Jeritan Terakhir 2
Fear Street Jeritan Terakhir Last Scream Fearpark 3 Bagian 2
yang mengalir ke pipinya.
Ia membungkuk di atas tempat tidur rumah sakit beralas putih
bersih itu dan menggenggam tangan ayahnya. Terasa sangat lunak,
sangat dingin, sangat tak berkehidupan dalam genggamannya.
"Kau masih bisa mendengarku, Daddy?" bisiknya.
Slang-slang yang tersambung ke tubuh Mr. Bradley berdeguk
seakan-akan menjawab pertanyaannya. Tapi ayah Dierdre tidak
bergerak, tidak berkedip, tidak bersuara sedikit pun.
Dierdre mengamati ayahnya. Ayahnya belum sampai dua
minggu di rumah sakit. Tapi pipinya sudah kempot dan pucat. Tadinya
ayahnya penuh semangat, sangat hidup. Dan sekarang wajahnya sudah
seperti tengkorak. Matanya terpejam terus, kelopak matanya sekali-sekali
berkedut, tapi tidak pernah terbuka. Dadanya turun-naik setiap kali dia
bernapas, diiringi desis lemah melewati bibirnya yang putih.
Dierdre menghabiskan seluruh pagi tadi dengan pengacara
keluarganya di kantor polisi Shadyside. Mereka menjawab pertanyaan
demi pertanyaan tentang sistem keselamatan dan perawatan wahana
Puting Beliung. "Bagaimana terjadinya kecelakaan itu?" berulang kali sang
letnan mengajukan pertanyaan. "Bagaimana dua rantai besi ayunan itu
bisa putus pada saat bersamaan?"
Dierdre tidak punya jawaban atas pertanyaan itu.
Ia sampai di rumah sakit tidak lama setelah waktu makan siang.
Dan langsung menemui Dr. Bruhn di ruang kerja dokter tersebut.
"Ada perubahan" Apakah ayahku sudah sadar?"
Dokter muda itu menggaruk janggutnya yang klimis. "Belum,"
katanya. "Tapi tanda-tanda vitalnya masih tetap baik."
Apa artinya itu" pikir Dierdre.
"Tidak bisakah Dokter memperkirakan kapan ayahku akan
sadar?" desak Dierdre dengan nada tinggi.
Dr. Bruhn menggeleng, mengangkat bahu sedikit. "Aku juga
berharap aku bisa, Dierdre. Tapi tidak ada jawaban atas pertanyaan
itu." "Bila dia sadar...," Dierdre bicara lagi, "apakah dia akan pulih"
Maksudku, setelah berada dalam keadaan koma begitu lama, apakah
otaknya akan... pulih seperti dulu?"
Helaan napas meluncur dari bibir dokter muda itu. "Aku juga
tidak bisa menjawab pertanyaan itu," sahutnya dengan nada sedih
yang sama. Dokter itu bangkit berdiri dan berjalan ke depan mejanya. Ia
menaruh tangannya ke pundak Dierdre. "Kita hanya bisa berharap
yang terbaik. Kita harus..."
"Tapi kapan dia akan sadar?" desak Dierdre. "Kapan?"
"Otak punya kemampuan alamiah untuk memulihkan diri," sang
dokter menyahut lembut, tangannya masih di pundak Dierdre.
"Kadang-kadang perlu beberapa hari bagi penderita koma sampai bisa
sadar lagi. Kadang-kadang beberapa minggu. Kadang-kadang...," katakatanya tidak dia selesaikan.
Dierdre membuka mulut untuk bicara, tapi suaranya tidak
keluar. Ia berdeham melegakan kerongkongannya. "Dr. Bruhn..."
"Pergilah, jenguk ayahmu," perintah dokter itu. "Bicaralah
dengan dia. Dia mungkin bisa mendengarmu, Dierdre. Suaramu akan
berarti banyak baginya. Bahkan kalau dia tidak bisa mendengar katakatamu, suaramu akan sangat berarti."
Dokter Bruhn kembali ke kursinya. Dierdre berdiri dengan
tubuh gemetar. "Kami awasi dia baik-baik. Kami punya harapan besar," kata
Dr. Bruhn pada Dierdre. Lalu ia menambahkan, "Kau harus tegar."
"Kau harus tegar."
Kata-kata itu mengikuti Dierdre sepanjang lorong-lorong rumah
sakit umum Shadyside. "Kau harus tegar."
Ia menarik napas dalam-dalam dan melangkah masuk ke kamar
perawatan ayahnya. Ia menarik sebuah kursi lipat ke samping pembaringan ayahnya.
Seprainya sangat rapi dan tidak kusut.
Rapi dan tidak kusut karena ayahnya tidak bergerak.
Dierdre memegang tangan ayahnya yang lemas dan mulai
bicara padanya. Sambil menahan air mata yang mendesak keluar,
menahan sedu sedan, menahan diri untuk tidak menjerit meraungraung, ia mulai bicara.
Dan mengenang. Ia terkenang kejadian dengan tanaman-tanaman di ruang
belakang rumah, dan ia menceritakannya pada ayahnya, sambil
membungkuk rendah, rendah sekali sehingga ia bisa mencium bau
cemara di kulit ayahnya dari sabun yang digunakan perawat untuk
membasuhnya. Dierdre menceritakan kisah-kisah lain, bicara perlahan, hampir
berbisik. Sambil terus berbicara, ia menggenggam tangan ayahnya
yang lemas bagaikan tangan bayi.
Ketika sedang bicara, Dierdre melihat sebuah bayangan
bergerak melintasi jendela. Ia bisa mendengar suara deruman rendah
dari luar. Suara itu kelihatannya seirama dengan gerakan bayangan
itu. Ia berjalan ke jendela untuk memeriksa. Kamar ayahnya berada
di lantai pertama. Di seberang lapangan parkir, Dierdre melihat dua
buah buldoser besar. Sekop mereka yang besar terangkat bersama,
bagaikan dua gajah sedang mengangkat belalai di tempat minum.
Dierdre melihat sekop-sekop raksasa itu penuh berisi gumpalangumpalan batu karang. Mungkin sedang memperluas lapangan parkir,
pikir Dierdre. "Setidaknya suara-suara itu tidak mengganggumu kan, Daddy?"
tanyanya sedih. Ia kembali duduk di kursi di samping tempat tidur
ayahnya. Slang-slang berdeguk. Sebuah monitor di dekat dinding
mencatat detak jantung. Dierdre bersandar ke punggung kursi. "Aku senang beberapa
hal tak bisa kaudengar," katanya pada ayahnya, berusaha agar
suaranya terdengar rendah dan wajar. "Aku senang kau tidak bisa
mendengar tentang kecelakaan di taman hiburan tadi malam."
Apakah kelopak mata ayahnya bergerak" Tidak. Dierdre
mengamati wajah ayahnya. Sama sekali tak terlihat adanya gerakan.
"Aku senang kau tidak bisa mendengar bahwa satu lagi orang
tak bersalah tewas di Fear Park," Dierdre meneruskan, tanpa mampu
menyembunyikan emosinya. "Aku sungguh tidak mengerti, Daddy.
Sungguh. Orang-orang bilang tanah itu dikutuk. Mungkin mereka
benar. Mungkin memang tanah itu dikutuk. Tapi aku?"
Dierdre berhenti ketika mendengar suara dari pintu di
belakangnya. Ia berbalik cepat saat sesosok tubuh me langkah masuk ke
kamar. "Hah" Apa yang kaulakukan di sini?" serunya.
Bab 15 ROBIN berusaha menyembunyikan rasa terkejutnya, tapi tak
urung seruan tertahan keluar dari mulutnya.
Ia berusaha agar wajahnya tetap tampak tenang dan wajar.
"Dierdre!" serunya. "Aku tidak mengira?"
Memang. Robin tidak mengira Dierdre akan berada di sini.
Ia mengira Dierdre masih di kantor polisi, menjawab
pertanyaan-pertanyaan tentang kecelakaan tragis tadi malam.
Adanya Dierdre di kamar ayahnya sama sekali tidak sesuai
dengan seluruh rencana Robin. Sebuah rencana sederhana. Rencana
untuk menyelesaikan apa yang sudah dimulainya di Kincir Bianglala.
Robin datang ke rumah sakit untuk membunuh Mr. Bradley.
Mr. Bradley sudah sangat lemah, jadi tidak akan makan waktu
lama, pikir Robin tadinya. Atau kupencet tabung pernapasannya
dengan jari, atau kubekap dia dengan bantal.
Kalau ayahnya mati, Dierdre tidak akan punya harapan sama
sekali. Lalu dia mau tidak mau harus menyerah dan menutup Fear
Park. Tapi sekarang, ternyata dia ada di sini.
Merusak rencana Robin. Menghalanginya sekali lagi.
Menatapnya dengan pandangan dingin.
"Robin" Mau apa kau ke sini?" tanya Dierdre lagi.
"Aku... mm... datang untuk melihat bagaimana keadaan
ayahmu," jawab Robin. Ia melangkah ke samping Dierdre dan
memandang Mr. Bradley. "Aku terus-menerus memikirkan dia,"
Robin melanjutkan perlahan. "Aku terus teringat malam yang
mengerikan di kincir raksasa itu. Bagaimana aku seharusnya bisa
menyelamatkannya. Tapi..." Robin pura-pura tidak bisa melanjutkan
karena sedih. "Kau tidak boleh menyalahkan dirimu sendiri," sahut Dierdre,
tanpa melepas tatapannya dari ayahnya. "Kau tidak bisa menyalahkan
dirimu atas terjadinya kecelakaan itu, Robin."
Kenapa tatapannya begitu dingin" pikir Robin. Kenapa dia tidak
bicara padaku dengan perasaan dan kehangatan seperti dulu"
Robin tahu jawabannya. Gary. Dari luar jendela ia mendengar suara gemuruh alat-alat berat
konstruksi. Berderit. Lalu bergemuruh ketika batu-batu besar dituang
dari cakar raksasa alat-alat itu.
"Dia... belum sadar juga?" tanya Robin pelan, mengabaikan
sikap dingin Dierdre. Gadis itu menggeleng sambil menggigit bibir.
"Apa kata dokter?" tanya Robin.
"Mereka juga tidak tahu," sahut Dierdre pahit.
"Apakah mereka tidak bisa mengira?" Robin mulai bertanya
lagi. Dierdre menoleh ke arah Robin, dagunya bergetar. "Aku... aku
sedang tidak ingin bicara."
Robin mundur selangkah. "Oke. Maaf. Aku?"
"Terima kasih atas kedatanganmu ke sini." Dierdre
mengucapkan itu dengan otomatis, tanpa perasaan. Ketika ia
memandang Robin, tidak ada kehangatan di matanya.
"Kalau ada sesuatu yang bisa kulakukan...," kata Robin.
Banyak yang bisa kulakukan, pikirnya. Kalau saja kau tak ada
di sini, Dierdre. "Terima kasih," kata Dierdre kaku. Lalu ia menyipitkan mata
memandang Robin. "Kau ada di Fear Park tadi malam?"
Pertanyaan itu tidak disangka-sangka oleh Robin.
Tidakkah dia melihatku di sana di dekat Puting Beliung"
Tidakkah dia menatapku dengan sangat dingin saat dia dipeluk Gary"
Suasana gelap sekali waktu itu. Dan lampu-lampu ambulans
membuat lebih susah lagi untuk melihat, Robin menyadari.
Mungkin Dierdre tidak melihatku.
"Tidak," katanya menjawab pertanyaan Dierdre. "Aku tidak ada
di sana. Tapi aku melihat apa yang terjadi. Dari berita TV. Aku betulbetul prihatin padamu, Dierdre. Sungguh. Aku?"
Dierdre berbalik kembali ke ayahnya.
Sebelum ada Gary, dia pasti akan datang padaku untuk
menenteramkan hati. Dia pasti akan mencurahkan isi hatinya padaku.
Sebelum ada Gary, dia percaya padaku.
Dan sekarang... "Aku bicara lagi denganmu nanti," kata Robin. "Aku harap
semuanya akan membaik."
Untukku. Bukan untukmu! kata Robin dalam hati dengan hati
panas. Ia berjalan keluar dari kamar. Sepatunya berdetak-detak keras
di lantai saat ia berjalan di lorong-lorong rumah sakit.
Sinar matahari yang sangat cerah memaksanya untuk
melindungi matanya ketika ia membuka pintu samping dan melangkah
ke luar ke pelataran parkir. Ia menyipitkan kedua belah matanya,
menunggu matanya terbiasa dengan sinar matahari yang terang
benderang. Dan melihat Gary sedang bersandar ke sebuah mobil Honda
Civic berwarna biru di dekat bagian belakang pelataran parkir.
Dia mengikutiku, pikir Robin. Mengawasiku.
Menungguku. Bab 16 APAKAH dia pikir aku akan berdiam diri saja" pikir Robin,
sambil menyipitkan mata karena silau. Hawa panas terpantul dari
aspal pelataran parkir. Gary, berkaus ketat warna biru muda dan celana denim,
bersandar santai di depan mobil. Rambut panjangnya yang berwarna
merah berkilau terkena sinar matahari sehingga kepalanya seakanakan menyala terbakar.
Memangnya dia kira aku akan berdiam diri dan membiarkan dia
memata-mataiku" kata Robin dalam hati. Dia kira dia bisa mengikuti
aku ke mana saja semau dia"
Apa sih yang dia kerjakan"
Bukankah sudah cukup banyak kekacauan yang dia lakukan"
Bukankah dia sudah memberitahu Dierdre siapa aku sebenarnya" Dan
membuat Dierdre memusuhiku"
Tujuannya sudah tercapai. Kenapa dia masih berkeliaran di
sini" Gary menegakkan berdirinya dan meregangkan tubuh.
Apakah dia mau ke sini" Robin berpikir. Ia melangkah mundur,
berlindung di bawah pintu masuk rumah sakit.
Gary mengusap rambutnya yang merah dan panjang dengan
kedua belah tangan. Ia menendang ban depan mobil berwarna biru itu.
Dia mencoba mengecohku, Robin menyadari. Dia ingin aku
mengira dia tidak punya kepentingan atas diriku. Dia pura-pura tidak
sedang memata-mataiku. Dasar tolol. Sinar matahari sangat cerah, tapi Robin merasa dingin.
Dingin kebencian. Aku tidak akan membiarkan orang tolol ini merusak rencanaku.
Buldoser-buldoser menderum di belakang Gary. Cakar
raksasanya mengeruk batu-batu di samping pelataran parkir. Cakar
raksasa itu terangkat tinggi, penuh bongkahan batu besar-besar
berwarna kelabu. Saat mereka menumpahkan batu-batu tersebut dan berputar
untuk mengeruk lagi, Robin mendapat ide.
Ia melangkah ke pelataran parkir. Sambil melindungi matanya
dari sengatan sinar matahari, ia mulai membaca mantra.
Apakah aku hafal mantranya" pikirnya.
Rasanya ya. Rasanya aku masih hafal.
Cukup hafal untuk mengurus Gary.
Apakah kau cuma sedang mujur tadi malam, Gary"
Kau bukannya tidak bisa mati, kan" Kau tidak punya ilmu sihir.
Kau hanya sedang mujur tadi malam"betul"
"Kita lihat saja," gumam Robin. "Kita pastikan sekarang."
Ia memejamkan mata dan mulai membaca mantranya. Perlahanlahan, dengan suara pelan, sambil mengingat-ingat kata-katanya.
Ketika ia membuka mata, asap ungu melayang-layang di atas
pelataran parkir. Meliuk-liuk bagaikan ular di sela-sela berkas sinar
matahari keemasan. Robin masih terus mengucapkan mantranya, sambil melihat
asap ungu itu melayang di atas mobil-mobil. Pelataran parkir kelihatan
agak gelap ketika asap ungu itu menebal menghalangi cahaya
matahari. Masih terus membaca mantranya dengan suara pelan, Robin
melihat Gary di balik kabut tebal dan gelap itu. Dan ia melihat
Fear Street Jeritan Terakhir Last Scream Fearpark 3 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
buldoser-buldoser bergerak ke belakang Gary. Melihat buldoserbuldoser itu mengangkat tinggi-tinggi sekop raksasanya yang penuh
beban berat. Ya! Berhasil! pikir Robin.
Kemudian selapis tebal asap ungu menghalangi pandangannya.
Robin tidak bisa melihat korbannya. Tidak bisa melihat mesinmesin itu mendekati korbannya.
Tapi di atas suara bisikan mantra-mantranya, ia bisa mendengar
suara gemuruh mesin-mesin besar itu.
Lalu ia mendengar suara gemuruh batu-batu berat dituangkan
dari cakar raksasa buldoser besar-besar itu.
Robin menyeringai ketika ia mendengar teriakan kaget Gary.
Bab 17 ASAP ungu itu berputar-putar di sekelilingnya, sangat tebal dan
berat sehingga Robin merasa berada di dalam air. Ia mencoba berlari
menyeberangi pelataran parkir. Ia ingin sekali melihat Gary terkubur
di bawah timbunan batu itu.
Tapi asap ungu itu menyebar dan bergulung-gulung, seakanakan mendorongnya mundur.
Robin mendengar suara jeritan keras lagi. Lalu suara orang
berlari. Beberapa bintik cahaya kuning matahari menyusupi kabut ungu
yang berputar-putar. Lalu kabut terkuak dan seberkas sinar matahari
yang sangat cerah menembus tebalnya kegelapan.
Saat asap mulai menipis, didesak minggir oleh sinar matahari,
Robin mengucek-ngucek matanya. Ia berjalan menuju timbunan baru
di bagian belakang pelataran parkir.
Baru separuh jalan ia berhenti ketika mendengar suara-suara di
belakangnya. "Hah?" Robin memutar tubuh.
Tepat di saat Gary bergegas menghampiri Dierdre yang sedang
melangkah keluar dari pintu rumah sakit.
"Wah!" teriak Robin terperanjat.
Gary" Bagaimana Gary bisa?"
Apa yang terjadi" Aku mendengar teriakan Gary tadi sewaktu batu-batu jatuh
menghujaninya, pikir Robin. Aku mendengar dia menjerit. Aku
mendengar dengan jelas sekali.
Sebuah pekikan lain membuat Robin terloncat.
Ketika ia melihat ke buldoser-buldoser tadi, dilihatnya kedua
pengemudinya melompat turun dari buldoser masing-masing. Mereka
berdua saling memaki, sambil menunjuk-nunjuk.
Jadi bukan Gary yang kudengar berteriak tadi, tapi salah
seorang pengemudi buldoser, Robin menyadari. Salah seorang
pengemudi buldoser itu yang kudengar berteriak.
Dan sekarang kedua pengemudi itu saling memaki sambil
menunjuk-nunjuk tumpukan batu yang dicurahkan ke tempat yang
salah. Sedangkan Gary sedang berlari menghampiri Dierdre.
Gary, segar bugar dan tidak kurang suatu apa, sedang
menghampiri Dierdre. "Sejak tadi aku menunggumu," Robin mendengar Gary berkata.
"Kupikir mungkin kau perlu tumpangan."
Menunggu Dierdre" Tidak. Tidak mungkin. Robin tahu.
Robin tahu bahwa Gary sebetulnya sedang menunggunya.
Sedang mengawasi dan memata-matainya.
Kenapa" Robin tidak tahu. Ia membungkuk di balik sebuah mobil. Ia tidak ingin Dierdre
dan Gary melihatnya memperhatikan mereka.
Otaknya berpikir keras. Ia merasa pening. Sengatan sinar
matahari membuatnya pusing.
Apa yang terjadi tadi" Robin sadar ia tidak tahu persis apa yang
terjadi. Apakah Gary menggunakan ilmu sihir untuk mengelak dari
curahan batu tadi" Atau dia cuma bernasib mujur" Apakah Gary mulai
lari ke pintu rumah sakit tepat ketika batu-batu itu mulai berjatuhan"
Sihir atau mujur" Apakah Gary orang dari masa lampau yang tidak bisa mati, atau
hanya orang yang nasibnya luar biasa mujur"
Robin sudah dua kali mencoba membunuhnya"dan keduaduanya gagal. Bisakah Gary dibunuh"
Robin benci merasa begitu bingung, begitu tidak yakin.
Kesabaranku sudah habis, geramnya. Sudah waktunya
menamatkan drama ini. Kau tak akan menang, Gary. Kalau kau memang datang dari
masa lampau untuk merusak rencanaku, kau tak akan menang.
Akan kupastikan hal itu. Rasanya aku belum juga membunuh Dierdre karena sebagian
diriku sebenarnya menyukai gadis itu.
Tapi kalau aku mau menutup Fear Park selamanya, aku tidak
bisa menunda-nunda tugas tak menyenangkan itu lebih lama lagi.
Sambil merapatkan tubuhnya ke mobil, Robin berjingkat
mengintai, memastikan bahwa Dierdre dan Gary sudah pergi. Baru
saja ia hendak berdiri tegak"dua tangan mencengkeram bahunya dan
menariknya dengan kasar. Bab 18 ROBIN menatap wajah merah padam seorang lelaki paruh baya
yang lebih mirip anjing buldog daripada manusia.
"Hei"lepaskan aku!" seru Robin.
Orang itu tetap mencengkeram pundak Robin. Ia menyipitkan
matanya yang bulat kecil dengan pandangan menuduh. "Apa yang
kaulakukan pada mobilku?" geramnya.
"Hah" Mobilmu?" Robin menoleh ke belakang, ke mobil yang
tadi dipakainya bersembunyi.
Wajah buldog itu semakin merah dan menjadi merah tua. "Kau
mau mencuri mobilku, ya?"
"Tidak!" protes Robin. "Aku"uangku jatuh. Dan aku cuma
membungkuk untuk mengambil uang itu. Sungguh, Pak!"
Umurku lebih dari delapan puluh tahun, pikir Robin marah. Dan
aku harus berdiri di sini seperti seorang remaja ketakutan, menyebut si
tolol ini "Pak"!
"Aku"aku sama sekali tidak menyentuh mobilmu!" Robin
menambahkan. Mata kecil itu memelototi Robin selama beberapa detik lagi.
Lalu tangannya yang besar perlahan-lahan mengendurkan
cengkeramannya. Orang itu menggeram, seakan puas mendengar alasan Robin.
Warna merah tua memudar di wajahnya. Ia berbalik ke mobilnya,
mengamatinya, lalu mengusapkan tangannya ke pintu depan mobil.
Detak jantung Robin kembali normal. Ia mulai bisa berpikir
tenang lagi. Ia ingat sebuah mantra yang membuatnya tersenyum. Akan
kulekatkan si brengsek bertubuh besar ini ke mobilnya. Akan
kurekatkan kulitnya ke mobil sampai tak bisa lepas. Dia dan mobilnya
bisa bergandengan terus seumur hidup.
Ketika menoleh, Robin melihat dua perawat berseragam putih
memperhatikannya. Seorang petugas keamanan rumah sakit bergegas
menyeberangi pelataran parkir menuju ke arahnya.
Lupakan mantra itu, pikir Robin. Aku punya urusan yang jauh
lebih penting. Lelaki berbadan besar itu menggeram lagi. "Maafkan aku, Nak.
Aku lihat kau merunduk di balik mobilku dan?"
"Tidak apa-apa," potong Robin. Ia berbalik dan cepat-cepat
pergi dari sana. Ia menunggu di halte bus, memayungi matanya dengan tangan
dari sinar matahari, memikirkan Dierdre.
Dierdre dan Gary. EBUKULAWAS.BLOGSPOT.COM
Siang yang menyebalkan, pikirnya.
Mungkin malam nanti akan lebih membawa hasil....
************* "Robin, kau sudah janji." Meghan menghela napas. Ia
melemparkan jaketnya ke punggung kursi dan duduk di lengan kursi.
"Belum," sahut Robin tidak sabar. "Aku masih belum siap."
Ia menutup buku yang sedang dibacanya dan memandang
melintasi ruangan ke arah Meghan. Kedua tangan gadis itu sedang
terangkat ke belakang rambutnya yang merah. Ia sedang merapikan
beberapa helai rambutnya yang lepas dari ikatan.
Berkas-berkas sinar matahari sore menyorot masuk melalui
jendela depan dan membuat bayang-bayang di karpet. Meghan berada
separuh di bawah bayangan dan separuh di bawah sorotan sinar
matahari. Matanya yang bagaikan zamrud berkilau redup.
"Dari mana kau?" tanya Robin.
Meghan menghela napas lagi. "Cuma jalan- jalan." Ia menarik
rambutnya, memiringkan kepalanya. "Aku bosan."
"Aku tahu," gumam Robin. "Mungkin kau perlu punya hobi." Ia
berdecak. Ia tidak sungguh-sungguh. Ia hanya ingin menghindari
percakapan mereka yang biasa mengenai betapa bosannya Meghan,
mengenai bagaimana Meghan ingin tumbuh menjadi tua.
Aku sangat bosan padamu, Meghan, pikirnya sambil mengamati
gadis itu. "Kau janji mau mencarikan mantra," Meghan menagih janji.
"Kau janji mau mencarikan jalan supaya aku bisa menjadi tua."
"Ya, ya." Robin tidak bisa menyembunyikan nada kesal dari
suaranya. Berapa puluh kali kami harus bicara tentang hal ini"
pikirnya. "Kalau kau ingin jadi remaja selamanya" tidak apa-apa," kata
Meghan. "Tapi aku sudah capek, Robin. Biarkan aku menjadi tua
sendiri." "Kita akan menjadi tua bersama-sama. Aku tidak ingin hidup
tanpa dirimu," kata Robin.
Bukan main bohongnya, pikirnya dengan perasaan pahit.
"Mari kita lakukan sekarang," desak Meghan, menurunkan
tangannya dari ikatan rambutnya. Ketika ia membungkuk ke arah
Robin, wajahnya bergerak dari bawah sorot sinar matahari ke bawah
bayangan. "Aku sudah tak tahan lagi hidup di dua dunia. Tua dan
muda pada saat yang bersamaan. Aku bukan bagian dari salah satu
dunia itu. Aku tidak punya teman. Aku tidak punya kehidupan yang
sesungguhnya. Tanpa tujuan. Aku hanya punya kau..."
"Dulu itu sudah cukup bagimu," gumam Robin, heran sendiri
pada rasa getir di hatinya.
"Tapi aku merasa tidak wajar," protes Meghan. "Tidakkah kau
mengerti" Aku seorang hantu. Hantu hidup. Aku tidak merasa nyaman
di mana pun. Bahkan di dalam tubuhku sendiri!" Sebuah isakan
terlepas dari kerongkongannya.
Ia memiringkan tubuhnya ke bawah cahaya, lalu ke bawah
bayangan lagi, matanya tetap menatap Robin. Menggigit bibir menanti
jawaban. Robin balas menatapnya. Meghan bergeser canggung, sekarang
setengah di bawah cahaya setengah di bawah bayangan.
"Akan kucari mantranya," sahut Robin lelah. "Aku janji."
"Kapan?" "Setelah pekerjaanku di sini selesai," katanya tegas.
"Tapi kau tidak bisa menyelamatkan taman hiburan itu," protes
Meghan. "Kau tidak bisa menyelamatkannya, Robin. Kau sudah
berulang kali berusaha. Tapi kutukan ayahmu lebih kuat daripada
usahamu." Robin menahan diri untuk tidak tertawa.
Setelah semua yang terjadi, pikirnya, Meghan masih setia. Tolol
dan setia. Dia masih percaya aku membantu keluarga Bradley. Dia betulbetul percaya aku berusaha menyelamatkan Fear Park.
Aku akan merasa sangat kehilangan dia, pikir Robin. Dia
memang menyedihkan. Tapi aku tetap akan merasa kehilangan dia.
Meghan mengejutkannya dengan menjejakkan kaki ke lantai.
"Kenapa kau menyeringai?" tanya Meghan.
"Hah" Aku?" Robin tidak sadar bahwa sebuah senyum terukir
di wajahnya. "Kau menyeringai!" Meghan menuduh.
"Tidak. Sungguh. Aku tidak menyeringai."
"Kau menertawakanku"ya, kan?" pekik Meghan. "Kaupikir
aku lucu?" Mata hijaunya bersinar marah.
"Tidak, Meghan," kata Robin tenang, menggerakkan kedua
tangannya menyuruh Meghan duduk.
"Kau masih menyeringai!" jerit Meghan.
"Meghan?" Meghan menyeberangi ruangan, kedua tangannya terkepal.
Robin melompat berdiri. Mengangkat tangannya seakan bersiap-siap
menangkis serangan. Ia pernah melihat Meghan marah besar sebelum
ini. "Kau tidak menganggap aku serius"ya kan, Robin?" pekik
gadis itu, menabrak Robin sehingga Robin hampir jatuh kembali ke
kursinya. "Meghan, jangan?"
"Kau telah menertawakanku selama ini. Kau sama sekali tidak
berniat melakukan apa yang kuminta. Kau tidak akan pernah
membiarkanku bebas dari hidup yang mengerikan ini" ya, kan" Ya,
kan?" Meghan tidak menunggu jawaban. Diiringi jeritan nyaringnya ia
mengangkat kedua tinjunya"dan mulai memukuli dada Robin.
"Jangan!" seru Robin. "Hentikan! Hentikan, Meghan!
Dengarkan aku. Aku?"
"Diam! Diam! Diam!" Meghan mendorong Robin keras-keras.
Lalu menampar wajahnya. "Auuw!" Robin melolong kesakitan dan terhuyung ke belakang.
Ia berusaha mempertahankan keseimbangannya agar tidak
jatuh, tapi Meghan menamparnya sekali lagi.
Robin berseru tertahan melihat sepotong dagingnya terpental
kena tamparan Meghan. "Berhentiii!" desisnya marah. "Aku peringatkan kau?"
"Tidak! Tidak! Tidak!", dalam kemarahannya Meghan
mencengkeram pipi Robin yang sebelah lagi dan merenggut sepotong
dagingnya. "Wajahku!" Robin melindungi wajahnya dengan sebelah
tangan. "Kau merobek-robek wajahku!"
"Biar!" pekik Meghan. "Aku tidak peduli! Aku tidak peduli
pada apa pun lagi!" Tangannya menyambar lagi.
Robin menunduk. Mendorong Meghan.
Robin mengayunkan lengannya. Tanpa berpikir ia mendaratkan
tinjunya ke sisi wajah Meghan.
"Oh!" Mereka sama-sama berseru terkejut. Robin tidak pernah
memukul Meghan sebelumnya.
Kekuatan pukulan Robin membuat robekan lebar di wajah
Meghan. Tulang kelabu mengintai keluar dari celah robekan.
"Aaaah!" Dibarengi jeritan marah, Meghan melompat
menerjang Robin. Mencakari wajah Robin dengan kedua belah
tangan. Merobek-robek kulit dan daging. Menarik lepas sepotong
dagunya. Menyobek hidungnya.
Sambil mengerang kesakitan Robin melayangkan kedua
Fear Street Jeritan Terakhir Last Scream Fearpark 3 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tinjunya ke atas. Yang satu mengenai bawah dagu Meghan. Kulit dagu
Meghan terkelupas, memperlihatkan tulang rahang berwarna kelabu
dan sebaris gigi bawah. "Tidaaak!" Meghan mengeluarkan lolongan panjang
kesakitan"dan menggigit leher Robin.
Saling merenggut dan merobek, mereka jatuh ke lantai,
bergulingan di atas potongan-potongan daging mereka sendiri sambil
terus bergulat dan berkelahi.
Apa yang kami lakukan ini" pikir Robin.
Apakah kami akan saling merobek sampai berkeping-keping "
Bab 19 TEMAN baru Dierdre sudah memberitahu gadis itu apa yang
dia perlu tahu tentang Robin Fear.
Tentu saja pada mulanya Dierdre tidak percaya.
Siapa yang percaya cerita aneh seperti itu"
Tapi sekarang Dierdre percaya. Ia percaya sepenuhnya.
Ayah Robin, Nicholas Fear, sudah memberi kutukan atas taman
hiburan itu. Dan Robin telah membuat dirinya sendiri tidak bisa mati.
Tetap remaja. Menjadi teman Dierdre. Lebih dari sekadar teman biasa.
Robin melakukan semua itu untuk memastikan kutukan
Nicholas Fear benar-benar terjadi. Untuk memastikan Fear Park
ditutup sehingga tanahnya akan kembali ke keluarga Fear.
Dierdre menatap dirinya sendiri di cermin. "Kau tidak kelihatan
tolol," katanya pada bayangannya di cermin. "Tapi kau memang
tolol." Ia menggeleng-gelengkan kepalanya dengan kesal, sambil
memandangi wajahnya yang terlihat tidak senang. "Mau saja kau
dibodohi oleh dia?" ia memarahi dirinya sendiri. "Mengapa
kaubiarkan dirimu dekat dengannya" Bahkan sampai berpikir kau
jatuh cinta padanya!"
Pikiran itu membuat pipinya merah.
"Tolol, tolol, tolol."
Robin pasti menganggap kau orang paling tolol di seluruh
dunia. Aku sampai curhat padanya, Dierdre mengerang sendiri. Aku
percaya padanya. Aku memercayainya.
Aku menciumnya. Aku menyayanginya.
Dan selama itu dia menjalankan rencana jahatnya terhadapku.
Menjalankan rencana jahatnya untuk menghancurkan Daddy, aku, dan
Fear Park. Dia pembunuh. Robin pembunuh berdarah dingin.
Begitu banyak nyawa telah hilang. Begitu banyak orang tak
bersalah.... Ia membunuh anak-anak kecil. Ia membunuh para remaja.
Ia membunuhi orang-orang yang datang ke taman hiburan, yang
cuma ingin mendapatkan sedikit kesenangan.
Dierdre bergidik. Banyak gambaran mengerikan di benaknya, gambarangambaran yang tak akan bisa dihapus seumur hidupnya"dan
penyebab semua itu adalah Robin Fear.
Dia tidak peduli pada nyawa orang, pikir Dierdre sambil
bergidik lagi. Tapi untuk apa dia peduli"
Dia sudah membuat dirinya sendiri hidup abadi. Kematian tidak
ada artinya baginya. Dia tidak peduli siapa yang hidup... dan siapa yang mati.
Aku memang sangat tolol. Terlalu percaya.
Dan kalau teman baru Dierdre tidak memperingatkannya ... "
Bagaimana jadinya" Dierdre menjatuhkan diri ke tempat tidur.
Apa yang akan terjadi sekarang" pikirnya.
Apakah ada cara memenangkan pertarungan ini" Bisakah Robin
Fear dikalahkan" Atau aku akan mati juga"
Bab 20 "JANGAN bergerak dulu. Hampir selesai."
Robin meratakan kulit pipi Meghan dengan dua jari. Kemudian
ia mengamati hasil kerjanya dari dekat.
"Bagaimana rupanya?" tanya Meghan pelan.
Robin memberinya sebuah cermin oval. Meghan
mengangkatnya, melangkah ke bawah cahaya lampu kamar mandi,
dan mengamati wajahnya. "Seperti baru." Ia tersenyum.
"Tidak"jangan tersenyum!" Robin memperingatkan. "Nanti
jadi mengerut. Biar kering dulu."
Meghan memaksa bibirnya menuruti perintah Robin. Ia melihat
wajahnya menjadi sama sekali tanpa ekspresi. "Agak gatal," katanya
pada Robin. "Mungkin akan gatal sampai betul-betul kering," sahut Robin.
Diambilnya cermin oval itu dan diamatinya wajahnya sendiri. Ia
berdecak-decak sambil menggeleng-gelengkan kepala, memandangi
bayangannya di cermin. "Dagunya kurang pas," gumamnya. "Rasanya agak terlalu
panjang." Meghan ikut mengamati dagu Robin. "Tidak apa-apa.
Dengar...," kata-katanya tidak diselesaikan.
Ia bergegas lewat di samping Robin menuju gang. "M-maaf,"
katanya tergagap. "Tidak apa-apa," sahut Robin, masih meneliti dagu barunya.
"Aku tidak bermaksud merepotkanmu," Meghan meneruskan.
"Maksudku, seharusnya aku tidak mengamuk seperti tadi. Itu cuma...
anu..." "Aku mengerti," kata Robin pendek. Ia tidak ingin memulai
perdebatan lagi. "Aku harus membuatmu mendengarkanku," kata Meghan,
mengusap pipinya hati-hati dengan punggung tangannya. "Aku harus
membuatmu mengerti bahwa aku sungguh-sungguh kali ini."
Robin mengangguk. "Aku janji," katanya, menatap ke cermin.
"Aku janji akan mencari mantra penghenti hidup abadimu"
secepatnya." "Robin"secepatnya" Apa artinya itu?"
"Aku ingin mencoba satu kali lagi membantu keluarga
Bradley," sahut Robin. "Aku ingin satu kali lagi mencoba
mematahkan kutukan itu."
Robin menurunkan cermin dan menoleh ke Meghan. "Kau
harus mengerti, Meghan. Orang-orang itu mati di Fear Park. Dan aku
merasa bertanggung jawab. Maksudku, aku tahu itu bukan salahku.
Aku tahu itu salah ayahku. Tapi aku tetap saja merasa bersalah."
Robin menghela napas. "Dan kalau ada yang bisa kulakukan
untuk mematahkan kutukan itu"apa saja"aku akan mencobanya."
Ia menatap dalam-dalam ke mata hijau Meghan, ingin tahu
apakah gadis itu percaya padanya.
Ya! Meghan masih memercayaiku.
Ia mencium dahi Meghan. Kulit baru itu belum betul-betul
kering. Terasa agak lengket di bibirnya.
"Aku juga minta maaf," bisiknya. "Kita sama-sama kehilangan
kendali. Aku juga salah."
Meghan tersenyum. "Aku pegulat lumayan," katanya.
"Pegulat hebat!" sahut Robin. Setelah memandang sekali lagi
hasil perbaikan di wajahnya, ia melangkah ke gang dan pergi ke
kamarnya. "Kau mau ke mana?" tanya Meghan.
"Ke Fear Park," sahut Robin. "Ini mungkin malam yang
penting. Malam yang sangat penting."
Ia memakai baju lengan panjang di luar baju kausnya.
Disapunya sekeping daging dari lutut celana jinsnya. Ia mendapat ide.
Sambil berbelok ke pintu, ia melihat Meghan sedang
memperhatikannya dengan lengan terlipat di dada. "Kau ingat anak
yang bernama Gary?" tanya Robin dengan santai.
Meghan mengerutkan kening mengingat-ingat. "Gary" Dari
kapan?" "Dari kelas kita. Tahun 1935."
Meghan mengetuk-ngetuk dagunya. "Gary. Gary..." Ia
menghela napas. "Sulit untuk mengingat-ingat, Robin. Ingatanku
tentang masa itu sudah sangat memudar. Sudah lama sekali. Aku tidak
ingat." "Cobalah," desak Robin tajam.
"Hmmmm." Ia mengetuk-ngetuk dagunya lagi, matanya
terpejam. "Ya," akhirnya Meghan berkata. "Memang ada yang
bernama Gary. Gary Barth."
"Gary Barth?" Robin berusaha mengingat-ingat nama itu. Tapi
tidak ada wajah yang muncul di benaknya.
"Ya. Gary Barth," kata Meghan. "Aku ingat dia sekarang.
Badannya sangat tinggi, dan sangat kurus."
"Apa warna rambutnya?" tanya Robin.
"Merah," jawab Meghan. "Merah, panjang, dan lurus. Sampai
ke bahu." "Itu dia!" seru Robin. "Itu dia!"
Bab 21 "KONDISI ayahmu tetap tidak ada perubahan," kata perawat
dengan suara pelan tak berirama. "Kami punya nomor teleponmu.
Kami akan meneleponmu kalau ada perubahan."
"Terima kasih," kata Dierdre. "Selamat malam." Ia menaruh
gagang telepon sambil menghela napas. Lalu ia menyandarkan kedua
sikunya di atas meja kerja ayahnya dan menopang kepalanya dengan
kedua tangannya. Kondisinya tetap tidak ada perubahan.
Itu artinya bagus atau buruk" ia bertanya-tanya dengan hati
sedih. Rasanya itu berarti keadaan Dad tidak semakin buruk.
Tapi kenapa dia tidak sadar juga" Para dokter bilang, mereka
baru bisa melakukan pemeriksaan kerusakan otak secara lengkap
setelah Dad sadar. Dierdre menelan ludah, tenggorokannya terasa kering, agak
sakit. Bagaimana kalau Dad tidak pernah sadar lagi selamanya"
Dierdre menghela napas. Tapi kalau begitu, setidaknya, Dad
tidak akan perlu tahu bahwa semua masalahnya disebabkan oleh
keluarga Fear. Dia tidak akan perlu tahu bahwa taman hiburan itu"
impian hidupnya"telah dikutuk sejak awal.
Sebuah ketukan di pintu trailer mengejutkan Dierdre. Ia
terduduk tegak, memutar kursi berodanya menghadap ke pintu.
"Siapa?" Pintu dibuka. Robin Fear melongokkan kepalanya. "Sibuk?"
Senyum Robin membuat Dierdre ingin muntah.
Tanpa sadar ia mengambil pisau perak pembuka amplop dari
meja dan menggenggamnya erat-erat. Aku ingin menikamkan pisau
ini ke jantungnya, pikir Dierdre.
Aku ingin menikam jantungnya dan berkata, "Ini untuk apa
yang telah kaulakukan pada ayahku!" lalu menikamnya lagi berulangulang untuk semua orang yang dibunuhnya di Fear Park.
Robin masuk ke trailer, masih tersenyum. "Kau baik-baik saja"
Aku tanya apa kau sibuk," katanya.
Bagaimana aku sampai bisa tertarik padanya" Dierdre bertanya
pada dirinya sendiri. Bagaimana aku sampai bisa jatuh cinta padanya"
Melihatnya saja membuatku muak sekarang.
"Ya. Sibuk sekali," jawab Dierdre ketus. Ia berbalik ke meja
dan mengambil beberapa lembar kertas.
"Bagaimana kalau kita jalan-jalan sebentar?" tanya Robin.
"Menghirup udara segar. Malam ini indah sekali."
"Tidak bisa," Dierdre memindah-mindahkan beberapa lembar
kertas lagi, matanya tetap tertunduk ke meja.
Di mana Gary" pikirnya. Dia janji mau menemuiku. Dia janji
mau menemaniku, kalau-kalau...
"Ayo, Dee." Robin memegang lengannya. "Sebentar saja. Lima
menit. Pasti akan membuat suasana hatimu lebih ringan."
Sentuhan Robin membuat Dierdre menggigil. "Suasana hatiku
sedang baik-baik saja," sahut Dierdre dingin.
"Ayolah," Robin memaksa. Cekalannya di lengan Dierdre
bertambah kencang. Ia menggeser kedua tangannya turun dan
menggenggam kedua tangan Dierdre. Dan menariknya. "Ayo. Jalanjalan lima menit saja."
Lepaskan aku! pikir Dierdre.
Lepaskan aku! Ia mendongak. Terlihat olehnya ekspresi keras di wajah Robin.
Begitu dingin. Begitu keras.
Apa yang akan dia lakukan" pikir Dierdre, mendadak dicekam
rasa takut. Apa yang akan dia lakukan terhadapku"
Bab 22 "SEBENTAR saja," kata Robin lagi sambil menarik Dierdre ke
pintu trailer. "Aduh!" Gadis itu mengaduh kesakitan ketika pinggulnya
terantuk sudut meja. Robin tertawa. "Maaf."
Dierdre ingin mengusap pinggulnya yang sakit. Tapi Robin
tidak mau melepaskan tangannya.
Apa yang harus kulakukan" tanya Dierdre dalam hati. Menjerit
minta tolong" Tidak ada gunanya. Aku hanya akan terlihat tolol.
Bagaimana aku bisa meyakinkan orang bahwa aku benar-benar dalam
bahaya" Berteriak pada Robin" Memaksanya melepaskanku" Bilang
padanya bahwa aku takkan mau lagi jalan-jalan dengannya"
Tidak. Aku tidak ingin dia tahu bahwa aku tahu yang
sesungguhnya mengenai dia.
Dan yang jelas aku tidak ingin membuat dia lebih marah lagi.
Mungkin lebih baik kuturuti keinginannya, berjalan-jalan
dengan dia, akhirnya Dierdre memutuskan. Lagi pula aku akan lebih
aman di tengah orang ramai. Akan lebih aman daripada sendirian di
dalam trailer bersamanya.
"Oke. Aku ikut. Aku ikut!" serunya, memaksa diri agar
terdengar riang. "Kau memang tidak mau ditolak, ya!"
Robin tertawa. "Ya." Ia membantu Dierdre menuruni tangga
trailer. Dierdre mengikuti Robin ke malam yang cerah dan sejuk. Awan
tipis melapisi bulan separuh. Tercium bau wangi popcorn di udara.
Dierdre menarik napas panjang. Ia merasakan mata Robin
mengamatinya, sehingga ia memaksakan sebuah senyum. Dierdre
melirik ke sana kemari mencari-cari Gary.
Di mana dia" Di mana dia" Dia janji mau ke sini.
Robin meraih tangan Dierdre. Wajahnya didekatkan ke wajah
gadis itu. "Ke arah sini," katanya pelan.
Dengan enggan Dierdre mengikuti saja ke mana Robin
mengajaknya. Sambil berjalan bergandengan tangan, Dierdre
mengamati wajah Robin, mencoba mengira-ngira apa yang
dipikirkannya. Apa yang dia rencanakan"
Sewaktu mengamati Robin, Dierdre merasa ada yang agak beda
di wajah anak muda itu. Apakah matanya" Atau halus kulitnya"
Ekspresi wajahnya" Ada yang berubah.
Fear Street Jeritan Terakhir Last Scream Fearpark 3 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Gary, di mana kau" ia bertanya-tanya, perutnya terasa kaku.
Kenapa kaubiarkan aku sendirian bersama Robin"
"Kita mau ke mana?" Dierdre berusaha agar suaranya terdengar
tenang. Tapi kata-katanya terdengar tegang.
"Jalan-jalan saja," sahut Robin pura-pura malu-malu kucing.
"Kau sudah tidak suka lagi jalan-jalan denganku?"
Dierdre memaksa diri meremas tangan Robin. "Tentu saja aku
suka," ia merajuk. Jangan sampai Robin tahu bahwa aku tahu segalanya tentang
dia. Jangan sampai dia tahu. Dia akan membunuhku juga. Pasti.
Atau jangan-jangan dia memang sudah punya rencana mau
membunuhku sekarang.... Dierdre gemetar. Robin menoleh ke arahnya, matanya curiga. "Kau tidak apaapa" Kau menggigil."
Diedre mengangkat bahu "Ya. Aku baik-baik saja. Cuma agak
dingin rasanya malam ini."
Mata gelap Robin masih menatap mata Dierdre. Senyumnya
memudar. "Ada yang ingin kaukatakan padaku" Ada yang ingin
kaubicarakan?" Dierdre menggeleng. "Tidak. Sungguh. Aku hanya... kau tahu
sendiri... menguatirkan ayahku."
Robin mengangguk serius. "Ada berita dari rumah sakit?"
"Tidak." Dierdre menghela napas. "Keadaannya masih sama
saja. Belum sadar juga."
Dierdre terkejut melihat senyum yang terlihat di wajah Robin.
Dia bahkan tidak berusaha menyembunyikan perasaannya yang
sebenarnya! pikir Dierdre. Dia bahkan tidak berusaha pura-pura
prihatin. Apa artinya itu" Dierdre menyapukan pandangannya ke sekeliling. Mereka
berada di jalan kecil yang menuju Cagar Satwa Liar. Karena cagar itu
tutup waktu malam, jalan kecil itu jadi agak gelap dan sepi. Tidak ada
orang lain di sana. Kenapa dia mengajakku ke sini, ke tempat yang sepi ini"
Dierdre bertanya-tanya sendiri. Aku tidak ingin berjalan ke arah sini.
Aku tidak ingin sendirian saja bersama dia.
Gadis itu menarik napas dalam-dalam. Memutar tubuh dengan
cepat. Dan mulai berlari.
Bab 23 "HEI"!" teriak Robin. "Dierdre?"
Mau ke mana dia" pikirnya. Memangnya dia kira bisa lari
dariku" Robin ragu-ragu sejenak, memperhatikan Dierdre berlari,
kemudian ia berlari mengejar, sepatunya berderap-derap.
Dierdre tahu segalanya, Robin menyadari.
Bisa kulihat di wajahnya. Di tatapannya yang sedingin es.
Terdengar olehku dalam nada suaranya.
Gary sudah memberitahukan seluruhnya. Dierdre sekarang
sudah tahu. Tentang aku, tentang kutukan ayahku, tentang kenapa aku
ada di sini. Dia tahu aku tidak akan berhenti sampai Fear Park dihancurkan.
Dia tahu dia tidak bisa berbuat apa-apa melawanku.
Jadi kenapa dia lari" Kenapa tidak dia terima saja nasibnya"
Kenapa tidak dia tutup saja Fear Park"dan menyelamatkan nyawanya
sendiri" Robin melihat Dierdre berbelok ke jalan utama. Cahaya merah,
biru, dan kuning bersinar dari pohon-pohon di atas. Cahaya warnawarni yang membuat Fear Park lebih terang daripada siang.
Robin ingin tetap di tengah kegelapan di dekat Cagar Satwa
Liar. Ia tidak ingin pergi ke jalan utama yang terang.
Ketika ia berlari mengejar Dierdre, cahaya seakan-akan
berpusar di sekelilingnya, sehingga stand-stand makanan dan
permainan seolah meliuk-liuk.
Ia mengejapkan mata dan menarik napas panjang, mencoba
memulihkan keseimbangannya. "Dierdre?" panggilnya terengahengah.
Dierdre masih terus berlari, menyelinap melewati sekelompok
pemuda yang sedang berjalan menuju arena tembak. Dierdre tidak
menoleh ke belakang. "Dierdre?" Cahaya lampu-lampu yang terang benderang menyilaukan mata
Robin. Kacau, pikir Robin. Aku merasa sangat kacau malam ini.
Semuanya meleset, pikirnya sedih. Dadanya terasa kaku.
Bagaikan ditusuk-tusuk, membuatnya mengaduh.
Semua kacau. Mendadak aku merasa sangat tua.
Cahaya lampu. Kerumunan orang banyak. Orang-orang yang
tertawa riang. Semua ini tidak pada tempatnya. Tidak pada tempatnya,
Dierdre. Aku biarkan keadaan ini berlangsung terlalu lama. Dan aku tahu
kenapa, Robin menyadari. Karena aku lemah. Aku biarkan diriku
tertarik pada Dierdre. Aku tidak ingin dia mati. Aku sayang padanya.
Sungguh. Dan karena dia, aku mengecewakanmu, Dad.
Karena dia, kubiarkan taman hiburan ini dibuka. Aku tidak
menghancurkannya, tidak membakarnya sampai rata dengan tanah,
tidak meledakkannya. Saat cahaya lampu-lampu bersinar-sinar menusuk matanya, saat
stand-stand permainan meliuk-liuk di sekelilingnya, Robin
membayangkan ayahnya, Nicholas Fear. Begitu tinggi, begitu tegak,
begitu keras. Nicholas Fear tak akan membiarkan hal seperti ini berlangsung
terlalu lama, Robin tahu.
Nicholas Fear pasti akan melenyapkan seluruh keluarga
Bradley"termasuk Dierdre" dari muka bumi, lalu duduk menikmati
makan malamnya. Tapi Robin lemah. Robin punya perasaan. Perasaan yang
menghalanginya menepati janjinya pada ayahnya, sumpahnya untuk
mengembalikan tanah ini pada keluarga Fear, pemiliknya yang sah.
Aku telah gagal memenuhi harapanmu, Dad, pikir Robin sedih.
Rasa sakit di dadanya semakin menusuk. Kakinya terasa lemas dan
capek. Setiap tarikan napasnya membuat paru-parunya terasa sakit.
Aku telah gagal memenuhi harapanmu" hingga saat ini.
Aku bukan orang jahat, kata Robin pada dirinya sendiri. Ya,
aku memang telah melakukan perbuatan-perbuatan jahat. Tapi hanya
untuk memenuhi janjiku padamu, Dad. Hanya untuk memenuhi
sumpahku pada keluarga Fear, keluargaku.
Aku sudah mencoba menjadi anak berbakti, Dad. Aku sudah
mencoba melakukan apa yang pasti akan kaulakukan kalau kau yang
berada di sini. Aku telah melakukan perbuatan-perbuatan jahat. Tapi hanya
untuk mendapatkan kembali hak-hak kita. Semua yang telah
kulakukan adalah demi keadilan.
Betul kan, Dad" Betul, kan"
Keringat mengalir di dahi Robin. Setiap napas diiringi tusukan
rasa sakit di dadanya. Aku tidak akan mengecewakanmu lagi, Dad, janjinya pada diri
sendiri. Aku janji. Aku memang lemah tadinya. Tapi sekarang aku
tidak akan gagal lagi memenuhi harapanmu.
Semua pikiran itu berkejaran di benak Robin saat ia mengejar
Dierdre di jalan yang dipenuhi pengunjung. Ia berlari meliuk-liuk
Ia melihat Dierdre berhenti, terjebak di antara sekelompok
remaja yang sedang tertawa-tawa dan sebuah stand makanan. Dengan
sisa-sisa tenaganya yang terakhir, Robin menerkamnya.
Ia menggenggam kedua pundak Dierdre dan mendorongnya ke
dinding. Dierdre menatap ketakutan ke arah Robin. Dada Dierdre turunnaik, napasnya terengah-engah. Cahaya merah, biru, dan kuning
bermain-main di wajahnya yang ketakutan.
Tidak perlu lagi bicara, Robin memantapkan hati. Tidak perlu
lagi berpura-pura. Tidak perlu lagi bertanya-tanya.
Tapi sesungguhnya aku masih punya satu pertanyaan terakhir.
Dengan cara apa aku akan membunuhnya"
Bab 24 BAGAIMANA sekarang" pikir Dierdre. Bagaimana sekarang"
Bagaimana sekarang" Ia mengaduh kecil ketika Robin mendorongnya ke dinding
stand makanan. Aku memang tolol, Dierdre mengomeli dirinya sendiri. Tak
mungkin aku bisa lari lebih cepat dari dia. Lagi pula, mau lari ke
mana" Ke mana pun aku lari di taman hiburan ini, dia akan
menemukanku. Susah payah Dierdre menelan ludah, tenggorokannya kering
dan perih. Napasnya terengah-engah. Ia memutar otak, mencari jalan
menyelamatkan diri. Sambil mengangkat wajah memandang wajah Robin, ia
memaksakan sebuah tawa melengking. "Aku menang!" katanya. Ia
menyeringai pada Robin, masih sambil terengah-engah.
Ia melihat mata Robin yang gelap dan dingin agak melunak. Ia
melihat pertanyaan di wajah anak muda itu.
"Kau lari seperti nenek tua!" godanya.
Mulut Robin ternganga. Matanya meneliti mata Dierdre.
"Tidak!" protesnya.
Dierdre memaksakan sebuah tawa lagi. "Ya."
Kau memang tua, pikir Dierdre.
Aku tahu kau memang sudah sangat tua. Aku tahu seluruh
ceritanya, Robin. Tapi Dierdre tidak ingin berpikir tentang itu saat ini. Ia tahu ia
dalam bahaya. Bahaya besar. Ia tahu ia harus mencari jalan untuk
menjauh dari Robin. Ia harus mengulur waktu.
"Enak rasanya," kata Dierdre, menyapu rambutnya ke belakang
dengan kedua belah tangan. "Aku sudah duduk di kantor seharian.
Segar rasanya sehabis lari."
Akankah dia percaya" pikir Dierdre.
Buat suasananya tetap riang, ia menyuruh dirinya sendiri. Dan
mengulur waktu. Ulur waktu sampai Gary muncul.
Akhirnya Robin melepasnya. Robin mengusap keringat di
dahinya dengan telapak tangan.
"Balap larinya tidak adil," protes Robin. "Kau sudah berlari
jauh lebih dulu." Dierdre menebar pandang, sambil berpikir keras. Bagaimana
aku bisa mengulur-ulur waktu" Bagaimana"
Bagian depan stand makanan menarik perhatiannya. "Aku kok
tiba-tiba jadi lapar!" katanya.
"Betul?" Mata hitam Robin masih menelitinya dengan bimbang.
"Bagaimana kalau harum manis?" tanya Dierdre, melangkah ke
bagian depan stand. "Semalaman baunya sudah tercium-cium olehku.
Sulit ditolak, kan?"
Robin ragu-ragu. "Hmmm..."
"Ayo. Kita beli harum manis satu. Kita makan sama-sama,"
desak Dierdre, memaksa diri untuk terdengar riang. Memaksa diri
tersenyum walaupun ketakutan setengah mati. "Aku yang traktir,"
tambahnya. "Ngng... kau saja. Aku cicipi sedikit saja nanti," sahut Robin.
Mereka pergi ke depan stand. Kebetulan sedang kosong, tidak
ada antrean, sehingga Dierdre langsung ke depan dan minta satu
tangkai harum manis. Wanita muda di belakang meja penjualan berjalan ke mesin
pembuat harum manis. Diambilnya sebuah tangkai kertas dan diputarputarnya di bawah kisaran gula berwarna merah muda.
Dierdre melihat bola serat-serat gula itu semakin membesar.
Lalu ia menoleh dan mengamati jalan yang penuh orang, mencari-cari
Gary. Tidak ada tanda-tanda Gary. Apakah dia lupa"
Ataukah telah terjadi sesuatu padanya"
Robin memperhatikan semua gerakan Dierdre. Ia berdiri dekat
sekali, seakan takut gadis itu akan mencoba lari lagi.
Wanita muda itu memberikan harum manis kepada Dierdre.
Baunya yang harum tercium. Dierdre membuka dompetnya. "Berapa"
Satu dolar?" "Untukmu gratis, Miss Bradley," sahut si wanita muda.
Oh. Betul. Aku pemilik taman hiburan ini, Dierdre ingat. Ia
mengucapkan terima kasih dan menurunkan wajahnya untuk
menggigit serat-serat manis berwarna merah muda itu.
Rasa manis meluncur di lidahnya. Lalu ia menyobek
segenggam harum manis dan memasukkannya ke dalam mulut.
Harum manis itu meleleh begitu menyentuh lidahnya.
Bagaikan sihir, pikir Dierdre. Lenyap begitu kau
menyentuhnya. Di sampingnya, Robin berdeham. Dierdre menoleh dan melihat
anak muda itu sedang bergumam sendiri, wajahnya setengah
tersembunyi. Sayang sekali aku tidak bisa menyentuhnya dan membuatnya
lenyap, pikir Dierdre. Sayang aku tidak bisa membuatnya meleleh.
Lenyap selamanya. Kenapa tiba-tiba saja Robin bicara sendiri"
Dan dari mana datangnya asap ungu itu" Asap itu sepertinya
berpusar-pusar mengelilingi mereka dari samping stand makanan.
Di mana Gary" Setelah menggigit lagi gula lengket berwarna
merah muda itu, Dierdre melangkah pergi dari depan stand. Robin
menggandengnya kembali ke samping stand.
Dierdre mengulurkan harum manisnya ke Robin. "Cobalah
segigit," katanya, memaksa diri agar suaranya terdengar tenang.
Robin tidak mengacuhkannya. Dierdre melihat bibir Robin
bergerak-gerak. Apakah dia sedang bernyanyi sendiri"
"Robin, kau sedang apa?" tanya Dierdre. "Katanya tadi mau
mencicipi sedikit." Dierdre mencari-cari Gary. Jantungnya berhenti sedetik ketika
ia mengira melihat Gary bergegas mendatanginya dari arah tempat
permainan video game. Tapi ia segera melihat bahwa ternyata itu anak
lain yang juga berambut merah.
Bukan Gary... Apa yang harus kulakukan" pikir Dierdre, merasakan ototototnya"seluruh ototnya" tegang karena panik. Aku harus terus
mengulur-ulur waktu. Harus mengulur waktu.
Asap ungu semakin tebal. Pasti mengalir ke sini dari Panggung
Bacok, pikir Dierdre. Mereka menggunakan banyak asap ungu seperti
ini di panggung tempat pertunjukan yang sangat populer itu
dilangsungkan tiga kali setiap malam.
Teringat bahwa anak-anak di pertunjukan tersebut pura-pura
saling membacok membuat Dierdre menggigil.
Begitu banyak kekerasan. Begitu banyak kekerasan di tanah ini,
di lahan bekas hutan yang tadinya sepi ini.
Dan sekarang ia sendiri sedang menghadapi bahaya yang
sama"dari anak ini"orang tua ini"si Fear ini.
Ia harus mengulur waktu. Harus berdoa agar Gary
menemukannya. Harus berharap Gary akan bisa mengusir Robin.
Dengan sikap bercanda, Dierdre menyorongkan harum manis ke
wajah Robin. "Ayo. Cicipi. Ini rasa stroberi. Enak sekali."
Tangan Robin terayun naik mendorong harum manis itu. Bola
Fear Street Jeritan Terakhir Last Scream Fearpark 3 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
manis lengket berwarna merah muda itu mengenai wajah Dierdre.
Karena terkejut, gadis itu berteriak. Gula itu melekat lengket di
pipinya. Di hidungnya. "Kau brengsek!" serunya ringan, masih dengan
nada bercanda. Dierdre tertawa. Aku harus pura-pura sedang menikmati saat-saat yang
menyenangkan, pikirnya. Harus mengulur waktu.
Ia berhenti tertawa ketika merasakan gula lengket merah muda
itu mulai mencengkeram wajahnya. "Hei!" ia berusaha berteriak. Tapi
gula-gula itu menyebar menutupi mulutnya, merekat kedua bibirnya
menjadi satu. "Hei" mmmhh."
Apa yang terjadi" Dierdre bingung. Direnggutnya gula-gula
merah muda di wajahnya dengan kedua belah tangan. Tapi gula-gula
itu tetap lengket di pipinya, dagunya, bibirnya. Ia tidak bisa
menariknya lepas. Asap ungu membubung ke atas, membentuk tirai ungu di
sekelilingnya, menyelimutinya di dalam kabut gelap.
Apa yang terjadi" Dierdre mencakar-cakar dengan panik, mencakar-cakar dengan
kedua belah tangan, mencoba melepaskan serat-serat gula saat seratserat gula itu menyebar semakin lebar menutupi mulutnya, hidungnya,
matanya. Dan sambil menyebar, serat-serat gula itu semakin kencang
mencengkeram. Menekan kedua bibirnya sampai tertutup rapat. Mengikat
kencang hidungnya. Semakin tebal. Semakin lengket.
"Tolong!" ia mencoba berteriak. Tapi yang keluar hanya suara
geraman, terbungkam di balik gula lengket tebal.
Sekarang ia mati-matian mencakari gula-gula itu. Mencakar dan
menarik-narik selimut gula merah muda yang sangat lengket itu.
Mencakar-cakar pipinya. Berkutat menarik gula itu dari hidungnya.
Ia tidak bisa berteriak. Bahkan tidak bisa membuka mulut.
Serat-serat gula mencubiti wajahnya. Semakin erat menekan
dagunya. Ia merasakan serat-serat lengket itu mulai memasuki lubang
hidungnya. Ia mencoba mengembuskannya keluar. Mencoba menariknya
dari hidungnya. Tapi benda lengket itu menyelimutinya. Menyelimutinya.
Menyelimutinya. Masuk ke lubang hidungnya. Menyebar, lengket ke mana-mana.
"Aku akan mencari bantuan!" ia mendengar Robin berseru.
Dierdre mencoba mengintai menembus asap ungu dari celahcelah serat gula. Robin sudah berlari pergi.
"Jangan ke mana-mana!" Dierdre tidak bisa melihat Robin. Tapi
bisa mendengar suaranya. "Jangan ke mana-mana, Dierdre! Aku akan
mencari bantuan!" A-aku tidak bisa bernapas, pikir Dierdre.
Ia jatuh terduduk. Kedua tangannya masih mencakar-cakar,
mencoba melepaskan gula lengket itu dari wajahnya.
Gula itu memenuhi lubang hidungnya. Menutupi hidungnya.
Menekan wajahnya. Menjepit, menyebar, dan melekat.
Tak bisa bernapas... Tak bisa bernapas.... Bab 25 "AKU akan cari bantuan!" seru Robin. Ia tahu Dierdre tidak
bisa melihat senyum lebar di wajahnya.
Ia merunduk di samping sebuah stand permainan,
memperhatikan Dierdre berkutat. Melalui asap ungu yang berpusarpusar ia bisa melihat gadis itu mati-matian berusaha menarik dan
melepaskan harum manis di wajahnya, mencakari wajahnya, tersedak
tak bisa bernapas. Dierdre jatuh berlutut, dengan panik mencoba menarik-narik
serat gula yang semakin tebal dari wajahnya.
Senyum Robin memudar. "Selamat jalan, Dierdre," gumamnya
keras-keras. Beberapa detik lagi gadis itu akan mati.
Robin berusaha mempertahankan otaknya tetap jernih.
Berusaha berkonsentrasi ke mantra yang digunakannya.
Tapi pikiran-pikiran lain, gambaran-gambaran lain, memaksa
menembus benaknya. Ia ingat ciuman-ciuman Dierdre. Ia ingat lembutnya pipi gadis
itu. Ia ingat getaran yang dirasakannya setiap kali tangan Dierdre
menyentuh wajahnya. Emosi-emosi yang bertentangan itu hampir membelah dirinya
menjadi dua. Tenggorokannya sakit. Kepalanya berdenyut-denyut.
Dierdre harus mati. Ia tahu Dierdre harus mati. Tapi ia juga ingin Dierdre tetap
bersamanya, tetap hidup. EBUKULAWAS.BLOGSPOT.COM
Ia tahu ia mengalami lagi emosi-emosi yang dirasakannya enam
puluh tahun yang lalu" ketika ia akhirnya memutuskan harus
membawa Meghan bersamanya.
Ia sangat sayang pada Meghan waktu itu. Ia tidak bisa
membiarkan Meghan ikut mati bersama anak-anak yang lain. Ia harus
membuat Meghan tetap hidup bersamanya"selamanya.
Ia ingin berbuat hal yang sama pada Dierdre sekarang. Tapi
tentu saja ia tidak bisa.
Ia harus membiarkan serat-serat gula itu menyelesaikan
tugasnya mencekik Dierdre sampai mati. Ia harus menyelesaikan apa
yang sudah dimulainya. Ia mengintai menembus asap ungu. Dierdre membungkuk
berlutut. Tidak lagi mencakar-cakar. Tidak lagi meronta-ronta.
Tidak lagi bernapas, Robin yakin.
Menunggu ajal. Robin menahan napas. Ia juga menunggu. Mengamati.
Mengamati saat sesosok tubuh muncul dari seberang jalan.
Sosok yang tidak asing. Tinggi dan langsing. Membungkuk
melihat Dierdre. Gary" Ya. Robin mengenalinya walaupun terbungkus asap ungu.
Apa yang dia pegang di tangannya"
Sebuah gelas besar. Berisi soda" Atau air"
"Tidaaak!" protes Robin. Ia melompat berdiri dan berlari
mendekat. Terlambat. Dilihatnya Gary menyiramkan minuman di gelas itu ke wajah
Dierdre. Dilihatnya tangan Dierdre terangkat naik. Dilihatnya Dierdre
menghapus lapisan tebal gula-gula harum manis dari wajahnya.
Minuman itu akan melarutkan gula, Robin tahu.
Mantra itu tidak berdaya bila disiram air.
Air akan melarutkan lapisan gula.
Asap ungu memudar pergi. Robin bisa melihat Dierdre dengan
jelas sekarang. Bisa melihat senyum di wajahnya. Bisa melihat
cemong-cemong merah muda sisa harum manis di pipinya saat gadis
itu menarik dan mengembuskan napas berkali-kali.
Gary berdiri di samping Dierdre, masih memegangi gelas
kosong. Dierdre menghapus sisa-sisa harum manis yang masih melekat
di wajahnya. Menyapu rambutnya ke belakang. Lalu menghambur ke
depan sambil berseru riang"dan memeluk Gary.
Dengan jantung berdebar keras dan kepala berdenyut-denyut,
Robin berdiri terpaku, melihat mereka berpelukan.
Tidak"ini tak mungkin terjadi. Aku sudah hampir berhasil.
Sudah dekat sekali. Aku tidak percaya ini bisa terjadi.
Aku tidak percaya anak itu sekali lagi merusak rencanaku.
Robin menarik napas panjang dan berjalan mendekati mereka.
"Dierdre"kau sudah tidak apa-apa?" serunya.
Dierdre melepas pelukannya dari Gary. Mereka berdua menatap
Robin dengan ekspresi wajah hati-hati.
"A-aku sangat kuatir!" seru Robin. "Oh, syukurlah. Aku
mencoba mencari bantuan. Tapi aku tidak bisa menemukan seorang
pun. Aku?" Ia berhenti bicara dan memandang Gary. Lengan Gary
merangkul erat pinggang Dierdre.
"Dierdre?" seru Robin, menatap curiga pada Gary. "Siapa dia"
Siapa dia?". Dierdre ragu-ragu. "Uh... anu..."
Robin melotot marah pada Gary. "Siapa kau?" desaknya.
Bab 26 ROBIN melangkah mendekati Gary, menantangnya. Ia melihat
sekilas sinar takut di mata Gary.
Apakah mereka cukup berani mengatakan yang sesungguhnya
padaku" Robin bertanya-tanya dalam hati, sambil memelototi Gary.
Aku sudah tahu yang sesungguhnya tentang Gary. Tapi apakah
mereka cukup berani untuk mengakuinya" Ataukah kau hanya
pengecut berusia delapan puluh tahun, Gary"
Gary membuka mulut untuk menjawab pertanyaan Robin. Tapi
Dierdre melangkah menengahi mereka berdua dan bicara lebih dulu.
"Uh... ng... Robin..." Matanya berulang kali melirik tegang ke Gary,
sambil berdiri di depan Gary seakan melindunginya.
"Ini Gary," akhirnya Dierdre berkata. "Aku sudah bermaksud
memberitahumu tentang Gary, Robin."
"Oh, betul?" sahut Robin, matanya tidak lepas dari Gary.
"Begini," Dierdre berkata lagi, "Gary dan aku"kami tadinya
pacaran. Maksudku. Tahun lalu. Tapi kami bertengkar karena masalah
kecil. Dan kami putus."
"Begitu," gumam Robin.
"Tapi sekarang Gary kembali," Dierdre meneruskan. "Dan
kami... well... berbaikan kembali. Aku sudah mau memberitahumu,
Robin. Sungguh. Aku tahu kau pasti melihat sikapku agak aneh
belakangan ini. Aku"aku"hanya tidak ingin melukai hatimu. Kau
mengerti?" Ya, aku mengerti, pikir Robin dengan pahit.
Aku mengerti bahwa kau pembohong besar, Dierdre.
Ia mengalihkan tatapannya dari Gary ke Dierdre, lalu balik ke
Gary. Gary mengangguk, seakan membenarkan penjelasan Dierdre.
Kalian sama-sama pembohong, pikir Robin, merasakan
darahnya mulai mendidih. "Begitu," gumamnya pada Dierdre. Ia menunduk, berpura-pura
hatinya terluka. "Aku kira kau dan aku..." Ia sengaja tidak
menyelesaikan kalimatnya yang bernada sedih.
"Aku tidak ingin melukai hatimu," Dierdre mengulangi. "Tapi
Gary dan aku" kami... anu... kami sudah saling kenal lama sekali."
Pembohong! Robin ingin meludahkan kata itu ke wajah Dierdre.
Kaukira aku sebodoh apa, Dierdre" Kaukira aku bisa hidup
delapan puluh tahun dan bisa sebodoh itu"
Memang kaukira aku tidak cukup cerdik untuk mengetahui apa
yang sesungguhnya" Kau dan Gary tidak berpacaran tahun lalu. Karena Gary setua
diriku. Gary datang dari tahun 1930-an juga. Gary ke sini untuk
merusak rencanaku. Kau bersikap aneh, Dierdre, karena Gary
menceritakan padamu semua tentang diriku.
Tapi kalian berdua terlalu takut untuk mengatakan yang
sebenarnya. Dan kalian memang punya alasan untuk takut.
"Begitu," kata Robin pelan, mengerahkan seluruh
kemampuannya untuk mengesankan rasa kecewa dan sedih. "Yah, aku
senang kau baik-baik saja. Waktu kau mulai tercekik tadi rasanya aku
jadi panik. Maafkan aku."
"Tidak apa-apa," sahut Dierdre sambil melirik Gary. Gary
masih melingkarkan lengannya ke pinggang Dierdre.
"Baiklah... sampai ketemu lagi," kata Robin. Ia mengangkat
bahu sedikit seakan menunjukkan ia terlalu kecewa sehingga tidak
bisa mengatakan apa pun. Lalu ia melangkah pergi menuju pintu
gerbang. Aku tahu kau juga tak bisa mati, Gary, pikir Robin. Tapi pasti
ada caranya membunuh orang yang tak bisa mati. Dan akan kucari
caranya malam ini. Dan begitu kau tidak ada lagi untuk melindungi Dierdre, akan
sangat mudah membunuh Dierdre. Dan menutup Fear Park selamanya.
Pikiran untuk pergi ke perpustakaannya dan membuka bukubuku kuno untuk mencari mantra pembunuh Gary agak meriangkan
hati Robin. Senyum tersungging terus di wajahnya dalam
perjalanannya pulang ke rumah.
************* Rencananya Robin akan begadang semalaman, membaca bukubuku kuno di perpustakaannya. Tapi tanpa diduga, ia menemukan
mantra yang dicarinya di buku pertama yang dibukanya.
Setumpuk buku berdebu dibiarkan tergeletak di atas meja.
Robin mengambil buku yang paling atas.
Dan di dekat bagian akhir buku itu, ia menemukan mantra yang
dicarinya. Menurut buku itu, ini satu-satunya cara yang diketahui
untuk mengakhiri hidup seseorang yang sudah dibuat tak bisa mati.
Robin menatap mantra itu dengan agak terkejut. Kebetulan
sekali! pikirnya. Menemukan yang kucari semudah ini.
Matanya menelusuri halaman buku itu. Ia menyipitkan mata
agar bisa lebih jelas membaca huruf-hurufnya yang tercetak kecilkecil di kertas yang sudah menguning.
Ia berhenti di sebuah paragraf di awal penjelasan dan
membacanya sekali lagi, memastikan bahwa ia betul-betul mengerti
maksudnya. Paragraf itu mengatakan bahwa orang yang sudah dibuat
tidak bisa mati tidak akan bisa dibunuh oleh orang hidup. Seseorang
yang tidak bisa mati hanya bisa dibunuh oleh orang yang sudah mati.
Dan orang yang sudah mati itu harus orang yang dikenal oleh
orang yang tidak bisa mati yang akan dibunuh itu.
Seseorang yang dikenal oleh si orang yang tidak bisa mati....
Siapa yang dikenal Gary di tahun 1935" pikir Robin.
Ia memejamkan mata dan berpikir keras. Setelah beberapa saat
ia tahu apa yang harus dilakukannya.
Aku akan hidupkan lagi anak-anak yang tewas saling bacok itu.
Setidak-tidaknya salah seorang dari mereka pasti mengenal Gary.
Aku sudah tidak ingat lagi nama-nama mereka. Sudah terlalu
lama berlalu. Tapi aku bisa mengembalikan mereka lagi. Mengembalikan
mereka dari kematian. Dan dengan menggunakan mantra ini, aku akan memerintahkan
mereka untuk membunuh Gary. Untuk membawa Gary ke dunia
kematian bersama mereka. Robin menghafalkan mantra itu baik-baik. Lalu dibacanya lagi
sambil berpikir keras. Berpikir bagaimana melakukannya.
Membawa kembali begitu banyak anak dari kematian sangat
tinggi risikonya. Bisakah ia mengendalikan mereka" Apakah mereka akan
mematuhi perintahnya dan membunuh Gary"
Menurut buku itu, ia bisa mengendalikan mereka dengan
mudah. Mantra itu akan membuat Robin menjadi tuan mereka.
Sambil membungkuk di atas buku besar itu, Robin
membisikkan kata-kata mantranya, menghafalkannya. Mantra itu
sangat sulit. Membutuhkan keahlian tinggi.
Saat Robin berbisik-bisik membaca mantra itu, menghafal kata
demi kata, didengarnya suara berdesir di pintu ruang perpustakaan.
Lalu suara batuk tertahan.
Fear Street Jeritan Terakhir Last Scream Fearpark 3 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Aku tahu kau ada di situ, Meghan, pikirnya. Mengangkat
matanya melihat ke pintu, ia melihat bayang-bayang Meghan di lantai.
Aku tahu kau ada di luar pintu, memata-mataiku.
Tapi jangan kuatir, Meghan-ku sayang. Aku tidak
melupakanmu. Aku juga punya rencana untukmu.
*************** Robin memasang jerat untuk Meghan waktu sarapan esok
harinya. "Kau tahu, aku merasa belakangan ini aku kurang
memperhatikanmu," kata Robin sambil menuang kopi ke cangkirnya.
"Ya, memang," sahut Meghan pelan. Gadis itu memakai jubah
biru di luar piamanya. Wajahnya masih sembap karena baru bangun
tidur. Rambutnya belum disisir.
Meghan menaruh cangkir kopinya dan memandang Robin di
seberang meja, menunggu Robin meneruskan.
"Rasanya kau harus lebih sering keluar," Robin meneruskan. Ia
mengaduk sesendok gula ke dalam kopinya yang mengepul-ngepul.
"Bagaimana kalau kautemui aku di Fear Park nanti malam."
Mulut Meghan seperti huruf O karena terkejut. "Di Fear Park?"
Robin mengangguk. "Aku ingin memperlihatkan sesuatu
padamu. Kau pasti akan tertarik." Robin meneruskan mengaduk
kopinya, mata hitamnya terkunci di mata Meghan. "Temui aku di
Panggung Bacok." "Hah" Pertunjukan itu?" suara Meghan masih agak serak. Ia
mengerutkan wajah. "Robin"kau tahu aku benci pertunjukan itu."
"Aku tahu," kata Robin. "Tapi malam ini?"
"Itu mengingatkanku akan banyak hal yang tidak
menyenangkan," Meghan meneruskan bicaranya, matanya
memandang cangkir kopinya. Ia mengusap setitik noda di taplak meja
di depannya. "Meghan, kejadian itu sudah enam puluh tahun yang lalu,"
Robin mencelanya. "Sudah seumur hidup yang lalu."
"Aku tahu," jawab Meghan tajam. "Tapi bagiku seakan baru
kemarin." Ia menghela napas dan menyapu sejumput rambut dari
wajahnya. "Kau harus mengerti hal itu, Robin. Kau seharusnya sudah
mengerti hal itu sekarang."
"Aku mengerti," protes Robin. "Tapi?"
"Anak-anak itu teman-temanku. Aku kenal sebagian besar dari
mereka sejak kecil. Dan aku hanya berdiri di sana, berdiri di hutan
melihat teman-temanku kesurupan. Aku melihat mereka saling
membacok menjadi berkeping-keping. Aku"aku tidak akan pernah
bisa melupakan pemandangan ketika darah mereka mengalir
membasahi tanah. Begitu banyak darah. Tanah jadi merah, Robin.
Merah! Sampai sekarang pun aku tetap tak bisa mengusir
pemandangan mengerikan itu dari benakku."
"Aku tahu," kata Robin lembut. Ia berdiri, berjalan mendekati
Meghan, dan dengan lembut menaruh tangannya di bahu gadis itu.
"Aku tahu." "Dan aku merasa mual mendengar mereka mengulangi adegan
itu setiap malam di taman hiburan," Meghan meneruskan sambil
menggeleng-gelengkan kepala. "Untuk hiburan. Untuk hiburan."
Ia menolehkan wajahnya ke Robin, wajahnya menuduh.
"Ayahmu yang mengutuk dengan mantranya"ya, kan" Ayahmu yang
membuat anak-anak itu saling bunuh"benar" Kita tidak pernah
membicarakan itu. Selama ini. Dan aku tidak pernah ingin
menanyakannya padamu. Tapi itu yang terjadi kan, Robin?"
Robin menelan ludah dengan susah payah. Ia mengangguk
perlahan. "Ya, memang benar," ia berbohong.
Robin tahu betul bahwa ia sendiri yang melakukannya. Tapi ia
tidak akan pernah mengakui hal itu pada Meghan. Tidak perlu.
Meghan tidak akan ada lagi setelah malam ini.
"Dan itu sebabnya kau merasa bersalah," kata Meghan,
mengambil tangan Robin dari bahunya dan menggenggamnya eraterat. "Itu sebabnya kau bekerja keras melindungi keluarga Bradley. Itu
sebabnya kau bekerja keras melindungi mereka dari kutukan
ayahmu" benar, Robin?"
"Ya," sahut Robin. "Benar."
Ia ingin tertawa keras-keras. Menertawai Meghan.
Bagaimana Meghan bisa hidup bersama Robin selama lebih dari
enam puluh tahun tanpa menduga apa yang sebenarnya terjadi"
"Maukah kau menemuiku nanti malam?" tanya Robin berbisik,
membungkuk di atas Meghan, bibirnya menyentuh telinga Meghan.
"Maukah kau menemuiku nanti malam di tempat pertunjukan itu" Aku
benar-benar ingin memperlihatkan sesuatu padamu. Aku yakin kau
ingin melihatnya." Meghan berpikir agak lama sebelum akhirnya menjawab
dengan bisikan pula, "Baiklah."
Senyum tersungging di wajah Robin.
Satu kena, tinggal dua lagi, pikirnya riang.
Sekarang, kalau aku bisa membujuk Dierdre dan Gary agar mau
bergabung dengan kami di sana, itu akan menjadi malam yang tak
terlupakan"bagi semua orang!
Bab 27 ROBIN mengetuk pintu trailer. Lalu, tanpa menunggu jawaban,
ia membukanya dan melangkah masuk.
Matahari sore bersinar cerah. Di dalam trailer terasa pengap dan
panas. Robin mengejapkan mata, menunggu sampai matanya terbiasa
dengan keremangan di dalam, dan melihat Dierdre menoleh dari meja
kerja ayahnya. Dierdre mengenakan T-shirt biru tanpa lengan dan celana
pendek tenis berwarna putih. Rambut cokelatnya diikat ke belakang.
"Robin?" Gadis itu tidak menyembunyikan keheranannya
melihat Robin. "Aku cuma mau melihat keadaanmu," kata Robin. "Kau baikbaik saja?"
Dierdre mengangguk. "Ya. Baik."
"Maksudku, tadi malam itu sangat mengerikan," Robin
menambahkan, pura-pura tidak bersalah. "Waktu kau mulai
tersedak..." "Aku takkan pernah mau makan harum manis lagi," erang
Dierdre. "Aneh sekali. Benda itu melekat ke wajahku dan tidak bisa
kulepaskan. Aku benar-benar mengira akan mati kehabisan napas."
"Aku senang kau baik-baik saja," Robin berbohong, senang
mendengar betapa wajar suaranya.
"Terima kasih," sahut Dierdre kaku. Ia mengalihkan
perhatiannya ke kertas-kertas di atas meja. "Aku tidak bisa mengobrol
sekarang. Aku sibuk sekali."
"Aku cuma sebentar," sahut Robin. "Aku cuma ingin
mengatakan... mm... aku tidak marah."
Dierdre menyipitkan mata ke arah Robin. "Maksudmu?"
"Tentang Gary," kata Robin, menundukkan mata memandang
lantai. "Oh. Oke," sahut Dierdre canggung. Robin mendengar suara
Dierdre kembali dingin. "Aku harap kita masih bisa tetap berteman," kata Robin pelan.
Dierdre menggumamkan jawaban. Robin tidak bisa mendengar
apa yang dikatakannya. "Berapa lama kau sudah mengenal Gary?" tanya Robin. Ia ingin
melihat Dierdre terpojok, ingin memaksa Dierdre berpikir cepat.
"Sejak sekolah dasar," Dierdre langsung menjawab.
Bohong, pikir Robin tanpa mengubah ekspresi wajahnya.
Ada dua pembohong di trailer saat ini, Dierdre, Robin ingin
berkata. Besok, salah satu dari kita akan mati.
Besok trailer ini akan digembok. Bukan hanya trailer ini, tapi
seluruh Fear Park akan digembok. Dan ditulisi besar-besar, DITUTUP
UNTUK SELAMANYA. Robin melangkah ke pintu. Lalu berhenti dan menghadap ke
Dierdre lagi. "Boleh aku minta sesuatu?"
Dierdre mengerutkan kening. "Aku tidak tahu..."
"Temui aku malam ini" Di Panggung Bacok" Pertunjukan jam
delapan?" "Hah" Kau serius?"
"Aku ingin kau melihat sesuatu," kata Robin bersemangat. "Kau
akan tercengang. Sungguh. Dan ajak Gary sekalian."
"Gary?" Robin bisa melihat rasa heran di wajah Dierdre. Bingung
bercampur rasa ingin tahu.
"Datang sajalah," desak Robin, memberi Dierdre senyumnya
yang terbaik. "Kau dan Gary. Ke pertunjukan jam delapan. Ini terakhir
kalinya aku minta sesuatu darimu. Aku janji."
Bab 28 DIERDRE dan Gary datang ke teater terbuka jam delapan
kurang sepuluh menit. Dierdre mengajak Gary duduk di baris
terdepan. "Untuk apa kita ke sini?" tanya Gary.
Dierdre meremas tangan pemuda itu. "Aku sudah bilang,"
jawabnya tak sabar. "Robin ingin memperlihatkan sesuatu pada kita."
"Tapi dia sendiri tidak ada di sini," protes Gary, menoleh ke
pintu masuk. "Tunggu saja," kata Dierdre.
Dierdre menebarkan pandang ke sekeliling teater kecil itu. Ia
melihat teater tersebut nyaris kosong. Beberapa remaja duduk
berkelompok di baris paling atas. Lalu ada sekitar dua puluh atau tiga
puluh orang tersebar di sana-sini.
Awan rendah di langit menutupi bulan dan mengancam
turunnya hujan. Di kejauhan terlihat kilatan petir.
Udara buruk itu membuat orang lebih suka tinggal di rumah.
Seluruh taman hiburan bisa dibilang sepi pengunjung.
Perut Dierdre terasa tidak nyaman. Tangannya dingin dan
basah. Ia membenamkan tangannya ke dalam saku celana pendeknya
dan duduk meringkuk di samping Gary.
Acara ini makin cepat diselesaikan, makin baik, pikirnya.
Musik tahun 1930-an terdengar dari pengeras suara di atas.
Lampu sorot berwarna ungu menyinari tunggul-tunggul pohon yang
bertebaran di tanah. Sebentar lagi para aktor akan muncul, Dierdre tahu. Para remaja
mengenakan pakaian model tahun 1930-an. Mereka akan mengobrol
dan tertawa-tawa, lalu mulai bekerja, membacoki tunggul-tunggul
pohon dengan golok mereka, membersihkan lahan untuk Fear Park.
Lalu musik akan bergemuruh, dan asap ungu aneh akan
melayang-layang di atas teater. Dan para remaja itu akan kesurupan,
saling membacok dan menebas. Membabat lengan dan tungkai.
Menebas kepala. Mengucurkan darah buatan ke tanah. Membuat
penonton ngeri, memberi mereka tontonan menakutkan yang ingin
mereka tonton di sini. Dierdre menjulurkan lehernya menengok ke pintu teater. Mana
Robin" Ia menengok jam tangannya. Jam delapan kurang lima menit.
Di mana dia" "Payah," keluh Gary. Matanya memandang awan yang semakin
tebal di langit. "Sebentar lagi hujan. Kita akan basah kuyup."
"Tenang saja," pinta Dierdre. "Robin ingin memperlihatkan
pada kita?" Dierdre menghentikan ucapannya ketika melihat Robin masuk
ke teater. Mata Robin menelusuri kursi-kursi yang hampir seluruhnya
kosong sampai dia melihat Gary dan Dierdre. Dia tersenyum dan
mengajak teman yang datang bersamanya ke tempat mereka duduk
sambil melambaikan tangan pada Dierdre.
"Ini Meghan," katanya memperkenalkan. "Meghan, ini Gary
dan Dierdre." "Robin sudah cerita banyak tentang kau," kata Meghan agak
canggung pada Dierdre. Lalu ia duduk di samping Dierdre. Masih
sambil tersenyum, Robin duduk di ujung bangku.
Dia kelihatan riang sekali, pikir Dierdre, mengamati Robin.
Sampai tampak hampir meletus kegirangan!
Dierdre membungkuk melewati Meghan untuk bicara pada
Robin. "Kenapa kau minta kami datang kemari?" tanyanya.
Senyum Robin bertambah lebar. "Kalian lihat saja nanti."
"Pertunjukan ini memuakkan," komentar Gary.
Robin tertawa keras, seakan-akan Gary baru saja mengatakan
sesuatu yang sangat lucu.
Aku tidak pernah melihat Robin seceria ini! pikir Dierdre.
Robin tak henti-hentinya melihat bergantian dari Gary ke aku lalu ke
Meghan, dan senyumnya bertambah lebar.
"Sangat menyedihkan, sebetulnya," kata Meghan serius.
"Sangat menyedihkan bahwa orang-orang senang melihat
pertunjukan semacam ini," Gary setuju.
Dierdre tidak berkomentar. Melihat Robin begitu cerah dan
riang membuatnya mendadak merasa mual. Ia menelan ludah dengan
susah payah, berusaha agar makan malamnya tetap berada di dalam
perut. Tangannya yang dingin ia masukkan semakin dalam ke saku. Ia
menarik napas dalam-dalam dan menahannya.
Lampu-lampu meredup. Musik bertambah keras.
Dierdre memejamkan mata ketika asap ungu mengambang naik
dari permukaan tanah. Ia menelan ludah lagi. Mulutnya kering
bagaikan kapas. Ketika ia membuka mata, para aktor sedang berjalan menembus
asap yang bergulung-gulung ke tanah lapang yang penuh tunggul
pohon. Tanah lapang itu melebar di tengah kegelapan. Para aktor
hanya terlihat bagaikan sosok-sosok bayangan, berjalan berdua-dua
dan bertiga-tiga, memanggul golok mereka.
Dierdre menoleh memandang rekan-rekannya. Gary meringkuk
di tempat duduknya, lututnya menekan dinding semen rendah di depan
mereka. Meghan duduk tegang, punggungnya tegak, tangannya
terlipat di pangkuan. Robin membungkuk ke depan, tersenyum riang. Bibirnya
bergerak-gerak, Dierdre melihatnya. Seakan sedang bernyanyi atau
bicara sendiri. Asap ungu tebal melayang di atas teater. Musik semakin keras
menyentak-nyentak. Bergema memantul dari dinding semen dan
kursi-kursi kosong. Para pekerja remaja itu masih tersembunyi di tengah kegelapan.
Mereka bergerak perlahan bersama-sama, bergumam, tertawa pelan.
Beberapa dari mereka mencoba mengayunkan golok mereka.
Dierdre menghela napas, tidak sabar menunggu lampu menyala
dan pertunjukan dimulai. Hawa dingin serasa menyusup menuruni
tulang punggungnya. Ia menoleh ke arah Robin sekali lagi. Robin praktis
menjulurkan tubuhnya ke arena. Sikunya bertumpu pada dinding
semen yang rendah. Kepalanya ditaruh di telapak tangan.
Wajahnya setengah tersembunyi di dalam tangannya. Tapi
Dierdre bisa melihat bibir Robin bergerak-gerak, bisa melihat
wajahnya yang serius. Dierdre memaksa diri mengalihkan pandangannya ke arena.
Lampu sorot di atas bertambah terang, menembus asap yang berpusarpusar.
Musik sekarang melembut. Lampu semakin terang. Lebih terang lagi. Seterang siang.
Kemudian para pekerja remaja itu berbalik. Semua berbalik
sekaligus menghadap ke penonton.
Fear Street Jeritan Terakhir Last Scream Fearpark 3 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dierdre berseru tertahan.
Ia juga mendengar seruan tertahan dan teriakan dari sekitarnya.
Ia melihat mulut Gary ternganga dan matanya membelalak.
Ia melihat Meghan mengangkat tangan ke kepala dan
mencengkeram rambutnya, wajahnya berkerut terkejut.
Kemudian, saat melihat wajah-wajah... wajah-wajah... wajahwajah menyeramkan di arena... Gary, Meghan, Dierdre"mereka
semua menjerit ngeri. Bab 29 "MEREKA bukan aktor!" Dierdre mendengar dirinya menjerit.
"Mereka bukan aktor!"
Gary menjerit kesakitan. Dierdre menengok ke bawah. Baru sadar bahwa ia
mencengkeram lengan Gary. Mencengkeram keras sekali. Perlu usaha
penuh sebelum ia melepasnya.
"Tidaaak! Tidaaak!" Di sampingnya, Meghan mencengkeram
rambutnya dan mengerang ngeri.
Para remaja di arena tertatih-tatih maju ke arah kursi penonton.
Keluar dari tengah kepulan asap ke bawah sinar lampu. Sinar lampu
yang terang benderang. Begitu terang sehingga Dierdre bisa melihat
setiap detail wajah mereka yang membusuk.
Ia bisa melihat kulit mereka yang busuk berwarna hijau.
Rongga mata yang gelap kosong yang dulunya berisi bola mata.
Ia bisa melihat cacing-cacing menggeliat-geliat dari lubang
hidung mereka. Belatung-belatung yang merayap keluar dari lubanglubang bekas telinga mereka.
Rambut mereka yang kusut. Sobekan-sobekan dan lubanglubang di kulit kepala tempat tulang-tulang kelabu menonjol keluar.
Dan baunya! Busuk sekali. Bau bangkai, bau daging busuk.
Mencengkeram lengan Gary lagi, Dierdre gemetar ketakutan,
seluruh tubuhnya menggigil, giginya gemeretuk, tak terkendali... tak
terkendali... tersengal-sengal... sulit bernapas... menatap para remaja
itu tersaruk-saruk semakin dekat.
"Mereka bukan aktor! Mereka bukan aktor!" itu saja yang
diteriakkannya. Ia tak mampu melepaskan genggamannya dari lengan
Gary. Dierdre tahu mereka sudah mati.
Sebetulnya mereka sudah mati.
Mereka tampak mati. Mereka bau bangkai. Mereka bergerak
dengan kaku, dengan susah payah, mereka sudah tidak pernah
bergerak selama enam puluh tahun!
Sosok-sosok mati itu berjalan terseok-seok dari tengah arena,
maju berdampingan. Sebuah lengan jatuh dari pundak seorang anak laki-laki dan
memantul keras di tanah. Cacing-cacing jatuh dari lubang hidung dan lubang telinga
seorang anak perempuan saat ia bergerak semakin dekat. Daging dari
salah satu tungkai telah lepas membusuk, memperlihatkan tulangtulang yang berderak setiap kali ia melangkah.
Sebuah kepala jatuh. Mendarat pada rahangnya di dekat sebuah
tunggul pohon. Tubuhnya tetap bergerak maju perlahan-lahan dengan
langkah terseret. Semakin dekat. Gary melompat berdiri. Dierdre bisa melihat kakinya gemetar.
Walaupun berdiri dengan gemetaran, Gary tidak mencoba untuk lari
atau pergi. Terpaku ketakutan. Gary terpaku ketakutan, Dierdre menyadari.
Sambil menahan napas, melawan bau busuk, Dierdre menoleh
ke Robin. Robin belum bergerak. Ia masih menjulurkan tubuh ke
depan, ke arah mayat-mayat hidup itu, bibirnya bergerak-gerak cepat,
membaca mantra, wajahnya terlihat puas.
Mereka datang semakin dekat. Dengan langkah terseret-seret.
Beberapa dari mereka tanpa kepala atau lengan, merayap-rayap
sekarang. Dan Dierdre melihat Meghan membuka mulut diiringi jeritan
ngeri. "Mereka"mereka mendatangi kita!" jerit Meghan. "Mereka
mengincar kita!" Bab 30 TANGAN-TANGAN tanpa jari terulur ke arah mereka.
Kepala-kepala membusuk bergoyang-goyang di pundak. Mulutmulut tak bergigi menganga dan menggeram seram. Belatung
merayap-rayap di dagu dan rongga mata mereka yang kosong.
"Mereka mengincar kita!" jerit Meghan. "Mengincar kita!"
Dierdre menarik napas dan menahannya. Ia berusaha
menghentikan gemetar tubuhnya.
Mayat-mayat hidup itu mengulurkan tangan mereka.
Membungkuk di atas dinding semen rendah. Mengulurkan tangan
mereka yang hijau membusuk.
Berputar ke samping dibarengi geraman rendah dari dalam dada
mereka. Berputar. Dan menyambar Robin. Mencekalnya. Menariknya. Mengangkat Robin melewati bagian
atas dinding. Kedua tangan Robin terangkat ke atas. Dierdre melihat mata
Robin terbelalak terkejut.
"Hei!" hanya itu yang bisa diteriakkan Robin.
Lalu dia terjatuh pada siku dan lututnya di atas rumput.
Para remaja yang sudah mati itu mendorongnya ke tanah dan
memeganginya, mulut-mulut mereka yang tak bergigi menyeringai,
mulut-mulut menganga tanpa bibir.
Mereka memegangi Robin sampai anak itu tidak bisa bergerak.
Lalu Dierdre melihat golok-golok terangkat.
Golok-golok diangkat perlahan-lahan, dengan gerakan lambat.
Lalu golok-golok itu mulai diayunkan ke bawah.
Mayat-mayat hidup itu bergantian mengayunkan golok mereka,
satu per satu. Ayunan pertama memancung kepala Robin.
Mayat hidup berikutnya menancapkan goloknya dalam-dalam
ke punggung Robin. Ayunan berikutnya memotong lengan kanan Robin.
Tubuh Robin berkelojotan.
Golok-golok diayunkan ke bawah. Lagi. Dan lagi.
Lagi. Lagi. Lagi. Suara golok terayun, mendesing. Setiap kali diikuti suara duk
keras. Mereka tidak berhenti, sampai mereka mencacah Robin menjadi
potongan-potongan kecil daging dan tulang.
Lalu raungan riang terdengar dari dalam tubuh-tubuh mati itu.
Dierdre serta Meghan melompat berdiri. Meghan menghambur
memeluk Dierdre. Dan berseru, "Terima kasih! Terima kasih, Dierdre,
terima kasih atas bantuanmu membebaskan diriku"akhirnya!"
Bab 31 DIERDRE membalas pelukan Meghan. Memeluknya erat-erat.
Air mata mengalir membasahi pipi mereka.
"Terima kasih. Terima kasih," ucap Meghan berulang-ulang
dengan bisikan serak. "Aku tak akan bisa melakukannya tanpa kau,
Dierdre." "Tidak, tidak," protes Dierdre. "Akulah yang berterima kasih
padamu, Meghan. Karena kau telah memperingatkanku tentang Robin.
Karena kau telah datang padaku dan menceritakan yang sesungguhnya
tentang dia." "Dia kira aku tidak tahu," kata Meghan, membiarkan air
matanya jatuh bercucuran. "Dia kira dia telah menipuku mentahmentah. Aku tadinya percaya pada Robin. Begitu lama. Tapi ketika
aku tahu yang sebenarnya, aku harus membalas"atas apa yang telah
dia lakukan padaku dan pada teman-temanku."
"Meghan, terima kasih! Kau telah mengakhiri kutukan itu. Kau
telah mengakhiri kekuasaan Robin atas kita semua. Kita bebas
sekarang. Kita sama-sama bebas!"
"Selamat tinggal, Dierdre!" kata Meghan. Ia meloncati dinding
untuk bergabung dengan teman-temannya, teman-temannya dari masa
lampau. Dierdre memperhatikan mereka pergi sambil meraung-raung
dari arena. Lalu, sambil bersandar ke Gary, ia mengikuti mereka ke
luar. Keluar ke udara segar. Keluar dari kengerian dan bau bangkai
busuk. Ia melihat mayat hidup itu berjalan di taman hiburan. Naik ke
wahana-wahana. Memekik-mekik dan meraung-raung kegirangan.
Akhirnya mereka dapatkan juga hiburan gratis yang telah
dijanjikan, Dierdre menyadari.
Mereka akhirnya bisa menikmati taman hiburan ini.
Asap ungu bergulung-gulung tebal, menyelimuti Dierdre,
menyelimuti semuanya, bagaikan tirai tebal. Dierdre bisa mendengar
pekikan dan jeritan riang mereka. Ia bisa mendengar mereka di
wahana Kobar-Kobar. Jeritan nyaring, jeritan mayat-mayat yang
dihidupkan lagi, jeritan yang berkembang menjadi lolongan keras.
Lalu sunyi. Asap ungu menipis turun ke permukaan tanah.
Mereka sudah pergi, pikir Dierdre. Anak-anak mati itu sudah
pergi semua. Begitu juga Meghan, Dierdre tahu.
Meghan yang malang. Semua sudah pergi. Taman hiburan sunyi dan sepi.
Setelah lebih dari enam puluh tahun, mereka sempat juga
menikmati taman hiburan ini sebentar. Dan sekarang mereka telah
pergi. Gary menggenggam kedua tangan Dierdre. Menariknya
mendekat. Aku sampai lupa tentang dia! pikir Dierdre.
Ia melihat rasa takut masih tampak di mata Gary. "Apa yang
terjadi?" bisik Gary. "Dierdre"aku tidak mengerti."
"Kita mengalahkan keluarga Fear," Dierdre menghela napas
lega. "Meghan dan aku"kami mengalahkan keluarga Fear dan
kutukan yang mereka jatuhkan pada taman hiburan ini."
Dierdre menyandarkan kepalanya ke bahu Gary. Yang
diinginkannya sekarang hanyalah Gary memeluknya, memeluknya, ia
ingin merasakan ketenangan dalam pelukan Gary.
"Meghan datang padaku," Dierdre menjelaskan. "Setelah Robin
mendorong Daddy ke kincir raksasa. Meghan melihat kejadian itu.
Saat itulah dia tahu Robin telah membohonginya, membohonginya
selama enam puluh tahun."
Dierdre melingkarkan lengannya di pinggang Gary.
Merangkulnya erat-erat, seakan-akan takut Gary akan lenyap seperti
para remaja yang sudah mati itu.
"Jadi Meghan datang padaku dan menceritakan seluruhnya,"
Dierdre meneruskan kisahnya. "Dia mengajakku ke rumah mereka.
Kami membaca buku-buku ilmu hitam Robin. Meghan dan aku
menghafalkan dan mempelajarinya. Kami harus menghancurkan dia.
Kami tahu, kalau kami bekerja sama kami akan berhasil.
"Kami menemukan mantra yang bisa memanggil kembali orang
yang sudah mati," kata Dierdre meneruskan. "Lalu kami buat rencana.
Meghan sengaja memancing pertengkaran dengan Robin untuk
memastikan Robin cukup marah untuk ingin menghancurkan Meghan.
Lalu kami tinggalkan buku dengan mantra tersebut di atas tumpukan
buku lain, sehingga dia bisa menemukannya dengan mudah."
Dierdre meremas tangan Gary. Memeluknya erat-erat. "Kami
buat Robin percaya bahwa kau datang dari masa lampau. Kami buat
dia mengira bahwa kau punya ilmu tidak bisa mati juga, dan datang ke
sini untuk menghancurkan dia."
Mulut Gary ternganga. "Siapa" Aku?" seru Gary. "Tidak bisa
mati" Aku?" "Meghan dan aku tidak ingin Robin tahu bahwa kami berdua
bekerja sama. Jadi kami beritahu dia bahwa kau salah satu anak dari
tahun 1930-an. Kami buat dia mencurigaimu."
Gary menggelengkan kepala. "Aku tidak percaya ini!" katanya.
"Aku percaya," kata Dierdre, masih memeluk Gary. "Meghan
dan aku bekerja dengan keras dan lama menjalankan rencana rahasia
kami. Malam ini Robin mengira dia yang memanggil anak-anak yang
sudah mati itu. Dia kira dia yang memanggil anak-anak malang itu
dari kubur mereka. "Tapi Meghan dan aku yang melakukannya. Kami lakukan
lebih dulu. Kami mendahului dia. Kami melakukannya dan mengirim
mayat hidup itu untuk melawan Robin. Mereka akhirnya bisa
membalas dendam. Dan sekarang Robin sudah tidak ada lagi.
Pengaruh sihir jahatnya sudah hilang. Aku tahu Daddy akan sembuh
setelah kutukan itu dikalahkan."
Dierdre mengangkat wajahnya ke wajah Gary. "Dan kita pun
akan baik-baik saja. Aku tahu."
Sambil tetap memeluk Gary, Dierdre mengajaknya berjalan
menuju pintu gerbang, berjalan perlahan-lahan, merasakan kehangatan
Gary di sampingnya, menghirup segarnya udara, mendengarkan suara
kesunyian di sekitar mereka.
Kesunyian... Suara apa itu yang terdengar lembut di belakang mereka"
Apakah itu suara-suara yang dengan penuh terima kasih dan
kedamaian kembali ke kubur mereka"
Atau gema lembut musik riang dari komidi putar"END
Princess 1 Wiro Sableng 167 Fitnah Berdarah Di Tanah Agam Pengabdian Dokter Perempuan 6
yang mengalir ke pipinya.
Ia membungkuk di atas tempat tidur rumah sakit beralas putih
bersih itu dan menggenggam tangan ayahnya. Terasa sangat lunak,
sangat dingin, sangat tak berkehidupan dalam genggamannya.
"Kau masih bisa mendengarku, Daddy?" bisiknya.
Slang-slang yang tersambung ke tubuh Mr. Bradley berdeguk
seakan-akan menjawab pertanyaannya. Tapi ayah Dierdre tidak
bergerak, tidak berkedip, tidak bersuara sedikit pun.
Dierdre mengamati ayahnya. Ayahnya belum sampai dua
minggu di rumah sakit. Tapi pipinya sudah kempot dan pucat. Tadinya
ayahnya penuh semangat, sangat hidup. Dan sekarang wajahnya sudah
seperti tengkorak. Matanya terpejam terus, kelopak matanya sekali-sekali
berkedut, tapi tidak pernah terbuka. Dadanya turun-naik setiap kali dia
bernapas, diiringi desis lemah melewati bibirnya yang putih.
Dierdre menghabiskan seluruh pagi tadi dengan pengacara
keluarganya di kantor polisi Shadyside. Mereka menjawab pertanyaan
demi pertanyaan tentang sistem keselamatan dan perawatan wahana
Puting Beliung. "Bagaimana terjadinya kecelakaan itu?" berulang kali sang
letnan mengajukan pertanyaan. "Bagaimana dua rantai besi ayunan itu
bisa putus pada saat bersamaan?"
Dierdre tidak punya jawaban atas pertanyaan itu.
Ia sampai di rumah sakit tidak lama setelah waktu makan siang.
Dan langsung menemui Dr. Bruhn di ruang kerja dokter tersebut.
"Ada perubahan" Apakah ayahku sudah sadar?"
Dokter muda itu menggaruk janggutnya yang klimis. "Belum,"
katanya. "Tapi tanda-tanda vitalnya masih tetap baik."
Apa artinya itu" pikir Dierdre.
"Tidak bisakah Dokter memperkirakan kapan ayahku akan
sadar?" desak Dierdre dengan nada tinggi.
Dr. Bruhn menggeleng, mengangkat bahu sedikit. "Aku juga
berharap aku bisa, Dierdre. Tapi tidak ada jawaban atas pertanyaan
itu." "Bila dia sadar...," Dierdre bicara lagi, "apakah dia akan pulih"
Maksudku, setelah berada dalam keadaan koma begitu lama, apakah
otaknya akan... pulih seperti dulu?"
Helaan napas meluncur dari bibir dokter muda itu. "Aku juga
tidak bisa menjawab pertanyaan itu," sahutnya dengan nada sedih
yang sama. Dokter itu bangkit berdiri dan berjalan ke depan mejanya. Ia
menaruh tangannya ke pundak Dierdre. "Kita hanya bisa berharap
yang terbaik. Kita harus..."
"Tapi kapan dia akan sadar?" desak Dierdre. "Kapan?"
"Otak punya kemampuan alamiah untuk memulihkan diri," sang
dokter menyahut lembut, tangannya masih di pundak Dierdre.
"Kadang-kadang perlu beberapa hari bagi penderita koma sampai bisa
sadar lagi. Kadang-kadang beberapa minggu. Kadang-kadang...," katakatanya tidak dia selesaikan.
Dierdre membuka mulut untuk bicara, tapi suaranya tidak
keluar. Ia berdeham melegakan kerongkongannya. "Dr. Bruhn..."
"Pergilah, jenguk ayahmu," perintah dokter itu. "Bicaralah
dengan dia. Dia mungkin bisa mendengarmu, Dierdre. Suaramu akan
berarti banyak baginya. Bahkan kalau dia tidak bisa mendengar katakatamu, suaramu akan sangat berarti."
Dokter Bruhn kembali ke kursinya. Dierdre berdiri dengan
tubuh gemetar. "Kami awasi dia baik-baik. Kami punya harapan besar," kata
Dr. Bruhn pada Dierdre. Lalu ia menambahkan, "Kau harus tegar."
"Kau harus tegar."
Kata-kata itu mengikuti Dierdre sepanjang lorong-lorong rumah
sakit umum Shadyside. "Kau harus tegar."
Ia menarik napas dalam-dalam dan melangkah masuk ke kamar
perawatan ayahnya. Ia menarik sebuah kursi lipat ke samping pembaringan ayahnya.
Seprainya sangat rapi dan tidak kusut.
Rapi dan tidak kusut karena ayahnya tidak bergerak.
Dierdre memegang tangan ayahnya yang lemas dan mulai
bicara padanya. Sambil menahan air mata yang mendesak keluar,
menahan sedu sedan, menahan diri untuk tidak menjerit meraungraung, ia mulai bicara.
Dan mengenang. Ia terkenang kejadian dengan tanaman-tanaman di ruang
belakang rumah, dan ia menceritakannya pada ayahnya, sambil
membungkuk rendah, rendah sekali sehingga ia bisa mencium bau
cemara di kulit ayahnya dari sabun yang digunakan perawat untuk
membasuhnya. Dierdre menceritakan kisah-kisah lain, bicara perlahan, hampir
berbisik. Sambil terus berbicara, ia menggenggam tangan ayahnya
yang lemas bagaikan tangan bayi.
Ketika sedang bicara, Dierdre melihat sebuah bayangan
bergerak melintasi jendela. Ia bisa mendengar suara deruman rendah
dari luar. Suara itu kelihatannya seirama dengan gerakan bayangan
itu. Ia berjalan ke jendela untuk memeriksa. Kamar ayahnya berada
di lantai pertama. Di seberang lapangan parkir, Dierdre melihat dua
buah buldoser besar. Sekop mereka yang besar terangkat bersama,
bagaikan dua gajah sedang mengangkat belalai di tempat minum.
Dierdre melihat sekop-sekop raksasa itu penuh berisi gumpalangumpalan batu karang. Mungkin sedang memperluas lapangan parkir,
pikir Dierdre. "Setidaknya suara-suara itu tidak mengganggumu kan, Daddy?"
tanyanya sedih. Ia kembali duduk di kursi di samping tempat tidur
ayahnya. Slang-slang berdeguk. Sebuah monitor di dekat dinding
mencatat detak jantung. Dierdre bersandar ke punggung kursi. "Aku senang beberapa
hal tak bisa kaudengar," katanya pada ayahnya, berusaha agar
suaranya terdengar rendah dan wajar. "Aku senang kau tidak bisa
mendengar tentang kecelakaan di taman hiburan tadi malam."
Apakah kelopak mata ayahnya bergerak" Tidak. Dierdre
mengamati wajah ayahnya. Sama sekali tak terlihat adanya gerakan.
"Aku senang kau tidak bisa mendengar bahwa satu lagi orang
tak bersalah tewas di Fear Park," Dierdre meneruskan, tanpa mampu
menyembunyikan emosinya. "Aku sungguh tidak mengerti, Daddy.
Sungguh. Orang-orang bilang tanah itu dikutuk. Mungkin mereka
benar. Mungkin memang tanah itu dikutuk. Tapi aku?"
Dierdre berhenti ketika mendengar suara dari pintu di
belakangnya. Ia berbalik cepat saat sesosok tubuh me langkah masuk ke
kamar. "Hah" Apa yang kaulakukan di sini?" serunya.
Bab 15 ROBIN berusaha menyembunyikan rasa terkejutnya, tapi tak
urung seruan tertahan keluar dari mulutnya.
Ia berusaha agar wajahnya tetap tampak tenang dan wajar.
"Dierdre!" serunya. "Aku tidak mengira?"
Memang. Robin tidak mengira Dierdre akan berada di sini.
Ia mengira Dierdre masih di kantor polisi, menjawab
pertanyaan-pertanyaan tentang kecelakaan tragis tadi malam.
Adanya Dierdre di kamar ayahnya sama sekali tidak sesuai
dengan seluruh rencana Robin. Sebuah rencana sederhana. Rencana
untuk menyelesaikan apa yang sudah dimulainya di Kincir Bianglala.
Robin datang ke rumah sakit untuk membunuh Mr. Bradley.
Mr. Bradley sudah sangat lemah, jadi tidak akan makan waktu
lama, pikir Robin tadinya. Atau kupencet tabung pernapasannya
dengan jari, atau kubekap dia dengan bantal.
Kalau ayahnya mati, Dierdre tidak akan punya harapan sama
sekali. Lalu dia mau tidak mau harus menyerah dan menutup Fear
Park. Tapi sekarang, ternyata dia ada di sini.
Merusak rencana Robin. Menghalanginya sekali lagi.
Menatapnya dengan pandangan dingin.
"Robin" Mau apa kau ke sini?" tanya Dierdre lagi.
"Aku... mm... datang untuk melihat bagaimana keadaan
ayahmu," jawab Robin. Ia melangkah ke samping Dierdre dan
memandang Mr. Bradley. "Aku terus-menerus memikirkan dia,"
Robin melanjutkan perlahan. "Aku terus teringat malam yang
mengerikan di kincir raksasa itu. Bagaimana aku seharusnya bisa
menyelamatkannya. Tapi..." Robin pura-pura tidak bisa melanjutkan
karena sedih. "Kau tidak boleh menyalahkan dirimu sendiri," sahut Dierdre,
tanpa melepas tatapannya dari ayahnya. "Kau tidak bisa menyalahkan
dirimu atas terjadinya kecelakaan itu, Robin."
Kenapa tatapannya begitu dingin" pikir Robin. Kenapa dia tidak
bicara padaku dengan perasaan dan kehangatan seperti dulu"
Robin tahu jawabannya. Gary. Dari luar jendela ia mendengar suara gemuruh alat-alat berat
konstruksi. Berderit. Lalu bergemuruh ketika batu-batu besar dituang
dari cakar raksasa alat-alat itu.
"Dia... belum sadar juga?" tanya Robin pelan, mengabaikan
sikap dingin Dierdre. Gadis itu menggeleng sambil menggigit bibir.
"Apa kata dokter?" tanya Robin.
"Mereka juga tidak tahu," sahut Dierdre pahit.
"Apakah mereka tidak bisa mengira?" Robin mulai bertanya
lagi. Dierdre menoleh ke arah Robin, dagunya bergetar. "Aku... aku
sedang tidak ingin bicara."
Robin mundur selangkah. "Oke. Maaf. Aku?"
"Terima kasih atas kedatanganmu ke sini." Dierdre
mengucapkan itu dengan otomatis, tanpa perasaan. Ketika ia
memandang Robin, tidak ada kehangatan di matanya.
"Kalau ada sesuatu yang bisa kulakukan...," kata Robin.
Banyak yang bisa kulakukan, pikirnya. Kalau saja kau tak ada
di sini, Dierdre. "Terima kasih," kata Dierdre kaku. Lalu ia menyipitkan mata
memandang Robin. "Kau ada di Fear Park tadi malam?"
Pertanyaan itu tidak disangka-sangka oleh Robin.
Tidakkah dia melihatku di sana di dekat Puting Beliung"
Tidakkah dia menatapku dengan sangat dingin saat dia dipeluk Gary"
Suasana gelap sekali waktu itu. Dan lampu-lampu ambulans
membuat lebih susah lagi untuk melihat, Robin menyadari.
Mungkin Dierdre tidak melihatku.
"Tidak," katanya menjawab pertanyaan Dierdre. "Aku tidak ada
di sana. Tapi aku melihat apa yang terjadi. Dari berita TV. Aku betulbetul prihatin padamu, Dierdre. Sungguh. Aku?"
Dierdre berbalik kembali ke ayahnya.
Sebelum ada Gary, dia pasti akan datang padaku untuk
menenteramkan hati. Dia pasti akan mencurahkan isi hatinya padaku.
Sebelum ada Gary, dia percaya padaku.
Dan sekarang... "Aku bicara lagi denganmu nanti," kata Robin. "Aku harap
semuanya akan membaik."
Untukku. Bukan untukmu! kata Robin dalam hati dengan hati
panas. Ia berjalan keluar dari kamar. Sepatunya berdetak-detak keras
di lantai saat ia berjalan di lorong-lorong rumah sakit.
Sinar matahari yang sangat cerah memaksanya untuk
melindungi matanya ketika ia membuka pintu samping dan melangkah
ke luar ke pelataran parkir. Ia menyipitkan kedua belah matanya,
menunggu matanya terbiasa dengan sinar matahari yang terang
benderang. Dan melihat Gary sedang bersandar ke sebuah mobil Honda
Civic berwarna biru di dekat bagian belakang pelataran parkir.
Dia mengikutiku, pikir Robin. Mengawasiku.
Menungguku. Bab 16 APAKAH dia pikir aku akan berdiam diri saja" pikir Robin,
sambil menyipitkan mata karena silau. Hawa panas terpantul dari
aspal pelataran parkir. Gary, berkaus ketat warna biru muda dan celana denim,
bersandar santai di depan mobil. Rambut panjangnya yang berwarna
merah berkilau terkena sinar matahari sehingga kepalanya seakanakan menyala terbakar.
Memangnya dia kira aku akan berdiam diri dan membiarkan dia
memata-mataiku" kata Robin dalam hati. Dia kira dia bisa mengikuti
aku ke mana saja semau dia"
Apa sih yang dia kerjakan"
Bukankah sudah cukup banyak kekacauan yang dia lakukan"
Bukankah dia sudah memberitahu Dierdre siapa aku sebenarnya" Dan
membuat Dierdre memusuhiku"
Tujuannya sudah tercapai. Kenapa dia masih berkeliaran di
sini" Gary menegakkan berdirinya dan meregangkan tubuh.
Apakah dia mau ke sini" Robin berpikir. Ia melangkah mundur,
berlindung di bawah pintu masuk rumah sakit.
Gary mengusap rambutnya yang merah dan panjang dengan
kedua belah tangan. Ia menendang ban depan mobil berwarna biru itu.
Dia mencoba mengecohku, Robin menyadari. Dia ingin aku
mengira dia tidak punya kepentingan atas diriku. Dia pura-pura tidak
sedang memata-mataiku. Dasar tolol. Sinar matahari sangat cerah, tapi Robin merasa dingin.
Dingin kebencian. Aku tidak akan membiarkan orang tolol ini merusak rencanaku.
Buldoser-buldoser menderum di belakang Gary. Cakar
raksasanya mengeruk batu-batu di samping pelataran parkir. Cakar
raksasa itu terangkat tinggi, penuh bongkahan batu besar-besar
berwarna kelabu. Saat mereka menumpahkan batu-batu tersebut dan berputar
untuk mengeruk lagi, Robin mendapat ide.
Ia melangkah ke pelataran parkir. Sambil melindungi matanya
dari sengatan sinar matahari, ia mulai membaca mantra.
Apakah aku hafal mantranya" pikirnya.
Rasanya ya. Rasanya aku masih hafal.
Cukup hafal untuk mengurus Gary.
Apakah kau cuma sedang mujur tadi malam, Gary"
Kau bukannya tidak bisa mati, kan" Kau tidak punya ilmu sihir.
Kau hanya sedang mujur tadi malam"betul"
"Kita lihat saja," gumam Robin. "Kita pastikan sekarang."
Ia memejamkan mata dan mulai membaca mantranya. Perlahanlahan, dengan suara pelan, sambil mengingat-ingat kata-katanya.
Ketika ia membuka mata, asap ungu melayang-layang di atas
pelataran parkir. Meliuk-liuk bagaikan ular di sela-sela berkas sinar
matahari keemasan. Robin masih terus mengucapkan mantranya, sambil melihat
asap ungu itu melayang di atas mobil-mobil. Pelataran parkir kelihatan
agak gelap ketika asap ungu itu menebal menghalangi cahaya
matahari. Masih terus membaca mantranya dengan suara pelan, Robin
melihat Gary di balik kabut tebal dan gelap itu. Dan ia melihat
Fear Street Jeritan Terakhir Last Scream Fearpark 3 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
buldoser-buldoser bergerak ke belakang Gary. Melihat buldoserbuldoser itu mengangkat tinggi-tinggi sekop raksasanya yang penuh
beban berat. Ya! Berhasil! pikir Robin.
Kemudian selapis tebal asap ungu menghalangi pandangannya.
Robin tidak bisa melihat korbannya. Tidak bisa melihat mesinmesin itu mendekati korbannya.
Tapi di atas suara bisikan mantra-mantranya, ia bisa mendengar
suara gemuruh mesin-mesin besar itu.
Lalu ia mendengar suara gemuruh batu-batu berat dituangkan
dari cakar raksasa buldoser besar-besar itu.
Robin menyeringai ketika ia mendengar teriakan kaget Gary.
Bab 17 ASAP ungu itu berputar-putar di sekelilingnya, sangat tebal dan
berat sehingga Robin merasa berada di dalam air. Ia mencoba berlari
menyeberangi pelataran parkir. Ia ingin sekali melihat Gary terkubur
di bawah timbunan batu itu.
Tapi asap ungu itu menyebar dan bergulung-gulung, seakanakan mendorongnya mundur.
Robin mendengar suara jeritan keras lagi. Lalu suara orang
berlari. Beberapa bintik cahaya kuning matahari menyusupi kabut ungu
yang berputar-putar. Lalu kabut terkuak dan seberkas sinar matahari
yang sangat cerah menembus tebalnya kegelapan.
Saat asap mulai menipis, didesak minggir oleh sinar matahari,
Robin mengucek-ngucek matanya. Ia berjalan menuju timbunan baru
di bagian belakang pelataran parkir.
Baru separuh jalan ia berhenti ketika mendengar suara-suara di
belakangnya. "Hah?" Robin memutar tubuh.
Tepat di saat Gary bergegas menghampiri Dierdre yang sedang
melangkah keluar dari pintu rumah sakit.
"Wah!" teriak Robin terperanjat.
Gary" Bagaimana Gary bisa?"
Apa yang terjadi" Aku mendengar teriakan Gary tadi sewaktu batu-batu jatuh
menghujaninya, pikir Robin. Aku mendengar dia menjerit. Aku
mendengar dengan jelas sekali.
Sebuah pekikan lain membuat Robin terloncat.
Ketika ia melihat ke buldoser-buldoser tadi, dilihatnya kedua
pengemudinya melompat turun dari buldoser masing-masing. Mereka
berdua saling memaki, sambil menunjuk-nunjuk.
Jadi bukan Gary yang kudengar berteriak tadi, tapi salah
seorang pengemudi buldoser, Robin menyadari. Salah seorang
pengemudi buldoser itu yang kudengar berteriak.
Dan sekarang kedua pengemudi itu saling memaki sambil
menunjuk-nunjuk tumpukan batu yang dicurahkan ke tempat yang
salah. Sedangkan Gary sedang berlari menghampiri Dierdre.
Gary, segar bugar dan tidak kurang suatu apa, sedang
menghampiri Dierdre. "Sejak tadi aku menunggumu," Robin mendengar Gary berkata.
"Kupikir mungkin kau perlu tumpangan."
Menunggu Dierdre" Tidak. Tidak mungkin. Robin tahu.
Robin tahu bahwa Gary sebetulnya sedang menunggunya.
Sedang mengawasi dan memata-matainya.
Kenapa" Robin tidak tahu. Ia membungkuk di balik sebuah mobil. Ia tidak ingin Dierdre
dan Gary melihatnya memperhatikan mereka.
Otaknya berpikir keras. Ia merasa pening. Sengatan sinar
matahari membuatnya pusing.
Apa yang terjadi tadi" Robin sadar ia tidak tahu persis apa yang
terjadi. Apakah Gary menggunakan ilmu sihir untuk mengelak dari
curahan batu tadi" Atau dia cuma bernasib mujur" Apakah Gary mulai
lari ke pintu rumah sakit tepat ketika batu-batu itu mulai berjatuhan"
Sihir atau mujur" Apakah Gary orang dari masa lampau yang tidak bisa mati, atau
hanya orang yang nasibnya luar biasa mujur"
Robin sudah dua kali mencoba membunuhnya"dan keduaduanya gagal. Bisakah Gary dibunuh"
Robin benci merasa begitu bingung, begitu tidak yakin.
Kesabaranku sudah habis, geramnya. Sudah waktunya
menamatkan drama ini. Kau tak akan menang, Gary. Kalau kau memang datang dari
masa lampau untuk merusak rencanaku, kau tak akan menang.
Akan kupastikan hal itu. Rasanya aku belum juga membunuh Dierdre karena sebagian
diriku sebenarnya menyukai gadis itu.
Tapi kalau aku mau menutup Fear Park selamanya, aku tidak
bisa menunda-nunda tugas tak menyenangkan itu lebih lama lagi.
Sambil merapatkan tubuhnya ke mobil, Robin berjingkat
mengintai, memastikan bahwa Dierdre dan Gary sudah pergi. Baru
saja ia hendak berdiri tegak"dua tangan mencengkeram bahunya dan
menariknya dengan kasar. Bab 18 ROBIN menatap wajah merah padam seorang lelaki paruh baya
yang lebih mirip anjing buldog daripada manusia.
"Hei"lepaskan aku!" seru Robin.
Orang itu tetap mencengkeram pundak Robin. Ia menyipitkan
matanya yang bulat kecil dengan pandangan menuduh. "Apa yang
kaulakukan pada mobilku?" geramnya.
"Hah" Mobilmu?" Robin menoleh ke belakang, ke mobil yang
tadi dipakainya bersembunyi.
Wajah buldog itu semakin merah dan menjadi merah tua. "Kau
mau mencuri mobilku, ya?"
"Tidak!" protes Robin. "Aku"uangku jatuh. Dan aku cuma
membungkuk untuk mengambil uang itu. Sungguh, Pak!"
Umurku lebih dari delapan puluh tahun, pikir Robin marah. Dan
aku harus berdiri di sini seperti seorang remaja ketakutan, menyebut si
tolol ini "Pak"!
"Aku"aku sama sekali tidak menyentuh mobilmu!" Robin
menambahkan. Mata kecil itu memelototi Robin selama beberapa detik lagi.
Lalu tangannya yang besar perlahan-lahan mengendurkan
cengkeramannya. Orang itu menggeram, seakan puas mendengar alasan Robin.
Warna merah tua memudar di wajahnya. Ia berbalik ke mobilnya,
mengamatinya, lalu mengusapkan tangannya ke pintu depan mobil.
Detak jantung Robin kembali normal. Ia mulai bisa berpikir
tenang lagi. Ia ingat sebuah mantra yang membuatnya tersenyum. Akan
kulekatkan si brengsek bertubuh besar ini ke mobilnya. Akan
kurekatkan kulitnya ke mobil sampai tak bisa lepas. Dia dan mobilnya
bisa bergandengan terus seumur hidup.
Ketika menoleh, Robin melihat dua perawat berseragam putih
memperhatikannya. Seorang petugas keamanan rumah sakit bergegas
menyeberangi pelataran parkir menuju ke arahnya.
Lupakan mantra itu, pikir Robin. Aku punya urusan yang jauh
lebih penting. Lelaki berbadan besar itu menggeram lagi. "Maafkan aku, Nak.
Aku lihat kau merunduk di balik mobilku dan?"
"Tidak apa-apa," potong Robin. Ia berbalik dan cepat-cepat
pergi dari sana. Ia menunggu di halte bus, memayungi matanya dengan tangan
dari sinar matahari, memikirkan Dierdre.
Dierdre dan Gary. EBUKULAWAS.BLOGSPOT.COM
Siang yang menyebalkan, pikirnya.
Mungkin malam nanti akan lebih membawa hasil....
************* "Robin, kau sudah janji." Meghan menghela napas. Ia
melemparkan jaketnya ke punggung kursi dan duduk di lengan kursi.
"Belum," sahut Robin tidak sabar. "Aku masih belum siap."
Ia menutup buku yang sedang dibacanya dan memandang
melintasi ruangan ke arah Meghan. Kedua tangan gadis itu sedang
terangkat ke belakang rambutnya yang merah. Ia sedang merapikan
beberapa helai rambutnya yang lepas dari ikatan.
Berkas-berkas sinar matahari sore menyorot masuk melalui
jendela depan dan membuat bayang-bayang di karpet. Meghan berada
separuh di bawah bayangan dan separuh di bawah sorotan sinar
matahari. Matanya yang bagaikan zamrud berkilau redup.
"Dari mana kau?" tanya Robin.
Meghan menghela napas lagi. "Cuma jalan- jalan." Ia menarik
rambutnya, memiringkan kepalanya. "Aku bosan."
"Aku tahu," gumam Robin. "Mungkin kau perlu punya hobi." Ia
berdecak. Ia tidak sungguh-sungguh. Ia hanya ingin menghindari
percakapan mereka yang biasa mengenai betapa bosannya Meghan,
mengenai bagaimana Meghan ingin tumbuh menjadi tua.
Aku sangat bosan padamu, Meghan, pikirnya sambil mengamati
gadis itu. "Kau janji mau mencarikan mantra," Meghan menagih janji.
"Kau janji mau mencarikan jalan supaya aku bisa menjadi tua."
"Ya, ya." Robin tidak bisa menyembunyikan nada kesal dari
suaranya. Berapa puluh kali kami harus bicara tentang hal ini"
pikirnya. "Kalau kau ingin jadi remaja selamanya" tidak apa-apa," kata
Meghan. "Tapi aku sudah capek, Robin. Biarkan aku menjadi tua
sendiri." "Kita akan menjadi tua bersama-sama. Aku tidak ingin hidup
tanpa dirimu," kata Robin.
Bukan main bohongnya, pikirnya dengan perasaan pahit.
"Mari kita lakukan sekarang," desak Meghan, menurunkan
tangannya dari ikatan rambutnya. Ketika ia membungkuk ke arah
Robin, wajahnya bergerak dari bawah sorot sinar matahari ke bawah
bayangan. "Aku sudah tak tahan lagi hidup di dua dunia. Tua dan
muda pada saat yang bersamaan. Aku bukan bagian dari salah satu
dunia itu. Aku tidak punya teman. Aku tidak punya kehidupan yang
sesungguhnya. Tanpa tujuan. Aku hanya punya kau..."
"Dulu itu sudah cukup bagimu," gumam Robin, heran sendiri
pada rasa getir di hatinya.
"Tapi aku merasa tidak wajar," protes Meghan. "Tidakkah kau
mengerti" Aku seorang hantu. Hantu hidup. Aku tidak merasa nyaman
di mana pun. Bahkan di dalam tubuhku sendiri!" Sebuah isakan
terlepas dari kerongkongannya.
Ia memiringkan tubuhnya ke bawah cahaya, lalu ke bawah
bayangan lagi, matanya tetap menatap Robin. Menggigit bibir menanti
jawaban. Robin balas menatapnya. Meghan bergeser canggung, sekarang
setengah di bawah cahaya setengah di bawah bayangan.
"Akan kucari mantranya," sahut Robin lelah. "Aku janji."
"Kapan?" "Setelah pekerjaanku di sini selesai," katanya tegas.
"Tapi kau tidak bisa menyelamatkan taman hiburan itu," protes
Meghan. "Kau tidak bisa menyelamatkannya, Robin. Kau sudah
berulang kali berusaha. Tapi kutukan ayahmu lebih kuat daripada
usahamu." Robin menahan diri untuk tidak tertawa.
Setelah semua yang terjadi, pikirnya, Meghan masih setia. Tolol
dan setia. Dia masih percaya aku membantu keluarga Bradley. Dia betulbetul percaya aku berusaha menyelamatkan Fear Park.
Aku akan merasa sangat kehilangan dia, pikir Robin. Dia
memang menyedihkan. Tapi aku tetap akan merasa kehilangan dia.
Meghan mengejutkannya dengan menjejakkan kaki ke lantai.
"Kenapa kau menyeringai?" tanya Meghan.
"Hah" Aku?" Robin tidak sadar bahwa sebuah senyum terukir
di wajahnya. "Kau menyeringai!" Meghan menuduh.
"Tidak. Sungguh. Aku tidak menyeringai."
"Kau menertawakanku"ya, kan?" pekik Meghan. "Kaupikir
aku lucu?" Mata hijaunya bersinar marah.
"Tidak, Meghan," kata Robin tenang, menggerakkan kedua
tangannya menyuruh Meghan duduk.
"Kau masih menyeringai!" jerit Meghan.
"Meghan?" Meghan menyeberangi ruangan, kedua tangannya terkepal.
Robin melompat berdiri. Mengangkat tangannya seakan bersiap-siap
menangkis serangan. Ia pernah melihat Meghan marah besar sebelum
ini. "Kau tidak menganggap aku serius"ya kan, Robin?" pekik
gadis itu, menabrak Robin sehingga Robin hampir jatuh kembali ke
kursinya. "Meghan, jangan?"
"Kau telah menertawakanku selama ini. Kau sama sekali tidak
berniat melakukan apa yang kuminta. Kau tidak akan pernah
membiarkanku bebas dari hidup yang mengerikan ini" ya, kan" Ya,
kan?" Meghan tidak menunggu jawaban. Diiringi jeritan nyaringnya ia
mengangkat kedua tinjunya"dan mulai memukuli dada Robin.
"Jangan!" seru Robin. "Hentikan! Hentikan, Meghan!
Dengarkan aku. Aku?"
"Diam! Diam! Diam!" Meghan mendorong Robin keras-keras.
Lalu menampar wajahnya. "Auuw!" Robin melolong kesakitan dan terhuyung ke belakang.
Ia berusaha mempertahankan keseimbangannya agar tidak
jatuh, tapi Meghan menamparnya sekali lagi.
Robin berseru tertahan melihat sepotong dagingnya terpental
kena tamparan Meghan. "Berhentiii!" desisnya marah. "Aku peringatkan kau?"
"Tidak! Tidak! Tidak!", dalam kemarahannya Meghan
mencengkeram pipi Robin yang sebelah lagi dan merenggut sepotong
dagingnya. "Wajahku!" Robin melindungi wajahnya dengan sebelah
tangan. "Kau merobek-robek wajahku!"
"Biar!" pekik Meghan. "Aku tidak peduli! Aku tidak peduli
pada apa pun lagi!" Tangannya menyambar lagi.
Robin menunduk. Mendorong Meghan.
Robin mengayunkan lengannya. Tanpa berpikir ia mendaratkan
tinjunya ke sisi wajah Meghan.
"Oh!" Mereka sama-sama berseru terkejut. Robin tidak pernah
memukul Meghan sebelumnya.
Kekuatan pukulan Robin membuat robekan lebar di wajah
Meghan. Tulang kelabu mengintai keluar dari celah robekan.
"Aaaah!" Dibarengi jeritan marah, Meghan melompat
menerjang Robin. Mencakari wajah Robin dengan kedua belah
tangan. Merobek-robek kulit dan daging. Menarik lepas sepotong
dagunya. Menyobek hidungnya.
Sambil mengerang kesakitan Robin melayangkan kedua
Fear Street Jeritan Terakhir Last Scream Fearpark 3 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tinjunya ke atas. Yang satu mengenai bawah dagu Meghan. Kulit dagu
Meghan terkelupas, memperlihatkan tulang rahang berwarna kelabu
dan sebaris gigi bawah. "Tidaaak!" Meghan mengeluarkan lolongan panjang
kesakitan"dan menggigit leher Robin.
Saling merenggut dan merobek, mereka jatuh ke lantai,
bergulingan di atas potongan-potongan daging mereka sendiri sambil
terus bergulat dan berkelahi.
Apa yang kami lakukan ini" pikir Robin.
Apakah kami akan saling merobek sampai berkeping-keping "
Bab 19 TEMAN baru Dierdre sudah memberitahu gadis itu apa yang
dia perlu tahu tentang Robin Fear.
Tentu saja pada mulanya Dierdre tidak percaya.
Siapa yang percaya cerita aneh seperti itu"
Tapi sekarang Dierdre percaya. Ia percaya sepenuhnya.
Ayah Robin, Nicholas Fear, sudah memberi kutukan atas taman
hiburan itu. Dan Robin telah membuat dirinya sendiri tidak bisa mati.
Tetap remaja. Menjadi teman Dierdre. Lebih dari sekadar teman biasa.
Robin melakukan semua itu untuk memastikan kutukan
Nicholas Fear benar-benar terjadi. Untuk memastikan Fear Park
ditutup sehingga tanahnya akan kembali ke keluarga Fear.
Dierdre menatap dirinya sendiri di cermin. "Kau tidak kelihatan
tolol," katanya pada bayangannya di cermin. "Tapi kau memang
tolol." Ia menggeleng-gelengkan kepalanya dengan kesal, sambil
memandangi wajahnya yang terlihat tidak senang. "Mau saja kau
dibodohi oleh dia?" ia memarahi dirinya sendiri. "Mengapa
kaubiarkan dirimu dekat dengannya" Bahkan sampai berpikir kau
jatuh cinta padanya!"
Pikiran itu membuat pipinya merah.
"Tolol, tolol, tolol."
Robin pasti menganggap kau orang paling tolol di seluruh
dunia. Aku sampai curhat padanya, Dierdre mengerang sendiri. Aku
percaya padanya. Aku memercayainya.
Aku menciumnya. Aku menyayanginya.
Dan selama itu dia menjalankan rencana jahatnya terhadapku.
Menjalankan rencana jahatnya untuk menghancurkan Daddy, aku, dan
Fear Park. Dia pembunuh. Robin pembunuh berdarah dingin.
Begitu banyak nyawa telah hilang. Begitu banyak orang tak
bersalah.... Ia membunuh anak-anak kecil. Ia membunuh para remaja.
Ia membunuhi orang-orang yang datang ke taman hiburan, yang
cuma ingin mendapatkan sedikit kesenangan.
Dierdre bergidik. Banyak gambaran mengerikan di benaknya, gambarangambaran yang tak akan bisa dihapus seumur hidupnya"dan
penyebab semua itu adalah Robin Fear.
Dia tidak peduli pada nyawa orang, pikir Dierdre sambil
bergidik lagi. Tapi untuk apa dia peduli"
Dia sudah membuat dirinya sendiri hidup abadi. Kematian tidak
ada artinya baginya. Dia tidak peduli siapa yang hidup... dan siapa yang mati.
Aku memang sangat tolol. Terlalu percaya.
Dan kalau teman baru Dierdre tidak memperingatkannya ... "
Bagaimana jadinya" Dierdre menjatuhkan diri ke tempat tidur.
Apa yang akan terjadi sekarang" pikirnya.
Apakah ada cara memenangkan pertarungan ini" Bisakah Robin
Fear dikalahkan" Atau aku akan mati juga"
Bab 20 "JANGAN bergerak dulu. Hampir selesai."
Robin meratakan kulit pipi Meghan dengan dua jari. Kemudian
ia mengamati hasil kerjanya dari dekat.
"Bagaimana rupanya?" tanya Meghan pelan.
Robin memberinya sebuah cermin oval. Meghan
mengangkatnya, melangkah ke bawah cahaya lampu kamar mandi,
dan mengamati wajahnya. "Seperti baru." Ia tersenyum.
"Tidak"jangan tersenyum!" Robin memperingatkan. "Nanti
jadi mengerut. Biar kering dulu."
Meghan memaksa bibirnya menuruti perintah Robin. Ia melihat
wajahnya menjadi sama sekali tanpa ekspresi. "Agak gatal," katanya
pada Robin. "Mungkin akan gatal sampai betul-betul kering," sahut Robin.
Diambilnya cermin oval itu dan diamatinya wajahnya sendiri. Ia
berdecak-decak sambil menggeleng-gelengkan kepala, memandangi
bayangannya di cermin. "Dagunya kurang pas," gumamnya. "Rasanya agak terlalu
panjang." Meghan ikut mengamati dagu Robin. "Tidak apa-apa.
Dengar...," kata-katanya tidak diselesaikan.
Ia bergegas lewat di samping Robin menuju gang. "M-maaf,"
katanya tergagap. "Tidak apa-apa," sahut Robin, masih meneliti dagu barunya.
"Aku tidak bermaksud merepotkanmu," Meghan meneruskan.
"Maksudku, seharusnya aku tidak mengamuk seperti tadi. Itu cuma...
anu..." "Aku mengerti," kata Robin pendek. Ia tidak ingin memulai
perdebatan lagi. "Aku harus membuatmu mendengarkanku," kata Meghan,
mengusap pipinya hati-hati dengan punggung tangannya. "Aku harus
membuatmu mengerti bahwa aku sungguh-sungguh kali ini."
Robin mengangguk. "Aku janji," katanya, menatap ke cermin.
"Aku janji akan mencari mantra penghenti hidup abadimu"
secepatnya." "Robin"secepatnya" Apa artinya itu?"
"Aku ingin mencoba satu kali lagi membantu keluarga
Bradley," sahut Robin. "Aku ingin satu kali lagi mencoba
mematahkan kutukan itu."
Robin menurunkan cermin dan menoleh ke Meghan. "Kau
harus mengerti, Meghan. Orang-orang itu mati di Fear Park. Dan aku
merasa bertanggung jawab. Maksudku, aku tahu itu bukan salahku.
Aku tahu itu salah ayahku. Tapi aku tetap saja merasa bersalah."
Robin menghela napas. "Dan kalau ada yang bisa kulakukan
untuk mematahkan kutukan itu"apa saja"aku akan mencobanya."
Ia menatap dalam-dalam ke mata hijau Meghan, ingin tahu
apakah gadis itu percaya padanya.
Ya! Meghan masih memercayaiku.
Ia mencium dahi Meghan. Kulit baru itu belum betul-betul
kering. Terasa agak lengket di bibirnya.
"Aku juga minta maaf," bisiknya. "Kita sama-sama kehilangan
kendali. Aku juga salah."
Meghan tersenyum. "Aku pegulat lumayan," katanya.
"Pegulat hebat!" sahut Robin. Setelah memandang sekali lagi
hasil perbaikan di wajahnya, ia melangkah ke gang dan pergi ke
kamarnya. "Kau mau ke mana?" tanya Meghan.
"Ke Fear Park," sahut Robin. "Ini mungkin malam yang
penting. Malam yang sangat penting."
Ia memakai baju lengan panjang di luar baju kausnya.
Disapunya sekeping daging dari lutut celana jinsnya. Ia mendapat ide.
Sambil berbelok ke pintu, ia melihat Meghan sedang
memperhatikannya dengan lengan terlipat di dada. "Kau ingat anak
yang bernama Gary?" tanya Robin dengan santai.
Meghan mengerutkan kening mengingat-ingat. "Gary" Dari
kapan?" "Dari kelas kita. Tahun 1935."
Meghan mengetuk-ngetuk dagunya. "Gary. Gary..." Ia
menghela napas. "Sulit untuk mengingat-ingat, Robin. Ingatanku
tentang masa itu sudah sangat memudar. Sudah lama sekali. Aku tidak
ingat." "Cobalah," desak Robin tajam.
"Hmmmm." Ia mengetuk-ngetuk dagunya lagi, matanya
terpejam. "Ya," akhirnya Meghan berkata. "Memang ada yang
bernama Gary. Gary Barth."
"Gary Barth?" Robin berusaha mengingat-ingat nama itu. Tapi
tidak ada wajah yang muncul di benaknya.
"Ya. Gary Barth," kata Meghan. "Aku ingat dia sekarang.
Badannya sangat tinggi, dan sangat kurus."
"Apa warna rambutnya?" tanya Robin.
"Merah," jawab Meghan. "Merah, panjang, dan lurus. Sampai
ke bahu." "Itu dia!" seru Robin. "Itu dia!"
Bab 21 "KONDISI ayahmu tetap tidak ada perubahan," kata perawat
dengan suara pelan tak berirama. "Kami punya nomor teleponmu.
Kami akan meneleponmu kalau ada perubahan."
"Terima kasih," kata Dierdre. "Selamat malam." Ia menaruh
gagang telepon sambil menghela napas. Lalu ia menyandarkan kedua
sikunya di atas meja kerja ayahnya dan menopang kepalanya dengan
kedua tangannya. Kondisinya tetap tidak ada perubahan.
Itu artinya bagus atau buruk" ia bertanya-tanya dengan hati
sedih. Rasanya itu berarti keadaan Dad tidak semakin buruk.
Tapi kenapa dia tidak sadar juga" Para dokter bilang, mereka
baru bisa melakukan pemeriksaan kerusakan otak secara lengkap
setelah Dad sadar. Dierdre menelan ludah, tenggorokannya terasa kering, agak
sakit. Bagaimana kalau Dad tidak pernah sadar lagi selamanya"
Dierdre menghela napas. Tapi kalau begitu, setidaknya, Dad
tidak akan perlu tahu bahwa semua masalahnya disebabkan oleh
keluarga Fear. Dia tidak akan perlu tahu bahwa taman hiburan itu"
impian hidupnya"telah dikutuk sejak awal.
Sebuah ketukan di pintu trailer mengejutkan Dierdre. Ia
terduduk tegak, memutar kursi berodanya menghadap ke pintu.
"Siapa?" Pintu dibuka. Robin Fear melongokkan kepalanya. "Sibuk?"
Senyum Robin membuat Dierdre ingin muntah.
Tanpa sadar ia mengambil pisau perak pembuka amplop dari
meja dan menggenggamnya erat-erat. Aku ingin menikamkan pisau
ini ke jantungnya, pikir Dierdre.
Aku ingin menikam jantungnya dan berkata, "Ini untuk apa
yang telah kaulakukan pada ayahku!" lalu menikamnya lagi berulangulang untuk semua orang yang dibunuhnya di Fear Park.
Robin masuk ke trailer, masih tersenyum. "Kau baik-baik saja"
Aku tanya apa kau sibuk," katanya.
Bagaimana aku sampai bisa tertarik padanya" Dierdre bertanya
pada dirinya sendiri. Bagaimana aku sampai bisa jatuh cinta padanya"
Melihatnya saja membuatku muak sekarang.
"Ya. Sibuk sekali," jawab Dierdre ketus. Ia berbalik ke meja
dan mengambil beberapa lembar kertas.
"Bagaimana kalau kita jalan-jalan sebentar?" tanya Robin.
"Menghirup udara segar. Malam ini indah sekali."
"Tidak bisa," Dierdre memindah-mindahkan beberapa lembar
kertas lagi, matanya tetap tertunduk ke meja.
Di mana Gary" pikirnya. Dia janji mau menemuiku. Dia janji
mau menemaniku, kalau-kalau...
"Ayo, Dee." Robin memegang lengannya. "Sebentar saja. Lima
menit. Pasti akan membuat suasana hatimu lebih ringan."
Sentuhan Robin membuat Dierdre menggigil. "Suasana hatiku
sedang baik-baik saja," sahut Dierdre dingin.
"Ayolah," Robin memaksa. Cekalannya di lengan Dierdre
bertambah kencang. Ia menggeser kedua tangannya turun dan
menggenggam kedua tangan Dierdre. Dan menariknya. "Ayo. Jalanjalan lima menit saja."
Lepaskan aku! pikir Dierdre.
Lepaskan aku! Ia mendongak. Terlihat olehnya ekspresi keras di wajah Robin.
Begitu dingin. Begitu keras.
Apa yang akan dia lakukan" pikir Dierdre, mendadak dicekam
rasa takut. Apa yang akan dia lakukan terhadapku"
Bab 22 "SEBENTAR saja," kata Robin lagi sambil menarik Dierdre ke
pintu trailer. "Aduh!" Gadis itu mengaduh kesakitan ketika pinggulnya
terantuk sudut meja. Robin tertawa. "Maaf."
Dierdre ingin mengusap pinggulnya yang sakit. Tapi Robin
tidak mau melepaskan tangannya.
Apa yang harus kulakukan" tanya Dierdre dalam hati. Menjerit
minta tolong" Tidak ada gunanya. Aku hanya akan terlihat tolol.
Bagaimana aku bisa meyakinkan orang bahwa aku benar-benar dalam
bahaya" Berteriak pada Robin" Memaksanya melepaskanku" Bilang
padanya bahwa aku takkan mau lagi jalan-jalan dengannya"
Tidak. Aku tidak ingin dia tahu bahwa aku tahu yang
sesungguhnya mengenai dia.
Dan yang jelas aku tidak ingin membuat dia lebih marah lagi.
Mungkin lebih baik kuturuti keinginannya, berjalan-jalan
dengan dia, akhirnya Dierdre memutuskan. Lagi pula aku akan lebih
aman di tengah orang ramai. Akan lebih aman daripada sendirian di
dalam trailer bersamanya.
"Oke. Aku ikut. Aku ikut!" serunya, memaksa diri agar
terdengar riang. "Kau memang tidak mau ditolak, ya!"
Robin tertawa. "Ya." Ia membantu Dierdre menuruni tangga
trailer. Dierdre mengikuti Robin ke malam yang cerah dan sejuk. Awan
tipis melapisi bulan separuh. Tercium bau wangi popcorn di udara.
Dierdre menarik napas panjang. Ia merasakan mata Robin
mengamatinya, sehingga ia memaksakan sebuah senyum. Dierdre
melirik ke sana kemari mencari-cari Gary.
Di mana dia" Di mana dia" Dia janji mau ke sini.
Robin meraih tangan Dierdre. Wajahnya didekatkan ke wajah
gadis itu. "Ke arah sini," katanya pelan.
Dengan enggan Dierdre mengikuti saja ke mana Robin
mengajaknya. Sambil berjalan bergandengan tangan, Dierdre
mengamati wajah Robin, mencoba mengira-ngira apa yang
dipikirkannya. Apa yang dia rencanakan"
Sewaktu mengamati Robin, Dierdre merasa ada yang agak beda
di wajah anak muda itu. Apakah matanya" Atau halus kulitnya"
Ekspresi wajahnya" Ada yang berubah.
Fear Street Jeritan Terakhir Last Scream Fearpark 3 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Gary, di mana kau" ia bertanya-tanya, perutnya terasa kaku.
Kenapa kaubiarkan aku sendirian bersama Robin"
"Kita mau ke mana?" Dierdre berusaha agar suaranya terdengar
tenang. Tapi kata-katanya terdengar tegang.
"Jalan-jalan saja," sahut Robin pura-pura malu-malu kucing.
"Kau sudah tidak suka lagi jalan-jalan denganku?"
Dierdre memaksa diri meremas tangan Robin. "Tentu saja aku
suka," ia merajuk. Jangan sampai Robin tahu bahwa aku tahu segalanya tentang
dia. Jangan sampai dia tahu. Dia akan membunuhku juga. Pasti.
Atau jangan-jangan dia memang sudah punya rencana mau
membunuhku sekarang.... Dierdre gemetar. Robin menoleh ke arahnya, matanya curiga. "Kau tidak apaapa" Kau menggigil."
Diedre mengangkat bahu "Ya. Aku baik-baik saja. Cuma agak
dingin rasanya malam ini."
Mata gelap Robin masih menatap mata Dierdre. Senyumnya
memudar. "Ada yang ingin kaukatakan padaku" Ada yang ingin
kaubicarakan?" Dierdre menggeleng. "Tidak. Sungguh. Aku hanya... kau tahu
sendiri... menguatirkan ayahku."
Robin mengangguk serius. "Ada berita dari rumah sakit?"
"Tidak." Dierdre menghela napas. "Keadaannya masih sama
saja. Belum sadar juga."
Dierdre terkejut melihat senyum yang terlihat di wajah Robin.
Dia bahkan tidak berusaha menyembunyikan perasaannya yang
sebenarnya! pikir Dierdre. Dia bahkan tidak berusaha pura-pura
prihatin. Apa artinya itu" Dierdre menyapukan pandangannya ke sekeliling. Mereka
berada di jalan kecil yang menuju Cagar Satwa Liar. Karena cagar itu
tutup waktu malam, jalan kecil itu jadi agak gelap dan sepi. Tidak ada
orang lain di sana. Kenapa dia mengajakku ke sini, ke tempat yang sepi ini"
Dierdre bertanya-tanya sendiri. Aku tidak ingin berjalan ke arah sini.
Aku tidak ingin sendirian saja bersama dia.
Gadis itu menarik napas dalam-dalam. Memutar tubuh dengan
cepat. Dan mulai berlari.
Bab 23 "HEI"!" teriak Robin. "Dierdre?"
Mau ke mana dia" pikirnya. Memangnya dia kira bisa lari
dariku" Robin ragu-ragu sejenak, memperhatikan Dierdre berlari,
kemudian ia berlari mengejar, sepatunya berderap-derap.
Dierdre tahu segalanya, Robin menyadari.
Bisa kulihat di wajahnya. Di tatapannya yang sedingin es.
Terdengar olehku dalam nada suaranya.
Gary sudah memberitahukan seluruhnya. Dierdre sekarang
sudah tahu. Tentang aku, tentang kutukan ayahku, tentang kenapa aku
ada di sini. Dia tahu aku tidak akan berhenti sampai Fear Park dihancurkan.
Dia tahu dia tidak bisa berbuat apa-apa melawanku.
Jadi kenapa dia lari" Kenapa tidak dia terima saja nasibnya"
Kenapa tidak dia tutup saja Fear Park"dan menyelamatkan nyawanya
sendiri" Robin melihat Dierdre berbelok ke jalan utama. Cahaya merah,
biru, dan kuning bersinar dari pohon-pohon di atas. Cahaya warnawarni yang membuat Fear Park lebih terang daripada siang.
Robin ingin tetap di tengah kegelapan di dekat Cagar Satwa
Liar. Ia tidak ingin pergi ke jalan utama yang terang.
Ketika ia berlari mengejar Dierdre, cahaya seakan-akan
berpusar di sekelilingnya, sehingga stand-stand makanan dan
permainan seolah meliuk-liuk.
Ia mengejapkan mata dan menarik napas panjang, mencoba
memulihkan keseimbangannya. "Dierdre?" panggilnya terengahengah.
Dierdre masih terus berlari, menyelinap melewati sekelompok
pemuda yang sedang berjalan menuju arena tembak. Dierdre tidak
menoleh ke belakang. "Dierdre?" Cahaya lampu-lampu yang terang benderang menyilaukan mata
Robin. Kacau, pikir Robin. Aku merasa sangat kacau malam ini.
Semuanya meleset, pikirnya sedih. Dadanya terasa kaku.
Bagaikan ditusuk-tusuk, membuatnya mengaduh.
Semua kacau. Mendadak aku merasa sangat tua.
Cahaya lampu. Kerumunan orang banyak. Orang-orang yang
tertawa riang. Semua ini tidak pada tempatnya. Tidak pada tempatnya,
Dierdre. Aku biarkan keadaan ini berlangsung terlalu lama. Dan aku tahu
kenapa, Robin menyadari. Karena aku lemah. Aku biarkan diriku
tertarik pada Dierdre. Aku tidak ingin dia mati. Aku sayang padanya.
Sungguh. Dan karena dia, aku mengecewakanmu, Dad.
Karena dia, kubiarkan taman hiburan ini dibuka. Aku tidak
menghancurkannya, tidak membakarnya sampai rata dengan tanah,
tidak meledakkannya. Saat cahaya lampu-lampu bersinar-sinar menusuk matanya, saat
stand-stand permainan meliuk-liuk di sekelilingnya, Robin
membayangkan ayahnya, Nicholas Fear. Begitu tinggi, begitu tegak,
begitu keras. Nicholas Fear tak akan membiarkan hal seperti ini berlangsung
terlalu lama, Robin tahu.
Nicholas Fear pasti akan melenyapkan seluruh keluarga
Bradley"termasuk Dierdre" dari muka bumi, lalu duduk menikmati
makan malamnya. Tapi Robin lemah. Robin punya perasaan. Perasaan yang
menghalanginya menepati janjinya pada ayahnya, sumpahnya untuk
mengembalikan tanah ini pada keluarga Fear, pemiliknya yang sah.
Aku telah gagal memenuhi harapanmu, Dad, pikir Robin sedih.
Rasa sakit di dadanya semakin menusuk. Kakinya terasa lemas dan
capek. Setiap tarikan napasnya membuat paru-parunya terasa sakit.
Aku telah gagal memenuhi harapanmu" hingga saat ini.
Aku bukan orang jahat, kata Robin pada dirinya sendiri. Ya,
aku memang telah melakukan perbuatan-perbuatan jahat. Tapi hanya
untuk memenuhi janjiku padamu, Dad. Hanya untuk memenuhi
sumpahku pada keluarga Fear, keluargaku.
Aku sudah mencoba menjadi anak berbakti, Dad. Aku sudah
mencoba melakukan apa yang pasti akan kaulakukan kalau kau yang
berada di sini. Aku telah melakukan perbuatan-perbuatan jahat. Tapi hanya
untuk mendapatkan kembali hak-hak kita. Semua yang telah
kulakukan adalah demi keadilan.
Betul kan, Dad" Betul, kan"
Keringat mengalir di dahi Robin. Setiap napas diiringi tusukan
rasa sakit di dadanya. Aku tidak akan mengecewakanmu lagi, Dad, janjinya pada diri
sendiri. Aku janji. Aku memang lemah tadinya. Tapi sekarang aku
tidak akan gagal lagi memenuhi harapanmu.
Semua pikiran itu berkejaran di benak Robin saat ia mengejar
Dierdre di jalan yang dipenuhi pengunjung. Ia berlari meliuk-liuk
Ia melihat Dierdre berhenti, terjebak di antara sekelompok
remaja yang sedang tertawa-tawa dan sebuah stand makanan. Dengan
sisa-sisa tenaganya yang terakhir, Robin menerkamnya.
Ia menggenggam kedua pundak Dierdre dan mendorongnya ke
dinding. Dierdre menatap ketakutan ke arah Robin. Dada Dierdre turunnaik, napasnya terengah-engah. Cahaya merah, biru, dan kuning
bermain-main di wajahnya yang ketakutan.
Tidak perlu lagi bicara, Robin memantapkan hati. Tidak perlu
lagi berpura-pura. Tidak perlu lagi bertanya-tanya.
Tapi sesungguhnya aku masih punya satu pertanyaan terakhir.
Dengan cara apa aku akan membunuhnya"
Bab 24 BAGAIMANA sekarang" pikir Dierdre. Bagaimana sekarang"
Bagaimana sekarang" Ia mengaduh kecil ketika Robin mendorongnya ke dinding
stand makanan. Aku memang tolol, Dierdre mengomeli dirinya sendiri. Tak
mungkin aku bisa lari lebih cepat dari dia. Lagi pula, mau lari ke
mana" Ke mana pun aku lari di taman hiburan ini, dia akan
menemukanku. Susah payah Dierdre menelan ludah, tenggorokannya kering
dan perih. Napasnya terengah-engah. Ia memutar otak, mencari jalan
menyelamatkan diri. Sambil mengangkat wajah memandang wajah Robin, ia
memaksakan sebuah tawa melengking. "Aku menang!" katanya. Ia
menyeringai pada Robin, masih sambil terengah-engah.
Ia melihat mata Robin yang gelap dan dingin agak melunak. Ia
melihat pertanyaan di wajah anak muda itu.
"Kau lari seperti nenek tua!" godanya.
Mulut Robin ternganga. Matanya meneliti mata Dierdre.
"Tidak!" protesnya.
Dierdre memaksakan sebuah tawa lagi. "Ya."
Kau memang tua, pikir Dierdre.
Aku tahu kau memang sudah sangat tua. Aku tahu seluruh
ceritanya, Robin. Tapi Dierdre tidak ingin berpikir tentang itu saat ini. Ia tahu ia
dalam bahaya. Bahaya besar. Ia tahu ia harus mencari jalan untuk
menjauh dari Robin. Ia harus mengulur waktu.
"Enak rasanya," kata Dierdre, menyapu rambutnya ke belakang
dengan kedua belah tangan. "Aku sudah duduk di kantor seharian.
Segar rasanya sehabis lari."
Akankah dia percaya" pikir Dierdre.
Buat suasananya tetap riang, ia menyuruh dirinya sendiri. Dan
mengulur waktu. Ulur waktu sampai Gary muncul.
Akhirnya Robin melepasnya. Robin mengusap keringat di
dahinya dengan telapak tangan.
"Balap larinya tidak adil," protes Robin. "Kau sudah berlari
jauh lebih dulu." Dierdre menebar pandang, sambil berpikir keras. Bagaimana
aku bisa mengulur-ulur waktu" Bagaimana"
Bagian depan stand makanan menarik perhatiannya. "Aku kok
tiba-tiba jadi lapar!" katanya.
"Betul?" Mata hitam Robin masih menelitinya dengan bimbang.
"Bagaimana kalau harum manis?" tanya Dierdre, melangkah ke
bagian depan stand. "Semalaman baunya sudah tercium-cium olehku.
Sulit ditolak, kan?"
Robin ragu-ragu. "Hmmm..."
"Ayo. Kita beli harum manis satu. Kita makan sama-sama,"
desak Dierdre, memaksa diri untuk terdengar riang. Memaksa diri
tersenyum walaupun ketakutan setengah mati. "Aku yang traktir,"
tambahnya. "Ngng... kau saja. Aku cicipi sedikit saja nanti," sahut Robin.
Mereka pergi ke depan stand. Kebetulan sedang kosong, tidak
ada antrean, sehingga Dierdre langsung ke depan dan minta satu
tangkai harum manis. Wanita muda di belakang meja penjualan berjalan ke mesin
pembuat harum manis. Diambilnya sebuah tangkai kertas dan diputarputarnya di bawah kisaran gula berwarna merah muda.
Dierdre melihat bola serat-serat gula itu semakin membesar.
Lalu ia menoleh dan mengamati jalan yang penuh orang, mencari-cari
Gary. Tidak ada tanda-tanda Gary. Apakah dia lupa"
Ataukah telah terjadi sesuatu padanya"
Robin memperhatikan semua gerakan Dierdre. Ia berdiri dekat
sekali, seakan takut gadis itu akan mencoba lari lagi.
Wanita muda itu memberikan harum manis kepada Dierdre.
Baunya yang harum tercium. Dierdre membuka dompetnya. "Berapa"
Satu dolar?" "Untukmu gratis, Miss Bradley," sahut si wanita muda.
Oh. Betul. Aku pemilik taman hiburan ini, Dierdre ingat. Ia
mengucapkan terima kasih dan menurunkan wajahnya untuk
menggigit serat-serat manis berwarna merah muda itu.
Rasa manis meluncur di lidahnya. Lalu ia menyobek
segenggam harum manis dan memasukkannya ke dalam mulut.
Harum manis itu meleleh begitu menyentuh lidahnya.
Bagaikan sihir, pikir Dierdre. Lenyap begitu kau
menyentuhnya. Di sampingnya, Robin berdeham. Dierdre menoleh dan melihat
anak muda itu sedang bergumam sendiri, wajahnya setengah
tersembunyi. Sayang sekali aku tidak bisa menyentuhnya dan membuatnya
lenyap, pikir Dierdre. Sayang aku tidak bisa membuatnya meleleh.
Lenyap selamanya. Kenapa tiba-tiba saja Robin bicara sendiri"
Dan dari mana datangnya asap ungu itu" Asap itu sepertinya
berpusar-pusar mengelilingi mereka dari samping stand makanan.
Di mana Gary" Setelah menggigit lagi gula lengket berwarna
merah muda itu, Dierdre melangkah pergi dari depan stand. Robin
menggandengnya kembali ke samping stand.
Dierdre mengulurkan harum manisnya ke Robin. "Cobalah
segigit," katanya, memaksa diri agar suaranya terdengar tenang.
Robin tidak mengacuhkannya. Dierdre melihat bibir Robin
bergerak-gerak. Apakah dia sedang bernyanyi sendiri"
"Robin, kau sedang apa?" tanya Dierdre. "Katanya tadi mau
mencicipi sedikit." Dierdre mencari-cari Gary. Jantungnya berhenti sedetik ketika
ia mengira melihat Gary bergegas mendatanginya dari arah tempat
permainan video game. Tapi ia segera melihat bahwa ternyata itu anak
lain yang juga berambut merah.
Bukan Gary... Apa yang harus kulakukan" pikir Dierdre, merasakan ototototnya"seluruh ototnya" tegang karena panik. Aku harus terus
mengulur-ulur waktu. Harus mengulur waktu.
Asap ungu semakin tebal. Pasti mengalir ke sini dari Panggung
Bacok, pikir Dierdre. Mereka menggunakan banyak asap ungu seperti
ini di panggung tempat pertunjukan yang sangat populer itu
dilangsungkan tiga kali setiap malam.
Teringat bahwa anak-anak di pertunjukan tersebut pura-pura
saling membacok membuat Dierdre menggigil.
Begitu banyak kekerasan. Begitu banyak kekerasan di tanah ini,
di lahan bekas hutan yang tadinya sepi ini.
Dan sekarang ia sendiri sedang menghadapi bahaya yang
sama"dari anak ini"orang tua ini"si Fear ini.
Ia harus mengulur waktu. Harus berdoa agar Gary
menemukannya. Harus berharap Gary akan bisa mengusir Robin.
Dengan sikap bercanda, Dierdre menyorongkan harum manis ke
wajah Robin. "Ayo. Cicipi. Ini rasa stroberi. Enak sekali."
Tangan Robin terayun naik mendorong harum manis itu. Bola
Fear Street Jeritan Terakhir Last Scream Fearpark 3 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
manis lengket berwarna merah muda itu mengenai wajah Dierdre.
Karena terkejut, gadis itu berteriak. Gula itu melekat lengket di
pipinya. Di hidungnya. "Kau brengsek!" serunya ringan, masih dengan
nada bercanda. Dierdre tertawa. Aku harus pura-pura sedang menikmati saat-saat yang
menyenangkan, pikirnya. Harus mengulur waktu.
Ia berhenti tertawa ketika merasakan gula lengket merah muda
itu mulai mencengkeram wajahnya. "Hei!" ia berusaha berteriak. Tapi
gula-gula itu menyebar menutupi mulutnya, merekat kedua bibirnya
menjadi satu. "Hei" mmmhh."
Apa yang terjadi" Dierdre bingung. Direnggutnya gula-gula
merah muda di wajahnya dengan kedua belah tangan. Tapi gula-gula
itu tetap lengket di pipinya, dagunya, bibirnya. Ia tidak bisa
menariknya lepas. Asap ungu membubung ke atas, membentuk tirai ungu di
sekelilingnya, menyelimutinya di dalam kabut gelap.
Apa yang terjadi" Dierdre mencakar-cakar dengan panik, mencakar-cakar dengan
kedua belah tangan, mencoba melepaskan serat-serat gula saat seratserat gula itu menyebar semakin lebar menutupi mulutnya, hidungnya,
matanya. Dan sambil menyebar, serat-serat gula itu semakin kencang
mencengkeram. Menekan kedua bibirnya sampai tertutup rapat. Mengikat
kencang hidungnya. Semakin tebal. Semakin lengket.
"Tolong!" ia mencoba berteriak. Tapi yang keluar hanya suara
geraman, terbungkam di balik gula lengket tebal.
Sekarang ia mati-matian mencakari gula-gula itu. Mencakar dan
menarik-narik selimut gula merah muda yang sangat lengket itu.
Mencakar-cakar pipinya. Berkutat menarik gula itu dari hidungnya.
Ia tidak bisa berteriak. Bahkan tidak bisa membuka mulut.
Serat-serat gula mencubiti wajahnya. Semakin erat menekan
dagunya. Ia merasakan serat-serat lengket itu mulai memasuki lubang
hidungnya. Ia mencoba mengembuskannya keluar. Mencoba menariknya
dari hidungnya. Tapi benda lengket itu menyelimutinya. Menyelimutinya.
Menyelimutinya. Masuk ke lubang hidungnya. Menyebar, lengket ke mana-mana.
"Aku akan mencari bantuan!" ia mendengar Robin berseru.
Dierdre mencoba mengintai menembus asap ungu dari celahcelah serat gula. Robin sudah berlari pergi.
"Jangan ke mana-mana!" Dierdre tidak bisa melihat Robin. Tapi
bisa mendengar suaranya. "Jangan ke mana-mana, Dierdre! Aku akan
mencari bantuan!" A-aku tidak bisa bernapas, pikir Dierdre.
Ia jatuh terduduk. Kedua tangannya masih mencakar-cakar,
mencoba melepaskan gula lengket itu dari wajahnya.
Gula itu memenuhi lubang hidungnya. Menutupi hidungnya.
Menekan wajahnya. Menjepit, menyebar, dan melekat.
Tak bisa bernapas... Tak bisa bernapas.... Bab 25 "AKU akan cari bantuan!" seru Robin. Ia tahu Dierdre tidak
bisa melihat senyum lebar di wajahnya.
Ia merunduk di samping sebuah stand permainan,
memperhatikan Dierdre berkutat. Melalui asap ungu yang berpusarpusar ia bisa melihat gadis itu mati-matian berusaha menarik dan
melepaskan harum manis di wajahnya, mencakari wajahnya, tersedak
tak bisa bernapas. Dierdre jatuh berlutut, dengan panik mencoba menarik-narik
serat gula yang semakin tebal dari wajahnya.
Senyum Robin memudar. "Selamat jalan, Dierdre," gumamnya
keras-keras. Beberapa detik lagi gadis itu akan mati.
Robin berusaha mempertahankan otaknya tetap jernih.
Berusaha berkonsentrasi ke mantra yang digunakannya.
Tapi pikiran-pikiran lain, gambaran-gambaran lain, memaksa
menembus benaknya. Ia ingat ciuman-ciuman Dierdre. Ia ingat lembutnya pipi gadis
itu. Ia ingat getaran yang dirasakannya setiap kali tangan Dierdre
menyentuh wajahnya. Emosi-emosi yang bertentangan itu hampir membelah dirinya
menjadi dua. Tenggorokannya sakit. Kepalanya berdenyut-denyut.
Dierdre harus mati. Ia tahu Dierdre harus mati. Tapi ia juga ingin Dierdre tetap
bersamanya, tetap hidup. EBUKULAWAS.BLOGSPOT.COM
Ia tahu ia mengalami lagi emosi-emosi yang dirasakannya enam
puluh tahun yang lalu" ketika ia akhirnya memutuskan harus
membawa Meghan bersamanya.
Ia sangat sayang pada Meghan waktu itu. Ia tidak bisa
membiarkan Meghan ikut mati bersama anak-anak yang lain. Ia harus
membuat Meghan tetap hidup bersamanya"selamanya.
Ia ingin berbuat hal yang sama pada Dierdre sekarang. Tapi
tentu saja ia tidak bisa.
Ia harus membiarkan serat-serat gula itu menyelesaikan
tugasnya mencekik Dierdre sampai mati. Ia harus menyelesaikan apa
yang sudah dimulainya. Ia mengintai menembus asap ungu. Dierdre membungkuk
berlutut. Tidak lagi mencakar-cakar. Tidak lagi meronta-ronta.
Tidak lagi bernapas, Robin yakin.
Menunggu ajal. Robin menahan napas. Ia juga menunggu. Mengamati.
Mengamati saat sesosok tubuh muncul dari seberang jalan.
Sosok yang tidak asing. Tinggi dan langsing. Membungkuk
melihat Dierdre. Gary" Ya. Robin mengenalinya walaupun terbungkus asap ungu.
Apa yang dia pegang di tangannya"
Sebuah gelas besar. Berisi soda" Atau air"
"Tidaaak!" protes Robin. Ia melompat berdiri dan berlari
mendekat. Terlambat. Dilihatnya Gary menyiramkan minuman di gelas itu ke wajah
Dierdre. Dilihatnya tangan Dierdre terangkat naik. Dilihatnya Dierdre
menghapus lapisan tebal gula-gula harum manis dari wajahnya.
Minuman itu akan melarutkan gula, Robin tahu.
Mantra itu tidak berdaya bila disiram air.
Air akan melarutkan lapisan gula.
Asap ungu memudar pergi. Robin bisa melihat Dierdre dengan
jelas sekarang. Bisa melihat senyum di wajahnya. Bisa melihat
cemong-cemong merah muda sisa harum manis di pipinya saat gadis
itu menarik dan mengembuskan napas berkali-kali.
Gary berdiri di samping Dierdre, masih memegangi gelas
kosong. Dierdre menghapus sisa-sisa harum manis yang masih melekat
di wajahnya. Menyapu rambutnya ke belakang. Lalu menghambur ke
depan sambil berseru riang"dan memeluk Gary.
Dengan jantung berdebar keras dan kepala berdenyut-denyut,
Robin berdiri terpaku, melihat mereka berpelukan.
Tidak"ini tak mungkin terjadi. Aku sudah hampir berhasil.
Sudah dekat sekali. Aku tidak percaya ini bisa terjadi.
Aku tidak percaya anak itu sekali lagi merusak rencanaku.
Robin menarik napas panjang dan berjalan mendekati mereka.
"Dierdre"kau sudah tidak apa-apa?" serunya.
Dierdre melepas pelukannya dari Gary. Mereka berdua menatap
Robin dengan ekspresi wajah hati-hati.
"A-aku sangat kuatir!" seru Robin. "Oh, syukurlah. Aku
mencoba mencari bantuan. Tapi aku tidak bisa menemukan seorang
pun. Aku?" Ia berhenti bicara dan memandang Gary. Lengan Gary
merangkul erat pinggang Dierdre.
"Dierdre?" seru Robin, menatap curiga pada Gary. "Siapa dia"
Siapa dia?". Dierdre ragu-ragu. "Uh... anu..."
Robin melotot marah pada Gary. "Siapa kau?" desaknya.
Bab 26 ROBIN melangkah mendekati Gary, menantangnya. Ia melihat
sekilas sinar takut di mata Gary.
Apakah mereka cukup berani mengatakan yang sesungguhnya
padaku" Robin bertanya-tanya dalam hati, sambil memelototi Gary.
Aku sudah tahu yang sesungguhnya tentang Gary. Tapi apakah
mereka cukup berani untuk mengakuinya" Ataukah kau hanya
pengecut berusia delapan puluh tahun, Gary"
Gary membuka mulut untuk menjawab pertanyaan Robin. Tapi
Dierdre melangkah menengahi mereka berdua dan bicara lebih dulu.
"Uh... ng... Robin..." Matanya berulang kali melirik tegang ke Gary,
sambil berdiri di depan Gary seakan melindunginya.
"Ini Gary," akhirnya Dierdre berkata. "Aku sudah bermaksud
memberitahumu tentang Gary, Robin."
"Oh, betul?" sahut Robin, matanya tidak lepas dari Gary.
"Begini," Dierdre berkata lagi, "Gary dan aku"kami tadinya
pacaran. Maksudku. Tahun lalu. Tapi kami bertengkar karena masalah
kecil. Dan kami putus."
"Begitu," gumam Robin.
"Tapi sekarang Gary kembali," Dierdre meneruskan. "Dan
kami... well... berbaikan kembali. Aku sudah mau memberitahumu,
Robin. Sungguh. Aku tahu kau pasti melihat sikapku agak aneh
belakangan ini. Aku"aku"hanya tidak ingin melukai hatimu. Kau
mengerti?" Ya, aku mengerti, pikir Robin dengan pahit.
Aku mengerti bahwa kau pembohong besar, Dierdre.
Ia mengalihkan tatapannya dari Gary ke Dierdre, lalu balik ke
Gary. Gary mengangguk, seakan membenarkan penjelasan Dierdre.
Kalian sama-sama pembohong, pikir Robin, merasakan
darahnya mulai mendidih. "Begitu," gumamnya pada Dierdre. Ia menunduk, berpura-pura
hatinya terluka. "Aku kira kau dan aku..." Ia sengaja tidak
menyelesaikan kalimatnya yang bernada sedih.
"Aku tidak ingin melukai hatimu," Dierdre mengulangi. "Tapi
Gary dan aku" kami... anu... kami sudah saling kenal lama sekali."
Pembohong! Robin ingin meludahkan kata itu ke wajah Dierdre.
Kaukira aku sebodoh apa, Dierdre" Kaukira aku bisa hidup
delapan puluh tahun dan bisa sebodoh itu"
Memang kaukira aku tidak cukup cerdik untuk mengetahui apa
yang sesungguhnya" Kau dan Gary tidak berpacaran tahun lalu. Karena Gary setua
diriku. Gary datang dari tahun 1930-an juga. Gary ke sini untuk
merusak rencanaku. Kau bersikap aneh, Dierdre, karena Gary
menceritakan padamu semua tentang diriku.
Tapi kalian berdua terlalu takut untuk mengatakan yang
sebenarnya. Dan kalian memang punya alasan untuk takut.
"Begitu," kata Robin pelan, mengerahkan seluruh
kemampuannya untuk mengesankan rasa kecewa dan sedih. "Yah, aku
senang kau baik-baik saja. Waktu kau mulai tercekik tadi rasanya aku
jadi panik. Maafkan aku."
"Tidak apa-apa," sahut Dierdre sambil melirik Gary. Gary
masih melingkarkan lengannya ke pinggang Dierdre.
"Baiklah... sampai ketemu lagi," kata Robin. Ia mengangkat
bahu sedikit seakan menunjukkan ia terlalu kecewa sehingga tidak
bisa mengatakan apa pun. Lalu ia melangkah pergi menuju pintu
gerbang. Aku tahu kau juga tak bisa mati, Gary, pikir Robin. Tapi pasti
ada caranya membunuh orang yang tak bisa mati. Dan akan kucari
caranya malam ini. Dan begitu kau tidak ada lagi untuk melindungi Dierdre, akan
sangat mudah membunuh Dierdre. Dan menutup Fear Park selamanya.
Pikiran untuk pergi ke perpustakaannya dan membuka bukubuku kuno untuk mencari mantra pembunuh Gary agak meriangkan
hati Robin. Senyum tersungging terus di wajahnya dalam
perjalanannya pulang ke rumah.
************* Rencananya Robin akan begadang semalaman, membaca bukubuku kuno di perpustakaannya. Tapi tanpa diduga, ia menemukan
mantra yang dicarinya di buku pertama yang dibukanya.
Setumpuk buku berdebu dibiarkan tergeletak di atas meja.
Robin mengambil buku yang paling atas.
Dan di dekat bagian akhir buku itu, ia menemukan mantra yang
dicarinya. Menurut buku itu, ini satu-satunya cara yang diketahui
untuk mengakhiri hidup seseorang yang sudah dibuat tak bisa mati.
Robin menatap mantra itu dengan agak terkejut. Kebetulan
sekali! pikirnya. Menemukan yang kucari semudah ini.
Matanya menelusuri halaman buku itu. Ia menyipitkan mata
agar bisa lebih jelas membaca huruf-hurufnya yang tercetak kecilkecil di kertas yang sudah menguning.
Ia berhenti di sebuah paragraf di awal penjelasan dan
membacanya sekali lagi, memastikan bahwa ia betul-betul mengerti
maksudnya. Paragraf itu mengatakan bahwa orang yang sudah dibuat
tidak bisa mati tidak akan bisa dibunuh oleh orang hidup. Seseorang
yang tidak bisa mati hanya bisa dibunuh oleh orang yang sudah mati.
Dan orang yang sudah mati itu harus orang yang dikenal oleh
orang yang tidak bisa mati yang akan dibunuh itu.
Seseorang yang dikenal oleh si orang yang tidak bisa mati....
Siapa yang dikenal Gary di tahun 1935" pikir Robin.
Ia memejamkan mata dan berpikir keras. Setelah beberapa saat
ia tahu apa yang harus dilakukannya.
Aku akan hidupkan lagi anak-anak yang tewas saling bacok itu.
Setidak-tidaknya salah seorang dari mereka pasti mengenal Gary.
Aku sudah tidak ingat lagi nama-nama mereka. Sudah terlalu
lama berlalu. Tapi aku bisa mengembalikan mereka lagi. Mengembalikan
mereka dari kematian. Dan dengan menggunakan mantra ini, aku akan memerintahkan
mereka untuk membunuh Gary. Untuk membawa Gary ke dunia
kematian bersama mereka. Robin menghafalkan mantra itu baik-baik. Lalu dibacanya lagi
sambil berpikir keras. Berpikir bagaimana melakukannya.
Membawa kembali begitu banyak anak dari kematian sangat
tinggi risikonya. Bisakah ia mengendalikan mereka" Apakah mereka akan
mematuhi perintahnya dan membunuh Gary"
Menurut buku itu, ia bisa mengendalikan mereka dengan
mudah. Mantra itu akan membuat Robin menjadi tuan mereka.
Sambil membungkuk di atas buku besar itu, Robin
membisikkan kata-kata mantranya, menghafalkannya. Mantra itu
sangat sulit. Membutuhkan keahlian tinggi.
Saat Robin berbisik-bisik membaca mantra itu, menghafal kata
demi kata, didengarnya suara berdesir di pintu ruang perpustakaan.
Lalu suara batuk tertahan.
Fear Street Jeritan Terakhir Last Scream Fearpark 3 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Aku tahu kau ada di situ, Meghan, pikirnya. Mengangkat
matanya melihat ke pintu, ia melihat bayang-bayang Meghan di lantai.
Aku tahu kau ada di luar pintu, memata-mataiku.
Tapi jangan kuatir, Meghan-ku sayang. Aku tidak
melupakanmu. Aku juga punya rencana untukmu.
*************** Robin memasang jerat untuk Meghan waktu sarapan esok
harinya. "Kau tahu, aku merasa belakangan ini aku kurang
memperhatikanmu," kata Robin sambil menuang kopi ke cangkirnya.
"Ya, memang," sahut Meghan pelan. Gadis itu memakai jubah
biru di luar piamanya. Wajahnya masih sembap karena baru bangun
tidur. Rambutnya belum disisir.
Meghan menaruh cangkir kopinya dan memandang Robin di
seberang meja, menunggu Robin meneruskan.
"Rasanya kau harus lebih sering keluar," Robin meneruskan. Ia
mengaduk sesendok gula ke dalam kopinya yang mengepul-ngepul.
"Bagaimana kalau kautemui aku di Fear Park nanti malam."
Mulut Meghan seperti huruf O karena terkejut. "Di Fear Park?"
Robin mengangguk. "Aku ingin memperlihatkan sesuatu
padamu. Kau pasti akan tertarik." Robin meneruskan mengaduk
kopinya, mata hitamnya terkunci di mata Meghan. "Temui aku di
Panggung Bacok." "Hah" Pertunjukan itu?" suara Meghan masih agak serak. Ia
mengerutkan wajah. "Robin"kau tahu aku benci pertunjukan itu."
"Aku tahu," kata Robin. "Tapi malam ini?"
"Itu mengingatkanku akan banyak hal yang tidak
menyenangkan," Meghan meneruskan bicaranya, matanya
memandang cangkir kopinya. Ia mengusap setitik noda di taplak meja
di depannya. "Meghan, kejadian itu sudah enam puluh tahun yang lalu,"
Robin mencelanya. "Sudah seumur hidup yang lalu."
"Aku tahu," jawab Meghan tajam. "Tapi bagiku seakan baru
kemarin." Ia menghela napas dan menyapu sejumput rambut dari
wajahnya. "Kau harus mengerti hal itu, Robin. Kau seharusnya sudah
mengerti hal itu sekarang."
"Aku mengerti," protes Robin. "Tapi?"
"Anak-anak itu teman-temanku. Aku kenal sebagian besar dari
mereka sejak kecil. Dan aku hanya berdiri di sana, berdiri di hutan
melihat teman-temanku kesurupan. Aku melihat mereka saling
membacok menjadi berkeping-keping. Aku"aku tidak akan pernah
bisa melupakan pemandangan ketika darah mereka mengalir
membasahi tanah. Begitu banyak darah. Tanah jadi merah, Robin.
Merah! Sampai sekarang pun aku tetap tak bisa mengusir
pemandangan mengerikan itu dari benakku."
"Aku tahu," kata Robin lembut. Ia berdiri, berjalan mendekati
Meghan, dan dengan lembut menaruh tangannya di bahu gadis itu.
"Aku tahu." "Dan aku merasa mual mendengar mereka mengulangi adegan
itu setiap malam di taman hiburan," Meghan meneruskan sambil
menggeleng-gelengkan kepala. "Untuk hiburan. Untuk hiburan."
Ia menolehkan wajahnya ke Robin, wajahnya menuduh.
"Ayahmu yang mengutuk dengan mantranya"ya, kan" Ayahmu yang
membuat anak-anak itu saling bunuh"benar" Kita tidak pernah
membicarakan itu. Selama ini. Dan aku tidak pernah ingin
menanyakannya padamu. Tapi itu yang terjadi kan, Robin?"
Robin menelan ludah dengan susah payah. Ia mengangguk
perlahan. "Ya, memang benar," ia berbohong.
Robin tahu betul bahwa ia sendiri yang melakukannya. Tapi ia
tidak akan pernah mengakui hal itu pada Meghan. Tidak perlu.
Meghan tidak akan ada lagi setelah malam ini.
"Dan itu sebabnya kau merasa bersalah," kata Meghan,
mengambil tangan Robin dari bahunya dan menggenggamnya eraterat. "Itu sebabnya kau bekerja keras melindungi keluarga Bradley. Itu
sebabnya kau bekerja keras melindungi mereka dari kutukan
ayahmu" benar, Robin?"
"Ya," sahut Robin. "Benar."
Ia ingin tertawa keras-keras. Menertawai Meghan.
Bagaimana Meghan bisa hidup bersama Robin selama lebih dari
enam puluh tahun tanpa menduga apa yang sebenarnya terjadi"
"Maukah kau menemuiku nanti malam?" tanya Robin berbisik,
membungkuk di atas Meghan, bibirnya menyentuh telinga Meghan.
"Maukah kau menemuiku nanti malam di tempat pertunjukan itu" Aku
benar-benar ingin memperlihatkan sesuatu padamu. Aku yakin kau
ingin melihatnya." Meghan berpikir agak lama sebelum akhirnya menjawab
dengan bisikan pula, "Baiklah."
Senyum tersungging di wajah Robin.
Satu kena, tinggal dua lagi, pikirnya riang.
Sekarang, kalau aku bisa membujuk Dierdre dan Gary agar mau
bergabung dengan kami di sana, itu akan menjadi malam yang tak
terlupakan"bagi semua orang!
Bab 27 ROBIN mengetuk pintu trailer. Lalu, tanpa menunggu jawaban,
ia membukanya dan melangkah masuk.
Matahari sore bersinar cerah. Di dalam trailer terasa pengap dan
panas. Robin mengejapkan mata, menunggu sampai matanya terbiasa
dengan keremangan di dalam, dan melihat Dierdre menoleh dari meja
kerja ayahnya. Dierdre mengenakan T-shirt biru tanpa lengan dan celana
pendek tenis berwarna putih. Rambut cokelatnya diikat ke belakang.
"Robin?" Gadis itu tidak menyembunyikan keheranannya
melihat Robin. "Aku cuma mau melihat keadaanmu," kata Robin. "Kau baikbaik saja?"
Dierdre mengangguk. "Ya. Baik."
"Maksudku, tadi malam itu sangat mengerikan," Robin
menambahkan, pura-pura tidak bersalah. "Waktu kau mulai
tersedak..." "Aku takkan pernah mau makan harum manis lagi," erang
Dierdre. "Aneh sekali. Benda itu melekat ke wajahku dan tidak bisa
kulepaskan. Aku benar-benar mengira akan mati kehabisan napas."
"Aku senang kau baik-baik saja," Robin berbohong, senang
mendengar betapa wajar suaranya.
"Terima kasih," sahut Dierdre kaku. Ia mengalihkan
perhatiannya ke kertas-kertas di atas meja. "Aku tidak bisa mengobrol
sekarang. Aku sibuk sekali."
"Aku cuma sebentar," sahut Robin. "Aku cuma ingin
mengatakan... mm... aku tidak marah."
Dierdre menyipitkan mata ke arah Robin. "Maksudmu?"
"Tentang Gary," kata Robin, menundukkan mata memandang
lantai. "Oh. Oke," sahut Dierdre canggung. Robin mendengar suara
Dierdre kembali dingin. "Aku harap kita masih bisa tetap berteman," kata Robin pelan.
Dierdre menggumamkan jawaban. Robin tidak bisa mendengar
apa yang dikatakannya. "Berapa lama kau sudah mengenal Gary?" tanya Robin. Ia ingin
melihat Dierdre terpojok, ingin memaksa Dierdre berpikir cepat.
"Sejak sekolah dasar," Dierdre langsung menjawab.
Bohong, pikir Robin tanpa mengubah ekspresi wajahnya.
Ada dua pembohong di trailer saat ini, Dierdre, Robin ingin
berkata. Besok, salah satu dari kita akan mati.
Besok trailer ini akan digembok. Bukan hanya trailer ini, tapi
seluruh Fear Park akan digembok. Dan ditulisi besar-besar, DITUTUP
UNTUK SELAMANYA. Robin melangkah ke pintu. Lalu berhenti dan menghadap ke
Dierdre lagi. "Boleh aku minta sesuatu?"
Dierdre mengerutkan kening. "Aku tidak tahu..."
"Temui aku malam ini" Di Panggung Bacok" Pertunjukan jam
delapan?" "Hah" Kau serius?"
"Aku ingin kau melihat sesuatu," kata Robin bersemangat. "Kau
akan tercengang. Sungguh. Dan ajak Gary sekalian."
"Gary?" Robin bisa melihat rasa heran di wajah Dierdre. Bingung
bercampur rasa ingin tahu.
"Datang sajalah," desak Robin, memberi Dierdre senyumnya
yang terbaik. "Kau dan Gary. Ke pertunjukan jam delapan. Ini terakhir
kalinya aku minta sesuatu darimu. Aku janji."
Bab 28 DIERDRE dan Gary datang ke teater terbuka jam delapan
kurang sepuluh menit. Dierdre mengajak Gary duduk di baris
terdepan. "Untuk apa kita ke sini?" tanya Gary.
Dierdre meremas tangan pemuda itu. "Aku sudah bilang,"
jawabnya tak sabar. "Robin ingin memperlihatkan sesuatu pada kita."
"Tapi dia sendiri tidak ada di sini," protes Gary, menoleh ke
pintu masuk. "Tunggu saja," kata Dierdre.
Dierdre menebarkan pandang ke sekeliling teater kecil itu. Ia
melihat teater tersebut nyaris kosong. Beberapa remaja duduk
berkelompok di baris paling atas. Lalu ada sekitar dua puluh atau tiga
puluh orang tersebar di sana-sini.
Awan rendah di langit menutupi bulan dan mengancam
turunnya hujan. Di kejauhan terlihat kilatan petir.
Udara buruk itu membuat orang lebih suka tinggal di rumah.
Seluruh taman hiburan bisa dibilang sepi pengunjung.
Perut Dierdre terasa tidak nyaman. Tangannya dingin dan
basah. Ia membenamkan tangannya ke dalam saku celana pendeknya
dan duduk meringkuk di samping Gary.
Acara ini makin cepat diselesaikan, makin baik, pikirnya.
Musik tahun 1930-an terdengar dari pengeras suara di atas.
Lampu sorot berwarna ungu menyinari tunggul-tunggul pohon yang
bertebaran di tanah. Sebentar lagi para aktor akan muncul, Dierdre tahu. Para remaja
mengenakan pakaian model tahun 1930-an. Mereka akan mengobrol
dan tertawa-tawa, lalu mulai bekerja, membacoki tunggul-tunggul
pohon dengan golok mereka, membersihkan lahan untuk Fear Park.
Lalu musik akan bergemuruh, dan asap ungu aneh akan
melayang-layang di atas teater. Dan para remaja itu akan kesurupan,
saling membacok dan menebas. Membabat lengan dan tungkai.
Menebas kepala. Mengucurkan darah buatan ke tanah. Membuat
penonton ngeri, memberi mereka tontonan menakutkan yang ingin
mereka tonton di sini. Dierdre menjulurkan lehernya menengok ke pintu teater. Mana
Robin" Ia menengok jam tangannya. Jam delapan kurang lima menit.
Di mana dia" "Payah," keluh Gary. Matanya memandang awan yang semakin
tebal di langit. "Sebentar lagi hujan. Kita akan basah kuyup."
"Tenang saja," pinta Dierdre. "Robin ingin memperlihatkan
pada kita?" Dierdre menghentikan ucapannya ketika melihat Robin masuk
ke teater. Mata Robin menelusuri kursi-kursi yang hampir seluruhnya
kosong sampai dia melihat Gary dan Dierdre. Dia tersenyum dan
mengajak teman yang datang bersamanya ke tempat mereka duduk
sambil melambaikan tangan pada Dierdre.
"Ini Meghan," katanya memperkenalkan. "Meghan, ini Gary
dan Dierdre." "Robin sudah cerita banyak tentang kau," kata Meghan agak
canggung pada Dierdre. Lalu ia duduk di samping Dierdre. Masih
sambil tersenyum, Robin duduk di ujung bangku.
Dia kelihatan riang sekali, pikir Dierdre, mengamati Robin.
Sampai tampak hampir meletus kegirangan!
Dierdre membungkuk melewati Meghan untuk bicara pada
Robin. "Kenapa kau minta kami datang kemari?" tanyanya.
Senyum Robin bertambah lebar. "Kalian lihat saja nanti."
"Pertunjukan ini memuakkan," komentar Gary.
Robin tertawa keras, seakan-akan Gary baru saja mengatakan
sesuatu yang sangat lucu.
Aku tidak pernah melihat Robin seceria ini! pikir Dierdre.
Robin tak henti-hentinya melihat bergantian dari Gary ke aku lalu ke
Meghan, dan senyumnya bertambah lebar.
"Sangat menyedihkan, sebetulnya," kata Meghan serius.
"Sangat menyedihkan bahwa orang-orang senang melihat
pertunjukan semacam ini," Gary setuju.
Dierdre tidak berkomentar. Melihat Robin begitu cerah dan
riang membuatnya mendadak merasa mual. Ia menelan ludah dengan
susah payah, berusaha agar makan malamnya tetap berada di dalam
perut. Tangannya yang dingin ia masukkan semakin dalam ke saku. Ia
menarik napas dalam-dalam dan menahannya.
Lampu-lampu meredup. Musik bertambah keras.
Dierdre memejamkan mata ketika asap ungu mengambang naik
dari permukaan tanah. Ia menelan ludah lagi. Mulutnya kering
bagaikan kapas. Ketika ia membuka mata, para aktor sedang berjalan menembus
asap yang bergulung-gulung ke tanah lapang yang penuh tunggul
pohon. Tanah lapang itu melebar di tengah kegelapan. Para aktor
hanya terlihat bagaikan sosok-sosok bayangan, berjalan berdua-dua
dan bertiga-tiga, memanggul golok mereka.
Dierdre menoleh memandang rekan-rekannya. Gary meringkuk
di tempat duduknya, lututnya menekan dinding semen rendah di depan
mereka. Meghan duduk tegang, punggungnya tegak, tangannya
terlipat di pangkuan. Robin membungkuk ke depan, tersenyum riang. Bibirnya
bergerak-gerak, Dierdre melihatnya. Seakan sedang bernyanyi atau
bicara sendiri. Asap ungu tebal melayang di atas teater. Musik semakin keras
menyentak-nyentak. Bergema memantul dari dinding semen dan
kursi-kursi kosong. Para pekerja remaja itu masih tersembunyi di tengah kegelapan.
Mereka bergerak perlahan bersama-sama, bergumam, tertawa pelan.
Beberapa dari mereka mencoba mengayunkan golok mereka.
Dierdre menghela napas, tidak sabar menunggu lampu menyala
dan pertunjukan dimulai. Hawa dingin serasa menyusup menuruni
tulang punggungnya. Ia menoleh ke arah Robin sekali lagi. Robin praktis
menjulurkan tubuhnya ke arena. Sikunya bertumpu pada dinding
semen yang rendah. Kepalanya ditaruh di telapak tangan.
Wajahnya setengah tersembunyi di dalam tangannya. Tapi
Dierdre bisa melihat bibir Robin bergerak-gerak, bisa melihat
wajahnya yang serius. Dierdre memaksa diri mengalihkan pandangannya ke arena.
Lampu sorot di atas bertambah terang, menembus asap yang berpusarpusar.
Musik sekarang melembut. Lampu semakin terang. Lebih terang lagi. Seterang siang.
Kemudian para pekerja remaja itu berbalik. Semua berbalik
sekaligus menghadap ke penonton.
Fear Street Jeritan Terakhir Last Scream Fearpark 3 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dierdre berseru tertahan.
Ia juga mendengar seruan tertahan dan teriakan dari sekitarnya.
Ia melihat mulut Gary ternganga dan matanya membelalak.
Ia melihat Meghan mengangkat tangan ke kepala dan
mencengkeram rambutnya, wajahnya berkerut terkejut.
Kemudian, saat melihat wajah-wajah... wajah-wajah... wajahwajah menyeramkan di arena... Gary, Meghan, Dierdre"mereka
semua menjerit ngeri. Bab 29 "MEREKA bukan aktor!" Dierdre mendengar dirinya menjerit.
"Mereka bukan aktor!"
Gary menjerit kesakitan. Dierdre menengok ke bawah. Baru sadar bahwa ia
mencengkeram lengan Gary. Mencengkeram keras sekali. Perlu usaha
penuh sebelum ia melepasnya.
"Tidaaak! Tidaaak!" Di sampingnya, Meghan mencengkeram
rambutnya dan mengerang ngeri.
Para remaja di arena tertatih-tatih maju ke arah kursi penonton.
Keluar dari tengah kepulan asap ke bawah sinar lampu. Sinar lampu
yang terang benderang. Begitu terang sehingga Dierdre bisa melihat
setiap detail wajah mereka yang membusuk.
Ia bisa melihat kulit mereka yang busuk berwarna hijau.
Rongga mata yang gelap kosong yang dulunya berisi bola mata.
Ia bisa melihat cacing-cacing menggeliat-geliat dari lubang
hidung mereka. Belatung-belatung yang merayap keluar dari lubanglubang bekas telinga mereka.
Rambut mereka yang kusut. Sobekan-sobekan dan lubanglubang di kulit kepala tempat tulang-tulang kelabu menonjol keluar.
Dan baunya! Busuk sekali. Bau bangkai, bau daging busuk.
Mencengkeram lengan Gary lagi, Dierdre gemetar ketakutan,
seluruh tubuhnya menggigil, giginya gemeretuk, tak terkendali... tak
terkendali... tersengal-sengal... sulit bernapas... menatap para remaja
itu tersaruk-saruk semakin dekat.
"Mereka bukan aktor! Mereka bukan aktor!" itu saja yang
diteriakkannya. Ia tak mampu melepaskan genggamannya dari lengan
Gary. Dierdre tahu mereka sudah mati.
Sebetulnya mereka sudah mati.
Mereka tampak mati. Mereka bau bangkai. Mereka bergerak
dengan kaku, dengan susah payah, mereka sudah tidak pernah
bergerak selama enam puluh tahun!
Sosok-sosok mati itu berjalan terseok-seok dari tengah arena,
maju berdampingan. Sebuah lengan jatuh dari pundak seorang anak laki-laki dan
memantul keras di tanah. Cacing-cacing jatuh dari lubang hidung dan lubang telinga
seorang anak perempuan saat ia bergerak semakin dekat. Daging dari
salah satu tungkai telah lepas membusuk, memperlihatkan tulangtulang yang berderak setiap kali ia melangkah.
Sebuah kepala jatuh. Mendarat pada rahangnya di dekat sebuah
tunggul pohon. Tubuhnya tetap bergerak maju perlahan-lahan dengan
langkah terseret. Semakin dekat. Gary melompat berdiri. Dierdre bisa melihat kakinya gemetar.
Walaupun berdiri dengan gemetaran, Gary tidak mencoba untuk lari
atau pergi. Terpaku ketakutan. Gary terpaku ketakutan, Dierdre menyadari.
Sambil menahan napas, melawan bau busuk, Dierdre menoleh
ke Robin. Robin belum bergerak. Ia masih menjulurkan tubuh ke
depan, ke arah mayat-mayat hidup itu, bibirnya bergerak-gerak cepat,
membaca mantra, wajahnya terlihat puas.
Mereka datang semakin dekat. Dengan langkah terseret-seret.
Beberapa dari mereka tanpa kepala atau lengan, merayap-rayap
sekarang. Dan Dierdre melihat Meghan membuka mulut diiringi jeritan
ngeri. "Mereka"mereka mendatangi kita!" jerit Meghan. "Mereka
mengincar kita!" Bab 30 TANGAN-TANGAN tanpa jari terulur ke arah mereka.
Kepala-kepala membusuk bergoyang-goyang di pundak. Mulutmulut tak bergigi menganga dan menggeram seram. Belatung
merayap-rayap di dagu dan rongga mata mereka yang kosong.
"Mereka mengincar kita!" jerit Meghan. "Mengincar kita!"
Dierdre menarik napas dan menahannya. Ia berusaha
menghentikan gemetar tubuhnya.
Mayat-mayat hidup itu mengulurkan tangan mereka.
Membungkuk di atas dinding semen rendah. Mengulurkan tangan
mereka yang hijau membusuk.
Berputar ke samping dibarengi geraman rendah dari dalam dada
mereka. Berputar. Dan menyambar Robin. Mencekalnya. Menariknya. Mengangkat Robin melewati bagian
atas dinding. Kedua tangan Robin terangkat ke atas. Dierdre melihat mata
Robin terbelalak terkejut.
"Hei!" hanya itu yang bisa diteriakkan Robin.
Lalu dia terjatuh pada siku dan lututnya di atas rumput.
Para remaja yang sudah mati itu mendorongnya ke tanah dan
memeganginya, mulut-mulut mereka yang tak bergigi menyeringai,
mulut-mulut menganga tanpa bibir.
Mereka memegangi Robin sampai anak itu tidak bisa bergerak.
Lalu Dierdre melihat golok-golok terangkat.
Golok-golok diangkat perlahan-lahan, dengan gerakan lambat.
Lalu golok-golok itu mulai diayunkan ke bawah.
Mayat-mayat hidup itu bergantian mengayunkan golok mereka,
satu per satu. Ayunan pertama memancung kepala Robin.
Mayat hidup berikutnya menancapkan goloknya dalam-dalam
ke punggung Robin. Ayunan berikutnya memotong lengan kanan Robin.
Tubuh Robin berkelojotan.
Golok-golok diayunkan ke bawah. Lagi. Dan lagi.
Lagi. Lagi. Lagi. Suara golok terayun, mendesing. Setiap kali diikuti suara duk
keras. Mereka tidak berhenti, sampai mereka mencacah Robin menjadi
potongan-potongan kecil daging dan tulang.
Lalu raungan riang terdengar dari dalam tubuh-tubuh mati itu.
Dierdre serta Meghan melompat berdiri. Meghan menghambur
memeluk Dierdre. Dan berseru, "Terima kasih! Terima kasih, Dierdre,
terima kasih atas bantuanmu membebaskan diriku"akhirnya!"
Bab 31 DIERDRE membalas pelukan Meghan. Memeluknya erat-erat.
Air mata mengalir membasahi pipi mereka.
"Terima kasih. Terima kasih," ucap Meghan berulang-ulang
dengan bisikan serak. "Aku tak akan bisa melakukannya tanpa kau,
Dierdre." "Tidak, tidak," protes Dierdre. "Akulah yang berterima kasih
padamu, Meghan. Karena kau telah memperingatkanku tentang Robin.
Karena kau telah datang padaku dan menceritakan yang sesungguhnya
tentang dia." "Dia kira aku tidak tahu," kata Meghan, membiarkan air
matanya jatuh bercucuran. "Dia kira dia telah menipuku mentahmentah. Aku tadinya percaya pada Robin. Begitu lama. Tapi ketika
aku tahu yang sebenarnya, aku harus membalas"atas apa yang telah
dia lakukan padaku dan pada teman-temanku."
"Meghan, terima kasih! Kau telah mengakhiri kutukan itu. Kau
telah mengakhiri kekuasaan Robin atas kita semua. Kita bebas
sekarang. Kita sama-sama bebas!"
"Selamat tinggal, Dierdre!" kata Meghan. Ia meloncati dinding
untuk bergabung dengan teman-temannya, teman-temannya dari masa
lampau. Dierdre memperhatikan mereka pergi sambil meraung-raung
dari arena. Lalu, sambil bersandar ke Gary, ia mengikuti mereka ke
luar. Keluar ke udara segar. Keluar dari kengerian dan bau bangkai
busuk. Ia melihat mayat hidup itu berjalan di taman hiburan. Naik ke
wahana-wahana. Memekik-mekik dan meraung-raung kegirangan.
Akhirnya mereka dapatkan juga hiburan gratis yang telah
dijanjikan, Dierdre menyadari.
Mereka akhirnya bisa menikmati taman hiburan ini.
Asap ungu bergulung-gulung tebal, menyelimuti Dierdre,
menyelimuti semuanya, bagaikan tirai tebal. Dierdre bisa mendengar
pekikan dan jeritan riang mereka. Ia bisa mendengar mereka di
wahana Kobar-Kobar. Jeritan nyaring, jeritan mayat-mayat yang
dihidupkan lagi, jeritan yang berkembang menjadi lolongan keras.
Lalu sunyi. Asap ungu menipis turun ke permukaan tanah.
Mereka sudah pergi, pikir Dierdre. Anak-anak mati itu sudah
pergi semua. Begitu juga Meghan, Dierdre tahu.
Meghan yang malang. Semua sudah pergi. Taman hiburan sunyi dan sepi.
Setelah lebih dari enam puluh tahun, mereka sempat juga
menikmati taman hiburan ini sebentar. Dan sekarang mereka telah
pergi. Gary menggenggam kedua tangan Dierdre. Menariknya
mendekat. Aku sampai lupa tentang dia! pikir Dierdre.
Ia melihat rasa takut masih tampak di mata Gary. "Apa yang
terjadi?" bisik Gary. "Dierdre"aku tidak mengerti."
"Kita mengalahkan keluarga Fear," Dierdre menghela napas
lega. "Meghan dan aku"kami mengalahkan keluarga Fear dan
kutukan yang mereka jatuhkan pada taman hiburan ini."
Dierdre menyandarkan kepalanya ke bahu Gary. Yang
diinginkannya sekarang hanyalah Gary memeluknya, memeluknya, ia
ingin merasakan ketenangan dalam pelukan Gary.
"Meghan datang padaku," Dierdre menjelaskan. "Setelah Robin
mendorong Daddy ke kincir raksasa. Meghan melihat kejadian itu.
Saat itulah dia tahu Robin telah membohonginya, membohonginya
selama enam puluh tahun."
Dierdre melingkarkan lengannya di pinggang Gary.
Merangkulnya erat-erat, seakan-akan takut Gary akan lenyap seperti
para remaja yang sudah mati itu.
"Jadi Meghan datang padaku dan menceritakan seluruhnya,"
Dierdre meneruskan kisahnya. "Dia mengajakku ke rumah mereka.
Kami membaca buku-buku ilmu hitam Robin. Meghan dan aku
menghafalkan dan mempelajarinya. Kami harus menghancurkan dia.
Kami tahu, kalau kami bekerja sama kami akan berhasil.
"Kami menemukan mantra yang bisa memanggil kembali orang
yang sudah mati," kata Dierdre meneruskan. "Lalu kami buat rencana.
Meghan sengaja memancing pertengkaran dengan Robin untuk
memastikan Robin cukup marah untuk ingin menghancurkan Meghan.
Lalu kami tinggalkan buku dengan mantra tersebut di atas tumpukan
buku lain, sehingga dia bisa menemukannya dengan mudah."
Dierdre meremas tangan Gary. Memeluknya erat-erat. "Kami
buat Robin percaya bahwa kau datang dari masa lampau. Kami buat
dia mengira bahwa kau punya ilmu tidak bisa mati juga, dan datang ke
sini untuk menghancurkan dia."
Mulut Gary ternganga. "Siapa" Aku?" seru Gary. "Tidak bisa
mati" Aku?" "Meghan dan aku tidak ingin Robin tahu bahwa kami berdua
bekerja sama. Jadi kami beritahu dia bahwa kau salah satu anak dari
tahun 1930-an. Kami buat dia mencurigaimu."
Gary menggelengkan kepala. "Aku tidak percaya ini!" katanya.
"Aku percaya," kata Dierdre, masih memeluk Gary. "Meghan
dan aku bekerja dengan keras dan lama menjalankan rencana rahasia
kami. Malam ini Robin mengira dia yang memanggil anak-anak yang
sudah mati itu. Dia kira dia yang memanggil anak-anak malang itu
dari kubur mereka. "Tapi Meghan dan aku yang melakukannya. Kami lakukan
lebih dulu. Kami mendahului dia. Kami melakukannya dan mengirim
mayat hidup itu untuk melawan Robin. Mereka akhirnya bisa
membalas dendam. Dan sekarang Robin sudah tidak ada lagi.
Pengaruh sihir jahatnya sudah hilang. Aku tahu Daddy akan sembuh
setelah kutukan itu dikalahkan."
Dierdre mengangkat wajahnya ke wajah Gary. "Dan kita pun
akan baik-baik saja. Aku tahu."
Sambil tetap memeluk Gary, Dierdre mengajaknya berjalan
menuju pintu gerbang, berjalan perlahan-lahan, merasakan kehangatan
Gary di sampingnya, menghirup segarnya udara, mendengarkan suara
kesunyian di sekitar mereka.
Kesunyian... Suara apa itu yang terdengar lembut di belakang mereka"
Apakah itu suara-suara yang dengan penuh terima kasih dan
kedamaian kembali ke kubur mereka"
Atau gema lembut musik riang dari komidi putar"END
Princess 1 Wiro Sableng 167 Fitnah Berdarah Di Tanah Agam Pengabdian Dokter Perempuan 6