Jeritan Terakhir 1
Fear Street Jeritan Terakhir Last Scream Fearpark 3 Bagian 1
Bab 1 DIERDRE BRADLEY membungkuk di bangku keras itu. Ia
memeluk tangannya sendiri erat-erat untuk menghentikan gemetar
tubuhnya. Sorak-sorai penonton masih menggema di telinganya. Ia
menatap asap ungu yang bergulung-gulung.
Para remaja di arena mengangkat golok mereka dan
mengayunkannya ke tunggul-tunggul kayu di tanah. Musik lembut
mengalun, sangat lembut sehingga hampir tak terdengar, dikalahkan
suara riuh rendah para penonton.
Asap ungu itu membubung di atas para remaja yang sedang
bekerja keras. Membuat suasana bagaikan di alam maya. Saat para
remaja itu bekerja membacoki tunggul-tunggul kayu, mereka bagaikan
bergerak dalam mimpi. Ini memang mimpi, Dierdre menyadari.
Aku tertidur. Dan aku bermimpi sedang berada di bangku
penonton, menonton pertunjukan di Fear Park, taman hiburan Daddy.
Pertunjukan Panggung Bacok.
Penayangan kembali kisah nyata yang terjadi di sini enam puluh
tahun yang lalu. Penonton bersorak-sorai ketika di arena, dua orang aktor remaja
mulai saling membentak. Salah seorang dari mereka menggeram marah. Dierdre
mengeratkan lipatan tangan di dadanya ketika anak itu mengangkat
goloknya. Mata goloknya berkilau ungu, memantulkan asap ungu
yang bergulung-gulung aneh.
Penonton bersorak lagi ketika anak itu mengayunkan goloknya.
Dan menghunjamkannya dalam-dalam ke dada anak yang satunya.
Sorak-sorai penonton berubah menjadi jeritan ngeri ketika
semua remaja itu dengan sengit mengayunkan golok-golok mereka,
membacok satu sama lain. Membacok lengan sampai putus. Mengiris punggung dan dada.
Membacok. Membacok satu sama lain sampai darah buatan
mengalir di arena, menggenang bagaikan sebuah danau kental dan
gelap. "Ohhhh." Dierdre mendengar keluhannya sendiri.
Teriakan dan jeritan pura-pura para pemain membubung ke
udara diiringi sorakan dan tepuk tangan riuh rendah para penonton.
Tubuh-tubuh bergeletakan di atas genangan darah. Musik
bagaikan bergulung-gulung dan meliuk-liuk bersama gerakan asap
ungu. Ini sungguh-sungguh terjadi, pikir Dierdre, sambil
mengertakkan gigi. Setiap otot di tubuhnya menegang.
Ini benar-benar terjadi enam puluh tahun yang lalu pada para
remaja yang bekerja membersihkan lahan untuk Fear Park. Tanpa
sebab-sebab yang jelas, mereka semua"puluhan jumlahnya"
mengamuk. Dan saling membacok menjadi berkeping-keping.
Mereka semua mati. Mereka semua mati di tempat Daddy
membangun taman hiburan ini enam puluh tahun setelah kejadian itu.
Darah mereka membasahi tanah di tempat para remaja
berakting dalam pertunjukan Panggung Bacok hari ini.
Di arena, para pemain remaja masih saling bacok. Dierdre
memejamkan mata, tak ingin menonton adegan mengerikan itu.
Tapi ia tak bisa menghindar dari sorak-sorai para penonton.
Kenapa mereka begitu menikmati tontonan ini" pikirnya.
Kenapa mereka begitu senang melihat anak-anak saling membunuh"
Kenapa aku menonton pertunjukan ini"
Karena aku sedang bermimpi.
Ia membuka mata. Dan memandang ke adegan mengerikan itu.
"Hah?" Dierdre ternganga ketika seorang anak berambut hitam
melangkah keluar dari balik ketebalan asap ungu. Dierdre duduk di
bangku penonton bagian atas. Tapi ia langsung mengenali anak itu.
"Robin!" Robin Fear. Temannya. Temannya yang paling dekat.
Lebih dari sekadar teman. Pacarnya. Pelindungnya.
"Robin"sedang apa kau di situ" Pergi dari sana!" serunya.
Tentu saja Robin tidak bisa mendengarnya. Matanya yang
berwarna gelap menyapu para penonton, seperti sedang mencari
Dierdre. "Robin! Robin!" jerit Dierdre. "Robin" pergi!"
Robin menarik sebuah golok bergagang panjang dari
pundaknya. Di belakangnya, dua orang anak laki-laki sedang saling
membacok kaki yang lain. Mereka berdua sama-sama jatuh ke
tanah"dan sambil berdiri di atas lutut mereka yang mengucurkan
darah, mereka ganti saling membacok dada.
Jeritan ngeri dan kesakitan bersahut-sahutan dengan suara
musik, menembus kabut asap ungu.
Robin menoleh ke kedua anak yang kalap itu. Dierdre melihat
Robin mengangkat goloknya, bersiap-siap mengayunkannya.
"Tidak! Jangan!" pinta Dierdre.
Kenapa Robin melakukan itu" Kenapa Robin ada di arena"
Kenapa Robin ada di pertunjukan Panggung Bacok"
"Robin! Pergi dari sana!"
Lalu Dierdre berpikir, untuk apa aku berteriak-teriak" Ini kan
cuma mimpi. Aku bangun saja. Bangun, Dierdre, desaknya pada dirinya sendiri. Bangun.
Bangun. Ia menunggu perasaan lega itu, perasaan lega ketika terbangun
dari sebuah mimpi. Bangun, Dierdre. Ayo. Bangun.
Dierdre mengejap-ngejapkan mata, mengira akan mendapati
dirinya di kamarnya. Aman di tempat tidur.
Tapi jeritan-jeritan kesakitan itu masih juga terdengar,
mengalahkan suara para penonton. Kini semua penonton berdiri,
bertepuk tangan seirama dengan ayunan golok-golok di arena.
Ini mimpi. Ini hanya mimpi, Dierdre meyakinkan diri sendiri.
Tapi betapapun ia mencoba, ia tak bisa membuat dirinya
bangun dari mimpi itu. Ia mengejap-ngejapkan matanya lebih kuat lagi. Memejamkan
mata, menunggu, lalu membukanya lebar-lebar.
Tak ada yang berubah. Semua adegan mengerikan itu, darah,
jerit kesakitan"semua masih ada di sana.
Ini bukan mimpi, Dierdre akhirnya menyadari.
Aku terjaga. Aku bukan sedang bermimpi.
Tubuh dan potongan-potongan tubuh berserakan di arena.
Beberapa remaja masih berdiri, masih saling menyerang dan
membacok dengan tenaga hampir habis.
Robin mengayunkan goloknya dengan liar. Ke depan dan ke
belakang. Semua ini nyata, pikir Dierdre, menggigil ketakutan.
Semuanya nyata. Kejadian itu terulang lagi.
Aku dalam keadaan terjaga. Dan kejadian itu terulang lagi.
"Robin! Robin"awas!"
Bab 2 COK. Cok. Cok. Remaja-remaja itu saling menyerang bagaikan robot, dengan
irama teratur. Suara bacokan yang menyeramkan itu membuat seluruh tubuh
Dierdre terasa dingin. Ia memejamkan matanya lagi.
Ketika ia membuka mata, ia sedang duduk di kamarnya. Di
mejanya. Terjaga sepenuhnya. Cahaya matahari sore mengalir masuk melalui jendela kamar
yang terbuka. Angin lembut menggoyang tirainya yang putih.
"Oh." Dierdre menelan ludah. Ia berusaha menenangkan
napasnya. Perutnya terasa diaduk-aduk. Dan ia masih melipat tangan,
memeluk dirinya sendiri erat-erat.
"Aku tidak sedang tidur," gumamnya keras-keras. Matanya
terfokus pada papan pengumuman yang tergantung di dinding
berwarna kuning, di atas meja belajarnya. Matanya mencari-cari
tanggal di kalender yang terpampang di papan itu. Ia butuh sesuatu
yang nyata. Sesuatu yang... rutin.
Diambilnya bola Koosh merah-biru yang selalu ia simpan di
meja di samping komputernya, dan diremas-remasnya dengan satu
tangan. Itu bukan mimpi, Dierdre menyadari.
Aku dalam keadaan terjaga.
Jadi apa kalau bukan mimpi"
Penglihatan, pikirnya. Sejenis penglihatan" mengenai masa
depan" Ramalan peristiwa mengerikan yang akan terjadi"
Dierdre mendesah. Fear Park sudah ditimpa berbagai bencana.
Sudah banyak orang tewas. Kematian dengan cara menyeramkan. Dan
tidak bisa dijelaskan. Bahkan sebelum taman hiburan dibuka, manajer Cagar Satwa
Liar mati dikoyak-koyak dan dilahap singa-singa yang sedang
diberinya makan. Sebuah bom meledak di Rumah Kaca, menerbangkan pecahanpecahan kaca, menewaskan dua belas orang.
Pacar Dierdre, Paul, entah bagaimana terjadinya, terjepit di
bawah roda kincir raksasa. Roda itu memutus kepalanya dan
meremukkan tubuhnya. Dan Dierdre melihat dengan mata kepala sendiri"dengan
perasaan ngeri dan tidak percaya"tubuh adik Paul, Jared dan tiga
orang temannya dirobek-robek oleh suatu kekuatan misterius.
Begitu banyak kematian. Begitu banyak kengerian.
Begitu banyak kejadian mengerikan sehingga Dierdre mulai
percaya pada desas-desus bahwa ada kutukan yang menimpa Fear
Park. Tadinya ia sama sekali tidak mau percaya. Bahkan waktu
ayahnya berbicara tentang kutukan itu, Dierdre memilih tidak
menanggapinya. Lagi pula sekarang kan tahun 1995, sudah hampir abad dua
puluh satu. Masa masih ada orang percaya pada kutukan-kutukan seperti
itu" Dierdre menggeleng sedih. Sulit untuk menentukan apa yang
harus dipercayainya. Taman hiburan ini memang diawali dengan kejadian
mengerikan. Kenapa para remaja yang membantu membersihkan
lahan untuk taman hiburan ini pada tahun 1935 mendadak kalap lalu
saling membacok dan saling membunuh"
Kejadian itu tak pernah bisa dijelaskan.
Dan sekarang Dierdre mendapat semacam penglihatan. Suatu
peringatan. Peringatan mengenai sesuatu yang akan terjadi. Peringatan
bahwa kejadian orang-orang mengamuk saling bunuh itu bisa terjadi
lagi. Dad harus menutup taman hiburan ini untuk selamanya, katanya
dalam hati. Dad harus melupakan impiannya. Dia harus menutup
taman hiburan dan pergi"sebelum lebih banyak lagi orang tak
bersalah tewas menjadi korban. Sebelum lebih banyak lagi darah
membasahi tempat ini. Taman hiburan telah ditutup selama satu bulan sementara polisi
menyelidiki kematian-kematian yang terakhir, selain itu para pekerja
memeriksa keamanan dan keselamatan seluruh bagian taman hiburan.
Tapi ayah Dierdre, Jason Bradley, sudah bertekad untuk
membuka lagi taman hiburan ini begitu pejabat kota memberi izin.
Tidak, pikir Dierdre. Fear Park harusnya tidak boleh membuka
gerbangnya lagi. Gadis itu bangkit berdiri dengan agak terhuyung-huyung. Ia
memutuskan pergi ke bawah dan memaksa ayahnya
mendengarkannya. Sewaktu berjalan ke pintu kamar tidurnya, ia
merasa lemah dan letih. Penglihatan masa depan itu menghabiskan tenagaku, pikirnya.
Tangannya memegang pagar tangga erat-erat ketika ia berjalan
menuruni tangga. "Dad" Hei, Dad?"
Tidak ada jawaban. Ia memeriksa dapur kecil. Lalu ruang keluarga. Lalu mengintai
kamar ayahnya. "Dad?" Apakah Dad sedang pergi"
Suara keluhan tertahan menarik perhatiannya.
Pintu kamar mandi membuka. Mr. Bradley menyeruduk keluar,
masuk ke kamar tidurnya bertelanjang dada, busa cukur memenuhi
wajahnya. Matanya membelalak lebar, mulutnya mengeluarkan suara
tersedak. "Dad!" seru Dierdre.
"Unnnnnnhhh!" Ia mencengkeram lehernya. Matanya membelalak semakin
lebar. "Dad"kenapa" Kau tersedak?" seru Dierdre.
Mr. Bradley mengangguk panik. Lalu, diiringi erangan tertahan,
ia membuka mulutnya lebar-lebar dan menyodokkan jarinya ke
tenggorokan. "Unnnnh. Unnnnnh."
Dierdre membeku. Apa yang harus ia lakukan" "Dad"aku
panggilkan pertolongan, ya" Aku telepon 911?"
"Unnnnh." Mr. Bradley menggerak-gerakkan tangan di dalam mulutnya.
Mengorek-ngorek tenggorokan dengan jari-jarinya.
"Aaaaaagh!" Sambil mengeluarkan teriakan, akhirnya ia menarik keluar jarijarinya.
Dierdre menjerit ketika melihat apa yang ditarik ayahnya dari
tenggorokan. Seekor cacing cokelat gemuk panjang menggeliat-geliat di
antara jari-jarinya. Dierdre hampir muntah melihat itu.
"Ohhhh," Mr. Bradley mengerang lemah.
"Bagaimana?" Dierdre hendak bertanya.
Tapi ia tidak, bisa menyelesaikan pertanyaannya. Ayahnya
mulai tersedak lagi. Jarinya mengorek-ngorek tenggorokan lagi, matanya berputarputar liar. Busa cukur be lepotan di tangannya, di celana panjangnya,
dan di dinding. Dengan perasaan jijik ia menarik lagi seekor cacing panjang
dari dalam tenggorokan. Dipegangnya cacing itu di depan wajah,
dipandangnya cacing itu menggeliat-geliat saat dijepit oleh jarijarinya, lalu dijatuhkannya ke lantai.
Dagu Mr. Bradley gemetar. Seluruh tubuhnya bergetar. Ia
tersedak lagi. "Daddy!" Dierdre menjerit.
Ia melihat ayahnya menarik seekor cacing yang bahkan lebih
panjang lagi dari dalam mulutnya. Lalu dua lagi. Kemudian dua lagi.
Mr. Bradley menjatuhkan semua cacing itu ke lantai. Dierdre
melihat cacing-cacing tersebut merayap-rayap di kaki ayahnya.
"T-tolong!" akhirnya Mr. Bradley sempat berbisik.
Tapi apa yang bisa dilakukan Dierdre"
Ia melihat ayahnya menarik lagi seekor cacing, sepanjang tiga
puluh senti, dari atas lidahnya.
Apa yang terjadi" pikir Dierdre. Apa yang sedang terjadi"
Fear Street Jeritan Terakhir Last Scream Fearpark 3 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bab 3 ROBIN FEAR mendengus dan menggerakkan telapak
tangannya satu kali lagi di atas mangkuk perak yang bergelegak
mendidih. Cahaya lilin berkelip-kelip di seberang ruang perpustakaan,
membuat bayang-bayang bergerak-gerak di deretan buku tua di
dinding.EBUKULAWAS.BLOGSPOT.COM
Senyum puas tersungging di wajahnya yang biasanya tenang
dan serius. Ruang gelap perpustakaan ini tempat kesukaannya.
Ayahnya dulu juga paling suka tempat ini. Semua buku-buku kuno
tentang sihir, guna-guna, dan ilmu hitam itu, dulu milik ayahnya.
Sekarang milik Robin. Dan ia tahu bagaimana menggunakan
semua itu. Ia tahu bagaimana menggunakan mantra untuk mendapatkan
yang diinginkannya"apa saja yang diinginkannya.
Ia telah menggunakan kekuatan ilmu hitam di buku-buku kuno
itu untuk membuat dirinya dan Meghan tidak bisa mati. Robin dan
Meghan dilahirkan tahun 1918. Artinya, usia mereka sekarang hampir
delapan puluh tahun. Delapan puluh tahun dan masih remaja. Karena Robin telah
membekukan umur mereka di usia tujuh belas. Artinya, mereka akan
tetap berusia tujuh belas tahun selamanya, tanpa pernah bertambah tua
satu hari pun. Ia menggerakkan telapak tangannya sekali lagi di atas mangkuk
berisi cairan hitam mendidih itu. Ia membaca mantra-mantra kuno
perlahan-lahan. Ya. Buku-buku kuno itu memberikan kekuatan sihir pada
Robin. Kekuatan yang bisa memberinya apa saja yang diinginkannya.
Kekuatan untuk melakukan apa saja yang diinginkannya.
Sekarang ia sedang menyenangkan diri dengan membuat
cacing-cacing muncul di tenggorokan Jason Bradley.
Mudah. Tapi lucu. Salah satu dari mantra-mantra paling sederhana. Itu membuat
Robin merasa santai. Belakangan ini ia memang sering merasa tegang. Karena
kekuatan sihir-sihir kuno itu belum berhasil memberinya sesuatu yang
paling ia inginkan di dunia ini.
Ia ingin menghancurkan Fear Park. Ia harus menghancurkan
Fear Park. Menutup Fear Park dan memastikan taman hiburan itu
takkan pernah dibuka lagi.
Sambil menghela napas, Robin mengingat kembali sejarah
tragis Fear Park.... Pada tahun 1935, Nicholas Fear, ayah Robin, bersumpah bahwa
taman hiburan itu tidak akan pernah dibangun. Keluarga Bradley ingin
membangun taman hiburan mereka di sebagian areal Hutan Fear
Street. Sebaliknya, Nicholas Fear bertekad mempertahankan tanah
warisan keluarga Fear. Dewan kota Shadyside memutuskan membolehkan taman itu
dibangun. Tapi ayah Robin bersumpah akan menggunakan seluruh
kemampuan yang dimilikinya untuk menggagalkan pembangunan
taman hiburan itu. Robin berjanji akan membantu ayahnya. Setelah pohon-pohon
besar di lahan ditebang oleh keluarga Bradley, serombongan remaja
dibayar untuk membersihkan tunggul-tunggul kayunya. Robin
menggunakan mantra sihirnya untuk membuat para remaja itu menjadi
beringas dan saling membacok hingga tewas.
Setelah Nicholas Fear meninggal, Robin meneruskan
pertempuran untuk menggagalkan keluarga Bradley membuka taman
hiburan itu. Tapi keluarga Bradley ternyata lebih keras kepala
daripada yang dibayangkan Robin.
Enam puluh tahun kemudian, Fear Park siap dibuka. Robin
terus membuat rencana dan siasat. Ia mendapat pekerjaan di taman
hiburan, menjalankan kincir raksasa. Ia menjadi sangat dekat dengan
putri Jason Bradley, Dierdre. Robin berhasil membuat Dierdre jatuh
cinta padanya. Ia berhasil membuat Dierdre sangat percaya padanya.
Sementara itu ia terus-menerus melancarkan gerakan
terselubung terhadap Dierdre dan ayahnya.
Sejauh ini Robin telah menyebabkan banyak kematian dan
kerusakan. Tapi ia masih gagal" Fear Park akan dibuka lagi dalam
beberapa hari. Keluarga Bradley akan memenangkan pertempuran melawan
keluarga Fear. Kecuali kalau Robin bertindak cepat.
Dengan seluruh perhatian terserap ke ingatan-ingatan
menyedihkan itu, Robin menyapukan telapak tangannya di atas
mangkuk mendidih, mengirim satu lagi cacing cokelat gemuk ke
tenggorokan Jason Bradley.
"Robin"di situ kau rupanya!" sebuah suara memanggilnya.
"Sedang apa kau?"
Robin mengangkat matanya dan melihat Meghan masuk ke
ruang perpustakaan. Rambut merahnya yang ikal panjang melambailambai di belakangnya. Gadis itu menebar pandang ke sekeliling
ruangan, mata hijaunya memantulkan sinar lilin.
Robin menghentikan gerakan tangannya di atas mangkuk
mendidih. Di bagian lain kota, Jason Bradley akan mulai tersedak oleh
seekor cacing gemuk lagi.
"Kau sedang apa?" tanya Meghan lagi, berdiri di dekat Robin.
Robin bisa mencium bau parfumnya yang beraroma jeruk.
"Ini mantra pelindung," Robin berdusta.
Meghan mengerutkan kening. "Pelindung?"
Robin mengangguk. "Jason Bradley akan membuka Fear Park
lagi besok. Aku sudah mencari-cari di buku-buku kuno ayahku.
Mencari mantra yang bisa melindungi mereka dari tragedi-tragedi
baru. Rasanya aku sudah menemukannya."
Sambil masih berlutut di lantai, Robin memandang ke atas,
meneliti wajah Meghan. Apakah dia percaya" tanyanya dalam hati.
Apakah dia percaya cerita itu"
Robin tidak tahu. Meghan menutup mata dan menghela napas
panjang. Robin bangkit berdiri dan bergerak mendekati Meghan. "Ada
apa?" desaknya. "Entahlah, aku tidak tahu," sahut Meghan, menggelengkan
kepala. "Aku cuma lelah."
"Lelah" Lelah karena apa?"
"Karena semuanya." Meghan mendesah. Menyapu seuntai
rambut berwarna tembaga dari dahinya. "Aku lelah melihatmu
menghabiskan seluruh waktumu menguatirkan keluarga Bradley. Aku
melihat kau bersama si gadis Bradley itu, Robin, dan aku?"
"Itu kan sudah kujelaskan," tukas Robin. Ia menaruh tangannya
di pundak Meghan yang berlapis sweter hijau, lalu merangkulnya
seakan ingin menenangkannya.
"Kau tahu mengapa kuhabiskan seluruh waktuku menguatirkan
keluarga Bradley," katanya lembut sambil menatap mata Meghan. "Aaku merasa sangat bersalah. Ayahku membuat kutukan atas mereka.
Membuat kutukan atas taman hiburan mereka. Dan aku berusaha
sekuat tenaga menghapus kutukan tersebut."
Robin meremas bahu Meghan, dan menatap matanya tajamtajam seperti ingin menghipnotisnya. Meghan menundukkan wajah,
memandang deretan lilin di lantai.
"Sudah terlalu banyak orang tak bersalah tewas karena ayahku,"
kata Robin dengan suara bergetar. "Aku merasa bertanggung jawab,
Meghan. Aku merasa aku harus melakukan apa pun yang bisa
kulakukan agar tidak ada lagi orang tak bersalah tewas di Fear Park."
Percayakah dia" Robin bertanya-tanya dalam hati. Sudah enam
puluh tahun dia percaya pada kebohongan-kebohonganku. Apakah
sekarang dia masih percaya"
Meghan menghela napas lagi. "Rasanya aku sudah lelah dengan
semua ini," bisiknya. "Aku lelah jadi orang yang tidak bisa mati. Aku
lelah jadi remaja usia tujuh belas tahun seumur hidup."
Ia menatap Robin dengan pandangan memelas. "Aku tidak
ingin seperti ini terus, Robin. Aku tahu yang kaulakukan adalah demi
kebaikan. Aku tahu betapa berartinya itu bagimu. Tapi aku tidak ingin
hidup terus-terusan di tubuh muda seperti ini. Aku ingin tumbuh
menjadi tua. Aku tak ingin hidup di zaman yang bukan zaman kita."
Aku sendiri juga lelah, pikir Robin pahit.
Lelah mendengar keluh kesah Meghan. Aku menjadikannya
hidup abadi. Aku ajak dia karena aku cinta padanya, karena aku
sangat sayang padanya. Karena aku memerlukan dia.
Tapi dia tidak pernah merasa bahagia. Dia terus-terusan
mengeluh. Dan semakin lama dia semakin merasa getir.
Robin masih berdiri memegang pundak Meghan, menatap mata
hijau gadis itu. Aku dulu sayang sekali padanya, pikir Robin. Aku
dulu sangat membutuhkannya.
Tapi aku tidak membutuhkan dia sekarang.
Aku bahkan tidak lagi terlalu menyukainya.
Meghan lelah menjadi remaja umur tujuh belas. Dan aku lelah
menghadapinya. "Kau mengerti apa yang kukatakan?" tanya Meghan. "Kau
mengerti mengapa aku tidak bisa terus-menerus seperti ini?"
"Ya," sahut Robin perlahan. "Ya. Dan aku akan membantumu,
Meghan." Perlahan-lahan ia menggeser tangannya dari pundak Meghan
dan melingkarkannya di leher gadis itu.
Lalu, sambil masih menatap dalam-dalam ke mata Meghan,
Robin mulai mengencangkan cengkeramannya.
Bab 4 TENTU saja, Meghan tidak bisa mati, Robin mengingatkan
dirinya sendiri. Percuma aku mencekiknya. Dia tidak akan mati.
Ia melonggarkan cengkeraman di leher Meghan.
Meghan tersenyum padanya.
Dia mengira aku meremas dengan lembut, pikir Robin. Dia
sama sekali tidak menyadari apa yang ingin kulakukan.
Robin membungkuk dan mencium dahi Meghan, ciuman
singkat. "Kau betul-betul mau membantuku?" tanya Meghan,
menyandarkan kepalanya ke pundak Robin.
Robin mengangguk. "Setelah aku yakin taman hiburan itu sudah
bebas dari kutukan," katanya. "Setelah aku yakin keluarga Bradley
sudah aman dari kutukan ayahku, akan kucari mantra yang tepat. Aku
janji. Akan kucari cara agar kita bisa tumbuh menjadi tua bersamasama."
"Oh, terima kasih, Robin!" jerit Meghan. Ia melingkarkan
kedua tangannya memeluk Robin dan menciumnya dengan penuh rasa
terima kasih. Ciuman itu terasa masam di bibir Robin.
Mungkin ada mantra yang bisa menyingkirkan dia dariku, pikir
Robin. Aku akan lebih senang tanpa dia di dekatku.
Setidaknya Meghan masih percaya padaku, pikirnya, membalas
ciuman Meghan. Tapi aku sudah tidak membutuhkannya lagi. Akan kucari cara
untuk membunuhnya"setelah kuhancurkan Fear Park untuk
selamanya. ************* Kulit Dierdre Bradley merah-merah. Ia menggunakan tisu untuk
menghapus keringat di dahinya.
Malam itu sejuk dan cerah, tapi trailer yang dipakai Jason
Bradley untuk kantornya terasa panas.
Dierdre mengerang dan memutar-mutar matanya. "Daddy, ada
apa" Ini malam yang indah. Kenapa kau menutup semua jendela?"
Tanpa menunggu jawaban, Dierdre berjalan menyeberangi
trailer sempit itu dan membuka salah satu jendelanya.
"Entahlah," gumam ayahnya. "Rasanya aku merasa lebih aman
kalau semua jendela tertutup."
"Kau kan perlu bernapas," Dierdre memarahi ayahnya.
"Aku tidak tahu apakah aku akan pernah merasa aman lagi,"
bisik Mr. Bradley, menunduk.
Cacing-cacing gemuk jelek itu pasti telah merusak pita
suaranya, pikir Dierdre. Dia tidak bisa bicara lebih keras daripada
bisikan. Dierdre telah mendesaknya untuk pergi ke Dr. Kleinsmith di
Rumah Sakit Shadyside secepatnya. Tapi dia berkeras menolak. Dia
tidak suka dokter. Lagi pula, Dierdre tahu ayahnya merasa malu.
Bagaimana dia akan bisa menjelaskan pada seorang dokter
bahwa dia menarik keluar hampir selusin cacing sepanjang tiga puluh
senti dari dalam mulutnya"
Dierdre merinding dan mencoba menyingkirkan makhlukmakhluk cokelat berlendir itu dari benaknya.
Itu kejadian kemarin. Dan sekarang adalah hari baru. Jumat malam. Malam
pembukaan Fear Park. Saat matahari mulai merendah di balik pucuk-pucuk
pepohonan, orang-orang mulai berdatangan. Ketika hari gelap, taman
hiburan sudah penuh sesak.
Suara-suara riang dan suara tawa anak-anak mengalir masuk ke
kantor di trailer melalui jendela yang terbuka. Dierdre memandang
ayahnya. Ayahnya seperti tidak mendengar suara-suara itu, ia seperti
berada di dunia lain, dunianya sendiri yang dipenuhi pikiran-pikiran
tidak menyenangkan. Dierdre mendekat dari belakang kursi ayahnya dan menaruh
kedua tangannya di pundak pria itu. Sejak dulu ayahnya orang yang
besar dan kuat. Bagaikan beruang. Tapi sekarang ini dia terlihat seolah
lebih kecil. Dan tidak sekuat dulu. Seakan semua masalah dan tragedi
itu membuatnya menyusut. "Dad"kau baik-baik saja?" tanya Dierdre.
Ayahnya tidak menjawab. Aku tidak tahan melihatnya seperti ini, pikir Dierdre sedih.
"Pintu gerbang dibuka satu jam yang lalu," katanya pada
ayahnya. "Dan taman sudah penuh sesak." Ia meremas pundak
ayahnya. "Tidakkah itu membuat Dad senang?"
"Tidak juga," Mr. Bradley bergumam dengan suara serak
tertahan. Ia memutar kursinya untuk menghadap ke Dierdre. Ia
memandang putrinya dengan matanya yang merah. "Aku berpikir
banyak tentang pembicaraan kita semalam," bisiknya.
"Dad, aku minta maaf?"
Semalam Dierdre dan ayahnya bicara panjang-lebar sampai
jauh malam. Dierdre meminta, mendebat, dan memohon agar ayahnya
tidak membuka lagi Fear Park.
Sekarang Dierdre merasa bersalah mengenai beberapa hal yang
diucapkannya. Kata-katanya kelihatannya telah membuat ayahnya
sedih. Dan semua usahanya itu sia-sia. Jason Bradley sama sekali
tidak mau mengindahkannya. Dia sama sekali tidak mau
mempertimbangkan pilihan untuk menutup Fear Park selamanya.
Akhirnya Dierdre hanya bisa menjerit kesal dan meninggalkan
ayahnya dengan marah. Ia merasa kekanak-kanakan dan merasa salah
walaupun ia yakin ia benar.
Taman hiburan itu terkena kutukan. Kenapa ayahnya tidak bisa
melihat itu" Kenapa dia begitu keras kepala" Belum cukupkah kematian
begitu banyak orang tak bersalah"
"Apakah Dad mau bertanggung jawab atas lebih banyak lagi
kematian?" jerit Dierdre pada ayahnya tadi malam.
Sampai wajah Jason Bradley berubah merah padam.
Dierdre tahu ia sudah keterlaluan.
Fear Street Jeritan Terakhir Last Scream Fearpark 3 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tapi kenapa ayahnya tidak mau mendengarnya"
Sekarang ayahnya menatapnya dari tempat duduknya di
belakang meja kerja, wajahnya berkerut, matanya merah dan letih.
"Aku harusnya menjelaskan lebih banyak kepadamu," katanya pada
Dierdre dengan nada lembut. Matanya berkaca-kaca, dan ia menunduk
memandang lantai. "Daddy, kita sudah bicarakan semua tadi malam." Dierdre
menghela napas, menoleh ke jendela.
"Belum," kata ayahnya. "Belum semuanya. Setidaknya aku
belum mengatakan semuanya."
Kesunyian yang terasa berat menggantung di udara di dalam
trailer. Dierdre melipat tangan di depan dada. Seuntai rambut cokelat
tuanya jatuh di depan mata. Tapi dibiarkannya.
Musik riang dari komidi putar mengalun masuk melalui jendela.
Dierdre bisa mendengar letusan senapan dari Galeri Tembak.
"Banyak yang tidak kauketahui, Dierdre," akhirnya Mr. Bradley
berkata memecah kesunyian. Ia berdeham sambil menggosok
lehernya. "Banyak yang belum kuceritakan padamu."
Dierdre menurunkan tubuhnya ke tepi meja. Kakinya mendadak
terasa lemas. Jantungnya berdebar.
Apa yang akan diceritakan oleh ayahnya"
"Memang, taman hiburan ini adalah impianku," Mr. Bradley
melanjutkan. "Dan impian ayahku. Dan impian kakekku. Dan aku
menjadikannya tujuan hidupku. Itulah sebabnya kenapa aku bertekad
membuka taman hiburan ini."
"Aku tahu, Daddy," sahut Dierdre. "Kita sudah bicarakan?"
"Tapi bukan hanya itu sebabnya," lanjut Jason Bradley. "Begini,
aku"aku?" Ia ragu-ragu. Mengusap-usap rahangnya. "Ini sangat sulit
bagiku, Dierdre. Tapi lebih baik kuceritakan semua."
Ia menyipitkan matanya pada Dierdre. "Aku sudah
menanamkan seluruh uangku di taman hiburan ini. Setiap sen. Kalau
taman hiburan ini gagal, kita tak akan punya uang bahkan untuk
membeli sepotong hot dog."
Dierdre ternganga. Trailer yang sudah kecil itu terasa semakin
sempit. "Tapi kan masih ada tabungan, Dad" Uang warisan Mom waktu
dia meninggal?" Mr. Bradley mengelakkan tatapan Dierdre. "Sudah kupakai juga
untuk taman hiburan ini," katanya, begitu perlahan sehingga hampirhampir tak terdengar. "Sudah kuambil dari bank dan kutanamkan di
taman hiburan ini. Sudah sejak dua tahun yang lalu."
Tenggorokan Dierdre terasa kering. "Kita betul-betul
bangkrut?" Mr. Bradley mengangguk. Ia memejamkan mata. "Lebih dari
bangkrut. Aku terpaksa meminjam dana secara pribadi untuk
meneruskan proyek ini. Beberapa pinjaman. Para investor menolak
menaruh tambahan modal lagi. Kata mereka taman hiburan ini sudah
gagal. Mereka meminta aku mengembalikan modal mereka. Aku"
aku?" Ia menatap Dierdre dengan penuh perasaan bersalah.
"Jadi kautanamkan seluruh uang kita?" kata Dierdre.
"Ditambah uang pinjaman." Mr. Bradley terisak. Ia menutup
mulutnya dengan tangan, berpura-pura bahwa isaknya tadi hanya
cegukan. Suara rentetan senapan dari Galeri Tembak terdengar menusuk
telinga Dierdre. Ia mengertakkan gigi, mencoba membendung suara
itu, mencoba berkonsentrasi pada cerita ayahnya yang mengejutkan.
Ia baru sadar ia menahan napas. Diembuskannya napasnya
dengan suara wuuusss yang keras.
"Aku belum cerita padamu tentang hal yang paling buruk,"
Jason Bradley bergumam, matanya makin berkaca-kaca. Ia mengusap
rambutnya ke belakang. Lalu berdeham lagi.
"Masih ada lagi?" tanya Dierdre lemah.
"Tabungan pendidikanmu," bisik Mr. Bradley.
"Oh!" seru Dierdre tak tertahan. ''Tidak! Uang yang
ditinggalkan Mom untuk sekolahku?"
Diiringi erangan, Mr. Bradley bangkit berdiri. Ia menghampiri
Dierdre dan memeluknya. "Aku minta maaf, Dee. Aku minta maaf."
"Semuanya?" suara Dierdre bagai tercekik.
"Ya," sahut ayahnya, masih memeluk Dierdre. "Ya, semuanya.
Seluruh uangmu. Aku tidak punya pilihan. Aku terpaksa
menggunakan uang itu untuk taman hiburan."
"Jadi kita betul-betul tidak punya uang untuk kebutuhan kita?"
tanya Dierdre. "Sama sekali?"
Mr. Bradley melepas pelukannya dan berjalan ke pintu trailer.
"Kita tidak punya uang," bisiknya. "Kecuali kalau Fear Park sukses."
Dierdre menelan ludah, membasahi tenggorokannya yang terasa
kering. Tangannya yang sedingin es dimasukkannya ke dalam saku
celana jinsnya. Lalu ia menarik napas panjang. "Kalau begitu kita tidak punya
pilihan lain," katanya, memaksa dirinya terdengar punya harapan
besar. "Kita harus membuat Fear Park sukses besar."
Dierdre memaksa dirinya tersenyum. Senyum ini, pikirnya,
adalah hal paling berani yang pernah kulakukan.
"Kita harus membuat Fear Park menjadi taman hiburan terbesar
dan terpopuler di dunia!" katanya, berjuang untuk terdengar riang,
berjuang untuk terdengar yakin.
"Ya," Mr. Bradley mengiyakan dengan suara berbisiknya. "Ya.
Ya. Dan kita harus memastikan bahwa tidak terjadi lagi hal-hal yang
tidak diinginkan. Tidak ada lagi kematian. Tidak boleh lagi ada
kecelakaan." "Mulai sekarang segalanya akan berjalan baik!" Dierdre
menegaskan. "Aku yakin, Dad. Aku merasa pasti."
Mereka terlonjak kaget ketika mendengar suara itu.
Jeritan seorang anak perempuan di luar trailer.
Jeritan nyaring menyeramkan.
Bab 5 DIERDRE menghambur ke jendela. Ia menjulurkan kepalanya
ke luar. Sambil menyipitkan mata ia melihat ke jalan di depan yang
terang benderang karena cahaya lampu"dan melihat Robin Fear.
Robin sedang berjalan cepat, menyeberang jalan di depan
serombongan anak kecil, menuju trailer.
Jeritan nyaring tadi terdengar lagi, membuat Dierdre menoleh
ke kanan. Dilihatnya dua remaja pria sedang menggendong seorang
gadis di pundak mereka. Gadis itu menjerit-jerit dan pura-pura
berontak ketakutan saat mereka berdua pura-pura akan
melemparkannya ke kolam air mancur.
Mereka menurunkan gadis itu ke arah semburan air berwarnawarni. Dan gadis itu menjerit lagi.
"Ada apa, Dee" Apa yang terjadi?" tanya Mr. Bradley dari
belakang Dierdre, suaranya bergetar karena kuatir.
Dierdre menarik kembali kepalanya dari jendela dan menoleh
ke ayahnya. "Tidak ada apa-apa. Cuma beberapa anak sedang
bercanda." "Aku kira?" Mr. Bradley hendak berkata. Wajahnya merah.
Dadanya bergerak naik-turun di balik baju Hawaii-nya.
"Tidak ada apa-apa. Jangan kuatir, Daddy," Dierdre
meyakinkannya. "Cuma dua remaja pria sedang menggoda seorang
gadis. Dia?" Dierdre berhenti bicara ketika pintu trailer terbuka. Ia
menengok ke pintu saat Robin menjulurkan tubuhnya ke dalam.
"Hai. Kau tidak bertugas malam ini?" Dierdre menyambutnya.
"Ya. Giliranku di Kincir Bianglala akan mulai sepuluh menit
lagi," jawab Robin sambil menengok jam tangannya. "Aku cuma mau
mampir sebentar, mau bilang mudah-mudahan semua berjalan baik."
"Terima kasih, Rob," kata Mr. Bradley.
"Semuanya baik-baik saja," kata Dierdre pada Robin. "Daddy
dan aku baru saja bicara tentang taman hiburan. Kami akan
membuatnya menjadi taman hiburan yang paling populer di dunia!"
"Betul?" Robin menatap Dierdre, lalu pada ayahnya. Tadinya ia
tersenyum, tapi senyum itu mendadak sirna.
Dierdre bisa melihat bagaimana kata-katanya mengejutkan
Robin. Beberapa hari yang lalu, ia berjanji pada Robin bahwa ia akan
bicara pada ayahnya. Ia berjanji untuk meyakinkan ayahnya agar
menutup taman hiburan untuk selamanya.
"Kita tak ingin ada lagi orang tak bersalah yang kehilangan
nyawa," kata Robin saat itu.
Dan Dierdre setuju waktu itu.
Tapi sekarang, dengan nada diriang-riangkan, Dierdre berkata
bahwa taman hiburan ini akan jadi hebat dan sukses.
Robin pasti bingung, pikir Dierdre. Itu karena dia tidak tahu
seluruh ceritanya. Dia tidak tahu kesulitan besar yang dihadapi Dad
dan aku kalau taman hiburan ini sampai gagal.
Akan kuceritakan semuanya pada Robin nanti, ia memutuskan.
Ia tahu Robin akan mengerti. Robin orang paling baik dan paling
penuh pengertian yang pernah dikenalnya.
"Baiklah, selamat!" kata Robin. Ia mengangkat dua jarinya ke
kening, memberi hormat pada Dierdre. "Temui aku nanti" Giliranku
selesai jam sepuluh."
"Oke. Sampai nanti." Dierdre mengangguk.
Pintu trailer tertutup di belakang Robin. Dierdre pergi ke
jendela dan melihat Robin berjalan di tengah orang banyak menuju
kincir raksasa. Jeritan tajam membuat Dierdre mengalihkan perhatiannya ke
seorang gadis kecil berambut merah yang sedang mengejar balon
merah di seberang jalan. Tali panjang menjurai di bawah balon itu.
Tapi angin meniup balon itu membubung ke atas, di luar jangkauan si
gadis kecil. Gadis kecil itu menjerit ketika kakinya terantuk dan dia jatuh
terjerembap di jalan. Selama beberapa saat dia tetap terbaring
menelungkup, tangan dan kakinya tertekuk" membuat jantung
Dierdre hampir copot. Tapi ketika kedua orangtuanya datang berlari-lari, gadis kecil
itu sudah berdiri lagi sambil mengusap-usap lututnya dan menunjuknunjuk ke balon yang terbang jauh.
Dierdre menarik napas lega. "Semoga lutut lecet merupakan hal
terburuk yang terjadi malam ini," gumamnya.
"Apa?" tanya ayahnya.
Dierdre menoleh ke ayahnya yang sedang duduk di mejanya
yang berantakan. Ayahnya sedang memeriksa beberapa lembar kertas
dari tumpukan dokumen. "Tidak ada apa-apa," kata Dierdre. "Aku hanya sedang bicara
sendiri." Telepon berdering. Mr. Bradley mengulurkan tangan, tapi
didahului Dierdre. "Halo?"
"Kau tidak kenal Robin," sebuah suara parau terdengar.
"Maaf?" seru Dierdre. Dijauhkannya gagang telepon dari
telinganya dan dipandanginya seakan-akan melihat benda aneh.
"Kau tidak tahu yang sebenarnya tentang Robin," bisik suara
itu. "Lebih baik kau cari tahu tentang dia. Sebelum terlambat."
"Siapa ini?" tanya Dierdre marah. "Kenapa kau selalu
meneleponku" Untuk apa kau berbuat begini?"
Bab 6 ROBIN menendang sebuah kaleng minuman soda. Kaleng itu
terpental mengenai sepatu seorang anak laki-laki. Si anak laki-laki itu
sepertinya tidak menyadarinya.
Sambil merengut, berjalan melawan angin, Robin memasukkan
kedua tangannya yang terkepal ke dalam saku celana jinsnya. Untuk
mencegah agar ia tidak meninju orang. Siapa pun.
Ia membayangkan dirinya meninju rahang Dierdre. Ia
membayangkan ekspresi terkejut Dierdre saat gadis itu jatuh ke tanah,
wajahnya bengkak. Rusak. Giginya patah-patah berjatuhan ke
kakinya. Kendalikan amarahmu, katanya memperingatkan diri sendiri.
Tapi tidak mudah. Sudah bertahun-tahun ia tidak pernah merasa
semarah ini. Tapi kenapa aku tidak boleh marah pada Dierdre" tanyanya,
lagi-lagi pada diri sendiri. Ia mengkhianatiku. Ia pembohong. Dasar
pengkhianat. Robin sudah berusaha keras meyakinkan Dierdre bahwa Fear
Park harusnya jangan dibuka lagi. Dierdre sudah berjanji akan
memaksa ayahnya menghentikan proyek taman hiburan.
Tapi sekarang, lihat saja, gadis itu justru membual bahwa Fear
Park akan sukses besar. Berapa orang lagi yang harus kubunuh untuk meyakinkan
Dierdre bahwa Fear Park harus ditutup" pikir Robin pahit.
Ia jawab sendiri pertanyaannya: cukup satu.
Robin sudah berencana membunuh Dierdre. Ia membayangkan,
kematian Dierdre mungkin bisa membuat Jason Bradley yakin bahwa
memang ada kutukan terhadap taman hiburan ini. Mungkin bisa
meyakinkan orang itu untuk beres-beres dan pergi selamanya dari
tempat ini. Tapi Bradley sungguh keras kepala, pikir Robin. Begitu keras
kepalanya sehingga kematian Dierdre pun mungkin belum cukup
untuk memaksanya menutup Fear Park.
Itu berarti hanya tinggal satu pilihan bagi Robin. Ia harus
membunuh Jason Bradley. Harusnya sudah dari dulu kulakukan, Robin memarahi dirinya
sendiri. Kenapa tidak dari dulu-dulu terpikir olehku"
Fear Park adalah impian Jason Bradley. Impian yang akan
dibawanya sampai mati. Mungkin tadinya aku ingin membuat Jason Bradley tersiksa
dulu, pikir Robin ketika ia naik ke panel pengendali kincir raksasa.
Aku ingin ayah Dierdre mengalami semua tragedi yang disebabkan
taman hiburannya, semua kematian itu.
Tapi aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi.
Lagi pula, Mr. Bradley yang malang itu sudah cukup tersiksa.
Sudah waktunya membebaskan dia dari penderitaannya.
Robin melambai pada Ronnie Scott, petugas giliran sore
wahana Kincir Bianglala. Ronnie nyengir dan memperlihatkan permen
karet hijau yang menempel di gigi depannya.
Ingin rasanya Robin menjejalkan permen karet itu ke
tenggorokan Ronnie. Tapi ia hanya bergumam, "Bagaimana?"
Ia tidak mendengarkan jawaban Ronnie. Ia memikirkan Jason
Bradley. Memandang roda kincir berputar. Dan memikirkan Jason
Bradley. "Sampai nanti," ia mendengar Ronnie berkata. Anak muda itu
berjalan pergi, sambil menyapu rambut pirangnya ke belakang dengan
kedua belah tangan. Robin meraih tuas yang mengendalikan roda. Ia melihat
penumpangnya penuh. Kabin-kabin kecil itu bergerak ke bawah
mengikuti putaran roda, lalu terayun naik lagi, semuanya berisi
penumpang. Robin memandang beberapa lama, berpikir keras.
Dilihatnya dua remaja laki-laki di salah satu kabin, dengan
kedua tangan terangkat tinggi-tinggi, seakan-akan mereka sedang naik
roller-coaster. Sebuah kabin dengan penumpang dua remaja putri
lewat. Kedua remaja itu membungkuk ke depan, membuat kabin
mereka terayun-ayun. Sepasang orang tua berambut putih menempati kabin
berikutnya. Mereka saling berpegangan tangan dan tertawa-tawa
Fear Street Jeritan Terakhir Last Scream Fearpark 3 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sampai kepala mereka terangkat ke belakang. Di kabin berikutnya
sepasang remaja berciuman, berpelukan.
Asyik, pikir Robin pahit. Betul-betul asyik.
Melihat orang bersenang-senang membuatnya bertambah kesal.
Ia tahu sudah waktunya menurunkan penumpang. Dan
mengambil penumpang baru. Antrean orang yang menunggu untuk
naik kincir raksasa terlihat panjang, sampai ke jalan. Sebagian dari
mereka mulai terlihat tidak sabar.
Tapi Robin belum mau menghentikan roda kincir. Ia punya
rencana yang lebih baik. Diraihnya tuas pengendali. Dan, sambil mendengus,
didorongnya ke depan, sampai mentok.
Roda besar itu agak bimbang sesaat. Lalu Robin mendengar
beberapa penumpang berseru terkejut ketika roda itu menyentak
mereka dengan keras"dan segera berputar lebih cepat.
Semua kabin bergoyang berayun-ayun saat roda kincir berputar
semakin cepat. Lampu-lampu di kerangka roda menyatu menjadi
lingkaran cahaya tak terputus.
Lebih cepat. Seruan berganti menjadi jeritan.
Dari bawah, Robin mendengar teriakan-teriakan terkejut.
Orang-orang yang sedang antre menunjuk-nunjuk dan berseru-seru.
Lebih cepat lagi. Pasangan orang tua berambut putih tidak lagi saling
berpegangan tangan. Tangan mereka menggenggam erat batang
pengaman saat kabin mereka bergoyang-goyang dan berayun-ayun.
Kedua remaja laki-laki tadi masih tetap mengangkat tinggi-tinggi
kedua tangan mereka, berseru-seru kegirangan, tertawa-tawa
menikmati kejadian seru itu.
Kedua anak perempuan yang tadi menjulurkan tubuh ke
depan.... Robin tidak bisa melihat apa yang dilakukan kedua gadis itu.
Roda raksasa itu berputar sangat cepat sekarang sehingga sulit melihat
penumpangnya satu per satu dengan jelas. Mereka sudah berbaur
menjadi satu. Mata-mata yang terbelalak dan wajah-wajah ketakutan
melesat cepat, susah dibedakan satu sama lain.
Jeritan dan pekikan mereka mengatasi suara keras roda kincir
raksasa, mengatasi suara teriakan orang-orang di bawah yang melihat
kejadian itu. Robin menyandarkan seluruh berat tubuhnya ke tuas pengendali
seakan-akan mencoba mendorongnya lebih jauh lagi.
"Hentikan! Hentikan!" seseorang berteriak dari kerumunan
manusia di bawah. "Anak perempuanku ada di sana!"
"Oh, tidak! Tidaaaak!"
"Tolong! Lakukan sesuatu!"
Robin tidak tahan. Ia menengadahkan kepalanya dan tertawa.
Tapi ia segera menghentikan tawanya ketika melihat dua
petugas keamanan Fear Park mendesak maju di sela-sela kerumunan
manusia menuju ke arahnya. "Ada apa?" salah seorang dari mereka
bertanya sambil terengah-engah.
"Hentikan itu!" mitranya menyuruh.
"Aku"aku tidak bisa!" seru Robin, memasang wajah
ketakutan, membuat tangannya yang memegang tuas seakan-akan
gemetaran. "Tuasnya macet!"
"Hah?" kedua petugas keamanan berseru kaget.
"Tuasnya macet!" Robin mengulangi. "Aku tidak bisa
menggerakkannya!" Jerit nyaring dari roda yang berputar kencang itu membuat
Robin dan kedua petugas keamanan menoleh. Sebongkah warna hijau
kelihatan terbang lepas dari roda. Benda hijau itu jatuh ke tengah
kerumunan manusia yang menonton di bawah.
Teriakan-teriakan jijik terdengar mengalahkan jeritan
penumpang-penumpang kincir. Sebongkah lagi benda hijau terbang
dari roda kincir dan muncrat di kepala dan pundak seorang lelaki.
Perlu beberapa detik sebelum Robin menyadari apakah benda
berwarna kehijauan itu. Rupanya salah seorang penumpang kincir
muntah. "Lakukan sesuatu!"
"Hentikan! Tidak adakah yang bisa menghentikannya?"
Teriakan-teriakan terdengar semakin keras, semakin panik.
"Sini, aku coba menarik tuasnya," salah seorang petugas
keamanan itu maju, mendesak Robin ke samping.
"Jangan!" protes Robin. "Panggil saja Mr. Bradley. Dia akan
tahu apa yang harus dilakukan."
Kedua petugas keamanan itu bimbang.
"Sana cari Mr. Bradley!" teriak Robin.
"Cepat!" Mereka berbalik dan berlari, jaket seragam mereka yang
berwarna cokelat dan emas berkibar-kibar di belakang mereka.
Robin memandang mereka menyelinap di sela-sela kerumunan
orang yang ketakutan. Lalu ia kembali menikmati pemandangan roda
yang berputar kencang itu.
Ia memperhatikan bahwa suara teriakan dari arah roda kincir
sudah agak berkurang. Para penumpang yang menjerit-jerit dan
memekik-mekik sudah tidak sebanyak tadi.
Apakah mereka menyadari bahwa jeritan dan pekikan sama
sekali tidak akan membantu" Atau mungkin beberapa dari mereka
sudah pingsan" Roda itu berputar terlalu cepat bagi Robin untuk melihat dengan
jelas. Ia hanya bisa melihat samar-samar tubuh para penumpang
terbanting-banting ke sana kemari di dalam kabin mereka.
Putaran roda raksasa itu membuat suara berderit-derit yang
sangat keras. Suara logam bergesek dengan logam, keras sekali.
Kabin-kabin berdecit-decit saat mereka terayun-ayun dan terguncangguncang naik-turun.
"Ada masalah apa?"
Robin berbalik dan melihat Mr. Bradley berlari-lari ke arahnya
diiringi kedua petugas keamanan tadi. Wajahnya merah, dan mulutnya
tergantung membuka membentuk huruf O besar.
"Robin"hentikan kincir itu!"
"Aku tidak bisa!" Robin pura-pura mencoba menarik tuas
dengan sia-sia. "Anakku ada di sana!" seorang wanita menjerit.
"Kenapa tidak kauhentikan kincir itu?" seorang wanita lain
berteriak marah. Yang lain ikut berdesak-desakan ke depan, berteriakteriak, bertanya-tanya dengan marah.
Kedua petugas keamanan mendorong orang-orang itu menjauh,
mencoba menenangkan mereka.
Ini kesempatanku, pikir Robin.
Mr. Bradley maju ke dekat tuas. "Minggir, Rob. Biar aku coba,"
katanya sambil mengulurkan tangan meraih tuas pengendali.
Robin maju menghalangi. "Tidak. Kau tidak akan bisa,"
katanya perlahan. "Hah?" Wajah Mr. Bradley memancarkan keheranan.
"Minggir," perintahnya keras. "Biar kucoba."
"Kau tidak akan bisa," Robin mengulangi dengan tenang.
"Kenapa?" tanya Mr. Bradley.
"Karena kau akan mati," kata Robin padanya.
Bab 7 MR. BRADLEY menatap bingung pada Robin.
Robin berusaha menahan diri, tapi sebuah senyuman muncul di
wajahnya. "Apa katamu?" tanya Mr. Bradley.
"Kau akan mati," Robin mengulangi dengan tenang.
Mr. Bradley menggeram marah. Disambarnya tangkai tuas.
"Berikan padaku!"
Robin melepas tangannya dari tuas. Lalu merendahkan bahunya
dan membenturkannya keras-keras ke dada Mr. Bradley.
"Uhh!" Mr. Bradley terperanjat. Ia terdorong mundur,
kehilangan keseimbangan. Robin menumbukkan pundaknya sekali lagi ke perut Jason
Bradley. Lelaki bertubuh besar itu berteriak kaget saat jatuh ke belakang.
Jatuh ke roda yang berputar kencang.
Sebuah kabin logam terayun naik"dan menabrak bagian
belakang kepala Mr. Bradley.
Suara berderaknya terdengar keras sekali, mengalahkan suara
pekikan kaget orang-orang.
Injakan kaki kabin yang terbuat dari logam menghantam bagian
belakang kepala Mr. Bradley dan mengangkatnya dari tanah. Lalu,
ketika kabin itu terayun lebih tinggi, Mr. Bradley jatuh, tersuruk di
tanah. Noda darah melebar di bawah kepalanya.
Matanya terbeliak, menatap kosong pada Robin. Salah satu
kakinya tertekuk membuat sudut yang tidak normal di bawah
tubuhnya yang lebar. Dia tidak bergerak. Teriakan dan jeritan membuat Robin menutup telinga. Ia
menyembunyikan senyumnya.
"Mr. Bradley," ujarnya, "kau sudah jadi sejarah."
Begitu juga Fear Park, pikir Robin dengan hati senang.
"Daddy! Daddy!"
Jeritan melengking itu menghentikan pikiran senang Robin.
Ia menoleh dan melihat Dierdre yang wajahnya pucat
ketakutan. Gadis itu berlutut di samping ayahnya. "Daddy! Daddy!"
Ia terisak-isak. Lalu menoleh ke Robin dan bertanya, "Apa yang
terjadi?" "Tuas pengendalinya macet," jawab Robin, berlutut di samping
Dierdre. "Aku tidak bisa menggerakkannya. Ayahmu"dia mencoba
membantuku. Tapi dia tergelincir. Dia"kepalanya terantuk."
"Oh, tidak. Tidaaaaak," Dierdre menjerit, memegang pipinya
dengan kedua belah tangan. "Tidaaaak."
"Aku mencoba meraihnya," kata Robin. "Tapi tangannya lepas
dari cekalanku. Sebuah kabin datang meluncur dan?"
"Kita perlu ambulans!" seru Dierdre, melompat berdiri.
"Tolong," teriaknya ke orang-orang, "panggilkan ambulans!"
"Dierdre?" Robin hendak bicara. Tapi Dierdre tidak
mendengarkannya. "Aku panggil sendiri!" Dierdre bergegas pergi, menerobos
kerumunan orang menuju trailer yang dijadikan kantor.
Robin mengalihkan perhatiannya ke ayah Dierdre. Mr. Bradiey
mengerang dan mengedipkan mata.
"Tidak!" Robin berseru tertahan. Dia hidup. Dia masih hidup.
Tidak. Tidak mungkin. Tidak. Tidak bisa. Tidak mungkin.
Robin berlutut, melingkarkan jemari kedua tangannya ke leher
Jason Bradiey, dan mulai mencekiknya.
Bab 8 ROBIN menoleh"dan sadar bahwa banyak orang
memperhatikan mereka. Satu lingkaran kecil orang berdiri di
sekitarnya, memandangnya, dan saling bergumam, menggelenggeleng, wajah mereka pucat karena takut dan terkejut.
Robin bimbang. Aku tidak bisa membiarkan dia hidup. Tidak bisa.
Tapi apa yang bisa kulakukan"
Sebelum bisa memutuskan, Robin mendengar suara yang sangat
dikenalnya memanggilnya. Sedetik kemudian Meghan sudah berlutut
di sampingnya. Meghan ternganga ngeri. "Robin, apa yang kaulakukan?"
"Meghan"sedang apa kau di sini?" Robin balik bertanya.
Meghan mengabaikan pertanyaan Robin, menatapnya dengan
mata terbelalak kebingungan.
Robin melihat ke bawah, ke jemari tangannya yang masih
melingkar di leher Mr. Bradley.
"Aku"uh"aku mencoba menyadarkan dia," kata Robin pada
Meghan. Mata Mr. Bradley terpejam kini. Napasnya satu-satu.
Rambutnya lengket oleh darah.
Robin melepas tangannya dari leher Mr. Bradley. Ia menoleh ke
Meghan. "Ini Mr. Bradley," ia menjelaskan. "Dia baru saja mendapat
kecelakaan berat. Tapi dia masih hidup. Aku berpikir seandainya aku
bisa membuatnya membuka mata?"
"Robin, lebih baik kaubiarkan dia apa adanya," Meghan
memperingatkan. Ia memegang pundak Robin dan menariknya.
Robin mendengar bunyi sirene meraung-raung dari kejauhan.
Ambulans sedang menuju ke tempat itu.
Mudah-mudahan bannya tiba-tiba kempis, pikir Robin.
Tolong, berilah kesempatan bagi Mr. Bradley untuk mati.
Dada Jason Bradley naik-turun seirama dengan napasnya.
Robin membiarkan Meghan menarik dirinya ke samping. "Kau
memang terlalu baik," bisik Meghan ke telinganya.
"Apa?" "Kau mengira kau bisa menyelamatkan semua orang," kata
Meghan, masih memegangi lengan Robin, dan menyentuhkan pipinya
ke pipi Robin. Parfum Meghan yang beraroma jeruk membuat Robin jijik.
Dulu aku mencintainya, pikir Robin. Sekarang aku sama sekali
tidak punya perasaan apa-apa terhadapnya.
Apa yang dia katakan barusan"
"Kau bukan dokter," kata Meghan agak sengit. "Kau mengira
kau bisa menyelamatkan seluruh keluarga Bradley. Kau mengira kau
bisa menyelamatkan semua orang. Kau berusaha terlalu keras selama
ini untuk mencoba melindungi mereka."
Ia menatap mata Robin. "Tapi kau tidak bisa mengerjakan
semuanya, Robin. Kau tidak bisa menyelamatkan seluruh dunia
sendirian saja. Kau memang terlalu baik. Terlalu baik." Ia mencium
pipi Robin. Senyum merekah di wajah Robin. Ia menoleh ke samping agar
senyum itu tidak terlihat oleh Meghan.
Ya. Itulah masalahku, pikirnya pahit. Aku memang terlalu baik.
Aku sudah bersama Meghan selama lebih dari enam puluh
tahun. Dan baru sekarang kusadari betapa tololnya dia!
Robin menarik Meghan ke samping saat para awak ambulans
berseragam putih berlarian menuju kincir raksasa. Salah seorang dari
mereka berhasil menghentikan kincir. Dua buah ambulans perlahanlahan mendekat menembus kerumunan orang banyak. "Kalau dia mati,
menurutmu taman hiburan ini akan tutup?" tanya Meghan.
"Mungkin," sahut Robin. Ia melihat Dierdre berlutut di samping
awak ambulans. Rambut cokelatnya terurai di depan wajahnya yang
berurai air mata. Seluruh tubuhnya terguncang saat memperhatikan
para awak ambulans berusaha menolong ayahnya.
Beberapa menit kemudian Robin melihat Dierdre naik ke
ambulans, diikuti tandu yang membawa Mr. Bradley.
Robin tiba-tiba merasa letih. Letih dan kecewa.
Bagaimana kalau nyawa Mr. Bradley terselamatkan"
Lalu bagaimana" "Ayo kita pulang," katanya pada Meghan. "Sudah ada orang
yang akan menurunkan para penumpang. Dan tak akan ada lagi orang
yang ingin naik kincir raksasa saat ini. Mereka tidak membutuhkan
aku lagi malam ini."
"Jangan kuatir, Robin," kata Meghan perlahan. Sambil
memegang lengan Robin, ia mengikuti Robin berjalan ke gerbang
Fear Street Jeritan Terakhir Last Scream Fearpark 3 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
depan. "Untung ambulansnya cepat datang. Aku yakin Mr. Bradley
akan sembuh." "Aku harap begitu juga," gumam Robin.
Harusnya dia kucekik sampai mati waktu ada kesempatan tadi,
pikir Robin. Mendadak Meghan berhenti. Jari-jarinya mencengkeram lengan
Robin. "Siapa pemuda itu?" bisiknya.
"Hah?" Robin menengok, mengikuti arah pandangan mata
Meghan. "Pemuda yang mana?"
"Itu, yang rambutnya merah," sahut Meghan. "Tinggi kurus,
pakai kaus hitam dan celana pendek baggy."
Mata Robin menatap pemuda yang dimaksud Meghan. Anak
muda berambut merah itu cepat-cepat menoleh ke arah lain.
"Dia menatap kita tadi," kata Meghan.
"Masa?" Robin memperhatikan anak itu. Badannya tinggi dan
langsing. Agak mirip sebatang tongkat, terutama karena dia memakai
celana pendek longgar. Rambut merahnya sampai ke bahu. Dia
membawa sekantong popcorn.
Pemuda itu menengok ke belakang ke arah Robin. Melihat
Robin sedang memandangnya, anak itu menoleh ke arah lain lagi.
"Dia memandangmu seakan-akan kenal padamu," kata Meghan.
"Aku tidak pernah melihatnya sebelum ini," sahut Robin. Ia
menarik Meghan ke pintu gerbang. "Ayo kita pulang."
**************** "Kau tidak tahu yang sebenarnya tentang Robin Fear," kata
suara serak itu di telinga Dierdre.
"Tolong?" Dierdre memohon sambil menggenggam gagang
telepon begitu eratnya sampai tangannya terasa sakit. "Jangan ganggu
aku. Jangan telepon aku lagi. Aku?"
"Aku akan datang menemuimu," suara itu mengancam. "Aku
akan datang untuk bercerita padamu tentang Robin."
"Jangan! Kumohon!" Dierdre memohon.
Telepon terputus. Aku harus ke rumah sakit, pikir Dierdre dengan jantung
berdebar. Suara berbisik tadi masih terngiang-ngiang di telinganya,
meng?ulang-ulang ancaman yang tidak menyenangkan tadi.
"Aku akan datang menemuimu...."
Aku tidak punya waktu untuk hal-hal seperti itu, pikir Dierdre,
membanting gagang telepon. Aku harus menjenguk Daddy. Mungkin
hari ini Daddy akan sadar.
Beberapa hari terakhir ini sangat sulit bagi Dierdre. Menunggu
berjam-jam di rumah sakit. Bicara dengan para dokter.
Duduk di samping tempat tidur ayahnya. Menatap slang-slang
dan kabel-kabel yang terpasang di tubuh ayahnya. Menunggu. Berdoa
agar ayahnya membuka mata. Agar ayahnya sadar.
Mendengarkan setiap tarikan napas ayahnya. Bertanya-tanya
apakah ayahnya akan pernah bisa duduk lagi. Akan pernah tersenyum
lagi. Apakah ia akan pernah bercakap-cakap dengan ayahnya lagi.
Menghabiskan berjam-jam di rumah sakit. Jam-jam yang
menegangkan dan tidak menyenangkan.
Dan sesudahnya, Dierdre bergegas ke Fear Park. Banyak yang
harus ia pelajari untuk mengelola taman hiburan itu. Terlalu banyak
yang harus dipelajari dan tidak cukup waktu untuk mempelajarinya.
Wahana Kincir Bianglala masih ditutup. Tapi selain itu Fear
Park sudah beroperasi. Dan para pengunjung datang memenuhi taman
hiburan setiap malam. Sebagian pengunjung datang untuk bersantai dan bersenangsenang. Sebagian lain datang untuk melihat tempat kejadian trageditragedi mengerikan itu.
Mungkin aku bisa membuat acara Tur Mengerikan Fear Park,
pikir Dierdre pahit. Tur itu bisa di mulai dari kandang singa di Cagar
Satwa Liar. Aku bisa menunjukkan tempat manajer cagar dirobekrobek dan dilahap singa.
Lalu kami bisa ke tempat meledaknya sebuah bom di Rumah
Kaca. Pecahan-pecahan kaca yang beterbangan menewaskan dua belas
orang. Itu salah satu atraksi tur yang bagus.
Lalu tur akan berakhir di Kincir Bianglala. Aku bisa
memperlihatkan kepada para peserta tur tempat Daddy... tempat
Daddy... Sedu sedan mendesak kerongkongan Dierdre.
Pikiran sinting. Ia menggelengkan kepalanya, seakan-akan
berusaha mengusir pikiran-pikiran itu.
Ia beranjak dari kursi kerja ayahnya. Didorongnya kursi itu ke
belakang. Kemudian ia keluar dari trailer"dan hampir bertabrakan
dengan Robin Fear. "Dierdre"hai. Aku baru saja mau menemuimu."
Rambut Robin yang hitam jatuh ke keningnya. Matanya yang
juga berwarna hitam dan serius menatap Dierdre. Ia memakai kaus
polo berukuran besar dan celana baggy.
"Robin, aku tidak bisa menemuimu sekarang. Aku mau ke
rumah sakit." Robin menaruh tangannya ke pundak Dierdre. "Aku cuma mau
tanya bagaimana perkembangan ayahmu."
"Aku"aku tidak tahu," Dierdre menjawab terbata-bata. Ia
merasa air mata menggenangi pelupuk matanya. Tapi ditahannya agar
tidak mengalir keluar. "Dia masih koma, Robin."
Kata-kata itu terdengar aneh di telinga Dierdre sendiri. Apakah
ia betul-betul mengucapkan kata-kata itu" Ayahnya yang besar dan
kuat bagaikan beruang"
Masih koma. "Lalu apa kata dokter?" tanya Robin, matanya seakan
menembus mata Dierdre. Dierdre mengangkat bahu. "Mereka juga tidak tahu. Mereka
bilang dia bisa saja segera sadar dan sembuh lagi. Atau bisa juga tidak
akan pernah sadar lagi. Mereka... mereka..." Ia susah payah menelan
ludah. Sangat sulit membicarakan hal itu.
Robin menggelengkan kepala dengan sedih, menunduk
memandang tanah. "Maafkan aku, Dierdre. Aku merasa bersalah. Aku
mencoba memegangnya waktu dia jatuh. Tapi aku kurang cepat.
Aku"aku merasa bertanggung jawab."
Dia memang manis, pikir Dierdre. Sangat serius, penuh
perhatian, dan baik hati.
"Robin"jangan menyalahkan dirimu sendiri," kata Dierdre.
"Kau sudah berusaha. Kau sudah melakukan apa yang kau bisa."
"Dan sekarang taman hiburan terpaksa harus tutup," kata Robin,
suaranya bergetar sedih. "Pasti berat bagimu, Dierdre. Kau sudah
bekerja begitu keras..."
"Aku tetap membuka taman hiburan ini," Dierdre memberitahu.
Mulut Robin ternganga karena tercengang. "Apa maksudmu?"
"Aku akan terus membuka taman hiburan ini," ulang Dierdre.
"Daddy pasti menginginkan aku tetap membuka taman hiburan ini." Ia
menghela napas. "Lagi pula, tak ada pilihan lain."
Mata hitam Robin menatap wajah Dierdre. "Tak ada pilihan
lain?" "Kami bangkrut," Dierdre membuka rahasia. "Kami tidak punya
uang sesen pun, Robin. Aku harus tetap membuka taman hiburan
ini"untuk membayar biaya rumah sakit Daddy. Kami bahkan tidak
punya asuransi." Robin tersentak, seakan kena tikam.
Robin sangat memperhatikan aku, pikir Dierdre. Dia memang
teman baik. Dia sangat terpukul mendengar keadaanku.
"Kalau saja aku bisa membantu," gumam Robin.
Dierdre melihat jamnya. "Aku harus pergi. Aku harus ke rumah
sakit." Dierdre mulai berjalan ke pintu gerbang, lalu berhenti. "Aku
mendapat telepon aneh itu lagi," katanya pada Robin.
Mata Robin melebar kaget. "Telepon tentang aku" Benar-benar
sinting. Apa katanya kali ini?"
"Sama saja." Dierdre menghela napas. "Siapa pun orang itu, dia
bilang dia akan datang menemuiku untuk menceritakan yang
sesungguhnya tentang kau."
Dierdre melihat dagu Robin bergetar. Robin menggigit bibir
bawahnya. "Sinting," gumamnya lagi. "Benar-benar sinting."
"Memang," Dierdre setuju. "Siapa sih orang itu?"
Robin mengangkat bahu. "Entah. Lagi pula kenapa ada orang
mau memperingatkanmu tentang aku?"
"Aku agak takut," Dierdre mengaku. "Banyak orang gila di
dunia ini. Bagaimana kalau..."
"Itu cuma gurauan konyol," Robin memotong. "Pasti begitu."
Dierdre melihat Robin berpikir keras. Melihat Robin
mengertakkan geraham. "Aku benar-benar harus pergi sekarang," kata Dierdre. "Telepon
aku nanti, ya?" lalu ia bergegas pergi.
"Oke. Nanti," sahut Robin.
Dierdre sedang berlari-lari kecil ke pintu gerbang ketika ia
melihat pemuda kurus berambut merah itu.
Dengan tersentak kaget ia menghentikan langkahnya.
Pemuda itu menatapnya sambil menyunggingkan senyum agak
sinis dan aneh. Jantung Dierdre berdegup kencang. Ia berdiri di tempatnya,
menunggu pemuda itu datang menghampirinya.
Bab 9 SIAPA yang menelepon Dierdre" pikir Robin, otaknya berpikir
keras. Siapa yang tahu kebenaran tentang diriku"
Pasti orang yang sama dengan yang mengirim guntingan koran
tahun 1935 ke Dierdre. Guntingan koran yang ada fotoku.
Robin merasa masih untung ia bisa meyakinkan Dierdre bahwa
foto itu adalah foto kakeknya. Tapi bagaimana kalau ia tidak semujur
itu lain kali" Ia harus tahu siapa orang yang berusaha memberitahu
Dierdre. Ia tahu orang itu bukan Meghan.
Meghan sudah tertipu mentah-mentah. Gadis itu tak akan
melakukan apa pun untuk merusak rencanaku. Karena dia tidak tahu
rencanaku yang sesungguhnya.
Bukan. Bukan Meghan. Tapi lalu siapa" Siapa lagi yang tahu bahwa aku sebenarnya bukan seorang
remaja" Siapa lagi yang punya guntingan berita di koran tua itu untuk
dikirimkan ke Dierdre" Siapa yang menelepon dia"
Sebersit pikiran membuat Robin bergidik dan hampir menjerit.
Apakah ada orang yang membuntutinya dari masa lalu"
Apakah ada orang lain dari tahun 1935 yang menemukan cara
untuk pergi ke masa depan" Seseorang yang tahu seluruh ceritanya"
Seseorang yang bertekad menggagalkan rencana Robin"
Robin tidak ingin dugaannya itu benar. Tapi itu satu-satunya
jawaban. Benar-benar sore yang menjengkelkan, pikir Robin. Pertama
Dierdre menyatakan akan tetap membuka Fear Park. Lalu ia
menyadari bahwa ada orang dari masa lalu mencoba menghalanghalanginya.
Sambil masih berpikir keras, Robin berjalan pergi.
Ia baru berjalan enam-tujuh langkah ketika dilihatnya seorang
pemuda berambut merah memeluk Dierdre dengan canggung.
Apakah dia anak muda yang ditunjukkan Meghan waktu itu"
Ya. Robin mundur ke bawah bayang-bayang trailer yang dijadikan
kantor Mr. Bradley. Ia menudungi matanya dari silaunya matahari dari
arah pintu gerbang. Wah! pikir Robin. Apa yang sedang terjadi"
Dari mana Dierdre mengenal pemuda itu"
Robin merayap lebih rendah di bawah bayangan. Ia tidak ingin
mereka melihatnya. Dierdre dan anak itu bicara berbarengan. Karena gugup, pikir
Robin. Ia mengintai dari bawah bayang-bayang ke tempat terang. Ya.
Mereka terlihat gugup. Pemuda berambut merah itu bolak-balik memasukkan
tangannya ke dalam saku celana pendek baggy-nya, lalu
mengeluarkannya lagi, lalu memasukkannya lagi.
Dierdre bergantian memindahkan tumpuan berat tubuhnya dari
kaki satu ke kaki yang lain.
Mengapa mereka begitu gugup" pikir Robin.
Lalu ia mengambil kesimpulan: Pemuda itu bercerita pada
Dierdre tentang sesuatu yang tidak ingin didengarnya. Itu sebabnya
mata Dierdre jelalatan ke sana kemari dengan gelisah.
Anak muda itu sedang bercerita tentang aku.
Walaupun hari itu hangat, Robin merasa tubuhnya dingin. Ia
tahu ia sedang melihat seseorang dari masa lalu. Seseorang yang
datang untuk membuka rahasianya dan merusak rencananya.
Pemuda itu menyapu rambutnya ke belakang dan masih terus
bicara. Dierdre menggeleng-gelengkan kepala, wajahnya tegang,
dahinya berkerut. Siapa anak muda itu" Bagaimana dia datang ke sini" Robin
bertanya-tanya. Apakah dia datang sendirian"
Robin memusatkan pandangannya ke wajah pemuda itu. Aku
tidak ingat dia, pikirnya. Aku tidak kenal wajahnya.
Meghan juga pernah melihat pemuda itu, dan dia juga tidak
mengenalnya. Apa yang mereka berdua bicarakan sampai seserius itu"
Robin berada terlalu jauh dari mereka untuk bisa membaca
gerakan bibir mereka. Kalau saja ia bisa lebih dekat.
Tapi mereka berdiri di tengah lapangan terbuka yang menuju
pintu gerbang. Kalau Robin melangkah keluar dari balik bayangbayang trailer, mereka pasti akan melihatnya.
Jadi Robin tetap di situ dan memperhatikan mereka. Ia tidak
bergerak sampai Dierdre dan anak muda itu mulai berjalan
berdampingan ke pintu gerbang.
Mereka pergi bersama! Robin melihat. Bersama!
Aku harus bertindak cepat, pikirnya. Aku tidak boleh
membiarkan pemuda itu"siapa pun dia"menggagalkan seluruh kerja
kerasku. Robin merasakan sebuah sengatan. Ia mengangkat tangannya
untuk menepuk lalat di pipinya.
Dan sepotong daging pipinya rontok ke tangan.
"Oh," ia mengerang melihat gumpalan daging lunak itu.
Ini karena ketegangan, ia tahu. Ini karena perasaan kuatir. Rasa
takut. Aku harus memecahkan misteri ini secepatnya. Harus!
Bab 10 ROBIN cepat-cepat pulang untuk memperbaiki wajahnya. Lalu
ia mencoba membaca. Tapi ia tak bisa mengusir bayangan pemuda
berambut merah itu dari benaknya.
Kenapa aku tidak ingat dia" Robin berpikir. Apakah dia salah
seorang anak yang mati waktu bekerja membersihkan lahan tahun
1935" Kalau betul, bagaimana dia tahu bahwa ilmu sihirkulah yang
membuat anak-anak itu saling membacok dan membunuh" Dari mana
dia tahu bahwa aku yang bertanggung jawab atas terjadinya hal itu"
Dan kalau dia mati waktu itu, bagaimana dia bisa mengikutiku
ke masa depan ini" Tidak, pikir Robin. Pasti dia bukan dari rombongan remaja
yang bekerja membersihkan lahan.
Fear Street Jeritan Terakhir Last Scream Fearpark 3 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Jadi, siapa dia" Seseorang yang pernah kukenal di Shadyside High"
Salah seorang keluarga Bradley"
Keluarga Bradley tidak ada yang tahu ilmu hitam. Mereka tidak
tahu bagaimana membaca mantra-mantra sakti.
Apakah pemuda ini membuat diririya hidup terus, panjang
umur, tidak bisa mati" Robin masih mencari-cari jawaban. Apakah dia
telah mengikutiku terus selama ini" Menunggu tibanya saat ini, untuk
merusak dan menggagalkan seluruh rencanaku"
Robin meraih telepon. Mungkin kalau dia menanyakannya
dengan hati-hati, dia bisa mendapat beberapa keterangan dari Dierdre.
Mungkin dia bisa mengorek informasi dari gadis itu.
Ia menekan nomor telepon trailer di taman hiburan. Dierdre
menjawab setelah dua kali dering.
"Hai, ini aku," kata Robin. "Aku cuma mau tahu bagaimana
kabarmu." "Yah... aku agak sibuk saat ini, Robin."
Robin mendengar nada suara Dierdre lebih dingin daripada
biasanya. Ia bisa langsung merasakannya. Ada yang telah berubah,
pikirnya. Pemuda berambut merah itu telah bercerita tentang diriku.
Pasti. "Bagaimana kalau kita ketemu. Mungkin malam ini" Sebelum
Fear Park tutup?" Sambil mengetuk-ngetukkan jarinya di meja, Robin
mendengarkan kesunyian panjang dari ujung sana.
"Rasanya tidak bisa," akhirnya Dierdre menjawab. Suaranya
masih dingin. Sedingin es. "Sulit sekali bagiku sekarang ini," ia
meneruskan. "Aku harus berusaha agar Fear Park berjalan lancar. Dan
aku harus menengok Daddy. Dan?"
"Bagaimana keadaannya?" potong Robin.
Apakah dia sudah mati" Mudah-mudahan jawabannya ya.
"Masih koma," sahut Dierdre sambil menghela napas. "Belum
ada perubahan. Para dokter..." Gadis itu tidak meneruskan.
"Begini saja, Kincir Bianglala masih tutup, jadi aku tidak
bertugas. Aku jemput kau nanti," kata Robin. "Mungkin kita bisa?"
"Rasanya aku betul-betul tidak bisa," Dierdre memotong. Sekali
lagi Robin mendengar betapa dingin nada suara Dierdre. "Maaf,"
Dierdre menambahkan. Dia sama sekali tidak terdengar seperti orang minta maaf.
Apakah nada takut yang kudengar dalam suaranya itu" pikir
Robin. Apakah dia tahu yang sebenarnya tentang aku" Dan dia takut
padaku sekarang" "Tenang saja," ujar Robin, berusaha terdengar bersimpati. "Aku
tahu semuanya akan beres akhirnya."
"Terima kasih, Robin. Sampai lain kali." Jawaban Dierdre
singkat dan dingin. Robin menaruh gagang telepon.
Ia membayangkan pemuda berambut merah itu. Kemudian
merasakan perutnya kaku karena marah. Ia menelan, mulutnya terasa
masam. Aku harus tahu apakah anak muda itu tidak bisa mati. Aku
harus tahu apakah dia membuat Dierdre berbalik menentangku.
************** Hujan mulai turun pada senja hari. Hujan tidak terlalu deras,
membuat lapangan-lapangan rumput berkilauan bagaikan bintik-bintik
batu permata. Robin memandang satu kali ke luar jendela, lalu menutup tirai
tebalnya. Ia sedang ingin diselubungi kegelapan.
Berendam di dalam kegelapan. Sangat nyaman.
Meghan sedang ada di kamarnya di lantai atas. Satu-satunya
suara yang terdengar di rumah besar itu hanyalah suara titik-titik air
hujan di jendela. Haruskah kuberitahu Meghan bahwa kami diikuti" tanyanya
pada diri sendiri. Ia memutuskan untuk menunggu saja dulu. Menunggu sampai
ia merasa pasti. Sampai ia membereskan anak muda itu.
Hujan berhenti menjelang waktu makan malam. Ia dan Meghan
makan malam bersama-sama dalam keheningan. Belakangan ini
mereka tidak banyak bercakap-cakap. Mereka sering makan malam
tanpa bicara. Dulu kami seperti orang mau rebutan bicara, Robin mengingatingat agak sedih. Selalu ada yang kami bicarakan. Kami tertawa
bersama-sama. Kami bergurau. Kami sangat riang karena bisa
bersama-sama. Sangat bahagia.
Meghan tetap cantik seperti dulu, tentu saja. Ramuan dan
mantra-mantra yang diberikan Robin seminggu sekali membuatnya
tidak berubah. Tapi sekarang tidak ada perasaan apa-apa terhadap Meghan.
Sama sekali tidak ada. Meghan pernah bilang tidak ingin hidup selamanya. Dia ingin
tumbuh tua dan mati. Mungkin aku bisa menemukan cara untuk memenuhi
keinginannya itu, pikir Robin.
Langit sudah bersih. Tapi permukaan jalan masih basah
berkilauan bekas hujan tadi ketika Robin berjalan di sepanjang Fear
Street menuju Fear Park. Sekali-sekali tengkuknya terasa dingin kena
tetesan air dari pepohonan.
Ketika sudah dekat ke tempat parkir yang luas, suara-suara dan
musik dari dalam taman hiburan mulai terdengar. Ia mendengar suara
gajah, bagaikan suara terompet dari arah Cagar Satwa Liar.
Orang-orang mengantre di depan loket. Banyak di antaranya
membawa jas hujan atau payung, berjaga-jaga kalau hujan turun lagi.
Robin memperlihatkan kartu pasnya di pintu gerbang, lalu
masuk ke Fear Park. Air mancur di gerbang utama memancar
berwarna-warni. Papan pemberitahuan bertulisan tangan
mengumumkan bahwa taman hiburan akan buka sampai pukul sebelas
malam ini. Robin menatap papan itu, darahnya bergolak.
Buka sampai jam sebelas" Taman hiburan ini seharusnya tidak
buka sama sekali. Aku sudah berusaha begitu keras untuk menutup
taman hiburan ini. Dan aku gagal. Gagal!
Sampai sekarang, tambahnya.
Ia mendengus sendiri. Tidak ada lagi Mr. Baik Hati, pikirnya.
Ia mendatangi trailer tempat kantor Mr. Bradley dari belakang.
Jendela panjang dekat atapnya yang datar dihiasi titik-titik air hujan.
Robin berjinjit mengintai ke dalam.
Dilihatnya Dierdre sedang berdiri di depan meja. Gadis itu
memakai celana denim sepanjang lutut dan kaus berwarna pink.
Rambut cokelatnya disisir rata ke belakang dan diikat di belakang
kepalanya. Dia sedang berbicara cepat, dengan semangat, kedua
tangannya ikut bergerak-gerak.
Dengan siapa dia bicara"
Robin menekankan wajahnya ke kaca jendela agar bisa melihat
lebih jelas. Ia menarik napas tertahan.
Pemuda berambut merah itu!
Robin cepat-cepat menarik kepalanya dan membungkuk,
berharap belum sempat terlihat. Dengan jantung berdebar-debar ia
berjalan ke samping trailer dan menunggu.
Siapa anak itu" Apa yang mereka bicarakan dengan penuh
semangat" Beberapa menit kemudian pintu trailer terbuka. Dierdre yang
lebih dulu melangkah keluar. Anak muda berambut merah itu
mengikuti di belakangnya.
Robin menyusup ke bawah bayangan dan memperhatikan
mereka. Mereka berjalan berdampingan, berdekatan, bicara
berbarengan. Mau ke mana mereka" Ke tempat wahana taman hiburan"
Dengan menjaga jarak, Robin mengikuti mereka. Ia berusaha
mendengar apa yang mereka bicarakan. Tapi musik dan suara-suara
berisik menenggelamkan suara mereka.
Mereka berhenti untuk membeli Coke di sebuah stand makanan.
Robin mengendap-endap ke samping stand itu. Ia mendengar Dierdre
memanggil pemuda itu dengan nama Gary.
Gary. Jadi sekarang aku tahu nama anak itu, kata Robin dalam hati.
Otaknya berputar keras. Apakah aku kenal anak bernama Gary di
tahun 1935" Tidak. Aku tidak ingat ada anak yang bernama Gary.
Sambil menekankan tubuh rapat-rapat ke dinding stand yang
gelap, Robin melihat mereka menghabiskan minuman. Mereka masih
terlihat gugup dan canggung.
Apa yang mereka bicarakan" pikir Robin. Apakah mereka
bicara tentang diriku"
Gary melemparkan kedua gelas plastik yang sudah kosong ke
tempat sampah. Lalu ia mencoba memegang tangan Dierdre. Tapi
gadis itu cepat-cepat menarik tangannya.
Robin bisa melihat kekecewaan di wajah Gary.
Gary... Gary... Robin berusaha keras mengingat-ingat. Apakah ada keluarga
Bradley bernama Gary di tahun 1930-an" Apakah si brengsek Richard
Bradley itu dulu punya teman bernama Gary"
Ini bisa membuatku gila, pikir Robin.
Ia mengikuti Dierdre dan Gary ke arena wahana. Musik riang
gembira mengalun dari komidi putar. Di sebelah kiri Robin terletak
wahana Kincir Bianglala, gelap dan sunyi. Jalan ke arah situ ditutup
dengan palang kayu. Karena matanya terus mengawasi Dierdre dan Gary, Robin
hampir tersandung sepasang kereta bayi. Si ibu yang mendorong
kereta bayi itu meneriakkan sesuatu pada Robin. Tapi Robin tidak
mengacuhkannya. Ia menghindar dan berjalan menembus sekelompok remaja. Ia
tidak ingin kehilangan Dierdre dan Gary.
Kedua mangsanya. Pemburu dan buruannya, pikir Robin.
Ia melihat mereka menuju wahana Puting Beliung. Wahana itu
berbentuk lingkaran, seperti komidi putar. Di sekitar lingkaran
dipasang ayunan dengan rantai panjang dari logam. Satu orang satu
ayunan. Waktu wahana itu berputar, ayunannya mulai bergerak
mengikuti dalam lingkaran besar. Berputar-putar, mula-mula lambat,
makin lama makin cepat. Ayunan-ayunannya terangkat ke atas karena
gaya putar, semakin lama semakin tinggi sampai akhirnya hampir rata
sejajar dengan tanah. Dierdre dan Gary berdiri di luar pagar besi rendah,
memperhatikan wahana tersebut. Ketika putarannya semakin cepat,
para penumpangnya menjerit dan tertawa. Beberapa orang
mengangkat tangannya ke udara. Yang lain menggenggam batang
pengaman erat-erat. Robin melihat Dierdre tertawa. Dia membiarkan Gary mencekal
lengannya dan menariknya ke barisan orang yang sedang antre
menunggu giliran. Aku tidak mengerti, pikir Robin, memperhatikan wajah mereka
berdua saat ia bergerak lebih dekat.
Kalau anak muda itu ke sini untuk menceritakan yang
sesungguhnya tentang diriku, kenapa mereka tertawa-tawa dan justru
bermain-main naik wahana taman hiburan"
Ayunan-ayunan merendah ketika putaran wahana melambat.
Beberapa detik kemudian berhenti sama sekali. Para penumpangnya
berlompatan turun, masih tersenyum-senyum dan tertawa-tawa, dan
bergegas keluar lewat pintu keluar.
Masih tetap bersembunyi di kegelapan bayangan, Robin
bergerak hati-hati ke pagar besi. Ia melihat Dierdre dan Gary naik ke
ayunan. Dilihatnya mereka bertukar senyum. Dilihatnya Gary
memasang batang pengaman di depan pinggangnya.
Batang pengaman itu tidak akan membantumu, pikir Robin.
Kecuali kalau kau tidak bisa mati, Gary. Kecuali kalau kau
tidak bisa dibunuh. Robin memejamkan matanya dan mulai membaca mantra.
Kita lihat saja siapa kau ini, Gary.
Kita lihat saja apakah kau tidak bisa mati... atau kau bisa
dibunuh. Bab 11 ADA suara orang menangis.
Tangis nyaring itu mengganggu konsentrasi Robin yang sedang
membaca mantra. Ia membuka matanya. Dengan agak bingung ia
menoleh cepat ke arah lingkaran ayunan-ayunan.
Dierdre dan Gary duduk tenang menunggu wahana Puting
Beliung itu bergerak. Suara tangisan semakin keras.
Robin melihat petugas wahana bergegas mendekati sebuah
ayunan di seberang sana. Dibukanya batang pengaman dan dibantunya
seorang anak laki-laki kecil turun.
Rupanya anak kecil itu pada saat-saat terakhir berubah pikiran
dan berpendapat wahana itu terlalu menakutkan baginya.
Robin terkekeh pendek. Anak kecil itu tidak tahu betapa
menakutkannya wahana ini sebentar lagi!
Anak kecil itu berlari melalui pintu keluar menuju orangtuanya.
Petugas wahana memasukkan seorang gadis remaja menggantikan
tempat anak kecil itu tadi.
Semua ayunan sudah terisi sekarang. Petugas wahana berlari
kecil ke tempat pengendali dan menarik tuasnya. Ayunan-ayunan itu
mulai bergerak. Robin memejamkan mata dan mulai mengucapkan mantramantranya lagi.
Selamat jalan, Gary, pikirnya.
Selamat jalan"kecuali kalau kau datang dari masa lampau.
Kecuali kalau entah bagaimana kau telah membuat dirimu tak bisa
mati. Selamat jalan"kecuali kalau kau datang ke masa ini untuk
menyelamatkan Fear Park dari rencanaku.
Kalau kau tetap hidup setelah ini, aku akan tahu bahwa kau
datang dari masa lampau. Dan kalau ternyata memang begitu, aku harus menemukan cara
lain untuk membinasakanmu. Aku tahu itu tidak akan mudah. Tapi
akan kutemukan caranya. Aku bersumpah, Gary. Akan kucari caranya....
************ Dierdre menggenggam batang pengaman dan menggeser
tubuhnya, mencoba mencari posisi duduk yang lebih enak di kursi
plastik keras itu. Ia melihat petugas wahana menarik tuas dan
merasakan ayunannya mulai bergerak dengan sentakan kecil ke depan.
Dilepaskannya genggamannya pada batang pengaman dan
dilipatnya kedua belah tangannya di depan dada. Ia menarik napas
panjang dan menyiapkan dirinya menikmati wahana ini.
Ini gila, pikirnya. Banyak sekali yang harus kukerjakan. Banyak sekali yang
Fear Street Jeritan Terakhir Last Scream Fearpark 3 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kupikirkan. Saat ini aku tidak punya waktu untuk bersenang-senang.
Kenapa kuhabiskan waktuku dengan naik wahana konyol ini"
Kenapa kubiarkan Gary mengajakku" Kenapa juga aku harus ke
sini bersamanya" Dierdre menengok ke arah Gary. Tapi ayunan-ayunan sudah
berputar semakin tinggi sekarang, berputar cepat. Ia tidak bisa melihat
Gary. Gary sangat aneh, pikir Dierdre.
Seakan-akan dia berasal dari planet lain atau semacamnya.
Dan yang dia bicarakan cuma hal-hal aneh. Kadang-kadang aku
tidak tahu, harus percaya padanya atau tidak.
Dia membuatku takut. Jadi kenapa sekarang aku duduk di sini, berputar-putar, naik
Puting Beliung bersamanya"
Rambut cokelat Dierdre melambai-lambai saat ayunannya
berputar semakin cepat. Ia mengulurkan tangan berusaha merapikan
rambutnya"tapi segera menyerah karena tahu itu tidak ada gunanya.
Anak-anak kecil menjerit dan tertawa-tawa saat ayunan
berputar lebih cepat lagi.
Dierdre sekilas melihat Gary di depan, rambut merahnya
berkibar-kibar, tangannya diangkat tinggi-tinggi ke atas. Dierdre
berteriak memanggil. Tapi tentu saja Gary tidak bisa mendengarnya.
Dierdre sekarang menggenggam batang pengaman erat-erat saat
ayunannya miring semakin tinggi, sejajar dengan tanah.
Rasanya benar-benar seperti terbang, pikirnya. Semburan angin
dingin di wajahnya membuatnya tersenyum. Sangat menyegarkan.
Tapi asap apa itu yang berwarna ungu"
Ia memandang berkeliling, mencoba mencari dari arah mana
datangnya asap ungu itu. Tapi karena ia sedang berputar cepat sekali,
ia tidak bisa melihat apa pun dengan jelas.
Semuanya kabur, samar-samar. Bayangan kabur langit gelap
dan wajah-wajah tertawa" dan warna ungu... asap ungu.
Apakah itu Gary di depan"
Ia menyipitkan mata agar bisa melihat lebih jelas menembus
kabut ungu saat ayunan-ayunan bergerak semakin melebar, berputar
pada kecepatan maksimum. Lalu ia mendengar suara krak keras.
Dilihatnya rantai-rantai putus. Dilihatnya ayunan di depan
terbang. Terbang sendirian. Terbang lepas.
Dilihatnya rantai putus di tempat sambungannya di atas. Dan
ayunan itu terbang. Terbang. "Tidaaak!" jeritan ngeri Dierdre tersapu angin yang menderu,
tertutup kabut tebal berwarna ungu.
Semuanya kabur dan samar-samar. Semuanya bagaikan
bayangan ungu. Tapi ia bisa melihat tangan Gary melambai-lambai tanpa
mampu berbuat apa-apa saat ayunan itu meluncur lurus ke atas.
Ke arah kawat-kawat listrik bertegangan tinggi jauh di atas.
Berputar, dan berputar lagi dibawa Puting Beliung, Dierdre
menjulur-julurkan lehernya agar bisa tetap mengikuti terbangnya
ayunan itu. Ayunan yang ditumpangi Gary menabrak kawat-kawat
bertegangan tinggi, hampir tanpa bersuara.
Tapi lalu sebuah suara berderak tajam terdengar keras
mengalahkan jeritan-jeritan para penumpang lain dan orang-orang di
bawah. Sebuah suara berderak tajam. Sebuah desisan. Dan kilatan
cahaya kuning. Dierdre melihat tangan dan kaki Gary terlempar ke kawat
bertegangan tinggi. Lalu ia melihat tubuh pemuda itu terpeta di warna kuning
manyala"berderik-derik, bersinar terang sementara arus listrik
berdesis-desis di sekitar tubuhnya.
Tubuh anak muda itu tersentak meliuk-liuk di tengah cahaya
kuning. Kemudian ayunannya jatuh, jatuh dari kawat-kawat
bertegangan tinggi tersebut. Jatuh dengan cepat.
Dierdre tahu kapan ayunan itu mendarat. Ia bisa mendengar
suara berdebum keras. Dan ia memejamkan mata, menjerit, menjerit, dan menjerit.
Bab 12 ROBIN membuka mata untuk melihat ayunan Gary putus dan
terlempar melayang. Seringai puas merebak di wajah Robin ketika ayunan itu
meluncur ke kawat-kawat bertegangan tinggi. Ia melihat kilatan arus
listrik. Ia juga mendengar desisan tajam.
Orang-orang menjerit. Teriakan ngeri mengalahkan suara desis
arus listrik yang memanggang tubuh Gary.
Robin melihat lengan dan tungkai Gary terayun-ayun tanpa
daya. Melihat nyala arus listrik mengaliri tubuh Gary.
Ayunan seakan-akan lengket di sana selama-nya. Tapi Robin
tahu ayunan itu hanya me?nempel di kawat-kawat itu selama
beberapa detik. Cukup lama, pikirnya. Cukup lama untuk memanggang Gary.
Lalu ayunan jatuh dengan cepat. Lurus ke bawah.
Orang-orang di bawah berhamburan menyingkir.
Ayunan mendarat dengan suara berdebam keras. Di dalam
pagar. Di sebelah sana. Jauh dari Robin.
Asap ungu bergulung-gulung dan berpusar-pusar. Lalu mulai
menipis. Jantung Robin berdebar-debar. Sungguh-sungguh sangat
menggairahkan! Anak-anak kecil bertangisan. Orang-orang berlarian ke tempat
jatuhnya ayunan di dekat pagar rendah, menunjuk-nunjuk dengan
panik. Dengan ngeri. Putaran Puting Beliung akhirnya melambat.
Robin tersenyum lagi. Petugasnya pasti terlalu kaget tadi
sehingga tidak segera menghentikannya.
Robin memperhatikan putaran ayunan semakin lambat. Ia
mencari-cari Dierdre. Apakah gadis itu yang menjerit-jerit sambil
melambai-lambaikan tangan di atas kepala"
Atau yang menarik-narik rambut cokelatnya, kepalanya
tertunduk, bahunya gemetaran"
"Dierdre, di mana kau?" Robin bergumam keras.
Dierdre, katanya dalam hati dengan pikiran riang, kelihatannya
ada satu tragedi lagi di taman hiburanmu.
Ada kecelakaan tragis lagi.
Tidakkah kau mau menyerah sekarang, Dierdre" Tidakkah akan
kaututup taman hiburan ini" Berkemas-kemas" Pergi menunggui dan
merawat ayahmu" Berapa kecelakaan tragis lagi yang kaubutuhkan, Dierdre"
Puting Beliung akhirnya berhenti. Para penumpangnya turun
sambil menggeleng-gelengkan kepala, ada yang menangis karena
shock. Robin mencari Dierdre, tapi tidak melihatnya. Semakin banyak
orang berlarian datang ke tempat jatuhnya ayunan.
Teriakan dan seruan memenuhi udara. Dari kejauhan Robin
mendengar raungan sirine.
Robin memanjat pagar rendah dan bergabung dengan orangorang yang berlarian datang. Sudah banyak yang mengelilingi ayunan
yang jatuh itu. Gumaman ngeri bercampur seruan-seruan tidak percaya. Agak
jauh dari kerumunan orang, seorang laki-laki membungkuk di atas
pagar dan memuntahkan isi perutnya.
"Maaf. Maaf. Tolong beri jalan." Robin harus berkutat untuk
menembus kerumunan manusia itu.
Dengan mendesak dan mendorong-dorong, akhirnya ia berhasil
maju sampai paling depan. Lalu ia mengamati ayunan yang remuk itu.
Menatap tubuh anak laki-laki yang remuk tertekuk-tekuk.
Dan menarik napas tertahan, tidak percaya pada apa yang
dilihatnya. "Tidak! Tidak! Tidak mungkin!"
Bab 13 ROBIN menelan ludah dengan susah payah. Tanah seakan
bergerak-gerak miring ke sana kemari, membuatnya kehilangan
keseimbangan. Ia menatap wajah pucat anak laki-laki yang tewas itu.
Kepalanya terpuntir. Tulang rusuknya remuk di bawah batang
pengaman ayunan. Robin menatap anak itu, mencoba menyuruh agar wajahnya
berubah. Mencoba mengubah bagian-bagian wajahnya ke bentuk yang
diharapkannya. Mencoba mengubah bentuk hidungnya, serta mata
kelabu yang menatap kosong ke langit. Mencoba mengubah rambut
pirang pendek itu menjadi merah.
Tapi ia tidak bisa mengubah wajah itu. Tidak bisa mengubah
anak laki-laki itu menjadi Gary.
Merasa jantungnya tersendat-sendat di dadanya, Robin sadar
bahwa ia sedang menatap wajah seorang anak laki-laki yang tak
pernah ia lihat sebelumnya.
Salah. Ia salah sasaran. Ini bukan Gary. Bukan Gary. Bukan Gary.
Kata-kata itu mengiang-ngiang terus bagaikan mantra buruk di
benak Robin. Bukan Gary. Bukan Gary. Bukan Gary.
Tapi kenapa bukan Gary"
Dengan perasaan bingung, gemetar, dan lemas"mendadak ia
merasa setua umur sesungguhnya"Robin berbalik dari tubuh yang
remuk redam itu. Matanya nanar menatap orang-orang yang berkerumun
melingkari ayunan jatuh itu. Wajah mereka merah, lalu gelap, merah,
lalu gelap, sementara sebuah ambulans datang mendekat, lampu
sirinenya berkilat-kilat bergantian.
"Minggir! Minggir!" terdengar seruan seseorang.
Polisi-polisi berwajah muram muncul. Mereka mengangkat
tongkat di tangan mereka, menggerak-gerakkannya, menyuruh orangorang menjauh dari anak yang jatuh itu.
"Mundur! Mundur! Semua mundur!"
"Beri tempat! Beri tempat untuk menolong!"
Terlambat, pikir Robin. Sudah terlambat untuk menolong.
Ia melihat seorang polisi menatap tajam padanya, dan ia dengan
patuh mulai bergerak mundur. Ia berhenti ketika melihat Dierdre.
Dierdre berdiri di dekat pagar, agak jauh dari kerumunan orang,
merapat ke tubuh Gary. Salah satu lengan Gary merangkul pundak
Dierdre. Robin tidak bisa melihat ekspresi wajah Dierdre. Wajah gadis
itu terbenam ke dada Gary.
Gary. Bukan Gary. Gary. Bukan Gary.
Otak Robin berputar kencang. Ilmu sihirnya tidak pernah gagal
sebelumnya. Ia mengedipkan mata beberapa kali. Tapi ia tidak bisa membuat
Gary lenyap dari pandangan. Ia tidak bisa mengirim Gary ke ayunan
yang jatuh remuk itu, tempat dia seharusnya berada.
Gary membungkuk di atas Dierdre, menundukkan wajahnya ke
Dierdre, lengannya merangkul melindungi.
Di mana letak kesalahannya" pikir Robin.
Apakah aku membuat kekeliruan" Apakah aku salah memilih
ayunan yang seharusnya kujatuhkan"
Ayunan-ayunan itu berputar sangat cepat. Memang mudah
sekali membuat kesalahan. Memilih ayunan yang salah.
Itukah yang terjadi"
Atau Gary pindah ayunan pada saat-saat terakhir"
Waktu aku memejamkan mata untuk mulai membaca mantra,
apakah dia turun dan pindah ke ayunan lain"
Atau aku yang salah membaca mantra" Sesederhana itukah"
Kesalahan kecil" Hanya sekadar kesalahan"
Ataukah Gary selamat karena dia juga punya ilmu sihir"
Apakah Gary selamat karena dia juga tidak bisa mati" Karena
dia dari masa lampau" Karena dia sebenarnya sudah mati"
Perlahan-lahan, Robin bergerak lebih dekat ke Dierdre dan
Gary. Polisi memeriksa ayunan yang jatuh. Di dekat pagar, mayat
anak laki-laki itu sudah dibaringkan, ditutupi kain kanvas. Lalu para
petugas medis mengangkatnya ke ambulans menggunakan tandu.
Orang masih berkerumun di sana-sini. Beberapa berbincangbincang dengan bergumam. Yang lain hanya memandang tanpa
bicara, rasa kaget mereka masih belum hilang.
Seorang reporter TV melangkah ke tengah lingkaran cahaya
lampu yang terang benderang. Ia meluruskan dasinya dan mengangkat
mikrofon di tangannya. "Sudah mulai" Kita sudah mulai" Kasih tahu
aku kalau kita sudah mulai."
Lingkaran-lingkaran putih cahaya lampu senter polisi bergerakgerak di rerumputan. Dua buah ambulans lagi datang, lampu merah di
atap mereka berkilat-kilat menyebar cahaya yang terpantul aneh dari
setiap orang yang ada di sana.
Robin menyipitkan mata, mencoba melihat lebih jelas
menembus cahaya yang bergantian
terang-gelap terang-gelap itu. Ia berusaha melihat Dierdre.
Dan mendapati bahwa Dierdre sedang menatap lurus ke
arahnya. Dengan ekspresi wajah paling dingin.
Tatapan sedingin es itu membuat Robin mengalihkan
pandangannya ke arah lain. Apakah Gary sudah memberitahu dia
tentang aku" pikirnya. Apakah Dierdre sudah tahu segalanya"
Bab 14 "KAU ingat waktu tanaman itu menyerangmu, Dad?" tanya
Dierdre. Mengingat kejadian itu membuat Dierdre tersenyum.
"Ingat" Mom dan aku sedang di ruang belakang. Kau datang
membawa semangkuk makanan. Saat itu pasti akhir minggu karena
kita semua ada di rumah."
"Aku masih ingat pagi itu sangat indah," Dierdre meneruskan.
"Aku masih bisa membayangkan sinar matahari yang masuk melalui
jendela. Ingat" Kaubilang akan lebih terang lagi kalau tanamantanaman Mom tidak menghalangi jendela.
"Lalu kau duduk di kursi berlengan besar berwarna cokelat
yang paling kausukai. Kata Mom itu hanya pantas jadi kursi truk. Dia
sudah lama ingin menaruh kursi itu di gudang, tapi kau tidak pernah
membolehkannya. "Jadi, kau duduk di kursi itu, ingat" Kau bersandar dan
mengangkat mangkuk. Dan saat itulah tanaman-tanaman itu
menyerang. "Tanaman itu menjalar. Dalam dua pot besar. Aku ingat betapa
besar dan berkilaunya daun-daun mereka. Dad ingat bagaimana Mom
mengurus tanaman-tanaman itu. Dia habiskan setengah hari hanya
untuk tanaman-tanaman di ruang belakang itu.
"Lalu, tanaman-tanaman menjalar itu seakan menjulurkan sulursulur mereka dari samping kursi. Kedua tanaman itu bergerak
bersamaan. Seakan-akan mereka meraihmu.
"Kau terkejut setengah mati. Kau melompat kaget dan
menumpahkan makanan di dalam mangkuk itu ke lantai. Tumpah ke
tubuhmu dan ke lantai. 'Mereka menyerangku!' jeritmu waktu itu.
'Tanaman-tanamanmu itu"mereka menyerangku!'
Fear Street Jeritan Terakhir Last Scream Fearpark 3 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Mom dan aku tertawa terbahak-bahak, tidak bisa berhenti,"
Dierdre mengenang saat bahagia itu sambil menyapu air matanya.
"Rasanya karena Dad terlihat sangat serius. Kau benar-benar mengira
tanaman itu menyerangmu! "Padahal, sulur-sulur itu bergerak ke kursimu karena tertiup
angin yang masuk lewat jendela yang terbuka. Tapi kau benar-benar
yakin tanaman-tanaman itu menyerangmu. 'Ada hutan di sini! Rumah
kita sudah jadi hutan!' "Dan Mom pura-pura sangat tersinggung. Karena kau tahu
betapa dia menyayangi tanaman-tanaman itu. Dia memeliharanya,
menyiraminya, mengguntinginya. Dia suka sekali mengurus tanamantanaman itu. Mungkin itu membuatnya merasakan kedamaian.
Mungkin saat-saat mengurus tanaman menjadi saat-saat penuh
kedamaian di sela-sela kesibukannya sehari-hari"bagaimana
menurutmu" "Sesudah itu, Mom dan aku selalu tertawa setiap kali kau
datang ke ruang belakang dan duduk di kursi itu. Kami bayangkan
tanaman-tanaman menjalar itu menyerangmu lagi. Membuat kami
selalu tertawa. "Tapi, setelah Mom meninggal..." Suara Dierdre tersekat di
kerongkongan. "Yah, aku mengerti kenapa kau tidak punya waktu
mengurus tanaman-tanaman itu. Aku mengerti kenapa kita harus
membuang tanaman-tanaman itu.
"Aku rasa mereka terlalu mengingatkanmu akan Mom, benar,
Daddy" Tapi itu membuatku sedih. Membuatku sangat sedih setiap
kali aku berjalan masuk ke ruang belakang dan ruangan itu tidak lagi
dipenuhi tanaman hijau. Seakan-akan begitu banyak kehidupan
terenggut dari rumah kita.
"Kau tahu maksudku, Dad" Hidup Mom" lalu hidup tanamantanaman itu... begitu banyak kehidupan direnggut dari rumah kita.
Kau dengar aku, Daddy" Kau bisa dengar aku"
"Atau aku bicara kepada diriku sendiri" Apakah aku hanya
membuat diriku sendiri menangis" Mengingat-ingat bagaimana
kehidupan kita waktu Mom masih ada. Dan waktu kau... waktu kau..."
Sedu sedan Dierdre tak terbendung lagi. Ia menghapus air mata
Monk Sang Detektif Genius 2 Pengemis Binal 10 Cinta Bernoda Darah Pedang Langit Dan Golok Naga 45
Bab 1 DIERDRE BRADLEY membungkuk di bangku keras itu. Ia
memeluk tangannya sendiri erat-erat untuk menghentikan gemetar
tubuhnya. Sorak-sorai penonton masih menggema di telinganya. Ia
menatap asap ungu yang bergulung-gulung.
Para remaja di arena mengangkat golok mereka dan
mengayunkannya ke tunggul-tunggul kayu di tanah. Musik lembut
mengalun, sangat lembut sehingga hampir tak terdengar, dikalahkan
suara riuh rendah para penonton.
Asap ungu itu membubung di atas para remaja yang sedang
bekerja keras. Membuat suasana bagaikan di alam maya. Saat para
remaja itu bekerja membacoki tunggul-tunggul kayu, mereka bagaikan
bergerak dalam mimpi. Ini memang mimpi, Dierdre menyadari.
Aku tertidur. Dan aku bermimpi sedang berada di bangku
penonton, menonton pertunjukan di Fear Park, taman hiburan Daddy.
Pertunjukan Panggung Bacok.
Penayangan kembali kisah nyata yang terjadi di sini enam puluh
tahun yang lalu. Penonton bersorak-sorai ketika di arena, dua orang aktor remaja
mulai saling membentak. Salah seorang dari mereka menggeram marah. Dierdre
mengeratkan lipatan tangan di dadanya ketika anak itu mengangkat
goloknya. Mata goloknya berkilau ungu, memantulkan asap ungu
yang bergulung-gulung aneh.
Penonton bersorak lagi ketika anak itu mengayunkan goloknya.
Dan menghunjamkannya dalam-dalam ke dada anak yang satunya.
Sorak-sorai penonton berubah menjadi jeritan ngeri ketika
semua remaja itu dengan sengit mengayunkan golok-golok mereka,
membacok satu sama lain. Membacok lengan sampai putus. Mengiris punggung dan dada.
Membacok. Membacok satu sama lain sampai darah buatan
mengalir di arena, menggenang bagaikan sebuah danau kental dan
gelap. "Ohhhh." Dierdre mendengar keluhannya sendiri.
Teriakan dan jeritan pura-pura para pemain membubung ke
udara diiringi sorakan dan tepuk tangan riuh rendah para penonton.
Tubuh-tubuh bergeletakan di atas genangan darah. Musik
bagaikan bergulung-gulung dan meliuk-liuk bersama gerakan asap
ungu. Ini sungguh-sungguh terjadi, pikir Dierdre, sambil
mengertakkan gigi. Setiap otot di tubuhnya menegang.
Ini benar-benar terjadi enam puluh tahun yang lalu pada para
remaja yang bekerja membersihkan lahan untuk Fear Park. Tanpa
sebab-sebab yang jelas, mereka semua"puluhan jumlahnya"
mengamuk. Dan saling membacok menjadi berkeping-keping.
Mereka semua mati. Mereka semua mati di tempat Daddy
membangun taman hiburan ini enam puluh tahun setelah kejadian itu.
Darah mereka membasahi tanah di tempat para remaja
berakting dalam pertunjukan Panggung Bacok hari ini.
Di arena, para pemain remaja masih saling bacok. Dierdre
memejamkan mata, tak ingin menonton adegan mengerikan itu.
Tapi ia tak bisa menghindar dari sorak-sorai para penonton.
Kenapa mereka begitu menikmati tontonan ini" pikirnya.
Kenapa mereka begitu senang melihat anak-anak saling membunuh"
Kenapa aku menonton pertunjukan ini"
Karena aku sedang bermimpi.
Ia membuka mata. Dan memandang ke adegan mengerikan itu.
"Hah?" Dierdre ternganga ketika seorang anak berambut hitam
melangkah keluar dari balik ketebalan asap ungu. Dierdre duduk di
bangku penonton bagian atas. Tapi ia langsung mengenali anak itu.
"Robin!" Robin Fear. Temannya. Temannya yang paling dekat.
Lebih dari sekadar teman. Pacarnya. Pelindungnya.
"Robin"sedang apa kau di situ" Pergi dari sana!" serunya.
Tentu saja Robin tidak bisa mendengarnya. Matanya yang
berwarna gelap menyapu para penonton, seperti sedang mencari
Dierdre. "Robin! Robin!" jerit Dierdre. "Robin" pergi!"
Robin menarik sebuah golok bergagang panjang dari
pundaknya. Di belakangnya, dua orang anak laki-laki sedang saling
membacok kaki yang lain. Mereka berdua sama-sama jatuh ke
tanah"dan sambil berdiri di atas lutut mereka yang mengucurkan
darah, mereka ganti saling membacok dada.
Jeritan ngeri dan kesakitan bersahut-sahutan dengan suara
musik, menembus kabut asap ungu.
Robin menoleh ke kedua anak yang kalap itu. Dierdre melihat
Robin mengangkat goloknya, bersiap-siap mengayunkannya.
"Tidak! Jangan!" pinta Dierdre.
Kenapa Robin melakukan itu" Kenapa Robin ada di arena"
Kenapa Robin ada di pertunjukan Panggung Bacok"
"Robin! Pergi dari sana!"
Lalu Dierdre berpikir, untuk apa aku berteriak-teriak" Ini kan
cuma mimpi. Aku bangun saja. Bangun, Dierdre, desaknya pada dirinya sendiri. Bangun.
Bangun. Ia menunggu perasaan lega itu, perasaan lega ketika terbangun
dari sebuah mimpi. Bangun, Dierdre. Ayo. Bangun.
Dierdre mengejap-ngejapkan mata, mengira akan mendapati
dirinya di kamarnya. Aman di tempat tidur.
Tapi jeritan-jeritan kesakitan itu masih juga terdengar,
mengalahkan suara para penonton. Kini semua penonton berdiri,
bertepuk tangan seirama dengan ayunan golok-golok di arena.
Ini mimpi. Ini hanya mimpi, Dierdre meyakinkan diri sendiri.
Tapi betapapun ia mencoba, ia tak bisa membuat dirinya
bangun dari mimpi itu. Ia mengejap-ngejapkan matanya lebih kuat lagi. Memejamkan
mata, menunggu, lalu membukanya lebar-lebar.
Tak ada yang berubah. Semua adegan mengerikan itu, darah,
jerit kesakitan"semua masih ada di sana.
Ini bukan mimpi, Dierdre akhirnya menyadari.
Aku terjaga. Aku bukan sedang bermimpi.
Tubuh dan potongan-potongan tubuh berserakan di arena.
Beberapa remaja masih berdiri, masih saling menyerang dan
membacok dengan tenaga hampir habis.
Robin mengayunkan goloknya dengan liar. Ke depan dan ke
belakang. Semua ini nyata, pikir Dierdre, menggigil ketakutan.
Semuanya nyata. Kejadian itu terulang lagi.
Aku dalam keadaan terjaga. Dan kejadian itu terulang lagi.
"Robin! Robin"awas!"
Bab 2 COK. Cok. Cok. Remaja-remaja itu saling menyerang bagaikan robot, dengan
irama teratur. Suara bacokan yang menyeramkan itu membuat seluruh tubuh
Dierdre terasa dingin. Ia memejamkan matanya lagi.
Ketika ia membuka mata, ia sedang duduk di kamarnya. Di
mejanya. Terjaga sepenuhnya. Cahaya matahari sore mengalir masuk melalui jendela kamar
yang terbuka. Angin lembut menggoyang tirainya yang putih.
"Oh." Dierdre menelan ludah. Ia berusaha menenangkan
napasnya. Perutnya terasa diaduk-aduk. Dan ia masih melipat tangan,
memeluk dirinya sendiri erat-erat.
"Aku tidak sedang tidur," gumamnya keras-keras. Matanya
terfokus pada papan pengumuman yang tergantung di dinding
berwarna kuning, di atas meja belajarnya. Matanya mencari-cari
tanggal di kalender yang terpampang di papan itu. Ia butuh sesuatu
yang nyata. Sesuatu yang... rutin.
Diambilnya bola Koosh merah-biru yang selalu ia simpan di
meja di samping komputernya, dan diremas-remasnya dengan satu
tangan. Itu bukan mimpi, Dierdre menyadari.
Aku dalam keadaan terjaga.
Jadi apa kalau bukan mimpi"
Penglihatan, pikirnya. Sejenis penglihatan" mengenai masa
depan" Ramalan peristiwa mengerikan yang akan terjadi"
Dierdre mendesah. Fear Park sudah ditimpa berbagai bencana.
Sudah banyak orang tewas. Kematian dengan cara menyeramkan. Dan
tidak bisa dijelaskan. Bahkan sebelum taman hiburan dibuka, manajer Cagar Satwa
Liar mati dikoyak-koyak dan dilahap singa-singa yang sedang
diberinya makan. Sebuah bom meledak di Rumah Kaca, menerbangkan pecahanpecahan kaca, menewaskan dua belas orang.
Pacar Dierdre, Paul, entah bagaimana terjadinya, terjepit di
bawah roda kincir raksasa. Roda itu memutus kepalanya dan
meremukkan tubuhnya. Dan Dierdre melihat dengan mata kepala sendiri"dengan
perasaan ngeri dan tidak percaya"tubuh adik Paul, Jared dan tiga
orang temannya dirobek-robek oleh suatu kekuatan misterius.
Begitu banyak kematian. Begitu banyak kengerian.
Begitu banyak kejadian mengerikan sehingga Dierdre mulai
percaya pada desas-desus bahwa ada kutukan yang menimpa Fear
Park. Tadinya ia sama sekali tidak mau percaya. Bahkan waktu
ayahnya berbicara tentang kutukan itu, Dierdre memilih tidak
menanggapinya. Lagi pula sekarang kan tahun 1995, sudah hampir abad dua
puluh satu. Masa masih ada orang percaya pada kutukan-kutukan seperti
itu" Dierdre menggeleng sedih. Sulit untuk menentukan apa yang
harus dipercayainya. Taman hiburan ini memang diawali dengan kejadian
mengerikan. Kenapa para remaja yang membantu membersihkan
lahan untuk taman hiburan ini pada tahun 1935 mendadak kalap lalu
saling membacok dan saling membunuh"
Kejadian itu tak pernah bisa dijelaskan.
Dan sekarang Dierdre mendapat semacam penglihatan. Suatu
peringatan. Peringatan mengenai sesuatu yang akan terjadi. Peringatan
bahwa kejadian orang-orang mengamuk saling bunuh itu bisa terjadi
lagi. Dad harus menutup taman hiburan ini untuk selamanya, katanya
dalam hati. Dad harus melupakan impiannya. Dia harus menutup
taman hiburan dan pergi"sebelum lebih banyak lagi orang tak
bersalah tewas menjadi korban. Sebelum lebih banyak lagi darah
membasahi tempat ini. Taman hiburan telah ditutup selama satu bulan sementara polisi
menyelidiki kematian-kematian yang terakhir, selain itu para pekerja
memeriksa keamanan dan keselamatan seluruh bagian taman hiburan.
Tapi ayah Dierdre, Jason Bradley, sudah bertekad untuk
membuka lagi taman hiburan ini begitu pejabat kota memberi izin.
Tidak, pikir Dierdre. Fear Park harusnya tidak boleh membuka
gerbangnya lagi. Gadis itu bangkit berdiri dengan agak terhuyung-huyung. Ia
memutuskan pergi ke bawah dan memaksa ayahnya
mendengarkannya. Sewaktu berjalan ke pintu kamar tidurnya, ia
merasa lemah dan letih. Penglihatan masa depan itu menghabiskan tenagaku, pikirnya.
Tangannya memegang pagar tangga erat-erat ketika ia berjalan
menuruni tangga. "Dad" Hei, Dad?"
Tidak ada jawaban. Ia memeriksa dapur kecil. Lalu ruang keluarga. Lalu mengintai
kamar ayahnya. "Dad?" Apakah Dad sedang pergi"
Suara keluhan tertahan menarik perhatiannya.
Pintu kamar mandi membuka. Mr. Bradley menyeruduk keluar,
masuk ke kamar tidurnya bertelanjang dada, busa cukur memenuhi
wajahnya. Matanya membelalak lebar, mulutnya mengeluarkan suara
tersedak. "Dad!" seru Dierdre.
"Unnnnnnhhh!" Ia mencengkeram lehernya. Matanya membelalak semakin
lebar. "Dad"kenapa" Kau tersedak?" seru Dierdre.
Mr. Bradley mengangguk panik. Lalu, diiringi erangan tertahan,
ia membuka mulutnya lebar-lebar dan menyodokkan jarinya ke
tenggorokan. "Unnnnh. Unnnnnh."
Dierdre membeku. Apa yang harus ia lakukan" "Dad"aku
panggilkan pertolongan, ya" Aku telepon 911?"
"Unnnnh." Mr. Bradley menggerak-gerakkan tangan di dalam mulutnya.
Mengorek-ngorek tenggorokan dengan jari-jarinya.
"Aaaaaagh!" Sambil mengeluarkan teriakan, akhirnya ia menarik keluar jarijarinya.
Dierdre menjerit ketika melihat apa yang ditarik ayahnya dari
tenggorokan. Seekor cacing cokelat gemuk panjang menggeliat-geliat di
antara jari-jarinya. Dierdre hampir muntah melihat itu.
"Ohhhh," Mr. Bradley mengerang lemah.
"Bagaimana?" Dierdre hendak bertanya.
Tapi ia tidak, bisa menyelesaikan pertanyaannya. Ayahnya
mulai tersedak lagi. Jarinya mengorek-ngorek tenggorokan lagi, matanya berputarputar liar. Busa cukur be lepotan di tangannya, di celana panjangnya,
dan di dinding. Dengan perasaan jijik ia menarik lagi seekor cacing panjang
dari dalam tenggorokan. Dipegangnya cacing itu di depan wajah,
dipandangnya cacing itu menggeliat-geliat saat dijepit oleh jarijarinya, lalu dijatuhkannya ke lantai.
Dagu Mr. Bradley gemetar. Seluruh tubuhnya bergetar. Ia
tersedak lagi. "Daddy!" Dierdre menjerit.
Ia melihat ayahnya menarik seekor cacing yang bahkan lebih
panjang lagi dari dalam mulutnya. Lalu dua lagi. Kemudian dua lagi.
Mr. Bradley menjatuhkan semua cacing itu ke lantai. Dierdre
melihat cacing-cacing tersebut merayap-rayap di kaki ayahnya.
"T-tolong!" akhirnya Mr. Bradley sempat berbisik.
Tapi apa yang bisa dilakukan Dierdre"
Ia melihat ayahnya menarik lagi seekor cacing, sepanjang tiga
puluh senti, dari atas lidahnya.
Apa yang terjadi" pikir Dierdre. Apa yang sedang terjadi"
Fear Street Jeritan Terakhir Last Scream Fearpark 3 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bab 3 ROBIN FEAR mendengus dan menggerakkan telapak
tangannya satu kali lagi di atas mangkuk perak yang bergelegak
mendidih. Cahaya lilin berkelip-kelip di seberang ruang perpustakaan,
membuat bayang-bayang bergerak-gerak di deretan buku tua di
dinding.EBUKULAWAS.BLOGSPOT.COM
Senyum puas tersungging di wajahnya yang biasanya tenang
dan serius. Ruang gelap perpustakaan ini tempat kesukaannya.
Ayahnya dulu juga paling suka tempat ini. Semua buku-buku kuno
tentang sihir, guna-guna, dan ilmu hitam itu, dulu milik ayahnya.
Sekarang milik Robin. Dan ia tahu bagaimana menggunakan
semua itu. Ia tahu bagaimana menggunakan mantra untuk mendapatkan
yang diinginkannya"apa saja yang diinginkannya.
Ia telah menggunakan kekuatan ilmu hitam di buku-buku kuno
itu untuk membuat dirinya dan Meghan tidak bisa mati. Robin dan
Meghan dilahirkan tahun 1918. Artinya, usia mereka sekarang hampir
delapan puluh tahun. Delapan puluh tahun dan masih remaja. Karena Robin telah
membekukan umur mereka di usia tujuh belas. Artinya, mereka akan
tetap berusia tujuh belas tahun selamanya, tanpa pernah bertambah tua
satu hari pun. Ia menggerakkan telapak tangannya sekali lagi di atas mangkuk
berisi cairan hitam mendidih itu. Ia membaca mantra-mantra kuno
perlahan-lahan. Ya. Buku-buku kuno itu memberikan kekuatan sihir pada
Robin. Kekuatan yang bisa memberinya apa saja yang diinginkannya.
Kekuatan untuk melakukan apa saja yang diinginkannya.
Sekarang ia sedang menyenangkan diri dengan membuat
cacing-cacing muncul di tenggorokan Jason Bradley.
Mudah. Tapi lucu. Salah satu dari mantra-mantra paling sederhana. Itu membuat
Robin merasa santai. Belakangan ini ia memang sering merasa tegang. Karena
kekuatan sihir-sihir kuno itu belum berhasil memberinya sesuatu yang
paling ia inginkan di dunia ini.
Ia ingin menghancurkan Fear Park. Ia harus menghancurkan
Fear Park. Menutup Fear Park dan memastikan taman hiburan itu
takkan pernah dibuka lagi.
Sambil menghela napas, Robin mengingat kembali sejarah
tragis Fear Park.... Pada tahun 1935, Nicholas Fear, ayah Robin, bersumpah bahwa
taman hiburan itu tidak akan pernah dibangun. Keluarga Bradley ingin
membangun taman hiburan mereka di sebagian areal Hutan Fear
Street. Sebaliknya, Nicholas Fear bertekad mempertahankan tanah
warisan keluarga Fear. Dewan kota Shadyside memutuskan membolehkan taman itu
dibangun. Tapi ayah Robin bersumpah akan menggunakan seluruh
kemampuan yang dimilikinya untuk menggagalkan pembangunan
taman hiburan itu. Robin berjanji akan membantu ayahnya. Setelah pohon-pohon
besar di lahan ditebang oleh keluarga Bradley, serombongan remaja
dibayar untuk membersihkan tunggul-tunggul kayunya. Robin
menggunakan mantra sihirnya untuk membuat para remaja itu menjadi
beringas dan saling membacok hingga tewas.
Setelah Nicholas Fear meninggal, Robin meneruskan
pertempuran untuk menggagalkan keluarga Bradley membuka taman
hiburan itu. Tapi keluarga Bradley ternyata lebih keras kepala
daripada yang dibayangkan Robin.
Enam puluh tahun kemudian, Fear Park siap dibuka. Robin
terus membuat rencana dan siasat. Ia mendapat pekerjaan di taman
hiburan, menjalankan kincir raksasa. Ia menjadi sangat dekat dengan
putri Jason Bradley, Dierdre. Robin berhasil membuat Dierdre jatuh
cinta padanya. Ia berhasil membuat Dierdre sangat percaya padanya.
Sementara itu ia terus-menerus melancarkan gerakan
terselubung terhadap Dierdre dan ayahnya.
Sejauh ini Robin telah menyebabkan banyak kematian dan
kerusakan. Tapi ia masih gagal" Fear Park akan dibuka lagi dalam
beberapa hari. Keluarga Bradley akan memenangkan pertempuran melawan
keluarga Fear. Kecuali kalau Robin bertindak cepat.
Dengan seluruh perhatian terserap ke ingatan-ingatan
menyedihkan itu, Robin menyapukan telapak tangannya di atas
mangkuk mendidih, mengirim satu lagi cacing cokelat gemuk ke
tenggorokan Jason Bradley.
"Robin"di situ kau rupanya!" sebuah suara memanggilnya.
"Sedang apa kau?"
Robin mengangkat matanya dan melihat Meghan masuk ke
ruang perpustakaan. Rambut merahnya yang ikal panjang melambailambai di belakangnya. Gadis itu menebar pandang ke sekeliling
ruangan, mata hijaunya memantulkan sinar lilin.
Robin menghentikan gerakan tangannya di atas mangkuk
mendidih. Di bagian lain kota, Jason Bradley akan mulai tersedak oleh
seekor cacing gemuk lagi.
"Kau sedang apa?" tanya Meghan lagi, berdiri di dekat Robin.
Robin bisa mencium bau parfumnya yang beraroma jeruk.
"Ini mantra pelindung," Robin berdusta.
Meghan mengerutkan kening. "Pelindung?"
Robin mengangguk. "Jason Bradley akan membuka Fear Park
lagi besok. Aku sudah mencari-cari di buku-buku kuno ayahku.
Mencari mantra yang bisa melindungi mereka dari tragedi-tragedi
baru. Rasanya aku sudah menemukannya."
Sambil masih berlutut di lantai, Robin memandang ke atas,
meneliti wajah Meghan. Apakah dia percaya" tanyanya dalam hati.
Apakah dia percaya cerita itu"
Robin tidak tahu. Meghan menutup mata dan menghela napas
panjang. Robin bangkit berdiri dan bergerak mendekati Meghan. "Ada
apa?" desaknya. "Entahlah, aku tidak tahu," sahut Meghan, menggelengkan
kepala. "Aku cuma lelah."
"Lelah" Lelah karena apa?"
"Karena semuanya." Meghan mendesah. Menyapu seuntai
rambut berwarna tembaga dari dahinya. "Aku lelah melihatmu
menghabiskan seluruh waktumu menguatirkan keluarga Bradley. Aku
melihat kau bersama si gadis Bradley itu, Robin, dan aku?"
"Itu kan sudah kujelaskan," tukas Robin. Ia menaruh tangannya
di pundak Meghan yang berlapis sweter hijau, lalu merangkulnya
seakan ingin menenangkannya.
"Kau tahu mengapa kuhabiskan seluruh waktuku menguatirkan
keluarga Bradley," katanya lembut sambil menatap mata Meghan. "Aaku merasa sangat bersalah. Ayahku membuat kutukan atas mereka.
Membuat kutukan atas taman hiburan mereka. Dan aku berusaha
sekuat tenaga menghapus kutukan tersebut."
Robin meremas bahu Meghan, dan menatap matanya tajamtajam seperti ingin menghipnotisnya. Meghan menundukkan wajah,
memandang deretan lilin di lantai.
"Sudah terlalu banyak orang tak bersalah tewas karena ayahku,"
kata Robin dengan suara bergetar. "Aku merasa bertanggung jawab,
Meghan. Aku merasa aku harus melakukan apa pun yang bisa
kulakukan agar tidak ada lagi orang tak bersalah tewas di Fear Park."
Percayakah dia" Robin bertanya-tanya dalam hati. Sudah enam
puluh tahun dia percaya pada kebohongan-kebohonganku. Apakah
sekarang dia masih percaya"
Meghan menghela napas lagi. "Rasanya aku sudah lelah dengan
semua ini," bisiknya. "Aku lelah jadi orang yang tidak bisa mati. Aku
lelah jadi remaja usia tujuh belas tahun seumur hidup."
Ia menatap Robin dengan pandangan memelas. "Aku tidak
ingin seperti ini terus, Robin. Aku tahu yang kaulakukan adalah demi
kebaikan. Aku tahu betapa berartinya itu bagimu. Tapi aku tidak ingin
hidup terus-terusan di tubuh muda seperti ini. Aku ingin tumbuh
menjadi tua. Aku tak ingin hidup di zaman yang bukan zaman kita."
Aku sendiri juga lelah, pikir Robin pahit.
Lelah mendengar keluh kesah Meghan. Aku menjadikannya
hidup abadi. Aku ajak dia karena aku cinta padanya, karena aku
sangat sayang padanya. Karena aku memerlukan dia.
Tapi dia tidak pernah merasa bahagia. Dia terus-terusan
mengeluh. Dan semakin lama dia semakin merasa getir.
Robin masih berdiri memegang pundak Meghan, menatap mata
hijau gadis itu. Aku dulu sayang sekali padanya, pikir Robin. Aku
dulu sangat membutuhkannya.
Tapi aku tidak membutuhkan dia sekarang.
Aku bahkan tidak lagi terlalu menyukainya.
Meghan lelah menjadi remaja umur tujuh belas. Dan aku lelah
menghadapinya. "Kau mengerti apa yang kukatakan?" tanya Meghan. "Kau
mengerti mengapa aku tidak bisa terus-menerus seperti ini?"
"Ya," sahut Robin perlahan. "Ya. Dan aku akan membantumu,
Meghan." Perlahan-lahan ia menggeser tangannya dari pundak Meghan
dan melingkarkannya di leher gadis itu.
Lalu, sambil masih menatap dalam-dalam ke mata Meghan,
Robin mulai mengencangkan cengkeramannya.
Bab 4 TENTU saja, Meghan tidak bisa mati, Robin mengingatkan
dirinya sendiri. Percuma aku mencekiknya. Dia tidak akan mati.
Ia melonggarkan cengkeraman di leher Meghan.
Meghan tersenyum padanya.
Dia mengira aku meremas dengan lembut, pikir Robin. Dia
sama sekali tidak menyadari apa yang ingin kulakukan.
Robin membungkuk dan mencium dahi Meghan, ciuman
singkat. "Kau betul-betul mau membantuku?" tanya Meghan,
menyandarkan kepalanya ke pundak Robin.
Robin mengangguk. "Setelah aku yakin taman hiburan itu sudah
bebas dari kutukan," katanya. "Setelah aku yakin keluarga Bradley
sudah aman dari kutukan ayahku, akan kucari mantra yang tepat. Aku
janji. Akan kucari cara agar kita bisa tumbuh menjadi tua bersamasama."
"Oh, terima kasih, Robin!" jerit Meghan. Ia melingkarkan
kedua tangannya memeluk Robin dan menciumnya dengan penuh rasa
terima kasih. Ciuman itu terasa masam di bibir Robin.
Mungkin ada mantra yang bisa menyingkirkan dia dariku, pikir
Robin. Aku akan lebih senang tanpa dia di dekatku.
Setidaknya Meghan masih percaya padaku, pikirnya, membalas
ciuman Meghan. Tapi aku sudah tidak membutuhkannya lagi. Akan kucari cara
untuk membunuhnya"setelah kuhancurkan Fear Park untuk
selamanya. ************* Kulit Dierdre Bradley merah-merah. Ia menggunakan tisu untuk
menghapus keringat di dahinya.
Malam itu sejuk dan cerah, tapi trailer yang dipakai Jason
Bradley untuk kantornya terasa panas.
Dierdre mengerang dan memutar-mutar matanya. "Daddy, ada
apa" Ini malam yang indah. Kenapa kau menutup semua jendela?"
Tanpa menunggu jawaban, Dierdre berjalan menyeberangi
trailer sempit itu dan membuka salah satu jendelanya.
"Entahlah," gumam ayahnya. "Rasanya aku merasa lebih aman
kalau semua jendela tertutup."
"Kau kan perlu bernapas," Dierdre memarahi ayahnya.
"Aku tidak tahu apakah aku akan pernah merasa aman lagi,"
bisik Mr. Bradley, menunduk.
Cacing-cacing gemuk jelek itu pasti telah merusak pita
suaranya, pikir Dierdre. Dia tidak bisa bicara lebih keras daripada
bisikan. Dierdre telah mendesaknya untuk pergi ke Dr. Kleinsmith di
Rumah Sakit Shadyside secepatnya. Tapi dia berkeras menolak. Dia
tidak suka dokter. Lagi pula, Dierdre tahu ayahnya merasa malu.
Bagaimana dia akan bisa menjelaskan pada seorang dokter
bahwa dia menarik keluar hampir selusin cacing sepanjang tiga puluh
senti dari dalam mulutnya"
Dierdre merinding dan mencoba menyingkirkan makhlukmakhluk cokelat berlendir itu dari benaknya.
Itu kejadian kemarin. Dan sekarang adalah hari baru. Jumat malam. Malam
pembukaan Fear Park. Saat matahari mulai merendah di balik pucuk-pucuk
pepohonan, orang-orang mulai berdatangan. Ketika hari gelap, taman
hiburan sudah penuh sesak.
Suara-suara riang dan suara tawa anak-anak mengalir masuk ke
kantor di trailer melalui jendela yang terbuka. Dierdre memandang
ayahnya. Ayahnya seperti tidak mendengar suara-suara itu, ia seperti
berada di dunia lain, dunianya sendiri yang dipenuhi pikiran-pikiran
tidak menyenangkan. Dierdre mendekat dari belakang kursi ayahnya dan menaruh
kedua tangannya di pundak pria itu. Sejak dulu ayahnya orang yang
besar dan kuat. Bagaikan beruang. Tapi sekarang ini dia terlihat seolah
lebih kecil. Dan tidak sekuat dulu. Seakan semua masalah dan tragedi
itu membuatnya menyusut. "Dad"kau baik-baik saja?" tanya Dierdre.
Ayahnya tidak menjawab. Aku tidak tahan melihatnya seperti ini, pikir Dierdre sedih.
"Pintu gerbang dibuka satu jam yang lalu," katanya pada
ayahnya. "Dan taman sudah penuh sesak." Ia meremas pundak
ayahnya. "Tidakkah itu membuat Dad senang?"
"Tidak juga," Mr. Bradley bergumam dengan suara serak
tertahan. Ia memutar kursinya untuk menghadap ke Dierdre. Ia
memandang putrinya dengan matanya yang merah. "Aku berpikir
banyak tentang pembicaraan kita semalam," bisiknya.
"Dad, aku minta maaf?"
Semalam Dierdre dan ayahnya bicara panjang-lebar sampai
jauh malam. Dierdre meminta, mendebat, dan memohon agar ayahnya
tidak membuka lagi Fear Park.
Sekarang Dierdre merasa bersalah mengenai beberapa hal yang
diucapkannya. Kata-katanya kelihatannya telah membuat ayahnya
sedih. Dan semua usahanya itu sia-sia. Jason Bradley sama sekali
tidak mau mengindahkannya. Dia sama sekali tidak mau
mempertimbangkan pilihan untuk menutup Fear Park selamanya.
Akhirnya Dierdre hanya bisa menjerit kesal dan meninggalkan
ayahnya dengan marah. Ia merasa kekanak-kanakan dan merasa salah
walaupun ia yakin ia benar.
Taman hiburan itu terkena kutukan. Kenapa ayahnya tidak bisa
melihat itu" Kenapa dia begitu keras kepala" Belum cukupkah kematian
begitu banyak orang tak bersalah"
"Apakah Dad mau bertanggung jawab atas lebih banyak lagi
kematian?" jerit Dierdre pada ayahnya tadi malam.
Sampai wajah Jason Bradley berubah merah padam.
Dierdre tahu ia sudah keterlaluan.
Fear Street Jeritan Terakhir Last Scream Fearpark 3 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tapi kenapa ayahnya tidak mau mendengarnya"
Sekarang ayahnya menatapnya dari tempat duduknya di
belakang meja kerja, wajahnya berkerut, matanya merah dan letih.
"Aku harusnya menjelaskan lebih banyak kepadamu," katanya pada
Dierdre dengan nada lembut. Matanya berkaca-kaca, dan ia menunduk
memandang lantai. "Daddy, kita sudah bicarakan semua tadi malam." Dierdre
menghela napas, menoleh ke jendela.
"Belum," kata ayahnya. "Belum semuanya. Setidaknya aku
belum mengatakan semuanya."
Kesunyian yang terasa berat menggantung di udara di dalam
trailer. Dierdre melipat tangan di depan dada. Seuntai rambut cokelat
tuanya jatuh di depan mata. Tapi dibiarkannya.
Musik riang dari komidi putar mengalun masuk melalui jendela.
Dierdre bisa mendengar letusan senapan dari Galeri Tembak.
"Banyak yang tidak kauketahui, Dierdre," akhirnya Mr. Bradley
berkata memecah kesunyian. Ia berdeham sambil menggosok
lehernya. "Banyak yang belum kuceritakan padamu."
Dierdre menurunkan tubuhnya ke tepi meja. Kakinya mendadak
terasa lemas. Jantungnya berdebar.
Apa yang akan diceritakan oleh ayahnya"
"Memang, taman hiburan ini adalah impianku," Mr. Bradley
melanjutkan. "Dan impian ayahku. Dan impian kakekku. Dan aku
menjadikannya tujuan hidupku. Itulah sebabnya kenapa aku bertekad
membuka taman hiburan ini."
"Aku tahu, Daddy," sahut Dierdre. "Kita sudah bicarakan?"
"Tapi bukan hanya itu sebabnya," lanjut Jason Bradley. "Begini,
aku"aku?" Ia ragu-ragu. Mengusap-usap rahangnya. "Ini sangat sulit
bagiku, Dierdre. Tapi lebih baik kuceritakan semua."
Ia menyipitkan matanya pada Dierdre. "Aku sudah
menanamkan seluruh uangku di taman hiburan ini. Setiap sen. Kalau
taman hiburan ini gagal, kita tak akan punya uang bahkan untuk
membeli sepotong hot dog."
Dierdre ternganga. Trailer yang sudah kecil itu terasa semakin
sempit. "Tapi kan masih ada tabungan, Dad" Uang warisan Mom waktu
dia meninggal?" Mr. Bradley mengelakkan tatapan Dierdre. "Sudah kupakai juga
untuk taman hiburan ini," katanya, begitu perlahan sehingga hampirhampir tak terdengar. "Sudah kuambil dari bank dan kutanamkan di
taman hiburan ini. Sudah sejak dua tahun yang lalu."
Tenggorokan Dierdre terasa kering. "Kita betul-betul
bangkrut?" Mr. Bradley mengangguk. Ia memejamkan mata. "Lebih dari
bangkrut. Aku terpaksa meminjam dana secara pribadi untuk
meneruskan proyek ini. Beberapa pinjaman. Para investor menolak
menaruh tambahan modal lagi. Kata mereka taman hiburan ini sudah
gagal. Mereka meminta aku mengembalikan modal mereka. Aku"
aku?" Ia menatap Dierdre dengan penuh perasaan bersalah.
"Jadi kautanamkan seluruh uang kita?" kata Dierdre.
"Ditambah uang pinjaman." Mr. Bradley terisak. Ia menutup
mulutnya dengan tangan, berpura-pura bahwa isaknya tadi hanya
cegukan. Suara rentetan senapan dari Galeri Tembak terdengar menusuk
telinga Dierdre. Ia mengertakkan gigi, mencoba membendung suara
itu, mencoba berkonsentrasi pada cerita ayahnya yang mengejutkan.
Ia baru sadar ia menahan napas. Diembuskannya napasnya
dengan suara wuuusss yang keras.
"Aku belum cerita padamu tentang hal yang paling buruk,"
Jason Bradley bergumam, matanya makin berkaca-kaca. Ia mengusap
rambutnya ke belakang. Lalu berdeham lagi.
"Masih ada lagi?" tanya Dierdre lemah.
"Tabungan pendidikanmu," bisik Mr. Bradley.
"Oh!" seru Dierdre tak tertahan. ''Tidak! Uang yang
ditinggalkan Mom untuk sekolahku?"
Diiringi erangan, Mr. Bradley bangkit berdiri. Ia menghampiri
Dierdre dan memeluknya. "Aku minta maaf, Dee. Aku minta maaf."
"Semuanya?" suara Dierdre bagai tercekik.
"Ya," sahut ayahnya, masih memeluk Dierdre. "Ya, semuanya.
Seluruh uangmu. Aku tidak punya pilihan. Aku terpaksa
menggunakan uang itu untuk taman hiburan."
"Jadi kita betul-betul tidak punya uang untuk kebutuhan kita?"
tanya Dierdre. "Sama sekali?"
Mr. Bradley melepas pelukannya dan berjalan ke pintu trailer.
"Kita tidak punya uang," bisiknya. "Kecuali kalau Fear Park sukses."
Dierdre menelan ludah, membasahi tenggorokannya yang terasa
kering. Tangannya yang sedingin es dimasukkannya ke dalam saku
celana jinsnya. Lalu ia menarik napas panjang. "Kalau begitu kita tidak punya
pilihan lain," katanya, memaksa dirinya terdengar punya harapan
besar. "Kita harus membuat Fear Park sukses besar."
Dierdre memaksa dirinya tersenyum. Senyum ini, pikirnya,
adalah hal paling berani yang pernah kulakukan.
"Kita harus membuat Fear Park menjadi taman hiburan terbesar
dan terpopuler di dunia!" katanya, berjuang untuk terdengar riang,
berjuang untuk terdengar yakin.
"Ya," Mr. Bradley mengiyakan dengan suara berbisiknya. "Ya.
Ya. Dan kita harus memastikan bahwa tidak terjadi lagi hal-hal yang
tidak diinginkan. Tidak ada lagi kematian. Tidak boleh lagi ada
kecelakaan." "Mulai sekarang segalanya akan berjalan baik!" Dierdre
menegaskan. "Aku yakin, Dad. Aku merasa pasti."
Mereka terlonjak kaget ketika mendengar suara itu.
Jeritan seorang anak perempuan di luar trailer.
Jeritan nyaring menyeramkan.
Bab 5 DIERDRE menghambur ke jendela. Ia menjulurkan kepalanya
ke luar. Sambil menyipitkan mata ia melihat ke jalan di depan yang
terang benderang karena cahaya lampu"dan melihat Robin Fear.
Robin sedang berjalan cepat, menyeberang jalan di depan
serombongan anak kecil, menuju trailer.
Jeritan nyaring tadi terdengar lagi, membuat Dierdre menoleh
ke kanan. Dilihatnya dua remaja pria sedang menggendong seorang
gadis di pundak mereka. Gadis itu menjerit-jerit dan pura-pura
berontak ketakutan saat mereka berdua pura-pura akan
melemparkannya ke kolam air mancur.
Mereka menurunkan gadis itu ke arah semburan air berwarnawarni. Dan gadis itu menjerit lagi.
"Ada apa, Dee" Apa yang terjadi?" tanya Mr. Bradley dari
belakang Dierdre, suaranya bergetar karena kuatir.
Dierdre menarik kembali kepalanya dari jendela dan menoleh
ke ayahnya. "Tidak ada apa-apa. Cuma beberapa anak sedang
bercanda." "Aku kira?" Mr. Bradley hendak berkata. Wajahnya merah.
Dadanya bergerak naik-turun di balik baju Hawaii-nya.
"Tidak ada apa-apa. Jangan kuatir, Daddy," Dierdre
meyakinkannya. "Cuma dua remaja pria sedang menggoda seorang
gadis. Dia?" Dierdre berhenti bicara ketika pintu trailer terbuka. Ia
menengok ke pintu saat Robin menjulurkan tubuhnya ke dalam.
"Hai. Kau tidak bertugas malam ini?" Dierdre menyambutnya.
"Ya. Giliranku di Kincir Bianglala akan mulai sepuluh menit
lagi," jawab Robin sambil menengok jam tangannya. "Aku cuma mau
mampir sebentar, mau bilang mudah-mudahan semua berjalan baik."
"Terima kasih, Rob," kata Mr. Bradley.
"Semuanya baik-baik saja," kata Dierdre pada Robin. "Daddy
dan aku baru saja bicara tentang taman hiburan. Kami akan
membuatnya menjadi taman hiburan yang paling populer di dunia!"
"Betul?" Robin menatap Dierdre, lalu pada ayahnya. Tadinya ia
tersenyum, tapi senyum itu mendadak sirna.
Dierdre bisa melihat bagaimana kata-katanya mengejutkan
Robin. Beberapa hari yang lalu, ia berjanji pada Robin bahwa ia akan
bicara pada ayahnya. Ia berjanji untuk meyakinkan ayahnya agar
menutup taman hiburan untuk selamanya.
"Kita tak ingin ada lagi orang tak bersalah yang kehilangan
nyawa," kata Robin saat itu.
Dan Dierdre setuju waktu itu.
Tapi sekarang, dengan nada diriang-riangkan, Dierdre berkata
bahwa taman hiburan ini akan jadi hebat dan sukses.
Robin pasti bingung, pikir Dierdre. Itu karena dia tidak tahu
seluruh ceritanya. Dia tidak tahu kesulitan besar yang dihadapi Dad
dan aku kalau taman hiburan ini sampai gagal.
Akan kuceritakan semuanya pada Robin nanti, ia memutuskan.
Ia tahu Robin akan mengerti. Robin orang paling baik dan paling
penuh pengertian yang pernah dikenalnya.
"Baiklah, selamat!" kata Robin. Ia mengangkat dua jarinya ke
kening, memberi hormat pada Dierdre. "Temui aku nanti" Giliranku
selesai jam sepuluh."
"Oke. Sampai nanti." Dierdre mengangguk.
Pintu trailer tertutup di belakang Robin. Dierdre pergi ke
jendela dan melihat Robin berjalan di tengah orang banyak menuju
kincir raksasa. Jeritan tajam membuat Dierdre mengalihkan perhatiannya ke
seorang gadis kecil berambut merah yang sedang mengejar balon
merah di seberang jalan. Tali panjang menjurai di bawah balon itu.
Tapi angin meniup balon itu membubung ke atas, di luar jangkauan si
gadis kecil. Gadis kecil itu menjerit ketika kakinya terantuk dan dia jatuh
terjerembap di jalan. Selama beberapa saat dia tetap terbaring
menelungkup, tangan dan kakinya tertekuk" membuat jantung
Dierdre hampir copot. Tapi ketika kedua orangtuanya datang berlari-lari, gadis kecil
itu sudah berdiri lagi sambil mengusap-usap lututnya dan menunjuknunjuk ke balon yang terbang jauh.
Dierdre menarik napas lega. "Semoga lutut lecet merupakan hal
terburuk yang terjadi malam ini," gumamnya.
"Apa?" tanya ayahnya.
Dierdre menoleh ke ayahnya yang sedang duduk di mejanya
yang berantakan. Ayahnya sedang memeriksa beberapa lembar kertas
dari tumpukan dokumen. "Tidak ada apa-apa," kata Dierdre. "Aku hanya sedang bicara
sendiri." Telepon berdering. Mr. Bradley mengulurkan tangan, tapi
didahului Dierdre. "Halo?"
"Kau tidak kenal Robin," sebuah suara parau terdengar.
"Maaf?" seru Dierdre. Dijauhkannya gagang telepon dari
telinganya dan dipandanginya seakan-akan melihat benda aneh.
"Kau tidak tahu yang sebenarnya tentang Robin," bisik suara
itu. "Lebih baik kau cari tahu tentang dia. Sebelum terlambat."
"Siapa ini?" tanya Dierdre marah. "Kenapa kau selalu
meneleponku" Untuk apa kau berbuat begini?"
Bab 6 ROBIN menendang sebuah kaleng minuman soda. Kaleng itu
terpental mengenai sepatu seorang anak laki-laki. Si anak laki-laki itu
sepertinya tidak menyadarinya.
Sambil merengut, berjalan melawan angin, Robin memasukkan
kedua tangannya yang terkepal ke dalam saku celana jinsnya. Untuk
mencegah agar ia tidak meninju orang. Siapa pun.
Ia membayangkan dirinya meninju rahang Dierdre. Ia
membayangkan ekspresi terkejut Dierdre saat gadis itu jatuh ke tanah,
wajahnya bengkak. Rusak. Giginya patah-patah berjatuhan ke
kakinya. Kendalikan amarahmu, katanya memperingatkan diri sendiri.
Tapi tidak mudah. Sudah bertahun-tahun ia tidak pernah merasa
semarah ini. Tapi kenapa aku tidak boleh marah pada Dierdre" tanyanya,
lagi-lagi pada diri sendiri. Ia mengkhianatiku. Ia pembohong. Dasar
pengkhianat. Robin sudah berusaha keras meyakinkan Dierdre bahwa Fear
Park harusnya jangan dibuka lagi. Dierdre sudah berjanji akan
memaksa ayahnya menghentikan proyek taman hiburan.
Tapi sekarang, lihat saja, gadis itu justru membual bahwa Fear
Park akan sukses besar. Berapa orang lagi yang harus kubunuh untuk meyakinkan
Dierdre bahwa Fear Park harus ditutup" pikir Robin pahit.
Ia jawab sendiri pertanyaannya: cukup satu.
Robin sudah berencana membunuh Dierdre. Ia membayangkan,
kematian Dierdre mungkin bisa membuat Jason Bradley yakin bahwa
memang ada kutukan terhadap taman hiburan ini. Mungkin bisa
meyakinkan orang itu untuk beres-beres dan pergi selamanya dari
tempat ini. Tapi Bradley sungguh keras kepala, pikir Robin. Begitu keras
kepalanya sehingga kematian Dierdre pun mungkin belum cukup
untuk memaksanya menutup Fear Park.
Itu berarti hanya tinggal satu pilihan bagi Robin. Ia harus
membunuh Jason Bradley. Harusnya sudah dari dulu kulakukan, Robin memarahi dirinya
sendiri. Kenapa tidak dari dulu-dulu terpikir olehku"
Fear Park adalah impian Jason Bradley. Impian yang akan
dibawanya sampai mati. Mungkin tadinya aku ingin membuat Jason Bradley tersiksa
dulu, pikir Robin ketika ia naik ke panel pengendali kincir raksasa.
Aku ingin ayah Dierdre mengalami semua tragedi yang disebabkan
taman hiburannya, semua kematian itu.
Tapi aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi.
Lagi pula, Mr. Bradley yang malang itu sudah cukup tersiksa.
Sudah waktunya membebaskan dia dari penderitaannya.
Robin melambai pada Ronnie Scott, petugas giliran sore
wahana Kincir Bianglala. Ronnie nyengir dan memperlihatkan permen
karet hijau yang menempel di gigi depannya.
Ingin rasanya Robin menjejalkan permen karet itu ke
tenggorokan Ronnie. Tapi ia hanya bergumam, "Bagaimana?"
Ia tidak mendengarkan jawaban Ronnie. Ia memikirkan Jason
Bradley. Memandang roda kincir berputar. Dan memikirkan Jason
Bradley. "Sampai nanti," ia mendengar Ronnie berkata. Anak muda itu
berjalan pergi, sambil menyapu rambut pirangnya ke belakang dengan
kedua belah tangan. Robin meraih tuas yang mengendalikan roda. Ia melihat
penumpangnya penuh. Kabin-kabin kecil itu bergerak ke bawah
mengikuti putaran roda, lalu terayun naik lagi, semuanya berisi
penumpang. Robin memandang beberapa lama, berpikir keras.
Dilihatnya dua remaja laki-laki di salah satu kabin, dengan
kedua tangan terangkat tinggi-tinggi, seakan-akan mereka sedang naik
roller-coaster. Sebuah kabin dengan penumpang dua remaja putri
lewat. Kedua remaja itu membungkuk ke depan, membuat kabin
mereka terayun-ayun. Sepasang orang tua berambut putih menempati kabin
berikutnya. Mereka saling berpegangan tangan dan tertawa-tawa
Fear Street Jeritan Terakhir Last Scream Fearpark 3 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sampai kepala mereka terangkat ke belakang. Di kabin berikutnya
sepasang remaja berciuman, berpelukan.
Asyik, pikir Robin pahit. Betul-betul asyik.
Melihat orang bersenang-senang membuatnya bertambah kesal.
Ia tahu sudah waktunya menurunkan penumpang. Dan
mengambil penumpang baru. Antrean orang yang menunggu untuk
naik kincir raksasa terlihat panjang, sampai ke jalan. Sebagian dari
mereka mulai terlihat tidak sabar.
Tapi Robin belum mau menghentikan roda kincir. Ia punya
rencana yang lebih baik. Diraihnya tuas pengendali. Dan, sambil mendengus,
didorongnya ke depan, sampai mentok.
Roda besar itu agak bimbang sesaat. Lalu Robin mendengar
beberapa penumpang berseru terkejut ketika roda itu menyentak
mereka dengan keras"dan segera berputar lebih cepat.
Semua kabin bergoyang berayun-ayun saat roda kincir berputar
semakin cepat. Lampu-lampu di kerangka roda menyatu menjadi
lingkaran cahaya tak terputus.
Lebih cepat. Seruan berganti menjadi jeritan.
Dari bawah, Robin mendengar teriakan-teriakan terkejut.
Orang-orang yang sedang antre menunjuk-nunjuk dan berseru-seru.
Lebih cepat lagi. Pasangan orang tua berambut putih tidak lagi saling
berpegangan tangan. Tangan mereka menggenggam erat batang
pengaman saat kabin mereka bergoyang-goyang dan berayun-ayun.
Kedua remaja laki-laki tadi masih tetap mengangkat tinggi-tinggi
kedua tangan mereka, berseru-seru kegirangan, tertawa-tawa
menikmati kejadian seru itu.
Kedua anak perempuan yang tadi menjulurkan tubuh ke
depan.... Robin tidak bisa melihat apa yang dilakukan kedua gadis itu.
Roda raksasa itu berputar sangat cepat sekarang sehingga sulit melihat
penumpangnya satu per satu dengan jelas. Mereka sudah berbaur
menjadi satu. Mata-mata yang terbelalak dan wajah-wajah ketakutan
melesat cepat, susah dibedakan satu sama lain.
Jeritan dan pekikan mereka mengatasi suara keras roda kincir
raksasa, mengatasi suara teriakan orang-orang di bawah yang melihat
kejadian itu. Robin menyandarkan seluruh berat tubuhnya ke tuas pengendali
seakan-akan mencoba mendorongnya lebih jauh lagi.
"Hentikan! Hentikan!" seseorang berteriak dari kerumunan
manusia di bawah. "Anak perempuanku ada di sana!"
"Oh, tidak! Tidaaaak!"
"Tolong! Lakukan sesuatu!"
Robin tidak tahan. Ia menengadahkan kepalanya dan tertawa.
Tapi ia segera menghentikan tawanya ketika melihat dua
petugas keamanan Fear Park mendesak maju di sela-sela kerumunan
manusia menuju ke arahnya. "Ada apa?" salah seorang dari mereka
bertanya sambil terengah-engah.
"Hentikan itu!" mitranya menyuruh.
"Aku"aku tidak bisa!" seru Robin, memasang wajah
ketakutan, membuat tangannya yang memegang tuas seakan-akan
gemetaran. "Tuasnya macet!"
"Hah?" kedua petugas keamanan berseru kaget.
"Tuasnya macet!" Robin mengulangi. "Aku tidak bisa
menggerakkannya!" Jerit nyaring dari roda yang berputar kencang itu membuat
Robin dan kedua petugas keamanan menoleh. Sebongkah warna hijau
kelihatan terbang lepas dari roda. Benda hijau itu jatuh ke tengah
kerumunan manusia yang menonton di bawah.
Teriakan-teriakan jijik terdengar mengalahkan jeritan
penumpang-penumpang kincir. Sebongkah lagi benda hijau terbang
dari roda kincir dan muncrat di kepala dan pundak seorang lelaki.
Perlu beberapa detik sebelum Robin menyadari apakah benda
berwarna kehijauan itu. Rupanya salah seorang penumpang kincir
muntah. "Lakukan sesuatu!"
"Hentikan! Tidak adakah yang bisa menghentikannya?"
Teriakan-teriakan terdengar semakin keras, semakin panik.
"Sini, aku coba menarik tuasnya," salah seorang petugas
keamanan itu maju, mendesak Robin ke samping.
"Jangan!" protes Robin. "Panggil saja Mr. Bradley. Dia akan
tahu apa yang harus dilakukan."
Kedua petugas keamanan itu bimbang.
"Sana cari Mr. Bradley!" teriak Robin.
"Cepat!" Mereka berbalik dan berlari, jaket seragam mereka yang
berwarna cokelat dan emas berkibar-kibar di belakang mereka.
Robin memandang mereka menyelinap di sela-sela kerumunan
orang yang ketakutan. Lalu ia kembali menikmati pemandangan roda
yang berputar kencang itu.
Ia memperhatikan bahwa suara teriakan dari arah roda kincir
sudah agak berkurang. Para penumpang yang menjerit-jerit dan
memekik-mekik sudah tidak sebanyak tadi.
Apakah mereka menyadari bahwa jeritan dan pekikan sama
sekali tidak akan membantu" Atau mungkin beberapa dari mereka
sudah pingsan" Roda itu berputar terlalu cepat bagi Robin untuk melihat dengan
jelas. Ia hanya bisa melihat samar-samar tubuh para penumpang
terbanting-banting ke sana kemari di dalam kabin mereka.
Putaran roda raksasa itu membuat suara berderit-derit yang
sangat keras. Suara logam bergesek dengan logam, keras sekali.
Kabin-kabin berdecit-decit saat mereka terayun-ayun dan terguncangguncang naik-turun.
"Ada masalah apa?"
Robin berbalik dan melihat Mr. Bradley berlari-lari ke arahnya
diiringi kedua petugas keamanan tadi. Wajahnya merah, dan mulutnya
tergantung membuka membentuk huruf O besar.
"Robin"hentikan kincir itu!"
"Aku tidak bisa!" Robin pura-pura mencoba menarik tuas
dengan sia-sia. "Anakku ada di sana!" seorang wanita menjerit.
"Kenapa tidak kauhentikan kincir itu?" seorang wanita lain
berteriak marah. Yang lain ikut berdesak-desakan ke depan, berteriakteriak, bertanya-tanya dengan marah.
Kedua petugas keamanan mendorong orang-orang itu menjauh,
mencoba menenangkan mereka.
Ini kesempatanku, pikir Robin.
Mr. Bradley maju ke dekat tuas. "Minggir, Rob. Biar aku coba,"
katanya sambil mengulurkan tangan meraih tuas pengendali.
Robin maju menghalangi. "Tidak. Kau tidak akan bisa,"
katanya perlahan. "Hah?" Wajah Mr. Bradley memancarkan keheranan.
"Minggir," perintahnya keras. "Biar kucoba."
"Kau tidak akan bisa," Robin mengulangi dengan tenang.
"Kenapa?" tanya Mr. Bradley.
"Karena kau akan mati," kata Robin padanya.
Bab 7 MR. BRADLEY menatap bingung pada Robin.
Robin berusaha menahan diri, tapi sebuah senyuman muncul di
wajahnya. "Apa katamu?" tanya Mr. Bradley.
"Kau akan mati," Robin mengulangi dengan tenang.
Mr. Bradley menggeram marah. Disambarnya tangkai tuas.
"Berikan padaku!"
Robin melepas tangannya dari tuas. Lalu merendahkan bahunya
dan membenturkannya keras-keras ke dada Mr. Bradley.
"Uhh!" Mr. Bradley terperanjat. Ia terdorong mundur,
kehilangan keseimbangan. Robin menumbukkan pundaknya sekali lagi ke perut Jason
Bradley. Lelaki bertubuh besar itu berteriak kaget saat jatuh ke belakang.
Jatuh ke roda yang berputar kencang.
Sebuah kabin logam terayun naik"dan menabrak bagian
belakang kepala Mr. Bradley.
Suara berderaknya terdengar keras sekali, mengalahkan suara
pekikan kaget orang-orang.
Injakan kaki kabin yang terbuat dari logam menghantam bagian
belakang kepala Mr. Bradley dan mengangkatnya dari tanah. Lalu,
ketika kabin itu terayun lebih tinggi, Mr. Bradley jatuh, tersuruk di
tanah. Noda darah melebar di bawah kepalanya.
Matanya terbeliak, menatap kosong pada Robin. Salah satu
kakinya tertekuk membuat sudut yang tidak normal di bawah
tubuhnya yang lebar. Dia tidak bergerak. Teriakan dan jeritan membuat Robin menutup telinga. Ia
menyembunyikan senyumnya.
"Mr. Bradley," ujarnya, "kau sudah jadi sejarah."
Begitu juga Fear Park, pikir Robin dengan hati senang.
"Daddy! Daddy!"
Jeritan melengking itu menghentikan pikiran senang Robin.
Ia menoleh dan melihat Dierdre yang wajahnya pucat
ketakutan. Gadis itu berlutut di samping ayahnya. "Daddy! Daddy!"
Ia terisak-isak. Lalu menoleh ke Robin dan bertanya, "Apa yang
terjadi?" "Tuas pengendalinya macet," jawab Robin, berlutut di samping
Dierdre. "Aku tidak bisa menggerakkannya. Ayahmu"dia mencoba
membantuku. Tapi dia tergelincir. Dia"kepalanya terantuk."
"Oh, tidak. Tidaaaaak," Dierdre menjerit, memegang pipinya
dengan kedua belah tangan. "Tidaaaak."
"Aku mencoba meraihnya," kata Robin. "Tapi tangannya lepas
dari cekalanku. Sebuah kabin datang meluncur dan?"
"Kita perlu ambulans!" seru Dierdre, melompat berdiri.
"Tolong," teriaknya ke orang-orang, "panggilkan ambulans!"
"Dierdre?" Robin hendak bicara. Tapi Dierdre tidak
mendengarkannya. "Aku panggil sendiri!" Dierdre bergegas pergi, menerobos
kerumunan orang menuju trailer yang dijadikan kantor.
Robin mengalihkan perhatiannya ke ayah Dierdre. Mr. Bradiey
mengerang dan mengedipkan mata.
"Tidak!" Robin berseru tertahan. Dia hidup. Dia masih hidup.
Tidak. Tidak mungkin. Tidak. Tidak bisa. Tidak mungkin.
Robin berlutut, melingkarkan jemari kedua tangannya ke leher
Jason Bradiey, dan mulai mencekiknya.
Bab 8 ROBIN menoleh"dan sadar bahwa banyak orang
memperhatikan mereka. Satu lingkaran kecil orang berdiri di
sekitarnya, memandangnya, dan saling bergumam, menggelenggeleng, wajah mereka pucat karena takut dan terkejut.
Robin bimbang. Aku tidak bisa membiarkan dia hidup. Tidak bisa.
Tapi apa yang bisa kulakukan"
Sebelum bisa memutuskan, Robin mendengar suara yang sangat
dikenalnya memanggilnya. Sedetik kemudian Meghan sudah berlutut
di sampingnya. Meghan ternganga ngeri. "Robin, apa yang kaulakukan?"
"Meghan"sedang apa kau di sini?" Robin balik bertanya.
Meghan mengabaikan pertanyaan Robin, menatapnya dengan
mata terbelalak kebingungan.
Robin melihat ke bawah, ke jemari tangannya yang masih
melingkar di leher Mr. Bradley.
"Aku"uh"aku mencoba menyadarkan dia," kata Robin pada
Meghan. Mata Mr. Bradley terpejam kini. Napasnya satu-satu.
Rambutnya lengket oleh darah.
Robin melepas tangannya dari leher Mr. Bradley. Ia menoleh ke
Meghan. "Ini Mr. Bradley," ia menjelaskan. "Dia baru saja mendapat
kecelakaan berat. Tapi dia masih hidup. Aku berpikir seandainya aku
bisa membuatnya membuka mata?"
"Robin, lebih baik kaubiarkan dia apa adanya," Meghan
memperingatkan. Ia memegang pundak Robin dan menariknya.
Robin mendengar bunyi sirene meraung-raung dari kejauhan.
Ambulans sedang menuju ke tempat itu.
Mudah-mudahan bannya tiba-tiba kempis, pikir Robin.
Tolong, berilah kesempatan bagi Mr. Bradley untuk mati.
Dada Jason Bradley naik-turun seirama dengan napasnya.
Robin membiarkan Meghan menarik dirinya ke samping. "Kau
memang terlalu baik," bisik Meghan ke telinganya.
"Apa?" "Kau mengira kau bisa menyelamatkan semua orang," kata
Meghan, masih memegangi lengan Robin, dan menyentuhkan pipinya
ke pipi Robin. Parfum Meghan yang beraroma jeruk membuat Robin jijik.
Dulu aku mencintainya, pikir Robin. Sekarang aku sama sekali
tidak punya perasaan apa-apa terhadapnya.
Apa yang dia katakan barusan"
"Kau bukan dokter," kata Meghan agak sengit. "Kau mengira
kau bisa menyelamatkan seluruh keluarga Bradley. Kau mengira kau
bisa menyelamatkan semua orang. Kau berusaha terlalu keras selama
ini untuk mencoba melindungi mereka."
Ia menatap mata Robin. "Tapi kau tidak bisa mengerjakan
semuanya, Robin. Kau tidak bisa menyelamatkan seluruh dunia
sendirian saja. Kau memang terlalu baik. Terlalu baik." Ia mencium
pipi Robin. Senyum merekah di wajah Robin. Ia menoleh ke samping agar
senyum itu tidak terlihat oleh Meghan.
Ya. Itulah masalahku, pikirnya pahit. Aku memang terlalu baik.
Aku sudah bersama Meghan selama lebih dari enam puluh
tahun. Dan baru sekarang kusadari betapa tololnya dia!
Robin menarik Meghan ke samping saat para awak ambulans
berseragam putih berlarian menuju kincir raksasa. Salah seorang dari
mereka berhasil menghentikan kincir. Dua buah ambulans perlahanlahan mendekat menembus kerumunan orang banyak. "Kalau dia mati,
menurutmu taman hiburan ini akan tutup?" tanya Meghan.
"Mungkin," sahut Robin. Ia melihat Dierdre berlutut di samping
awak ambulans. Rambut cokelatnya terurai di depan wajahnya yang
berurai air mata. Seluruh tubuhnya terguncang saat memperhatikan
para awak ambulans berusaha menolong ayahnya.
Beberapa menit kemudian Robin melihat Dierdre naik ke
ambulans, diikuti tandu yang membawa Mr. Bradley.
Robin tiba-tiba merasa letih. Letih dan kecewa.
Bagaimana kalau nyawa Mr. Bradley terselamatkan"
Lalu bagaimana" "Ayo kita pulang," katanya pada Meghan. "Sudah ada orang
yang akan menurunkan para penumpang. Dan tak akan ada lagi orang
yang ingin naik kincir raksasa saat ini. Mereka tidak membutuhkan
aku lagi malam ini."
"Jangan kuatir, Robin," kata Meghan perlahan. Sambil
memegang lengan Robin, ia mengikuti Robin berjalan ke gerbang
Fear Street Jeritan Terakhir Last Scream Fearpark 3 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
depan. "Untung ambulansnya cepat datang. Aku yakin Mr. Bradley
akan sembuh." "Aku harap begitu juga," gumam Robin.
Harusnya dia kucekik sampai mati waktu ada kesempatan tadi,
pikir Robin. Mendadak Meghan berhenti. Jari-jarinya mencengkeram lengan
Robin. "Siapa pemuda itu?" bisiknya.
"Hah?" Robin menengok, mengikuti arah pandangan mata
Meghan. "Pemuda yang mana?"
"Itu, yang rambutnya merah," sahut Meghan. "Tinggi kurus,
pakai kaus hitam dan celana pendek baggy."
Mata Robin menatap pemuda yang dimaksud Meghan. Anak
muda berambut merah itu cepat-cepat menoleh ke arah lain.
"Dia menatap kita tadi," kata Meghan.
"Masa?" Robin memperhatikan anak itu. Badannya tinggi dan
langsing. Agak mirip sebatang tongkat, terutama karena dia memakai
celana pendek longgar. Rambut merahnya sampai ke bahu. Dia
membawa sekantong popcorn.
Pemuda itu menengok ke belakang ke arah Robin. Melihat
Robin sedang memandangnya, anak itu menoleh ke arah lain lagi.
"Dia memandangmu seakan-akan kenal padamu," kata Meghan.
"Aku tidak pernah melihatnya sebelum ini," sahut Robin. Ia
menarik Meghan ke pintu gerbang. "Ayo kita pulang."
**************** "Kau tidak tahu yang sebenarnya tentang Robin Fear," kata
suara serak itu di telinga Dierdre.
"Tolong?" Dierdre memohon sambil menggenggam gagang
telepon begitu eratnya sampai tangannya terasa sakit. "Jangan ganggu
aku. Jangan telepon aku lagi. Aku?"
"Aku akan datang menemuimu," suara itu mengancam. "Aku
akan datang untuk bercerita padamu tentang Robin."
"Jangan! Kumohon!" Dierdre memohon.
Telepon terputus. Aku harus ke rumah sakit, pikir Dierdre dengan jantung
berdebar. Suara berbisik tadi masih terngiang-ngiang di telinganya,
meng?ulang-ulang ancaman yang tidak menyenangkan tadi.
"Aku akan datang menemuimu...."
Aku tidak punya waktu untuk hal-hal seperti itu, pikir Dierdre,
membanting gagang telepon. Aku harus menjenguk Daddy. Mungkin
hari ini Daddy akan sadar.
Beberapa hari terakhir ini sangat sulit bagi Dierdre. Menunggu
berjam-jam di rumah sakit. Bicara dengan para dokter.
Duduk di samping tempat tidur ayahnya. Menatap slang-slang
dan kabel-kabel yang terpasang di tubuh ayahnya. Menunggu. Berdoa
agar ayahnya membuka mata. Agar ayahnya sadar.
Mendengarkan setiap tarikan napas ayahnya. Bertanya-tanya
apakah ayahnya akan pernah bisa duduk lagi. Akan pernah tersenyum
lagi. Apakah ia akan pernah bercakap-cakap dengan ayahnya lagi.
Menghabiskan berjam-jam di rumah sakit. Jam-jam yang
menegangkan dan tidak menyenangkan.
Dan sesudahnya, Dierdre bergegas ke Fear Park. Banyak yang
harus ia pelajari untuk mengelola taman hiburan itu. Terlalu banyak
yang harus dipelajari dan tidak cukup waktu untuk mempelajarinya.
Wahana Kincir Bianglala masih ditutup. Tapi selain itu Fear
Park sudah beroperasi. Dan para pengunjung datang memenuhi taman
hiburan setiap malam. Sebagian pengunjung datang untuk bersantai dan bersenangsenang. Sebagian lain datang untuk melihat tempat kejadian trageditragedi mengerikan itu.
Mungkin aku bisa membuat acara Tur Mengerikan Fear Park,
pikir Dierdre pahit. Tur itu bisa di mulai dari kandang singa di Cagar
Satwa Liar. Aku bisa menunjukkan tempat manajer cagar dirobekrobek dan dilahap singa.
Lalu kami bisa ke tempat meledaknya sebuah bom di Rumah
Kaca. Pecahan-pecahan kaca yang beterbangan menewaskan dua belas
orang. Itu salah satu atraksi tur yang bagus.
Lalu tur akan berakhir di Kincir Bianglala. Aku bisa
memperlihatkan kepada para peserta tur tempat Daddy... tempat
Daddy... Sedu sedan mendesak kerongkongan Dierdre.
Pikiran sinting. Ia menggelengkan kepalanya, seakan-akan
berusaha mengusir pikiran-pikiran itu.
Ia beranjak dari kursi kerja ayahnya. Didorongnya kursi itu ke
belakang. Kemudian ia keluar dari trailer"dan hampir bertabrakan
dengan Robin Fear. "Dierdre"hai. Aku baru saja mau menemuimu."
Rambut Robin yang hitam jatuh ke keningnya. Matanya yang
juga berwarna hitam dan serius menatap Dierdre. Ia memakai kaus
polo berukuran besar dan celana baggy.
"Robin, aku tidak bisa menemuimu sekarang. Aku mau ke
rumah sakit." Robin menaruh tangannya ke pundak Dierdre. "Aku cuma mau
tanya bagaimana perkembangan ayahmu."
"Aku"aku tidak tahu," Dierdre menjawab terbata-bata. Ia
merasa air mata menggenangi pelupuk matanya. Tapi ditahannya agar
tidak mengalir keluar. "Dia masih koma, Robin."
Kata-kata itu terdengar aneh di telinga Dierdre sendiri. Apakah
ia betul-betul mengucapkan kata-kata itu" Ayahnya yang besar dan
kuat bagaikan beruang"
Masih koma. "Lalu apa kata dokter?" tanya Robin, matanya seakan
menembus mata Dierdre. Dierdre mengangkat bahu. "Mereka juga tidak tahu. Mereka
bilang dia bisa saja segera sadar dan sembuh lagi. Atau bisa juga tidak
akan pernah sadar lagi. Mereka... mereka..." Ia susah payah menelan
ludah. Sangat sulit membicarakan hal itu.
Robin menggelengkan kepala dengan sedih, menunduk
memandang tanah. "Maafkan aku, Dierdre. Aku merasa bersalah. Aku
mencoba memegangnya waktu dia jatuh. Tapi aku kurang cepat.
Aku"aku merasa bertanggung jawab."
Dia memang manis, pikir Dierdre. Sangat serius, penuh
perhatian, dan baik hati.
"Robin"jangan menyalahkan dirimu sendiri," kata Dierdre.
"Kau sudah berusaha. Kau sudah melakukan apa yang kau bisa."
"Dan sekarang taman hiburan terpaksa harus tutup," kata Robin,
suaranya bergetar sedih. "Pasti berat bagimu, Dierdre. Kau sudah
bekerja begitu keras..."
"Aku tetap membuka taman hiburan ini," Dierdre memberitahu.
Mulut Robin ternganga karena tercengang. "Apa maksudmu?"
"Aku akan terus membuka taman hiburan ini," ulang Dierdre.
"Daddy pasti menginginkan aku tetap membuka taman hiburan ini." Ia
menghela napas. "Lagi pula, tak ada pilihan lain."
Mata hitam Robin menatap wajah Dierdre. "Tak ada pilihan
lain?" "Kami bangkrut," Dierdre membuka rahasia. "Kami tidak punya
uang sesen pun, Robin. Aku harus tetap membuka taman hiburan
ini"untuk membayar biaya rumah sakit Daddy. Kami bahkan tidak
punya asuransi." Robin tersentak, seakan kena tikam.
Robin sangat memperhatikan aku, pikir Dierdre. Dia memang
teman baik. Dia sangat terpukul mendengar keadaanku.
"Kalau saja aku bisa membantu," gumam Robin.
Dierdre melihat jamnya. "Aku harus pergi. Aku harus ke rumah
sakit." Dierdre mulai berjalan ke pintu gerbang, lalu berhenti. "Aku
mendapat telepon aneh itu lagi," katanya pada Robin.
Mata Robin melebar kaget. "Telepon tentang aku" Benar-benar
sinting. Apa katanya kali ini?"
"Sama saja." Dierdre menghela napas. "Siapa pun orang itu, dia
bilang dia akan datang menemuiku untuk menceritakan yang
sesungguhnya tentang kau."
Dierdre melihat dagu Robin bergetar. Robin menggigit bibir
bawahnya. "Sinting," gumamnya lagi. "Benar-benar sinting."
"Memang," Dierdre setuju. "Siapa sih orang itu?"
Robin mengangkat bahu. "Entah. Lagi pula kenapa ada orang
mau memperingatkanmu tentang aku?"
"Aku agak takut," Dierdre mengaku. "Banyak orang gila di
dunia ini. Bagaimana kalau..."
"Itu cuma gurauan konyol," Robin memotong. "Pasti begitu."
Dierdre melihat Robin berpikir keras. Melihat Robin
mengertakkan geraham. "Aku benar-benar harus pergi sekarang," kata Dierdre. "Telepon
aku nanti, ya?" lalu ia bergegas pergi.
"Oke. Nanti," sahut Robin.
Dierdre sedang berlari-lari kecil ke pintu gerbang ketika ia
melihat pemuda kurus berambut merah itu.
Dengan tersentak kaget ia menghentikan langkahnya.
Pemuda itu menatapnya sambil menyunggingkan senyum agak
sinis dan aneh. Jantung Dierdre berdegup kencang. Ia berdiri di tempatnya,
menunggu pemuda itu datang menghampirinya.
Bab 9 SIAPA yang menelepon Dierdre" pikir Robin, otaknya berpikir
keras. Siapa yang tahu kebenaran tentang diriku"
Pasti orang yang sama dengan yang mengirim guntingan koran
tahun 1935 ke Dierdre. Guntingan koran yang ada fotoku.
Robin merasa masih untung ia bisa meyakinkan Dierdre bahwa
foto itu adalah foto kakeknya. Tapi bagaimana kalau ia tidak semujur
itu lain kali" Ia harus tahu siapa orang yang berusaha memberitahu
Dierdre. Ia tahu orang itu bukan Meghan.
Meghan sudah tertipu mentah-mentah. Gadis itu tak akan
melakukan apa pun untuk merusak rencanaku. Karena dia tidak tahu
rencanaku yang sesungguhnya.
Bukan. Bukan Meghan. Tapi lalu siapa" Siapa lagi yang tahu bahwa aku sebenarnya bukan seorang
remaja" Siapa lagi yang punya guntingan berita di koran tua itu untuk
dikirimkan ke Dierdre" Siapa yang menelepon dia"
Sebersit pikiran membuat Robin bergidik dan hampir menjerit.
Apakah ada orang yang membuntutinya dari masa lalu"
Apakah ada orang lain dari tahun 1935 yang menemukan cara
untuk pergi ke masa depan" Seseorang yang tahu seluruh ceritanya"
Seseorang yang bertekad menggagalkan rencana Robin"
Robin tidak ingin dugaannya itu benar. Tapi itu satu-satunya
jawaban. Benar-benar sore yang menjengkelkan, pikir Robin. Pertama
Dierdre menyatakan akan tetap membuka Fear Park. Lalu ia
menyadari bahwa ada orang dari masa lalu mencoba menghalanghalanginya.
Sambil masih berpikir keras, Robin berjalan pergi.
Ia baru berjalan enam-tujuh langkah ketika dilihatnya seorang
pemuda berambut merah memeluk Dierdre dengan canggung.
Apakah dia anak muda yang ditunjukkan Meghan waktu itu"
Ya. Robin mundur ke bawah bayang-bayang trailer yang dijadikan
kantor Mr. Bradley. Ia menudungi matanya dari silaunya matahari dari
arah pintu gerbang. Wah! pikir Robin. Apa yang sedang terjadi"
Dari mana Dierdre mengenal pemuda itu"
Robin merayap lebih rendah di bawah bayangan. Ia tidak ingin
mereka melihatnya. Dierdre dan anak itu bicara berbarengan. Karena gugup, pikir
Robin. Ia mengintai dari bawah bayang-bayang ke tempat terang. Ya.
Mereka terlihat gugup. Pemuda berambut merah itu bolak-balik memasukkan
tangannya ke dalam saku celana pendek baggy-nya, lalu
mengeluarkannya lagi, lalu memasukkannya lagi.
Dierdre bergantian memindahkan tumpuan berat tubuhnya dari
kaki satu ke kaki yang lain.
Mengapa mereka begitu gugup" pikir Robin.
Lalu ia mengambil kesimpulan: Pemuda itu bercerita pada
Dierdre tentang sesuatu yang tidak ingin didengarnya. Itu sebabnya
mata Dierdre jelalatan ke sana kemari dengan gelisah.
Anak muda itu sedang bercerita tentang aku.
Walaupun hari itu hangat, Robin merasa tubuhnya dingin. Ia
tahu ia sedang melihat seseorang dari masa lalu. Seseorang yang
datang untuk membuka rahasianya dan merusak rencananya.
Pemuda itu menyapu rambutnya ke belakang dan masih terus
bicara. Dierdre menggeleng-gelengkan kepala, wajahnya tegang,
dahinya berkerut. Siapa anak muda itu" Bagaimana dia datang ke sini" Robin
bertanya-tanya. Apakah dia datang sendirian"
Robin memusatkan pandangannya ke wajah pemuda itu. Aku
tidak ingat dia, pikirnya. Aku tidak kenal wajahnya.
Meghan juga pernah melihat pemuda itu, dan dia juga tidak
mengenalnya. Apa yang mereka berdua bicarakan sampai seserius itu"
Robin berada terlalu jauh dari mereka untuk bisa membaca
gerakan bibir mereka. Kalau saja ia bisa lebih dekat.
Tapi mereka berdiri di tengah lapangan terbuka yang menuju
pintu gerbang. Kalau Robin melangkah keluar dari balik bayangbayang trailer, mereka pasti akan melihatnya.
Jadi Robin tetap di situ dan memperhatikan mereka. Ia tidak
bergerak sampai Dierdre dan anak muda itu mulai berjalan
berdampingan ke pintu gerbang.
Mereka pergi bersama! Robin melihat. Bersama!
Aku harus bertindak cepat, pikirnya. Aku tidak boleh
membiarkan pemuda itu"siapa pun dia"menggagalkan seluruh kerja
kerasku. Robin merasakan sebuah sengatan. Ia mengangkat tangannya
untuk menepuk lalat di pipinya.
Dan sepotong daging pipinya rontok ke tangan.
"Oh," ia mengerang melihat gumpalan daging lunak itu.
Ini karena ketegangan, ia tahu. Ini karena perasaan kuatir. Rasa
takut. Aku harus memecahkan misteri ini secepatnya. Harus!
Bab 10 ROBIN cepat-cepat pulang untuk memperbaiki wajahnya. Lalu
ia mencoba membaca. Tapi ia tak bisa mengusir bayangan pemuda
berambut merah itu dari benaknya.
Kenapa aku tidak ingat dia" Robin berpikir. Apakah dia salah
seorang anak yang mati waktu bekerja membersihkan lahan tahun
1935" Kalau betul, bagaimana dia tahu bahwa ilmu sihirkulah yang
membuat anak-anak itu saling membacok dan membunuh" Dari mana
dia tahu bahwa aku yang bertanggung jawab atas terjadinya hal itu"
Dan kalau dia mati waktu itu, bagaimana dia bisa mengikutiku
ke masa depan ini" Tidak, pikir Robin. Pasti dia bukan dari rombongan remaja
yang bekerja membersihkan lahan.
Fear Street Jeritan Terakhir Last Scream Fearpark 3 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Jadi, siapa dia" Seseorang yang pernah kukenal di Shadyside High"
Salah seorang keluarga Bradley"
Keluarga Bradley tidak ada yang tahu ilmu hitam. Mereka tidak
tahu bagaimana membaca mantra-mantra sakti.
Apakah pemuda ini membuat diririya hidup terus, panjang
umur, tidak bisa mati" Robin masih mencari-cari jawaban. Apakah dia
telah mengikutiku terus selama ini" Menunggu tibanya saat ini, untuk
merusak dan menggagalkan seluruh rencanaku"
Robin meraih telepon. Mungkin kalau dia menanyakannya
dengan hati-hati, dia bisa mendapat beberapa keterangan dari Dierdre.
Mungkin dia bisa mengorek informasi dari gadis itu.
Ia menekan nomor telepon trailer di taman hiburan. Dierdre
menjawab setelah dua kali dering.
"Hai, ini aku," kata Robin. "Aku cuma mau tahu bagaimana
kabarmu." "Yah... aku agak sibuk saat ini, Robin."
Robin mendengar nada suara Dierdre lebih dingin daripada
biasanya. Ia bisa langsung merasakannya. Ada yang telah berubah,
pikirnya. Pemuda berambut merah itu telah bercerita tentang diriku.
Pasti. "Bagaimana kalau kita ketemu. Mungkin malam ini" Sebelum
Fear Park tutup?" Sambil mengetuk-ngetukkan jarinya di meja, Robin
mendengarkan kesunyian panjang dari ujung sana.
"Rasanya tidak bisa," akhirnya Dierdre menjawab. Suaranya
masih dingin. Sedingin es. "Sulit sekali bagiku sekarang ini," ia
meneruskan. "Aku harus berusaha agar Fear Park berjalan lancar. Dan
aku harus menengok Daddy. Dan?"
"Bagaimana keadaannya?" potong Robin.
Apakah dia sudah mati" Mudah-mudahan jawabannya ya.
"Masih koma," sahut Dierdre sambil menghela napas. "Belum
ada perubahan. Para dokter..." Gadis itu tidak meneruskan.
"Begini saja, Kincir Bianglala masih tutup, jadi aku tidak
bertugas. Aku jemput kau nanti," kata Robin. "Mungkin kita bisa?"
"Rasanya aku betul-betul tidak bisa," Dierdre memotong. Sekali
lagi Robin mendengar betapa dingin nada suara Dierdre. "Maaf,"
Dierdre menambahkan. Dia sama sekali tidak terdengar seperti orang minta maaf.
Apakah nada takut yang kudengar dalam suaranya itu" pikir
Robin. Apakah dia tahu yang sebenarnya tentang aku" Dan dia takut
padaku sekarang" "Tenang saja," ujar Robin, berusaha terdengar bersimpati. "Aku
tahu semuanya akan beres akhirnya."
"Terima kasih, Robin. Sampai lain kali." Jawaban Dierdre
singkat dan dingin. Robin menaruh gagang telepon.
Ia membayangkan pemuda berambut merah itu. Kemudian
merasakan perutnya kaku karena marah. Ia menelan, mulutnya terasa
masam. Aku harus tahu apakah anak muda itu tidak bisa mati. Aku
harus tahu apakah dia membuat Dierdre berbalik menentangku.
************** Hujan mulai turun pada senja hari. Hujan tidak terlalu deras,
membuat lapangan-lapangan rumput berkilauan bagaikan bintik-bintik
batu permata. Robin memandang satu kali ke luar jendela, lalu menutup tirai
tebalnya. Ia sedang ingin diselubungi kegelapan.
Berendam di dalam kegelapan. Sangat nyaman.
Meghan sedang ada di kamarnya di lantai atas. Satu-satunya
suara yang terdengar di rumah besar itu hanyalah suara titik-titik air
hujan di jendela. Haruskah kuberitahu Meghan bahwa kami diikuti" tanyanya
pada diri sendiri. Ia memutuskan untuk menunggu saja dulu. Menunggu sampai
ia merasa pasti. Sampai ia membereskan anak muda itu.
Hujan berhenti menjelang waktu makan malam. Ia dan Meghan
makan malam bersama-sama dalam keheningan. Belakangan ini
mereka tidak banyak bercakap-cakap. Mereka sering makan malam
tanpa bicara. Dulu kami seperti orang mau rebutan bicara, Robin mengingatingat agak sedih. Selalu ada yang kami bicarakan. Kami tertawa
bersama-sama. Kami bergurau. Kami sangat riang karena bisa
bersama-sama. Sangat bahagia.
Meghan tetap cantik seperti dulu, tentu saja. Ramuan dan
mantra-mantra yang diberikan Robin seminggu sekali membuatnya
tidak berubah. Tapi sekarang tidak ada perasaan apa-apa terhadap Meghan.
Sama sekali tidak ada. Meghan pernah bilang tidak ingin hidup selamanya. Dia ingin
tumbuh tua dan mati. Mungkin aku bisa menemukan cara untuk memenuhi
keinginannya itu, pikir Robin.
Langit sudah bersih. Tapi permukaan jalan masih basah
berkilauan bekas hujan tadi ketika Robin berjalan di sepanjang Fear
Street menuju Fear Park. Sekali-sekali tengkuknya terasa dingin kena
tetesan air dari pepohonan.
Ketika sudah dekat ke tempat parkir yang luas, suara-suara dan
musik dari dalam taman hiburan mulai terdengar. Ia mendengar suara
gajah, bagaikan suara terompet dari arah Cagar Satwa Liar.
Orang-orang mengantre di depan loket. Banyak di antaranya
membawa jas hujan atau payung, berjaga-jaga kalau hujan turun lagi.
Robin memperlihatkan kartu pasnya di pintu gerbang, lalu
masuk ke Fear Park. Air mancur di gerbang utama memancar
berwarna-warni. Papan pemberitahuan bertulisan tangan
mengumumkan bahwa taman hiburan akan buka sampai pukul sebelas
malam ini. Robin menatap papan itu, darahnya bergolak.
Buka sampai jam sebelas" Taman hiburan ini seharusnya tidak
buka sama sekali. Aku sudah berusaha begitu keras untuk menutup
taman hiburan ini. Dan aku gagal. Gagal!
Sampai sekarang, tambahnya.
Ia mendengus sendiri. Tidak ada lagi Mr. Baik Hati, pikirnya.
Ia mendatangi trailer tempat kantor Mr. Bradley dari belakang.
Jendela panjang dekat atapnya yang datar dihiasi titik-titik air hujan.
Robin berjinjit mengintai ke dalam.
Dilihatnya Dierdre sedang berdiri di depan meja. Gadis itu
memakai celana denim sepanjang lutut dan kaus berwarna pink.
Rambut cokelatnya disisir rata ke belakang dan diikat di belakang
kepalanya. Dia sedang berbicara cepat, dengan semangat, kedua
tangannya ikut bergerak-gerak.
Dengan siapa dia bicara"
Robin menekankan wajahnya ke kaca jendela agar bisa melihat
lebih jelas. Ia menarik napas tertahan.
Pemuda berambut merah itu!
Robin cepat-cepat menarik kepalanya dan membungkuk,
berharap belum sempat terlihat. Dengan jantung berdebar-debar ia
berjalan ke samping trailer dan menunggu.
Siapa anak itu" Apa yang mereka bicarakan dengan penuh
semangat" Beberapa menit kemudian pintu trailer terbuka. Dierdre yang
lebih dulu melangkah keluar. Anak muda berambut merah itu
mengikuti di belakangnya.
Robin menyusup ke bawah bayangan dan memperhatikan
mereka. Mereka berjalan berdampingan, berdekatan, bicara
berbarengan. Mau ke mana mereka" Ke tempat wahana taman hiburan"
Dengan menjaga jarak, Robin mengikuti mereka. Ia berusaha
mendengar apa yang mereka bicarakan. Tapi musik dan suara-suara
berisik menenggelamkan suara mereka.
Mereka berhenti untuk membeli Coke di sebuah stand makanan.
Robin mengendap-endap ke samping stand itu. Ia mendengar Dierdre
memanggil pemuda itu dengan nama Gary.
Gary. Jadi sekarang aku tahu nama anak itu, kata Robin dalam hati.
Otaknya berputar keras. Apakah aku kenal anak bernama Gary di
tahun 1935" Tidak. Aku tidak ingat ada anak yang bernama Gary.
Sambil menekankan tubuh rapat-rapat ke dinding stand yang
gelap, Robin melihat mereka menghabiskan minuman. Mereka masih
terlihat gugup dan canggung.
Apa yang mereka bicarakan" pikir Robin. Apakah mereka
bicara tentang diriku"
Gary melemparkan kedua gelas plastik yang sudah kosong ke
tempat sampah. Lalu ia mencoba memegang tangan Dierdre. Tapi
gadis itu cepat-cepat menarik tangannya.
Robin bisa melihat kekecewaan di wajah Gary.
Gary... Gary... Robin berusaha keras mengingat-ingat. Apakah ada keluarga
Bradley bernama Gary di tahun 1930-an" Apakah si brengsek Richard
Bradley itu dulu punya teman bernama Gary"
Ini bisa membuatku gila, pikir Robin.
Ia mengikuti Dierdre dan Gary ke arena wahana. Musik riang
gembira mengalun dari komidi putar. Di sebelah kiri Robin terletak
wahana Kincir Bianglala, gelap dan sunyi. Jalan ke arah situ ditutup
dengan palang kayu. Karena matanya terus mengawasi Dierdre dan Gary, Robin
hampir tersandung sepasang kereta bayi. Si ibu yang mendorong
kereta bayi itu meneriakkan sesuatu pada Robin. Tapi Robin tidak
mengacuhkannya. Ia menghindar dan berjalan menembus sekelompok remaja. Ia
tidak ingin kehilangan Dierdre dan Gary.
Kedua mangsanya. Pemburu dan buruannya, pikir Robin.
Ia melihat mereka menuju wahana Puting Beliung. Wahana itu
berbentuk lingkaran, seperti komidi putar. Di sekitar lingkaran
dipasang ayunan dengan rantai panjang dari logam. Satu orang satu
ayunan. Waktu wahana itu berputar, ayunannya mulai bergerak
mengikuti dalam lingkaran besar. Berputar-putar, mula-mula lambat,
makin lama makin cepat. Ayunan-ayunannya terangkat ke atas karena
gaya putar, semakin lama semakin tinggi sampai akhirnya hampir rata
sejajar dengan tanah. Dierdre dan Gary berdiri di luar pagar besi rendah,
memperhatikan wahana tersebut. Ketika putarannya semakin cepat,
para penumpangnya menjerit dan tertawa. Beberapa orang
mengangkat tangannya ke udara. Yang lain menggenggam batang
pengaman erat-erat. Robin melihat Dierdre tertawa. Dia membiarkan Gary mencekal
lengannya dan menariknya ke barisan orang yang sedang antre
menunggu giliran. Aku tidak mengerti, pikir Robin, memperhatikan wajah mereka
berdua saat ia bergerak lebih dekat.
Kalau anak muda itu ke sini untuk menceritakan yang
sesungguhnya tentang diriku, kenapa mereka tertawa-tawa dan justru
bermain-main naik wahana taman hiburan"
Ayunan-ayunan merendah ketika putaran wahana melambat.
Beberapa detik kemudian berhenti sama sekali. Para penumpangnya
berlompatan turun, masih tersenyum-senyum dan tertawa-tawa, dan
bergegas keluar lewat pintu keluar.
Masih tetap bersembunyi di kegelapan bayangan, Robin
bergerak hati-hati ke pagar besi. Ia melihat Dierdre dan Gary naik ke
ayunan. Dilihatnya mereka bertukar senyum. Dilihatnya Gary
memasang batang pengaman di depan pinggangnya.
Batang pengaman itu tidak akan membantumu, pikir Robin.
Kecuali kalau kau tidak bisa mati, Gary. Kecuali kalau kau
tidak bisa dibunuh. Robin memejamkan matanya dan mulai membaca mantra.
Kita lihat saja siapa kau ini, Gary.
Kita lihat saja apakah kau tidak bisa mati... atau kau bisa
dibunuh. Bab 11 ADA suara orang menangis.
Tangis nyaring itu mengganggu konsentrasi Robin yang sedang
membaca mantra. Ia membuka matanya. Dengan agak bingung ia
menoleh cepat ke arah lingkaran ayunan-ayunan.
Dierdre dan Gary duduk tenang menunggu wahana Puting
Beliung itu bergerak. Suara tangisan semakin keras.
Robin melihat petugas wahana bergegas mendekati sebuah
ayunan di seberang sana. Dibukanya batang pengaman dan dibantunya
seorang anak laki-laki kecil turun.
Rupanya anak kecil itu pada saat-saat terakhir berubah pikiran
dan berpendapat wahana itu terlalu menakutkan baginya.
Robin terkekeh pendek. Anak kecil itu tidak tahu betapa
menakutkannya wahana ini sebentar lagi!
Anak kecil itu berlari melalui pintu keluar menuju orangtuanya.
Petugas wahana memasukkan seorang gadis remaja menggantikan
tempat anak kecil itu tadi.
Semua ayunan sudah terisi sekarang. Petugas wahana berlari
kecil ke tempat pengendali dan menarik tuasnya. Ayunan-ayunan itu
mulai bergerak. Robin memejamkan mata dan mulai mengucapkan mantramantranya lagi.
Selamat jalan, Gary, pikirnya.
Selamat jalan"kecuali kalau kau datang dari masa lampau.
Kecuali kalau entah bagaimana kau telah membuat dirimu tak bisa
mati. Selamat jalan"kecuali kalau kau datang ke masa ini untuk
menyelamatkan Fear Park dari rencanaku.
Kalau kau tetap hidup setelah ini, aku akan tahu bahwa kau
datang dari masa lampau. Dan kalau ternyata memang begitu, aku harus menemukan cara
lain untuk membinasakanmu. Aku tahu itu tidak akan mudah. Tapi
akan kutemukan caranya. Aku bersumpah, Gary. Akan kucari caranya....
************ Dierdre menggenggam batang pengaman dan menggeser
tubuhnya, mencoba mencari posisi duduk yang lebih enak di kursi
plastik keras itu. Ia melihat petugas wahana menarik tuas dan
merasakan ayunannya mulai bergerak dengan sentakan kecil ke depan.
Dilepaskannya genggamannya pada batang pengaman dan
dilipatnya kedua belah tangannya di depan dada. Ia menarik napas
panjang dan menyiapkan dirinya menikmati wahana ini.
Ini gila, pikirnya. Banyak sekali yang harus kukerjakan. Banyak sekali yang
Fear Street Jeritan Terakhir Last Scream Fearpark 3 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kupikirkan. Saat ini aku tidak punya waktu untuk bersenang-senang.
Kenapa kuhabiskan waktuku dengan naik wahana konyol ini"
Kenapa kubiarkan Gary mengajakku" Kenapa juga aku harus ke
sini bersamanya" Dierdre menengok ke arah Gary. Tapi ayunan-ayunan sudah
berputar semakin tinggi sekarang, berputar cepat. Ia tidak bisa melihat
Gary. Gary sangat aneh, pikir Dierdre.
Seakan-akan dia berasal dari planet lain atau semacamnya.
Dan yang dia bicarakan cuma hal-hal aneh. Kadang-kadang aku
tidak tahu, harus percaya padanya atau tidak.
Dia membuatku takut. Jadi kenapa sekarang aku duduk di sini, berputar-putar, naik
Puting Beliung bersamanya"
Rambut cokelat Dierdre melambai-lambai saat ayunannya
berputar semakin cepat. Ia mengulurkan tangan berusaha merapikan
rambutnya"tapi segera menyerah karena tahu itu tidak ada gunanya.
Anak-anak kecil menjerit dan tertawa-tawa saat ayunan
berputar lebih cepat lagi.
Dierdre sekilas melihat Gary di depan, rambut merahnya
berkibar-kibar, tangannya diangkat tinggi-tinggi ke atas. Dierdre
berteriak memanggil. Tapi tentu saja Gary tidak bisa mendengarnya.
Dierdre sekarang menggenggam batang pengaman erat-erat saat
ayunannya miring semakin tinggi, sejajar dengan tanah.
Rasanya benar-benar seperti terbang, pikirnya. Semburan angin
dingin di wajahnya membuatnya tersenyum. Sangat menyegarkan.
Tapi asap apa itu yang berwarna ungu"
Ia memandang berkeliling, mencoba mencari dari arah mana
datangnya asap ungu itu. Tapi karena ia sedang berputar cepat sekali,
ia tidak bisa melihat apa pun dengan jelas.
Semuanya kabur, samar-samar. Bayangan kabur langit gelap
dan wajah-wajah tertawa" dan warna ungu... asap ungu.
Apakah itu Gary di depan"
Ia menyipitkan mata agar bisa melihat lebih jelas menembus
kabut ungu saat ayunan-ayunan bergerak semakin melebar, berputar
pada kecepatan maksimum. Lalu ia mendengar suara krak keras.
Dilihatnya rantai-rantai putus. Dilihatnya ayunan di depan
terbang. Terbang sendirian. Terbang lepas.
Dilihatnya rantai putus di tempat sambungannya di atas. Dan
ayunan itu terbang. Terbang. "Tidaaak!" jeritan ngeri Dierdre tersapu angin yang menderu,
tertutup kabut tebal berwarna ungu.
Semuanya kabur dan samar-samar. Semuanya bagaikan
bayangan ungu. Tapi ia bisa melihat tangan Gary melambai-lambai tanpa
mampu berbuat apa-apa saat ayunan itu meluncur lurus ke atas.
Ke arah kawat-kawat listrik bertegangan tinggi jauh di atas.
Berputar, dan berputar lagi dibawa Puting Beliung, Dierdre
menjulur-julurkan lehernya agar bisa tetap mengikuti terbangnya
ayunan itu. Ayunan yang ditumpangi Gary menabrak kawat-kawat
bertegangan tinggi, hampir tanpa bersuara.
Tapi lalu sebuah suara berderak tajam terdengar keras
mengalahkan jeritan-jeritan para penumpang lain dan orang-orang di
bawah. Sebuah suara berderak tajam. Sebuah desisan. Dan kilatan
cahaya kuning. Dierdre melihat tangan dan kaki Gary terlempar ke kawat
bertegangan tinggi. Lalu ia melihat tubuh pemuda itu terpeta di warna kuning
manyala"berderik-derik, bersinar terang sementara arus listrik
berdesis-desis di sekitar tubuhnya.
Tubuh anak muda itu tersentak meliuk-liuk di tengah cahaya
kuning. Kemudian ayunannya jatuh, jatuh dari kawat-kawat
bertegangan tinggi tersebut. Jatuh dengan cepat.
Dierdre tahu kapan ayunan itu mendarat. Ia bisa mendengar
suara berdebum keras. Dan ia memejamkan mata, menjerit, menjerit, dan menjerit.
Bab 12 ROBIN membuka mata untuk melihat ayunan Gary putus dan
terlempar melayang. Seringai puas merebak di wajah Robin ketika ayunan itu
meluncur ke kawat-kawat bertegangan tinggi. Ia melihat kilatan arus
listrik. Ia juga mendengar desisan tajam.
Orang-orang menjerit. Teriakan ngeri mengalahkan suara desis
arus listrik yang memanggang tubuh Gary.
Robin melihat lengan dan tungkai Gary terayun-ayun tanpa
daya. Melihat nyala arus listrik mengaliri tubuh Gary.
Ayunan seakan-akan lengket di sana selama-nya. Tapi Robin
tahu ayunan itu hanya me?nempel di kawat-kawat itu selama
beberapa detik. Cukup lama, pikirnya. Cukup lama untuk memanggang Gary.
Lalu ayunan jatuh dengan cepat. Lurus ke bawah.
Orang-orang di bawah berhamburan menyingkir.
Ayunan mendarat dengan suara berdebam keras. Di dalam
pagar. Di sebelah sana. Jauh dari Robin.
Asap ungu bergulung-gulung dan berpusar-pusar. Lalu mulai
menipis. Jantung Robin berdebar-debar. Sungguh-sungguh sangat
menggairahkan! Anak-anak kecil bertangisan. Orang-orang berlarian ke tempat
jatuhnya ayunan di dekat pagar rendah, menunjuk-nunjuk dengan
panik. Dengan ngeri. Putaran Puting Beliung akhirnya melambat.
Robin tersenyum lagi. Petugasnya pasti terlalu kaget tadi
sehingga tidak segera menghentikannya.
Robin memperhatikan putaran ayunan semakin lambat. Ia
mencari-cari Dierdre. Apakah gadis itu yang menjerit-jerit sambil
melambai-lambaikan tangan di atas kepala"
Atau yang menarik-narik rambut cokelatnya, kepalanya
tertunduk, bahunya gemetaran"
"Dierdre, di mana kau?" Robin bergumam keras.
Dierdre, katanya dalam hati dengan pikiran riang, kelihatannya
ada satu tragedi lagi di taman hiburanmu.
Ada kecelakaan tragis lagi.
Tidakkah kau mau menyerah sekarang, Dierdre" Tidakkah akan
kaututup taman hiburan ini" Berkemas-kemas" Pergi menunggui dan
merawat ayahmu" Berapa kecelakaan tragis lagi yang kaubutuhkan, Dierdre"
Puting Beliung akhirnya berhenti. Para penumpangnya turun
sambil menggeleng-gelengkan kepala, ada yang menangis karena
shock. Robin mencari Dierdre, tapi tidak melihatnya. Semakin banyak
orang berlarian datang ke tempat jatuhnya ayunan.
Teriakan dan seruan memenuhi udara. Dari kejauhan Robin
mendengar raungan sirine.
Robin memanjat pagar rendah dan bergabung dengan orangorang yang berlarian datang. Sudah banyak yang mengelilingi ayunan
yang jatuh itu. Gumaman ngeri bercampur seruan-seruan tidak percaya. Agak
jauh dari kerumunan orang, seorang laki-laki membungkuk di atas
pagar dan memuntahkan isi perutnya.
"Maaf. Maaf. Tolong beri jalan." Robin harus berkutat untuk
menembus kerumunan manusia itu.
Dengan mendesak dan mendorong-dorong, akhirnya ia berhasil
maju sampai paling depan. Lalu ia mengamati ayunan yang remuk itu.
Menatap tubuh anak laki-laki yang remuk tertekuk-tekuk.
Dan menarik napas tertahan, tidak percaya pada apa yang
dilihatnya. "Tidak! Tidak! Tidak mungkin!"
Bab 13 ROBIN menelan ludah dengan susah payah. Tanah seakan
bergerak-gerak miring ke sana kemari, membuatnya kehilangan
keseimbangan. Ia menatap wajah pucat anak laki-laki yang tewas itu.
Kepalanya terpuntir. Tulang rusuknya remuk di bawah batang
pengaman ayunan. Robin menatap anak itu, mencoba menyuruh agar wajahnya
berubah. Mencoba mengubah bagian-bagian wajahnya ke bentuk yang
diharapkannya. Mencoba mengubah bentuk hidungnya, serta mata
kelabu yang menatap kosong ke langit. Mencoba mengubah rambut
pirang pendek itu menjadi merah.
Tapi ia tidak bisa mengubah wajah itu. Tidak bisa mengubah
anak laki-laki itu menjadi Gary.
Merasa jantungnya tersendat-sendat di dadanya, Robin sadar
bahwa ia sedang menatap wajah seorang anak laki-laki yang tak
pernah ia lihat sebelumnya.
Salah. Ia salah sasaran. Ini bukan Gary. Bukan Gary. Bukan Gary.
Kata-kata itu mengiang-ngiang terus bagaikan mantra buruk di
benak Robin. Bukan Gary. Bukan Gary. Bukan Gary.
Tapi kenapa bukan Gary"
Dengan perasaan bingung, gemetar, dan lemas"mendadak ia
merasa setua umur sesungguhnya"Robin berbalik dari tubuh yang
remuk redam itu. Matanya nanar menatap orang-orang yang berkerumun
melingkari ayunan jatuh itu. Wajah mereka merah, lalu gelap, merah,
lalu gelap, sementara sebuah ambulans datang mendekat, lampu
sirinenya berkilat-kilat bergantian.
"Minggir! Minggir!" terdengar seruan seseorang.
Polisi-polisi berwajah muram muncul. Mereka mengangkat
tongkat di tangan mereka, menggerak-gerakkannya, menyuruh orangorang menjauh dari anak yang jatuh itu.
"Mundur! Mundur! Semua mundur!"
"Beri tempat! Beri tempat untuk menolong!"
Terlambat, pikir Robin. Sudah terlambat untuk menolong.
Ia melihat seorang polisi menatap tajam padanya, dan ia dengan
patuh mulai bergerak mundur. Ia berhenti ketika melihat Dierdre.
Dierdre berdiri di dekat pagar, agak jauh dari kerumunan orang,
merapat ke tubuh Gary. Salah satu lengan Gary merangkul pundak
Dierdre. Robin tidak bisa melihat ekspresi wajah Dierdre. Wajah gadis
itu terbenam ke dada Gary.
Gary. Bukan Gary. Gary. Bukan Gary.
Otak Robin berputar kencang. Ilmu sihirnya tidak pernah gagal
sebelumnya. Ia mengedipkan mata beberapa kali. Tapi ia tidak bisa membuat
Gary lenyap dari pandangan. Ia tidak bisa mengirim Gary ke ayunan
yang jatuh remuk itu, tempat dia seharusnya berada.
Gary membungkuk di atas Dierdre, menundukkan wajahnya ke
Dierdre, lengannya merangkul melindungi.
Di mana letak kesalahannya" pikir Robin.
Apakah aku membuat kekeliruan" Apakah aku salah memilih
ayunan yang seharusnya kujatuhkan"
Ayunan-ayunan itu berputar sangat cepat. Memang mudah
sekali membuat kesalahan. Memilih ayunan yang salah.
Itukah yang terjadi"
Atau Gary pindah ayunan pada saat-saat terakhir"
Waktu aku memejamkan mata untuk mulai membaca mantra,
apakah dia turun dan pindah ke ayunan lain"
Atau aku yang salah membaca mantra" Sesederhana itukah"
Kesalahan kecil" Hanya sekadar kesalahan"
Ataukah Gary selamat karena dia juga punya ilmu sihir"
Apakah Gary selamat karena dia juga tidak bisa mati" Karena
dia dari masa lampau" Karena dia sebenarnya sudah mati"
Perlahan-lahan, Robin bergerak lebih dekat ke Dierdre dan
Gary. Polisi memeriksa ayunan yang jatuh. Di dekat pagar, mayat
anak laki-laki itu sudah dibaringkan, ditutupi kain kanvas. Lalu para
petugas medis mengangkatnya ke ambulans menggunakan tandu.
Orang masih berkerumun di sana-sini. Beberapa berbincangbincang dengan bergumam. Yang lain hanya memandang tanpa
bicara, rasa kaget mereka masih belum hilang.
Seorang reporter TV melangkah ke tengah lingkaran cahaya
lampu yang terang benderang. Ia meluruskan dasinya dan mengangkat
mikrofon di tangannya. "Sudah mulai" Kita sudah mulai" Kasih tahu
aku kalau kita sudah mulai."
Lingkaran-lingkaran putih cahaya lampu senter polisi bergerakgerak di rerumputan. Dua buah ambulans lagi datang, lampu merah di
atap mereka berkilat-kilat menyebar cahaya yang terpantul aneh dari
setiap orang yang ada di sana.
Robin menyipitkan mata, mencoba melihat lebih jelas
menembus cahaya yang bergantian
terang-gelap terang-gelap itu. Ia berusaha melihat Dierdre.
Dan mendapati bahwa Dierdre sedang menatap lurus ke
arahnya. Dengan ekspresi wajah paling dingin.
Tatapan sedingin es itu membuat Robin mengalihkan
pandangannya ke arah lain. Apakah Gary sudah memberitahu dia
tentang aku" pikirnya. Apakah Dierdre sudah tahu segalanya"
Bab 14 "KAU ingat waktu tanaman itu menyerangmu, Dad?" tanya
Dierdre. Mengingat kejadian itu membuat Dierdre tersenyum.
"Ingat" Mom dan aku sedang di ruang belakang. Kau datang
membawa semangkuk makanan. Saat itu pasti akhir minggu karena
kita semua ada di rumah."
"Aku masih ingat pagi itu sangat indah," Dierdre meneruskan.
"Aku masih bisa membayangkan sinar matahari yang masuk melalui
jendela. Ingat" Kaubilang akan lebih terang lagi kalau tanamantanaman Mom tidak menghalangi jendela.
"Lalu kau duduk di kursi berlengan besar berwarna cokelat
yang paling kausukai. Kata Mom itu hanya pantas jadi kursi truk. Dia
sudah lama ingin menaruh kursi itu di gudang, tapi kau tidak pernah
membolehkannya. "Jadi, kau duduk di kursi itu, ingat" Kau bersandar dan
mengangkat mangkuk. Dan saat itulah tanaman-tanaman itu
menyerang. "Tanaman itu menjalar. Dalam dua pot besar. Aku ingat betapa
besar dan berkilaunya daun-daun mereka. Dad ingat bagaimana Mom
mengurus tanaman-tanaman itu. Dia habiskan setengah hari hanya
untuk tanaman-tanaman di ruang belakang itu.
"Lalu, tanaman-tanaman menjalar itu seakan menjulurkan sulursulur mereka dari samping kursi. Kedua tanaman itu bergerak
bersamaan. Seakan-akan mereka meraihmu.
"Kau terkejut setengah mati. Kau melompat kaget dan
menumpahkan makanan di dalam mangkuk itu ke lantai. Tumpah ke
tubuhmu dan ke lantai. 'Mereka menyerangku!' jeritmu waktu itu.
'Tanaman-tanamanmu itu"mereka menyerangku!'
Fear Street Jeritan Terakhir Last Scream Fearpark 3 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Mom dan aku tertawa terbahak-bahak, tidak bisa berhenti,"
Dierdre mengenang saat bahagia itu sambil menyapu air matanya.
"Rasanya karena Dad terlihat sangat serius. Kau benar-benar mengira
tanaman itu menyerangmu! "Padahal, sulur-sulur itu bergerak ke kursimu karena tertiup
angin yang masuk lewat jendela yang terbuka. Tapi kau benar-benar
yakin tanaman-tanaman itu menyerangmu. 'Ada hutan di sini! Rumah
kita sudah jadi hutan!' "Dan Mom pura-pura sangat tersinggung. Karena kau tahu
betapa dia menyayangi tanaman-tanaman itu. Dia memeliharanya,
menyiraminya, mengguntinginya. Dia suka sekali mengurus tanamantanaman itu. Mungkin itu membuatnya merasakan kedamaian.
Mungkin saat-saat mengurus tanaman menjadi saat-saat penuh
kedamaian di sela-sela kesibukannya sehari-hari"bagaimana
menurutmu" "Sesudah itu, Mom dan aku selalu tertawa setiap kali kau
datang ke ruang belakang dan duduk di kursi itu. Kami bayangkan
tanaman-tanaman menjalar itu menyerangmu lagi. Membuat kami
selalu tertawa. "Tapi, setelah Mom meninggal..." Suara Dierdre tersekat di
kerongkongan. "Yah, aku mengerti kenapa kau tidak punya waktu
mengurus tanaman-tanaman itu. Aku mengerti kenapa kita harus
membuang tanaman-tanaman itu.
"Aku rasa mereka terlalu mengingatkanmu akan Mom, benar,
Daddy" Tapi itu membuatku sedih. Membuatku sangat sedih setiap
kali aku berjalan masuk ke ruang belakang dan ruangan itu tidak lagi
dipenuhi tanaman hijau. Seakan-akan begitu banyak kehidupan
terenggut dari rumah kita.
"Kau tahu maksudku, Dad" Hidup Mom" lalu hidup tanamantanaman itu... begitu banyak kehidupan direnggut dari rumah kita.
Kau dengar aku, Daddy" Kau bisa dengar aku"
"Atau aku bicara kepada diriku sendiri" Apakah aku hanya
membuat diriku sendiri menangis" Mengingat-ingat bagaimana
kehidupan kita waktu Mom masih ada. Dan waktu kau... waktu kau..."
Sedu sedan Dierdre tak terbendung lagi. Ia menghapus air mata
Monk Sang Detektif Genius 2 Pengemis Binal 10 Cinta Bernoda Darah Pedang Langit Dan Golok Naga 45