Pencarian

Musibah Sebuah Kapal 2

Musibah Sebuah Kapal Serial Dewi Ular Karya Tara Zagita Bagian 2


Kapal itu adalah kapal yang dilihat Fandy dalam layar monitor komputernya Kumala. Di
bagian depan kapal bertiang layar dua itu tertera jelas tulisan yang berbunyi: BINTARA
- 1898. Beberapa orang yang berdiri di dack tampak melambaikan tangan kepada si
pemotret. Ada juga empat perempuan bergaun panjang yang ikut melambaikan tangan. Salah
satu dari keempat wanita tersebut melambaikan tppinya. Perempuan yang
melambaikan topinya mempunyai wajah yang mirip Vinon.
Semakin sesak lagi pernapasan Fandy setelah mendekatkan foto itu ke matanya. Dan
ia melihat gambar seorang lelaki berkemeja lengan panjang berdiri di samping
perempuan yang melambaikan topi. Lelaki berkemeja lengan panjang itu berambut
pendek dan ikut melambaikan satu tangan. Tetapi bukan sapu tangan tersebut yang
membuat Fandy tegang, melainkan wajah lelaki itulah yang mendebarkan hati Fandy.
Wajah tersebut mirip sekali dengan wajahnya sendiri jika sedang berambut pendek.
"Ak... aku... aku nggak tahu... apa... apa maksudmu menunjukkan foto ini padaku,
Vinon"' ucap Fandy dengan suara bergetar dan terputus-putus.
Belum sempat Vinon menjawab, terdengar seseorang mengetuk pintu. Karena keadaan
pintu tidak terkunci, maka Vinon hanya berseru dari tempatnya.
"Masuk...!" Seraut wajah manis berambut pendek muncul dari balik pintu. Wajah manis itu milik
gadis yang tadi membukakan pintu saat Fandy mau masuk ke cafe. Gadis itu
mengenakan celana dari bahan kain hitam dan kemeja lengan panjang warna putih,
ditambah dengan dasi kecilnya yang berwarna hitam pula.
"Ada apa, Innes?" sapa Vinon yang cepat berubah sikap menjadi tegas, penuh wibawa.
"Zus Lieza datang lagi!"
"Hahh..."!" Vinon tersentak kaget. Lalu ia kelihatan gugup dan kebingungan.
"Hmmm, eeh... tolong kau hambat dulu dia. Jangan sampai masuk kemari. Kalau dia
menanyakan diriku, bilang saja aku sedang bicara penting dengan seorang relasi,
begitu!" Innes pun pergi. Tapi wajah Vinon masih tampak tegang. Tentu saja ketegangan
tersebut membuat Fandy terheran-heran memandanginya. Sekalipun Vinon berusaha
menyembunyikan kepanikannya, tapi dari sorot matanya Fandy dapat ."melihat rasa
ketakutan yang mencekam hati Vinon. Perempuan cantik itu seolah-olah tak bisa
mendapatkan ketenangan seperti tadi.
"Fan, kumohon kau keluar sebentar lewat pintu samping toilet itu. Sebentar saja, dan jangan ke mana-mana! Nanti kalau keadaan sudah aman, kau akan kubawa masuk
kemari lagi." "Hei, hei... ada apa ini"! Kenapa kau menjadi tegang sekali begitu?"
"Lieza datang! Lieza sudah ada di sini!"
"Siapa itu Lieza..."! Mengapa kau sangat ketakutan dengan Lieza"!"
"Pokoknya keluarlah dulu lewat pintu samping!" sambil Vinon mendorong-dorong Fandy. "Jangan sampai Lieza melihatmu ada di sini. Pergilah dulu sesaat!"
Dengan hati kesal, Fandy pun akhirnya keluar lewat pintu samping. Sebenarnya ia bisa
saja langsung pulang, bersikap masa bodoh terhadap si cantik Vinon dan cafenya.
Tetapi foto yang mengejutkan tadi telah membuat hatinya sangat penasaran. Ditambah
lagi dengan ketegangan Vinon terhadap kedatangan perempuan bernama Lieza, telah
membuat hati Fandy sendiri menjadi sangat ingin tahu siapa Lieza itu sebenarnya"
*** Nanu dibawa pulang ke rumah Pramuda, karena rumah yang paling dekat dengan hotel
tersebut adalah rumah Pramuda. Sementara itu, Niko yang diliputi perasaan takut dan
cemas itu mengemudikan mobilnya sendiri, mengikuti BMW kuning yang dikemudikan
oleh Sandhi. Niko tak henti-hentinya memikirkan nasib asistennya itu. Dugaan awal yang muncul di
benak Niko adalah faktor keracunan: la menyangka Nanu keracunan makanan yang
membuat munculnya belatung-belatung hitam berlendir itu. Tapi separuh hatinya sendiri
membantah dugaan tersebut.
"Kalau benar Nanu keracunan makanan di tempat pesta tadi, mengapa hanya dia yang
mengalami nasib semalang itu" Mengapa aku nggak seperti dia, Pramuda, Kumala dan
para undangan lainnya nggak mengalami hal yang sama" Atau... mungkin dia
keracunan dari tempat lain"!"
Praduga tentang faktor keracunan itu segera disingkirkan dari enaknya setelah ingat,
bahwa sejak tadi siang, Nanu selalu bersamanya. Bahkan mereka sempat makan siang
bersama di sebuah restoran dengan menu yang sama pula. Jika racun itu ditelan Nanu
dari restoran tersebut, maka Niko pun pasti akan mengalami nasib yang sama. Toh
ternyata dia tidak mengalami peristiwa ganjil, seperti Nanu"
"Untung kami tadi bertemu dengan Kumala. Kalau nggak ada Kumala, mungkin saat ini
Nanu sudah kehilangan nyawanya."
Niko masih terbayang saat Kumala turun tangan.. Gadis paranormal itu mengeluarkan
cahaya putih dari telapak tangannya yang diarahkan ke tubuh Nanu. Erangan sekarat
yang dialami Nanu pun lama-lama berhenti setelah cahaya putih dari telapak tangan
Dewi Ular meresap di sekujur tubuh Nanu.
Bukan hanya rasa sakit Nanu yang hilang pada saat itu, tapi juga belatung-belatung
berlendir itu lenyap tanpa tersisa satu pun. Mereka hilang bagaikan terserap angin dan
tak meninggalkan bekas sedikit pun. Sementara itu, luka-luka parah di tubuh Nanu pun
mengeluarkan asap, bergerak-gerak pelan, dan akhirnya merapat kembali. Para
undangan yang mengerumuni Nanu terperangah tanpa bisa melontarkan sepatah kata
pun melihat tubuh Nanu bersih dari luka. Rasa kagum mereka kepada gadis cantik
berhidung mancung itu telah membuat mereka bagaikan kehilangan seribu bahasa.
Suasana tempat pesta menjadi sepi. Sunyi sekali. Band dan kegiatan apa pun terhenti.
Seolah-olah alam dibuat mati dalam beberapa saat oleh kesaktian Dewi Ular. Bahkan
sampai Sandhi datang dan menggotong Nanu yang lemas bersama Pramuda, semua
orang masih terbungkam tanpa suara. Mereka hanya memandangi kepergian Dewi Ular
dengan mata sulit berkedip.
Setelah Dewi Ular dan yang lainnya masuk ke mobil, suasana pesta itu kembali riuh.
Sepertinya mereka baru sadar dari keterpakuan yang misterius. Alam bagaikan hidup
kembali. Tapi mereka tak sempat bertanya ini-itu kepada Dewi Ular, sebab BMW kuning
dan Escudo merahnya Niko sudah meluncur pergi meninggalkan areal parkir hotel
tersebut. Nanu dibawa ke rumah Pramuda atas usul Dewi Ular. Keadaan Nanu seperti orang
linglung, tak tahu apa-apa. Tubuhnya bagaikan tak bertulang. Lemas, lunglai,
seolah-olah bisa dilipat-lipat untuk dimasukkan dalam dompet.
"Kekuatan gaib jahat nyaris merenggut nyawanya," kata Kumala saat di dalam mobil.
"Kekuatan gaib itu.sangat besar dan berbahaya sekali."
"Dari mana asalnya?" tanya Pramuda yang memangku kepala Nanu di jok belakang.
"Belum kuselidiki dari mana asalnya. Yang jelas, lolosnya energi gaib itu telah membuat
seluruh urat-syaraf Nanu menjadi lumpuh."
"Apakah dapat dipulihkan kembali?"
"Bisa. Tapi butuh waktu secepatnya dan tempat yang tersendiri. Nggak bisa kulakukan
di tempat seramai tadi. Nanti orang sangka aku dukun cabul yang mau pamer ilmu di
depan orang banyak."
"Dukun cabul"!" gumam Sandhi pelan sekali. Kumala mendengar gumam yang menjadi
simbul ketidakpahaman itu. Maka ia pun menambahkan kata dalam penjelasannya.
"Pengobatan itu harus dilakukan dengan telanjang bulat."
"Hahh..."!" Pramuda dan Sandhi sama-sama terperanjat. "Kau mau telanjang bulat"!"
"Bukan aku yang telanjang bulat, tapi Nanu!"
"Ooooo...," Pramuda dan Sandhi sama-sama menggumam lega.
"Dasar otak kalian ngeres melulu!" gerutu Kumala sambil bersungut-sungut.
"Membebaskan seluruh urat syaraf dari kelumpuhan gaib harus dilakukan dengan
telanjang bulat. Nggak boleh terhalang selembar kain pun."
"Wah, kalau begitu kamu akan menyaksikan pemandangan yang indah dong," sindir
Sandhi dengan nyengir konyol. Pramuda tertawa pelan.
"Justru itu aku minta kalian ikut berada di sekelilingnya! Aku nggak berani
melakukannya sendiri. Takut."
"Takut apa?" pancing Sandhi.
"Takut ada yang bangun."
Sandhi dan Pramuda sama-sama tertawa lagi. Tapi mereka tak berani tertawa keraskeras atau berkepanjangan. Karena ;pada saat itu sikap Kumala menunjukkan
keseriusan. Sampai di rumah Pramuda, pengobatan secara gaib itu benar-benar dilakukan. Kumala
memejamkan mata lebih dulu, kemudian Niko dan Pramuda melepasi pakaian Nanu
yang dibaringkan di atas lantai beralaskan kasur lipat. Dengan begitu, Kumala tidak
melihat apa saja yang terpapar di depannya pada saat melakukan pengobatan
terhadap diri Nanu. Kedua tangan Dewi Ular bergerak menyamping. Gerakan itu menimbulkan cahaya hijau
yang menyiram sekujur tubuh Nanu. Tubuh tersebut segera bergetar. Makin lama
makin kuat. Nanu tersent^k-sentak dengan suara mengerang lirih.
Dalam sekejap kemudian, cahaya hijau itu padam. Nanu terhempas lemas dan
terengah-engah Tapi ia sudah dalam keadaan sadar, anggota tubuhnya sudah bisa
bergerak sebagaimana mestinya. Pramuda segera melemparkan sarung kepada Nanu.
"Ad... ada apa"! Ada apa dengan diriku"!" Nanu tampak kebingungan sekali. Ia
buru-buru mengenakan sarung itu untuk menutupi bagian tertentu.
"Nanu sudah memakai sarung, Dewi!" bisik Niko. Maka gadis cantik itu pun mulai berani
membuka matanya. Rupanya pada saat perut Nanu jebol didesak ratusan belatung gaib itu, ia sudah, mulai
tak sadar. Tapi awal terjadinya loncatan belatung yang jatuh ke piring kotor, masih ada
dalam ingatannya. Wajah yang sudah segar itu menjadi semburat pucat kembali
setelah Ku- mala bicara dengan nada serius kepadanya.
"Ada kekuatan gaib yang mengancam nyawamu. Entah dari mana asalnya, yang jelas
kekuatan gaib itu seakan menuntut balas jasa padamu. Kau harus membayarnya
dengan nyawamu.' "Ooh... celaka aku ini!" geramnya dengan nada sangat ketakutan.
"Aku melihat seraut wajah cantik di kedua bola matamu," kata Kumala yang sejak tadi
menatap Nanu tanpa berkedip. "Seraut wajah cantik itu bertahi lalat kecil di sudut
bibirnya. Dialah si pemilik kekuatan gaib yang mengharapkan kematianmu!"
"Wajah cantik..."! Bertahi lalat kecil di bibir"!" Nanu menggumam sambil mencoba
mengingat-ingat wajah yang dimaksud Kumala Dewi itu.
*** 5 HAMPIR setengah jam lamanya Fandy berada di samping bangunan yang dipakai
sebagai cafe itu. Hampir saja ia berang dan pergi tanpa pamit. Namun sebelum niatnya
itu dilaksanakan, ia segera melihat Vinon keluar dari pintu samping juga.
"Di mana mobilmu, Fan?"
"Ada di depan sana!"
"Kalau begitu, cepat ambil mobilmu dan jemput aku di tikungan jalan itu."
"Kita mau ke mana nih?"
"Lakukan saja!" tegas Vinon sambil bergegas melangkah. Ia sempat pula
menambahkan kata dengan suara sedikit berseru, "Kalau ada yang menyapamu
diamkan saja. Jangan menengok. Anggap saja namamu bukan Fandy!"
"Aneh..."!" gumam pemuda tampan itu sambil menyingkapkan rambut panjangnya yang
sempat meriap di pipi kanan.
Fandy mengikuti perintah itu. Vinon benar-benar menunggunya di dekat tikungan jalan.
Setelah perempuan cantik itu masuk ke mobil butut Fandy, tanpa diminta ia sudah
bicara lebih dulu. "Soalnya, si Lieza masih ada di dalam sana. Kebetulan tadi kulihat dia sedang bicara
dengan seorang pemuda sebaya denganmu. Aku takut dia keluar dan memergokimu di
tempat parkir." "Memangnya kalau dia memergoki diriku, kenapa sih?"
"Nanti saja kuceritakan. Apakah kau juga nggak ingat tentang Lieza?"
"Mampus saja aku kalau kau buat kebingungan terus-menerus begini!" gerutu Fandy,
tapi Vinon justru tertawa kecil bernada manja.
Eeh, perempuan cantik itu justru bersandar di pundak Fandy. Sikapnya seolah-olah
menunjukkan bahwa ia sudah biasa dimanja oleh Fandy. Tentu saja hal itu membuat
Fandy menjadi kikuk dan kian kebingungan. Laju mobilnya sempat labil karena kedua
tangannya gemetar merasakan sentuhan kepala Vinon itu.
"Usahakan jangan sampai dia menyentuhmu lagi, Fandy."
"Omonganmu makin ngaco aja! Kenal sama Lieza aja belum, bagaimana mungkin
akudan dia akan bersentuhan"!"
"Syukurlah kalau kau yakin nggak akan bersentuhan dengannya."
Tiba di perempatan lampu merah, Fandy dibuat bingung oleh arah.
"Hei, mau ke mana kita ini?"
"Pulang saja ke rumahku."
"Ya, tapi ke mana arahnya" Lurus, ke kiri, ke kanan, atau mundur?" Fandy
menampakkan kekonyolannya buat menghibur hatinya sendiri. Vinon tertawa sambil
mencubit lembut pipi pemuda itu.
"Ke kiri dong. Masa' mau ke kanan?"
"Habis aku memang belum tahu di mana tempat tinggalmu"!"
"Tempat ti nggalku di apartemen!"
Apartemen tersebut mempunyai sebelas lantai. Hanya orang-orang eksekutif yang
menempati apartemen tersebut, terutama orang asing dan beberapa pengusaha yang
menyimpan istri mudanya. Vinon menempati unit apartemen di lantai tiga. Di sana ia
tinggal seorang diri. Sungguh janggal bagi wanita secantik Vinon untuk menempati
apartemen sendirian. Tapi itulah kenyataan yang terjadi, menurutnya.
"Aku mempunyai satu foto lagi yang mudah-mudahan dapat mengembalikan ingatanmu," katanya. Lalu, ia menyodorkan selembar foto ukuran poscard. Lagi-lagi Fandy
merasa kesal karena disodori foto kuno yang sudah buram dan berwarna hitam-putih.
Sekalipun demikian, gambar dalam foto itu masih bisa dilihat tanpa harus
menggunakan kaca pembesar.
Tapi ternyata foto itu juga membuat Fandy berkerut dahi penuh rasa heran. Gambar
dalam foto itu menampakkan empat orang gadis mengenakan gaun model kuno.
Mereka tampak bergaya di sebuah taman berumput halus. Di antara empat orang gadis
itu, ada seorang pemuda yang berdiri di tengah-tengah mereka. Pemuda yang ada
pada foto itu mempunyai wajah mirip sekali dengan Fandy, sedangkan gadis yang ada
di sebelah kirinya mirip sekali dengan Vinon. Potongan rambut gadis itu juga serupa
dengan potongan rambut Vinon; hitam bergelombang dengan panjang melewati bahu.
Vinon menunjuk gadis-gadis yang ada di deretan ujung kanan dan kiri.
"Ini Maria dan ini Syanne."
"Mari...?" gumam Fandy pelan. Ia merasa asing dengan wajah milik Maria, sebab ia punya teman yang bernama Maria, tapi wajahnya tidak seperti gadis dalam foto itu. Kini
Vinon menunjuk wajah cantik di sebelah kanan dan kiri dari pemuda yang berpakaian
kuno itu. "Ini dia si Lieza dan ini aku."
"Kau.,."! Kau dan Lieza ada di sini"!"
Vinon mengangguk dengan tersenyum girang.
"Pemuda tampan ini adalah kau sendiri, bukan"!"
Werr...! Foto itu dibuang seenaknya oleh Fandy.
"Aku bisa gila dalam semalam kalau begini caranya!" gerutunya dengan cemberut.
"Kenapa kau bersikap begitu, Fandy?"
"Yang bener aja"! Masa' aku ada di foto itu"! Itu kan foto lama, mungkin lebih tua dari
usiaku!" "Tapi ini memang foto kita, Fandy'" sambil Vinon mengambil foto itu kembali.
'"Mana mungkin"! Saat foto ini dibuat, aku belum lahir. Bahkan mamaku juga belum
lahir!" Vinon sengaja meletakkan foto itu di meja depan sofa tempat mereka duduk. Dua foto
yang tadi diambilnya dari laci meja kerjanya juga ikut dipajang di atas meja tersebut.
Pandangan mata Fandy tertuju pada foto kapal BINTARA - 1898 itu.
"Jadi sedikit pun kau tak ingat padaku, Fandy?" suara Vinon semakin lirih, bernada
sedih. Matanya tetap memandangi foto-foto itu.
"Aku memang tak punya masa lalu sedikit pun denganmu, lebih-lebih dengan yang bernama Lieza itu."
Vinon menatapnya, bola mata indah itu mulai berkaca-kaca. Keceriaannya sirna dari
wajah antik dan berganti kemurungan yang menduka.
"Kalau begitu sia-sia saja aku datang menjemputmu. Aku yakin, pasti kau sudah
berpaling kepada perempuan lain dan melupakan diriku."
Bola mata itu semakin basah. Fandy semakin serba salah. Pelan-pelan pandangan
mata Vinon beralih kepada foto-foto itu lagi. Tapi ia tetap berkata dengan suara
mengharukan. "Sia-sia saja kubawa foto itu ke mana-mana untuk memulihkan ingatanmu, tapi rupanya
seluruh jiwamu telah tertutup kecantikan perempuan lain, sehingga kenangan dalam
foto itu tak membekas sedikit pun dalam hatimu."
Tersentuh hati Fandy mendengar kata-kata Vinon. la merasa tak seharusnya ngotot di
depan perempuan itu. Mungkin ada sesuatu yang mengguncangkan jiwa perempuan
tersebut, sehingga mestinya ia menanggapi dengan kelembutan dan kesabaran.
"Vin, mmm... maafkan aku...."
Vinon berpaling menatapnya. "Aku... aku rindu sekali padamu, Fandy...."
Ucapan yang membisik kian mengharu di hati Fandy. Air mata Vinon pun meleleh
membasahi pipinya yang halus lembut bak pipi bayi itu. Bibir sensual itu digigitnya
sendiri untuk menahan isak tangis yang terasa mendesak dada.
Pelan-pelan tangan Fandy pun menyentuh pipi itu. Pelan-pelan juga air mata Vinon
diusap dengan punggung jari-jari tangannya.
"Maafkan aku, Vin .. !. Aku benar-benar tak tahu siapa dirimu."
"Aku rindu padamu...," suara Vinon makin kecil, makin terkubur dalam duka.
Akhirnya tangis itu pun lepas tercurah. Vinon memeluk Fandy erat-erat Perasaan Fandy
semakin iba, dan ia tahu apa yang dibutuhkan perempuan itu. Maka pelukan Vinon pun
dibalasnya. Cukup erat Fandy memeluk Vinon, cukup lembut ia mengusap-usap kepala
dan punggung perempuan tersebut.


Musibah Sebuah Kapal Serial Dewi Ular Karya Tara Zagita di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Fan, aku ingin kita bersatu lagi seperti dulu. Aku ingin kemesraan kita tak diganggu lagi
oleh Lieza. Aku sangat mencintaimu, Fan... aku mencintaimu...," suara Vinon
timbul-tenggelam di sela-sela isak tangisnya. Fandy sengaja diam, menyimak duka itu
dengan lebih bijak lagi. Kini wajah Vinon berada di depan Fandy. Kedua tangan Vinon mengusap-usap pipi
Fandy dengan air mata masih berderai. Sekalipun Fandy sibuk mengeringkan air mata
itu dengan tangannya, namun air mata itu terasa semakin deras mengalir membasahi
wajah berkulit lembut itu.
"Aku tak ingin Lieza merebutmu dari pelukanku. Aku tak mau kau jatuh dalam
pelukannya lagi. Akulah yang pertama-tama mencintaimu, Fandy. Akulah yang pertama
kali kau cium sebelum akhirnya kakakku merebutmu dari pelukanku."
"Siapa kakakmu itu?" tanya Fandy dengan tetap lembut.
"Lieza! Tapi biar dia kakakku, sekarang aku tak mau mengalah. Setelah kurasakan
sakitnya hati ini saat mendengar kau ingin bertunangan dengannya, aku bertekad untuk
merebutmu dari tangan Lieza!"
"Aku mengerti. Tapi jangan kau menangis lagi, Vinon."
"Aku menangisi penyesalanku. Aku menangisi kebodohanku. Mengapa kubiarkan Lieza
menguasai hatimu, padahal aku sangat membutuhkan dirimu. Aku ingin kau
menggenggam tanganku selamanya, seperti yang kau lakukan saat terakhir kita akan
berpisah." "Kapan itu terjadi?"
"Sebelum akhirnya kapal kita hancur di .tengah lautan."
Werrrr...! Sekujur tubuh Fandy merinding mendengar ucapan lirih Vinon. Darahnya
bagaikan mengalir dengan deras, hingga membuat kedua kakinya terasa gemetar.
"Kau menggenggamku ketika badai itu menenggelamkan kita ke dasar samudera. Kau
tetap menggenggamku ketika jiwa kita melayang-layang tanpa tujuan, dan... dan kabut
hitam itu memenjarakan roh kita selama seratus tahun."
"Roh kita..."!" Fandy mendesah semakin cemas.
"Itulah sebabnya kubiarkan seruan Papa saat musibah itu terjadi. Tak kupedulikan
semua bencana yang ada, selama aku tetap dalam genggamanmu. Aku bahagia sekali
saat itu. Aku merasa kebahagiaan saat itu tak terganggu oleh kehadiran Lieza."
"Vin, ak... aku... aku...."
"Tapi kenapa saat kau dapat lolos dari kabut iblis itu, kau tidak menjemputku lagi, ,
Fandy" Padahal aku berharap, kau datang lagi untuk membebaskan jiwaku dari penjara
iblis itu." "Maaaaf... maaf...." Fandy tak bisa bicara. Vinon memeluknya kembali.
"Tapi saat itu aku merasa terhibur oleh janjimu. Janji untuk hidup kembali setelah
seratus tahun iblis itu memperbudak roh kami; Maka ketika kebebasan itu datang,
kaulah yang kucari pertama kalinya. Kau yang kucari, karena hatiku sangat rindu
padamu. Fandy...." Getaran hati Fandy sempat bergumam cemas, "Kalau begitu aku pernah hidup di masa
seratus tahun yang lalu"! Benarkah begitu" Benarkah aku termasuk salah satu dari
awak kapal BINTARA yang dihancurkan kekuatan iblis di tengah lautan itu"! Ooh, kalau
begitu... siapa perempuan yang kupeluk sekarang ini" Apakah dia rohnya Vinon
Samora"!" Malam semakin sepi, dan hati Fandy dicekam oleh kengerian yang masih meragukan
jiwanya. Satu-satunya cara untuk mendapat suatu kepastian dirinya, ia harus segera
menemui Kumala Dewi. Ia berharap, gadis anak dewa itu dapat menyingkapkan rahasia
pribadinya tentang benarkah ia pernah hidup pada tahun 1898 itu"
*** 6 KESIMPULAN yang bisa diambil dari ratapan duka Vinon cukup jelas. Vinon dan Lieza
adalah kakak-beradik. Sebagai adiknya. Vinon ingin mengalah ketika Lieza jatuh cinta
pada seorang pemuda. Pemuda itu adalah Fandy. Tapi akhirnya cinta Vinon yang
begitu besar tak bisa mengalah begitu saja.
Rupanya tanpa setahu kakaknya, Vinon masih sering mencuri kesempatan untuk jumpa
dengan Fandy. Sampai akhirnya, mereka melakukan perjalanan laut dengan, kapal
BINTARA di tahun 1898. Kekuatan iblis berusaha menghancurkan mereka, roh mereka
diperbudak oleh kekuatan iblis tersebut. Tapi pada saat itu roh Vinon merasa bahagia,
karena ia dapat berada bersama-sama roh Fandy.
Pada suatu kesempatan, roh Fandy berhasil meloloskan diri dari kekuatan iblis yang
memperbudak mereka. Fandy memang tak sempat menyelamatkan roh Vinon. Tapi ia
berjanji untuk bertemu lagi setelah seratus tahun sang iblis memperbudak roh Vinon
dan roh para awak kapal lainnya.
Begitulah kesimpulan yang bisa ditarik oleh Fandy. Tapi kesimpulan itu sendiri
merupakan suatu teka-teki yang amat membingungkan baginya. Hanya Kumala Dewi
yang diharapkan bisa menjelaskan teka-teki tentang roh orang- orang kapal tersebut.
"Kalau memang benar Vinon adalah roh, mengapa bisa kupeluk" Dan kalau memang
benar begitu, apakah Lieza yang datang ke cafe itu juga sesosok roh?" pikir Fandy
dalam renungannya. Sulit sekali bagi siapa pun untuk memastikan bahwa Lieza adalah roh atau manusia
biasa. Karena terbukti pada malam itu, Lieza berhasil mendapat kenalan seorang
pemuda sebaya dengan Fandy. Pemuda itu bersama Tomma. Ia berperawakan tinggi,
berkulit coklat bersih, rambutnya juga panjang berombak, wajahnya pun tak kalah
tampan dengan Fandy. Sesuatu yang dinilai Lieza sebagai kelebihan dan Tomma adalah bentuk badannya
yang atletis, tampak kekar dan macho. Tidak seperti Fandy.
Lieza sendiri mempunyai kecantikan yang sepadan dengan Vinon. Hanya saja, ia
mempunyai rambut pendek, seperti potongan lelaki, dan bibirnya sedikit tebal namun
tetap sensual. Perbedaan itu membuatnya tidak terlalu mirip dengan Brooke Shields.
Lieza juga mempunyai daya tarik yang menggetarkan hati lawan jenisnya. Bukan saja
berpinggul meliuk indah, padat dan berisi, namun juga mempunyai dada yang
membusung kencang. Saat itu ia mengenakan celana jeans dan blus ketat berbelahan
dada lebar, sehingga sebagian gumpalan dadanya tampak tersembul menantang
gairah lawan jenisnya. Tomma tertarik sekali dengan perempuan itu. Sejak Lieza masuk cafe, Tomma sudah
mengincarnya. Maka ketika Lieza dari ruang kerja Vinon dan ingin keluar meninggalkan
cafe itu, Tomma sengaja menghadangnya di depan meja bar. Tatapan mata Tomma
secara terang-terangan diarahkan ke wajah Lieza. Sebelum perempuan itu lebih
mendekat lagi, ternyata ia juga menangkap gelagat nakal Tomma dari atas bangku bar.
Lieza pun berlagak singgah ke meja bar dan memanggil bartender.
"Kalau nanti ada orang mencariku atau cari Lieza, bilang saja aku ada di Donna Hotel."
"Baik, Zus Lieza. Nanti akan saya sampaikan."
"Suruh dia tanyakan pada resepsionis, di kamar Lieza berada. Pasti resepsionis akan
menunjukkannya." "Baik, akan saya sampaikan!"
Agaknya kata-kata itu merupakan pancingan bagi Lieza. Ia sengaja bicara agak keras
supaya didengar oleh pemuda tampan yang sedang duduk sendirian itu. Ketika ia ingin
meninggalkan tempat, Tomma buru-buru menyapanya dengan sok akrab.
"Namanya Lieza, ya" Wah, kayaknya kita pernah kenal nih."
"Oh, ya..."!" Lieza pasang lagak angkuh. "Di mana kita pernah kenal?"
"Kalau nggak salah dulu kita ketemu di sebuah pameran batu permata. Bener nggak
sih?" "Mungkin saja," jawab Lieza masih berlagak angkuh.
Percakapan itu jadi panjang, jadi akrab, jadi lebih berani lagi, bahkan lebih panas dibandingkan sepotong pisang goreng. Akhirnya Tomma berhasil membawa Lieza
menuju ke Donna Hotel. "Kalau teman kencanmu nyusul bagaimana?" pancing Tomma saat mereka sudah
berada di kamar. "Coret saja dari daftar tamu. Akan kusuruh resepsionis mengatakan bahwa Lieza sudah
punya teman kencan sendiri."
"Siapa maksudmu?"
"Siapa lagi kalau bukan... angin yang berlalu."
Lieza tertawa kecil, tapi Tomma tersenyum lebar dengan tawa menyerupai gumam.
Matanya memandangi Lieza yang duduk di sampingnya. Adu pandangan mata itu kian
membuat dada Tomma bergemuruh karena darah kemesraannya bagaikan mendidih.
Ingin segera diledakkan. Lieza sengaja diam. Tak mau mengawali apa-apa, tapi
pandangan matanya mulai sayu, dan senyumnya menantang keberanian lawan
jenisnya. "Kau tampak menggairahkan sekali, Lieza," ucap Tomma lirih.
"Apanya yang menggairahkan?"
"Bibirmu, dadamu dan...."
"Mengapa kau tak mengambilnya sekarang juga?"
"Aku takut kau menolaknya."
"Aku sedang menunggu sentuhan mesramu."
"O, ya...?" sambil Tornma makin mendekat. Lalu membisik pelan, "Bagaimana kalau
yang kusentuh bibirmu dulu?"
Lieza menggeleng. "Dada lebih dulu."
"Aku akan menyentuhnya dengan kecupan. Okey?"
"Dengan lidahmu," sambil tangan Lieza meraba lembut pipi Tomma. Rabaan itu makin
ke tengkuk, tangan Lieza sedikit menekan kepala Tornma agar segera mencium
dadanya. Sementara itu, tangan Lieza yang satunya lagi dengan mudahnya melepas
kancing blus, lalu menyembulkan sesuatu yang terbungkus dalam keadaan kencang
dan montok itu. Tomma pun menyapu tepian kulit dengan lidahnya. Bukit hangat semakin diputari,
sampai akhirnya sapuan lidah Tomma mencapai puncak bukit itu.
"Oouuhhhhh...!" Lieza mendesah dengan mata terpejam. Tomma memagutnya
bersama gigitan kecil. "Aaauuhhhh...!" Lieza mengerang dengan kepala didongakkan. Tangannya
meremas-remas rambut Tomma, sambil membiarkan kedua tangan Tomma
melepaskan pengait yang ada di punggung. Begitu pengait itu lepas, maka dada Lieza
pun semakin bebas. "Oooh, Tommaaa... kau seperti bayi kehausan, Sayang. Oouuhh... lepaskan pula ikat
pinggangku, Sayang. Lepaskan sekarang juga semuanya. Ooouuhhh... nikmat sekali
kelincahanmu, Tomma...."
Dalam beberapa saat kemudian, keduanya menjadi seperti bayi baru lahir. Lieza
ternyata lebih galak dari Tomma. Gairah perempuan itu lebih buas dari lawan jenisnya.
Tomma terkapar di ranjang sementara Lieza menyapukan lidahnya ke sekujur tubuh
Tomma. "Liez.... Liiezzz... ooouuuhh, pintar sekali kauuu, uuuhff... ssss, aaahhhhh...!" Tomma
mendesah-desah diburu gairah yang kian berkobar. Lieza tak sabar mendengar desah
seorang lelaki yang sedang bergairah. Ia pun segera menguasai Tomma.
Layar terkembang, perahu pun melaju menuju puncak kenikmatan. Malam dibiarkan
menjadi saksi kemesraan yang terasa begituindah tiada duanya itu.
Tubuh mereka sama-sama terkulai lemas di atas ranjang. Keadaan ranjang sudah
acak- acakan. Seprai ke mana, bantal ke mana, gu ling entah ke mana. Ranjang itu
bagaikan desa yang tersapu angin badai. Amukan gairah. Lieza telah membuatnya
berantakan dan Tomma tertawa geli melihatnya.
"Aku ke kamar rnandi sebentar, ya?" kata Lieza sambil turun dari ranjang. Tomma
tertawa lagi melihat Lieza menggeloyor mau jatuh. Lieza pun tertawa geli-geli malu.
"Kakiku lemas, seperti nggak punya tulang. Hii, hii, hii...," ujarnya sambil menegakkan
badan, lalu meluruskan langkahnya ke kamar mandi.
Tomma menyalakan sebatang rokok, la menunggu kembalinya Lieza sambil
menghidupkan pesawat teve, Hatinya masih ditaburi bunga-bunga keindahan,
seolah-olah sentuhan mesra lidah perempuan itu masih merayap di sekujur tubuhnya.
"Luar biasa sekali perempuan yang satu ini," pikirnya. "Biar pertandingan sudah usai,
tapi sekujur tubuhku masih terasa nikmat, seperti dijamah oleh jari dan lidahnya."
Sebatang rokok sudah menjadi puntung. Tomma mematikannya ke dalam asbak.
Anehnya. pintu kamar mandi masih tertutup, walau tidak terkunci. Lieza masih belum
keluar dari dalam kamar mandi itu.
"Liez..."! Lama amat sih" Ngapain kamu di situ lama-lama"!" seru Tomma. Namun seruan itu tidak mendapat jawaban dari dalam kamar mandi.
"Wah, kacau tuh orang! Jangan-jangan tidur di bak mandi"!" gumam Tomma dengan
konyol, akhirnya ia turun dari ranjang dan menjemputnya. Pintu kamar mandi mudah
terbuka dengan sedikit dorongan ringan saja.
"Hahh..."!" Tomma terpekik dengan mata mendelik. Ternyata kamar mandi dalam
keadaan kosong tanpa siapa-siapa di dalamnya. Tak ada pintu keluar atau jendela yang
bisa dipakai untuk melarikan diri. Tapi mengapa Lieza tidak ada di dalam kamar mandi
itu" Tomma menjadi tegang. Pakaian yang ditinggalkan Lieza di lantai dan di sofa juga ikut
lenyap. Padahal sewaktu Tomma mematikan rokok ke dalam asbak, ia masih melihat
pakaian dalam Lieza yang tergeletak disamping kaki meja itu.
"Aneh..."! Kok sekarang pakaiannya ikut lenyap sih"!" gumam Tomma dengan mulai
gemetar dan sekujur tubuhnya merinding semua.
Pada saat itu Tomma segera mencium bau busuk bercampur bau amis. Aroma itu memang tak terlalu tajam, namun sempat membuat mual perut Tomma. Rasa mualnya itu
nyaris tak begitu dihiraukan, karena hati Tomma mulai dicekam perasaan takut.
"Kalau begitu... kalau begitu yang bercinta denganku tadi bukan manusia biasa"! Ooh,
benarkah begitu"!"
Tangan Tomma gemetar sekali saat mengangkat gagang telepon, la ingin melaporkan
peristiwa menakutkan itu kepada pihak hotel. Tapi jari-jarinya selalu salah menekan
angka- angka pada box telepon tersebut.
Eksekutif muda yang kadang tampil dengan kekonyolannya itu ternyata bukan orang
asing lagi bagi Dewi Ular. Dia adalah pimpinan group band yang menamakan
kelompoknya Buldog Band, dan kesehariannya menjabat sebagai seorang direktur di
rumah produksi. Tomma Tondanau pertama kali bertemu Dewi Ular di Paloma
Discotek, ketika Dewi Ular menangani suatu kasus misteri juga, (Baca serial Dewi Ular
dalam episode : "DARAH KORBAN PEMIKAT").
Merasa punya kenalan paranormal berpotensi tinggi, Tomma pun segera mengadukan
nasibnya itu kepada Kumala Dewi. Ia datang ke rumah Kumala pada esok harinya,
menjelang waktu adzan magrib tiba. Saat itu Kumala sedang berada di pendopo yang
dibangun di belakang rumah. Di dalam pendopo tanpa dinding itu Kumala sedang
bicara dengan Niko, Nanu, Sandhi dan Buron. Sejak tadi Buron memang tidak ikut
bicara, tapi ia menyimak setiap kata yang sedang dibicarakan oleh mereka.
Kedatangan Tomma membuat suasana menjadi sedikit lebih tegang lagi. Sebelumnya,
Kumala dan yang lainnya membicarakan tentang bayangan perempuan cantik yang
dilihatnya dalam kedua bola mata Nanu itu. Pada saat Tomma bergabung di situ,
Kumala Dewi menatapnya tanpa berkedip, karena" pandangan mata batinnya melihat
jelas bayangan perempuan cantik di kedua bola mata Tomma.
"Aku melihat bayangan perempuan cantik di kedua matamu, Tom. Apa yang telah
terjadi pada dirimu sebenarnya" Kulihat perempuan cantik itu mempunyai tahi lalat kecil
di sudut bibirnya dan...."
"Itu wajah Lieza!" sahut Tomma dengan cepat, sebab pada saast itu terbayang di
benaknya wajah Lieza yang memang mempunyai tahi lalat kecil di sudut bibirnya itu .
Tentu saja jawaban Tomma mengejutkan yang lainnya, termasuk Nanu sendiri. Hanya
Buron yang tidak tampak terkejut, sekalipun sebenarnya Buron sedang sibuk menarik
kesimpulan dalam hatinya. Ternyata perempuan yarrg dihadapi Nanu dan Tomma
adalah sama, yaitu Lieza.
"Aku juga terpikat olehnya. Aku berhasil dibawanya ke sebuah motel, dan kami bercinta
di sana menjelang fajar tiba. Esok sorenya aku mengalami...."
Belum habis Nanu bicara, tiba-tiba Tomma terkejut, kepalanya tersentak mundur.
Sesuatu yang mengejutkan dirinya adalah benda kecil yang meloncat dari lubang
pori-pori wajahnya. Piuk...! Nanu dan Niko sempat tersentak mundur menjauhi binatang
kecil yang tak lain adalah belatung hitam berlendir.
"Gawat kamu, Tom!" gumam Niko sambil memandang Tomma dan Kumala secara bergantian. Sandhi pun menjauhkan jarak dengan Tomma. Ia takut kalau ada belatung lain
yang loncat dari balik kulit wajah Tomma dan jatuh di pangkuannya. Sandhi tak ingin
hal itu terjadi, karena ia akan menjerit dicekam rasa jijik yang menjengkelkan.
"Tom, coba kau mendekat kemari!" sambil Kumala menepuk lantai di sebelahnya. Ia
ingin Tomma duduk di sebelah kanannya.
Tetapi sebelum Tomma bergeser maju, tiba-tiba dari kulit di sekitar pelipisnya itu
muncul tiga belatung hitam berlendir yang langsung loncat secara bersamaan. Tomma
terpekik, karena keluarnya belatung itu menyakitkan kulit wajahnya, bahkan menimbulkan bekas luka.
"Ooh, ada apa ini"! Kenapa aku mengeluarkan belatung kayak gitu, Kumala"!"
"Berarti belatung iblis itu muncul setelah kalian melakukan kencan dengan perempuan
yang bernama Lieza!" kata Niko dengan nada tegang.
Tomma yang sudah berada di dekat Ku- mala - dan saling berhadapan itu terdorong
mundur dari duduknya. Kumala Dewi melepaskan semacam pukulan berhawa panas
yang memancarkan cahaya hijau ke dada Tomma. Saat itu sekujur tubuh Tomma
seperti dibakar api. "Aooow...! Panaasss...!" Tomma meringkuk sambil mendekap dada dengan kedua tangannya. Keadaan itu sangat mencekam Niko dan yang lainnya.
Dewi Ular segera melepaskan cahaya hijau lagi yang kali ini segera membungkus tubuh
Tomma. "Uuhkk...!" Tomma menjadi kejang dengan suara menyentak lirih, la tak sadarkan diri
dalam waktu sekitar sepuluh detik.
Setelah cahaya hijau itu "padam dan lenyap tanpa bekas, tubuh Tomma bergerak
kembali, la seperti sadar dari pingsannya. Suara erangan kecil terkesan seperti bangun
dari tidur nyenyaknya. Semua mata memandang Tomma dengan tegang. Tapi ketegangan itu menjadi reda
setelah Tomma bangkit sendiri dan duduk di lantai sambil melemaskan urat-uratnya.
"Bagaimana rasanya sekarang?" tanya Ku- mala Dewi.
"Aku seperti bangun dari tidur. Badanku enak sekali. Nggak sepanas tadi."
"Belatung iblis dalam tubuhmu telah lenyap. Beruntung sekali nggak sampai seperti


Musibah Sebuah Kapal Serial Dewi Ular Karya Tara Zagita di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Nanu...." Tomma menyeringai ngeri ketika mendengar cerita menyemburnya belatung hitam dari
perut Nanu. la memang merasa beruntung ketimbang Nanu. Tapi kedongkolan masih
menggerogoti hatinya. Kebencian terhadap wajah cantik Lieza hanya bisa menggumpal
dalam dada Tomma, demikian pula dalam dada Nanu,
Suara adzan magrib terdengar. Mereka sengaja menghentikan kegiatan. Kumala Dewi
masuk ke kamarnya hingga beberapa saat lamanya. Pada waktu Kumala muncul,
petang mulai datang. Bertepatan dengan datangnya sang petang, datang pula dua
orang tamu yang ingin bertemu dengan Dewi Ular.
"Hei, siapa itu, Fan"!" sapa Niko saat Fandy berjalan menuju ke pendopo. Fandy tidak
datang sendirian. Ia bersama wanita cantik yang mirip Brooke Shields itu.
"Nik, kenalkan... ini calon istriku!" kata Fandy sambil mengerlingkan mata kepada Niko,
seakan memberi tanda agar Niko mau mempercayai kata-katanya tadi. Niko dan yang
lainnya berjabat tangan dengan Vinon.
Ketika tangan Vinon digenggam oleh Buron, jelmaan Jin Layon itu nyeletuk seenaknya
saja. "Sejak kapan kau bangkit dari kematian"!"
Tentu saja kata-kata Buron itu mengejutkan Sandhi, Niko dan Tomma. Sapaan jin usil
itu juga membuat Fandy tak enak hati. Ia salah tingkah dan tak bisa bilang apa-apa.
"Jangan terlalu lancang mulutmu, Buron!" tegur Dewi Ular bernada wibawa.
"Apakah kamu nggak bisa merasakan getaran dari dalam kubur, Mala" Getaran itu
sangat kuat dan kurasakan datangnya dari gadis, cantik ini!"
"Buron! Jaga bicaramu!" hardik Kumala Dewi dengan mata menatap tajam. Buron pun
menjadi ciut nyali. Ia menghembuskan napas sambil mundur, lalu berdiri bersandar
pada tiang pendopo. "Maaf, itu tadi hanya kekonyolan Buron yang gemar bercanda," kata Kumala Dewi .
"Maaf, itu tadi hanya kekonyolan Buron yang gemar bercanda," kata Kumala Dewi
kepada Vinon. "Nggak apa-apa," Vinon mencoba untuk tetap memberikan senyum keramahan.
Fandy menimpali, "Justru dia kuajak kemari karena masalah yang dikatakan Buron tadi,
Mala." "Hahh..."! Berarti dia memang benar-benar bangkit dari kematian"!" Sandhi
menggumam dengan nada tegang. Tomma dan Nanu pun melangkah mundur menjauhi
Fandy dan Vinon Buron tersenyum tipis dan tetap diam di tempatnya.
Vinon berkata kepada Kumala, "Fandy banyak bercerita tentang dirimu, Kumala. Justru
itulah aku minta pada Fandy untuk membawaku kemari. Kami mohon bantuanmu
menghindari gangguan kakakku: Lieza!"
"Ooh, jadi... jadi Lieza itu kakakmu"!" sentak suara Tomma dengan bibir gemetar.
"Benar. Dia kakakku. Tapi dia juga rivalku."
Vinon berkata kepada Kumala, "Lieza ingin merebut Fandy dari pelukanku. Sejak dulu,
sejak musibah kapal itu belum terjadi, Lieza sudah berhasil membuatku iba padanya
dan membiarkan dia akan bertunangan dengan Fandy. Tapi ketika musibah kapal itu
terjadi. aku merasakan genggaman tangan Fandy yang tak dapat kulepaskan lagi. Saat
itulah aku merasa, bahwa sebenarnya aku sangat mencintai Fandy dan ingin sehidup
semati dengan Fandy."
"Musibah kapal yang mana?" sela Sandhi agak ragu-ragu.
Fandy menyahut, "Yang kita tonton melalui monitor komputer tempo hari."
"Astaga..."!" Sandhi pun menegang dan lebih mundur lagi.
"Dia benar-benar dari alam kematian," bisik Sandhi kepada Tomma dan Nanu. Niko ikut
menelan ludah menahan rasa takutnya.
Dewi Ular menyuruh Vinon lebih mendekat. Bukan hanya Vinon yang mendekat, tapi
Fandy juga ikut mendekat.
"Ulurkan tangan kirimu, Vinon," sambil Kumaia memberinya contoh; mengulurkan
tangan kiri dengan telapak tangan menghadap ke atas. Vinon melakukan hal yang
sama. Ia berdiri di.sebelah kanannya Fandy.
"Ulurkan pula tangan kananmu seperti Vinon, Fandy."
Fandy tidak banyak komentar, lalu ikuti perintah itu. Kini tangan Fandy terulur dengan
telapak tangan terbuka ke atas, bersebelahan dengan tangan kiri Vinon.
"Naikkan sedikit."
Vinon dan Fandy sedikit menaikkan posisi tangan tersebut. Kini kedua tangan itu
terangkat sejajar dengan ulu hati masing-masing. Kedua tangan Kumala Dewi terulur ke
bawah tangan Vinon dan Fandy, namun tidak sampai menyentuh. Tangan Kumala
bergetar dalam jarak satu jengkal dengan tangan merek- berdua. Lalu tangan Kumala
segera ditarik mundur. Ternyata tangan Vinon dan Fandy ikut menjadi bergetar. Semua mata memandanginya
dengan sedikit tegang. Kumala justru bersidekap tenang dalam posisi masih berdiri di
depan Vinon dan Fandy. Getaran kedua tangan itu lama-lama berasap tipis. Asap tersebut bagaikan keluar dari
tengah telapak tangan. Beberapa kejap kemudian, kedua telapak tangan itu
mengeluarkan cahaya seperti percikan bunga api.
"Tahan napas kalian berdua!" perintah Kumala dengan suara pelan tapi berkesan tegas
dan jelas. Vinon dan Fandy pun menahan napasnya.
Crlaaaap...! Niko, Sandhi dan yang lainnya tersentak kagum. Telapak tangan Vinon dan
Fandy menyemburkan sinar biru bintik-bintik. Indah sekali. Sinar biru itu saling bertemu
di udara, sebelum masing-masing menyentuh atap pendopo. Kedua sinar yang saling
bertemu itu membentuk lengkungan tanpa putus, tanpa suara dan tanpa percikan
bunga api lagi. Tetapi butuh Vinon dan Fandy sama-sama bergetar dan berkeringat
dingin. Dewi Ular segera mengibaskan tangannya seperti membuka gorden. Wuut...! Sinar biru
itu padam seketika. Getaran tangan Vinon dan Fandy ikut lenyap juga. Kedua tangan
itu terkulai lemas. Vinon dan Fandy menatap Kumala, seakan mereka menunggu
komentar si Dewi Ular tentang keajaiban yang baru saja mereka lakukan di luar
kesadaran itu. Kumala duduk di lantai. Semuanya ikut duduk di lantai berlapis karpet itu. Karena
Kumala mengenakan celana pendek kasual, maka ia dapat duduk bersila dengan
badan tegak, terkesan penuh wibawa dan berkharisma tinggi. Vinon hanya bisa duduk
bersimpuh karena ia mengenakan span ketat yang ber- belahan pinggir.
"Vjnon, apakah kau sadar sekarang adalah tahun 1998...?" tanya Kumala dengan
pelan. Kedua matanya memandang lembut, tapj punya getaran halus yang tidak bisa
dirasakan oleh pihak lain kecuali Virion sendiri.
"Apa maksudmu, Kumala?"
"Tak bisa disembunyikan lagi, kau memang bukan orang abad sekarang. Kau berasal
dari abad 19. Tepatnya, kau pernah hidup di tahun 1898. Begitu pula halnya dengan
Fandy." "Apa..."!" Fandy terperanjat.
"Kau pernah hidup di tahun 1898, Fandy. Kau pernah jatuh cinta pada Vinon di masa
itu. Tapi kau sembunyikan cintamu itu, tak sempat tercurah seluruhnya. Hal itu
dibuktikan dari pancaran sinar biru dari tangan kalian tadi, toh ternyata bertemu di
udara. Itu adalah pancaran kasih sayang. Warna biru itu menunjukkan pancaran kasih
sayang kalian sudah terlalu lama terpendam dalam hati, sudah sekitar 100 tahun
lamanya." "Benarkah aku sudah lama jatuh cinta pada Vinon"!" Fandy berkerut dahi makin tajam.
"Kalau kau jatuh cinta dalam waktu belum lama ini, maka sinar yang keluar dari
tanganmu tadi adalah sinar kuning bening."
"Taap... taapi... tapi aku merasa baru sekarang bertemu dengan Vinon dan...."
"Karena ragamu menitis kembali, tapi rohmu belum sepenuhnya kembali sebagai roh.
masa lalu," potong Kumala. "Kau menggunakan roh baru, jiwa baru dan naluri baru.
Itulah sebabnya kau tidak kenal Vinon dan nggak ingat tentang musibah kapal itu.
Hanya sosok ragamu yang lahir kembali bersama insting gaib yang menyertaimu.
Insting gaib itu yang membuat orang tuamu secara kebetulan memberimu nama Fandy.
Padahal jauh sebelum kelahiranmu, sudah ada sosok raga seperti dirimu dengan nama
Fandy pula." "Lalu, ke mana rohku yang sebenarnya, Kumala?"
"Rohmu yang asli sedang dalam proses menyatu dengan rohnya Vinon. Jika rohmu
yang sekarang mau menyatu dengan jiwa Vinon, maka rohmu yang pertama lebur
menjadi satu dengan rohmu yang sekarang."
"Aku punya dua roh?"
"Tetap satu! Karena peleburan tadi!"
Fandy tertegun sesaat sambil manggut- manggut. Yang lain diam terbungkam, masingmasing merenungi penjelasan Kumala yang dianggap sebagai pengetahuan baru bagi
kehidupan mereka. "Bagaimana dengan Vinon sendiri, Kumala?" tanya Fandy.
"Vinon telah menemukan raga titisannya. Raga titisan ini terbentuk karena kekuatan
gaib cinta yang semakin bertambah usia semakin .besar pengaruhnya terhadap
kehidupan di alam nyata ini. Sebenarnya dia sudah tidak memiliki raga lagi, selain roh
dan jiwa." Vinon sengaja diam, karena ia sendiri ingin mendengar beberapa hal tentang dirinya
yang belum dimengerti secara keseluruhan.
"Kekuatan iblis yang telah memenjarakan roh dan jiwanya, telah membuat roh itu
mempunyai semangat tinggi untuk keluar dari gelombang iblis, mencari kekasihnya.
Kekuatan cinta itulah yang telah membuat Vinon lahir kembali ke dunia melalui lorong
gaibnya." "Hal itu kulakukan setelah seratus tahun aku memendam kerinduan pada Fandy,
Kumala." "Benar. Sekalipun demikian, kau pasti sempat kebingungan hidup di abad 20 ini,
bukan?" "Ya, aku sempat bingung. Namun aku cepat beradaptasi dan kucari kekasihku ini di
mana pun dia berada."
"Aku kagum dengan kekuatan cintamu, Vinon," puji Kumala dengan senyum tipis
melambangkan kebanggan hatinya. Vinon tersipu saat dilirik Fandy.
"Tapi bagaimana cara menghindari roh 'kakakku: Lieza itu, Kumala" Dia selalu
menghalangiku jika aku ingin bertemu dengan Fandy."
Tomma dan Nanu saling lirik sesaat. Hati mereka berdebar mendengar nama Lieza
disebutkan kembali. Mereka memang belum sempat saling berbisik, karena Dewi Ular
segera bicara dengan suaranya yang merdu dan enak didengar itu. Kumala bicara
dengan mata terpejam, seolah-olah.meneropong sebentuk kehidupan yang perlu
dipelajari menggunakan kekuatan supranaturalnya.
"Lieza tidak bisa menjelma menjadi dirinya sendiri, seperti yang terjadi pada dirimu.
Karena kekuatan gaib cinta Lieza sangat kecil. Yang ia memiliki hanya... hanya nafsu
birahi dan egoisme berlebihan. Selama menjadi budak iblis, Lieza rela memberikan
kehangatan tubuhnya demi mendapatkan fasilitas kenyamanan di sana."
"Kau benar, Kumala. Berkali-kali kulihat Lieza mau melayani gairahnya si Nosada!"
"Siapa itu Nosada"!" tanya Fandy.
Buron buru-buru menyahut dengan lantang, "Iblis penguasa lautan!"
Semua mata memandang Buron.
"Nosada adalah musuh lamaku,", tambah Buron sambil mendekati mereka. "Dia selalu
merampok kebebasan manusia yang melewati batas wilayah perairan istananya. Siapa
pun yang lewat batas wilayah istananya, ia akan dijadikan budaknya selama seratus
tahun!" "Rupanya kau banyak tahu tentang iblis itu, Buron?" kata Kumala.
"Sejak kulihat pusaran kabut di komputermu, hatiku sudah curiga, jangan-jangan kabut
itu adalah keusilan si Nosada. Tapi aku nggak sangsi karena kusangka Nosada sudah
hancur dan tak ada lagi. Sebab dulu aku dan ibuku pernah bertarung melawannya dan
dia hancur di jurang abadi. Rupanya sekarang dia sudah bangkit lagi!"
"Berarti kekuatan iblis Nosada telah mengalir dalam diri roh Lieza?"
"Kurasa begitu. Aku yakin belatung hitam itu adalah salah satu kekuatannya yang
mengalir dalam diri Lieza dan akan memakan korban lebih banyak lagi."
"Jadi bagaimana menurutmu?" pancing Kumala.
"Hancurkan roh Lieza. Kalau si Nosada ikut campur, biar kuhadapi sendiri!"
"Wah, bisa seru sekali nih"!" gumam hati Sandhi.
Tiba-tiba terdengar suara gemuruh, seperti ratusan kaki kuda yang berlari dengan
cepat. Suara gemuruh itu sempat membuat tanah terasa bergetar. Semua wajah
menjadi tegang dan paling pandang. Hanya Dewi Ular yang kelihatan tenang dan
buru-buru menundukkan kepala dengan mata terpejam.
"Ada yang mau datang menyerang kita, Kumala!" seru Buron sambil bergegas keluar
pendopo. Kumala tetap diam, sementara itu Sandhi dan yang lainnya segera
bergerombol menunggu tindakan Buron dan Dewi Ular.
*** 7 HEMBUSAN angin mulai terasa aneh. Bau amis menyebar, seperti ada orang buang
kepala udang di sekitar pendopo. Bau amis yang memualkan itu justru sekarang
bercampur bau busuk. Seperti busuknya bangkai mayat kuburan.
Semua orang merinding, kecuali Dewi Ular dan Buron. Sebagai manusia yang hidup
kembali karena kekuatan cinta, Vinon pun merasa takut dan merinding. Namun tak
sebesar rasa takut Fandy dan yang lainnya. Vinon menggenggam tangan Fandy,
seakan-akan ia takut akan kehilangan Fandy lagi.
"Ada yang mendekati kita, Kumala!" ujar Buron.
"Singkirkan sekarang juga, Buron!"
Blaab...! Buron seperti pecah seketika, dan berubah menjadi sinar kuning berpijar-pijar.
Sinar kuning itu melayang mengelilingi pendopo satu kali, lalu melesat dengan cepat ke
arah serambi samping rumah. Wess...! Dua detik kemudian terdengar suara ledakan
yang tak begitu keras. Tapi daya sentak dari ledakan itu sempat menggetarkan pohon
dan bangunan di sekitar tempat itu.
Daarrr...! Sinar kuning tampak melesat masuk pendopo. Bruuusk...! Buron menampakkan diri
sebagai sosok manusia seperti semula. Ia dalam keadaan terguling-guling di lantai
pendopo. Namun dalam sekejap saja ia sudah bisa berdiri lagi. Wajahnya memar
membiru, dan telinganya melelehkan darah kental. Napasnya terengah-engah, matanya
memancarkan kemarahan. Ketika Buron ingin bergerak kembali, Dewi Ular mencegahnya dengan isyarat tangan.
"Aku belum kalah, Kumala! Aku masih mampu menyerangnya!" Buron protes. Tapi
karena Kumala diam saja, seperti tak menghiraukan protesnya, Buron juga tak berani
nekat bergerak. "Kumala, ada yang muncul dari tanah tuh!" sentak Fandy sambil menyingkir ke tengah
pendopo. "Astaga..."!" Tomma terkejut dan menjadi tegang.
Belatung-belatung hitam muncul dari tanah. Jumlah binatang yang meloncat-loncat itu
lebih dari seribu. Bau amis dan busuk makin menyebar. Tak ada tempat kosong yang
tak terisi oleh belatung hitam. Permukaan semua tanah menjadi mirip tumpukan
belatung yang menyebar membentuk pemandangan menjijikkan sekali.
Bahkan dalam waktu singkat belatung-belatung hitam itu juga muncul dari kedalaman
batang pohon. Mereka berjatuhan dari dahan dan ranting. Sebagian dari belatung
busuk itu merayap di tepian lantai pendopo yang berbentuk panggung itu.
"Buron, jaga mereka! Aku akan bertindak!" seru Dewi Ular. Kemudian dalam sekejap
saja gadis cantik itu sudah berubah menjadi cahaya hijau yang berbentuk seekor naga.
Naga hijau itu melayang cepat ke mana-mana sambil menyemburkan asap hijau dari
mulutnya. Dalam beberapa waktu saja seluruh tempat sudah dipenuhi asap hijau.
Anehnya, asap hijau itu tidak membuat mereka terbatuk-batuk. Asap hijau itu seperti
kabut dingin yang amat menyejukkan. Asap tersebut makin tebal dan mencapai
ketinggian sekitar satu meter dari permukaan tanah.
"Aku takut, Fan...," terdengar suara Vinon bergetar, seperti orang mau menangis. "Kita
pergi saja dari sini, Fan."
"Jangan ada yang bergerak!'' seru Buron. Wajahnya semakin tertutup asap hijau,
sehingga ekspresinya tak begitu kelihatan.
Yang jelas, mereka semakin terpaku oleh gerakan sinar hijau yang berbentuk ular naga.
Sinar jelmaan Dewi Ular itu bergerak ke sana-sini dengan cepat. Nyaris menyerupai
sinar lampu laser dalam diskotek.
Tetapi beberapa kejap kemudian suara gemuruh itu datang lagi bersama getaran yang
lebih kuat. Lantai panggung pendopo berguncang, membuat mereka yang berdiri di
atasnya menjadi limbung ke sana-sini dan saling berpegangan. Menyusul kemudian
munculnya sinar kuning dari perubahan diri Buron yang segera mengelilingi mereka.
Seolah-olah kesaktian Jin Layon memberi batas perlindungan kepada Sandhi, Vinon
dan yang lainnya. Barangkali karena sinar kuning mengurung mereka maka kekuatan
gaib jahat yang sedang beraksi di sekitar tempat itu tak sempat menjamah mereka.
Suara letupan terjadi beberapa kali. Sepertinya belatung-belatung hitam itu meletup di
sana-sini dan menimbulkan suara semakin riuh gemuruh. Angin berhembus semakin
membadai. Bluuuummm...! Dentuman besar terdengar. Ketegangan makin bertambah. Tetapi
suara gemuruh dan getaran menjadi lenyap seketika. Alam menjadi hening. Lengang
sekali, rasanya. Sinar kuning telah berubah menjadi Buron kembali. Sinar hijau yang berbentuk naga itu
berubah menjadi Dewi Ular lagi. Asap hijau yang bergumpal-gumpal pun hilang disapu
angin tadi. Permukaan tanah menjadi bersih kembali. Tak seekor belatung pun yang
tampak tersisa di sekitar tempat itu.
Kumala Dewi tampak berdiri di atas permukaan air kolam. Sekerat hati menggumam
penuh kekaguman melihat kesaktian Dewi Ular itu. Sekerat hati itu ternyata milik Niko,
yang masih gemetar karena dicekam rasa takut. Mata Niko tak berkedip sejak tadi
memandangi Kumala Dewi. Rambut panjang gadis itu bergerak-gerak karena sapuan
angin lembut, kedua tangannya masih saling merapatkan telapak tangan di dada. Gadis
itu memandang ke sana-sini, seakan mencari lawannya yang menurutnya masih akan
melakukan serangan kembali.


Musibah Sebuah Kapal Serial Dewi Ular Karya Tara Zagita di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Duar, prang...! Semua orang tersentak kaget. Lampu di sudut taman pecah secara misterius.
Penerangan berkurang, tapi tak mengganggu pemandangan mereka. Lampu- lampu
taman lainnya masih menyala dengan benderang. Tapi tiba-tiba lampu di sudut lain
meletup juga dan menimbulkan letusan yang mengagetkan. Daar, praang. .! Semua
wajah berpaling ke arah sudut taman itu secara -serempak. Suasana tegang terasa
kian mendebarkan hati mereka.
Kumaia Dewi melompat dalam gerakan jungkir balik di udara. Gerakan cepatnya itu
mencengangkan Niko kembali. Sekalipun masih dicekam ketegangan tapi rasa kagum
Niko terhadap Dewi Ular semakin bertambah besar.
"Waaow..."!" desahnya dengan tak sadar."Mala, belakangmu! ' sentak Buron, la segera
melompat bagaikan terbang ke arah Kumaia Dewi. Pada saat itu Kumala berpaling ke
belakang, dan ternyata ia melihat seraut wajah cantik pucat yang sedang menerjang
dirinya. Terjangan wajah cantik pucat itu segera diterjang oleh Buron.
Bruuuss...! Bummm...! "Lieza..."!" bentak Vinon dengan mata membelalak lebar.*
Roh Lieza terpuruk di bawah pohon, la mengeluarkan asap putih sebagai tanda bahwa
ia terluka akibat terjangan Buron.
Lieza pun bangkit dengan terhuyung-huyung. Wajah cantiknya masih memancarkan
dendam dan kebencian. Seringainya memperlihatkan sepasang taring yang keluar dari
giginya. Taring itu amat runcing dan memantulkan kilauan cahaya lampu taman.
. "Aku ingin membawa pulang Fandy!" serunya dengan suara serak, meremas hati
membuat orang makin ketakutan.
Tiba-tiba terdengar suara sentakan, "Dia milikku!"
Rupanya saat itu keberanian Vinon menyala berkobar-kobar. Ia bahkan berlari
meninggalkan pendopo berhadapan dengan Lieza.
"Kau harus berhadapan denganku lebih dulu jika ingin merebut Fandy dari pelukanku,
Lieza!" sentak Vinon. Rasa cinta yang luar biasa besarnya membuat Vinon punya
keberanian seperti itu. Lieza menggerang kembali dengan mata memancarkan kebencian. Dewi Ular menarik
mundur tangan Vinon, sehingga kini ia berhadapan langsung dengan Lieza.
"Kuperintahkan padamu, kembalilah kepada tuanmu; iblis Nosada itu! Kembali
sekarang juga, Lieza!"
"Hiaak, haak, haak, haak, haak...," Lieza tertawa serak. "Apakah kau mampu
memaksaku pergi tanpa Fandy, hah"! Hiaak, haak, haak, haak...!"
Semakin keras tawanya semakin besar bentuk tubuhnya. Tawa panjangnya itu akhirnya
membuat tubuhnya tinggi, besar, berwajah lebar. Tingginya mencapai lima meter lebih.
Vinon berlari tunggang langgang menghampiri Fandy. Seolah-olah ia bersiap
melindungi Fandy dari jangkauan tangan Lieza yang telah berubah menjadi raksasa itu.
"Bereskan dia, Buron!" perintah Kumaia, lalu menyingkir ke samping pendopo.
Niko buru-buru mendekatinya.
"Dewi, kenapa Buron yang kau suruh menghadapinya"!"
''Kalau sudah begini, Buron mampu menyelesaikannya!"
Niko mau berkata lagi, tapi mulutnya terhenti dalam keadaan rrienganga. Pada saat itu
ia tersentak kaget melihat Buron berubah menjadi Jin Layon yang tingginya enam meter
dan berkulit hitam. Selain tubuhnya tinggi, besar, matanya juga .lebar dan merah
dengan kepala gundul tanpa rambut,
Niko jatuh lemas melihat Buron berubah menjadi Jin Layon. Siapa pun akan merasa
ngeri melihat sosok Jin Layon yang berkuku panjang itu.
Raksasa Lieza menyerangnya dengan kedua tangan seperti terpanggang api. Tangan
itu diayunkan ke leher Jin Layon, tetapi dengan tangkas kedua tangan Jin Layon.
menangkap tangan lawahnya. Dalam satu gerakan cepat dan suara menyentak
menggetarkan bangunan di sekelilingnya, Jin Layon berhasil mematahkan kedua
tangan raksasa Lieza. "Huaaahk...!" Kraaakk, kroook...! "Aaaahkkkkrrr...!"
Raksasa Lieza menjerit mengerikan. Ia bermaksud menggigit dada Jin Layon. Tapi
.kepala Jin Layon sengaja dibenturkan ke kepala lawannya.
Proook...! "Aaaakkrrrrhhh...!"
Kepala raksasa Lieza pecah, berlumuran darahnya, yang berwarna hitam itu. Bau amis
menyengat hidung. Sangat memualkan.
Dari mata Jin Layon segera keluar Sinar kuning yang melesat dan menghantam dada
raksasa yang sempoyongan itu.
Claap...! Buuuusss...! Sosok raksasa itu lenyap bersama kepulan asap hitam berbau sangit yang melambung
ke angkasa. Suara teriakan histeris dari roh Lieza terdengar sama-samar, sampai
akhirnyalenyap tanpa gema sedikit pun.
"Grrrrhh...!" Jin Layon mengerang setelah melemparkan kedua tangan lawannya yang
tadi berhasil dipatahkan itu. Potongan tangan tersebut pecah di udara bebas, jauh dari
jangkauan pandang siapa pun.
"Kembalilah ke wujudmu, Baron!"
" Ini wujud asliku! Mau disuruh kembali ke mana lagi"!" sentak suara Jin Layon yang
bernada besar dan serak itu. Kumala Dewi tersenyum geli sambil melangkah
meninggalkan tempatnya . Pada saat itulah Jin Layon lenyap dan berubah wujud menjadi pemuda berambut kucai;
Buron. Suasana menjadi tenang. Bau amis yang memualkan bagaikan tersapu bersih
oleh hembusan angin malam.
"Kalian telah bebas dari ancaman Lieza!" kata Dewi Ular kepada Vinon dan Fandy.
Yang lain berada di sekitar mereka, menyimak kata- kata Dewi Ular tanpa ikut bicara
sedikit pun. "Apakah itu berarti dia tidak akan kembali lagi, Kumala?" tanya Fandy.
"Dia sudah kuhancurkan!" sahut Buron" sambil ngeloyor pergi.
"Benar. Buron telah menghancurkan roh Lieza. Kalian bebas menikmati hidup bersama,
dan aku yakin, pasti kalian bahagia. Vinon mempunyai cinta yang amat besar, yang
mengandung kekuatan gaib dan membuat dirinya hidup kembali."
"Sekarang aku memang merasa hidup kembali karena akan selalu bersama Fandy,"
kata Vinon sambil tersenyum malu. Tapi matanya melirik ke arah Fandy, membuat
pemuda itu pun mulai tersipu-sipu. Sambil menggenggam tangan Vinon, Akhirnya
Fandy berkata kepada Kumala dengan nada lembut.
"Terima kasih atas bantuanmu, juga atas bantuan teman-teman semua!"
Kumala mengangguk dengan senyum ceria. "Nikmatilah hidup ini dengan damai," kata
Kumala sambil melangkah ke tepi kolam.
Vinon memeluk Fandy erat-erat. Napas mereka terasa sesak, karena segunung
kebahagiaan terasa menyumbat di dada. Kumala Dewi dan yang lainnya hanya
memandangi kemesraan yang,kini telah menyatu dalam kehidupan mereka yartg
kedua. Wajah-wajah mereka pun berhias keceriaan, seakan menyambut datangnya
kehidupan baru yang akan dilalui Fandy dan Vinon dengan penuh kemesraan.
"Rasa-rasanya aku seperti mimpi melihat kenyataan ini," ujar Niko di samping Kumala
Dewi. Gadis anak bidadari itu meliriknya dengan senyum dan balas berbisik pelan.
"Kadang aku iri, mengapa hanya mereka yang bisa menikmati kemesraan dan kebahagiaan. Kenapa aku nggak bisa, ya?"
"Kalau kau mau, pasti bisa."
"Mau sih mau, tapi siapa yang bersedia memberiku kemesraan seperti itu?"
"Aku bersedia."
"Apa..."!" Kumala berpaling menatap Niko: Yang ditatap pun jadi gemetar dan salah
tingkah. Kumala hanya tersenyum saat Niko melangkah meninggalkan dirinya di halaman
belakang. Niko bergabung dengan Tomma dan Sandhi yang saat itu sudah berada di
serambi samping. Tapi pandangan mata Kumala mulai tampak berbinar-binar,
senyumnya berseri-seri. Pertanda apakah itu"
SELESAI Iblis Angkara Murka 2 Pendekar Bayangan Sukma 15 Maut Buat Madewa Gumilang Kisah Sepasang Rajawali 4
^