Pencarian

Musibah Sebuah Kapal 1

Musibah Sebuah Kapal Serial Dewi Ular Karya Tara Zagita Bagian 1


MUSIBAH SEBUAH KAPAL oleh Tara Zagita Serial : Dewi Ular Cetakan pertama 1999 Gambar sampul oleh Fan Sardy
Penerbit Sinar Matahari, Jakarta
Hak cipta dilindungi oleh undang-undang
Ali rights reserved Ebook By Novo DJVU By RD Anuraga 1 BEL tamu berbunyi tiga kali. Jam dinding baru saja berdentang sembilan kali. Rumah
indah berhalaman hijau rumput lembut itu terkesan sepi. Sang tamu yang ada di luar
pagar belum mau pergi. Ia yakin si pemilik rumah ada di rumah, sebab ia melihat mobil
BMW kuning menyala masih ada di dalam garasi. Pintu garasi terbuka sedikit,
menandakan masih akan ada orang yang menuju garasi untuk menutupi pintu tersebut.
Seorang perempuan berusia 40 tahun keluar dari dalam garasi. Perempuan berkebaya
dengan badan sedikit gemuk itu menuju ke pintu pagar. Ia menemui sang tamu yang
ternyata adalah seorang pemuda berambut panjang sebatas punggung dan agak ikal.
Pemuda itu baru saja turun dari mobilnya yang terkesan butut, tapi masih lumayan.
"Saya mau bertemu dengan Mbak Mala. Apakah beliau ada di rumah?"
Sambil membuka pintu pagar, perempuan yang menjadi pelayan setianya Kumala Dewi
itu menjawab dengan senyum ramah agak dipaksakan,
"Kebetulan Non Mala ada di rumah. Silakan menunggu di teras."
Pemuda berperawakan sedang, tak terlalu gemuk namun juga tidak kurus itu, duduk di
kursi tamu yang ada di teras. Mak Bariah bergegas masuk untuk memberitahukan
kedatangan tamunya kepada Kumala Dewi.
Teras yang bersih, terang dan berkesan nyaman itu, mendadak berubah suasana menjadi menyeramkan. Pemuda itu bergidik, bulu kuduknya meremang merinding. Hatinya
berdebar-debar cemas. Perasaan takut itu timbul setelah ia menghirup bau wewangian
aneh. Ia mengenali wewangian itu berasal dari asap kemenyan.
"Sialan! Belum-belum sudah bau kemenyan. lih, jangan-jangan di sekitar sini ada roh
halusnya" Atau... atau teras ini pernah dipakai bunuh diri oleh seseorang dan... dan roh
mayat itu masih ada di sekitar sini"!"
Sang tamu bergeser tubuhnya ke arah pintu masuk. Maksudnya, sewaktu-waktu
muncul sesuatu yang menakutkan, ia bisa lari masuk ke ruang tamu sambil
berteriak-teriak meminta tolong si pemilik rumah.
"Gawat! Baunya makin tajam"! Aduh, kenapa Mbak Kumala nggak keluar-keluar, ya"
Jangan-jangan pelayan wanita tadi bukan manusia sebenarnya" Jangan-jangan dia
manusia jelmaan" Aduh, aku jadi curiga; jangan- jangan aku salah masuk, bukan ke
rumah Mbak Kumala tapi ke rumah... ke rumah... oh, apa itu"!"
Pemuda berkulit sawo matang dan berhidung mancung itu menatap ke satu arah dengan pandangan mata menjadi tegang. Arah yang ditatapnya itu adalah salah satu
tiang penyangga atap teras. Tiang yang ada di sudut itu tampak bergerak-gerak.
Seperti mau jebol. Tentu saja jantung pemuda itu juga merasa seperti mau jebol karena
berdetak sangat kuat dan cepat.
"Seperti ada yang ingin keluar dari dalam tiang itu"!" gumamnya dalam hati. Keringat
dinginnya mulai membasahi kening dan leher.
Makin lama tiang tersebut semakin bergerak-gerak secara nyata. Kapur dan bebatuannya mulai retak. Mata pemuda itu makin mendelik.
Dan tiba-tiba dari dalam tiang itu keluar sepotong kepala secara menyentak, sangat
mengejutkan dan menakutkan.
Bruuus...! "Aahhhkk...!" pemuda itu melompat dengan suara pekikan tertahan. Ia tak mampu
bergerak. Hampir saja jatuh. Untung kedua tangannya buru-buru berpegangan pada
sandaran kursi. Ia hanya sempat berlutut, karena memang lututnya terasa lemas.
Kedua kakinya bagaikan tak bertulang lagi.
Kepala yang tersembul dari dalam tiang itu menyeringai menyeramkan. Rambutnya
hitam, agak panjang dan acak-acakan. Tepian matanya berwarna merah. Kulit
wajahnya berwarna pucat mayat. Ketika menyeringai, tampak giginya berlumur darah
dan taringnya masih meneteskan cairan merah darah.
Baru saja si pemuda berhasil memaksakan diri untuk dapat berlari masuk ke ruang
tamu, tiba-tiba dari arah belakangnya terdengar suara lembut. Suara lembut itu tak
disangka-sangka, sehingga si pemuda terlonjak kaget dan memekik pendek.
"Hentikan!" "Haaahh..."!"
Pemuda itu jadi semakin panik. Walau hatinya sedikit lega, tapi gerak-geriknya masih
serba salah dan wajahnya masih dicekam ketakutan.
Ia merasa heran melihat kepala yang muncul dari dalam tiang batu itu segera terbenam
kembali. Wajah mengerikan itu sempat terbelalak kaget.dan ketakutan melihat
kemunculan si pemilik suara tadi.
Pemilik suara itu adalah Kumala Dewi sendiri. Sebelum ia menenangkan hati tamunya,
lebih dulu ia menghampiri tiang itu sambil menggeram jengkel.
"Lagi-lagi ulahmu bikin malu saja! Kumasukkan ke botol kau, Buron!"
"Sorry, sorry...!" suara itu segera terkubur ke dalam pilar berlapis keramik. Pilar itu
menjadi rata kembali dan tak sedikit pun ada kotoran di sekitarnya. Retak sedikit pun
tidak. "Maaf, memang begitulah ulah temanku yang bernama Jin Layon. Dia memang jin usil,
dan kami memanggilnya dengan nama Buron! Dia cuma ingin berkenalan dengan
Anda. Silakan duduk lagi!"
Dengan napas terengah-engah, pemuda itu pun duduk kembali. Tapi begitu ia beradu
pandang dengan wajah cantik jelita itu, ketegangan dan ketakutannya cepat menjadi
susut. Seolah- olah kedua mata indah si. wajah cantik itu menyalurkan getaran gaib
yang dapat menenangkan hati tamunya.
Gadis cantik jelita yang malam itu hanya mengenakan celana pendek ketat dan kaos
kutang merah itu merasa heran melihat wajah tamunya. Menurutnya sang tamu punya
wajah lumayan. Ketampanannya akan tampak jelas jika ia mencukur pendek rambutnya
dan mengenakan pakaian lebih rapi lagi. Melihat penampilan sang tamu yang berjaket
hitam dan bercelana jeans, Dewi Ular alias Kumala Dewi, merasa yakin bahwa sang
tamu adalah type orang yang santai dan cuek.
"Anda mencari siapa, Bung" sapa Kumala Dewi sambil mengalihkan sikap agar tidak
terlalu lama dalam beradu pandang.
"Hmm, eeh... saya... saya mau bertemu dengan Mbak Kumala Dewi."
"Aku sendiri Kumala."
Kumala mengulurkan tangan. Mereka berjabatan. Kumala menambahkan kata kepada
sang tamu. "Kelihatannya kita baru kali ini bertemu,ya?"
"Benar, Mbak Mala. Saya...."
"Panggil saja Kumala. Nggak usah pakai Mbak. Kayaknya usia. kita berbeda dua tahun.
Anda berusia dua puluh enam tahun, bukan?"
"Hmm, eeh... iya. Memang benar," cowok itu tertawa malu. Belum-belum sudah berhasil
dikupas pribadinya. "Sejak kapan Anda kerja di perfilman?"
"Dua tahun yang lalu," jawab cowok itu sambil kebingungan, sebab dia belum menjelaskan di mana dirinya bekerja, tapi Kumala Dewi sudah menyebutkannya dengan
benar. Ia memang kerja di perfilman. Tepatnya, ikut sebuah PH yang sedang
getol-getolnya menggarap beberapa sinetron.
"Tapi aku belum tahu siapa namamu, Bung."
"Nama saya, eeh... hmmm, namaku.... Fandy."
"Hmm, namamu mudah diingat, Fan," Kumala. memberikan senyum tipis yang
menawan. Fandy tersipu kecil.
"Lalu, tujuanmu kemari?"
"Aku menemukan... menemukan suara- suara dari kubur."
"Maksudmu?" Kumala berkerut dahi.
Buron bukan orang asing lagi bagi Kumala Dewi. Jin yang pernah dikalahkan Dewi Ular
itu sudah cukup lama mengubah diri menjadi sesosok pemuda berambut kucai, agak
tampan, tapi berkesan konyol Kesaktiannya sebagai Jin Layon sering dipakai untuk
menakut-nakuti tamu yang baru pertama kali datang ke rumah Dewi Ular, sehingga ia
sering dipanggil dengan julukan jin usil, (Bara serial Dewi Ular dalam episode:
"MISTERI PERUSAK MAHKOTA").
Bukan hanya Jin Layon yang 'ikut' Dewi Ular, tapi juga seorang mantan sopir taksi yang
bernama Sandhi, kini telah lama menjadi sopir pribadi gadis cantik anaknya Dewa
Permana dan Dewi Nagadini itu. Mak Bariah dan kedua pemuda itu punya hubungan
erat dengan Dewi Ular, bahkan menyerupai saudara sendiri. Tetapi untuk urusan mistik,
Buron alias si jin usil itu selalu tampil sebagai asistennya Dewi Ular Mak .Bariah urusan
rumah dan makanan.. sedangkan Sandhi urusan transportasi.
Padahal sebagai anak dewa, Kumala bisa saja pergi ke mana-mana tanpa
mengandalkan transportasi darat, laut, maupun udara, la bisa menggunakan jalur
gaibnya, yang dapat membuat dirinya tahu-tahu berada di lain kota, atau bahkan lain
benua. Namun hal itu jarang dilakukan Kumala kalau bukan dalam keadaan sangat
terpaksa . Sebagai anak dewa yang dibuang dari Kahyangan karena dianggap anak haram dari
hasil hubungan gelap Dewa Permana dan bidadari cantik yang bernama Dewi Nagadini
itu, Kumala menjelma sebagai gadis cantik yang membaur dalam kehidupan manusia di
muka bumi. Maka ia ingin bertingkah laku sama seperti manusia lainnya.
Kadang-kadang jika sedang di tempat umum, ia sering menahan diri untuk tidak
menggunakan kesaktian kedewaannya. la selalu mencoba mengatasi beberapa
masalah dengan logika dan ilmiah. Hal itu dilakukan olehnya, supaya tidak semua
orang mengetahui bahwa ia adalah paranormal cantik keturunan dewa dari Kahyangan
yang patut dikagumi dan dihormati. Kumala. bukan gadis gila terhomat.
Maka ketika Fandy memanggilnya dengan sebutan 'Mbak' alias kakak, ia menolak
secara halus, la lebih suka dipanggil sebagai Kumala saja.' Panggilan itu terasa lebih
akrab. Dan setiap keakraban, menurutnya, akan selalu menghadirkan keterbukaan.
Oleh sebab itulah, Fandy bersikap apa adanya di depan Kumala. Ia juga berterus
terang mengungkapkan rasa takutnya terhadap hasil temuannya itu.
Bukan benda kuno yang ditemukan Fandy, melainkan suara-suara aneh yang masuk
dalam peralatan rekamnya. Peralatan rekam itu tergolong canggih, menggunakan
disket dan komputer kecil. Dalam mengeluarkan kembali suara yang terekam dalam
disket itu, cukup menggunakan box kecil semacam walkman.
"Pada mulanya tujuanku dan kedua temanku itu adalah merekam ombak lautan. Aku
harus mendapatkan sound effect ombak yang berdebur-debur untuk ilustrasi film yang
sedang ku-edit. Sebenarnya kami sudah mempunyai beberapa jenis sound effect,.
termasuk suara ombak lautan. Tetapi disket kami itu rusak. Jadi kami harus merekam
sendiri suara ombak itu."
"Di mana kau merekam suara ombak itu?",
"Di tepi pantai bertebing. Di daerah Anyer sana."
Dewi Ular manggut-manggut. Pandangan matanya menunjukkan minatnya mendengarkan seluruh penjelasan Fandy itu.
Pemuda itu mengeluarkan disket dari saku jaketnya.
"Tapi anehnya, hasil rekamanku ini bukan saja menangkap suara ombak yang
berdeburan, tapi juga suara-suara orang."
Fandy juga mengeluarkan box kecil yang dapat .mengeluarkan' suara-suara dari dalam
disketnya. "Suara orang itu sangat tak kukenal. Apalagi dibarengi suara kesibukan, seperti
bongkar muat dan kepanikan di sana-sini. Bahkan aku juga mendapatkan suara hujan,
angin badai, guntur, serta jeritan orang-orang yang dicekam rasa takut," sambung
Fandy dengan serius. "Apakah pada saat itu di sekelilingmu nggak ada orang lain?"
"Nggak ada! Cuma kami bertiga. Hmm, sebaiknya tolong dengarkan dulu hasil
rekamanku ini." Kumala Dewi sedikit lebih maju lagi dari duduknya. Pandangan matanya tertuju pada
disket yang sedang mengeluarkan suara gemuruh seperti htmbusan angin. Suara
gemuruh itu mulai jelas dicampuri suara ombak.
Tapi ombak yang terdengar di situ adalah ombak yang tak begitu jelas deburannya.
Padahal menurut Fandy, mestinya deburan ombak itu sangat jelas, karena saat
merekamnya ia mengulurkan mickrofon ke bawah, dekat dengan dinding tebing.
Selanjutnya, suara gemuruh itu semakin kacau. Tak jelas dari mana datangnya. Kumala
menyimpulkan suara gemuruh itu adalah badai yang membelah lautan. Beberapa saat
kemudian, terdengar suara orang berteriak minta tolong, disusul dengan suara-suara
teriakan yang saling bersahutan.
"Awas, jangan di bawah tiang! Hoooii...! Lemparkan tambang kemari!"
"El... tolong akuu...!"
"Awas tiang pataaaah...!!"
"Aaaaaaa.... !"
"Vinooon...! Vinon, di mana kauuu..."!!"
"Tinggalkan tempat ini! Cepat pergi semuaaaa...!"
"Vinoooon...! Viiiinoooonn...!!"
Suara tiang patah terdengar bersama gelegar guntur menggemuruh. Debur ombak juga
terdengar jelas, tapi masih dicampur dengan teriakan-teriakan bersuara serak.
"Elbooo... bawa mereka ke pantaiii...!!"
"Dasti, oooohh... tolong akuuu... jangan tinggalkan aku, Dastiii...!!"
"Vinon...! Jawablah, di mana kau, Vinooon...!"
"Papaaaa...!!" "Viiiin...! Viiiin...!"
"Dastiiii...! Kembali ke timur...!!"
"Tolooong...!" "Vinoooon...!!"
Jeritan histeris terdengar. Teriakan orang- orang panik semakin pecah. Sulit dikenali
aksen dan intonasi suaranya. Deburan ombak berbaur dengan deru angin badai.
Lama-lama yang terdengar hanya suara angin badai bersama gemuruhnya hujan.
Sesekali suara guntur menggelegar bagaikan ingin menjebolkan loundspeaker alat
rekam itu. Dan tiba-tiba suara-suara tersebut hilang. Berganti suara desis panjang,
seperti cassette yang tiba-tiba putus pitanya.
Fandy menarik napas hampir bersamaan dengan Dewi Ular yang menghembuskan napas. Duduk mereka menjadi tegak kembali, tidak membungkuk mendekati meja.
Pemuda itu pun mematikan alat rekam tersebut.
"Itulah suara misteri yang berhasil masuk dalam rekamanku," ujar Fandy dengan nada
pelan. "Pada waktu merekam, apakah kalian nggak pakai headphone di telinga" Setahuku
orang merekam sesuatu selalu menggunakan headphone untuk mengetahui suara apa
yang masuk ke dalam rekamannya, atau bening dan tidaknya suara yang mereka
rekam itu." "Ya, aku tahu maksudmu. Dan perlu kau ketahui, salah satu temanku yang bernama
Bintar, adalah staf ahli dalam bidang rekam-merekam. Tentu saja ia menggunakan
headphone di kepalanya. Dan menurutnya, saat itu ia mendengar suara deburan
ombak yang jernih dan hembusan anginnya juga terdengar samar-samar. Tetapi pada
kenyataannya, setelah kami chek hasilnya, ternyata yang keluar suara-suara seperti
tadi." Kumala manggut-manggut tanpa menggumam.
"Terus terang, maksud kedatanganku kemari untuk menanyakan padamu tentang misteri suara ini. Suara apa ini sebenarnya, dan siapa mereka itu?"
"Hmmm, yang jelas... suara itu adalah suara orang-orang kapal. Sebuah kapal mengalami.musibah. Kapal itu pecah dihantam ombak dan angin badai. Orang-orangnya
sibuk menyelamatkan diri dengan panik."
"Tapi pada waktu kami merekam suara ini, nggak kejadian seperti itu. Bahkan sepotong
papan pun nggak ada yang kami lihat ngambang di perairan pantai."
"Kapan kau melakukan rekaman itu?"
"Tiga hari yang lalu!"
Paranormal cantik itu berkata dengan tenang, "Kapal itu hancur pada masa lalu. Sekitar... yah, mungkin seratus tahun yang lalu. "
"Seratus tahun"!" Fandy membelalakkan matanya. Hatinya bimbang, antara percaya
dan tidak. "Roh mereka masih menjerit-jerit, dan jeritan itu tertangkap oleh kepekaan alat
rekammu. Roh mereka sebenarnya melihat kalian bertiga sedang melakukan kegiatan
disana. Fandy semakin terkesiap. Bulu kuduknya kontan merinding tanpa malu-malu lagi.
Wajah pemuda itu pun pucat kembali, seperti saat ditakut-takuti Buron tadi.
Sebagai anak dewa, Kumala dapat membaca jalan pikiran Fandy, juga dapat
merasakan kebimbangan hati tamunya itu. la memaklumi keragu-raguan Fandy dalam
mempercayai penjelasannya. Karena ia tahu, Fandy tidak mempunyai indera keenam,
sedangkan Kumala menggunakan indera ketujuh untuk melihat peristiwa itu dalam
sekejap tadi. "Boleh kupinjam disketmu?"
"Un.., untuk... untuk apa?" tanya Fandy, sangat ingin tahu.
"Di kamarku ada komputer, tentu saja lengkap dengan monitornya. Aku bisa
menampilkan peristiwa yang terekam dalam disketmu melalui layar monitor. Kau bisa
melihat sendiri nanti."
Mulut pemuda itu hanya melongo. Mau tak percaya, tapi tak berani menyatakannya.
Mau menyanjung kagum, tapi ragu melontarkannya. Hanya menatap tak berkedip yang
dapat dilakukan Fandy pada saat itu.
"Boleh kupinjam disketmu, Fandy"!" Kumala mengulangi pertanyaannya tadi untuk
membuyarkan keterpakuan Fandy.
"Ooh. ya... silakan!" Fandy pun menyerahkan disketnya itu.
"Ikut aku ke kamar. Akan kuperllhatkan' padamu musibah hancurnya kapal niaga
bertiang layar dua itu!"
Fandy memang bergegas mengikuti langkah Kumala Dewi. Tapi dalam hatinya masih
bertanya-tanya, "Apa benar musibah itu bisa ditampilkan dalam layar monitor"
Bukankah yang kurekam hanya suaranya saja"! Kami nggak bawa kamera kok. Mana


Musibah Sebuah Kapal Serial Dewi Ular Karya Tara Zagita di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mungkin bisa terekam gambarnya dalam disket itu"!"
Fandy lupa, bahwa Kumala adalah anak dewa. Fandy tak banyak mengetahui tingkat
kesaktian gadis cantik bertubuh sintal itu; Maka timbullah rasa penasaran yang
membuatnya semakin bersemangat mengikuti langkah Kumala menuju ke meja
komputer. *** 2 ILMU apa pun tak dapat mengungguli ilmunya Dewi Ular. Bagaimana mungkin sebuah
disket berisi suara, dapat mengeluarkan gambar dari suara itu sendiri ke layar monitor
sebuah komputer. Bukan hanya Fandy yang terheran-heran melihat kenyataan itu, tapi
Sandhi, juga merasa heran, karena selama ia ikut Kumala Dewi belum pernah melihat
Kumala mengeluarkan keajaibannya melalui komputer.
Sandhi ikut bergabung di kamar Kumala, demikian juga Buron. Sebelumnya mereka
diperkenalkan lebih dulu oleh Kurnala kepada Fandy. Keramahan mereka membuat
Fandy merasa cepat menjadi akrab dengan Sandhi dan Buron.
Melalui pembicaraan Kumala dengan Fandy, secara garis besar saja Sandhi dan Buron
dapat menyimpulkan persoalan yang hadir di malam itu. Tentu saja Sandhi ikut menjadi
heran, karena gambar yang muncul di layar monitor itu cukup jelas, seperti sebuah film
dalam layar teve biasa. Hanya jin usil yang tidak tampak terheran-heran, sebab
keanehan seperti itu sudah bukan hal asing lagi baginya.
"Benar-benar mengagumkan sekali!" gumam hati Fandy. "Password apa yang digunakan Kumala untuk membuat disketku bisa mengeluarkan gambar seperti ini"!"
Dewi Ular mendengar kecamuk hati Fandy. la tersenyum tipis dan berkata tanpa
memandang pemuda itu. "Password-ku adalah password gaib. Jangankan mengeluarkan gambar seperti ini, dipakai' untuk menghubungi' orang tuaku di Kahyangan pun bisa!"
Pada awalnya memang mereka masih tenang-tenang saja. Tidak ada ketegangan apa
pun, selain ekspresi wajah penuh perasaan heran. Pada bagian awal, layar monitor itu
menampakkan gambar lautan lepas yang berombak tenang. Airnya biru
kehijau-hijauan. Gambar itu muncul selama sekitar dua menit. Suara ombak terdengar
samar-samar dari loundspeaker yang ada dalam komputer itu.
Lalu muncul sebuah titik hitam di. batas cakrawala. Kemunculan titik hitam itu mulai
menarik perhatian mereka lebih kuat lagi.
Mereka yakin, titik hitam itu adalah kemunculan sebuah kapal yang makin lama makin
jelas. Seolah-olah kapal itu mendekati sebuah kamera.
"Aku nggak bawa kamera pada waktu itu. Tapi kenapa gambar ini seperti sebuah film
yang direkam dengan kamera"!" ujar Fandy, bicara kepada Sandhi.
Kumala menyahut, "Kedua bola matamu adalah kamera yang bisa merekam alam gaib
tanpa kau sadari." Bulu kuduk Fandy pun merinding.
"Benarkah kedua mataku adalah kamera"!" gumamnya pelan.
"Ya. Tapi rekaman gambarnya nggak bisa kau pahami, karena mata batinmu dalam
keadaan tertutup. Kalau kau bisa menggunakan mata batinmu, maka setiap benda
yang ada di alam gaib yang terlihat oleh kedua matamu itu akan terlihat pula oleh mata
batinmu. Itulah sebabnya ada orang yang bisa melihat roh halus, tapi ada juga yang
nggak bisa." Sandhi menimpali dengan nada sedikit tegang, "Hei, lihat... ternyata titik hitam itu
memang sebuah kapal!"
Pemuda berambut panjang itu terperangah. Kini monitor itu semakin memperjelas
bentuk kapal yang sedang berlayar dengan tenang. Seperti kata-kata Kumala saat di
teras tadi, bahwa kapal itu adalah kapal niaga bertiang layar dua. Dalam monitor pun
terlihat kapal itu mempunyai dua layar besar berwarna putih polos. Tapi layar
merentang tegang, menunjukkan bahwa kapal itu mendapat hembusan angin cukup
besar. Jalannya pun semakin laju tanpa menggunakan dayung maupun mesin uap.
Tiba-tiba dari arah belakang kapal ada kabut yang bergerak seperti angin puting beliung. Kabut itu berwarna abu-abu dan bergerak memutar bagaikan gangsing. Layar
monitor menjadi buram. Hati mereka menjadi tegang. Hanya si cantik Dewi Ular yang
tetap tenang sambil duduk di bangku putarnya.
"Kabut apa itu"!" tanya Fandy sambil tangannya menuding hampir menyentuh layar
monitor. "Kita akan tahu sebentar lagi!" jawab Kumala. Kini jari-jari tangannya bermain di atas
panel-panel keyboard dengan cepat sekali. Rupanya ia berusaha memperjelas gambar,
tapi ternyata gambar masih tetap buram.
"Kabut itu memburamkan gambar. Coba singkirkan, Mala!" kata Sandhi.
Kumala Dewi berusaha menjernihkan gambar, tapi gagal. Ia menghempaskan napas
dengan dahi berkerut, tampak serius sekali.
"Kabut itu bukan sembarang kabut," gumamnya setelah mendesah bagaikan membuang rasa kesal dalam hatinya.
"Maksudmu, kabut itu adalah kekuatan mistik dari alam lain?" tanya Fandy.
"Ya, tapi... kita lihat saja dulu. Apa yang akan dilakukan kabut itu"!"
Fandy merinding-lagi. Jantungnya berdetak cepat sekali .la menarik kursi yang
didudukinya agar lebih dekat dengan Kumala. Sandhi dan Buron serius, tapi" tetap
tenang. Sandhi mulai terpengaruh oleh ketegangan Fandy, sehingga matanya semakin
dilebarkan dan hatinya ikut berdebar-debar.
Tampak oleh mereka orang-orang di kapal itu masih tetap tenang. Para awak kapal
tetap melakukan kegiatannya di atas geladak tanpa merasa terganggu oleh pusaran
kabut yang semakin mendekati kapal tersebut.
Namun tiba-tiba permukaan air laut seperti permadani yang dikibaskan. Ombak datang
bersama badai. Hujan turun secara tiba-tiba. Para awak kapal mulai tampak
kebingungan. Terdengar teriakan-teriakan dari mereka yang tak begitu jelas
artikulasinya. "Gila! Kabut itu mendatangkan badai sebegitu kuatnya"!" gumam Fandy dengan suara
bergetar. Dalam keburaman gambar, Fandy dan yang lainnya masih bisa melihat kapal itu
melambung tinggi terbawa ombak yang menggila. Bahkan adegan berikutnya, kapal itu
seperti dilemparkan ke samping dalam posisi masih tegak. Tapi orang-orang di atas
kapal itu semakin mengalami kepanikan. Mereka yang semula berada di kabin ataupun
berada di lambung kapal, terlempar keluar dan berhamburan di atas geladak.
"Hei, ada perempuannya segala"!" seru Sandhi.
"Iya, tuh: Ada tiga atau empat sih"!" timpal Fandy.
Gambar semakin buram. Mereka hanya hisa melihat sosok kapal bertiang layar dua itu
berputar-putar bagai ingin terhisap ke dalam pusaran arus air.
Kilatan cahaya petir menyambar sekeliling kapal itu. Salah satu kilatan cahaya itu
menghantam tiang layar bagian belakang l iang layar itu patah dan tumbang. Dua orang
awak kapal tertimpa tiang tersebut
Jeritan dan suara kepanikan mereka sama seperti yang didengar Kumala di teras tadi.
Akhirnya kapal itu pecah, para awaknya terlempar ke berbagai arah Yang masih hidup
berusaha menyelamatkan diri dengan papan atau potongan kayu kapal. Tapi kabut
semakin tebal dan gambar semakin buram.
"Wah, nggak kelihatan lagi'" sentak I andy, hampir saja tangannya mengusap layar
moni tor yang seperti mengandung embun itu.
Sebelum gambar itu hilang, Kumala berhasil memperbesar gambar potongan kayu.
Kayu itu mempunyai tulisan: BINTARA 1898.
"Itu nama kapal tersebut!" ujar Kumala. "Angka di belakangnya menunjukkan masa
pelayaran mereka." "Gila! Tepat seratus tahun"!" suara Fandy mendesah pelan.
Tiba-tiba gambar hilang. Blubss. ! Komputer mengepulkan asap tipis dan menyebarkan
bau sangit. Mereka pun tercengang tegang. Saling pandang tapi saling membungkam.
Belakangan diketahui bahwa Fandy adalah teman Niko Madawi. la mendapat informasi
banyak tentang Kumala dari Niko. Bahkan Niko lah yang menganjurkan Fandy agar menemui Kumala dan membicarakan kemisteriusan disketnya itu.
Sikap gadis paranormal itu semakin akrab setelah mengetahui bahwa Fandy teman
Niko. Baginya, Niko bukan orang lain lagi. Ia sering bekerja sama dengan Niko dalam
menangani beberapa kasus misteri yang sulit dipecahkan.
Kerjasama itu terjalin dengan sendirinya, karena Niko adalah seorang reporter dari teve
swasta, sekaligus pembawa acara Lorong Gaib. Acara tersebut ditayangkan setiap
malam Jumat, dan mempunyai kelompok penggemar tersendiri. Tak heran jika wajah
Niko pun cukup dikenal oleh masyarakat pemirsa, terutama para penggemar
kisah-kisah misteri, karena seminggu sekali wajahnya muncul di layar teve.
Kumala mengenal pemuda mantan peragawan itu ketika dalam kasus kuburan tua milik
Eyang Sapubumi, (Baca serial Dewi Ular dalam episode ': "ILUSI ALAM KUBUR").
Kumala cepat menjadi akrab dengan Niko bukan hanya lantara pemuda itu berwajah
tampan, gagah dan bermata bening saja, tapi juga karena Niko selalu tampil ceria, cuek
dan punya selera humor cukup tinggi. Bahkan kekonyolan Niko kadang-kadang
menghadirkan kesan tersendiri di hati Dewi Ular.
"Sekalipun wajahnya bersih tanpa kumis, tanpa jerawat, tapi dia tetap kelihatan jantan.
Lebih-lebih dengan potongan rambutnya yang cepak dan pakaian yang selalu rapi, ia
benar- benar mencerminkan pria sejati yang punya kelas tersendiri. Sayangnya, dia
memang rada konyol-. Kekonyolannya itulah yang sering bikin orang lain salah persepsi
tentang dirinya." Pengakuan itu dilontarkan Kumala Dewi ketika Fandy datang ke kantornya.
Gara-gara Fandy menyampaikan salam dari Niko, akhirnya Kumala bicara sendiri
tentang penilaiannya terhadap Niko Madawi. Setelah sadar bahwa penilaian itu
sebenarnya merupakan rahasia pribadi, Kumala segera mengembalikan pembicaraan
ke persoalan semula. "Jadi selama kau melihat adegan pecahnya kapal Bintara itu, kau selalu mimpi tentang
kapal itu?" "Benar, Kumala. Tapi maksudku bukan hanya kapal itu saja yang hadir dalam mimpiku
selama empat hari ini. Kadang aku bermimpi tentang kapal lain yang terseret pusaran
arus air, atau sebuah kapal pesiar yang hancur karena menabrak gunung karang.
Bahkan tadi malam aku bermimpi seperti berada di kapal Titanic dan ikut menjadi
korban saat kapal itu menabrak gunung es."
"Kau pernah nonton filmnya?"
"Ya, memang dua hari yang lalu aku melihat film Titanic melalui laser disc milik
temanku." Dewi Ular menyunggingkan senyum. Manis sekali senyum tipisnya itu. Hati kecil Fandy
merasakan detak jantungnya menjadi lebih cepat karena terpesona oleh senyuman
anak bidadari itu. "Mimpi itu nggak punya arti apa-apa bagimu, Fan. Mimpimu selama ini hanya merupakan visualisasi dari apa yang kau pikirkan. Aku yakin, pasti sejak kau melihat adegan
pecahnya kapal Bintara itu, kau pasti selalu memikirkannya. Benar, kan?"
"Ya, memang benar sih Aku memikirkannya karena aku sangat heran dengan munculnya gambar itu dalam komputermu "
"Kau juga selalu terngiang-ngiang suara yang ada dalam disketmu itu?"
"Benar. Suara itu seperti selalu menggema di telingaku, terutama jika aku sedang sendirian. Teriakan orang minta tolong, teriakan orang sekarat, seruan memanggil orang
yang bernama Desti dan Vinon... semuanya saling bermunculan silih berganti. "
"Itu lantaran kau juga selalu memikirkan hasil.rekamanmu itu!"
"Ya, memang begitu. Aku masih nggak habis pikir, mengapa yang masuk dalam alat rekamanku adalah suara-suara gaib itu."
"Tapi semalam ada hal baru yang kualami, Kumala."
"Tentang apa itu?" tanya Kumala dengan pandangan matanya yang lembut dan bening
itu menatap Fandy tanpa berkedip. Pemuda itu tampak lebih serius lagi dalam
bicaranya. "Semalam aku seperti mendengar suara seorang perempuan yang memanggil-manggil
namaku. Suara perempuan itu bercampur dengan suara deru ombak. Sepertinya dia
kenal betul dengan diriku, padahal aku merasa nggak mengenali suara tersebut."
Fandy menceritakan peristiwa aneh yang dialami sekitar pukul dua malam. Waktu itu, ia
tersentak bangun karena dering telepon dari seorang teman yang menurutnya memang
rada sableng. Fandy menggerutu sambil turun dari ranjang untuk menyambut telepon
itu. "Fan, sorry mengganggu nih...."
"Ada apa sih, BU..," Gila luh ya" Ini kan sudah lewat dari pukul satu malam"!"
"Sorry! Penting sekali nih," ujar Billy, teman sekantornya. "Malam ini aku masih ada di
studio nih. Sedang meng-edit serial NYANYIAN PANTAI. Soalnya besok siang harus
sudah diserahkan ke produsernya. Ngomong- ngomong... sound effect hasil
rekamanmu di Anyer itu masih ada nggak?"
"Rusak! Disketnya terbakar."
"Yaah... sayang sekali. Padahal aku butuh suara kepanikan di tepi pantai."
"Pinjam aja sama Mas Adhi. Kayaknya dia punya suara pantai."
"Tapi dalam suasana panik, Fan."
"Iya, luh tanyain aja ke sana," jawab Fandy ' dengan nada kesal.
Mestinya ia ingin menikmati istirahat malam secara total. Sudah beberapa malam ini
masa istirahat, malamnya terganggu oleh beberapa hal. Namun agaknya malam itu
belum waktunya Fandy menikmati ketenangan dalam istirahatnya, sehingga hati pun
menjadi jengkel mendapat telepon dari Billy, temannya itu.
Kejengkelan itu semakin menggemaskan, karena sejak .selesai menerima telepon dari
Billy, Fandy sulit tidur kembali. Pada saat itulah ia seperti mendengar suara kepanikan
di kapal Bintara itu. Deru omhak dan angin badai membaur dengan jeritan mereka.
"Awas tiang pataah...'"
"Aaaaaah...!" "Vinoooon...! Vinon, di mana kaauuu...!"
"Tolong...! Fan... tolong aku, Fandyy...!"
Tersentak tegang pemuda itu mendengar namanya disebutkan di sela-sela suara gaib
itu. la sempat bangkit dan duduk di tempat tidur dengan dahi berkerut taiam. Telinganya
sengaja ditelengkan, seolah-olah memburu suara-suara itu agar lebih jelas lagi
didengarnya. "Destiii...! Kembali ke timur...!"
"Toloooong...!"
"Fandyyyyy...! Fandy, aku di siniiii..,! Tolong aku, Fandyyy...!"
Pemuda itu makin merinding dan berdebar-debar.
"Fandy..."!" gumamnya lirih. "Kenapa ada suara perempuan memanggilku"! Kayaknya
di rekaman itu nggak ada suara perempuan memanggil nama Fandy" Kok sekarang
jadi ada sih"!"
Suara itu hilang. Malam menjadi sepi. Fandy menghembuskan napasnya untuk mengendurkan ketegangan. Ia berbaring lagi sambil mencoba tidak memikirkan
suara-suara tersebut. Tapi beberapa menit kemudian, ia mendengar suara gemuruh. Sangkanya hujan turun
di malam itu. Ternyata bukan. Malam tetap tanpa hujan. Suara gemuruh itu terdengar
samar-samar. Jeritan dari kapal Bintara kembali mengusik pendengarannya, namun
dalam kondisi antara terdengar dan tidak.
"Fandy...! Ooh, tolonglah aku, Fandy. Jemputlah aku, Fan... oooh, huk, huk, huk...!"
Fandy bangkit kembali. "Ada suara perempuan menangis"! Dia seperti bicara padaku.
Suaranya seperti ada di seberang jendela kamar ini"!"
Fandy penasaran sekali, la buru-buru membuka jendela pelan-pelan, agar tak menimbulkan bunyi yang dapat mengganggu siapa pun. Angin berhembus, dingin
mencekam. Yang ada di depannya hanya kegelapan malam yang membentang, tak ada siapa pun
di sana.. Suara itu pun hilang dengan sendirinya. Bulu kuduk Fandy kembali meremang
tegang. Wajah cantik si Dewi Ular tampak serius merenungi pengakuan Fandy itu. Pemuda
tersebut masih melanjutkan kata katanya dalam sebuah pengakuan pribadi.
"Aku benar-benar nggak ngerti apa maksud suara gaib itu. Dan aku menjadi ketakutan
sekali. Sampai pukul lima pagi aku baru bisa tidur kembali."
"Ada yang nggak beres dalam dirimu," kata Dewi Ular dengan nada pelan, seperti
orang menggumam. "Nggak beres bagimana, maksudmu?"
"Entahlah. Belum bisa kuselidiki saat ini, karena sebentar lagi ada orang yang akan meneleponku dan bicara tentang bisnisnya yang kacau balau itu."
"Ta... tapi kira-kira suara perempuan itu milik siapa" Atau benarkah suara itu memang
ada, dan bukan hanya suatu halusinasi saja bagiku"!"
Kumala Dewi baru mau menjawab, tiba-tiba telepon di mejanya berdering. Kumala segera menyambut telepon itu. Fandy semakin kagum dan terheran-heran pada
ketajaman indera keenam Kumala. Sebelum telepon berdering, ternyata gadis cantik
berbibir sensual itu sudah mengetahui lebih dulu.
"Tapi kenapa dia nggak bisa jelaskan sekarang juga ketidak beresan dalam diriku ini,
ya?" pikir Fandy sambil termenung dalam bungkam, memberi kesempatan kepada
Kumala untuk bicara bersama si penelepon.
**** 3 FANDY tinggal di rumah kontrakan. Rumah itu mungil, tapi punya halaman samping
agak lebar. Halaman tersebut dipakai untuk taman, lengkap dengan sebuah payung
pantai. Di situlah biasanya Fandy menikmati masa santainya sambil menikmati
ikan-ikan berlarian di kolam berair jernih.
Di rumah itu, Fandy tinggal bersama adik perempuannya. Ginna, adik perempuannya
itu, sudah berusia 24 tahun. Seusia dengan Kumala Dewi. Hanya gadis itulah
satu-satunya saudara Fandy.
Ginna berprofesi sebagai pramugari di sebuah maskapai penerbangan. Ginna jarang
berada di rumah. Kadang dua minggu sekali Ginna baru pulang ke rumah kakaknya itu.
Selain Ginna punya tempat kost sendiri yang dekat dengan bandara, ia juga lebih
sering berada di angkasa. Rute penerbangan ke luar negeri membuat Ginna lebih suka
bertugas daripada mengambil cuti.Praktis pemuda berwajah tampan itu lebih sering
bengong sendirian di rumah kontrakannya itu. Untung ia masih mampu menggaji
seorang pelayan lelaki. Ubay, namanya. Usianya masih tergolong remaja. Masih 18
tahun. Tapi selain rajin, Ubay juga pintar memasak dan enak diajak ngobrol.
Kadangkala kesepian Fandy terhibur oleh obrolan ringannya dengan Ubay.
Petang itu, pukul tujuh kurang Fandy sudah sampai rumah. Ubay menyambutnya
dengan membukakan pintu garasi. Pelayan bertubuh agak kurus itu sedikit heran
melihat majikannya pulang sebelum pukul sembilan malam. Sebab biasanya Fandy
selalu pulang di atas pukul sembilan malam.
"Ada yang cari aku tadi, Bay?" sambil Fandy keluar dari mobilnya.
"Pak Usman menelepon dua kali, Tuan."
"Usman" Qoh, ya... ada pesan apa dia?"


Musibah Sebuah Kapal Serial Dewi Ular Karya Tara Zagita di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Pesannya cuma... nanti kalau Tuan sudah sampai rumah, Tuan diminta meneleponnya
ke rumah Pak Usman."
"Hmm, terus siapa lagi yang menelepon?" sambil Fandy melangkah menuju ruang
makan lewat pintu tembus garasi. Ubay mengikutinya dari belakang sambil
membawakan tiga cas- sette video ukuran VHS hasil pekerjaan Fandy di studio.
"Nyonya Connie juga minta dihubungi malam ini juga."
'Ooo, Tante Connie..."!"
"Katanya, beliau tadi siang menelepon ke studio dan ke kantor Tuan, tapi Tuan nggak
ada di tempat. Maka beliau menelepon kemari."
Fandy tertawa pelan. "Sebenarnya aku ada di studio. Tapi malas mau terima telepon
darinya." Ubay meletakkan tiga cassette video itu di meja kerja Fandy. Ketika Ubay ingin meninggalkan kamar Fandy, ia sempat berhenti sebentar di depan pintu.
"O, ya... tadi ada tamu yang kemari, Tuan. Sekitar... lima belas menit yang lalu."
"Siapa?" Fandy melepas kemejanya.
"Seorang perempuan muda, Tuan. Dia mendesak agar saya menelepon ke kantor Tuan
dan memberi tahu kedatangannya. Tapi saya tetap nggak berani menghubungi Tuan."
"Perempuan muda"!" Fandy berkerut dahi. "Sudah pernah ke sini apa belum?"
"Kayaknya sih... belum pernah. Tuan. Tapi dia bilang, dia sudah kenal dengan Tuan."
"Siapa namanya?"
Ubay mengingat-ingat sambil merogoh saku celana pendeknya. Rupanya ia mengambil
selembar kartu nama yang dititipkan kepadanya. Ia membaca kartu nama itu sambil
melangkah mendekati Fandy.
"Namanya.... Vinon Samora."
"Vinon..."!" Fandy menggumam dengan nada heran, hatinya tersentak oleh nama depan yang disebutkan Ubay.
Ubay menyerahkan kartu nama itu sambil tersenyum dan berkata, "Namanya cantik
sekali, Tuan. Sama cantiknya dengan wajah orang itu."
"Vinon..."!" Fandy menggumam lagi semakin tajam nada herannya. Sebab pada saat
itu ia teringat suara-suara gaib yang masuk dalam rekaman disketnya. Salah satu dari
teriakan orang di kapal Bintara itu ada yang memanggil-manggil nama Vinon.
Tanpa disadari bulu kuduk Fandy mulai merinding. Detak jantungnya menjadi cepat.
Kecemasan meremas hati, menghadirkan keresahan tersendiri. Ia membaca kartu
nama yang berlogo sebuah cafe.
Di bagian atas kartu nama berwarna pink itu tertera tulisan sebuah cafe yang pernah
beberapa kali dikunjungi Fandy: Imagine Cafe. Di bawah tulisan nama Vinon Samora
terdapat tulisan: manager. Selain alamat cafe tersebut, juga tertera alamat tempat
tinggal si pemilik kartu nama itu.
"Aku nggak kenal dengan perempuan ini!" kata Fandy seolah-olah ditujukan pada
dirinya sendiri. "Tapi dia tahu kalau Tuan kerja di kantor film."
"Banyak sih yang tahu aku kerja di mana, cuma yang ini aku benar-benar nggak tahu
siapa dia! Orangnya kayak apa sih, Bay?"
Ubay menceritakan ciri-ciri perempuan muda yang bertubuh tinggi, sekal dan berdada
padat berisi. Menurut Ubay, kecantikan perempuan muda itu seperti bintang film
Hollywood. "Mirip... mirip Brooke Shields deh, Tuan."
"Ah, ngaco aja luh! Kayak udah pernah .ketemu Brooke Shields aja!"
"Saya kan sering nonton filmnya dari laser disc yang Tuan beli itu?"
"Tapi... tapi aku nggak punya kenalan yang punya kecantikan seperti Brooke Shields!"
"Kalau begitu biar jadi kenalan saya aja, Tuan, ujar Ubay dalam canda. Fandy tertawa,
geli-geli kesal. "Dia bilang apa padamu, Bay?"
"Yaah... cuma mendesak saya supaya menghubungi Tuan. Dia mau bicara dengan
Tuan. Tapi karena saya tetap nggak mau, dia kasih saya kartu nama itu. O, ya... kalau
nggak salah di belakang kartu nama itu dia menulis pesan buat Tuan."
Fandy membalik kartu nama pink itu. Ternyata memang ada pesan yang tertulis di situ
dengan tinta biru. Tulisannya kecil-kecil tapi bagus sekali. Jelas dibaca.
"Tolong luangkan waktu untukku.
Ada yang perlu kita bicarakan empat mata.
Kutunggu di Imagine Cafe malam ini.
From me: VINON'S." Tertegun Fandy setelah membaca pesan tersebut. Kesan yang timbul saat itu adalah
hubungan yang sudah lama terjalin akrab. Padahal Fandy benar-benar merasa belum
pernah punya sahabat atau kenalan yang bernama Vinon Samora, lebih-lebih yang berwajah seperti Brooke Shields, sama sekali tidak ada. Jika pesan itu merupakan
permainan dari seorang teman yang kepingin ngerjain dirinya, mengapa harus
membawa-bawa nama Vinon Samora"
Ketegangan Fandy ditinggalkan oleh Ubay. Satu-satunya cara untuk melegakan liati
yang penasaran adalah dengan menghubungi Im- agine Cafe melalui nomor telepon
yang ada di kartu nama itu.
"Maaf, Tuan Zus Vinon belum ada di tempat. Mungkin satu jam lagi beliau datang,"
jawab si penerima telepon di Imagine Cafe
"Tapi apa benar manager cafe ini bernama Vinon Samora?"
"Benar, Tuan. Coba nanti satu jam lagi Tuan telepon lagi. Mudah-mudahan Zus Vinon
sudah datang." Kurang puas hati Fandy walau sudah mendapat kepastian, bahwa manager di cafe itu
memang Vinon Samora. Ia segera menelepon Kumala Dewi. Ia ingin tanyakan tentang
apa yang harus dilakukannya dalam menghadapi keanehan tersebut.
Sayangnya Kumala Dewi tidak ada di rumah. Mak Bariah yang menerima telepon dari
Fandy mengaku tidak tahu nomor handphone Kumala.
Rasa penasaran semakin meresahkan jiwa. Akhirnya Fandy memutuskan untuk datang
ke Imagine Cafe. Ia ingin membuktikan apakah kasus itu sebuah permainan konyol dari
teman-temannya, atau sebuah misteri yang ada hubungannya dengan musibah kapal
pada 100 tahun yang lalu itu"
*** Malam itu Kumala Dewi menghadiri resepsi perkawinan seorang teman: Antonio dan
Immelda. Pesta perkawinan itu diselenggarakan di auditorium sebuah hotel berbintang,
la harus hadir dalam perkawinan itu, karena kenal dekat dengan Immelda.
Kumala hadir bersama Pramuda agar kesendiriannya tak terlalu menyolok di antara
para undangan. Kebetulan Pramuda sendiri sangat kenal dengan Antonio, yang selama
ini menjadi rekanannya dalam berbisnis.
Tapi hubungan Kumala dengan Pramuda bukan hubungan antara sepasang kekasih.
Pramuda adalah orang pertama yang menemukan Dewi Ular saat si anak dewa itu
jatuh ke bumi, (Baca serial Dewi Ular dalam episode pertama: "ROH PEMBURU
CINTA"). Hanya si bujang lapuk itu yang mengetahui rahasia Kumala, di mana setiap
bulan purnama tiba, gadis cantik itu akan berubah menjadi seekor ular bersisik emas
dan berkepala manusia. Itulah sebabnya Pramuda tidak mau menjalin hubungan asmara dengan Dewi Ular. la
tak berani menanggung resiko yang dapat menjadi buruk di kemudian hari. la memilih
menjalin hubungan persaudaraan dengan Dewi Ular. Dan ternyata persaudaraan itu
membawa keberuntungan tersendiri bagi Pramuda. Usahanya makin meningkat dan
berkembang setelah Kumala duduk dalam perusahaan tersebut sebagai konsultan.
"Kapan kau akan mengadakan pesta seperti ini, Pram?" bisik Kumala. "Seharusnya
sudah sejak tahun kemarin kau mengadakan pesta seperti ini. Nggak usah banyak pilih
deh, ntar bulukan luh! Ingat, usiamu sudah banyak. Ubanmu juga banyak!"
Pramuda menggerutu tak jelas. Kumala tak mempedulikan gerutuan tersebut.
"Kudengar dari Sandhi, kau sedang menjalin hubungan akrab dengan Andani, putri
konglomerat itu. Iya?"
"Kamu ini!" sentak Pramuda. "Dari rumah aku kan sudah bilang, aku mau barengan kamu kemari, tapi aku nggak mau kamu bicara tentang pribadiku yang satu itu!"
Kumala justru tertawa geli. Sayang Sandhi tidak ikut di samping mereka. Sandhi
menunggu di mobil. Kalau saja ada Sandhi di samping mereka, Kumala akan semakin
menggoda Pramuda dengan sindiran yang dilontarkan kepada Sandhi.
Denting suara sendok dan- piring beradu bertaburan di sana-sini. Gemuruh percakapan
mereka bagaikan rombongan lebah sedang berpesta pora. Maklum, kala itu acara
santap malam dimulai, para undangan mengambil hidangan sendiri-sendiri secara
prasmanan. Kumala Dewi sedikit kaget karena ada yang menegurnya dari belakang dengan nada
canda. "Hati-hati, sendoknya jangan sampai ikut ditelan. Dewi."
Siapa lagi orang yang menyapa Kumala dengan panggilan Dewi kalau bukan si
pembawa acara Lorong Gaib di televisi itu: Niko Madawi. Gadis bergaun biru dengan
wewangian yang khas menyebar memenuhi ruangan itu buru-buru berpaling ke
belakang. Pramuda yang sedang dalam posisi memunggunginya juga ikut berpaling ke
belakang, dan memberikan senyum persahabatan kepada pemuda berambut cepak itu.
"Hei, Nik..."! Sama siapa kamu?" Kumala Dewi balas menegur ramah.
"Yaah, elu lagi, Nik"! Kirain mertuanya si Immelda"!" timpal Pramuda.
"Enak aja. Memangnya aku udah kelihatan setua Oom Hans, papanya Anfonio itu?"
sambil Niko tertawa lepas saja. "Oh, ya.... Kenalin nih asistenku yang baru: Nanu
namanya." Kumala Dewi dan Pramuda berjabatan tangan dengan Nanu. Dia seorang pemuda sebaya dengan Niko yang punya badan sedikit lebih gemuk dari Niko sendiri. Rambutnya
agak lebat, tapi tak sampai sepundak.
"Baru datang kamu, Nik?"
"Udah dari tadi. Tapi aku tadi asyik mojok sama Pak Susman di sebelah sana."
"Pak Susman yang dikenal sebagai kolektor benda-benda pusaka itu?" sahut Pramuda.
Niko mengangguk, karena mulutnya sudah telanjur mengunyah kerupuk udang.
"Makan di mejaku aja, yuk?" usul Kumala Dewi yang tampak berharap sekali agar
dapat makan bersama Niko. Agaknya Niko dan Nanu tidak keberatan atas usul
tersebut. "Kamu kenal sama Immelda, ya?" tegur Kumala kepada Niko.
"Yang kukenal adalah Antonio nya, bukan Immeldanya. Antonio cukup banyak memasukkan iklan dalam acaraku itu."
"Ooo, pantas," sahut Pramuda lagi. la menambahkan kata sambil melirik Nanu.
"Pantas si Niko tambah gemuk. Rupanya ia panen duit dalam acaranya setiap malam
Jumat itu." Nanu dan Niko tertawa. Nanu mengomentari dengan canda pula.
"Saya dengar si Niko malah mau kawin, sekaligus empat istri!"
"Gila!" sentak Kumala dengan geli.
"Buat ngabisin duit iklannya itu!" tambah Nanu membuat suasana mereka semakin
ceria. Tawa mereka sesekali meledak tanpa mempedulikan keadaan mereka sedang makan.
Hanya si Dewi Ular yang tawanya tidak sampai terbahak-bahak. Sesekali saja
terdengar seperti orang menggumam dengan senyum yang amat menawan, yang
menjadi sasaran mata nakal para undangan lainnya.
Secara diam-diam Kumala sering mencuri pandang ke arah Nanu. Kadang pemuda itu
memergoki tatapan mata itu, membuatnya grogi. Tapi kadang tak tahu kalau sedang
diperhatikan gadis cantik bermata jeli.
Dalam satu kesempatan, Pramuda yang rupanya mengetahui gerak-gerik pandangan
mata Kumala itu sempat berbisik kepada saudara angkatnya.
"Kamu naksir dia, ya?"
"Naksir siapa maksudmu?"
"Nanu...?" Kumala.hanya mencibir tipis. Saat itu Nanu dan Niko sedang memperhatikan sepasang
mempelai yang sedang foto bersama dengan para undangan lainnya.
"Goblok amat kamu. Cowok kayak gitu ditaksir"!"
"Elu yang goblok!" balas Kumala berbisik. "Siapa bilang gue naksir Nanu?"
"Arah pandangan matamu sejak tadi ke sana!"
"Karena aku melihat ada keganjilan pada dirinya."
"Keganjilan apa?"
"Ada yang bergerak-gerak di balik kulit wajahnya," bisik Kumala semakin pelan.
Mereka tak melanjutkan kasak-kusuk itu, karena Nanu dan Niko sudah tidak
memandang ke arah mempelai lagi. Tapi secara diam-diam Pramuda memperhatikan
wajah Nanu yang polos tanpa kumis selembar pun.
"Eh, Dewi... bagaimana dengan temanku itu: si Fandy?" tanya Niko.
"Sudah kusarankan agar dia jangan keluar malam ini."
"Kenapa kau sarankan begitu?"
"Ada yang nggak beres pada dirinya."
"Maksudmu..."!" Niko berkerut dahi dan menyembunyikan kecemasannya.
Sebelum Kumala menjawab, tiba-tiba Nanu tersentak dengan menarik mundur kepalanya. Ia terpekik pelan.
"Auh...!" sambil memegangi pipinya yang kiri.
"Hahh..."!" Niko terperanjat dengan mata terbelalak, la melihat dengan jelas ada
belatung yang keluar dari pori-pori pipi Nanu. Binatang seperti belatung berwarna,
hitam itu meloncat dari wajah dan jatuh di atas piring kotor.
"Apaan itu, Nu"!" Niko kelihatan semakin cemas. Nanu menggeleng dengan kebingungan.
"Tahu tuh...! Tadi waktu kita ada di pfo- jokan sana juga begitu. Sepertinya ada ulat
yang keluar dari kulit wajahku dan... dan. Auuuh!"
Pluk...! Ada satu lagi binatang seperti belatung yang loncat dari kulit kening Nanu...,
Pramuda memandang dengan terbengong melompong. Dewi Ular menatap Nanu
penuh curiga. Untung saat itu acara makan mereka sudah selesai. Kalau belum, tentu saja akan
membuat perut menjadi mual, terutama perut Pramuda yang tak bisa melihat benda
menjijikkan pada saat sedang makan. Dan ternyata benda yang meloncat sendiri dari
pori-pori kening dan pipi Nanu itu masih dalam keadaan hidup walaupun berada di atas
permukaan piring kotor. Benda itu bergerak-gerak seperti belatung.
Besarnya sama persis dengan belatung pada sesosok bangkai. Pramuda dan Niko
menjadi merinding saat memperhatikan gerakan hewan aneh itu.
Nanu tampak pucat. Pasti dia menahan rasa malu yang luar biasa besarnya. Tapi dari
raut wajahnya pemuda itu tampak bingung sendiri. Rupanya ia tidak tahu apa yang
telah membuatnya mengeluarkan belatung hitam berlendir.
"Kau bawa-bawa binatang apaan ini, Nu?" tanya Niko nyeplos saja.
"Nggak tahu! Hmrnrn, sebaiknya kita pulang saja deh, Nik. Kepalaku rasanya pening
sekali." "Tunggu dulu!" cegah Pramuda. "Kenapa pipimu berlubang kecil, dan keningmu juga
begitu" Kenapa lubangnya seperti hangus, Nanu?"
"Entahlah. Aku sendiri bingung. Perih dan panas sekali rasanya. Kayak disundut pakai
api rokok," sambil Nanu mengusap-usap pipinya. Tapi di luar dugaan, dari salah satu
lubang hidung keluar lagi binatang aneh seperti belatung hitam itu. Pluk, pluk..:!
"Hahh..."! Dua lagi"!"' gumam Niko dengan mendelik, karena kali ini belatung hitam itu
jatuh di permukaan meja bertaplak putih itu. Warna putih dari taplak meja tersebut
membuat gerakan belatung hitam semakin
jelas. "Auuh...! Oouh.! Uuhk...!"
Nanu tersentak-sentak beberapa kali. Pramuda dan Niko sama-sama tak bisa bergerak
untuk sesaat. Mereka melihat jelas beberapa belatung hitam berlompatan keluar dari
kulit wajah Nanu. Setiap tempat yang dijadikan jalan keluarnya belatung hitam itu selalu
meninggalkan bekas seperti luka kena sundut api rokok.
"Celaka!" gumam Dewi Ular yang sejak tadi memandang Nanu tanpa berkedip. "Cepat
carikan tempat yang sepi untuknya!"
"Ad... ada apa... dengan dirinya, Dewi"!" Niko mulai tak bisa tenang.
"Ada kekuatan gaib yang ingin merusak dirinya!"
Dewi Ular bangkit secepatnya.
"Nik, Pram... carikan tempat aman untuk si Nanu! Dia dalam bahaya yang...."
Kata-kata gadis paranormal itu terhenti seketika, karena kini ia dan yang lainnya melihat
sesuatu yang bergerak-gerak di balik kulit wajah Nanu. Sesuatu yang bergerak-gerak
itu seperti segerombolan semut yang berusaha keluar dari balik kelambu. Gerakan itu
memutar wajah, bahkan menyelusup di balik kulit kepala Nanu yang berambut lebat itu.
"Hei, lihat...! Di lengannya juga ada gerakan yang serupa dengan... dengan...."
Pramuda tak berani meneruskan kata-katanya. Tiba-tiba saja tengkuk kepalanya
menjadi merinding dan hatinya iba kepada Nanu. Pemuda teman Niko itu tampak
kebingungan mencari tempat yang aman dari jangkauan mata para undangan.
Tiba-tiba Nanu yang ingin melangkah pergi itu memekik panjang.
"Aaauuh...!" Pekikan itu memancing perhatian tamu lainnya. Semua mata tertuju pada Nanu. Tubuh
Nanu sendiri menjadi oleng, sepertinya tak sanggup lagi untuk melangkahkan kakinya.
Bruuul...! Jeritan keras itu disebabkan oleh loncatan puluhan ekor lebih belatung hitam
yang menyebarkan bau tak sedap.
Bruuull...! "Aa'oow...!" Nanu terpekik lagi, karena kini dari lehernya keluar serombongan binatang
aneh tersebut. "Aaoow...! Uuuh, haaakk...! Ooouuhh...!"
"Kumala, ada apa dengan temanku itu"!" seru Niko mulai panik.
Nanu jatuh berlutut. Wajahnya mengalami kerusakan di bagian pipi. Kulit wajah itu
seperti habis terbakar. Kulit tersebut koyak di sana-sini akibat belatung-belatung hitam
berhasil menjebol kulit tubuh Nanu lagi. Beberapa orang yang melihat kengerian itu
bukan hanya merinding saja, melainkan juga ikut menjerit karena ngeri dan ketakutan.
"Aaaaoow...!" Nanu berguling-guling di lantai dengan gerakan menggila. Selama dalam
bergerak cepat itulah kulit tubuh Nanu menjadi robek dan berlubang-lubang. Sementara
itu, di lantai sana-sini tampak rombongan belatung, hitam merayap, seolah-olah ingin
menguasai tempat tersebut.
Padahal saat itu Nanu sedang memekik dan menjerit-jerit menahan rasa sakit."Bawa
dia ke mobil!" seru Kumala Dewi kepada Niko. Maka dengan rasa jijik dan
mendebarkan hati, Niko dan Pramuda memaksakan diri menggotong Nanu untuk keluar
dari ruangan tersebut. Kumala Dewi bergegas mengikuti mereka, karena ia tak ingin me


Musibah Sebuah Kapal Serial Dewi Ular Karya Tara Zagita di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lakukan pengobatan di depan mata umum.
"Ooaaaahhhhkk...!!"
Akhirnya Nanu berteriak dengan histeris. Teriakan itu membuat para undangan menjadi
panik dan saling dicekam perasaan takut. Mereka sama-sama merasa ngeri melihat
perut Nanu bagaikan jebol. Dari jebolan perut itu berhamburanlah ratusan belatung
hitam berlendir yang menyebarkan bau amis bercampur bau busuk.
Prarnuda tersentak kaget dan sangat jijik melihat ratusan belatung hitam. Rasa
kagetnya membuat pegangan tangannya pada lengan Nanu dilepaskan. Gerakan
refleks itu juga dilakukan oleh Niko. Akibatnya, Nanu jatuh ke lantai dan
menggelepar-gelepar dalam keada an sekujur tubuhnya rusak, seolah-olah ada yang
mencabik-cabiknya dengan senjata tajam tanpa kenal belas kasihan sedikit pun.
"Nanuuu...! Nanu, ada apa dengan dirimu sebenarnya"! Kenapa kau jadi kayak gitu,
Nanuuu...!" seru Niko dengan panik dan ketakutan.
Dewi Ular segera bertindak. Tak peduli di depan umum, tak peduli akan dianggap
pamer ilmu, yang jelas gadis itu harus menyelamatkan nyawa Nanu, melawan kekuatan
gaib jahat yang berbentuk ratusan belatung hitam itu. Namun apakah Dewi Ular
berhasil menyelamatkan nyawa Nanu, jika keadaan Nanu menjadi lebih parah lagi"
Punggungnya ikut jebol dan menyemburkan ratusan belatung hitam, bahkan sampai
telapak kakinya juga ikut koyak menyemburkan hewan-hewan kecil yang menjijikkan
itu. Setiap orang bertanya-tanya dalam hati, apa yang menjadi penyebab Nanu mengalami
siksaan seperti itu"
****** 4 IRAMA musik lembut mengalun dengan nuansa romantis. Malam itu, Imagine Cafe
dihibur oleh permainan piano tunggal yang dimainkan oleh seorang wanita pianis
berwajah indo. Para tamu menikmatinya sambil menikmati hidangan dan perbincangan
pelan. Fandy masuk ke cafe itu dengan tenang. Sekalipun hatinya diliputi keresahan, namun ia
bisa menutupi dengan penampilannya yang kalem. Ia langsung menuju meja bar, dan
seorang bartender pun mendekatinya. Senyum sang bartender adalah senyum
keramahan penyambutan tamu dan langganan.
"Bisa saya bantu, Bung?"
"Hmmm, saya mau bertemu dengan manager cafe ini. Vinon Samora."
"Ooh, sebentar. Silakan duduk dulu!"
Bartender itu segera pergi ke meja aiphone. Ia bicara sebentar, entah apa yang
dibicarakan. Fandy sengaja menunggu sambil memandangi wajah-wajah tamu yang hadir malam itu.
Dalam hati Fandy menggumam seperti bertanya pada diri sendiri, "Di mana wajah
cantik mirip Brooke Shields itu" Kayaknya di sini nggak ada"!"
Bartender itu mendekatinya dan bicara dengan sopan.
"Maaf, Bung. Apakah Anda yang bernama Bung Fandy?"
"Ya, benar. Saya Fandy!"
"Ooh, kalau begitu.... Anda ditunggu Zus Vinon di ruang kerjanya."
"Di mana ruang kerjanya?"
"Anda bisa melewati jalanan menuju toilet itu. Sebelum sampai pojok, ada pintu berkaca
buram. Masuk saja. Itu ruang kerja manager kami yang baru."
"Oo, Zus Vinon manager baru di sini?".
"Benar. Baru satu minggu beliau menggantikan posisi Tante Monie, manager kami yang
lama ." Fandy manggut-manggut dengan gumam lirihnya. Setelah mengucapkan terima kasih,
Fandy pun melangkah mengikuti petunjuk bartender tadi. Hatinya sempat
berdebar-debar diliputi kecemasan dan perasaan minder. Tapi perasaan seperti itu
berhasil ditenangkan sebelum ia mengetuk pintu kamar berkaca buram.
Hampir saja Fandy tak mempercayai penglihatannya sendiri pada saat seorang wanita
membukakan pintu itu dengan senyum menawan. Ternyata apa yang dikatakan Ubay
memang benar. Wanita muda yang baru berusia sekitar 27 tahun itu memang mirip
sekali dengan Brooke Shields. ia bertubuh tinggi, berbadan sekal, pinggulnya meliuk
indah penuh kepadatan, dadanya juga membusung indah berkesan montok.
"Masuklah Jangan bengong aja di situ!" tegur perempuan berambut hitam berkilauan
sepanjang punggung. Rambut itu bergelombang dan mirip sekali dengan rambutnya
Brooke Shields ketika berperan dalam film Blue Lagon.
"Anda yang bernama Vinon Samora?" tanya Fandy menunjukkan rasa kurang percaya
pada dirinya sendiri. Wanita cantik' yang mengenakan blazer biru tua dengan hiasan benang emas itu hanya
semakin melebarkan senyumannya ketika mendengar pertanyaan Fandy itu. Ia
mempersilakan Fandy untuk duduk dengan bahasa isyarat. Fandy pun duduk di sofa
panjang yang ada di sudut ruangan tersebut. Sang manager cantik itu duduk pula di
sofa depan Fandy, tak peduli sikap duduknya itu membuat span ketat yang dikenakan
sedikit tersingkap naik dan ' membentuk celah tersendiri yang mengundang kenakalan
mata Fandy. Tentu saja napas Fandy menjadi lebih sesak lagi, dan ia terpaksa
menghelanya dalam-dalam untuk mengatasi debar-debar dalam dadanya.
"Betisnya indah sekali"!" gumam hati Fandy penuh kekaguman. "Putih, mulus, tanpa
stocking, dan... ya ampun! Betis belalang itu mempunyai paha yang mampu membakar
hasratku yang mengeringkan seluruh darahku. Gila bener nih orang!"
Wanita cantik berbibir sensual sekali itu menatap Fandy dengan pandangan sedikit
sayu. Senyum tipis yang masih tetap mekar di bibirnya telah membuat Fandy merasa
ditantang untuk saling beradu pandang. Namun gemuruh dalam dada Fandy tak
sanggup menerima tatapan mata selembut itu. Fandy terpaksa mengubah suasana
agar tak terlalu lama saling membisu.
"Terus terang, aku sangat terkejut dan terheran-heran ketika pelayanku menyerahkan
kartu namamu. Aku masih sangsi, apakah benar kartu nama itu untukku atau mungkin
salah alamat?" "Memang untukmu," jawab sang manager berjari lentik. Ia mengambil sebatang rokok
putih dan menyalakannya dengan cuek. Santai sekali kelihatannya.
"Sebenarnya... sebenarnya aku merasa asing denganmu. Rasa-rasanya aku belum
pernah kenal denganmu, Vinon."
"Tapi sekarang kau sudah mengenalku, bukan?"
''Ya, tapi... tapi itu lantaran kau memaksaku datang kemari."
"Aku terpaksa mengundangmu karena aku yakin sulit sekali untuk menemuimu di
rumah." Suaranya yang terdengar sedikit serak tapi bernada mesra itu sempat membuat hati
Fandy semakin deg-degan. Diakui oleh hati kecil Fandy, perempuan cantik itu memang
mempunyai daya pikat yang sangat tinggi. Ia seperti magnit , yang sulit dihindari daya
tarik oleh logam mana pun juga.
"Apakah kau merasa kecewa bertemu denganku?" sambil si manager cantik itu pindah
duduknya ke sebelah Fandy. Aroma parfumnya terserap tajam ke hidung Fandy. Aroma
parfum itu punya kelembutan dan wewangian yang memaksa seseorang harus
berkhayal tentang asmara dan ranjang.
"Bukan soal kecewa atau tidak Bagiku, undanganmu ini benar-benar sesuatu yang
sangat sensasional. "
Si manager cantik tertawa pelan. Suara tawanya terdengar serak-serak basah.
"Sebenarnya... sejak kapan kau mengenalku?"
'Sejak kapan itu tak perlu. Yang perlu kau ketahui, aku kenal dirimu dari seorang
teman." "Siapa nama temanmu itu?"
"Syanne." Dahi pun berkerut tajam. "Siapa itu Syanne"! Aku nggak punya teman atau kenalan
yang bernama Syanne"! Baru sekarang kudengar ada nama Syanne."
"Tapi nama Vinon sudah kau dengar, bukan?"
"Hmm, eeh... aku... aku memang pernah' mendengar nama Vinon. Tapi... tapi itu... aah,
sudahlah! Sulit bagiku menjelaskannya. Pada dasarnya aku belum pernah kenal
denganmu dan baru sekarang bertemu dengan yang bernama Vinon."
"Akulah yang bernama Vinon. Masa' kamu nggak percaya sih?"
"Iya. Aku percaya kau bernama Vinon Tapi sebelum ini kita nggak pernah bertemu,
bukan?" "Pernah. Tapi mungkin kau memang lupa," jawab Vinon sambil berdiri dan melangkah
mendekati meja kerjanya yang berwarna coklat mengkilat dan bertepian kuning emas
itu. Fandy masih berkerut dahi, merasa heran dengan pernyataan tersebut, la
memandangi Vinon yang seolah-olah tak mempedulikan tatapan mata tamunya itu.
Vinon membuka laci meja kerjanya. Ada sesuatu yang diambilnya dari dalam laci itu.
Kemudian ia kembali duduk di samping Fandy dengan langkahnya yang gemulai. Saat
duduk kembali itu, span ketatnya lebih tersingkap lagi, Sehingga kemulusan pahanya
seolah-olah sengaja dipamerkan di depan mata Fandy.
"Kau masih ingat gadis dalam foto ini?"
Vinon menyodorkan sebuah foto tanpa bingkai. Foto itu tampak kumal dan buram.
Warnanya hanya hitam putih dan mempunyai bercak-bercak coklat di bagian sudutnya.
Tepian foto itu pun geripis, seperti dimakan ngengat. Jelas foto itu adalah foto usang
yang mungkin usianya jauh lebih tua dari usia Fandy sendiri.
Di dalam foto itu ada gambar seorang gadis bergaun putih panjang, berpotongan kuno
sekali. Si gadis membawa payung dan mengenakan topi kecil pada rambutnya yang
disanggul itu. Wajahnya masih terlihat cantik. Tapi kecantikan itu menurut Fandy adalah
kecantikan klasik yang hanya dimiliki oleh putri-putri bangsawan Belanda pada zaman
dulu. "Aku nggak kenal dengan gadis ini. "
"Ini adalah Syanne, putrinya Mister Goverr Mook, hakim yang terkenal bijak dan adil itu.
Apakah kau masih belum ingat?"
"Bukan ingat, tapi semakin heran! Mungkin kau salah orang. Bukan Fandy aku orang
yang kau anggap kenal Syanne dan kenal dirimu. Mungkin Fandy lain."
Vinon menggeleng-geleng dengan senyum manis.
"Aku nggak salah alamat, kau memang Fandy-ku."
Kata-kata Vinon itu semakin membuat Fandy jadi senewen sendiri. Ia tak paham betul
apa maksud kata-kata 'Fandy-ku' tadi. Timbul kecurigaan di hati Fandy tentang wanita
cantik berbeiahan dada lebar itu sebagai wanita yang terganggu kesehatan jiwanya,
alias gila. Merinding juga bulu kuduk Fandy membayangkan duduk bersama dalam
ruangan tertutup tanpa orang lain kecuali seorang wanita gila.
"Barangkali dengan melihat yang satu ini, kau akan ingat tentang hubungan kita,
Fandy." Vinon menyodorkan selembar foto lagi. Foto itu juga terkesan kuno dan tanpa warna,
kecuali warna hitam dan putih. Walaupun keadaan foto itu sudah memburam dan akibat
dimakan usia, tapi gambar yang ada pada foto itu masih bisa dilihat dengan jelas.
Fandy terkejut sekali dengan, mata melebar dan tangannya segera menyambar foto
tersebut. Ia memandangi foto itu lebih dekat lagi dengan jantung berdetak sangat cepat.
Tangan yang memegangi foto itu menjadi gemetar, karena dalam foto itu terdapat
gambar sebuah kapal yang sedang bertolak dari pelabuhan.
Budha Pedang Penyamun Terbang 4 Pendekar Rajawali Sakti 123 Misteri Hantu Berkabung Kuda Dan Anak Manusia 1
^