Pencarian

Frostbite 1

Frostbite Vampire Academy 2 Karya Richelle Mead Bagian 1


Vampire Academy 2 : Frostbite
-Richelle Mead PROLOG SEMUA MAKHLUK HIDUP pasti mati. Tetapi mereka tidak selamanya mati. Percayalah, aku tahu itu.
Ada sebuah ras vampir yang bisa dikatakan sebagai mayat hidup. Mereka disebut dengan Strigoi, dan jika kau belum pernah bermimpi buruk tentang mereka, kau akan segera mendapatkannya. Strigoi sangat kuat, cepat, dan sanggup membunuh tanpa ragu sedikit pun. Mereka juga makhluk abadi yang menyebabkan mereka sulit untuk dibantai. Hanya ada tiga cara membunuh Strigoi: menusuk jantung mereka dengan pasak perak, memenggal kepala mereka, dan membakar tubuh mereka. Semua itu tidak mudah untuk dilaksanakan, tetapi setidaknya lebih baik daripada tidak memiliki pilihan sama sekali.
Di dunia ini juga ada vampir yang baik. Vampir jenis ini disebut dengan Moroi. Mereka masih hidup dan memiliki kekuatan keren yang mampu mengendalikan salah satu dari empat elemen tanah, udara, air, dan api. (Yah, sebagian besar Moroi bisa melakukannya tetapi aku akan menjelaskan beberapa pengecualian nanti). Mereka sudah tidak terlalu sering menggunakan sihir, dan itu sebenarnya sangat menyedihkan. Sihir mereka bisa menjadi senjata yang hebat, tetapi kaum Moroi berkukuh bahwa sihir harus digunakan untuk tujuan damai. Ini salah satu aturan paling penting yang berlaku di dalam lingkungan mereka. Umumnya, Moroi bertubuh tinggi dan langsing, dan mereka tidak tahan terhadap sinar matahari berlebihan. Namun, mereka juga memiliki indra yang kuat sebagai gantinya, yaitu penglihatan, penciuman, dan pendengaran.
Kedua jenis vampir itu sama-sama membutuhkan darah. Kurasa karena itulah mereka dinamakan vampir. Namun, Moroi tidak membunuh demi mendapatkan darah. Alih-alih membunuh, Moroi memelihara manusia yang bersedia memberikan sedikit darah mereka secara sukarela. Manusia itu melakukannya dengan sukarela karena gigitan vampir mengandung hormon endorfin yang membuat mereka merasa sangat nyaman dan bisa menyebabkan ketagihan. Aku mengetahuinya dari pengalaman pribadi. Manusia ini disebut donor, dan mereka benar-benar pecandu gigitan vampir.
Meski begitu, memelihara para donor jauh lebih baik daripada cara yang dilakukan Strigoi untuk mendapatkan darah. Karena, seperti yang sudah bisa kauduga, Strigoi membunuh demi mendapatkan darah. Kurasa mereka memang suka membunuh. Jika Moroi tidak sengaja membunuh seseorang saat sedang meminum darahnya, maka orang itu akan berubah menjadi Strigoi. Ada beberapa Moroi yang memang sengaja melakukannya, mengorbankan sihir dan moral yang mereka miliki demi mendapatkan hidup abadi. Strigoi juga bisa diciptakan dengan paksa. Jika Strigoi meminum darah seorang korban dan menyuruh orang itu meminum darah Strigoi, nah & akan muncul Strigoi baru. Hal ini bisa terjadi pada siapa pun. Moroi, manusia, maupun & dhampir.
Dhampir. Itulah aku. Dhampir merupakan setengah manusia dan setengah Moroi. Menurutku, kami mewarisi hal-hal terbaik kedua ras tersebut. Tubuhku kuat dan tangguh seperti manusia. Aku juga bisa berada di bawah sinar matahari sesukaku. Namun, sama seperti Moroi, aku memiliki indra yang kuat dan refleks yang cepat. Akibatnya, para dhampir bisa menjadi pengawal pribadi yang hebat dan sebagian besar dari kami memang melakukannya. Kami disebut sebagai pengawal.
Aku mencurahkan hidup untuk melindungi Moroi dari serangan Strigoi. Aku mengikuti berbagai rangkaian kelas dan latihan di Akademi St. Vladimir, sekolah swasta bagi kaum Moroi dan dhampir. Aku tahu cara menggunakan berbagai macam senjata dan sanggup memberikan tendangan mematikan. Aku pernah mengalahkan beberapa cowok yang tubuhnya dua kali lipat lebih besar daripada aku baik di dalam maupun di luar kelas. Dan memang, cowok-lah yang sering kukalahkan, karena di kelasku hanya ada sedikit cewek.
Meskipun dhampir mewarisi semua sifat baik, ada satu hal yang tidak kami dapatkan. Dhampir tidak bisa memiliki anak bersama dhampir lainnya. Jangan tanya alasannya. Aku kan bukan ahli genetis atau semacamnya. Sementara itu, perkawinan antara manusia dan Moroi selalu menghasilkan dhampir baru, memang begitulah awalnya kami diciptakan. Namun, akh
ir-akhir ini hal itu sudah jarang terjadi. Kaum Moroi cenderung menjauhi manusia. Meski demikian, melalui keanehan genetis lainnya, pencampuran Moroi dan dhampir akan menghasilkan anak-anak dhampir. Aku tahu, aku tahu, kedengarannya memang gila. Kau pasti berpikir, dengan pencampuran seperti itu kami akan mendapatkan bayi yang tiga per empat vampir, ya kan" Salah. Yang benar adalah, setengah manusia, setengah Moroi.
Sebagian besar dhampir dilahirkan dari hubungan yang terjalin antara pria Moroi dan wanita dhampir. Para wanita Moroi berkukuh untuk mendapatkan bayi-bayi Moroi. Semua ini menunjukkan bahwa kaum pria Moroi sering kali memiliki hubungan sesaat dengan wanita dhampir, lalu pergi begitu saja. Hal ini menyebabkan banyak wanita dhampir yang menjadi ibu tunggal, dan karena itulah tidak banyak pengawal wanita. Mereka lebih memilih membesarkan anak-anak mereka.
Akibatnya, hanya pria dan segelintir wanita yang tersisa untuk menjadi pengawal. Namun, para dhampir yang memutuskan untuk melindungi Moroi benar-benar bekerja dengan serius. Dhampir membutuhkan Moroi agar bisa terus mendapatkan keturunan. Kami harus melindungi mereka. Lagi pula, hal itu & yah, sesuatu yang mulia untuk dilakukan. Strigoi adalah makhluk jahat. Moroi harus dilindungi. Para pengawal meyakini hal ini. Aku pun meyakininya.
Selain itu, ada seorang Moroi yang benar-benar ingin kulindungi melebihi siapa pun di dunia: sahabatku, Lissa. Lissa adalah putri Moroi. Kaum Moroi memiliki dua belas keluarga bangsawan, dan Lissa orang terakhir yang tersisa dalam keluarganya keluarga Dragomir. Namun, ada hal lain yang membuat Lissa istimewa, selain kenyataan dia adalah sahabatku.
Ingat saat tadi kubilang setiap Moroi bisa mengendalikan salah satu dari empat elemen" Nah, Lissa ternyata sanggup mengendalikan elemen yang hingga baru-baru ini tidak disadari keberadaannya, yaitu roh. Selama bertahun-tahun, kami beranggapan Lissa tidak akan pernah bisa mengembangkan kemampuan sihirnya. Kemudian, ada beberapa hal aneh yang mulai terjadi di sekelilingnya. Contohnya, semua vampir memiliki kemampuan yang disebut kompulsi. Kemampuan ini membuat mereka sanggup memaksakan kehendak pada orang lain. Kemampuan ini sangat kuat pada Strigoi, tetapi lemah pada Moroi. Dan terlarang. Namun, kemampuan Lissa dalam hal ini hampir sama kuat dengan kemampuan Strigoi. Lissa hanya perlu mengedipkan mata dan orang-orang akan melakukan apa pun yang dimintanya.
Namun, Lissa bisa melakukan hal lain yang bahkan lebih keren lagi.
Tadi di awal kukatakan bahwa mereka yang mati tidak selamanya mati. Nah, contohnya aku. Jangan takut aku tidak sama dengan Strigoi. Tapi aku memang pernah mati. (Aku tidak menyarankanmu untuk melakukannya.) Semua itu terjadi saat mobil yang sedang kutumpangi tergelincir, hingga keluar dari jalan. Kecelakaan itu membunuhku, orangtua Lissa, dan kakak lelakinya. Namun, di tengah kekacauan ini tanpa menyadarinya Lissa menggunakan roh untuk menghidupkan aku lagi. Kami baru menyadari itu setelah kejadiannya lama berlalu. Bahkan, kami sama sekali tidak tahu bahwa roh seperti itu memang ada.
Sayangnya, ternyata ada seseorang yang mengetahui keberadaan roh ini sebelum kami menyadarinya. Victor Dashkov, seorang pangeran Moroi yang sedang sekarat, mengetahui soal kekuatan Lissa, dan dia memutuskan untuk mengurung Lissa dengan tujuan menjadikan sahabatku itu sebagai penyembuh pribadinya seumur hidup. Saat menyadari ada orang yang menguntit Lissa, aku memutuskan untuk menyelesaikan masalah ini sendiri. Aku mengajak Lissa kabur dari sekolah dan tinggal di antara manusia. Selalu berada dalam pelarian terasa sangat menyenangkan tetapi agak mendebarkan juga. Kami berhasil melakukannya selama dua tahun, hingga akhirnya pihak berwenang St. Vladimir memburu dan menyeret kami kembali ke sekolah beberapa bulan yang lalu.
Pada saat itulah Victor memulai gerakannya. Pria itu menculik dan menyiksa Lissa hingga menuruti kehendaknya. Selain itu, Victor juga melakukan beberapa tindakan nekat salah satunya adalah mengendalikan aku dan Dimitri, mentorku, dengan mantra kompulsi gairah. (Akan kubalas di
a nanti). Victor juga memanfaatkan pengaruh roh yang membuat mental Lissa mulai tidak stabil. Namun, hal itu tetap tidak seburuk perlakuannya pada anak perempuannya, Natalie. Victor bahkan tega membujuk Natalie untuk berubah jadi Strigoi demi membantunya melarikan diri. Natalie akhirnya mati ditusuk. Bahkan setelah tertangkap, Victor sepertinya tidak menyesali perbuatannya pada anak perempuannya itu. Hal itu sedikit banyak membuatku tidak menyesali kenyataan bahwa aku tumbuh tanpa seorang ayah.
Namun, sekarang aku harus melindungi Lissa dari Strigoi sekaligus Moroi. Hanya beberapa orang di pihak sekolah yang mengetahui kekuatan Lissa, tetapi aku yakin di luar sana masih banyak Victor lain yang ingin memanfaatkan kekuatannya. Untungnya, aku memiliki senjata tambahan untuk membantuku melindungi Lissa. Entah bagaimana, selama proses penyembuhanku saat kecelakaan mobil terjadi, roh menyebabkan terjalinnya ikatan batin antara aku dan Lissa. Aku bisa melihat dan merasakan apa yang dirasakan Lissa. (Namun, hal ini hanya berlaku satu arah. Lissa tidak bisa merasakan apa yang kurasakan). Ikatan ini memungkinkanku mengawasi Lissa dan mengetahui jika dia berada dalam bahaya. Meski begitu, membaca pikiran orang lain kadang terasa aneh. Kami cukup yakin banyak hal lain yang bisa dilakukan dengan kekuatan roh, tetapi kami belum tahu pasti.
Sementara itu, aku berusaha menjadi pengawal terbaik. Melarikan diri dari Akademi membuatku ketinggalan pelajaran, jadi aku terpaksa mengambil kelas tambahan untuk menggantikan waktu yang terbuang. Tak ada apa pun di dunia ini yang kuinginkan selain melindungi Lissa. Sayangnya, ada satu atau dua hal yang membuat latihanku kadang terasa rumit. Salah satunya adalah, aku sering kali bereaksi tanpa berpikir. Aku semakin lihai dalam menghindari masalah ini, tetapi saat ada yang memancing amarahku, aku cenderung memukul dulu baru mencari tahu siapa yang kupukul tadi. Jika orang-orang yang kusayangi berada dalam bahaya & yah, peraturan sepertinya bisa dikompromikan.
Masalahku yang lain adalah Dimitri. Dimitri-lah yang membunuh Natalie, dan dia benar-benar jagoan. Dia juga lumayan tampan. Oke lebih dari sekadar tampan. Dimitri sangat seksi jenis seksi yang bisa membuatmu berhenti di tengah jalan dan tertabrak mobil. Tetapi, seperti yang tadi kukatakan, dia instrukturku. Dan umurnya dua puluh empat tahun. Kedua hal tersebut menjadi alasan aku tidak boleh jatuh cinta padanya. Tetapi sejujurnya, alasan yang paling penting adalah suatu hari nanti kami berdua akan menjadi pengawal Lissa setelah lulus dari Akademi. Jika Dimitri dan aku saling memperhatikan, kami tidak akan mengawasi Lissa.
Aku belum beruntung dalam usahaku melupakan Dimitri, dan aku cukup yakin dia juga merasakan hal yang sama tentang diriku. Sebenarnya, semua ini terasa sangat berat karena aku dan Dimitri sempat sangat intim saat kami berdua terkena mantra kompulsi gairah. Victor bermaksud mengalihkan perhatian kami saat menculik Lissa, dan usahanya berhasil. Aku sudah siap menyerahkan keperawananku, dan Dimitri sudah siap menerimanya. Pada menit-menit terakhir, kami berhasil melepaskan diri dari mantra itu, tetapi kenangan tentang saat itu akan terus berada di dalam pikiranku, dan kadang hal itu membuatku sulit memusatkan pikiran saat melakukan gerakan bela diri.
Oh ya, namaku Rose Hathaway. Umurku tujuh belas tahun, aku dilatih untuk melindungi dan membunuh vampir. Aku sedang jatuh cinta pada cowok yang benar-benar terlarang untukku, dan aku memiliki sahabat yang memiliki kekuatan sihir aneh yang bisa membuatnya gila.
Hei, tak ada yang bilang masa-masa sekolah menengah itu mudah untuk dijalani.
BAB SATU SEMULA KUPIKIR TIDAK akan ada kejadian buruk lagi hari ini, sampai sahabatku berkata bahwa dia mungkin akan menjadi gila. Lagi.
Aku & apa katamu"
Aku berdiri di lobi asrama Lissa, membungkuk untuk memasang sepatu bot. Seraya mendongak, aku menatap Lissa melalui helaian rambut berwarna gelap yang menutupi sebagian wajahku. Sepulang sekolah aku ketiduran dan tidak sempat menyisir rambut supaya bisa pergi tepat waktu. Tentu saja, rambut Lissa
yang berwarna pirang platina selalu terlihat halus dan sempurna, menggantung di pundaknya bagaikan kerudung pengantin. Dia memperhatikanku dengan wajah geli.
Aku tadi bilang sepertinya pil yang kuminum tidak berfungsi sebaik dulu.
Aku menegakkan tubuh lalu menyingkirkan rambut dari wajah. Apa maksudmu" tanyaku. Di sekeliling kami, para Moroi melintas untuk menemui teman atau pergi makan malam.
Kau sudah & Aku memelankan suara. Kau sudah mulai mendapatkan kekuatanmu lagi, ya"
Lissa menggeleng, dan aku melihat sedikit kilasan penyesalan di matanya. Tidak & Aku merasa lebih dekat dengan sihir, tetapi masih tak bisa menggunakannya. Malah, aku lebih sering memperhatikan hal lain akhir-akhir ini &. Kadang-kadang aku semakin tertekan. Tapi aku sama sekali tidak kembali seperti semula. Lissa buru-buru menambahkan ketika melihat wajahku. Sebelum meminum pil, suasana hati Lissa bisa begitu muram sehingga dia sanggup menyayat tubuhnya sendiri. Hanya ada yang agak berbeda dari sebelumnya.
Bagaimana dengan hal-hal yang dulu sering kaurasakan" Kecemasan" Pikiran yang tidak masuk akal"
Lissa tertawa, dia tidak menanggapi masalah ini seserius aku. Kau seperti habis membaca buku-buku teks ilmu kejiwaan.
Sebenarnya aku memang membaca buku-buku itu. Aku hanya mengkhawatirkanmu. Kalau menurutmu pilnya sudah tidak berguna lagi, kita harus melaporkannya.
Jangan, Lissa cepat-cepat berkata. Aku baik-baik saja kok. Pil-pil itu masih membantu & hanya tidak seperti dulu. Kurasa kita tidak usah panik. Apalagi kau setidaknya, jangan hari ini.
Usahanya untuk mengalihkan topik pembicaraan berhasil. Satu jam yang lalu aku baru tahu bahwa aku harus menjalani Kualifikasi hari ini terima kasih sudah diberitahu, Teman-Teman. Kualifikasi adalah ujian atau lebih tepat disebut wawancara yang wajib dilaksanakan oleh semua pengawal novis selama tahun pertamanya di Akademi St. Vladimir. Tahun lalu aku tidak ikut ujian karena kabur untuk menyembunyikan Lissa. Hari ini aku akan menemui pengawal yang akan mengujiku di suatu tempat di luar kampus.
Jangan cemaskan aku, ulang Lissa sambil tersenyum. Aku akan bilang kalau keadaannya memburuk.
Baiklah, kataku ragu. Tetapi untuk berjaga-jaga, aku membuka semua indra dan membiarkan diri benar-benar merasakan Lissa melalui ikatan batin kami. Lissa mengatakan yang sebenarnya. Pagi ini dia merasa tenang dan bahagia, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Namun, jauh di dasar benaknya, aku bisa merasakan adanya gumpalan perasaan yang gelap dan gelisah. Perasaan itu tidak mengancam, tetapi hampir mirip serangan depresi dan amarah yang dulu sering terjadi padanya. Memang hanya sedikit, tetapi aku tidak suka. Aku tidak menginginkan kehadiran emosi itu sedikit pun. Aku berusaha semakin dalam menyelami pikirannya agar bisa merasakan emosinya dengan lebih baik, dan tiba-tiba aku mengalami perasaan disentuh yang janggal. Perasaan mual mencengkamku, lalu aku tersentak keluar dari kepala Lissa. Tubuhku agak menggigil.
Kau baik-baik saja" tanya Lissa dengan kening berkerut. Kau tiba-tiba kelihatan seperti mau muntah.
Aku hanya & gugup menghadapi ujian, aku berbohong. Dengan ragu aku kembali mencoba menjangkau Lissa melalui ikatan batin. Kegelapan itu sudah menghilang sepenuhnya. Tak ada jejak yang tersisa. Mungkin memang tak ada yang salah dengan pilnya. Aku baik-baik saja.
Lissa menuding jam dinding. Kau takkan baik-baik saja kalau tidak lekas pergi.
Sialan, umpatku. Lissa benar. Aku memeluknya sekilas. Sampai ketemu nanti!
Semoga beruntung! serunya.
Aku bergegas melintasi kampus dan melihat mentorku, Dimitri Belikov, sudah menungguku di samping mobil Honda Pilot. Sangat membosankan. Kurasa aku memang tak bisa berharap menyusuri jalan pegunungan Montana dalam sebuah Porsche, tetapi rasanya akan lebih menyenangkan jika bisa menaiki mobil yang lebih keren daripada ini.
Aku tahu, aku tahu, kataku, melihat tatapannya. Maaf, aku terlambat.
Tiba-tiba aku teringat harus mengikuti salah satu ujian paling penting dalam hidupku, dan segala persoalan tentang Lissa dan pilnya yang mungkin sudah tidak berfun
gsi sebaik dulu langsung terlupakan. Aku ingin melindungi Lissa, tetapi semua itu takkan ada artinya jika aku tidak lulus sekolah menengah dan menjadi pengawalnya secara resmi.
Dimitri berdiri menungguku, terlihat setampan biasanya. Salju mulai turun di sekeliling kami, aku memperhatikan sepihannya yang ringan dan menyerupai kristal perlahan berguguran. Beberapa di antaranya jatuh di atas rambut gelap Dimitri dan langsung mencair.
Siapa lagi yang ikut" tanyaku.
Dimitri mengangkat bahu. Hanya kau dan aku.
Suasana hatiku langsung melonjak dari ceria ke bahagia . Aku dan Dimitri. Berdua saja. Di dalam mobil. Mungkin semua ini memang sepadan dengan ujian mendadak.
Seberapa jauh tempatnya" Diam-diam aku berharap perjalanannya sangat jauh. Katakanlah, satu minggu. Dan mengharuskan kami menginap di sebuah hotel mewah. Mungkin kami akan terdampar di gundukan salju, dan hanya panas tubuh yang membuat kami bertahan hidup.
Lima jam. Oh. Sedikit lebih cepat dari yang kuharapkan. Namun, lima jam tetap lebih baik daripada tidak sama sekali. Dan masih ada kemungkinan terdampar di gundukan salju.
Jalanan bersalju yang suram mungkin akan sulit dilalui manusia biasa, tetapi kondisi itu bukan masalah bagi mata dhampir kami. Aku memandang lurus ke depan, berusaha tidak memikirkan aroma tajam segar aftershave Dimitri yang memenuhi mobil sehingga membuatku seakan ingin meleleh. Alih-alih, aku berusaha memusatkan pikiran pada Kualifikasi.
Ini bukan sesuatu yang bisa kaupelajari. Kau hanya punya satu pilihan, lulus atau tidak. Para pengawal kelas atas mengunjungi novis yang sedang menjalani tahun pertama, lalu bertemu muka secara individu dan membahas komitmen si murid untuk menjadi pengawal. Aku tidak tahu apa tepatnya yang mereka tanyakan, tetapi selalu ada kabar burung yang beredar. Para pengawal yang lebih tua menilai karakter dan dedikasi, dan biasanya ada beberapa novis yang dinilai tidak memadai untuk melanjutkan karier sebagai pengawal.
Bukankah biasanya mereka yang mengunjungi Akademi" tanyaku pada Dimitri. Maksudku, aku senang kunjungan lapangan, tapi kenapa kita yang harus mendatangi mereka"
Sebenarnya, hanya satu orang, bukan mereka. Samar-samar terdengar aksen Rusia pada ucapan Dimitri, satu-satunya petunjuk mengenai tempatnya dibesarkan. Selain aksen itu, aku cukup yakin bahasa Inggrisnya jauh lebih baik daripada aku. Karena ini kasus istimewa dan dia sudah bersedia membantu kita, kitalah yang harus mengunjunginya.
Memangnya siapa orang itu"
Arthur Schoenberg. Aku segera mengalihkan pandangan dari jalan ke Dimitri.
Apa" jeritku. Arthur Schoenberg adalah legenda. Dia pembantai Strigoi terhebat sepanjang sejarah pengawal dan pernah menjabat sebagai ketua Dewan Pengawal kelompok orang yang menugaskan para pengawal untuk melindungi Moroi dan memutuskan semua hal untuk kami. Dia sudah pensiun dan kembali bertugas melindungi salah satu keluarga bangsawan, keluarga Badica. Bahkan setelah dia pensiun, aku tahu dia masih mematikan. Kehebatannya merupakan bagian dari kurikulum yang kuambil.
Memangnya & memangnya tidak ada orang lain yang bersedia" tanyaku pelan.
Aku bisa melihat Dimitri berusaha menahan senyum. Kau akan baik-baik saja. Lagi pula, kalau Art memberikan persetujuannya untukmu, kau akan mendapatkan rekomendasi hebat dalam catatan nilaimu.
Art. Dimitri memanggil pengawal paling jagoan dengan nama depannya. Tentu saja, Dimitri sendiri juga jagoan, jadi seharusnya aku tidak perlu kaget mendengarnya.
Suasana di dalam mobil menjadi sunyi. Aku menggigit bibir, mendadak mempertanyakan kesanggupanku memenuhi standar Arthur Schoenberg. Semua nilaiku bagus, tetapi hal-hal seperti melarikan diri dan bertengkar di sekolah mungkin bisa sedikit membayangi keseriusanku mengenai karier masa depan.
Kau akan baik-baik saja, ulang Dimitri. Catatanmu lebih banyak bagusnya daripada buruknya.
Kadang-kadang Dimitri seperti bisa membaca pikiranku. Aku tersenyum dan memberanikan diri meliriknya. Tubuhnya tinggi dan ramping, bahkan ketika dia sedang duduk. Kedua mata gelapnya seperti tak berdasar. Rambut cokelatnya diik
at di tengkuk. Rambut itu rasanya seperti sutra. Aku tahu itu karena pernah menyentuhnya saat Victor Dashkov mengguna-gunai kami dengan mantra kompulsi gairah. Dengan sekuat tenaga, aku berusaha memalingkan tatapan darinya.
Trims, Pelatih, aku menggodanya, kembali meringkuk di kursi.
Aku siap membantu, jawabnya. Suara Dimitri terdengar ringan dan santai sesuatu yang jarang terjadi. Biasanya dia sangat tegang, selalu siaga menghadapi serangan. Mungkin dia merasa aman dalam sebuah Honda atau setidaknya seaman yang bisa didapatkannya saat berada di dekatku. Aku bukan satu-satunya yang punya masalah dalam mengabaikan ketegangan perasaan yang terjadi di antara kami.
Kau tahu apa yang akan sangat membantuku" tanyaku tanpa menatapnya.
Hmm" Kalau kau mematikan musik payah ini, dan memasang sesuatu yang direkam setelah tembok Berlin dihancurkan.
Dimitri tertawa. Kau paling payah dalam kelas sejarah, tapi entah kenapa tahu semua hal tentang Eropa Timur.
Hei, aku kan harus punya bahan untuk leluconku, Kamerad.
Masih tersenyum, Dimitri memindahkan saluran radio. Ke stasiun musik country.
Hei! Bukan ini maksudku, seruku.
Aku tahu Dimitri hampir tidak sanggup lagi menahan tawa. Pilih saja. Yang ini atau yang tadi.
Aku mendesah. Kembalikan ke musik delapan puluhan.
Dimitri memindahkan saluran, dan aku menyilangkan tangan di depan dada saat sebuah band yang samar-samar terdengar seperti orang Eropa memainkan lagu tentang video yang sudah mematikan pamor bintang radio. Kuharap ada orang yang mematikan radio ini.
Tiba-tiba saja lima jam tidak terasa sesingkat dugaanku semula.
* * * Arthur dan keluarga yang dilindunginya tinggal di sebuah kota kecil yang terbentang di sepanjang jalan bebas hambatan I-90, tidak terlalu jauh dari Billings. Opini sebagian besar Moroi mengenai tempat tinggal terbelah dua. Ada yang berpendapat kota besar merupakan tempat terbaik karena memudahkan para vampir untuk berbaur dalam kerumunan, dan aktivitas malam hari tidak akan terlalu mencolok. Moroi lainnya, seperti keluarga ini, lebih memilih kota berpenduduk kecil. Mereka percaya semakin sedikit orang yang menyadari keberadaanmu, semakin kecil kemungkinan untuk diperhatikan.
Di tengah jalan aku berhasil meyakinkan Dimitri untuk mampir di sebuah kedai yang buka 24 jam. Setelah itu, kami sempat berhenti untuk mengisi bensin, dan tiba di tujuan sekitar tengah hari. Rumah yang kami datangi hanya satu lantai, dibangun dengan gaya pedesaan dan dilengkapi dengan lis kayu kelabu serta jendela-jendela besar yang menjorok ke luar tentu saja dicat gelap untuk menghalau sinar matahari. Rumahnya tampak baru dan mahal, dan meskipun letaknya jauh dari mana-mana, rumah itu tetap sesuai dengan bayanganku mengenai rumah keluarga bangsawan.
Aku melompat turun dari mobil, sepatu botku terbenam dalam salju lembut setebal tiga sentimeter lalu menginjak batu kerikil yang terdapat di pelataran mobil. Udaranya tenang, meski angin sesekali berembus. Aku dan Dimitri berjalan menuju rumah, menyusuri jalan setapak batu yang melintasi halaman depan. Aku bisa melihat sikap Dimitri berubah menjadi serius, tetapi secara keseluruhan masih terlihat sama bahagianya denganku. Selama perjalanan yang menyenangkan tadi, kami berdua sama-sama mendapatkan kepuasan yang diliputi perasaan bersalah.
Aku terpeleset di atas jalan setapak yang berselimut es, dan Dimitri langsung mengulurkan tangan untuk membantuku. Aku merasakan sedikit momen d"j" vu, teringat malam pertama kali kami bertemu saat itu dia juga menyelamatkanku dari kejadian serupa. Meski udara sangat dingin, tangan Dimitri terasa hangat pada lenganku, bahkan dengan adanya berlapis-lapis pakaian di balik mantelku.
Kau tidak apa-apa" Dimitri melepaskan genggamannya yang membuatku kecewa.
Yeah, kataku sambil memelototi jalan setapak yang licin. Apa orang-orang ini tidak pernah mendengar soal garam"
Aku mengucapkannya sebagai lelucon, tetapi Dimitri tiba-tiba berhenti berjalan. Aku juga langsung terdiam. Ekspresi wajahnya berubah menjadi tegang dan waspada. Dimitri memalingkan wajah, menatap dataran luas putih yang me
ngelilingi kami sebelum akhirnya kembali menatap rumah. Aku ingin bertanya padanya, tetapi ada sesuatu dalam bahasa tubuhnya yang seakan menyuruhku tetap diam. Dimitri mengamati bangunan itu selama hampir satu menit penuh, menunduk menatap jalan setapak, lalu melirik ke arah jalur masuk yang berselimut salju dan hanya ternoda oleh tapak kaki kami.
Dimitri menghampiri pintu depan dengan waspada, dan aku membuntutinya. Dia berhenti lagi, kali ini untuk mengamati pintunya. Pintunya tidak terbuka, tetapi juga tidak menutup sempurna sepertinya ditutup dengan sangat terburu-buru. Ketika diamati lebih lanjut terlihat goresan di sepanjang ambang pintu, seolah sempat dibuka dengan paksa. Dorongan terpelan sekalipun bisa membukanya. Perlahan jemari Dimitri menelusuri ambang pintu, napasnya menghasilkan awan kecil di udara. Gagang pintunya sedikit bergoyang saat disentuh Dimitri, seakan-akan sudah dirusak.
Akhirnya Dimitri berkata pelan, Rose, tunggu di mobil.
Tapi ba Cepat. Hanya satu kata tetapi sarat dengan kekuasaan. Satu kata itu langsung mengingatkanku pada seorang pria yang sering kulihat melemparkan tubuh orang lain dan menusuk Strigoi. Aku mundur, memilih berjalan di atas halaman berselimut salju daripada mengambil risiko di atas jalan setapak yang licin. Dimitri berdiri di tempat, tidak bergerak sedikit pun sampai aku menyelinap masuk ke dalam mobil dan menutup pintunya sepelan mungkin. Kemudian, dengan sangat lembut, Dimitri mendorong pintu yang nyaris lepas itu lalu menghilang ke dalam.
Terbakar rasa penasaran, aku menghitung sampai sepuluh lalu keluar dari mobil.
Aku tahu seharusnya tidak mengejar Dimitri ke dalam rumah, tetapi aku harus tahu apa yang terjadi di dalam. Jalan setapak dan pelataran mobil yang terlantar menunjukkan bahwa rumah ini sudah tidak berpenghuni selama beberapa hari terakhir. Meski sebenarnya bisa saja keluarga Badica ini tidak pernah ke luar rumah. Mungkin saja mereka menjadi korban perampokan biasa yang dilakukan manusia. Tetapi mungkin juga ada sesuatu yang membuat mereka ketakutan contohnya, Strigoi. Aku tahu kemungkinan itulah yang membuat wajah Dimitri terlihat muram, tetapi rasanya itu tidak mungkin dengan adanya Arthur Schoenberg.
Ketika berdiri di pelataran, aku mendongak menatap langit. Cahayanya muram dan pucat, tetapi setidaknya ada cahaya. Tengah hari. Matahari sedang berada di puncaknya. Strigoi tak mungkin keluar dalam cahaya matahari. Aku tidak perlu mengkhawatirkan mereka, yang perlu kukhawatirkan hanyalah amarah Dimitri.
Aku memutar ke samping kanan rumah, berjalan di atas salju yang jauh lebih tebal tingginya hampir 30 sentimeter. Aku tidak melihat ada yang janggal di rumah ini. Butiran es bergelantungan dari atap, dan jendela yang dicat tidak menampakkan apa-apa. Tiba-tiba kakiku menabrak sesuatu, dan aku menunduk untuk melihatnya. Di kakiku terdapat sebuah pasak perak yang setengah terkubur dalam salju. Pasak itu tertancap ke dalam tanah. Dengan kening berkerut, aku memungutnya lalu membersihkan salju yang menempel di sana. Kenapa ada pasak di sini" Pasak perak sangat berharga. Pasak perak adalah senjata pengawal yang paling mematikan, sanggup membunuh Strigoi hanya dengan satu tusukan menembus jantung. Saat senjata ini ditempa, empat orang Moroi memantrainya dengan sihir yang berasal dari empat elemen berbeda. Aku belum tahu cara menggunakannya, aku mendadak merasa aman untuk melanjutkan pemeriksaan ini.
Ada sebuah pintu berukuran besar di bagian belakang rumah yang mengarah ke teras dek kayu. Mungkin akan sangat menyenangkan bersantai di sana pada musim panas. Tetapi kaca terasnya pecah, dan lubangnya cukup besar untuk dimasuki dengan mudah. Aku mengendap-endap menaiki tangga menuju dek, berhati-hari dengan es yang melapisinya. Aku sadar sepenuhnya akan mendapat masalah besar kalau Dimitri sampai tahu apa yang kulakukan. Meski udaranya dingin, keringat mengucur deras di leherku.
Ini siang hari, aku mengingatkan diri sendiri. Tak ada yang perlu dikhawatirkan.
Aku tiba di teras dan mengamati kacanya yang gelap. Aku tidak yakin apa yang membuatnya pecah. Di dalam, salju
tertiup masuk dan menghasilkan gundukan kecil pada karpet berwarna biru pucat. Aku menyentak gagang pintunya, tetapi ternyata dikunci. Bukan berarti itu masalah, mengingat adanya lubang di pintu. Seraya berhati-hati agar tidak terkena pinggirannya yang tajam, aku mengulurkan tangan melalui lubang dan membuka gerendel pintu dari dalam. Aku menarik tanganku lagi dengan sama hati-hatinya, dan menggeser pintu sampai terbuka. Pintu itu mendesis di sepanjang alurnya, bunyi pelan yang terdengar sangat nyaring di tengah kesunyian mencekam ini.
Aku melangkah masuk, lalu berdiri di bawah seberkas cahaya matahari yang terpancar ke dalam dari pintu yang terbuka. Mataku segera menyesuaikan diri dengan cahaya temaram di dalam ruangan. Angin berembus melalui teras yang terbuka, menari bersama tirai di sekelilingku. Aku berada di ruang keluarga. Ruangan ini dilengkapi dengan perabot standar. Sofa. Televisi. Sebuah kursi goyang.
Dan sesosok mayat. Itu mayat seorang wanita. Dia tergeletak di depan televisi, rambutnya tergerai di lantai di sekelilingnya. Matanya menatap kosong, wajahnya pucat terlalu pucat untuk Moroi sekalipun. Sejenak kupikir rambut panjangnya menutupi lehernya juga, sampai akhirnya aku sadar bahwa rona gelap yang terdapat pada kulitnya itu darah darah kering. Tenggorokannya sobek.
Pemandangan mengerikan itu terlihat begitu tidak nyata sehingga awalnya aku tidak menyadari apa yang sebenarnya kulihat. Dengan posisi seperti itu, bisa saja si wanita hanya tertidur. Kemudian aku melihat mayat lainnya. Seorang pria yang berbaring menyamping hanya beberapa meter dari mayat si wanita, darah berwarna gelap menodai karpet di sekitarnya. Satu mayat lagi teronggok di samping sofa; tubuhnya kecil, tubuh seorang anak. Di seberang ruangan ada mayat lain. Dan mayat lainnya. Di mana-mana ada mayat. Mayat dan darah.
Sekonyong-konyong aku baru menyadari kengerian kematian yang ada di sekelilingku, dan jantungku mulai berdebar-debar. Tidak. Ini tidak mungkin terjadi. Tidak mungkin di siang hari. Jeritan yang hendak keluar tiba-tiba terhenti saat sebuah tangan bersarung muncul dari belakang dan membekap mulutku. Aku mulai meronta, lalu aku mencium bau aftershave Dimitri.
Kenapa, tanyanya, kau tak pernah mendengarkan aku" Kau pasti mati kalau mereka masih ada di sini.
Aku tak bisa menjawab, tidak hanya karena tangannya membekapku, tetapi juga karena aku sangat terguncang. Aku pernah melihat orang mati, tetapi belum pernah yang sedahsyat ini. Setelah hampir satu menit, akhirnya Dimitri melepaskan tangannya, tetapi tetap berada di belakangku. Aku tidak mau lagi melihat pemandangan yang ada di hadapanku, namun sepertinya aku tak sanggup memalingkan wajah. Di mana-mana ada mayat. Mayat dan darah.
Akhirnya aku menghadap Dimitri. Sekarang siang hari, bisikku. Hal buruk tidak terjadi di siang hari. Suaraku terdengar putus asa, bagai gadis kecil yang memohon agar diberitahu bahwa semua ini hanyalah mimpi buruk.
Hal buruk bisa terjadi kapan saja, jawab Dimitri. Dan ini tidak terjadi di siang hari. Mungkin sudah dua malam yang lalu.
Aku memberanikan diri mengintip mayat-mayat itu lagi dan perutku langsung terasa melilit. Dua hari. Mati selama dua hari, kehidupanmu direnggut tanpa seorang pun di dunia ini yang menyadari kepergianmu. Mataku tertumbuk pada mayat seorang pria yang terdapat di dekat pintu masuk ke arah selasar. Pria itu tinggi, tubuhnya terlalu kekar untuk seorang Moroi. Dimitri pasti menyadari arah pandanganku.
Arthur Schoenberg, katanya.
Aku memandangi leher Arthur yang berdarah. Dia sudah mati, ucapku, seakan hal itu tidak terlihat dengan jelas. Bagaimana mungkin dia mati" Bagaimana mungkin ada Strigoi yang membunuh Arthur Schoenberg" Ini sepertinya mustahil. Kau tak bisa membunuh seorang legenda.
Dimitri tidak menjawab. Alih-alih, tangannya meraih tanganku yang memegang pasak. Aku tersentak.
Di mana kau menemukannya" dia bertanya. Aku melonggarkan genggaman dan membiarkannya mengambil pasak itu.
Di luar. Tertancap di tanah.
Dimitri mengangkat pasak itu lalu mengamati permukaannya yang bersinar di bawah cahaya mat
ahari. Pasak ini yang menembus pertahanan.
Pikiranku yang masih terpana membutuhkan waktu beberapa saat untuk mencerna ucapan Dimitri. Kemudian aku memahaminya. Pertahanan adalah lingkaran sihir yang dibuat kaum Moroi. Sama seperti pasak, lingkaran ini juga dibuat dengan menggunakan sihir yang berasal dari keempat elemen. Pertahanan membutuhkan pengguna sihir Moroi yang kuat, sering kali dua orang untuk setiap elemen. Pertahanan sanggup menghalau Strigoi karena sihir dialiri kehidupan, sedangkan Strigoi tidak memilikinya. Tetapi pertahanan memudar dengan cepat dan membutuhkan banyak perawatan. Sebagian besar Moroi tidak menggunakannya, tetapi ada beberapa tempat yang masih mempertahankannya. Akademi St. Vladimir dilingkari oleh beberapa pertahanan sihir.
Semula tempat ini memiliki pertahanan, tetapi hancur berantakan saat ada orang yang melemparkan pasak. Sihir keduanya saling melawan, dan pasak yang menang.
Strigoi tidak bisa menyentuh pasak, kataku. Aku baru sadar banyak menggunakan kata tidak dan tidak bisa. Tidak mudah rasanya keyakinanmu ditantang habis-habisan seperti ini. Dan tidak ada Moroi ataupun dhampir yang tega melakukannya.
Seorang manusia mungkin saja melakukannya.
Aku menatap mata Dimitri. Manusia tidak membantu Strigoi aku berhenti. Aku menyebutnya lagi. Tidak. Tetapi aku tak bisa menahannya. Satu-satunya yang bisa kami andalkan dalam melawan Strigoi adalah keterbatasan mereka cahaya matahari, pertahanan, pasak sihir, dan lain-lain. Kami memanfaatkan kelemahan mereka. Jika mereka memiliki teman manusia yang bisa membantu mereka dan tidak terpengaruh oleh keterbatasan tadi &.
Wajah Dimitri terlihat tegang, masih terlihat siap menghadapi apa pun, tetapi ada percikan kecil rasa simpati di mata gelapnya saat melihatku menghadapi pertarungan batin.
Semua ini mengubah banyak hal, kan" tanyaku.
Yeah, jawabnya. Memang.
BAB DUA DIMITRI MENELEPON, DAN sebuah tim SWAT muncul.
Tetapi mereka baru datang setelah dua jam, dan setiap menit yang berlalu terasa bagaikan satu tahun. Akhirnya aku tidak tahan lagi dan kembali ke mobil. Dimitri memeriksa rumah secara lebih menyeluruh, lalu ikut duduk di sampingku. Kami tidak berbicara selama menunggu. Kilasan gambar mengerikan yang terjadi di dalam terus-menerus menghantui pikiranku. Aku merasa ketakutan dan kesepian, berharap Dimitri memelukku untuk menenangkanku.
Aku segera memarahi diri sendiri karena menginginkan hal itu. Untuk keseribu kalinya aku mengingatkan diri bahwa Dimitri adalah instrukturku dan tidak punya urusan untuk memelukku, apa pun situasinya. Lagi pula, aku ingin menjadi kuat. Aku tidak mau menghambur ke pelukan seorang pria setiap kali mendapat masalah berat.
Saat kelompok pengawal yang pertama muncul, Dimitri membuka pintu mobil lalu melirik ke arahku. Kau harus melihat cara mengatasi semua ini.
Sejujurnya, aku tidak mau melihat rumah itu lagi, tetapi aku tetap membuntuti Dimitri. Para pengawal ini asing bagiku, tetapi Dimitri mengenal mereka. Sepertinya dia selalu mengenal semua orang. Kelompok ini terkejut saat melihat seorang novis di tempat kejadian, tetapi tak ada yang keberatan dengan kehadiranku di sana.
Aku berjalan di belakang saat mereka memeriksa rumah. Tak ada yang menyentuh barang-barang, tetapi mereka berlutut di depan mayat-mayat serta mengamati noda darah dan jendela yang rusak. Ternyata Strigoi tidak hanya menggunakan pintu depan dan teras belakang untuk memasuki rumah.
Para pengawal berbicara dengan tegas, sama sekali tidak terlihat jijik atau takut seperti yang kurasakan. Mereka bagaikan mesin. Salah seorang dari mereka, satu-satunya wanita dalam kelompok itu, berjongkok di samping Arthur Schoenberg. Aku langsung tertarik karena jarang melihat pengawal perempuan. Aku mendengar Dimitri memanggilnya Tamara, dan kelihatannya dia berusia dua puluh lima tahun. Rambut hitamnya hanya sebatas pundak, seperti umumnya pengawal perempuan.
Kesedihan terpancar dari mata kelabunya saat mengamati wajah pengawal yang sudah mati itu. Oh, Arthur, desahnya. Seperti Dimitri, wanita ini juga sanggup menyampaikan ratusan hal hanya dala
m beberapa kata. Tak pernah kuduga ini akan terjadi. Dia mentorku. Seraya mendesah lagi, Tamara berdiri.
Wajahnya langsung terlihat serius lagi, seolah pria yang dulu melatihnya tidak terbaring mati di hadapannya. Aku tak bisa percaya ini. Pria itu mentornya. Bagaimana mungkin dia sanggup mengendalikan diri sekuat ini" Selama setengah detik, aku membayangkan melihat Dimitri terbaring mati di lantai. Tidak. Tidak mungkin aku bisa setenang itu jika dalam posisi Tamara. Aku mungkin akan histeris. Aku mungkin akan menjerit-jerit dan menendang segala macam benda. Aku mungkin akan memukul siapa pun yang berusaha menenangkanku dengan mengatakan semuanya baik-baik saja.
Untungnya, aku tidak percaya ada orang yang mampu mengalahkan Dimitri. Aku pernah melihatnya membunuh Strigoi tanpa mengeluarkan keringat setetes pun. Dimitri tak terkalahkan. Dia seorang jagoan. Seorang dewa.
Tentu saja, Arthur Schoenberg juga dulu seperti itu.
Bagaimana mereka melakukannya" cetusku. Enam pasang mata menoleh padaku. Kusangka Dimitri akan menatapku dengan pandangan mencela, tetapi ternyata dia hanya kelihatan penasaran. Bagaimana mereka membunuhnya"
Tamara mengangkat bahu sedikit, wajahnya masih tenang. Seperti cara mereka membunuh yang lain. Dia bukan makhluk abadi, sama seperti kita semua.
Yeah, tapi dia kan & Arthur Schoenberg.
Bagaimana kalau kau yang memberitahu kami, Rose, kata Dimitri. Kau sudah melihat rumahnya. Katakan cara mereka melakukannya.
Ketika mereka menatapku, tiba-tiba aku tersadar bahwa mungkin saja seharian ini aku sedang menjalani ujian. Aku memikirkan semua hal yang sejak tadi kuperhatikan dan kudengar. Aku menelan ludah, berusaha menyimpulkan bagaimana yang mustahil menjadi mungkin.
Ada empat titik jalan masuk, artinya sedikitnya ada empat Strigoi. Di rumah ini ada tujuh Moroi. Keluarga yang menghuni rumah ini sedang menjamu beberapa tamu sehingga pembantaiannya sedahsyat ini. Tiga korban adalah anak kecil. &dan tiga pengawal. Yang tewas terlalu banyak. Empat Strigoi tak mungkin membantai sebanyak itu. Enam Strigoi mungkin sanggup jika membunuh para pengawal lebih dulu dan melakukannya saat mereka sedang lengah. Keluarga Moroi itu pasti terlalu panik untuk melawan.
Dan bagaimana cara mereka menyerang saat para pengawal sedang lengah" desak Dimitri.
Aku ragu-ragu. Para pengawal, sesuai aturan umum, tidak boleh lengah. Karena pertahanannya berhasil ditembus. Di rumah yang tidak dilengkapi pertahanan sihir, mungkin akan ada pengawal yang berjaga-jaga di halaman pada malam hari. Tapi mereka tidak melakukannya di sini.
Aku menunggu pertanyaan selanjutnya yang pasti mengenai cara yang digunakan untuk menembus pertahanannya. Tetapi Dimitri tidak menanyakannya. Tidak perlu. Kami semua sudah tahu jawabannya. Kami sudah melihat pasaknya. Aku kembali bergidik. Manusia yang bekerja sama dengan Strigoi sekelompok besar Strigoi.
Dimitri hanya mengangguk kecil sebagai tanda persetujuan, dan kelompok itu melanjutkan pemeriksaan. Saat kami tiba di kamar mandi, aku membuang muka. Aku sudah melihat ruangan ini bersama Dimitri, dan tidak berminat mengulangi pengalaman itu. Di dalam kamar mandi itu ada mayat seorang pria, dan darah keringnya terlihat mencolok di atas lantai keramik putih. Selain itu, karena ruangan ini berada di dalam, udaranya tidak sedingin ruangan di dekat teras. Jadi tak ada proses pengawetan. Mayatnya belum busuk, tetapi tidak harum juga.
Tetapi saat memalingkan wajah, aku menangkap sesuatu yang berwarna merah gelap malah cenderung cokelat di cermin. Aku tadi tidak melihatnya karena perhatianku terpaku pada semua hal lain di tempat ini. Pada permukaan cermin ada sebuah pesan yang ditulis dengan darah.
Sungguh malang nasib keluarga Badica. Hanya sedikit yang tersisa. Satu keluarga bangsawan nyaris musnah. Yang lainnya akan menyusul.
Tamara mendengus jijik dan berpaling dari cermin, mengamati detail lainnya yang ada di kamar mandi. Tetapi ketika kami keluar, kata-kata itu terus mengiang dalam kepalaku. Satu keluarga bangsawan nyaris musnah. Yang lainnya akan menyusul.
Memang benar, keluarga Badica adala
h salah satu klan bangsawan terkecil. Tetapi mereka yang terbunuh di sini sama sekali bukan keturunan terakhir Badica. Mungkin masih ada sekitar dua ratus orang anggota keluarga Badica yang tersisa di luar sana. Jumlah mereka tidak sebanyak keluarga lain, contohnya keluarga Ivashkov. Keluarga bangsawan ini sangat besar dan tersebar luas. Namun, jumlah keluarga Badica masih lebih banyak daripada beberapa keluarga bangsawan lain.
Contohnya keluarga Dragomir.
Lissa adalah satu-satunya anggota keluarga Dragomir yang masih tersisa.
Jika Strigoi ingin memusnahkan garis keturunan bangsawan, tidak ada yang lebih baik daripada mengincar Lissa. Darah Moroi memperkuat Strigoi, jadi aku memahami keinginan mereka untuk melakukannya. Kurasa secara spesifik membidik kaum bangsawan hanya bagian dari sifat kejam dan sadis mereka. Ironis rasanya Strigoi bermaksud menghancurkan kaum Moroi mengingat sebagian besar dari mereka dulunya bagian dari komunitas itu.
Cermin berisi ancaman itu terus menghantuiku selama kami berada di rumah tersebut, dan ketakutan serta kekagetanku berubah menjadi amarah. Bagaimana mungkin mereka melakukan ini" Bagaimana mungkin ada makhluk yang begitu sinting dan kejam sehingga sanggup melakukan semua ini pada sebuah keluarga sehingga mau memusnahkan seluruh garis keturunannya" Bagaimana mungkin ada makhluk yang sanggup melakukan semua ini padahal dulu mereka sama seperti aku dan Lissa"
Memikirkan Lissa dan memikirkan Strigoi yang ingin memusnahkan keluarga Lissa membangkitkan amarah gelap dalam diriku. Intensitas emosi tersebut nyaris membuatku gila. Rasanya gelap dan muram, terus membengkak dan bergulung. Sebuah awan badai yang siap meledak. Tiba-tiba saja aku merasa ingin mencabik-cabik setiap Strigoi yang bisa kutemui.
Saat akhirnya naik ke mobil dan kembali ke St. Vladimir bersama Dimitri, aku membanting pintu mobil dengan begitu keras sehingga aku sendiri heran pintunya tidak copot.
Dimitri melirikku kaget. Ada apa"
Apa kau serius" seruku heran. Bagaimana mungkin kau menanyakannya" Kau ada di sana. Kau melihatnya.
Memang, kata Dimitri. Tapi aku tidak melampiaskannya pada mobil.
Aku memasang sabuk pengaman dan cemberut. Aku benci mereka. Aku benci mereka semua! Coba aku ada di sana. Akan kusobek tenggorokan mereka!
Aku hampir berteriak. Dimitri menatapku lekat-lekat dengan wajah tenang tetapi jelas dia takjub melihat ledakan amarahku.
Kau benar-benar yakin dengan semua itu" tanya Dimitri. Setelah melihat apa yang dilakukan Strigoi di dalam sana, kaupikir bisa bertindak lebih baik daripada Art Schoenberg" Setelah melihat apa yang dilakukan Natalie kepadamu"
Aku terdiam. Aku sempat berhadapan dengan sepupu Lissa, Natalie, saat dia berubah menjadi Strigoi, tepat sebelum Dimitri datang dan menjadi pahlawan. Bahkan sebagai Strigoi yang baru berubah lemah dan belum bisa mengendalikan gerakannya Natalie bisa melemparku ke seberang ruangan.
Aku menutup mata dan menghela napas dalam-dalam. Tiba-tiba saja aku merasa bodoh. Aku sudah melihat apa yang bisa diperbuat oleh Strigoi. Jika aku terburu-buru berusaha menjadi pahlawan, nasibku mungkin akan berakhir dalam kematian yang sangat cepat. Aku sedang berkembang menjadi pengawal tangguh, tetapi aku masih harus banyak belajar dan seorang gadis berusia tujuh belas tahun tak mungkin sanggup melawan enam Strigoi.
Aku membuka mata. Maafkan aku, kataku setelah bisa mengendalikan diri lagi. Kemarahan yang tadi meledak mulai memudar. Aku tidak tahu dari mana datangnya. Aku memang mudah marah dan sering kali bertindak impulsif, tetapi ledakan emosi tadi termasuk para dan mengerikan, bahkan untukku. Aneh.
Tak apa, kata Dimitri. Dia meletakkan tangan di atas tanganku selama beberapa saat. Kemudian dia melepasnya dan menyalakan mobil. Hari ini sangat melelahkan. Untuk kita semua.
* * * Ketika kami tiba di Akademi St. Vladimir sekitar tengah malam, semua orang sudah tahu soal pembantaian itu. Hari sekolah vampir baru saja berakhir, dan aku belum tidur selama lebih dari dua puluh empat jam. Mata dan tubuhku terasa berat, dan Dimitri langsung menyuruhku cepat-c
epat kembali ke asrama untuk tidur. Tentu saja, Dimitri masih terlihat waspada dan siap menghadapi apa pun. Kadang-kadang aku bahkan tidak yakin dia pernah tidur. Dimitri pergi untuk membahas masalah serangan ini dengan para pengawal lainnya, dan aku berjanji padanya akan langsung tidur. Tetapi saat Dimitri sudah tidak terlihat, aku malah berbalik menuju perpustakaan. Aku harus menemui Lissa, dan menurut ikatan batin kami di sanalah dia sekarang berada.
Saat aku menyusuri jalan setapak berbatu di alun-alun yang menghubungkan asramaku dengan bangunan utama sekolah menengah, keadaannya gelap gulita. Salju sepenuhnya menutupi rumput, tetapi trotoarnya benar-benar bersih dari es ataupun salju. Ini mengingatkanku pada rumah keluarga Badica yang malang tadi.
Aula bersama berada di sebuah bangunan besar bergaya gotik yang lebih mirip lokasi pembuatan film berlatar abad pertengahan daripada sekolah. Di dalam bangunan, aura misterius dan sejarah kuno terus terpancar. Dinding batu yang rumit dan lukisan antik berseberangan dengan komputer dan lampu neon. Teknologi modern memang diterima di tempat ini, tetapi takkan pernah mendominasi.
Setelah menyelinap melalui gerbang elektronik perpustakaan, aku langsung ke sudut belakang tempat buku-buku geografi dan perjalanan wisata disimpan. Benar saja, aku menemukan Lissa duduk di lantai, bersandar pada rak buku.
Hei, kata Lissa, mendongak dari buku yang terbuka di atas lututnya. Dia menyibak beberapa helai rambut dari wajah. Kekasihnya, Christian, berbaring di lantai di dekatnya, kepalanya bersandar pada lutut Lissa yang lain. Christian menyapaku dengan anggukan kepala. Mengingat perdebatan yang kadang membara di antara kami berdua, anggukan itu bisa disamakan dengan pelukan hangat darinya. Meski Lissa tersenyum tipis, aku bisa merasakan ketegangan dan ketakutan yang dirasakannya. Emosi tersebut seakan mengalun dari ikatan batin kami.
Kau sudah dengar, kataku sambil duduk bersila.
Senyum Lissa menghilang, perasaan takut dan gelisah yang dirasakannya semakin menjadi-jadi. Aku senang hubungan batin kami membuatku bisa melindungi Lissa dengan lebih baik, tetapi sebenarnya aku tidak suka perasaan gelisahku sendiri berlipat ganda.
Ini mengerikan, kata Lissa bergidik. Christian bergeser dan menautkan jari pada jari Lissa. Lissa balas meremasnya. Mereka berdua benar-benar sedang jatuh cinta dan memperlakukan satu sama lain dengan sikap semanis gula; saking manisnya sehingga aku ingin menggosok gigi setelah berada di dekat mereka. Namun, mereka berdua sekarang terlihat pendiam, pasti gara-gara berita pembantaian itu. Mereka bilang & mereka bilang di sana ada enam atau tujuh Strigoi. Dan katanya ada manusia yang membantu mereka menembus pertahanan.
Aku menyandarkan kepala pada rak buku. Berita menyebar dengan cepat. Tiba-tiba saja aku merasa pusing. Memang benar.
Benarkah" kata Christian. Kusangka semua itu berita yang dilebih-lebihkan.
Tidak & Pada saat itu aku baru sadar bahwa tidak ada yang tahu ke mana aku pergi seharian ini. Aku & aku ada di sana.
Kedua mata Lissa melebar, kekagetan yang dirasakannya mengalir padaku melalui ikatan batin. Bahkan Christian contoh sejati bocah sok tahu terlihat muram. Kalau tidak ingat berapa mengerikannya kejadian itu, aku pasti girang melihat reaksi Christian.
Kau bercanda, kata Christian dengan suara tidak yakin.
Kupikir kau sedang menjalani Kualifikasi &. Suara Lissa tiba-tiba mengecil.
Mestinya begitu, kataku. Bisa dibilang aku berada di tempat dan waktu yang salah. Pengawal yang seharusnya mengujiku tinggal di rumah itu. Aku dan Dimitri baru akan masuk ke dalam rumah, dan &
Aku tak sanggup meneruskan cerita. Gambaran mengenai darah dan kematian yang memenuhi rumah keluarga Badica melintas di benakku lagi. Wajah Lissa dan ikatan batin di antara kami menunjukkan kekhawatiran yang dirasakannya.
Rose, kau baik-baik saja" tanyanya dengan lembut.
Lissa sahabatku, tetapi aku tak mau dia tahu betapa takut dan kesalnya aku dengan kejadian ini. Aku ingin terlihat tangguh.
Ya, jawabku dengan rahang terkatup.
Seperti apa rasanya" tanya Chri
stian. Suaranya terdengar penasaran, tetapi terselip rasa bersalah seolah dia sadar bahwa penasaran mengenai hal mengerikan semacam ini keliru. Tetapi dia tak bisa menahan diri untuk tidak menanyakannya. Satu-satunya kesamaan di antara kami berdua adalah tidak bisa mengendalikan dorongan spontan.
Rasanya & Aku menggeleng. Aku tak mau membicarakannya.
Christian sudah hendak protes, tapi Lissa menyapukan tangan ke rambut hitam lurus Christian. Peringatan lembut itu segera membuat cowok itu terdiam. Sesaat suasana di antara kami terasa canggung. Saat membaca pikiran Lissa, aku bisa merasakan dia sedang berusaha keras mengalihkan topik pembicaraan.
Mereka bilang kejadian ini akan mengacaukan semua acara liburan, kata Lissa beberapa saat kemudian. Bibinya Christian akan datang berkunjung, tapi sebagian besar orang sepertinya enggan bepergian. Mereka ingin anak-anak mereka tetap berada di tempat aman. Mereka khawatir kelompok Strigoi ini sedang berkeliaran.
Sebelumnya aku tidak pernah memikirkan konsekuensi dari serangan seperti ini. Natal akan tiba sekitar satu minggu lagi. Biasanya, saat Natal kaum Moroi sibuk bepergian ke berbagai tempat. Para siswa pulang ke rumah untuk mengunjungi orangtua mereka, atau para orangtua datang menjenguk anak-anak mereka di kampus.
Kejadian ini akan memisahkan banyak keluarga, gumamku.
Dan mengacaukan banyak acara kumpul-kumpul kaum bangsawan, kata Christian. Keseriusannya yang tadi muncul sejenak sudah lenyap, dan kebiasaan sinisnya kembali. Kau kan tahu bagaimana sikap mereka pada saat-saat seperti ini bersaing mengadakan pesta termegah. Mereka pasti sangat kebingungan.
Aku bisa membayangkannya. Hidupku memang berkutat dengan perkelahian, tetapi kaum Moroi jelas memiliki pertarungan mereka sendiri terutama yang berhubungan dengan kaum terpandang dan bangsawan. Mereka menghadapi pertempuran dengan kata-kata dan aliansi politik, dan sejujurnya, aku lebih memilih metode tepat sasaran seperti memukul dan menendang. Lissa dan Christian sendiri harus menghadapi beberapa masalah. Mereka berasal dari keluarga bangsawan, itu artinya mereka mendapatkan banyak perhatian baik di dalam maupun di luar Akademi.
Keadaan mereka lebih buruk daripada keluarga bangsawan Moroi pada umumnya. Keluarga Christian hidup di bawah bayang-bayang kelam kedua orangtuanya. Kedua orangtua Christian berubah menjadi Strigoi atas kehendak sendiri, menukar sihir dan kehidupan mereka demi kehidupan abadi dan membunuh orang lain. Mereka kini sudah meninggal, tetapi kematian mereka belum menghilangkan ketidakpercayaan orang-orang pada Christian. Mereka beranggapan Christian bisa berubah menjadi Strigoi kapan saja dan memaksa yang lain untuk bergabung dengannya. Sikap kasar dan selera humor gelapnya juga tidak membuat keadaan menjadi lebih baik.
Lissa menjadi pusat perhatian karena dia satu-satunya yang masih hidup dalam keluarganya. Selain Lissa, tak ada Moroi lain yang memiliki cukup darah Dragomir sehingga berhak menyandang nama tersebut. Calon suaminya mungkin akan berada di suatu tempat dalam silsilah keluarganya untuk memastikan anak-anak Lissa kelak diakui sebagai keturunan Dragomir. Tetapi untuk sekarang, menjadi satu-satunya Dragomir membuat Lissa bagaikan selebriti.
Memikirkan semua ini tiba-tiba mengingatkanku pada peringatan yang tertulis di cermin. Aku merasa mual. Amarah gelap dan keputusasaan kembali bergejolak, tetapi aku mengabaikannya dengan sebuah lelucon.
Kalian harus mencoba menyelesaikan masalah seperti kami. Sedikit perkelahian mungkin bisa membantu bangsawan seperti kalian.
Lissa dan Christian tertawa mendengarnya. Christian mendongak menatap Lissa sambil tersenyum licik, memperlihatkan taringnya. Bagaimana menurutmu" Taruhan aku bisa mengalahkanmu kalau kita bertarung satu lawan satu.
Kau pasti bermimpi, goda Lissa. Perasaan gelisahnya mulai berkurang.
Sebenarnya aku memang memimpikannya, kata Christian menatapnya lekat-lekat.
Suara Christian terdengar begitu sensual sehingga membuat jantung Lissa langsung berdebar. Kecemburuan langsung menyerangku. Aku dan Lissa sudah bersahabat seumur
hidup. Aku bisa membaca pikirannya. Tetapi kenyataannya, sekarang Christian menjadi bagian penting dalam kehidupan Lissa, dan dia punya peran yang tak bisa kugantikan sama halnya dengan Christian yang tidak akan bisa ambil bagian dalam ikatan batin yang terjalin antara aku dan Lissa. Bisa dibilang kami berdua sama-sama menerima tetapi tidak menyukai kenyataan bahwa kami harus berbagi perhatian Lissa, dan kadang-kadang sepertinya gencatan senjata yang terjadi di antara kami setipis kertas.
Lissa mengusap pipi Christian. Jaga sikapmu.
Sudah, kata Christian, suaranya masih terdengar agak serak. Kadang-kadang. Tapi kadang-kadang kau tak membiarkanku untuk &
Seraya mengerang, aku pun berdiri. Ya ampun. Aku akan pergi supaya kalian bisa berduaan.
Lissa mengerjap dan mengalihkan tatapannya dari Christian, mendadak terlihat malu.
Maaf, gumamnya. Rona merah muda pucat menyebar ke pipinya. Karena kulit Lissa sangat pucat seperti umumnya kaum Moroi, rona itu malah membuatnya terlihat lebih cantik. Bukan berarti dia perlu sesuatu untuk menambah kecantikannya. Kau tak perlu pergi &
Tidak apa-apa. Aku lelah, aku meyakinkan Lissa. Christian tampaknya tidak terlalu kecewa melihat kepergianku. Aku akan menemuimu besok.
Aku mulai berbalik pergi, tetapi Lissa memanggilku. Rose" Kau & kau yakin baik-baik saja" Setelah semua yang terjadi"
Aku menatap mata hijau giok Lissa. Kekhawatiran yang dirasakannya begitu kuat dan dalam sehingga membuat dadaku terasa sakit. Aku mungkin lebih dekat dengan Lissa daripada siapa pun di dunia ini, tetapi aku tak mau dia mengkhawatirkan aku. Akulah yang bertugas memastikan keselamatannya. Seharusnya dia tidak terbebani denganku terutama saat Strigoi tiba-tiba memutuskan membuat daftar korban yang terdiri atas kaum bangsawan.
Aku menyunggingkan senyum ceria. Aku baik-baik saja. Tak ada yang perlu dikhawatirkan selain kemungkinan kalian berdua saling melucuti pakaian sebelum aku sempat pergi dari sini.
Kalau begitu, sebaiknya kau pergi sekarang juga, kata Christian datar.
Lissa menyikutnya, dan aku memutar bola mata. Selamat malam, ucapku.
Begitu aku memunggungi mereka, senyumku langsung lenyap. Aku berjalan ke asrama dengan hati berat, berharap malam ini tidak akan bermimpi tentang keluarga Badica.
BAB TIGA LOBI ASRAMAKU SANGAT ribut ketika aku berlari menuruni tangga untuk berlatih sebelum sekolah dimulai. Kehebohan itu tidak mengejutkanku. Tidur nyenyak sudah membantuku melupakan kilasan gambar kejadian kemarin, tetapi aku tahu, baik aku maupun teman-teman sekelasku takkan bisa dengan mudah melupakan kejadian di luar kota Billings itu.
Namun, saat memperhatikan wajah dan kerumunan para novis lainnya, aku baru sadar ada sesuatu yang aneh. Ketakutan dan ketegangan akibat peristiwa kemarin masih tersisa, tetapi terlihat ada sesuatu yang baru; semangat. Ada dua novis baru yang hampir menjerit kegirangan sambil berbisik-bisik. Di dekat mereka, sekelompok pria sebayaku bergerak tak terkendali, wajah mereka cengar-cengir penuh semangat.
Pasti ada yang kulewatkan kecuali sepanjang hari kemarin ternyata cuma mimpi. Aku berusaha keras tidak menghampiri salah satu dari mereka dan menanyakan apa yang terjadi. Kalau menunda lagi, aku akan terlambat latihan. Tetapi rasa penasaran ini benar-benar menggangguku. Apakah para Strigoi dan sekutu manusia mereka sudah ditemukan dan dibunuh" Tentunya ini berita bagus, tetapi firasatku mengatakan bukan itu yang terjadi. Aku membuka pintu depan, dengan sedih memutuskan menunggu sampai waktu sarapan untuk mencari tahu apa yang terjadi.
Hathaway-ku, jangan tinggalkan daku, sebuah suara riang memanggilku.
Aku melirik ke belakang dan tersenyum lebar. Mason Ashford, sesama novis dan teman baikku, berlari kecil menyamai langkahku.
Memangnya umurmu berapa sih, dua belas tahun" tanyaku sambil terus bergegas menuju gedung olahraga.
Hampir, katanya. Aku merindukan senyum manismu kemarin. Kau ke mana"
Ternyata keberadaanku di rumah keluarga Badica masih tidak banyak diketahui. Sebenarnya itu bukan rahasia, tetapi aku malas membahas peristiwa mengerikan itu. Ber
latih bersama Dimitri. Astaga, gumam Mason. Pria itu selalu saja menyiksamu. Apa Dimitri tidak sadar dia sudah membuat kami kehilangan kecantikan dan pesona dirimu"
Senyum manis" Kecantikan dan pesona" Kau agak berlebihan pagi ini, kataku sambil tertawa.
Hei, aku hanya mengatakan yang sebenarnya. Kau beruntung ada orang semenarik dan secemerlang aku yang memperhatikanmu sedalam itu.
Aku masih nyengir. Mason penggoda ulung, dan terutama dia sangat senang menggodaku sebagian karena aku menanggapinya dengan baik dan suka balas menggodanya. Tetapi aku tahu perasaannya kepadaku lebih dari sekadar persahabatan, dan aku masih mempertimbangkan perasaanku kepadanya. Aku dan Mason sama-sama memiliki selera humor konyol, dan cukup menonjol di kelas atau saat berkumpul bersama teman-teman. Mason memiliki mata biru yang indah dan rambut merah acak-acakan yang sepertinya tidak pernah disisir. Tetapi itu malah membuatnya imut.
Namun, berkencan dengan orang baru akan sulit dilakukan kalau aku masih sering memikirkan saat-saat aku setengah telanjang bersama Dimitri di tempat tidur.
Menarik dan cemerlang, ya" Aku menggelengkan kepala. Kurasa perhatianmu padaku tidak sebesar pada egomu. Kau harus ditampar sedikit rupanya.


Frostbite Vampire Academy 2 Karya Richelle Mead di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Oh ya" tanyanya. Hmm, kau bisa mencobanya di atas lereng.
Aku berhenti di tempat. Di atas apa"
Lereng. Mason memiringkan kepala. Kau tahu kan, perjalanan ski.
Perjalanan ski apa" Aku jelas-jelas ketinggalan sesuatu yang penting.
Kau ke mana saja pagi ini" tanyanya, menatapku seolah aku orang gila.
Di tempat tidur! Aku baru bangun, lima menit yang lalu. Nah, sekarang mulai dari awal dan beritahu aku apa yang kaubicarakan. Aku menggigil kedinginan karena berhenti bergerak-gerak. Tapi ceritakan sambil berjalan.
Begini, kau tahu kan semua orang cemas kalau anak-anak mereka pulang untuk Natal" Nah, di Idaho ada sebuah pondok ski raksasa yang khusus digunakan oleh para bangsawan dan kaum Moroi kaya raya. Pemiliknya membuka pondok itu untuk murid Akademi dan keluarga mereka dan Moroi mana pun yang memang berminat pergi ke tempat itu. Dengan mengumpulkan semua orang di satu tempat, mereka akan menyediakan satu ton pengawal untuk melindungi tempat itu, jadi keadaannya benar-benar aman.
Kau pasti bercanda, jawabku. Kami tiba di gedung olahraga lalu masuk ke dalam meninggalkan udara luar yang dingin.
Mason mengangguk penuh semangat. Aku serius. Tempat itu pasti sangat mengagumkan. Dia mengulas senyum yang selalu membuatku membalasnya. Kita akan hidup bagaikan kaum bangsawan, Rose. Setidaknya selama satu minggu, kurang lebih. Kita berangkat satu hari setelah Natal.
Aku hanya terpaku, senang sekaligus terpana. Benar-benar di luar dugaan. Ide ini benar-benar cemerlang, cara mempertemukan para anggota keluarga dengan aman. Dan tempat yang dipilih sangat keren! Pondok ski mewah. Tadinya kukira aku akan menghabiskan liburan dengan menonton televisi bersama Lissa dan Christian. Sekarang aku akan menghabiskannya di sebuah tempat berbintang lima. Makan malam dengan lobster. Pijat. Instruktur ski yang tampan &.
Antusiasme Mason menular. Aku bisa merasakannya bergejolak di dalam diriku, tetapi kemudian, mendadak semuanya lenyap.
Mason melihat wajahku dan langsung menyadari perubahannya. Ada apa" Rencana ini kan keren.
Memang, aku mengakui. Aku mengerti kenapa semua orang terlihat bersemangat, tapi yang menjadi alasan kita semua pergi ke tempat mewah ini karena, yah, karena kematian orang-orang. Maksudku, bukankah semua ini terasa aneh"
Ekspresi ceria Mason memudar sedikit. Yeah, tapi kita masih hidup, Rose. Kita tak boleh berhenti menikmati hidup hanya karena ada yang mati. Dan kita harus memastikan agar lebih banyak orang yang tidak ikut mati. Karena itulah ide ini sangat bagus. Tempat itu aman. Tatapan Mason berubah marah. Ya Tuhan, aku tidak sabar ingin cepat-cepat lulus dan terjun ke lapangan. Setelah mendengar apa yang terjadi, aku benar-benar ingin mencabik-cabik kaum Strigoi. Coba kita bisa pergi sekarang juga. Tidak ada alasan untuk menundanya. Mereka membutuhkan tenaga tambahan, dan bisa dib
ilang kita sudah tahu semua hal yang harus kita ketahui.
Ketegasan dalam nada suara Mason mengingatkanku pada ledakan amarahku kemarin, meski dia tidak sekesal aku. Semangatnya untuk bertindak merupakan reaksi spontan dan naif, sedangkan ledakan amarahku berasal dari sesuatu yang tidak masuk akal, kelam, dan aneh, yang sampai saat ini belum bisa kupahami.
Karena aku tidak menjawab, Mason menatapku bingung. Kau tidak mau melakukannya"
Entahlah, Mase. Aku menunduk, menghindari tatapan Mason dengan berpura-pura mengamati ujung sepatuku. Maksudku, aku juga tidak mau Strigoi berkeliaran di luar sana dan menyerang orang-orang. Dan secara teori aku ingin menghentikan mereka & tapi kita sama sekali belum siap. Aku pernah melihat apa yang sanggup mereka lakukan &.Entahlah. Terburu-buru bukanlah jawabannya. Aku menggeleng dan mendongak lagi. Astaga. Aku terdengar sangat logis dan waspada. Aku terdengar seperti Dimitri. Sudahlah, toh itu tak akan terjadi. Kurasa sebaiknya kita menyambut rencana perjalanan itu dengan gembira, ya kan"
Suasana hati Mason mudah berubah, dan dia sudah terlihat santai lagi. Yap. Dan kau sebaiknya mengingat-ingat lagi cara bermain ski, karena aku menantangmu untuk menampar egoku di sana. Tapi sepertinya itu tidak bakal terjadi, deh.
Aku tersenyum lagi. Pasti menyedihkan rasanya kalau akumembuatmu menangis. Aku bahkan sudah merasa bersalah sekarang.
Mason membuka mulut, sudah hendak membalas ejekanku ketika dia melihat sesuatu atau lebih tepatnya, seseorang di belakangku. Aku melirik ke belakang dan melihat sosok tinggi Dimitri menghampiri kami dari sisi luar gedung olahraga.
Mason membungkuk dalam-dalam dengan gaya kesatria padaku. Tuan dan penguasamu. Sampai nanti, Hathaway. Mulailah merencanakan strategi ski dari sekarang. Mason membuka pintu lalu menghilang ke tengah kegelapan yang membeku. Aku berbalik dan menghampiri Dimitri.
Seperti novis dhampir lainnya, aku menghabiskan setengah hari sekolah dengan berbagai bentuk pelatihan pengawal. Bentuknya bisa pertarungan fisik sungguhan, atau mempelajari Strigoi dan cara mempertahankan diri saat melawan mereka. Para novis juga terkadang harus menjalani latihan seusai sekolah. Namun, aku sendiri berada dalam situasi yang unik.
Aku masih berpendapat keputusanku untuk melarikan diri dari St. Vladimir itu benar. Ancaman Victor Dashkov pada Lissa terlalu mengkhawatirkan. Tetapi liburan diperpanjang kami itu ada konsekuensinya. Kabur dari sekolah selama dua tahun membuatku ketinggalan kelas, jadi pihak sekolah memutuskan aku harus menebus semua itu dengan menjalani latihan-latihan tambahan sebelum dan sepulang sekolah.
Bersama Dimitri. Pihak sekolah sama sekali tidak menyadari bahwa mereka sebenarnya juga memberiku pelajaran lain, yaitu menghindari godaan. Tetapi terlepas dari ketertarikanku pada Dimitri, aku cepat belajar, dan dengan bantuannya aku hampir menyusul murid senior yang lain.
Karena Dimitri tidak mengenakan mantel, aku tahu hari ini kami akan berlatih di dalam ruangan yang merupakan kabar bagus. Cuaca di luar sangat dingin. Namun, kebahagiaanku itu sama sekali tidak sebanding dengan yang kurasakan saat melihat benda yang sudah disiapkan oleh Dimitri di salah satu ruang latihan.
Beberapa boneka latihan sudah diatur pada dinding seberang, boneka yang terlihat benar-benar hidup, bukan kantong kanvas berisi jerami. Boneka itu terdiri atas pria dan wanita yang mengenakan pakaian biasa, dengan kulit lentur, juga warna rambut dan mata yang berbeda-beda. Ekspresi mereka berlainan, ada yang bahagia, takut, marah. Aku pernah berlatih dengan boneka-boneka ini. Aku menggunakan mereka untuk melatih tendangan dan pukulan. Namun, aku belum pernah berlatih dengan boneka-boneka ini sambil memegang benda yang sekarang digenggam oleh Dimitri sebuah pasak perak.
Keren, desahku. Pasak itu persis dengan yang kutemukan di rumah keluarga Badica. Bagian bawahnya dilengkapi pegangan, mirip gagang namun tanpa bagian kecil yang menonjol. Tetapi kemiripannya dengan belati hanya sampai di situ. Alih-alih rata seperti mata pisau, bagian tengah pasak ini berbentuk bulat
dan melancip hingga ke ujungnya. Lebih menyerupai pisau es. Panjang keseluruhan pasak itu agak lebih pendek daripada lengan atasku.
Dimitri bersandar ke dinding dengan santai, dalam posisi yang begitu luwes padahal tinggi badannya hampir dua meter. Dengan sebelah tangan, Dimitri melempar pasaknya ke udara. Pasak itu jungkir balik beberapa kali sebelum akhirnya terjatuh. Dimitri menangkap gagangnya.
Tolong katakan hari ini aku akan mempelajari cara melakukan itu, kataku.
Kedua mata gelapnya sekilas tampak geli. Kurasa kadang-kadang Dimitri kesulitan memasang tampang datar saat berada di dekatku.
Kau beruntung kalau kubiarkan memegang pasak hari ini, katanya. Dimitri kembali melempar pasak ke udara. Mataku mengikuti benda itu dengan tatapan kepingin. Aku sudah hendak mengatakan pernah memegang pasak, tetapi aku tahu logika tersebut tidak akan menghasilkan apa-apa.
Alih-alih, aku menjatuhkan ransel ke lantai, melemparkan mantel, lalu menyilangkan lengan penuh antisipasi. Aku memakai celana longgar yang diikat di pinggang, tank top, dan jaket bertudung. Rambut gelapku dikuncir asal-asalan ke belakang. Aku siap menghadapi apa pun.
Kau ingin aku memberitahumu cara kerja pasak dan kenapa aku harus selalu berhati-hati saat berada di dekat senjata ini, kataku lantang.
Dimitri berhenti melempar-lempar pasak dan menatapku takjub.
Ayolah, ucapku tertawa. Kaupikir sampai sekarang aku masih belum paham cara kerjamu" Kita sudah hampir tiga bulan berbuat ini. Kau selalu menyuruhku memahami keselamatan dan tanggung jawabnya sebelum aku bisa bersenang-senang.
Baik, katanya. Kurasa kau sudah mengerti sekarang. Nah, silakan lanjutkan pelajarannya. Aku akan menunggu di sini sampai kau membutuhkan aku lagi.
Dimitri memasukkan pasaknya ke dalam sarung kulit yang berayun dari ikat pinggangnya, lalu membuat dirinya nyaman dengan bersandar di dinding, kedua tangan dimasukkan ke dalam saku. Aku menunggu, menebak-nebak apakah dia hanya bercanda. Tetapi ketika dia tidak mengatakan apa-apa lagi, aku sadar dia tidak main-main. Sambil mengangkat bahu, aku menyebutkan segala hal yang kuketahui.
Perak selalu menimbulkan dampak kuat pada semua makhluk sihir benda itu bisa menolong sekaligus menyakiti mereka jika kau memasang kekuatan yang cukup. Pasak perak benar-benar mematikan karena butuh empat orang Moroi untuk membuatnya, dan mereka menggunakan semua elemen saat menempanya. Aku mengernyit, tiba-tiba teringat pada sesuatu. Kecuali roh. Jadi, benda ini sangat kuat dan satu-satunya senjata yang bisa melukai Strigoi tanpa memenggal kepala mereka tetapi untuk membunuh mereka, pasaknya harus ditusukkan menembus jantung.
Apa pasak bisa menyakitimu"
Aku menggeleng. Tidak. Maksudku, kalau ditusukkan ke dalam jantungku, tentu saja aku akan kesakitan. Tetapi pasak tidak melukaiku seperti melukai Moroi. Gores saja mereka dengan pasak, mereka akan terluka cukup parah tapi tidak separah dampaknya pada Strigoi. Dan pasak ini juga tidak akan melukai manusia.
Aku berhenti sejenak dan menatap linglung jendela di belakang Dimitri. Serpihan es menutupi kaca dalam pola-pola yang terlihat bagaikan kristal berkilau, tetapi aku hampir tidak menyadarinya. Saat menyebut manusia dan pasak, pikiranku mengelana kembali ke rumah keluarga Badica. Darah dan kematian berkelebat dalam benakku.
Melihat Dimitri mengawasiku, aku langsung menyingkirkan kenangan itu dan melanjutkan pelajaran. Sesekali Dimitri akan mengangguk atau mengajukan pertanyaan. Seiring waktu yang berlalu, aku terus berharap Dimitri akan berkata bahwa tugasku sudah selesai dan kini bisa mulai menggunakan boneka-boneka itu. Tetapi Dimitri malah menunggu sampai hampir sepuluh menit sebelum latihan berakhir, baru setelah itu mengajakku menghampiri salah satu boneka boneka seorang pria berambut pirang dan berjanggut. Dimitri mengeluarkan pasak dari sarungnya, tetapi tidak menyerahkannya padaku.
Di mana kau akan menusukkannya" tanya Dimitri.
Di jantung, jawabku kesal. Aku sudah mengatakannya ratusan kali. Bisa kauserahkan pasak itu sekarang"
Dimitri membiarkan dirinya tersenyum. Di mana letak
jantungnya" Aku memberinya tatapan apa-kau-serius. Dimitri hanya mengangkat bahu.
Dengan penekanan berlebihan, aku menuding sebelah kiri dada boneka. Dimitri menggeleng.
Jantungnya bukan ada di sana, katanya.
Tentu saja ada di sana. Semua orang meletakkan tangan di atas jantung saat mengucapkan sumpah setia atau menyanyikan lagu kebangsaan.
Dimitri terus menatapku penuh tanya.
Aku berbalik menghadap boneka dan mengamatinya. Aku teringat saat sedang mempelajari teknik pernapasan bantuan dan tempat kami harus meletakkan tangan. Aku menepuk bagian tengah dada boneka itu.
Apa di sana" Sebelah alis Dimitri terangkat. Biasanya aku menganggapnya keren. Tetapi hari ini hal itu terlihat menyebalkan. Aku tak tahu, katanya. Benarkah di sana"
Itu yang kutanyakan! Kau seharusnya tidak perlu bertanya. Bukankah kalian semua harus mengambil kelas fisiologi"
Yeah. Tahun pertama. Aku sedang berlibur, ingat" Aku menuding pasak yang mengilap itu. Sekarang boleh aku menyentuhnya"
Dimitri kembali memutar pasak, membiarkannya berkilau di bawah cahaya, lalu mengembalikannya ke dalam sarung. Aku ingin kau memberitahuku di mana letak jantungnya saat kita bertemu lagi. Letak persisnya. Dan aku ingin tahu apa yang menghalanginya.
Aku memelototi Dimitri, tetapi jika melihat ekspresinya sepertinya tidak segalak yang kuharapkan. Sembilan dari sepuluh kali kesempatan, aku menganggap Dimitri sebagai makhluk terseksi di muka bumi. Namun, ada juga saat-saat seperti sekarang &.
Dengan kesal aku berjalan menuju pelajaran pertama hari ini kelas bertarung. Aku tidak suka terlihat tidak kompeten di hadapan Dimitri, dan aku benar-benaringin menggunakan pasak. Jadi, di kelas aku menyalurkan kekesalan pada siapa pun yang bisa kupukul atau kutendang. Ketika kelas berakhir, tidak ada yang mau bertarung melawanku. Aku tidak sengaja memukul Meredith salah satu dari sedikit cewek yang ada di kelas dengan begitu keras sehingga dia bisa merasakannya melalui pelindung dagunya. Meredith pasti akan mendapatkan lebam yang parah, dan kini dia terus-menerus menatapku seolah aku melakukannya dengan sengaja. Permintaan maafku sia-sia.
Setelah itu, Mason menemuiku lagi. Wow, katanya, mengamati wajahku. Siapa yang sudah membuatmu kesal"
Aku langsung bercerita tentang pasak perak dan semua kekesalan hatiku.
Yang membuatku semakin jengkel, Mason malah tertawa. Kok kau bisa tidak tahu di mana letak jantung" Mengingat banyaknya jantung cowok patah hati yang sudah kaulukai"
Aku memelototinya seperti yang tadi kulakukan pada Dimitri. Kali ini berhasil. Wajah Mason langsung terlihat pucat.
Belikov adalah cowok jahat sinting yang harus dilemparkan ke dalam lubang berisi ular buas karena sudah melakukan kejahatan besar kepadamu pagi ini.
Terima kasih, ucapku angkuh. Kemudian, terpikir olehku sesuatu. Memangnya ular bisa buas"
Kenapa tidak" Semua makhluk bisa jadi buas. Sepertinya. Mason membukakan pintu selasar untukku. Tapi angsa Kanada bisa lebih mengerikan daripada ular.
Aku meliriknya sekilas. Angsa Kanada lebih mematikan daripada ular"
Kau pernah memberi makan bajingan-bajingan kecil itu" tanyanya, berusaha tetap serius namun gagal. Mereka ganas. Kalau kau dilemparkan ke dalam lubang berisi ular, kau akan mati dengan cepat. Tetapi lubang berisi angsa" Siksaan akan berlangsung selama berhari-hari. Kau akan lebih menderita.
Wow. Aku tidak tahu apa harus merasa terkesan atau takut karena kau sudah memikirkan semua ini, seruku.
Aku hanya berusaha mencari cara kreatif untuk mengembalikan kehormatanmu, itu saja.
Tapi kupikir kau bukan jenis orang yang kreatif, Mase.
Kami berdiri di luar ruang kelas pelajaran kedua. Ekspresi wajah Mason masih terlihat ringan dan penuh canda, tetapi saat dia bicara lagi, nada suaranya terdengar agak menjurus. Rose, kalau berada di dekatmu, aku memikirkan segala macam hal kreatif untuk dilakukan.
Aku masih terkikik karena soal ular tadi, lalu tiba-tiba berhenti dan memandanginya dengan terkejut. Aku selalu menganggap Mason cukup imut, tetapi dengan tatapan membara yang serius seperti ini, mendadak terpikir olehku
bahwa sebenarnya dia cukup seksi juga.
Oh, coba lihat, Mason tertawa, menyadari bahwa aku lengah. Rose tidak sanggup berkata-kata. Satu untuk Ashford, dan kosong untuk Hathaway.
Hei, aku tak mau membuatmu menangis sebelum perjalanan ski. Tidak bakal menyenangkan kalau aku sudah membuatmu kecewa sebelum kita meluncur di atas lereng bersalju.
Mason tertawa dan kami masuk ke dalam. Ini kelas teori pengawal, yang diadakan di dalam ruang kelas sungguhan alih-alih di lapangan latihan. Kelas ini bisa dianggap sebagai selingan menyenangkan setelah semua siksaan fisik. Di depan kelas tampak tiga pengawal yang bukan berasal dari resimen sekolah. Para tamu hari raya, aku tersadar. Para orangtua dan pengawal mereka sudah mulai berdatangan ke kampus untuk menemani anak-anak mereka ke resor ski. Ketertarikanku akan perjalanan ini langsung menurun.
Salah satu tamu adalah seorang pria tinggi yang kelihatan berumur seratus tahun namun masih sanggup menghabisi orang lain. Tamu yang satu lagi kira-kira sebaya dengan Dimitri. Pria itu berkulit gelap terbakar matahari dan tubuhnya begitu tegap sehingga beberapa cewek di kelas terlihat nyaris pingsan.
Pengawal terakhir seorang wanita. Rambut keritingnya yang kemerahan dipotong pendek, dan kedua mata cokelatnya terlihat menyipit seperti sedang berpikir. Seperti yang pernah kukatakan, banyak wanita dhampir yang lebih memilih punya anak daripada menjadi pengawal. Karena aku juga salah satu dari sedikit perempuan yang memilih profesi ini, aku selalu senang bertemu dengan perempuan pengawal lain seperti Tamara.
Namun, wanita ini bukan Tamara. Wanita ini orang yang sudah kukenal selama bertahun-tahun, orang yang memicu segala emosi kecuali kebanggaan dan kegembiraan. Alih-alih, aku merasa kesal. Kesal, marah, dan sangat murka. Wanita yang berdiri di depan kelas itu ibuku.
BAB EMPAT AKU TAK PERCAYA. Janine Hathaway. Ibuku. Ibuku yang luar biasa terkenal dan tidak pernah ada di sampingku. Ibuku memang bukan Arthur Schoenberg, tetapi reputasinya cukup tenar di dunia pengawal. Sudah bertahun-tahun aku tidak bertemu dengannya karena dia selalu pergi untuk menjalankan misi berbahaya. Namun & kini dia ada di Akademi tepat di hadapanku dan dia bahkan tidak merasa perlu mengabariku tentang kedatangannya. Apalagi menunjukkan kasih sayang seorang ibu.
Lagi pula, apa yang dilakukan ibuku di sini" Jawabannya datang saat itu juga. Semua Moroi yang berkunjung ke kampus pasti membawa serta para pengawal mereka. Ibuku bertugas melindungi seorang bangsawan yang berasal dari klan Szelsky, dan beberapa orang anggota keluarga itu datang untuk berlibur. Tentu saja ibuku ikut bersama mereka.
Aku menyelinap duduk di kursi dan merasakan sesuatu bergolak di dalam perutku. Aku tahu ibuku pasti sudah melihatku masuk, tetapi perhatiannya sedang terpusat pada hal lain. Dia memakai celana jins dan kaus berwarna beige, melapisinya dengan jaket denim paling membosankan yang pernah kulihat. Dengan tinggi badan hanya satu setengah meter, dia terlihat sangat kerdil di samping pengawal lainnya, tetapi pembawaan dan cara berdirinya membuat ibuku terlihat lebih tinggi.
Instruktur kami, Stan, memperkenalkan para tamu dan menjelaskan bahwa mereka akan berbagi pengalaman dengan kami.
Stan berjalan mondar-mandir di depan kelas, alis tebalnya bertaut saat dia bicara. Aku tahu ini tidak biasa, jelasnya. Pengawal yang berkunjung biasanya tidak sempat mampir di kelas kita. Tetapi ketiga tamu kita sudah meluangkan waktu untuk bicara di depan kelas sehubungan dengan peristiwa yang terjadi baru-baru ini & Stan berhenti sejenak, dan tak ada yang perlu menjelaskan peristiwa yang dimaksudnya. Serangan pada keluarga Badica. Stan berdeham dan melanjutkan. Mengingat peristiwa yang baru saja terjadi, kami beranggapan sebaiknya mempersiapkan kalian untuk mempelajari sesuatu dari mereka yang sekarang sudah terjun di lapangan.
Seisi kelas tegang saking senangnya. Mendengarkan cerita terutama yang berisi banyak darah dan aksi jauh lebih menarik daripada menganalisis teori dari buku teks. Pengawal kampus yang lain sepertinya berpikiran sama. Mer
eka memang sering mendatangi kelas kami, tetapi hari ini jumlah mereka lebih banyak dari biasanya. Dimitri adalah salah satu dari mereka yang berdiri di belakang kelas.
Si pria tua yang pertama bicara. Dia menyampaikan kisahnya, dan aku langsung terpana. Dia menceritakan kejadian saat putra bungsu dari keluarga yang menjadi tanggung jawabnya tiba-tiba menghilang di sebuah tempat umum yang sedang diintai oleh Strigoi.
Matahari baru akan terbenam, kata pria itu dengan suara muram. Dia menyapukan kedua tangan ke bawah, seolah menunjukkan bagaimana proses matahari terbenam. Kami hanya berdua dan harus membuat keputusan singkat untuk mengatasinya.
Aku memajukan badan, kedua siku di atas meja. Pengawal kerap bekerja berpasangan. Yang satu pengawal dekat biasanya berada di dekat orang yang sedang mereka lindungi, sementara yang lain pengawal jauh mengamankan area sekitarnya. Pengawal jauh biasanya masih berada dalam jangkauan pandang, jadi aku memahami dilema yang mereka alami. Setelah dipikir-pikir, kalau aku berada dalam situasi seperti itu, aku akan meminta pengawal dekat untuk membawa anggota keluarga yang lain ke lokasi aman sementara pengawal jauh mencari si bocah yang hilang.
Akhirnya kami membawa keluarga itu ke dalam sebuah restoran dengan penjagaan rekanku, sementara aku menyapu seluruh area di sana, lanjut si pengawal tua. Dia merentangkan tangan dengan gerakan menyapu, dan aku langsung merasa sombong karena tebakanku tepat. Kisah itu berakhir bahagia, mereka menemukan si bocah lelaki dan tidak berpapasan dengan Strigoi.
Pria kedua, si pengawal tampan, menceritakan anekdot saat dia mengalahkan seorang Strigoi yang sedang mengincar Moroi.
Aku sebenarnya sedang tidak bertugas, katanya. Seorang cewek yang duduk di dekatku menatapnya dengan mata melebar dan memuja. Aku sedang mengunjungi seorang teman dan keluarga yang dilindunginya. Saat meninggalkan apartemen mereka, aku melihat seorang Strigoi sedang mengintai di balik bayangan. Dia tidak menduga ada pengawal yang berada di luar. Aku mengitari blok, menghampirinya dari belakang, lalu & Pria itu melakukan gerakan menusuk, jauh lebih dramatis daripada gerakan tangan pria tua tadi. Dongeng tersebut bahkan melibatkan gerakan memuntir pasak hingga menembus jantung si Strigoi.
Kemudian, tiba giliran ibuku. Wajahku langsung cemberut bahkan sebelum dia berkata-kata, dan kerutan pada wajahku itu semakin dalam saat dia memulai ceritanya. Sumpah deh, kalau tidak memercayai ketidakmampuannya dalam berimajinasi dan pilihan busananya yang membosankan yang menunjukkan bahwa dia benar-benar tidak memiliki imajinasi aku pasti mengira ibuku berbohong. Ceritanya sungguh luar biasa. Lebih mirip epik, jenis yang akan dibuat menjadi film dan memenangi piala Oscar.
Ibuku menceritakan saat Moroi yang menjadi tanggung jawabnya, Lord Szelsky, dan istrinya menghadiri acara pesta dansa yang diadakan oleh keluarga bangsawan terpandang lainnya. Ada beberapa Strigoi yang mengintai. Ibuku menemukan satu dari mereka, bergegas menangkapnya, lalu memperingatkan para pengawal lain yang hadir di sana. Dengan bantuan mereka, dia memburu Strigoi lain yang berkeliaran di sana dan membunuh sebagian besarnya sendirian.
Itu tidak mudah, jelasnya. Jika orang lain yang mengucapkan pernyataan itu mungkin akan terdengar seperti sedang menyombongkan diri. Tetapi tidak ibuku. Gaya berbicaranya terdengar tegas, menyampaikan fakta dengan begitu efisien sehingga tidak ada ruang untuk mengada-ada. Ibuku dibesarkan di Glasgow dan sebagian besar ucapannya masih memiliki aksen samar Skotlandia. Di dalam bangunan itu masih ada tiga Strigoi lain. Pada saat itu, jumlah ini termasuk sangat besar untuk sebuah kelompok yang bekerja sama. Tetapi sekarang tidak bisa dibilang begitu, mengingat pembantaian keluarga Badica.
Beberapa orang mengernyit mendengar gayanya yang santai saat membicarakan serangan itu. Mayat-mayat itu kembali terbayang dalam benakku. Kami harus mengatasi Strigoi yang tersisa secepat dan setenang mungkin agar tidak disadari oleh yang lain. Nah, kalau kau memiliki elemen kejutan, cara terbaik meng
atasi Strigoi adalah hampiri mereka dari belakang, patahkan leher mereka, lalu tusuk dengan pasak. Tentu saja, mematahkan leher takkan membunuh mereka, tapi itu bisa membuat mereka terpana sehingga memudahkanmu untuk menusuk sebelum mereka sempat bersuara. Sebenarnya, bagian yang paling sulit adalah menyelinap diam-diam ke belakang Strigoi. Pendengaran mereka sangat tajam. Karena tubuhku kecil dan ringan, maka kemungkinanku untuk bergerak tanpa bersuara lebih besar. Jadi, akhirnya akulah yang melakukan dua dari tiga pembunuhan itu.
Lagi-lagi, ibuku terdengar apa adanya saat menggambarkan keahliannya mengendap-endap. Kedengarannya sangat menyebalkan, bahkan lebih menyebalkan daripada kalau dia terang-terangan menyombongkan diri. Wajah teman-teman sekelasku tampak bersinar kagum. Mereka jelas kelihatan lebih tertarik pada gagasan mematahkan leher Strigoi daripada menganalisis kemampuan bercerita ibuku.
Ibuku melanjutkan ceritanya. Setelah dia dan pengawal lainnya membunuh Strigoi yang tersisa, mereka baru sadar bahwa ada dua Moroi yang diculik dari pesta. Perbuatan seperti itu bukan tidak biasa dilakukan Strigoi. Terkadang mereka ingin menyimpan Moroi untuk dijadikan camilan . Kadang-kadang ada Strigoi golongan rendah yang diperintahkan oleh golongan yang lebih kuat untuk membawa pulang mangsa mereka. Apa pun yang terjadi, ada dua orang Moroi yang menghilang dari pesta dan pengawal mereka terluka.
Tentu saja, kami tidak bisa membiarkan kedua Moroi itu berada dalam genggaman Strigoi, katanya. Kami melacak Strigoi itu sampai ke tempat persembunyian mereka dan menemukan beberapa dari mereka hidup bersama. Aku yakin kalian tahu betapa jarangnya itu terjadi.
Memang benar. Sifat jahat dan egois kaum Strigoi membuat mereka saling melawan semudah yang mereka lakukan pada korban mereka. Mengatur serangan mengingat hanya keinginan mendesak akan darah yang ada dalam benak mereka adalah hal terbaik yang bisa mereka lakukan. Tetapi tinggal bersama" Tidak. Hampir mustahil untuk dibayangkan.
Kami berhasil membebaskan dua Moroi yang diculik, dan ternyata kami menemukan Moroi lainnya yang juga dijadikan tawanan, kata ibuku. Tapi, kami tak bisa menyuruh Moroi yang kami selamatkan itu pulang sendirian, jadi para pengawal yang ikut bersamaku pergi mengantar mereka, dan tugas untuk menyelamatkan yang lainnya diserahkan kepadaku.
Ya, tentu saja, pikirku. Ibuku yang pemberani pergi sendirian. Di tengah jalan, dia sempat tertangkap, tetapi berhasil melarikan diri dan menyelamatkan para tawanan. Saat melakukannya, ibuku melakukan sesuatu yang mungkin bisa dianggap sebagai hattrick terhebat abad ini. Dia berhasil membunuh Strigoi dengan tiga cara berbeda: menusuk dengan pasak, memenggal kepala, dan membakar tubuh mereka.
Aku baru saja menusuk seorang Strigoi dengan pasak saat ada dua lainnya datang menyerang, jelasnya. Aku tidak sempat mencabut pasaknya saat mereka melompat ke arahku. Untungnya, di dekat sana ada sebuah perapian, dan aku mendorong salah satu dari mereka ke dalamnya. Strigoi yang terakhir mengejarku ke luar, ke sebuah gubuk tua. Di dalam gubuk itu ada sebuah kapak, dan aku menggunakannya untuk memenggal kepala si Strigoi. Lalu aku mengambil sekaleng bensin dan kembali ke rumah. Strigoi yang tadi kulempar ke dalam perapian belum terbakar sepenuhnya, tapi begitu kusiram dengan bensin, dia langsung terbakar hangus.
Seisi kelas terkagum-kagum mendengar cerita ibuku. Mulut mereka ternganga. Mata mereka terbelalak. Tidak ada suara yang terdengar. Saat melirik sekeliling, aku merasa waktu seakan berhenti untuk semua orang kecuali aku. Kelihatannya hanya aku yang tidak terkesan oleh ceritanya yang mengerikan, dan melihat ekspresi kagum pada wajah semua orang benar-benar membuatku marah. Setelah ibuku selesai bercerita, ada sekitar selusin tangan yang terangkat dan membombardirnya dengan pertanyaan mengenai teknik-teknik yang digunakannya, apakah dia merasa takut, dan sebagainya.
Setelah kira-kira pertanyaan kesepuluh, aku sudah tidak tahan lagi. Aku mengacungkan tangan. Butuh beberapa saat hingga akhirnya ibuku menyadarinya da
n memanggil namaku. Kelihatannya dia agak takjub melihatku ada di kelas. Kuanggap diriku beruntung karena setidaknya dia mengenaliku.
Nah, Garda Hathaway, aku memulai. Kenapa kalian tidak mengamankan tempat itu saja"
Ibuku mengerutkan kening. Kurasa dia agak bingung. Apa maksudmu"
Aku mengangkat bahu dan kembali bersandar di kursi, berusaha menunjukkan kesan santai dan bersahabat. Entahlah. Menurutku kalian melakukan kesalahan. Kenapa kalian tidak menyisir tempat itu sejak awal dan memastikannya terbebas dari Strigoi" Dengan begitu, kalian tidak perlu bersusah payah seperti itu.
Semua mata di kelas berbalik menatapku. Sejenak ibuku tak sanggup berkata-kata. Kalau kami tidak bersusah payah seperti itu, sekarang ada tujuh Strigoi lain yang masih berkeliaran di muka bumi ini, dan para Moroi lain yang ditawan sudah mati atau diubah menjadi Strigoi.
Ya, ya, aku mengerti bagaimana kalian berhasil menjadi pahlawan dan macam-macam lagi, tapi aku ingin kembali menyoroti prinsip-prinsip utama. Maksudku, ini kelas teori, kan" Aku melirik Stan yang menatapku dengan marah. Aku dan Stan memiliki sejarah yang panjang dan tidak menyenangkan di kelas. Kurasa sebentar lagi kami akan mengalami konflik baru. Jadi, aku hanya ingin mencari tahu apa yang salah sejak awal.
Aku kagum pada ibuku pengendalian dirinya jauh lebih hebat daripada aku. Seandainya posisi kami dibalik, sekarang aku pasti sudah menghampiri meja dan menghajar diriku. Namun, wajah ibuku tetap tenang, dan satu-satunya tanda yang menunjukkan bahwa aku sudah membuatnya kesal adalah bibirnya yang terlihat agak kaku.
Tidak sesederhana itu, jawabnya. Tata ruang di tempat itu sangat rumit. Kami sudah memeriksanya secara menyeluruh dan tidak menemukan apa-apa. Kami yakin para Strigoi datang setelah acara dimulai atau mungkin ada jalan dan ruang rahasia yang tidak kami ketahui.
Seisi kelas riuh oleh seruan kagum saat mendengar tentang jalan rahasia, tetapi aku sama sekali tidak terkesan.
Jadi, maksudmu kalian gagal melacak keberadaan mereka saat penyisiran pertama, atau mereka memang berhasil menembus keamanan yang kalian pasang selama pesta berlangsung. Apa pun itu, sepertinya tetap ada kesalahan yang dilakukan.
Bibir ibuku terlihat semakin kaku, dan suaranya mulai terdengar dingin. Kami mengambil tindakan terbaik dalam keadaan yang tidak biasa. Aku mengerti jika orang setingkat dirimu masih belum bisa memahami kerumitan kisah yang kuceritakan. Tapi kalau sudah benar-benar belajar hingga bisa memahami lebih dari sekadar teori, kau akan mengerti betapa keadaannya sangat berbeda saat kau berada di luar sana dan bertanggung jawab atas nyawa orang lain.
Tentu saja. Aku menyetujui ucapannya. Apa hakku mempertanyakan metode yang kaugunakan" Maksudku, yang penting kau bisa mendapatkan tanda molnija, kan"
Miss Hathaway. Suara berat Stan bergemuruh di dalam ruangan. Silakan bawa barang-barangmu dan tunggu di luar hingga kelas selesai.
Aku memandangnya dengan bingung. Kau serius" Sejak kapan bertanya dianggap pelanggaran"
Kelakuanmu yang melanggar. Stan menuding pintu. Pergi.
Ruangan dilingkupi kesunyian yang lebih mencekam daripada ketika ibuku menceritakan kisahnya. Aku berusaha keras tidak mengerut di bawah tatapan para pengawal dan novis lainnya. Ini bukan pertama kalinya aku dikeluarkan dari kelas Stan. Bahkan bukan pertama kalinya aku dikeluarkan dari kelas Stan dengan disaksikan oleh Dimitri. Sambil mengayunkan ransel ke atas bahu, aku menyeberangi jarak pendek yang terbentang menuju pintu jarak yang terasa seperti berkilo-kilo jauhnya dan menghindari kontak mata dengan ibuku saat melewatinya.
Sekitar lima menit sebelum kelas bubar, ibuku menyelinap ke luar lalu menghampiri aku yang sedang duduk di selasar. Saat menunduk menatapku, ibuku bertolak pinggang dengan gaya menyebalkan sehingga membuatnya terlihat lebih tinggi dari yang sebenarnya. Rasanya tidak adil orang yang lima belas sentimeter lebih pendek dariku membuatku merasa sekecil ini.
Kulihat kelakuanmu selama bertahun-tahun ini belum berubah juga.
Aku berdiri dan merasa mataku tiba-tib
a melotot tajam. Senang bertemu denganmu juga. Aku kaget kau mengenaliku. Kusangka kau bahkan tidak ingat padaku, mengingat kau tidak memberitahuku sedang berada di kampus.
Ibuku memindahkan tangan dari pinggung dan menyilangkannya di depan dada. Sikapnya kalau memang memungkinkan semakin datar. Aku tidak bisa mengabaikan tugas demi memanjakanmu.
Memanjakan" tanyaku. Seumur hidup wanita ini tidak pernah memanjakanku. Aku bahkan takjub dia mengenal kata itu.
Aku tidak berharap kau bisa memahaminya. Dari yang kudengar, kau bahkan tidak tahu apa yang namanya tugas itu.
Aku tahu pasti apa yang namanya tugas, jawabku. Suaraku sengaja terdengar kasar. Aku mengenalnya jauh lebih baik daripada sebagian besar orang.
Mata ibuku melebar dan kelihatan pura-pura terkejut. Aku sering menggunakan tatapan sarkastik seperti itu pada banyak orang, dan sangat tidak suka kalau orang lain melakukannya padaku. Oh, benarkah" Di mana kau selama dua tahun terakhir"
Kau sendiri di mana selama lima tahun terakhir" tuntutku. Apa kau menyadari kepergianku kalau tidak ada yang memberitahumu"
Jangan memutarbalikkan semuanya. Aku pergi jauh karena terpaksa melakukannya. Kau pergi agar bisa berbelanja dan bergadang semalaman.
Sakit hati dan rasa maluku berubah menjadi kemarahan. Sepertinya aku tidak akan pernah bisa menyingkirkan konsekuensi yang harus kutanggung karena melarikan diri bersama Lissa.
Kau sama sekali tidak tahu kenapa aku pergi, kataku dengan suara meninggi. Dan kau tidak berhak menduga-duga kehidupanku, karena kau tidak tahu apa-apa soal itu.
Aku sudah membaca laporan mengenai apa yang terjadi. Kau punya alasan untuk peduli, tapi tindakanmu salah. Ucapannya terdengar resmi dan tegas. Dia bisa mengajar di salah satu kelasku. Kau mestinya meminta bantuan orang lain.
Tak ada yang bisa kumintai tolong tak ada yang bisa kudatangi karena aku tidak punya bukti yang meyakinkan. Lagi pula, kami dibiasakan untuk belajar berpikir mandiri.
Ya, jawabnya. Tekankan pada kata belajar. Sesuatu yang kaulewatkan selama dua tahun. Kau sama sekali tidak pantas mengajariku soal protokol pengawal.
Aku selalu terlibat dalam perdebatan, ada sesuatu dalam sifatku yang membuat itu sulit dihindari. Jadi aku sudah terbiasa mempertahankan diri dan menerima berbagai macam hinaan. Aku sudah tebal muka. Namun, entah bagaimana jika berada di dekat ibuku dalam waktu singkat yang pernah kuhabiskan dengannya aku selalu merasa seperti anak berusia tiga tahun. Sikapnya sudah mempermalukan aku, dan menyinggung-nyinggung pelatihan yang kulewatkan ini subjek yang sangat rawan hanya membuatku merasa lebih buruk. Aku meniru posisinya menyilangkan tangan dan memasang tampang sombong.
Oh ya" Tapi guru-guruku tidak sependapat denganmu. Meski ketinggalan pelajaran, aku masih sanggup menyamai teman-teman sekelasku.
Ibuku tidak langsung menjawab. Akhirnya, dia menjawab dengan suara datar. Kalau tidak kabur, kau pasti bisa melampaui mereka.
Ibuku berbalik dengan gaya militer, lalu berjalan menyusuri selasar. Satu menit kemudian, bel berbunyi, dan seisi kelas Stan berhamburan ke selasar.
Mason pun tidak sanggup menghiburku setelahnya. Aku menghabiskan sisa hari itu dengan marah dan kesal, merasa yakin semua orang berbisik-bisik mengenai aku dan ibuku. Aku melewatkan makan siang dan pergi ke perpustakaan untuk membaca buku mengenai psikologi serta anatomi.
Ketika tiba saatnya untuk latihan sepulang sekolah bersama Dimitri, aku langsung berlari menghampiri boneka latih. Dengan tinju terkepal, aku menghantam dada boneka, agak ke kiri tetapi lebih ke tengah.
Di sana, kataku pada Dimitri. Jantungnya di sana, dan ada tulang dada serta tulang rusuk yang menghalanginya. Boleh kupegang pasaknya sekarang"
Sambil menyilangkan lengan, aku melirik Dimitri penuh kemenangan. Aku menunggunya menghujaniku dengan pujian atas kecerdikanku yang baru ini. Alih-alih, Dimitri hanya mengangguk mengiyakan, seolah mestinya aku sudah tahu semua itu. Dan yeah, mestinya aku sudah tahu.
Dan bagaimana caramu menembus tulang dada serta tulang rusuk" tanyanya.
Aku mendesah. A ku sudah berhasil mendapatkan jawaban dari sebuah pertanyaan, tetapi malah mendapatkan pertanyaan baru. Seperti biasa.
Kami menghabiskan sebagian besar waktu latihan dengan membicarakan hal itu, dan Dimitri menunjukkan beberapa teknik membunuh dengan cepat. Setiap gerakan Dimitri sangat annggun sekaligus mematikan. Dia membuatnya terlihat mudah, tetapi aku tahu yang sebenarnya.
Saat Dimitri tiba-tiba mengulurkan tangan dan menyodorkan pasak padaku, awalnya aku tidak mengerti. Kau menyerahkannya padaku"
Mata Dimitri berbinar. Aku tak percaya kau sanggup menahan diri. Kupikir kau akan langsung mengambilnya dan berlari pergi.
Bukankah kau selalu mengajariku untuk menahan diri" tanyaku.
Tidak dalam segala hal. Tapi dalam beberapa hal. Aku menyadari makna ganda dalam suaraku dan heran dari mana asalnya. Aku pernah bisa menerima kenyataan untuk tidak memikirkan Dimitri secara romantis lagi. Sesekali aku terpeleset dan berharap Dimitri merasakan hal yang sama rasanya sangat menyenangkan kalau tahu Dimitri masih menginginkanku, masih tergila-gila padaku. Tetapi kalau melihatnya sekarang, aku sadar Dimitri mungkin tidak akan terpeleset sepertiku karena aku sudah tidak membuatnya tergila-gila. Pikiran itu membuatku sangat sedih.
Tentu saja, katanya, sama sekali tidak menunjukkan tanda bahwa kami sedang membicarakan masalah lain. Sama seperti yang lainnya. Keseimbangan. Kau harus tahu apa yang kaukejar dan apa yang sebaiknya kaulepaskan. Dimitri memberi penekanan pada kalimat yang terakhir.
Kami berpandangan sejenak, dan aku merasa ada aliran listrik yang mengaliri tubuhku. Ternyata dia tahu apa yang kubicarakan. Dan seperti biasa, dia mengabaikannya dan malah mengguruiku yang memang seharusnya. Sambil mendesah, aku menepis perasaanku pada Dimitri, dan berusaha mengingat-ingat bahwa sebentar lagi aku akan menyentuh senjata yang sudah kudambakan sejak kecil. Kenangan akan rumah keluarga Badica muncul lagi dalam ingatanku. Para Strigoi ada di luar sana. Aku harus memusatkan pikiran.
Dengan ragu, bahkan hampir khidmat, aku mengulurkan tangan dan melingkarkan jemari pada gagang pasak. Bahan logamnya terasa dingin dan menyengat. Gagangnya diberi ukiran agar gampang digenggam, tetapi saat menelusuri sisanya, aku mendapati permukaannya semulus kaca. Aku mengangkat pasak itu dari tangan Dimitri lalu mengambilnya, berlama-lama mengamatinya dan membiasakan diri dengan bobotnya. Sebagian diriku yang cemas ingin berbalik dan menusuk semua boneka, tetapi alih-alih, aku malah mendongak menatap Dimitri dan bertanya, Apa yang harus kulakukan lebih dulu"
Seperti biasa, Dimitri mengajari hal-hal dasar dulu, memusatkan pelajaran pada cara memegang dan menggerakkan pasak. Kemudian, akhirnya dia membiarkan aku menyerang boneka, pada saat inilah aku menyadari bahwa ini tidak mudah. Evolusi secara cerdik melindungi jantung dengan membentuk tulang dada dan tulang rusuk. Meski begitu, Dimitri selalu tekun dan sabar, membimbingku melalui setiap langkah yang dibutuhkan dan memperbaiki semuanya hingga ke detail terkecil.
Dorong ke atas melalui tulang rusuk, Dimitri menjelaskan, mengawasi aku yang berusaha menusukkan ujung pasak ke dalam sebuah celah di antara tulang. Itu akan lebih mudah karena kau lebih pendek dari sebagian besar penyerangmu. Selain itu, kau juga bisa mendorongnya di sepanjang tepi tulang rusuk bawah.
Setelah latihan, Dimitri mengambil pasaknya dan mengangguk setuju.
Bagus. Bagus sekali. Aku meliriknya kaget. Tidak biasanya Dimitri melontarkan pujian.
Benarkah" Kau seperti sudah bertahun-tahun melakukannya.
Aku merasa senyum girang mengulas di wajahku ketika kami hendak meninggalkan ruang latihan. Dan saat kami berada di dekat pintu, aku melihat sebuah boneka berambut merah keriting. Tiba-tiba saja semua yang terjadi di kelas Stan kembali memenuhi kepalaku. Aku cemberut.
Lain kali bolehkah aku menusuk yang itu"
Dimitri mengambil mantel lalu memakainya. Mantelnya panjang berwarna cokelat, terbuat dari kulit yang sudah usang, dan sangat mirip dengan duster koboi, meski Dimitri tidak pernah mau mengakuinya. Diam-diam
Dimitri mengagumi Old West. Sebenarnya aku tidak terlalu mengerti, tetapi kalau dipikir-pikir, aku juga tidak memahami selera musiknya yang aneh.
Kurasa itu tidak baik, katanya.
Lebih baik daripada melakukannya pada wanita itu, gumamku, mengayunkan ransel ke atas bahu. Kami keluar dari gedung olahraga.
Kekerasan bukan jawaban dari semua masalah, kata Dimitri dengan bijak.
Dia yang bermasalah. Dan kupikir inti pendidikan yang kudapat adalah kekerasan memang jawabannya.
Hanya bagi mereka yang lebih dulu melakukan kekerasan. Ibumu tidak menyerangmu. Kalian berdua hanya sangat mirip, itu saja.
Aku berhenti berjalan. Aku sama sekali tidak seperti dia! Maksudku & mata kami memang mirip. Tetapi aku jauh lebih tinggi. Dan rambutku sangat berbeda. Aku menunjuk ekor kudaku, hanya untuk berjaga-jaga seandainya Dimitri tidak menyadari bahwa rambut tebalku yang hitam kecokelatan jauh berbeda dari rambut ibuku yang keriting kemerahan.
Ekspresi wajah Dimitri masih terlihat agak geli, tetapi ada ketegasan di matanya. Aku tidak membicarakan soal penampilan kalian, dan kau tahu itu.
Aku berpaling darinya. Ketertarikanku pada Dimitri sudah dimulai nyaris sejak pertama kali kami bertemu dan bukan hanya karena dia sangat tampan. Aku merasa dia memahami sebagian diriku yang bahkan tidak kupahami, dan terkadang aku cukup yakin bahwa aku memahami sebagian diri Dimitri yang tidak dipahaminya.
Satu-satunya masalah adalah Dimitri memiliki kecenderungan menyebalkan untuk menunjukkan hal-hal tentang diriku yang memang tidak ingin kumengerti.
Menurutmu aku iri" Benarkah" tanyanya. Aku sebal jika dia menjawab pertanyaan dengan pertanyaan lain. Iri karena apa"
Aku melirik Dimitri. Entahlah. Mungkin iri terhadap reputasinya. Mungkin iri karena dia lebih banyak meluangkan waktu untuk reputasinya daripada untukku. Entahlah.
Kau tidak menganggap hebat apa yang telah dilakukannya"
Ya. Tidak. Entahlah. Hanya saja kedengarannya seperti & yah & seperti menyombongkan diri. Seolah dia melakukannya demi kejayaan. Aku meringis. Demi tanda. Tanda molnija adalah tato yang diberikan sebagai penghargaan bagi pengawal yang berhasil membunuh Strigoi. Setiap tanda terlihat seperti sebuah huruf x kecil yang terdiri atas dua kilatan petir. Tanda itu diletakkan di belakang leher kami, dan menunjukkan sejauh mana pengalaman seorang pengawal.
Menurutmu menghadapi Strigoi sepadan dengan beberapa buah tanda" Kusangka kau sudah mempelajari sesuatu saat berada di rumah keluarga Badica.
Aku merasa bodoh. Bukan itu yang ku
Ayo. Aku berhenti berjalan. Apa"
Kami sedang berjalan ke asramaku, tetapi sekarang Dimitri menganggukkan kepala ke arah berlawanan. Aku ingin menunjukkan sesuatu.
Menunjukkan apa" Tidak semua tanda bisa dianggap sebagai lencana kehormatan.
BAB LIMA AKU SAMA SEKALI TIDAK mengerti apa yang dibicarakan Dimitri, tetapi aku tetap mengikutinya dengan patuh.
Di luar dugaan, dia mengajakku ke luar area kampus menuju hutan di sekelilingnya. Tanah Akademi sangat luas, dan tidak semuanya digunakan secara aktif untuk kepentingan pendidikan. Kami berada di daerah terpencil di Montana, dan terkadang, sekolah ini bisa dibilang satu-satunya kehidupan yang ada di alam liar sana.
Sejenak kami berjalan dalam diam, kaki kami menginjak salju tebal yang tak tersentuh apa pun. Beberapa ekor burung terbang melintas, menyanyikan sapaan pada matahari yang baru saja terbit, tetapi yang paling banyak kulihat adalah pepohonan hijau berselimut salju. Aku berjuang keras menyamai langkah Dimitri yang panjang-panjang, terutama karena salju jadi agak memperlambat langkahku. Tidak lama kemudian, aku melihat sesuatu yang gelap dan besar di depan. Sepertinya sebuah bangunan.
Sepotong Hati Yang Baru 2 Wiro Sableng 068 Pelangi Di Majapahit Tragedi Gunung Langkeng 3
^