Pencarian

Son Of Neptune 4

The Heroes Of Olympus 2 Son Of Neptune Bagian 4


Di haluan, nama Pax masih bisa dibaca, diterakan menggunakan huruf-huruf emas. Gambar mata melorot dengan kuyu di permukaan air, seolah-olah perahu itu hendak tertidur. Di atas perahu itu sendiri terdapat dua deret bangku, benang baja, kotak pendingin yang sudah tua, dan gulungan tali terburai yang salah satu ujungnya diikat ke tiang pancang. Di dasar perahu, sekantong plastik dan dua kaleng Coke kosong terapung di air keruh setinggi beberapa inci.
"Saksikanlah," kata Frank, "angkatan laut Romawi nan perkasa."
"Pasti ada kekeliruan," kata Hazel, "ini cuma sampah." Percy membayangkan Octavian sedang menertawakan mereka, tapi dia memutuskan untuk tak membiarkan kenyataan mengecewakannya. Biar bagaimanapun juga, Pax tetap saja merupakan sebuah perahu. Dia melompat naik, dan lambung perahu pun mendengung di bawah kaki Percy, merespons kehadirannya. Percy memasukkan sampah ke kotak pendingin dan meletakkan benda itu di dermaga. Diperintahkannya air keruh agar mengalir keluar dari perahu. Kemudian dia menunjuk benang baja dan kumparan itu pun melesat di lantai, menggosokgosok dan memoles dengan amat cepat sampai-sampai baja mulai berasap. Ketika semua sudah beres, perahu itu pun menjadi bersih. Percy menunjuk tali, dan tambang itu pun melepas dirinya sendiri dari dermaga.
Tak ada dayung, tapi itu tidak jadi soal. Percy bisa tahu bahwa perahu tersebut sudah siap bergerak, semata-mata tengah menunggu perintah.
"Sepertinya ini sudah cukup," katanya, "naiklah." Hazel dan Frank kelihatan agak terperangah, tapi mereka naik saja. Hazel terutama tampak gugup. Ketika mereka sudah duduk
di bangku, Percy berkonsentrasi, dan perahu itu pun meluncur menjauhi dermaga.
Juno benar, kau tahu. Suara Gaea yang mengantuk berbisik dalam benak Percy, mengejutkannya sedemikian rupa sampaisampai
perahu itu bergoyang. Kau bisa saja memilih kehidupan baru di laut. Di sana, kau pasti aman dariku. Sekarang sudah terlambat. Kau telah memilih kepedihan dan penderitaan. Kini kau sudah ambil bagian dalam rencanaku menjadi pion kecilku yang penting.
"Turun dari kapalku," geram Percy. "Eh, apa"" tanya Frank. Percy menunggu, tapi Gaea tidak bersuara lagi "Bukan apa-apa," ujar Percy, "mari kita lihat perahu dayung ini bisa melakukan apa saja."
Percy membelokkan perahu ke utara, dan tidak lama kemudian mereka sudah melaju dengan kecepatan lima belas knot, menuju Jembatan Golden Gate. []
BAB TUJUH BELAS HAZEL HAZEL BENCI PERAHU. Dia gampang sekali kena mabuk laut, sampai-sampai gangguan tersebut lebih cocok disebut sebagai wabah laut. Hazel tidak menyinggung-nyinggung soal itu kepada Percy. Hazel tidak ingin mengacaukan misi tersebut, tapi dia teringat betapa memilukan kehidupannya ketika dia dan ibunya pindah ke Alaska tidak ada jalan. Ke mana pun mereka pergi, mereka harus naik kereta api atau perahu.
Hazel berharap semoga kondisinya sudah membaik sejak dia kembali dari kematian. Rupanya tidak. Dan perahu kecil ini, Pax, teramat mirip perahu milik mereka di Alaska. Rasanya jadi membangkitkan kenangan buruk
Begitu mereka meninggalkan galangan, perut Hazel mulai melilit-lilit. Pada saat mereka melintasi dermaga San Francisco Embarcadero, kepalanya pening hebat sampai-sampai rasanya dia sedang berhalusinasi. Mereka melewati sekawanan singa laut yang sedang berjemur di dermaga, dan Hazel bersumpah dia melihat seorang pria tua tunawisma sedang duduk-duduk di antara mereka.
Dari seberang perairan, pria tua itu menunjukkan jari sekurus tulang kepada Percy dan mengucapkan sesuatu seperti jangan coba-coba.
"Apa kau lihat itu"" tanya Hazel. Wajah Percy tampak merah di tengah-tengah cahaya matahari terbenam. "Iya. Aku pernah ke sini sebelumnya. Aku aku tidak tahu pasti. Kurasa waktu itu aku mencari pacarku."
"Annabeth," ujar Frank, "maksudmu dalam perjalanan ke Perkemahan Jupiter""
Percy mengerutkan kening. "Bukan. Sebelum itu." Dia mengamat-amati kota tersebut seakan masih mencari Annabeth sampai mereka lewat di bawah Jembatan Golden Gate dan berbelok ke utara.
Hazel berusaha menenangkan perutnya yang mulas dengan cara memikirkan hal-hal menyenangkan euforia yang dia rasakan semalam ketika mereka memenangi perang-perangan, menunggang Hannibal ke markas musuh, Frank yang mendadak bertransformasi menjadi seorang pemimpin. Frank kelihatan seperti orang lain ketika dia memanjat tembok, menyeru Kohort V agar menyerang. Kelihaiannya menyapu bersih pasukan pertahanan dari atas benteng .... Hazel tidak pernah melihat Frank seperti itu sebelumnya. Hazel bangga sekali bisa menyematkan pin Centurion ke baju Frank.
Kemudian pemikiran Hazel kembali beralih ke Nico. Sebelum mereka pergi, adiknya telah mengajaknya menepi untuk mendoakan semoga berhasil. Hazel berharap Nico bersedia bertahan di Perkemahan Jupiter guna membantu mempertahankannya, tapi Nico bilang dia akan pergi hari ini kembali ke Dunia Bawah.
"Ayah membutuhkan semua bantuan yang bisa diperolehnya," kata Nico, "Padang Hukuman seperti penjara yang sedang rusuh. Para Erinyes nyaris tak sanggup menjaga ketertiban. Lagi pula
aku hendak mencoba melacak jiwa-jiwa yang kabur. Mungkin aku bisa menemukan Pintu Ajal dari seberang sana."
"Hati-hati," kata Hazel, "seandainya Gaea menjaga pintu itu "
"Jangan cemas." Nico tersenyum. "Aku tahu caranya sembunyi. Jaga dirimu baik-baik. Semakin kau mendekati Alaska ... aku tidak yakin apakah serangan pingsanmu bakal membaik atau malah tambah parah."
Jaga diriku baik-baik, pikir Hazel getir. Seolah-olah misi ini akan berbuah manis baginya.
kita membebaskan Thanatos." Hazel memberi tahu Nico. "Aku mungkin takkan pernah bertemu denganmu lagi. Thanatos akan mengirimku kembali ke Dunia Bawah ...."
Nico menggenggam tangan Hazel. Jemari Nico putih sekali sehingga sulit memercayai bahwa mereka seayah.
"Aku ingin memberimu kesempatan masuk Elysium," kata Nico, "itulah yang terbaik yang bisa kuperbuat untukmu. Tapi sekaran
g, kuharap ada cara lain. Aku tidak ingin kehilangan kakakku."
Nico tidak mengucapkan kata lagi, tapi Hazel tahu itulah yang dia pikirkan. Sekali itu, Hazel tidak merasa cemburu pada Bianca di Angelo. Hazel semata-mata berharap kalau saja dia punya lebih banyak waktu bersama Nico dan teman-temannya di perkemahan. Hazel tidak mau mati untuk kedua kalinya.
"Semoga berhasil, Hazel," ujar Nico. Kernudian dia melebur ke dalam bayang-bayang persis seperti ayahnya tujuh puluh tahun berselang.
Perahu bergetar, menyentakkan Hazel kembali ke masa kini. Mereka memasuki perairan Pasifik dan mengitari garis pantai Marin County yang berbatu-batu.
Frank memegangi tas ski di pangkuannya. Tas itu melintang di lutut Hazel seperti palang pengaman di arena hiburan, alhasil mengingatkannya pada saat itu, ketika Sammy mengajaknya ke karnaval kala Mardi Gras .... Hazel cepat-cepat mengesampingkan kenangan itu. Dia tidak boleh sampai pingsan lagi.
"Kau baik-baik saja"" tanya Frank. "Kau kelihatan mual." "Mabuk laut." Hazel mengaku. "Tidak kukira bakal separah ini'.
Frank memonyongkan bibir dengan prihatin seolah-olah hal itu adalah kesalahannya. Dia mulai merogoh-rogoh tasnya. "Aku punya nektar. Dan biskuit asin. Hmm, nenekku bilang jahe bisa membantu aku tidak punya jahe, tapi "
"Tidak apa-apa." Hazel memaksakan senyum. "Kau baik sekali."
Frank mengeluarkan biskuit asin. Biskuit itu patah di jarinya yang besar. Biskuit menyerpih ke mana-mana.
Hazel tertawa. "Demi para Dewa, Frank .... Maaf. Aku seharusnya tidak tertawa."
"Eh, tidak masalah," kata Frank malu-malu, "kurasa kau tidak mau biskuit ini."
Percy tidak terlalu menaruh perhatian. Dia melekatkan pandangan matanya ke garis pantai. Saat mereka melewati Stinson Beach, Percy menunjuk ke daratan. Di sana, sebuah gunung menjulang di atas perbukitan hijau.
"Itu kelihatannya tidak asing," kata Percy. "Gunung Tam," ujar Frank, "anak-anak di perkemahan membicarakannya terus-terusan. Terjadi pertempuran besar di puncak, di bekas markas Titan."
Percy mengernyitkan dahi. "Kalian ikut pertempuran itu"" "Tidak," kata Hazel, "kejadiannya Agustus lalu, sebelum aku hmm, sebelum aku masuk ke perkemahan. Jason menceritakannya
kepadaku. Legiun menghancurkan istana musuh dan menghabisi kira-kira sejuta monster. Jason harus bertarung melawan Krios beradu satu lawan satu menggunakan tangan kosong dengan seorang Titan, kalau kau bisa membayangkannya."
"Bisa kubayangkan," gumam Percy. Hazel tidak yakin apa maksudnya, tapi Percy memang mengingatkan Hazel pada Jason, meskipun mereka sama sekali tidak mirip. Keduanya punya aura perkasa, meskipun tidak pernah memamer-mamerkan kekuatan mereka. Jason dan Percy juga samasama terkesan sedih, seolah-olah keduanya telah menyaksikan takdir mereka dan tahu bahwa tinggal perkara waktu sebelum mereka berjumpa monster yang tak kuasa mereka kalahkan.
Hazel memahami perasaan itu. Diperhatikannya matahari tenggelam di samudra, dan Hazel tahu waktu hidupnya kurang dari seminggu. Entah misi mereka berhasil atau tidak, perjalanan Hazel sudah usai saat Festival Fortuna.
Hazel memikirkan kematian pertamanya, dan bulan-bulan menjelang peristiwa itu rumah di Seward, enam bulan yang dihabiskannya di Alaska, menaiki perahu kecil itu ke Teluk Resurrection di malam hari, mengunjungi pulau mungil terkutuk.
Hazel terlambat menyadari kekhilafannya. Penglihatannya menjadi gelap, dan dia pun terhanyut ke masa lalu.
Rumah sewaan mereka berupa bangunan tripleks berbentuk kotak di atas titian yang menghadap ke teluk. Ketika kereta api dari Anchorage meluncur lewat, perabot berguncang dan foto-foto berkelotakan di dinding. Pada malam hari, Hazel jatuh tertidur sambil dibuai bunyi air es yang berdebur ke batu-batu di bawah lantai papan. Angin membuat bangunan berderit dan mengerang.
Mereka punya satu kamar, dilengkapi kumparan pemanas serta kotak es yang difungsikan sebagai dapur. Satu pojok yang ditabiri tirai difungsikan sebagai kamar Hazel. Di sana, dia menyimpan kasur dan peti berisi barangnya. Hazel memasang gambar dan foto lama New Orleans di dinding, ta
pi itu semata-mata memperparah rasa kangen rumahnya.
Ibunya jarang ada di rumah. Dia tidak dipanggil Ratu Marie lagi. Namanya Marie saja, si pembantu. Dia memasak dan bersih-bersih seharian di rumah makan di Third Avenue yang diperuntukkan bagi nelayan, pekerja rel kereta api, dan awak kapal yang kadang-kadang mampir. Sepulang dari sana, baunya seperti pembersih lantai dan ikan kering.
Pada malam hari, Marie Levesque bertransformasi. Suara Itu mengambil alih, memerintah-merintah Hazel, menyuruhnya mengerjakan proyek mengerikan.
Musim dinginlah yang terburuk. Suara Itu bertahan lebih lama karena kegelapan yang tak kunjung pergi. Dinginnya teramat menusuk sampai-sampai Hazel mengira dia takkan pernah merasa hangat lagi.
Ketika musim panas tiba, Hazel tidak bosan-bosannya menikmati sinar mentari. Tiap hari saat libur musim panas, dia jauh-jauh dari rumah selama mungkin, tapi dia tidak bisa jalanjalan keliling kota. Komunitas tersebut kecil. Anak-anak lain menyebarkan gosip tentang Hazel anak penyihir yang tinggal dalam gubuk tua dekat dermaga. Jika Hazel terlalu dekat, anakanak mengolok-olok atau melemparinya botol serta batu. Orang dewasa juga sama jahatnya.
Hazel bisa saja menyengsarakan hidup mereka. Dia bisa saja memberi mereka berlian, mutiara, atau emas. Di Alaska sini, emas mudah didapat. Di bukit terdapat banyak sekali emas, sehingga Hazel bisa saja mengubur kota tersebut tanpa susah payah. Namun,
dia tidak membenci penduduk setempat karena mengucilkannya. Dia tidak bisa menyalahkan mereka.
Hazel menghabiskan hari dengan cara berjalan-jalan di bukit. Dia menarik perhatian gagak. Mereka menguak dari pepohonan dan menantikan benda-benda mengilap yang senantiasa bermunculan di belakang Hazel. Kutukan Hazel sepertinya tidak membuat burung-burung gagak takut. Dia melihat beruang cokelat juga, tapi hewan tersebut menjaga jarak. Ketika Hazel haus, dia mencari lelehan es yang membentuk air terjun dan meminum air bersih dingin itu hingga kerongkongannya sakit. Hazel mendaki setinggi mungkin dan membiarkan matahari menghangatkan wajahnya.
Aktivitas macam itu bukanlah cara yang jelek untuk melewatkan waktu, tapi Hazel tahu pada akhirnya dia harus pulang ke rumah.
Kadang-kadang Hazel memikirkan ayahnya pria aneh pucat yang mengenakan setelan jas perak-hitam. Hazel berharap semoga saja ayahnya kembali dan melindunginya dari ibunya, mungkin menggunakan kekuatan dewa untuk menyingkirkan Suara menyeramkan itu. Jika dia memang Dewa, dia semestinya bisa melakukan itu.
Hazel mendongak untuk memandangi para gagak dan membayangkan bahwa mereka adalah utusan ayahnya. Mata mereka gelap dan liar, seperti mata ayahnya. Hazel bertanya-tanya apakah mereka melaporkan gerakannya kepada ayahnya.
Namun, Pluto sudah memperingatkan ibu Hazel mengenai Alaska. Tempat itu adalah Negeri Nirdewa. Pluto tak bisa melindungi mereka di sana. Jika dia memang memperhatikan Hazel, dia tidak bicara kepada putrinya itu. Hazel sering kali bertanya-tanya apakah dia hanya mengkhayalkan ayahnya. Kehidupan lamanya terasa sejauh siaran radio yang dia dengarkan, atau pidato Presiden Roosevelt mengenai perang. Sesekali penduduk lokal membahas
orang-orang Jepang dan pertarungan di kepulauan luar Alaska, tapi itu sekalipun terasa jauh sekali tak ada apa-apanya dibandingkan dengan masalah Hazel yang mengerikan.
Suatu hari di tengah musim panas, Hazel kelayapan hingga lebih larut daripada biasanya, karena sibuk mengejar seekor kuda.
Hazel pertama kali melihat kuda itu ketika dia mendengar bunyi berkerumuk di belakangnya. Hazel menoleh dan menyaksikan seekor kuda jantan cokelat tua bersurai hitam persis seperti yang dia tunggangi pada hari terakhir di New Orleans, ketika Sammy mengajaknya ke istal. Hewan tersebut bisa saja merupakan kuda yang sama, meskipun itu mustahil. Si kuda sedang memakan sesuatu di jalan setapak, dan selama sekejap, Hazel mendapat firasat gila bahwa kuda itu tengah mengunyah salah satu biji emas yang senantiasa dia tinggalkan.
"Hai, Kawan," panggil Hazel. Kuda itu memandang Hazel dengan waswas. Hazel menduga kuda itu adala
h milik seseorang. Kuda itu terlalu terawat, bulunya terlalu mulus. Jadi, tidak mungkin kuda liar. Jika saja dia bisa mendekat .... Lalu apa" Hazel bisa mencarikan pemiliknya" Mengembalikannya"
Tidak, pikir Hazel. Aku hanya ingin berkuda lagi. Hazel mendekat hingga tiga meter, dan kuda itu pun kabur. Hazel menghabiskan sesorean itu untuk berusaha menangkap si kuda berkali-kali sudah dekat sekali, sebelum kuda itu melarikan diri lagi.
Hazel menjadi lupa waktu, yang memang mudah terjadi karena di musim panas matahari bersinar lebih lama. Akhirnya Hazel berhenti di kali untuk minum dan menengok ke angkasa, mengira bahwa saat itu masih sekitar jam tiga sore. Kemudian dia mendengar peluit kereta bertiup dari lembah di bawah. Sadarlah
Hazel bahwa itu pastilah kereta malam ke Anchorage. Artinya, sudah jam sepuluh malam.
Hazel memelototi si kuda yang sedang merumput dengan tenang di seberang kali. "Apa kau mencoba menjerumuskanku dalam masalah""
Si kuda meringkik. Kemudian .... Hazel pasti hanya membayangkannya. Kuda itu melesat pergi, warna hitam dan cokelat tuanya nampak kabur, lajunya lebih cepat daripada sambaran petir di langit hampir terlalu cepat sehingga tidak bisa dilihat mata. Hazel tidak paham bagaimana bisa begitu, tapi kuda itu jelas sudah menghilang.
Hazel menatap lokasi berdirinya kuda itu tadi. Kepulan uap meliuk-liuk dari tanah.
Peluit kereta api lagi-lagi bergema di bukit, dan sadarlah Hazel bahwa dia dalam masalah. Dia pun berlari pulang.
Ibunya tak ada di sana. Sekejap Hazel merasa lega. Mungkin ibunya harus bekerja hingga larut. Mungkin malam ini mereka tidak perlu pergi.
Kemudian Hazel melihat kondisi yang porak-poranda. Tirai Hazel teronggok, dicopot dari tempat semula. Peti penyimpanan miliknya terbuka dan segelintir pakaiannya berserakan di lantai. Kasurnya tercabik-cabik seperti baru diserang singa. Yang paling buruk, buku gambarnya dirobek-robek. Pensil warnanya patah semua. Hadiah ulang tahun dari Pluto, satu-satunya hiburan Hazel, telah dirusak. Di dinding tertempel pesan yang diterakan dengan pensil merah, di selembar kertas gambar yang terakhir, bukan berupa tulisan tangan ibunya, yang berbunyi: Anak nakal. Aku menunggumu di pulau. Jangan kecewakan aku. Hazel terisakisak putus asa. Dia ingin mengabaikan perintah itu. Dia ingin kabur, tapi tidak ada tempat yang bisa ditujunya. Lagi pula, ibunya terperangkap. Suara itu berjanji bahwa tugas mereka sudah hampir
rampung. Jika Hazel terus membantu, ibunya akan dibebaskan. Hazel tidak memercayai Suara Itu, tapi dia tidak punya pilihan lain.
Hazel naik ke perahu dayung kano kecil yang dibeli ibunya dengan beberapa butir biji emas dari seorang nelayan, yang mengalami kecelakaan tragis terkait jaring ikan keesokan harinya. Mereka hanya memiliki satu perahu, tapi terkadang ibu Hazel sepertinya sanggup mencapai pulau tanpa alat transportasi. Hazel sudah belajar untuk tak bertanya.
Di tengah-tengah musim panas sekalipun, bongkahan es terapung-apung di Teluk Resurrection. Anjing laut meluncur lewat di sebelah perahunya, memandang Hazel penuh harap, mengendus-endus untuk minta sisa-sisa ikan. Di tengah teluk, punggung mengilap seekor paus membelah permukaan air.
Sebagaimana biasa, goyangan perahu membuat perut Hazel mulas. Dia berhenti satu kali untuk muntah ke samping. Matahari akhirnya tenggelam di balik pegunungan, menjadikan langit semerah darah.
Hazel mendayung ke mulut teluk. Setelah beberapa menit, dia berputar dan memandang ke hadapannya. Tepat di depan Hazel, dari balik kabut, tampaklah pulau itu sekitar setengah hektare lahan yang diisi pohon pinus, batu besar, dan salju yang melapisi pantai pasir hitam.
Andaikan pulau tersebut punya nama, Hazel tidak tahu. Suatu kali Hazel membuat kekeliruan, yaitu menanyakan nama pulau itu kepada penduduk lokal, tapi mereka menatap Hazel seakan dia sudah tidak waras.
"Di situ tidak ada pulau," kata seorang nelayan tua, "kalau ada, perahuku pasti sudah menabraknya beribu-ribu kali."
Hazel sudah sekitar empat sampai lima puluh meter dari pantai ketika seekor gagak mendarat di buritan pe
rahu. Burung itu berbulu hitam berminyak, hampir sebesar elang, dengan paruh bergerigi seperti pisau obsidian.
Matanya berkilat-kilat cerdas. Jadi, Hazel tak terlalu kaget ketika burung itu berbicara.
"Malam ini." Ia berkaok. "Malam terakhir." Hazel menyandarkan dayung. Dia berusaha menerka apakah si gagak memperingatkannya, menasihatinya, atau melontarkan janji.
"Apa kau utusan ayahku"" tanya Hazel. Sang gagak menelengkan kepala. "Malam terakhir. Malam
Ia mematuk-matuk haluan perahu dan terbang menuju pulau. Malam terakhir, kata Hazel kepada dirinya sendiri. Diputuskannya untuk menganggap kata-kata itu sebagai janji. Tak peduli apa yang dikatakan wanita itu kepadaku, akan kujadikan ini malam terakhir.
Ketetapan hati tersebut memberi Hazel kekuatan yang memadai untuk melanjutkan mendayung. Perahu meluncur ke pantai, membelah selapis tipis es dan Lumpur hitam.
Selama berbulan-bulan, langkah kaki Hazel dan ibunya telah menciptakan jalan setapak dari pantai ke dalam hutan. Hazel menuju tengah pulau, berhati-hati agar tidak keluar dari jalan setapak. Pulau itu dipenuhi bahaya, baik yang alami maupun yang magis. Beruang bersembunyi di semak-semak. Arwah putih berpendar, samar-samar berbentuk manusia, melayang menembus pepohonan. Hazel tidak tahu apa tepatnya mereka, tapi dia tahu mereka memperhatikannya, berharap agar dia menyimpang ke dalam cengkeraman mereka.
Di tengah-tengah pulau, dua batu besar membentuk gerbang masuk ke sebuah terowongan. Hazel pun memasuki gua yang dia sebut Jantung Bumi.
Inilah satu-satunya tempat hangat yang Hazel temukan sejak pindah ke Alaska. Udaranya wangi tanah yang baru dicangkul. Hawa panas lembap nan harum membuat Hazel merasa mengantuk, tapi dia berjuang agar tetap terjaga. Hazel membayangkan jika dia jatuh tertidur di sini, tubuhnya akan tenggelam ke lantai tanah dan berubah menjadi humus.
Gua itu berukuran sebesar bilik gereja, seperti Katedral St. Louis di Jackson Square. Dindingnya berpendar karena ditempeli lumut luminesen hijau, merah, dan ungu. Seisi ruangan berdenyut-denyut penuh energi, menggemakan bunyi bum, bum, bum yang mengingatkan Hazel akan detak jantung. Barangkali bunyi tersebut hanyalah debur ombak yang menghantam pulau, tapi menurut Hazel bukan itu. Tempat ini hidup. Bumi sedang tidur, tapi kekuatan menjalar di dalamnya. Mimpi-mimpinya sangat keji, sangat menggelisahkan, sampai-sampai Hazel merasa bahwa pegangannya pada kenyataan mulai terlepas.
Gaea ingin melahap identitasnya, sama seperti dia menguasai ibu Hazel. Gaea ingin melahap semua manusia, Dewa, dan Demigod yang berani-berani menapakkan kaki di permukaannya.
Kalian semua adalah milikku, gumam Gaea seperti menyenandungkan ninabobo. Menyerahlah. Kembalilah ke bumi.
Tidak, pikir Hazel. Aku Hazel Levesque. Kau tidak bisa menguasaiku.
Marie Levesque berdiri di tepi lubang. Dalam waktu enam bulan, seluruh rambutnya telah beruban. Berat badannya merosot drastis. Tangannya berbonggol-bonggol karena kerja berat. Dia mengenakan sepatu bot salju dan kemeja putih yang kena noda karena pekerjaannya di rumah makan. Takkan ada yang salah mengiranya sebagai seorang ratu.
"Sudah terlambat." Suara lemah ibunya bergema di gua. Hazel terperanjat saat menyadari bahwa itu adalah suara ibunya-bukan suara Gaea.
"Ibu"" Marie membalikkan badan. Matanya terbuka. Dia terjaga dan sadar sepenuhnya. Ini semestinya membuat Hazel lega, tapi dia justru merasa gugup. Suara Itu tak pernah melepaskan kendali selagi mereka berada di pulau.
"Apa yang sudah kuperbuat"" tanya ibu Hazel tanpa daya. "Oh, Hazel, apa yang sudah kuperbuat padamu""
Dengan ngeri, ditatapnya benda yang ada di dalam lubang. Sudah berbulan-bulan mereka datang ke sini, empat atau lima malam dalam seminggu, sesuai tuntutan Suara Itu. Hazel menangis, dia ambruk karena kelelahan, dia memohon-mohon, dia menyerah karena putus asa. Namun, Suara yang mengontrol ibunya terus mendesak Hazel tanpa ampun. Keluarkan bendabenda berharga dari perut bumi. Gunakan kekuatanmu, Nak. Bawakan hartaku yang paling bernilai kepadaku.
Mula-mula, upaya Hazel hanya mend
atangkan cemoohan. Retakan di tanah terisi batu berharga, menggelegak dalam kuah kental minyak bumi. Tampilannya seperti harta karun naga yang dibuang ke kolam ter. Kemudian, lambat laun, mulai tumbuh pilar batu yang menyerupai umbi tulip raksasa. Pilar tersebut tumbuh perlahan-lahan sekali, malam demi malam, sehingga Hazel kesulitan menilai pertumbuhannya. Sering kali dia berkonsentrasi semalaman untuk menaikkan pilar tersebut, sampai pikiran dan jiwanya kecapekan, tapi dia tidak melihat adanya perubahan. Namun, pilar itu benar-benar bertumbuh. Kini Hazel bisa melihat sudah berapa jauh pencapaiannya. Benda itu setinggi bangunan dua lantai, berupa jalinan julai batu yang mencuat bagaikan mata tombak dari rawa minyak. Sesuatu memancarkan hawa panas dari
dalamnya. Hazel tidak bisa melihat dengan jelas, tapi dia tahu ada yang sedang terjadi. Sebuah tubuh tengah terbentuk dari perak dan emas, dilengkapi minyak sebagai darahnya dan berlian mentah sebagai jantungnya. Hazel tengah membangkitkan putra Gaea. Makhluk itu hampir siap terbangun.
Ibu Hazel jatuh berlutut dan menangis. "Maafkan aku, Hazel. Aku sungguh-sungguh minta maaf." Dia kelihatan kesepian, tak berdaya, dan luar biasa sedih. Hazel seharusnya mengamuk. Maaf" Sudah bertahun-tahun dia hidup sambil merasa takut pada ibunya. Dia dimarahi dan disalahkan gara-gara kehidupan ibunya yang sial. Dia diperlakukan seperti orang aneh, dipaksa pergi dari rumahnya di New Orleans untuk datang ke alam liar dingin ini, dan bekerja bagaikan budak seorang Dewi tak berbelas kasihan. Maaf saja tidak cukup. Hazel semestinya benci pada ibunya.
Namun, Hazel tidak bisa memaksa dirinya marah-marah. Hazel berlutut dan memeluk ibunya. Marie Levesque sudah tinggal tulang berbalut kulit dan baju kerja berlumur noda. Di gua yang hangat sekalipun, dia gemetaran.
"Apa yang bisa kita lakukan"" tanya Hazel. "Beri tahu aku caranya menghentikan ini."
Ibunya menggelengkan kepala. "Dia melepaskanku. Dia tahu sekarang sudah terlambat. Tak ada yang bisa kita perbuat."
"Dia Suara Itu"" Hazel tidak ingin kelewat optimis, tapi jika ibunya benar-benar telah dibebaskan, tidak ada masalah lagi. Mereka bisa keluar dari sini. Mereka bisa kabur, kembali ke New Orleans. "Apa dia sudah pergi""
Ibunya melirik takut-takut ke sekeliling gua. "Tidak, dia masih di sini. Tinggal satu yang dia perlukan dariku. Untuk itu, dia memerlukan keikhlasanku."
Hazel tidak suka mendengarnya.
"Mari kita keluar dari sini," desak Hazel, "makhluk di batu itu akan menetas."
"Tidak lama lagi." Ibunya sepakat. Dia memandang Hazel dengan tatapan penuh kasih ... Hazel tidak ingat kapan terakhir kali dia melihat kasih sayang semacam itu di mata ibunya. Isak tangis serasa hendak keluar dari dada Hazel.
"Pluto sudah memperingatkanku," kata ibunya, "dia memberitahuku bahwa permohonanku berbahaya."
"Permohonan"" "Semua kekayaan yang terkandung dalam perut bumi," kata ibu Hazel, "Pluto menguasainya. Aku menginginkan itu. Aku sudah bosan miskin, Hazel. Bosan sekali. Pertama-tama aku memanggil ayahmu hanya untuk mencari tahu apakah aku bisa. Tak pernah kukira bahwa mantra gris-gris kuno bisa dipakai untuk memanggil Dewa. Tapi dia meminangku, memberitahuku bahwa aku pemberani dan cantik ...." Marie menatap tangannya yang bengkok dan kapalan. "Ketika kau lahir, dia amat senang dan bangga. Dia menjanjikanku apa saja. Dia bersumpah demi Sungai Styx. Aku meminta semua kekayaan yang dimilikinya. Dia memperingatkanku bahwa permohonan yang serakah menyebabkan kepedihan hebat. Tapi aku bersikeras. Aku membayangkan bisa hidup laksana ratu istri Dewa! Dan kau kau menerima kutukan itu."
Hazel merasa kepalanya mau pecah, persis seperti pilar batu di lubang itu. Tak lama lagi rasa pilunya akan tumpah, tak tertahankan lagi, sedangkan kulitnya akan pecah berkeping-keping. "Itukah sebabnya aku bisa menemukan benda-benda dari dalam bumi""
"Dan itulah sebabnya benda berharga yang kau temukan hanya membawa duka." Ibunya melambaikan tangan dengan resah ke sekeliling gua. "Begitulah cara dia menemukanku, begitulah caranya sehingga dia mampu men
gendalikanku. Aku marah pada ayahmu. Aku menyalahkannya atas masalahku. Aku menyalahkanmu. Aku getir sekali sehingga mau-maunya mendengarkan suara Gaea. Aku bodoh."
"Pasti ada sesuatu yang dapat kita lakukan," kata Hazel, "beri tahu aku bagaimana caranya menghentikan dia."
Tanah berguncang. Suara janggal Gaea bergema di gua. Putra sulungku bangkit, kata sang Dewi, harta paling berharga di bumi dan kau telah mengeluarkannya dari kedalaman, Hazel Levesque. Kau telah memperbaruinya. Kebangkitannya tidak bisa dihentikan. Hanya diperlukan satu hal lagi.
Hazel mengepalkan tinju. Hazel ketakutan, tapi karena sekarang ibunya sudah bebas, dia akhirnya merasa bisa menghadapi musuhnya. Makhluk ini, Dewi jahat ini, telah merusak kehidupan mereka. Hazel takkan membiarkannya menang.
"Aku takkan membantumu lagi!" jerit Hazel. Namun, aku sudah tidak butuh kau lagi, Gadis Kecil. Aku membawamu ke mari hanya karena satu alasan. Ibumu memerlukan
dorongan. Tenggorokan Hazel tercekat. "Ibu"" "Maafkan aku, Hazel. Jika kau bisa memaafkanku, kumohon ketahuilah bahwa aku melakukannya semata-mata karena aku menyayangimu. Dia berjanji akan membiarkanmu hidup jika "
"Jika Ibu mengorbankan diri," ujar Hazel, menyadari yang sebenarnya, "dia ingin Ibu mengorbankan nyawa dengan ikhlas, supaya bisa membangkitkan makhluk itu."
Alcyoneus, kata Gaea. Raksasa tertua. Dia harus bangkit terlebih dahulu, dan ini akan menjadi tanah airnya yang baru jauh dari dewa-dewi. Dia akan menapakkan kaki di pegunungan dan hutan yang diselimuti es. Dia akan mengerahkan sepasukan monster. Sementara para Dewa terpecah belah, saling bertarung dalam
Perang Dunia manusia fana, dia akan mengutus pasukannya untuk menghancurkan Olympus.
Mimpi sang Dewi Bumi sedemikian kuat sehingga dapat memancarkan bayang-bayang ke dinding gua citra-citra seram silih berganti yang menggambarkan tentara Nazi sedang meluluhlantakkan Eropa, pesawat Jepang membinasakan kota-kota Amerika. Hazel akhirnya mengerti. Dewa-dewi Olympus akan berdiri di belakang salah satu pihak yang bertikai, sebagaimana yang senantiasa mereka lakukan dalam perang antarmanusia sepanjang sejarah. Selagi dewa-dewi beradu hingga mencapai titik seri yang berdarah-darah, sepasukan monster akan bangkit di utara. Alcyoneus akan membangunkan saudara-saudaranya sesama Raksasa dan mengutus mereka untuk menaklukkan dunia. Dewa-dewi yang sudah lemah akan jatuh. Konflik manusia fana akan berkecamuk selama berdasawarsa-dasawarsa sampai semua peradaban tersapu habis, dan Dewi Bumi akhirnya akan terbangun sepenuhnya. Gaea akan berkuasa selama-lamanya.
Semua ini, kata sang Dewi dengan nada mendayu, karena ibumu serakah dan mengutukmu dengan anugerah penemu kekayaan. Dalam kondisiku yang terlelap, pastilah dibutuhkan waktu berpuluh-puluh tahun, barangkali bahkan berabad-abad, hingga aku memperoleh kekuatan untuk membangkitkan Alcyoneus sendiri. Namun, kini dia akan terbangun, dan tidak lama lagi, begitu pula aku!
Disertai keyakinan mencekam, Hazel tahu apa yang akan terjadi berikutnya. Satu-satunya yang dibutuhkan Gaea adalah korban yang ikhlas jiwa untuk dilahap Alcyoneus sehingga bisa bangkit kembali. Ibu Hazel akan menjejakkan kaki ke dalam retakan dan menyentuh pilar menyeramkan itu dan dia akan diserap.
"Hazel, pergi." Ibunya bangkit dengan goyah. "Dia pasti membiarkanmu hidup, tapi kau harus cepat-cepat."
Hazel percaya. Itulah yang paling mengerikan. Gaea pasti menghormati kesepakatan mereka dan membiarkan Hazel hidup. Hazel akan terus hidup sehingga bisa menyaksikan kiamat, mengetahui bahwa dialah yang menyebabkannya.
"Tidak." Hazel membulatkan tekad. "Aku tidak mau hidup. Tidak demi itu."
Hazel menggapai sanubarinya. Dia memanggil ayahnya, Dewa Dunia Bawah, dan memanggil semua benda berharga yang terkandung dalam wilayah nan lugs yang dikuasai Pluto. Gua berguncang. Di sekeliling pilar Alcyoneus, gelembung minyak bermunculan, kemudian menggelegak dan meletus seperti isi kuali yang mendidih.
Jangan tolol, Gaea berkata, tapi Hazel mendeteksi kekhawatiran dalam nada bicaranya, bahkan mungkin rasa takut.
Kau akan membinasakan dirimu dengan percuma! Ibumu tetap saja akan mati!
Hazel hampir saja goyah. Dia teringat janji ayahnya: suatu hari kelak kutukannya akan terhapuskan; keturunan Neptunus akan memberinya kedamaian. Pluto bahkan mengatakan bahwa Hazel mungkin saja bakal mendapat kudanya sendiri. Mungkin kuda jantan aneh di bukit ditakdirkan untuk menjadi miliknya. Hazel tidak pernah bertemu Sammy lagi, ataupun kembali ke New Orleans. Kehidupannya yang pendek hanya berlangsung selama tiga belas tahun nan getir, ditutup oleh akhir tak membahagiakan.
Hazel bertemu pandang dengan ibunya. Sekali ini, ibunya tidak kelihatan sedih atau marah. Matanya berbinar-binar bangga.
"Kau adalah hartaku, Hazel," kata ibunya, "hartaku yang paling bernilai. Aku bodoh karena mengira diriku memerlukan hal lain."
Marie mengecup kening Hazel dan mendekapnya erat-erat. Kehangatannya memberi Hazel keberanian untuk melanjutkan. Mereka akan mati, tapi bukan sebagai kurban Gaea. Secara instingtif, Hazel tahu bahwa tindakan terakhir mereka akan menangkal kekuatan Gaea. Jiwa mereka akan pergi ke Dunia Bawah, sedangkan Alcyoneus takkan bangkit setidaknya untuk sementara.
Hazel mengerahkan sisa-sisa tekadnya. Udara menjadi panas membara. Pilar mulai tenggelam. Permata dan bongkahan emas menyembur dari retakan dengan teramat kuat sampai-sampai meretakkan dinding gua dan melemparkan pecahan mortar ke mana-mana, membuat kulit Hazel di balik jaketnya menjadi perih.
Hentikan inll tuntut Gaea. Kau tak bisa menghentikan kebangkitannya. Kau hanya bisa menundanya beberapa dekade. Setengah abad. Relakah kau menukar nyawamu demi tindakan yang sia-sia"
Hazel memberikan jawabannya. Malam terakhir, kata gagak tadi. Retakan meledak. Atap gua runtuh. Hazel membenamkan diri dalam dekapan ibunya, sementara minyak mengisi paru-parunya dan pulau tersebut ambruk ke dalam teluk.[]
BAB DELAPAN BELAS HAZEL "HAZEL!" FRANK MENGGUNCANG-GUNCANGKAN LENGAN- NYA, KEDENGARAN panik. "Ayolah, kumohon! Bangun!"
Hazel membuka mata. Langit malam disemarakkan bintangbintang. Goyangan perahu sudah lenyap. Dia sedang berbaring di tanah padat, bungkusan pedang dan tas di sampingnya.
Hazel duduk tegak dengan goyah, kepalanya berputar-putar. Mereka tengah berada di tebing yang menghadap ke pantai. Kira-kira tiga puluh meter dari sana, laut gemerlapan diterpa sinar rembulan. Ombak melecut buritan perahu mereka yang merapat ke pantai dengan lembut. Di kanan Hazel, menyempil di bibir tebing, terdapat sebuah bangunan mirip gereja kecil yang dilengkapi lampu sorot di atap segitiganya. Mercusuar, menurut tebakan Hazel. Di belakang mereka, ilalang tinggi yang tumbuh di padang berdesir ditiup angin.
"Kita di mana"" tanya Hazel. Frank mengembuskan napas. "Syukur kepada dewa-dewi kau sudah terjaga! Kita di Mendocino, sekitar dua ratus dua puluh kilometer di utara Golden Gate."
"Dua ratus dua puluh kilometer"" Hazel mengerang. "Aku tak sadarkan diri selama itu""
Percy berlutut di sebelah Hazel, angin laut menyibakkan rambutnya ke belakang. Percy menempelkan tangan ke dahi Hazel seolah-olah sedang mengecek apakah dia demam. "Kami tak bisa membangunkanmu. Akhirnya kami putuskan untuk membawamu menepi. Kami kira mungkin mabuk laut "
"Bukan mabuk laut." Hazel menarik napas dalam-dalam. Dia tidak bisa lagi menyembunyikan kebenaran dari mereka. Dia teringat perkataan Nico: Kalau kilns balik seperti barusan terjadi waktu kau sedang bertarung
"Aku aku tidak jujur terhadap kalian," ujar Hazel, "aku tadi pingsan. Aku mengalaminya sesekali."
"Pingsan"" Frank menggamit tangan Hazel. Tindakan tersebut membuat Hazel terperanjat meskipun menyenangkan juga. "Masalah kesehatankah" Kenapa aku tidak menyadari itu sebelumnya""
"Aku berusaha menyembunyikannya." Hazel mengakui. "Sejauh ini aku beruntung, tapi kondisiku makin parah. Bukan masalah kesehatan kok tidak juga. Nico bilang itu adalah efek samping yang berasal dari masa laluku, berasal dari tempatnya menemukanku."
Mata hijau Percy yang tajam susah dibaca. Hazel tidak bisa menerka apakah Percy cemas atau waswas.
"Di mana persisn ya Nico menemukanmu"" tanya Percy. Lidah Hazel kelu. Hazel takut kalau dia mulai bicara, dia bakal kembali ke masa lalu, tapi mereka berhak tahu. Jika Hazel mengecewakan mereka dalam misi ini, semaput justru ketika mereka amat membutuhkannya membayangkannya saja dia tidak tahan.
"Akan kujelaskan." Hazel berjanji. Dia merogoh-rogoh tasnya. Bodohnya, Hazel lupa membawa botol air. "Apa apa ada minuman""
c, Iya." Percy mengumpat dalam bahasa Yunani. "Dasar bego.
Aku meninggalkan bekalku di perahu."
Hazel merasa tidak enak karena meminta mereka mengurusinya, tapi dia terbangun dalam keadaan haus dan letih, seakan-akan dia menjalani beberapa jam terakhir di masa lalu sekaligus di masa kini. Hazel menyandangkan tas dan pedangnya ke bahu. "Tidak apa-apa. Aku bisa berjalan ...."
"Memikirkannya saja jangan," ujar Frank, "makan dan minumlah dulu, baru kau boleh jalan. Biar kuambilkan bekal."
"Jangan, biar aku yang pergi." Percy melirik tangan Frank yang menggandeng tangan Hazel. Kemudian dia menelaah cakrawala, seakan mendeteksi adanya bahaya genting, tapi tidak terlihat apa pun cuma mercusuar dan padang rumput. "Kalian berdua diam di sini saja. Aku akan segera kembali."
"Kau yakin"" tanya Hazel lemah. "Aku tidak ingin kau " "Tidak apa-apa," ujar Percy, "Frank, pasang matamu baikbaik. Ada yang tidak beres di tempat ini entah apa."
"Akan kujaga Hazel," janji Frank. Percy pun melesat pergi. Begitu mereka tinggal berdua saja, Frank sepertinya menyadari bahwa dia masih menggandeng tangan Hazel. Frank berdeham dan melepaskan tangan.
"Aku, hmm kurasa aku paham soal pingsanmu," ujarnya, "dan tempatmu berasal."
Jantung Hazel serasa berhenti berdegup. "Oh ya"" "Kau tampak beda sekali dibandingkan dengan anak-anak perempuan lain yang pernah kutemui." Frank berkedip, lalu buruburu melanjutkan. "Bukan dalam arti negatif. Cara bicaramu.
Hal-hal yang mengagetkanmu misalnya lagu, atau acara TV, atau bahasa gaul yang digunakan orang-orang. Kau membicarakan hidupmu seolah kejadiannya sudah dulu sekali. Kau lahir di masa yang berbeda, ya" Kau berasal dari Dunia Bawah."
Hazel ingin menangis bukan karena dia sedih, melainkan karena lega rasanya mendengar seseorang mengucapkan yang sebenarnya. Frank tidak muak atau takut. Frank tidak memandang Hazel seakan dia adalah hantu atau mayat hidup seram.
"Frank, aku " 'Akan kita pikirkan." Frank berjanji. "Sekarang kau hidup. Akan kita pertahankan seperti itu."
Rumput bergemeresik di belakang mereka. Mata Hazel perih kena tiupan angin dingin.
"Aku tidak layak memiliki teman sepertimu," kata Hazel, "kau tidak tahu siapa aku apa yang sudah kuperbuat."
"Hentikan." Frank memberengut. "Kau hebat! Lagi pula, bukan cuma kau yang punya rahasia."
Hazel menatap Frank. "Bukan cuma aku" Frank hendak mengucapkan sesuatu. Kemudian dia menegang. "Apa"" tanya Hazel. "Anginnya berhenti." Hazel menoleh ke sana kemari dan menyadari bahwa Frank benar. Udara kini hening.
"Terus"" tanya Hazel. Frank menelan ludah. "Terus kenapa rumputnya masih bergerak""
Dari ekor matanya, Hazel melihat sosok-sosok gelap bergerak di padang.
"Hazel!" Frank berusaha mencengkeram lengan Hazel, tapi sudah terlambat.
Sesuatu menjatuhkannya ke belakang. Lalu terpaan badai rumput dahsyat membelit Hazel dan menyeretnya ke padang. []
BAB SEMBILAN BELAS HAZEL HAZEL ADALAH PAKAR HAL-HAL ANEH. Dia pernah melihat ibunya dirasuki Dewi Bumi. Dia pernah menciptakan Raksasa dari emas. Dia pernah menghancurkan sebuah pulau, mati, dan kembali dari Dunia Bawah.
Namun, diculik padang rumput" Itu baru namanya pengalaman baru.
Hazel merasa seperti terjebak dalam pusaran tanaman. Dia dengar penyanyi zaman sekarang acap kali melompat ke kerumunan penggemar dan dioper-oper oleh ribuan tangan. Dia membayangkan pengalaman ini mirip itu hanya saja dia bergerak seribu kali lebih cepat, dan helai-helai rumput bukanlah penggemar yang menggandrunginya.
Hazel tidak bisa duduk tegak. Dia tidak bisa menyentuh tanah. Pedangnya masih dalam gulungan matras, disampirkan ke punggungnya, tapi dia tidak bisa meraih benda itu. Tumbuhan terus
-menerus membuat Hazel hilang keseimbangan, melemparnya ke sana-sini, melecut wajah dan lengannya. Dia nyaris tidak bisa
melihat bintang di balik warna hijau, kuning, dan hitam yang berkelebat.
Teriakan Frank mengabur di kejauhan. Sulit untuk berpikir jernih, tapi ada satu hal yang Hazel ketahui: Dia bergerak dengan cepat. Ke mana pun dia hendak dibawa, tak lama lagi jaraknya bakalan terlalu jauh sehingga temantemannya takkan bisa menemukannya.
Hazel memejamkan mata dan mencoba mengabaikan gulingan dan lemparan. Dia mengirimkan pemikirannya ke bumi di bawahnya. Perak, emas Hazel tidak pilih-pilih, yang penting bisa mengganggu penculiknya.
Hazel tidak merasakan apa-apa. Harta berharga di bawah bumi nol.
Hazel sudah hampir putus asa ketika dia merasakan titik besar dingin melintas di bawahnya. Dia mencurahkan seluruh konsentrasinya ke lokasi itu, menambatkan jangkar mental. Tibatiba saja tanah bergemuruh. Pusaran tanaman melepaskan Hazel dan dia terlempar ke atas seperti proyektil katapel.
Jadi, brbobot untuk sementara, Hazel pun membuka mata. Dia memuntir tubuhnya di tengah udara. Tanah kira-kira enam meter di bawahnya. Lalu dia pun jatuh. Keterampilan tempur yang sudah diasahnya serta-merta mengambil alih. Hazel sudah pernah berlatih menjatuhkan diri dari elang raksasa. Dibentuknya badannya menjadi bola, mengubah tumbukan menjadi salto, dan mendarat sambil berdiri.
Hazel melepaskan gulungan matras dari punggungnya dan menghunuskan pedang. Beberapa meter di kiri, tonjolan batu seukuran garasi terjulur keluar dari lautan rumput. Hazel menyadari itulah jangkarnya. Dia telah menyebabkan munculnya batu itu.
Rumput beriak di sekeliling batu tersebut. Suara-suara marah mendesis kepada bongkahan batu yang telah menghambat kemajuan mereka. Sebelum mereka sempat kembali menyatukan kekuatan, Hazel lari ke batu dan buru-buru memanjat.
Rumput terayun-ayun dan berdesir di sekeliling Hazel bagaikan tentakel anemon raksasa bawah laut. Hazel bisa merasakan bahwa penculiknya frustrasi.
"Tidak bisa tumbuh di sini, ya"" teriak Hazel. "Pergi sana, Gulma! Tinggalkan aku sendiri!"
"Skist," kata sebuah suara marah dari rumput. Hazel mengangkat alis. "Apa"" "Skist! Skist gede!" Seorang biarawati di Akademi St. Agnes pernah mencuci mulut Hazel dengan soda karena mengucapkan kata yang mirip sekali dengan itu. Jadi, dia tidak yakin bagaimana harus menanggapi. Kemudian, di sekeliling pulau batunya, para penculik pun muncul, keluar dari rumput. Sekilas mereka mirip malaikat Valentine selusin bayi Cupid mungil montok. Saat mereka menapak lebih dekat, Hazel menyadari bahwa mereka sama sekali tidak imut-imut ataupun semanis malaikat.
Badan mereka seukuran balita gemuk, tapi kulit mereka kehijauan, seolah-olah klorofil mengalir dalam pembuluh darah mereka. Mereka memiliki sayap kering getas mirip sekam dan helai-helai rambut putih mirip serabut jagung. Wajah mereka kuyu, berlekuk-lekuk seperti butiran jagung. Mata mereka hijau pekat, sedangkan gigi mereka setajam taring anjing.
Makhluk yang terbesar melangkah maju. Dia mengenakan cawat kuning, sedangkan rambutnya rancung seperti tunggul jerami. Dia mendesis kepada Hazel dan tertatih-tatih majumundur cepat sekali, sampai-sampai Hazel khawatir cawatnya bakal copot.
"Benci skist ini!" Makhluk itu mengeluh. "Gandum tidak bisa tumbuh!"
"Sorgum tidak bisa tumbuh!" tukas yang lain. "Jawawut!" teriak yang ketiga. "Jawawut tidak bisa tumbuh. Skist sialan!"
Lutut Hazel melemas. Makhluk-makhluk kecil ini pasti lucu jika mereka tidak sedang mengepungnya, memelototinya dengan mata hijau lapar sambil memamerkan gigi-gigi tajam. Mereka seperti Cupid piranha.
"M-maksud kalian batu ini"" Hazel berhasil berkata. "Batu ini disebut skist""
"Ya, batu hijau! Skist!" teriak makhluk pertama. "Batu nakal." Hazel mulai paham bagaimana ceritanya sampai dia mampu memunculkan batu itu. "Jadi, ini batu berharga. Tinggikah nilainya""
"Bah!" kata makhluk bercawat kuning, "penduduk ash tolol menjadikannya perhiasan, betul. Berharga" Mungkin. Tidak sebagus gandum."
"Atau sorgum!" "Atau j awawut!"
Yang lain menimpali, menyebutkan berbagai jenis biji-bijian. Mereka mengelilingi batu, tidak berupaya memanjatnya setidaknya belum. Jika mereka memutuskan untuk menyerbu Hazel, tidak mungkin dia sanggup menghalau mereka semua.
"Kahan pelayan Gaea," tebak Hazel, semata-mata memancing mereka supaya bicara terus. Mungkin Percy dan Frank tidak terlalu jauh dari sana. Mungkin mereka bisa melihat Hazel yang berdiri menjulang di atas padang. Hazel berharap kalau saja pedangnya berpendar seperti pedang Percy.
Cupid berpopok kuning menggeram. "Kami ini karpoi, roh biji-bijian. Anak-anak Ibu Pertiwi, betul! Kami sudah
menjadi pelayannya sejak awal masa. Sebelum manusia nakal membudidayakan kami, kami ini liar. Kami akan menjadi liar lagi. Gandum akan membinasakan segalanya!"
"Tidak, sorgum yang akan berkuasa!" "Jawawutlah yang akan meraja!" Yang lain menimpali, mengunggulkan varietas masing-masing. "Baiklah." Hazel menelan rasa muaknya. "Jadi, kau Gandum kau yang memakai, mmm, popok kuning."
"Hmmm," kata Gandum, "turunlah dari skist, Demigod. Kami harus membawamu ke pasukan nyonya. Mereka akan memberi kami imbalan. Mereka akan membunuhmu pelan-pelan!"
"Sungguh menggoda," ujar Hazel, "tapi tidak ah, terima kasih."
"Akan kuberi kau gandum!" ujar Gandum, seolah-olah ini adalah tawaran yang sangat menguntungkan untuk ditukar dengan nyawa Hazel. "Banyak sekali gandum!"
Hazel berusaha berpikir. Sudah seberapa jauh dia dibawa pergi" Berapa lama sampai teman-temannya menemukannya" Karpoi sudah semakin berani, mendekati batu dua-dua dan tigatiga, menggaruk-garuk skist seakan untuk mencari tahu apakah batu tersebut akan melukai mereka.
"Sebelum aku turun ...." Hazel meninggikan suaranya, berharap semoga terdengar ke seberang padang. "Maaf, bisa kalian jelaskan sesuatu kepadaku" Jika kalian ini roh biji-bijian, bukankah kalian semestinya berpihak pada para Dewa" Bukankah Dewi Pertanian adalah Ceres "
"Nama jahat!" raung Jawawut. "Membudidayakan kami!" sembur Sorgum. "Membuat kami tumbuh berbaris-baris. Menjijikkan! Membiarkan manusia memanen kami. Pah! Ketika Gaea menjadi penguasa dunia ini lagi, kami akan tumbuh liar sesuka hati, betul!"
"Tentu ujar Hazel, "jadi, pasukan Gaea, yang akan kalian datangi, jika aku bersedia menukar diriku dengan imbalan berupa gandum "
"Atau Jawawut." Jawawut menawarkan. "Iya," timpal Hazel, "sekarang pasukan ini sedang ada di
mana. "Di seberang bubungan mar" Sorgum bertepuk tangan girang. "Ibu Pertiwi ya, betul! katanya kepada kami: Varilah putri Pluto yang hidup kembali. Tangkap dia! Bawa dia hiduphidup! Aku sudah merencanakan banyak siksaan untuknya.' Polybotes sang Raksasa akan memberi kami imbalan atas nyawamu! Kemudian kami akan berderap ke selatan untuk menghancurkan bangsa Romawi. Kami tidak bisa dibunuh, kau tahu. Tapi kau bisa, betul."
"Luar biasa." Hazel berusaha terkesan antusias. Ini tidak mudah, sebab dia kini tahu Gaea sudah menyiapkan rencana balas dendam khusus untuknya. kalian kalian tidak bisa dibunuh karena Alcyoneus menawan Maut, begitukah""
"Betul sekali!" kata Barley. "Dan dia membelenggu maut di Alaska," ujar Hazel, "di ... coba kuingat-ingat, apa nama tempat itu""
Sorgum hendak menjawab, tapi Gandum menerjang dan menjatuhkannya. Karpoi mulai berkelahi, terbuyarkan menjadi pusaran biji-bijian seperti tadi. Hazel mempertimbangkan untuk kabur. Kemudian Gandum mewujud kembali, sambil memiting kepala Sorgum. "Stop!" teriaknya kepada yang lain. "Sesama bijibijian tidak boleh berkelahi!"
Karpoi memadat menjadi Cupid piranha montok sebagaimana semula.
Gandum mendorong Sorgum ke samping.
"Oh, Demigod pintar," katanya, "berusaha mengelabui kami supaya membongkar rahasia. Tidak, kau takkan pernah bisa menemukan sarang Alcyoneus."
"Aku sudah tahu tempatnya," kata Hazel dengan kepercayaan diri palsu, "dia tinggal di sebuah pulau di Teluk Resurrection."
"Ha!" cemur Gandum. "Tempat itu sudah tenggelam ditelan ombak dulu sekali. Kau semestinya tahu itu! Gaea membencimu karenanya. Ketika kau menggagalkan rencana Gaea, dia terpaksa tidur lagi. Berpuluh-puluh
tahun! Alcyoneus dia baru bisa bangkit saat zaman kegelapan kembali lagi."
"Tahun delapan puluhan." Jawawut sepakat. "Seram! Seram!" "Ya," kata Gandum, "dan nyonya kami masih tidur. Alcyoneus terpaksa mengulur-ulur waktu di utara, menanti, bersiasat. Baru sekarang Gaea mulai terjaga. Oh, tapi dia ingat padamu, dan begitu pula putranya!"
Jawawut terkekeh-kekeh kesenangan. "Kau takkan pernah bisa menemukan penjara Thanatos. Keseluruhan Alaska adalah rumah sang Raksasa. Dia bisa menahan Maut di mana saja! Butuh bertahun-tahun untuk menemukannya, dan perkemahanmu yang malang hanya punya waktu beberapa hari. Lebih baik kau menyerah. Kami akan memberimu biji-bijian. Banyak sekali."
Pedang Hazel terasa berat. Dia takut kembali ke Alaska, tapi paling tidak mulanya dia punya gambaran harus mulai mencari Thanatos dari mana. Dia mengasumsikan bahwa pulau tempatnya meninggal tidak hancur total, atau barangkali telah mengemuka kembali ketika Alcyoneus terbangun. Hazel berharap di situlah markas Alcyoneus terletak. Namun, jika pulau itu benar-benar sudah lenyap, dia tidak tahu bagaimana caranya menemukan sang Raksasa. Mereka bisa saja mencari sampai berpuluh-puluh tahun dan tak kunjung menemukannya.
"Ya," kata Gandum, merasakan keputusasaan Hazel, "menyerahlah."
Hazel mencengkeram spatha-nya. "Takkan pernah!" Ditinggikannya lagi suaranya, berharap semoga entah bagaimana teman-temannya mendengar. "Andaikan aku harus membinasakan kalian semua, akan kulakukan. Aku ini putri Pluto!"
Karpoi melangkah maju. Mereka mencengkeram batu sambil mendesis-desis, seolah batu itu panas membara, tapi mereka tetap saja mulai memanjat.
"Sekarang kau akan mati." Gandum berjanji sambil mengertakkan gigi. "Kau akan merasakan amarah biji-bijian!"
Tiba-tiba terdengar bunyi mendesing. Mulut Gandum menganga. Dia menunduk, melihat panah keemasan yang baru saja menembus dadanya. Kemudian dia pun terbuyarkan menjadi keping-keping cereal.[]
BAB DUA PULUH HAZEL SEKEJAP HAZEL TERBENGONG-BENGONG, SAMA SEPERTI karpoi. Kemudian Frank dan Percy merangsek ke padang terbuka dan mulai menghabisi semua sumber serat yang dapat mereka temukan. Frank menembakkan panah ke Jawawut, yang remuk berkeping-keping. Percy menyabetkan Riptide ke badan Sorgum dan menyerang Milet serta Haver. Hazel meloncat turun dan turut serta dalam pertarungan.
Dalam hitungan menit, yang tersisa dari karpoi hanya berupa tumpukan biji dan beraneka cereal sarapan. Gandum mulai mewujud kembali, tapi Percy mengeluarkan pemantik api dari tasnya dan menyulutkan api.
"Coba saja." Percy memperingatkan. "Kalau kau berani, akan kubakar seluruh ladang ini. Jangan hidup lagi. Jauh-jauhlah dari kami, kalau tidak mau dilalap api!"
Frank berjengit seolah-olah nyala api membuatnya takut. Hazel tidak paham apa sebabnya, tapi dia toh tetap saja berteriak kepada tumpukan biji: "Dia pasti melakukannya! Dia gila!"
Sisa-sisa karpoi beterbangan ditiup angin. Frank memanjat batu dan memperhatikan mereka pergi.
Percy memadamkan pemantik apinya dan menyeringai kepada Hazel. "Terima kasih sudah berteriak. Kami takkan menemukanmu kalau kau tidak berteriak. Apa yang menahan mereka""
Hazel menunjuk batu. "Skist gede." "Apa" "Teman-Teman," panggil Frank dari atas batu, "kalian harus melihat ini."


The Heroes Of Olympus 2 Son Of Neptune di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Percy dan Hazel memanjat untuk bergabung dengan Frank. Begitu Hazel menyaksikan apa yang dilihat Frank, dia terkesiap. "Percy, padamkan cahaya! Simpan pedangmu!"
"Skist!" Percy menyentuh ujung pedangnya, dan Riptide pun kembali menciut ke bentuk pulpen.
Di bawah mereka, sebuah pasukan tengah bergerak. Padang tersebut menukik ke jurang dangkal, yang memuat jalan pedesaan utara-selatan. Di seberang jalan, perbukitan berumput membentang ke cakrawala, tak tersentuh peradaban kecuali berkat satu toko serba ada gelap di puncak bubungan terdekat.
Seisi jurang dipenuhi monster barisan yang tiada habishabisnya tengah berderap ke selatan, banyak sekali dan dekat sekali, sampai-sampai Hazel heran mereka tidak mendengarnya berteriak.
Hazel, Frank, dan Percy berjongkok serendah mungkin di atas batu. Mereka menyak
sikan dengan takjub saat beberapa lusin humanoid besar berbulu yang mengenakan baju tempur dan bulu binatang compang-camping melintas di bawah sana. Makhluk tersebut punya enam lengan, tiga-tiga di kiri-kanan.
Jadi, penampilan mereka menyerupai serangga yang berevolusi menjadi manusia gua.
"Gegenees," bisik Hazel, "Anak Bumi." "Kau pernah bertarung melawan mereka"" tanya Percy. Hazel menggelengkan kepala. "Cuma pernah dengar tentang mereka di pelajaran monster di perkemahan." Hazel tidak pernah suka pelajaran monster membaca karya usang Plinius Tua dan pengarang-pengarang zaman dulu yang memaparkan monster legendaris dari pinggiran Kekaisaran Romawi. Hazel percaya bahwa monster memang ada, tapi sebagian deskripsi tersebut bukan main mencengangkannya sehingga Hazel mengiranya hanya karangan konyol.
Hanya saja, saat ini sepasukan karangan konyol itu sedang berbaris lewat di bawah sana.
"Anak Bumi bertarung melawan Argonaut," gumam Hazel, "dan yang di belakang mereka itu "
"Centaurus," kata Percy, "tapi mana mungkin" Centaurus kan baik."
Frank mengeluarkan suara tercekik. "Bukan itu yang diajarkan pada kami di perkemahan. Centaurus itu gila, selalu mabukmabukan dan membunuhi pahlawan."
Hazel memperhatikan saat para manusia kuda melenggang lewat. Mereka bertubuh manusia dari pinggang ke atas, berbadan kuda putih dari pinggang ke bawah. Mereka mengenakan baju tempur dari bahan kulit dan perunggu layaknya yang dipakai pasukan kaum barbar, serta bersenjatakan tombak dan katapel. Pada mulanya, Hazel kira mereka memakai helm Viking. Kemudian dia menyadari bahwa di kepala mereka yang berambut panjang kusut memang ada tanduk betulan.
"Apa mereka memang bertanduk seperti banteng"" tanya Hazel.
serangga yang berevolusi ka"" tanya Percy.
"Mungkin itu ras istimewa," kata Frank, "jangan tanya mereka, ya""
Percy menengok ke ujung jalan dan raut wajahnya menjadi lesu. "Demi dewa-dewi Cyclops."
Memang benar, di belakang para centaurus, sebatalion Raksasa bermata satu jantan dan betina, tingginya masing-masing sekitar tiga meter, berbaju zirah dari lembaran logam bekas, berjalan tertatih-tatih. " Enam orang monster tersebut berperan sebagai penarik beban, menghela menara panjat beroda setinggi bangunan dua lantai yang dilengkapi katapel kalajengking raksasa.
Percy menekan pelipisnya. "Cyclops. Centaurus. Ini keliru. Semuanya keliru."
Pasukan monster sudah cukup untuk membuat siapa saja putus asa, tapi Hazel menyadari bahwa bukan rasa takut semata yang ada di benak Percy. Dia kelihatan pucat pasi dan kuyu di tengah sorotan sinar bulan, seolah-olah memorinya tengah berusaha untuk kembali, membuat pikiran Percy menjadi kalut dalam prosesnya.
Hazel melirik Frank. "Kita harus mengantar Percy kembali ke perahu. Laut akan membuatnya baikan."
"Sepakat," ujar Frank, "mereka terlalu banyak. Perkemahan kita harus memperingatkan perkemahan." "Mereka tahu," erang Percy, "Reyna sudah tahu." Tenggorokan Hazel tercekat. Tidak mungkin legiun sanggup melawan musuh sebanyak itu. Kalaupun mereka hanya beberapa kilometer di utara Perkemahan Jupiter, kini mereka sudah tamat. Mereka tidak mungkin mencapai Alaska dan kembali ke perkemahan tepat pada waktunya.
"Ayo!" desak Hazel. "Mari ...." Lalu dia melihat Raksasa itu.
Ketika sang Raksasa muncul di balik bubungan, Hazel nyaris tak memercayai penglihatannya. Raksasa itu lebih tinggi daripada menara panjat sembilan meter, paling tidak dengan kaki bersisik ala reptil yang menyerupai komodo dari pinggang ke bawah dan berupa baju tempur hijau-biru dari pinggang ke atas. Tameng dadanya berbentuk seperti deretan wajah seram lapar, mulut mereka terbuka seolah sedang minta makan. Wajahnya mirip manusia, tapi rambutnya hijau kusut, seperti jalinan rumput laut. Tiap kali kepalanya menoleh kanan-kiri, ular berjatuhan dari rambut gimbalnya. Ketombe ular menjijikkan.
Sang Raksasa bersenjatakan trisula mahabesar dan jaring berpemberat.
Melihat senjata itu saja sudah membuat perut Hazel mulas. Hazel sudah sering menghadapi petarung macam itu saat latihan gladiator. Sepengetahuan Hazel, ga
ya bertarung macam itu merupakan yang paling pelik, paling licik, dan paling keji. Raksasa tersebut merupakan retiarus supergede.
"Siapa itu"" suara Frank gemetar. "Dia bukan " "Bukan Alcyoneus," ujar Hazel lemah, "salah satu saudaranya, kurasa. Yang disebut-sebut Terminus. Roh biji-bijian menyebutnyebut dia juga. Dia itu Polybotes."
Hazel tidak yakin bagaimana dia bisa tahu, tapi dia dapat merasakan aura perkasa sang Raksasa bahkan dari sini. Hazel teringat pernah merasakan aura yang sama dari Jantung Burni saat membangkitkan Alcyoneus seperti sedang berdiri dekat magnet kuat, dan seluruh besi dalam darahnya ditarik oleh magnet itu. Raksasa ini adalah salah satu anak Gaea yang lain makhluk bumi yang teramat kejam dan perkasa sampai-sampai memancarkan medan gravitasinya sendiri.
Hazel tahu mereka sebaiknya pergi. Tempat persembunyian mereka di atas batu pasti terlihat jelas oleh makhluk setinggi itu
apabila dia memilih untuk menengok ke arah mereka. Namun, Hazel merasa sesuatu yang penting akan terjadi. Dia dan temantemannya merangkak turun di skist sedikit saja dan terus memperhatikan.
Saat Raksasa itu kian dekat, seorang Cyclops betina keluar dari barisan untuk berbicara dengannya. Cyclops betina itu besar, gendut, dan sangat buruk rupa, mengenakan gaun dari jalinan rantai yang menyerupai daster tapi di sebelah si Raksasa dia kelihatan seperti anak kecil.
Si Cyclops menunjuk ke toko serba ada di puncak bukit terdekat yang sedang tutup dan menggumamkan sesuatu tentang makanan. Sang Raksasa membentakkan tanggapannya, seperti sedang kesal. Si Cyclops betina meneriakkan perintah kepada kaum sebangsanya, dan tiga dari mereka mengikuti Cyclops itu ke atas bukit.
Ketika mereka sudah setengah jalan menuju toko, cahaya membutakan mendadak menerangi malam. Hazel kesilauan. Di bawahnya, pasukan musuh porak-poranda, monster-monster menjerit gusar dan kesakitan. Hazel memicingkan mata. Dia merasa seperti baru saja melangkahkan kaki dari bioskop gelap ke tengah terpaan matahari sore nan cerah.
"Terlalu indah!" jerit para Cyclops. "Mata kami perih!" Toko di atas bukit dilingkupi bianglala, lebih dekat dan lebih terang daripada yang pernah disaksikan Hazel. Cahaya tersebut tertambat ke toko, melejit ke angkasa, membanjiri daerah pinggiran tersebut dengan pendar ganjil mirip citra kaleidoskop.
Si Cyclops betina mengangkat pentungannya dan menyerbu toko. Saat dia menghantam pelangi, sekujur' tubuhnya mulai berasap. Dia melolong kesakitan dan menjatuhkan pentungan, mundur dengan muka dan lengan yang melepuh warna-warni.
"Dewi jahat!" raungnya ke toko. "Beri kami kudapan!"
Monster-monster lain menggila, menyerang toko serbaada, kemudian melarikan diri saat cahaya pelangi membakar mereka. Sebagian melemparkan batu, tombak, pedang, dan bahkan carikan baju tempur mereka. Semuanya kontan terbakar, dilalap warnawarni indah.
Akhirnya Raksasa pemimpin sepertinya menyadari bahwa pasukannya hanya membuang-buang peralatan bagus.
"Stop!" raungnya. Setelah dengan susah payah meneriaki dan menghajar pasukannya, sang Raksasa berhasil juga membuat mereka menurut. Ketika mereka sudah tenang, Raksasa itu secara pribadi menghampiri toko serbaada bertameng pelangi dan mengelilingi perbatasan cahaya sambil mengamat-amatinya. "Dewi!" teriaknya. "Keluar dan menyerahlah!"
Tidak ada jawaban dari dalam toko. Pelangi terus berdenyar. Sang Raksasa mengangkat trisula dan jaringnya. "Aku Polybotes! Berlututlah di hadapanku supaya aku bisa menghabisimu secepatnya."
Rupanya, penghuni toko itu tidak terkesan. Sebuah benda mungil gelap meluncur keluar dari jendela dan mendarat di kaki si Raksasa. Polybotes berteriak, "Granat!"
Polybotes menutupi wajahnya. Pasukannya tiarap. Ketika benda tersebut tidak meledak, Polybotes membungkuk dengan hati-hati dan memungut benda itu.
Dia meraung murka. "Kue cokelat! Kau berani menghinaku dengan kue cokelat"" Dilemparkannya kue itu kembali ke dalam toko, dan kue cokelat itu pun menguap saat mengenai cahaya.
Para monster berdiri. Beberapa bergumam dengan lapar, "Kue cokelat" Mana kue cokelat""
"Ayo , kita serang," kata si Cyclops betina, "aku lapar. Anakanakku mau kudapan!"
"Jangan!" kata Polybotes. "Kita sudah terlambat. Alcyoneus ingin agar kita sudah sampai di perkemahan empat hari lagi. Kalian para Cyclops bergerak kelewat lambat. Kita tidak punya waktu untuk Dewi minor!"
Dia menujukan komentar terakhir itu ke toko, tapi tidak memperoleh respons.
Si Cyclops betina menggeram. "Perkemahan, betul. Balas dendam! Jingga dan ungu sama-sama menghancurkan rumahku. Sekarang Ma Gasket akan menghancurkan rumah mereka! Kalian dengar aku, Leo" Jason" Piper" Aku datang untuk menghabisi kalian!"
Para Cyclops lain meraung setuju. Monster-monster lainnya turut serta.
Sekujur tubuh Hazel tergelitik. Dia melirik teman-temannya. "Jason," bisik Hazel, "Cyclops itu bertarung melawan Jason. Dia mungkin masih hidup."
Frank mengangguk. "Apa kau mengenal nama-nama yang lainnya""
Hazel menggelengkan kepala. Dia tidak mengenal orang bernama Leo atau Piper di perkemahan. Percy masih tampak kuyu dan linglung. Jika Percy mengenal nama-nama itu, dia tidak menunjukkannya.
Hazel merenungi perkataan si Cyclops: jingga dan ungu. Ungu itu jelas warna Perkemahan Jupiter. Namun, jingga ... Percy muncul sambil mengenakan kaus jingga robek-robek. Tak mungkin itu hanya kebetulan.
Di bawah mereka, pasukan mulai berderap ke selatan lagi, tapi Polybotes si Raksasa menjejakkan langkah ke samping sambil mengerutkan kening dan mengendus-endus udara.
"Dewa Laut," gumam Polybotes. Yang membuat Hazel ngeri, dia menoleh ke arah mereka. "Aku mencium Dewa Laut."
Percy gemetaran. Hazel merangkul pundak Percy dan berusaha menekannya hingga tiarap ke batu.
Ma Gasket si Cyclops betina menggerung. "Tentu saja kau mencium Dewa Laut! Laut tepat di sebelah sana!"
"Lebih dari itu," Polybotes berkeras, "aku dilahirkan untuk membinasakan Neptunus. Aku bisa merasakan ...." Dia mengerutkan kening, memalingkan kepala dan menjatuhkan beberapa ekor ular lagi.
"Kita mau maju terus atau mengendus udara"" Omel Ma Gasket. "Aku tidak dapat kue cokelat, kau tidak dapat Dewa Laut!"
Polybotes menggeram. "Baiklah. Maju! Jalan!" Dia melirik toko yang terkungkung pelangi untuk terakhir kalinya, kemudian menelusurkan jemari ke rambutnya. Sang Raksasa menjatuhkan tiga ekor ular berbelang-belang putih di dekat kepala mereka, yang tampaknya lebih besar daripada yang lain. "Hadiah, Dewi! Namaku, Polybotes, artinya `Banyak Makan'! Ini ada mulut-mulut lapar untukmu. Kita lihat saja apakah tokomu bakal kedatangan banyak pengunjung selagi mereka ini berjaga di luar."
Dia tertawa kejam dan melemparkan ular-ular tersebut ke rerumputan tinggi di sisi bukit.
Kemudian dia berderap ke selatan, kaki komodonya yang mahabesar mengguncangkan bumi. Lambat laun, barisan monster melewati bukit dan menghilang ke tengah malam.
Begitu mereka sudah pergi, pelangi menyilaukan padam bagaikan lampu sorot yang dimatikan.
Hazel, Frank, dan Percy tinggal bertiga saja di tengah kegelapan, menerawang ke seberang jalan, ke toko serbaada yang ditutup.
"Yang barusan itu lain daripada yang lain," gumam Frank. Percy gemetar hebat. Hazel tahu Percy butuh pertolongan, atau istirahat, atau apalah. Gara-gara menyaksikan pasukan tadi,
sebuah memori pastilah telah muncul dalam benaknya, alhasil membuatnya terguncang. Mereka harus mengantar Percy kembali ke perahu.
Di sisi lain, di antara mereka dan pantai terbentang padang rumput luas. Hazel punya firasat bahwa karpoi takkan jauh-jauh dari mereka selamanya. Dia tidak suka membayangkan mereka bertiga harus kembali ke perahu di tengah malam seperti ini, sambil meraba-raba dalam kegelapan. Dan Hazel tidak dapat mengenyahkan firasat tidak enak yang dirasakannya, yaitu jika dia tidak memunculkan skirt, sekarang dia pasti sudah menjadi tawanan si Raksasa.
"Ayo, kita ke toko," ujar Hazel, "jika memang ada Dewi di dalam, barangkali dia bisa menolong kita."
"Hanya saja, sekarang ada gerombolan ular yang sedang menjaga bukit," kata Frank, "dan pelangi yang membakar mungkin saja kembali lagi."
Mereka berdua memandangi Percy, yang gemetaran sepert
i kena hipotermia. "Kita harus mencoba," kata Hazel. Frank mengangguk dengan ekspresi muram. "Ya Dewi yang melempari Raksasa dengan kue cokelat pasti tidak jelek-jelek amat. Ayo!"[]
BAB DUA PULUH SATU FRANK FRANK BENCI KUE COKELAT. DIA benci ular. Dan dia benci hidupnya. Urut-urutannya tidak mesti seperti itu.
Sambil tersaruk-saruk ke atas bukit, Frank berharap kalau saja dia bisa pingsan seperti Hazel tak sadarkan diri dan masuk ke zaman lain, misalnya sebelum dia direkrut ke dalam misi sinting ini, sebelum dia mengetahui bahwa ayahnya adalah Dewa Komandan galak yang egonya kelewat besar.
Busur dan tombak Frank menampar-nampar punggungnya. Dia benci tombak itu juga. Begitu dia mendapatkan tombak tersebut, Frank bersumpah dalam hati dia takkan mempergunakannya. Senjata Aria sejati Mars memang dungu.
Mungkin ada kekeliruan. Tidak adakah semacam tes DNA untuk anak Dewa" Barangkali kamar bayi dewa tidak sengaja menukar Frank dengan salah seorang bayi gempal tukang gencet yang adalah anak Mars. Tidak mungkin ibu Frank pernah berhubungan dengan Dewa Perang cerewet itu.
Ibumu seorangpendekar alami, sanggah suara nenek. Tidaklah mengherankan bahwa ada Dewa yang jatuh cinta pada ibumu,
mengingat keluarga kita. Cikal bakal kuno. Bersumber dari pangeran dan pahlawan.
Frank menggeleng-geleng untuk menyingkirkan pemikiran itu dari kepalanya. Frank bukan pangeran ataupun pahlawan. Dia remaja kikuk yang tidak bisa mencerna laktosa, yang bahkan tidak bisa melindungi temannya supaya tidak diculik oleh gandum.
Medali baru Frank terasa dingin di dadanya: bulan sabit centurion, Mahkota Mural. Dia semestinya bangga akan pin tersebut, tapi Frank merasa dia memperoleh penghargaan itu semata-mata karena ayahnya mengancam Reyna.
Frank tidak tahu bagaimana bisa teman-temannya tahan berada di dekatnya. Percy sudah menegaskan dengan gamblang bahwa dia membenci Mars, dan Frank tidak bisa menyalahkannya. Hazel terus memperhatikan Frank lewat ekor matanya, seolah-olah dia takut Frank bakal berubah menjadi orang aneh berotot kekar.
Frank memandangi badannya dan mendesah. Koreksi: orang berotot kekar yang lebih aneh lagi. Jika Alaska memang benarbenar Negeri Nirdewa, Frank mungkin lebih suka menetap di sana saja. Frank tidak yakin dirinya punya tempat tujuan untuk pulang.
Jangan mengeluh, neneknya pasti bakal berkata begitu. Lakilaki Zhang tidak pernah mengeluh.
Nenek benar. Frank punya tugas yang harus dikerjakan. Dia harus menuntaskan misi mustahil ini. Pada saat ini, artinya adalah mencapai toko serbaada hidup-hidup.
Semakin dekat, Frank semakin khawatir kalau-kalau toko tersebut bakal memuntahkan cahaya pelangi dan menguapkan mereka, tapi bangunan itu tetap gelap. Ular-ular yang dijatuhkan Polybotes sepertinya sudah menghilang.
Mereka berada kira-kira delapan belas meter dari beranda ketika sesuatu mendesis di rumput di belakang mereka.
"Lair teriak Frank. Percy tersandung. Selagi Hazel membantu Percy berdiri, Frank berbalik dan membidikkan anak panah.
Frank menembak sembarangan. Frank kira dia meraih panah yang bisa meledak, tapi ternyata yang diambilnya adalah suar pemberi sinyal. Panah tersebut melesat di rumput, meledak hingga menghasilkan sinar jingga dan mendesingkan: SYUUUT!
Paling tidak panahnya menerangi monster. Di sepetak rumput kuning kering, bertenggerlah ular hijau limau sependek dan setebal lengan Frank. Kepalanya dikelilingi sirip putih tajam. Makhluk tersebut menatap anak panah yang melejit lewat, seolah-olah sedang bertanya-tanya, Apaan tuh"
Kemudian si monster ular melekatkan tatapan matanya yang kuning besar pada Frank. Ia maju bagaikan cacing tanah, bagian tengah tubuhnya beringsut ke atas. Di mana pun is menyentuh, rumput menjadi ranggas dan mati.
Frank mendengar teman-temannya menaiki undakan toko. Dia tidak berani berbalik dan lari. Dia dan si ular saling mengamati. Si ular mendesis, lidah api menyambar-nyambar dari mulutnya.
"Reptil melata yang baik," kata Frank, sadar sekali akan potongan kayu dalam sakunya, "Reptil beracun bernapas api yang baik."
"Frank!" Hazel berteriak di b
elakangnya. "Ayo, cepat!" Si ular melontarkan diri ke arah Frank. Ia mengarungi udara sedemikian cepat sampai-sampai tidak ada waktu untuk memasangkan anak panah ke busur. Frank mengayunkan busurnya dan menghajar si monster hingga terlempar ke bawah bukit. Ia berputir hingga hilang dari pandangan sambil melolongkan,
Weeeeek!" Frank merasa bangga pada dirinya sendiri sampai dia melihat busurnya, yang berasap dari tempatnya menyentuh ular. Frank
memandangi busurnya tak percaya saat gagang kayu tersebut remuk hingga menjadi debu.
Frank mendengar desis marah, yang dijawab oleh dua desisan lagi dari bawah bukit.
Frank menjatuhkan busurnya yang melebur dan lari ke beranda. Percy dan Hazel menariknya ke atas undakan. Ketika Frank berbalik, dia melihat ketiga monster berputar-putar di rumput, mengembuskan api dan menjadikan sisi bukit menjadi cokelat gara-gara sentuhan mereka yang beracun. Mereka sepertinya tidak bisa ataupun mau menghampiri toko lebih dekat lagi, tapi kenyataan itu tidak terlalu menghibur Frank. Dia telah kehilangan busurnya.
"Kita takkan pernah bisa keluar dari sini," ujar Frank nelangsa. "Kalau begitu, kita sebaiknya masuk." Hazel menunjuk plang di atas pintu yang dicat tulisan tangan berbunyi: PELANGI MAKANAN ORGANIK & GAYA HIDUP.
Frank tidak tahu apa maksudnya itu, tapi kedengarannya mendingan, jika dibandingkan dengan ular beracun bernapas api. Diikutinya teman-temannya ke dalam.
Saat mereka menginjakkan kaki ke sebelah dalam pintu, lampu kontan menyala. Musik seruling mulai mengalun, seakan mereka baru naik ke atas panggung. Terdapat lorong-lorong lebar antarrak. Rak-rak tersebut memuat stoples berisi kacang dan buah kering, keranjang apel, dan baju ikat celup serta rok terusan longgar tak berlengan dari kain tipis. Langit-langit dipenuhi gantungan lonceng angin. Merapat di sepanjang dinding, terdapat lemari pajang kaca yang memuat bola kristal, batuan warna-warni, jimat, dan berbagai benda ganjil lainnya. Tercium wangi tajam dupa. Baunya seperti sebuket bunga yang terbakar.
"Kios peramal"" Frank bertanya-tanya. "Moga-moga bukan," gumam Hazel. Hazel memapah Percy. Kondisinya tampak makin parah, seperti baru saja kena serangan flu mendadak. Wajahnya mengilap karena berkeringat. "Duduk dulu ...." gumam Percy. "Air."
"Iya," ujar Frank, "ayo, cari tempat supaya kau bisa istirahat." Lantai papan berderit di bawah kaki mereka. Frank berjingkatjingkat ke antara dua patung air mancur berbentuk Neptunus.
Seorang perempuan menyembul keluar dari balik stoples granola. "Bisa dibantu""
Frank terhuyung ke belakang, menjatuhkan salah satu air mancur. Neptunus batu berdebum ke lantai. Kepala sang Dewa Laut menggelinding dan air pun muncrat dari lehernya, menyembur ke rak berisi tas tangan kecil dari bahan kain yang diikat celup.
"Maaf!" Frank membungkuk untuk membereskan kekacauan tersebut. Dia hampir saja menusuk perempuan itu dengan tombaknya.
"Eits!" ujar si gadis, "jangan! Tidak apa-apa!" Frank menegakkan diri pelan-pelan, berusaha supaya tidak menimbulkan kerusakan lebih lanjut. Hazel kelihatan malu. Wajah Percy seperti mau muntah saat dia menatap patung ayahnya yang terpenggal.
Perempuan itu menepukkan kedua belah tangannya. Air mancur melebur ke dalam kabut. Air menguap. Dia menoleh kepada Frank. "Sungguh, tidak apa-apa kok. Air mancur Neptunus itu bertampang cemberut sekali, membuatku tidak enak hati saja."
Perempuan tersebut mengingatkan Frank pada pendaki usia anak kuliahan yang kadang-kadang dia lihat di Lynn Canyon Park di belakang rumah neneknya. Perempuan itu pendek berotot, mengenakan sepatu bot bertali, celana pendek safari, dan kaus
kuning terang bertuliskan PM O. G. Pelangi Makanan Organik & Gaya Hidup. Tampangnya masih muda, tapi rambut ikalnya putih, mencuat ke samping kepalanya seperti pinggiran putih dari telur goreng raksasa.
Frank berusaha mengingat-ingat cara berbicara. Mata perempuan itu membuyarkan konsentrasi Frank. Irisnya berubah warna dari kelabu ke hitam ke putih.
"Mmm maaf soal air mancurmu." Frank berhasil berucap. "Kami cuma "
"Oh, aku tahu!" kata
perempuan itu, "kalian ingin melihatlihat. Tidak apa-apa. Demigod dipersilakan berkunjung. Tidak usah buru-buru. Kalian tidak seperti monster-monster menyebalkan itu. Mereka cuma ingin ke kamar kecil dan tidak pernah membeli ap a-ap a!"
Perempuan itu mendengus. Matanya dikilatkan petir. Frank melirik Hazel untuk mencari tahu apakah dia hanya membayangkan yang barusan, tapi Hazel kelihatan sama kagetnya.
Dari bagian belakang toko, suara seorang wanita berseru: "Fleecy" Jangan takut-takuti pelanggan. Bawa mereka ke sini, ya""
"Namamu Fleecy"" tanya Hazel. Fleecy cekikikan. "Ya, dalam bahasa nebulae nama asliku " Dia mengeluarkan bunyi meretih dan meniup yang mengingatkan Frank pada serbuan hawa dingin. "Tapi kalian boleh memanggilku Fleecy."
"Nebulae ...."Percy bergumam dengan linglung. "Peri awan." Fleecy berseri-seri. "Oh, aku suka yang satu ini! Biasanya tidak ada yang tahu tentang peri awan. Tapi ya ampun, dia kelihatannya tidak sehat. Ayo, ke belakang. Bosku ingin bertemu kalian. Akan kami pulihkan teman kalian."
Fleecy memimpin mereka lewat lorong bahan makanan, di antara deretan terung, kiwi, buah lotus, dan delima. Di bagian
belakang toko, di balik meja kasir yang dilengkapi mesin kasa gaya lama, berdirilah seorang wanita paro baya berkulit secokelat zaitun, berambut hitam panjang, berkacamata tanpa bingkai, dan mengenakan kaus bertuliskan: Dewi Masih Hidup! Dia memakai kalung batu ambar dan cincin turquoise. Badannya wangi seperti kelopak bunga.
Wanita itu kelihatannya cukup ramah, tapi ada sesuatu dalam dirinya yang membuat hati Frank goyah, seperti ingin menangis. Butuh waktu untuk menyadari apa sebabnya, kemudian Frank pun mafhum cara wanita itu tersenyum yang hanya di satu sudut bibirnya, warna matanya yang cokelat hangat, kepalanya yang ditelengkan seperti sedang mempertimbangkan sebuah pertanyaan. Dia mengingatkan Frank pada ibunya.
"Halo!" Wanita itu bertopang ke meja kasir, yang memuat deretan patung kecil kucing China pemanggil tamu, Buddha yang sedang bermeditasi, kepala per Santo Fransiskus, dan burung pematuk bertopi tinggi. "Senang sekali kalian ke sini. Aku Iris!"
Mata Hazel membelalak. "Bukan Iris itu sang Dewi Pelangi"" Iris memberengut. "Ya, memang, itu pekerjaan resmiku. Tapi aku ini lebih dari sekadar identitas korporatku. Di waktu senggang, aku mengelola ini!" Dia melambaikan tangan ke sekitarnya dengan bangga. "Koperasi P.M.O.G koperasi karyawan yang mempromosikan gaya hidup sehat alternatif dan makanan organik."
Frank menatapnya sambil bengong. "Tapi Anda melempari monster dengan kue cokelat."
Iris tampak ngeri. "Oh, yang tadi itu bukan sembarang kue cokelat." Dia merogoh-rogoh ke bawah meja kasir dan mengeluarkan sebungkus kue lapis cokelat. "Kue mangkuk ini bebas gluten, bebas gula, diperkaya vitamin, dan berbahan baku susu kambing serta rumput laut."
"Semuanya alami!" timpal Fleecy. "Saya ralat perkataan saya yang tadi." Frank tiba-tiba merasa mual, sama seperti Percy.
Iris tersenyum. "Kau harus coba kue ini, Frank. Kau tidak bisa mencerna laktosa, kan""
"Bagaimana Anda bisa " "Aku tahu hal-hal semacam itu. Sebagai Dewi Pengantar Pesan ya, banyak sekali yang kuketahui, karena mendengar komunikasi antardewa dan sebagainya." Dilemparkannya kue ke meja kasir. "Lagi pula, monster-monster itu semestinya senang diberi makanan sehat. Selalu saja menyantap makanan tidak bergizi dan pahlawan. Mereka sungguh terbelakang. Aku tidak mau mereka memorak-porandakan tokoku, merusak barang-barang, dan mengganggufeng shui kami."
Percy bersandar ke meja kasir. Kelihatannya dia hendak muntah keftngshui sang Dewi. "Monster berderap ke selatan," kata Percy dengan susah payah, "hendak menghancurkan perkemahan kami. Tidak bisakah Anda menghentikan mereka""
"Oh, aku ini anti-kekerasan," ujar Iris, "aku bisa melakukan bela diri, tapi aku tidak mau lagi ikut serta dalam agresi bangsa Olympia, terima kasih banyak. Aku sudah mengkaji Buddhisme. Dan Taoisme. Aku belum memutuskan hendak memilih yang mana.
"Tapi ...." Hazel kelihatan bingung. "Bukankah Anda Dewi Yunani""
Iris bersedeka p. "Jangan coba kotak-kotakkan aku, Demigod! Aku ini lebih dari sekadar masa laluku."
"Eh, baiklah," kata Hazel, "setidaknya bisakah Anda memberi teman kami bantuan" Sepertinya dia sedang tidak enak badan."
Percy mengulurkan tangan ke seberang meja kasir. Sekejap Frank khawatir kalau-kalau Frank menginginkan kue mangkuk. "Pesan-Iris," kata Percy, "bisakah Anda mengirimkannya""
Frank tidak yakin dia tak salah dengar. "Pesan-Iris"" "Itu ...." Percy terbata. "Bukankah 'itu yang Anda lakukan"" Iris mengamati Percy dengan lebih saksama. "Menarik. Kau dari Perkemahan Jupiter, tapi Oh, aku mengerti. Juno rupanya sedang bersiasat."
"Apa"" tanya Hazel. Iris melirik asistennya, Fleecy. Mereka tampaknya sedang menjalin percakapan tanpa suara. Kemudian sang Dewi mengambil sebuah vial dari balik meja kasir dan menyemprotkan minyak beraroma bunga ke wajah Percy. "Nah, itu semestinya bisa menyeimbangkan cakramu. Terkait pesan-Iris itu cara komunikasi yang sudah kuno. Bangsa Yunani menggunakannya. Bangsa Romawi tidak pernah memakai cara tersebut selalu mengandalkan jaringan jalan raya, elang raksasa, dan sebagainya. Tapi ya, kuduga kau ... Fleecy, bisa kau coba""
"Sip, Bos!" Iris berkedip kepada Frank. "Jangan bilang-bilang dewa-dewi lain, tapi dewasa ini Fleecy-lah yang mengantarkan sebagian besar pesan. Dia lihai sekali, sungguh, dan aku tidak punya waktu untuk memenuhi semua permintaan itu secara pribadi. Bisa-bisa auraku kacau dibuatnya."
"Aura Anda"" tanya Frank. "He-eh. Fleecy, bagaimana kalau kau ajak Percy dan Hazel ke belakang" Ambilkan makanan untuk mereka selagi kau mengatur penghantaran pesan mereka. Dan untuk Percy ..., ya, penyakit ingatan. Kuduga si tua Polybotes itu ya, bertemu dia dalam kondisi amnesia tidak mungkin berdampak bagus bagi anak P maksudku Neptunus. Fleecy, beri dia secangkir teh hijau dengan
madu organik, benih gandum, dan serbuk obat nomor lima. Ramuan itu seharusnya bisa memulihkan dia."
Hazel mengerutkan kening. "Frank bagaimana"" Iris berpaling kepada Frank. Dia menelengkan kepala penuh tanda tanya, persis seperti ibu Frank seolah-olah Frank adalah misteri terbesar di ruangan itu.
"Oh, jangan khawatir," kata Iris, "banyak yang harus Frank dan aku bicarakan." []
BAB DUA PULUH DUA FRANK FRANK SEBETULNYA LEBIH MEMILIH UNTUK ikut dengan teman-temannya, sekalipun itu artinya dia harus menenggak teh hijau dengan benih gandum. Namun, Iris mengaitkan lengannya ke lengan Frank dan menuntunnya ke meja kafe dekat jendela panjang. Frank meletakkan tombaknya di lantai. Dia duduk berhadapan dengan Iris. Dalam kegelapan di luar sana, monstermonster ular berpatroli tak kenal lelah di sisi bukit, sambil menyemburkan api dan meracuni rumput.
"Frank, aku memahami perasaanmu," kata Iris, "kuduga kayu separuh gosong di sakumu kian hari kian berat saja."
Frank tak bisa bernapas. Tangannya secara instingtif melayang ke jaketnya. "Bagaimana Anda ""
"Sudah kukatakan padamu. Aku tahu banyak hal. Aku sudah lama sekali menjadi kurir Juno. Aku tahu apa sebabnya dia menangguhkan ajalmu."
"Menangguhkan ajal"" Frank mengeluarkan potongan kayu bakar dan membuka bungkusan kainnya. Meskipun tombak Mars berat dan merepotkan, sepotong kayu ini malah lebih parah. Iris benar. Kayu tersebut membebaninya.
"Juno menyelamatkanmu karena suatu alasan," kata sang Dewi, "dia ingin kau mengabdikan diri bagi rencananya. Jika dia tidak muncul hari itu, waktu kau masih bayi, dan memperingatkan ibumu tentang kayu bakar, kau pasti sudah meninggal. Kau dianugerahi terlalu banyak bakat. Kekuatan sebesar itu cenderung membakar habis hidup manusia fana."
"Terlalu banyak bakat"" Frank merasa telinganya panas karena marah. "Saya tidak punya bakat!"
"Itu tidak benar, Frank." Iris menyapukan tangan ke depan seperti sedang membersihkan kaca spion. Muncullah pelangi miniatur. "Pikirkan saja."
Sebuah gambaran berdenyar di pelangi tersebut. Frank melihat dirinya ketika berumur empat tahun, sedang berlari menyeberangi halaman belakang rumah nenek. Ibunya mencondongkan badan ke luar jendela loteng, tinggi di atas, melambai-lambai
dan memanggil-manggil untuk menarik perhatian Frank. Frank semestinya tidak boleh di halaman belakang sendirian. Frank tidak tahu apa sebabnya ibunya berada di loteng, tapi ibunya menyuruhnya diam saja di dekat rumah, melarangnya pergi jauh-jauh. Frank justru melakukan kebalikannya. Dia memekik kegirangan dan lari ke pinggir hutan. Di sana, dia pun berhadaphadapan dengan seekor beruang grizzly.
Sampai Frank menyaksikan adegan itu di pelangi, kenangannya amatlah kabur sampai-sampai dia kira dia hanya memimpikan peristiwa tersebut. Kini dia sadar betapa mencengangkannya pengalaman itu. Sang beruang mengamati si bocah lelaki. Susah menentukan siapa yang lebih terperanjat. Kemudian ibu Frank muncul di sampingnya. Tidak mungkin ibunya bisa turun dari loteng secepat itu. Dia menempatkan diri di antara beruang dan Frank. Disuruhnya putranya lari ke rumah. Kali ini, Frank menurut. Ketika Frank membalikkan badan di beranda belakang,
dia melihat ibunya keluar dari hutan. Si beruang sudah pergi. Frank menanyakan apa yang terjadi. Ibunya tersenyum. Ibu beruang cuma butuh petunjuk arah, kata ibu Frank.
Adegan di pelangi berubah. Frank melihat dirinya sebagai anak umur enam tahun, bergelung di pangkuan ibunya kendati dia sudah terlalu besar. Rambut hitam panjang ibunya digelung ke belakang. Lengannya merangkul Frank. Ibu Frank mengenakan kacamata tak berbingkai yang suka dicuri Frank, sedangkan sweter kelabunya yang berbulu-bulu wangi seperti kayu manis. Dia sedang mendongengkan kisah tentang pahlawan, berpura-pura bahwa semuanya berkerabat dengan Frank: salah satunya adalah Xu Fu, yang berlayar untuk mencari eliksir kehidupan. Gambar pelangi tidak disertai bunyi, tapi Frank ingat kata-kata ibunya: Dia itu kakek buyut-buyut-buyut Ibunya menusuk perut Frank dengan jari tiap kali dia mengucapkan buyut, lusinan kali, sampai Frank cekikikan tak terkendali.
Kemudian ada Sung Guo, yang juga dipanggil Seneca Gracchus, yang bertarung melawan dua belas naga Romawi dan enam belas naga China di gurun barat China. Dia adalah naga terkuat di antara mereka semua, kata ibu Frank. Itulah sebabnya dia bisa mengalahkan mereka! Frank tidak tahu apa artinya, tapi kedengarannya asyik.
Lalu ibunya menusuk jarinya sambil mengucapkan buyut berkali-kali lagi, sampai-sampai Frank berguling ke lantai untuk melarikan diri dari gelitikan tersebut. Dan leluhur tertua yang kami ketahui: dia adalah Pangeran dari Pylos! Hercules pernah bertarung melawannya. Pertarungan tersebut ketat sekali!
Apa kita menang" Frank bertanya. Ibu Frank tertawa, tapi ada kesedihan dalam suaranya. Tidak, leluhur kita kalah. tapi pertarungan tersebut tidak mudah bagi
Hercules. Bayangkan, harus menghalau sekawanan lebah. Begitulah ceritanya. Hercules sekalipun kesusahan!
Komentar tersebut tidak masuk akal bagi Frank, baik dulu maupun sekarang. Memangnya leluhurnya peternak lebah"
Sudah bertahun-tahun Frank tidak pernah memikirkan ceritacerita tersebut, tapi kini semuanya kembali ke benaknya, sejelas wajah ibunya. Pedih rasanya, melihat ibunya lagi. Frank ingin kembali ke masa itu. Dia ingin menjadi anak kecil dan bergelung di pangkuan ibunya.
Di gambar pelangi, Frank kecil menanyakan dari mana keluarga mereka berasal. Banyak sekali pahlawan! Mereka berasal dari Pylos, Romawi, China, atau Kanada"
Ibunya tersenyum sambil menelengkan kepala, seakan sedang menimbang-nimbang bagaimana harus menjawab.
Li Jien, ibu Frank akhirnya berkata. Keluarga kita berasal dari banyak tempat, tapi kampung halaman kita adalah Li-Jien. Ingatlah selalu, Frank: kau memiliki bakat istimewa. Kau bisa menjadi apa saja.
Pelangi akhirnya buyar, tinggal menyisakan Iris dan Frank. "Saya tidak mengerti." Suara Frank serak. "Ibumu menjelaskannya," kata Iris, "kau bisa menjadi apa saja.
Kedengarannya seperti salah satu ucapan konyol yang dilontarkan orangtua untuk mendongrak kepercayaan diri kita slogan basi yang bisa dicetak di kaus Iris, selain Dewi Masih Hidup! dan Mobilku yang Satu Lagi Permadani Ajaib! Namun, dari cara Iris mengucapkannya, kesannya seperti tantangan.
Frank merapatkan t angan ke saku celana, tempatnya menyimpan medali penghargaan ibunya. Medali perak tersebut sedingin es.
"Saya tidak bisa menjadi apa saja." Frank berkeras. "Saya tidak punya keterampilan."
"Apa saja yang sudah kau coba"" Tanya Iris. "Kau ingin menjadi pemanah. Kau cukup berhasil. Kau baru sampai di permukaannya saja. Teman-temanmu, Hazel dan Percy mereka berdua mengangkangi dua dunia: Yunani dan Romawi, masa lalu dan masa kini. Namun, kau malah lebih lagi. Cikal bakalmu kuno sekali darah Pylos di pihak ibumu, sedangkan ayahmu Mars. Tidak heran Juno menginginkanmu untuk menjadi salah satu dari ketujuh jagoannya. Dia ingin agar kau bertarung melawan Raksasa dan Gaea. Tapi pikirkan saja ini: Apa yang kau inginkan""
"Saya tidak punya pilihan," ujar Frank, "saya ini putra Dewa Perang tolol. Saya harus menjalani misi ini dan "
"Harus," kata Iris, "bukan ingin. Dulu aku juga berpikir seperti itu. Lama-lama aku bosan menjadi pelayan semua orang. Ambilkan secawan anggur untuk Jupiter. Antarkan surat untuk Juno. Kirim pesan bolak-balik lewat pelangi untuk siapa saja yang punya drachma emas."
"Apa emas"" "Tidak penting. Tapi aku belajar melepaskan segalanya. Aku mendirikan P.M.O.G., dan sekarang aku sudah bebas dari semua beban itu. Kau bisa melepaskan bebanmu juga. Mungkin kau tidak bisa lari dari takdir. Suatu hari kelak, potongan kayu itu pasti terbakar. Kuprakirakan bahwa kau akan memegang kayu tersebut ketika akhirnya terbakar, dan hidupmu akan usai "
"Terima kasih," gerutu Frank. " tapi hidupmu justru menjadi lebih berharga karenanya! Kau tidak harus memenuhi pengharapan orangtuamu dan nenekmu. Kau tidak harus menuruti perintah Dewa Perang, atau perintah Juno. Lakukan keinginanmu, Frank! Carilah tujuan baru!"
Frank memikirkannya. Gagasan tersebut sungguh menggoda: menampik dewa-dewi, takdirnya, ayahnya. Dia tidak mau menjadi putra Dewa Perang. Ibunya meninggal dalam perang. Frank tidak mau menjadi pahlawan.
"Kenapa Anda menyampaikan ini pada saya"" tanya Frank. "Anda ingin saya mengabaikan misi ini, membiarkan Perkemahan Jupiter dihancurkan" Teman-teman saya mengandalkan saya."
Iris merentangkan tangan. "Aku tidak bisa menyuruhnyuruhmu, Frank. Tapi, lakukan yang ingin kau lakukan, bukan yang diperintahkan orang lain. Aku dulu selalu patuh, tapi apa yang kudapat" Aku menghabiskan lima milenium dengan cara melayani orang lain, dan aku tidak pernah menemukan identitasku sendiri. Apa hewan keramatku" Tidak ada yang repot-repot memberiku hewan keramat. Mana kuilku" Tidak ada juga. Ya sudah! Aku sudah menemukan kedamaian di koperasi ini. Kau boleh tinggal bersama kami, kalau kau mau. Menjadi PMOG-kopter."
"Maaf, apa"" "Intinya, kau punya pilihan. Jika kau melanjutkan misi ini apa yang terjadi ketika kau membebaskan Thanatos" Dampaknya bagus atau jelek untuk keluargamu" Teman-temanmu""
Frank teringat perkataan neneknya: dia sudah punya janji dengan Maut. Nenek kadang membuat Frank jengkel; walau begitu, nenek adalah satu-satunya keluarga Frank yang masih hidup, satu-satunya orang di dunia ini yang menyayanginya. Jika Thanatos tetap terbelenggu, Frank mungkin takkan kehilangan neneknya. Dan Hazel entah bagaimana, dia kembali dari Dunia Bawah. Jika Maut membawanya lagi, Frank pasti tidak sanggup menghadapi kenyataan itu. Belum lagi masalah Frank sendiri: menurut Iris, dia seharusnya sudah mati waktu masih bayi. Dia dan Maut hanya dipisahkan oleh sepotong kayu yang separuh gosong. Akankah Thanatos membawa pergi Frank juga"
Frank berusaha membayangkan bagaimana rasanya tinggal di sini bersama Iris, mengenakan kaus P.M.O.G., menjual kristal dan jimat kepada Demigod pengelana, dan melemparkan kue mangkuk bebas gluten kepada monster yang melintas. Sementara itu, pasukan makhluk jahat yang tidak bisa mati akan menggilas Perkemahan Jupiter.
Kau bisa menjadi apa saja, kata ibunya. Tidak, pikir Frank. Aku tidak boleh seegois itu. "Saya harus pergi," kata Frank, "itulah tugas saya." Iris mendesah. "Sudah kuduga, tapi aku harus mencoba. Tugas yang menanti di hadapanmu Ya, aku tidak ingin menimpakan tugas semacam itu pa
da siapa pun, apalagi anak baik sepertimu. Jika kau harus pergi, setidaknya aku bisa memberikan nasihat. Kau pasti butuh bantuan dalam menemukan Thanatos."
"Anda tahu di mana para Raksasa menyembunyikan dia"" tanya Frank.
Iris menatap lonceng angin yang berayun-ayun di langit-langit dengan ekspresi serius. "Tidak daerah Alaska berada di luar kendali dewa. Lokasi itu tidak bisa kulihat. Tapi ada seseorang yang tahu. Carilah Phineas sang Juru Terawang. Dia buta, tapi dia bisa melihat masa lalu, masa kini, dan masa depan. Dia tahu banyak hal. Dia bisa memberi tahu kalian di mana Thanatos ditawan."
"Phineas ...," ujar Frank, "bukankah ada cerita tentang pria itu""
Iris mengangguk dengan enggan. "Pada zaman dahulu, dia melakukan kejahatan mengerikan. Dia menggunakan bakat melihatnya untuk berbuat keji. Jupiter mengutus para harpy untuk merongrongnya. Para Argonaut termasuk leluhurmu, omongomong ,,
"Pangeran dari Pylos""
Iris ragu-ragu. "Ya, Frank. Meskipun bakatnya, kisahnya itu harus kau cari tahu sendiri. Singkat cerita, para Argonaut mengusir para harpy. Sebagai imbalannya, mereka minta pertolongan Phineas. Kejadiannya sudah lama sekali, tapi sepengetahuanku Phineas telah kembali ke dunia fana. Kalian akan menemukannya di Portland, Oregon. Kalian akan lewat sana dalam perjalanan ke utara. Tapi berjanjilah, jika dia masih dirongrong oleh para harpy, jangan bunuh mereka, tidak peduli apa pun yang dijanjikan Phineas kepada kalian. Raih pertolongannya dengan cara lain. Para harpy tidak jahat. Mereka saudariku."
"Saudariku"" "Aku tahu. Kelihatannya aku kemudaan untuk menjadi saudari harpy, tapi begitulah yang sebenarnya. Dan Frank ... ada satu masalah lagi. Jika kau bertekad untuk pergi, kau harus menyingkirkan Basilisk itu dari bukit."
"Maksud Anda ular-ular itu"" "Ya," kata Iris, "Basilisk berarti `mahkota kecil'. Nama yang manis untuk makhluk yang sama sekali tidak manis. Kalau bisa, aku ingin supaya mereka tidak dibunuh. Biar bagaimanapun juga, mereka makhluk hidup. Tapi kalian takkan bisa pergi sampai mereka enyah. Apabila teman-temanmu mencoba melawan mereka
ya, kuprakirakan akan terjadi hal-hal buruk. Hanya kau yang memiliki kemampuan untuk membunuh monster tersebut."
"Tapi, bagaimana"" Sang Dewi menatap lantai. Frank menyadari bahwa Iris sedang memandangi tombaknya.
"Kuharap ada cara lain," ujar Iris, "misalnya, kalau saja kau punya musang. Musang fatal bagi Basilisk."
"Saya kehabisan musang." Frank mengakui.
demikian, kau harus memanfaatkan hadiah ayahmu. Apa kau yakin kau tidak ingin tinggal di sini saja" Kami memproduksi santan bebas laktosa."
Frank berdiri. "Bagaimana caranya menggunakan tombak ini""
"Kau harus memikirkannya sendiri. Aku tidak bisa memberimu saran tentang penggunaan kekerasan. Selagi kau bertarung, akan kutengok teman-temanmu. Kuharap Fleecy sudah menemukan tumbuhan obat yang tepat. Kali terakhir, ada kekeliruan Ya, menurutku para pahlawan itu pasti tidak mau menjadi bunga aster."
Sang Dewi berdiri. Kacamatanya berkilat-kilat, dan Frank melihat bayangannya sendiri di lensa kacamata tersebut. Frank kelihatan serius dan murung, sama sekali tidak seperti bocah lelaki yang dia lihat di gambar pelangi.
"Satu nasihat terakhir, Frank," kata Iris, "kau ditakdirkan mati sambil memegang sepotong kayu itu, menyaksikannya terbakar. Tapi mungkin kau tidak usah menyimpannya sendiri. Mungkin kau bisa memercayakannya kepada orang lain ...."
Jemari Frank mencengkeram kayu bakar tersebut. "Apa Anda menawarkan diri""
Iris tertawa lembut. "Oh, ya ampun, bukan. Koleksiku banyak sekali, bisa-bisa titipanmu hilang. Bisa-bisa nanti tercampur dengan koleksi kristalku, atau aku tak sengaja menjualnya sebagai pemberat kertas. Bukan, maksudku teman sesama demigod. Seseorang yang dekat di hatimu."
Hazel, pikir Frank seketika. Tak ada orang yang lebih dipercayainya selain Hazel. Namun, bagaimana caranya mengakui rahasianya" Jika Frank mengakui betapa lemah dirinya, bahwa nyawanya bergantung pada kayu yang setengah hangus ... Hazel takkan pernah memandangnya sebagai pahlawan. Frank takkan
pernah bisa menjadi kesatria penyelamat Hazel. Lagi pula, mana mungkin Frank melimpahkan beban seberat itu kepada Hazel"
Frank membungkus kayu tersebut dan mengembalikannya ke dalam jaket. "Terima terima kasih, Iris."
Sang Dewi meremas tangan Frank. "Jangan putus harapan, Frank. Pelangi senantiasa menyimbolkan harapan."
Iris menuju belakang toko, meninggalkan Frank sendirian. "Harapan," gerutu Frank, "mending aku dikasih musang." Frank memungut tombak ayahnya dan berderap keluar untuk menghadapi para Basilisk. []
BAB DUA PULUH TIGA FRANK FRANK MERINDUKAN BUSURNYA. Dia ingin berdiri di beranda dan menembaki ular dari kejauhan. Beberapa anak panah yang dibidikkan dengan tepat, beberapa lubang menganga di sisi bukit masalah beres.
Sayangnya, wadah berisi anak panah tidak ada gunanya bagi Frank jika dia tidak punya alas unuk menembakkan panah-panah tersebut. Lagi pula, dia tidak tahu di mana para Basilisk berada. Mereka berhenti menyemburkan api begitu dia keluar.
Frank melangkah turun dari beranda dan menghunuskan tombak emasnya. Dia tidak suka bertarung dalam jarak dekat. Dia terlalu lamban dan berat. Memang, dia baik-baik saja waktu perang-perangan, tapi ini sungguhan. Tidak ada elang raksasa yang siap mengangkat dan membawanya ke paramedis jika dia membuat kesalahan.
Kau bisa menjadi apa saja. Suara ibunya bergema dalam benaknya.
Hebat, pikir Frank. Aku ingin jago menggunakan tombak. Juga kebal terhadap racun dan api.
Frank punya firasat bahwa permohonannya tidak dikabulkan. Tombak tersebut masih terasa janggal di tangannya.
Petak-petak yang hangus masih mengepulkan asap di nisi bukit. Asap berbau tajam menyengat hidung Frank. Rumput yang meranggas berkerumuk di bawah kakinya.
Frank teringat kisah-kisah yang diceritakan ibunya pahlawan bergenerasi-generasi yang beradu dengan Hercules, bertarung melawan naga, dan mengarungi Taut yang dihuni monster. Frank tidak mengerti bagaimana mungkin dirinya adalah keturunan orang-orang macam itu, atau bagaimana ceritanya sampai keluarganya bermigrasi dari Yunani, melalui masa Kekaisaran Romawi, sampai ke China, tapi sejumlah ide menggelisahkan mulai terbetik di benaknya. Untuk pertama kalinya, Frank mulai merasa penasaran tentang Pangeran dari Pylos, dan aib kakek buyutnya Shen Lun di Perkemahan Jupiter, serta apa sesungguhnya kekuatan yang dimiliki keluarganya.
Anugerah tersebut tak pernah menyelamatkan keluarga kita, nenek memperingatkan.
Pemikiran yang sungguh menghibur, selagi Frank memburu ular ganas beracun yang bernapas api.
Malam itu hening. Yang terdengar hanyalah retihan semaksemak yang terbakar. Tiap kali angin berdesir di rumput, Frank teringat roh biji-bijian yang menangkap Hazel. Mudah-mudahan mereka sudah pergi ke selatan bersama Polybotes sang Raksasa. Frank tidak memerlukan masalah tambahan saat ini.
Dia mengendap-endap ke bawah bukit, matanya pedih terkena asap. Kemudian, kira-kira enam meter di depan, dia melihat jilatan api.
Frank mempertimbangkan untuk melempar tombaknya. Ide bodoh. Nanti jadinya dia tidak punya senjata. Alhasil, Frank justru menghampiri kobaran api.
Frank berharap dirinya membawa vial berisi darah Gorgon, tapi vial tersebut ada di perahu. Dia bertanya-tanya apakah darah Gorgon bisa menyembuhkan sengatan racun Basilisk ..., tapi sekalipun dia membawa darah Gorgon dan mampu memilih vial yang tepat, Frank ragu dirinya sempat meneguk darah itu sebelum dia remuk menjadi debu seperti busurnya.
Frank keluar di lahan terbuka yang ditumbuhi rumput hangus dan mendapati dirinya berhadap-hadapan dengan seekor Basilisk.
Ular itu berdiri, bertumpu pada ekornya. Ia mendesis, dan mengembangkan mahkota putih di sekeliling lehernya. Mahkota kecil, Frank teringat. Itulah arti "Basilisk". Dia kira Basilisk adalah naga besar, semacam monster yang bisa melumpuhkan kita menjadi batu dengan mata mereka. Entah bagaimana, Basilisk yang asli malah lebih menyeramkan. Meskipun ukurannya kecil, makhluk jahat ekstra-mungil yang mampu menyemburkan api dan racun bakalan lebih sulit dibunuh daripada kadal besar montok. Frank sudah melihat
betapa makhluk itu bisa bergerak sangat cepat.
Si monster melekatkan tatapan mata kuning pucatnya pada Frank.
Kenapa ia tidak menyerang" Tombak emas Frank terasa dingin dan berat. Mata dari gigi naga tiba-tiba menghunjam sendiri, mengarah ke tanah seperti batang logam pencari air.
"Hentikan." Frank berjuang untuk mengangkat tombak tersebut. Menusuk monster itu saja sudah susah, apalagi jika tombaknya berulah. Kemudian Frank mendengar desir rumput di kiri-kanannya. Dua ekor Basilisk lainnya melata ke lahan terbuka itu.
Frank ternyata telah masuk ke dalam perangkap. []
BAB DUA PULUH EMPAT FRANK FRANK MENGAYUNKAN TOMBAKNYA KE DEPAN dan ke belakang. "Mundur!" Suaranya kedengaran mencicit. "Aku punya ..., eh ..., kekuatan super dan lain-lain."
Para Basilisk mendesiskan harmoni tiga bagian. Mungkin mereka sedang tertawa.
Mata tombak kini hampir terlalu berat untuk diangkat, seolaholah tulang segitiga yang bergerigi itu berusaha menyentuh tanah. Kemudian sesuatu terbetik di benak Frank: Mars bilang mata tombak itu terbuat dari gigi naga. Bukankah ada cerita mengenai gigi naga yang dihunjamkan ke tanah" Sesuatu yang dia Baca dalam pelajaran monster di perkemahan ..."
Para Basilisk mengitarinya, tidak buru-buru. Mungkin mereka ragu-ragu karena tombak itu. Mungkin mereka terheran-heran menyaksikan betapa bodohnya Frank.
Sepertinya memang nekat, tapi Frank membiarkan ujung tombaknya merosot. Dihunjamkannya tombak itu ke tanah. Krak.
Ketika dia mengangkat tombak tersebut, ujungnya lenyap patah saat menghantam tanah.
Luar biasa. Sekarang dia punya tongkat emas. Sisi nekat dalam dirinya ingin mengeluarkan potongan kayu bakar itu. Jika ujung-ujungnya dia bakal mati, mungkin dia bisa menyebabkan kebakaran besar menggosongkan Basilisk supaya paling tidak teman-temannya bisa kabur.
Sebelum Frank sempat mengerahkan keberaniannya, tanah bergemuruh di kakinya. Serpihan tanah berhamburan, dan keluarlah tulang tangan yang mencakar-cakar udara. Para Basilisk mendesis dan bergerak mundur.
Pendekar Satu Jurus 11 Dewa Arak 63 Angkara Si Anak Naga Manusia Pemuja Bulan 2
^