Pencarian

Matahari Esok Pagi 1

Matahari Esok Pagi Karya S H Mintardja Bagian 1


Matahari Esok Pagi Karya : SH Mintardja Jilid 1 KEDATANGANNYA ke mbali diterima dengan penuh haru oleh orang-orang Kade mangan Kepanda k, terutama orangorang di padukuhan Ge mulung. Lebih dari sepuluh tahun ia meninggalkan rumah itu. Tetapi kini ia terpaksa ke mbali. Suaminya, seorang prajurit Mataram telah gugur dala m pengabdiannya kepada Tanah Kelahiran, pada saat pasukan Mataram atas perintah Sultan Agung menyerang Betawi yang diduduki oleh orang-orang Kulit Putih berkebangsaan Belanda. Dan Nyai Wiratapa yang sudah menjadi janda itu terpaksa pulang ke rumah orang tuanya. Ayahnya adalah orang tua yang sudah berkeriput. Dan ibunya sudah mulai terbongkokbongkok. Rambutnya sudah menjadi putih. Umur mereka telah me la mpaui pertengahan abad, dan bahkan, laki-laki tua itu sudah lebih dari ena mpuluh tahun. Namun meskipun de mikian, laki-laki tua itu masih kuat mengangkat cangkul di atas pundaknya. Setiap hari ia masih pergi ke sawahnya yang tidak terla mpau luas. Sekedar cukup me mberinya makan seke luarga. Kini anaknya yang menjanda dan seorang cucunya ada diantara mereka. Tetapi atas kemurahan hati Sultan Agung, prajurit-prajuritnya yang gugur di medan perang, mendapat anugerah sebidang tanah meskipun hanya sekedarnya, di daerah yang dipilih oleh jandanya, Dengan demikian maka Nyai Wiratapapun mendapat sebidang tanah yang diserahkannya kepada ayahnya yang tua itu pula untuk digarap. Sejak kehadiran Nyai Wiratapa dan anaknya Sindangsari, rumah mereka banyak dikunjungi oleh para tetangga. Mereka menya mpaikan sala m bela sungkawa. Bahkan ada diantara mereka yang sa mbil me me luk Sindangsari, menangis tersedusedu. Kepergian mereka sepuluh tahun yang lalu seakan-akan baru saja ke marin terjadi. Dan gadis yang sekarang sudah
dewasa itu, adalah seorang gadis kecil yang manis pada saat mereka berangkat ke kota. "Se mua yang terjadi tidak dapat disesali" berkata seorang laki-laki tua, setua kakek Sindangsari. Nayi Wiratapa beserta ayah ibunya yang tua itupun mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi Sindangsari tidak dapat menahan tit ik air yang menga mbang di matanya. "Tuhan Maha Tahu" orang tua itu melanjutkan "dan Tuhan itu Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Apa yang terjadi adalah cobaanNya. Memang terasa pahit oleh kita" Nyai Wiratapa mengangguk-angguk tenggorokannya terasa menjadi pepat. meskipun
Namun keakraban sikap tetangga-tetangga itu dapat sedikit me mberikan ketenteraman di hati Nyai Wiratapa. Meskipun sepuluh tahun ia tidak ada di rumah itu, namun ia merasa bukan orang asing ketika ia ke mba li berkumpul dengan ayah dan ibunya serta tetangga-tetangganya. Bahkan bukan saja orang-orang tua yang datang berkunjung ke rumah janda itu, tetapi gadis-gadis yang sebaya dengan Sindangsaripun berdatangan pula. Mereka adalah kawan berma in-main semasa mereka masih kanakkanak. Dan kini mere ka bertemu ke mba li di usia dewasa. Demikianlah Nyai wiratapa segera dapat menyesuaikan dirinya hidup di padukuhannya ke mbali. Keramah-ta mahannya sangat menarik hati orang-orang di sekitarnya, sehingga iapun segera mendapat tempat yang baik di dala m lingkungannya. Orang-orang di sekitarnya menganggap Nyai Wiratapa sebagai seorang yang me mpunyai pengala man aga k lebih banyak dari mereka, sehingga perempuan-pere mpuan padukuhannya selalu datang berkunjung kepadanya untuk mendapatkan beberapa petunjuk dan nasehat tentang bermacam-maca m hal. Nyai Wiratapa dapat memberi beberapa petunjuk me masak berbagai maca m ma kanan yang belum dikenal oleh
orang Ge mulung. bahkan orang-orang seluruh Kade mangan Kepandak. Sejalan dengan itu, gadis-gadis Gemulungpun banyak mendapat ceritera tentang kota Mataram dari Sindangsari. Jalan-jalan yang lebar dan regol-regol hala man yang tinggi dan besar. Rumah-rumah joglo bertiang sebesar pohon randu alas pojok desa, dan pintu-pintu berukir yang disungging dengan warna-warna e mas. Dan gadis-gadis desa itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Mata mereka me mmancarkan ke kaguman hati. Satu dua diantara mereka me mang ada yang pernah pergi ke kota, tetapi hanya satu dua hari mengunjungi sanak saudara. Tetapi merekapun akan segera kembali sebelum mereka me lihat terlalu banyak seperti yang dilihat oleh Sindangsari. Bukan saja gadis-gadis yang sering mendengarkan ceritera Sindangsari. Kadang-kadang anak-ana k mudapun mengerumunminya di tepian apabila Sindangsari bersama kawan-kawan gadisnya sedang mencuci di ka li. "Aku pernah me lihat" berkata salah seorarlg anak muda yang berwajah keras "tetapi hanya sehari" "Aku bermala m sepekan di Mataram" berkata yang la in. "Aku me lihat cukup banyak" "Tetapi belum sebanyak Sindangsari" potong seorang gadis. "Tentu" jawab pemuda itu "meskipun de mikian lebih banyak dari kau" Gadis itu mengerutkan keningnya. Katanya "Aku sebulan berada di rumah pa man di Mataram" Anak muda itu mengerut kan keningnya. Ketika ia me mandang berkeliling dilihatnya senyuman di setiap bibir.
Tiba-tiba terpercik warna merah di pipinya, sehingga tanpa sesadarnya iapun berkisar surut, sehingga akhirnya ia berada di paling belakang. Seperti ibunya, di lingkungan anak-anak muda dan gadisgadis, Sindangsari segera mendapat banyak kawan. Ia ramah dan cerdas, mela mpaui kawan-kawan sebayanya. Lebih dari itu, ia me mpunyai sedikit kelainan di mata anak-anak mudanya. Meskipun gadis-gadis Ge mulung tidak kurang yang secantik Sindangsari, tetapi cara mengetrapkan paka iannya, cara berjalan dan berbicara, Sindangsari me mpunyai ke lainan. Sebagai seorang gadis yang pernah tinggal di kota kerajaan yang besar, Sindangsari mempunyai kebiasaan yang agak berbeda dengan gadis-gadis desa asalnya, Gemulung. Dan karena itulah, maka kehadiran Sindangsari justru telah menumbuhkan persoalan-persoalan baru di padukuhannya. Persoalan-persoalan anak-anak muda yang mulai mengaguminya. Di saat-saat matahari terbit, dihampir setiap pagi, Sindangsari beserta dua tiga kawan-kawannya sela lu pergi ke sungai untuk mencuci paka ian. Mereka berusaha menyelesaikan pekerjaan mereka pagi-pagi, supaya pakaianpakaian itu segera kering pula. Apalagi apabila langit mendung dan hujan turun. Selain itu, mereka masih mendapat kesempatan pergi ke pasar untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari. Tanpa disadarinya, setiap pagi apabila Sindangsari pergi ke kali sepasang mata selalu me mandanginya dari balik pintu regol rumahnya. Sebuah rumah yang cukup besar dan berhalaman luas menurut ukuran padukuhan Ge mulung, bahkan menurut ukuran Kade mangan Kepanda k. Rumah itu adalah rumah seorang pedagang ternak yang kaya. Ketika pagi itu Sindangsari lewat pula bersama tiga orang kawannya, mata itupun mengikut inya pula sampa i gadis itu hilang di balik rimbunnya rumpun ba mbu di ha la man sebelah.
Sambil me ngerutkan keningnya orang itu mela mbaikan tangannya, memanggil seseorang yang sedang bekerja di halaman. "He, gadis itu lewat lagi" desisnya. Orang yang dipanggilnya itupun mengerutkan keningnya. Sejenak ia mencoba me mandang kebalik pintu regol. Tetapi ia tidak me lihat sesuatu. "Ia sudah jauh" bentak orang yang berdiri di muka regol. Orang yang datang itu mengangguk-anggukkan kepa lanya. Kepalanya yang botak. Wajahnya yang kasar menjadi berkerut-kerut sejenak. Tetapi tubuhnya yang tinggi besar itu tegak seperti patung. "Apakah maksudmu dengan gadis itu" Apakah aku harus menga mbilnya?" "Bodoh, kau me mang bodoh" Orang yang bertubuh tinggi besar berkepala botak itu dia m me matung. Tatapan matanya yang kosong menyentuh wajah orang yang me manggilnya, namun wajah itupun segera berpaling. "Jadi apakah ma ksudmu?" ia bertanya tanpa me mandang wajah lawan bicaranya, seorang anak muda yang gagah dalam pakaian yang bagus rapi. Ank muda itu termenung sejenak. Na mun ke mudian ia berkata "Tida k apa-apa" Orang yang bertubuh tinggi besar itu terheran-heran sejenak. Kemudian iapun meninggalkan anak muda itu. Langkahnya satu-satu seperti derap kaki seekor gajah. "La mat" tiba-tiba anak muda itu me manggil.
Dan orang yang bertubuh tinggi besar itu terhenti. Kemudian sa mbil me mutar tubuhnya ia bertanya "Kau me manggil aku?" Anak muda itu tida k menjawab. Tetapi ia lah yang datang mende kat. "Kau pernah melihat gadis itu bukan" "Ya" "Cantik?" "Cantik" "Huh, kau me mang tidak me mpunyai otak yang dapat kau pergunakan untuk berpikir. Kau menjawab asal saja menjawab " Orang yang tinggi besar itu mengerutkan keningnya. Desisnya "Tetapi bukankah ia me mang cant ik?" "Sejak kapan kau mengenal seorang perempuan cantik?" Lamat, orang yang botak itu tidak menjawab. Ditatapnya saja wajah anak muda yang kini tersenyum. Perlahan-lahan anak muda itu mende katinya, kemudian menepuk bahunya "Tentu, kaupun tentu mengenal wajah cantik seorang perempuan, meskipun agaknya kau sa ma seka li t idak tertarik. Terbukti sampai sekarang kau t idak ma u kawin juga" Laki-laki itu tidak menjawab. "He, kenapa kau tidak kawin La mat?" Laki-laki botak itu menarik nafas dalam-dala m. Pandangan wajahnya kemudian terle mpar ke kejauhan. Jawabnya lambat "Wajahku terla mpau jelek buat seorang pere mpuan" Anak muda itu tertawa "Kau terlampau perasa. Betapapun jeleknya wajah seorang laki-laki, tetapi itu tidak berarti menutup segala ke mungkinan untuk beristeri.
"Kau tida k pernah mengerti perasaanku, karena wajahmu tidak jele k" Anak muda itu masih saja tertawa. "Pergilah" desis anakmuda itu "mungkin pada suatu ketika aku me merlukan kau" Lamat menganggukkan kepalanya. Ke mudian ia me langkahkan kakinya kemba li kepekerjaannya. Memecah kayu bakar di hala man, dengan sebuah kapak yang besar dan bertangkai panjang. Sejenak anak muda itu me mandanginya. Kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya sambil melangkah, meninggalkan hala mannya, keluar regol dan menyusur di sepanjang jalan. Semula ia tidak tahu, kemana ia harus pergi. Namun tanpa disadarinya ia telah pergi ke kali, menyusul gadis-gadis yang sedang mencuci. Tetapi anak muda itu berhenti beberapa puluh langkah dari tepian. Ia menjadi ragu-ragu untuk mendekat, Kadang-kadang ia melihat seorang dua orang anak-anak muda berada di tepian itu juga dengan berbagai macam alasan. Ada yang mencuci cangkul, ada yang mencuci rumput yang baru disabitnya, atau mencuci apapun. Tetapi karena tidak seorangpun yang tampak, anak muda itu menjadi segan juga mende kat. Karena itu, maka iapun ke mudian melangkah ke mbali, berjalan dengan tergesa-gesa ke sawah ayahnya yang luas, untuk melihat orang-orangnya yang sedang bekerja. Sindangsari yang sedang mencuci itu sa ma sekali t idak menyadari, bahwa dirinya telah menarik banyak perhatian. Anak-anak muda. Karena itu, sikapnya sama sekali tidak berubah. Ia bersikap ra mah kepada siapapun, kepada anakanak muda yang manapun. Juga kepada anak muda anak pedagang ternak yang kaya itu, yang bernama Manguri, tetapi
juga dengan anak-anak muda yang tidak begitu kaya, bahkan dengan anak-anak muda yang miskin sekalipun. Itulah sebabnya, maka Sindangsari tidak segan-segan berhenti di pe matang apabila ia mendengar seruling seorang gembala yang seakan-akan menyentuh perasaannya. Meskipun gembala itu duduk di bawah sebatang pohon yang rindang tanpa me makai baju. selain sehela i kain yang lungset dan celana hitam yang longgar. Tetapi suara seruling itu sangat menarik perhatiannya, seperti kicau burung yang berloncatan di dahan-dahan. Lincah disela-sela desir angin yang le mbut me mbe lai batang-batang padi yang hijau. "Kehidupan dipedesan me mpunyai keindahannya tersendiri" desisnya "tenang, damai seakan-akan t idak diburu-buru oleh persoalan-persoalan yang me meningkan kepa la" Tetapi ketenangan hidup Sindangsari yang telah mulai mapan itu segera goyah. Adalah mengejutkan sekali ketika pada suatu hari seorang datang berumahnya. Seorang perempuan tua yang berpakaian rapi. "Aku diutus oleh angger Manguri Nyai" berkata perempuan itu kepada Nyi Wiratapa. "Siapakah angger Manguri itu?" bertanya Nyai Wiratapa itu. "Putera seorang pedagang ternak yang paling kaya di seluruh Ge mulung" Nyai Wiratapa mengangguk-anggukkan kepa lanya. "Aku diutus menyerahkan bingkisan ini kepada puteri Nyai yang bernama Sindangsari" Sepercik warna merah menyala di wajah perempuan itu. Dengan ragu-ragu ia bertanya "Apakah isi hingkisanitu?"
"Sepengadeg kain, baju dan kelengkapannya" "He" Nyai maksudnya?" Wirata terkejut bukan buatan. "Apakah
"Tida k apa-apa Nyai. Sekedar sebagai tanda persahabatan. Bukankah Nyai sedang dirundung oleh kesusahan karena kehilangan sua mi dan angger Sindangsari kehilangan ayah?" "Tetapi, tanda persahabatan itu berlebih-lebihan" "Jangan me mikirkan yang tidak-tidak" Nyai Wiratapa terdiam sejenak. Dipandanginya sebungkus bingkisan yang menurut keterangan perempuan yang me mbawanya berisi sepengadeg pakaian. Perempuan itu menarik nafas dalam-dala m. Tetapi ke mudian ia berkata "Terima kasih atas kebaikan hati angger Manguri. Tetapi maaf, bukan ma ksudku menolak tanda persahabatan. Namun saat ini aku belum dapat menerima nya. Anakku seorang gadis dan angger Manguri adalah seorang anak muda. Seandainya anakkkupun seorang anak muda seperti angger Manguri, ma ka aku akan menerimanya dengan senang hati" "O" pere mpuan itu mengerutkan keningnya maksud Nyai, Nyai tidak dapat menerima bingkisan ini?" "Maaf, saat ini belum" Perempuan itu menjadi tegang sejenak. Tetapi kemudian ia tersenyum "Nyai, adalah suatu kehormatan yang tidak ada taranya karena angger Manguri telah me mberikan bingkisan sebagai tanda keakraban itu" Nyai Wiratapa me mandang perempuan itu sema kin taja m. Senyumnya adalah senyum yang tidak wajar. Semakin la ma justru sema kin me muakkan. Agaknya perempuan tua itu salah menilai Nyai Wiratapa yang pernah hidup di da la m pergaulan yang lebih luas. Justru
perempuan tua yang mencoba tersenyum-senyum itulah yang sama sekali tidak dapat mengerti, siapakah lawan bicaranya. Kebiasaan yang dila kukan sebelumnya dengan tingkah laku yang dibuat-buat itu selalu berhasil. Tetapi terhadap perempuan-pere mpuan yang picik dan kurang dapat menanggapi keadaan. Bukan terhadap Nyai Wiratapa. "Jangan menyia-nyiakan kehormatan ini Nyai" desis perempuan tua itu sa mbil bergeser maju. Didorongnya bingkisan yang dibawanya sambil tertawa "Tidak akan ada seseorang yang berbaik hati seperti angger Manguri" Nyai Wiratapa menarik nafas dalam-dala m. Kemudian ia bertanya "Nyai, apakah tidak ada pamrih apapun di balik pemberian ini" "O, tentu tidak. Tentu tidak Nyai. Aku mengenal angger Manguri dengan baik. Anak itu sudah seperti anakku sendiri" jawab perempuan tua itu. "Jangan seperti sedang merayu anak perawan Nyai. Kita sudah cukup berpengala man. Aku pernah menjadi seorang gadis muda dan kaupun pernah. Bagaima na perasaanmu selagi kau seorang gadis re maja vang mendapat bingkisan dari seorang anak muda?" "Ah, kau berpikir terla mpau jauh. Itu berlebih-lebihan Nyai. Tetapi apabila perke mbangan persahabatan anak-anak kita akan sampai kesana, itu bukan persoalan kita yang tua tua lagi. Bukankah wajar sekali, bahwa pergaulan anak-anak muda akan sa mpai ke puncaknya dan diakhiri dengan perkawinan yang bahagia?" Nyai Wiratapa mengangguk-anggukkan kepa lanya. Jawabnya "Nah, bukankah itu tujuannya. Apapun yang kau lakukan, tetapi kau sedang diutus oleh angger Manguri untuk merayu anakku. Itulah" Semburat warna merah me mbayang di wajah pere mpuan tua itu. Belum pernah ia me ngala mi perlakuan yang de mikian
selama berpuluh-puluh tahun ia menja lankan tugasnya untuk berpuluh-puluh anak-anak muda. Karena itu ma ka sejenak ia justru terdiam. Meskipun bibirnya bergerak-gerak, tetapi tidak sepatah katapun yang diucapkannya. Sama sekali berbeda dengan kebiasaannya. Ia selalu banyak berbicara apabila ia sedang menghadapi seorang ibu dari seorang gadis yang sedang dibujuknya. Sambil tertawa dan tersenyum-senyum diserahkannya sebuah bingkisan ke tangan pere mpuan yang beranak gadis itu. Biasanya ia tidak gagal. Ia tahu pasti, ibu gadis itu akan merasa berhutang budi, sehingga dengan segala usaha ia akan mendorong gadisnya untuk menerima tawaran apapun dari anak muda yang berbudi, yang telah me limpahkan kebaikan hati kepadanya. Tetapi ibu yang dihadapinya kali ini ternyata agak berbeda, meskipun ia tahu pasti, bahwa janda inipun masih banyak me merlukan barangbarang serupa itu untuk mencukupi keperluan anak gadisnya karena penghasilan sawahnya yang tidak seberapa luas. "Nyai" berkata Nyai Wiratapa kemudian kepada perempuan tua itu "sekali lagi aku minta maaf. Sebenarnyalah bahwa aku sangat berterima kasih. Tetapi aku tidak ma u me macu perhubungan anakku dengan siapapun juga. Biarlah hati anakanak itu berke mbang dengan wajar. Apabila kelak ana kku tertarik oleh anggger Manguri, aku tidak akan keberatan. Tetapi biarlah se muanya berjalan sewajarnya" Wajah perempuan tua itu kini benar-benar menjadi merah. Ditatapnya Nyai Wiratapa dengan tajamnya. Tetapi perempuan tua itu kini sudah tidak lagi dapat me milih katakata yang paling manis. Debar jantungnya yang sema kin cepat itu me mbuatnya gemetar, sehingga kata-kata yang keluar dari mulutnya adalah kata-kata yang kasar "Kau menghina angger Manguri Nyai. Kalau kau tidak boleh anakmu bergaul dengan anak pedagang yang paling kaya itu, maka kau adalah janda yang paling bodoh. Bukan saja anakmu a kan menjadi menantu orang yang kaya raya itu tetapi kalau nasibmu baik, kau sendiri akan mendapat kesempatan menjadi isteri
pedagang kaya itu. Baru-baru ini isterinya yang kee mpat baru saja dicerainya, karena ia kedapatan mencuri beberapa helai kain, justru yang akan diberikan kepadanya sendiri" Terasa sebuah tamparan menyengat pusat syarat Nyai Wiratapa. Hampir saja ia t idak dapat mengendalikan dirinya. Tetapi sebagai seorang perempuan yang lebih bayak mengenal sudut-sudut penghidupan, maka ditahankannya hatinya. Dengan susah payah ia menjawab sareh "Terima kasih atas kebaikan hati itu. Tetapi maaf, bahwa semuanya aku tidak me merlukan. Sekarang aku persilahkan kau me mbawa barang-barang itu ke mba li kepada angger Manguri, meskipun aku tida k akan melarang anakku bergaul dengannya sebagai kawan se padukuhan" Perempuan tua itu sudah tidak dapat berkata apapun. Dihentakkannya bingkisan yang sudah diletakkannya di amben bambu itu, kemudian dengan wajah yang berkerut merut, tanpa minta ijin lagi ia segera berdiri dan me langkah keluar pintu. Meskipun de mikian Nyai Wiratapa masih mengantarkannya sampai ke muka pintu. Na mun ketika pere mpuan itu telah me lintasi hala man rumahnya dan turun kejalan, maka segera ia masuk ke mba li. Tanpa sesadarnya ia terduduk di amben sambil mengusap dadanya. Ia tidak berhasil me mbendungnya, ketika titik-titik air yang jernih me leleh di pipinya. Betapa pedihnya hidup menjanda, menghadapi orang-orang yang tidak berperasaan itu. Nyai Wiratapa cepat menyeka matanya ketika ia mendengar langkah kaki ayahnya. Sambil berdesah panjang orang tua itu melangkah masuk. Melepaskan caping bambunya dan menyangkutkannya di dinding, di sisi pintu. Kemudian meletakkan cangkulnya di sudut ruangan. "Panasnya bukan main" guma mnya.
Nyai Wiratapa segera mengha mpirinya. Semua kesan di wajahnya telah berhasil dihalaukannya. Sambil tersenyum ia menga mbil sebuah gendi berisi a ir "Ayah haus" desisnya. Orang tua itu menerima gendi dari tangan anaknya. Kemudian meneguknya. Segar sekali. "Dima na anakmu?" bertanya laki-laki tua itu. "Keluar, ayah" jawab Nyai Wiratapa. Laki-laki tua itu mengangguk-anggukkan kepa lanya. Kemudian sa mbil mengusap keringat di wajahnya yang sudah berkeriput ia berkata "Udara panas sekali. Sebaiknya anakmu tinggal di rumah" Nyai Wiratapa menganggukkan kepalanya "Ya ayah. Aku akan me mberitahukannya nanti" "Panas yang tajam dapat menimbulkan penyakit. Apalagi anakmu. Ia tidak biasa berada di sawah dan berje mur di terik matahari" "Ya ayah" Laki-laki tua itu mengangguk-anggukkan kepa lanya. Kemudian ia melangkah masuk keruang dala m. Se mentara ibu Nyai Wiratapa lagi sibuk menyiapkan ma kan di dapur. Namun se mentara itu, Sindangsari me mang lagi bermain bersama beberapa orangkawannya di pinggir desa. Beberapa orang gadis yang baru pulang dari sawah, berhenti sebentar untuk beristirahat dan bergurau. Tiba-tiba Sindangsari me ngangkat wajahnya ketika suara seruling la mat-la mat menyentuh telinga. Suara itu serasa langsung menyusup ke da la m dadanya. Dala m panasnya udara, suara me mberikan kesegaran di hatinya. seruling itu dapat
"Apa yang kau dengar?" bertanya seorang kawannya.
"Seruling. Siapakah yang meniup seruling itu?" jawab Sindangsari sa mbil bertanya pula. "Disini ha mpir setiap orang dapat meniup seruling. Akupun dapat. Ruri, Sasi, dan beberapa orang lainpun dapat pula" Sindangsari mengangguk-anggukkan kepa lanya. Ternyata gadis-gadis itu juga dapat meniup seruling. Tetapi bunyi seruling ini agak lain dari bunyi seruling yang sudah sering di dengarnya. Suara seruling ini seakan-akan sebuah alunan perasaan yang menga mbang dibawa angin menge mbara sampai ke batas yang jauh sekali. "Tetapi" berkata Sindangsari ke mudian"aku belum pernah mendengar suara seruling seperti ini. Lagu apakah yang dibawakannya?" "Entahlah. Agaknya ia asal saja me mbunyikan serulingnya tanpa patokan. Bukan Dandanggula, tetapi juga bukan yang lain. Mirip sedikit dengan Asmaradana dipermulaannya, tetapi ke mudian berpindah pada Pangkur. Agaknya ia tidak mengenal gending" "Ya. Tetapi justru dengan demikian perasaannya dapat bebas menge mbara didunianya. Tanpa kekangan yang dapat me mbatasi sayap-sayap yang sudah menge mbang, terbang tinggi di langit berlapis tujuh" Kawan-kawan Sindangsari mengerutkan keningnya. Tetapi merekapun ke mudian tersenyum "Kau lucu" Sindangsari yang se mula bersungguh-sungguh, ke mudian tersenyum pula. "Suara itu datang dari balik gerumbul di pinggir parit di sudut pategalan itu" tiba tiba salah seorang kawannya berdesis. "Siapakah yang sering berada di sana?"
"Anak-anak kecil sering mengge mba la ka mbing di sana. Kadang-kadang kakak mere ka yang sedang beristirahat dari kerja mereka di sawah, berteduh pula di sana" "O, aku tahu" sahut yang lain "yang sering bermain seruling di sudut pategalan itu adalah Pa mot" "Tida k hanya Pa mot, juga Windan dan Wisesa" Gadis-gadis itu tersenyum, sedang Sindangsari menarik nafas dalam-dala m. Katanya "Jadi yang berma in seruling itu mungkin Pa mot, mungkin Windan dan mungkin pula Wisesa" "Mungkin yang lain lagi" sahut kawannya. Dan gadis-gadis itupun tertawa. Tetapi suara tertawa mereka segera terputus ketika mereka me lihat sesosok tubuh meloncat pe matang di sisi batangbatang jagung muda. Ketika orang itu berada di pinggir jalan, barulah mereka je las, bahwa yang meloncati pe matang itu adalah Manguri. "He, Manguri" desis seorang gadis. "Ya. Darimana dia?" "Tentu dari sawahnya" Sindangsari mengerutkan keningnya ketika kemudian ia me lihat kawan-kawannya kemudian bersikap la in. Ada yang dibuat-buat, tetapi ada juga yang justru menundukkan kepalanya. Ketika anak muda. itu, lewat di hadapan mereka, maka salah seorang kawannya menegur dengan ra mahnya "Darimana kau Manguri?" Langkah Manguri terhenti. Sambil tersenyum ia menjawab "Dari sawah" "Matahari terlampau terik. Kenapa kau me merlukan pergi ke sawah juga?" bertanya yang lain.
"Apa salahnya. Anak-anak muda yang lain juga pergi ke sawah" Tetapi kau tida k perlu. Kau dapat mengupah orang. Ayahmu terla mpau kaya" Manguri tertawa. Jawabnya "Itu adalah pikiran yang salah. Bagaimanapun juga a ku harus belajar bekerja. Kalau t idak, maka ke kayaan ayah nanti pasti akan segera habis. Aku justru harus menge mbangkannya" Gadis-gadis itu mengangguk-anggukkan kepa lanya. Dengan tatapan mata kekaguman mere ka me mandang senyum Manguri yang jernih itu. Dan tiba-tiba ia bertanya "Kenapa kalian disini?" "Beristirahat. Panasnya bukan main" "Di sebelah ada penjual dawet cendol aren. Kalian dapat minum di sana" "Darimana ka mi akan me mbayar?" tiba-tiba salah seorang gadis me motong dengan manjanya. Manguri tersenyum. Ke mudian tangannya dimasukkannya ke dala m sakunya. Katanya "Ini ada beberapa keping uang. Cukup buat me mbe li dawet cendol. Berebutan gadis-gadis itu meloncat maju menerima uang dari tangan Manguri. Salah seorang yang paling dahulu berteriak "Aku yang diberinya" "Buat ka lian semua" desis Manguri. "Terima kasih" Manguri mengangguk-anggukkan kepalanya. Senyumnya yang cerah masih saja menghiasi bibirnya. Namun ke mudian tanpa berkata sepatah katapun juga ia me langkah pergi.
Tetapi beberapa langkah kemudian ia berpaling. Kali ini ia berusaha menatap salah satu saja dari wajah gadis-gadis yang sedang kegirangan itu. Sindangsari. Tanpa sesadarnya Manguri menarik nafas dalam-da la m. Wajah itu me mang tidak terpaut banyak dari gadis-gadis cantik di Ge mulung. Tetapi Manguri me lihat kela inan pada wajah itu. Namun Manguri ke mudian meneruskan langkahnya. Ditingga lkannya gadis-gadis yang sedang berebut uang beberapa keping itu . "Aku, aku saja yang me mbawa" gadis yang menerima uang itu me mpertahankan. "Bagi, bagi saja" Yang agak lebih dewasa ke mudian berkata "Kita pergunakan bersama-sama. Mari, kita pergi ke penjual dawet itu. Dawet dengan cendol dan legen aren" Gadis itupun ke mudian berlari-larian pergi ke sebelah tikungan. Tetapi langkah merekapun ke mudian tertegun. Ternyata diantara gadis-gadis itu, seseorang tidak ikut berlari-lari. Bahkan dengan termangu-mangu ia me mandangi kawankawannya yang seakan-akan telah melupakan panasnya udara yang telah me meras pe luh mere ka. "He Sari, Mari, kita minum" Sindangari menggelengkan kepalanya sambil menjawab "Aku tida k haus" "He, udara begini panas. Alangkah segarnya kita minum dawet cendol" Sekali lagi Sindangsari menggelengkan kepalanya. Katanya "Silahkan"
"Kenapa kau" Ma lu?" "Tida k. Tetapi kepalaku sering menjadi pening apabila aku minum air tawar di udara yang begini panas" Kawan-kawannya saling berpandangan sejenak. Namun salah seorang dari mereka berkata "Cobalah. Beginilah kehidupan ka mi di Ge mulung. Mungkin me mang agak berbeda dengan di kota Mataram" "Tida k. Bukan begitu" sahut Sindangsari cepat-cepat "bukan maksudku berkata begitu. Tetapi itu adalah sekedar kebiasaan saya sendiri, karena kele mahanku. Aku tidak tahan minum air mentah apabila keringatku sedang menga lir sebanyak ini" Sekali lagi gadis itu saling me mandang, ke mudian salah seorang dari mereka berkata "Ba iklah. Tunggulah di situ atau kau ikut ka mi ke sebelah tikungan" Sindangsari menganggukkan kepa lanya. Tetapi ia tidak beranjak. Dipandanginya kawan-kawannya yang hilang di balik tikungan. Gadis itu menjadi heran me lihat sikap kawan-kawannya. Apakah ini me mang sudah me njadi kebiasaan mereka, menerima pe mberian Manguri" Tetapi itu tidak ba ik baginya. Ia tidak boleh menerima pe mberian begitu saja. Apalagi dari seorang anak muda. Karena itu, betapapun ia menahan haus, tetapi ia tidak beranjak dari tempatnya. Bahkan ke mudian dicarinya tempat di bawah sebatang pohon rindang, untuk duduk beristirahat sambil bersandar batangnya. Dipandanginya cahaya terik matahari yang seakan-akan me mba kar dedaunan. Di kejauhan tampak seakan-akan uap air yang me menuhi udara. Menggelepar kepanasan. Bahkan seakan-akan tampak bayangan lamat-la mat meloncat-loncat seperti berpijak pada bara. Endeg panga mun-a mun. Sindangsari menarik nafas dala m-dala m. Tetapi ia tidak beranjak dari tempatnya. Panas udara serasa semakin
me mba kar kulitnya, sedang kawan-kawannya yang sedang pergi me mbe li dawet aren masih juga belum ta mpak ke mba li. "Haus sekali" desisnya. Tetapi untuk ikut bersama kawankawannya Sindangsari masih belum sa mpai hati. Namun tiba-tiba Sindangsari mengangkat wajahnya. Lamatla mat ia mendengar suara seruling. Se makin la ma menjadi semakin de kat. Seolah-olah seruling yang mendendangkan kidung yang segar itu sedang terbang melayang mende katinya. Tetapi akhirnya suara seruling itu tidak lagi bergerak di tempatnya, meskipun suaranya menjadi se makin je las terdengar. Sindangsari perlahan-lahan berdiri. Ditajamkannya telinganya untuk me ngetahui, darimanakah arah suara seruling itu. "Agaknya tidak terla mpau jauh" katanya kepada diri sendiri. Tanpa sesadarnya Sindangsari itupun berkisar dari tempatnya. Selangkah demi selangkah ia berjalan menyusur jalan di pinggir desa sepanjang rimbunnya dedaunan. Kadangkadang ia berhenti termangu-ma ngu. Namun suara seruling yang anehku menarik perhatiannya. Justru karena lagu yang dibawakannya tidak terikat oleh bentuk-bentuk yang sudah ada. Ketika Sindangsari sampa i di sudut desa. Ia melangkah sebuah parit kecil. Kemudian disusunnya tanggul parit yang me mbujur di sepanjang pagar batu. Suara seruling itu me njadi se makin dekat" guma mnya "aku pergi ke arah yang benar" Namun akhirnya ia terhenti. Ia menjadi ragu-ragu. Apakah ia akan berjalan terus mencari sumber suara itu" Apakah itu baik". Beberapa langkah lagi" desisnya.
"Apakah salahnya?" ia bertanya kepada dirinya. "Suara seruling itu sangat menarik" Sindangsari menarik nafas dalam-dala m. Tetapi seperti di tarik oleh sebuah pesona yang tidak dimengertinya, Sindangsaripun ke mudian me langkah terus. Ia tersadar ketika tiba-tiba saja suara seruling itu berhenti. Alangkah terkejutnya gadis itu ketika tiba-tiba saja ia mendengar seseorang menyapanya. Hampir saja ia me loncat terjun ke dala m parit yang menga lirkan air yang ge mericik bening. "Sindangsari" terdengar suara yang berat dari balik pagar batu "ke mana kau?" Sindangsari berpaling. Dilihatnya sebuah kepala tersembul dari balik pagar batu beberapa langkah di hadapannya. "Oh" Sindangsari menarik nafas dalam-dala m "kau me mbuat aku sangat terkejut. Hampir saja aku lari tunggang langgang" Seorang anak muda muncul dari balik pagar. Di tangannya tergenggam sebatang seruling yang panjang. "Kenapa kau menyusuri parit itu he" Apakah sawah kakekmu kering?" bertanya anak muda itu. Sindangsari bingung sesaat. Tetapi ke mudian ia mengge lengkan kepalanya sambil berkata "Tidak. Aku tidak sedang mencari air" "Lalu, kenapa kau menyusur tanggul itu?" Sindangsari menarik nafas dalam-dala m. Tetapi ia tidak menjawab pertanyaan itu. Bahkan ialah yang kemudian bertanya "Kaukah yang baru saja bermain dengan serulingmu itu?" Anak muda itu mengerutkan keningnya. Diamat-a matinya seruling di tangannya seakan-akan baru pertama kali itu di lihatnya.
"Apakah anehnya?" "Tida k apa-apa. Tetapi cara mu meniup seruling acak berbeda dengan kawan-kawanmu yang la in" "Apakah bedanya?" "Kau tida k mengikut i ikatan-ikatan gending yang sudah ada" Anak muda itu tertawa. Katanya "Mungkin aku me mang tidak dapat me maha mi gending-gending itu. Tetapi mungkin juga karena aku tidak puas dengan ikatan-ikatan yang ada" "Itulah yang menarik" Anak muda itu menarik nafas dalam-dala m. Tiba-tiba ia berkata "Ke marilah. Ha la man ini adalah hala man kakekku. Karena kakek sudah terla mpau tua dan tingga l bersa ma ayah dan ibu, maka hala man ini menjadi kosong" Sindangsari berpikir sejenak. Tetapi kemudian ia mengge lengkan kepalanya "Terima kasih. Ka lau ada waktu, biarlah lain kali saja a ku datang" "Kenapa tidak sekarang?" "Kau sendiri?" "Ya" "Terima kasih" Anak muda itu mengerutkan keningnya. Dengan heran ia bertanya "Lalu apakah ma ksudmu sebenarnya?" "Tida k apa-apa. Hanya sekedar ingin tahu" "Kau aneh. Aku t idak dapat mengerti" Sindangsari tidak segera dapat menjawab. Ia sendiri menjadi bingung apa yang harus dilakukannya. Sementara itu anak muda itu telah meloncati dinding batu dan berdiri di hadapannya.
"Aku akan pulang" guma m Sindangsari. "He" anak muda itu menjadi semakin heran "lalu apakah kepentinganmu dengan suara seruling itu?" "Hanya ingin tahu. Sindangsari tidak menunggu jawaban anak muda itu lagi. Segera ia me mutar tubuhnya dan berjalan tergesa-gesa meninggalkan anak muda yang keheranan sambil mengge leng-gelengkan kepalanya. Ketika Sindangsari meloncati parit kecil di pinggir desa itu, terdengarlah suara kawan-kawannya hampir berbareng "Itu. itulah Sindangsari" Dan yang la in berteriak "Sari, darima na kau?" Sindangsari t idak segera menjawab. Dengan tergesa-gesa ia pergi mendapatkan kawan-kawannya. "Darimana kau he?" bertanya salah seorang dari mereka. "Mencuci kaki diparit itu. Panasnya bukan ma in" "Apakah baru sekarang kau sadari" Salahmu. Kau tidak mau minum bersa ma ka mi. Alangkah segarnya" "Salahmu" sahut yang la in. Sindangsari tersenyum. Jawabnya "Justru karena panasnya bukan main itulah aku tida k berani minum air mentah. Bukankah sudah a ku katakan?" Kawan-kawannya mengangguk-anggukkan kepa lanya. Kemudian salah seorang dari mereka bertanya "Sekarang, setelah kita tidak haus lagi, ke mana kita pergi" Apakah kita akan ke mbali ke sawah?" "Tida k" sa lah seorang menyahut sa mbil mengge lengkan "aku segan"
"Kalau a ku, mau tidak mau harus ke mbali lagi ke sawah. Biyungku ada di gubug itu. Ia pasti akan menunggu aku sampai aku datang kesana" "Kenapa kau sekarang berada disini?" "Panas sekali. Aku tidak tahan berada ditengah-tengah sawah meskipun di dala m gubug" "Bohong" jawab yang lain lagi "kau tahu Manguri akan lewat disini" "Ah, tentu tidak. Siapa tahu ia akan lewat disini. Aku t idak tahu bahwa ia ada di sawahnya" "Bohong, bohong" yang la in ha mpir berbareng. Dan gadis itu menjadi merah pada m. "Sudahlah, jangan mengganggu. Aku akan ke mbali ke sawah" "Sebentar lagi Manguri akan menyusul" "Embuh ah" dan gadis itupun ke mudian dengan tergesagesa meninggalkan kawannya. Tetapi beberapa langkah ia berpaling sa mbil mela mba ikan tangannya. Sindangsari sa ma sekali tida k ikut di dala m sendau gurau itu. Ia masih belum terbiasa dengan gadis-gadis kawan sepermainannya. Hubungannya masih terbatas meskipun semakin la ma menjadi se makin akrab. Tanpa prasangka apapun ia bertanya kepada salah seorang kawannya "Apakah menjadi kebiasaan Manguri me mbagikan uangnya?" "Sering benar ia berbuat demikian" jawab salah seorang gadis "ia terlalu baik" ulang Sindangsari. "Ia tidak pernah mendenda m" desis yang lain "ketika ia ditinggal oleh kekasihnya yang dahulu, ia sama sekali tidak menuntut apapun. Baik dari gadis itu, maupun dari laki-la ki yang melarikannya"
Sindangsari mengerutkan keningnya. Apalagi ketika yang lain menyambungnya "Sudah lebih dari tiga ka li ia dit inggal oleh gadis-gadis yang se mula tampa knya akrab sekali. Ketiganya dilarikan oleh laki-laki lain setelah mereka mendapat terlampau banyak dari Manguri" "Sa mpai t iga ka li dan bahkan lebih?" "Ya. Dan Manguri sama se kali t idak bersedih karenanya. Meskipun untuk sehari dua hari ia t idak keluar dari ruma hnya" Sindangsari mengangguk-anggukkan kepalanya. Di dala m hatinya ia berkata "Itulah agaknya sebabnya, kenapa Manguri senang sekali bergaul dengan gadis-gadis. Agaknya ia ingin me lupakan yang telah hilang itu" "Kasian anak muda itu"terdengar suara seorang gadis dalam nada yang rendah. Kawan-kawannya berpaling kepadanya, dan seorang berkata "He, apakah kau ingin menggantikan yang hilang itu?" Jawabnya benar-benar di luar dugaan Bukankah kita sa ma-sama menginginkannya?" Sindangsari
"Ah" gadis-gadis itu mengerutkan keningnya. Na mun ke mudian mereka tertawa hampir me ledak. Sindangsari tidak dapat ikut tertawa, karena ia tidak mengerti apakah yang harus ditertawakannya. Bahkan ia menaruh iba terhadap Manguri yang sudah tiga kali bahkan lebih kehilangan kekasihnya. "Marilah kita pergi ke sawah" berkata salah seorang gadis diantara mereka. "Marilah. Kalau nasib kita baik, kita akan berte mu lagi dengan Manguri. Di tengah-tengah bulak itu ada penjual rujak nanas"
Beberapa orang diantara mereka berpikir sejenak. Dan hampir berbareng mereka berkata "Mari, mari kita pergi ke sawah" Sindangsari menjadi ragu-ragu. Ia tidak me mpunyai banyak kepentingan di sawah. Apalagi panasnya liukan ma in. Ia tidak biasa berada di teriknya matahari, meskipun ia mencoba untuk menyesuaikan diri. Tetapi kadang-kadang kepalanya masih terasa pening. Dan belum lagi ia mendapat keputusan, dilihatnya seorang laki-laki tua berjalan sambil me manggul cangkul di pundaknya. Di kepalanya tersangkut sebuah caping ba mbu yang kasar. Laki-laki itu adalah kakeknya. "Itu ka kek" desisnya. Kawan-kawannya me mandang serentak kepada laki-laki tua itu. Salah seorang diantara mereka berkata "Nah, kau dapat bersama-sama dengan kakekmu" Sindangsari me nganggukkan kepalanya. Tetapi ketika laki-laki tua itu sampai ke tempatnya, maka iapun berkata "Pulanglah Sari. Ibumu menunggumu" Sindangsari mengerutkan keningnya. Jawabnya "Aku akan pergi ke sawah bersa ma kawan-kawan ka kek" Kakeknya berhenti sejenak. Dipandanginya gadis-gadis yang ada di sekitarnya. Gadis Ge mulung. Gadis-gadis yang telah biasa berada di terik matahari, sehingga kulit mereka menjadi merah te mbaga. Na mun karena kebiaaan mereka bekerja, tubuh merekapun menjadi ketat berisi. Tetapi kakek tua itu berkata "Pulanglah. Kau harus me mbiasakan dirimu sedikit de mi sedikit, supaya kau tidak sakit" Sindangsari menjadi kecewa. Tetapi ia tidak berani me mbantah. Karena itu, maka ia berdesis kepada kawankawannya "Aku akan pulang"
Kawan-kawannya mengangguk-anggukkan kepala mereka. Mereka menyadari bahwa Sindangsari tidak dapat melanggar pesan kakeknya. Karena itu, maka Sindangsari tidak ikut bersama dengan gadis-gadis itu ketika mereka berjalan berjingkat-jingkat di panasnya matahari yang seakan-akan telah memba kar debu di jalan-jalan. Kini yang berdiri di hadapannya tinggallah kakeknya. Dengan mengusap keringat di keningnya laki-la ki tua itu berkata "Kau be lum biasa me mba kar diri di terik matahari Sari. Pulanglah" Sindangsari me ngangguk "Ya kake k" Maka ketika kake knya meneruskan perjalanannya sawah, Sindangsaripun kemudian berjalan pulang rumahnya. ke ke
Belum lagi ia duduk ketika ia me masuki ruang depan rumahnya, ibunya telah bertanya kepadanya "Darimana kau Sari?" "Dari sudut desa ibu. Bermain-ma in dengan kawan-kawan" Ibunya me mandanginya dengan sorot mata yang aneh. Sorot mata yang seolah-olah belum dikenal oleh Sindangsari. Tetapi Sindangsari tida k berani bertanya. "Keringat mu terla mpau banyak Sari" berkata ibunya sa mbil mengusap keningnya perlahan-lahan "kau dapat menjadi sakit karenanya. Wajahmupun jadi merah seperti terbakar. Apakah kau berje mur di panas matahari?" "Tida k ibu. Aku berada di te mpat yang teduh. Tetapi udara me mang panas sekali" "Lain ka li jangan terlalu la ma pergi" Sindangsari me ngangguk-anggukkan kepa lanya.
Di pojok desa aku bermain-main dengan kawan-kawan" berkata Sindangsari "mereka sedang beristirahat sebentar" "Apakah yang mereka kerjakkan?" bertanya ibunya. "Maca m-maca m" jawab Sindangsari "ada yang menunggui padi yang sedang bunt ing. Ada yang mengirimkan makanan ke sawah. Ada yang bermain-main saja" Ibunya mengangguk-anggukkan kepalanya. "Anak-anak muda juga banyak yang beristirahat di pojok desa dan di pojok pategalan. Mereka berma in seruling bu. Alangkah merdunya" "Siapa?" Hampir se mua ana k-anak muda dan gadis-gadis Ge mulung dapat bermain seruling" Ibunya mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan tiba-tiba ibunya mengerutkan keningnya ketika anaknya berkata "Manguri juga lewat di pojok desa itu" "Manguri?" ulang ibunya. "Ya. Anak pedagang ternak yang kaya itu. Ia sangat baik" Kerut-merut di wajah ibunya menegang. Dengar nada yang datar perempuan itu bertanya "Apakah yang telah di la kukan?" "Me mbagi uang" "Me mbagi uang" mata ibunya terbelalak karenanya "Kau diberinya juga?" Sindangsari mengge lengkan kepalanya "Tidak. Aku tidak ikut me miliki pe mberian itu. Kawan-kawan me mbeli dawet aren beramai-ra mai dengan uang pe mberian Manguri. Tetapi aku tidak mau" "Bagus Sari. Kau harus bersikap de mikian. Tidak ba ik menerima pe mberian orang tanpa alasan"
"Tetapi Manguri biasa berbuat demikian. Ia me mang anak yang baik bu. Baik sekali. Ramah dan tida k kikir" Ibunya tidak segera menjawab. Di tatapnya saja wajah anaknya dengan saksama. "Ha mpir se mua kawan-kawan mengatakan tentang Manguri. Bahkan ia tidak mendenda m ketika kekasihnya lari bersama la ki-laki la in" "Ah. Kau mengerti terla lu banyak tentang anak muda itu" "Kawan-kawan menceriterakan tanpa aku minta" "Ibunya menarik nafas dalam-dala m. Ke mudian katanya "Sudahlah. Sebaiknya kau beristirahat. Kalau sudah kering keringat mu, pergilah mencuci muka. Kau belum makan bukan?" Sindangsari menganggukkan kepalanya. Ke mudian iapun pergi ke sumur untuk me ncuci mukanya. Setelah ma kan siang. Sindangsari pergi ke kebun di belakang rumahnya. Di bawah pohon yang rindang ia me mbentangkan sehela i tikar pandan. Kemudian di lingkarkannya sehelai tali di pinggangnya bertaut dengan ujung kakinya. Sejak ia kembali ke padukuhan Gemulung ia sudah me mpe lajari cara-cara menganyam tikar, dan agaknya Sindangsari cepat dapat mengerti. Meskipun demikian, meskipun jari-jarinya yang panjang telah me megang helai-he lai pandan yang sudah mulai teranyam, namun kali ini, tangan itu sama sekali tidak bernafsu untuk bergerak. Sekali-sekali terbayang wajah kawan-kawannya dipermainkan di pojok desa. Wajah Manguri yang tersenyum cerah. Kemudian suara seruling yang menga lun di sela-sela desau angin yang panas. "Hal yang tidak pernah aku ala mi di kota" desisnya.
Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya Sindangsari merenungi dedaunan yang bergerak-gerak dibelai angin. Kadang-kadang terasa sentuhan daun-daun kering yang jatuh menimpanya. Angin yang silir telah me mbuatnya mengantuk. Tanpa sesadarnya kadang-kadang kepalanya tertunduk. Namun ke mudian ia terkejut dan berusaha me mbuka matanya selebar-lebarnya. "Kau le lah Sari" terdengar suara ibunya dari pintu belakang dapur. Sindangsari berpaling sa mbil tersenyum "Udara me mbuat aku sangat mengantuk. "Tidurlah" Tetapi Sindangsari me nggeleng "Tida k ibu. Itu akan menjadi kebiasaan" Ibunya tersenyum pula. Perlahan-lahan ia berjalan mende kati anaknya dan ke mudian duduk di sa mpingnya. Perlahan-lahan tangannya me mbelai ra mbut anaknya yang hitam. "Sari" berkata ibunya ke mudian "kau sudah menjadi semakin besar" Sindangsari me ngerutkan keningnya. "Kau sekarang sudah menjadi gadis re maja" Sindangsari masih belum menyahut. Dan ibunya berkata terus "Dengan demikian kau harus menyadari, bahwa seandainya bunga, kau sudah ha mpir mekar" "Ah" gadis itu berdesah. Ibunyapun menarik nafas dalam-da la m. Tetapi iiba-tiba saja ia menjadi ragu-ragu untuk mengatakan bahwa Manguri telah menyuruh seseorang datang memberikan hadiah kepadanya.
Kesan yang ditangkap oleh Nyai Wiratapa dari ceritera anaknya tentang Manguri telah me mbuatnya bimbang. Mungkin anak itu me mang baik. Mungkin Kegagalannya yang berulang ka li itulah yang me mbuatnya berlaku aneh. "Tetapi cara itu sama sekali tidak aku sukai" berkata Nyi Wiratapa di dala m hatinya "aku lebih senang perhubungan yang wajar di antara mereka. Tetapi dengan menyuruh perempuan tua itu datang ke ruma h ini, penilaianku terhadap Manguri menjadi lain" Dan Nyai Wiratapa me mang tidak dapat menghapuskan kesan itu. Meskipun ia belum mengenal Manguri dari dekat, tetapi ia sudah tida k menyuka inya. Dala m keragu-raguan itu ia mendengar Sindangsari berkata "Ibu, pada suatu saat, aku ingin berbuat seperti kawan-kawan di padukuhan ini. Menyampaikan makanan ke sawah, atau me mbantu me nunggui padi. Bahkan beberapa orang kawankawanku dapat juga menyiangi tanaman dan menunggu a ir" Ibunya mengangguk-anggukkan kepalanya "Sedikit de mi sedikit kau a kan dapat menyesuaikan dirimu Sari. Tetapi tidak dengan tiba-tiba. Kau harus me mbiasakan dirimu lebih dahulu" "Aku tidak mau disebut anak manja ibu. Apalagi kakek seakan-akan bekerja sendiri di sawah. Sedang kakek sudah tua. Apakah salahnya kalau aku bekerja seperti kawankawanku yang lain" Aku bukan anak orang kaya" Nyai Wiratapa mengangguk-anggukkan kepalanya "Bagus Sari. Kau me mang anak yang baik. Tetapi kau harus menyesuaikan ke ma mpuanmu. Aku tidak berkeberatan, bahkan aku senang melihat kau bekerja di sawah kelak, apabila kau sudah ma mpu me lakukannya" "Tentu aku akan ma mpu ibu. Sedang Manguri, anak pedagang yang kaya raya itupun bekerja pula di sawah. Katanya tidak baik orang bermalas-malas. Betapapun
kekayaan tertimbun di rumah, tetapi kekayaan itu kelak akan habis. Nyai Wiratapa mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Ternyata Manguri menyadari kewajibannya meskipun ia anak seorang yang kaya raya. "Bukankah begitu ibu?" "Tentu, tentu Sari. Pada saatnya kau akan bekerja pula di sawah" Sindangsari tersenyum. Kemudian di pandanginya anyaman tikar yang sudah di mula inya. Sesaat kemudian jari-jarinya telah mulai menari, me mpermainkan helai-he lai pandan yang putih. Selarik de mi selarik tikar itupun seakan-akan tumbuh menjadi tikar pandan yang semakin lebar meskipun belum begitu halus. Ibunya yang duduk di sa mpingnya masih saja bimbang. Apakah ia harus mengatakannya kepada Sindangsari bahwa ada seorang utusan Manguri yang datang untuk menyerahkan sepengadeg pakaian". "Anak ini sudah dewasa" katanya di dalam hati ia harus mulai mengerti persoalan-persoalan yang me nyangkut dirinya" Karena itu, maka dengan hati-hati Nyai Wiratapa mengatakan, apa yang terjadi, selagi ia tidak berada di rumah. "Perempuan itu adalah utusan Manguri" berkata ibunya ke mudian. Sindangsari terkejut. Tetapi sepercik kebanggaan mengge lora di dadanya. Ia ternyata mendapat perhatian jauh lebih banyak dari kawan-kawannya, justru Kawan-kawannya yang ingin dekat dengan anak muda itu. Teringat olehnya salah seorang kawannya yang menjadi ke merah-merahan ketika kawan-kawannya wanita lain mengganggunya, dan menghubung-hubungkannya dengan Manguri.
"Tetapi ternyata akulah yang mendapat perhatian lebih banyak dari mereka; Mereka hanya mendapat uang pe mbe li dawet cendol aren. Tetapi aku mendapat sepengadeg pakaian" Namun ibunya justru menjadi ce mas me lihat kesan vaug tersirat di wajah gadis itu. Karena itu, maka iapun segera menya mbung "Tetapi Sari, Sudah tentu ibu tidak dapat menerima nya" Sekali lagi Sindangsari terkejut. Dan ia mendengar ibunya menje laskan "Itu tidak baik. Seorang gadis menerima pemberian seorang anak muda. Kau sudah bersikap benar, bahwa kau tidak ikut me mbe lanjakan uang pe mberiannya. Dan kaupun tidak akan dapat menerima pe mberian-pe mberian yang lain" Sindangsari me nundukkan kepalanya dala m-dala m. Kau harus tahu Sari, bahwa pemberian serupa itu pasti me mpunyai pa mrih" Sindangsari t idak me nyahut. Tetapi hal itu di sadarinya. "Cobalah mengerti, kenapa ibu menolak pe mberian itu. Bukan karena ibu tidak senang me lihat kau berpakaian baik. dan mahal. Tetapi, pakaian itu akan mengikat mu. Mengikat perasaanmu" Sindangsari tida k menjawab. Bahkan kepalanya menjadi semakin tertunduk. "Itulah yang ibu ma ksudkan. Kau sudah menjadi dewasa sekarang. Anak-anak muda mula i me mandangmu dari sudut yang lain. Bukan sekedar kawan bermain kejar-kejaran lagi" Sindangsari seakan-akan justru me mbisu. Dan ibunyapun mengerti, bahwa Sindangsari tida k akan mengatakan apapun juga. Karena itu sambil mengusap dahi gadisnya yang berkeringat Nyai Wiratapa berkata "Kau harus menjadi semakin berhati-hati"
Tanpa sesadarnya kepala gadis itu terangguk kecil. "Nah, teruskanlah anyamanmu. Ibu akan me mbantu nenek di rumah" Sindangsaripun ke mudian dit inggalkannya sendiri, duduk di bawah pohon yang rindang di kebun rumahnya. Tetapi ke mbali tangannya seakan-akan me mbeku. Helai-helai pandan di tangannya sama, sekali sudah tidak bergerak lagi. Sedang tatapan matanya jauh hinggap pada bayangan matahari yang bermain-main di atas tanah yang kering. Sindangsari tida k menyadari, betapa lama ia duduki termenung. Ia terperanjat ketika ia mendengar derik sapu lidi di hala man depan. Ternyata neneknya sudah mulai menyapu halaman. Adalah kebiasaannya membantu neneknya dengan me mbersihkan kebun belakang. Karena itu, iapun segera me mbenahi anyamannya yang hampir tidak bertambah sa ma se kali. Dimasukkannya helaihelai pandan yang putih ke dalam bakul. Ke mudian disimpannya se muanya itu di da la m biliknya. Dan sejenak ke mudian Sindangsari telah me megang sebuah sapu lidi dan ambil terbungkuk-bungkuk ia me mbersihkan kebun di belakang rumahnya. Sindangsari menarik nafas dalam-da la m ketika ia melihat ibunya me mbawa kelenting di la mbung, mengusung air dari sumur ke dala m dapur. Sepercik perasaan iba menyentuh pusat jantungnya. Tetapi ke mudian terdengar desah lirih "Ka mi harus bekerja keras. Jangankan kami, sedang Manguri anak seorang yang kaya raya itupun bekerja dengan keras pula" Dengan de mikian ma ka tangannyapun segera bergerak ke mbali, mengayun-ayunkan sapu lidinya dan beringsut setapak demi setapak maju. Ketika ia menyimpan sapu lidi di sisi dapur, maka dilihatnya kakeknya sudah ada di ruma h. Laki-laki itu sedang sibuk
me mbersihkan la mpu minyak di longkangan belakang. Tampaklah keringatnya masih me mbasah di punggung dan keningnya. "Kakek baru pulang dari sawah?" bertanya Sindangsari. Kakeknya berpaling, ke mudian angguk "Ya Sari. Aku baru pulang" kepa lanya terangguk-
Sindangsari me nengadahkan kepalanya. Dilihatnya warnawarna senja yang tersangkut di dedaunan. Dan sekali lagi ia berdesah di dala m hati "Ka mi me mang harus be kerja keras" Sejenak ke mudian setelah se mua pe kerjaan selesai, barulah mereka seorang demi seorang mandi. Ke mudian seperti hampir di setiap sore, mereka duduk-duduk di amben bambu, melingkari mangkuk-mangkuk makanan yang sederhana. Tetapiv Sindangsari kali ini agak berubah dari kebiasaannya. Ia tidak banyak berbicara dan bertanya tentang bermaca m-maca m persoalan. Begitu ia selesai makan, maka iapun segera minta ijin untuk masuk ke dala m biliknya. "Kenapa kau Sari" bertanya neneknya. "Kepalaku agak pening nek" jawab gadis itu. "Nah" sahut kakeknya "itulah akibatnya. Kau terlampau la ma berjemur di terik matahari siang tadi. Ingat Sari, kau belum biasa diba kar oleh udara sepanas itu" Sindangsari me nganggukkan kepalanya. "Di dala m geledeg masih ada beberapa buah jeruk dan segumpa l enjet. Lekatkan sepotong jeruk enjet di keningmu. Mudah-mudahan pening kepa la mu segera sembuh" berkata neneknya. Sindangsari me ngangguk.
"Marilah Sari" ajak ibunya "aku bantu kau mengobati peningmu itu" Sekali lagi Sindangsari me ngangguk. Keduanyapun kemudian berdiri. Ibunya menga mbil pisau di dapur dan Sindangsari menga mbil sebuah jeruk pecel di geledeg dan sedulit enjet putih. Setelah me mbantu Sindangsari sejenak, dan me mbaringkannya di pe mbaringannya, maka Nyai Wiratapapun kembali duduk-duduk di a mben bersa ma ayah dan ibunya untuk berbincang. Di pe mbaringannya Sindangsari sa ma sekali tida k dapat me meja mkan matanya. Sekali-sekali dipandanginya nyala la mpu minyak kelapa yang ke kuning-kuningan. Lamat-la mat ia mendengar ibunya masih berbicara perlahan-lahan dengan kakek dan neneknya. Tetapi betapapun ia mencoba menangkap pe mbicaraan mereka, namun ia tidak berhasil sa ma sekali. Sepatah katapun tidak ada yang dapat di dengarnya dengan jelas. Sehingga akhirnya Sindangsari tidak menghiraukannya lagi, meskipun kadangkadang timbul keinginannya untuk ikut berbicara diantara mereka seperti hari-hari sebelumnya. Tetapi ia sudah terlanjur minta diri dan mengatakan kepada mereka bahwa kepalanya sedang pening. Karena itu, ma ka Sindangsaripun tetap berbaring di tempatnya. Namun angan-angannya tidak dapat dibatasinya. Dite mbusnya dinding-dinding ruangan yang se mpit itu, menerawang jauh sekali tanpa batas. Terbayang semuanya yang terjadi di siang hari. Manguri yang tersenyum cerah. Gadis-gadis yang manja dan kepingkeping uang yang di berikan oleh anak pedagang yang kaya raya itu.
Sindangsari menarik nafas dalam-dala m. Terbersitlah sebuah kekecewaan di hatinya karena ibunya telah menolak pemberian Manguri kepadanya. Sindangsari menarik nafas dalam-dala m. Na mun tiba-tiba telinganya menangkap suara ibunya agak mengeras "Begitulah menurut Sindangari ayah" Kakeknya yang tua tidak segera menjawab. Tetapi katakata itu sangat menarik perhatian Sindangari. Perlahan-lahan iapun ke mudian bangkit dari pe mbaringannya dan berjalan berjingkat me lekat dinding. Beberapa langkah ia berhasil mende kati te mpat duduk ibu dan kedua kakek dan neneknya. Ternyata pembicaraan merekapun menjadi agak mengeras "Kau harus berhati-hati mengurusi anakmu itu Wiratapa" berkata kakeknya "Aku tidak senang ia bergaul dengan Manguri" "Aku sudah mencoba me mberitahukannya ayah" "Kau sudah bertindak tepat. Jangan menerima pe mberian apapun dari padanya" "Ya ayah" jawab ibunya. Sejenak ke mudian menjadi sepi. Baik ibunya, maupun kakek dan neneknya tida k segera berbicara apapun. Tiba-tiba kakeknya bertanya "Apakah Sari sudah tidur?" "Entahlah" jawab ibunya. "Lihatlah" Ketika ibunya berdiri, ma ka sambil berjingkat Sindangsari pergi tergesa-gesa ke pembaringannya. Dibaringkannya tubuhnya sambil me mbentangkan selimut, sehelai kain panjang di atas tubuhnya. Sindangsari mendengar pintu lereg biliknya berderit. Hanya sebentar. Dan ketika untuk kedua ka linya pintu itu berderit
ke mbali, ia me mbuka matanya perlahan-lahan. Ternyata pintu kamarnya telah tertutup rapat. "Agaknya anak itu telah tidur ayah" Sindangsari mendengar suara ibunya. "Ke marilah, aku ingin me mberitahukan sesuatu kepada mu" Sejenak tidak terdengar sesuatu kecuali derak amben bambu tempat ibu dan ka keknya berbicara. Tetapi pembicaraan yang kemudian sama sekali tidak dapat di dengar oleh Sindangsari, selain ge meremang suara ka kek, nenek dan ibunya berganti-ganti. Meskipun Sindangsari ke mudian bangkit dari pe mbaringannya dan melekatkan telinganya di dinding, namun pembicaraan orang-orang tua itu sama sekali tidak je las baginya. Hanya sekali-sekali ia mendengar na manya di sebut, ke mudian na ma Manguri dan nama beberapa orang lain. "Huh" akhirnya gadis itu menjadi kesal "biarlah mereka berbicara tentang persoalan yang tidak mere ka mengerti" Tetapi tiba-tiba gadis itu menutup mulutnya dengan telapak tangannya. Meskipun kata-kata itu ha mpir tida k terdengar sama sekali, meskipun oleh dirinya sendiri, namun ia menyesal sekali. Tidak pernah ia me mpunyai perasaan yang demikian terhadap ibu, kakek dan neneknya. "Tetapi, tetapi" Sindangsari mencoba me mperbaiki "maksud ibu, kakek dan nene k pasti untuk kebaikanku. Pasti" Sindangsaripun ke mudian meletakkan tubuhnya di pembaringannya kembali. Ditariknya selimutnya untuk menutup ha mpir sekujur tubuh, selain kepalanya. Dan Sindangsari benar-benar tidak mendengar ketika kakeknya berkata "Me mang de mikianlah kesan ha mpir setiap anak-anak muda di Ge mulung tentang Manguri. Anak itu me mang terla mpau julig, sehingga se mua perbuatannya sama
sekali tida k berbekas. Tetapi hal yang serupa itu tidak boleh terjadi atas Sari" Dengan mulut ternganga Nyai Wiratapa mendengarkan ceritera ayahnya. Namun tanpa di sadarinya ia brdesis "Apakah me mang de mikian?" "Ya. Hanya orang yang sangat terbatas yang mengetahui keadaan yang sebenarnya. Dengan bujukan yang hampir tidak terelakkan ia mencari anak-anak muda sebayanya. Dengan dibekali uang, pakaian dan bermaca m maca m janji, maka anak muda itu di suruhnya me mbawa gadis yang sudah dinodainya itu. Me mang tida k ada pilihan lain bagi gadis yang demikian. Sebab mereka merasa, bahwa tidak mungkin dapat me ma ksa Manguri untuk bertanggung jawab. Mereka sadar, bahwa Manguri dapat mela kukan ke kerasan atas mereka, justru karena ia kaya raya" orang tua itu berhenti sejenak, lalu "de mikianlah yang sudah terjadi, tiga atau empat ka li. Gadis yang telah ternoda itu dipaksanya pergi bersama laki-la ki yang telah disuap dengan apapun. Mereka a kan kawin dan bebaslah Manguri dari segala maca m pertanggungan jawab" "O" keringat dingin mengalir di punggung Nyai Wiratapa "Mengerikan sekali" "De mikianlah yang sebenarnya terjadi. Namun kesan yang dibuat dari peristiwa itu adalah, seakan-akan gadis-gadis Manguri itu meningga lkannya dan lari dengan la ki-laki la in" Nyai Wiratapa mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi dadanya serasa menjadi pepat. Ia tidak menyangka, bahwa hal yang serupa itu dapat terjadi. "Sekali dua ka li, tidak ada seorangpun yang menaruh curiga. Tetapi ketika hal itu terulang ke mba li, maka mula ilah beberapa orang tua-tua bertanya-tanya" "Apakah orang tuanya tidak berbuat sesuatu" bertanya Nyai Wiratapa.
Ayahnya yang tua itu menarik nafas dalam-da la m. Jawabnya "Memang kita tidak a kan menghukum Manguri sebagai seorang anak yang binal tanpa menghiraukan orang tuanya. Kesalahannya memang tidak seluruhnya terletak pada anak itu" laki-laki tua itu berhenti sejenak; kemudian "Ayah Manguri adalah seorang pedagang ternak yang kaya raya. Ia jarang sekali berada di rumahnya. Hampir setiap hari ia berkeliling dari pasar ternak yang satu ke pasar yang lain. Kemudian melakukan jual be li dala m jumlah yang besar dengan pedagang-pedagang dari Utara. Dari Mataram, dari Bagelen dan dari daerah-daerah yang lain" Nyai Wiratapa mengangguk-anggukkan kepalanya "Jadi anak itu tidak mendapat pengawasan secukupnya bukan" Tetapi bagaimana dengan ibunya?" "Ibunya terlampau me manja kannya" jawab ayahnya, ke mudian suaranya menurun "tetapi lebih dari pada itu. Ayahnya adalah seorang laki-laki yang tidak terkekang. Ha mpir di segala sudut daerah Selatan mi ia me mpunyai isteri. Bahkan kadang-kadang ia masih juga mengganggu isteri orang" la kilaki tua itu berhenti sebentar, kemudian dan isterinya, ibu Manguri itu, di dala m kesepian ia telah melakukan hubungan yang terlarang. Dan hubungan itu diketahui oleh anak la kilakinya. Celakanya, anak laki-laki itu sudah pandai me meras ibunya. Setiap kali ia menganca m a kan mengatakannya kepada ayahnya apabila ibunya tidak me menuhi permintaannya. Apapun" "Gila, gila" tanpa sesadarnya Nyai Wiratapa memotong kata-kata ayannya" "Sst" desis ibunya "jangan terlampau keras, kau akan me mbangunkan ana kmu" Sebenarnyalah Sindangsari terkejut mendengar suara ibunya. Tetapi ia tidak tahu, apakah yang sebenarnya sedang di persoalkan. Karena itu, maka ia tidak mengacuhkannya lagi.
Mungkin ibunya sedang menila i anak-anak muda padukuhan Gemulung yang sudah menjadi kawan-kawanya bermain. "Ayah" desis Nyai Wiratapa perlahan-lahan "jadi benar juga kata-kata perempuan tua yang datang untuk menyerahkan pakaian sepengadeg itu. Katanya, kalau nasibku ba ik, bukan saja Sindangsari yang akan mendapat tempat di dala m keluarga yang kaya raya itu, tetapi mungkin aku juga akan dia mbil selir oleh pedagang kaya itu" "Yang benar adalah, perempuan itu berkata demikian" sahut ayahnya "tetapi belum tentu hal itu akan sebenarnya terjadi" Nyai Wiratapa menundukkan kepalanya. Terdengar ia berdesis perlahan "Sudah de mikian parahkah keadaan padukuhan ini, sehingga tidak lagi ada tata kehidupan?" "Jangan salah sangka Wiratapa" berkata ibunya "tidak semua orang Ge mulung berbuat seperti itu" Nyai Wiratapa mengangguk-angguk perlahan. "Mudah-mudahan aku dapat menyingkirkan ana kku dari bencana ini" berkata Nyai Wiratapa di dala m hatinya. Sementara itu Sindangsari masih saja berbaring dia m di dalam biliknya. Matanya berkejap-kejap memandang langitlangit di atas biliknya. Kadang-kadang seekor cicak melintas sambil menciap, seperti anak burung yang memanggil induknya dari sarang. Tiba-tiba Sindangsari mengerutkan keningnya. Di kejauhan terdengar suara tembang yang menga mbang di sepinya ma la m. Te mbang macapat, seakan-akan mera mbat di dinding biliknya. "Asmaradana" desis gadis itu, lalu "kenapa masih sesore ini orang itu me milih lagu Asmaradana dan bukan Dandanggula?"
Namun suara tembang itu menyentuh telinga Sindangsari.
mengalun se makin jelas Tanpa sesadarnya terbayanglah seorang anak muda yang me loncat dari balik dinding batu di pinggir desa siang tadi. Anak muda yang bermain seruling dengan nada-nada yang lain dari te mbang-te mbang macapat seperti yang didengarnya itu. Dan tanpa sesadarnya Sindangsari telah me mperbandingkannya dengan anak muda periang yang bernama Manguri, anak seorang pedagang ternak yang kaya raya. "Lain" desisnya "keduanya me mpunyai cirinya tersendiri. Manguri adalah seorang periang yang tampaknya tidak pernah bersungguh-sungguh, ia berbuat sesuka hatinya, apa saja yang sedang diingatnya di lakukannya. Tetapi anak yang berseruling itu bukanlah seorang yang berbuat apa saja sesuka hati. Ia mempunyai pertimbangan dan ada kesungguhan, meskipun ia tida k seriang Manguri" Sindangsari menarik nafas dala m-dala m. Pada anak muda itu yang paling menarik baginya adalah suara serulingnya. "Na manya tidak begitu baik. Pa mot" gadis itu berdesis. Namun se mentara itu suara tembang di kejauhan masih saja me mbelai telinganya, sehingga lambat laun, seperti silirnya angin mala m, telah mendorongnya ke dala m ala m yang lamat-la mat. Perlahan-lahan ia mulai terlena, sehingga akhirnya Sindangsari tertidur dengan nyenyaknya. Ia sudah tidak mendengar lagi ketika suara tembang itu ke mudian beralih kepada nada-nada yang lebih keras, sehingga sampailah ke mudian ke da la m suasana perang yang dahsyat "Durma" Ketika matahari terbit di keesokan paginya. Sindangsari benar-benar merasa pening di kepalanya. Belahan jeruk yang semala m dilekatkan di keningnya sudah terjatuh di sisinya
berbaring. Tetapi ia tidak mau tetap berada di dala m biliknya. Seperti biasa ia bangun dan me mbantu neneknya menyapu halaman. Tetapi pembicaraan ibu serta kakek dan neneknya semala m selalu dikenangnya. Meskipun ia t idak mendengar pembicaraan itu, tetapi ia merasa bahwa mereka sedang berbicara tentang dirinya. Setelah selesai menyapu halaman, maka seperti biasanya Sindangsari mengumpulkan pakaian-paka ian kotor yang akan dicucinya di kali bersa ma beberapa orang kawan gadisnya. Tetapi tidak seperti biasanya, ibunya mendapatkannya sambil berkata "Hati-hatilah Sari. Jangan terlalu la ma" Sindangsari menganggukkan kepalanya. Jawabnya "Ya bu. Kepalaku juga agak pening" Sindangsari hanya menunggu sebentar ketika beberapa orang kawannya lewat di muka rumahnya. Ke mudian bersama-sama mereka pergi ke sungai sa mbil me njinjing bakulnya masing-masing. Sementara itu, beberapa pasang mata sedang mengintai. Tetapi mata itu kini me mancarkan perasaan yang bergejolak dan jantung yang berdentangan. "La mat" Manguri me manggil orangnya yang tinggi besar "Lihat, gadis itu lewat lagi" Lamat berja lan dengan langkahnya yang berat mendekati Manguri. "Sindangsari telah menola k pemberianku. Sesuatu yang selama hidupku belum pernah terjadi" berkata Manguri "setiap gadis pasti tunduk di bawah pengaruhku, bahkan apapun yang aku minta pasti diberikannya tanpa banyak persoalan. Dan kini aku belum me minta sesuatu. Justru aku baru memberi. Tetapi ia sudah menolak"
Lamat me ngerutkan keningnya. Ke mudian terdengar suaranya datar "Yang mana kah gadis yang bernama Sindangsari?" "Bodoh, bodoh kau. Kau me mang bodoh seperti kerbau" Lamat t idak me njawab. "Lihat, gadis yang berkain lurik hijau gadung itu" "Yang menjinjing ba kul?" "Se mua menjinjing bakul. Apakah kau tidak melihat?" Lamat terdia m. "Berkain lurik hijau gadung dan berbaju coklat muda" Lamat t idak me njawab. Tetapi kepalanya terangguk-angguk "Kau lihat he?" "Ya, ya. Aku me lihat" "Nah, gadis itu yang sudah me nghina ku. Mengerti" Lamat mengangguk-angguk kepalanya. Lalu ia bertanya "Apakah aku harus menga mbilnya dan me mbawanya ke mari" Manguri tida k segera menjawab. Tetapi melihat sikap gadis itu ia menjadi ragu-ragu. Sindangsari bersama beberapa kawannya masih saja berjalan seperti biasanya. Kadangkadang mereka berpaling me mandangi pintu regol yang tampaknya tertutup. Tetapi mereka tida k tahu bahwa Manguri sedang mengintip mereka dari balik pintu yang mereka sangka tertutup rapat itu. "Tida k" ke mudian ia menjawab "Tida k sekarang. Aku ingin tahu, apakah anak itu atau keluarganyalah yang berkeberatan. Mungkin aku masih me mpunyai cara lain. Tetapi kalau cara itu semuanya gagal, barulah a ku me merlukan kau"
Orang yang bertubuh tinggi besar itu tidak menjawab. Dipandanginya saja anak muda itu dengan kerut-merut di keningnya. "Sebaiknya aku mene muinya dan bertanya kepadanya" guma m Manguri kepada diri sendiri. langsung
Lamat masih tetap berdiri di te mpatnya. Dan tiba-tiba saja Manguri berteriak "Pergi, pergi kau" Perlahan-lahan La mat me langkah surut. Kemudian dengan kepala tunduk ia ke mba li ke pekerjaannya. Meskipun ia masih mendengar Manguri bersungut-sungut sa mbil mengumpatumpat, tetapi ia sudah tidak berpaling lagi. Sejenak ke mudian Manguripun segera berlari masuk ke dalam rumahnya. Ditemuinya ibunya sedang melipat pakaiannya di da la m biliknya. "Bu, aku perlu uang" Ibunya mengangkat wajahnya. Di pandanginya anaknya yang tampak tergesa-gesa. "Untuk apa?" bertanya ibunya. "Aku akan mene mui gadis itu langsung. Belum pernah seseorang menola k pe mberian kita. Ibunya menarik nafas dalam-dala m. Dengan ragu-ragu ia bertanya "Manguri, apakah kau mash juga akan berbuat demikian" Manguri mengerutkan keningnya "Maksud ibu?" "Duduklah" Manguri tertegun sejenak. Tetapi iapun melangkah maju dan duduk di a mben. "Manguri, bertambah" umurmu se makin la ma menjadi semakin
"Ya" "Kau harus menyadari, bahwa hidupmu ke lak akan tergantung kepadamu sendiri. Ayah dan ibu tidak akan dapat me mbimbing kau untuk seterusnya. Suatu ketika ayahmu menjadi tua dan tidak dapat mencari uang lagi. Ka lau kau tidak belajar sejak sekarang, maka kau akan menga la mi kecanggungan kelak" Manguri terdia m sejenak. Tetapi tiba-tiba ia tertawa. Katanya "Nasehat ibu baik sekali. Tetapi ayah dapat me lakukan kedua-duanya berbareng. Mencari uang dan perempuan" Ibu Manguri menarik nafas dala m-dala m. Ia me mang t idak dapat ingkar. Karena itu maka katanya "Kau benar Manguri. Kalau aku me mberi kau nasehat lebih lanjut, mungkin kau akan menyentuh kesalahan ibumu pula. Aku tida k ingkar. Ayahmupun tidak a kan ingkar. Hidupku dan ayahmu bukanlah contoh yang baik. Tetapi sudah tentu aku tidak ingin melihat anakku berbuat seperti itu" Manguri masih tertawa. Katanya "Tidak. Aku tidak akan menunjuk kesalahan ibu. Aku tidak peduli. Aku merasa bahwa aku sudah cukup dewasa menanggapi keadaan. Seharusnya aku tidak menjadi seorang anak muda yang cengeng. Yang merintih sepanjang hidupnya karena kesalahan orang la in. Tidak" Manguri berhenti sejenak, la lu "Tetapi beri aku uang" "Manguri" suara ibunya merendah "kau harus sudah mulai berpikir tentang masa depanmu" "Ya, aku me mang sudah me mikirkannya ibu, Masa depan yang paling me nyenangkan adalah cara hidup yang dite mpuh oleh ayah" "Oh" ibunya menarik nafas dala m-dala m. Tetapi Manguri sama sekali tidak menghiraukan desah ibunya. Bahkan ia mendesak "Ibu, beri aku uang"
Ibunya yang tidak dapat mengatasi permintaan itu, seperti biasanya lalu berkata "Ambillah di dala m ka mpil itu" Manguripun segera meloncat menga mbil uang di dala m kampil di geledeg. Tanpa di hitungnya. Dan uang yang segenggam itupun ke mudian dimasukkannya ke dala m kantong ikat pinggangnya. Beberapa keping berjatuhan di lantai tanpa di hiraukannya. "Ke mana kau Manguri?" ibunya masih bertanya. "Ke sawah. Mungkin aku akan dapat bertemu dengan Sindangsari seperti! ke marin. Ia bermain-ma in di pinggir desa bersama beberapa orang gadis" Ibunya tidak bertanya lagi. Dibiarkannya Manguri meninggalkan biliknya. Namun sepercik kece masan telah merayapi jantungnya. Bagaimanakah masa depan anaknya itu" Bagaimanapun gila ayahnya terhadap perempuan di segala tempat, namun ayahnya dapat mencari uang untuk me mbeayai kegilaannya, dan membeayai rumah tangganya yang sudah ada. Meskipun sifat-sifatnya kurang disukai oleh orang-orang Gemulung, tetapi ia tetap seorang yang terhormat karena ia kaya. Bahkan dirinya sendiri yang tidak bersih lagi itupun masih tetap mendapat tempat yang baik, karena ia dapat memberi pekerjaan dan sumber hidup bagi tetangga-tetangganya yang ikut me mbantu di rumahnya dan me me lihara sawah dan ternak. Tetapi Manguri tida k dapat berbuat seperti ayahnya. Ia hanya meniru satu segi dari kehidupan ayahnya. Justru kele mahannya. Bukan kecakapan berusaha dan tanggung jawabnya. Sampa i umurnya yang telah menginjak dewasa Manguri sama sekali tidak me mpunyai tanda-tanda bahwa ia rajin bekerja seperti ayahnya. Bahwa ia mampu mela kukan pekerjaan yangberat dan bertanggung jawab. Yang
dilakukannya sehari-hari adalah mengha mburkan uang untuk kepuasan semata-mata. Dan ibunya menjadi sedih karenanya. Betapa kelamnya hati seorang ibu, namun ia masih juga ingin me lihat hidup anaknya yang cerah. Tetapi Manguri tidak dapat diharapkannya sama sekali. Sementara itu Manguri berjalan tergesa-gesa di sepanjang jalan padesan. Semula ia akan menyusul gadis-gadis yang pergi mencuci ke sungai. Tetapi niat itu diurungkannya. Ia masih juga segan turun ke sungai menunggui gadis-gadis yang sedang mencuci dan mandi. Karena itu, maka iapun pergi meniti pe matang ke sawahnya, meskipun hanya sekedar tidur di dala m gubug. Menghentikan penjua l apapun yang lewat untuk menghabiskan waktu, kemudian pergi mene mui gadis-gadis di pinggir desa. "Aku harus tidak hanya sekedar lewat dan memberikan uang. Aku harus berhenti dan mencoba melakukannya sendiri. Tidak dengan perantara-perantara yang bodoh. Aku tidak mau gagal kali ini. Jarang aku mene mui gadis seperti Sindangsari sepanjang hidupku. Juga di masa yang akan datang" Dan bayangan-bayangan yang menegangkan urat syarafnya selalu mengganggunya. Selagi ia berbaring di dalam gubug di tengah-tengah sawahnya, hatinya selalu saja gelisah. Sama se kali tidak ada perhatiannya atas burung-burung yang berterbangan di atas batang-batang padi yang mulai menguning, seperti segumpal asap yang berputar-putar. Kemudian menukik bertebaran di atas bulir-bulir padi yang mulai menunduk. Na mun sejenak ke mudian terdengar penunggu-penunggu sawah itu berteriak-teriak sambil mnarik tali-tali penggerak orang-orangan di tengah-tengah sawah itu. Dan burung-burung itupun mengha mbur berterbangan dalam gumpalan-gumpa lan me menuhi udara yang bersih. Dala m pada itu Sindangsari dan kawan-kawannya lagi sibuk mencuci di pinggir kali. Tetapi Sindangsari tida k sege mbira
biasanya. Ia tiba-tiba saja menjadi pendia m yang kadangkadang merenung untuk sesaat, sehingga kawan-kawannya menjadi heran me lihat perubahan itu. "He, Sari. Kenapa kau selalu merenung" bertanya Kandi tiba-tiba "apakah se ma la m kau bermimpi?" Sindangsari terkejut. Ia mencoba tersenyum, tetapi terasa senyumnya ha mbar. "Ya, pasti bermimpi" sahut kawannya yang lain "ayo katakan Sari, kau mimpi apa?" "Aku tida k pernah bermimpi" jawab Sindangsari. "Bohong" hampir berbareng kawan-kawannya menyahut "tidak ada orang yang tidak pernah bermimpi. Dan agaknya semala m kau bermimpi bagus sekali" "Bermimpi tentang apa Sari. Ayo katakan" "Sungguh. Aku tidak bermimpi" Sari mengelak "a ku tidak bermimpi tentang apapun" "Sari" berkata kawannya yang lain. Tampaknya wajahnya menjadi sangat bersungguh-sungguh "Dengar. Aku tahu pasti, bahwa kau bermimpi digigit ular" "Ya, mimpi digigit ular" ha mpir berbareng kawan-kawannya menjerit. Sindangsari menundukkan kepalanya dalam-da la m. Wajahnya menjadi ke merah-merahan. Tetapi ia t idak marah. Ia tahu, bahwa kawan-kawannya hanya sekedar bergurau. Dan kawannya yang bertubuh kecil dan pendek tiba-tiba berkata dengan suara yang dibuat-buat "Eyang, akhirnya ular sebesar ibu jariku itu lenyap. Yang ada adalah seorang kesatria yang gagah dan tampan. Wajahnya cerah seperti matahari. Na manya ..........eh, siapa namanya Sari"
Sekali lagi suara kawan-kawannya berderai. Dan Sindangsari menjadi se makin tunduk, meskipun ia mencoba tersenyum. "Sebaiknya kau berterus-terang" desis kawannya yang duduk di sa mpingnya. Dan tiba-tiba saja gadis itu terpekik karena Sindangsari mencubitnya di pahanya. "Jangan Sari, jangan" Tetapi Sindangsari tidak me lepaskannya. Sehingga gadis itu mencoba meronta untuk me lepaskan diri. Karena hentakannya sendiri itulah ia kehilangan keseimbangan. Sejenak kemudian ia terdorong dan jatuh ke dala m air. Gadis-gadis itupun menjadi se makin riuh. Mereka justru menyira m gadis itu bersama-sa ma, sehingga dengan demikian perhatian mereka beralih dari Sindangsari yang ikut pula menyira m gadis itu sa mpai terengah-engah. Senda gurau itu me mbuat Sindangsari melupakan dirinya sendiri untuk sejenak. Tetapi setelah anak-anak itu tidak lagi berteriak-teriak, pening di kepalanya terasa lagi. Dan sebelum kawan-kawannya mengganggunya, maka Sindangsari mendahului berkata "Kepalaku me mang agak pening" Kandi yang agak lebih tua dari kawan-kawannya mende katinya sambil bertanya* "Sejak kapan kau merasa pening?" "Ke marin sore" "Nah, kau kehausan kemarin" potong seorang kawannya. Tetapi yang lain tidak menyambung ketika mereka melihat Kandi me letakkan tangannya di dahi Sari. "Jangan terlalu la ma berenda m" berkata Kandi "kau me mang agak panas"
Kawan-kawannya mengerutkan keningnya. Salah seorang dari mereka bertanya "Apakah kau benar-benar pening Sari?" Sindangsari menganggukkan kepalanya dan kawannya yang lain menyahut "Kalau begitu, marilah kita cepat pulang" "Apakah kau nanti tidak bermain di pinggir desa, di waktu kami beristirahat dari kerja ka mi di sawah?" Sindangsari mengerutkan keningnya. Jawabnya "Kalau kepalaku masih pening, aku tidak pergi ke pinggir desa" Kawan-kawannya mengangguk-anggukkan kepa lanya. Tetapi salah seorang yang lain menyahut "Kau tidak ingin minum dawet cendol atau rujak nanas Sari?" Sindangsari me nggelengkan kepa lanya. "Ayo, cepat. Kita harus segera pulang. Matahari menjadi semakin tinggi. Ayah menunggu aku di sawah" berkata Kandi. Dan gadis-gadis itu me mpercepat kerja mereka, supaya mereka segera dapat pulang. Dengan demikian, maka Sindangsari tidak dapat pergi ke pinggir desa hari itu. Ia berbaring saja di pembaringannya. Badannya terasa agak panas. Tetapi tidak terlampau tinggi, sehingga tidak begitu menggelisahkan ibu, kakek dan neneknya. Tetapi yang masih saja gelisah adalah Manguri. Sekalisekali ia bangkit dan duduk di bibir gubug yang berkaki tinggi. Kemudian berbaring lagi. Bahkan kadang-kadang ia me loncat tunrun dan berjalan hilir mudik di pe matang. Namun terasa waktu berjalan terla mpau la mban. "Apakah gadis-gadis itu sudah berada di pinggir desa" ia bertanya kepada diri sendiri.
Setiap kali Manguri menengadahkan kepalanya. Setiap kali ia mencoba me lihat kalau-kalau ia melihat gadis-gadis yang pergi berteduh ke pinggir desa. "Sudah waktunya" tiba-tiba ia berdesis ketika ia melihat di kejauhan seorang gadis berjalan berjingkat-jingkat ke pinggir desa untuk berteduh "mereka pasti sudah berkumpul di sana. Aku akan me mberi mereka beberapa keping. Tetapi a ku akan minta Sindangsari tinggal. Aku ingin berbicara" Manguripun ke mudian berjalan tergesa-gesa menyusur pematang seperti yang dilakukannya kemarin. Ketika ia me loncat turun ke jalan, maka ia mendengar beberapa orang gadis menyebut namanya. Justru sengaja agar ia mendengarnya. Tetapi Manguri tetap mencoba menenangkan dirinya. Ia berjalan seperti ke marin mendekati gadis-gadis itu. Tetapi sema kin de kat, hatinya menjadi se makin berdebardebar. Ia tidak melihat Sindangsari di antara gadis-gadis itu. Meskipun de mikian ketika gadis-gadis itu menegurnya iapun berhenti pula. Seperti ke marin diberikannya beberapa keping uang kepada mereka. Tetapi kali ini ia bertanya "Di mana Sindangsari?" Gadis-gadis itu saling berpandangan sejenak. Kemudian sambil tertawa tertahan mereka saling mencubit. "Dima na?" Manguri mendesak. "Sindangsari sedang sakit. Ia tidak keluar rumah siang ini" "Sakit" bertanya Manguri sa mbil mengerutkan keningnya. "Ya. Kepalanya pening. Se ma la m ia mimpi di gigit ular" yang lain berkelakar, dan suara tertawanya meledaklah. Manguri tersenyum. Tetapi tanpa berkata apapun ia me langkah me ningga lkan gadis-gadis itu. Sebenarnya hatinya menjadi sangat kecewa. Ia ingin segera bertemu gadis itu sendiri. Penolakan atas
pemberiannya itu benar-benar telah menyakitkan hatinya. Kalau penolakan itu benar-benar dilakukan oleh Sindangsari, maka ia harus berbuat sesuatu. Kalau perlu dengan kekerasan, atau dengan cara lain. "Mungkin a ku dapat me mbe linya. Ibunya adalah seorang janda, dan kakeknya seorang petani miskin" Manguri menggera m "mereka tidak akan dapat bertahan me lihat uang yang cukup banyak. Bahkan mungkin dua ekor le mbu yang besar cukup untuk menukar gadis itu. Aku tida k akan me merlukan sepasang lembu itu, bahkan dengan bajaknya sama seka li, agar kakek tua itu dapat bekerja dengan ba ik di sawahnya" Dan tiba-tiba Manguri itu berguma m "Aku a kan pergi ke rumahnya sekarang. Aku t idak mau terla mbat" Dan langkah Manguripun menjadi se makin cepat. Meskipun hatinya agak berdebar-debar juga, tetapi ia me langkah terus. Ia harus segera mendapat penjelasan, kenapa, pe mberiannya itu terpaksa ditolak. Apakah perempuan yang di suruhnya itu berkata sebenarnya, atau sekedar dibuat-buat. Yang ingin diketahuinya, siapakah yang sebenarnya telah menolak pemberiannya itu. "Apakah benar ibunya, seperti yang dikatakan oleh perempuan bodoh itu, yang menolak pe mberianku, atau me mang Sindangsari sendiri?" Manguri menggerutu di sepanjang jalan "a ku harus mengetahuinya" Dan langkahnyapun menjadi se makin cepat. Sementara itu Sindangsari masih saja terbaring di dala m biliknya. Ia tidak dapat me lupakan perasaannya, bahwa ibu, kakek dan neneknya sedang mempersoalkannya semala m. Tetapi ia t idak tahu, apakah yang dipersoalkan itu. Dala m arus angan-angannya yang menggelepar di dala m dadanya itu, tiba-tiba terselip ge ma suara yang lain. Suara yang seakan-akan bergetar dari ala m yang asing.
Namun Sindangsaripun segera menyadari. Bahwa yang di dengarnya itu adalah suara seruling. Sehingga karena itu, maka tanpa sesadarnya ia mengangkat kepa lanya. "Begitu dekat" desisnya. Sindangsari kini sudah mengerti, bahwa anak muda yang bermain seruling dengan cara yang tersendiri itu adalah Pamot. Dan suara seruling yang di dengarnya kini adalah suara seruling Pa mot itu pula. "Tetapi dimana anak itu berma in?" Sindangsari bertanya kepada diri sendiri "Rumahnya tidak berada di sekitar tempat ini. Bahkan agak jauh di pinggir desa. Namun anak yang sedang agak sakit itu tidak dapat menge kang dirinya. Perlahan-lahan ia bangkit dan berjalan ke pintu biliknya. Ketika ia menjengukkan kepalanya, dan tidak seorangpun yang dilihatnya di ruang da la m, maka tertatihtatih ia melangkah keluar biliknya dan langsung ke pintu depan. "Dima nakah ibu dan nenek" desisnya. Tetapi ia tidak me lihat keduanya. "Mungkin mereka ada di dapur" ia mencoba menjawabnya sendiri. Karena itu, maka tanpa minta diri kepada siapapun Sindangsari berjalan melintasi hala man, turun ke jalan. Dipasangnya telinganya baik-baik, sehingga segera ia tahu arah suara itu. "Di pere mpatan sebelah" desisnya. Seperti di tuntun oleh suara yang mengumandang dari ujung seruling ba mbu itu. Sindangsari berjalan terus. Tidak terlampau jauh. Hanya beberapa puluh langkah dari regol halamannya.
Sindangsari berhenti di muka sebuah gardu peronda. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata "Kau Pamot" Pamot mengangkat serulingnya dari mulutnya. Sambil tersenyum ia bertanya "He, aku dengar kau sedang sakit Sari" "Darimana kau tahu?" "Aku berte mu Kandi di sawah" "O, hanya sedikit" jawab Sindangsari "tetapi apa kerja mu disini" "Meniup seruling" "Kau perlukan datang ke gardu ini se kedar meniup seruling?" Pamot tertawa. Sambil menunjuk seikat kayu bakar ia berkata "Aku mengantar kayu itu pulang dari pategalan. Tetapi agaknya aku kelelahan, sehingga aku beristirahat di gardumu ini sebentar sa mbil me niup seruling" Sindangsari me mandang seonggok kayu disamping gardu itu. Dengan dahi yang berkerut-merut ia bertanya "Kau kuat mengangkat kayu sebanyak itu seorang diri?" "Kenapa?" tanya Pamot "setiap ka li aku mengantar kayu sebanyak itu dari pategalan" "Kau kuat sekali" Pamot tersenyum "Bagi ana k-anak muda Ge mulung, kerja ini adalah kerja yang ka mi la kukan sehari-hari" "Aku tahu" sahut Sindangsari "tetapi anak-anak muda yang lain t idak se kuat kau" Kini Pa mot tertawa berkepanjangan. Namun tiba-tiba suara tertawanya terputus ketika ia me lihat seseorang berjalan tergesa-gesa ke gardu itu pula.
Dengan wajah yang tegang ia me mandangi Sindangsari dan Pamot berganti-ganti. "Sst, kau lihat anak itu?" desis Pa mot. Sindangsari berpaling. Di lihatnya Manguri berja lan cepatcepat ke arahnya. Tetapi Manguri tidak tersenyum seperti biasanya. Dan wajah itu tidak secerah wajah yang dilihatnya ke marin. Bahkan Sindangsari terkejut ketika ia mendengar Manguri itu bertanya kepadanya, sebelum ia berhenti. "He Sindangsari. Apa kerjamu di situ?" Sindangsari heran mendengar pertanyaan itu. Tetapi ia berusaha untuk bersikap wajar. Ketika Manguri ke mudian berhenti dan berdiri di hadapannya, barulah ia menjawab "Aku mendengarkan suara seruling" "Seruling apa?" "Pamot " Manguri berpaling. Kini di pandanginya wajah Pamot yang masih duduk dengan tenangnya di bibir gardu. "Kenapa kau berada di sini?" Pamot tersenyum. Jawabnya "Melepaskan le lah sebentar" Manguri mengerutkan keningnya. Ia melihat seikat kayu bakar di samping gardu, sehingga ia tahu bahwa pamot sedang mengantarkan kayu itu pulang ke rumah. "Tida k biasa kau lewat jalan ini sejak kau kanak-kana k" bentak Manguri. Pamot tidak segera menjawab, tetapi sorot matanya me mercikkan keheranan. "Kalau kau mau pulang, cepat, pulanglah" berkata Manguri pula.
Pamot menjadi sema kin heran. Bahkan ia bertanya "Kenapa kau berkeberatan aku berada di sini?" Wajah Manguri menjadi semakin tegang. Dan tiba-tiba ia me mandang Sindangsari yang berdiri termangu-mangu sa mbil berkata "Sari, pulanglah. Bukankah kau sedang sakit?" Sindangsari menjadi terheran-heran. Ia tidak mengerti, hak apakah yang mendorong Manguri untuk berlaku de mikian kepadanya. Sebagai seorang gadis Sindangsari dalam hidupnya sehari-hari adalah seorang yang rendah hati. Tetapi menghadapi sikap Manguri, tiba-tiba hatinya justru mengeras. Dengan nada datar ia bertanya "Kenapa aku harus pulang sekarang" Aku sedang mendengarkan Pa mot bermain dengan serulingnya" "Tetapi kau sedang sakit" jawab Manguri "sebaiknya kau tetap berada di rumah" "Aku sudah sembuh" "Kau masih pucat sekali" Sindangsari menarik nafas dalam-dala m. Kini ia menjadi ragu-ragu. Dan Manguri berkata selanjutnya "Kalau kau tidak segera sembuh, aku akan dapat me mbantumu, mencari obat" Sindangsari masih belum menjawab. Kini hatinya dicengka m oleh kebimbangan. Ha mpir saja ia menurut i katakata Manguri, karena ke mudian kata-kata itu terasa sebagai ungkapan persahabatan mereka. Tetapi niat itu justru diurungkannya ketika Manguri ke mudian mengulangi katakatanya kepada Pamot "Kau beristirahat terla mpau la ma di sini. Kenapa tidak di gardu simpang empat sebelah pohon orah itu?" Pamot mengerutkan keningnya. Dan Sindang-saripun mulai menilai sikap Manguri. "Akulah yang sa kit" berkata gadis itu "bukan Pa mot"
"Ya, kaulah yang sakit. Karena itu kau sebaiknya pulang. Tetapi Pa mot itu ternyata telah mengganggu ist irahatmu hingga kau terpaksa ke luar rumah dan pergi ke gardu ini" "Itu terserah kepadaku" Pamot yang duduk keheran-heranan itu menjadi se makin heran. Ia belum pernah melihat Sindangsari bersikap begitu keras. Karena itu ia mulai menimbang-nimbang. Agaknya Manguri meletakkan kesalahan itu kepadanya. Dan ia masih segan untuk bertengkar dengan anak pedagang ternak yang kaya itu. Karena itu, maka iapun ke mudian berkata kepada Sindangsari "Me mang sebaiknya kau pulang Sari. Kau masih terlampau pucat" Dan sebelum Sindangsari menjawab, Pamot telah meloncat dari bibir gardu dan berjalan dengan langkah gontai ke sisi gardu. Perlahan-lahan ia merunduk. Ke mudian dengan satu hentakan ia mengangkat seikat kayu itu di atas kepa lanya. "Aku juga akan pulang" desisnya "aku sudah t idak lelah" Sindangsari masih tetap berdiam diri. Di pandanginya saja langkah Pa mot menjauh. Se makin la ma se makin jauh sa mbil me mbawa kayu di atas kepalanya. Tiba-tiba Sindangsari berdesis "Aku a kan pulang" "Tunggu" sahut Manguri dengan serta-merta "tunggu sebentar" "Aku sedang sakit" "Aku ingin bicara dengan kau, Hanya sebentar" Sindangsari tertegun sejenak. "Hanya sebentar Sari" "Tetapi bukankah kau minta aku segera pulang karena aku masih sakit"
"Ya, tetapi aku minta kau mendengarkan kata-kataku sejenak" Sindangsari mencoba untuk mengerti atas keadaan yang sedang dihadapinya. Sementara hatinya masih dia muk oleh kebimbangan, ia berkata kepada diri sendiri "Inilah sebabnya, kenapa Manguri seakan-akan mengusir Pa mot dari gardu ini. Agaknya ia me mpunyai suatu kepentingan khusus dengan aku" Tiba-tiba dada Sindangsari menjadi se makin berdebardebar. Terngiang kata-kata kawan-kawannya, gadis-gadis Gemulung tentang Manguri. Sebagai seorang gadis yang sudah menjelang dewasa penuh Sindangsari segera dapat mengerti, hasrat apa yang terimpan di dala m hati anak muda itu. Apalagi Manguri telah pernah mencoba me mberinya sesuatu, tetapi ditolak oleh ibunya. Dan terngiang kata-kata kawannya di pinggir desa ke marin "He, apakah kau ingin menggantikan yang hilang itu?" Dan kawannya yang lain menjawab "Bukankah kita samasama menginginkannya?" Sindangsari menarik nafas dalam-dala m. Pada saat ia mendengar dari ibunya bahwa Manguri menyuruh seseorang untuk menyerahkan sepengadeg pakaian kepadanya, ia menjadi bangga. Kalau kawan-kawannya bersama-sama ingin mendapat perhatian lebih banyak dari Manguri, ma ka ia adalah yang terbanyak. Tetapi tiba-tiba me mbersit pertanyaan di dadanya "Apakah hanya aku seorang diri yang pernah mendapat pemberian serupa itu?" Dan pertanyaan itu dijawabnya sendiri "Kalau ada orang lain yang pernah mendapatkannya, mereka pasti akan bercerita dengan dada tengadah"
Sindangsari terkejut ketika ia mendengar suara Manguri "Sari, Kau ma u mendengarkan bukan?" Sindangsari t idak me njawab. "Kenapa pemberianku ke marin ditolak oleh ibumu" Menurut perempuan tua itu. Ibumulah yang menola knya. Apakah benar begitu?" Terasa desir yang lembut menyentuh dada Sindangsari. Dan hatinya yang lembut pula itupun segera bergolak. Ia tidak me mbebankan penolakan itu kepada ibunya semata-mata. Karena itu, maka sejenak ia justru terbungka m. "Aku ingin mendengar keteranganmu Sari" Sindangsari menarik nafas dalam-dala m. Kemudian ia bertanya "Kenapa kau me mberikan itu kepadaku" "Kau akan mengerti ma ksudnya kelak" Tetapi tiba-tiba Sindangsari me nggelengkan kepa lanya "Tetapi t idak sekarang Manguri. Aku t idak dapat menerima pe mberian itu" Sepercik warna merah me mbayang di wajah anak muda itu "Jadi kau me mang menolaknya?" "Bukan maksudku me nolak. Tetapi aku masih belum dapat menerima sekarang" Tiba-tiba dada Manguri bergetar. Belum pernah ia mendengar penolakan serupa itu, sehingga tiba-tiba saja perasaannya menjadi meluap "Sari. Belum pernah pemberianku ke mba li seperti yang terjadi kali ini. Semua gadis yang didatangi oleh pesuruhku itu sela lu menerima pemberianku sambil terbungkuk-bungkuk. Bahkan seandainya aku menyebar pakaian di simpang e mpat ini, maka gadis-gadis di seluruh padukuhan Ge mulung, bahkan seluruh Kademangan Kepandak, akan ikut berebutan" Tetapi luapan perasaan itu telah mengejutkan Sindangsari, sehingga ha mpir tanpa sesadarnya ia bertanya "jadi kau
pernah me mberikan barang-barang serupa kepada banyak gadis-gadis" Pertanyaan itu tidak diduga sama sekali oleh Manguri, sehingga sejenak ia tergagap. Namun ke mudian ia menjawab "Ya Sari. Aku pernah me mberikannya kepada beberapa orang gadis. Pemberianku itu diterima nya dengan baik. Tetapi akhirnya satu-satu mereka lari dengan laki-laki lain. Sindangsari mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya ke mudian "Ha l yang serupa jangan sa mpa i terulang lagi Manguri. Itulah sebabnya aku tidak dapat menerimanya, supaya aku tidak mena mbah deretan nama-nama gadis-gadis yang meninggalkan kau" "Maksudmu?" mata Manguri terbelalak. "Hubungan yang bersungguh-sungguh tidak dapat tumbuh dalam waktu yang singkat. Atau sesudah aku menerima pemberianmu. Tidak Manguri. Ada atau tidak ada pemberian serupa itu, apabila hati bertaut, maka t idak a kan ada apapun yang dapat menghalangi. Tetapi pemberian serupa itu me mang dapat menumbuhkan salah sangka. Dengan senang hati seorang gadis menerima pe mberianmu. Tetapi tanpa pertautan hati yang sebenarnya, maka akan terulanglah peristiwa-peristiwa itu sekali lagi dan seka li lagi" Manguri terdia m beberapa saat. "Karena itu Manguri. Bukan cara itu yang sebaik-baiknya kau te mpuh" Belum pernah Manguri menjumpai gadis seperti Sindangsari. Ia sama sekali tidak me nyangka, bahwa gadis itu akan dapat berkata tentang masalah serupa itu. Gadis-gadis Gemulung yang selalu dijumpa inya setiap hari, akan bersoraksorak menerima beberapa keping uang daripadanya. Yang lain akan kegirangan setengah mati menerima pe mberiannya, sepengadeg pakaian, sehingga persoalan-persoalan selebihnya berjalan terlampau lancar. Tetapi gadis ini berbicara tentang
masalah yang belum pernah dipikirkannya. Sela ma ini ia merasa, bahwa ia adalah laki-laki yang paling mengerti tentang perempuan dan gadis-gadis. Bahkan dengan mudahnya ia akan dapat menguasai sepuluh atau duapuluh orang gadis sekaligus apabila ia menghenda ki. Dengan sedikit umpan, maka ia pasti sudah akan berhasil me mbawa siapapun. Tetapi ka li ini ia menjumpai seorang gadis yang lain. Dala m pada itu, selagi Manguri termangu-mangu, Sindangsari berkata "Sudahlah Manguri. Aku akan pulang. Kepalaku masih terasa pening" "Tunggu, tunggu Sari. Jadi baga imana jawabmu" Sindangsari berpaling sejenak. Sa mbil me langkah ia berkata "Aku sudah menjawab" "Sari, tunggu" Manguri mencoba uuntuk mengikuti Sindangsari dan berjalan disa mpingnya. Tetapi Sindangsari tidak berhenti. "Dengarlah, aku belum selesai" "Kepalaku pening lagi Manguri. Jangan kau bebani lagi aku dengan persoalan-persoalan yang akan mena mbah sakit saja. Kau seharusnya dapat mencari maksud kata-kataku" "Tetapi." Namun Sindangsari t idak berhenti, sehingga ketika mereka sampai di regol hala man gadis itu. Manguri terhenti. Ia hanya dapat memandangi gadis itu berjalan tergesa-gesa melintasi halaman dan na ik tangga rumahnya. Ketika ia me mbuka pintu, dilihatnya ibunya berdiri beberapa langkah di hadapannya. Sindangsari menundukkan kepalanya dalam-da la m. Ia tidak berani me mandang tatapan mata ibunya, yang seolah-olah langsung mene mbus ke pusat jantungnya. "Darimana kau Sari?" bertanya ibunya. "Dari gardu disimpang e mpat itu ibu" jawabnya.
"Bersa ma Manguri?" Sindangsari me ngerutkan keningnya. Agaknya ibunya me lihat ia berjalan bersa ma-sa ma Manguri sa mpai ke depan regol. "Hanya kebetulan saja ia lewat di ja lan ini" Ibunya menarik nafas dala m-dala m. Tatapan matanya menjadi aneh, sehingga ketika sekilas Sindangsari melihatnya, iapun menjadi se makin tunduk "Apakah betul hanya suatu kebetulan Sari" Dada Sindangsari menjadi berdebar-debar. Kini mengerti, kenapa tatapan mata ibunya itu terasa aneh. Agaknya ibunya tidak begitu me mpercayai keterangannya. "Ya ibu. Hanya kebetulan" "Dan kenapa kau pergi kegardu itu" Sindangsari menjadi ragu-ragu sejenak. Tetapi lebih ba ik berterus terang daripada dituduh yang bukan-bukan. Maka Jawabnya "Aku mendengar suara seruling, ibu. Aku tertarik sekali, sehingga aku tidak dapat menahan diri untuk keluar sejenak" "Manguri bermain seruling?" "Sindangsari mengegelengkan kepalanya "Bukan. Bukan Manguri" "Siapa?" "Pamot " "Tetapi kenapa kau berja lan bersa ma Manguri?" "Kebetulan. Hanya suatu kebetulan" Ibunya tidak segera menyahut. Tetapi matanya menjadi semakin redup. Perlahan-lahan didekatinya anaknya. Kemudian dielusnya ujung ra mbutnya yang berjuntai
"Sindangsari. Seumur hidupku kau tidak pernah berdusta kepada ibu. Kenapa kau sekarang berdusta" "Ibu" Sindangsari terkejut "aku tidak berdusta ibu" Dan Sindangsari menjadi se makin terkejut ketika ia melihat sorot mata ibunya yang sedih. Sindangsari" berkata ibunya "aku melihat kau berjalan bersama Manguri. Tetapi kau mengatakan itu hanya suatu kebetulan. Padahal sepengetahuan ibu, jarang sekali Manguri berjalan lewat jalan ini, dan apalagi kau tadi ibu tinggalkan kebelakang sedang terbaring di pe mbaringanmu" "Tetapi, tetapi.........." Sindangsarti tergagap. "Apapun yang kau lakukan Sari, sebenarnya ibu lebih senang kalau kau berkata terus terang" "Aku sudah berterus-terang ibu" Terasa tenggorokan Sindangsari mula i tersumbat. Namun ke mudian mereka terkejut ketika terdengar suara berat di luar pintu, suara kakek Sindangsari "Sari berkata sebenarnya Wiratapa" "O" Nyai Wiratapa berpaling. Ketika pintu ke mudian terbuka semakin lebar, tersembullah tubuh laki-laki tua itu dengan sebuah cangkul di punda knya dan caping tua di tangannya. "Apakah ayah mengetahuinya" bertanya Nyai Wiratapa. "Aku melihatnya" jawabnya "aku lagi singgah di rumah sebelah gardu itu, me lihat ayam jantan aduan yang ba ik sekali. Aku melihat Sari datang ke gardu itu selagi Pamot sedang bermain dengan serulingnya. Ke mudian aku melihat pula angger Manguri datang" Nyai Wiratapa mengangguk-anggukkan kepa lanya. "Pamot lah yang pulang lebih dahulu, ke mudian baru Sindangsari diikuti oleh angger Manguri.
Nyai Wiratapa mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini ditatapnya wajah anaknya yang menunduk. Desisnya "Ternyata ibu keliru Sari. Menuruti kakekmu, kau sudah berkata sebenarnya" Sindangsari tidak menjawab. Meskipun ibunya mengakui kekeliruannya, tetapi terasa, bahwa ibunya tidak senang me lihatnya berjalan bersa ma Manguri. "Dan apakah kau sudah tidak pening lagi?" Sindangsari menjadi ragu-ragu. Tetapi ia tidak dapat menganggukkan kepalanya, meskipun kepalanya me mang masih terasa pening. Bahkan ke mudian ia menjawab "Tidak ibu. Aku sudah sembuh" "Bagus" jawab ibunya "kau sudah dapat me mbantu nenek" Perlahan-lahan kepala Sindangsari terangguk. Dan sebelum beranjak dari tempatnya kakeknya yang baru saja meletakkan cangkulnya di sudut rumah berkata "Pamot me mang pandai bermain seruling. Ha mpir setiap orang tertarik kepada suara serulingnya yang justru tidak lajim. Agaknya Sindangsari tidak pernah mendengarnya di kota" Nyai Wiratapa mengerutkan keningnya. Dan laki-laki tua itu berkata selanjutnya "Dan Pa mot adalah anak yang ba ik" Nyai Wiratapa masih berdiam diri. Tetapi ia melihat Sindangsari me narik nafas dala m-dala m. "Biarlah anak ini beristirahat" desis kakek gadis itu "seandainya ia telah sembuh, biarlah sakitnya tidak kambuh ke mbali" Nyai Wiratapa tidak menjawab. Di pandanginya saja anaknya yang masih menundukkan kepalanya. "Masuklah ke bilikmu" berkata kakeknya pula. Dengan langkah yang tertegun-tegun oleh keragu-raguan Sindangsari melangkah ke dala m biliknya. Kemudian setelah
menutup pintu, dibantingnya dirinya di atas pembaringannya sehingga a mben ba mbu itu berderak-derak. Ketika ia mencoba me meja mkan matanya, maka me lintaslah bayangan-bayangan yang kalut bercampur-baur. Kemudian sedikit de mi sedikit bayangan-bayangan itu mulai saling berpisah. Akhirnya Sindangsari me lihat wajah-wajah yang berkesan di hatinya. Wajah Manguri yang riang, dan wajah Pamot yang bersungguh-sungguh. Tetapi kini Sindangsari sudah me mpunyai bahan banding yang lebih lengkap. Ternyata Manguri yang riang itu agak terlampau kasar. "Mungkin de mikianlah kebiasaannya di rumah. Karena ia anak seorang yang kaya raya, maka ia biasa berlaku kasar terhadap orang-orangnya" berkata Sindangsari di dala m hatinya "tetapi apakah ia berhak berbuat demikian juga kepadaku, kepada Pamot dan kepada kawan-kawannya bermain?" Tanpa disadarinya kepalanya. Sindangsari menggeleng-ge lengkan
"Agaknya Pamot dapat bersikap lebih baik dari Manguri" ia meneruskan di dala m hatinya "Tetapi sayang, Pamot terlampau asing bagi kawan-kawan, gadis-gadis Ge mulung" Sindangsari menarik nafas dalam-dala m "Suara seruling itu" ia berdesah. Maka mau tida k mau, Sindangsari harus menila i keduanya di dala m dirinya. Bahkan ia merasa menyesal, bahwa ia mengenal keduanya dan tertarik oleh sifat yang khusus dimiliki oleh masing-masing anak muda itu. Sementara itu, Manguri berja lan dengan tergesa-gesa pulang ke rumahnya. Meskipun masih jugu terpercik secercah harapan, tetapi ia merasa tersinggung sekali oleh sikap Sindangsari. Biasanya gadis-gadis Ge mulung segera
bersimpuh di hadapannya, apabila ia mula i menaburkan keping-keping uang dan pakaian kepadanya. Tetapi Sindangsari bersikap lain. "Aku tida k sabar" desisnya. Namun terasa sesuatu yang lain bergetar di hatinya. Penilaiannya terhadap Sindangsari, ternyata berbeda justru karena ia merasa tersinggung karenanya. Ada sepercik keseganan menyentuh jantungnya. "Anak ini me ma ng lain" Namun dengan demikian, keinginannya untuk menaklukkan Sindangsari me njadi sema kin menyala di dala m dadanya. "Aku harus dapat menga mbil dengan segala maca m cara. Kalau perlu dengan kekerasan" tetapi ke mudian ia mengerutkan keningnya "aku akan me mbelinya dari ka keknya yang tua. Ia harus menyerahkan gadis itu kepadaku. Aku harus me mbukt ikan kepada Sindangsari, tidak seorang gadispun dapat me lawan kehendakku" Manguripun ke mudian menghentakkan tangannya sambil menggera m "Pada saatnya kau akan tunduk di bawah kehendakku. Ikhlas atau tida k ikhlas" Pikiran Manguri dihari-hari berikutnya, terpusat pada usahanya untuk menaklukkan Sindangsari dengan segala maca m cara. Namun sejalan dengan usahanya itu, penilaiannya terhadap Sindangsari justru menjadi se ma kin mantap. Maksudnya untuk mendapatkan Sindangsari se kedar untuk me lepaskan denda m hatinya, semakin bergeser. "Aku tidak dapat menganggapnya seperti gadis-gadis Gemulung yang la in" desisnya "aku harus me nga mbilnya dengan sungguh-sungguh. Kalau aku masih menginginkan yang lain, itu tidak apa. Tetapi aku harus me mpunyai seorang isteri yang baik" Dan Manguripun harus mengakui, bahwa ia me mpunyai perasaan yang lebih mendala m pada gadis ini dari gadis-gadis
yang pernah bergaul terla mpau rapat dengannya. Dan Manguri yang sudah menjadi se makin dewasa itu mula i dapat me mbedakan, bahwa terhadap Sindangsari ia tidak se kedar dicengka m oleh nafsu semata-mata. Tetapi ia benar-benar mulai mencintainya. "Perasaan apapun yang tersimpan di da la m hati" katanya kepada diri sendiri "tetapi aku harus mendapatkannya lebih dahulu, sebelum orang la in menga mbilnya" Dengan de mikian, maka cara yang dianggapnya terbaik itulah yang akan dilakukannya. Ketika matahari yang terik berada di pusat langit, Manguri berjalan tergesa-gesa menyusur pematang pergi ke sawah yang sedang digarap. Sawah yang ditumbuhi oleh batangbatang padi muda yang hijau segar. Dibatasi oleh pe matang yang ditanami kacang panjang dengan lanjaran bambu yang berjajar-jajar. Seorang laki-la ki tua yang sedang menyiangi tanamannya, terbungkuk-bungkuk di teriknya panas matahari. Seluruh tubuhnya telah menjadi basah oleh keringat, sedang kakinya yang terendam di air setinggi mata kakinya itu berlumuran dengan lumpur-lumpur yang kehita m-hita man. Orang tua itu tertegun ketika ia mendengar seseorang me manggilnya "Kakek. Apakah ka kek tida k beristirahat" Tidak baik be kerja tepat di tengah hari" Laki-laki tua itu menggeliat sambil mene kan la mbungnya dengan kedua tangannya yang kotor. Kemudian perlahanlahan berpaling ke arah suara yang menyapanya. "O, kau Manguri" orang tua itu tersenyum "Ya, kek, Ka kek bekerja terlampau keras" "Sekedar menyiangi" jawab laki-la ki tua itu.
Geger Pantai Rangsang 1 Bidadari Untuk Ikhwan Karya Fajar Agustanto Kereta Berdarah 12
^