Tragedi Gunung Langkeng 3
Pendekar Naga Putih 22 Tragedi Gunung Langkeng Bagian 3
untuk membabat kedua kaki Eyang Sanca Wisesa,
orang tua yang telah mendidiknya dari kecil.
Crakkk! Crakkk!
"Aaarghhh...!"
Kakek renta itu meraung setinggi langit ke-
tika sepasang kakinya tertebas putus hampir
mencapai pangkal paha. Tubuhnya bergulingan
bermandikan darah segar yang langsung menyem-
bur dari luka di kedua kakinya.
Belum lagi siksaan itu berkurang, pedang
di tangan Kuncara kembali menebas dua kali.
Crasss! Crakkk!
Raung kesakitan kembali terdengar mero-
bek angkasa. Tubuh kakek yang malang itu kem-
bali bergulingan didera sengsara. Untunglah
Eyang Sanca Wisesa telah jatuh pingsan, sehingga rasa sakit yang meremas
jantungnya tidak lagi di-rasakan.
"Bagus, Kuncara. Ayo, kita tinggalkan tem-
pat ini. Biarkan saja tubuh tua bangka itu," perintah Nyai Kalawirang sambil
menarik tangan Kun-
cara dan membawanya pergi.
"Ha ha ha...! Selamat menikmati penderi-
taan, Sanca Wisesa," ledek Singa Gurun Setan sambil melangkahkan kakinya
mengikuti Nyai Ka-
lawirang dan Kuncara yang sudah lebih dulu me-
ninggalkan tempat itu.
Tinggallah tubuh sengsara Eyang Sanca
Wisesa terkapar tak berdaya. Hanya semilir angin puncak Gunung Langkeng saja
yang masih setia
menemaninya. *** Pemuda bertubuh tegap itu melangkah lesu
dengan wajah tertunduk. Menilik dari garis-garis wajahnya, jelas kalau dia
tengah menderita pukulan batin yang amat berat. Pakaian yang dikena-
kannya pun lusuh dan kumal, menandakan kalau
dia telah cukup lama tidak menggantinya.
"Ohhh..., mengapa semua itu harus kula-
kukan..." Bagaimana mungkin aku bisa terjatuh
ke dalam pelukan wanita iblis itu...?" gumam pemuda berwajah gagah itu penuh
sesal. Dengan wajah geram, ditendangnya sebutir
kerikil untuk melampiaskan kekesalan hatinya.
Pemuda gagah yang tak lain dari Panggali itu
menghenyakkan tubuhnya di tepi jalan, di bawah
sebatang pohon. Ditengadahkan wajahnya, men-
coba mengingat kejadian yang menimpa dirinya.
Masih terbayang jelas dalam ingatan Pang-
gali, ketika keesokan pagi setelah ia dan Kuncara dipanggil Eyang Sanca Wisesa,
ia pergi menyelidiki ke dalam Hutan Langkeng. Tekadnya yang bulat
ingin menangkap basah Kuncara, ternyata telah
menyebabkannya terusir dari puncak Gunung
Langkeng. Memang benar, ia telah berhasil mene-
mukan wanita genit yang pernah dilihatnya ber-
sama Kuncara. Bahkan saat itu, wanita genit yang dicurigainya tengah bersama
seorang kakek raksasa bermuka singa. Namun, setelah Panggali ber-
tarung dan dikalahkan, ia tidak ingat apa-apa lagi.
Ia pun tidak mengerti, mengapa tahu-tahu saja
sudah berada di dalam gua bersama wanita genit
itu, saat didatangi gurunya. Apalagi saat itu, keadaannya benar-benar sangat
memalukan. "Ahhh..., apa sebenarnya yang terjadi den-
gan diriku...?" desah Panggali seraya menekap wajahnya dengan kedua telapak
tangan. Sepertinya pemuda itu sudah tidak mem-
pedulikan lagi keadaan dirinya yang mirip seorang gembel yang selalu mengganggu.
Pikirannya hanyalah, perbuatan terkutuk dan amat memalukan
itu. "Hhh..., aku harus mencari tahu, apa yang
telah menyebabkan aku melakukan perbuatan
memalukan itu. Satu-satunya orang yang harus
kucurigai hanyalah Kuncara. Ya! Pasti dia menge-
tahui semua ini. Bahkan bukan tidak mungkin ka-
lau semua ini adalah rencana nya yang diatur bersama wanita iblis itu. Hm....
Awas kau, Kuncara!
Tunggulah pembalasanku...!" geram Panggali sambil mengepalkan tinjunya kuat-
kuat. Namun, semangat pemuda itu kembali lun-
tur ketika teringat wanita cantik dan kakek muka singa yang amat lihai itu.
Dugaannya kalau kedua orang itu bersekutu dengan Kuncara membuatnya
menjadi lemas. Sebab, tidak mungkin mengalah-
kan kedua orang itu. Jangankan maju bersama-
sama, untuk mengalahkan salah satu dari mereka
saja jelas tidak mungkin Entah, bagaimana ca-
ranya ia dapat membongkar kebusukan Kuncara.
Untuk meminta bantuan gurunya, jelas tidak bisa
diharapkan. "Ohhh..., apa yang harus kulakukan" Ke-
pada siapa aku bisa meminta bantuan" Mengha-
dapi mereka seorang diri, sama saja bunuh diri.
Ohhh..., Tuhan. Tolonglah hambamu...," desah Panggali putus asa.
Dalam keadaan hampir putus asa itu, tiba-
tiba Panggali teringat cerita gurunya tentang tokoh-tokoh persilatan. Wajahnya
segera ditenga-
dahkan memandang hamparan langit biru. Seo-
lah-olah ia ingin mengingat semua yang pernah
diceritakan gurunya tentang pendekar-pendekar
pembela kebenaran.
"Ketahuilah, Muridku. Meskipun dalam
dunia ini banyak terdapat orang kejam berhati iblis, tapi tidak sedikit pula
yang berjiwa bersih. Ke-lompok orang berjiwa bersih itu dinamakan pen-
dekar-pendekar pembela kebenaran. Dan mereka
tidak segan-segan turun tangan membela orang-
orang lemah tanpa pamrih. Untuk menjadi orang
seperti itulah kalian kudidik di tempat ini."
Panggali mengusap wajahnya perlahan ke-
tika teringat wejangan gurunya. Perlahan ia bangkit berdiri, dan mengayun
langkah memasuki per-
batasan sebuah desa.
"Desa Teja Mukti...," bibir pemuda tegap itu menggerimit. membaca tulisan yang
terdapat pada tiang batu di tepi jalan. "Apakah pendekar-
pendekar yang diceritakan Eyang Sanca Wisesa
ada di Desa Teja Mukti ini" Kalau ada, bagaimana aku bisa mengetahui kalau ia
seorang pendekar
yang dimaksud eyang?"
Cukup lama Panggali termenung memikirkan hal
itu. Ia yang dari kecil tidak pernah berhubungan dengan dunia luar, tentu saja
menjadi bingung.
Seperti diketahui, selama ini ia hanya tinggal di atas puncak Gunung Langkeng.
Tidak ada orang
lain yang menemaninya, selain Kuncara dan
Eyang Sanca Wisesa. Maka wajar saja kalau pe-
muda gunung itu buta akan kehidupan luar Pun-
cak Gunung Langkeng. Dan ia pun tidak tahu,
siapa orang-orang yang disebut sebagai pendekar.
Karena, cerita itu hanya didengar dari mulut gu-
runya saja. "Hm.... Orang yang kucari adalah pendekar
pemberantas kejahatan," gumam pemuda itu
sambil menjentikkan jarinya.
Senyum di wajah Panggali segera mengembang.
Sepertinya, dia telah menemukan cara untuk
mencari orang yang disebut sebagai pendekar itu.
Maka, bergegas kakinya mulai melangkah mema-
suki batas Desa Teja Mukti.
Tak berapa lama kemudian, Panggali tiba
di mulut desa. Bagaikan orang bodoh, sepasang
matanya berputar merayapi rumah-rumah di seki-
tarnya. Sepasang mata pemuda itu bam berhenti
ketika pandangannya tertumbuk pada sebuah ke-
dai makan yang tampak ramai dikunjungi orang.
Setelah mengacak-acak rambutnya hingga wajah-
nya tampak seram, pemuda itu pun mengayun
langkahnya memasuki kedai. Dipilihnya salah sa-
tu meja yang kosong.
"Makan...!" teriak Panggali sambil mengge-brak meja hingga menimbulkan suara
berderak rebut. Sebelah kaki pemuda itu naik ke atas kur-si. Sedangkan tangan kanannya
berada di ping-
gang. Sikap pemuda itu sudah tak ubahnya seo-
rang jagoan pasar.
Puluhan pasang mata serentak menoleh ke
arah Panggali. Beberapa di antaranya tampak
memandang dengan sinar mata tak senang. Se-
dangkan yang bernyali kecil, langsung saja angkat kaki meninggalkan kedai makan.
Maka dalam sekejap saja, hiruk-pikuklah suasana di dalam kedai
makan itu. "Hm.... Taruh kembali makanan itu. Biar
kuberi pelajaran orang yang tak tahu adat ini," geram seorang lelaki brewok
bertubuh gemuk.
Sambil berkata demikian, tangannya yang
besar dan berbulu lebat itu mendorong pelayan setengah baya. Sehingga, pelayan
yang semula hen-
dak menyiapkan permintaan Panggali, kembali ke
tempatnya semula.
Dengan langkah lebar, lelaki gemuk berwa-
jah brewok itu menghampiri Panggali. Langkahnya
sengaja diberat-beratkan, hingga menimbulkan
suara berdebum. Hal itu dimaksudkan untuk
membuat Panggali gentar.
"Kisanak! Tidak dapatkah kau berlaku se-
dikit sopan" Sadarkah kau, kalau caramu itu bisa menimbulkan kemarahan orang?"
bentak lelaki brewok itu yang menghentikan langkahnya beberapa tindak dari
tempat Panggali.
Bentakan keras itu sama sekali tidak
membuat Panggali gentar. Dipandanginya orang
itu dari ujung kaki sampai ujung rambut. Satu patah kata pun tidak terlontar
dari bibirnya sebagai jawaban atas pertanyaan tadi. Sebaliknya, Panggali malah
melontarkan pertanyaan setelah selesai
mengamati orang itu.
"Apakah kau seorang pendekar...?" tanya Panggali penuh harap.
Pertanyaan yang dianggap lucu itu tentu
saja membuat lelaki brewok dan beberapa orang
lainnya tertawa terbahak-bahak. Sehingga, Pang-
gali menjadi heran dibuatnya.
"Apakah pertanyaanku salah...?" ujar pemuda tegap itu mengedarkan pandangannya
den- gan wajah ketololan.
"Ha ha ha...!"
Kembali orang-orang yang masih tinggal di
dalam kedai makan itu tertawa mendengar perta-
nyaan Panggali. Bahkan beberapa orang di anta-
ranya jatuh terduduk sambil memegangi perut
yang terasa mules.
"Ha ha ha...! Kukira kau perampok kesa-
sar. Tak tahunya hanya seorang pemuda gila!" ledek lelaki brewok itu seraya
tertawa terpingkal-
pingkal. Ia benar-benar tidak bisa menahan ta-
wanya ketika mendengar pertanyaan yang baginya
jelas sangat lucu.
Melihat betapa semua orang yang berada di
kedai itu mentertawai pertanyaannya, keheranan
Panggali seketika berubah menjadi kemarahan.
Digebraknya meja kuat-kuat dengan wajah merah
padam. "Bangsat! Rupanya kalian semua sengaja hendak mengejekku! Apa dipikir aku
tidak bisa menampar mulut kalian yang kurang ajar!" bentak Panggali, menggelegar.
Tentu saja bentakan yang didorong tenaga
dalam tinggi itu sangat mengejutkan. Tawa yang
riuh rendah langsung lenyap seketika. Bahkan be-
berapa orang di antaranya yang jelas tidak memi-
liki kepandaian silat, langsung terduduk lemas di atas kursinya. Wajah mereka
pun pucat pasi akibat bentakan yang mengguncangkan jantung itu.
"Dasar orang gila! Mulutmulah yang harus
kutampar...!" seru lelaki brewok itu balas memaki Panggali.
Seperti ingin membuktikan ucapannya, la-
ki-laki brewok itu langsung mengayun tangan me-
nampar mulut pemuda yang dianggap orang gila.
"Ha..."
Melihat datangnya tamparan yang baginya
lambat itu, Panggali hanya mengeluarkan suara
mengejek. Tamparan itu sama sekali tidak dielak-
kan. Karena sekali melihat saja, langsung dapat
dinilai kalau lelaki brewok itu hanya mengguna-
kan tenaga kasar dalam melakukan tamparan.
Plakkk! "Aaaduhhh...!"
Lelaki gemuk brewok itu berteriak kesaki-
tan ketika tamparannya tepat menghantam pipi
Panggali. Tubuh gemuk itu kontan terjajar mun-
dur menabrak meja di belakangnya, hingga me-
nimbulkan suara hiruk-pikuk.
Orang-orang yang berada di dalam kedai
itu melongo keheranan. Jelas-jelas mereka melihat wajah pemuda itu terkena
tamparan. Tapi, mengapa yang terjatuh justru orang yang menampar"
Benar-benar tak masuk akal kejadian itu.
Sedangkan bagi Panggali sendiri, hal itu
bukanlah sesuatu yang aneh. Sebagai murid ke-
sayangan Eyang Sanca Wisesa, tentu saja dia telah memiliki tenaga dalam tinggi.
Dan tenaga itu dis-alurkannya ke wajah, untuk melindungi dari tam-
paran si brewok. Tentu saja lelaki brewok yang tidak memiliki tenaga dalam
terjungkal dibuatnya.
"Pemuda iblis...!" desis beberapa orang pengunjung kedai yang tidak mengerti
ilmu silat. Mereka langsung mengambil langkah seri-
bu, meninggalkan kedai itu. Sedangkan empat
orang lainnya termasuk si brewok, langsung men-
gurung Panggali dengan senjata terhunus. Menilik gerakannya, jelas kalau mereka
Pendekar Naga Putih 22 Tragedi Gunung Langkeng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hanyalah memiliki ilmu silat pasaran yang mengandalkan tenaga kasar saja.
Panggali hanya bergumam menghadapi ku-
rungan empat orang kasar itu. la pun melesat ke-
luar kedai karena tidak ingin merugikan pemilik
kedai. "Bangsat! Mau lari ke mana kau, Pemuda Gila...!" teriak lelaki brewok itu
sambil melompat mengejar.
Perbuatan lelaki brewok itu diikuti ketiga
orang kawannya. Mereka kembali langsung men-
gurung Panggali di depan kedai. Pemuda itu me-
mang sengaja menunggu pengeroyoknya. Dan ba-
ginya, memang lebih baik bertarung di luar kedai agar orang yang menyaksikannya
lebih banyak. Tentu saja dengan harapan, agar ada pendekar
yang ikut melihat perbuatannya.
"Serbu....!" seru laki-laki brewok itu sambil melompat maju disertai ayunan
senjatanya. Panggali berdiri tenang menghadapi empat
batang golok yang mengancamnya. Begitu seran-
gan tiba, tubuh pemuda itu menyelinap di antara
sinar golok pengeroyoknya. Gerakan itu dibarengi kibasan tangan yang hampir
tidak terlihat mata.
Wuttt! Wuttt! Plakkk! Plakkk! Plakkk!
Sekali bergerak saja, empat orang pengeroyok
langsung jatuh berdebuk di atas tanah. Senjata-
senjata mereka terpental entah ke mana. Terden-
gar rintih kesakitan dari mulut keempat orang kasar itu. Karena, masing-masing
telah terkena tamparan tangan Panggali yang cukup untuk meng-
hentikan keroyokan.
Pemuda gagah bertubuh tegap itu berdiri
memandangi tubuh keempat pengeroyoknya. Pada
wajahnya tampak jelas kekecewaan melihat penge-
royoknya dapat dirobohkan hanya sekali gebrak
saja. Dan hal ini justru membuat Panggali kecewa.
Lamunan pemuda itu mendadak buyar ke-
tika terdengar bentakan keras mengandung tenaga
dalam. "Manusia keparat dari mana yang berani
mengacau desa ini...!" bentak suara berat itu.
Sebentar kemudian, berkelebat dua sosok
tubuh ke tengah bekas arena pertarungan.
Panggali cepat menolehkan kepala dengan
senyum lebar menghias wajah. Sebab dari benta-
kan itu, jelas terkandung tenaga dalam tinggi.
Bayangan tentang pendekar rimba persilatan pun
melintas di benaknya.
"Hm.... Kedua orang itu pasti yang dinama-
kan pendekar," gumamnya penuh harap.
Dan tanpa membuang-buang waktu lagi,
Panggali pun memutar tubuhnya langsung me-
langkah mendekati kedua orang yang baru tiba.
Kedua orang yang baru tiba itu langsung
menghunus senjata begitu melihat Panggali me-
langkah mendekati. Melihat dari pakaian dan
rambut pemuda itu, mereka menduga kalau Pang-
gali adalah orang gila.
"Aha.... Kalian pasti pendekar-pendekar
rimba persilatan. Ayo, majulah. Serang aku...,"
tantang Panggali, persis seperti orang kurang waras.
"Kurang ajar! Dasar orang gila! Ayo kita
tangkap dia, Kakang Jumena...," ujar laki-laki berkepala botak yang memiliki
tubuh kekar berotot.
Setelah berkata demikian, laki-laki besar itu langsung melesat sambil
menyabetkan pedang dengan
gerakan menyilang.
Lelaki tinggi kurus yang dipanggil Jumena
itu segera melesat menyusuli kawannya. Pedang di tangannya berputar membentuk
gulungan sinar menyilaukan mata. Sepintas saja, dapat ditebak
kalau orang yang bernama Jumena itu memiliki
kepandaian yang lebih tinggi dari kawannya. Hal
itu dapat dilihat dari caranya memainkan senjata.
"Hiaaattt..!"
Wuttt! Bettt! "Bagus...!" puji Panggali gembira sambil menggeser kaki kanannya ke samping
dengan ku-da-kuda rendah.
Sambil mengelak sepasang tangannya
langsung melontarkan dua buah pukulan ke arah
perut dan dada kedua orang pengeroyoknya.
Zebbb! Wukkk! Serangan balasan yang cepat dan kuat itu
tentu saja membuat kedua orang lawan terkejut.
Cepat keduanya memutar tubuh, membentuk
lingkaran. Itu dilakukan untuk menghindari an-
caman pukulan Panggali. Bahkan mereka lang-
sung melancarkan serangan balasan yang cukup
berbahaya. "Ah.... Bagus...!" lagi-lagi terdengar pujian dari mulut Panggali.
Sambaran senjata lawan yang mengancam
leher dan lambung, dielakkan pemuda itu dengan
menarik mundur kaki depan sambil mendoyong-
kan tubuh ke belakang. Gerakan yang dilakukan
Panggali tidak berhenti sampai di situ saja. Pemu-da bertubuh tegap itu langsung
membalas dengan
pukulan dan tendangan cepat dan mengejutkan.
Namun, kekompakan gerak kedua orang
lawannya itu memang benar-benar hebat. Sehing-
ga, Panggali semakin gembira dibuatnya.
Pertarungan yang cukup seru dan ramai
itu tentu saja menarik perhatian penduduk Desa
Teja Mukti. Sehingga setelah pertarungan berlangsung selama dua puluh jurus,
tempat itu sudah
dipadati penduduk setempat.
"Dalam beberapa jurus lagi, kedua orang
pembantu kepala desa itu pasti akan kalah, Ka-
kang...," bisik seorang dara jelita berpakaian hijau.
Gadis itu berdiri di antara kerumunan
penduduk di samping seorang pemuda tampan
yang mengenakan jubah putih. Melihat dari sikap
dan caranya menilai, jelas kalau dara jelita itu memiliki kepandaian silat yang
cukup tinggi. "Ya! Kerjasama kedua orang itu memang
cukup baik. Tapi sayang, pemuda yang dikira
orang gila itu memiliki kepandaian di atas mereka.
Bahkan sepertinya tidak bersungguh-sungguh da-
lam menghadapi keroyokan lawannya. Entah apa
maksudnya membuat kekacauan desa ini?" sahut pemuda tampan itu yang juga
berbisik. Sedangkan
sepasang matanya yang tajam, tetap tidak beralih dari arena pertarungan.
"Hiaaat..!"
Ketika pertarungan telah memasuki jurus
yang kedua puluh lima, tiba-tiba saja Panggali
berseru nyaring mengejutkan kedua orang penge-
royoknya. Berbarengan teriakan itu, tiba-tiba saja gerakannya dirubah.
Wuttt! Wukkk! Apa yang dilakukan Panggali benar-benar
mengejutkan. Sepasang tangannya mengibas ke
kiri-kanan, menimbulkan sambaran angin kuat.
Rupanya, pemuda tegap itu telah mengeluarkan
salah satu ilmu andalannya, 'Pukulan Memecah
Badai'. Bukan hanya kedua orang pengeroyok itu
saja yang menjadi terkejut melihat perubahan ge-
rak lawan. Bahkan dara jelita berpakaian hijau
dan pemuda tampan berjubah putih itu juga me-
mandang kagum. "Lihat! Pemuda itu mulai mengeluarkan il-
mu andalannya...," bisik pemuda berjubah putih, persis di telinga dara jelita
yang berdiri di samping
kirinya. "Apa tidak membahayakan kedua orang pembantu kepala desa itu,
Kakang...?" tanya dara berpakaian serba hijau itu terlihat agak camas.
"Lihat saja...," sahut pemuda berjubah putih itu sambil tetap mengikuti jalannya
pertarungan. Saat itu, Jumena dan orang berkepala bo-
tak tampak sudah semakin terdesak hebat. Seran-
gan-serangan Panggali yang menimbulkan samba-
ran angin kuat benar-benar membuat mereka tak
berkutik. Sehingga, mereka hanya dapat bermain
mundur tanpa mampu melancarkan serangan ba-
lasan. "Hihhh...!"
Sambil membentak, Panggali mendorong-
kan kedua telapak tangannya ke depan. Serangan
angin kuat menyambar kedua orang pengeroyok
yang hanya bisa memandang dengan wajah pucat.
Wusss! Namun tanpa ada yang menyadari, tiba-
tiba berkelebat sebuah bayangan putih yang lang-
sung memapak serangan Panggali.
Bresss! Terdengar benturan keras yang membuat
udara di sekitar tempat itu bergetar keras. Bahkan disusul dengan terlemparnya
tubuh Panggali sejauh dua batang tombak ke belakang.
Namun, kelincahan pemuda bertubuh te-
gap itu memang patut dipuji. Dengan beberapa
kali putaran manis, daya lontar itu berhasil dipu-nahkan. Sehingga, Panggali
dapat mendarat manis
di tanah. Meskipun ketika menyentuh tanah gera-
kannya limbung, tapi perbuatan pemuda itu telah
membuat para penduduk terpukau kagum.
Sementara, di tengah arena pertarungan
telah berdiri gagah sesosok tubuh berjubah putih.
Sedangkan Jumena dan lelaki kekar berkepala bo-
tak yang mengeroyok Panggali masih berdiri pucat di belakang sosok tubuh itu.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Kisa-
nak," lirih dan agak bergetar ucapan lelaki tinggi kurus yang bernama Jumena
itu. Karena, saat itu
hatinya masih diliputi ketegangan.
Sedangkan sosok berjubah putih itu men-
gangguk ramah sambil memamerkan senyum lem-
but. *** 8 "Siapa kau, Kisanak.." Tenaga dalammu
hebat sekali...," seru Panggali merasa terkejut bukan main merasakan kekuatan
tenaga dalam pe-
muda berjubah putih itu.
"Namaku, Panji. Orang-orang rimba persi-
latan menjulukiku sebagai Pendekar Naga Putih.
Kalau boleh kutahu, siapakah namamu dan men-
gapa kau seperti sengaja mencari keributan?" sahut Panji yang balik melontarkan
pertanyaan. Na-
da suara pemuda itu sama sekali tidak mengan-
dung permusuhan. Bahkan terkesan bersahabat.
"Pendekar Naga Putih... Pendekar Naga Pu-
tih...," gumam Panggali mencoba mengingat-ingat.
Jelas, sepertinya ia pernah mendengar julukan itu sebelumnya.
Pemuda tampan berjubah putih yang me-
mang Pendekar Naga Putih itu memandang Pang-
gali dengan kening berkerut. Tadi julukannya sengaja diperkenalkan, sebab sempat
didengar tadi kalau pemuda bertubuh tegap itu seperti sengaja
hendak mencari orang yang menggunakan julukan
pendekar. Maka, dirinya diperkenalkan untuk me-
lihat tanggapan pemuda gagah itu.
"Ahhh..., aku ingat sekarang. Guru pernah
bercerita tentang seorang pendekar muda yang te-
lah mengguncangkan dunia persilatan pada masa ini.
Dan pendekar muda itu berjuluk Pendekar Naga
Putih, Kaukah pendekar muda itu, Kisanak..?"
tanya Panggali dengan suara penuh harap. Bah-
kan tatapan sepasang matanya pun jelas meng-
gambarkan harapan.
"Seingatku, julukan Pendekar Naga Putih
adalah pemberian orang-orang rimba persilatan.
Sedangkan tentang terguncangnya dunia persila-
tan karena kehadiranku, sama sekali tidak kuke-
tahui. Jadi, maaf kalau aku tidak bisa menjawab
pertanyaan itu," sahut Panji, seolah-olah merasa menyesal karena tidak bisa
memberi jawaban yang
memuaskan. "Aku tidak peduli semua itu. Yang kubu-
tuhkan adalah seorang pendekar sakti. Karena,
aku sangat membutuhkan bantuannya. Kulihat
kepandaianmu tadi sangat hebat. Tapi, aku belum
begitu yakin kalau belum mencoba secara sung-
guh-sungguh. Sekarang bersiaplah! Jaga dirimu
baik-baik kalau tidak ingin celaka atau tewas ka-renanya," tegas Panggali tanpa
senyum. Dan begitu ucapan pemuda itu selesai, ke-
dua telapak kakinya bergeser membentuk kuda-
kuda seperti menunggang kuda. Gerakan itu diba-
rengi putaran sepasang tangannya kemudian ber-
gerak turun naik seiring langkah kakinya.
Bettt! Bettt! Panji sempat tertegun melihat akibat yang
ditimbulkan gerakan lawan. Hembusan angin ke-
ras yang menerpa tubuhnya, membuat pemuda
tampan ini sadar akan bahayanya serangan itu.
"Kisanak! Jangan gegabah! Perbuatanmu
ini sangat berbahaya...!" seru Panji mengingatkan.
Tapi karena Pendekar Naga Putih melihat
pemuda itu seperti tak peduli, maka napasnya
disedot dalam-dalam. Dikerahkannya 'Tenaga Sak-
ti Gerhana Bulan' untuk menghadapi gempuran
yang sudah pasti sangat dahsyat itu.
Wusss! Hawa dingin menusuk tulang langsung
menyebar berbarengan dengan terbentuknya lapi-
san kabut putih bersinar yang menyelimuti selu-
ruh tubuh pemuda tampan itu.
"Sambutlah pukulanku! Hiaaattt..!"
Pendekar Naga Putih 22 Tragedi Gunung Langkeng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Diawali teriakan mengguntur, tubuh Pang-
gali langsung melesat disertai dorongan kedua telapak tangannya dalam jurus
'Pukulan Memecah
Badai' yang konon kedahsyatannya tidak diragu-
kan. Sadar betapa berbahayanya serangan la-
wan, maka tubuh Panji pun segera melesat me-
mapak dengan dorongan sepasang telapak tangan.
"Hiattt..!"
Blarrr...! Ledakan keras terdengar menggetarkan
udara di sekitar arena pertarungan, disusul ber-pentalnya tubuh Panggali
diiringi suara jerit ken-geriannya.
Brugkh! Kembali suara berdebuk keras terdengar
ketika tubuh Panggali terbanting ke atas tanah.
Pemuda bertubuh tegap itu menggigil bagaikan
terserang demam hebat. Bahkan di sekeliling tu-
buhnya, muncul kabut putih yang menandakan
kalau 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' telah merasuk
ke dalam tubuhnya.
Sedangkan Panji sendiri, tetap tak bergem-
ing di tempatnya. Walaupun tenaga dalamnya ti-
dak dikerahkan sampai ke puncak, namun sudah
cukup untuk menghadapi gempuran Panggali. Hal
itu tentu saja sudah diketahuinya sejak semula.
Entah apa yang akan dialami Panggali apabila
Pendekar Naga Putih mengerahkan tenaga sepe-
nuhnya. Melihat keadaan lawan, Panji pun bergegas
menghampiri. Pemuda itu membungkukkan tu-
buh, memeriksa tubuh Panggali. Menilik dari wa-
jah Pendekar Naga Putih yang tenang setelah me-
meriksa tubuh lawannya, dapat ditebak kalau
nyawa pemuda itu masih bisa diselamatkan.
Panji menjejalkan sebutir obat pulung ber-
warna merah setelah memijat dan menghapus da-
rah di sudut bibir pemuda itu. Semua perbuatan-
nya dilakukan cepat dan penuh ketelitian.
Tak berapa lama kemudian, terlihat Pang-
gali mulai membuka kedua kelopak matanya. Se-
nyumnya langsung mengembang begitu melihat
wajah Panji di dekatnya.
"Jelas, kaulah orang yang kucari-cari, Pen-
dekar Naga Putih. Marilah kita segera pergi ke
Gunung Langkeng. Di sanalah kepandaianmu di-
butuhkan," ajak Panggali begitu sadar dari ping-sannya. "Sabarlah, Kisanak.
Pulihkan dulu keseha-tanmu. Setelah itu, barulah kita bicarakan masa-
lah yang tengah kau hadapi itu," sergah Panji.
Bibir Pendekar Naga Putih tersenyum melihat se-
mangat dan ketabahan pemuda gagah itu. Lalu,
Panji bangkit dan melangkah mendekati Kenanga
yang tengah menantinya.
Setelah Panggali menyelesaikan semadi
dan menceritakan persoalannya, maka Panji dan
Kenanga mengikuti pemuda gagah itu. Tujuan me-
reka adalah Gunung Langkeng, tempat kediaman
Eyang Sanca Wisesa.
*** "Tolong.... Tolong...!"
Seorang gadis manis bertubuh ramping
dan berpakaian awut-awutan berlari cepat sambil
berteriak-teriak. Tidak dipedulikan lagi telapak kakinya yang telanjang sehingga
menginjak duri tajam. Wajahnya yang bulat telur itu, tampak pu-
cat dan basah oleh air mata.
"He he he...! Mau lari ke mana kau, Manis.
Percuma saja berteriak-teriak. Tempat ini sangat jauh dari perumahan penduduk,"
ujar seorang pemuda tampan bertelanjang dada yang menge-jarnya sambil tertawa
gembira. Gadis manis itu terus saja berlari tanpa
mempedulikan arah. Yang terpikir hanyalah mela-
rikan diri sejauh-jauhnya untuk menghindari pe-
muda tampan di belakangnya. Pakaian yang dike-
nakannya pun sudah semakin tak karuan. Banyak
sobekan di sana-sini akibat tersangkut ranting-
ranting pohon. Sedangkan pemuda tampan yang menge-
jarnya seperti sengaja mempermainkan gadis itu.
Padahal kalau dilihat dari caranya berlari, jelas kepandaian silatnya tidak
rendah. Sekilas saja,
sudah dapat ditebak kalau pemuda itu tidak ber-
sungguh-sungguh dalam melakukan pengejaran.
Sehingga, pemuda itu tak ubahnya bagai seekor
harimau yang mempermainkan buruannya.
Tengah asyiknya pemuda tampan itu mela-
kukan pengejaran sambil tertawa-tawa gembira,
tiba-tiba saja berkelebat sesosok bayangan yang
langsung menyambar tubuh gadis itu.
Weeesss.... Tappp!
"Auw...!"
Terdengar pekik tertahan dari gadis manis
itu ketika merasakan tubuhnya ditangkap dan
langsung dibawa terbang. Sekejap kemudian, so-
sok bayangan itu pun lenyap bersama gadis dalam
pondongannya. Keduanya menghilang begitu saja,
di balik semak belukar yang tumbuh rapat.
Bukan main terkejutnya pemuda tampan
itu ketika melihat buruannya lenyap disambar so-
sok tubuh yang memiliki gerakan cepat bagai kilat, sambil bertolak pinggang,
pemuda itu berdiri angkuh merayapi sekitarnya.
"Hei! Manusia pengecut! Tunjukkan dirimu
kalau benar-benar jantan! Jangan bisanya hanya
main sembunyi seperti maling!" bentak pemuda tampan itu mengerahkan tenaga
dalam. Sehingga,
gema suaranya terdengar jauh hingga belasan
tombak "Hm.... Siapa yang pengecut, Kuncara" Dan siapa pula maling itu?"
terdengar ejekan yang be-rasal dari belakang pemuda tampan bernama
Kuncara itu. Pemuda tampan bertelanjang baju itu me-
mang Kuncara. Rupanya, nafsu iblis yang dibang-
kitkan Nyai Kalawirang sudah semakin menggila.
Sehingga, pemuda itu mulai tidak puas hanya
dengan menggauli Nyai Kalawirang. Maka diculik-
nya gadis-gadis desa untuk dijadikan pemuas naf-
su iblisnya. "Oh! Rupanya kau, Panggali. Sedang apa
kau di sini, Murid Murtad?" ejek Kuncara.
Sama sekali dia tidak merasa gentar meli-
hat kedatangan Panggali. Sebab, ia yakin dengan
kepandaian yang dimilikinya sekarang. Jadi jelas, Panggali dengan mudah akan
dapat ditundukkan-nya. Itulah sebabnya, mengapa sikapnya demikian
sombong. "Setan! Kaulah murid murtad yang durha-
ka itu, Kuncara. Kau bukan saja telah memfitnah-
ku dengan menggunakan Nyai Kalawirang! Tapi
yang lebih keji lagi, kau tega menyiksa guru hanya karena tubuh molek wanita
iblis itu! Kau benar-benar manusia iblis! Sepantasnya, kau tidak hi-
dup bersama manusia! Lebih tepat kau bersama-
sama iblis-iblis Hutan Langkeng!" bentak Panggali.
Pemuda itu rupanya sudah mengunjungi
Gunung Langkeng dan menemukan tubuh sengsa-
ra gurunya. Dan memang, Eyang Sanca Wisesa
masih bisa diselamatkan karena Panggali, Pende-
kar Naga Putih, dan Kenanga cepat datang. Kemu-
dian Panji mengobatinya, agar darah yang keluar
dari tubuh tua itu berhenti. Dan ketika Eyang
Sanca Wisesa sadar, ia menyuruh Panggali untuk
mencari Kuncara, saudara seperguruannya yang
murtad itu. Kuncara sempat bergetar hatinya ketika
mendengar ucapan Panggali. Jelas, saudara seper-
guruannya itu telah kembali ke puncak dan me-
nemukan tubuh gurunya yang telah cacat. Kunca-
ra pun sadar, kalau Eyang Wisesalah yang telah
menyuruh pemuda itu untuk mencarinya. Namun,
semua perasaan itu kembali ditekannya. Dan si-
kapnya pun kembali sombong.
"Hm.... Rupanya kau sampai pula ke tem-
pat ini, Murid Emas?" kembali Kuncara mengejek disertai senyum liciknya.
"Setelah beberapa hari mengikuti jejakmu,
aku singgah di desa yang kehilangan gadis-gadis
dan pemuda-pemuda tampan. Sungguh tak ku-
sangka kalau itu semua adalah hasil perbuatan
biadabmu, Kuncara. Kau benar-benar telah beru-
bah menjadi iblis! Tak ada lagi hukuman yang le-
bih tepat untukmu, selain kematian!" bentak Panggali.
Semula Panggali hanya menduga bahwa
Kuncara hanya terbujuk rayuan Nyai Kalawirang
saja. Tapi setelah melihat dengan mata kepala
sendiri, Panggali benar-benar tidak mengerti. Mengapa Kuncara telah berubah
sedemikian jauhnya.
Sedikit pun tidak terlihat bekas-bekas hasil didikan Eyang Sanca Wisesa.
"Tidak usah berpura-pura suci, Panggali.
Bukankah kau juga pernah menikmati kehanga-
tan tubuh Nyai Kalawirang" Dan kalau sekarang
ingin menikmati gadis manis milikku itu, tidak
usah malu-malu. Ambillah. Aku masih bisa men-
cari yang lain," kata Kuncara mencoba mengingatkan tentang perbuatan Panggali
dengan Nyai Kalawirang. "Dasar manusia kotor! Jangan dikira aku
tidak tahu, mengapa aku sampai berbuat begitu.
Semua itu adalah hasil permainan sihir Singa Gu-
run Setan. Guru telah memberitahukan kepadaku.
Jadi jelas, perbuatanku itu sama sekali bukan karena kemauanku sendiri. Dan guru
pun telah me- nyadari kekeliruannya," sahut Panggali.
Rupanya pemuda itu telah mendapat pen-
jelasan dari Eyang Sanca Wisesa. Itu semua diceritakan gurunya setelah sembuh
berkat perawatan
Pendekar Naga Putih yang datang bersamanya.
"Jadi, apa maumu sekarang?" tantang
Kuncara dengan lagak sangat sombong.
"Menghukum mu! Aku akan membawamu
hidup atau mati ke hadapan Eyang Sanca Wisesa!
Bersiaplah...!" geram Panggali.
Pemuda itu segera mencabut keluar pe-
dang yang terselip di pinggangnya. Sengaja senjatanya digunakan, karena Kuncara
telah benar- benar lihai. "Hm.... Pantas nyalimu menjadi besar. Ru-
panya kau membawa teman," ejek Kuncara begitu melihat tiga sosok tubuh di
belakang Panggali. Salah satu di antaranya adalah gadis buruannya ta-
di. Sepasang mata pemuda itu pun sempat menyi-
pit ketika melihat seraut wajah yang amat jelita di antara ketiga orang itu.
"Ha ha ha.... Ada apa ribut-ribut, Kuncara"
Hei" Rupanya kita kedatangan daging-daging se-
gar hari ini."
Tiba-tiba saja terdengar suara serak yang meng-
gema. Belum lagi gema suara serak itu hilang, terdengar suara berdebum
mengiringi kemunculan
seorang kakek raksasa bermuka singa. Siapa lagi
kalau bukan Singa Gurun Setan si pemakan daging manusia.
Rupanya, penciumannya yang sudah seperti bina-
tang buas itu telah membaui daging-daging segar.
Sehingga, ia pun mendatangi sumber bau itu.
"Hik hik hik... Jangan serakah, Kakek Ra-
kus! Ingat! Dua orang anak tampan itu harus me-
nemaniku dulu sebelum dimasukkan ke dalam pe-
rut buncitmu," ujar suara merdu sosok tubuh ramping yang menyusuli kedatangan
kakek raksasa itu. Begitu tiba, sepasang mata wanita cantik berhati iblis itu
merayapi wajah Panji yang berada di belakang Panggali. Jelas, Nyai Kalawirang
merasa tertarik dengan pemuda tampan berjubah putih
itu. "Pendekar Naga Putih.... Merekalah de-
dengkot yang menyebabkan semua kejadian di
perguruanku. Keduanya memiliki kepandaian
sangat tinggi. Kuharap berhati-hatilah untuk
menghadapinya," seru Panggali.
Pemuda itu sengaja mengeraskan suaranya ketika
memanggil Pendekar Naga Putih. Hal itu dimak-
sudkan untuk membuat gentar hati kedua orang
tokoh sesat itu.
Setelah berkata demikian, Panggali kembali
menoleh ke arah Kuncara. Pedang terhunus di
tangannya sudah berputar membentuk gulungan
sinar yang membungkus tubuhnya.
"Mari kita selesaikan urusan kita, Kunca-
ra...!" dengus Panggali.
Pemuda itu segera bergerak mendekati
saudara seperguruannya yang murtad. Dan tanpa
basa-basi lagi dia langsung melompat menerjang
Kuncara. "Hiaaattt..!"
Wukkk! Wukkk! Melihat Panggali sudah mulai membuka
serangan, maka Kuncara pun tidak tinggal diam.
Tubuhnya melesat memapak serangan lawan. Se-
hingga dalam waktu yang singkat saja, keduanya
sudah terlibat sebuah pertarungan hidup atau ma-
ti. *** Sementara itu, Singa Gurun Setan dan
Nyai Kalawirang tengah menatap tajam ke arah
Panji. Dipandanginya pemuda tampan berjubah
putih itu dari atas ke bawah.
"Anak muda! Benarkah kau yang berjuluk
Pendekar Naga Putih," tanya Singa Gurun Setan seperti tak percaya.
Meskipun kakek bertubuh raksasa itu te-
Pendekar Naga Putih 22 Tragedi Gunung Langkeng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lah lama mendengar sepak terjang Pendekar Naga
Putih, namun sama sekali tidak menyangka kalau
orangnya ternyata masih demikian muda. Tentu
saja hal itu menimbulkan rasa ragu di hatinya.
"Benar! Akulah yang berjuluk Pendekar
Naga Putih. Apakah penampilanku mengecewa-
kanmu?" tanya Panji seraya tersenyum tenang.
Kemudian, pemuda itu melangkah maju se-
telah terlebih dahulu membisikkan sesuatu ke te-
linga kekasihnya.
"Awasi pertarungan itu. Kulihat, kepan-
daian Panggali masih di bawah kepandaian Kun-
cara," bisik Panji sebagai isyarat agar kekasihnya bersiap-siap turun tangan
apabila Panggali terdesak. Panji menghentikan langkahnya dalam ja-
rak satu setengah tombak dari kedua orang tokoh
sesat itu. Sikapnya terlihat tetap tenang, dengan wajah terhias senyum.
"Tidak perlu banyak cakap lagi, Singa Gu-
run Setan. Melihat dari sikapnya yang tenang, jelas pemuda ini berisi. Kita
harus menyingkirkan-
nya sebelum membuat susah," ujar Nyai Kalawirang yang mulai percaya akan ucapan
Panggali tentang Pendekar Naga Putih.
"Benar! Tidak peduli siapa pun dirimu,
Anak Muda. Yang jelas, hari ini kau akan menjadi santapanku!" ancam Singa Gurun
Setan mengge-ram bagai seekor singa jantan.
Sepasang tangan kakek bertubuh raksasa
itu terkembang membentuk cakar. Dan itu pun
masih dibarengi tatapan matanya yang mengan-
dung kekuatan sihir.
Jangan dipandang rendah tatapan sepa-
sang mata kakek raksasa itu. Akibatnya, lawan
yang tidak terlatih kuat tenaga dalamnya akan
terpaku hanya karena pandangan tajam menusuk
jantung itu. Tapi, yang kali ini dihadapi Singa Gurun
Setan adalah Pendekar Naga Putih. Dan pemuda
itu telah sangat berpengalaman dalam menghada-
pi berbagai jenis ilmu sihir. Sekali pandang saja, Panji langsung dapat menilai
kalau kepandaian
sihir yang dimiliki lawannya ini terhitung masih rendah tingkatannya. Sehingga
untuk menghadapinya, ia tidak perlu menggunakan Pedang Naga
Langit yang tergantung di punggung.
"Heeeaaa...!"
Dibarengi bentakan menggeledek, Singa
Gurun Setan mulai membuka serangan. Tubuh-
nya yang tinggi besar itu meluruk disertai sambaran kuku-kukunya yang mengandung
racun ga- nas. Melihat lawan sudah mulai menyerang,
Panji bergegas mengerahkan tenaga dalamnya. Se-
lapis kabut bersinar putih keperakan mulai me-
nyebar mengelilingi tubuhnya. Munculnya lapisan
kabut yang melindungi sekujur tubuh Panji, ter-
nyata disertai tiupan hawa dingin menusuk tu-
lang. Bukan main terperanjatnya Nyai Kalawi-
rang menyaksikan lapisan kabut dan hawa dingin
menusuk itu. Sadar kalau pemuda yang menjadi
lawannya memang benar-benar Pendekar Naga
Putih, maka wanita itu pun segera melesat mem-
bantu kawannya.
"Haittt..!"
Sambil melompat, wanita cantik berhati ib-
lis itu langsung mengeluarkan senjata ampuhnya.
Cambuk mata sembilan di tangannya meluncur
mematuk-matuk ke sembilan jalan darah kema-
tian di tubuh lawannya. Benar-benar sebuah se-
rangan keji yang berbahaya.
Tapi, Pendekar Naga Putih pun sudah tidak
akan bersikap lunak lagi. Setelah mendengar se-
pak terjang kedua orang itu dari Panggali, Panji berniat melenyapkan kedua tokoh
sesat kawakan yang sudah tidak mungkin disadarkan kembali.
Terbukti, perbuatan balas dendam mereka terha-
dap Eyang Sanca Wisesa yang di luar batas peri-
kemanusiaan. Padahal kakek itu pernah mengam-
puni mereka dengan harapan agar dapat sadar.
Tapi kenyataannya, mereka semakin ganas dan
brutal. Maka, Panji pun tidak mempunyai pilihan
lagi selain melenyapkan mereka.
Itulah sebabnya, mengapa begitu memapak
serangan kedua orang lawannya, Pendekar Naga
Putih langsung mengeluarkan 'Ilmu Silat Naga
Sakti'nya. Padahal, biasanya ilmu andalan itu
hanya digunakan apabila sudah sangat terdesak.
Tak lain, karena ingin mempersingkat pertarun-
gan, Panji langsung mengerahkannya.
Tentu saja gempuran yang dilakukan pemuda itu
hebat bukan kepalang. Sambaran-sambaran cakar
naganya yang diiringi hawa dingin menusuk,
membuat kedua orang lawannya bagaikan dikeli-
lingi benteng salju. Apalagi serangan-serangan
yang dilancarkan mereka, selalu saja terpental balik akibat lapisan kabut yang
mengelilingi tubuh pemuda berjubah putih itu. Dapat dibayangkan,
betapa terkejutnya hati kedua tokoh sesat itu melihat kehebatan lawannya kali
ini. "Yeaaattt..!"
Memasuki jurus yang keempat puluh, Sin-
ga Gurun Setan yang merasa penasaran tiba-tiba
memekik nyaring. Sepasang tangannya yang besar
dan berbulu lebat itu menyambar cepat menim-
bulkan deru angin keras.
Wuttt! Wukkk! Sepasang cakar beracun kakek raksasa itu
meluncur deras mengancam dada dan lambung
Pendekar Naga Putih. Melihat kecepatan dan ke-
kuatannya, jelas kalau Singa Gurun Setan telah
mengeluarkan segenap tenaga dalamnya. Tentu
saja serangan itu tidak bisa dibuat main-main.
Belum lagi sambaran maut itu tiba, Nyai
Kalawirang membarenginya dengan lecutan cam-
buk mata sembilan yang meledak-ledak menulikan
telinga. Kesembilan mata cambuk wanita genit itu langsung meluncur ke titik-
titik terlemah di tubuh Pendekar Naga Putih. Sungguh berbahaya keadaan pemuda
itu. Namun Pendekar Naga Putih yang seka-
rang, bukanlah pendekar hijau. Puluhan pengala-
man bertarung yang pernah dihadapinya, telah
membuat perhitungan pemuda itu semakin masak
dan teliti. Maka ketika serangan dari berbagai arah
itu datang mengancam tubuhnya, Pendekar Naga
Putih segera menarik rapat kedua telapak kakinya dan merendahkan tubuh dengan
menekuk lutut. Sepasang tangannya yang semula merangkap di
depan dada, di-sentakkan ke kiri kanan disertai
luncuran tubuhnya.
"Heaaat...!"
Hebat sekali jurus 'Naga Sakti Naik ke Lan-
git' yang dipancarkan Pendekar Naga Putih. Se-rangkum hawa dingin yang amat kuat
bergelom- bang mengiringi luncuran tubuhnya.
Bresss...! "Aaakh...!"
Terdengar jerit kesakitan yang disusul ter-
pentalnya tubuh kedua orang lawannya. Hanta-
man sepasang tangan Pendekar Naga Putih yang
mengibas, ternyata mampu membuat mereka tak
sanggup bertahan. Memang hebat jurus yang dike-
rahkan Pendekar Naga Putih. Sehingga, tubuh ke-
dua orang lawannya bagaikan selembar daun ker-
ing yang diterbangkan angin.
Tubuh Singa Gurun Setan terbanting ja-
tuh, menimbulkan suara berdebuk keras. Sedang-
kan Nyai Kalawirang masih dapat menyelamatkan
dirinya dengan berputaran beberapa kali di udara.
Itu disebabkan, wanita cantik itu menggunakan
senjata. Sehingga, tangannya tidak langsung ber-
sentuhan dengan lengan Pendekar Naga Putih.
Maka, akibatnya pun tidak terlalu parah.
Lain halnya dengan Singa Gurun Setan.
Karena menyerang dengan menggunakan cakar,
maka akibat yang dideritanya lebih parah daripada Nyai Kalawirang. Sehingga,
keseimbangan tubuhnya tidak dapat dipertahankan lagi.
Tapi, Pendekar Naga Putih rupanya tidak
ingin bertindak kepalang tanggung. Singa Gurun
Setan yang baru saja berdiri tegak itu, kembali di-terjangnya dengan dua kali
sambaran cakarnya.
Bukan main terkejutnya hati kakek bertu-
buh raksasa. Wajahnya yang menyeramkan lang-
sung pucat begitu melihat bahaya maut yang da-
tang mengancam. Meskipun telah berusaha men-
gelak, namun sepasang tangan Pendekar Naga Pu-
tih yang bagai ular hidup itu tetap saja menghajar telak tubuhnya.
Brettt! Brettt!
"Aaarghhh...!"
Raungan panjang menggema bagai hendak
mengguncangkan hutan, disusul melintirnya tu-
buh raksasa itu. Seketika semburan darah segar
keluar dari mulutnya. Bahkan juga terdapat luka
menganga di tubuhnya. Bumi bagaikan bergun-
cang ketika tubuh raksasa itu ambruk dengan ku-
lit tubuh membiru. Singa Gurun Setan langsung
tewas dalam keadaan beku.
Nyai Kalawirang menjerit bagai binatang
luka. Kematian kawan dan juga kekasihnya itu,
membuatnya nekat membokong Panji dengan le-
cutan cambuk. Ctar.... Jtarrr!
Cambuk mata sembilan di tangan Nyai Ka-
lawirang meledak-ledak dahsyat menimbulkan
gumpalan-gumpalan asap hitam. Kesembilan
ujung cambuk itu meluncur deras mengancam ba-
gian belakang tubuh Pendekar Naga Putih.
Pendekar Naga Putih pun bukan tidak tahu
akan datangnya ancaman maut itu. Namun begitu
lecutan ujung-ujung cambuk itu siap merejam tu-
buhnya, tahu-tahu saja tubuhnya melenting tinggi melewati ujung-ujung cambuk
lawan. "Heyattt..!"
Dibarengi pekik yang menggetarkan jan-
tung, tubuh Panji berputar di udara. Pendekar Na-ga Putih langsung meluncur
deras, sambil menge-
rahkan jurus 'Naga Sakti Meluruk ke Dalam Bu-
mi'. Dapat dibayangkan, betapa ngeri hati Nyai
Kaliwirang ketika melihat tubuh lawan meluncur
datang disertai hawa dingin yang membekukan
urat-urat tubuhnya. Akibatnya, wanita cantik
yang selama hidupnya tidak mengenal arti kata
takut itu menjadi pucat wajahnya. Saat itu, bukan lagi tubuh Pendekar Naga putih
yang dilihatnya.
Melainkan Malaikat Pencabut Nyawa yang tengah
menghampirinya. Maka....
Breshhh! "Wuaaa...!"
Nyai Kalawirang menjerit setinggi langit ke-
tika sepasang telapak tangan Pendekar Naga Putih telak menghantam punggungnya.
Tubuh molek itu
terlempar deras bagai selembar daun kering.
"Hegkhhh...!"
Begitu terbanting di atas tanah berumput,
tubuh wanita cantik yang semasa hidupnya sangat
menggairahkan itu berkelojotan bagai ayam dis-
embelih. Sesaat kemudian, Nyai Kalawirang pun
tewas dalam keadaan tubuh yang dingin dan be-
ku. "Hhh..."
Panji menarik napas melihat mayat kedua
orang lawannya itu. Terselip sedikit rasa sesal di hatinya, karena terpaksa
harus membunuh kedua
orang lawannya. Namun, kekejaman kedua orang
tokoh sesat itu memang sudah melewati takaran.
Tak lama kemudian, pemuda itu pun melangkah-
kan kakinya meninggalkan mayat kedua orang la-
wannya. Sementara itu, pertarungan yang berlang-
sung di tempat lain, sudah pula mencapai pun-
caknya. "Haaattt..!"
Kuncara yang sudah semakin mendesak
lawan, tiba-tiba berseru nyaring sambil melompat tinggi. Kedua kakinya bergerak
cepat melakukan
serangkaian tendangan lewat jurus 'Tendangan
Angin Topan' yang telah dipadukan dengan gera-
kan aneh. Desss! Buggg! Diggg!
"Aaakhhh...!"
Tiga kali tendangan yang dilakukan Kunca-
ra telak menghantam dada dan perut Panggali.
Tubuh pemuda tegap itu kontan terjengkang keras
ke belakang. Untunglah pada saat Kuncara ingin me-
nyusuli serangannya, sesosok bayangan hijau ber-
kelebat cepat memapak. Sehingga, tendangan yang
dimaksudkan untuk menghabisi nyawa Panggali
bertumbukkan dengan sepasang lengan berjari-
jari lentik. Plakkk! "Uhhh...!"
Tubuh keduanya yang tengah melambung
di udara itu langsung terpental balik. Namun,
masing-masing ternyata mampu mengimbangi
Pendekar Naga Putih 22 Tragedi Gunung Langkeng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
daya lontarnya. Sehingga, dengan beberapa kali
putaran di udara satu sama lain dapat mendarat
selamat. Sosok berpakaian hijau yang tak lain dari
Kenanga menahan langkahnya ketika sebuah te-
pukan halus menyentuh bahu kanan. Wanita jelita
itu menarik napas lega ketika melihat orang yang menepuk bahunya.
"Kakang...," desah dara jelita itu tersenyum manis ketika melihat kekasihnya
selamat. Pemuda yang tak lain Panji itu mengang-
guk sebagai isyarat agar Kenanga mundur. Sebab
sekali lihat saja, Pendekar Naga Putih dapat menilai kepandaian Kuncara.
"Kuncara, sadarlah. Kembalilah kepada gu-
rumu. Tinggalkan semua kesesatan yang selama
ini kau lakukan. Aku yakin, gurumu pasti akan
memberi pengampunan," bujuk Panji mencoba
menyadarkan Kuncara dari kesesatannya.
"Huh! Apakah kau kira setelah mampu
mengalahkan kedua orang bodoh itu dirimu kau
anggap paling hebat! Hm.... Jangan mimpi, Kisa-
nak! Meskipun kau memiliki delapan tangan, na-
mun aku tidak akan gentar! Aku siap mengadu
nyawa denganmu!" bentak Kuncara dengan wajah merah padam.
Setelah berkata demikian, pemuda itu me-
lipat kedua tangannya di depan dada. Dihem-
buskannya napas perlahan-lahan sambil mengge-
rakkan kedua tangan ke arah berlawanan. Jelas,
pemuda itu tidak berhasil dibujuk Panji.
"Sadarlah, Kuncara. Percuma kau...."
"Jangan banyak bacot! Sambutlah puku-
lanku...! Yeaattt..!"
Sambil berteriak memotong ucapan Panji,
Kuncara langsung melompat disertai pukulan-
pukulan maut yang berbahaya.
Bettt! Bettt! Merasa percuma mengajak Kuncara kem-
bali ke jalan yang benar, Pendekar Naga Putih tidak lagi banyak cakap. Cepat-
cepat tubuhnya ber-
geser ke belakang menghindari ancaman pukulan
Kuncara yang bertubi-tubi. Sampai lima jurus pe-
muda itu menyerang, Panji belum juga melancar-
kan serangan balasan. Sepertinya, ia masih me-
nunggu kesempatan baik untuk menyerang.
"Yeaaa...!"
Bagaikan orang kemasukan setan, Kuncara
terus saja mengumbar pukulan-pukulan yang dis-
elingi tendangan maut. Namun, sampai sejauh itu, Panji tetap saja mengelak
sambil sesekali menangkis jika terpaksa.
Pada saat pertarungan memasuki jurus ke-
tiga puluh dua, Panji yang melihat adanya kesem-
patan baik langsung mengirim tendangan maut ke
perut Kuncara. Zebbb! Ternyata Kuncara cukup awas. Tendangan
lawan dapat dielakkan dengan memiringkan tubuh
ke samping kanan. Tapi sayang, kegesitan Kunca-
ra masih belum dapat mengimbangi Pendekar Na-
ga Putih. Tahu-tahu saja, tebasan telapak tangan
miring pemuda itu telah singgah di punggung
Kuncara. Desss! "Higkhhh...!"
Hantaman telak itu kontan membuat tu-
buh Kuncara terhuyung beberapa langkah ke be-
lakang. Tapi sebelum pemuda itu sempat mem-
perbaiki kuda-kudanya, kembali sebuah tamparan
telak telah membuatnya tersungkur ke atas tanah.
Brukkk! Kuncara menggeliat menahan rasa sakit
pada dadanya. Hantaman telapak tangan Pende-
kar Naga Putih terasa bagaikan merontokkan isi
dadanya. Sehingga, untuk beberapa saat lamanya,
Kuncara hanya dapat mengerang sambil mengge-
liat-geliat menahan rasa sakit dan nyeri yang menusuk-nusuk dadanya.
"Sadarlah, Kuncara. Petualanganmu sudah
berakhir. Kau masih sangat muda. Dan masih ba-
nyak yang dapat dilakukan untuk menebus kesa-
lahanmu itu," Pendekar Naga Putih yang telah berada di dekat tubuh Kuncara
kembali mencoba
membujuknya. "Orang sepertinya tidak seharusnya dibiar-
kan hidup!" tiba-tiba saja terdengar teriakan marah dari arah belakang Pendekar
Naga Putih. Tapi pada saat Pendekar Naga Putih meno-
lehkan kepalanya, tahu-tahu saja Panggali berke-
lebat sambil mengayunkan pedangnya.
"Yeaaa..!"
Crakkk...! Seketika itu juga, kepala Kuncara mengge-
linding terpisah dari tubuhnya. Panggali berdiri tegak dengan pedang yang masih
berlumuran darah
segar. "Semoga Tuhan mengampuni kesalahan-
kesalahanmu, Kuncara," gumam Panggali, serak.
Sebab, biar bagaimanapun Kuncara adalah
saudara seperguruannya yang hidup bersamanya
sejak kecil. Sebenci-bencinya terhadap Kuncara,
tapi ketika melihat mayat saudara seperguruannya itu, hatinya tersentuh juga.
"Sudahlah, Panggali. Lebih baik kuburkan
mayat-mayat ini. Setelah itu, kembalilah ke pun-
cak Gunung Langkeng. Kasihan gurumu yang ca-
cat itu. Kau harus menemaninya," hibur Panji sambil menepuk perlahan bahu
Panggali. Tanpa banyak cakap lagi, Panggali dan
Pendekar Naga Putih segera menguburkan ketiga
mayat lawan-lawannya. Panggali masih sempat
termenung sejenak di samping makam Kuncara
yang masih basah.
Tak berapa lama kemudian, Panggali bang-
kit dan mendekati Pendekar Naga Putih yang saat
itu sudah bersama Kenanga dan gadis desa yang
hampir menjadi korban kebiadaban Kuncara.
"Panggali. Antarkanlah gadis itu kembali ke desanya. Aku pergi dulu...," pamit
Pendekar Naga Putih. Sebelum Panggali sempat mengucapkan
rasa terima kasihnya, tiba-tiba bayangan kedua
orang pendekar itu sudah lenyap ditelan kereman-
gan hutan. "Mari kuantarkan pulang, Nisanak. Di ma-
nakah desa tempat tinggalmu?" tanya Panggali menatap wajah manis di depannya.
Ada getar aneh menyelinap di relung hati
pemuda itu ketika melihat wajah gadis di depan-
nya. "Tidak ada gunanya kembali ke desa kela-hiranku. Semua keluargaku sudah
dibunuh orang yang bernama Kuncara itu. Kalau Kakang Panggali
tidak keberatan, biarlah aku ikut bersamamu,"
pinta gadis desa yang manis itu, polos.
"Tapi, aku hanya orang gunung. Lagi pula,
di sana sangat sepi. Kau pasti tidak akan betah."
Meskipun bibirnya berkata demikian, na-
mun hati kecil Panggali ingin mendengar gadis
manis itu bersikeras ikut dengannya. Ditunggunya jawaban yang keluar dari bibir
merah basah itu
dengan hati berdebar tegang.
"Biarlah! Asalkan, Kakang tidak kebera-
tan," sahut gadis itu tersipu malu.
Merasa yakin kalau gadis itu memiliki pe-
rasaan yang sama dengannya, maka Panggali
mengulur tangan menggandeng bahu tubuh ramp-
ing di sampingnya. Hatinya berdebar gembira keti-ka tidak merasakan adanya
penolakan. Senja pun jatuh, meneduhi hati kedua in-
san yang kini sudah saling cinta itu.
SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Aura PandRa
Pendekar Cacad 19 Istana Kumala Putih Karya O P A Pendekar Patung Emas 1
untuk membabat kedua kaki Eyang Sanca Wisesa,
orang tua yang telah mendidiknya dari kecil.
Crakkk! Crakkk!
"Aaarghhh...!"
Kakek renta itu meraung setinggi langit ke-
tika sepasang kakinya tertebas putus hampir
mencapai pangkal paha. Tubuhnya bergulingan
bermandikan darah segar yang langsung menyem-
bur dari luka di kedua kakinya.
Belum lagi siksaan itu berkurang, pedang
di tangan Kuncara kembali menebas dua kali.
Crasss! Crakkk!
Raung kesakitan kembali terdengar mero-
bek angkasa. Tubuh kakek yang malang itu kem-
bali bergulingan didera sengsara. Untunglah
Eyang Sanca Wisesa telah jatuh pingsan, sehingga rasa sakit yang meremas
jantungnya tidak lagi di-rasakan.
"Bagus, Kuncara. Ayo, kita tinggalkan tem-
pat ini. Biarkan saja tubuh tua bangka itu," perintah Nyai Kalawirang sambil
menarik tangan Kun-
cara dan membawanya pergi.
"Ha ha ha...! Selamat menikmati penderi-
taan, Sanca Wisesa," ledek Singa Gurun Setan sambil melangkahkan kakinya
mengikuti Nyai Ka-
lawirang dan Kuncara yang sudah lebih dulu me-
ninggalkan tempat itu.
Tinggallah tubuh sengsara Eyang Sanca
Wisesa terkapar tak berdaya. Hanya semilir angin puncak Gunung Langkeng saja
yang masih setia
menemaninya. *** Pemuda bertubuh tegap itu melangkah lesu
dengan wajah tertunduk. Menilik dari garis-garis wajahnya, jelas kalau dia
tengah menderita pukulan batin yang amat berat. Pakaian yang dikena-
kannya pun lusuh dan kumal, menandakan kalau
dia telah cukup lama tidak menggantinya.
"Ohhh..., mengapa semua itu harus kula-
kukan..." Bagaimana mungkin aku bisa terjatuh
ke dalam pelukan wanita iblis itu...?" gumam pemuda berwajah gagah itu penuh
sesal. Dengan wajah geram, ditendangnya sebutir
kerikil untuk melampiaskan kekesalan hatinya.
Pemuda gagah yang tak lain dari Panggali itu
menghenyakkan tubuhnya di tepi jalan, di bawah
sebatang pohon. Ditengadahkan wajahnya, men-
coba mengingat kejadian yang menimpa dirinya.
Masih terbayang jelas dalam ingatan Pang-
gali, ketika keesokan pagi setelah ia dan Kuncara dipanggil Eyang Sanca Wisesa,
ia pergi menyelidiki ke dalam Hutan Langkeng. Tekadnya yang bulat
ingin menangkap basah Kuncara, ternyata telah
menyebabkannya terusir dari puncak Gunung
Langkeng. Memang benar, ia telah berhasil mene-
mukan wanita genit yang pernah dilihatnya ber-
sama Kuncara. Bahkan saat itu, wanita genit yang dicurigainya tengah bersama
seorang kakek raksasa bermuka singa. Namun, setelah Panggali ber-
tarung dan dikalahkan, ia tidak ingat apa-apa lagi.
Ia pun tidak mengerti, mengapa tahu-tahu saja
sudah berada di dalam gua bersama wanita genit
itu, saat didatangi gurunya. Apalagi saat itu, keadaannya benar-benar sangat
memalukan. "Ahhh..., apa sebenarnya yang terjadi den-
gan diriku...?" desah Panggali seraya menekap wajahnya dengan kedua telapak
tangan. Sepertinya pemuda itu sudah tidak mem-
pedulikan lagi keadaan dirinya yang mirip seorang gembel yang selalu mengganggu.
Pikirannya hanyalah, perbuatan terkutuk dan amat memalukan
itu. "Hhh..., aku harus mencari tahu, apa yang
telah menyebabkan aku melakukan perbuatan
memalukan itu. Satu-satunya orang yang harus
kucurigai hanyalah Kuncara. Ya! Pasti dia menge-
tahui semua ini. Bahkan bukan tidak mungkin ka-
lau semua ini adalah rencana nya yang diatur bersama wanita iblis itu. Hm....
Awas kau, Kuncara!
Tunggulah pembalasanku...!" geram Panggali sambil mengepalkan tinjunya kuat-
kuat. Namun, semangat pemuda itu kembali lun-
tur ketika teringat wanita cantik dan kakek muka singa yang amat lihai itu.
Dugaannya kalau kedua orang itu bersekutu dengan Kuncara membuatnya
menjadi lemas. Sebab, tidak mungkin mengalah-
kan kedua orang itu. Jangankan maju bersama-
sama, untuk mengalahkan salah satu dari mereka
saja jelas tidak mungkin Entah, bagaimana ca-
ranya ia dapat membongkar kebusukan Kuncara.
Untuk meminta bantuan gurunya, jelas tidak bisa
diharapkan. "Ohhh..., apa yang harus kulakukan" Ke-
pada siapa aku bisa meminta bantuan" Mengha-
dapi mereka seorang diri, sama saja bunuh diri.
Ohhh..., Tuhan. Tolonglah hambamu...," desah Panggali putus asa.
Dalam keadaan hampir putus asa itu, tiba-
tiba Panggali teringat cerita gurunya tentang tokoh-tokoh persilatan. Wajahnya
segera ditenga-
dahkan memandang hamparan langit biru. Seo-
lah-olah ia ingin mengingat semua yang pernah
diceritakan gurunya tentang pendekar-pendekar
pembela kebenaran.
"Ketahuilah, Muridku. Meskipun dalam
dunia ini banyak terdapat orang kejam berhati iblis, tapi tidak sedikit pula
yang berjiwa bersih. Ke-lompok orang berjiwa bersih itu dinamakan pen-
dekar-pendekar pembela kebenaran. Dan mereka
tidak segan-segan turun tangan membela orang-
orang lemah tanpa pamrih. Untuk menjadi orang
seperti itulah kalian kudidik di tempat ini."
Panggali mengusap wajahnya perlahan ke-
tika teringat wejangan gurunya. Perlahan ia bangkit berdiri, dan mengayun
langkah memasuki per-
batasan sebuah desa.
"Desa Teja Mukti...," bibir pemuda tegap itu menggerimit. membaca tulisan yang
terdapat pada tiang batu di tepi jalan. "Apakah pendekar-
pendekar yang diceritakan Eyang Sanca Wisesa
ada di Desa Teja Mukti ini" Kalau ada, bagaimana aku bisa mengetahui kalau ia
seorang pendekar
yang dimaksud eyang?"
Cukup lama Panggali termenung memikirkan hal
itu. Ia yang dari kecil tidak pernah berhubungan dengan dunia luar, tentu saja
menjadi bingung.
Seperti diketahui, selama ini ia hanya tinggal di atas puncak Gunung Langkeng.
Tidak ada orang
lain yang menemaninya, selain Kuncara dan
Eyang Sanca Wisesa. Maka wajar saja kalau pe-
muda gunung itu buta akan kehidupan luar Pun-
cak Gunung Langkeng. Dan ia pun tidak tahu,
siapa orang-orang yang disebut sebagai pendekar.
Karena, cerita itu hanya didengar dari mulut gu-
runya saja. "Hm.... Orang yang kucari adalah pendekar
pemberantas kejahatan," gumam pemuda itu
sambil menjentikkan jarinya.
Senyum di wajah Panggali segera mengembang.
Sepertinya, dia telah menemukan cara untuk
mencari orang yang disebut sebagai pendekar itu.
Maka, bergegas kakinya mulai melangkah mema-
suki batas Desa Teja Mukti.
Tak berapa lama kemudian, Panggali tiba
di mulut desa. Bagaikan orang bodoh, sepasang
matanya berputar merayapi rumah-rumah di seki-
tarnya. Sepasang mata pemuda itu bam berhenti
ketika pandangannya tertumbuk pada sebuah ke-
dai makan yang tampak ramai dikunjungi orang.
Setelah mengacak-acak rambutnya hingga wajah-
nya tampak seram, pemuda itu pun mengayun
langkahnya memasuki kedai. Dipilihnya salah sa-
tu meja yang kosong.
"Makan...!" teriak Panggali sambil mengge-brak meja hingga menimbulkan suara
berderak rebut. Sebelah kaki pemuda itu naik ke atas kur-si. Sedangkan tangan kanannya
berada di ping-
gang. Sikap pemuda itu sudah tak ubahnya seo-
rang jagoan pasar.
Puluhan pasang mata serentak menoleh ke
arah Panggali. Beberapa di antaranya tampak
memandang dengan sinar mata tak senang. Se-
dangkan yang bernyali kecil, langsung saja angkat kaki meninggalkan kedai makan.
Maka dalam sekejap saja, hiruk-pikuklah suasana di dalam kedai
makan itu. "Hm.... Taruh kembali makanan itu. Biar
kuberi pelajaran orang yang tak tahu adat ini," geram seorang lelaki brewok
bertubuh gemuk.
Sambil berkata demikian, tangannya yang
besar dan berbulu lebat itu mendorong pelayan setengah baya. Sehingga, pelayan
yang semula hen-
dak menyiapkan permintaan Panggali, kembali ke
tempatnya semula.
Dengan langkah lebar, lelaki gemuk berwa-
jah brewok itu menghampiri Panggali. Langkahnya
sengaja diberat-beratkan, hingga menimbulkan
suara berdebum. Hal itu dimaksudkan untuk
membuat Panggali gentar.
"Kisanak! Tidak dapatkah kau berlaku se-
dikit sopan" Sadarkah kau, kalau caramu itu bisa menimbulkan kemarahan orang?"
bentak lelaki brewok itu yang menghentikan langkahnya beberapa tindak dari
tempat Panggali.
Bentakan keras itu sama sekali tidak
membuat Panggali gentar. Dipandanginya orang
itu dari ujung kaki sampai ujung rambut. Satu patah kata pun tidak terlontar
dari bibirnya sebagai jawaban atas pertanyaan tadi. Sebaliknya, Panggali malah
melontarkan pertanyaan setelah selesai
mengamati orang itu.
"Apakah kau seorang pendekar...?" tanya Panggali penuh harap.
Pertanyaan yang dianggap lucu itu tentu
saja membuat lelaki brewok dan beberapa orang
lainnya tertawa terbahak-bahak. Sehingga, Pang-
gali menjadi heran dibuatnya.
"Apakah pertanyaanku salah...?" ujar pemuda tegap itu mengedarkan pandangannya
den- gan wajah ketololan.
"Ha ha ha...!"
Kembali orang-orang yang masih tinggal di
dalam kedai makan itu tertawa mendengar perta-
nyaan Panggali. Bahkan beberapa orang di anta-
ranya jatuh terduduk sambil memegangi perut
yang terasa mules.
"Ha ha ha...! Kukira kau perampok kesa-
sar. Tak tahunya hanya seorang pemuda gila!" ledek lelaki brewok itu seraya
tertawa terpingkal-
pingkal. Ia benar-benar tidak bisa menahan ta-
wanya ketika mendengar pertanyaan yang baginya
jelas sangat lucu.
Melihat betapa semua orang yang berada di
kedai itu mentertawai pertanyaannya, keheranan
Panggali seketika berubah menjadi kemarahan.
Digebraknya meja kuat-kuat dengan wajah merah
padam. "Bangsat! Rupanya kalian semua sengaja hendak mengejekku! Apa dipikir aku
tidak bisa menampar mulut kalian yang kurang ajar!" bentak Panggali, menggelegar.
Tentu saja bentakan yang didorong tenaga
dalam tinggi itu sangat mengejutkan. Tawa yang
riuh rendah langsung lenyap seketika. Bahkan be-
berapa orang di antaranya yang jelas tidak memi-
liki kepandaian silat, langsung terduduk lemas di atas kursinya. Wajah mereka
pun pucat pasi akibat bentakan yang mengguncangkan jantung itu.
"Dasar orang gila! Mulutmulah yang harus
kutampar...!" seru lelaki brewok itu balas memaki Panggali.
Seperti ingin membuktikan ucapannya, la-
ki-laki brewok itu langsung mengayun tangan me-
nampar mulut pemuda yang dianggap orang gila.
"Ha..."
Melihat datangnya tamparan yang baginya
lambat itu, Panggali hanya mengeluarkan suara
mengejek. Tamparan itu sama sekali tidak dielak-
kan. Karena sekali melihat saja, langsung dapat
dinilai kalau lelaki brewok itu hanya mengguna-
kan tenaga kasar dalam melakukan tamparan.
Plakkk! "Aaaduhhh...!"
Lelaki gemuk brewok itu berteriak kesaki-
tan ketika tamparannya tepat menghantam pipi
Panggali. Tubuh gemuk itu kontan terjajar mun-
dur menabrak meja di belakangnya, hingga me-
nimbulkan suara hiruk-pikuk.
Orang-orang yang berada di dalam kedai
itu melongo keheranan. Jelas-jelas mereka melihat wajah pemuda itu terkena
tamparan. Tapi, mengapa yang terjatuh justru orang yang menampar"
Benar-benar tak masuk akal kejadian itu.
Sedangkan bagi Panggali sendiri, hal itu
bukanlah sesuatu yang aneh. Sebagai murid ke-
sayangan Eyang Sanca Wisesa, tentu saja dia telah memiliki tenaga dalam tinggi.
Dan tenaga itu dis-alurkannya ke wajah, untuk melindungi dari tam-
paran si brewok. Tentu saja lelaki brewok yang tidak memiliki tenaga dalam
terjungkal dibuatnya.
"Pemuda iblis...!" desis beberapa orang pengunjung kedai yang tidak mengerti
ilmu silat. Mereka langsung mengambil langkah seri-
bu, meninggalkan kedai itu. Sedangkan empat
orang lainnya termasuk si brewok, langsung men-
gurung Panggali dengan senjata terhunus. Menilik gerakannya, jelas kalau mereka
Pendekar Naga Putih 22 Tragedi Gunung Langkeng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hanyalah memiliki ilmu silat pasaran yang mengandalkan tenaga kasar saja.
Panggali hanya bergumam menghadapi ku-
rungan empat orang kasar itu. la pun melesat ke-
luar kedai karena tidak ingin merugikan pemilik
kedai. "Bangsat! Mau lari ke mana kau, Pemuda Gila...!" teriak lelaki brewok itu
sambil melompat mengejar.
Perbuatan lelaki brewok itu diikuti ketiga
orang kawannya. Mereka kembali langsung men-
gurung Panggali di depan kedai. Pemuda itu me-
mang sengaja menunggu pengeroyoknya. Dan ba-
ginya, memang lebih baik bertarung di luar kedai agar orang yang menyaksikannya
lebih banyak. Tentu saja dengan harapan, agar ada pendekar
yang ikut melihat perbuatannya.
"Serbu....!" seru laki-laki brewok itu sambil melompat maju disertai ayunan
senjatanya. Panggali berdiri tenang menghadapi empat
batang golok yang mengancamnya. Begitu seran-
gan tiba, tubuh pemuda itu menyelinap di antara
sinar golok pengeroyoknya. Gerakan itu dibarengi kibasan tangan yang hampir
tidak terlihat mata.
Wuttt! Wuttt! Plakkk! Plakkk! Plakkk!
Sekali bergerak saja, empat orang pengeroyok
langsung jatuh berdebuk di atas tanah. Senjata-
senjata mereka terpental entah ke mana. Terden-
gar rintih kesakitan dari mulut keempat orang kasar itu. Karena, masing-masing
telah terkena tamparan tangan Panggali yang cukup untuk meng-
hentikan keroyokan.
Pemuda gagah bertubuh tegap itu berdiri
memandangi tubuh keempat pengeroyoknya. Pada
wajahnya tampak jelas kekecewaan melihat penge-
royoknya dapat dirobohkan hanya sekali gebrak
saja. Dan hal ini justru membuat Panggali kecewa.
Lamunan pemuda itu mendadak buyar ke-
tika terdengar bentakan keras mengandung tenaga
dalam. "Manusia keparat dari mana yang berani
mengacau desa ini...!" bentak suara berat itu.
Sebentar kemudian, berkelebat dua sosok
tubuh ke tengah bekas arena pertarungan.
Panggali cepat menolehkan kepala dengan
senyum lebar menghias wajah. Sebab dari benta-
kan itu, jelas terkandung tenaga dalam tinggi.
Bayangan tentang pendekar rimba persilatan pun
melintas di benaknya.
"Hm.... Kedua orang itu pasti yang dinama-
kan pendekar," gumamnya penuh harap.
Dan tanpa membuang-buang waktu lagi,
Panggali pun memutar tubuhnya langsung me-
langkah mendekati kedua orang yang baru tiba.
Kedua orang yang baru tiba itu langsung
menghunus senjata begitu melihat Panggali me-
langkah mendekati. Melihat dari pakaian dan
rambut pemuda itu, mereka menduga kalau Pang-
gali adalah orang gila.
"Aha.... Kalian pasti pendekar-pendekar
rimba persilatan. Ayo, majulah. Serang aku...,"
tantang Panggali, persis seperti orang kurang waras.
"Kurang ajar! Dasar orang gila! Ayo kita
tangkap dia, Kakang Jumena...," ujar laki-laki berkepala botak yang memiliki
tubuh kekar berotot.
Setelah berkata demikian, laki-laki besar itu langsung melesat sambil
menyabetkan pedang dengan
gerakan menyilang.
Lelaki tinggi kurus yang dipanggil Jumena
itu segera melesat menyusuli kawannya. Pedang di tangannya berputar membentuk
gulungan sinar menyilaukan mata. Sepintas saja, dapat ditebak
kalau orang yang bernama Jumena itu memiliki
kepandaian yang lebih tinggi dari kawannya. Hal
itu dapat dilihat dari caranya memainkan senjata.
"Hiaaattt..!"
Wuttt! Bettt! "Bagus...!" puji Panggali gembira sambil menggeser kaki kanannya ke samping
dengan ku-da-kuda rendah.
Sambil mengelak sepasang tangannya
langsung melontarkan dua buah pukulan ke arah
perut dan dada kedua orang pengeroyoknya.
Zebbb! Wukkk! Serangan balasan yang cepat dan kuat itu
tentu saja membuat kedua orang lawan terkejut.
Cepat keduanya memutar tubuh, membentuk
lingkaran. Itu dilakukan untuk menghindari an-
caman pukulan Panggali. Bahkan mereka lang-
sung melancarkan serangan balasan yang cukup
berbahaya. "Ah.... Bagus...!" lagi-lagi terdengar pujian dari mulut Panggali.
Sambaran senjata lawan yang mengancam
leher dan lambung, dielakkan pemuda itu dengan
menarik mundur kaki depan sambil mendoyong-
kan tubuh ke belakang. Gerakan yang dilakukan
Panggali tidak berhenti sampai di situ saja. Pemu-da bertubuh tegap itu langsung
membalas dengan
pukulan dan tendangan cepat dan mengejutkan.
Namun, kekompakan gerak kedua orang
lawannya itu memang benar-benar hebat. Sehing-
ga, Panggali semakin gembira dibuatnya.
Pertarungan yang cukup seru dan ramai
itu tentu saja menarik perhatian penduduk Desa
Teja Mukti. Sehingga setelah pertarungan berlangsung selama dua puluh jurus,
tempat itu sudah
dipadati penduduk setempat.
"Dalam beberapa jurus lagi, kedua orang
pembantu kepala desa itu pasti akan kalah, Ka-
kang...," bisik seorang dara jelita berpakaian hijau.
Gadis itu berdiri di antara kerumunan
penduduk di samping seorang pemuda tampan
yang mengenakan jubah putih. Melihat dari sikap
dan caranya menilai, jelas kalau dara jelita itu memiliki kepandaian silat yang
cukup tinggi. "Ya! Kerjasama kedua orang itu memang
cukup baik. Tapi sayang, pemuda yang dikira
orang gila itu memiliki kepandaian di atas mereka.
Bahkan sepertinya tidak bersungguh-sungguh da-
lam menghadapi keroyokan lawannya. Entah apa
maksudnya membuat kekacauan desa ini?" sahut pemuda tampan itu yang juga
berbisik. Sedangkan
sepasang matanya yang tajam, tetap tidak beralih dari arena pertarungan.
"Hiaaat..!"
Ketika pertarungan telah memasuki jurus
yang kedua puluh lima, tiba-tiba saja Panggali
berseru nyaring mengejutkan kedua orang penge-
royoknya. Berbarengan teriakan itu, tiba-tiba saja gerakannya dirubah.
Wuttt! Wukkk! Apa yang dilakukan Panggali benar-benar
mengejutkan. Sepasang tangannya mengibas ke
kiri-kanan, menimbulkan sambaran angin kuat.
Rupanya, pemuda tegap itu telah mengeluarkan
salah satu ilmu andalannya, 'Pukulan Memecah
Badai'. Bukan hanya kedua orang pengeroyok itu
saja yang menjadi terkejut melihat perubahan ge-
rak lawan. Bahkan dara jelita berpakaian hijau
dan pemuda tampan berjubah putih itu juga me-
mandang kagum. "Lihat! Pemuda itu mulai mengeluarkan il-
mu andalannya...," bisik pemuda berjubah putih, persis di telinga dara jelita
yang berdiri di samping
kirinya. "Apa tidak membahayakan kedua orang pembantu kepala desa itu,
Kakang...?" tanya dara berpakaian serba hijau itu terlihat agak camas.
"Lihat saja...," sahut pemuda berjubah putih itu sambil tetap mengikuti jalannya
pertarungan. Saat itu, Jumena dan orang berkepala bo-
tak tampak sudah semakin terdesak hebat. Seran-
gan-serangan Panggali yang menimbulkan samba-
ran angin kuat benar-benar membuat mereka tak
berkutik. Sehingga, mereka hanya dapat bermain
mundur tanpa mampu melancarkan serangan ba-
lasan. "Hihhh...!"
Sambil membentak, Panggali mendorong-
kan kedua telapak tangannya ke depan. Serangan
angin kuat menyambar kedua orang pengeroyok
yang hanya bisa memandang dengan wajah pucat.
Wusss! Namun tanpa ada yang menyadari, tiba-
tiba berkelebat sebuah bayangan putih yang lang-
sung memapak serangan Panggali.
Bresss! Terdengar benturan keras yang membuat
udara di sekitar tempat itu bergetar keras. Bahkan disusul dengan terlemparnya
tubuh Panggali sejauh dua batang tombak ke belakang.
Namun, kelincahan pemuda bertubuh te-
gap itu memang patut dipuji. Dengan beberapa
kali putaran manis, daya lontar itu berhasil dipu-nahkan. Sehingga, Panggali
dapat mendarat manis
di tanah. Meskipun ketika menyentuh tanah gera-
kannya limbung, tapi perbuatan pemuda itu telah
membuat para penduduk terpukau kagum.
Sementara, di tengah arena pertarungan
telah berdiri gagah sesosok tubuh berjubah putih.
Sedangkan Jumena dan lelaki kekar berkepala bo-
tak yang mengeroyok Panggali masih berdiri pucat di belakang sosok tubuh itu.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Kisa-
nak," lirih dan agak bergetar ucapan lelaki tinggi kurus yang bernama Jumena
itu. Karena, saat itu
hatinya masih diliputi ketegangan.
Sedangkan sosok berjubah putih itu men-
gangguk ramah sambil memamerkan senyum lem-
but. *** 8 "Siapa kau, Kisanak.." Tenaga dalammu
hebat sekali...," seru Panggali merasa terkejut bukan main merasakan kekuatan
tenaga dalam pe-
muda berjubah putih itu.
"Namaku, Panji. Orang-orang rimba persi-
latan menjulukiku sebagai Pendekar Naga Putih.
Kalau boleh kutahu, siapakah namamu dan men-
gapa kau seperti sengaja mencari keributan?" sahut Panji yang balik melontarkan
pertanyaan. Na-
da suara pemuda itu sama sekali tidak mengan-
dung permusuhan. Bahkan terkesan bersahabat.
"Pendekar Naga Putih... Pendekar Naga Pu-
tih...," gumam Panggali mencoba mengingat-ingat.
Jelas, sepertinya ia pernah mendengar julukan itu sebelumnya.
Pemuda tampan berjubah putih yang me-
mang Pendekar Naga Putih itu memandang Pang-
gali dengan kening berkerut. Tadi julukannya sengaja diperkenalkan, sebab sempat
didengar tadi kalau pemuda bertubuh tegap itu seperti sengaja
hendak mencari orang yang menggunakan julukan
pendekar. Maka, dirinya diperkenalkan untuk me-
lihat tanggapan pemuda gagah itu.
"Ahhh..., aku ingat sekarang. Guru pernah
bercerita tentang seorang pendekar muda yang te-
lah mengguncangkan dunia persilatan pada masa ini.
Dan pendekar muda itu berjuluk Pendekar Naga
Putih, Kaukah pendekar muda itu, Kisanak..?"
tanya Panggali dengan suara penuh harap. Bah-
kan tatapan sepasang matanya pun jelas meng-
gambarkan harapan.
"Seingatku, julukan Pendekar Naga Putih
adalah pemberian orang-orang rimba persilatan.
Sedangkan tentang terguncangnya dunia persila-
tan karena kehadiranku, sama sekali tidak kuke-
tahui. Jadi, maaf kalau aku tidak bisa menjawab
pertanyaan itu," sahut Panji, seolah-olah merasa menyesal karena tidak bisa
memberi jawaban yang
memuaskan. "Aku tidak peduli semua itu. Yang kubu-
tuhkan adalah seorang pendekar sakti. Karena,
aku sangat membutuhkan bantuannya. Kulihat
kepandaianmu tadi sangat hebat. Tapi, aku belum
begitu yakin kalau belum mencoba secara sung-
guh-sungguh. Sekarang bersiaplah! Jaga dirimu
baik-baik kalau tidak ingin celaka atau tewas ka-renanya," tegas Panggali tanpa
senyum. Dan begitu ucapan pemuda itu selesai, ke-
dua telapak kakinya bergeser membentuk kuda-
kuda seperti menunggang kuda. Gerakan itu diba-
rengi putaran sepasang tangannya kemudian ber-
gerak turun naik seiring langkah kakinya.
Bettt! Bettt! Panji sempat tertegun melihat akibat yang
ditimbulkan gerakan lawan. Hembusan angin ke-
ras yang menerpa tubuhnya, membuat pemuda
tampan ini sadar akan bahayanya serangan itu.
"Kisanak! Jangan gegabah! Perbuatanmu
ini sangat berbahaya...!" seru Panji mengingatkan.
Tapi karena Pendekar Naga Putih melihat
pemuda itu seperti tak peduli, maka napasnya
disedot dalam-dalam. Dikerahkannya 'Tenaga Sak-
ti Gerhana Bulan' untuk menghadapi gempuran
yang sudah pasti sangat dahsyat itu.
Wusss! Hawa dingin menusuk tulang langsung
menyebar berbarengan dengan terbentuknya lapi-
san kabut putih bersinar yang menyelimuti selu-
ruh tubuh pemuda tampan itu.
"Sambutlah pukulanku! Hiaaattt..!"
Pendekar Naga Putih 22 Tragedi Gunung Langkeng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Diawali teriakan mengguntur, tubuh Pang-
gali langsung melesat disertai dorongan kedua telapak tangannya dalam jurus
'Pukulan Memecah
Badai' yang konon kedahsyatannya tidak diragu-
kan. Sadar betapa berbahayanya serangan la-
wan, maka tubuh Panji pun segera melesat me-
mapak dengan dorongan sepasang telapak tangan.
"Hiattt..!"
Blarrr...! Ledakan keras terdengar menggetarkan
udara di sekitar arena pertarungan, disusul ber-pentalnya tubuh Panggali
diiringi suara jerit ken-geriannya.
Brugkh! Kembali suara berdebuk keras terdengar
ketika tubuh Panggali terbanting ke atas tanah.
Pemuda bertubuh tegap itu menggigil bagaikan
terserang demam hebat. Bahkan di sekeliling tu-
buhnya, muncul kabut putih yang menandakan
kalau 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' telah merasuk
ke dalam tubuhnya.
Sedangkan Panji sendiri, tetap tak bergem-
ing di tempatnya. Walaupun tenaga dalamnya ti-
dak dikerahkan sampai ke puncak, namun sudah
cukup untuk menghadapi gempuran Panggali. Hal
itu tentu saja sudah diketahuinya sejak semula.
Entah apa yang akan dialami Panggali apabila
Pendekar Naga Putih mengerahkan tenaga sepe-
nuhnya. Melihat keadaan lawan, Panji pun bergegas
menghampiri. Pemuda itu membungkukkan tu-
buh, memeriksa tubuh Panggali. Menilik dari wa-
jah Pendekar Naga Putih yang tenang setelah me-
meriksa tubuh lawannya, dapat ditebak kalau
nyawa pemuda itu masih bisa diselamatkan.
Panji menjejalkan sebutir obat pulung ber-
warna merah setelah memijat dan menghapus da-
rah di sudut bibir pemuda itu. Semua perbuatan-
nya dilakukan cepat dan penuh ketelitian.
Tak berapa lama kemudian, terlihat Pang-
gali mulai membuka kedua kelopak matanya. Se-
nyumnya langsung mengembang begitu melihat
wajah Panji di dekatnya.
"Jelas, kaulah orang yang kucari-cari, Pen-
dekar Naga Putih. Marilah kita segera pergi ke
Gunung Langkeng. Di sanalah kepandaianmu di-
butuhkan," ajak Panggali begitu sadar dari ping-sannya. "Sabarlah, Kisanak.
Pulihkan dulu keseha-tanmu. Setelah itu, barulah kita bicarakan masa-
lah yang tengah kau hadapi itu," sergah Panji.
Bibir Pendekar Naga Putih tersenyum melihat se-
mangat dan ketabahan pemuda gagah itu. Lalu,
Panji bangkit dan melangkah mendekati Kenanga
yang tengah menantinya.
Setelah Panggali menyelesaikan semadi
dan menceritakan persoalannya, maka Panji dan
Kenanga mengikuti pemuda gagah itu. Tujuan me-
reka adalah Gunung Langkeng, tempat kediaman
Eyang Sanca Wisesa.
*** "Tolong.... Tolong...!"
Seorang gadis manis bertubuh ramping
dan berpakaian awut-awutan berlari cepat sambil
berteriak-teriak. Tidak dipedulikan lagi telapak kakinya yang telanjang sehingga
menginjak duri tajam. Wajahnya yang bulat telur itu, tampak pu-
cat dan basah oleh air mata.
"He he he...! Mau lari ke mana kau, Manis.
Percuma saja berteriak-teriak. Tempat ini sangat jauh dari perumahan penduduk,"
ujar seorang pemuda tampan bertelanjang dada yang menge-jarnya sambil tertawa
gembira. Gadis manis itu terus saja berlari tanpa
mempedulikan arah. Yang terpikir hanyalah mela-
rikan diri sejauh-jauhnya untuk menghindari pe-
muda tampan di belakangnya. Pakaian yang dike-
nakannya pun sudah semakin tak karuan. Banyak
sobekan di sana-sini akibat tersangkut ranting-
ranting pohon. Sedangkan pemuda tampan yang menge-
jarnya seperti sengaja mempermainkan gadis itu.
Padahal kalau dilihat dari caranya berlari, jelas kepandaian silatnya tidak
rendah. Sekilas saja,
sudah dapat ditebak kalau pemuda itu tidak ber-
sungguh-sungguh dalam melakukan pengejaran.
Sehingga, pemuda itu tak ubahnya bagai seekor
harimau yang mempermainkan buruannya.
Tengah asyiknya pemuda tampan itu mela-
kukan pengejaran sambil tertawa-tawa gembira,
tiba-tiba saja berkelebat sesosok bayangan yang
langsung menyambar tubuh gadis itu.
Weeesss.... Tappp!
"Auw...!"
Terdengar pekik tertahan dari gadis manis
itu ketika merasakan tubuhnya ditangkap dan
langsung dibawa terbang. Sekejap kemudian, so-
sok bayangan itu pun lenyap bersama gadis dalam
pondongannya. Keduanya menghilang begitu saja,
di balik semak belukar yang tumbuh rapat.
Bukan main terkejutnya pemuda tampan
itu ketika melihat buruannya lenyap disambar so-
sok tubuh yang memiliki gerakan cepat bagai kilat, sambil bertolak pinggang,
pemuda itu berdiri angkuh merayapi sekitarnya.
"Hei! Manusia pengecut! Tunjukkan dirimu
kalau benar-benar jantan! Jangan bisanya hanya
main sembunyi seperti maling!" bentak pemuda tampan itu mengerahkan tenaga
dalam. Sehingga,
gema suaranya terdengar jauh hingga belasan
tombak "Hm.... Siapa yang pengecut, Kuncara" Dan siapa pula maling itu?"
terdengar ejekan yang be-rasal dari belakang pemuda tampan bernama
Kuncara itu. Pemuda tampan bertelanjang baju itu me-
mang Kuncara. Rupanya, nafsu iblis yang dibang-
kitkan Nyai Kalawirang sudah semakin menggila.
Sehingga, pemuda itu mulai tidak puas hanya
dengan menggauli Nyai Kalawirang. Maka diculik-
nya gadis-gadis desa untuk dijadikan pemuas naf-
su iblisnya. "Oh! Rupanya kau, Panggali. Sedang apa
kau di sini, Murid Murtad?" ejek Kuncara.
Sama sekali dia tidak merasa gentar meli-
hat kedatangan Panggali. Sebab, ia yakin dengan
kepandaian yang dimilikinya sekarang. Jadi jelas, Panggali dengan mudah akan
dapat ditundukkan-nya. Itulah sebabnya, mengapa sikapnya demikian
sombong. "Setan! Kaulah murid murtad yang durha-
ka itu, Kuncara. Kau bukan saja telah memfitnah-
ku dengan menggunakan Nyai Kalawirang! Tapi
yang lebih keji lagi, kau tega menyiksa guru hanya karena tubuh molek wanita
iblis itu! Kau benar-benar manusia iblis! Sepantasnya, kau tidak hi-
dup bersama manusia! Lebih tepat kau bersama-
sama iblis-iblis Hutan Langkeng!" bentak Panggali.
Pemuda itu rupanya sudah mengunjungi
Gunung Langkeng dan menemukan tubuh sengsa-
ra gurunya. Dan memang, Eyang Sanca Wisesa
masih bisa diselamatkan karena Panggali, Pende-
kar Naga Putih, dan Kenanga cepat datang. Kemu-
dian Panji mengobatinya, agar darah yang keluar
dari tubuh tua itu berhenti. Dan ketika Eyang
Sanca Wisesa sadar, ia menyuruh Panggali untuk
mencari Kuncara, saudara seperguruannya yang
murtad itu. Kuncara sempat bergetar hatinya ketika
mendengar ucapan Panggali. Jelas, saudara seper-
guruannya itu telah kembali ke puncak dan me-
nemukan tubuh gurunya yang telah cacat. Kunca-
ra pun sadar, kalau Eyang Wisesalah yang telah
menyuruh pemuda itu untuk mencarinya. Namun,
semua perasaan itu kembali ditekannya. Dan si-
kapnya pun kembali sombong.
"Hm.... Rupanya kau sampai pula ke tem-
pat ini, Murid Emas?" kembali Kuncara mengejek disertai senyum liciknya.
"Setelah beberapa hari mengikuti jejakmu,
aku singgah di desa yang kehilangan gadis-gadis
dan pemuda-pemuda tampan. Sungguh tak ku-
sangka kalau itu semua adalah hasil perbuatan
biadabmu, Kuncara. Kau benar-benar telah beru-
bah menjadi iblis! Tak ada lagi hukuman yang le-
bih tepat untukmu, selain kematian!" bentak Panggali.
Semula Panggali hanya menduga bahwa
Kuncara hanya terbujuk rayuan Nyai Kalawirang
saja. Tapi setelah melihat dengan mata kepala
sendiri, Panggali benar-benar tidak mengerti. Mengapa Kuncara telah berubah
sedemikian jauhnya.
Sedikit pun tidak terlihat bekas-bekas hasil didikan Eyang Sanca Wisesa.
"Tidak usah berpura-pura suci, Panggali.
Bukankah kau juga pernah menikmati kehanga-
tan tubuh Nyai Kalawirang" Dan kalau sekarang
ingin menikmati gadis manis milikku itu, tidak
usah malu-malu. Ambillah. Aku masih bisa men-
cari yang lain," kata Kuncara mencoba mengingatkan tentang perbuatan Panggali
dengan Nyai Kalawirang. "Dasar manusia kotor! Jangan dikira aku
tidak tahu, mengapa aku sampai berbuat begitu.
Semua itu adalah hasil permainan sihir Singa Gu-
run Setan. Guru telah memberitahukan kepadaku.
Jadi jelas, perbuatanku itu sama sekali bukan karena kemauanku sendiri. Dan guru
pun telah me- nyadari kekeliruannya," sahut Panggali.
Rupanya pemuda itu telah mendapat pen-
jelasan dari Eyang Sanca Wisesa. Itu semua diceritakan gurunya setelah sembuh
berkat perawatan
Pendekar Naga Putih yang datang bersamanya.
"Jadi, apa maumu sekarang?" tantang
Kuncara dengan lagak sangat sombong.
"Menghukum mu! Aku akan membawamu
hidup atau mati ke hadapan Eyang Sanca Wisesa!
Bersiaplah...!" geram Panggali.
Pemuda itu segera mencabut keluar pe-
dang yang terselip di pinggangnya. Sengaja senjatanya digunakan, karena Kuncara
telah benar- benar lihai. "Hm.... Pantas nyalimu menjadi besar. Ru-
panya kau membawa teman," ejek Kuncara begitu melihat tiga sosok tubuh di
belakang Panggali. Salah satu di antaranya adalah gadis buruannya ta-
di. Sepasang mata pemuda itu pun sempat menyi-
pit ketika melihat seraut wajah yang amat jelita di antara ketiga orang itu.
"Ha ha ha.... Ada apa ribut-ribut, Kuncara"
Hei" Rupanya kita kedatangan daging-daging se-
gar hari ini."
Tiba-tiba saja terdengar suara serak yang meng-
gema. Belum lagi gema suara serak itu hilang, terdengar suara berdebum
mengiringi kemunculan
seorang kakek raksasa bermuka singa. Siapa lagi
kalau bukan Singa Gurun Setan si pemakan daging manusia.
Rupanya, penciumannya yang sudah seperti bina-
tang buas itu telah membaui daging-daging segar.
Sehingga, ia pun mendatangi sumber bau itu.
"Hik hik hik... Jangan serakah, Kakek Ra-
kus! Ingat! Dua orang anak tampan itu harus me-
nemaniku dulu sebelum dimasukkan ke dalam pe-
rut buncitmu," ujar suara merdu sosok tubuh ramping yang menyusuli kedatangan
kakek raksasa itu. Begitu tiba, sepasang mata wanita cantik berhati iblis itu
merayapi wajah Panji yang berada di belakang Panggali. Jelas, Nyai Kalawirang
merasa tertarik dengan pemuda tampan berjubah putih
itu. "Pendekar Naga Putih.... Merekalah de-
dengkot yang menyebabkan semua kejadian di
perguruanku. Keduanya memiliki kepandaian
sangat tinggi. Kuharap berhati-hatilah untuk
menghadapinya," seru Panggali.
Pemuda itu sengaja mengeraskan suaranya ketika
memanggil Pendekar Naga Putih. Hal itu dimak-
sudkan untuk membuat gentar hati kedua orang
tokoh sesat itu.
Setelah berkata demikian, Panggali kembali
menoleh ke arah Kuncara. Pedang terhunus di
tangannya sudah berputar membentuk gulungan
sinar yang membungkus tubuhnya.
"Mari kita selesaikan urusan kita, Kunca-
ra...!" dengus Panggali.
Pemuda itu segera bergerak mendekati
saudara seperguruannya yang murtad. Dan tanpa
basa-basi lagi dia langsung melompat menerjang
Kuncara. "Hiaaattt..!"
Wukkk! Wukkk! Melihat Panggali sudah mulai membuka
serangan, maka Kuncara pun tidak tinggal diam.
Tubuhnya melesat memapak serangan lawan. Se-
hingga dalam waktu yang singkat saja, keduanya
sudah terlibat sebuah pertarungan hidup atau ma-
ti. *** Sementara itu, Singa Gurun Setan dan
Nyai Kalawirang tengah menatap tajam ke arah
Panji. Dipandanginya pemuda tampan berjubah
putih itu dari atas ke bawah.
"Anak muda! Benarkah kau yang berjuluk
Pendekar Naga Putih," tanya Singa Gurun Setan seperti tak percaya.
Meskipun kakek bertubuh raksasa itu te-
Pendekar Naga Putih 22 Tragedi Gunung Langkeng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lah lama mendengar sepak terjang Pendekar Naga
Putih, namun sama sekali tidak menyangka kalau
orangnya ternyata masih demikian muda. Tentu
saja hal itu menimbulkan rasa ragu di hatinya.
"Benar! Akulah yang berjuluk Pendekar
Naga Putih. Apakah penampilanku mengecewa-
kanmu?" tanya Panji seraya tersenyum tenang.
Kemudian, pemuda itu melangkah maju se-
telah terlebih dahulu membisikkan sesuatu ke te-
linga kekasihnya.
"Awasi pertarungan itu. Kulihat, kepan-
daian Panggali masih di bawah kepandaian Kun-
cara," bisik Panji sebagai isyarat agar kekasihnya bersiap-siap turun tangan
apabila Panggali terdesak. Panji menghentikan langkahnya dalam ja-
rak satu setengah tombak dari kedua orang tokoh
sesat itu. Sikapnya terlihat tetap tenang, dengan wajah terhias senyum.
"Tidak perlu banyak cakap lagi, Singa Gu-
run Setan. Melihat dari sikapnya yang tenang, jelas pemuda ini berisi. Kita
harus menyingkirkan-
nya sebelum membuat susah," ujar Nyai Kalawirang yang mulai percaya akan ucapan
Panggali tentang Pendekar Naga Putih.
"Benar! Tidak peduli siapa pun dirimu,
Anak Muda. Yang jelas, hari ini kau akan menjadi santapanku!" ancam Singa Gurun
Setan mengge-ram bagai seekor singa jantan.
Sepasang tangan kakek bertubuh raksasa
itu terkembang membentuk cakar. Dan itu pun
masih dibarengi tatapan matanya yang mengan-
dung kekuatan sihir.
Jangan dipandang rendah tatapan sepa-
sang mata kakek raksasa itu. Akibatnya, lawan
yang tidak terlatih kuat tenaga dalamnya akan
terpaku hanya karena pandangan tajam menusuk
jantung itu. Tapi, yang kali ini dihadapi Singa Gurun
Setan adalah Pendekar Naga Putih. Dan pemuda
itu telah sangat berpengalaman dalam menghada-
pi berbagai jenis ilmu sihir. Sekali pandang saja, Panji langsung dapat menilai
kalau kepandaian
sihir yang dimiliki lawannya ini terhitung masih rendah tingkatannya. Sehingga
untuk menghadapinya, ia tidak perlu menggunakan Pedang Naga
Langit yang tergantung di punggung.
"Heeeaaa...!"
Dibarengi bentakan menggeledek, Singa
Gurun Setan mulai membuka serangan. Tubuh-
nya yang tinggi besar itu meluruk disertai sambaran kuku-kukunya yang mengandung
racun ga- nas. Melihat lawan sudah mulai menyerang,
Panji bergegas mengerahkan tenaga dalamnya. Se-
lapis kabut bersinar putih keperakan mulai me-
nyebar mengelilingi tubuhnya. Munculnya lapisan
kabut yang melindungi sekujur tubuh Panji, ter-
nyata disertai tiupan hawa dingin menusuk tu-
lang. Bukan main terperanjatnya Nyai Kalawi-
rang menyaksikan lapisan kabut dan hawa dingin
menusuk itu. Sadar kalau pemuda yang menjadi
lawannya memang benar-benar Pendekar Naga
Putih, maka wanita itu pun segera melesat mem-
bantu kawannya.
"Haittt..!"
Sambil melompat, wanita cantik berhati ib-
lis itu langsung mengeluarkan senjata ampuhnya.
Cambuk mata sembilan di tangannya meluncur
mematuk-matuk ke sembilan jalan darah kema-
tian di tubuh lawannya. Benar-benar sebuah se-
rangan keji yang berbahaya.
Tapi, Pendekar Naga Putih pun sudah tidak
akan bersikap lunak lagi. Setelah mendengar se-
pak terjang kedua orang itu dari Panggali, Panji berniat melenyapkan kedua tokoh
sesat kawakan yang sudah tidak mungkin disadarkan kembali.
Terbukti, perbuatan balas dendam mereka terha-
dap Eyang Sanca Wisesa yang di luar batas peri-
kemanusiaan. Padahal kakek itu pernah mengam-
puni mereka dengan harapan agar dapat sadar.
Tapi kenyataannya, mereka semakin ganas dan
brutal. Maka, Panji pun tidak mempunyai pilihan
lagi selain melenyapkan mereka.
Itulah sebabnya, mengapa begitu memapak
serangan kedua orang lawannya, Pendekar Naga
Putih langsung mengeluarkan 'Ilmu Silat Naga
Sakti'nya. Padahal, biasanya ilmu andalan itu
hanya digunakan apabila sudah sangat terdesak.
Tak lain, karena ingin mempersingkat pertarun-
gan, Panji langsung mengerahkannya.
Tentu saja gempuran yang dilakukan pemuda itu
hebat bukan kepalang. Sambaran-sambaran cakar
naganya yang diiringi hawa dingin menusuk,
membuat kedua orang lawannya bagaikan dikeli-
lingi benteng salju. Apalagi serangan-serangan
yang dilancarkan mereka, selalu saja terpental balik akibat lapisan kabut yang
mengelilingi tubuh pemuda berjubah putih itu. Dapat dibayangkan,
betapa terkejutnya hati kedua tokoh sesat itu melihat kehebatan lawannya kali
ini. "Yeaaattt..!"
Memasuki jurus yang keempat puluh, Sin-
ga Gurun Setan yang merasa penasaran tiba-tiba
memekik nyaring. Sepasang tangannya yang besar
dan berbulu lebat itu menyambar cepat menim-
bulkan deru angin keras.
Wuttt! Wukkk! Sepasang cakar beracun kakek raksasa itu
meluncur deras mengancam dada dan lambung
Pendekar Naga Putih. Melihat kecepatan dan ke-
kuatannya, jelas kalau Singa Gurun Setan telah
mengeluarkan segenap tenaga dalamnya. Tentu
saja serangan itu tidak bisa dibuat main-main.
Belum lagi sambaran maut itu tiba, Nyai
Kalawirang membarenginya dengan lecutan cam-
buk mata sembilan yang meledak-ledak menulikan
telinga. Kesembilan mata cambuk wanita genit itu langsung meluncur ke titik-
titik terlemah di tubuh Pendekar Naga Putih. Sungguh berbahaya keadaan pemuda
itu. Namun Pendekar Naga Putih yang seka-
rang, bukanlah pendekar hijau. Puluhan pengala-
man bertarung yang pernah dihadapinya, telah
membuat perhitungan pemuda itu semakin masak
dan teliti. Maka ketika serangan dari berbagai arah
itu datang mengancam tubuhnya, Pendekar Naga
Putih segera menarik rapat kedua telapak kakinya dan merendahkan tubuh dengan
menekuk lutut. Sepasang tangannya yang semula merangkap di
depan dada, di-sentakkan ke kiri kanan disertai
luncuran tubuhnya.
"Heaaat...!"
Hebat sekali jurus 'Naga Sakti Naik ke Lan-
git' yang dipancarkan Pendekar Naga Putih. Se-rangkum hawa dingin yang amat kuat
bergelom- bang mengiringi luncuran tubuhnya.
Bresss...! "Aaakh...!"
Terdengar jerit kesakitan yang disusul ter-
pentalnya tubuh kedua orang lawannya. Hanta-
man sepasang tangan Pendekar Naga Putih yang
mengibas, ternyata mampu membuat mereka tak
sanggup bertahan. Memang hebat jurus yang dike-
rahkan Pendekar Naga Putih. Sehingga, tubuh ke-
dua orang lawannya bagaikan selembar daun ker-
ing yang diterbangkan angin.
Tubuh Singa Gurun Setan terbanting ja-
tuh, menimbulkan suara berdebuk keras. Sedang-
kan Nyai Kalawirang masih dapat menyelamatkan
dirinya dengan berputaran beberapa kali di udara.
Itu disebabkan, wanita cantik itu menggunakan
senjata. Sehingga, tangannya tidak langsung ber-
sentuhan dengan lengan Pendekar Naga Putih.
Maka, akibatnya pun tidak terlalu parah.
Lain halnya dengan Singa Gurun Setan.
Karena menyerang dengan menggunakan cakar,
maka akibat yang dideritanya lebih parah daripada Nyai Kalawirang. Sehingga,
keseimbangan tubuhnya tidak dapat dipertahankan lagi.
Tapi, Pendekar Naga Putih rupanya tidak
ingin bertindak kepalang tanggung. Singa Gurun
Setan yang baru saja berdiri tegak itu, kembali di-terjangnya dengan dua kali
sambaran cakarnya.
Bukan main terkejutnya hati kakek bertu-
buh raksasa. Wajahnya yang menyeramkan lang-
sung pucat begitu melihat bahaya maut yang da-
tang mengancam. Meskipun telah berusaha men-
gelak, namun sepasang tangan Pendekar Naga Pu-
tih yang bagai ular hidup itu tetap saja menghajar telak tubuhnya.
Brettt! Brettt!
"Aaarghhh...!"
Raungan panjang menggema bagai hendak
mengguncangkan hutan, disusul melintirnya tu-
buh raksasa itu. Seketika semburan darah segar
keluar dari mulutnya. Bahkan juga terdapat luka
menganga di tubuhnya. Bumi bagaikan bergun-
cang ketika tubuh raksasa itu ambruk dengan ku-
lit tubuh membiru. Singa Gurun Setan langsung
tewas dalam keadaan beku.
Nyai Kalawirang menjerit bagai binatang
luka. Kematian kawan dan juga kekasihnya itu,
membuatnya nekat membokong Panji dengan le-
cutan cambuk. Ctar.... Jtarrr!
Cambuk mata sembilan di tangan Nyai Ka-
lawirang meledak-ledak dahsyat menimbulkan
gumpalan-gumpalan asap hitam. Kesembilan
ujung cambuk itu meluncur deras mengancam ba-
gian belakang tubuh Pendekar Naga Putih.
Pendekar Naga Putih pun bukan tidak tahu
akan datangnya ancaman maut itu. Namun begitu
lecutan ujung-ujung cambuk itu siap merejam tu-
buhnya, tahu-tahu saja tubuhnya melenting tinggi melewati ujung-ujung cambuk
lawan. "Heyattt..!"
Dibarengi pekik yang menggetarkan jan-
tung, tubuh Panji berputar di udara. Pendekar Na-ga Putih langsung meluncur
deras, sambil menge-
rahkan jurus 'Naga Sakti Meluruk ke Dalam Bu-
mi'. Dapat dibayangkan, betapa ngeri hati Nyai
Kaliwirang ketika melihat tubuh lawan meluncur
datang disertai hawa dingin yang membekukan
urat-urat tubuhnya. Akibatnya, wanita cantik
yang selama hidupnya tidak mengenal arti kata
takut itu menjadi pucat wajahnya. Saat itu, bukan lagi tubuh Pendekar Naga putih
yang dilihatnya.
Melainkan Malaikat Pencabut Nyawa yang tengah
menghampirinya. Maka....
Breshhh! "Wuaaa...!"
Nyai Kalawirang menjerit setinggi langit ke-
tika sepasang telapak tangan Pendekar Naga Putih telak menghantam punggungnya.
Tubuh molek itu
terlempar deras bagai selembar daun kering.
"Hegkhhh...!"
Begitu terbanting di atas tanah berumput,
tubuh wanita cantik yang semasa hidupnya sangat
menggairahkan itu berkelojotan bagai ayam dis-
embelih. Sesaat kemudian, Nyai Kalawirang pun
tewas dalam keadaan tubuh yang dingin dan be-
ku. "Hhh..."
Panji menarik napas melihat mayat kedua
orang lawannya itu. Terselip sedikit rasa sesal di hatinya, karena terpaksa
harus membunuh kedua
orang lawannya. Namun, kekejaman kedua orang
tokoh sesat itu memang sudah melewati takaran.
Tak lama kemudian, pemuda itu pun melangkah-
kan kakinya meninggalkan mayat kedua orang la-
wannya. Sementara itu, pertarungan yang berlang-
sung di tempat lain, sudah pula mencapai pun-
caknya. "Haaattt..!"
Kuncara yang sudah semakin mendesak
lawan, tiba-tiba berseru nyaring sambil melompat tinggi. Kedua kakinya bergerak
cepat melakukan
serangkaian tendangan lewat jurus 'Tendangan
Angin Topan' yang telah dipadukan dengan gera-
kan aneh. Desss! Buggg! Diggg!
"Aaakhhh...!"
Tiga kali tendangan yang dilakukan Kunca-
ra telak menghantam dada dan perut Panggali.
Tubuh pemuda tegap itu kontan terjengkang keras
ke belakang. Untunglah pada saat Kuncara ingin me-
nyusuli serangannya, sesosok bayangan hijau ber-
kelebat cepat memapak. Sehingga, tendangan yang
dimaksudkan untuk menghabisi nyawa Panggali
bertumbukkan dengan sepasang lengan berjari-
jari lentik. Plakkk! "Uhhh...!"
Tubuh keduanya yang tengah melambung
di udara itu langsung terpental balik. Namun,
masing-masing ternyata mampu mengimbangi
Pendekar Naga Putih 22 Tragedi Gunung Langkeng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
daya lontarnya. Sehingga, dengan beberapa kali
putaran di udara satu sama lain dapat mendarat
selamat. Sosok berpakaian hijau yang tak lain dari
Kenanga menahan langkahnya ketika sebuah te-
pukan halus menyentuh bahu kanan. Wanita jelita
itu menarik napas lega ketika melihat orang yang menepuk bahunya.
"Kakang...," desah dara jelita itu tersenyum manis ketika melihat kekasihnya
selamat. Pemuda yang tak lain Panji itu mengang-
guk sebagai isyarat agar Kenanga mundur. Sebab
sekali lihat saja, Pendekar Naga Putih dapat menilai kepandaian Kuncara.
"Kuncara, sadarlah. Kembalilah kepada gu-
rumu. Tinggalkan semua kesesatan yang selama
ini kau lakukan. Aku yakin, gurumu pasti akan
memberi pengampunan," bujuk Panji mencoba
menyadarkan Kuncara dari kesesatannya.
"Huh! Apakah kau kira setelah mampu
mengalahkan kedua orang bodoh itu dirimu kau
anggap paling hebat! Hm.... Jangan mimpi, Kisa-
nak! Meskipun kau memiliki delapan tangan, na-
mun aku tidak akan gentar! Aku siap mengadu
nyawa denganmu!" bentak Kuncara dengan wajah merah padam.
Setelah berkata demikian, pemuda itu me-
lipat kedua tangannya di depan dada. Dihem-
buskannya napas perlahan-lahan sambil mengge-
rakkan kedua tangan ke arah berlawanan. Jelas,
pemuda itu tidak berhasil dibujuk Panji.
"Sadarlah, Kuncara. Percuma kau...."
"Jangan banyak bacot! Sambutlah puku-
lanku...! Yeaattt..!"
Sambil berteriak memotong ucapan Panji,
Kuncara langsung melompat disertai pukulan-
pukulan maut yang berbahaya.
Bettt! Bettt! Merasa percuma mengajak Kuncara kem-
bali ke jalan yang benar, Pendekar Naga Putih tidak lagi banyak cakap. Cepat-
cepat tubuhnya ber-
geser ke belakang menghindari ancaman pukulan
Kuncara yang bertubi-tubi. Sampai lima jurus pe-
muda itu menyerang, Panji belum juga melancar-
kan serangan balasan. Sepertinya, ia masih me-
nunggu kesempatan baik untuk menyerang.
"Yeaaa...!"
Bagaikan orang kemasukan setan, Kuncara
terus saja mengumbar pukulan-pukulan yang dis-
elingi tendangan maut. Namun, sampai sejauh itu, Panji tetap saja mengelak
sambil sesekali menangkis jika terpaksa.
Pada saat pertarungan memasuki jurus ke-
tiga puluh dua, Panji yang melihat adanya kesem-
patan baik langsung mengirim tendangan maut ke
perut Kuncara. Zebbb! Ternyata Kuncara cukup awas. Tendangan
lawan dapat dielakkan dengan memiringkan tubuh
ke samping kanan. Tapi sayang, kegesitan Kunca-
ra masih belum dapat mengimbangi Pendekar Na-
ga Putih. Tahu-tahu saja, tebasan telapak tangan
miring pemuda itu telah singgah di punggung
Kuncara. Desss! "Higkhhh...!"
Hantaman telak itu kontan membuat tu-
buh Kuncara terhuyung beberapa langkah ke be-
lakang. Tapi sebelum pemuda itu sempat mem-
perbaiki kuda-kudanya, kembali sebuah tamparan
telak telah membuatnya tersungkur ke atas tanah.
Brukkk! Kuncara menggeliat menahan rasa sakit
pada dadanya. Hantaman telapak tangan Pende-
kar Naga Putih terasa bagaikan merontokkan isi
dadanya. Sehingga, untuk beberapa saat lamanya,
Kuncara hanya dapat mengerang sambil mengge-
liat-geliat menahan rasa sakit dan nyeri yang menusuk-nusuk dadanya.
"Sadarlah, Kuncara. Petualanganmu sudah
berakhir. Kau masih sangat muda. Dan masih ba-
nyak yang dapat dilakukan untuk menebus kesa-
lahanmu itu," Pendekar Naga Putih yang telah berada di dekat tubuh Kuncara
kembali mencoba
membujuknya. "Orang sepertinya tidak seharusnya dibiar-
kan hidup!" tiba-tiba saja terdengar teriakan marah dari arah belakang Pendekar
Naga Putih. Tapi pada saat Pendekar Naga Putih meno-
lehkan kepalanya, tahu-tahu saja Panggali berke-
lebat sambil mengayunkan pedangnya.
"Yeaaa..!"
Crakkk...! Seketika itu juga, kepala Kuncara mengge-
linding terpisah dari tubuhnya. Panggali berdiri tegak dengan pedang yang masih
berlumuran darah
segar. "Semoga Tuhan mengampuni kesalahan-
kesalahanmu, Kuncara," gumam Panggali, serak.
Sebab, biar bagaimanapun Kuncara adalah
saudara seperguruannya yang hidup bersamanya
sejak kecil. Sebenci-bencinya terhadap Kuncara,
tapi ketika melihat mayat saudara seperguruannya itu, hatinya tersentuh juga.
"Sudahlah, Panggali. Lebih baik kuburkan
mayat-mayat ini. Setelah itu, kembalilah ke pun-
cak Gunung Langkeng. Kasihan gurumu yang ca-
cat itu. Kau harus menemaninya," hibur Panji sambil menepuk perlahan bahu
Panggali. Tanpa banyak cakap lagi, Panggali dan
Pendekar Naga Putih segera menguburkan ketiga
mayat lawan-lawannya. Panggali masih sempat
termenung sejenak di samping makam Kuncara
yang masih basah.
Tak berapa lama kemudian, Panggali bang-
kit dan mendekati Pendekar Naga Putih yang saat
itu sudah bersama Kenanga dan gadis desa yang
hampir menjadi korban kebiadaban Kuncara.
"Panggali. Antarkanlah gadis itu kembali ke desanya. Aku pergi dulu...," pamit
Pendekar Naga Putih. Sebelum Panggali sempat mengucapkan
rasa terima kasihnya, tiba-tiba bayangan kedua
orang pendekar itu sudah lenyap ditelan kereman-
gan hutan. "Mari kuantarkan pulang, Nisanak. Di ma-
nakah desa tempat tinggalmu?" tanya Panggali menatap wajah manis di depannya.
Ada getar aneh menyelinap di relung hati
pemuda itu ketika melihat wajah gadis di depan-
nya. "Tidak ada gunanya kembali ke desa kela-hiranku. Semua keluargaku sudah
dibunuh orang yang bernama Kuncara itu. Kalau Kakang Panggali
tidak keberatan, biarlah aku ikut bersamamu,"
pinta gadis desa yang manis itu, polos.
"Tapi, aku hanya orang gunung. Lagi pula,
di sana sangat sepi. Kau pasti tidak akan betah."
Meskipun bibirnya berkata demikian, na-
mun hati kecil Panggali ingin mendengar gadis
manis itu bersikeras ikut dengannya. Ditunggunya jawaban yang keluar dari bibir
merah basah itu
dengan hati berdebar tegang.
"Biarlah! Asalkan, Kakang tidak kebera-
tan," sahut gadis itu tersipu malu.
Merasa yakin kalau gadis itu memiliki pe-
rasaan yang sama dengannya, maka Panggali
mengulur tangan menggandeng bahu tubuh ramp-
ing di sampingnya. Hatinya berdebar gembira keti-ka tidak merasakan adanya
penolakan. Senja pun jatuh, meneduhi hati kedua in-
san yang kini sudah saling cinta itu.
SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Aura PandRa
Pendekar Cacad 19 Istana Kumala Putih Karya O P A Pendekar Patung Emas 1