Pencarian

Taking Her Boss 1

Taking Her Boss Karya Alegra Verde Bagian 1


Taking Her Boss by Alegra Verde Sinopsis: Glory James menyukai pekerjaannya sebagai asisten pribadi untuk seorang CEO perusahaan periklanan, Bruce Davies. Meskipun hal itu sepertinya tidak cukup untuk mencegahnya berhubungan seks dengan klien di kantornya. Ketika Bruce menangkap basah mereka berdua, Glory mengira dirinya akan ditegur, dimarahi atau bahkan dipecat.
Jadi bayangkan betapa terkejutnya ketika Bruce mengaku bahwa dirinya tertarik pada Gloria dan menjatuhkan bom padanya bahwa ia suka diberi perintah apa yang harus dilakukan di tempat tidur - dan Glory terangsang oleh gagasan itu...
Glory akhirnya terlibat ke dalam suatu hubungan dengan Bruce, tapi itu bukan tanpa konsekuensi. Bruce tampaknya dapat dengan mudah memisahkan urusan bisnisnya di kantornya, dan berpura-pura tak ada apa pun yang terjadi. Sedangkan Glory" tidak begitu mudah.
Aku akan jujur dan mengatakan pada kalian kenapa aku memilih cerita ini, karena aku menikmati membaca tokoh wanita yang dominan. Kita tidak mencari pendalaman karakter di sini, hanya sesuatu yang berbeda dari cerita pada umumnya, karena biasanya tokoh pria = Dominan, wanita = Submisif. Dan ini sepertinya sangat menarik.
BAB 1 Bosku, Bruce Davies, CEO dari Davis and Birch Advertising, berdiri di ambang pintu dengan mulut terbuka karena terkejut. Aku tidak mengatakan apa-apa. Tidak bisa. Alex membungkukkan tubuhku diatas meja, rok pensil hitam pendekku dinaikkan hingga ke pinggul, payudaraku tumpah keluar dari jaket yang ku kenakan, putingku meninggalkan jejak di atas kertas penghisap tinta, dan penis besarnya mendorong kedalam vaginaku, membuatku merasa seperti penyanyi opera.
Alex terengah-engah di belakangku, ia mencengkram erat pinggulku. "Jangan bergerak." Bentaknya sambil meningkatkan kecepatannya. Pantatku mengejang terhadap pangkal pahanya ketika ia mengisiku lagi. Bagian bawah kemejanya menggelitik punggungku. "Oh, Glory." Suaranya berupa bisikan yang serak ketika kemaluannya semakin mengeras di dalam diriku. Aku menggeliat dan mendekat, untuk bisa merasakannya lebih banyak lagi.
"Aku tidak bisa berhenti, Babe, tidak bisa." Aku menegakan otot-ototku, membelai kemaluannya untuk menunjukan bahwa aku baik-baik saja, bahwa aku ingin ia meneruskannya, bahwa aku merasakannya. Tangannya yang licin meluncur disepanjang pantatku ketika ia berusaha mempertahankan cengkramannya. Dan kemudian ia datang, tubuhnya menyentak melawan pantatku ketika ia memuntahkan benihnya. Aku senang karena telah memperingatkannya untuk menggunakan kondom. Ini terasa seperti ia membuka tutup hydran dan dia tidak bisa menutupnya kembali. Akhirnya, ia masih sedikit bergetar, kemudian diam. Tangannya beristirahat di atas punggungku.
"Ketika kau sudah selesai di sini Ms. James, aku ingin kau menemuiku di ruanganku." Ujar Mr. Davies sebelum mundur dan menutup pintu.
"Maafkan aku soal itu," ujar Alex sambil menarik keluar miliknya, menarik rokku menutupi pantatku yang terekspos, dan mulai memperbaiki pakaiannya.
"Hey, apa mau dikata"" kataku, bukan hanya untuk menenangkannya, tetapi memang karena tidak ada yang bisa di katakan. Aku adalah Glory James, akunting junior, tetapi sebagian besar diriku, atau memang diriku, adalah asisten Mr. Davies. Aku tidak menulis berkasnya, atau mengetik korespondensiya, atau melakukan sesuatu seperti itu. Ia mempunyai asisten lain untuk melakukan semua hal itu. Aku menangani hal-hal yang tidak bisa ia lakukan karena tidak memiliki waktu lebih, seperti penelitian pendahuluan latar belakang klien, dan angka penjualan atau produksi yang ia butuhkan atau sentilan kontrak sebelum hukum mengakhiri mereka. kadang-kadang aku menjemput klien dari airport dan memastikan mereka untuk tinggal dengan baik, dan terkadang aku membawa mereka makan malam atau minum ketika Mr. Davies ada keperluan mendadak. Itulah yang terjadi dengan Alex di sini. Alex dan mantan istrinya mendesain dan membuat sepatu, mereka bekerja di bidang fashion dan baru-baru ini merambah ke jalur furnitur. Mereka mencari biro iklan.
Disitulah aku masuk. Ada beberapa permain
an kata-kata dengannya, tetapi bercinta dengan Alex bukanlah sebuah kesengajaan. Maksudku, itu tidak termasuk dalam deskripsi pekerjaanku. Hanya saja aku menyukainya. Dia adalah pria besar yang merawat tubuhnya, ia cerdas, membaca buku, bukan hanya majalah perdagangan dan surat kabar.
"Apa kau akan baik-baik saja"" tanyanya ketika kami berdua sudah merapihkan pakaian dan menghabiskan tisu basah yang ku letakan di dalam laci mejaku. "Kau mau aku berbicara
kepadanya"" "Tidak. aku baik-baik saja," kataku, tersenyum tulus kepadanya. Aku sudah bekerja dengan Davies selama dua tahun tanpa komplain apapun. Aku selalu menyelesaikan seluruh perintahnya dengan baik, dan ia akan terus memberikanku lebih banyak tanggung jawab. Itu berarti ia suka caraku menangani pekerjaanku. Jika ia tidak memaafkan kesembronoanku kali ini, itu berarti ia berada di bisnis yang salah. Lagi pula, ini diluar jam kerja, dan bercinta dengan klien bukanlah sesuatu yang buruk.
Alex menarik tubuhku mendekat, menawarkan sebuah kenyamanan. Dia mencium bagian atas kepalaku. "Aku tidak yakin, tetapi jika ia memecatmu, kau bisa bekerja bersamaku, dan aku akan memindahkan bisnis periklanan ini kepada biro iklan yang lain,"
Aku menyandarkan kepalaku ke kemeja biru mudanya, menghirup aroma maskulinnya dan kehangatan yang terpancar dari dadanya.
"Dan jangan biarkan dia menggertakmu untuk melakukan apapun yang kau tidak inginkan," Ia menarik tubuhku sedikit dari dadanya, hingga ia bisa melihat wajahku, dan aku bisa melihat makna perkataannya dari matanya. Aku mengangguk.
"Aku akan menunggu di sini," katanya, kemudian membalikan tubuhku menghadap pintu. "Tidak," kataku. "Kau kembalilah ke hotel, aku akan menghubungimu nanti," Ia berdiri disana, tidak bergerak.
"Sungguh," aku meyakinkannya. "Aku bisa menangani masalah ini," "Glory," ia memulai.
"Aku bisa menangani ini Alex, sungguh." Kataku, kemudian mengambil berkas yang membuat kami di sini. "Dan bawalah ini. Bacalah semuanya, dan katakan padaku apa pendapatmu. Aku akan menghubungimu. Paling lambat besok pagi menjelang siang." Aku mendorongnya dan berkas itu keluar pintu.
"Aku bisa menunggu, dan kau bisa pergi ke hotel bersamaku," bujuknya.
Aku tertawa. "Terima kasih, tapi sungguh, aku harus meluruskan ini dan aku membutuhkan waktu sejenak. Aku ingin kau pergi, oke"" kau harus tegas dan jelas kepada beberapa pria. Alex menyenangkan, tetapi aku sedang tidak ingin menjalin sebuah hubungan. Meskipun sebenarnya kau harus memberikannya penghargaan. Dia tidak seperti bajingan lain yang langsung lari seperti tikus ketika melihat tanda kesulitan.
Aku berjinjit dan menekan bibirku ke bibirnya. Aku bisa merasakannya melembut dan menyatu dengan bibirku. "Itu bagus," kataku di bibirnya, dan itu memang benar, meskipun aku tidak sampai datang. Mungkin itu berkaitan dengan intrupsi kedatangan Davies. "Kau sangat baik," kataku, dan menyelipkan ujung lidahku diantara bibirnya. Ia menangkup pantatku dan meremasnya.
"Sekarang pergilah," kataku tegas kemudian mendorongnya keluar pintu.
Aku menatapnya untuk beberapa saat, memastikannya berjalan ke lift bukan berbalik keruangan Davies. Ketika aku mendengar suara ding dari lift, aku menutup pintu ruanganku dan bersandar pada permukaannya yang keras untuk menenangkan nafas dan kegelisahanku. Kemudian aku berjalan menuju pintu lain di sisi ruanganku, yang mengarah langsung keruangan Davies.
*** Aku mengetuk sekali. "Masuk," suaranya teredam dari balik pintu, tapi cukup jelas. Aku berdiri diambang pintu untuk merenungi apa yang harus ku lakukan selanjutnya, merasa tidak yakin bagaimana cara menangani masalah seperti ini. "Duduk," katanya, dan menunjuk salah satu kursi dari tiga kursi kulit yang membentuk setengah lingkaran di depan meja kerjanya. Aku memilih yang tengah, mengahadapkan diriku langsung kepadanya ketika ia duduk di belakang meja kerjanya yang besar dan kokoh. Ia meletakan sikunya di tepi meja, menahan bobot tubuhnya. Ia mempelajari wajahku untuk sejenak, membiarkan kesunyian berbicara sambil mengatupkan kedua tangannya. salah satu jarinya me
mainkan bibirnya. "Alex Rodriquez"" katanya, atau itu berupa sebuah pertanyaan.
"Sir"" aku balik bertanya.
"Mengapa""
"Aku menyukainya," sebuah kebenaran. Ia mengangguk.
"Kenapa disini""
"Itu terjadi begitu saja. kami kembali kesini untuk mengambil bahan iklan. Dia tidak ingin menunggu sampai besok,"
"Apa dia satu-satunya""
"Sir"" apa yang sebenarnya ia tanyakan"
"Klien kita""
"Ya," "Harus ku katakan - " ia bersandar ke kursinya. "-aku terkejut dengan...apa yang kau lakukan,"
Aku menunggu. "Tentu saja, aku tau kau adalah wanita yang sangat sensual. Semua orang bisa melihat itu, tapi kau selalu bersikap sangat...sangat...baik."
Aku tidak bisa menahannya. Aku menertawakan perkataannya. Bersikap baik, bagaimana mungkin ia bisa beranggapan seperti itu"
"Tidak," ia sedikit memerah. "Maksudku, kau selalu bersikap cekatan ketika berhadapan denganku,"
Mengapa ia mengatakan itu" aku mengangguk, dan aku yakin alisku naik dan berkerut sebagaimana yang selalu kulakukan ketika sesorang mengatakan hal yang jelas atau menjengkelkan.
"Maksudku, aku selalu melihatmu menarik." Jari-jarinya menggosok dagunya sambil berpikir sebagaimana yang kerap ia lakukan ketika berdiskusi tentang klien dan kontrak dan strategi terbaik untuk untuk menarik mereka.
Oh tidak, pikirku, aku benar-benar menyukai pekerjaan ini. Aku menyukai Davies. Dia adalah bos yang baik, bagus dalam melakukan pekerjaannya, dan percaya padaku untuk melakukan pekerjaanku, tidak ada tebakan lain. Ia tampaknya tau batas kemampuanku dan memastikan bahwa aku menguntukan mereka. kemudian ia masih terus menggenggam tanganya sendiri. Kami sudah sering keluar untuk minum dengan banyak klien hingga larut malam, dan ia bahkan tidak pernah membiarkan satu tanganpun menyentuh payudaraku, dan jika seorang klien tampak terlalu dekat, dia tidak pernah gagal untuk menarik perhatian mereka. aku menghormati Bruce Davies. Gadis kecil dalam diriku ingin menutup telinganya dan mengklik sepatunya.
"Dan kau wanita yang pandai,"
Dalam hal apa" Aku ingin bertanya.
"Aku suka wanita yang pandai," katanya.
Alisku kembali mengerut. Dua tahun, aku mulai berpikir, dua tahun melakukan berbagai persiapan, perencanaan dan bekerja keras. Aku pikir aku bisa merasakan kehangatan rumah di sini, kemudian aku bisa tumbuh. Aku menegakan tubuhku dan beranjak ke sisi kursi, bersiap untuk pergi. Aku bagus dalam pekerjaanku, aku tidak perlu bercinta dengan bosku atau siapapun untuk menjaga pekerjaanku.
Ia menegang. "Tunggu." Katanya, mengulurkan tangannya seolah-olah ia bisa menahanku di tempat dengan gerakan tubuhnya.
"Glory, aku tidak memerintahkan apapun padamu. Kita bisa melanjutkan seperti sebelumnya. Hanya saja ketika aku melihatmu bersama Rodriquez."
"Kau pikir ini adalah permainan yang adil"" aku menyelesaikan perkataanya.
"Tidak," katanya, dan menatap langsung kearahku, seakan-akan ia ingin aku melihat kebenarannya. "Aku baru menyadari betapa besar aku menginginkanmu,"
Kegamblangan dari pernyataannya menghentikanku sejenak.
"Apa kau memiliki seseorang yang spesial"" tanyanya.
Aku menggeleng. Sangat sulit untuk menatapnya, karena matanya tengah membakar ke dalam diriku.
"Begitupula denganku," katanya. "Semenjak bercerai, tidak ada satu orang pun yang bisa ku percayai. Dan tanpa kepercayaan, aku lebih suka tidak pergi,"
Aku menatapnya, mencoba memahaminya.
"Aku ingin diberitahu apa yang harus kulakukan," jawabnya singkat.
Aku mengangguk seolah-olah aku mengerti, tetapi sebenarnya aku tidak terlalu mengerti, tidak sepenuhnya. Aku tengah melihat sisi lain dari pria ini, sisi yang sangat jarang ia perlihatkan kepada orang lain. Ia duduk disana dengan stelan gelap rapih yang begitu sesuai, dasinya agak sedikit longgar, tetapi masih terikat ditempatnya. Rambutnya sudah sedikit menipis, tetapi gaya potongannya membuat itu tidak terlihat. Potongannya begitu cocok karena dengan tegas menunjukan tulang pipi dan mata abu-abunya. Sebagai seorang pria 40 tahun dengan aku 27 tahun, dia bisa saja...setidaknya menjadi pamanku. Aku bisa merasakan tarikannya. Dia men
gatakan bahwa ia membutuhkanku, tetapi ia tidak bergerak. Dia duduk diam dan menunggu keputusanku.
"Aku akan memikirkannya," kataku akhirnya.
Ia mengangguk, jemarinya menggosok bibir bawahnya ketika mempelajari wajahku. Aku berdiri.
"Glory," ia memanggil namaku dengan lembut. "Hanya jika kau ingin. Tidak ada paksaan,"
"Sampai jumpa besok," kataku ketika berjalan kembali kepintu yang mengarah ke ruanganku.
*** Setelah beberapa hari, semuanya kembali normal, kurang lebih begitu. Alex menandatangani kontrak dengan kami. Dia menelepon beberapa kali dan aku pergi bersamanya, biasanya pergi makan malam, dengan dessert di kamar hotelnya, tetapi aku senang ketika akhirnya ia pulang ke rumah. Pria yang menyenangkan, tetapi aku tau dia memiliki pacar di rumahnya di Madison, Wisconsin, dan aku tidak tertarik untuk mengambil tempatnya.
Begitu pula dengan Mr. Davies. Dia tidak menatap aneh kepadaku, dan dia juga tidak mengurangi pekerjaan. Dia hanya tersenyum ketika aku menyapanya di pagi hari dan memperlakukanku dengan baik ketika kita makan siang bersama klien atau ketika kami tinggal di ruangannya untuk membahas masalah promosi. Itulah mengapa aku merasa sangat terkejut pada suatu malam sekitar tiga minggu kemudian, aku menoleh untuk melihatnya berdiri di ambang pintu yang menghubungkan ruangan kami. Yang pertama, dia tidak pernah menggunakan pintu itu, dan yang kedua, dia tampak tidak yakin, seperti tengah terluka.
"Apa kau sudah memikirkan tentang itu Glory"" tanyanya.
Aku ingin mengatakan, "Apa"" sebagian dari diriku ingin berpura-pura tidak mengerti apa yang yang sedang dibicarakannya, tetapi selama ini semuanya berjalan baik-baik saja.
"Ya," aku mengatakannya karena dia menginginkanku untuk mengatakan itu, dan aku
memang sudah memikirkan tentang itu. aku sudah memikirkan tentang apa yang ia inginkan. Aku mengerti jika ia ingin aku membuat sebuah perintah, mengatakan apa yang harus ia lakukan, tapi aku takut menghadapi kelanjutan dari semua ini. Tapi jika aku boleh jujur pada diriku sendiri, aku harus mengakui jika tawarannya sangat menakutkan dan memikat diriku.
"Apa yang akan kau lakukan"" tanyaku.
"Apapun," bisiknya misterius.
"Apa batasanmu"" aku membutuhkan lebih banyak informasi.
Ia berpikir sejenak. "Aku tidak ingin menyakiti siapapun. Aku tidak ingin menyakitimu," dia berhenti sebentar, kemudian menambahkan, "Kau bisa. menyakitiku, kau bisa menghukumku jika aku berkelakuan buruk,"
Aku mengangguk. "Ini hanya di antara kita," ia mengingatkanku.
"Aku tahu," kataku. "Kau bisa mempercayaiku Bruce."
Ia tersenyum, begitu menawan, senyuman yang tidak pernah kulihat sebelumnya.
Aku berjalan kepintu di ruanganku dan menguncinya. Ia mengunggu, tangannya berada di kedua sisi tubuhnya.
"Yang ku suka," kataku ketika aku berdiri di belakang meja kerjaku dan menggeser pantatku ke bagian halus penghisap tinta. "Adalah kau, berlutut di hadapanku,"
Ia bergerak kaku pada awalnya. "Tutup pintu." Kataku ketika ia berjalan mendekat. "Kunci," perintahku. Ia melakukan apa yang ku katakan dan kemudian ia berlutut di hadapanku, masih dengan jas dan dasinya. Tangannya yang panas menyentuh pahaku, hidungnya menekan vaginaku, mengosok bagian lembab celana dalamku.
"Tidak," kataku. "Tunggu dulu,"
Ia berhenti dan duduk diatas lututnya. "Lepaskan celanaku,"
Tangannya bergerak kebawah rokku, menuju pahaku, dan menarik pita elastis dari bahan sutra itu di sepanjang kakiku, membukanya. Kemudian ia duduk kembali diatas kakinya, kepalanya tertunduk, dengan celanaku ditangannya.
"Aku mau mulutmu pada diriku, lidahmu masuk ke dalam klitorisku, menyelinap diantara bibir vaginaku," kataku sambil duduk kembali keatas meja.
Dia, dengan hati-hati dan penuh kelembutan, mendorong rokku lebih atas sampai kepinggul, menyandarkan kakiku diatas bahunya, dan menekan mulutnya ke pusatku. Aku senang karena melakukan wax pagi ini, dan menunjukan pada Bruce sebuah garis yang lebih baik dari pada semak yang kadang susah diatur.
Ia menekan hidungnya melalui celah itu, menghirupnya seakan-akan itu adalah sebuah mawar, dengan
kelopak lembut dan aroma yang manis. Kemudian ia menjilati celah itu, menggigitnya sedikit dan menciuminya sampai aku menarik rambutnya dan mendorong keningnya. Tetapi ia terus melakukannya hingga aku gemetar, menekan tubuhku ke mulutnya, dan menggigit bibirku untuk menahan tangis.
Ia menekan wajahnya ke paha dalamku, dan kemudian membiarkan pipinya di sana sampai gemetarku mereda. "Bolehkah aku."
"Tidak," kataku.
"Aku hanya ingin merasakanmu,"
"Tidak," aku tidak tahu dari mana asalnya itu, tapi tiba-tiba aku merasa perlu menjauh. Aku mengkat kakiku melewati kepalanya dan turun dari meja. "Aku harus pergi," aku membetulkan rokku, mengambil dompetku, dan tanpa sepatah katapun berjalan melewatinya. Ia kembali duduk diatas pantatnya, mendorong kursiku hingga membentur dinding. Ia menatap kedua tangannya, dan sutra pink yang berada di genggamannya ketika aku berjalan keluar.
*** BAB 2 Keesokan paginya, semuanya tampak normal, seakan-akan tidak ada yang terjadi diantara kami. Pagi itu ada pertemuan general staff di ruang rapat. Dengan seloyang croissant panas dengan mentega, iced danish, kopi, cranberry dan jus jeruk, dan irisan mangga, melon, nanas dan stoberi.
"Seseorang menambah makanannya," salah satu account executive berkata pada koleganya ketika ia mengisi piringnya. "Dimana mereka menyimpan donat dan bagel"" pernyataan itu meledakan tawa dari kerumunan itu.
"Kau pantas menambah," kata Bruce ketika memasuki ruangan. "Dua klien baru, dan promosi Sereal Blake berkinerja baik di pasaran,"
Ia tersenyum simpul, senyuman yang sama seperti yang ia berikan pada seluruh orang di tempat itu. Aku pikir ia akan marah atau jengkel, tapi nyatanya tidak. ia tampak gembira, bahkan tampak bersemangat ketika ia mengambil tempat duduknya di ujung meja. Aku duduk di sisi kanannya, menggigit sepotong melon dan menyesap kopiku. Aku pikir itu adalah tempat yang baik, karena saat ia membutuhkanku, aku ada didekatnya, di luar misi lainnya. Dengan cepat meja itu dipenuhi oleh orang-orang yang tadi berdiri di dekat dinding. Kemudian orang-orang grafis naik dari basement. Hanya ada ruangan untuk berdiri, dan buah-buahan mulai menipis. Mereka mengambil kopi, roll, iced Danish, dan bersandar di dinding.
Davies tampaknya terlihat sedikit berbeda. Ia mendengarkan laporan dengan seksama, menawarkan saran dan memuji pada waktu yang tepat, perselisihan diselesaikan dengan bijaksana dan gurauan yang dilontarkannya seperti stand-up komedi yang berpengalaman. Birch yang duduk di ujung meja yang lain hanya menimpali sesekali. Dia juga menyadari bahwa Davies sedang baik dan lebih dari sekedar mengambil keuntungan dari hal ini. Semua orang keluar dari meeting itu dengan perasaan senang, dan ketika mereka hampir keluar semua, Davies menoleh kearahku dengan senyuman ceria sebelum mengumpulkan catatan dan file foldernya, dan berjalan mengikuti kerumunan.
Aku berdiri membeku selama lima menit penuh, sebelum akhirnya berjalan kembali keruanganku. Selingan kecil kami kemarin malam sepertinya sudah membuatnya senang. Aku harus berpikir apa yang akan kulakukan dengan kenyataan ini. Aku harus berpikir apakah aku akan melanjutkannya atau tidak. sangat jelas bahwa ia melihat kejadian kemarin sebagai permulaan, tapi aku tidak yakin bahwa itu adalah sesuatu yang akan kulakukan atau bahkan yang kuinginkan. Aku mengambil tasku dan berkata pada Claire, asisten Davies sekaligus sekretarisnya, bahwa aku sedang tidak enak badan dan akan pulang untuk sisa sore itu.
Davies menelepon, tapi aku tidak mengangkatnya hingga akhirnya ia meninggalkan pesan yang mengungkapkan perhatiannya dan berharap aku baik-baik saja.
*** keesokan paginya aku membuat sebuah keputusan. Aku menyerahkan key card kamar yang ku sewa di Super 8 di I-75 south kepada Bruce. Kamar itu bersih, dan melayani keluarga-keluarga yang dalam perjalanan ke Six Flags atau Disneyland. Aku tinggal disana malam
sebelumnya dan menyaksikan ibu-ibu duduk di bawah payung besar yang menutupi meja dan menyesap soda kalengan, sementara anak mereka bermain di kolam renang kecil
berbentuk ginjal tidak jauh dari tempat parkir. Para ayah menghabiskan waktu mereka untuk membongkar muatan SUV dan Volvo station wagon.
Bruce memegang kunci di telapak tangannya seolah-olah dia tidak yakin benda apa itu sebenarnya. Tatapannya ketika menilaiku tampak ragu sejenak, tapi itu segera menghilang dan kembali kosong. Aku memintanya untuk datang pukul sembilan, mandi dengan baik dan mengenakan kaus polo, jeans dan sandal, tidak lebih. Ia mengangguk dan memasukan kuncinya kedalam saku. Dia tidak menanyakan apapun, dan kami melanjutkan hari itu seperti biasa, seakan-akan aku tidak pernah membicarakan tentang malam yang akan datang.
Kami duduk dalam sesi brainstorming dengan tim yang ditugaskan untuk menyelesaikan bagian furnitur milik Alex, makan siang dengan klien potensial, bertemu dengan klien yang kurang senang dengan biaya produksi untuk serangkaian spot iklan tiga puluh detik. Hari itu berakhir sebelum jam lima, setelah kami bertemu dengan Claire dan memperbaharui jadwal kami dan memberikan instruksi pada Claire mengenai surat dan kontrak yang harus ia buat. Selama itu, ia tidak pernah menyentuhku atau menatapku dengan pandangan tidak biasa. aku mengikuti langkahnya, tapi harus kuakui, bahwa aku sedikit gugup dan tidak fokus, namun sepertinya tidak ada yang memperhatikan.
*** Ketika aku mendengar suara klik pintu dan akhirnya terbuka, aku masih di kamar mandi. "Glory," panggilnya tampak seperti sebuah bisikan.
"Di sini," jawabku. "Duduklah di tempat tidur, aku hampir selesai," aku mendengar pintu ditutup, suara klik dari kunci keamanan, diikuti oleh suara desir lembut kasur ketika ia duduk. Aku mengenakan stoking tinggi hingga ke paha, celana dalam thong hitam, dan jubah sutra hitam sepaha dengan bordiran naga merah muda di bagian belakangnya. Aku sudah menghias mataku, menggunakan shading dan garis mata berwarna gelap, dan menyisir rambutku hingga tampak lebih penuh dan liar. Aku menyelesaikan rangkaian make up itu dengan sedikit perona pipi, lipstick dan sedikit perona pada putingku. OK. Aku sudah siap.
Yang kubutuhkan saat ini adalah keberanian. Dia bisa menunggu. Menunggu akan menjadi hal yang baik untuknya. Aku menyelipkan tanganku ke balik thong dan mengelus klitorisku dan bibir vaginaku hingga terasa lembab. Aliran darah langsung mengalir ke inti kecil itu dan menyebabkannya menonjol diantara bibir vaginaku. Aku berpegangan pada sisi westafel untuk menjaga keseimbangan kakiku. Semburan memerah mulai menghiasi wajahku, dan mataku berubah-rubah dari gelap ke terang, aku membasahi bibirku dengan lidahku, dan tersenyum pada wanita panas di cermin. Aku menarik celana dalam thong itu kembali ketempatnya, berdiri, dengan cepat mengusap handuk kecil kebawah payudaraku untuk menghilangkan kelembapan dan memutuskan, bahwa aku siap untuk bermain.
Aku membuka pintu dan berdiri di ruang sempit antara lemari dan tempat tidur. Matanya tampak tak teralihkan dari tempat itu. payudaraku yang memerah, perut datar dan segitiga hitam tipisku terasa terbakar dan tergelitik ketika matanya, yang seperti jari-jari, menelusuri bagian-bagian itu. pada awalnya, sulit untuk menutupi bagian kulit yang terlihat, menarik-narik kimono hitam itu hingga menutup, untuk menyembunyikan dari matanya yang kelaparan, tapi ini juga menyenangkan. Ini sangat menyenangkan untuk membiarkan matanya menghanguskan kulitku, untuk mengetahui bahwa ia menginginkanku, untuk melihat keliaran di wajahnya, dari cara ia memegang bibirnya.
Aku berjalan kearahnya dan berdiri di hadapannya, bibirnya membentuk sebuah garis tipis, membiarkan ia mencium aromaku dan merasakan panasku. Ketika ia menutup matanya untuk menguasai kontrol akan dirinya lagi, aku bergerak kedepan dan mengusapkan putingku di bibirnya. Bibir dan lidahnya mencari putingku seperti anak anjing yang masih baru dan buta, menghisap dan menjilat, tetapi tangannya tidak menyentuhku. Aku membiarkannya menghisap untuk beberapa saat kemudian menarik diriku lagi.
"Aku ingin kau membuatku orgasme memakai mulut dan tanganmu," kataku sambil pindah ketempat tidur dan duduk di s
eberangnya. Aku meluruskan tanganku, bersandar dan membuka kakiku. Dalam hitungan detik ia sudah berlutut diantara kakiku, mulutnya dipayudaraku lagi, membuat putingku semakin mengeras dan basah, tangannya mencengkram dan memijat pantatku. Ia menarik turun celana dalam thongku sampai kepaha, dan menjalarkan lidahnya ke garis rambut disana.
Aku membuka kakiku lebih lebar untuknya dan ia mulai menekan lidahnya terhadap bibir vaginaku, sementara jari-jarinya masih menarik-narik putingku dan mempermainkannya. Aku menggeliat di bawah serangannya dan lidahnya meluncur lebih dalam ke bibir yang lembut itu, dan menekan inti yang menonjol. Ia menusuk-nusuk lidahnya kepada inti itu, mendorongnya maju mundur, sementara itu ia memasukan dua jari besarnya ke bagian tubuhku yang sudah menetes. Jari-jarinya membuat alur yang kontra dengan lidahnya, dan tubuhku mulai bergetar, menyentak ketika aku orgasme, tapi ia menahanku dengan mulutnya, dan ia terus mencium dan menghisap bibir vaginaku yang bergetar. Aku harus mendorong kepalanya menjauh, sebelum aku berteriak dan mengejutkan keluarga lain yang berada di kamar sebelah. Aku mendorong kepalanya, tetapi ia menolak.
"Aku ingin..." katanya seraya mencengkram pahaku. "Bolehkah..."" tanyanya, ia menekan pipinya di paha dalamku, seolah-olah takut untuk melihatku.
"Tidak." kataku, kemudian mendorongnya lebih keras lagi. "Tidak," kataku lebih keras dan mendorongnya. Ia jatuh kebelakang dan mendarat tergeletak di atas karpet.
"Tidak," kataku sambil menarik Thongku dan kembali berdiri. "Jangan menyentuhku kecuali aku memberikanmu izin," tegurku sambil menekankan tumit sepatuku ke pahanya. Sesuatu dalam diriku ingin tertawa dan mengatakan "anjing nakal" dan memukulnya dengan koran, tapi aku tidak punya koran, dan aku senang karena aku takut hal itu akan terlalu berlebihan dan aku akan merusak karakterku sendiri.
"Bangun." Perintahku. "Duduk di tempat tidur."
Dia melakukan apa yang diperintahkan. Aku berdiri di hadapannya, vaginaku berada sejajar dengan wajahnya. Dia mencondongkan tubuhnya kedepan. "Jangan sentuh aku."
Ia kembali mundur dan menunggu.
"Apakah kau pernah disetubuhi di pantat"" tanyaku.
Ia memalingkan wajahnya. Aku mencengkram wajahnya dan mendongkakkan wajahnya keatas dengan kasar. Matanya menghindari mataku. "Aku bertanya padamu,"
Dia tidak mengatakan apapun. Aku melepaskan dagunya dan menampar keras wajahnya. Jari-jariku meninggalkan tanda merah terbakar. Dia tersentak sejenak, matanya berkelebat marah. Perutku menegang. Apa aku kelewatan" Hey, kau belajar dari praktik.
Aku mendongkakkan wajahnya lagi dan mengunci matanya dengan mataku, memastikan bahwa mataku keras, tak teralih. Ia mengangguk. Aku tersenyum. "Apakah kau homo"" tanyaku. Ia menggelengkan kepalanya. "Apa sebutanmu ketika kau membiarkan pria bercinta denganmu""
"Itu hanya sekali," kata-katanya nyaris tak terdengar. "Aku penasaran," "Apa kau menyukainya"" "Awalnya terasa sakit," ia mengakui. Aku mundur dan mempelajarinya.
"Lepaskan celanamu," perintahku. "Aku ingin bercinta denganmu,"
Ia berdiri, dengan sangat perlahan bahkan tampak enggan, ia membuka resleting celananya dan melepaskannya, untuk sementara aku pergi untuk membuka strap-on dildo yang sengaja ku beli untuk acara ini. Ketika aku berbalik padanya, kemaluannya sudah berdiri penuh dan keras. Dia tampak begitu besar, tebal dan panjang, dan untuk sesaat aku menyesali atas keterbatasan yang kutempatkan pada perayaan malam ini.
"Kemarilah," perintahku. "Pasangkan ini padaku,"
Dia berjalan kearahku dan berlutut untuk mencapai antara kedua kakiku dan memasangkan tali dildo itu. satu set ikat pinggang dan Velcro dengan bagian bawah yang lembut dan mirip seperti bantal, sesuatu yang membuatnya menggantung nyaman diantara kedua pahaku. Jari dan tangannya berlama-lama tinggal di paha dalamku, meninggalkan jejak dimanapun mereka menyentuh. Aku membiarkannya. Ketika ia selesai, ia kembali berjongkok dan memandang kearahku, bagian tubuhnya yang besar dan tegang menonjol di balik celana katun polonya. Dildoku sendiri menonjol keluar te
pat di atas klitorisku. Ini adalah sepotong karet keras tumpul, hanya sekitar 5 inchi atau lebih. Aku tidak ingin menyakitinya.
"Aku ingin kau dilantai antara tempat tidur, wajahmu di karpet, pantatmu keatas." Kataku.
Ia tampak ragu-ragu. "Sekarang." Perintahku.
Ia melakukan apa yang ku perintahkan.
Aku berlutut di belakangnya dan memegang bolanya dengan tanganku. Lalu aku membungkuk dan menghisap sebanyak mungkin yang mampu kulakukan. Mereka asam dan asin. Aku meluncurkan lidahku keatas dan kebawah, dan membelai dengan jilatan basah yang luas. Bagian yang tidak bisa ku rasakan dengan mulutku, kubelai dengan jemariku. Ia mengerang dan mengangkat pantatnya lebih tinggi lagi. Aku menganggap itu adalah petunjuk untukku bahwa ia siap dengan langkah selanjutnya.
Aku memasukan tiga jariku kedalam botol cream yang aku beli bersamaan dengan dildo itu. penjaga toko itu mengatakan, bahwa ini bagus untuk pemula. "Membuat segala sesuatu masuk dengan mudah dan ini rasanya enak." Katanya menyeringai sambil mengambil uangku. Aku menyelipkan jariku kesepanjang pantatnya, melewati bola-bolanya dan keatas melalui celahnya. Pantatnya bergetar. Ia merintih. Aku meluncurkan satu, kemudian dua jariku ke dalam lubangnya yang mengerut, dan ia mengerang.
Aku memasukan satu jariku lagi, dan ia menggigil bagai anjing besar. Aku menekankan bibirku ke pantatnya dan menggigit perlahan, kemudian menggigit sisi lainnya. Ia menekankan tubuhnya lebih dekat ke wajahku. Aku meraih bagian bawahnya untuk menunda dan membelainya, tanganku menelusuri sepanjang penisnya. Itu sangat panas, ketat dan mulai menetes. Ia terengah-engah dan aku bisa merasakan antisipasinya. Aku mencengkram dildoku dengan telapak tangan yang sudah dilumasi, menarik-nariknya beberapa kali untuk meratakan krim di permukaannya, menambahkan setetes lagi untuk ujungnya.
Aku bergerak di belakangnya, menekan penisku kelubangnya yang mengkerut, dan mulai mendorong perlahan pada awalnya, tapi kemudian ia mendorong kembali kearahku hingga aku masuk lebih jauh. Ada tonjolan pada sabuk dildo itu yang menekan klitorisku setiap kali aku mendorong penisku pada Bruce. Dan itu membuatku ketagihan.
Tak lama kemudian aku mendorong penisku ke pantat ketat Bruce, dan setiap sodokan mengirimkan serangkaian gelombang dan membuat inti kecilku kembali bergetar. Tampak semakin menegang karena dorongan itu. aku menegangkan otot-otot pantatku untuk mendorong dengan keras. Aku memegang pinggulnya dan membiarkan dorongan dan gelombang itu mengalir melalui tubuhku; itu adalah gelombang murni dari kekuatan dan kenikmatan, tetapi aku tidak menyerah padanya secara keseluruhan. Bruce mengerang, menyerah dengan suara keras, dan hampir bangkit dari posisinya. Aku meraih kebawah, mencengkram miliknya, dan menarik ereksinya menggunakan jemariku yang licin. Tubuhnya tersentak dan menyemprotkan sperma ke karpet. Aku menarik keluar darinya dan ia jatuh kedepan, menutupi semua cairannya.
Aku meninggalkannya disana, dengan genangan air maninya sendiri, dan berjalan ke kamar mandi, membereskan seluruh mainanku kedalam tas dan kembali mengenakan jeans dan T-shirtku. Ketika aku keluar dari kamar mandi, ia tengah duduk diatas tempat tidur, masih tidak mengenakan celana, kemaluannya tampak tenang di antara kedua pahanya. Aku mengambil tasku dari lemari dan berjalan ke pintu.
"Bersihkan semua kekacauan ini sebelum kau pergi," ujarku ketika berdiri di samping pintu. Ia mengangguk tanpa menatapku. Aku berjalan keluar menyambut malam. Masih ada beberapa anak dan orang tua mereka di samping kolam renang. Aku bisa mendengar percikannya ketika seseorang masuk kedalam air, hening, kemudian seorang wanita tertawa dan disusul dentingan gelas. Aku menutup pintunya dan berjalan menuju kearah mobilku.
*** BAB 3 Pekerjaanku tampak kabur dan berpendar seperti cahaya lampu neon; aku berkeliaran pada sebuah autopilot. Aku bukanlah Bruce Davies; aku tidak bisa berpura-pura tidak ada hal aneh yang terjadi antara diriku dan atasanku. Aku tidak bisa memandang ia tanpa mengingat ukuran dan panjangnya, hardness dipa
hanya dan kekencangan otot punggungnya. Aku tidak bisa duduk dihadapannya ketika ia duduk dibelakang mejanya, mengamati stroryboard sementara aku mencatat. Dan otot-otot seksku akan menegang.
Sebuah kelembaban akan merayap diantara kedua kakiku dan aku akan memikirkan skenario kecil yang bisa ku lakukan disana, di balik meja itu dengan kakiku melingkari kepalanya. Aku khawatir ia bisa merasakan gairahku, mencium gelagatku ketika aku duduk dihadapannya. Tetapi ia masih begitu tenang seperti biasanya. Well, tidak setenang itu, semangatnya selalu baik, dan ia cukup baik kepada setiap orang yang ditemuinya. Tetapi tampaknya ia tidak terpengaruh oleh rangakian episode kami atau ketidaknyamananku. Tapi ya, itu adalah aku. Aku harus belajar untuk mengatasinya atau menghentikannya. Oh, itu sangat menyenangkan, intrik itu, pemenuhan fantasi, tetapi aku tidak terlalu cocok dengan hal tersebut, rangsangan yang melekat, dan ya, rasa bersalah juga.
Serangkaian mandi air dingin dan telepon dari Alex seminggu kemudian membantuku untuk tetap berada dalam pendirianku. Kami pergi makan malam dan malam yang normal, tetapi dilanjutkan dengan seks yang panas di kamar hotelnya dan keesokan paginya ia akan mengantarkanku ke rumah untuk berpakaian dan bekerja. Alex tidak sama seperti Bruce, tidak akan mengabaikan malam setelah seks yang panas.
Claire mengatakan bahwa Bruce tengah mencariku, jadi aku langsung beranjak keruangannya setelah meletakan tas dan dompetku di atas meja kerjaku. Alex tengah duduk di balik meja bundar di bagian belakang kantor Bruce. Bruce berdiri dihadapan botol Dom Perignon dalam ember es. Ia sedang membuka tutup botol ketika aku berjalan masuk.
"Kita sedang merayakannya," Bruce berbicara padaku. "Alex ingin menunggumu,"
"Kau senang dengan iklan itu"" tanyaku pada Alex.
Ia berdiri, meraih tanganku dan menarikku untuk berdiri diantara mereka berdua.
"Ia sangat senang karena memberikan kita kesempatan untuk memberikan celah pada garis pakaian dan sepatunya," Bruce menarik gabus penutup botol dan menuangkan anggur kedalam gelas yang sudah menunggu.
"Itu berarti aku harus lebih sering datang," katanya, dan membungkuk untuk membenamkan sebuah ciuman yang akhirnya hilang entah dimana karena aku mengelak dengan dalih mengambil gelas yang disodorkan Bruce padaku.
Alex tertawa. "Kita tidak perlu menyembunyikan apapun dari Bruce. Dia sudah melihat kita pada waktu terburuk kita."
Bruce meneguk anggur dari gelasnya, namun tidak mengatakan apapun.
Itu memang logis, tetapi Alex tidak tahu apa yang sudah terjadi antara aku dan Bruce
semenjak malam itu didalam ruanganku. Tetapi Bruce masih terdiam. Mungkin ini bukan masalah baginya. Mungkin ia mengharapkan seorang wanita yang mampu mengatur penyimpangan rahasia untuk memiliki beberapa cinta. Mungkin ia baik-baik saja dengan semua itu selagi ia tetap mendapatkan bagiannya.
"Untuk hubungan kerja yang lama dan bermanfaat," Bruce mengangkat gelasnya pada kami. gelas-gelas itu berdenting. Aku menghabiskan isi gelasku dan mengulurkannya untuk diisi kembali. Mungkin ia pikir ini adalah sesuatu yang normal untukku. aku menghabiskan gelas kedua.
"Sebaiknya aku kembali bekerja," kataku sambil meletakan gelasku diatas meja. "Aku pikir kita harus sarapan," kata Alex, meraih tanganku lagi. "Aku harus memeriksa beberapa kontrak," tambahku.
"Bruce tidak akan keberatan jika kau pergi bersamaku untuk beberapa jam," bujuk Alex. Ia mengarahkan kata-katanya pada Bruce, namun matanya tetap menatapku.
"Ada beberapa hal tertunda yang membutuhkan sentuhan Glory," kata-kata Bruce tampak hangat. "Mungkin dia bisa memberikanmu nanti."
"Malam ini," kata Alex, meraih tanganku dan menarik tubuhku kepadanya.
"Aku akan meneleponmu ketika aku selesai," kataku sambil menarik tanganku darinya, tersenyum menenangkan kearahnya dan berjalan kembali ke ruanganku. Cukup sudah.
Alex tinggal seminggu lagi untuk mengawasi pembukaan toko baru, sebuah butik di pinggir kota yang berisikan produk perusahannya. Hal itu membuatnya cukup sibuk hingga ia tidak menyadari jika aku tengah menghin
darinya. Ketika aku muncul untuk mewakili kantorku dalam peresmian tokonya, ia terasa hangat dan ramah. Aku menghargai sikapnya dengan bercinta dengannya di bagian belakang limusin ketika kami mengambil sebuah perjalanan panjang disepanjang tepi sungai dan melewati taman. Dia begitu perhatian ketika aku menyesal karena telah menghindarinya selama seminggu ini. Tetapi aku tidak terlalu sedih ketika mengantarkannya ke bandara. Ia memelukku dan menciumi leherku ketika sang supir mengeluarkan kopernya dari bagasi. Rasanya begitu nyaman berada di bawah naungan tubuhnya, panas dadanya menempel di pipiku. Dia adalah seorang pria yang penuh kasih sayang, pria yang baik, dan aku merasa jenuh, begitu normal. Aku akan kembali ke kehidupanku, dengan cara sebelum Mr. Davies berubah menjadi Bruce, sebelum malam itu.
*** "Glory!" aku bisa mendengarnya dari balik pintu. Aku berpura-pura tidak mendengarnya, tapi nyatanya suara itu diikuti oleh bayangan tubuhnya yang panjang dari balik pintu. "Kenapa kau tidak menindak lanjuti ini"" ia mengangkat sebuah folder. "Kau bilang kau ingin menjadi lebih bertanggung jawab. Aku menyerahkannya padamu, dan inikah yang terjadi." Dia meletakan folder itu di mejaku dan kembali berlalu keruangannya. Aku berharap ia akan membanting pintu di belakangnya, tetapi ternyata ia malah membiarkannya terbuka, kupikir ia belum selesai dengan serangkaian kata-kata kasarnya. Aku menunggu, mengharapkan kelanjutannya, tetapi ia mengalihkan kemarahannya pada Claire.
Aku bisa mendengar bahwa ia meminta Claire untuk tinggal dan menyelesaikan korespondensi yang gagal ia bereskan. "Aku ingin menandatangin itu sebelum aku pergi," gerutunya. Claire meminta maaf, menjelaskan bahwa ia hanya memberikan berkas itu kepadanya sejam yang lalu. "Lakukanlah sebaik mungkin," katanya, mengabaikan penjelasan Claire. "Aku ingin mereka ada dimejaku dipagi hari bersamaan dengan surat pagi," aku menatap folder yang ia berikan padaku. Seperti dugaanku, ia menginginkan anggaran disesuaikan. Pihak akunting sudah berjanji padaku untuk mengirimkannya dalam waktu seminggu. Aku mengirimkan sebuah pengingat pada Somers, manager departemen, kemudian mematikan komputerku, meraih sweater dan berjalan ke pintu.
Aku mengucapkan selamat tinggal pada Claire dan ia memiringkan kepalanya kearah Davies dan berkata tanpa suara, "Apa masalahnya"" aku mengangkat bahuku dua kali sambil berjalan ke lift. Aku tidak ingin turun bersamanya, tetapi tampaknya aku tidak cukup cepat. Aku masih berdiri disana, memencet tombol itu untuk ketiga kalinya ketika ia berdiri dibelakangku.
"Hari yang panjang," katanya.
"Ya," ujarku, dan memencet tombol itu lagi.
"Minum"" tanyanya.
"Aku lelah." kataku, masih membelakanginya
"Hanya segelas," katanya, kemudian menambahkan. "Aku ingin bicara."
"Dimana"" "Dottie,"
"Oke." Ia mengikutiku masuk kedalam lift dalam diam. Tidak ada satupun dari kami mengatakan sepatah katapun hingga kami meninggalkan gedung itu bersampingan, dan berjalan dua blok dari menuju sebuah bar kecil yang kumuh yang masih membanggakan bangunan dari kayu ek tinggi yang tentu saja mungkin dibangun dengan kebanggaan kakek Dottie dan sebuah kebahagian ketika akhirnya bar itu di buka pada tahun 1940. Bar itu, yang menurut Dottie, dinamai dengan nama neneknya, terkenal karena burgernya, dan menyediakan makanan cepat saji diarea perkantoran itu.
Pada malam hari, kerumunan itu sedikit berwarna, dengan Dickies dan Brooks Brothers. Ketika kami sampai disana, tempat itu hampir kosong. Beberapa orang tampak minum di bar, dan hanya ada satu orang yang sedang memakan burger dengan birnya di salah satu bilik depan. kami mengambil bilik di bagian belakang. Bruce memesan burger untuk kami berdua, bir untuknya dan vodka dengan jus Cranberry untukku. itulah yang selalu kami makan di Dotties. "Kau ingin kentang goreng"" tanyanya. Aku menggelengkan kepalaku untuk mengatakan tidak. pelayan itu menghilang dengan pesanan kami.
Bruce melonggarkan ikatan dasinya. "Ini sudah lebih dari satu bulan Glory." Katanya memecah keheningan.
Seorang pelayan membawakan
minuman kami. Ia meletakan sebuah serbet koktail dihadapan kami kemudian meletakan minuman diatasnya. Aku berterima kasih kepadanya dan ia berlalu. Aku menyingkirkan sedotan kecil dalam minumanku dan meminumnya.
"Apa ini karena Alex"" tanyanya.
"Bukan," jawabku, dan kembali meneguk minumanku.
"Aku tidak menyukainya." Katanya ketika aku tidak berbicara. "Tetapi aku bisa hidup dengan hal itu. Aku hanya tidak ingin hal itu dibesar-besarkan,"
"Ini bukan karena Alex. Hanya saja, hal ini membuatku merasa tidak nyaman."
Dia tidak mengatakan apapun untuk sesaat. Ia meminum minumannya, dan akhirnya bertanya. "Apa yang membuatmu merasa tidak nyaman""
"Ini bukan hanya diriku," aku menatapnya matanya hingga ia bisa melihat bagaimana perasaanku.
"Tetapi kau tampak baik dengan hal itu." aku tidak yakin apakah ia tengah mencoba untuk menutupi ketakutannya atau apakah ia mencoba untuk menghilangkannya.
"Aku serius," "Begitu pula denganku." Ia mengangkat gelasnya ketika ia menatapku. Setelah diam beberapa saat, ia meraih punggung telingaku. Aku membiarkannya. "Kita tidak harus memainkan game itu sepanjang waktu," tawarnya.
Aku menatapnya ketika aku mempertimbangkan kata-katanya. "Kita bisa bergantian. Kau bisa mengatakan padaku apa yang kau inginkan."
Seorang pelayan datang dengan makanan kami. Kami kembali duduk mundur dan membiarkannya meletakan piring-piring itu diatas meja. Pemuda itu bertanya sekilas. "Ada yang lain"" namun bergegas pergi ketika Bruce mengangkat tanganya dan kembali memusatkan perhatiannya padaku.
Aku mempelajari burgerku, mustard, saus tomat, acar, aku menyerahkan bumbu-bumbu itu ke Bruce yang memulai prosesnya. Rasanya enak. Aku mengunyah dan tersenyum pada Bruce. Ia menggigit miliknya dan tersenyum kembali. Kami makan dalam diam, menggunakan serbet kami untuk memberika jeda sebelum menyesap minuman kami diantara gigitan. Ketika kami selesai, Bruce menyerahkan piring kosong kami pada pelayan dan memesan minuman lagi. Aku duduk bersandar, merasa nyaman dan santai.
"Pulanglah bersamaku malam ini," Bruce menyarankan.
Aku menegakan tubuhku. "Aku rasa tidak," kataku, dan dengan kaku menambahkan. "Tidak malam ini,"
"Kenapa" Bukan karena ada orang lain yang sedang menunggumu di rumah, kan"" "Aku hanya belum siap."
"Ok." Katanya ketika pelayan meletakan minuman dihadapan kami.
"Ok." Kataku. Kepalanya tersentak. "Tidak, maksudku aku senang kau setuju dengan hal ini,"
Ia maju sedikit. "Aku bisa menjadi seorang agresor. Kau ingin aku menjadi agresor""
Aku tidak bisa menahan senyumanku. "Aku pikir kau sudah bilang setuju,"
"Hanya saja aku tahu, bahwa terkadang wanita itu suka di..." ia berhenti seakan-akan takut untuk menyelesaikannya.
"Diserang"" aku tertawa.
"Dirayu," ia membetulkan.
"Apakah wanita adalah satu-satunya yang menderita dengan masalah ini""
"Kau mempunyai keuntungan disini, karena aku sangat tertarik padamu. Dan aku belum pernah pergi dengan siapapun sejak kita bersama. Itu sangat sulit-" ia tertawa dan menggeleng. "-untuk berpikir, dengan kau duduk disana,"
"Sebaiknya aku pergi," kataku sambil mengumpulkan barang-barangku. "Sudah larut."
"Maafkan aku jika sudah membuatmu merasa tidak nyaman. Tinggallah. Habiskan minumanmu." Aku menggenggam dompetku. Kemudian meletakan dompet dan tanganku diatas meja, dan mulai bergeser keluar dari bilik itu. ia mengulurkan tangannya, menarik tas kecil keluar dari tanganku, dan meletakannya di kursi disampingnya. Tidak, ia tidak. perbuatannya tentu saja menghentikan niatku. Aku duduk kembali.
"Tinggalah, sebentar lagi." Ia mengulangi kata-katanya, suaranya terdengar lembut, menenangkan. "Habiskan minumanmu."
"Kau hanya perlu mengatakan apapun yang kau inginkan,"
"Benar," senyumannya tampak muram, seakan-akan tidak percaya dengan kata-kataku. Aku tau apa yang sedang di pikirkannya. Jika itu memang benar, kau akan pulang kerumah bersamaku. Tetapi, dia tidak bertanya lagi.
"Oke." Katanya, dan berdiri, masih memegang tasku. "Aku akan mengantarkanmu ke mobilmu."
Aku berdiri. Setelah mengeluarkan beberapa uang
dollar dari sakunya dan meletakannya
diatas meja, ia mengambil sweaterku dan menempatkannya di bahuku sebelum menyerahkan tasku.
Kami mencoba membuat sebuah percakapan singkat tentang kantor dan akuntan baru, tetapi pada saat kami akhirnya sampai di tempat parkir, kami berdua hanya tenggelam dalam pikiran masing-masing. Tangannya dipunggungku ketika kami masuk ke tempat parkir. Hal ini adalah sebuah tindakan yang sopan, namun ini terasa jika ia melakukannya terlebih untuk dirinya sendiri dari pada untukku, seolah-olah ia menyarah pada kebutuhan untuk menyentuhku. Tangannya begitu besar dan panas, dan membakarku melalui gaun katunku. Aku mempercepat sedikit langkahku untuk meringankan beberapa perasaan tegang itu, tetapi ia terus berpacu denganku selama beberapa menit, dan itu seolah-olah kami tampak seperti tengah bergegas untuk mencapai suatu tempat.
Ini sudah larut. Garasi itu sesekali menyala dengan lampu neon yang meredup. Ada sudut gelap di samping mobilku yang terparkir di sudut dekat lift. Aku senang Bruce ada disini. Berdiri bersamaku. Tubuhnya membentuk benteng setengah lingkaran diatas tubuhku ketika kami menunggu lift. Kami naik ke lantai atas yang disediakan untuk kantor Davies & Birch. Sebuah dinding beton memisahkan mobilku dengan penutup kaca elevator, lempengan abu-abu itu memblokir cahaya dan menciptakan titik buta yang menyembunyikan area parkirku dari mata pengintai camera pengaman.
*** Mobil Bruce dan Birch terparkir disebelah kanan, di balik dinding beton lainnya yang disediakan untuk para eksekutif. Karena kami bekerja untuk Bruce, Claire dan aku diberikan ruang disebelah lift. Asisten Birch mendapatkan tempat yang sama, disampingku dan Claire. Pertikaian antara petinggi dan manager departemen bukanlah sebuah rahasia lagi, tetapi Bruce telah menepis pertingkaian dan sindiran itu. ketika salah satu eksekutif baru mengeluh bahwa ia tidak pernah bekerja untuk sebuah perusahaan yang memberikan sekretaris mereka tempat parkir yang lebih baik dari pada penjudi kelas berat, Bruce dengan santai mengatakan, "Mereka bukan sekretaris. Mereka membantuku melakukan pekerjaanku dengan sangat baik. Aku membutuhkan mereka tetap dekat dan tepat waktu." Sejak saat itu, mereka menyimpan keluhan dan komentar mereka untuk diri mereka sendiri.
Ia mengambil tanganku ketika kami keluar dari pagar lift, dan memimpinku menuju kemobilku. "Aku bisa pulang bersamamu," katanya ketika mendorongku kepintu mobil dan mulutnya menekan mulutku. Itu tampak baik. Ia terasa basah seperti beer dan burger panas dan seorang pria. Ia membungkuk dan pinggulku menyenggol handle pintu. Aku balas menciumnya. Ia mengerang dan menekan keberuntungannya, menggerakan tangannya kebelakang punggungku dan turun untuk menangkup pantatku. Lekukan kerasnya menekan pinggang dan perutku. Aku mendorong melawannya. Tangannya berada di bawah rok gaunku. Aku mendorongnya lagi, tetapi tidak terlalu keras. Tangannya bergerak ke bagian elastik dari celana dalamku dan berhenti. Mulutnya masih pada mulutku, lidahnya dengan nyaman melayang di bagian depan mulutku, menggoda bagian dalam bibirku.
"Aku hanya ingin merasakanmu."
Aku menggelengkan kepalaku dan memperdalam ciuman itu. "Hanya sedikit," ia berbisik, dan mencium leherku.
Ia meraih celana dalamku lagi, dan menariknya turun ke pahaku. Aku membiarkannya mengangkat kakiku dan membukanya. Semilir angin menyentuh kulit telanjangku yang diikuti oleh tangan hangat yang besar dan jari-jarinya terbenam dalam kelembabanku, mencari dan menemukan pusatku. Aku mencengkram bahunya, jari-jariku menekan jasnya ketika ia merenggutku dan membelai dan merangsangku. Aku hampir tidak bisa berpikir, tetapi aku bisa mendengar denting ikat pinggangnya dan suara resleting.
Aroma musk yang lembut dari parfumnya memabukanku ketika mulutku menemukan lehernya dibalik kerah kemejanya yang sudah di longgarkan. Kulitnya terasa hangat dan sedikit asin. Dagunya terasa kasar karena jenggot yang mencoba untuk tumbuh kembali. Aku menelusuri lidahku disepanjang lekukannya dan menggigiti mereka dengan gigi bawahku. ia mengerang
dan menyeka daguku dengan giginya. Aku membuka kakiku lebih lebar lagi untuk mengantisipasi. Ia mengangkat tubuhku, tangannya tergelincir dan memeluk pahaku ketika ia menekanku lebih kuat lagi kemobil. Hanya rok dan sepasang tangan besar yang hangat yang melindungiku dari baja dingin dan kaca. Aku mengangkat kakiku untuk memeluknya, pahanya yang hampir telanjang menggesek bagian tubuhku menyebabkan gesekan yang menggelikan. Ia meluncur lebih lanjut, ujung kelaminnya sudah menekan pembukaanku. Kakiku, yang saat itu mengenakan strappy heels dari Burgundy, menekan dinding semen yang berada beberapa kaki di belakangnya.
Ia membungkuk kedepan dan menemukan celahku, mengisiku dengan sangat penuh, ukurannya yang besar membuatku tidak ada ruangan tersisa ketika dengan perlahan ia masuk kedalam pusatku. Ia menabrak bagian dasar, terengah-engah, menemukan mulutku lagi dan menarik hampir seluruhnya keluar. Aku menunggu, vaginaku membuat gerakan mencengkram, bersemangat untuk menunggu kedatangannya. Ia kembali dan aku bergeser kearahnya, mencoba untuk meremas miliknya, memegangnya, tetapi ia sudah menemukan ritmenya.
Ia miring kedepan dan menahanku dengan bahu, dada dan tangannya ketika ia melanjutkan serangannya, mendorong ke dalam diriku. Kuutuhan dan kenikmatan dari gerakan keluar masuk darinya membuat kakiku mulai gemetar. Aku memejamkan mata ketika ia mulai membengkak di dalam diriku, kekerasannya menekan dindingku, kecepatan yang gila, diluar kendali, rambut kasar di pangkal pahanya terasa membakar lapisan labia ku yang sensitif. Aku menggigit kain tebal di bahunya agar tidak menjerit, dan kemudian ia klimaks. Jari-jarinya mencengkram pantatku ketika ia mencoba untuk menarikku lebih dekat, dan kemudian aku orgasme. Otot-otot organ seksku mengepal dan menariknya ketika aku orgasme dan orgasme, cairanku menyatu dengan cairannya.
Ketika aku tersadar, ia masih memelukku, organ seksnya melembut, namun masih terselip di dalam dirku.
"Oke"" ia menyeringai.
Aku tertawa. "Ya, oke. Tapi kita tidak bisa terus seperti ini. Harus menggunakan pengaman," "Baik, asalkan ada kesempatan lain kali."
"Aku ingin turun,"
Ia melangkah mundur. Organ seksnya keluar dan jatuh lemas diantara kedua kakinya. Aku menurunkan kakiku dan menarik rokku, mencoba untuk merapikannya. Linen adalah kain yang tidak begitu baik. Ia merapikan kemejanya dan mengancingkan celananya. Ketika ia selesai, ia terlihat sedikit kusut, tetapi wol ringan dan jasnya lebih baik dari pada pakaianku.
"Pulang kerumah bersamaku""
"Tidak malam ini," aku menggelengkan kepalaku. "Aku butuh mandi. Aku butuh berendam dan garam lavender."
"Aku punya bathtub...dan garam."
"Aku butuh waktu."
Ia mengangguk dan mundur kebelakang. Kakinya menemukan tasku yang terjatuh. Ia mengambilnya dan menyerahkannya padaku. Aku mengambil kunciku dan membuka pintu mobil.
"Sampai jumpa besok pagi," kataku sambil masuk kedalam mobil.


Taking Her Boss Karya Alegra Verde di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ia mengangguk, dan ketika aku menutup pintu mobilku dan menyalakan mesin, ia berjalan ketepi dinding beton dan menungguku hingga berlalu pergi.
*** BAB 4 Keesokan paginya aku merasa penuh dengan rasa bersalah dan khawatir. marah kepada diriku sendiri karena terlalu lemah, karena tidak bisa bertahan pada perinsipku. Tetapi Bruce sudah kembali menjadi sosok Davies, sangat bertanggung jawab dan mempesona staf kantor dan eksekutif, menyemangati mereka dengan pujian untuk hal-hal kecil, dan membiarkan mereka pergi dengan mudah ketika ia tidak menyukai sesuatu. Dalam perjalanan keluar untuk makan siang, ia berhenti di pintu antara kantor kami.
"Makan malam pukul tujuh. Masakan perancis di Eight," katanya, berdiri diambang pintu yang terbuka sambil menariik jasnya.
"Siapa yang memesan"" tanyaku.
"Aku meminta Claire untuk memesannya," ia menjawab sambil menarik pintu kearahnya. "Sampai jumpa disana," pintu itu tertutup, dan ia pergi.
Aku punya semangkuk sup untuk makan siang, yang dihangatkan di dalam dapur kecil di lorong, dan memakannya di atas meja yang penuh dengan kontrak.
Claire kembali dari makan siangnya dan aku mem
berikannya kontrak dengan koreksianku dan bertanya padanya, dengan siapa Davies akan makan malam, malam ini.
"Dia memintaku untuk membuat reservasi untuk dua orang," katanya. "Aku tak tahu kalau kau juga akan pergi. Apakah aku harus memesan untuk tiga orang"" tanyanya.
"Tidak, aku hanya berpikir..." dan aku tidak tahu apa lagi yang harus kukatakan, bagaimana mengalihkannya.
"Oh, mungkin ini adalah kenaikan gaji atau sebuah promosi," katanya, begitu cerah seakan-akan baru saja menangkap sesuatu.
"Aku rasa tidak..." aku mencoba.
"Mungkin dia ingin memberikanmu kejutan. Dia bisa menjadi sangat baik," lanjutnya.
"Apakah kau bisa menyelesaikan ini sebelum jam empat" Aku ingin memastikan bagian Legal akan mendapatkannya sebelum jam lima," tanyaku, mengganti subjek.
"Tentu," katanya, dan berbalik ke komputer.
Bruce tidak kembali ke kantor dan aku tidak terlalu yakin dengan makan malam itu. Aku pulang kerumah dan berganti pakaian, pergi mengenakan gaun bertali spaghetti dari Audrey. Aku ingin terlihat menawan, meskipun mungkin aku harus menghentikan semua ini.
*** Bruce sudah di sana, duduk di mejanya, menungguku. Ia tampak menawan di balik stelan hitam Pradanya. Aku selalu menyukainya karena itu membuatnya terlihat gelap dan kaya, luar biasa kuat. Matanya menyambutku. Seorang pelayan menarik kursi diseberangnya; dan aku duduk. Semua ini berlalu dalam keheningan.
Suara sommelier (pelayan khusus penyedia wine) memecah kesunyian dengan cepat, menunjukan sisi perancisnya ketika ia memeluk sebotol anggur seolah-olah ia adalah seorang ayah yang sangat bangga. Bruce tersentum pada pria kecil itu dan ia membalasnya. Pria itu menuangkannya, Bruce menghirup cairan itu dan menyeringai lebar. senyuman sommelier semakin lebar dan ia menuangkan lebih banyak cairan indah berwarna merah itu kedalam gelas kami sebelum ia meninggalkan kami.
"Gaun itu-" ia memiringkan kepalanya kearahku. "-sangat indah." "Terima kasih," kataku sambil meneguk minumanku. "Apa kau lapar""
"Ya, kurasa." "Aku sudah memesankan untuk kita berdua. Kuharap kau tidak keberatan,"
"Tidak, itu oke. Terserah. Bruce, apa maksud dengan semua ini""
"Aku ingin memiliki beberapa saat bersamamu, saat- saat yang tidak terbebani oleh pekerjaan,"
"Dotties adalah tempat yang bagus,"
"Ya." Katanya. "Aku menikmati keberadaanmu,"
Kami terdiam ketika kami menyebarkan serbet ke pangkuan dan pelayan meletakan semangkuk consomme di hadapan kami.
"Sekarang, kau bilang kau menikmati keberadaanku," ia menegurku.
"Ya," kataku sambil mencicipi sup itu. "Tapi kurasa ini sedikit tidak bijaksana, jika kita terus bertemu di luar jam kerja,"
"Apa salahnya" Ini adalah wilayah netral. Publik." "Untuk saat ini."
"Apakah kau mengantisipasi makanan penutup""
"Tidak akan ada makanan penutup. Apakah itu sebabnya kau mengundangku kesini." Aku mendorong piringku menjauh, nafsu makanku sudah berkurang. Aku benci dimanipulasi.
"Aku tidak mengajakmu kesini untuk merayumu."
"Lalu kenapa""
"Aku pikir kita bisa bicara."
"Tentang apa""
"tentang kita,"
"Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi,"
Pelayan mengambil sup itu. digantikan piringan panas berisikan potongan mignon, asparagus dan keripik kentang au gratin. Pria ini mengenalku. Dia membuat semuanya begitu sederhana, dengan bumbu yang baik, dan lembaran mignon yang juicy dan begitu lembut hingga kau tidak perlu mengunyahnya. Kami makan untuk sementara waktu, sebelum ia kembali berbicara, tapi terasa seperti pembicaraan kami tidak pernah berhenti.
"Aku memiliki hal yang perlu dibicarakan," katanya sambil meneguk winenya.
"Ah," balasku. Aku ingin menambahkan, "Sebuah kejutan," tapi aku malah memenuhi mulutku dengan asparagus.
"Apa yang kau inginkan Glory" Apa yang bisa kulakukan untukmu" Katakan padaku dan aku akan melakukannya untukmu."
"Aku tidak menginginkan apapun," aku meletakan garpuku di sebrang piring. "Hanya kepuasan,"
"Hanya puas, Glory" Aku ingin membuatmu bahagia,"
"Hal ini, apapun yang sudah kita lakukan, tidak akan membuatku bahagia. Semuanya membuatku merasa tidak nyam
an." "Bagaimana agar kita bisa membuatnya nyaman untukmu"" ia terdengar begitu masuk akal, seperti ketika ia sedang berbicara dengan klien.
"Kita tidak bisa,"
"Hal apa yang membuatmu merasa tidak nyaman"" "Semua ini," aku keceplosan, seperti anak 6 tahun.
"Aku tidak mempercayainya Glory. Beberapa bagian dari hal ini tentu membuatmu bahagia. Aku bisa merasakannya,"
"Aku tidak suka perasaan tidak nyaman ketika kembali ke kantor sesudahnya, berpura-pura, dan terkadang perasaan takut untuk bertemu,"
"Kita sudah sangat bijaksana. Tidak perlu ada yang tahu,"
"Itu tidak bisa berlangsung selamanya,"
"Selama yang kau inginkan."
"Bagaimana kau bisa begitu santai. Kau duduk di belakang mejamu di ruang rapat dan kau bahkan tidak melihatku,"
"Aku melihatmu," kata-katanya terdengar serak, dan hal itu memberikan sentakan ke intiku. "Aku tidak mahir bersembunyi seperti dirimu," kataku setelah berhasil melewati sentakan itu. "Apa yang kau inginkan Glory""
"Aku tidak menginginkan apapun. Aku ingin semua ini kembali seperti semula."
"Itu tidak bisa. Aku tidak ingin."
"Mungkin bisa jika kita berhenti sekarang."
"Itu sudah terlambat Glory. Aku sangat menginginkanmu."
Aku duduk bersandar dan menatapnya. Ia duduk dengan tegak, dingin dan siap.
"Apa yang bisa kulakukan untukmu Glory" Apa yang bisa ku lakukan untuk membuatmu bahagia""
Oke, jadi dia sedang memainkan sebuah game yang keras di sini, dan negosiasi masih berlanjut. Aku tidak tahu apa yang kuharapkan, namun yang jelas bukan semua ini.
"Aku sangat gembira pada awalnya, tetapi ini tidak benar. Hal ini tidak seharusnya terjadi,"
Ia mengangguk dan mengisi kembali gelasku. Aku bahkan tidak sadar aku sudah
mengosongkannya. Aku bertanya-tanya apakah kebiasaan seks gilanya yang menyebabkan ia dan istrinya bercerai. Jika itu membuat mantan istrinya tidak bisa bertahan lagi, aku bisa melihat alasannya. Bruce mendorong semacam kebebasan tanpa batas.
"Aku pikir... aku... tidak.. bisa..." aku merasakan diriku tergagap.
"Ini hanya antara kita berdua," ia mengingatkanku seolah-olah aku sedang mempertimbangkan hal itu, mengingat apa yang bisa kulakukan kepadanya. "Orang lain tidak perlu tahu. Kecuali kau ingin mengikut sertakan orang lain. Kita harus berhatu-hati, tapi jika itu adalah hal yang kau inginkan..." ia terlihat malu lagi, seperti yang ia lakukan ketika di motel. Vaginaku mengejang dan mulai terasa lembab.
"Aku menyukai pekerjaanku. Aku suka keadaan kita sebelumnya," aku menjelaskan.
"Ini tidak ada kaitannya dengan ketika kita di kantor. Kau bagus dalam pekerjaanmu. Aku mengandalkanmu. Apa yang kita lakukan di waktu senggang kita tidaklah berpengaruh pada pekerjaan kita."
Aku tahu itu semua tidak benar. Aku masih ingat bagaimana suasana hatinya berubah ketika ia mendapatkan apa yang ia inginkan dan ketika ia ditolak. Aku masih mengingat wajah Claire ketika ia menyadari aku akan makan malam berdua dengan Bruce. Tampaknya ia tengah mempelajari wajahku karena sesaat kemudian ia kembali menambahkan. "Kedekatan kita karena bekerja sama, pasti akan memberikan beberapa spekulasi. Itu hal normal jika memiliki seoarng asisten wanita. Tetapi, spekulasi apapun yang mereka pikirkan tidaklah harus mempengaruhi kita,"
Ia memandangku dan menunggu. Aku tidak mengatakan apapun. Aku tak tahu apa yang harus kukatakan untuk menjauh dari semua ini-dari pria ini, seks yang panas, dan pekerjaanku. Tetapi aku benar-benar menyukai pekerjaanku dan dia memang berbeda.
"Apa kau butuh uang" Apartemen yang lebih besar""
"Rayuan harta"" aku menggelengkan kepala dan tersenyum menegur kepadanya. "Aku hanya ingin membuatmu bahagia." "Aku bukan pelacur."
"Kau bisa pindah bersamaku." Ia benar-benar mengabaikan komentarku, sebuah pengabaian yang tidak relevan, dan melemparkan sebuah bola yang dengan kencang menabrak dadaku, menekan udara keluar dari dalam diriku. "Aku punya rumah yang besar, dan aku tinggal sendirian. Terkadang rumah itu terasa hampa. Dan kau bisa memiliki ruanganmu sendiri."
Ketika aku tidak meresponya, ia berkata. "Pulanglah bersamaku,"
Aku men atapnya. "Untuk melihat rumah itu," ia menambahkan. "Aku sudah pernah melihatnya,"
"Hanya beberapa saat, dan hanya lantai bawah. Kau belum melihat semuanya. Kau disana untuk mengurusi beberapa berkas."
"Sudah cukup," "Ayolah," ia tersenyum. "Aku ingin menunjukan rumahku padamu," Aku membeku. Kewalahan. Tidak adil, ia jauh terampil dari pada diriku. "Tidak ada hal lain," katanya, ia berusaha untuk menangkap mataku. Ia berbohong, dan aku tahu ia sedang berbohong.
Aku memohon diri dari hadapannya, butuh beberapa saat untuk memulihkan diriku. Dan ketika aku kembali, ia sudah membayar tagihannya dan berdiri untuk membantuku dengan mengangkat bahu sebelum tangan panasnya meraih punggungku dan memanduku untuk keluar dari restoran itu dan menuju mobilnya yang sudah mengunggu.
Saat aku duduk di sampingnya di dalam mobil, aku merasa takut sekaligus gembira karena aku sadar, aku tidak bisa mengubah pendirian pria ini. Aku harus menjadi diriku sendiri ketika bersamanya - menuntut, memaksa, kejam atau penuh kasih. Ia mendorongku untuk melakukannya. Prospek masa depan itu memabukanku dan aku tahu, ketika mobil ini menuju lalu lintas, ini hanya sebuah permulaan.
-end- Nenek Bongkok 1 Jodoh Rajawali 05 Gerombolan Bidadari Sadis Pendekar Pemanah Rajawali 20
^