Pencarian

Dendam Empu Bharada 24

Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana Bagian 24


dayang itu dengan latah memberi keterangan bahwa rembulan sedang ditelan oleh seorang
raksasa. Dan puteripun cemas, "Jika demikian kita tentu akan kehilangan bulan selama-
lamanya. Tiap malam tentu akan gelap gulita," seru puteri
"Tidak, gus puteri," jawab dayang "bulan adalah mus ka jagad. Tak mungkin raksasa mampu
menelannya, gusti " ,
"Tetapi nyatanya, bulan itu telah lenyap," masih puteri Teribuana yang masih kecil membantah.
"O, benar, gus ayu" seru dayang "akan hamba usahakan supaya raksasa itu ketakutan dan
muntahkan bulan itu kembali "
Puteripun terkejut "Benarkah engkau mampu mengusahakan " Bagaimana caranya, mban" "
"Raksasa itu takut kemanungsan atau diketahui orang. Hamba akan memukul kentung, tentulah
dia akan terkejut dan ketakutan lalu melarikan diri"
"Baiklah mban, segera saja engkau lakukan hal itu," kata puteri. Dan ke ka dayang, itu sudah
mulai memukul kentung, puteripun menyatakan hendak ikut memukul "O, hamba kira paduka tak
perlu memukul kentung, cukup apabila paduka suka berdoa kepada.dewata agar raksasa itu
dihalau" kata dayang. Dan ke ka puteri berdoa, ha nyapun berdebar-debar menunggu rembulan
memancarkan wajahnya kembali.
Puteripun melakukan hal itu di saat menunggu Wijaya sadar dari pingsannya. Bahkan rasanya,
debar ha nya lebih keras daripada dahulu dia menunggu rembulan memancar. Se ap penan an
tentu merisaukan dan menggelisahkan. Tetapi penan an yang dialami puteri Teribuana saat itu,
belum pernah dideritanya selama ini. Entah apa sebabnya, la tak tahu. Dan doa yang
dipersembahkan kepada dewatapun jauh lebih tandas dan lebih nalangsa daripada ke ka berdoa
supaya dewata menghalau raksasa yang menelan rembulan dulu. Rembulan amat berharga tetapi
entah apa sebabnya, kesembuhan Wijaya terasa lebih berharga bagi Teribuana.
"Raden," ba- ba tumenggung Bandupoyo berbisik pelahan namun terdengar juga oleh puteri
Teribuana yang cepat membuka mata "Ah" ia mendesah ke ka melihat Wijaya sudah menggeliat
duduk. "Paman tumenggung," seru Wijaya dengan suara lemah dan terus hendak berbangkit
"Jangan banyak bergerak dulu, raden. Duduklah yang tenang," cegah Bandupoyo.
Wijaya menurut Tetapi baru ia berkemas duduk, ba- ba ia terperanjat demi pandang matanya
tertumbuk pada seorang puteri cantik yang. berdiri tegak beberapa langkah dihadapannya.
"Tak perlu terkejut, raden," seru tumenggung Bandupoyo tersenyum melihat sikap Wijaya yang
terkejut. "Paman tumenggung ..... "
"Gus puteri Teribuana telah berkenan memberi pertolongan kepada raden dengan air Tirta
Amerta," Bandupoyo cepat menukas.
"O" serta merta Wijaya pun merunduk dan menghaturkan sembah "terima kasih, gusti puteri "
Wijaya heran mengapa tak terdengar puteri mengucap sepatah katapun. Bahkan saat itu ia
mendengar tumenggung Bandupoyo tertawa. Serentak ia mengangkat muka dan memandang ke
arah Bandupoyo. Dengan masih membekas tawa, tumenggung Bandupoyo berseru "Raden, mengapa engkau gugup
berhadapan dengan puteri yang masih kerabat raden sendiri" "
"Ah" Wijaya tersipu-sipu merah mukanya. Segera ia membayang dugaan bahwa tumenggung
Bandupoyo tentu sudah membuka rahasia dirinya kepada puteri.
"Apakah raden belum pernah mengenal gusti puteri?" tanya tumenggung Bandupoyo bcrsloroh.
"Sudah, paman " Wijaya menunduk.
"Apabila sudah, mengapa harus malu" "
Wijaya terkesiap. Ia merasa telah menghaturkan terima kasih kepada puteri Teribuana yang telah
menganugerahkan air Tirta Amerta kepadanya. Lalu apakah yang harus ia lakukan lagi"
"Jangan berterima kasih kepadaku, kakang," ba- ba puteri Teribuana berseru pelahan. Rupanya
puteri tahu akan keadaan Wijaya yang tersudut oleh, olok olok tumenggung Bandupoyo.
Wijaya terlongong "Lalu kepada siapa hamba harus menghaturkan terima kasih apabila dak
kepada paduka, gusti ?"
Puteri Teribuana tersenyum "Engkau ingin tahu, kakang" "
"Mohon paduka berkenan melimpahkan petunjuk, gusti "
"Baik, kakang," sahut puteri Teribuana "asal kakang mau menerima syaratku."
Kembali Wijaya tertegun "Syarat apakah yang gusti kehendaki dari hamba" "
"Engkau harus jujur."
Wijaya makin tercengang. "Apakah hamba tidak jujur" "
"Ya " Wijaya benar2 kehilangan faham. Ia bingung dan mengembarakan pandang mata untuk mencari
keterangan ke arah tumenggung Bandupoyo. Tetapi tumenggung itu hanya mengangkat muka,
menengadahkan kepala memandang langit-langit pendapa.
Wijaya heran. Jelas tumenggung Bandupoyo memberi isyarat tak mengetahui hal itu. Sesaat
Wijayapun harus berpaling kepada dirinya sendiri lagi. Ia tenangkan pikiran, membenahi ha ,
mulai meni jejak perjalanannya selama mengiku sayembara, masuk ke keraton sampai
menghadap baginda dan rubuh di lorong taman. Ia mengernyit dahi "Rasanya aku tak merasa telah
berucap bohong, ber ngkah culas," katanya dalam ha . Namun ia menyadari bahwa seseorang itu
sering tak merasa akan kesalahan yang dilakukannya.
"Gus puteri," akhirnya ia menyerah kepada puteri "mohon paduka berkenan menunjukkan
kesalahan hamba dan melimpahkan pidana kepada diri hamba"
"Apakah engkau masih ingat akan pertemuan kita di taman Boboci dahulu itu?" tanya puteril
"Masih, gusti," kata Wijaya "tak pernah melupakan peristiwa itu."
"Mengapa" "
Wijaya gelapan menerima pertanyaan itu. Dia bicara menurut perasaan hati, tidak dengan
pikiran. Pada hal kurang layak apabila dia mengungkapkan perasaan hatinya pada saat itu
dimana tumenggung Bandupoyo hadir. Namun ia sudah terlanjur mengucap kata. Haruskah ia
mengutarakan sejujur isi hati"
Merah wajah Wijaya apabila menyadari bahwa ia telah kelepasan omong. Lalu bagaimanakah ia
harus memberi jawaban"
"Bagaimana" Jawablah," puteri mengulang pula.
"Bagi seorang anak desa seper diri hamba, sudah tentu peris wa di taman Boboci itu,
merupakan peristiwa besar dalam sejarah kehidupan hamba, gusti "
"Maksudmu karena bertemu dengan aku ?"
"Demikan gus ," kata Wijaya tersipu "baru pertama kali itu dalam kehidupan hamba, hamba
bertemu dengan puteri agung kerajaan Singasari."
"Adakah kesan yang mengguris ha mu itu karena hanya mbul bahwa aku dan adinda Gayatri
itu puteri raja ataukah karena lain2 hal?"
"Ah," Wijaya mengeluh dalam ha . Mengapa puteri mendesak dengan pertanyaan yang
mengundang jawaban dari isi ha nya" Haruskah ia menjawab. "Tidak, gus , bukan karena paduka
puteri seri baginda Kertanagara, melainkan karena keagungan wajah paduka itu memancarkan
sinar matahari yang menyinari kehidupan hamba."
Merah pula wajah Wijaya manakala tertumbuk akan lamunan yang tak mungkin ia lafalkan
dalam ucapan. Puteri Teribuana sempat pula memperha kan perobahan cahaya muka Wijaya. Sebagai seorang
puteri luhur ia merasa malu sendiri mengapa harus mendesak pertanyaan sedemikian rupa. Maka
cepat iapun menyusuli ucap "Ketahuikah, kakang, aku juga seorang tah dewata seper kakang,
paman tumenggung dan lain2 orang. Puteri raja hanyalah dharma kehidupan yang digariskan
dewata kepadaku." Wijaya terkesiap. Ha nya makin merekah cerah mendengar ucapan sang puteri yang melukiskan
keluhuran budi dan keagungan peribadinya "Terima kasih, gusti "
"Kakang," seru puteri Teribuana pula dalam nada yang tandas "pada waktu itu, bukankah kakang
memberitahu bahwa nama kakang adalah Nararya " Mengapa sekarang kakang bergan dengan
nama Wijaya" " "Ah," kembali Wijaya mengeluh ha . Mengapa se ap pertanyaan puteri selalu sukar
dijawabnya" Haruskah ia menceritakan tentang hal ihwal ia menggan nama itu" Bukankah hal itu
akan mengungkap asal usul dirinya dan tujuan pengembaraannya"
"Sebenarnya samalah kedua nama itu, gusti. Nama hamba yang lengkap yalah Nararya
Sanggramawijaya. Jika dahulu hamba menggunakan nama di depan Nararya, sekarang hamba
berganti dengan nama yang di belakang Wijaya."
"O" desuh puteri Teribuana "Nararya Sanggramawijaya sebuah nama yang indah, yang hanya
layak disandang oleh priagung "
Wijaya terkesiap. "Tetapi mengapa dahulu kakang mengatakan seorang pemuda dari gunung" "
"Memang hamba dari gunung Kawi, gusti "
"Gunung Kawi tentu bukan tempat asal kakang melainkan tempat kakang berguru."
Wijaya makin padam semangatnya.
"Lalu siapakah nama rama kakang?"
Apa yang dicemaskan Wijaya muncul dalam kenyataan. Haruskah ia berbohong atau
haruskah ia berkata dengan terus terang " Apabila ia berbohong, pada hal puteri sudah
mengetahui, tidakkah ia akan mendapat teguran sebagai pembohong" Namun apabila ia
mengatakan terus terang, siapa dirinya, tidakkah asal-usul dirinya akan diketahui" Lambat atau
cepat, ia memang sudah menduga bahwa asal-usul dirinya pasti akan diketahui orang juga.
Tetapi ia tidak menginginkan hal itu terjadi sebelum ia berhasil menjadi senopati Singasari. Ia
hendak menghilangkan kesan orang, bahwa keberhasilannya mencapai pangkat senopati itu
bukanlah karena dia masih kerabat raja melainkan karena atas nilai diri peribadinya sendiri.
"Ksatrya pantang berbohong, raden" tiba2 tumenggung Bandupoyo menyelutuk tawa.
Wijaya menghela napas dalam ha . Kini ia menyadari bahwa sesungguhnya rahasia dirinya itu
sudah diketahui puteri. Tumenggung Bandupoyo tentu sudah memberitahukan hal itu. Ia
memicingkan mata ke arah Bandupoyo "Benar, paman tumenggung, sebagaimana halnya seorang
ksatryapun harus memegang kepercayaan."
Rupanya tumenggung Bandupoyo tahu kemana arah tujuan ucapan Wijaya. Jelas pemuda itu
menuduh dirinya telah memberitahukan rahasia itu kepada puteri Teribuana. Namun sebelum, ia
membuka mulut puteripun sudah mendahului "Kakang, apakah yang engkau anggap berat
apabila engkau mengatakah asal-usul dirimu " Tidakkah sikapmu itu berarti mengingkari
keluhuran nama rama dan ibumu " "
Serta merta Wijaya menghaturkan jawaban "bukan maksud hamba hendak mengingkari nama
orang-tua hamba, gus . Tetapi hamba menghendaki, agar segala sesuatu yang hamba capai dalam
perjalanan hidup hamba ini, lepas dari pengaruh kebesaran nama orang-tua hamba "
"Suatu pambek yang luhur," sambut puteri Teribuana "tetapi sikap yang kurang ksatrya.
Memang dalam melakukan segala tindakan, orang tentu tak dapat terhindar dari dua penilaian.
Penilaian baik dan penilaian buruk. Tetapi kitapun wajib menyadari bahwa sebaik-baik atau
seburuk-buruk penilaian orang tidaklah lebih baik atau lebih buruk dari penilaian kita kepada diri
kita sendiri. Kita bertindak melakukan dharma, bukanlah semata-mata bertujuan untuk mencari
penilaian orang, melainkan untuk memenuhi tanggung jawab kita terhadap dharma-hidup yang
telah digariskan oleh Hyang Widdhi Agung. Barangsiapa yang telah menyadari akan hal itu,
tidaklah dia akan bimbang, cemas dan samar akan segala langkah yang ditindakkannya.
Karena apa " Karena dia tak mempunyai rasa pamrih terhadap diri peribadinya "
Wijaya terpukau mendengar rangkaian kata2 yang bermutu nggi itu meluncur dari sepasang
bibir merekah merah dari seorang puteri yang can k jelita. Semangatnya melayang-layang kembali
kepada suasana ke ka ia masih berada di puncak gunung. Malam itu resi Sinumaya menguraikan
tentang duduknya manusia dalam alam kehidupan "Rasa memiliki diri peribadi atau sang Aku,
merupakan sumber kegelisahan, ketakutan dan kebingungan. Kegemaran akan rasa sang Aku itulah
yang membelenggu kebebasan pikiran dan ba n kita. Jika ingin hidup tenang, bebaskan dirimu dari
kegemaian rasa sang Aku itu."
"Benar, gus ayu," seru tumenggung Bandupoyo "raden Wijaya bermaksud hendak
menyingkirkan peribadi ke-Aku-annya tetapi dia justeru terbelenggu pada rasa ke-Aku-annya."
Saat itu makin sadarlah pikiran Wijaya bahwa apa yang dikatakan puteri Teribuana memang
benar "Duh, gustri puteri, maa an kekhilafan hamba. Paduka telah memberi sinar penerangan
kepada bathin hamba."
Puteri Teribuana tersenyum "Ah, dak kakang, aku tak dapat memberi sinar penerangan tetapi
ha mu sendirilah yang telah terbuka. Karena pada hakekatnya, terang atau gelap ha itu adalah
menurut perasaan kita sendiri"
"Benar gus ," sahut Wijaya "gus , hamba mengaku bersalah kepada paduka karena telah
memberi keterangan bohong. Maka mohon paduka segera melimpahkan tah untuk menjatuhkan
pidana kepada diri hamba"
"Ya," puteri Teribuana mengangguk "hukuman itu sifatnya bukan untuk membalas pada yang
telah dilakukan oleh yang bersalah, melainkan untuk menyadarkan dia dari kesalahan. Karena
kakang telah mengakui kesalahan itu maka akupun hendak menjatuhkan pidana kepada
kakang." "Baik, gus ," kata Wijaya "apapun pidana yang hendak gus limpahkan, pas akan harnba
lakukan dengan keikhlasan hati."
"Benar" " puteri menegas.
"Demi Batara Agung "
"Paman tumenggung supaya menjadi saksi," seru Teribuana. Dan ke ka tumenggung Bandupoyo
memberi persetujuan, puteripun berkata pula "Engkau harus menjawab pertanyaanku dengan
sejujurnya dan melakukan permintaanku, kakang."
"O, baiklah gusti puteri "
"Siapakah nama rama kakang ?"
Wijaya terkejut ke ka puteri mengulang pertanyaan itu pula. Walaupun heran namun karena
sudah berjanji, iapun memberi keterangan juga.
"Rama hamba adalah rama Lembu Tal. "
"Putera-siapakah ramanda Lembu Tal itu?"
"Putera eyang Batara Narasingamurti. "
"Siapakah rama dari eyang Batara Narasingamurti" "
"Eyang buyut Mahisa Wonga Teleng"
"Siapakah ibunda eyang buyut Mahisa Wonga Teleng" "
"Eyang buyut puteri Ken Dedes "
"Benar," puteri Teribuana berhen sejenak lalu melanjutkan pula "siapakah ramanda baginda
dari Kertanagara raja Singasari yang sekarang ini" "
"Sang prabu Wisnuwardhana."
"Siapakah ramanda dari prabu Wisnuwardhana" "
"Sang Anusapati "
"Siapakah ibunda dari sang Anusapati" "
"Pradnaparamita Ken Dedes "
"Jika demikian paman Lembu Tal itu masih mempunyai hubungan keluarga dengan baginda
Kertanagara dari garis keturunan eyang buyut puteri Ken Dedes, bukan " "
"Demikianlah, gusti puteri "
"Jika demikian pula, kakang ...." agak meragu puteri hendak melanjutkan ucapannya.
Tiba2 tumenggung Bandupoyo menyambu "Raden Wijaya masih saudara sepupu dengan gus
ayu." "Ah, paman tumenggung," Wijaya tersipu-sipu menunduk..
"Apakah raden hendak membohongi gusti ayu ataukah hendak membohongi diri raden sendiri" "
"Tetapi paman," Wijaya gopoh membantah "layakkah hamba yang hina dina begini, menjadi
saudara sepupu dari gusti puteri ?"
"Kakang Wijaya," seru puteri Teribuana "kenyataan itu suatu hal yang mutlak benar. Adakah
engkau hendak menyangkal bahwa surya itu pas terbit dari arah mur dan tenggelam ke arah
barat ?" "Tetapi gusti, bagaimana hamba...."
"Kakang," tukas puteri "engkau telah berjanji akan menerima pidana apapun yang hendak
kuberikan kepadamu."
"O, benar, gusti," Wijaya terbata-bata.
"Sekarang dengarkanlah pidana yang kuberikan kepada kakang," seru puteri Teribuana "pertama,
kakang harus menyatakan sikap sebagai diri kakang, raden Nararya Sanggramawijaya putera Lembu
Tal. Kedua, kakang harus menyesuaikan segala ucap, ngkah, sikap dan pikiran kakang dengan
keadaan diri kakang yang sebenarnya. Demikian pidana yang kujatuhkan pada diri kakang Wijaya."
Wijaya terbeliak "O, mengapa gusti ?". "
"Kakang Wijaya," tukas puteri pula "engkau seorang ksatrya yang ingkar janji."
"Hamba .... hamba ingkar janji dalam soal apa, gus ?" tersendat-sendat Wijaya meminta
keterangan. "Minta per mbangan kepada paman tumenggung," kata puteri Teribuana "setelah menyadari,
barulah aku datang kemari lagi." Setelah berkata maka puteripun segera melangkah, masuk ke
dalam keraton keputren. Wijaya terlongong-longong. Ia tak menger apa yang dikehendaki puteri. Serentak ia mencari
sumber tempat ia harus menimba jawaban "Paman tumenggung, apakah yang gus puteri
menghendaki dari aku. Berikanlah, paman, per mbangan agar aku dapat memperbaiki apa yang
salah padaku " Tumenggung Bandupoyo tersenyum "Sebenarnya hal itu sudah jelas dan mudah sekali. Hanya
karena perasaan raden masih tercengkam oleh rasa samar dan takut, maka pikiran radenpun ikut
tidak terang." "Tolonglah berikan penerangan, paman."
"Raden sudah mengakui sebagai putera gus Lembu Tal. Mengakui pula bahwa rama raden dan
baginda Kertanegara masih terikat hubungan darah dari garis keturunan gus , ratu Ken Dedes.
Dengan demikian raden masih saudara sepupu dengan gus puteri Teribuana dan Gayatri. Gus
puteri tentu merasa tak senang karena raden selalu menyebutnya dengan sebutan 'gusti puteri' "
"O" kini raden Wijaya tersadar akan kekhilafan hal itu "jika begitu, bagaimanakah aku harus
menyebutnya, paman?"
"Karena raden lebih tua, sebutlah dengan kata diajeng atau terserah bagaimana raden hendak
memilih sebutan asal jangan "gusti' "
Wijaya tertegun hingga beberapa saat dia tampak diam termenung.
"Mengapa raden ?" tegur tumenggung Bandupoyo "adakah yang masih mengganjel dalam ha
raden " " "Tidak, paman" kata Wijaya "hanya sesungguhnya aku belum menginginkan hal ini terjadi
sekarang apabila paman tidak ... "
"Baik, raden," cepat tumenggung Bandupoyo menanggapi "semua memang paman yang bersalah.
Tetapi ketahuilah, raden Paman terpaksa ber ndak demikian, demi paman hendak
memperjuangkan langkah raden supaya berhasil memenangkan sayembara itu."
"O" Wijaya mengernyit dahi.
"Karena merentang gendewa pusaka kyai Kagapa maka raden menderita luluh tenaga, lulus
bayu nadi. Seri baginda telah berkenan meluluskan hendak menganugerahi obat kepada raden.


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tetapi obat itu dak pada baginda melainkan pada kedua gus puteri Teribuana dan Gayatri. Demi
mengharap agar usaha paman memohon obat kepada gus ayu Teribuana berhasil maka paman
terpaksa mengungkapkan asal usul diri raden. Dan ternyata gus ayu Teribuana terkejut dan segera
berkenan memberikan obat itu kepada raden."
"O, apakah air yang diminumkan kepadaku itu ?"
"Ya " "Apakah namanya paman" "
"Bagaimana perasaan raden sekarang " "
"Sudah tidak selunglai beberapa waktu yang lalu, paman."
"Itulah khasiat dari Tirta Amerta yang diberikan gusti ayu Teribuana kepada raden. Baginda
tidak menyimpan, karena itu milik rahyang ramuhun prabu Wisnuwardhana yang dianugerahkan
kepada cucunda sang dyah ayu Teribuana dan sang dyah ayu Gayatri. Dengan meminum air
Tirta Amerta itu, kekuatan raden akan pulih kembali. Besok raden tentu dapat maju ke
gelanggang pertandingan dengan semangat yang penuh"
"O, terima kasih paman tumenggung" serta-merta Wijayapun menghaturkan terima kasih kepada
Bandupoyo. "Jika raden benar2 berterima kasih atas usaha paman ini" kata tumenggung itu pula "hanyalah
dengan cara bahwa raden akan berusaha memenangkan sayembara itu, bukan dengan pernyataan
kata-kata saja." "Ah" Wijaya mengangguk. Diam2 ia merasa periha n atas ucapan tumenggung itu. Ia menyadari
betapa besar jerih payah tumenggung itu berusaha untuk menampilkan dirinya sebagai senopa .
Mulai dari usaha mencari ke gunung Kawi hingga mengusahakan penyembuhan tenaganya yang
lunglai akibat gendewa pusaka keraton "Baik paman tumenggung," akhirnya ia kerkata "akan
kuusahakan dengan sekuat tenagaku agar harapan dan kepercayaan paman atas diriku itu takkan
sia-sia." "Begitulah yang paman harapkan, raden."
Sejenak kemudian Wijaya bertanya "Paman tumenggung, adakah kita harus menan kehadiran
gusti.... diajeng Teribuana lagi?"
"Paman rasa tak perlu," kata tumenggung Bandupoyo seraya beranjak dari duduk "mari, raden."
"Kemana, paman tumenggung" "
"Menghadap gusti ayu Gayatri."
"Mengapa " "
"Tirta Amerta harus dilambari pula dengan minyak Padmasari barulah benar2 kekuatan tumbuh
sempurna. Tirta Amerta berada pada gus ayu Teribuana dan minyak Padmasari berada pada gus
ayu Gayatri." "Maksud paman tumenggung hendak membawa aku ke keraton gusti Gayatri?" .
"Ah, mengapa raden masih menyebut 'gusti'?"
"Tetapi diajeng Gayatri tentu belum mengetahui asal-usul diriku. Betapa marahnya apabila aku
terus langsung menyebutnya diajeng, paman."
Tumenggung Bandupoyo tertawa "Soal itu serahkan saja kepada paman."
Mereka segera menuju ke keraton tempat kediaman puteri Gayatri. Se ba di pendapa keputren,
maka tumenggung mempersilakan Wijaya menunggu sementara dia hendak masuk menghadap
puteri lebih dulu. Pada saat itu malam sudah makin gelap namun tumenggung Bandupoyo yang sudah biasa dan
faham akan lingkungan keraton, dak merasa canggung. Pada saat melangkah di halaman keraton
kediaman puteri, ia terkejut ke ka melihat sesosok bayangan hitam loncat ke atas dinding pagar.
Serentak tumenggung Bandupoyo mencabut pedang dan terus loncat memburu "Turun! "
hardiknya bengis. Orang itu sudah berhasil menggapai puncak dinding tembok dan sekali ayun, dia tentu sudah
dapat mengangkat tubuh ke puncak tembok dan terus loncat turun keluar tembok pagar keraton.
Ia terkejut ke ka mendengar bentakan tumenggung Bandupoyo yang penuh bernada kemarahan.
Sebenarnya ia hendak melanjutkan usahanya untuk naik ke puncak tembok dan terus melarikan
diri. Namun rupanya ia sudah mengenal nada suara orang yang mengancamnya itu maka iapun
lepaskan cekalan pada puncak tembok dan meluncur turun ke bawah lagi.
"Engkau Kuti," teriak tumenggung Bandupoyo penuh kejut ketika mewaspadakan siapa orang itu.
"Benar, kakang Bandu, memang aku Kuti," sahut orang itu.
"Mengapa pada malam hari engkau hendak memanjat
tembok keraton" "
"Aku hendak kembali ke pondokku, kakang."
"Disini keraton, bukan...."
"Ah, mengapa kakang Bandu amat pelupa "sahut Kuti, "aku masih berada dalam keraton."
Bandupoyo terkejut. Ia segera teringat akan peris wa keributan dari prajurit bhayangkara
keraton yang hendak membunuh Wijaya. Saat itu Ku muncul untuk mencegah peris wa itu.
Karena ribut2 dan gopoh hendak menolong Wijaya, maka Bandupoyo pun melupakan diri Ku . Ia
mengira tentulah Kuti sudah pergi dari keraton "Jadi sejak tadi engkau belum pergi dari sini?"
Kuti gelengkan kepala "Belum."
"Lalu ke manakah engkau" Apa yang engkau lakukan dalam keputren ini, Ku ?" tumenggung
Bandupoyo tak kuasa menekan perasaan kejut dan cemasnya pada nada ucapannya.
"Menghadap gusti puteri Gayatri."
Terbelalak tumenggung Bandupoyo mendengar jawaban itu "Apa katamu, Kuti" " ia menegas
karena kuatir salah dengar.
"Menghadap sang dyah ayu gusti Gayatri "
"Kuti!" teriak Bandupoyo serentak "jangan berolok-olok."
"Sama, sekali aku dak berolok-olok, kakang tumenggung. Memang aku telah menghadap gus
puteri Gayatri." Meluap kemarahan tumenggung Bandupoyo saat itu. Hampir ia tak dapat menguasai diri lagi.
Tetapi untunglah kesadaran pikirannya membias. Ia tahu bahwa Kuti itu seorang muda yang
sakti mandraguna. Tentu ada sebabnya mengapa dia berani lancang masuk keraton dan
menghadap puteri Gayatri. Baiklah ia mendengar dulu keterangan Kuti dan mempertimbangkannya. Apabila Kuti benar2 telah bertindak melanggar undang-undang, ia
dapat mempersiapkan pasukan bhayangkara yang malam itu bertugas menjaga keraton untuk
menangkapnya. "Kakang tumenggung," kata Ku dengan nada tenang "kutahu bagaimana perasaan kakang.
Tetapi kuminta hendaknya janganlah kakang merasa tersinggung karena tanpa melalui idin yang
berwenang, aku telah lancang menghadap puteri Gayatri" Dan hal itu memang telah kujangkau
dengan mempertaruhkan jiwaragaku. Namun, andaikata kakang tetap merasa tersinggung, akupun
tak dapat menghalangi tindakan kakang untuk menyiapkan pasukan bhayangkara menangkap aku."
"Hm, kurang ajar, dia tahu isi ha ku," kata tumenggung Bandupoyo dalam ha . Kemudian ia
berkata "Terangkanlah semua hal yang engkau lakukan di keputren ini."
"O, kakang ingin mengetahui ?"
"Akan kupertimbangkan."
Ku tersenyum. Wajahnya menampilkan suatu tekad yang telah membaja dalam ha bahwa
betapapun akibatnya, dia memang sudah siap menghadapi untuk mengantar langkahnya
menghadap puteri Gayatri itu.
"Kedatanganku ke pura Singasari, bermula adalah hendak ikut serta dalam sayembara pilih
senopa . Sebagai seorang muda, akupun bercita-cita nggi. Ingin mengabdi kepada kerajaan, ingin
meraih pangkat kedudukan yang nggi, ingin menciptakan nama yang masyhur dan segala macam
keinginan yang lazim dimiliki oleh setiap orang muda."
"Sebenarnya dalam ga acara lomba yang dilangsungkan pagi tadi, aku tentu dapat
memenangkan semua. Tetapi rupanya nasib belum mengidinkan diriku. Juga dalam lomba
merentang busur pusaka keraton Singasari, aku merasa yakin tentu mampu. Aku hampir berhasil
merentang busur pusaka itu andaikata dak terjadi sesuatu yang menimpa pada diriku. Sesuatu
yang menggagalkan usahaku merentang busur pusaka itu tetapi yang memberi sinar harapan bagi
kehidupanku. Engkau tahu kakang tentang apakah yang menyebabkan kegagalanku itu ?"
Tumenggung Bandupoyo menggeleng sarat.
"Sepasang mus ka yang berkilau-kilauan laksana bintang mur, kakang, yang telah
mempesonakan pikiranku, menikam uluha ku sehingga tali busur yang sudah hampir berhasil
kurentang itu, mengatup pula."
"Mustika berkilau-kilauan laksana bintang timur" Apakah itu"," tumenggung Bandupoyo heran.
"Sepasang manik mata yang terpancang pada sebuah wajah bulan penuh, bertaut sepasang alis
bagai kiliran taji, memancar sinar berseri agung yang menyuramkan semua wajah-wajah dan
menyemarakkan suasana saat itu .... "
"Kuti," tukas tumenggung "apa bicaramu itu" Apakah engkau sadar sedang bicara dengan aku?"
"Ya" sahut Kuti "akupun telah memberi keterangan yang sebenarnya, kakang."
"Tetapi keteranganmu itu suatu sanjungan kepada kecantikan wanita."
"Memang begitulah, kakang," kata Ku "pesona itu berasal dari seorang wanita. Tetapi bukan
wanita sembarang wanita melainkan, seorang wanita agung mustika jagad, kakang."
Tumenggung Bandupoyo mengerut kening "Siapa yang engkau maksudkan itu?"
"Sang dyah ayu puteri Gayatri."
"Engkau gila!" hardik tumenggung Bandupoyo "bukankah puteri Gayatri itu puteri baginda" "
Kuti menghela napas "Benar, kakang, tetapi aku tak berdaya dan terpaksa harus menyerah."
"Menyerah kepada siapa" "
"Menyerah kepada suara ha ku, kakang," kata Ku "walaupun pikiranku menyatakan bahwa hal
itu mustahil terlaksana namun hatiku tetap meronta"
"Ku ," kata tumenggung Bandupoyo setelah menenangkan diri "jangan engkau turu suara ha
yang buta tetapi lakukanlah apa yang pikiranmu berkata. Sebelum terlanjur kuyub, lebih baik
segera engkau kubur saja segala lamunan hatimu itu."
"Jangan.sekejam itu, kakang Bandu," kata Ku "suara ha adalah sentuhan rasa seja anugerah
dewata agung. Lebih baik kukubur jasadku daripada harus mengubur suara hatiku, kakang."
"Kuti !" "Kakang Bandu," cepat Kuti menyambut "aku datang ke pura Singasari karena hendak
mengikuti sayembara senopati. Aku datang dengan membawa cita-cita sebesar gunung,
setinggi langit. Tetapi ketika hatiku terpanah oleh pesona itu, gugurlah seluruh cita-citaku. Aku
tak menginginkan pangkat tinggi, kedudukan agung, kekuasaan besar, nama termasyhur lagi.
Hanya satu yang kini menjadi tujuan hidupku. Aku harus memiliki mustika itu karena itulah dzat
kehidupanku. Lebih baik Kuti mati daripada hidup tanpa dzat itu."
"Ku ," teriak tumenggung Bandupoyo agak keras dan agar tak diputus Ku , iapun cepat
melanjutkan "suara ha itu selalu tamak. Jika dibiarkan rasanya ingin jagad ini dikuasainya. Jika
dibebaskan, ingin rasanya dewa diperintahnya. Jika digelar, suara itu akan memenuhi jagad raya.
Tetapi yang kuasa dalam diri kita ini adalah pikiran. Karena dialah kesadaran kita. Tanpa
kesadaran, jagad kecil jasad kita ini akan kacau balau dengan imbauan suara ha . Wahai Ku ,
sadarlah engkau, sebelum engkau mengalami kehancuran."
"Tidak kakang," bantah Ku "suara ha itu adalah dzat hidup dan pikiran hanyalah sarana untuk
mengusahakan terlaksananya suara hati itu."
"Ku ," kata tumenggung Bandupoyo "ketahuilah bahwa dewata telah menggaris perjodohan
insan itu sesuai dengan pembawaan hidupnya masing- masing. Dewa dengan dewi, raja atau
ksatrya dengan puteri, raksasa dengan raksasi, demikian selanjutnya ... "
"Jika demikian salahkah kalau Kuti mencita-citakan suara hatinya itu " Bukankah setelah
menjadi senopati kerajaan Singasari, Kuti itu juga seorang kasta ksatrya " Apa salahnya kalau
dia bercita-cita hendak mempersunting seorang puteri ?"
"Apakah engkau yakin pasti dapat memenangkan sayembara itu ?"
"Kakang Bandu," sahut Ku "kiranya engkau tentu sudah kenal akan watak Ku . Jika ada
harapan menang, tak mungkin aku akan memasuki sayembara itu. Apa yang terjadi besok pagi,
akan membuktikan kebenaran dari ucapan ini."
Tumenggung Bandupoyo terkejut dalam ha . Ia memang kenal siapa dan bagaimana watak Ku .
Dan iapun yakin bahwa Ku tentu memiliki kesak an yang mampu mengatasi ksatrya ksatrya
pengikut sayembara "Hm, wataknya memang keras. Makin dilarang dia makin nekad. Lebih baik
kutelusuri secara halus apa sebenarnya yang dikehendaki dan bagaimana rencananya," diam2
Bandupoyo menimang dalam hati.
"Ku ," katanya "jika engkau tetap berkeras hendak menuru suara ha mu, akupun tak dapat
mencegahmu. Tetapi ingat Ku , selama engkau tak melanggar batas-batas kewibawaan tugasku,
akupun tak ingin ikut campur. Maka jagalah hal itu agar hubungan kita tetap seperti sediakala."
"Baik kakang tumenggung," Kuti memberi janji.
"Ku , bagaimana engkau berani memasuki keputren tempat kediaman gus puteri Gayatri dan
menghadap puteri"," tiba2 Bandupoyo teringat bahwa ia belum mendengar keterangan tentang hal
itu. "Untuk menenangkan perasaan ha ku yang selalu gundah dan risau, terpaksa aku harus
memberanikan diri untuk menghadap gus puteri Gayatri. Rupanya dewata telah mengabulkan
pemohonanku. Ke ka aku sedang hilir mudik di luar tembok, keraton, ba- ba kudengar jeritan
seorang dayang. Tanpa ragu-ragu lagi akupun segera loncat tembok keraton dari masuk ke
halaman. Saat itu, kulihat seorang bhayangkara sedang berlari-lari menghampiri sesosok tubuh
yang menggeletak di tanah dan terus hendak menombaknya. Aku terkejut dan serentak loncat
menepis tombak prajurit itu. Kemudian kakang Bandupun muncul."
"Setelah kakang membawa orang yang menggeletak itu, maka nggallah aku seorang diri. Aku
segera menyuruh dayang mengantarkan ke keputren tempat kediaman gus puteri Gayatri.
Terkejut sekali puteri melihat kedatanganku tetapi akupun segera menerangkan Siapa diriku. Begitu
pula kuhaturkan peris wa yang telah kulakukan ke ka dapat menemukan kaca wasiat gus puteri
Teribuana yang hilang beberapa waktu yang lalu."
"Gus puteri Gayatri segera mengenali aku sebagai ksatrya yang ikut dalam lomba sayembara
pagi tadi. Lalu puteripun bertanya apa maksud kedatanganku menghadapnya pada malam itu
"Gus , maksud hamba menghadap paduka tak lain hanya hendak mohon keteduhan dan
pengayoman paduka." "Keteduhan dan pengayoman apa yang engkau kehendaki?" puteri agak terkejut.
"Berkenankah paduka meluluskan cerita hamba" "
"Uh, engkau sudah berani menghadap kemari, engkaupun wajib menghaturkan keterangan dari
maksud kedatanganmu itu."
"Baik, gus " kata Ku "terus terang, dalam lomba merentang busur pusaka kerajaan Smgasari
pagi tadi, hamba telah kehilangan suatu kesempatan. Hamba sebenarnya mampu merentang busur
pusaka itu tetapi adalah karena suatu cahaya gemilang yang memukau ha maka hamba terpesona
dan hilanglah seluruh pemusatan tenaga yang telah hamba himpun dalam tangan hamba.
Akibatnya hambapun gagal."
"Cahaya gemilang apakah yang telah memukau engkau sedemikian rupa itu "."
"Sebelum menghaturkan kata, lebih dahulu hamba mohon diampunkan apabila kata-kata hamba
ini tak berkenan di ha paduka. Sesungguhnya cahaya gemilang yang memukau ha hamba itu
berasal dari kursi kebesaran dalam bangsal agung yang berada di muka gelanggang pertandingan
itu " Puteri Gayatri terkesiap. Sayup-sayup ia seper dapat menangkap apa yang dilukiskan Ku . Kursi
kebesaran dalam bangsal agung itu telah disediakan ga buah tetapi yang terisi hanya dua buah
yani yang dipakainya dan dipakai ayundanya dyah Teribuana. Sedang kursi kebesaran yang sebuah
sebenarnya diperuntukkan baginda tetapi baginda tak perkenan hadir.
"Jika cahaya itu mengganggu perasaan ha mu sehingga engkau terpukau kehilangan tenaga,
mengapa tak engkau laporkan kepada demang Widura yang bertugas mengepalai sayembara itu ?"
tegur puteri Gayatri. "Ah, tidak gusti puteri," kata Kuti dengan menghela napas.
"Tetapi bukankah engkau menderita kerugian karena gagal merentang busur pusaka itu " "
"Demikianlah, gus ," kata Ku "tetapi kerugian yang hamba derita itu masih jauh memadai dari
kebahagiaan yang hamba rasakan dari pancaran sinar agung itu. Hamba rela sepenuh kerelaan ha
hamba, gusti." Puteri Gayatri kerutkan alis yang berbentuk seper bulan sabit "Aneh," gumamnya "apakah
sesungguhnya cahaya gemilang yang engkau rasakan itu ?"
"Apakah paduka tidak murka apabila hamba menghaturkan keterangan dengan sejujurnya?"
"Katakanlah " "Cahaya agung itu berasal dari kursi kebesaran yang berada di jajaran sebelah kiri kursi agung
baginda." "Eh, itulah kursi yang kududuki," serentak Gayatri berseru kejut.
"Demikianlah, gus " Ku bergegas menghaturkan sembah "memang dari situlah sinar cemerlang
itu memancar." "Engkau maksudkan kursi kebesaran yang kududuki itu memancarkan sinar gemilang?"
"Bukan, gusti "
Puteri Gayatri makin heran "Lalu dari mana sinar gemilang itu?"
"Gus , hamba mohon ampun atas kelancangan ucap hamba tetapi hamba terpaksa harus
menghaturkan kata bahwa sinar gemilang itu tak lain berasal dari paduka sendiri .... "
"Ku !" teriak puteri Gayatri seraya beranjak dari tempat duduk dan memandang Ku dengan
tajam. Wajah puteripun bertebar merah "engkau berani mengatakan begitu " Engkau tahu saat ini
sedang berada dinana dan berhadapan dengan siapa ?"
Ku pun menghaturkan sembah "Hamba sadar sesadar-sadar kesadaran hamba gus . Bahwa
saat-ini hamba sedang menghadap gus puteri sang dyah ayu Gayatri, puteri baginda Singasari
yang termasyhur." "Mengapa engkau berani lancang ucap" Apakah engkau tak takut apabila kuperintahkan dayang
untuk memanggil prajurit penjaga keputren menangkapmu?"
"Memang hambapun sudah menyadari hal itu."
"Dan karena engkau tetap berani melakukannya, engkau tentu sudah mempunyai andalan untuk
lolos dari ktraton ini " "
"Gus puteri junjungan hamba," kata Ku "apabila menutu darah ksatryaan yang hamba haya
selama beberapa belas tahun berguru seorang resi sak , hamba sanggup untuk menghadapi
kepungan prajurit bhayangkara yang hendak menangkap hamba. Tetapi bukan begitu maksud
hamba. Apabila hamba ditangkap, hamba akan serahkan diri. Karena hamba sudah melaksanakan
suara ha hamba untuk menghadap paduka yang menjadi sesembahan kehidupan hamba di
arcapada ini. Demikian pula, kiranya seri baginda yang mulia, tentu takkan menjatuhkan pidana
kepada diri hamba karena hamba masih menerima janji baginda untuk diberi ganjaran berkat
hamba dapat menemukan kaca wasiat gusti puteri Teribuana yang lalu."


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Gayatri menghela napas. Ia memang mendengar peristiwa itu. Ia makin menyadari bahwa
Kuti memang sakti mandraguna. Pada lomba merentang busur pusaka, sebenarnya setiap
peserta tentu selalu diikuti dengan penuh perhatian oleh seluruh penonton. Demikian pula iapun
selalu mencurah pandang pada setiap ksatrya yang naik gelanggang. Memang pada saat Kuti
sedang merentang busur, tiba-tiba dia melepas pandang ke arah bangsal agung dan pandang
matanya terbentur dengan pandang puteri Gayatri. Puteri sempat memperhatikan "bahwa pada
saat itu mata Kuti memancar sinar berkilat-kilat dan terpukau. Sedemikian tajam pancaran sinar
mata Kuti ke arahnya sehingga Gayatri menundukkan kepala. Puteri baru mengangkat muka
pula ketika terdengar sorak bergemuruh mengantar kegagalan Kuti.
Serambut dibelah tujuhpun puteri Gayatri dak menyangka bahwa pancaran pandang mata yang
dilepaskan untuk mengiku se ap ksatrya, termasuk Ku waktu merentang busur itu, ditafsirkan
lain oleh Ku . Diam2 puteri menertawakan kenaifan Ku tetapi di samping itu, diapun kagum atas
keberanian Kuti yang nekad masuk ke dalam keraton untuk menghadapnya.
Puteri Gayatri termenung dalam keheningan. Haruskah ia murka akan tindakan Kuti " "Ah,
setiap insan bebas untuk merasakan sesuatu dalam hatinya," pikirnya. Bahwa Kuti terlalu
melonjak pada keadaan yang tak sesuai bagi dirinya, lebih layak dikasihani daripada dicemoh
ataupun ditangkap." Dia telah mengunjukkan keberanian sebagai seorang ksatrya jantan.
Diapun tak bersikap kurang tata dihadapanku. Dia telah berjasa menemukan kaca wasiat
ayunda Teribuana. Haruskah aku murka dan memerintahkan supaya dia ditangkap ?"
Gayatri tertarik akan ajaran dalam kitab veda dan pitaka. Ajaran tentang kejiwaan, derita dan
keutamaan budi, keluhuran dharma, dihayatinya dengan penuh pengertian.
"Berilah air kepada yang kehausan, keteduhan pada yang kepanasan dan penerangan
kepada yang sedang menderita kegelapan hati," serentak puteri itupun teringat akan sebuah
ajaran luhur. Kuti sedang menderita kegelapan hati. Harus diberi penerangan bukan diberi
hukuman. Akhirnya ia membulatkan penimangan. Dan kesadaran pikirannyapun mengatakan
bahwa suatu perintah penangkapan hanya akan menimbulkan kehebohan yang akibatnya tentu
akan tersiar ke seluruh pura. Kuti dihukum tetapi tidakkah peristiwa itu meninggalkan cemarkan
pada diri puteri" "Ku ," akhirnya puteri berujar dengan nada agak tenang "mengingat engkau telah berjasa
menemukan kaca wasiat milik ayunda Teribuana, untuk kali ini perbuatanmu berani menghadap ke
keputren ini dapat kumaafkan."
"Beribu syukur hamba persembahkan ke hadapan paduka, gusti," Kuti memberi sembah.
"Tetapi jangan engkau ulang lagi. Aku tak membenarkan ndakanmu itu, kecuali engkau
mendapat idin dari rama prabu."
"Terima kasih, gusti "
"Sudah cukup lama engkau berada di sini," kata puteri Gayatri "sekarang katakanlah apa
sesungguhnya maksud kedatanganmu ini!."
Setelah mendapat ha dari Gayatri, Ku pun tak canggung lagi. Perasaannya yang tajam dapat
meneropong isi ha puteri bahwa puteri memberi kelonggaran kepadanya untuk mengutarakan
apa yang terkandung dalam ha nya "Gus , besok adalah hari terakhir dari sayembara
pengangkatan senopa kerajaan Singasari. Dan dengan segala kerendahan ha , hamba mohon
menghaturkan kata bahwa menurut wawasan hamba, kiranya ada ksatrya dalam sayembara itu
yang mampu menandingi kedigdayaan hamba."
"Jangan lekas yakin akan lamunan sebelum menjadi kenyataan," ujar puteri Gayatri.
"Terima kasih, gus . Tetapi keyakinan hamba ini bukan suatu lamunan melainkan hasil dari
penjajagan yang telah hamba lakukan terhadap mereka."
Gayatri terkejut namun ia tahan dalam ha . Bahwa apa yang disanggupkan oleh Ku pas akan
menjadi suatu kenyataan, telah dibuk kan dalam peris wa menemukan kaca wasiat puteri
Teribuana yang lalu. Jika sekarang dia berani membuka mulut menyatakan keyakinannya pas
menang, kemungkinan tentu tak ingkar. Namun puteri Gayatri masih agak heran apa kaitan
kemenangan Ku dalam sayembara itu dengan maksudnya menghadap kepadanya "Lalu apa yang
hendak engkau maksudkan dengan pernyataan itu ?" tegurnya.
"Gus , adalah hal itu yang hamba maksudkan hendak mohon pendapat paduka. Bagaimanakah
kiranya sikap paduka apabila hamba berhasil memenangkan sayembara itu" "
"Aneh," gumam puteri "apa yang harus kunyatakan" Tidakkah kesemuanya itu sudah tercantum
dalam ganjaran sayembara bahwa siapa yang menang akan diangkat sebagai senopati Singasari."
"Apakah hanya itu, gusti" "
"Begitulah yang kudengar. Apakah masih ada ganjaran lain ?"
"Demikianlah kiranya, gus , "kata Ku , "selain pangkat senopa , pun akan diberi kelungguhan
sebagai tumenggung, tanah dan ganjaran puteri"
"Ah" Gayatri mendesah "memang hal itu sudah layak bagi keluhuran seorang senopati kerajaan."
"Dalam kaitan itulah, gus , maka hamba memberanikan diri. untuk mohon pendapat paduka,
apabila hamba kelak diangkat sebagai senopati Singasari."
Gayatri terkesiap. Ada se k percikan tanggapan yang menggetar dalam ha nya atas ucapan
Kuti itu. Namun ia ingin mengetahui lebih jauh.
"Kuti, aku benar2 tak mengerti apa yang engkau maksudkan," ujar puteri.
"Hamba hanya mohon sepatah kata paduka. Dan kata2 paduka itu akan hamba junjung sebagai
tujuan hidup hamba selama-lamanya."
"Katakanlah, jangan membuang waktu."
"Se ap insan, baik pria maupun wanita, apabila sudah menjelang jenjang kedewasaan, tentulah
tak lepas dari kodrat dharma hidupnya. Ar nya, tentu akan mempunyai pasangan hidup" Ku
berhen sejenak untuk menyelimpatkan pandang mata. Tampak puteri Gayatri tersipu-sipu
menundukkan kepala. "Demikian pula kiranya yang akan direstui dewata kepada paduka, gus ," kata Ku lebih lanjut
"dalam hal itu, se ap insan manusia tentu mempunyai cita-cita akan pasangan hidupnya itu kelak.
Apabila paduka berkenan memberi penerangan pada kegelapan ha hamba, mohonlah paduka
berkenan melimpahkan amanat, bagaimanakah kira2 pria yang kelak paduka kenankan sebagai
pelindung paduka, gusti."
Gayatri tertegun. Ia tak menyangka bahwa seberani itu Kuti hendak bertanya tentang hal
yang menyangkut kehidupan peribadinya. Seketika hampir puteri tak dapat mtnahan luap
kemurkaan dan hendak berteriak memanggil prajurit penjaga. Tetapi pada lain kilas, ia teringat
pula akan renung penimangannya tadi. Bahwa setiap insan bebas untuk mengandung sesuatu
perasaan dalam hatinya. Bahwa orang yang menderita kegelapan hati harus diberi penerangan
daripada hukuman. Maka mengendaplah pula amarahnya.
"Aku seorang puteri nata binatara. Jodohku harus seorang raja."
"Tetapi gus , apabila rama paduka sang prabu Kertanagara yang menentukan, adakah paduka
akan menolaknya " "
"Rama prabu amat sayang kepadaku dan ayunda Teribuana. Tak mungkin rama prabu akan
merendahkan martabat puteri kekasihnya. Oleh karena itu akupun sebagai seorang puteri harus
menetapi laku keutamaanku untuk mentaati dan patuh pada rama prabu."
"Terima kasih, gusti puteri." Kuti menghaturkan sembah. Wajahnya amat gembira
"pernyataan paduka itu sungguh tak ternilai keagungannya. Hati hamba yang gelap serasa
merekah terpancar oleh sinar yang gilang gemilang."
Puteri Gayatri terkesiap pula. Ia tak tahu mengapa Ku begitu gembira dan mengapa
mengucapkan kata-kata itu.
"Demikian aku segera mohon diri dari hadapan sang puteri dan ke ka aku hendak keluar dari
keraton, ba- ba kakang Bandu telah menghardik dan memerintahkan aku turun." Ku mengakhiri
penuturannya ketika ia masuk menghadap puteri Gayatri di keputren.
"Mengapa engkau harus memanjat tembok apabila hendak keluar dari keraton?" tegur
Bandupoyo. "Kakang Bandu," jawab Ku "aku masuk ke dalam taman keratonpun dengan jalan melompat
tembok maka waktu keluarpun aku harus mengambil jalan itu pula."
"Hm, untung aku yang datang, andaikata prajurit penjaga, tidakkah engkau akan dibunuhnya "
" Ku gelengkan kepala "Karena kukenali suara kakang maka akupun menurut. Andaikata prajurit,
aku tentu sudah melanjutkan naik ke puncak tembok dan meloloskan diri."
"Kuti, jawablah yang jujur," tiba2 tumenggung Bandupoyo berkata dengan nada keras
"apakah engkau berlaku kurang tata dihadapan puteri Gayatri" "
"Demi Batara Agung, kakang Bandu, aku menjaga diri dalam sikap yang hormat kepada puteri.
Apabila kakang tak percaya, silakan mohon keterangan kepada puteri. Apabila aku bohong,
bunuhlah Kuti." Wajah tumenggung Bandupoyopun tenang kembali.
Ia tahu sifat Ku dan percaya "Lalu apakah sebenarnya yang terkandung dalam ha mu dalam
memohon pernyataan dari gusti ayu Gayatri itu " "
"Tidakkah sudah kututurkan dengan jelas apa yang kukatakan dihadapan gus ayu setelah
mendengar pernyataan puteri" "
"Engkau maksudkan pernyataan gus puteri itu, akan menjadi penerangan dari langkah yang
hendak engkau tuju" "
"Begitulah, kakang Bandu "
"Dan apa sebabnya engkau bergembira mendengar ucapan puteri" "
"Karena jelas apa yang kuharapkan tentu bakal terlaksana, kakang."
"Engkau hendak mempersunting puteri Gayatri" "
"Apakah aku berdosa! jika hal itu memang sudah menjadi kenyataan" "
"Apa yang engkau maksudkan dengan kenyataan " "
"Kakang Bandu, adakah engkau lupa ganjaran yang direstui baginda untuk ksatrya yang menang
dan diangkat sebagai senopati itu" Bukankah juga akan diganjar puteri?"
Tumenggung Bandupoyo terkejut. Namun ia membantah "Benar, memang demikian. Tetapi dak
dinyatakan siapa puteri itu. Di keraton Singasari terdapat banyak puteri dan bagindapun dapat
menentukan seorang."
Kuti diam. Sikapnya tenang.
"Adakah engkau mengira bahwa puteri itu tentu puteri Teribuana atau Gayatri?" seru
Bandupoyo pula. "Ya" tiba2 Kuti menjawab mantap "bukan hanya mengira tetapi memang memastikan, kakang."
Tumenggung Bandupoyo terbeliak "Berani benar engkau membuka suara begitu, Ku . Siapakah
yang menentukan pilihan puteri itu " "
"Seri baginda."
"Lalu mengapa engkau yakin bahwa seri baginga tentu akan berkenan menganugerahkan kedua
puteri kesayangan baginda itu ?" tanya Bandupoyo. Diam-diam tumenggung itu cemas. Adakah apa
yang dipercakapkan dihadapan baginda tentang anugerah puteri itu, terciurn oleh Kuti "
"Kakang Bandu," berkata Ku dengan nada yang tandas "seri baginda masih menggantung
sebuah janji anugerah kepadaku atas jasaku dapat menemukan kaca wasiat milik gus puteri
Teribuana yang hilang itu. Dan apabila aku menang dalam sayembara itu, dan itu sudah pasti .... "
"Kuti! " teriak Bandupoyo "berani benar engkau memastikan kemenanganmu itu ! "
"Tentu, kakang tumenggung. Karena kuyakin tiada seorang ksatrya yang ikut dalam sayembara itu
mampu menandingi kesaktianku "
"Hm, jangan tekebur dulu, Kuti."
"Aku dak tekebur, kakang tumenggung. Tetapi hal itu merupakan suatu keyakinan yang
berdasarkan pengamatan dan penilaianku yang seksama."
"Ah, walaupun ap pagi surya pas terbit, tetapi sebelum benar2 terbit, belumlah dapat
dipas kan. Tidakkah esok itu suatu hari yang belum menentu " Entah cerah entah berawan.
Tidakkah surya akan lenyap apabila esok pagi udara mendung" "
"Saat ini kita berada dalam musim kemarau. Tak mungkin surya takkan terbit esok pagi "
"Manusia kuasa memperhitungkan bulan dan musim, tetapi dewatalah yang menentukan segala.
Mudah-mudahan tercapailah segala keinginanmu itu, Kuti"
"Kumohon restu kakang tumenggung saja."
"Kuti, cobalah lanjutkan kata-katamu yang kuputus tadi. Bagaimana langkahmu apabila
engkau memenangkan sayembara itu ?"
"Ganjaran yang ditangguhkan baginda atas jasaku menemukan kaca wasiat itu, akan
kuhapus. Kelungguhan pangkat senopati, pun kutolak. Ganjaran tanah dan harta benda, akupun
tak menginginkan semua."
"Engkau menolak semua ganjaran "
"Kecuali satu "
"Apa " " "Puteri " "O" desuh tumenggung Bandupoyo "engkau maksudkan hendak mohon ganjaran puteri baginda"
" "Benar kakang tumenggung," sahut Kuti dengan tandas "tetapipun hanya satu saja."
"Puteri Gayatri" "
"Ya," jawab Ku tanpa ragu-ragu "hanyalah sang dyah ayu gus puteri Gayatrilah yang menjadi
tujuan perjuanganku dalam sayembara itu."
Tumenggung Bandupoyo menggeram dalam ha namun ia tahu betapa watak Ku yang keras
kepala itu "Hm, engkau boleh mengharap, tetapi kenyataanlah yang akan menentukan. Tetapi
kuperingatkan kepadamu, Ku . Jangan membesarkan harapan agar engkau tak kecewa apabila
harapanmu tak tercapai! "
"Hidup itu suatu harapan. Tanpa harapan, lebih baik dak hidup, kakang tumenggung," sanggah
Kuti. "Benar, tetapi jangan terlampau besar mengharap agar jangan terlampau besar penderitaan
hatimu. Boleh mengharap, jangan memastikan "
"Baiklah, kakang tumenggung," kata Ku Kemudian ia bertanya bagaimana ndakan Bandupoyo
terhadap dirinya saat itu.
Jawab Bandupoyo "Karena engkau salah seorang yang ikut serta dalam sayembara besok, maka
kupersilakan engkau keluar"
Setelah minta diri, Kutipun loncat pula ke atas tembok keraton.
Bandupoyo masih termenung. Ia terkejut ke ka menyadari bahwa ia harus segera menghadap
puteri Gayatri untuk menolong Wijaya. Bergegas ia masuk ke dalam keputren.
~^dewi.kz^Ismoyo^Mch^~ II Kedatangan tumenggung Bandupoyo telah disongsong dengan keterangan yang bernada cemas
dari puteri Gayatri. "Paman, Kuti terlalu melonjak sikapnya. Dia menaruh perhatian pada diriku," kata Gayatri.
"Hamba tahu, gus ayu," kata tumenggung Bandupoyo yang menceritakan tentang
pertemuannya dengan Ku di luar keputren tadi "dia memang terlalu muluk harapannya. Tetapi
gus ayu, sukar rasanya menghalangi tekad seorang manusia seper Ku dalam hal-hal yang
terbuka sifatnya seperti sayembara itu."
"O" desuh Gayatri "jika begitu paman maksudkan, Ku memang mempunyai peluang besar untuk
memenangkan sayembara itu" "
Tumenggung Bandupoyo tahu ar dari kata yang diantar dengan pandang mata cemas oleh
puteri "Jika memang demikian kenyataannya, paman rasa baginda tentu akan menetapi sabda yang
diamanatkan dalam sayembara itu, gusti ayu."
"Tetapi paman," Gayatri makin cemas "adakah rama prabu akan berkenan untuk
menganugerahkan diriku kepada Kuti?"
"Seri baginda Kertanegara adalah seorang nata binatara yang bijaksana. Seri baginda tentu
akan menetapi laku 'sabda pandita ratu' untuk menjaga kewibawaan pusara kerajaan Singasari"
Gayatri termenung diam. "Gusti ayu, mengapa gusti bermuram durja " Adakah sasuatu yang meresahkan hati paduka" "
"Paman tumenggung" kata puteri "benar2 aku tak mengira bahwa sayembara pilih senopa ini
akan melibatkan diriku pula. Pada hal paman, aku belum siap untuk memikirkan soal perjodohan
itu." "Maksud gus ," kata tumenggung Bandupoyo "gus tak berkenan ha apabila dianugerahkan
kepada Kuti" " "Begitulah, paman," ujar Gayatri "maka kuminta bantuan paman untuk mengusahakan agar
peristiwa yang tak kuingini itu jangan sampai terjadi."
Tumenggung Bandupoyo mengangguk "Baik, gus ayu. Marilah kita usahakan hal itu. Tetapi
pamanpun terpaksa hendak mohon bantuan gusti ayu."
"Baik, paman, apa yang dapat kulakukan, tentu akan kuberikan bantuan itu kepada paman."
"Justeru bantuan itu hanya ada pada gus ayu dan hanya gus sendiri yang dapat
melakukannya." "O, katakanlah, paman." seru Gayatri penuh harap.
"Gus tentu tahu siapa ksatrya yang berhasil merentang busur pusaka kyai Kagapa itu, bukan "
" "O ya, ksatrya itu. Dulu waktu aku mengiringkan ayunda Teribuana bercengkerama di taman
Boboci, rasanya pernah bertemu dengan dia."
"Benar, gusti. Memang dia. Dan kini dia menderita sakit akibat merentang busur pusaka itu."
"Beratkah luka yang dideritanya itu?"
"Memang berat tetapi tak membahayakan jiwanya."
"O, bagaimanakah lukanya, paman?"
"Dia telah kehilangan tenaga kekuatannya. Pada hal besok pagi, dia harus maju dalam sayembara
lagi. Dan acara besok itu lebih berat karena harus adu kesak an ilmu kanuragan. Memerlukan
tenaga dan kekuatan."
"O, benar, paman" seru puteri Gayatri "lalu bagaimanakah usaha paman untuk menolongnya?"
Bandupoyo terkesiap. Mengapa puteri dak bertanya siapa ksatrya itu melainkan langsung
bertanya usaha untuk menolongnya" Adakah puteri sudah mengetahui siapa sesungguhnya Wijaya
itu" Rasa heran itu segera dituangnya dalam pertanyaan "Gus ayu, adakah paduka tahu siapakah
ksatyra itu" " "Tidak tahu, paman, kecuali seper yang kukatakan tadi, pernah bertemu dengan dia waktu di
taman Boboci beberapa waktu yang lalu."
"O, lalu mengapa gusti melimpahkan pertanyaan tentang usaha paman menolongnya" "
Tajam rupanya pertanyaan yang dipersembahkan tumenggung Bandupoyo kepada puteri
Gayatri. Puteri terkesiap, menyadari dan tersipu-sipu merah wajahnya "Jika dia yang menang, maka
akupun terhindar dari gangguan Kuti," akhirnya bertemu juga jawabannya.
"Hanya itu, gusti" "
"Apakah paman menganggap masih ada kekurangan dalam jawabanku itu?" Gayatri balas
bertanya. Diam-diam tumenggung Bandupoyo memuji kewaspadaan puteri. Karena niatnyapun hendak
mengungkap soal diri Wijaya maka diapun langsung berkata "Maksud paman, adalah kehendak
gusti ini karena diri Kuti ataukah karena diri ksatrya itu."
"Yang jelas supaya terhindar dari gangguan Kuti," jawab Gayatri.
"Lepas dari persoalan Kuti, adakah gusti tidak mengharapkan ksatrya itu yang menang " "
Gayatri mengernyit dahi. Dalam ha ia merasa heran mengapa tumenggung Bandupoyo tampak
ngotot mengemukakan diri pemuda itu. Dikaitkan dengan kedatangan tumenggung itu yang


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyatakan hendak mengusahakan pertolongan kepada ksatrya itu, mbullah kesan dalam ha
puteri bahwa ksatrya itu tentu mempunyai hubungan penting dengan tujuan Bandupoyo.
"Paman Bandu," ujar puteri "seper telah kukatakan, bahwa aku hanya sekali pernah bertemu
dengan pemuda itu di taman Boboci. Dia seorang muda yang halus budi, gagah dan sopan santun.
Bahwa dia ternyata juga ikut dalam sayembara, menyatakan bahwa dia memang mempunyai
tujuan untuk mengabdi kepada Singasari. Soal dia berhasil atau gagal dalam sayembara itu,
tergantung dari kesaktiannya. Mudah-mudahan saja dia berhasil."
"Atas dasar apakah gusti merestui kemenangannya itu" "
"Aku tak kenal siapa ksatrya itu, paman. Hanya aku gembira karena Singasari akan mendapat
seorang ksatrya gagah sebagai senopati."
"Andaikata paduka tahu siapa ksatrya itu, adakah paduka tetap akan memberi doa restu
kepadanya" " Makin heran Gayatri mendengar kata-kata tumenggung itu. Kini makin jelas bahwa tumenggung
itu memang mempunyai kaitan pen ng dengan ksatrya itu. Tetapi mengapa kaitan itu harus
dilibatkan pula kepada dirinya"
"Mengapa paman bertanda begitu " Siapakah ksatrya itu" "
Tumenggung Bandupoyo menghela napas longgar dalam hati "Ah, akhirnya pertanyaan yang
kuharapkan itu tiba juga," pikirnya. Memang tumenggung Bandupoyo menghendaki keterangan
diri Wijaya itu, bukan langsung dia yang mengatakan tetapi supaya puteri yang
menanyakannya. Tetapi sampai panjang juga percakapan itu, baru akhirnya puteri melontarkan
pertanyaan. "Dia masih kerabat paduka sendiri, gusti," kali ini tumenggung Bandupoyo berganti cara. Tak mau
bertele-tele menanti pernyataan puteri melainkan melontarkan sebuah kejutan.
Memang benar. Puteri terkejut mendengar pernyataan itu "Apa kata paman" " ia menegas.
"Ksatrya itu masih saudara sepupu dengan gus ayu," kata Bandupoyo. Untuk menyingkat waktu
ia segera menuturkan asal usul diri Wijaya, pembicaraan di hadapan baginda dan pertemuannya
dengan puteri Teribuana "Gus puteri Teribuanapun telah berkenan menganugerahkan air Tirta
Amerta kepada raden Wijaya."
Puteri Gayatri terlongong-longong mendengarkan keterangan Bandupoyo. Rasa kejut yang ba2
mencengkam perasaan, telah membuat puteri tak dapat bicara beberapa saat.
"Demikian gus , maksud kedatangan hamba menghadap paduka ini tak lain adalah karena
hendak mohon perkenan paduka untuk melimpahkan minyak Padmasari itu kepada raden."
Puteri tersadar dari kepukauan. Bergegas puteri masuk dan keluarnya membawa minyak
Padmasati itu "Dimanakah kakang Wijaya sekarang" "
Tumenggung Bandupoyo segera mengiring langkah puteri menuju ke pendapa dimana Wijaya
menunggu. Pertemuan antara puteri Gayatri dengan Wijaya memang agak kikuk. Wijaya terkejut
melihat kehadiran puteri. Dan ke ka bertatap pandang dengan puteri, dia segera menunduk dan
tanpa disadari terus duduk ber-sila dan menghaturkan hormat.
"Tidak, kakang. jangan memberi sembah kepadaku," Gayatri terkejut sekali dan serta merta
diapun berjongkok untuk balas memberi hormat.
Melihat itu tertawalah tumenggung Bandupoyo.
"Gus Gayatri, raden Wijaya, janganlah paduka, ber ndak seper anak kecil," seru tumenggung
itu dengan tertawa riang "bangunlah, paduka berdua adalah saudara sendiri."
Wijaya daa Gayatri sama2 merah mukanya. Merekapun berbangku dan tertawa "Maa an, gus ...
" "Jangan menyebut begitu kepadaku, kakang," cepat puteri menukas "aku adalah adik sepupumu
sendiri " "Terima kasih, diajeng "
"Raden, gus ayu telah membawakan minyak Padmasari itu kepada raden," agar pertemuan itu
lancar, terpaksa tumenggung Bandupoyo memberi pengantar.
"O, terima kasih diajeng" kata Wijaya.
"Jangan mengucap begitu, kakang. Sudah selayaknya engkau sembuh dan segar dalam
menghadapi sayembara esok hari."
Setelah menyambuti minyak itu, Wijayapun bertanya bagaimana cara pemakaiannya.
"Gosokkan minyak itu di pusar dan dada. Semoga tenaga dan kekuatanmu pulih seper
sediakala" kata puteri seraya menganjurkan agar Wijaya segera melumurkan minyak itu. Kemudian
puteripun berbalik tubuh, berdiri membelakangi.
Rupanya Wijaya tahu apa maksud ndakan Gayatri. Iapun segera melumurkan minyak itu ke
dada dan pusarnya, kemudian pada se ap ruas persendian tulangnya "Diajeng, perintah diajeng
sudah selesai kulakukan. Terimalah kembali minyak diajeng ini."
Puteri Gayatri berbalik tubuh menghadap Wijaya pula dan menyambuti minyak itu.
"Kakang Wijaya" ujar puteri "mengapa dak sejak dahulu ke ka kita berjumpa di taman Boboci,
kakang mau mengatakan siapa diri kakang yang sebenarnya" "
"Ah, diajeng" Wijaya menghela napas "langkah yang bijaksana dan tepat, adalah langkah yang
disesuaikan dengan tempat, waktu dan keadaan. Tidakkah diajeng akan terkejut dan takkan
percaya apabila pada saat itu aku menerangkan siapa diriku ini" "
Gayatri mengangguk pelahan.
"Dan lagi pula," Wijaya menyusuli kata-kata "akupun memang tak ingin menunjukkan asal usul
diriku. Aku ingin menjadi seorang kembara yang bebas agar dapat benar2 meresapi kehidupan di
alam bebas ini." "Mengapa kakang harus bertindak demikian" "
"Diajeng" kata Wijaya "pikiran itu sering membelenggu perabaan ha . Yang melihat dan yang
dilihat, sama2 menderita belenggu perasaan itu. Jika aku menyandang asal usul keturunanku, maka
perasaanku segera melambung nggi, menempatkan pikiran dan perasaan diriku lebih nggi dari
lain orang. Aku hanya mendapat separoh bagian dalam pengembaraanku itu, yalah bagian di
kalangan atas. Tetapi aku tak dapat meresapi kehidupan dikalangan bawah yalah kehidupan
kawula jelata. Dan akupun segera cenderung untuk memagari batas, antara diriku yang kuanggap
nggi dan pada mereka, rakyat lapisan bawah. Pada hal kehidupan di dunia ini dak hanya terdiri
di kalangan atas, juga dak lunya terdiri di kalangan bawah, tetapi merupakan perpaduan dari
bawah dan atas secara keseluruhannya"
Puteri mengangguk "Baik sekali pandanganmu, kakang. Lalu apa yang engkau katakan dengan,
yang melihat dan yang dilihat, sama2 menderita belenggu perasaan itu" "
"Begini diajeng," kata Wijaya "Apa yang kuterangkan tadi termasuk belenggu pada orang yang
dilihat atau yang menjalani. Tentang orang yang melihat atau orang lain, juga demikian. Setelah
jelas orang membawa sikap nggi, maka orang lain yang melihatnyapun segera menjauhkan diri,
segan bergaul dengan dia. Lalu berbagai penilaian segera dilontarkan kepada orang itu. Mungkin
dikatakan sombong, jumawa, angkuh, nggi ha dan lain-lain. Oleh karena itu, akupun berusaha
untuk menghilangkan jejak keturunanku, agar terbebas dari belenggu2 perasaan itu "
"Ya, benar, kakang," kata Gayatri "bukankah akhirnya diri kakang juga diketahui orang?"
"Ya," jawab Wijaya "tetapi hal itu bukan dikarenakan akibat daripada asal usul diriku, melainkan
karena dharma yang telah kulakukan selama ini. Penghargaan terhadap diri seseorang, karena asal-
usul keturunan, bukan nggi rendahnya kelungguhan pangkat, bukan pula besar kecil rumah
kediaman dan kaya miskin keadaannya, tetapi penilaiannya atas dasar dhar-ma yang telah
dilakukan dalam hidupnya. Demikianlah pendirianku. Apabila aku diangkat sebagai senopa ,
bukanlah semata karena asal usul diriku melainkan karena aku berhasil menempuh sayembara itu
dengan segala jerih payahku."
"Pambekmu luhur sekali, kakang," kata puteri Gayatri "tentulah kakang sudah memiliki suatu
keyakinan bahwa kakang dapat memenangkan sayembara itu, bukan " "
"Aku akan berusaha sekuat kemampuanku," kata Wijaya "namun aku tak berani meyakinkan
dengan kata bahwa aku tentu dapat memenangkan sayembara itu. Karena kulihat, ksatrya-ksatrya
yang ikut dalam sayembara itu juga ksatrya-ksatrya yang pilih tanding."
"Siapakah kiranya lawan yang kakang anggap paling berat" " puteri Gayatri agak cemas.
"Ku ," sahut Wijaya "tetapi semua ksatrya peserta sayembara itu merupakan lawan-lawan yang
tak dapat dipandang ringan juga."
"Ah " puteri menghela napas.
"Gusti ayu," tiba2 tumenggung Bandupoyo ikut bicara "memang ada dua sifat yang dimiliki
seorang ksatrya. Tekebur dan rendah hati. Kuti tekebur dan mengatakan pasti dapat
memenangkan sayembara. Sedang raden Wijaya dengan segala kerendahan hati, tak berani
menyatakan sesuatu kecuali hanya akan berusaha sekuat kemampuannya. Ucapan berbeda
tetapi kenyataan sama. Yang tekebur, tentu akan berusaha sekuat-kuatnya untuk menang,
yang rendah hatipun juga tentu akan berusaha sekuat tenaganya. Demikian paman percaya, hal
itu akan dilakukan oleh setiap peserta. Dengan ikut serta dalam sayembara itu, setiap ksatrya
tentu sudah membekal tekad untuk berjuang keras memenangkan sayembara itu."
Rupanya ucapan tumenggung Bandupoyo itu dapat menghibur kecemasan ha puteri Gayatri.
Sebenarnya puteri hendak memberitahu tentang ngkah Ku ke ka menghadap kepadanya. Tetapi
sebelum ia membuka suara, ha nya berdebar keras, wajahpun bertebar merah. Sebagai seorang
puteri, tak sampai kiranya ia hendak mengutarakan hal itu..
Ternyata tumenggung Bandupoyo yang memiliki indera penglihat dan perasa tajam, cepat dapat
mengetahui apa yang terkandung dalam hati puteri.
"Raden," katanya kepada Wijaya "gus ayu menghendaki agar raden dapat memenangkan
sayembara tanding besok pagi."
Wijaya terbeliak dan berpaling memandang tumenggung dengan sorot mata bertanya.
"Raden sanggup?" seru tumenggung Bandupoyo.
"Sanggup tetapi tak dapat menjamin" sahut Wijaya "aku akan ...."
"Raden," tukas tumenggung Bandupoyo "tahukah apa sabda baginda yang diamanatkan
kepadaku setelah raden turun dari penghadapannya" "
"Apa sabda seri baginda, paman" "
"Setelah berkenan menerima raden menghadap, seri baginda mempunyai kesan yang baik.
Kemudian kesan bagindapun tumbuh menjadi suatu kepercayaan dan turunlah sabda baginda yang
menitahkan "Wijaya harus menang' .... "
"Paman ! " "Memang benar, raden." kata tumenggung Bandupoyo dengan wajah bersungguh " dakkah
raden menyadari bahwa titah seri baginda agar raden dapat disembuhkan pada malam ini sehingga
besok dapat tampil ke gelanggang pertandingan dalam keadaan segar bugar itu, pada hakekatnya
sudah bermakna seperti sabda yang diturunkan baginda" "
"O" "Tahukah raden apa sebab baginda melimpahkan titah seperti itu" "
"Mohon paman menerangkan kepada hamba."
"Raden, adalah suatu kemurahan yang tak terhingga, bahwa baginda berkenan memperluhur
anugerah sayembara itu. Sebagaimana raden tentu sudah mengetahui bahwa pemenang dari
sayembara itu, kecuali akan diberi kelungguhan sebagai senopa , diluhurkan sebagai priagung pun
akan dianugerahi puteri. Dan menurut amanat baginda, anugerah puteri itu telah ditetapkan pula,"
sengaja tumenggung Bandupoyo berberhen sejenak untuk memawas tanggapan yang terpancar
dari wajah Wijaya. Namun dia agak heran mengapa tampaknya Wijaya tenang-tenang saja.
"Tahukah raden siapakah gerangan tuan puteri yang direstukan baginda kepada senopa baru
itu" " Wijaya terbeliak. Sesaat ia terpukau dalam menung yang melayang-layang. Bersualah dia akan
keterangan tumenggung Bandupoyo bahwa baginda sangat mengharapkan akan kemenangannya
dalam sayembara itu. Dengan demikian dapat diduga, bahwa seri baginda tentu telah menentukan
salah seorang puter baginda. Dan tentulah puteri pilihan seri baginda, itu puteri yang utama "Ah,"
diam2 ia menghela napas yang penuh bernadakan harap-harap cemas.
Sebagai seorang pria, ia tak menyangkal akan kenyataan yang telah tumbuh dalam kalbunya.
Bahwa sejak pertemuannya dengan puteri Teribuana dan puteri Gayatri di taman Boboci dahulu,
bayang2 kedua puteri agung itu selalu melekat dalam kalbunya. Jauh dari pemikirannya, bahwa hal
itu disebabkan karena kedua puteri itu puteri agung, puteri sang nata binatara kerajaan Singasari
sehingga percik-percik pamrih halus, mencemar dalam ha nya. Bahwa apabila dia dapat
mempersun ng kedua puteri itu tentulah kelak dia akan menjadi putera menantu raja. Keluhuran,
kekuasaan dan kenikmatan hidup. Bahkan pula suatu warisan kerajaah Singasari yang besar "Tidak,
dak " ia membantah tuduhan itu. Ia menyangkal percik2 pamrih semacam itu "aku seorang
ksatrya. Jika dewata agung menggariskan aku sebagai raja, akupun tak menginginkan kerajaan itu
sebagai warisan yang kuterima dari rama ataupun dari rama mentua dan lain orang. Duh, dewata
agung, hamba hanya mau menjadi raja atas kerajaan yang hamba bentuk dengan darah dan
keringat hamba .... "
"Ah" ba2 ia mendesuh sesaat menyadari bahwa ia telah terbang terlampau nggi dalam awang-
awang lamunan. Namun pendirian cita2 keinginannya itu tetap terpateri dalam sanubarinya.
Dalam kaitan hubungan ba n yang merekah dalam ha terhadap kedua puteri keraton Singasari
itu, ba nnya bersih dari segala pamrih kebendaan yang bersifat kemewahan. Memang dia tak
menyangkal mempunyai pamrih, tetapi pamrih itu berasal dari ha sanubari, bersumber pada rasa
sawiji dari mus ka Asmara yang terbungkus beludru Kamasutra yang halus murni. Jika ia
mempunyai rasa ha kepada kedua puteri agung itu, hanya berdasarkan rasa seorang pria
terhadap wanita. Dan rasa itu bersumber pada suatu pendabaan akan sifat-sifat agung serta luhur
budi dari wanita yang dipujanya itu.
Lamunan yang sudah menurun dari ke nggian lokantara, makin meluncur laju sesaat ia teringat
akan. persoalan puteri yang akan dianugerahkan oleh baginda itu. Jika aku beruntung menang dan
puteri yang dianugerahkan seri- baginda itu, bukan puteri yang kuidam-idamkan, dakkah akan
lebur hatiku dalam kehampaan" Pada hal, amanat raja tak dapat ditolak."
Walaupun termenung diam tetapi pandang mata tumenggung Bandupoyo yang tajam dapat
mengetahui bahwa saat itu Wijaya sedang berbicara dalam ha . Suatu pembicaraan yang seru dan
berat sebagaimana tampak dalam perobahan cahaya yang terpancar pada wajahnya. Diam2
tumenggung Bandupoyo tertawa dalam ha . Kemudian tumenggung itupun menyelimpat pancang
kearah puteri Gayatri. Kesan yang diperoleh pada pandang sekilas menyatakan bahwa puteri
itupun tengah beranjangsana dalam taman ha nya "Hm, orang muda, jiwa muda, ha muda dan
muda segalanya. Tentulah bagaikan kuntum bunga yang tengah merekah menyongsong sinar Hyang
Surya. Serba indah seluruh kehidupan di arcapada ini."
Memang kesan tumenggung Bandupoyo tepat. Puteri Gayatripun tak dapat menghindari diri dari
jaring2 sutera lembut yang ditebarkan oleh Hyang Batara Asmara. Puteri Gayatri tak tahu apakah
nama perasaan yang bersemayam dalam pu k ha nya. Yang dirasakannya, ada suatu perasaan lain
yang belum pernah dialaminya selama ini. Melihat para mentri nayaka, menghadap sang ayahanda
seri baginda, bergaul dengan tumenggung Bandupoyo dan lain-lain sentana keraton, puteri tak
mempunyai suatu perasaan apa-apa. Beda yang dirasakan ke ka berhadapan dengan Ku dan
Wijaya. Pada saat itu serasa puteri merasakan suatu perobahan peribadi yang aneh. Secara ba-
ba, ia merasa menjadi seorang wanita dewasa. Wanita yang memiliki kesadaran tentang ja
dirinya sebagai 'loro loroning atunggal' insan tah dewata yang ditugaskan mengemban kelestarian
kehidupan insan manusia dalam rangka kelangsungan jagad yang diciptakan sang Hyang Widdhi.
Keseimbangan dari daya loro-loroning atunggal itu, merupakan in yang hakiki dari kehidupan di
dunia. Siang dengan malam, gelap dengan terang sebagai unsur kehidupan bumi. Lelaki dan
perempuan sebagai unsur tah yang menghuni dan melangsungkan kelangsungan kehidupan di
bumi. Rasa kedewasaan pada diri peribadi, menumbuhkan kelengkapan naluri pada seorang wanita.
Diantaranya naluri perasaan terhadap insan lain jenisnya. Dan kelak akan tumbuh pula naluri2 lain
terhadap putera puteri keturunannya. Naluri2 itu, belum tumbuh dikala dia masih seorang
perawan kecil. Demikian yang dirasakan puteri Gayatri.
Berhadapan dengan Ku dan Wijaya, naluri kedewasaan wanita, tumbuh dengan seke ka dalam
ha puteri Gayatri. Tetapi walaupun sama2 merasakan naluri itu, daklah sama citarasa yang
menghayat dalam kalbunya. Terhadap Ku , penuh dengan rasa enggan yang hampir-hampir
meluapkan rasa kemurkaannya. Tetapi terhadap Wijiya naluri itu bersemi segar menghijau,
menumbuhkan kesuburan batang yang akan merekahkan kuncup2 harapan ha . Maka puteripun
terkejut mendengar percakapan tumenggung Bandupoyo tentang amanat baginda mengenai
anugerah puteri itu "Siapakah gerangan yang akan dilimpahkan rama prabu kepada senopa itu.
Betapalah besar perha an rama prabu kepada kakang Wijaya untuk memenangkan sayembara dan
menjadi senopa Singasari. Tentulah rama prabu dengan kebijaksanaan akan menentukan puteri
itu." Renungan puteri Gayatri makin jauh ke masa2 yang lalu. Bahwa adalah eyang Rangga Wuni yang
kemudian bergan abhiseka-raja sri Wisnuwardhana, bersama eyang Mahesa Campaka yang
kemudian bergelar Batara Narasingamur , yang mendirikan kerajaan Singasari. Kemudian eyang
Wisnuwardhana mewariskan kerajaan itu kepada rama prabu Kertanagara. Sedang putera dari
eyang Batara Narasingamur yani dyah Lembu Tal lebih senang hidup dalam ketenangan sebagai
kawula biasa daripada, memegang jabatan di kerajaan. Kiranya amat bijak bestari langkah rama
prabu apabila hendak meluhurkan kakang Wijaya sebagai priagung dalam kelungguhan sebagai
senopati. Demikian renungan yang jangkau-menjangkau alam pikiran puteri Gayatri.
"Paman tumenggung," ba2 Wijaya memecah kesunyian suasana "hamba tak tahu bagaimana
amanat seri baginda. Mohon paman tumenggung suka memberi keterangan."
Nada Wijaya terdengar mantap dan tumenggung Bandupoyopun memperha kan wajah raden
itu menampilkan suatu keyakinan yang tenang. Diam2 tumenggung itu terkejut "Adakah raden
sudah mengetahui isi amanat seri baginda" Ataukah ia sudah memiliki pendirian dalam
menghadapi amanat itu" "
Memang tumenggung Bandupoyo tajam penglihatan, tajam penilaian. Tetapi dia tetap tak dapat
menembus apa yang terkandung dalam sanubari Wijaya saat itu. Wijaya memang sudah
mendudukkan sebuah tugu pendirian yang kokoh diatas persada ha nya "Tujuanku turun gunung
adalah mengemban tah bapa guru untuk ikut serta menyongsong turunnya wahyu agung yang
dilimpahkan Hyang Jagadnata. Wahyu agung itu pada hematku tak lain adalah tugas untuk
mangayu hayuning praja dan bawana. Kerajaan Singasari membuka sayembara pilih senopa , tak
lain bertujuan untuk menyejahterakan negara. Karena hal itu senapas dengan hikmah Wahyu
Agung, maka sarananya akupun memasuki sayembara itu. Andaikata aku salah tafsir tentang
hikmah wahyu agung itu, akupun takkan menyesal karena kuanggap bahwa salah satu daripada
dharma agung seorang ksatrya itu adalah mengabdi kepada negara dan kawula. Tujuan ini harus
kuluhurkan dalam singgasananya yang agung, jangan tercemar oleh pamrih yang terangsang oleh
kedudukan, harta dan anugerah puteri. Oleh karena itu, aku harus menghindar diri dari rasa
keinginan dan kekecewaan tentang siapa2 puteri yang akan dianugerahkan kepadaku kelak.
Kuserahkan segala-galanya kepada ketentuan Hyang Jagadnata."
Dengan keputusan itulah maka mantap nada Wijaya dalam
membawakan kata-kata kepada tumenggung Bandupoyo.
"Raden," ba2 tumenggung Bandupoyo berseru agak keras dan membawa sikap seper seorang
yang teringat sesuatu hal yang dilupakannya "maaf, raden, paman lupa untuk membagikan tugas
kepada prajurit bhayahgkara yang bertugas menjaga di pendapa agung."
"Tetapi paman," Wijaya ikut terkejut ketika melihat tumenggung itu terus ayunkan langkah.
Tumenggung Bandupoyo hentikan langkah dan berpaling "Tinggallah raden disini. Tak lama
paman akan kembali menjemput raden," tumenggung itupun terus lanjutkan langkah. Tetapi
disaat hendak melangkah ke pintu, ia berpaling pula "Raden, paman lupa memberitahu. Amanat
baginda mengenai puteri yang dianugerahkan kepada senopati baru itu adalah gusti ayu puteri


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Teribuana dan gusti ayu Gayatri .... "
"Paman ...." terdengar dua buah suara yang berteriak kaget waktu mendengar ucapan
tumenggung itu. Yang seorang Wijaya dan yang seorang puteri Gayatri. Keduanya seolah tersengat
kala dan tanpa berjanji, keduanyapun serempak berteriak. Namun tumenggung Bandupoyo
meninggalkan kedua putera puteri bangsawan itu dalam kepukauan pesona.
Wijaya menundukkan kepala. Puteri Gayatripun tersipu-sipu menunduk. Keduanya terbenam
dalam gelombang kejut yang menggelagak perasaan ha nya. Sesaat keduanyapun seper
kehilangan keseimbangan kesadaran, dihembus prahara getaran kejut yang melayangkan perasaan
mereka ke awang-awang yang luas banglas.
Ciptarasa yang berhamburan keluar dari kelepasan lubuk sanubari yang memancar rasa bahagia,
kuasa terbang melayang ke dirgantara yang amat nggi, menembus awan membubung ke alam
triloka .... "Dimanakah kita berada, kakang?" bisik sang dyah kumala.
"Inilah yang disebut Indraloka, yayi" jawab sang ksatrya linuwih.
"Indraloka tempat Sanghyang Batara Indra" "
"Benar, yayi " "Mengapa kakang membawa aku kemari" "
"Kita akan menghadap Sanghyang Batara Indra."
"Mengapa, kakang" "
"Ketahuilah, yayi, Sanghyang Batara Indra itu kuasa memerintahkan para dewa dan menguasai
semua bidadari di Kahyangan. Kuasa menimbang segala yang akan dianugerahkan kepada
manusia." "O, lalu apakah maksud kakang hendak menghadap Batara Indra" "
"Ketahuilah yayi. Dalam kekuasaan untuk senan asa menerima hal2 yang diajukan oleh segala
titah kepada dewa, maka dapatlah Batara Indra mengabulkan permohonan kita."
"Permohonan apakah yang kakang hendak persembahkan ke hadapan Hyang Batara" "
"Ah, yayi, mengapa engkau tak dapat menanggapi sasmita ha kakang" Ketahuilah, yayi, kakang
hendak mohon kepada Hyang Batara agar merestui perjodohan kita berdua, yayi "
"Ah, kakang " sang dyah kumala kenya tersenyum bahagia.
Percakapan mereka terputus oleh kemelut prahara yang mencurahkan gumpalan asap hitam.
Makin lama gumpalan asap hitam itu makin tebal besar dan terdengarlah letusan sedahsyat tujuh
halilintar menggelegar. Awan hitam sirna dan sebagai gan nya muncullah seorang raksasa yang
amat menyeramkan sekali "Hai, tah manusia, mengapa engkau berani naik. ke Kahyangan?"
suaranya bagaikan Gelapsayuta atau sejuta petir.
Sang dyah kumala kenya terkejut dan mendekap sang ksatrya. Ksatryapun sigap sebagai
pelindung utama "Hai, raksasa, siapakah engkau?"
"Aku penjaga Jonggring Saloka yang kuasa untuk mengenyahkan se ap jalma manusia yang
hendak mengganggu ketenangan Kaendran ini "
"Aku hendak menghadap sanghyang Batara Indra. Aku tak mengganggu Kaendran."
"Engkau mengganggu!" teriak raksasa "karena kedatanganmu ini menyebabkan Kaendran di
Kahyangan ini terasa panas sekali. Hayo, lekas engkau kembali ke Janaloka."
"Tidak, raksasa. Jangan engkau mengganggu perjalananku. Aku benar2 hendak mohon
menghadap Batara Indra."
"Ho, jika engkau sungguh2 bermaksud demikian, engkau wajib mentaa peraturan dan jangan
bertindak sekehendak hatimu sendiri."
"Bagaimana maksudmu" "
"Jika engkau benar2 hendak menghadap Hyang Batara Indra, bukan begitu caramu tetapi engkau
harus nggalkan badan wadagmu di Janaloka. Hanya suksma atau badan halusmu yang
diperkenankan naik ke Kahyangan"
"O " ksatrya terkesiap "tetapi mungkin hal itu berlaku untuk orang lain dak kepadaku. Karena
buk nya, akupun dapat naik kemari dengan badan wadagku. Tidakkah hal itu menandakan bahwa
dewata meluluskan diriku " "
"Tidak!," teriak raksasa itu "tanggalkan badan wadagmu ke arcapada ! "
"Kalau aku menolak" "
"Engkau harus lekas enyah dari sini!"
"Kalau aku tetap menolak " "
Raksasa itu meraung keras "Jika demikian, engkau harus kutangkap dan kulemparkan kedalam
kawah Candradimuka."
"Silakan apabila engkau mampu," sahut sang ksatrya seraya menyisihkan puteri ke belakang,
kemudian dia bersiap-siap.
Pertarungan segera berlangsung amat seru. Berulang kali ksatrya dapat menghantam rubuh
lawan tetapi setiap kali raksasa itu bangkit kembali dan maju pula. Lama kelamaan ksatrya
itupun kehabisan napas. Dan dalam suatu kesempatan, raksasa dapat menerkamnya lalu
dibawanya lari. Puteri terkejut lalu mengejar seraya menjerit-jerit. Dan jeritan itu mencapai
puncak ketegangan manakala dilihatnya raksasa melemparkan tubuh ksatrya kedalam sebuah
kawah yang bergemuruh memuntahkan uap panas.
"Kakang ...." puteri menjerit sekeras-kerasnya dan rubuh seketika.
Wijaya yang tengah pejamkan mata menyerahkan diri terbuai dalam lamunan yang indah,
terkejut dan cepat membuka mata ke ka mendengar puteri Gayatri menjerit. Serentak Wijayapun
loncat menyanggah tubuh sang puteri yang hendak rubuh.
"Engkau kakang Wijaya," puteri terengah-engah, "Apakah engkau tak kurang suatu apa" "
"Aku tak kena apa- apa, diajeng "
"Tetapi kakang .... "
"Tetapi bagaimana, diajeng" "
Gayatri tak melanjutkan kata-katanya karena saat itu ia menyadari bahwa apa yang dialaminya
tadi, bukan suatu kenyataan, melainkan tercipta dari lamunan ha nya "Benarkah sejak tadi kita
masih berada di tempat ini, kakang?" namun untuk meyakinkan perasaannya, ia masih meminta
penegasan. "Benar, diajeng," kata Wijaya "sejak tadi engkau diam menunduk kepala dan akupun juga."
"Adakah selama beberapa saat tadi, kakang tak mengalami sesuatu."
Wijaya tersipu-sipu, kemudian menghela napas, "Memang diajeng, aku melamun dan menderita
sesuatu yang mengerikan hati."
Atas pertanyaan puteri Gayatri, Wijayapun menceritakan apa yang dialami dalam lamun cipta-
rasanya, Ternyata diapun mengalami seper yang dialami puteri Gayatri. Hanya bedanya raksasa
itu telah menerkam puteri dan hendak dibawa lari "Diajeng menjerit dan akupun terjaga serentak."
Puteri Gayatri tersipu-sipu malu dan melepaskan diri dari tangan Wijaya. Betapapun ia
merasakan suatu kehangatan yang teduh dalam lingkaran tangan pemuda itu, namun sebagai
seorang puteri utama, dia tak mau, meninggalkan keutamaannya. Sesaat kemudian peris wa aneh
itu mulai bertebaran menguak pikirannya "Aneh, mengapa akupun juga mengalami peris wa yang
kakang alami itu" " serunya seorang diri tetapi karena cukup keras maka Wijayapun dapat
mendengarnya. "Maafkan diajeng Gayatri, apabila hal itu merisaukan pikiranmu."
"Bagaimana kakang dapat mengatakan begitu " Bukankah kakang duduk termenung diam saja
dan bukan kakang yang menyebabkan aku menderita peris wa dalam lamunan itu, melainkan
diriku sendiri ?" "Benar diajeng," kata Wijaya "tetapi secara tak terasa, aku memang mengganggu pikiranmu."
"Bagaimana kakang dapat mengatakan begitu" "
"Rasa melahirkan Cipta dan Cipta akan mempertajam Rasa dan tumbuhlah kemanunggalan Rasa
dan Cipta. Dan karena aku memiliki Rasa dan kebetulan pula diajengpun sedang terpercik Rasa itu
maka manunggallah rasa kita dalam suatu pancaran Cipta yang mengembangkan Rasa itu dalam
suatu lamunan yang sama. Itulah sebabnya maka kukatakan, secara tak terasa, aku memang
bersalah mengusik rasa diajeng yang sedang terpancar dalam cipta."
"Ah, kakang mengada-ada saja," puteri tersenyum.
Sebenarnya ingin Wijaya menghaturkan ungkapan, hatinya. Namun karena kesempatan itu
amat tiba2 sekali datangnya sehingga segunduk bukit kata-kata yang siap meluncur, telah
terlanda, terendam dan silam oleh banjir rasa kebahagiaan yang meluap-luap. Bahkan bukan
melainkan kata-kata, pun faham dan pikirannya ikut terhanyut dalam banjir perasaan kejut-kejut
bahagia. Ia terlongong-longong.
"Kakang," akhirnya puteri Gayatri menyibak kelengangan suasana "bagaimana anggapan kakang
tentang sayembara esok hari itu" "
Wijaya terkesiap. Rupanya puteri telah mengetahui isi ha nya. Namun iapun ingin juga
mengetahui pendirian puteri setelah mendengar tentang amanat seri baginda itu "Diajeng, aku
akan berjuang dengan segenap jiwa ragaku untuk memenangkan sayembara itu. Namun bagaimana
tanggapan diajeng apabila aku menang."
"Aku akan bergembira sekali, kakang."
"Tetapi bagaimana pula tanggapan diajeng apabila aku sampai kalah."
"Ah, jangan berkata begitu, kakang."
"Dalam pertandingan ilmu ulah kanuragan, hanya akan terjadi dua akibat, menang atau kalah.
Itu suatu kenyataan dari akibat se ap peris wa. Jika kita berani membayangkan kemenangan,
mengapa kita takut membayangkan kekalahan" Jika kita bergembira karena menang, mengapa kita
harus bersedih karena kalah?"
"Ya, memang benar, kakang Wijaya, bahwa menang dan kalah itu merupakan suatu akibat yang
nyata. Bahwa kita tak boleh terikat pada perasaan ha sehingga berbeda tanggapan kita
menghadapi kemenangan dengan kekalahan itu," kata puteri Gayatri kemudian menghela napas
"tetapi dalam peris wa kali ini memang berbeda dengan peris wa2 yang lain. Tidakkah kakang
merasakan hal itu" "
"Ya, diajeng, akupun memiliki perasaan itu," jawab Wijaya "tetapi hendaknya kita berani
mengemasi ha kita, apabila kita harus menghadapi sesuatu yang dak kunjung ba sebagaimana
yang kita harapkan. Dalam keadaan itu, kita hanya menyongsongkan segala hidup kita kepada
Hyang Maha Widdhi." "Kakang Wijaya," seru puteri Gayatri "memang segala sesuatu, pada keakhirannya, adalah Hyang
Maha Widdhi yang kuasa menentukan. Tetapi Dewata Agungpun merestui kita untuk berusaha
karena hal itu sudah, menjadi hak yang diwajibkan kepada insan manusia."
"Benar, diajeng, aku tentu akan berusaha sekuat kemampuanku."
"Kakang," ujar puteri pula "kudengar Ku amat sak mandraguna. Dialah yang berhasil
menemukan, kaca wasiat milik ayunda Teribuana. Pada hal berpuluh resi, wiku yang telah
di tahkan rama prabu, gagal semua. Dan tampaknya dia sangat bernafsu sekali untuk
memenangkan sayembara ini. Dapatkah kakang mengatasi kedigdayaan Kuti" "
"Memang demikian diajeng," kata Wijaya "sebenarnya hanya Ku yang paling kucemaskan.
Karena dia tentu hendak membalas dendam kepadaku."
"O" puteri Gayatri terkejut "mengapa dia mendendam kepada kakang" "
"Dia seorang yang nggi ha ," kemudian Wijaya menceritakan tentang peris wa di Wengker
dahulu. Sudah tentu ia terpaksa menyimpan peristiwa yang dialaminya bersama Mayang Ambari.
Gayatri mengangguk pelahan "Jika demikian makin besarlah rasa periha nku terhadap
pertandingan esok itu," ia berhen sejenak, merenung lalu berkata "kakang Wijaya, aku hendak
menghaturkan sesuatu kepadamu. Dan sesuatu itu tak lain hanya sebagai tanda betapa besar
harapan yang kucurahkan atas kemenanganmu, kakang."
Wijaya terkejut "O, sudah tentu aku tak berani mengharap suatu apa. Karena memenangkan
pertandingan esok hari itu, memang sudah menjadi kewajibanku."
"Tidak kakang," kata puteri Gayatri "apa yang hendak kuhaturkan kepadamu itu, bukan emas
bukan harta, melainkan sebuah pusaka."
"Pusaka ?" "Agar dalam menghadapi Ku esok hari, kakang terhindar dari malapetaka. Terimalah kakang."
Gayatri lalu mencabut cunduk dari sanggulnya lalu diberikan kepada Wijaya "cunduk ini disebut
cunduk mus ka Hiranyapadma. Bentuknya seper bunga teratai. Daya khasiatnya dalam
melindungi diri dari serangan musuh. Apabila berhadapan dengan musuh maka musuhpun akan
kabur pandang matanya, seolah melihat yang dihadapinya itu beberapa lawan sehingga bingung
untuk menyerang." Berhen sejenak puteri Gayatri berujar pula "Cunduk mus ka Hiranyapadma ini sesungguhnya
warisan ibundaku yang dianugerahkan kepadaku untuk melindungi diri dari segala mara bahaya.
Maka pakailah kakang Wijaya, semoga Dewata Agung melindungi diri kakang agar kakang dapat
memenangkan pertandingan esok hari."
Gemetar tangan Wijaya dikala menyambu pemberian sang dyah ayu. Namun sesaat dia agak
bingung bagaimana harus mengenakan cunduk itu. Rupanya puteri tahu akan keraguan Wijaya
"Susupkan pada sanggul rambutmu, kakang."
"Ah?" Wijaya mendesah "tetapi diajeng, aku tak biasa mengenakan cunduk. Tidakkah nan
apabila dalam bertanding dengan lawan, cunduk mustika itu tak mungkin akan jatuh ?"
"Maksud kakang" "
"Diajeng," Wijaya gopoh memberi penjelasan "harap jangan salah faham. Bukan aku menolak
anugerah diajeng yang sangat kuhargakan itu. Tetapi aku tak dapat mengenakan ditempat yang
sesuai. Dimanakah letak yang sesuai untuk menancapkan cunduk ini" "
"Hm, mulai manja," pikir Gayatri dalam ha . Ia tahu maksud Wijaya. Sebenarnya pemuda itu
tentu hendak meminta supaya puteri yang memasangkan cunduk itu pada sanggulnya, tetapi
Wijaya tak berani mengucapkan. Sejenak Gayatri mengeliarkan pandang. Dilihatnya di ruang
pendapa itu ada orang lain kecuali mereka berdua. Betapapun ia masih merasa malu apabila ia
hendak memasangkan cunduk itu diatas rambut Wijaya dan dilihat orang.
Setelah merasa aman dari penglihatan orang, barulah Gayatri melangkah maju ke muka Wijaya
dan meminta cunduk lalu memasangkan pada rambut Wijaya.
Mimpi dapat melayang jauh ke suatu alam yang aneh. kadang si pemimpi itu tak dapat
menerangkan sendiri bagaimana nama dan keadaan alam itu karena dia merasa belum pernah
berada dalam suasana alam sedemikian. Mimpipun kuasa mencipta-adakan sesuatu, baik benda,
mahluk atau peristiwa, yang tak mungkin terjadi dalam kenyataan.
Tetapi apa yang dialami Wijaya pada saat itu, ternyata lebih mustahil daripada mimpi.
Serambut dibelah tujuhpun tak pernah dia memimpikan bahwa ikut sertanya memasuki
sayembara pilih senopati di kerajaan Singasari itu akan membawanya dalam suatu alam dari
seribu impian dan kenyataan. Di hadapannya, tepatnya di depan hidung, ia tersengat oleh bau
yang harum. Keharuman yang lebih harum dari mekarnya seribu kuntum bunga. Keharuman
bunga, kuasa menyedapkan hidung, menyegarkan perasaan. Tetapi keharuman yang terpancar
dari tubuh sehalus beludru terbalut dengan kulit berwarna kuning melangsap lembut,
membiaskan suatu keanggunan rasa sejati ke awang-awang lapis ketujuh tempat semayam
para hapsari. Rasa bahagia yang menggelut perasaan Wijaya, memancarkan rasa keindahan agung akan
kebesaran alam jagad raya ini. Dan teridaplah Wijaya dalam alam yang penuh pesona syahdu. Ia
merasa bahwa hikmah dari kehidupan insan manusia itu tak lain hanyalah kemanunggalan dari
unsur pria dan wanita. Kemanunggalan itulah yang kuasa menimbulkan berbagai peris wa dalam
kehidupan, besar kecil, jahat baik, hina mulia dan sebagainya. Kemanunggalan itulah yang kuasa
menggoncangkan jagad, kuasa membahagiakan kehidupan, kuasa pula menghancurkannya.
Dalam kelelapan rasa itu, mbullah suatu perasaan baru dalam ha Wijaya. Mengapa dia harus
berjerih payah berjuang untuk mengayu hayuningan praja dan bawana " Mengapa dia harus
menyiksa diri bertapa-brata dan menuntut ilmu " Tidakkah kesemuanya itu akan tergulung dalam
suatu wadah yang berisikan in sari kehidupan yang terdiri dari pria dan wanita belaka" Dan
bukankah sekarang didepannya, didepan hidungnya, telah terbentang apa yang menjadi hakekat
kehidupan sebagaimana yang tersirat dari amanat Hyang Widdhi Agung dikala menciptakan
tahnya ke arcapada" Bukankah salah sebuah amanat itu, menitahkan agar insan manusia
menjaga kelestarian kehidupannya dengan jalan berkembang biak"
"Kakang, cunduk mus ka Hiranyapadma telah bersemayam di mustaka kakang," ba2 terdengar
puteri Gayatri berseru pelahan.
Wijaya gelagapan. Bagaikan luncur burung yang terkena anakpanah jatuh ke bumi, seke ka
berhamburanlah pikiran Wijaya yang tengah melayang-layang di Saptaloka. Kesadaran ba kembali
dalam singgasana ha nya, namun karena datangnya secara amat mendadak, sesaat iapun tak
dapat berkata apa-apa. "Kakang," tegur sang puteri pula.
"O" Wijaya menggelegak kejut, "terima kasih diajeng."
"Kakang," ujar puteri "dengan menyanggul cunduk mus ka Hiranyapadma itu, kakang akan
terlindung dari ancaman bahaya dari mana dan siapanpun juga. Tetapi kakangpun memanggul
beban tugas yang berat pula."
"O, apakah yang harus kulakukan?" kesadaran Wijaya yang makin meningkat, makin
menimbulkan suatu perasaan yang tajam.
"Hiranyapadma atau Teratai Emas itu mewajibkan pengembannya supaya sesuci-ba n, berbudi
luhur, berperbawa agung, berpijak pada kebenaran seja dan berpambeg welas asih terhadap
semua titah." "O" seru Wijaya "jika demikian hanya diajeng kiranya yang layak memiliki cunduk mus ka ini.
Tetapi aku .... " "Ksatrya yang memakai cunduk Hiranyapadma itu menyanggul beban untuk menerangi yang
gelap, menyirnakan si angkara murka yang jahat, mangayu-hayunjng bawana langgeng
"Baik, diajeng," terkesan juga akhirnya Wijaya akan makna yang terkandung dalam cunduk
mus ka itu. Karena hal itu senapas dengan jiwa ksatrya "setelah selesai peris wa sayembara ini,
tentu akan kuhaturkan kembali kepada diajeng."
"Ah, kakang " "Tidak, diajeng," sanggah Wijaya "mus ka seagung perbawanya seper cunduk Hiranyapadma itu
hanya layak dimiliki oleh seorang puteri utama seperti diajeng."
Gayatri mengulum senyum. Sesaat kemudian ba2 ia berkata pula "O, hampir lupa kukatakan
kepada kakang. Cunduk mus ka Hiranyapadma itu akan memancarkan daya-kesak annya apabila
disertai laku." Wijaya terkesiap "Apakah lakunya, diajeng. Haruskah aku berpuasa ataukah menyepi dan
menghaturkan sesaji" "
Puteri tertawa "Tidak, kakang. Cunduk mus ka Hiranyapadma dak menghendaki suatu laku
tapabrata yang bersifat menyiksa diri. Juga tidak memerlukan segala sesaji serta doa mantra. Tetapi
suatu laku dalam diri peribadi kakang sendiri. Lakunya mudah sekali, bahkan sedemikian mudah
sehingga kadang orang lupa memegang laku itu. Pada hal dengan laku itu dimaksud untuk
memusatkan seluruh pikiran, perasaan dan indriya kita dalam suatu kemanunggalan cipta yang
nantinya akan kuasa menggerakkan daya-kesaktian cunduk mustika itu "
Makin tertarik ha Wijaya akan ucapan puteri maka serta merta iapun segera meminta agar
puteri mengatakan laku yang harus ditempuhnya. "Mudah sekali, kakang, tak lain diwaktu
menghadapi lawan, kakang tak boleh mengucap kata walaupun hanya sepatah jua."
"Jadi aku harus membisu selama bertempur dengan lawan?" ulang Wijaya.
"Ya" sahut puteri Gayatri "mudah bukan" Tetapi sukar sekali karena kadang diluar kesadaran,
kakang terpancing oleh kata2 atau sumbar yang dilontarkan lawan, sehingga kakang terus
menjawabnya."

Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Wijaya terkesiap. Ia mengakui kebenaran ucap sang puteri "Baiklah diajeng," akhirnya ia
memberikan janji "aku akan mentaati pesan diajeng."
Tiba2 terdengar derap langkah kaki masuk ke ruang pendapa dan ke ka Wijaya berpaling
ternyata tumenggung Bandupoyo "Raden, hari sudah larut malam. Apakah gus ayu sudah
memberikan minyak Padmasari kepadamu " "
Wijaya agak gelagapan dan mengatakan "Ah, mengapa paman pelupa" Bukankah sejak tadi
diajeng sudah memberikannya?"
Tumenggung Bandupoyo tertawa "Ah, jika begitu, marilah kita pulang. Raden harus
beristirahat agar esok hari sudah pulih segar kembali."
"Paman" ba2 puteri Gayatri berujar "bagaimana sayembara esok hari itu, kupercayakan kepada
paman tumenggung." Tumenggung Bandupoyo terkesiap "Apa maksud gusti ayu" "
"Bukankah rama prabu telah menitahkan amanat agar kakang Wijaya. memenangkan sayembara
itu ?" Tumenggung Bandupoyo mengernyut dahi "Tetapi hal itu tergantung dari raden sendiri dan
tergantung akan garis ketentuan dewata agung."
"Juga tergantung kepada paman," tukas puteri " dakkah paman takut akan kemurkaan rama
prabu apabila amanatnya tak dapat terlaksana?"
"Habis" " tumenggung Bandupoyo menyalang mata "apa daya paman untuk melakukan hal
itu" " "Ah, paman Bandu," seru puteri "kuserahkan saja segalanya kepada paman. Dan akupun percaya
sepenuhnya bahwa paman tentu dapat mengemban amanat rama prabu."
"Dan amanat paduka sendiri, bukan?"
"Paman Bandu," teriak Gayatri seraya berputar diri terus melangkah masuk kedalam puri.
Tumenggung Bandupoyo tertawa gembira lalu mengajak Wijaya tinggalkan pendapa itu.
~^dewi.kz^Ismoyo^Mch^~ Kerisauan pikiran telah mengusik ketenangan ha tumenggung Bandupoyo, sehingga malam itu
dia tak dapat dur. Setelah mengantar Wijaya ke asrama, tumenggungpun mengadakan
pemeriksaan keliling keraton.
Tiba-tiba ia ingin menuju ke Tumapel. Di sana sedang dibangun sebuah candi besar, tempat
pemujaan Syiwa dan Buddha. Ia tak tahu mengapa seri baginda Kertanagara menitahkan
pembuatan candi itu. Tetapi nenurut keterangan dari pandita yang ditugaskan untuk menjadi
penjaga candi itu yani Dang Acarya Ratnamsa, candi itu akan diperuntukkan penjenazahan dari
raja-raja Singasari, dimulai dari apabila seri baginda Kertanagara wafat dan turun temurun dari
raja-raja Singasari penggantinya.
Perkenalannya dengan Dang Acarrya Ratnamsa memberi kesan bahwa sang acarrya itu seorang
pandita yang saleh, luas pengetahuan dalam falsafah keagamaan. Tumenggung Bandupoyo hendak
mohon petunjuk kepadanya untuk menerangi pikirannya yang sedang sedang tertutup kerisauan.
"Ah, malam sudah begini larut. Tidakkah kedatanganku akan mengejutkan sang acarrya?" sesaat
ia menimang-nimang per mbangan sebelum mengayunkan langkah. Kemudian ia menghela napas
"ah,' rasanya?""
Akhirnya ia mengurungkan niatnya.
Pikiran adalah penguasa diri orang. Pikiran tumenggung Bandupoyo yang risau itu, melepaskan
semua keadaan dalam dirinya. Bahkan diapun tak memikirkan lagi kemanakah kaki harus
melangkah. Seper penunggang kuda yang melepaskan tali kendali, berlarilah kuda menurut
sekehendaknya. Demikian pula dengan tumenggung itu. Dia telah membebaskan seluruh indriya
dan memerdekakan sang kaki berayun dalam langkah tanpa tujuan.
Tanpa disadari dia telah berjalan ke taman yang terletak dibelakang istana kediaman seri
baginda dan ba2 kehampaan pikirannya terenggut oleh pencerapan pandang matanya akan
sebuah bangunan candi kecil "Ah, candi keraton," pemandangan itu menggugah kesadaran pikiran.
Memang dalam lingkungan keraton, baginda telah menitahkan untuk membuat candi pemujaan
untuk tempat ibadah keluarga raja.
Segera ia melangkah masuk dan bersila menghaturkan doa puja dihadapan arca Hyang Syiwa dan
Hyang Amogapasa. Dia memanjatkan doa permohonan agar Batara Syiwa-Buddha melimpahkan
penerangan kepadanya. Malampun makin kelam. Angin berhembus membawa kedinginan hawa larut malam. Bintang
kemintang makin terang, dilangit yang tak berbulan. Sunyi senyap diseluruh penjuru jagad. Damai
sejahtera seluruh kawula Singasari.
Beberapa waktu kemudian, tumenggung Bandupoyo pun segera menyudahi doa. Serasa
beberapa beban berat yang menghimpit dadanya, longgar. Namun belum berar bahwa seluruh
beban yang merisaukan pikirannya itu telah himpas. Ia masih belum menemukan jawabannya.
Yang dirasakan setelah memanjatkan doa permohonan kehadapan Hyang Batara Syiwa-Buddha, ia
telah menunaikan suatu wajib sebagai seorang tah manusia bahwa Hyang Syiwa-Buddha itu Maha
Kuasa, Maha tahu dan Maha Murah. Hanya kepadaNYA manusia harus memohon perlindungan
dan penyerahan puja doa. Tumenggung Bandupoyo melanjutkan langkah cengkerama malam tanpa tujuan. Hanya beberapa
saat langkah terasa, ringan dan setelah itu mulai terasa sarat pula. Kesadaran itu mbul dari
pikirannya yang tersibak lagi oleh persoalan yang belum terpecahkan. Saat itu ia ba di sebuah
kolam. Permukaan kolam penuh ditumbuhi bunga teratai pu h dan merah. Ada sebuah tempat
duduk ditepi kolam itu dan duduklah ia disitu.
Beberapa saat kemudian mulailah ia mengalirkan soal2 yang menimbuni pikirannya "Walaupun
aku belum menemukan jawaban dikala menghadap Hyang Syiwa-Buddha tadi tetapi pikiranku
merasa tenang. Maka akan kucoba untuk memutuskan persoalan itu." katanya dalam hati.
Kiranya yang menjadi kerisauan pikiran tumenggung itu tak lain adalah pertandingan dalam
sayembara esok hari. Dia telah menerima tah baginda, menerima pula pesan puteri Gayatri agar
mengusahakan kemenangan bagi Wijaya. Iapun tahu pula bagaimana cara mengusahakannya.
Mudah. Mudah sekali sebenarnya. Ia tahu siapa Ku dan bagaimana kelemahan atau bagian
pengapesan pada tubuhnya. Asal ia memberitahukan hal itu kepada Wijaya, kemungkinan besar
Wijaya tentu akan dapat mengalahkan Ku . Dan selesailah sudah baginya untuk melaksanakan
amanat seri baginda serta pesan puteri Gayatri.
Tetapi mengapa ia harus merisaukan hal yang semudah itu " Memang benar, tumenggung
Bandupoyo risau karena soal itu. Ku adalah adik seperguruannya ke ka berguru pada resi
Brahmacahya di gunung Bromo. Ku cerdik dan cerdas sehingga dia lebih banyak mewarisi ilmu
kesak an resi gurunya daripada Bandupoyo. Namun Bandupoyo tak iri bahkan dia girang bahwa
padepokan gunung Bromo akan menurunkan seorang ksatrya yang sak -mandraguna. Pamor
perguruan gunung Bromo tentu akan naik. Pandangan Bandupoyo bukan tertuju pada kepen ngan
diri sendiri melainkan demi kewibawaan nama perguruan.
Pada suatu hari, ia dipanggil gurunya yang saat itu telah berusia amat lanjut dan sedang sakit "Di
mana adikmu Kuti?" tegur sang resi dengan suara yang lemah dan wajah tampak pucat.
Memang sejak beberapa hari yang lalu, pada waktu resi Brahmacahya sakit, Kuti
mengatakan kepada Bandupoyo hendak turun gunung untuk mencarikan obat gurunya. Tetapi
hingga dua pasara telah lalu, Kuti tetap tak pulang.
"Ku mengatakan kepada hamba hendak turun gunung mengusahakan obat untuk bapa guru,"
jawab Bandupoyo. Resi Brahmacahya geleng geleng kepala dan menekuk-nekuk jari seper orang menghitung "Dia
takkan kembali lagi, Bandu."
"Mengapa bapa guru?" Bandupoyo terkejut.
"Ku memang cerdas sekali. Segala ajaran yang kuberikan kepadanya, dengan cepat dapat di
fahaminya," kata resi Brahmacahya "dia memang seorang bakat yang bagus tetapi sayang dia
terlalu besar nafsunya. Ingin menjadi manusia yang paling sakti, ingin mengejar kekuasaan."
Resi tua itu batuk2 dan berhen sejenak, kemudian melanjutkan pula "Bermula aku girang
karena mendapat murid yang sedemikian cerdas dan berbakat. Dia-pun pandai mengambil ha
sehingga lebih banyak ajaran2 yang kuberikan kepadanya daripada kepadamu, Bandu. Maa an,
Bandu, tentulah engkau menganggap aku seorang guru yang pilih kasih "
"Tidak bapa resi," serta merta Bandupoyo menjawab "sama sekali dak ada rasa itu dalam ha
hamba. Bahkan hamba merasa girang karena keluhuran ajaran dan nama paduka pas akan
cemerlang karena dapat melahirkan seorang murid yang cerdas."
"Engkau memang kalah cerdas dengan Ku tetapi engkau lebih jujur dan setya, Bandu," kata resi
Brahmacahya "Kuti cerdas tetapi besar nafsu dan tak setya."
Karena berujang kali resi mengutarakan tentang sifat Ku maka Bandupoyopun meminta
keterangan bagaimanakah sifat yang tak setya dari Kuti itu.
"Dia pernah menguji aku," kata resi tua itu "pada waktu kusuruh dia mengulang sebuah ilmu
kanuragan yang kuajarkan kepadanya, dia meminta agar aku menjadi lawan la han. Dengan
demikian dapatlah diketahui mana-mana yang masih kurang dan lemah. Karena kuanggap
permintaan itu wajar maka aku pun meluluskan."
"Bapa guru," kata Kuti "dapatkah hamba menghaturkan permohonan kepada paduka" "
"Apa yang hendak engkau minta" "
"Hamba mohon paduka meluluskan hamba mengeluarkan seluruh aji kesak an yang hamba
peroleh dari paduka agar paduka dapat menilai sampai pada tataran manakah yang telah hamba
capai sampai saat ini."
"O, baiklah." "Tetapi hambapun mohon agar bapa guru juga bersungguh sungguh untuk menyambut dan
membalas serangan kepada hamba."
Resi Brahmacahya tertawa mengiakan. Ia tak mempunyai prasangka suatu apa kecuali
menganggap bahwa Ku memang bersungguh-sungguh hendak mencari ilmu. Demikian kedua guru
dan murid itu segera adu olah kanuragan dan kesak an dalam pertarungan yang makin lama makin
seru. Diam2 resi Brahmacahya girang karena muridnya telah mencapai kemajuan yang pesat. Apa
yang diajarkannya telah dilatih dengan sungguh2.
"Tiba2 dalam suatu kedudukan dimana pukulanku dapat dihindarinya, Ku cepat mengirim
sebuah pukulan yang keras. Aku tak sempat menangkis maupun menghindar, maka segera kutahan
napas dan kuhimpun tenaga untuk menerima pukulan itu."
"O" Bandupoyo berseru "tentulah Kuti hanya cukup menjamah bapa guru saja."
"Kukira memang begitu. Paling-paling dia tentu hanya akan menebah dadaku saja," kata resi
Brahmacahya "tetapi kenyataan tidak demikian, Bandu..."
"Kuti benar2 menghantam dengan sungguh2" "
"Jika hanya dengan pukulan biasa, kiranya aku tentu dapat menerima. Tetapi dia telah
menggunakah pukulan aji Brajamus . Aku terkejut ke ka merasakan dadaku seper terhantam
gada besi .... " "Terkutuklah Kuti," teriak Bandupoyo "apakah bapa guru terluka" "
"Memang luar biasa benar tenaga pukulan Ku itu. Aku tak menyangka bahwa aji pukulan yang
kuajarkan kepadanya itu telah dilatih sedemikian hebat sekali."
"Lalu bagaimana keadaan bapa saat itu?"
"Aku terpental dan muntah darah."
"Jahanam!" seru Bandupoyo "jika demikian dialah yang menyebabkan bapa guru sakit ini"
Resi Brahmacahya gelengkan kepala "Tidak, Bandu. Kurasa dak karena itu tetapi memang sudah
ba saatnya aku harus sakit. Diapun tampak menyesal dan segera memapah aku kedalam bilik dan
gopoh menghadangkan ramuan jamu penolak sakit-dalam."
"O, mengapa bapa tak memberitahu-kan hal itu kepada hamba" Tentu akan hamba tegur
perbuatan si Kuti itu."
"Bandu?" kata resi Brahmacahya batuk-batuk "aku sendiri tak menyangka bahwa Ku telah
mencapai ngkat yang sedemikian sak dalam aji pukulan itu. Jangankan engkau, Bandu, bahkan
aku sendiri pun rasanya belum mencapai tataran seperti yang dimiliki Kuti."
Bandupoyo terkesiap. "Itulah yang kukatakan bahwa dia telah menguji kepandaianku," kata resi pula "maka kupas kan
dia takkan kembali ke pertapaan sini lagi."
"Bandu?"" kata resi "Brahmacahya pula, tegak sesuatu dalam arcapada ini sudah
digariskan oleh Hyang Batara Agung. Aku merasa bahwa tak lama lagi aku akan pergi
menghadap kehadapan Hyang Malia Agung sumber segala kehidupan alam semesta. Sebelum
aku berangkat ada beberapa pesan yang perlu kutinggalkan kepadamu."
Dengan bercucuran airmata Bandupoyopun segera tumungkul di depan pembaringan gurunya.
"Pertama, engkau harus melakukan dharma hidupmu sebagai ksatrya yang berbudi luhur, setya
pada kewajiban dan asih memberi pertolongan kepada sesamanya."
"Kedua, tentang ilmu yang telah kuberikan kepadamu, wajiblah engkau pelajari dan latih
senantiasa. Karena ilmu itu harus dituntut dengan kepatuhan yang tertib dan menjalankan
dengan telaten. Kurasa segala ilmu yang telah kuberikan itu sudah cukup bagi pelengkap
seorang ksatrya asal engkau benar2 patuh dan telaten mencari kesempurnaan ilmu itu. Dan
ketahuilah anakku, segala ilmu kesaktian itu hanya sarana atau pakaian luar. Bagi seorang
ksatrya sejati yang penting adalah keutamaan jiwa dan amal dharmanya."
"Ke ga, mengenai Ku . Jangan engkau membalas dendam tetapi awasilah gerak geriknya.
Apabila dia memang makin rusak jiwanya, tegurlah. Apabila perlu engkau boleh menghukumnya.
Kemarilah Bandu, akan kubisikimu tentang pengapesan diri Kuti."
Bandupoyo tersentak dari lamunan ke ka ia masih ingat jelas petunjuk gurunya tentang bagian
pengapesan dari tubuh Ku "Ya, apabila kuberitahukan hal itu kepada raden Wijaya, Ku tentu
dapat dikalahkan." Tetapi kembali dia terpancang dalam persimpangan pikiran sebagaimana sejak ia mundur dari
hadapan sang prabu dan kedua puteri raja "Tidakkah hal itu berar aku menghiana saudara
seperguruan sendiri" Padahal, guru pernah menanamkan ajaran bahwa terhadap guru harus
hormat dan berbak seper orangtuanya sendiri. Kepada saudara seperguruan harus rukun dan
bantu membantu seper saudara sekandung. Lalu dakkah ndakanku untuk memberitahukan
kelemahan Kuti kepada raden Wijaya itu takkan menyalahi titah bapa guru " "
Demikianlah soal yang merisaukan pikiran Bandupoyo. Soal yang membawanya ia berjalan-jalan
pada malam hari di dalam wilayah keraton namun hingga saat itu belum dapat ia menemukan
pemecahannya. Iapun teringat akan cerita bapa gurunya ke ka menerangkan tentang hakekat perang suci dalam
Bharatayuda. Bahwa perang itu bukan peperangan antara kerabat Korawa lawan kerabat
Pandhawa yang masih mempunyai hubungan keluarga. Tetapi perang untuk menanda kesucian
Han Bu Kong 2 Pedang Asmara Karya Kho Ping Hoo Kesatria Baju Putih 17
^