Pencarian

Darah Olympus 2

The Heroes Of Olympus 5 Darah Olympus Blood Of Olympus Bagian 2


Nico terus mendengkur. Reyna mendapati bahwa begitu anak lelaki itu jatuh tertidur, susah sekali membangunkannya. Sekalipun, saja, Pak Pelatih menari-nari di sekeliling kepala Nico sambil mengetukkan kaki kambingnya keras-keras, putra Hades bahkan takkan bereaksi. " ini." Hedge menawari Reyna sepiring wafel panggang yang dibubuhi irisan kiwi dan nanas segar. Semua kelihatan enak, tidak tdisangka-sangka. "Bapak mendapatkan perbekalan ini dari mana"" tanya Reyna pukau. "Hei, aku ini satin. Kaum kami sangat jago mengepak bekal dengan ringkas." Digigitnya secuil wafel. "Kami juga tahu caranya berburu dan merame Selagi Reyna makan, Pak Pelatih Hedge mengeluarkan notes dan mulai menulis. Seusai menulis, sang satir melipat kertas menjadi pesawat-pesawatan dan melemparkannya ke udara. Angin pun membawa pergi pesawat kertas itu. "Surat untuk istri Bapak"" tebak Reyna. Di bawah tepi topi bisbolnya, mata Hedge semerah darah. " Mellie seorang pert angin. Roh-roh angin kerap berkirim pesan lewat pesawat kertas. Semoga sepupu-sepupunya berkenan mengantarkan suratku menyeberangi samudra hingga tiba di ngan istriku. Memang tidak secepat pesan-Iris, tapi, yah, aku i ngin anak kami punya kenang-kenangan dariku, kalau-kalau, kau tabu ..." "Akan kami antarkan Bapak pulang." Reyna berjanji. "Bapak pasti akan melihat anak Bapak." Hedge mengertakkan rahang dan tidak mengatakan apa-apa. Reyna lumayan lihai memancing orang untuk bicara. Dia menganggap kemampuan itu sebagai prasyarat esensial untuk mengenal rekan-rekan seperjuangannya. Tapi, Reyna ternyata
kesulitan meyakinkan Hedge untuk membuka diri mengenai istrinya, Mellie, yang teng
ah menetap di Perkemahan Blastera dan sebentar lagi akan melahirkan. Reyna susah membayangkan sang pelatih sebagai ayah, tapi dia memahami rasanya tumbuh besar tanpa orangtua. Dia takkan membiarkan hal itu menimpa anak Pak Pelatih Hedge. "Iya, begitulah ..." Sang satir menggigit wafel lagi, beserta ranting yang masih menancap. "Aku semata-mata berharap, coba kita bisa bergerak lebih cepat." Dia mengedikkan dagu ke arah Nico. "Menurutku anak ini takkan kuat melompati bayangan sekali lagi. Berapa etape lagi sampai kita tiba di rumah"" Reyna sama khawatirnya seperti Hedge. Tinggal sebelas hari sampai bangsa raksasa berencana membangunkan Gaea. Octavian berencana menyerang Perkemahan Blasteran pada hari yang sama. Itu tidak mungkin cuma kebetulan. Barangkali Gaea membisiki telinga Octavian, memengaruhi keputusannya di alam bawah sadar. Atau yang lebih parah: Octavian secara aktif bersekongkol dengan Dewi Bumi. Reyna tidal( sudi memercayai bahwa Octavian, dengan penuh kesadaran, mengkhianati legiun, tapi selepas yang dia saksikan dalam mimpi, Reyna tidak yakin. Dihabiskannya makanan saat sekelompok pelancong Cina tersaruk-saruk melewati pekarangan. Reyna baru terbangun kurang dari sejam, tapi dia sudah tidak sabar untuk beranjak. "Makasih untuk sarapannya, Pak Pelatih." Reyna berdiri dan meregangkan tubuh. "Permisi dulu. Kalau ada turis, berarti ada kamar kecil. Aku mau ke belakang." "Silakan." Sang pelatih menggoyangkan peluit yang dikalungkan ke lehernya. "Kalau ada apa-apa, akan kutiup ini." Reyna meninggalkan Aurum dan Argentum untuk berjaga, kemudian melenggang ke antara keramaian manusia biasa sampai dia menemukan pusat informasi dengan kamar kecil. Dia berusaha
sebisa mungkin untuk membasuh did, tapi ironisnya, di kota romawi sungguhan Reyna tidak bisa menikmati mandi air hangat ala romawi. Dia harus sudah puas hanya dengan tisu, wadah sabun rusak, dan pengering tangan soak. Belum lagi jambannya .semakin sedikit dibahas, semakin baik. Selagi berjalan untuk kembali ke perkemahan, Reyna melewati , , museum kecil beretalase. Di balik kaca, terhamparlah deretan figur pelaster semuanya mematung di ambang maut. Seorang gadis cilik ber gelung seperti janin. Seorang wanita menggeliut kesakitan, mulutnya terbuka untuk menjerit, lengannya terangkat ke atas kepala. Seorang pria berlutut dengan kepala tertunduk, seolah-olah pasrah menerima nasib. Reyna menonton dengan rasa ngeri bercampur muak. Dia pernah membaca tentang figur-figur itu, tapi dia tidak pernah it Iclihatnya secara langsung. Setelah Vesuvius meletus, abu vulkanik mengubur kota tersebut dan mengeras di sekeliling jasad-jasad warga Pompeii, menjadikan mereka membatu. Tubuh reka pada akhirnya terdisintegrasi, menyisakan kantong udara berbentuk manusia. Para arkeolog yang melakukan penggalian awal menuangkan plester ke dalam lubang tersebut dan membuat cetakan-cetakan ini replika seram orang-orang Romawi Kuno. Reyna merasa terusik. Ini rasanya salah. Momen ketika orang-orang ini menjemput ajal tidak semestinya dipamerkan seperti pakaian di etalase toko. Namun demikian, dia tidak kuasa berpaling. Seumur hidup Reyna memimpikan untuk berkunjung ke Italia. Dia mengasumsikan keinginan itu takkan pernah terkabul. Negeri kuno adalah tempat terlarang bagi demigod modern; area itu semata-mata terlampau berbahaya. Walau begitu, dia ingin mengikuti jejak Aeneas, putra Aphrodite, demigod pertama yang bermukim di sini selepas Perang Troya. Dia ingin melihat Sungai
Tiberis yang asli, tempat Lupa, sang Dewi Serigala, menyelamatkan Romulus dan Remus. Tapi, Pompeii" Reyna tidak pernah ingin ke sini. Situs bencana Romawi paling terkenal, seisi kota yang ditelan bumi Sesudah mimpi buruk Reyna semalam, malapetaka Pompeii serasa ba bencana personal. Sejauh ini di negeri kuno, Reyna baru melihat satu di antar a sekian banyak tempat yang ingin dia sambangi: Istana Diocletia di Split, dan bahkan kunjungan tersebut tidak berjalan sesuai yang dia damba-dambakan. Reyna dulu membayangkan bakal ke san a bersama Jason untuk mengagumi rumah kaisar panutan mereka. Dia membayangkan acara jalan-jalan
nan romantis di kota tua bersama Jason, berpiknik di benteng kala matahari terbenam. Akan tetapi, Reyna justru tiba di Kroasia bukan dengan Jason, melainkan beserta selusin roh angin marah yang mengejarnya. Dia mesti bertarung dengan hantu di istana itu. Dalam perjalanan ke luar, gryphon sempat menyerang, melukai pegasusnya dengan fatal. Alih-alih Jason sendiri, Reyna hanya menemukan surat yang pemuda itu tinggalkan untuknya di bawah patung dada Diocletian dalam ruang bawah tanah. Sekarang, cuma kenangan menyakitkan yang Reyna milik mengenai tempat tersebut. Jangan getir begitu, Reyna menegur diri sendiri. Aeneas pun menderita. Romulus, Diocletian, dan yang lain juga sama. Bangsa Romawi tidak mengeluhkan cobaan berat. Sembari menatap plester maut dari balik jendela museum, Reyna bertanya-tanya apa yang mereka pikirkan selagi bergelung menunggu ajal di dalam gundukan abu. Barangkali bukan: Kita ini orang Romawi! Kita tidak boleh mengeluh!
A ngin berembus di reruntuhan, menghasilkan erangan yang bergaung . Sinar mentari berkilat-kilat di jendela, membutakan reyna untuk sementara. tiambil terkesiap, Reyna mendongak. Matahari tepat berada .diatas kepala. Bagaimana mungkin sudah tengah hari" Dia me-Rumah Faun tepat sesudah sarapan. Dia baru berdiri disini beberapa menit betul begitu, kan" Reyna angkat kaki dari pajangan museum dan buru-buru menyingkir, berusaha menyingkirkan perasaan bahwa orang-orang yang sudah mati tengah berbisik di belakangnya.
sepanjang siang hingga sore itu, suasana hening mencekam. Reyna berjaga sementara Pak Pelatih Hedge tidur, tapi tidak ada bahaya yang mengancam. Turis datang dan pergi. Harpy dan roh angin adakalanya terbang melintas di atas. Kedua anjing Reyna menggeram memperingatkan, tapi monster-monster itu tidak berhenti untuk berkelahi. Hantu mengendap-endap mengitari tepi pekarangan, rupanya I intimidasi oleh Athena Parthenos. Reyna tidak bisa menyalahkan mereka. Semakin lama patung itu berdiri di Pompeii, amarah yang ia pancarkan seolah semakin menggebu-gebu, alhasil membuat kulit Reyna gatal dan sarafnya tegang. Akhirnya, tepat setelah matahari terbenam, Nico terbangun. Dia menggasak roti isi avokad dan keju, kali pertama dia menunjukkan nafsu makan besar sejak meninggalkan Gerha fades. Reyna segan merusak makan malam Nico, tapi mereka tidak punya banyak waktu. Semakin gelap, semakin banyak dan semakin dekat hantu yang menghampiri. Dia menceritakan mimpinya kepada Nico: bumi yang menelan Perkemahan Jupiter, Octavian yang mengepung Perkemahan
Blasteran, dan si pemburu bermata menyala-nyala yang menembak perut Reyna. Nico menatap piringnya yang kosong. "Si pemburu ini seorang raksasa, barangkali"" Pak Pelatih Hedge mendengus. "Mending aku tidak tahu. Menurutku sebaiknya kita melanjutkan perjalanan." Mulut Nico berkedut. "Bapak menyarankan agar kita menghindari pertarungan"" "Dengar, Bocah Lembek, aku menggandrungi laga sama seperti orang lain, tapi monster yang harus kita khawatirkan sudah cukup banyak, bahkan tanpa pemburu bayaran raksasa yang melacak kita dari belahan dunia lain. Aku tidak suka mendengar tentang panah mahabesar itu." "Sekali ini," kata Reyna, "aku setuju dengan Pak Hedge." Nico membeberkan jaket penerbangnya yang terlipat. Dia menyodokkan jari ke lubang panah di lengan jaket. "Aku bisa minta nasihat." Nico kedengarannya enggan. "Thalia Grace ..." "Kakak Jason," kata Reyna. Dia tidak pernah bertemu Thalia. Malahan, dia baru-baru ini saja bahwa Jason punya kakak perempuan. Menurut Jason, Thalia adalah demigod Yunani, putri Zeus, yang memimpin para pengikut Diana ... bukan, Artemis. Membayangkan itu saja, kepala Reyna jadi pusing tujuh keliling. Nico mengangguk. "Pemburu Artemis adalah ya pemburu. Jika ada yang tahu tentang si pemburu raksasa, barangkali Thalia orangnya. Aku bisa mencoba mengiriminya pesan-Iris." "Kau kedengarannya tidak terlalu antusias akan ide itu," Reyna menimpali. "Apa kalian berdua kurang akur"" "Kami baik-baik saja."
beberapa kaki dari sana, Aurum menggeram pelan. Artinya, pasti bohong. Reyna memutuskan untuk tidak mendesaknya. "Aku sebaiknya men
coba mengontak kakakku, Hylla," ujar reyna. "Perkemahan Jupiter tidak dijaga ketat. Jumlah prajurit menjaganya relatif sedikit. Jika Gaea menyerang ke sana, Iligkin kaum Amazon bisa membantu. Pak Pelatih Hedge merengut. "Jangan tersinggung ya, tapi, inu pasukan Amazon hendak melakukan apa untuk melawan gelombang tanah longsor"" Reyna berjuang menahan rasa takut. Dia menduga Hedge benar. Untuk melawan serangan yang dia saksikan dalam mimpisatu-satunya bentuk pertahanan adalah mencegah bangsa Aksasa membangunkan Gaea. Untuk itu, Reyna harus menaruh kepercayaan kepada kru Argo II. Sinar matahari sudah hampir hilang. Di sekeliling pekarangan, hantu-hantu membentuk kerumunan ratusan roh Romawi berpendar yang membawa pentungan atau batu transparan. "Kita bisa bicara lebih lanjut setelah melompat lagi." Reyna memutuskan. "Sekarang, kita harus menyingkir dari sini." "Iya." Nico pun bangkit. "Kurasa kita bisa mencapai Spanyol kali ini kalau kita beruntung. Biarkan saja aku " Kawanan hantu menghilang, seperti Jilin ulang tahun yang dipadamkan sekali tiup. Tangan Reyna melesat ke belatinya. "Ke mana mereka"" Mata Nico jelalatan ke sepenjuru reruntuhan. Ekspresinya tidak menghibur. "Aku aku tidak tahu pasti, tapi menurutku ini bukan pertanda baik. Berjagalah. Akan kupasang tali-temali. Pasti hanya butuh waktu beberapa detik." Gleeson Hedge berdiri tegak. "Beberapa detik yang tidak kalian miliki."
Perut Reyna kontan melilit-lilit. Hedge berbicara dengan suara perempuan sama seperti yan Reyna dengar dalam mimpi buruknya. Reyna menghunus pisaunya. Hedge menoleh ke arah Reyna, wajahnya tanpa ekspresi. Mata sang satir hitam kelam. "Bersyukurlah, Reyna Ramirez-Arellano. Kau akan mati sebagai orang Romawi. Kau akan bergabung dengan hantu-hantu Pompeii." Tanah bergemuruh. Di sepenjuru pekarangan, kepulan debu membubung ke udara, lalu memadat menjadi sosok-sosok humanoid cangkang-cangkang tanah seperti di dalam museum, Mereka menatap Reyna, mata mereka berupa lubang kosong bergerigi di muka batu. "Bumi akan menelan kalian." Hedge berkata dengan suara Gaea, "sebagaimana is menelan mereka. []
BAB DELAPAN REYNA JUMLAH MEREKA TERLALU BANYAK." REYNA bertanya-tanya dengan getir, sudah berapa kali dia mengucapkan itu sepanjang kaririernya sebagai demigod. Dia seharusnya membuat pin bertuliskan moto itu dan Iengenakannya untuk mengirit waktu. Ketika dia meninggal, kata-kata itu barangkali akan tertera di nisannya: Jumlah mereka erlalu banyak. Anjing greyhound berdiri di kanan-kirinya, menggeram ke cangkang-cangkang tanah. Reyna menghitung jumlah mereka paling tidak dua puluh, mendekat dari segala arah. Pak Pelatih Hedge terus berbicara dengan suara yang sangat feminin: jumlah yang mati selalu melampaui yang hidup. Roh-roh ini telah menanti berabad-abad, tidak mampu mengekspresikan amarah mereka. Kini kuberi mereka raga dari bumi." Salah satu hantu tanah melangkah maju. la bergerak pelan-pelan, tapi tapak kakinya demikian berat sampai-sampai meretak-kan ubin kuno. "Nico"" panggil Reyna.
"Aku tidak bisa mengontrol mereka," kata Nico sambil meng uraikan tali-temali kusut dengan panik. "Gara-gara cangkan batu itu, aku duga. Aku butuh beberapa detik untuk her konsentrasi sebelum melompati bayangan. Jika tidak, bisa-bis aku meneleportasikan kita ke gunung berapi lagi." Reyna mengumpat. Tidak mungkin dia bisa melawan sekia banyak hantu tanah seorang diri sementara Nico mempersiapka pelarian mereka, terutama karena Pak Pelatih Hedge sedang koma "Gunakan tongkat Diocletian," kata Reyna. "Panggilkan zombi untuk membantuku." "Percuma," ucap Pak Pelatih Hedge. Wenyingkirlah, Praetor Biarkan hantu-hantu Pompeii menghancurkan patung Yunani int. Orang Romawi sejati takkan menampiknya." Hantu-hantu tanah tersaruk-saruk ke depan. Dengan lubang mulut mereka, hantu-hantu itu mengeluarkan siulan yang bergaung, seperti bunyi botol soda kosong yang ditiup. Salah satu menginjak jebakan belati-raket tenis buatan sang pelatih dan meremukkannya hingga berkeping-keping. Dari sakunya, Nico mencabut tongkat Diocletian. "Reyna, kalau aku memanggil orang mati Romawi lebih
banyak lagi dari mana kita tahu mereka takkan bergabung dengan gerombolan ini"" "Aku yakin mereka tidak akan bergabung. Aku ini praetor. Panggilkan legiunari untukku dan akan kukendalikan mereka. "Kahan akan binasa, "ujar sang pelatih. "Kahan takkan bisa " Reyna menghajar kepala Hedge dengan gagang pisaunya. Sang satir pun ambruk. "Sori, Pak Pelatih," gumam Reyna. Aku sudah bosan, soalnya suara perempuan itu menyebalkan. Nico zombie! Kemudian berkonsentrasilah untuk membawa kita pergi dari sini." Nico mengangkat tongkat dan tanah pun bergetar.
hantu-hantu tanah memilih saat itu untuk menyerang. Arum menerjang hantu terdekat dan praktis mencabik kepala makhluk itu dengan taring logamnya. Cangkang batu tersebut ke belakang dan pecah berantakan. gcntum tidak seberuntung itu. Dia menerjang hantu lain, mengayunkan lengan beratnya dan menggebuk wajah si Argentum pun terpental. Anjing itu lantas bangun sambil terhayung -huyung. Kepalanya terpuntir empat puluh lima ke kanan. Salah satu mata mirah delimanya hilang. marah menggedor-gedor dada Reyna seperti godam panas.dia sudah kehilangan pegasusnya. Dia tidak akan kehilangan gnya juga. Reyna menyabetkan pisaunya ke dada si hantu lalu menghunus gladius-nya. Bertarung dengan dua senjata tajam igguhnya tidak sesuai dengan etika Romawi, tapi Reyna pernah menghabiskan waktu dengan bajak laut. Dia sudah mempelajari , lah trik mereka. Cangkang-cangkang tanah remuk dengan mudah, tapi kerasnya seperti martil. Reyna mafhum, kendatipun tidak tahu sebabnya, bahwa dia tidak boleh kena pukul barang satu kali pun. Lain dengan Argentum, dia takkan selamat apabila kepalanya ke samping. "Nico!" Reyna menunduk di antara dua hantu tanah, nembiarkan mereka menggetok kepala satu sama lain. "Sekarang!" Tanah terbelah hingga terbuka di tengah-tengah pekarangan. nan prajurit tengkorak mencakar-cakar ke permukaan. kuneng mereka menyerupai uang receh raksasa yang terkorosi. kadang mereka didominasi karat alih-alih logam. Tapi, Reyna tidak .rnah selega ini melihat bala bantuan. "Legiun!" teriaknya. aciem!" Para zombie merespons, mendesak hantu-hantu tanah ke n ping untuk membentuk barisan. Sebagian jatuh, diremukkan
oleh kepalan batu. Yang lain mampu merapatkan barisan dan menaikkan tameng mereka. Di belakang Reyna, Nico menyumpah. Reyna memberanikan diri melirik ke belakang. Tongkat Diocletian berasap di tangan Nico. "Benda ini melawanku!" teriak si anak laki-laki. "Menurutku tongkat ini tidak suka aku menyeru prajurit Romawi untuk melawan sesama orang Romawi!" Reyna tahu bahwa bangsa Romawi Kuno melewatkan setengah hidup mereka dengan berkelahi antar-mereka sendiri, tapi dia memutuskan untuk tidak mengungkit-ungkit hal tersebut. "Pokoknya, amankan saja Pak Pelatih Hedge. Bersiaplah menempuh perjalanan bayangan! Akan kuulur wak " Nico memekik. Tongkat Diocletian hancur berkeping-keping. Nico kelihatannya tidak terluka, tapi dia menatap Reyna sambil bengong karena terguncang. "Aku aku tidak tahu apa yang terjadi. Waktumu maksimal tinggal beberapa menit, sebelum zombie-zombie itu menghilang." "Legiun!" Reyna berteriak. "Orbem formate! Gladium signer Para zombie mengelilingi Athena Parthenos, pedang mereka disiagakan untuk pertarungan jarak dekat. Argentum menyeret Pak Pelatih Hedge yang tak sadarkan diri ke dekat Nico, yang sedang setengah mati menyambungkan tali pengikat patung ke badannya. Aurum melindungi mereka, menyerang hantu tanah mana saja yang menerobos. Reyna bertarung bersisian dengan mayat-mayat legiunari, mengirimkan kekuatannya kepada mereka. Dia tahu itu tidak cukup. Hantu tanah berjatuhan dengan mudah, tapi semakin banyak saja yang bangkit dari bumi di tengah-tengah pusaran abu. Tiap kali kepalan batu mereka menghantam, tumbanglah satu zombie lagi.
Sementara itu, Athena Parthenos menjulang di tengah-tengah lici tarungan anggun, pongah, dan tidak peduli. Sedikit bantuan tidak ada salahnya, pikir Reyna. Mungkin laser penghancur" Tinju penggebuk juga boleh. Patung itu tidak menyumbangkan apa-apa selain pancaran kchencian, yang sepertinya tertuju sama rata kepada Reyna dan hantu-hantu yang m
enyerang. Kau mau menggotongku ke Long Island" Patung itu seolah berkata. Silakan kalau bisa, Bedebah Romawi. Takdir Reyna: mati demi melindungi dewi pasif-agresif. Dia terns bertempur, menularkan kekuatan tekadnya kepada dadu mayat hidup. Sebagai gantinya, mereka membombardir Itcyria dengan rasa putus asa dan masygul. Kau berjuang demi impian kosong, para zombie legiunari herbisik ke dalam benaknya. Kekaisaran sudah runtuh. "Demi Roma!" teriak Reyna parau. Dia menebaskan gladius ke salah satu hantu tanah dan menikamkan belati ke dada hantu lainya. "Legiun 12 Fulminata!" Di sekelilingnya, zombie berjatuhan. Sebagian remuk karena terinjak-injak di tengah pertempuran. Yang lain hancur lebur wndiri saat sisa energi dari tongkat Diocletian akhirnya habis. Hantu-hantu tanah mengepung Reyna lautan wajah petot hermata hampa. "Reyna, sekarang!" teriak Nico. "Kita pergi!" Dia melirik ke belakang. Nico telah menalikan diri ke Athena Parthenos. Anak laki-laki itu menggendong Gleeson Hedge yang tak sadarkan diri dalam pelukannya bagai perawan tak berdaya. Aurum dan Argentum telah menghilang barangkali rusak terlalu Farah sehingga tidak mampu meneruskan bertarung. Reyna mendadak goyah.
Tinju batu menyerempet sangkar iganya dan rasa sakit sert merta menjalari bagian camping tubuhnya. Kepalanya berputa putar. Reyna mencoba bernapas, tapi rasanya seperti menghiru pisau. "Reyna!" Nico berteriak lagi. Athena Parthenos berkedip-kedip, hendak menghilang. Hantu tanah mengincar kepala Reyna. Gadis itu sempa menghindar, tapi rasa sakit di tulang iga hampir-hampi membuatnya pingsan. Menyerahlah, kata suara dalam kepalanya. Warisan Romaw sudah tamat dan terkubur, sama seperti Pompeii. "Tidak," Reyna bergumam kepada diri sendiri. "Tidak selama aku masih hidup." Nico mengulurkan tangan sementara dirinya melebur ke dalarn bayang-bayang. Dengan sisa-sisa kekuatannya yang paripurna, Reyna melompat ke arah Nico. []
BAB SEMBILAN LEO LEO TIDAK INGIN KELUAR DARI dinding. Ada tiga sendi penyangga lagi yang mesti dia sambungkan dan di antara seluruh awak, hanya Leo yang muat di kolong karena mereka kurang ceking. (Satu dari sekian banyak keuntungan dari Ibuh yang ceking.) Menyempil ke rongga dalam lambung kapal bersama pipa .air dan kabel, Leo bisa menyendiri dengan pikirannya. Ketika dia frustrasi, yang terjadi kira-kira tiap lima detik sekali, Leo bisa nemukul ini-itu dengan godam, alhasil awak yang lain akan nengira dia tengah bekerja, bukan sedang mengambek. Ada satu masalah di suaka Leo ini: badannya cuma muat ke pinggang. Pantat dan tungkainya masih dapat terlihat oleh masyarakat umum. Jadi, sukar baginya untuk bersembunyi. "Leo!" Suara Piper terdengar dari suatu tempat di belakangnya. "Kami butuh kau." Ring-o perunggu langit terlepas dari tang Leo dan menggelincir ke kedalaman kolong.
Leo mendesah. "Bicara pada celanaku nih, Piper! Soalnya tanganku sibuk!" "Aku tidak mau bicara pada celanamu. Ketemu di mes, ya. Kita hampir sampai di Olympia." "Iya, oke deh. Aku ke sana sebentar lagi." "Omong-omong, kau sedang apa sih" Kau sudah berhari-hari mengutak-atik lambung kapal." Leo menyorotkan senter ke pelat dan piston perunggu langit yang tengah dia pasang pelan-pelan tapi pasti. "Perawatan rutin." Hening. Piper terlalu lihai mencium dustanya. "Leo " "Eh, mumpung kau di situ, tolong aku. Aku gatal di sebelah "Ya sudah, aku pergi!" Leo mengulur-ulur waktu beberapa menit lagi untuk mengencangkan penyangga. Pekerjaannya belum beres. Masih jauh dari beres, malah. Tapi, ada kemajuan. Tentu saja, Leo sudah menyiapkan landasan bagi proyek rahasianya semenjak awal merakit Argo II, tapi dia tidak bercerita kepada siapa-siapa. Dia bahkan tidak jujur kepada diri sendiri mengenai aktivitasnya ini. Tak ada yang bertahan selamanya, ayahnya pernah memberi-tahunya. Mesin yang terbaik sekalipun. Iya, oke, mungkin itu benar. Tapi, Hephaestus juga berkata: Segalanya dapat dipergunakan kembali. Leo berniat menguji teori itu. Risikonya berbahaya. Jika Leo gagal, dia bakal remuk. Bukan hanya secara emosional. Raganya juga bakal remuk. Pemikiran tersebut menyebabkan Leo m
erasa sesak. Dia menggeliut ke luar kolong dan kembali ke kabinnya. Lebih tepatnya ini resminya memang kabin Leo, tapi dia tidak tidur di sana. Di atas kasur, bertebaranlah kabel, paku, dan jeroan sejumlah mesin perunggu yang sudah dibongkar. Tiga
lernari perkakas mahabesar dengan laci geser bertingkat-tingkat Chico, Harpo, dan Groucho rnernakan sebagian besar tempat di ruangan itu. Lusinan perkakas listrik dikaitkan ke dinding. Meja kerja memuat tumpukan fotokopi cetak biru Risalah Bola, naskah terlupakan karya Archimedes yang Leo bebaskan dari bengkel bawah tanah di Roma. Kalaupun Leo ingin tidur di kabinnya, ruangan tersebut kelewat sumpek dan berbahaya. Dia lebih memilih tidur di ruang mesin. Di sana, dengung mesin yang tak henti-henti membantu Leo terlelap. Selain itu, sejak melewatkan waktu di Pulau Ogygia, Leo jadi suka tidur di luar ruangan. Dia hanya butuh kasur gulung untuk dibeberkan di lantai. Kabinnya hanya untuk penyimpanan dan untuk mengerja-kan proyeknya yang paling pelik. Leo mengambil kunci dari sabuk perkakasnya. Dia sesungguhnya tidak punya waktu, tapi Leo membuka laci tengah Groucho dan menatap dua barang berharga di dalam: astrolab perunggu yang Leo peroleh dari Bologna dan gumpalan kristal sebesar kepalan dari Ogygia. Leo belum tahu caranya menggabungkan kedua benda itu, dan dia menjadi geregetan karenanya. Dia berharap bakal mendapat jawaban ketika mereka mengunjungi Ithaka. Biar bagaimanapun, pulau tersebut adalah rumah Odysseus, yang adalah si pembuat astrolab itu. Tapi berdasarkan perkataan Jason, reruntuhan tidak menyimpan jawaban bagi Leo semata-mata menampung segerombolan mambang dan hantu pemarah. Lagi pula, Odysseus tidak bisa memfungsikan astrolab tersebut. Dia tidak punya kristal untuk digunakan sebagai suar penangkap lokasi. Leo punya. Dia harus berhasil mencapai tujuan yang gagal diraih demigod terpintar sepanjang masa.
Leo memang apes. Gadis kekal super imut sedang menantinya di Ogygia, tapi dia tidak tahu caranya menyambungkan sebongkah batu bego dengan alat nagivasi berusia tiga ribu tahun. Sebagian persoalan tidak bisa diselesaikan bahkan dengan selotip. Leo menutup laci dan menguncinya. Matanya tertumbuk ke papan pengumuman di atas meja kerja, tempat dua gambar dipampang bersebelahan. Yang pertama adalah gambar lama yang Leo buat dengan krayon sewaktu umurnya tujuh tahun diagram kapal terbang yang dia lihat dalam mimpinya. Yang kedua adalah sketsa arang yang Hazel buatkan baru-baru ini untuk dirinya. Hazel Levesque ... sungguh gadis yang hebat. Saat Leo bergabung kembali dengan kru kapal di Malta, Hazel langsung tahu bahwa hati Leo terluka. Begitu mendapat kesempatan, selepas kericuhan di Gerha Hades, Hazel berderap masuk ke kabin Leo dan berkata, "Ceritakan." Hazel pendengar yang baik. Leo menyampaikan keseluruhan cerita kepadanya. Belakangan malam itu, Hazel kembali beserta buku gambar dan pensil arangnya. "Gambarkan dia," Hazel bersikeras. "Sampai ke detail yang sekecil-kecilnya." Rasanya agak aneh, membantu Hazel membuat potret Calypso layaknya berbicara ke juru sketsa polisi: Ya, Pak Polisi, itu dia gadis yang mencuri hati saya! Kedengarannya seperti lagu country saja. Tapi, mendeskripsikan Calypso ternyata gampang. Leo tidak bisa memejamkan mata tanpa melihat gadis itu. Kini potret dirinya balik menatap Leo dari papan pengumuman matanya yang berbentuk buah badam, bibirnya yang ranum, rambut panjang lures yang disibakkan ke sebelah bahu gaunnya yang tak berlengan. Leo hampir bisa mencium
aroma kayu manis tubuhnya. Alisnya yang dikerutkan dan mulct ci senyum kecut yang seolah berkata: Leo Valdez, kau ini sok sekali. Ya ampun, Leo naksir berat padanya! Leo memampang potret Calypso di sebelah gambar Argo II untuk mengingatkan diri sendiri bahwa mimpi kadang terwujud. Scmasa kanak-kanak, Leo bermimpi menerbangkan kapal. Pada ,akhirnya dia merakit kapal tersebut. Kini dia akan mencari cara uutuk kembali kepada Calypso. Dengung mesin kapal berubah, frekuensinya menjadi lebih rendah. Lewat pengeras suara kabin, Festus berderit dan memekik. "Iya, makasih, Sobat," kata Leo. "Aku s
egera ke sana." Kapal tersebut menurun, alhasil proyek Leo harus menunggu "Sabar ya, Manis," kata Leo kepada gambar Calypso. "Aku akan kembali padamu, seperti yang kujanjikan." Leo bisa membayangkan respons Calypso: Aku tidak mau menunggumu, Leo Valdez. Aku tidak cinta padamu. Dan aku jelas-jelas tidak percaya pada janji konyolmu! Pemikiran tersebut membuatnya tersenyum. Leo memasukkan kembali kuncinya ke sabuk perkakas dan menuju mes. Keenam demigod yang lain tengah menyantap sarapan. Pada zaman dahulu kala, Leo bakalan khawatir kalau mereka semua berada di dek bawah, sedangkan di depan kemudi tidak ada siapa-siapa, tapi sejak Piper membangunkan Festus secara permanen dengan charmspeak keajaiban yang masih tidak Leo pahami sang kepala naga amat mampu menjalankan Argo II sendiri. Festus bisa menentukan arah, mengecek radar, membuat smoothie rasa blueberry, dan menyemburkan api putih membara kepada penyerang secara berbarengan bahkan tanpa mengorsletkan sirkuitnya.
Selain itu, mereka punya Buford si Meja Ajaib sebagai prajurit cadangan. Sesudah Pak Pelatih Hedge meninggalkan mereka untuk melakukan perjalanan bayangan, Leo memutuskan bahwa meja berkaki tiga tentu cocok menggantikan peran sang satir sebagai "pengawas dewasa". Leo melaminating permukaan meja Buford dengan perkamen magis yang memproyeksikan hologram Pak Pelatih Hedge mini. Hedge Mini kerap menjejak-jejak di permukaan Buford, mengucapkan hal-hal acak semisal, "HENTIKAN!" "AKAN KUBUNUH KAU!" dan yang tak kalah populer, "PAKAI BAJUMU!" Hari ini, Buford bertugas di kemudi. Jika api Festus tidak mempan menakuti monster sehingga menyingkir, hologram Hedge yang diproyeksikan oleh Buford pasti ampuh. Leo berdiri di ambang pintu mes sambil mengamati pemandangan di seputar meja makan. Jarang-jarang Leo melihat semua temannya bersama. Percy tengah memakan setumpuk besar panekuk biru (kenapa dia gemar sekali akan makanan biru sih"), sedangkan Annabeth mengomelinya karena menuang sirup kebanyakan. "Panekukmu tenggelam tuh!" protes Annabeth. "Hei, aku anak Poseidon," ujar Percy. "Aku tidak bisa tenggelam. Panekuk-ku juga." Di kiri mereka, Frank dan Hazel menggunakan mangkuk cereal untuk menindih peta Yunani. Mereka memandangi peta tersebut, kepala keduanya berdekatan. Sesekali Frank menggandeng Hazel, manic dan natural sekali seperti pasangan yang sudah lama menikah saja dan Hazel bahkan sama sekali tidak jengah, kemajuan besar untuk anak perempuan dari tahun 1940-an. Hingga baru-baru ini, jika seseorang mengucapkan sialan, Hazel selalu nyaris semaput.
di kepala meja, Jason duduk tak nyaman dengan kaus ke atas sangkar iganya sementara Suster Piper mengganti perbannya. "Diamlah," kata Piper. "Aku tahu lukamu sakit." "Cuma dingin, kok," kata Jason. Leo bisa mendengar rasa nyeri dalam suaranya. Bilah gladius tolol itu telah menikam Jason sampai tembus. Luka masuk di punggungnya berwarna seram keunguan dan berasap. Barangkali bukan pertanda bagus. Piper berusaha untuk tetap bersikap positif, tapi diam-diam dia memberi tahu Leo betapa risau dirinya. Ambrosia, nektar, dan obat-obatan manusia biasa hanya bisa membantu sekadarnya. Luka dalam hasil sayatan perunggu langit atau emas Imperial secara harfiah dapat membuyarkan intisari demigod dari dalam ke luar. mungkin bisa membaik. Dia mengaku merasa baikan. Tapi, Piper tidak yakin. Sayang, Jason bukan automaton logam. Setidaknya jika demikian Leo bisa menggagas cara untuk menolong sahabatnya. Tapi kalau menyangkut manusia ... Leo merasa tidak berdaya. Manusia terlalu mudah rusak. Leo menyayangi teman-temannya. Dia rela berbuat apa saja demi mereka. Tapi selagi melihat mereka berenam tiga pasangan, semua terfokus pada pacar masing-masing Leo memikirkan peringatan dari Nemesis, sang dewi pembalasan: Kau takkan menemukan tempat di antara saudara-saudara seperjuanganmu. Kau akan selalu jadi orang luar. Leo mulai merasa bahwa Nemesis benar. Dengan asumsi bahwa Leo masih berumur panjang, dengan asumsi bahwa rencana rahasianya yang gila bakal berhasil, takdirnya adalah bersama orang lain, di sebuah pulau yang tak pernah ditemukan manus
ia mana pun dua kali. Tapi untuk saat ini, yang terbaik yang dapat Leo lakukan adalah mengikuti aturan lamanya: Terus bergerak. Jangan terpaku. Jangan pikirkan yang jelek-jelek. Tersenyumlah dan bercandalah sekalipun tidak ingin. Terutama ketika tidak ingin. "Apa kabar, Teman-Teman"" Dia melenggang ke dalam mes. "Asyik! Ada brownies!" Dia menyambar irisan brownies terakhir dibuat berdasarkan resep garam laut istimewa yang mereka peroleh dari Aphros sang centaurus ikan di dasar Samudra Atlantik. Interkom berderak. Hedge Mini keluaran Buford berteriak ke pengeras suara: "PAKAI BAJUMU!" Semua orang terlompat. Hazel melonjak hingga satu setengah meter jauhnya dari Frank. Percy menumpahkan sirup ke jus jeruknya. Jason dengan canggung menurunkan kausnya yang terangkat, sedangkan Frank berubah menjadi bulldog. Piper memelototi Leo. "Kukira kau sudah menyingkirkan hologram tolol itu." "Hey, Buford Ian cuma bilang selamat pagi. Dia suka sekali hologramnya! Selain itu, kita semua merindukan Pak Pelatih. Lagi pula, Frank imut-imut waktu mewujud sebagai anjing bulldog." Frank kembali ke wujud aslinya sebagai cowok Kanada keturunan Cina yang cemberut dan bertubuh gempal. "Duduklah, Leo. Ada yang harus kita bicarakan." Leo menyempil di antara Jason dan Hazel. Dia memperkirakan merekalah yang kemungkinannya paling kecil menghajarnya kalau dia melontarkan guyonan basi. Leo menggigit brownies-nya dan menyambar sebungkus camilan Italia tak bergizi Fonzies untuk melengkapi sarapannya yang bergizi tidak seimbang. Leo agak-agak kecanduan jajanan itu sejak membelinya di Bologna. Jajanan itu berasa jagung dan keju, belum lagi garing karakter kesukaannya.
"Jadi ..." Jason mencondongkan badan ke depan sambil berjengit. "Kita akan tetap di udara dan menjatuhkan jangkar sedekat mungkin ke Olympia. Jaraknya terlalu jauh di daratan, lebih dari yang kusukai kira-kira delapan kilometer tapi kita tak punya pilihan. Menurut Juno, kita harus mencari Dewi Kemenangan dan mengekangnya." Sekeliling meja menjadi hening karena resah. Karena dinding holografis ditutupi tirai baru, mes tersebut lebih gelap dan remang-remang daripada seharusnya, tapi, mau bagaimana lagi"! Sejak kurcaci kembar Kerkopes mengorsletkan dinding, siaran langsung dari Perkemahan Blasteran sering kali kabur, digantikan oleh rekaman video kurcaci dari jarak sangat dekat alhasil menampakkan misai merah, lubang hidung, dan gigi jelek. Gambar tersebut terutama mengganggu konsentrasi ketika kita sedang makan atau berbincang serius mengenai nasib dunia. Percy menyesap jus jeruknya yang berasa sirup. Dari ekspresi Percy, kelihatannya jus itu enak-enak saja. "Aku tidak keberatan bertarung dengan dewi sesekali, tapi bukankah Nike itu termasuk yang baik" Maksudku, aku pribadi suka kemenangan. Aku tidak pernah bosan meraup kemenangan." Annabeth mengetukkan jemarinya ke meja. "Memang kedengarannya aneh. Aku paham apa sebabnya Nike berada di Olympia yang adalah tempat asal Olimpiade. Para peserta mengurbankan sesaji untuknya. Bangsa Yunani dan Romawi memujanya di sana selama, berapa, seribu dua ratus tahun, iya `kan"" "Sampai menjelang runtuhnya Kekaisaran Romawi," Frank mengiyakan. "Bangsa Romawi menyebutnya Viktoria. Beda nama, tapi sama saja. Semua cinta sang dewi. Siapa yang tidak suka menang" Aku tidak mengerti kenapa kita harus mengekangnya."
Jason mengerutkan kening. Uap mengepul dari luka dl bawah bajunya. "Yang aku tahu cuma Antinous si mambang menyatakan Kemenangan sedang menggila di Olympia. Juno mewanti-wanti bahwa terkecuali kita mampu mengalahkan Dewi Kemenangan, jurang pemisah antara bangsa Yunani dan Romawi takkan bisa dijembatani." "Bagaimana caranya mengalahkan kemenangan"" Piper bertanya-tanya. "Kedengarannya seperti teka-teki yang mustahil dipecahkan." "Seperti membuat batu beterbangan," kata Leo, "atau cuma makan sebatang Fonzies." Dimasukkannya segenggam camilan itu ke mulut. Hazel mengerutkan kening. "Makanan itu bakal mem-bunuhmu." "Kau bercanda" Saking banyaknya pengawet di makanan ini, aku akan hidup selamanya. Eh, omong-omong coal Dewi Kemenangan yang populer dan hebat
Tidakkah kalian ingat anak-anaknya di Perkemahan Blasteran"" Hazel dan Frank tidak pernah ke Perkemahan Blasteran, tapi yang lain mengangguk. "Leo ada benarnya," ujar Percy. "Anak-anak di Pondok Tujuh Belas mereka amat sangat kompetitif: Sewaktu main tangkap bendera, mereka hampir lebih sadis daripada anak-anak Ares. Jangan tersinggung ya, Frank." Frank mengangkat bahu. "Maksudmu Nike punya sisi gelap"" "Anak-anaknya jelas punya," kata Annabeth. "Mereka tidak pernah menampik tantangan. Mereka harus menjadi nomor satu dalam segalanya. Kalau ibu mereka sebernafsu itu ..." "Waduh." Piper menumpukan tangan ke meja, seakan-akan kapal sedang oleng. "Teman-Teman, semua dewa terombangambing antara kepribadian Yunani dan Romawi mereka, kan" kalau Nike seperti itu, sedangkan dia Dewi Kemenangan " "Dia bakal tercabik-cabik dilema," kata Annabeth. "Dia pasti salah satu pihak menang supaya dia bisa menyatakan diri bagai pemenang. Secara harfiah, dia bertarung dengan diri tidiri." Hazel menyikut mangkuk serealnya di atas peta Yunani. "Tapi, kita tidak menginginkan kemenangan salah satu pihak. Kita harus ilicmpersatukan Yunani dan Romawi di tim yang sama." "Mungkin itulah masalahnya," ujar Jason. "Jika Dewi Kemenangan menggila, terombang-ambing antara kepribadian Yunani dengan Romawi, dia barangkali akan menjadikan kedua kubu mustahil dipersatukan." "Jadi, bagaimana"" tanya Leo. "Mau lempar perang isu di Twitter"" Percy menusuk panekuknya. "Mungkin Nike sama seperti Ares. Dewa itu bisa menyulut pertengkaran hanya dengan berjalan masuk ke ruangan penuh sesak. Kalau Nike memancarkan aura kompetitif atau semacamnya, dia bisa semakin menyulut perselisihan antara Yunani-Romawi." Frank menunjuk Percy. "Kau ingat Dewa Laut Tua di Atlanta Phorcys" Dia bilang rencana Gaea selalu berlapis-lapis. Mungkin ini merupakan bagian dari strategi para raksasa buat kedua kubu tetap terpisah; buat dewa-dewi tetap terpisah. Kalau betul begitu, kita tidak boleh membiarkan Nike mengadu kita. Kita harus mendaratkan tim berjumlah empat orang dua Yunani, dua Romawi. Keseimbangan itu mungkin bisa membantu menyeimbangkan Nike." Selagi mendengarkan Zhang, Leo lagi-lagi terpana. Dia tidak percaya betapa banyaknya Frank berubah beberapa pekan belakangan ini.
Frank tidak semata-mata bertambah tinggi dan kekar. Dia kini lebih percaya diri, lebih siap mengemban tampuk kepemimpinan. Mungkin karena kayu bakar ajaib tambatan hidupnya tersimpan aman dalam kantong kedap api, atau mungkin karena dia sempat mengomandoi legiun zombie dan telah dipromosikan menjadi praetor. Apa pun sebabnya, Leo kesulitan menganggapnya sebagai Frank yang dulu, Frank si ceroboh yang pernah mewujud sebagai iguana demi keluar dari borgol Cina. "Kurasa Frank benar," kata Annabeth. "Regu beranggotakan empat orang. Kita harus hati-hati memilih orang. Jangan sampai kita menyebabkan sang dewi semakin semakin tidak stabil." "Aku ikut," ujar Piper. "Aku bisa coba charmspeak." Kerut-kerut pertanda kekhawatiran bertambah dalam di seputar mata Annabeth. "Kali ini jangan, Piper. Esensi Nike adalah kompetisi. Aphrodite ... nah, dia juga sama, dengan caranya sendiri. Menurutku Nike bisa-bisa menganggapmu sebagai ancaman." Dahulu, Leo barangkali akan berkelakar soal itu. Piper" Ancaman di sebelah mananya" Cewek itu tak ubahnya saudari Leo sendiri, tapi apabila dia butuh bantuan untuk menghajar geng preman atau mengekang Dewi Kemenangan, Piper bukanlah orang pertama yang akan dia mintai tolong. Tapi, baru-baru ini iya sih, Piper barangkali tidak berubah sedrastis dan segamblang Frank, tapi gadis itu sudah berubah. Dia sempat menikam dada Khione, sang Dewi Salju. Dia telah mengalahkan kaum Boread. Dia telah mengusir sekawanan harpy liar dengan tebasan senjata tajamnya seorang diri. Terkait charmspeak-nya, saking perkasanya Piper sekarang, Leo jadi gugup. Kalau Piper menyuruh Leo makan sayuran, dia sangat mungkin menurut.
Ucapan Annabeth sepertinya tidak menyinggung gadis itu. Piper semata-mata mengangguk dan menelaah kelompok mereka. Kalau begitu, siapa yang harus turun"" "Jason dan Percy tidak boleh pergi be
rsama-sama," kata Annabeth. "Jupiter dan Poseidon kombinasi jelek. Nike dapat dengan mudah menyulut perkelahian antara kalian berdua." Percy melempar senyum kecil kepada Annabeth. "Iya, jangan sampai insiden di Kansas terjadi lagi. Bisa-bisa aku menewaskan sobatku, Jason." "Atau bisa-bisa aku menewaskan sobatku, Percy," tukas Jason ramah. "Benar kataku"!" kata Annabeth. "Kita juga tidak boleh mengutus Frank dan aku bersama-sama. Mars dan Athena perpaduan yang sama jeleknya." "Oke." Leo angkat bicara. "Jadi, Percy dan aku mewakili Yunani. Frank dan Hazel mewakili Romawi. Itu tim impian yang paling tidak kompetitif sepanjang masa, lan"!" Annabeth dan Frank bertukar pandang serius. "Bisa berhasil," Frank memutuskan. "Maksudku, tiada kombinasi yang sempurna, tapi Poseidon, Hephaestus, Pluto, Mars aku tidak melihat permusuhan sengit antara mereka." Hazel menelusurkan jari di permukaan peta Yunani. "Aku masih berharap kalau saja kita bisa melalui Teluk Corinthia. Aku ingin kita berkunjung ke Delphi, barangkali minta nasihat sekalian. Lagi pula, mengitari Peloponnese menambah jauh perjalanan." "Iya." Hati Leo mencelos ketika dia melihat betapa panjang garis pantai yang masih harus mereka susuri. "Sekarang sudah 22 Juli. Dihitung dari hari ini, tinggal sepuluh hari lagi " "Aku tahu," kata Jason. "Tapi, perkataan Juno j etas. Rute yang lebih pendek sama artinya dengan bunuh diri."
"Sedangkan Delphi ..." Piper mencondongkan badan ke dekat peta. Bulu harpy biru di rambutnya terayun-ayun seperti pendulum. "Ada apa di sana" Kalau Apollo tidak punya Oracle lagi ..." Percy mendengus. "Barangkali gara-gara si Octavian yang menyebalkan itu. Mungkin sakingpayahnya dia dalam meramalkan masa depan, Octavian merusakkan kesaktian Apollo." Jason tersenyum tipis, sekalipun matanya buram karena kesakitan. "Mudah-mudahan kita bisa menemukan Apollo dan Artemis. Kemudian kau bisa bertanya sendiri padanya. Juno bilang si kembar mungkin bersedia menolong kita." "Banyak pertanyaan yang tak terjawab," gumam Frank. "Jarak ke Athena masih ribuan mil jauhnya." "Kita selesaikan dulu masalah yang sudah di depan mata," kata Annabeth. "Kahan harus menemukan Nike dan mencari tahu caranya mengekang dewi itu apa pun maksud Juno. Aku masih tidak mengerti caranya mengalahkan dewi yang mengendalikan kemenangan. Sepertinya mustahil" Leo mulai cengar-cengir. Dia tidak bisa menahan did. Memang, mereka hanya punya waktu sepuluh hari untuk mencegah para raksasa membangunkan Gaea. Memang, dia bisa saja sudah mati sebelum jam makan malam. Tapi, Leo suka sekali diberi tahu bahwa sesuatu itu mustahil. Rasanya seperti diberi pai lemon dan dilarang melemparkan pai itu. Leo semata-mata tidak sanggup menolak tantangan tersebut. "Kita lihat saja nanti." Dia pun berdiri. "Biar kuambil koleksi granatku dulu. Nanti akan kususul kalian di geladak!"[]
BAB SEPULUH PERCY KAU TADI CERDIK, DEH," KATA Percy, "memilih tempat yang
ber-AC." Dia dan Leo baru saja menyurvei museum. Kini mereka duduk-duduk di jembatan yang melintang di Sungai Kladeos, kaki keduanya menjuntai di atas air selagi mereka menunggu Frank dan Hazel menyelesaikan peninjauan puing-puing. Di kiri mereka, lembah Olympia berdenyar di tengah panasnya siang. Di kanan mereka, lapangan parkir disesaki bus pariwisata. Untung Argo II dijangkarkan tiga puluh meter di udara, sebab mereka takkan mendapat tempat parkir. Leo melemparkan batu ke permukaan sungai. Dia berharap semoga Hazel dan Frank cepat kembali. Dia merasa kikuk, nongkrong dengan Percy. Salah satu sebabnya, Leo tidak tahu basa-basi apa yang mesti dia obrolkan dengan cowok yang baru pulang dari Tartarus. Nonton episode Doctor Who yang terakhir, tidak" Oh, iya ya. Kau `lean sedang sibuk tersaruk-saruk di Lubang Petaka Kekal!
Percy sudah cukup mengintimidasi, bahkan sebelum masuk ke Tartarus bisa mendatangkan angin topan, pernah berduel melawan bajak laut, membunuh raksasa di Koloseum Sekarang singkat kata, sesudah kejadian di Tartarus, kesannya Percy telah lulus ke level yang lebih tinggi, semakin keren dan semakin jagoan. Leo malah susah membayangkan Percy seba
gai rekan seperkemahannya. Mereka berdua tidak pernah berada di Perkemahan Blasteran pada waktu bersamaan. Kalung kulit milik Percy diganduli empat bandul yang mewakili pungkasnya empat musim papas. Kalung kulit Leo kosong dari manik-manik Satu-satunya persamaan mereka adalah Calypso, padahal tiap kali Leo memikirkan itu, dia jadi ingin meninju wajah Percy. Leo terus-menerus berpikir bahwa dia sebaiknya mengungkit topik itu, semata-mata untuk menjernihkan suasana, tapi waktu yang tepat seolah tidak kunjung tiba. Hari demi hari, semakin sulit untuk menyinggung-nyinggung subjek tersebut. "Apa"" tanya Percy. Leo tersentak. "Apanya yang apa"" "Kau memelototiku, seperti sedang marah." "Masa"" Leo mencoba berkelakar, atau setidaknya tersenyum, tapi tidak bisa. "Eh, maaf." Percy menerawang ke sungai. "Kurasa kita perlu bicara." Dia membuka tangan dan batu yang tadi Leo lemparkan melesat keluar dari sungai, mendarat tepat di telapak tangan Percy. Oh, pikir Leo, sekarang ceritanya mau pamer nih" Dia mempertimbangkan untuk menembakkan semburan api ke bus pariwisata terdekat dan meledakkan tangki gasnya, tapi Leo memutuskan bahwa aksi semacam itu kelewat dramatis. "Mungkin kita memang harus bicara. Tapi tidak "
"Teman-Teman!" Frank berdiri di seberang lapangan parkir, melambai agar mereka menghampiri. Di samping Frank, Hazel tluduk di punggung kudanya Anion, yang muncul sekonyong-Lonyong begitu mereka mendarat. Diselamatkan oleh Zhang, pikir Leo. Dia dan Percy berlari-lari kecil untuk menghampiri kedua kawan mereka. "Tempat ini besar sekali," lapor Frank. "Reruntuhan terbentang dari sungai di kaki pegunungan itu sampai ke sini, kira-kira setengah kilometer." "Setengah kilometer itu berapa mil"" tanya Percy. Frank memutar-mutar bola matanya. "Kilometer itu satuan jarak yang biasa di Kanada dan seluruh dunia. Cuma kalian orang-orang Amerika " "Kira-kira sebesar lima atau enam lapangan futbol." Hazel memotong sambil menyuapi Anion dengan segumpal besar emas. Percy merentangkan tangan. "Bisa kubayangkan." "Pokoknya," lanjut Frank, "dari atas, aku tidak melihat apa pun yang mencurigakan." "Aku juga," ujar Hazel. "Anion membawaku mengelilingi perimeter. Banyak wisatawan, tapi tidak ada dewi yang gila." Kuda jantan besar itu meringkik dan mendongakkan kepala, otot-otot lehernya beriak di bawah kulit cokelat muda. "Waduh, sumpah serapah kudamu kasar sekali." Percy menggeleng-geleng. "Dia tidak suka Olympia." Sekali ini, Leo sepakat dengan kuda itu. Dia tidak suka membayangkan harus menyusuri reruntuhan di bawah matahari terik, tersaruk-saruk di antara kawanan turis bersimbah peluh demi mencari Dewi Kemenangan berkepribadian ganda. Lagi pula, Frank sudah terbang di atas sepenjuru lembah sebagai elang.
Kalau mata tajamnya tidak melihat apa-apa, mungkin memang tiada yang panto menjadi pusat perhatian. Di sisi lain, saku-saku sabuk perkakas Leo penuh dengan mainan berbahaya. Dia enggan pulang ke rumah tanpa sempat meledakkan apa pun. "Jadi, kita keluyuran saja bersama-sama," ujar Leo, "dan biar masalah yang mendatangi kita. Metode itu selalu berhasil sebelumnya." Mereka mondar-mandir beberapa lama, menghindari regu-regu tur dan beranjak dari satu tempat teduh ke tempat teduh lain. Bukan untuk kali pertama, Leo terperanjat akan kemiripan Yunani dengan negara bagian asalnya Texas perbukitan rendah, pohon-pohon kerdil, tonggeret yang berdengung, dan haws musim panas yang gerahnya minta ampun. Jika pilar-pilar kuno dan reruntuhan kuil diganti dengan sapi dan kawat berduri, Leo niscaya akan merasa seperti di rumah. Frank menemukan selebaran untuk turis (saking rajinnya cowok itu, dia bakalan membaca tulisan di kaleng sup) dan memberi mereka informasi tentang ini-itu. "Yang ini Propylon." Dia melambai ke jalan setapak batu yang dipagari pilar-pilar bobrok. "Salah satu gerbang utama menuju lembah Olympia." "Puing-puing!" kata Leo. "Dan yang di sana" Frank menunjuk fondasi segi empat yang mirip patio restoran Meksiko "adalah Kuil Hera, salah satu bangunan tertua di sini." "Puing-puing lagi!" tukas Leo. "Lalu yang bulat seperti saung itu itu Philipe
on, untuk Philip dari Makedonia." 'rntql-lazi piling! Puing-puing kelas satu!"
Hazel, yang masih menunggangi Arion, menendang lengan Leo. " Tak adakah yang membuatmu terkesan"" Leo melirik ke atas. Rambut keriting Hazel yang cokelat keemasan dan mata keemasannya teramat serasi dengan helm dan pedangnya sehingga gadis itu tampak seakan-akan diciptakan dari emas Imperial. Leo ragu Hazel bakal menganggap pernyataan tersebut sebagai pujian, tapi sebagai manusia, Hazel adalah kreasi nomor wahid. Leo teringat perjalanan mereka mengarungi Gerha Hades. Hazel sempat membimbing Leo melewati labirin ilusi nan seram. Hazel membuat Pasiphae si penyihir menghilang lewat lubang imajiner di lantai. Dia bertarung melawan Clytius sang raksasa selagi Leo tercekik dalam kabut kegelapan raksasa itu. Hazel memotong rantai yang mengikat Pintu Ajal. Sebaliknya ... Leo praktis tidak berbuat apa-apa. Leo tidak naksir Hazel lagi. Hatinya tertambat di Pulau Ogygia nun jauh. Walau begitu, Hazel Levesque tetap membuat Leo terkesan bahkan saat tidak menunggangi kuda kekal supersonik yang menakutkan dan gemar menyumpah seperti pelaut. Leo tidak mengucapkan apa-apa, tapi Hazel pasti menangkap pemikirannya. Gadis itu berpaling karena malu. Frank, yang untungnya tidak tahu apa-apa, melanjutkan panduan wisatanya. "Yang di sana itu ... oh." Diliriknya Percy. "Arm, cekungan bundar separuh di dalam bukit itu, yang dilengkapi relung-relung itu nymphaeum, dibangun pada zaman Romawi." Wajah Percy memucat seputih kapur. "Aku punya ide: jangan ke sana." Leo sudah mendengar pengalaman Percy yang nyaris menjemput ajal dalam nymphaeum di Roma bersama Jason dan Piper. "Aku suka sekali idemu." Mereka terus berjalan.
Tangan Leo sesekali melayang ke sabuk perkakasnya. Sejak Kerkopes mencuri perlengkapan itu di Bologna, dia takut kalau-kalau sabuk perkakasnya bakal diculik lagi, meski Leo ragu ada monster lain yang menyaingi keahlian kedua kurcaci itu dalam curi-mencuri. Dia penasaran bagaimana kabar monyet-monyet jorok itu di New York. Dia berharap mereka masih bersenang-senang, mengganggu orang-orang Romawi, merampasi ritsleting mengilap, dan memerosotkan celana legiunari. "Ini Pelopion." Frank berkata sambil menunjuki satu lagi gundukan batu nan mengagumkan. "Ayolah, Zhang," kata Leo. "Apa pula arti Pelopion" Tempat keramat untuk main pelotot"" Frank tampak tersinggung. "Ini makam Pelops. Seluruh wilayah Yunani yang sebelah sini, Peloponnese, dinamai dari namanya." Leo menahan hasrat untuk melemparkan granat ke wajah Frank. "Kutebak aku seharusnya tahu Pelops itu siapa, ya"" "Dia itu pangeran, memenangi seorang istri dalam balapan kereta perang. Konon, dia menggagas penyelenggaraan Olimpiade untuk mengenang peristiwa itu." Hazel mendengus. "Alangkah romantis. Istri Anda cantik, Pangeran Pelops.' `Makasih. Aku memenangi dirinya dalam balap kereta perang.'" Leo berpendapat informasi barusan sama sekali tidak bermanfaat dalam membantu mereka menemukan Dewi Kemenangan. Pada saat ini, Leo semata-mata mendambakan minuman sedingin es dan nachos demi mengalahkan rasa haus dan lapar. Namun begitu semakin jauh ke dalam reruntuhan, semakin dia merasa gelisah. Leo teringat kembali akan salah satu kenangan hidupnya yang paling awal pengasuhnya, Tia Callida,
alias Hera, yang menyemangatinya supaya mencolek ular berbisa dengan sebatang ranting saat usianya empat tahun. Dewi sinting itu memberitahunya bahwa tindakan itu adalah sebentuk latihan yang bagus untuk calon pahlawan, dan barangkali Hera benar. Dewasa ini Leo menghabiskan waktu dengan mencolek sana-sini sampai dia menemukan masalah. Dia mengamati kerumunan turis, bertanya-tanya apakah mereka manusia biasa atau monster yang menyamar, seperti para eidolon yang mengejar-ngejar mereka di Roma. Sesekali Leo merasa melihat wajah yang familier sepupunya yang tukang gencet, Raphael; guru kelas tiganya yang kejam, Mr. Borquin; ibu angkatnya yang suka menganiaya, Teresa macam-macam orang yang telah memperlakukan Leo seperti sampah. Barangkali dia hanya membayangkan wajah mereka, tapi Leo menjadi tegang karenanya. Dia ingat betapa Dew
i Nemesis mewujud sebagai Bibi Rosa, orang yang paling Leo benci dan yang kepadanya Leo menyimpan dendam. Dia bertanya-tanya apakah Nemesis berada di sekitar sini, sedang melihat Leo hendak berbuat apa. Dia masih tidak yakin sudah membayar utang budi kepada dewi itu. Leo curiga Nemesis ingin dirinya lebih menderita lagi. Mungkin hari inilah utangnya jatuh tempo. Mereka berhenti di tangga lebar yang mengarah ke satu lagi puing-puing bangunan Kuil Zeus, menurut Frank. "Dulu di dalam terdapat patung Zeus besar dari emas dan gading," kata Zhang. "Satu dari tujuh keajaiban dunia kuno. Pembuatnya sama dengan pembuat Athena Parthenos." "Tolong katakan kita tidak perlu mencari patung itu," ujar Percy. "Aku sudah muak menghadapi patung magis raksasa dalam perjalanan kali ini." "Setuju." Hazel menepuk-nepuk perut Arion, yang sikapnya sedang rewel.
Ingin rasanya Leo meringkik dan mengentakkan kakinya juga. Dia kepanasan, gelisah, dan lapar. Dia merasa mereka sudah kelamaan mencolek ular berbisa dan ular berbisa itu hendak balas menyerang. Dia ingin pamit mundur dan kembali ke kapal sebelum terjadi serangan balasan. Sayangnya, ketika Frank menyebut Kuil Zeus dan patung, otak Leo sontak menyambungkan kedua konsep tersebut. Leo menilai sebaiknya dia tidak bilang apa-apa, tapi dia justru buka mulut. "Hei, Percy," katanya, "ingat patung Nike di museum tadi Yang sudah pecah berantakan"" "Iya"" "Bukankah patung itu dulu berdiri di sini, di Kuil Zeus Silakan koreksi kalau aku salah. Moga-moga aku salah." Tangan Percy melesat ke sakunya. Dia mengeluarkan bolpennya, Riptide. "Kau benar. Jadi, kalau Nike dulunya berdiri tegak kemungkinan besar di sinilah lokasinya." Frank menelaah sekeliling mereka. "Aku tidak melihat apa apa." "Bagaimana kalau kita mempromosikan, misalnya, sepatu Adidas"" Percy bertanya-tanya. "Akankah Nike lantas menunjukkan diri saking marahnya"" Leo tersenyum gugup. Mungkin dia dan Percy juga punya kesamaan lain selera humor yang tolol. "Iya, aku bertaruh itu sama seperti melanggar kesepakatan sponsornya. MEREK ITU BUKAN MITRA RESMI OLIMPIADE! MATILAH KALIAN S EKARAN G !" Hazel memutar-mutar bola matanya. "Kahan berdua konyol. Dari belakang Leo, suara menggemuruh mengguncangkan reruntuhan: "MATILAH KALIAN SEKARANG!"
Jantung Leo hampir copot. Dia membalikkan badan dan & & menendang dirinya sendiri dalam hati. Kenapa Leo malah yebut-nyebut Adidas, Dewi Sepatu KW, sih" Menjulang tinggi di atas kereta perang keemasan di hadapan leo sambil memegangi tombak yang dibidikkan ke jantungnya, Dewi Nike. []
BAB SEBELAS LEO SAYAP EMAS ITU NORAK. Leo bisa mengapresiasi kereta perang dan dua kuda putih. Dia dapat memaklumi gaun Nike yang berkilat-kilat dan tak berlengan (tiada yang menyaingi Calypso dalam gaya busana macam itu, tapi pengamatan ini tidak relevan), juga kepang rambut gelap Nike yang dikonde serta dipuncaki mahkota daun dafnah bersepuh emas. Mata sang dewi membelalak dan ekspresinya agak sinting, seperti baru minum dua puluh gelas espresso dan menumpangi roller coaster, tapi itu tidak mengusik Leo. Dia bahkan bisa menyikapi tombak bermata emas yang dibidikkan ke dadanya dengan kepala dingin. Tapi, sayap itu terbuat dari emas mengilap, sampai ke helai-helai bulu yang paling halus. Leo bisa mengagumi hasil kriya yang mumpuni, tapi sayap itu terlalu meruah, terlalu terang, terlalu berkilauan. Jika sayapnya adalah panel tenaga surya, energi listrik yang Nike produksi niscaya cukup untuk memberdayakan seisi kota Miami.
"Nyonya," kata Leo, "bisa tolong lipat sayap itu" Nyonya membuat kulit saya melepuh." "Apa"" Kepala Nike terangguk ke arah Leo seperti ayam yang terkesiap. "Oh jumbaiku yang cemerlang. Baiklah. Kurasa kau memang tidak bisa mati dalam kejayaan apabila sinar terang membutakan dan menghanguskanmu." Sang dewi melipat sayapnya. Suhu udara siang kontan turun, kembali ke temperatur normal yang mendekati lima puluh derajat. Leo melirik teman-temannya. Frank berdiri mematung sambil mengamati sang dewi. Ranselnya belum berubah menjadi busur dan wadah panah; barangkali lebih bijaksana begitu. Frank tentu tidak takut-tak
ut amat, sebab dia luput mewujud sebagai ikan emas raksasa. Hazel sedang kesulitan mengendalikan Anion. Kuda cokelat kekuningan itu meringkik dan meronta, menghindari kontak mata dengan kuda-kuda putih yang menghela kereta perang Nike. Sementara itu, Percy memegangi bolpen ajaibnya dengan bimbang, seperti sedang menimbang-nimbang hendak inengeluarkan jurus pedang atau menandatangani kereta perang Nike. Tiada yang maju untuk bicara. Leo jadi kangen pada Piper dan Annabeth, soalnya mereka pandai bicara. Leo memutuskan seseorang harus mengucapkan sesuatu kalau tidak ingin mereka semua mati dalam kejayaan. "Jadi!" Ditunjuknya Nike dengan jari telunjuk. "Saya tidak dapat pengarahan, dan saya yakin selebaran Frank juga tidak inemuat informasi menyeluruh. Bisa Nyonya beri tahu saya, sedang ada apa ini"" Tatapan Nike yang membelalak menggentarkan dirinya. Apa hidung Leo terbakar" Itu kadang-kadang terjadi ketika dia stres.
"Kita harus meraih kemenangan!" pekik sang dewi. "Pemenang harus ditentukan! Kalian datang ke sini untuk menentukan sang pemenang, bukan"" Frank berdeham. "Dewi ini Nike atau Viktoria"" "Ahhhh!" Sang dewi memegangi kepala. Kuda-kudanya mendompak, menyebabkan Anion bertindak serupa. Dewi itu bergetar dan terbelah menjadi dua citra berlainan, alhasil mengingatkan Leo akan konyolnya masa kecilnya, ketika Leo kerap berbaring di lantai apartemen dan memain-mainkan pegas pada ganjal pintu. Leo gemar menarik pegas ke belakang lalu melepaskannya: Boing! Ganjal tersebut lalu bergerak bolak-balik cepat sekali sampai-sampai kelihatannya terbelah menjadi dua kumparan yang berlainan. Begitulah penampilan Nike: ganjal pintu dewata, terbelah dua.
Di kiri, terdapat versi pertama: gaun tak berlengan yang berkilat-kilat, rambut warna gelap bermahkota daun dafnah, sayap emas terlipat di belakang tubuhnya. Di kanan, tampaklah versi lain, berpakaian perang berupa tameng dada dan pelindung tulang kering ala Romawi. Rambut pendek kemerahan menyembul dari tepi helm tinggi. Sayapnya putih halus, gaunnya ungu, sedangkan buluh tombaknya ditempeli emblem Romawi seukuran piring SPQR keemasan yang dikelilingi rangkaian daun dafnah. "Aku Nike!" seru citra di kiri. "Aku Viktoria!" seru citra sebelah kanan. Untuk kali pertama, Leo memahami istilah yang kerap diucapkan abuelo-nya: bermuka dua. Dewi ini memiliki dua wajah, secara harfiah, dan mengucapkan dua hal yang berlainan pada saat bersamaan. Dia terus-menerus bergetar dan terbelah, membuat Leo pusing. Leo tergoda untuk mengeluarkan perkakasnya dan
membetulkan katup karburator sang dewi, sebab getaran sedahsyat itu bisa-bisa menyebabkan mesinnya pecah berkeping-keping. "Akulah sang penentu kemenangan!" teriak Nike. "Dahulu aim berdiri di sini, di sudut kuil Zeus, dipuja-puji oleh semua ()rang! Aku mengawasi perlombaan di Olympia. Sesaji dari semua negara kota bertumpuk-tumpuk di kakiku!" "Perlombaan tidak relevan!" teriak Viktoria. "Akulah dewi kesuksesan di medan tempur! Panglima-panglima Romawi memujaku! Augustus sendiri mendirikan altarku di Gedung Senat!" "Ahhhh!" Kedua suara menjerit nelangsa. "Kita harus memutuskan! Kita harus meraih kemenangan!" Anion mendompak liar sekali sampai-sampai Hazel harus turun dari punggungnya agar tidak terlempar. Sebelum dia sempat menenangkan Anion, kuda itu menghilang, meninggalkan kepulan uap di antara reruntuhan. "Dewi Nike," kata Hazel sambil maju pelan-pelan, "Dewi sedang bingung, sama seperti semua dewa. Bangsa Yunani dan Romawi sudah di ambang perang. Akibatnya, kedua kepribadian Dewi berseteru." "Aku tahu itu!" Sang dewi mengguncangkan tombaknya, ujung senjata tersebut melenting jadi dua. "Aku tidak mau menerima konflik yang tidak tuntas! Siapa yang lebih kuat" Siapa yang menang"" "Tidak ada yang menang, Nyonya," kata Leo. "Kalau terjadi perang, semua orang kalah." "Tidak ada yang menang"" Nike kelihatan sangat tercengang sampai-sampai Leo meyakini bahwa hidungnya betul terbakar. "Selalu ada pemenang! Satu pemenang. Sisanya pecundang! Jika tidak, kemenangan tiada berarti. Kuduga kalian ingin aku membagi-bagikan sertifikat kepada semua pesert
a" Piala plastik mungil kepada tiap atlet atau prajurit sebagai penghargaan karena
sudah berpartisipasi" Haruskah kita semua berbaris dan berjabat tangan dan berkata kepada satu sama lain, Selamat bertanding" Tidak! Kemenangan harus sungguh-sungguh. Kemenangan harus diraih dengan perjuangan, darah, dan air mata. Kemenangan harus diraih dengan susah payah, setelah melewati jalan penuh onak dan duri, juga tidak boleh direbut oleh sembarang orang. Hanya ada satu alternatif di luar kemenangan, yaitu kekalahan." Dua kuda sang dewi saling gigit, seolah mengejawantahkan semangat barusan. "Eh ... oke," kata Leo. "Bisa saya lihat kuatnya keyakinan Nyonya akan hal itu. Tapi, perang sesungguhnya adalah melawan Gaea." "Dia benar," kata Hazel. "Dewi Nike mengemudikan kereta perang Zeus dalam perang terakhir melawan raksasa, bukan"" "Tentu saja!" "Kalau begitu, Dewi tahu bahwa Gaea adalah musuh yang sesungguhnya. Kami butuh bantuan Dewi untuk mengalahkan Gaea. Perang ini bukan antara Yunani dan Romawi." Viktoria meraung, "Bangsa Yunani harus binasa!" "Kemenangan atau ajal!" Nike melolong. "Satu pihak mesti unggul!" Frank mendengus. "Aku sudah keseringan mendengar teriakan ayahku yang seperti ini dalam kepalaku." Viktoria memelototinya. "Anak Mars, ya" Praetor Roma" Orang Romawi sejati takkan memberi ampun kepada bangsa Yunani. Aku tidak sudi terpecah belah dan kebingungan aku tidak bisa berpikir jernih! Bunuh mereka! Tuailah kemenangan!" "Tidak mau," kata Frank, kendati Leo memperhatikan bahwa mata kanan Zhang berkedut-kedut. Leo juga tengah berjuang. Nike memancarkan gelombang ketegangan, alhasil menstimulasi saraf Leo. Dia merasa seperti
Tang berjongkok di garis start, menunggu seseorang berteriak mulai Dia merasakan hasrat tak rasional untuk mencekik leher frank dengan satu tangan. Hasrat yang bodoh, sebab tangannya lalu kecil untuk melingkupi leher Frank. "Begini, Nona Kemenangan ..." Percy mencoba tersenyum. kami tidak ingin mengusik kegilaan Nona. Mungkin Nona bisa menyelesaikan percakapan dengan diri sendiri. Biar kami datang lagi nanti sambil membawa, emm, senjata yang lebih besar dan harangkali obat penenang." Sang dewi mengacungkan tombaknya. "Kahan yang akan menuntaskan perkara ini, untuk sekali ini dan selamanya! Hari ini sekarang, kalianlah yang akan menentukan sang pemenang! Kahan berempat" Bagus sekali! Akan kita buat tim. Barangkali perempuan versus laki-laki!" Hazel berujar, "Eh ... tidak ah." "Berbaju versus telanjang dada!" "Jelas tidak," kata Hazel. "Yunani versus Romawi!" pekik Nike. "Ya, tentu saja! Dua lawan dua. Demigod yang terakhir berdiri menang. Yang lain akan coati dalam kejayaan." Semangat kompetitif menjalari sekujur tubuh Leo. Dia perlu berusaha sekuat tenaga supaya tidak meraih sabuk perkakasnya, menyambar martil, dan melesakkan kepala Hazel serta Frank. Leo menyadari betapa tepat keputusan Annabeth untuk tidak mengutus siapa pun yang orangtuanya adalah rival alami. Jika Jason berada di sini, dia dan Percy mungkin sudah berguling-guling di tanah, saling jotos sampai otak mereka terburai. Leo memaksa diri agar merentangkan tangannya yang terkepal. "Dengar ya, Nyonya, kami tidak sudi diadu seperti di Hunger Games. itu takkan terjadi."
"Tapi, kalian akan memenangi penghargaan luar biasa!" Nike meraih keranjang di sampingnya dan mengeluarkan mahkota dari jejalin tebal daun dafnah. "Mahkota daun ini dapat menjadi milik kalian! Kalian bisa mengenakannya di kepala! Pikirkanlah kejayaan yang bisa kalian kecap!" "Leo benar," kata Frank, meskipun matanya terpaku ke mahkota tersebut. Di mata Leo, ekspresi Frank tampak kelewat rakus. "Kami tidak mau melawan satu sama lain. Yang kami lawan adalah para raksasa. Dewi semestinya menolong kami." "Baiklah!" Sang dewi mengangkat mahkota daun dafnah dengan satu tangan dan tombak dengan tangan satunya lagi. Percy dan Leo bertukar pandang. "Anu apa maksudnya Dewi bersedia bergabung dengan kami"" tanya Percy. "Dewi bersedia membantu kami melawan para raksasa"" "Itu akan menjadi bagian dari hadiah," kata Nike. "Siapa pun yang menang, akan kupertimbangkan kalian sebagai
sekutu. Kita akan bertarung melawan bangsa raksasa bersama-sama dan akan kuanugerahkan kemenangan kepada kalian. Tapi, pemenang hanya ada satu. Yang lain mesti dikalahkan, tewas, dihabisi. Jadi, apa keputusan kalian, Demigod" Akankah kalian sukses dalam misi, ataukah kalian akan berpegang teguh pada ide cengeng mengenai persahabatan dan penghargaan kepesertaan yang dimenangi semua"" Percy mencabut bolpennya. Riptide membesar menjadi pedang perunggu langit. Leo khawatir Percy bakal menebaskan pedangnya kepada mereka. Aura Nike sesulit itu untuk dihalau. Namun demikian, Percy ternyata mengacungkan pedangnya ke arah Nike. "Bagaimana kalau kami bertarung melawan Dewi saj a""
"Ha!" Mata Nike berbinar-binar. "Jika kalian menolak melawan satu sama lain, kalian akan dibujuk!" Nike membentangkan sayapnya yang keemasan. Empat bulu logam melayang ke bawah, dua helai di tiap sisi kereta perang. iulu-bulu itu berpuntir seperti pesenam, membesar, mencuatkan lengan dan tungkai, sampai mereka menyentuh tanah sebagai empat replika dewi metalik seukuran manusia, masing-masing bersenjatakan tombak keemasan dan mahkota daun dafnah perunggu langit yang mirip sekali dengan Frisbee kawat berduri. "Ke stadion!" seru sang dewi. "Kahan punya waktu lima menit untuk bersiap-siap. Kemudian, darah akan tertumpah!"
Leo hendak berkata, Kalau kami menolak ke stadion, bagaimana" Dia memperoleh jawaban sebelum bertanya. "Larilah!" raung Nike. "Jika kalian tidak mau ke stadion secara sukarela, Nikai-ku akan membunuh kalian di tempat!" Para wanita logam membuka rahang lebar-lebar dan menyemburkan suara senyaring penonton sestadion plus gemanya. Mereka mengguncangkan tombak dan menyerang keempat demigod. Ini bukanlah momen paling membanggakan dalam hidup Leo. Rasa panik menguasainya dan dia pun kabur. Satu-satunya penghiburan adalah karena teman-teman Leo kabur j uga padahal mereka bukan tipe pengecut. Keempat wanita logam membentuk setengah lingkaran renggang sembari melesat di belakang mereka, menggiring para demigod ke timur laut. Semua wisatawan telah lenyap. Barangkali mereka kabur ke museum nyaman yang berpenyejuk udara, atau mungkin Nike entah bagaimana telah memaksa mereka pergi. Para demigod berlari, tersandung batu-batu, melompati tembok runtuh, menghindari pilar-pilar dan papan informasi.
Di belakang mereka, roda kereta perang Nike menggemuruh dan kuda-kudanya meringkik. Tiap kali Leo mempertimbangkan untuk melambat, para wanita logam menjerit lagi kata Nike siapa nama mereka: Nikai" Nikette" alhasil mencekam Leo dengan rasa ngeri. Dia benci dicekam rasa ngeri. Memalukan. "Di sana!" Frank berlari cepat ke semacam parit di antara dua dinding lempung dengan pelengkung batu di atasnya. Bangunan tersebut mengingatkan Leo pada terowongan yang dilalui tim olahraga ketika memasuki lapangan. "Itu jalan masuk ke stadion Olimpiade yang lama. Namanya krypte!" "Bukan nama yang bagus!" Leo berteriak. "Kenapa kita ke sana"" Percy tersengal-sengal. "Kalau dia ingin kita ke sana " Para Nikette menjerit-jerit lagi dan seluruh pikiran rasional meninggalkan Leo. Dia lari ke terowongan. Setibanya mereka di pelengkung, Hazel berteriak, "Tunggu dulu!" Mereka berhenti mendadak. Percy terbungkuk-bungkuk sambil terengah. Leo menyadari bahwa Percy tampaknya lebih mudah lelah dewasa ini barangkali gara-gara udara asam pekat yang terpaksa dia hirup di Tartarus. Frank menengok kembali ke belakang. "Aku tidak melihat mereka lagi. Mereka lenyap." "Apa mereka menyerah"" tanya Percy penuh harap. Leo menelaah reruntuhan. "Tidak mungkin. Mereka cuma menggiring kita ke tempat yang mereka inginkan. Mereka itu apa sih" Nikette barusan, maksudku." "Nikette"" Frank garuk-garuk kepala. "Setahuku nama mereka Nikai, bentuk jamak dari Nike, kemenangan."
"Ya." Hazel mengelus pelengkung batu, kelihatannya tengah larut dalam permenungan. "Dalam sejumlah legenda, Nike memiliki pasukan beranggotakan kemenangan-kemenangan kecil yang dia utus ke sepenjuru dunia untuk melaksanakan perintahnya." "Seperti para kurcaci pembantu Sinterklas," ujar Percy. "Hanya saja jahat. Dan terbuat dari logam.
Dan sangat berisik." Hazel menekan jemari ke pelengkung, seolah meraba denyut nadinya. Di balik terowongan sempit, dinding lempung terbuka ke sebuah lapangan panjang yang sisi-sisinya meninggi landai, seperti area duduk untuk penonton. Leo menerka tempat ini adalah stadion terbuka pada zaman dahulu kala cukup besar untuk menggelar perlombaan lempar cakram, tangkap lembing, tolak peluru telanjang, atau apalah yang dikerjakan oleh orang-orang Yunani sinting itu dulu demi memenangi rangkaian daun. "Hantu bersemayam di tempat ini," Hazel bergumam. "Demikian banyak kepedihan yang terpatri dalam bebatuan ini." "Tolong katakan padaku kau punya rencana," kata Leo. "Lebih bagus yang tidak mengharuskanku mematrikan kepedihanku ke dalam batu." Mata Hazel mendung dan menerawang, seperti di Gerha Hades seakan-akan dia sedang memicingkan pandang ke lapisan realitas yang berbeda. "Ini adalah jalan masuk peserta. Nike bilang kita punya waktu lima menit untuk mempersiapkan diri. Kemudian dia mengharapkan kita untuk melintasi pelengkung ini dan memulai permainan. Kita takkan diperbolehkan meninggalkan lapangan itu sampai tiga orang di antara kita mati." Percy bertopang pada pedangnya. "Aku lumayan yakin bahwa pertarungan sampai mati tidak termasuk cabang olahraga Olimpiade."
"Hari ini termasuk," gumam Hazel. "Tapi, aku mungkin bisa memberi kita keuntungan. Sewaktu kita melintas, aku bisa mendirikan sejumlah rintangan di lapangan persembunyian tempat kita bisa mengulur-ulur waktu." Frank mengerutkan kening. "Maksudmu seperti di Lapangan Mars parit, terowOngan, yang semacam itu" Kau bisa melakukan itu dengan memanipulasi Kabut"" "Kurasa begitu," ujar Hazel. "Nike barangkali ingin melihat" jalur rintangan. Aku bisa memanfaatkan keinginannya untuk merugikannya sendiri. Tapi, bisa lebih dari sekadar itu. Aku bisa memanfaatkan gerbang bawah tanah mana saja bahkan pelengkung ini untuk mengakses Labirin. Aku bisa mengangkat bagian dari Labirin ke permukaan tanah." "Hei, hei, hei." Percy memberi isyarat supaya Hazel diam. "Labirin berbahaya. Kita sudah mendiskusikan ini." "Hazel, Percy benar." Leo ingat sekali betapa Hazel membimbingnya melewati labirin khayal di Gerha Hades. Mereka hampir mati tiap dua meter sekali. "Maksudku, aku tabu kau piawai menyihir. Tapi, sudah ada empat Nikette menjerit-jerit yang perlu kita khawatirkan " "Kahan mesti memercayaiku," ujar Hazel. "Sisa waktu kita sekarang tinggal beberapa menit. Ketika kita melintasi pelengkung ini, setidaknya perkenankan aku memanipulasi medan pertandingan demi keuntungan kita." Percy mengembuskan napas lewat hidung. "Dua kali aku dipaksa bertarung di stadion satu kali di Roma dan sebelum itu di dalam Labirin. Aku benci bermain-main untuk menghibur orang lain." "Kita semua juga tidak suka," kata Hazel. "Tapi, kita harus membuat Nike kehilangan kewaspadaan. Biarlah kita pura-pura
bertarung sampai kita bisa menetralisir para Nikette ih, nama yang jelek. Lalu kita kekang Nike, seperti kata Juno." "Masuk akal," Frank sepakat. "Kalian merasakan betapa perkasanya Nike, Ian"! Dia mencoba menyebabkan kita naik darah, ingin menghajar satu sama lain. Kalau dia mengirimkan aura tadi kepada semua demigod Yunani dan Romawi, mustahil kita bisa mencegah perang. Kita harus mampu mengendalikan Nike." "Bagaimana tepatnya cara melakukan itu"" tanya Percy. "Getok kepalanya dan masukkan dia dalam karung"" Mental Leo mulai pindah ke gigi satu. "Sebenarnya," kata Leo, "usulmu tidak jelek-jelek amat. Paman Leo kebetulan membawa mainan untuk kalian demigod-demigod mungil."[]
BAB DUA BELAS LEO WAKTU DUA MENIT TIDAK CUKUP. Leo berharap semoga dia sudah memberi teman-temannya alat yang tepat dan penjelasan memadai mengenai fungsi seluruh tombol. Jika tidak, bisa celaka. Selagi Leo menguliahi Frank dan Percy tentang mekanika Archimedes, Hazel menatap pelengkung batu dan berkomat-kamit. Kelihatannya tiada yang berubah di lapangan rumput besar, tapi Leo yakin Hazel sudah menyiapkan Trik-trik Asyik di sana. Leo sedang menjelaskan kepada Frank cara agar tidak dipenggal oleh bola Archimedes-nya sendiri ketika bunyi tr
ompet berkumandang di stadion. Kereta perang Nike muncul di lapangan, para Nikette berbaris di depannya dengan tombak dan daun dafnah terangkat. "Mulai!" sang Dewi menggerung. Percy dan Leo berlari melalui pelengkung. Lapangan tersebut serta-merta berdenyar dan menjadi labirin yang terdiri dari tembok bata serta parit. Mereka menunduk ke balik tembok terdekat dan
lari ke kiri. Di pelengkung, Frank berteriak, "Eh, matilah, Graecus sialan!" Panah yang bidikannya sama sekali tidak jitu melejit di atas kepala Leo. "Yang lebih brutal!" teriak Nike. "Bunuh yang serius!" Leo melirik Percy. "Siap"" Percy mengangkat granat perunggu. "Kuharap kau memasang label dengan benar." Dia berteriak, "Matilah, Orang Romawi!" dan melontarkan granat tersebut ke balik tembok. DUAR! Leo tidak bisa melihat ledakan, tapi wangi berondong jagung berlumur mentega menguar di udara. "Aduh, gawat!" lolong Hazel "Berondong jagung! Kelemahan fatal kami!" Frank kembali menembakkan panah ke atas kepala mereka. Leo dan Percy bergegas-gegas ke kiri, menunduk melewati labirin tembok yang seolah bergeser dan berbelok-belok sendiri. Leo masih bisa melihat langit terbuka di atasnya, tapi klaustrofobia mulai meruyak, menyebabkan dirinya sulit bernapas. Di suatu tempat di belakang mereka, Nike berteriak, "Berusahalah lebih keras! Berondong jagung itu tidak mematikan!" Dari gemuruh roda kereta perang sang dewi, Leo menebak Nike sedang mengelilingi perimeter lapangan Kemenangan tengah melakukan parade kemenangan. Granat lagi-lagi meledak di atas kepala Percy dan Leo. Mereka menukik ke dalam parit saat percikan hijau api Yunani menggosongkan rambut Leo. Untungnya, Frank membidik cukup tinggi sehingga ledakan itu kelihatannya saja mengesankan. "Mendingan," seru Nike, "tapi payah benar bidikan kalian. Tidakkah kalian menginginkan mahkota daun ini"" "Coba kalau sungainya dekat," gumam Percy. "Aku ingin menenggelamkan dewi itu." "Sabarlah, Bocah Air."
"Jangan panggil aku bocah air." Leo menunjuk ke seberang lapangan. Tembok telah bergeser, menampakkan salah satu Nikette pada jarak hampir tiga puluh meter jauhnya, berdiri sambil memunggungi mereka. Hazel pasti sedang melakukan keahliannya memanipulasi labirin untuk mengisolasi target mereka. "Aku mengalihkan perhatian," kata Leo, "kau menyerang. Siap"" Percy mengangguk. "Maju." Percy melesat ke kiri, sedangkan Leo mengeluarkan palu dari sabuk perkakasnya dan berteriak, "Hei, Pantat Perunggu!" Si Nikette membalikkan badan saat Leo melempar. Palunya menggebuk dada si wanita logam hingga berkelontangan tanpa melukainya, tapi dia pasti jengkel. Dia berderap menghampiri Leo sambil mengangkat daun dafnah kawat berduri. "Ups." Leo menunduk saat lingkaran logam itu berputar-putar melampaui kepalanya. Karangan daun tersebut menabrak tembok di belakang Leo, melubangi bata, kemudian berbalik arah di udara seperti bumerang. Selagi si Nikette mengangkat tangan untuk menangkap lingkaran tersebut, Percy keluar dari park di belakangnya dan menyabetkan Riptide, membelah si Nikette jadi dua di bagian pinggang. Karangan daun logam melejit melewati Percy dan menancap di pilar marmer. "Pelanggaran!" seru sang Dewi Kemenangan. Tembok-tembok bergeser dan Leo melihat Nike menerjangkan kereta perangnya ke arah mereka. "Kahan tidak boleh menyerang Nikai kecuali kalian ingin mati!" Parit muncul di jalur yang dilalui sang dewi, menyebabkan kuda-kudanya mundur. Leo dan Percy lari untuk berlindung. Dari ekor matanya, barangkali lima belas meter jauhnya, Leo melihat Frank si beruang grizzly meloncat dari puncak tembok
dan menggepengkan seorang Nikette lagi. Dua Pantat Perunggu Judah tumbang, tinggal dua lagi. "Tidak!" jerit Nike murka. "Tidak, tidak, tidak! Tamat riwayat kalian sekarang! Nikai, serang!" Leo dan Percy melompat ke belakang tembok. Mereka menggelepar di sana sejenak, mencoba menstabilkan napas. Leo gamang menentukan arah, tapi dia menerka itu memang bagian dari rencana Hazel. Dia mentransformasikan bentang alam di sekeliling mereka membuka park baru, mengubah kemiringan tanah, mendirikan tembok dan pilar anyar. Dengan sedikit keberunt
ungan, Hazel bakal semakin menyusahkan para Nikette dalam menemukan mereka. Untuk mengarungi jarak enam meter belaka, mereka mungkin bakal butuh waktu beberapa menit. Meski begitu, Leo benci merasa hilang arah. Dia jadi teringat akan ketidakberdayaannya di Gerha Hades ketika Clytius mengurungnya dalam kegelapan, memadamkan apinya, merasuki suaranya. Dia jadi teringat akan Khione, yang menebasnya keluar dari geladak Argo II dengan tiupan angin dan melemparkannya ke seberang Laut Mediterania. Berbadan ceking dan lemah saja sudah payah. Jika Leo tidak bisa mengendalikan indranya sendiri, suaranya sendiri, tubuhnya sendiri tiada lagi yang dapat dia andalkan. "Hei," kata Percy, "kalau kita tidak bisa keluar dari sini dengan sela " "Tutup mulutmu, Bung. Kita pasti bisa." "Kalau tidak, aku ingin kau tahu aku tidak enak hati pada Calypso. Aku sudah mengecewakannya." Leo menatap Percy sambil bengong. "Kau tahu soal aku dan " "Argo II kapal yang kecil." Percy meringis. "Kabar cepat tersebar. Aku cuma pokoknya, sewaktu di Tartarus, aku teringat
bahwa aku tidak menepati janjiku pada Calypso. Aku meminta dewa-dewi untuk membebaskannya dan kemudian aku tidak mengecek ulang. Aku semata-mata mengasumsikan bahwa dewa-dewi sudah membebaskan Calypso. Gara-gara aku kena amnesia dan dikirim ke Perkemahan Jupiter, aku jarang sekali memikirkan Calypso sesudah itu. Aku bukannya ingin cari-cari alasan. Aku seharusnya memastikan bahwa dewa-dewi menepati janji mereka. Singkat kata, aku bersyukur kau menemukannya. Kau berjanji akan mencari cara untuk kembali kepadanya dan aku cuma ingin bilang, kalau kita memang selamat dari semua ini, akan kulakukan apa saja untuk membantumu. Janji yang itu pasti akan kutepati." Leo tidak bisa berkata-kata. Keadaan mereka sedang gawat, bersembunyi di belakang tembok di tengah-tengah medan perang magis, mesti mengkhawatirkan granat dan beruang grizzly serta Nikette Berpantat Perunggu, tapi Percy malah mengungkit-ungkit coal ini. "Bung, masalahmu apa sih"" gerutu Leo. Percy mengerjapkan mata. kita tidak damai nih"" "Tentu saja kita tidak damai! Kau sama parahnya seperti si Jason! Aku ingin membencimu karena keserbasempurnaanmu dan kepahlawananmu dan lain-lain. Kemudian kau malah berlagak seperti pelawak. Mana mungkin aku membencimu kalau kau minta maaf dan berjanji menolong dan sebagainya"" Senyum terkulum di mulut Percy. "Sori, ya." Tanah menggemuruh saat granat lagi-lagi meledak, men-cipratkan krim kocok ke angkasa. "Itu kode dari Hazel," kata Leo. "Mereka sudah menjatuhkan satu Nikette lagi." Percy mengintip dari balik sudut tembok. Sampai saat ini, Leo tidak menyadari betapa sebal dirinya pada Percy. Cowok itu senantiasa mengintimidasinya sedan dulu. Mengetahui bahwa Calypso pernah naksir Percy menyebabkan
kekesalan Leo bertambah sepuluh kali lipat. Tapi kini, amarah yang melilit-lilit di perutnya mulai mengendur. Percy orang yang mustahil untuk tidak disukai. Percy sepertinya tulus merasa menyesal dan ingin membantu. Lagi pula, Leo akhirnya mendapat konfirmasi bahwa Percy Jackson tidak menyimpan perasaan khusus pada Calypso. Kebimbangan sudah jernih. Kini Leo hanya perlu mencari jalan untuk kembali ke Ogygia. Dan dia pasti bisa, dengan asumsi dirinya mampu bertahan hidup sepuluh hari ke depan. "Tinggal satu Nikette," kata Percy. "Aku bertanya-tanya " Dari dekat sana, Hazel memekik kesakitan. Leo serta-merta bangkit. "Bung, tunggu dulu!" seru Percy, tapi Leo keburu menjerumus-kan diri ke dalam labirin, jantungnya berdegup kencang. Tembok ambruk di kanan-kirinya. Leo mendapati dirinya di lapangan terbuka. Frank berdiri di ujung jauh stadion, menembakkan panah api ke kereta perang Nike sementara sang dewi meraungkan hinaan dan mencoba mencari jalur ke arah Frank di jejaring pant yang tak henti-henti berubah. Posisi Hazel lebih dekat mungkin delapan belas meter dari Leo. Nikette keempat kentara sekali telah menyergapnya. Hazel terpincang-pincang menjauhi penyerangnya, jinsnya robek, kaki kirinya berdarah. Dia menangkis tombak si wanita logam dengan pedang kavalerinya yang besar, tapi Hazel sudah nyaris talduk. D
i sekeliling gadis itu, Kabut berkedip-kedip seperti lampu disko yang hendak padam. Selain itu, dia kehilangan kontrol atas labirin magis. "Akan kutolong Hazel," kata Percy. "Kau jalankan rencana semula. Hampiri kereta perang Nike." "Tapi, rencana kita adalah menghabisi keempat Nikette terlebih dahulu!"
"Kalau begitu, ganti rencana dan kemudian jalankan rencana itu!" "Ucapanmu bahkan tidak masuk akal, tapi pergi sana! Bantu Hazel!" Percy bergegas melindungi Hazel. Leo melesat ke arah Nike sambil meneriakkan, "Hei! Saya mau penghargaan keikutsertaan!" "Bah!" sang dewi menarik kekang dan memutar kereta perang ke arah Leo. "Akan kubinasakan kau!" "Bagus!" teriak Leo. "Mending kalah daripada menang!" `APA""Nike melemparkan tombaknya yang mahabesar, tapi bidikannya meleset gara-gara guncangan kereta perang. Senjata tersebut justru menancap ke rumput. Sayangnya, tombak baru muncul di tangannya. Sang dewi mendesak kuda-kudanya agar berlari dengan kecepatan penuh. Parit-parit menghilang, menyisakan lapangan terbuka, medan yang sempurna untuk menggilas demigod Latino mungil. "Hei!" teriak Frank dari seberang stadion. "Saya ingin peng-hargaan keikutsertaan juga! Semua peserta menang!" Dia dengan jitu menembakkan panah yang mendarat di bagian belakang kereta perang Nike dan mulai terbakar. Nike mengabaikan panah tersebut. Matanya terpaku pada Leo. "Percy ... "" Suara Leo kedengaran seperti cicit hamster. Dari sabuk perkakasnya, Leo mengeluarkan bola Archimedes dan memutar setelan konsentris untuk mempersenjatai alat itu. Percy masih berduel dengan wanita logam yang terakhir. Leo tidak bisa menunggu. Dia melemparkan bola itu ke lintasan kereta perang. Bola tersebut jatuh dan terbenam di tanah, tapi dia membutuhkan Percy untuk memasang jebakan. Kalaupun Nike merasakan ancaman, dewi itu rupanya tidak peduli. Dia terus menerjang ke arah Leo.
Kereta perang tinggal enam meter dari granat. Empat meter. "Percy!" teriak Leo. "Operasi Balon Air!" Sayangnya, Percy sedang sibuk dihajar. Si Nikette cmukulnya ke belakang dengan popor tombak. Makhluk logam int melemparkan karangan daun dafnah dengan teramat keras ...unpai-sampai pedang Percy terlepas dari genggamannya. Percy terantuk. Si wanita logam mendekat untuk melancarkan serangan penghabisan. Leo meraung. Dia tahu jarak mereka terlampau jauh. Dia tahu jika sekarang tidak melompat untuk menyingkir, Nike bakal menabraknya. Tapi, itu tak jadi soal. Temannya hendak disate. Leo mengulurkan tangan dan menembakkan sambaran api putih membara tepat ke arah si Nikette. Api praktis melelehkan wajahnya. Si Nikette terhuyung-huyung, tombaknya masih terangkat. Sebelum dia sempat memulihkan keseimbangan, Hazel menghunjamkan spatha-nya dan menyula dada si wanita logam. Si Nikette seketika roboh ke rumput. Percy memutar badan untuk menghadap ke kereta perang Dewi Kemenangan. Tepat saat kuda-kuda putih besar itu hendak menggilas Leo sampai gepeng, kereta perang melindas granat Leo yang tertanam di tanah. Granat itu serta-merta meledak, menghasilkan geyser bertekanan tinggi. Air menyembur ke atas, membalikkan kendaraan kedua kuda, kereta, dewi, dan seluruh komponennya. Di Houston dulu, Leo tinggal dengan ibunya di apartemen tidak jauh dari pintu tol Gulf Freeway. Dia mendengar tabrakan mobil setidaknya sekali seminggu, tapi bunyi ini lebih parah perunggu langit yang remuk, kayu meretih, kuda jantan yang meringkik, dan dewi yang melolong dengan dua suara berlainan, sama-sama sangat terkejut.
Hazel kolaps. Percy menangkapnya. Frank lari menghampiri mereka dari seberang lapangan. Leo seorang diri saat Dewi Nike melepaskan diri dari puing-puing kendaraan dan bangkit untuk menghadapnya. Kepang rambutnya yang dikonde kini menyerupai pai gepeng. Mahkota daun dafnah tersangkut di pergelangan kaki kirinya. Kuda-kuda sang dewi bangun, lantas kabur karena panik sembari menyeret puing-puing kereta yang basah dan setengah terbakar di belakang mereka. "KAU!" Nike memelototi Leo, matanya lebih membara dan lebih terang daripada sayap logamnya. "Berani-beraninya kau"" Leo tidak merasa berani-berani amat, tapi dia memaksa
kan diri untuk tersenyum, "Iya, ya"! Saya memang keren! Apa saya sudah memenangi topi daun"" "Kau akan mati!" Sang dewi mengangkat tombaknya. "Tahan dulu pemikiran itu!" Leo merogoh sabuk perkakasnya. "Nyonya belum melihat trik saya yang terbaik. Saya punya senjata yang dijamin dapat memenangi perlombaan mana saja!" Nike ragu-ragu. "Senjata apa" Apa maksudmu"" "Senapan saya yang paling ampuh!" Leo mengeluarkan bola Archimedes kedua yang dia modifikasi dalam kurun tiga puluh detik sebelum mereka memasuki stadion. "Berapa mahkota daun dafnah yang Nyonya punya" Soalnya, saya akan memenangi semuanya. Leo memutar-mutar kenop, berharap kalkulasinya sudah benar. Dia sudah semakin piawai membuat bola, tapi bola buatan Leo belum dapat diandalkan sepenuhnya. Cuma dua puluh persen dapat diandalkan. Pasti menyenangkan jika dibantu Calypso memintal benang-benang perunggu langit. Gadis itu jago memintal. Atau Annabeth:
dia juga tidak payah. Tapi Leo telah berusaha semaksimal mungkin, menyambung ulang kabel-kabel bola sehingga memiliki dua fungsi yang sama sekali berlainan. "Saksikanlah!" Leo memutar kenop terakhir. Bola pun terbuka. Satu sisi memanjang menjadi gagang pistol. Sisi satunya lagi terbuka menjadi parabola miniatur dari cermin perunggu langit. Nike mengerutkan kening. "Itu apa"" "Laser maut Archimedes!" kata Leo. "Saya akhirnya menyempurnakan senjata ini. Sekarang, beri saya semua hadiah." "Benda semacam itu tidak berguna!" teriak Nike. "Para ahli sudah membuktikannya di televisi! Lagi pula, aku ini dewi yang kekal. Kau tidak bisa membinasakanku!" "Perhatikan baik-baik," kata Leo. "Apa Nyonya mem-perhatikan"" Nike bisa saja menghancurkan Leo menjadi noda minyak atau menombaknya seperti keju, tapi rasa penasaran sang dewi lebih unggul. Dia menatap piringan perunggu langit lekat-lekat sementara Leo menekan sakelar. Leo tahu harus berpaling. Meski begitu, sorot cahaya yang menyilaukan menyebabkan penglihatannya bebercak-bercak hitam. "Bah!" Sang dewi terhuyung-huyung. Dia menjatuhkan tombak dan menutupi matanya. "Aku buta! Aku buta!" Leo menekan satu tombol lagi pada laser mautnya. Benda tersebut kembali menjadi bola dan mulai berdengung. Leo menghitung sampai tiga dalam hati, lalu melemparkan bola tersebut ke kaki sang dewi. BUM! Benang-benang logam melejit ke atas, membelit Nike dalam jaring perunggu. Sang dewi meraung-raung, jatuh ke samping saat jaring semakin kencang, memaksa kedua wujudnya
Yunani dan Romawi menjadi satu kesatuan yang buram dan menggeletar. "Tipu daya!" Suara ganda sang dewi berdengung seperti jam alarm yang teredam. "Laser mautmu bahkan tidak membunuhku!" "Saya tidak perlu membunuh Nyonya," kata Leo. "Yang penting, saya sudah mengalahkan Nyonya." 'Akan kuubah saja wujudku!" jerit Nike. "Akan kurobek-robek jaringmu yang tolol! Akan kuhancurkan kau!" "Iya deh, tapi masalahnya, Nyonya tidak akan bisa." Leo berharap ucapannya benar. "Itu jaring perunggu langit bermutu tinggi, sedangkan saya putra Hephaestus. Ayah saya pakar dalam menjaring dewi." "Tidak. Tidaaaak!" Leo membiarkan Nike meronta-ronta dan mengumpat, kemudian menghampiri teman-temannya untuk mengecek keadaan mereka. Percy kelihatannya baik-baik saja, cuma ngilu dan memar-memar. Frank menopang Hazel dan menyuapinya ambrosia. Luka sayat di kaki Hazel telah berhenti berdarah, meskipun jinsnya robek di mana-mana. "Aku baik-baik saja," kata gadis itu. "Hanya kebanyakan menyihir." "Kau keren, Levesque." Leo menirukan Hazel sebisa mun "Berondong jagung! Kelemahan fatal kami!" Hazel tersenyum lesu. Bersama-sama, mereka berempat berjalan menghampiri Nike, yang masih menggeliat-geliut dan mengepakkan sayap dalam jaring, seperti ayam raksasa. 'Akan kita apakan dia"" tanya Percy. "Bawa dia naik ke Argo II," ujar Leo. "Masukkan dia ke kandang kuda." Mata Hazel membelalak. "Kau hendak mengurung Dewi Kemenangan dalam istal""
"Kenapa tidak" Begitu kita membereskan masalah antara bangsa Yunani dan Romawi, dewa-dewi semestinya akan pulih ke kondisi normal mereka. Lalu kita bisa membebaskan Nike dan dia bisa kalian tahulah menganugerahi kita kemenangan." "Meng
anugerahi kalian kemenangan"" seru sang dewi. "Tidak akan pernah! Kalian akan mendapat balasan atas kekurangajaran ini! Darah kalian akan tertumpah! Salah satu dari kalian satu dari kalian berempat ditakdirkan mati selagi melawan Gaea!" Organ pencernaan Leo melilit-lilit sedemikian rupa hingga membentuk simpul mati. "Nyonya tahu dari mana"" "Aku bisa menerawang kemenangan!" teriak Nike. "Kalian takkan bisa mencapai kesuksesan tanpa kematian! Lepaskan aku dan bertarunglah sesama kalian sendiri! Lebih baik kalian mati di sini daripada menghadapi yang akan terjadi!" Hazel menodongkan ujung spatha-nya ke bawah dagu Nike. "Jelaskan." Suaranya lebih galak daripada yang pernah Leo dengar. "Siapa di antara kami yang akan mati" Bagaimana cara kami mencegahnya"" "Ah, Anak Pluto! Sihirmu membantu kalian mencurangi pertandingan ini, tapi kau tidak bisa mencurangi takdir. Salah seorang dari kalian akan mati. Salah seorang dari kalian harus mati!" "Tidak," Hazel bersikeras. "Pasti ada cara lain. Selalu ada jalan lain." "Demikiankah yang Hecate ajarkan kepadamu"" Nike tertawa. "Kau mengharapkan obat dari tabib, barangkali" Tapi, itu mustahil. Terlalu banyak rintangan yang menghalangi jalan kalian: racun Pylos, detak jantung sang dewa yang dirantai di Sparta, kutukan Delos! Tidak, kalian tak bisa mencurangi maut."
Frank berlutut. Dia menggenggam jaring di bawah dagu Nike dan menarik wajah sang dewi sehingga berhadapan dengannya. "Apa maksud Dewi" Bagaimana caranya mencari obat yang Dewi sebut barusan"" "Aku takkan membantu kalian," geram Nike. "Akan kukutuk kalian dengan kesaktianku, tidak peduli aku dijaring atau tidak!" Dia mulai berkomat-kamit dalam bahasa Yunani Kuno. Frank mendongak dengan muka cemberut. "Apa dia benar-benar bisa merapalkan sihir dari balik jaring ini"" "Entahlah," kata Leo. Frank menurunkan sang dewi. Pemuda itu melepas salah satu sepatunya, mencopot kaus kaki, dan menjejalkannya ke mulut sang dewi. "Bung," kata Percy, "itu sungguh menjijikkan." "Hmmmmh!" Nike memprotes. "Hmmmmhhh!" "Leo," kata Frank muram, "kau punya selotip"" "Tak pernah meninggalkan rumah tanpa selotip. Leo mengambil segulung selotip dari sabuk perkakas dan sekejap kemudian, Frank sudah melilit kepala Nike dengan perekat, alhasil mengamankan sumpal dalam mulutnya. "Memang bukan mahkota daun dafnah," tukas Frank, "tapi ini semacam mahkota kemenangan yang baru: sumpal yang dililit selotip." "Zhang," kata Leo, "aku suka gayamu." Nike meronta-ronta dan menggerung sampai Percy menyenggolnya dengan ujung kaki. "Hei, diam dong. Kalau Dewi rewel terus, akan kami panggil Anion kembali ke sini dan persilakan dia menggigiti sayap Dewi. Dia menggemari emas." Nike memekik sekali, lalu diam membisu. "Jadi ..." Hazel kedengarannya agak gugup. "Kita sudah mengamankan seorang dewi yang terikat. Sekarang apa""
Frank bersedekap. "Kita cari obat dari tabib apa pun itu. Soalnya, aku pribadi suka mencurangi maut." Leo menyeringai. "Racun di Pylos" Detak jantung dewa yang dirantai di Sparta" Kutukan di Delos" Sip! Bahian asyik nih!"[]
BAB TIGA BELAS NICO HAL TERAKHIR YANG NICO DENGAR adalah suara Pak Pelatih Hedge yang menggerutu, "Wah, ini tidak bagus." Nico bertanya-tanya apa kesalahannya kali ini. Mungkin dia meneleportasikan mereka ke sarang Cyclops, atau lagi-lagi ke seribu kaki di atas gunung berapi. Tiada yang dapat dia lakukan. Penglihatannya gelap. Indranya yang lain tidak berfungsi. Lututnya lemas dan dia pun pingsan. Dia berusaha untuk memanfaatkan ketidaksadarannya. Mimpi dan maut adalah kawan lama Nico. Dia tabu caranya mengarungi perbatasan gelap keduanya. Dia meluaskan pikiran demi mencari Thalia Grace. Nico melesat cepat kala melewati kepingan memori menyakitkan yang biasa ibu yang memandanginya sambil tersenyum dengan wajah diterangi pendar mentari di Kanal Utama Venesia; kakaknya, Bianca, yang tertawa sambil menggandengnya menyeberangi National Mall di Washington, D.C., topi hijau Bianca yang berkelepai meneduhi matanya dan bintik-bintik di hidungnya. Nico melihat Percy Jackson di tebing bersalju di
Iuar Westover Hall, melindungi Nico dan Bian
ca dari manticore scmentara Nico mencengkeram figurin Mythomagic erat-erat sambil membisikkan, Aku takut. Dia melihat Minos, mentor hantunya, yang membimbing Nico melewati Labirin. Senyum Minos dingin dan keji. Jangan khawatir, Putra Hades. Kau akan membalaskan dendammu. Nico tidak bisa menghentikan rentetan memori itu. Kenangan demi kenangan menyesaki mimpinya bagai hantu-hantu di Padang Asphodel kerumunan jiwa yang keluyuran tak tentu arah, memelas-melas pilu demi meminta perhatian. Selamatkan aku, mereka seakan berbisik. Kenanglah aku. Tolonglah aku. Hiburlah aku. Dia tidak berani berhenti untuk menekuri kenangan-kenangan tersebut. Semuanya semata-mata akan meluluhlantakkan Nico dengan keinginan dan penyesalan. Yang terbaik yang bisa dia lakukan hanyalah tetap memusatkan fokus dan melaju terus. Aku putra Hades, pikirnya. Aku bisa pergi ke mana pun aku suka. Kegelapan adalah hak lahirku. Nico terus merangsek ke dalam medan kelabu dan hitam, mencari-cari mimpi Thalia Grace, putri Zeus. Akan tetapi, tanah terbuyarkan di bawah kakinya dan dia jatuh ke wilayah terpencil yang sudah tak asing lagi Pondok Hypnos di Perkemahan Blasteran. Terkubur di balik tumpukan selimut bulu, para demigod yang mendengkur bergelung dalam tempat tidur masing-masing. Di atas rak perapian, sebatang ranting gelap meneteskan air sekental susu dari Sungai Lethe ke dalam mangkuk. Api nan ceria meretih di pendiangan. Di depan perapian, di kursi berlengan dari jok kulit, terlelaplah konselor kepala Pondok Lima Belas cowok berperut gendut, berambut pirang acak-acakan, dan berwajah lembut montok seperti sapi.
"Clovis," geram Nico, "demi dewa-dewi, berhentilah bermimpi senyenyak itu!" Mata Clovis terbuka pelan-pelan. Dia berpaling dan menatap Nico, kendati Nico tahu bahwa ini semata-mata merupakan bagian dari alam mimpi Clovis sendiri. Clovis yang ash masih menduduki kursi berlengan di perkemahan sambil mendengkur. "Oh, hai ..." Clovis menguap lebar sekali sampai-sampai cukup untuk menelan dewa minor. "Sori. Apa aku lagi-lagi menarikmu keluar jalur"" Nico mengertakkan gigi. Tiada gunanya marah-marah. Pondok Hypnos tak ubahnya Stasiun Induk untuk aktivitas mimpi. Kita tidak bisa bepergian ke mana pun tanpa melewati pondok tersebut sesekali. "Mumpung aku di sini," ujar Nico, "sampaikan pesan dariku. Beni tahu Chiron aku sedang dalam perjalanan ke sini beserta dua orang teman. Kami membawakan Athena Parthenos." Clovis menggosok-gosok matanya. "Jadi, benar ya" Bagaimana kau mengangkut patung itu" Apa kau menyewa van atau semacamnya"" Nico menjelaskan selugas mungkin. Pesan yang sampai dalam mimpi kerap kali kabur, terutama ketika yang dititipi pesan tersebut adalah Clovis. Semakin sederhana, semakin baik. "Kami diikuti seorang pemburu," kata Nico. "Salah satu raksasa Gaea, menurutku. Bisakah kausampaikan pesan itu kepada Thalia Grace" Kau lebih jago menemukan orang dalam mimpi ketimbang aku. Aku butch saran Thalia." "Akan kucoba." Clovis menggapai secangkir cokelat panas di meja samping. "Anu, sebelum kau pergi, bisa kuminta waktumu sebentar"" "Clovis, ini cuma mimpi," Nico mengingatkannya. "Waktu di sini lentur."
Sekalipun berkata begitu, Nico mengkhawatirkan kejadian di dunia nyata. Raganya mungkin saja tengah menukik menjemput ajal, atau dikepung oleh monster. Namun demikian, Nico tidak bisa memaksa diri untuk bangun sebab energinya telah amat banyak terkuras sehabis melakukan perjalanan bayangan. Clovis mengangguk. "Benar juga menurutku kau barangkali perlu melihat kejadian di rapat dewan perang hari ini. Aku sempat ketiduran saat rapat, tapi " "Tunjukkan padaku," ujar Nico. Pemandangan berubah. Nico mendapati dirinya dalam ruang rekreasi di Rumah Besar, semua pimpinan senior perkemahan berkumpul di sekeliling meja pingpong. Di ujung meja, duduklah Chiron sang centaurus, posterior kudanya terlipat ke dalam kursi roda ajaib sehingga dia terlihat seperti manusia biasa. Rambut dan janggut cokelatnya yang keriting beruban lebih banyak daripada sebelumnya. Wajahnya berkeriput-keriput dalam. " keadaan yang tidak bisa kita kontrol," dia berkata. "Sekarang, m
ari kita tinjau ulang pertahanan kita. Bagaimana posisi kita saat ini"" Clarisse dari Pondok Ares duduk ke depan. Tipikal Clarisse, dialah satu-satunya yang mengenakan baju tempur lengkap. Dia berbicara sambil menggerak-gerakkan belati, alhasil membuat konselor-konselor yang lain mencondongkan badan menjauhinya. "Garis pertahanan kita sebagian besar solid," kata Clarisse. "Para pekemah sudah siap tempur sebisa mereka. Kita mengontrol pantai. Trireme kita tidak tertandingi di Selat Long Island, tapi elang-elang raksasa bodoh itu mendominasi ruang udara kita. Di daratan, orang-orang barbar itu sudah mengepung kita di ketiga arah."
"Mereka orang Romawi," kata Rachel Dare sambil meng-gambari lutut jinsnya dengan spidol. "Bukan orang barbar." Clarisse mengacungkan belati kepada Rachel. "Lalu, bagaimana dengan sekutu mereka" Apa kaulihat suku beranggotakan manusia berkepala dua yang tiba kemarin" Atau orang-orang berkepala anjing dan berpendar merah yang membawa kapak perang besar" Menurutku, mereka kelihatan barbar. Bagus seandainya kau meramalkan kemunculan mereka, seandainya kesaktianmu sebagai Oracle tidak macet justru di saat kita paling membutuhkannya!" Wajah Rachel merona semerah rambutnya. "Itu bukan salahku. Ada yang tidak beres dengan anugerah meramal pemberian Apollo. Jika aku tahu cara memperbaikinya " "Rachel benar." Will Solace, konselor kepala di Pondok Apollo, memegangi pergelangan Clarisse dengan lembut. Tak banyak pekemah yang bisa melakukan itu tanpa ditikam oleh Clarisse, tapi Will punya keahlian dalam meredakan amarah orang. Will berhasil membuat Clarisse menurunkan belatinya. "Semua orang di pondok kami terpengaruh. Bukan Rachel seorang yang anugerahnya macet." Rambut pirang gondrong dan mata biru Will mengingatkan Nico akan Jason Grace, tapi hanya itu kemiripan keduanya. Jason seorang petarung. Kita bisa melihatnya dari tajamnya tatapan Jason, sikapnya yang senantiasa waspada, perawakannya yang tegap dan tangguh. Will Solace lebih mirip kucing ramping yang sedang berjemur matahari. Gerakannya santai dan tidak mengancam, tatapannya lembut menerawang. Dalam balutan kaus garis-garis yang sudah usang, celana buntung, dan selop, penampilannya sebagai demigod sama sekali tidak agresif, tapi Nico tahu Will orang yang pemberani di bawah serangan. Dalam Pertempuran Manhattan, Nico sempat melihat Will beraksi paramedis terbaik yang perkemahan mereka miliki di medan laga,
mempertaruhkan nyawa demi menyelamatkan para pekemah yang terluka. "Kita tidak tahu apa yang terjadi di Delphi," Will melanjutkan. "Ayahku tidak menjawab doaku, juga tidak menampakkan diri dalam mimpi maksudku, semua dewa memang tengah membisu, tapi Apollo tidak biasanya seperti ini. Ada yang tidak beres." Di seberang meja, Jake Mason mendengus. "Barangkali gara-gara si sampah Romawi yang memimpin serangan Octavian siapa-itu-namanya. Andai aku ini Apollo dan keturunanku bertingkah seperti itu, aku akan bersembunyi karena malu." "Aku sepakat," kata Will. "Coba kalau aku lebih ulung memanah aku tidak keberatan menembaki kerabat Romawiku itu supaya sadar diri. Sebenarnya, kuharap aku bisa menggunakan anugerah ayahku yang mana saja demi menghentikan perang ini." Dia memandangi tangannya sendiri dengan muak. "Sayangnya, aku cuma seorang tabib." "Bakatmu esensial," kata Chiron. "Aku khawatir kita akan segera membutuhkannya. Terkait kemampuan melihat masa depan bagaimana dengan Ella sang harpy" Sudahkah is menyumbangkan saran dari Kitab Sibylline"" Rachel menggelengkan kepala. "Makhluk malang itu ketakutan setengah mati. Harpy benci dikurung. Sejak orang-orang Romawi mengepung kita pokoknya, Ella merasa terperangkap. Dia tahu Octavian bermaksud menangkapnya. Aku dan Tyson harus berusaha sekuat tenaga untuk mencegahnya terbang kabur." "Yang sama artinya dengan bunuh diri." Butch Walker, putra Iris, menyedekapkan lengannya yang kekar. "Selagi elang-elang Romawi itu berada di udara, terbang tidaklah aman. Aku sudah kehilangan dua pegasus."
"Paling tidak Tyson mengajak serta beberapa temannya sesama Cyclops untuk membantu," ajar Rachel. "Itu kabar bagus
kecil-kecilan." Di meja makanan, Connor Stoll tertawa. Dia meraup segenggam biskuit di satu tangan dan memegang sekaleng keju busa di tangan satunya lagi. "Selusin Cyclops dewasa" Itu kabar bagus besar. Selain itu, Lou Ellen dan anak-anak Hecate sudah memasang tameng magis, sedangkan seisi Pondok Hermes sudah memasangi bukit dengan jebakan dan jerat serta segala macam kejutan untuk orang-orang Romawi!" Jake Mason mengerutkan dahi. "Yang sebagian besarnya kalian curi dari Bungker Sembilan dan Pondok Hephaestus." Clarisse menggerutu tanda setuju. "Mereka bahkan mencuri ranjau darat dari Pondok Ares. Bisa-bisanya kalian mencuri ranjau darat aktif "Kami menyita barang-barang itu untuk amunisi perang." Connor menyemprotkan keju busa ke dalam mulutnya. "Lagi pula, kalian punya banyak mainan. Kalian tentu bisa berbagi!" Chiron menoleh ke kiri, ke tempat Grover Underwood sang satir duduk membisu sambil mengelus-elus seruling alang-alangnya. "Grover" Ada kabar apa dari roh-roh alam"" Grover mendesah. "Di hari baik sekalipun, sulit untuk mengoordinasi para peri dan dryad. Sementara Gaea pelan-pelan terjaga, para pen alam hampir sama linglungnya seperti dewa-dewi. Katie dan Miranda dari Pondok Demeter saat ini sedang keluar untuk ikut membantu, tapi jika Ibu Bumi terbangun sepenuhnya ...." Dia memandang ke sepenjuru meja dengan gugup. "Singkat kata, aku tidak bisa janji bahwa hutan bakalan aman. Begitu pula perbukitan. Atau ladang stroberi. Atau " "Hebat." Jake Mason menyikut Clovis, yang hampir tertidur. "Jadi, kita harus berbuat apa""
"Menyerang." Clarisse menggebrak meja pingpong, alhasil menyebabkan semua orang berjengit. "Orang-orang Romawi semakin hari mendapat semakin banyak bala bantuan. Kita tahu mereka berencana menyerang pada 1 Agustus. Kenapa kita mesti membiarkan mereka menentukan jadwal" Kuperkirakan mereka menunggu datangnya lebih banyak pasukan. Jumlah mereka sudah melampaui kita. Kita sebaiknya menyerang sekarang, sebelum mereka bertambah kuat; serbu mereka duluan!" Malcolm, wakil konselor kepala Pondok Athena, terbatuk-batuk ke kepalannya. "Clarisse, aku paham maksudmu. Tapi, pernahkah kau mempelajari teknik rekayasa Romawi" Kamp sementara mereka lebih terlindungi daripada Perkemahan Blasteran. Kalau kita serang markas mereka, kita yang akan dibantai." kita tunggu solo"" sergah Clarisse. "Biarkan mereka mempersiapkan seluruh pasukan sementara Gaea menjelang kebangkitannya" Aku diberi tanggung jawab untuk melindungi istri Pak Pelatih Hedge yang sedang hamil. Aku tidak akan membiarkan apa pun menimpanya. Aku berutang nyawa kepada Hedge. Lagi pula, aku sudah melatih lebih banyak pekemah daripada kau, Malcolm. Semangat juang mereka sedang terpuruk. Semua orang ketakutan. Jika kita dikepung sembilan hari lagi " "Kita harus tetap mengikuti rencana Annabeth." Connor Stoll kelihatan lebih series ketimbang biasanya, sekalipun mulutnya berlumur keju busa. "Kita harus bertahan sampai Annabeth mengembalikan patung Athena ajaib itu ke sini" Clarisse memutar-mutar bola matanya. "Maksudmu kalau si praetor Romawi mengembalikan patung itu ke sini. Aku tidak paham maksud Annabeth, berkongkalikong dengan musuh. Kalaupun si orang Romawi mengembalikan patung itu meskipun menurutku mustahil haruskah kita meyakini bahwa tindakan itu akan mendatangkan perdamaian" Patung itu sampai dan mendadak
bangsa Romawi meletakkan senjata dan mulai menari-nari sambil melemparkan bungs"" Rachel meletakkan spidolnya. "Annabeth tahu apa yang dia lakukan. Kita harus mengusahakan perdamaian. Terkecuali kita bisa menyatukan bangsa Yunani dan Romawi, dewa-dewi takkan sembuh. Terkecuali dewa-dewi sembuh, kita takkan bisa membunuh para raksasa. Dan kecuali kita membunuh para raksasa- "Bangunlah, Gaea," kata Connor. "Tamatlah sudah. Dengar, Clarisse, Annabeth mengirimiku pesan dari Tartarus. Dari Tartarus. Percaya, tidak"! Siapa pun yang bisa melakukan itu pokoknya, akan kuturuti kata-katanya." Clarisse membuka mulut untuk menimpali, tapi ketika dia berbicara, keluarlah suara Pak Pelatih Hedge: "Nico, bangun. Kita dapat masalah."[]
BAB EMPAT BELAS NICO N ICO DUDUK TEGAK CEPAT SEKALI sampai-sampai dia menyundul hidung sang satir. "AWW! Aduh, Nak, kepalamu sekeras batu!" "Ma-maaf, Pak Pelatih." Nico berkedip-kedip, mencoba untuk menaksir di mana dia berada. "Apo yang terjadi"" Dia tidak melihat ancaman apa-apa. Mereka berkemah di hamparan rumput bersimbah sinar mentari di tengah-tengah alun-alun. Petak-petak aster jingga bermekaran di sekeliling mereka. Reyna tidur sambil bergelung, kedua anjing logam di kakinya. Selemparan batu dari sana, anak-anak kecil main kucing-kucingan di seputar air mancur marmer putih. Di kafe pinggir jalan dekat sana, selusin orang menyesap kopi di patio yang diteduhi payung-payng. Segelintir van pengantar barang terparkir di tepi alun-alun, tapi dada lalu lintas kendaraan. Hanya ada pejalan kaki, segelintir keluarga yang barangkali adalah warga lokal, sedang menikmati siang nan hangat. Alun-alun itu sendiri berlantai ubin batu, sedangkan di pinggirnya terdapat bangunan-bangunan stuko putih serta pohon
Pendekar Kedok Putih 2 Animorphs - 22 Akhir Sebuah Pengkhianatan Lambang Kegelapan 2
^