Pencarian

Rumah Bercat Putih 4

Rumah Bercat Putih A Painted House Karya John Grisham Bagian 4


Begitu sampai di sana, ia memanggil Woolbright supaya keluar dan membereskan persoalan, Woolbright baru saja menyelesaikan makan malam, dan mungkin ia punya anak serumah penuh atau mungkin tidak. Bagaimanapun ceritanya, Woolbright berjalan ke pintu kasa, melihat ke halaman depannya
, dan memutuskan lebih aman berada di dalam.
Pappy meneriakinya berulang-ulang agar keluar. "Ini karung gunimu, Woolbright!" ia berteriak. "Sekarang ayo keluar dan selesaikan persoalannya."
Woolbright mundur makin dalam di rumahnya, dan ketika sudah jelas bahwa ia tidak akan keluar. Pappy melemparkan karung guni basah itu melalui pintu kasa. Kemudian ia berjalan tiga atau lima atau sepuluh mil pulang kembali ke rumah, dan pergi tidur, tanpa makan malam.
Aku cukup sering mendengar kisah ini untuk mempercayainya bahwa itu benar. Bahkan ibuku mempercayainya Eli Chandler di waktu muda dulu adalah tukang berkelahi dengan temperamen panas, dan pada usia enam puluh tahun pun ia masih tetap penaik darah.
Namun ia tidak akan membunuh siapa pun, kecuali untuk membela diri. Dan ia lebih suka memakai tinju atau senjata yang tidak begitu mengancam seperti karung guni. Senapan itu bepergian bersama kami sekadar untuk berjaga-jaga. Keluarga Sisco itu memang orang-orang gila.
Pabrik pemisah biji sedang gemuruh bekerja ketika kami tiba. Sederetan panjang trailer menunggu di depan kami, dan aku tahu bahwa kami akan berjam-jam di sana. Hari sudah gelap ketika Pappy mematikan mesin dan mengetuk-ngetukkan jarinya pada roda. The Cardinals sedang bertanding, dan aku resah ingin pulang.
Sebelum keluar dari truk, Pappy mengamati trailer-trailer, truk-truk, dan traktor-traktor itu, dan ia mengawasi para pekerja dari pertanian dan pabrik yang sibuk dengan urusan mereka. Ia sedang mencari-cari masalah, dan karena tidak melihat apa pun. ia akhirnya berkata, "Aku akan periksa ke dalam. Kau tunggu di sini."
Aku melihatnya berjalan cepat melintasi kerikil, dan berhenti pada sekolompok laki-laki di luar kantor. Ia tinggal di sana beberapa lama, berbicara dan mendengarkan. Satu kelompok lain berkumpul di dekat sebuah trailer dalam antrean di depan kami, pria-pria muda yang menunggu sambil merokok dan bercakap-eakap. Meskipun pabrik pengolahan itu merupakan pusat kegiatan, di sini segalanya bergerak lamban.
Sepintas aku menangkap sesosok bayangan muncul di belakang truk kami, entah dari mana. "Apa kabar, Luke"" suara itu berkata, membuatku terlonjak kaget. Ketika menoleh ke belakang, aku melihat wajah Jackie Moon yang ramah, seorang pemuda dari utara kota.
"Hai, Jackie." aku berkata, merasa sangat lega. Sepersekian detik aku mengira bahwa salah satu Sisco bersaudara melakukan penyergapan mendadak, ia bersandar pada spatbor depan, dengan punggung menghadap ke pabrik, dan mengeluarkan sebatang rokok yang sudah ia gulung sebelumnya.
"Kau sudah dengar kabar dari Ricky"" ia bertanya.
Aku mengamati rokok itu "Belakangan ini belum," aku berkata. "Kami terima surat terakhirnya beberapa minggu yang lalu."
"Bagaimana kabarnya""
"Baik-baik saja, kurasa."
ia menggoreskan sebatang korek api ke sisi truk kami dan menyalakan rokoknya, ia berperawakan tinggi kurus, dan sudah jadi bintang bola basket di Monette High School selama yang dapat kuingat, ia dan Ricky pernah main bersama, sampai Ricky tertangkap merokok di belakang sekolah. Pelatih mereka, seorang veteran yang kehilangan sebelah kakinya dalam perang, mengeluarkan Ricky dari tim. Seminggu penuh Pappy uring-uringan mengentak-entak-kan kaki di seluruh penjuru tanah pertanian keluarga Chandler, sambil mengancam akan membunuh putra bungsunya itu. Ricky diam-diam mengatakan padaku bahwa ia sebenarnya memang bosan dengan bola basket. Ia ingin main football, tapi Monette tak bisa membentuk tim, gara-gara musim petik kapas.
"Aku mungkin akan pergi ke sana," Jackie berkata.
"Ke Korea""
"Yep." Aku ingin bertanya, mengapa ia pikir dirinya dibutuhkan di Korea. Betapapun bencinya aku memetik kapas, aku toh lebih suka melakukannya daripada tertembak. "Bagaimana dengan basket"" aku bertanya. Ada desas-desus bahwa negara bagian Arkansas akan merekrut Jackie.
"Aku mau berhenti sekolah," ia berkata, dan mengembuskan awan asap ke udara.
"Kenapa"" "Aku bosan. Sudah dua belas tahun aku bersekolah, putus sambung. Itu lebih banyak daripada siapa pun di keluargaku. Kukira aku sudah cukup belajar."
Anak-anak seri ng sekali berhenti sekolah di county kami. Beberapa kali Ricky pernah mencobanya, dan Pappy jadi tak peduli. Tapi Gran menerapkan aturan kerasnya, dan Ricky akhirnya lulus.
"Banyak anak muda tertembak di sana," kata Jackie sambil menerawang ke tempat jauh
Aku tak ingin mendengar yang seperti itu, maka aku tidak mengatakan apa-apa. Ia menghabiskan rokoknya dan menyisipkan tangan dalam-dalam ke saku. "Mereka bilang kau menyaksikan perkelahian itu hari Sabtu lalu," Jackie berkata, sekali lagi tanpa memandang ke arahku.
Aku sudah memperkirakan bahwa, entah bagaimana, perkelahian itu pasti akan dibicarakan dalam perjalanan ke kota kali ini. Aku teringat peringatan tegas ayahku agar tidak membicarakan kejadian itu dengan siapa pun.
Tapi aku bisa mempercayai Jackie. Ia dan Ricky teman sejak kecil.
"Banyak orang melihatnya," kataku.
"Yeah, tapi tak seorang pun bicara. Orang-orang gunung itu tidak mengatakan apa pun, sebab yang berkelahi itu salah satu dari mereka. Penduduk lokal tidak bicara, sebab Eli sudah menyuruh semua orang tutup mulut. Setidaknya, begitulah yang mereka katakan."
Aku percaya ceritanya. Tak sedetik pun aku ragu bahwa Fli Chandler telah memakai kalangan jemaat Baptis untuk menjaga rahasia, setidaknya sampai kapas selesai dipanen.
"Bagaimana dengan Sisco bersaudara"" aku bertanya.
"Tak seorang pun melihat mereka. Mereka bersembunyi. Pemakamannya dilakukan Jumat lalu. Keluarga mereka sendiri yang menggali liang kuburnya; memakamkannya di belakang Gereja Bethel. Stick mengawasinya dengan ketat."
Ada jeda panjang lagi dalam percakapan itu, sementara pabrik meraung di belakang kami. Jackie melinting sebatang rokok lagi, menyalakannya, dan akhirnya berkata, "Aku melihatmu di sana, di tempat perkelahian itu."
Aku merasa seperti baru saja terpergok melakukan kejahatan. Satu-satunya yang terpikir untuk diucapkan hanyalah. "Yah."
"Aku melihatmu bersama si anak Pinter itu. Dan ketika orang gunung itu mengambil kayu. aku melihat ke arah kalian berdua dan berpikir dalam hati. Tidak semestinya anak-anak itu melihat ini.' Dan aku benar."
"Aku menyesal telah melihatnya."
"Aku pun menyesal melihatnya," ia berkata, dan mengepulkan lingkaran asap yang rapi.
Aku melihat ke arah pabrik, untuk memastikan Pappy tidak ada di dekat-dekat sini. ia masih ada di dalam, di kantor sempit tempat pemilik pabrik mengerjakan urusan administrasi. Trailer-trailer lain sudah tiba dan diparkir di belakang kami. "Apa kau sudah bicara dengan Stick"" aku bertanya.
"Tidak. Tidak ada niat untuk melakukannya. Kau""
"Yeah. Dia datang ke rumah."
"Apa dia bicara dengan orang gunung itu""
"Yeah." "Jadi, Stick tahu namanya"" "Kukira begitu."
"Mengapa dia tidak menahannya""
"Aku tidak tahu. Kukatakan padanya bahwa perkelahian itu tiga lawan satu."
Jackie mendengus dan meludah ke rumput liar. "Memang tiga lawan satu. tapi tidak ada yang perlu terbunuh Aku tidak suka dengan Sisco bersaudara, tak ada siapa pun yang suka, tapi dia tidak perlu memukuli mereka seperti itu."
Aku tidak mengatakan apa-apa. Ia menyedot lagi rokoknya dan mulai berbicara, asap mengepul dan mulut dan hidungnya.
"Sesudah kalian pergi, dia masih memukuli mereka sampai kayu itu hancur berkeping-keping, lalu dia menendangi mereka beberapa kali lagi, dan sewaktu melakukannya dia menggeram seperti binatang gila. Wajahnya merah padam dan matanya liar, dan sekonyong-konyong dia berhenti dan memandangi mereka, seolah-olah ada setan mencengkeramnya dan menghentikannya. Lalu dia mundur-mundur ke belakang dan membenahi diri, dan sekali lagi memandangi mereka, seakan-akan orang lain yang telah melakukan semua itu. Kemudian dia berjalan pergi, kembali ke Main Street, dan semua Sisco bersaudara dan teman-teman mereka berlari mendatangi Mereka meminjam pickup milik Roe Duncan dan mengangkut ketiga orang itu pulang. Jerry tak pernah bangun. Roc sendiri membawa Jerry ke rumah sakit tengah malam itu, tapi kata Roe dia sudah mati. Tengkoraknya retak. Untung dua lainnya tidak mati. Dia memukuli mereka sama hebatnya seperti yang dia lakukan terhadap Jerry. Belum pernah aku melihat yan
g seperti itu." "Aku pun tidak."
"Kalau aku jadi kau, sementara ini aku tidak akan menonton perkelahian lagi. Kau masih terlalu muda."
"Jangan khawatir." Aku menoleh ke arah pabrik dan melihat Pappy. "Pappy datang," kataku.
Jackie menjatuhkan rokok dan menginjaknya "Jangan katakan pada siapa pun tentang apa yang kukatakan, ya""
"Tentu tidak." "Aku tidak ingin tersangkut urusan dengan orang gunung itu."
"Aku takkan mengatakan sepatah kata pun "
"Sampaikan salamku pada Ricky. Katakan padanya untuk menahan mereka sampai aku tiba di sana."
"Tentu, Jackie." Ia menghilang diam-diam, seperti datangnya tadi.
Lebih banyak lagi rahasia yang harus disimpan.
Pappy melepaskan trailer dan duduk di belakang kemudi. "Kita tidak akan menunggu selama tiga jam." ia menggumam, dan menghidupkan mesin. Ia mengemudi meninggalkan pabrik pemisah biji kapas dan pergi dari kota. Pada suatu saat larut malam itu, seorang pekerja pabrik akan menggandengkan trailer itu dengan traktor kecil dan menariknya maju. Kapas itu akan disedot ke dalam pabrik, dan satu jam kemudian muncullah dua bal yang sempurna. Kapas itu akan ditimbang, kemudian sampel akan dipotong dari masing-masing bal dan disisihkan untuk dievaluasi oleh pembeli kapas. Sesudah sarapan, Pappy akan kembali ke pabrik untuk mengambil trailer kami. Ia akan memeriksa bal dan sampel kapas itu, dan ia akan menemukan hal lain untuk dikhawatirkan.
Keesokan harinya datang sepucuk surat dari Ricky. Gran membiarkannya tergeletak di meja dapur, ketika kami masuk lewat pintu belakang dengan kaki terseret dan punggung nyeri. Aku memetik sebanyak tujuh puluh delapan pon hari itu. rekor tak terpecahkan untuk seorang bocah umur tujuh tahun, meskipun rekor-rekor itu mustahil dipantau karena beredarnya banyak bualan. Terutama di antara anak-anak. Pappy dan ayahku berdua memetik-lima ratus pon setiap hari.
Gran bersenandung dan tersenyum, maka tahulah kami bahwa surat itu berisi kabar baik. Ia mengambil-
nya dan membacanya dengan suara keras untuk kami. Pada saat itu ia sudah hafal isinya.
Kepada Mom dan Dad, Jesse, Kathleen, dan Luke:
Aku harap semua baik-baik saja di rumah Aku tadinya tidak pernah merasa rindu memetik kapas, tapi saat ini aku sungguh ingin berada di rumah. Aku merindukan segalanya tanah pertanian kita. ayam goreng, The Cardinals. Bisakah kalian percaya bahwa The Dodgers akan memenangkan kejuaraan" Membuatku mual.
Tapi. bagaimanapun, aku baik-baik saja di sini. Suasana sedang tenang. Kami tidak berada di garis depan lagi. Unitku ditempatkan sekitar lima mil di garis belakang, dan kami menebus kekurangan tidur sebelumnya. Kami merasa hangat, cukup istirahat, dan makan dengan baik, dan saat ini tidak ada siapa pun yang menembaki kami. dan kami tidak menembaki siapa pun.
Kukira tak lama lagi aku akan pulang. Rasanya segalanya sedikit mengendur. Kami mendengar desas-desus mengenai perundingan perdamaian dan semacamnya, jadi kami semua sangat berharap itu akan terjadi.
Aku sudah terima kiriman surat kalian yang terakhir, dan itu sungguh berarti bagiku. Jadi. teruslah menulis. Luke, suratmu sungguh pendek jadi tulislah yang lebih panjang untukku.
Sekian dulu suratku. Salam sayang untuk semua.
Ricky Kami mengedarkan surat itu dan membacanya berulang-ulang, lalu Gran memasukkannya ke dalam kotak cerutu di samping radio. Semua suratnya tersimpan di sana, dan bukan sesuatu yang luar biasa kalau aku pergi ke dapur di waktu malam dan memergoki Pappy atau Gran membaca lagi surat-surat tersebut.
Surat terakhir itu membuat kami melupakan otot-otot kami yang kaku dan kulit yang terbakar, dan kami semua makan dengan cepat, sehingga bisa duduk di sekeliling meja dan menulis surat untuk Ricky.
Memakai buku tulis Big Chief dan pensil, kuceritakan padanya segala sesuatu tentang Jerry Sisco dan Hank Spruill, dan aku tidak menyisakan detail apa pun. Darah, kayu yang hancur berkeping-keping. Stick Powers, segalanya. Ada banyak kata yang aku tidak tahu cara mengejanya, jadi aku hanya menerka-nerka. Kalau ada yang mau memaafkan salah eja dalam tulisanku, maka orang itu adalah Rick
y. Karena aku tidak mau mereka tahu bahwa aku menyebarkan gosip hingga ke Korea, sebisa-bisanya aku menutupi kertasku.
Lima pucuk surat ditulis pada saat yang sama, dan aku yakin ada lima versi tentang kejadian yang sama, diceritakan pada Ricky. Orang-orang dewasa saling menceritakan kisah lucu sewaktu kami menulis. Itu adalah saat-saat bahagia di tengah musim panen. Pappy menghidupkan radio, dan kami mendengarkan siaran pertandingan The Cardinals, sementara surat kami makin lama makin panjang.
Duduk di sekeliling meja makan, tertawa-tawa dan menulis, dan mendengarkan pertandingan bisbol, tak ada sedikit pun keraguan bahwa Ricky sebentar lagi akan pulang.
Begitulah yang dikatakannya.
Lima Belas KAMIS siang, ibuku menemui aku di ladang dan mengatakan bahwa aku dibutuhkan di kebun. Dengan senang hati aku menanggalkan karung kapasku dan meninggalkan para pekerja lain yang tenggelam di antara tanaman kapas. Kami berjalan ke rumah, sama-sama merasa lega bahwa kerja hari itu sudah berakhir.
"Kita perlu mengunjungi keluarga Latcher," kalanya sambil berjalan. "Aku sangat khawatir dengan mereka. Mereka mungkin saja kelaparan."
Keluarga Latcher punya sepetak kebun sendiri, meskipun tidak terlalu bagus. Mereka memang tidak punya sekeping pun remah roti untuk disia-siakan, tapi di Craighead County belum pernah terdengar ada kelaparan. Bahkan petani bagi hasil paling miskin sekalipun bisa menanam tomat dan mentimun. Setiap keluarga petani tentu punya beberapa ekor ayam yang menghasilkan telur.
Namun ibuku bertekad untuk melihat Libby, sehingga desas-desus itu bisa dipastikan kebenaran atau kekeliruannya.
Ketika kami memasuki kebun, aku menyadari apa
yang sedang dilakukan ibuku. Kalau kami bergegas, dan sampai ke rumah keluarga Latcher sebelum jam kerja berakhir, maka orangtua dan semua anak-anak itu tentu masih berada di ladang. Libby, kalau benar ia hamil, tentu akan tinggal di rumah, kemungkinan besar seorang diri. Ia tentu tidak punya pilihan selain keluar rumah dan menerima sayuran kami. Kami bisa mengejutkannya, memojokkannya sementara para pelindungnya tidak ada di sana. Sungguh rencana cemerlang.
Di bawah pengawasan ketat ibuku, aku mulai memetik tomat, mentimun, kacang polong, kacang kuning, jagung-hampir segala sayuran di kebun itu. "Ambil tomat merah kecil di sana itu, Luke, di sebelah kananmu," ia berkata. "Tidak, jangan, kacang polong itu masih bisa menunggu." Dan, "Jangan, mentimun itu belum masak."
Meskipun sering mengumpulkan sendiri hasil kebun itu. ia lebih suka mengawasi. Keseimbangan kebun itu bisa dipelihara apabila ia bisa menjaga jarak, mengamati seluruh lahan itu. dan dengan mata seorang seniman, memberikan pengarahan padaku, atau ayahku, bagaimana memetik sayur-mayur itu dari rambatan rantingnya.
Aku benci bekerja di kebun, tapi saat itu aku lebih benci bekerja di ladang. Apa pun lebih baik daripada memetik kapas.
Ketika aku mengulurkan tangan untuk memetik setongkol jagung, terlihat sesuatu yang membuatku tertegun di antara batang-batang itu. Di balik kebun itu ada sepetak halaman rumput yang ternaung. terlalu sempit untuk bermain lempar-tangkap bola, dan karena itu tidak ada gunanya. Di sebelahnya adalah dinding timur rumah kami, sisi yang tidak terlihat dan jalan. Pintu dapur terletak pada sisi barat, tempat parkir truk kami, jalan setapak menuju gudang, bangunan-bangunan tambahan, dan ladang. Semua kebetulan berada di sisi barat; tidak ada apa pun di timur.
Di sudut, menghadap ke kebun dan di luar penglihatan semua orang, seseorang telah mengecat sebagian papan paling bawah. Mengecatnya dengan warna putih. Seluruh bagian rumah yang tersisa masih tetap cokelat pucat seperti sebelumnya, tetap papan kayu ek yang tua dan kuat. berwarna membosankan.
"Ada apa, Luke"" ibuku bertanya. Ia tidak pernah terburu-buru di kebun, sebab itu adalah tempat berlindungnya, tapi hari ini ia sedang merencanakan suatu penyergapan, dan waktu sangatlah penting.
"Aku tidak tahu," kataku, masih tetap diam.
ia melangkah ke sampingku dan mengintip di antara batang-batang jagung yang membatasi dan memagari keb
unnya, dan ketika pandangan matanya jatuh pada papan bercat itu, ia pun berdiri tertegun.
Cat itu tebal di bagian sudut, tapi makin lama makin menipis begitu papan membentang menuju bagian belakang rumah. Jelas bahwa itu sedang dalam pengerjaan. Seseorang sedang mengecat rumah kami.
"Itu pekerjaan Trot," kata ibuku lirih, seulas senyum muncul di sudut-sudut mulutnya.
Aku tak pernah memikirkannya, belum lagi punya waktu untuk menduga-duga pelakunya, tapi seketika itu jelaslah bagiku bahwa memang dialah yang mengecatnya. Siapa lagi kalau bukan dia" Siapa lagi yang berkeliaran di halaman depan sepanjang hari, tanpa melakukan apa-apa, sementara kami semua membanting tulang di ladang" Siapa lagi yang bekerja dengan kelambanan menyedihkan seperti itu" Siapa lagi yang begitu sinting untuk mengecat rumah orang lain tanpa izin"
Dan Trot jugalah yang dulu meneriaki Hank agar berhenti menghinaku dengan ejekan tentang rumah pengais tanah yang tidak dicat. Trot datang menolongku.
Tapi dari mana Trot mendapatkan uang untuk membeli cat" Dan mengapa ia melakukan itu" Oh, ada berlusin pertanyaan.
Ibuku mundur selangkah, lalu meninggalkan kebun. Aku mengikutinya ke pojok rumah, dan kami memeriksa cat itu. Kami bisa mencium baunya, dan tampaknya masih lengket. Ibuku mengamati halaman depan. Trot tidak terlihat di mana pun.
"Apa yang akan kita lakukan"" aku bertanya.
"Tidak ada, sedikitnya tidak sekarang."
"Apa Mom akan menceritakannya pada orang lain""
"Aku akan bicara dengan ayahmu nanti. Sementara ini. kita simpan dulu sebagai rahasia."
"Mom pernah bilang anak kecil tidak baik menyimpan rahasia."
"Tidak baik bila kau merahasiakannya dari orang-tuamu sendiri."
Kami mengisi dua keranjang anyaman dengan sayur-mayur dan memuatnya ke truk Ibuku mengemudikan mobil kurang-lebih satu kali sebulan. Ia jelas mampu menangani truk Pappy. tapi ia tidak bisa santai di belakang kemudi. Ia mencengkeramnya erat-erat, menginjak kopling dan rem, lalu memutar kunci. Kami tersentak dan melaju mundur, dan bahkan tertawa ketika truk tua itu perlahan-lahan berputar, ketika kami pergi, aku melihat Trot berbaring di bawah truk keluarga Spruill, mengawasi kami dari balik ban belakang.
Acara bersenang-senang itu berhenti beberapa menit kemudian, ketika kami sampai ke sungai. "Awas, Luke," ibuku berkata saat memindahkan gigi persneling dan mencondongkan badan di atas roda kemudi, matanya waspada oleh perasaan ngeri. Awas apa" Di depan itu adalah jembatan satu jalur, tanpa susuran di pinggirnya. Kalau sampai truk ini terperosok, kami berdua akan tenggelam.
"Mom pasti bisa." aku berkata, tidak terlalu mantap.
"Tentu saja bisa." sahut ibuku. Aku sudah pernah melintasi jembatan bersamanya, dan peristiwa itu selalu menjadi suatu petualangan. Kami merayap di atasnya, sama-sama ketakutan untuk melihat ke bawah. Kami menahan napas sampai mencapai tanah di sisi seberang.
"Bagus, Mom," kataku.
"Itu tidak ada apa-apanya," ia berkata, sambil akhirnya mengembuskan napas.
Pada mulanya aku tidak melihat ada anggota keluarga Latcher di ladang, tapi begitu kami mendekati rumah, aku melihat sekumpulan topi jerami di antara tanaman kapas, di ujung jauh ladang mereka Aku tidak bisa memastikan apakah mereka mendengar kedatangan kami, tapi mereka tidak berhenti memetik.
kami parkir di dekat teras depan, sementara debu mengendap di seputar truk itu. Sebelum aku sempat keluar, Mrs. Latcher sudah menuruni tangga depan, menyekakan tangannya dengan resah pada secarik lap. ia sepertinya sedang berbicara pada diri sendiri, dan tampak sangat khawatir.
"Halo. Mrs. Chandler." katanya dengan pandangan terarah ke tempat lain. Aku tidak pernah tahu, mengapa ia tidak menyebut ibuku dengan nama kecilnya saja. Ia lebih tua, dan sedikitnya punya enam anak lebih banyak.
"Halo. Darla. Kami membawakan sayur-sayuran " Dua wanita itu saling berhadapan. "Aku senang sekali kau ke sini," Mrs. Latcher berkata, suaranya sangat resah. "Ada apa""
Mrs. Latcher melirik ke arahku, tapi hanya sedetik. "Aku butuh pertolonganmu. Ini soal Libby. Kurasa dia akan melahirkan bayi."
"Bayi"" ibuku berk
ata seolah-olah ia tidak tahu apa-apa.
"Ya. Rasanya sebentar lagi."
"Kalau begitu, mari kita panggil dokter."
"Oh, tidak. Tidak bisa. Tak seorang pun boleh tahu soal ini. Tak seorang pun. Ini harus dirahasiakan."
Aku sudah pindah ke belakang truk, dan aku merunduk sedikit, sehingga Mrs. Latcher tidak dapat melihatku. Dengan begitu, kuperkirakan ia akan berbicara lebih banyak. Bakal ada kejadian besar, dan aku tak ingin melewatkan apa pun.
"Kami malu sekali," ia berkata, suaranya menggeletar. "Dia tidak mau mengatakan siapa ayah bayi itu, dan saat ini aku tidak peduli. Aku hanya ingin bayi itu lahir dengan selamat." "Tapi kau butuh dokter."
"Tidak, Ma'am. Tak seorang pun boleh tahu tentang ini. Kalau dokter datang, seluruh county ini akan tahu. Kau harus menjaga rahasia ini, Mrs. Chandler. Bisakah kau berjanji padaku""
Wanita malang itu praktis sudah menangis Ia begitu mati-matian ingin menyimpan rahasia yang sudah berbulan-bulan jadi pembicaraan seluruh Black Oak.
"Coba kulihat dia," ibuku berkata tanpa menjawab pertanyaan itu, dan dua wanita itu beranjak menuju rumah. "Luke, kau tinggal di truk sini," kata ibuku sambil menoleh.
Begitu mereka menghilang di dalam, aku berjalan mengitari rumah dan mengintip ke dalam jendela pertama yang kulihat. Tempat itu adalah sebuah ruang duduk sempit, dengan kasur-kasur tua yang kotor di lantai. Di jendela berikutnya, aku mendengar suara mereka. Aku diam dan mendengarkan. Ladang-ladang itu ada di belakangku.
"Libby, ini Mrs. Chandler," Mrs. Latcher berkata. "Dia ke sini untuk menolongmu."
Libby mengerangkan sesuatu yang tidak dapat kupahami, ia sepertinya kesakitan luar biasa. Kemudian aku mendengarnya berkata. "Maaf sekali."
"Tidak apa-apa," ibuku berkata. "Kapan sakitnya mulai""
"Sekitar satu jam yang lalu." Mrs. Latcher menjawab. "Aku takut sekali. Mama." Libby berkata, jauh
lebih keras. Suaranya penuh kengerian. Dua wanita itu mencoba menenangkannya.
Kini, karena aku bukan lagi bocah yang masih hijau dalam urusan anatomi wanita, aku jadi ingin sekali melihat seorang gadis yang sedang mengandung. Tapi Libby kedengarannya terlalu dekat ke jendela, dan kalau aku terpergok mengintip, ayahku akan memukuliku selama seminggu. Menyaksikan pemandangan terlarang seorang wanita yang sedang bersalin jelas merupakan dosa dengan skala paling besar. Bahkan mungkin aku bisa langsung buta di tempat.
Tapi aku tak dapat menahan diri, aku mendekam dan menyelinap tepat di bawah ambang jendela. Ku-anggalkan topi anyamku dan sedang beringsut ke atas ketika segumpal tanah mendarat tak lebih dua kaki dari kepalaku. Gumpalan tanah itu membentur sisi rumah dengan suara berdebam. mengguncang papan yang berkeriutan itu dan mengagetkan para wanita di dalamnya, sampai mereka berteriak. Butiran tanah berhamburan dan menghantam sisi wajahku. Aku menjatuhkan diri ke tanah dan berguling dari jendela. Kemudian aku merayap berdiri dan melihat ke ladang.
Percy Latcher tampak tidak jauh dari sana. berdiri di antara dua deret tanaman kapas, menyembunyikan gumpalan tanah lain dengan satu tangan, dan dengan satu tangan lainnya menuding ke arahku.
"Itu anakmu," sebuah suara berkata.
Aku menoleh ke arah jendela, dan sepintas melihat kepala Mrs. Latcher. Melihat sekali lagi ke arah Percy, dan aku pun berlari kencang-kencang kembali ke pickup, seperti anjing disiram air panas. Aku melompat duduk di jok depan menaikkan jendela, dan menunggu ibuku.
Percy menghilang ke dalam ladang. Tak lama lagi waktu bekerja selesai, dan aku ingin pergi dari sana sebelum anggota keluarga Latcher yang lain berdatangan.
Dua anak kecil muncul di teras, keduanya telanjang, laki-laki dan perempuan, dan dalam hati aku bertanya, apa pendapat mereka bahwa kakak perempuan mereka akan punya satu anak lagi, tapi mereka hanya menatapku.
Ibuku keluar dengan terburu-buru, Mrs Latcher mengikuti di belakangnya, berbicara cepat sewaktu mereka berjalan ke truk
"Aku akan jemput Ruth," ibuku berkata; maksudnya Gran.
"Tolong cepatlah." desak Mrs. Latcher.
"Ruth sudah berkali-kali melakukan ini."
"Tolong segera jemput dia. Dan tolong jan
gan katakan pada siapa pun. Bisakah kami mempercayaimu. Mrs Chandler""
Ibuku membuka pintu, mencoba masuk ke dalam. "Tentu saja bisa."
"Kami malu sekali," Mrs. Latcher berkala, sambil menyeka air mata "Tolong jangan ceritakan pada siapa pun."
"Semuanya akan beres. Darla," ibuku berkata, sambil memutar kunci. "Aku akan kembali setengah jam lagi"
Kami mundur ke belakang, dan sesudah beberapa entakan dan berhenti, kami berputar kembali dan meninggalkan rumah keluarga Latcher. Ibuku mengemudi jauh lebih cepat, dan ini menyita hampir seluruh perhatiannya.
"Apa kau tadi melihat Libby Latcher"" ia akhirnya bertanya.
"Tidak, Ma'am."
"Apa yang kaukerjakan di samping rumah itu""
"Aku cuma berjalan-jalan ketika Percy melempar gumpalan tanah ke arahku. Itulah yang menghantam rumah. Bukan salahku, itu gara-gara Percy." Kata-kataku meluncur cepat dan mantap, dan aku tahu ibuku ingin mempercayaiku. Banyak urusan yang lebih penting sedang berkecamuk dalam benaknya.
Kami berhenti di jembatan. Ia memindahkan gigi persneling, menahan napas, dan sekali lagi berkata, "Awas. Luke."
Gran sedang berada di halaman belakang, di pompa sambil mengeringkan wajah dan tangan, hendak bersiap makan malam. Aku harus berlari agar tidak tertinggal oleh ibuku.
"Kita harus pergi ke rumah keluarga Latcher," ia berkata. "Gadis itu akan melahirkan, dan ibunya ingin kau yang membantu persalinannya."
"Oh, oh," Gran berkata, matanya yang letih men-dadak bersinar hidup oleh semangat petualangan "Jadi, dia benar-benar hamil."
"Benar sekali. Sudah satu jam ini dia merasa mulas."
Aku mendengarkan sebisanya dan sangat menikmati keterlibatanku, ketika tiba-tiba dan tanpa alasan jelas, dua wanita itu berpaling dan menatapku, "Luke, pulang ke rumah," ibuku berkata dengan sangat tegas, dan mulai menunjuk, seolah-olah aku tidak tahu di mana letak rumah itu.
"Aku salah apa"" aku bertanya, merasa terluka.
"Pergilah saja," ia berkata, dan aku mulai melangkah pergi. Tidak ada gunanya mendebat mereka. Mereka meneruskan percakapan dengan suara ter-tahan, d n aku sedang berada di teras belakang ketika ibuku memanggilku.
"Luke, larilah ke ladang dan panggil ayahmu! Kami membutuhkan dia!"
"Dan bergegaslah!" Gran berkata, ia begitu bersemangat akan mendokteri pasien sesungguhnya.
Aku tidak ingin kembali ke ladang, dan aku tentu akan membantah seandainya tidak ingat bahwa Libby Latcher akan melahirkan saat itu. Aku berkata, "Ya, Ma'am," dan berlari kencang melewati mereka.
Avahku dan Pappy sedang berada di trailer, menimbang kapas untuk terakhir kalinya hari itu. Saat itu menjelang pukul lima. dan para anggota keluarga Spruill sudah berkumpul dengan karung mereka yang berat. Orang-orang Meksiko itu tidak terlihat.
Aku berhasil menarik ayahku ke pinggir dan menjelaskan situasinya. Ia mengatakan sesuatu pada Pappy, dan kami berjalan cepat kembali ke rumah. Gran sedang mengumpulkan peralatan - alkohol gosok, handuk-handuk, obat penahan sakit, botol-botol berisi obat-obatan pahit yang akan membuat Libby melupakan persalinan. Ia mengatur amunisinya di meja dapur, dan belum pernah aku menyaksikan ia bergerak begitu sigap.
"Bersihkan dirimu!" ia berkata tajam pada ayahku.
Kau akan mengantar kami ke sana. Ini mungkin butuh beberapa lama." Aku bisa melihat bahwa ayahku tidak begitu bersemangat ikut terseret dalam semua ini, tapi ia tidak berniat berdebat dengan ibunya, tidak pada saat seperti ini.
"Aku akan membersihkan badan juga," aku berkata.
"Kau tidak akan pergi ke mana-mana," ibuku berkata padaku. Ia sedang berada di wastafel dapur, mengiris-iris tomat. Aku dan Pappy akan mendapatkan makanan sisa untuk makan malam, disamping sepiring mentimun dan tomat, seperti biasanya.
Mereka pergi dengan terburu-buru, ayahku menyopir, ibuku duduk di antara dia dan Gran, mereka bertiga pergi untuk menolong Libby. Aku berdiri di teras depan dan mengawasi mereka melaju dengan cepat, awan debu mendidih di belakang truk sampai truk itu berhenti di sungai. Aku ingin sekali ikut pergi.
Makan malam terdiri atas kacang dan biskuit dingin. Pappy benci makanan sisa. Menurutnya wanita-w
anita itu seharusnya menyiapkan makan malam dulu sebelum mengurusi keluarga Latcher; lagi pula. ia selalu menentang gagasan untuk mengirimi mereka makanan.
"Heran, kenapa dua perempuan itu harus pergi," ia menggumam sambil duduk. "Mereka penuh rasa ingin tahu seperti kucing, bukan begitu, Luke" Mereka tidak sabar untuk pergi ke sana, dan menyaksikan gadis yang sedang hamil itu."
"Ya, Sir," kataku.
ia memberkati makanan dengan doa pendek, dan kami makan tanpa berbicara.
"Dengan siapa The Cardinals main hari ini"" ia bertanya. "Reds."
"Kau mau mendengarkan""
"Tentu." Kami mendengarkan siaran pertandingan setiap malam. Apa lagi yang bisa dikerjakan"
Kami membersihkan meja dan meletakkan piring kotor di dalam wastafel. Pappy tidak bakal mau mencucinya; itu pekerjaan perempuan. Sesudah gelap, kami duduk di teras, di posisi kami biasanya, dan menunggu Harry Caray dan The Cardinals. Udara berat dan masih panas luar biasa.
"Berapa lama waktu yang diperlukan untuk melahirkan bayi"" aku bertanya.
"Tergantung," Pappy berkata dari ayunannya. Itu saja yang ia ucapkan, dan sesudah menunggu cukup lama, aku pun bertanya, "Tergantung apa""
"Oh, banyak hal. Beberapa bayi langsung keluar, yang lain butuh waktu berhari-hari."
"Berapa lama untukku""
ia berpikir sejenak. "Aku tidak ingat. Bayi pertama biasanya butuh waktu lebih lama."
"Apa waktu itu Kakek ada di rumah sakit""
"Tidak. Aku ada di atas traktor." Kelahiran bayi bukanlah pokok pembicaraan yang disukai Pappy, dan percakapan itu pun terhenti.
Aku melihat Tally menyelinap dari halaman depan dan menghilang dalam kegelapan. Keluarga Spruill mulai beristirahat; perapian mereka untuk memasak sudah akan padam.
The Reds mencetak empat kali run pada inning pertama. Pappy jadi begitu kesal, hingga ia pun pergi tidur. Aku mematikan radio dan duduk di teras, mencari-cari Tally dengan pandangan mata. Tak lama kemudian, aku mendengar Pappy mendengkur.
Enam Belas AKU sudah bertekad akan duduk di tangga depan, menunggu orangtuaku dan Gran kembali dari rumah keluarga Latcher. Aku hampir bisa melihat kejadian di sana; para wanita di kamar belakang bersama Libby, para pria duduk di luar bersama semua anak-anak itu, sejauh mungkin dari persalinan tersebut. Rumah mereka hanya di seberang sungai, sama sekali tidak jauh, dan aku melewatkan semua itu.
Keletihan menghantam dengan keras, dan aku nyaris jatuh tertidur. Kamp Spruill sunyi dan gelap, tapi aku belum melihat Tally kembali.
Aku berjinjit memasuki rumah, mendengar Pappy tertidur lelap, dan kembali ke teras belakang. Aku duduk di tepinya dengan kaki terkatung-katung. Ladang kapas di balik gudang dan sih itu berwarna kelabu lembut ketika bulan muncul dari awan yang bertebaran. Tanpa sinar bulan, semuanya tersembunyi dalam warna hitam. Aku melihat Tally berjalan seorang diri di jalan utama ladang itu, tepat ketika cahaya rembulan menyinari ladang sesaat, ia tidak terburu-buru. Kemudian semua jadi hitam lagi. Lama tidak ada suara apa pun, sampai ia menginjak sebatang ranting di dekat rumah.
"Tally," aku berbisik sekeras mungkin.
Sesudah lama berdiam diri, ia menjawab, "Kaukah itu, Luke""
"Di sini," kataku. "Di teras "
Ia bertelanjang kaki dan tidak menimbulkan suara ketika berjalan. "Apa yang kaukerjakan di luar sini. Luke"" ia berkata, berdiri di depanku.
"Dari mana saja kau"" aku bertanya
"Cuma jalan-jalan."
"Jalan-jalan ke mana""
"Entahlah. Kadang-kadang aku merasa harus menyingkir dari keluargaku."
Itu sangat masuk akal bagiku Ia duduk di sebelahku di teras, menarik roknya sampai di atas lutut, dan mulai mengayun-ayunkan kaki. "Kadang-kadang aku ingin kabur saja dari mereka," ia berkata sangat lirih. "Kau pernah merasa ingin kabur, Luke""
"Tidak. Aku baru tujuh tahun. Tapi aku tidak akan tinggal di sini seumur hidup."
"Kau mau tinggal di mana""
"St. Louis." "Kenapa St. Louis""
"Di sanalah The Cardinals main."
"Dan kau akan jadi pemain The Cardinals."
"Tentu saja." "Kau anak yang pintar, Luke. Cuma orang tolol yang mau memetik kapas sepanjang hidupnya. Aku, aku ingin pergi ke Utara juga, ke tempat yang
dingin dan banyak salju."
"Ke mana""
"Aku belum pasti. Montreal, mungkin."
"Di mana itu""
"Kanada." "Apa mereka punya bisbol""
"Kurasa tidak."
"Kalau begitu lupakan saja."
"Tidak, tempat itu indah. Kami mempelajarinya di sekolah, dalam pelajaran sejarah. Tempat itu didirikan oleh orang-orang Prancis, dan itulah bahasa yang dipakai oleh semua orang di sana."
"Apa kau bisa bahasa Prancis""
"Tidak, tapi aku bisa belajar."
"Itu gampang. Aku sudah bisa bicara bahasa Spanyol. Juan mengajariku tahun lalu "
"Benarkah""
"Si." "Katakan sesuatu lainnya."
"Buenos dias. Por favor. Adios. Gracias. Senor ,Como esta"" "Wah."
"Kaulihat, sudah kubilang itu gampang. Sejauh apakah Montreal""
"Aku tidak tahu. Sangat jauh. kukira. Itulah salah satu alasan mengapa aku mau ke sana."
Lampu mendadak menyala di kamar tidur Pappy. Cahayanya jatuh ke ujung teras dan mengejutkan kami. "Jangan bersuara," aku berbisik.
"Siapa itu"" Tally balas berbisik, sambil merunduk, seolah-olah ada peluru yang menerjang ke arah kami.
"Cuma Pappy mengambil air. Dia sering bangun sepanjang malam." Pappy pergi ke dapur dan membuka kulkas. Aku mengamatinya dari balik pintu kasa ia meneguk dua gelas air, lalu berjalan kembali ke kamarnya dan mematikan lampu. Ketika segalanya gelap dan sunyi kembali. Tally berkata. "Mengapa dia sering terjaga sepanjang malam""
"Dia banyak khawatir Ricky sedang bertempur di Korea."
"Siapa Ricky""
"Dia pamanku. Umurnya sembilan belas tahun."
Tally merenungkan ucapan ini sejenak, lalu berkata. "Apa dia menarik""
"Aku tidak tahu. Tidak pernah benar-benar memikirkan itu. Tapi dia sobat terbaikku, dan aku ingin sekali dia pulang."
Kami memikirkan Ricky beberapa saat, sementara kaki kami bergelantungan di teras dan malam terus beringsut.
"Omong-omong. Luke, pickup itu pergi sebelum makan malam. Pergi ke mana"" "Ke rumah keluarga Latcher." "Siapa mereka""
"Petani bagi hasil yang tinggal di seberang sungai."
"Mengapa mereka pergi ke sana""
"Tidak bisa kukatakan padamu."
"Mengapa tidak""
"Sebab ini rahasia."
"Rahasia macam apa""
"Rahasia besar."


Rumah Bercat Putih A Painted House Karya John Grisham di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ayolah, Luke. Kita sudah sama-sama punya rahasia, bukan""
"Kukira begitu."
"Aku tidak pernah menceritakan pada siapa pun bahwa kau melihatku di sungai, bukan""
"Kurasa tidak."
"Dan andai kata aku melakukannya, kau akan mendapat kesulitan besar, bukan"" "Kukira begitulah."
"Jadi, coba lihat. Aku bisa menyimpan rahasia, kau bisa menyimpan rahasia. Sekarang apa yang sedang terjadi di rumah keluarga Latcher""
"Kau janji tidak akan cerita pada orang lain""
"Aku janji." Seluruh kota ini sudah tahu bahwa Libby hamil. Apa gunanya berpura-pura bahwa itu suatu rahasia. "Emm... mereka punya anak perempuan. Libby Latcher, dan dia akan melahirkan bayi. Sekarang juga."
"Berapa umurnya""
"Lima belas." "Aduh." "Dan mereka berusaha merahasiakannya. Mereka tidak mau memanggil dokter, sebab kalau mereka melakukannya, semua orang akan tahu. Jadi, mereka minta Gran datang ke sana dan membantu kelahiran bayi itu."
"Mengapa mereka merahasiakannya"" "Sebab dia belum menikah." "Benarkah" Siapa ayahnya"" "Dia tidak mau mengatakan." "Tidak ada yang tahu"" "Tidak ada kecuali Libby" "Apa kau kenal dia""
"Aku pernah melihatnya, tapi ada banyak sekali anak-anak Latcher. Aku kenal adik laki-lakinya. Percy.
Dia mengaku umur dua belas, tapi aku tidak begitu yakin. Sulit mengetahuinya, sebab mereka tidak pergi ke sekolah."
"Apa kau tahu bagaimana perempuan bisa hamil"" "Kurasa tidak."
"Kalau begitu, sebaiknya tidak kukatakan padamu."
Itu tidak jadi soal bagiku. Rieky pernah bicara tentang perempuan, dan itu rasanya memualkan.
Kaki Tally berayun lebih cepat sewaktu ia mencerna gosip hebat ini. "Sungai itu tidak jauh," kalanya.
"Sekitar satu mil."
"Seberapa jauhkah tempat tinggal mereka dari seberang sungai""
"Cuma sebentar melewati jalan batu."
"Kau pernah melihat bayi dilahirkan, Luke""
"Tidak. Pernah lihat sapi dan anjing, tapi belum pernah lihat bayi betulan."
"Aku juga belum pernah."
ia turun berdiri, menggenggam tanganku, dan menarikku turun dari teras. Kekuatannya sungguh
mengejutkan. "Ayo kita pergi, Luke. Ayo kita pergi melihat apa yang bisa kita lihat." ia sudah menyeretku sebelum aku bisa memikirkan apa pun untuk dikatakan.
"Kau gila. Tally," aku protes, mencoba menghentikannya.
"Tidak, Luke," ia berbisik. "Ini petualangan, sama seperti kemarin dulu di sungai kecil itu. Kau menyukainya, bukan""
"Tentu saja." "Kalau begitu, percayalah padaku."
"Bagaimana kalau kita terpergok""
"Bagaimana kita akan tcrpcrgok" Semua orang sedang tidur nyenyak di sini. Pappy-mu baru saja bangun, dan bahkan tidak berpikir untuk memeriksamu. Ayolah, jangan pengecut."
Aku tiba-tiba menyadari bahwa aku rasanya bersedia mengikuti Tally ke mana saja.
Kami mengendap-endap di balik pepohonan, melewati bekas roda di mana truk itu seharusnya berada, menyusuri jalan masuk yang pendek, menjaga jarak sejauh mungkin dari keluarga Spruill. Kami bisa mendengar suara dengkur dan napas berat orang-orang yang tertidur keletihan. Kami berhasil mencapai jalan tanpa menimbulkan suara apa pun. Tally cepat dan gesit, dan ia menerobos kegelapan malam. Kami berbelok ke arah sungai, dan rembulan muncul dari balik awan serta menyinari jalan kami. Jalan satu jalur itu hanya cukup untuk dua truk saling berpapasan, dan tanaman kapas tumbuh dekat ke pinggirnya. Tanpa sinar bulan, kami harus berhati-hati melangkah, tapi dengan cahaya itu kami bisa mengangkat muka dan melihat ke depan. Kami berdua bertelanjang kaki. Cukup banyak kerikil di jalan itu untuk membuat langkah kami jadi pendek dan cepat, tapi telapak kaki kami seperti kulit sarung tangan bisbolku.
Aku takut, tapi bertekad untuk tidak memperlihatkannya. Tally sepertinya tidak kenal takut; tidak takut akan terpergok, tidak takut pada kegelapan tidak takut menyelinap menuju rumah tempat seorang bayi akan dilahirkan. Sering kali Tally seperti tenggelam dalam pikirannya sendiri, nyaris murung dan muram, dan rasanya seperti setua ibuku. Kemudian ia bisa menjadi seorang bocah yang tertawa-tawa ketika bermain bisbol, suka dilihat ketika mandi, berjalan-jalan lama dalam kegelapan, dan yang paling penting, menikmati kebersamaan dengan seorang anak umur tujuh tahun.
Kami berhenti di tengah jembatan, dan dengan hati-hati melihat ke pinggirnya, pada air di bawah sana. Kuceritakan padanya tentang ikan lele di bawah sana, tentang betapa besar ukurannya dan sampah yang mereka makan, dan tentang ikan seberat empat puluh empat pon yang pernah ditangkap Ricky. Tally memegangi tanganku ketika kami menyeberang, genggaman lembut, menunjukkan perasaan sayang dan bukan melindungi.
Jalan setapak menuju rumah keluarga Latcher jauh lebih gelap. Kami bergerak jauh lebih lamban, sebab kami mencoba melihat rumah itu sambil tetap berada di jalan. Karena mereka tidak punya listrik, tidak ada lampu di sana, tak ada apa pun kecuali kegelapan di tikungan sungai itu.
Tally mendengar sesuatu dan berhenti seketika. Suara-suara, di kejauhan. Kami melangkah ke pinggir tanaman kapas mereka, dan dengan sabar menunggu bulan muncul kembali. Aku menunjuk ke sini dan ke sana. dan memberikan terkaan terbaik mengenai lokasi rumah mereka. Suara itu adalah suara anak-anak, tak diragukan lagi pastilah bocah-bocah Latcher
Bulan akhirnya bekerja sama; dan kami bisa melihat tempat itu. Bayangan hitam rumah itu kira-kira seperti jarak gudang dan teras belakang kami, sekitar 350 kaki. sama jaraknya seperti homeplate dengan dinding outfield di stadion Sportsman's Park. Kebanyakan jarak jauh dalam hidupku diukur berdasarkan dinding itu. Truk Pappy diparkir di depan.
"Kita sebaiknya memutar lewat sini," Tally berkata tenang, seolah-olah sudah berkali-kali ia memimpin penyergapan seperti ini. Kami tenggelam di antara tanaman kapas dan mengikuti satu deret, kemudian satu deret lain, sambil diam-diam bergeser dalam lintasan setengah lingkaran di antara tanaman mereka. Di hampir semua tempat, tanaman kapas mereka hampir setinggi diriku. Ketika kami sampai ke suatu celah di mana batang-batang itu tampak kurus, kami berhenti dan mempelajari medan. Ada cahaya redup di kamar belakang rumah mereka, tempat mereka menyimpan Libby.
Ketika kami tepat berada di sebelah timurnya, kami mulai memotong deretan kapas, bergerak diam-diam menuju rumah itu.
Kecil sekali kemungkinannya ada orang yang melihat kami. Sudah tentu kedatangan kami tidak ditunggu, dan mereka sedang sibuk memikirkan urusan-urusan lain. Selain itu. tanaman kapas itu tebal dan gelap di waktu malam; seorang anak bisa merangkak menerobos di antara batang-batangnya tanpa pernah terlihat.
Mitraku dalam pengintaian ini bergerak cekatan, setangkas serdadu yang pernah kulihat dalam film. Ia terus mengarahkan mata ke rumah, dan dengan hati-hati menyelinap di antara batang-batang kapas, selalu membuka jalan untukku. Tak sepatah kata pun diucapkan. Kami tidak terburu-buru, perlahan-lahan maju ke samping rumah. Tanaman kapas tumbuh hingga ke dekat halaman tanah yang sempit itu, dan ketika kami tinggal sepuluh deret dari sana, kami diam di tempat dan mengamati situasi.
Kami bisa mendengar anak-anak Latcher berkumpul di dekat pickup kami yang diparkir sejauh mungkin dari teras depan. Ayahku dan Mr. Latcher duduk di bak belakang, berbicara lirih. Anak-anak itu bungkam, lalu mereka semua berbicara bersamaan. Setiap orang sepertinya sedang menunggu, dan sesudah beberapa menit aku mendapat kesan bahwa mereka sudah lama menunggu.
Di depan kami adalah jendela itu, dan dari tempat persembunyian ini, kami lebih dekat pada peristiwa seru itu daripada semua anggota keluarga Latcher dan ayahku. Dan kami tersembunyi sempurna dari segalanya; bahkan lampu sorot dari atap rumah pun tak mungkin memergoki kami.
Tepat di dalam jendela itu ada sebatang lilin di meja. Para wanita hilir-mudik. dan ditilik dari bayang-bayang yang naik-turun itu, kuperkirakan ada beberapa batang lilin di dalam kamar tersebut Cahayanya redup, bayang-bayangnya pekat.
"Ayo maju ke depan," Tally berbisik. Pada saat itu kami sudah lima menit berada di sana, dan meski ketakutan, aku merasa kami tidak akan mungkin tertangkap.
Kami maju sepuluh kaki, lalu bertengger lagi di tempat yang aman.
"Ini sudah cukup dekat," aku berkata. "Mungkin."
Cahaya dari kamar itu jatuh ke tanah di luarnya. Jendela itu tanpa tirai. Sementara kami menunggu, debar jantungku mulai mengendur, dan napasku kembali normal. Mataku terfokus pada sekelilingku, dan aku mulai mendengar suara-suara malam-paduan suara jangkrik, kodok-kodok besar yang berteot-teot di pinggir sungai, suara gumam dalam dari para laki-laki dewasa di kejauhan.
Ibuku, Gran. dan Mrs. Latcher juga berbicara dengan suara rendah Kami bisa mendengarnya, tapi tidak bisa mengerti.
Ketika semuanya hening dan diam. Libby menjerit kesakitan, dan aku hampir melompat keluar dari kulitku. "Suara kesakitan itu bergema menembus ke ladang, dan aku yakin ia tentu sudah mati. Keheningan menyelubungi pickup itu. Kemudian suara jangkrik seperti berhenti sejenak.
"Ada apa"" aku bertanya.
"Kontraksi persalinan," Tally berkata, tanpa mengalihkan pandangan mata dari jendela. "Apa itu""
Ia mengangkat pundak. "Cuma sebagian dari ini. Akan lebih hebat lagi." "Gadis malang itu." "Dia sendiri yang minta." "Apa maksudmu"" aku bertanya. "Tidak apa-apa," katanya.
Suasana hening selama beberapa menit, lalu kami mendengar Libby menangis. Ibunya dan Gran mencoba meredakan. "Maaf, aku sungguh menyesal," Libby berkata berulang-ulang.
"Tidak apa, semuanya akan beres," ibunya berkata.
"Tidak seorang pun tahu tentang ini," Gran berkata. Jelas itu suatu kebohongan, tapi mungkin memberi perasaan lega pada Libby.
"Kau akan mendapatkan bayi yang cantik." ibuku berkata.
Salah satu anak Latcher yang berukuran sedang, berkeliaran mendatangi dan menyelinap ke dekat jendela, sama seperti aku merayap ke sana beberapa jam sebelumnya, hanya beberapa saat sebelum Percy nyaris menghancurkanku dengan gumpalan tanah. Anak laki-laki atau perempuan itu - aku tidak bisa membedakan - mulai mengintai dan mulai bisa melihat, ketika salah satu saudaranya yang lebih tua menyalak di ujung rumah itu, "Lloyd, menyingkirlah dari jendela itu."
Lloyd langsung mundur dan menyingkir dalam kegelapan. Pelanggarannya itu langsung dilaporkan pada Mr. L
atcher, dan terjadilah pemukulan pantat, entah di mana di dekat sana. Mr. Latcher memakai tongkat entah apa. Ia terus berkata. "Lain kali aku akan pakai tongkat yang lebih besar!" Lloyd berpendapat bahwa yang sekarang ini pun lebih dari cukup. Jeritannya mungkin bisa terdengar sampai ke jembatan.
Setelah hajaran itu selesai, Mr. Latcher berkata dengan suara menggelegar, "Sudah kukatakan pada kalian untuk tetap di sini, dan menyingkir dari rumah!"
Kami tidak bisa melihat episode ini, dan untuk merasakan efek sepenuhnya pun memang tidak perlu melihatnya.
Tapi aku lebih ketakutan lagi memikirkan betapa keras dan lama pukulan yang akan kudapatkan se-andainya ayahku tahu di mana aku berada saat itu. Aku tiba-tiba ingin pergi.
"Berapa lama waktu yang diperlukan untuk melahirkan bayi"" aku berbisik pada Tally. Tidak kelihatan, apakah ia merasa jemu dan letih. Ia berlutut.
membeku diam, matanya tak pernah meninggalkan jendela itu.
"Tergantung. Anak pertama selalu lebih lama."
"Berapa lama yang diperlukan untuk melahirkan yang ketujuh""
"Aku tidak tahu. Mungkin anak ketujuh keluar begitu saja. Siapa yang punya tujuh anak""
"Ibu Libby. Tujuh atau delapan. Kukira dia melahirkan satu anak setiap tahun."
Aku hampir tertidur ketika kontraksi berikutnya datang. Sekali lagi jeritan itu mengguncang rumah, disusul dengan tangisan, dan kemudian kata-kata penghiburan di dalam kamar tersebut. Kemudian segalanya kembali tenang, dan kusadari bahwa ini mungkin bisa berlangsung sangat lama.
Ketika aku tak mampu lagi mempertahankan mata agar tetap terbuka, aku bergelung di tanah yang hangat, di antara dua deret tanaman kapas. "Apa tidak sebaiknya kita pergi"" aku berbisik.
"Tidak," kata Tally tegas, tanpa bergeser
"Bangunkan aku kalau terjadi sesuatu," kataku.
Tally menyesuaikan posisinya. Ia duduk bersila, dan dengan lembut meletakkan kepalaku di pangkuannya. Ia membelai kepala dan pundakku. Aku tidak ingin tidur, tapi aku tak tahan lagi.
Ketika aku terjaga, pada mulanya aku merasa tersesat di dunia asing, terbaring di sebuah ladang, dalam kegelapan total. Aku tidak bergerak. Tanah di sekitarku sudah tidak hangat lagi. dan kakiku terasa dingin. Aku membuka mata dan menatap ke atas. ngeri, sampai kusadari bahwa ada pohon kapas tegak di
atasku. Aku mendengar suara-suara gugup di dekat sana. Seseorang berkata, "Libby," dan aku terlonjak kembali pada kenyataan. Aku mengulurkan tangan mencari Tally, tapi ia sudah pergi.
Aku berdiri dari tanah dan mengintip dari celah-celah tanaman kapas. Pemandangan itu belum berubah. Jendela itu masih terbuka, lilin-lilin masih menyala, tapi ibuku dan Gran dan Mrs. Latcher sangat sibuk.
"Tally!" aku berbisik panik, terlalu keras, pikirku, tapi aku merasa sangat takut.
"Ssssst!" datang jawabannya. "Di sini."
Aku cuma bisa melihat belakang kepalanya, dua deret di depan dan agak ke sebelah kanan. Ia pasti sudah bergeser untuk mencari sudut pandang yang lebih baik. Aku menerobos batang-batang kapas dan segera berada di sampingnya.
Home plate terletak enam puluh kaki dari tempat pitcher. Kami jauh lebih dekat ke jendela tersebut dari jarak itu. Hanya dua lajur tanaman kapas berdiri di antara kami dan pinggir halaman samping mereka. Merunduk rendah dan melihat di antara batang-batang kapas, aku akhirnya melihat wajah-wajah berkeringat ibuku, nenekku, dan Mrs. Latcher. Mereka menatap ke bawah, memandang Libby tentunya, dan kami tidak bisa melihatnya. Aku tidak yakin apakah aku ingin melihatnya pada saat seperti ini, tapi sudah pasti rekanku ingin melakukannya.
Wanita-wanita itu mengulurkan tangan dan mendorongnya untuk mengejan dan bernapas dan mengejan dan bernapas, sambil terus-menerus meyakinkannya bahwa segalanya baik-baik saja. Kedengarannya keadaan tidak terlalu baik. Gadis malang itu melolong dan mendengus, sekali-sekali menjerit-pekik tajam menusuk yang sama sekali tidak teredani oleh dinding-dinding kamar itu. Suaranya yang penuh kesakitan itu menembus kegelapan malam yang hening, dan dalam hati aku bertanya-tanya, apakah yang dipikirkan oleh adik-adiknya mengenai semua itu.
Kalau sedang t idak mengerang dan menangis. Libby mengatakan. "Maaf, aku menyesal. Aku sungguh menyesal." Itu berlanjut terus-menerus, ucapan monoton tanpa pikir dari seorang gadis yang sedang menderita.
"Tidak apa. Sayang," ibunya menjawab seribu kali. "Tidak bisakah mereka melakukan sesuatu"" aku berbisik.
"Tidak, tidak bisa. Bayi itu keluar kalau sudah waktunya."
Aku ingin bertanya pada Tally, bagaimana ia tahu begitu banyak tentang persalinan, tapi aku menahan mulut. Itu bukan urusanku. dan mungkin ia akan bilang begitu padaku.
Sekonyong-konyong suasana jadi hening dan diam di dalam kamar. Para wanita keluarga Chandler mundur ke belakang, lalu Mrs. Latcher membungkuk dengan segelas air. Libby diam.
"Ada apa"" aku bertanya.
"Tidak ada apa-apa "
Jeda di antara ketegangan itu memberiku waktu untuk memikirkan hal-hal lain. yaitu kemungkinan tertangkap basah. Aku sudah melihat cukup. Petualangan ini sudah selesai. Tally membandingkannya dengan kejadian di Sungai Siler, tapi peristiwa di sungai itu sama sekali tidak ada apa-apanya dibandingkan petualangan kecil ini. Sudah berjam-jam kami pergi. Bagaimana kalau Pappy kebetulan masuk ke kamar Ricky untuk memeriksaku" Bagaimana kalau salah satu anggota keluarga Spruill terbangun dan mulai mencari Tally" Bagaimana kalau ayahku jadi bosan dengan semua ini dan memutuskan untuk pulang"
Pukulan yang kuterima akan terasa sakitnya sampai berhari-hari, kalau aku tetap hidup sesudahnya. Ketika aku mulai panik, Libby mulai terengah-engah keras lagi, sementara para wanita itu menyuruhnya menarik napas dan mendorong.
"Ini dia!" ibuku berkata, dan hiruk-pikuk pun menyusul ketika para wanita itu berdiri panik di seputar pasien mereka.
"Terus dorong!" Gran berkata keras
Libby merintih lagi. Ia kehabisan tenaga, tapi setidaknya akhir semua itu sudah ada di depan mata.
"Jangan menyerah. Sayang," ibunya berkata. "Jangan menyerah."
Aku dan Tally sama sekali tak bergerak, tersihir oleh drama itu. Tally meraih tanganku dan menggenggamnya erat-erat. Rahangnya dirapatkan, matanya terbelalak lebar keheranan.
"Mulai keluar!" ibuku berkata, dan beberapa saat segalanya hening. Kemudian kami mendengar tangis bayi yang baru dilahirkan, suara protes tersedak-sedak cepat, dan lahirlah satu anggota baru keluarga Latcher.
"Laki-laki," Gran berkata, dan ia mengangkat bayi mungil itu, masih belepotan darah dan cairan. "Laki-laki." Mrs. Latcher mengulangi.
Tak ada tanggapan dari Libby.
Aku sudah melihat lebih daripada yang kuinginkan. "Ayo pergi," kataku, sambil mencoba menarik tangan, tapi Tally tidak bergerak.
Gran dan ibuku meneruskan mengurus Libby, sementara Mrs. Latcher membersihkan bayi itu, yang gusar entah kenapa dan menangis nyaring. Mau tak mau aku berpikir, betapa sedihnya kelak menjadi seorang anggota keluarga Latcher, terlahir di rumah kecil yang kotor seperti itu, dengan serombongan anak-anak lain.
Beberapa menit berlalu, dan Percy muncul di jendela. "Bolehkah kami melihat bayinya"" ia bertanya, ketakutan untuk melihat ke dalam.
"Sebentar lagi," Mrs. Latcher menjawab
Mereka berkumpul di jendela, seluruh keluarga Latcher, termasuk sang ayah, yang kini sudah menjadi kakek, dan menunggu untuk melihat bayi itu. Mereka tepat di depan kami, rasanya di tengah-tengah antara homeplate dan pitching mound, dan aku berhenti bernapas karena takut mereka akan mendengar kami. Namun mereka tidak memikirkan kemungkinan hadirnya pengacau. Mereka melihat ke jendela terbuka itu, semuanya diam penuh kekaguman.
Mrs. Latcher membawa bayi itu dan membungkuk, supaya si bayi bisa melihat keluarganya, ia mengingatkanku akan sarung tangan bisbol milikku, hampir sama hitamnya, dan terbungkus handuk. Ia diam beberapa saat, dan tampak tidak tertarik pada rombongan yang menyaksikannya.
"Bagaimana keadaan Libby"" salah satu di antara mereka bertanya.
"Dia baik-baik saja," Mrs. Latcher berkata. "Boleh kami melihatnya""
"Tidak, tidak sekarang. Dia sangat letih. Sekarang pergilah tidur." Ia menarik bayi itu. dan semua anggota keluarga Latcher itu perlahan-lahan kembali ke depan rumah. Aku tidak bisa melihat ayahku, tapi a
ku tahu ia sedang bersembunyi entah di mana di dekat truknya. Uang tunai berapa pun jumlahnya tidak akan bisa menggodanya untuk melihat seorang bayi haram.
Selama beberapa menit, para wanita itu sepertinya sama sibuk seperti sebelum persalinan, tapi kemudian mereka perlahan-lahan menyelesaikan pekerjaan.
Aku tersadar sepenuhnya, dan kusadari bahwa kami masih harus menempuh perjalanan panjang pulang ke rumah. "Kita harus pergi. Tally!" aku berbisik panik. Ia sudah siap, dan aku mengikutinya mundur, menerobos batang-batang kapas, sampai kami jauh dari rumah itu. lalu berbelok ke selatan dan berlari di antara lajur-lajur kapas. Kami berhenti untuk menenangkan diri. Cahaya dari jendela itu tidak bisa terlihat. Bulan sudah menghilang. Tidak ada bentuk atau bayang-bayang apa pun dari rumah keluarga Latcher. Kegelapan total.
Kami berbelok ke barat, sekali lagi melangkah memotong lajur-lajur kapas, menerobos di antara batang-batang, menyibakkannya sehingga tidak menggores wajah kami. Lajur-lajur itu berakhir, dan kami menemukan jalan kecil menuju jalan utama. Telapak kaki dan tungkaiku sakit, tapi kami tidak boleh menghamburkan waktu. Kami berlari ke jembatan. Tally ingin melihat air yang berpusar-pusar di bawah, tapi aku memaksanya terus berjalan.
"Mari jalan," ia berkata, di sebelahku di atas jembatan, dan sejenak kami berhenti berlari. Kami berjalan tanpa bicara, sama-sama berusaha menenangkan napas. Perasaan letih dengan cepat menindih kami; petualangan itu memang pantas ditempuh, tapi kami mulai membayar harganya. Kami sudah mendekati pertanian ketika terdengar suara bergemuruh di belakang kami. Lampu depan mobil! Di jembatan! Dengan penuh perasaan ngeri, kami melesat secepat-cepatnya. Tally dengan mudah mendahului aku; sebenarnya aku sangat malu, tapi aku tak punya waktu untuk malu, dan ia sedikit mengurangi kecepatan, sehingga aku tidak tertinggal.
Aku tahu ayahku tidak akan mengemudi dengan cepat, tidak di waktu malam, di jalan batu ini, dengan Gran dan ibuku bersamanya, tapi sinar lampu itu tenis menyusul. Ketika sudah dekat ke rumah, kami melompati parit dangkal itu dan berlari di tepian ladang. Suara mesin makin keras.
"Aku akan tunggu di sini, Luke," Tally berkata, berhenti dekat pinggiran halaman kami. Truk itu sudah hampir menyusul kami. "Kau larilah ke teras belakang dan menyelinap masuk. Aku akan tunggu sampai mereka masuk ke dalam. Cepatlah."
Aku terus berlari, dan melesat mengitari pojok belakang rumah tepat ketika truk itu masuk ke halaman Aku merayap masuk ke dalam dapur tanpa menimbulkan suara, lalu ke kamar Ricky, meraih sebuah bantal dan bergelung di lantai, di samping jendela. Aku terlalu kotor dan basah untuk naik ke ranjang, dan aku berdoa agar mereka terlalu letih untuk memeriksaku.
Mereka tidak banyak menimbulkan suara ketika memasuki dapur. Mereka berbisik-bisik sewaktu menanggalkan sepatu. Seberkas cahaya menukik ke dalam kamarku. Bayang-bayang mereka bergerak melewatinya, tapi tak seorang pun memeriksa si kecil Luke. Dalam beberapa menit mereka sudah berada di ranjang, dan rumah itu sunyi senyap. Aku merencanakan untuk menunggu sebentar, lalu menyelinap ke dapur dan mencuci muka serta tangan dengan kain. Kemudian aku akan merangkak naik ke ranjang dan tidur nyenyak. Kalau mereka mendengarku hilir-mudik, akan kukatakan saja bahwa mereka membuatku terbangun ketika mereka pulang.
Merumuskan rencana ini adalah hal terakhir yang kuingat sebelum tertidur pulas.
Tujuh Belas AKU tidak tahu berapa lama aku tertidur, tapi rasanya seperti hanya beberapa menit. Pappy berlutut di sampingku, bertanya mengapa aku tidur di lantai. Aku mencoba menjawab, tapi tidak kuasa mengatakan apa-apa. Aku lumpuh karena keletihan.
"Hari ini hanya kau dan aku," katanya. "Yang lain masih tidur." Suaranya penuh dengan nada mencemooh.
Masih tak mampu berpikir atau berbicara, aku mengikutinya ke dapur, di mana kopi sudah tersedia. Kami makan biskuit dingin dan sorghum tanpa berbicara. Pappy tentu saja kesal, sebab ia mengharapkan sarapan lengkap. Dan ia geram karena Gran dan orangtuaku masih tidur, bukannya be
rsiap untuk bekerja di ladang.
"Gadis Latcher itu melahirkan bayi tadi malam," ia berkata sambil menyeka mulut. Gadis Latcher itu dan bayinya yang baru lahir telah mengganggu kapas kami, dan sarapan kami, dan Pappy hampir tak bisa mengendalikan kemarahannya.
"Benarkah"" aku berkata, mencoba kelihatan terkejut.
"Yeah, tapi mereka masih belum menemukan ayahnya."
"Belum"" "Belum. Mereka mau merahasiakan ini, baiklah, jadi jangan bicara apa-apa mengenai soal ini." "Ya, Sir."
"Bergegaslah. Kita harus pergi." "Pukul berapa mereka tiba di rumah"" "Sekitar pukul tiga."
Ia berlalu dan menghidupkan traktor. Aku meletakkan piring-piring bekas sarapan di wastafel dan menengok orangtuaku. Mereka diam seperti mati; satu-satunya yang terdengar hanyalah suara napas yang dalam. Aku ingin melepaskan sepatu botku, merayap naik ke ranjang bersama mereka, dan tidur selama seminggu. Namun sebaliknya, aku menyeret diri ke luar. Matahari baru saja merekah di atas pepohonan di timur. Di kejauhan, aku bisa melihat siluet orang-orang Meksiko itu berjalan ke ladang.
Keluarga Spruill berjalan menghampiri dari halaman depan. Tally tidak terlihat di mana pun. Aku bertanya pada Bo, dan ia mengatakan bahwa Tally merasa tidak sehat. Mungkin sakit perut. Pappy mendengar ini, dan kekesalannya naik satu tingkat lagi. Satu pemetik lagi harus tinggal di ranjang, bukannya di ladang.
Aku jadi menyesal. Mengapa aku tadi tidak terpikir untuk mengatakan sakit perut"
Kami naik traktor itu sejauh seperempat mil. di mana trailer yang setengah penuh itu diparkir, menjulang bagaikan monumen di tengah ladang yang datar, dan memanggil kami kembali untuk melewatkan satu hari penuh penderitaan. Kami lambat-lambat mengambil karung masing-masing dan mulai memetik. Aku menunggu Pappy bergerak di lajurnya, lalu aku pindah sejauh mungkin darinya, dan menjauh dari para Spruill.
Aku bekerja keras selama sekitar satu jam. Kapas itu basah dan lembut di tangan, dan matahari belum naik ke atas kepala. Aku tidak termotivasi oleh uang atau ketakutan; aku menginginkan tempat empuk untuk tidur. Ketika aku sudah jauh di tengah ladang, sehingga tak seorang pun bisa menemukanku, dan sudah cukup banyak kapas dalam karungku untuk dijadikan kasur kecil, aku pun berbaring di tanah.
Ayahku tiba menjelang siang, dan di antara delapan puluh ekar tanaman kapas itu, ia kebetulan memilih lajur di sebelahku. "Luke!" ia berkata marah ketika kebetulan melihatku. Ia terlalu terkejut untuk memarahiku, dan ketika aku tersadar, aku mengeluh bahwa perutku tidak enak, sakit kepala, dan kukemukakan alasan bahwa aku tidak cukup tidur tadi malam.
"Kenapa tidak"" ia bertanya, sambil berdiri menjulang di hadapanku.
"Aku menunggu kalian pulang." Ada unsur kebenaran dalam alasan ini.
"Dan mengapa kau menunggu kami""
"Aku ingin tahu mengenai Libby."
"Well, dia melahirkan bayi. Apa lagi yang ingin kauketahui""
"Pappy sudah menceritakannya." Aku perlahan-lahan berdiri dan berpura-pura agar kelihatan sangat sakit.
"Pulanglah ke rumah." ia berkata, dan aku meninggalkannya tanpa sepatah kata pun.
Pasukan Cina dan Korea Utara menyergap konvoi Amerika di dekat Semenanjung Pyonggang, membunuh sedikitnya delapan puluh orang dan menangkap banyak tawanan. Mr. Edward R. Murrow membuka siaran berita malamnya dengan berita itu, dan Gran mulai berdoa. Seperti biasa, ia duduk di belakang meja dapur di hadapanku. Ibuku bersandar pada wastafel dapur, menghentikan segala kegiatan dan memejamkan mata. Aku mendengar Pappy batuk di teras belakang. Ia juga sedang mendengarkan.
Perundingan perdamaian sudah ditinggalkan kembali, dan Cina menggerakkan lebih banyak pasukan ke Korea. Mr. Murrow mengatakan bahwa gencatan senjata, yang sebelumnya begitu dekat, kini tampaknya mustahil. Kata-katanya sedikit lebih berat malam itu, atau mungkin kami cuma lebih letih daripada biasa. Ia disela iklan, lalu kembali dengan berita tentang gempa bumi.
Gran dan ibuku sedang bergerak perlahan-lahan ketika Pappy masuk. Ia mengacak-acak rambutku, seolah-olah segalanya baik-baik saja. "Ada apa untuk makan malam"" ia bertanya.
"Iga babi," i buku menjawab. Kemudian ayahku menyusul masuk, dan kami mengambil tempat masing-masing. Sesudah Pappy berdoa memberkati makanan, kami semua berdoa untuk Ricky. Selama itu praktis tidak ada percakapan; setiap orang memikirkan Korea, tapi tak seorang pun ingin mengemukakannya.
Ibuku bicara tentang suatu proyek yang sedang dipertimbangkan oleh kelas Sekolah Minggu-nya, ketika aku mendengar bunyi berkeriut lirih dari pintu kasa di teras belakang. Tak ada yang mendengar suara itu, kecuali aku. Saat itu tidak ada angin, tidak ada apa pun yang mendorong pintu itu. Aku berhenti makan.
"Ada apa, Luke"" Gran bertanya.
"Kukira aku mendengar sesuatu." sahutku.
Semuanya melihat ke pintu. Tidak ada apa-apa. Mereka kembali makan.
Kemudian Percy Latcher melangkah ke dalam dapur, dan kami tertegun diam. Ia maju dua langkah melewati pintu dan berhenti, seolah-olah ia tengah tersesat, ia bertelanjang kaki, kotor dari kepala sampai kaki, dan matanya merah, seakan-akan habis berjam-jam menangis. Ia memandang kami; kami memandangnya. Pappy hendak berdiri dan menangani situasi ini. Aku berkata, "Itu Percy Latcher."
Pappy tetap duduk, memegangi pisau di tangan kanan. Mata Percy berkaca-kaca, dan ketika ia bernapas, keluarlah suara erangan kecil, seolah ia berusaha menindas kegusaran. Atau mungkin ia terluka. atau seseorang di seberang sungai itu terluka dan ia lari ke rumah kami untuk meminta pertolongan.
"Ada apa. Nak"" Pappy menyalak kepadanya. "Mestinya kau mengetuk pintu dulu sebelum masuk."
Percy mengarahkan pandangan matanya tanpa berkedip kepada Pappy dan berkata. "Ricky yang melakukannya."
"Ricky melakukan apa"" Pappy bertanya, suaranya tiba-tiba jadi lebih lembut, sudah surut mundur. "Ricky yang melakukannya." "Ricky melakukan apa"" Pappy mengulangi. "Bayi itu bayinya," Percy berkata. "Itu bayi Ricky." "Tutup mulutmu!" Pappy membentaknya dan mencengkeram pinggiran meja, seakan-akan ia akan melompat ke pintu untuk memukuli bocah malang itu.
"Dia tidak ingin melakukannya, tapi Ricky terus membujuknya," Percy berkata, ganti menatapku, bukannya pada Pappy. "Lalu dia pergi berperang."
"Itukah yang dikatakan kakakmu"" Pappy bertanya marah.
"Jangan berteriak, Eli," Gran berkata. "Dia cuma anak-anak " Gran menarik napas panjang, dan sepertinya menjadi orang pertama yang mempertimbangkan kemungkinan bahwa ia telah membantu kelahiran cucunya sendiri.
"Itulah yang dia katakan," Percy berkata. "Dan itu benar."
"Luke, pergilah ke kamarmu dan tutup pintunya," ayahku berkata, menyadarkanku dan keadaan bingung.
"Tidak," ibuku berkata sebelum aku bisa bergerak. "Ini menyangkut kita semua. Dia bisa tinggal."
"Dia tidak seharusnya mendengar ini."
"Dia sudah mendengarnya."
"Dia harus tinggal di sini." Gran berkata, berpihak pada ibuku dan menyelesaikan persoalan. Mereka mengira aku ingin tetap di sana. Padahal yang kuinginkan saat itu adalah lari ke luar, mencari Tally, dan berjalan jauh-jauh - menyingkir dari keluarganya yang gila, menyingkir dari Ricky dan Korea, menyingkir dari Percy Latcher. Tapi aku tak bergerak.
"Apakah orangtuamu yang mengirimmu ke sini"" ibuku bertanya.
"Tidak, Ma'am. Mereka tidak tahu di mana aku berada. Bayi itu menangis sepanjang hari. Libby jadi gila, mengatakan akan melompat dari jembatan, bunuh diri, hal-hal seperti itu, dan dia menceritakan padaku bahwa Ricky yang melakukan itu kepadanya "
"Apa sudah kauceritakan pada orangtuamu""
"Ya, Ma'am. Semua sudah tahu sekarang."
"Maksudmu semua dalam keluargamu yang tahu."
"Ya, Ma'am. Kami belum menceritakannya pada orang lain."
"Jangan," Pappy mendengus, ia kembali duduk di kursinya, pundaknya mulai melorot, menyadari bahwa ia sudah kalah. Kalau Libby Latcher menyatakan bahwa Ricky adalah ayah bayi itu, maka semua orang akan mempercayainya. Ricky tidak ada di rumah untuk membela diri. Dan bila sama-sama disumpah, Libby kemungkinan akan memiliki lebih banyak pendukung daripada Ricky, mengingat reputasi Ricky sebagai pembuat kekacauan.
"Kau sudah makan, Nak"" Gran bertanya.
"Belum, Ma'am."
"Apa kau lapar""
"Ya, Ma'am." Meja itu dipenuhi makanan yang tid
ak akan disentuh. Kami keluarga Chandler sudah pasti kehilangan selera kami. Pappy mendorong kursinya mundur dari meja dan berkata, "Dia bisa ambil bagianku." ia bangkit berdiri, meninggalkan dapur, dan pergi ke teras depan. Ayahku mengikutinya tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
"Duduklah di sini, Nak," Gran berkata sambil menunjuk kursi Pappy.
Mereka menghidangkan sepiring makanan dan segelas teh manis untuk Percy. Percy duduk dan makan perlahan-lahan. Gran berjalan ke teras depan, meninggalkan aku dan ibuku duduk bersama Percy. Percy tidak berkata apa-apa, kecuali bila diajak bicara.
Sesudah pembicaraan panjang di teras depan, suatu rapat yang tidak diikuti oleh aku dan Percy, karena kami diperintahkan tinggal di teras belakang, maka Pappy dan ayahku mengangkut anak itu dan mengantarnya pulang. Aku duduk di ayunan bersama Gran, sewaktu mereka pergi saat hari mulai gelap. Ibuku sedang mengupas kacang polong.
"Apa Pappy akan bicara dengan Mr. Latcher"" aku bertanya.
"Aku yakin begitu." sahut ibuku.
"Apa yang akan mereka bicarakan"" Aku penuh dengan pertanyaan, sebab aku beranggapan bahwa kini aku berhak tahu segalanya.
"Oh, kukira mereka akan bicara soal bayi itu," Gran berkata. "Dan Ricky serta Libby."
"Apa mereka akan bertengkar""
"Tidak. Mereka akan mencapai kesepakatan."
"Kesepakatan apa""
"Semua orang akan setuju untuk tidak bicara tentang bayi itu, dan tidak menyangkutkan nama Ricky."
"Itu termasuk kau. Luke," ibuku berkata. "Ini suatu rahasia hitam."
"Aku tidak akan bicara pada siapa pun." kataku dengan penuh keyakinan. Membayangkan orang-orang tahu bahwa keluarga Chandler dan Latcher entah bagaimana punya pertalian keluarga membuatku ngeri.
"Apa Ricky benar melakukannya"" tanyaku.
"Tentu saja tidak," kata Gran. "Keluarga Latcher bukan orang-orang yang bisa dipercaya. Mereka bukan orang Kristen yang baik; itu sebabnya gadis itu jadi hamil. Mereka mungkin mau uang dari perundingan ini."
"Uang"" "Kita tidak tahu apa yang mereka inginkan," ibuku berkata.
"Apa menurut Mom, Ricky melakukannya"" Ibuku bersangsi sejenak sebelum berkata lirih, "Tidak."
"Aku juga berpendapat dia tidak melakukannya," kataku, membuatnya menjadi aklamasi. Aku akan membela Ricky selamanya, dan kalau ada siapa pun yang menyebut-nyebut bayi Latcher, aku siap berkelahi.
Tapi Ricky adalah tersangka yang paling memungkinkan, dan kami semua tahu itu. Keluarga Latcher jarang meninggalkan tanah pertanian mereka. Ada seorang pemuda dari keluarga Jeter sekitar dua mil dari sana, tapi aku tidak pernah melihatnya di dekat sungai itu. Tak seorang pun tinggal di dekat keluarga Latcher kecuali kami. Ricky adalah kucing jantan nakal yang paling dekat ke sana.
Urusan gereja mendadak jadi penting, dan para wanita itu membicarakannya nonstop. Masih banyak pertanyaan lain mengenai bayi Latcher itu dalam benakku, tapi aku tak punya kesempatan mengeluarkan sepatah kata pun. Aku akhirnya menyerah dan pergi ke dapur untuk mendengarkan siaran pertandingan The Cardinals.
Aku sungguh ingin berada di belakang pickup kami di rumah keluarga Latcher, menguping bagaimana para pria dewasa itu menangani situasi.
Lama sesudah aku disuruh tidur, aku tetap berbaring terjaga, berkutat melawan kantuk, sebab udara penuh dengan suara-suara. Ketika kakek dan nenekku berbicara di ranjang, aku bisa mendengar suara mereka yang lirih, rendah, merembes di gang sempit itu. Aku tak bisa memahami sepatah kata pun, dan mereka berusaha sedapat mungkin memastikan tak seorang pun mendengar mereka. Tapi kadang-kadang, saat mereka khawatir atau memikirkan Ricky, mereka terpaksa berbicara larut malam. Berbaring di ranjang, mendengarkan gumam tertahan mereka, aku tahu bahwa keadaan benar-benar serius.
Orangtuaku mengundurkan diri ke teras depan, duduk di anak tangga, menunggu bertiupnya angin dan jeda dari panas yang tak kenal ampun. Pada mulanya mereka berbisik-bisik, tapi beban mereka terlalu berat, dan kata-kata mereka tak bisa ditahan. Yakin bahwa aku sudah tidur, mereka pun berbicara lebih keras daripada biasa.
Aku turun dari ranjang dan merayap di lantai, seperti u
lar. Di jendela, aku mengintip ke luar dan melihat mereka di tempat biasanya, duduk memung-gungiku, hanya terpisah beberapa meter.
Aku menyerap setiap suara. Urusan di rumah keluarga Latcher tidak berlangsung dengan baik. Libby ada di bagian belakang rumah bersama bayinya yang menangis tak henti. Semua anggota keluarga Latcher sepertinya lelah oleh tangisan itu. Mr. Latcher marah pada Percy karena datang ke rumah kami.
tapi ia lebih marah lagi ketika berbicara soal Libby. Ia mengatakan bahwa Libby tidak mau main-main dengan Ricky, tapi Ricky mendesaknya. Pappy menyangkal, tapi tak punya dasar apa pun. Ia menyangkal segalanya, dan mengatakan ia sangsi Ricky pernah bertemu dengan Libby.
Tapi mereka punya beberapa saksi. Mr. Latcher sendiri mengatakan bahwa pernah dua kali, tak lama sesudah Natal. Ricky masuk ke halaman depan mereka dalam pickup Pappy, dan membawa Libby pergi bermobil. Mereka pergi ke Monette, di mana Ricky membelikan soda untuknya.
Ayahku memperkirakan bahwa kalau benar begitu kejadiannya, maka Ricky tentu memilih Monette karena hanya sedikit orang yang akan mengenalnya di sana. Ia tidak bakal mau terlihat di Black Oak bersama putri seorang petani bagi hasil.
"Dia gadis yang cantik." ibuku berkata.
Saksi selanjutnya adalah seorang bocah laki-laki tak lebih dari sepuluh tahun. Mr. Latcher memanggilnya dari kerumunan yang berkumpul di tangga depan. Menurut kesaksiannya, ia pernah melihat truk Pappy diparkir di ujung ladang, di samping semak belukar. Ia menyelinap ke truk itu, dan maju cukup dekat untuk melihat Ricky dan Libby berciuman. Ia merahasiakan ini karena ia takut, dan baru beberapa jam sebelumnya mengungkapkan cerita ini.
Pihak Chandler tentu saja tidak punya saksi. Di sisi sungai tempat kami tinggal, tidak pernah ada tanda-tanda mekarnya percintaan. Ricky sudah pasti tidak akan bicara pada siapa pun. Pappy tentu akan memukulinya.
Mr. Latcher mengatakan bahwa selama ini ia sudah curiga bahwa Ricky-lah ayah bayi itu, tapi Libby menyangkalnya. Dan sesungguhnya memang ada satu-dua pemuda lain yang tertarik kepadanya. Namun kini ia menceritakan segalanya bahwa Ricky telah memaksanya, bahwa ia tidak menginginkan bayi itu.
"Apa mereka ingin kita mengambilnya"" ibuku bertanya.
Aku nyaris mengerang pedih.
"Tidak, kurasa tidak," ayahku berkata. "Apa artinya ada satu bayi lagi di rumah mereka""
Ibuku berpendapat bahwa bayi itu layak mendapatkan rumah yang baik. Ayahku mengatakan bahwa itu sama sekali mustahil, sampai Ricky mengatakan bahwa itu benar anaknya. Tahu bagaimana Ricky, kemungkinan itu amat kecil.
"Apa kau melihat bayi itu"" ibuku bertanya.
"Tidak." "Dia mirip sekali dengan Ricky," kata ibuku.
Satu-satunya ingatanku mengenai anggota keluarga Latcher terbaru itu adalah sosoknya yang kecil waktu itu, yang seperti sarung tangan bisbol. Ia hampir tidak seperti manusia. Tapi ibuku dan Gran suka menghabiskan waktu berjam-jam menganalisis wajah orang-orang, untuk menentukan siapa mirip siapa, dari mana matanya diwariskan, dan hidung serta rambutnya. Mereka suka melihat bayi-bayi di gereja dan berkata, "Oh, dia jelas anggota keluarga Chisenhall." Atau. "Lihatlah matanya, mirip sekali dengan neneknya."
Bayi-bayi itu tampak seperti boneka-boneka kecil bagiku.
"Jadi. menurutmu dia seorang Chandler"" a; berkata.
"Tidak diragukan lagi."
Delapan Belas HARI Sabtu datang kembali, tapi Sabtu tanpa gelora gairah seperti biasanya untuk pergi ke kota. Aku tahu kami akan pergi, sebab sudah dua Sabtu berturut-turut kami tidak pergi. Gran butuh berbelanja, terutama tepung dan kopi, sedangkan ibuku perlu pergi ke apotek. Ayahku sudah dua minggu tidak pergi ke Coop. Aku tidak punya suara untuk menentukan urusan ini, tapi ibuku tahu betapa pentingnya pertunjukan Sabtu pagi bagi perkembangan wajar seorang anak, terutama anak petani yang hanya sedikit mengadakan kontak dengan dunia luar. Ya, kami akan pergi ke kota, tapi tanpa antusiasme seperti biasanya.
Kengerian baru menghadang kami, sesuatu yang jauh lebih menakutkan daripada segala urusan mengenai Hank Spruill. Bagaimana kalau ada orang
yang mendengar apa yang dikatakan keluarga Latcher" Hanya butuh satu orang saja, satu bisikan di ujung Main Street, dan gosip itu pun akan bergemuruh merebak ke seluruh penjuru kota, bagaikan kebakaran besar. Para wanita di toko Pop dan Pearl akan menjatuhkan keranjang mereka dan menutupi mulut dengan perasaan tak percaya. Petani-petani tua yang berkeliaran di Co-op akan tersenyum menyeringai dan berkata, "Aku tidak terkejut." Anak-anak yang lebih besar di gereja akan menuding ke arahku, seolah-olah akulah yang bersalah. Kota itu akan mempercayai desas-desus tersebut, seolah-olah itu adalah kebenaran tak terbantah, dan darah keluarga Chandler akan ternoda selamanya.
Jadi. aku tidak ingin pergi ke kota. Aku ingin tinggal di rumah dan main bisbol, dan mungkin pergi berjalan-jalan dengan Tally.
Sedikit sekali yang diperbincangkan selama sarapan. Kami masih sangat muram, dan kukira ini karena kami semua tahu yang sebenarnya. Ricky telah meninggalkan sedikit kenang-kenangan. Dalam hati aku bertanya-tanya, apakah ia tahu mengenai Libby dan bayi itu, tapi aku tidak hendak mengungkit soal itu. Aku akan tanya ibuku nanti.
"Ada pasar malam di kota," Pappy berkata. Sekonyong-konyong hari itu jadi lebih baik. Garpuku terhenti di udara.
"Pukul berapa kita berangkat"" aku bertanya.
"Sama seperti biasa. Sesudah makan siang," kata Pappy.
"Sampai pukul berapa kita bisa tinggal""
"Kita lihat saja nanti," ia berkata.
Pasar malam itu adalah serombongan gipsi pengelana beraksen aneh yang tinggal di Florida selama musim dingin, dan mendatangi kota-kota kecil di musim gugur, ketika panen sedang memuncak dan orang punya uang di saku. Mereka biasanya datang mendadak pada suatu hari Kamis, kemudian menduduki lapangan bisbol tanpa minta izin, dan tinggal sepanjang akhir pekan. Tak ada yang lebih menggairahkan Black Oak seperti datangnya pasar malam
Setiap tahun rombongan yang datang berbeda-beda. Ada yang punya gajah dan kura-kura raksasa. Ada yang sama sekali tidak punya binatang, tapi mengkhususkan diri dengan orang-orang aneh - orang-orang cebol yang bisa berjungkir balik, wanita berjari enam, laki-laki dengan kaki ekstra. Tapi semua pasar malam selalu punya Bianglala Raksasa, komidi putar, dan dua atau tiga permainan tunggang lain yang berkeriut dan bergemeretak, dan biasanya membuat semua ibu ketakutan. Ontang-Anting adalah salah satu permainan itu, sebuah lingkaran dengan ayunan-ayunan tergantung pada rantai yang makin lama berputar makin cepat, sampai penumpangnya terbang sejajar dengan tanah dan menjerit-jerit, memohon-mohon untuk berhenti. Beberapa tahun sebelumnya di Monette. satu rantainya putus, seorang gadis kecil terlempar ke udara, dan menimpa sisi sebuah trailer. Minggu berikutnya Ontang-Anting itu mampir di Black Oak, dengan rantai-rantai baru, dan orang-orang pun antre untuk naik.
Ada pula stand-stand di mana kau bisa melempar gelang-gelang dan panah kecil, dan menembakkan pistol untuk memenangkan hadiah. Sejumlah rombongan pasar malam punya tukang ramal, yang lain punya stand foto, dan ada pula yang punya tukang sulap. Semuanya hiruk-pikuk dan warna-warni dan penuh gairah. Kabar tersebar cepat ke seluruh penjuru county, dan orang-orang akan berkumpul, dan dalam beberapa jam Black Oak akan penuh sesak. Aku sangat ingin pergi.
Mungkin gairah pasar malam itu akan menekan perasaan ingin tahu dalam diriku mengenai Libby Latcher, pikirku. Aku menjejalkan biskuitku ke mulut dan berlari keluar.
"Ada pusar malam di kota." aku berbisik pada Tally ketika kami bertemu di traktor, dalam perjalanan ke ladang.
"Kalian semua akan pergi"" ia bertanya. "Tentu saja. Tak seorang pun melewatkan pasar malam."
"Aku tahu suatu rahasia," ia berbisik, matanya je-lalatan kian kemari. "Apa itu""
"Sesuatu yang kudengar tadi malam " "Di mana kau mendengarnya"" "Di dekat teras depan."
Aku tidak suka dengan caranya mengulur-ngulur waktu seperti itu. "Apa itu""
ia mencondongkan badan lebih dekat lagi. "Tentang Ricky dan gadis Latcher itu. Kurasa kau punya sepupu baru " Ucapannya itu keji, dan matanya kelihatan jahat. Ini bukan Tally yang


Rumah Bercat Putih A Painted House Karya John Grisham di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kukenal "Apa yang kaukerjakan di luar sana"" aku bertanya.
"Bukan urusanmu."
Pappy mendatangi dari rumah dan berjalan ke traktor. "Sebaiknya kau jangan cerita." kataku dengan gigi dikertakkan rapat.
"Kita saling menjaga rahasia, ingat"" ia berkata sambil bergerak pergi.
"Yeah." Siang rasanya tak pernah datang. Aku menghabiskan makan siangku dengan cepat, lalu bergegas menyelesaikan tugas menggosok badan dan mandi. Ibuku tahu bahwa aku sudah tak sabar untuk pergi ke kota, maka ia tidak menghabiskan waktu menggosoki badanku.
Sepuluh orang Meksiko itu semuanya naik ke belakang truk bersama aku dan ayahku, dan kami meluncur meninggalkan pertanian kami. Sepanjang minggu ini si Koboi tetap memetik kapas dengan rusuk patah, suatu fakta yang bukannya tidak diperhatikan oleh Pappy dan ayahku. Mereka sangat mengaguminya. "Mereka orang-orang yang tangguh," kata Pappy.
Keluarga Spruill sibuk bergegas-gegas, mencoba menyusul kami. Tally sudah menyebarkan kabar tentang pasar malam itu, dan bahkan Trot tampak bergerak penuh semangat.
Ketika kami menyeberangi sungai, aku memandang tajam-tajam dan lama ke jalan ladang yang menuju rumah keluarga Latcher, tapi pondok mereka yang kecil tidak terlihat. Aku melirik ayahku, ia juga melihat ke sana, sorot matanya keras, nyaris gusar. Bagaimana mungkin orang-orang itu bisa mengacaukan hidup kami"
Kami merayap beringsut di sepanjang jalan batu itu, dan tak lama kemudian ladang keluarga Latcher sudah tertinggal di belakang. Pada waktu kami berhenti di jalan raya, aku sekali lagi membayangkan pasar malam itu.
Sopir kami, tentu saja, tidak pernah terburu-buru. Dengan truk yang begitu penuh orang, aku sangsi ia akan melaju dengan kecepatan tiga puluh tujuh mil per jam. dan Pappy sudah pasti tidak memaksakannya. Perjalanan itu rasanya makan waktu satu jam.
Mobil patroli Stick yang berwarna cokelat itu diparkir di samping Gereja Baptis. Lalu lintas di Main Street sudah melamban, trotoar-trotoar luber dengan berbagai kegiatan. Kami parkir, dan orang-orang Meksiko itu pun menyebar. Stick muncul dan bawah pohon rindang dan berjalan langsung ke arah kami. Gran dan ibuku beranjak ke toko. Aku tetap tinggal dengan pria-pria dewasa itu, yakin ada urusan serius yang akan dibicarakan.
"Apa kabar, Eli. Jesse," Stick berkata, topinya miring ke satu sisi, sehelai rumput menyembul di sudut mulutnya.
"Siang, Stick," Pappy berkata. Ayahku hanya mengangguk. Mereka tidak datang ke kota untuk melewat kan waktu bersama Stick, dan kekesalan mereka bisa terasa di bawah permukaan.
"Aku sedang pikir-pikir untuk menahan bocah Spruill itu," kata Stick.
"Aku tidak peduli apa yang kaulakukan," Pappy menukas, kegusarannya naik dengan cepat. "Cuma tunggulah sampai kapas selesai dipetik."
"Sudah tentu kau bisa menunggu satu bulan," kata ayahku.
Stick mengunyah rumput itu, meludah, dan berkata. "Kukira begitu."
"Dia pekerja yang baik," ayahku berkata. "Dan masih banyak kapas yang harus dipetik. Kau menahannya sekarang, dan kami akan kehilangan enam tenaga kerja. Kau tahu bagaimana orang-orang itu."
"Kurasa aku bisa menunggu," Stick berkata lagi.
Ia sepertinya sangat bernafsu untuk mencapai kompromi. "Aku sudah bicara dengan banyak orang, dan aku tidak begitu yakin anakmu mengatakan yang sebenarnya." Ia melontarkan pandangan ke arahku saat mengucapkan ini, dan aku menendang kerikil.
"Jangan kaitkan dia dengan urusan ini, Stick," ayahku berkata. "Dia cuma anak-anak "
"Dia baru umur tujuh tahun!" Pappy membentak. "Mengapa kau tidak cari saksi-saksi betulan""
Pundak Stick tertarik ke belakang, seakan-akan ia baru saja dipukul.
"Begini saja," Pappy berkata. "Biarkan Hank sampai kapas selesai dipetik, lalu aku akan ke kota dan memberi kabar padamu bahwa kami sudah selesai dengannya. Sampai di situ, aku tidak peduli apa yang kaulakukan dengannya."
"Begitu bisa diterima," Stick berkata.
"Tapi aku tetap berpendapat kau belum punya kasus untuk menggugatnya. Perkelahian itu tiga lawan satu. Stick, dan tidak ada juri mana pun yang akan memutuskan dia bersalah."
"Kita lihat saja nanti," Stick berkata pongah. Ia b
erjalan pergi, jempolnya disisipkan ke dalam saku, dengan langkah congkak yang cukup untuk membuat kami kesal.
"Boleh aku pergi ke pasar malam"" tanyaku. "Tentu saja boleh," sahut Pappy. "Kau punya uang berapa"" tanya ayahku. "Empat dolar."
"Berapa banyak yang akan kaubelanjakan""
"Empat dolar juga."
"Kurasa dua dolar sudah cukup."
"Bagaimana kalau tiga"" "Dua setengah saja, oke""
"Ya, Sir." Aku berlari dari gereja, sepanjang trotoar, melesat di antara orang-orang, dan tak lama kemudian tiba di lapangan bisbol yang terletak di seberang Coop, teater Dixie, dan rumah biliar. Pasar malam itu menutupi seluruh lapangan, mulai dari backstop hingga outfield fence. Bianglala Raksasa itu berdiri di tengah, dikelilingi permainan tunggang lain yang lebih kecil, stand-stand, dan jalan-jalan. Musik melengking bergemuruh dari pengeras suara pada komidi putar Orang-orang sudah menunggu dalam antrean panjang. Aku bisa mencium bau popcorn dan com dog dan sesuatu yang digoreng dalam minyak.
Aku menemukan trailer penjual harum manis. Harganya sepuluh sen. tapi aku bersedia membayar jauh lebih mahal dari itu. Dewayne melihatku di jalan, sewaktu aku menonton anak-anak yang lebih besar menembakkan senapan angin pada bebek-bebek kecil yang berenang di sebuah kolam. Mereka tidak pernah mengenai bebek-bebek itu, dan menurut Pappy, ini karena pembidik senapan itu dibengkokkan.
Manisan apel juga sepuluh sen. Kami membeli seorang satu dan bersantai melihat-lihat pasar malam itu. Ada seorang penyihir dengan gaun hitam panjang, rambut hitam, hitam segalanya, dan untuk dua puluh lima sen ia bisa meramalkan nasibmu. Seorang wanita tua bermata gelap juga melakukan hal yang sama, untuk harga yang sama, dengan memakai kartu tarot. Seorang laki-laki yang flamboyan, dengan mikrofon, bisa menebak umur atau berat badanmu dengan bayaran sepuluh sen. Kalau ia meleset sampai lebih dari tiga tahun atau sepuluh pon, maka kau memenangkan hadiah. Jalan-jalan di pasar malam itu juga penuh dengan berbagai permainan seperti biasanya-melempar bola sofbol pada botol-botol susu, bola basket dibidikkan pada keranjang yang terlalu kecil, menembak balon dengan panah kecil, melempar gelang-gelang ke leher botol.
Kami berjalan-jalan santai menjelajahi pasar malam itu, menikmati hiruk-pikuk dan kegembiraan. Serombongan orang berkumpul di ujung jauh, dekat back-stop. dan kami datang menghampiri. Sebuah papan mengumumkan kehadiran "Samson, Pegulat Paling Akbar di Dunia, Langsung dari Mesir", dan di bawahnya ada sebuah matras- persegi dengan tiang-tiang berbantalan dan tambang mengelilinginya. Samson tidak ada di dalam ring, tapi pemunculannya tinggal beberapa saat lagi, demikian menurut Delilah, seorang wanita jangkung dan seksi, dengan mikrofon. Kostumnya memperlihatkan seluruh tungkainya dan sebagian besar dadanya, dan aku yakin belum pernah ada bagian tubuh sebanyak itu dipamerkan di depan umum di Black Oak. Ia memberikan penjelasan, pada kerumunan yang diam dan kebanyakan adalah laki-laki. bahwa peraturannya sederhana. Samson akan membayar sepuluh kali lipat pada siapa saja yang bisa bertahan bersamanya di ring selama satu menit. "Hanya enam puluh detik!" Delilah berseru-seru. "Dan uang itu milik Anda!" Aksen bicaranya cukup aneh untuk meyakinkan kami bahwa mereka memang berasal dari negeri lain. Aku belum pernah bertemu dengan orang dari Mesir, meskipun dari Sekolah Minggu aku tahu bahwa Musa pernah punya petualangan di sana.
Wanita itu melangkah maju-mundur di depan ring. semua mata mengikuti setiap gerakannya. "Dalam turnya, Samson telah memenangkan tiga ratus pertandingan berturut-turut," ia berkata, menantang. "Terakhir kali Samson menderita kekalahan adalah di Rusia, dan diperlukan tiga laki-laki untuk menundukkannya, itu pun mereka main curang."
Musik mulai meraung dari satu pengeras suara yang digantung pada papan pengumuman. "Dan sekarang, Bapak-Ibu sekalian!" Delilah berseru mengatasi suara musik, "kami tampilkan pegulat terbesar di dunia. Samson yang tak terkalahkan!"
Aku menahan napas. Samson muncul dari balik tirai, dan melompat ke dalam ring di te
ngah sorak sorai. Mengapa kami harus bertepuk tangan untuknya" Ia ada di sana untuk menghajar kami. Rambutnya adalah yang pertama kuperhatikan. Rambut itu hitam berombak, dan tergerai sampai ke pundak, seperti rambut wanita Aku pernah melihat gambar dari kisah-kisah Perjanjian Lama di mana para pria punya rambut seperti itu, tapi itu lima ribu tahun yang lalu. Samson seorang laki-laki raksasa, dengan tubuh kekar dan bukit-bukit otot bertonjolan dari pundak hingga dada. Lengannya ditutupi rambut hitam dan ia tampak cukup kuat untuk mengangkat gedung. Agar kami bisa menyaksikan kehebatan tubuhnya, Samson tidak memakai baju. Bahkan sesudah berbulan-bulan kami di ladang, kulit Samson masih jauh lebih gelap daripada kulit kami, dan kini aku benar-benar yakin bahwa ia berasal dari bagian dunia yang tak dikenal. Ia pernah bertarung dengan orang-orang Rusia!
Ia berjalan mengelilingi ring, seirama dengan musik, menekuk lengan dan menegangkan otot-otot raksasanya. Ia menyuguhkan atraksi ini sampai kami semua menyaksikan segala yang ia miliki, yang menurutku lebih dari cukup.
"Siapa yang pertama"" Delilah berseni ke mikrofon ketika musik dimatikan. "Minimum dua dolar!"
Orang banyak itu mendadak terdiam. Hanya orang tolol akan melangkah ke dalam arena itu.
"Aku tidak takut," seseorang berseru, dan kami memandang tercengang ketika seorang pemuda yang belum pernah kulihat melangkah maju dan menyerahkan dua dolar kepada Delilah. Delilah mengambil uang itu dan berkata, "Sepuluh banding satu. Tetaplah bertahan di ring selama enam puluh detik, dan kau akan memenangkan dua puluh dolar." ia menyodorkan mikrofon pada pemuda itu dan berkata, "Siapa namamu""
"Farley." "Semoga beruntung, Farley."
Farley naik ke dalam ring, seolah-olah ia sama sekali tidak takut terhadap Samson, yang selama itu mengawasi tanpa sedikit pun tanda-tanda khawatir. Delilah mengambil palu dan memukul bel di samping ring. "Enam puluh detik!" ia berkata.
Farley mengitar sedikit, lalu mundur ke salah satu sudut ketika Samson maju selangkah ke arahnya. Dua laki-laki itu saling mengukur, Samson memandang dengan sikap mencemooh, Farley mengangkat muka dengan sikap siaga.
"Empat puluh lima detik!" Delilah berseni.
Samson bergerak lebih dekat, dan Farley melesat ke sisi lain ring itu. Karena perawakannya lebih kecil, ia juga jauh lebih cepat, dan rupanya ia memakai strategi menghindar. Samson memburunya; Farley terus menghindar. "Tiga puluh detik!"
Ring itu tidak cukup besar untuk terus lari menghindar, dan Samson sudah berpengalaman menangkap kelinci mangsanya yang ketakutan, ia menjegal Farley ketika sedang lari, dan setelah mengangkat Farley, ia melingkarkan lengan dengan erat pada kepala pemuda itu dan memulai dengan kuncian kepala
"Oh, kelihatannya seperti kuncian 'Guillotine'!" Delilah berkata dengan dramatis. "Dua puluh detik!"
Samson menelikung mangsanya dan menyeringai dengan kepuasan sadis, sementara Farley yang malang meronta-ronta di sampingnya.
"Sepuluh detik!"
Samson berputar, kemudian melemparkan Farley ke seberang ring. Sebelum Farley bisa bangkit, Pe-gulat Paling Akbar di Dunia itu menerkam kakinya, mengangkatnya ke udara, memegangnya di atas tambang, dan dengan dua detik tersisa, menjatuhkannya ke tanah untuk meraih kemenangan.
"Wah. nyaris saja, Samson!" Delilah berkata ke mikrofon.
Farley berkunang-kunang, tapi ia berjalan pergi tanpa cedera, dan tampak bangga akan dirinya. Ia telah membuktikan kejantanannya, tidak memperlihatkan ketakutan, dan dua detik lagi ia nyaris memenangkan dua puluh dolar. Tantangan selanjutnya datang dari satu orang asing lagi, seorang pemuda berperawakan kekar bernama Claude, yang membayar tiga dolar untuk peluang memenangkan tiga puluh.
Bobotnya dua kali lipat Farley, tapi ia jauh lebih lamban. Dalam sepuluh detik Samson sudah meringkusnya dengan teknik guntingan "Flying Dropkiek" dan memitingnya dengan teknik "Pretzel". Dengan sepuluh detik tersisa, ia mengangkat Claude ke atas kepala, dan dengan peragaan kekuatan yang luar biasa, berjalan ke pinggir ring dan melemparkannya.
Claude juga berjalan pergi den
gan bangga. Jelaslah bahwa Samson, meskipun penampilannya mengancam dan penuh gaya, adalah orang yang sportif dan tidak akan melukai siapa pun. Dan karena kebanyakan pemuda di situ ingin menjalin kontak dengan Delilah, maka antrean pun segera terbentuk di sampingnya.
Pertunjukan itu sangat menarik, dan aku serta Dewayne duduk cukup lama, menyaksikan Samson menyingkirkan korbannya satu demi satu dengan segala teknik gerakan dalam repertoarnya. The Boston Crab, the Scissors, the Piledriver, the Jackhammer, the Body Slam. Delilah tinggal menyebutkan nama salah satu manuver ke mikrofonnya, dan Samson dengan cepat memperagakannya.
Sesudah satu jam, Samson basah kuyup oleh keringat dan butuh istirahat, maka aku dan Dewayne berlari pergi untuk naik Bianglala Raksasa dua kali. Kami tengah berdebat, apakah akan beli harum manis lagi, ketika kami mendengar beberapa pemuda berbicara tentang pertunjukan wanita.
"Dia menanggalkan seluruh pakaiannya!" salah satu dari mereka berkata ketika berjalan lewat, dan kami pun lupa dengan harum manis itu. Kami mengikuti mereka ke ujung jalan, tempat trailer-trailer gipsi itu diparkir. Di belakang trailer-trailer itu ada sebuah tenda kecil yang jelas didirikan sedemikian rupa agar tidak ada orang melihatnya. Beberapa laki-laki merokok dan menunggu, dan paras mereka menunjukkan perasaan bersalah. Dari dalam tenda itu terdengar suara musik.
Beberapa pasar malam tertentu punya pertunjukan wanita. Tidak mengejutkan bahwa Ricky pernah terlihat meninggalkan tenda semacam itu tahun sebelumnya, dan ini menimbulkan keributan besar di rumah kami. Ia sebenarnya tidak akan terpergok seandainya Mr. Ross Lee Hart tidak terpergok juga. Mr. Hart adalah seorang pengurus di Gereja Methodis. seorang petani yang memiliki lahan sendiri, seorang warga masyarakat terhormat yang menikah dengan wanita bermulut besar. Perempuan itu pergi mencarinya pada suatu malam Minggu, di tengah pasar malam, dan kebetulan melihatnya meninggalkan tenda terlarang itu. Ia melolong melihat suaminya yang menyeleweng itu, sang suami menyelinap ke balik trailer-trailer. Ia mengejar, berteriak-teriak mengancam, dan Black Oak mendapatkan satu cerita baru.
Mrs. Hart, entah karena alasan apa. menceritakan pada semua orang apa yang telah dilakukan suaminya, dan laki-laki malang itu dikucilkan selama berbulan-bulan Mrs Hart juga menyebarkan omongan bahwa di antara yang meninggalkan tenda itu, tepat di belakang suaminya, adalah Ricky Chandler. Kami menanggung perasaan malu ini dalam diam. Jangan pernah pergi ke pertunjukan perempuan di kampung halaman sendiri, itu merupakan undang-undang tidak tertulis. Pergilah ke Monette atau Lake City atau Caraway, tapi jangan lakukan itu di Black Oak.
Aku dan Dewayne tidak mengenali pria-pria yang sedang menunggu di sekeliling tenda itu. Kami memutari trailer dan menyelinap dari sisi sebaliknya, tapi di sana ada seekor anjing besar dirantai ke tanah, menjaga kemungkinan adanya tukang mengintip seperti kami. Kami mundur dan memutuskan untuk menunggu sampai hari gelap.
Ketika hampir pukul empat, kami terpaksa mengambil keputusan menyakitkan - pergi menonton film, atau tetap tinggal di pasar malam itu. Kami sudah condong untuk pergi menonton film ketika Delilah muncul di ring gulat, ia sudah berganti kostum, dan kini memakai kostum dua potong yang memperlihatkan lebih banyak lagi tubuhnya. Orang banyak datang mengerumuninya, dan tak lama kemudian Samson sekali lagi melempar-lcmparkan para pemuda petani, pemuda-pemuda gunung, dan bahkan sekali-sekali orang Meksiko, keluar dari ring.
Satu-satunya tantangan datang ketika hari mulai gelap. Mr. Horsefly Walker punya seorang anak laki-laki bisu-tuli berbobot seratus lima puluh kilo. Kami memanggilnya Grunt, yang berarti mendengkur atau mendengus-tanpa maksud jahat atau mencemooh - cuma karena begitulah ia dipanggil selama ini. Horsefly memasang lima dolar, dan Grunt perlahan-lahan naik ke dalam ring.
"Dia besar, Samson," Delilah berkata ke mikrofon.
Samson tahu bahwa mungkin butuh waktu lebih lama untuk mendorong lawan sebesar itu keluar dari ring, maka ia
langsung menyerang. Ia menyerang ke bawah dengan teknik "Chinese Take-Down", gerakan yang dirancang untuk menyapu pergelangan kaki sehingga lawan terjatuh. Grunt memang langsung jatuh, tapi ia jatuh menindih Samson, yang tak tahan lagi terpaksa merintih kesakitan Beberapa orang di dalam kerumunan itu berteriak pula dan mulai bersorak mendukung Grunt, yang tentu saja tidak bisa mendengar apa pun. Dua laki-laki itu berguling-guling dan menendang-nendang ke seluruh penjuru ring, sampai Grunt berhasil menjepit Samson sesaat.
Rahasia Bunga Cubung Biru 1 Pendekar Rajawali Sakti 3 Sepasang Walet Merah Kisah Si Bangau Putih 4
^