Pendekar Kedok Putih 2
Pendekar Bayangan Sukma 7 Pendekar Kedok Putih Bagian 2
pengawal barang itu. Biar ini kulakukan untuk mene-
bus kesalahanku. Pranata berbalik kepada ayahnya.
"Aku sudah siap, Ayah!"
"Bagus! Kau hadapi mereka dengan sungguh-
sungguh. Perlihatkan kepandaianmu kepada Ayah.
Dan kalian, jangan sungkan-sungkan untuk melukai
Pranata Kumala. Anggap hari ini dia bukan putra ku,
tetapi musuh yang, harus kalian basmi! Ingat, kulihat gerakan kalian lamban dan
kaku karena sungkan, aku
yang akan menghajar kalian!"
Rupanya Madewa Gumilang bersungguh-
sungguh. Selain jengkel karena putranya tidak meno-
long orang-orang yang dalam kesulitan, dia juga ingin melihat kepandaian
putranya. Tadi dia memang sudah
merasakan, namun itu antara tenaga kasar. Dia ingin
Pranata bergerak secara halus namun mampu melum-
puhkan lawan-lawannya.
Pranata maju ke depan. Langkahnya tenang ke-
sepuluh orang murid perguruan Topeng Hitam menca-
but sepasang pedang mereka dan mengenakan topeng.
Dengan serentak mereka mengurung rapat. Pranata
berdiri tenang dengan mata waspada.
Maafkan kami, Raden," kata salah seorang. Dan
dia sudah menerjang maju dengan sabetan atas bawah
pedangnya. Pranata melompat ke belakang tetapi lang-
sung bersalto karena sepasang pedang di belakangnya
sudah menyambar.
Dan seterusnya, dua puluh pedang itu me-
nyambar dengan cepat dan ganas. Pranata Kumala
pertama agak kerepotan, Karena tidak sedikit pun dia dikasih menyerang. Malah
orang-orang itu seakan benar-benar ingin membunuhnya. Pranata mengerahkan
segenap kepandaian dan kelincahannya untuk berkelit
dan menghindar. Dan dia bergerak demikian cepatnya,
hingga hanya merupakan bayang-bayang.
Tiba-tiba dia melenting ke atas dan bersalto ke
belakang, menghindari dua buah pedang yang akan
menusuknya. Bergerak dengan sangat mengagumkan,
karena masih bersalto dia menotok dua orang lawan-
nya hingga kaku. Madewa berseru kagum dalam hati.
Perhitungan untuk menghindar dan menotok itu be-
nar-benar ditampilkan putranya dengan hebat.
Begitu Pranata hinggap di tanah, yang lain
kembali menyerang. Mendadak Madewa berguling, se-
rentak lawan-lawannya menusukkan pedangnya ke
bawah, tetapi lagi-lagi Pranata membuat gerakan yang mengagumkan. Tubuhnya tiba-
tiba melenting ke atas
dan kembali menotok dua orang dengan cepatnya bah-
kan menendang punggung salah seorang hingga jatuh
bergulingan. "Bagus!" seruan Madewa terdengar. "Tetapi ingat Pranata, masih ada lima orang
lagi! Gunakan, ju-
rus Penutup Barisan, cepat!"
Serentak lima orang itu berjalan ke belakang
merapat. Tetapi pedang-pedang mereka tidak sama
mereka pegang. Ada yang dua-duanya ke depan. Ada
yang ke samping dengan mengembangkan tangan. Ada
yang ke bawah. Ada yang satu ke bawah dan yang satu
ke atas. Dan penutup barisan, yang terakhir, mengepit kedua pedangnya di ketiak.
Pranata bingung bagaimana cara menyerang-
nya. Tetapi lawan-lawannya sudah maju menyerang.
Serentak dan gerakan mereka teratur. Yang berdiri di depan, mengibaskan
pedangnya. Pranata berkelit ke
samping tetapi yang pedangnya mengarah ke samping
cepat melompat menusuk, Pranata bergulingan. Kem-
bali yang pedangnya berada di bawah, menusuk den-
gan cepat. Dan serangan-serangan itu menjadi mem-
bingungkannya. Dia terus berkelit ke sana-kemari tan-pa tahu bagaimana harus
merobohkan lawan-
lawannya. Jurus Penutup Barisan sangat tangguh. Sa-
tu yang menyerang, yang empat diam. Bergantian den-
gan rapat dan cepat.
Tiba-tiba Pranata berbalik, menyerang yang
paling belakang, tetapi yang belakang pun segera berbalik dan memasang jurus
seperti yang di depan tadi.
Dan yang lain merubah jurusnya. Bukan main, suatu
jurus yang amat hebat diperlihatkan!
Pranata menarik diri ke belakang. Dia berpikir
bagaimana caranya menembus pertahanan mereka.
Mendadak dia mengibaskan tangannya, dan melesat
selarik sinar merah ke arah barisan itu, yang menda-
dak menjadi bubar untuk menyelamatkan diri. Dan se-
cepat kilat. Pranata bergerak. Menotok mereka satu
per satu hingga tak ada yang sanggup untuk bergerak
lagi. Terdengar Madewa bertepuk tangan.
"Bukan main! Kecepatan mu boleh juga, Prana-
ta. Baik, jika ada pengiriman barang itu, kau akan turut serta mengawal!"
Pranata menjura gembira.
"Terima kasih, Ayah."
"Pranata... kau mengenal orang yang mengena-
kan kedok putih?"
"Kedok putih?" Kening Pranata berkerut. "Tidak ayah, aku belum pernah
melihatnya. Si Kedok Putih
itukah yang telah menolong Kakang Jayalaksa?"
"Iya, pendekar budiman itu menyembunyikan
wajahnya di balik kedok putihnya. Suatu saat, aku
bermaksud akan mencarinya."
"Untuk apa, Ayah?"
"Aku ingin mengenalnya, Pranata. Orang itu ti-
dak segan-segan membela kebenaran. Aku ingin kau
seperti dia, Pranata."
Pranata hanya mengangguk. Yah, dia akan ber-
buat seperti si Kedok Putih. Dia ingin seperti ayahnya, pendekar pembela
kebenaran. *** 6 Sebenarnya, masih ada yang belum diceritakan
Ambarwati kepada ayahnya, peristiwa yang hampir sa-
ja dirinya diperkosa oleh salah seorang anggota per-
kumpulan Pengemis Sakti, sebuah perkumpulan yang
sudah terdengar namanya sebagai orang-orang yang
kerjanya hanya membuat onar dan malapetaka saja.
Kalau dia ceritakan kepada ayahnya. Ambarwa-
ti kuatir ayahnya akan marah dan segera menyerbu ke
pantai pengemis itu. Dia tidak ingin antara ayahnya
dengan partai pengemis itu menjadi bermusuhan. Itu
sebabnya Ambarwati tidak menceritakan peristiwa
yang hampir saja merenggut kehormatannya.
Ambarwati ingat kepada laki-laki berkedok pu-
tih. Siapa dia sebenarnya. Diam-diam Ambarwati ingin berkenalan dia juga belum
mengucapkan terima kasih
kepadanya. Ah, siapa sebenarnya wajah di balik kedok putih itu. Mungkinkah wajah
itu tampan seperti wajah pemuda yang bertempur dengannya di kedai waktu
itu" Ataukah wajahnya sangat buruk sekali sehingga
dia menyembunyikannya dengan kedok putih itu" Te-
tapi biar baik dan buruk wajahnya, Ambarwati berte-
kad untuk menjumpainya dan mengucapkan terima
kasih. Dia sudah selesai mandi dan berdandan. Dia
akan pamit kepada ayah untuk pergi lagi selama dua
hari. Mencari si Kedok Putih dan pemuda tampan yang
bertempur dengannya. Ih. kenapa selalu terbayang wa-
jah pemuda tampan itu. Apa-apaan sih! Wajah Am-
barwati menjadi memerah sendiri. Semakin membuat-
nya cantik dan manis.
Jedangmoro sudah kembali dengan hasil ram-
pokannya yang berisikan emas permata yang banyak
sekali. Dia segera menyelinap masuk dan berganti pa-
kaian, sedangkan anak buahnya kembali menjadi pe-
layan-pelayan yang sopan dan baik-baik.
Begitu Ambarwati keluar dari kamarnya, Je-
dangmoro sudah duduk sambil menghisap cerutunya.
"He... he... sudah bangun, Ambar?"
Ambarwati tersipu. "Maafkan Ambar Bapa, Am-
bar bangun kesiangan."
"Tidak apa-apa, Nak. Kau semalam tidur larut
sekali," kata Jedangmoro sambil menghembuskan asap rokoknya, padahal dalam
hatinya dia gembira. Bagus,
putrinya baru bangun, jadi tidak mengetahui ke mana
dia pergi semalam.
Tahu-tahu, Ambar terdiam. Dia menunduk dan
kakinya menggores-gores lantai. Jedangmoro heran
melihatnya. Kenapa dengan putrinya itu" Jangan-
jangan, dia melihat mereka baru datang tadi.
"Kau kenapa, Ambar" Sikapmu seperti gelisah
sekali?" tanya Jedangmoro.
Ambarwati mengangkat wajahnya, menatap
ayahnya. "
"Bapa...."
"Ya, Sayang?"
"Ambar... Ambar ingin pergi lagi. Bapak mengi-
zinkan, bukan?"
Jedangmoro menghela nafas panjang.
"Ke mana lagi, Ambar akan pergi. Padahal Am-
bar baru semalam pulang. Ayah masih kangen den-
ganmu, Nak."
"Ambar pergi hanya dua hari, Bapa."
"Tapi kau baru kembali semalam, Nak. Bapak
belum habis melepas rindu."
"Ih, Bapa. Ambar kayak mau pergi ke mana sa-
ja. Ambar ingin mencari.si Kedok Putih, Ambar ingin
mengucapkan terima kasih kepadanya."
"Ah, itu bisa dilakukan nanti Ambar. Kali ini
Bapa tidak mengizinkan. Lusa mungkin Bapa izinkan."
Ambarwati cemberut, sambil bersungut-sungut
dia masuk kembali ke kamarnya. Jedangmoro mengge-
leng-gelengkan kepala. Putrinya yang satu itu memang manja. Ah, sebentar lagi
dia juga sudah tidak ngambek. Memang Ambarwati tidak ngambek, dia men-
gunci pintu kamarnya. Dan pelan-pelan dia membuka
jendela kamarnya dan melompat keluar. Dengan hati-
hati dia melangkah ke kandang kuda. Mengambil see-
kor yang putih. Seorang pelayannya memergokinya.
Ambar cepat meletakkan telunjuknya di bibir,
"Sttt...! Sini, sini, jangan banyak tanya, ya" Aku
sedang mengadakan permainan dengan Bapa. Kalau
aku bisa. membawa kuda ini tanpa menimbulkan sua-
ra, Bapa akan memberi ku hadiah. Kamu mau mem-
bantu, kan?"
Yang minta bantuan putri majikannya, sudah
tentu pelayan tadi mengangguk. Bahkan dia mema-
sangkan pelana dan menyuruh Ambar menjalan ku-
danya sangat pelan. Ambar pun akan berbuat demi-
kian. Dan ia menjalankannya dengan hati-hati. Setelah agak jauh, baru dia
menggeprak kudanya. Pelayan tadi menggeleng-geleng kepala, kagum dengan
ketangkasan putri majikannya dalam hal menunggang kuda.
Ambarwati melarikan kudanya kencang-
kencang, menuju ke desa di mana dia bertempur den-
gan Pranata Kumala beberapa waktu yang lalu. Entah
kenapa dia menjadi sangat merindukan pemuda itu.
Pemuda yang tidak sombong, tidak membuatnya malu,
bahkan dia mau mengalah. Ah, kalau Ambar ingat ba-
gaimana luka di lengan pemuda itu, dia menjadi kasi-
han. Juga agak menyesal karena pemuda itu sengaja
menyongsong pedangnya tanpa mengelak, semata agar
dia menghentikan serangannya dan pemuda itu men-
gaku kalah. Kalau ingat ini, dia menjadi malu, karena ter-
nyata pemuda tampan itu lebih lihai darinya. Tiba-tiba di hadapannya muncul tiga
orang pengemis dengan
tongkat di tangan, yang berdiri menghadangnya. Am-
barwati memperhatikan sambil memperlambat laju
kudanya. Yang berdiri di tengah, Ambarwati seperti
pernah mengenalnya. Dia adalah Ayasumo yang sete-
lah di perintah Sengkawung untuk mencari dan me-
nangkap Ambarwati segera pergi menjalankan perin-
tah. Dia sendiri masih penasaran karena gadis itu tidak berhasil di gagahinya.
Ambarwati menghentikan kudanya dari jarak
jauh. Dia tidak ingin mendapat kesulitan, dengan ce-
pat dia berbalik dan memacu kudanya. Ketiga orang
pengemis itu serentak mengejar dengan menggunakan
ilmu larinya, tetapi Ambarwati sudah melesat jauh. Ketiga pengemis itu
tertinggal jauh.
Ayasumo mendengus kesal. Dia menyuruh ber-
balik, mencegat dari arah yang berlawanan. Ambarwati terus melarikan kudanya,
dia me lewati padang rum-put yang luas dan mendadak telinganya mendengar
alunan seruling yang merdu. Ambarwati menghentikan
kudanya dan celingukan mencari siapa yang meniup
seruling itu. Betapa merdu nada yang keluar dari tiupan se-
ruling itu. Dia menjalankan kudanya perlahan-lahan
dan tiba-tiba terdengar suara itu jelas di atas kepalanya. Dilihatnya seorang
pemuda sedang asyik duduk
santai di salah satu dahan dan meniup seruling itu.
Tahu-tahu dia menunduk, pemuda itu adalah
pemuda tampan yang dipikirkannya semalam. Pemuda
yang bertempur dengannya di waning waktu itu. Ah,
dia tadi sempat melihat lengan kanan pemuda itu di-
balut. Tentu akibat goresan pedangnya kemarin.
Dia harus minta maaf. Perlahan dia mendongak
dan memanggil, "Hei!"
Pemuda itu menghentikan tiupan serulingnya
dan menoleh ke bawah. Dia melihat seraut wajah can-
tik yang memanggilnya. Pemuda itu ingat, dia adalah
gadis yang mengajaknya bertempur waktu itu.
"Oh... engkau rupanya, Nona. Maafkan aku,
aku tidak ingin bertempur. Kamu hebat, Nona. Ilmu
pedangmu amat tangguh. Lagipula, aku sudah menga-
ku salah, bukan" Aku tidak mau bertempur lagi den-
gan kau, Nona. Aku kuatir lengan kiriku akan tergores
pula." Wajah Ambarwati memerah.
Pendekar Bayangan Sukma 7 Pendekar Kedok Putih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bukan... bukan itu maksudku.... Aku.. aku...."
Dia agak susah bicara.
"Aku tahu, Nona. Kau masih penasaran karena
aku belum kau bunuh. Sudahlah Nona, aku segan ber-
tempur denganmu!"
Tiba-tiba pemuda itu meloncat turun, sekilas
menatap Ambarwati dan melesat cepat.
"Hei, tunggu! Aku ingin bicara denganmu!" seru Ambarwati sambil melarikan
kudanya, menyusul pemuda itu.
Pemuda itu adalah Pranata, dia masih terus
berlari. "Maafkan aku, Nona. Sungguh mati, aku tidak ingin bertempur denganmu!"
"Bukan... bukan itu! Aku ingin minta maaf!" se-ru Ambarwati pada akhirnya.
Mendengar perkataan itu, Pranata memperlam-
bat larinya dan berhenti. Ambarwati mendekatinya
perlahan. Pranata menatap wajahnya.
"Kau sungguh-sungguh, Nona" Tidak akan me-
nyerangku?" tanyanya sangsi. Pranata masih ingat, waktu itu saja Nona ini marah-
marah hanya karena
dia memandanginya. Tentu sekarang dia akan memba-
las kekalahannya itu, karena tak berhasil membunuh-
nya. Pemudi remaja itu turun dari kudanya dan
mengangguk sungguh-sungguh.
"Yah... maafkan aku waktu itu...." "Namaku Pranata Kumala."
"Aku bersalah kepadamu, Pranata. Maaf...
maafkan aku...."
"Tidak ada yang perlu dimaafkan Nona...."
"Namaku Ambarwati."
"Nona Ambarwati. Aku memang salah, aku te-
lah berlaku ceriwis dengan menatap mu lama-lama...."
Pemudi itu menunduk dengan wajah bersemu
merah. "Kau... kau...." Lagi-lagi dia kagok untuk bicara.
Pemuda di hadapannya betapa tampannya.
"Ya, aku ceriwis. Habis kau sangat cantik, No-
na. Aku kagum melihat kecantikanmu. Ketahuilah, se-
lama sembilan tahun aku tidak pernah melihat kera-
maian. Jadi melihat gadis secantik kau tentu saja aku tidak melewatkan
kesempatan itu."
Wajah Ambarwati semakin memerah. Pemuda
ini memujinya, betapa senangnya dia dipuji oleh pe-
muda yang telah menjerat hatinya. Perlahan diangkat
wajahnya dan ditatapnya pemuda itu. Dadanya berge-
muruh. "Aku... aku minta maaf. Aku tidak menyangka kau lebih lihai dariku...."
"Hei, kata siapa! Buktinya kau berhasil melukai lengan kananku! Lihat!"
Pemuda itu memperlihatkan lengan kanannya
yang dibalut sapu tangan. Melihat itu hati Ambarwati semakin teriris. Ini
kesalahannya, yang menganggap
pemuda itu mata keranjang. Dia jadi kesal, apalagi
pemuda itu tidak mau lepas dari wajahnya. Dia kan
menjadi risih dan kesal. Enak saja memandang orang
hingga membuat orang itu menjadi malu!
Dan sekarang dia menyesali karena tidak ber-
pikir panjang lagi. Langsung menantang dan menye-
rang pemuda itu hingga lengan pemuda itu tergores
oleh pedangnya.
"Maafkan aku...." katanya lirih.
"Sudahlah, tidak ada yang perlu dimaafkan. Ti-
dak ada yang perlu dibicarakan lagi, bukan?"
Ambarwati mengangguk.
"Kalau begitu, aku permisi, Nona...."
"Namaku Ambar."
"Oh iya, Ambar. Maaf... aku permisi dulu."
Ambarwati hanya mengangguk, tidak berkata
lagi sepatah kata pun. Entah kenapa dia menjadi ka-
gok di hadapan pemuda itu. Ih, benar-benar hatinya
sudah kepincut. Sayang pertemuan tadi hanya seben-
tar. Bayangan pemuda itu sudah tidak nampak lagi.
Demikian cepat pemuda itu berlari.
Pranata sendiri pun sebenarnya enggan untuk
meninggalkan gadis cantik itu. Hatinya bergetar melihat kecantikan wajah itu.
Dia menjadi takut, kalau la-ma-lama berhadapan dengan gadis itu, dia menjadi
gemetar pula. Dia makanya buru-buru berpamitan. Selain itu,
dia juga hendak segera ke perguruan Topeng Hitam.
Hatinya sudah tidak sabar ingin bertemu dengan ayah
bundanya. Ambarwati membalikkan kudanya dan menda-
dak dia tertegun. Tiga orang pengemis sudah mengu-
rungnya dan salah satunya Ayasumo.
"Ha.,, ha.., kita ketemu lagi, Nona. Hari ini kau tidak bisa melawan. Lebih baik
menyerah saja dan ikut dengan kami. Daripada kau kubunuh!"
Ambarwati mendengus. Dia tidak takut men-
dengar ancaman itu. Tadi pun ketika berjumpa dia ti-
dak takut, dia hanya tidak ingin berkelahi dan terlibat kesulitan, tetapi mau
tidak mau dia harus berkelahi
sekarang dan mungkin mendapat kesulitan.
"Ikut denganmu, ciih! Lebih baik aku mati dari-
pada ikut dengan engkau!" seru Ambarwati galak dan diam-diam menyesali, karena
Pranata Kumala sudah
pergi. Kalau tidak, dia pasti akan membantunya
menghadapi tiga orang dari partai pengemis ini. Aya-
sumo tertawa. Melihat bibir itu bergerak dan lidah
yang mungil serta memerah, dia semakin bernafsu un-
tuk mendapatkan gadis ini.
"Ha... ha..., kali ini kau tidak akan bisa lolos dariku, Nona! Cepat kau
menyerah atau kau ku
paksa untuk melayaniku dan dua orang temanku!"
Kedua teman Ayasumo terbahak. Melihat ke-
cantikan gadis itu mereka juga naik nafsu birahinya.
Wajah Ambarwati menjadi pias. Lagi-lagi dia menyada-
ri, kalau dirinya ini bukan apa-apa jika dibandingkan mereka. Mendadak dia
mengeprak kudanya dan maju
menerjang dengan kencang.
Ketiga orang itu menghindar ke samping dan
tongkat Ayasumo sudah bergerak, menotok kuda itu
hingga berhenti mendadak. Tubuh Ambarwati terjeng-
kang ke depan, untung dia segera bersalto jadi tidak jatuh terdorong. Melainkan
hinggap dengan ringan.
Ketiga orang pengemis itu segera mengurung-
nya sambil terkekeh-kekeh. Ambarwati akan bertahan
mati-matian, daripada dirinya ternoda. Dia tidak bisa membayangkan hal itu.
Ngeri hatinya jika dia sampai
ternoda oleh ketiga pengemis itu.
Dengan segera dia mencabut pedangnya dan
siapa menyambut serangan ketiga pengemis jembel.
Ayasumo terbahak, meremehkan.
"Kau masih mau melawan juga rupanya, Nona.
Kuperingatkan, tak ada gunanya kau melawan kami
bertiga! Kau akan terluka, Nona."
"Itu lebih baik bagiku!" seru Ambarwati gusar.
"Daripada jatuh ke tangan kalian, aku lebih suka mati hari ini!"
Ayasumo terbahak, disahuti oleh kedua orang
temannya. "Baik, Nona! Tetapi jangan menyesal, kalau kau
mati, kami juga kan memperkosa mu!"
"Lakukanlah!" seru Ambarwati antar nekat dan takut. Orang-orang itu memang iblis
biadab! Ayasumo tertawa dan segera memutar-mutar
tongkatnya. Begitu pula dengan kedua temannya. Pu-
taran tongkat itu menimbulkan desingan angin yang
agak keras. Dan bunyi yang agak lumayan.
Ambarwati menjadi agak ciut juga. Tetapi dia
sudah membuka jurusnya. Pedangnya diletakkan di
dada. Tangan kirinya memancang ke depan. Kaki kiri
di tekuk ke depan dan kaki kanan lurus berdiri.
Siap menghadapi mereka.
Ayasumo tertawa dan tiba-tiba mengayunkan
tongkatnya dengan sangat cepat. Arahnya ke dada
Ambarwati. Ayasumo memang seorang pengemis cabul.
Ambarwati menjerit kaget. Sambil membentak dia me-
nangkis, "Bangsat cabul!"
"Trak...!"
Ayasumo tertawa-tawa dan mencecar dada Am-
barwati, yang menjadi kesulitan untuk menangkis. Dia juga mencecar pangkal paha
Ambarwati yang semakin
kerepotan. Selain malu dan jijik dia juga kebingungan, karena dua tongkat yang
lain sudah menyambar pula.
Dalam waktu yang singkat saja, Ambarwati sudah ter-
desak hebat. Tongkat-tongkat itu sudah beberapa kali mampir di tubuhnya.
Dan tiba-tiba Ayasumo memekik dan men-
gayunkan tongkat ke kepala Ambarwati. Ambarwati
mengayunkan pedangnya ke atas untuk menangkis.
Tongkat berhasil ditangkis. Namun dengan sangat ce-
pat, Ayasumo masuk dan tangan kirinya menotok Am-
barwati hingga kaku.
Ambarwati membentak, "Lepaskan, lepaskan
totokan kalian! Kalian semua pengecut, ayo kita ber-
tanding sampai mati!"
"Ha... ha... mana mungkin aku akan membu-
nuh gadis secantik kau! Tubuh mu padat dan empuk.
Aku menyukaimu, Nona."
Tangan Ayasumo secara cabul menggerayangi
dada Ambarwati. Ambarwati menjerit-jerit marah.
"Lepaskan aku, kita bertanding lagi!"
"Ha... ha..." Tangan Ayasumo sudah memegang dan meremas dada Ambarwati. Terasa
empuk dan lembut. Benar-benar masih mengkal namun kenyal.
Ambarwati menjerit dan memejamkan matanya
menahan malu, kesal, marah dan jijik terhadap Aya-
sumo yang semakin keenakan meremas. Tiba-tiba Aya-
sumo melepaskan totokannya dan mendorong tubuh
Ambarwati hingga jatuh. Dan sebelum Ambarwati ber-
gerak, dia sudah menotok kembali.
"Ha... ha... sebelum ku persembahkan kepada
ketua, lebih baik ku nikmati saja dulu tubuhmu, Nona.
Kalian berdua tunggu giliran. Sekarang tontonlah aku untuk menaklukkan gadis
ini." "Breeet...!" Ayasumo sudah merobek dada Ambarwati. Dada yang kenyal dan empuk,
dengan buas dia menciumi dada itu.
Tetapi tiba-tiba tubuhnya mengejang dan am-
bruk tanpa nyawa lagi.
Kedua temannya tersentak kaget. Mereka sege-
ra memeriksa tubuh Ayasumo. Sebuah jarum berbisa
menancap cepat di jantungnya.
Kedua pengemis itu segera bersiap, mencari
siapa yang .telah melakukan perbuatan tadi. Tetapi tidak nampak seorang pun di
sana. Ambarwati sendiri pun heran, namun gembira
dan lega. Karena dirinya terlepas dari ancaman yang
amat mengerikan bagi setiap wanita. Dan mendadak
dia merasakan dirinya telah terbebas dari totokan. Sebuah kerikil kecil telah
melepaskan totokan itu. Dengan hati-hati dia menutupi dadanya dan mengambil
tongkat Ayasumo. Lalu diayunkannya tongkat itu ke
leher kedua pengemis yang sedang celingukan itu.
"Des..! Des...!"
"Aaaah...!"
Kedua tubuh itu ambruk dan terkulai pingsan.
Ambarwati membenahi pakaiannya yang masih
agak terbuka. Sudah agak, sobek. Masih menampak-
kan keputihan tubuh di bagian dadanya.
Ia mengambil tali di kudanya dan mengikat pa-
kaian yang terbuka itu hingga merapat kembali. Dia
segera naik ke kudanya. Tetapi mendadak dia berhenti.
Dia belum tahu siapa yang telah menolongnya.
Tiba-tiba pohon di sampingnya bergerak. Am-
barwati menoleh ke atas. Si Kedok Putih sedang me-
lambaikan tangannya dan bersalto lalu menghilang.
Ambarwati menghela nafas panjang. Lagi-lagi
dia yang telah menolongnya. Siapa dia sebenarnya dan mengapa selalu muncul
memberinya pertolongan"
Mendadak sebuah pikiran yang mengejutkan-
nya sendiri melintas.
Si Kedok Putih mencintainya.
Entah siapa dia sebenarnya, Ambarwati baha-
gia jika benar-benar si Kedok Putih mencintainya. Tetapi dia harus menolak,
karena dia sudah mencintai
Pranata Kumala.
Ah, mengapa sekarang dia menjadi memikirkan
itu. Dia senang dan kagum dengan si Kedok Putih, te-
tapi tidak mencintainya. Ambarwati yakin, kalau si Kedok Putih mencintainya,
buktinya dia selalu muncul
menolongnya jika dia mendapat kesulitan.
Tetapi jelas-jelas dia harus menolak cintanya si
Kedok Putih. Hatinya sudah terjerat oleh Pranata Ku-
mala. Sayang, pemuda itu pergi dengan cepat. Padahal dia ingin sekali lama
bercakap-cakap dengan pemuda
itu! Pemuda yang baru beberapa hari saja sudah men-
jerat hatinya. Tetapi, apakah Pranata Kumala juga mencin-
tainya" Ah, betapa sedihnya dia jika ternyata Pranata Kumala tidak mencintainya.
Ambarwati segera memacu kudanya. Hari ini ia
menjumpai dua orang pemuda yang sama-sama mem-
buatnya kagum. Tetapi pada si Kedok Putih dia hanya
kagum, sedangkan kepada Pranata Kumala dia men-
cintainya. Dan Ambarwati akan mencari di mana adanya
Pranata Kumala dia ingin selalu dekat dengan pemuda
itu. *** 7 Ketua Partai Pengemis yang bernama Sengka-
wung itu, marah besar mengetahui Ayasumo mening-
gal di tangan si Kedok Putih. Dia menggeram marah
sambil menggebrak meja di hadapannya. Begitu keras,
hingga patah berantakan.
Dua orang anak buahnya yang datang melapor
tadi, menggigil ketakutan.
Sengkawung membentak marah, "Baik, Kedok
Putih! Hari ini, partai Pengemis Sakti akan bermusu-
han denganmu! Baik, hari ini juga kita akan berangkat
Pendekar Bayangan Sukma 7 Pendekar Kedok Putih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mencari si Kedok Putih!"
Sengkawung bangkit dan mengambil tongkat
kebanggaannya. Bersama lima orang anak buah, me-
reka segera berangkat mencari si Kedok Putih. Seng-
kawung geram sekali, dia akan menghancurkan si Ke-
dok Putih itu! Sore hati mereka tiba di sebuah desa yang tidak
ramai. Tidak ada seorang pun yang mengenal si Kedok
Putih ketika mereka bertanya. Dengan geram Sengka-
wung memukul orang yang ditanya. Dia menarik baju
orang itu yang menggigil ketakutan.
"Kalau kau bertemu dengan orang yang mema-
kai kedok putih, cepat laporkan kepadaku!"
"Baik... baik, Raden.... Saya... saya akan me-
laksanakan perintah Raden...."
"Huh!" Sengkawung mendorong tubuh orang itu hingga jatuh tersungkur. Setelah itu
orang itu buru-buru lari dengan wajah pias. Dia menyesal mau men-
jawab pertanyaan pengemis jembel itu!
Sengkawung nampaknya benar-benar marah
besar. Wajahnya semakin geram ketika sampai malam
dia tidak mendengar kabar tentang si Kedok Putih.
Akhirnya dia membuat suatu rencana, untuk
membuat onar, mungkin dengan itu si Kedok Putih
akan muncul. Keesokan harinya, dia segera merampok se-
buah rumah. Dan membunuh semua penghuninya ke-
cuali anak gadis keluarga itu. Dengan buas, Sengka-
wung memperkosanya. Lalu membunuh gadis itu den-
gan keji. Tetapi si Kedok Putih tidak muncul juga. Kem-
bali akhirnya dia memutuskan untuk merampok se-
buah kereta kuda yang membawa pengiriman parang.
Kereta kuda itu dikawal oleh Pranata Kumala
dan beberapa murid perguruan Topeng Hitam.
Kali ini Pranata hanya membuat sebuah jeba-
kan. Dalam kereta kuda itu tidak ada barang berharga.
dia hanya ingin memancing gerombolan Golok Iblis un-
tuk muncul. Tetapi di tengah jalan, malah enam orang ber-
pakaian pengemis yang menghalangi jalannya. Sikap
mereka sungguh-sungguh menantang.
Pranata menghentikan rombongannya dan
menghampiri mereka.
"Maafkan kami, Saudara. Kami hendak melalui
jalan ini, jangan menghalang di tengah jalan."
Sengkawung membentak marah.
"Serahkan barang yang engkau bawa itu, baru
kami akan minggir memberimu jalan."
"Itu barang pesanan, Kisanak. Kami tidak bisa
memberikan kepada kalian."
"Berarti hanya ada satu jawaban, tak ada jalan
dan kalian akan menerima kematian hari ini."
"Saudara, kami tidak mencari permusuhan
dengan siapa pun. Tak terkecuali kalian. Minggirlah, biarkan kami melanjutkan
perjalanan."
"Hhh! Kau sudah ingin mampus rupanya!" bentak Sengkawung jengkel dan mengayunkan
tongkat- nya. Tetapi dengan cepat Pranata melompat menghin-
dar, namun kudanya tidak bisa menghindar. Kepala
kuda itu hancur terkena ayunan tongkat Sengkawung
dan roboh bermandikan darah.
Sungguh luar biasa tenaga pimpinan partai
pengemis itu. Besar dan kuat. Pranata menjadi siaga.
Dia mengibaskan tangannya memberi tanda agar yang
mengawal kereta kuda itu segera turun semua dan
membiarkan kereta kuda tidak ada yang menjaga.
Sengkawung pun segera berseru untuk bersiap.
Lima orang muridnya bergerak ke depan, berhadapan
dengan lima orang murid perguruan Topeng Hitam
yang sudah mencabut sepasang pedang mereka.
Dengan siaga yang tinggi mereka memper-
siapkan jurus masing-masing.
Sedangkan Pranata Kumala sudah berhadapan
dengan Sengkawung. Pranata sudah mencabut senja-
tanya, sebuah seruling.
"Kalau kalian mampu melangkahi mayat kami,
kupersilahkan ambil barang yang kami bawa itu!"
Sengkawung terbahak.
"Baik, baik. Kami akan buktikan semua itu! Li-
hat serangan!" setelah membentuk dengan lengkingan yang tinggi, Sengkawung
menerjang dengan ayunan
tongkat yang kuat. Serentak pula kelima muridnya
menyerang. Pranata mengelakkan ayunan tongkat itu den-
gan menghindar dan masuk ke depan dengan seruling
siap menotok Sengkawung. Sengkawung memiringkan
tubuhnya dan tongkatnya menggetok kepala Pranata
yang dengan sangat cepat Pranata sudah bergulingan
menghindar. Sebenarnya Sengkawung tidak bermaksud ber-
tempur. Dia hanya ingin memancing keluarnya si Ke-
dok Putih, tetapi karena pemuda itu menantangnya,
timbul rasa marahnya terhadap pemuda itu. Dia me-
nyerang dengan sangat sungguh-sungguh. Sengka-
wung adalah orang yang tidak mau mengalah dan pa-
nasan. Sebentar saja sudah ramai suasana di tempat
itu. Suara benturan senjata mereka amat cepat dan
ramai. Nyaring dan keras.
Tiba-tiba Sengkawung memutar tongkatnya
yang berubah menjadi seperti baling-baling. Desingan
angin yang ditimbulkan oleh putaran tongkat itu amat keras dan agak dingin.
Dengan masih memutar tongkatnya dia maju menyerang. Pranata sejenak kebin-
gungan, karena dia tidak tahu bagaimana cara mem-
balas serangan itu. Mendadak dia menghindar ke bela-
kang, karena putaran tongkat itu sudah menyerang-
nya. Tetapi tongkat itu pun mendadak menjadi menyo-
dok. Suatu ilmu tongkat yang mengagumkan. Pranata
menangkis dengan serulingnya.
"Traak...!"
Dan tubuhnya sudah melenting bersalto, tetapi
kembali tongkat itu mengejarnya. Dengan hebat tong-
kat itu menegak dan menotok tubuh Pranata yang ma-
sih bersalto. Lagi Pranata memperlihatkan kecepatan
ilmu serulingnya dia menangkis.
"Traak...!"
Tetapi karena posisi tubuhnya masih di udara,
itu tidak menguntungkan baginya. Dia terhuyung begi-
tu hinggap di tanah. Tenaga ayunan tongkat itu sangat besar dan kuat.
Keadaan lima murid perguruan Topeng Hitam
berada di atas angin. Mereka sudah memperlihatkan
kehebatan ilmu pedang perguruan Topeng Hitam yang
amat cepat dan tangguh.
Tetapi para pengemis itu pun memperlihatkan
kelihaian mereka memainkan tongkat. Dengan tongkat
itu mereka mengimbangi permainan pedang murid
perguruan Topeng Hitam.
Namun tidak bertahan lama, karena mereka
agaknya terdesak. Salah seorang pengemis itu menga-
duh dan tubuhnya ambruk dengan lengan yang putus.
"Aaah...!"
Melihat kawan mereka terluka, yang lain sudah
menyerang membabi buta. Tidak tentu arah serangan-
nya. Terus memukul dan menotok. Dan kali ini murid
perguruan Topeng Hitam yang agak terdesak, soalnya
gerakan tongkat itu mengayun dengan cepat dan asal
saja, namun satu tujuan. Tubuh sang lawan!
"Des...!" sebuah pukulan tongkat mampir di salah seorang dari murid perguruan
Topeng Hitam. Orang itu terhuyung dan pengemis yang memukulnya
terus mencecar, sebisanya murid itu menangkis, na-
mun kembali sebuah hantaman keras mampir di pa-
hanya. "Aaah...." Dia mengaduh keras dan roboh dengan tulang paha yang patah.
Kesempatan itu digunakan oleh pengemis itu
untuk menghabisinya. Tetapi mendadak dia menga-
duh, keras pula.
"Aaah...."
Sebuah sinar merah menghantam pergelangan
tangannya hingga hangus. Rupanya Pranata sudah
mengeluarkan pukulan sinar merahnya yang sangat
hebat. Tetapi dia pun harus membayar semua itu den-
gan hantaman tongkat Sengkawung di dadanya.
"Des...!"
Karena menolong temannya itu, dia menjadi
lengah. Tidak waspada kepada Sengkawung yang ma-
sih siap dengan tongkatnya.
Tubuh Pranata terhuyung beberapa langkah.
Sengkawung mengejar dengan lengkikan keras. Tetapi
Pranata sudah mengibaskan tangannya.
Kembali selarik sinar merah mengurungkan
niat Sengkawung. Dia berkelit dengan jalan berguling dan tangannya sudah
mengibas pula. Beberapa paku beracun berterbangan ke arah
Pranata yang kembali melancarkan sinar merahnya!
Paku-paku itu hangus terhantam sinar merah.
Melihat serangannya gagal, Sengkawung me-
lempar tongkatnya dengan tenaga yang keras. Kali ini Pranata berguling untuk
menghindari tongkat itu.
Tongkat itu menancap sampai setengahnya ke tanah.
Bisa dibayangkan kalau sampai mengenai sasarannya.
Pranata buru-buru berdiri. Dia sudah membu-
ka jurusnya, Tangan Bayangan warisan gurunya.
Sengkawung pun membuka jurusnya. Sebuah jurus
kungfu yang dipelajari di tanah leluhurnya, Tiongkok sana. Jurus yang cepat dan
tangguh. Kedua-duanya memutar dengan perlahan, sal-
ing tatap dengan waspada dan mencari kelemahan la-
wan. Tiba-tiba Sengkawung bergerak melancarkan pu-
kulannya. Pukulan itu betapa cepatnya dan penuh te-
naga. Pranata pun segera menyambut dengan sebuah
tangkisan yang penuh tenaga pula.
"Des...!"
Disusul dengan sebuah sodokan pada ulu hati
Sengkawung. Sengkawung cepat menarik tangannya
dan memukul tangan Pranata dengan sikunya. Dan
sangat tiba-tiba dia memutar dan kakinya menendang
lurus ke wajah Pranata.
Pranata menunduk dan berguling karena kaki
Sengkawung sudah bergerak lagi. Benar-benar jurus
kungfu yang bagus. Kali ini Pranata mengambil inisia-tif menyerang. Begitu
bangkit dia langsung menyerbu
dengan jurus tangan Bayangannya. Tangan itu berge-
rak demikian cepatnya dan sangat hebat, hingga mem-
buat Sengkawung agak kewalahan. Namun dia bisa
mengimbanginya.
Keduanya kembali memperlihatkan kehebatan
dan kelincahan dalam menggunakan jurus tangan ko-
song. Jurus-jurus yang ampuh dan mematikan.
Sementara itu, di tempat yang sama. Murid-
murid perguruan Topeng Hitam sudah berhasil mero-
bohkan dua orang pengemis itu. Kini mereka tinggal
dua dan berhadapan dengan empat orang yang meme-
gang pedang dengan hebat.
Mereka sudah menggunakan jurus pedang
Memanah Matahari. Sebuah jurus yang amat hebat.
Dimainkan secara bersamaan dengan gerakan yang
sama. Mereka berjajaran ke samping dan menyerang
dengan tusukan kepala kedua lawannya.
Tentu saja mereka kaget, karena gerakan pe-
dang lawan-lawannya dimainkan secara seren-tak dan
kuat. Keduanya menangkis dengan susah payah.
Namun salah sebuah pedang itu berhasil menggores
pengemis yang berada di sebelah kiri, pahanya terluka dan darah mengalir keluar.
Sengkawung melihat hal itu. Dia bermaksud
hendak menghentikan pertempuran, karena sebenar-
nya dia tidak ingin bertempur dengan mereka,. Keinginannya hanya satu, menunggu
si Kedok Putih muncul.
Tetapi yang ditunggunya tidak muncul-muncul. Lagi-
pula, menghadapi orang-orang itu dia agak kewalahan
juga. Pemuda itu sangat tangguh, belum lagi kalau dia melancarkan pukulan sinar
merahnya. Membuatnya
terkejut dan menjadi kalang kabut.
Mendadak dia bersuit dan berkelebat menghi-
lang. Seorang muridnya itu segera berbuat yang sama
berkelebat menyusul ketuanya.
Murid-murid perguruan Topeng Hitam bermak-
sud mengejar, tetapi Pranata melarang.
"Biarkan orang-orang itu. Lagipula, kita tidak
kehilangan apa-apa. Cepat kalian obati kakang Kusni
dan masukkan ke kereta kuda."
Mereka segera menjalankan perintah itu. Biar
bagaimana pun mudanya Pranata, dia menjadi pe-
mimpin mereka saat ini. Dengan segera Kusni diobati
dan dinaikkan ke kereta kuda. Setelah itu mereka
kembali lagi, seolah menanti apa perintah selanjutnya.
Pranata mengangguk.
"Kita lanjutkan perjalanan ini. Daerah menuju
ke desa Pacitan belum kita lalui. Kali ini kalian harus bersiap. Mungkin
gerombolan orang merampok itu berjumlah sangat banyak."
Setelah tidak bertemu dengan orang yang dica-
rinya, Ambarwati bermaksud pulang. Dia agak kesal
karena si Kedok Putih maupun Pranata tidak muncul
kembali. Sudah dicarinya ke sana kemari, tetapi tidak kelihatan.
Di barat sana, matahari sudah hendak kembali
ke peraduan. Cahaya merahnya membiasi langit den-
gan indah. Sejenak Ambarwati memperhatikan kein-
dahan alam itu. Betapa besarnya Tuhan menciptakan
semua itu. Sangat indah dan sedap dipandang.
Tanpa terasa makin lama matahari itu makin
menghilang dan malam mulai datang. Ambarwati sege-
ra menjalankan kudanya untuk kembali ke rumah.
Pendekar Bayangan Sukma 7 Pendekar Kedok Putih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Entah kenapa dia sangat kesal karena tidak
bertemu dengan salah seorang dari kedua pemuda
yang di kaguminya. Kedok Putih dan Pranata Kumala.
Ah, ingatannya kembali kepada Pranata Kuma-
la. dia yakin, dirinya jatuh cinta pada pemuda tampan itu. Kalau ingat akan luka
di lengan kanan pemuda itu akibat goresan pedangnya, dia menjadi menyesal
sendiri. Tidak seharusnya tangan pemuda itu terluka. Dua hari yang lalu pun,
ketika bertemu dengannya, Ambarwati melihat luka itu masuk menggores di tangan
Pranata, walau ditutupi saputangan putih.
"Maafkan aku, Pranata...." desisnya kepada angin, karena hanya angin saja yang
berada di sekitar
sana. Tidak ada siapa-siapa.
Tetapi kalau ingatannya kembali kepada si Ke-
dok Putih, dia menjadi agak iba. Ambarwati yakin, si Kedok Putih mencintainya.
Buktinya dia selalu muncul kalau dirinya dalam kesulitan.
Pemuda yang selalu membantu seorang gadis,
pasti ada apa-apanya. Kalau tidak suka, ya, cinta! Cinta, sebenarnya apa sih
cinta" Ambarwati sendiri men-
jadi bingung. Lalu apa nama perasaan sukanya kepada
Pranata Kumala" Apa itu cinta.
Dan mendadak Ambarwati menjadi berdebar
sendiri. Apa dia sudah pantas untuk mengenal cinta"
Ih, cinta! Apa sih maksudnya" Pokoknya bagi Ambar-
wati, dia selalu ingin bertemu dengan Pranata Kumala, pemuda tampan yang tidak
sombong itu. Ambarwati pasti yakin, itu yang namanya cinta.
Cinta juga perlu pengorbanan. Buktinya" Si Kedok Pu-
tih itu. Dia selalu menolongnya dalam kesulitan, berarti dia berkorban tenaga
bahkan nyawa kalau suatu
saat dia terbunuh ketika menolongnya.
Tetapi si Kedok Putih kelihatan tangkas dan
hebat. Ilmunya tinggi. Mungkin lebih tinggi dari Pranata Kumala" Ah, pemuda itu
pun hebat Ambarwati tidak
mau kalau-kalau pemuda pujaannya di kalahan orang.
Pasti Pranata Kumala mampu mengimbangi kesaktian
Si Kedok Putih.
Karena berjalan sambil melamun, tanpa terasa,
kudanya sudah tiba di daerah yang tak jauh dari ru-
mahnya. Barulah Ambarwati sadar, kalau dia sejak ta-
di melamun. Dengan bergegas dia memacu kudanya,
karena hari sudah malam.
Tetapi baru beberapa ratus meter dia melarikan
kudanya, dia melihat serombongan orang berkuda ke-
luar dari balik bukit. Orang itu sangat banyak. Ber-
jumlah lebih dari dua puluh orang. Dan yang membuat
Ambarwati terkejut, dia mengenali semua orang itu.
Pelayan-pelayannya di rumah.
Dan lebih terkejut lagi ketika melihat seorang
penunggang kuda yang memakai jubah di belakang-
nya. Ayahnya! Penunggang kuda itu pasti ayahnya.
Ambarwati yakin, itu Bapa!
Mau apa Bapa malam-malam begini keluar
dengan sebanyak itu para pengawalnya. Hei, baru kali ini dia melihat ayahnya
keluar malam. Apa yang hendak dilakukan ayahnya malam-malam begini"
Dengan perasaan penuh tanda tanya dan ingin
tahu, Ambarwati mengikuti rombongan itu dari bela-
kang, agak mengatur jarak karena kuatir ketahuan
oleh mereka. Memang, saat ini Jedangmoro hendak beraksi
lagi, karena menurut mata-matanya, ada sebuah kere-
ta barang yang dikawal oleh enam orang hendak be-
rangkat menuju desa Pacitan.
Sebenarnya Jedangmoro tidak ingin pergi men-
jegal sekarang. Biarlah rombongan itu lewat dengan selamat. Dia kuatir, putrinya
akan datang malam ini. Tetapi ketika ingat, kalau putrinya suka ngelayap lewat
dari izin perginya, Jedangmoro segera memerintahkan
anak buahnya untuk bersiap. Malam ini mereka harus
membuat persiapan jebakan dan paginya mereka akan
garap orang-orang itu.
Jedangmoro tidak tahu, kalau kali ini putrinya
patuh, kembali sesuai dengan izinnya sebanyak tiga
hari. Dan putrinya kini berada di belakang rombongan mereka, yang terheran-heran
hendak berbuat apa
ayahnya dengan pasukan sebanyak itu.
Ambarwati juga melihat, kalau pelayan-pelayan
yang biasa di rumah sopan dan baik, kini kelihatan
mereka sangat beringas dan di pinggang mereka mas-
ing-masing, tercantel sebuah golok besar.
Hendak ke manakah mereka itu"
Ambarwati terus membuntuti dengan hati-hati,
masih tetap mengatur jarak. Tak berapa lama kemu-
dian, dia melihat pasukan itu berhenti dan ayahnya
memberi perintah untuk membuat rintangan yang be-
rupa susunan bambu di tengah jalan.
Dan anak buahnya serentak melaksanakan tu-
gas itu. Lagi-lagi dalam hati Ambarwati bertanya-tanya kebingungan. Bapa sedang
melakukan apa" Apakah
Bapa akan menyerang musuhnya dengan mencegat
perjalanan mereka. Atau... ah, Ambarwati tidak mene-
mukan jawabannya lagi.
Dia bersembunyi di atas pohon, sedangkan ku-
danya diikat jauh dari tempatnya mengintai.
Malam semakin larut. Ambarwati melihat
orang-orang yang ditugaskan ayahnya sudah selesai
menjalankan tugas. Kini lima buah batang pohon dija-
jarkan di jalanan. Memang bisa menghambat perjala-
nan, karena batang pohon itu besar dan harus dising-kirkan lebih dulu.
Setelah itu mereka semua bersembunyi di balik
batu-batu besar. Lho, kenapa mereka bersembunyi.
Ada apa sebenarnya. Mungkin dugaannya benar,
ayahnya mempunyai musuh dan kali ini akan melaku-
kan penyerangan. Wah, tentu asyik sekali melihat pertempuran itu. Dia akan
melihat kegagahan ayahnya
dalam bertempur nanti.
Ayah pasti jago dan hebat memainkan golok.
Siapa sih yang menjadi musuh ayahnya" Selama ini
ayah tidak mau menceritakan tentang musuhnya.
Bahkan Ambarwati sendiri tidak pernah mendengar
kalau ayahnya punya musuh. Jadi siapa musuhnya
itu" Malam terus merambat dan pagi pun datang.
Matahari perlahan-lahan keluar dari peraduan-
nya. Dia tidak pernah telat sedetik pun. Selalu siap siaga menjalankan tugasnya.
Tugas yang rutin dan dia tidak pernah mengeluh dengan tugasnya.
Diam-diam Ambarwati ingin seperti matahari,
yang selalu tepat pada apa yang dikerjakannya.
Semalaman dia tidak tidur. Ambarwati melihat
ada beberapa anak buah ayahnya yang tidur dan ada
yang tidak. Seolah mereka menjaga jangan sampai je-
jak musuh sudah terlewat.
Kira-kira matahari sepenggal, dari kejauhan
terlihat debu mengepul. Dan sebuah kereta kuda den-
gan lima orang pengawalnya melaju ke arah rintangan
kayu itu. Memang hanya itu jalan satu-satunya menu-
ju desa Pacitan. Pasti mereka akan menuju desa Paci-
tan. Tetapi, apakah orang-orang itu yang ditunggu
ayahnya" Kalau hanya lima orang, mengapa ayahnya
membawa pasukan sebanyak itu.
Ah, pasti bukan mereka.
Tetapi dugaan Ambarwati salah. Salah besar.
*** 8 Secara tiba-tiba saja dia mendengar suara
ayahnya berseru, "Serbuuuu!"
Serentak orang-orang yang bersembunyi itu ke-
luar berhamburan dengan suara kuda yang meringkik
dan derap langkahnya yang cepat.
Kereta kuda itu berhenti secara mendadak.
Seorang pemuda yang tampan dan agaknya pemimpin
rombongan kecil itu menghentikan kudanya, bersiap
dengan mencabut serulingnya. Yang lain pun segera
mencabut sepasang pedang mereka masing-masing.
Rupanya mereka adalah Pranata Kumala dan
sisa empat orang murid perguruan Topeng Hitam. Me-
reka baru melanjutkan perjalanan setelah menginap
semalam di sebuah penginapan.
Orang-orang itu segera mengurung dan Je-
dangmoro seperti biasa membentak, " Cepat serahkan barang yang kalian bawa itu
kepada kami! Kalau tidak...." "Kalian yang akan kami bunuh!" Pranata Kumala
sudah memotong, membuat wajah Jedangmoro
agak memerah. Ia menjadi gusar. Pemuda ini terlalu berani.
Dan yang sangat terkejut adalah Ambarwati, pemuda
yang dibentak ayahnya itu adalah pemuda tampan
yang dicintainya.
Hei, ayah rupanya ingin mengambil barang
yang dibawa oleh pemuda dan rombongannya itu.
Mengambil" Hah, lalu apa kerja ayah sebenarnya"
Ambarwati menunggu kejadian selanjutnya, te-
tapi dia sudah memekik, karena ayahnya tengah men-
gayunkan goloknya ke arah Pranata yang cepat me-
nangkis dengan serulingnya dan membelokkan ku-
danya ke samping kiri.
"Traakkk...!"
Serentak yang lain segera menyerang dengan
pekikan keras. Empat orang murid perguruan Topeng
Hitam bertahan mati-matian menghadapi serangan
yang beruntun dari jumlah penyerang yang sangat ba-
nyak. Suara bunyi senjata beradu sangat ramai dan
nyaring. Ditimpali oleh jeritan yang terluka sangat keras, bahkan mengalahkan
kerasnya bunyi benturan
senjata. Criing..! Aaah...!"
Suara-suara itu bersatu dengan galau. Karena
didesak oleh puluhan orang, keempat murid perguruan
Topeng Hitam itu tidak mampu bertahan, hanya se-
bentar saja mereka semua roboh bermandikan darah.
Dan orang-orang itu menyerbu ke arah kereta kuda.
Tetapi betapa marah dan terkejutnya mereka, karena
di kereta kuda itu tidak terdapat apa yang mereka cari.
Mereka hanya menemukan seorang murid per-
guruan Topeng Hitam yang mengerang karena terluka.
Dengan marah mereka menyeret orang itu keluar dan
mengganyangnya ramai-ramai.
Sementara itu Pranata Kumala sudah mende-
sak Jedangmoro, namun dia segera bersalto karena ti-
ga orang dari anak buahnya Jedangmoro sudah berge-
rak membantu. Tidak hanya tiga, hampir seluruhnya, karena
mereka kesal dan marah tidak mendapatkan apa-apa.
Jelas-jelas Pranata mengerahkan seluruh kehebatan-
nya. Jurus tangan Bayangan dan pukulan sinar me-
rahnya berkelebat ke sana-kemari, membuat para pen-
geroyoknya menjadi kocar kacir.
Tetapi karena betapa banyaknya pengeroyok
itu, akhirnya dia terluka juga di tangan sebelah kiri.
"Aaah...." Pranata terhuyung dan sebisanya menangkis golok-golok itu dengan
serulingnya. Di tempat persembunyiannya, Ambarwati terke-
jut. Benar, ayahnya ingin merampok. Kalau begitu se-
lama ini yang dikerjakan ayahnya hanya merampok
dan membunuh. Pantas kalau pulang ayah selalu membawa har-
ta yang banyak. Ambarwati sendiri sebenarnya ingin
bertanya dari mana harta sebanyak itu, tetapi dia diam saja karena ayahnya pasti
ingin menyenangkannya
dengan harta itu.
Tetapi kali ini, dia melihat dengan mata kepala
sendiri, kalau ayahnya merampok kereta kuda itu!
Dengan menahan marah dan tangis, Ambarwati
melompat turun dan berlari ke kudanya. Dengan dige-
prak keras, kudanya meloncat ke depan dan berlari
dengan kencang. Membawa Ambarwati yang menangis
pilu, ke arah pertempuran.
Saat ini, nyawa Pranata benar-benar terancam.
Dia masih berusaha bertahan dengan pukulan sinar
merahnya. Tetapi lama kelamaan dia menjadi kewala-
han. Kembali golok-golok itu menyambar tubuhnya.
Pranata bersalto ke belakang dan mengelua-
rkan seruling pemberian ayahnya. Seruling Naga,
hanya ini satu-satunya yang bisa menghancurkan pa-
sukan perampok itu,
Tetapi sebelum dia meniup seruling itu terden-
gar jeritan, "Bapaaa!!"
Semua menoleh ke arah itu. Seorang gadis re-
maja tengah memacu kudanya dengan cepat dan ber-
henti di dekat Jedangmoro. Ia turun dengan bergegas
dan berkata-kata dengan sangat cepat, "Bapa, apa ar-tinya semua ini Bapa" Kenapa
Bapa melakukan per-
buatan hina itu. Ambar sedih, Bapa. Ambar juga jijik!
Jadi selama ini Bapa memberi makan Ambar dengan
harta yang tidak halal. Bapa, katakan, kenapa Bapa
melakukan semua itu?"
Jedangmoro tergagap. Tidak bisa berkata apa-
apa. Dia terdiam lesu, tidak menyangka putrinya akan muncul dan memergokinya.
"Bapa, katakan, Bapa. Kenapa, kenapa" Ambar
sedih, Bapa. Bapa yang selama ini Ambar banggakan
ternyata hanya seorang perampok. Bapa... Ambar anak
perampok! Ambar anak perampok...!"
Gadis itu berlari dan menangis tersedu-sedu.
Jedangmoro tertegun hendak mengejar. Tetapi terden-
gar bentakan Pranata Kumala.
"Tak kusangka, orang macam kau mempunyai
gadis se suci itu! Hatinya masih murni dan mulia, tetapi kau telah meracuninya
dengan perbuatanmu yang
busuk itu, yang sangat membuatnya terpukul!"
Jedangmoro menggeram marah. Dia harus me-
lampiaskan kemarahannya itu kepada pemuda ini.
Dengan marah dia berseru, "Bunuh pemuda itu...!"
Tetapi Pranata Kumala sudah bersiap. Gadis
Pendekar Bayangan Sukma 7 Pendekar Kedok Putih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
manis itu sudah menjauh, tidak mungkin terkena alu-
nan seruling naga. Begitu mereka menyerang, Pranata
cepat bersila dan mulai meniup Seruling Naga itu.
Terdengar suara yang lembut dan sahdu, tetapi
terdengar amat menyentak di telinga para penyerang-
nya, dan terasa sangat menyakitkan. Penyerang itu serentak terguling sambil
menutupi telinga mereka, be-
rusaha menahan rasa sakit yang dialirkan oleh nada
suara seruling itu.
Kuda-kuda mereka pun bergeletakan dengan
ringkikan hebat. Sementara Jedangmoro sendiri duduk
bersila dengan kedua telapak tangan bersatu di dada.
Mengerahkan tenaga dalam dan hawa mur-
ninya. Tetapi serangan suara seruling itu membuat tubuhnya gemetar dan
mengeluarkan darah. anak buah-
nya yang lain sudah sekarat semua dan akhirnya te-
was bergeletakan dengan mengeluarkan darah dari bi-
bir dan telinganya.
Tubuh Jedangmoro bergetar hebat dan akhir-
nya ambruk dengan bibir dan telinga mengeluarkan
darah. Sampai di situ Pranata Kumala menghentikan
tiupan serulingnya dan beranjak menghampiri Je-
dangmoro yang nafasnya tengah putus-putus.
Mata Jedangmoro terbuka, perlahan-lahan,
agak meredup dan seperti menahan rasa yang amat
sakit. "Kau... kau... sungguh hebat, Anak muda.... Ah, tolong... tolong cari
putri ku... katakan... a... aku...
minta maaf dan... aaguhhh!"
Tubuh itu terkulai dan nyawanya terbang me-
layang. Pranata menghela nafas panjang. Keangkara-
murkaan akan berakhir juga. Dia sedih melihat mayat-
mayat yang bergeletakan itu, tetapi tak ada jalan lain, mereka semua harus
dibasmi kalau tidak ingin membuat keonaran lagi. Betapa banyak perbuatan dosa
yang telah mereka lakukan dan semua itu harus di-
hentikan. Tiba-tiba dia teringat kepada Ambarwati, den-
gan cepat dia berkelebat berlari mencari gadis itu. Pranata menemukan gadis itu
berada sedang duduk ter-
menung dan sekali-sekali terisak di tepi sungai yang alirannya bersih dan
bening, suara gemerciknya enak
didengar. Gadis itu tidak menyangka akan perbuatan
ayahnya selama ini dan bagaimana perasaannya ketika
tahu siapa yang diserang ayahnya.
Pranata Kumala, pemuda yang dicintainya. Oh,
pasti pemuda itu tidak akan menyambut rasa cin-
tanya. Pasti dia malu mempunyai kekasih seorang
anak perampok. Ambarwati menangis tersedu-sedu.
Tiba-tiba dia mengangkat wajahnya. Terdengar
suara lembut di belakangnya, "Ambar...."
Ambarwati cepat menoleh dan mengusap air
matanya. Sejenak dia melengak. Yang memanggilnya
pemuda yang dicintainya.
Ah, pasti dia akan memandang rendah kepa-
danya. Ambarwati menunduk, tak kuasa menatap wa-
jah tampan itu. Tetapi tadi ketika dia menatap mata
itu, tidak ada kesan mengejek dan memandang rendah
kepadanya. Ah, itu hanya ilusinya saja agar hatinya
tenang. Pemuda itu beranjak mendekat. Berlutut dan
tiba-tiba memegang dagunya, menaikkan agar dia me-
natap matanya. Tubuh Ambarwati menggigil. Tak kuasa dia ba-
las menatap. "Kau menangis, Ambar...." suara pemuda itu lembut. Ambarwati menunduk lagi
tetapi Pranata mengangkat kembali wajah itu.
"Kau belum menjawab pertanyaanku, Ambar.
Kenapa?" "Aku... aku... ah, aku takut dan malu pada-
mu...." suara Ambarwati tersendat.
"Malu kenapa, Ambar?"
"Kau... kau pasti malu dan mengejek ku... ter-
nyata, aku hanya anak seorang perampok, yang tidak
patut berteman denganmu...."
"Siapa bilang?" Pranata tersenyum dan memegang dagu Ambar lalu membelai pipinya.
"Aku sedih kau menuduhku demikian, Ambar. Sampai kapan pun
aku akan tetap berteman denganmu. ayahmu tetap
ayahmu, dan kau tetap kau. Kau bukan ayahmu dan
ayahmu bukan engkau. Ambar...."
Ambar menatap mata yang redup itu. Dari sana
nampak pancaran sinar mesra. Benarkah, benarkah"
Pancaran mesra itu ditujukan kepadanya"
"Ya...." suara Ambar pelan dan tersendat.
"Aku... aku...." Pranata ragu-ragu.
"Aku rela ayah mati di tanganmu, Pranata," ka-ta Ambar memotong. Ayah sudah
sepatutnya untuk
meninggalkan dunia ini, sebelum dosanya semakin
menumpuk...."
"Bu... bukan itu, Ambar...."
"Bukan itu?" Kening Ambarwati berkerut.
"Ya, bukan itu. Aku... ah, Ambar... aku ingin
bicara sesuatu, kau tidak marah mendengarnya?"
"Aku belum mendengarnya... jadi tidak tahu
apa aku harus marah atau tidak...." Suara Ambarwati sudah agak tenang.
"Aku... ah, aku pembunuh ayahmu Ambar," ka-ta Pranata setelah menghela nafas
panjang. "Pa... pa-tutkah kalau aku... aku mencintaimu... ah...." Wajah Pranata
bersemu merah sendiri.
Tetapi wajah Ambar pun bersemu merah pula.
Dia menunduk dan mendadak dia terisak. Pranata
menjadi kebingungan sendiri, selama hidupnya, baru
kali ini dia mencintai seseorang dan mengatakan cin-
tanya. Melihat gadis itu menangis, tentu saja dia gu-gup. Dia menjadi serba
salah sendiri. "Ma... maafkan aku, Ambar. Aku... memang ti-
dak pantas untuk mencintaimu... apa... apalagi aku
yang... membunuh ayahmu sendiri.... Maafkan aku,
Ambar." Gadis itu mengangkat wajahnya. Matanya me-
merah. "Pranata...."
"Ya," suara Pranata lesu. "Ka... kalau kau menolak, tidak usah kau katakan
Ambar. Kau diam saja-
lah, agar aku tahu kalau kau menolak. Aku... aku ta-
kut sakit hati kau... tolak... lebih baik, jangan kau ucapkan, Ambar... dan
maafkan aku...."
"Pranata...." sekali lagi Ambar memanggil dan di bibirnya yang mungil
tersungging sebuah senyuman
yang amat manis.
Pranata menunggu apa yang hendak diucapkan
oleh gadis itu, tetapi mendadak gadis itu menunduk
tersipu, wajahnya kembali semburat merah.
Pranata menghela nafas panjang. Dia yang bo-
doh, gadis ini mencintainya. Dia memang belum pen-
galaman dalam hal ini. Untuk menyakitkan itu, perla-
han-lahan dia memberanikan diri untuk memegang
lengan gadis itu. Gadis itu diam saja, masih menunduk dan dadanya berdetak lebih
keras. Pranata perlahan memberanikan diri untuk
berbuat lebih jauh. Dengan hati-hati dia merangkul
gadis itu. Betapa enaknya merangkul seorang gadis.
Tubuh yang padat dan dada yang kenyal menekan di
dadanya. Ambarwati merebahkan diri di dadanya.
Ternyata dia tidak bertepuk sebelah tangan.
Pemuda itu pun mencintainya, tetapi dia tidak tahu
bagaimana cara mengucapkannya.
Pranata merasakan sesuatu yang hangat keluar
dari tubuh gadis itu dan tubuhnya, bersatu dan me-
nimbulkan rangsangan yang mulai naik.
Perlahan dia mengangkat dagu Ambarwati. Ma-
ta Ambarwati terpejam. Oh, betapa merekahnya bibir
itu. Rupanya itu yang membuat rangsangan.
Dengan hati-hati Pranata mencium bibir yang
kenyal itu. Dan mengulumnya perlahan. Ambarwati
mengeluh dalam kecupannya dan perlahan-lahan
membalas pula. Dia merasakan suatu aliran aneh
mengalir dari bibirnya ke seluruh tubuhnya.
Betapa menggetarkan. Betapa sahdunya.
Ah, sayang Pranata sudah melepaskan bibir-
nya. Dia masih ingin lama-lama dikecup dan dikulum
begitu. Pranata tersenyum. Mengecup pucuk hidung
Ambarwati. Ambarwati membuka kelopak matanya dan ter-
sipu. Buru-buru dia meletakkan kepalanya di dada
pemuda itu. Pranata membelai rambut hitam Ambarwati
dan mencium bau yang harum sekali.
"Sekarang kau hendak tinggal di mana, Am-
bar?" tanya Pranata perlahan.
Ambarwati menggeleng perlahan. Seolah tidak
tahu, padahal di Laut Selatan di masih mempunyai se-
buah rumah peninggalan ayahnya yang lengkap den-
gan segala isinya.
"Kau tidak tahu, Ambar?"
"Ya."
"Bagai... bagaimana kalau kau tinggal di tem-
patku?" Mendadak Ambarwati melepaskan rangkulannya. Ia menatap Pranata tajam.
"Aku tidak mau. Hidup serumah tanpa nikah,
aku tidak mau. Kau harus menikahi ku dulu, baru aku
mau tinggal di sana."
Pranata merangkul kembali kekasihnya. Mene-
nangkan. "Untuk sementara kau tinggal di sana. Ada
ayah dan bundaku. Sebulan kemudian, kau akan ku
nikahi. Kau mau menikah denganku, Ambar?"
Kembali Ambar tersipu. Disangkanya Prananta
mengajaknya untuk tinggal serumah tanpa menikah.
Dinikahi oleh pemuda yang dicintainya, sudah tentu
dia amat setuju. Hatinya bahagia dan berbunga.
Ternyata Yang Kuasa masih memberinya keba-
hagiaan setelah kecewa melihat dan mengetahui per-
buatan ayahnya. Bahkan Ambarwati tidak menyesali
kematian ayahnya. Ayah lebih baik mati daripada hi-
dup hanya akan menambah dosa.
Pranata mengajak gadis itu ke perguruan To-
peng Hitam. Dia memperkenalkan gadis itu kepada
ayah bundanya dan menceritakan asal usulnya. Ratih
Ningrum hanya mengangguk setuju dengan pilihan pu-
tranya. Dia merangkul Ambarwati yang merasa aman
dan bahagia dalam rangkulannya.
*** 9 Selama tiga minggu tidak ada kejadian apa-apa
yang menggemparkan. Kini daerah kekuasaan Gerom-
bolan Golok Iblis sudah tidak ada gangguan lagi. Ge-
rombolan itu sudah tumbang ke akar-akarnya. Dan ge-
rombolan yang berada di bawah mereka segera pergi
dari daerah ini, karena tidak ingin mengalami nasib
seperti Golok Iblis.
Rombongan-rombongan pengiriman barang ti-
dak takut untuk melalui daerah itu menuju ke daerah
Pacitan. Seminggu kemudian, secara resmi Pranata me-
nikahi Ambarwati. Seisi perguruan Topeng Hitam ber-
bahagia, karena mereka senang Pranata mendapat istri seorang gadis yang cantik
dan lembut. Mereka lalu minta izin berbulan madu. Tempat
yang dipilih oleh Ambarwati adalah rumah nya yang
hampir sebulan dia tinggali.
Rumah itu tak banyak berubah. Seperti dulu.
Hanya sekarang agak kotor dan sepi sekali. Dengan
semangat dan gembira Ambarwati membersihkan ru-
mah itu dibantu dengan suaminya yang selalu setia,
walau sekali-sekali teringat akan ayahnya.
Mereka menghabiskan waktu bulan madu itu
selama seminggu di sana. Saat-saat yang paling ber-
bahagia buat mereka. Seakan tak habis-habisnya me-
reka bergelut dan tak bosan-bosannya mereka tertawa
dan bercanda. Tetapi suatu hari, mereka dikejutkan oleh se-
buah tongkat yang dilempar dari luar dan menabrak
kaca hingga kaca itu berantakan.
"Praang...!"
Pranata dan Ambarwati yang sedang bercanda
menjadi terkejut. Mereka segera bersiaga. Keduanya
cepat mengambil senjata mereka masing-masing.
Pranata menyelinap ke depan. Mengintai apa
yang sebenarnya terjadi.
Di sana, dia melihat puluhan orang pengemis
telah mengepung rumah itu. Dan di tengah mereka
berdiri pengemis yang bermata sipit, Sengkawung,
pengemis yang dikalahkannya beberapa bulan yang la-
lu. Dan mau apa sekarang mereka kemari"
"Hei, kalian berdua! Cepat keluar, kalau tidak
ku bakar rumah ini!" terdengar bentakan keras Sengkawung.
Pranata kembali ke tempat istrinya yang juga
mendengar seruan itu.
"Siapa mereka, Kakang?"
"Para pengemis yang akan balas dendam kepa-
da kita, Rayi...."
"Para pengemis?" Kening Ambarwati berkerut, tetapi kemudian ingat, pasti teman-
temannya Ayasumo
yang berhasil dibunuh oleh si Kedok Putih.
"Iya, Rayi. Orang yang berseru tadi, pernah
bentrok denganku beberapa bulan yang lalu. Agaknya
mereka ingin balas dendam kepadaku. Kita bersiap,
Rayi." "Iya, Kakang."
Terdengar bentakan lagi, "Cepat kalian keluar!
Aku sudah tahu siapa kalian adanya! Kalian adalah
orang-orang yang harus kami bunuh!"
"Kita keluar, Rayi?" tanya Pranata.
"Baik, Kakang," sahut Ambarwati mantap.
Pendekar Bayangan Sukma 7 Pendekar Kedok Putih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dengan sikap gagah keduanya keluar dan ber-
hadapan dengan puluhan pengemis itu. Sengkawung
terbahak melihat keduanya.
"Ha... ha... kalian rupanya sudah menjadi sua-
mi istri sekarang.... Bagus, bagus, karena hari ini aku akan mencabut nyawa
kalian!" Pranata mendengus mengejek.
"Kau" Hhh, kau tidak sadar rupanya, berapa
banyak anggotamu yang kau bawa! Jangan mimpi
hanya kau yang bermaksud menaklukkan kami!"
Wajah Sengkawung memerah. Tetapi kemudian
dia tertawa. "Baik, baik, bukan aku, tapi kami yang akan
membunuhmu! Bersiaplah kalian berdua, kami sudah
muak dengan orang-orang macam kau!"
"Sengkawung... kau tidak sadar rupanya, bebe-
rapa bulan yang lalu pernah kubuat tunggang lang-
gang. Dan sekarang kau ingin merasakan kembali ru-
panya. Baik, kami pun sudah siap menyambut kalian!"
Wajah Sengkawung kembali memerah. Dia
menggeram marah dan berseru memberi aba-aba, "Se-raaang mereka! Bunuh!"
Dan serentak puluhan orang pengemis maju
dengan tongkat mereka. Pranata dan Ambarwati pun
bersiap. Pranata mengkhawatirkan keselamatan is-
trinya. Kepandaian pedang istrinya masih rendah se-
kali, menghadapi satu lawan satu dia juga belum tentu menang, apalagi dikeroyok
demikian. Pranata bergerak mendekati istrinya, sekaligus
melindunginya. Punggung keduanya saling menempel
dan menghalau setiap serangan.
Tetapi serangan-serangan itu betapa ganas dan
banyaknya. Membuat keduanya agak kewalahan juga.
Apalagi keadaan Ambarwati sudah agar terdesak. Tu-
buhnya sudah banyak luka.
Pranata pun demikian. Jalan satu-satunya dia
harus menggunakan kembali seruling naga. Tetapi ba-
gaimana dengan istrinya, istrinya bisa mati juga jika mendengar suara seruling
itu. Sambil melepaskan pukulan sinar merahnya
secara beruntun, Pranata menyambar tubuh istrinya
dan membawanya lari. Orang-orang itu mengejar, na-
mun terhalang oleh pukulan sinar merah Pranata.
Ini kesempatan yang bagus, dia menurunkan
istrinya dan dengan sekuat tenaga dia melancarkan
pukulan sinar merahnya kepada orang-orang yang
mengejar itu. Tetapi Sengkawung tidak kehilangan akal, tidak
bisa mendekati Pranata Kumala, dia memerintahkan
anak buahnya untuk melempar tongkat-tongkat itu.
Dan secara beruntun tongkat itu melesat menuju me-
reka. Dengan susah payah mereka menghindari se-
rangan tongkat itu dan kesempatan yang baik diguna-
kan oleh para penyerangnya untuk maju bergerak.
Kembali keduanya sudah dikurung rapat. Kali
ini para pengemis itu tidak memegang senjata, agak
menguntungkan bagi Pranata dan Ambarwati.
Keduanya sudah menggerakkan senjata mereka
dengan hebat. Pedang Ambarwati berkelebat ke sana-
kemari dan telah merobohkan lima orang pengeroyok-
nya. Begitu pula dengan Pranata Kumala. Dengan se-
rulingnya dia pun telah menotok empat orang penge-
royoknya. Tetapi orang-orang itu demikian banyaknya,
akhirnya keduanya kewalahan dan secara terpaksa
mereka memisahkan diri, tidak saling merapatkan
punggung. Pranata mengamuk hebat dengan serulingnya,
tetapi keadaan istrinya terdesak hebat. Dengan tiba-
tiba saja, Sengkawung bergerak dan menendang perge-
langan tangan Ambarwati hingga terlepas pedangnya
dan menotoknya hingga kaku.
Ambarwati tidak bisa bergerak. Dia memaki-
maki marah. Tetapi Sengkawung hanya terbahak saja.
Dia memerintahkan anak buahnya untuk mengeroyok
Pranata Kumala. Sedangkan dia sendiri membopong
tubuh Ambarwati yang kaku sambil terbahak-bahak.
Pranata hendak membebaskan istrinya, tetapi
pengeroyok itu telah mengepungnya dengan rapat. Ti-
dak memberinya kelonggaran sedikit pun.
Terdengar suara Ambarwati menjerit-jerit di-
iringi tawa Sengkawung. Dia membawa tubuh Ambar-
wati ke balik semak dan merebahkannya hendak
memperkosa. Pranata Kumala marah mendengar jeri-
tan istrinya. Dia menerobos kepungan itu, tetapi ke-
pungan itu sangat rapat sekali..
Dia ingin menggunakan seruling Naga, tetapi
kuatir istrinya akan terkena pula serangan seruling
itu. Tubuhnya sudah menjadi bulan-bulanan para
pengeroyoknya. Dia sudah mengerahkan seluruh ke-
pandaiannya. Walaupun tangannya sudah dialiri pu-
kulan sinar merah, tetap dia tidak bisa menghindar
dan menangkis serangan dari belakang atau samping.
Jeritan istrinya terdengar panjang. Dan terden-
gar baju sobek. Sengkawung tertawa terbahak-bahak.
Tetapi tiba-tiba dia terguling, karena sebuah
pukulan menerjang wajahnya.
"Des...." Sengkawung buru-buru bangkit dan melihat siapa yang telah memukulnya.
Si Kedok Putih, orang yang selama ini dia cari. Tengah berdiri dengan gagah.
Sungguh kebetulan sekali. Dia tidak perlu la-ma-lama mencari si Kedok Putih. Si
Kedok Putih mem-
bebaskan totokan di tubuh Ambarwati dan menghada-
pi Sengkawung. "Rupanya kau pemimpin Partai Pengemis Sakti
itu." Suara si Kedok Putih angker.
Sengkawung tidak takut dengan suara itu. Dia
membentak, "Kau rupanya si Kedok Putih! Bagus, kau datang sendiri kepadaku! Hari
ini. aku menagih nyawamu sebagai pembayaran atas nyawa anak buahmu
yang kaubunuh!"
"Sengkawung, kau adalah orang Tiongkok yang
datang ke tanah persada ini dan kau berani-beraninya membuat kekacauan di negeri
kami!" "Persetan dengan semua itu, sekarang kau ber-
siaplah hutang nyawa dibayar nyawa!"
"Sejak tadi aku sudah bersiap, Sengkawung!"
Setelah mendengar ucapan itu, Sengkawung
segera bergerak. Sungguh cepat dan bertenaga penuh.
Namun si Kedok Putih sudah sejak tadi siap, maka
dengan ringannya dia menghindar ke samping. Seran-
gan itu luput. Dan kaki si Kedok Putih sudah me-
nyambar kaki Sengkawung hingga tubuh itu jatuh.
Sengkawung bangkit dengan mata berbinar me-
rah. Tetapi belum dia menyerang, sudah terdengar
alunan seruling yang amat merdu. Tetapi dirasakan
oleh Sengkawung dan Si Kedok Putih amat menya-
kitkan telinga.
Rupanya Pranata sudah kewalahan sekali. Dia
akhirnya meniup juga seruling naga itu. Pikirannya
hanya satu, biarlah istrinya mati terkena seruling itu daripada ternoda oleh
Sengkawung, nanti setelah itu
dia sendiri akan membunuh diri.
Suara seruling itu membuyarkan para penge-
pungnya hingga jatuh berantakan.
Tubuh Sengkawung pun bergetar dan dia du-
duk bersila menghimpun tenaga dalam untuk mena-
han serangan seruling itu.
Si Kedok Putih pun berbuat yang sama, tetapi
sedetik kemudian dia teringat akan gadis manis itu.
Ambarwati. Dengan gerakan yang sangat cepat, Si Ke-
dok Putih memukul leher Ambarwati hingga pingsan.
Dan dia sendiri ambruk ke tanah karena suara
seruling itu. Buru-buru dia mengerahkan hawa mur-
ninya untuk menahan. Betapa hebat alunan suara se-
ruling itu. Suara yang begitu kuat dan dahsyat.
Para pengeroyok Pranata Kumala sudah mam-
pus kelojotan, begitu pula dengan Sengkawung yang
akhirnya ambruk dengan tubuh kejang-kejang.
Hanya si Kedok Putih agaknya yang masih
mampu bertahan. Sekuat tenaga dia kerahkan untuk
menahan serangan suara seruling.
Tiba-tiba seruling itu berhenti. Si Kedok Putih
menahan nafas lega dan menghembuskannya perla-
han. Sesosok tubuh berkelebat.
Pranata Kumala yang memanggil-manggil is-
trinya, "Ambar, Ambar!"
Dia menemukan tubuh Sengkawung yang telah
menjadi mayat dan tubuh istrinya yang pingsan. Ia
merangkul dan menangisi istrinya. Disangkanya is-
trinya mati akibat suara seruling itu.
"Ambar... maafkan aku, maafkan aku. Aku ter-
paksa melakukan semua ini, Sayang.... Oh, Tuhan...
betapa besar dosaku karena membunuh istriku sendi-
ri...." Pranata menangis tersedu-sedu.
Tiba-tiba dia merasakan bahunya dipegang se-
seorang. Dia menoleh, orang itu si Kedok Putih.
"Dia hanya pingsan, Nak. Sebentar lagi juga si-
uman." "Kau... kau yang telah membuatnya pingsan?"
tanya Pranata terbata.
"Ya... suara seruling mu begitu keras sekali."
"Te... terima kasih, Kakang. Kau telah menye-
lamatkan istriku...."
Si Kedok Putih hanya mengangguk. Lima menit
kemudian, Ambarwati siuman. Dia mula-mula bingung
berada di mana, tetapi begitu melihat suaminya, dia
langsung merangkulnya. Pranata membalas rangkulan
itu dengan terharu. Istrinya masih hidup. Istrinya masih hidup.
Ambarwati menoleh kepada laki-laki yang ber-
diri di samping mereka. Si Kedok Putih, lagi-lagi orang itu yang telah
menolongnya. Ah, pasti si Kedok Putih kecewa karena dia telah bersuami. Sudah
seharusnya dia mengucapkan terima kasih sekarang.
"Kedok Putih....lagi-lagi kau yang telah meno-
longku.... Kuucapkan terima kasih kepada mu...."
"Tak perlu mengucapkan terima kasih, Nimas.
Sudah kewajiban kita untuk tolong menolong...."
Pranata membimbing istrinya bangkit dan me-
rangkulnya dengan mesra.
"Kedok Putih... kalau boleh, kami ingin sekali
melihat wajahmu... biar kami tidak melewatkan ke-
sempatan jika bertemu denganmu...."
"Wajahku sangat buruk sekali, aku takut, ka-
lian tidak mengenalku lagi," kata si Kedok Putih sedih sambil berbalik
membelakangi mereka.
"Oh, maafkan kami, Kedok Putih," kata Prana-ta. "Seburuk-buruknya rupa mu, tapi
hatimu baik. Biarpun bagaimana buruknya rupa mu, kami akan tetap
menjadi sahabatmu. Kami tak akan pernah melupakan
pertolonganmu...."
"Kalian akan menyesal."
"Tidak," kali ini Ambarwati yang bicara. "Kami tak akan pernah menyesal
bersahabat denganmu."
"Kalau kalian ingin melihat wajahku, baiklah.
Tetapi jangan terkejut jika mengetahui siapa aku sebenarnya."
"Kami tak akan pernah menyesal," sahut keduanya berbarengan.
Si Kedok Putih perlahan mengangkat tangan-
nya, siap membuka kedoknya. Ambarwati memegang
kuat-kuat tangan suaminya. Sedikitnya dia ngeri jika melihat wajah buruk si
Kedok Putih. Dan kedok putih telah membuka wajahnya.
Berbalik menghadap mereka. Keduanya terkejut den-
gan mata terbelalak.
"Ayah!" seru Pranata Kumala.
"Ayah!" seru Ambarwati.
Si Kedok Putih tertawa, suaranya tidak lagi
angker. Kini biasa suara yang sering didengar mereka.
Suara Madewa Gumilang. Rupanya si Kedok Putih itu
adalah Madewa Gumilang yang menyamar.
Dia tertawa. "Kalian telah berjanji, tak akan terkejut melihat wajahku!" katanya masih
tertawa. "Bagaimana kami tidak terkejut, kalau ternyata
wajahmu, Ayah. Oh, terima kasih Ayah... kau selalu
membantu kami!" kata Pranata sambil menjura yang diikuti istrinya.
Madewa merangkul keduanya dan mengajak
mereka kembali ke perguruan Topeng Hitam.
Perguruan yang berdiri dengan tegar sampai
menembus ke langit ketenarannya.
Di bawah pimpinan Madewa Gumilang dan is-
trinya, perguruan itu semakin memuncak.
*** SELESAI E-Book by Abu Keisel Pedang Kiri 5 Kuda Putih Karya Okt Rahasia Kunci Wasiat 4
pengawal barang itu. Biar ini kulakukan untuk mene-
bus kesalahanku. Pranata berbalik kepada ayahnya.
"Aku sudah siap, Ayah!"
"Bagus! Kau hadapi mereka dengan sungguh-
sungguh. Perlihatkan kepandaianmu kepada Ayah.
Dan kalian, jangan sungkan-sungkan untuk melukai
Pranata Kumala. Anggap hari ini dia bukan putra ku,
tetapi musuh yang, harus kalian basmi! Ingat, kulihat gerakan kalian lamban dan
kaku karena sungkan, aku
yang akan menghajar kalian!"
Rupanya Madewa Gumilang bersungguh-
sungguh. Selain jengkel karena putranya tidak meno-
long orang-orang yang dalam kesulitan, dia juga ingin melihat kepandaian
putranya. Tadi dia memang sudah
merasakan, namun itu antara tenaga kasar. Dia ingin
Pranata bergerak secara halus namun mampu melum-
puhkan lawan-lawannya.
Pranata maju ke depan. Langkahnya tenang ke-
sepuluh orang murid perguruan Topeng Hitam menca-
but sepasang pedang mereka dan mengenakan topeng.
Dengan serentak mereka mengurung rapat. Pranata
berdiri tenang dengan mata waspada.
Maafkan kami, Raden," kata salah seorang. Dan
dia sudah menerjang maju dengan sabetan atas bawah
pedangnya. Pranata melompat ke belakang tetapi lang-
sung bersalto karena sepasang pedang di belakangnya
sudah menyambar.
Dan seterusnya, dua puluh pedang itu me-
nyambar dengan cepat dan ganas. Pranata Kumala
pertama agak kerepotan, Karena tidak sedikit pun dia dikasih menyerang. Malah
orang-orang itu seakan benar-benar ingin membunuhnya. Pranata mengerahkan
segenap kepandaian dan kelincahannya untuk berkelit
dan menghindar. Dan dia bergerak demikian cepatnya,
hingga hanya merupakan bayang-bayang.
Tiba-tiba dia melenting ke atas dan bersalto ke
belakang, menghindari dua buah pedang yang akan
menusuknya. Bergerak dengan sangat mengagumkan,
karena masih bersalto dia menotok dua orang lawan-
nya hingga kaku. Madewa berseru kagum dalam hati.
Perhitungan untuk menghindar dan menotok itu be-
nar-benar ditampilkan putranya dengan hebat.
Begitu Pranata hinggap di tanah, yang lain
kembali menyerang. Mendadak Madewa berguling, se-
rentak lawan-lawannya menusukkan pedangnya ke
bawah, tetapi lagi-lagi Pranata membuat gerakan yang mengagumkan. Tubuhnya tiba-
tiba melenting ke atas
dan kembali menotok dua orang dengan cepatnya bah-
kan menendang punggung salah seorang hingga jatuh
bergulingan. "Bagus!" seruan Madewa terdengar. "Tetapi ingat Pranata, masih ada lima orang
lagi! Gunakan, ju-
rus Penutup Barisan, cepat!"
Serentak lima orang itu berjalan ke belakang
merapat. Tetapi pedang-pedang mereka tidak sama
mereka pegang. Ada yang dua-duanya ke depan. Ada
yang ke samping dengan mengembangkan tangan. Ada
yang ke bawah. Ada yang satu ke bawah dan yang satu
ke atas. Dan penutup barisan, yang terakhir, mengepit kedua pedangnya di ketiak.
Pranata bingung bagaimana cara menyerang-
nya. Tetapi lawan-lawannya sudah maju menyerang.
Serentak dan gerakan mereka teratur. Yang berdiri di depan, mengibaskan
pedangnya. Pranata berkelit ke
samping tetapi yang pedangnya mengarah ke samping
cepat melompat menusuk, Pranata bergulingan. Kem-
bali yang pedangnya berada di bawah, menusuk den-
gan cepat. Dan serangan-serangan itu menjadi mem-
bingungkannya. Dia terus berkelit ke sana-kemari tan-pa tahu bagaimana harus
merobohkan lawan-
lawannya. Jurus Penutup Barisan sangat tangguh. Sa-
tu yang menyerang, yang empat diam. Bergantian den-
gan rapat dan cepat.
Tiba-tiba Pranata berbalik, menyerang yang
paling belakang, tetapi yang belakang pun segera berbalik dan memasang jurus
seperti yang di depan tadi.
Dan yang lain merubah jurusnya. Bukan main, suatu
jurus yang amat hebat diperlihatkan!
Pranata menarik diri ke belakang. Dia berpikir
bagaimana caranya menembus pertahanan mereka.
Mendadak dia mengibaskan tangannya, dan melesat
selarik sinar merah ke arah barisan itu, yang menda-
dak menjadi bubar untuk menyelamatkan diri. Dan se-
cepat kilat. Pranata bergerak. Menotok mereka satu
per satu hingga tak ada yang sanggup untuk bergerak
lagi. Terdengar Madewa bertepuk tangan.
"Bukan main! Kecepatan mu boleh juga, Prana-
ta. Baik, jika ada pengiriman barang itu, kau akan turut serta mengawal!"
Pranata menjura gembira.
"Terima kasih, Ayah."
"Pranata... kau mengenal orang yang mengena-
kan kedok putih?"
"Kedok putih?" Kening Pranata berkerut. "Tidak ayah, aku belum pernah
melihatnya. Si Kedok Putih
itukah yang telah menolong Kakang Jayalaksa?"
"Iya, pendekar budiman itu menyembunyikan
wajahnya di balik kedok putihnya. Suatu saat, aku
bermaksud akan mencarinya."
"Untuk apa, Ayah?"
"Aku ingin mengenalnya, Pranata. Orang itu ti-
dak segan-segan membela kebenaran. Aku ingin kau
seperti dia, Pranata."
Pranata hanya mengangguk. Yah, dia akan ber-
buat seperti si Kedok Putih. Dia ingin seperti ayahnya, pendekar pembela
kebenaran. *** 6 Sebenarnya, masih ada yang belum diceritakan
Ambarwati kepada ayahnya, peristiwa yang hampir sa-
ja dirinya diperkosa oleh salah seorang anggota per-
kumpulan Pengemis Sakti, sebuah perkumpulan yang
sudah terdengar namanya sebagai orang-orang yang
kerjanya hanya membuat onar dan malapetaka saja.
Kalau dia ceritakan kepada ayahnya. Ambarwa-
ti kuatir ayahnya akan marah dan segera menyerbu ke
pantai pengemis itu. Dia tidak ingin antara ayahnya
dengan partai pengemis itu menjadi bermusuhan. Itu
sebabnya Ambarwati tidak menceritakan peristiwa
yang hampir saja merenggut kehormatannya.
Ambarwati ingat kepada laki-laki berkedok pu-
tih. Siapa dia sebenarnya. Diam-diam Ambarwati ingin berkenalan dia juga belum
mengucapkan terima kasih
kepadanya. Ah, siapa sebenarnya wajah di balik kedok putih itu. Mungkinkah wajah
itu tampan seperti wajah pemuda yang bertempur dengannya di kedai waktu
itu" Ataukah wajahnya sangat buruk sekali sehingga
dia menyembunyikannya dengan kedok putih itu" Te-
tapi biar baik dan buruk wajahnya, Ambarwati berte-
kad untuk menjumpainya dan mengucapkan terima
kasih. Dia sudah selesai mandi dan berdandan. Dia
akan pamit kepada ayah untuk pergi lagi selama dua
hari. Mencari si Kedok Putih dan pemuda tampan yang
bertempur dengannya. Ih. kenapa selalu terbayang wa-
jah pemuda tampan itu. Apa-apaan sih! Wajah Am-
barwati menjadi memerah sendiri. Semakin membuat-
nya cantik dan manis.
Jedangmoro sudah kembali dengan hasil ram-
pokannya yang berisikan emas permata yang banyak
sekali. Dia segera menyelinap masuk dan berganti pa-
kaian, sedangkan anak buahnya kembali menjadi pe-
layan-pelayan yang sopan dan baik-baik.
Begitu Ambarwati keluar dari kamarnya, Je-
dangmoro sudah duduk sambil menghisap cerutunya.
"He... he... sudah bangun, Ambar?"
Ambarwati tersipu. "Maafkan Ambar Bapa, Am-
bar bangun kesiangan."
"Tidak apa-apa, Nak. Kau semalam tidur larut
sekali," kata Jedangmoro sambil menghembuskan asap rokoknya, padahal dalam
hatinya dia gembira. Bagus,
putrinya baru bangun, jadi tidak mengetahui ke mana
dia pergi semalam.
Tahu-tahu, Ambar terdiam. Dia menunduk dan
kakinya menggores-gores lantai. Jedangmoro heran
melihatnya. Kenapa dengan putrinya itu" Jangan-
jangan, dia melihat mereka baru datang tadi.
"Kau kenapa, Ambar" Sikapmu seperti gelisah
sekali?" tanya Jedangmoro.
Ambarwati mengangkat wajahnya, menatap
ayahnya. "
"Bapa...."
"Ya, Sayang?"
"Ambar... Ambar ingin pergi lagi. Bapak mengi-
zinkan, bukan?"
Jedangmoro menghela nafas panjang.
"Ke mana lagi, Ambar akan pergi. Padahal Am-
bar baru semalam pulang. Ayah masih kangen den-
ganmu, Nak."
"Ambar pergi hanya dua hari, Bapa."
"Tapi kau baru kembali semalam, Nak. Bapak
belum habis melepas rindu."
"Ih, Bapa. Ambar kayak mau pergi ke mana sa-
ja. Ambar ingin mencari.si Kedok Putih, Ambar ingin
mengucapkan terima kasih kepadanya."
"Ah, itu bisa dilakukan nanti Ambar. Kali ini
Bapa tidak mengizinkan. Lusa mungkin Bapa izinkan."
Ambarwati cemberut, sambil bersungut-sungut
dia masuk kembali ke kamarnya. Jedangmoro mengge-
leng-gelengkan kepala. Putrinya yang satu itu memang manja. Ah, sebentar lagi
dia juga sudah tidak ngambek. Memang Ambarwati tidak ngambek, dia men-
gunci pintu kamarnya. Dan pelan-pelan dia membuka
jendela kamarnya dan melompat keluar. Dengan hati-
hati dia melangkah ke kandang kuda. Mengambil see-
kor yang putih. Seorang pelayannya memergokinya.
Ambar cepat meletakkan telunjuknya di bibir,
"Sttt...! Sini, sini, jangan banyak tanya, ya" Aku
sedang mengadakan permainan dengan Bapa. Kalau
aku bisa. membawa kuda ini tanpa menimbulkan sua-
ra, Bapa akan memberi ku hadiah. Kamu mau mem-
bantu, kan?"
Yang minta bantuan putri majikannya, sudah
tentu pelayan tadi mengangguk. Bahkan dia mema-
sangkan pelana dan menyuruh Ambar menjalan ku-
danya sangat pelan. Ambar pun akan berbuat demi-
kian. Dan ia menjalankannya dengan hati-hati. Setelah agak jauh, baru dia
menggeprak kudanya. Pelayan tadi menggeleng-geleng kepala, kagum dengan
ketangkasan putri majikannya dalam hal menunggang kuda.
Ambarwati melarikan kudanya kencang-
kencang, menuju ke desa di mana dia bertempur den-
gan Pranata Kumala beberapa waktu yang lalu. Entah
kenapa dia menjadi sangat merindukan pemuda itu.
Pemuda yang tidak sombong, tidak membuatnya malu,
bahkan dia mau mengalah. Ah, kalau Ambar ingat ba-
gaimana luka di lengan pemuda itu, dia menjadi kasi-
han. Juga agak menyesal karena pemuda itu sengaja
menyongsong pedangnya tanpa mengelak, semata agar
dia menghentikan serangannya dan pemuda itu men-
gaku kalah. Kalau ingat ini, dia menjadi malu, karena ter-
nyata pemuda tampan itu lebih lihai darinya. Tiba-tiba di hadapannya muncul tiga
orang pengemis dengan
tongkat di tangan, yang berdiri menghadangnya. Am-
barwati memperhatikan sambil memperlambat laju
kudanya. Yang berdiri di tengah, Ambarwati seperti
pernah mengenalnya. Dia adalah Ayasumo yang sete-
lah di perintah Sengkawung untuk mencari dan me-
nangkap Ambarwati segera pergi menjalankan perin-
tah. Dia sendiri masih penasaran karena gadis itu tidak berhasil di gagahinya.
Ambarwati menghentikan kudanya dari jarak
jauh. Dia tidak ingin mendapat kesulitan, dengan ce-
pat dia berbalik dan memacu kudanya. Ketiga orang
pengemis itu serentak mengejar dengan menggunakan
ilmu larinya, tetapi Ambarwati sudah melesat jauh. Ketiga pengemis itu
tertinggal jauh.
Ayasumo mendengus kesal. Dia menyuruh ber-
balik, mencegat dari arah yang berlawanan. Ambarwati terus melarikan kudanya,
dia me lewati padang rum-put yang luas dan mendadak telinganya mendengar
alunan seruling yang merdu. Ambarwati menghentikan
kudanya dan celingukan mencari siapa yang meniup
seruling itu. Betapa merdu nada yang keluar dari tiupan se-
ruling itu. Dia menjalankan kudanya perlahan-lahan
dan tiba-tiba terdengar suara itu jelas di atas kepalanya. Dilihatnya seorang
pemuda sedang asyik duduk
santai di salah satu dahan dan meniup seruling itu.
Tahu-tahu dia menunduk, pemuda itu adalah
pemuda tampan yang dipikirkannya semalam. Pemuda
yang bertempur dengannya di waning waktu itu. Ah,
dia tadi sempat melihat lengan kanan pemuda itu di-
balut. Tentu akibat goresan pedangnya kemarin.
Dia harus minta maaf. Perlahan dia mendongak
dan memanggil, "Hei!"
Pemuda itu menghentikan tiupan serulingnya
dan menoleh ke bawah. Dia melihat seraut wajah can-
tik yang memanggilnya. Pemuda itu ingat, dia adalah
gadis yang mengajaknya bertempur waktu itu.
"Oh... engkau rupanya, Nona. Maafkan aku,
aku tidak ingin bertempur. Kamu hebat, Nona. Ilmu
pedangmu amat tangguh. Lagipula, aku sudah menga-
ku salah, bukan" Aku tidak mau bertempur lagi den-
gan kau, Nona. Aku kuatir lengan kiriku akan tergores
pula." Wajah Ambarwati memerah.
Pendekar Bayangan Sukma 7 Pendekar Kedok Putih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bukan... bukan itu maksudku.... Aku.. aku...."
Dia agak susah bicara.
"Aku tahu, Nona. Kau masih penasaran karena
aku belum kau bunuh. Sudahlah Nona, aku segan ber-
tempur denganmu!"
Tiba-tiba pemuda itu meloncat turun, sekilas
menatap Ambarwati dan melesat cepat.
"Hei, tunggu! Aku ingin bicara denganmu!" seru Ambarwati sambil melarikan
kudanya, menyusul pemuda itu.
Pemuda itu adalah Pranata, dia masih terus
berlari. "Maafkan aku, Nona. Sungguh mati, aku tidak ingin bertempur denganmu!"
"Bukan... bukan itu! Aku ingin minta maaf!" se-ru Ambarwati pada akhirnya.
Mendengar perkataan itu, Pranata memperlam-
bat larinya dan berhenti. Ambarwati mendekatinya
perlahan. Pranata menatap wajahnya.
"Kau sungguh-sungguh, Nona" Tidak akan me-
nyerangku?" tanyanya sangsi. Pranata masih ingat, waktu itu saja Nona ini marah-
marah hanya karena
dia memandanginya. Tentu sekarang dia akan memba-
las kekalahannya itu, karena tak berhasil membunuh-
nya. Pemudi remaja itu turun dari kudanya dan
mengangguk sungguh-sungguh.
"Yah... maafkan aku waktu itu...." "Namaku Pranata Kumala."
"Aku bersalah kepadamu, Pranata. Maaf...
maafkan aku...."
"Tidak ada yang perlu dimaafkan Nona...."
"Namaku Ambarwati."
"Nona Ambarwati. Aku memang salah, aku te-
lah berlaku ceriwis dengan menatap mu lama-lama...."
Pemudi itu menunduk dengan wajah bersemu
merah. "Kau... kau...." Lagi-lagi dia kagok untuk bicara.
Pemuda di hadapannya betapa tampannya.
"Ya, aku ceriwis. Habis kau sangat cantik, No-
na. Aku kagum melihat kecantikanmu. Ketahuilah, se-
lama sembilan tahun aku tidak pernah melihat kera-
maian. Jadi melihat gadis secantik kau tentu saja aku tidak melewatkan
kesempatan itu."
Wajah Ambarwati semakin memerah. Pemuda
ini memujinya, betapa senangnya dia dipuji oleh pe-
muda yang telah menjerat hatinya. Perlahan diangkat
wajahnya dan ditatapnya pemuda itu. Dadanya berge-
muruh. "Aku... aku minta maaf. Aku tidak menyangka kau lebih lihai dariku...."
"Hei, kata siapa! Buktinya kau berhasil melukai lengan kananku! Lihat!"
Pemuda itu memperlihatkan lengan kanannya
yang dibalut sapu tangan. Melihat itu hati Ambarwati semakin teriris. Ini
kesalahannya, yang menganggap
pemuda itu mata keranjang. Dia jadi kesal, apalagi
pemuda itu tidak mau lepas dari wajahnya. Dia kan
menjadi risih dan kesal. Enak saja memandang orang
hingga membuat orang itu menjadi malu!
Dan sekarang dia menyesali karena tidak ber-
pikir panjang lagi. Langsung menantang dan menye-
rang pemuda itu hingga lengan pemuda itu tergores
oleh pedangnya.
"Maafkan aku...." katanya lirih.
"Sudahlah, tidak ada yang perlu dimaafkan. Ti-
dak ada yang perlu dibicarakan lagi, bukan?"
Ambarwati mengangguk.
"Kalau begitu, aku permisi, Nona...."
"Namaku Ambar."
"Oh iya, Ambar. Maaf... aku permisi dulu."
Ambarwati hanya mengangguk, tidak berkata
lagi sepatah kata pun. Entah kenapa dia menjadi ka-
gok di hadapan pemuda itu. Ih, benar-benar hatinya
sudah kepincut. Sayang pertemuan tadi hanya seben-
tar. Bayangan pemuda itu sudah tidak nampak lagi.
Demikian cepat pemuda itu berlari.
Pranata sendiri pun sebenarnya enggan untuk
meninggalkan gadis cantik itu. Hatinya bergetar melihat kecantikan wajah itu.
Dia menjadi takut, kalau la-ma-lama berhadapan dengan gadis itu, dia menjadi
gemetar pula. Dia makanya buru-buru berpamitan. Selain itu,
dia juga hendak segera ke perguruan Topeng Hitam.
Hatinya sudah tidak sabar ingin bertemu dengan ayah
bundanya. Ambarwati membalikkan kudanya dan menda-
dak dia tertegun. Tiga orang pengemis sudah mengu-
rungnya dan salah satunya Ayasumo.
"Ha.,, ha.., kita ketemu lagi, Nona. Hari ini kau tidak bisa melawan. Lebih baik
menyerah saja dan ikut dengan kami. Daripada kau kubunuh!"
Ambarwati mendengus. Dia tidak takut men-
dengar ancaman itu. Tadi pun ketika berjumpa dia ti-
dak takut, dia hanya tidak ingin berkelahi dan terlibat kesulitan, tetapi mau
tidak mau dia harus berkelahi
sekarang dan mungkin mendapat kesulitan.
"Ikut denganmu, ciih! Lebih baik aku mati dari-
pada ikut dengan engkau!" seru Ambarwati galak dan diam-diam menyesali, karena
Pranata Kumala sudah
pergi. Kalau tidak, dia pasti akan membantunya
menghadapi tiga orang dari partai pengemis ini. Aya-
sumo tertawa. Melihat bibir itu bergerak dan lidah
yang mungil serta memerah, dia semakin bernafsu un-
tuk mendapatkan gadis ini.
"Ha... ha..., kali ini kau tidak akan bisa lolos dariku, Nona! Cepat kau
menyerah atau kau ku
paksa untuk melayaniku dan dua orang temanku!"
Kedua teman Ayasumo terbahak. Melihat ke-
cantikan gadis itu mereka juga naik nafsu birahinya.
Wajah Ambarwati menjadi pias. Lagi-lagi dia menyada-
ri, kalau dirinya ini bukan apa-apa jika dibandingkan mereka. Mendadak dia
mengeprak kudanya dan maju
menerjang dengan kencang.
Ketiga orang itu menghindar ke samping dan
tongkat Ayasumo sudah bergerak, menotok kuda itu
hingga berhenti mendadak. Tubuh Ambarwati terjeng-
kang ke depan, untung dia segera bersalto jadi tidak jatuh terdorong. Melainkan
hinggap dengan ringan.
Ketiga orang pengemis itu segera mengurung-
nya sambil terkekeh-kekeh. Ambarwati akan bertahan
mati-matian, daripada dirinya ternoda. Dia tidak bisa membayangkan hal itu.
Ngeri hatinya jika dia sampai
ternoda oleh ketiga pengemis itu.
Dengan segera dia mencabut pedangnya dan
siapa menyambut serangan ketiga pengemis jembel.
Ayasumo terbahak, meremehkan.
"Kau masih mau melawan juga rupanya, Nona.
Kuperingatkan, tak ada gunanya kau melawan kami
bertiga! Kau akan terluka, Nona."
"Itu lebih baik bagiku!" seru Ambarwati gusar.
"Daripada jatuh ke tangan kalian, aku lebih suka mati hari ini!"
Ayasumo terbahak, disahuti oleh kedua orang
temannya. "Baik, Nona! Tetapi jangan menyesal, kalau kau
mati, kami juga kan memperkosa mu!"
"Lakukanlah!" seru Ambarwati antar nekat dan takut. Orang-orang itu memang iblis
biadab! Ayasumo tertawa dan segera memutar-mutar
tongkatnya. Begitu pula dengan kedua temannya. Pu-
taran tongkat itu menimbulkan desingan angin yang
agak keras. Dan bunyi yang agak lumayan.
Ambarwati menjadi agak ciut juga. Tetapi dia
sudah membuka jurusnya. Pedangnya diletakkan di
dada. Tangan kirinya memancang ke depan. Kaki kiri
di tekuk ke depan dan kaki kanan lurus berdiri.
Siap menghadapi mereka.
Ayasumo tertawa dan tiba-tiba mengayunkan
tongkatnya dengan sangat cepat. Arahnya ke dada
Ambarwati. Ayasumo memang seorang pengemis cabul.
Ambarwati menjerit kaget. Sambil membentak dia me-
nangkis, "Bangsat cabul!"
"Trak...!"
Ayasumo tertawa-tawa dan mencecar dada Am-
barwati, yang menjadi kesulitan untuk menangkis. Dia juga mencecar pangkal paha
Ambarwati yang semakin
kerepotan. Selain malu dan jijik dia juga kebingungan, karena dua tongkat yang
lain sudah menyambar pula.
Dalam waktu yang singkat saja, Ambarwati sudah ter-
desak hebat. Tongkat-tongkat itu sudah beberapa kali mampir di tubuhnya.
Dan tiba-tiba Ayasumo memekik dan men-
gayunkan tongkat ke kepala Ambarwati. Ambarwati
mengayunkan pedangnya ke atas untuk menangkis.
Tongkat berhasil ditangkis. Namun dengan sangat ce-
pat, Ayasumo masuk dan tangan kirinya menotok Am-
barwati hingga kaku.
Ambarwati membentak, "Lepaskan, lepaskan
totokan kalian! Kalian semua pengecut, ayo kita ber-
tanding sampai mati!"
"Ha... ha... mana mungkin aku akan membu-
nuh gadis secantik kau! Tubuh mu padat dan empuk.
Aku menyukaimu, Nona."
Tangan Ayasumo secara cabul menggerayangi
dada Ambarwati. Ambarwati menjerit-jerit marah.
"Lepaskan aku, kita bertanding lagi!"
"Ha... ha..." Tangan Ayasumo sudah memegang dan meremas dada Ambarwati. Terasa
empuk dan lembut. Benar-benar masih mengkal namun kenyal.
Ambarwati menjerit dan memejamkan matanya
menahan malu, kesal, marah dan jijik terhadap Aya-
sumo yang semakin keenakan meremas. Tiba-tiba Aya-
sumo melepaskan totokannya dan mendorong tubuh
Ambarwati hingga jatuh. Dan sebelum Ambarwati ber-
gerak, dia sudah menotok kembali.
"Ha... ha... sebelum ku persembahkan kepada
ketua, lebih baik ku nikmati saja dulu tubuhmu, Nona.
Kalian berdua tunggu giliran. Sekarang tontonlah aku untuk menaklukkan gadis
ini." "Breeet...!" Ayasumo sudah merobek dada Ambarwati. Dada yang kenyal dan empuk,
dengan buas dia menciumi dada itu.
Tetapi tiba-tiba tubuhnya mengejang dan am-
bruk tanpa nyawa lagi.
Kedua temannya tersentak kaget. Mereka sege-
ra memeriksa tubuh Ayasumo. Sebuah jarum berbisa
menancap cepat di jantungnya.
Kedua pengemis itu segera bersiap, mencari
siapa yang .telah melakukan perbuatan tadi. Tetapi tidak nampak seorang pun di
sana. Ambarwati sendiri pun heran, namun gembira
dan lega. Karena dirinya terlepas dari ancaman yang
amat mengerikan bagi setiap wanita. Dan mendadak
dia merasakan dirinya telah terbebas dari totokan. Sebuah kerikil kecil telah
melepaskan totokan itu. Dengan hati-hati dia menutupi dadanya dan mengambil
tongkat Ayasumo. Lalu diayunkannya tongkat itu ke
leher kedua pengemis yang sedang celingukan itu.
"Des..! Des...!"
"Aaaah...!"
Kedua tubuh itu ambruk dan terkulai pingsan.
Ambarwati membenahi pakaiannya yang masih
agak terbuka. Sudah agak, sobek. Masih menampak-
kan keputihan tubuh di bagian dadanya.
Ia mengambil tali di kudanya dan mengikat pa-
kaian yang terbuka itu hingga merapat kembali. Dia
segera naik ke kudanya. Tetapi mendadak dia berhenti.
Dia belum tahu siapa yang telah menolongnya.
Tiba-tiba pohon di sampingnya bergerak. Am-
barwati menoleh ke atas. Si Kedok Putih sedang me-
lambaikan tangannya dan bersalto lalu menghilang.
Ambarwati menghela nafas panjang. Lagi-lagi
dia yang telah menolongnya. Siapa dia sebenarnya dan mengapa selalu muncul
memberinya pertolongan"
Mendadak sebuah pikiran yang mengejutkan-
nya sendiri melintas.
Si Kedok Putih mencintainya.
Entah siapa dia sebenarnya, Ambarwati baha-
gia jika benar-benar si Kedok Putih mencintainya. Tetapi dia harus menolak,
karena dia sudah mencintai
Pranata Kumala.
Ah, mengapa sekarang dia menjadi memikirkan
itu. Dia senang dan kagum dengan si Kedok Putih, te-
tapi tidak mencintainya. Ambarwati yakin, kalau si Kedok Putih mencintainya,
buktinya dia selalu muncul
menolongnya jika dia mendapat kesulitan.
Tetapi jelas-jelas dia harus menolak cintanya si
Kedok Putih. Hatinya sudah terjerat oleh Pranata Ku-
mala. Sayang, pemuda itu pergi dengan cepat. Padahal dia ingin sekali lama
bercakap-cakap dengan pemuda
itu! Pemuda yang baru beberapa hari saja sudah men-
jerat hatinya. Tetapi, apakah Pranata Kumala juga mencin-
tainya" Ah, betapa sedihnya dia jika ternyata Pranata Kumala tidak mencintainya.
Ambarwati segera memacu kudanya. Hari ini ia
menjumpai dua orang pemuda yang sama-sama mem-
buatnya kagum. Tetapi pada si Kedok Putih dia hanya
kagum, sedangkan kepada Pranata Kumala dia men-
cintainya. Dan Ambarwati akan mencari di mana adanya
Pranata Kumala dia ingin selalu dekat dengan pemuda
itu. *** 7 Ketua Partai Pengemis yang bernama Sengka-
wung itu, marah besar mengetahui Ayasumo mening-
gal di tangan si Kedok Putih. Dia menggeram marah
sambil menggebrak meja di hadapannya. Begitu keras,
hingga patah berantakan.
Dua orang anak buahnya yang datang melapor
tadi, menggigil ketakutan.
Sengkawung membentak marah, "Baik, Kedok
Putih! Hari ini, partai Pengemis Sakti akan bermusu-
han denganmu! Baik, hari ini juga kita akan berangkat
Pendekar Bayangan Sukma 7 Pendekar Kedok Putih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mencari si Kedok Putih!"
Sengkawung bangkit dan mengambil tongkat
kebanggaannya. Bersama lima orang anak buah, me-
reka segera berangkat mencari si Kedok Putih. Seng-
kawung geram sekali, dia akan menghancurkan si Ke-
dok Putih itu! Sore hati mereka tiba di sebuah desa yang tidak
ramai. Tidak ada seorang pun yang mengenal si Kedok
Putih ketika mereka bertanya. Dengan geram Sengka-
wung memukul orang yang ditanya. Dia menarik baju
orang itu yang menggigil ketakutan.
"Kalau kau bertemu dengan orang yang mema-
kai kedok putih, cepat laporkan kepadaku!"
"Baik... baik, Raden.... Saya... saya akan me-
laksanakan perintah Raden...."
"Huh!" Sengkawung mendorong tubuh orang itu hingga jatuh tersungkur. Setelah itu
orang itu buru-buru lari dengan wajah pias. Dia menyesal mau men-
jawab pertanyaan pengemis jembel itu!
Sengkawung nampaknya benar-benar marah
besar. Wajahnya semakin geram ketika sampai malam
dia tidak mendengar kabar tentang si Kedok Putih.
Akhirnya dia membuat suatu rencana, untuk
membuat onar, mungkin dengan itu si Kedok Putih
akan muncul. Keesokan harinya, dia segera merampok se-
buah rumah. Dan membunuh semua penghuninya ke-
cuali anak gadis keluarga itu. Dengan buas, Sengka-
wung memperkosanya. Lalu membunuh gadis itu den-
gan keji. Tetapi si Kedok Putih tidak muncul juga. Kem-
bali akhirnya dia memutuskan untuk merampok se-
buah kereta kuda yang membawa pengiriman parang.
Kereta kuda itu dikawal oleh Pranata Kumala
dan beberapa murid perguruan Topeng Hitam.
Kali ini Pranata hanya membuat sebuah jeba-
kan. Dalam kereta kuda itu tidak ada barang berharga.
dia hanya ingin memancing gerombolan Golok Iblis un-
tuk muncul. Tetapi di tengah jalan, malah enam orang ber-
pakaian pengemis yang menghalangi jalannya. Sikap
mereka sungguh-sungguh menantang.
Pranata menghentikan rombongannya dan
menghampiri mereka.
"Maafkan kami, Saudara. Kami hendak melalui
jalan ini, jangan menghalang di tengah jalan."
Sengkawung membentak marah.
"Serahkan barang yang engkau bawa itu, baru
kami akan minggir memberimu jalan."
"Itu barang pesanan, Kisanak. Kami tidak bisa
memberikan kepada kalian."
"Berarti hanya ada satu jawaban, tak ada jalan
dan kalian akan menerima kematian hari ini."
"Saudara, kami tidak mencari permusuhan
dengan siapa pun. Tak terkecuali kalian. Minggirlah, biarkan kami melanjutkan
perjalanan."
"Hhh! Kau sudah ingin mampus rupanya!" bentak Sengkawung jengkel dan mengayunkan
tongkat- nya. Tetapi dengan cepat Pranata melompat menghin-
dar, namun kudanya tidak bisa menghindar. Kepala
kuda itu hancur terkena ayunan tongkat Sengkawung
dan roboh bermandikan darah.
Sungguh luar biasa tenaga pimpinan partai
pengemis itu. Besar dan kuat. Pranata menjadi siaga.
Dia mengibaskan tangannya memberi tanda agar yang
mengawal kereta kuda itu segera turun semua dan
membiarkan kereta kuda tidak ada yang menjaga.
Sengkawung pun segera berseru untuk bersiap.
Lima orang muridnya bergerak ke depan, berhadapan
dengan lima orang murid perguruan Topeng Hitam
yang sudah mencabut sepasang pedang mereka.
Dengan siaga yang tinggi mereka memper-
siapkan jurus masing-masing.
Sedangkan Pranata Kumala sudah berhadapan
dengan Sengkawung. Pranata sudah mencabut senja-
tanya, sebuah seruling.
"Kalau kalian mampu melangkahi mayat kami,
kupersilahkan ambil barang yang kami bawa itu!"
Sengkawung terbahak.
"Baik, baik. Kami akan buktikan semua itu! Li-
hat serangan!" setelah membentuk dengan lengkingan yang tinggi, Sengkawung
menerjang dengan ayunan
tongkat yang kuat. Serentak pula kelima muridnya
menyerang. Pranata mengelakkan ayunan tongkat itu den-
gan menghindar dan masuk ke depan dengan seruling
siap menotok Sengkawung. Sengkawung memiringkan
tubuhnya dan tongkatnya menggetok kepala Pranata
yang dengan sangat cepat Pranata sudah bergulingan
menghindar. Sebenarnya Sengkawung tidak bermaksud ber-
tempur. Dia hanya ingin memancing keluarnya si Ke-
dok Putih, tetapi karena pemuda itu menantangnya,
timbul rasa marahnya terhadap pemuda itu. Dia me-
nyerang dengan sangat sungguh-sungguh. Sengka-
wung adalah orang yang tidak mau mengalah dan pa-
nasan. Sebentar saja sudah ramai suasana di tempat
itu. Suara benturan senjata mereka amat cepat dan
ramai. Nyaring dan keras.
Tiba-tiba Sengkawung memutar tongkatnya
yang berubah menjadi seperti baling-baling. Desingan
angin yang ditimbulkan oleh putaran tongkat itu amat keras dan agak dingin.
Dengan masih memutar tongkatnya dia maju menyerang. Pranata sejenak kebin-
gungan, karena dia tidak tahu bagaimana cara mem-
balas serangan itu. Mendadak dia menghindar ke bela-
kang, karena putaran tongkat itu sudah menyerang-
nya. Tetapi tongkat itu pun mendadak menjadi menyo-
dok. Suatu ilmu tongkat yang mengagumkan. Pranata
menangkis dengan serulingnya.
"Traak...!"
Dan tubuhnya sudah melenting bersalto, tetapi
kembali tongkat itu mengejarnya. Dengan hebat tong-
kat itu menegak dan menotok tubuh Pranata yang ma-
sih bersalto. Lagi Pranata memperlihatkan kecepatan
ilmu serulingnya dia menangkis.
"Traak...!"
Tetapi karena posisi tubuhnya masih di udara,
itu tidak menguntungkan baginya. Dia terhuyung begi-
tu hinggap di tanah. Tenaga ayunan tongkat itu sangat besar dan kuat.
Keadaan lima murid perguruan Topeng Hitam
berada di atas angin. Mereka sudah memperlihatkan
kehebatan ilmu pedang perguruan Topeng Hitam yang
amat cepat dan tangguh.
Tetapi para pengemis itu pun memperlihatkan
kelihaian mereka memainkan tongkat. Dengan tongkat
itu mereka mengimbangi permainan pedang murid
perguruan Topeng Hitam.
Namun tidak bertahan lama, karena mereka
agaknya terdesak. Salah seorang pengemis itu menga-
duh dan tubuhnya ambruk dengan lengan yang putus.
"Aaah...!"
Melihat kawan mereka terluka, yang lain sudah
menyerang membabi buta. Tidak tentu arah serangan-
nya. Terus memukul dan menotok. Dan kali ini murid
perguruan Topeng Hitam yang agak terdesak, soalnya
gerakan tongkat itu mengayun dengan cepat dan asal
saja, namun satu tujuan. Tubuh sang lawan!
"Des...!" sebuah pukulan tongkat mampir di salah seorang dari murid perguruan
Topeng Hitam. Orang itu terhuyung dan pengemis yang memukulnya
terus mencecar, sebisanya murid itu menangkis, na-
mun kembali sebuah hantaman keras mampir di pa-
hanya. "Aaah...." Dia mengaduh keras dan roboh dengan tulang paha yang patah.
Kesempatan itu digunakan oleh pengemis itu
untuk menghabisinya. Tetapi mendadak dia menga-
duh, keras pula.
"Aaah...."
Sebuah sinar merah menghantam pergelangan
tangannya hingga hangus. Rupanya Pranata sudah
mengeluarkan pukulan sinar merahnya yang sangat
hebat. Tetapi dia pun harus membayar semua itu den-
gan hantaman tongkat Sengkawung di dadanya.
"Des...!"
Karena menolong temannya itu, dia menjadi
lengah. Tidak waspada kepada Sengkawung yang ma-
sih siap dengan tongkatnya.
Tubuh Pranata terhuyung beberapa langkah.
Sengkawung mengejar dengan lengkikan keras. Tetapi
Pranata sudah mengibaskan tangannya.
Kembali selarik sinar merah mengurungkan
niat Sengkawung. Dia berkelit dengan jalan berguling dan tangannya sudah
mengibas pula. Beberapa paku beracun berterbangan ke arah
Pranata yang kembali melancarkan sinar merahnya!
Paku-paku itu hangus terhantam sinar merah.
Melihat serangannya gagal, Sengkawung me-
lempar tongkatnya dengan tenaga yang keras. Kali ini Pranata berguling untuk
menghindari tongkat itu.
Tongkat itu menancap sampai setengahnya ke tanah.
Bisa dibayangkan kalau sampai mengenai sasarannya.
Pranata buru-buru berdiri. Dia sudah membu-
ka jurusnya, Tangan Bayangan warisan gurunya.
Sengkawung pun membuka jurusnya. Sebuah jurus
kungfu yang dipelajari di tanah leluhurnya, Tiongkok sana. Jurus yang cepat dan
tangguh. Kedua-duanya memutar dengan perlahan, sal-
ing tatap dengan waspada dan mencari kelemahan la-
wan. Tiba-tiba Sengkawung bergerak melancarkan pu-
kulannya. Pukulan itu betapa cepatnya dan penuh te-
naga. Pranata pun segera menyambut dengan sebuah
tangkisan yang penuh tenaga pula.
"Des...!"
Disusul dengan sebuah sodokan pada ulu hati
Sengkawung. Sengkawung cepat menarik tangannya
dan memukul tangan Pranata dengan sikunya. Dan
sangat tiba-tiba dia memutar dan kakinya menendang
lurus ke wajah Pranata.
Pranata menunduk dan berguling karena kaki
Sengkawung sudah bergerak lagi. Benar-benar jurus
kungfu yang bagus. Kali ini Pranata mengambil inisia-tif menyerang. Begitu
bangkit dia langsung menyerbu
dengan jurus tangan Bayangannya. Tangan itu berge-
rak demikian cepatnya dan sangat hebat, hingga mem-
buat Sengkawung agak kewalahan. Namun dia bisa
mengimbanginya.
Keduanya kembali memperlihatkan kehebatan
dan kelincahan dalam menggunakan jurus tangan ko-
song. Jurus-jurus yang ampuh dan mematikan.
Sementara itu, di tempat yang sama. Murid-
murid perguruan Topeng Hitam sudah berhasil mero-
bohkan dua orang pengemis itu. Kini mereka tinggal
dua dan berhadapan dengan empat orang yang meme-
gang pedang dengan hebat.
Mereka sudah menggunakan jurus pedang
Memanah Matahari. Sebuah jurus yang amat hebat.
Dimainkan secara bersamaan dengan gerakan yang
sama. Mereka berjajaran ke samping dan menyerang
dengan tusukan kepala kedua lawannya.
Tentu saja mereka kaget, karena gerakan pe-
dang lawan-lawannya dimainkan secara seren-tak dan
kuat. Keduanya menangkis dengan susah payah.
Namun salah sebuah pedang itu berhasil menggores
pengemis yang berada di sebelah kiri, pahanya terluka dan darah mengalir keluar.
Sengkawung melihat hal itu. Dia bermaksud
hendak menghentikan pertempuran, karena sebenar-
nya dia tidak ingin bertempur dengan mereka,. Keinginannya hanya satu, menunggu
si Kedok Putih muncul.
Tetapi yang ditunggunya tidak muncul-muncul. Lagi-
pula, menghadapi orang-orang itu dia agak kewalahan
juga. Pemuda itu sangat tangguh, belum lagi kalau dia melancarkan pukulan sinar
merahnya. Membuatnya
terkejut dan menjadi kalang kabut.
Mendadak dia bersuit dan berkelebat menghi-
lang. Seorang muridnya itu segera berbuat yang sama
berkelebat menyusul ketuanya.
Murid-murid perguruan Topeng Hitam bermak-
sud mengejar, tetapi Pranata melarang.
"Biarkan orang-orang itu. Lagipula, kita tidak
kehilangan apa-apa. Cepat kalian obati kakang Kusni
dan masukkan ke kereta kuda."
Mereka segera menjalankan perintah itu. Biar
bagaimana pun mudanya Pranata, dia menjadi pe-
mimpin mereka saat ini. Dengan segera Kusni diobati
dan dinaikkan ke kereta kuda. Setelah itu mereka
kembali lagi, seolah menanti apa perintah selanjutnya.
Pranata mengangguk.
"Kita lanjutkan perjalanan ini. Daerah menuju
ke desa Pacitan belum kita lalui. Kali ini kalian harus bersiap. Mungkin
gerombolan orang merampok itu berjumlah sangat banyak."
Setelah tidak bertemu dengan orang yang dica-
rinya, Ambarwati bermaksud pulang. Dia agak kesal
karena si Kedok Putih maupun Pranata tidak muncul
kembali. Sudah dicarinya ke sana kemari, tetapi tidak kelihatan.
Di barat sana, matahari sudah hendak kembali
ke peraduan. Cahaya merahnya membiasi langit den-
gan indah. Sejenak Ambarwati memperhatikan kein-
dahan alam itu. Betapa besarnya Tuhan menciptakan
semua itu. Sangat indah dan sedap dipandang.
Tanpa terasa makin lama matahari itu makin
menghilang dan malam mulai datang. Ambarwati sege-
ra menjalankan kudanya untuk kembali ke rumah.
Pendekar Bayangan Sukma 7 Pendekar Kedok Putih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Entah kenapa dia sangat kesal karena tidak
bertemu dengan salah seorang dari kedua pemuda
yang di kaguminya. Kedok Putih dan Pranata Kumala.
Ah, ingatannya kembali kepada Pranata Kuma-
la. dia yakin, dirinya jatuh cinta pada pemuda tampan itu. Kalau ingat akan luka
di lengan kanan pemuda itu akibat goresan pedangnya, dia menjadi menyesal
sendiri. Tidak seharusnya tangan pemuda itu terluka. Dua hari yang lalu pun,
ketika bertemu dengannya, Ambarwati melihat luka itu masuk menggores di tangan
Pranata, walau ditutupi saputangan putih.
"Maafkan aku, Pranata...." desisnya kepada angin, karena hanya angin saja yang
berada di sekitar
sana. Tidak ada siapa-siapa.
Tetapi kalau ingatannya kembali kepada si Ke-
dok Putih, dia menjadi agak iba. Ambarwati yakin, si Kedok Putih mencintainya.
Buktinya dia selalu muncul kalau dirinya dalam kesulitan.
Pemuda yang selalu membantu seorang gadis,
pasti ada apa-apanya. Kalau tidak suka, ya, cinta! Cinta, sebenarnya apa sih
cinta" Ambarwati sendiri men-
jadi bingung. Lalu apa nama perasaan sukanya kepada
Pranata Kumala" Apa itu cinta.
Dan mendadak Ambarwati menjadi berdebar
sendiri. Apa dia sudah pantas untuk mengenal cinta"
Ih, cinta! Apa sih maksudnya" Pokoknya bagi Ambar-
wati, dia selalu ingin bertemu dengan Pranata Kumala, pemuda tampan yang tidak
sombong itu. Ambarwati pasti yakin, itu yang namanya cinta.
Cinta juga perlu pengorbanan. Buktinya" Si Kedok Pu-
tih itu. Dia selalu menolongnya dalam kesulitan, berarti dia berkorban tenaga
bahkan nyawa kalau suatu
saat dia terbunuh ketika menolongnya.
Tetapi si Kedok Putih kelihatan tangkas dan
hebat. Ilmunya tinggi. Mungkin lebih tinggi dari Pranata Kumala" Ah, pemuda itu
pun hebat Ambarwati tidak
mau kalau-kalau pemuda pujaannya di kalahan orang.
Pasti Pranata Kumala mampu mengimbangi kesaktian
Si Kedok Putih.
Karena berjalan sambil melamun, tanpa terasa,
kudanya sudah tiba di daerah yang tak jauh dari ru-
mahnya. Barulah Ambarwati sadar, kalau dia sejak ta-
di melamun. Dengan bergegas dia memacu kudanya,
karena hari sudah malam.
Tetapi baru beberapa ratus meter dia melarikan
kudanya, dia melihat serombongan orang berkuda ke-
luar dari balik bukit. Orang itu sangat banyak. Ber-
jumlah lebih dari dua puluh orang. Dan yang membuat
Ambarwati terkejut, dia mengenali semua orang itu.
Pelayan-pelayannya di rumah.
Dan lebih terkejut lagi ketika melihat seorang
penunggang kuda yang memakai jubah di belakang-
nya. Ayahnya! Penunggang kuda itu pasti ayahnya.
Ambarwati yakin, itu Bapa!
Mau apa Bapa malam-malam begini keluar
dengan sebanyak itu para pengawalnya. Hei, baru kali ini dia melihat ayahnya
keluar malam. Apa yang hendak dilakukan ayahnya malam-malam begini"
Dengan perasaan penuh tanda tanya dan ingin
tahu, Ambarwati mengikuti rombongan itu dari bela-
kang, agak mengatur jarak karena kuatir ketahuan
oleh mereka. Memang, saat ini Jedangmoro hendak beraksi
lagi, karena menurut mata-matanya, ada sebuah kere-
ta barang yang dikawal oleh enam orang hendak be-
rangkat menuju desa Pacitan.
Sebenarnya Jedangmoro tidak ingin pergi men-
jegal sekarang. Biarlah rombongan itu lewat dengan selamat. Dia kuatir, putrinya
akan datang malam ini. Tetapi ketika ingat, kalau putrinya suka ngelayap lewat
dari izin perginya, Jedangmoro segera memerintahkan
anak buahnya untuk bersiap. Malam ini mereka harus
membuat persiapan jebakan dan paginya mereka akan
garap orang-orang itu.
Jedangmoro tidak tahu, kalau kali ini putrinya
patuh, kembali sesuai dengan izinnya sebanyak tiga
hari. Dan putrinya kini berada di belakang rombongan mereka, yang terheran-heran
hendak berbuat apa
ayahnya dengan pasukan sebanyak itu.
Ambarwati juga melihat, kalau pelayan-pelayan
yang biasa di rumah sopan dan baik, kini kelihatan
mereka sangat beringas dan di pinggang mereka mas-
ing-masing, tercantel sebuah golok besar.
Hendak ke manakah mereka itu"
Ambarwati terus membuntuti dengan hati-hati,
masih tetap mengatur jarak. Tak berapa lama kemu-
dian, dia melihat pasukan itu berhenti dan ayahnya
memberi perintah untuk membuat rintangan yang be-
rupa susunan bambu di tengah jalan.
Dan anak buahnya serentak melaksanakan tu-
gas itu. Lagi-lagi dalam hati Ambarwati bertanya-tanya kebingungan. Bapa sedang
melakukan apa" Apakah
Bapa akan menyerang musuhnya dengan mencegat
perjalanan mereka. Atau... ah, Ambarwati tidak mene-
mukan jawabannya lagi.
Dia bersembunyi di atas pohon, sedangkan ku-
danya diikat jauh dari tempatnya mengintai.
Malam semakin larut. Ambarwati melihat
orang-orang yang ditugaskan ayahnya sudah selesai
menjalankan tugas. Kini lima buah batang pohon dija-
jarkan di jalanan. Memang bisa menghambat perjala-
nan, karena batang pohon itu besar dan harus dising-kirkan lebih dulu.
Setelah itu mereka semua bersembunyi di balik
batu-batu besar. Lho, kenapa mereka bersembunyi.
Ada apa sebenarnya. Mungkin dugaannya benar,
ayahnya mempunyai musuh dan kali ini akan melaku-
kan penyerangan. Wah, tentu asyik sekali melihat pertempuran itu. Dia akan
melihat kegagahan ayahnya
dalam bertempur nanti.
Ayah pasti jago dan hebat memainkan golok.
Siapa sih yang menjadi musuh ayahnya" Selama ini
ayah tidak mau menceritakan tentang musuhnya.
Bahkan Ambarwati sendiri tidak pernah mendengar
kalau ayahnya punya musuh. Jadi siapa musuhnya
itu" Malam terus merambat dan pagi pun datang.
Matahari perlahan-lahan keluar dari peraduan-
nya. Dia tidak pernah telat sedetik pun. Selalu siap siaga menjalankan tugasnya.
Tugas yang rutin dan dia tidak pernah mengeluh dengan tugasnya.
Diam-diam Ambarwati ingin seperti matahari,
yang selalu tepat pada apa yang dikerjakannya.
Semalaman dia tidak tidur. Ambarwati melihat
ada beberapa anak buah ayahnya yang tidur dan ada
yang tidak. Seolah mereka menjaga jangan sampai je-
jak musuh sudah terlewat.
Kira-kira matahari sepenggal, dari kejauhan
terlihat debu mengepul. Dan sebuah kereta kuda den-
gan lima orang pengawalnya melaju ke arah rintangan
kayu itu. Memang hanya itu jalan satu-satunya menu-
ju desa Pacitan. Pasti mereka akan menuju desa Paci-
tan. Tetapi, apakah orang-orang itu yang ditunggu
ayahnya" Kalau hanya lima orang, mengapa ayahnya
membawa pasukan sebanyak itu.
Ah, pasti bukan mereka.
Tetapi dugaan Ambarwati salah. Salah besar.
*** 8 Secara tiba-tiba saja dia mendengar suara
ayahnya berseru, "Serbuuuu!"
Serentak orang-orang yang bersembunyi itu ke-
luar berhamburan dengan suara kuda yang meringkik
dan derap langkahnya yang cepat.
Kereta kuda itu berhenti secara mendadak.
Seorang pemuda yang tampan dan agaknya pemimpin
rombongan kecil itu menghentikan kudanya, bersiap
dengan mencabut serulingnya. Yang lain pun segera
mencabut sepasang pedang mereka masing-masing.
Rupanya mereka adalah Pranata Kumala dan
sisa empat orang murid perguruan Topeng Hitam. Me-
reka baru melanjutkan perjalanan setelah menginap
semalam di sebuah penginapan.
Orang-orang itu segera mengurung dan Je-
dangmoro seperti biasa membentak, " Cepat serahkan barang yang kalian bawa itu
kepada kami! Kalau tidak...." "Kalian yang akan kami bunuh!" Pranata Kumala
sudah memotong, membuat wajah Jedangmoro
agak memerah. Ia menjadi gusar. Pemuda ini terlalu berani.
Dan yang sangat terkejut adalah Ambarwati, pemuda
yang dibentak ayahnya itu adalah pemuda tampan
yang dicintainya.
Hei, ayah rupanya ingin mengambil barang
yang dibawa oleh pemuda dan rombongannya itu.
Mengambil" Hah, lalu apa kerja ayah sebenarnya"
Ambarwati menunggu kejadian selanjutnya, te-
tapi dia sudah memekik, karena ayahnya tengah men-
gayunkan goloknya ke arah Pranata yang cepat me-
nangkis dengan serulingnya dan membelokkan ku-
danya ke samping kiri.
"Traakkk...!"
Serentak yang lain segera menyerang dengan
pekikan keras. Empat orang murid perguruan Topeng
Hitam bertahan mati-matian menghadapi serangan
yang beruntun dari jumlah penyerang yang sangat ba-
nyak. Suara bunyi senjata beradu sangat ramai dan
nyaring. Ditimpali oleh jeritan yang terluka sangat keras, bahkan mengalahkan
kerasnya bunyi benturan
senjata. Criing..! Aaah...!"
Suara-suara itu bersatu dengan galau. Karena
didesak oleh puluhan orang, keempat murid perguruan
Topeng Hitam itu tidak mampu bertahan, hanya se-
bentar saja mereka semua roboh bermandikan darah.
Dan orang-orang itu menyerbu ke arah kereta kuda.
Tetapi betapa marah dan terkejutnya mereka, karena
di kereta kuda itu tidak terdapat apa yang mereka cari.
Mereka hanya menemukan seorang murid per-
guruan Topeng Hitam yang mengerang karena terluka.
Dengan marah mereka menyeret orang itu keluar dan
mengganyangnya ramai-ramai.
Sementara itu Pranata Kumala sudah mende-
sak Jedangmoro, namun dia segera bersalto karena ti-
ga orang dari anak buahnya Jedangmoro sudah berge-
rak membantu. Tidak hanya tiga, hampir seluruhnya, karena
mereka kesal dan marah tidak mendapatkan apa-apa.
Jelas-jelas Pranata mengerahkan seluruh kehebatan-
nya. Jurus tangan Bayangan dan pukulan sinar me-
rahnya berkelebat ke sana-kemari, membuat para pen-
geroyoknya menjadi kocar kacir.
Tetapi karena betapa banyaknya pengeroyok
itu, akhirnya dia terluka juga di tangan sebelah kiri.
"Aaah...." Pranata terhuyung dan sebisanya menangkis golok-golok itu dengan
serulingnya. Di tempat persembunyiannya, Ambarwati terke-
jut. Benar, ayahnya ingin merampok. Kalau begitu se-
lama ini yang dikerjakan ayahnya hanya merampok
dan membunuh. Pantas kalau pulang ayah selalu membawa har-
ta yang banyak. Ambarwati sendiri sebenarnya ingin
bertanya dari mana harta sebanyak itu, tetapi dia diam saja karena ayahnya pasti
ingin menyenangkannya
dengan harta itu.
Tetapi kali ini, dia melihat dengan mata kepala
sendiri, kalau ayahnya merampok kereta kuda itu!
Dengan menahan marah dan tangis, Ambarwati
melompat turun dan berlari ke kudanya. Dengan dige-
prak keras, kudanya meloncat ke depan dan berlari
dengan kencang. Membawa Ambarwati yang menangis
pilu, ke arah pertempuran.
Saat ini, nyawa Pranata benar-benar terancam.
Dia masih berusaha bertahan dengan pukulan sinar
merahnya. Tetapi lama kelamaan dia menjadi kewala-
han. Kembali golok-golok itu menyambar tubuhnya.
Pranata bersalto ke belakang dan mengelua-
rkan seruling pemberian ayahnya. Seruling Naga,
hanya ini satu-satunya yang bisa menghancurkan pa-
sukan perampok itu,
Tetapi sebelum dia meniup seruling itu terden-
gar jeritan, "Bapaaa!!"
Semua menoleh ke arah itu. Seorang gadis re-
maja tengah memacu kudanya dengan cepat dan ber-
henti di dekat Jedangmoro. Ia turun dengan bergegas
dan berkata-kata dengan sangat cepat, "Bapa, apa ar-tinya semua ini Bapa" Kenapa
Bapa melakukan per-
buatan hina itu. Ambar sedih, Bapa. Ambar juga jijik!
Jadi selama ini Bapa memberi makan Ambar dengan
harta yang tidak halal. Bapa, katakan, kenapa Bapa
melakukan semua itu?"
Jedangmoro tergagap. Tidak bisa berkata apa-
apa. Dia terdiam lesu, tidak menyangka putrinya akan muncul dan memergokinya.
"Bapa, katakan, Bapa. Kenapa, kenapa" Ambar
sedih, Bapa. Bapa yang selama ini Ambar banggakan
ternyata hanya seorang perampok. Bapa... Ambar anak
perampok! Ambar anak perampok...!"
Gadis itu berlari dan menangis tersedu-sedu.
Jedangmoro tertegun hendak mengejar. Tetapi terden-
gar bentakan Pranata Kumala.
"Tak kusangka, orang macam kau mempunyai
gadis se suci itu! Hatinya masih murni dan mulia, tetapi kau telah meracuninya
dengan perbuatanmu yang
busuk itu, yang sangat membuatnya terpukul!"
Jedangmoro menggeram marah. Dia harus me-
lampiaskan kemarahannya itu kepada pemuda ini.
Dengan marah dia berseru, "Bunuh pemuda itu...!"
Tetapi Pranata Kumala sudah bersiap. Gadis
Pendekar Bayangan Sukma 7 Pendekar Kedok Putih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
manis itu sudah menjauh, tidak mungkin terkena alu-
nan seruling naga. Begitu mereka menyerang, Pranata
cepat bersila dan mulai meniup Seruling Naga itu.
Terdengar suara yang lembut dan sahdu, tetapi
terdengar amat menyentak di telinga para penyerang-
nya, dan terasa sangat menyakitkan. Penyerang itu serentak terguling sambil
menutupi telinga mereka, be-
rusaha menahan rasa sakit yang dialirkan oleh nada
suara seruling itu.
Kuda-kuda mereka pun bergeletakan dengan
ringkikan hebat. Sementara Jedangmoro sendiri duduk
bersila dengan kedua telapak tangan bersatu di dada.
Mengerahkan tenaga dalam dan hawa mur-
ninya. Tetapi serangan suara seruling itu membuat tubuhnya gemetar dan
mengeluarkan darah. anak buah-
nya yang lain sudah sekarat semua dan akhirnya te-
was bergeletakan dengan mengeluarkan darah dari bi-
bir dan telinganya.
Tubuh Jedangmoro bergetar hebat dan akhir-
nya ambruk dengan bibir dan telinga mengeluarkan
darah. Sampai di situ Pranata Kumala menghentikan
tiupan serulingnya dan beranjak menghampiri Je-
dangmoro yang nafasnya tengah putus-putus.
Mata Jedangmoro terbuka, perlahan-lahan,
agak meredup dan seperti menahan rasa yang amat
sakit. "Kau... kau... sungguh hebat, Anak muda.... Ah, tolong... tolong cari
putri ku... katakan... a... aku...
minta maaf dan... aaguhhh!"
Tubuh itu terkulai dan nyawanya terbang me-
layang. Pranata menghela nafas panjang. Keangkara-
murkaan akan berakhir juga. Dia sedih melihat mayat-
mayat yang bergeletakan itu, tetapi tak ada jalan lain, mereka semua harus
dibasmi kalau tidak ingin membuat keonaran lagi. Betapa banyak perbuatan dosa
yang telah mereka lakukan dan semua itu harus di-
hentikan. Tiba-tiba dia teringat kepada Ambarwati, den-
gan cepat dia berkelebat berlari mencari gadis itu. Pranata menemukan gadis itu
berada sedang duduk ter-
menung dan sekali-sekali terisak di tepi sungai yang alirannya bersih dan
bening, suara gemerciknya enak
didengar. Gadis itu tidak menyangka akan perbuatan
ayahnya selama ini dan bagaimana perasaannya ketika
tahu siapa yang diserang ayahnya.
Pranata Kumala, pemuda yang dicintainya. Oh,
pasti pemuda itu tidak akan menyambut rasa cin-
tanya. Pasti dia malu mempunyai kekasih seorang
anak perampok. Ambarwati menangis tersedu-sedu.
Tiba-tiba dia mengangkat wajahnya. Terdengar
suara lembut di belakangnya, "Ambar...."
Ambarwati cepat menoleh dan mengusap air
matanya. Sejenak dia melengak. Yang memanggilnya
pemuda yang dicintainya.
Ah, pasti dia akan memandang rendah kepa-
danya. Ambarwati menunduk, tak kuasa menatap wa-
jah tampan itu. Tetapi tadi ketika dia menatap mata
itu, tidak ada kesan mengejek dan memandang rendah
kepadanya. Ah, itu hanya ilusinya saja agar hatinya
tenang. Pemuda itu beranjak mendekat. Berlutut dan
tiba-tiba memegang dagunya, menaikkan agar dia me-
natap matanya. Tubuh Ambarwati menggigil. Tak kuasa dia ba-
las menatap. "Kau menangis, Ambar...." suara pemuda itu lembut. Ambarwati menunduk lagi
tetapi Pranata mengangkat kembali wajah itu.
"Kau belum menjawab pertanyaanku, Ambar.
Kenapa?" "Aku... aku... ah, aku takut dan malu pada-
mu...." suara Ambarwati tersendat.
"Malu kenapa, Ambar?"
"Kau... kau pasti malu dan mengejek ku... ter-
nyata, aku hanya anak seorang perampok, yang tidak
patut berteman denganmu...."
"Siapa bilang?" Pranata tersenyum dan memegang dagu Ambar lalu membelai pipinya.
"Aku sedih kau menuduhku demikian, Ambar. Sampai kapan pun
aku akan tetap berteman denganmu. ayahmu tetap
ayahmu, dan kau tetap kau. Kau bukan ayahmu dan
ayahmu bukan engkau. Ambar...."
Ambar menatap mata yang redup itu. Dari sana
nampak pancaran sinar mesra. Benarkah, benarkah"
Pancaran mesra itu ditujukan kepadanya"
"Ya...." suara Ambar pelan dan tersendat.
"Aku... aku...." Pranata ragu-ragu.
"Aku rela ayah mati di tanganmu, Pranata," ka-ta Ambar memotong. Ayah sudah
sepatutnya untuk
meninggalkan dunia ini, sebelum dosanya semakin
menumpuk...."
"Bu... bukan itu, Ambar...."
"Bukan itu?" Kening Ambarwati berkerut.
"Ya, bukan itu. Aku... ah, Ambar... aku ingin
bicara sesuatu, kau tidak marah mendengarnya?"
"Aku belum mendengarnya... jadi tidak tahu
apa aku harus marah atau tidak...." Suara Ambarwati sudah agak tenang.
"Aku... ah, aku pembunuh ayahmu Ambar," ka-ta Pranata setelah menghela nafas
panjang. "Pa... pa-tutkah kalau aku... aku mencintaimu... ah...." Wajah Pranata
bersemu merah sendiri.
Tetapi wajah Ambar pun bersemu merah pula.
Dia menunduk dan mendadak dia terisak. Pranata
menjadi kebingungan sendiri, selama hidupnya, baru
kali ini dia mencintai seseorang dan mengatakan cin-
tanya. Melihat gadis itu menangis, tentu saja dia gu-gup. Dia menjadi serba
salah sendiri. "Ma... maafkan aku, Ambar. Aku... memang ti-
dak pantas untuk mencintaimu... apa... apalagi aku
yang... membunuh ayahmu sendiri.... Maafkan aku,
Ambar." Gadis itu mengangkat wajahnya. Matanya me-
merah. "Pranata...."
"Ya," suara Pranata lesu. "Ka... kalau kau menolak, tidak usah kau katakan
Ambar. Kau diam saja-
lah, agar aku tahu kalau kau menolak. Aku... aku ta-
kut sakit hati kau... tolak... lebih baik, jangan kau ucapkan, Ambar... dan
maafkan aku...."
"Pranata...." sekali lagi Ambar memanggil dan di bibirnya yang mungil
tersungging sebuah senyuman
yang amat manis.
Pranata menunggu apa yang hendak diucapkan
oleh gadis itu, tetapi mendadak gadis itu menunduk
tersipu, wajahnya kembali semburat merah.
Pranata menghela nafas panjang. Dia yang bo-
doh, gadis ini mencintainya. Dia memang belum pen-
galaman dalam hal ini. Untuk menyakitkan itu, perla-
han-lahan dia memberanikan diri untuk memegang
lengan gadis itu. Gadis itu diam saja, masih menunduk dan dadanya berdetak lebih
keras. Pranata perlahan memberanikan diri untuk
berbuat lebih jauh. Dengan hati-hati dia merangkul
gadis itu. Betapa enaknya merangkul seorang gadis.
Tubuh yang padat dan dada yang kenyal menekan di
dadanya. Ambarwati merebahkan diri di dadanya.
Ternyata dia tidak bertepuk sebelah tangan.
Pemuda itu pun mencintainya, tetapi dia tidak tahu
bagaimana cara mengucapkannya.
Pranata merasakan sesuatu yang hangat keluar
dari tubuh gadis itu dan tubuhnya, bersatu dan me-
nimbulkan rangsangan yang mulai naik.
Perlahan dia mengangkat dagu Ambarwati. Ma-
ta Ambarwati terpejam. Oh, betapa merekahnya bibir
itu. Rupanya itu yang membuat rangsangan.
Dengan hati-hati Pranata mencium bibir yang
kenyal itu. Dan mengulumnya perlahan. Ambarwati
mengeluh dalam kecupannya dan perlahan-lahan
membalas pula. Dia merasakan suatu aliran aneh
mengalir dari bibirnya ke seluruh tubuhnya.
Betapa menggetarkan. Betapa sahdunya.
Ah, sayang Pranata sudah melepaskan bibir-
nya. Dia masih ingin lama-lama dikecup dan dikulum
begitu. Pranata tersenyum. Mengecup pucuk hidung
Ambarwati. Ambarwati membuka kelopak matanya dan ter-
sipu. Buru-buru dia meletakkan kepalanya di dada
pemuda itu. Pranata membelai rambut hitam Ambarwati
dan mencium bau yang harum sekali.
"Sekarang kau hendak tinggal di mana, Am-
bar?" tanya Pranata perlahan.
Ambarwati menggeleng perlahan. Seolah tidak
tahu, padahal di Laut Selatan di masih mempunyai se-
buah rumah peninggalan ayahnya yang lengkap den-
gan segala isinya.
"Kau tidak tahu, Ambar?"
"Ya."
"Bagai... bagaimana kalau kau tinggal di tem-
patku?" Mendadak Ambarwati melepaskan rangkulannya. Ia menatap Pranata tajam.
"Aku tidak mau. Hidup serumah tanpa nikah,
aku tidak mau. Kau harus menikahi ku dulu, baru aku
mau tinggal di sana."
Pranata merangkul kembali kekasihnya. Mene-
nangkan. "Untuk sementara kau tinggal di sana. Ada
ayah dan bundaku. Sebulan kemudian, kau akan ku
nikahi. Kau mau menikah denganku, Ambar?"
Kembali Ambar tersipu. Disangkanya Prananta
mengajaknya untuk tinggal serumah tanpa menikah.
Dinikahi oleh pemuda yang dicintainya, sudah tentu
dia amat setuju. Hatinya bahagia dan berbunga.
Ternyata Yang Kuasa masih memberinya keba-
hagiaan setelah kecewa melihat dan mengetahui per-
buatan ayahnya. Bahkan Ambarwati tidak menyesali
kematian ayahnya. Ayah lebih baik mati daripada hi-
dup hanya akan menambah dosa.
Pranata mengajak gadis itu ke perguruan To-
peng Hitam. Dia memperkenalkan gadis itu kepada
ayah bundanya dan menceritakan asal usulnya. Ratih
Ningrum hanya mengangguk setuju dengan pilihan pu-
tranya. Dia merangkul Ambarwati yang merasa aman
dan bahagia dalam rangkulannya.
*** 9 Selama tiga minggu tidak ada kejadian apa-apa
yang menggemparkan. Kini daerah kekuasaan Gerom-
bolan Golok Iblis sudah tidak ada gangguan lagi. Ge-
rombolan itu sudah tumbang ke akar-akarnya. Dan ge-
rombolan yang berada di bawah mereka segera pergi
dari daerah ini, karena tidak ingin mengalami nasib
seperti Golok Iblis.
Rombongan-rombongan pengiriman barang ti-
dak takut untuk melalui daerah itu menuju ke daerah
Pacitan. Seminggu kemudian, secara resmi Pranata me-
nikahi Ambarwati. Seisi perguruan Topeng Hitam ber-
bahagia, karena mereka senang Pranata mendapat istri seorang gadis yang cantik
dan lembut. Mereka lalu minta izin berbulan madu. Tempat
yang dipilih oleh Ambarwati adalah rumah nya yang
hampir sebulan dia tinggali.
Rumah itu tak banyak berubah. Seperti dulu.
Hanya sekarang agak kotor dan sepi sekali. Dengan
semangat dan gembira Ambarwati membersihkan ru-
mah itu dibantu dengan suaminya yang selalu setia,
walau sekali-sekali teringat akan ayahnya.
Mereka menghabiskan waktu bulan madu itu
selama seminggu di sana. Saat-saat yang paling ber-
bahagia buat mereka. Seakan tak habis-habisnya me-
reka bergelut dan tak bosan-bosannya mereka tertawa
dan bercanda. Tetapi suatu hari, mereka dikejutkan oleh se-
buah tongkat yang dilempar dari luar dan menabrak
kaca hingga kaca itu berantakan.
"Praang...!"
Pranata dan Ambarwati yang sedang bercanda
menjadi terkejut. Mereka segera bersiaga. Keduanya
cepat mengambil senjata mereka masing-masing.
Pranata menyelinap ke depan. Mengintai apa
yang sebenarnya terjadi.
Di sana, dia melihat puluhan orang pengemis
telah mengepung rumah itu. Dan di tengah mereka
berdiri pengemis yang bermata sipit, Sengkawung,
pengemis yang dikalahkannya beberapa bulan yang la-
lu. Dan mau apa sekarang mereka kemari"
"Hei, kalian berdua! Cepat keluar, kalau tidak
ku bakar rumah ini!" terdengar bentakan keras Sengkawung.
Pranata kembali ke tempat istrinya yang juga
mendengar seruan itu.
"Siapa mereka, Kakang?"
"Para pengemis yang akan balas dendam kepa-
da kita, Rayi...."
"Para pengemis?" Kening Ambarwati berkerut, tetapi kemudian ingat, pasti teman-
temannya Ayasumo
yang berhasil dibunuh oleh si Kedok Putih.
"Iya, Rayi. Orang yang berseru tadi, pernah
bentrok denganku beberapa bulan yang lalu. Agaknya
mereka ingin balas dendam kepadaku. Kita bersiap,
Rayi." "Iya, Kakang."
Terdengar bentakan lagi, "Cepat kalian keluar!
Aku sudah tahu siapa kalian adanya! Kalian adalah
orang-orang yang harus kami bunuh!"
"Kita keluar, Rayi?" tanya Pranata.
"Baik, Kakang," sahut Ambarwati mantap.
Pendekar Bayangan Sukma 7 Pendekar Kedok Putih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dengan sikap gagah keduanya keluar dan ber-
hadapan dengan puluhan pengemis itu. Sengkawung
terbahak melihat keduanya.
"Ha... ha... kalian rupanya sudah menjadi sua-
mi istri sekarang.... Bagus, bagus, karena hari ini aku akan mencabut nyawa
kalian!" Pranata mendengus mengejek.
"Kau" Hhh, kau tidak sadar rupanya, berapa
banyak anggotamu yang kau bawa! Jangan mimpi
hanya kau yang bermaksud menaklukkan kami!"
Wajah Sengkawung memerah. Tetapi kemudian
dia tertawa. "Baik, baik, bukan aku, tapi kami yang akan
membunuhmu! Bersiaplah kalian berdua, kami sudah
muak dengan orang-orang macam kau!"
"Sengkawung... kau tidak sadar rupanya, bebe-
rapa bulan yang lalu pernah kubuat tunggang lang-
gang. Dan sekarang kau ingin merasakan kembali ru-
panya. Baik, kami pun sudah siap menyambut kalian!"
Wajah Sengkawung kembali memerah. Dia
menggeram marah dan berseru memberi aba-aba, "Se-raaang mereka! Bunuh!"
Dan serentak puluhan orang pengemis maju
dengan tongkat mereka. Pranata dan Ambarwati pun
bersiap. Pranata mengkhawatirkan keselamatan is-
trinya. Kepandaian pedang istrinya masih rendah se-
kali, menghadapi satu lawan satu dia juga belum tentu menang, apalagi dikeroyok
demikian. Pranata bergerak mendekati istrinya, sekaligus
melindunginya. Punggung keduanya saling menempel
dan menghalau setiap serangan.
Tetapi serangan-serangan itu betapa ganas dan
banyaknya. Membuat keduanya agak kewalahan juga.
Apalagi keadaan Ambarwati sudah agar terdesak. Tu-
buhnya sudah banyak luka.
Pranata pun demikian. Jalan satu-satunya dia
harus menggunakan kembali seruling naga. Tetapi ba-
gaimana dengan istrinya, istrinya bisa mati juga jika mendengar suara seruling
itu. Sambil melepaskan pukulan sinar merahnya
secara beruntun, Pranata menyambar tubuh istrinya
dan membawanya lari. Orang-orang itu mengejar, na-
mun terhalang oleh pukulan sinar merah Pranata.
Ini kesempatan yang bagus, dia menurunkan
istrinya dan dengan sekuat tenaga dia melancarkan
pukulan sinar merahnya kepada orang-orang yang
mengejar itu. Tetapi Sengkawung tidak kehilangan akal, tidak
bisa mendekati Pranata Kumala, dia memerintahkan
anak buahnya untuk melempar tongkat-tongkat itu.
Dan secara beruntun tongkat itu melesat menuju me-
reka. Dengan susah payah mereka menghindari se-
rangan tongkat itu dan kesempatan yang baik diguna-
kan oleh para penyerangnya untuk maju bergerak.
Kembali keduanya sudah dikurung rapat. Kali
ini para pengemis itu tidak memegang senjata, agak
menguntungkan bagi Pranata dan Ambarwati.
Keduanya sudah menggerakkan senjata mereka
dengan hebat. Pedang Ambarwati berkelebat ke sana-
kemari dan telah merobohkan lima orang pengeroyok-
nya. Begitu pula dengan Pranata Kumala. Dengan se-
rulingnya dia pun telah menotok empat orang penge-
royoknya. Tetapi orang-orang itu demikian banyaknya,
akhirnya keduanya kewalahan dan secara terpaksa
mereka memisahkan diri, tidak saling merapatkan
punggung. Pranata mengamuk hebat dengan serulingnya,
tetapi keadaan istrinya terdesak hebat. Dengan tiba-
tiba saja, Sengkawung bergerak dan menendang perge-
langan tangan Ambarwati hingga terlepas pedangnya
dan menotoknya hingga kaku.
Ambarwati tidak bisa bergerak. Dia memaki-
maki marah. Tetapi Sengkawung hanya terbahak saja.
Dia memerintahkan anak buahnya untuk mengeroyok
Pranata Kumala. Sedangkan dia sendiri membopong
tubuh Ambarwati yang kaku sambil terbahak-bahak.
Pranata hendak membebaskan istrinya, tetapi
pengeroyok itu telah mengepungnya dengan rapat. Ti-
dak memberinya kelonggaran sedikit pun.
Terdengar suara Ambarwati menjerit-jerit di-
iringi tawa Sengkawung. Dia membawa tubuh Ambar-
wati ke balik semak dan merebahkannya hendak
memperkosa. Pranata Kumala marah mendengar jeri-
tan istrinya. Dia menerobos kepungan itu, tetapi ke-
pungan itu sangat rapat sekali..
Dia ingin menggunakan seruling Naga, tetapi
kuatir istrinya akan terkena pula serangan seruling
itu. Tubuhnya sudah menjadi bulan-bulanan para
pengeroyoknya. Dia sudah mengerahkan seluruh ke-
pandaiannya. Walaupun tangannya sudah dialiri pu-
kulan sinar merah, tetap dia tidak bisa menghindar
dan menangkis serangan dari belakang atau samping.
Jeritan istrinya terdengar panjang. Dan terden-
gar baju sobek. Sengkawung tertawa terbahak-bahak.
Tetapi tiba-tiba dia terguling, karena sebuah
pukulan menerjang wajahnya.
"Des...." Sengkawung buru-buru bangkit dan melihat siapa yang telah memukulnya.
Si Kedok Putih, orang yang selama ini dia cari. Tengah berdiri dengan gagah.
Sungguh kebetulan sekali. Dia tidak perlu la-ma-lama mencari si Kedok Putih. Si
Kedok Putih mem-
bebaskan totokan di tubuh Ambarwati dan menghada-
pi Sengkawung. "Rupanya kau pemimpin Partai Pengemis Sakti
itu." Suara si Kedok Putih angker.
Sengkawung tidak takut dengan suara itu. Dia
membentak, "Kau rupanya si Kedok Putih! Bagus, kau datang sendiri kepadaku! Hari
ini. aku menagih nyawamu sebagai pembayaran atas nyawa anak buahmu
yang kaubunuh!"
"Sengkawung, kau adalah orang Tiongkok yang
datang ke tanah persada ini dan kau berani-beraninya membuat kekacauan di negeri
kami!" "Persetan dengan semua itu, sekarang kau ber-
siaplah hutang nyawa dibayar nyawa!"
"Sejak tadi aku sudah bersiap, Sengkawung!"
Setelah mendengar ucapan itu, Sengkawung
segera bergerak. Sungguh cepat dan bertenaga penuh.
Namun si Kedok Putih sudah sejak tadi siap, maka
dengan ringannya dia menghindar ke samping. Seran-
gan itu luput. Dan kaki si Kedok Putih sudah me-
nyambar kaki Sengkawung hingga tubuh itu jatuh.
Sengkawung bangkit dengan mata berbinar me-
rah. Tetapi belum dia menyerang, sudah terdengar
alunan seruling yang amat merdu. Tetapi dirasakan
oleh Sengkawung dan Si Kedok Putih amat menya-
kitkan telinga.
Rupanya Pranata sudah kewalahan sekali. Dia
akhirnya meniup juga seruling naga itu. Pikirannya
hanya satu, biarlah istrinya mati terkena seruling itu daripada ternoda oleh
Sengkawung, nanti setelah itu
dia sendiri akan membunuh diri.
Suara seruling itu membuyarkan para penge-
pungnya hingga jatuh berantakan.
Tubuh Sengkawung pun bergetar dan dia du-
duk bersila menghimpun tenaga dalam untuk mena-
han serangan seruling itu.
Si Kedok Putih pun berbuat yang sama, tetapi
sedetik kemudian dia teringat akan gadis manis itu.
Ambarwati. Dengan gerakan yang sangat cepat, Si Ke-
dok Putih memukul leher Ambarwati hingga pingsan.
Dan dia sendiri ambruk ke tanah karena suara
seruling itu. Buru-buru dia mengerahkan hawa mur-
ninya untuk menahan. Betapa hebat alunan suara se-
ruling itu. Suara yang begitu kuat dan dahsyat.
Para pengeroyok Pranata Kumala sudah mam-
pus kelojotan, begitu pula dengan Sengkawung yang
akhirnya ambruk dengan tubuh kejang-kejang.
Hanya si Kedok Putih agaknya yang masih
mampu bertahan. Sekuat tenaga dia kerahkan untuk
menahan serangan suara seruling.
Tiba-tiba seruling itu berhenti. Si Kedok Putih
menahan nafas lega dan menghembuskannya perla-
han. Sesosok tubuh berkelebat.
Pranata Kumala yang memanggil-manggil is-
trinya, "Ambar, Ambar!"
Dia menemukan tubuh Sengkawung yang telah
menjadi mayat dan tubuh istrinya yang pingsan. Ia
merangkul dan menangisi istrinya. Disangkanya is-
trinya mati akibat suara seruling itu.
"Ambar... maafkan aku, maafkan aku. Aku ter-
paksa melakukan semua ini, Sayang.... Oh, Tuhan...
betapa besar dosaku karena membunuh istriku sendi-
ri...." Pranata menangis tersedu-sedu.
Tiba-tiba dia merasakan bahunya dipegang se-
seorang. Dia menoleh, orang itu si Kedok Putih.
"Dia hanya pingsan, Nak. Sebentar lagi juga si-
uman." "Kau... kau yang telah membuatnya pingsan?"
tanya Pranata terbata.
"Ya... suara seruling mu begitu keras sekali."
"Te... terima kasih, Kakang. Kau telah menye-
lamatkan istriku...."
Si Kedok Putih hanya mengangguk. Lima menit
kemudian, Ambarwati siuman. Dia mula-mula bingung
berada di mana, tetapi begitu melihat suaminya, dia
langsung merangkulnya. Pranata membalas rangkulan
itu dengan terharu. Istrinya masih hidup. Istrinya masih hidup.
Ambarwati menoleh kepada laki-laki yang ber-
diri di samping mereka. Si Kedok Putih, lagi-lagi orang itu yang telah
menolongnya. Ah, pasti si Kedok Putih kecewa karena dia telah bersuami. Sudah
seharusnya dia mengucapkan terima kasih sekarang.
"Kedok Putih....lagi-lagi kau yang telah meno-
longku.... Kuucapkan terima kasih kepada mu...."
"Tak perlu mengucapkan terima kasih, Nimas.
Sudah kewajiban kita untuk tolong menolong...."
Pranata membimbing istrinya bangkit dan me-
rangkulnya dengan mesra.
"Kedok Putih... kalau boleh, kami ingin sekali
melihat wajahmu... biar kami tidak melewatkan ke-
sempatan jika bertemu denganmu...."
"Wajahku sangat buruk sekali, aku takut, ka-
lian tidak mengenalku lagi," kata si Kedok Putih sedih sambil berbalik
membelakangi mereka.
"Oh, maafkan kami, Kedok Putih," kata Prana-ta. "Seburuk-buruknya rupa mu, tapi
hatimu baik. Biarpun bagaimana buruknya rupa mu, kami akan tetap
menjadi sahabatmu. Kami tak akan pernah melupakan
pertolonganmu...."
"Kalian akan menyesal."
"Tidak," kali ini Ambarwati yang bicara. "Kami tak akan pernah menyesal
bersahabat denganmu."
"Kalau kalian ingin melihat wajahku, baiklah.
Tetapi jangan terkejut jika mengetahui siapa aku sebenarnya."
"Kami tak akan pernah menyesal," sahut keduanya berbarengan.
Si Kedok Putih perlahan mengangkat tangan-
nya, siap membuka kedoknya. Ambarwati memegang
kuat-kuat tangan suaminya. Sedikitnya dia ngeri jika melihat wajah buruk si
Kedok Putih. Dan kedok putih telah membuka wajahnya.
Berbalik menghadap mereka. Keduanya terkejut den-
gan mata terbelalak.
"Ayah!" seru Pranata Kumala.
"Ayah!" seru Ambarwati.
Si Kedok Putih tertawa, suaranya tidak lagi
angker. Kini biasa suara yang sering didengar mereka.
Suara Madewa Gumilang. Rupanya si Kedok Putih itu
adalah Madewa Gumilang yang menyamar.
Dia tertawa. "Kalian telah berjanji, tak akan terkejut melihat wajahku!" katanya masih
tertawa. "Bagaimana kami tidak terkejut, kalau ternyata
wajahmu, Ayah. Oh, terima kasih Ayah... kau selalu
membantu kami!" kata Pranata sambil menjura yang diikuti istrinya.
Madewa merangkul keduanya dan mengajak
mereka kembali ke perguruan Topeng Hitam.
Perguruan yang berdiri dengan tegar sampai
menembus ke langit ketenarannya.
Di bawah pimpinan Madewa Gumilang dan is-
trinya, perguruan itu semakin memuncak.
*** SELESAI E-Book by Abu Keisel Pedang Kiri 5 Kuda Putih Karya Okt Rahasia Kunci Wasiat 4