Pencarian

Rahasia Bunga Cubung Biru 1

Pendekar Pulau Neraka 16 Rahasia Bunga Cubung Biru Bagian 1


RAHASIA BUNGA CUBUNG BIRU
Oleh Teguh Suprianto
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : PujiS.
Gambar sampuloleh Pro's
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Teguh Suprianto
Serial Pendekar Pulau Neraka
dalamepisode Rahasia Bunga Cubung Biru
128 hal. ; 12 x 18 cm
Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor : Molan_150
Ebook pdf oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://kangzusi.info/ http://cerita_silat.cc/
1 "Hiyaaat..!" Trang!
Malam yang seharusnya sunyi, tiba-tiba dipecahkan
oleh suara pertarungan di halaman depan sebuah
rumah besar yang dikelilingi pagar balok kayu tinggi dan berujung runcing. Di
sekitar tempat pertarungan itu
orang-orang bersenjata terhunus berdiri mengelilingi. Mereka menyaksikan dua orang laki-laki bertarung, menggunakan
kepandaian tingkat tinggi.
Melihat banyaknya keringat yang bercucuran dan
debu yang melekat di badan, dapat dipastikan kalau pertarungan itu sudah
berjalan cukup lama. Sementara malam sudah demikian larut, sedangkan pertarungan
dua laki-laki itu masih berlangsung sengit. Seakanakan pertarungan itu tidak
akan berhenti dalam waktu singkat.
Dua orang yang bertarung itu sudah sama-sama
berusia lanjut. Yang seorang mengenakan jubah putih panjang, dan berambut putih
tergelung ke atas.
Sedangkan seorang lagi mengenakan jubah warna biru tua. Rambutnya panjang meriap
hampir menutupi
wajahnya. Mereka sama-sama menggunakan tongkat.
Namun yang berjubah putih hanya menggunakan
tongkat kayu biasa tanpa bentuk, sedangkan lawannya menggunakan tongkat
berbentuk ular kobra yang
mengembangkan lehernya.
Pertarungan itu berjalan cepat, sehingga yang
terlihat hanya dua bayangan berkelebat saling sambar.
Setiap kali tongkat-tongkat mereka beradu, seketika timbullah ledakan keras
disertai percikan bunga api yang menyebar ke seluruh penjuru. Meskipun tongkat
yang dipegang orang berjubah putih hanya tongkat
kayu biasa, namun kekuatannya melebihi tongkat baja yang keras. Bahkan hantaman
tongkatnya mampu
menghancurkan batu sebesar kerbau.
"Hiyaaat...!"
Trak! "Akh...!"
Tiba-tiba saja laki-laki berjubah putih memeluk
keras tertahan, dan tampak terhuyung-huyung ke
belakang sambil memegangi dadanya. Darah segar
merembes keluar dari sela-sela jari tangan yang keriput.
Pada saat itu, orang yang berbaju biru gelap melompat cepat bagai kilat sambil
tongkatnya melayangkan satu pukulan keras. Begitu kerasnya sehingga menimbulkan
suara angin menderu bagai topan.
"Mampus kau! Hiyaaa...!"
Des! "Aaa...!" kembali laki-laki tua berjubah putih itu menjerit.
Hantaman tongkat berbentuk ular kobra itu tepat
mengenai kepala laki-laki tua berjubah putih. Terdengar suara berdetak, dan seketika laki-laki
berjubah putih itu ambruk ke tanah dengan kepala
remuk. Darah mengucur dari dada dan kepalanya.
Orang berbaju biru gelap itu berdiri pongah sambil memutar-mutar tongkatnya.
"Hayo! Siapa lagi yang ingin menyusul ke neraka!"
teriak orang berjubah biru itu, keras menantang.
Dari sekian banyak orang yang mengelilingi
halaman, tak seorang pun yang berani membuka
mulut. Laki-laki tua bertongkat ular itu mengedarkan pandangannya
ke sekeliling. Sebentar
kemudian dihampirinya laki-laki tua yang tergeletak tengah
meregang nyawa di tanah. Ditekan ujung tongkatnya ke dada yang berlumuran darah
itu. "Anom Sura! Di mana kau sembunyikan peti itu?"
dingin nada suara laki-laki bertongkat ular itu.
Tapi orang berjubah putih itu tidak menjawab, dan
hanya mengerang merasakan sakit yang amat sangat
pada dada dan kepalanya. Darah semakin banyak
keluar. "Baiklah. Mungkin kau lebih senang mati. Tapi aku masih bisa mendapatkan kotak
itu dari putrimu!"
dengus orang itu dingin. "Hih...!"
"Aaa...!"
Tanpa berkedip sedikit pun, orang bertongkat ular
itu menghunjamkan ujung tongkatnya hingga menembus dada laki-laki tua berjubah putih yang
dipanggil Anom Sura. Sambil menarik kembali tongkatnya, orang itu langsung melesat pergi. Begitu cepatnya, sehingga sekejap
saja sudah lenyap tak
berbekas. "Guru...!"
"Paman...!"
Mereka yang berkerumun mengelilingi halaman itu
berhamburan memburu laki-laki tua berjubah putih
yang tergeletak di tanah bersimbah darah. Salah
seorang berbaju hijau yang pedangnya tergantung di pinggang bergegas mengangkat
kepala Ki Anom Sura
dan menopang dengan pahanya. "Paman...."
"Adilangu. Cepatlah pergi ke Gunung Cakal. Jemput adikmu dan bawa ke sini," kata
Ki Anom Sura lemah.
"Paman...."
"Akh...! Rasanya aku tidak kuat lagi. Adilangu, cepatlah pergi dan katakan agar
Rampita..., akh!"
"Paman...!"
"Adilangu, bawa kotak yang ada di bawah balai semadiku. Berikan pada putriku...,
akh...!" "Paman...!"
"Guru...!"
Namun Ki Anom Sura sudah terkulai. Adilangu
memeluk laki-laki tua itu. Diusapkan tangannya ke
wajah Ki Anom Sura. Sebentar diedarkan pandangannya ke sekeliling, menatap wajah-wajah
yang tertunduk dalam tanpa cahaya di sekelilingnya.
Kemudian Adilangu mengangkat tubuh laki-laki tua itu dan membawanya masuk ke
dalam rumah besar yang
tampak terang benderang
Tak ada sedikit pun suara yang terdengar. Semua
orang yang berkerumun di depan rumah itu hanya
diam sambil menundukkan kepala. Laki-laki itu
membaringkan tubuh Ki Anom Sura di atas dipan
kayu, kemudian duduk bersila di lantai. Semua orang yang berada di belakangnya
ikut duduk bersila. Secara bersamaan mereka merapatkan tangannya di depan
hidung, memberi penghormatan terakhir pada laki-laki tua itu.
*** Adilangu memacu cepat kudanya bagai dikejar se-
tan. Sepanjang jalan yang dilalui, meninggalkan
kepulan debu karena tersepak kaki-kaki kuda hitam
itu. Tak peduli ada kubangan berlumpur, pohon
tumbang melintang menghadang jalan, pemuda itu
terus memacu kudanya dengan kecepatan tinggi.
Sebuah buntalan kain di punggung berguncang-
guncang mengikuti tubuhnya yang tidak bisa diam di atas punggung kuda.
"Hiya! Hiyaaa...!"
Adilangu semakin keras menggebah kudanya. Tidak
dipedulikan lagi jalan yang mulai sulit dilalui karena semakin rapatnya
pepohonan. Terlebih lagi jalan itu mendaki, sedangkan kuda hitam yang
ditungganginya semakin terseok kewalahan. Binatang tunggangan itu mendengus-dengus kelelahan.
Seharian dipacu cepat
tanpa beristirahat sebentar saja. Namun pemuda itu terus menggebah kudanya agar
tetap berlari kencang.
Wus...! Tiba-tiba saja sebatang anak panah meluncur de-
ras ke arahnya. Adilangu terperanjat, lalu cepat-cepat menarik tali kekang
kudanya. Akibatnya, binatang itu meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki
depannya tinggi-tinggi.
"Hup! Hiyaaa...!"
Adilangu melentingkan tubuhnya dan berputaran
beberapa kali di udara sebelum kakinya menjejak
tanah. Sementara, anak panah itu menancap di sebuah pohon tidak jauh dari
tempatnya mendarat. Sedangkan kuda hitam itu langsung berlari tanpa mempedulikan
majikannya yang tertinggal. Adilangu mendengus
seraya menatap tajam ke sekeliling.
Srak! Srak...! Adilangu langsung meraba gagang pedangnya di
pinggang ketika tiba-tiba saja di sekitarnya berlompatan sekitar sepuluh orang
bersenjatakan golok terhunus.
Mereka langsung mengepung pemuda itu. Pemuda itu
menatap seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh tahunan saat mendengar
tawa keras menggelegar dari atas dahan pohon.
"Ha ha ha...!"
Adilangu hanya mendesis kecil. Laki-laki berwajah
penuh berewok yang berdiri di atas pohon itu terus tertawa
terbahak-bahak,
seakan-akan tengah menyaksikan suatu pertunjukan yang mengocok
perutnya. Dia mengenakan baju hitam, dan celana
hitam sebatas lutut. Tampak gagak golok berwarna
gading menyembul dipinggang. Tubuhnya besar dan
kekar, tapi anehnya dahan kecil itu tidak melengkung menahan beban tubuhnya.
Adilangu sadar kalau orang itu pasti memiliki ilmu meringankan tubuh yang cukup
tinggi. Dan tentu saja, sepuluh orang yang mengepungnya juga bukan orang kosong.
"Siapa kalian" Mengapa menghadang jalanku?"
tanya Adilangu ketus.
"He he he...! Anak Muda, aku tahu asalmu. Dan tentu saja aku tahu apa yang kau
bawa. Demi keselamatanmu, tinggalkan saja mainan itu. Dan kau boleh pergi dengan selamat!"
ujar laki-laki di atas pohon. Suaranya besar dan terdengar berat sekali.
"Hmmm..., kau pasti Barong Codet," desis Adilangu menatap wajah laki-laki itu.
Memang pada pipi kiri laki-laki berewok itu terdapat luka memanjang bagai lintah
menempel. Luka itu
hampir menyentuh sebelah matanya. Adilangu mengenali orang itu, karena pernah melihat pamannya bertarung dengannya. Luka di
pipi kirinya juga akibat tergores ujung tongkat Ki Anom Sura.
"Kau sudah tahu siapa diriku, Adilangu. Dan aku tidak segan-segan membunuhmu!
Tak ada lagi yang
bisa melindungimu. Si tua bangka itu sudah tenang di neraka! Ha ha ha...!"
Adilangu mendesis geram, tapi juga heran. Dari
mana Barong Codet mengetahui kematian Ki Anom
Sura" Padahal baru kemarin Ki Anom Sura tewas di
tangan seseorang yang tidak dikenalnya. Dan tentu saja berita kematian Ketua
Padepokan Tongkat Sakti itu
belum tersebar sampai keluar.
"Dari mana kau tahu, Barong Codet?" tanya Adilangu tidak bisa menahan
keingintahuannya.
"Ha ha ha...! Semua orang sudah tahu kalau si tua bangka itu sudah mampus!"
sahut Barong Codet. "Kini tak ada lagi penghalang untuk membalas kekalahanku!
Padepokan Tongkat Sakti harus musnah, dan mainan
itu harus menjadi milikku! Ha ha ha...!"
Adilangu terdiam. Disadari dan diketahui betul sia-pa Barong Codet itu. Dia
adalah pemimpin gerombolan begal yang pating ditakuti di sekitar Lembah Bunga
ini. Bahkan sampai ke Kaki Gunung Cakal nama Barong
Codet sangat ditakuti. Tingkat kepandaian yang dimiliki juga sangat tinggi. Dan


Pendekar Pulau Neraka 16 Rahasia Bunga Cubung Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Adilangu sadar kalau
kemampuannya belum bisa mengimbangi laki-laki
beringas itu. Tapi, kotak yang dibawanya tidak
mungkin begitu saja dilepaskan. Benda ini harus
sampai pada Rampita, sesuai amanat yang diberikan
pamannya sebelum ajal menjemput.
"Cepat, berikan mainan itu, Adilangu!" bentak Barong Codet tidak sabar lagi.
'Tidak semudah itu, Barong Codet Kau harus
melangkahi dulu mayatku!" sahut Adilangu nekad, meskipun sadar tidak akan mampu
menghadapinya. Tapi baginya lebih baik mati daripada menjadi
pengecut. "Bocah setan! Bunuh bocah itu...!" seru Barong Codet menggeram marah.
Serentak sepuluh orang bersenjata golok yang
mengepung Adilangu berlompatan menyerang. Pemuda
itu langsung mencabut pedangnya, menyambut serangan sepuluh orang bersenjata golok. Suatu
pertarungan yang tidak seimbang terjadi. Satu lawan sepuluh orang memang bukan
pertarungan yang
menarik Dan sudah dapat diduga hasilnya. Baru
beberapa gebrakan saja, Adilangu sudah tampak
kewalahan menghadapi lawan-lawannya. Beberapa kali tubuhnya harus menerima
pukulan dan tendangan,
sehingga membuatnya harus jatuh bangun bergulingan di tanah. Tapi pemuda itu
tidak mengenal menyerah, dan terus bertahan walaupun menyadari tidak akan
bisa bertahan lebih lama lagi.
Serangan sepuluh orang bersenjata golok itu kian
gencar, dan membuat ruang gerak Adilangu semakin
menyempit. Terlalu sukar bagi pemuda itu untuk bisa meloloskan diri. Memberi
serangan balasan pun sudah sukar sekali. Sekali pun bisa, itu pun tidak ada
artinya sama sekali. Serangan yang dilakukan selalu dapat
dimentahkan sebelum sampai pada sasaran.
"Ha ha ha...!" Barong Codet tertawa terbahak-bahak melihat Adilangu semakin tak
sanggup lagi bertahan.
Dari mulut dan hidung pemuda itu sudah
mengucurkan darah. Seluruh tubuhnya terasa remuk.
Bahkan untuk mengangkat pedang saja sudah tidak
sanggup lagi. Tubuhnya terlontar dari satu orang ke orang lainnya. Adilangu
benar-benar dijadikan bola, ditendang ke sana kemari tanpa mampu membalas.
Bahkan pedangnya kini sudah terlepas dari genggaman tangan. Pemuda itu tidak
tahu lagi, sudah berapa
banyak tendangan dan pukulan mendarat di tubuhnya.
Kepalanya semakin terasa pening. Rasanya tubuh
Adilangu sudah tidak bisa lagi merasakan pukulan
maupun tendangan yang mampir di tubuhnya.
Slap! Tiba-tiba saja ketika Adilangu terpental akibat
tendangan keras, sebuah bayangan menyambar tubuhnya dan membawa keluar dari kepungan sepuluh
orang itu. Seketika tawa Barong Codet terhenti, dan kontan menggeram dahsyat.
Sementara itu sepuluh
orang anak buahnya langsung memutar tubuhnya.
Entah bagaimana kejadiannya, tahu-tahu Adilangu
sudah berada di atas pundak seorang pemuda
berwajah tampan mengenakan baju kulit harimau.
Pemuda itu mengedarkan pandangannya berkeliling,
merayapi sepuluh orang yang kini sudah mengepungnya. Tatapan tajamnya langsung tertuju
pada Barong Codet yang masih berada di atas dahan
pohon. "Biadab! Mengeroyok orang yang tidak berdaya
sama sekali!" desis pemuda berbaju kulit harimau itu dingin dan datar.
"He, bocah! Jangan campuri urusanku!" bentak Barong Codet geram.
"Sama sekali aku tidak bermaksud mencampuri
urusanmu, Kisanak. Tapi rasanya tidak bisa kubiarkan jika kalian seenaknya saja
menyiksa orang yang sudah tidak punya daya!" sahut pemuda itu lantang.
"Setan alas! Keparat...! Seraaang...!" maki Barong Codet seraya memberi
perintah. "Maaf, aku tidak punya waktu untuk menghadapi tikus macam kalian! Hup!"
Bagai kilat pemuda berbaju kulit harimau itu
melesat ke atas dan langsung lenyap seketika itu juga.
Barong Codet memaki habis-habisan. Diperintahkan
seluruh anak buahnya untuk mencari dan mengejar.
Tanpa membantah sedikit pun sepuluh orang itu segera berlari berpencar.
Sedangkan Barong Codet sendiri
langsung melompat turun dan menghentak-hentakkan
kakinya sambil memaki-maki tidak karuan.
*** Sementara itu di dalam sebuah gua batu yang
letaknya di Tebing Jurang Lembah Bunga, Adilangu
merintih sambil
menggeleng-gelengkan
kepalanya. Dikerjapkan matanya, dan kontan tersentak begitu
menyadari dirinya berada di tempat yang sangat asing.
Tapi begitu hendak bangun, sebuah tangan mencegah
dadanya. "Jangan bangun dulu. Berbaringlah sebentar lagi,"
terdengar suara dari arah samping
Adilangu menoleh. Tampak seorang pemuda berbaju kulit harimau tersenyum sambil menjauhkan
tangannya dari dada Adilangu yang sudah berbaring
lagi. "Siapa kau, Kisanak?" tanya Adilangu.
"Aku Bayu. Dan aku telah melihatmu tengah
dikeroyok orang. Lalu kau kubawa ke sini. Tenang
sajalah. Tak ada seorang pun yang tahu tempat ini,"
jelas pemuda berbaju kulit harimau itu setelah
memperkenalkan dirinya. Dia memang Bayu yang
dikenal berjuluk Pendekar Pulau Neraka.
"Oh...,"
Adilangu mendesah panjang seraya memejamkan matanya.
Sebentar kemudian Adilangu kembali membuka
matanya. Kini dia ingat. Dalam perjalanan, dirinya telah dihadang Barong Codet
dan sepuluh orang anak
buahnya, dan tak mampu menghadapi keroyokan
mereka. Mungkin saat itu Adilangu sudah jatuh
pingsan ketika Bayu muncul dan menyelamatkannya
dari maut. Dipandanginya pemuda berbaju kulit
harimau itu. "Namaku Adilangu, Kisanak," Adilangu memperkenalkan diri.
"Bayu.... Panggil saja Bayu," pinta Bayu diiringi senyuman.
"Oh, iya. Hmmm..., di mana ini?" tanya Adilangu seraya bergerak hendak bangkit
berdiri. Bayu membiarkan saja Adilangu bergerak, walaupun hanya mampu duduk bersila. Diedarkan
pandangannya ke sekeliling, dan baru disadari kalau dirinya berada dalam sebuah
gua yang tidak begitu
besar dan dalam. Adilangu memandang ke mulut gua,
dan menjadi terkejut karena langsung melihat tebing seberang dari sebuah jurang.
Langsung dipandanginya Pendekar Pulau Neraka
yang tampaknya asyik
memutar-mutar daging bakar di atas perapian.
'Tempat ini masih berada di Lembah Bunga," jelas Bayu.
"Di Jurang Kematian..."!" desis Adilangu ragu-ragu.
"Benar," ringan sekali jawaban Bayu.
"Oh...," lagi-lagi Adilangu mendesah.
"Kenapa" Tampaknya kau takut mendengar nama
jurang ini Itu hanya sebuah nama saja, dan tidak ada yang perlu ditakuti di
jurang ini," kata Bayu.
"Belum ada seorang pun yang bisa keluar dari
jurang ini. Itu sebabnya dinamakan Jurang Kematian,"
desah Adilangu.
Adilangu menatap dalam-dalam pemuda berbaju
kulit harimau itu. Hatinya jadi menduga-duga, siapa sebenarnya pemuda ini"
Mengapa menolong dan
membawanya ke jurang yang terkenal angker dan
menyeramkan" Semua orang lebih baik memutar
daripada harus melewati jurang ini. Sekali saja
terpeleset, dan jatuh ke dalam jurang ini tidak akan bisa kembali lagi. Bahkan
mayatnya pun lenyap begitu saja.
"Apa itu?" tanya Adilangu menunjuk daging bakar di atas api.
"Hanya daging rusa. Mau?" sahut Bayu seraya menawarkan.
Adilangu tampak ragu-ragu.
"Di dasar jurang ini memang banyak kerangka
manusia dan mayat-mayat membusuk. Tapi aku belum
pernah memakan daging manusia. Masih banyak
binatang yang bisa diburu dan dimakan," kata Bayu seperti bisa membaca keraguan
Adilangu. Bayu menyodorkan sekerat daging yang ditusuk
sebatang ranting. Adilangu menerimanya meskipun
masih diliputi keraguan. Dia belum mengenal pemuda berbaju kulit harimau,
meskipun sudah disebutkan
namanya. Baru sekali ini pemuda berbaju kulit
harimau itu dilihatnya, dan itu pun di Jurang
Kematian. Inilah yang mengganggu pikirannya. Tapi
kelihatannya Bayu tenang saja menikmati daging
panggang. Adilangu menelan ludahnya yang kering.
Sebentar pemuda itu memandangi sekerat daging di
tangannya, kemudian mencoba memakannya sedikit
Alisnya terangkat naik begitu merasakan daging
panggang ini. Lidahnya bisa membedakan rasa daging meskipun hanya dibakar saja.
Jelas kalau ini daging rusa, bukan seperti yang ada dalam pikirannya.
Adilangu kembali menggigit
dan mengunyahnya.
Bahkan mengambil satu kerat lagi. Perutnya memang
sudah lapar. Sejak pergi dari Padepokan Tongkat Sakti, perutnya belum terisi
makanan sedikit pun.
"Siapa mereka yang mengeroyokmu?" tanya Bayu setelah cukup lama berdiam diri.
"Ceritanya panjang...," sahut Adilangu.
"Hmmm..., kelihatannya mereka ingin membunuhmu. Kenapa?"
"Aku sendiri tidak tahu. Tapi pemimpin mereka menghendaki barang yang kubawa
ini," sahut Adilangu seraya menepuk buntalan kain di sampingnya.
"Apa itu?"
"Hanya sebuah kotak kayu. Aku sendiri tidak tahu isinya.
Aku hanya mendapat amanat untuk menyampaikan kotak ini pada pemiliknya."
"Kalau begitu, sebaiknya besok pagi saja kau
berangkat. Lukamu tidak ada yang terlalu berarti."
"Besok pagi...?"
"Iya, kenapa?"
Adilangu memandang keluar. Sungguh tidak
disadari kalau hari ini sudah malam. Itu berarti cukup lama juga dirinya tidak
sadarkan diri. Adilangu diam membisu memandang keluar gua. Memang aneh gua
ini. Kelihatan terang seperti masih siang saja, padahal sudah malam.
Cahaya terang itu ternyata berasal dari batu yang
banyak tersebar di tebing-tebing jurang ini. Batu-batu itu memantulkan cahaya
bulan, sehingga membuat
keadaan jurang ini terang meskipun malam hari.
Sungguh tidak diduga sama sekali, baru kali ini
Adilangu menyaksikan Jurang Kematian pada malam
hari. *** 2 Dengan hanya sedikit mengerahkan ilmu meringankan tubuh, Adilangu sudah berhasil mencapai tepi Jurang Kematian. Pemuda
itu sendiri tidak
menyangka akan begitu mudah keluar dari jurang yang sudah terkenal angker ini.
Memang sesuatu yang
dikatakan angker dan berbahaya belum tentu menakutkan. Dan sekarang Adilangu tahu kalau
Jurang Kematian sebenarnya tidaklah seangker cerita-cerita yang didengar
sebelumnya. Bahkan jurang ini terlihat begitu indah, tak nampak sedikit pun


Pendekar Pulau Neraka 16 Rahasia Bunga Cubung Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keangkerannya. Hanya saja hati Adilangu masih diliputi berbagai
macam tanda tanya tentang pemuda berbaju kulit
harimau yang menyelamatkannya dari tangan maut si
Barong Codet Meksipun pemuda itu sudah memper-
kenalkan diri, tapi Adilangu masih juga bertanya-tanya, siapa sebenarnya Bayu
itu. "Gunung Cakal masih terlalu jauh dari sini. Tapi kau bisa menyusuri bibir jurang
ini dan terus berjalan ke arah Timur," jelas Bayu.
"Kau tidak ikut ke sana?" tanya Adilangu.
Padahal, Adilangu berharap agar pemuda berbaju
kulit harimau itu bersedia mengantarnya sampai ke
Gunung Cakal. Terus terang, hatinya masih khawatir akan gerombolan si Barong
Codet yang pasti masih
mencari dan ingin merebut kotak kayu yang dibawanya ini. Adilangu memandangi
Bayu dalam-dalam dengan
satu harapan agar yang dinanti-nantikannya terkabul.
"Rasanya aku tidak ada keperluan di Gunung
Cakal. Jadi, kau bisa melanjutkan perjalanan sendiri.
Aku yakin, jika menyusuri bibir jurang, tidak ada yang mencegatmu lagi," kata
Bayu kalem. Adilangu mengangkat bahunya. Tidak mungkin
pemuda berbaju kulit harimau ini didesak terus agar ikut
bersamanya ke Gunung Cakal. Setelah mengucapkan terima kasih dan berbasa-basi sebentar, Adilangu kemudian berjalan
menuju arah Timur,
menyusuri bibir jurang.
Ayunan langkah kakinya begitu pelan, seakan-akan
tidak ada gairah untuk melanjutkan perjalanannya
kembali. Dia menyesal karena tidak membawa teman
seorang pun dalam perjalanan yang banyak menempuh
rintangan dan bahaya ini. Padahal bisa saja separuh murid pamannya dibawa.
Adilangu memalingkan
mukanya ke belakang. Langkahnya seketika terhenti
karena tidak melihat lagi pemuda berbaju kulit harimau di sana.
"Hmmm..., ke mana dia?" Adilangu bergumam pelan bertanya pada diri sendiri.
Pemuda itu mengangkat sedikit bahunya, kemudian
kembali melanjutkan perjalanan. Rasanya tepian jurang yang menyeramkan ini ingin
ditinggalkannya. Namun
mengingat gerombolan Barong Codet dan pesan Bayu,
Adilangu jadi memantapkan hati untuk terus menyusuri jalan yang tidak pernah dilalui orang ini.
"Ha ha ha...!"
Adilangu tersentak ketika tiba-tiba mendengar tawa menggelegar di sekitarnya.
Tawa itu seperti datang dari segala arah, dan itu pertanda pemilik suara
memiliki kemampuan tenaga dalam tinggi. Adilangu langsung
menghentikan langkahnya. Diedarkan pandangannya
ke sekeliling, namun tak seorang pun yang dilihatnya.
Wajah pemuda itu mulai terlihat memucat Pikiran-
pikiran buruk mulai menghantui benaknya.
"Jangan-jangan.... Hihhh...," Adilangu bergidik.
Tanpa berpikir panjang lagi, pemuda itu langsung
berlari kencang Namun, suara tawa itu masih juga
terdengar. Bahkan seakan-akan mengikuti setiap
ayunan kaki pemuda itu. Dan ini membuatnya semakin kencang berlari.
"Ah...!" tiba-tiba Adilangu terpekik kaget.
Seketika pemuda itu menghentikan larinya. Entah
dari mana datangnya, tahu-tahu di depan pemuda itu sudah berdiri seorang laki-
laki tua berbaju hitam
panjang. Tangannya memegang tongkat berbentuk ular kobra yang lehernya
terkembang. Wajah Adilangu
seketika memucat, dan seluruh tubuhnya gemetar
bersimbah keringat sebesar butiran jagung.
Adilangu tahu betul, siapa orang tua berjubah hitam ini. Dialah yang telah
membunuh pamannya. Meskipun pemuda itu belum mengetahui nama dan urusan orang
tua itu dengan Ketua Padepokan Tongkat Sakti Itu, tapi diyakini kalau dia pasti
menginginkan kotak yang
dibawanya. "Mau apa kau menghadangku"!" bentak Adilangu, memberanikan diri.
Orang tua bertongkat ular kobra itu hanya tertawa
kecil. Bibirnya tersenyum kecil, namun sorot matanya begitu tajam menusuk,
memancarkan sinar merah
membara bagai hendak membakar hangus seluruh
tubuh pemuda di depannya. Sedangkan Adilangu
beringsut mundur beberapa langkah, tubuhnya bergidik ngeri. Tatapan mata laki-laki tua itu demikian tajam, membuat
jantungnya serasa berhenti berdetak
"Kuakui keberanianmu, Anak Muda. Tapi sayang, aku
harus memaksamu. Mungkin juga bisa membunuhmu...!" dingin sekali suara orang tua bertongkat ular kobra itu.
"Apa yang kau inginkan dariku...?" tanya Adilangu agak bergetar suaranya.
"Aku tahu kau berasal dari Padepokan Tongkat
Sakti. Dan tentu saja aku juga tahu kalau kau adalah keponakan si tua bangka
pengkhianat Anom Sura.
Maka, jika ingin dirimu selamat, tunjukkan padaku di mana si tua bangka
pengkhianat itu menyimpan
kotaknya!" tak ada nada pada suara laki-laki tua bertongkat ular kobra itu.
Adilangu menelan ludahnya. Pemuda cerdas itu
langsung mengerti kalau orang tua kejam ini tidak
mengetahui dirinya tengah membawa kotak kayu aneh
dan misterius itu. Seketika otak Adilangu bekerja keras.
Ada sedikit harapan untuk bisa lolos dari cengkeraman laki-laki tua ini.
"Aku tidak tahu," sahut Adilangu.
"Ha ha ha...! Kau pikir aku mudah percaya begitu saja, monyet jelek! Aku tahu
kau pergi dari Padepokan Tongkat Sakti, dan tujuanmu adalah Gunung Cakal.
Hmmm.... Apa yang kau bawa itu, monyet"!"
"Pakaian," sahut Adilangu bergetar suaranya.
Pupus sudah harapan pemuda itu untuk bisa lolos dari tangan orang tua
berkepandaian tinggi ini. Namun
Adilangu masih juga mencari jalan, dan otaknya
berputar keras agar bisa lolos tanpa memeras keringat Kalau pun dia terpaksa
bertarung, paling-paling mati.
Hanya itu yang ada dalam pikirannya. Baginya lebih baik mati daripada harus
menyerah begitu saja.
"He he he...," orang tua bertongkat ular kobra itu terkekeh. Dilangkahkan
kakinya pelan menghampiri
pemuda di depannya.
"He! Mau apa kau..."!" sentak Adilangu bergegas mundur.
"Berikan itu padaku!" bentak orang tua itu keras dan dingin.
'Tidak! Ini hanya pakaianku saja. Tidak ada
gunanya buatmu!"
"Heh! Jangan paksa aku untuk menggunakan
kekerasan, bocah setan!" dengus orang tua bertongkat ular kobra itu dingin.
Adilangu menelan ludah untuk ke sekian kalinya,
sambil terus bergerak mundur sambil mendekap bun-
talan kain erat-erat Matanya jelalatan mencari jalan agar bisa lari dan terlepas
dari orang tua berwajah bengis ini. Tapi, tak ada jalan keluar untuknya. Di
sebelah kiri jurang yang cukup dalam terus menganga, siap
menelan tubuhnya. Sedangkan di sebelah
kanannya adalah dinding batu cadas yang cukup tinggi, licin, dan berlumut tebal.
Untuk berbalik dan lari, rasanya tidak mungkin lagi. Orang tua ini pasti dengan
mudah bisa mengejar.
'He he he.... Kau tidak akan bisa lolos dariku, bocah!
Jika masih sayang nyawa, berikan itu padaku!" geram orang tua bertongkat ular
kobra itu. "Tidak!" sentak Adilangu keras.
"Bocah setan! Kau memaksaku bermain keras,
heh..."!" geram orang itu.
Adilangu benar-benar nekat Dicabut pedangnya dan
dilintangkan di depan dada. Buntalan kain lusuhnya disampirkan di punggung, dan
diikat kuat-kuat Tak
ada pilihan lain bagi Adilangu selain mencoba melawan semampunya. Walaupun
tindakannya ini mengandung
resiko yang amat tinggi, tapi dia tidak peduli. Mati lebih baik daripada harus
menyerah dan mengkhianati
pamannya. *** "Hih! Hiyaaa...!"
Tiba-tiba saja orang tua bertongkat ular kobra itu berteriak keras sambil
melompat bagai kilat Tongkatnya dikibaskan ke arah kepala Adilangu. Secepat itu
pula Adilangu melompat mundur sambil menghentakkan
pedangnya. Trang! "Akh...!" Adilangu terpekik keras.
Seluruh tangan kanannya bergetar hebat sedangkan pedangnya terlontar jauh begitu membentur tongkat ular kobra itu. Dan
sebelum Adilangu bisa
menyadari apa yang terjadi, mendadak saja satu
tendangan keras mendarat di dadanya.
Kembali pemuda itu berteriak keras, dan tubuhnya
terpental deras ke belakang. Punggungnya tertahan
sebatang pohon cemara hingga tumbang Adilangu
bergulingan di tanah berbatu, dan hampir saja masuk ke dalam jurang kalau saja
tangan kurus orang tua itu tidak mencekal tangannya. Dan hanya sekali hentak
saja, pemuda itu kembali terpental menghantam
dinding batu di tepi jurang itu.
"Akh...!" lagi-lagi Adilangu memekik keras.
Pemuda itu melorot turun. Seluruh tulang-
tulangnya terasa remuk. Adilangu berusaha bangkit
berdiri sambil meringis menahan sakit, dan akhirnya berhasil berdiri meskipun
dalam keadaan limbung. Dia tidak tahu lagi, di mana pedangnya. Mungkin terjatuh
ke dalam jurang di sana. Sementara orang tua
bertongkat ular kobra itu berdiri tegak menatap tajam padanya. Dengan punggung
merapat pada dinding
batu, Adilangu berusaha bergeser, walaupun seluruh tubuh nyeri dan kakinya
gemetar. "Aku bisa saja membunuhmu semudah membalikkan telapak tangan, bocah!" ancam orang bertongkat ular kobra itu
mendesis. "Phuih! Lebih baik aku mati daripada harus
menyerah padamu!" balas Adilangu nekad.
"Pilihan tolol!"
Mendadak saja dengan satu kecepatan luar biasa,
orang tua bertongkat ular kobra itu mengecutkan
tongkatnya ke arah kepala Adilangu. Begitu cepatnya, sehingga menimbulkan suara
angin menderu bagai
topan. Adilangu terperangah dengan mata membehak dan
mulut ternganga lebar. Rasanya tak mungkin lagi
pemuda itu mengelakkan tongkat yang melayang deras ke arahnya itu. Namun
mendadak saja, begitu kepala tongkat hampir menghantam
kepalanya, sebuah
bayangan berkelebat menahan tongkat itu Seketika
tongkat itu disentakkannya hingga terpental balik.
"Heh..."!" orang tua berjubah hitam itu terkejut Kalau saja tongkatnya tidak
cepat diputar, mungkin senjatanya
itu sudah terlepas dari tangannya. Hentakan bayangan itu demikian keras. Apalagi, orang tua bertongkat ular kobra
itu tidak mengerahkan
seluruh tenaga dalamnya, karena begitu yakin kalau Adilangu akan tewas dalam
sekali pukul saja.
"Bayu...," desah Adilangu, begitu melihat seorang pemuda berbaju kulit harimau
tahu-tahu sudah berdiri di depannya.
"Beludak edan...!" malu orang tua bertongkat ular kobra itu geram.
Tatapan matanya merah membara dan tajam sekali
menusuk langsung bola mata Pendekar Pulau Neraka.
Sementara Adilangu buru-buru menyingkir dari tempat itu. Kemunculan Bayu yang
begitu tiba-tiba memberi harapan Adilangu untuk bisa menyelamatkan kotak
kayu yang menjadi tanggung jawabnya.
"Bocah gendeng! Siapa kau"!" bentak orang tua bertongkat hitam itu gusar.
"Kau sendiri siapa, Orang Tua?" Bayu balas bertanya.
"Monyet! Aku yang tanya padamu!" bentak laki-laki tua bertongkat ular kobra itu
garang. "Aku juga bertanya padamu,' terang sekali suara Bayu membalikkan kata-kata oranh
tua itu. "Phuih! Kau cari penyakit, bocah setan!"
Bayu hanya tersenyum saja. Digeser kakinya sedikit ke samping, kemudian
berpaling melirik Adilangu.
"Pergilah kau! Biar orang tua itu kuberi sedikit tata krama," kata Bayu kalem.
"Oh, iya. Hati-hati, Bayu," sahut Adilangu.
Bergegas Adilangu berjalan cepat meninggalkan
tempat itu. Kesempatan yang baik ini tidak ingin disia-siakan begitu saja.
Sementara orang tua bertongkat ular kobra itu jadi menggereng marah. Tiba-tiba
saja dikibaskan tangan kirinya ke arah Adilangu. Seketika itu juga sebuah benda
bulat berwarna hitam melesat dari tangannya.
Wusss! "Adilangu, awas...!" seru Bayu keras.
Adilangu membalikkan tubuhnya. Tapi belum juga
melakukan sesuatu,

Pendekar Pulau Neraka 16 Rahasia Bunga Cubung Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

benda hitam itu sudah menghantam dadanya.
"Aaa...!" Adilangu menjerit keras melengking.
Tubuh pemuda itu terpental ke belakang, dan
ambruk keras sekali ke tanah berbatu. Darah
mengucur deras dari dada yang berlubang kecil sebesar ibu jari. Pemuda itu
menggelepar sambil merintih.
"Biadab...!" desis Bayu.
Pendekar Pulau Neraka itu melesat menghampiri
Adilangu yang masih menggelepar.
"Adilangu...."
"Bayu, tolong selamatkan benda ini. Berikan pada Rampita di Gunung Cakal....
Akh!" "Adilangu...!"
Tapi Adilangu sudah terkulai Dari mulutnya
mengalir darah kental agak kehitaman. Pemuda dari
Padepokan Tongkat Sakti itu tewas setelah dadanya
tertembus benda hitam yang dilontarkan orang tua
bertongkat ular kobra. Pelahan Bayu bangkit berdiri Diperhatikannya tubuh
Adilangu yang mulai membiru, kemudian berubah hitam. Pelahan-lahan tubuh anak
muda itu membusuk, lalu mencair bagai lilin terbakar.
Bergegas Bayu mengambil buntalan kain, dan mengikatkan ke bahu kirinya.
Seluruh tubuh Adilangu benar-benar mencair, dan
yang tinggal hanya tulang belulang teronggok. Pendekar Pulau Neraka mendesis.
Diputar tubuhnya menghadap
orang tua bertongkat ular kobra yang terkekeh. Bayu menggeretakkan rahangnya
geram. Kekejaman orang
tua itu membuat darahnya mendidih seketika.
"Ha ha ha...! Nasibmu tidak akan jauh berbeda dengan monyet tolol itu, jika
berani menentang Sureng Rana si Kobra Hitam! Ha ha ha...!" orang tua bertongkat
itu tertawa tergelak-gelak.
Buat Pendekar Pulau Neraka tidak akan peduli
dengan siapa berhadapan. Baginya, yang penting
kekejaman yang terjadi di depan matanya tidak bisa didiamkan begitu saja. Dia
lahir ke dunia ini memang ditakdirkan untuk memberantas keangkaramurkaan.
Darah Pendekar Pulau Neraka menggolak mendidih.
Gerahamnya bergemeletuk menahan geram.
Sementara laki-laki tua bertongkat hitam,yang
mengaku bernama Sureng Rana masih tertawa
terbahak-bahak. Dia juga dikenal berjuluk si Kobra Hitam. Suatu julukan yang
bisa membuat orang
merinding dan berpikir seribu kali untuk menghadapinya. Tapi bagi Bayu tidak ada bedanya
sama sekali, dan tidak akan undur setapak pun.
"Anak Muda, aku yakin kau bukan dari Padepokan Tongkat Sakti. Lalu untuk apa
bersusah payah mencampuri urusan ini, heh"!" dengus Sureng Rana dingin.
"Aku memang tidak ada hubungan dengan siapa
saja. Tapi, kekejamanmu yang membuatku tidak bisa
berdiam diri!" balas Bayu tidak kalah dinginnya.
"Kau akan menyesal membela pengkhianat, Anak
Muda!" "Akan lebih
menyesal lagi jika
membiarkan kekejamanmu terus berlangsung!"
"Phuih! Ternyata kepalamu keras juga, bocah! Tapi aku ingin tahu, apa kepalamu
juga sekeras batu itu!
Yeaaah...!"
Sureng Rana menghantamkan tongkatnya ke
sebuah batu sebesar anak kerbau di sampingnya.
Ledakan terdengar dahsyat, dan seketika batu itu
hancur berkeping-keping. Melihat hal itu, Bayu hanya tersenyum tipis. Tak ada
yang aneh baginya jika hanya memecahkan sebongkah batu saja. Sambil tersenyum
mengejek, Pendekar Pulau Neraka itu menghampiri
sebongkah batu yang lebih besar dua kali lipat
Kemudian.... "Hiyaaa...!"
Sekali pukul saja batu itu hancur berantakan
menimbulkan kepulan debu membumbung tinggi ke
angkasa. Sureng Rana sampai terlonjak dua langkah ke belakang. Sungguh tidak
disangka kalau pemuda
berbaju dari kulit harimau itu mampu menghancurkan sebongkah batu yang amat
besar, hanya sekali pukul!
Bahkan dengan tangan kosong.
"Pertunjukan anak kecil!" dengus Sureng Rana mencoba menghilangkan
keterkejutannya.
"Jika kau ingin yang lebih besar, majulah!" tantang Bayu.
"Ha ha ha...!" Sureng Rana tertawa terbahak-bahak.
Begitu suara tawanya menghilang, secepat kilat
laki-laki tua bertongkat ular kobra itu melesat
menerjang Bayu. Tongkatnya bergerak cepat menimbulkan suara angin menderu-deru bagai topan.
Saat itu juga Bayu mengegoskan tubuhnya menghindari sabetan tongkat ular kobra itu. Tapi
Pendekar Pulau Neraka itu agak terkejut juga, karena tubuhnya hampir
terpelanting terkena angin tebasan itu.
Buru-buru Bayu melompat mundur tiga tindak.
Tapi Sureng Rana kembali menerjang ganas. Pendekar Pulau Neraka itu
menghadapinya dengan jurus-jurus
pendek, namun gerakan kakinya begitu lincah. Itu pun masih diimbangi gerakan
tubuh yang meliuk-liuk lentur untuk menghindari setiap tebasan maupun tusukan
tongkat berbentuk ular kobra itu.
Jurus-jurus berlalu cepat. Pertarungan nampaknya
masih akan berlanjut cukup lama. Sampai sejauh ini Sureng Rana belum mampu
mendesak pemuda itu.
Dan tentu saja hal ini membuatnya jadi geram
bercampur heran. Belum pernah dia berhadapan
dengan seorang pemuda yang mampu menandinginya
setelah lima jurus dikerahkan. Secara jujur Sureng Rana mengakui ketangguhan
Pendekar Pulau Neraka
ini. Laki-laki tua ini semakin penasaran, karena setelah lewat sepuluh jurus
belum juga berhasil mendesak
lawannya. "Hup...!"
Tiba-tiba saja Sureng Rana melompat ke belakang
sejauh dua batang tombak. Dihentakkan ujung
tongkatnya ke tanah, tepat di ujung jari kakinya.
Pandangan matanya tajam menusuk dan bibirnya
terkatup rapat Ditekan tongkatnya ke tanah dengan
kedua tangan di bagian kepala tongkat berbentuk ular itu.
"Hm Kenapa berhenti, Orang Tua?" sinis nada suara Bayu.
"Siapa gurumu, bocah?" Sureng Rana balik bertanya dengan suara datar.
"Untuk apa kau tahu guruku" Kalau tidak sanggup menandingiku, pergilah!" ketus
sekali nada suara Bayu.
"Aku tidak akan membunuh orang sebelum
kuketahui siapa orang itu!"
"Baiklah. Namaku Bayu, dan berasal dari Pulau Neraka. Dan kau tidak perlu tahu
siapa guruku. Jelas...!" tegas kata-kata Bayu.
"Lalu, mengapa kau membela orang-orang Padepokan tongkat Sakti?" tanya Sureng Rana ingin tahu.
"Karena aku muak melihat kekejamanmu!" sahut Bayu dingin.
"Hmmm.... Ternyata kau belum tahu persoalannya, bocah. Sebaiknya jangan ikut
campur dalam masalah
ini. Aku tidak ingin ada orang luar ikut campur. Ini persoalan keluarga, bocah.
Kutegaskan sekali lagi, ini persoalan keluarga dan jangan membuang-buang
tenaga percuma!" tegas sekali suara Sureng Rana.
"Hmmm...," Bayu hanya menggumam saja.
Pendekar Pulau Neraka itu mengamari perawakan
laki-laki tua berjubah hitam yang menggenggam
tongkat berbentuk ular kobra yang tengah mengembangkan lehernya. Kemudian diliriknya Adilangu yang sudah menjadi seonggok kerangka.
Seluruh tubuh pemuda itu mencair dan lenyap
merembes ke dalam tanah.
"Bocah! Apakah kau tahu apa yang ada di dalam buntalan kain itu?" Sureng Rana
menunjuk buntalan kain yang tersampir di pundak Bayu.
'Tidak," sahut Bayu terus terang.
"Buntalan itu berisi kotak kayu milikku yang dicuri Ketua Padepokan Tongkat
Sakti. Aku mencoba merebutnya kembali, tapi si bangsat Anom Sura
mempertahankannya. Tidak ada pilihan lain bagiku,
kecuali membunuhnya. Tapi kotak itu
berhasil dilarikan Adilangu," jelas Sureng Rana memberitahu isi buntalan kain yang ada
pada Pendekar Pulau Neraka
sekarang ini. "Hm.... Adilangu sudah berpesan agar aku menyerahkan benda ini pada pemiliknya. Tapi bukan
kau, Orang Tua. Maaf," tegas Bayu.
"Dia bohong, Anak Muda!" geram Sureng Rana.
"Aku tidak mau tahu. Kau atau Adilangu yang
bohong, itu urusan kalian! Tapi, yang jelas, aku harus menyampaikan amanatnya
dulu. Jika kau memang
ingin memilikinya, sebaiknya kau minta dan jelaskan pada pemiliknya nanti," kata
Bayu tenang dan tegas terdengar.
Sureng Rana menggereng geram, tapi tidak punya
pilihan lain lagi. Ucapan seseorang yang menjelang ajal memang tidak mungkin
bisa diganggu-gugat lagi. Orang lebih percaya pada kata-kata orang menjelang
ajal daripada yang masih hidup sehat. Meskipun kata-kata menjelang ajal bisa juga
mengakibatkan malapetaka.
"Baiklah, bocah. Berikan saja benda itu pada
pemiliknya. Dan aku akan memintanya kembali,
karena benda itu sebenarnya memang milikku!" kata Sureng Rana.
"Bagus!" sambut Bayu tersenyum. Tanpa berkata apa-apa lagi, Pendekar Pulau
Neraka itu berbalik dan melangkah
tenang meninggalkan laki-laki tua bertongkat ular kobra. Sementara Sureng Rana sendiri masih berdiri tegak
memandangi punggung pemuda
berbaju kulit harimau itu.
"Hhh...! Aku harus menggunakan akal. Berbahaya sekali
kalau anak muda itu ikut campur. Kepandaiannya sangat tinggi. Sukar rasanya bagiku
untuk menandinginya," keluh Sureng Rana dalam hati.
*** 3 Bayu memandangi Gunung Cakal yang berdiri
angkuh dengan puncaknya yang tertutup kabut tebal
nampak seperti menantang langit Udara di sekitar
gunung ini sejuk sekali, bahkan bisa dikatakan dingin.
Sepanjang mata memandang hanya kehijauan yang
tampak. Hampir seluruh permukaan tanahnya ditumbuhi pepohonan yang rapat Gunung Cakal bagai
tak pernah terjamah kaki-kaki manusia.
Pelahan-lahan Bayu mengayunkan kakinya mendaki Lereng Gunung Cakal. Sesekali tubuhnya
bergeletar merasakan angin dingin berhembus menerpa tubuhnya. Saat ini senja
sudah mulai turun, matahari hampir tenggelam di balik cakrawala belahan Barat
Udara begitu dingin menggigilkan. Entah kalau malam hari, mungkin tak akan
sanggup bertahan tanpa
penghangat. Namun Pendekar Pulau Neraka itu terus
mengayunkan kakinya

Pendekar Pulau Neraka 16 Rahasia Bunga Cubung Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melangkah tanpa menghiraukan dingin yang semakin menggigilkan.
"Hmmm..., tempat yang cocok untuk melatih ilmu olah kanuragan," gumam Bayu dalam
hati. Sambil terus berjalan, Pendekar Pulau Neraka itu
melatih pengerahan hawa murni. Udara dingin seperti ini memang sangat cocok
untuk melatih kekuatan yang berpusat di dalam tubuh. Bayu merasakan ayunan
kakinya begitu ringan, bahkan sepertinya tidak
menjejak tanah. Tak ada suara sedikit pun terdengar setiap kali kakinya terayun
melangkah. Semakin tinggi hawa murni dan tenaga dalam yang dikerahkan,
semakin ringan tubuhnya. Bahkan Bayu jadi khawatir kalau-kalau akan terbawa
angin seperti daun kering.
Tanpa terasa, Pendekar Pulau Neraka itu tiba di
Puncak Gunung Cakal. Ilmu tenaga dalam yang
dikerahkan membuat pemuda berbaju kulit harimau
itu tidak merasa kalau baru saja habis mendaki sebuah gunung yang sangat tinggi.
Gunung yang seluruh
puncaknya terselimut kabut tebal. Bahkan juga
tertimbun salju abadi yang tak akan cair sepanjang jaman. Hawa di puncak gunung
ini demikian dingin,
seakan-akan hendak membekukan tubuh Pendekar
Pulau Neraka itu. Kalau saja tidak mengerahkan hawa murni, mungkin sudah sejak
tadi Bayu mati kaku.
Bayu mengedarkan pandangannya ke sekeliling.
Sepanjang mata memandang, hanya salju dan pohon-
pohon cemara yang terlihat. Seluruh permukaan
puncak gunung ini bagai terselimut gumpalan kapas
putih yang hampir membenam kaki pemuda berbaju
kulit harimau itu. Keraguan mulai mengganggu
Pendekar Pulau Neraka. Semakin jauh melintasi
puncak gunung ini, semakin sulit kakinya terayun.
Bayu seperti berjalan di dalam lautan lumpur, namun dingin membekukan. Seluruh
tubuhnya tak lagi terasa hangat, bahkan aliran darahnya terasa membeku.
"Hmmm..., rasanya tidak mungkin ada orang yang hidup di sini," gumam Bayu dalam
hati. Meskipun hati diliputi keraguan, namun Pendekar
Pulau Neraka itu tetap mengayunkan langkahnya.
Padahal langkahnya semakin sulit saja diayunkan.
Permukaan salju di puncak gunung ini bertambah
tebal. Kedua kakinya hampir terbenam melewati lutut Sedangkan hawa dingin
semakin terasa membekukan
tulang Namun Bayu terus berjalan dengan mata
menerawang jauh.
Sementara malam sudah jatuh, dan seluruh alam
terselimut kegelapan. Semakin sukar bagi Bayu untuk terus berjalan. Tapi tidak
mungkin lagi untuk kembali, karena sudah sampai lebih dari setengah perjalanan.
Pendekar Pulau Neraka seperti terjebak di dalam
kubangan lumpur salju. Kalau saja pengerahan hawa
murninya belum mencapai taraf kesempurnaan, tidak
akan mungkin mampu bertahan. Tapi hati pemuda
berbaju kulit harimau itu ragu pada keadaan alam yang tidak ramah ini.
"Uh, dinginnya...," keluh Bayu menggigil. Semakin jauh berjalan, semakin sukar
ditempuh perjalanan ini Selain
udara yang begitu dingin, salju sudah
membenam sampai ke paha. Bayu tidak tahu lagi,
apakah kakinya sudah membeku. Karena kakinya
terasakan sukar sekali digerakkan. Pendekar Pulau
Neraka itu mendongakkan kepala. Tampak gumpalan-
gumpalan salju turun bagai kapas putih melayang
ditebarkan dari langit Sementara angin semakin bertiup kencang, dan udara pun
semakin terasa dingin
membekukan tulang
"Uh! Aku tidak bisa bertahan di sini terus!" dengus Bayu.
Pemuda berbaju kulit harimau itu mengedarkan
pandangannya ke sekeliling. Sudah sangat jarang
pepohonan yang ada. Kalau pun ada, hanya pohon
cemara. Itu pun jaraknya sangat berjauhan. Pendekar Pulau Neraka itu menatap
sebatang pohon cemara yang tidak jauh di depannya. Dalam jarak yang cukup jauh
lagi, masih ada sebatang pohon cemara tua.
"Hup! Hiyaaa...!"
Bayu mengerahkan seluruh tenaga dalamnya. Dan
seketika itu juga, dikerahkan ilmu meringankan
tubuhnya. Bagai kilat, Pendekar Pulau Neraka itu
melesat keluar dari timbunan salju yang semakin
menebal. Pemuda berbaju kulit harimau itu meluruk
deras, dan hinggap di pohon cemara tua. Hampir saja pohon itu tumbang menahan
berat badannya, kalau
saja tidak buru-buru mengerahkan ilmu meringankan
tubuh. Namun begitu pohon cemara yang sudah tua ini masih juga bergoyang.
"Hup! Hiyaaa...!"
Kembali Bayu melentingkan tubuhnya menembus
hujan salju. Bagai seekor burung elang, pemuda itu meluruk deras berputaran
beberapa kali di udara
sebelum kembali hinggap di pohon cemara satunya lagi.
Dengan sebelah tangan, dipeluknya batang pohon itu.
Diedarkan pandangannya berkeliling. Hatinya menggerutu. Karena sepanjang mata, yang terlihat
hanya gumpalan putih bagai tak bertepi Dia tidak tahu, berapa luasnya Puncak
Gunung Cakal ini. Sungguh
tidak disangka kalau akan menemukan keadaan alam
yang sangat ganjil dan baru pertama kafi ini dialami.
Untunglah, kini matanya melihat sesuatu.
"Hm..., tampaknya ada gua di sana," gumam Bayu pelan.
Tanpa menunggu waktu lagi, Pendekar Pulau
Neraka itu melentingkan tubuhnya melesat menuju
mulut gua yang dilihatnya. Bayu tidak mau mengambil resiko lagi, dan terus
berlompatan dari satu pohon ke pohon lainnya. Dan dalam waktu tidak berapa lama
saja, Pendekar Pulau Neraka sudah tiba di depan
sebuah mulut gua kecil yang hampir tertutup salju.
Disibakkan mulut gua itu, lalu merangkak masuk ke
dalam. Dingin sekali udara di dalam gua ini
Sambil meraba-raba dinding gua, Pendekar Pulau
Neraka itu terus berjalan masuk lebih ke dalam. Atap gua ini cukup tinggi,
sehingga bisa berdiri tegak tanpa takut kepalanya terantuk batu. Bayu terus
berjalan sambil merayap meraba-raba dinding gua. Sungguh
tidak disangka kalau gua yang kelihatan kecil ini
ternyata sangat panjang, dan keadaannya juga lapang.
Udara di dalam gua ini cukup dingin, tapi tidak
sedingin di luar sana.
"Uh! Sebaiknya aku bermalam dulu di sini.
Hmmm..., banyak ranting kering di sini," gumam Baya Pendekar Pulau Neraka itu
mengumpulkan ranting
kering yang banyak berserakan di sekitar lantai gua.
Kemudian dinyalakanlah api menggunakan dua buah
batu yang dibentur-benturkan. Percikan bunga api
membakar ranting-ranting kering itu. Keadaan gua
yang gelap jadi terang oleh cahaya api. Bayu duduk bersila di dekat api itu.
"Hhh..., lumayan...," desahnya sambil menggosok-gosok kedua telapak tangannya.
*** "Grrr...!"
"Eh...!" Bayu tersentak kaget.
Baru saja akan merebahkan diri, mendadak
terdengar suara menggereng, hingga membuat seluruh dinding gua ini bergetar.
Bayu buru-buru melompat
bangkit berdiri. Matanya menatap lorong gua yang
panjang dan gelap. Cahaya api tidak mampu menerangi seluruh gua ini.
"Ghrrr...!"
"Hmmm...," Bayu menggumam begitu mendengar gerengan sekali lagi.
Dan belum sempat Pendekar Pulau Neraka itu
berpikir jauh, tiba-tiba saja muncul sesosok tubuh besar berwarna putih. Bayu
terlonjak ke belakang
beberapa tindak. Hatinya terkejut bukan main melihat sesosok makhluk berbulu
serba putih dengan bentuk
kepala seperti anjing. Tapi makhluk itu demikian besar, dan sepasang bola
matanya merah menatap liar.
"Beruang..."!"
desis Bayu sambil melangkah mundur pelahan.
Belum pernah Bayu melihat beruang begini besar
yang seluruh bulunya berwarna putih bagai kapas.
Beberapa kali Pendekar Pulau Neraka melihat beruang, tapi tidak pernah yang
seperti ini. Kaki pemuda berbaju kulit harimau itu terus bergerak mundur, dan
beruang putih itu terus bergerak maju sambil menggerung-gerung memperlihatkan
baris-baris gigi yang bertaring tajam.
"Ghrauughk...!"
Beruang putih itu menggerung keras, membuat
seluruh dinding gua bergetar bagai hendak runtuh.
Bahkan batu-batu di langit-langit gua mulai berjatuhan. Bayu melompat ke belakang sejauh dua
batang tombak, dan hampir mencapai mulut gua yang
sedikit lagi tertutup salju tebal. Angin dingin menerpa kencang punggungnya.
Sementara beruang putih itu
semaian mendekat sambil menggerung-gerung
memperlihatkan taring giginya.
"Maaf, aku tidak tahu kalau ini tempatmu," ucap Bayu mencoba berdamai.
Tapi beruang putih itu malah menggeram keras
menggetarkan. Mulutnya terbuka lebar, memamerkan
taring-taring giginya yang tajam bersembulan keluar.
Bayu menelan ludahnya yang terasa pahit. Binatang
liar ini tidak mungkin bisa diajak berdamai lagi. Dan sebelum Pendekar Pulau
Neraka itu melakukan sesuatu, mendadak saja....
"Ghrauuughk..!"
Bagai kilat beruang putih itu melompat menerjang.
"Hup! Hiyaaa...!"
Bayu tak punya pilihan lain lagi, dan langsung
melesat keluar gua. Diterjangnya gumpalan salju dan dinginnya udara yang
membekukan tulang. Dua kali
Pendekar Pulau Neraka itu berjumpalitan di udara,
kemudian manis sekali hinggap di salah satu dahan
pohon yang tidak seberapa jauh di depan mulut gua.
"Ghraughk..!"
"Edan!" dengus Bayu.
Salju di sekitar mulut gua berhamburan diterjang
beruang putih raksasa itu. Bayu sampai ternganga
takjub. Kedua matanya membeliak lebar begitu melihat beruang putih itu berdiri
sambil menggerung-gerung liar menggapai-gapaikan tangannya. Sungguh tidak
disangka, ternyata beruang itu tingginya hampir
menyamai pohon cemara. Dan sebelum Bayu bisa
berpikir panjang, tiba-tiba saja kuku-kuku binatang liar itu menyampok pohon
tempat Bayu berada.
Prak! "Hiyaaa...!"
Tepat saat pohon itu hancur, Bayu melentingkan
tubuhnya. Tiga kali tubuhnya berputaran di udara
sebelum mendarat ringan di atas salju. Dengan
mempergunakan ilmu meringankan tubuh, Pendekar
Pulau Neraka itu bisa berdiri tegak di atas permukaan salju. Tak sedikit pun
kakinya tenggelam. Kekaguman masih meliputi wajahnya terhadap binatang raksasa
itu. "Sayang sekali kalau binatang langka ini harus
"mati," gumam Bayu dalam hati.
Tapi jalan pikiran Pendekar Pulau Neraka itu belum sampai jauh, karena beruang
putih raksasa itu sudah kembali menerjang ganas. Terpaksa Bayu hanya bisa
berlompatan menghindari setiap terkaman binatang itu.
Udara dingin tidak lagi dihiraukan. Pikirannya tertuju penuh pada binatang
raksasa liar ini. Sepertinya
beruang putih ini tidak mengenal putus asa, meskipun setiap kali terkamannya
tidak mengenai sasaran.
Bahkan pohon-pohon yang terkena terjangannya
langsung hancur berkeping-keping. Bayu semakin
kagum akan kekuatan tenaga binatang putih ini.
"Ayo, serang terus. Aku ingin tahu, sampai di mana kekuatanmu!" tantang Bayu.
"Ghraughk...!"
Beruang putih yang seperti mengerti tantangan
Pendekar Pulau Neraka, langsung meraung keras dan
terus menerjang semakin ganas. Sedangkan Bayu
sengaja mempermainkan, dan hanya berlompatan
menghindar tanpa membalas satu kali pun. Ingin
diketahui, sampai di mana kekuatan tenaga beruang
putih itu. Dengan mempergunakan ilmu meringankan
tubuh, tak ada masalah bagi Bayu, meskipun udara
dingin dan angin berhembus kencang. Salju lunak yang tebal tidak menjadikan
halangan berarti baginya.
Gerakannya tetap lincah, bahkan sering kali mengecoh binatang putih ini.
"Ha ha ha...! Kau mulai lemas, Sobat!" Bayu kesenangan melihat beruang putih itu
mulai melemah. Bahkan gerangannya tidak sedahsyat tadi. Bayu
memandangi beruang putih itu yang kini diam sambil menggeleng-gelengkan
kepalanya. Walaupun masih
menggerung, tapi terdengar pelan, tak lagi keras seperti semula.
"Ayo, Sobat Serang aku...!" tantang Bayu seraya berkacak pinggang.
Tapi beruang putih itu malah mendekam, memperdengarkan gerangan lirih. Sedikit pun tidak
dipedulikannya pemuda berbaju kulit harimau itu lagi.
Binatang itu hanya mencakar-cakar salju di depannya.
Melihat sikap beruang putih itu, Bayu jadi bingung.
Keningnya berkerut memperhatikan binatang raksasa


Pendekar Pulau Neraka 16 Rahasia Bunga Cubung Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berbulu putih bersih bagai kapas itu. Pelahan Bayu bergerak mendekati, tapi
beruang itu tetap saja diam tak bergeming.
"Kenapa, Sobat" Takut...?" ejek Bayu.
"Dia tidak takut!"
"Heh..."!"
*** Bayu terkejut bukan main ketika tiba-tiba terdengar suara lembut dari arah gua.
Pendekar Pulau Neraka itu langsung memandang ke arah mulut gua, dan semakin
terperanjat begitu melihat di sana sudah berdiri seorang gadis berbaju putih
bersih bagai salju. Pakaiannya sangat ketat, sehingga membentuk tubuhnya yang
ramping dan indah. Kulitnya juga putih dengan kedua pipi kemerahan bagai
sepasang tomat ranum.
Bayu sampai tidak berkedip memandangi gadis itu.
Seorang gadis yang demikian cantik, seakan-akan bagai dewi yang baru turun dari
kahyangan. Gadis itu
menjentikkan ujung jarinya. Dan sungguh aneh bin
ajaib. Beruang putih yang tingginya hampir menyamai pohon cemara itu seketika
menggerung, lalu dengan
malas bangkit dan melangkah masuk ke dalam gua.
Sebentar binatang itu menoleh memandang Bayu,
kemudian terus melangkah masuk ke dalam gua.
Belum lagi Pendekar Pulau Neraka itu bisa
memahami, gadis cantik itu mengangkat kedua
tangannya ke atas tinggi-tinggi Seketika dihentakkan tangannya ke
bawah setengah merentang. Dan
pelahan-lahan telapak tangannya dirapatkan ke depan dada.
"Hiyaaa...!"
Tiba-tiba saja gadis itu merentangkan tangannya ke samping. Dan dalam sekejap
saja angin berhenti
berhembus, dan keajaiban pun terjadi. Semua salju di permukaan Gunung Cakal ini
tiba-tiba saja lenyap. Dan seluruh permukaan tanah kini ditumbuhi rerumputan
hijau. Bayu jadi tercengang. Dipandanginya gadis
cantik yang masih berdiri di depan mulut gua. Dia
melipat kedua tangannya di depan dada.
"Hebat..,", puji Bayu tanpa sadar. Seketika saja pujian terlontar dari mulutnya.
"Apa maksudmu datang ke sini?" tanya gadis cantik berbaju putih itu dingin,
sedingin tatapan matanya.
"Oh! Eh..., aku mencari seseorang," sahut Bayu agak tergagap.
"Apa kau tidak tahu kalau daerah ini sangat ter--
larang" Sebaiknya segera angkat kaki dari sini sebelum sahabatku melumat
tubuhmu!" ujar gadis itu setengah mengancam.
"Maaf. Sungguh aku tidak tahu. Tapi aku mendapat amanat untuk menemui seseorang
Tengkorak Maut 13 Dewa Linglung 15 Orang Orang Lapar Rajawali Emas 6
^