Pencarian

Nenek Bongkok 1

Pendekar Gila 34 Nenek Bongkok Bagian 1


NENEK BONGKOK Oleh Firman Raharja
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : A. Suyudi
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dan penerbit
Firman Raharja Serial Pendekar Gila
dalam episode: Nenek Bongkok 128 hal ; 12 x 18 cm
https://www.facebook.com
/DuniaAbuKeisel
1 Sejak diusirnya Senapati Warkasa Pati em-
pat bulan yang lalu, keadaan Kadipaten Balasutra mulai aman kembali. Begitu pula
desa-desa yang berada dalam kekuasaan kadipaten itu. Kehidu-
pan masyarakatnya kembali aman dan tenteram.
Desa Kawulan yang memiliki wilayah paling
luas di antara desa-desa lainnya, cukup ramai
dan subur. Apalagi di desa itu merupakan tempat
tinggal senapati yang baru. Seorang yang bijaksa-na dan berbudi luhur. Senapati
Pranggana na- manya. Adipati Parisuta pun sangat mempercayai
dan menyenangi Senapati Pranggana. Karena se-
lain memiliki ilmu silat yang cukup tinggi, Senapati Pranggana memiliki
kesetiaan dan kejujuran.
Dia setia membela orang desa yang tertindas oleh perampok dan tokoh-tokoh sesat
yang datang setiap saat
Malam ini langit nampak kelam. Bulan ter-
tutup oleh awan. Suasana gelap gulita dan men-
cekam. Angin dingin berhembus kencang, seakan
mengisyaratkan akan terjadi sesuatu.
"Aneh! Malam ini sangat dingin, tak
enak...," gerutu seorang peronda yang sedang menunggu temannya di gardu, "Ke
mana saja si Kerempeng Suko. Kencing kok lama sekali...!"
"Kirman!" tiba-tiba terdengar teguran dari arah semak-semak.
"Siapa..."! Kau Suko..."!" tanya Sukirman agak ragu. Matanya menyipit memandang
ke arah semak-semak yang tak jauh dari gardu.
"Iya, cepat ke sini...!" terdengar seruan dengan suara serak.
"Ah...! Ada-ada saja anak tuyul itu...," gerutu Sukirman sambil mengikatkan kain
sarungnya di pinggang. Lalu dia turun dari balai-balai yang ada di gardu itu dan melangkah
ke arah semak-semak. Begitu sampai di dekat semak-semak, tiba-
tiba... Crasss!
"Aaa...!"
Sukirman menjerit, lalu tak bersuara lagi.
Mati! Keadaan sunyi senyap kembali menyelimuti
tempat itu. Desa Kawulan pun sunyi, bagaikan
tak ada penghuninya.
Padahal biasanya, baik siang maupun ma-
lam hari, Desa Kawulan selalu ramai. Namun en-
tah mengapa malam ini suasananya begitu men-
cekam. Para penduduk sepertinya sudah terlelap
tidur. Karena hawa malam memang terasa sangat
dingin. Hanya suara binatang malam terdengar di
antara desau angin yang menerpa dedaunan. Me-
reka bergembira menikmati keheningan malam
yang dapat mereka manfaatkan untuk mencari
makan, bermain, bersenda gurau maupun saling
melepaskan hasrat birahinya. Karena siang ha-
rinya mereka merasa terganggu sekali oleh hiruk-
pikuk dan kesibukan manusia.
Dari semak-semak dekat gardu ronda me-
lesat bayangan hitam memasuki desa. Lalu
menghilang dalam kegelapan malam.
Langit di atas tampak muram. Bulan yang
hanya sepotong masih tetap terhalang awan tebal.
Dan keheningan itu semakin mencekam, semakin
membuat para penduduk lebih suka menarik se-
limut. Daripada memikirkan yang tidak-tidak,
hanya akan mengganggu tidur mereka.
Namun mendadak saja desa yang sunyi
dan gelap itu tiba-tiba menjadi kacau-balau.
Bermula dari terdengarnya tawa panjang yang
amat mengerikan dan menggema, seakan menye-
barkan hawa kematian. Disusul kemudian koba-
ran api di atas beberapa rumah, hingga membuat
para penghuninya harus berlarian menyela-
matkan diri. Rumah Ki Lurah Kuntolo, mertua Senapati
Pranggana pun tak luput dari sasaran api itu. Ki Kuntolo bersama istri dan
Surti, istri Senapati
Pranggana, berlarian keluar sambil menggendong
anaknya yang belum berumur satu tahun.
Seketika suasana desa berubah bagaikan
neraka. Jeritan-jeritan keras terdengar di sana-
sini. Para penduduk panik dan ketakutan. Orang-
orang lelaki berlarian mencari air untuk mema-
damkan api yang terus berkobar dan semakin
membesar. "Tolooong...! Tolooong...!"
"Cepat padamkan...! Ayo cepat...!" perintah
Ki Kuntolo pada para penduduk. "Edan! Dari ma-na datangnya api itu..."!"
gumamnya seraya
menggeleng-gelengkan kepala merasa tak habis
pikir. Sementara itu, Surti nampak sangat keta-
kutan dan memeluk anaknya erat-erat, melin-
dunginya dengan penuh kasih sayang.
"Sebaiknya kau berlindung di rumah Sap-
to, cepat...!" perintah Ki Kuntolo pada Surti dan istrinya.
Surti dan ibunya cepat menuju rumah Ki
Sapto yang terletak di ujung desa. Ki Sapto merupakan orang kepercayaan Ki
Kuntolo. Kedudu-
kannya sebagai Wakil Lurah Desa Kawulan.
Ditemani oleh seorang lelaki bertubuh ke-
kar, Surti dan ibunya terus melangkah menuju
rumah Ki Sapto.
Sementara itu api semakin besar dan su-
dah lima rumah terbakar. Beramai-ramai para
penduduk terus berusaha, memadamkan api
yang semakin berkobar. Sementara angin ber-
hembus kencang.
Kerja cepat dan bantu membantu pun ter-
jadi. Ki Kuntolo dan Ki Sapto mengomandoi para
warga, sambil ikut juga turun tangan.
Mereka bergerak cepat berusaha membu-
nuh si Jago Merah. Namun belum lagi api yang
satu berhasil dipadamkan, mendadak saja api itu
menyambar lagi rumah-rumah yang lain. Karena
angin yang berhembus demikian kuat, memper-
cepat dan memperbesar kobaran api yang terus
menjilat atap-atap rumah.
Keadaan semakin kacau balau. Kepanikan
semakin menjadi-jadi. Hiruk-pikuk jeritan pendu-
duk yang ketakutan ditingkahi suara gemeretak
kayu terbakar. Sementara di kejauhan penduduk
yang lain terdengar membunyikan kentongan.
"Tolooong...! Api...!"
"Air...! Air...!"
"Cepat padamkan...!"
Seruan-seruan ramai terus terdengar. Dan
yang paling mengenaskan, ada salah seorang
penduduk berlarian dari rumahnya dengan tubuh
terbakar. Ternyata seorang lelaki tengah meng-
gendong anaknya yang masih kecil.
"Tolooong! Tolooong...!" serunya kepanasan dan berlarian ke sana kemari sambil
terus memeluk erat anaknya. Beberapa warga segera berlari
menolong lelaki yang terbakar itu.
Sementara para penduduk memadamkan
api di tubuh lelaki itu, Ki Kuntolo berusaha mengambil anak yang ada di
pelukannya. Anaknya
pun menangis-nangis keras.... Dengan berani Ki
Kuntolo menembus api yang membakar lelaki itu
dan cepat menarik sang Anak. Ki Lurah Kuntolo
segera menjauh sambil memeluk anak kecil itu.
Namun lengan Ki Kuntolo sempat termakan api,
meski tak begitu parah.
"Bawa anak ini... jauh-jauh...!" kata Ki Kuntolo sambil memberikan anak kecil
itu pada salah seorang warga.
Lelaki yang terbakar itu tak dapat disela-
matkan. Jeritan menyayat terus terdengar seiring tubuhnya yang berlarian
menyelamatkan diri.
Bau hangus dan sangit pun menusuk hi-
dung. Para penduduk yang menyaksikan hanya
bisa mendesah dengan hati pilu. Beberapa kaum
wanita menjerit ngeri melihatnya. Mereka menun-
dukkan kepala dengan terisak, ketika melihat se-
pasang suami istri dan seorang anaknya mati ter-
bakar. Api terus berkobar. Hal ini membuat para
penduduk menjadi cemas dan lambat laun mun-
cul kecurigaan. Dari mana datangnya api itu"! Kejadian ini dirasakan sangat
aneh. Belum lagi keheranan mereka terjawab,
mendadak saja melayang sesosok tubuh dengan
gerakan yang amat ringan, menuju kerumunan
para penduduk. Disusul dua sosok lain melayang
dengan gerakan sama. Kemudian ketiganya mem-
perdengarkan suara tawa yang aneh. Menggema
panjang dan menggetarkan telinga yang menden-
garnya. Ki Kuntolo, Ki Sapto, dan para penduduk
menyebar, dengan perasaan cemas melihat ketiga
orang yang masih melenting dan bersalto di uda-
ra. Ketiga sosok itu mendarat. Namun sosok
pertama mendarat dengan membelakangi Ki Kun-
tolo, Ki Sapto, dan para penduduk. Sedangkan
dua orang yang berkepala botak dan berkumis
tebal menghadang Ki Kuntolo dengan tatapan ga-
rang. "Siapa orang-orang ini...".'" tanya Ki Kuntolo dalam hati.
Kemudian orang yang berambut panjang
dengan pengikat kepala kain merah, perlahan
membalikkan tubuhnya, berdiri gagah berkacak
pinggang. Dia tertawa-tawa mengejek. Matanya
yang liar, menatap tajam Ki Lurah Kuntolo.
"Hah"!" Ki Kuntolo tersentak kaget bukan main. Begitu juga dengan Ki Sapto dan
para penduduk yang mengenal orang itu.
"Ha ha ha...! Jangan kaget, Manusia-
manusia Bodoh. Bila kalian hendak mencari-cari
siapa yang telah berbuat ini semua..., akulah
orangnya!" suaranya nyaring dan terdengar cukup mengerikan.
"Senapati Warkasa Pati...?"" gumam Ki
Kuntolo, setelah mengenalinya. Seketika lelaki berumur sekitar lima puluh lima
tahun itu merasa
cemas. "Kau tentunya masih mengenali aku, bukan"! Ha ha ha... aku datang hanya
mengingin- kan mantumu itu, Ki Kuntolo!" kata Warkasa Pati dengan pongahnya.
"Hah..."! Tapi dia tak ada di sini. Kenapa
kau tidak datang saja ke Kadipaten Balasutra..."!
Apa kau takut!" jawab Ki Kuntolo dengan berani.
"He he he...! Orang tua ini mulutnya perlu
disobek!" kata Warkasa Pati dengan geram. Secepat itu pula dia mengibaskan
jubahnya. Srrrt..! "Ukh...!"
Seketika Ki Kuntolo memekik dan tahu-
tahu mulutnya remuk dan berlumuran darah.
Tubuhnya terpental dua tombak, menubruk bebe-
rapa orang yang berdiri di belakangnya.
Warkasa Pati tertawa terbahak-bahak me-
lihatnya. "Apa kalian juga ingin kusobek mulut kalian. Hah...!"
Tak seorang pun yang berani bertindak
atau menjawab. Hanya Ki Sapto yang sebagai wa-
kil kepala desa, melangkah maju mencoba mene-
nangkan Warkasa Pati.
"Apa sebenarnya yang membuat kau mem-
bakar rumah penduduk yang tidak berdosa...?"
tanya Ki Sapto dengan tegas dan mantap.
"Ha ha ha...! Aku senang mendengar perta-
nyaanmu. Ha ha ha...! Aku hanya inginkan
Pranggana, senapati yang menggantikan aku itu.
Dengan cara seperti ini dia pasti murka dan men-
cariku. Katakan padanya bahwa aku menung-
gunya di Lembah Seribu Iblis, besok pagi-pagi sekali...! Hanya Pranggana. Kalau
ada orang lain,
akan kubumihanguskan dan kubunuh semua
orang yang ada di desa ini. Mengerti..."! Sampai-
kan tantanganku! Kalau tidak kau sendiri yang
akan jadi gantinya!" kata Warkasa Pati dengan geram. Tiba-tiba dari jauh, Surti
yang menggen- dong anaknya berlari-lari diikuti ibunya, menuju tempat mereka.
"Ada apa..."! Ada apa..."!" tanya Surti pada Ki Sapto. Wanita itu belum tahu
kalau di situ ada
Warkasa Pati yang telah membuat ayahnya ping-
san. "Oh, Pak.."! Kenapa mulutmu, Pak...!" Tiba-tiba terdengar suara istri Ki
Lurah Kuntolo. Surti pun menoleh ke belakang.
"Oh"!" pekik pendek Surti yang merasa kaget. "Ha ha ha...!" terdengar suara tawa
Warkasa Pati. Surti kaget dan berpaling ke arah suara.
Matanya membelalak ketika tahu dan mengenali
orang yang tertawa bergelak itu.


Pendekar Gila 34 Nenek Bongkok di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kurang ajar! Bajingan! Rupanya kau yang
berbuat semua ini. Apa maksudmu... "!" bentak Surti dengan geram. Matanya
berkaca-kaca. "Ha ha ha... Aku senang melihat wanita se-
cantikmu marah-marah seperti ini. Kalau saja
kau mau jadi istriku, aku pun tak keberatan. Wa-
laupun perawanmu telah kau berikan pada
Pranggana yang bodoh itu!" ejek Warkasa Pati.
"Kurang ajar! Manusia busuk pengkhianat
kadipaten, pemeras...! Kubunuh kau...!" teriak Surti geram. Dan secepat itu
tangan kanan Surti
mencabut golok di pinggang Ki Sapto yang berdiri di sebelah kirinya. Lalu wanita
muda itu bermaksud membabatkan goloknya ke tubuh Warkasa
Pati. Namun segera ditahan oleh Ki Sapto.
"Jangan berbuat bodoh, Surti...! Dia tak
akan mundur. Sabarlah! Biar semuanya berjalan
apa adanya...!" kata Ki Sapto yang bergerak cepat dan tepat.
Surti hanya bisa diam penuh dendam. Na-
pasnya naik turun dengan cepat, menahan ama-
rah yang besar. Matanya mendelik ke arah War-
kasa Pati. Sedangkan bekas senapati itu hanya
senyum-senyum. "Dengar Surti...! Aku datang hanya untuk
mengundang, menantang suamimu, Pranggana.
Dan aku yakin dapat membunuhnya!" kata War-
kasa Pati dengan sombong.
Mendengar itu hati Surti seketika cemas
dan terdiam dengan bibir bergetar
Sementara itu Ki Kuntolo tengah ditolong
dan diobati para penduduk tak jauh dari tempat
itu. "Dan kau harus tahu, sebagai pengganti suamimu nanti adalah aku! Karena
sejak dulu sebenarnya aku mengincarmu. Tapi si Pranggana
yang bodoh itu lebih beruntung. Ha ha ha...! Un-
tuk itu bersiaplah nanti! Aku akan membawamu,
begitu suamimu dapat kubunuh. Ha ha ha...!" ka-ta Warkasa Pati dengan penuh
keyakinan dan menggoda. Lalu setelah memberi isyarat pada ke-
dua anak buahnya, Warkasa Pati melesat pergi.
Sebelumnya diingatkan lagi pada Ki Sapto, bahwa
dia menunggu Senapati Pranggana di Lembah Se-
ribu Iblis. Hati Surti semakin tak karuan mendengar
ucapan Warkasa Pati. Rasa khawatir dan takut
tersirat di wajahnya. Karena semua orang tahu,
bahwa Warkasa Pati kini telah memiliki ilmu yang cukup tinggi. Apalagi mantan
senapati itu kini
menjadi murid si Nenek Bongkok dari Pantai Sela-
tan. "Sudahlah, jangan kau terlalu larut pada
masalah ini! Serahkan semuanya pada Hyang
Widhi...," kata Ki Sapto mencoba menenangkan hati Surti.
Lalu Surti mendekati ayahnya yang sedang
diobati oleh Nyi Dimah. Ki Sapto mengikuti di belakangnya. Sementara orang-orang
mulai bubar. "Sebaiknya, bawa ke rumahku saja. Hari
sudah larut malam. Ayo, Surti...!" ajak Ki Sapto pada orang-orangnya. Segera dua
orang laki-laki
menggotong tubuh Ki Kuntolo ke rumah Ki Sapto
diikuti Surti dan Ibunya. "Gono, cepat kau ke kadipaten, beritahu Senapati
Pranggana...!" perintah Ki Sapto pada seorang pemuda desa.
"Baik, Ki...," jawab Gono. Lalu cepat dia berangkat ke Kadipaten Balasutra.
Sementara itu malam semakin larut. Sua-
sana kembali sunyi dan mencekam. Bulan pun te-
tap tertutup awan menjadikan keadaan gelap gu-
lita. Asap mengepul dari bekas rumah-rumah
yang terbakar, termasuk rumah Ki Kuntolo. Se-
mua telah menjadi arang.
2 Malam itu juga Senapati Pranggana datang
disertai dua orang dari kadipaten, dengan me-
nunggang kuda. Gono yang menyusulinya duduk
di belakang Senapati Pranggana yang menung-
gang kuda coklat belang putih.
Kuda-kuda itu cepat memasuki Desa Ka-
wulan, dan berhenti di depan sebuah bangunan
yang tak begitu besar. Bangunan setengah tem-
bok itu rumah Ki Sapto.
Begitu masuk, Senapati Pranggana lang-
sung mencari istri dan anaknya.
"Kakang...!" seru Surti begitu melihat Senapati Pranggana masuk. Mereka
berpelukan erat
Surti menangis tersedu-sedu.
"Tenang Diajeng, tenang...!" kata Senapati Pranggana coba menenangkan istirinya
dengan menepuk-nepuk dan mengusap punggung Surti.
Lalu Senapati Pranggana menggendong
anaknya yang tadi digendong neneknya. Senapati
Pranggana menciumi berulang kali kening anak-
nya. Lalu diberikannya lagi pada ibu mertuanya.
Senapati Pranggana mendekati Ki Kuntolo, mer-
tuanya yang masih terbaring di balai-balai ruang tengah.
Mulutnya miring dan pecah, akibat sabetan
jubah Warkasa Pati. Senapati Pranggana nampak
sedih melihat keadaan mertuanya itu.
"Maafkan saya...! Semua ini gara-gara saya
Tapi percayalah, saya akan membalas dan mem-
bunuhnya," kata Senapati Pranggana dengan
mantap. Lelaki gagah itu kembali mendekati Surti.
Lalu dia bertanya pada Ki Sapto, yang juga nam-
pak cemas dan sedih.
"Bagaimana awalnya, Ki...?" tanyanya.
Ki Sapto menghela napas sejenak. Ditatap-
nya Senapati Pranggana sebentar, lalu mulai
menceritakan kejadian naas itu, dari awal sampai akhir. Ki Sapto menceritakan
bahwa maksud Warkasa Pati tak lain ingin membalas dendam
dan menantang Senapati Pranggana. Warkasa Pa-
ti merasa disingkirkan dari kadipaten oleh Sena-
pati Pranggana. Karena Senapati Pranggana-lah
yang berhasil mengungkap dan menangkap basah
sepak terjang Warkasa Pati semasa menjadi sena-
pati yang suka memeras rakyat dan mencoba
menjatuhkan tahta Adipati Parisuta.
"Itulah maksud utama Warkasa Pati. Bah-
kan dia mengancam kami, bila kau datang ber-
sama pasukan kadipaten," ujar Ki Sapto mengak-hiri ceritanya.
"Dia juga berkata kurang ajar, Kakang. Dia
hendak mengambilku jika kelak kau kalah dan
mati dalam pertarungan...," ucap Surti tiba-tiba.
Membuat Ki Sapto mengerutkan kening. Lelaki itu
nampak menyayangkan ucapan Surti. Karena di-
anggapnya akan mempengaruhi ketenangan Se-
napati Pranggana dalam menghadapi Warkasa Pa-
ti. Mendengar ucapan istrinya, Senapati
Pranggana tersentak kaget. Lalu berpaling mena-
tap Surti tajam dengan mengerutkan keningnya.
Napasnya naik turun cepat, seakan menahan ra-
sa amarah yang besar.
"Aku akan tetap bersamamu, Diajeng. Aku
akan membunuhnya!" kata Senapati Pranggana
dengan suara mantap. Lalu memeluk erat Surti.
Keduanya berpelukan agak lama, seakan mereka
tak akan lagi bertemu satu sama lain.
Nampak dalam wajah Senapati Pranggana
tersirat rasa penyesalan, terhadap semua peristi-wa ini. "Kenapa aku biarkan
Warkasa Pati dulu hidup" Kenapa aku masih bermurah hati pada
orang seperti dia"! Seharusnya kubunuh saja dia
sewaktu aku menang dalam pertarungan itu..."
Bodoh sekali aku ini...! Kini dia menantangku,
mau membunuhku. Bahkan ingin merebut istri-
ku..,! Oh Hyang Widhi, beri hamba-Mu ini kekua-
tan dan kepercayaan diri untuk melawan manu-
sia keparat itu."
Perlahan Senapati Pranggana melepas pe-
lukan sambil menatap lekat-lekat wajah sang Istri agak lama, lalu diciumnya
kening istrinya lembut.
"Aku akan kembali, Diajeng. Percayalah...!
Sekarang Diajeng tidurlah. Sudah hampir pagi...
biar aku berunding dengan Ki Sapto dan dua
pengawalku...," kata Senapati Pranggana perlahan. Surti hanya menganggukkan
kepala. Se- mua yang ada di situ merasa terharu. Karena di
hati dan perasaan mereka tentunya Senapati
Pranggana akan berpisah selamanya dengan Sur-
ti. Mengingat Warkasa Pati kini memiliki ilmu
yang cukup tinggi. Terutama Ki Sapto yang juga
mendengar bahwa mantan senapati itu menjadi
murid Nenek Bongkok dari Pantai Selatan, yang
memiliki ilmu setan dan kejam.
Setelah Surti masuk ke kamar bersama
ibunya, Senapati Pranggana segera duduk bersila
di atas tikar, berembuk dengan Ki Sapto dan dua
orang pengawalnya.
Mereka berunding dan bicara hingga fajar
menjelang. Kemudian Senapati Pranggana mulai
bersiap diri. Ayam berkokok panjang tanda pagi telah
datang. Dan sang Fajar mulai muncul di balik
bukit. Sinarnya memerah menyemburat di langit
timur.... * * * Saat yang mendebarkan telah datang. Se-
napati Pranggana dengan menunggang kuda ber-
warna putih belang coklat, nampak gagah. Apala-
gi dengan pakaian kadipaten. Warna pakaiannya
serba hitam lengan panjang dengan kain batik
coklat. Dan sebilah keris terselip di pinggangnya.
Kuda terus berlari cepat menuju Lembah
Seribu Iblis. Derap kaki kuda pagi-pagi buta itu seakan menggugah ketenangan
hewan-hewan yang masih tidur.
Tak lama kuda itu sudah sampai di kaki
Lembah Seribu Iblis. Senapati Pranggana mulai
memperlambat lari kudanya. Matanya menyapu
sekeliling lembah itu. Melirik ke kiri dan kanan.
Lalu ditariknya lagi tali kekang kuda, melangkah perlahan ke depan. Begitulah
yang dilakukan Senapati Pranggana.
Suasana sepi. Hanya angin yang berhem-
bus kencang sekali dari arah selatan. Namun ku-
da yang ditunggangi Senapati Pranggana tetap
bergerak tegap dan menuruni lembah yang sepi
itu. "Apakah Warkasa Pati menjebakku..."! Bisa saja dia tak muncul, tapi anak
buahnya...," pikir Senapati Pranggana dalam hati.
Kaki kuda terus menuruni Lembah Seribu
Iblis yang sepi dan sunyi itu. Tiba-tiba sesosok bayangan berkelebat di udara
dengan bersalto
beberapa kali, bagai seekor kelelawar raksasa. La-lu mendarat dengan ringan di
atas gundukan ta-
nah berumput. Senapati Pranggana menarik tali kekang
kudanya hingga berhenti. Matanya memandang
tajam sosok manusia yang berdiri dengan pon-
gahnya dan berkacak pinggang. Wajahnya masih
belum jelas, karena sinar sang Surya ada di belakangnya. Orang itu menghadap ke
barat, menatap lekat pada Senapati Pranggana.
Baru saja Senapati Pranggana turun dari
kudanya tiba-tiba terdengar suara gelak tawa
orang itu, menggema seakan hendak memecah
suasana pagi yang hening.
"Ha ha ha...!"
"Sombong! Akan kucincang kau, Manusia
Keparat...!" kata Senapati Pranggana dalam hati dengan penuh dendam dan amarah.
Lalu dia mencabut keris pusakanya.
"Hua ha ha.... Aku senang pagi ini. Karena
kau menanggapi tantanganku, Orang Bodoh!" ejek
orang berjubah hitam serta pakaian dalam ber-
warna merah darah itu.
"Phuih!" Senapati Pranggana meludah.
"Kau seharusnya sudah kubunuh, Warkasa Pati!
Dan kini aku tak akan memberimu ampun lagi...!"
seru Senapati Pranggana dengan suara keras,
sambil menuding Warkasa Pati dengan tangan ki-
rinya. "Hua ha ha...! Kau yang akan kukirim ke akherat, Pranggana. Ha ha ha...!"
jawab Warkasa Pati dengan tawa bergelak.
Lalu tanpa basa-basi lagi Senapati Prang-
gana langsung melompat melakukan serangan.
Terjadilah pertarungan sengit antara keduanya.
"Heaaa...! Mampus kau, Keparat!" seru Senapati Pranggana sambil menusukkan keris
pu- sakanya ke dada Warkasa Pati, disusul dengan
tendangan kaki kanan.
Namun Warkasa Pati dapat mengelak den-
gan cepat, serta menangkis tendangan Senapati
Pranggana dengan tangan kirinya. Dengan cepat
pula dia mencengkeram kaki Senapati Pranggana,
lalu memutar dan melemparkannya. Senapati
Pranggana tersentak kaget. Tubuhnya melayang
ke belakang dan mendarat ringan di tanah.
"He he he.... Boleh juga kau, Orang Bo-
doh...!" ejek Warkasa Pati diiringi tawanya.
Melihat ejekan lawannya, Senapati Prang-
gana tampak geram sekali. Tubuhnya melompat
lagi melakukan serangan. Dalam sekejap perta-
rungan berlangsung kembali. Keduanya terka-
dang sama-sama melenting ke atas, bertarung di


Pendekar Gila 34 Nenek Bongkok di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

udara. Pada satu kesempatan Senapati Pranggana
berhasil menusukkan kerisnya ke perut Warkasa
Pati. Jlep! "Ukh...!" pekik Warkasa Pati. Namun kemudian dia tertawa-tawa. Keris pusaka
Senapati Pranggana ternyata tak berarti apa-apa baginya.
Bahkan ketika dicabut oleh pemiliknya, keris itu patah. Senapati Pranggana yang
melihat kenyataan itu sangat kaget dan melangkah mundur
dengan wajah tegang.
Sementara itu dari perut Warkasa Pati
yang berbekas tusukan keris Senapati Pranggana,
keluar patahan keris itu. Dengan tangan kirinya
Warkasa Pati mencabut pucuk keris Senapati
Pranggana sambil tertawa-tawa. Lalu membua-
ngnya. Senapati Pranggana tampak ternganga. Ha-
tinya seketika berubah kecut. Senjata pusaka sa-
tu-satunya ternyata tak mempan di tubuh War-
kasa Pati. "Hua ha ha.... Sudah kukatakan, bahwa
aku akan dengan mudah membunuhmu, Orang
Bodoh! Dan sebentar lagi Surti bakal jadi istriku!
Ha ha ha...!" kata Warkasa Pati sambil melangkah mendekati Senapati Pranggana
yang terus mundur sampai ke tepian lembah.
Pada saat itu dari jauh nampak seorang
pemuda berambut ikal panjang, dengan baju
rompi kulit ular sedang berjalan santai menuju
lembah itu. Namun langkahnya terhenti ketika
terdengar suara tawa menggelegar seseorang, ba-
gai ingin meruntuhkan bumi.
"Aha, suara tawa itu mengerikan. Siapa
orangnya..."! Mengapa dia tertawa-tawa..."!" gumam pemuda berbaju rompi kulit
ular itu sambil
menggaruk-garuk kepala. Lalu segera dipercepat
langkahnya ke arah suara tawa.
Kembali kita pada Warkasa Pati. Lelaki ber-
jubah hitam itu telah semakin dekat dengan Se-
napati Pranggana yang terus melompat menghin-
dar dari serangan Warkasa Pati.
"Aku tak akan cepat-cepat membunuhmu.
He he he... Akan kucincang tubuhmu, lalu kuba-
wa ke Desa Kawulan. Sebagai bukti bahwa aku
menang. Dan Surti, he he he.... Dia pasti bakal
jadi istriku...," kata Warkasa Pati yang kemudian dengan cepat menghantam dada
Senapati Pranggana dengan tendangan kaki kanannya yang amat
keras. Gerakannya yang begitu cepat tak diduga
oleh Senapati Pranggana.
Buk! Buk! "Aaa...!" Senapati Pranggana menjerit kesakitan. Tubuhnya terpental empat tombak
ke bela- kang. Lalu jatuh dengan keras di atas rerumpu-
tan basah. Belum sempat Senapati Pranggana bangkit,
Warkasa Pati kembali menyerang. Tubuhnya me-
lompat cepat dengan menusukkan dua jari tan-
gan ke kedua mata Senapati Pranggana.
"Ha ha ha.... Kali ini kau akan kubuat bu-
ta! Terimalah sekarang, heaaa,..!" Warkasa Pati berteriak sambil mengayunkan
tangan kanannya.
Namun sebelum jari-jari tangan Warkasa
Rati sampai ke mata Senapati Pranggana yang
sudah pasrah itu, tiba-tiba berkelebat sesosok
bayangan. Dengan cepat sosok itu menyambar
Senapati Pranggana dan membawanya pergi.
Orang yang membawa pergi Senapati
Pranggana masih sempat melancarkan serangan.
Dengan gerakan yang cepat sekali kaki kanannya
menendang dada dan kepala Warkasa Pati.
Bug! Bug! "Aaa...!" Warkasa Pati memekik, tubuhnya sempat terhuyung beberapa langkah ke
belakang. Seketika itu juga orang yang menyerang
Warkasa Pati sudah menghilang.
"Huh...! Bangsat...! Dedemit atau setan,
siapa yang menyelamatkan Pranggana..."! Hei!
Keluar kau...! Ayo, lawan aku kalau kau ingin adu ilmu, Bangsat!" sungut Warkasa
Pati dengan murka. Tubuhnya langsung melesat mencari
orang yang menyelamatkan jiwa Senapati Prang-
gana. Dengan ilmu meringankan tubuh, dalam
sekejap saja Warkasa Pati sudah berada jauh.
Namun tak menemukan orang yang dicari. War-
kasa Pati nampak menyesali dirinya sendiri.
"Bodoh! Kenapa aku tidak langsung mem-
bunuhnya..."! Huh! Kenapa aku bodoh sekali. Ka-
lau saja aku tadi cepat membunuhnya, tak akan
terjadi begini. Sial...!"
Warkasa Pati nampak kesal sendiri dan
menendang-nendang apa saja yang ada di depan-
nya. Pohon atau batu ditendangnya, hingga mo-
rat-marit dan berpentalan.
Sementara itu orang yang menyelamatkan
Senapati Pranggana terus berlari sambil memang-
gul tubuh orang yang ditolongnya. Lalu setelah
merasa aman, orang itu menghentikan larinya,
Direbahkannya tubuh Senapati Pranggana di ta-
nah yang ditumbuhi rerumputan, di bawah pohon
rindang. Senapati Pranggana nampak tercenung
memandangi penolongnya yang ternyata seorang
pemuda tampan berpakaian kulit ular. Pemuda
itu tampak cengengesan memandangi wajah Se-
napati Pranggana.
"Aha, kau sudah aman, Sobat. Pulihkan
tenaga dalammu! Tenangkan hatimu...," kata pemuda berambut gondrong ikal dan
berparas tam- pan serta gagah itu. Lalu mulutnya cengengesan
dan menggaruk-garuk kepala.
Senapati Pranggana menyipitkan kedua
mata, ketika melihat tingkah pemuda itu seperti
orang gila. Seakan dirinya tengah berusaha men-
gingat-ingat sesuatu. Kemudian dia ingin bangun, tapi belum kuat, badannya masih
lemas. "Tenang saja, Sobat. Kau sudah aman. Aku
tak akan meninggalkanmu, sebelum kau kembali
sehat. Hm... lebih baik kau makan ini...," kata pemuda berpakaian rompi kulit
ular, yang tak lain Sena Manggala atau Pendekar Gila. Sena
Manggala mengeluarkan obat berbentuk bulat hi-
tam dari balik ikat pinggangnya. Lalu diberikan-
nya pada Senapati Pranggana. Senapati Prangga-
na menerima dengan tangan kanan, lalu me-
makannya. Sambil mengunyah obat, Senapati Prang-
gana tampak mengernyitkan kening. Berusaha
mengingat-ingat siapa pemuda bertingkah lucu
yang telah menolongnya.
Tak berapa lama kemudian Senapati
Pranggana sudah mulai pulih. Wajahnya yang
semula pucat tampak mulai segar. Dan dia mulai
bisa bergerak bangun.
"Terima kasih...," ucap Senapati Pranggana sambil memijit-mijit lengan kirinya.
"Kau telah menyelamatkan jiwaku. Aku berhutang nyawa
padamu, Sobat"
"Ah ah ah, tak usah kau pikirkan. Sudah
biasa aku lakukan hal seperti ini. Dan itu me-
mang aku senang,..," jawab Sena Manggala polos sambil menggaruk-garuk kepala.
Kemudian tersenyum
Senapati Pranggana menghela napas da-
lam-dalam. Matanya tanpa sengaja melihat benda
di pinggang Sena. Sebuah suling berkepala naga.
Mulutnya tersenyum sambil manggut-manggut.
Lalu berdiri perlahan. Sementara Sena nampak
cengar-cengir memperhatikannya.
"Kalau aku tak salah, kau adalah Pendekar
Gila, murid Singo Edan...," kata Senapati Pranggana tiba-tiba. Membuat Sena
mengerutkan ken-
ing sambil menggaruk-garuk kepala.
"Ha ha ha...! Kau ini lucu. Bagaimana kau
bisa seenaknya menyangka begitu" Masa' tam-
pang seperti aku ini seorang pendekar. Aku ada-
lah aku, Sobat," kata Sena mengelak.
Senapati Pranggana tampak penasaran dan
dengan penuh keyakinan, dia kembali berkata,
"Aku tak salah, bahwa kau pasti Pendekar Gila dari Goa Setan. Suling berkepala
naga itu yang pernah diceritakan Adipati Parisuta...."
Mendengar itu. Sena cengengesan. Ma-
tanya menatap Senapati Pranggana tajam, seperti
menyelidik. Lalu membalikkan badan dan me-
langkah tiga tindak.
"Sudahlah, tak usah kau bicarakan soal
aku! Sekarang jelaskan padaku, kenapa kau
sampai terlibat perkelahian dengan orang tadi!"
tanya Sena kemudian, tanpa membalik atau me-
mandang Senapati Pranggana.
"Panjang ceritanya. Bagaimana, kalau se-
karang kau singgah ke rumahku dulu, nanti ku-
ceritakan. Bahkan kalau kau berkenan nanti kita
ke Kadipaten Balasutra. Bagaimana, Tuan Pende-
kar...?" kata Warkasa Pati dengan semangat dan penuh harap.
Sena menoleh ke belakang, lalu mengga-
ruk-garuk kepala sambil tersenyum.
"Baiklah...," kata Sena pendek.
Senapati Pranggana nampak lega dan gem-
bira, segera mereka pergi dari tempat itu.
3 Sampai di Desa Kawulan. Senapati Prang-
gana dikejutkan oleh meninggalnya Ki Lurah Kun-
tolo. Kepala desa itu tewas dalam keadaan men-
genaskan. Lidahnya terjulur keluar dengan mata
melotot. Di rumah Ki Sapto telah dipenuhi pen-
duduk desa yang menyampaikan rasa bela sung-
kawanya terhadap kepala desa.
Tampak di sisi mayat Ki Kuntolo, Surti,
dan ibunya tengah menangis tak henti-hentinya.
"Nampaknya kematian Ki Kuntolo tak wa-
jar. Pasti ini perbuatan si Nenek Bongkok," ujar Ki Sapto seraya menghela napas,
seakan ingin membuang kegusaran di hatinya.
"Siapa Nenek Bongkok itu" Dan di mana
tempat tinggalnya...".'" tanya Sena kalem.
"Katakan Ki, Kita harus segera mele-
nyapkan Nenek Bongkok itu. Dan juga Warkasa
Pati. Aku akan mempertaruhkan nyawaku demi
ketenteraman Desa Kawulan dan Kadipaten Bala-
sutra,..!" sahut Senapati Pranggana dengan mata berbinar menahan dendam.
"Nenek itu tak pernah menetap. Namun
aku yakin Nenek Bongkok itu tinggal bersama
Warkasa Pati...," kata Ki Sapto.
"Bagaimana Ki Sapto tahu hal itu...?" tanya Sena menyelidik kebenaran ucapan
wakil kepala desa itu. "Yah. Beberapa waktu lalu, setelah Warka-
sa Pati diusir dari Kadipaten Balasutra, aku melihat dia menuntut ilmu sesat
pada Nenek Bongkok
itu," tutur Ki Sapto. Lalu menghela napas panjang sebelum meneruskan
keterangannya. "Dan aku
pernah menguntit secara diam-diam. Ternyata
mereka menuju sebuah bangunan tua penjara
bawah tanah...."
"Di mana rumah tua itu, Ki...?" tanya Sena ingin tahu.
"Di Lembah Seribu Iblis. Tak satu pun
orang kembali dengan selamat jika mengusik
lembah itu...," tutur Ki Sapto.
"Lembah Seribu Iblis..."!" gumam Sena lirih. "Kalau begitu, aku harus
menyampaikan pada Adipati Parisuta. Akan kuserang dengan pasukan kadipaten...,"
kata Senapati Pranggana dengan geram.
"Jangan gegabah, Nak Pranggana. Warkasa
Pati dan Nenek Bongkok itu bukan orang bodoh.
Mungkin mereka sudah mempunyai rencana, se-
telah Warkasa Pati gagal membunuhmu...," tukas Ki Sapto menasehati. "Bagaimana
pendapat Tuan Pendekar dalam hal ini...?" tanya Ki Sapto kemudian pada Pendekar
Gila. "Ya, begitulah. Apa yang Ki Sapto katakan
kuanggap benar. Kita harus berpikir secara ma-
tang. Agar semuanya tidak menyesal di kemudian
hari...," kata Sena dengan tenang, lalu menggaruk-garuk kepala.
"Lantas, bagaimana baiknya...?" tanya Se-
napati Pranggana pada Sena.
Sementara itu Surti keluar dari ruang da-
lam membawa minuman dan makanan singkong
dan ubi rebus. Lalu menaruhnya di atas tikar. Ketika terdengar anaknya menangis,
istri Senapati Pranggana itu segera pergi ke kamar. Sementara
orang-orang yang berada di rumah itu, duduk
dengan tenang. Di luar hari sudah mulai gelap. Matahari
sudah terbenam di ufuk barat. Sebentar lagi akan datang malam hari.
Sena bersama Ki Sapto dan Senapati
Pranggana terus membicarakan tentang Nenek
Bongkok dan Warkasa Pati, sampai jauh malam.
Para penduduk yang melayat sebagian sudah pu-
lang ke rumah masing-masing. Tinggal orang-
orang kepercayaan Ki Sapto yang berjaga-jaga di
depan rumah. * * * Pagi itu setelah penguburan Ki Kuntolo,
Senapati Pranggana segera berangkat ke Kadipa-
ten Balasutra dengan menunggang kuda. Semen-
tara Pendekar Gila masih tinggal di Desa Kawu-
lan. Karena dirinya merasakan ada sesuatu yang
aneh pada beberapa orang lelaki yang ikut dalam


Pendekar Gila 34 Nenek Bongkok di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

penguburan Ki Kuntolo.
Sena berjalan di dekat Ki Sapto dan Surti,
serta istri Ki Lurah Kuntolo yang masih nampak
terisak-isak sejak penguburan suaminya tadi. Pa-
da saat itu pula sepasang mata mengamati mere-
ka. Sepasang mata tua mengintip dari balik pepo-
honan. Sementara angin berhembus kencang dan
awan hitam pun tiba-tiba saja bergulung di atas
langit yang tadi membiru. Seketika cuaca jadi
mendung. Matahari telah tertutup awan hitam
yang tebal. Suasana menjadi mencekam. Dan angin
pun semakin kencang bertiup. Orang-orang yang
mengantar penguburan Ki Lurah Kuntolo kembali
ke rumah masing-masing. Sena mengikuti Surti
dan ibunya pulang ke rumah Ki Sapto.
"Sebaiknya Ki Sapto cepat bawa masuk
Surti dan Ibunya. Jaga, jangan boleh keluar ru-
mah! Biar saya di luar rumah. Ada sesuatu yang
akan saya kerjakan, Ki...," kata Sena lirih begitu sampai di depan rumah KI
Sapto. Ki Sapto mengerti, segera membawa masuk
Surti dan ibunya.
Dugaan Sena benar. Baru saja Ki Sapto
masuk ke rumahnya bersama dengan Surti dan
ibunya, tiba-tiba terdengar jeritan dari dalam rumah wakil kepala desa itu.
"Aaah...! Tolooong...!" Ternyata jeritan Surti dan ibunya. Pendekar Gila segera
melesat masuk ke rumah Ki Sapto. Dan alangkah terkejutnya Se-
na ketika melihat Ki Sapto telah terjatuh di lantai dengan usus terburai keluar.
Lelaki tua itu mencoba bangkit, namun tak kuat. Sementara ibunya
Surti menangis ketakutan.
"Tolooong...! Surti anakku..., kembalikan....
Surtiii...!"
"Bagaimana kejadiannya bisa secepat ini,
Ki" Siapa yang menculik Surti...?" tanya Sena Manggala, sambil berjongkok
menolong Ki Sapto
yang tampak lemah dan pucat. Sekujur tubuhnya
telah berlumuran darah yang keluar dari perut.
"Se... sela... selamatkan Surti...! Mereka
orang-orang Warkasa Pati... ukh.... Se... se... lamatkan Surti, Pen... de...
kar...!" selesai berucap begitu Ki Sapto kejang-kejang dan tak bernapas
lagi. Sena menghela napas dalam-dalam menyesa-
li dirinya yang membiarkan Ki Sapto dan Surti
masuk ke rumah tanpa dirinya.
"Bodoh sekali aku....! Kenapa jadi begi-
ni..."! Bodoh! Aku kenapa jadi bodoh! Goblok.."!"
Sena menggerutu menyalahkan diri sendiri. Lalu
dengan cepat melesat keluar, setelah memanggil
orang-orang untuk menjaga ibunya Surti dan
mengurus mayat Ki Sapto.
Dengan menggunakan lari 'Sapta Bayu',
Sena bagai terbang. Sekejap dia sudah berada di
suatu tempat, di pinggiran hutan.
Setelah mengerahkan kemampuan penden-
garan yang tajam akhirnya Pendekar Gila dapat
menemukan ke mana larinya orang yang mencu-
lik Surti. Dengan memotong jalan, Sena segera
melihat seseorang memakai pakaian serba hitam.
Wajahnya tertutup dengan kain merah darah,
dengan ikat kepala menutupi seluruh rambutnya
yang panjang. Tampak Surti terkulai lemas di
panggulannya, "Hop...!"
Pendekar Gila tiba-tiba saja sudah berdiri
di hadapan orang itu. Seketika si Penculik meng-
hentikan larinya. Namun dengan cepat pula dia
melompat melewati kepala Sena dan kabur.
Sena yang melihat hal itu cepat pula me-
lompat ke udara dengan bersalto ke belakang be-
berapa kali mengejar penculik itu. Dalam bebera-
pa lesatan saja dia berhasil mendahuluinya.
Dan.... Bluk! Plak! "Aaakh...!" penculik itu memekik, lalu jatuh ke tanah bergulingan. Namun anehnya
Surti tak terlepas, bagai lengket di tubuhnya.
Rupanya tendangan kaki kanan Sena men-
genai rusuk dan kepalanya. Namun penculik itu
bukan orang sembarangan. Dia memiliki kekua-
tan cukup tangguh. Dengan cepat pula lelaki ber-
pakaian serba hitam dan berkedok warna merah
itu melancarkan serangan balik dengan senjata-
senjata rahasia. Seketika benda-benda bulat se-
besar ibu jari dan bergerigi meluncur dari ta-
ngannya. Ziut! Ziut! "Heit..!"
Blar...! Pendekar Gila melenting mengelakkan se-
rangan itu. Hingga benda-benda bulat bergerigi
itu menghantam pepohonan. Pohon-pohon yang
terkena hancur dan tumbang. Dengan cepat pen-
culik misterius itu melesat ke atas ranting pohon sambil memanggul tubuh Surti.
Setelah bersalto
beberapa kali penculik itu menghilang.
"Sial...!" geram Sena sambil memukul-
mukul tinjunya ke batang pohon hingga berlu-
bang. Padahal Sena tak begitu keras memukul
batang pohon itu. Hanya untuk menghilangkan
rasa kekesalannya. "Untuk kesekian kalinya aku membuat kesalahan. Aneh, begitu
cepat dia menghilang," gerutunya pada diri sendiri.
"Sebaiknya aku cepat kembali ke Desa Ka-
wulan. Menunggu Pranggana...," gumam Sena lirih seakan bicara pada dirinya
sendiri. Lalu dia cepat melesat dari tempat itu.
Dengan ilmu lari 'Sapta Bayu', dalam seke-
jap Sena sudah sampai di Desa Kawulan. Kea-
daan nampak lengang. Tak banyak penduduk
yang berlalu-lalang di jalanan. Hanya dua atau ti-ga orang lelaki yang sempat
dilihatnya. Sena langsung ke rumah Ki Sapto. Di sana
ada istri Ki Lurah Kuntolo yang masih bersedih
duduk di kursi sambil menggendong anak Surti.
Seorang perempuan tua berambut putih duduk
bersimpuh di sampingnya.
"Nyi Kuntari..., jangan bersedih terus! Ber-doalah pada Yang Kuasa minta pada
Hyang Whidi agar Surti tetap dilindungi...," kata perempuan tua berambut putih dengan suara
agak serak dan penuh perasaan. Pendekar Gila yang berdiri di
ambang pintu, mendengar ucapan perempuan tua
bernama Nyi Punti itu, merasa tersentuh hatinya.
Dia melangkah keluar, tak jadi masuk ke rumah.
Dan pada saat itu, Senapati Pranggana datang
bersama prajurit Kadipaten Balasutra. Mereka
menunggang kuda lengkap dengan persenjataan
perang. Senapati Pranggana langsung mengarah-
kan kudanya mendekati Pendekar Gila yang ten-
gah berdiri menanti di depan rumah Ki Sapto.
Tanpa mengucapkan kata-kata apa pun senapati
muda itu turun dari kudanya di depan Sena yang
tampak tengah menggaruk-garuk kepala.
"Apa yang telah terjadi, Tuan Pendekar...?"
tanya Senapati Pranggana pada Pendekar Gila
yang masih terdiam.
Sementara itu para penduduk Desa Kawu-
lan bermunculan dari rumah masing-masing, ke-
tika tahu rombongan prajurit Kadipaten Balasutra datang. Sebagian prajurit telah
memeriksa dan menjaga tempat-tempat di sekitar rumah Ki Sap-
to. "Maafkan aku, Senapati.... Surti diculik
orang yang berkedok. Aku sudah berusaha untuk
mengejar dan menghadangnya, tapi rupanya pen-
culik itu bukan orang sembarangan. Aku duga dia
adalah Warkasa Pati, tapi aku pun belum pas-
ti...," kata Sena menjelaskan pada Senapati Pranggana.
Senapati Pranggana mau marah tak berani,
karena dia tahu kalau Pendekar Gila saja tidak
mampu menghentikan penculik yang diduga
Warkasa Pati, apalagi dirinya. Senapati itu hanya
bisa menghela napas panjang, dengan wajah
nampak murung. "Percayalah! Aku berjanji akan dapat men-
gembalikan Surti dalam keadaan selamat.... Beri
aku waktu. Dan kalau benar itu Warkasa Pati,
aku akan segera menyelidiki ke markas si Nenek
Bongkok itu...," ucap Sena tegas.
"Terserah Tuan Pendekar. Tapi sebaiknya
bersama kami. Karena Adipati Parisuta sudah
memerintahkan untuk menumpas manusia kepa-
rat dan Nenek Bongkok itu," pinta Senapati
Pranggana. "Tapi menurut firasatku, sebaiknya seba-
gian prajuritmu berjaga-jaga Desa Kawulan ini.
Warkasa Pati pasti murka karena belum mene-
mukanmu...."
Senapati Pranggana berpikir sejenak den-
gan memegang keningnya. Lalu manggut-
manggut. "Benar. Aku telah membuat susah dan
menderita orang-orang desa ini. Sekarang aku ha-
rus mengamankan mereka. Aku tak ingin pendu-
duk Desa Kawulan jadi korban lagi...," kata Senapati Pranggana bernada menyesal.
Lalu segera di-
panggilnya pimpinan prajurit.
"Cepat bagi tugas anak buahmu, Rah Jati!"
perintah Senapati Pranggana pada bawahannya.
"Baik, saya segera laksanakan...," jawab Rah Jati, kemudian cepat pergi
mengumpulkan para prajurit yang berjumlah sekitar dua puluh
orang itu. "Sebaiknya kita berpencar. Kau dan praju-
ritmu melalui selatan, biar aku dari utara...," kata Sena pada Senapati
Pranggana. "Tapi, Tuan Pendekar harus bersama salah
satu orang kami. Agar tidak salah jalan...," kata Senapati Pranggana mengusulkan
"Tidak. Kurasa aku sudah mulai paham
daerah ini...."
Baru saja Sena selesai berkata begitu, di
ujung desa terjadi keributan. Dua orang prajurit sedang menahan seorang laki-
laki muda berbadan gendut
Senapati Pranggana menghampirinya, keti-
ka lelaki muda berpakaian rompi coklat itu mem-
berontak dari pegangan dua prajurit yang me-
nangkapnya. "Ada apa ini...?" tanya Senapati Pranggana. "Orang ini mencurigakan.
Dia lari ketika kami tanya. Bahkan melawan kami...," jawab salah seorang
prajurit pada Senapati Pranggana.
Sena hanya melihat dari jarak agak jauh. Namun
pandangannya agak terhalang, karena kerumu-
nan para prajurit
"Benar. Mungkin dia mata-mata musuh,
Senapati...," tukas seorang prajurit yang satu lagi.
"Tidak! Bukan....! Aku bukan mata-mata.
Aku malah ingin mencari perlindungan di desa
ini. Aku hampir saja terbunuh oleh lelaki berke-
dok dan berpakaian serba hitam yang membo-
pong seorang wanita," kata laki-laki muda bertubuh gendut menjelaskan dengan
sungguh- sungguh sambil memperagakan bagaimana dia
dapat lolos dari orang berkedok itu.
Mendengar cerita orang gendut itu, seketi-
ka Senapati Pranggana kaget. Dia segera ingin
mengorek lebih lanjut keterangannya.
"Lantas bagaimana...?" tanya Senapati
Pranggada tak sabar.
Pada saat itu Sena sudah melangkah men-
dekati Senopati Pranggana. Mulutnya tersenyum-
senyum sambil menggaruk-garuk kepala. Dia
seakan mengenali suara orang muda bertubuh
gendut itu. "Untung aku dapat lolos, karena aku pura-
pura mati, dengan mencebur ke sungai.... Orang
itu lantas kabur ke arah hutan...," kata lelaki gendut itu. "Hhh.... Kalau saja
ada sahabatku, orang berkedok itu pasti sudah dihabisi...!" lanjutnya sambil
mencibir dan bertolak pinggang.
"Siapa sahabatmu itu, Sobat?" tanya Senapati Pranggana ingin tahu, karena dia
masih me- rasa curiga dengan si Gendut itu. Senapati Pranggana takut kalau orang di
hadapannya ternyata
mata-mata musuh yang sengaja diumpankan.
Dan berpura-pura seperti orang bloon,
'Masa' kalian tak mengenalnya.... Hi hi
hi.... Dialah Sena, Kakang Sena Manggala atau
Pendekar Gila...!" kata si Gendut dengan tegas dan kembali mencibir.
Senapati Pranggana kaget, namun dia ma-
sih tidak percaya. Lalu dia menoleh ke belakang.
Tahu-tahu Sena sudah berada di belakang si
Gendut. "Dia memang sahabatku, Senapati.... Dogol
namanya...," ujar Sena yang sudah berada di belakang Dogol. Kontan Dogol kaget
dan menoleh ke belakang. 4 "Kakang Sena....'" teriak Dogol dengan penuh kegembiraan, lalu memeluk Pendekar
Gila. Kemudian bersujud sejenak memberi hormat. Se-
telah itu berdiri dan memeluk Sena lagi dengan


Pendekar Gila 34 Nenek Bongkok di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

erat. Sena hanya tersenyum cengengesan memba-
las pelukan sahabatnya itu.
Senapati Pranggana dan para prajurit sal-
ing pandang dan lalu ikut tersenyum pula.
"Siapa tadi yang menangkapku..." Ayo,
ngaku! Kalau tidak aku pelintir lehernya. Ayo,
siapa...?" seru Dogol dengan gaya seperti jagoan.
Perutnya yang besar bergerak-gerak seperti mau
beranak. Hingga para prajurit tertawa geli meli-
hatnya. "Eee..., kenapa kalian tertawa" Ayo, ngaku"
Siapa yang menangkap dan menuduhku mata-
mata..."!" kembali Dogol dengan berkacak pinggang menatap satu persatu prajurit
Kadipaten Ba- lasutra. Senapati Pranggana dan Sena membiar-
kan saja sambil menahan geli.
"Saya, Ki...," jawab dua orang prajurit ber-barengan sambil menundukkan kepala
seperti ke- takutan. "Enak saja. Kalian panggil aku, Ki. Sebut
aku Tuan Pendekar...!" tukas Dogol dengan gaya yang dibuat-buat. Namun baru saja
dia akan menunjukkan jurus, tahu-tahu kaki kirinya mengin-
jak kulit pisang yang sengaja dilempar salah seorang prajurit. Hingga Dogol
jatuh.... Hmkkk! "Wadaooow...!"
Semua tertawa gelak. Sena lalu mengulur-
kan tangan membantu Dogol bangun. Dogol me-
ringis kesakitan sambil memegangi pantatnya.
"Makanya jadi orang jangan sombong...,"
kata Sena dengan tersenyum geli. "Ayo, sekarang minta maaf sama Senapati
Pranggana...!"
"Maafkan saya, he he he... saya tadi hanya
main-main, Tuan Senapati...," kata Dogol dengan polos diiringi tawa kecil.
"Aku tahu. Aku senang dapat berkenalan
denganmu, Dogol. Hm... Masih ingin kau cerita-
kan kembali tentang orang berkedok itu...," ujar Senapati Pranggana kalem sambil
memegangi pundak Dogol. Dogol menoleh ke arah Sena. Sena membe-
ri isyarat dengan menganggukkan kepala.
"Hm.... Saya mula-mula bermaksud ingin
mencari Kakang Sena. Tapi tiba-tiba saya ditu-
bruk oleh orang berkedok itu. Sampai saya jatuh.
Lalu saya melawan. Saya kaget ketika melihat
orang berkedok itu memanggul seorang wanita.
Ya, wanita berpakaian kain warna coklat dan baju kebaya warna, hm... warna
coklat muda...," tutur
Dogol dengan jelas.
"Benar, dia Surti...," gumam Senapati
Pranggana lirih, dengan mengerutkan kening. Se-
ketika wajahnya berubah cemas.
Dogol yang melihat perubahan di wajah
Senapati Pranggana, merasa heran dan ikut se-
dih. Setelah menoleh sebentar pada Sena, dia
kembali menatap Senapati Pranggana. "Kenapa senapati yang gagah itu murung"
Apakah wanita itu adiknya" Istrinya?" begitulah pikir Dogol. Dia ikut merasakan kesedihan
Senapati Pranggana.
"Lantas bagaimana...?" tanya Senapati
Pranggana selanjutnya.
"Hm... anu.... Saya coba membuka kedok-
nya, namun tak berhasil. Malah dia menghajar
keras dengan telapak tangannya. Panas...," kata Dogol sambil membuka rompi,
menunjukkan bekas memar di punggungnya. Sena kaget melihat
itu, begitu juga Senapati Pranggana.
Sena memeriksa. Lalu berucap, "Tapak
Sakti'....' Kalau begitu penculik itu bukan Warka-sa Pati. Lalu siapa..."!
Apakah kau tahu siapa
yang memiliki ilmu ini...?" tanya Sena pada Senapati Pranggana.
"Tapak Sakti'...".'" gumam Senapati Pranggana sambil matanya memperhatikan luka
di punggung Dogol. "Rasanya aku pernah tahu, tapi lupa siapa yang memiliki ilmu
itu...," lanjut Senapati Pranggana sambil mengerutkan kening, ber-
pikir keras. "Kau harus cepat kuobati, Dogol. Aneh. Bi-
asanya orang yang terkena pukulan 'Tapak Sakti'
tak bisa bertahan lama. Orang itu akan mati. Tapi kau...," Sena tak melanjutkan
ucapannya. Dia segera memberikan obat ramuannya sendiri yang
dikeluarkan dari kantung kecil yang disimpan di
ikat pinggang. Dogol langsung menelan obat yang
bentuknya bulat sebesar kelereng itu.
"Aneh! Kenapa Dogol bisa bertahan lama,
Aku curiga apakah dia Dogol, atau Warkasa Pati
yang menyaru, menjelma jadi Dogol"! Ah tak
mungkin. Warkasa Pati tak tahu siapa Dogol.
Baik kubuktikan dengan caraku," gumam Sena
sambil terus mengamati gerak-gerik Dogol.
Sementara itu Senapati Pranggana masih
belum menemukan jawaban, siapa yang memiliki
ilmu 'Tapak Sakti' itu. Pada saat mereka dalam
memecahkan siapa pemilik ilmu 'Tapak Sakti' itu.
Tiba-tiba bermunculan orang-orang berpakaian
serba merah. Mukanya tertutup oleh kedok me-
rah. Hanya bagian matanya saja yang berlubang.
Mereka berjumlah sekitar dua puluh orang. Den-
gan senjata terhunus, langsung mengepung para
prajurit dan warga Desa Kawulan. Orang-orang
berkedok merah itu tanpa basa-basi lagi langsung menyerang prajurit yang sedang
berjaga-jaga. Pertempuran seru terjadi. Senapati Prang-
gana dan Sena kaget. Begitu juga Dogol yang wa-
jahnya memerah, akibat obat yang sedang mela-
wan racun 'Tapak Sakti'. Sena segera melesat ke
arah pertempuran.
"Bangsat! Siapa orang-orang ini..."!" den-
gus Senapati Pranggana sambil menghunus pe-
dangnya. Lalu mulai masuk ke arena pertarun-
gan. Dogol, berusaha bersembunyi di balik ru-
mah seorang penduduk. Untuk menenangkan diri
sambil menunggu kesembuhan lukanya. Dirasa-
kan sekujur tubuhnya mulai berkeringat
Senapati Pranggana yang sudah tak mam-
pu menahan murka, dengan ganas membabat se-
tiap lawan yang mendekati, dengan jurus-jurus
mautnya. Namun ternyata orang-orang berkedok
merah itu cukup tangkas. Sabetan dan tusukan
pedang mereka begitu cepat dan sulit diduga.
Hingga pada akhirnya Senapati Pranggana terde-
sak oleh salah seorang yang berbadan kekar.
Sambil terus menghadapi lawan-lawannya,
Sena sempat melihat keadaan Senapati Prangga-
na. Ternyata tidak hanya Senapati Pranggana
yang terdesak. Sebagian besar anak buahnya pun
tampak kewalahan menghadapi gempuran lawan
yang rata-rata memiliki kepandaian di atas para
prajurit. Dalam waktu singkat tinggal lima prajurit yang masih bertahan. Berarti
sudah lima belas prajurit yang mati.
Senapati Pranggana dan Rah Jati terus be-
kerja keras menghadapi keganasan lawan-
lawannya. Gerombolan berkedok merah itu pun
banyak yang mati pula. Sepuluh orang telah ter-
kapar di tangan Sena dan Senapati Pranggana.
Senapati Pranggana yang sudah tak mam-
pu menahan murka, dengan ganas mengobral ju-
rus-jurus mautnya untuk membabat setiap lawan
yang mendekati. Namun ternyata orang-orang
berkedok merah itu cukup tangguh. Sabetan dan
tusukan pedang mereka mampu mengimbangi ge-
rakan Senapati Pranggana.
Mendadak Pendekar Gila melompat mem-
buru beberapa orang berkedok yang hendak
menghajar tiga prajurit kadipaten. Dengan gera-
kan cepat sekali Sena melepaskan pukulan dan
tendangan keras. Kelima orang berkedok itu seka-
ligus berpentalan dan roboh. Seketika prajurit
dengan sigap menghujamkan tombak dan golok
ke tubuh lima anggota gerombolan yang belum
sempat bangkit.
"Heaaa...!
Jlep! Jlep! Cras, cras...! Kelima orang berkedok merah terpekik.
Tubuh mereka terkapar berlumuran darah. Bagai
kesetanan para prajurit membantai mereka.
Sementara itu Dogol sudah mulai sembuh.
Dia perlahan-lahan keluar dari persembunyian.
Kepalanya clingak-clinguk, lalu berjalan menuju
sebuah rumah. Namun mendadak seorang berkedok me-
lompat menghadang dan langsung menusukkan
pedang ke arah Dogol. Si Gendut itu menjerit
sambil mengelak lari. Orang berkedok melompat
dengan bersalto di udara lalu mendarat di depan
Dogol yang seketika kaget. Dengan ganas orang
itu membabatkan pedang ke arah kepala Dogol.
Dogol memejamkan mala sambil merunduk cepat
untuk mengelak. Namun lawan menyusul dengan
tendangan kaki kanannya ke arah tubuh Dogol
yang masih dalam keadaan merunduk.
Bug, bug...! "Aaa...!" Dogol menjerit dan terpental dua tombak ke belakang. Orang berkedok
itu terus melompat hendak menghabisi Dogol. Namun se-
belum ujung pedang menyentuh dada Dogol, se-
buah tendangan maut menghantam tangannya
yang menggenggam pedang.
Plak! "Aaakh...!" orang berkedok merah terpekik.
Pedangnya terlepas dan terpental. Namun sebe-
lum pedang itu menyentuh tanah, Sena dengan
cepat menendangnya. Pedang itu kembali me-
layang ke udara, lalu menukik dan jatuh menghu-
jam dada pemiliknya yang roboh telentang. Lelaki berkedok merah seketika
menjerit dengan tubuh
menggelepar berlumuran darah. Kemudian tewas!
Dogol yang masih memejamkan mata nam-
pak gemetaran. Sena segera mendekati lalu me-
nepuk-nepuk pipi si Gendut yang mirip bakpao
itu. Dogol bertambah ketakutan karena mengira
orang berkedok yang menepuknya. Namun ketika
Pendekar Gila membentak barulah Dogol mem-
buka mata kanannya dan tertawa girang.
"Oh, Kakang Sena...! Apakah aku masih
hidup...?" kata Dogol begitu melihat Sena ada di depannya.
Pendekar Gila hanya menganggukkan ke-
pala dan tersenyum. Lalu berkata dalam hati,
"Dugaanku salah. Aku tadi mencurigai kalau dia bukan Dogol. Kini aku percaya
bahwa dia bukan
jelmaan Warkasa Pati atau Nenek Bongkok yang
konon bisa berubah seribu muka itu,"
"Ayo, cepat bangun! Jadi laki-laki jangan
penakut. Katanya kamu ingin jadi pendekar...!"
bentak Sena sambil menendang pantat Dogol.
Dogol tersenyum lebar. Lalu dengan
gayanya yang sok jago, mulai membuka jurus-
jurus seperti yang diperagakan Pendekar Gila.
Sena menggeleng kepala memperhatikan tingkah
si Gendut itu. Sementara itu Senapati Pranggana telah
berhasil membunuh lawan dengan tebasan pe-
dangnya ke arah dada ninja. Orang berkedok itu
memekik panjang. Tubuhnya roboh dan tak ber-
kutik lagi. Orang-orang berkedok merah yang masih
tersisa enam orang seketika kabur menyela-
matkan diri, setelah melihat kawan-kawan mere-
ka banyak yang mati. Sehingga Dogol yang hen-
dak membuktikan pada Sena kalau dia bukan
penakut, menjadi kecewa. Nyengir kuda sambil
menggaruk-garuk perutnya yang buncit
Senapati Pranggana yang penasaran ingin
tahu siapa gerombolan berkedok merah itu, den-
gan geram membuka tutup muka orang yang ter-
geletak di hadapannya.
"Tuan Pendekar...!" seru Senapati Pranggana mengejutkan Sena. Lalu Sena cepat
melang- kah menghampiri Senapati Pranggana.
"Ada apa, Senapati...?" tanya Sena pada Senapati Pranggana yang tengah mengawasi
wajah orang berkedok merah.
"Lihat..!" kata Senapati Pranggana sambil menunjuk wajah orang itu. "Dia seorang
pengawal Kadipaten Balasutra!"
"Heh..."! Benarkah begitu, Senapati...?"
tanya Sena, seakan tak percaya pada apa yang
dikatakan Senapati Pranggana.
"Rah Jati, dan kalian semua cepat buka
penutup muka orang-orang itu...!" perintah Senapati Pranggana dengan suara
bergetar, karena tak dapat mempercayai semua itu.
Dengan lesu dan sangat kecewa serta ber-
campur murka, Senapati Pranggana terduduk le-
mas di teras rumah Ki Sapto. Sena melangkah
menghampirinya.
"Tenangkan hatimu. Tugas dan rencana ki-
ta harus tetap dilaksanakan. Kita harus mene-
mukan Surti. Aku telah berjanji. Sabarlah, jangan terbawa amarah! Mari, kita
pikirkan bersama...!"
"Tapi bagaimana semua ini terjadi" Ada
apa sebenarnya dengan Adipati Parisuta..." Apa-
kah dia bersekongkol dengan Warkasa Pati..."!
Kalau benar untuk apa..."!" keluh Senapati


Pendekar Gila 34 Nenek Bongkok di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pranggana dalam dugaannya.
"Jangan mau berprasangka buruk dulu
terhadap Adipati Parisuta! Aku malah mempunyai
firasat, bahwa kadipaten sedang dilanda malape-
taka...," kata Sena tegas.
Senapati Pranggana tersentak. Keningnya
berkerut dengan mata menatap lekat-lekat pada
Sena. Ingin dia mendengar penjelasan lebih lan-
jut, namun mulutnya tak bisa lagi bersuara. Sea-
kan dia mengerti dan tahu akan jawaban Pende-
kar Gila. Senapati muda itu meninju-ninju telapak
tangannya sendiri, seolah ingin melepaskan keke-
salan dan kekecewaannya. Saat itu keluar istri Ki Lurah Kuntolo dengan
menggendong anak Surti.
Dia melangkah mendekati menantunya yang se-
dang berduka. "Pranggana...," tegur Nyi Kuntari lembut.
Senapati Pranggana menoleh, matanya
tampak berkaca-kaca. Dilihat ibunya Surti yang
menggendong anaknya. Senapati muda itu bang-
kit dan cepat mengambil sang Anak dari gendon-
gan ibu mertuanya. Digendongnya bayi yang baru
berumur lima bulan itu, diciumi dengan penuh
kasih sayang berulang kali. Didekapnya erat-erat, seakan tak ingin melepaskan.
Sena, Dogol, juga ibunya Surti merasa ter-
haru melihat itu. Begitu pula orang-orang yang
ada di rumah Ki Sapto.
"Ayah akan membawa ibumu pulang, Anak
Manis. Doakan Ayah, ya. Sayang.... Oh, Hyang
Widhi... beri aku kekuatan dan keselamatan! Lin-
dungi anakku, lindungi istriku Surti...!" gumam Senapati Pranggana lirih, namun
terdengar jelas
oleh semua. Sena menundukkan kepala perlahan.
Dogol pun tampak sedih berdiri di samping Sena.
Perutnya yang buncit bergerak-gerak seperti ada
belut di dalamnya.
Sesaat suasana hening. Tak ada yang ber-
suara. Perlahan Senapati Pranggana menyerah-
kan bayi itu pada ibu mertuanya, setelah menci-
umi berulang kali. Dan kemudian si Anak menan-
gis, seolah tak mau pisah dengan ayahnya. Sena-
pati Pranggana semakin sedih hatinya. Namun
Pendekar Gila segera mendekati dan merangkul-
nya. "Tabahkan hatimu! Sementara lupakan du-lu semua ini, agar dirimu kembali
tegar. Bukan- kah kau ingin menyelamatkan Surti dan menum-
pas manusia laknat itu...?" kata Sena dengan lemah lembut, namun penuh wibawa.
"Ya.... Tapi bagaimana dengan keadaan ka-
dipaten, yang menurut Tuan Pendekar mungkin
dalam petaka...?" sahut Senapati Pranggana balik bertanya.
"Ya, ya. Aku hampir lupa. Kita harus segera menyelidiki keadaan di kadipaten.
Jika tidak ada kejanggalan, aku segera mencari Warkasa Pati
dan Nenek Bongkok itu," kata Sena dengan tegas.
Lalu dia menggaruk-garuk kepala.
"Baiklah. Mudah-mudahan tidak terjadi se-
suatu pada diri Adipati Parisuta...! Ayo, kita segera berangkat!" ujar Senapati
Pranggana lalu memerintahkan Rah Jati untuk berangkat bersama
prajurit yang tersisa lima orang itu.
"Kau berangkat duluan. Aku menyusul...,"
kata Sena pada Senapati Pranggana.
"Baik. Aku berangkat, Tuan Pendekar...,"
kata Senapati Pranggana. Lalu segera dia melom-
pat ke punggung kuda dan memacunya dengan
cepat. Pendekar Gila kemudian mendekati ibunya
Surti yang menatap kepergian Senapati Prangga-
na. "Nyi, doakan kami berhasil menemukan
Surti! Kami berjanji akan membawanya kembali
dalam keadaan selamat...," ujar Sena.
"Semoga kau berhasil, Nak Sena. Jaga
Pranggana..., dia masih mudah marah dan mu-
dah goyah. Tolong, bantu dia...!" pesan Nyi Kuntari dengan suara serak dan
Maut Buat Madewa Gumilang 1 Pendekar Latah Karya Liang Ie Shen Kisah Tiga Kerajaan 28
^