Pencarian

Penculikan Ikan Paus 2

Trio Detektif 35 Misteri Penculikan Ikan Paus Bagian 2


Samudra Pasifik. Rumah di Malibu itu dulunya merupakan Charlie's Place. Hector
Sebastian membelinya setelah kisah-kisah misteri yang dikarangnya mulal laris,
bahkan sampai difilmkan. Sejak saat itulah Ia sedikit-sedikit memperbarui bekas
restoran itu menjadi rumah yang nyaman dan artistik.
Pete mencicipi sesendok nasi merah dengan ragu-ragu. Hmm, enak juga, ya,
ujarnya. Segera Ia makan dengan lahap.
"Kalian melihat perubahan di rumah ini?" tanya Mr. Sebastian pada anak-anak.
"Sudah banyak kulakukan perubahan di sini semenjak kunjungan kalian yang
terakhir." Jupe melihat berkeliling. Ruangan itu dahulu berfungsi sebagai ruang makan utama
Restoran Charlie's Place.
"Anda mengganti seluruh ubinnya, Mr. Sebastian." kata Jupe. "Dan Anda membeli
kursi goyang." Hector Sebastian tersenyum bangga. "Aku tidak membelinya. Aku diberi oleh
sebuah perusahaan film. Kursi goyang itulah yang dipakai dalam filmku yang
terbaru, Chill Factors. Kau ingat salah satu adegan di film itu, ketika si wanita tua
dicekik dengan gantungan baju kawat?"
Jupe masih ingat samar-samar. Si wanita tua sedang duduk di kursi goyang itu
sewaktu seseorang bersarung tangan hitam mendatanginya dan belakang.
Jupe heran, buat apa Mr. Sebastian menyimpan k kursi itu. Padahal kursi itu
mengingatkan pada peristiwa yang menyeramkan. Sesaat kemudian Jupe ingat
bahwa Mr. Sebastian memang kadang-kadang nyentrik.
Sifat nyentriknya membuat Mr. Sebastian selalu mau menerima anak-anak,
sekalipun Ia sedang sibuk bekerja. Ia siap setiap saat mendengarkan kisah
petualangan Trio Detektif, dan juga siap mengulurkan tangan untuk membantu.
Bertahun-tahun lamanya Mr. Sebastian bekerja sebagai detektif, sampai suatu saat
Ia mengalami kecelakaan. Kakinya terluka cukup parah. Sejak itu Ia mulai beralih
profesi menjadi penulis kisah misteri. Dan karena buku-buku karangannya laris, Ia
merasa tidak perlu lagi bekerja sebagai detektif. Ia cukup puas dengan bekerja
sebagai penulis buku dan naskah film misteri.
Latar belakang kehidupannya sebagai detektif membuat Mr. Sebastian senang
mendengar kisah petualangan Trio Detektif. Kisah-kisah misteri anak-anak
membuatnya teringat akan masa lalunya. Seakan-akan dirinya sendiri yang
melakukan penyelidikan dan memecahkan misteri yang dihadapi anak-anak.
Karena itu, tanpa diminta, Mr. Sebastian lang-sung menelepon ke beberapa tempat
untuk mencari informasi. Mr. Sebastian masih berhubungan baik dengan beberapa
pihak yang bersedia memberinya keterangan yang Ia perlukan.
Dengan harap-harap cemas, Trio Detektif menanti keterangan yang diperoleh Mr.
Sebastian. Tanpa bantuannya, mereka akan setengah mati mencari keterangan yang
amat diperlukan itu. Pete sudah menyikat habis sepiring nasi merah. Ia mulai menyendok lagi, mengisi
piring kedua. "Kau doyan, Pete?" kata Don sembari tersenyum puas.
"Ya, rasanya gurih juga," sahut Pete dengan suara tak jelas. Mulutnya masih penuh
nasi. "Iya, tapi habiskan dulu nasi di mulutmu!" Bob memandang Pete dengan geli.
"Sudah sampai di mana buku yang sedang Anda karang, Mr. Sebastian?" tanya
Jupe ketika Mr. Sebastian kembali. Selain bercerita tentang petualangan misteri
yang dialaminya, Jupe juga tertarik sekali pada kisah-kisah karangan Mr.
Sebastian. "Sebentar lagi selesai," jawab Mr. Sebastian seraya duduk. "Komputerku sangat
membantu mempercepat penulisan buku itu. Enak sekali, rasanya seperti... "
Ia terhenti. Telepon berdering
Mr. Sebastian mengambil sebuah tongkat dari samping kursinya. Sambil
bertelekan tongkat, Ia berjalan dengan sedikit pincang. Akibat kece!akaan itu
masih dirasakannya sampai sekarang. Dering telepon terdengar lagi dari balik rak
buku. Meja besar di balik rak buku itu dijadikan tempat kerja Mr. Sebastian.
Komputer, printer, dan sebuah pesawat tetepon terdapat di meja itu.
Trio Detektif mendengar Mr. Sebastian menjawab telepon. Mereka memasang
telinga, penasaran karena tidak dapat mendengar suara Mr. Sebastian dengan jelas.
Ruangan itu terlalu besar, dan meja kerja Mr. Sebastian terletak di salah satu sudut
ruangan di seberang meja makan.
Pete mencoba mendengarkan dengan begitu seriusnya, sampai-sampai Ia tidak
sadar bahwa sudah dua piring nasi merah dilahapnya. Bob memandang dengan
heran pada kawannya yang satu itu. Pete seakan dapat menelan makanan apa saja
yang disajikan di depannya. Bagi Bob sendiri nasi merah itu terasa aneh.
Maklumlah, lidahnya memang tidak terbiasa dengan nasi.
"Tambah lagi, Pete?" tanya Don. Ia mengangkat piring Pete, hendak menambahkan
nasi merah lagi. "Cukup, cukup!" seru Pete sambil menahan piringnya. "Bisa meledak perutku
nanti!" Saat itu Mr. Sebastian berjalan kembali dari sudut di seberang ruangan, terpincangpincang, sambil membawa sehelai kertas.
"Well," katanya seraya memperlihatkan kertas itu pada Trio Detektif. "Aku dapat
berita. Mudah-mudahan berguna bagi kalian."
"Apa beritanya?" tanya Jupe dengan bersemangat.
"Dari Badan Imigrasi Meksiko di La Paz, Baja California. kapal kapten Diego
Carmel, Lucky Constance, berlabuh di La Paz pada tanggal 10 Februari. Kapten
Carmel membawa seorang penumpang bernama Oscar Slater. Setelah dua hari
singgah di sana, mereka berlayar kembali pada tanggal 12 Februari."
Jupe mengernyit. "Terima kasih, Mr. Sebastian." katanya. "Kapal Kapten Carmel tenggelam tanggal
17 Februari. Itu berarti mereka diserang badai dalam perjalanan kembali ke San
Pedro." Ia menoleh pada Bob, lalu pada Pete. "Dan itu berarti pula," lanjutnya, "kalau
mereka memang membawa peti berisi kalkulator saku untuk diselundupkan ke
Meksiko..." Ia berpaling pada Hector Sebastian.
"Well, mungkin mereka gagal menyelundupkan barang itu, sehingga mereka bawa
pulang kembali. Atau mereka telah berhasil menyelundupkan barang itu. Dalam
hal ini Oscar Slater berbohong pada Constance dengan mengatakan bahwa peti
berisi kalkulator itu ikut tenggelam. Bagaimana menurut Anda, Mr. Sebastian?"
"Menurutku jalan pikiranmu benar, Jupe." Hector Sebastian tersenyum.
"Kelihatannya perjumpaan kalian dengan Fluke yang tak disengaja akan membawa
kalian ke dalam suatu petualangan baru. Suatu misteri yang makin lama makin
menarik.. dan aneh."
Bab 10 RAKSASA TANPA MUKA "KAU bisa memperbaikinya, Jupiter?" tanya Bibi Mathilda.
Jupiter mengamat-amati mesin cuci tua di hadapannya.
Paman Titus membelinya semalam. Catnya sebagian besar sudah mengelupas, dan
di sana sini bahkan sudah timbul karat.
"Akan kucoba, Bibi Mathilda," janji Jupe. "Akan kukerjakan seharian ini."
Bibi Mathilda tersenyum. Ia selalu senang melihat anak yang mau bekerja. Dan
sekarang, keponakannya, Jupiter, mempunyai sesuatu unik dikerjakan. Prinsipnya,
seorang anak boleh bermain, tetapi anak itu juga harus diajari untuk bekerja, harus
diberi tanggung jawab. "Kautekuni pekerjaanmu, ya Jupiter," katanya dengan perasaan puas. "Nanti
kubuatkan makan siang yang nikmat, khusus untukmu."
Jupe tidak berkeberatan menghabiskan waktu seharian di pangkalan barang bekas.
Sebelumnya, Ia sudah sering melakukannya. Dan yang jelas, setelah bekerja
seharian, besok Ia akan bebas seharian penuh juga.
Besok pagi anak-anak telah berjanji menemui Constance di teluk tempat mereka
menemukan Fluke. kawan-kawan Meksikonya akan membawa Fluke dengan truk
derek. Penyelaman untuk mencari bangkai kapal yang tenggelam akan dimulai.
Dalam waktu sejam, Jupe sudah mencopot motor mesin cuci dan membongkarnya.
Motor itu temyata tidak seburuk penampilan luarnya. Model tua, mungkin dibuat
sebelum zaman perang, pikir Jupe, paling tidak sudah tiga puluh tahun umumya.
Motor itu memerlukan ban pemutar baru. Jupe harus membuatnya, karena ban
seperti itu sudah tidak dijual lagi sekarang. Mulailah Ia mengorek-ngorek
tumpukan barang rongsokan di Pangkalan Jones, mencari ban karet yang cukup
kuat. Tiba-tiba Jupe terhenyak. Begitu sibuknya ia bekerja memperbaiki mesin cuci tua
itu, sehingga untuk beberapa saat tidak tahu apa yang mengagetkannya. Sebuah
lampu merah berkedip-kedip di meja kerjanya. Itu berarti seseorang menelepon ke
kantor Trio Detektif. Jupe memang tidak gesit sekali, tapi dalam waktu kurang dari setengah menit Ia
dapat menyingkirkan papan, merayap di Lorong Dua, mengangkat tingkap, naik ke
kantor, lalu mengangkat telepon di meja kantor.
"Halo," katanya dengan napas tersengal-sengal. "Jupiter Jones di sini."
"Halo, Mr. Jones," terdengar suara yang sudab dlikenalnya. "Aku menelepon
untuk mengetahui sampai di mana kemajuan pekerjaanmu dengan ikan paus itu."
Logat pesisir selatan masih terdengar jelas di telinga Jupe.
"Aku sudah rnenunggu-nunggu telepon dari Anda," kata Jupiter." Telah banyak
yang kami kerjakan. Anda akan senang mendengarnya. Besok jam tujuh pagi,
Fluke, maksudku ikan paus itu, akan bebas kembali di lautan. Tugas kami selesai,
kan?" Tidak ada jawaban. "Halo?" kata Jupe. "Halo?"
"Well, itu baru berita, Mr. Jones," orang itu baru menyahut. "kau pantas diberi
ucapan selamat." "Terima kasih."
"Dan diberi imbalan juga. Seratus dolar menurut perjanjian kita."
"Ya. kalau Anda memberi alamat Anda, akan kami kirimkan foto pelepasan ikan
paus itu di laut. Setelah itu Anda dapat mengirimkan wesel pada kami."
"Tidak perlu repot-repot seperti itu. Aku percaya pada kalian. Tetapi, aku harus
keluar kota selama beberapa minggu. Jadi kalau kau ada waktu, Mr. Jones, bisakah
kau menemuiku malam ini" Akan kuberi uang seratus dolar kontan."
"Bisa... dan terima kasih atas kepercayaan Anda," Jupiter menyetujui, walaupun
dalam benaknya ia heran. Mengapa orang itu masih belum memberikan nama dan
alamatnya" Mengapa ?a tidak merasa perlu dikirimi foto sebagai bukti pelepasan
Fluke ke laut" Mengapa ?a begitu percaya pada perkataan Jupe"
"Di mana kita bisa bertemu, dan kapan, Sir?" tanya Jupe.
"Kau tahu Burbank Park?"
Jupe tahu. Bertahun-tahun yang lalu, Burbank Park merupakan taman rekreasi
yang ramai dikunjungi orang. Di tengah-tengahnya berdiri sebuah panggung
pertunjukan. Setiap hari Minggu orang berduyun-duyun pergi ke sana untuk
menyaksikan pertunjukan dari grup-grup band ternama.
Nanun perkembangan kota Rocky Beach menggeser kepopuleran Burbank Park.
Perumahan di Burbank mulai ditinggalkan orang. Lambat laun Burbank Park
menjadi sepi. Taman itu masih ada, tapi sangat tidak terawat. Alang-alang yang
tinggi dan semak-semak belukar tumbuh di sana sini. Sejak bertahun-tahun yang
lalu tidak ada lagi grup band yang manggung di sana.
Sejak itu pula tidak ada orang yang berani mengunjungi Burbank Park.
Jam delapan malam ini, si penelepon memberi instruksi pada Jupe. "Tidak perlu
mengajak kawan-kawanmu, Mr. Jones. Datang saja sendiri. Kutunggu di panggung
pertunjukan?" "Sir..." Jupe mau mengusulkan tempat lain saja. Tapi terlambat. Telepon sudah
ditutup. Jupe berdiri termangu memandangi mejanya, berpikir. Orang itu memintanya
datang seorang diri. Permintaan itu mengundang kecurigaannya.
Ia mengangkat teleponnya lagi, lalu menelepon Bob dan Pete. Ia memberi tahu
tentang si penelepon misterius serta tempat dan waktu pertemuan di Burbank Park.
Setelah itu Ia kembali sibuk memperbaiki mesin cuci tua.
Jam lima sore Jupe baru selesai memperbaiki alat pencuci kuno itu. Dipanggilnya
Bibi Mathilda untuk menyaksikan mesin itu bekerja.
Mesin itu berdengung keras ketika motor berputar, makin lama makin cepat.
Seluruh badan mesin itu bergetar, bahkan berguncang seperti diguncang gempa
bumi. Meskipun demikian, mesin cuci itu sudah dapat digunakan. Bibi Mathilda
mengangguk-angguk puas. "Kau anak cekatan, Jupiter," katanya. "Lebih baik kau bekerja seperti ini daripada
bermain teka-teki bersama kawan-kawanmu. Kau akan dapat es krim sehabis
makan malam." Setelah makan malam, Jupe menyikat habis semangkuk es krim. Segera setelah itu
Ia bergegas mengayuh sepedanya ke luar pangkalan, menuju pinggiran kota.
Burbank Park nampak menyeramkan, seperti sebuah hutan belantara yang belum
pernah dijamah. Sebelum masuk ke taman, Jupe turun dari sepedanya. Dirogohnya
sepotong kapur dan kantungnya, lalu digambarnya tanda '"' di pinggir jalan.
Tanda itu suatu kode yang sering digunakan Trio Detektif. Masing-.masing
mempunyai kapur dengan warna berbeda. Jupe putih. Bob hijau. Dan Pete biru.
Mereka sengaja memilih tanda '"' karena selain tanda itu dipakai sebagai simbol di
kartu mereka, tanda seperti itu juga tidak akan mengundang kecurigaan orang lain.
Orang yang kebetulan melihat tanda '"' di jalan, atau di sebuah tiang, tidak akan
menaruh curiga apa-apa. Paling-paling mereka mengira itu perbuatan anak iseng
saja. Jupe menemukan sebuah jalan setapak ke arah taman. Di kiri kanannya alangalang tumbuh dengan lebat. Dikayuhnya sepeda perlahan-lahan. Setiap beberapa
meter Ia berhenti untuk menggambar tanda '"' di batu, di pohon, atau apa saja yang
bisa ditulisi. Jupiter Jones bukanlah anak yang suka berkhayal. Ia boleh dikatakan seorang
pemikir yang berbakat dalam menarik kesimpulan. Baginya semak adalah semak,
rumput adalah rumput, dan pohon adalah pohon. Tidak lebih, tidak kurang. Palingpaling semak dapat dijadikan tempat bersembunyi dalam permainan petak umpet.
Tapi toh tatkala berjalan mendekati taman, Jupe merasa sekelilingnya seperti
bangkit. Mengancam, mengerikan. Cabang-cabang pohon yang terjuntai seakan
seperti tangan yang terjulur. Rantingnya seolah seperti jari-jemari yang hendak
mencengkeram. Semuanya bagaikan hendak menangkapnya. Lalu menyeretnya ke
dalam kegelapan malam. Jantungnya berdebar-debar.
Ia dapat melihat panggung pertunjukan di depannya sekarang. Atapnya telah
runtuh, lantainya ditumbuhi rumput liar di sana sini. Perlahan disandarkannya
sepeda di samping panggung. Digambarnya tanda '"' pada sebuah kayu lapuk.
"Mr. Jones." Jupe tersentak. Jantungnya seakan mau copot. Hampir saja Ia menjatuhkan
sepedanya saking kagetnya. la memandang berkeliling.
Tidak ada siapa-siapa. Tidak nampak seorang pun.
"Ya?" Jupe mencoba menjawab. Tenggorokannya serasa tersumbat.
Terdengar suara gemerisik. Seseorang berjalan menerabas alang-alang, pikir Jupe.
Gemerisik itu makin jelas dan makin jelas. Akhirnya Jupe dapat melihat sesosok
bayangan dalam jarak dua meter di hadapannya.
Orang itu amat tinggi. Topinya ditekan dalam-dalam dan tepi topi itu dimiringkan
sampal menutupi telinganya. Bahkan matanya pun sukar dilihat. Jupe melihat
sebuah muka yang... lebih tepat dikatakan orang itu tidak mempunyal muka!
Hampir-hampir rata wajah orang itu! Seperti sebuah foto yang kabur gambarnya,
tidak terfokus.. Satu hal yang tidak dapat dilupakan Jupe adalah ukuran tubuh orang itu. Luar biasa
besarnya. Di balik jaketnya tentu bertimbun-timbun otot yang kekar, pikir Jupe.
Bahunya sangat lebar. Dan tangannya luar biasa kekarnya. Kalau bukan gorila,
pasti Ia seorang raksasa.
"Mendekatlah, Mr. Jones," kata orang itu. "Akan kuberi apa yang kaucari."
Ragu-ragu Jupe melangkah. Baru dua langkah diayunkan, tahu-tahu tangan orang
itu mencengkeram bahu Jupe. Dengan kasar diputarnya Jupe. Satu tangannya
mencengkeram tengkuk Jupe. Jupe meronta-ronta mencoba melepaskan
cengkeraman itu. Untuk sesaat Jupe berhasil memegang tangan kekar itu. Aneh.
Rasanya lembek, seperti roti.
Tapi dengan gerakan cepat, satu tangan Jupe ditelikung di belakang punggungnya.
Orang itu mengunci tangan Jupe. Dan tangannya yang satu lagi menjambak rambut
Penyelidik Satu. Jupe tak berkutik lagi. Bergerak sedikit saja membuat orang itu menekan
tangannya yang tertelikung, membuatnya mengerang kesakitan.
"Sekarang patuhi perintahku, Mr. Jones!"
Jupe dapat merasakan napas orang itu di telinganya.
"Mengerti, Mr. Jones?"
Jupe mencoba mengangguk. Tapi kepalanya tak dapat digerakkan.
"Kalau tidak, Mr. Jones," suara itu makin dekat ke telinganya - logat pesisir selatan
yang kental terdengar jelas sekali, "akan kupatahkan batang lehermu. "
Bab 11 SERGAPAN MENDADAK! JUPE menuruti kata orang itu.
Ia berjalan melalui jalan setapak menjauhi panggung. Jalan setapak itu bukan jalan
yang dilaluinya tadi. Ia berharap bisa menggambar tanda '"' di pohon yang
dilaluinya. Tapi jangankan menggambar tanda, merogoh kapur di kantungnya saja


Trio Detektif 35 Misteri Penculikan Ikan Paus di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ia tak dapat. Orang itu masih menelikung tangan kanannya dan menjambak
rambutnya. Dengan kasar ia mendorong-dorong Jupe seraya menunjukkan jalan
yang dikehendakinya. Mereka sampai di jalan di pinggir taman. Sambil tetap menelikung tangan Jupe,
dibukanya bagasi sebuah mobil limousin tua yang terdapat di sana.
"Masuk!" perintahnya.
Jupe sempat melihat ke sepanjang jalan. Tidak terlihat orang lain. Tidak ada yang
bisa menolongnya. Jupe meronta mencoba membebaskan diri. Percuma. Tangannya terkunci erat di
belakang punggungnya. Makin kuat Ia meronta, makin sakit tangannya terasa.
Orang itu menghimpitkan badannya yang lunak pada punggung Jupe. Jupe meronta
lagi. Malahan Ia jadi kehilangan keseimbangan. Dengan kasar orang itu
mendorong Jupe ke dalam bagasi.
"Ahhh," Jupe mengerang ketika kepalanya terbentur benda di dalam bagasi itu.
Separuh badannya masih di luar. Kedua t?ngannya bebas kini. Tapi benturan itu
membuatnya pusing. Dengan kepalanya yang puyeng cuma satu yang
dipikirkannya. Memberi tanda. Ia merogoh kantungnya , lalu menjatuhkan kapur
putih ke jalan. Orang itu sibuk mengangkat kaki Jupe, memasukkannya ke dalam bagasi. Ia tidak
melihat kapur putih yang dijatuhkan Jupe. Ketika seluruh badan Jupe masuk,
dibantingnya pintu bagasi.
Jupe mendengar suara mobil dihidupkan. Ia merasa mobil berjalan perlahan.
Jupe hanya bisa meringkuk dalam bagasi yang sempit dan gelap itu. Udara terasa
sumpek, dan berbau oil. Jupe meraba-raba sekeiilingnya. Dan baunya Jupe dapat
menyimpulkan bahwa mobil limousin itu boros oli. Orang yang memiliki mobil
seperti itu biasanya membawa cadangan oli yang cukup banyak.
Tangannya menyentuh benda yang ia cari-cari. Kaleng oli. Sambil meraba-raba
dikeluarkannya pisau Swiss, alat serbaguna yang ke mana-mana dikantunginya.
Pada alat itu terlipat sebilah pisau kecil, sebuah sendok, sebuah gergaji mini, dan
sebuah alat pembuka botol. Dilubanginya kaleng oil dengan pisau kecil.
Dasar bagasi penuh dengan karat mungkin karena mobil limousine itu sudab sangat
tua. Dengan gergaji mini dilubanginya dasar bagasi.
Ia menumpahkan oli sedikit demi sedikit melalui lubang tadi, sambil berharap agar
kedua kawannya akan memperhatikan tanda itu.
Mobil limousin berjalan sangat lambat. Jupe beruntung karena jarak yang
ditempuhnya tidak jauh. Masih ada setengah kaleng oli lagi ketika limousin
berhenti. Pintu bagasi terbuka. Manusia raksasa itu menjambak rambut Jupe.
"Keluar!" bentaknya.
Jupe terpaksa rnenurutinya. Ia paling tidak suka rambutnya ditarik-tarik orang,
apalagi dijambak. Ketika berdiri, dilihatnya sebuah rumah kayu yang bobrok. Mobil limousin
diparkir di depannya. Sambil menjambak, orang itu mendorong Jupe ke arah
rumah bobrok itu. Papan teras berkeriat-keriut sewaktu Jupe menginjaknya. Orang
itu mengambil kunci dari kantungnya, Ialu membuka pintu.
"Masuk!" Jupe merasa rambutnya dijambak sangat keras, lalu Ia dihempaskan ke
dalam rumah. Tersungkur Jupe, masuk ke rumah bobrok itu. Pintu dikunci. Lampu dinyalakan.
Jupe baru dapat melihat mengapa manusia raksasa itu seperti tidak mempunyai
muka. Ia memakai sebuah kaus nilon di kepalanya, sampai ke batas lehernya. kaus
yang berfungsi sebagai topeng itu membuat hidung, mulut, dan matanya hampir
rata. Kalau Ia pernah berjumpa orang itu sebelumnya, Jupe tak akan mengetahuinya.
Dan sebaliknya, seandainya Ia bertemu lagi dengan orang itu, pasti Jupe tidak akan
dapat mengenalinya. Diterangi cahaya lampu, orang itu tampak lebih besar dan tegap. Mungkin lemak,
bukan otot, yang bertimbun di balik jaket yang dipakainya. Tapi bahu dan
lengannya benar-benar besar dan kekar.
Jupe melirik ke sekeliling ruangan. Ada bangku kayu, meja reyot dengan telepon
di atasnya, dan kain gorden lusuh menutupi jendela. Hanya itu. Tidak ada apa-apa
lagi. Tidak ada koran atau majalah, dan pada dinding tidak tergantung apa-apa.
Jupe berkesimpulan orang itu belum lama tinggal di situ.
"Masuk ke sana!" bentak manusia raksasa itu dengan logat pesisir selatan.
Didorongnya Jupe ke arah sebuah pintu di sudut ruangan. Dihempaskannya Jupe
melalui pintu itu. Lalu pintu dibanting, dan dikuncinya.
Kamar itu gelap. Dengan meraba-raba Jupe segera menyadari bahwa ia disekap
dalam sebuah kakus. "Halo." Jupe mendengar suara orang itu di ruangan sebelah. Pasti ?a sedang menelepon.
Jupe menempelkan telinganya pada lubang kunci pintu kamar.
"Halo," ia mendengar orang itu berkata lagi. "Aku ingin bicara dengan Miss
Constance Carmel." Hening sesaat. Lalu orang itu melanjutkan lagi. "Aku ingin memberi tahu, Miss
Carmel, bahwa kawanmu, Jupiter Jones, kusandera," kata orang itu.
Sunyi sejenak "Ya. Aku menculiknya."
Sunyi kembali. "Tidak. Aku tidak minta uang tebusan. Aku cuma ingin memberi tahu bahwa kalau
kau tidak segera membebaskan ikan paus kecil itu ke lautan, dan membatalkan
rencana pencarian bangkai kapal ayahmu... "
Sunyi sejenak. Sunyi yang penuh ancaman.
"Kau tidak akan pernah bertemu dengan Mr. Jones lagi untuk selamanya!" Logat
pesisir selatan terdengar kental, penuh ancaman.
Jupe mendengar telepon ditaruh.
Trio Detektif sudah sering menghadapi situasi yang sulit "bahkan berbahaya"
dalam petualangan-petualangan mereka. Mereka pernah berurusan dengan ikan
hiu. Mereka juga pernah tersekap dengan tangan dan kaki terikat di sebuah rumah
berhantu. Tapi bagi Jupe, situasi sekarang inni yang paling buruk. Manusia raksasa
itu tidak main-main dengan ancamannya.
Jupe telah memberi tahu Bob dan Pete bahwa ada tiga orang yang patut dicurigai,
berkaitan dengan penyabotan rem truk Constance. Oscar Slater. Lalu Paul Donner.
Orang ketiga yang belum disebutkan Jupe waktu itu ialah si penelepon gelap, yang
menawarkan seratus dolar kalau mereka bisa membebaskan Fluke.
Ternyata si penelepon menginginkan agar Trio Detektif menghalangi Oscar Slater
dan Constance mencari reruntuhan kapal Kapten Carmel. Si penelepon tidak ingin
kapal itu ditemukan. Ia tidak ingin apa pun yang ada di kapal itu diselamatkan.
Dulu Ia pernah mencoba mencelakakan Constance dan Trio Detektif "bahkan
hampir membunuh mereka" dengan memotong kabel rem truk. Sekarang Jupiter
disandera. Jupe memikirkan bagaimana caranya ?a bisa meloloskan diri. Ia harus
lari dari situ. Ancaman orang itu akan segera dilaksanakan, kalau permintaannya
tidak dituruti. Jupe berlutut, lalu mengeluarkan pisau Swissnya. Kalau saja Ia dapat mencongkel
kunci pintu... Orang itu luar biasa besar, seperti gorila. Namun Ia juga gemuk. Jupe masih ingat
ketika Ia sempat memegang lengan orang itu. Lunak seperti roti.
Kalau saja Jupe dapat mengelabuinya...
Jupe menyelipkan pisau kecil ke dalam lubang kunci.
Ia bekerja dengan hati-hati sekali, berusaha tidak menimbulkan bunyi. Orang itu
terdengar mondar-mandir di ruangan sebelah. Setiap kali Ia menginjak lantai kayu,
terdengar suara berkeriat-keriut. Jupe memanfaatkan kesempatan itu untuk
mencongkel-congkel lubang kunci.
Tiba-tiba terdengar suara berderak kenas. Seperti kayu patah. Apakah orang itu
jatuh ke lantai" Pada saat itu Jupe telah berhasil membuka kunci pintu. Dibukanya pintu dengan
mendadak. Bersamaan dengan itu Ia menghambur keluar.
Pada detik yang bersamaan, pintu depan didobrak dan tersibak terbuka.
Dalam sekejap Jupe melihat ada orang lain menyerbu ke dalam ruangan itu. Pete
melayang di udara, menerjang orang itu. Manusia raksasa itu jatuh terduduk, tidak
siap mendapat serbuan mendadak. Bob berlari masuk dari pintu depan.
Detik berikutnya Trio Detektif bergerak cepat dan kompak seperti pasukan
komando yang terlatih. Sebelum manusia raksasa berjaket itu bangkit, Jupe dan
Pete sudah keluar melalui pintu depan. Bob berlari di dekatnya.
"Sepedamu di sini!" teriak Bob pada Jupe seraya melompat ke sepedanya. Pete
sudah Iebih dahulu mengayuh sepedanya.
Jupe memberi isyarat untuk menyebar.
Pete dan Bob menangkap isyarat itu. Mereka berpencar ke arah yang berlainan.
Ketika orang yang menyandera Jupe muncul di teras, ketiga anak itu telah hilang
dalam kegelapan. Lenyap ditelan kelamnya malam.
Bab 12 DUA TIANG "MULA-MULANYA kami bingung," Bob mengakui, "tapi waktu kami jumpai
sepedamu di samping panggung, kami langsung tahu. Pasti ada apa-apa. Apalagi
dari situ tidak ada tanda kode lagi."
Jupe menarik napas lega. "Untung kalian kutelepon sebelum aku pergi ke sana."
Pagi itu anak-anak berkumpul di sebuah teluk kecli. Mereka sudah slap dalam
pakaian renang, menunggu Constance yang berjanji akan bertemu di tempat itu.
Jupe sudah menelepon Constance begitu Ia sampai di rumahnya semalam. Ia
menyampaikan kabar bahwa Ia berhasil melarikan diri dengan selamat dari
sekapan orang tak dikenal itu. Jadi rencana pencarian kapal ayah Constance dapat
dilanjutkan. "Bob yang akhirnya mendapat ilham," kata Pete. "Waktu kami menemukan
tumpahan oli, Bob menduga sebuah mobil tua pernah diparkir di situ dan kau
dilarikan dengan mobil itu."
"Tapi Pete"lah yang menemukan tumpahan oli lagi kira-kira lima puluh meter
dari situ," Bob menambahkan. "Sesudah itu, tidak ada masalah. Kami mengikuti
tumpahan-tumpahan oli itu sampai melihat sebuah mobil limousin tua diparkir di
depan rumah kayu." Ia sedikit mendongak. Truk derek milik kawan Constance berjalan perlahan
memasuki pantai berpasir. Fluke nampak tenang, di belakang truk itu. Seluruh
tubuhnya ditutupi dengan karet busa basah.
Truk berputar sampai bak belakangnya menghadap ke lautan, lalu mundur sampai
setengah ban belakangnya terendam air laut. Constance sengaja memilih tempat ini
karena pantai di sini curam. Beberapa meter dari pinggir saja sudah
memungkinkan Fluke berenang.
Constance dan kawan Meksikonya turun dari truk.
Constance memakai pakaian selam, dan kaca mata selamnya tergantung di
lehernya. Ia berjalan ke belakang truk, lalu menepuk-nepuk Fluke.
Pete dapat melihat sekarang bahwa di bawah badan Fluke tergelar kain kanvas.
Dibantunya orang Meksiko itu membungkus Fluke dengan kanvas dan mengaitkan
kedua ujung kain kanvas pada cantolan derek.
Sementara itu, Constance membelai-belai kepala Fluke untuk menenangkannya.
Ikan paus itu terlihat tenang saja. Fluke membuka matanya, ketika derek mulai
mengangkatnya dari truk. Bersama-sama, ketiga anak itu mengarahkannya keluar
dari bak truk ke atas laut.
Si orang Meksiko, yang rnengendalikan tuas derek, perlahan-lahan menurunkan
dereknya. Fluke masih diam saja dalam gendongan kanvas itu, tidak bergerakgerak. Ikan paus itu tetap diam sampai Pete membuka kanvas penggendongnya.
Begitu kanvas terbuka, Fluke meluncur beberapa meter ke laut.
Fluke bebas kembali di lautan terbuka.
"Ke sini, Fluke. ke sini," perintah Constance.
Fluke mentaatinya. Ikan paus kecil itu berbalik dan berenang menuju Constance
yang berendam sebatas pinggangnya. Dengan manja Fluke menyundul-nyundul
Constance. "Oke," kata Constance pada kawan Meksikonya. Muchas gracias.
Orang Meksiko itu memperlihatkan sebaris giginya yang putih. "Buena surte." Ia
mengacungkan jempolnya lewat jendela, lalu pergi mengendarai truk dereknya.
"Siap untuk beroperasi?" tanya Constance pada anak-anak. Ia menoleh ke laut
lepas. Seratus meter dari pantai, Oscar Slater telah menunggu di kapalnya.
"Kau yang membawa tape recorder itu ya, Jupe," kata Constance. "Mungkin tidak
perlu benar. Aku yakin Fluke tidak akan berenang meninggalkanku. Ya kan,
Fluke?" Sambil berkata begitu, Ia mengelus-elus kepala Fluke. "Tapi tape itu
dibawa saja, untuk berjaga-jaga."
"Constance. " Jupe masuk ke air mendekati Constance. Kedua kawannya mengikuti. Jupe, yang
tidak setinggi Constance, terendam air sampai dadanya.
"Ada apa, Jupe?"
"Aku tadi berpikir," kata Jupe. "Sebaiknya Bob tinggal di sini dengan tape
recorder itu." "Kenapa" "
Jupe menjelaskan rencananya. Ia menerangkan bahwa mungkin saja Oscar Slater
sudah menyelundupkan peti berisi kalkulator itu ke Meksiko. "Dan kalau benar
begitu," Ia meneruskan, "berarti Ia telah berbohong padamu. Mungkin saja kali ini
pun Ia bermaksud mengelabuimu. Ia mungkin mencoba menculik Fluke sesudah
Fluke mengambil barang yang diinginkannya dari bangkai kapal. Itulah gunanya
Bob berjaga-jaga di sini. Bob dapat mencegah usaha Mr. Slater menculik Fluke."
Constance mendengarkan dengan saksama. "kau yakin Ia sudah berlabuh di
Meksiko waktu." "Positif," Jupe meyakinkannya. "Seorang kawan kami telah mengeceknya pada
Badan Imigrasi Meksiko. Kapal itu sempat berlabuh di La Paz."
Constance menimbang-nimbang beberapa saat.
"Oke," ujarnya seraya memasang kaca mata selamnya. "Tidak apa-apa. Fluke,
Pete, dan aku saja yang menyelam. Ayo, Fluke!"
Ia berpaling dan berenang dengan cepat ke laut lepas. Fluke berenang di
sampingnya. Jupe menyusul di belakang. Pete kembali ke pantai, mengambil
sebuah ransel plastik yang dipersiapkan Jupe di bengkelnya. Bob membantu
mengencangkan tali ransel itu di punggung Pete. Di dalam ransel itu terdapat
sebuah walkie-talkie. "Kau dapat berenang sambil memanggul ransel ini?" tanya Bob.
"Tentu, dong. Di darat memang terasa berat. Tapi di air akan lebih ringan."
Bob memperhatikan kawannya itu masuk ke laut. Pete benar. Begitu air laut
mencapai pinggangnya , ransel plastik itu agak terangkat mengambang. Pete
meluncur, lalu berenang gaya bebas dengan cepat. Sebentar saja Jupe sudah
terkejar. Bob memungut kotak tape recorder kedap air. Lalu, dibukanya gulungan jaket
yang tadi diikatkannya ke sepedanya. Akhirnya dia mengeluarkan sebuah walkietalkie lain.
Ia menarik antenanya, lalu menghidupkan pesawat penerimanya.
Bob menemukan bongkah karang datar yang kering, menggelar jaketnya, lalu
duduk sambil memangku walkie-talkie itu. Tape recorder kedap air tergeletak di
sampingnya. Di kejauhan Ia melihat Constance dan Fluke telah sampai ke kapal
Slater. "Selamat datang di kapal," sambut Slater seraya mengulurkan tangannya untuk
menolong Constance naik ke kapal.
Constance tidak menghiraukan uluran tangan itu. "Diam di tempat, Fluke,"
katanya. "Bagus, Fluke. Diam, ya." Ia meraih seutas tali yang terjuntai dari kapal.
Dengan satu gerakan yang ringan Ia naik ke kapal.
Dengan susah-payah, Jupe naik ke kapal menyusulnya. Pete masih tenang-tenang
saja mengapung tertelentang di air.
"Peralatan sudah diperiksa, Mr. Slater?" tanya Jupe.
"Mari sekarang kita cek." Slater masuk ke dalam kokpit, mengambil seperangkat
peralatan kamera televisi. Jupe membolak-baliknya, memperhatikan tutup
penyekat alat itu. "Anda yakin kamera ini dapat bekerja baik dalam air?" tanyanya.
"Tentu saja. Constance yang membelinya di Ocean World. Alat ini sudah sering
dipakai di sana," kata Staten dengan logat pesisir selatan. "Pertanyaan dungu apa
lagi yang ingin kautanyakan, Gendut?"
Kali ini Jupe tidak sebal mendengar ejekan itu. Ia justru senang, karena rencananya
akan berjalan lebih mudah. Ia berencana untuk berlagak sebagai anak dungu.
Masih banyak lagi pertanyaan dungu yang akan diajukannya agar Slater tidak
memperhatikan Pete. Pada saat itu Pete naik ke kapal, menyandang ransel berisi walkie-talkle di
punggungnya. Ia harus segera menyembunyikan walkie-talkie itu di suatu tempat
"Aku heran," kata Jupe berusaha menyita perhatian Slater. "Kok, bisa ya,
mengambil gambar dalam air" Apa tidak rusak alat itu. Bagaimana nanti kalau
Fluke berenang jauh-jauh?"
Dengan sudut matanya Jupe dapat melihat Pete menyembunyikan ransel berisi
walkie-talkie di dalam sebuah lemari.
"Sampai kedalaman lima puluh meter masih tidak apa-apa," sahut Slater dengan
tidak sabar. "Apakah Constance belum bilang soal ini?"
"Mungkin sudah. Tapi aku tidak mengerti. Lalu senter yang ditempelkan di kepala
Fluke..." Ia tidak menyelesaikan kalimatnya. Pete telah menjalankan tugasnya dengan balk.


Trio Detektif 35 Misteri Penculikan Ikan Paus di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ia mengusap-usap rambutnya yang basah dengan kedua tangannya. Itu adalah kode
yang telah disepakati sebelumnya. Ransel plastik telah disembunyikan di tempat
yang aman. "Oh, iya. Senter itu sangat terang sinarnya," Jupe melanjutkan.
"Oke. kita bisa mulai bekerja," kata Slater seraya mendekati Constance. Constance
berjongkok di pinggir kapal, berbicara dengan lemah lembut pada Fluke.
"Mana anak yang satunya lagi?" tanya Slater. "Baru dua yang kelihatan."
"Bob terserang demam," Pete menjelaskan. "Dia kami tinggal di pantai saja.
Kelihatannya..." "Oke." Slater masuk ke kokpit dan menghidupkan mesin kapal. Sambil memegang
kemudi, ia melongok ke luar. "Berapa cepat ikan itu dapat berenang?" tanyanya
pada Constance. "Fluke bukan ikan," kata Constance dingin. "Fluke seekor mamalia yang cerdas
dan beradab. Kalau mau, Fluke dapat berenang dengan kecepatan lima belas mil
per jam. Tapi kuminta kau menjalankan kapal ini pada kecepatan delapan knot
saja. Aku tak ingin membuat Fluke kelelahan."
"Apa katamulah." Slater mengemudikan kapal ke laut lepas. Constance tidak
beranjak dan tempatnya, berlutut sambil bercakap-cakap dengan Fluke yang
berenang dengan riang di samping kapal. Sebentar Fluke menyelam, sebentar
meluncur dan terkadang melompat dengan jenaka.
"Menurut penjaga pantai yang menyelamatkan kami, kami terapung lima mil dari
pantai ketika itu," ujar Slater.
Jupe memandang Pete. Ada beberapa pertanyaan penting yang ingin diajukannya.
Tapi dalam perannya sebagai anak yang tidak begitu pandai, Ia ingin agar Pete
yang bertanya pada Slater.
"Berapa lama?" tanya Jupe. Mulutnya melompong.
Pete heran melihat sikap Jupe seperti itu, seperti orang dungu yang tidak
berpendidikan sama sekali. Pete memandangi Jupe dengan perasaan aneh.
Jupe mengernyitkan ails matanya pada Pete. Mulutnya sedikit berkomat-kamit. Ia
merasa gemas terhadap Pete.
Pete baru menangkap maksud Jupe. "Berapa lama Anda terapung di laut?" Ia
meneruskan pertanyaan Jupe pada Slater.
"Paling sedikit dua jam."
"Pasang?" kata Jupe. Mulutnya masih melompong.
"Apakah laut sedang pasang atau surut?" tanya Pete.
"Hari mulai gelap waktu itu," Slater mengingat-ingat. "Ombak sangat besar
sehingga sulit untuk melihat sekelilingku. Tapi sekilas aku sempat melihat garis
pantai. Kelihatannya pantai makin lama makin jauh. Padahal aku sudah berenang
sekuat tenaga mendekatinya. kukira waktu itu laut sedang surut"
Dua jam, Jupe menghitung dalam kepalanya. Ia mengingat-ingat kejadian pada
malam itu. Badai datang dari arah barat laut. Angin dapat menghembus mereka
sejajar dengan garis pantai. Ini harus diperhitungkan juga, untuk menentukan
lokasi tenggelamnya kapal Kapten Carmel. Dengan jaket pelampung yang
dipakainya, Kapten Carmel dan Oscar Slater hanya terpengaruh sedikit oleh
surutnya air laut. Jupe menaksir bahwa mereka terhanyut sekitar dua mil menjauhi
pantai dalam dua jam itu.
Ia bergeser mendekati Pete, lalu membisikkan sesuatu.
"Kukira kapal harus dijalankan sampai sekitar tiga mil dari pantai," Pete memberi
tahu Slater. "Dari mana kau tahu?"
"Angin... dan... dan sebagainyalah," Pete tergagap menjelaskannya.
"Hmm, boleh jadi. Perkiraanmu sama denganku." Slater melihat jamnya,
menghitung-hitung lagi. Ia melambatkan laju kapal.
"Kita kira-kira sudah tiga mil dari pantai sekarang," katanya semenit kemudian. Ia
berpaling pada Constance. "Pasang kamera pada mamalia itu. Kita mulai
penyelaman di sekitar sini."
Ia menghentikan kapalnya, lalu memutarnya sampai sejajar dengan garis pantai.
"Fluke," panggil Constance. Kemari, Fluke. Sini." Ia memungut pita kanvas di
sisinya. Kamera televisi dan sebuah lampu sorot telah diikatkan pada kanvas itu. Ia
mencebur ke laut, lalu memakaikan pita kanvas itu pada kepala Fluke.
Jupe menarik-narik bibir bawahnya. Tiga mil ke laut, pikirnya. Tapi tiga mil ke
arah mana" Dari keterangan Slater yang samar-samar itu, kapal harus dicari dalam
daerah sepanjang sepuluh mil. Ini bagai mencari jarum dalam tumpukan jerami.
Harus ada informasi tambahan untuk dapat menentukan lokasi tenggelamnya kapal
itu dengan lebih tepat. Constance sudah selesai memasangkan kamera televisi dan lampu sorot di kepala
Fluke. Ia naik kembali ke kapal. Jupe beringsut mendekatinya.
"Pernahkah ayahmu mengatakan sesuatu padamu tentang kejadian pada malam
itu?" tanya Jupe berbisik.
Constance menggeleng. "Tidak ada yang kumengerti jawabnya. "Cuma itu saja,
seperti yang telah kukatakan padamu."
Jupe ingat. Dua tiang itu. Tapi apa artinya" Mungkin Kapten Carmel cuma
mengigau saja. Jupe mengamati pantai di kejauhan.
Tak banyak yang dapat dilihatnya. Karang-karang di pantai tidak lagi nampak.
Hanya barisan gunung yang terlihat. Rumah-rumah besar di salah satu bukit masih
dapat dibedakan dan sekelilingnya. Ada sebuah menara televisi pada bukit
sebelahnya. Dan sebuah tiang seperti cerobong asap pabrik menjulang di sebelah
kanannya. "Kau bisa memakai pakaian selammu, Pete," kata Constance. "Kita akan cek dulu
tabung udara. Setelah itu kita menyelam bersama Fluke."
Pete mengangguk, lalu mengambil peralatan selamnya dan kokpit.
Jupe masih mengamati garis pantai. Matanya terpicing, dan dahinya berkerutkerut.
Diego Carmel adalah kapten kapal yang berpengalaman. Ketika ia merasa
kapalnya akan tenggelam, mestinya Ia akan mengingat-ingat lokasinya. Kalau saja
Ia bisa diajak berbicara...
Tiba-tiba mata Jupe bersinar-sinar. Ia melihat ke arah menara televisi dan cerobong
asap bergantian. Ia membayangkan kejadian malam berbadai itu.
"Dua tiang!" Ia memegang tangan Slater erat-erat. Tidak ada waktu lagi untuk berpura-pura
dungu. "Jaga agar dua tiang itu tetap segaris!" soraknya kegirangan.
"Apa" Apa yang kausoraki, Anak dungu?"
"Kapten Carmel," sahut Jupe. "Sewaktu kapal mulai tengge!am, Ia mencoba
menentukan posisi kapalnya dengan melihat ke pantai. Yang segera terlihat adalah
menara televisi dan cerobong asap itu."
"Yang mana?" "Masa Anda tidak melihatnya?" kata Jupe. Kini seolah-olah Slater-lah yang
menjadi orang dungu. "Kita harus bergeser dari tempat ini, mengambil posisi
sejauh tiga mil dari pantai membentuk arah segaris dengan dua tiang itu."
Bab 13 BAHAYA DI KEDALAMAN JUPE berdiri di sisi kapal sambil meneropong ke pantai.
Ia memfokuskan teropongnya ke bukit tempat menara televisi dan cerobong asap
pabrik itu berada. Bergesernya kapal Slater membuat dua tiang itu makin
mendekat. Beberapa ratus meter lagi, pikirnya.
Slater memegang kemudi. "Perlambat kecepatan," seru Jupe.
Makin dekat dan dekat. Akhirnya dua tiang itu terlihat berimpit. Menara televisi
persis di hadapan cerobong asap.
Dua tiang itu telah segaris.
"Stop!" seru Jupe. "Tepat di sini." Ia menurunkan teropongnya.
Di situ laut terlalu dalam untuk melepas jangkar. Slater harus tetap menghidupkan
mesin agar kapal tidak terseret arus surutnya laut
Jupe mengamatinya ketika ia memutar haluan kapal sampai menghadap ke pantai.
Ia tidak mengira bahwa Slater sangat ahli mengendalikan kapal.
"Oke, Pete?" Constance sudah selesai mengencangkan tabung udara di punggung
Pete. Pete mengenakan masker selamnya sementara Constance mengecek selang
udara dan alat pengukur tekanan udara.
Jarum pengukur menunjukkan bahwa udara di tabung Pete penuh.
Dengan sepatu katak yang terpasang di kakinya, Pete mengikuti Constance ke
pinggir kapal. Constance duduk di pagar kapal membelakangi laut, lalu dengan
gerakan mulus Ia menjatuhkan diri ke laut.
Pete ikut mencebur. Sambil menelungkup mengapung di permukaan laut, Ia mencoba mengingat-ingat
segala pelajaran menyelam yang pernah didapatnya.
Bernapaslah dengan mulut, sehingga masker selam tidak buram terkena uap dan
hidung. Perhatikan posisi selang udara, jaga jangan sampai terpuntir. Jangan
tergesa-gesa menyelam, beri kesempatan agar kelembaban dalam pakaian selam
sesuai dengan kondisi badan Anda. Semakin dalam menyeiam, semakin dingin
suhu air, dan semakin besar tekanan. Begitu ada gejala pusing segera naik ke
permukaan, tapi jangan terlalu cepat.
Untuk beberapa menit Pete berenang-renang semeter di bawah permukaan. Dengan
santai dan rileks Ia mengepak-ngepakkan sepatu kataknya untuk menyesuaikan diri
dengan air laut. Pete sangat gemar menyelam. Dengan sabuk
pemberat di pinggangnya, Ia merasa seperti melayang. Melayang bagaikan burung.
Ini membuatnya merasa bebas dan leluasa.
Constance dan Fluke mengapung beberapa meter dan Pete. Pete mengangkat
tangannya. Jempol dan telunjuknya membentuk lingkaran. Ia siap menyelam.
Constance menepuk punggung Fluke. Dengan membawa lampu sorot yang kuat
sinarnya, Fluke menyelam. Dalam, dalam, dan makin dalam. Lebih dalam dari
kemampuan Pete, bahkan Constance.
Jupe mengawasi layar televisi di kokpit kapal. Slater, sambil memegang kemudi,
memperhatikan dengan cermat pula.
Luar biasa, pikir Jupe. Seperti. perjalanan ke ruang angkasa. Lingkaran sinar yang
tampak di layar kecil itu bagaikan menjelajahi langit yang luas. Gerombolan ikan,
yang lewat secepat anak panah terlontar dari busurnya, bagai hujan meteor di ruang
angkasa. Setiap kali Fluke berenang terlalu jauh dari kapal, lingkaran sinar itu meredup.
Dengan cekatan Slater mengemudikan kapalnya, mendekati posisi Fluke, sambil
menjaga agar menara dan cerobong asap itu tetap segaris.
Ketika lingkaran sinar terang kembali, Ia menghentikan kapalnya dan menjaganya
agar tetap stabil di tempat itu.
Tumpukan pasir dan kerikil, serumpun ganggang laut, muncul di layar. Fluke telah
sampai di dasar laut. Kamera televisi di kepala Fluke menyoroti setiap jengkal
dasar laut itu. Pete mengamati dari kejauhan. Ia tidak berani menyelam lebih dalam lagi. Ia ingat
pelajaran menyelamnya. Kalau seorang penyelam menyelam terlalu dalam, ia akan
mabuk. Dalam keadaan setengah sadar, ia dapat saja melakukan hal-hal yang
membahayakan dirinya sendiri.
Jauh di bawah sana Ia melihat cahaya lampu sorot di kepala Fluke. Ingin benar aku
bisa seperti Fluke, pikirnya. Beberapa ikan paus, Constance pernah berkata
padanya, dapat menyelam sampai kedalaman seribu meter dan bertahan di bawah
air selama satu jam. Pete meraba-raba alat pemapasan di mulutnya. Ia menelusuri selang udara sampai
pada tabung udara di punggungnya.
Aneh, pikirnya. Tidak ada yang terpuntir, namun...
Dengan panik diperiksanya lagi selang udaranya. Mesti ada yang terpuntir di suatu
tempat. Mesti ada... karena udara tidak mengalir.
Ia tidak bisa bernapas! Ia merenggut sabuk pemberatnya. Tahan napas, katanya pada diri sendiri. Cepat
lepaskan sabuk pemberat itu. Tahan napas dan segera naik ke permukaan. Jangan
panik. Tapi jari-jarinya seolah-olah mati rasa. Dan matanya mulai berkunang-kunang. Air
di sekelilingnya seakan berubah-ubah warnanya. Mula-mula merah muda, lalu
merah tua, dan makin tua. Sampai menjadi hitam gelap.
Ia megap-megap. Kakinya menendang-nendang, mencoba keluar dari kegelapan
itu. Paru-parunya seperti akan meledak.
Tahu-tahu Ia merasa perutnya didorong dari bawah. Sesuatu, sesuatu yang kuat
seperti buldozer mendorongnya. Dan mengangkatnya ke permukaan.
Pete tidak berdaya melawannya. Bahkan Ia tidak sadar apa yang sedang terjadi. Ia
pasrah. Tiba-tiba Ia merasa kepalanya berada di luar air. Ada tangan yang menjulur dari
belakangnya, dan membuka masker selamnya. Pete membuka mulutnya. Dengan
gelagapan dihirupnya udara segar di permukaan laut sambil terbatuk-batuk
Kegelapan mulai hilang dari matanya. Lambat laun ia melihat cahaya di
sekelilingnya. Tapi semua masih tampak kabur.
Ada kain kanvas. Lampu sorot. Sebuah kamera.
Pete sadar Ia tertelungkup di punggung Fluke.
Constance mengapung di sisinya. Dialah yang membuka masker dari muka Pete
tadi. "Jangan bicara dulu," kata Constance. "Ambil napas dalam-dalam. Yang teratur."
Pete melakukan apa yang diperintahkan. Pipinya ditempelkan erat pada punggung
Fluke. Perlahan-lahan napasnya mulal teratur. Kesadarannya pulih. Pandangannya
tidak lagi kabur. Ia sudah bisa bicara sekarang. Banyak yang ingin dikatakannya. Tapi Ia tahu apa
yang pertama kali akan diucapkannya.
"Terima kasih, Fluke. Kau menyelamatkan hidupku."
"Well, kau pernah menyelamatkannya juga, kan?" Constance membelai-belai
kepala Fluke. "Fluke tak akan lupa...."
Ia berpaling ketika kapal mendekat. Kali ini Jupe yang memegang kemudi. Oscar
Slater mengulurkan tangan dari pagar di pinggir kapal.
"Aku melihatnya," teriak Slater. Matanya melebar dan kepalanya yang botak licin
seperti bersinar-sinar. "Cuma sekilas di layar. Tapi aku melihatnya Itu kapal
ayahmu, Constance." "Ia menoleh pada Jupe. "Tahan di sini. Bangkai kapal itu pasti tidak jauh dari sini.
Sekelebatan itu terlihat sewaktu Fluke berbalik dan menyambar Pete..."
"Itu belakangan saja!" potong Constance dengan tajam. "Pertama-tama kita harus
mengangkat Pete ke kapal dan menyelidiki apa yang terjadi. Ada sesuatu yang
tidak beres." "Tapi itu kapal ayahmu..." ujar Slater tak sabar.
"Nanti saja, kataku!" bentak Constance. "Anda kembali saja ke kokpit. Biar Jupe
yang menolong kami."
Slater merasa tersinggung. Tapi Ia tidak dapat membantah Constance. Paling tidak
sampai saat itu ia masih butuh bantuan Constance. Tanpa pertolongannya, ia tidak
mungkin mendapatkan barang itu dari kapal yang tenggelam. Dengan enggan Ia
mengangguk lalu menggantikan Jupe memegang kemudi.
Jupe dan Constance mengangkat Pete ke kapal. Dengan lunglai Pete bersandar di
dek kapal. Constance membawakannya secangkir kopi hangat, sementara Jupe
melepaskan tabung udara Pete.
"Oke. Apa yang terjadi?" tanya Constance. "Apa yang kaurasakan" Pasti bukan
tekanan air yang besar. Kau kan tidak menyelam terlalu dalam."
"Aku tidak dapat bernapas." Pete menghirup kopinya sedikit-sedikit. "Tidak ada
udara yang mengalir. Selang udara seperti ada yang terpuntir. Tapi ternyata tidak
ada." Ia menjelaskan pandangannya yang mengabur, lalu air di sekelilingnya yang
menjadi merah, lalu terlihat jadi hitam.
"Karbon dioksida," kata Constance. "Kau menghirup karbon dioksida, bukan
oksigen." Ia meraih tabung udara Pete, lalu membukanya. Tidak terdengar desis ketika
tabung dibuka. "Paritas kau tak dapat bernapas," ujar Constance. "Tabung ini kosong."
"Tapi tadi kan sudah dicek."
Jupe memeriksa alat pengukur tekanan. Jarum masih menujuk pada Full. Ia
memperlihatkannya pada Constance.
"Rupanya ada yang sengaja merusak alat pengukur ini," kata Jupe. "Dan orang itu
mengosongkan tabung."
Constance mengangguk tanda setuju. Cuma itu yang mungkin.
"Dari mana kauperoleb peralatan selam ini?" tanya Jupe.
"Ocean World. Aku yang mengambilnya sendiri tadi malam. Waktu itu
keadaannya masih baik."
Constance menghampiri Slater.
"Tabung udara Pete dirusak dengan sengaja," katanya tajam. "Aku ingin tahu..."
"Kau menuduhku?" balas Slater dengan marah. "Buat apa aku melakukan itu. Aku
cuma ingin secepatnya mengambil barang dan kapal ayahmu. Titik. Malah aku
tidak ingin pencarian ini tertunda-tunda."
Jupe sadar bahwa Slater mengatakan yang sebenarnya. Tidak ada alasan baginya
untuk merusak alat pengulcur tekanan pada tabung itu. Orang lain yang
melakukannya. Siapa"


Trio Detektif 35 Misteri Penculikan Ikan Paus di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Adakah orang yang masuk ke kapal Anda tadi malam atau tadi pagi, Mr. Slater?"
tanya Jupe. "Tidak." Slater menggeleng. "kapalku ditambatkan di pelabuhan semalam. Dan
aku tidur di kapalku. Tidak sedetik pun kutinggalkan kapalku setelah Constance
pergi." "Adakah tamu yang datang?"
"Tidak. Cuma kawan lama, Paul Donner. Ia mampir sebentar. Tapi aku tidak
percaya Paul..." "Berapa lama Anda telah mengenal Paul Donner?" sela Jupe. "Siapa dia
sebenarnya" Apa yang Anda ketahui tentang dia?"
"Jangan kauberondong aku dengan pertanyaan-pertanyaan dungu itu." Slater
mengusap-usap kepalanya yang botak. "Sudahlah, lupakan saja. Sekarang kita
bekerja kembali, kapal itu..."
"Jawab pertanyaan Jupe!" Constance berkacak pinggang di depan Slater. "Kau
harus jawab dulu semua pertanyaan Jupe. Sekarang! Kalau tidak, jangan harap kau
dapat pertolonganku lagi."
"Oke." Slater menjawab dengan ogah-ogahan. "Aku bertemu dengan Paul Donner
di Eropa beberapa tahun yang lalu. Urusan bisnis. Lalu aku berjumpa lagi
dengannya di Meksiko."
"Kapan?" tanya Jupe.
"Beberapa kali."
"Kapan yang terakhir kalinya?" desak Jupe.
"Sewaktu aku terakhir kali ke sana. Ia mempunyai percetakan kecil di La Paz.
Karena dia sahabatku, aku selalu mengunjunginya kalau aku ke sana. Memangnya
kenapa?" Jupe diam sejenak, berpikir.
"Ada lagi, Jupe?" tanya Constance.
"Cukup, cukup. Hanya itu yang ingin kuketahui," kata Jupe.
"Bagus." Slater menoleh pada Constance. "Jadi sekarang kita bisa kembali bekerja,
kan?" "Sebentar. Aku cek dulu tabung udaraku."
Constance berjalan di geladak kapal. Jupe memperhatikan Constance membuka
tutup tabung udaranya. Terdengar suara berdesis. Constance cepat-cepat
menutupnya lagi. Rupanya hanya satu tabung yang sempat dirusak. Mungkin orang itu tidak punya
cukup waktu untuk merusak kedua tabung. Atau sengaja hanya satu tabung yang
dirusak, sekadar untuk menakut-nakuti.
Jupe menghampiri Constance.
"Aku pikir sebaiknya kita lihat dulu apa isi peti besi di kapal ayahmu itu, sebelum
kita serahkan pada Slater," bisikriya.
Constance menimbang-nimbang saran Jupe.
"Oke," ujarnya perlahan. "Kurasa usulmu ada baiknya, Jupe."
"Trims." Jupe merasa berterima kasih pada Constance yang telah mempercayainya. Jupe
merasa yakin bahwa dirinya hampir mendapatkan semua jawaban misteri itu.
Alat pengukur tekanan udara yang rusak.
Kawan lama Slater, Paul Donner. kunjungan ke La Paz. Bekas di sekeliling mata
kanan Paul Donner. Fakta-fakta itu mulai menjadi satu rangkaian yang jelas dalam benak Penyelidik
Satu. Bab 14 NYANYIAN FLUKE "AKU tidak dapat menyelam sedalam itu," kata Constance dengan lantang pada
Slater. "Jadi bagaimana.. "
"Jangan menyela dulu, Mr. Slater. Sekarang giliranku yang bertanya pada Anda.
Ini demi keberhasilan penyelaman kita. Dan Anda harus menjawab seluruh
pertanyaanku sejujur-jujurnya. Oke?"
Slater menatapnya tajam-tajam. Jupe dapat melihat sinar kebencian pada mata
Slater. "Pertanyaan apa lagi?" katanya dengan kesal. Lalu Ia mengangkat bahu. "Baik,
baik Aku mengalah lagi. Apa yang ingin kautanyakan?"
"Di mana tepatnya peti itu berada" Peti besi yang berisi... berisi kalkulator saku
itu." "Well, barang-barang berharga itu..." Tatapan SEater tak beranjak dari Constance,
"di bawah tempat tidur di kabin."
"Terikat?" "Tidak." Slater menghela napas. "Ayahmu waktu itu berusaha menurunkan sekoci.
Kami berusaha membawa peti itu dalam sekoci. Tapi... tapi tidak ada waktu. Kapal
terbalik..." Kedua tangannya menengadah. "Kami meninggalkannya di sana.
"Kabinnya terkuncI?"
"Tidak. kau tahu..."
Constance mengangguk. Ia mengenal kapal ayahnya dengan baik sekali. Sejak
berumur sepuluh tahun Ia sudah sering bepergian memancing dengan ayahnya.
"Aku tahu," katanya. "Ayah biasa mengaitkan pintu pada dinding kapal supaya
tetap terbuka dan tidak terbanting-banting."
"Seperti apa peti itu?"
"Kecil. Ukurannya sekitar tujuh puluh kali empat puluh senti. Tingginya mungkin
sekitar dua puluh senti. Warnanya hijau."
"Ada pegangannya."
"Ya. Seperti, seperti peti uang. Di tutupnya ada pegangan besi."
"Aku perlu tali," ujar Constance. "Tali yang panjang dan kuat. Dan sebuah
gantungan baju kawat."
"Baik." Jupe memegang kemudi kapal sementara Slater mencari apa yang diperlukan
Constance. Constance menarik sisi-sisi gantungan kawat itu sampai berbentuk
bingkai segi empat. Cantolannya dipuntir hingga tegak lurus pada bingkai segi
empat itu. Ia menggulung tali nilon. Salah satu ujungnya diikatkan pada gantungan
kawat. "Oke," katanya. "Aku sudah siap sekarang"
Pete melangkah tertatih-tatih.
"Kalau kau senang..." Pete menelan ludah.
Sesungguhnya Pete enggan untuk menemani Constance. Pengalamannya tadi
membuatnya kapok menyelam. Tapi Ia sadar bahwa Ia harus bersikap jantan dan
menawarkan diri untuk ikut bersama Constance. Dalam keadaan bagaimanapun,
menurut pelajaran menyelam yang didapatnya, tidak boleh hanya seorang saja
yang menyelam di tengah-tengah lautan tanpa ditemani.
"Aku akan ikut kalau kauperlukan," katanya.
Constance tersenyum. "Tidak, kau istirahat saja di sini, Pete. Aku kan ditemani Fluke. Tapi kalau ada
apa-apa, kau cepat tolong aku, ya."
Pete menarik napas lega. Constance mengerti perasaannya. Dan Constance tidak
membuatnya malu di hadapan Jupe dan Slater.
Pete memperhatikan Constance menggantungkan gulungan tali nilon di bahunya,
lalu memakai maskernya. Dengan mulus Ia mencebur ke laut.
Fluke mengambang di permukaan tak jauh dari kapal. Matanya terbuka ketika
melihat Constance berenang mendekat. Constance membelai-belai Fluke dengan
penuh kasih sayang, dan menempelkan pipinya ke kepala Fluke.
Pete dapat melihat Constance sedang bercakap-cakap dengan Fluke. Tapi Ia tak
tahu apa yang sedang dibicarakannya.
Ia heran. Bagaimana Constance dapat berkomunikasi dengan Fluke. Mungkin tidak
dengan kata-kata. Mungkin mereka sudah sedemikian akrabnya sehingga saling
mengerti apa yang diinginkan kedua belah pihak.
Ia melihat mereka menyelam. Constance berpegangan melingkari Fluke. Mereka
seolah-olah menyatu dalam satu badan.
Jupe mengamati layar televisi dengan awas.
Lingkaran cahaya muncul di layar. Constance telah menghidupkan kamera di
kepala Fluke di kedalaman laut. Lingkaran cahaya itu bergerak makin lama makin
dalam, menuju dasar laut. Sinar lampu sorot menembus kelamnya laut di
kedalaman. Segerombol ikan kecil berwarnawarni nampak melintas di layar.
Dan sekarang terlihat dasar laut kembali. Gundukan pasir, kerikil, serta karangkarang yang diselimuti tumbuhan laut nampak jelas di layar televisi.
Slater mengawasi layar sambil memegang kernudi. Melihat dasar laut, mata Slater
berbinar-binar. Kamera pada Fluke menangkap buritan kapal.
"Itu kapalnya!" seru Pete sambil berdiri di samping Jupe.
Buritan kapal makin besar, memenuhi layar. Sesaat kemudian cahaya berkelebat
pindah ke geladak. Jupe melihat ruji-ruji kemudi. Layar menjadi buram beberapa
saat, lalu terang lagi, lebih terang dari sebelumnya. Jupe dapat mengenali sebuah
bangku dan tingkap. Fluke berenang memasuki kabin.
Detik-detik berikutnya gambar di layar berpindah-pindah demikian cepatnya
sehingga sulit untuk dilihat dengan jelas. Slater menahan napas.
Lambat-laun gambar menjadi stabil kembali. Kamera menyorot pada sebuah
benda. Makin lama makin dekat dan makin tajam.
Peti besi. "Itu dia!" teriak Siater seraya menunjuk pada layar. Telunjuknya sampai menempel
pada layar televisi mini itu.
Peti besi makin lama makin besar sewaktu Fluke mendekat. Mendadak gambar
berubah. Warna abu-abu memenuhi layar. Kosong.
Jupe mula-mula bingung. Apa yang terjadi dengan kamera yang dibawa Fluke"
Kemudian Ia sadar. Fluke melongok ke bawah tempat tidur kabin. Tentunya
kamera menyorot pada dinding berwarna abu-abu di bawah tempat tidur.
Untuk beberapa waktu kamera tetap menyorot ke sana, tidak bergerak-gerak.
Lantas gambar di layar bergerak lagi. Fluke berenang dengan cepat mengakibatkan
gambar di layar sukar dibedakan. Namun sekilas Jupe masih dapat mengenali
pagar di tepi kapal. Bangkai kapal tak nampak lagi, berganti dengan air laut yang suram di kedalaman.
Fluke naik ke permukaan. "Binatang bodoh," desis Slater. Tangannya mencengkeram kemudi erat-erat.
"Masa peti itu tidak diambilnya. "Dengan marah Ia membuang muka, melihat ke
arah pantai. Jupe tidak menggubrisnya. Ia melihat sesuatu di layar yang luput dan perhatian
Slater"kilasan Constance berenang mendekat ke arah lensa. Sekarang tangannya
menjulur meraih lensa. Gambar di layar bergoyang-goyang. Dan tiba-tiba gelap.
Constance telah mematikan kamera.
"Ke sini kau. Pegang kemudi." Slater mencengkeram lengan Pete, menariknya ke
arahnya. "Pegang yang kuat, jangan bergerak-gerak."
Slater bergegas keluar dan kokpit. Perlahan-lahan Jupe mengikutinya, tapi Ia tidak
mendekati Slater yang sedang berdiri di pagar tepi kapal. Tanpa bersuara Jupe
berjingkat-jingkat ke arah lemari di buritan. Matanya tak lepas memandangi
permukaan laut Menunggu. Jupe tidak lama menunggu. Dua puluh meter dari kapal, Constance muncul di
permukaan. Ia tidak lagi membawa tali nilon di bahunya.
Fluke mengapung di sisinya. ketika Fluke mengangkat kepalanya, Jupe melihat
sesuatu yang lain. Kamera dan lampu sorot di kepala Fluke telah hilang. Sekarang
diikatkan sebuah peti kecil terbuat dari besi berwarna hijau.
Jupe membuka lemari dan merobek ransel plastik Pete yang disembunyikan di
sana. Diambilnya walkie-talkie dan dalam ransel. Antenanya ditarik panjangpanjang, lalu dihidupkannya walkie-talkie itu.
"Bob," katanya dengan mulut ditempelkan pada walkie-talkie. "Bob. Pasang, Bob.
Sekarang." Jupe melirik pada Slater. Laki-laki botak itu berdiri miring ke laut, berpegangan
pada pagar. "Bawa ke sini!" teriak Slater. "Cepat! Kemarikan peti itu!"
"Cepat pasang, Bob!" ulang Jupe bertubi-tubi. "Pasang kaset nyanyian Fluke!"
Bab 15 PETI YANG HILANG "ROGER, Jupe. Over and out."
Bob mematikan walkie-talkie dan meletakkannya di atas jaket yang digelarnya.
Tidak terlihat kapal Slater dari pantai. Bob tidak dapat mengira-ngira berapa jauh
kapal itu berada. Tapi Ia tahu bahwa ikan paus memiliki pendengaran yang amat
tajam, sekalipun tidak memiliki daun telinga seperti manusia. Hanya ada sepasang
lubang kecil, persis di belakang matanya.
Tetapi dua lubang kecil itu kemampuannya jauh lebih tajam dari telinga manusia.
Ikan paus dapat menangkap suaranya sendiri yang dipantulkan benda-benda di
dasar laut pada jarak beratus-ratus meter. Setelah itu ukuran dan bentuk bendabenda itu dapat diperkirakannya dengan tepat. Dengan begitu ikan paus tidak akan
membentur benda-benda di kedalaman laut, meskipun sekelilingnya gelap gulita.
Ikan paus juga dapat mendengar suara ikan paus lain dalam jarak bermil-mil di
bawah laut. Bob melepaskan baju hangat dan sepatu karetnya. Diambilnya tape recorder yang
diwadahi dalam sebuah kotak kedap air lalu bergegas berlari ke laut. Tape
dipasang, lalu direndam dalam air laut. Nyanyian Fluke yang direkam waktu itu di
kolam renang Slater, dipasang sekeras-kerasnya.
Tidak seorang pun dapat mendengar suara itu di air. Tetapi Fluke bisa.
Di kapal Slater, Jupe masih berdiri di buritan. Dengan cepat diselipkannya lagi
walkie-talkie itu ke dalam lemari.
Fluke dan Constance masih mengapung berdampingan. Slater berteriak tak hentihenti, menyuruh mereka membawa kotak itu.
Jupe mengangkat tangannya, memberi kode yang telah disepakati sebelumnya. Itu
berarti Bob telah siap di pantai.
Constance balas melambai. Ia menangkap maksud Jupe. Ditepuk-tepuknya kepala
Fluke, lalu mereka berdua menyelam kembali.
Slater berdiri kaku di tepi kapal. "Apa-apaan ini"!" teriaknya. Ia bergegas masuk
kokpit. Dengan kasar.didorongnya Pete dari kemudi. Ia mengambil alih kemudi,
mengarahkan kapal tepat pada lokasi Constance dan Fluke menghilang.
Kapal hampir tiba di sana ketika tahu-tahu Constance muncul lagi. Slater
menghentikan kapal, dan menarik Pete untuk memegang kemudi lagi.
"Tahan kemudinya," perintahnya seraya berlari ke pagar kapal.
"Mana petinya?" teriaknya pada Constance.
Constance tidak menggubrisnya. Ia memegang kamera dan lampu sorot dengan
satu tangannya. Dengan tangannya yang bebas Ia meraih tangga tall di sisi kapal,
lalu naik. "Mana ikan paus itu?"
Constance masih tidak menanggapi. Ia membuka maskernya dan melepaskan
tabung udara dan punggungnya.
"Di mana?" desak Slater. "Pergi ke mana ikan paus itu?"
Constance mengangkat bahu. "Pertanyaan Anda sama dengan pertanyaanku, Mr.
Slater." "Apa maksudmu?" Siater berpaling pada Jupe. "Kemarikan teropong itu."
Jupe menyerahkannya. Slater meneropong ke segala arah, mencari-cari ke mana
Fluke pergi. Tidak ada tanda-tanda ke mana Fluke menghilang. Fluke tidak muncul-muncul di
permukaan. "Ikan paus memang suka berlaku aneh seperti itu," Constance menjelaskan. Slater
waktu itu sedang memunggunginya. Constance mengedipkan sebelah matanya
pada Jupe. "Satu saat Ia sangat patuh dan bersahabat. Lalu tanpa dapat diduga,
tiba-tiba saja Ia lari meninggalkan kita. Lari begitu saja, tanpa permisi."
Slater menurunkan teropongnya. "Ikan sialan itu mencuri petiku!" umpatnya. "Kau
mengikatkannya pada kepala ikan itu." Ia memandang Constance dengan curiga.
"Kenapa kaulakukan itu?"
Constance mengangkat bahu lagi. "Aku terpaksa," ujarnya. "Cuma itu satu-satunya
cara agar aku bisa naik ke permukaan. Kau sebenarnya harus berterima kasih pada
Fluke yang telah melakukan tugasnya dengan baik. Berenang ke dalam kabin,
menyusup ke bawah tempat tidur, dan mencantolkan gantungan pakaian pada
pegangan peti itu. Fluke juga yang menariknya keluar dari kabin. Aku
menerimanya, lalu aku menggulung tali kembali agar tidak tersangkut-sangkut...."
"Kenapa tidak kaubawa peti itu ke kapal?"
"Jangan menyela dulu, Mr. Slater! Aku berada di kedalaman laut. Kalau tidak
kuikatkan di kepala Fluke, mana bisa aku naik ke permukaan membawa peti besi
yang berat dan..." "Peti itu tidak berat. Sebaliknya..."
"Sudah kubilang jangan menyela dulu!" tukas Constance dengan lantang seraya
berkacak pinggang. "Satu-satunya jalan agar aku bisa naik ke permukaan ialah
dengan rnelepas kamera dan lampu sorot dari kepala Fluke dan menukarnya
dengan peti itu. Aku sendiri yang membawa kamera dan lampu sorot ke
permukaan. " Ia menyambar sebuah handuk yang digantung di pagar kapal dan mengeringkan
rambutnya yang hitam. "Aku minta maaf, Mr. Slater," lanjutnya. "Aku sendiri sangat sedih. Separuh isi
peti itu milik ayahku. Aku pun menasa kehilangan sewaktu Fluke berenang pergi."
"Berenang pergi," gumam Slater mengulangi. Suaranya terderigar pahit. Dengan
lemas Ia mulai meneropong lagi.


Trio Detektif 35 Misteri Penculikan Ikan Paus di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ke mana ikan sialan itu pergi?" tanyanya.
Constance memandang Penyelidik Satu. "Menurutmu ke mana, Jupe?" tanyanya.
"Menurut dugaanku..." Jupe memutar otaknya dengan cepat. "Fluke telah
menghilang lima belas menit yang lalu. Dengan kecepatan penuh sekalipun kapal
Slater tidak akan dapat mengejarnya. Dan Bob seorang diri di pantai. Mungkin dia
butuh bantuan." "Ini cuma dugaan," ulang Jupe. "Tapi kupikir mungkin sekali Fluke kembali ke
pantai. Pantai tempat kami membebaskannya ke laut tadi pagi."
"Buat apa ikan itu kembali ke sana?" Slater sekarang menatap Jupe dengan
pandangan curiga. "Naluri untuk kembali ke tempat asalnya," jawab Jupe seadanya. "Sudah
kukatakan ini cuma dugaanku, Mr. Slater."
"Mmm..." Slater menerawang ke pantai. "Oke," katanya. "Kau pegang kemudi.
Arahkan ke pantai." Ia berjalan ke haluan kapal. Jupe mengambil alih kemudi dari Pete.
"Kecepatan penuh!" teriak Slater. Ia lalu meneropong lagi.
"Yes, Sir," jawab Penyelidik Satu sambil tersenyum simpul.
Kebetulan Jupe juga sangat ingin tahu apa yang sedang terjadi di pantai. Ia tak
sabar ingin melihat apakab Bob berhasil memanggil Fluke dengan rekaman
nyanyian Fluke sendiri, dan apakah Fluke berhasil membawa peti itu selamat
sampai ke pantai. Dan kalau berhasil, Jupe ingin sekali membuka peti itu untuk melihat apa isinya!
Bab 16 WAJAH SI RAKSASA TAK BERMUKA
DUAPULUH LIMA menit telah berlalu, Bob melihat jam tangannya yang kedap
air. Ia telah memutar kaset rekaman suara Fluke selama dua puluh lima menit.. Lima
menit lagi kaset itu habis. Setelah itu ia harus memutar ulang dan menyalakannya
dari awal lagi. Sambil membungkuk, mencelupkan kotak tape recorder, Bob menggerak-gerakkan
kaki dan jari-jari kakinya. Air laut begitu dinginnya sehingga Bob khawatir jarijarinya membeku kalau tidak digerak-gerakkan.
Perlahan-lahan ia berdiri tegak. Mungkin itu cuma khayalannya, tapi seakan-akan
ada sesuatu yang bergerak di sebelah sana. Seratus meter dari pantai terlihat air
bergolak halus. Golakan air makin dekat. Kali ini Bob tahu bahwa itu bukan sekadar khayalan.
Saking bersemangatnya Bob sampal lupa pada dinginnya air laut.
Mula-mula peti besi yang muncul. Peti itu naik menyembul perlahan-lahan dalam
jarak sepuluh meter dan Bob. Detik berikutnya Fluke sudah berada di sampingnya.
Fluke berenang mengelilingi Bob, kepalanya digosok-gosokkannya pada lutut Bob.
"Fluke. Fluke."
Bob tidak lagi merasakan dinginnya air laut. Ia membenamkan seluruh badannya
ke dalam air sambil memeluk dan mengelus-elus Fluke.
"Fluke. Kau pandai sekali."
Fluke tampak senang bertemu dengan Bob. Fluke mengangkat badan tegak-tegak,
seakan berdiri berpijak pada ekornya. Dengan penuh harapan Fluke memandang
pada Bob. "Maaf ya, Fluke." Bob mematikan tape recorder. "Ini cuma rekaman."
Bob membayangkan apa yang mungkin dirasakan oleh Fluke ketika mendengar
rekaman suara itu. Apakah Fluke mengenali suaranya sendiri" Atau Fluke mengira
itu suara ikan paus lain" Atau mungkin aneh, seperti kalau kita mendengar
rekaman suara kita sendiri.
"Jangan marah, ya Fluke," kata Bob. "Akan kulepas pita kanvas dan peti dari
kepalamu. Dan aku punya hadiah untukmu."
Constance telah menyiapkan sekantung ikan segar tadi pagi. Bob melepas pita
kanvas dan mengangkat peti dari kepala Fluke.
Peti besi itu terasa sangat ringan.
"Diam, Fluke," kata Bob. "Diam dan tunggu di sini. Sebentar kuambilkan
makananmu." Ia berbalik menuju pantai, sambil mendekap peti besi hijau di dadanya.
Ketika hampir sampai di pasir kering seseorang telah menunggunya. Orang itu
berdiri tegak, tinggi menjulang bagai tiang, menatap Bob lekat-lekat.
Orang itu memakai jaket dan topinya ditarik dalam-dalam di kepalanya. Pinggir
topinya dimiringkan hingga menutup matanya. Yang segera dilihat Bob ialah
lebarnya dada serta kekarnya tengan orang itu. Ditambah lagi dengan tingginya,
orang itu tampak seperti raksasa.
Raksasa itu melangkah menghampiri Bob yang berdiri terpaku. Bob kini melihat
wajahnya. Raksasa itu tidak mempunyai muka. Mukanya hampir datar,
tersembunyi di balik kaus nilon yang disarungkan di mukanya.
"Berikan peti itu padaku," kata raksasa itu.
Meskipun baru mendengar sekali di kantor Trio Detektif, Bob langsung mengenali
suara itu. Logat pesisir selatan itu tidak dapat dilupakannya.
Dan masih jelas terbayang di benaknya, ketika ia dan Pete menyerbunya untuk
membebaskan Jupe yang disandera. Si raksasa jatuh diterjang Pete waktu itu.
"Berikan padaku."
Raksasa itu melangkah makin cepat. Ia tinggal beberapa meter lagi dari Bob.
Lidah Bob terasa kelu. Ia tidak bisa berkata apa-apa. Tetapi dipaksakannya untuk
bertindak. Sambil mendekap peti besi itu erat-erat ia berlari kembali ke laut.
"Jangan lari! Kemarikan barang itu."
Si raksasa mengejar. Bob terus berlari sekuat tenaga sampai air sebatas lututnya.
Air laut menghambat laju lari Bob. Semakin dalam laut semakin lambat larinya.
Sedangkan bagi si raksasa, air belum begitu dalam. Dengan kaki yang panjang dan
langkah yang lebar ia segera menyusul Bob.
Bob merasa bahunya dicengkeram. Lalu tubuhnya diputar sehingga menghadap si
raksasa tak bermuka. Si raksasa mencoba merampas peti dari dekapan Bob.
Bob tidak bisa melawan. Ia hanya bisa mendekap peti itu semakin erat. Percuma
untuk melawan. Belum pernah Bob melihat orang sebesar dan sekekar itu
sebelumnya. Tapi Bob juga tidak mau menyerah begitu saja. Ia membungkukkan badannya agar
peti tidak terlepas dari badannya. Sambil begitu Ia mundur ke taut. Air laut kini
sudah sampai pinggangnya.
Si raksasa menjambak rambut Bob hingga Bob tertengadah. Ditariknya rambut
Bob ke belakang hingga kepala Bob hampir menyentuh air. Tangan kekarnya yang
satu lagi menggenggam pegangan pet! Bob mulai putus harapan. Ia tahu bahwa si
raksasa dengan mudah bisa membenamkannya di laut.
Ketika rambut Bob menyentuh air, tahu-tahu raksasa itu melepaskan jambakannya.
Ia terangkat ke atas. Dan terus terangkat seakan dicantolkan pada derek.
Terus, terus terangkat. Akhirnya si raksasa terlempar keluar dari permukaan dan
jatuh tertelentang di air. Ia tercebur dengan keras dan mengakibatkan air tersibak
menciprat ke mana-mana. Ia terkejut dan gelagapan.
Fluke tidak memberinya kesempatan. Dengan satu dorongan kuat orang itu
terlempar lagi. Dan sekali lagi. Lalu berkali-kali. Fluke melempar-lemparkannya,
seolah orang itu hanyalah sebuah bola plastik. Orang itu terlempar makin jauh ke
laut. Ia menjerit-jerit minta tolong. Sambil tertelentang ia timbul-tenggelam di
permukaan air. Fluke menyelam di bawah orang itu, siap untuk melontarkannya lagi. Mendengar
jeritan orang itu, Fluke berhenti. Diangkatnya kepalanya memandang orang itu.
Lalu dengan lemah-lembut didorongnya orang itu perlahan-lahan ke arah pantai.
Tapi orang itu sukar untuk mengapung. Meskipun menggerak-gerakkan kedua
tangan dan kakinya sekuat tenaga, Ia seperti terdorong ke bawah oleh sesuatu yang
berat di dadanya. Ia meronta-ronta.
Sedetik yang lalu Bob melihat orang itu sebagai musuh besarnya. Namun sekarang
Bob tidak tahan melihat nasibnya. Ia merasa kasihan, tidak tega membiarkan orang
itu tenggelam. Dengan bergegas ia kembali ke pantai, menyembunyikan peti besi di balik
sebongkah karang, lalu berlari sekuat tenaga balik ke laut kembali.
Ketika Bob tiba di tempat itu, si raksasa sudah hampir tenggelam. Wajahnya yang
tertutup kaus nilon telah sejajar dengan permukaan air. Fluke mengapung di
sampingnya. Mata Fluke nampak bertanya-tanya.
"Ke bawah dia, Fluke," kata Bob. "Jangan sodok dia lagi. Angkat dari bawah
pelan-pelan. Jangan sampai dia tenggelam."
Meskipun belum tentu mengerti perkataan Bob, tapi Fluke menangkap maksudnya.
Fluke meluncur ke bawah si raksasa, mendorongnya perlahan-lahan dan bawah,
mengangkat si raksasa. Sesaat kemudian kepala dan badan si raksasa tersembul di
permukaan air. Si raksasa masih meronta-ronta. Tangannya memegangi jaketnya. Ia mencoba
membuka dan melepas jaketriya.
Bob membantu menarik ritsleting jaketnya. Jaket itu terbuka. Bob melepasnya dan
orang itu. Bob menatap badan orang itu dengan heran. Lalu Ia menatap jaket yang
dipegangnya. Sekarang Ia mengerti mengapa orang itu seperti terdorong ke bawah oleh sesuatu
yang berat di dadanya. Seluruh bagian dalam jaket dipadati dengan karet busa
tebal! Karet busa itu menyerap banyak air sehingga memberatkan dan menyulitkan
gerakannya. Tanpa jaket berisi karet busa, orang itu tidak lagi seperti raksasa. Kini ia terlihat
kurus, lemah, dan agak pucat. Bob dan Fluke menyeretnya ke pantai. Sewaktu
sampai di perairan yang terlalu dangkal bagi Fluke, Bob menyeretnya sendiri.
Dengan susah-payah diseretnya orang itu ke pasir yang kering.
Orang itu berbaring terlentang. Ia terengah-engah, kecapekan, dan setengah sadar.
Topinya hanyut ke laut. Kaus nilon masih menyarungi kepalanya, membuatnya
makin sulit bernapas. Bob membukanya. Ia melihat wajah yang kurus dengan hidung panjang dan pipi yang agak kempot.
Ada bekas, seperti bekas luka, di bawah mata kanannya.
Bob terhenyak melihat Paul Donner.
Bab 17 DI BALIK SEMUA ITU "ITU DIA!" teriak Slater bersemangat. "Di situ ikan paus itu!"
Diturunkannya teropong. "Kau benar, Nak. ikan paus itu berada di pantai," katanya
dengan logat pesisir selatan. Ia bergegas masuk ke kokpit, mengambil alih kemudi
dari Jupe. Constance juga telah melihat Fluke. Ketika kapal Slater mendekati pantai, ia
menjulurkan badannya dari pagar kapal.
"Fluke," panggilnya. "Fluke."
Fluke segera mendengarnya. Dengan riang Fluke berenang menempel di pinggir
kapal tempat Constance berada.
"Peti itu." Slater melupakan kemudi dan melepasnya. Ia memandangi kepala
Fluke. "Peti itu telah hilang!" teriaknya.
Jupe melihat ke pantai. Seseorang terbaring di pantai, dan Bob berdiri melambailambai di sampingnya. Kemudian Bob membentuk lingkaran dengan telunjuk dan
jempolnya pertanda segalanya beres.
"Kurasa makin cepat kita ke pantai makin baik,Pete," ujar Jupe. "Sebelum Slater
mengetahui apa yang terjadi."
"Ide bagus," sahut Pete. Ia masih mengenakan pakalan selamnya. Dengan cekatan
ia turun dari sisi kapal yang satu lagi, lalu cepat-cepat berenang ke pantai. Jupe
melepas baju kaus yang dipinjamnya dari lemari kapal, dan segera berenang sekuat
tenaga mengikuti Pete. "Paul Donner." Jupe dan Pete berdiri memandangi orang yang terbaring talc
berdaya di pasir. "Apa yang dilakukannya di sini" Apa yang terjadi, Bob?" tanya Jupe.
Dengan ringkas Bob menjelaskan apa yang terjadi sesudah Fluke berenang
menghampirinya. Mulai dari seorang raksasa tak bermuka yang sekonyongkonyong muncul di pantai, pertarungan memperebutkan peti, lalu pertolongan
Fluke, dan akhirnya sampai pada jaket berisi karet busa itu.
Ia sukar bernapas, Bob mengakhiri. "Untung aku tahu cara memberi pernapasan
buatan. Sekarang kelihatannya sudah jauh lebih baik."
Jupe menoleh ke laut. Slater telah merapatkan kapalnya sedekat mungkin ke pantai
dan membuang sauh di sana. Ia berlari mengarungi laut menuju mereka. Kepalanya
yang botak licin berkilat-kilat. Ia tampak marah sekali.
"Peti besi?" bisik Jupe pada Bob. "Kaukemanakan peti itu?"
"Kusembunyikan di..."
Bob terhenti. Slater telah mencapai pasir kering. Ia berdiri di hadapan Bob.
"Di mana peti itu!" kata Slater dingin dengan nada penuh ancaman. Tak sedikit
pun ?a melihat pada Paul Donner. Slater seperti tidak heran melihat Paul Donner
terbaring di situ. Bahkan ia seperti tidak mau tahu. Ia hanya melihat dengan
pandangan mengancam pada Bob.
"Serahkan peti itu padaku!" ulang Slater.
"Peti apa?" Bob pura-pura heran sambil mengerdip pada Pete. Ia berharap
Penyelidik Dua dapat menyerang Slater dengan tiba-tiba, supaya mereka bisa
mengambil peti yang disembunyikan dan melarikan diri.
"Jangan coba-coba!" Slater seakan-akan dapat membaca pikirannya. "Kalian tidak
dapat menipuku, Anak-anak ingusan!"
Celana Slater basah seluruhnya, tetapi jaket kulit yang dipakainya kering. Ia
mengambil sesuatu dan balik jaketnya. Pistol berlaras pendek.
Ia mengarahkan laras pistolnya pada Bob.
"Peti besi," katanya lagi. "Yang dibawa ikan paus itu. Berikan peti itu padaku."
Logat pesisir selatannya terdengar penuh ancaman.
Bob memandang Jupe dengan lemas. Jupe mengamati pistol yang digenggam
Slater. Walaupun belum pernah menembak, Penyelidik Satu tahu banyak tentang
pistol. Menurut teori, pistol Slater dengan laras yang sangat pendek itu jangkauan
tembaknya tidak terlalu jauh. Tapi Slater menodongkannya cuma setengah meter
dari dada Bob. Tidak ada harapan untuk luput dari tembakan Slater kalau Ia nekat
menembak "Oke, Bob," kata Jupe. "Serahkan saja padanya."
Bob mengangguk. Ia merasa lega dengan keputusan Jupe. Ia berjalan ke onggokan
karang tempat Ia menaruh peti. Slater mengikuti dari belakang, tangannya masih
menggenggam pistol. Bob mengambil peti itu. Slater merampasnya.
"Tidaaaak!" Untuk beberapa detik Bob tidak tahu dari mana asal suara itu. Detik berikutnya Ia
melihat Paul Donner bangkit dan tiba-tiba menyerbu ke arah mereka dari belakang.
Slater memutar badannya. Jeritan itu membuatnya terkejut. Ketika berbalik, Slater
memunggungi Bob. Jupe hanya beberapa meter dari situ. Penyelidik Satu
mengangguk, membuka kedua tangannya. Bob melempar peti itu. Jupe dengan
sigap menangkapnya. "Kau penipu!" Paul Donner tiba di tempat Slater berdiri. "Kau pengkhianat!"
teriaknya. "Pembohong! Pemeras!"
Ia menyerang Slater, mencoba mencekiknya. Slater menurunkan pistolnya. Ia
mendorong Donner. Donner terjatuh. Slater menindihnya. Mereka bergumul,
berguling-guling di pasir.
Pete berdiri dekat air laut. Di laut tampak Constance bersama Fluke. Ia juga
mendengar teriakan Donner. Dengan gesit Ia berenang ke pantai, diiringi Fluke di
sampingnya. Jupe mengoper peti pada Pete.
Slater bangkit, meninggalkan Donner yang tergeletak tanpa daya di pasir. Slater
terlalu kuat bagi Donner yang kurus itu, yang belum pulih tenaganya sehabis
dilontar-lontarkan Fluke. Pete menangkap peti itu.
Ia melihat Constance berenang mendekat. Ia melihat Slater memandang Bob, lalu
Jupe, mencari-cari peti itu. Tanpa membuang-buang waktu, Pete berlari ke laut
sambil mendekap peti itu.
Slater mengejarnya. Pete sampai di pinggir pantai. Ia berlari terus sampai air setinggi pinggangnya.
Slater menguntit tidak jauh di belakangnya.
"Stop!" teriak Slater.
Pete tidak melihatnya. Tapi ia dapat merasakan pistol Slater diarahkan padanya.
Hatinya berdebar-debar. Ia berhenti. "Pete!" Constance membuka tangannya sambil mengapung di laut. "Pete, lempar
ke sini!" Pete bimbang. Rasanya pistol Slater begitu dekat pada dirinya. Rasanya peti besi
itu begitu dingin. Dan di depannya Constance siap menangkap peti itu.
Pete terkenal jago basket. Kini Ia membayangkan dirinya bertanding basket pada
saat-saat kritis menjelang pertandingan usai dengan skor berselisih tipis. Ia
melupakan Slater. Ia tidak ingat pada pistol Slater. Ia membayangkan sedang
memegang bola basket. Dan Constance berteriak meminta operan bola darinya.
Ia menekuk lututnya, menekuk kedua sikunya. Peti besi diletakkan pada kedua
telapak tangan di atas kepalanya. Dengan satu gerakan cepat dan bertenaga
dilemparnya peti seperti melempar bola basket, membuat lintasan parabola.
Constance menangkapnya. Pete menyelam dan menjauh dari tempatnya. Ia berusaha tetap di bawah air selama
mungkin, sembari menahan napas. Saat napasnya habis, perlahan-lahan Ia
menyembulkan kepalanya. Ia mengintip ke pantai. Slater berdiri di pinggir pantal.


Trio Detektif 35 Misteri Penculikan Ikan Paus di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tangannya terkulai namun masih menggenggam pistol. Kepala botaknya
tertunduk. Jupe dan Bob berdiri di depannya. Pete menggabungkan diri dengan mereka.
"Kami tidak ingin merampas milik Anda, Mr. Slater," kata Jupe. "Kami setuju
untuk memberikan separuh isi peti itu pada Anda. Yang kami perbuat hanyalah
mengamankan milik Constance dan ayahnya. Isi peti harus dibagi dengan adil."
Slater diam membisu beberapa lama, lalu menghela napas.
"Apa maumu?" tanyanya.
"Aku mau supaya peti itu dibawa ke kota. kita harus membukanya di hadapan
Chief Reynolds, kepala polisi Rocky Beach. Ia seorang yang terbuka dan adil.
Anda dapat menceritakan asal usul peti itu, begitu pula Constance, menurut versi
ayahnya. Biar nanti Chief Reynolds yang memutuskan bagaimana pembagian isi
peti itu." Lama Slater tidak menjawab. Ia menoleh ke laut. Constance dan Fluke berenang
berdampingan di tengah laut. Ia tidak dapat mengambil peti itu dari Fluke tanpa
bantuan Constance. "Oke," desah Slate. "Kita naik ke kapal, lalu berlayar ke dermaga di Rocky Beach.
Setelah itu kita bisa menemui Chief Reynolds. Setuju?"
Jupe menggeleng. Slater telah menyimpan pistolnya. Tapi sewaktu-waktu Ia dapat
memakainya Lagi. Naik ke kapalnya berarti masuk ke dalam mulut harimau.
"Tidak perlu susah-susah berlayar ke sana," sahut Jupe dengan sopan. "Kita kan
bisa menelepon Chief Reynotds. Biar polisi yang menjemput kita di sini."
"Menelepon" Dari mana?" Slater berusaha mempengaruhi Jupe. "Mana ada
telepon dekat-dekat sini" Yang paling dekat saja..."
"Yang paling dekat kira-kira satu mil dari sini," potong Jupe. "Di Kantin Clifftop.
Bob dapat bersepeda ke sana dalam beberapa menit."
"Dua menit paling lama," tukas Bob.
"Nah, sekarang kalau Anda tidak keberatan, kupersilakan meletakkan pistol Anda
di kapal, Mr. Slater," kata Jupe dengan manisnya. "Constance dan Fluke akan
membawa peti itu ke sini, sementara kita menunggu jemputan polisi. Ide yang
baik, kan?" Slater tentu saja tidak menganggap ide itu baik, baginya sebenarnya justru ide yang
buruk. Ia tidak bisa berkelit lagi kalau sudah berhadapan dengan polisi. Tapi ia
mengangguk menyetujui. Hanya itu yang bisa dilakukannya.
Bob berangkat untuk menelepon Chief Reynolds. Constance memberi makan
Fluke, sementara Jupe dan Pete mengawasi Slater menaruh pistolnya di kapal.
Kemudian Constance mengucapkan selamat berpisah pada Fluke. Ia berjanji akan
kembali lagi ke pantai secepat mungkin. Fluke memandang Constance dengan
sedih. Fluke berenang dekat sekali ke pantai untuk mengantar kepergian
Constance. Pada saat mereka berempat naik menuju jalan raya, Jupe baru teringat akan Paul
Donner. Paul Donner telah menghilang.
Tak lama kemudian Bob muncul dan mereka dijemput dengan sedan polisi. Lima
belas menit setelah itu mereka semua sudah berada dalam kantor Chief Reynolds.
Chief Reynolds memandang mereka dengan heran. Tidak satu pun dari mereka
yang kering. Semua basah kuyup. Dan bau air laut yang asin memenuhi ruangan
kantor itu. "Apa lagi yang terjadi kali ini, Jupe?" tanya Chief Reynolds ketika mereka semua
sudah duduk. Chief Reynolds sudah bertahun-tahun mengenal Trio Detektif. Ia sendiri tidak
setuju dengan tindakan anak-anak yang kadang-kadang kelewat berani dan
berbahaya. Tapi seolah-olah selalu ada saja misteri yang mendatangi anak-anak,
bukan anak-anak yang mencari misteri. Dan Ia mengagumi kejelian Jupe dalam
menangani sebuah kasus. Sering kali Penyelidik Satu menolong polisi
memecahkan kasus-kasus yang rumit dan pelik.
Jupe menoleh pada Slater. "Ini Mr. Oscar Slater," Ia memperkenalkan. "kukira Ia
bisa menceritakan kisahnya sendiri."
"Silakan Mr. Slater."
Slater berdiri. Ia mengeluarkan dompetnya yang basah dan menyerahkan tanda
pengenal dirinya. Sesudah Chief Reynolds memerintahkan seseorang urituk
mengecek tanda pengenal itu, Slater mulai bercerita.
Dengan jujur dikisahkannya penyelundupan ke Meksiko bersama Diego Carmel. Ia
menceritakan tentang badai, kapal yang tenggelam, sampai bagaimana mereka
menyelamatkan peti itu dengan bantuan Constance dan Fluke.
"Kawan mudaku, Jupiter Jones," Slater melanjutkan, "mengusulkan supaya peti itu
dibuka di sini. Dengan demikian tidak akan timbul perselisihan di kemudian hari.
Aku kira itu usul yang baik, Chief."
Ia merogoh sebuah kunci dari kantungnya, lalu menyerahkan pada Chief Reynolds.
Constance meletakkan peti itu di meja.
Jupe mau tak mau harus mengakui kejujuran dan keterbukaan Slater. Slater
bersikap sebagai seorang warga negara yang baik dan taat pada aturan. Dan
caranya berbicara, tidak nampak kesan bahwa Ia pernah melakukan suatu tindakan
kriminal. Ia mengamati Chief Reynolds mernbuka peti besi hijau itu.
Constance terkejut. Bahkan Chief Reynolds terpana melihat isi peti itu. Jupe
berdiri mendekati meja. Pete dan Bob menyusulnya.
Bob dan Pete melongo. Namun Penyelidik Satu bersikap biasa-biasa saja.
Peti itu penuh dengan lembaran sepuluh dolar baru.
Lembaran-lembaran uang itu tersusun rapi dan dibundel dengan pengikat dan
kertas. Kalau lima ratus dolar tebalnya satu inci, Jupe mengira-ngira, uang di
dalam peti itu kira-kira bernilai satu juta dolar.
"Inilah hasilnya, Chief," Slater menjelaskan. "Hasil kunjunganku ke La Paz.
Separuh dari uang -"
Ia terhenti ketika telepon di meja Chief Reynolds berdering. Chief Reynolds
mengangkatnya dan mendengarkan beberapa saat.
"Teruskan, Mr. Slater," kata Chief Reynolds seraya meletakkan gagang telepon.
"Anda bersih. Belum pernah terlibat dalam perbuatan kriminal. Apa tadi katamu.."
"Sebagian adalah hasil penjualan kalkulator saku di La Paz. Itu milik bersama
antara aku dan kapten Carmel. Sisanya adalah milikku. Kudapat dari penjualan
tanah"beberapa hektar tanah dari sebuah hotel kecil milikku di sana. Sekarang
terserah Miss Carmel berapa banyak yang ia minta dalam hubungannya dengan
bisnis ayahnya. Kukira setelah itu semua akan beres."
Chief Reynolds mengernyit. "Itu akan beres kalau Anda sudah membayar pajak,
Mr. Slater," katanya. "Kukira tidak ada yang salah dalam keterangan Anda." Ia
berpaling pada Constance. "Berapa banyak milik ayahmu, Miss Carmel?"
Constance tersenyum. "Aku tak tahu persisnya.
Aku cuma ingin membayar ongkos perawatan
Ayah di rumah sakit," ujarnya. Ia menengok pada
Slater. "Sepuiuh ribu dolar kurasa cukup."
"Sepuluh ribu dolar cukup?" Slater menjulurkan badannya meraih peti itu. "Besok
kau bisa menemaniku ke bank. Akan kuberi kau cek sebesar sepuluh ribu dolar."
Dipangkunya dan ditutupnya peti itu. lalu Ia berdiri hendak keluar dari kantor.
Jupe berdiri menghalangi Slater.
"Chief Reynolds," kata Penyelidik Satu sambil menarik-narik bibir bawahnya.
"Aku tidak mau ikut campur. Tapi boleh kan kalau aku usul sesuatu"
"Usul apa, Jupe?" tanya Chief Reynolds dengan ails mata terangkat.
"Sebaiknya nomor seri uang itu diperiksa dulu."
"Nomor seri" Kenapa?"
Jupe mengambil peti dari pegangan Slater dan membukanya. Diambilnya dua
tumpuk uang sepuluh dolar baru.
"Kalau Anda memeriksa uang ini, Chief," Dia melanjutkan, Anda akan
menemukan bahwa seluruh uang ini palsu!"
Bab 18 LAPORAN PADA HECTOR SEBASTIAN
"Polisi akhirnya berhasil menangkap Paul Donner," kata Jupe. "Ia berusaha
melarikan diri ke Meksiko dengan mobil limousin tuanya. Sial nasibnya, mobilnya
mogok di tengah jalan. ketika ditangkap, Ia mengakui seluruh kejahatannya. "
Trio Detektif duduk mengelilingi sebuah meja dalam ruang tamu di rumah Hector
Sebastian. Mereka memberikan laporan lengkap mengenal 'Kasus Penculikan Ikan
Paus', judul yang ditulis Bob pada catatannya.
Mr. Sebastian duduk bersandar di kursi goyangnya sembari mendengarkan kisah
mereka dengan penuh perhatian. Kalau dianggap perlu ia menanyakan hal-hal yang
belum jelas baginya. "Paul Donner mengakui bahwa Ia memalsukan uang?" tanyanya.
Bob mengangguk. "Bukan itu saja, Donner-lah yang merusak rem truk Constance.
Ia berusaha dengan segala cara untuk menggagalkan pencarian peti besi itu dan
bangkai kapal ayah Constance."
"Oscar Slater memaksanya untuk mencetak uang palsu itu," Lanjut Bob
menjelaskan. "Ia memeras Donner. "
"Memeras" Memeras bagaimana?"
Hector Sebastian menengok ke dapur. Hoang Van Don sedang menyiapkan makan
siang untuk mereka. "Apakah Don membuat nasi merah Lagi, Mr. Sebastian?" tanya Pete. Ia sudah
tidak sabar ingin menyantap makanan buatan Don.
"Tidak," jawab Mr. Sebastian. "Ia punya resep baru sekarang. Lihat saja nanti.
Mmm... sampai di mana tadi kau, Bob?"
"Slater memeras Donner dan memaksanya mencetak uang palsu itu," ujar Bob.
"Mulanya mereka bertemu di Eropa. Paul Donner ahli pembuat klise, dan pandai
memalsu serta mencetak. Slater menangani distribusi uang palsu itu. Ia punya
jaringan yang cukup luas di Eropa."
"Polisi di sana mengetahuinya?" tanya Hector Sebastian.
"Ya," Jupe menyahuti. "Tetapi polisi tidak mencurigai Oscar Slater. Ia sangat licin
hingga kejahatannya tidak pernah tercium oleh polisi. Namun polisi Prancis
memburu Paul Donner. Mereka punya surat perintah penangkapan Donner. Tetapi
Donner berhasil lolos dan melarikan diri ke Meksiko."
"Ia sudah jera memalsukan uang," Bob menambahkan. "Dan Ia berjanji pada
dirinya sendiri untuk tidak lagi memalsukan uang. Janji itu dipegangnya teguh. Ia
membuka usaha pencetakan yang legal di La Paz sampai..." Bob mengangkat bahu.
"Well, sampai Oscar Slater menemuinya di sana."
"Ooo, pantas. Oscar Slater tahu bahwa Donner menjadi buronan polisi," kata
Hector Sebastian. "Ia tahu bahwa pihak Prancis akan mengekstradisi Donner kalau
mereka dapat menemukannya."
"Slater berada di atas angin. Ia punya senjata ampuh untuk memaksa Donner
mengulangi pemalsuan uang. Kalau Donner menolak, Ia akan melaporkannya pada
pihak Prancis." Ia termenung sejenak. "Dari mana kau tahu bahwa uang itu palsu, Jupe?" tanyanya kemudian.
"Terutama dari bekas seperti bekas luka di bawah mata kanan Paul Donner," jawab
Jupe. "Mulanya kukira Ia ahli intan atau ahli reparasi jam tangan. Baru belakangan
aku sadar bahwa Ia dapat juga seorang ahli pembuat klise."
"Cerdik sekali kau, Jupe." Mr. Sebastian tersenyum. "Tenggelamnya kapal kapten
Carmel beserta peti itu melegakan hati Donner. Bagaimana menurutmu, Jupe?"
"Ya, kurang-lebih begitu," Penyelidik Satu menyetujui. "Aku merasa aneh.
Mengapa Slater begitu bersemangat untuk memperoleh peti itu" Dan mengapa ada
seseorang yang mati-matian berusaha menghalanginya" Kemudian aku baru
menyadari. Seorang pemalsu yang paling ahli sekalipun tidak dapat
menghilangkan ciri-ciri khasnya. Itu seperti melukis saja. Ciri-ciri khas itu selalu
muncul dalam karya-karyanya. Kalau uang palsu itu sampai beredar, polisi akan
segera tahu bahwa pelakunya adalah Donner. Dan polisi Amerika akan
memburunya juga, seperti polisi Prancis. Tempat tinggalnya di La Paz dengan
mudah dapat dilacak polisi."
Dari dapur terdengar suara seperti orang sedang mencincang daging.
"Dan dari situ kau menarik kesimpulan, Jupe," ujar Mr. Sebastian, "bahwa Donnerlah yang tidak menginginkan uang palsu itu ditemukan."
"Lama sekali aku baru menyadari hal itu," Jupe mengakui. "Mulanya aku
mencurigai tiga orang. Oscar Slater, Paul Donner, dan si penelepon gelap yang
menawarkan seratus dolar."
Ia memandang Bob. "Baru ketika Bob membuka topeng kaus nilonnya aku sadar bahwa orang kedua
dan orang ketiga adalah orang yang sama."
"Sewaktu Paul Donner menelepon kalian," kata Mr. Sebastian, "ia berkata dengan
logat aneh, seperti logat pesisir selatan. Apakah Ia ingin agar kalian mengira itu
Slater?" Jupe menggeleng. "Kukira tidak, Mr. Sebastian. Ia cuma berusaha
menyembunyikan suara aslinya. Itu seperti aktor...."
Jupe tahu banyak soal bersandiwara. Di masa kecilnya Ia sendiri suka bermain
sandiwara. Masa-masa itu menjadi kenangan manis yang tak akan dilupakannya.
Peran yang sering dimainkannya ialah Baby Fatso.
"Cara termudah bagi seorang aktor untuk mengubah suaranya," lanjutnya lagi,
"ialah dengan meniru suara orang lain. Dengan menggunakan logat orang lain.
Paul Donner, yang lama tinggal di Eropa, mempunyai logat yang khas Eropa. Cara
terbaik baginya untuk menyembunyikan logatnya ialah dengan memakai logat lain.
Dan kebetulan ia memilih logat pesisir selatan, seperti Slater."
Hector Sebastian menengok kembali ke dapur. "Bagaimana Donner tahu bahwa
kalian Trio Detektif sewaktu berjumpa di San Pedro?" tanyanya.
"Paul Donner adalah salah satu dari dua orang yang berada di kapal ketika kami
menyelamatkan Fluke," Jupe menjelaskan. "Ia melihat kami menyelamatkan Fluke.
Saat itu Ia masih berpura-pura bekerja untuk Slater. ketika Slater membeberkan
rencananya untuk memanfaatkan Constance dan Fluke untuk mengambil peti itu
dan kapal yang tenggelam, Donner memutuskan untuk pergi ke Ocean World
esoknya. kuduga Ia hanya mencari jalan untuk dapat menghalangi Slater.
Kemudian Ia melihat kami keluar dari kantor Constance. Ia ingat kami yang
menolong ikan paus itu. Lalu rupanya Ia melihat kartu kami di meja Constance
sehingga Ia menelepon kami dan menawarkan seratus dolar kalau kami dapat
membebaskan Fluke ke laut."
Mr. Sebastian memejamkan matanya.
Lalu Ia bertanya lagi. "Buat apa Donner pergi ke kantor Kapten Carmel di San
Pedro" Aku tahu, dengan keahliannya memalsu, Ia gampang saja membuat kunci
palsu pintu kantor Kapten Carmel. Tapi, buat apa Ia ke sana?"
"Kupikir Ia ke sana untuk merusak peralatan selam milik Constance," sahut Jupe.
"Ia pikir itu salah satu cara untuk menghentikan usaha Slater. Belakangan. sewaktu
Constance memutuskan untuk memakai peralatan selam milik Ocean World,
Donner mampir ke kapal Slater dan merusak salah satu tabung udara di situ."
"Baru setelah kau menyadari." Mr. Sebastian menoleh pada Bob, "Kausebut apa di
catatanmu," "Raksasa bertopeng," kata Bob. "Sebenarnya Ia bukan raksasa. Ia cuma terlihat
seperti raksasa karena jaketnya dipadati karet busa tebal."
"Jadi baru setelah kau menyadari bahwa raksasa bertopeng dan Paul Donner adalah
orang yang sama, semuanya menjadi jelas...."
Mr. Sebastian berhenti ketika Don masuk. Pembantu rumah tangga dan Vietnam
itu membawa mangkuk kayu besar. Ditatanya di meja, di depan Mr. Sebastian dan
Trio Detektif. "Makanan sehat," kata Don dengan bangga. "Alamiah. Tanpa campuran bahan
sintetis." Pete melongok melihat isi mangkuk. Semacam salad. Ada daun slada dan ketimun.
Namun sebagian besar berisi irisan-irisan tipis berwarna ungu yang sukar dikenali
bentuknya. "Apa ini?" tanya Pete. "Yang berwarna ungu ini apa?"
"Ikan," sahut Don. "Ikan mentah."
"Men... mentah?" Pete tergagap. "Maksudmu.. maksudmu ini tidak dimasak?"
"Ya, tidak dimasak," ujar Don. "Makanan yang telah .dimasak tidak segar lagi.
Sebagian vitaminnya hilang."
"Tapi waktu itu kau memasak nasi merah," protes Pete.
"Ya, itu memang sehat," sahut Don. "Tapi yang ini lebih sehat lagi. Aku baru dapat
resepnya di sebuah majalah. Lihat saja orang Jepang. Mereka sering makan ikan
mentah. Hasilnya" Dunia dibanjiri mobil dan barang-barang elektronik buatan
Jepang." "Ya, memang sehat.!" ujar Bob. "Tapi rasanya kayak apa ini?"
"Well, coba saja dulu", kata Mr. Sebastian. "Siapa tahu kalau dicampur dengan
bumbu dan salad akan terasa nikmat."
"Tanpa sendok, garpu, atau pisau?" tanya Pete lagi.
"Dengan tangan saja, itu kebiasaan orang Jepang kalau makan ikan," Mr. Sebastian
menjelaskan. Dengan takut-takut anak-anak mencomot makanan dari dalam mangkuk itu. Jupe
dan Bob hanya berani mengambil saladnya.
"Bagaimana keadaan ayah Constance?" tanya Hector Sebastian.
"Kapten Carmel makin membaik kondisinya" ujar Bob. "Minggu depan ia sudah
boleh meninggalkan rumah sakit."
"Dan ia tidak usah pusing soal ongkos rumah sakit." tambah Jupe. "Orang dari
Departemen Keuangan berterima kasih sekali pada Constance. Mereka


Trio Detektif 35 Misteri Penculikan Ikan Paus di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menghadiahi Constance sejumlah uang yang cukup untuk membayar biaya
perawatan ayahnya." "Dan sebenarnya ayah Constance memang telah menjual kalkulator saku di La
Paz," kata Bob. "Ada kemungkinan Constance dapat memperoleh bagian ayahnya
dari Slater." "Bagaimana dengan Fluke?" tanya Hector Sebastian.
"Balk," jawab Jupe. "Fluke sangat sedih ditinggal Constance. Fluke tidak mau
pergi dari pantai itu. Ditunggunya terus sampai Constance kembali. Constance
khawatir Fluke tidak dapat menyesuaikan din dengan kehidupan laut lagi."
"Jadi bagaimana dia sekarang?" tanya Mr. Sebastian.
"Constance sadar bahwa masalahnya Fluke tidak ingin berpisah dengannya," kata
Bob. "Fluke sudah sedemikian akrabnya dengan Constance sehingga ingin terus
bersamanya." "Jadi Constance membawanya ke Ocean World," kata Jupe. "Di sana Fluke terlihat
riang. Dan Constance memberi kami free-pass. Kami boleh datang, kapan saja,
dengan gratis...." Ia terdiam, melongo melihat Pete.
"Kautelan ikan mentah itu?" serunya.
"Masa bodoh, aku lapar," Pete membela diri. "Rasanya juga lumayan. Kalau kau
sudah biasa, pasti kau juga suka."
Dengan tenang ditelannya lagi seiris ikan mentah.
"Selain itu," ia melanjutkan. "makanan ini baik bagi kesehatan. Baik buat otak
Lihat saja Fluke. Makanannya kan cuma ikan mentah. Tapi kalian tahu sendiri"
betapa pandainya Fluke!"
End Sumber ebook DJVU: Zonadjadoel Convert & Edited by: Farid ZE Blog Pecinta Buku " PP Assalam Cepu
Penakluk Ujung Dunia 1 Sang Penerus Seri Arya Manggada 3 Karya S H Mintardja Pedang Kiri 22
^