging, dan meskipun para wanita memasak secepatnya, tetap dibutuhkan waktu satu jam untuk menyiapka
nnya. Pada waktu kami duduk untuk bersantap, kami. sudah sangat kelaparan. Aku sering berpikir sendiri dalam hati, seandainya Pendeta Akers tidak menyalak dan bergemuruh begitu lama, kami tentu tidak akan selapar itu.
Ayahku memanjatkan doa syukur. Makanan dibagikan, dan kami baru mulai makan ketika terdengar pintu mobil dibanting di dekat rumah. Kami berhenti makan dan saling pandang. Pappy berdiri diam-diam dan berjalan ke jendela dapur. "Itu Stick Powers," ia berkata sambil memandang ke luar, dan seleraku pun langsung lenyap. Hukum sudah tiba, dan akibatnya bakal buruk.
Pappy menemui Stick di teras belakang. Kami bisa mendengar setiap patah kata. "Selamat siang, Eli."
"Stick. Apa yang bisa kulakukan untukmu""
"Kukira kau sudah mendengar bahwa bocah Sisco itu tewas."
"Aku sudah dengar," kata Pappy tanpa sedikit pun nada sedih.
"Aku perlu bicara dengan salah satu pekerjamu."
"Itu cuma perkelahian. Stick. Ketololan yang sudah dilakukan keluarga Sisco setiap Sabtu selama bertahun-tahun. Kau tidak pernah menghentikan mereka. Sekarang salah satu dari mereka harus menelan pelajaran lebih keras daripada yang bisa diterimanya."
"Aku tetap harus melakukan pemeriksaan."
"Kau harus menunggu sampai selesai makan siang. Kami baru saja duduk. Ada beberapa orang yang pergi ke gereja."
Ibuku mengkerut takut ketika Pappy mengucapkan ini. Gran menggelengkan kepala perlahan-lahan.
"Aku tadi sedang dinas," kata Stick.
Menurut gosip. Stick bergulat dengan Roh Kudus setiap empat tahun sekali, ketika tiba saat pemilihan. Kemudian selama tiga setengah tahun ia tidak merasa perlu beribadat. Di Black Oak, bila kau tidak pergi ke gereja, maka semua orang mengetahuinya Kami harus punya seseorang untuk didoakan dalam kebaktian kebangkitan rohani.
"Kau boleh duduk di teras," kata Pappy, lalu kembali ke meja dapur. Ketika ia duduk kembali di kursinya, yang lain mulai makan kembali. Aku kini merasa kerongkonganku terganjal gumpalan sebesar bola bisbol, dan ayam goreng itu tidak mau turun.
"Apa dia sudah makan siang"" Gran berbisik ke seberang meja.
Pappy mengangkat pundak, seolah-olah mengatakan bahwa ia sama sekali tidak peduli. Saat itu sudah hampir pukul setengah tiga. Kalau sampai saat itu Stick belum makan pun. mengapa kami harus khawatir"
Namun Gran peduli, ia berdiri dan mengambil sebuah piring dari lemari. Sementara kami mengamati, ia mengisi piring itu dengan kentang dan kuah daging, irisan tomat dan mentimun, dua biskuit yang hati-hati diolesinya dengan mentega, dan sepotong paha dan dada ayam. Kemudian ia mengisi sebuah gelas tinggi dengan es teh dan membawanya ke teras belakang. Sekali lagi, kami mendengar setiap patah kata.
"Ini. Stick," katanya. "Tak seorang pun melewatkan makan siang di sini."
"Terima kasih. Miss Ruth, tapi saya sudah makan
"Kalau begitu makanlah lagi."
"Tidak semestinya saya menerima ini."
Saat itu tahulah kami bahwa hidung Stick yang tebal sudah mengendus bau ayam dan biskuit tersebut.
"Terima kasih. Miss Ruth. Anda sungguh baik hati."
Kami tidak terkejut ketika Gran kembali dengan tangan kosong. Pappy marah, tapi bisa menahan lidah. Stick datang untuk menimbulkan masalah, untuk campur tangan tentang pekerja kami. dan itu berarti ia mengancam kapas kami. Mengapa memberi makan kepadanya"
Kami makan diam-diam, sehingga aku punya kesempatan untuk menyusun pikiran. Karena tidak mau memancing kecurigaan, aku memaksakan makanan itu ke dalam mulut dan mengunyah selamban mungkin.
Aku tidak tahu bagaimana kebenarannya, tidak pula bisa membedakan antara benar dan salah. Keluarga Sisco sedang mengeroyok orang gunung yang malang itu ketika Hank datang menolongnya. Ada tiga anggota keluarga Sisco, dan Hank hanya seorang diri. Ia dengan cepat menghentikan mereka, dan perkelahian tersebut seharusnya sudah berakhir. Mengapa ia mengambil potongan kayu itu" Mudah untuk beranggapan bahwa keluarga Sisco selalu salah, tapi Hank sudah memenangkan pertarungan itu jauh sebelum ia mulai memukuli mereka dengan kayu.
Aku memikirkan Dewayne dan perjanjian rahasia kami. Tutup mulut dan pura-pura tidak tahu masih merupak
an strategi terbaik, demikian aku memutuskan.
Kami tidak ingin Stick mendengar kami. maka kami tidak mengucapkan apa pun selama bersantap. Pappy makan lebih lambat daripada biasanya, sebab ia ingin Stick duduk menunggu dan tidak betah, dan mungkin jadi kesal dan pergi. Aku tidak yakin mengulur waktu seperti itu bisa mengusik Stick. Aku hampir bisa mendengarnya menjilati piringnya.
Ayahku menatap ke meja sambil mengunyah makanan, pikirannya seperti melayang ke sisi lain dunia ini, mungkin ke Korea. Ibuku dan Gran tampak sangat sedih, dan itu tidak luar biasa sesudah pukulan-pukulan verbal yang kami terima dan Pendeta Akers setiap minggu. Itulah satu alasan lain mengapa aku selalu berusaha tidur selama kotbahnya.
Para wanita itu lebih banyak bersimpati kepada Jerry Sisco. Bersama lewatnya jam demi jam, kematian-nya jadi lebih menyedihkan. Kekejaman dan berbagai sifatnya yang tercela perlahan-lahan jadi terlupakan. Bagaimanapun, ia adalah pemuda setempat, seseorang yang kami kenal, meskipun hanya sepintas lalu. dan ia telah menemukan akhir yang menyedihkan.
Dan pembunuhnya tidur di halaman depan kami.
Kami mendengar suara-suara. Keluarga Spruill sudah kembali dari sungai.
Pemeriksaan itu berlangsung di bawah pohon ek kami yang paling tinggi, di antara teras depan dan Per-kemahan Spruill. Yang pertama berkumpul adalah para pria, Pappy dan ayahku meregangkan badan dan mengelus-elus perut, dan Stick tampak kekenyangan. Perutnya buncit, sehingga kemeja cokelatnya tertatik meregang pada kancing-kancingnya. Jelas tampak bahwa Stick tidak melewatkan hari-harinya di ladang kapas. Pappy mengatakan ia malas setengah mati, dan hampir selalu tidur di mobil patrolinya, di bawah pohon rindang dekat kios hot dog Gurdy Stone di pinggir kota.
Dari ujung lain halaman itu datang keluarga Spruill, semuanya, dengan Mr. Spruill memimpin di depan dan Trot berada paling belakang, terseok-seok menyeret kaki dengan cara jalannya yang khas. Aku berjalan di belakang Gran dan ibuku, mengintip di antara mereka, dan mencoba menjaga jarak. Hanya orang-orang Meksiko itu yang tidak hadir di sana.
Kerumunan kecil terbentuk di sekeliling Stick; keluarga Spruill bertebaran di satu sisi. keluarga Chandler berdiri di sisi lain, tapi ketika sampai pada masalahnya, kami semua berada pada pihak yang sama. Aku tidak senang harus bersekutu dengan Hank Spruill, tapi kapas itu jauh lebih penting daripada apa pun.
Pappy memperkenalkan Stick pada Mr. Spruill, yang dengan canggung menjabat tangan Stick, kemudian mundur beberapa langkah. Tampaknya keluarga Spruill siap menghadapi yang terburuk, dan aku mencoba mengingat-ingat, apakah ada di antara mereka yang menyaksikan pertarungan itu. Banyak sekali orang berkerumun menyaksikan, dan segalanya terjadi demikian cepat. Aku dan Dewayne tersihir oleh pertumpahan darah itu. Rasanya aku tidak benar-benar memperhatikan wajah-wajah penonton lainnya.
Stick menguyah-ngunyah sehelai rumput yang mencuat dari sudut mulutnya, dan dengan dua ibu jari tergantung di dalam saku celana, ia mengamati orang-orang gunung kami. Hank bersandar pada pohon ek itu. memandang dengan tatapan mencemooh pada siapa saja yang berani melihat ke arahnya.
"Ada perkelahian hebat di belakang Co-op kemarin." Stick mengumumkan ke arah keluarga Spruill. Mr. Spruill mengangguk, tapi tidak mengucapkan apa-apa. "Beberapa pemuda lokal berkelahi dengan seseorang dari pegunungan. Salah satu di antara mereka, Jerry Sisco, meninggal pagi ini di rumah sakit Jonesboro. Tengkoraknya retak."
Setiap anggota keluarga Spruill mulai resah, kecuali Hank, yang sama sekali tidak bergerak. Jelaslah bahwa mereka belum mendengar kabar terakhir tentang Jerry Sisco.
Stick meludah dan memindahkan berat badan, dan ia kelihatan senang menjadi orang yang berada di tengah, mewakili pihak berwajib dengan lencana dan pistol. "Jadi, begitulah, aku mulai melihat-lihat, mengajukan pertanyaan, sekadar mencari tahu siapa yang terlibat."
"Bukan salah satu di antara kami," kata Mr. Spruill. "Kami orang-orang yang cinta damai." "Begitukah"" "Ya. Sir."
"Apa kalian semua pergi ke k
ota kemarin"" "Benar "
Kini, setelah kebohongan dimulai, aku mengintip di antara dua wanita itu. agar bisa melihat keluarga Spruill lebih jelas. Mereka jelas ketakutan. Bo dan Dale berdiri rapat satu sama lain, mata mereka jelalat-an ke sana kemari. Tally mengamati tanah pada kakinya yang telanjang, tak mau memandang kami. Mr. dan Mrs. Spruill seperti mencari-cari wajah yang ramah. Trot, tentu saja, sedang berada di dunia lain.
"Kalian ada yang bernama Hank"" Stick bertanya
"Mungkin." Mr. Spruill berkata.
"Jangan main-main denganku," Stick menggeram dengan kemarahan tiba-tiba. "Aku bertanya, kalian berikan jawaban sejujurnya. Ada banyak ruangan dalam penjara di Jonesboro. Aku bisa membawa seluruh keluarga ini ke sana untuk ditanyai. Kalian mengerti""
"Aku Hank Spruill!" terdengar suara menggelegar itu. Hank menerobos kerumunan itu, dan berdiri dalam jarak pukul di depan Stick, yang jauh lebih kecil tapi tetap bersikap pongah.
Stick mengamatinya sejenak, lalu bertanya, "Apa kau pergi ke kota kemarin""
"Ya." "Apa kau terlibat perkelahian di belakang Co-op"" "Tidak. Aku menghentikan perkelahian " "Apa kau memukuli bocah-bocah Sisco itu""
"Aku tidak tahu nama mereka. Ada dua di antara mereka sedang memukuli seorang bocah dari pegunungan. Aku menghentikannya "
Paras Hank menunjukkan perasaan puas. Ia tidak memperlihatkan perasaan takut, dan dengan enggan aku terpaksa mengagumi caranya menghadapi hukum.
Sang deputi melihat sekeliling pada kerumunan itu, dan pandangan matanya berhenti pada Pappy. Stick telah melacak jejak yang tepat, dan merasa bangga pada dirinya sendiri. Dengan lidahnya ia menggeser helaian rumput ke sudut lain mulutnya, lalu kembali memandang Hank.
"Apa kau memakai batang kayu""
"Itu tidak perlu."
"Jawab pertanyaanku. Apa kau memakai kayu""
Tanpa ragu Hank berkata, "Tidak. Mereka punya kayu dua kali empat."
Jawaban ini, tentu saja. bertentangan dengan apa yang dilaporkan orang lain pada Stick. "Kukira sebaiknya aku membawamu," Stick berkata, tapi sedikit pun tidak bergerak untuk mengambil borgol yang tergantung pada ikat pinggangnya.
Badai Awan Angin 30 Pendekar Rajawali Sakti 70 Kembang Bukit Lontar Gajahmada 6
^