Jeritan Pertama 1
Fear Street Jeritan Pertama First Scream Fearpark 1 Bagian 1
Bagian 1 1935 Bab 1 MEGHAN FAIRWOOD mengibaskan rambut merahnya yang
panjang berombak dari bahunya, lalu mengulurkan tangan untuk
membuka pintu loker. "Oh, tidak," gumam Meghan. Ditaruhnya
tumpukan bukunya ke lantai dan disentuhnya bercak noda hitam di
ujung lengan bajunya yang putih bersih.
Dari mana noda ini" pikirnya. Jangan-jangan tinta.
Ia membungkuk, meraih kotak pensil, dan mengambil penanya.
Pena Waterman berwarna biru itu hadiah dari orangtuanya pada hari
ulang tahunnya yang keenam belas. Hadiah mahal. Harganya hampir
empat dolar. Tapi pena itu sudah bocor sejak pertama kali Meghan
menggunakannya. Dibukanya tutup pena itu dan diamatinya ujung pena yang
terbuat dari perak itu. Ya. Bocor lagi. Rusaklah baju barunya yang
putih bersih. Aku harus memberitahu Dad, pikir Meghan sambil
menaruh kembali pena itu ke dalam kotak pensil.
Aku tidak ingin mengganggu Dad untuk urusan pena. Dia sudah
terlalu banyak urusan belakangan ini, disibukkan oleh pekerjaan
barunya. Tapi pena itu harus dikembalikan ke toko penjualnya.
Ia berdiri dan merapikan bagian depan rok wolnya yang
memanjang sampai hampir menyentuh mata kaki. Selasar Shadyside
High School yang panjang ramai dengan seruan-seruan dan tawa-tawa
riang disertai suara-suara pintu loker. Jam pelajaran telah berakhir
untuk hari ini. Meghan menoleh ke ujung gang dan melihat dua cheerleader
berambut pirang di atas tangga sedang memasang spanduk berwarna
merah-putih dengan tulisan tangan besar-besar: AYO, TIGERS!
SANG JUARA TURNAMEN BISBOL ANTAR NEGARA BAGIAN
TAHUN 1935! Belum, pikir Meghan, Tigers masih belum juara, masih harus
lebih dahulu mengalahkan Waynesbridge untuk bisa ikut turnamen
itu. Ujung kiri spanduk jatuh ke lantai. Salah seorang cheerleader
menjerit, mencoba meraihnya, dan hampir ikut terjatuh.
Beberapa anak tertawa melihatnya.
Spanduk itu mengingatkan Meghan pada Richard Bradley,
pacarnya. Matanya mencari-cari berkeliling. Pasti Richard langsung
pergi latihan bisbol ke lapangan, pikirnya. Tadi pagi Coach Swanson
mengumumkan bahwa Richard ditunjuk sebagai pitcher dalam
pertandingan melawan Waynesbridge.
Apakah Richard gugup"
Sama sekali tidak. "Siapa lagi yang bisa jadi pitcher dalam pertandingan sebesar
ini?" komentarnya pada Meghan. Richard sangat tampan, seperti
bintang film Hollywood. Sambil mengatakan itu, bibirnya tersenyum
lebar, matanya yang berwarna biru muda bersinar-sinar.
Richard agak terlalu yakin pada dirinya sendiri, Meghan
menyadari. Tapi ia sendiri berharap punya rasa percaya diri seperti itu.
Meghan membayangkan Richard di gundukan pitcher, rambut
pirangnya yang ikal mengintai dari bawah topinya, tubuhnya agak
membungkuk, wajahnya serius, otot-otot lengannya menonjol di balik
lengan baju seragamnya yang berwarna kelabu.
Meghan berbalik kembali menghadap lokernya. Dan baru sadar
ada orang yang sedang memperhatikannya. Seorang anak lelaki
berambut cokelat lurus, berwajah serius, agak pucat.
Robin Fear. Wajah anak lelaki itu memerah ketika Meghan menatapnya
sambil tersenyum. "Hai, Robin," sapa Meghan riang.
Meghan tidak terlalu kenal anak itu. Anak itu tidak termasuk
kelompok teman-teman dekatnya. Rasanya tidak termasuk kelompok
mana pun. Kelihatannya dia selalu menyendiri.
Meghan tahu anak itu tinggal di rumah besar di Fear Street di
tepi hutan. Nama jalan itu diambil dari nama pamannya atau kakeknya
atau entah siapanya. Meghan tidak tahu persis.
Loker Robin persis di samping loker Meghan, dan Meghan
selalu menyapa anak itu. Ia menganggap Robin anak manis. Ia
menyukai matanya yang gelap dan penuh perhatian. Anak itu selalu
terlihat serius. Robin selalu tersipu-sipu, bulatan-bulatan merah jambu muncul
di pipinya. Pasti repot punya sifat pemalu seperti itu, pikir Meghan.
Meghan membuka pintu lokernya, dan setumpuk majalah jatuh
berhamburan ke lantai. Majalah penggemar film yang dipinjamkan
padanya oleh temannya, Abigail.
Robin membungkuk, membantu Meghan mengumpulkan
majalah-majalah yang berserakan itu. "Kau"kau suka Clark Gable?"
tanyanya tergagap, memandang sampul depan salah satu majalah.
"Ya," sahut Meghan, agak heran. Belum pernah Robin bicara
sebanyak itu padanya. "Aku nonton filmnya, China Seas, Jumat
malam. Itu lho, yang dia main dengan Jean Harlow. Sudah nonton
juga?" Robin memberikan majalah itu pada Meghan. Ia menggeleng.
"Aku jarang nonton film," katanya.
Di ujung gang, spanduk tadi jatuh lagi. Beberapa anak lelaki
merenggutnya dari kedua cheerleader itu sambil tertawa-tawa, dan
saling menarik seperti sedang main tarik tambang.
Kedua cheerleader itu menjerit-jerit marah.
Robin memandang majalah yang ada di tangan Meghan. "Bing
Crosby," gumamnya, mengenali wajah di halaman depan.
"Kau suka dia?" tanya Meghan. "Kau dengar acaranya di radio
tadi malam?" Robin menggeleng lagi dengan wajah sedih. "Ayahku tidak
membolehkan aku menyetel musik di radio. Dia hanya menghidupkan
radio untuk mendengar pidato Presiden Roosevelt."
"Pasti membosankan," kata Meghan.
"Apa kabar, gadisku?" suara keras menengahi mereka.
Meghan menoleh, dilihatnya Richard me-nyeringai padanya
dari ujung gang. Cowok itu sudah memakai seragam bisbol, topi
marun-kelabunya menutupi rambut pirangnya. Sepatunya berderap
keras di lantai. "Hai, kukira kau sedang latihan," kata Meghan.
Senyum Richard semakin lebar. "Sedang mau ke sana. Kau mau
belajar malam ini?" Meghan tertawa. "Belajar apa?"
Mata Richard berkilauan. "Akan kupikirkan, nanti kukasih
tahu!" godanya. Tanpa memberi peringatan, ia membungkuk dan
mencium bibir Meghan. Meghan benci kalau Richard melakukan itu. Seakan-akan
Richard memilikinya, dan bisa menciumnya kapan pun dia mau.
Ciuman itu berakhir cepat. Meghan mengangkat matanya,
melihat Richard melotot melewati bahunya.
"Sedang lihat apa?" sentak Richard pada Robin Fear.
Wajah Robin memerah sampai hampir merah tua. "Aku?"
Suaranya hilang. Richard tertawa. "Kau ingin lihat orang ciuman" Pergi saja
nonton film." "Aku"aku bukan sedang melihat," suara Robin serak.
Richard melangkah melewati Meghan. Tangannya yang besar
terulur dan menarik dasi Robin dari balik sweternya. Dipakainya dasi
itu seperti handuk untuk mengelap tangannya sambil menyeringai
pada Robin, menantangnya.
"Sudahlah, Richard." Meghan menarik lengan anak lelaki itu.
"Kau tidak lucu."
"Lucu tuh," sahut Richard. "Sampai nanti, Meghan." Ia pergi,
sepatunya berderap-derap.
Meghan memperhatikannya pergi menjauh. Ia berpikir, ada halhal yang dia sukai dalam diri Richard, dan ada yang tidak.
Richard salah seorang pahlawan di sekolah itu. BMOC"Big
Man On Catnpus, Orang Penting di Kampus. Itu sebutan buku tahunan
sekolah tentang dia tahun ini.
Hati Meghan terasa berbunga-bunga setiap kali teringat ia
pacaran dengan orang setampan, seatletis, dan sepopuler Richard.
Mereka berdua bagaikan raja dan ratu Shadyside High. Dan memang
kenyataannya mereka terpilih sebagai Raja dan Ratu pada acara
Spring Prom. Tapi sekarang, ketika tahun ajaran hampir berakhir, Meghan
tidak selalu merasa nyaman bersama Richard. Ia tidak suka pada
beberapa teman Richard yang bicaranya keras dan tingkahnya kasar.
Dan ia juga tidak suka pada cara Richard memperlakukannya. Datang
ke rumahnya jam berapa pun, tanpa memberitahu lebih dulu.
Memeluk dan menciumnya di sekolah.
Richard lenyap membelok di pojok. Meghan berbalik untuk
minta maaf pada Robin. "Oh!" serunya ketika melihat Robin sudah tidak ada.
************* Robin berjalan pulang ke rumah, sambil menendangi kerikil di
pinggiran jalan. Ia menatap awan kelabu di langit dan berpikir betapa
cocoknya awan kelabu itu dengan suasana hatinya.
Aku ingin mati, pikirnya.
Diputarnya lagi adegan di selasar sekolah tadi berulang-ulang di
kepalanya. Setiap kali terbayang, ia semakin merasa malu.
Meghan Fairwood baik padaku, pikirnya. Dia ingin bicara
denganku. Setelah berbulan-bulan punya loker bersebelahan, kami
akhirnya saling bicara. Kemudian kubiarkan Richard si gorila itu mempermainkan
diriku. Waktu dia menuduhku menonton mereka, aku cuma berdiri
tergagap seperti orang tolol. Lalu kubiarkan dia menggunakan dasiku
sebagai handuk tanpa sepatah kata pun keluar dari mulutku.
Aku tidak melawan. Aku tidak mencoba mendorongnya
menjauhiku. Aku bahkan tidak mengucapkan sepatah kata pun.
Kenapa aku jadi pengecut seperti ini" Kenapa aku jadi penakut"
Meghan tidak menertawakanku. Tapi aku tahu apa yang
dipikirkannya. Mungkin dia merasa kasihan padaku. Memang malang
betul nasibmu, Robin. Sampai-sampai gadis tercantik di sekolah pun
merasa kasihan padamu karena kau hanya seekor tikus kecil penakut.
Robin melampiaskan rasa marahnya dengan menendang
gundukan tanah di depannya. Langit semakin gelap. Setetes air hujan
dingin jatuh di dahinya. Lengkaplah semua, pikirnya pahit. Sekarang aku akan basah
kuyup. Ia melangkah dari trotoar lalu menyeberang ke arah Division
Street"dan nyaris disambar trem.
Roda besi trem itu berderit di relnya. Klaksonnya berbunyi
memekakkan telinga. Robin melompat mundur. Trem berwarna merah cerah itu
berderik-derik lewat. Sambil menggeleng-gelengkan kepala, Robin menarik napas
panjang. Jangan bunuh diri, ia memarahi dirinya sendiri.
Dipindahkannya tasnya dari bahu kiri ke bahu kanan, lalu ia menarik
napas panjang sekali lagi, jantungnya masih berdebar-debar.
Kejadian itu menjernihkan pikirannya dari rasa marah.
Richard Bradley memang senang menyakiti hati orang, banyak
yang sudah merasakannya. Bukan perkara besar, tidak usah terlalu
dipikirkan, katanya pada diri sendiri.
Dibayangkannya Meghan sekali lagi. Cara gadis itu tersenyum
waktu dia memberikan majalah-majalah tadi.
Rasanya Meghan suka padaku. Rasanya dia suka padaku
walaupun aku hanya seekor tikus kecil penakut.
Beberapa menit kemudian ia sampai di Fear Street. Ia berbelok
dan berjalan di atas rumput di pinggir jalan.
Sisa-sisa rumah besar Simon Fear yang hangus terbakar terlihat
menjulang tinggi. Kata orang, rumah besar itu tadinya sangat indah
dan megah sebelum dilalap api. Sekarang, ketika Robin melewatinya,
rumah itu berdiri hitam, atapnya ambruk, lubang-lubang jendelanya
menganga, masih bau asap. Sebagai orang yang berpandangan praktis,
Nicholas" ayah Robin"membuat rumahnya dari batu, tidak seperti
Simon, kakek buyutnya. "Tidak ada api yang akan mengusirku," pernah Nicholas
berkata pada Robin. "Aku telah mengambil alih seluruh warisan Fear.
Dan aku mempertahankannya selamanya."
Robin mempercepat langkahnya ketika rumahnya telah terlihat.
Bayangan lebar rumah itu memayungi halaman. Robin merasa dingin
ketika ia melangkah masuk ke halaman. Tirai jendela depan selalu
tertutup, membatasi dunia luar.
Dad senang menyendiri, pikir Robin.
Beberapa tukang kebun dengan pakaian kerja sedang
memangkas pagar tanaman di samping halaman depan. Salah satu dari
mereka sedang minum dari termos, sambil menyipitkan mata ke arah
Robin. Robin masuk ke rumah melalui pintu samping. Pintu depan
yang besar dan berat jarang digunakan. Sambil menurunkan tasnya
dari bahu ia berjalan melewati ruang dapur, menyeberangi dapur yang
luas dengan meja dan lantainya yang berkilau, dan melangkah ke
ruang depan. "Ada orang di rumah?" suara Robin bergema memantul dari
lantai marmer. Sunyi. Kedua wanita pembantu rumah tangga sudah keluar awal
minggu ini. Robin tidak pernah bisa mengerti mengapa para pembantu
tidak pernah tahan lama bekerja di sini. Apakah karena rumah ini
terlalu besar dan dingin" Atau karena cerita-cerita tentang kejadiankejadian aneh di Fear Street"
"Dad" Kau ada di rumah?"
Ia berharap ayahnya sedang pergi. Ia sedang tidak ingin bicara.
Ia ingin menyendiri di kamarnya memikirkan Meghan Fairwood.
Suara dari ruang perpustakaan mengejutkan Robin.
Apakah itu suara musik" pikirnya. Atau suara orang sedang
membaca mantra" Ia menyeberangi ruang depan, sepatunya berderap-derap di
lantai marmer. Robin membuka pintu ruang perpustakaan, melongok ke
dalam"dan menjerit. "Oh, tidak!" Bab 2 ROBIN membungkam mulut dengan telapak tangan dan
melangkah mundur dari ambang pintu. Asap tebal berwarna ungu
melingkar-lingkar bagaikan ular di dalam kamar. Dan di tengah asap
aneh itu, Robin melihat ayahnya"mengambang di udara.
Mengambang telentang. Kedua tangannya terlipat di dada.
Mengambang dalam kepulan asap ungu.
Matanya terpejam. Ujung jasnya terjuntai ke bawah. Kedua
kakinya terjulur lurus, ujung sepatu hitamnya mencuat ke atas.
Mengambang, mengambang. Mengambang santai, tenang,
bagaikan di atas bantal udara.
Sambil membaca mantra dengan suara perlahan.
Apakah dia melihatku" pikir Robin, tidak berani melihat ke
dalam lagi. Apakah dia mendengar seruan kagetku tadi"
Fear Street Jeritan Pertama First Scream Fearpark 1 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Robin menyandarkan punggung ke dinding dan menunggu
sampai napasnya normal kembali.
Apakah sebaiknya aku masuk dan bertanya apa yang sedang dia
lakukan" Tidak. Jangan. Robin memang tidak perlu bertanya. Ia tahu perpustakaan
ayahnya penuh buku-buku sihir dan ilmu hitam.
Terkadang Robin membuka-buka buku-buku itu kalau ayahnya
sedang pergi. Buku-buku kuno, banyak yang kertasnya sudah kuning
dan mulai rapuh. Penuh gambar-gambar aneh dan diagram-diagram
yang sulit dimengerti oleh Robin. Mantra-mantra dan sejarah-sejarah
lama, beberapa di antaranya dalam bahasa yang tidak dikenal Robin.
Apakah dulu Mom juga membaca buku-buku ini" Robin sering
bertanya-tanya sendiri. Ia hampir tidak ingat wajah ibunya yang meninggal ketika ia
berumur empat tahun. Jenazahnya dimakamkan berdekatan dengan
anggota keluarga Fear yang lain, di pekuburan kecil di tepi hutan yang
dimiliki keluarga Fear. Kadang-kadang Robin dan ayahnya mengunjungi makam
ibunya. Nicholas Fear selalu menatap nisan yang halus putih itu tanpa
bicara, wajahnya tanpa emosi.
Robin sering berpikir, akan seperti apa hidupnya seandainya
ibunya masih hidup. Apakah ia akan tetap pemalu seperti ini, akan
tetap canggung"dan kesepian"
Robin mendengar suara lembut ayahnya membaca mantra dari
dalam ruang perpustakaan. Dengan punggung masih melekat di
dinding, ia menggigil. Ia tidak bisa mengusir rasa takutnya. Kenapa
ayahnya mengambang seperti itu di tengah asap ungu" Ilmu apa lagi
yang dimiliki Nicholas Fear"
Itu pertanyaan-pertanyaan yang Robin tahu tak akan pernah bisa
ia tanyakan pada ayahnya. Ayah Robin pendiam dan dingin. Bahkan
di saat Nicholas mencoba bersikap hangat pada Robin, anak itu masih
merasa ada jarak di antara mereka.
Robin mendengar bel pintu depan berbunyi.
Lalu terdengar suara berdebuk halus di ruang perpustakaan.
Ayahnya pasti sudah menurunkan tubuh dan berdiri di atas kakinya
lagi. Ia mendengar ayahnya batuk. Karena asap ungu yang
melingkar-lingkar itu" Lalu bel pintu depan berbunyi lagi.
Robin melangkah dari senderannya di dinding ketika ayahnya
keluar dengan langkah-langkah cepat dari perpustakaan. Tinggi badan
Nicholas Fear seratus delapan puluh senti dan sikap tubuhnya selalu
tegak dan lurus walaupun sedang bergerak cepat. Mukanya kurus,
berwajah merah, dan kepalanya hampir botak walaupun usianya baru
34 tahun. Kacamata tanpa bingkainya membuat matanya yang
berwarna cokelat bersinar-sinar.
Ia menoleh ke Robin. "Kapan kau pulang?" tanyanya dengan
suaranya yang melengking tinggi.
"Baru saja," sahut Robin sambil berdeham. Ia mengikuti
ayahnya menuju pintu depan. "Aku tinggal agak lama di sekolah
dan?" "Pembantu-pembantu sudah berhenti semua," potong Nicholas.
"Tolong bukakan pintu depan." Ia meluruskan jas wolnya yang
berwarna kelabu. Ia selalu memakai jas, bahkan pada akhir pekan,
bahkan waktu sedang berlibur.
"Siapa itu?" tanya Robin, mengikuti langkah-langkah cepat
ayahnya. Ayah Robin jarang sekali mendapat tamu.
"Beberapa orang bisnis akan ke sini. Dari kota," sahut Nicholas.
Ia mengencangkan ikatan dasinya. "Entah mau apa mereka ke sini." Ia
bersungut-sungut. "Apa pun maksud mereka, aku tidak akan tertarik."
Bel pintu berbunyi lagi. Robin mendengar suara-suara beberapa
orang di luar. Ia melangkah ke depan pintu ganda yang besar dan berat
itu. Nicholas mengerutkan kening, menggaruk kepalanya yang
botak kemerahan. "Antarkan mereka ke ruang duduk ya, Robin?"
"Ya, Dad." Robin menarik daun pintu dari kayu ek yang berat itu.
Dilihatnya ada empat orang di depan pintu, semua mengenakan
setelan bisnis berwarna cokelat. Mereka semua melepas topi mereka.
Salah seorang maju selangkah, tersenyum pada Robin. Dia
bertubuh besar, jasnya sampai terlihat sesak. Rambutnya pirang
berombak dan matanya biru kepucatan, keriput terlihat di sudut-sudut
matanya. Ia mengulurkan tangannya yang besar dan Robin
menyambutnya, mereka bersalaman. "Halo, anak muda. Aku Jack
Bradley. Kami punya janji bertemu Nicholas Fear."
"D-dia ayahku," kata Robin kikuk. "Aku Robin Fear." Ia
melangkah mundur agar orang-orang itu bisa melangkah masuk.
"Kau sekolah di Shadyside High?" tanya Mr. Bradley. Mata
birunya menyapu ruang depan yang luas.
"Ya, Sir," jawab Robin.
"Anakku juga sekolah di sana," kata Mr. Bradley, matanya
meneliti kertas dinding mahal buatan Inggris. "Namanya Richard.
Kaukenal Richard Bradley?"
Richard adalah anaknya" pikir Robin. Adegan memalukan tadi
terbayang lagi di matanya. Richard dan Meghan. Richard Bradley dan
Meghan. "Ya, aku kenal Richard," kata Robin dengn nada datar tanpa
emosi. "Aneh. Dia tidak pernah menyebut-nyebutmu," kata Mr.
Bradley. Robin tidak menjawab. Ia membawa keempat orang itu ke
ruang duduk. Nicholas Fear berdiri tegak di belakang meja mahoni
besar. Matanya menatap curiga melalui kacamatanya yang tak
berbingkai. Mereka mengangguk pada ayah Robin, masing-masing
memegang topi dengan satu tangan di depannya. Jack Bradley
memperkenalkan diri, lalu memperkenalkan ketiga orang lainnya.
Robin memperhatikan dari ambang pintu. Ayahnya tidak
melakukan gerakan untuk berjabat tangan dengan keempat orang itu.
Dia tetap berdiri tegak di belakang kursinya, seakan-akan
menggunakannya sebagai tameng.
Dad tidak menyuruhku pergi, pikir Robin. Jadi mungkin aku di
sini saja, ingin tahu apa tujuan kunjungan mereka ini. Ia mundur ke
balik ambang pintu, di luar daerah pandang ayahnya.
"Boleh kami duduk?" tanya Mr. Bradley, tangannya bergerak ke
arah kursi berlapis kulit hitam di depan meja.
"Kalau kalian mau," sahut Nicholas dingin.
Keempat orang itu duduk. Memegangi topi mereka di
pangkuan. Ayah Robin tetap berdiri. Tangannya yang pucat meremasremas sandaran kursinya.
"Cuacanya bagus sekali hari ini," Mr. Bradley membuka
percakapan, menoleh memandang sinar matahari yang menembus
masuk melalui jendela tinggi. "Musim semi kali ini memang indah
sekali. Bunga tulip di kebunku?"
"Boleh aku menanyakan maksud kunjungan Anda?" ayah Robin
memotong kata-katanya. Robin menelan keras-keras. Kenapa ayahnya bersikap kurang
sopan terhadap tamunya ini"
Dari ambang pintu Robin bisa melihat kulit di tengkuk Mr.
Bradley berubah merah. Orang itu berdeham. "Kami datang atas nama
kota Shadyside untuk suatu permintaan," katanya dengan nada resmi.
Nicholas mengangguk. Ia menatap dingin pada Mr. Bradley,
menunggu pria itu melanjutkan kata-katanya.
Mr. Bradley berdeham lagi. "Beberapa minggu yang lalu, kami
berempat mengunjungi Coney Island, sebuah taman hiburan di kota
New York." "Pasti perjalanan yang menyenangkan bagi Anda berempat,"
ayah Robin memotong lagi. Bibirnya mencibir sejenak. "Perjalanan
dalam rangka berlibur?"
Keempat orang itu tertawa. Tawa sopan yang gugup.
Nicholas mengerutkan kening pada mereka. Ditariknya kursi
tinggi berlapis kulit itu, lalu ia duduk.
"Menurut kami, yang diperlukan Shadyside adalah taman
hiburan seperti Coney Island," kata Mr. Bradley. "Anda tahu sendiri,
Mr. Fear, kota ini sangat terpukul oleh runtuhnya bursa saham enam
tahun yang lalu. Kita masih belum juga pulih sepenuhnya. Masih
banyak orang yang tidak punya pekerjaan. Penghasilan kota ini sangat
kecil." Dengan tidak sabar Nicholas melambaikan tangan memberi
tanda agar Mr. Bradley berhenti. "Kenapa Anda datang padaku" Aku
tidak tahu apa-apa tentang taman hiburan. Anda datang menawarkan
karcis komidi putar padaku?"
Kali ini orang-orang itu tidak tertawa mendengar kata-kata sinis
Nicholas. "Kami datang untuk meminta Anda menyumbangkan sebagian
tanah hutan di belakang Fear Street bagi kota kita," kata Mr. Bradley.
Ia agak membungkukkan badan ke depan, menatap serius pada ayah
Robin. "Maaf?" Wajah Nicholas lebih merah lagi. Ia menyipitkan
matanya yang kecil dan gelap pada Mr. Bradley.
"Kami telah mendapat sumbangan untuk membangun sebuah
taman hiburan," Mr. Bradley memberitahu dengan suara perlahan,
begitu perlahan sehingga Robin hampir tidak bisa mendengar katakatanya dari ambang pintu. "Kami ingin membuka sebagian tanah
hutan dan membangun taman hiburan di sana. Itu akan membuka
banyak lapangan kerja. Dan akan menarik ratusan, bahkan ribuan
turis, ke Shadyside. Dengan izin Anda?"
"Tidak bisa!" tukas Nicholas. Ia melompat berdiri.
Robin terkejut melihat betapa ayahnya terlihat begitu tinggi.
Tinggi dan marah. Nicholas menyambar sebuah pembuka surat terbuat
dari perak dari atas meja, dan menggenggamnya bagaikan sebuah
pisau. Wajahnya merah padam.
"Tapi, Mr. Fear?" Jack Bradley mulai protes.
"Hutan itu milik keluarga Fear," kata Nicholas sambil
mengertakkan gigi. "Hutan itu akan tetap menjadi milik keluarga Fear,
Mr. Bradley. Aku harus meminta kalian membatalkan rencana itu.
Dan jangan sentuh Hutan Fear Street maupun milikku yang lain."
Nicholas mengangkat pembuka surat, lalu memakainya untuk
menunjuk pintu. "Selamat siang, Tuan-tuan."
Mr. Bradley berdiri. Yang lain mengikuti. Tapi mereka sama
sekali tidak bergerak ke arah pintu.
"Mr. Fear, aku minta Anda pikirkan lagi jawaban Anda," Jack
Bradley memaksa. "Akan kukirimkan gambar rencana taman hiburan
itu besok. Mungkin kalau Anda pelajari rencana itu..."
"Selamat siang, Tuan-tuan," Nicholas mengulangi, rahangnya
mengeras. Robin bisa melihat urat-urat di dahi ayahnya berdenyutdenyut.
"Kami tidak akan menerima penolakan," kata Mr. Bradley
tegas. "Tolong pikirkan rencana ini. Kalau Anda bilang tidak?"
Mr. Bradley tidak bisa melanjutkan kata-katanya. Ia terseok ke
depan"dan kelihatan seperti tercekik, tangannya memegangi leher.
Robin menjerit kaget, sementara ketiga tamu yang lain pun
memegangi leher masing-masing. Mereka semua susah bernapas,
tidak mampu berkata-kata, memutar-mutarkan kepala mereka ke
belakang, mata mereka membelalak.
Robin melihat ke arah ayahnya. Nicholas berdiri tanpa emosi,
tak ada ekspresi apa pun di wajahnya. Pembuka surat masih terangkat
di depannya. Di balik kacamata tanpa bingkainya, matanya terpejam.
"T-tolong"!" susah payah Mr. Bradley berhasil mengucapkan
kata itu. Wajahnya mulai berubah ungu. Ia mencengkeram
tenggorokannya dengan kedua belah tangan, mulutnya menganga.
"Tidak... bisa... napas...," salah seorang yang lain berbisik. Lalu
jatuh berlutut ke karpet.
Gelombang rasa takut menerpa Robin. Ia melangkah masuk ke
ruangan. Apa yang terjadi" pikirnya.
Apa yang terjadi pada mereka"
Apakah ayahku yang membuat mereka seperti itu"
Apakah dia akan membunuh mereka berempat"
"Dad"hentikan!" jeritnya.
Bab 3 ROBIN melihat ekspresi ayahnya berubah seperti orang
keheranan. Pembuka surat terjatuh dari tangannya dan memantul di karpet
tebal. Keempat orang itu menarik napas dalam-dalam.
"Robin"aku tidak tahu kau ada di sini," kata Nicholas. Ia
mendekati orang yang jatuh berlutut lalu membantunya berdiri. "Anda
tidak apa-apa?" tanya Nicholas, nada suaranya mendadak prihatin.
Nicholas menengok ke Mr. Bradley. "Anda baik-baik saja" Mau
kuambilkan segelas air?" Nicholas memandang tajam ke arah Robin.
Mr. Bradley, sekarang sudah bisa bernapas normal, mengusap
lehernya. "A-aku tidak tahu apa yang terjadi," gumamnya terbata-bata.
"Mendadak saja leherku terasa seperti tercekik."
"Memang aneh sekali," kata salah satu temannya, mengambil
topi dari lantai. "Aku juga. Sampai tidak bisa bernapas."
"Seakan-akan ada yang mengikat kerongkonganku," yang lain
bergumam. Nicholas menggeleng-geleng simpati. "Aku merasakan itu
juga," katanya pada mereka. "Mungkin ada sesuatu di udara..."
Robin meneliti wajah ayahnya. Apakah dia berbohong" Aku
tidak lihat dia seperti orang tercekik. Aku lihat dia berdiri tenang
dengan mata terpejam. "Aku harus menyuruh orang memeriksa kamar ini," kata
Nicholas pada mereka. "Sudah terlalu lama ditutup rapat. Mungkin
jendelanya harus dibiarkan terbuka."
Tamu-tamu itu merapikan jas mereka. Sambil menggelenggelengkan kepala dan mengusap-usap leher, mereka mengikuti
Nicholas ke pintu. Robin memperhatikan wajah murung mereka
ketika mereka mengangguk minta diri pada ayahnya.
"Aku tidak akan mengubah keputusanku," kata Nicholas pada
mereka. "Taman hiburan kalian harus dibangun di tempat lain. Tidak
bisa di tanah milik Fear. Tidak akan pernah."
Ia membanting pintu, bergumam pada diri sendiri, dan menarik
napas dalam-dalam, lalu menoleh ke Robin. "Pasti ada sesuatu di
udara kamar ini," gumamnya, senyum aneh terbentuk di wajahnya.
"Ayo, bantu aku membuka jendela."
*************** Robin mematikan radio. Lampu kuningnya perlahan-lahan
meredup padam. Hari Sabtu sore. Ia baru saja mendengarkan siaran
pertandingan bisbol. Washington Senators kalah dari St. Louis
Browns. Tapi Robin terlalu gelisah untuk berkonsentrasi mendengarkan
jalannya pertandingan itu.
Ia merasa gelisah. Bosan. Dan kesepian.
Dipandanginya tumpukan buku pelajaran di mejanya di
seberang kamar. Dan berpikir untuk mulai menulis tugas sejarahnya.
Embusan angin berbau harum menggoyang tirai jendela kamar.
Aku mau jalan-jalan saja, ia putuskan.
Berjalan-jalan di hutan di belakang rumahnya sudah menjadi
kegiatan favoritnya untuk menghabiskan waktu. Sambil berjalan di
tengah pepohonan dan semak-semak lebat, Robin biasanya
Fear Street Jeritan Pertama First Scream Fearpark 1 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membayangkan sedang bercakap-cakap. Bercakap-cakap dengan
anak-anak yang disukainya di sekolah, anak-anak yang ingin ia
jadikan temannya. Ia menuruni tangga"dan hampir bertubrukan dengan ayahnya.
"Mau ke mana kau buru-buru begitu?" tanya Nicholas, memandangi
Robin lekat-lekat. "Mau jalan-jalan. Di hutan," sahut Robin.
"Kauhabiskan banyak waktu di sana," kata ayahnya, meneliti
wajahnya. Robin merasa wajahnya memanas. "Aku senang di sana."
"Aku juga," kata Nicholas, senyum mengembang di wajahnya.
"Mungkin aku akan menemanimu."
Mereka keluar lewat pintu pelayan di belakang rumah dan
menyeberangi halaman berumput yang luas menuju hutan. Semalam
hujan, sehingga tanah menjadi lembap dan lunak. Mereka berjalan
menghindari genangan-genangan air, menghirup udara segar musim
semi. Nicholas Fear selalu serius, kaku. Tapi beberapa kali Robin
memperhatikan ayahnya berbeda bila mereka sedang berjalan-jalan
berdua di hutan. Matanya terlihat lebih riang. Tunas-tunas yang baru
tumbuh di pokok-pokok kayu, bunga-bunga yang berkembang
berwarna-warni, membuat Nicholas tersenyum.
"Ini semua milik kita," katanya pada Robin dengan nada hangat
yang sangat jarang didengar anak itu.
Mereka berjalan tanpa bercakap-cakap beberapa lama,
mendengarkan angin lembut menggoyang pepohonan.
Banyak hal yang ada di benak Robin. Ia tidak bisa memutuskan
apakah akan memecahkan kesunyian itu atau tidak. Ayahnya bukan
orang yang mudah diajak bicara, bahkan pada saat sedang santai
seperti itu. Akhirnya Robin memutuskan untuk mengatakan sesuatu. Ia
menarik napas dalam-dalam. "Mmh... Dad" Aku... ng... Kenapa Dad
menolak permintaan orang-orang itu?"
Nicholas berhenti melangkah. Ia memakai sweter wol kelabu
muda di luar kemejanya yang putih bersih berkerah kaku dan sebuah
dasi angkatan laut yang lebar. Robin tidak tahu kenapa ayahnya jarang
sekali terlihat tanpa dasi.
Nicholas menyipitkan matanya pada Robin, menunggunya
menyelesaikan kata-kata. Robin menarik napas lagi. Jantungnya berdebar. "Karena aku
susah dapat teman, itu saja," katanya. "Sangat sulit. Penolakan Dad
akan membuatnya jadi lebih sulit." Ia merasa lebih nyaman setelah
berhasil mengucapkan kata-kata itu.
Nicholas mengusir serangga dari kepalanya yang botak.
Wajahnya lebih merah daripada biasanya. Ia merengut. "Hampir
semua orang di kota ini tidak layak menjadi temanmu," katanya. Lalu
ia meneruskan langkah. Robin bergegas mengejar. "Hah" Aku tidak mengerti, Dad."
"Kau keturunan Fear," kata Nicholas pedas. "Kau harus selalu
ingat itu, Robin. Keluarga Fear berbeda dari orang-orang di kota ini."
Robin memandang bingung pada ayahnya. "Berbeda?"
"Ya, kita berbeda," sahut Nicholas. "Kita tidak seperti yang
lain. Itu sebabnya kakek buyut Simon membangun rumah besarnya di
sini, di hutan, jauh dari kota. Dan itu juga sebabnya mengapa dia
membeli tanah ini, hutan ini. Dan itulah pula sebabnya mengapa aku
membangun rumah di sini juga."
"Karena kita berbeda?" desak Robin, tak mampu
menyembunyikan kebingungannya.
Nicholas mengangguk. "Maksudnya... kita lebih baik daripada orang-orang lain?" tanya
Robin. "Kita cuma berbeda," sahut Nicholas. Senyumnya memudar. Ia
memandang ke kejauhan. Suara gemeretak ranting-ranting dan daun-daun mengejutkan
mereka. Robin menoleh ke arah suara itu. Dari celah-celah dahan
dilihatnya sebuah mantel cokelat. Lalu sebuah topi berwarna gelap.
Seorang pria. Berjalan cepat di sela-sela pepohonan.
"Siapa itu?" tanya Nicholas keras. Suaranya bernada marah.
Robin berseru tertahan ketika mengenali orang itu.
Jack Bradley. Membawa senapan panjang.
"Siapa di situ?" Nicholas mengulangi pertanyaannya.
Dikejutkan oleh teriakan marah itu, Mr. Bradley menoleh,
melihat Robin melalui dahan-dahan pohon, mengangkat senapannya,
dan membidik ke arah Robin.
Bab 4 "TIDAK!" Robin menjerit. Mengangkat kedua belah tangan ke depan
wajah seakan perisai untuk melindungi dirinya. Menunggu suara
letusan senapan. Tapi yang didengarnya suara langkah kaki.
Ketika ia menurunkan tangan, ia melihat wajah tegang Mr.
Bradley. Lalu dilihatnya orang itu tidak membawa senapan.
Jadi apa itu" Robin memperhatikan baik-baik. Mr. Bradley
membawa semacam penggaris, sebuah alat pengukur.
"Anda mengejutkan aku, Mr. Fear," kata Mr. Bradley, tertawa
gugup. Mata birunya memantulkan sinar matahari. Ia menurunkan alat
pengukur dari kayu yang dipegangnya.
Nicholas mendengus. Ia menatap dingin melalui kacamatanya,
wajahnya merah tua. "Kenapa Anda masuk ke tanah orang tanpa izin,
Mr. Bradley?" tanyanya dengan nada tinggi.
Bradley mengerutkan kening. "Masuk tanpa izin" Aku sedang
memeriksa tanah ini. Rasanya Anda sudah mendapat pemberitahuan
bahwa?" "Rasanya aku sudah memberitahu Anda dengan sangat jelas,"
potong Nicholas. "Aku tidak akan mengizinkan hutan ini dirusak
sedikit pun." Robin mundur selangkah. Perutnya terasa kaku,
kerongkongannya kering. Apakah mereka akan berkelahi" pikirnya.
Dad lebih tinggi. Tapi Mr. Bradley sangat besar, tegap, dan
berotot. Robin melihat urat di dahi ayahnya berdenyut-denyut.
Mereka tak akan berkelahi, Robin mencoba meyakinkan dirinya
sendiri. Mereka sama-sama orang terhormat. Mereka tidak akan
membiarkan pertengkaran ini menjadi tak terkendali.
Nicholas melangkah lebih dekat ke Mr. Bradley, seakan
menantangnya. "Aku tidak ingin ada taman hiburan di hutan milikku,"
katanya sambil mengertakkan gigi.
Mr. Bradley tidak mau mundur. "Mungkin dewan kota
berpendapat lain," katanya tegas.
"Apa maksud Anda?" desak Nicholas. Ia agak membungkuk ke
depan, meneriakkan pertanyaan itu ke wajah Mr. Bradley.
Robin mundur satu langkah lagi. Apakah ayahnya betul-betul
mau berkelahi dengan orang ini" Robin pernah melihat ayahnya amat
sangat marah, tapi ia tidak pernah melihat ayahnya sampai berkelahi.
"Aku dan teman-temanku sudah mengajukan petisi kepada
dewan kota," kata Mr. Bradley, matanya menatap tajam mata ayah
Robin. "Kami ingin sebagian dari hutan ini diambil alih oleh kota."
Robin melihat urat di dahi ayahnya berdenyut lebih kencang
lagi. Dilihatnya kedua tangan ayahnya mengepal keras.
"Hutan ini harusnya bisa dinikmati semua orang," Mr. Bradley
meneruskan, memegang alat pengukurnya seperti orang memegang
senapan. "Tidak sepatutnya dikangkangi oleh satu orang saja." Ia
menggerakkan bahunya yang lebar. "Lagi pula, catatannya tidak
terlalu jelas. Ada kemungkinan secara hukum Anda bukan pemilik
hutan ini." Mulut Nicholas ternganga. Wajahnya sudah semerah tomat.
Robin menahan napas, menunggu ledakan.
Menunggu maki-makian. Kemarahan tak tertahan. Tinju
terayun. Tapi ayahnya membuatnya heran.
Kedua orang itu saling melotot, hidung mereka hampir beradu,
seperti sedang kontes adu melotot. Tak seorang pun dari mereka
berdua mengedipkan mata. Lalu Nicholas berkata perlahan, hampir berbisik, "Kita lihat
saja." Hanya itu. Bisikan tiga kata.
"Kita lihat saja."
Lalu ia berbalik dan pergi, kembali ke arah rumah, berjalan
dengan tegak, kakinya yang kurus dan panjang melangkah lebar.
Robin berdiri terpaku, masih menahan napas, memandang
ayahnya bergerak menjauh dengan cepat tanpa sekali pun menoleh ke
belakang. Jack Bradley menoleh ke Robin, seakan baru melihatnya. Lalu,
tanpa mengucapkan sepatah kata pun, ia berbalik dan menghilang di
balik pepohonan, mantel cokelatnya melambai-lambai di belakangnya.
Robin memejamkan mata dan menunggu sampai detak
jantungnya kembali normal. Dad tidak akan membiarkan mereka
mengambil hutan ini, pikirnya.
Tidak akan pernah. Dad akan mencari cara agar dewan kota tidak mengabulkan
keinginan Mr. Bradley. Bersyukur karena pertengkaran kedua orang itu tidak
berlangsung lama, dan tidak sampai terjadi perkelahian, Robin merasa
agak lebih nyaman. Ia menarik napas panjang. Udara terasa manis dan
segar. Aku perlu jalan, jalan jauh, katanya dalam hati. Ia berbelok ke
arah hutan, menuju anak sungai. Bintik-bintik sinar matahari menarinari di tanah di sekitar kakinya. Yang terdengar hanya suara sepatunya
di tanah berlumpur dan gemercik air mengalir.
Ia memandang berkeliling. Ke mana perginya burung-burung"
ia bertanya-tanya. Kenapa tidak ada burung di hutan ini"
Ini musim semi. Bukankah seharusnya burung-burung itu sibuk
membuat sarang untuk telur mereka"
Serumpun bunga liar berwarna ungu dan biru melambai-lambai
tertiup angin. Mata Robin mencari-cari kupu-kupu. Tak seekor pun
terlihat. Tidak juga serangga lain yang biasanya banyak pada musim
semi. Tidak ada serangga, tidak ada burung maupun binatang jenis apa
pun. Aneh sekali, pikirnya. Aku sudah berjam-jam di hutan. Tapi
baru sekarang kusadari itu.
Ia mengikuti aliran anak sungai yang berliku di sela-sela pohonpohon birch dan cedar, sepatunya melesak di tanah yang lunak.
Suara batuk membuatnya berhenti melangkah. Dan menahan
napas. Didengarnya suara batuk itu sekali lagi. Dan suara daun terinjak
kaki. Aku tidak sendirian di sini, pikirnya.
Tapi siapa itu" Jack Bradley" Apakah dia memeriksa hutan bagian ini juga"
Robin menyelinap ke balik sebatang pohon besar. Dan
mengintai. Di tepi anak sungai, dilihatnya rambut berwarna tembaga.
Seorang anak gadis. Gadis itu menoleh, menyipitkan mata ke arah datangnya sinar
matahari, seperti sedang mencari-cari seseorang.
Meghan! Jantung Robin berdebar kencang.
Apakah Meghan mencari aku"
Bab 5 MEGHAN berseru kaget ketika melihat sosok tubuh itu muncul
dari balik sebatang pohon. Karena silau oleh sinar matahari, mulanya
ia tidak mengenali siapa orang itu.
Lalu rambut berwarna cokelat itu, mata gelap yang berkilauan,
serta pipi merah itu terlihat lebih jelas. "Robin!" panggilnya.
Apa yang dia lakukan di sini" pikir Meghan, sambil
memandang Robin melangkah mendekat. Bagaimana dia menemukan
tempat rahasiaku ini" Ia mencari-cari ke pepohonan di sekitar Robin
untuk melihat apakah Robin sendirian.
Robin tersenyum padanya, senyum malu, kikuk.
Meghan membalas senyum Robin. Menyadari"tiba-tiba saja,
dan membuat dirinya sendiri heran"bahwa ia menyukai Robin.
"Hai," kata Robin, melangkah ke tepi anak sungai. Meghan
melihat lumpur melekat di sepatu kulit cokelat Robin.
"Hai," balas Meghan sambil menyapu rambutnya ke belakang.
Ia meluruskan salah satu tali bahu overall hijau yang dipakainya di
luar blus berwarna kuning muda. "Sedang apa kau di sini, Robin?"
Robin menunjuk ke belakang. "Sedang jalan-jalan."
Meghan merasakan hangatnya sinar matahari di wajahnya.
Permukaan anak sungai berkilauan ditimpa berkas-berkas sinar
matahari. "Hari ini cuacanya bagus sekali," katanya. "Kau sering
jalan-jalan di hutan?"
Robin mengangguk. "Ya, membuatku riang." Bulatan-bulatan
merah di pipinya semakin memerah.
Meghan menyipitkan mata menatapnya. "Kau... sedang sedih?"
Robin menggeleng. Seberkas rambut jatuh di keningnya.
"Bukan. Maksudku... aku senang jalan-jalan di hutan." la menghindari
tatapan Meghan. Dia manis, pikir Meghan. Meghan memetik sekuntum bunga liar berwarna biru dan
menciumnya. "Hutan juga membuat hatiku riang," katanya. "Aku suka
sekali anak sungai ini. Terutama suara gemerciknya. Seperti dentingan
bel." Robin mengangguk lagi. Ia membuka mulut untuk mengatakan
sesuatu. Lalu mengurungkan niatnya.
Aku harap dia tidak sebisu itu, pikir Meghan. Dia sangat
pemalu. Seperti belum pernah berbicara dengan anak perempuan.
Ia memandang melewati bahu Robin. Ada orang melangkah
keluar dari kerimbunan pepohonan"
Tidak. Hanya angin yang menggoyang daun-daun segar musim
semi. "Anak sungai ini mengalir ke danau?" Meghan bertanya pada
Robin. Lalu menggigit bibir bawahnya. Pertanyaan bodoh, pikirnya.
Robin pasti menganggapku membosankan.
Kenapa tiba-tiba aku jadi seperti orang bisu juga"
Robin tersenyum padanya. "Ya. Di sini banyak anak sungai
kecil yang mengalir ke danau. Rasanya aku sudah menelusuri semua
anak sungai itu." Ia memasukkan tangan ke saku celana cokelatnya. "Tempat ini
bisa disebut halaman belakang rumahku," tambahnya, menyapu
rambutnya ke belakang. Halaman belakang rumahnya, pikir Meghan. Hutannya.
Meghan hampir lupa bahwa ayah Robin pemilik hutan ini.
Hampir lupa cerita Richard bagaimana Nicholas Fear berusaha
menghalangi usaha ayah Richard meminta sebagian dari hutan ini
untuk digunakan oleh kota.
Hampir lupa bahwa Robin adalah keturunan Fear.
Meghan ingat kisah-kisah seram yang didengarnya tentang
keluarga Fear. Ia sendiri dilahirkan dan menghabiskan masa kecilnya
di New Jersey. Keluarganya baru pindah ke Shadyside enam tahun
Fear Street Jeritan Pertama First Scream Fearpark 1 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang lalu. Meghan baru berumur sepuluh tahun waktu itu dan tidak ingin
pergi meninggalkan teman-temannya. Tapi ayahnya kehilangan
pekerjaan beberapa minggu setelah runtuhnya bursa saham tahun
1929. Keluarga mereka tidak punya pilihan kecuali pindah ke daerah
tempat tinggal famili mereka di Shadyside dan memulai hidup mereka
lagi. Dan sejak Meghan datang, ia mulai mendengar bisik-bisik kisah
tentang Simon Fear dan keluarganya. Bagaimana mereka menjalankan
praktik ilmu hitam dan sihir. Bagaimana tetangga-tetangga mereka
mendengar jeritan-jeritan dan raungan-raungan aneh di tengah malam.
Kisah tentang orang yang berani masuk ke hutan dan tidak
pernah kembali. Kisah tentang betapa burung pun tidak mau tinggal di
hutan itu karena ada roh jahat.
Tentu saja kisah-kisah itu tidak ada yang benar, kata Meghan
dalam hati. Setiap kota punya kisah-kisah hantunya sendiri.
Melihat Robin yang manis dan pemalu itu, Meghan tahu kisahkisah tentang keluarga Fear pasti tidak benar.
"Apakah aku... masuk tanpa izin?" tanyanya sambil tersenyum.
Pertanyaan itu kelihatannya mengejutkan Robin. "Rasanya,"
sahut Robin tegas. Lalu menambahkan, "Tapi aku senang." Lalu
wajahnya berubah merah. "Mungkin ayahmu tidak akan mengizinkan aku berjalan-jalan di
hutannya yang sangat berharga ini," goda Meghan.
Wajah Robin berubah serius. "Aku"aku tidak seperti ayahku,"
katanya. "Mungkin kau pernah dengar cerita-cerita tentang
keluargaku. Tapi aku tidak seperti mereka."
Meghan mengangguk. Ia tidak tahu bagaimana harus menjawab
kata-kata itu. Diputar-putarnya sejumput rambutnya dengan jemari
tangannya. "Maukah kau... mm..." Robin ragu-ragu, matanya memandang
ke tanah. Lalu pertanyaannya meluncur dari mulutnya, "Maukah kau
jalan-jalan ke danau?"
"Tidak. Aku?" Meghan mulai menjawab. Tapi rasa sakit yang
tiba-tiba menusuk membuatnya mengangkat tangannya ke mata.
"Oh!" jeritnya.
"Ada apa?" "Ada yang terbang masuk ke mataku," katanya. Ia mengucekngucek matanya yang perih, tapi rasa sakitnya bertambah. "Auw!" Air
mata mengalir dari matanya, mengalir ke pipi.
"Coba kulihat," kata Robin. "Pasti serangga atau nyamuk."
Menyipitkan matanya yang sakit dan hanya membuka satu
matanya yang sehat, Meghan melihat Robin melangkah mendekat
dengan kening berkerut menunjukkan rasa prihatin. Pelan-pelan Robin
membuka kelopak mata Meghan dan memeriksanya, wajahnya sangat
dekat ke wajah Meghan. "Cuma sebutir debu," katanya.
Jarinya menyentuh mata Meghan perlahan-lahan. "Sudah.
Sudah kuambil." Meghan mengedip-ngedipkan mata beberapa kali. Rasanya
masih sakit. Air mata berlinang di pipinya.
"Sudah kuambil. Tapi matamu harus kaubasuh dengan air
dingin," kata Robin. "Mau ke rumahku?"
"Tidak. Aku... well..."
Tangan Robin masih di wajah Meghan.
Sekali lagi Meghan menyadari ia sangat suka pada Robin.
Ini selalu terjadi padaku, pikirnya. Aku pacaran dengan seorang
cowok"lalu aku bertemu cowok lain yang benar-benar kusukai juga.
Setelah mengedip-ngedipkan mata mengusir air mata yang
menggenang, ia memandang lagi melewati bahu Robin.
Dan melihat sesosok tubuh menghambur keluar dari hutan dan
berlari ke arah mereka. "Jangan!" Meghan sempat berteriak"sebelum orang itu
mencengkeram Robin dan menariknya dengan kasar.
"Jangan! Hentikan!"
Bab 6 ROBIN merasakan tangan-tangan kuat mencengkeram bahunya.
Merasakan dirinya dilemparkan ke samping bahkan sebelum ia sempat
berseru. Ia terhuyung-huyung, tapi tidak sampai jatuh.
"Hei!" akhirnya ia bisa berteriak, sambil memutar tubuhnya.
Dan menatap Richard Bradley yang wajahnya merah padam
karena marah. Kedua tangan Richard mengepal keras. Mata birunya
liar. Tubuhnya agak membungkuk seperti kucing siap berkelahi.
"Richard"hentikan!" suara Meghan terdengar nyaring di
telinga Robin. "Jangan ganggu dia!"
Robin merasakan rasa takutnya berubah menjadi marah. "Hei,
Bradley"ada apa?"
Richard memutar wajahnya dari Meghan ke Robin. "Kau
mencium pacarku," tuduhnya.
"Tidak!" Meghan yang menjawab.
Robin menarik napas panjang. Ditelitinya wajah marah Richard.
Apakah aku harus berkelahi dengan dia" pikir Robin. Bisakah
aku berkelahi dengan dia" Aku tak pernah berkelahi sejak di taman
kanak-kanak dulu. Richard menatap tajam pada Robin. Bibirnya membentuk
cibiran. Ia mengangkat tinjunya, menantang Robin. "Aku lihat
sendiri," katanya memaksa. "Aku lihat kau mencium dia."
"Tidak?" protes Robin. Suaranya agak serak.
"Dia menolongku!" jerit Meghan melengking. "Kau ini kenapa
sih, Richard?" Meghan melangkah menengahi kedua anak lelaki itu,
menghadap ke Richard, dan mengulurkan kedua tangannya seakan
ingin melindungi Robin. "Aku kelilipan, dan dia menolongku
mengeluarkan debu dari mataku," katanya.
Cemberut Richard tidak berkurang, tapi ia menurunkan
tinjunya. Ia menatap Meghan, meneliti wajahnya, mencoba melihat
apakah Meghan menceritakan yang sebenarnya.
"Itu betul," kata Robin. Ia berharap jantungnya tidak berdebar
sekencang itu, sampai-sampai hampir mengalahkan suaranya. "A-aku
hanya menolong dia. Dia tidak bisa mengeluarkan sendiri bintik debu
itu dari matanya." Richard menyapu selembar daun dari saku bajunya.
Memasukkan ujung baju flanelnya yang bercorak kotak-kotak merahcokelat ke dalam celana jinsnya, matanya tidak lepas mengawasi
Robin. Lalu, tanpa disangka oleh Robin, wajah Richard melunak. Dan
tertawa. "Richard... apa yang lucu?" tanya Meghan.
Tawa Richard semakin keras.
Meghan melangkah maju dan mengguncang pundak Richard.
"Berhenti! Kenapa kau tertawa?"
"Wajah kalian," sahut Richard di sela-sela tawanya. Ia
menyeringai pada Robin. "Aku hanya main-main. Aku tidak sungguhsungguh."
Mulut Meghan ternganga. "Hah?"
Richard menepuk punggung Robin. "Aku tahu kau tidak
menciumnya. Aku hanya ingin melihat reaksimu." Ia menggelenggeleng. "Mukamu sampai pucat! Sungguh." la tertawa lagi, tawa
melengking nyaring. "Richard, itu tidak lucu," kata Meghan marah.
"Lucu kok," sahut Richard, menyeringai. Ia menoleh ke Robin
dan mengguncang tinju besarnya. "Apa kaukira aku benar-benar ingin
kau merasakan ini?" "Aku tidak tahu," sahut Robin.
Padahal Richard sungguh-sungguh serius tadi, pikir Robin.
Justru yang sekarang dia hanya pura-pura. Dia bilang bahwa yang tadi
itu hanya lelucon karena dia melihat Meghan tidak senang.
Setidaknya dia tidak memukuliku di depan Meghan.
Sudah saatnya aku pergi, pikir Robin. "Aku harus pulang,"
katanya. "Sampai bertemu lagi hari Senin di sekolah."
"Bye, Robin," kata Meghan. "Sampai Senin nanti di sekolah,"
kata Meghan. Robin mulai berjalan pergi melewati mereka. Ia tidak
memperhatikan Richard mengulurkan kakinya. Begitu ia sadar, sudah
terlambat. "Hei!" teriak Robin ketika ia tersandung sepatu Richard. Ia
terjerumus ke depan, jatuh ke tanah.
Richard tertawa terbahak-bahak.
Robin sempat melihat Meghan cemberut pada Richard. Lalu
Meghan membungkuk membantu Robin berdiri.
"Aku rasa dia cemburu," bisik Meghan, bibirnya menyentuh
telinga Robin, membuat tengkuk Robin meremang.
Apakah Meghan menyukaiku" pikir Robin. Ia menepis-nepis
bajunya, menyapu rambutnya ke belakang.
"Sampai ketemu di sekolah," seru Richard mengejek. "Kecuali
aku ketemu kau sebelum itu!" Ia tertawa lagi.
Robin tidak mengindahkannya dan berjalan pergi. Setelah
masuk ke tengah rimbunnya pepohonan, ia berhenti. Dan menengok
ke belakang. Dari sela-sela dedaunan ia melihat Richard dan Meghan
berciuman. Richard melingkarkan lengannya pada Meghan sehingga
gadis itu seakan lenyap di balik baju flanel Richard. Wajah Meghan
menengadah ke wajah Richard, rambut merahnya tergerai ke lengan
baju Richard. Robin menghela napas, tidak mampu menekan rasa
cemburunya. Rasanya Meghan suka padaku, katanya pada diri sendiri. Tapi
bagaimana dia bisa menyukaiku sekaligus menyukai gorila besar
seperti Richard" Robin melihat ciuman mereka berakhir. Richard masih tetap
memeluk Meghan. "Kenapa ya, aku jadi sering melihatmu bersama
Robin?" tanya Richard pada gadis itu.
Robin bergerak maju, berusaha mendengar jawaban Meghan.
Tapi embusan angin membuat daun-daun gemeresik, membuat suara
Meghan tak terdengar. "Dari mana dia bisa tahu tempat pertemuan kita ini?" desak
Richard. "Kebetulan saja," sahut Meghan. "Dia sedang jalan-jalan. Dia
tidak tahu ini tempat rahasia kita."
Robin baru sadar bahwa dia menahan napas. Menguping
pembicaraan pribadi mereka ternyata lebih asyik daripada yang
terbayangkan. Tapi apakah Meghan suka padaku" tanyanya lagi pada diri
sendiri. Dan lagi. Apakah dia suka padaku"
"Tapi kenapa kau bicara dengannya?" Robin mendengar
Richard masih terus bertanya.
Jawaban Meghan menyengat Robin bagaikan gigitan ular. "Dia
kelihatan kesepian," Robin mendengar gadis itu berkata. "Aku hanya
kasihan padanya." ************ Robin berlari pulang, berlari melewati rimbunnya pepohonan
dan semak-semak, melompati batu-batu dan batang-batang pohon
tumbang, hutan hanya terlihat bagaikan bayangan yang bergerak
samar di matanya. Semua terlihat samar-samar.
Seakan matanya tergenang air mata.
Seakan dunia ini kabur, berkabut. Semua hanya merupakan
bayang-bayang gelap. Kabur, berkabut, bisa kautembus sambil berlari
tanpa merasakan apa pun. Tanpa merasakan apa pun. Tanpa rasa kesal. Atau marah.
Atau kecewa. Atau... patah hati. Tanpa merasakan apa pun. Dunia samar itu terbawa terus sampai Robin tiba di belakang
rumahnya. Melalui dapur. Menuju tangga depan yang akan
membawanya ke kamarnya di atas. Sambil berharap tidak akan
bertemu ayahnya. Berharap ia bisa ke kamarnya tanpa terganggu,
tempat ia bisa berpikir: Tempat ia bisa menayangkan kembali adeganadegan sore itu di kepalanya. Adegan dengan Meghan dan Richard,
mena-yangkannya lagi berkali-kali.
Itu kebiasaannya kalau ia sedang marah atau kesal.
Berbaring telungkup di tempat tidur, wajah dibenamkan ke
bantal, dan menyiksa dirinya, menyiksa diri sendiri, merasakan lagi
rasa sakitnya, bolak-balik diulang berkali-kali.
Tapi kali ini Robin tidak sampai ke kamarnya.
Ia berhenti di kaki tangga. Menengok ke ruang keluarga.
Ruangan terlihat tegas sekarang. Penglihatannya tidak lagi
kabur. Semua terlihat tegas dan jelas.
Robin menghambur ke ruang keluarga.
Menjatuhkan diri berlutut di samping ayahnya.
Ayahnya. Terbaring telentang. Mata menatap kosong ke langitlangit.
Ayahnya. Ayah Robin. Mati di lantai ruang keluarga.
Bab 7 "'DAD!" Robin mengguncang pundak ayahnya keras-keras.
"Dad! Dad!" Apakah dia masih bernapas"
Robin menaruh tangannya di mulut dan hidung ayahnya.
Tidak. Tidak bernapas. Mati. Mati di lantai ruang keluarga.
"Dad"tidak...! Dad! Bangun, Dad!" Kata-kata menghambur
dari mulut Robin dan bergema di ruangan luas itu.
Ia mengguncang-guncang tubuh ayahnya lebih keras lagi.
Tubuh Nicholas terasa sangat ringan di tangan Robin, sangat
ringan dan tipis, seakan mudah patah. Tapi diguncangnya juga.
Tidak bisa berpikir. Tidak bisa melihat. Semuanya kembali
kabur. Bayang-bayang kabur merah dan ungu.
"Dad" Dad?"
Ungu" Robin menoleh ke pintu yang menuju kamar kerja ayahnya.
Asap ungu mengambang di sekitar pintu. Asap tipis berwarna ungu,
bergerak perlahan-lahan ke arah langit-langit.
Asap ungu" Lagi"
Robin mengalihkan pandangannya ke dada ayahnya. Lalu
menekankan pipinya ke baju putih ayahnya. Dan mendengarkan.
Tidak ada suara apa-apa. Tidak ada suara detak jantung. Tidak ada detak tanda
kehidupan. Sunyi. "Dad" Dad?"
Asap tipis tadi bergerak mengambang ke ruang keluarga,
membawa bau asam-manis. Ditambah samar-samar bau busuk.
"Dad?" Asap ungu berputar-putar, semakin pekat, merendah. Robin
menatap, melihat asap itu membentuk kabut di atas tubuh ayahnya.
Nicholas bergerak. Mengerang. Membuka matanya.
Fear Street Jeritan Pertama First Scream Fearpark 1 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Dad?" "Oh. Halo, Robin." Suaranya tenang. Seperti tidak ada apa-apa.
"D-Dad?" Robin tergagap. Dia masih menggenggam pundak
ayahnya. "Dad tidak apa-apa?"
Nicholas mengangkat kepalanya dan memandang sekeliling
ruangan. "Ya. Aku baik-baik saja," sahutnya. Tapi suaranya agak tidak
meyakinkan, agak bernada heran.
"Dad... kau"kau?" Robin tergagap. Ia sangat lega melihat
ayahnya masih hidup. Sangat lega sehingga dadanya serasa akan
meledak. Ia ingin memeluk ayahnya. Memeluk dan mencium pipinya.
Tapi tentu saja ia tak akan melakukan itu. Kecuali untuk
berjabat tangan, ayah dan anak tidak pernah bersentuhan.
"Apa yang kulakukan di sini?" tanya Nicholas, perlahan-lahan
bangkit duduk. Ia menggoyang-goyangkan kepala seakan-akan ingin
menjernihkan otaknya. Robin melihat asap ungu itu telah lenyap.
"Aku tidak tahu," kata Robin, mengangkat tubuhnya, duduk
berlutut. "Aku"aku menemukan Dad di sini." Susah payah ia
menelan ludah. "Kau tidak bernapas. Aku"aku kira kau... mati. Apa
yang terjadi, Dad?" Nicholas menggeleng-gelengkan kepala lagi. Diambilnya
kacamatanya dan diamatinya seakan-akan mencari jawabannya di situ.
Lalu ia memakainya lagi dengan hati-hati, dan mengusap kepala
botaknya. Ia menatap Robin, masih seperti berusaha memfokuskan
pandangannya. "Entahlah, aku tidak tahu persis apa yang terjadi,"
katanya perlahan. Robin bangkit berdiri. Lalu mengulurkan kedua tangannya
membantu ayahnya berdiri.
Nicholas terhuyung-huyung, seperti akan terjatuh lagi ke lantai.
Robin membantunya ke salah satu kursi besar dan empuk di
depan perapian. "Dad tidak ingat bagaimana Dad ada di sini?"
desaknya. "Benar-benar tidak ingat?"
Robin tidak pernah mendesak ayahnya seperti ini. Tapi
menemukan ayahnya mati" atau hampir mati"di lantai sangat
membuatnya ketakutan. Robin harus tahu apa yang terjadi.
"Aku sedang berlatih sesuatu," kata Nicholas, menatap ke
perapian yang gelap. "Berlatih... apa?" desak Robin.
Nicholas tidak langsung menjawab. Ia menatap ke perapian
kosong dan menggerak-gerakkan rahangnya.
Ketika ia menoleh ke Robin, ekspresi wajahnya terlihat agak
aneh. "Kau lihat ibumu?" tanyanya, menatap tajam ke mata Robin.
"Hah?" Mulut Robin ternganga karena terkejut. "Mom?"
"Kau lihat dia?" Nicholas mengulangi pertanyaannya.
Terdengar nada takut. Tenggorokan Robin serasa kering. Ada sesuatu terjadi pada
Dad, pikirnya. Badannya serasa tersiram air dingin.
"Dad," kata Robin perlahan, berusaha agar nada suaranya
tenang. "Dad tahu Mom sudah meninggal lebih dari dua belas tahun
yang lalu." "Apa kau lihat dia?" desak Nicholas. Ia memandang berkeliling,
seakan yakin ibu Robin ada di ruangan itu.
"Tidak," sahut Robin, merasa pusing, melawan gelombang rasa
mual. "Tidak, aku tidak lihat Mom."
Nicholas menghela napas. "Aku kira kau melihatnya."
Robin menelan ludah. "Dia sudah meninggal, Dad. Ingat?"
Nicholas mengangguk. "Mungkin dia akan kembali," katanya,
menatap lagi ke perapian.
Robin ternganga. "Apa maksud Dad?"
Nicholas seperti tidak mendengar pertanyaan Robin. Ia
memejamkan mata, seakan mengabaikan keberadaan putranya.
"Dad"apa yang barusan kaukatakan?" desak Robin.
"Dia mungkin akan kembali," kata ayahnya, menghela napas,
dengan mata tetap terpejam.
Robin akan mengatakan sesuatu. Tapi suara di pintu
membuatnya terhenti. Suara gemeresik. Suara batuk. Robin memutar tubuh melihat ke pintu.
"Mom?" Bab 8 SESOSOK tubuh mengenakan tutup wajah melayang masuk ke
ruangan, dikelilingi asap tipis berwarna ungu.
Robin ternganga terkejut. Merasa seram.
Didengarnya desis suara ayahnya. "Itu dia!"
Nicholas Fear melompat berdiri dari kursinya dan
menggenggam bahu Robin, mencengkeramnya begitu keras sehingga
Robin meringis kesakitan. "Sudah lama aku berusaha," bisik Nicholas.
Sosok itu melayang semakin dekat.
Robin menyipitkan mata berusaha melihat lebih jelas melalui
kabut ungu itu. Ia bisa melihat bentuk gaun seorang wanita, gelap dan panjang,
hampir menyentuh lantai. Di balik gulungan asap ungu, ia melihat
lengan wanita itu, tangannya yang kecil ada di depan pinggang. Ia
juga melihat lengan bajunya yang panjang dan longgar.
Wanita itu bekerlip dan melayang"bagaikan nyala api, pikir
Robin. Bagaikan api ungu. Ia berusaha keras melihat wajahnya.
Apakah wanita itu punya wajah"
Sebuah topi bertepi lebar menutupi wajahnya dari pandangan.
Kabut ungu membentuk tirai di sekelilingnya. Tirai di depan
tirai. Bagi Robin, wanita itu tampak bagaikan sebuah bayangan di
dalam bayangan. Sesosok bayangan kabur di balik kabut ungu
kebiruan. "Mom?" desahnya.
Robin merasakan ayahnya dekat sekali di belakangnya. Ia bisa
merasakan napas ayahnya, bisa mendengar detak jantung ayahnya
berdebar sangat cepat. Merasakan genggaman keras ayahnya di
bahunya. "Yaaa!" desis Nicholas Fear lagi. "Yaaaa! Itu Ruth!"
Rasa dingin membuat seluruh tubuh Robin menggigil. Sambil
memperhatikan bayangan kabur yang melayang-layang di atas lantai,
ia berusaha mengingat-ingat ibunya.
Berusaha mengingat-ingat wajah ibunya. Senyumnya.
Ia hanya berhasil membayangkan wajah kosong dikelilingi
rambut gelap berombak. Apakah matanya biru atau hitam"
Ia tidak ingat. Ia tidak ingat mata ibunya, atau senyumnya, maupun suaranya.
Ia tidak ingat suara tawa ibunya.
Tidak ingat apa pun, kecuali rambut hitam berombak. Dan bau
bunga Lilac. Lilac" Bagaimana Robin bisa ingat itu"
Ibunya meninggal waktu ia baru berumur empat tahun.
Tapi sekarang ibunya melayang-layang menghampirinya dari
seberang ruangan. Melayang-layang di tengah awan ungu, untuk
bergabung lagi dengan mereka setelah bertahun-tahun lamanya
berpisah. Gaun panjangnya beriak-riak sementara ia melayang. Lengan
gaun itu tiba-tiba tampak berkibar naik-turun bagaikan bendera tertiup
angin. Topi bertepi lebarnya berkilau dan berayun, menyembunyikan
wajahnya dari pandangan Robin.
Apa yang telah kaulakukan, Dad" pikir Robin.
Apakah kau benar-benar telah menggunakan ilmu sihirmu
untuk mengembalikan Mom dari kubur" Apakah kauhabiskan dua
belas tahun ini di ruang perpustakaanmu yang gelap itu, mempelajari
kitab-kitabmu, melatih mantra-mantramu, memanggil asap ungu
menyeramkan ini"menghabiskan seluruh tahun-tahun itu untuk
membawanya kembali" Bagaimana kau melakukannya"
Tidak. Jangan beritahu aku.
Robin betul-betul tidak ingin tahu.
Terasa desakan keras di hatinya untuk lari, kabur dari ruangan
itu, tanpa menunggu bayangan samar-samar itu datang padanya.
Tapi genggaman tangan ayahnya membuatnya tetap di tempat
itu. Dan ia baru menyadari bagaimana kakinya terasa lumpuh,
seluruh tubuhnya membeku" karena takut" Karena takjub" Atau
sekadar karena ingin tahu"
"Yaaaa, Ruth!" desis Nicholas.
Sosok bayangan itu mendekat, gaun panjangnya menyapu
lantai. Lengan bajunya melambai-lambai. Seluruh bayangan itu
bergoyang bagaikan seonggok awan.
Semakin dekat. Robin merasa seakan tergulung dalam rasa dingin yang
menusuk. Udara di sekitar sosok yang bergerak mendekat itu terasa sangat
dingin. Menolehlah, Mom, desak Robin dalam hati. Menolehlah agar
bisa kulihat wajahmu. Robin menggigil. Bahkan genggaman erat ayahnya di
pundaknya tidak bisa menghentikan gemetar tubuhnya.
Rasa dingin menyapu seluruh tubuhnya. Tidak pernah ia
merasakan dingin sedingin ini.
Ini bukan hawa dingin di bumi.
Ini dingin dari alam kubur.
Dingin yang paling dingin dari semua rasa dingin. Dingin
kematian. Menolehlah, Mom. Aku ingin melihatmu. Aku ingin melihat
wajahmu. Sosok melambai-lambai itu melayang semakin dekat lagi. Lalu,
seakan membaca pikiran Robin, sosok itu memutar kepalanya.
Kabut ungu menguak. Topi lebar bergeser ke belakang.
Dan Robin melihat wajah ibunya.
Melihat tulang-tulang berwarna kelabu kehijauan dari tengkorak
kepalanya yang membusuk. Melihat lubang hitam kosong bekas rongga matanya.
Melihat seringainya yang penuh gigi. Rahang bawah yang
tergantung-gantung. Serpihan-serpihan kulit menghitam menempel di
lubang bekas tempat bibirnya dulu, bibir yang dulu pernah tersenyum
padanya, bibir yang dulu pernah menciumnya.
Sekarang bibir itu tidak ada lagi. Juga tidak ada mulut sama
sekali. Hanya daging dan tulang membusuk.
"Tidaaaaaak!" jerit rendah ketakutan meluncur dari mulut
Robin. Dan ketika melihat seekor cacing cokelat gemuk menggeliat
keluar dari lubang hidung kiri ibunya, Robin memejamkan mata"lalu
menjerit, menjerit, dan menjerit.
Bab 9 DAN terbangun menjerit-jerit.
Ayahnya membungkuk di atas tubuhnya, memperhatikannya
melalui lensa kacamatanya dengan bibir terkatup kering. Dan seorang
perawat berdiri di sampingnya, seorang wanita berwajah
menyenangkan berseragam putih, rambut hitamnya ditekuk ke atas di
bawah topi seragamnya. Robin menghentikan jeritannya. Tenggorokannya terasa kering
dan panas bagaikan api. Seperti diamplas sampai ke dadanya. Digosok
dan digosok dengan amplas hingga berdenyut-denyut dan berdarah.
Dadanya terasa sesak. Susah bernapas.
Ia menatap wajah ayahnya yang tampak prihatin. Berusaha
memusatkan pandangan. Terlihat darah kering di bibir bawah
ayahnya. Karena digigit-gigitnya sendiri"
"Pasti mimpi buruk yang sangat menyeramkan, Nak," gumam
Nicholas, lalu menoleh ke perawat. "Pasti mimpi buruk yang paling
menyeramkan, lebih dari yang sudah-sudah."
Robin mencoba menjawab, tapi hanya suara serak yang keluar
dari kerongkongannya. Mimpi buruk" Bukan. Ini pernah terjadi sebelumnya, Robin tahu. Dad pernah
mencoba ilmu sihirnya sebelum ini. Dan hanya berhasil membuatku
takut. Lalu menyebut itu sebagai mimpi buruk.
Menyewa perawat dan menyebut itu mimpi buruk. Membayar si
perawat agar mengatakan itu mimpi buruk juga.
Mana mungkin mimpi buruk bisa seseram itu. Mana mungkin
mimpi buruk bisa sama seramnya dengan kenyataan.
Tapi Robin selalu ikut berpura-pura. Habis mau bagaimana
lagi"EBUKULAWAS.BLOGSPOT.COM
"Tadi kau sedang tidur lelap, anak muda," kata si perawat.
Mengatakan begitu karena dibayar.
"Berapa... lama?" bisik Robin. Memaksakan bicara membuat
lehernya sakit. Berapa lama aku menjerit-jerit" pikirnya.
"Hari ini hari Senin," sahut Nicholas.
Dua hari" Apakah aku betul-betul sudah menjerit-jerit sejak hari
Sabtu" Kenapa aku menjerit-jerit"
Robin tidak ingat. Itu bagian dari strategi ayahnya. Apakah dia
menghipnotis Robin dan memaksa ingatannya hilang" Bagaimana dia
menghapus ingatan dari otak Robin"
Robin tahu ia ketakutan"merasa seram.
Merasa sangat seram sampai menjerit-jerit selama dua hari.
Tapi ia tidak ingat kenapa.
"Kau merasa lebih baik?" tanya Nicholas lembut, tapi tanpa
sungguh-sungguh menunjukkan perasaan. Ia membungkuk di atas
Robin, meneliti wajahnya, meneliti matanya.
Memastikan bahwa aku tidak ingat" pikir Robin.
"Aku... baik-baik saja," bisik Robin, tenggorokannya
mengingatkannya pada rasa sakit.
"Akan kuambilkan minum," kata perawat. Wanita itu pun pergi.
Robin mengangkat kepalanya. Kamar tidurnya terlihat sama.
Setidaknya kamar tidurnya terlihat sama. Tidak ada yang
berubah"kecuali jauh di dalam benaknya, sesuatu yang tidak bisa
dijangkaunya. Ada yang hilang. Mimpi buruk hilang dalam mimpi buruk.
Mimpi buruk yang sebetulnya kenyataan.
Nicholas menggelengkan kepala. Gerakan terlatih.
Kelihatannya dia sudah berlatih melakukan gerakan-gerakan tanda
simpati. "Pasti buruk sekali mimpimu kali ini, Robin," katanya.
"Syukurlah sekarang sudah berlalu." Ia menghela napas. "Aku harap
ini tidak sering-sering terjadi padamu."
Aku juga, pikir Robin pahit.
"Aku harus pergi sebentar," kata Nicholas. Ia menghela napas
lagi. "Aku punya mimpi burukku sendiri."
Fear Street Jeritan Pertama First Scream Fearpark 1 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hah?" Robin ingin bicara, tapi rasa sakitnya terlalu besar.
"Dewan kota sudah mengadakan rapat hari ini," kata Nicholas,
tanpa menyembunyikan nada marah dalam suaranya. "Mereka sudah
tidak sabar mengadakan pemungutan suara mengenai usulan Jack
Bradley." Taman hiburan" Ingatan Robin melayang balik. Melayang... bagaikan sesosok
bayangan hantu. Sesosok bayangan hantu yang pernah dilihatnya di suatu
tempat. Belum lama. Sesosok bayangan melayang-layang di ruangan...
Di mana" Ia tidak ingat.
"Mereka memutuskan mengambil alih hutan kita, Robin,"
Nicholas meneruskan dengan nada pahit. "Empat puluh hektar.
Mereka memutuskan mengambil empat puluh hektar hutan kita untuk
membangun taman hiburan konyol."
"Sayang sekali, Dad," gumam Robin.
"Kita tidak bisa membiarkan mereka melakukan itu kan,
Robin?" desak Nicholas. "Kita tidak bisa membiarkan mereka
mengambil hutan kita."
Dia tidak berbicara padaku, Robin menyadari. Dad berbicara
pada dirinya sendiri. "Aku segera kembali," kata Nicholas, menepuk-nepuk selimut
di dada Robin. "Tidurlah, Nak." Ia melangkah ke pintu. "Kau akan
baik-baik saja. Itu hanya mimpi buruk."
Bukan, bukan mimpi, pikir Robin, memandang ayahnya pergi.
Itu bukan mimpi, Dad. Itu nyata. Itu betul-betul terjadi. Itulah istimewanya hidupku. Mimpi burukku selalu nyata.
************* Jack Bradley mengalungkan gulungan tambang ke bahunya.
Lalu mengangkat koper besi berisi peralatan ukur dan berseru pada
dua pembantunya. "Ke sini! Barney! Ken!"
Sambil menudungi mata mereka dari sinar matahari sore, kedua
orang itu"berpakaian overall dari bahan denim dan baju kerja"
mengikuti Jack masuk ke hutan. Barney, tinggi dan berjenggot,
membawa dua gulungan tali. Ken, berumur sembilan belas tapi seperti
anak berumur dua belas, membuka setumpuk pasak kayu.
Jack memberi tanda agar mereka berjalan lebih cepat. Matahari
sudah mulai rendah di balik pepohonan. Ia ingin mereka selesai
sebelum gelap. Jack tidak percaya takhayul. Dan ia tidak percaya kisah-kisah
yang didengarnya sejak ia masih kecil. Tapi ia tidak ingin berada di
tengah Hutan Fear Street setelah matahari tenggelam.
Sepatu botnya melesak ke tanah becek. Peralatan di dalam
koper berdenting-denting ketika ia melangkahi pokok kayu yang
tumbang. "Beri tanda di sini," perintahnya pada Ken.
Anak muda itu mengernyitkan wajah seakan tidak mengerti.
Lalu ia mengambil sebuah pasak kayu dan dengan tangan satunya
mengeluarkan palu kecil dari saku overall-nya.
"Di sini?" Jack mengangguk. Ken membungkuk dan mematokkan pasak itu ke tanah.
"Kita jalan langsung ke dalam sana?" tanya Barney, sambil
menggaruk janggutnya. "Ya, langsung ke dalam," sahut Jack. "Kita ukur panjangnya
dulu ke dalam. Baru nanti lebarnya."
Barney menggeleng-geleng. "Wuih. Empat puluh hektar.
Nicholas Fear pasti melolong-lolong seperti anjing luka."
Jack tersenyum. Ia mencoba membayangkan Nicholas Fear
yang kaku, serius, dan angkuh, melolong-lolong seperti anjing.
Aku heran orang itu begitu mementingkan dirinya sendiri, pikir
Jack. Kami bahkan telah menawarkan pembagian keuntungan taman
hiburan itu. Tapi dia tetap tidak mau mendengarkan usulan itu.
Jack sesungguhnya tidak ingin mengambil empat puluh hektar
dengan paksa. Tapi pilihan apa lagi yang bisa diambil dewan kota"
Terlalu banyak orang menganggur. Taman hiburan ini akan membuat
kota hidup lagi, pikir Jack. Tanpa itu, Shadyside mungkin tidak akan
bertahan. "Pekerjaan ini terlalu berat untuk tiga orang," kata Barney,
mengikatkan salah satu ujung tambang ke pasak di tanah. "Menurutmu
kita bisa selesaikan pengukuran hari ini, Jack?"
Jack melepas topi kulit hitamnya dan menggaruk rambut
pirangnya. "Kita lakukan sebisanya, Barney."
Jack sudah meminta putranya, Richard, untuk membantu. Tapi
Richard pergi entah ke mana dengan pacarnya, Meghan Fairwood.
Jack mendesah. Aku jarang melihat Richard belakangan ini,
pikirnya. Kalau tidak pergi dengan pacarnya, dia sibuk berlatih
dengan tim bisbol. Sekali-sekali aku perlu pergi dengan dia, pikir Jack. Hanya
berdua. Mungkin memancing ke Conononka, yang banyak ikan
lelenya itu. Sementara matahari semakin rendah dan udara semakin sejuk,
ketiga orang itu meneruskan pekerjaan mereka. Ken mematok. Barney
merentang tambang. Baju mereka basah karena keringat walaupun
udara sore itu sejuk. Agak jauh di tengah hutan, Jack melihat anak sungai kecil. Ia
memandang ke air, melihat apakah ada ikan-ikan kecil di situ, tapi tak
seekor pun terlihat. "Kita seberangi anak sungai ini?" tanya Ken.
Jack mengangguk. "Anak sungai ini harus diuruk," katanya,
matanya mengikuti aliran anak sungai itu. "Tidak boleh ada anak
sungai mengalir di tengah taman hiburan."
Aliran anak sungai itu membuat bunyi yang menyenangkan,
bagaikan suara musik. Ketiga orang itu menyusuri tepiannya. Jack
berhenti ketika dilihatnya tapak-tapak sepatu di tepian yang becek.
Tapak sepatu dari setidaknya tiga orang. "Aneh. Aku tidak tahu
ada orang di sini," gumamnya.
"Di sini alirannya sempit, kita bisa meloncat ke seberang," kata
Barney. "Airnya tidak dalam. Kita bisa berjalan menyeberang," kata
Jack. Ia berjalan masuk ke sungai. Air hanya sampai setengah sepatu
botnya. "Setelah dekat Danau Fear baru airnya dalam."
Mereka berjalan menyeberangi anak sungai itu, sambil
mengulur tambang. Matahari sudah lebih rendah. Langit agak gelap.
Bayangan mereka di tanah becek kini berwarna kebiruan.
"Pasang patok di sana," kata Jack, menunjuk.
Ken berlutut dan mengambil sebuah pasak.
Saat Jack berjalan ke arah pepohonan, ia mendengar suara palu
memukul pasak kayu. Lalu didengarnya Ken menjerit.
"Aduuuh! Kakiku! Aduuuh!"
Jack terkejut dan memutar tubuhnya.
Dan melihat Ken menjerit-jerit kesakitan.
Pertama dilihatnya wajah Ken mengerut kesakitan. Lalu
dilihatnya pasak kayu, tertancap di sepatu bot Ken.
"Kakiku! Kakiku!" teriak Ken. Tangannya mengepak-ngepak di
udara, bagaikan sayap burung.
Di sekitar pasak kayu itu darah mengalir.
Kenapa bisa begitu" pikir Jack. Kenapa Ken mematok pasak
kayu ke kakinya sendiri"
Lalu pertanyaan itu hilang dari kepala Jack saat ia berlari untuk
menolong anak muda itu. Ia dan Barney berlutut di samping Ken,
menyuruhnya diam, mengatakan bahwa Ken akan baik-baik saja.
"Kita cabut saja pasaknya?" tanya Barney, suaranya lemah,
bergetar. Darah mengalir di sekitar pasak, menetes ke bawah sepatu.
"Tidak. Jangan dicabut," kata Jack. "Nanti darahnya makin
banyak. Kita bawa saja dia ke mobil. Kita bawa ke Rumah Sakit
Shadyside." "Sakit sekali... Aduh... Sakitnya bukan main!" Ken mengerang.
Jack dan Barney mengangkatnya berdiri.
"Bantu dia ke mobil," Jack menyuruh Barney. "Ken,
bersandarlah ke Barney. Jangan bertumpu pada kaki yang sakit.
Barney akan membawamu ke rumah sakit. Kau akan baik-baik saja,
mereka akan hentikan perdarahannya."
"Kau sendiri?" tanya Barney.
Jack menggerakkan bahu. "Menyelesaikan ini. Tinggalkan saja
tambangnya, oke?" "Tapi, Jack?" protes Barney.
Ken mengerang. "Bawa dia ke mobil," Jack menyuruh. "Aku hanya akan bekerja
beberapa menit lagi. Lalu aku juga akan pulang."
Barney ingin mendebat, tapi dilihatnya Jack tetap pada niatnya.
Dirangkulnya pinggang Ken dan dibantunya menyeberangi anak
sungai. Jack memandang mereka sampai keduanya lenyap di balik
pepohonan. Bahkan setelah mereka tidak terlihat lagi, ia masih
mendengar erangan Ken. Ken bukan anak yang canggung, pikir Jack, menggelengkan
kepala. Ken pekerja yang bisa diandalkan. Bagaimana dia bisa
ceroboh seperti itu"
Begitu ceroboh sampai mematok pasak kayu ke sepatu dan
kakinya sendiri" Jack menggigil, membayangkan betapa sakitnya kaki itu.
Lalu rasa gatal itu mulai terasa.
Mula-mula di dadanya. Ringan saja mulanya. Jack hampir tidak
merasakannya. Ketika mulai merasakannya, ia mengira ada serangga merayap
di dadanya. Digaruknya dadanya dari luar bajunya.
Rasa gatal semakin tajam. Seperti digigit serangga sekarang.
Dan menjalar ke pundaknya. Juga ke bawah lengannya.
Jack menjatuhkan peralatan yang dibawanya dan menggarukgaruk lengannya. "Serangga brengsek!"
Apakah aku menyenggol sarang nyamuk tadi" pikirnya.
Serangga-serangga itu merayapi lehernya sekarang, menggigiti.
Sekarang rasanya semakin sakit.
Jari-jari Jack bergerak mengambil serangga di lehernya.
Tapi herannya ternyata tidak ada seekor serangga pun di situ.
Dadanya gatal sekali, menggelitik. Begitu juga punggungnya.
Kakinya gemetaran. Napasnya megap-megap.
Ia membungkuk untuk menggaruk kakinya. Lalu menggosokgosok pipinya yang juga gatal.
"A-aku tidak tahan!" jeritnya keras.
Tapi suara itu terbungkam karena di dalam mulutnya juga terasa
sangat gatal. Lidahnya juga terasa menggelitik seperti ada ribuan kutu
merayap-rayap di sana. "T-tolong...," Jack tergagap.
Ia menggaruk-garuk lehernya. Menggosok pipinya, mencakari
dadanya. Menggaruk dan mencakar. Mencakari dadanya sampai kulitnya
terkelupas. Tapi rasa gatalnya tidak berkurang.
"Ohhhh..." Erangan lemah meluncur dari kerongkongannya
yang gatal. Kakinya gatal, gemetaran, dan tidak mampu menahan berat
tubuhnya. Ia terjatuh berlutut. Mengerang. Megap-megap menarik
napas. Ia mencakari kulit lengannya. Darah membasahi bajunya.
Menggaruk dan mencakar. Mencakar-cakar bagaikan binatang
gila. Aku tidak bisa berhenti! ia menyadari.
Tidak bisa berhenti! Tidak bisa berhenti!
Apakah aku akan menggaruk terus sampai kulitku terkelupas
semua" Bab 10 MEGHAN memasang kancing di bagian depan sweter wolnya
yang berwarna biru, lalu melipat kedua tangan di depan dada. Ia
memperhatikan celah-celah pepohonan, berjalan bolak-balik dengan
perasaan tidak sabar. Mana Richard" pikirnya.
Aku tidak bisa menunggu lebih lama di tengah hutan seperti ini.
Matahari hampir terbenam.
Ia menggigil. Udara mulai terasa lembap dan dingin.
Ini memang ide konyol, katanya pada diri sendiri. Janji bertemu
Richard di sini. Bilang pada orangtuaku bahwa aku pulang telat
karena harus mengerjakan sesuatu di sekolah.
Dan sekarang Richard entah di mana.
Entah mengapa Meghan jadi berpikir tentang Robin Fear.
Karena ini hutan cowok itu" Tidak. Meghan mengakui bahwa
belakangan ini ia memang sering berpikir tentang Robin.
Tentang matanya yang gelap dan tenang. Senyumnya yang
malu-malu. Kadang-kadang ia membayangkan mereka berdua, berjalan
bersama di sekolah. Atau berjalan-jalan berdua di tepi anak sungai
atau di Shadyside Park. Bisakah aku benar-benar putus dengan Richard" pikir Meghan.
Bisakah aku putus dengan dia sehingga aku bisa pergi dengan Robin"
Pikiran itu mengejutkan Meghan.
Kenapa aku tidak pernah bisa mengambil keputusan" tanyanya
pada diri sendiri. Tadinya kukira aku benar-benar cinta pada Richard. Tapi
sekarang aku tidak begitu yakin.
Embusan angin menerpa rambut Meghan. Dahan-dahan pohon
bergoyang-goyang. Tiba-tiba Meghan merasa seakan ada ribuan mata
mengintainya dari balik semak-semak dan batang-batang pohon.
Jangan terlalu terbawa suasana hati, Meghan, ia memarahi diri
sendiri. Tidak ada orang lain di sini.
Tapi kemudian semak-semak terkuak. Meghan mendengar
langkah kaki. Dan sesosok bayangan gelap berlari menghampirinya.
"Richard"dari mana saja kau?" seru Meghan, suaranya lebih
tinggi dari yang dia maksudkan. "Aku berdiri menunggu sendirian di
hutan lebih dari setengah jam."
"Maaf," jawab Richard terengah-engah. Ia mendekati Meghan
dan mencium pipinya. Dahinya berpeluh. Meghan menebak Richard
pasti berlari sepanjang jalan ke sini.
"Pelatih menyuruh kami latihan lebih lama dari biasanya,"
katanya menjelaskan. "Katanya kami kurang serius. Dia ingin melihat
kami lebih bersemangat sebagai satu tim." Richard memberengut.
"Bagaimana kami bisa punya semangat tim kalau dia selalu
mengatakan kami tim yang buruk dan menyuruh latihan terlalu lama
setiap hari?" Richard mengelap dahi dengan lengan sweternya. Ia
membungkuk untuk mencium Meghan lagi, tapi Meghan menghindar
mundur. Gadis itu menggigil. "Aku betul-betul harus pulang sekarang.
Sudah hampir waktu makan malam. Ini ide konyol."
Richard mengerutkan kening. "Kan bukan salahku." Ia
menyelipkan lengannya merangkul bahu Meghan.
Fear Street Jeritan Pertama First Scream Fearpark 1 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Meghan akan protes, tapi lalu mengubah niatnya. Lengan
Richard terasa hangat. Ia masih menggigil kedinginan.
Disandarkannya pipinya ke dada Richard.
Mereka mulai berjalan. Richard bicara. Tentang tim bisbol dan
pelatihnya. Meghan hanya mendengarkan setengah hati. Ia memandang
pepohonan. Hanya terlihat bagaikan bayangan kelabu dan gelap
sekarang. Seakan semua warna telah dihapus dari dunia.
Merasakan berat tubuh Richard di bahunya, Meghan teringat
pada Robin. Robin dan Richard. "Apa yang kaupikirkan?" suara Richard menembus pikirannya.
Richard melepas rangkulannya.
"Hah" Tidak," sahut Meghan. "Hanya mendengarkanmu.
Rasanya aku cuma khawatir terlambat pulang, lewat dari waktu makan
malam. Mom akan bertanya dari mana saja aku. Dan kau sendiri tahu
aku tidak pintar berbohong."
Richard terkekeh. "Ya, kau selalu gagap dan terbata-bata kalau
sedang berbohong." Richard berhenti berjalan. Meghan melihat ekspresi wajah
cowok itu berubah. Richard mengintai ke tengah bayang-bayang
kelabu. "Apakah itu kijang, yang di sana itu" Di tanah?"
Sebelum Meghan sempat menjawab, Richard sudah mulai
berlari-lari kecil ke sana. "Hei!" Richard berseru karena tersandung. Ia
kehilangan keseimbangan, kakinya terangkat ke belakang, kedua
tangannya terentang ke depan.
Ia mendarat keras di tanah. Meghan melihatnya duduk
perlahan-lahan sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Tali," katanya.
"Lihat. Ada yang memasang tali di sini."
"Benar!" seru Meghan. "Kenapa orang memasang tali di sini?"
Richard tidak menyahut. Ia memandang ke arah lain. Menatap
sosok gelap kijang yang terbaring di tanah.
Meghan cepat-cepat mendekatinya sementara Richard bangkit
berdiri. Mereka perlahan-lahan bersama-sama mendekati tubuh yang
tidak bergerak itu. Meghan yang pertama menjerit.
Dilihatnya itu bukan tubuh.
Bukan tubuh. Bukan kijang.
Bukan kijang. Bukan binatang.
Tapi manusia. Kerangka manusia.
Kerangka yang tulang-tulangnya... tulang-tulangnya... tulangtulangnya sudah bersih tanpa sepotong daging pun melekat.
Bahkan di dalam gelap itu, Meghan bisa melihat tulang-tulang
rusuk kerangka itu, licin kelabu. Ia bisa melihat tempurung lutut,
tulang-tulang tungkainya tertekuk sehingga terlihat seakan kerangka
itu sedang berusaha berdiri.
Salah satu tulang tangan mencengkeram dada bagian atas,
seakan-akan sedang memegangi jantung atau menggaruk dada. Tulang
tangan yang lain terjulur ke rumput. Tangan itu memegang suatu
benda. Ada sebuah benda mengilat di dekat kerangka itu. Sambil
menahan rasa seramnya, Meghan memperhatikan benda itu. Segulung
pita meteran dari logam"
"Ohhhhh." Meghan mendengar erangan panjang di sampingnya. Ia
mengalihkan pandangannya dari kerangka itu, dan melihat wajah
Richard menunjukkan rasa ngeri. Mata Richard... penuh air mata.
Seluruh tubuh Richard bergetar.
"Richard" Kau...?" Meghan menoleh ke kerangka itu lagi.
Dan melihat kepalanya. Bukan tengkorak. Bukan tengkorak yang bersih dari kulit dan
daging seperti tulang-tulangnya yang lain.
Kepalanya utuh. Wajahnya masih ada. Rambutnya juga.
Wajah seorang lelaki. Masih lengkap. Kulitnya hampir sepucat tulang-tulang
kerangkanya. Matanya menatap lurus ke atas. Mulutnya terbuka di
tengah jeritan. Kepalanya. Masih utuh. Dengan kulit dan daging. Lengkap.
Meghan menutup wajah dengan kedua belah tangan. Ia ingin
menjerit. Tapi suaranya tidak keluar.
Ia tak mampu melepas pandangannya dari wajah itu.
Hanya sebuah kepala di atas kerangka.
Kepala seorang lelaki di atas tulang-tulang kerangka. Seakanakan ribuan serangga telah menyerang dan memakan seluruh
tubuhnya kecuali kepala. Kepala. Kepala Jack Bradley. "Dad!" jerit Richard, lalu jatuh berlutut. Ia mengulurkan sebelah
tangan, meraih, meraih kepala di atas kerangka itu.
"Dad! Dad! Dad! Dad! Dad!"
Jeritan Richard melengking di antara gemeresik suara
dedaunan. Bagian 2 1935 Bab 11 ROBIN melangkah ke tengah cahaya matahari keemasan yang
membentuk persegi empat di karpet kamar tidurnya. Ia sudah berjalan
hilir-mudik di kamarnya sejak selesai sarapan pagi tadi.
Sudah hampir satu minggu sejak kepala dan kerangka Jack
Bradley ditemukan di tengah hutan. Robin tidak melihatnya sendiri,
tapi ia membaca beritanya di koran.
Dan berpikir tentang itu.
Dan bermimpi tentang itu.
Berita-berita di koran menceritakannya dengan sangat rinci.
Kepala Jack Bradley terbaring menengadah di atas rumput. Mulutnya
ternganga ketakutan. Kepala itu masih menyambung ke tulang leher.
Dan sisanya... hanya tulang belulang. Terbaring di rumput.
Bersih. Seakan-akan sejak semula tidak pernah ada kulit, daging, organ
dalam, maupun urat-urat darah.
Ke mana hilangnya semua itu"
Mr. Bradley baru satu atau dua jam tewas ketika Meghan dan
Richard menemukan kerangkanya. Jadi ke mana perginya sisa tubuhnya yang lain"
Robin merasa ia tahu jawabnya. Dan teorinya itu membuatnya
tidak bisa tidur bermalam-malam, membuatnya tidak henti-hentinya
melangkah bolak-balik di kamarnya Sabtu pagi ini.
Keluarga Fear tidak menghadiri pemakaman Jack Bradley.
Robin merasa lega ketika ayahnya memutuskan untuk tidak hadir. Ia
tahu kehadiran Nicholas sangat tidak diinginkan.
Robin membaca di koran bahwa pemakaman itu salah satu yang
terbesar dalam sejarah Shadyside. Mr. Bradley orang yang sangat
populer. Sebagai anggota dewan kota dan pemilik salah satu
perusahaan konstruksi perumahan terbesar, hampir semua orang
mengenalnya. Rencana Mr. Bradley untuk membuat taman hiburan juga
sangat populer. Sebagian besar penduduk percaya bahwa taman
hiburan itu akan menjadi daya tarik bagi turis dan menyelamatkan
kota ini. Koran menulis bahwa Mr. Bradley adalah calon kuat untuk
menduduki kursi wali kota. Polisi negara bagian pun telah
mengirimkan orang untuk menyelidiki kematiannya yang misterius.
Apakah dia dibunuh binatang"atau binatang-binatang"di
hutan" Atau oleh manusia" Apakah itu kasus pembunuhan"
Atau barangkali dia mendadak terserang penyakit aneh yang
menghancurkan kulit dan dagingnya dengan sangat cepat"
Sejauh ini polisi masih bingung. Mereka sama sekali tidak
punya petunjuk. Sambil berjalan mondar-mandir di kamarnya, dengan kedua
tangan yang sedingin es terkepal erat-erat, Robin merasa ia tahu
jawaban misteri itu. Itu pasti Dad, pikir Robin.
Ia tidak ingin memercayai itu.
Tapi siapa lagi kemungkinan pelakunya"
Robin terus mengingat pertemuan penuh ketegangan dan
kemarahan antara ayahnya dan Jack Bradley. Ia tidak bisa melupakan
wajah berang ayahnya ketika mereka memergoki Mr. Bradley sedang
memeriksa sebagian hutan mereka.
Apakah ayah Robin memperingatkan Mr. Bradley waktu itu"
Apakah Nicholas mengancamnya"
Robin tidak ingat persis kata-kata ayahnya waktu itu. Tapi ia
melihat betapa ayahnya sangat marah. Dan ia tahu betapa kuatnya
tekad Nicholas mempertahankan hutan itu"seluruh hutan itu"
sebagai hak milik keluarga Fear.
Apakah Nicholas membunuh Jack Bradley"
Robin berpikir tentang asap ungu. Dan ayahnya, diselimuti
kabut aneh di ruang perpustakaan, mengambang, melayang di udara.
Hanya impian, kata ayah Robin. Itu tidak sungguh-sungguh
terjadi. Hanya salah satu dari mimpi burukmu, Nak.
Tapi Robin tahu itu kejadian nyata. Robin tahu Nicholas punya
mantra dan ilmu sihir. Robin tahu tentang buku-buku tua di ruang
perpustakaan dan ilmu hitam yang terkandung di dalamnya.
Apakah ayahnya menggunakan ilmu hitam untuk membunuh
Jack Bradley" Robin berhenti melangkah. Ia mengambil sebuah gasing kayu
dari mejanya. Sebuah gasing kecil, mainannya waktu masih kecil
dulu. Sambil berpikir tentang ayahnya, Robin menggenggam gasing
itu erat-erat sampai tangannya terasa sakit.
Lalu dilemparkannya ke dinding.
Bunyinya keras sekali ketika menghantam tembok berlapis
kertas dinding warna biru, lalu mental dan menggelinding di lantai.
Aku harus tahu, pikir Robin.
Aku harus tahu apakah Dad yang membunuh Mr. Bradley. Aku
harus tahu kejadian sesungguhnya.
Tergesa-gesa ia menuruni tangga, melewati ruang keluarga
yang gelap karena seluruh tirai jendelanya tertutup.
Ia berhenti di depan ruang perpustakaan ayahnya. Pintunya
tertutup rapat. Tapi Robin mendengar suara-suara di dalam.
Suara musik" Bukan. Suara seorang wanita.
Sambil menahan napas, Robin menempelkan daun telinganya
ke pintu. Wanita itu sedang menangis. Atau barangkali tertawa"
Suaranya kecil dan tinggi, seperti suara anak kecil.
Tidak. Sebentar. Robin memusatkan perhatian agar bisa mendengar lebih jelas.
Sebuah raungan melengking tinggi menenggelamkan suara satunya.
Lalu Robin mendengar suara ketiga, lebih dalam. Suara serak dan
dalam, membisikkan sesuatu yang tak terdengar jelas oleh Robin.
Baru sadar bahwa ia masih menahan napas, Robin
mengembuskannya perlahan-lahan. Apa yang terjadi di sana"
tanyanya dalam hati. Ditekankannya pipinya ke pintu. Di ruang perpustakaan, suarasuara itu hilang-timbul. Setidaknya ada tiga suara"semuanya suara
wanita. Mungkin lebih dari tiga. Menangis. Mengerang. Berbisik.
Dan selain suara-suara asing itu, Robin mendengar satu suara
lain. Suara ayahnya, pelan dan terdengar jauh. "Ruth... Ruth..."
Mengulang-ulang nama ibu Robin dengan irama yang tetap.
"Ruth... Ruth..."
Robin mendengar suara tertawa tajam. Seorang wanita
menangis. Seorang wanita menyanyikan lagu tanpa nada.
Apa yang terjadi" pikirnya sambil memegang kenop pintu.
Sedang apa ayahku di sana"
Haruskah aku masuk dan melihat apa yang terjadi"
Ya, harus, ia memutuskan.
Diputarnya kenop pintu. Pintu ruang perpustakaan itu ditariknya
hingga terbuka, dan ia mengintai ke dalam.
Bab 12 SAMBIL menggenggam kenop pintu erat-erat sampai telapak
tangannya terasa sakit, Robin mengintai ke ruangan yang gelap itu.
Dan tidak melihat seorang pun.
Suara-suara itu"suara tangisan, suara mantra, suara
nyanyian"semuanya hilang.
Sunyi. Robin menarik napas kaget. Matanya tertuju ke kerucut sinar
kuning dari lampu meja kecil. Di samping lampu, Nicholas Fear
duduk di kursi tebal berwarna cokelat dengan sebuah buku besar di
pangkuannya. "D-Dad?" panggil Robin terbata-bata.
Ayahnya meneruskan membaca selama beberapa detik, baru
kemudian perlahan-lahan mengangkat matanya ke arah Robin. "Halo,
Nak, aku tidak dengar kau masuk ke sini." Suaranya terdengar tenang,
seperti mengantuk. Robin menarik napas dalam-dalam. Mulutnya mendadak terasa
kering, begitu kering sehingga ia tidak yakin bisa bicara. Ia
menyapukan pandangannya dengan cepat ke seluruh ruangan untuk
memastikan bahwa wanita-wanita yang ia dengar suaranya tadi tidak
bersembunyi di sana. "Dad" A-aku mendengar suara-suara," akhirnya ia mampu
berkata-kata. "Maksudku?"
Nicholas menutup buku besarnya perlahan-lahan. Debu
beterbangan dari buku itu ketika ia menutupnya. Dari balik
kacamatanya, matanya menatap Robin. "Suara-suara?"
Robin mengangguk. "Aku mendengar suara tawa, kalau tidak
salah. Dan suara orang menyanyi."
Nicholas menaruh bukunya ke meja di samping kursi.
"Mungkin aku sedang bergumam sendiri. Kadang-kadang aku
memang begitu kalau sedang membaca."
"Tapi aku mendengar suara beberapa wanita," kata Robin. "Dan
aku mendengar Dad membaca mantra."
Nicholas mengerutkan kening. Meneliti wajah Robin. "Mudahmudahan kau tidak sedang mimpi buruk," katanya perlahan.
"Tidak, Dad. Aku betul-betul?"
Nicholas mengangkat tangannya memotong kata-kata Robin.
"Kaulihat sendiri, tidak ada orang lain di sini. Aku sudah satu jam
membaca sendirian." EBUKULAWAS.BLOGSPOT.COM
Robin membuka mulutnya untuk membantah lagi. Tapi ia sadar
tidak ada gunanya. Di dalam ruang perpustakaan itu sekarang memang
tidak ada orang selain mereka berdua.
"Kenapa kau ke sini?" tanya Nicholas, tangannya mengusapusap noda gelap di lengan kursi. "Ada yang ingin kaubicarakan?"
"Mm... ya," sahut Robin canggung. "Tapi entah apakah ini
waktu yang tepat?" Nicholas melambai menyuruh Robin duduk di kursi kulit di
depannya. "Duduklah, Robin. Kau merasa sehat-sehat saja hari ini?"
Ia menyilangkan kakinya yang panjang sambil tetap meneliti wajah
putranya. "Ya. Sepertinya." Robin duduk di kursi empuk itu. "Aku ingin
tanya tentang Mr. Bradley," kata-kata itu menyembur dari mulutnya.
Kedua alis Nicholas seakan melompat ke atas. Tapi wajahnya
Fear Street Jeritan Pertama First Scream Fearpark 1 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tidak bergerak. "Ada apa dengan Mr. Bradley?" tanya Nicholas tajam.
"Aku... well," Robin ragu-ragu. Bagaimana mungkin ia
menuduh ayahnya sebagai pembunuh"
Misteri Lukisan Tengkorak 3 Cewek Karya Esti Kinasih Jejak Di Balik Kabut 15
Bagian 1 1935 Bab 1 MEGHAN FAIRWOOD mengibaskan rambut merahnya yang
panjang berombak dari bahunya, lalu mengulurkan tangan untuk
membuka pintu loker. "Oh, tidak," gumam Meghan. Ditaruhnya
tumpukan bukunya ke lantai dan disentuhnya bercak noda hitam di
ujung lengan bajunya yang putih bersih.
Dari mana noda ini" pikirnya. Jangan-jangan tinta.
Ia membungkuk, meraih kotak pensil, dan mengambil penanya.
Pena Waterman berwarna biru itu hadiah dari orangtuanya pada hari
ulang tahunnya yang keenam belas. Hadiah mahal. Harganya hampir
empat dolar. Tapi pena itu sudah bocor sejak pertama kali Meghan
menggunakannya. Dibukanya tutup pena itu dan diamatinya ujung pena yang
terbuat dari perak itu. Ya. Bocor lagi. Rusaklah baju barunya yang
putih bersih. Aku harus memberitahu Dad, pikir Meghan sambil
menaruh kembali pena itu ke dalam kotak pensil.
Aku tidak ingin mengganggu Dad untuk urusan pena. Dia sudah
terlalu banyak urusan belakangan ini, disibukkan oleh pekerjaan
barunya. Tapi pena itu harus dikembalikan ke toko penjualnya.
Ia berdiri dan merapikan bagian depan rok wolnya yang
memanjang sampai hampir menyentuh mata kaki. Selasar Shadyside
High School yang panjang ramai dengan seruan-seruan dan tawa-tawa
riang disertai suara-suara pintu loker. Jam pelajaran telah berakhir
untuk hari ini. Meghan menoleh ke ujung gang dan melihat dua cheerleader
berambut pirang di atas tangga sedang memasang spanduk berwarna
merah-putih dengan tulisan tangan besar-besar: AYO, TIGERS!
SANG JUARA TURNAMEN BISBOL ANTAR NEGARA BAGIAN
TAHUN 1935! Belum, pikir Meghan, Tigers masih belum juara, masih harus
lebih dahulu mengalahkan Waynesbridge untuk bisa ikut turnamen
itu. Ujung kiri spanduk jatuh ke lantai. Salah seorang cheerleader
menjerit, mencoba meraihnya, dan hampir ikut terjatuh.
Beberapa anak tertawa melihatnya.
Spanduk itu mengingatkan Meghan pada Richard Bradley,
pacarnya. Matanya mencari-cari berkeliling. Pasti Richard langsung
pergi latihan bisbol ke lapangan, pikirnya. Tadi pagi Coach Swanson
mengumumkan bahwa Richard ditunjuk sebagai pitcher dalam
pertandingan melawan Waynesbridge.
Apakah Richard gugup"
Sama sekali tidak. "Siapa lagi yang bisa jadi pitcher dalam pertandingan sebesar
ini?" komentarnya pada Meghan. Richard sangat tampan, seperti
bintang film Hollywood. Sambil mengatakan itu, bibirnya tersenyum
lebar, matanya yang berwarna biru muda bersinar-sinar.
Richard agak terlalu yakin pada dirinya sendiri, Meghan
menyadari. Tapi ia sendiri berharap punya rasa percaya diri seperti itu.
Meghan membayangkan Richard di gundukan pitcher, rambut
pirangnya yang ikal mengintai dari bawah topinya, tubuhnya agak
membungkuk, wajahnya serius, otot-otot lengannya menonjol di balik
lengan baju seragamnya yang berwarna kelabu.
Meghan berbalik kembali menghadap lokernya. Dan baru sadar
ada orang yang sedang memperhatikannya. Seorang anak lelaki
berambut cokelat lurus, berwajah serius, agak pucat.
Robin Fear. Wajah anak lelaki itu memerah ketika Meghan menatapnya
sambil tersenyum. "Hai, Robin," sapa Meghan riang.
Meghan tidak terlalu kenal anak itu. Anak itu tidak termasuk
kelompok teman-teman dekatnya. Rasanya tidak termasuk kelompok
mana pun. Kelihatannya dia selalu menyendiri.
Meghan tahu anak itu tinggal di rumah besar di Fear Street di
tepi hutan. Nama jalan itu diambil dari nama pamannya atau kakeknya
atau entah siapanya. Meghan tidak tahu persis.
Loker Robin persis di samping loker Meghan, dan Meghan
selalu menyapa anak itu. Ia menganggap Robin anak manis. Ia
menyukai matanya yang gelap dan penuh perhatian. Anak itu selalu
terlihat serius. Robin selalu tersipu-sipu, bulatan-bulatan merah jambu muncul
di pipinya. Pasti repot punya sifat pemalu seperti itu, pikir Meghan.
Meghan membuka pintu lokernya, dan setumpuk majalah jatuh
berhamburan ke lantai. Majalah penggemar film yang dipinjamkan
padanya oleh temannya, Abigail.
Robin membungkuk, membantu Meghan mengumpulkan
majalah-majalah yang berserakan itu. "Kau"kau suka Clark Gable?"
tanyanya tergagap, memandang sampul depan salah satu majalah.
"Ya," sahut Meghan, agak heran. Belum pernah Robin bicara
sebanyak itu padanya. "Aku nonton filmnya, China Seas, Jumat
malam. Itu lho, yang dia main dengan Jean Harlow. Sudah nonton
juga?" Robin memberikan majalah itu pada Meghan. Ia menggeleng.
"Aku jarang nonton film," katanya.
Di ujung gang, spanduk tadi jatuh lagi. Beberapa anak lelaki
merenggutnya dari kedua cheerleader itu sambil tertawa-tawa, dan
saling menarik seperti sedang main tarik tambang.
Kedua cheerleader itu menjerit-jerit marah.
Robin memandang majalah yang ada di tangan Meghan. "Bing
Crosby," gumamnya, mengenali wajah di halaman depan.
"Kau suka dia?" tanya Meghan. "Kau dengar acaranya di radio
tadi malam?" Robin menggeleng lagi dengan wajah sedih. "Ayahku tidak
membolehkan aku menyetel musik di radio. Dia hanya menghidupkan
radio untuk mendengar pidato Presiden Roosevelt."
"Pasti membosankan," kata Meghan.
"Apa kabar, gadisku?" suara keras menengahi mereka.
Meghan menoleh, dilihatnya Richard me-nyeringai padanya
dari ujung gang. Cowok itu sudah memakai seragam bisbol, topi
marun-kelabunya menutupi rambut pirangnya. Sepatunya berderap
keras di lantai. "Hai, kukira kau sedang latihan," kata Meghan.
Senyum Richard semakin lebar. "Sedang mau ke sana. Kau mau
belajar malam ini?" Meghan tertawa. "Belajar apa?"
Mata Richard berkilauan. "Akan kupikirkan, nanti kukasih
tahu!" godanya. Tanpa memberi peringatan, ia membungkuk dan
mencium bibir Meghan. Meghan benci kalau Richard melakukan itu. Seakan-akan
Richard memilikinya, dan bisa menciumnya kapan pun dia mau.
Ciuman itu berakhir cepat. Meghan mengangkat matanya,
melihat Richard melotot melewati bahunya.
"Sedang lihat apa?" sentak Richard pada Robin Fear.
Wajah Robin memerah sampai hampir merah tua. "Aku?"
Suaranya hilang. Richard tertawa. "Kau ingin lihat orang ciuman" Pergi saja
nonton film." "Aku"aku bukan sedang melihat," suara Robin serak.
Richard melangkah melewati Meghan. Tangannya yang besar
terulur dan menarik dasi Robin dari balik sweternya. Dipakainya dasi
itu seperti handuk untuk mengelap tangannya sambil menyeringai
pada Robin, menantangnya.
"Sudahlah, Richard." Meghan menarik lengan anak lelaki itu.
"Kau tidak lucu."
"Lucu tuh," sahut Richard. "Sampai nanti, Meghan." Ia pergi,
sepatunya berderap-derap.
Meghan memperhatikannya pergi menjauh. Ia berpikir, ada halhal yang dia sukai dalam diri Richard, dan ada yang tidak.
Richard salah seorang pahlawan di sekolah itu. BMOC"Big
Man On Catnpus, Orang Penting di Kampus. Itu sebutan buku tahunan
sekolah tentang dia tahun ini.
Hati Meghan terasa berbunga-bunga setiap kali teringat ia
pacaran dengan orang setampan, seatletis, dan sepopuler Richard.
Mereka berdua bagaikan raja dan ratu Shadyside High. Dan memang
kenyataannya mereka terpilih sebagai Raja dan Ratu pada acara
Spring Prom. Tapi sekarang, ketika tahun ajaran hampir berakhir, Meghan
tidak selalu merasa nyaman bersama Richard. Ia tidak suka pada
beberapa teman Richard yang bicaranya keras dan tingkahnya kasar.
Dan ia juga tidak suka pada cara Richard memperlakukannya. Datang
ke rumahnya jam berapa pun, tanpa memberitahu lebih dulu.
Memeluk dan menciumnya di sekolah.
Richard lenyap membelok di pojok. Meghan berbalik untuk
minta maaf pada Robin. "Oh!" serunya ketika melihat Robin sudah tidak ada.
************* Robin berjalan pulang ke rumah, sambil menendangi kerikil di
pinggiran jalan. Ia menatap awan kelabu di langit dan berpikir betapa
cocoknya awan kelabu itu dengan suasana hatinya.
Aku ingin mati, pikirnya.
Diputarnya lagi adegan di selasar sekolah tadi berulang-ulang di
kepalanya. Setiap kali terbayang, ia semakin merasa malu.
Meghan Fairwood baik padaku, pikirnya. Dia ingin bicara
denganku. Setelah berbulan-bulan punya loker bersebelahan, kami
akhirnya saling bicara. Kemudian kubiarkan Richard si gorila itu mempermainkan
diriku. Waktu dia menuduhku menonton mereka, aku cuma berdiri
tergagap seperti orang tolol. Lalu kubiarkan dia menggunakan dasiku
sebagai handuk tanpa sepatah kata pun keluar dari mulutku.
Aku tidak melawan. Aku tidak mencoba mendorongnya
menjauhiku. Aku bahkan tidak mengucapkan sepatah kata pun.
Kenapa aku jadi pengecut seperti ini" Kenapa aku jadi penakut"
Meghan tidak menertawakanku. Tapi aku tahu apa yang
dipikirkannya. Mungkin dia merasa kasihan padaku. Memang malang
betul nasibmu, Robin. Sampai-sampai gadis tercantik di sekolah pun
merasa kasihan padamu karena kau hanya seekor tikus kecil penakut.
Robin melampiaskan rasa marahnya dengan menendang
gundukan tanah di depannya. Langit semakin gelap. Setetes air hujan
dingin jatuh di dahinya. Lengkaplah semua, pikirnya pahit. Sekarang aku akan basah
kuyup. Ia melangkah dari trotoar lalu menyeberang ke arah Division
Street"dan nyaris disambar trem.
Roda besi trem itu berderit di relnya. Klaksonnya berbunyi
memekakkan telinga. Robin melompat mundur. Trem berwarna merah cerah itu
berderik-derik lewat. Sambil menggeleng-gelengkan kepala, Robin menarik napas
panjang. Jangan bunuh diri, ia memarahi dirinya sendiri.
Dipindahkannya tasnya dari bahu kiri ke bahu kanan, lalu ia menarik
napas panjang sekali lagi, jantungnya masih berdebar-debar.
Kejadian itu menjernihkan pikirannya dari rasa marah.
Richard Bradley memang senang menyakiti hati orang, banyak
yang sudah merasakannya. Bukan perkara besar, tidak usah terlalu
dipikirkan, katanya pada diri sendiri.
Dibayangkannya Meghan sekali lagi. Cara gadis itu tersenyum
waktu dia memberikan majalah-majalah tadi.
Rasanya Meghan suka padaku. Rasanya dia suka padaku
walaupun aku hanya seekor tikus kecil penakut.
Beberapa menit kemudian ia sampai di Fear Street. Ia berbelok
dan berjalan di atas rumput di pinggir jalan.
Sisa-sisa rumah besar Simon Fear yang hangus terbakar terlihat
menjulang tinggi. Kata orang, rumah besar itu tadinya sangat indah
dan megah sebelum dilalap api. Sekarang, ketika Robin melewatinya,
rumah itu berdiri hitam, atapnya ambruk, lubang-lubang jendelanya
menganga, masih bau asap. Sebagai orang yang berpandangan praktis,
Nicholas" ayah Robin"membuat rumahnya dari batu, tidak seperti
Simon, kakek buyutnya. "Tidak ada api yang akan mengusirku," pernah Nicholas
berkata pada Robin. "Aku telah mengambil alih seluruh warisan Fear.
Dan aku mempertahankannya selamanya."
Robin mempercepat langkahnya ketika rumahnya telah terlihat.
Bayangan lebar rumah itu memayungi halaman. Robin merasa dingin
ketika ia melangkah masuk ke halaman. Tirai jendela depan selalu
tertutup, membatasi dunia luar.
Dad senang menyendiri, pikir Robin.
Beberapa tukang kebun dengan pakaian kerja sedang
memangkas pagar tanaman di samping halaman depan. Salah satu dari
mereka sedang minum dari termos, sambil menyipitkan mata ke arah
Robin. Robin masuk ke rumah melalui pintu samping. Pintu depan
yang besar dan berat jarang digunakan. Sambil menurunkan tasnya
dari bahu ia berjalan melewati ruang dapur, menyeberangi dapur yang
luas dengan meja dan lantainya yang berkilau, dan melangkah ke
ruang depan. "Ada orang di rumah?" suara Robin bergema memantul dari
lantai marmer. Sunyi. Kedua wanita pembantu rumah tangga sudah keluar awal
minggu ini. Robin tidak pernah bisa mengerti mengapa para pembantu
tidak pernah tahan lama bekerja di sini. Apakah karena rumah ini
terlalu besar dan dingin" Atau karena cerita-cerita tentang kejadiankejadian aneh di Fear Street"
"Dad" Kau ada di rumah?"
Ia berharap ayahnya sedang pergi. Ia sedang tidak ingin bicara.
Ia ingin menyendiri di kamarnya memikirkan Meghan Fairwood.
Suara dari ruang perpustakaan mengejutkan Robin.
Apakah itu suara musik" pikirnya. Atau suara orang sedang
membaca mantra" Ia menyeberangi ruang depan, sepatunya berderap-derap di
lantai marmer. Robin membuka pintu ruang perpustakaan, melongok ke
dalam"dan menjerit. "Oh, tidak!" Bab 2 ROBIN membungkam mulut dengan telapak tangan dan
melangkah mundur dari ambang pintu. Asap tebal berwarna ungu
melingkar-lingkar bagaikan ular di dalam kamar. Dan di tengah asap
aneh itu, Robin melihat ayahnya"mengambang di udara.
Mengambang telentang. Kedua tangannya terlipat di dada.
Mengambang dalam kepulan asap ungu.
Matanya terpejam. Ujung jasnya terjuntai ke bawah. Kedua
kakinya terjulur lurus, ujung sepatu hitamnya mencuat ke atas.
Mengambang, mengambang. Mengambang santai, tenang,
bagaikan di atas bantal udara.
Sambil membaca mantra dengan suara perlahan.
Apakah dia melihatku" pikir Robin, tidak berani melihat ke
dalam lagi. Apakah dia mendengar seruan kagetku tadi"
Fear Street Jeritan Pertama First Scream Fearpark 1 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Robin menyandarkan punggung ke dinding dan menunggu
sampai napasnya normal kembali.
Apakah sebaiknya aku masuk dan bertanya apa yang sedang dia
lakukan" Tidak. Jangan. Robin memang tidak perlu bertanya. Ia tahu perpustakaan
ayahnya penuh buku-buku sihir dan ilmu hitam.
Terkadang Robin membuka-buka buku-buku itu kalau ayahnya
sedang pergi. Buku-buku kuno, banyak yang kertasnya sudah kuning
dan mulai rapuh. Penuh gambar-gambar aneh dan diagram-diagram
yang sulit dimengerti oleh Robin. Mantra-mantra dan sejarah-sejarah
lama, beberapa di antaranya dalam bahasa yang tidak dikenal Robin.
Apakah dulu Mom juga membaca buku-buku ini" Robin sering
bertanya-tanya sendiri. Ia hampir tidak ingat wajah ibunya yang meninggal ketika ia
berumur empat tahun. Jenazahnya dimakamkan berdekatan dengan
anggota keluarga Fear yang lain, di pekuburan kecil di tepi hutan yang
dimiliki keluarga Fear. Kadang-kadang Robin dan ayahnya mengunjungi makam
ibunya. Nicholas Fear selalu menatap nisan yang halus putih itu tanpa
bicara, wajahnya tanpa emosi.
Robin sering berpikir, akan seperti apa hidupnya seandainya
ibunya masih hidup. Apakah ia akan tetap pemalu seperti ini, akan
tetap canggung"dan kesepian"
Robin mendengar suara lembut ayahnya membaca mantra dari
dalam ruang perpustakaan. Dengan punggung masih melekat di
dinding, ia menggigil. Ia tidak bisa mengusir rasa takutnya. Kenapa
ayahnya mengambang seperti itu di tengah asap ungu" Ilmu apa lagi
yang dimiliki Nicholas Fear"
Itu pertanyaan-pertanyaan yang Robin tahu tak akan pernah bisa
ia tanyakan pada ayahnya. Ayah Robin pendiam dan dingin. Bahkan
di saat Nicholas mencoba bersikap hangat pada Robin, anak itu masih
merasa ada jarak di antara mereka.
Robin mendengar bel pintu depan berbunyi.
Lalu terdengar suara berdebuk halus di ruang perpustakaan.
Ayahnya pasti sudah menurunkan tubuh dan berdiri di atas kakinya
lagi. Ia mendengar ayahnya batuk. Karena asap ungu yang
melingkar-lingkar itu" Lalu bel pintu depan berbunyi lagi.
Robin melangkah dari senderannya di dinding ketika ayahnya
keluar dengan langkah-langkah cepat dari perpustakaan. Tinggi badan
Nicholas Fear seratus delapan puluh senti dan sikap tubuhnya selalu
tegak dan lurus walaupun sedang bergerak cepat. Mukanya kurus,
berwajah merah, dan kepalanya hampir botak walaupun usianya baru
34 tahun. Kacamata tanpa bingkainya membuat matanya yang
berwarna cokelat bersinar-sinar.
Ia menoleh ke Robin. "Kapan kau pulang?" tanyanya dengan
suaranya yang melengking tinggi.
"Baru saja," sahut Robin sambil berdeham. Ia mengikuti
ayahnya menuju pintu depan. "Aku tinggal agak lama di sekolah
dan?" "Pembantu-pembantu sudah berhenti semua," potong Nicholas.
"Tolong bukakan pintu depan." Ia meluruskan jas wolnya yang
berwarna kelabu. Ia selalu memakai jas, bahkan pada akhir pekan,
bahkan waktu sedang berlibur.
"Siapa itu?" tanya Robin, mengikuti langkah-langkah cepat
ayahnya. Ayah Robin jarang sekali mendapat tamu.
"Beberapa orang bisnis akan ke sini. Dari kota," sahut Nicholas.
Ia mengencangkan ikatan dasinya. "Entah mau apa mereka ke sini." Ia
bersungut-sungut. "Apa pun maksud mereka, aku tidak akan tertarik."
Bel pintu berbunyi lagi. Robin mendengar suara-suara beberapa
orang di luar. Ia melangkah ke depan pintu ganda yang besar dan berat
itu. Nicholas mengerutkan kening, menggaruk kepalanya yang
botak kemerahan. "Antarkan mereka ke ruang duduk ya, Robin?"
"Ya, Dad." Robin menarik daun pintu dari kayu ek yang berat itu.
Dilihatnya ada empat orang di depan pintu, semua mengenakan
setelan bisnis berwarna cokelat. Mereka semua melepas topi mereka.
Salah seorang maju selangkah, tersenyum pada Robin. Dia
bertubuh besar, jasnya sampai terlihat sesak. Rambutnya pirang
berombak dan matanya biru kepucatan, keriput terlihat di sudut-sudut
matanya. Ia mengulurkan tangannya yang besar dan Robin
menyambutnya, mereka bersalaman. "Halo, anak muda. Aku Jack
Bradley. Kami punya janji bertemu Nicholas Fear."
"D-dia ayahku," kata Robin kikuk. "Aku Robin Fear." Ia
melangkah mundur agar orang-orang itu bisa melangkah masuk.
"Kau sekolah di Shadyside High?" tanya Mr. Bradley. Mata
birunya menyapu ruang depan yang luas.
"Ya, Sir," jawab Robin.
"Anakku juga sekolah di sana," kata Mr. Bradley, matanya
meneliti kertas dinding mahal buatan Inggris. "Namanya Richard.
Kaukenal Richard Bradley?"
Richard adalah anaknya" pikir Robin. Adegan memalukan tadi
terbayang lagi di matanya. Richard dan Meghan. Richard Bradley dan
Meghan. "Ya, aku kenal Richard," kata Robin dengn nada datar tanpa
emosi. "Aneh. Dia tidak pernah menyebut-nyebutmu," kata Mr.
Bradley. Robin tidak menjawab. Ia membawa keempat orang itu ke
ruang duduk. Nicholas Fear berdiri tegak di belakang meja mahoni
besar. Matanya menatap curiga melalui kacamatanya yang tak
berbingkai. Mereka mengangguk pada ayah Robin, masing-masing
memegang topi dengan satu tangan di depannya. Jack Bradley
memperkenalkan diri, lalu memperkenalkan ketiga orang lainnya.
Robin memperhatikan dari ambang pintu. Ayahnya tidak
melakukan gerakan untuk berjabat tangan dengan keempat orang itu.
Dia tetap berdiri tegak di belakang kursinya, seakan-akan
menggunakannya sebagai tameng.
Dad tidak menyuruhku pergi, pikir Robin. Jadi mungkin aku di
sini saja, ingin tahu apa tujuan kunjungan mereka ini. Ia mundur ke
balik ambang pintu, di luar daerah pandang ayahnya.
"Boleh kami duduk?" tanya Mr. Bradley, tangannya bergerak ke
arah kursi berlapis kulit hitam di depan meja.
"Kalau kalian mau," sahut Nicholas dingin.
Keempat orang itu duduk. Memegangi topi mereka di
pangkuan. Ayah Robin tetap berdiri. Tangannya yang pucat meremasremas sandaran kursinya.
"Cuacanya bagus sekali hari ini," Mr. Bradley membuka
percakapan, menoleh memandang sinar matahari yang menembus
masuk melalui jendela tinggi. "Musim semi kali ini memang indah
sekali. Bunga tulip di kebunku?"
"Boleh aku menanyakan maksud kunjungan Anda?" ayah Robin
memotong kata-katanya. Robin menelan keras-keras. Kenapa ayahnya bersikap kurang
sopan terhadap tamunya ini"
Dari ambang pintu Robin bisa melihat kulit di tengkuk Mr.
Bradley berubah merah. Orang itu berdeham. "Kami datang atas nama
kota Shadyside untuk suatu permintaan," katanya dengan nada resmi.
Nicholas mengangguk. Ia menatap dingin pada Mr. Bradley,
menunggu pria itu melanjutkan kata-katanya.
Mr. Bradley berdeham lagi. "Beberapa minggu yang lalu, kami
berempat mengunjungi Coney Island, sebuah taman hiburan di kota
New York." "Pasti perjalanan yang menyenangkan bagi Anda berempat,"
ayah Robin memotong lagi. Bibirnya mencibir sejenak. "Perjalanan
dalam rangka berlibur?"
Keempat orang itu tertawa. Tawa sopan yang gugup.
Nicholas mengerutkan kening pada mereka. Ditariknya kursi
tinggi berlapis kulit itu, lalu ia duduk.
"Menurut kami, yang diperlukan Shadyside adalah taman
hiburan seperti Coney Island," kata Mr. Bradley. "Anda tahu sendiri,
Mr. Fear, kota ini sangat terpukul oleh runtuhnya bursa saham enam
tahun yang lalu. Kita masih belum juga pulih sepenuhnya. Masih
banyak orang yang tidak punya pekerjaan. Penghasilan kota ini sangat
kecil." Dengan tidak sabar Nicholas melambaikan tangan memberi
tanda agar Mr. Bradley berhenti. "Kenapa Anda datang padaku" Aku
tidak tahu apa-apa tentang taman hiburan. Anda datang menawarkan
karcis komidi putar padaku?"
Kali ini orang-orang itu tidak tertawa mendengar kata-kata sinis
Nicholas. "Kami datang untuk meminta Anda menyumbangkan sebagian
tanah hutan di belakang Fear Street bagi kota kita," kata Mr. Bradley.
Ia agak membungkukkan badan ke depan, menatap serius pada ayah
Robin. "Maaf?" Wajah Nicholas lebih merah lagi. Ia menyipitkan
matanya yang kecil dan gelap pada Mr. Bradley.
"Kami telah mendapat sumbangan untuk membangun sebuah
taman hiburan," Mr. Bradley memberitahu dengan suara perlahan,
begitu perlahan sehingga Robin hampir tidak bisa mendengar katakatanya dari ambang pintu. "Kami ingin membuka sebagian tanah
hutan dan membangun taman hiburan di sana. Itu akan membuka
banyak lapangan kerja. Dan akan menarik ratusan, bahkan ribuan
turis, ke Shadyside. Dengan izin Anda?"
"Tidak bisa!" tukas Nicholas. Ia melompat berdiri.
Robin terkejut melihat betapa ayahnya terlihat begitu tinggi.
Tinggi dan marah. Nicholas menyambar sebuah pembuka surat terbuat
dari perak dari atas meja, dan menggenggamnya bagaikan sebuah
pisau. Wajahnya merah padam.
"Tapi, Mr. Fear?" Jack Bradley mulai protes.
"Hutan itu milik keluarga Fear," kata Nicholas sambil
mengertakkan gigi. "Hutan itu akan tetap menjadi milik keluarga Fear,
Mr. Bradley. Aku harus meminta kalian membatalkan rencana itu.
Dan jangan sentuh Hutan Fear Street maupun milikku yang lain."
Nicholas mengangkat pembuka surat, lalu memakainya untuk
menunjuk pintu. "Selamat siang, Tuan-tuan."
Mr. Bradley berdiri. Yang lain mengikuti. Tapi mereka sama
sekali tidak bergerak ke arah pintu.
"Mr. Fear, aku minta Anda pikirkan lagi jawaban Anda," Jack
Bradley memaksa. "Akan kukirimkan gambar rencana taman hiburan
itu besok. Mungkin kalau Anda pelajari rencana itu..."
"Selamat siang, Tuan-tuan," Nicholas mengulangi, rahangnya
mengeras. Robin bisa melihat urat-urat di dahi ayahnya berdenyutdenyut.
"Kami tidak akan menerima penolakan," kata Mr. Bradley
tegas. "Tolong pikirkan rencana ini. Kalau Anda bilang tidak?"
Mr. Bradley tidak bisa melanjutkan kata-katanya. Ia terseok ke
depan"dan kelihatan seperti tercekik, tangannya memegangi leher.
Robin menjerit kaget, sementara ketiga tamu yang lain pun
memegangi leher masing-masing. Mereka semua susah bernapas,
tidak mampu berkata-kata, memutar-mutarkan kepala mereka ke
belakang, mata mereka membelalak.
Robin melihat ke arah ayahnya. Nicholas berdiri tanpa emosi,
tak ada ekspresi apa pun di wajahnya. Pembuka surat masih terangkat
di depannya. Di balik kacamata tanpa bingkainya, matanya terpejam.
"T-tolong"!" susah payah Mr. Bradley berhasil mengucapkan
kata itu. Wajahnya mulai berubah ungu. Ia mencengkeram
tenggorokannya dengan kedua belah tangan, mulutnya menganga.
"Tidak... bisa... napas...," salah seorang yang lain berbisik. Lalu
jatuh berlutut ke karpet.
Gelombang rasa takut menerpa Robin. Ia melangkah masuk ke
ruangan. Apa yang terjadi" pikirnya.
Apa yang terjadi pada mereka"
Apakah ayahku yang membuat mereka seperti itu"
Apakah dia akan membunuh mereka berempat"
"Dad"hentikan!" jeritnya.
Bab 3 ROBIN melihat ekspresi ayahnya berubah seperti orang
keheranan. Pembuka surat terjatuh dari tangannya dan memantul di karpet
tebal. Keempat orang itu menarik napas dalam-dalam.
"Robin"aku tidak tahu kau ada di sini," kata Nicholas. Ia
mendekati orang yang jatuh berlutut lalu membantunya berdiri. "Anda
tidak apa-apa?" tanya Nicholas, nada suaranya mendadak prihatin.
Nicholas menengok ke Mr. Bradley. "Anda baik-baik saja" Mau
kuambilkan segelas air?" Nicholas memandang tajam ke arah Robin.
Mr. Bradley, sekarang sudah bisa bernapas normal, mengusap
lehernya. "A-aku tidak tahu apa yang terjadi," gumamnya terbata-bata.
"Mendadak saja leherku terasa seperti tercekik."
"Memang aneh sekali," kata salah satu temannya, mengambil
topi dari lantai. "Aku juga. Sampai tidak bisa bernapas."
"Seakan-akan ada yang mengikat kerongkonganku," yang lain
bergumam. Nicholas menggeleng-geleng simpati. "Aku merasakan itu
juga," katanya pada mereka. "Mungkin ada sesuatu di udara..."
Robin meneliti wajah ayahnya. Apakah dia berbohong" Aku
tidak lihat dia seperti orang tercekik. Aku lihat dia berdiri tenang
dengan mata terpejam. "Aku harus menyuruh orang memeriksa kamar ini," kata
Nicholas pada mereka. "Sudah terlalu lama ditutup rapat. Mungkin
jendelanya harus dibiarkan terbuka."
Tamu-tamu itu merapikan jas mereka. Sambil menggelenggelengkan kepala dan mengusap-usap leher, mereka mengikuti
Nicholas ke pintu. Robin memperhatikan wajah murung mereka
ketika mereka mengangguk minta diri pada ayahnya.
"Aku tidak akan mengubah keputusanku," kata Nicholas pada
mereka. "Taman hiburan kalian harus dibangun di tempat lain. Tidak
bisa di tanah milik Fear. Tidak akan pernah."
Ia membanting pintu, bergumam pada diri sendiri, dan menarik
napas dalam-dalam, lalu menoleh ke Robin. "Pasti ada sesuatu di
udara kamar ini," gumamnya, senyum aneh terbentuk di wajahnya.
"Ayo, bantu aku membuka jendela."
*************** Robin mematikan radio. Lampu kuningnya perlahan-lahan
meredup padam. Hari Sabtu sore. Ia baru saja mendengarkan siaran
pertandingan bisbol. Washington Senators kalah dari St. Louis
Browns. Tapi Robin terlalu gelisah untuk berkonsentrasi mendengarkan
jalannya pertandingan itu.
Ia merasa gelisah. Bosan. Dan kesepian.
Dipandanginya tumpukan buku pelajaran di mejanya di
seberang kamar. Dan berpikir untuk mulai menulis tugas sejarahnya.
Embusan angin berbau harum menggoyang tirai jendela kamar.
Aku mau jalan-jalan saja, ia putuskan.
Berjalan-jalan di hutan di belakang rumahnya sudah menjadi
kegiatan favoritnya untuk menghabiskan waktu. Sambil berjalan di
tengah pepohonan dan semak-semak lebat, Robin biasanya
Fear Street Jeritan Pertama First Scream Fearpark 1 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membayangkan sedang bercakap-cakap. Bercakap-cakap dengan
anak-anak yang disukainya di sekolah, anak-anak yang ingin ia
jadikan temannya. Ia menuruni tangga"dan hampir bertubrukan dengan ayahnya.
"Mau ke mana kau buru-buru begitu?" tanya Nicholas, memandangi
Robin lekat-lekat. "Mau jalan-jalan. Di hutan," sahut Robin.
"Kauhabiskan banyak waktu di sana," kata ayahnya, meneliti
wajahnya. Robin merasa wajahnya memanas. "Aku senang di sana."
"Aku juga," kata Nicholas, senyum mengembang di wajahnya.
"Mungkin aku akan menemanimu."
Mereka keluar lewat pintu pelayan di belakang rumah dan
menyeberangi halaman berumput yang luas menuju hutan. Semalam
hujan, sehingga tanah menjadi lembap dan lunak. Mereka berjalan
menghindari genangan-genangan air, menghirup udara segar musim
semi. Nicholas Fear selalu serius, kaku. Tapi beberapa kali Robin
memperhatikan ayahnya berbeda bila mereka sedang berjalan-jalan
berdua di hutan. Matanya terlihat lebih riang. Tunas-tunas yang baru
tumbuh di pokok-pokok kayu, bunga-bunga yang berkembang
berwarna-warni, membuat Nicholas tersenyum.
"Ini semua milik kita," katanya pada Robin dengan nada hangat
yang sangat jarang didengar anak itu.
Mereka berjalan tanpa bercakap-cakap beberapa lama,
mendengarkan angin lembut menggoyang pepohonan.
Banyak hal yang ada di benak Robin. Ia tidak bisa memutuskan
apakah akan memecahkan kesunyian itu atau tidak. Ayahnya bukan
orang yang mudah diajak bicara, bahkan pada saat sedang santai
seperti itu. Akhirnya Robin memutuskan untuk mengatakan sesuatu. Ia
menarik napas dalam-dalam. "Mmh... Dad" Aku... ng... Kenapa Dad
menolak permintaan orang-orang itu?"
Nicholas berhenti melangkah. Ia memakai sweter wol kelabu
muda di luar kemejanya yang putih bersih berkerah kaku dan sebuah
dasi angkatan laut yang lebar. Robin tidak tahu kenapa ayahnya jarang
sekali terlihat tanpa dasi.
Nicholas menyipitkan matanya pada Robin, menunggunya
menyelesaikan kata-kata. Robin menarik napas lagi. Jantungnya berdebar. "Karena aku
susah dapat teman, itu saja," katanya. "Sangat sulit. Penolakan Dad
akan membuatnya jadi lebih sulit." Ia merasa lebih nyaman setelah
berhasil mengucapkan kata-kata itu.
Nicholas mengusir serangga dari kepalanya yang botak.
Wajahnya lebih merah daripada biasanya. Ia merengut. "Hampir
semua orang di kota ini tidak layak menjadi temanmu," katanya. Lalu
ia meneruskan langkah. Robin bergegas mengejar. "Hah" Aku tidak mengerti, Dad."
"Kau keturunan Fear," kata Nicholas pedas. "Kau harus selalu
ingat itu, Robin. Keluarga Fear berbeda dari orang-orang di kota ini."
Robin memandang bingung pada ayahnya. "Berbeda?"
"Ya, kita berbeda," sahut Nicholas. "Kita tidak seperti yang
lain. Itu sebabnya kakek buyut Simon membangun rumah besarnya di
sini, di hutan, jauh dari kota. Dan itu juga sebabnya mengapa dia
membeli tanah ini, hutan ini. Dan itulah pula sebabnya mengapa aku
membangun rumah di sini juga."
"Karena kita berbeda?" desak Robin, tak mampu
menyembunyikan kebingungannya.
Nicholas mengangguk. "Maksudnya... kita lebih baik daripada orang-orang lain?" tanya
Robin. "Kita cuma berbeda," sahut Nicholas. Senyumnya memudar. Ia
memandang ke kejauhan. Suara gemeretak ranting-ranting dan daun-daun mengejutkan
mereka. Robin menoleh ke arah suara itu. Dari celah-celah dahan
dilihatnya sebuah mantel cokelat. Lalu sebuah topi berwarna gelap.
Seorang pria. Berjalan cepat di sela-sela pepohonan.
"Siapa itu?" tanya Nicholas keras. Suaranya bernada marah.
Robin berseru tertahan ketika mengenali orang itu.
Jack Bradley. Membawa senapan panjang.
"Siapa di situ?" Nicholas mengulangi pertanyaannya.
Dikejutkan oleh teriakan marah itu, Mr. Bradley menoleh,
melihat Robin melalui dahan-dahan pohon, mengangkat senapannya,
dan membidik ke arah Robin.
Bab 4 "TIDAK!" Robin menjerit. Mengangkat kedua belah tangan ke depan
wajah seakan perisai untuk melindungi dirinya. Menunggu suara
letusan senapan. Tapi yang didengarnya suara langkah kaki.
Ketika ia menurunkan tangan, ia melihat wajah tegang Mr.
Bradley. Lalu dilihatnya orang itu tidak membawa senapan.
Jadi apa itu" Robin memperhatikan baik-baik. Mr. Bradley
membawa semacam penggaris, sebuah alat pengukur.
"Anda mengejutkan aku, Mr. Fear," kata Mr. Bradley, tertawa
gugup. Mata birunya memantulkan sinar matahari. Ia menurunkan alat
pengukur dari kayu yang dipegangnya.
Nicholas mendengus. Ia menatap dingin melalui kacamatanya,
wajahnya merah tua. "Kenapa Anda masuk ke tanah orang tanpa izin,
Mr. Bradley?" tanyanya dengan nada tinggi.
Bradley mengerutkan kening. "Masuk tanpa izin" Aku sedang
memeriksa tanah ini. Rasanya Anda sudah mendapat pemberitahuan
bahwa?" "Rasanya aku sudah memberitahu Anda dengan sangat jelas,"
potong Nicholas. "Aku tidak akan mengizinkan hutan ini dirusak
sedikit pun." Robin mundur selangkah. Perutnya terasa kaku,
kerongkongannya kering. Apakah mereka akan berkelahi" pikirnya.
Dad lebih tinggi. Tapi Mr. Bradley sangat besar, tegap, dan
berotot. Robin melihat urat di dahi ayahnya berdenyut-denyut.
Mereka tak akan berkelahi, Robin mencoba meyakinkan dirinya
sendiri. Mereka sama-sama orang terhormat. Mereka tidak akan
membiarkan pertengkaran ini menjadi tak terkendali.
Nicholas melangkah lebih dekat ke Mr. Bradley, seakan
menantangnya. "Aku tidak ingin ada taman hiburan di hutan milikku,"
katanya sambil mengertakkan gigi.
Mr. Bradley tidak mau mundur. "Mungkin dewan kota
berpendapat lain," katanya tegas.
"Apa maksud Anda?" desak Nicholas. Ia agak membungkuk ke
depan, meneriakkan pertanyaan itu ke wajah Mr. Bradley.
Robin mundur satu langkah lagi. Apakah ayahnya betul-betul
mau berkelahi dengan orang ini" Robin pernah melihat ayahnya amat
sangat marah, tapi ia tidak pernah melihat ayahnya sampai berkelahi.
"Aku dan teman-temanku sudah mengajukan petisi kepada
dewan kota," kata Mr. Bradley, matanya menatap tajam mata ayah
Robin. "Kami ingin sebagian dari hutan ini diambil alih oleh kota."
Robin melihat urat di dahi ayahnya berdenyut lebih kencang
lagi. Dilihatnya kedua tangan ayahnya mengepal keras.
"Hutan ini harusnya bisa dinikmati semua orang," Mr. Bradley
meneruskan, memegang alat pengukurnya seperti orang memegang
senapan. "Tidak sepatutnya dikangkangi oleh satu orang saja." Ia
menggerakkan bahunya yang lebar. "Lagi pula, catatannya tidak
terlalu jelas. Ada kemungkinan secara hukum Anda bukan pemilik
hutan ini." Mulut Nicholas ternganga. Wajahnya sudah semerah tomat.
Robin menahan napas, menunggu ledakan.
Menunggu maki-makian. Kemarahan tak tertahan. Tinju
terayun. Tapi ayahnya membuatnya heran.
Kedua orang itu saling melotot, hidung mereka hampir beradu,
seperti sedang kontes adu melotot. Tak seorang pun dari mereka
berdua mengedipkan mata. Lalu Nicholas berkata perlahan, hampir berbisik, "Kita lihat
saja." Hanya itu. Bisikan tiga kata.
"Kita lihat saja."
Lalu ia berbalik dan pergi, kembali ke arah rumah, berjalan
dengan tegak, kakinya yang kurus dan panjang melangkah lebar.
Robin berdiri terpaku, masih menahan napas, memandang
ayahnya bergerak menjauh dengan cepat tanpa sekali pun menoleh ke
belakang. Jack Bradley menoleh ke Robin, seakan baru melihatnya. Lalu,
tanpa mengucapkan sepatah kata pun, ia berbalik dan menghilang di
balik pepohonan, mantel cokelatnya melambai-lambai di belakangnya.
Robin memejamkan mata dan menunggu sampai detak
jantungnya kembali normal. Dad tidak akan membiarkan mereka
mengambil hutan ini, pikirnya.
Tidak akan pernah. Dad akan mencari cara agar dewan kota tidak mengabulkan
keinginan Mr. Bradley. Bersyukur karena pertengkaran kedua orang itu tidak
berlangsung lama, dan tidak sampai terjadi perkelahian, Robin merasa
agak lebih nyaman. Ia menarik napas panjang. Udara terasa manis dan
segar. Aku perlu jalan, jalan jauh, katanya dalam hati. Ia berbelok ke
arah hutan, menuju anak sungai. Bintik-bintik sinar matahari menarinari di tanah di sekitar kakinya. Yang terdengar hanya suara sepatunya
di tanah berlumpur dan gemercik air mengalir.
Ia memandang berkeliling. Ke mana perginya burung-burung"
ia bertanya-tanya. Kenapa tidak ada burung di hutan ini"
Ini musim semi. Bukankah seharusnya burung-burung itu sibuk
membuat sarang untuk telur mereka"
Serumpun bunga liar berwarna ungu dan biru melambai-lambai
tertiup angin. Mata Robin mencari-cari kupu-kupu. Tak seekor pun
terlihat. Tidak juga serangga lain yang biasanya banyak pada musim
semi. Tidak ada serangga, tidak ada burung maupun binatang jenis apa
pun. Aneh sekali, pikirnya. Aku sudah berjam-jam di hutan. Tapi
baru sekarang kusadari itu.
Ia mengikuti aliran anak sungai yang berliku di sela-sela pohonpohon birch dan cedar, sepatunya melesak di tanah yang lunak.
Suara batuk membuatnya berhenti melangkah. Dan menahan
napas. Didengarnya suara batuk itu sekali lagi. Dan suara daun terinjak
kaki. Aku tidak sendirian di sini, pikirnya.
Tapi siapa itu" Jack Bradley" Apakah dia memeriksa hutan bagian ini juga"
Robin menyelinap ke balik sebatang pohon besar. Dan
mengintai. Di tepi anak sungai, dilihatnya rambut berwarna tembaga.
Seorang anak gadis. Gadis itu menoleh, menyipitkan mata ke arah datangnya sinar
matahari, seperti sedang mencari-cari seseorang.
Meghan! Jantung Robin berdebar kencang.
Apakah Meghan mencari aku"
Bab 5 MEGHAN berseru kaget ketika melihat sosok tubuh itu muncul
dari balik sebatang pohon. Karena silau oleh sinar matahari, mulanya
ia tidak mengenali siapa orang itu.
Lalu rambut berwarna cokelat itu, mata gelap yang berkilauan,
serta pipi merah itu terlihat lebih jelas. "Robin!" panggilnya.
Apa yang dia lakukan di sini" pikir Meghan, sambil
memandang Robin melangkah mendekat. Bagaimana dia menemukan
tempat rahasiaku ini" Ia mencari-cari ke pepohonan di sekitar Robin
untuk melihat apakah Robin sendirian.
Robin tersenyum padanya, senyum malu, kikuk.
Meghan membalas senyum Robin. Menyadari"tiba-tiba saja,
dan membuat dirinya sendiri heran"bahwa ia menyukai Robin.
"Hai," kata Robin, melangkah ke tepi anak sungai. Meghan
melihat lumpur melekat di sepatu kulit cokelat Robin.
"Hai," balas Meghan sambil menyapu rambutnya ke belakang.
Ia meluruskan salah satu tali bahu overall hijau yang dipakainya di
luar blus berwarna kuning muda. "Sedang apa kau di sini, Robin?"
Robin menunjuk ke belakang. "Sedang jalan-jalan."
Meghan merasakan hangatnya sinar matahari di wajahnya.
Permukaan anak sungai berkilauan ditimpa berkas-berkas sinar
matahari. "Hari ini cuacanya bagus sekali," katanya. "Kau sering
jalan-jalan di hutan?"
Robin mengangguk. "Ya, membuatku riang." Bulatan-bulatan
merah di pipinya semakin memerah.
Meghan menyipitkan mata menatapnya. "Kau... sedang sedih?"
Robin menggeleng. Seberkas rambut jatuh di keningnya.
"Bukan. Maksudku... aku senang jalan-jalan di hutan." la menghindari
tatapan Meghan. Dia manis, pikir Meghan. Meghan memetik sekuntum bunga liar berwarna biru dan
menciumnya. "Hutan juga membuat hatiku riang," katanya. "Aku suka
sekali anak sungai ini. Terutama suara gemerciknya. Seperti dentingan
bel." Robin mengangguk lagi. Ia membuka mulut untuk mengatakan
sesuatu. Lalu mengurungkan niatnya.
Aku harap dia tidak sebisu itu, pikir Meghan. Dia sangat
pemalu. Seperti belum pernah berbicara dengan anak perempuan.
Ia memandang melewati bahu Robin. Ada orang melangkah
keluar dari kerimbunan pepohonan"
Tidak. Hanya angin yang menggoyang daun-daun segar musim
semi. "Anak sungai ini mengalir ke danau?" Meghan bertanya pada
Robin. Lalu menggigit bibir bawahnya. Pertanyaan bodoh, pikirnya.
Robin pasti menganggapku membosankan.
Kenapa tiba-tiba aku jadi seperti orang bisu juga"
Robin tersenyum padanya. "Ya. Di sini banyak anak sungai
kecil yang mengalir ke danau. Rasanya aku sudah menelusuri semua
anak sungai itu." Ia memasukkan tangan ke saku celana cokelatnya. "Tempat ini
bisa disebut halaman belakang rumahku," tambahnya, menyapu
rambutnya ke belakang. Halaman belakang rumahnya, pikir Meghan. Hutannya.
Meghan hampir lupa bahwa ayah Robin pemilik hutan ini.
Hampir lupa cerita Richard bagaimana Nicholas Fear berusaha
menghalangi usaha ayah Richard meminta sebagian dari hutan ini
untuk digunakan oleh kota.
Hampir lupa bahwa Robin adalah keturunan Fear.
Meghan ingat kisah-kisah seram yang didengarnya tentang
keluarga Fear. Ia sendiri dilahirkan dan menghabiskan masa kecilnya
di New Jersey. Keluarganya baru pindah ke Shadyside enam tahun
Fear Street Jeritan Pertama First Scream Fearpark 1 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang lalu. Meghan baru berumur sepuluh tahun waktu itu dan tidak ingin
pergi meninggalkan teman-temannya. Tapi ayahnya kehilangan
pekerjaan beberapa minggu setelah runtuhnya bursa saham tahun
1929. Keluarga mereka tidak punya pilihan kecuali pindah ke daerah
tempat tinggal famili mereka di Shadyside dan memulai hidup mereka
lagi. Dan sejak Meghan datang, ia mulai mendengar bisik-bisik kisah
tentang Simon Fear dan keluarganya. Bagaimana mereka menjalankan
praktik ilmu hitam dan sihir. Bagaimana tetangga-tetangga mereka
mendengar jeritan-jeritan dan raungan-raungan aneh di tengah malam.
Kisah tentang orang yang berani masuk ke hutan dan tidak
pernah kembali. Kisah tentang betapa burung pun tidak mau tinggal di
hutan itu karena ada roh jahat.
Tentu saja kisah-kisah itu tidak ada yang benar, kata Meghan
dalam hati. Setiap kota punya kisah-kisah hantunya sendiri.
Melihat Robin yang manis dan pemalu itu, Meghan tahu kisahkisah tentang keluarga Fear pasti tidak benar.
"Apakah aku... masuk tanpa izin?" tanyanya sambil tersenyum.
Pertanyaan itu kelihatannya mengejutkan Robin. "Rasanya,"
sahut Robin tegas. Lalu menambahkan, "Tapi aku senang." Lalu
wajahnya berubah merah. "Mungkin ayahmu tidak akan mengizinkan aku berjalan-jalan di
hutannya yang sangat berharga ini," goda Meghan.
Wajah Robin berubah serius. "Aku"aku tidak seperti ayahku,"
katanya. "Mungkin kau pernah dengar cerita-cerita tentang
keluargaku. Tapi aku tidak seperti mereka."
Meghan mengangguk. Ia tidak tahu bagaimana harus menjawab
kata-kata itu. Diputar-putarnya sejumput rambutnya dengan jemari
tangannya. "Maukah kau... mm..." Robin ragu-ragu, matanya memandang
ke tanah. Lalu pertanyaannya meluncur dari mulutnya, "Maukah kau
jalan-jalan ke danau?"
"Tidak. Aku?" Meghan mulai menjawab. Tapi rasa sakit yang
tiba-tiba menusuk membuatnya mengangkat tangannya ke mata.
"Oh!" jeritnya.
"Ada apa?" "Ada yang terbang masuk ke mataku," katanya. Ia mengucekngucek matanya yang perih, tapi rasa sakitnya bertambah. "Auw!" Air
mata mengalir dari matanya, mengalir ke pipi.
"Coba kulihat," kata Robin. "Pasti serangga atau nyamuk."
Menyipitkan matanya yang sakit dan hanya membuka satu
matanya yang sehat, Meghan melihat Robin melangkah mendekat
dengan kening berkerut menunjukkan rasa prihatin. Pelan-pelan Robin
membuka kelopak mata Meghan dan memeriksanya, wajahnya sangat
dekat ke wajah Meghan. "Cuma sebutir debu," katanya.
Jarinya menyentuh mata Meghan perlahan-lahan. "Sudah.
Sudah kuambil." Meghan mengedip-ngedipkan mata beberapa kali. Rasanya
masih sakit. Air mata berlinang di pipinya.
"Sudah kuambil. Tapi matamu harus kaubasuh dengan air
dingin," kata Robin. "Mau ke rumahku?"
"Tidak. Aku... well..."
Tangan Robin masih di wajah Meghan.
Sekali lagi Meghan menyadari ia sangat suka pada Robin.
Ini selalu terjadi padaku, pikirnya. Aku pacaran dengan seorang
cowok"lalu aku bertemu cowok lain yang benar-benar kusukai juga.
Setelah mengedip-ngedipkan mata mengusir air mata yang
menggenang, ia memandang lagi melewati bahu Robin.
Dan melihat sesosok tubuh menghambur keluar dari hutan dan
berlari ke arah mereka. "Jangan!" Meghan sempat berteriak"sebelum orang itu
mencengkeram Robin dan menariknya dengan kasar.
"Jangan! Hentikan!"
Bab 6 ROBIN merasakan tangan-tangan kuat mencengkeram bahunya.
Merasakan dirinya dilemparkan ke samping bahkan sebelum ia sempat
berseru. Ia terhuyung-huyung, tapi tidak sampai jatuh.
"Hei!" akhirnya ia bisa berteriak, sambil memutar tubuhnya.
Dan menatap Richard Bradley yang wajahnya merah padam
karena marah. Kedua tangan Richard mengepal keras. Mata birunya
liar. Tubuhnya agak membungkuk seperti kucing siap berkelahi.
"Richard"hentikan!" suara Meghan terdengar nyaring di
telinga Robin. "Jangan ganggu dia!"
Robin merasakan rasa takutnya berubah menjadi marah. "Hei,
Bradley"ada apa?"
Richard memutar wajahnya dari Meghan ke Robin. "Kau
mencium pacarku," tuduhnya.
"Tidak!" Meghan yang menjawab.
Robin menarik napas panjang. Ditelitinya wajah marah Richard.
Apakah aku harus berkelahi dengan dia" pikir Robin. Bisakah
aku berkelahi dengan dia" Aku tak pernah berkelahi sejak di taman
kanak-kanak dulu. Richard menatap tajam pada Robin. Bibirnya membentuk
cibiran. Ia mengangkat tinjunya, menantang Robin. "Aku lihat
sendiri," katanya memaksa. "Aku lihat kau mencium dia."
"Tidak?" protes Robin. Suaranya agak serak.
"Dia menolongku!" jerit Meghan melengking. "Kau ini kenapa
sih, Richard?" Meghan melangkah menengahi kedua anak lelaki itu,
menghadap ke Richard, dan mengulurkan kedua tangannya seakan
ingin melindungi Robin. "Aku kelilipan, dan dia menolongku
mengeluarkan debu dari mataku," katanya.
Cemberut Richard tidak berkurang, tapi ia menurunkan
tinjunya. Ia menatap Meghan, meneliti wajahnya, mencoba melihat
apakah Meghan menceritakan yang sebenarnya.
"Itu betul," kata Robin. Ia berharap jantungnya tidak berdebar
sekencang itu, sampai-sampai hampir mengalahkan suaranya. "A-aku
hanya menolong dia. Dia tidak bisa mengeluarkan sendiri bintik debu
itu dari matanya." Richard menyapu selembar daun dari saku bajunya.
Memasukkan ujung baju flanelnya yang bercorak kotak-kotak merahcokelat ke dalam celana jinsnya, matanya tidak lepas mengawasi
Robin. Lalu, tanpa disangka oleh Robin, wajah Richard melunak. Dan
tertawa. "Richard... apa yang lucu?" tanya Meghan.
Tawa Richard semakin keras.
Meghan melangkah maju dan mengguncang pundak Richard.
"Berhenti! Kenapa kau tertawa?"
"Wajah kalian," sahut Richard di sela-sela tawanya. Ia
menyeringai pada Robin. "Aku hanya main-main. Aku tidak sungguhsungguh."
Mulut Meghan ternganga. "Hah?"
Richard menepuk punggung Robin. "Aku tahu kau tidak
menciumnya. Aku hanya ingin melihat reaksimu." Ia menggelenggeleng. "Mukamu sampai pucat! Sungguh." la tertawa lagi, tawa
melengking nyaring. "Richard, itu tidak lucu," kata Meghan marah.
"Lucu kok," sahut Richard, menyeringai. Ia menoleh ke Robin
dan mengguncang tinju besarnya. "Apa kaukira aku benar-benar ingin
kau merasakan ini?" "Aku tidak tahu," sahut Robin.
Padahal Richard sungguh-sungguh serius tadi, pikir Robin.
Justru yang sekarang dia hanya pura-pura. Dia bilang bahwa yang tadi
itu hanya lelucon karena dia melihat Meghan tidak senang.
Setidaknya dia tidak memukuliku di depan Meghan.
Sudah saatnya aku pergi, pikir Robin. "Aku harus pulang,"
katanya. "Sampai bertemu lagi hari Senin di sekolah."
"Bye, Robin," kata Meghan. "Sampai Senin nanti di sekolah,"
kata Meghan. Robin mulai berjalan pergi melewati mereka. Ia tidak
memperhatikan Richard mengulurkan kakinya. Begitu ia sadar, sudah
terlambat. "Hei!" teriak Robin ketika ia tersandung sepatu Richard. Ia
terjerumus ke depan, jatuh ke tanah.
Richard tertawa terbahak-bahak.
Robin sempat melihat Meghan cemberut pada Richard. Lalu
Meghan membungkuk membantu Robin berdiri.
"Aku rasa dia cemburu," bisik Meghan, bibirnya menyentuh
telinga Robin, membuat tengkuk Robin meremang.
Apakah Meghan menyukaiku" pikir Robin. Ia menepis-nepis
bajunya, menyapu rambutnya ke belakang.
"Sampai ketemu di sekolah," seru Richard mengejek. "Kecuali
aku ketemu kau sebelum itu!" Ia tertawa lagi.
Robin tidak mengindahkannya dan berjalan pergi. Setelah
masuk ke tengah rimbunnya pepohonan, ia berhenti. Dan menengok
ke belakang. Dari sela-sela dedaunan ia melihat Richard dan Meghan
berciuman. Richard melingkarkan lengannya pada Meghan sehingga
gadis itu seakan lenyap di balik baju flanel Richard. Wajah Meghan
menengadah ke wajah Richard, rambut merahnya tergerai ke lengan
baju Richard. Robin menghela napas, tidak mampu menekan rasa
cemburunya. Rasanya Meghan suka padaku, katanya pada diri sendiri. Tapi
bagaimana dia bisa menyukaiku sekaligus menyukai gorila besar
seperti Richard" Robin melihat ciuman mereka berakhir. Richard masih tetap
memeluk Meghan. "Kenapa ya, aku jadi sering melihatmu bersama
Robin?" tanya Richard pada gadis itu.
Robin bergerak maju, berusaha mendengar jawaban Meghan.
Tapi embusan angin membuat daun-daun gemeresik, membuat suara
Meghan tak terdengar. "Dari mana dia bisa tahu tempat pertemuan kita ini?" desak
Richard. "Kebetulan saja," sahut Meghan. "Dia sedang jalan-jalan. Dia
tidak tahu ini tempat rahasia kita."
Robin baru sadar bahwa dia menahan napas. Menguping
pembicaraan pribadi mereka ternyata lebih asyik daripada yang
terbayangkan. Tapi apakah Meghan suka padaku" tanyanya lagi pada diri
sendiri. Dan lagi. Apakah dia suka padaku"
"Tapi kenapa kau bicara dengannya?" Robin mendengar
Richard masih terus bertanya.
Jawaban Meghan menyengat Robin bagaikan gigitan ular. "Dia
kelihatan kesepian," Robin mendengar gadis itu berkata. "Aku hanya
kasihan padanya." ************ Robin berlari pulang, berlari melewati rimbunnya pepohonan
dan semak-semak, melompati batu-batu dan batang-batang pohon
tumbang, hutan hanya terlihat bagaikan bayangan yang bergerak
samar di matanya. Semua terlihat samar-samar.
Seakan matanya tergenang air mata.
Seakan dunia ini kabur, berkabut. Semua hanya merupakan
bayang-bayang gelap. Kabur, berkabut, bisa kautembus sambil berlari
tanpa merasakan apa pun. Tanpa merasakan apa pun. Tanpa rasa kesal. Atau marah.
Atau kecewa. Atau... patah hati. Tanpa merasakan apa pun. Dunia samar itu terbawa terus sampai Robin tiba di belakang
rumahnya. Melalui dapur. Menuju tangga depan yang akan
membawanya ke kamarnya di atas. Sambil berharap tidak akan
bertemu ayahnya. Berharap ia bisa ke kamarnya tanpa terganggu,
tempat ia bisa berpikir: Tempat ia bisa menayangkan kembali adeganadegan sore itu di kepalanya. Adegan dengan Meghan dan Richard,
mena-yangkannya lagi berkali-kali.
Itu kebiasaannya kalau ia sedang marah atau kesal.
Berbaring telungkup di tempat tidur, wajah dibenamkan ke
bantal, dan menyiksa dirinya, menyiksa diri sendiri, merasakan lagi
rasa sakitnya, bolak-balik diulang berkali-kali.
Tapi kali ini Robin tidak sampai ke kamarnya.
Ia berhenti di kaki tangga. Menengok ke ruang keluarga.
Ruangan terlihat tegas sekarang. Penglihatannya tidak lagi
kabur. Semua terlihat tegas dan jelas.
Robin menghambur ke ruang keluarga.
Menjatuhkan diri berlutut di samping ayahnya.
Ayahnya. Terbaring telentang. Mata menatap kosong ke langitlangit.
Ayahnya. Ayah Robin. Mati di lantai ruang keluarga.
Bab 7 "'DAD!" Robin mengguncang pundak ayahnya keras-keras.
"Dad! Dad!" Apakah dia masih bernapas"
Robin menaruh tangannya di mulut dan hidung ayahnya.
Tidak. Tidak bernapas. Mati. Mati di lantai ruang keluarga.
"Dad"tidak...! Dad! Bangun, Dad!" Kata-kata menghambur
dari mulut Robin dan bergema di ruangan luas itu.
Ia mengguncang-guncang tubuh ayahnya lebih keras lagi.
Tubuh Nicholas terasa sangat ringan di tangan Robin, sangat
ringan dan tipis, seakan mudah patah. Tapi diguncangnya juga.
Tidak bisa berpikir. Tidak bisa melihat. Semuanya kembali
kabur. Bayang-bayang kabur merah dan ungu.
"Dad" Dad?"
Ungu" Robin menoleh ke pintu yang menuju kamar kerja ayahnya.
Asap ungu mengambang di sekitar pintu. Asap tipis berwarna ungu,
bergerak perlahan-lahan ke arah langit-langit.
Asap ungu" Lagi"
Robin mengalihkan pandangannya ke dada ayahnya. Lalu
menekankan pipinya ke baju putih ayahnya. Dan mendengarkan.
Tidak ada suara apa-apa. Tidak ada suara detak jantung. Tidak ada detak tanda
kehidupan. Sunyi. "Dad" Dad?"
Asap tipis tadi bergerak mengambang ke ruang keluarga,
membawa bau asam-manis. Ditambah samar-samar bau busuk.
"Dad?" Asap ungu berputar-putar, semakin pekat, merendah. Robin
menatap, melihat asap itu membentuk kabut di atas tubuh ayahnya.
Nicholas bergerak. Mengerang. Membuka matanya.
Fear Street Jeritan Pertama First Scream Fearpark 1 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Dad?" "Oh. Halo, Robin." Suaranya tenang. Seperti tidak ada apa-apa.
"D-Dad?" Robin tergagap. Dia masih menggenggam pundak
ayahnya. "Dad tidak apa-apa?"
Nicholas mengangkat kepalanya dan memandang sekeliling
ruangan. "Ya. Aku baik-baik saja," sahutnya. Tapi suaranya agak tidak
meyakinkan, agak bernada heran.
"Dad... kau"kau?" Robin tergagap. Ia sangat lega melihat
ayahnya masih hidup. Sangat lega sehingga dadanya serasa akan
meledak. Ia ingin memeluk ayahnya. Memeluk dan mencium pipinya.
Tapi tentu saja ia tak akan melakukan itu. Kecuali untuk
berjabat tangan, ayah dan anak tidak pernah bersentuhan.
"Apa yang kulakukan di sini?" tanya Nicholas, perlahan-lahan
bangkit duduk. Ia menggoyang-goyangkan kepala seakan-akan ingin
menjernihkan otaknya. Robin melihat asap ungu itu telah lenyap.
"Aku tidak tahu," kata Robin, mengangkat tubuhnya, duduk
berlutut. "Aku"aku menemukan Dad di sini." Susah payah ia
menelan ludah. "Kau tidak bernapas. Aku"aku kira kau... mati. Apa
yang terjadi, Dad?" Nicholas menggeleng-gelengkan kepala lagi. Diambilnya
kacamatanya dan diamatinya seakan-akan mencari jawabannya di situ.
Lalu ia memakainya lagi dengan hati-hati, dan mengusap kepala
botaknya. Ia menatap Robin, masih seperti berusaha memfokuskan
pandangannya. "Entahlah, aku tidak tahu persis apa yang terjadi,"
katanya perlahan. Robin bangkit berdiri. Lalu mengulurkan kedua tangannya
membantu ayahnya berdiri.
Nicholas terhuyung-huyung, seperti akan terjatuh lagi ke lantai.
Robin membantunya ke salah satu kursi besar dan empuk di
depan perapian. "Dad tidak ingat bagaimana Dad ada di sini?"
desaknya. "Benar-benar tidak ingat?"
Robin tidak pernah mendesak ayahnya seperti ini. Tapi
menemukan ayahnya mati" atau hampir mati"di lantai sangat
membuatnya ketakutan. Robin harus tahu apa yang terjadi.
"Aku sedang berlatih sesuatu," kata Nicholas, menatap ke
perapian yang gelap. "Berlatih... apa?" desak Robin.
Nicholas tidak langsung menjawab. Ia menatap ke perapian
kosong dan menggerak-gerakkan rahangnya.
Ketika ia menoleh ke Robin, ekspresi wajahnya terlihat agak
aneh. "Kau lihat ibumu?" tanyanya, menatap tajam ke mata Robin.
"Hah?" Mulut Robin ternganga karena terkejut. "Mom?"
"Kau lihat dia?" Nicholas mengulangi pertanyaannya.
Terdengar nada takut. Tenggorokan Robin serasa kering. Ada sesuatu terjadi pada
Dad, pikirnya. Badannya serasa tersiram air dingin.
"Dad," kata Robin perlahan, berusaha agar nada suaranya
tenang. "Dad tahu Mom sudah meninggal lebih dari dua belas tahun
yang lalu." "Apa kau lihat dia?" desak Nicholas. Ia memandang berkeliling,
seakan yakin ibu Robin ada di ruangan itu.
"Tidak," sahut Robin, merasa pusing, melawan gelombang rasa
mual. "Tidak, aku tidak lihat Mom."
Nicholas menghela napas. "Aku kira kau melihatnya."
Robin menelan ludah. "Dia sudah meninggal, Dad. Ingat?"
Nicholas mengangguk. "Mungkin dia akan kembali," katanya,
menatap lagi ke perapian.
Robin ternganga. "Apa maksud Dad?"
Nicholas seperti tidak mendengar pertanyaan Robin. Ia
memejamkan mata, seakan mengabaikan keberadaan putranya.
"Dad"apa yang barusan kaukatakan?" desak Robin.
"Dia mungkin akan kembali," kata ayahnya, menghela napas,
dengan mata tetap terpejam.
Robin akan mengatakan sesuatu. Tapi suara di pintu
membuatnya terhenti. Suara gemeresik. Suara batuk. Robin memutar tubuh melihat ke pintu.
"Mom?" Bab 8 SESOSOK tubuh mengenakan tutup wajah melayang masuk ke
ruangan, dikelilingi asap tipis berwarna ungu.
Robin ternganga terkejut. Merasa seram.
Didengarnya desis suara ayahnya. "Itu dia!"
Nicholas Fear melompat berdiri dari kursinya dan
menggenggam bahu Robin, mencengkeramnya begitu keras sehingga
Robin meringis kesakitan. "Sudah lama aku berusaha," bisik Nicholas.
Sosok itu melayang semakin dekat.
Robin menyipitkan mata berusaha melihat lebih jelas melalui
kabut ungu itu. Ia bisa melihat bentuk gaun seorang wanita, gelap dan panjang,
hampir menyentuh lantai. Di balik gulungan asap ungu, ia melihat
lengan wanita itu, tangannya yang kecil ada di depan pinggang. Ia
juga melihat lengan bajunya yang panjang dan longgar.
Wanita itu bekerlip dan melayang"bagaikan nyala api, pikir
Robin. Bagaikan api ungu. Ia berusaha keras melihat wajahnya.
Apakah wanita itu punya wajah"
Sebuah topi bertepi lebar menutupi wajahnya dari pandangan.
Kabut ungu membentuk tirai di sekelilingnya. Tirai di depan
tirai. Bagi Robin, wanita itu tampak bagaikan sebuah bayangan di
dalam bayangan. Sesosok bayangan kabur di balik kabut ungu
kebiruan. "Mom?" desahnya.
Robin merasakan ayahnya dekat sekali di belakangnya. Ia bisa
merasakan napas ayahnya, bisa mendengar detak jantung ayahnya
berdebar sangat cepat. Merasakan genggaman keras ayahnya di
bahunya. "Yaaa!" desis Nicholas Fear lagi. "Yaaaa! Itu Ruth!"
Rasa dingin membuat seluruh tubuh Robin menggigil. Sambil
memperhatikan bayangan kabur yang melayang-layang di atas lantai,
ia berusaha mengingat-ingat ibunya.
Berusaha mengingat-ingat wajah ibunya. Senyumnya.
Ia hanya berhasil membayangkan wajah kosong dikelilingi
rambut gelap berombak. Apakah matanya biru atau hitam"
Ia tidak ingat. Ia tidak ingat mata ibunya, atau senyumnya, maupun suaranya.
Ia tidak ingat suara tawa ibunya.
Tidak ingat apa pun, kecuali rambut hitam berombak. Dan bau
bunga Lilac. Lilac" Bagaimana Robin bisa ingat itu"
Ibunya meninggal waktu ia baru berumur empat tahun.
Tapi sekarang ibunya melayang-layang menghampirinya dari
seberang ruangan. Melayang-layang di tengah awan ungu, untuk
bergabung lagi dengan mereka setelah bertahun-tahun lamanya
berpisah. Gaun panjangnya beriak-riak sementara ia melayang. Lengan
gaun itu tiba-tiba tampak berkibar naik-turun bagaikan bendera tertiup
angin. Topi bertepi lebarnya berkilau dan berayun, menyembunyikan
wajahnya dari pandangan Robin.
Apa yang telah kaulakukan, Dad" pikir Robin.
Apakah kau benar-benar telah menggunakan ilmu sihirmu
untuk mengembalikan Mom dari kubur" Apakah kauhabiskan dua
belas tahun ini di ruang perpustakaanmu yang gelap itu, mempelajari
kitab-kitabmu, melatih mantra-mantramu, memanggil asap ungu
menyeramkan ini"menghabiskan seluruh tahun-tahun itu untuk
membawanya kembali" Bagaimana kau melakukannya"
Tidak. Jangan beritahu aku.
Robin betul-betul tidak ingin tahu.
Terasa desakan keras di hatinya untuk lari, kabur dari ruangan
itu, tanpa menunggu bayangan samar-samar itu datang padanya.
Tapi genggaman tangan ayahnya membuatnya tetap di tempat
itu. Dan ia baru menyadari bagaimana kakinya terasa lumpuh,
seluruh tubuhnya membeku" karena takut" Karena takjub" Atau
sekadar karena ingin tahu"
"Yaaaa, Ruth!" desis Nicholas.
Sosok bayangan itu mendekat, gaun panjangnya menyapu
lantai. Lengan bajunya melambai-lambai. Seluruh bayangan itu
bergoyang bagaikan seonggok awan.
Semakin dekat. Robin merasa seakan tergulung dalam rasa dingin yang
menusuk. Udara di sekitar sosok yang bergerak mendekat itu terasa sangat
dingin. Menolehlah, Mom, desak Robin dalam hati. Menolehlah agar
bisa kulihat wajahmu. Robin menggigil. Bahkan genggaman erat ayahnya di
pundaknya tidak bisa menghentikan gemetar tubuhnya.
Rasa dingin menyapu seluruh tubuhnya. Tidak pernah ia
merasakan dingin sedingin ini.
Ini bukan hawa dingin di bumi.
Ini dingin dari alam kubur.
Dingin yang paling dingin dari semua rasa dingin. Dingin
kematian. Menolehlah, Mom. Aku ingin melihatmu. Aku ingin melihat
wajahmu. Sosok melambai-lambai itu melayang semakin dekat lagi. Lalu,
seakan membaca pikiran Robin, sosok itu memutar kepalanya.
Kabut ungu menguak. Topi lebar bergeser ke belakang.
Dan Robin melihat wajah ibunya.
Melihat tulang-tulang berwarna kelabu kehijauan dari tengkorak
kepalanya yang membusuk. Melihat lubang hitam kosong bekas rongga matanya.
Melihat seringainya yang penuh gigi. Rahang bawah yang
tergantung-gantung. Serpihan-serpihan kulit menghitam menempel di
lubang bekas tempat bibirnya dulu, bibir yang dulu pernah tersenyum
padanya, bibir yang dulu pernah menciumnya.
Sekarang bibir itu tidak ada lagi. Juga tidak ada mulut sama
sekali. Hanya daging dan tulang membusuk.
"Tidaaaaaak!" jerit rendah ketakutan meluncur dari mulut
Robin. Dan ketika melihat seekor cacing cokelat gemuk menggeliat
keluar dari lubang hidung kiri ibunya, Robin memejamkan mata"lalu
menjerit, menjerit, dan menjerit.
Bab 9 DAN terbangun menjerit-jerit.
Ayahnya membungkuk di atas tubuhnya, memperhatikannya
melalui lensa kacamatanya dengan bibir terkatup kering. Dan seorang
perawat berdiri di sampingnya, seorang wanita berwajah
menyenangkan berseragam putih, rambut hitamnya ditekuk ke atas di
bawah topi seragamnya. Robin menghentikan jeritannya. Tenggorokannya terasa kering
dan panas bagaikan api. Seperti diamplas sampai ke dadanya. Digosok
dan digosok dengan amplas hingga berdenyut-denyut dan berdarah.
Dadanya terasa sesak. Susah bernapas.
Ia menatap wajah ayahnya yang tampak prihatin. Berusaha
memusatkan pandangan. Terlihat darah kering di bibir bawah
ayahnya. Karena digigit-gigitnya sendiri"
"Pasti mimpi buruk yang sangat menyeramkan, Nak," gumam
Nicholas, lalu menoleh ke perawat. "Pasti mimpi buruk yang paling
menyeramkan, lebih dari yang sudah-sudah."
Robin mencoba menjawab, tapi hanya suara serak yang keluar
dari kerongkongannya. Mimpi buruk" Bukan. Ini pernah terjadi sebelumnya, Robin tahu. Dad pernah
mencoba ilmu sihirnya sebelum ini. Dan hanya berhasil membuatku
takut. Lalu menyebut itu sebagai mimpi buruk.
Menyewa perawat dan menyebut itu mimpi buruk. Membayar si
perawat agar mengatakan itu mimpi buruk juga.
Mana mungkin mimpi buruk bisa seseram itu. Mana mungkin
mimpi buruk bisa sama seramnya dengan kenyataan.
Tapi Robin selalu ikut berpura-pura. Habis mau bagaimana
lagi"EBUKULAWAS.BLOGSPOT.COM
"Tadi kau sedang tidur lelap, anak muda," kata si perawat.
Mengatakan begitu karena dibayar.
"Berapa... lama?" bisik Robin. Memaksakan bicara membuat
lehernya sakit. Berapa lama aku menjerit-jerit" pikirnya.
"Hari ini hari Senin," sahut Nicholas.
Dua hari" Apakah aku betul-betul sudah menjerit-jerit sejak hari
Sabtu" Kenapa aku menjerit-jerit"
Robin tidak ingat. Itu bagian dari strategi ayahnya. Apakah dia
menghipnotis Robin dan memaksa ingatannya hilang" Bagaimana dia
menghapus ingatan dari otak Robin"
Robin tahu ia ketakutan"merasa seram.
Merasa sangat seram sampai menjerit-jerit selama dua hari.
Tapi ia tidak ingat kenapa.
"Kau merasa lebih baik?" tanya Nicholas lembut, tapi tanpa
sungguh-sungguh menunjukkan perasaan. Ia membungkuk di atas
Robin, meneliti wajahnya, meneliti matanya.
Memastikan bahwa aku tidak ingat" pikir Robin.
"Aku... baik-baik saja," bisik Robin, tenggorokannya
mengingatkannya pada rasa sakit.
"Akan kuambilkan minum," kata perawat. Wanita itu pun pergi.
Robin mengangkat kepalanya. Kamar tidurnya terlihat sama.
Setidaknya kamar tidurnya terlihat sama. Tidak ada yang
berubah"kecuali jauh di dalam benaknya, sesuatu yang tidak bisa
dijangkaunya. Ada yang hilang. Mimpi buruk hilang dalam mimpi buruk.
Mimpi buruk yang sebetulnya kenyataan.
Nicholas menggelengkan kepala. Gerakan terlatih.
Kelihatannya dia sudah berlatih melakukan gerakan-gerakan tanda
simpati. "Pasti buruk sekali mimpimu kali ini, Robin," katanya.
"Syukurlah sekarang sudah berlalu." Ia menghela napas. "Aku harap
ini tidak sering-sering terjadi padamu."
Aku juga, pikir Robin pahit.
"Aku harus pergi sebentar," kata Nicholas. Ia menghela napas
lagi. "Aku punya mimpi burukku sendiri."
Fear Street Jeritan Pertama First Scream Fearpark 1 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hah?" Robin ingin bicara, tapi rasa sakitnya terlalu besar.
"Dewan kota sudah mengadakan rapat hari ini," kata Nicholas,
tanpa menyembunyikan nada marah dalam suaranya. "Mereka sudah
tidak sabar mengadakan pemungutan suara mengenai usulan Jack
Bradley." Taman hiburan" Ingatan Robin melayang balik. Melayang... bagaikan sesosok
bayangan hantu. Sesosok bayangan hantu yang pernah dilihatnya di suatu
tempat. Belum lama. Sesosok bayangan melayang-layang di ruangan...
Di mana" Ia tidak ingat.
"Mereka memutuskan mengambil alih hutan kita, Robin,"
Nicholas meneruskan dengan nada pahit. "Empat puluh hektar.
Mereka memutuskan mengambil empat puluh hektar hutan kita untuk
membangun taman hiburan konyol."
"Sayang sekali, Dad," gumam Robin.
"Kita tidak bisa membiarkan mereka melakukan itu kan,
Robin?" desak Nicholas. "Kita tidak bisa membiarkan mereka
mengambil hutan kita."
Dia tidak berbicara padaku, Robin menyadari. Dad berbicara
pada dirinya sendiri. "Aku segera kembali," kata Nicholas, menepuk-nepuk selimut
di dada Robin. "Tidurlah, Nak." Ia melangkah ke pintu. "Kau akan
baik-baik saja. Itu hanya mimpi buruk."
Bukan, bukan mimpi, pikir Robin, memandang ayahnya pergi.
Itu bukan mimpi, Dad. Itu nyata. Itu betul-betul terjadi. Itulah istimewanya hidupku. Mimpi burukku selalu nyata.
************* Jack Bradley mengalungkan gulungan tambang ke bahunya.
Lalu mengangkat koper besi berisi peralatan ukur dan berseru pada
dua pembantunya. "Ke sini! Barney! Ken!"
Sambil menudungi mata mereka dari sinar matahari sore, kedua
orang itu"berpakaian overall dari bahan denim dan baju kerja"
mengikuti Jack masuk ke hutan. Barney, tinggi dan berjenggot,
membawa dua gulungan tali. Ken, berumur sembilan belas tapi seperti
anak berumur dua belas, membuka setumpuk pasak kayu.
Jack memberi tanda agar mereka berjalan lebih cepat. Matahari
sudah mulai rendah di balik pepohonan. Ia ingin mereka selesai
sebelum gelap. Jack tidak percaya takhayul. Dan ia tidak percaya kisah-kisah
yang didengarnya sejak ia masih kecil. Tapi ia tidak ingin berada di
tengah Hutan Fear Street setelah matahari tenggelam.
Sepatu botnya melesak ke tanah becek. Peralatan di dalam
koper berdenting-denting ketika ia melangkahi pokok kayu yang
tumbang. "Beri tanda di sini," perintahnya pada Ken.
Anak muda itu mengernyitkan wajah seakan tidak mengerti.
Lalu ia mengambil sebuah pasak kayu dan dengan tangan satunya
mengeluarkan palu kecil dari saku overall-nya.
"Di sini?" Jack mengangguk. Ken membungkuk dan mematokkan pasak itu ke tanah.
"Kita jalan langsung ke dalam sana?" tanya Barney, sambil
menggaruk janggutnya. "Ya, langsung ke dalam," sahut Jack. "Kita ukur panjangnya
dulu ke dalam. Baru nanti lebarnya."
Barney menggeleng-geleng. "Wuih. Empat puluh hektar.
Nicholas Fear pasti melolong-lolong seperti anjing luka."
Jack tersenyum. Ia mencoba membayangkan Nicholas Fear
yang kaku, serius, dan angkuh, melolong-lolong seperti anjing.
Aku heran orang itu begitu mementingkan dirinya sendiri, pikir
Jack. Kami bahkan telah menawarkan pembagian keuntungan taman
hiburan itu. Tapi dia tetap tidak mau mendengarkan usulan itu.
Jack sesungguhnya tidak ingin mengambil empat puluh hektar
dengan paksa. Tapi pilihan apa lagi yang bisa diambil dewan kota"
Terlalu banyak orang menganggur. Taman hiburan ini akan membuat
kota hidup lagi, pikir Jack. Tanpa itu, Shadyside mungkin tidak akan
bertahan. "Pekerjaan ini terlalu berat untuk tiga orang," kata Barney,
mengikatkan salah satu ujung tambang ke pasak di tanah. "Menurutmu
kita bisa selesaikan pengukuran hari ini, Jack?"
Jack melepas topi kulit hitamnya dan menggaruk rambut
pirangnya. "Kita lakukan sebisanya, Barney."
Jack sudah meminta putranya, Richard, untuk membantu. Tapi
Richard pergi entah ke mana dengan pacarnya, Meghan Fairwood.
Jack mendesah. Aku jarang melihat Richard belakangan ini,
pikirnya. Kalau tidak pergi dengan pacarnya, dia sibuk berlatih
dengan tim bisbol. Sekali-sekali aku perlu pergi dengan dia, pikir Jack. Hanya
berdua. Mungkin memancing ke Conononka, yang banyak ikan
lelenya itu. Sementara matahari semakin rendah dan udara semakin sejuk,
ketiga orang itu meneruskan pekerjaan mereka. Ken mematok. Barney
merentang tambang. Baju mereka basah karena keringat walaupun
udara sore itu sejuk. Agak jauh di tengah hutan, Jack melihat anak sungai kecil. Ia
memandang ke air, melihat apakah ada ikan-ikan kecil di situ, tapi tak
seekor pun terlihat. "Kita seberangi anak sungai ini?" tanya Ken.
Jack mengangguk. "Anak sungai ini harus diuruk," katanya,
matanya mengikuti aliran anak sungai itu. "Tidak boleh ada anak
sungai mengalir di tengah taman hiburan."
Aliran anak sungai itu membuat bunyi yang menyenangkan,
bagaikan suara musik. Ketiga orang itu menyusuri tepiannya. Jack
berhenti ketika dilihatnya tapak-tapak sepatu di tepian yang becek.
Tapak sepatu dari setidaknya tiga orang. "Aneh. Aku tidak tahu
ada orang di sini," gumamnya.
"Di sini alirannya sempit, kita bisa meloncat ke seberang," kata
Barney. "Airnya tidak dalam. Kita bisa berjalan menyeberang," kata
Jack. Ia berjalan masuk ke sungai. Air hanya sampai setengah sepatu
botnya. "Setelah dekat Danau Fear baru airnya dalam."
Mereka berjalan menyeberangi anak sungai itu, sambil
mengulur tambang. Matahari sudah lebih rendah. Langit agak gelap.
Bayangan mereka di tanah becek kini berwarna kebiruan.
"Pasang patok di sana," kata Jack, menunjuk.
Ken berlutut dan mengambil sebuah pasak.
Saat Jack berjalan ke arah pepohonan, ia mendengar suara palu
memukul pasak kayu. Lalu didengarnya Ken menjerit.
"Aduuuh! Kakiku! Aduuuh!"
Jack terkejut dan memutar tubuhnya.
Dan melihat Ken menjerit-jerit kesakitan.
Pertama dilihatnya wajah Ken mengerut kesakitan. Lalu
dilihatnya pasak kayu, tertancap di sepatu bot Ken.
"Kakiku! Kakiku!" teriak Ken. Tangannya mengepak-ngepak di
udara, bagaikan sayap burung.
Di sekitar pasak kayu itu darah mengalir.
Kenapa bisa begitu" pikir Jack. Kenapa Ken mematok pasak
kayu ke kakinya sendiri"
Lalu pertanyaan itu hilang dari kepala Jack saat ia berlari untuk
menolong anak muda itu. Ia dan Barney berlutut di samping Ken,
menyuruhnya diam, mengatakan bahwa Ken akan baik-baik saja.
"Kita cabut saja pasaknya?" tanya Barney, suaranya lemah,
bergetar. Darah mengalir di sekitar pasak, menetes ke bawah sepatu.
"Tidak. Jangan dicabut," kata Jack. "Nanti darahnya makin
banyak. Kita bawa saja dia ke mobil. Kita bawa ke Rumah Sakit
Shadyside." "Sakit sekali... Aduh... Sakitnya bukan main!" Ken mengerang.
Jack dan Barney mengangkatnya berdiri.
"Bantu dia ke mobil," Jack menyuruh Barney. "Ken,
bersandarlah ke Barney. Jangan bertumpu pada kaki yang sakit.
Barney akan membawamu ke rumah sakit. Kau akan baik-baik saja,
mereka akan hentikan perdarahannya."
"Kau sendiri?" tanya Barney.
Jack menggerakkan bahu. "Menyelesaikan ini. Tinggalkan saja
tambangnya, oke?" "Tapi, Jack?" protes Barney.
Ken mengerang. "Bawa dia ke mobil," Jack menyuruh. "Aku hanya akan bekerja
beberapa menit lagi. Lalu aku juga akan pulang."
Barney ingin mendebat, tapi dilihatnya Jack tetap pada niatnya.
Dirangkulnya pinggang Ken dan dibantunya menyeberangi anak
sungai. Jack memandang mereka sampai keduanya lenyap di balik
pepohonan. Bahkan setelah mereka tidak terlihat lagi, ia masih
mendengar erangan Ken. Ken bukan anak yang canggung, pikir Jack, menggelengkan
kepala. Ken pekerja yang bisa diandalkan. Bagaimana dia bisa
ceroboh seperti itu"
Begitu ceroboh sampai mematok pasak kayu ke sepatu dan
kakinya sendiri" Jack menggigil, membayangkan betapa sakitnya kaki itu.
Lalu rasa gatal itu mulai terasa.
Mula-mula di dadanya. Ringan saja mulanya. Jack hampir tidak
merasakannya. Ketika mulai merasakannya, ia mengira ada serangga merayap
di dadanya. Digaruknya dadanya dari luar bajunya.
Rasa gatal semakin tajam. Seperti digigit serangga sekarang.
Dan menjalar ke pundaknya. Juga ke bawah lengannya.
Jack menjatuhkan peralatan yang dibawanya dan menggarukgaruk lengannya. "Serangga brengsek!"
Apakah aku menyenggol sarang nyamuk tadi" pikirnya.
Serangga-serangga itu merayapi lehernya sekarang, menggigiti.
Sekarang rasanya semakin sakit.
Jari-jari Jack bergerak mengambil serangga di lehernya.
Tapi herannya ternyata tidak ada seekor serangga pun di situ.
Dadanya gatal sekali, menggelitik. Begitu juga punggungnya.
Kakinya gemetaran. Napasnya megap-megap.
Ia membungkuk untuk menggaruk kakinya. Lalu menggosokgosok pipinya yang juga gatal.
"A-aku tidak tahan!" jeritnya keras.
Tapi suara itu terbungkam karena di dalam mulutnya juga terasa
sangat gatal. Lidahnya juga terasa menggelitik seperti ada ribuan kutu
merayap-rayap di sana. "T-tolong...," Jack tergagap.
Ia menggaruk-garuk lehernya. Menggosok pipinya, mencakari
dadanya. Menggaruk dan mencakar. Mencakari dadanya sampai kulitnya
terkelupas. Tapi rasa gatalnya tidak berkurang.
"Ohhhh..." Erangan lemah meluncur dari kerongkongannya
yang gatal. Kakinya gatal, gemetaran, dan tidak mampu menahan berat
tubuhnya. Ia terjatuh berlutut. Mengerang. Megap-megap menarik
napas. Ia mencakari kulit lengannya. Darah membasahi bajunya.
Menggaruk dan mencakar. Mencakar-cakar bagaikan binatang
gila. Aku tidak bisa berhenti! ia menyadari.
Tidak bisa berhenti! Tidak bisa berhenti!
Apakah aku akan menggaruk terus sampai kulitku terkelupas
semua" Bab 10 MEGHAN memasang kancing di bagian depan sweter wolnya
yang berwarna biru, lalu melipat kedua tangan di depan dada. Ia
memperhatikan celah-celah pepohonan, berjalan bolak-balik dengan
perasaan tidak sabar. Mana Richard" pikirnya.
Aku tidak bisa menunggu lebih lama di tengah hutan seperti ini.
Matahari hampir terbenam.
Ia menggigil. Udara mulai terasa lembap dan dingin.
Ini memang ide konyol, katanya pada diri sendiri. Janji bertemu
Richard di sini. Bilang pada orangtuaku bahwa aku pulang telat
karena harus mengerjakan sesuatu di sekolah.
Dan sekarang Richard entah di mana.
Entah mengapa Meghan jadi berpikir tentang Robin Fear.
Karena ini hutan cowok itu" Tidak. Meghan mengakui bahwa
belakangan ini ia memang sering berpikir tentang Robin.
Tentang matanya yang gelap dan tenang. Senyumnya yang
malu-malu. Kadang-kadang ia membayangkan mereka berdua, berjalan
bersama di sekolah. Atau berjalan-jalan berdua di tepi anak sungai
atau di Shadyside Park. Bisakah aku benar-benar putus dengan Richard" pikir Meghan.
Bisakah aku putus dengan dia sehingga aku bisa pergi dengan Robin"
Pikiran itu mengejutkan Meghan.
Kenapa aku tidak pernah bisa mengambil keputusan" tanyanya
pada diri sendiri. Tadinya kukira aku benar-benar cinta pada Richard. Tapi
sekarang aku tidak begitu yakin.
Embusan angin menerpa rambut Meghan. Dahan-dahan pohon
bergoyang-goyang. Tiba-tiba Meghan merasa seakan ada ribuan mata
mengintainya dari balik semak-semak dan batang-batang pohon.
Jangan terlalu terbawa suasana hati, Meghan, ia memarahi diri
sendiri. Tidak ada orang lain di sini.
Tapi kemudian semak-semak terkuak. Meghan mendengar
langkah kaki. Dan sesosok bayangan gelap berlari menghampirinya.
"Richard"dari mana saja kau?" seru Meghan, suaranya lebih
tinggi dari yang dia maksudkan. "Aku berdiri menunggu sendirian di
hutan lebih dari setengah jam."
"Maaf," jawab Richard terengah-engah. Ia mendekati Meghan
dan mencium pipinya. Dahinya berpeluh. Meghan menebak Richard
pasti berlari sepanjang jalan ke sini.
"Pelatih menyuruh kami latihan lebih lama dari biasanya,"
katanya menjelaskan. "Katanya kami kurang serius. Dia ingin melihat
kami lebih bersemangat sebagai satu tim." Richard memberengut.
"Bagaimana kami bisa punya semangat tim kalau dia selalu
mengatakan kami tim yang buruk dan menyuruh latihan terlalu lama
setiap hari?" Richard mengelap dahi dengan lengan sweternya. Ia
membungkuk untuk mencium Meghan lagi, tapi Meghan menghindar
mundur. Gadis itu menggigil. "Aku betul-betul harus pulang sekarang.
Sudah hampir waktu makan malam. Ini ide konyol."
Richard mengerutkan kening. "Kan bukan salahku." Ia
menyelipkan lengannya merangkul bahu Meghan.
Fear Street Jeritan Pertama First Scream Fearpark 1 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Meghan akan protes, tapi lalu mengubah niatnya. Lengan
Richard terasa hangat. Ia masih menggigil kedinginan.
Disandarkannya pipinya ke dada Richard.
Mereka mulai berjalan. Richard bicara. Tentang tim bisbol dan
pelatihnya. Meghan hanya mendengarkan setengah hati. Ia memandang
pepohonan. Hanya terlihat bagaikan bayangan kelabu dan gelap
sekarang. Seakan semua warna telah dihapus dari dunia.
Merasakan berat tubuh Richard di bahunya, Meghan teringat
pada Robin. Robin dan Richard. "Apa yang kaupikirkan?" suara Richard menembus pikirannya.
Richard melepas rangkulannya.
"Hah" Tidak," sahut Meghan. "Hanya mendengarkanmu.
Rasanya aku cuma khawatir terlambat pulang, lewat dari waktu makan
malam. Mom akan bertanya dari mana saja aku. Dan kau sendiri tahu
aku tidak pintar berbohong."
Richard terkekeh. "Ya, kau selalu gagap dan terbata-bata kalau
sedang berbohong." Richard berhenti berjalan. Meghan melihat ekspresi wajah
cowok itu berubah. Richard mengintai ke tengah bayang-bayang
kelabu. "Apakah itu kijang, yang di sana itu" Di tanah?"
Sebelum Meghan sempat menjawab, Richard sudah mulai
berlari-lari kecil ke sana. "Hei!" Richard berseru karena tersandung. Ia
kehilangan keseimbangan, kakinya terangkat ke belakang, kedua
tangannya terentang ke depan.
Ia mendarat keras di tanah. Meghan melihatnya duduk
perlahan-lahan sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Tali," katanya.
"Lihat. Ada yang memasang tali di sini."
"Benar!" seru Meghan. "Kenapa orang memasang tali di sini?"
Richard tidak menyahut. Ia memandang ke arah lain. Menatap
sosok gelap kijang yang terbaring di tanah.
Meghan cepat-cepat mendekatinya sementara Richard bangkit
berdiri. Mereka perlahan-lahan bersama-sama mendekati tubuh yang
tidak bergerak itu. Meghan yang pertama menjerit.
Dilihatnya itu bukan tubuh.
Bukan tubuh. Bukan kijang.
Bukan kijang. Bukan binatang.
Tapi manusia. Kerangka manusia.
Kerangka yang tulang-tulangnya... tulang-tulangnya... tulangtulangnya sudah bersih tanpa sepotong daging pun melekat.
Bahkan di dalam gelap itu, Meghan bisa melihat tulang-tulang
rusuk kerangka itu, licin kelabu. Ia bisa melihat tempurung lutut,
tulang-tulang tungkainya tertekuk sehingga terlihat seakan kerangka
itu sedang berusaha berdiri.
Salah satu tulang tangan mencengkeram dada bagian atas,
seakan-akan sedang memegangi jantung atau menggaruk dada. Tulang
tangan yang lain terjulur ke rumput. Tangan itu memegang suatu
benda. Ada sebuah benda mengilat di dekat kerangka itu. Sambil
menahan rasa seramnya, Meghan memperhatikan benda itu. Segulung
pita meteran dari logam"
"Ohhhhh." Meghan mendengar erangan panjang di sampingnya. Ia
mengalihkan pandangannya dari kerangka itu, dan melihat wajah
Richard menunjukkan rasa ngeri. Mata Richard... penuh air mata.
Seluruh tubuh Richard bergetar.
"Richard" Kau...?" Meghan menoleh ke kerangka itu lagi.
Dan melihat kepalanya. Bukan tengkorak. Bukan tengkorak yang bersih dari kulit dan
daging seperti tulang-tulangnya yang lain.
Kepalanya utuh. Wajahnya masih ada. Rambutnya juga.
Wajah seorang lelaki. Masih lengkap. Kulitnya hampir sepucat tulang-tulang
kerangkanya. Matanya menatap lurus ke atas. Mulutnya terbuka di
tengah jeritan. Kepalanya. Masih utuh. Dengan kulit dan daging. Lengkap.
Meghan menutup wajah dengan kedua belah tangan. Ia ingin
menjerit. Tapi suaranya tidak keluar.
Ia tak mampu melepas pandangannya dari wajah itu.
Hanya sebuah kepala di atas kerangka.
Kepala seorang lelaki di atas tulang-tulang kerangka. Seakanakan ribuan serangga telah menyerang dan memakan seluruh
tubuhnya kecuali kepala. Kepala. Kepala Jack Bradley. "Dad!" jerit Richard, lalu jatuh berlutut. Ia mengulurkan sebelah
tangan, meraih, meraih kepala di atas kerangka itu.
"Dad! Dad! Dad! Dad! Dad!"
Jeritan Richard melengking di antara gemeresik suara
dedaunan. Bagian 2 1935 Bab 11 ROBIN melangkah ke tengah cahaya matahari keemasan yang
membentuk persegi empat di karpet kamar tidurnya. Ia sudah berjalan
hilir-mudik di kamarnya sejak selesai sarapan pagi tadi.
Sudah hampir satu minggu sejak kepala dan kerangka Jack
Bradley ditemukan di tengah hutan. Robin tidak melihatnya sendiri,
tapi ia membaca beritanya di koran.
Dan berpikir tentang itu.
Dan bermimpi tentang itu.
Berita-berita di koran menceritakannya dengan sangat rinci.
Kepala Jack Bradley terbaring menengadah di atas rumput. Mulutnya
ternganga ketakutan. Kepala itu masih menyambung ke tulang leher.
Dan sisanya... hanya tulang belulang. Terbaring di rumput.
Bersih. Seakan-akan sejak semula tidak pernah ada kulit, daging, organ
dalam, maupun urat-urat darah.
Ke mana hilangnya semua itu"
Mr. Bradley baru satu atau dua jam tewas ketika Meghan dan
Richard menemukan kerangkanya. Jadi ke mana perginya sisa tubuhnya yang lain"
Robin merasa ia tahu jawabnya. Dan teorinya itu membuatnya
tidak bisa tidur bermalam-malam, membuatnya tidak henti-hentinya
melangkah bolak-balik di kamarnya Sabtu pagi ini.
Keluarga Fear tidak menghadiri pemakaman Jack Bradley.
Robin merasa lega ketika ayahnya memutuskan untuk tidak hadir. Ia
tahu kehadiran Nicholas sangat tidak diinginkan.
Robin membaca di koran bahwa pemakaman itu salah satu yang
terbesar dalam sejarah Shadyside. Mr. Bradley orang yang sangat
populer. Sebagai anggota dewan kota dan pemilik salah satu
perusahaan konstruksi perumahan terbesar, hampir semua orang
mengenalnya. Rencana Mr. Bradley untuk membuat taman hiburan juga
sangat populer. Sebagian besar penduduk percaya bahwa taman
hiburan itu akan menjadi daya tarik bagi turis dan menyelamatkan
kota ini. Koran menulis bahwa Mr. Bradley adalah calon kuat untuk
menduduki kursi wali kota. Polisi negara bagian pun telah
mengirimkan orang untuk menyelidiki kematiannya yang misterius.
Apakah dia dibunuh binatang"atau binatang-binatang"di
hutan" Atau oleh manusia" Apakah itu kasus pembunuhan"
Atau barangkali dia mendadak terserang penyakit aneh yang
menghancurkan kulit dan dagingnya dengan sangat cepat"
Sejauh ini polisi masih bingung. Mereka sama sekali tidak
punya petunjuk. Sambil berjalan mondar-mandir di kamarnya, dengan kedua
tangan yang sedingin es terkepal erat-erat, Robin merasa ia tahu
jawaban misteri itu. Itu pasti Dad, pikir Robin.
Ia tidak ingin memercayai itu.
Tapi siapa lagi kemungkinan pelakunya"
Robin terus mengingat pertemuan penuh ketegangan dan
kemarahan antara ayahnya dan Jack Bradley. Ia tidak bisa melupakan
wajah berang ayahnya ketika mereka memergoki Mr. Bradley sedang
memeriksa sebagian hutan mereka.
Apakah ayah Robin memperingatkan Mr. Bradley waktu itu"
Apakah Nicholas mengancamnya"
Robin tidak ingat persis kata-kata ayahnya waktu itu. Tapi ia
melihat betapa ayahnya sangat marah. Dan ia tahu betapa kuatnya
tekad Nicholas mempertahankan hutan itu"seluruh hutan itu"
sebagai hak milik keluarga Fear.
Apakah Nicholas membunuh Jack Bradley"
Robin berpikir tentang asap ungu. Dan ayahnya, diselimuti
kabut aneh di ruang perpustakaan, mengambang, melayang di udara.
Hanya impian, kata ayah Robin. Itu tidak sungguh-sungguh
terjadi. Hanya salah satu dari mimpi burukmu, Nak.
Tapi Robin tahu itu kejadian nyata. Robin tahu Nicholas punya
mantra dan ilmu sihir. Robin tahu tentang buku-buku tua di ruang
perpustakaan dan ilmu hitam yang terkandung di dalamnya.
Apakah ayahnya menggunakan ilmu hitam untuk membunuh
Jack Bradley" Robin berhenti melangkah. Ia mengambil sebuah gasing kayu
dari mejanya. Sebuah gasing kecil, mainannya waktu masih kecil
dulu. Sambil berpikir tentang ayahnya, Robin menggenggam gasing
itu erat-erat sampai tangannya terasa sakit.
Lalu dilemparkannya ke dinding.
Bunyinya keras sekali ketika menghantam tembok berlapis
kertas dinding warna biru, lalu mental dan menggelinding di lantai.
Aku harus tahu, pikir Robin.
Aku harus tahu apakah Dad yang membunuh Mr. Bradley. Aku
harus tahu kejadian sesungguhnya.
Tergesa-gesa ia menuruni tangga, melewati ruang keluarga
yang gelap karena seluruh tirai jendelanya tertutup.
Ia berhenti di depan ruang perpustakaan ayahnya. Pintunya
tertutup rapat. Tapi Robin mendengar suara-suara di dalam.
Suara musik" Bukan. Suara seorang wanita.
Sambil menahan napas, Robin menempelkan daun telinganya
ke pintu. Wanita itu sedang menangis. Atau barangkali tertawa"
Suaranya kecil dan tinggi, seperti suara anak kecil.
Tidak. Sebentar. Robin memusatkan perhatian agar bisa mendengar lebih jelas.
Sebuah raungan melengking tinggi menenggelamkan suara satunya.
Lalu Robin mendengar suara ketiga, lebih dalam. Suara serak dan
dalam, membisikkan sesuatu yang tak terdengar jelas oleh Robin.
Baru sadar bahwa ia masih menahan napas, Robin
mengembuskannya perlahan-lahan. Apa yang terjadi di sana"
tanyanya dalam hati. Ditekankannya pipinya ke pintu. Di ruang perpustakaan, suarasuara itu hilang-timbul. Setidaknya ada tiga suara"semuanya suara
wanita. Mungkin lebih dari tiga. Menangis. Mengerang. Berbisik.
Dan selain suara-suara asing itu, Robin mendengar satu suara
lain. Suara ayahnya, pelan dan terdengar jauh. "Ruth... Ruth..."
Mengulang-ulang nama ibu Robin dengan irama yang tetap.
"Ruth... Ruth..."
Robin mendengar suara tertawa tajam. Seorang wanita
menangis. Seorang wanita menyanyikan lagu tanpa nada.
Apa yang terjadi" pikirnya sambil memegang kenop pintu.
Sedang apa ayahku di sana"
Haruskah aku masuk dan melihat apa yang terjadi"
Ya, harus, ia memutuskan.
Diputarnya kenop pintu. Pintu ruang perpustakaan itu ditariknya
hingga terbuka, dan ia mengintai ke dalam.
Bab 12 SAMBIL menggenggam kenop pintu erat-erat sampai telapak
tangannya terasa sakit, Robin mengintai ke ruangan yang gelap itu.
Dan tidak melihat seorang pun.
Suara-suara itu"suara tangisan, suara mantra, suara
nyanyian"semuanya hilang.
Sunyi. Robin menarik napas kaget. Matanya tertuju ke kerucut sinar
kuning dari lampu meja kecil. Di samping lampu, Nicholas Fear
duduk di kursi tebal berwarna cokelat dengan sebuah buku besar di
pangkuannya. "D-Dad?" panggil Robin terbata-bata.
Ayahnya meneruskan membaca selama beberapa detik, baru
kemudian perlahan-lahan mengangkat matanya ke arah Robin. "Halo,
Nak, aku tidak dengar kau masuk ke sini." Suaranya terdengar tenang,
seperti mengantuk. Robin menarik napas dalam-dalam. Mulutnya mendadak terasa
kering, begitu kering sehingga ia tidak yakin bisa bicara. Ia
menyapukan pandangannya dengan cepat ke seluruh ruangan untuk
memastikan bahwa wanita-wanita yang ia dengar suaranya tadi tidak
bersembunyi di sana. "Dad" A-aku mendengar suara-suara," akhirnya ia mampu
berkata-kata. "Maksudku?"
Nicholas menutup buku besarnya perlahan-lahan. Debu
beterbangan dari buku itu ketika ia menutupnya. Dari balik
kacamatanya, matanya menatap Robin. "Suara-suara?"
Robin mengangguk. "Aku mendengar suara tawa, kalau tidak
salah. Dan suara orang menyanyi."
Nicholas menaruh bukunya ke meja di samping kursi.
"Mungkin aku sedang bergumam sendiri. Kadang-kadang aku
memang begitu kalau sedang membaca."
"Tapi aku mendengar suara beberapa wanita," kata Robin. "Dan
aku mendengar Dad membaca mantra."
Nicholas mengerutkan kening. Meneliti wajah Robin. "Mudahmudahan kau tidak sedang mimpi buruk," katanya perlahan.
"Tidak, Dad. Aku betul-betul?"
Nicholas mengangkat tangannya memotong kata-kata Robin.
"Kaulihat sendiri, tidak ada orang lain di sini. Aku sudah satu jam
membaca sendirian." EBUKULAWAS.BLOGSPOT.COM
Robin membuka mulutnya untuk membantah lagi. Tapi ia sadar
tidak ada gunanya. Di dalam ruang perpustakaan itu sekarang memang
tidak ada orang selain mereka berdua.
"Kenapa kau ke sini?" tanya Nicholas, tangannya mengusapusap noda gelap di lengan kursi. "Ada yang ingin kaubicarakan?"
"Mm... ya," sahut Robin canggung. "Tapi entah apakah ini
waktu yang tepat?" Nicholas melambai menyuruh Robin duduk di kursi kulit di
depannya. "Duduklah, Robin. Kau merasa sehat-sehat saja hari ini?"
Ia menyilangkan kakinya yang panjang sambil tetap meneliti wajah
putranya. "Ya. Sepertinya." Robin duduk di kursi empuk itu. "Aku ingin
tanya tentang Mr. Bradley," kata-kata itu menyembur dari mulutnya.
Kedua alis Nicholas seakan melompat ke atas. Tapi wajahnya
Fear Street Jeritan Pertama First Scream Fearpark 1 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tidak bergerak. "Ada apa dengan Mr. Bradley?" tanya Nicholas tajam.
"Aku... well," Robin ragu-ragu. Bagaimana mungkin ia
menuduh ayahnya sebagai pembunuh"
Misteri Lukisan Tengkorak 3 Cewek Karya Esti Kinasih Jejak Di Balik Kabut 15