Pencarian

Awal Mula 2

Fear Street Awal Mula Fearhall The Beginning Bagian 2


buat seorang cowok dan seorang cewek agar tidak perlu ke
perpustakaan." "Mungkin kita bisa pergi ke tempat latihan golf di Fulton," kata
Dave, tak menghiraukan makna kata-kata Gideon. "Main untuk
beberapa sesi." Dia menoleh ke arahku. "Kau main golf?"
"Ah, tidak," jawabku. "Tapi aku selalu ingin mencobanya."
"Aku guru yang baik," ujar Dave. Dia menggerakkan tangannya
seolah menggenggam tongkat golf, sedikit membungkuk ke depan,
dan mengayunkan tongkat golf imajiner itu. Lalu dia menoleh ke arah
Gideon. "Bagaimana" Mau ikut?"
Gideon menggelengkan kepalanya. "Ingin sih. Aku bisa
memberimu petunjuk yang oke. Tapi seperti sudah kubilang, aku mau
ke apartemen temanku. Ingat Joanne" Dia baru kembali dari
rumahnya." Dia melihat arlojinya. "Aku baru telat setengah jam."
Dave menggodanya. "Itu tepat waktu buatmu."
"Sampai nanti," Gideon bergegas pergi, mantelnya melambailambai di belakangnya.
"Aku berutang satu padanya," gumam Dave, memandangi
temannya lenyap di sudut jalan. "Aku berutang kejutan seram baginya.
Jantungku masih berdebar-debar."
********** Di tempat latihan golf itu hanya ada aku dan Dave. Pemuda di
ruang penerimaan yang sempit itu memberi kami seember bola golf.
Tapi dia mengingatkan kami supaya main cepat-cepat. Dia mau
menutup tempat itu. Aku mau mengambil sebatang tongkat golf yang menempel di
dinding. Tapi Dave melarangku.
"Jangan yang itu," perintahnya. "Yang itu tongkat kayu. Kau
belum siap untuk menggunakan tongkat kayu."
"Kayu" Tapi ini terbuat dari logam!" protesku.
"Tapi tetap saja disebut tongkat kayu," ulang Dave. Dia
memberi tongkat yang lebih kecil. "Ini five iron. Kita mulai dengan
yang ini." Sambil membawa ember berisi bola golf, dia berjalan menuju
deretan booth yang kosong. Lampu sorot yang terang benderang
membuat lapangan golf tampak lebih terang ketimbang di siang hari.
Embun mulai turun. Rumput di bawah kaki kami berkilau-kilau.
"Kita mulai dengan belajar memegang tongkat golf," ungkap
Dave begitu berhenti di tee yang paling ujung. "Baru setelah itu,
kuperlihatkan bagaimana mengayunkan tongkat."
Dia menjatuhkan beberapa bola golf ke rumput. "Perhatikan
baik-baik." Dia mengambil tongkat golf, memegangnya, menempatkan
tangannya dengan cermat, memegangnya agak ke atas sehingga aku
bisa melihatnya. Kemudian dia membungkuk ke arah bola.
Mengambil ancang-ancang. Mengayunkan bahunya ke belakang"dan
memukul bolanya. Aku menyipitkan mata ke cahaya yang amat terang dan melihat
bola itu melambung ke atas dan melenceng ke kanan.
Dave nyengir. "Tidak terlalu bagus. Aku agak lupa caranya."
Dia memberi isyarat padaku untuk mendekat ke tee. Aku
mengambil tongkat golf yang diberikannya dan mulai berlatih di
dekatnya. Tapi sesuatu membuatku berhenti.
Ada suara. Perasaan. Perasaan bahwa kami tidak lagi hanya berdua.
Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling kami"dan
melihatnya, melihat matanya yang pucat, tubuhnya yang kaku karena
amarah. "Darryl!" aku tercekat. "Darryl"apa yang kau lakukan di sini?"
BAB 18 "HAL paling penting untuk diingat adalah," kata Dave, "jangan
menggerakkan kepalamu."
Dave berdiri membelakangiku. Dia tidak melihat Darryl
bergerak menuju kami. "Darryl"jangan!" jeritku. "Ini aku"Eden. Aku cuma
meminjam baju Hope!"
Darryl tidak menghiraukan aku. Matanya menatap ke tongkat
golf di tanganku. Aku mengacungkannya, seolah-olah akan menantangnya
berkelahi. Tapi dia menariknya dengan satu tangan. Merampasnya dan
mendorongku ke samping. "Dave"!" aku mencoba memperingatkannya.
Tapi kepalanya sedang menunduk, tubuhnya membungkuk,
sedang bersiap-siap mengayunkan tongkatnya lagi.
"Dave"jeritku. Terlambat. Darryl mengacungkan tongkat golf yang terbuat dari logam"
mengayunkan tongkat golf dari arah belakang seolah-olah sedang
mengayunkan tongkat bisbol.
Mengayunkannya ke kepala Dave.
Terdengar bunyi tunnng yang keras ketika pukulan itu menemui
sasarannya. Lalu aku mendengar suara barang robek yang sungguh
menyeramkan. "Ohhhhh!" aku mengerang ngeri ketika tongkat golf tersebut
mengenai Dave tepat di belakang telinganya.
Suara robekan... robekan yang menyeramkan... seolah-olah
pelekat Velcro sedang saling dilepaskan....
Dan telinga Dave melambung... ke atas... ke lampu sorot yang
bercahaya menyilaukan. Aku memalingkan muka sebelum telinga itu jatuh.
Dave berteriak. Teriakan kesakitan. Teriakan keterkejutan.
Darah mengalir deras di sisi kepalanya. Matanya membelalak,
mulutnya ternganga, Dave mencoba menutupi lubang telinganya
dengan tangannya. Tapi Darryl mengayunkan tongkatnya lagi.
Kali ini tongkat tersebut mengenai pipi Dave.
Dave menjerit kembali. Ia berlutut.
"Jangaaaaaaaan!" Lolong kesakitan keluar dari tenggorokanku.
"Darryl"jangaaaaaaan!"
Darryl mengayunkan tongkatnya lagi. Pukulan itu menyentuh
ujung kepala Dave. Sebagian rambut Dave yang pirang tercabut.
"Tolong! Tolooooong!" erangku.
Dave berlutut sambil membungkuk. Tubuhnya terayun-ayun.
Tangannya diangkat. Darah menetes dari kepalanya. Mengalir
membasahi jaketnya. Darryl menarik tongkatnya belakang. Dia melenguh sewaktu
mengayunkan tongkatnya dengan sekuat tenaga.
Tongkat golf itu menghunjam tenggorokan Dave.
Dia mengeluarkan bunyi berdeguk.
Matanya berputar ke atas. Dan dia ambruk tertelungkup di
rerumputan yang penuh darah.
"Darryl"jangan! Jangan! Jangan!"
Aku melihat dengan tak berdaya sewaktu Darryl memukul dan
memukul lagi tubuh Dave yang sudah tak bergerak.
"Jangan! Jangan! Jangan!''
Aku memalingkan muka. Aku tak bisa melihat lagi.
Perutku terasa mual. Aku mulai limbung.
Berusaha mencari keseimbangan.
Dan berusaha untuk lari. Lari. Menjauh. Sepatuku terasa licin di rumput yang basah dan bersinar
keperakan. Aku lari. Tubuhku penuh darah. Darah Dave yang masih
hangat. Aku lari. Dan tidak menoleh-noleh lagi.
Bagian Empat HOPE BAB 19 AKU memeluk Eden. Kubiarkan dia menangis di pundakku.
Aku memeluknya. "Hope... Hope...," dia mengulang-ulang namaku seakan-akan
sedang menyanyikan lagu sedih.
Aku membawanya ke kamar mandi. Aku membantunya
melepas bajunya yang penuh darah. Bajuku yang penuh darah.
Aku membantunya membersihkan rambutnya dari darah yang
lengket. Dia begitu gemetar sampai-sampai tidak bisa melakukan apaapa sendirian. Dia begitu tak berdaya. Benar-benar tak berdaya.
"Kita harus menghentikannya," bisik Eden ketika aku
membantunya mengenakan baju tidur. "Dia membunuh Dave. Kita
harus menghentikannya."
"Aku ingin menceritakan sesuatu padamu," kataku, berusaha
tetap terdengar tenang. Aku berusaha agar suaraku tetap pelan dan
lancar. Aku membimbingnya berjalan menuju tempat tidurnya. Aku
memeluk pundaknya yang gemetaran. Aku berusaha
menenangkannya. "Aku tidak ingin mendengar cerita, Hope," ujar Eden. "Aku
ingin menelepon polisi"sekarang."
Aku membaringkannya di tempat tidurnya. "Ceritanya pendek
saja," kataku pelan. "Berbaringlah, Eden. Pejamkan matamu. Kau baru
saja mengalami ketegangan."
"Darryl sudah gila," bisiknya. Air mata mengalir ke pipinya.
"Gila. Apa dipikirnya aku ini kau" Itukah sebabnya dia membunuh
Dave" Benarkah?"
"Eden"sshhh," jawabku. Aku mengelus rambutnya yang
cokelat terang. "Tariklah napas dalam-dalam. Kau baik-baik saja. Kau
aman dan baik-baik saja sekarang."
"Tapi Dave..." Dia tersedu-sedu. Dia mengangkat kepalanya
dari bantal. "Telepon polisi sekarang Hope. Tolonglah"sekarang."
"Aku tidak bisa," jawabku, berusaha mempertahankan agar
suaraku tetap pelan dan menenangkan. "Dengarkan ceritaku, Eden.
Ceritanya singkat saja."
Dia berbaring kembali. Dadanya bergerak naik-turun. Dia
mendesah pelan setiap kali menarik napas.
Sambil membelai rambutnya, aku mulai bercerita. "Ketika aku
masih kecil, ibukulah yang membeli baju-baju untukku. Bahkan di
SMU, ibuku tak mengizinkan aku untuk memilih pakaianku sendiri.
"Aku tahu, itu kedengarannya jahat. Karena semua anak suka
memilih sendiri baju yang ingin dipakainya. Tapi, percayalah padaku,
Eden, memilihkan baju untukku bukanlah hal paling jahat yang
dilakukan ibuku. "Yang paling jahat adalah ukuran yang dipilihnya untukku.
Tahu tidak, ibuku selalu membeli baju yang ukurannya kelewat kecil.
Yang kumaksud bukanlah satu atau dua baju. Yang kumaksud adalah
semua yang harus kupakai.
"Semua rokku, baju atasan, dan T-shirt-ku, serta jinsku. Bahkan
sepatuku juga. Bertahun-tahun"sepanjang masa kanak-kanakku"
aku mesti memaksakan diri supaya bajuku bisa muat.
"Ketika ukuran bajuku nomor enam, ibuku membelikan aku
baju nomor empat. Dan ketika ukuranku nomor sepuluh, ibuku
membelikan yang nomor delapan. Dan kalau aku memprotes, kalau
aku rewel soal ukuran bajuku, ibuku mengancam akan membuang
semua bajuku dan membiarkan aku tak punya baju sama sekali.
"Dan demikian aku jadi terbiasa memaksakan diri supaya
bajuku bisa muat, Eden," lanjutku, berusaha untuk menutupi perasaan
marahku, berusaha mempertahankan suaraku tetap tenang. "Aku
terbiasa selalu merasa tidak nyaman. Selalu tampak gendut dan
menggelikan. "Aku terbiasa merasa tidak bahagia," kataku. "Dan tahukah kau
kenapa ibuku melakukannya" Tahukah kau mengapa ibuku selalu
memaksaku untuk memakai baju yang kekecilan" Kau tahu
jawabannya, kan" "Karena pikir ibuku aku terlalu gemuk. Dan ibuku tidak mau
aku melupakan itu sesaat pun. Setiap kali aku berpakaian, aku jadi
teringat. Setiap kali..."
Suaraku menghilang. Aku tak sanggup meneruskannya. Begitu
banyak kenangan buruk. Begitu banyak hal menyedihkan yang
kupendam. "Kenapa...?" gumam Eden, menatapku. "Hope"kenapa
kauceritakan hal itu padaku sekarang?"
"Tidak tahukah kau?" tanyaku dengan pelan. "Kuceritakan itu
padamu karena Darryl adalah orang pertama dalam hidupku yang
tidak peduli bahwa aku gemuk."
"Tapi, Hope..." bantah Eden.
Aku mengelus rambutnya. Dengan lembut. Berusaha tetap
mempertahankan irama yang sama.
"Dia satu-satunya orang yang pernah menyukaiku apa adanya,"
ujarku padanya. "Dan itu amat berarti buatku. Dia segala-galanya
bagiku. Aku tak bisa membiarkan dia pergi begitu saja. Mengertikah
kau Eden" "Aku takkan membiarkannya pergi apa pun yang
dilakukannya," aku mengaku. "Karena dialah satu-satunya yang
kumiliki." Eden membisikkan sesuatu. Aku tak dapat mendengar katakatanya. Aku mengusap air mataku. Aku bahkan tidak sadar aku
sudah menangis. Aku duduk di samping tempat tidur Eden, menenangkannya,
berusaha untuk membuatnya merasa nyaman. Entah untuk berapa
lama. Akhirnya, dia jatuh tertidur.
Aku menatapnya, memandang dadanya yang turun-naik di
bawah selimut, mendengar napasnya yang pendek-pendek.
Dan kemudian terdengar suara serak di belakangku, "Oke,
Hope. Lakukan sekarang. Kau bisa mencekiknya sekarang."
BAB 20 DENGAN cepat aku berbalik. "Darryl..." bisikku.
Dia berdiri di belakangku, napasnya tersengal-sengal,
rambutnya berantakan, sweternya penuh dengan noda darah.
"Keluar!" jeritku. "Aku sungguh-sungguh. Keluar! Kembalilah
ke kamarmu." "Dia melihatku, Hope," bisik Darryl sambil menatap Eden,
lingkar sekeliling matanya merah. Mata marah. "Dia melihatku. Aku
tak bisa membiarkannya tetap hidup. Aku tak percaya padanya. Aku
harus..." Dia mengulurkan tangannya seolah-olah akan mencekik Eden.
Aku mendorongnya. "Keluar," ulangku. "Keluarlah sekarang, Darryl. Tinggalkan
Eden. Pergilah." "Aku ingin cerita padamu apa yang terjadi," desaknya. "Aku
melihat bajumu. Aku melihat cowok itu. Aku..."
"Pergilah," sahutku kaku, menatapnya lekat-lekat.
"Aku harus menjelaskannya," protesnya. "Hope"kau selalu
mau mendengarkan aku sebelum ini. Berilah aku kesempatan."
Dia menarik tubuhku. Menyelipkan lengannya sekeliling


Fear Street Awal Mula Fearhall The Beginning di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pinggangku dan memelukku erat-erat. "Kau selalu mau mendengarkan
aku," bisiknya. "Kau selalu penuh pengertian."
Kubiarkan dia memelukku untuk sesaat. Lalu aku melepaskan
tangannya dan mendorongnya. "Darryl, tidak ada yang perlu
dijelaskan," bisikku.
Mulutnya ternganga. Dia mengibaskan rambut pirangnya yang
tebal dari keningnya. "Tidak. Aku ingin menjelaskan. Beri aku
kesempatan, Hope." Aku memandang Eden, tidurnya begitu tenang. Mendesah
dalam tidur. "Jelaskan," kataku pada Darryl. "Ayo."
Dia kembali menatapku, mulutnya masih ternganga. Darah
lengket mengotori lehernya. Dagunya.
"Jelaskan," ulangku, menantangnya.
Raut mukanya berubah. Dia berdiri dengan kaku. Dia menyapu
rambutnya kembali. "Aku"aku tidak bisa menjelaskan." Dia
menghela napas. "Kau benar. Tidak ada yang bisa dijelaskan. Aku
tidak sadar, Hope. Hanya itu."
Matanya memandang mataku. "Apa yang harus kulakukan?"
tanyanya. Suaranya merengek seperti anak kecil. "Apa yang harus
kulakukan, Hope" Katakan."
"Pergilah ke kamarmu," perintahku padanya.
Dia mengangguk dengan patuh.
"Kau tidak boleh tepergok di lantai untuk anak perempuan,"
lanjutku. "Apalagi dengan noda darah di seluruh tubuhmu."
Dia mengusap bagian depan sweternya.
"Buanglah semua bajumu," ujarku padanya. "Taruh semua di
kantong sampah. Buang ke tempat pembakaran. Lalu bersihkan
tubuhmu. Dan mandilah dengan air hangat. Mandilah yang lama."
Dia mengangguk lagi. "Lalu apa?"
Aku mengangkat bahu. "Aku tak tahu."
Dia kembali memandang ke arah Eden. "Apa yang harus kita
lakukan padanya" Jangan sampai dia melapor ke polisi."
"Aku akan buat perjanjian dengan Eden," janjiku.
"Bagaimana caranya?" teriak Darryl. "Bagaimana caranya"
Kalau dia melaporkan aku, polisi mengurungku untuk selamanya. Kita
tidak akan pernah bertemu lagi."
"Kita"kita tidak bisa membicarakan hal itu sekarang," aku
tergagap. Aku merasa ditusuk oleh perasaan marah. "Kau harusnya
memikirkan dulu sebelumnya," ujarku pada Darryl. "Sebelum kau
membunuh orang." Sinar di matanya meredup. "Aku melakukannya demi kau,"
gumamnya, berbalik pergi.
Kemudian di kembali memandangku, mulutnya menyeringai.
"Dan aku akan membunuh lagi, Hope. Itu pasti. Katakan pada
temanmu Eden. Aku takkan membiarkan sipa pun memisahkan kita.
Katakan padanya aku akan membunuh lagi bila perlu."
Kata-katanya membuat tubuhku gemetar hebat.
Aku takkan membiarkan dia membunuh lagi.
Tapi apa yang harus kulakukan" Bagaimana cara menghentikan
perbuatannya" BAB 21 RADIO sekaligus beker membangunkan aku pada jam 08.00
esok paginya. Dan hal pertama yang ingin kudengar adalah laporan
berita tentang teman Eden.
Aku duduk, merasa kedinginan. Menggigil. Aku langsung
waspada begitu kata-kata di radio menerpa pikiranku. Dan terus
terngiang-ngiang dalam pikiranku. Aku ingat setiap kata yang
diucapkan oleh si reporter:
"Semalam, ditemukan mayat yang hancur dan terpotong-potong
di Garrison Corners Driving Range dekat kampus Ivy State. Mayat
tersebut dikenali sebagai mahasiswa perguruan tinggi yang
bersangkutan. Nama mahasiswa tersebut tidak diumumkan sampai
polisi menemukan orangtuanya.
"Polisi kini sedang mencari-cari seorang gadis untuk keperluan
penyelidikan. Pegawai di tempat latihan golf yang bertugas malam itu
melihat gadis tersebut bersama sang korban pembunuhan.
"Karena ini merupakan peristiwa pembunuhan sadis yang kedua
yang menimpa mahasiswa dalam dua minggu terakhir, polisi kini
memperluas penyelidikannya. Para pejabat perguruan tinggi
mengadakan pertemuan pagi ini untuk membahas langkah-langkah
yang akan diambil untuk menenangkan para mahasiswa yang
ketakutan." Kata-kata tersebut membuatku gemetaran. Aku duduk kaku di
tempat tidurku. Membayangkan Darryl. Membayangkan korban yang
malang itu. Teman Eden. Polisi sedang mencari Eden.
Aku berusaha mengusir rasa mengigilku.
Eden... Eden... Eden... Aku menoleh ke arah tempat tidurnya. Dia berbaring miring,
mendengkur pelan. Salah satu lengannya menggantung di sisi tempat
tidur, rambutnya yang cokelat terang sedikit menutupi wajahnya.
Aku tahu apa yang akan dilakukan Eden begitu dia bangun.
Begitu dia mendengar bahwa polisi sedang mencarinya.
Dia akan melapor. Dia akan pergi ke kantor polisi dan
mengungkapkan semuanya. Dia akan menyerahkan Darryl. Dan
mengatakan apa yang telah dilakukan Darryl.
Dan aku takkan bisa bertemu Darryl lagi. Tidak akan pernah
bertemu dengan satu-satunya cowok yang sayang padaku.
"Aku takkan membiarkanmu melakukannya, Eden," gumamku
keras-keras. Aku turun dari tempat tidur. Meregangkan tubuh. Merapikan
baju tidurku. Lalu aku berjalan menuju tempat tidur Eden dan menggoyanggoyangkan pundaknya dengan lembut. "Eden"bangun. Kita harus
bicara." Dia bangun dengan malas-malasan. Membuka matanya lebarlebar. "Apa?" Dia memandangku seakan-akan tidak mengenaliku.
Seolah-olah dia tidak tahu dia sedang di mana.
"Ini aku," kataku. "Aku harus membicarakan sesuatu
denganmu." "Oh." Dia menelan ludah. "Oh, wow. Hope"aku mengalami
mimpi paling buruk."
Aku menghela napas. "Kehidupan nyata mungkin lebih
menakutkan ketimbang mimpimu," kataku dengan nada sedih.
Dia bangun dengan pelan. Praktis aku bisa menduga apa yang
ada dalam pikirannya. Aku bisa melihatnya... sedang mengingat
sesuatu... pemandangan mengerikan di tempat latihan golf.
Berita di radio seakan-akan menggumam malas. Di kejauhan
terdengar raungan sirene yang menembus jendela kamar yang terbuka.
"Dave...," ucap Eden pelan. Suaranya masih serak akibat tidur.
Dia menelan ludah lagi dan menoleh ke arahku. "Tolong ambilkan
telepon, Hope." Aku bergeming. "Untuk apa?" tanyaku.
"Aku harus menelepon polisi," sahutnya dengan tegas.
"Kita harus bicara mengenai hal ini," desakku. Aku memegang
bahunya. Tapi dia menepis tanganku.
"Tidak ada yang mesti dibicarakan," jawabnya dengan suara
sedih. Matanya menatap kosong. Mati. Dia berbicara tanpa semangat,
nyaris seolah-olah sedang berbicara dalam tidur.
"Aku tak dapat berpikir dengan jernih," lanjutnya. "Aku tak
dapat berpikir sama sekali. Aku tak dapat memikirkan apa-apa kecuali
Dave. Dan Darryl. Darryl begitu sadis. Seperti binatang buas yang
haus darah." Dia menarik napas. "Ambilkan telepon, Hope."
Aku menggeleng. "Tidak. Tunggu, Eden."
"Tunggu" Menunggu apa?" tukasnya dengan tajam. Dia
menurunkan kakinya ke lantai. Tangannya memegang pinggiran
tempat tidur erat-erat, kuat-kuat.
"Aku tak mau kau melaporkan Darryl," kataku, dengan pelan
dan lambat. "Pokoknya, tidak sekarang."
"Aku tak punya pilihan," ujar Eden dengan suara bergetar.
"Benar-benar tak punya."
"Aku akan membuat perjanjian dengan Darryl," desakku. "Aku
akan mencari bantuan yang dibutuhkannya."
"Bantuan" Bantuan?" Tawa Eden yang mencemooh langsung
meledak. "Dia tidak butuh bantuan. Yang dibutuhkannya adalah
kurungan. Dia harus dipenjara"untuk selamanya."
"Eden"tolong, dengarkan...," pintaku.
Tapi dia melompat bangkit. Mendorongku ke samping. Berjalan
menuju meja tulis, kakinya yang telanjang bergedebuk di karpet.
"Dia berbahaya, Hope," katanya, rahangnya mengatup rapat.
"Dia sadis." Aku memburu ke sisinya. Dia akan mengambil pesawat telepon
di meja tulis. Tapi aku menepis tangannya.
"Tunggu. Kuceritakan padamu sesuatu," pintaku. "Tidak lama
kok. Lalu..." Dia menjerit. "Tidak! Aku tak mau cerita apa-apa, Hope! Sudah
terlambat untuk bercerita macam-macam."
Dia menoleh ke arahku dan memegang pundakku. Wajahnya
didekatkan pada wajahku. Matanya menyala-nyala. "Aku mengerti
perasaanmu," ucapnya dengan suara bergetar. "Setidak-tidaknya
begitulah." "Tidak, kau tidak mengerti," desakku. "Kalau kau..."
"Aku tahu betapa sayangnya kau pada Darryl," lanjutnya. "Aku
mengerti betapa inginnya kau untuk tetap bersamanya."
Ekspresi wajahnya mengeras. "Tapi sekarang sudah waktunya
untuk melihat kenyataan, Hope. Sekarang sudah waktunya untuk
menyadari bahwa kau tidak bisa melindungi Darryl. Kau tidak bisa
melindunginya, dan kau tidak bisa menyembunyikan dia. Dia harus
mendapat balasan atas perbuatannya. Dan kau harus bisa
melupakannya." "Jangan... Jangan, Eden. Tolong..." aku memohon.
Tapi dia tetap mengangkat pesawat telepon dan
menempelkannya ke telinganya.
Dia menekan angka 0. Aku takkan membiarkannya! kataku dalam hati.
Jantungku berdegup. Ruangan jadi serasa miring dan
bergoyang-goyang. Aku takkan membiarkannya menelepon polisi!
"Eden"tolonglah!" aku merasa begitu pening. Ruangan serasa
bergoyang-goyang, seolah-olah sedang terjadi gempa bumi. Seolaholah seluruh duniaku akan runtuh....
"Eden..." Dia tidak menghiraukan aku. Dia kembali berpaling.
Menempelkan pesawat telepon ke telinganya. "Halo" Operator?"
Panik, aku menoleh ke sekeliling.
Mengambil alat pengering rambut milik Angel.
Kupegang bagian tabungnya"dan mengayunkan pegangannya
yang berat ke kepala Eden.
Terdengar bunyi tunnnng yang keras.
Terdengar suara tulang tengkorak retak. Seperti cangkang telur
yang pecah. Eden mengerang. Matanya terbuka lebar, menyorotkan pandangan tak percaya.
Kemudian matanya berputar ke atas.
Sambil mengerang, dia jatuh tergeletak tak berdaya ke karpet.
Tubuhnya telungkup, salah satu kakinya berada di bawah
tubuhnya. Pesawat telepon yang dipegangnya jatuh dan menimpa lantai.
"Ohhh." Aku menjatuhkan alat pengering rambut yang berat itu.
Aku memegang kedua pipiku dengan perasaan kalut.
Kupandang tubuh temanku yang tak bergerak lagi.
Memandangnya dengan perasaan tak percaya.
"Apa yang telah kulakukan?" jeritku.
"Apa yang telah kulakukan?"
BAB 22 EDEN merintih. Tangannya bergerak-gerak.
"Oh, syukurlah!" seruku.
Aku tidak membunuhnya. Dia masih hidup. Dia hanya pingsan.
Aku berlutut di sampingnya. Persis di bawah garis batas rambut
terdapat memar merah gelap yang tampak baru.
Yang penting dia hidup, pikirku dengan penuh rasa syukur.
Sekarang bagaimana" Jantungku berdegup keras. Ruangan seakan miring kembali,
dan aku kehilangan keseimbangan.
Kuusap keningku. Aku berkedip-kedip, berupaya agar ruangan
tidak bergoyang-goyang. Tiba-tiba aku merasa kepanasan. Gerah sekali. Mukaku.
Leherku. Seluruh tubuhku.
Seolah-olah demam hebat sedang menjalar di seluruh tubuhku.
Mirip sungai lava panas yang merah menyala seperti yang bisa kita
lihat di film-film tentang letusan gunung berapi.
Aku gemetaran akibat kepanasan. Aku berusaha mati-matian
agar bisa berdiri. Tapi ruangan di sekelilingku bergoyang-goyang
terus. Dan gelombang panas"yang semakin lama semakin hebat"
membuatku amat pusing. Kepalaku... seolah melayang... melayang...
Kadang-kadang, kalau kita sedang menderita demam tinggi,
kita melihat hal-hal yang tak masuk akal. Warna-warna yang amat
terang. Benda-benda aneh.
Dan pikiran kita pun jadi tak keruan. Kita yakin kita baik-baik
saja, bahwa kita bisa berpikir dengan jernih. Tapi, pikiran kita susah
dikendalikan. Pokoknya sama sekali tak waras.
Kurasa itulah yang sedang menimpaku sekarang ini.
Kurasa itulah akibat demam tinggi yang sedang kuderita
sekarang ini. Karena sewaktu aku berusaha menjaga agar ruangan tidak
berputar-putar dan miring... sewaktu aku berusaha menghentikan
degup jantungku yang begitu kencang... berusaha agar tidak gemetar...
tidak berkeringat... tidak menggigil akibat panas yang semakin hebat...
Sewaktu aku berusaha untuk berpikir jernih, aku bertindak.
Aku bergerak. Aku bertindak tanpa berpikir. Bahkan tanpa menyadari apa
yang sedang kulakukan. Dan ketika pikiranku akhirnya jernih kembali, baru kusadari
apa yang telah kulakukan. Aku telah mengikat lengan Eden.
Lengannya kutekuk di punggungnya. Pergelangan kakinya pun kuikat
jadi satu. Aku mengikatnya menggunakan handuk mandi. Handuk
mandinya mengikat dengan kuat. Aku telah mengikat temanku dan
menyelotip mulutnya supaya dia tidak bisa berteriak.
Dia terikat dalam posisi duduk.
Matanya kini terbuka. Matanya memancarkan kebingungan.
Berusaha untuk berbicara tapi yang bisa dilakukannya hanyalah
mengeluarkan bunyi mmm... mmm...
Dia memandangku, alis matanya terangkat, pandangannya
menyorotkan keheranan. Tidak bisa mempercayai apa yang telah
kulakukan.

Fear Street Awal Mula Fearhall The Beginning di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Apa yang kaulakukan, Hope" Apa yang kaulakukan padaku"
Pertanyaan bisu yang tak bisa kujawab.
Karena aku tidak tahu apa yang sedang kulakukan.
Dicengkeram demam tiba-tiba. Dicengkeram oleh keinginan
yang amat kuat untuk melindungi satu-satunya cowok yang peduli
padaku. Dicengkeram oleh kekuatan di luar akal yang tak tampak, aku
tak menyadari apa yang sedang kulakukan. Atau apa yang kemudian
kulakukan. Aku membungkuk di samping Eden. Menyelipkan lenganku di
bawah ketiaknya. Dan menyeretnya.
Kuseret Eden sepanjang lantai.
Dia menggeliat-geliat dan berusaha menendangku. Tapi aku
telah mengikatnya erat- erat. Dia tidak bisa membebaskan diri. Dia tak
bisa melarikan diri. Kuseret Eden dengan sekuat tenaga. Kuseret. Kuseret...
Dia berusaha menahan. Tapi tubuhnya tetap menggelincir di
atas karpet. "Aku takkan menyakitimu!" tukasku. Suaraku meninggi dan
melengking. "Mmmmmm! Mmmmmmpppf!" dia berusaha memprotes. Dia
mencoba untuk berteriak melalui selotip yang menghalanginya.
Aku menyeretnya sepanjang kamar. Melewati tempat tidur
susun yang dipakai Angel dan Jasmine.
Untung saja mereka ada kuliah pagi-pagi, pikirku.
Lalu aku berpikir: Kalau mereka ada di kamar, apakah aku akan
melakukan semua ini" Apa yang akm kulakukan"
Eden menendang-nendang menggunakan kedua kakinya. Dia
berusaha mencengkeram karpet dengan tumitnya.
Tapi aku menyeretnya melewati tempat tidur susun.
Kusorongkan Eden ke dalam lemari pakaian yang menempel di
dinding belakang. "Mmmmmppp! Mmmmmmmppph!"
Pintu lemari langsung kututup supaya aku tak perlu mendengar
suaranya. Kubanting pintu lemari keras-keras. Kusandarkan tubuhku
di dinding untuk mengambil napas. Jantungku masih berdebar-debar...
berdegup begitu kencang, seolah-olah mau meledak.
Mulutku terasa kering. Kerongkonganku sakit. Semua otot
tubuhku gemetaran. Kuusap keringat di keningku dengan lengan baju tidurku.
Menarik napas dalam. Lambat-lambat. Lambat-lambat.
Aku menunggu sampai napasku kembali normal. Dan mencoba
mendengarkan. Apakah suara Eden kedengaran dari luar pintu lemari" Apakah
suara kakinya yang menendang-nendang lantai lemari terdengar dari
luar" Tidak. Kamar kini sunyi. Yang terdengar hanya napasku yang
terengah-engah. Lalu bagaimana" tanyaku pada diri sendiri.
Apa yang harus kulakukan sekarang"
Demamku sudah turun. Panasnya sudah menguap. Semua sudah
berlalu. Aku mulai bisa melihat dengan jernih kembali.
Dan berpikir dengan jernih.
Lalu bagaimana" Lalu bagaimana"
Aku tak mungkin menyembunyikan dia terus-terusan.
Apa yang harus kukatakan pada Angel dan Jasmine"
Kenapa aku melakukannya" Ke mana pikiranku tadi"
Mungkin aku harus bilang pada Darryl mengenai apa yang telah
kulakukan, putusku. Mungkin dia punya ide apa yang harus dilakukan
setelah ini. "Tidak!" Aku menjerit keras-keras. "Tidak!" Aku menarik-narik
rambutku. Darryl pasti ingin membunuhnya.
Bagi Darryl, membunuh adalah pemecahan untuk masalah yang
dihadapinya. Dia pasti tidak punya gagasan lain.
Dan aku tidak mau itu terjadi. Aku tak mau. Bagaimanapun
Eden sahabatku. Salah satu di antara sahabat-sahabatku.
Jadi, aku tak mungkin bilang pada Darryl. Aku pun tidak bisa
bilang pada Angel dan Jasmine.
Jadi, apa yang mesti kulakukan"
Kupejamkan mataku, berusaha untuk berpikir jernih.
Suatu suara di seberang ruangan membuatku membuka mata
kembali. "Hah?" Kupandang sosok di depan pintu yang terbuka.
Melanie. Melanie memandangku dengan mulut ternganga dan mata
membelalak. Sudah berapa lama dia ada di sana" Apa saja yang sudah
dilihatnya" BAB 23 "PINTU"pintunya terbuka," ujar Melanie tergagap.
"Oh." Kuluruskan punggungku. Baju tidurku kurapikan. Aku
bisa merasakan wajahku terasa panas, dan aku tahu pipiku memerah.
Apakah dia melihatku menyeret Eden ke dalam lemari"
Melihatkah dia" Kusapu dahiku dari rambut yang menjuntai. Keningku basah
kuyup. "Panas sekali di sini," gumamku.
Melanie menyipitkan matanya. "Kau baik-baik saja?" tanyanya.
"Cuma sangat... gerah," jawabku. "Entahlah. Mungkin udaranya
atau apa." Kualihkan pandanganku ke arah pintu lemari pakaian.
Sudahkah kututup dengan baik"
Sudah berapa lama Melanie berdiri di sana" Apa aku mesti
mengurungnya dalam lemari juga"
Pertanyaan sinting. Tapi aku tetap belum bisa berpikir dengan
jernih. Keseimbanganku belum pulih.
"Ada perlu apa?" aku bertanya tanpa pikir. Kedengarannya
lebih jahat dari yang kuperkirakan. "Maksudku... pagi ini aku sibuk
sekali," tambahku. "Aku... ketiduran dan..."
"Aku cuma mau mengingatkan mengenai pertemuan asrama
nanti malam," jawab Melanie, matanya tetap memandangku dengan
curiga. "Kita akan berusaha untuk mencari pemecahan mengenai
keamanan kampus." "Bagus," jawabku.
Melanie menggelengkan kepalanya. "Dua pembunuhan. Dua
anak dibunuh tanpa perikemanusiaan sama sekali," ujarnya penuh
emosi. "Mengerikan sekali. Dapatkah kaubayangkan bagaimana
perasaan orangtua mereka?"
"Tidak," jawabku sambil berbisik, aku menundukkan kepala.
"Aku tak bisa membayangkannya."
"Aku"aku takut berjalan di The Triangle kalau malam hari,"
kata Melanie. Dia mengedikkan bahu. Antingnya yang berwarna gelap
ikut bergoyang. Dia mengenakan sweter wol warna biru gelap dengan bawahan
legging hitam. Dia tampak sempurna seperti biasanya.
Lagi-lagi kusapukan rambutku ke belakang. Aku tahu
tampangku pasti seperti baru diterjang badai.
"Yang penting, kita harap bisa mendapatkan pemecahannya
malam ini," katanya. "Dekan berjanji akan datang. Ada juga polisi
yang menghadirinya. Dan juga direktur keamanan kampus."
"Bagus kalau begitu," jawabku kaku.
"Pertemuannya mulai jam 19.00. Di lobi lantai bawah,"
katanya. "Oke. Aku akan datang," jawabku. "Aku" kuharap pelakunya
segera tertangkap. Kita semua ketakutan di sini."
Lagi-lagi, dia memandangku dengan mata menyelidik. "Kau
yakin kau baik-baik saja, Hope?"
Aku mengangguk. "Ya. Pasti. Aku baik-baik saja. Aku baru saja
bersih-bersih," ungkapku padanya. "Aku harus buru-buru supaya tidak
kesiangan." Aku memegang daun pintu kamar, berharap Melanie
menangkap maksudku. "Oke. Sampai nanti," katanya. Dia memaksakan diri untuk
tersenyum dan menyingkir.
Melanie sungguh mencurigakan, pikirku sembari menutup
pintu. Dia terus-terusan menyelidiki aku, mengintai setiap tindakanku.
Apa yang didengarnya" Apa yang dilihatnya"
Mungkin dia melihat Darryl menyusup keluar-masuk kamar,
putusku. Mungkin dipikirnya aku sedang menyembunyikan Darryl.
Darryl. Aku harus bilang padanya. Bahwa Melanie curiga....
Darryl harus menyingkir untuk sementara waktu, putusku.
Aku pasti akan sedih. Tapi dia mesti menyingkir dari kampus.
Menjauh sejauh-jauhnya. Bersembunyi di suatu tempat yang aman
sampai segala kekacauan ini berakhir.
Ya. Tiba-tiba aku merasa lebih baik.
Akhirnya aku punya ide bagus. Benar-benar bagus.
Darryl harus menyingkir. Tapi apakah dia akan setuju" Aku bertanya-tanya. Apa yang
akan dikatakannya kalau ideku ini kusampaikan padanya"
Apakah dia akan marah-marah dan mengamuk seperti
biasanya" Apakah dia akan menolak gagasanku" Apakah dia akan
bilang bahwa dia takkan pernah meninggalkanku" takkan pernah"
Ataukan dia menyadari bahwa inilah cara terbaik" Apakah dia
akan memahami bahwa aku hanya memikirkan keamanannya" Bahwa
aku hanya memikirkan masa depan kami"
Dari balik jendela, tampak awan bergerak menjauhi dari
matahari. Cahaya matahari pagi yang kekuningan menyapu ruangan.
Aku mendekati jendela dan merasakan kehangatan sinar
matahari di wajahku. Ketika mengintip ke arah kampus di bawah sana,
kulihat sosok berseragam warna gelap berjalan terburu-buru.
Polisi! Apa yang terjadi" tanyaku.
Aku mengintai melalui kaca jendela. Dan kulihat tiga polisi
mengelilingi seseorang berambut gelap.
Darryl" Ya. Darryl. "Oh, jangan!" jeritku, kutekankan tanganku pada kaca jendela.
Apa yang mereka lakukan padanya"
Wajahku kutekankan pada jendela dan berusaha melihat lebih
jelas. Salah satu petugas polisi memegang pundak Darryl. Dua yang
lainnya menjejerinya. Apakah mereka menangkapnya" aku bertanya-tanya.
Apakah mereka tahu" Apakah mereka tahu kalau Darryl-lah
pelakunya" Aku harus turun ke sana, putusku. Aku harus membantu Darryl.
Mungkin aku bisa memberi alibi. Mungkin aku bisa
meyakinkan para petugas polisi itu bahwa Darryl bersamaku ketika
dua pembunuhan itu terjadi.
Aku harus melakukannya, kataku pada diriku sendiri.
Aku tak boleh hanya duduk-duduk di sini menyaksikan Darryl
ditangkap. Jantungku berdebar-debar. Kuseberangi kamar. Menyentakkan
pintu kamar. Baru saja aku akan berlari ke lorong, aku sadar bahwa
aku masih mengenakan baju tidur.
Di lorong, ada dua cewek yang memandangku dengan heran.
Aku memandang ke sekeliling dan berbalik menuju kamar.
"Ayo, cepat ganti baju. Buru-buru," kataku pada diriku sendiri.
Aku harus sampai di bawah sana sebelum polisi membawa
Darryl pergi. Aku berlari menuju lemari pakaian untuk mengambil baju ganti.
Kurenggut pegangan pintu lemari, memutarnya"dan teringatlah aku
pada Eden. Eden. Tawananku. Temanku. Tawananku. Jerit sedih keluar dari tenggorokanku.
Bagaimana mungkin aku melakukan hal itu padanya"
Sintingkah aku" Sudah gilakah aku"
Aku akan melepaskannya, putusku. Aku akan menjelaskan
padanya. Aku akan minta maaf dan memohon agar dia mau
memaafkan aku. Eden akan mau mengerti. Siapa tahu...
Aku menarik napas dalam dan menarik pintu lemari pakaian.
"Eden?"" Dia telah lenyap. BAB 24 AKU melihat bagian lantai lemari. Memandang jins yang
tergeletak di lantai. Dan sepasang sepatu kets hitam di dekatnya.
"Eden?"" Lemari pakaian di depanku tampak semakin gelap, seolah-olah
ada awan hitam menutupinya. Aku merasakan diriku ditarik, ditarik ke
dalam kegelapan yang menganga.
Seakan-akan lemari pakaian itu terbuka lebar, menampakkan
lubang amat gelap di belakangnya. Terbuka lebar dan siap menelanku
bulat-bulat. Menerkamku menuju kegelapan tak berujung.
"Eden?"" Di mana dia" Di mana"
Aku mendengar desahan halus. Di belakangku.
"Hah?" Aku memandang ke sekeliling. Berkedip dua kali. Tiga kali.
Eden sedang berguling di tempat tidurnya. Dia mengangkat
kepalanya dari bantal dan membuka sebelah matanya. "Jam berapa
sekarang?" tanyanya dengan suara mengantuk. "Sudah siang ya?"
Aku begitu tertegunnya sampai-sampai tidak bisa menjawab.
Kucengkeram sisi-sisi lemari dengan kedua tanganku. Mulutku
ternganga. Eden membuka matanya yang satu lagi. "Hope"kau baik-baik
saja?" "Tid-tidak," jawabanku terlontar begitu saja.
Rasanya lemari pakaian itu menarikku ke dalam. Menelanku.
Menelanku bulat-bulat. Kurasakan kegelapan mengurungku. Begitu
dingin.... "Tidak!" ulangku.
Kupaksakan diriku menjauh dari lemari pakaian. Menghambur
ke cahaya terang. Aku berjalan terhuyung-huyung menyeberangi kamar, tidak
bisa bernapas. Tidak bisa berpikir..
"Eden?" Dia memandang dari tempat tidurnya, masih setengah tidur.
"Ada apa, Hope?" tanyanya.
"Kau tidak di lemari," gumamku.
Ekspresi wajahnya berubah menjadi bingung. Dia langsung
bangun dan duduk di tempat tidur. "Apa, Hope?"
Aku ikut duduk di sampingnya. Aku merasa begitu senang
sekaligus merasa amat ketakutan.
Senang karena Eden baik-baik saja. Senang karena dia tidak
terkurung di lemari pakaian.
Takut akan diriku sendiri, akan pikiranku.


Fear Street Awal Mula Fearhall The Beginning di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Apakah aku gila" Apa aku sudah hilang ingatan"
Aku tahu aku tidak mimpi ketika aku memukul kepala Eden dan
mengikatnya. Itu bukan mimpi. Aku benar-benar sedang sadar.
Lalu, apakah aku cuma membayangkannya"
Bagaimana mungkin aku membayangkan sesuatu dengan begitu
hidupnya" Aku benar-benar bingung. Bagaimana mungkin sesuatu
yang kubayangkan tampak begitu nyata"
Kupejamkan mataku erat-erat dan kubenamkan wajahku ke
kedua telapak tanganku. Aku tidak mau memikirkan hal ini. Aku ingin semuanya lenyap.
Aku ingin bangun dan menemukan bahwa segalanya kembali
berjalan baik. "Oh!" Aku terlompat, tiba-tiba ingat akan Darryl. Darryl
dikelilingi tiga polisi. Aku harus ganti pakaian. Aku mesti turun dan membantunya.
Darryl. Kasihan Darryl. "Hope"ada apa?" desak Eden. "Ada apa ini?"
Aku tak menjawab pertanyaannya. Kuputar kepalaku. Kakiku
terasa lunglai dan lemah. Tapi aku berlari menuju jendela dan
mengintip ke arah kampus.
Dan kulihat Darryl. Kini dia sendirian.
Tidak ada polisi. Mereka sudah pergi.
Dan Darryl berdiri sendirian. Memandang ke atas, ke arahku.
Memandang ke arahku, ke arah jendela.
Dengan ekspresi wajah penuh kebencian yang sungguh
menyeramkan. Bagian Lima JASMINE BAB 25 AKU berjoging sepanjang Pine Street dan menyeberang tanpa
menoleh-noleh, tak menghiraukan lampu merah. Sebuah mobil
mengklakson keras-keras, tapi aku tak berhenti untuk melihat ada
kejadian apa. Papan neon di depan Campus Corner terpampang di tengahtengah blok depan. Aku merundukkan kepalaku untuk menghindari
angin yang dingin dan berputar-putar, dan mulai lari secepat-cepatnya.
Aku sudah terlambat masuk kerja. Dan aku yakin Marty akan
langsung memarahiku begitu aku sampai di pintu kaca.
"Jasmine"ke mana saja kau?"
"Jasmine"kau kan tahu kau satu-satunya pelayan. di sini
setelah jam 16.00. Kok kau tega-teganya melakukan ini padaku?"
"Jasmine"tidak adakah orang yang mengajarimu tentang
tanggung jawab?" Aku sudah pernah mendengar semua itu. Aku sudah pernah
mendengarnya marah, mengutuk, bahkan mengancam untuk
membakarku. Aku berusaha untuk datang tepat waktu. Dan aku berupaya
untuk melakukan pekerjaanku dengan sebaik-baiknya, meskipun
pekerjaan ini membosankan dan menyedihkan.
Tapi kadang-kadang waktu berlalu begitu saja dan aku tidak
menyadarinya. Kadang-kadang aku begitu mencurahkan perhatianku
pada hal lain yang lebih penting dan tidak mau mengakui bahwa aku
tak punya pilihan lain. Bahwa aku harus tetap mempertahankan
pekerjaan ini kalau aku mau tetap bisa kuliah di Ivy State.
Yang jelas, napasku nyaris habis begitu aku sampai di restoran.
Dan mulai mengikat rambut pirangku. Marty menyuruh kami semua
mengenakan jaring rambut, yang benar-benar kubenci. Dia tidak
mengenakan satu pun" padahal dia kokinya!
Aku melepaskan parka dan menggantungkannya di gantungan
mantel. Dan menuju ke dapur di belakang konter makan siang untuk
mengambil celemek. Mrs. Jacklin, pelanggan harianku, sedang duduk di mejanya
yang biasa. Aku memandang ke teko kopi untuk memastikan bahwa
kopinya masih cukup. Mrs. Jacklin, setahuku, akan meminum kopinya
sedikit demi sedikit setidak-tidaknya dalam waktu satu jam.
Mataku menyapu ke arah restoran. Sepasang mahasiswa dari
college duduk di meja bagian belakang menikmati kue pai dan Coke.
Tidak ada orang lain lagi.
Marty sedang duduk di kursi kayu dekat tempat cuci piring,
membaca majalah. Dia mengangkat kepalanya ketika aku masuk, dan
ekspresinya berubah menjadi masam.
"Jasmine, ada yang harus kubicarakan denganmu," katanya
dengan suara pelan. Pip?nya menjadi merah. Dia menggulung
majalahnya dan menepuk-nepuk pahanya dengan majalah tersebut.
"Maaf, saya terlambat," gumamku sembari mengambil celemek.
"Aku benar-benar membutuhkan pelayan pada jam 16.00," kata
Marty. Dia memandang jam di atas tempat cucian piring. Jam 4 lewat
20 menit. "Jam itu terlalu cepat," kataku, menghindari matanya.
"Kau benar-benar membuatku kecewa," katanya seraya
melemparkan majalah yang tergulung tadi ke konter.
"Maaf," ujarku. Apa lagi yang bisa kuucapkan"
"Aku tahu kau gadis pintar," lanjut Marty, sambil mengerutkan
kening kepadaku. "Sungguh, kau pendiam. Tidak banyak orang
sepertimu..." Kau tidak perlu membuatku tersinggung hanya karena aku
terlambat beberapa menit! pikirku dengan marah. Tapi aku
membiarkannya. "Tapi aku berharap kau bisa lebih bertanggung jawab,"
lanjutnya. Berapa lama dia mau mengomel" pikirku sambil bertanyatanya. Aku kan sudah bilang minta maaf.
"Saya"saya harus melayani Mrs. Jacklin," ujarku seraya
tergagap. Marty menggelengkan kepalanya. "Tidak, tidak perlu. Aku
yang akan melayaninya. Kau duduk di sini saja."
Dia bangkit dari kursinya. Menghilang ke depan untuk beberapa
lama. Terdengar bunyi denting cangkir kopi. Mendengar dia
mengatakan sesuatu pada Mrs. Jacklin.
Ketika dia kembali ke dapur, pipinya memerah kembali. Dia
menutup pintu dapur. Oh-oh, pikirku. Tampaknya ada kabar buruk.
"Aku mesti memecatmu," katanya. "Aku sungguh-sungguh
menyesal, Jasmine." "Oh, tunggu. Tolonglah...," kataku. Aku benar-benar tidak mau
kehilangan pekerjaanku ini. "Saya tidak akan terlambat lagi, Mr. Dell.
Saya berjanji." Kedengarannya seperti rengekan anak umur lima tahun. Tapi
aku tak peduli. Marty menggelengkan kepala. "Terlambat itu satu perkara,
Jasmine," dia menjawab dengan pelan. "Tapi ke mana kau kemarin?"
"Maaf?" Mulutku ternganga.
"Kau sama sekali tidak muncul kemarin," katanya sambil
mengeluh. Dia mengambil majalahnya dan menggulungnya kuat-kuat.
"Aku cuma sendirian di sini. Dan kemarin ramai sekali."
"Kemarin?" ulangku. Aku tiba-tiba merasa sakit. Kakiku terasa
lemah. Tenggorokanku sakit.
"Ya. Ke mana kau kemarin?" desaknya.
Kupandang Marty. "Eh..." Aku berpikir keras. Ke mana aku
kemarin sore" Ke mana"
"Saya tidak ingat," kataku padanya.
Wajahnya berubah menjadi jijik. "Kau bahkan tidak punya
alasan" Hanya itu yang bisa kaulakukan" Kau tidak ingat" Kenapa kau
tidak bilang kalau kemarin kau sakit" Atau kau harus ikut tes" Buat
alasan yang baik, Jasmine."
Aku menggeleng. Aku merasa pusing. "Tapi... itu betul,"
tegasku. "Saya betul-betul tidak ingat ke mana saya kemarin sore."
Aku menelan ludah. "Bahkan, saya tidak ingat apa pun mengenai hari
kemarin," aku megap-megap. "Sama sekali."
Marty mengeluh. Dia mengambil celemek dari genggamanku.
"Nih. Aku telah menulis cek gajimu."
Aku menerima cek darinya tanpa melihatnya sama sekali.
Dapur tampak kabur. Aku sedang berkonsentrasi... berkonsentrasi
mengenai hari kemarin. Ke mana aku" Ke mana"
Aku harus keluar dari dapur. Aku harus pergi ke suatu tempat
dan berpikir. "Selamat tinggal, Jasmine," kata Marty, menepukkan
majalahnya dengan gugup ke kakinya. "Maafkan kalau alasanmu sama
sekali tidak bisa kuterima. Aku sungguh-sungguh minta maaf."
Aku menggumamkan sesuatu padanya. Aku bahkan tidak bisa
mendengar diriku sendiri.
Kemudian aku berjalan menuju restoran untuk mengambil
parka. Mrs. Jacklin menyapaku sewaktu aku melewati mejanya. Tapi
aku tak menyahut. Kuambil parka dari gantungan dan aku melangkah keluar tanpa
mengenakannya. "Ke mana aku kemarin?" tanyaku pada diriku sendiri keraskeras.
Bagaimana mungkin aku tidak ingat"
Kenapa aku ini" BAB 26 DALAM keadaan linglung, aku berjalan sekeliling kampus.
Melewati petugas-petugas polisi berseragam warna gelap dan
beberapa kelompok mahasiswa yang berkumpul, berbicara dengan
riang gembira. Aku menemukan meja kosong di bagian belakang kafeteria di
Student Union, dan duduk di sana sambil minum kopi dan makan roti
manis. Duduk sambil berpikir. Sambil mengingat-ingat.
Mulai dari suatu tempat, perintahku pada diriku sendiri.
Cobalah untuk mengingat sesuatu.
Aku menyesap kopiku lama-lama. Kental dan pahit. Aku
membutuhkannya untuk membangunkan otakku.
Aku ingat Hope gusar akan sesuatu. Ya, aku sedang tidur,
selimutku kutarik hingga kepala. Dan Hope marah-marah karena
sesuatu yang mengerikan terjadi.
Lagi. Tetap berpikir, kataku pada diriku sendiri. Ini tergantung
padamu. Tapi sebelum aku sempat mengingat lebih lanjut, seseorang
tiba-tiba melompat dari arah seberang ke mejaku. Aku melihat kemeja
kotak-kotak warna gelap. Rambut hitam lurus, tak disisir dan
berantakan. Mata biru pucat. Mata yang menatap dengan dingin dan
tak berkedip. "Darryl"!"
Aku menggeser kursiku ke belakang. Aku ingin pergi.
Dia menarik lenganku. "Jangan marah, Jasmine. Aku hanya
ingin duduk sebentar. Aku hanya ingin bicara."
Aku membebaskan lenganku dari cengkeramannya dan duduk
kembali ke kursiku. Aku tidak ingin duduk bersama Darryl. Dia
membuatku takut. Matanya yang dingin membuatku ngeri.
Aku sama sekali tidak bisa mengerti mengapa Hope begitu
memujanya. Buatku dia seperti bom waktu. Dia selalu tampak siap
meledak. Dan kalau sudah begitu, selalu ada orang yang menjadi
korbannya. "Ada apa?" tanyaku sambil memegang cangkir kopi dengan
kedua tanganku. "Apa yang terjadi" Di mana-mana di kampus ini ada
polisi." Matanya berputar-putar. "Katakan padaku," ujarnya. Dia
mengancingkan kemeja flanelnya, seolah-olah dia kedinginan.
Aku menghirup kopi. Kuharap dia tidak melihat tanganku
gemetar ketika mengangkat cangkir.
Dia benar-benar membuatku takut.
"Ada tiga polisi menyetopku," lanjutnya sambil menggelengkan
kepala. "Aku sedang akan menemui Hope, dan mereka menyetopku.
Dan menyelidikku. Tentang orang yang terbunuh. Tahu kan, yang di
tempat latihan golf."
Aku tidak tahu. Apakah itu terjadi kemarin" aku bertanya-tanya.
Apakah itu terjadi selama waktu yang tidak bisa kuingat"
Aku memandang dari pundak Darryl dan melihat Margie
beberapa meja di seberang. Dia sedang bersama beberapa gadis yang
tak kukenal. Entah dengan alasan apa, dia memandangku lekat-lekat.
Ketika aku melihat ke arahnya, dia segera berpaling.
Kenapa dia" aku bertanya-tanya.
"Hope ingin aku menyingkir." Suara Darryl menembus
pikiranku. Aku menoleh ke arahnya. "Apa?"
"Hope ingin aku menyingkir," ulangnya dengan tidak sabaran.
"Dia ingin aku bersembunyi untuk sementara waktu."
Aku berusaha keras untuk memahami kata-katanya. Aku tidak
percaya Hope akan membiarkannya pergi. Hope membutuhkan Darryl
dekat-dekat dengannya. Dia begitu membutuhkan Darryl.
"Apa"apa yang kaukatakan padanya?" tanyaku sambil
tergagap. Ketika aku menjangkau cangkir kopi, tanganku menyentuh
roti manis. Aku baru sadar bahwa aku belum menyentuhnya.
"Aku bilang tak akan!" ucap Darryl dengan marah. Matanya
berkilat. Tangannya dikepalkan.
Aku bergerak mundur. Apakah dia akan melampiaskan
kemarahannya padaku"
"Aku takkan melarikan diri," teriaknya.
Sekali lagi, kulihat Margie menatapku dari seberang kafetaria.
"Aku takkan pergi ke mana-mana," ulang Darryl. "Itu yang
kukatakan pada Hope." Matanya berputar-putar lagi. "Apa aku
kelihatan butuh nasihatnya" Aku tak butuh nasihatnya."
"Lalu apa yang dikatakannya ketika kau menolak untuk
bersembunyi?" tanyaku.
Darryl mengalihkan pandangannya ke arah lantai. Dia memukul
meja dengan kepalan tangannya.
"Apa yang dikatakan Hope?" ulangku.
"Kami... bertengkar," gumam Darryl, tetap menghindari
mataku. "Kami bertengkar mengenai hal ini."
Aku tiba-tiba merasakan tusukan rasa takut. "Lalu?"
Ketika dia mengangkat mukanya, wajahnya tampak pucat.
Dagunya bergetar. Dia menyibakkan rambutnya yang menjuntai di
keningnya. "Kami bertengkar dan akn"aku melakukan sesuatu yang
mengerikan." "Oh tidak!" aku terperanjat.
Dia mengangguk. Matanya berkaca-kaca. "Aku menyakitinya,
Jasmine. Aku benar-benar menyakitinya."
Bagian Enam HOPE BAB 27 AKU nyaris tak pernah menangis. Aku tahu ada gadis-gadis
yang sedikit-sedikit menangis. Mereka menangis kalau hasil ujiannya
jelek. Mereka menangis kalau ada cowok yang tidak memenuhi
janjinya. Mereka menangis kalau kuku mereka patah.
Aku tidak mudah menangis. Kukira itu karena aku sudah
kenyang menangis ketika masih kecil. Aku menangis sampai akhirnya
aku sadar kalau ibuku begitu menikmati saat-saat aku menangis.


Fear Street Awal Mula Fearhall The Beginning di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Jadi aku berhenti menangis. Dan Sejak saat itu tidak pernah
menangis lagi. Tapi hari ini aku duduk membungkuk di tepi tempat tidur,
mengusap pipiku yang penuh dengan bekas-bekas air mata ketika
Jasmine datang menghambur ke kamar.
Sudah tidak ada waktu untuk menyembunyikan fakta bahwa
aku sedang menangis. Mataku sembap dan basah. Pipiku merah dan
bengkak. T-shirt-ku basah kuyup.
"Hope?"" Mata Jasmine membelalak dan dia menutup
mulutnya. "Apa yang terjadi?" tanyanya. "Kau tidak apa-apa?"
Aku mengangguk, menyingkirkan rambut yang basah dari
mukaku. "Ya. Kurasa begitu."
"Apa yang dilakukannya padamu?" Jasmine menjatuhkan diri di
sampingku dan merangkulkan lengannya ke pinggangku. "Apa yang
dilakukannya?" Aku berkedip beberapa kali. "Bagaimana kau tahu bahwa
Darryl penyebabnya?" tanyaku, suaraku masih bergetar akibat
menangis, kerongkonganku tercekat.
"Aku"aku ketemu dia. Di kafeteria," jawab Jasmine sembari
memelukku. "Dia tampak kacau. Dia bilang kalau dia menyakitimu."
Aku menarik napas panjang. "Ya. Dia menyakiti aku. Dia
menyakiti perasaanku."
Dia tampak terkejut. "Perasaanmu" Maksudmu"dia tidak
memukulmu atau semacam itu?"
Aku tak ingin menjerit atau menangis lagi. Tapi aku tak bisa
menyembunyikan kepedihanku. "Tidak. Dia tidak memukulku. Yang
dilakukannya lebih buruk lagi, Jasmine. Dia bilang yang tidak-tidak!"
aku menjerit. Mulut Jasmine ternganga. "Dia meneriaki aku dengan julukan yang menyakitkan!" seruku
dengan suara memekik, aku tak dapat menahan air mataku lagi. Air
mataku mengalir deras ke pipiku yang panas.
"Dia bilang aku gemuk. Dia menyebutku sapi. Dia tak pernah
melakukan ini sebelumnya, Jasmine! Tidak pernah! Aku"aku
sungguh sakit hati!"
"Tapi"tapi..." sahut Jasmine dengan tergagap-gagap. "Paling
tidak, dia tidak..."
"Mendingan aku dipukul!" aku menjerit sambil mendorongnya.
"Aku memilih dipukuli ketimbang diberi julukan yang menyakitkan
olehnya!" "Tapi kenapa dia begitu marah padamu, Hope?" tanyanya.
"Karena aku menasihatinya untuk menyingkir," sahutku sambil
tersedu. "Aku bilang padanya lebih baik dia pergi ke suatu tempat
sejauh-jauhnya. Dan tinggal di sana. Itu demi kebaikannya. Tapi dia
pikir"dia pikir..."
"Dia pikir kau ingin putus darinya?" tanya Jasmine.
"Aku... aku rasa begitu," sahutku. Kututupi wajahku dengan
kedua tanganku. Kulitku terasa basah, bengkak, dan kotor.
Jasmine menenangkan aku. "Kacau sekali," gumamnya.
"Aku begitu mengkhawatirkannya," ujarku padanya. "Aku tak
pernah melihatnya kehilangan kendali seperti itu. Dia tak mau
mendengarkan kata-kataku. Dia tak mendengarkan seseorang yang
tujuannya hanyalah demi untuk menolongnya. Aku tak tahu apa yang
akan dilakukannya." Aku menarik napas dalam-dalam. Kupaksakan diriku untuk
tidak menangis lagi. Sudah cukup banyak air mata yang terkuras,
kataku pada diriku sendiri. Lagi pula, menangis tidak menyelesaikan
persoalan. Aku berusaha bangkit. Dan memandang ke arah jam beker.
"Pertemuan," gumamku.
Jasmine menyipitkan matanya padaku. "Pertemuan?"
"Rapat asrama," jawabku. "Tentang keamanan. Tentang apa
yang harus dilakukan berkaitan dengan pembunuhan." Aku menghela
napas dengan sikap pahit. "Aku bisa mengatakan pada mereka apa
yang harus dilakukan untuk mencegah pembunuhan-pembunuhan itu.
Aku tahu persis bagaimana menghentikannya"iya kan?"
Jasmine mengangguk pelan. "Ya. Kita semua tahu bagaimana
menghentikan pembunuhan ini."
"Bagaimana mungkin aku ikut rapat bodoh ini dan berpura-pura
tidak tahu apa-apa?" tanyaku padanya. "Bagaimana mungkin aku rapat
bersama mereka yang sedang ketakutan padahal aku tahu siapa
pembunuhnya" Padahal aku tahu bahwa pembunuhnya adalah orang
yang paling kusayangi?"
"Mungkin Eden benar," sahut Jasmine dengan suara berbisik.
"Mungkin kita tidak punya pilihan, Hope. Mungkin kita harus melapor
ke polisi dan memberitahu mereka tentang Darryl."
"Ohhhh." Aku mendesah letih. Tiba-tiba aku merasa begitu
lelah, begitu sakit dan lelah.
Kalau saja kami bisa kembali ke waktu dua minggu
sebelumnya. Kalau saja kami bisa memutar balik hidup kami kembali
ke waktu lampau. Kalau saja kami bisa kembali ke dua minggu lalu,
aku bisa mencegah Darryl sebelum dia membunuh Brendan. Aku bisa
mencegah Darryl. Juga mencegahnya membunuh Dave, teman Eden.
Dan dengan demikian kami semua akan bahagia kembali. Dan
dengan demikian kami akan hidup normal kembali.
Tapi untuk apa memikirkan hal yang mustahil.
Aku harus berhenti melamun. Dan berusaha mengambil
keputusan apa yang harus kulakukan dalam dunia nyata. Dunia yang
mendadak menjadi begitu menyeramkan.
Sambil menggelengkan kepala, aku menyeberangi kamar
menuju lemari pakaian dan mulai memilih baju yang akan kupakai.
Kuambil beberapa sweter. Kukenakan. Lalu aku mengempaskan pintu
lemari pakaian. "Aku tak bisa," kataku pada Jasmine. "Aku tak bisa pergi. Tidak
mungkin. Aku"aku pasti akan menyesalinya nanti."
Jasmine mengangguk pelan tapi tidak menjawab.
Aku membayangkan Darryl. Wajahnya yang manis dan serius.
Dan sesuatu dalam batinku menyentak keluar.
Kurasa aku terlalu banyak memendam ketakutan dalam batinku.
Dan kini, semuanya memberontak keluar.
Aku menengadah sambil menjerit, jeritan seram dan lama. Yang
keluar bukan suara manusia, tapi lolongan hewan yang amat putus asa.
Lalu aku berjalan-jalan terburu-buru melewati Jasmine, nyaris
menubruknya. Aku berlari ke luar pintu dan berjalan di lorong asrama
yang panjang, bergabung dengan kerumunan cewek yang sedang
berjalan menuju ke tempat pertemuan.
"Hei"Hope!" aku mendengar namaku dipanggil. Melanie,
kurasa. ebukulawas.blogspot.com
Aku tidak menoleh. Aku terus berlari.
Aku berlari menuju tangga dan menuruninya, setiap kalinya aku
melompat dua undakan. Aku mendengar namaku dipanggil. Teriakan terkejut.
Sepatuku berdebum keras setiap kali aku menginjak undakan
beton itu. Turun, turun. Dinding-dinding kelabu tampak kabur.
Ke mana aku pergi" Aku tak tahu. Aku hanya harus berlari. Aku tak menyadari bahwa aku takkan pernah tinggal di Fear
Hall lagi. Bagian Tujuh ANGEL BAB 28 UNTUK beberapa menit pertama, kubiarkan cowok itu
menciumku. Lalu kurengkuh bagian belakang lehernya dan membalas
ciumannya. Bibirnya menekan lebih kuat. Lengannya yang kokoh memeluk
erat pinggangku. Setelah beberapa menit, dia melepaskan ciumannya. Dia
tersenyum dan menarik napas dalam-dalam.
Kami berdua terengah-engah.
Jantungku berdegup kencang. Aku masih bisa merasakan
ciumannya. Asin sekaligus manis.
"Siapa namamu?" tanyanya, lengannya masih merangkul
pinggangku dengan erat. Aku menyandar ke kap mobilnya dan memandang ke bulan di
langit. Udara dingin malam yang menyapu wajahku yang panas terasa
menyegarkan. Embun berjatuhan ke rambutku.
"Apakah kau tidak punya nama?" godanya.
"Angel," sahutku.
"Angel," ulangnya. Jarinya menelusuri pipiku. "Aku suka
namamu." Dia menyengir lebar. "Kau bergairah malam ini, Angel?"
Kutempelkan pipiku ke pipinya. "Mungkin," bisikku sambil
tersenyum padanya. Kami berciuman kembali. "Siapa namamu?" tanyaku dengan napas tersengal ketika kami
akhirnya melepaskan ciuman.
"Billy Joe," jawabnya sambil merapikan lengan sweter Ivy
State-nya. "Tapi semua orang memanggilku B.J."
Aku tertawa. "Kau dari Texas, B.J." Orang- orang yang berasal
dari sana selalu dipanggil B.J. atau TJ. atau semacamnya."
"Oklahoma," sahutnya pelan. Ekspresi wajahnya mengeras.
Aku tahu dia tidak suka digoda.
Kumain-mainkan rambut pirangnya yang berantakan.
"Hei..." Dia menepis tanganku.
Aku menoleh ketika mendengar ada pintu mobil diempaskan
dekat-dekat kami. Aku dan B.J. sedang berada di tempat parkir di belakang
deretan toko di kota. Tempat parkir yang gelap ini kosong. Mobil
yang kudengar pasti dari jalan, pikirku.
Aku merapatkan tubuhku ke B.J. Dia terasa begitu hangat dan
baunya enak. Aku begitu bahagia bisa menyingkir sejenak dari
kampus. Menyingkir dari semua mahasiswa yang ketakutan.
Semua pembicaraan kalut tentang pembunuhan.
Semua ketakutan. Ketakutan yang mencekam.
"Kau selalu menarik cowok-cowok seperti ini?" tanya B.J.
sambil nyengir. Dia mengelus dan menyingkirkan rambut pirangku
yang lurus dari wajahku. "Ya. Selalu," godaku.
Dia tertawa. "Dan mereka memanggilmu Angel?"
Aku mendorongnya dan menjauh beberapa langkah dari mobil.
"Aku suka kau," kataku padanya. "Karena senyummu, kurasa."
Aku pergi ke kedai kopi jauh dari kampus karena aku tidak tahu
lagi ke mana harus pergi. Aku tak ingin kembali ke asrama. Dan aku
tak ingin duduk-duduk di Student Union atau di perpustakaan.
Jadi aku pergi ke kedai kopi"Java Jim's. Aku sedang memesan
secangkir kopi di konter ketika kulihat B.J. berdiri di meja kecil dekat
jendela. Menatapku. Tersenyum padaku.
Tahu-tahu kami sudah saling berpelukan di Toyota tuanya,
berciuman di tempat parkir di belakang kedai kopi itu.
Aku butuh dia malam ini, pikirku.
Aku butuh seseorang memelukku. Seseorang yang membuatku
bahagia. Seseorang yang membuatku lupa segala yang kutahu tentang
pembunuhan mengerikan di kampus.
Oke. Memang betul. Aku sering melakukan hal ini. Aku bertemu cowok-cowok di
restoran, di bioskop, dan di toko. Dan ujung-ujungnya kami berkencan
di tempat parkir yang gelap.
Tapi apa ruginya" Apa ruginya merasakan sedikit kehangatan, sedikit
kebahagiaan" Hope pasti mengerti. Dia tahu bahwa kadang-kadang kita tidak
selalu bisa mengendalikan perbuatan kita. Kadang-kadang kita harus
menyerah pada perasaan kita.
Eden bilang aku hidup di alam khayal.
Tapi apa salahnya" Aku kembali merapat ke tubuh B.J. "Di mana kau tinggal?"
bisikku. "Di asrama?"
"Tidak. Di apartemen tua di utara kampus," jawabnya. Dia
melingkarkan lengannya ke pinggangku lagi. "Aku ingin
menunjukkannya padamu, tapi... aku tinggal bersama dua orang lagi."
"Tidak apa. Aku suka di sini," sahutku. "Sangat nyaman."
Kami berciuman lagi. Dan ketika kami berciuman, kudengar suara gesekan. Seperti
gesekan sepatu di atas beton.
Kubuka mataku. Dan kulihat sosok gelap berlari menyeberangi
tempat parkir. Tubuhnya membungkuk ke depan, tangannya terayunayu di samping tubuhnya.
Kuangkat mukaku dari muka B.J.
"Darryl"!" seruku. "Apa yang kaulakukan di sini?"
"Hah?" Dengan cepat B.J. berbalik, dia nyaris tersandung.
Darryl berdiri dengan kaku, kakinya terbuka, tangannya
mengepal di samping tubuhnya. Seolah-olah mencari gara-gara.
Seakan-akan siap berkelahi.
"Darryl"untuk apa kau menguntitku?" teriakku, merenggut
lengan sweter B.J. Meremasnya. Meremasnya.
Darryl tidak berkata apa-apa. Matanya berkilat seram, pertama
ke arah B.J. kemudian ke arahku.
B.J. menarik lengan sweternya dan menatapku. "Angel"ada
apa ini?" tanyanya. Aku masih memandang Darryl. Kulihat tubuhnya mengejang.
Kulihat tinjunya pelan-pelan diangkat.
"Darryl"kau tidak punya urusan di sini," jeritku. "Pergi sana"
sekarang! Sekarang juga!"
Darryl bergeming. Dia tidak berbicara. Dia tidak berkedip.
"Aku"aku tidak suka ini, Angel," kata B.J. seraya tergagap
sambil melangkah mundur. Matanya memancarkan perasaan takut.
"Darryl"pergi!" seruku. "Kau tak punya hak apa pun! Kau tak
berhak membuntutiku"mengintaiku! Apa pikirmu yang kaulakukan
ini?" Darryl merengut dan meludah ke lantai beton. Dia mendekat ke
arahku dan B.J. dengan sikap mengancam.
"Ada apa ini?" tanya B.J. lagi. "Angel, aku tidak suka ini. Kau
membuatku takut. Sumpah."
Darryl tertawa dengan nada kejam. Dia mengangkat tinjunya,
matanya menatap B.J.. "Jangan"!" aku menjerit. "Jangan sakiti dia, Darryl!
Kuperingatkan kau"jangan sakiti dia!"
"Maaf," gumam B.J. "Kau benar-benar membuatku takut."
Dia mendorongku. Menyentakkan pintu mobil, duduk di
belakang kemudi, dan membanting pintu di belakangnya.
"Jangan"biarkan aku masuk!" lolongku. "B.J."jangan
tinggalkan aku di sini bersamanya!"
Darryl mendongakkan kepalanya dan tertawa.
"B.J."tolong!" jeritku. "Jangan tinggalkan aku!"
Aku mengetuk-ngetuk jendela mobil. Memukul-mukulnya
dengan tinjuku.

Fear Street Awal Mula Fearhall The Beginning di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tapi mobil B.J. meraung pergi. Aku melompat mundur supaya
tidak tertabrak. "B.J."tolonglah! Tolonglah!"
Mobil B.J melompati pinggiran tempat parkir. Terguncangguncang keluar tempat parkir Dan menghilang dengan suara
mendecit-decit. Aku berbalik, dengan gemetar, menghadapi Darryl. "Sekarang
apa?" bisikku. "Apa yang akan kaulakukan padaku?"
Bagian Delapan HOPE BAB 29 AKU kembali asrama sekitar jam 23.00, bingung dan letih. Aku
melangkah masuk ke dalam lift, menekan tombol tiga belas"dan
mendengar seseorang memanggilku.
"Hope"!" Aku menoleh dan melihat Melanie sedang berdiri di bagian
belakang lift. Dia sedang membawa kantong cucian yang besar sekali.
Kurasa dia baru akan naik ke kamarnya sehabis mencuci di ruang cuci
di basement. "Hope, aku tak melihatmu di rapat asrama," omelnya.
Aku mengangkat pandanganku ke arah angka penunjuk lantai di
atas pintu. "Yeah. Aku tahu," sahutku. "Aku"aku harus pergi."
"Pertemuannya berjalan lancar," kata Melanie. "Kami sudah
mengeluarkan unek-unek kami kepada Dekan dan orang-orang bagian
keamanan." "Bagus kalau begitu," gumamku.
Kenapa lift ini jalannya lama betul" Aku sama sekali tidak ingin
mengobrol dengan Melanie tentang masalah keamanan kampus.
"Mereka berjanji akan menempatkan petugas jaga ekstra,"
Melanie mencerocos terus. "Mulai besok."
Dia memindahkan kantong cuciannya ke tangan satunya.
"Meskipun begitu, banyak anak yang masih tetap ketakutan,"
lanjutnya. "Tidak ada yang ingin keluar malam. Sungguh
mengherankan. The Triangle jadi mirip kota hantu setelah jam 20.00."
Aku menggelengkan kepala. "Mengerikan," gumamku.
Kuangkat pandanganku ke angka penunjuk lantai. Delapan...
sembilan... "Tahukah mereka siapa pembunuhnya?" tanyaku, berusaha
keras agar suaraku kedengaran biasa-biasa saja. "Sama sekali tidak
tahu" Apakah dia orang semacam orang gila begitu?"
Melanie menelan ludah. "Mereka tak tahu," jawabnya dengan
suara pelan. "Ini sangat mengerikan, betul tidak" Mereka tidak tahu
harus dimulai dari mana untuk menemukan pelakunya. Dia"dia bisa
di mana saja. Mungkin saja dia sedang bersembunyi di kampus
sekarang ini." Aku berpura-pura mengedikkan bahu. "Maaf aku tidak
menghadiri rapatnya," gumamku. Kutahan pintu lift agar Melanie bisa
keluar dengan mudah. Dia menyeret kantong cucian dengan kedua
tangannya. "Rasanya menyenangkan bisa mencuci," katanya sewaktu aku
mengikutinya berjalan sepanjang lorong. "Tahu kan" Membuat
pakaian jadi bersih dan harum. Aku jadi bisa melupakan pembunuhan
itu untuk sementara waktu."
Aku tak tahu harus menjawab apa. Aku tak bisa melupakan
pembunuhan itu sesaat pun. Aku tidak bisa memikirkan hal lain sama
sekali. Sepanjang malam aku berjalan tak tentu arah dalam udara
berkabut, tidak mampu berpikir, tidak bisa mengambil keputusan apa
pun. Aku harus berbicara dengan teman-teman sekamarku, putusku.
Aku ingin mengadakan rapat untuk kami pribadi.
Aku ingin mendengar apa pendapat Angel, Jasmine, dan Eden.
Aku ingin tahu bagaimana perasaan mereka sekarang. Tentang Darryl.
Tentang keinginan untuk menyerahkan dia ke polisi.
Aku tahu aku tak bisa terus-terusan begini.
Aku tak bisa menyimpan rahasia mengerikan ini lebih lama
lagi. Jika teman-teman sekamarku sepakat untuk melapor ke polisi,
aku takkan mencegah mereka. Akan kubiarkan mereka melaporkan
Darryl. Ini akan membuatku sangat sedih. Tapi aku takkan menahan
mereka. Aku mengambil napas panjang. Mendorong pintu kamar 13-B.
Dan melangkah masuk. BAB 30 KAMARKU gelap dan kosong. Kutekan tombol lampu. Lalu
kubuka jendela agar udara segar bisa masuk. Aku memeriksa tangga
darurat di dekat jendela. Kukira aku sedang memastikan bahwa Darryl
tidak bersembunyi di sana.
Kau jadi paranoid, Hope, omelku pada diriku sendiri.
Kenapa Darryl harus bersembunyi darimu"
Merasa tegang dan kesal dan sedikit takut, aku pergi ke kamar
mandi dan mandi berlama-lama.
Air yang hangat terasa begitu menyegarkan. Aku merasakan
dorongan untuk mandi sebersih mungkin. Untuk mengguyur semua
perasaan bersalah dalam hatiku. Untuk mengguyur semua rahasia
kotor tentang Darryl. Setelah mandi, kukenakan sweter bersih dan celana jins yang
bersih. Kusisir rambutku lama-lama sembari memandangi wajahku di
cermin. Berpikir... berpikir keras apa yang harus dilakukan.
Ketiga teman sekamarku muncul beberapa menit kemudian.
Angel masuk dengan lipstik belepotan, rias matanya mengotori
pipinya. "Dari mana kau?" tanyaku.
Dia mengangkat bahu. "Tidak ke mana-mana. Hanya keluar."
Lalu dia menambahkan, "Aku bertemu seorang cowok."
"Jadi apa yang baru?" sela Eden sembari melirik ke sana
kemari. Jasmine tidak berkata apa-apa. Dia duduk di tepi tempat
tidurnya dan dengan wajah tegang sedang memain-mainkan sejuntai
rambutnya yang pirang. "Darryl brengsek itu mengikutiku," kata Angel sambil
bersungut-sungut. Dia mengaca di depan cermin lemari. Dia mulai
membersihkan rias matanya dari pipinya dengan sehelai tisu.
Aku menarik napas dalam-dalam. "Kita harus membicarakan
masalah Darryl," ujarku. Aku menarik kursi meja tulis dan duduk di
sana dengan posisi menghadap punggung kursi. Kutatap ketiga
temanku. "Ya. Harus," Angel menyetujui. "Dia kehilangan kendali, Hope.
Ini harus dihentikan."
Kucengkeram punggung kursi dengan kedua tanganku.
"Menurutmu apa yang harus kita lakukan?" tanyaku.
Ketiga-tiganya mulai bicara dengan serempak.
"Sudah sejak mula, aku bilang bahwa kita harus menelepon
polisi," kata Eden. "Aku tahu ini sangat sulit buatmu, Hope."
"Kita semua tahu betapa sulitnya hal ini," Angel menyetujui.
"Tapi dia sudah membunuh dua orang. Dan dia membuntuti kita ke
mana-mana." "Dia akan membunuh lagi," ujar Jasmine dengan suara rendah.
"Kita tidak mau bertanggung jawab untuk perbuatan itu."
"Dia benar," kata Eden dengan bernafsu. "Kalau sekali lagi ada
yang terbunuh gara-gara Darryl, ini akan menjadi salah kita. Kita akan
sama salahnya dengan dia. Karena kita tidak menyerahkannya."
Aku menelan ludah. Mereka semua telah sepakat mengenai apa
yang harus kami lakukan. Mereka sepakat untuk memberitahu polisi
tentang rahasia kami. Tapi bisakah aku melakukannya"
Mungkinkah aku menelepon polisi dan melaporkan orang yang
paling kucintai di dunia ini"
"Mungkin aku bisa membicarakannya dengan Darryl," ujarku,
berusaha dengan upaya terakhir untuk menyelamatkannya. "Mungkin
aku bisa meyakinkan dia untuk mendapatkan pertolongan."
Eden mengeluh. "Mereka tak bisa membantu apa-apa," katanya
sambil menggeleng. "Dia takkan mau mendengarkanmu," kata Angel dengan
lembut. "Kau tahu dia takkan mendengarkan omonganmu, Hope. Tak
pernah. Kalau kau mencoba menasihatinya, dia akan marah lagi."
"Ingatlah ketika saat terakhir kau mencoba membantunya,"
tambah Eden. "Dia memakimu"ya kan" Dia menyebutmu dengan
julukan yang menyakitkan."
Ya. Ya, memang. Kata-katanya membuatku mengingat kembali kejadian itu.
Kulihat lagi kemarahan Darryl. Mendengar dia mengucapkan katakata tak pantas kepadaku. Melihatnya memandangi jendela kamarku
dengan wajah penuh kebencian. Dan kurasakan sakit hati menyelimuti
diriku. "Kalau kau mencoba membantunya," lanjut Eden. "Tidak ada
gunanya memberinya nasihat apa yang harus dilakukannya."
"Dia sangat berbahaya," gumam Jasmine. Dia mengedikkan
bahu. Aku mendengar suatu suara di lorong. Dengan napas tertahan,
aku menoleh ke arah pintu, berharap Darryl muncul.
Tapi itu cuma seseorang yang lewat di depan kamar kami.
Aku mengambil napas panjang. Mulutku terasa amat kering.
"Baik," bisikku. "Kita tidak bisa hidup dengan ketakutan seperti ini.
Bertanya-tanya perbuatan kejam apa lagi yang akan dilakukan Darryl.
Siapa yang akan disakitinya. Siapa yang akan dibunuhnya."
Kucengkeram sandaran kursi dengan lebih erat lagi, begitu
kencangnya sampai-sampai tanganku sakit. "Oke. Oke. Oke. Oke,"
kataku berulang-ulang. "Kita harus menelepon polisi. Kita harus
menghentikan mimpi buruk ini."
Kuarahkan pandanganku ke pesawat telepon di atas meja.
Pesawat itu hanya beberapa kaki jauhnya dari tempatku duduk. Tapi
kusadari aku tak bisa melakukannya.
Aku tak mau menjadi orang yang menyerahkan Darryl.
"Eden"maukah kau yang menelepon?" tanyaku.
Dia mengangguk sambil cemberut. "Baik." Dia bangkit dari
kursinya dan berjalan bergegas ke arah pesawat telepon. "Baik, Hope.
Aku yang menelepon."
Dia mengangkat gagang telepon.
Dan seseorang mengetuk pintu kamar keras-keras.
BAB 31 JASMINE menjerit. Eden menggenggam erat gagang telepon
dan menoleh ke arah pintu. Aku terlompat.
"Siapa"siapa itu?" aku berusaha berteriak, tapi suara yang
keluar hanyalah bisikan. "Itu bukan Darryl," kata Eden sambil mengerutkan dahi. "Dia
tidak pernah mengetuk. Dia langsung menerobos masuk."
Dia benar. Aku menarik napas dalam dan berjalan menuju
pintu. Aku membukanya sedikit.
Dan kulihat Ollie, petugas jaga malam.
"Ada masalah?" tanyaku.
"Ada seorang pemuda menitipkan ini," jawab Ollie. Dia
mengangsurkan sehelai jaket. Milik Angel. "Apakah ini punyamu"
Dia bilang seorang gadis berambut pirang meninggalkannya di
mobilnya." Jadi Angel telah berkencan di mobil bersama seorang cowok,
pikirku. Mungkin berkencan di tempat parkir mobil, yah begitulah
Angel. "Ini jaket teman sekamarku." Kuambil jaket tersebut dari tangan
Ollie. "Terima kasih banyak. Akan kuberikan padanya," kataku.
Dia menganggukkan kepala botaknya dan kembali menuju lift.
Aku menutup pintu di belakangku dan kembali memandang
teman-teman sekamarku. Eden sedang berbicara di telepon.
Kulemparkan jaket Angel kepadanya. "Kau lupa
membawanya," kataku.
"Ssstt." Eden meletakkan jarinya di bibirnya. "Aku sedang
berbicara dengan seorang sersan polisi."
Aku mendekatinya, jantungku tiba-tiba berdegup kencang.
Apakah kami melakukan hal yang benar"
Ya. Akhirnya. Kami akhirnya melakukan hal yang seharusnya
sudah lama kami lakukan. Kasihan Darryl... Pacarku yang manis... "Ya. Saya ada di kamar 13-B," Eden sedang memberitahu
petugas yang menerimanya. "Teman sekamar" Ya. Saya sekamar
berempat." Dia menyebutkan nama-nama kami.
"Nama anak itu Darryl Hoode," lanjut Eden. Dia
memandangku. "Dia tinggal di lantai dasar Fear Hall," lapornya. "Ya.
Di lantai khusus mahasiswa putra."
Aku mendengar suara berderak di belakang jendela. Angin
menerpa pagar tangga darurat.
"Tolong cepat datang," kata Eden pada polisi. "Kami"kami
tidak tahu di mana Darryl berada saat ini. Tapi dia benar-benar
berbahaya. Tolong"kami sangat ketakutan. Kami berempat"sangat
ketakutan." Dia meletakkan pesawat telepon dan kembali memandang kami.
Dagunya bergetar. Mukanya pucat.
"Ber"berhasil," serunya.
"Apa yang dikatakan polisi?" tanyaku sambil menahan napas.
"Apakah dia bilang akan mengirim orang?"
Eden mengangguk. "Dia menyuruh kita mengunci pintu
kamar," katanya. "Dia bilang agar kita jangan membukanya untuk
siapa pun"sampai mereka datang."
"Tapi"pintunya tidak bisa dikunci!" seru Jasmine. "Kuncinya
rusak!" "Tidak usah panik. Mereka akan datang dalam waktu sepuluh
menit," tukas Eden. "Kita akan baik-baik saja, Jasmine. Kita harus..."
Dia menghentikan kata-katanya dengan mulut terbuka sewaktu
kami mendengar suara berderak-derak di belakang jendela.
Kami semua menoleh"dan melihat Darryl memanjat dari
tangga darurat. "Ada apa?" tanyanya.
BAB 32 "DARRYL"apa yang kaulakukan di sana?" tanyaku. Aku
berusaha agar suaraku tetap tenang. Normal. Aku tak mau
membangkitkan kecurigaannya.
Dia menyeringai dengan sikap mencurigakan. "Tak usah
dipikirkan," sahutnya. "Apa yang kaulakukan di sini?"
"Aku"aku tak tahu apa maksudmu," jawabku tergagap.
Dia melangkah masuk ke dalam kamar. Dan menoleh ke arah
Eden. "Hai, Eden," katanya dengan kehangatan yang berlebihan.
"Bagaimana kabarmu?"
Eden beringsut mundur sewaktu Darryl bergerak menuju ke
arahnya. "Ada masalah apa?" tanyanya.
"Untuk apa kau menelepon?" tanya Darryl. Senyumnya
menghilang. Matanya berkilat marah.
"Jangan ganggu Eden, Darryl," aku memperingatkannya. Aku


Fear Street Awal Mula Fearhall The Beginning di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sudah berusaha agar suaraku terdengar tegas, tapi suaraku gemetaran.
"Untuk apa menelepon, Eden?" ulang Darryl, tetap berjalan
menuju Eden. Dia mendorong Eden ke belakang. Ke arah jendela.
"Untuk apa menelepon?"
"Darryl"tunggu!" seru Eden.
"Kaupikir aku tidak mendengarnya?" teriak Darryl, tiba-tiba
dilanda amarah. "Kaukira aku tidak di luar sana tadi" Kaupikir aku tak
tahu kau berusaha menelepon?"
"Darryl"mundur!" seruku. "Jangan sentuh Eden! Kami semua
memutuskan..." Dia meraung marah. Eden mengangkat tangannya untuk melindungi dirinya sendiri.
"Tega-teganya kau?" raung Darryl. "Sampai hati kau
melaporkan aku ke polisi?"
"Darryl"kami putuskan kami tidak punya pilihan lagi," ujarku.
"Kami tidak boleh membiarkanmu..."
Aku tidak sempat meneruskan ucapanku.
Aku justru menjerit ketakutan ketika melihat Darryl merenggut
Eden. "Lepaskan! Lepaskan dia!" jerit Angel.
Eden membuka mulut untuk berteriak.
Tapi Darryl langsung membungkamnya.
Lengan Darryl yang satunya memegang erat pinggangnya. Dia
memegang Eden dari arah belakang.
"Lepaskan! Jangan lakukan! Jangan!" jeritku.
Matanya berubah liar. Dia meraung. Dia mengangkat Eden dari
lantai. Mengangkatnya. Mengangkatnya.
Mengangkatnya di atas kepalanya dengan kedua tangannya.
Eden menggeliat-gejiat dan memukul-mukulkan lengan dan kakinya.
"Lepaskan dia!"
"Turunkan dia!"
Dia mengangkat Eden lebih tinggi lagi. Memegangnya di atas
kepalanya. Dan kemudian menjatuhkannya ke atas lututnya yang
dinaikkan. Aku mendengar suara krek yang membuat merinding.
"Ohhh." Erangan kesakitan keluar dari kerongkongan Eden.
Dia meremukkan punggung Eden.
Dia meremukkan Eden. Jadi dua.
Mata Eden mendelik ke atas. Dia jatuh dengan kepala terlebih
dahulu. Dan kemudian, dengan meraung keras-keras, Darryl kembali
mengangkat tubuh Eden. Kali ini Eden tidak memberontak. Kali ini dia tergantung
lunglai di lengan Darryl.
Darryl mengangkat Eden kembali, mengangkat dia. Lengan
Eden tergantung lunglai. Mulutnya ternganga. Matanya terpejam.
Mengangkatnya. Mengangkatnya.
Dan melemparnya keluar melalui jendela yang terbuka.
Sedetik kemudian, kudengar suara buk dari trotoar di bawah.
Tiga belas lantai dari atas sini.
"Tidaaaaaak!" Lengking ngeri keluar dari paru-paruku.
Jasmine menangis. Angel menatap dengan mulut ternganga,
tubuhnya membeku. "Tidaaaaaaak!" Aku menghambur ke arah Darryl. "Kau membunuhnya! Kau
membunuh Eden!" jeritku.
Kurenggut bagian depan kemeja flanelnya.
Dia menatap marah ke arahku, membungkuk, napasnya pendekpendek seperti seekor binatang. Seperti binatang buas.
Dengan kemarahan yang amat sangat kutarik kemejanya dengan
kedua tangan. Tanganku terulur siap mencakar mukanya.
Meleset. Dia berkelit. Dan berhasil membebaskan diri.
"Kau membunuh Eden! Kau membunuh Eden!" jeritku.
Darryl yang masih terengah-engah mengangguk. Rambut
berantakan. Matanya membelalak. Keringat mengalir deras di
keningnya. Aku menghambur ke arahnya lagi. Aku ingin menyakitinya.
Aku ingin membunuhnya. Dia mengelak. Melompat ke arah ambang jendela. Dan
melompat keluar. Dia mendarat di tangga darurat.
Dan lenyap. "Dia membunuh Eden. Dia membunuh Eden..." ulangku.
Jasmine menangis, tangannya menutupi wajahnya. Angel masih
tetap tak bergerak. Terdengar pintu diketuk.
Dan ada suara berteriak, "Polisi."
BAB 33 "OH?" Petugas polisi menggedor pintu.
Aku menoleh ke arah jendela. Ruangan seperti berputar.
Lantainya miring. Aku melihat wajah Eden yang ketakutan lagi. Dan sekali lagi
kudengar bunyi krek yang mendirikan bulu roma ketika Darryl
meretakkan punggung Eden.
Jasmine dan Angel kini berdiri. Keduanya saling berdempetan
dan lengan mereka saling melingkar.
Wajah mereka tampak kabur. Kamar tampak amat kabur dan
mulai gelap. Aku akan pingsan, pikirku.
"Jangan"!"
Kupaksa diriku agar tetap mampu berdiri.
Aku berusaha bergerak menuju pintu"tapi sesuatu menahanku.
Suatu kekuatan yang tak tampak memaksaku untuk tetap
berdiam diri. Rasa takutku" Pemandangan mengerikan yang baru
kusaksikan" Aku pasti mengalami syok.
"Buka! Polisi!" seru suara di luar.
"Cepat..." bisikku pada Angel dan Jasmine. "Ayo, cepat..."
Aku bergerak menuju jendela.
"Cepat..." ulangku.
Kuangkat lututku ke atas ambang jendela. Pemandangan malam
segera menyambutku. Semuanya tampak buram. Langitnya. Bintangnya. Bangunanbangunan kampus di sekitarnya.
Buram sekali. Aku melompat ke tangga darurat. "Buruan," bisikku.
Dan kedua teman sekamarku bergabung denganku di tangga
besi yang sempit. Kami memegang pegangan tangga. Punggung kami menempel
pada dinding bata. Dan mendengar ketika pintu dibuka.
Aku mengintip ke dalam dan melihat dua orang polisi
berseragam gelap. Diikuti oleh Melanie.
Mereka memandang ke arah jendela yang terbuka. Aku menarik
tubuhku sebelum mereka melihatku.
Jantungku berdebar-debar, kutempelkan punggungku ke
dinding dan berusaha mendengarkan percakapan mereka.
"Kami menerima telepon dari seorang gadis bernama Eden,"
ujar polisi pada Melanie.
"Hah?" Kudengar reaksi Melanie yang terkejut. "Dia bilang
namanya siapa?" "Eden," ulang sang polisi.
"Eden" Saya tidak mengenal gadis bernama Eden di sini," sahut
Melanie. "Anda yakin memang itu nama yang disebutkannya?"
Polisi tersebut terdiam sesaat. Kemudian dia berkata, "Ya.
Eden. Dia bilang dia dan ketiga teman sekamarnya menempati kamar
13-B." Hening lagi. Kemudian Melanie berkata, "Teman sekamar" Dia bilang dia
menempati kamar 13-B bersama teman sekamarnya?"
"Ya, benar," jawab sang polisi sambil berkomat-kamit.
"Yang tinggal di sini adalah gadis bernama Hope, Pak," ujar
Melanie padanya. "Tapi, lihat"ini kamar untuk satu orang. Satu
tempat tidur"benar, kan" Hope tidak punya teman sekamar. Dia
tinggal di sini sendirian."
BAB 34 AKU mendengar langkah-langkah kaki. Lebih banyak suara.
Aku mengintip ke dalam kamar dan melihat Margie dan Mary
di dalam kamar. Ketiga gadis itu berbicara berbarengan sehingga
kedua petugas polisi itu meminta mereka untuk diam.
"Satu-satu," salah satu polisi itu berkata dengan tak sabar. Aku
melihat dia memeriksa buku notesnya yang kecil. "Kalau Angel dan
Jasmine?" tanyanya pada ketiga cewek tersebut.
Mereka semua menggelengkan kepala. "Saya tidak mengenal
ada gadis yang namanya demikian," kata Melanie.
"Hope orangnya aneh," tambah Margie. "Dia selalu tampak
sedang bercakap-cakap dengan seru. Kadang-kadang kami mendengar
dia bercakap-cakap sampai larut malam. Tapi dia selalu sendirian di
sini." "Dia bekerja di sebuah restoran," ungkap Melanie. "Campus
Corner, di Pine Street. Dia pelayan di sana. Suatu kali saya pernah
melihatnya duduk di salah satu meja, bercakap-cakap sendirian.
Akhirnya, bosnya sampai perlu memanggilnya supaya dia kembali ke
dapur." "Hmmm." Kulihat polisi tersebut menulis sesuatu di notesnya.
"Aku melihat Hope di kafeteria beberapa waktu lalu," Margie
menimbrung. "Dia duduk di sana berbicara sendirian. Aneh sekali."
"Beberapa kali saya bertanya padanya apakah dia baik-baik
saja," ujar Melanie pada petugas polisi. "Maksud saya, saya kira dia
mungkin membutuhkan pertolongan. Tapi dia tidak pernah mau
membicarakannya dengan saya."
Margie melihat ke arah jendela. Kutarik kepalaku.
"Kalau pemuda ini, Darryl?" polisi yang satunya bertanya pada
Trio M. "Siapa" Darryl?" sahut Melanie. "Saya tidak mengenal pemuda
bernama Darryl. Apakah dia mahasiswa Ivy State?"
"Kami diberitahu bahwa dia tinggal di lantai dasar," ujar
petugas polisi itu. "Di lantai khusus untuk mahasiswa putra."
Margie dan Mary tertawa tergelak-gelak. "Tidak ada mahasiwa
putra di asrama ini!" seru Mary.
"Tidak ada lantai untuk mahasiswa putra," sambung Melanie.
"Ini asrama khusus putri."
"Ya ampun!" seru Mary. "Jangan-jangan Hope mengarang
sendiri orang-orang itu. Jangan-jangan,dia membayangkan mereka."
"Tampaknya ada orang gila di sini," kata salah satu polisi itu.
"Orang gila yang berbahaya."
"Mungkin dia berkepribadian ganda," sahut partnernya.
"Mungkinkah gadis bernama Hope ini adalah keempat gadis itu" Dan
juga Darryl?" "Mungkin saja," kata polisi yang satunya dengan pelan.
"Pertanyaannya adalah"apakah Hope yang membunuh kedua
pemuda itu" Mereka bukan khayalan. Keduanya nyata. Dan mereka
dibunuh oleh orang yang nyata."
"Kita harus segera menemukan Hope"segera," kata
partnernya. "Aku tahu Hope memang gila!" Kudengar seruan Margie.
"Tapi mungkinkah dia pembunuhnya?" kata Melanie.
Aku tidak mau mendengar lebih banyak lagi.
Aku merasa begitu marah"amat sangat marah"aku ingin
melompat kembali ke dalam kamar dan mencekik Melanie dan dua
teman sekamarnya dengan tangan kosong.
Betapa teganya mereka berbicara tentang aku seperti itu.
Sungguh-sungguh tak berperasaan.
Kutempelkan punggungku ke dinding bata dan menoleh ke arah
Angel dan Jasmine. "Mereka tidak akan menemukan kita"ya kan,
kawan-kawan?" bisikku. ebukulawas.blogspot.com
Mereka berdua menggelengkan kepala.
"Dan pada saat polisi menemukan kita," lanjutku, "Melanie dan
kedua temannya sudah mati. Mereka harus mendapatkan balasan
karena telah mengata-ngatai kita gila. Mereka akan mendapatkan
balasannya"ya kan?"
"Ya," bisik Jasmine.
"Ya," sepakat Angel.
"Ya kan, Darryl?" bisikku. "Kita akan membalas perbuatan Trio
M"ya kan, Darryl?"
Dia muncul di sebelahku. Dia selalu muncul kapan pun aku
ingin. Itulah salah satu alasan mengapa aku sangat mencintainya.
Pada saat aku membutuhkannya, aku cukup memikirkan tentang
dia"dan secara ajaib dia muncul.
"Kita akan membalas mereka"ya kan, Darryl?" ulangku.
"Ya," bisik Darryl di telingaku.
Dan kemudian aku mendengar teriakan keras dari dalam kamar.
Dan salah satu polisi itu berseru, "Itu dia! Di tangga darurat! Tangkap
dia!" bersambung Pendekar Latah 5 Pendekar Cambuk Naga Misteri Goa Malaikat Rajawali Sakti Dari Langit Selatan 11
^