Pembalasan 1
Fear Street Sagas 07 Pembalasan Children Of Fear Bagian 1
EBOOK INI TERSELENGGARA BERKAT DONASI BUKU OLEH NIKEN PROLOG Gudang Bawah Tanah yang Gelap
DINGIN. Jarum-jarum es seolah menusuk hingga ke tulang.
Pemuda itu meringkuk dekat satu-satunya lilin sambil
menggigil kedinginan. Ia menjulurkan tangannya yang membeku ke
api oranye yang berkelap-kelip. Lalu mendorong jemarinya lebih
dekat lagi ke api. Ia mencium bau kulit ujung jemarinya terbakar. Tapi tidak
merasakan apa pun. Sama sekali mati rasa. Kematian yang beku semakin mendekat, pikirnya.
Dan cepat. Terlalu cepat.
Ia menggigil. Api yang bergoyang-goyang itu memancarkan
cahaya remang-remang. Dan di luar cahaya kekuningan yang pucat,
kegelapan bergeser dan melingkar-lingkar.
Di dalam kegelapan, mereka menanti.
Aku tahu mereka menunggu apinya padam. Lalu mereka akan
datang menangkapku. Aku tak bisa melarikan diri. Ruang bawah
tanah yang lembap ini akan menjadi peti matiku.
Matanya yang kelelahan dan panas terpejam. Ia menunduk
lemah, dagunya menyentuh dada.
Di balik dinding-dinding batu, ia mendengar badai tengah
mengamuk. Hujan sedingin es berhamburan menghantam jendela
yang kecil; angin yang membekukan mengguncang kacanya.
Ia mengangkat kepalanya dan menatap jendela. Kalau saja aku
kembali menjadi bocah kecil lagi... kalau saja bahuku tidak selebar
ini... kakiku tidak sepanjang ini... aku bisa memecahkan kaca itu dan
menyelinap keluar dari jendela.
Tapi tak ada jalan keluar bagiku sekarang. Jendelanya terlalu
kecil. Dan pintu kayu eknya terlalu tebal. Aku takkan bisa
membobolnya. Luke kembali menatap lilinnya dan mendengarkan air menetes
sepanjang dinding-dinding batu. Irama mantap yang
menggumamkankan kata-kata....
Tidak ada jalan keluar. Tidak ada jalan keluar.
Kilat menyambar. Matanya membuka. Ia melihat mereka sekilas.
Tubuh mereka tebal dan bersisik, melingkar-lingkar dan
merayap melintasi lantai batu. Napasnya tertahan di tenggorokan saat
ia mendengar desisan pelan. Mata mereka yang hitam tidak bernyawa
terpaku pada dirinya... menunggu... menunggu apinya padam.
Kegelapan kembali meliputinya. Detak jantungnya meraungraung di telinganya. Apinya bergoyang-goyang. Mengecil.
"Belum!" benaknya menjerit. "Kau tidak boleh padam sekarang.
Kau masih bisa menyala hingga berjam-jam lagi. Berjam-jam!"
Apinya bergoyang-goyang dan nyaris padam. Ia tersentak.
Lalu api kuning itu kembali berkobar, menyala kecil. Ia
mengawasi tetes-tetes besar lilin cair menuruni sisi-sisi lilin yang tebal
itu dan menggenang di lantai yang dingin. Seperti butir-butir pasir di
dalam jam pasir. Setiap tetes menandai satu saat lagi dalam hidupnya,
lenyap. Seseorang akan menemukan diriku suatu hari nanti, pikirnya.
Mereka akan menemukan tulang belulangku yang telanjang dan putih
bertebaran di lantai yang kotor ini. Aku ingin mereka tahu bagaimana
caraku mati. Aku ingin mereka tahu alasan kematianku!
Ia menangkupkan tangan di sekeliling api yang menyala dan
mengangkat lilinnya dari lantai. Ia mundur selangkah.
Desisan keras terdengar dari bayang-bayang. Ia mendengar
suara halus"sisik-sisik dingin bergeser di atas batu.
Ia menahan napas dan kembali mundur selangkah dengan hatihati.
Ia kembali mendengar suara bergeser. Lebih cepat dari
sebelumnya. Lalu suara gemerencing, seakan-akan ada bayi yang
tengah bermain-main dengan mainan kayu di sudut.
Tapi ia tahu tidak ada bayi di gudang bawah tanah ini.
Tidak ada mainan kayu. Hanya kematian.
Desisan lain menggema di sekelilingnya. Ia menoleh dan
memandang ke dalam kegelapan yang pekat itu. Ia tak bisa melihat
mereka. Mereka bisa berada di mana-mana.
Lututnya terasa lemas saat ia kembali melangkah mundur
perlahan-lahan. Wus. Hss. Krincing. Ia menelan ludah dengan susah payah. Tangannya gemetar dan
lilinnya nyaris padam. Ia menarik napas dalam-dalam.
Melangkah mundur. Hss. Wus. Krincing. Ia kembali mundur selangkah, lalu selangkah lagi, hingga
akhirnya ia merasakan dinding batu yang lembap menempel di
bahunya. Ia menunggu. Desisannya semakin keras. Semakin keras. Hingga udara
bergetar karenanya. Bergetar menembus dirinya. Lalu melunak,
memudar menjadi bisikan samar.
Perlahan-lahan ia mengembuskan napas.
Ia sadar mereka takkan datang selama lilinnya masih menyala.
Lilinnya tampak lebih panjang beberapa sentimeter dari jari
telunjuknya. Kalau ia menanganinya dengan hati-hati dan apinya tidak
padam, ia merasa lilin itu masih akan menyala beberapa jam lagi.
Mungkin cukup lama. Cukup waktu untuk menceritakan
kisahku. Ia berjongkok dan meletakkan lilinnya di lantai. Apinya menarinari. Bayang-bayangnya mengambang di dinding.
Apa yang bisa kugunakan" pikirnya penasaran. Apa yang bisa
kugunakan untuk menceritakan kisahku"
Ia mencari-cari tidak jauh di sekelilingnya, di lantai dan di
dinding-dinding. Ia melihat sebatang paku di lantai dan meraihnya.
Paku itu telah bengkok dan berkarat.
Ia mengertakkan gigi dan memejamkan mata rapat-rapat. Lalu
menusukkan paku itu ke telapak tangannya. Ia tersentak kesakitan dan
menunduk menatap darah yang menggenang di tangannya. Ia
mengawasi saat tetes-tetes merahnya membasahi lantai.
Begitu hangat, pikirnya. Paling tidak jemariku akan merasa
hangat. Cahaya api lilin terpantul di darahnya yang merah segar. Ia
mencelupkan jemarinya ke dalam genangan mengilat itu,
membiarkannya sejenak agar agak menggumpal.
Lalu ia bangkit berdiri. Ia mengolesi paku itu dengan darahnya
dan mulai menulisi dinding batu:
Kalau saja aku mengetahui kengerian yang timbul akibat
kebisuanku.... Bab 1 Pennsylvania Barat 1876 LUKE FIER melecutkan kekang yang berat itu pada punggung
keledainya. "Maju," perintahnya, sambil mendorong bajak sekeraskerasnya. Ia merasakan kemarahannya memuncak saat keledai itu
perlahan-lahan memutar kepalanya yang besar dan balas menatapnya.
"Ayo! Tarik!" desak Luke sambil melecutkan kekangnya sekali
lagi. Keledai itu maju selangkah dengan lambat. Lalu selangkah lagi.
Luke membajak di belakang keledai yang lamban itu.
Lengannya terasa sakit karena mendorong bajak. Ia merasa matahari
sudah tinggi di atas bahunya dan tahu bahwa pagi hampir berlalu. Ia
telah bekerja sejak matahari terbit dan usahanya baru menghasilkan
dua deretan panjang. Kita akan kehilangan pertanian ini kalau begini, pikirnya lelah.
Aku dilahirkan di pertanian ini. Begitu pula ayahku dan ayahnya.
Aku sudah tinggal di sini lama enam belas tahun. Aku tak ingin
tinggal di tempat lain. Ia merasakan keringat mengalir menuruni punggungnya dan
mengusapkan lengan bajunya ke keringat di atas alisnya. Ia
membayangkan air atau limun dingin yang menyegarkan mengalir
turun di tenggorokannya. Keledainya berhenti, menolak untuk menarik lebih jauh. Luke
menunduk. Mungkin sebaiknya kutarik sendiri bajak itu.
Ia mencabut topi cokelat lusuhnya dari kepala dan
membuangnya ke tanah. Angin hangat melecut rambut hitam di
wajahnya. Ia berdiri tegak dan menekankan tinju ke bagian bawah
punggungnya. Rasanya sangat sakit. Semakin hari semakin buruk. Ia
menegakkan tubuh dan mendesah.
"Pa, bisakah kau bicara dengan Henrietta..."
Kata-kata itu tercekat di tenggorokannya. Ia masih belum
percaya bahwa ayahnya telah meninggal.
"Kau selalu bisa membuat Henrietta patuh," bisik Luke dengan
suara serak. "Aku tidak memiliki keahlianmu. Atau bakatmu."
Luke memandang rumah. Tatapannya jatuh ke batu putih besar
yang berdiri di bawah pohon ek yang menjulang. Marmer halus yang
bertuliskan nama ibu dan ayahnya. Ia menggigil.
"Bagaimana kalian tega meninggalkan aku seorang diri?"
tanyanya dengan suara serak. "Teganya kalian?"
Ia memejamkan mata untuk mengatasi rasa sakit dan
kepahitannya. Aku tahu aku tidak sendirian. Ada Corey dan Leah. Dan
pertanian ini. Tapi kalian seharusnya ada di sini untuk merawat semuanya.
Untuk merawatku. Luke masih bisa melihat dengan jelas sore hari saat orangtuanya
meninggal. Awan kelabu menumpuk di langit. Angin dingin
membawa aroma hujan. Luke berdiri di serambi depan rumah papan berlantai dua yang
mereka huni. Ia mengawasi ayahnya membantu ibunya naik ke kereta.
Mereka akan menyaksikan Pameran Seratus Tahunan di Philadelphia.
Ibunya meluruskan pita di topinya. Ia memandang Luke.
"Berjanjilah kau akan menjaga adik-adikmu baik-baik, Luke,"
katanya. Luke mengangguk. Lalu ibunya berpaling kepada Leah dan Corey. "Dan kalian
berdua harus mematuhi kakak kalian. Atau tidak akan ada hadiah saat
kami pulang nanti. Kalian mengerti?"
Leah mengangguk muram ke arah ibunya, Corey tidak
mengatakan apa-apa. Ia mengerutkan dahi dan memuntir-muntir
mainan kain dalam tinjunya yang kecil dan lunak. "Boleh kami ikut,
Mama. Please?" tanyanya sekali lagi dengan suara yang masih cedal.
"Corey, kau tahu kau harus telap di sini bersama Luke dan
Leah," kala ibunya mengingatkan. "Jadilah anak yang baik dan kami
akan membawakan hadiah untuk kalian masing-masing," janji ibu
mereka. "Aku tidak mau hadiah," rengek Leah. "Aku mau ikut juga."
"Diam," kata Luke. Ia memelototi adiknya. Ia berharap
orangtuanya tidak mendengar keluhan Leah. Mereka sudah cukup
banyak mendengar keluhannya.
Tadi pagi, Corey menangis dan menarik-narik rok ibunya. Leah
tidak meneteskan air mata. Tapi dia cemberut selama berhari-hari.
Keduanya tidak senang karena orangtua mereka meninggalkan
mereka. Leah berusia tiga belas tahun. Corey masih enam tahun.
Mereka meringkuk saling merapat di tangga serambi, mengingatkan
Luke akan kembar siam yang dilihatnya di sirkus setahun yang lalu.
Mereka berdua berambut hitam. Mata hijau mereka berkilauan
karena air mata marah. "Mereka akan melakukan tugasnya dan tidur lebih awal setiap
malam," janji Luke. Luke melirik dan melihat Leah menjulurkan lidah kepadanya. Ia
tertawa. Aku yang akan bertanggung jawab, pikirnya sambil mengawasi
ayahnya naik ke kursi kusir dan melepaskan rem kereta. Aku bisa
menjaga mereka dan pertanian ini. Orangtuaku akan terkejut saat
mereka pulang nanti dan mendapati betapa aku bisa menjalankan
segala sesuatu dengan baik di sini.
"Jaga diri kalian, Anak-anak," seru ayah Luke. "Kami akan
kembali hari Sabtu besok."
Luke mengagumi betapa mudah ayahnya melecutkan kekang
dan menggerakkan keempat ekor kuda itu.
Ibu Luke berpaling di kursinya dan melambaikan tangan.
Luke balas melambai. "Lambaikan tangan kalian," kata Luke
kepada adik-adiknya. "Tidak," kata Leah, sambil bersedekap. Bibirnya menjulur maju
karena cemberut. "Tidak," kata Corey, sambil meniru sikap kakaknya.
"Kami ingin ikut mereka," rengek Leah.
Luke terlonjak mendengar suara keras entakan kaki Leah di
tangga serambi. Corey melompat dan meniru kakaknya. Luke memarahinya.
Tiba-tiba, kilat membelah langit. Guntur menggelegar dan Luke
merasa tanah di bawah kakinya terguncang. Embusan angin kencang
membuatnya menggigil kedinginan.
Lalu Luke mendengar ringkik histeris kuda-kuda penarik kereta.
Ia menatap ngeri saat kuda-kuda itu mengangkat kaki depan mereka
dan mencakari udara. Lalu berderap liar.
Ia melihat ayahnya berusaha mati-matian untuk mengendalikan
kekangnya dan mendengarnya berseru-seru untuk menenangkan
hewan-hewan yang ketakutan itu.
Luke melesat turun dari serambi dan mengejar kereta itu.
"Berhenti!" teriaknya. "Berhenti!" Tapi suaranya tertiup angin,
tidak cukup kuat untuk menghentikan kuda-kuda yang mengamuk itu.
Kuda-kuda itu melesat ke arah sebuah jurang yang dalam,
menyeret kereta di belakang mereka. Luke melihat ayahnya terlontar
ke bagian belakang kereta, kepalanya menghantam sebuah tong.
Ibunya, sambil berpegangan pada sisi kereta, memandang ke
arahnya. Angin telah melepaskan topinya dan rambutnya melecutlecut liar di sekitar kepalanya.
Kuda-kuda itu mendengus murka, bibir mereka tertarik ke
belakang, menempel rapat pada gigi-gigi mereka, dan berderap liar
sepanjang tepi jurang. Keretanya terombang-ambing di sana....
Lalu terguling. Bab 2 LUKE menggigil mengingatnya. Sepuluh bulan kemudian ia
masih tidak mengerti mengapa kuda-kuda itu tiba-tiba menjadi liar.
Apa karena kilat" Guntur" Pikirnya, penasaran untuk yang
kesekian ratus kalinya. Ia tidak pernah tahu ayahnya bisa kehilangan
kendali atas hewan apa pun. Tidak peduli hewan apa pun. Ayahnya
memiliki bakat menghadapi hewan. Bakat yang diwariskan kepada
Leah. Kalau saja aku juga memiliki bakat itu. Mungkin dengan begitu
kami punya kesempatan. Mungkin dengan begitu aku paling tidak bisa
menyuruh keledai tolol ini untuk menarik bajak.
Luke menatap ladang yang belum dibajak di sekitarnya.
Fear Street Sagas 07 Pembalasan Children Of Fear di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Keraguan dan kekhawatiran menari-nari dalam benaknya.
Ia sadar ia tak tahu harus berbuat apa. Aku tak tahu bagaimana
mempertahankan pertanian ini.
Ia teringat pada tamu yang datang kemarin"Mr. Stone, direktur
bank. Luke merasakan kemarahannya bercampur ketakutan. Mr.
Stone telah mengancam untuk menyita pertaniannya kalau Luke tidak
segera membayar cicilan tanah. Apa yang akan terjadi pada Leah dan
Corey kalau begitu" Aku enam belas tahun, cukup tua untuk menjaga diri, tapi Leah
dan Corey terlalu muda untuk ditinggalkan begitu saja. Aku harus
kuat demi mereka. Siapa yang bersedia merawat mereka kalau bukan
aku" Dengan tekad bulat, Luke melecutkan kekangnya. "Ayo, kau
keledai keras kepala. Kita tetap di ladang ini siang-malam kalau
perlu." Keledai itu mengalihkan pandangannya dan maju selangkah.
"Bagus," kata Luke sementara tali bajak menancap ke bahunya.
Ia mengeratkan cengkeramannya pada tangkai bajak dan mendorong
bajaknya, membalik tanah hitam. Setiap otot di tubuhnya berjuang
keras seiring dengan usahanya.
Kita takkan kehilangan pertanian ini, Luke bersumpah dalam
hati. Akan kulakukan apa pun yang harus kulakukan untuk tetap
berada di sini. Ia berbalik saat mendengar suara seseorang memanggil
namanya. Leah berlari melintasi ladang, sambil menyeret Corey.
Rambut hitamnya melambai-lambai liar, terurai di bahunya.
"Luke!" jeritnya.
Jantung Luke berdetak menyakitkan dalam dadanya. Sesuatu
terjadi, pikirnya. Ada kejadian mengerikan lain yang terjadi.
Ia berlari sekuat tenaga mendekati adik-adiknya. "Ada apa?"
teriaknya. "Ada masalah apa?"
Leah berhenti dan tertawa. "Jangan khawatir, Luke. Semuanya
baik-baik saja." Luke berhenti, terengah-engah. "Kenapa kau berteriak-teriak?"
Mata hijau Leah berkilauan. "Kau sudah berjanji akan mengajak
kami ke kota untuk mengikuti Perayaan Seratus Tahunan. Kau lupa?"
Perayaan Seratus Tahunan. Luke sudah melupakannya sama
sekali. Stormy Ridge menyelenggarakan perayaan seratus tahunannya
sendiri. Tentu saja perayaan ini tidak bisa dibandingkan dengan acara
yang hendak dihadiri orangtua mereka di Philadelphia, tapi pasti
sangat menyenangkan. "Leah, maafkan aku, tapi aku tak bisa mengajak kalian ke kota
hari ini. Ada banyak pekerjaan yang harus kulakukan." Ia melambai
ke arah ladang yang belum dibajak.
Mata hijau Leah berubah gelap. Mulutnya mengernyit. "Tapi
kau sudah berjanji!"EBUKULAWAS.BLOGSPOT.COM
"Aku tahu aku sudah berjanji, tapi..."
Luke merasa ada yang menarik-narik celana panjangnya dengan
keras. Ia menunduk memandang adik lelakinya. Air mata
menggenangi mata hijau Corey.
Luke berlutut di tanah kecokelatan. Mata hijau Corey dan Leah
mirip dengan mata ayah mereka, warna hijau aneh yang mampu
tampil cerah di satu saat dan berubah gelap detik berikutnya.
"Kau mau ke kota, Corey?"
Corey mengangguk, kebisuannya yang menakutkan membuat
bulu kuduk Luke meremang. Adiknya itu tak pernah berbicara lagi
sejak hari kematian orangtua mereka.
Luke menyapu rambut hitam dari kening Corey. Rambut itu
jatuh ke tempatnya kembali seolah punya keinginan sendiri.
Kenapa kau tak mau bicara" pikir Luke penasaran. Kenapa kau
tak bisa mengatakan "ya" yang sederhana"
Luke menjentikkan seekor kumbang dari kaki Corey yang
telanjang. Celana terusan yang dikenakan Corey mulai kekecilan.
Luke melirik ke arah Leah. Gaun calico biru yang dikenakan adiknya
itu telah lusuh dan pudar. Sebelum panen, mereka tak bisa memiliki
baju baru. "Aku tahu kalian ingin pergi, tapi kalau aku tidak membajak
ladangnya, kita tidak akan bisa menanam. Tanpa tanaman, kita akan
kehilangan pertaniannya," kata Luke menjelaskan.
"Tapi, Luke." Leah menjatuhkan diri di sampingnya. Ia
mencengkeram lengan Luke kuat-kuat, mata hijaunya berkilau penuh
semangat. "Ada pacuan kuda. Pemenangnya akan mendapat lima
puluh dolar! Aku tahu aku bisa menang!"
"Lima puluh dolar?" ulang Luke. Dengan lima puluh dolar jelas
mereka bisa bertahan hingga panen tiba. Mungkinkah Leah bisa
memenangkannya untuk mereka"
Luke mengesampingkan gagasan itu. Ia merasa bodoh dan
kekanak-kanakan karena sesaat berpikir bahwa Leah mampu
memenangkan uang sebanyak itu.
"Leah, aku tahu Pa sudah mengajarimu berbagai hal mengenai
kuda," katanya. "Tapi pasti banyak orang yang bersaing untuk uang
sebanyak itu. Dan banyak kuda yang lebih cepat daripada Phantom."
Leah bersedekap dan melotot marah ke arah kakaknya.
"Aku bisa memenangkannya. Aku tahu aku bisa," katanya
bersikeras. "Dan kalau kau tak mau mengajak kami ke kota, aku akan
berangkat sendiri." Luke mengenali ekspresi itu. Ia tahu ia tak mungkin mengurung
adiknya dalam rumah seharian. Adiknya itu pasti menepati katakatanya. Ia mendesah dan membungkuk meraih topinya yang berdebu
dari tanah. "Baiklah." Luke mengangguk. "Kita pergi."
************** Dengan Corey bertengger di bahunya, Luke menyusuri jalan
tanah menuju ke kota. Leah berjalan di sampingnya, membimbing
kuda hitamnya, Phantom. Ia tak mengizinkan mereka menunggangi
kuda itu ke kota karena tak ingin hewan itu kelelahan sebelum
pertandingan. Luke merasa Leah takkan bisa memenangkan lombanya. Tapi ia
memaksa diri untuk tidak berkata apa-apa lagi mengenai hal itu.
Sesudah kita sampai di kota, Leah akan melihat sendiri bahwa
memenangkan lomba itu hanyalah mimpi, pikir Luke.
Mereka mendekati kota dan mendengar keramaian dan suara
band. Saat mereka tiba di persimpangan dan berjalan menyusuri Main
Street, Luke melihat spanduk yang terbentang melintang di atas jalan
dan orang-orang berkeliaran di mana-mana. Ia belum pernah melihat
orang sebanyak itu di kota kecil. Sebagian besar toko-toko
menggantungkan tanda di jendela atau pintunya yang berbunyi
TUTUP UNTUK PACUAN BESAR.
Luke melihat sejumlah tanda yang mengatakan bahwa pacuan
kuda akan diselenggarakan di Main Street pukul 13.00. Dengan
melihat matahari, ia menebak bahwa saat itu sudah hampir tiba.
"Menyenangkan, bukan?" kata Leah. "Tampaknya semua orang
datang kemari untuk menyaksikan pacuannya." Sambil berjinjit, ia
menunjuk balai kota. Sekelompok pria"tertawa-tawa dan bercakapcakap"tengah berdiri di serambi dan tangga depan di bagian depan
bangunan. Di samping mereka, ada seorang pria lagi yang berdiri di
atas sebuah tong. Ia mengacungkan papan tanda di atas kepalanya
yang berbunyi PENDAFTARAN PACUAN DI SINI.
"Aku harus ke sana," kata Leah kepada Luke.
Luke mengangguk. "Biar kupegangkan Phantom."
Ia mengambil kekang dari tangan adiknya, memindahkan Corey
ke bahu lainnya, dan mengikuti Leah.
"Aku mau mendaftar ikut pacuan," kata Leah penuh semangat
kepada para pria yang berdiri di serambi.
Mereka tiba-tiba terdiam dan menatap Leah seakan-akan telah
tumbuh kepala lain di lehernya. Seorang pemuda jangkung berbahu
lebar melangkah maju. "Kau tidak bisa ikut pacuan itu," katanya kepada Leah. "Kau
seorang gadis." Leah mengangkat hidungnya. "Thomas Wade, tunjukkan
peraturannya padaku"tertulis."
Thomas Wade menyisir rambut merah tuanya dengan tangan.
"Peraturannya tidak tertulis, tapi kita semua mengetahuinya," katanya.
"Gadis tidak boleh ikut."
"Kau tidak mau aku ikut karena kau tahu aku akan menang,"
kata Leah. Thomas menyipitkan matanya yang hitam. "Tak ada yang bisa
mengalahkan keluarga Wade," katanya dengan nada rendah.
Luke melangkah maju. Ia tahu semua orang di kota itu takut
terhadap Wade bersaudara. Mereka anak keluarga terkaya di kawasan
ini. Lebih dari sekali mereka menggunakan kekayaan dan pengaruh
mereka untuk mengusir keluarga lain dari kota ini. Luke tidak
menyukai mereka, tapi ia tahu tekad Leah untuk ikut pacuan sudah
bulat. "Kalau tidak ada yang bisa mengalahkan kalian," kata Luke,
"seharusnya tidak masalah bagimu kalau Leah ikut bertanding."
"Luke benar," kata seseorang bersuara berat.
Semua orang berpaling memandang Earl Wade melangkah ke
balai kota, membimbing dua kuda jantan keemasan bersurai panjang
keperakan. Luke menatap sosok kekar kuda-kuda itu. Ia melihat otototot mereka menonjol saat melangkah mengikuti majikannya.
Semangat Luke merosot. Ia tahu kuda Leah takkan bisa mengalahkan
mereka. "Biarkan dia mendaftar," kata Earl.
Leah menjerit gembira. "Trims, Earl. Aku takkan
membiarkanmu kalah telak."
Seorang pria di serambi meraih sebuah batu tulis besar dan
mendekati Leah. Luke melihat nama semua orang yang mengikuti
lomba tertulis di papan. "Tulis namamu di bawah sini," kata pria itu sambil
mengulurkan sebatang kapur kepada Leah.
Dengan gerakan cepat dan rapi Leah menuliskan namanya di
papan. Luke melihat Thomas dan Earl bertukar pandang. Lalu mereka
menyeringai. Luke mengkhawatirkan rencana Wade bersaudara itu.
Leah membersihkan debu kapur dari tangannya dan mengambil
alih kekang dari tangan Luke.
"Hati-hati terhadap Wade bersaudara," bisik Luke saat mereka
melangkah menjauhi balai kota. "Aku tidak mempercayai mereka."
Mata Leah berubah gelap. "Mereka kasar, tapi aku tidak takut."
Mungkin seharusnya kau takut, pikir Luke. Tapi ia tak ingin
adiknya merasa terlalu khawatir sebelum lomba dimulai. Ia tahu
adiknya harus memusatkan seluruh perhatiannya untuk menunggangi
Phantom. "Kami akan mencari tempat kami bisa menyaksikan
pacuannya," kata Luke padanya.
"Berteriaklah padaku," kata Leah.
"Pasti," kata Luke berjanji.
Dengan Corey masih bertengger di bahunya, Luke menerobos
kerumunan yang tertawa-tawa dan berceloteh ribut. Orang-orang
berdiri merapat satu sama lain, berjajar di kedua tepi jalan tanah
tempat pacuan kuda itu akan diadakan. Luke mempelajari jalur
pacuannya sementara para peserta pacuan berkumpul di ujung
seberang jalan. Luke melihat bahwa mereka harus berlomba ke ujung
seberang kota, mengitari sebuah tong, dan kembali ke titik awal. Luke
menemukan tempat ia bisa menonton di bagian tengah sisi jalur
pacuan. "Selamat siang, Mr. Hammond," katanya sambil menerobos ke
bagian depan kerumunan. Mr. Hammond, pemilik toko serbaada, berbalik. Meskipun
menutup tokonya hari ini, ia masih mengenakan celemek putihnya.
"Well, halo, Fier muda. Kau sudah jarang sekali datang kemari."
Luke memaksa diri untuk tersenyum. "Banyak pekerjaan di
pertanian." "Bisa kubayangkan begitu. Sayang sekali" orangtuamu
meninggal dengan cara seperti itu. Benar-benar menyedihkan."
Mr. Hammond mengeluarkan sebatang permen sarsaparila dari
sakunya dan mengulurkannya kepada Corey. Corey menyambarnya,
nyaris terjatuh dari bahu Luke karena terlalu bersemangat. Luke
memperbaiki posisi adiknya sementara Mr. Hammond tertawa riang.
"Terima kasih, Mr. Hammond," kata Luke. "Kami tidak banyak
mendapat permen akhir-akhir ini."
"Keadaan itu akan berubah kalau adikmu memenangkan lomba
ini, bukan?" katanya.
"Ya, pasti," jawab Luke sambil memandang garis start tempat
para penunggang dan kuda masing-masing menunggu. Ia melihat
Leah berdiri di samping kuda hitamnya, mengelus-elus leher hewan
itu. Luke menunjuk. "Lihat, Corey. Itu Leah dan Phantom."
Corey bertepuk tangan dan melambai.
Leah tersenyum lebar dan balas melambai.
"Kata ayahmu, Leah punya bakat menangani hewan," kata Mr.
Hammond. Luke merasa sangat bangga. "Ya, Sir, memang. Hewan-hewan
itu tampaknya bisa merasakan apa yang diinginkannya."
"Wade bersaudara harus berjuang keras untuk mendapatkan
uang mereka," kata Mr. Hammond. "Tapi kurasa adikmu takkan
menang. Wade bersaudara sudah membulatkan tekad untuk
memenangkan pertandingan ini. Mereka tidak mudah menerima
kekalahan." Luke mengawasi saat dua bocah laki-laki merentangkan seutas
tali melintang di jalan yang berdebu.
"Naik!" teriak Mr. Stone. Dia pemilik bank sekaligus walikota
kota kecil itu. Dia yang memimpin penyelenggaraan pertandingan dan
hal-hal penting lainnya di situ....
Seperti menyebabkan keluarga kami kela-aran, pikir Luke
dingin. Kemarin dia mengancam akan mengusir kami dari pertanian
kami. Sekarang dia berdiri di sana, dengan perut gendutnya yang bulat
dan pipi-pipinya yang tembam, tersenyum kepada semua orang
seakan-akan dia Sinterklas.
Kuharap Leah bisa menang.
Selusin kuda mendekati tali, joki mereka mendesak mereka
untuk maju. Leah satu-satunya gadis dalam pacuan itu. Dari kejauhan Luke
bisa melihat tatapan adiknya sangat bersemangat dan pipinya bagai
bercahaya. Luke mengawasi dengan gelisah saat Wade bersaudara
menempati posisi mereka. Thomas di satu sisi Leah, Earl di sisi yang
lain. Luke melihat mereka mendesak Leah dan mendorong Phantom
menjauhi garis start. Leah mendorong lengan Thomas. Thomas hanya
tertawa dan menyodokkan kudanya ke Phantom.
Kewaspadaan Luke meningkat saat melihat Wade bersaudara
bertukar pandang penuh arti, seolah mereka lebih tertarik menyakiti
Leah daripada memenangkan pacuan. Leah tampak begitu kecil dan
rapuh di antara mereka. Mr. Stone mengangkat tangan dan menembakkan pistol ke
udara. Kedua bocah laki-laki itu menjatuhkan tali start-nya.
Para joki berteriak dan melecutkan kekang. Diiringi ringkikan
keras, kuda-kuda itu melesat maju. Awan debu tebal membubung dari
bawah kaki-kaki mereka yang berderap.
Sambil terbatuk-batuk, Luke memejamkan mata dan melangkah
mundur. Jeritan dan teriakan para penonton meraung-raung di
telinganya.
Fear Street Sagas 07 Pembalasan Children Of Fear di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ayo, Wade! Ayo, Earl!"
Luke tahu orang-orang itu takut memberi semangat kepada
yang lain. Wade bersaudara akan membalas siapa pun yang
mempermalukan mereka. Apalagi kalau mereka dikalahkan seseorang
yang lebih kecil. Kecil dan lemah, seperti Leah.
Tepuk tangan Corey bertalu-talu di telinga Luke. Ia merasakan
kaki-kaki kecil Corey memukuli dadanya. Luke memantapkan posisi
duduk adiknya di bahu. Lalu mendesak maju untuk bisa melihat
dengan lebih baik. Luke melihat Leah melarikan kudanya, Wade bersaudara ada di
kedua sisi kudanya, menjepitnya seperti yang mereka lakukan sejak
garis start. Kuda-kuda itu terlalu dekat. Mereka terus-menerus saling
menabrak. Leah yang malang tak punya ruang gerak, tak bisa melesat
maju. Tiba-tiba, Thomas mengulurkan tangan, menyambar kekang
Phantom, dan menyentakkannya keras-keras.
Kuda itu terhuyung-huyung dan mulai jatuh ke depan. Leah
menjerit dan menarik kekangnya sekuat tenaga.
"Leah! Bertahanlah!" seru Luke. Perutnya mulas melihat Leah
berjuang menegakkan kudanya kembali. Kalau adiknya sampai jatuh
dari pelana Phantom atau kuda itu jatuh, mereka berdua bisa terinjakinjak sampai mati.
Luke melihat Wade bersaudara bertukar senyum licik dan
kejam saat mereka berderap maju"ke arah tong.
Saat Leah kembali menguasai Phantom, Luke mendesah lega.
Hampir semua kuda lain telah melesat mendului Leah, tapi gadis itu
tampaknya telah membulatkan tekad untuk melanjutkan. Ia
menggosok bahu Phantom, lalu menendang sisi tubuh hewan itu.
Kuda itu mulai berlari lalu berderap. Angin membuat rambut
Leah yang terikat melambai melewati bahunya saat ia dengan luwes
mulai mengejar para joki lain. Ia membungkuk rendah di atas leher
Phantom yang panjang dan berkeringat.
Apa yang dilakukannya" pikir Luke penasaran. Ia melihat bibir
Leah bergerak-gerak. Tampaknya ia tengah berbisik kepada kudanya.
Luke terpesona saat kuda itu berlari semakin cepat sewaktu
Leah membimbingnya mengitari tong. Mereka berbelok tajam di
tikungan. Bagian pantat kuda itu menghantam tong. Tong itu
bergoyang-goyang. Luke menahan napas. Ia tahu Leah akan didiskualifikasi kalau
tong itu jatuh. Tapi tong itu tetap berdiri.
Leah dan Phantom mendahului kuda demi kuda. Lalu Phantom
berlari sekuat tenaga, meninggalkan para penunggang lainnya tercekik
awan debu yang membubung karena kecepatan larinya. Tanpa
terduga, Leah telah mendahului semua orang.
"Lihat, Corey! Leah menang!" seru Luke penuh semangat. Ia
melompat-lompat dan merasakan Corey menepuk-nepuk kepalanya
dengan gembira. "Kalau dia bisa mendului Wade bersaudara, dia akan menang,"
gumam Luke. Leah hanya beberapa kaki di belakang Wade bersaudara. Kuda
hitamnya yang ramping berderap di sebelah luar jajaran kuda jantan
keemasan mereka. Luke melihat Thomas melirik ke belakangnya, memandang
Leah, dan mulai tertawa. "Oh, tidak," kata Luke. "Kalau Thomas menarik kekang Leah
sekali lagi, dia akan mematahkan lehernya!"
Dengan ngeri, Luke menatap kuda Leah terus menambah
kecepatan dan Thomas kembali meraih kekang Phantom. Luke
merasakan jemari Corey mencengkeram rambutnya dan mendengar
adik lelakinya itu mendengus, seakan-akan hendak menangis.
"Tidak, Corey. Jangan melihat," katanya.
Luke berusaha untuk menurunkan Corey dari bahunya agar
tidak melihat Leah terluka. Tapi bocah kecil itu bergeming.
Lalu, tanpa peringatan, saat Thomas masih mencondongkan
tubuh ke arah Leah, kuda keemasannya mengangkat kaki depannya.
Dengan bibir tertarik ke belakang membentuk seringai buas, hewan itu
berpaling ke arah kuda Earl Wade dan membenamkan gigi-giginya
yang besar ke leher kuda rekannya itu. Darah menyembur membasahi
dua bersaudara itu. Luke mendengar Thomas menjerit saat ia
terpeleset dari pelananya dan mati-matian berpegangan pada sisi
kudanya yang menggila. Luke mendengar jeritan Earl Wade yang memekakkan telinga
saat ia berjuang bertahan di atas kudanya yang melonjak-lonjak liar.
Lalu Luke melihat kuda Thomas menurunkan kepalanya dan
menendangkan kaki belakangnya. Thomas jatuh dari pelananya. Luke
mendengarnya menghantam tanah dengan suara keras. Ia
memejamkan mata rapat-rapat saat kuda Thomas menghunjamkan
kedua kakinya ke lengan penunggangnya yang jatuh.
Ia mendengar Thomas menjerit kesakitan dan melihatnya
bergulingan di tanah. Kudanya berderap pergi. Luke mengernyit
melihat patahan tulang bergerigi mencuat menembus kain baju
Thomas yang robek. Darah merah tua membanjir ke tanah.
Luke mendengar kerumunan penonton tersentak dan melihat
orang-orang menunjuk. Ia mengalihkan pandangan dari Thomas Wade
tepat pada waktunya untuk melihat kuda Leah berderap melewati garis
finish. "Wow! Dia menang, Corey! Dia benar-benar menang," teriak
Luke kepada adiknya. Ia tidak bisa melihat wajah Corey, tapi ia
merasakan bocah itu menggeliat-geliat penuh semangat.
Leah turun dari kudanya dan berlari ke arah saudarasaudaranya. "Luke! Corey! Aku menang! Aku menang! Kalian
melihatku?" Sambil tertawa, ia memeluk pinggang Luke, memeluknya
ringan. "Lihat kan, sudah kukatakan aku akan menang."
"Yeah, Leah, kami melihat semuanya," jawab Luke sambil
menepuk-nepuk kepala adiknya. "Kau luar biasa," tambahnya.
Corey merosot turun dari bahu Luke. Ia memeluk pinggang
Leah dan membenamkan wajahnya di perut kakak perempuannya.
Leah menggelitikinya. "Hei, bukan apa-apa, Corey. Akan
kuajarkan bagaimana caranya menunggang seperti itu, kelak," kata
Leah sambil tertawa. Saat tawa Leah memudar, Luke tiba-tiba merasa ketakutan luar
biasa. Ia memandang ke sekitarnya dan menyadari bahwa orangorang telah membentuk lingkaran lebar di sekeliling keluarganya.
Ia hanya mendengar bisik-bisik di sekitarnya. Dan erangan
Thomas yang menakutkan" terus-menerus. Luke menggigil
merasakan orang-orang menatap dirinya, menatap Leah.
"Jauhi gadis Fier itu," seru seorang penonton dengan keras.
"Dia punya kekuatan jahat."
"Dia bisa mengendalikan hewan," tambah orang lain dengan
suara serak, pelan. "Kalian melihat caranya berbicara kepada
kudanya" Caranya memandang Wade bersaudara" Dia yang membuat
kuda-kuda itu saling menyerang!"
Luke mendengar orang-orang lain menggumamkan persetujuan,
pandangan mereka berubah curiga, wajah mereka merengut.
"Dia jahat!" teriak seseorang.
"Ya, jahat. Jahat!" teriak yang lainnya, mengikuti iramanya.
Bab 3 "BERHENTI! Berhenti sekarang juga! Kalian dengar?" teriak
Luke. "Leah tidak jahat! Aku takkan membiarkan kalian mengejek
saudaraku!" "Luke, jangan biarkan mereka berkata begitu tentang aku! Kau
tahu itu tidak benar!" jerit Leah.
Luke melirik adik perempuannya. Matanya yang hijau
berkilauan penuh air mata. Kulitnya tampak seputih salju.
"Tentu saja tidak." Luke memeluk adiknya dengan satu tangan
dan menariknya lebih mendekat di sampingnya. Ia bisa merasakan
Leah gemetar. Di sisi tubuhnya yang lain, ia merasakan Corey berpegangan
pada kakinya. Ia menepuk-nepuk kepala bocah kecil itu dengan
tangannya. Bagaimana bisa ada yang beranggapan Leah jahat" pikir Luke
penasaran. Kemarahan menggelegak dalam dirinya.
"Dia tidak jahat," ulangnya. "Dia sangat pandai menghadapi
hewan. Mereka mempercayainya. Sama seperti aku mempercayainya."
Earl Wade menerobos kerumunan hingga berdiri di depan Luke,
dengan napas terengah-engah. "Lengan adikku patah. Dan aku nyaris
tewas saat kuda-kuda kami menjadi liar." Ia menunjuk Leah. "Dia
yang melakukannya!" Luke bisa melihat orang-orang mengangguk setuju. Ia bisa
mendengar gumaman-gumaman setuju.
"Leah tidak melakukan apa pun pada kuda-kuda itu," Luke
bersikeras. Ia berpaling ke arah kerumunan orang. "Kalian semua
melihat Thomas mengulurkan tangan dan menarik kekang Phantom
saat lomba dimulai. Dia nyaris membuat kuda Leah jatuh. Dan dia
mencoba melakukannya lagi saat Leah berhasil mengejar mereka. Itu
sebabnya dia kehilangan kendali atas kudanya," teriak Luke.
Earl memelototi Luke, lalu mengalihkan pandangannya ke
kerumunan orang. Mereka semua mulai bergerak-gerak dan
menunduk. Luke bisa melihat mereka takut mengatakan yang
sebenarnya, takut Earl akan memukul dengan tangannya yang besar
dan gemuk. Luke merasa tenggorokannya kering karena ketakutan,
tapi ia harus melindungi Leah.
"Kau mengatakan adikku curang?" tanya Earl sambil maju
selangkah. "Aku hanya mengatakan yang sebenarnya," jawab Luke tegas.
Earl memicingkan matanya. "Keluarga Fier selalu menimbulkan
masalah. Sayang sekali kalian semua tidak berada di kereta saat kereta
itu terguling menimpa orangtuamu."
Leah tersentak. Luke merasakan cengkeraman Corey semakin
erat. "Kami tidak mencari masalah hari ini. Kau yang memulainya,"
kata Luke. "Kau tidak ingin Leah ikut pacuan."
"Kami tidak menginginkan dirimu atau keluargamu di Stormy
Ridge sama sekali," kata Earl Wade. "Kereta yatim piatu akan
melintas beberapa hari lagi. Mungkin sebaiknya kau
mempertimbangkan untuk naik kereta itu."
Sebelum Luke sempat menjawab, Earl Wade telah berbalik dan
melangkah pergi. Luke memandang orang-orang yang mengerumuni mereka.
Beberapa tampak ketakutan. Beberapa tampak marah. Ia sadar Mr.
Hammond memandang mereka penuh simpati. Bagi Luke, pria itu
seakan-akan hendak bicara. Tapi lalu Mrs. Hammond muncul di
samping suaminya. Dia menarik lengan baju suaminya dan
mengajaknya pergi. Tidak satu pun dari mereka yang membela kami, Luke tersadar
dengan perasaan sedih. Apakah perasaan mereka semua sama seperti
Earl Wade" "Wade bersaudara hanya pecundang," kata Luke sambil
melepaskan pelukannya pada Leah. "Leah memenangkan lima puluh
dolar." Mr. Stone melangkah maju. "Kurasa, sebagai wasit
pertandingan ini, aku harus menyatakan pembatalan. Situasi
kemenangan Leah sangat meragukan.. Memberikan uang itu
kepadanya bukan tindakan yang benar." Ia melambaikan tangannya ke
arah kerumunan orang itu. "Ada yang tidak setuju dengan
pendapatku?" Orang-orang hanya membisu.
"Leah menang," kata Luke. "Tak peduli kau memberikan
uangnya atau tidak, dia menang."
"Anak muda, kurasa kau sudah cukup banyak bicara. Kau dan
keluargamu sebaiknya pulang. Kalau kau tahu apa yang baik bagimu,"
ujar Mr. Stone tegas. Luke merasakan kemarahannya memuncak. Ia merasakan
tangannya mengepal sambil menatap wajah Mr. Stone yang memerah.
"Ayo kita pergi, Luke," pinta Leah. "Kuambil Phantom dulu.
Kita bertemu di persimpangan."
Luke berbalik memunggungi Mr. Stone dan meraih tangan
Corey. "Ayo, Corey," gumamnya. Ia bergegas menyusuri jalan yang
mengarah ke luar kota. Corey terpaksa berlari-lari untuk mengikuti langkah Luke yang
panjang-panjang. "Orang-orang itu bodoh," gumam Luke kepada Corey. "Ayah
kita pandai menghadapi hewan. Dia menghabiskan waktu berjam-jam
untuk mengajari Leah. Leah punya cara tersendiri dalam menghadapi
semua makhluk. Itu bakat. Tidak ada jahatnya sama sekali."
Ia menunduk memandang Corey. Bocah kecil itu menengadah
dengan ekspresi serius. "Jangan khawatir, Corey. Mereka akan segera
melupakan kejadian ini satu atau dua hari lagi. Sementara ini kita
jangan jauh-jauh dari rumah. Sebaiknya begitu."
Mereka segera tiba di persimpangan di luar kota dan menunggu.
Beberapa saat kemudian, Luke melihat Leah membimbing Phantom.
Luke mengangkat Corey dan meletakkannya di pelana.
"Luke, apakah kita akan menumpang kereta yatim piatu itu?"
tanya Leah dengan suara gemetar.
Luke berhenti dan menatap Leah. "Jangan konyol. Kita punya
pertanian, jadi kita tidak benar-benar yatim piatu."
Tapi berapa lama kami bisa bertahan" Mr. Stone mengancam
akan mengusir kami dari rumah sewaktu-waktu sekarang, pikir Luke
penasaran. Apa yang akan kami lakukan" Bagaimana kami hidup"
Luke bergegas mengusir pikiran yang mengganggu itu dan
mengalihkan perhatiannya kepada Leah. Ia berhenti berjalan dan
menunduk memandang adiknya itu. Leah telah bersikap begitu berani
dan bangga. Tapi dia masih memerlukan bantuan dan perlindungan
Luke. Sama seperti Corey. Bukankah Luke sudah berjanji kepada ibu
bahwa ia akan menjaga kedua adiknya"
Ia harus menepati janjinya. Tidak peduli apa yang terjadi.
"Apa pun yang terjadi, kita akan selalu bersama, Leah. Kau,
aku, dan Corey. Tidak ada apa pun dan seorang pun yang bisa
memisahkan kita," janji Luke. "Aku tidak peduli apa kata orang,"
tambahnya. Ia bisa melihat bahwa Leah masih merasa khawatir. Mata
adiknya itu berkaca-kaca.
"Tapi apakah menurutmu aku memiliki sifat jahat?" tanyanya
pelan. "Apakah menurutmu kata-kata mereka benar?"
"Tentu saja tidak, Leah." Luke mengulurkan tangan dan
mengelus rambut adiknya. "Papa punya bakat, dan kau juga. Tidak
ada yang tidak wajar atau jahat dalam hal ini. Menurutku itu bahkan
bisa dibanggakan. Papa selalu bangga karena kau punya bakat yang
sama." Leah memegang tangan kakaknya. "Aku senang kau berjanji
begitu, Luke. Aku merasa jauh lebih baik. Dan aku senang kau tidak
menganggap kata-kata mereka benar."
Luke tersenyum kepada adiknya dan meremas tangannya.
"Sekalipun begitu, aku senang sekali lengan Thomas Wade
patah. Seandainya saja lehernya yang patah!"
Luke mendengar Leah tertawa. Lalu mendengar tawa pelan
Corey. Ia menatap lurus ke depan dan terus melangkah meskipun hawa
dingin merayapi tulang punggungnya.
*************
Fear Street Sagas 07 Pembalasan Children Of Fear di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Beberapa hari kemudian, Luke mengayunkan kapaknya sekuat
tenaga dan menghantamkannya ke sepotong balok, membelahnya
menjadi dua dengan rapi. Aku bisa melakukan kegiatan yang tidak
memerlukan kerja sama seekor hewan seperti ini, pikirnya muram. Ia
mengayunkan kapaknya berulang-ulang, dan mendengar potonganpotongan kayu berhamburan ke segala arah. Meskipun begitu Luke
hampir-hampir tidak menyadari tumpukan kayu yang terbentuk di
sekelilingnya. Ia hanya memikirkan ladang yang belum dibajak di
sekitarnya. Ia telah berusaha keras selama berhari-hari agar Henrietta mau
menarik bajaknya. Tapi keledai itu sangat lamban. Setiap malam, saat
Luke membaringkan diri di ranjang dengan tubuh kesakitan dan
kelelahan, wajah merah Mr. Stone yang gemuk memenuhi benaknya.
Ia menatap mata Mr. Stone yang sipit mirip babi dan merasakan
keputusasaan menekan perutnya.
Besok, atau besok lusa, Mr. Stone akan kembali. Hanya ada
beberapa keping dolar perak untuk membayarnya. Tidak cukup
banyak untuk mempertahankan pertaniannya.
Ke mana mereka akan pergi" Apa yang akan mereka lakukan"
Gagasan tentang kereta yatim piatu memuakkannya. Tapi
sekarang, ia memikirkannya kembali. Luke merasa gagasan itu
menawarkan harapan tipis untuk menyatukan keluarganya. Dalam
keadaan sekarang, ia takkan bisa menemukan pekerjaan yang bisa
menghasilkan cukup banyak uang untuk merawat Leah dan Corey.
Tapi selama perjalanan dengan kereta, mereka paling tidak
mendapat makanan dan tempat tinggal. Kereta itu berhenti di setiap
kota dan mereka akan mendapat kesempatan untuk menemukan
keluarga yang bersedia menampung mereka.
Keluarga yang mau menampung mereka semua. Luke harus
memenuhi janjinya kepada Leah dan Corey. Tidak peduli apa
risikonya. Luke terus-menerus membelah kayu. Ia tak mampu
memberitahu Leah dan Corey bahwa tak lama lagi mereka akan diusir
keluar dari rumah mereka oleh Mr. Stone. Bagaimana caranya
memberitahu mereka tentang kereta itu"
Tiba-tiba, suara derap kaki kuda membuyarkan lamunannya.
Luke menurunkan kapaknya dan menengadah melihat tetangganya,
Jack Baker, tengah melitasi lapangan terbuka. Pertanian Baker terletak
tepat di samping pertanian Fier, tapi Luke jarang sekali bertemu
dengan tetangganya. Pasti ada sesuatu yang penting hingga Jack berkuda secepat itu,
pikir Luke. Ia merasa perutnya mulas saat melangkah ke serambi
depan. Corey duduk di tangga, sambil menyatukan potongan-potongan
teka-teki dari kayu. Keningnya berkerut dalam. Luke berlutut di
samping adiknya dan membimbing tangannya, membantunya
mengatur potongan-potongan itu sehingga terletak sesuai urutannya.
Corey memiringkan kepalanya dan tersenyum.
Luke balas tersenyum. "Kau bisa mengatakan 'teka-teki'?"
Senyum Corey menghilang saat ia menggeleng keras kepala.
Luke mengacak-acak rambut hitamnya. "Tidak apa, Corey.
Suatu hari nanti kau akan bisa bicara lagi."
Luke bangkit berdiri saat Jack menarik kekang menghentikan
kudanya. Kuda itu mendengus dan mengangkat kedua kaki depannya.
"Halo, Jack. Ada yang bisa kubantu?" kata Luke, menyapa
tetangganya. "Aku datang untuk memperingatkanmu, Luke. Kalau di sini
belum terserang." "Memperingatkan apa?" Luke merasa jantungnya berdebardebar.
"Penyakit aneh yang menyebar pada ternak-ternak di sekitar
sini. Hewan-hewan itu menjadi sinting. Wade bersaudara harus
menembak enam ekor dari kawanan mereka kemarin. Kami harus
membunuh tiga ekor ternak kami hari ini."
"Sejauh ini kami tidak mendapat masalah," jawab Luke
perlahan-lahan. Ia melangkah turun dari serambi. "Apa gejalagejalanya?"
Jack turun dari kudanya. "Akan kutunjukkan apa yang harus
kauperhatikan." Ia mengajak Jack ke bagian belakang rumah. Luke mendengar
detak-detak langkah kaki kecil yang cepat. Ia melirik ke belakang dan
tersenyum kepada Corey yang berlari-lari mengejar mereka.
"Sapi-sapi kami yang tersisa hanya sedikit, kami membiarkan
mereka merumput di belakang sini," kata Luke kepada Jack. "Tidak
ada gunanya membawa mereka ke padang rumput."
Jack berjongkok. Ia meraih kepala seekor sapi. Sapi itu
mengguncangkan kepalanya dan melenguh. Jack mempererat
cengkeramannya agar sapi itu tidak menggerak-gerakkan kepalanya.
Ia memiringkan wajah hewan itu ke satu sisi dan lalu ke sisi yang lain.
"Apa yang kaucari?" tanya Luke.
Ia berjongkok untuk bisa melihat dengan lebih baik. Corey
berjongkok di sebelahnya, ekspresi wajahnya serius.
"Kalau terjangkit, ada cairan kental kehijauan yang menetes
dari hidung mereka. Lalu berubah merah. Saat itulah mereka mulai
sinting." "Aku belum pernah mendengar penyakit seperti itu," kata Luke.
Ia mengingat kembali berbagai penyakit hewan yang pernah dirawat
ayahnya. "Belum pernah ada yang mendengarnya," jawab Jack. "Orangorang di sekitar sini agak ketakutan. Tapi sapi-sapimu tampaknya
sehat." "Aku akan mengawasi mereka lebih ketat lagi. Kami tak bisa
kehilangan satu sapi pun."
Saat Jack berbalik hendak pergi, ia membeku. Matanya
membelalak ketakutan. Luke mengikuti arah tatapan Jack. Di dekat serambi belakang,
Leah tengah memberi potongan-potongan daging kepada seekor
serigala langsung dari tangannya.
Jack tersentak dan mundur beberapa langkah. "Serigala!"
serunya, sambil menunjuk ke arah Leah. "Ambil senapan! Angkat
bocah kecil itu..." "Tidak apa-apa," kata Luke dengan tenang. Ia meraih tangan
Jack untuk meyakinkannya. "Leah punya bakat berhubungan dengan
binatang." Kepala Jack tersentak naik-turun. "Tapi itu serigala. Musim
dingin yang lalu seekor serigala membunuhi beberapa ekor ternak
kami. Aku... aku... aku harus pergi," katanya.
Ia melesat melintasi halaman. Kurang dari semenit kemudian,
Luke mendengar derap kuda melesat pergi. Sapinya kembali
melenguh lalu mendengus. Leah mendekatinya dan memegang kening sapi itu. Lidah besar
hewan itu menjulur untuk menjilati bahu Leah.
"Mau apa jack kemari?" tanya Leah.
"Katanya sapi orang-orang jatuh sakit," kata Luke kepadanya.
Dengan lembut Leah memegang kepala sapi itu dan
mengangkatnya. Sapi itu tidak melenguh atau memprotes seperti saat
Jack yang memegangnya. "Dia tampak sehat," kata Leah.
Luke mendengar kelegaan dalam suara adiknya. Leah mencintai
hewan. Luke mengetahui bahwa Leah sedih saat ternak mereka sakit.
Terkadang ia mengira Leah benar-benar bisa merasakan perasaan
hewan-hewan itu. "Sudah kuduga mereka tampak baik-baik saja, tapi aku senang
kau mengatakannya," jawab Luke. "Kau lebih tahu tentang hewan
daripada diriku." "Dia akan baik-baik saja," kata Leah dengan percaya diri.
"Semua sapi-sapi kita akan baik-baik saja."
"Kuharap begitu. Kita tak bisa kehilangan satu pun. Aku tahu
pasti sulit bagi tetangga kita untuk melihat bahwa sapi mereka jatuh
sakit dan terpaksa menembaknya."
"Aku senang sapi-sapi mereka jatuh sakit semuanya."
"Kau tidak sungguh-sungguh," kata Luke.
"Ya, aku sungguh-sungguh," kata Leah.
"Mereka layak mendapatkannya. Mereka bersikap seakan-akan
aku ini monster!" ************* Hari Sabtu berikutnya, Luke mengajak Leah dan Corey ke
Stormy Ridge untuk membeli berbagai kebutuhan. Biasanya kota
sangat ramai di hari Sabtu karena semua petani dari sekitarnya datang
ke kota untuk membeli persediaan mingguan mereka.
Tapi hari ini Luke hanya melihat beberapa orang tengah
berjalan di trotoar kayunya. Seakan-akan seluruh kota tengah berduka
cita. Luke membuka pintu Toko Serbaada Hammond. Bel di atas
pintunya bergemerincing, terdengar bahkan lebih keras daripada
biasanya di telinga Luke karena toko tengah kosong. Langkah-langkah
kaki Luke menggema di lantai kayu keras, diikuti Leah dan Corey
dekat di belakangnya. Luke melihat Mr. Hammond keluar dari balik tirai yang menuju
ke ruang penyimpanan. "Selamat pagi, anak-anak Fier. Bagaimana kabar kalian semua
hari ini?" tanya Mr. Hammond khidmat.
"Kami baik-baik saja," jawab Luke. "Kota hari ini sepi sekali."
"Sudah sepanjang minggu seperti ini," kata Mr. Hammond.
"Orang-orang sedang berjuang untuk menyelamatkan sapi-sapi
mereka dari penyakit aneh ini. Tapi mereka tidak begitu beruntung.
Sudah berapa sapimu yang harus kautembak?"
"Kami belum menembak satu pun."
Mata Mr. Hammond membelalak. "Apa yang kauberikan pada
mereka kalau sakit?"
Luke mengangkat bahu. "Tidak satu pun sapi kami yang
terjangkit." Mr. Hammond menyipitkan mata memandang curiga.
"Menurutmu mengapa begitu?"
"Kurasa kami hanya beruntung," kata Luke sambil mengangkat
bahu. Tatapan Mr. Hammond beralih ke Leah. "Mungkin," jawabnya
pelan. "Atau mungkin lebih dari sekadar keberuntungan."
"Leah tidak bisa mengendalikan penyakit, Mr. Hammond," kata
Luke tegas. Mr. Hammond mengangguk. "Kurasa memang tidak. Semua
orang sedikit gugup akhir-akhir ini. Apa yang bisa kubantu?"
"Kami memerlukan gula dan tepung," kata Luke kepadanya.
"Dan beberapa kaleng makanan."
Luke meraih ke dalam sakunya dan mengeluarkan uang
terakhirnya"lima dolar. Ia meletakkan setengah dolar di meja. "Kami
memerlukan sebanyak yang bisa dibeli dengan uang ini."
Mr. Hammond mengangguk. "Kuambilkan sekotak."
Ia membungkuk di balik meja dan tubuhnya menegang. "Kalian
keluar dari sini," katanya pelan.
Luke membungkuk ke atas meja. Ia bisa melihat bahwa Mr.
Hammond telah mengangkat sebuah kotak. "Ada apa, Mr.
Hammond?" tanyanya. "Ular," bisik Mr. Hammond. "Aku belum pernah melihat yang
sebesar ini. Cari orang yang membawa senapan."
Sebelum Luke sempat menghentikannya, Leah berjalan
mengitari meja dan berlutut di samping Mr. Hammond. "Tidak apaapa, Mr. Hammond," bisiknya. "Dia tidak akan menyakitimu."
Leah mengulurkan lengannya. Dengan membeku ketakutan,
Luke mengawasi ular hijau besar itu merayapi lengan Leah dan terus
bergerak hingga melintang di bahunya. Hewan itu meliliti Leah, mata
hitamnya yang jahat mengawasi Leah, lidahnya menjulur keluarmasuk. Luke bergegas menarik Corey ke belakangnya, melindungi
adik lelakinya dengan tubuhnya sendiri. Ia menekan kengerian yang
dirasakannya saat menatap taring-taring tajam melengkung ular itu.
Leah berdiri, mengelus kepala ular itu. Hewan itu mendesis.
Leah menatap Luke. "Setelah kita pulang, akan kulepaskan dia di hutan."
Ia melangkah keluar dari balik meja. Corey mengulurkan
tangan dan menyentuh ekor ular itu. Luke menggigil. Ia tahu Leah
punya bakat, tapi ia tetap takut saat melihat ular hijau mengilat itu
melilit bahu Leah bak syal.
Mr. Hammond berdiri. Luke bisa melihat pria itu gemetar.
"Toko akan kututup," kata Mr. Hammond dengan suara
gemetar. "Tapi kami perlu persediaan makanan," kata Luke.
"Beli besok saja."
Luke mengambil uangnya dari meja dan mengantonginya.
"Ayo, Leah dan Corey."
Mereka meninggalkan toko. Luke mendengar Mr. Hammond
mengunci pintu di belakang mereka.
Saat mereka menyusuri jalan, Luke bisa merasakan orang-orang
menatap mereka. Ia melihat seorang wanita menutup tirainya saat
mereka melintas. Leah dan Corey tampaknya tidak menyadari
perhatian orang-orang yang memandangi ular yang terus bergerakgerak di tubuh Leah.
Luke tidak sabar ingin tiba di rumah agar Leah bisa melepaskan
ular itu. *********** Larut malam itu, Luke melompat bangkit di ranjang. Ia
bingung. Apa yang sudah membangunkannya"
Lalu ia mendengarnya. Suara seorang pria berteriak.
Meneriakkan kata-kata kasar penuh kemarahan.
Tidak, lebih dari satu orang. Banyak orang. Banyak suara.
Dan bersama suara-suara itu, suara derap pelan kaki-kaki kuda.
Jantung Luke berdetak liar di dalam dadanya.
Suara-suara itu semakin keras.
Semakin dekat. Luke bergegas turun dari ranjang, lalu mengenakan kemeja dan
celana terusannya. Siapa mereka" pikirnya penasaran. Apa yang mereka inginkan"
Luke berlari ke jendela dan memandang ke luar ke malam yang
gelap gulita. Ia mendengar ringkikan kuda-kuda dan teriakan-teriakan
kemarahan orang-orang. Lalu ia melihat mereka, mengitari rumah. Mendekat bagai
segerombolan serigala. Mulutnya tiba-tiba terasa kering, keningnya berdenyut-denyut.
Luke bergegas menuruni tangga dan melangkah ke ruang depan.
Dengan tangan gemetar ia meraih senapan dari atas gantungan
pakaian. Dengan panik, ia membuka pintu.
Ia melesat ke serambi dan memandang kegelapan malam. Ia
hanya melihat bayang-bayang yang berderap pergi menyusuri jalan
yang gelap. Dengan napas tercekat, ia terhuyung-huyung menuruni tangga
dan jatuh berlutut. Awan-awan gelap bergulung menjauhi bulan.
Cahaya bulan berkilauan menimpa genangan darah merah tua.
Di tengahnya, sebuah kepala sapi memelototi Luke dengan
mata hitamnya yang menuduh.
Bab 4 LUKE menjerit jijik dan bergegas bangkit berdiri. Sapi itu
menatapnya dengan mata yang kosong dan tidak bisa melihat lagi.
Lidahnya yang tebal dan berwarna merah keabu-abuan menjulur ke
luar dari mulutnya yang ternganga. Darah merah mengalir dari
lehernya yang terpenggal.
Luke berbalik hendak pergi, tapi ia melihat sesuatu. Saat
mengamatinya dengan lebih teliti, ia bisa melihat sepotong kertas
Fear Street Sagas 07 Pembalasan Children Of Fear di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
putih dijejalkan di mulut sapi itu. Surat!
Luke menghela napas dalam-dalam dan mengulurkan tangan
meraihnya. Jemarinya tergelincir pada lidah licin hewan itu. Setelah
mengambil kertasnya, ia beranjak bangkit berdiri dan mengacungkan
surat itu ke arah cahaya bulan.
Sapi-sapi kami mati"sapi-sapimu mati. Hentikan adikmu. Atau
kami yang akan menghentikannya.
Luke menatap surat itu dengan perasaan shock. Mereka mengira
Leah menyebabkan penyakit aneh yang menyerang sapi-sapi itu"
Mustahil! Ia menunduk memandang kepala sapinya. Peringatan! Mereka
sudah membunuh sapinya. Apakah mereka akan membunuh adiknya"
Luke bergegas kembali ke dalam rumah, sangat ingin
memastikan bahwa Leah baik-baik saja. Ia melihat adiknya itu di
serambi depan, gaun tidur putihnya yang panjang berkibar-kibar
tertiup angin, rambut hitamnya tidak dikepang dan tergerai liar di
sekitar bahunya. Luke berdiri diam sejenak dan menatap adiknya itu. Karena
tertimpa sinar bulan, gaun tidur adiknya yang pucat tampak bagai
memancarkan cahaya yang aneh. Dan ekspresinya menakutkan. Corey
berdiri di samping Leah, memeluk pinggang kakaknya. Mata hijau
Corey membelalak khawatir, bibir bawahnya bergetar. Leah memeluk
bahunya. "Jangan khawatir, Corey. Mereka sudah pergi sekarang." Luke
mendengar Leah berusaha menenangkan adiknya dengan nada yang
sama seperti yang digunakannya terhadap hewan-hewan.
"Ya, mereka sudah pergi," kata Luke meyakinkan kedua
adiknya. Ia melangkah ke serambi. "Kalau mereka kembali, aku akan
siap menghadapi mereka," katanya berjanji, sambil mengangkat
senapannya. "Apa itu" Surat?" tanya Leah.
"Bukan apa-apa..." Luke menjejalkan surat itu ke sakunya.
Tapi Leah bergegas menyambar kertas itu dari tangannya.
Rahangnya menegang ketika membacanya.
"Bagaimana mereka bisa mengira aku akan melakukan tindakan
seperti itu?" jeritnya. Ia meremas-remas kertas itu menjadi bola dan
membuangnya. Leah berbalik menghadapi Luke, matanya yang hitam semakin
gelap karena marah. "Bagaimana mereka bisa berpikir aku memiliki
kekuatan jahat" Aku benci mereka! Aku benci mereka semua!"
************* Dua hari kemudian, saat Luke perlahan-lahan membajak di
belakang keledainya yang keras kepala dan bajaknya yang berat, ia
melihat Mr. Stone. Pria bertampang masam itu melintasi ladang
menuju ke arahnya. Luke menghentikan keledainya dan menghapus keringat dari
keningnya dengan sapu-tangan.
Mr. Stone berhenti di samping Luke dan menanggalkan topinya.
"Luke, kau sudah kuperingatkan. Kau bisa membayar tanahmu hari ini
atau tidak?" Luke menelan ludah dengan susah payah. "Aku punya lima
dolar. Sampai panenan tiba, hanya itu yang kumiliki."
Mr. Stone berdeham dan menunduk memandang tanah. "Well,
kurasa aku bisa menerimanya sebagai itikad baik."
Luke meraih ke dalam sakunya dan mengeluarkan koin-koin
peraknya. Perlahan-lahan, ia meletakkannya di tangan Mr. Stone. Ia
merasa ada beban berat yang menekan dadanya. Ia tak tahu apa yang
akan dilakukannya tanpa uang sepeser pun. Ia memaksa diri untuk
tidak memikirkannya sekarang.
Ia mengawasi jemari Mr. Stone menggenggam koin-koin itu
dan menjejalkannya ke saku jasnya, dan menekan kemarahan yang
menggumpal dalam dirinya.
"Apakah semua ternakmu masih sehat?" tanya Mr. Stone.
"Ya," jawab Luke.
"Wade bersaudara tidak seberuntung itu," kata Mr. Stone
kepadanya. "Orang-orang penasaran mengapa mereka kehilangan
begitu banyak ternak sementara kau tidak kehilangan seekor pun."
"Aku tahu," sergah Luke, jengkel karena pengingatan itu.
"Mereka sudah mengunjungi kami. Mereka mengancam akan
menyakiti Leah." "Aku tak tahu apakah ada yang bisa menghentikan mereka
untuk melaksanakan ancaman itu kalau ada ternak mereka yang mati
lagi," kata Mr. Stone tenang.
"Leah tidak membunuh ternak mereka," Luke bersikeras.
"Bukan dia yang menyebabkan semua ini. Penduduk kota hanya
mencari kambing hitam untuk kesialan mereka."
Mr. Stone mengenakan kembali topinya. "Aku percaya padamu,
Luke. Sialnya, kurasa tak ada orang lain yang mempercayaimu."
************* Luke mengempaskan diri ke ranjang dengan sangat lelah. Setiap
otot di tubuhnya terasa sakit. Ia bahkan tidak menanggalkan
pakaiannya. Meskipun begitu, ia tidak bisa tidur. Setiap kali memejamkan
mata ia melihat kepala sapi yang berlumuran darah. Lalu kepala itu
perlahan-lahan memudar... dan berubah menjadi kepala Leah.
Kenapa mereka begitu mencurigai Leah" ia penasaran. Leah
ramah dan lembut terhadap hewan. Hewan-hewan mempercayainya.
Mereka mematuhinya. Apa salahnya dengan begitu"
Keributan yang tiba-tiba terdengar membuatnya duduk tegak.
Luke mendengar gemuruh kaki kuda menghunjam tanah.
Luke melemparkan selimutnya dan bergegas turun dari ranjang.
Jantungnya berdebar hebat dalam dadanya. Ia terhuyung-huyung ke
jendela dan memandang ke luar.
Napasnya tercekat di dada saat ia melihat mereka.
Para penunggang kuda membentuk lingkaran di halaman depan.
Luke mencoba menghitung jumlah mereka dengan cepat. Lima...
sepuluh... selusin atau lebih.
Bayang-bayang gelap menakutkan bergerak menembus malam.
Apa mau mereka" Apakah mereka datang untuk melaksanakan
ancaman itu" Untuk menyakiti Leah"
Luke mendengar lantai kayu berderik di belakangnya dan
berbalik. Ia melihat Corey dan Leah berdiri di dalam gelap. Mereka
menatapnya dengan ekspresi ketakutan.
"Mereka kembali, bukan?" tanya Leah, berbisik serak.
Luke mengangguk. "Ya."
Bersama-sama mereka memandang ke luar jendela. Kuda-kuda
itu telah berhenti berkeliaran. Para penunggangnya berdiri berjajar
panjang. "Lebih banyak hewan yang harus dibunuh hari ini!" teriak salah
seorang di antaranya. "Kami tahu adikmu yang menyebabkannya," seru Thomas
Wade, lengannya masih menggantung dalam kain gendongan yang
tampak seperti sehelai bendera putih. "Serahkan dia pada kami dan
kami tidak akan menyakitimu atau adik lelakimu."
Leah mendekati Luke. Luke bisa merasakan adiknya itu
gemetar hebat saat memeluk pinggangnya. Mata Corey membelalak
ketakutan. Ia mencengkeram tangan Luke erat-erat.
"Kami menyesal ternak kalian mati. Tapi itu tidak ada
hubungannya dengan Leah," teriak Luke. "Pergi, jangan mengganggu
kami!" "Semuanya perbuatan adikmu!" teriak Earl Wade. "Kami tahu
tentang serigala dan ularnya. Kami tahu ternak kami mati sementara
ternak kalian tidak apa-apa!"
"Serahkan adikmu!" teriak seseorang lainnya.
"Tidak!" teriak Luke. "Tidak akan!"
"Baiklah kalau begitu," seru Thomas Wade. "Kami sudah
memberimu kesempatan, Luke Fier."
Tiba-tiba beberapa obor berkobar. Sambil mengacungkan obor
itu tinggi-tinggi, para penunggang kuda itu mulai berderap mengitari
rumah. "Kalau keluarga Fier tidak mau meninggalkan rumah, mereka
akan terbakar hidup- hidup!"
Bab 5 "TIDAK!" teriak Luke saat seseorang melemparkan obor ke
rumah. Obor itu mendarat di serambi. Lidah api menari-nari di depan
jendela Luke. Leah menjerit. "Cepat! Kita harus keluar dari rumah!" teriak Luke sambil
mendorong Leah menjauhi jendela.
Ia mengangkat Corey dan mengikuti Leah keluar ke lorong.
Kaca-kaca berhamburan saat para penunggang kuda menjejalkan obor
melalui jendela. Di kejauhan, terdengar letusan senapan.
Asap mengepul dari tangga. Leah terhuyung-huyung. Luke
mendorongnya. "Ayo, Leah! Tidak ada jalan lain!"
Leah menuruni tangga dengan tertatih-tatih, Luke mengikuti
dekat di belakangnya. Leah terjatuh, dan Luke seketika menyambar
lengannya. Lengan Corey merangkul leher Luke erat-erat.
Luke terengah-engah menghela napas. Asap panas mengisi
paru-parunya dan menyengat matanya. Ia terbatuk-batuk dan
terhuyung-huyung menuruni tangga menembus kepulan asap hitam. Ia
merasa paru-parunya akan meledak. Luke mencoba mengendurkan
pelukan Corey, tapi Corey bertahan. Bocah kecil itu menekankan
kepalanya ke bahu Luke sementara ia terbatuk-batuk dan tercekik
karena asap. Kami akan mati, pikir Luke. Kami semua akan mati. Aku tak
bisa membiarkannya terjadi. Aku sudah berjanji akan menjaga
mereka. Kami harus berhasil mengatasi semua ini.
Mereka tiba di lantai bawah. Lidah-lidah api menggeliat-geliat
dan berputar, mencakari dinding. Dahi Luke berdenyut-denyut. Ia
merasakan panas mengepungnya.
Mereka harus keluar. Sekarang.
Ia berusaha memandang ke balik asap. Mereka bisa ke mana"
Dinding-dinding api ada di mana-mana.
"Depan!" jerit Luke. "Kita bisa keluar melalui ruang depan!"
Sementara lidah api menjilat-jilat kaki mereka, mereka bergegas
menyusuri lorong dan memasuki ruang depan. Lidah-lidah api
melompat-lompat dari dinding. Luke menghindarinya. Lidah api
menyengat wajahnya. Asap yang tajam membakar matanya.
Aku harus mengeluarkan Leah dan Corey, ulang Luke terusmenerus. Aku harus mengeluarkan mereka.
Leah berhenti berlari. Ia menatap api yang membakar ruangan
itu, seterang matahari siang hari. Air mata mengalir di wajahnya. "Tak
ada jalan keluar!" Jantung Luke berdebar kencang dalam dadanya. Ia memandang
sekelilingnya. Tirai api telah menghalangi ruangan di belakang
mereka. Lidah-lidah api yang lebih kecil melompat-lompat di pintu
depan. Ia mendengar langit-langit berderak menakutkan.
Luke tahu api tak butuh waktu lama untuk melahap habis rumah
kecil itu. Sesaat lagi rumah ini akan runtuh seperti rumah kartu,
menghancurkan mereka. Membakar mereka hingga menjadi arang.
Luke memindahkan Corey ke sampingnya. "Pegang bajuku,
Leah. Kita akan menerobos pintu," teriaknya.
Ia merasa Leah mencengkeram bajunya dengan dua tangan. Ia
mendengar Leah terisak-isak tanpa kendali. Ia meraih Corey dan
bergegas menuju ke pintu, sambil memiringkan bahunya, dan
mengempaskan diri ke kayu yang terbakar itu.
Pintunya roboh. Luke jatuh keluar, membawa Corey dalam pelukannya, dan
Leah berpegangan di punggungnya. Terengah-engah dan tercekik,
mereka terhuyung-huyung melangkah ke halaman depan. Luke
meletakkan Corey dan berbalik untuk memeriksa Leah.
Saat itu ia menyadari bahwa bahaya belum benar-benar berlalu.
Orang-orang berkuda telah mengepung Luke, Leah, dan Corey.
"Kalian seharusnya tetap berada di dalam! Kematian akan lebih
cepat datang dengan begitu," jerit Earl Wade. "Sekarang kalian akan
mati perlahan-lahan."
"Pengecut!" teriak Luke. "Kami tidak melakukan kesalahan apa
pun. Leah tidak bersalah!"
Kepungan para penunggang kuda itu semakin rapat. Luke
merasakan embusan napas panas kuda-kuda itu di wajahnya. Kudakuda itu berjajar berimpitan, begitu rapat hingga saling menempel.
Luke bisa mencium bau keringat mereka, bau tajam napas mereka
yang menusuk. Tidak ada jalan untuk meloloskan diri, pikir Luke. Para
penunggang kuda ini akan memastikan bahwa kuda-kuda mereka akan
menginjak-injak kami kalau mencoba untuk merangkak melewati
mereka. Luke merasa sesuatu yang kasar menyentuh pipinya. Ia
menyentakkan kepalanya dan melihat Earl Wade mengacungkan jerat
kulit di atas kepalanya. "Kami sudah membunuh semua ternakmu," kata Earl.
"Sekarang saatnya menggantung dirimu! Menggantung kalian
semua!" Tiba-tiba, sepotong atap yang menyala-nyala jatuh ke tanah.
Kuda-kuda itu mengangkat kaki depan mereka, mata mereka,
mereka meringkik ngeri. Luke menyambar Corey. Kuda-kuda itu meringkik ketakutan
sambil berbalik dan menghambur ke dalam kegelapan. Para
penunggang mereka berpegangan pada pelana masing-masing demi
keselamatan mereka, beberapa malah telah menggantung di sisi kuda.
Earl dan Thomas Wade yang pertama kali menghilang, hampirhampir tidak mampu mengendalikan kuda mereka. Dalam sekejap
yang lainnya menyusul. Halaman tiba-tiba sunyi sepi, bermandikan cahaya kekuningan
dari rumah yang terbakar.
"Sayang sekali," desah Leah. "Kuda-kuda sangat takut terhadap
api, kau tahu." "Ya, benar," jawab Luke pelan. Ia hampir tak percaya bahwa
mereka selamat. Tapi itulah kenyataannya. Akhirnya, keberuntungan
telah berpihak pada mereka. Paling tidak untuk saat ini.
Luke berbalik dan menatap rumah yang terbakar. Leah dan
Corey meringkuk di sampingnya. Ia memeluk bahu mereka sambil
menatap dalam kebisuan. Api meraung-raung. Lidah-lidah kemerahan menjilat-jilat
atapnya, dengan rakus melahap rumah itu.
"Mereka akan kembali. Kita tidak aman di sini," kata Luke
lelah. Dan aku tak tahu harus berbuat apa untuk menghadapinya, pikir
Luke. Aku tidak tahu bagaimana caranya menjaga Leah dan Corey
sekarang. Kami tidak punya makanan. Tidak punya uang. Aku bahkan
tidak membawa senapan. "Kita mau ke mana?" tanya Leah pelan.
Luke menghela napas panjang. "Malam ini kita akan mencari
tempat bersembunyi dalam hutan. Besok aku akan menyusun
rencana." Corey menarik-narik celana panjang Luke. Luke menunduk
memandang adiknya. Jelaga hitam menodai wajahnya yang kecil dan
bulat. Mata hijaunya tampak besar sekali. Bahunya yang mungil
Fear Street Sagas 07 Pembalasan Children Of Fear di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
merosot ke depan. "Aku juga kelelahan," kata Luke sambil mengangkat Corey ke
dalam pelukannya. "Tapi kita tidak bisa tinggal di sini."
Ia melangkah ke hutan yang membatasi lahan mereka.
"Leah, pegang bajuku agar kita tidak terpisah," kata Luke. Ia
melangkah masuk ke dalam hutan. Kanopi dedaunan yang tebal
menghalangi cahaya bulan.
Kaki Leah tersandung dan ia jatuh menimpa Luke. Luke
terhuyung-huyung maju sebelum akhirnya mampu menguasai
keseimbangannya. Corey mempererat cengkeramannya.
"Maaf," bisik Leah. "Aku tidak bisa melihat."
"Tidak apa-apa. Melangkahlah perlahan-lahan," kata Luke.
"Luke, di sini gelap sekali," kata Leah dengan suara pelan dan
gemetar. Mereka mendengar kepakan sayap seekor burung hantu saat
menukik di pepohonan. Cicitan melengking seekor tikus segera
terdengar. Lalu sunyi. Luke menatap ke dalam kegelapan. Rasanya seperti semua
makhluk tengah menanti untuk melihat siapa yang menjadi korban
berikutnya. Luke memindahkan Corey ke lengan satunya. Ia melangkah
maju. Ranting-ranting kering berpatahan terinjak kakinya.
Luke mendengar sesuatu menyelinap mencari perlindungan.
Tikus yang lain, pikirnya. Atau bajing. Tidak berbahaya. Ia
mencoba meyakinkan diri bahwa semua suara itu tidak berbahaya.
"Ayo," katanya kepada kedua adiknya dengan suara pelan.
Udara di sekitar mereka berubah dingin dan lembap saat mereka
melangkah semakin jauh ke dalam hutan. Sesemakan yang lebat
meredam suara langkah kaki mereka.
Luke mendengar Leah tersentak singkat dan pernapasan Corey
yang stabil... dan sesuatu yang lain. Ia mengira telah mendengar suara
lain. Ia berhenti. "Ada apa?" tanya Leah.
"Diamlah!" kata Luke pelan. "Kurasa aku mendengar sesuatu."
"Apa?" tanya Leah. "Apa yang kaudengar?"
"Kalian berdua, tahan napas kalian."
Luke berjuang keras untuk mendengarkan. Ia tidak mendengar
apa pun. Ia mengembuskan napasnya.
"Tidak apa-apa. Aku pasti sudah mendengar suara napasku
sendiri." Ia mendengar Leah mengembuskan napas lega dari mulutnya.
"Syukurlah!" "Ikuti aku. Kurasa aku melihat tempat perhentian di sebelah
sana," kata Luke. Ia membimbing mereka ke tempat berkas-berkas cahaya bulan
menerobos sela-sela dedaunan"tidak banyak, tapi cukup untuk bisa
melihat sebatang pohon besar berlubang yang telah runtuh.
"Ini bisa menjadi tempat perlindungan yang bagus," kata Luke
sambil meletakkan Corey di tanah.
Corey merangkak masuk. Lalu diikuti Leah.
"Tempat ini berbau busuk," katanya.
"Hanya bau kayu busuk," kata Luke tidak sabar. "Takkan
melukaimu." Sambil membungkuk, Luke masuk ke lubang pohon itu. Ia
harus melipat kakinya yang panjang hingga menempel ke dadanya.
Setiap otot di tubuhnya terasa sakit.
Kita tak bisa kembali ke pertanian, pikirnya mengambil
keputusan. Aku harus menemukan cara untuk menjaga keselamatan
Corey dan Leah. Besok, besok aku akan menyusun rencana.
Angin mengembus dedaunan di atas kepala mereka. Luke
merasa angin itu seolah tengah membisikkan rahasia. Cabang-cabang
saling beradu. Aku harus berjaga-jaga, pikir Luke tersadar. Tapi aku
kelelahan. Begitu kelelahan. Kelopak matanya terasa semakin berat.
Agar lebih nyaman, ia menggeser tubuhnya sedikit. Ia menatap
pepohonan berselimut kegelapan di dekatnya.
Dua mata kuning yang bercahaya tengah menatap dirinya.
Bab 6 LUKE menahan jerit ketakutannya.
Serigala" Beruang" Singa gunung" Kemungkinan-kemungkinan
yang mengerikan melintas dalam benaknya. Ia tak punya senapan.
Tidak ada perlindungan. Mungkin makhluk itu tidak melihatku, pikir Luke panik.
Mungkin dia tidak mengetahui kehadiran kami di sini.
Tapi lalu mata itu bertambah cerah... dan mulai bergerak...
perlahan-lahan menerobos kegelapan... perlahan-lahan menuju ke
batang kayu berlubang itu.
Jantung Luke berdebar kencang di dadanya. Mulutnya
mengering. Ia beringsut mundur.
Kembalinya Sang Pendekar Rajawali 40 Pendekar Mabuk 046 Kapak Setan Kubur Dendam Empu Bharada 24
EBOOK INI TERSELENGGARA BERKAT DONASI BUKU OLEH NIKEN PROLOG Gudang Bawah Tanah yang Gelap
DINGIN. Jarum-jarum es seolah menusuk hingga ke tulang.
Pemuda itu meringkuk dekat satu-satunya lilin sambil
menggigil kedinginan. Ia menjulurkan tangannya yang membeku ke
api oranye yang berkelap-kelip. Lalu mendorong jemarinya lebih
dekat lagi ke api. Ia mencium bau kulit ujung jemarinya terbakar. Tapi tidak
merasakan apa pun. Sama sekali mati rasa. Kematian yang beku semakin mendekat, pikirnya.
Dan cepat. Terlalu cepat.
Ia menggigil. Api yang bergoyang-goyang itu memancarkan
cahaya remang-remang. Dan di luar cahaya kekuningan yang pucat,
kegelapan bergeser dan melingkar-lingkar.
Di dalam kegelapan, mereka menanti.
Aku tahu mereka menunggu apinya padam. Lalu mereka akan
datang menangkapku. Aku tak bisa melarikan diri. Ruang bawah
tanah yang lembap ini akan menjadi peti matiku.
Matanya yang kelelahan dan panas terpejam. Ia menunduk
lemah, dagunya menyentuh dada.
Di balik dinding-dinding batu, ia mendengar badai tengah
mengamuk. Hujan sedingin es berhamburan menghantam jendela
yang kecil; angin yang membekukan mengguncang kacanya.
Ia mengangkat kepalanya dan menatap jendela. Kalau saja aku
kembali menjadi bocah kecil lagi... kalau saja bahuku tidak selebar
ini... kakiku tidak sepanjang ini... aku bisa memecahkan kaca itu dan
menyelinap keluar dari jendela.
Tapi tak ada jalan keluar bagiku sekarang. Jendelanya terlalu
kecil. Dan pintu kayu eknya terlalu tebal. Aku takkan bisa
membobolnya. Luke kembali menatap lilinnya dan mendengarkan air menetes
sepanjang dinding-dinding batu. Irama mantap yang
menggumamkankan kata-kata....
Tidak ada jalan keluar. Tidak ada jalan keluar.
Kilat menyambar. Matanya membuka. Ia melihat mereka sekilas.
Tubuh mereka tebal dan bersisik, melingkar-lingkar dan
merayap melintasi lantai batu. Napasnya tertahan di tenggorokan saat
ia mendengar desisan pelan. Mata mereka yang hitam tidak bernyawa
terpaku pada dirinya... menunggu... menunggu apinya padam.
Kegelapan kembali meliputinya. Detak jantungnya meraungraung di telinganya. Apinya bergoyang-goyang. Mengecil.
"Belum!" benaknya menjerit. "Kau tidak boleh padam sekarang.
Kau masih bisa menyala hingga berjam-jam lagi. Berjam-jam!"
Apinya bergoyang-goyang dan nyaris padam. Ia tersentak.
Lalu api kuning itu kembali berkobar, menyala kecil. Ia
mengawasi tetes-tetes besar lilin cair menuruni sisi-sisi lilin yang tebal
itu dan menggenang di lantai yang dingin. Seperti butir-butir pasir di
dalam jam pasir. Setiap tetes menandai satu saat lagi dalam hidupnya,
lenyap. Seseorang akan menemukan diriku suatu hari nanti, pikirnya.
Mereka akan menemukan tulang belulangku yang telanjang dan putih
bertebaran di lantai yang kotor ini. Aku ingin mereka tahu bagaimana
caraku mati. Aku ingin mereka tahu alasan kematianku!
Ia menangkupkan tangan di sekeliling api yang menyala dan
mengangkat lilinnya dari lantai. Ia mundur selangkah.
Desisan keras terdengar dari bayang-bayang. Ia mendengar
suara halus"sisik-sisik dingin bergeser di atas batu.
Ia menahan napas dan kembali mundur selangkah dengan hatihati.
Ia kembali mendengar suara bergeser. Lebih cepat dari
sebelumnya. Lalu suara gemerencing, seakan-akan ada bayi yang
tengah bermain-main dengan mainan kayu di sudut.
Tapi ia tahu tidak ada bayi di gudang bawah tanah ini.
Tidak ada mainan kayu. Hanya kematian.
Desisan lain menggema di sekelilingnya. Ia menoleh dan
memandang ke dalam kegelapan yang pekat itu. Ia tak bisa melihat
mereka. Mereka bisa berada di mana-mana.
Lututnya terasa lemas saat ia kembali melangkah mundur
perlahan-lahan. Wus. Hss. Krincing. Ia menelan ludah dengan susah payah. Tangannya gemetar dan
lilinnya nyaris padam. Ia menarik napas dalam-dalam.
Melangkah mundur. Hss. Wus. Krincing. Ia kembali mundur selangkah, lalu selangkah lagi, hingga
akhirnya ia merasakan dinding batu yang lembap menempel di
bahunya. Ia menunggu. Desisannya semakin keras. Semakin keras. Hingga udara
bergetar karenanya. Bergetar menembus dirinya. Lalu melunak,
memudar menjadi bisikan samar.
Perlahan-lahan ia mengembuskan napas.
Ia sadar mereka takkan datang selama lilinnya masih menyala.
Lilinnya tampak lebih panjang beberapa sentimeter dari jari
telunjuknya. Kalau ia menanganinya dengan hati-hati dan apinya tidak
padam, ia merasa lilin itu masih akan menyala beberapa jam lagi.
Mungkin cukup lama. Cukup waktu untuk menceritakan
kisahku. Ia berjongkok dan meletakkan lilinnya di lantai. Apinya menarinari. Bayang-bayangnya mengambang di dinding.
Apa yang bisa kugunakan" pikirnya penasaran. Apa yang bisa
kugunakan untuk menceritakan kisahku"
Ia mencari-cari tidak jauh di sekelilingnya, di lantai dan di
dinding-dinding. Ia melihat sebatang paku di lantai dan meraihnya.
Paku itu telah bengkok dan berkarat.
Ia mengertakkan gigi dan memejamkan mata rapat-rapat. Lalu
menusukkan paku itu ke telapak tangannya. Ia tersentak kesakitan dan
menunduk menatap darah yang menggenang di tangannya. Ia
mengawasi saat tetes-tetes merahnya membasahi lantai.
Begitu hangat, pikirnya. Paling tidak jemariku akan merasa
hangat. Cahaya api lilin terpantul di darahnya yang merah segar. Ia
mencelupkan jemarinya ke dalam genangan mengilat itu,
membiarkannya sejenak agar agak menggumpal.
Lalu ia bangkit berdiri. Ia mengolesi paku itu dengan darahnya
dan mulai menulisi dinding batu:
Kalau saja aku mengetahui kengerian yang timbul akibat
kebisuanku.... Bab 1 Pennsylvania Barat 1876 LUKE FIER melecutkan kekang yang berat itu pada punggung
keledainya. "Maju," perintahnya, sambil mendorong bajak sekeraskerasnya. Ia merasakan kemarahannya memuncak saat keledai itu
perlahan-lahan memutar kepalanya yang besar dan balas menatapnya.
"Ayo! Tarik!" desak Luke sambil melecutkan kekangnya sekali
lagi. Keledai itu maju selangkah dengan lambat. Lalu selangkah lagi.
Luke membajak di belakang keledai yang lamban itu.
Lengannya terasa sakit karena mendorong bajak. Ia merasa matahari
sudah tinggi di atas bahunya dan tahu bahwa pagi hampir berlalu. Ia
telah bekerja sejak matahari terbit dan usahanya baru menghasilkan
dua deretan panjang. Kita akan kehilangan pertanian ini kalau begini, pikirnya lelah.
Aku dilahirkan di pertanian ini. Begitu pula ayahku dan ayahnya.
Aku sudah tinggal di sini lama enam belas tahun. Aku tak ingin
tinggal di tempat lain. Ia merasakan keringat mengalir menuruni punggungnya dan
mengusapkan lengan bajunya ke keringat di atas alisnya. Ia
membayangkan air atau limun dingin yang menyegarkan mengalir
turun di tenggorokannya. Keledainya berhenti, menolak untuk menarik lebih jauh. Luke
menunduk. Mungkin sebaiknya kutarik sendiri bajak itu.
Ia mencabut topi cokelat lusuhnya dari kepala dan
membuangnya ke tanah. Angin hangat melecut rambut hitam di
wajahnya. Ia berdiri tegak dan menekankan tinju ke bagian bawah
punggungnya. Rasanya sangat sakit. Semakin hari semakin buruk. Ia
menegakkan tubuh dan mendesah.
"Pa, bisakah kau bicara dengan Henrietta..."
Kata-kata itu tercekat di tenggorokannya. Ia masih belum
percaya bahwa ayahnya telah meninggal.
"Kau selalu bisa membuat Henrietta patuh," bisik Luke dengan
suara serak. "Aku tidak memiliki keahlianmu. Atau bakatmu."
Luke memandang rumah. Tatapannya jatuh ke batu putih besar
yang berdiri di bawah pohon ek yang menjulang. Marmer halus yang
bertuliskan nama ibu dan ayahnya. Ia menggigil.
"Bagaimana kalian tega meninggalkan aku seorang diri?"
tanyanya dengan suara serak. "Teganya kalian?"
Ia memejamkan mata untuk mengatasi rasa sakit dan
kepahitannya. Aku tahu aku tidak sendirian. Ada Corey dan Leah. Dan
pertanian ini. Tapi kalian seharusnya ada di sini untuk merawat semuanya.
Untuk merawatku. Luke masih bisa melihat dengan jelas sore hari saat orangtuanya
meninggal. Awan kelabu menumpuk di langit. Angin dingin
membawa aroma hujan. Luke berdiri di serambi depan rumah papan berlantai dua yang
mereka huni. Ia mengawasi ayahnya membantu ibunya naik ke kereta.
Mereka akan menyaksikan Pameran Seratus Tahunan di Philadelphia.
Ibunya meluruskan pita di topinya. Ia memandang Luke.
"Berjanjilah kau akan menjaga adik-adikmu baik-baik, Luke,"
katanya. Luke mengangguk. Lalu ibunya berpaling kepada Leah dan Corey. "Dan kalian
berdua harus mematuhi kakak kalian. Atau tidak akan ada hadiah saat
kami pulang nanti. Kalian mengerti?"
Leah mengangguk muram ke arah ibunya, Corey tidak
mengatakan apa-apa. Ia mengerutkan dahi dan memuntir-muntir
mainan kain dalam tinjunya yang kecil dan lunak. "Boleh kami ikut,
Mama. Please?" tanyanya sekali lagi dengan suara yang masih cedal.
"Corey, kau tahu kau harus telap di sini bersama Luke dan
Leah," kala ibunya mengingatkan. "Jadilah anak yang baik dan kami
akan membawakan hadiah untuk kalian masing-masing," janji ibu
mereka. "Aku tidak mau hadiah," rengek Leah. "Aku mau ikut juga."
"Diam," kata Luke. Ia memelototi adiknya. Ia berharap
orangtuanya tidak mendengar keluhan Leah. Mereka sudah cukup
banyak mendengar keluhannya.
Tadi pagi, Corey menangis dan menarik-narik rok ibunya. Leah
tidak meneteskan air mata. Tapi dia cemberut selama berhari-hari.
Keduanya tidak senang karena orangtua mereka meninggalkan
mereka. Leah berusia tiga belas tahun. Corey masih enam tahun.
Mereka meringkuk saling merapat di tangga serambi, mengingatkan
Luke akan kembar siam yang dilihatnya di sirkus setahun yang lalu.
Mereka berdua berambut hitam. Mata hijau mereka berkilauan
karena air mata marah. "Mereka akan melakukan tugasnya dan tidur lebih awal setiap
malam," janji Luke. Luke melirik dan melihat Leah menjulurkan lidah kepadanya. Ia
tertawa. Aku yang akan bertanggung jawab, pikirnya sambil mengawasi
ayahnya naik ke kursi kusir dan melepaskan rem kereta. Aku bisa
menjaga mereka dan pertanian ini. Orangtuaku akan terkejut saat
mereka pulang nanti dan mendapati betapa aku bisa menjalankan
segala sesuatu dengan baik di sini.
"Jaga diri kalian, Anak-anak," seru ayah Luke. "Kami akan
kembali hari Sabtu besok."
Luke mengagumi betapa mudah ayahnya melecutkan kekang
dan menggerakkan keempat ekor kuda itu.
Ibu Luke berpaling di kursinya dan melambaikan tangan.
Luke balas melambai. "Lambaikan tangan kalian," kata Luke
kepada adik-adiknya. "Tidak," kata Leah, sambil bersedekap. Bibirnya menjulur maju
karena cemberut. "Tidak," kata Corey, sambil meniru sikap kakaknya.
"Kami ingin ikut mereka," rengek Leah.
Luke terlonjak mendengar suara keras entakan kaki Leah di
tangga serambi. Corey melompat dan meniru kakaknya. Luke memarahinya.
Tiba-tiba, kilat membelah langit. Guntur menggelegar dan Luke
merasa tanah di bawah kakinya terguncang. Embusan angin kencang
membuatnya menggigil kedinginan.
Lalu Luke mendengar ringkik histeris kuda-kuda penarik kereta.
Ia menatap ngeri saat kuda-kuda itu mengangkat kaki depan mereka
dan mencakari udara. Lalu berderap liar.
Ia melihat ayahnya berusaha mati-matian untuk mengendalikan
kekangnya dan mendengarnya berseru-seru untuk menenangkan
hewan-hewan yang ketakutan itu.
Luke melesat turun dari serambi dan mengejar kereta itu.
"Berhenti!" teriaknya. "Berhenti!" Tapi suaranya tertiup angin,
tidak cukup kuat untuk menghentikan kuda-kuda yang mengamuk itu.
Kuda-kuda itu melesat ke arah sebuah jurang yang dalam,
menyeret kereta di belakang mereka. Luke melihat ayahnya terlontar
ke bagian belakang kereta, kepalanya menghantam sebuah tong.
Ibunya, sambil berpegangan pada sisi kereta, memandang ke
arahnya. Angin telah melepaskan topinya dan rambutnya melecutlecut liar di sekitar kepalanya.
Kuda-kuda itu mendengus murka, bibir mereka tertarik ke
belakang, menempel rapat pada gigi-gigi mereka, dan berderap liar
sepanjang tepi jurang. Keretanya terombang-ambing di sana....
Lalu terguling. Bab 2 LUKE menggigil mengingatnya. Sepuluh bulan kemudian ia
masih tidak mengerti mengapa kuda-kuda itu tiba-tiba menjadi liar.
Apa karena kilat" Guntur" Pikirnya, penasaran untuk yang
kesekian ratus kalinya. Ia tidak pernah tahu ayahnya bisa kehilangan
kendali atas hewan apa pun. Tidak peduli hewan apa pun. Ayahnya
memiliki bakat menghadapi hewan. Bakat yang diwariskan kepada
Leah. Kalau saja aku juga memiliki bakat itu. Mungkin dengan begitu
kami punya kesempatan. Mungkin dengan begitu aku paling tidak bisa
menyuruh keledai tolol ini untuk menarik bajak.
Luke menatap ladang yang belum dibajak di sekitarnya.
Fear Street Sagas 07 Pembalasan Children Of Fear di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Keraguan dan kekhawatiran menari-nari dalam benaknya.
Ia sadar ia tak tahu harus berbuat apa. Aku tak tahu bagaimana
mempertahankan pertanian ini.
Ia teringat pada tamu yang datang kemarin"Mr. Stone, direktur
bank. Luke merasakan kemarahannya bercampur ketakutan. Mr.
Stone telah mengancam untuk menyita pertaniannya kalau Luke tidak
segera membayar cicilan tanah. Apa yang akan terjadi pada Leah dan
Corey kalau begitu" Aku enam belas tahun, cukup tua untuk menjaga diri, tapi Leah
dan Corey terlalu muda untuk ditinggalkan begitu saja. Aku harus
kuat demi mereka. Siapa yang bersedia merawat mereka kalau bukan
aku" Dengan tekad bulat, Luke melecutkan kekangnya. "Ayo, kau
keledai keras kepala. Kita tetap di ladang ini siang-malam kalau
perlu." Keledai itu mengalihkan pandangannya dan maju selangkah.
"Bagus," kata Luke sementara tali bajak menancap ke bahunya.
Ia mengeratkan cengkeramannya pada tangkai bajak dan mendorong
bajaknya, membalik tanah hitam. Setiap otot di tubuhnya berjuang
keras seiring dengan usahanya.
Kita takkan kehilangan pertanian ini, Luke bersumpah dalam
hati. Akan kulakukan apa pun yang harus kulakukan untuk tetap
berada di sini. Ia berbalik saat mendengar suara seseorang memanggil
namanya. Leah berlari melintasi ladang, sambil menyeret Corey.
Rambut hitamnya melambai-lambai liar, terurai di bahunya.
"Luke!" jeritnya.
Jantung Luke berdetak menyakitkan dalam dadanya. Sesuatu
terjadi, pikirnya. Ada kejadian mengerikan lain yang terjadi.
Ia berlari sekuat tenaga mendekati adik-adiknya. "Ada apa?"
teriaknya. "Ada masalah apa?"
Leah berhenti dan tertawa. "Jangan khawatir, Luke. Semuanya
baik-baik saja." Luke berhenti, terengah-engah. "Kenapa kau berteriak-teriak?"
Mata hijau Leah berkilauan. "Kau sudah berjanji akan mengajak
kami ke kota untuk mengikuti Perayaan Seratus Tahunan. Kau lupa?"
Perayaan Seratus Tahunan. Luke sudah melupakannya sama
sekali. Stormy Ridge menyelenggarakan perayaan seratus tahunannya
sendiri. Tentu saja perayaan ini tidak bisa dibandingkan dengan acara
yang hendak dihadiri orangtua mereka di Philadelphia, tapi pasti
sangat menyenangkan. "Leah, maafkan aku, tapi aku tak bisa mengajak kalian ke kota
hari ini. Ada banyak pekerjaan yang harus kulakukan." Ia melambai
ke arah ladang yang belum dibajak.
Mata hijau Leah berubah gelap. Mulutnya mengernyit. "Tapi
kau sudah berjanji!"EBUKULAWAS.BLOGSPOT.COM
"Aku tahu aku sudah berjanji, tapi..."
Luke merasa ada yang menarik-narik celana panjangnya dengan
keras. Ia menunduk memandang adik lelakinya. Air mata
menggenangi mata hijau Corey.
Luke berlutut di tanah kecokelatan. Mata hijau Corey dan Leah
mirip dengan mata ayah mereka, warna hijau aneh yang mampu
tampil cerah di satu saat dan berubah gelap detik berikutnya.
"Kau mau ke kota, Corey?"
Corey mengangguk, kebisuannya yang menakutkan membuat
bulu kuduk Luke meremang. Adiknya itu tak pernah berbicara lagi
sejak hari kematian orangtua mereka.
Luke menyapu rambut hitam dari kening Corey. Rambut itu
jatuh ke tempatnya kembali seolah punya keinginan sendiri.
Kenapa kau tak mau bicara" pikir Luke penasaran. Kenapa kau
tak bisa mengatakan "ya" yang sederhana"
Luke menjentikkan seekor kumbang dari kaki Corey yang
telanjang. Celana terusan yang dikenakan Corey mulai kekecilan.
Luke melirik ke arah Leah. Gaun calico biru yang dikenakan adiknya
itu telah lusuh dan pudar. Sebelum panen, mereka tak bisa memiliki
baju baru. "Aku tahu kalian ingin pergi, tapi kalau aku tidak membajak
ladangnya, kita tidak akan bisa menanam. Tanpa tanaman, kita akan
kehilangan pertaniannya," kata Luke menjelaskan.
"Tapi, Luke." Leah menjatuhkan diri di sampingnya. Ia
mencengkeram lengan Luke kuat-kuat, mata hijaunya berkilau penuh
semangat. "Ada pacuan kuda. Pemenangnya akan mendapat lima
puluh dolar! Aku tahu aku bisa menang!"
"Lima puluh dolar?" ulang Luke. Dengan lima puluh dolar jelas
mereka bisa bertahan hingga panen tiba. Mungkinkah Leah bisa
memenangkannya untuk mereka"
Luke mengesampingkan gagasan itu. Ia merasa bodoh dan
kekanak-kanakan karena sesaat berpikir bahwa Leah mampu
memenangkan uang sebanyak itu.
"Leah, aku tahu Pa sudah mengajarimu berbagai hal mengenai
kuda," katanya. "Tapi pasti banyak orang yang bersaing untuk uang
sebanyak itu. Dan banyak kuda yang lebih cepat daripada Phantom."
Leah bersedekap dan melotot marah ke arah kakaknya.
"Aku bisa memenangkannya. Aku tahu aku bisa," katanya
bersikeras. "Dan kalau kau tak mau mengajak kami ke kota, aku akan
berangkat sendiri." Luke mengenali ekspresi itu. Ia tahu ia tak mungkin mengurung
adiknya dalam rumah seharian. Adiknya itu pasti menepati katakatanya. Ia mendesah dan membungkuk meraih topinya yang berdebu
dari tanah. "Baiklah." Luke mengangguk. "Kita pergi."
************** Dengan Corey bertengger di bahunya, Luke menyusuri jalan
tanah menuju ke kota. Leah berjalan di sampingnya, membimbing
kuda hitamnya, Phantom. Ia tak mengizinkan mereka menunggangi
kuda itu ke kota karena tak ingin hewan itu kelelahan sebelum
pertandingan. Luke merasa Leah takkan bisa memenangkan lombanya. Tapi ia
memaksa diri untuk tidak berkata apa-apa lagi mengenai hal itu.
Sesudah kita sampai di kota, Leah akan melihat sendiri bahwa
memenangkan lomba itu hanyalah mimpi, pikir Luke.
Mereka mendekati kota dan mendengar keramaian dan suara
band. Saat mereka tiba di persimpangan dan berjalan menyusuri Main
Street, Luke melihat spanduk yang terbentang melintang di atas jalan
dan orang-orang berkeliaran di mana-mana. Ia belum pernah melihat
orang sebanyak itu di kota kecil. Sebagian besar toko-toko
menggantungkan tanda di jendela atau pintunya yang berbunyi
TUTUP UNTUK PACUAN BESAR.
Luke melihat sejumlah tanda yang mengatakan bahwa pacuan
kuda akan diselenggarakan di Main Street pukul 13.00. Dengan
melihat matahari, ia menebak bahwa saat itu sudah hampir tiba.
"Menyenangkan, bukan?" kata Leah. "Tampaknya semua orang
datang kemari untuk menyaksikan pacuannya." Sambil berjinjit, ia
menunjuk balai kota. Sekelompok pria"tertawa-tawa dan bercakapcakap"tengah berdiri di serambi dan tangga depan di bagian depan
bangunan. Di samping mereka, ada seorang pria lagi yang berdiri di
atas sebuah tong. Ia mengacungkan papan tanda di atas kepalanya
yang berbunyi PENDAFTARAN PACUAN DI SINI.
"Aku harus ke sana," kata Leah kepada Luke.
Luke mengangguk. "Biar kupegangkan Phantom."
Ia mengambil kekang dari tangan adiknya, memindahkan Corey
ke bahu lainnya, dan mengikuti Leah.
"Aku mau mendaftar ikut pacuan," kata Leah penuh semangat
kepada para pria yang berdiri di serambi.
Mereka tiba-tiba terdiam dan menatap Leah seakan-akan telah
tumbuh kepala lain di lehernya. Seorang pemuda jangkung berbahu
lebar melangkah maju. "Kau tidak bisa ikut pacuan itu," katanya kepada Leah. "Kau
seorang gadis." Leah mengangkat hidungnya. "Thomas Wade, tunjukkan
peraturannya padaku"tertulis."
Thomas Wade menyisir rambut merah tuanya dengan tangan.
"Peraturannya tidak tertulis, tapi kita semua mengetahuinya," katanya.
"Gadis tidak boleh ikut."
"Kau tidak mau aku ikut karena kau tahu aku akan menang,"
kata Leah. Thomas menyipitkan matanya yang hitam. "Tak ada yang bisa
mengalahkan keluarga Wade," katanya dengan nada rendah.
Luke melangkah maju. Ia tahu semua orang di kota itu takut
terhadap Wade bersaudara. Mereka anak keluarga terkaya di kawasan
ini. Lebih dari sekali mereka menggunakan kekayaan dan pengaruh
mereka untuk mengusir keluarga lain dari kota ini. Luke tidak
menyukai mereka, tapi ia tahu tekad Leah untuk ikut pacuan sudah
bulat. "Kalau tidak ada yang bisa mengalahkan kalian," kata Luke,
"seharusnya tidak masalah bagimu kalau Leah ikut bertanding."
"Luke benar," kata seseorang bersuara berat.
Semua orang berpaling memandang Earl Wade melangkah ke
balai kota, membimbing dua kuda jantan keemasan bersurai panjang
keperakan. Luke menatap sosok kekar kuda-kuda itu. Ia melihat otototot mereka menonjol saat melangkah mengikuti majikannya.
Semangat Luke merosot. Ia tahu kuda Leah takkan bisa mengalahkan
mereka. "Biarkan dia mendaftar," kata Earl.
Leah menjerit gembira. "Trims, Earl. Aku takkan
membiarkanmu kalah telak."
Seorang pria di serambi meraih sebuah batu tulis besar dan
mendekati Leah. Luke melihat nama semua orang yang mengikuti
lomba tertulis di papan. "Tulis namamu di bawah sini," kata pria itu sambil
mengulurkan sebatang kapur kepada Leah.
Dengan gerakan cepat dan rapi Leah menuliskan namanya di
papan. Luke melihat Thomas dan Earl bertukar pandang. Lalu mereka
menyeringai. Luke mengkhawatirkan rencana Wade bersaudara itu.
Leah membersihkan debu kapur dari tangannya dan mengambil
alih kekang dari tangan Luke.
"Hati-hati terhadap Wade bersaudara," bisik Luke saat mereka
melangkah menjauhi balai kota. "Aku tidak mempercayai mereka."
Mata Leah berubah gelap. "Mereka kasar, tapi aku tidak takut."
Mungkin seharusnya kau takut, pikir Luke. Tapi ia tak ingin
adiknya merasa terlalu khawatir sebelum lomba dimulai. Ia tahu
adiknya harus memusatkan seluruh perhatiannya untuk menunggangi
Phantom. "Kami akan mencari tempat kami bisa menyaksikan
pacuannya," kata Luke padanya.
"Berteriaklah padaku," kata Leah.
"Pasti," kata Luke berjanji.
Dengan Corey masih bertengger di bahunya, Luke menerobos
kerumunan yang tertawa-tawa dan berceloteh ribut. Orang-orang
berdiri merapat satu sama lain, berjajar di kedua tepi jalan tanah
tempat pacuan kuda itu akan diadakan. Luke mempelajari jalur
pacuannya sementara para peserta pacuan berkumpul di ujung
seberang jalan. Luke melihat bahwa mereka harus berlomba ke ujung
seberang kota, mengitari sebuah tong, dan kembali ke titik awal. Luke
menemukan tempat ia bisa menonton di bagian tengah sisi jalur
pacuan. "Selamat siang, Mr. Hammond," katanya sambil menerobos ke
bagian depan kerumunan. Mr. Hammond, pemilik toko serbaada, berbalik. Meskipun
menutup tokonya hari ini, ia masih mengenakan celemek putihnya.
"Well, halo, Fier muda. Kau sudah jarang sekali datang kemari."
Luke memaksa diri untuk tersenyum. "Banyak pekerjaan di
pertanian." "Bisa kubayangkan begitu. Sayang sekali" orangtuamu
meninggal dengan cara seperti itu. Benar-benar menyedihkan."
Mr. Hammond mengeluarkan sebatang permen sarsaparila dari
sakunya dan mengulurkannya kepada Corey. Corey menyambarnya,
nyaris terjatuh dari bahu Luke karena terlalu bersemangat. Luke
memperbaiki posisi adiknya sementara Mr. Hammond tertawa riang.
"Terima kasih, Mr. Hammond," kata Luke. "Kami tidak banyak
mendapat permen akhir-akhir ini."
"Keadaan itu akan berubah kalau adikmu memenangkan lomba
ini, bukan?" katanya.
"Ya, pasti," jawab Luke sambil memandang garis start tempat
para penunggang dan kuda masing-masing menunggu. Ia melihat
Leah berdiri di samping kuda hitamnya, mengelus-elus leher hewan
itu. Luke menunjuk. "Lihat, Corey. Itu Leah dan Phantom."
Corey bertepuk tangan dan melambai.
Leah tersenyum lebar dan balas melambai.
"Kata ayahmu, Leah punya bakat menangani hewan," kata Mr.
Hammond. Luke merasa sangat bangga. "Ya, Sir, memang. Hewan-hewan
itu tampaknya bisa merasakan apa yang diinginkannya."
"Wade bersaudara harus berjuang keras untuk mendapatkan
uang mereka," kata Mr. Hammond. "Tapi kurasa adikmu takkan
menang. Wade bersaudara sudah membulatkan tekad untuk
memenangkan pertandingan ini. Mereka tidak mudah menerima
kekalahan." Luke mengawasi saat dua bocah laki-laki merentangkan seutas
tali melintang di jalan yang berdebu.
"Naik!" teriak Mr. Stone. Dia pemilik bank sekaligus walikota
kota kecil itu. Dia yang memimpin penyelenggaraan pertandingan dan
hal-hal penting lainnya di situ....
Seperti menyebabkan keluarga kami kela-aran, pikir Luke
dingin. Kemarin dia mengancam akan mengusir kami dari pertanian
kami. Sekarang dia berdiri di sana, dengan perut gendutnya yang bulat
dan pipi-pipinya yang tembam, tersenyum kepada semua orang
seakan-akan dia Sinterklas.
Kuharap Leah bisa menang.
Selusin kuda mendekati tali, joki mereka mendesak mereka
untuk maju. Leah satu-satunya gadis dalam pacuan itu. Dari kejauhan Luke
bisa melihat tatapan adiknya sangat bersemangat dan pipinya bagai
bercahaya. Luke mengawasi dengan gelisah saat Wade bersaudara
menempati posisi mereka. Thomas di satu sisi Leah, Earl di sisi yang
lain. Luke melihat mereka mendesak Leah dan mendorong Phantom
menjauhi garis start. Leah mendorong lengan Thomas. Thomas hanya
tertawa dan menyodokkan kudanya ke Phantom.
Kewaspadaan Luke meningkat saat melihat Wade bersaudara
bertukar pandang penuh arti, seolah mereka lebih tertarik menyakiti
Leah daripada memenangkan pacuan. Leah tampak begitu kecil dan
rapuh di antara mereka. Mr. Stone mengangkat tangan dan menembakkan pistol ke
udara. Kedua bocah laki-laki itu menjatuhkan tali start-nya.
Para joki berteriak dan melecutkan kekang. Diiringi ringkikan
keras, kuda-kuda itu melesat maju. Awan debu tebal membubung dari
bawah kaki-kaki mereka yang berderap.
Sambil terbatuk-batuk, Luke memejamkan mata dan melangkah
mundur. Jeritan dan teriakan para penonton meraung-raung di
telinganya.
Fear Street Sagas 07 Pembalasan Children Of Fear di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ayo, Wade! Ayo, Earl!"
Luke tahu orang-orang itu takut memberi semangat kepada
yang lain. Wade bersaudara akan membalas siapa pun yang
mempermalukan mereka. Apalagi kalau mereka dikalahkan seseorang
yang lebih kecil. Kecil dan lemah, seperti Leah.
Tepuk tangan Corey bertalu-talu di telinga Luke. Ia merasakan
kaki-kaki kecil Corey memukuli dadanya. Luke memantapkan posisi
duduk adiknya di bahu. Lalu mendesak maju untuk bisa melihat
dengan lebih baik. Luke melihat Leah melarikan kudanya, Wade bersaudara ada di
kedua sisi kudanya, menjepitnya seperti yang mereka lakukan sejak
garis start. Kuda-kuda itu terlalu dekat. Mereka terus-menerus saling
menabrak. Leah yang malang tak punya ruang gerak, tak bisa melesat
maju. Tiba-tiba, Thomas mengulurkan tangan, menyambar kekang
Phantom, dan menyentakkannya keras-keras.
Kuda itu terhuyung-huyung dan mulai jatuh ke depan. Leah
menjerit dan menarik kekangnya sekuat tenaga.
"Leah! Bertahanlah!" seru Luke. Perutnya mulas melihat Leah
berjuang menegakkan kudanya kembali. Kalau adiknya sampai jatuh
dari pelana Phantom atau kuda itu jatuh, mereka berdua bisa terinjakinjak sampai mati.
Luke melihat Wade bersaudara bertukar senyum licik dan
kejam saat mereka berderap maju"ke arah tong.
Saat Leah kembali menguasai Phantom, Luke mendesah lega.
Hampir semua kuda lain telah melesat mendului Leah, tapi gadis itu
tampaknya telah membulatkan tekad untuk melanjutkan. Ia
menggosok bahu Phantom, lalu menendang sisi tubuh hewan itu.
Kuda itu mulai berlari lalu berderap. Angin membuat rambut
Leah yang terikat melambai melewati bahunya saat ia dengan luwes
mulai mengejar para joki lain. Ia membungkuk rendah di atas leher
Phantom yang panjang dan berkeringat.
Apa yang dilakukannya" pikir Luke penasaran. Ia melihat bibir
Leah bergerak-gerak. Tampaknya ia tengah berbisik kepada kudanya.
Luke terpesona saat kuda itu berlari semakin cepat sewaktu
Leah membimbingnya mengitari tong. Mereka berbelok tajam di
tikungan. Bagian pantat kuda itu menghantam tong. Tong itu
bergoyang-goyang. Luke menahan napas. Ia tahu Leah akan didiskualifikasi kalau
tong itu jatuh. Tapi tong itu tetap berdiri.
Leah dan Phantom mendahului kuda demi kuda. Lalu Phantom
berlari sekuat tenaga, meninggalkan para penunggang lainnya tercekik
awan debu yang membubung karena kecepatan larinya. Tanpa
terduga, Leah telah mendahului semua orang.
"Lihat, Corey! Leah menang!" seru Luke penuh semangat. Ia
melompat-lompat dan merasakan Corey menepuk-nepuk kepalanya
dengan gembira. "Kalau dia bisa mendului Wade bersaudara, dia akan menang,"
gumam Luke. Leah hanya beberapa kaki di belakang Wade bersaudara. Kuda
hitamnya yang ramping berderap di sebelah luar jajaran kuda jantan
keemasan mereka. Luke melihat Thomas melirik ke belakangnya, memandang
Leah, dan mulai tertawa. "Oh, tidak," kata Luke. "Kalau Thomas menarik kekang Leah
sekali lagi, dia akan mematahkan lehernya!"
Dengan ngeri, Luke menatap kuda Leah terus menambah
kecepatan dan Thomas kembali meraih kekang Phantom. Luke
merasakan jemari Corey mencengkeram rambutnya dan mendengar
adik lelakinya itu mendengus, seakan-akan hendak menangis.
"Tidak, Corey. Jangan melihat," katanya.
Luke berusaha untuk menurunkan Corey dari bahunya agar
tidak melihat Leah terluka. Tapi bocah kecil itu bergeming.
Lalu, tanpa peringatan, saat Thomas masih mencondongkan
tubuh ke arah Leah, kuda keemasannya mengangkat kaki depannya.
Dengan bibir tertarik ke belakang membentuk seringai buas, hewan itu
berpaling ke arah kuda Earl Wade dan membenamkan gigi-giginya
yang besar ke leher kuda rekannya itu. Darah menyembur membasahi
dua bersaudara itu. Luke mendengar Thomas menjerit saat ia
terpeleset dari pelananya dan mati-matian berpegangan pada sisi
kudanya yang menggila. Luke mendengar jeritan Earl Wade yang memekakkan telinga
saat ia berjuang bertahan di atas kudanya yang melonjak-lonjak liar.
Lalu Luke melihat kuda Thomas menurunkan kepalanya dan
menendangkan kaki belakangnya. Thomas jatuh dari pelananya. Luke
mendengarnya menghantam tanah dengan suara keras. Ia
memejamkan mata rapat-rapat saat kuda Thomas menghunjamkan
kedua kakinya ke lengan penunggangnya yang jatuh.
Ia mendengar Thomas menjerit kesakitan dan melihatnya
bergulingan di tanah. Kudanya berderap pergi. Luke mengernyit
melihat patahan tulang bergerigi mencuat menembus kain baju
Thomas yang robek. Darah merah tua membanjir ke tanah.
Luke mendengar kerumunan penonton tersentak dan melihat
orang-orang menunjuk. Ia mengalihkan pandangan dari Thomas Wade
tepat pada waktunya untuk melihat kuda Leah berderap melewati garis
finish. "Wow! Dia menang, Corey! Dia benar-benar menang," teriak
Luke kepada adiknya. Ia tidak bisa melihat wajah Corey, tapi ia
merasakan bocah itu menggeliat-geliat penuh semangat.
Leah turun dari kudanya dan berlari ke arah saudarasaudaranya. "Luke! Corey! Aku menang! Aku menang! Kalian
melihatku?" Sambil tertawa, ia memeluk pinggang Luke, memeluknya
ringan. "Lihat kan, sudah kukatakan aku akan menang."
"Yeah, Leah, kami melihat semuanya," jawab Luke sambil
menepuk-nepuk kepala adiknya. "Kau luar biasa," tambahnya.
Corey merosot turun dari bahu Luke. Ia memeluk pinggang
Leah dan membenamkan wajahnya di perut kakak perempuannya.
Leah menggelitikinya. "Hei, bukan apa-apa, Corey. Akan
kuajarkan bagaimana caranya menunggang seperti itu, kelak," kata
Leah sambil tertawa. Saat tawa Leah memudar, Luke tiba-tiba merasa ketakutan luar
biasa. Ia memandang ke sekitarnya dan menyadari bahwa orangorang telah membentuk lingkaran lebar di sekeliling keluarganya.
Ia hanya mendengar bisik-bisik di sekitarnya. Dan erangan
Thomas yang menakutkan" terus-menerus. Luke menggigil
merasakan orang-orang menatap dirinya, menatap Leah.
"Jauhi gadis Fier itu," seru seorang penonton dengan keras.
"Dia punya kekuatan jahat."
"Dia bisa mengendalikan hewan," tambah orang lain dengan
suara serak, pelan. "Kalian melihat caranya berbicara kepada
kudanya" Caranya memandang Wade bersaudara" Dia yang membuat
kuda-kuda itu saling menyerang!"
Luke mendengar orang-orang lain menggumamkan persetujuan,
pandangan mereka berubah curiga, wajah mereka merengut.
"Dia jahat!" teriak seseorang.
"Ya, jahat. Jahat!" teriak yang lainnya, mengikuti iramanya.
Bab 3 "BERHENTI! Berhenti sekarang juga! Kalian dengar?" teriak
Luke. "Leah tidak jahat! Aku takkan membiarkan kalian mengejek
saudaraku!" "Luke, jangan biarkan mereka berkata begitu tentang aku! Kau
tahu itu tidak benar!" jerit Leah.
Luke melirik adik perempuannya. Matanya yang hijau
berkilauan penuh air mata. Kulitnya tampak seputih salju.
"Tentu saja tidak." Luke memeluk adiknya dengan satu tangan
dan menariknya lebih mendekat di sampingnya. Ia bisa merasakan
Leah gemetar. Di sisi tubuhnya yang lain, ia merasakan Corey berpegangan
pada kakinya. Ia menepuk-nepuk kepala bocah kecil itu dengan
tangannya. Bagaimana bisa ada yang beranggapan Leah jahat" pikir Luke
penasaran. Kemarahan menggelegak dalam dirinya.
"Dia tidak jahat," ulangnya. "Dia sangat pandai menghadapi
hewan. Mereka mempercayainya. Sama seperti aku mempercayainya."
Earl Wade menerobos kerumunan hingga berdiri di depan Luke,
dengan napas terengah-engah. "Lengan adikku patah. Dan aku nyaris
tewas saat kuda-kuda kami menjadi liar." Ia menunjuk Leah. "Dia
yang melakukannya!" Luke bisa melihat orang-orang mengangguk setuju. Ia bisa
mendengar gumaman-gumaman setuju.
"Leah tidak melakukan apa pun pada kuda-kuda itu," Luke
bersikeras. Ia berpaling ke arah kerumunan orang. "Kalian semua
melihat Thomas mengulurkan tangan dan menarik kekang Phantom
saat lomba dimulai. Dia nyaris membuat kuda Leah jatuh. Dan dia
mencoba melakukannya lagi saat Leah berhasil mengejar mereka. Itu
sebabnya dia kehilangan kendali atas kudanya," teriak Luke.
Earl memelototi Luke, lalu mengalihkan pandangannya ke
kerumunan orang. Mereka semua mulai bergerak-gerak dan
menunduk. Luke bisa melihat mereka takut mengatakan yang
sebenarnya, takut Earl akan memukul dengan tangannya yang besar
dan gemuk. Luke merasa tenggorokannya kering karena ketakutan,
tapi ia harus melindungi Leah.
"Kau mengatakan adikku curang?" tanya Earl sambil maju
selangkah. "Aku hanya mengatakan yang sebenarnya," jawab Luke tegas.
Earl memicingkan matanya. "Keluarga Fier selalu menimbulkan
masalah. Sayang sekali kalian semua tidak berada di kereta saat kereta
itu terguling menimpa orangtuamu."
Leah tersentak. Luke merasakan cengkeraman Corey semakin
erat. "Kami tidak mencari masalah hari ini. Kau yang memulainya,"
kata Luke. "Kau tidak ingin Leah ikut pacuan."
"Kami tidak menginginkan dirimu atau keluargamu di Stormy
Ridge sama sekali," kata Earl Wade. "Kereta yatim piatu akan
melintas beberapa hari lagi. Mungkin sebaiknya kau
mempertimbangkan untuk naik kereta itu."
Sebelum Luke sempat menjawab, Earl Wade telah berbalik dan
melangkah pergi. Luke memandang orang-orang yang mengerumuni mereka.
Beberapa tampak ketakutan. Beberapa tampak marah. Ia sadar Mr.
Hammond memandang mereka penuh simpati. Bagi Luke, pria itu
seakan-akan hendak bicara. Tapi lalu Mrs. Hammond muncul di
samping suaminya. Dia menarik lengan baju suaminya dan
mengajaknya pergi. Tidak satu pun dari mereka yang membela kami, Luke tersadar
dengan perasaan sedih. Apakah perasaan mereka semua sama seperti
Earl Wade" "Wade bersaudara hanya pecundang," kata Luke sambil
melepaskan pelukannya pada Leah. "Leah memenangkan lima puluh
dolar." Mr. Stone melangkah maju. "Kurasa, sebagai wasit
pertandingan ini, aku harus menyatakan pembatalan. Situasi
kemenangan Leah sangat meragukan.. Memberikan uang itu
kepadanya bukan tindakan yang benar." Ia melambaikan tangannya ke
arah kerumunan orang itu. "Ada yang tidak setuju dengan
pendapatku?" Orang-orang hanya membisu.
"Leah menang," kata Luke. "Tak peduli kau memberikan
uangnya atau tidak, dia menang."
"Anak muda, kurasa kau sudah cukup banyak bicara. Kau dan
keluargamu sebaiknya pulang. Kalau kau tahu apa yang baik bagimu,"
ujar Mr. Stone tegas. Luke merasakan kemarahannya memuncak. Ia merasakan
tangannya mengepal sambil menatap wajah Mr. Stone yang memerah.
"Ayo kita pergi, Luke," pinta Leah. "Kuambil Phantom dulu.
Kita bertemu di persimpangan."
Luke berbalik memunggungi Mr. Stone dan meraih tangan
Corey. "Ayo, Corey," gumamnya. Ia bergegas menyusuri jalan yang
mengarah ke luar kota. Corey terpaksa berlari-lari untuk mengikuti langkah Luke yang
panjang-panjang. "Orang-orang itu bodoh," gumam Luke kepada Corey. "Ayah
kita pandai menghadapi hewan. Dia menghabiskan waktu berjam-jam
untuk mengajari Leah. Leah punya cara tersendiri dalam menghadapi
semua makhluk. Itu bakat. Tidak ada jahatnya sama sekali."
Ia menunduk memandang Corey. Bocah kecil itu menengadah
dengan ekspresi serius. "Jangan khawatir, Corey. Mereka akan segera
melupakan kejadian ini satu atau dua hari lagi. Sementara ini kita
jangan jauh-jauh dari rumah. Sebaiknya begitu."
Mereka segera tiba di persimpangan di luar kota dan menunggu.
Beberapa saat kemudian, Luke melihat Leah membimbing Phantom.
Luke mengangkat Corey dan meletakkannya di pelana.
"Luke, apakah kita akan menumpang kereta yatim piatu itu?"
tanya Leah dengan suara gemetar.
Luke berhenti dan menatap Leah. "Jangan konyol. Kita punya
pertanian, jadi kita tidak benar-benar yatim piatu."
Tapi berapa lama kami bisa bertahan" Mr. Stone mengancam
akan mengusir kami dari rumah sewaktu-waktu sekarang, pikir Luke
penasaran. Apa yang akan kami lakukan" Bagaimana kami hidup"
Luke bergegas mengusir pikiran yang mengganggu itu dan
mengalihkan perhatiannya kepada Leah. Ia berhenti berjalan dan
menunduk memandang adiknya itu. Leah telah bersikap begitu berani
dan bangga. Tapi dia masih memerlukan bantuan dan perlindungan
Luke. Sama seperti Corey. Bukankah Luke sudah berjanji kepada ibu
bahwa ia akan menjaga kedua adiknya"
Ia harus menepati janjinya. Tidak peduli apa yang terjadi.
"Apa pun yang terjadi, kita akan selalu bersama, Leah. Kau,
aku, dan Corey. Tidak ada apa pun dan seorang pun yang bisa
memisahkan kita," janji Luke. "Aku tidak peduli apa kata orang,"
tambahnya. Ia bisa melihat bahwa Leah masih merasa khawatir. Mata
adiknya itu berkaca-kaca.
"Tapi apakah menurutmu aku memiliki sifat jahat?" tanyanya
pelan. "Apakah menurutmu kata-kata mereka benar?"
"Tentu saja tidak, Leah." Luke mengulurkan tangan dan
mengelus rambut adiknya. "Papa punya bakat, dan kau juga. Tidak
ada yang tidak wajar atau jahat dalam hal ini. Menurutku itu bahkan
bisa dibanggakan. Papa selalu bangga karena kau punya bakat yang
sama." Leah memegang tangan kakaknya. "Aku senang kau berjanji
begitu, Luke. Aku merasa jauh lebih baik. Dan aku senang kau tidak
menganggap kata-kata mereka benar."
Luke tersenyum kepada adiknya dan meremas tangannya.
"Sekalipun begitu, aku senang sekali lengan Thomas Wade
patah. Seandainya saja lehernya yang patah!"
Luke mendengar Leah tertawa. Lalu mendengar tawa pelan
Corey. Ia menatap lurus ke depan dan terus melangkah meskipun hawa
dingin merayapi tulang punggungnya.
*************
Fear Street Sagas 07 Pembalasan Children Of Fear di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Beberapa hari kemudian, Luke mengayunkan kapaknya sekuat
tenaga dan menghantamkannya ke sepotong balok, membelahnya
menjadi dua dengan rapi. Aku bisa melakukan kegiatan yang tidak
memerlukan kerja sama seekor hewan seperti ini, pikirnya muram. Ia
mengayunkan kapaknya berulang-ulang, dan mendengar potonganpotongan kayu berhamburan ke segala arah. Meskipun begitu Luke
hampir-hampir tidak menyadari tumpukan kayu yang terbentuk di
sekelilingnya. Ia hanya memikirkan ladang yang belum dibajak di
sekitarnya. Ia telah berusaha keras selama berhari-hari agar Henrietta mau
menarik bajaknya. Tapi keledai itu sangat lamban. Setiap malam, saat
Luke membaringkan diri di ranjang dengan tubuh kesakitan dan
kelelahan, wajah merah Mr. Stone yang gemuk memenuhi benaknya.
Ia menatap mata Mr. Stone yang sipit mirip babi dan merasakan
keputusasaan menekan perutnya.
Besok, atau besok lusa, Mr. Stone akan kembali. Hanya ada
beberapa keping dolar perak untuk membayarnya. Tidak cukup
banyak untuk mempertahankan pertaniannya.
Ke mana mereka akan pergi" Apa yang akan mereka lakukan"
Gagasan tentang kereta yatim piatu memuakkannya. Tapi
sekarang, ia memikirkannya kembali. Luke merasa gagasan itu
menawarkan harapan tipis untuk menyatukan keluarganya. Dalam
keadaan sekarang, ia takkan bisa menemukan pekerjaan yang bisa
menghasilkan cukup banyak uang untuk merawat Leah dan Corey.
Tapi selama perjalanan dengan kereta, mereka paling tidak
mendapat makanan dan tempat tinggal. Kereta itu berhenti di setiap
kota dan mereka akan mendapat kesempatan untuk menemukan
keluarga yang bersedia menampung mereka.
Keluarga yang mau menampung mereka semua. Luke harus
memenuhi janjinya kepada Leah dan Corey. Tidak peduli apa
risikonya. Luke terus-menerus membelah kayu. Ia tak mampu
memberitahu Leah dan Corey bahwa tak lama lagi mereka akan diusir
keluar dari rumah mereka oleh Mr. Stone. Bagaimana caranya
memberitahu mereka tentang kereta itu"
Tiba-tiba, suara derap kaki kuda membuyarkan lamunannya.
Luke menurunkan kapaknya dan menengadah melihat tetangganya,
Jack Baker, tengah melitasi lapangan terbuka. Pertanian Baker terletak
tepat di samping pertanian Fier, tapi Luke jarang sekali bertemu
dengan tetangganya. Pasti ada sesuatu yang penting hingga Jack berkuda secepat itu,
pikir Luke. Ia merasa perutnya mulas saat melangkah ke serambi
depan. Corey duduk di tangga, sambil menyatukan potongan-potongan
teka-teki dari kayu. Keningnya berkerut dalam. Luke berlutut di
samping adiknya dan membimbing tangannya, membantunya
mengatur potongan-potongan itu sehingga terletak sesuai urutannya.
Corey memiringkan kepalanya dan tersenyum.
Luke balas tersenyum. "Kau bisa mengatakan 'teka-teki'?"
Senyum Corey menghilang saat ia menggeleng keras kepala.
Luke mengacak-acak rambut hitamnya. "Tidak apa, Corey.
Suatu hari nanti kau akan bisa bicara lagi."
Luke bangkit berdiri saat Jack menarik kekang menghentikan
kudanya. Kuda itu mendengus dan mengangkat kedua kaki depannya.
"Halo, Jack. Ada yang bisa kubantu?" kata Luke, menyapa
tetangganya. "Aku datang untuk memperingatkanmu, Luke. Kalau di sini
belum terserang." "Memperingatkan apa?" Luke merasa jantungnya berdebardebar.
"Penyakit aneh yang menyebar pada ternak-ternak di sekitar
sini. Hewan-hewan itu menjadi sinting. Wade bersaudara harus
menembak enam ekor dari kawanan mereka kemarin. Kami harus
membunuh tiga ekor ternak kami hari ini."
"Sejauh ini kami tidak mendapat masalah," jawab Luke
perlahan-lahan. Ia melangkah turun dari serambi. "Apa gejalagejalanya?"
Jack turun dari kudanya. "Akan kutunjukkan apa yang harus
kauperhatikan." Ia mengajak Jack ke bagian belakang rumah. Luke mendengar
detak-detak langkah kaki kecil yang cepat. Ia melirik ke belakang dan
tersenyum kepada Corey yang berlari-lari mengejar mereka.
"Sapi-sapi kami yang tersisa hanya sedikit, kami membiarkan
mereka merumput di belakang sini," kata Luke kepada Jack. "Tidak
ada gunanya membawa mereka ke padang rumput."
Jack berjongkok. Ia meraih kepala seekor sapi. Sapi itu
mengguncangkan kepalanya dan melenguh. Jack mempererat
cengkeramannya agar sapi itu tidak menggerak-gerakkan kepalanya.
Ia memiringkan wajah hewan itu ke satu sisi dan lalu ke sisi yang lain.
"Apa yang kaucari?" tanya Luke.
Ia berjongkok untuk bisa melihat dengan lebih baik. Corey
berjongkok di sebelahnya, ekspresi wajahnya serius.
"Kalau terjangkit, ada cairan kental kehijauan yang menetes
dari hidung mereka. Lalu berubah merah. Saat itulah mereka mulai
sinting." "Aku belum pernah mendengar penyakit seperti itu," kata Luke.
Ia mengingat kembali berbagai penyakit hewan yang pernah dirawat
ayahnya. "Belum pernah ada yang mendengarnya," jawab Jack. "Orangorang di sekitar sini agak ketakutan. Tapi sapi-sapimu tampaknya
sehat." "Aku akan mengawasi mereka lebih ketat lagi. Kami tak bisa
kehilangan satu sapi pun."
Saat Jack berbalik hendak pergi, ia membeku. Matanya
membelalak ketakutan. Luke mengikuti arah tatapan Jack. Di dekat serambi belakang,
Leah tengah memberi potongan-potongan daging kepada seekor
serigala langsung dari tangannya.
Jack tersentak dan mundur beberapa langkah. "Serigala!"
serunya, sambil menunjuk ke arah Leah. "Ambil senapan! Angkat
bocah kecil itu..." "Tidak apa-apa," kata Luke dengan tenang. Ia meraih tangan
Jack untuk meyakinkannya. "Leah punya bakat berhubungan dengan
binatang." Kepala Jack tersentak naik-turun. "Tapi itu serigala. Musim
dingin yang lalu seekor serigala membunuhi beberapa ekor ternak
kami. Aku... aku... aku harus pergi," katanya.
Ia melesat melintasi halaman. Kurang dari semenit kemudian,
Luke mendengar derap kuda melesat pergi. Sapinya kembali
melenguh lalu mendengus. Leah mendekatinya dan memegang kening sapi itu. Lidah besar
hewan itu menjulur untuk menjilati bahu Leah.
"Mau apa jack kemari?" tanya Leah.
"Katanya sapi orang-orang jatuh sakit," kata Luke kepadanya.
Dengan lembut Leah memegang kepala sapi itu dan
mengangkatnya. Sapi itu tidak melenguh atau memprotes seperti saat
Jack yang memegangnya. "Dia tampak sehat," kata Leah.
Luke mendengar kelegaan dalam suara adiknya. Leah mencintai
hewan. Luke mengetahui bahwa Leah sedih saat ternak mereka sakit.
Terkadang ia mengira Leah benar-benar bisa merasakan perasaan
hewan-hewan itu. "Sudah kuduga mereka tampak baik-baik saja, tapi aku senang
kau mengatakannya," jawab Luke. "Kau lebih tahu tentang hewan
daripada diriku." "Dia akan baik-baik saja," kata Leah dengan percaya diri.
"Semua sapi-sapi kita akan baik-baik saja."
"Kuharap begitu. Kita tak bisa kehilangan satu pun. Aku tahu
pasti sulit bagi tetangga kita untuk melihat bahwa sapi mereka jatuh
sakit dan terpaksa menembaknya."
"Aku senang sapi-sapi mereka jatuh sakit semuanya."
"Kau tidak sungguh-sungguh," kata Luke.
"Ya, aku sungguh-sungguh," kata Leah.
"Mereka layak mendapatkannya. Mereka bersikap seakan-akan
aku ini monster!" ************* Hari Sabtu berikutnya, Luke mengajak Leah dan Corey ke
Stormy Ridge untuk membeli berbagai kebutuhan. Biasanya kota
sangat ramai di hari Sabtu karena semua petani dari sekitarnya datang
ke kota untuk membeli persediaan mingguan mereka.
Tapi hari ini Luke hanya melihat beberapa orang tengah
berjalan di trotoar kayunya. Seakan-akan seluruh kota tengah berduka
cita. Luke membuka pintu Toko Serbaada Hammond. Bel di atas
pintunya bergemerincing, terdengar bahkan lebih keras daripada
biasanya di telinga Luke karena toko tengah kosong. Langkah-langkah
kaki Luke menggema di lantai kayu keras, diikuti Leah dan Corey
dekat di belakangnya. Luke melihat Mr. Hammond keluar dari balik tirai yang menuju
ke ruang penyimpanan. "Selamat pagi, anak-anak Fier. Bagaimana kabar kalian semua
hari ini?" tanya Mr. Hammond khidmat.
"Kami baik-baik saja," jawab Luke. "Kota hari ini sepi sekali."
"Sudah sepanjang minggu seperti ini," kata Mr. Hammond.
"Orang-orang sedang berjuang untuk menyelamatkan sapi-sapi
mereka dari penyakit aneh ini. Tapi mereka tidak begitu beruntung.
Sudah berapa sapimu yang harus kautembak?"
"Kami belum menembak satu pun."
Mata Mr. Hammond membelalak. "Apa yang kauberikan pada
mereka kalau sakit?"
Luke mengangkat bahu. "Tidak satu pun sapi kami yang
terjangkit." Mr. Hammond menyipitkan mata memandang curiga.
"Menurutmu mengapa begitu?"
"Kurasa kami hanya beruntung," kata Luke sambil mengangkat
bahu. Tatapan Mr. Hammond beralih ke Leah. "Mungkin," jawabnya
pelan. "Atau mungkin lebih dari sekadar keberuntungan."
"Leah tidak bisa mengendalikan penyakit, Mr. Hammond," kata
Luke tegas. Mr. Hammond mengangguk. "Kurasa memang tidak. Semua
orang sedikit gugup akhir-akhir ini. Apa yang bisa kubantu?"
"Kami memerlukan gula dan tepung," kata Luke kepadanya.
"Dan beberapa kaleng makanan."
Luke meraih ke dalam sakunya dan mengeluarkan uang
terakhirnya"lima dolar. Ia meletakkan setengah dolar di meja. "Kami
memerlukan sebanyak yang bisa dibeli dengan uang ini."
Mr. Hammond mengangguk. "Kuambilkan sekotak."
Ia membungkuk di balik meja dan tubuhnya menegang. "Kalian
keluar dari sini," katanya pelan.
Luke membungkuk ke atas meja. Ia bisa melihat bahwa Mr.
Hammond telah mengangkat sebuah kotak. "Ada apa, Mr.
Hammond?" tanyanya. "Ular," bisik Mr. Hammond. "Aku belum pernah melihat yang
sebesar ini. Cari orang yang membawa senapan."
Sebelum Luke sempat menghentikannya, Leah berjalan
mengitari meja dan berlutut di samping Mr. Hammond. "Tidak apaapa, Mr. Hammond," bisiknya. "Dia tidak akan menyakitimu."
Leah mengulurkan lengannya. Dengan membeku ketakutan,
Luke mengawasi ular hijau besar itu merayapi lengan Leah dan terus
bergerak hingga melintang di bahunya. Hewan itu meliliti Leah, mata
hitamnya yang jahat mengawasi Leah, lidahnya menjulur keluarmasuk. Luke bergegas menarik Corey ke belakangnya, melindungi
adik lelakinya dengan tubuhnya sendiri. Ia menekan kengerian yang
dirasakannya saat menatap taring-taring tajam melengkung ular itu.
Leah berdiri, mengelus kepala ular itu. Hewan itu mendesis.
Leah menatap Luke. "Setelah kita pulang, akan kulepaskan dia di hutan."
Ia melangkah keluar dari balik meja. Corey mengulurkan
tangan dan menyentuh ekor ular itu. Luke menggigil. Ia tahu Leah
punya bakat, tapi ia tetap takut saat melihat ular hijau mengilat itu
melilit bahu Leah bak syal.
Mr. Hammond berdiri. Luke bisa melihat pria itu gemetar.
"Toko akan kututup," kata Mr. Hammond dengan suara
gemetar. "Tapi kami perlu persediaan makanan," kata Luke.
"Beli besok saja."
Luke mengambil uangnya dari meja dan mengantonginya.
"Ayo, Leah dan Corey."
Mereka meninggalkan toko. Luke mendengar Mr. Hammond
mengunci pintu di belakang mereka.
Saat mereka menyusuri jalan, Luke bisa merasakan orang-orang
menatap mereka. Ia melihat seorang wanita menutup tirainya saat
mereka melintas. Leah dan Corey tampaknya tidak menyadari
perhatian orang-orang yang memandangi ular yang terus bergerakgerak di tubuh Leah.
Luke tidak sabar ingin tiba di rumah agar Leah bisa melepaskan
ular itu. *********** Larut malam itu, Luke melompat bangkit di ranjang. Ia
bingung. Apa yang sudah membangunkannya"
Lalu ia mendengarnya. Suara seorang pria berteriak.
Meneriakkan kata-kata kasar penuh kemarahan.
Tidak, lebih dari satu orang. Banyak orang. Banyak suara.
Dan bersama suara-suara itu, suara derap pelan kaki-kaki kuda.
Jantung Luke berdetak liar di dalam dadanya.
Suara-suara itu semakin keras.
Semakin dekat. Luke bergegas turun dari ranjang, lalu mengenakan kemeja dan
celana terusannya. Siapa mereka" pikirnya penasaran. Apa yang mereka inginkan"
Luke berlari ke jendela dan memandang ke luar ke malam yang
gelap gulita. Ia mendengar ringkikan kuda-kuda dan teriakan-teriakan
kemarahan orang-orang. Lalu ia melihat mereka, mengitari rumah. Mendekat bagai
segerombolan serigala. Mulutnya tiba-tiba terasa kering, keningnya berdenyut-denyut.
Luke bergegas menuruni tangga dan melangkah ke ruang depan.
Dengan tangan gemetar ia meraih senapan dari atas gantungan
pakaian. Dengan panik, ia membuka pintu.
Ia melesat ke serambi dan memandang kegelapan malam. Ia
hanya melihat bayang-bayang yang berderap pergi menyusuri jalan
yang gelap. Dengan napas tercekat, ia terhuyung-huyung menuruni tangga
dan jatuh berlutut. Awan-awan gelap bergulung menjauhi bulan.
Cahaya bulan berkilauan menimpa genangan darah merah tua.
Di tengahnya, sebuah kepala sapi memelototi Luke dengan
mata hitamnya yang menuduh.
Bab 4 LUKE menjerit jijik dan bergegas bangkit berdiri. Sapi itu
menatapnya dengan mata yang kosong dan tidak bisa melihat lagi.
Lidahnya yang tebal dan berwarna merah keabu-abuan menjulur ke
luar dari mulutnya yang ternganga. Darah merah mengalir dari
lehernya yang terpenggal.
Luke berbalik hendak pergi, tapi ia melihat sesuatu. Saat
mengamatinya dengan lebih teliti, ia bisa melihat sepotong kertas
Fear Street Sagas 07 Pembalasan Children Of Fear di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
putih dijejalkan di mulut sapi itu. Surat!
Luke menghela napas dalam-dalam dan mengulurkan tangan
meraihnya. Jemarinya tergelincir pada lidah licin hewan itu. Setelah
mengambil kertasnya, ia beranjak bangkit berdiri dan mengacungkan
surat itu ke arah cahaya bulan.
Sapi-sapi kami mati"sapi-sapimu mati. Hentikan adikmu. Atau
kami yang akan menghentikannya.
Luke menatap surat itu dengan perasaan shock. Mereka mengira
Leah menyebabkan penyakit aneh yang menyerang sapi-sapi itu"
Mustahil! Ia menunduk memandang kepala sapinya. Peringatan! Mereka
sudah membunuh sapinya. Apakah mereka akan membunuh adiknya"
Luke bergegas kembali ke dalam rumah, sangat ingin
memastikan bahwa Leah baik-baik saja. Ia melihat adiknya itu di
serambi depan, gaun tidur putihnya yang panjang berkibar-kibar
tertiup angin, rambut hitamnya tidak dikepang dan tergerai liar di
sekitar bahunya. Luke berdiri diam sejenak dan menatap adiknya itu. Karena
tertimpa sinar bulan, gaun tidur adiknya yang pucat tampak bagai
memancarkan cahaya yang aneh. Dan ekspresinya menakutkan. Corey
berdiri di samping Leah, memeluk pinggang kakaknya. Mata hijau
Corey membelalak khawatir, bibir bawahnya bergetar. Leah memeluk
bahunya. "Jangan khawatir, Corey. Mereka sudah pergi sekarang." Luke
mendengar Leah berusaha menenangkan adiknya dengan nada yang
sama seperti yang digunakannya terhadap hewan-hewan.
"Ya, mereka sudah pergi," kata Luke meyakinkan kedua
adiknya. Ia melangkah ke serambi. "Kalau mereka kembali, aku akan
siap menghadapi mereka," katanya berjanji, sambil mengangkat
senapannya. "Apa itu" Surat?" tanya Leah.
"Bukan apa-apa..." Luke menjejalkan surat itu ke sakunya.
Tapi Leah bergegas menyambar kertas itu dari tangannya.
Rahangnya menegang ketika membacanya.
"Bagaimana mereka bisa mengira aku akan melakukan tindakan
seperti itu?" jeritnya. Ia meremas-remas kertas itu menjadi bola dan
membuangnya. Leah berbalik menghadapi Luke, matanya yang hitam semakin
gelap karena marah. "Bagaimana mereka bisa berpikir aku memiliki
kekuatan jahat" Aku benci mereka! Aku benci mereka semua!"
************* Dua hari kemudian, saat Luke perlahan-lahan membajak di
belakang keledainya yang keras kepala dan bajaknya yang berat, ia
melihat Mr. Stone. Pria bertampang masam itu melintasi ladang
menuju ke arahnya. Luke menghentikan keledainya dan menghapus keringat dari
keningnya dengan sapu-tangan.
Mr. Stone berhenti di samping Luke dan menanggalkan topinya.
"Luke, kau sudah kuperingatkan. Kau bisa membayar tanahmu hari ini
atau tidak?" Luke menelan ludah dengan susah payah. "Aku punya lima
dolar. Sampai panenan tiba, hanya itu yang kumiliki."
Mr. Stone berdeham dan menunduk memandang tanah. "Well,
kurasa aku bisa menerimanya sebagai itikad baik."
Luke meraih ke dalam sakunya dan mengeluarkan koin-koin
peraknya. Perlahan-lahan, ia meletakkannya di tangan Mr. Stone. Ia
merasa ada beban berat yang menekan dadanya. Ia tak tahu apa yang
akan dilakukannya tanpa uang sepeser pun. Ia memaksa diri untuk
tidak memikirkannya sekarang.
Ia mengawasi jemari Mr. Stone menggenggam koin-koin itu
dan menjejalkannya ke saku jasnya, dan menekan kemarahan yang
menggumpal dalam dirinya.
"Apakah semua ternakmu masih sehat?" tanya Mr. Stone.
"Ya," jawab Luke.
"Wade bersaudara tidak seberuntung itu," kata Mr. Stone
kepadanya. "Orang-orang penasaran mengapa mereka kehilangan
begitu banyak ternak sementara kau tidak kehilangan seekor pun."
"Aku tahu," sergah Luke, jengkel karena pengingatan itu.
"Mereka sudah mengunjungi kami. Mereka mengancam akan
menyakiti Leah." "Aku tak tahu apakah ada yang bisa menghentikan mereka
untuk melaksanakan ancaman itu kalau ada ternak mereka yang mati
lagi," kata Mr. Stone tenang.
"Leah tidak membunuh ternak mereka," Luke bersikeras.
"Bukan dia yang menyebabkan semua ini. Penduduk kota hanya
mencari kambing hitam untuk kesialan mereka."
Mr. Stone mengenakan kembali topinya. "Aku percaya padamu,
Luke. Sialnya, kurasa tak ada orang lain yang mempercayaimu."
************* Luke mengempaskan diri ke ranjang dengan sangat lelah. Setiap
otot di tubuhnya terasa sakit. Ia bahkan tidak menanggalkan
pakaiannya. Meskipun begitu, ia tidak bisa tidur. Setiap kali memejamkan
mata ia melihat kepala sapi yang berlumuran darah. Lalu kepala itu
perlahan-lahan memudar... dan berubah menjadi kepala Leah.
Kenapa mereka begitu mencurigai Leah" ia penasaran. Leah
ramah dan lembut terhadap hewan. Hewan-hewan mempercayainya.
Mereka mematuhinya. Apa salahnya dengan begitu"
Keributan yang tiba-tiba terdengar membuatnya duduk tegak.
Luke mendengar gemuruh kaki kuda menghunjam tanah.
Luke melemparkan selimutnya dan bergegas turun dari ranjang.
Jantungnya berdebar hebat dalam dadanya. Ia terhuyung-huyung ke
jendela dan memandang ke luar.
Napasnya tercekat di dada saat ia melihat mereka.
Para penunggang kuda membentuk lingkaran di halaman depan.
Luke mencoba menghitung jumlah mereka dengan cepat. Lima...
sepuluh... selusin atau lebih.
Bayang-bayang gelap menakutkan bergerak menembus malam.
Apa mau mereka" Apakah mereka datang untuk melaksanakan
ancaman itu" Untuk menyakiti Leah"
Luke mendengar lantai kayu berderik di belakangnya dan
berbalik. Ia melihat Corey dan Leah berdiri di dalam gelap. Mereka
menatapnya dengan ekspresi ketakutan.
"Mereka kembali, bukan?" tanya Leah, berbisik serak.
Luke mengangguk. "Ya."
Bersama-sama mereka memandang ke luar jendela. Kuda-kuda
itu telah berhenti berkeliaran. Para penunggangnya berdiri berjajar
panjang. "Lebih banyak hewan yang harus dibunuh hari ini!" teriak salah
seorang di antaranya. "Kami tahu adikmu yang menyebabkannya," seru Thomas
Wade, lengannya masih menggantung dalam kain gendongan yang
tampak seperti sehelai bendera putih. "Serahkan dia pada kami dan
kami tidak akan menyakitimu atau adik lelakimu."
Leah mendekati Luke. Luke bisa merasakan adiknya itu
gemetar hebat saat memeluk pinggangnya. Mata Corey membelalak
ketakutan. Ia mencengkeram tangan Luke erat-erat.
"Kami menyesal ternak kalian mati. Tapi itu tidak ada
hubungannya dengan Leah," teriak Luke. "Pergi, jangan mengganggu
kami!" "Semuanya perbuatan adikmu!" teriak Earl Wade. "Kami tahu
tentang serigala dan ularnya. Kami tahu ternak kami mati sementara
ternak kalian tidak apa-apa!"
"Serahkan adikmu!" teriak seseorang lainnya.
"Tidak!" teriak Luke. "Tidak akan!"
"Baiklah kalau begitu," seru Thomas Wade. "Kami sudah
memberimu kesempatan, Luke Fier."
Tiba-tiba beberapa obor berkobar. Sambil mengacungkan obor
itu tinggi-tinggi, para penunggang kuda itu mulai berderap mengitari
rumah. "Kalau keluarga Fier tidak mau meninggalkan rumah, mereka
akan terbakar hidup- hidup!"
Bab 5 "TIDAK!" teriak Luke saat seseorang melemparkan obor ke
rumah. Obor itu mendarat di serambi. Lidah api menari-nari di depan
jendela Luke. Leah menjerit. "Cepat! Kita harus keluar dari rumah!" teriak Luke sambil
mendorong Leah menjauhi jendela.
Ia mengangkat Corey dan mengikuti Leah keluar ke lorong.
Kaca-kaca berhamburan saat para penunggang kuda menjejalkan obor
melalui jendela. Di kejauhan, terdengar letusan senapan.
Asap mengepul dari tangga. Leah terhuyung-huyung. Luke
mendorongnya. "Ayo, Leah! Tidak ada jalan lain!"
Leah menuruni tangga dengan tertatih-tatih, Luke mengikuti
dekat di belakangnya. Leah terjatuh, dan Luke seketika menyambar
lengannya. Lengan Corey merangkul leher Luke erat-erat.
Luke terengah-engah menghela napas. Asap panas mengisi
paru-parunya dan menyengat matanya. Ia terbatuk-batuk dan
terhuyung-huyung menuruni tangga menembus kepulan asap hitam. Ia
merasa paru-parunya akan meledak. Luke mencoba mengendurkan
pelukan Corey, tapi Corey bertahan. Bocah kecil itu menekankan
kepalanya ke bahu Luke sementara ia terbatuk-batuk dan tercekik
karena asap. Kami akan mati, pikir Luke. Kami semua akan mati. Aku tak
bisa membiarkannya terjadi. Aku sudah berjanji akan menjaga
mereka. Kami harus berhasil mengatasi semua ini.
Mereka tiba di lantai bawah. Lidah-lidah api menggeliat-geliat
dan berputar, mencakari dinding. Dahi Luke berdenyut-denyut. Ia
merasakan panas mengepungnya.
Mereka harus keluar. Sekarang.
Ia berusaha memandang ke balik asap. Mereka bisa ke mana"
Dinding-dinding api ada di mana-mana.
"Depan!" jerit Luke. "Kita bisa keluar melalui ruang depan!"
Sementara lidah api menjilat-jilat kaki mereka, mereka bergegas
menyusuri lorong dan memasuki ruang depan. Lidah-lidah api
melompat-lompat dari dinding. Luke menghindarinya. Lidah api
menyengat wajahnya. Asap yang tajam membakar matanya.
Aku harus mengeluarkan Leah dan Corey, ulang Luke terusmenerus. Aku harus mengeluarkan mereka.
Leah berhenti berlari. Ia menatap api yang membakar ruangan
itu, seterang matahari siang hari. Air mata mengalir di wajahnya. "Tak
ada jalan keluar!" Jantung Luke berdebar kencang dalam dadanya. Ia memandang
sekelilingnya. Tirai api telah menghalangi ruangan di belakang
mereka. Lidah-lidah api yang lebih kecil melompat-lompat di pintu
depan. Ia mendengar langit-langit berderak menakutkan.
Luke tahu api tak butuh waktu lama untuk melahap habis rumah
kecil itu. Sesaat lagi rumah ini akan runtuh seperti rumah kartu,
menghancurkan mereka. Membakar mereka hingga menjadi arang.
Luke memindahkan Corey ke sampingnya. "Pegang bajuku,
Leah. Kita akan menerobos pintu," teriaknya.
Ia merasa Leah mencengkeram bajunya dengan dua tangan. Ia
mendengar Leah terisak-isak tanpa kendali. Ia meraih Corey dan
bergegas menuju ke pintu, sambil memiringkan bahunya, dan
mengempaskan diri ke kayu yang terbakar itu.
Pintunya roboh. Luke jatuh keluar, membawa Corey dalam pelukannya, dan
Leah berpegangan di punggungnya. Terengah-engah dan tercekik,
mereka terhuyung-huyung melangkah ke halaman depan. Luke
meletakkan Corey dan berbalik untuk memeriksa Leah.
Saat itu ia menyadari bahwa bahaya belum benar-benar berlalu.
Orang-orang berkuda telah mengepung Luke, Leah, dan Corey.
"Kalian seharusnya tetap berada di dalam! Kematian akan lebih
cepat datang dengan begitu," jerit Earl Wade. "Sekarang kalian akan
mati perlahan-lahan."
"Pengecut!" teriak Luke. "Kami tidak melakukan kesalahan apa
pun. Leah tidak bersalah!"
Kepungan para penunggang kuda itu semakin rapat. Luke
merasakan embusan napas panas kuda-kuda itu di wajahnya. Kudakuda itu berjajar berimpitan, begitu rapat hingga saling menempel.
Luke bisa mencium bau keringat mereka, bau tajam napas mereka
yang menusuk. Tidak ada jalan untuk meloloskan diri, pikir Luke. Para
penunggang kuda ini akan memastikan bahwa kuda-kuda mereka akan
menginjak-injak kami kalau mencoba untuk merangkak melewati
mereka. Luke merasa sesuatu yang kasar menyentuh pipinya. Ia
menyentakkan kepalanya dan melihat Earl Wade mengacungkan jerat
kulit di atas kepalanya. "Kami sudah membunuh semua ternakmu," kata Earl.
"Sekarang saatnya menggantung dirimu! Menggantung kalian
semua!" Tiba-tiba, sepotong atap yang menyala-nyala jatuh ke tanah.
Kuda-kuda itu mengangkat kaki depan mereka, mata mereka,
mereka meringkik ngeri. Luke menyambar Corey. Kuda-kuda itu meringkik ketakutan
sambil berbalik dan menghambur ke dalam kegelapan. Para
penunggang mereka berpegangan pada pelana masing-masing demi
keselamatan mereka, beberapa malah telah menggantung di sisi kuda.
Earl dan Thomas Wade yang pertama kali menghilang, hampirhampir tidak mampu mengendalikan kuda mereka. Dalam sekejap
yang lainnya menyusul. Halaman tiba-tiba sunyi sepi, bermandikan cahaya kekuningan
dari rumah yang terbakar.
"Sayang sekali," desah Leah. "Kuda-kuda sangat takut terhadap
api, kau tahu." "Ya, benar," jawab Luke pelan. Ia hampir tak percaya bahwa
mereka selamat. Tapi itulah kenyataannya. Akhirnya, keberuntungan
telah berpihak pada mereka. Paling tidak untuk saat ini.
Luke berbalik dan menatap rumah yang terbakar. Leah dan
Corey meringkuk di sampingnya. Ia memeluk bahu mereka sambil
menatap dalam kebisuan. Api meraung-raung. Lidah-lidah kemerahan menjilat-jilat
atapnya, dengan rakus melahap rumah itu.
"Mereka akan kembali. Kita tidak aman di sini," kata Luke
lelah. Dan aku tak tahu harus berbuat apa untuk menghadapinya, pikir
Luke. Aku tidak tahu bagaimana caranya menjaga Leah dan Corey
sekarang. Kami tidak punya makanan. Tidak punya uang. Aku bahkan
tidak membawa senapan. "Kita mau ke mana?" tanya Leah pelan.
Luke menghela napas panjang. "Malam ini kita akan mencari
tempat bersembunyi dalam hutan. Besok aku akan menyusun
rencana." Corey menarik-narik celana panjang Luke. Luke menunduk
memandang adiknya. Jelaga hitam menodai wajahnya yang kecil dan
bulat. Mata hijaunya tampak besar sekali. Bahunya yang mungil
Fear Street Sagas 07 Pembalasan Children Of Fear di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
merosot ke depan. "Aku juga kelelahan," kata Luke sambil mengangkat Corey ke
dalam pelukannya. "Tapi kita tidak bisa tinggal di sini."
Ia melangkah ke hutan yang membatasi lahan mereka.
"Leah, pegang bajuku agar kita tidak terpisah," kata Luke. Ia
melangkah masuk ke dalam hutan. Kanopi dedaunan yang tebal
menghalangi cahaya bulan.
Kaki Leah tersandung dan ia jatuh menimpa Luke. Luke
terhuyung-huyung maju sebelum akhirnya mampu menguasai
keseimbangannya. Corey mempererat cengkeramannya.
"Maaf," bisik Leah. "Aku tidak bisa melihat."
"Tidak apa-apa. Melangkahlah perlahan-lahan," kata Luke.
"Luke, di sini gelap sekali," kata Leah dengan suara pelan dan
gemetar. Mereka mendengar kepakan sayap seekor burung hantu saat
menukik di pepohonan. Cicitan melengking seekor tikus segera
terdengar. Lalu sunyi. Luke menatap ke dalam kegelapan. Rasanya seperti semua
makhluk tengah menanti untuk melihat siapa yang menjadi korban
berikutnya. Luke memindahkan Corey ke lengan satunya. Ia melangkah
maju. Ranting-ranting kering berpatahan terinjak kakinya.
Luke mendengar sesuatu menyelinap mencari perlindungan.
Tikus yang lain, pikirnya. Atau bajing. Tidak berbahaya. Ia
mencoba meyakinkan diri bahwa semua suara itu tidak berbahaya.
"Ayo," katanya kepada kedua adiknya dengan suara pelan.
Udara di sekitar mereka berubah dingin dan lembap saat mereka
melangkah semakin jauh ke dalam hutan. Sesemakan yang lebat
meredam suara langkah kaki mereka.
Luke mendengar Leah tersentak singkat dan pernapasan Corey
yang stabil... dan sesuatu yang lain. Ia mengira telah mendengar suara
lain. Ia berhenti. "Ada apa?" tanya Leah.
"Diamlah!" kata Luke pelan. "Kurasa aku mendengar sesuatu."
"Apa?" tanya Leah. "Apa yang kaudengar?"
"Kalian berdua, tahan napas kalian."
Luke berjuang keras untuk mendengarkan. Ia tidak mendengar
apa pun. Ia mengembuskan napasnya.
"Tidak apa-apa. Aku pasti sudah mendengar suara napasku
sendiri." Ia mendengar Leah mengembuskan napas lega dari mulutnya.
"Syukurlah!" "Ikuti aku. Kurasa aku melihat tempat perhentian di sebelah
sana," kata Luke. Ia membimbing mereka ke tempat berkas-berkas cahaya bulan
menerobos sela-sela dedaunan"tidak banyak, tapi cukup untuk bisa
melihat sebatang pohon besar berlubang yang telah runtuh.
"Ini bisa menjadi tempat perlindungan yang bagus," kata Luke
sambil meletakkan Corey di tanah.
Corey merangkak masuk. Lalu diikuti Leah.
"Tempat ini berbau busuk," katanya.
"Hanya bau kayu busuk," kata Luke tidak sabar. "Takkan
melukaimu." Sambil membungkuk, Luke masuk ke lubang pohon itu. Ia
harus melipat kakinya yang panjang hingga menempel ke dadanya.
Setiap otot di tubuhnya terasa sakit.
Kita tak bisa kembali ke pertanian, pikirnya mengambil
keputusan. Aku harus menemukan cara untuk menjaga keselamatan
Corey dan Leah. Besok, besok aku akan menyusun rencana.
Angin mengembus dedaunan di atas kepala mereka. Luke
merasa angin itu seolah tengah membisikkan rahasia. Cabang-cabang
saling beradu. Aku harus berjaga-jaga, pikir Luke tersadar. Tapi aku
kelelahan. Begitu kelelahan. Kelopak matanya terasa semakin berat.
Agar lebih nyaman, ia menggeser tubuhnya sedikit. Ia menatap
pepohonan berselimut kegelapan di dekatnya.
Dua mata kuning yang bercahaya tengah menatap dirinya.
Bab 6 LUKE menahan jerit ketakutannya.
Serigala" Beruang" Singa gunung" Kemungkinan-kemungkinan
yang mengerikan melintas dalam benaknya. Ia tak punya senapan.
Tidak ada perlindungan. Mungkin makhluk itu tidak melihatku, pikir Luke panik.
Mungkin dia tidak mengetahui kehadiran kami di sini.
Tapi lalu mata itu bertambah cerah... dan mulai bergerak...
perlahan-lahan menerobos kegelapan... perlahan-lahan menuju ke
batang kayu berlubang itu.
Jantung Luke berdebar kencang di dadanya. Mulutnya
mengering. Ia beringsut mundur.
Kembalinya Sang Pendekar Rajawali 40 Pendekar Mabuk 046 Kapak Setan Kubur Dendam Empu Bharada 24